___________________________________________________________ 34 Wawasan TRIDHARMA No. 8 Tahun XXV Maret 2013
___________________________________________________________ 35 Wawasan TRIDHARMA No. 8 Tahun XXV Maret 2013
___________________________________________________________ 36 Wawasan TRIDHARMA No. 8 Tahun XXV Maret 2013
___________________________________________________________ 37 Wawasan TRIDHARMA No. 8 Tahun XXV Maret 2013
PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERKARAKTER Dr. Nanang, M.Pd. Prodi Pendidikan Matematika STKIP Garut,
[email protected]
ABSTRACT Formal education is expected to address the issue of culture and national character. Formal education in schools is reflected in the form of learning that have the potential to form the character of students one of which is the learning of mathematics. The problem, mathematical learning how to form the character of students? Learning math can shape the character of the students through the following steps: (1) Before the learning activities, teachers identify learning activities that encourage student activity complex religious and social, (2) At the beginning of learning, students are given the motivation to learn, for example, expressed the spirit and rigor of the scientists in discovering something, (3) While teaching, teachers connect symbols or elements of mathematics with religious or social activities, and (4) the end of learning, to create a spirit of high student morale , students are given the task be completed math problems non-routine at home. Keywords: Mathematic, Character. ABSTRAK Pendidikan formal diharapkan dapat mengatasi berbagai masalah budaya dan karakter bangsa. Pendidikan formal di sekolah yang tercermin dalam bentuk pembelajaran yang berpotensi membentuk karakter siswa salah satunya adalah pembelajaran matematika. Permasalahannya, pembelajaran matematika yang bagaimanakah yang dapat membentuk karakter peserta didik? Pembelajaran matematika yang dapat membentuk karakter peserta didik melalui langkah-langkah sebagai berikut: (1) Sebelum melakukan kegiatan belajar mengajar, guru mengidentifikasi kegiatan belajar mengajar yang mendorong aktivitas siswa yang bersifat keagamaan dan sosial; (2) Di awal pembelajaran, siswa diberi motivasi untuk belajar, misalnya dikemukakan tentang semangat dan ketelitian para ilmuwan dalam menemukan sesuatu; (3) Disaat pembelajaran, guru mengkoneksikan lambang-lambang atau unsur-unsur matematika dengan aktivitas keagamaan atau sosial; dan (4) Diakhir pembelajaran, untuk menciptakan jiwa juang siswa yang tinggi, siswa diberi tugas berupa menyelesaikan soal-soal matematika non-rutin di rumah. Kata kunci: Matematika, Karakter.
___________________________________________________________ 38 Wawasan TRIDHARMA No. 8 Tahun XXV Maret 2013
PENDAHULUAN Persoalan budaya dan karakter bangsa kini menjadi sorotan tajam masyarakat. Persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, perusakan, perkelahian massa, kehidupan ekonomi yang konsumtif, kehidupan politik yang tidak produktif, dan sebagainya. Berbagai alternatif penyelesaian diajukan seperti peraturan, undangundang, peningkatan upaya pelaksanaan dan penerapan hukum yang lebih kuat. Alternatif lain yang banyak dikemukakan untuk mengatasi yaitu melalui jalur pendidikan, paling tidak melalui pendidikan diharapkan dapat mengurangi masalah budaya dan karakter bangsa. Pendidikan dianggap sebagai alternatif yang bersifat preventif, karena pendidikan membangun generasi baru bangsa yang lebih baik. (BPP Puskur, 2010; Kesuma, dkk., 2011). Melalui pendidikan formal di sekolah, diharapkan peserta didik memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan soial. Keempat kecerdasan tersebut dapat mewujudkan kepribadian yang terpuji seperti hal berikut. 1. Olah pikir: cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu, berpikir terbuka, produktif, berorientasi iftek, dan reflektif. 2. Olah hati: beriman dan bertaqwa, jujur, amanah, adil, bertanggung jawab, berempati, berani mengambil resiko, pantang menyerah, rela berkorban, dan berjiwa patriotik. 3. Olah rasa: ramah, saling menghargai, toleran, peduli, suka menolong, gotong royong, nasio-
nalis, kosmopolit, mengutamakan kepentingan umum, dinamis, kerja keras, dan beretos kerja. 4. Olah raga: bersih dan sehat, disiplin, sportif, tangguh, handal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, kompetitif, ceria, dan gigih. Inti dari keempat butir di atas harus bisa diimplementasikan dalam kehidupan karakter seseorang yang dikatakan oleh Lickona (2010) sebagai knowing goddness (tahu akan kebaikan), doing goodness (berperilaku baik), dan feeling goodness (bersikap baik). Uraian di atas menandakan bahwa pendidikan formal diharapkan dapat mengembangkan kualitas generasi muda bangsa dalam berbagai aspek dan mengurangi penyebab berbagai masalah karakter bangsa. Pendidikan formal di sekolah tercermin dalam bentuk pembelajaran. Pembelajaran di sekolah yang berpotensi untuk menanamkan karakter salah satunya adalah pembelajaran matematika. Hal ini dikemukakan oleh Ruseffendi (1991) bahwa melalui belajar matematika, peserta didik diharapkan memiliki kepribadian yang kreatif, kritis, berpikir ilmiah, jujur, hemat, disiplin, tekun, berperikemanusiaan, berperasaan keadilan sosial, dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan bangsa dan negara. Turmudi (2011:267) menjelaskan bahwa seringkali matematika hanya dipahami sebagai rumus-rumus, aturan, dan algoritma yang kebenarannya mutlak, dan tidak dapat dipertanyakan tentang ke-mengapa-annya. Pemahaman matematika yang seperti ini hanya akan membelenggu pengguna matematika saja, menghambat
