ALPHA Sepanjang malam ini Trifanka hanya memainkan gitar
kesayangannya
dan
menyanyikan
lagu
sendu,
kepergiaan seseorang yang amat dicintanya membuat hatinya hancur dan takkan pernah melupakan kejadian menyedihkan itu. Hari itu hari yang amat indah awalnya, langit cerah dengan iringan musik yang merdu, pernikahannya sudah di depan mata hari itu, dan akhirnya Trifanka resmi menjadi nyonya Edwar, kekasih hatinya sekaligus cinta sejatinya. Mereka memang pasangan serasi, cinta sejati mereka terwujud dengan indahnya hari itu, semua berbahagia, tetapi hari itu juga kesedihan yang menjadi awal penderitaan berkelanjutan bagi Trifanka, mobil mewah berwarna hitam yang telah dihiasi bunga-bunga ternyata telah mengantarkan Edwar kepada dunia kematian, mobil itu mengalami kecelakaan yang membuat nyawa Edwar terengut, dan hanya menyisakan Trifanka satu-satunya yang selamat dari insiden kecelakaan itu. Saat itu sebenarnya tak ada yang aneh, tak ada perasaan ganjil ataupun firasat buruk, semuanya tersenyum dan memiliki kegembiraan dihati. Saat memasuki mobil mewah berwarna hitam yang dihiasi bunga itu, tak ada satu
pun yang menyangka bahwa dalam sekejap saja mobil yang menawan itu akan menjadi sebongkah besi yang hancur karena hantaman. Entah apa yang terjadi ketika melaju awalnya biasa saja, tetapi ketika laju kendaraan mulai naik, tiba-tiba rem mobil yang harusnya berfungsi tiba-tiba tak berfungsi, sungguh aneh untuk mobil semewah ini bisa mengalami hal seperti ini. Ini memang rencana Tuhan, semuanya tak ada yang bisa mencegah. Dengan kecepatan yang melaju tinggi, supir tak dapat mengendalikan, apalagi dihadapannya kini sebuah bus sedang menuju ke arahnya, dengan
berdasarkan
reflek
yang
dimilikinya,
supir
membantingkan setirnya untuk menghindari berhadapan dengan bus itu, tapi malah fatal, belokannya terlalu menukik dan akhirnya membawa mobil mewah itu jatuh ke jurang, tak ada yang bisa dilakukan untuk menghindari bencana itu. Peristiwa itu sungguh menjadi sebuah tragedi bagi siapa saja yang melihatnya. Sungguh ngiris kejadian itu, membuat semua sadar bahwa maut bisa datang kapan saja, pada saat apa saja, dan dimana saja. Di dekat tempat kejadian begitu banyak sekali orang yang menjadikan kecelakan itu sebagai tontonan, semua yang melihatnya membicarakn tentang nasib pengantin yang ada di dalam mobilnya, ada yang mengatakan bahwa seluruh 2
yang berada di dalam mobil semua tewas, ada juga yang mengatakan bahwa di dalam mobil itu tidak ada pengantinnya, tetapi itulah lalu lalang berita yang pada saat itu yang terucap. Dan bahwa yang sebenarnya adalah di dalam mobil ada sepasang pengantin yang baru saja menyatukan
tali
cinta
sampai
maut
benar-benar
memisahkan, belum sehari janji itu mereka ucapkan, kini sudah mereka penuhi, kini maut memisahkan mereka, pengantin pria yang tadinya sangat terlihat bahagia dan menawan kini berlumuran darah, nafasnya tak lagi terhembus, jiwanya sudah pergi dan raganya sama sekali hancur. Masih berada disisinya seorang pengantin yang cantik dan juga anggun, kini baju pengantin putih itu ternoda dengan darah, darah dari kekasihnya juga darahnya bercampur
