Richardus Eko Indrajit
Wholistic Thinking METODE DAN PENDEKATAN BERFIKIR SECARA UTUH DAN MENYELURUH Prof. Richardus Eko Indrajit Prof. Chan Kah Chee
Wholistic Thinking
1
PENDAHULUAN Dalam sebuah buku terkemuka berjudul “The Whole New Mind: Moving from Information Age to the Conceptual Age” karangan Daniel H. Pink, diramalkan bahwa jaman kejayaan informasi yang ditandai dengan perkembangan teknologi komputer dan komunikasi dewasa ini akan segera berakhir dan dilanjutkan dengan apa yang disebut dengan “Conceptual Age” atau Jaman Konseptual. Sepintas memang agak aneh mendengarnya, namun yang dimaksudkan dengan jaman konseptual tersebut adalah berdasarkan sejumlah penilitian empiris yang didukung dengan sejumlah kenyataan sebagai berikut: •
Diawali dan dipicu dengan perkembangan teknologi pada Jaman Informasi yang telah berhasil menghasilkan suatu revolusi dalam kehidupan manusia akibat berhasil didigitalisasikannya hampir seluruh sumber daya penting seperti teks/dokumen, gambar, audio, dan video – maka sejumlah sumber daya yang tadinya bersifat terbatas dan tidak terbaharukan mendadak dapat direplikasi dan diduplikasikan dengan cara dan harga yang murah sekali hingga cenderung mendekati nol (lihat fenomena murahnya berkomunikasi, cepatnya dokumen menyebar, tingginya pembajakan piranti lunak dan karya-karya musik/film, melesatnya transaksi internet, dan lain sebagainya). Artinya adalah bahwa “perang bisnis” tidak lagi berdasarkan pada penguasaan terhadap sumber daya dimaksud, namun lebih menekankan pada keberadaan ide-ide kreatif dan brilian sebagai bagian dari inovasi yang tak berkesudahan. Ide-ide yang kelak melahirkan beragam produk dan jasa dengan siklus hidup yang cukup cepat tersebut berasal dari sebuah pemikiran konseptual yang inovatif!
•
Para pakar ilmu pendidikan dan biologi, terutama mereka yang menekuni bidang kecerdasan melalui penelitian dan kajian terhadap otak manusia, terdapat kesepakatan bahwa kemampuan dalam menghasilkan ide-ide kreatif dan inovatif, dalam sebuah tatanan berfikir konsep secara utuh menjadi domain otak bagian kanan, yang cenderung kurang banyak “diaktifkan” oleh manusia dibandingkan dengan otak bagian kiri. Dalam perkembanganya, terdapat fenomena baru yang mengatakan bahwa pemikiran-pemikiran brilian dalam bentuk ide-ide inovatif yang bermula dari pemikiran abstrak konseptual adalah akibat dioptimumkannya otak bagian tengah, yang mengkombinasikan kekuatan otak kiri dan kanan manusia. Singkat kata adalah bahwa seorang individu baru akan dapat “menemukan” ruang inovasinya apabila yang bersangkutan memiliki kompetensi dan keahlian dalam berfikir secara konseptual!
Wholistic Thinking
2
WHOLISTIC LEARNING Pada dasarnya, berfikir secara konseptual yang dimaksud dapat dianalogikan dengan kompetensi dan keahlian seorang dokter yang apabila berhadapan dengan pasien selalu mengedepankan konsep berfikir secara utuh dan menyeluruh dalam mendiagnosa maupun memutuskan cara penaganganan keluhan yang diderita pasiennya. Hal tersebut dilakukan oleh seorang dokter karena yang bersangkutan memahami betul bagaiamana tubuh manusia tersebut bekerja dalam sebuah sistem yang kompleks, sehingga harus benar-benar dibedakan antara “sympton” dan “root” dari sebuah keluhan pasiennya. Menyembuhkan sebuah simpton hanya akan berusia singkat dan berjangka pendek (tidak menuntaskan masalah) sementara memecahkan akar permasalahan yang tepat akan benar-benar menyembuhkan pasiennya. Model pemikiran yang sama akan dipergunakan pula oleh seorang dokter yang dihadapkan pada kondisi atau tantangan tertentu, sehingga membutuhkan ide-ide kreatif dan inovatif untuk dapat “berprestasi” di dunia kedokteran dan kesehatan pada umumnya. Wholistic berasal dari kata “whole” yang dalam bahasa Indonesia mengandung arti “semua” atau “seluruhnya” (baca: lengkap) – sehingga dapat dikatakan bahwa berfikir “wholistik” berarti mengkaji sesuatu secara utuh dan lengkap, tidak sepotong-sepotong.
