XIA.
TINJAUAN
FUSTAECA
PENGWTXAN KEKERASAN DAN ELASTISITAS HEMIRUT STANDARDISASI DAN HEKANIKA
Sangat sukar mencari batasan kekerasan dan elastisitas dalam Standardisasi Rotan
Indonesia. Sebuah artikel berju-
dul Penetapan Peraturan Pengujian Rotan, Direktorat Jenderal Kehutanan, 1979 menyatakan bahwa kekerasan dan elastisitas merupakan satu kesatuan pengertian. Dijelaskan bahwa rotan dapat dikelompokkan menjadi: 1. Keras, berarti bila rotan dibengkokkan menjadi tidak
patah 2. Setengah keras, berarti bila rotan dibengkokan menjadi
retak/pecah 3. Lunak, berarti bila rotan dibengkokan menjadi patah.
Akan tetapi dalam standardisasi yang lebih baru persyaratan kekerasan dan elastisitas terpisah tanpa adanya batasan untuk masing-masing persyaratan tersebut. Dalam
pengertian
mekanika,
kekerasan
didefinisikan
sebagai ketahanan benda padat melawan masuknya benda padat lain melalui suatu gaya tekan. Nilai kekerasan ditetapkan melalui gaya yang diperlukan untuk menancapkan bola baja (diameter 11,5 mm) pada kedalaman tertentu di permukaan benda. Penggunaan nilai kekerasan untuk kayu yang bersifat anisotropis, heterogen, dan higoskopis masih
meragukan.
Namun demikian nilai kekerasan masih dipakai untuk menilai jenis-jenis kayu yang cocok untuk lantai atau yang menghendaki ketahanan abrasi yang tinggi (Kollmann dan Cat&, 1968). Elastisitas berasal dari kata Yunani, "elatikosW, yang artinya mengapung. Dalam mekanika, elatisitas adalah sifat khas bahan tertentu yang mempunyai kecenderungan kembali ke bentuk semula setelah mengalami perubahan bentuk (deformasi) karena pengaruh gaya (tekan, tarik, dorong) dari luar. Adapun plastisitas adalah sifat khas bahan tertentu yang cenderung tidak kembali ke bentuk semula setelah mengalami deformasi (Wangard, 1950; shadily, 1984). Menurut pengamatan terhadap para penguji rotan di lapangan maka kekerasan dapat diartikan sebagai besarnya gaya yang diperlukan oleh kedua tangan untuk melengkungkan sebatang rotan.
ema akin tinggi gaya dan rotan tidak patah,
berarti rotan semakin keras. Rotan diklasifikasikan sebagai "kerasW bila memerlukan gaya cukup tinggi. tas dapat diartikan
Adapun elastisi-
sebagai besarnya lengkungan
dan rotan
tidak patah yang terjadi pada saat pembengkokan. Semakin besar lengkungan berarti rotan semakin elastis. Rotan diklasifikasikan "elastisggbila lengkungannya cukup besar. Berdasarkan uraian tersebut di atas jelaslah, bahwa I1kekerasan dan elastisitas" yang tercantum dalam ~tandardisasi Rotan
Indonesia berbeda dengan
pengertian mekanika.
Pada hakekatnya kekerasan dan elastisitas menurut Standardisasi bila diterjemahkan ke dalam pengertian mekanika masingmasing adalah besarnya gaya (force) yang diperlukan untuk melengkungkan dan besarnya lengkungan yang terjadi (deflekPenomena ini berkaitan dengan
si) akibat gaya tersebut.
besarnya tegangan lentur (bending stress) dan regangan (bending strain) yang tirnbul dalam bahan rotan pada saat pelengkungan (bending) dilakukan. Kelemahan utama yang dilakukan dalam pengujian rotan saat ini adalah belum adanya suatu konsensus tentang satuan tegangan lentur dan
regangan
(defleksi) serta standar be-
sarnya tegangan lentur dan defleksi untuk tingkat mutu rotan tertentu. Sampai saat ini nilai-nilai itu ditetapkan sendiri secara subjektif oleh penguji mutu.
Sedangkan tegangan
lentur dan defleksi sangat erat kaitannya dengan sifat pengolahan rotan baik pada tingkat pengolahan awal rnaupun pengolahan lanjutan bahkan sampai kepada selama pemakaian rotan di tingkat konsumen. Besarnya tegangan lentur dan defleksi serta sifat fisikomekanis lainnya sangat erat kaitannya dengan berat jenis
(specific gavity) dan kerapatan
(density) bahan
.
(Haygeen dan Bowyer , 1982) Oleh karena itu berat jenis dan kerapatan seyogyanya adalah sifat dasar rotan pertama yang harus diselidiki secara ilmiah.
B- KKRAPATAN, BERAT JENIS DAN !l'EGANGAN-REGANGAN
DALUI TEORI
LENTUR STATIS 1. KERAPATAN D M BERAT JENIS
Konsepsi mendasar tentang kerapatan adalah perbandingan antara massa bahan dengan volumenya dengan satuan kg/m3, g/cm3 atau lb/ft3. Dalam sistem satuan internasional kg, g dan lb bukan gaya tetapi adalah massa. Kerapatan kayu berhubungan langsung dengan porositasnya, yaitu proporsi rongga kosong pada saat ia ditetapkan. Sedangkan konsepsi mendasar tentang berat jenis adalah perbandingan kerapatan bahan dengan kerapatan air pada suhu
~ O C . Oleh
karena BJ adalah nilai relatif terhadap
kerapatan air maka BJ tidak mempunyai satuan (Haygreen dan Bowyer, 1982). Rumus umum untuk kerapatan (K) dan berat jenis (BJ) suatu bahan adalah sebagai berikut: K = masss/volume
g/cm3, kg/m3, lb/ft3
massa kering tanur/volume BJ = massa air/volume air Kerapatan sering dinyatakan dalam massa segar dengan volume segar apabila digunakan untuk menghitung berat dalam pengangkutan.
Selain itu kerapatan dapat pula
dinyatakan dalam massa kering tanur dengan volume kering udara atau
massa
kering tanur
dengan volume segar.
Kerapatan papan partikel sering dihitung tanpa memperhatikan kadar airnya.
Berat jenis dapat dinyatakan
dalam keadaan volume
segar, kering udara atau kering
tanur, tetapi massa
selalu dinyatakan dalam keadaan kering tanur.
2. TEGANGAN-REGANGAN DALAM TEORI LENTUR STATIS
Gaya
(force) dalam
sistem
satuan
internasional
adalah besaran turunan dan dapat dinyatakan dalam sebutan Kg-gaya (Kgf), pon-gaya (lbf) atau berat (weight).
Gaya
adalah massa dikalikan gavitasi dengan satuan turunan kg m/detik2 yang sama dengan satu Newton.
Apabila suatu
ketika gaya atau berat tersebut bertindak terhadap benda lain terjadilah tegangan (stress) yang besarnya diukur dalam satuan gaya atau berat per suatu luasan dengan satuan Newton/m2, MPa. dan lain-lain.
(=lo kg/cm2) atau Kgf/cm2, psi.
