Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015 Konsep Sakti Dewa Dalam Hindu (Tinjauan Filsafat Ketuhanan Aspek Ibu Mulia) Untung Suhardi Dosen Jurusan Penerangan Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta Email :
[email protected] Diterima : 5 Maret 2015
Direvisi : 15 Maret 2015
Disetujui : 5 April 2015
Abstrak Kehadiran pembahasan ini penulis mencoba memberikan wawasan tentang pemujaan kepada sakti dewa yang ada dalam Hindu yang selama ini masih sering dipertanyakan. Metoda penulisan ini menggunakan deksriptif kualitatif dengan pendekatan kepustakaan. Pemujaan Tuhan dalam bentuk sakti (unsur keibuan) telah mengakar dengan kuat diantara orang hindu, seperti adanya pemujaan Saraswati, Laksmi, Durga, Gayatri dan yang lainnya, ini merupakan lambang bahwa Tuhan dipuja sebagai aspek ibu mulia yang selalu mengasihi dan menyayangi para bhakta yang suci. Pemujaan Tuhan dalam wujud sakti yang diartikan sebagai kekuatan dari Dewa, merupakan konsep Hindu yang sangat sakral. Karena sesungguhnya konsep sakti inilah yang merupakan sumber kekuatan dari para dewa dalam melaksanakan fungsinya untuk kesejahteraan dan keharmonisan alam semesta. Kata Kunci : Sakti, Pemujaan Dan Dewi The Concept Of Deity In The Hindu Sakti (Review The Adoration philosophi Of God In The Aspect Of The Goddess) Abstract The presence of discussion of this writer tries to provide insight about worship to power in the hindu gods that there are areas that still often questionable.This method of writing is using the qualitative approach deksriptif with library.Worship the lord in the form of sakti (elements matronly) has been entrenched, with strong among the hindoos such as trash worship saraswati, laksmi, durga, gayatri and the other, this is very emblematic that god worshipped as the aspect of mother honored. Always loved and cherish the bhakta who is a saint.Worship the lord in a form of sakti that are defined as a power of the deity, is the concept of hinduism that very sacred.Because actually the concept of sakti this is what is a source of strength of the gods in performing the function is fit for the welfare of and harmony of the universe. Keywords: the sakti, of worship and the goddess. PENDAHULUAN Orang hindu percaya pada satu dan hanya satu tuhan (Brahman dalam upanisad), tetapi mereka memujanya dalam berbagai bentuk yang di sebut dengan dewa-dewi. Hindu memuja banyak tuhan bukanlah politheisme akan tetapi monotheistik polytheisme. Pemikiran Hindu yang monotheisme adalah pengakuan tentang Tuhan yang diketahui dengan banyak cara dan dipuja dalam berbagai bentuk. Tradisi memuja Untung Suhardi : Konsep Sakti Dewa Dalam Hindu 703-716
703
Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015 banyak
dewa
dan
dewi
didasarkan
pada
logika
berikut
ini
Agama Hindu menyadari adanya perbedaan dalam pikiran manusia dan perbedaan tingkat spiritual dalam setiap individu. Agama Hindu tidak mengkategorikan manusia ke dalam satu keturunan. Mahabarata mengatakan "Akasat patitam toyam yatha gacchati sagram,sarva deva namaskarah kesavawam prati gacchati". (seperti air hujan yang jatuh dari langit yang secara perlahan mencapai lautan, begitu juga pemujaan yang dipersembahkan padanya dengan nama apapun yang kau kehendaki,atau bentuk apapun yang kau sukai, pastilah akan sampai pada-Nya (Subramanyam, 2006). Menjadi pencipta dari berbagai bentuk dalam alam ini. Tuhan harus dapat berubah bentuk untuk menyenangkan pemujanya. Terlebih lagi, Tuhan tidak dapat dikatakan hanya memiliki satu bentuk atau nama tertentu karena akan membatasi kekuatannya yang pasti. Inilah mengapa hindu memuja berbagai nama dan bentuk tuhan. Tidak ada nama atau bentuk yang lebih baik atau lebih buruk dari yang lainnya karena semuanya itu adalah manifestasi dari Tuhan. Pemikiran ini lebih lanjut lagi dijelaskan dalam doktrin Atharva Veda:"Ia adalah satu, Kesatuan itu sendiri, dalam dirinya semua Dewa-Dewi adalah dirinya sendiri". Memuja bentuk tertentu dari Tuhan tidak membatasi atau bertentangan dengan memuja bentuk lain dari Tuhan. Logika ini mudah dimengerti dengan mempergunakan analogi sementara: ketika kita bekerja di kantor kita memakai jas dan dasi atau baju kantor. Ketika kita bekerja disekitar rumah kita,kita memakai celana pendek dan mungkin T-shirt. Ketika main tenis kita memakai pakaian olahraga, dan lain sebagainya. Intinya dalam semua kegiatan itu, Orangnya adalah sama, hanya pakaiannya yang berbeda
untuk
melakukan
berbagai
tugas.
