Eksotisme Vernakular Di Kaki Gunung Lepembusu
Story Behind the Cover Kampung Adat di Kaki Gunung Lepembusu............ EKSOTIS............. Puncak bukit berkabut gunung Lepembusu menyimpan cerita dan bukti sejarah leluhur orang Lio - “Wologai”. Berusaha mempertahankan norma dan warisan leluhur adalah hukum adat Wologai. Aturan adat yang dijunjung Mosalaki dan Ata Ine membuktikan eksisnya siklus mitismagis budaya yang eksotis. Kehadiran monumental sa’O dan tumpukan budaya megalitik menciptakan sebuah pesona kearifan arsitektur lokal “Cultural Heritage” yang berjati diri. Sadarilah............. Bahwa kebudayaan lokal “Genius Loci” sebagai benang merah sejarah peradaban leluhur. Yang diharapkan hanya dapat bertahan saat ini, esok dan seterusnya.
Wologai, Eksotisme Vernakular di Kaki Gunung Lepembusu
WOLOGAI
ISBN 978-602-9114-49-2
Reginaldo Lake
9786029114492
WOLOGAI Eksotisme Vernakular Di Kaki Gunung Lepembusu Reginaldo Lake
Story Travel Sosial - Budaya Adat (Re-) Konstruksi Arsitektur Vernakular
WOLOGAI,
Eksotisme Vernakular di Kaki Gunung Lepembusu
WOLOGAI,
Eksotisme Vernakular di Kaki Gunung Lepembusu Penyusun: Reginaldo Lake Editor: Reginaldo Lake Desain Sampul oleh Molang Desain isi oleh Reginaldo Lake Foto Sampul Depan oleh Reginaldo Lake dan Veni Rahma Foto Sampul Belakang oleh Ludger Sore ©Gita Kasih 2015 Anggota IKAPI No. 004/NTT/2005 PENERBIT GITA KASIH BTN Kolhua, Blok R-1, No. 51-52 Telp. (0380) 8044266. Hp. 081339224229
ISBN: 978 - 602 - 9114 - 49 - 2
Hak cipta dilindungi Undang-undang. Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun termasuk foto-copy tanpa izin tertulis dari penerbit.
“Eksotisme Keda - Tubu musu Kanga cerminan Arsitektur Wologai”
WOLOGAI,
Eksotisme Vernakular di Kaki Gunung Lepembusu
DAFTAR ISI
9.
Impossible Is Nothing “Makasi Molo-Molo”
36.
Eksistensi Pemangku Adat Lio - Wologai Veni Rahma
42.
Hukum Adat Lio “Di Kampung Adat Wologai - Lepembusu Ludger Sore
BAGIAN A | PRAKATA 13.
Vernakular sebagai Cermin jati Diri Orang Tradisional
BAGIAN C | MEREKA YANG HIDUP BERSAMA DENGAN ADAT
BAGIAN B | WOLOGAI “Nua Pu’U” 16. Story Travel in Wologai Cultural Village
48.
Pranata Sistem Kekerabatan Reginaldo Lake Kebudayaan J a l i n a n Tr a d i s i M e n g u k u h k a n Kesederhanaan Reginaldo Lake
Reginaldo Lake
20.
Wologai...... Sebuah Eksotik Vernakular di Kaki Gunung Lepembusu Reginaldo Lake
51.
27.
Masyarakat Adat dan Kampung Budaya Reginaldo Lake
55.
31.
To’a Moko Neka, Kuti Mboko Neka, Tau Ana Pasi, Rengga Leke dan Mae Dhae Ludger Sore
56.
34.
Struktur Adat Wologai: Sistem Sosial Budaya dan Kepemimpinan Reginaldo Lake
Seremonial Adat Wologai Ludger Sore
58.
Wujud Upacara Adat Wologai Reginaldo Lake dan Veni Rahma Ritual Wa’u Tosa Ludger Sore
4
60.
Ritual Po’O Teu
88.
Ludger Sore
63.
Re- Konstruksi Sa’O Reginaldo Lake
BAGIAN E | PESONA VERNAKULAR NTT
Perkawinan Adat Lio - Wologai Ludger Sore
114.
BAGIAN D | EKSOTISME KEDA - TUBU MUSU KANGA CERMINAN ARSITEKTUR WOLOGAI 73.
76.
Keda, Tubu Musu kanga sebagai Sentral Sa’O Ana Lamba, Sa’O Ame Naka Ine Naju cerminan Arsitektur Wologai Reginaldo Lake Pola Perkampungan Wologai Nua Pu’U Reginaldo Lake
82.
84.
Sa’O: Rumah Adat Wologai Reginaldo Lake Ragam Hias Sa’O - Lepembusu Reginaldo Lake
86.
Proses Pembangunan sa’O (Rumah Adat Wologai - Nua Pu’U) Fr. Leston Situmorang dan Inko Bili
5
Pesona Vernakular NTT, Pewaris Budaya Reginaldo Lake
Gambar yang dibuat oleh Reginaldo Lake, merupakan konstruksi struktur rumah adat (sa’O) Wologai-Lepembusu.
“
Komunitas terpencil wilayah paling Timur Ende di dekat danau kelimutu adalah bukti norma budaya leluhur WAWO. Inilah Wologai-Lepembusu merupakan situs perkampungan adat yang masih lestari hingga sekarang. Pola perkampungan cluster ini telah melahirkan ritual-ritual adat, kesenian budaya dan wujud arsitektur vernakular yang sangat eksotis. Peran mosalaki-mosalaki di kampung inilah yang menjadi penyambung budaya Wologai. Deretan sa’O-sa’O yang mengitari keda, tubu musu kanga menjadi saksi monumental peradaban sejarah Lepembusu. Balutan batu kubur, beralaskan batu megalit dengan setia menjaga keutuhan warisan WAWO di kaki gunung Lepembusu. Dengan kesan inilah tercipta :
”Wologai, Eksotisme Vernakular di kaki gunung Lepembusu”.