membuat
bajunya
menjadi
lebih
banyak
berwarna merah, tetapi ada rintihan dari pengantin cantik itu, raganya kesakitan dan jiwanya belum pergi meninggalkan raga “Ada yang selamat, masih bernafas, cepat dibantu” seorang tim penolong meneriakan situasinya, lega rasanya bagi tim penolong melihat setidaknya ada yang selamat dari kecelakaan ini. Tetapi sebenarnya yang ada di benak pengantin cantik itu sebaliknya, dalam keletihan dan ketidak berdayaannya sebenarnya dia ingin mati saja, apalagi setelah 3
membangunkan kekasihnya dengan sekuat tenanga ternyata kekasihnya tak merespon, dan mengetahui kekasihnya tak bernyawa, dia berharap bisa pergi bersamanya juga, walaupun bersama di dunia yang lain. “Cepat bawa ke Unit Gawat Darurat” salah satu dokter yang sudah bersiap di depan pintu rumah sakit mengarahkan agar korban kecelakaan yang ada di dalam ambulan segera di bawa ke ruang operasi untuk dilakukan penangan khusus untuk penyelamatan. Sungguh keajaiban, tiga dari orang yang dibawa dari tempat kejadian kecelakaan itu hanya wanita cantik ini yang selamat, sayang seorang pengantin pria dan supir mobil pengantin sudah tiada di tempat kejadian, kini mereka berdua berada di sebuah kamar mayat di rumah sakit dimana pengantin wanita yang selamat itu di rawat. “Keajaiban” orang-orang selalu berkata seperti itu jika mengetahui apa yang terjadi pada Trifanka, tapi tidak demikian bagi Trifanka, mana mungkin dirinya diselamatkan dan diberi nyawa yang lebih panjang jika dia harus menjalaninya dengan perasaan sedih dan sesakit ini, jiwanya terluka, batinnya tak berhenti menangis, raganya hancur, kini kedua kakinya tak bisa lagi melangkah, hanya kursi roda inilah 4
kini
yang
menemaninya.
Setiap
mata
selalu
memandang ke arahnya melihat kini hanya kecacatan yang dimilikinya, banyak orang menaruh kasian pada Trifanka, karena bagaimana tidak kecantikan yang dimilikinya membuat kecatatan ini semakin aneh, “kasian ya perempuan itu cacat, padahal wajahnya cantik sekali….” Itulah yang sering terlontar dari bibir-bibir orang yang iba pada Trifanka, membuat Trifanka merasa tak kerasaan lagi untuk pergi bertemu dengan orang-orang di luar sana, maka dari itu dirinya lebih gemar untuk mengurung diri dikamarnya, tak ingin bertemu banyak orang lagi dan kini ditemani keheningan dan suara gitar sendu setiap malamnya. Satu tahun berlalu dari periatiwa yang memilukan itu, yang tersisa sekarang adalah kenangan Edward dan kesedihan yang tak pernah kunjung terhenti di hati dan benak Trifanka. Kini yang menemaninya hanyalah sebuah gitar kesayangan dan juga kursi roda yang mengikatnya kemanapun dia beranjak, semenjak kecelakaan itu hidup Trifanka terselamatkan tetapi tidak dengan hati dan kedua kakinya yang kini menjadi lumpuh. Lagu yang terdengar sudah hampir setahun penuh membuat rasa khawatir yang mendalam bagi anggota keluarganya yaitu Dewi tantenya, juga adik satu-satunya Drifa. Semenjak hari itu keduanya mencemaskan keadaan Trifanka yang tak memiliki lagi 5
keceriaan dan kebahagian, dia direlungi nasibnya yang menyedihkan dan seperti tak bisa menerima kenyataan dan tak
bisa
menghadapinya
dengan
kerelaan.