Ketika seorang pemuja memilih satu bentuk Tuhan, Dewa yang terpilih disebut dengan ista-deva atau ista-devata. Ista-deva ini menjadi obyek dari cinta pemuja dan pujian, memuaskan kerinduan sepiritualnya. Dalam naskah veda kuno sebuah usaha untuk memperbaiki jumlah dewa menjadi 33.ke-33 dewa dewi ini dibagi menjadi tiga kelompok yang beranggotakan sebelas. Satu kelompok berhubungan dengan swarga, kelompok yang kedua berhubungan dengan bumi, dan yang ketiga berhubungan dengan air dan atmosphere. Pemimpin dari kelompok pertama adalah Dewa surya, pemimpin dari kelompok yang kedua adalah Dewa agni, dan pemimpin yang ketiga adalah Dewa indra. Kemudian jumlah dewa-dewi itu berkembang menjadi 33 (330 juta), tetapi semuanya memiliki makna simbolis. (Titib, 1998). Berangkat dari uraian tersebut, maka Untung Suhardi : Konsep Sakti Dewa Dalam Hindu 703-716
704
Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015 yang menjadi masalah pada penulisan ini adalah tentang adanya konsep dewi dalam Hindu yang sering disalahartikan sebagai konsep pemujaan yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Pengetengahkan tulisan ini sebagai pioner yang nantinya dapat dikembangkan dalam kehidupan baik dalam diskusi maupun lingkup akademik. 1. Rumusan Masalah Berangkat dari latar belakang masalah diatas, maka ada beberapa hal yang menjadi pokok pembicaraan antara lain adalah : 1). Bagaimanakah konsep pemujaan Tuhan dalam bentuk feminisme (sakti) ? 2). Bagaimanakah pemujaan Tuhan dalam aspek Dewi (sakti dewi) ? 2. Tujuan Penulisan Bertolak dari rumusan masalah tersebut, maka yang menjadi tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut : 1. Tujuan Umum Tujuan umum penulisan makalah ini adalah untuk menambah wawasan dan khasanah keilmuan tentang konsep sakti dewa dalam hindu. 2. Tujuan Khusus Tujuan khusus penulisan ini adalah untuk mengetahui konsep pemujaan Tuhan dalam bentuk feminisme (sakti) dan untuk mengetahui pemujaan Tuhan dalam aspek Dewi (sakti dewi). 3. Metoda penulisan Metoda yang digunakan dalam penulisan ini dengan menggunakan analisis kualitatif dengan studi kepustakaan tentang sumber pustaka terkait dengan konsep dewi dalam agama Hindu. Pengumpulan data dengan menggunakan kepustakaan dan analisis deskriptif kualitatif dengan penyajian data yang sesuai dengan khasanah kelimuan filsafat. Penyajian data pada dasarnya adalah hasil dari analisis data yang berupa cerita rinci dari para informan sesuai dengan ungkapan atau pandangan mereka apa adanya termasuk hasil observasi tanpa ada komentar, evaluasi dan interpretasi, yang kedua berupa pembahasan yaitu diskusi antara data dan hasil temuan dengan teori-teori yang digunakan (kajian teoritis atau data temuan) (Hamidi, 2004 : 78). Berdasarkan uraian tersebut diatas penyajian data dilakukan dalam bentuk deskriptif yaitu data diuraikan dalam kalimat-kalimat sehingga membentuk suatu pengertian yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
Untung Suhardi : Konsep Sakti Dewa Dalam Hindu 703-716
705
Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015 4. PEMBAHASAN A. Pengertian Dewa dan Dewi Kata “Dewa” (deva) berasal dari kata “div” yang berarti “bersinar”(Pendit, 2009: 55). Kemudian dalam bahasa Latin “deus” berarti “dewa” dan “divus” berarti bersifat ketuhanan. Dalam bahasa Inggris istilah Dewa sama dengan “deity”, dalam bahasa Perancis “dieu” dan dalam bahasa Italia “dio”. Dalam bahasa Lithuania, kata yang sama dengan “deva” adalah “dievas”, bahasa Latvia: “dievs”, Prussia: “deiwas”. Kata-kata tersebut dianggap memiliki makna sama. “Devi” (atau Dewi) adalah sebutan untuk Dewa berjenis kelamin wanita. Para Dewa (jamak) disebut dengan istilah “Devatā” (dewata). Kitab-kitab Veda dinyatakan bahwa para Dewa tidak dapat bergerak bebas tanpa kehendak Tuhan. Para Dewa juga tidak dapat menganugerahkan sesuatu tanpa kehendak Tuhan. Para Dewa, sama seperti makhluk hidup yang lainnya, bergantung kepada kehendak Tuhan. Filsafat Advaita (yang berarti: “tidak ada duanya”) menyatakan bahwa tidak ada yang setara dengan Tuhan dan para Dewa hanyalah perantara antara beliau dengan umatnya (Satria, 2000). Jadi, dapat dikatakan bahwa dewa diartikan sebagai makhluk Tuhan yang diciptakan pada awal proses penciptaan alam semesta ini dengan tugas mengendalikan kekuatan dan unsur alam semesta. Hal ini seperti Agni yang bertugas untuk mengendalikan gejala dan unsur api, vayu yang mengendalikan unsur angin dan dewa-dewi lain yang ada di alam semesta ini. B. Konsep Pemujaann Tuhan Dalam Bentuk Feminisme Bagi seorang Hindu pemujaan Tuhan dalam aspek keibuan atau feminisme merupakan sebuah pendekatan antar pemuja dengan yang dipuja. Hal ini terjadi karena Hindu menganggap bahwa aspek keibuan atau feminisme bahwa Tuhan adalah penuh dengan kecantikan, kelembutan, pengampun dan sifat yang lain. Pemujaan Tuhan dalam bentuk sakti (unsur keibuan) telah mengakar dengan kuat diantara orang hindu, seperti adanya pemujaan Saraswati, Laksmi, Durga, Gayatri dan yang lainnya, ini merupakan lambang bahwa Tuhan dipuja sebagai aspek ibu mulia yang selalu mengasihi dan menyayangi para bhakta yang suci. Hal ini seperti dijelaskan dalam Bhagavad-Gita IX : 17 yang menyatakan bahwa : “Aku adalah ayah dan ibu dari jagad raya, dan Aku adalah pencipta dari semua. Aku adalah yang tertinggi yang diketahui, yang mensucikan, Om yang suci dan ketiga Veda”(Pendit, 2000).
