WANITA BERTATO: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DAN MOTIVASINYA
Sandra Dewi Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta Jln. Kapas No. 9, Semaki, Yogyakarta
[email protected]
Abstract
This study is aimed to determine the factors that influence women to be tattooed and their motivation. Subjects in this study are two women who had more than one tattoo, for more than a year. The research method which is used was a qualitative research with phenomenological approach. The method of data collection is done by semi-structured interview combined with observation of the two subjects. To ensure the credibility of the data, conducted interviews was held with significant persons of subjects. The results of this study indicate that the factors that affect both tattooed subjects, among others: the fragile family relationships, social environment that can tolerate tattoo, and exposure to information about the tattoo. The study also reveals that the motivation for the subject I tattooed his body, that is, as the bond of interpersonal relationship with someone who is intimate, self-identity, a symbol of interests and hobbies, as well as the beauty aesthetically satisfying. While on the subject of motivation II’s tattooed body, that is, as an identity, a symbol of interests and hobbies, as well as the beauty aesthetically satisfying. Also found motivation tattooed of body on both the subject of a media catharsis. Keywords: Factors that Affect, Motivation, Women, Tattoos
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi wanita bertato dan motivasinya. Subjek dalam penelitian ini adalah dua wanita yang memiliki lebih dari satu tato, selama lebih dari satu tahun. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Metode pengambilan data dilakukan dengan cara wawancara semi terstruktur ditambah dengan observasi terhadap kedua subjek penelitian. Untuk menjamin kredibilitas data, dilakukan wawancara dengan kerabat dekat subjek. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi kedua subjek mentato tubuhnya, antara lain: relasi keluarga yang rapuh, lingkungan pergaulan yang memiliki toleransi terhadap tato, dan paparan informasi tentang tato. Penelitian ini juga mengungkap bahwa motivasi subjek I untuk mentato tubuhnya, yaitu sebagai ikatan dari hubungan interpersonal dengan seseorang yang intim, identitas diri, simbol dari minat dan kegemaran, serta pemuas akan keindahan secara estetis. Sedangkan motivasi mentato tubuh pada subjek II, yaitu sebagai identitas diri, simbol dari minat dan kegemaran, serta pemuas akan
keindahan secara estetis. Selain itu ditemukan motivasi mentato tubuh lainnya pada kedua subjek yaitu sebagai media katarsis. Kata kunci: Faktor-faktor yang Mempengaruhi, Motivasi, Wanita, Tato
PENDAHULUAN Pada hakekatnya, manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang terdiri dari tubuh dan jiwa sebagai satu kesatuan. Tubuh merupakan bagian dari materi jiwa yang dapat dipandang, diraba, bahkan disakiti. Pada kehidupan masyarakat modern, semua tindakan yang dikenakan pada tubuh adalah bagian dari pertunjukan (Olong, 2006). Selera musik, gaya pakaian, dandanan rambut, segala macam aksesoris yang menempel, atau berbagai pilihan lainnya adalah bagian dari pertunjukan identitas dan kepribadian diri. Setiap manusia bisa mengontrol peranan mereka sendiri, khususnya dalam hal penanganan pada tubuh. Tubuh adalah bagian yang paling tampak sehingga