SARASWATI
“Bertahan sampai pagi ya!” “Aku gak bisa.” Warna kekecewaan terpancar dari wajahku. “Kenapa?” tanyaku. “Aku ada janji.” “Sama siapa? Sama cowok itu ya? Siapa sih dia?” aku menatapnya dalam. Menatap wajah indah anugerah Sang Maha Kuasa ini. Meminta jawaban dari pertanyaanku tadi. “Aku juga tak tahu siapa dia. Aku tak tahu apakah dia nyata atau hanya pangeran impianku saja,”katanya seperti berbisik. “Sudahlah. Kalau memang kau tak mencintaiku lagi, pergilah! Jangan dekati aku lagi.” Kuraih gitar yang tergantung di jendela kamar. Kusandarkan tubuhku pada kursi belajarku sambil mengangkat kakiku keatas meja dan membiarkan jari jemariku memainkan senar gitar. Aku tahu dia tak tertarik dengan alunan suara gitarku. Lagu ini untukku. Untuk menghibur luka hatiku yang bagai tertusuk sembilu.
Lama kami terdiam dalam iringan gitar yang aku mainkan. Sampai kemudian dia membuka pembicaraan, “Yo, aku sayang kamu. Aku sayang kamu lebih dari segalanya,Yo. Kaulah satu-satunya pria yang ada di hatiku saat ini. Namun yang pasti, aku harus meninggalkanmu, Yo. Mungkin tak pernah melihatmu lagi.” “Kenapa bisa begitu?” “Karena memang tak ada yang pernah kembali.” Kuletakkan gitar di atas meja belajarku. “Sudah berapa kali dicoba?” “Tiga kali.” “Gimana akhirnya?” “Mereka semua meninggal,” katanya seperti berbisik. “Termasuk Shakuntala?” Dia menggelengkan kepalanya. “Shakuntala tak pernah mencobanya. Karena dia tak pernah menemukan Gerbang itu. Semua yang dia 2
ceritakan itu hanyalah bualan kosong untuk mengeruk keuntungan pribadi semata.” Dia menghela nafas. “Cintaku padanya tak sehebat cintaku padamu, Aryo.” “Aku tahu resikonya apabila mencintaimu. Tapi aku rela mati asal memiliki kesempatan untuk menikah denganmu di alam nyata.” Dia menghela nafas kembali. “Jika kau tak ada disisiku saat pagi menjelang, aku akan lakukan apa yang harusnya aku lakukan.” “Selamat tinggal cintaku.” “Tidak. Aku akan membawamu kembali cintaku.”
#
Dia sudah tak ada saat kuterbangun. Kuraih bingkai foto yang ada disisi tempat tidurku. Kutelusuri raut wajahnya dengan jari telunjukku dan membayangkan rambut hitamnya yang lembut. 3
Mengingat kembali saat-saat pertama kali dia hadir dalam mimpiku. Umurku baru lima belas tahun. Namun saat bersamanya, aku bisa berubah sebagai lelaki dewasa. Dulu cintaku hanya musik. Tapi itu dulu. Sebelum dirinya hadir dalam mimpiku. Takdir mempertemukan kami dengan caranya yang unik. Semuanya bermula di perpustakaan saat aku harus menunggu Endar meminjam buku. Katanya dia mau belajar not balok agar bisa membaca notasi musik karya musisi-musisi ternama seperti Yngwie Malmstein atau Jimmy Hendrix. Daripada lama menunggu, iseng-iseng kubaca sebuah novel yang waktu itu terletak di atas meja. Sampulnya bergambar wanita cantik yang entah mengapa pesona wajahnya membuatku betah memandangnya lama-lama. Penulisnya bernama Shakuntala atau yang mengaku bernama itu. Maklum, kadang kan penulis selalu menggunakan nama pena dalam setiap karyanya. Judul novelnya Saraswati. Aku baca resensinya yang terletak di belakang novel. Ceritanya tentang seorang pelukis buta yang tak pernah puas dengan hasil karyanya. Kemudian dia melakukan perjalanan untuk menemukan inspirasi agar dapat menghasilkan sebuah mahakarya. Selanjutnya kita terpaksa harus membacanya karena resensinya hanya sampai disitu. Terus terang aku tak suka dengan ceritanya. Apalagi waktu itu aku hanya tertarik dengan musik. Namun daripada bengong, aku mulai juga membuka 4