Wholistic Thinking
3
Dikatakan utuh atau lengkap adalah karena dalam berfikir secara wholistik secara simultan dilakukan empat jenis model atau cara berfikir, masing-masing adalah: (i) Holistic Thinking; (ii) Systemic Thinking; (iii) Critical Thinking; dan (iv) Lateral Thinking. Holistic Thinking adalah metode berfikir dengan mencoba melihat sesuatu (entitas nyata atau abstrak) melalui berbagai cara pandang yang utuh dan menyeluruh (multi-dimensi) dan menghindari diri dari memandang suatu obyek atau fenomena secara sepotong-sepotong atau separuh-separuh. Tujuan utama cara pandang holistik adalah untuk membantu memahami batasan domain atau ruang lingkup sebuah obyek atau entitas sehingga dapat dimengerti bagaimana komponen-komponen pembuatnya memiliki peranan, fungsi, dan arti sebagai penopang keutuhan dimaksud. Contohnya adalah memandang seorang manusia sebagai suatu entitas persona yang terdi ri dari jiwa, raga, dan nyawa atau jasmani dan rohani – dimana ketiga komponen dimaksud harus ada dan tidak bisa saling menghilangkan atau dihilangkan. Tujuan dari berfikir secara utuh adalah agar dapat memberikan gambaran secara lengkap mengenai sesuatu agar tidak terdapat hal-hal yang tertinggal untuk dipertimbangkan atau dikaji. Systemic Thinking adalah metode berfikir dengan mencoba melihat suatu fenomena sebagai sebuah entitas yang terdiri dari berbagai komponen yang saling terkait satu dengan lainnya. Portofolio komponen dengan fungsi khusus yang saling terhubung melelaui sebuah relasi IPO (Input-Proses-Output) ini membentuk sebuah sistem yang bekerja untuk tujuan tertentu. Contohnya adalah dalam perspektif biologis/fisiologis dimana manusia dapat dilihat sebagai hasil konstruksi dari 10 (sepuluh) sistem yang bekerja secara simultan, misalnya: sistem pernafasan, sistem peredaran darah, sistem syaraf, sistem pencernaan, sistem otot, sistem tulang, sistem ekskresi, sistem reproduksi, sistem endokrin, dan sistem kulit. Sistem pencernaan misalnya, terdiri dari komponen seperti mulut, kerongkongan, lambung, usus kecil, usus besar, dan anus yang saling berhubungan satu dengan lainnya dengan tujuan utama melakukan mekanisme pencernaan makanan agar dapat diserap oleh darah sari-sarinya demi kebutuhan hidup individu manusia yang bersangkutan. Critical Thinking adalah metode berfikir dengan cara melihat suatu fenomena atau entitas secara kritis dalam arti kata selalu mempertanyakan berbagai hal secara mendasar agar dapat dimengerti secara jelas dan detail karakteristiknya. Dalam konteks berfikir kritis, dicoba didalami mengenai keberadaan sebuah fenomena dengan cara mengembangkan sejumlah pertanyaan mendasar (misalnya berbagai pertanyaan berbasis 5W-1H). Dalam konteks ilmu biologis misalnya dikembangkan sejumlah pertanyaan semacam (i) mengapa manusia dapat hidup? (ii) kapan seorang manusia dikatakan telah mati? (iii) apakah perbedaan antara jiwa dan nyawa? (iv) bagaimana asal muasal kehidupan seorang manusia? dan lain sebagainya. Tujuan dari berfikir secara kritis adalah untuk mendapatkan Wholistic Thinking
4
pemahaman yang mendalam mengenai sebuah fenomena atau entitas tertentu agar dapat didalami peranan, fungsi, karakteristik, sifat, dan seluk beluk terkait lainnya. Ketiga jenis model berfikir yang telah dipaparkan tersebut dilakukan di atas kemampuan Lateral Thinking atau yang lebih dikenal dengan istilah Creative Thinking atau berfikir secara kreatif. Dalam memandang atau mencoba mencari pemecahan terhadap sebuah persoalan tertentu, kerap kali diperlukan kemampuan untuk berfikir secara kreatif, dalam arti kata mencoba mencari berbagai alternatif solusi yang tidak umum, alias unik. Hal ini disebabkan karena dalam dunia persaingan global yang sangat kompleks ini, dibutuhkan daya inovasi tinggi dalam memanfaatkan berbagai peluang yang ada, disamping perlunya banyak pendekatan tak lazim yang dapat memberikan suatu nilai atau manfaat bagi pelakunya. Tawaran implmentasi outsourcing dalam dunia bisnis atau cloud computing dalam dunia teknologi misalnya merupakan hasil karya dari sebuah pemikiran yang kreatif. Berdasarkan pengalaman yang ada, pemikiran kreatif biasanya sangat dibutuhkan ketika terjadi situasi yang bersifat dilematis atau problematis. Dengan berbekal pada kemampuan berfikir secara holistik, sistemik, kritis, dan kreatif ini maka seseorang diharapkan dapat memberikan nilai tambah bagi lingkungannya dalam bentuk 3I, yaitu: Integrasi, Inovasi, dan Implementasi. Integrasi adalah kemampuan dalam menggunakan keempat metode berfikir tersebut dalam menghadapi berbagai persoalan atau peluang yang ada dalam kehidupan beraktivitas sehari-hari, inovasi adalah kemampuan menemukan jawaban atau solusi terhadap permasalahan maupun peluang dimaksud, dan implementasi adalah kemampuan dalam menerapkan solusi yang direkomendasikan tersebut dengan sebaik-baiknya. Mengingat bahwa kemampuan berfikir secara wholistik ini jarang atau bahkan tidak diajarkan semenjak dini baik dalam lingkungan pendidikan formal maupun informal, maka ada baiknya dilakukan sejumlah latihan secara kontinyu untuk mengasah ketajamannya.
Wholistic Thinking
5