Untung Suhardi : Konsep Sakti Dewa Dalam Hindu 703-716
706
Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015 Berdasarkan sloka diatas bahwa pemujaan Tuhan dalam bentuk ibu atau sakti merupakan sebuah kontribusi yang menarik dalam Hindu. Sehingga seorang pemuja merasa nyaman dengan adanya ibu mulia, karena dalam pemujaan ibu mulia ini akan muncul tentang adanya kekuatan kedewataan yang ada dimana-mana
yang selalu
memancarkan kasih sayang, kecerdasan dan kebijaksanaan. Hal ini dipertegas oleh pernyataan Svami Vivekananda “ Tidak mungkin bagi seekor burung untuk terbang hanya dengan satu sayap”(Pandit, 2006 : 56). Hal ini maksudnya adalah kedudukan atau posisi dari seorang perempuan sangatlah dihormati karena setiap perempuan adalah penjelmaam dari Ibu Mulia, sehingga Hindu menganggap bahwa laki-laki dan perempuan adalah dua sayap dalam satu burung yang sama (Ardhanareswarya). C.
Pemujaan Tuhan Sebagai Aspek Keibuan (Dewi) Pemujaan Tuhan dalam aspek feminisme atau konsep Dewi merupakan pemujaan
yang sudah dilakukan sejak zaman dahulu. Karena dalam pandangan hindu jagad raya ini merupakan manifestasi dari kekuatan yang kreatif dari Brahman yang berupa SatCit-Ananda (keberadaan mutlak, kesadaran dan kebahagiaan). Karena daya kratif dalam umat Hindu disadari oleh umat hindu sebagai prinsip keibuan dalam aspek alaminya. Pemujaan Tuhan dalam aspek sakti dewi terlihat sebagai berikut : Dewi Parwati Dalam pantheon Hindu, dewa-dewa seperti juga manusia mempunyai sakti atau istri, dan putra-putri. Kitab-kitab Puràóa menyebutkan bahwa Úiva mempunyai istri (=sakti) dalam berbagai wujud sesuai dengan perwujudan Úiva sendiri. Perwujudan tersebut selalu disesuaikan dengan sifatnya yang ganda, yaitu ada yang berwujud santa, dan ada pula yang raudra (Dowson, 1953: 86-87). Dalam wujudnya yang santa sakti Siva dikenal dengan nama Pàrvatì (Dowson, 1953: 86, Liebert, 1976: 215). Cerita tentang kelahiran Pàrvatì terdapat dalam kitab Devibhagavata Puràna. Diceritakan bahwa Satì, putri Daksa adalah seorang wanita berbudi dan istri yang sangat mengabdi. Suatu hari Satì mendengar bahwa suaminya, Siva dihina oleh ayahnya. Untuk mempertahankan kehormatan suaminya ia kemudian menerjunkan diri ke dalam api. Satì kemudian lahir kembali sebagai putri Himavan dan Mena atau Menaka yang diberi nama Pàrvatì. Setelah kematian Satì, Śiva tidak merasa tertarik pada wanita, termasuk Pàrvatì. Siva lebih senang bertapa. Hal ini sangat mencemaskan para dewa, sebab hanya keturunan Siva sajalah yang dapat melawan asura yang datang menyerang kedewaan.