Tegangan tadi dapat menyebabkan perubahan
bentuk (deformasi, displacement) pada benda yang dikenainya sehingga menjadi tertekan, tertarik, terpilin atau terlengkung. Perubahan bentuk yang mula-mula dinyatakan dalam perubahan panjang per satuan panjang benda asal disebut regangan (strain) (Haygeen dan Bowyer,1982). Hubungan tegangan-regangan ditemukan pertama kali oleh Robert Hooke pada tahun 1687 yang menyatakan bahwa pada benda yang bersifat pegas
(elastis) pertambahan
panjang (regangan) berbanding lurus dengan berat beban (tegangan). Pada tahun 1907 bahan elastis
sempurna
Young menemukan bahwa pada
perubahan
tsgangan,
a dan
regangan, c adalah sebanding, dengan bentuk hubungan; a = Y
€
Koefisien Y disebut ltodulus Young untuk tegangan tekan atau tarik dan Modulus E l a s t i s i t a s (HOE) untuk tegangan lengkung (Shadily, 1984; Panshin et all, 1964). Pada hampir semua buku teks tentang mekanika hubungan tegangan regangan digambarkan seperti pada
G a n b a r 1.
benda kaku/ra puh C
%
8
ei
e n e r j i yang dihamburkan
-
benda l i a t / u l e t
R
c -
permanent s e t
elastic
resilience/ daya l e n t i n g
E"
t
Regangan Ga.mbar 1.
Diagram tegangan-regangan ideal pada uji lentur statis sampai rusak (sumber : Popov, 1968; Panshin et all, 1968).
Untuk kebanyakan bahan polimer alami fungsi linier hukum Hooke hanya berlaku sampai batas juga batas
elastis, disebut
proporsi,PL, dengan beban yang rendah dan
waktu pembebanan yang sangat singkat.
Di
luar titik
tersebut apabila tegangan dinaikkan maka kenaikan tegangan tidak lagi proporsional dengan kenaikan regangan, tetapi kenaikan tegangan semakin meningkatkan regangan, sehingga kurva tegangan-regangan
menyimpang dari garis
lurus membentuk garis parabola sampai mencapai titik rusak (failure),R,. Pada G a r b a r 2 , elastisitas digambarkan oleh area di bawah garis elastis. Area ini menunjukkan enersi patensial, atau kerja yang dapat balik (recoverable work), atau daya pegas bahan.
Plastisitas atau disebut juga
permanent set disebabkan oleh
deformasi yang terjadi
tidak dapat dikembalikan. Menurut Panshin et alL, 1968 nilai plastisitas ditunjukkan oleh area di antara proyeksi garis elastis dengan perpanjangan kurva. Plastisitas akan meningkat terus sampai bahan rusak.
Bahan yang
mengalami deformasi relatif besar dan rusak perlahanlahan sambil menyerap enersi besar dikatakan liat atau ulet (tough). Sebaliknya, bahan yang pecah secara tibatiba dengan deformasi yang relatif kecil dikatakan rapuh (brittle). Beberapa
parameter
yang
dapat
diturunkan
dari
perilaku tegangan regangan adalah modulus elastisitas, modulus resiliensi dan hamburan enersi, modulus plastisitas serta modulus rigiditi atau modulus kaku.
a. Modulus
last is it as
Modulus
elastisitas
(MOE)
merupakan
ukuran
perbandingan antara tegangan dan regangan yang berlaku sepanjang garis elastis (Gambar l), dengan rumus umum MOE =
-
Besarnya tegangan elastis (ae) dapat dihitung melalui
besarnya
momen
lentur
dan momen
tahanan,
yaitu:
- - Me W
Dimana
Me adalah momen lentur (bending moment).
Adapun W adalah momen tahanan elastis (elastis resistant moment) yang besarnya
I/y sehingga a, menjadi
dimana, Me = momen elastis =
'eL 4
y = jarak bidang netral 5e tepi batang = D/2 r D I = momen inersia = (khusus untuk benda 64
bulat masif) Dengan cara substitusi diperoleh besarnya a,, yaitu;
~elanjutnyabesarnya regangan, yaitu perubahan panjang per panjang awal, adalah:
r dimana :
6 D f
r
=
perubahan panjang
y
=
panjang awal
Akhirnya diperoleh Modulus elastisitas, yaitu: 4 P, L~ MOE
=
3 dimana, Pe
w
~
~
f
=
beban elastis
L
=
panjang bentang
D
=
diameter rotan
f
=
lendutan elastis/defleksi
b. Modulus resiliensi dan hamburan energi 1stilah lain yang digunakan untuk modulus resiliensi (MRS) adalah energi regangan elastis (elastic strain energy) per unit volume atau energi yang dapat dikembalikan
pada saat uji lentur sampai pada batas
elastis. Popov (1968) mendefinisikannya sebagai indeks kemampuan bahan menyerap atau menyimpan enersi tanpa
deformasi permanen, dengan rumus :
u,
=
ox 2
dimana
E
: Ux = enersi yang disimpan, (MRS)
ox = tegangan pada batas elastis
E
=
modulus elastisitas
Enersi maksimum yang dihamburkan bahan per unit volume pada saat uji lentur dilakukan sampai pada tegangan maksimum dicapai, dengan rumus;
.,
'max
- " max * 2 E
1/3 Vol.
c. Keteguhan lentur maksimum Keteguhan lentur maksimum dalam buku-buku teks disebut Hmodulus of rupture" atau nmaximum bending strengthw, Istilah pertama kurang tepat bila digunakan pada rotan karena tidak terjadi kerusakan (rupture) sampai tegangan mencapai maksimum. Tegangan maksimum dicapai pada saat kenaikan defleksi (strain ) tidak lagi menyebabkan kenaikan beban (stress). Wenurut Popov (1968) besarnya keteguhan lentur maksimum, plastis
omax,
(np)
adalah
perbandingan
antara
momen
dan momen tahanan plastis (Z), yaitu:
PL
adapun
Mp =
4
z = I/c; rD4
I = momen inersia =
64
(untuk benda bulat masif) c = jarak sb. netral ke sisi = D/4 Jadi keteguhan lentur maksimum adalah
d. Modulus plastisitas Modulus
plastisitas
dimaksudkan sebagai
bandingan antara tegangan plastis
per-
dengan regangan
plastis pada titik tegangan-regangan maksimum dengan rumus 0
MOP =
P E
P
Oleh karena hubungan tegangan regangan di luar batas
elastis
tidak
lagi
linier tetapi
berbentuk
eksponensial maka besarnya tegangan pada batas plastis sama dengan keteguhan lentur maksimum, yaitu:
Selanjutnya
besarnya
regangan
plastis
sama
dengan regangan maksimum yaitu Q
=--
P
-
MOE
€max
e. Modulus kaku dan keteguhan torsi Modulus kaku atau disebut juga modulus rigiditi (MRG) adalah perbandingan antara tegangan geser, as dan regangan geser, r .
