When Emptiness, Dreadfulness and Despair meet the Grace of God Revisi ke-3
Jeffrey Lim
Daftar Isi A. Pengantar B. Isi I. II. III. IV. V. VI. VII. VIII. IX. X. XI. XII.
Cerita mengenai hidup di dalam keluarga Perasaan kekosongan dan hampa sejak kecil dan remaja Banyak pemikiran dan ide yang saling konflik dan bertabrakan Kekacauan dalam pikiran dan emosi Kabur dari rasionalitas menuju ke spiritualitas Agama dan perasaan bergantung kepada yang absolut Obat-obatan dan perasaan Skeptis terhadap psikiatris dan tercerahkan oleh Konseling Biblika Hidup yang berangsur-angsur mulai pulih Rasionalitas, emosionalitas dan spiritualitas yang berangsur-angsur dipulihkan Refleksi Tentang Obat Refleksi mengenai keutuhan rasionalitas, emosionalitas, naturalitas, spiritualitas dan dignitas manusia di dalam terang Firman Tuhan
C. Penutup
When Emptiness, Dreadfulness and Despair meet the Grace of God Jeffrey Lim
“Roh Tuhan ada pada-Ku oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan bahwa tahun rahmat Tuhan telah datang”. ( Lukas 4:18-19)
A. PENGANTAR Bersyukur kepada Tuhan yang memberikan saya pemahaman dan pengertian sehingga saya boleh menuliskan perenungan singkat di dalam buku ini. Saya hendak menceritakan bagaimana pekerjaan Sang Kekal itu yang menyelamatkan saya dan membawa saya keluar dari malapetaka dan kehancuran hidup yang mengerikan. Saya bersyukur akan Tuhan Allah Tritunggal yang kembali membawa saya ke dalam relasi denganNya dan dengan sesama dan tubuh Kristus. Aspek yang dilalui mungkin cukup kompleks dan rumit, karena itu saya mencoba merangkum dan mencuplik ide utama secara garis besar saja. Sebelumnya saya ingin menegaskan bahwa buku ini bukan satu buku akademis. Konsep-konsep filsafat dan pemikiran di dalam buku yang saya gumuli ini mungkin bukan dipahami secara penuh dalam arti sepenuhnya sejarah filsafat dan filsafat dengan konsep-konsep detilnya. Saya memang seorang yang menggemari filsafat dan juga ada sedikit mempelajari sejarah filsafat walaupun mungkin seringkali patah dan tidak detil komprehensif. Tetapi bukankah ini satu hal yang realistik dan kebanyakan kitapun demikian ? Bukankah memang sangat nyata bahwa seringkali kitapun memahami sesuatu secara fragmentasi dan terbatas. Memang natur kita sebagai manusia pun terbatas. Tetapi walaupun demikian saya berpendapat bahwa ketika saya mencoba menggumuli pergumulan hidup saya dan beberapa filsafat yang menawan hidup saya maka saya percaya bahwa mungkin ini ada relevansinya dengan pergumulan orang lain juga. Mengapa ? Alasannya karena kita hidup di dalam dunia metafisika yang sama dan kita hidup adalah sama-sama manusia juga. Dan mungkin apa yang saya alami juga dapat dialami orang lain juga. Jadi tujuan saya menceritakan ini adalah untuk supaya kita sama-sama belajar dari pengalaman satu sama lain. Saya berharap buku kecil ini bisa menjadi berkat. Buku ini juga bukan buku cerita otobiografi pergumulan saya yang lengkap dan detil tetapi hanya cuplikan garis besar saja. Sebagian besar pengalaman memang disajikan secara linear waktu. Namun cara penyusunannya juga ada bersifat topikal. Di atas semua itu maka semua yang ditulis disini adalah kisah nyata yang saya alami sendiri baik secara fisik, psikologis,
pemikiran, relasional dan juga kerohanian. Kalau cerita ini banyak nuansa kejatuhan dan penderitaan sebenarnya tujuan saya adalah untuk membukakan bahwa sebenarnya ada harapan yang real bagi saya dan orang-orang yang menderita lainnya. Ada penebusan yang dapat memberikan pengharapan. Saya sendiri mengalami ini dan rindu orang lain mengalaminya juga. Ada baiknya saya memulai cerita singkat ini. B. ISI I.