Untung Suhardi : Konsep Sakti Dewa Dalam Hindu 703-716
707
Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015 Untuk itu para dewa berusaha membujuk Siva agar mau menikahi Pàrvatì, namun sebelumnya Siva ingin menguji keteguhan Pàrvatì. Kitab Varaha Puràna menceritakan bagaimana Śiva menguji keteguhan hati Pàrvatì. Diceritakan bahwa Pàrvatì, yang titisan Satì, istri Śiva sangat rindu kepada suaminya, hari-hari dilaluinya dengan berhias diri, menyanyi dan menari menunggu kedatangan Śiva. Tetapi ia sangat kecewa, karena Śiva tidak tertarik kepada dirinya. Untuk menarik perhatian Siva Pàrvatì kemudian melakukan pemujaan kepada Siva, namun hal inipun tidak membawa hasil. Dalam keputusannya ia menyiksa dirinya dengan cara berbaring di atas es berhari-hari. Setelah sekian lama, pada suatu hari datang seorang Bràhmana tua kepadanya dan menanyakan mengapa ia melakukan hal demikian. Sang Brahmà tertawa ketika Pàrvatì mengatakan bahwa ia mencintai dan ingin menikah dengan Siva. Untuk menguji Pàrvatì, Bràhmana tua itu menjelek-jelekan Siva, namun Pàrvatì tidak percaya, dan marah karena Siva dihina. Dia membantah sambil menutup kedua telinganya. Pada saat itu juga, Bràhmana yang tidak lain adalah Siva memperlihatkan dirinya yang sebenarnya kepada Pàrvatì. Siva kemudian meminta agar Pàrvatì menghentikan Penyiksaan dirinya. Pada akhirnya Pàrvatì dan Siva menikah dengan upacara yang sangat meriah. Menurut kitab Uttara Kàmikàgamà, Pàrvatì digambarkan bertangan dua atau empat. Kedua tangan Pàrvatì digambarkan membawa nilotpala dan darpana. Apabila digambarkan bersama Siva, maka Pàrvatì dilukiskan bertangan dua, tangan kanan memegang nilotpala, atau dalam sikap simhakarna, dan tangan kiri menggantung di samping atau memeluk Siva. Pàrvatì digambarkan dalam sikap berdiri atau duduk di sebelah kiri atau kanan Siva. Ia mengenakan perhiasan berupa phalapatta (ikat dahi), karandamakuta atau kesabandha. Menurut kitab Uttara Kàmikàgama apabila Pàrvatì digambarkan tanpa Siva maka umumnya digambarkan bertangan empat. Dua tangan bagian depan dalam sikap varadahasta dan abhayahasta, sedangkan kedua tangan belakang memegang padma dan nilotpala, atau pàsa dan ankusa atau tanka. Wajah Pàrvatì umumnya digambarkan sàntà, mempunyai tiga buah mata (satu diatas dahi). Digambarkan duduk atau berdiri di atas padmàsana. Pàrvatì digambarkan mengenakan perhiasan lengkap. Kepalanya mengenakan jatàmakuta atau karandamakuta. Di atas telah diuraikan bahwa Pàrvatì dapat digambarkan dalam bentuk sendiri, atau bersama Siva. Di dalam kitab-kitab Àgama diuraikan juga penggambaran Pàrvatì dalam komposisi perkawinan keduanya. Dalam ikonografi Hindu bentuk perkawinan Untung Suhardi : Konsep Sakti Dewa Dalam Hindu 703-716
708
Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015 antara Siva dan Pàrvatì, digambarkan dengan cara Pàrvatì berdiri di sebelah kiri Siva, berwarna hitam, bermata dua, dan bertangan dua. Tangan kanannya digambarkan diulurkan untuk menerima tangan Siva, sedangkan tangan kiri memegang nilotpala. Sikap kepala agak menunduk karena malu, menggambarkan seorang gadis yang bertubuh sintal (montok) yang mengenakan perhiasan raya sesuai dengan peristiwa tersebut. Adapun Siva digambarkan dalam sikap tribanga, kaki kiri tegak dan kaki kanan agak ditekuk,
atau dapat juga sebaliknya. Digambarkan bertangan empat,
mempunyai mata ketiga. Tangan kanan depan diulurkan untuk menerima tangan Pàrvatì, tangan kiri dalam sikap varada, tangan kanan belakang memegang parasu, dan tangan kiri belakang membawa mrga. Kepalanya mengenakan jattàmakuta dengan hiasan bulan sabit. Mengenakan hiasan berupa hàra, keyùra, udarabandha, dan kàncidàma. Ular Vasuki digunakan sebagai sarpa-kuóîala, Taksaka sebagai ikat pinggang, dan Puskara sebagai hàra. Siva digambarkan sebagai pemuda dewasa. Selain digambarkan Pàrvatì dan Siva juga digambarkan dewa-dewa dan dewi-dewi kahyangan dalam sikap gembira (Gopinatha Rao, 1968:338-343). Berdasarkan urian diatas bahwa dewi dalam hindu menggambarkan adanya sakti atau kekuatan dari dewa, sehingga Parvati sebagai dewi merupakan sumber kekuatan dari Dewa Siva. Sehingga konsep sakti ini merupakan sebuah aragium yang berarti kekuatan dari dewa yang merupakan pasangannya, dalam hal ini adalah Siva.