Modulus kaku penting
dalam
menganalisa batang bulat yang terpuntir (twisting) dan pesok (buckling). Tegangan geser timbul dari ketahanan benda melawan gaya puntiran sekitar sumbu panjangnya. Rumus umum untuk modulus kaku adalah sebagai berikut: MRG =
Os -
Adapun besarnya tegangan geser adalah
dan besarnya regangan geser adalah
maka dengan cara substitusi besarnya modulus rigiditi
(MRG) dapat dihitung dengan rumus: MRG = r e
dimana : MRG = Modulus rigiditi T
=
momen torsi
r
=
jari-jari
L
= panjang bentang
D
=
8
= sudut torsi
jari-jari
dengan cara substitusi diperoleh
Besarnya regangan geser,
T
adalah
Akhirnya besarnya MRG dapat dihitung, yaitu 2 P L MRG = n r2 6 dimana : MRG = modulus rigiditi P = beban L = panjang bentang
r = 1/2 diameter rotan 6 = defleksi (circumferential
distortion)
Keteguhan torsi maksimum adalah besarnya perbandingan tegangan torsi pada beban maksimum, yaitu:
-*s max
.
rr 2
Hasil percobaan Rachman (1992) pada dua jenis rotan menunjukkan bahwa type kurva tegangan-regangan rotan hampir sama dengan
kayu. Perbedaannya,
ras'io
antara deformasi elastis dengan defomasi total pada rotan lebih kecil dibandingkan dengan kayu (Gambar 2). Dengan demikian hubungan tegangan-regangannya berbentuk linier sampai batas tegangan yang dikenakan pada benda tidak melampaui suatu tingkat yang disebut batas proporsi (proportional limit = P) atau disebut juga batas elastis. Sampai dengan batas tersebut apabila tegangan dilepaskan maka rotan akan kembali utuh ke bentuk orisinilnya.
Dengan demikian batas proporsi
dapat digunakan sebagai parameter elastisitas rotan, yaitu dengan menentukan nilai MOE rotan sebagai benda bulat panjang massive. Pada dasarnya MOE adalah kemiringan garis elastis pada kurva tegangan-regangan. Apabila diperhatikan, semakin tinggi MOE berarti semakin besar tegangan
yang diperlukan untuk menghasilkan regangan
tertentu,
yaitu semakin besar ketahanannya terhadap deformasi elastis kin
. Sebaliknya
besar
semakin rendah MOE artinya sema-
regangan yang
dihasilkan
oleh
tegangan
tertentu, yaitu semakin rendah ketahanannya terhadap deformasi elastis. Di atas batas elastis hubungan tegangan dan deformasi tidak lagi proporsional akan tetapi deformasi meningkat dengan kecepatan yang lebih tinggi daripada tegangan. Akibatnya, rotan membentuk bagian kurva yang lengkung. Kerusakan
(failure) tampaknya
tidak terjadi pada rotan sampai tegangan maksimum dicapai. Tegangan ini dipertahankan konstan sehingga bagian
kurva terakhir membentuk
garis
lurus
yang
sejajar dengan sumbu X. Apabila tegangan dilepaskan di luar batas elastis maka rotan tidak akan kembali utuh ke bentuk
semula.
Perbedaan
ukuran
atau
besarnya
perubahan bentuk yang terjadi dikenal sebagai permanent set atau merupakan ukuran plastisitas rotan. Hasil
analisa
uji
lentur
statis
pada
rotan
tohiti (Calamus inops) dan batang (Daemonorops robusta)
menunjukkan
perilaku
tegangan-regangan
sampai tegangan konstan (Garbar 2).
rotan
I
BATANG
I I
1 I
I
1
w
I
/
2
Regangan G a m b a r 2. Hubungan tegangan-regangan rotan
dari hasil uji lentur statis C . PENGEHBANGAN
HUKUH HOOKE DAN REOLOGI BAHAN BERKAW
Hukum Hooke (1687) yang digunakan dalam pengujian sifat mekanis statis didasarkan kepada asumsi bahwa bahan bersifat elastis sempurna dan waktu bukan merupakan
suatu faktor
sehingga tegangan dan regangan yang terjadi dianggap tidak dipengaruhi oleh berlalunya waktu. Pada bahan elastis sempurna, apabila dibebani kemudian dilepaskan maka regangan
yang terjadi akan kembali selu-
ruhnya ke bentuk semula setelah pelepasan beban. Karena itu, kurva yang terbentuk berupa satu garis lurus bolak-balik yang berimpit. Pada kenyataannya tak ada bahan yang elastis sempurna, walaupun
ditemukan
juga dalam
praktek
tetapi
dibawah pengaruh tegangan yang sangat kecil (contoh, pada karet).
Sedangkan
bahan berkayu bersifat elastis hanya
dalam batas tegangan yang sempit, karena itu disebut elastoplastis atau viskoelastis.
Hubungan tegangan regangan hanya
linier dalam daerah terbatas.
Pada awal tegangan
terbentuk
garis lurus, kemudian menyimpang mernbentuk garis lengkung. Bila pada saat itu beban dilepaskan maka seketika tegangan kembali menjadi
no1 tetapi regangan tidak.
Perbedaan
regangan yang terjadi disebut deformasi plastis atau ukuran plastisitas. Reologi, yaitu suatu studi tentang perilaku teganganregangan bahan yang dipengaruhi waktu, baru berkembang awal abad ini dan belum dikembangkan secara eksklusif pada bahan polimerik, padahal bahan ini menunjukkan deformasi ketergantungan waktu (time-dependent) yang cukup besar.
Dalam
reologi, tegangan tidak konstan dengan berjalannya waktu (Bodig dan Jayne, 1982).
0
l
1
1
tl
t2
t Waktu
G&ar
3. Hubungan regangan dan waktu pada bahan
elastoplastis (Sumber: Bodig dan Jayne, 1982)
Adanya deformasi elastis-plastis dengan ketergantungan waktu pada bahan berkayu dapat dijelaskan oleh beberapa hasil penelitian reologi
(Gambar 3).
Bila sepotong kayu
dibebani dengan berat beban konstan pada periode suatu waktu tertentu (kurva 1)maka pada waktu to akan dihasilkan deformasi elastis-seketika sebesar OP. Pembebanan yang berlanjut menghasilkan deformasi rangkak
(creep) mengikuti garis PQ.
Pada saat pelepasan beban pada waktu tl deformasi elastisseketika dikembalikan sebesar QR = OP lalu diikuti oleh bagian pengembalian deformasi-rangkak sebesar RS. waktu berlalu pengembalian deformasi-rangkak
Ketika
tidak dapat
disempurnakan sehingga tersisa suatu deformasi tertentu yang
disebut deformasi plastis (DP) sebesar St2 pada waktu t2. Defomasi plastis merupakan ukuran plastisitas bahan. Deformasi rangkak terdiri dari 3 bagian (kurva 11) , yaitu;
deformasi rangkak primer yang ditandai oleh kece-
patan deformasi
(de/dt) yang semakin menurun, deformasi
rangkak sekunder yang ditandai oleh kecepatan deformasi konstan, de/dt = 0
(bahan bertahan pada formasinya sewaktu
memikul beban) dan deformasi rangkak tersier yang ditandai oleh kecepatan deformasi yang semakin meningkat dan berlanjut dengan terjadinya kerusakan bahan
(Kollman dan Cat6
1968; Bodig dan Jayne 1982). Hasil pengujian reologi pada dua jenis rotan menunjukkan perilaku deformasi yang mirip dengan kayu (Rachman, 1992).