___________________________________________________________ 39 Wawasan TRIDHARMA No. 8 Tahun XXV Maret 2013
pemahaman bahwa matematika sebenarnya bermakna (meaningful) dan berguna (useful). Hal ini dikarenakan menurut Freudenthal (Turmudi, 2011:267) kehidupan sosial seringkali memanfaatkan prinsipprinsip matematika, sebab pada hakekatnya matematika merupakan aktivitas kehidupan umat manusia. Kutipan di atas menunjukkan bahwa pembelajaran matematika berpotensi untuk membentuk karakter bangsa. Dengan demikian, guru matematika diharapkan dapat mewujudkan pendidikan karakter melalui pembelajaran matematika. Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk mengembangkan pembelajaran matematika berkarakter guna membentuk karakter peserta didik. PERMASALAHAN Sebagaimana uraian di atas, hal utama yang menjadi pokok perhatian dalam tulisan ini adalah faktor pembelajaran matematika berkarakter guna terbentuknya karakter peserta didik. Oleh karena itu, permasalahan dalam tuulisan ini adalah “Pembelajaran matematika berkarakter yang bagaimanakah yang dapat membentuk karakter peserta didik? PEMBAHASAN 1. Pendidikan Karakter BPP Puskur (2010) menjelaskan bahwa karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakininya dan
digunakannya sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Sedangkan pendidikan karakter bangsa adalah pendidikan yang mengembangkan nilai‐nilai karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki dan menerapkan nilai‐nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat, dan warganegara yang religius, nasionalis, produktif, dan kreatif. Secara programatik, pendidikan karakter bangsa adalah usaha bersama semua guru dan pimpinan sekolah, melalui semua mata pelajaran dalam membina dan mengembangkan nilai‐nilai karakter pada peserta didik. Pembinaan dan pengembangan itu terjadi melalui proses aktif peserta didik dalam belajar. Sedangkan secara teknis, pendidikan karakter bangsa diartikan sebagai proses internalisasi serta penghayatan nilai‐nilai karakter bangsa yang dilakukan peserta didik secara aktif dibawah bimbingan guru, kepala sekolah dan tenaga kependidikan serta diwujudkan dalam kehidupannya di kelas, sekolah, dan masyarakat. Pentingnya pendidikan karakter dikarenakan belakangan ini muncul berbagai fenomena di masyarakat yang mengindikasikan adanya konflik di berbagai kalangan dalam berbagai aspek kehidupan sehingga memberi kesan bangsa Indonesia sedang mengalami krisis etika dan identitas diri. Pendidikan karakter diharapkan menjadi alternatif solusi bagi perbaikan perilaku dan moral. Untuk mendukung upaya mewujudkan tujuan pendidikan nasional dan menjadikan pendidikan karakter sebagai bagian dari upaya tersebut sekaligus dapat
___________________________________________________________ 40 Wawasan TRIDHARMA No. 8 Tahun XXV Maret 2013
menjawab berbagai pertanyaan berkaitan dengan pendidikan karakter, maka perlu dilakukan berbagai program terobosan secara terus menerus untuk mensosialisasikan pendidikan karakter sehingga ada kesamaan langkah strategis dalam implementasinya (Dirjen Dikti, 2011). Dirjen Dikti (2011) menjelaskan bahwa terbentuknya karakter yang kuat dan kokoh diyakini merupakan hal penting dan mutlak dimiliki peserta didik untuk menghadapi tantangan hidup di masa mendatang. Pendidikan karakter yang diperoleh sejak pendidikan anak usia dini hingga perguruan tinggi dapat mendorong mereka menjadi anak-anak bangsa yang memiliki kepribadian unggul seperti diharapkan dalam tujuan pendidikan nasional. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menjadikan pendidikan lebih mempunyai makna bagi individu yang tidak sekedar memberi pengetahuan pada tataran kognitif tetapi juga aspek afektif dan psikomotor. Untuk mewujudkan upaya pendidikan menjadi lebih bermakna, tentunya perlu adanya perubahan paradigma pembelajaran yang menuntut langkah kreatif dari guru sebagai fasilitator pembelajaran. Esensi perubahan tersebut berorientasi pada usaha pencapaian tujuan pembelajaran, yakni membentuk karakter peserta didik. Tujuan pembelajaran sebagaimana dimaksud, sejalan dengan tujuan pendidikan budaya dan karakter bangsa (BPP Puskur, 2010), yaitu: a. Mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara
b.