Durgà Dalam mitologi Hindu Durgà dikenal sebagai dewi yang menyeramkan yang dianggap sebagai penjelmaan Umà atau Pàrvatì dalam bentuk krodha. Dalam bentuknya yang menyeramkan Durgà dianggap sebagai manifestasi dari Kali. Di India pemujaan yang dilakukan bagi Durgà umumnya bertujuan untuk mendapatkan kemenangan dan keselamatan. Dalam kitab Suprabhedagama disebutkan bahwa Durgà adalah adik perempuan Viûóu dan dalam bentuk ini dia diberi nama Adisakti. Durgà mempunyai beberapa nama, di antaranya adalah Gaurì, Candì, Camundà, Kalì, Kalpalinì, Bhavanì, Vijayà, Dhasabhujà, Sinh vahinì, Ambikà Mahiûàsuramardhinì, Muktà Kasì, Cininamastakà dan lain sebagainya. Menurut mitologi, Durgà tercipta akibat terkumpulnya hawa amarah dan kemurkaan dewa-dewa, dewa Śiva dan Visnu serta para dewa lainnya. Hal ini disebabkan karena ketika terjadi perang yang berlangsung ratusan tahun lamanya, antara Untung Suhardi : Konsep Sakti Dewa Dalam Hindu 703-716
709
Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015 para dewa melawan bala tentara asura. Indra adalah raja dari para dewa, sedangkan Mahisa merupakan kepala para asura. Kemudian Mahisa menjadi raja. Selanjutnya dewa-dewa yang kalah tadi mengangkat dewa Brahmà sebagai pemimpin, lalu bersamasama menghadap Siva dan Visnu. Setelah mereka mendengar laporan para dewa itu maka murkalah keduanya. Akibat kemurkaan mereka itu, keluarlah suatu kekuatan yang besar dari Úiva dan Viûóu serta para dewa lainnya, yang kemudian bersatu sehingga terciptalah seorang wanita cantik (Rao, 1918: 237). Dalam mythosnya itu diceritakan bahwa muka wanita itu berbentuk dari tenàga Úiva. Rambut dari tenàga Yama. Tangan-tangannya timbul dari tenàga Visnu. Dada terbentuk dari tenàga Candra. Perutnya dari Sùrya. Jari berasal dari Vasu. Giginya tumbuh karena kekuatan Prajàpati. Agni menyebabkan mata ketiga. Bulu mata berasal dari kekuatan fajar. Sedangkan Vayu dengan kekuatannya itu menimbulkan telinga (Knebel, 1906, 237). Di situ disebutkan juga tentang pergulatan dengan Mahisasura bernama Durgàma, anak Ruru. Dia dapat memaksakan kehendaknya supaya dewa-dewa tinggal di hutan, sedangkan istri-istri Bràhmana diharuskan mempersembahkan mantra-mantra yang isinya memujamuja dia. Bràhmana-Bràhmana dilarang mengadakan upacara keagamaan membaca kitab-kitab Weda dan lain-lain (Dowson, 1928, 860). Durgà dalam perkelahiannya ini telah dilengkapi dengan senjata-senjata pemberian dewa-dewa: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n.
o. p. q.
pemegang busur, Pinaka, telah memberi trisùla; Visnu menghadiahkan cakra yang dia tarik dari cakranya sendiri; Varuna memberi sañkha; Agni menyerahkan sakti; Maruna menghadiahkan dhanu dan setabung sara; Indra memberikan wajra dan genta; Yama menghadiahkan tongkat yang diambil dari tongkatnya sendiri; Vayu memberi pasa; Prajàpati menghadiahkan kalung dari kerang; Brahmà memberikan kendi Amåta dari tanah; Sùrya memberi sinar; Kala menghadiahkan khadga dan khetaka; Lautan susu memberikan kalung manik-manik yang bersinar dan beberapa pakaian perang; Visyakarman menghadiahkan anting-anting, gelang, hiasan bulan sabit yang gemerlapan, kalung dan cincin, di samping sebuah kapak yang gemerlapan; Kuvera memberi cangkir berisi anggur; Sesa, raja ular menghadiahkan kalung berbentuk ular dengan dihiasi batu permata; Himavat memberi seekor singa sebagai tunggangannya, sehingga Durgà siap untuk menghadapi Màhisasura (Pargiter, 1904: 474-475).
Untung Suhardi : Konsep Sakti Dewa Dalam Hindu 703-716
710
Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015
Konsep Dewi Durga ini merupakan bentuk pemujaan Tuhan dalam aspeknya yang berfungsi sebagai Dewi kemenangan. Sehingga pemujaan kepada Durga ini merupakan sebuah pemujaan yang dilakukan untuk memohon kekuatan kepada Tuhan dalam aspeknya untuk dianugrahi segala kemenangan untuk menegakkan dharma. Hal ini seperti yang dilakukan Rama sebelum berperang melawan Ravana, Rama memuja Tuhan dalam aspeknya sebagai Dewi kemengan, sehingga Rama diberikan anugrah dia menang dari Rawana (Titib, 1998). Biasanya pemujaan ini dilakukan oleh para prajutit yang akan menuju ke medan pertempuran.
