Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015 GAYA KEPEMIMPINAN BLUSUKAN DAN JURNALISME SASTRAWI DALAM KAKAWIN DESAWARNANA KARYA MPU PRAPANCA I Putu Sugih Arta Email :
[email protected] Dosen Dharma Sastra STAHN Gde Pudja Mataram Diterima : 20 Januari 2015
Direvisi : 10 Maret 2015
Disetujui : 22 Maret 2015
Absatrak Gaya kepemimpinan yang dikenal masyarakat modern dewasa ini terdiri dari gaya kepemimpinan otoriter, demokratis dan laissez faire sangat sering dijumpai dalam mengelola keputusan. Namun, gaya kepemimpinan masyarakat tradisional yang berorientasi karismatik sangat jarang dijumpai. Hanya beberapa orang saja yang menggunakannya. Gaya kepemimpinan kharismatik sangat dekat dengan jurnalistik sehingga menjadi bahan pergunjingan di ranah masyarakat tradisi. Kebiasaan-kebiasaan demikian, dilakukan oleh masyarakat tradisisional Jawa, Bali dan Lombok. Untuk mengetahui jejak kepemimpinan tradisional karismatik “blusukan” maka diperlukan penelitian terhadap naskah-naskah lama dalam hal ini naskah Desamawarna karya Mpu Prapanca. Dengan menggunakan metode edisi naskah tunggal yaitu metode yang dilakukan apabila hanya ada naskah tunggal dan tidak mungkin dilakukan perbandingan (Suryani, 2012 : 77) terutama menggunakan metode kritis maka diperoleh adanya hubungan gaya kepemimpinan dengan jurnalisme berkategori sastra dalam Kakawin Desamawarna karya Mpu Prapanca. Hal ini untuk menguatkan posisi kepemimpinan penguasa dengan mengangkat hal-hal ketauladanan pemimpin.Sedangkan jurnalistik sastrawi merupakan informasi yang ditulis wartawan menggunakan teknik dan gaya yang lazim dipakai dalam membuat karya sastra. Kata Kunci: Gaya Kepemimpinan, Jurnalisme Sastrawi, Kekawin Desawarnana PENDAHULUAN Era modern dewasa ini ditandai dengan pekerjaan yang sangat padat, kadangkala seorang pemimpin tak akan sempat mengagendakan waktu untuk melakukan pekerjaan lain selain rutinitas yang bersifat klerikal. Padahal dari segi dampak yang diinginkan hasilnya tak selalu memuaskan. Ada baiknya kita menengok bagaimana pemimpin masa lalu yang selalu memuaskan semua pihak. alam lontar Desawarnana Karya Mpu Prapanca dalam beberapa pupuh yang dicipta oleh pengarang, selain memberikan informasi yang lengkap kejadian-demi kejadian pada masa itu. Terdapat ajaran-ajaran kepemimpinan yang khas bagi seorang penguasa. Bagaimana seorang pemimpin menumbuhkan rasa kasih sayang, menghargai masyarakat yang dipimpinnya serta mau turun blusukan ke tengah rakyat pada wilayah-wilayah kekuasaannya.