Trifanka
sebenarnya tak merasa merelakan hidupnya jadi seperti ini. Dewi sedang duduk menonton acara kegemarannya di televisi ditemani salah satu keponakannya tentu saja Drifa karna Trifanka selalu berdiam diri di kamarnya. Hari ini satu tahun tepat kejadian hari naas itu. Sebenarnya ada hal yang berubah pada malam itu, nyanyian Trifanka tak terdengar lagi, lantunan gitar tidak terdengar lagi dari jari-jari lentik Trifanka, Mereka berdua hanya berfikiran mungkin Trifanka sudah ingin melepaskan diri dari kesedihannya yang sudah cukup lama hinggap di hari-harinya, mungkin kini dia ingin mencoba untuk menata hidupnya kembali sehingga tak ingin memainkan lagu sendu lagi yang cukup lama terdengar setiap malam. Awalnya Drifa ingin memastikan keadaan Trifanka, tetapi Dewi melarang, mungkin sekarang Trifanka sedang ingin sendiri untuk merenungi dan membuat keputusan untuk melanjutkan hidup tanpa kesedihan lagi, dan Drifa pun menyetujuinya mungkin kakaknya butuh waktu sendirian malam ini, Drifa berpikir mungkin kakaknya sedang berusaha untuk tidak memainkan gitar sendu lagi karna malam ini dia ingin mengakhiri masa berkabungnya. 6
Pagi ini begitu tenang, nyenyak sekali Drifa tidur dan itu karena Drifa tidur tidak terlalu malam, maka pagi ini Drifa sudah terbangun dengan segar. Biasanya setiap malam Drifa tidak bisa tertidur nyenyak, bagaimana tidak, Tifanka setiap malam selalu memainkan gitar sendunya berjam-jam, sedangkan Drifa berada di kamar sebelahnya, meskipun merasa terganggu Drifa berusaha mengerti dan malam kemarin kesabaran Drifa terbalaskan dengan tidur nyenyak. Di ruang makan, Dewi seperti biasanya selalu membuatkan sarapan untuk kedua keponakan kesayangannya, dia benarbenar menyayangi kedua keponakannya, karena hanya mereka berdualah yang Dewi miliki. Begitupun bagi Trifanka dan Drifa, Dewi merupakan pengganti dari kedua orangtua mereka yang telah lama tiada. “Drifa panggil kakakmu untuk sarapan” Dewi memberikan perintah yang biasa terucap setiap pagi. Drifa bergegas menuju kamar kakaknya Trifanka. Tetapi alangkah terkejutnya Drifa, dia memandang ke sekeliling kamar tetapi Trifanka tidak ada, bahkan tempat tidur terlihat sudah rapi atau bahkan mungkin tidak ditiduri, Drifa mulai kebingungan kemana perginya kakaknya, Trifanka. Lalu disela-sela ruangan Drifa merasa ada angin masuk ke dalam kamar, angin yang berasal dari pintu balkon kamar Trifanka yang terbuka, Drifa berfikir, ceroboh sekali 7
kakaknya membiarkan pintu balkon terbuka sedangkan tidak ada orang di dalam kamar, Drifa hendak menutup pintu balkon ketika itu pun dia melihat Trifanka sedang duduk di kursi rodanya menghadap kearah luar “Kakak…kakak lagi apa, tuh Tante Dewi sudah buat sarapan yu kita makan?..kakak…kakak…” Drifa merasa khawatir mengapa Trifanka tak menjawab, Drifa mendekati dan betapa terkejutnya
dia
melihat
“Kakak…kakak…bangun..
Trifanka ko
tidur
tertidur
diluar.
diluar…kakak…”
Berkali-kali Drifa membangunkan Trifanka tetapi tidak ada kata yang keluar dari mulut Trifanka, Drifa baru menyadari yang terjadi ketika dia melihat sebotol pil-pil berwarna putih itu ada digenggaman Trifanka bersama sebuah bingkai foto yang tersimpan foto Edwar. Trifanka seperti tertidur tetapi ketika didekati dengan seksama Trifanka tak bernafas lagi, denyut nadinya berhenti bahkan mulutnya mulai berbusa, seketika itu teriakan menggemparkan seisi rumah, Dewi langsung mencari sumber teriakan yang dia yakini dari kamar Trifanka, begitu terkejutnya Dewi setelah melihat apa yang telah terjadi melihat Drifa sedang menangis histeris, dia tau pasti ada kejadian yang buruk terjadi. Trifanka telah melepaskan kesedihannya, bebannya, penderitaannya dan hidupnya, selama setahun ini dia benar-benar tak bisa 8
menjalani
penderitaan
ini.