Úrì (Lakûmì) Dalam mitologi Hindu Srì, lebih dikenal sebagai Srì-Laksmì. Ia merupakan sakti Visnu. Srì-Lakûmì pertama kali muncul ketika pengadukan Lautan Susu. Dalam kitab Viûóu Pirana, Dewi Bhagavat Puràóa, Padma Puràóa dan Mahàbharata disebut bahwa ketika dunia berada di ambang kehancuran dewa Viûóu sebagai dewa pemelihara dunia memerintahkan kepada para dewa, raksasa dan mahluk lainnya mengaduk Lautan Susu guna mendapatkan air amåta, yaitu kehidupan (Kinsley 1968: 26, Liebert 1976:149). Dalam upaya mengaduk Lautan Susu Viûóu yang bertindak sebagai pemimpin, juga dibantu oleh Vasuki, ular yang bersedia dijadikan tali pengaduk, dengan landasan seekor kura-kura besar, sebagai salah satu avatàra Visnu (Kinsley 1968: 26, Liebert 1976: 149). Setelah lautan susu diaduk bermunculanlah isinya, permata, kuda Ucaisrawa, dan terakhir muncul dewi Srì-Laksmì membawa kekayaan emas permata, serta air amåta. Kemunculan Srì-Lakûmì membuat kegembiraan dan kekaguman yang hadir. Melihat kekuatan Visnu sebagai landasan yang mampu menahan beban yang sangat berat Srì-Laksmì sangat kagum, sehingga ia tertarik dan jatuh cinta kepadanya. Sebaliknya Visnu sebagai pemimpin para dewa berhak untuk memiliki sang dewi (Nath Dal 1978: 84-85). Pada akhirnya Srì-Lakûmì dijadikan pedamping Viûóu. Sebagai sakti dewa Visnu, ia memberikan kekuatan dan kemampuan bagi Visnu. Tanpa Srì-Laksmì Visnu menjadi lemah dan tidak mempunyai kekuatan (Kinsley 1968: 28, Banerjea 1974: 370). Sebagai seorang sakti dari dewa Pemelihara Dunia, Srì-Lakûmì dikenal sangat setia terhadap suami dan dharma, juga sebagai dewi kesuburan dan kemakmuran (Kinsley 1968: 32). Perannya sebagai dewi kesuburan dan kemakmuran tercermin dari Untung Suhardi : Konsep Sakti Dewa Dalam Hindu 703-716
711
Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015 tetap diadakannya upacara-upacara pemujaan kepadanya, yang diadakan pada akhir musim panas. Umumnya upacara pemujaan itu guna mendapatkan kemakmuran, kesuburan (tumbuh dan suburnya tanam-tanaman), hasil panen dan kekayaan yang melimpah. Selain itu juga dipuja sebagai dewi keberuntungan. Para pemujanya sebagian besar para pedagang, petani dan masyarakat aggraris pada umumnya. Nyanyian pujaan, Srì-Laksmì, seperti yang terdapat dalam kitab Srìsukta, selalu dihubungkan dengan padma dan gajah. Untuk itu ia dikenal dengan nama Padma atau Kàmala, serta Gaja-Laksmì (Rao 1918: 373). Seperti diketahui padma adalah lambang kesuburan dan awal kehidupan, lambang dari segala penciptaan dunia atau kelahiran di dalam alam makrokosmos atau alam dewa-dewa. Padma atau teratai merah yang digambarkan mekar pertama kali muncul sebagai tumbuhan air yang suci dan bersih. Walaupun berasal dari dalam lumpur padma dapat berkembang di atas air sebagai awal kehidupan (Kinsley 1968: 32). Dalam mitologi, Srì-Laksmì juga dipuja sebagai sumber kekuatan seorang raja. Seorang raja dalam pertempuran bila didampingi oleh dewi SrìLaksmì, maka ia akan selalu dapat mengalahkan musuh-musuhnya. Sebelum menjadi sakti Visnu, Srì-Laksmì kerap dihubungkan dengan banyak dewa, di antaranya dewa Soma, dewa Dharma, dewa Indra dan Kubera. Dihubungkan Srì-Laksmì dengan dewa Soma, karena dewa Soma terkenal karena kesetiaannya. Untuk memperkuat sifat Srì-Lakûmì itulah ia dihubungkan dengan dewa Soma. Selain itu dewa Soma dikenal juga sebagai dewa dari tanam-tanaman, sehingga amatlah dekat kaitannya dengan Srì-Laksmì, sebagai dewi kesuburan (Kinsley 1968:
23, Liebert
1976: 149). Mengenai dihubungkannya Srì-Laksmì dengan dewa Dharma, erat hubungannya dengan peran dewa Dharwa sebagai dewa kemakmuran. Dalam halnya Srì-Laksmì dihubungkan dengan Indra, erat kaitannya dengan kedudukan Indra sebagai raja dari para dewa, dan peran Srì-Laksmì sebagai dewi pemberi kekuatan bagi seorang raja. Dengan kehadiran Srì-Laksmì kedudukan dan kekuatan dewa Indra menjadi lebih nyata. Dalam mitologi tersebut dikatakan bahwa bila dewa Indra berdampingan dengan dewi Srì-Laksmì, maka dunia akan turun hujan sehingga tumbuh-tumbuhan menjadi subur, sapi-sapi mendapat makanan yang berlimpah (rumput hijau subur) sehingga menghasilkan susu yang melimpah (Kinsley 1968: 23-25).