c.
d.
e.
yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa. Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religious. Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa. Mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan. Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity).
2. Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Terkait dengan pendidikan karakter dalam pembelajaran, Munip (2009) mengupas tentang tulisan AlGhazali (wafat 1111). Al-Ghazali mengatakan: “Pendidikan harus dimulai ketika anak masih kecil. Mendidik anak-anak itu ibarat mengukir di atas batu”. Anak dalam pandangan alGhazali adalah masih suci yang bisa menerima rangsangan apapun yang berasal dari luar. Selanjutnya, kewajiban seorang guru dalam pandangan alGhazali, antara lain: a. Guru harus bersikap lembut dan kebapakan terhadap anak didik. b. Guru harus tidak kikir dalam memberikan nasihat dan bimbingan akhlak kepada para siswanya. c. Guru harus menjauhi perilaku dan perangai buruk.
___________________________________________________________ 41 Wawasan TRIDHARMA No. 8 Tahun XXV Maret 2013
d. Guru harus mampu menjadikan dirinya sebagai teladan bagi para siswanya. Apa yang dikatakannya sesuai dengan apa yang diperbuatnya. e. Guru harus memahami karakteristik peserta didik dengan cara mendalami kejiwaan mereka. Dalam pandangannya, setiap anak memiliki perbedaan kemampuan. Oleh karena itu, dengan memahami perbedaan itu akan semakin mempererat hubungan kemanusiaan (ash-shilah alinsaniyah) antara guru dan anak didiknya. f. Guru perlu menerapkan strategi pembelajaran yang berbasis “permainan” kepada peserta didik yang masih anak-anak. Menurutnya, strategi bermain bisa mendatangkan tiga manfaat, yaitu: (a) melatih dan memperkuat fisik anak, (b) membuat anak-anak merasa gembira (idkhal as-surur), dan (c) anak-anak bisa santai sejenak dari kesibukan dan kedisiplinan belajar yang ketat. g. Di hadapan peserta didiknya, seorang guru tidak boleh menjelekjelekkan ilmu lain yang diajarkan oleh guru lain. h. Guru harus mampu membiasakan anak didiknya untuk berakhlak mulia, sehingga mereka bisa menghormati orang lain, apalagi yang lebih tua. i. Seorang guru tidak boleh mencela atau mempermalukan salah seorang anak didiknya di hadapan teman-temannya, karena bisa berdampak buruk bagi perkembangan psikologis anak tersebut.