lembaran pertama, kedua dan seterusnya. Aku mulai larut dalam buaian kata-kata yang dituliskan Shakuntala dalam novelnya. Rangkaian ceritanya memang menarik. Aku tak menyangka penulisnya mampu memainkan imajinasi pembaca lewat alur yang sistematis. Akhirnya sang pelukis menemukan juga sumber inspirasinya. Ternyata adalah seorang gadis yang bernama Saraswati. Mungkin gadis yang ada di sampul depan novel ini. Sosok yang sempat membuatku terpesona dengan raut wajahnya yang manis. Sang pelukis begitu menginginkan sang gadis untuk menjadi model lukisannya. Berbagai cara dia lakukan namun sang gadis tetap saja menolak sampai akhirnya sang gadis menawarkan satu syarat bahwa dia bersedia menjadi model lukisan itu asalkan menggunakan darah sang pelukis. Sang pelukis yang memang sudah terobsesi dengan dengan sang gadis langsung menyetujui dan mulai melukis sang gadis dengan darahnya. Sampai akhirnya sang pelukis mati di hadapan lukisannya sendiri karena kehabisan darah sementara sang gadis menyatu dengan lukisan tersebut. Malamnya aku tak dapat tidur. Bukan karena cerita novel itu, tapi bayangan sampul novel itu terus menghantui pikiranku. Kucoba mengusirnya dengan meraih gitar. Kupetik senar demi senar untuk menguntainya menjadi sebuah lagu. Kalau dalam novel sang pelukis yang terobsesi dengan sang gadis, 5
sekarang malah aku yang terobsesi dengan sampul depannya. Tinggal liriknya. Entah mengapa pikiranku begitu buntu untuk menemukan kata-kata yang tepat dalam menggambarkan cerita dalam novel tersebut. Sekarang aku bingung sendiri. Apakah aku terobsesi dengan sampul novelnya atau ceritanya? Entahlah, yang pasti itu semua membuatku pusing. Aku tak tahan lagi. Kuputuskan untuk merebahkan diri di kasur. Hingga kutertidur pulas. Perasaanku mengatakan seperti itu. Lantas mengapa tiba-tiba ada seorang gadis yang berbaring dengan tubuh telanjang disampingku? Posisinya melintang dengan wajah menghadapku. Telapak tanganya menahan pipi dan hembusan nafasnya lembut menerpa telingaku. Aku berusaha menggerakkan tubuhku sekedar mengatur posisi agar dapat menatap wajah gadis yang tiba-tiba ada di atas tempat tidurku ini. “Indah sekali, Yo,” katanya. Aku masih terdiam. Kupandangi rambut hitamnya. Wajah cantiknya begitu sempurna. Wajah yang mengingatkanku akan sesuatu. Apalagi kalau bukan sampul depan novel berjudul Saraswati. “Kamu suka ya dengan ceritanya?” tanyanya.
6
Sungguh! Aku berani bersumpah. Tidak ada seorang gadis pun di sekolahku yang mampu menyaingi kecantikan dan pesona yang dimilikinya. “Tidak,” kataku. “Aku tidak suka dengan ceritanya. Pelukis itu terlalu cepat menyerah dengan ambisinya, dengan cintanya dan dengan dirimu.” Dia tertawa. Tertawanya begitu lembut dan manusiawi. Tidak mirip kuntilanak atau makhluk gaib yang lain. Berarti dia bukan salah satu dari mereka. Lantas siapa dia ? Mengapa tiba-tiba ada di dalam kamarku? “Kok kamu tahu apa yang aku pikirkan? Siapa sih kamu?” tanyaku menyelidik. “Sori, udah telat. Aku harus pergi.” “Pergi katamu? Trus yang nyuruh kamu datang siapa?” “Khan kamu yang manggil aku, Aryo!” Dia menunjuk kearah gitarku. “Musik adalah sebuah jiwa. Iramalah wujudnya.”