Ada tradisi di India
menghubungkan dewi Srì-Laksmì dengan dewa Kubera, raja para yaksa, penguasa hutan dan kekayaan. Yaksa kadang-kadang juga dihubungkan dengan kesuburan, seperti Untung Suhardi : Konsep Sakti Dewa Dalam Hindu 703-716
712
Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015 juga Srì-Laksmì. Ia digambarkan dengan tumbuh-tumbuhan yang merambat dan berkembang, keduanya bersatu dan berawal dari mulut sang dewa (Coomaraswamy 1971: 32). Jadi pemujaan dalam aspeknya sebagai Dewi Laksmi merupakan wujud Tuhan sebagai pemberi kemakmuran dan kesejahteraan. Dengan demikian ketika Dewa Wisnu yang berfungsi sebagai dewa pemelihara maka saktinya adalah Laksmi yaitu berfungsi sebagai dewi kemakmuran. Sarasvatì Kata Sarasvatì berasal dari urat kata “så”yang artinya mengalir dan di dalam Veda Sarasvatì adalah nama devi sungai dan devi Ucap (pengetahuan atau kebijaksanaan). Di dalam Rgveda V 75.3) disebutkan adanya 10 buah sungai sebagai dijelaskan pula oleh Yàksa (Nirukta IX, 26) yang terdiri dari: Ganggà, Yamunà, Sarasvatì, Sutudrì, Paruúnì, Asiknì, Marudvådhà, Susomà dan Arjikiyà.
Tujuh di antara sungai itu disebut
Saptasindhù. Di dalam kitab-kitab Puràna, Devi Sarasvatì di samping sebagai devi ilmu pengetahuan (kebijaksanaan) dan devi sungai adalah juga sakti dewa Brahmà. Ia digambarkan sebagai wanita cantik berkulit putih bersih, perilakunya lemah lembut. Bhúànanya putih gemerlapan dan duduk di atas sekuntum bunga teratai, memiliki empat tangan yang masing-masing memegang: Vina (kecapi), àkûamàlà (tasbih), damaru (kendang kecil) dan pustaka (buku). Atribut (lakûaóa) lain yang sering dibawa (dilukiskan di dalam seni arca) adalah: paúa (tali atau simpul), triśula (tongkat bercabang tiga), úangka (terompet dari kerang laut), cakram (cakram) dan lain-lain. Dalam puja mantram para pandita di Bali, sebagian penggambaran dewi Sarasvatì seperti tersebut masih dapat dijumpai, di samping umat Hindu di daerah Bali meyakini bahwa seluruh aksara (huruf) terlebih lagi huruf-huruf suci (Vijàkûara) adalah arca atau perwujudan dari dewi Sarasvatì, dan di dalam upakara atau sesajen, ciri khas persembahan kepada-Nya, berisi jajan yang menggambarkan seekor cecak dengan telornya. Kepercayaan kepada cecak atau kadal adalah kepercayaan yang sangat umum di kepulauan Austronesia termasuk Indonesia sebagai binatang yang sangat peka dan akan berbunyi bila suasananya hening atau suci dan bagi wanita dituntut kepadanya untuk mendekatkan diri kepada dewi Sarasvatì. Dalam mitologi Sarasvatì di samping sebagai sakti Brahmà juga merupakan dewi Kesenian dan kecantikan, serta dewi Ilmu Pengetahuan. Dewi ini mempunyai kedudukan sangat penting di antara dewa-dewi dari Untung Suhardi : Konsep Sakti Dewa Dalam Hindu 703-716
713
Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015 pantheon Brahmà. Ia dikenal juga sebagai Vàch, Vàgdevì, Vagìsvarì, Vànì, Saradà, Bhàratì dan Vinapanì. Suatu pemujaan terhadap keagungannya diadakan setiap tahun pada hari kelima bulan Magha, terutama di Bihar dan Bengal dipuja oleh para ilmuwan, musisi dan artis. Di India Sarasvatì merupakan dewi yang dianggap penting, baik dalam Àgama Hindu, Buddha maupun Jaina. Dalam Àgama Jaina, Sarasvatì dianggap sebagai pemimpin Sruta-dewatà dan Vidya-devi. Dalam Àgama Buddha Sarasvatì dianggap sakti Mañjusrì. Dalam mitologi Hindu yang berkembang kemudian, Sarasvatì kadangkadang dihubungkan dengan Visnu, yaitu salah seorang sakti-nya. Dewi Sarasvatì mempunyai latar belakang sejarah yang sangat penting. Dalam kitab suci Vêda, seperti telah diuraikan di atas, semula Sarasvatì adalah nama sebuah sungai, yang sering didipuja melalui mantra-mantra pujaan. Sarasvatì juga pada mulanya merupakan salah satu batas dari Brahmàvartta, asal bangsa Arya yang berwujud sungai. Ia dianggap mempunyai kekuatan sebagai kesuburan dan kesucian. Selain itu Sarasvatì dianggap sebagai