Cerita mengenai hidup di dalam keluarga
Perkenalkan saya seorang yang bernama Jeffrey Lim. Seorang anak laki-laki yang dilahirkan pada tanggal 7 Juni 1980 di dalam keluarga Taslim. Papah saya bernama Jemmy Taslim dan Ibu saya bernama Ita Sayuri. Saya mempunyai dua orang cici ( Esther dan Evelyne ) dan satu orang adik laki-laki yang usianya beda 2 tahun dengan saya yang bernama Ivan Taslim. Cerita ini dimulai dari orang tua saya. Papah saya mempunyai latar belakang keluarga yang cukup unik. Kakek saya sendiri adalah seorang konglomerat yang pernah mempunyai pabrik, tokoh masyarakat dan lebih dari itu kakek saya adalah seorang pejuang negara. Pada saat dia meninggal dunia maka ada upacara kehormatan secara militer. Papah saya seorang yang menurut banyak orang adalah seorang yang genius. Kepintaran dia terutama adalah di dalam bidang teknis, elektro, matematis, fisika dan kimia. Dia seorang yang kuat di dalam ilmu pengetahuan alam. Walaupun sekolah hanya sampai lulus SMA namun seringkali di dalam prestasi hidupnya pengetahuannya setara dengan kelas Master atau bahkan doktoral. Papah saya yang mempunyai multitalenta sejak muda mempunyai karakter yang tangguh, keras dan militan. Dikontraskan dengan papah saya yang lebih rumit maka ibu saya sendiri adalah seorang wanita sederhana yang rajin bekerja. Beliau lahir dari keluarga toko emas. Tingkat pendidikan ibu saya pada jamannya hanya sampai kelas 1 SMP namun beliau mempunyai hikmat bijaksana di dalam hidupnya dan yang terutama ibu saya mempunya iman kepada Tuhan. Bila saya merefleksi ke belakang maka kesan yang saya dapatkan mengenai keluarga saya adalah penuh dengan dinamika, gelombang dan tekanan. Saya sendiri tidak mau terlalu banyak menceritakan negatif mengenai keluarga saya. Saya bukan dipanggil untuk itu. Namun secara singkat saya hanya menceritakan bahwa papah adalah seorang yang sangat keras dan seringkali ada konflik dengan mamah dan ini berakibat besar kepada pembentukan hidup saya sejak kecil sampai sekarang. Memang kalau ditelurusi banyak konteks yang bisa membuat kita mengerti. Usaha papah yang besar yaitu supermarket pernah hancur kebakaran. Usaha pabrikpun mengalami kebangkrutan dan hutang yang banyak. Konteks ekonomi, konflik dan pergumulan hidup membuat hidup kami di dalam keluarga seringkali selalu berada di titik tegang.
II.
Perasaan kekosongan dan hampa sejak kecil dan remaja
Sejak kecil saya memang seorang yang cukup hiperaktif dan nakal. Sebenarnya saya dikenal dengan seorang yang jahil dan usil. Ketika saya masuk Taman Kanak-Kanak maka hari pertama saya masuk saya sudah memecahkan kaca jendela dengan tangan saya karena saya tidak mau berpisah dengan mamah saya. Pulang dari sekolah tangan saya dibalut perban. Kemudian ketika saya masuk SD, saya seringkali lalai di dalam pelajaran dan tiap caturwulan orang tua saya selalu dipanggil. Masalah yang sering terjadi adalah lalai dan ceroboh. Tidak bawa ini dan itu dan juga seringkali main-main dan tidak memperhatikan guru mengajar di dalam kelas. Mamah saya di dalam kesibukan hidup beliau yang juga mencari nafkah ada sisi tidak bisa sepenuhnya memperhatikan saya. Mamah melihat bahwa nilai saya cukup lumayan dan tidak merah. Karena itu dia sudah cukup puas. Memang mamah juga pernah bercerita bahwa dia sering mendoakan saya di antara anak yang lain karena dia tahu di antara semua anak, saya yang paling nakal. Ketika masuk kelas 4 SD saya pernah hampir tidak naik kelas karena pengaruh satu teman yang negatif. Kami berdua sama-sama menjadi kompak sering mengacau di dalam kelas dan sering tidak memperhatikan pelajaran. Saat itu memang ayah saya dengan tepat bertindak keras dan memukuli saya dan memaksa saya belajar setiap hari. Waktu kelas 5 SD peringkat saya menjadi 10 besar dan kelas 6 SD peringkat saya menjadi 3 besar. Kadang ada bangganya ketika grafik hidup saya yang tadinya ada di bawah bisa naik ke atas. Orang tuapun saat itu sepertinya ada perasaan bangga akan anaknya yang cukup lumayan. Namun di balik semua cerita ini sebenarnya saya seringkali mengalami kekosongan hidup. Saya sering mengalami stress dengan keributan yang terjadi di dalam rumah antara papah dan mamah. Saya sering merasa hampa dan sesak di dalam batin saya. Pernah saya bangun di pagi hari dengan batin sesak dan saya merasakan segenap ruangan di sekitar saya begitu mencekam. Perasaan saya sangat tertekan dan sesak. Tetapi saya tidak tahu harus berbicara dengan siapa ? Saya sering mengalami bangun di malam hari dan gelisah. Keringat dingin sering membasahi saya di saat saya terbangun di malam hari. Dari sejak dulu saya sering mengalami setiap malam ada bayangan yang menindih dan membuat saya sesak. Awalnya saya mengira itu setan. Tetapi setelah belajar psikologi maka saya tahu bahwa itu sebenarnya adalah keadaan yang stress. Pernah saya sewaktu memasuki usia remaja, di dalam tubuh saya terjadi perubahan. Saya tidak mengerti kenapa seorang pria mengalami pertumbuhan di dalam tubuhnya. Kemudian ketika saya sedang mandi dan shower tiba-tiba saya mengalami perasaan kekosongan dan perasaan teror yang luar biasa. Salah satu cara menyadari emosi utama kita adalah dengan peka dengan emosi kita dan masa-masa mandi di shower adalah momen yang seringkali membawa kita kontak dengan emosi utama kita. Secara biologis saya merasakan bahwa tubuh saya bertumbuh dan saya tidak mengerti apa yang terjadi. Secara eksistensial saya mulai berpikir apa
yang akan terjadi di masa depan ? Saya mulai merasakan perasaan eksistensial yang dalam. Saya merasakan saya ini hidup real tetapi gelisah dan kuatir. Saya kuatir bila saya mati, hidup saya akan hilang semua. Saya bingung dengan arti hidup saya. Sejak masuk SMP saya sudah mulai tidak memperdulikan sekolah. Tiap hari saya bawa semua buku pelajaran dan tidak pernah membereskan buku. Saya pun tidak pernah membuat PR dan belajar dalam ujian. Setiap hari hanya bertahan hidup menyalin jawaban dari orang lain mulai dari PR sampai ujian. Saya mulai merasakan pelajaran sekolah tidak ada gunanya. Mungkin saya pada saat itu mempunyai filsafat hidup yang pesimis dan nihilis. Semua tidak ada artinya. Tetapi bila semua tidak ada artinya maka kenapa saya merasakan haus akan arti ? Saya sendiri merasakan haus akan sesuatu yang saya sendiri tidak tahu apa itu. Awalnya mungkin saya mengisi kehausan itu dengan tindakan yang bisa diakui oleh teman-teman. Saya seringkali menjadi pengacau di dalam kelas dan membuat lelucon yang sering ditertawakan teman-teman. Dengan tindakan yang eksistensial maka saya merasakan diri saya ada sedikit makna karena teman-teman mengakui itu dan menyenanginya. Tetapi saya tetap sesak dan kosong. Perasaan bersalah saya semakin dalam. Inti dari masa kecil dan remaja yang saya alami adalah perasaan hampa, kosong dan eksistensial. Rasanya saya mengalami teror secara psikis yang saya sendiri tidak tahu apa itu. Sungguh sangat mengerikan. III.