I Putu Sugih Arta : Gaya Kepemimpinan Blusukan dan Jurnalisme Sastrawi dalam Kakawin Desawarnana Karya Mpu Prapanca 833-842
833
Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015 Catatan-catatan dalam bentuk kakawin (susastra) tidak selamanya hasil karya seni yang digunakan bahan dalam dharma gita, jika bijak memahami ternyata kakawin yang dibuat para pengawi masa lalu adalah hasil karya jurnalistik sastra. Jurnalisme sastrawi adalah aliran penulisan yang menggunakan teknik dan gaya penulisan yang biasa digunakan dalam karya sastra, misalnya seperti cerita pendek dan novel serta untuk menjaga sublimnya sebuah karya jurnalistik seorang reporter akan memakai ranah puisi untuk mengungkapkan informasi yang terjadi pada saat peristiwa terjadi. Karya-karya puisi yang sarat dengan informasi dapat dirujuk pada beberapa karya Gunawan Moehamad. Tokoh sastrawan nusantara tersebut selain intens pada dunia sastra pun adalah wartawan senior yang karyanya tergelitik pada peristiwaperistiwa penting penada zaman. Peristiwa-peristiwa penting yang ditulis oleh Goenawan Muhamad, seorang intelektual, wartawan senior pemimpin redaksi Majalah Tempo yang punya wawasan sangat luas, mulai dari dunia olah-raga sepak bola, panggung politik, analisis ekonomi dan bisnis, pentas seni dan budaya, dunia perfilman, dan musik. Karya Goenawan Muhamad yang meruang (multidiemansional) sangat liberal dan terbuka sehingga enak untuk dibaca, terlepas apakah pembaca memahami makna yang terkandung. Puisi-puisi bebas Goenawan Muhamad jika dinikmati, dirasakan adanya kekuatan bebas yang datang dengan luar diri. Seperti untaian kalimat : Yang menghibur dari mati/ adalah sejuk batu-batu /patahan-patahan kayu/ pada arus itu. Sungai mati penuh dengan pencemaran sampah-sampah mati dari plastik tak bisa diurai, tidak seperti
sampah-sampah dedaunan dari pepohonan yang mudah
diuraikan bahkan dapat menyuburkan tanah (kompos). Isu pencemaran lingkungan dewasa ini memang sorotan publik, betapa liberal dan mengalir kata-kata yang dipasung oleh penyair. Puisi juga bagian dari jurnalistik. Dengan jiwa barat, namun mengaca ke timur. Kearifan yang dimiliki komunitas masyarakat timur ditangkap oleh sosok Goenawan Muhamad yang terbiasa menulis dalam rerangka jurnalistik yang ketat menjadi lumer manakala harus menurunkannya pada pilihan diksi yang berasal dari kata hati. Masih banyak yang tak memahami, hubungan antara jurnalistik dan karya sastra karena suatu jalan bercabang yang menuju pada satu tujuan. Di mana jalannya itu serupa aspal halus dan kasar berwujud media
I Putu Sugih Arta : Gaya Kepemimpinan Blusukan dan Jurnalisme Sastrawi dalam Kakawin Desawarnana Karya Mpu Prapanca 833-842
834
Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015 tertulis dengan rangkaian hurup ( simbol
penuh makna dan sarat akan kekuatan
moralitas). Sedangkan dunia sastra barat, ditandai dengan hal yang sama di era 1954 di Amerika Serikat. Ernest Hemingway tokoh sastra peraih nobel perdamaian dunia menghiasi karya-karya sastra cerita pendeknya yang bersumber dari reportase-reportase jurnalistiknya dengan daya tarik tersendiri. Di mana sebuah karya novel yang berjudul The Old Man On The Sea bagi para wartawan muda setelahnya dijadikan buku pegangan bagaimana menulis berita dengan gaya sastra. Sebut saja, ceita pendek terkenal Artis Terkenal yang Tak Dikenal Di Negeri Sendiri, adalah reportase Hemingway tentang Paris yang mengutuk kota terindah di dunia itu karena menyajikan kebohongan dan kepalsuan. Reportase Hemingway yang bergaya cerita pendek memainkan imajinas seseorang sehingga enak dibaca. Kisah nyata yang dibangun hemingway adalah bentuk jurnalisme sastrawi yang tumbuh di wiyah barat kemudian mendominasi timur (hegemoni). Sedangkan di wilayah timur yang justru kaya akan kualiats sastra ternyata terkalahkan dewasa ini. Jurnalisme sastrawi yang dituliskan dalam lontar-lontar di Bali dan Lombok, lak-lak di Batak menjadi tak familiar padahal nilai yang terkandung sangat fundamental sekali sebagai bentuk kearifan lokal. Bagan yang dapat digambarkan tentang jurnalisme sastrawi adalah sebagai berikut :