7
Dia kemudian menghampiriku, mengecup pipiku dan lenyap. Ya!lenyap. Saat mataku tak sadar mengerjap. ## Dia selalu datang hanya dalam mimpiku. Bahkan sampai sekarang aku masih berharap untuk terus bersamanya walau hanya dalam mimpi. Aku jelas tak suka cerita novel itu. Tapi demi untuk tetap bersamanya, aku bela-belain membeli novel itu. Kubaca cerita yang tak kusuka jalan ceritanya itu berulang kali seakan-akan aku terlibat di dalamnya. Andai membaca cerita tak jua dapat menghadirkannya seperti biasa, kulantunkan melodi yang sengaja aku cipta untuknya. Aku benar-benar berharap akan hadirnya setiap waktu. Begitulah hubungan aneh yang tercipta diantara kami. Malam menjadi saat yang paling indah dalam hidupku karena saat itulah aku dapat bertemu dengan kekasih hatiku. Pagi menjadi saat-saat yang menyedihkan bagiku karena tak lama lagi akan kehilangannya dan harus menunggu malam untuk dapat kembali menatap indah wajahnya. Sampai suatu saat …. Waktu itu kami sedang menjalani tour ke luar daerah. Aku sedang duduk sendirian di lobby hotel. 8
Jangan heran kalau aku tidak dikerubungi para fans. Karena band kami hanyalah band pembuka untuk konser sebuah band ternama. Sementara band ternama tersebut menginap di hotel lain yang tentunya lebih mewah dari hotel yang kami tempati. Aku tertarik dengan sebuah buklet yang terletak diatas meja. Kiranya malam ini akan ada pameran buku yang bertempat di ballroom hotel . Para pengarang buku akan berkumpul dan bertemu dengan para fansnya. Termasuk diantaranya adalah ahli waris Shakuntala yang akan memamerkan seluruh hasil karyanya termasuk hasil tulisan tangan sebuah karya fenomenalnya yaitu Saraswati. Aku memutuskan untuk menghadiri pameran itu. Konsernya sendiri baru dimulai lusa, jadi aku masih punya waktu. Aku ingin sekali memiliki versi asli tulisan tangan novel Saraswati. Siapa tahu ada rahasia tersembunyi yang bisa aku temukan dalam versi tulisan tangan itu yang dapat menguak tabir hubungan kami. Malam itu pengunjung memenuhi ruangan ballroom hotel. Aku memilih untuk berkeliling dulu diantara meja-meja pengarang buku terkenal dan selalu best seller sebelum mendatangi meja pengarang Shakuntala yang waktu itu diwakili oleh seorang pria tua yang aku tidak tahu dia siapa. Karena yang aku tahu Shakuntala itu sudah meninggal. Kucoba untuk menahan rasa antusias 9
yang meledak-ledak untuk segera dapat memiliki buku itu. Aku tak ingin rasa antusiasku ini malah memancing rasa penasaran pengunjung lain terhadap buku itu. Seorang wanita cantik menghalangi langkah kakiku. “Udah ketemu dengan yang dicari?” tanyanya padaku. “Ya! Sudah.” Jawabku sekenanya. “Kamu Aryo Pangalila kan?” tanyanya kaget. “Iya! Emangnya kenapa?” “Saya fans kamu!” jawabnya sambil memeluk erat tubuhku. Wow! Band pembuka ternyata punya fans juga ya. “Aku gak nyangka loh. Anak band kaya kamu mengunjungi pameran buku. Gila! Keren banget.” “Gak ada salahnya kan mengunjungi pameran buku. Lagian aku pikir, alangkah baiknya kalau yang hadir disini itu para produser film, sutradara atau penulis skenario. Biar mereka itu lebih mampu mengembangkan ceritanya sehingga film kita itu ceritanya tidak dangkal dan terkesan murahan.” 10