Banyak pemikiran dan ide yang saling konflik dan bertabrakan
Memasuki SMA kelas 1, saya dipilih menjadi ketua angkatan pecinta alam SAMANTA . Menjadi ketua angkatan pecinta alam adalah sesuatu yang membanggakan bagi saya saat itu. Pada saat itu saya jatuh cinta dengan seorang gadis di sekolah saya. Saya sering lari pagi bersama dia dan juga kadang kita ada jalan bersama dan kemudian makan bersama. Satu ketika saya pernah telpon dia di dalam sehari selama 7 jam. Saat itu saya menceritakan kepada dia bahwa saya ada hati sayang kepada dia. Tetapi saya tidak mengerti kenapa psikologis saya tibatiba menangis dan kacau. Saya merasakan satu pikiran yang aneh dimana saya tiba-tiba tidak percaya diri, minder dan sekaligus takut mencekam dan kuatir kehilangan dia. Kemudian ada satu saat di mana gadis itu menceritakan bahwa dia hanya mau saya menjadi teman saja dan tidak lebih dari itu. Untuk usia yang cinta monyet itu saya menganggap dunia seperti tamat dan geledek menyambar. Maka waktu SMA kelas 1 sampai kelas 2 itu saya setiap hari menggambar muka dia berulang-ulang di dalam kertas sambil mendengarkan lagulagu yang bernuansa pesimis. Saya ingat dulu saya suka mendengar lagu-lagu Michael Learn to Rock yang nuansanya pesimis bahkan banyak kegagalan dalam cinta. Waktu kelas 2 SMA saya tidak lagi fokus kepada pelajaran sekolah dan juga penampilan saya. Tiap hari saya merasakan pelajaran sekolah semakin tidak berarti. Maka saya mulai
mencari banyak buku di luar. Awalnya mulai dari buku Sam Kok, buku-buku Kho Ping Hoo, kemudian masuk ke dalam buku-buku pengembangan diri dan filsafat. Ada juga buku-buku tenaga dalam, meditasi dan juga gerakan jaman baru yang saya pelajari. Dari membaca buku saya sepertinya menemukan makna yang tidak saya dapatkan di sekolah. Saya berpendapat bahwa sekolah lebih bodoh dari saya karena mereka terpaku pada sistem pengajaran yang kolot. Saya belajar ilmu yang lebih menarik di luar. Tetapi lama-lama saya belajar sendiri saya tiba-tiba makin sesak dan makin tersesat. Konsep-konsep di dalam buku yang satu bertentangan dengan konsep buku yang lain. Saya membaca buku bagaimana menjadi bahagia tapi saya tidak bahagia. Saya membaca buku bagaimana mempengaruhi orang lain tetapi saya walaupun banyak teman tetap merasa tersendiri. Saya membaca buku bagaimana berbicara public speaking namun ketika berbicara di depan kelas saya merasakan kosong. Ketika saya belajar meditasi untuk menenangkan jiwa ternyata jiwa saya makin tergoncang dan bergelombang. Ketika saya belajar untuk mengatur hidup saya dengan disiplin di dalam pengembangan diri ternyata hidup saya tetap berantakan. Makin lama saya makin kacau di dalam konsep hidup. Ada buku-buku yang mengajarkan supaya kita yang menentukan hidup kita sendiri. Kita yang menentukan makna hidup kita sendiri. Ada buku-buku juga yang menawarkan bagaimana membangunkan raksasa di dalam diri. Ada buku-buku yang mengajarkan bagaimana mengendalikan pikiran dan mental emosi. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Pikiran, mental dan emosi semakin kacau. Kemudian saya mulai terjerumus ke dalam buku-buku psikologi. Waktu itu saya membaca buku Analisa Transaksional. Teori dalam buku itu berpendapat bahwa di dalam diri kita ada unsur orang tua, dewasa dan anak. Unsur orang tua bersifat menekan. Unsur anak bersifat liar. Dan kita harus mengatur dengan unsur yang dewasa baru kita bisa makin dewasa. Saya melihat teori ini ada kemiripan dengan teori Sigmund Freud tentang id, ego dan superego walaupun dikemas dengan bahasa yang berbeda. Maka saya mulai masuk ke dalam dunia psikoanalisa diri dan menggali ke dalam batin sendiri. Saya mulai menggali ke inner self saya. Dan ada hal mengerikan yang saya alami ketika saya mempelajari ilmu-ilmu di dalam dunia ini untuk mencari jalan keluar akan makna hidup dan kesesakan ini. Saya mengalami pemikiran saya seperti bagaimana Hegelian memandang realitas. Satu pemahaman tesis bertemu dengan antitesis dan kemudian menghasilkan sintesis. Ide yang satu yang saya anggap benar namun tiba-tiba saya menemukan itu salah dan saya coba tinjau ulang dan memperbaiki lagi konsep yang salah menjadi satu pemahaman lain dan begitu seterusnya. Betapa mengerikan hal ini dan sungguh melelahkan. Mengapa ? Sebab hidup saya dari satu ketidakpastian menuju ketidakpastian lainnya. Dari satu relatif menuju ke satu relatif lainnya. Dari satu juruselamat palsu kepada juruselamat palsu lainnya. Karena fondasi selalu berubah maka hidup saya ada di dalam garis keputusasaan. Di dalam keputusasaan ini maka saya mencoba bertahan hidup. Mungkin pemahaman Jean Paul Satre saya coba hidupi dimana saya menentukan esensi hidup
saya. Di dalam kekosongan hidup ini saya mengambil langkah iman buta ( blind faith ) kepada tindakan-tindakan eksistensial dan menghidupinya. Yah kehidupan ini konteksnya bertahan hidup dan hidup ini dijalani dengan tabrak sana sini dalam kegelapan. IV.