dewi bahasa, yaitu sebagai penemu bahasa Sansekerta dan huruf dewa-nàgari, pelindung dari kesenian dan ilmu pengetahuan. Seperti dewi-dewi lain, sebagai sakti dewamanifestasi utama Tuhan yang Maha Esa, Sarasvatì pun mempunyai nama lain, di antaranya adalah Bhàratì, Brahmì, Putkarì, dan Saradà. Di Bali (Indonesia) dipuja setiap 210 hari sekali, yakni para hari terakhir dari penanggalan Wuku terakhir, yakni Saniúcara Umanis Wuku Watugunung dan hari pertama Wuku pertama pada hari Redita Pahing Sinta, dalam kalender Nusàntara, Bali-Jawa, dikaitkan dengan pemujaan kepada dewi Srì dan Laksmì dan Paramestii Guru yang mengingatkan kita pada pelaksanaan hari raya Durgàpùjà di India, khususnya di India Timur (Benggala). Jadi, Saraswati merupakan aspek pemujaan Tuhan sebagai ilmu pengetahuan, dalam hal ini adanya wujud sakti (kekuatan) dari dewa brahma yang bertugas dalam menciptakan. Dengan demikian ketika Dewa Brahma mencipta maka yang menjadi kekuatan dalam menciptakan itu adalah pengetahuan untuk menciptakan. Selain itu, ketika dikaitkan dengan pemujaan adalah ketika seseorang memuja Tuhan dalam aspeknya sebagai Dewi Saraswati maka anugrah pengetahuanlah yang akan diperoleh seseorang untuk menuju kebijaksanaan.
Untung Suhardi : Konsep Sakti Dewa Dalam Hindu 703-716
714
Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015 KESIMPULAN Ketika seorang pemuja memilih satu bentuk Tuhan, Dewa yang terpilih disebut dengan ista-deva atau ista-devata. Ista-deva ini menjadi obyek dari cinta pemuja dan pujian, memuaskan kerinduan sepiritualnya. Pemujaan Tuhan dalam bentuk sakti (unsur keibuan) telah mengakar dengan kuat diantara orang hindu, seperti adanya pemujaan Saraswati, Laksmi, Durga, Gayatri dan yang lainnya, ini merupakan lambang bahwa Tuhan dipuja sebagai aspek ibu mulia yang selalu mengasihi dan menyayangi para bhakta yang suci. Pemujaan Tuhan dalam wujud sakti yang diartikan sebagai kekuatan dari Dewa, merupakan konsep Hindu yang sangat sakral. Karena sesungguhnya konsep sakti inilah yang merupakan sumber kekuatan dari para dewa dalam melaksanakan fungsinya untuk kesejahteraan dan keharmonisan alam semesta.
DAFTAR PUSTAKA Mas Putra, Ny.IGA. 2000. Panca Yadnya. Denpasar : pemda Tk 1 Bali
Maswinara, I Wayan, 2010. Srimad Bhagavad-Gita. Surabaya : Paramitha dalam Kodam Jayakarta. Maswinara, I Wayan.1999. Sistem Filsafat Hindu (Sarva Darsana Samgraha). Surabaya : Paramitha. Moleong, Lexi J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Pustaka Pelajar. Mudjiono, Ricky, dkk. 2008. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Tengerang : Scientific press.. Nair, N Shanta. 2009. The Lord Shiva (His 12 Jyotirlingams And 5 Bhoota Lingams). New Delhi : Pustaka Mahal-110002
Pandit, Bansi. 2006. Pemikiran Hindu (Pokok-Pokok Pikiran Agama Hindu Dan Filsafat) terjemah IGA Dewi Paramita. Surabaya : Paramita. Pendit, Nyoman. 2009. Glosari sansekerta Kontemporer. Denpasar : SARAD. Puja, G, Tjokorda Rai Sudharta. 2002. Veda Smrti Compedium Hukum Hindu. Felita Nursatama Lestari.
Jakarta: CV
Satria, I Wayan Suwira dan I Nyoman Yoga Sagara, 2007. Diskriminasi Perempuan Dalam Kitab Sarasamuccaya (penolakan perempuan Hindu dan menafsirkan ulang dengan perspektif perempuan). Jakarta :STAH DNJ. Suwira, I Wayan Satria. 2008. Sejarah Filsafat India. Jakarta : Departemen Filsafat UI Tim Kompilasi.2006. Kompilasi Dokumen Literer 45 Tahun Parisada. Jakarta: PHDI Pusat.
Titib, I Made. 1998. Citra Perempuan Dalam Kakawin Ramayana (Cerminan masyarakat Hindu Tentang Wanita). Surabaya: Paramita. Titib, I Made. 2001. Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu. Surabaya : Paramitha. Triguna, IBG. Yudha. 2000. Teori Simbol. Denpasar : Widya Dharma.
Untung Suhardi : Konsep Sakti Dewa Dalam Hindu 703-716
715
Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015
Untung Suhardi : Konsep Sakti Dewa Dalam Hindu 703-716
716