“Iya sih. Aku setuju denganmu. Oh ya, mampir dong ke meja di sebelah sana. Itu kumpulan hasil karya pamanku. Namanya Shakuntala. Sayang hidupnya berakhir tragis. Tak pernah menikah. Tak punya anak. Semua hasil karyanya diserahkan ke kakekku. Dia itu lebih mirip pertapa saja layaknya. Aku tak suka dengan hasil karyanya itu. Karena semuanya bercerita tentang Kegelapan, Alam Gaib dan hal-hal aneh yang aku sendiri tak mengerti.” “Tapi aku yakin, sebagai pengarang besar dia sudah banyak menginspirasi banyak orang.” “Kalau menurutku, seandainya ada seorang sutradara yang tertarik memfilmkan karya-karyanya, aku tetap tak berminat untuk menontonnya. Takut!” “Yah,wajar. Karena kamu kan kerabatnya yang tahu banyak tentang kehidupannya.” Diujung sana. Di meja yang ditunjuk oleh keponakan Shakuntala ini ada banyak barang-barang pribadi yang juga dipamerkan. “Temenin aku untuk melihat-lihat hasil karya pamanmu yuk! Sekalian dijelasin ya. Kayaknya aku tertarik juga tuh dengan benda-benda koleksi pamanmu.” “Boleh, dengan senang hati.” 11
Selain buku-buku karya Shakuntala, turut dipamerkan juga benda-benda pribadinya seperti, jam tangan perak, gelas ukur (aku bingung, untuk apa seorang penulis mengoleksi gelas ukur), kompas, kendi air minum, sebotol kancing baju, pena emas dan sebotol tintanya, seruling bambu dan sebingkai foto yang di dalamnya dihiasi oleh wajah seorang wanita cantik yang selalu hadir dalam mimpiku. “Siapa yang ada dalam foto itu?” “Kayaknya sih, emang udah ada dibingkainya sewaktu dibeli paman.” Oh,begitu! Jadi dia mengarang Saraswati terinspirasi dari foto ini. Lantas bagaimana dengan benda-benda pribadi yang ikut dipamerkan juga? Apa arti benda-benda itu baginya? Aku harus mencari tahu lebih banyak tentang sosok pengarang yang satu ini. Akhirnya acara lelang pun dibuka. Penawaran pertama seperti yang kuharapkan. Aku berhasil mengambil alih jam peraknya. Padahal aku bersaing ketat dengan seorang pria yang sepertinya sangat menginginkan jam tersebut. Kini aku mulai mengamati tulisan tangannya, bingkai foto, sebotol kancing dan seruling bambu. ### 12
Kini semua benda pribadinya telah berpindah ke kamarku. Jemariku kembali menelusuri garis indah wajahnya dalam bingkai foto. Kubayangkan membelai rambutnya yang indah dan lembut seperti saat aku melakukannya dalam mimpi. Hal ini aku lakukan berulang-ulang kali dengan harapan dapat menghadirkannya secara utuh dan nyata seperti Aladin dengan lampu ajaibnya. Memang hasil cetakannya kurang bagus. Jadinya lebih mirip kanvas ketimbang kertas foto. Tapi bagiku, menelusurinya terasa lembut seperti meraba kulit. Beginilah caranya aku bersentuhan dengannya saat pagi hari. Saraswati Kubisikkan nama itu terus-menerus dalam pikiranku. Aku ingin dunia tahu apa yang aku rasakan saat ini. ####
Sama seperti Shakuntala, aku juga ingin memiliki koleksi barang-barang pribadi. Kalung emas yang rencananya akan kupersembahkan untuk ibuku tercinta saat aku sukses tapi urung terjadi karena ibuku keburu meninggal, tiga keping uang emas jaman Majapahit yang aku dapatkan saat berburu 13
harta karun dengan Ki Manguntopo dan yang pasti gitar Ibanezku. Tapi tak seperti Shakuntala, apabila aku dipanggil Yang Maha Kuasa kelak, aku ingin seluruh benda-benda pribadiku ini dimiliki oleh siapa saja yang menginginkannya. Gratis! Tak perlu pake lelang-lelang segala.