Wologai - Nua Pu’U
Sebuah gambaran Kampung adat Wologai-Nua Pu’U, memperlihatkan keseluruhan rumah adat (sa’O) yang ada di Wologai-Lepembusu. (Render shadow oleh Reginaldo Lake)
IMPOSSIBLE IS NOTHING “Makasi Molo-Molo”
Wologai, eksotisme Vernakular di kaki gunung Lepembusu ini merupakan ungkapan “story travel in cultural heritage” yang disusun karena rasa kagum, terpesona dan bangga akan kebudayaan vernakular Wologai - NTT yang beragam. Bergabung dalam study excurse di laboratorium arsitektur vernakular UNWIRA Kupang adalah suatu kegiatan mulia untuk melestarikan warisan nenek-moyang yang memiliki nilai sejarah sebagai upaya menyambung benang merah cerita masa lalu dengan masa sekarang. Mempertahankan keaslian budaya vernakular adalah tekat dan semangat juang dari kegiatan study excurse vernakular di UNWIRA akan autentik arsitektur yang menyatu dengan alam. Selain itu, buku ini menceritakan kegiatan studi lapangan, kebudayaankeseharian orang Wologai, dan (re-) konstruksi proses membangun sa’O di permukiman adat Wologai - Lepembusu, dengan tujuan sebagai bukti tertulis bagi generasi berikutnya. Kajian di buku ini disertai ilustrasi foto-foto orisinil, menarik, inspiratif, dan edukatif. Karena penyusunan ini bisa dikatakan masih prematur, maka tentunya masih banyak kekurangsempurnaan, baik dari kuantitas materinya maupun kualitas penyusunannya. Untuk itu diharapkan adanya respon positif, masukan, maupun kritikan dari berbagai pihak, khususnya pihak terkait. Adalah “sesuatu yang tak mungkin” bila sebuah buku ini sepenuhnya diakui sebagai pekerjaan seorang diri. Samasekali tidak mungkin dihindari adanya keterlibatan dari berbagai pihak dalam berbagai bentuk dan kesempatan. Untuk itu penyusun wajib mengucapkan terimakasih yang tulus kepada Bapak Ir. Pilipus Jeraman, MT., atas kepercayaan untuk penulis bergabung dalam kegiatan study excurse arsitektur vernakular UNWIRA, sumbangan waktu, dukungan, koreksi yang berharga sehingga buku ini dapat terwujud. Terimakasih pula kepada tim study excurse 2012 Fr. Leston Situmorang, dkk selama studi lapangan bersama penulis guna mengumpulkan bahan-bahan kajian. Terimakasih buat om Ludger Sore yang telah memberikan bahan tulisan budaya Wologai - Lepembusu. 9
Terimakasih sepenuhnya dan persembahan seutuhnya kepada kedua orang tua, saudara-saudari dan sahabat yang telah mendukung penuh ketulusan serta kesabaran kepada penyusun. “Makasi molo-molo” inilah kata orang setempat Wologai - Lepembusu merupakan perwujudan terimakasih. Semoga Tuhan Yang Maha Esa akan melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, memberikan imbalan yang setimpal atas kebaikan mereka. Harapan penulis, buku Wologai, Eksotisme Vernakular di kaki gunung Lepembusu ini akan dapat memberikan manfaat dan menambah khasanah pemikiran intelektual di bidang pelestarian budaya, pendidikan, khususnya bagi pembaca sekalian dan pihak terkait lainnya.
Kupang, 28 Juni 2012
Reginaldo Lake
10
Rumah Adat “Keda” merupakan rumah kesukuan adat Wologai. Foto oleh Reginaldo Lake
A Prakata 4.
VERNAKULAR Sebagai Cermin Jati Diri Orang Tradisional Suatu Pengantar Penyusun
Sa’O warisan leluhur WAWO di Wologai, menyisakan padangan awal memasuki perkampungan adat Nua Pu’U Lepembusu. (Foto oleh Ludger Sore)
Bagian Pintu Gerbang Perkampungan adat Wologai - Lepembusu. Foto oleh Ludger Sore
VERNAKULAR SEBAGAI CERMIN JATI DIRI ORANG TRADISIONAL SUATU PENGANTAR PENULIS “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai kesenian dan kebudayaan. Merubah kebudayaan, berarti membubarkan suatu norma adat masyarakat tradisional”. Dua slogan tersebut menjadi dasar filosofi kesatuan NKRI pada umumnya dan khususnya NTT yang terdiri dari beberapa pulau dan beragam kebudayaan. Secara spesifik suku-suku di wilayah Nusa Tenggara Timur dapat dikelompokkan ke dalam 14 (empat belas) kelompok ethnik, yang masing-masing kelompok ethnik tersebut mengembangkan dan mewariskan kebudayaannya sendiri, diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan dan kebudayaan yang lahir dari pola kebiasaan-kebiasaan tersebut. Pemahaman perbedaan paradigma kebudayaan ini, menjadi tolok ukur langgam vernakular, karena vernakular (tradisional) identik dengan kebiasaan-kebiasaan dan pola hidup sekelompok orang. “Kebudayaan datang dari manusia, merupakan ungkapan dirinya, baik dalam hal cara berpikir, cita rasa serta seleranya yang tentulah bersifat fana dan relatif. (Rm. Mangunwijaya). 13
Dalam hal ini, perbedaan latarbelakang budaya menjadi penyebab utama yang berpengaruh terhadap keanekaragaman tradisional (vernakular). menanggapi pernyataan tersebut, arsitektur vernakular merupakan perwujudan nilai-nilai atau produk karya masyarakat lokal, dimana arsitektur vernakular hadir dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat tradisional itu sendiri dan sebagai cermin jati diri orang tradisional. Kehidupan Masyarakat Tradisional Kehidupan masyarakat tradisional cenderung sangat sederhana dibandingkan dengan masyarakat di era modern dewasa ini. Aktifitas yang dijalankan tidak semaju masyarakat modern. Pada umumnya masyarakat tradisional (desa) hanya melakukan aktifitas yang terkait dengan pemenuhan hidup dasar, misalnya makan-minum, istirahat, mencari bahan makanan, membuat tempat berteduh (rumah tinggal) dan yang paling mendasar adalah berladang (berkebun). Dengan demikian keseharian masyarakat tradisional lebih banyak berada di ladang daripada di rumah. Karena itu rumah lebih dipandang sebagai tempat berteduh di malam hari atau di waktuwaktu tertentu saja.
B
Wologai “Nua Pu’U 16.
Story Travel in Wologai Cultural Village Reginaldo Lake
20.
WOLOGAI....... Sebuah Eksotik Vernakular di Kaki Gunung Lepembusu” Reginaldo Lake
27.
Masyarakat Adat dan Kampung Budaya Reginaldo Lake
31.
To’a Mboko Neka, Kuti Mboko Neka, Tau Ana Pasi, Rengga Leke, dan Mae Dhae Ludger Sore
34.
Struktur Adat Wologai Sistem Sosial Budaya dan Kepemimpinan Reginaldo Lake
36.
Eksistensi Pemangku Adat Lio - Wologai Veni Rahma
42.
Hukum Adat Lio “Di Kampung Adat Wologai - Lepembusu” Ludger Sore
Kampung Wologai Nua Pu’U dilihat dari kejauhan, arah Timur kota Ende. Wologai dikelilingi pegunungan dan hutan-hutan lebat. (Foto oleh Ludger Sore)
Story Travel in Wologai Cultural Village Reginaldo Lake “Seperti ada Leluhur”.