D. HODEL REOLOGI DAN PEMBENTOKAN ELASTOPLASCISITAS Menurut Bodig dan Jayne (1982) model reologi hipotetik mengenai
tegangan-regangan pada suatu bahan sudah dibuat
oleh Maxwell,
Kelvin,
Burger
serta
Schmidt
&
Marlies.
Menurut teori mereka model reologi tegangan-regangan terdiri dari elemen-elemen yang beru jud per ba ja dan dash pot yang tersusun
seri
dan
paralel
dalam
bahan.
Elemen-elemen
tersebut merupakan suatu sistem yang beraksi secara bersamasama pada saat tegangan diberikan. Deformasi elastis terjadi akibat aksi dari per baja sedangkan deformasi plastis terjadi akibat aksi dari dash pot. Menurut Kollman dan CGt&
(1968) daerah elastis dan plastis dalam bahan berkayu bergabung menjadi satu dan diwakili oleh elemen anatomi dan komponen kimia dinding sel. Secara molekuler, Bodig dan Jayne (1982) mengemukakan bahwa model untuk sistem di atas terdiri dari dua elemen yang berujud, yaitu; kelenturan ikatan sekunder rantai polimer; kerusakan dan rekonstruksi ikatan sekunder. Elemen pertama menghasilkan deformasi elastis dan elemen kedua menghasilkan deformasi plastis. Berdasarkan hasil-hasil penelitian ada indikasi bahwa serat yang panjang dan berdinding tebal, serta persentase serat yang tinggi dalam bahan bertindak sebagai per baja dan menuju ke arah elastisitas yang tinggi (Bhat dan Thulasidas, 1989). Sebaliknya
keberadaan sel parenkhimatis, dan noktah
bertindak sebagai dash pot dan menuju ke arah plastisitas. Komponen kimia yang berpengaruh terhadap elastisitas adalah selulosa, persentase kristalin dan sudut fibril yang besar. Sedangkan keberadaan lignin, rantai selulosa amorf dan komponen anorganik bersifat dash pot (Kollman dan CiitB, 1968; Bodig dan Jayne, 1982). Stamm
(1968) melaporkan, bahwa
rayon asetat yang
mengandung daerah kristalin sebesar 55 % memiliki kemiringan kurva tegangan-regangan yang paling rendah atau deformasi plastis paling besar. Selanjutnya berturut-turut katun dan rami yang mengandung daerah kristalin 71 % dan 72 % memiliki
kurva tegangan-regangan yang lebih tegak atau
menunjukkan
deformasi plastis yang semakin kecil. Dengan kata lain bahan yang mengandung kristalin lebih tinggi bersifat lebih kaku.
E. -IS
D M PENYEBARAN ROTAN
Rotan
dalam
istilah
perdagangan
dan
penggunaannya
adalah batang dari tanaman famili Palmae yang memanjat. Secara taxonomis, rotan termasuk ke dalam salah satu dari enam sub-famili Palmae, yaitu Lepidocaryoid atau Calamoideae (Uhl dan Dransfield, 1987). Sub-famili ini secara keseluruhan memiliki 22 genera dengan ciri khas buahnya bersisik. Akan tetapi hanya 13 genera yang termasuk tumbuhan rotan dengan ciri khas batang memanjat, kelopak dan daun berduri, buah bersisik serta mempunyai flagela atau cirus. Seluruh jenis tumbuhan rotan yang terdapat di dunia ini diperkirakan
sekitar 850 jenis (Dransfield,l984; Weiner dan Liese,1990). Pusat penyebaran tumbuhan rotan adalah di Asia Tropis, terutama di Asia Tenggara. Di daerah ini ditemui 10 genera yang meliputi 85% dari seluruh jenis rotan yang tumbuh di muka bumi ini. Sisanya, 15 % tumbuh di Fiji, Papua Nugini, Australia Utara dan Afrika Tropis bagian Barat. Di daerah yang disebut terakhir ini terdapat 3 genera endemis, yaitu Eremospatha, Laccosperma dan Oncocalamus. Mogea (1990) menyatakan bahwa di Asia Selatan terdapat lebih kurang 614 jenis rotan. Dari jumlah ini ternyata di
Indonesia tumbuh sebanyak 306 jenis, berasal dari 8 genera. Apabila dibandingkan dengan beberapa negara-negara di Asia Tenggara (Malaysia Semenanjung 146 jenis dari 7 genera, Thailand 70 jenis dari 6 genera, Pilipina 70 jenis dari 4 genera)
Indonesia merupakan 8-r
daya rotan paling kaya
(Tabe3 1). Badhwar (1961) melaporkan, bahwa di India ditemukan sekitar 37 jenis dari 3 genera; dan 10 jenis di antaranya merupakan jenis-jenis rotan komersil (seluruhnya dari genera Calannzs). Tabel 1.
Penyebaran pertumbuhan rotan di Asia
Seluruh jen i s di Asia
Marga
1. Calamus 2. Daemnorops
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Jenis yang tumbuh di:
........................................ Indonesia Pilipina Malaysia Thailand Semen jng .
400 155
Korthalsia Ceratalobus Calosphata Pogonotium Retisphata Plectocomia Plectocomiopsis Myrialepsis
26
Jumlah Jen i s konters11
614
6 1 3
1 16 5
1
........................................................................
Suntber :
306 30
70 10
146 20
70 10
Data diolah dari Dransfield, 1974; Vongkaluang, 1984; Salita, 1984; Sumarna, 19863 Mogea, 1990.
Adapun jenis-jenis rotan yang tumbuh di berbagai wilayah di Indonesia ternyata paling banyak di Kalimantan jenis), kemudian
(137
menyusul berturut-turut Sumatra, Irian
Jaya, Sulawesi, Jawa, NTB dan NTT. Beberapa jenis dari genera Calamus(22jenis),Ceratalobus (3 jenis),Cornera jenis), Daemonorops
(5
(1
jenis) dan Korthalsia (7 jenis)
adalah jenis-jenis epidemis. Sedangkan jenis-jenis endemis terdapat di Sumatra yang berasal dari genera Myrialepsis dan Plectocomiopsis; serta di Sumatra
, Jawa dan Sulawesi yang
berasal dari genera Plectocomia ( T a b e l 2). Tabel 2 .
Penyebaran pertumbuhan jenis rotan di Indonesia
Wilayah Calamus Cornera Korthalsia Plectocomia Jumlahl) Ceratalobus Daemonorops Myri 1 iepsis ~'miopsis
........................................................................ Sumatra J a w a Kalimantan Sulawesi NTB + NTT Maluku Irian Jaya
33 18 76 27 2 7 46
3 2 4
Junlahl) 209 JumlahZ ) 187 selisih3 ) 22
9 6 3
-
1
1
-
29 6 41 7
10 2 15 1
-
-
4
-
-
2 1 1
87 82
-
2
-
-
-
81 29 137 36 2 11 48
30 23 7
1 1 0
4 4 0
2 2 0
344 306 38
-
1
-
2 1 1
-
2
-
......................................................................... 5
Sumber : Data diolah dari Dransfield, 1974 dan Dali & Sumarna, 1986 Ket: 1). Terdapat lebih dari satu species yang sama dalam wilayah yang berbeda 2). Jumlah species yang ada secara nas ional 3). Banyaknya species yang sama yang menyebar pada beberapa wilayah (jenis-jenis epidemis).