Kekacauan dalam pikiran dan emosi
Ketika saya mulai putus asa di dalam hidup ini, pikiran dan emosi saya mulai kacau. Saya sering mengalami halusinasi suara. Kehidupan saya sendiri saya sadar makin lama makin disintegrasi. Saya suka bingung mengapa saya suka lupa jadwal ini dan itu. Saya juga makin bingung kenapa saya sering letih lesu dan kemudian bangun dan lupa apa yang saya pikirkan sebelumnya. Saya mulai masuk ke dalam depresi yang makin dalam. Saya tidak mau terlalu detil menceritakan semua ini namun di dalam hidup saya ada beberapa fase di mana saya mengalami kekacauan mental. Perasaan teror dan paranoid sering saya alami. Saya merasakan sepertinya orang-orang mau menjahati saya. Padahal semua itu bohong belaka. Saya mengalami kekacauan. Mungkin saya mengalami seperti yang Friedrich Nietzche alami. Tetapi kalau refleksi balik sekarang ini saya bersyukur bahwa dalam anugerah-Nya saya tetap bisa balik. V.
Kabur dari rasionalitas menuju ke spiritualitas
Di saat mengalami putus asa dengan rasionalitas saya mencoba melakukan praktekpraktek spiritualitas timur. Bukankah ajaran-ajaran gerakan jaman baru menjanjikan satu kedamaian bagi mereka yang mengikuti meditasi mengosongkan pikiran dan menyatu dengan alam. Maka saya ingat dulu di saat tekanan-tekanan batin makin banyak maka malam-malam saya berendam di air dingin dan mencoba melatih meditasi. Saat itu saya merasa tersendiri. Ketika saya mau masuk ke dalam suasana yang void saya tetap merasakan keberadaan diri saya yang sendiri. Bagaimana mungkin saya yang ada ini harus menjadi tidak ada dan menikmati kedamaian di dalam ketidakadaan ? Bukankah keberadaan saya ini tetap ada dan ada di dalam kekosongan, teror dan tekanan ? Mungkin saya harus belajar ilmu yang lebih tinggi supaya saya lebih bisa menyatu dengan alam ! Sebab pikiran dan rasio saya adalah musuh saya ! Ketika saya berpikir maka keberadaan saya makin terasa maka saya harus belajar tidak berpikir dan tenggelam ke dalam alam semesta. Maka saya coba mempraktikkan bagaimana untuk melebur dengan alam ini. Tetapi tetap saya tidak bisa. Saya tetap merasakan pikiran dan rasio saya berputar. Mengapa ? Apakah saya masih kurang hebat ilmunya ? Ataukah sebenarnya ini adalah anugerah yang Mahakuasa mencegah saya terlibat lebih dalam dengan kebatinan ? Kalau refleksi balik maka sekarang saya percaya bahwa tangan Yang Mahakuasa tetap menahan saya supaya saya tidak masuk ke dalam ilmu yang lebih dalam. Adalah satu berkat di mana saya boleh merasakan keberadaan jiwa yang sesak dan menyakitkan ini supaya saya dibawa ke satu posisi di mana saya harus menyadari bahwa saya membutuhkan Sumber Air yang Hidup.
VI.