Magnet
dalam
tradisi
Itulah yang dapat saya ungkapkan ketika mendapat kesempatan untuk melakukan study ekscurse di kampung-kampung adat bersama rekan-rekan mahasiswa arsitektur Unwira Kupang. Kampung-kampung adat memiliki beragam 16
cerita sejarah yang adalah harta negeri, disamping budaya arsitektur vernakularnya. Ada pesan terselubung dalam balutan tradisinya. Semuanya itu dapat terungkap jika kita berkunjung langsung ke kampungkampung adat.
ritual yang salah satunya adalah pesta panen padi. Setiap tahun, pada tanggal 25 Agustus - 15 September, masyarakat adat Wologai melaksanakan ritual pesta panen padi yang sangat sakral. Kampung yang sepi berubah jadi meriah karena seluruh masyarakat adat yang menetap di luar kampung adat akan kembali untuk berpesta.
Keda, rumah adat Wologai sebagai cerminan arsitektur khas Lio-Lepembusu. Keda ini merupakan tempat untuk menyimpan Lamba Bapu dan benda pusaka lainnya yang dianggap sakral oleh masyarakat Wologai. (Foto oleh Reginaldo Lake)
Lamba Bapu - Lepembusu............. Sejak puluhan tahun lalu, Wologai telah dikenal sebagai sebuah kampung adat yang sangat kuat memegang adat dan tradisinya. Wologai terkenal akan Lamba Bapu, yaitu sebuah gendang kecil yang terbuat dari kulit manusia. Gendang ini dimainkan setahun sekali dengan alat pemukul dari batang alang-alang. Alat musik tradisional ini selalu ditempatkan dalam sebuah bangunan unik khas Lio-Wologai bernama Keda dengan dikawal oleh Ana Deo, sebuah patung lakilaki yang dianggap sakral oleh masyarakat.
Keda dan Rate - Batuka (kuburan batu pahat) adalah balutan tradisi leluhur Wologai. Keberadaan Keda selalu berada paling tinggi dan di tengah-tengah perkampungan yang
Sebagai sebuah kampung adat, masyarakat hukum adat Wologai juga tetap menjaga budaya dan adat istiadatnya, termasuk dengan beragam 17
melambangkan keberanian “sa’O pusu ate” dan dikelilingi oleh rate. (Foto oleh Ludger Sore)
Pergerakan arus zaman yang semakin cepat, tidak menimbulkan sebuah gerakan berarti dalam upaya pelestarian tradisi serta adat budaya masyarakat di kampung adat Wologai. Wologai, sebuah pesona kampung adat, yang terletak di sebuah puncak bukit kecil, berlatar indah puncak gunung Lepembusu, eksisnya seolah tidak pernah tergerus zaman.
Potret alam Wologai : Pemandangan persawahan Detusoko.
Kondisi jalan menuju kampung adat Wologai. (Foto oleh Reginaldo Lake)
Akses menuju Wologai sangat mudah, hanya berjarak 1.5 km dari tepi jalan Trans Flores atau hanya berjarak sekitar 42 km dari kota Ende, dengan jarak tempuh waktu 1-1.5 jam. Kita dapat menggunakan bus, kendaraan rental, atau sepeda motor, dan apabila ingin sebuah tantangan lebih dapat menggunakan sepeda seperti beberapa wisatawan asing. Selain itu, juga dapat ditempuh dari kota Maumere yang berjarak sekitar 120 km. Tidak 18
sulit, karena walaupun berkelok-kelok, jalanan Trans Flores cukup mulus untuk dilewati. Suhu ±16°C menanti di kampung yang paling Timur dari kota Ende ini. Sepanjang perjalanan akan diwarnai dengan berbagai pemandangan indah yang terdiri dari lereng-lereng bukit terjal dan alami.
Pemadangan sawah bertingkat Ekoleta, Detusoko menuju Desa adat Wologai (Foto oleh Reginaldo Lake)
Memasuki wilayah Detusoko dari desa Wolofeo (29 km arah Timur kota Ende) hingga Dusun Ekoleta, Desa Wologai (36 km ke arah Timur) sejauh mata memandang, pandangan kita didominasi dan dimanjakan oleh sektor pertanian dan perkebunan yang diusahakan oleh masyarakat. Sawah bertingkat disepanjang jalan nampak eksotik, tertata rapi dan terkesan harmoni dengan keadaan lereng dan bukit serta sungai yang berkelok-kelok. Udara yang sejuk dan lingkungan yang selalu hijau mengindikasikan adanya kehidupan dan mengungkap realitas bahwa
19
kultur agraris sudah berakar kuat dalam masyarakat di wilayah ini sejak dahulu. Mereka melakukan kegiatan utama sebagai petani-peladang. Dalam radius 1-5 km, bahkan juga lebih dari itu terbentang lahanlahan yang digarap, masing-masing dengan luas 1-2 hektar. Pada umumnya lahan-lahan garapan itu secara topografi ada yang berada pada kemiringan hingga 50 derajat.
WOLOGAI.......
“Sebuah Eksotik Vernakular di Kaki Gunung Lepembusu” Reginaldo Lake Suasana bersejarah terasa eksotik, ketika berada dalam wadah adat kampung Wologai, Ende, Nusa Tenggara Timur.
Keberadaan kampung Wologai masih dianggap sakral.
Tidak hanya kekayaan budaya leluhur, tetapi kampung Wologai masih memegang teguh tradisi adat sampai saat ini.
Kekhasan budaya megalitik dan ritual adat kepada leluhur merupakan hal utama yang harus dijalankan oleh masyarakat adat Wologai.
Wologai adalah sebutan khas orang Ende secara umum dan khususnya Detusoko, sebagai kampung adat yang sangat kuat memegang adat dan tradisinya.
Wologai, memang mempesona bagi siapa saja termasuk juga para wisatawan dari mancanegara. Eksistensi masyarakat adatnya begitu luar biasa. Semua dilaku 20
Suasana Kampung adat Wologai-Detusoko, 30 Maret 2012. Tampak Keda, Tubu Musu Kanga masih menjadi central “tersakral” dan sa’O (rumah adat) mengelilingi Keda dan Kanga. (Foto oleh Veni Rahma)
kan secara swadaya dan sukarela, bahkan sangat meyakinkan, bahwa tidak ada bantuan dari para pihak bagi mereka untuk melakukan upacara adatnya.
Desa Wologai Tengah, Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende, Propinsi Nusa Tenggara Timur, juga merupakan salah satu dari beberapa suku Lio Ende yang keturunannya berasal dari gunung Lepembusu.