dijadikan simbol nyata bagi setiap jiwa dalam penyampaian pesan. Akibat dari simbolisasi yang dikemukakan oleh subjek maka tubuh menjadi multi-interpretatif bagi objek yang menafsirkannya (Olong, 2006). Salah satu contoh nyata yang menimbulkan multi-interpretasi terhadap tubuh adalah tato. Orang lain bebas menginterpretasikan makna tato yang terdapat pada tubuh pengguna tato. Tato sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Eksistensi tato dapat dikatakan pertama kali muncul di Mesir berkisar pada 4000-2000 SM (Olong, 2006). Salah satu bukti tato Mesir tertua ada pada peninggalan mumi Nubbian yang bertahun 2000 SM. Jika dilacak dari budaya material yang tertinggal, Indonesia telah mengenal tato sejak sekitar awal masuknya masehi (Olong, 2006). Hal ini dapat dilihat dari berbagai dekorasi penggambaran figur manusia yang terdapat pada beberapa kendi tanah liat dan perunggu di beberapa kepulauan Indonesia. Barang yang diduga digunakan sebagai peralatan penatoan, berupa jarum dari tulang hewan mamalia, ditemukan di berbagai gua di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Tato pada masyarakat tradisional cenderung menunjukkan sistem pemikiran masyarakatnya. Biasanya sebelum mendapatkan tato, mereka harus melakukan ritual-ritual tertentu. Misalnya pada suku Mentawai (Olong, 2006), laki-laki dan perempuan yang usianya memasuki remaja biasanya menjalani upacara inisisasi (peralihan masa kanak-kanak ke remaja). Masyarakat yang anggota keluarganya menjalani upacara inisiasi harus mengadakan pesta besar dan tubuh anak ditato oleh seorang ahli tato. Sedangkan pada suku Dayak Kayan, ketika seorang laki-laki melakukan ritual tato, sebagai rasa solidaritas seluruh keluarga diharuskan menggunakan cawat/pakaian adat. Selama proses penatoan, seluruh anggota keluarga diharuskan mengendalikan diri dan dianjurkan tidak meninggalkan rumah. Penyebaran kebudayaan tato pada masyarakat modern dibawa oleh para penjelajah yang mengadopsi tato setelah bertemu dengan masyarakat tradisional yang memiliki kebudayaan bertato. Menurut Sanders (2008), sejarah modern dari tato barat/Eropa dimulai dengan perjalanan eksplorasi Kapten James Cook dan pertemuannya dengan suku bertato di Pasifik Selatan (Tahiti). Cook memperkenalkan kata Tahiti “ta tu” yang berarti “untuk menyerang” atau “untuk menandai” dan segera “tato” menjadi istilah umum. Masyarakat kota tertarik untuk melihat seni dan artefak bawaan para penjelajah. Hal ini ditunjukkan bahwa pada tahun 1774, Kapten Cook membawa ahli tato dari Polynesia bernama Omai untuk ditunjukkan pada masyarakat London (Olong, 2006). Banyak masyarakat London yang kemudian merasa sangat modis dengan menggunakan tato yang baru diperkenalkan oleh Omai. Terlebih pasca ditemukannya mesin tato modern, tato muncul dan menjadi trend di kalangan kelas menengah. Mesin tato modern berhasil mempercepat, mengurangi rasa sakit, dan mengeliminasi mode ritual dan simbolisasi spiritual dalam tato tradisional. Penemuan mesin