Kutipan di atas menyiratkan bahwa guru harus menyadari dirinya bukan sekedar mengajar tetapi mendidik sehingga ketika mengajar mata pelajaran apapun dia akan mengkaitkannya dengan pendidikan karakter. 3. Pembelajaran Matematika Berkarakter Sumarmo (2003) menjelaskan bahwa pada hakekatnya pendidikan matematika mulai dari pendidikan dasar hingga ke pendidikan tinggi, memiliki dua arah pengembangan, yaitu memenuhi kebutuhan masa kini dan kebutuhan masa datang. pertama mengarahkan pembelajaran matematika untuk pemahaman konsep dan idea matematika. Kedua mengarah kepada kebutuhan masa depan, matematika memberikan kemampuan bernalar yang logis, sistematik, kritis dan cermat; mengembangkan kreativitas, kebiasaan bekerja keras dan mandiri, sifat jujur, berdisiplin, dan sikap sosial; menumbuhkan rasa percaya diri, rasa keindahan terhadap keteraturan sifat matematika, serta mengembangkan sikap objektif dan terbuka yang sangat diperlukan dalam menghadapi masa depan yang selalu berubah. Kutipan di atas menandakan bahwa pembelajaran matematika di sekolah berpotensi untuk membentuk karakter peserta didik. Sebenarnya matematika diangkat dari aktivitas manusia. Dengan demikian situasi pembelajarannya tidak terlepas dengan kehidupan sehari-hari (kontekstual), termasuk kehidupan beragama dan sosial. Berdasarkan hal tersebut, penulis mencoba
___________________________________________________________ 42 Wawasan TRIDHARMA No. 8 Tahun XXV Maret 2013
memaparkan rancangan pembelajaran matematika berkarakter di sekolah sebagai berikut. a. Persiapan Pembelajaran Sebelum melakukan kegiatan belajar mengajar, guru dapat mengidentifikasi kegiatan belajar mengajar yang mendorong aktivitas siswa yang bersifat keagamaan dan sosial. Untuk terciptanya situasi pembelajaran yang dapat menumbuh kembangkan jiwa sosial siswa, seting pembelajarannya berkelompok (kooperatif) yang terdiri dari 4 atau 5 siswa pandai, sedang, lemah, laki-laki, dan perempuan. Hal ini diharapkan siswa yang pandai dapat membantu siswa yang lemah. Sedangkan siswa yang lemah dilatih untuk berani bertanya kepada temannya yang lebih pandai. Sehingga dalam hal ini terjadi komunikasi dan saling gotong royong dalam memecahkan masalah (problem solving) matematika. b. Awal Pembelajaran Di awal pembelajaran, siswa diberi motivasi untuk mau belajar. Misalnya guru menceritakan bahwa bagi kita umat Islam, menuntut ilmu bukanlah hal yang baru. Bukankah kita diperintahkan untuk membaca, karena dengan perantaraan pena-Nya, Allah mengajarkan kepada kita berbagai macam ilmu pengetahuan? (Al'Alaq:1-5). Bukankah kita diperintahkan untuk berpikir atas penciptaan manusia, gunung-gunung, dan bumi beserta isinya? (Al-Ghasyiyah: 17-20). Di awal pembelajaran, tidak melulu dijelaskan tentang materi atau teori matematika yang akan dibahas, mungkin dapat dikenalkan siapa tokoh
di balik penemu teori tersebut. Misalnya diceritakan bahwa pada abad ke-12 Masehi, para Ilmuwan Islam telah berhasil menempati jenjang terhormat di dunia dan menciptakan apa yang dikenal sebagai Masa Kejayaan. Misalnya Al-Khawarizmi (lahir di daerah Bagdad pada abad ke-9 M adalah seorang ahli matematika dan Astronomi). Karyanya di bidang matematika adalah “Kitab al-mukhtasar fi hisab al jabr wal-muqabalah” (buku padat-ringkas tentang perhitungan). Di awal pembelajaranpun dapat pula dikemukakan tentang semangat dan ketelitian para ilmuwan dalam menemukan sesuatu. Contohnya, seperti yang dijelaskan Djauhari (2003) bahwa nilai π ditemukan kembali pada abad keempat belas oleh seorang matematisi Arab dengan ketelitian hingga enam belas angka di belakang koma, yakni = 3,1415926535897933. Untuk apa penemuan itu? Selain dari pada untuk membangun ketelitian dan semangat memberikan yang terbaik bagi kejayaan dan keunggulan bangsa dan masa depan manusia? Itulah contoh spirit merengkuh tapal batas kemampuan intelektual yang harus tetap menjadi spirit dunia Islam hingga akhir zaman. Di awal pembelajaran dapat pula diselipkan nilai-nilai Qur’ani. Misalnya sebagai apersepsi, guru bertanya kepada siswa: “Siapa sebenarnya yang ahli matematika?” Mungkin para siswa akan mencoba memberi jawaban yang bervariasi tentang siapa yang ahli matematika. Dengan bijak guru menanggapi
___________________________________________________________ 43 Wawasan TRIDHARMA No. 8 Tahun XXV Maret 2013
pendapat para siswa tersebut. Selanjutnya guru dengan mengutif keterangan dalam Al-Qur’an bahwa pada akhir jaman, semua manusia (mulai manusia pertama sampai akhir jaman) akan dikumpulkan di padang masar untuk dihisab. Dihisab di sini mengandung makna bahwa setiap amal-amalan manusia baik besar maupun kecil akan kena hitungan meskipun sebesar biji jarah (unsur atom yang paling kecil) dan dalam penghitungannya sangat cepat. Hal ini menandakan bahwa Allah maha mampu melakukan perhitungan yang besar, maha teliti, dan maha cepat dalam melakukan perhitungan. Dengan demikian Allah lah yang maha ahli dalam matematika. Salah satu namanama Allah adalah Al-Hisab (maha penghitung). c. Saat Pembelajaran Disaat pembelajaran, guru dapat mengkoneksikan lambanglambang atau unsur-unsur matematika dengan pelajaran agama. Misalnya guru menjelaskan tentang relasi “sama dengan (=)”. Guru dapat menjelaskan bahwa relasi “=” mengandung arti terdapat keseimbangan antara ruas kanan dan ruas kiri. Begitu pula dalam kehidupan sehari-hari antara ibadah ritual dan ibadah spiritual harus terdapat keseimbangan. Hal ini dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, yang menegur sahabatnya karena terus-terusan beribadah ritual di masjid tanpa melakukan ibadah spiritual seperti ikhtiar mencari nafkah yang halal untuk keluarga, mencari ilmu, membantu dan bersilaturahmi dengan tetangga, dan sebagainya.