Letak Geografis Menurut penuturan masyarakat adat Wologai, pemaknaan kampung Wologai sebagai bukit berumput. Yang dalam bahasa khiasan adat Wologai : “Wolo”, (pegunungan/bukit), “Gai”, (sejenis tanaman khas rumput); “Wologai”, (Pegunungan/bukit yang ditumbuhi rumputrumput khas gunung Lepembusu). Wologai sebuah kampung adat yang berada di 21
Batas wilayah adat wologai : Ÿ Sebelah Utara, berbatasan dengan Kecamatan Detukeli dan Wewaria; Ÿ Sebelah Timur, berbatasan dengan Kecamatan Lepembusu dan Kelisoke; Ÿ Sebelah Selatan, berbatasan dengan Kecamatan Ndona dan Ndona Timur; Ÿ Sebelah Barat, berbatasan dengan Kecamatan Wewaria dan Ende Timur.
Pohon beringin tua yang berumur mencapai generasi ke 18 menjadi pengawal tetap gerbang masuk kampung Wologai-Nua Pu’U. (Foto oleh Andi Fina)
Cuaca berkabut menyelimuti kampung ini, dengan hawanya dingin mencapai ±16°C. Kampung ini diapit oleh gunung, hutan dan persawahan yang merupakan potret alam leluhur Wawo di kaki gunung Lepembusu. Kesakralan kampung Wologai ini terasa dari letaknya pada puncak bukit dengan gerbang pohon beringin tua dan gunung Lepembusu Pola perkampungan “Cluster” ditengah balutan tradisi serta dibawah kawalan rumah-rumah adat “Sa’O” berarsitektur khas suku Lio yang mengelilingi sebuah Kanga dan Keda sebagai pusat ritual tarian gawi suku Lio-Wologai.
Penduduk Keberadaan kampung adat Wologai telah mencapai ratusan tahun, yakni sudah mencapai generasi ke 16. Satu generasi mencapai usia 60 tahun, sehingga usia kampung adat wologai saat ini lebih kurang 960 tahun. Jumlah penduduknya hingga tahun 2010 mencapai 856 jiwa. Menurut Dr. Joseph Glika, pakar Antropologi Ragawi, yang membuat studi mengenai manusia NTT. Ata Lio di Flores Tengah merupakan penduduk Flores tertua, karena mereka mendiami bagian paling tengah pulau Flores. Ata Lio bertetangga dengan Ata Ende yang tinggal di bagian Barat. Antara keduanya tidak terdapat hubungan genealogis. Ata Lio juga berdekatan dengan Ata Nagekeo di bagian Barat dan Ata Sikka di bagian Timur. Ata Lio itu sendiri terdiri dari 4 (empat) suku besar, yaitu suku Unggu di Utara, suku Seko di Selatan, suku Siga Ria di Barat dan suku Lise di Timur. Ditinjau dari segi letak tempat, keturunan Wologai diperkirakan termasuk dalam suku Lise.
Perkampungan adat Wologai berlatarkan gunung Lepembusu. “Sa’O Panggo” (Foto oleh Andi Fina)
Dari kiri : Babo Yohanis Lengo adalah Mosalaki dari Sa’O Ana Lamba, kanan : Mosalaki dari sa’O Labo yakni peran sebagai Mosalaki Ria Bewa. (Foto oleh Reginaldo Lake)
Potret sosok Ine dari sa’O Rini dengan sarung yang digunakan
Babo Yohanis Lengo bersama keluarga adalah keturunan dari suku Sa’O Ana Lamba. (Foto oleh Rizal Kamil)
dalam keseharian mereka. (Foto oleh Veni Rahma)
24
Para ibu “ine” di Kampung Wologai. Bagi masyarakat adat wologai, sosok seorang ine sangat dihormati, karena melambangkan kesuburan, kedamaian dan kasih sayang. Hal ini juga dikaitkan dalam berarsitektur, yaitu terdapat ukiran payudara di depan pintu sa’O yang melambangkan seorang ibu. (Foto oleh Reginaldo Lake)
Dikisahkan, sebelum kampung Wologai dibangun beberapa ratus tahun yang lalu, leluhurnya berpindah-pindah kampung mulai dari Lepembusu.
Bhajo Wawo, Jajo Wawo. Laka Wawo mewariskan keturunannya Wologai dan sekitarnya, Moni dan sekitarnya, Wewaria dan sekitarnya.
Beberapa kampung sebelum Wologai menjadi kampung, sebagai berikut :
Bajo Wawo mewariskan keturunannya Lise dan sekitarnya. Dari sinilah muncul kata “Lio Saligo” dimana mulai dikenal dengan “Ata Lio”.
Ÿ Wologai; Ÿ Fua Deo; Ÿ Ratemondo;
Ÿ Tubu Senga;
Ÿ Otolowo;
Ÿ Wolo Wea;
Ÿ Mageria;
Ÿ Koba Besi;
Ÿ Nuaone;
Ÿ Nira Neni;
Ÿ Lise Boko
Ÿ Au Masi;
Ÿ Lise Bewa;
Ÿ Mbotu Ndati (ndati ria ndati lo’o);
Ÿ Lise laka; Ini adalah kampungnya leluhur WAWO. Wawo mempunyai keturunan diantaranya Laka Wawo,
Ÿ Sepe Sawu;
25
Ini awal mula Keda, Kanga, Sa’O, Nena lepa tau mbale keda, nena Sa’O tau mbale maro.
Ÿ M’ta Manu; Ÿ Fau Waru; Ÿ Pu’u Re’a; Ÿ Kanga Ria;
Di kampung ini terjadi pembagian wilayah dan berpencarnya sebagian anak Lepa. Ÿ Lepembusu.
Pria Mosalaki atau Lakimosa di Wologai dengan sarung dan lesu yang digunakan dalam adat Wologai. Sebelah kiri : Ema Pius selaku Mosalaki Pu’U. (Foto oleh Reginaldo Lake)
26
MASYARAKAT ADAT DAN KAMPUNG BUDAYA Reginaldo Lake Mengalami dan menyaksikan kehidupan tradisional di masa silam adalah jawaban yang amat tepat untuk datang ke Wologai. Kehidupan masyarakat Wologai saat ini masih sangat asli seperti yang diwariskan oleh leluhur Wawo.
Sa’O terdiri atas beberapa ruang, yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri. Waktu berladang bagi masyarakat adat Wologai adalah jam 7 pagi sampai jam 5 sore, yang diikuti oleh anggota keluarga, baik istri maupun anak. Maro adalah sebutan pondok di ladang yang digunakan untuk memasak, beristirahat dan makan.