Jurnalisme Sastra Barat : Cerpen dan Novel Jurnalistik Sastrawi Jurnalisme Sastra Timur : Puisi, Pantun, Prosa Lisris dan Seloka Dari bagan di atas dapat dinyatakan bahwa jurnalistik sastrawi dipengaruhi oleh kiblat filsafat barat dan filsafat timur dengan ciri khas berupa cerita pendek dan novel untuk jurnalistik sastra barat. Sedangkan jurnalistik sastra timur lebih dipengaruhi sastra timur yang menggunakan gaya penulisan puisi, pantun, prosa liris dan sloka. I Putu Sugih Arta : Gaya Kepemimpinan Blusukan dan Jurnalisme Sastrawi dalam Kakawin Desawarnana Karya Mpu Prapanca 833-842
835
Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015 METODE Metode Penelitian ini menggunakan metode penelitian filologi yakni metode edisi naskah tunggal yaitu metode yang dilakukan apabila hanya ada naskah tunggal dan tidak mungkin dilakukan perbandingan (Suryani, 2012 : 77) terutama menggunakan metode kritis yaitu menerbitkan naskah dengan membetulkan kesalahan-kesalahan kecil dan ketidak-ajegan , sedangkan ejaannya disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku.( Suryani, 2012 : 78 ). HASIL DAN PEMBAHASAN Lontar Desawanana Negara Kertagama Karya Mpu Prapanca terdapat 98 pupuh yang intinya berisikan Kepemimpinan Raja Majapahit yang penuh dengan kasih-sayang sehingga dicintai rakyatnya seperti yang tertulis pada pupuh 92 : [Pupuh 92] 1. Manka tinkahiran/ pamukti sukha riɳ pura tumkani sestiniɳ manah, tatahhan lara dahat/ ndatan malupa riɳ kaparahitan i haywaniɳ praja, anwam/ tapwana kabwatan sira tathapi sugata sakalan/ maharddika, deniɳ jñana wiçesa çudda pamademnira ri kuhakaniɳ duratmaka. 2. Ndatan mahuwusan kawiryyanira len/ wibhawanira dudug/ rin ambara, singih çri girinathamurtti makhajanma ri siran agawe jagaddita, byakta manguh upadrawawihan i sajñanira manasar iɳ samahita, moktan kleça keta katona nuniweh wuwusana tika saɳ sada mark. 3. Nahan hetuni kottaman/ nrpat kaprakaçitaɳ pinujiɳ jagattraya, sakwehniɳ jana madyamottama kanista pada mujaraken/ çwarastuti, anhiɳ sotnika mogha langen atuwuh wukira sira panöbaniɳ sarat, astwanirwa lawas/ bhatara rawicandrama sumelh i bhumimandala. Artinya : 1. Begitulah suka mulia baginda raja di pura, tercapai segala cita. Terang baginda sangat memperhatikan kesejahteraan rakyat dan negara. Meskipun masih muda dengan suka rela berlaku bagai titisan Budha. Dengan laku utama beliau memadamkan api kejahatan durjana. 2. Terus membumbung ke angkasa kemasyhuran dan keperwiraan Sri Baginda. Sungguh beliau titisan Bhatara Girinata untuk menjaga buana. Hilang dosanya orang yang dipandang dan musnah letanya abdi yang disapa. 3. Inilah sebabnya keluhuran beliau masyhur terpuji di tiga jagat. Semua orang tinggi, sedang dan rendah menuturkan kata-kata pujian. Serta berdoa agar Baginda tetap subur bagai gunung tempat berlindung. Berusia panjang sebagai bulan dan matahari cemerlang menerangi bumi. Kemasyuran Maharaja Hayam Wuruk yang muda belia, disebabkan karena hobinya melakukan perjalanan mengunjungi rakyat dan berbaur dengan wong cilik. I Putu Sugih Arta : Gaya Kepemimpinan Blusukan dan Jurnalisme Sastrawi dalam Kakawin Desawarnana Karya Mpu Prapanca 833-842
836
Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015 Semua kegiatan beliau teragenda dengan rapi.