Dalam kegiatan belajar mengajar matematika di kelas sering disertai dengan tanya jawab atau diskusi antara guru dan siswa maupun antara siswa dengan siswa. Aktivitas kegiatan belajar tersebut dapat dimanfaatkan oleh guru untuk menciptakan sikap saling menghargai pendapat sesama teman, tidak memaksakan kehendak atau pendapatnya sendiri sesuai dengan ajaran agama islam. Jika ada siswa yang mengerjakan soal di depan kelas dan jawaban siswa tersebut salah, guru tidak tidak langsung mengatakan salah (dalam pembelajaran matematika mengutamakan proses selain hasil, demikian pula dalam agama islam proses/ikhtiar juga penting selain hasil, karena diyakini bahwa hasil dari ikhtiar tersebut ditentukan oleh Allah Swt, manusia hanya berusaha). Hal ini tersirat dari ungkapan Rochmah, dkk. (2004) manusia diciptakan secara berproses dari segumpal darah kemudian diciptakan menjadi manusia, lahir ke dunia. Manusia diperintahkan untuk belajar, mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan dengan membaca, mencoba, memperhatikan/mengamati, menyelidiki, dan merumuskan suatu teori. Kesemuanya itu hendaklah dilakukan dengan berbasis iman, dengan menyebut nama Tuhan atau mengucap “bismi rabbika allazi khalaq“ (membaca dan belajar dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan). Guru mencoba memberi kesempatan kepada siswa lain untuk memberi pendapat. Sehingga siswa sendiri yang akan mencari jawaban yang benar, guru hanya sebagai fasilitator. Keadaan tersebut dapat dimanfaatkan guru untuk mengingat-
___________________________________________________________ 44 Wawasan TRIDHARMA No. 8 Tahun XXV Maret 2013
kan siswa bahwa jika ingin diperoleh jawaban yang benar, maka jawaban tersebut harus memperhatikan sifat matematika yaitu matematika mendasarkan diri kepada kesepakatan berupa definisi atau teorema. Demikian pula dalam menjalankan ibadah yang kafah dalam agama Islam harus berpandu pada Qur’an dan hadist. d. Diakhir Pembelajaran Diakhir pembelajaran, untuk menciptakan jiwa juang siswa yang tinggi, siswa dapat diberi tugas berupa menyelesaikan soal-soal matematika non-rutin di rumah. Soal-soal atau masalah matematika non-rutin, yaitu masalah yang prosedur penyelesaiannya memerlukan perencanaan penyelesaian, tidak sekedar menggunakan rumus atau teorema matematika. Dengan tugas tersebut, siswa diharapkan mau ikhtiar dalam menyelesaikan tugasnya. Sehingga diharapkan tugas tersebut dapat memupuk sikap ikhtiar pada diri siswa. Mungkin sikap ikhtiar siswa tersebut dapat berupa belajar kelompok dengan temannya. Melalui belajar kelompok diharapkan dapat memupuk budaya gotong royong dan silaturahmi yang dianjurkan dalam ajaran agama islam. Melalui pemberian tugas berupa soal-soal matematika non-rutin mungkin akan menimbulkan kegelisahan pada diri siswa dan siswa terdorong untuk melakukan pencarian jawaban soal-soal non-rutin tersebut. Menurut Agustian (2001) kegelisahan yang dirasakan manusia adalah akibat sebuah pencarian, karena hakikat manusia adalah bertanya dan pertanyaan sesungguhnya adalah awal dari pendidikan dan ilmu pengetahuan.