Minat berladang dan beternak adalah sisi kehidupan yang masih dilakoni oleh segelintir warga Wologai. Kopi, padi, kemiri, dan kakao adalah komoditi unggulan masyarakat Wologai. Sedangkan dalam hal beternak; babi, anjing, dan Keseharian masyarakat adat kerbau adalah hewan ternak Wologai lebih banyak berada di yang diminati masyarakat ladang. Oleh karena itu rumah Wologai. Hal ini juga ada adat Wologai atau lebih dikenal kaitannya dengan ritual adat, dengan sebutan Sa’O yang berada dimana hewan-hewan tersebut d i d a l a m p e r k a m p u n g a n adalah hewan kurban kepada d i g u n a k a n u n t u k a k t i v i t a s leluhur dan Sang Pencipta. istirahat dan berkumpul dengan keluarga di malam hari. 27
Lesung tradisional banyak dijumpai di perkampungan Wologai. Meskipun mereka mampu membeli beras tapi untuk mempertahankan tradisi lesung selalu digunakan untuk menumbuk beras.
“
K e t e g u h a n mempertahankan tradisi leluhur................................ 28
“
Kehidupan mereka sebagai masyarakat berkebun dan beternak membuat mereka begitu menyenangi pekerjaan tersebut, sehingga pada usia tua pun semangat berkebun dan beternak tetap terpelihara di diri mereka.....
Hal yang unik dalam tatanan masyarakat adat Wologai yakni biasanya di hari sabtu masyarakat adat Wologai mengadakan bakti sosial untuk membersihkan perkampungan adat. Dalam kegiatan bakti sosial akan diikuti oleh seluruh masyarakat Wologai, baik muda-mudi, orang tua dan juga anak-anak. Suka-Duka Menjadi Warga Adat Wologai Hidup rukun dan damai membuat masyarakat 29
betah tinggal di Wologai. Tanah peninggalan leluhur yang belum pernah disentuh kehidupan modern itu sangat menjanjikan kelestarian adat dan budaya Wologai, yang boleh dibilang merupakan museum adat dan budaya Ende. Menjadi masyarakat adat Wologai tidaklah mudah. Karena kesederhanaan yang terkandung dalam norma adat yang diwarnai dengan upacara adat merupakan tuntutan bersama secara turun-temurun. Semua dilakukan secara swadaya dan sukarela, bahkan tidak ada bantuan dari pihak manapun untuk menjalankan kebudayaan mereka. Ubi, padi dan emping adalah makanan pokok mereka yang diambil dari kebun. Tetapi bahan makanan tersebut belum bisa dimakan kecuali setelah melakukan upacara adat persembahan kepada leluhur.
Semakin banyak, semakin mereka girang. Bermain bersama selalu menjadi kegiatan sehari-hari anak-anak Wologai. Di bawah pohon beringin tua dan di depan rumah “Sa’O”, mereka biasa berkumpul, menghabiskan waktu untuk bermain selagi orang tua mereka bekerja dan berladang. (Foto oleh Ludger Sore)
30
Tawa, canda, dan kegirangan mewarnai kebersamaan anak-anak Wologai dalam permainan mereka. Pada umumnya mereka bermain dan bercanda dalam perkampungan adat Wologai, Ada yang telah bersekolah dan juga belum sekolah. (Foto-foto oleh Reginaldo Lake)
To’a Mboko Neka, Kuti Mboko Neka, Tau Ana Pasi, Rengga Leke, dan Mae Dhae. Sebuah permainan tradisional yang masih lestari.... Ludger Sore Dunia anak, seolah tidak ada habisnya untuk diingat. Termasuk pula bagi anak-anak di perkampungan adat Wologai.
hingga kini. Permainan tradisional yang dilakukan oleh anak-anak Wologai, juga tetap lestari seiring lestarinya budaya dan tradisi Beragam permainan tradisional, masyarakat adatnya. seperti halnya dalam ragam ritual adat yang masih mereka Anak-anak Wologai mengenal lestarikan, juga tetap dimainkan beberapa jenis permainan, 31
diantaranya to’a mboko neka, kuti mboko neka, tau ana pasi, rengga leke, dan mae dhae. Berbagai permainan anak tersebut biasanya dimainkan pada waktu senggang di sore hari oleh anak-anak di kampung adat Wologai pada -
halaman rumah biasa atau pada halaman rumah adat mereka. Berbagai permainan tradisional tersebut juga memiliki artian dan makna yang dalam bagi masyarakat adat di kampung adat tersebut. Misalnya permainan to’a mboko neka adalah sebuah permainan yang biasa dimainkan oleh tiga orang anak yang dalam kepercayaan masyarakat Wologai sebagai permainan berbagi rejeki. Sedangkan dalam permainan tau ana pasi yang dimainkan oleh beberapa orang juga mengandung makna yang sangat mendalam dan bagi yang bisa mengambil pasi maka dalam sebuah rumah tangga
kita harus pa’a (menyimpan) seorang anak untuk wa’u sa’O (keluar rumah). Media permainan tau ana pasi dibuat dari bahan bambu yang dipotong kecil-kecil menyerupai lidi dengan jumlah sebanyak 50-60 batang. Sementara itu, masih ada beberapa jenis permainan lain seperti kuti mboko neka, ndena moni, ana bhera, dan rengga leka. Ragam permainan tersebut juga memiliki arti tersendiri bagi anak-anak di perkampungan adat Wologai. Keseharian anak-anak generasi gunung Lepembusu ini menghabiskan waktu mereka di perkampungan
Bermain bersama anak-anak Wologai-Lepembusu. (Foto oleh Rizal Kamil)
32
Wologai. Pada umumnya mereka adalah anak yang telah bersekolah dan ada juga yang pergi berkebun bersama orang tua. Sepertinya tradisi dalam adat Wologai sudah diwariskan sejak usia dini. Hal ini terlihat dari beberapa permainan yang telah dijelaskan sebelumnya. Keceriaan dari wajah anakanak Wologai ini m e n g i s y a r a t k a n kesederhanaan budaya Lepembusu.
Keda simbol kebersamaan masyarakat adat Wologai, di sinilah mereka memohon berkah, dan memikirkan alam serta ketergantungan pada Yang Maha Tinggi. (Foto oleh Reginaldo
STRUKTUR ADAT WOLOGAI SISTEM SOSIAL BUDAYA SISTEM SOSIAL BUDAYA DAN DAN KEPEMIMPINAN KEPEMIMPINAN
Reginaldo Lake
Jejak langkah para Mosalaki, mengitari perkampungan adat Wologai. Mosalaki sebagai pemangku adat dan taradisi adat WologaiLepembusu. (Foto oleh Reginaldo Lake)
Tanah adat Wologai merupakan suatu kesatuan wilayah hukum adat yang berpusat pada Keda, Tubu Musu Kanga, sebagai inti tersakral dalam struktur adat Wologai. Menurut penuturan masyarakat, kesatuan struktur adat Wologai dilihat dari kehidupan sehariharinya dibagi dalam 3 (tiga) bagian besar, yakni Mosalaki, Ine ria fai ngg’ae dan Ana kalo fai walu.