Seperti apa yang diungkap oleh
Prapanca dalam pupuh 17 : Sloka 1-11 : [Pupuh 17] 1. Sampun / rabda pagehnyadeg / nrpati riɳ yawadarani jayeɳ digantara, nkane çriphalatiktanagara siran / siniwi mulahaken / jagaddita, kirnnaikaɳ yaça kirtti darmma ginaweniran anukhani buddiniɳ para, mantri wipra bhujanga saɳ sama wineh wibhawa tumut akirtti riɳ jagat. 2. Göɳ niɳ wiryya wibhuti kagraha tkap / nrpati tuhutuhuttama prabhu, lila nora kasançayaniran anamtami sukha sakaharsaniɳ manah, kanya siɳ rahajöɳ ri jangala lawan / ri khadiri pinilih sasambhawa, astam taɳ kahañaɳ sakeɳ parapura sin arja winawe dalm puri. 3. Salwaniɳ yawabhumi tulya nagari sasikhi ri panadeg / naradipa, mewwiwwaɳ janadeça tulya kuwuniɳ bala manider i khantaniɳ puri, saɳ lwir niɳ paranusa tulya nika thaniwisaya pinahasukainaris, lwir udyana tikaɳ wanadri sahananya jinajar hira tan panançaya. 4. Baryyan / masa ri sampuniɳ çiçirikala sira mahasahas macaɳkrama, wwanten thany a- (99b) naran / ri sima kidul jalagiri manawetan iɳ pura, ramyapan / papunnagyaniɳ jagat i kalaniɳ sawun ika mogha tan pgat, mwaɳ wewe pikatan / ri candi lima lot paraparanira tusta lalana. 5. Yan tan manka mareɳ phalah mark i jöɳ hyan acalapati bhakti sadara, pantes / yan panulus dateɳ ri balitar mwan i jimur i çilahrit alnöɳ, mukyaɳ polaman iɳ dahe kuwu ri lingamarabanun ika lanenusi, yan / riɳ jangala lot sabha nrpati riɳ surabhaya manulus mare buwun. 6. Rin çakaksatisuryya saɳ prabhu mahas / ri pajan inirin iɳ sanagara, riɳ çakanganagaryyama sira mare lasem ahawan i tiraniɳ pasir, ri dwaradripanendu palnenireɳ jaladi kidul atut wanalaris, nkaneɳ lodaya len tetör i sideman / jinajahira lanönya yenituɳ. 7. Ndan / riɳ çaka çaçanka naga rawi bhadrapadamasa ri tambwaniɳ wulan, saɳ çri rajasanagaran mahasahas / ri lamajan anituɳ sakhendriyan, sakweh çri yawaraja sapriya muwah tumut i haji sabhrtyawahana, mantri tanda sawilwatikta nuniweh wiku haji kawirajya maɳdulur. 8. Nkan tekiɳ maparab / prapanca tumut aɳ- (100a) lnen anirin i jöɳ nareçwara, tan len / san kawi putra san kawi samenaka dinulur ananmateɳ manö, darmmadyaksa khasogatan / sira tkap / narapati sumilih ri saɳ yayah, sakweh saɳ wiku bodda maɳjuru pacdanatuturakhen ulahnireɳ danu. 9. Ndan tinkah rakhawin mark / ri haji dug / raray atutur açewa tan salah, pinrihnye hati rakwa milwa sapara narapatin amalar kasanmata, nhiɳ tapwan / wruh apet lanö pisaninun / tetesa maminta gita riɳ karas, na hetunya kamarnna deça sakamargga naranika riniñci tut hawan. 10. Tambeniɳ kahawan / winarnna ri japan / kuti kuti hana candi sak rbah, wetan taɳ tebu pandawan ri daluwaɳ babala muwah hi kanci tan madoh, len tekaɳ kuti ratnapankaja muwah kuti haji kuti pankajadulur, panjrak mandala len / ri pongin i jinan / kuwu hanar i samipanin hawan. 11. Prapteɳ darmma riɳ pañcaçara tumuluya / daatn i kapulunan siramgil, ndan lampah rakawin / lumaryyamgil iɳ waru ri herin i tira tan madoh, angangehnya
I Putu Sugih Arta : Gaya Kepemimpinan Blusukan dan Jurnalisme Sastrawi dalam Kakawin Desawarnana Karya Mpu Prapanca 833-842
837
Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015 tkap / bhatara kuti riɳ suraya pageh mara cinarccaken, nhiɳ rakwan kaslaɳ (100b) turuɳ mulih amogha matutur atisambhrameɳ manö. Artinya :
[Pupuh 17] 1. Telah tegak teguh kuasa Sri Nata di Jawa dan wilayah Nusantara. Di Sripalatikta tempat beliau bersemayam, menggerakkan roda dunia. Tersebar luas nama beliau, semua penduduk puas, girang dan lega. Wipra, pujangga dan semua penguasa ikut menumpang menjadi masyhur 2. Sungguh besar kuasa dan jasa beliau, raja agung dan raja utama. Lepas dari segala duka, mengenyam hidup penuh segala kenikmatan. Terpilih semua gadis manis di seluruh wilayah Janggala Kediri. Berkumpul di istana bersama yang terampas dari Negara tetangga. 3. Segenap tanah Jawa bagaikan satu kota di bawah kuasa Baginda. Ribuan orang berkunjung laksana bilangan tentara yang mengepung pura. Semua pulau laksana daerah pedusunan tempat menimbun bahan makanan. Gunung dan rimba hutan penaka taman hiburan terlintas tak berbahaya 4. Tiap bulan sehabis musim hujan beliau biasa pesiar keliling Desa Sima di sebelah selatan Jalagiri, di sebelah timur pura. Ramai tak ada hentinya selama pertemuan dan upacara prasetyan. Rutin mengunjungi Wewe Pikatan setempat dengan candi lima 5. Atau pergilah beliau bersembah bakti kehadapan Hyang Acalapati. Biasanya terus menuju Blitar, Jinur, mengunjungi gunung-gunung permai. Di Daha terutama ke Polaman, ke Kuwu, dan Lingga hingga Desa Bangin. Jika sampai di Jenggala, singgah di Surabaya, terus menuju Buwun. 