Alrasyid dan Dali (1986) menyatakan bahwa sampai saat ini belum ada hasil penelitian yang dapat menunjukkan adanya hubungan yang jelas antara tempat tumbuh dengan tipe flora rotan. Namun demikian secara umum rotan dapat tumbuh di hutan primer maupun sekunder, pada lereng-lereng bukit, di sepanjang pinggir sungai, dan pada tanah podsolik
atau
aluvial. Daya toleransi terhadap ketinggian sangat luas, yaitu dari 0
-
2900 meter d.p.1.
Sungguhpun demikian akumu-
lasi pertumbuhan umumnya di jumpai pada ketinggian 0 meter d.p.1.
-
1500
dengan kondisi curah hujan tidak kurang dari
2000 mm/tahun, kelembaban udara sekitarnya 40 intensitas cahaya untuk pertumbuhan 20
-
-
60 % dan
50 %. Dari Sulawesi
dilaporkan bahwa akumulasi pertumbuhan ditemukan pada ketinggian sekitar 600 meter d.p.1.
Adapun pada tanah liat
berpasir dan secara periodik digenangi air disenangi oleh pertumbuhan Calamus burckianus, C.axillaris, coleus. Sebaliknya jenis-jenis C. manan, umumnya tumbuh pada
lahan kering.
atau C-trachydan C. caesius
Suatu kenyataan yang
ditemui di lapangan ialah bahwa di daerah pegunungan yang berbatu kapur hanya tumbuh jenis C.marginatus
(manau padi,
Kalimantan) dan pada rawa gambut hanya tumbuh ~orthalsia flagellaris.
Pada daerah-daerah
semacam ini miskin akan
jenis-jenis rotan. Areal
hutan yang ditumbuhi rotan di
perkirakan 9.369.000
Indonesia di-
Ha dengan potensi jenis-jenis rotan
komersil saja sekitar 250.000
ton/tahun.
Sedangkan bila
semua jenis rotan yang ada dipungut maka potensinya dapat mencapai 575.390 ton/tahun (Silitonga et
a,1990).
Istilah
luas areal dan potensi rotan Indonesia yang banyak dipublikasikan adalah hasil studi meja (desk study) yang menggunakan data sekunder, antara lain data jumlah produksi yang dikeluarkan oleh daerah penghasil rotan untuk diperdagangkan baik di pasaran dalam negeri maupun ekspor. Nalaun demikian beberapa penelitian lapangan, menggunakan data primer telah dilakukan pada beberapa propinsi di Indonesia dengan hasil seperti pada T a b e l 3. T a b e l 3.
Areal rotan dan potensinya di beberapa propinsi
Prop i ns i
Jawa Barat Sulawesi Tenggara Bengku 1u Sulawesi Tengah
Areal rotan (Ha1
Jumlah jeni s
-
26 5 5
144.000 300.000 195.000
Potensi (ton1
Intensitas sampling
(%I
-
83.765 280.621 487.706 238.250
0,25 12,O
-
-
Sumber : Da 1 i dan Sumarna ,1986
Mogea
(1990), Hadikusumo
(1988) dan Sumarna
(1990)
berdasarkan hasil pengamatannya di lapangan mengemukakan, bahwa jenis-jenis
rotan berdiameter besar yang ditemukan di
Indonesia adalah seperti ditampilkan pada T a b e l 4.
Tabel 4.
No.
Jenis-jenis rotan berdiameter besar ( > 20 nun) di Indonesia
Lokasi
llara botanis
Prakiraan Potensi Grup
1
Ha8a
daerab 5
4 .---------------CU--UIUI------UI
1. 2.
Calarus burCkianlls C.didywarpus Warb 3. Calarus sp 4. C,~crospbaeronBecc 5. c.~igt 6. C.ranan 7. Calarus sp' 8. C.ornatw ~l' 9. C.ornatus B1 var.celebica 10. C.nmphii 11. C.scipionui BUT' 12. C.subawaensisBf 13. C.zolingeri Becc 14. Damnorops callarifera Becc 15. D,longipes (Griff,) Hart 16. D,longispatha Becc 17. D.racroptera Hiq 1 D.lelanocbaetes Becc 19. D.oblonga B1 20, D.robusta arb* 21. Korthalsia ferrox Becc 22. K.fargel1aris niq 23. Hyrialepsis scortechnii Becc 24. P l e c t d a elongata B1 2!5. P l ~ o p s i s gainiflorus (Griff ) Becc
*
Jw = Jaw
n=Kal S1 = Sul Ill=Hal
m=m
B = Dit C =Jen
C C C C C C
c C
howe-balukbuk,sepet t .siombo,lauro-sura, boa,aona tohiti tunska Mnau liki lanu gajah leluo seuti,batangtkesur rinong,larbang sewbu,seuti,tabutabu
=l,selang,Padang pitik
.
= Jen s-jenis rotan yang telab dipilib untuk dike-
sn = SIII itera,
C C
sebagai rotan tanaran
F. STRUXTUR AWATOWI, KOZtPONEN KIHIA DAN KEAWETAN 1. Struktur Anatomi Batang Rotan (cane)
Kayu yang dalam dunia tumbuh-tumbuhan digolongkan ke dalam Gymnospermae dan Dicotyledone, sel-selnya diproduksi oleh aktifitas meristem apikal (pucuk) dan meristem lateral atau kambium vaskular. Rotan yang digolongkan ke dalam Monocotyledone, sel-selnya hampir seluruhnya diproduksi oleh meristem apikal. Oleh karena itu, pertumbuhan primer oleh meristem apikal pada pucuk dipandang sebagai aktifitas pertambahan panjang batang dan sekaligus pertambahan diameter batang. pertadahan diameter batang ini tepat di
bawah
pucuk,
tetapi
pertambahan
ini bukan
karena pertumbuhan sekunder melainkan karena bertambah besarnya ukuran sel yang sudah terbentuk di pucuk. Namun demikian, Philipson st a(1970) melaporkan, bahwa sebenarnya pertumbuhan sekunder seperti pada meristem lateral memang tidak terjadi pada Monocotyledone tetapi setelah pembesaran sel terjadi diferensiasi jaringan.
a. Sifat Anatomi Makroskopis Batang rotan terdiri dari ruas yang panjangnya berkisar antara 10 sampai 50 cm dan diameter berkisar
dari 6
-
50 mm, bergantung pada jenisnya. Ruas satu
dengan yang lain dibatasi oleh buku tetapi buku ini hanya ada di bagian luar batang, tidak membentuk sekat seperti pada bambu. Bentuk batang
rotan umumnya
silindris.
Pada
beberapa jenis tampak adanya tonjolan dan lekukan pada sisi yang berlawanan sepanjang ruas. Tonjolan dan lekukan ini tampak lebih jelas pada buku yang berasal dari jejak d a m , yaitu berkas pembuluh yang menuju ke daun
. Menurut Uhl dan Dransfield (1987), buku kurang
menonjol terdapat pada jenis-jenis dari genera Calamus dan Daemonorops sehingga batang tampak berdiameter hampir seragam dan rata.