#####
Kubaca manuskrip dengan tulisan tangan orang yang telah mengorbankan jiwa raganya demi terciptanya buku ini. Isinya hampir sama persis dengan novelnya yang sudah mengalami cetak ulang beberapa kali. Hanya saja ada sesuatu yang membedakan antara versi manuskrip dengan versi novelnya. Di versi manuskrip, ada beberapa halaman tambahan yang tidak terdapat dalam versi novelnya. Halaman itu banyak menceritakan pengalamannya dan caranya memanggil sosok Saraswati. Seperti yang aku ceritakan sebelumnya bahwa aku mendapatkan manuskrip ini pada saat mendampingi sebuah band ternama dalam konsernya sebagai band pembuka di suatu daerah. Biasanya kami selalu mendapat tempat pertama sebagai band pembuka apabila band besar tersebut hendak konser di suatu daerah. Aku tidak tahu mengapa mereka lebih 14
memilih kami dalam memdampingi mereka saat konser. Padahal band sejenis di daerah kami itu cukup banyak. Karena banyaknya order manggung yang mereka dapatkan otomatis berimbas pada kami juga. Konser yang biasanya diadakan malam hari membuatku kerap harus tidur di siang hari dan terjaga pada malam hari. Ini yang membuatku terus berjuang agar tetap hidup normal. Terjaga di siang hari dan tidur di malam hari. Malam itu, saat kami menjadi band pembuka setelah petualanganku di pameran buku. Suara gitar mengalun merdu dari petikan jari-jemariku. Saat itu aku berdiri di depan panggung menatap ribuan penonton yang memadati tempat konser. Dia terlihat berdiri diantara penonton menatap panggung. Saat kuedarkan pandangan, disana masih kulihat dia menatapku. Ingin rasanya tubuh ini melayang untuk merengkuhnya dalam pelukanku. Kuarahkan telunjukku padanya. Kubisikkan namanya. Mungkin dia terlalu jauh untuk mendengar bisikanku. Namun dari kejauhan kulihat dia mengangguk. Musik masih terus mengalun. Membuat pikiranku mengembara. Sekarang dia dan musik telah menyatu. Sialnya, Musik telah berhenti mengalun. Suara tepuk tangan penonton menyadarkanku dari lamunan. Diikuti lenyapnya sosok cantik yang telah menawan hatiku. 15
Waktu tampil kami telah habis. Anak-anak sudah bersiap-siap hendak kembali ke hotel. Aku masih terpaku di pinggir panggung. Masih tak percaya dengan kejadian tadi. Aku bisa saja mengemas sendiri perlengkapan panggungku seperti yang biasa aku lakukan selesai manggung. Tapi kali ini aku biarkan kru yang melakukan semua itu. Aku ingin sekali lagi menatap kehadiran Saraswati dalam dunia nyata. Jarang-jarang dia keluar dari persembunyiannya. Lama kumenunggu tak jua sosok itu muncul seperti yang aku harapkan. Di hotel aku tak segera tidur. Aku lebih memilih duduk di pinggir kolam yang sunyi. Kebetulan malam itu tak ada yang berenang. Pikiranku masih mengharapkan kehadiran Saraswati kembali dalam dunia nyata. Tak terasa mataku mengatup dan tubuhku yang letih tertopang oleh sebelah tanganku tepat di dagu. Sampai tiba-tiba cipratan air dingin menyentuh kulit pipiku. “Ngapain disini?” katanya sambil duduk di pinggir kolam dengan tubuh telanjang dan basah kuyup seperti habis berenang. “Aku masih tak percaya dengan yang aku alami saat ini. Apa aku ini sudah gila? Berharap pada sebuah mimpi?” tanyaku sambil mendekatinya dan duduk disampingnya. “Mungkin,” katanya tersenyum. 16