6. Tahun Aksatisura (1275), Sang Prabu menuju Pajang membawa banyak pengiring. Tahun Saka angga-naga-aryama (1276), ke Lasem, melintasi pantai samudra. Tahun Saka pintu-gunung-mendengar-indu (1279), ke laut selatan menembus hutan. Lega menikmati pemandangan alam indah Lodaya, Tetu, dan Sideman. 7. Tahun Saka seekor-naga-menelan bulan (1281), di Badrapada bulan tambah Sri Nata pesiar keliling seluruh Negara menuju Kota Lumajang naik kereta diiringi semua raja Jawa serta permaisuri dan abdi, menteri, tanda, pendeta, pujangga, semua para pembesar ikut serta. 8. Juga yang menyamar Prapanca girang turut serta mengiring paduka Maharaja. Tak tersangkal girang sang kawi, putera pujangga, juga pencinta kakawin. Dipilih Sri Baginda sebagai pembesar kebudhaan mengganti sang ayah. Semua pendeta Budha umerak membicarakan tingkah lakunya dulu. 9. Tingkah sang kawi waktu muda menghadap raja, berkata berdampingan, tak lain. Maksudnya mengambil hati, agar disuruh ikut beliau ke mana juga. Namun, belum mampu menikmati alam, membinanya, mengolah, dan menggubah karya kakawin; begitu warna desa sepanjang marga terkarang berturut. 10. Mula-mula melalui Japan dengan asrama dan candi-candi ruk rebah. Sebelah timur Tebu, hutan Pandawa, Duluwang, Bebala di dekat Kanci, Ratnapangkaja serta Kuti Haji Pangkala memanjang bersambung-sambungan. Mandala Panjrak, Pongging serta Jingan, Kuwu Hanyar letaknya di tepi jalan. I Putu Sugih Arta : Gaya Kepemimpinan Blusukan dan Jurnalisme Sastrawi dalam Kakawin Desawarnana Karya Mpu Prapanca 833-842
838
Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015 11. Habis berkunjung pada candi makam Pancasara, menginap di Kapulungan. Selanjutnya, sang kawi bermalam di Waru, di Hering, tidak jauh dari pantai. Yang mengikuti ketetapan hukum jadi milik kepala asrama Saraya. Tetapi masih tetap di tangan lain, rindu termenung-menunggu. Gaya kepemimpinan “blusukan” berbaur dengan rakyat, rajin mengunjungi tempat suci adalah pilihan Raja Majapahit tatkala itu, sehingga selalu dekat dengan rakyatnya. Hal ini diperkuat pada pupuh 19.. [Pupuh 19] 1. Eñjiɳ ryyankatiraɳ narendra datn anhinep i bhayalanö tigaɳ kulm, sah sankerika taɳ kedu dawa rame janapada kahalintanan huwus, riɳ lampes / ri times muwah kuti ri pogara kahnu lbuh nika gnet, mwaɳ riɳ mandala hambulu traya tke dadap adulur ikaɳ rawalaris. 2. Wwanten / darmma kasogatan / prakaçite madakaripura kastaweɳ lanö, simanugraha bhupati san apatih gajamada racalnanyan uttama, yekanuɳ dinunuɳ nareçwara pasangrahanira pinened rinupaka, andondok mahawan / rikaɳ trasunay andyus i capahan atirthaçewana. Pupuh 19 1. Pagi-pagi sekali berangkat lagi menuju Baya, istirahat tiga hari tiga malam. Dari Baya melalui Katang, Kedung Dawa, Rame, Menuju Lampes, Times. Serta berkunjung ke griya pendeta di Pogara mengikuti jalan pasir yang lembut. Menuju daerah Beringin Tiga di Dadap, kereta masih terus lari. 2. Tersebutlah dukuh Kasogatan Madakaripura dengan pemandangan indah. Tanahnya anugerah Sri Baginda kepada Gadjah Mada, teratur indah. Disitulah Baginda menempati pasanggrahan yang terhias sangat bergas. Sementara mengunjungi mata air, dengan ramah melakukan mandibakti. Kedekatan dengan Mahapatih Gajah Mada tak bisa dipungkiri lagi, Raja Hayam Wuruk mengunjungi kediaman beliau. Hal ini menandakan seorang pemimpin yang rendah hati. Siap selalu mengun jungi kediaman stafnya. [Pupuh 20] 1. Praptaɳ deça kasogatan / sahana mawwat bhakta pane haji, pratyekanya gapuk sadewi çisayen içanabajrapageh, ganten poh capahan kalampitan iɳ lumbaɳ len / kuran we ptaɳ, mwaɳ pañcar prasamança niɳ kuti munguh kapwa taçraɳ mamark. 2. Milwaɳ deça ri tungilis pabayeman / rowaɳnya nekapupul, rehnyançe kuti ratnapankaja hane caccan kabhuktyapateh, nahan ta pabalas / kasogatan an ançangehnya kuww apageh, bhukti- (102a) nyan pan akaryya kawwalu huwus tinkahnya nuni danu.