Dewi
bergegas
memeluk
keponakannya yang kini telah berada entah ada di dunia mana. Dewi tak akan pernah habis fikir, mengapa Trifanka bisa mengambil keputusan seperti ini. Dewi menyalahkan dirinya, mengapa dia tidak bisa menyembuhkan luka batin yang diderita keponakannya itu sehingga hal buruk ini harus terjadi. Dewi sangat terpukul dan bahkan kecewa mengingat kini kepergian Trifanka bukanlah mimpi. Pakaian yang sama sekali tak ingin dikenakannya, warnanya hitam dan terlihat sangat buram, tapi warna itulah yang mencerminkan betapa hatinya sedang berkabung. Hari ini pemakan Trifankan harus dilalui oleh Drifa. Rasa sakitnya sama ketika Drifa harus melalui pemakaman kedua orang tuanya dulu, kini terulang lagi, dia harus menyaksikan saudara kandung yang amat dicintainya masuk ke dalam lubang keabadian. Sungguh sangat menyiksa, sakit rasanya seakan tak bisa terobati. Ingin rasanya menganggap semua ini hanyalah halusinasi atau mimpi buruk, tetapi tak bisa dipungkiri yang ada dihadapannya adalah kenyataan, kenyataan pahit yang amat mengiris hati. Sakit dan perih seperti tak ada obatnya. Air mata mengalir lagi di pipi Drifa dia tidak menyangka akan kehilangan satu-satunya saudara kandung, 9
kini yang dia punya di dunia ini hanyalah Dewi seorang. Drifa mencoba untuk tegar, Drifa mencoba untuk menerima apa yang telah terjadi, Drifa memang lebih tegar daripada Trifanka, Trifanka memang tak sekuat Drifa, kini yang menjadi hal terbaik yang dilakukan Drifa hanyalah mendoakan
kakaknya
Trifanka
agar
mendapatkan
ketenangan di alam sana. Meskipun sulit untuk memaafkan apa
yang
telah
dilakukan
kakaknya
karena
telah
meninggalkannya, Drifa tetap berharap yang terbaik bagi kakaknya. Memang rasa kesal hinggap jika mengingat, betapa teganya kakaknya mengakhiri hidupnya tanpa memikirkan bagaimana
nasib
adiknya
jika
ditinggalkannya.
Menjadikannya seorang diri tanpa saudara yang bisa diajaknya bercanda, bergurau, saling mengasihi dan berbagi, menopang dan bersandar, tapi Drifa mencoba memaafkan kakaknya yang telah tega meninggalkannya. Itu pun Drifa lakukan karena Drifa menginginkan yang terbaik bagi kakaknya. Jika memang menjalani hidup ini terasa berat bagi kakaknya, dan jika memang kematian merupakan pilihan yang terbaik untuk kakaknya, Drifa hanya berharap mudahmudahan kini Trifanka telah hidup di alam lain dengan tenang, mungkin dengan segala kebahagiannya disana yang tidak bisa diraihnya di dunia ini. 10
Dan semenjak kejadian itu kini, rumah yang begitu besar ini rasanya semakin sepi, tak ada lagi canda tawa bahkan pertengkaran lagi di rumah ini, tak seperti biasanya dan ini benar-benar harus mulai dibiasakan oleh Drifa. Apalagi kini Dewi pun lebih sibuk mengurusi pekerjaannya dibandingkan
dirumah.
Maklumlah
Dewi
merupakan
seorang pengusaha yang sukses, yang selalu semakin sibuk dari hari ke hari. Apalagi kini kesibukkannya dia jadikan sebagai sedikit obat untuk mengurangi kesedihannya, dia mencoba menghabiskan waktunya dengan berkerja agar pikiran dan perasaannya tidak selalu mengingat kejadian buruk
yang
baru
dialaminya.
Dewi
benar-benar
menyibukkan dirinya sendiri untuk bisa menghilangkan ingatannya akan kenangan-kenangannya bersama Trifanka. Rasa itu awalnya sulit dihilangkan, bagaimana bisa dengan mudah melupakan seseorang yang sudah dianggapnya seperti anak
sendiri,
dia
merawatnya,
membesarkannya,
mendidiknya dan melindunginya. Kini sudah tiada, membuat bekas luka yang cukup dalam hingga rasanya pikiran ini tak bisa bercabang ke hal yang lebih baik. Maka jalan untuk keluar dari masalah ini, Dewi lebih menyibukkan dirinya dengan pekerjaan, yang kadang dia lupa, dia masih memiliki seseorang
lagi
yang
harus
diperhatikannya
yaitu 11
keponakannya yang satu lagi, Drifa. Drifa yang saat ini pun sebenarnya membutuhkannya, karena kini Drifa pun sesedih dan sehancur dirinya. Tapi itulah, Dewi terlalu larut dalam kesedihan sehingga dia hanya mencoba untuk mengobati dirinya sendiri.
12