Mosalaki Mosalaki berarti dewan penguasa (pemegang kekuasaan adat). Dewan ini adalah himpunan dari Atalaki tanah Wologai yang bertanggung jawab atas keutuhan serta kesejahteraan seluruh warga adat Wologai. Mosalaki dibagi dalam beberapa bagian sesuai tugas dan fungsinya. Pembagian ini terurai sebagai berikut : Ÿ Mosalaki Pu’u; Ÿ Mosalaki Ria Bewa; Ÿ Mosalaki Pu Maru; Ÿ Mosalaki Kago Kao; Ÿ Mosalaki Pati tali boka bela; Ÿ Mosalaki Paki te’do; Ÿ Mosalaki Sa’O le’pa;
Ÿ Mosalaki Soko Ria; Ÿ Mosalaki Ana lamba; Ÿ Mosalaki Koe Kolu; Ÿ Mosalaki Kaka langgo; Ÿ Mosalaki Boge geto.
Di kampung adat Wologai, terdapat 38 orang mosalaki, yang kesemuanya adalah kaum laki-laki. Setiap rumah adat (sa’O) mempunyai mosalakinya sendiri. Jadi, ke-38 mosalaki tersebut boleh dinamai sesuai dengan nama-nama sa’O. Secara umum, mosalaki dibagi dalam 2 bagian, yang didasarkan pada rumahrumah adat yang boleh menyelenggarakan upacara adat sendiri. Dua bagian tersebut, yaitu : 1. PAPA MOSALAKI Mosalaki-mosalaki yang termasuk kedalam kelompok ini adalah : Ÿ Mosalaki Sa’O Rini; Ÿ Mosalaki Sa’O Wolo Mena; Ÿ Mosalaki Sa’O Wolo Ghale; Ÿ Mosalaki Sa’O Nua Roa; Ÿ Mosalaki Sa’O Soko Ria; Ÿ Mosalaki Sa’O Nua Guta.
35
2. PAPA ATA RIA Mosalaki-mosalaki yang termasuk kedalam kelompok ini adalah : Ÿ Mosalaki Sa’O Panggo; Ÿ Mosalaki Sa’O Ana Lamba; Ÿ Mosalaki Sa’O Wara Lamba; Ÿ Mosalaki Sa’O Benga; Ÿ Mosalaki Sa’O Labo. Diantara ke-38 mosalaki tersebut, terdapat seorang mosalaki inti yang disebut sebagai mosalaki Pu’U. Setiap upacara adat selalu dimulai oleh mosalaki Pu’U. Selain mosalaki Pu’U, terdapat mosalaki Ria Bewa. Mosalaki Ria Bewa adalah juru bicara pihak mosalaki. Yang bisa jadi Lakimosa atau Mosalaki adalah dilihat dari garis keturunannya. Bisa dari garis keturunan mama (Matrilinear) dan bisa dari garis keturunan bapak (Patrilinear). Yang perlu digaris bawahi adalah setiap orang yang mau diangkat jadi Mosalaki, tahap awalnya adalah melalui musyawarah dalam keluarga ditentukan dengan ritual “bui feo so bhoku au” (membakar buah kemiri dan membakar bambu
aur muda antara ruasnya tiga potong didoakan dan dibakar dalam rumah adat. Penentuannya dari para calon yang diangkat, dengan cara melihat siapa yang buah kemiri bunyi ledakannya bagus tiga kali berturut-turut, dan melihat pecahan bambu aur muda yang sejalur antara ruas ke ruas dari tiga potong bambu aur muda tadi. Bila pecahnya tidak bagus maka orang tersebut tidak bisa dinobatkan menjadi Mosalaki atau Lakimosa.
EKSISTENSI PEMANGKU ADAT LIO-WOLOGAI Veni Rahma Lapisan bangsawan masyarakat Lio pada umumnya disebut Mosalaki, Boge, Hage, dan Ria Bewa. Struktur kebangsawan masyarakat Lio dalam beberapa pandangan kadang-kadang sering ditempatkan pada posisi yang keliru, sehingga menggelitik rasa ingin tahu saya terhadap beberapa pandangan tersebut. Inti rasa ingin tahu saya tentu mengerucut pada; Siapakah Mosalaki, Boge, Hage, dan siapakan Ria Bewa?. Oleh karena itu, saya ingin mengungkapkan fakta yang benar supaya tidak terjadi anggapan yang keliru dikemudian hari. Menurut sistem adat Lio, pemangku adat Lio terdiri atas beberapa klasifikasi gelar kebangsawan, yaitu : 1. Mosalaki; 3. Hage; 2. Boge; 4. Ria Bewa.
Ine ria fai ngga’e Disebut sebagai nyonya besar. Bertugas melaksanakan seremonial dalam rumah adat, seperti “rase pare”, s’re are tana nasu uta watu, dan lainnya. Ine ria fai ngga’e adalah tunggal. Sedangkan di beberapa rumah adat lainnya hanya disebut dengan “ata ine” (mama). Proses menjadi ata ine, sama dengan proses penobatan mosalaki.
Ana kalo fai walu (Masyarakat) adalah anak dari ine ria fai ngga’e, ata ine dan para mosalaki.