I Putu Sugih Arta : Gaya Kepemimpinan Blusukan dan Jurnalisme Sastrawi dalam Kakawin Desawarnana Karya Mpu Prapanca 833-842
839
Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015 Artinya : [Pupuh 20] 1. Sampai di desa Kasogatan, Baginda dijamu makan minum oleh penduduk Gapuk, Sada, Wisisaya, Isanabajra, Ganten, Poh, Capahan, Kalampitan, Lambang, Kuran, Pancar We Petang. Yang letaknya di lingkungan biara, semua datang menghadap. 2. Begitu pula Desa Tunggilis, Pabayeman ikut berkumpul termasuk Ratnapangkaja di Carcan, berupa desa perdikan. Itulah empat belas desa kasogatan yang ber-akuwu Sejak dahulu, delapan saja yang menghasilkan bahan makanan. Tidak menandang derajat siapa pun, Raja Hayam Wuruk selanjutnya blusukan ke desa-desa. Beliau pun dijamu oleh para kepala desa. Selanjutnya, beliau didampingi staf kerajaan dan pujangga Prapanca melakukan safari ke desa-desa lainnya bertemu dengan masyarakat pesisir
laut utara Jawa sperti ditulis oleh
Prapanca pada pupuh 21. [Pupuh 21] 1. Byatiteñjiɳ mankat / caritan ikanaɳ deça kawahan, riɳ lo pandak ranwakuniɳ i balerah barubare, dawöhan lawan kapayeman i telpak / ri barmi, sapan kapraptan / mwaɳ kasaduran anujwiɳ pawijunan. 2. Juraɳ bobo runtiɳ mwan i pasawahan teki kahnu, muwah prapteɳ jaladi patalap ika mwaɳ ri padali, rin arnnon lawan pangulan i payaman / len tepasana, tekeɳ rembaɳ prapte kamirahan i pingir nin udadi. Artinya : Pupuh 21 1. Fajar menyingsing: berangkat lagi Baginda melalui Lo Pandak, Ranu Kuning, Balerah, Bare-bare, Dawohan, Kapayeman, Telpak, Baremi, Sapang, serta Kasaduran. Kereta berjalan cepat-cepat menuju Pawijungan. 2. Menuruni lembah, melintasi sawah, berjalan cepat menuju Jaladipa, Talapika, Padali, Ambon dan Panggulan. Langsung ke Payaman, beliau terpesona pada Rembang. sampai di kemirahan yang letaknya di pantai pinggir lautan. Kepemimpinan dengan gaya blusukan bagi Raja Majapahit akan selalu dekat dengan bawahan yang dipimpinnya. Kesulitan yang dialami bawahan, dapat segera dipecahkan.
Gaya kepemimpinan “blusukan” sangat
berbeda dengan
gaya
kepemimpinan lainnya seperti : Gaya kepemimpinan otoriter, demokratis, laisz faire.