Agama dan perasaan bergantung kepada yang absolut
Karena jiwa saya begitu haus akan kerohanian dan hal-hal batiniah maka saya terus mengkonsumsi spiritualitas Gerakan Jaman Baru. Memang saya sejak kecil tumbuh di dalam Gereja Injili dan saya juga ada belajar beberapa teologi dari Reformed. Tetapi karena memang pikiran saya sudah campur aduk maka pengajaran Firman yang kuat itu tidak menjadi fondasi hidup saya. Malahan spiritualitas dari Gerakan Karismatik pada saat itu menarik hati saya. Memang benar sangat sulit untuk berpikir tenang rasional dengan doktrin yang kuat pada saat jiwa sedang galau. Menyanyikan lagu “Seperti rusa merindukan air, jiwaku merindukan Engkau” adalah lebih sensible bagi jiwa saya pada saat itu. Menyanyi sambil angkat tangan lagu-lagu yang bernuansa emosional kelihatannya lebih masuk akal bagi saya. Mengapa ? Sebab pada saat itu perasaan saya tersentuh. Perasaan keagamaan saya tersentuh. Dan juga sepertinya ada sedikit infusan perasaan damai ke dalam jiwa saya yang perasaannya sudah kacau. Saya seakan-akan mengalami perasaan bergantung kepada yang absolut. Saya tidak usah berpikir akan rasionalitas karena paling penting secara mistik saya merasakan kehadiran Tuhan dan damai sejahteranya. Pemikiran ini ada miripnya dengan pemikiran dari Schleiermacher sebagai bapak dari teologi modern. Sepertinya spiritualitas seperti ini adalah jawaban bagi hidup saya. Namun sejujurnya spiritualitas seperti ini tidak mempunyai dasar rasionalitas yang kuat. Ketika saya sedang kacau pikirannya maka mereka hanya mengatakan bahwa di dalam diri saya ada setan dan mereka mengusir setan. Kemudian mereka mengatakan bahwa setannya sudah pergi tetapi saya bertanyatanya mengapa perasaan kacau saya masih ada ? Mereka mencoba membaptis ulang saya. Saya pernah dibaptis waktu kecil dan di-sidi juga di GII Hok Im Tong Mengapa saya masih perlu dibaptis selam lagi bila saya sudah pernah dibaptis dalam nama Allah Tritunggal ? Tetapi karena pertimbangan saya adalah praktis sembuh maka apa peduli saya terhadap problem doktrinal pada saat itu ? Yang saya pedulikan adalah bagaimana sakit saya secara mental bisa pulih. Maka saya pernah dibaptis kembali di gereja Bethany Sydney dan juga di satu gereja karismatik lainnya. Saya benar-benar rindu apabila benar-benar ada baptisan Roh Kudus seperti konsep mereka maka saya akan mengalami kuasa Tuhan dan sembuh. Tetapi yang saya alami adalah tetap sama. Saya juga mempelajari bahasa lidah. Saya ingin bersekutu dengan Roh Kudus. Saya tahu bahwa Tuhan itu berkuasa. Maka saya ingin bersekutu dengan Dia. Saya diajari kata-kata yang diulangulang seperti mantera dan mereka semua mengucapkan kata-kata yang berbeda-beda. Saya pun mencoba apa saja yang keluar dari pikiran saya maka saya keluarkan di mulut saya dengan pikiran yang dikosongkan. Tetapi tetap saja perasaan kacau itu ada dan gelisah itu menguasai jiwa.
VII.
Obat-obatan dan perasaan
Berapa lama seseorang dapat bertahan secara normal bila semua fakultas pikiran dan emosinya dibombardir dengan pikiran dan perasaan yang kacau ? Berapa lama seseorang dapat bertahan dan hidup waras bila mengalami disintegrasi di dalam pemikirannya ? Berapa lama kekuatan fisik seseorang mampu menopang pikiran yang kacau ? Maka pada saat itu ketika seseorang tidak dapat mengendalikan diri maka lingkungan akan mencoba mengendalikan dia. Solusi yang ditawarkan adalah obat penenang. Saya diberi obat antipsychotic untuk menenangkan jiwa saya. Diagnosa yang diberi adalah Schizo Affective Disorder dan belakangan ada yang mengatakan Manic Depressive. Saya mulai mempelajari istilah baru. Apa yang dimaksud dengan Schizo Affective Disorder ? Maka saya mulai googling ( cari di internet ) dan menemukan banyak pengalaman orang-orang yang mengaku didiagnosa Schizo Affective Disorder. Kemudian saya menemukan banyak yang mengatakan bahwa pengalaman itu seperti Hell on Earth (neraka dalam dunia). Ketika saya tenang karena makan obat penenang, maka pemahaman ini kembali bikin tidak tenang. Saya coba pelajari lebih jauh. Ternyata Schizo Affective Disorder itu ada kaitan dengan Schizophrenia dan mood disorder : lebih ringan dari Schizophrenia tetapi lebih parah dari Mood Disorder. Saya mengkonsumsi obat Zyprexa dari Lily dan saya coba pelajari bahwa itu obat Schizophrenia. Schizophrenia mempunyai gejala positif dan negatif. Gejala positifnya adalah halusinasi dan delusi. Gejala negatifnya adalah kekurangan energi dan motivasi. Sepertinya saya sedikit menemukan pengertian mengenai kondisi yang saya alami. Pengertian ini lebih baik dibandingkan saya didiagnosa kerasukan setan. Saya rasa ini lebih manusiawi karena seakanakan ada penjelasannya. Tetapi ketika kembali menyelidiki perihal mengenai penyakit ini maka saya menemukan dari banyak artikel ilmiah mengatakan bahwa penyakit ini tidak bisa sembuh. Maka perasaan putus asa pun terus melanda walaupun fisik lebih tenang. Memang fisik saya sepertinya dilumpuhkan. Saya banyak sekali tidur dan teler. Fisik terasa lemas dan tidak bergairah. Tetapi hal itu lebih baik daripada pikiran saya terlalu aktif dan liar. Namun pertanyaannya adalah apa sesungguhnya yang saya alami ? Dapatkah saya pulih ? Sebenarnya ketika saya kembali refleksi mengenai diagnosa dunia psikiatris, saya kembali menyadari bahwa di dalam sana tidak ada harapan kalau tanpa Tuhan Allah. Manusia dikotak-kotakkan ke dalam label dan kategori masalah-masalah. Sebenarnya kembali saya menyadari bahwa penamaan label ini juga akhirnya mereduksi manusia ke dalam label-label dan tipe-tipenya. Ketika hendak berlaku lebih manusiawi tanpa kebenaran Firman Tuhan maka akhirnya manusia dianggap menjadi impersonal dan kehilangan dignitasnya. Problematis dari labeling adalah sekali dilabel sulit untuk lepas dari label itu. Dan setiap label sudah ada cara penanganannya. Dalam kasus Schizo Affective Disorder adalah permanen makan obat dan terapiterapi lainnya yang membantu.