PENUTUP Dari uraian di atas, tersirat bahwa pembelajaran matematika berpeluang untuk menanamkan dan membentuk karakter para siswa. Sehingga penanaman karakter terhadap peserta didik tidak perlu secara khusus diajarkan atau dalam pelaksanaan penanaman karakter terlepas dari mata pelajaran yang ada. Pembelajaran matematika yang dapat membentuk karakter peserta didik melalui langkahlangkah sebagai berikut: (1) Sebelum melakukan kegiatan belajar mengajar, guru mengidentifikasi kegiatan belajar mengajar yang mendorong aktivitas siswa yang bersifat keagamaan dan sosial; (2) Di awal pembelajaran, siswa diberi motivasi untuk belajar, misalnya dikenalkan siapa tokoh penemu teori yang akan diajarkan; (3) Disaat pembelajaran, guru mengkoneksikan lambang-lambang atau unsur-unsur matematika dengan aktivitas keagamaan atau sosial. Dan (4) Diakhir pembelajaran, untuk menciptakan jiwa juang siswa yang tinggi, siswa diberi tugas berupa menyelesaikan soal-soal matematika non-rutin di rumah. Melalui perubahan pembelajaran matematika dari konvensional ke pembelajaran berkarakter religius, diharapkan siswa menjadi manusia seutuhnya, yaitu menjadi manusia yang beriman dan berilmu. Melakukan perubahan memang tidak mudah, bahkan sering kali sulit. Perubahan tidak akan terjadi kalau kita mengatakan “itu bisa, tetapi sulit”. Namun perubahan akan terjadi kalau kita mengembangkan sikap “sulit, tapi bisa”.
___________________________________________________________ 45 Wawasan TRIDHARMA No. 8 Tahun XXV Maret 2013
DAFTAR PUSTAKA Agustian, A.G. (2001). Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spritual ESQ. Jakarta: PT. Arga Tilanta. BPP Puskur (2010). Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa. Jakarta: Kementrian Pendidikan Nasional. Dirjen
Dikti (2011). Hibah Penyusunan Buku Model Pendidikan Karakter Di Perguruan Tinggi. Jakarta: Kemendiknas.
Djauhari, M.A. (2003). Kaaffah: Memahami Jiwa Membangun Peradaban. Bandung: Pustaka Kesuma, D. Dkk. (2011). Pendidikan Karakter: Kajian Teori dan Praktik di Sekolah. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Lickona, T. (2010). Educating for Character. (blogspot.com/ 2010/04/educating-forcharacter-by-thomas.html, diakses 31 Maret 2013).
Munip, A. (2009). Reinventing Nilai-
nilai Islam mengenai Peranan Guru dalam Pendidikan Karakter. Makalah pada diskusi Forum Lingkar Hijau BEM Fakultas Ilmu Pendidikan UNY. Rochmah, N.M., dkk. (2004). Islam untuk Disiplin Ilmu Teknologi. Jakarta: Depag RI Ditjen Bagais Ditpertais. Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito. Sumarmo, U. (2003). “Pembelaran Matematika untuk Mendukung Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi“. Makalah pada Pelatihan Guru Matematika, Jurusan Matematika ITB, Bandung. Turmudi (2011). Membangun Karakter melalui Pemodelan Matematika. Pendidikan Karakter: Nilai Inti Bagi Upaya Pembinaan Kepribadian Bangsa. Bandung: Widaya Aksara Press-Lab PKn UPI. Ahmad Baiquni, Dkk. (1985). Iqra (Genggamlah Ilmu). Yogyakarta: Shalahudin Press.
RIWAYAT PENULIS Dr. H. Nanang, M.Pd. lahir di Bandung, 1 Juli 1964, dengan jabatan fungsional Lektor Kepala, Doktor Pendidikan Matematika dari UPI Bandung lulus tahun 2009. Dosen Kopertis Wilayah IV Jawa Barat dan Banten dpk di Jurusan Pendidikan Matematika STKIP Garut.
___________________________________________________________ 46 Wawasan TRIDHARMA No. 8 Tahun XXV Maret 2013
___________________________________________________________ 2 Wawasan TRIDHARMA No. 8 Tahun XXV Maret 2013