Sedangkan
buku sangat
menonjol terdapat pada anggota dari genera ~orthalsia, Ceratalobus, Plectocomiopsis dan Myrialepsis.
Permu-
kaan kulit batang rotan ada yang licin dan ada pula yang mengkerut, ada yang mengandung lapisan silika ada pula yang tidak. Permukaan licin ditemukan pada rotan bubuay (Plectocomia elongata Becc.),Sedangkan
prmu-
kaan berkerut pada manau (Calamus manan Miq.).
Lapisan
yang
tampak
Bl.),tohiti
jelas
pada
rotan
sega
(C.caesius
(C.inops) dan batang (C.optimus).
b. Sifat Anatomi Hikroskopis
Tomlison (1961) menyatakan bahwa batang rotan secara garis besar tersusun atas beberapa jaringan utama, yaitu
kulit, parenkim dasar, berkas pembuluh
dan jaringan penting lainnya. Secara skematis struktur anatomi batang rotan disajikan pada Garbar 4. 1). Kulit
Jaringan kulit terdiri dari dua lapisan sel, yaitu epidermis dan endodermis. Menurut Siripatanadilok (1974), sel-sel epidermis pada Ceratalobus berbentuk empat persegi panjang tidak teratur. Pada Calamus
spectabilis
sel-sel
epidermisnya
berbentuk bujursangkar, sedangkan pada C,ornatus, dan C.rhomboides berbentuk pipa panjang. Di antara sel-sel epidermis dari jenis C-horens, C,unifarius dan C.virinalis
terlihat adanya benda mengkilat
yang diduga silika. Sel-sel endodermis bersifat lebih lunak. Sel-sel ini diduga sebagai tempat dimana persenyawaan silika paling banyak dibentuk untuk kemudian diendapkan pada epidermis. Menurut Wiener
ban
Liese
(1990), sel-sel
endodermis
Garbar 4. Struktur anatomi batang rotan (a) penampang lintang, (b) penampang longitudinal (Sumber: Mandang dan Rullyati, 1986)
pada genera endemis di Afrika berbentuk barisan sel serat (fiber rows) sedangkan pada genera Asia berbentuk pita sel serat (fibre strands). Di bawah endodermis terdapat kortek yang terdiri dari selsel parenkim, berkas serat, dan berkas pembuluh. Suatu ha1 yang perlu diperhatikan ialah adanya "yellow carpsw, yaitu serat sklerenkim yang terdapat pada bagian luar berkas serat (fibre sheat) dari
berkas
pembuluh
pertama
di
bawah
kortek
(Siripatanadilok,1974). Gambaran "yellow carpsn ini hanya ditemukan pada genera Korthalsia, Myrialepsis, Plectocomia
dan Plectocomiopsis.
2). Parenkim Dasar
Jaringan parenkim dasar (ground parenchym) bagaikan
pengisi
batang
dimana
berkas-berkas
pembuluh tertanam di dalamnya. Ia berbeda dengan parenkim aksial yang terdapat di dalam berkas pembuluh.
Parenkim dasar
terdiri dari
parenkima
isodiometrik berdinding
sel-sel
tipis dengan
noktah sederhana. Wiener dan Liese (1990) membedakan tiga tipe parenkim dasar berdasarkan bentuk dan susunan selnya, yaitu :
- Tipe A.
Pada penampang lintang sel-selnya tampak
lunak dengan ruang antar sel yang bulat. Pada
penampang longitudinal susunan sel-selnya tampak seperti
susunan
uang
logam
(stack
coins).
Contoh , Calamus
- Tipe B.
Pada penampang lintang sel-selnya tampak
bulat dan lebih kecil dengan ruang antar sel yang tidak teratur. Pada penampang longitudinal susunan selnya seperti tipe
norops
A. Contoh,
Daemo-
.
- Tipe C.
Sel-selnya berdinding lebih tipis, besar
dan bulat dengan ruang antar sel yang relatif sempit. Contoh, Plectocomiopsis. 3).
Berkas Pembuluh Di antara jaringan parenkim dasar tersebar berkas-berkas pembuluh (vascular bundles).
Tiap
berkas pembuluh tersusun atas dua jaringan utama, yaitu jaringan pelaksana dan jaringan penyangga. Jaringan pelaksana terdiri dari satu atau dua untaian phloem, satu atau dua metaxylem, beberapa protoxylem dan jaringan parenkim aksial. Adapun jaringan
penyangga
adalah
satu
berkas
serat.
Penampilan berkas pembuluh pada penampang lintang berbentuk hampir bundar pada rotan sega (Calamus
caesius) atau elipsoid pada rotan batang (Daemonorops
crinatus).
Diameter
tangensial
berkas
pembuluh ini pada bagian tengah batang mencapai 0,58 ma pada D.crinatus,
0,60 mm pada
0,72 nun pada C.scipionum,
C.caesius,
0,76 pada C-thwaitesii
(rotan berdiameter besar dari India) dan 0,82 mm pada Cornanan. Phloem
pada
rotan
adalah
jaringan
yang
berfungsi menyalurkan dan membawa hasil fotosintesis dari tajuk ke bagian-bagian lain dari tanaman. Bentuknya seperti pipa yang sambung menyambung dengan bidang perforasi berbentuk tapisan. Diameternya jauh lebih kecil dari metaxylem dan sedikit lebih kecil dari protoxylem.
Panjang satu sel
pembuluh bervariasi dari satu sampai lebih dari 3,00 mm. Pada penampang lintang, dalam satu berkas pembuluh bisa terdapat dua untaian phloem (phloem field) mengapit satu metaxylem (Calamus caesius, C-burckianus, Daemonorops, Korthalsia) atau satu untaian phloem dengan satu metaxylem (Plectocomia elongata) atau satu untaian phloem dengan dua metaxylem
(Myrialepsis
paradoxa)
(Wiener
dan
Liese, 1990). Metaxylem dan protoxylem adalah xylem, yaitu jaringan anatomi yang berfungsi sebagai saluran air dan zat hara dari akar ke daun. Protoxylem dibentuk
pada
saat
ruas-ruas
baru
tumbuh.
Dindingnya
sangat
khas,
yaitu
dengan gulungan yang rapat.
seperti
spiral
Pada waktu ruas
tumbuh menjadi dewasa protoxylem ikut memanjang tetapi diameternya tidak mengalami
pertambahan
yang berarti (Mandang, 1986). Menurut Wiener dan Liese, 1990 diameter protoxylem berkisar
-
30
mikron. Pada waktu ruas tumbuh salah satu dua
protoxylem
yang
memanjang
ikut
80
atau
mengalami
pembesaran diameter yang cukup menonjol.
Xylem
yang diameternya besar ini dinamakan metaxylem dengan ukuran diameter 320 mikron pada C a l a m s caesius, 340 mikron pada Daemonorops crinatus, 400 mikron C
pada
C.scipionum
dan
600
mikron
pada
.manan. Parenkim
aksial
menyebar
disekeliling
metaxylem, protoxylem dan phloem di dalam berkas pembuluh. sederhana.