I Putu Sugih Arta : Gaya Kepemimpinan Blusukan dan Jurnalisme Sastrawi dalam Kakawin Desawarnana Karya Mpu Prapanca 833-842
840
Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015 Sebab gaya kepemimpinan ini lebih menekankan pada sikap rendah hati dan cinta kasih. Begitu pula, jurnalistik sebagai kontrol sosial yang sangat membantu pada masa itu diperankan Mpu Prapanca dengan baik. Catatan-catatan jurnalistik Prapanca telah memenuhi standar 5 W + 1 H dalam kakawin Negarakertagama : Unsur What (Apa yang terjadi ?) : Kegiatan Perjalanan Hayam Wuruk .Unsur When ( Kapan kejadiannya ? ) : Ditulis oleh Prapanca,” Tahun Aksatisura (1275), Sang Prabu menuju Pajang membawa banyak pengiring. Tahun saka angga-naga-aryama (1276), ke Lasem, melintasi pantai samudra. Tahun Saka pintu-gunung-mendengar-indu (1279), …”. Selanjutnya unsur Who (siapa saja yang terlibat pada kegiatan ini ?). Yang terlibat adalah Raja sendiri dengan beberapa pejabat yang dikunjungi. Unsur Why ( Mengapa peristiwa ini terjadi ?) . Alasan kenapa Hayam Wuruk melakukan blusukan ke wilayah kekuasaananya tak lain ingin selalu dekat dengan rakyat dan ingin tahu kesulitan yang dialami rakyatnya langsung. Usus Where (Dimana melakukan blusukan ?). Prapanca menyebut beberapa desa yang dilalui bahkan beberapa desa ikut menjamu kedatangan beliau. How ( bagaimana kejadiannya ), dengan gamblangnya Prapanca menjelaskan kejadian demi kejadian yang dialami Sang Raja. Bedanya dengan naskah berita biasa di media cetak. Hasil karya Prapanca dalam menuliskan karyanya, melalui cara menggubah, menggunakan susunan nada yang ketat (guru lagu dan basa) sehingga apabila ditembangkan akan terasa menggugah dan menghibur pendengarnya. Namun kadar informasi, pendidikan dan kontrol sosial sebagai fungsi jurnalistik ideal yang diakui saat ini (Undang-Undang RI No.40 Tentang Pers ) ternyata diungkap dengan lugas. Sehingga karya Prapanca dapat dikategorikan Jurnalistik Sastrawi Timur.
KESIMPULAN 1. Gaya kepemimpinan “blusukan” adalah gaya kepeimipinan tersendiri selain gaya yang sudah ada dikenal dunia barat selama ini yaitu gaya kepemimpinan otoriter, demokratis dan laissez faire. Karena gaya kepemimpinan blusukan memiliki
I Putu Sugih Arta : Gaya Kepemimpinan Blusukan dan Jurnalisme Sastrawi dalam Kakawin Desawarnana Karya Mpu Prapanca 833-842
841
Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015 karakteristik yang berbeda yakni lebih menekankan rasa cinta kasih dan rendah hati. 2. Gaya kepemimpinan blusukan sangat dekat dengan nilai-nilai yang dipegang oleh para jurnalis, yakni bebas dan bertanggungjawab, selalu menekankan pada prinsip kebenaran dan kejujuran. 3. Jurnalistik Sastrawi dalam naskah kakawin, babad
dan karya-kaya sastra
nusantara sangat dominan. Jurnalistik sastrawi merupakan aliran penulisan yang menggunakan teknik dan gaya penulisan yang biasa digunakan dalam karya sastra.
DAFTAR PUSTAKA Hemingway, Ernest,2012, Reportase-reportase Terbaik, Kusumaningrat, Himat, Kusumaningrat,Purnama,2012, Jurnalsitik Teori dan Praktik., Bandung : Penerbit PT. Remaja Rosda Karya Romli, Asep Syamsul M., 2009, Jurnalistik Praktis Untuk Pemula Edisi Revisi, Bandung : Penerbit PT. Remaja Rosda Karya Suryani NS, Elis, 2012, Filologi, Bogor : Penerbit Ghalia Indonesia Tribunika, Tjahja, 2013, Naskah Asli Kakawin Desawarnana (Negarakertagama) Oleh Mpu Prapanca. Wiratmadja, , G.K,Adia, 1995, Kepemimpinan Hindu, Denpasar : Yayasan Dharma Naradha.
,
I Putu Sugih Arta : Gaya Kepemimpinan Blusukan dan Jurnalisme Sastrawi dalam Kakawin Desawarnana Karya Mpu Prapanca 833-842
842