tato modern merupakan pintu gerbang menuju kecepatan merajah ke kulit antara 2000-3000 tusukan per menit. Tato tidak lagi menjadi dominasi budaya tradisional namun telah berkembang menjadi bagian dari budaya pop. Dulu tato hanya menjadi konsumsi bagi kalangan tertentu, antara lain individu yang beranjak usia dewasa dengan proses ritual yang sifatnya magis dan berbelit. Namun kini, tato menjadi konsumsi bagi banyak kalangan tanpa harus melalui ritualritual tertentu (Olong, 2006). Pada tahun 1950, tato lebih terkait dengan kelompok tertentu seperti geng motor atau geng jalanan. Pada akhir 1970-an dan awal 1980-an tato menjadi pernyataan fashion yang dipopulerkan oleh kelompok punk rock. Saat ini, tato adalah aksesoris fashion kelas menengah yang dipakai pada peragaan busana internasional (Lemma, 2010). Tato dianggap modis, fashionable sekaligus aksesoris mempercantik diri. Menurut Goldstein (Sanders, 2008), orang bertato banyak digambarkan sebagai “berpikiran sederhana”, “tidak dewasa”, “bermusuhan”, “agresif”, “merusak diri sendiri”, “tidak bisa dipercaya”, dan “kekanak-kanakan”. Bertato biasanya didefinisikan sebagai gejala psikopatologi. Namun, Haines dan Huffman (Sanders, 2008) melihat tato sebagai indikator kematangan emosi dan karakteristik pemakainya. Grumet (Sanders, 2008) menyarankan dokter untuk menggunakan interpretasi simbolisme tato dan diskusi dengan pasien sebagai bagian dari proses diagnostik, karena menurutnya tato dapat dilihat sebagai penopang psikis yang bertujuan untuk memperbaiki citra diri yang cacat, membangkitkan harapan, menjaga emosi negatif, dan mengurangi ketidakcocokan antara individu dan aspirasinya. Ia mengungkapkan bahwa bertato seperti proses bermimpi, tato menyingkat, melambangkan, dan menggantikan energi psikis ke sebuah gambar yang bermakna. Gambar itu sendiri adalah media yang ideal untuk menyampaikan arti tersembunyi (Karacaoglan, 2012). Citra visual tato memungkinkan untuk presentasi sadar dari konflik batin. Saat ini, wanita yang mentato tubuh tidak jarang untuk ditemukan. Sebagian dari mereka bahkan menggunakan pakaian yang cenderung memperlihatkan tato mereka. Menurut Kassandra (Aldy, 2007), wanita bertato cenderung mengarah tipikal wanita yang eksibisionis. Kebanggaan dan keinginan menampilkan tato yang ada di bagian tertentu tubuhnya, termasuk kategori eksibisionis. Seolah wanita bertato ingin memperlihatkan sisi kelembutannya dengan mewujudkan sebuah tato yang indah. Hasil penelitian Sanders (2008) mengungkapkan tentang lokasi tubuh tato pertama, responden pria paling banyak menerima tato pertama mereka di lengan atau tangan (71%), sedangkan responden wanita paling banyak menerima tato pertama mereka di dada (35%). Beberapa hasil wawancara yang terdapat pada majalah Magic Ink menyebutkan bahwa motivasi wanita untuk mentato tubuhnya bervariasi, dari sekedar iseng, apresiasi terhadap keindahan seni, sampai sebagai bentuk protes. Seperti Dea, pemilik studio tato di Bali yang mengatakan, “waktu itu, aku bikin tato sebagai bentuk protes untuk keluargaku” (Superfenda, 2011). Pernyataan Dea tersebut menunjukkan salah satu sikap mekanisme pertahanan diri yang dikemukakan oleh Freud (Semiun, 2006) yaitu pemindahan (displacement). Mekanisme pertahanan ini dilakukan dengan cara memindahkan ungkapan emosional, dari sumber penyebabnya kepada seseorang atau suatu objek lain (dalam hal ini tato). Lain halnya dengan Eldha, salah satu mahasiswi UGM Yogyakarta yang mengatakan, “pas bikin pertama kali tuh iseng aja, penasaran sama rasa sakitnya” (Nipnip, 2011). Pernyataan Eldha tersebut menunjukkan perilaku pencarian sensasi. Menurut Zuckerman (Friedman dan Schustack, 2008), para pencari sensasi memiliki kencenderungan yang konsisten untuk terus mencari aktivitas-aktivitas yang sangat menegangkan, seperti terjun payung, dan mereka juga tertarik dengan segala sesuatu yang belum mereka ketahui.