Dindingnya relatif tipis dengan noktah Parenkim
aksial
bentuknya
berbeda
dengan parenkim dasar, yaitu memanjang ke arah vertikal dengan sekat-sekat yang agak miring. Berkas serat (fibre sheat) yang terdiri dari sel-sel serat, tersusun satu berkas mirip tapal kuda atau segi tiga yang menghadap ke arah pusat batang. Ukuran penampang lintang berkas serat ini berbeda antara jenis.
Sel-sel
serat berbentuk panjang
dengan dinding relatif tebal.
-
3 mm,
langsing
Panjang sel serat 1
sering mengandung nsepta88 dan umumnya
mempunyai dinding sel npolylamellarn. Pada rotan manau (C-manan) panjang selnya l,l diameter 17
-
-
1,3 mm dengan
19 mikron. Pada rotan C-thwaitesii
dari India panjang sel seratnya 1,7 mm, diameternya 19 mikron dan diameter lumennya 8,O mikron (Mandang,l986 ; Bhat dan Thulasidas,l989 ; Wiener dan Liese,1990 ) . Saluran
getah
(musilage canal)
tersebar
diantara jaringan parenkim dasar dan dapat ditemui pada beberapa jenis rotan tertentu. Saluran ini dikelilingi oleh sel-sel epithel dan membentang ke arah
vertikal
dengan
diameter
rongga
saluran
kurang dari 50 mikron. Saluran ini mengeluarkan zat ekstraktif
yang komposisinya belum
banyak
diketahui. Kehadiran saluran getah adalah khas pada Daemonorops, Ceratolobus dan beberapa jenis Calaaus (C.burckianus,
C.ciliaris,
C-horens dan
sel
yang
C.polystachys). Stegmata
adalah
khusus
berisi
partikel silika (silica body) dan letaknya menyebar dekat ikatan pembuluh serat
dan
jaringan
atau di antara sel
parenkim
dasar
(Tomlison,
1961). Uhl dan Dransfield (1987) menyatakan bahwa kekerasan batang rotan sebagian ditentukan oleh kehadiran partikel silika ini. Biasanya sel-sel stegmata banyak terdapat dekat jaringan kulit, yaitu antara epidermis dan ikatan pembuluh pertama. Tomlison (1961) melaporkan bahwa ada dua bentuk
partikel
silika,
yaitu
bentuk
kerucut
(conical) dan bentuk bola (shperical). Selanjutnya Schmitt, Wiener dan Liese (1995) memperlihatkan dengan jelas bentuk partikel silika pada jenis rotan C a l m s axillaris dengan alat SEX dan TEM. 2. Komposisi Kimia
Di
antara
sifat
dasar
rotan,
hasil
penelitian
sifat kimia rotan tampaknya paling terbatas
mengenai
jumlahnya. Seperti dinyatakan oleh Uhl dan Dransfield (1987), bahwa analisa kimia palma pada umumnya sangat sedikit dilakukan dan tidak seimbang dengan penelitian taxonomi
.
Hasil penelitian komponen kimia rotan dan kayu yang dihimpun dari berbagai pustaka disajikan seperti pada Tabel 5.
Pada Tabel 5 terlihat, bahwa selulosa rotan lebih tinggi dibandingkan dengan kayu daun lebar
.
Sedangkan
persentase
lignin
jarum dan daun lebih
kecil
dibandingkan dengan kayu daun jarum (Kollman dan C6t&, 1968). Karakteristik lignin rotan sama dengan lignin dari daun lebar artinya tersusun dari prazat koniferil dan sinapil alkohol atau disebut sebagai lignin guayasilsiringil. Komponen silika dari 12 jenis rotan asal Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya berkisar antara 0,54
- 8,00 %
(Hadikusumo 1994). Chang et a1 (1988) menyatakan bahwa rotan mengandung lignin relatif kecil, apabila dibandingkan dengan kayu keras atau kayu lunak,
tetapi sejumlah besar polisacha-
rida, terutama hemiselulosa. Pada bagian epidermis rotan terdapat sebagian besar senyawa silika. Tabel 5.
Komposisi kimia rotan dan kayu K a y u
Komponen kimia
Rotan d. lebar
-
71 39
1. Holoselulosa 2. Selulosa 3. Hemiselulosa 4 . L i g n i n 5. Prazat lignin 6. Abu 7. Silika -
Sunher :
- 76 -- 58 -
40 - 44 15 - 35 18 - 25
-
~a/sYr 0,1 1,0
18 27 mirip d.lebar 0,54
-
8,OO
-- Kollman and C6t&, Simatupang, 1975 -
-
-
-
d. jar-
44 20 32 25 35 guaiasil 0,2 1,4
-
--
-
1968
-- Fengel Sucipto, 1994. and Wegener,
1984
Menurut Fengel dan Wagener (1984) elemen silika termasuk ke dalam kelompok abu, yaitu bahan anorganik
yang diperoleh setelah pengabuan kayu pada suhu 6008 5 0 ~ ~ .Kmdungan kelompok abu pada kayu-kayu dari daerah temperate berkisar antara 0,l tropis dapat mencapai 5 %
-
1,O % sedangkan kayu
dari berat kering kayu. Elemen
penyusun kelompok abu yang utama adalah
Ca
(dalam
kebanyakan kayu mencapai 50 % dari total abu); K dan Mg masing-masing menduduki tempat kedua ban ketiga, lalu dilanjutkan oleh .elemen-elemen Mn, Na, P, C1, Si , S, Mg dll. Pada kayu-kayu tropis persentase silica yang tinggi dapat melebihi kandungan Ca dalam beberapa jenis. Kelompok abu yang dapat diamati dengan mikroskop cahaya atau elektron tampak terakumulasi dalam saluran damar, sel a
-
a
, lamela tengah, lapisan dinding
tersier, noktah dan daerah penebalan spiral. ~ e p o s i t Silika paling banyak terdapat dalam bentuk Silikat (SiO2) dan tampil sebagai butiran (gain) atau butiran *aggerationsu. Hillis (1987) menemukan silika pada sel jari-jari kayu dalam bentuk berry, berukuran 6-15 pm. Tomlison (1961) dan beberapa penulis menyatakan bahwa silika semakin banyak terdapat pada bagian ke arah kulit. Sel-sel bersilika ini disebut stegmata. Silika yang terdapat di dalam stegmata ini disebut badan-silika (silica-bodies). Ada dua type badan-silika yang berguna untuk diagnostik, yaitu bentuk topi (hat) dan bentuk bola (spherical).