Apakah labeling itu berbahaya dan tidak ada gunanya ? Ketika kembali merefleksi mengenai diagnosa psikiatris maka dengan adanya pemahaman teologi maka sebenarnya labellabel ini berguna untuk mendiagnosa dan memetakan deskripsi pengalaman pikiran dan emosional apa yang kita hadapi. Labeling satu gejala bukan berarti esensi diri kita adalah labeling itu sendiri. Labeling itu hanya untuk menunjukan bahwa apa yang kita alami berbeda dengan apa yang orang lain alami. Labeling berguna dan ada tempatnya. Namun tidak boleh mereduksi manusia hanya menjadi kategori-kategori impersonal. Jangan takut dengan labeling. Tetapi jangan stop sampai dengan labeling. VIII. Skeptis terhadap psikiatris dan tercerahkan oleh Konseling Biblika Satu saat saya membaca buku Competent to Counsel yang ditulis oleh Jay Adams. Beliau seorang yang mengajarkan konsep Konseling Biblika ( Biblical Counseling ). Di dalam bukunya beliau mengatakan bahwa cara menangani problema Psikis dengan cara Medical Model secara statistik tidak mempunyai dampak yang signifikan. Mengapa ? Karena pasien hanya dimengerti dan hanya dianggap sakit. Pasien tidak dibawa ke dalam satu wilayah tanggung jawab moral dan hidup. Karena itu Moral Model lebih baik. Dengan Moral Model maka pasien dibawa bertanggung jawab kepada sesamanya. Pasien harus menghadapi hidupnya dan bertanggung jawab dan harus meminta pengampunan dan mengalami pengampunan dari sesamanya. Dengan demikian hati nurani pasien akan lebih baik dan akibatnya hidupnya menjadi tidak lumpuh. Tetapi Jay Adams mengembangkan lebih jauh Konseling Biblika yang dengan tajam dan jelas membukakan satu konsep bahwa masalah utama pasien adalah dengan Tuhan Allah. Perasaan hampa, kosong, gelisah dan teror itu karena murka Allah, karena kita sedang bermusuhan dengan Tuhan Allah. Mengapa kita mengalami kegelisahan bahkan paranoid ? Karena di dalam setiap titik partikular alam semesta maka kita berhadapan dengan murka Allah. Dan manusia berdosa berusaha menekan kebenaran dengan kelaliman dan tidak mau menghadapi dosanya dengan Tuhan Allah. Akibat keterpisahan dengan Allah maka kitapun terpisah dengan sesama sehingga terjadi isolasi, kesendirian, kekosongan, curiga dan paranoid. Pandangan Jay Adams ini kemudian dilengkapi dengan generasi kedua dan ketiga dari Biblical Counseling yang lebih seimbang di dalam memandang medis dan dunia psikiatri. Di dalam generasi kedua dan ketiga dari Biblical Counseling maka apa yang dicapai di dalam dunia sekular di dalam psikologi dan psikiatri tidak dibuang namun ditata di dalam wawasan dunia Kristen. Ada wahyu umum dan anugerah umum di dalam dunia ini. Selain dari pandangan Biblical Counseling maka pandangan Beautiful Risk dari Jim Olthuis membukakan pengertian yang lebih utuh tentang manusia dan masalahnya. Seringkali ketika kita memahami manusia dan masalahnya adalah hanya melihat masalah tubuh dan jiwa. Ini sebenarnya reduksi. Manusia jangan dipandang hanya sebagai individu yang punya tubuh dan jiwa. Siapakah saya bukan saja apa yang saya pikirkan, rasakan. Tetapi siapakah saya adalah bagaimana saya mengasihi dan bagaimana saya dikasihi. Jadi kita harus melihat manusia sebagai
pribadi yang relasional satu sama lain. Pribadi saya adalah bukan saja apa yang saya pikirkan tentang saya tetapi apa yang Tuhan dan orang lain berelasi dengan saya. Saya dibukakan satu pengertian bahwa bila melihat masalah psikis hanya fokus kepada masalah moral-spiritual maka itu satu reduksi. Saya menemukan pemahaman diri yang makin utuh bahwa masalah hidup kita bukan saja di dalam masalah moral-spiritual tetapi juga di dalam relasional dan psikososial. Saya menyadari bahwa yang dibutuhkan untuk pemulihan adalah hidup kasih di dalam Kristus Yesus dan di dalam relasi dengan sesama. Saya bersyukur kepada Tuhan untuk mamah saya yang mengasihi saya. Terlebih itu saya bersyukur kepada karunia Tuhan yaitu istri saya yang mendampingi saya sehingga saya mempunyai relasi mengenal diri bukan saja dari diri saya sendiri tetapi dari dia yang menjadi bagian dari hidup saya. Istri saya Laura adalah pemberian Tuhan. Dia adalah dokter sehingga lebih mengerti kondisi saya secara medis dan lebih dari itu Laura seorang yang pengertian dan mau mendengar. Memah benar Alkitab mengatakan bahwa manusia tidak baik hidup seorang diri. Kehidupan personal yang sehat adalah berada di dalam relasi satu sama lain yang interdependen di dalam kasih. Bila hidup menyendiri maka hanya ada isolasi, kesepian dan juga paranoid. IX.