Sedangkan Rebecca, salah seorang kolektor tato dari Bali mengatakan, “karena papa dan mama suka tato dan tato itu sebuah kenangan seni yang indah yang nggak bakal hilang” (www.magicwave.org/images/Download/Pdf/magic-ink-vol-7-pdf-41 .pdf). Pernyataan yang ditunjukkan oleh Rebecca merupakan aplikasi dari teori pembelajaran observasi (observational learning) yang dikemukakan oleh Bandura (Friedman dan Schustack, 2008). Pembelajaran observasi (observational learning) sering disebut dengan modelling, yang berarti seseorang membentuk dirinya serupa sosok orang lain. Menurut Bandura, orang tidak asal meniru perilaku orang lain, namun mereka memutuskan dengan sadar untuk melakukan perilaku yang dipelajari melalui observasi. Pengaruh terpenting yang membuat seorang pengamat mempertimbangkan akan mengimitasi perilaku yang diamati adalah konsekuensi dari perilaku atau ekspektasi hasil. Individu cenderung mengimitasi perilaku yang mereka percaya menghasilkan hasil akhir yang positif. Sebagian orang tua mengizinkan anak perempuannya untuk mentato tubuhnya. Tetapi, sebagian orang tua lain memandang wanita yang mentato tubuh sebagai sesuatu hal yang negatif. Seperti Risha yang mengatakan, “bapakku malah nawarin aku jadi gentho alias preman sekalian. Exactly, otomatis bapakku mikir kalo orang bertato identik dengan hal negatif”(http://www.coretanpecundang.co.cc/2010/11/bincang-bincang-tentang-bertato-dan. html). Hal ini mengungkapkan bahwa Ayah Risha mengganggap tato identik dengan kalangan preman. Hal-hal yang mendasari masyarakat umum di Indonesia berpikir negatif tentang tato tidak lepas dari sejarah buruk tato. Pada Orde Baru tahun 1983-1985 dikenal dengan zaman Petrus (penembakan misterius). Petrus merupakan operasi penumpasan (yang dilakukan tanpa proses peradilan) orang-orang yang ditengarai bertindak kriminal. Personel yang ditumpas tersebut umumnya bertato. Akibat operasi Petrus tahun 1983-1985, tato berubah makna dari sekedar ekspresi menjadi simbol negatif. Pengguna tato juga tidak berhak untuk diterima sebagai PNS atau pegawai instansi pemerintah lainnya (Olong, 2006). Hal ini menyiratkan bahwa pemerintah telah memberikan label tidak baik pada tato dan tato juga diidentikkan dengan pelaku kriminal. Seiring perkembangan zaman dan derasnya arus informasi, maka nilai-nilai tradisi yang ada di masyarakat makin terkikis. Salah satu teknologi informasi yang berperan penting dalam penyebaran budaya tato adalah media massa. Media massa menyajikan beragam informasi dan berita, termasuk tato. Tato juga telah digunakan oleh sejumlah artis yang akrab dengan dunia media. Bahkan saat ini telah ada majalah khusus komunitas tato di Indonesia yang bernama Magic Ink, namun tidak terbit secara resmi dan hanya dibagikan gratis. Bagus (Mahbub dkk, 2010) menyatakan bahwa majalah Magic Ink untuk mewadahi interaksi antarseniman, konsumen, dan penggemar tato. Tato di Indonesia tidak lagi terbatas pada interaksi antar seniman tato dan klien di ruang praktek tato, namun seni tubuh ini telah keluar ke area publik. Menurut Olong (2006), masyarakat kota besar yang mengalami fenomena tato akan mendapatkan sesuatu yang dinamakan “efek repetitis”, yaitu sesuatu pola penyimpangan dan pengaruh yang terjadi secara terus-menerus dan berulang-ulang dibiarkan berlangsung hingga orang di sekitarnya serta yang menghadapinya akan menjadi terbiasa, dan di dalam diri masing-masing masyarakat akan terbentuk kemampuan untuk beradaptasi dengan penyimpangan tersebut. Tato telah menjadi sebuah fenomena yang disukai oleh sebagian masyarakat umum, termasuk wanita. Bila masyarakat mulai menerima keberadaan pria yang memiliki tato (misalnya pada kalangan preman atau geng motor), namun lain halnya dengan wanita yang memiliki tato. Hasil penelitian Tapaningtyas (2008) menyebutkan bahwa pandangan masyarakat terhadap wanita bertato 55,45% negatif, 12,22% positif, dan 32,33% netral. Kebanyakan orang menilai wanita yang mentato tubuhnya identik dengan hal yang negatif (sangar, menyeramkan, preman, perempuan nakal, liar). Hal ini senada dengan penelitan