Analisis kualitatif Ban kuantitatif silika dapat dilakukan
secara gavimetri
standart T15.06-58
mengikuti
atau ASTH D1102-56.
prosedur
TAPPI
Analisis yang
lebih teliti dapat menggunakan alat spektroskopi nyala, emisi, absorbsi atom, atau sinar-x dan aktivasi neutron. 3. Keawetan
Rotan sebagai produk tanaman, selain tersusun dari komponen utama selulosa dan lignin mengandung pula pati, gula, protein, lemak dan bahan kimia lainnya. Bahan-bahan ini merupakan sumber bahan makanan bagi mikroorganisme perusak sehingga keberadaannya dalam rotan akan menurunkan kualitas rotan. Serangan organisme ini dapat terjadi pada rotan yang masih basah yaitu, sejak rotan mulai dipanen sampai berupa barang jadi. Penurunan kualitas dapat b e m p a perubahan warna (blue stain), lubang gerek (pinhole), bubuk, rapuh dan lain-lain (Martono, 1986). Beberapa jenis rotan sangat rentan terhadap serangan organisme perusak, bahkan kurang dari 24 jam setelah pemanenan serangan pada rotan sudah dimulai, terutama serangan jamur. Namun beberapa jenis lainnya seperti manau
,
sega dan tohiti dapat bertahan dan memiliki
keawetan yang sangat tinggi sampai pada penggunaanya oleh konsumen. Sampai saat ini belum ada klasifikasi keawetan jenis-jenis rotan Indonesia sehingga merupakan salah satu
kelemahan untuk mengembangkan pemanfaatan jenis-jenis di luar
jenis
komersil
yang
sudah
dikenal
sifat-sifat
keawetannya (Martono, 1986; Casin, 1975). Upaya yang sudah dilakukan untuk mengurangi penurunan kualitas rotan karena serangan organisme perusak adalah dengan bahan-bahan,
peralatan dan teknik penga-
wetan yang digunakan untuk kayu. Sumarni, Ismanto dan Martono (1993) melaporkan bahwa serangan organisme pada rotan balukbuk (Daemonorops sp) yang baru dipanen dapat dicegah sampai 8 minggu melaui perendaman dengan campuran methylene bisthiocyanate dan chlorophyriphos. Sedangkan pencegahan serangan pada rotan kering dapat dilakukan dengan cara pencelupan pada larutan
0,5
% dieldrin atau
lindane atau menggunakan persenyawaan bor seperti boraxasam borat. G - HUBUNGAN STRUKTUR ANATOHI,SIFAT FISIK-HKKANIK DAN KIHIA
Wangard (1979) mengemukakan, bahwa pada kayu daun lebar (hardwood) proporsi sel-sel
utama penyusun kayu berpengaruh
terhadap sifat fisik kayu, yaitu berat jenis, seperti dapat dilihat pada Tabel 6. Pada tabel tersebut secara umum tampak adanya kecenderungan bahwa penurunan volume pori akan meningkatkan berat jenis. Secara nalar ternyata penggantian kedudukan sel pori yang besar oleh sel-sel serat dengan dinding yang lebih
tebal dan sel-sel parenkim akan meningkatkan jumlah dinding sel, dengan demikian akan meningkatkan berat jenis. Tabel 6.
Jenis kayu Basswood Sweetgum Birch Hickory
Hubungan antara proporsi relatif pori, serat dan parenkim dengan berat jenis pada kayu daun lebar Pori ( % ) Serat ( % ) Parenkim ( % ) 56 54 21 6
36 26 64 67
8 20 15 22
BJ 0,32 0,46 0,50 0,64
Hadikusumo (1990) melaporkan bahwa keteguhan lengkung maksimum
(maximum bending strength) kayu dan rotan tidak
berbeda jauh pada berat jenis yang sama, yaitu sekitar 550
-
650 Kg/cm2 pada berat jenis 0,55 -0,65. Akan tetapi modulus elastisitas rotan jauh lebih rendah daripada kayu, yaitu sekitar 1/3 kayu pada berat jenis yang hampir sama. Adapun keteguhan tekan sejajar serat pada rotan semambu, kayu kelapa dan kayu meranti dengan berat jenis yang sama (0,54) masing-masing adalah 205 Rg/cm2, 395 Kg/cm2 dan 411 Kg/cm2. Namun, modulus elastisitas rotan hanya lebih kurang sepertiga kayu pada berat jenis yang hampir sama. Para peneliti rotan tampaknya juga sependapat bahwa keberadaan berkas serat berpengaruh terhadap sifat fisik dan mekanik rotan. Bhat dan Mohan (1989) melaporkan, bahwa tebal dinding sel serat adalah parameter anatomi yang
paling
penting yang menentukan perilaku sifat fisik rotan. Dinding yang lebih tebal mengakibatkan rotan lebih keras dan lebih berat. Tabel 7.
Hubungan antara jumlah sel schlerenchyma dan kekuatan tarik rotan Daerah yang ditempati ( % )
Jenis rotan sel-sel schlerenchyma C a l m s imps C a l m s sp C a l m s symphysipus
Kekuatan tarik
sel-sel lain
43,9 28,4 25,8
Selanjutnya Yudodibroto (1984) melaporkan bahwa jumlah sel-sel schlerenchyma yang terdapat di sekitar ikatan pembuluh berkorelasi dengan kekuatan tarik (tensile strength) rotan, yaitu kenaikan persentase sel-sel ini, yang diukur pada penampang lintang akan aeningkatkan kekuatan tarik rotan seperti terlihat pada Tabel 7. Pada Tabel 7 di atas dapat dilihat bahwa mengandung 43.9
C-inops
% sel serat. Sedangkan C. synphysipus yang
mengandung 25.8 % sel serat mempunyai kekuatan tarik sekitar 30 % lebih rendah dari
C.inops.
Hadikusumo (1994) menyata-
kan bahwa dari pengamatan 17 jenis rotan diperoleh rata-rata proporsi sel serat sekitar sepertiga bagian (33,3 %),
seper-
tiga berikutnya adalah sel vascular dan sepertiga terakhir adalah sel parenkim.
Bhat dan Thulasidas (1989) mencoba menjelaskan penyebab terjadinya pecah dan patah pada rotan Calamus metzianus yang tergolong
rotan
berdiameter
kecil berdasarkan hasil
pengamatan struktur anatomi secara mikroskopis seperti pada Tabel 8. Tabel 8.
Struktur anatomi tiga jenis rotan dari Kerala, India
Sifat
C.metzianus (@ kecil)
Jumlah ikatan pembuluh/mm2 Diameter ikatan pembuluh (mm) Jumlah serat ( % ) Jumlah xylem ( % ) Jumlah phloem ( % ) Diameter metaxylem ( p ) Panjang serat ( p ) Diameter serat ( p ) Lebar lumen ( P I 2xtebal dinding sel ( p )
C.travancoricus ( @ kecil)
C-thwaitesii (9 besar)
Pada tabel tersebut dapat dilihat, bahwa
C.llzetzianus
yang mengandung rata-rata 16 % sel serat adalah setengah dari nilai persentase serat rotan jenis lainnya. Diameter pembuluh metaxylem yang besar juga dapat menambah volume rongga pada jaringan batang sehingga menurunkan kekuatan rotan. Selain itu pada diameter serat yang hampir sama, diameter lumen C.metzianus
jauh lebih tinggi sehingga kete-
balan dindingnya kecil. Menurut Hadikusumo (radius terkecil dari
(1994) sifat
pelengkungan
kelengkungan
rotan)
rotan
lebih banyak
dipengaruhi oleh diameter dan kandungan lignin dan sedikit dipengaruhi oleh berat jenis dan kandungan silika, dalam bentuk hubungan regresi linier berganda.