“Aku masih belum bisa membedakan, ini kamu dalam wujud nyata atau hanya mimpi?” “Berhubung kamu tidak sedang tidur dan duduk di pinggir kolam, berarti aku hadir dalam wujud nyata.” “Kenapa kamu ada disini?” “Khan kamu yang manggil aku.” “Ok! Kalau aku panggil atau sebut namamu, kamu datang. Nah sekarang pertanyaannya, kenapa kamu tidak bisa bertahan seterusnya tak hanya pada malam hari?” Dia mengangguk. Menggeser tubuh polosnya mendekatiku dan memelukku dari samping sambil kepalanya bersandar di bahuku. “Rasanya berbeda apabila menyentuhmu dalam dunia nyata dengan mimpi. Seperti ada kehangatan sama seperti dipeluk manusia biasa,” kataku sambil menggerakkan tangan kananku dan memeluk bahu kirinya. Dia kembali menyandarkan kepalanya di bahuku. Lembut kugerakkan jemariku menelusuri rambutnya yang lembab dan basah sambil mengecup bibirnya. Ada kesan tersendiri saat melakukan ini dibandingkan dengan melakukannya saat mimpi. Getaran tetap kurasakan tapi sentuhan itu hanya 17
berupa kesenangan sensoris. Namun kini, aku dapat merasakan lembut bibirnya. Mencium harum tubuhnya. Ada kehangatan menjalar keseluruh tubuhku lebih dari yang kurasakan saat mimpi. “Kau tahu siapa aku, Yo?” suaranya lembut menerpa gendang telingaku. “Ya, tapi aku ingin kamu sendiri yang mengatakannya.” “Akulah Cinta Sejatimu, sayang.” “Apa kau benar-benar mencintaiku, Saras?” “Lebih dari segalanya.” “Selama ini setiap aku memanggil namamu, kau selalu hadir dalam mimpiku. Sekarang, saat aku membayangkan sosokmu dalam pikiranku sambil menyebut namamu kau hadir dalam bentuk nyata, kenapa tidak dari dulu kau katakan bahwa caranya seperti itu?” “Coba lihat aku, Yo! Apa yang kau lihat?” “Aku hanya melihat wanita yang sangat kucintai.” “Yah, tepat sekali. Aku adalah seorang wanita seperti yang dibentuk oleh pikiranmu, Yo. Padahal aku dapat berwujud apa saja. Aku tak dapat berwujud 18
seorang pria karena pikiranmu menginginkan aku berwujud seorang wanita. Dengan kekuatan pikiranmu akhirnya aku dapat menjelma dalam setiap mimpimu bahkan saat kekuatan pikiranmu mencapai puncaknya aku dapat menjelma dalam wujud nyata seperti saat ini. Sayangnya kita harus berkorban untuk mendapatkan semua itu.” “Memangnya apa yang selama ini telah kita korbankan?” “Perasaan, Yo. Perasaanku dan kamu.” “Maksudnya?” tanyaku penasaran. “Sakit gak rasanya setiap kali kita harus berpisah, sayang?” “Yah…” “Saat aku memanggilmu dan pikiranmu sedang tidak berkonsentrasi pada sosokku, Aku sakit, Yo. Saat kau lantun lagu untukku perasaan itu terobati. Saat kau baca novelku getaran pikiranmu kurasakan memeluk tubuhku. Aku hanya milikmu, Yo. Jangan pergi dariku!” “Tidak, sayang. Aku tak kan pernah pergi dari sisimu,” kataku saat fajar mulai menyingsing di ufuk timur. 19
Namun semuanya terlambat. Saraswati telah hilang dari pandangan.