Hidup yang berangsur-angsur mulai pulih
Dengan kembali menghadapi realitas bahwa saya seorang yang berdosa dan ada di dalam keterpisahan dengan Tuhan Allah dan keterpisahan dengan sesama maka justru saya menemukan satu jalan keluar. Ketika saya disadarkan bahwa saya seorang yang meninggalkan Tuhan Allah maka justru saya dibukakan akar masalahnya. Tetapi lebih dari itu bersyukur karena anugerah Tuhan bukan saja menginsafkan saya akan dosa dan kebenaran namun juga menuntun saya pulang kepada Bapa dan ke dalam relasi dengan sesama. Saya kemudian mengaku dosa kepada Tuhan dan meminta anugerah-Nya. Saya menerima karya Kristus yang mati di kayu salib untuk menebus dosa manusia dan saya juga menerima kebangkitan Kristus yang membangkitkan rohani saya. Dengan iman saya menerima kasih-Nya, kebenaran-Nya dan damai sejahtera-Nya. Ketika saya merenungkan saya sadar bahwa ini adalah anugerah pemberian semata-mata dan bukan karya saya. Saya tidak layak dan seharusnya binasa tetapi Tuhan Yesus mengasihi saya dan mati untuk menggantikan dosa saya. Dosa saya ditimpakan kepada Tuhan Yesus dan kebenaran-Nya diberikan kepada saya. Kuasa darah-Nya menyucikan saya dari dosa dan kuasa dosa. Karena karya kematian Kristus di kayu salib dan kebangkitan-Nya maka saya dibenarkan. Kristus menjadi kebenaran dan pengudusan saya. Saya mempunyai hidup yang baru. Masa lalu saya boleh gelap tetapi di dalam Kristus saya adalah ciptaan baru. Yang lama sudah berlalu tetapi sesungguhnya yang baru itu sudah datang. Oleh anugerah Tuhan, saya bukan saja dibawa dengan relasi vertikal namun akhirnya saya dibawa ke dalam relasi horizontal dengan sesama. Anugerah Tuhan memulihkan hubungan vertikal dan horizontal. Itu adalah salib Kristus.
X.
Rasionalitas, dipulihkan
emosionalitas
dan
spiritualitas
yang
berangsur-angsur
Proses dari saya benar-benar mengenal Kristus secara pribadi, hidup dalam kasih dan relasi sesama membuat saya berangsur-angsur pulih. Tuhan Allah dengan Firman-Nya membukakan banyak hal ketidak konsistenan di dalam hati dan pikiran saya. Saya ada tertawan dengan dualisme Nature-Grace dimana saya memandang dunia “anugerah” lebih tinggi daripada dunia “natural”. Ini membuat saya tidak bisa menikmati bekerja dan hanya menikmati bila melakukan hal-hal “rohani”. Pikiran antitesis dualisme ini membuat hidup saya seringkali berada di kutub pendulum yang tegang-tegangan. Dalam anugerah Tuhan, saya menemukan Dialectical Behaviour Therapy yang memberikan wawasan kepada saya untuk menyelesaikan ketegangan ini yaitu dengan sintesis dan integrasi di dalam terang Firman Tuhan yang absolut. Ketika berhasil mengintegrasikan pemahaman yang bertegangan akhirnya terjadi satu kebebasan hati dan pikiran. Jika kita mengetahui kebenaran maka kebenaran itu akan memerdekakan kita. Saya juga ada tertawan di dalam spiritualitas monisme dan Gerakan Jaman Baru untuk mengatasi perasaan saya yang impulsif dan bergejolak. Saya kembali menolak dan membuang itu semua. Saya disadarkan Roh Tuhan bahwa hidup saya bukan bergantung pada perasaan tetapi bergantung dengan iman kepada Tuhan dan Firman-Nya. Hari demi hari saya mengalami pembaharuan. Sebenarnya wawasan dari Cognitive Behavioural Therapy membantu saya untuk menata ulang emosi saya. Pikiran kita sebenarnya mempengaruhi emosi kita sehingga untuk merubah emosi adalah dengan merubah pikiran. Hanya di dalam terang Firman Tuhan dan Biblical Counseling saya menyadari bahwa perbedaan Cognitive Behavioural Therapy dengan Meditasi Alkitab adalah yang pertama referensinya adalah diri dan sifatnya tidak relasional dengan Tuhan sedangkan yang kedua adalah referensinya adalah Tuhan dan relasional dengan Dia. Di dalam proses menghadapi pergumulan pikiran dan emosi ini bukan berarti tidak ada jatuh bangun. Namun satu hal yaitu bahwa Tuhan menetapkan langkah-langkah orang yang hidupnya berkenan kepada-Nya. Apalabila Ia jatuh tidak sampai tergeletak sebab Tuhan menopang tangannya ( Maz 37 ). XI.