36
Dari semua sesepuh adat ini tentu mempunyai tugas dan wewenang masing-masing berdasarkan perjalanan sejarahnya yang menentukan gelar-gelar tersebut sehingga gelar tersebut kerap menjadi julukan untuk menunjukkan identitas para pemangku adat Lio. 1. MOSALAKI Kata ini bermula dari bahasa Lio dan terdiri atas kata Mosa dan Laki. Kata Mosa adalah satu bentuk kata tunggal yang artinya Jantan Besar, menurut hemat saya kata ini digolongkan kata tunggal karena Mosa tidak mengandung makna lain selain jantan besar, sedangkan Laki adalah bentuk kata jamak mempunyai arti luas, yaitu : Ÿ Hak/memiliki dalam arti mempunyai kekuasaan yang besar, dan; Ÿ Hak/memiliki dalam arti penentuan pilihan pasangan hidup, sehingga orang Lio berpandangan melalui jumlah ubunubun dikepala laki-laki. Namun demikian, hal ini tidak dapat ditampik mana kala munculnya fenomena pada sosok seorang mosalaki yang mempunyai istri banyak. Menyingkap kata ‘Mosalaki’, secara historis antara Ngada dan Lio serta Palu’e mempunyai tata cara tradisi dan pranata yang hampir sama meskipun ada perbedaan-perbedaan yang jauh lebih mendasar. Hal ini tentu karena dipicu oleh perjalanan sejarah itu sendiri yang mana orang Ende Lio meyakini seluruh suku didaratan Flores mempunyai leluhur yang sama. Justru yang membuat adanya sedikit perbedaan adalah faktor pengaruh budaya yang datang dari luar. Contohnya orang Ende Lio menyebut kepala suku sebagai Mosalaki, tetapi orang 37
Bajawa/Ngada menyebutnya Mosadaki atau Mosaraki sedangkan orang dari pulai Palu’e menyebutnya terbalik, yaitu; Lakimosa. Sama halnya dengan suku Ngada dan Palu’e tadi, dalam sistem adat suku Ende Lio dan Wologai, legitimasi seorang Mosalaki berada dalam posisi puncak tertinggi dan mempunyai kekuasaan yang mutlak atas tanah dan wilayah kedaulatan (teritorial). Sehingga muncul istilah dalam bahasa Lio yaitu; ‘Mosa’ eo Ka Fara No’o Tana, ‘Laki’ Eo Pesa Bela No’o Watu’, yang kalau diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berarti Mosalaki dapat menyatuhkan diri, duduk dan besantap bersama Tanah dan Batu. Pengertian (Tana, Watu) Tanah dan Batu disini dalam perspektif orang Lio adalah sebagai simbol penguasa bumi yaitu ‘Nggae Ghale Wena Tana’ selain Babo Mamo (nenek moyang) wujud roh para leluhur orang Lio sendiri. 2. (BOGE). BOGE RIA, BOGE BEWA. Dalam bahasa Indonesia artinya gumpalan daging yang besar dan panjang. Deretan sejarah suku Lio mencatat bahwa gelar kebangsawan Boge Ria, Boge Bewa adalah sebagai bentuk penghargaan sangat tinggi kepada seorang Tokoh pejuang yang dianggap paling berjasa dan berjiwa patriotis kepada persekutuannya pada saat berperang untuk merebut wilayah dari pihak luar. Gelar ini memang pantas disandang bagi orang yang terlibat langsung dan memenangkan atau bah -
kan yang gugur dalam medan perang. Sosok orang ini telah menjadi ujung tombak dan memainkan instrumen penting selaras dengan strategi dan kekuatan terdasyat yang digunakan untuk memenangkan peperangan. Tentu hal ini juga dimaksudkan agar dapat menjadi momok yang menakutkan kepada pihak lawan. Sehingga, sebagai tanda jasah, mereka dianugerahi bagian tanah dari hasil kemenangan. Selain itu, sebagai bentuk pembuktian atas jasah-jasahnya, pada setiap perhelatan-perhelatan akbar ritus adat Lio, misalnya; upacara-upacara pengukuhan pemangku adat Lio, mereka berhak mendapatkan potongan daging babi atau kerbau yang sangat besar dan panjang sebagai pengakuan eksistensi mutlak kehadiran sosok patriotis ini. 3. (HAGE). HAGE RIA, HAGE LO’O. Dalam terjemahan harafiah bahasa Indonesia adalah besar seadanya dan kecil seadanya. Selain Boge ria, Boge bewa, suku Lio juga mencatat gelar kebangsawan Hage ria, Hage Lo’o. Tentu gelar ini juga disandang oleh seorang yang dianggap berjasah kepada persekutuannya meskipun tidak sebesar jasah Boge ria, Boge bewa tadi. Walaupun demikian, kehadiran sosok-sosok ini tentu tidak bisa disepelehkan sehingga untuk menghargai jasah-jasahnya, mereka dianugerahi sedikit bagian tanah dari hasil peperangan. Selain itu sama seperti Boge ria, Boge bewa tadi, mereka juga berhak atas potongan daging babi atau kerbau meskipun kecil dan seadanya dalam setiap perhelatan ritual pengukuhan adat Lio. Ini adalah sebagai bentuk pengakuan eksistensi
kehadiran sosok para pejuang tersebut. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika terkadang dalam perhelatan ritual adat, kerap muncul reaksi ekstrim yang luar biasa manakala terjadi kekeliruan dalam pembagian jatah daging. Menurut pandangan saya, ini bukan hanya sekadar onggokan daging melainkan sebagai simbol pengakuan eksistensi dari Tokoh-Tokoh ini atas jasah-jasahnya. 4. RIA BEWA Secara harafia kalimat Ria Bewa dapat diartikan besar dan panjang sehinggga kalimat ini menjadi rumusan kekuasaan yang besar dan panjang. Akan tetapi kalimat ini terkadang mengecohkan beberapa pandangan yang menjadi keliru sehingga muncul kalimat ‘Mosalaki Ria Bewa’. Sebenarnya kalimat Ria Bewa itu berdiri sendiri tidak dapat disandingkan dengan kata mosalaki. Hal ini tentu didasari oleh peran Ria Bewa itu sendiri yakni sebagai panglima tinggi dan sebagai juru bicara pemersatu setiap mosalaki suku Lio sehingga kekuasaan dan perannya sangat luas. Meski demikian, Ria Bewa tidak menguasai batas-batas di setiap tanah ulayat pada setiap kekuasaan mosalaki. Ini berarti kekuasaan Ria Bewa hanya bersifat administratif kewilayahan sehingga muncul istilah dalam bahasa Lio yaitu; ‘Ria Tana Iwa, Bewa Watu La’e’. Yang berarti Ria Bewa tidak berkuasa atas tanah di seluruh wilayah teritorial mosalaki. Selain itu Ria Bewa juga dapat disebut dengan istilah : “Ria to talu rapa 38
sambu no’o ata mangu lau, Bewa to tewa raga rega no’o ata laja ghawa”, yang artinya Ria Bewa berperan sebagai penyambung lidah para mosalaki di sekitar tanah persekutuan Lio (Lise) dengan orang luar yang menegaskan bahwa Ria Bewa sebagai juru bicara tadi. Fakta-fakta ini adalah implikasi dari peranan Ria Bewa itu sendiri. Meski demikian, peran Ria Bewa juga tentu sangat strategis dalam membangun pilarpilar persatuan antar para sesepuh adat Lio secara menyeluruh. Catatan : Dari semua info yang dipaparkan disini, saya sengaja menyampaikan hanya ringkasan secara umum. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga etika dalam penyampaian informasi agar tidak terjadi perbedaan presepsi.