Amstrong dkk (2008) yang menyatakan bahwa wanita bertato lebih banyak mendapatkan komentar negatif dan masalah stigma di depan umum, tempat kerja, atau sekolah dari pada pria bertato. Resiko bertato tidak terbatas pada pandangan negatif saja yang mungkin diterima, tetapi juga resiko terjangkitnya penyakit pasca penatoan. Mentato tubuh juga berarti melukai tubuh. Bibit penyakit dapat masuk ke dalam tubuh melalui luka akibat tusukan tato, dan beresiko tinggi tertular virus hepatitis ataupun HIV. Kondisi ini disebabkan karena tato tidak menggunakan alat yang tidak steril atau digunakan secara bergantian. Hepatitis menular lewat darah dan cairan tubuh manusia (Evy, 2009). Virus HIV juga hidup di dalam 4 cairan tubuh manusia, cairan darah, cairan sperma, cairan vagina, dan air susu ibu (Putra, 2009). Bahkan kehadiran tato telah digunakan sebagai kriteria untuk penangguhan donor darah karena berpotensi menularkan penyakit (Nishioka dan Gyorkos, 2001). Sebagian besar masyarakat lebih mengenal AIDS sebagai resiko terkait pada seni tubuh (tato), tetapi resiko lain yang berpotensi tidak diketahui (Quaranta dkk, 2011). Resiko lainnya yang berpotensi dalam tato seperti alergi atau iritasi pada kulit yang disebabkan oleh tinta tato. Tinta tato yang beredar di pasaran umumnya terbuat dari bahan kimia yang patut dikelompokkan ke dalam unsur logam berat, seperti arsenik, mercury, perak, emas, dan bismuth, yang berbahaya untuk kesehatan (Rixco, 2008). Selain beresiko terjangkit penyakit, hasil penelitian Carroll dkk (2002) menyatakan bahwa tato/tindik tubuh sangat berkaitan dengan pengambilan perilaku beresiko lainnya seperti gangguan perilaku makan (eating disorder behaviour), penggunaan narkoba, penggunaan obat keras, aktivitas seksual, dan bunuh diri. Carroll dkk menjelaskan bahwa kekerasan dikaitkan dengan laki-laki bertato dan perempuan yang bertindik. Penggunaan narkoba dikaitkan dengan usia yang lebih muda dalam pengambilan keputusan bertato dan bertindik. Sedangkan penggunaan obat keras dikaitkan dengan jumlah tindik. Bunuh diri dikaitkan dengan perempuan bertato dan usia yang lebih muda dalam pengambilan keputusan bertato dan bertindik. Tato pun ditemukan lebih umum pada wanita dibandingkan pria. Kent (Mahbub dkk, 2010), salah seorang seniman dan pemilik studio tato di Bandung mengatakan, pelanggannya mencapai 40 ribu orang dengan latar belakang yang berbeda-beda, mulai dari pejabat, artis, dan orang kebanyakan. Herman, salah satu seniman tato pun menyebutkan bahwa peminat utama tato di daerah Jakarta adalah wanita berusia 20-30 tahun (Budiarti dkk, 2001). Berdasarkan uraian di atas, tato merupakan perilaku beresiko tinggi baik secara fisik, psikis, maupun sosial. Perilaku bertato berkaitan dengan sejumlah penyakit (alergi, hepatitis, HIV), gangguan perilaku (gangguan perilaku makan, bunuh diri), keterlibatan dalam penggunaan narkoba. Keberadaan tato juga membatasi partisipasi pada instansi pemerintahan dan donor darah. Bagi wanita yang mentato tubuhnya, lebih rentan untuk mendapatkan pandangan negatif dari masyarakat. Meskipun demikian, semua resiko yang telah tersebut di atas, tidak menyurutkan niat wanita untuk mentato tubuhnya. Fenomena tentang wanita yang mentato tubuhnya ini menarik perhatian peneliti untuk menggali lebih dalam mengenai motivasi yang dimiliki oleh wanita untuk menato tubuhnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi dan motivasi wanita mentato tubuhnya. Motivasi adalah suatu kekuatan yang terdapat dalam diri seorang individu yang menyebabkan bertindak atau berbuat. Motivasi juga merupakan keadaan dalam diri individu atau organisme yang mendorong perilaku ke arah tujuan (Walgito, 2002). Senada dengan hal itu, Munandar (2006) menyatakan bahwa motivasi adalah suatu proses ketika kebutuhankebutuhan mendorong seseorang untuk melakukan serangkaian kegiatan yang mengarah ke tercapainya tujuan tertentu.