Refleksi tentang obat
Refleksi bagian ini adalah tidak mudah. Dahulu saya berpikir bahwa mengkonsumsi obatobatan adalah sesuatu yang salah. It is an evil. Mengapa kalau kita sakit secara pikiran kita harus memakan obat-obatan yang biologis ? Saya ada di dalam ketegangan dualisme antara obat dan iman. Sebenarnya dalam hal ini kita harus mengerti bahwa tubuh dan jiwa adalah dua sisi mata koin dari satu keutuhan manusia. Ada psycho-somatic union. Tubuh yang sakit akan mempengaruhi pikiran. Demikian sebaliknya pikiran yang tidak benar akan mempengaruhi tubuh. Semua ini dapat mempengaruhi emosi. Bagaimana kita menilai di dalam memakai obat ? Dulu saya terus ingin menstop obat karena bagi saya itu satu hal yang kurang baik. Sebenarnya saya pernah beberapa kali mengalami
gejala yang balik kembali ( relapse ) ketika saya stop obat secara mendadak. Dari teori dan pengalaman maka saya belajar bahwa obat penenang adalah obat yang keras yang harus diturunkan secara perlahan. Kemudian bagaimana kita boleh menurunkan dosis obat penenang adalah harus ditunjang oleh kebiasaan hidup yang makin diperbaharui. Ketika hidup kita makin diperbaharui dan hidup sesuai dengan hukum Tuhan maka secara natural perasaan kita berangsur-angsur akan mengalami sukacita dan damai sejahtera. Setelah itu baru secara bertahap obat dapat diturunkan dosisnya. Tetapi apakah betul bahwa kita tidak butuh obat sama sekali ? Setelah mengalami beberapa tragedi karena stop obat secara mendadak maka saya mempunyai pemahaman bahwa obat itu tidak boleh diturunkan secara mendadak. Fungsi obat adalah membantu tubuh supaya perasaan siksaan emosi itu tidak terlalu berat sehingga kita dapat memperbaharui hati pikiran kita sehingga sistem psikologis kita akan menjadi baikan. Setelah itu baru obat boleh diturunkan. Tentunya ini harus dipantau dengan rekan yang dekat dan professional yang mengerti. Jadi kita juga harus menghargai anugerah umum yang diberikan Tuhan melalui obat dan juga psikiater Kristen. Ada kalanya memang kita perlu mengkonsumsi obat dan tidak boleh mempunyai spiritualitas super hero. Kita harus menyadari kelemahan kita. Saya ingin mensharingkan keseimbangan pemahaman yang Alkitabiah mengenai obat yang saya dapat dari CCEF. Saya percaya ini adalah integrasi, sintesis yang bisa menerobos dualisme obat dan iman. Ini adalah kutipan-kutipannya. It is a kingdom agenda to relieve our suffering and It is a kingdom agenda to redeem us through suffering. Medications are a gift of God’s common grace and Medications can be used idolatrously. A person may have a wrong motives for wanting to take medication. And a person may have wrong motives for not wanting to take medication. Using medications may make it more difficult to address moral-spiritual issues and not using medications may make it more difficult to address moral-spiritual issues. Di dalam semua pemahaman ini maka saya berpendapat pandangan yang Biblikal adalah seimbang dan yang terutama kita harus mewaspadai hati kita yang adalah pancaran kehidupan kita.
XII.
Refleksi mengenai keutuhan rasionalitas, emosionalitas, naturalitas, spiritualitas dan dignitas manusia di dalam terang Firman Tuhan
Ketika pemikiran Aquinas membagi wilayah realitas menjadi Natur dan Anugerah maka hal ini mengakibatkan dualisme di antara iman dan rasio. Kemudian ketika pemikiran Immanuel Kant membagi wilayah realitas menjadi nomena dan fenomena mengakibatkan dunia yang bisa
diketahui hanya dunia fenomena yang natural. Realitas itu sendiri tidak dapat dimengerti. Dan untuk memberi ruang pada iman dan agama maka Schleiermacher memberikan satu pemikiran untuk masuk ke dalam pengetahuan akan Allah maka jalannya adalah perasaan dan bukan rasio. Dengan semua dualisme ini maka dunia kita mempunyai pemikiran yang terpecah antara dunia natural dan dunia iman, rasionalitas dan emosionalitas. Akibatnya ketika beriman tidak ada rasional dan ketika menggunakan rasional maka membuang emosi dan iman. Semua pemikiran ini membuat kita memahami hidup dengan tidak utuh dan fragmentasi. Di dalam pengalaman dan ketegangan saya menggumuli iman, rasio, emosi dan rohani maka saya menemukan Alkitab dan juga teologi Reformed memberikan jawaban atas semua ini. Teologi Reformed dimulai dengan konsep Allah Tritunggal sebagai realitas ultimat yang menciptakan dunia ini beserta segala isinya sebagai ciptaan-Nya. Allah Tritunggal yang adalah pribadi menciptakan manusia menurut gambar dan rupaNya di dalam konteks relasional. Karena Allah Tritunggal adalah pribadi maka ketika Ia menciptakan dunia ini, Ia menggunakan prinsip representatif pribadi secara relasional. Manusia adalah representatifnya Tuhan Allah dan dunia materi ini juga merepresentasikan kemuliaan Allah. Kemudian konsep pribadi berkaitan dengan aspek rasionalitas, aspek karakter, aspek kehendak dan juga aspek emosi. Semuanya ini terintegrasi di dalam diri Allah Tritunggal sebagai The Absolute Personality. Karena itu maka Allah Tritunggal menjadi dasar fondasi akan realitas dunia ciptaan. Semua dunia ciptaan mempunyai struktur pola rencana representasi dari Allah Tritunggal. Realitas ini utuh di dalam rasional, natural, supranatural, emosional, spiritual, relasional, dll. Semuanya adalah satu realitas di dalam ciptaan Tuhan, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Implikasi dari konsep Tritunggal ini maka di dalam pergumulan hidup mengembara di dalam menggumuli kebenaran di dunia ini maka kita mempunyai dasar fondasi rasionalitas yang kokoh tanpa membuang spiritualitas, emosionalitas dan juga dignitas manusia. C. PENUTUP Saya berharap pengalaman buku kecil ini boleh menjadi berkat bagi kemuliaan nama Tuhan. Sekali lagi pengalaman saya bukan berarti pengalaman yang mutlak. Sebab setiap individu mempunyai pergumulan dan konteks yang berbeda-beda. Tetapi saya percaya ada prinsip-prinsip universal di mana kita bisa belajar satu sama lain. Soli Deo Gloria Jeffrey Lim ( Edisi pertama 24-10-2011 ) Revisi kedua - Edited 8-11-2011 Revisi ketiga – Edited 2-12-2011