Teras rumah tradisional Wologai “Sa’O” digunakan sebagai tempat duduk tamu atau para Mosalaki pada waktu bersantai bersama keluarga. (Foto oleh Ludger Sore)
Bapak Aloyisius Leta selaku Mosalaki Sa’O Soko Ria, lengkap dengan pakaian adat, lesu dan luka menjadi aksesoris utama bagi mosalaki. (Foto oleh Reginaldo Lake)
Ria Bewa suku Wologai Nua Pu’U. (Foto oleh Reginaldo Lake)
Bapak Pius selaku Mosalaki Pu’U. (Foto oleh Reginaldo Lake)
40
Atas : Babo Yohanis Lengo, selaku mosalaki ana lamba Bawah : Cara mosalaki Wologai membuat ikat kepalanya khas “lesu”, walau kain yang dipakai memang umumnya bermotif batik yang bukan merupakan hasil tenun asli Wologai. ‘Lesu” ini melambangkan keperkasaan, kewibawaan dan juga keberanian seorang mosalaki. Diperagakan oleh Babo Yohanis Lengo. (Foto oleh Reginlado Lake)
41
HUKUM ADAT LIO “DI KAMPUNG ADAT WOLOGAI-LEPEMBUSU” Ludger Sore
Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya. Hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia yang tersebar menurut ulayat adat istiadatnya di Nusatara ini. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang serta dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Selain itu dikenal pula masyarakat hukum adat yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan. Definisi Hukum Adat Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven, menjelaskan hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (hukum) dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasi (adat). Tingkah laku positif memiliki makna hukum yang dinyatakan berlaku disini dan sekarang. Sedangkan sanksi yang dimaksud adalah reaksi (konsekuensi) dari pihak lain atas suatu pelanggaran terhadap norma (hukum). Sedangkan kodifikasi dapat berarti himpunan berbagai peraturan menjadi undang-undang; atau hal penyusunan kitab perundang-undangan; atau penggolongan hukum dan undang-undang berdasarkan asas-asas tertentu dalam buku undang-undang yang baku. 42
Prof. Djojodigoeno menjelaskan kondifikasi adalah pembukuan secara sistematis suatu daerah atau lapangan bidang hukum tertentu sebagai kesatuan secara bulat (semua bagian diatur), lengkap (diatur segala unsurnya) dan tuntas (diatur semua soal yang mungkin terjadi).
Ter Haar membuat dua perumusan yang menunjukkan perubahan pendapatnya tentang apa yang dinamakan hukum adat. Hukum adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan warga masyarakat hukum adat, terutama keputusan yang berwibawa dari kepala-kepala rakyat (kepala adat) yang membantu pelaksanaanpelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum, atau dalam hal pertentangan kepentingan keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusankeputusan tersebut karena kesewenangan atau kurang pengertian tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, melainkan senafas dan seirama dengan kesadaran tersebut, diterima, diakui atau setidaktidaknya ditoleransi. Hukum adat yang berlaku tersebut hanya dapat diketahui dan dilihat dalam bentuk keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (kekuasaan tidak terbatas pada dua kekuasaan saja, eksekutif dan yudikatif) tersebut. Keputusan tersebut tidak hanya keputusan mengenai suatu sengketa yang resmi tetapi juga diluar itu didasarkan pada musyawarah (kerukunan).
43
Keputusan ini diambil berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai dengan alam rohani dan hidup kemasyarakatan anggota-anggota persekutuan tersebut. Syekh Jalaluddin menjelaskan bahwa hukum adat pertama-tama merupakan perambungan tali antara dulu dengan kemudian, pada pihak adanya atau tiadanya yang dilihat dari hal yang dilakukan berulang-ulang. Hukum adat tidak terletak pada peristiwa tersebut melainkan pada apa yang tidak tertulis dibelakang faktafakta yang menuntut bertautnya suatu peristiwa dengan peristiwa lain. Lingkungan Hukum Adat Lingkungan hukum adat di wilayah Lio tersebut di beberapa kecamatan ; Detusoko (Wologai), Wolowaru, Ndori, Lio Timur, Wolojita, Roga, Wewaria, Maurole, Kota Baru, Detukeli, sebagian Ndona dan sebagian Maukaro. Ini didasarkan pada garis keturunan Lio yang pada umumnya adalah keturunan dari Lepembusu.
Penegak Hukum Adat Penegak hukum adat adalah pemuka adat. Dalam bahasa lokal Lio pemangku adat lebih dikenal istilah “Mosalaki” (pemangku adat lakilaki) dan “Ine Ria Fai Ngga’e” (pemangku adat perempuan) yang sekarang lebih populer dengan sebutan “ata ine”. Tidak semua mosalaki adalah pengambil keputusan tentang hukum. Mosalaki yang mempunyai peranan untuk menegakkan
hukum adalah “mosalaki ria bewa”. Istilah istilah untuk penegak hukum ini “ria sai ndeto peto au bo, keso besi rero mbelo’ sebagai penentu yang benar dan yang salah, benar melanggar atau tidak melanggar, atau dalam tatanan hukum nasional menyerupai dengan hakim. Aneka Hukum Adat Aneka hukum adat yang akan dijatuhkan sanksi oleh mosalaki ria bewa adalah “sali ria leko bewa” (kesalahan besar), berupa ; Ÿ Pela pani (selingkuh); Ÿ Naka (curi); Ÿ Pe ata polo (menuduh orang suanggi); Ÿ Mbou ramba (rampas hak); Ÿ Rore/wela (membunuh); Ÿ Noka oa (caci maki); Ÿ Jengi nula (membakar); Ÿ Langga lelo (melanggar); Ÿ Kela rewo (menuduh). Aneka hukuman yang bisa dijatuhkan oleh kepada yang dinyatakan salah : Ÿ Wale (ganti); Ÿ Poi (denda); Ÿ Pesa ka (makan-minum); Ÿ Mi mina (perdamaian); Ÿ Rago kola (usir); Ÿ Teo tipu (memberi tanda); Ÿ Gelu toko (ganti tulang); Ÿ Dhoa kota langga kasa (melewati batas hak adat), ini khusus untuk yang pelanggaran ringan tapi langsung ke aparat penegak hukum formal, dan aparat penegak hukum formal mengembalikan kasus tersebut ke penyelesaian lokal maka sebagai pelapor 44
akan dikenakan jenis hukum adat ini. Ÿ Eko we’o (binatang); Ÿ Wea ngawu (emas lokal); Ÿ Uma rema (kebun); Ÿ Lawo-lambu (pakaian). Orang Lio-Wologai juga mempunyai semacam advokat. Dimana untuk membicarakan penyelesaian pelanggaran diserahkan kepada orang yang dipercayakan.
45