######
Sekarang aku berdiri tepat di pintu masuk Goa Kalong. Seperti yang tertera di halaman tambahan dalam manuskrip ada nama Goa Kalong yang berdampingan dengan tanggal selesainya novel tersebut. Ada apa di Goa ini? Mengapa Shakuntala menyebut Goa ini diakhir novelnya. Aku ingin tahu. Siapa tahu aku menemukan petunjuk untuk dapat memiliki Saraswati seutuhnya. Aku masih terus menatap pintu masuk Goa Kalong ini saat sesosok tubuh keluar dengan wujud bagai sebuah hologram berpakaian layaknya putri keraton bersidekap dada di hadapanku. “Ngapaian kamu kemari?” tanyanya dengan nada angkuh. “Aku ingin mengambil jiwa Saraswati.” Ada suara seorang wanita tertawa. Tapi bukan yang ada dihadapanku. Dia masih bersidekap dada. Tak mungkin dia yang tertawa itu. Tak lama keluar 20
sosok wanita kedua dari dalam tubuh wanita pertama sambil menyimpan kedua tangannya dibelakang punggung. Wajah mereka berdua sangat mirip sekali. Setelah aku perhatikan dengan seksama ternyata yang membedakan antara mereka berdua hanyalah selendang yang mereka kenakan di pinggang. Wanita pertama menggunakan selendang merah sedangkan wanita kedua menggunakan selendang hijau. “Darimana kamu tahu kalau Goa ini menyimpan jiwa Saraswati?” tanya selendang merah. “Salah seorang penulis menyebutkan nama Goa ini dalam salah satu novelnya yang menceritakan tentang sosok Saraswati. Aku yakin, goa ini ada hubungannya dengan Saraswati.” “Dia sudah tahu, Pitaloka.” Kata wanita berselendang biru. “Mencari jiwa Saraswati, ya?” tanya Pitaloka sambil tersenyum. “Sebenarnya tempat ini cuma gerbang menuju jiwa Saraswati. Berarti masih ada tempat-tempat lain yang harus kamu kunjungi.” “Dimana lagi kira-kira tempat yang harus aku kunjungi?” tanyaku padanya.
21
“Apa yang kau tawarkan untuk kami?” tanya Pitaloka padaku. Aku terdiam. Aku tak tahu apa kira-kira yang pantas aku persembahkan untuk mereka. “Bagaimana kalau Cintamu?” Aku langsung berlutut dihadapannya “Maafkan aku tuan putri. Aku tak dapat memberikan cintaku padamu. Justru kedatanganku kemari untuk menjemput jiwa cinta sejatiku. Sekali lagi aku minta maaf.” “Bawa perhiasan ga?” “Sri!” Pitaloka membentak. Aku pernah membelikan Saraswati sebuah cincin emas putih bertahtakan berlian yang aku dapatkan dari uang hasil manggung dan sedikit tabunganku. Suatu saat aku ingin dia memakainya. Namun masalahnya sekarang, aku tak memiliki apapun yang berharga selain sebentuk cincin ini. Biarlah aku berikan saja cincin ini pada mereka. Karena aku membutuhkan kekuatan mereka untuk membuka gerbang menuju jiwa Saraswati. Maka aku merogoh kantung bajuku dan memberikan cincin itu pada Pitaloka. 22
Pitaloka tertawa melengking. Lengkinganya terasa seperti memenuhi hutan larangan tersebut. “Kamu tahu gak, gerbang yang kamu cari itu sulit untuk ditemukan. Karena untuk itu kamu harus bertemu dengan Penjaga Pintu. Dari sanalah perjalananmu akan dimulai. Untuk menemuinya kamu harus kesini lagi nanti di Malam Satu Suro. Karena pada malam itulah pintu gaib akan terbuka. Paham?” Fajar mulai menampakkan wujudnya di ufuk timur. Waktuku semakin sempit. “Sebelum pergi, tolong mainkan sebuah lagu untuk kami ya,” pinta Pitaloka sambil menyatukan tubuhnya dengan tubuh Sri. Aku pun meraih seruling bambu dari dalam tas kain yang aku bawa. Aku mainkan sebuah musik bernuansa etnis Sunda yang aku pelajari dari sebuah kaset lagu-lagu Sunda setelah membaca manuskrip pada halaman tambahan. Pitaloka menari. Maksudku Pitaloka dan Sri yang berada dalam tubuh Pitaloka menari. Terkadang Sri keluar dari tubuh Pitaloka dan mereka menari berpasangan. Setelah itu Sri masuk kembali hingga Pitaloka hanya menari sendiri. Sesaat setelah mereka lenyap dari pandangan, terdengar sebuah bisikan lembut ditelingaku, 23
“Makasih cincinnya ya. Nanti kalau mau kesini lagi pada Malam Satu Suro jangan lupa ketemu dengan Mang Deman dulu. Dia kuncen tempat ini.”
Bagaimana kisah selanjutnya? Dapatkah Aryo menyempurnakan jiwa Saraswati yang terjebak antara dunia gaib dan dunia nyata?
24