Motivasi dapat dimunculkan dari proses pembelajaran pada lingkungan. Bandura (Feist dan Feist, 2006) percaya bahwa perilaku baru dicapai lewat dua jenis pembelajaran utama, yaitu pembelajaran dengan mengamati dan pembelajaran dengan bertindak. Proses yang mengatur pembelajaran dengan mengamati, yaitu: perhatian, representasi, produksi perilaku, dan motivasi. Sebelum mampu menjadikan orang lain sebagai model, individu harus memperhatikan orang tersebut. Adapun faktor-faktor yang mengatur perhatian ini adalah memiliki kesempatan untuk mengamati yang padanya individu sering mengasosiasikan diri, model-model yang atraktif lebih banyak diamati daripada yang tidak (figur populer di televisi), dan hakikat perilaku yang mempengaruhi diri individu. Agar pengamatan dapat membawa individu kepada pola-pola respons yang baru, pola-pola tersebut harus direpresentasikan secara simbolis di dalam memori. Representasi simbolik tidak mesti verbal. Namun pengodean verbal itu sendiri mempercepat proses pembelajaran dengan mengamati. Pengodean verbal membantu mengujicobakan perilaku secara simbolis. Setelah memberi perhatian kepada sebuah model untuk diamati, individu akan menghasilkan perilaku. Namun, performa harus difasilitasi oleh motivasi agar mampu mewujudkan perilaku yang diinginkan. Pembelajaran yang diperoleh dari perilaku yang sebelumnya (pembelajaran dengan bertindak), memungkinkan seseorang untuk mencapai pola-pola respon yang baru dan mengevaluasi dengan kognisinya sehingga dapat memunculkan motivasi untuk melakukan perilaku selanjutnya. Menurut Bandura (Santrock, 2003), tingkah laku, faktor manusia dan kognisi, dan pengaruh lingkungan beroperasi secara interaktif. Tingkah laku dapat mempengaruhi kognisi, dan sebaliknya; aktivitas kognitif individu dapat mempengaruhi lingkungan; pengaruh lingkungan dapat mengubah proses pikiran individu dan seterusnya. Hal ini berarti penentu dalam tingkah laku adalah kognisi atau proses pikiran individu tentang persepsinya pada lingkungan ataupun konsekuensi perilaku. Combs dan Snygg (Semiun, 2006) mengatakan bahwa tingkah laku ditentukan oleh dan berhubungan dengan medan perseptual organisme yang bertingkah laku. Pengertian medan perseptual itu sendiri adalah medan persepsi yang berkenaan dengan tingkah laku individu sehari-hari. Pada saat bertindak, medan itu diatur sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan dari orang yang bertingkah laku dan sarana yang digunakan untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan tersebut. Kebutuhan menjadi titik pusat dari medan perseptual. Kebutuhan ini (perasaan adekuat) memiliki dua ciri khas yang pokok: pemeliharaan diri (the maintenance of the self) dan peningkatan diri (the enhancement of the self). Keduanya mengacu pada perjuangan manusia untuk mencapai diri yang lebih adekuat. Kebutuhan akan perasaan adekuat itu dibagi menjadi empat kategori; kebutuhan akan berprestasi, kebutuhan akan status, kebutuhan akan keamanan fisik, dan kebutuhan akan keamanan emosional. Secara kebahasaan, tato mempunyai istilah yang nyaris sama digunakan di berbagai belahan dunia. Beberapa di antaranya adalah tatoage, tatouage, tätowier, tatuaggio, tatuar, tatuaje, tatoos, tattueringar, tatuagens, tatoveringer, tattos, dan tatu. Dahulu tato yang merupakan bagian dari body painting adalah suatu produk dari kegiatan menggambar pada kulit tubuh dengan menggunakan alat sejenis jarum atau benda yang dipertajam yang terbuat dari flora. Gambar tersebut dihias dengan pigmen berwarna-warni (Olong, 2006). Saat ini tato telah menggunakan mesin yang canggih, yang bisa sedikit mengurangi waktu penatoan dan rasa sakit dibandingkan dengan peralatan penatoan tradisional. Tato pun merupakan penyisipan tinta atau pigmen lainnya dengan jarum tajam (Sheumaker dan Wadja, 2008). Perilaku bertato merupakan perilaku yang diadaptasi dari tradisi suku pedalaman. Individu menjadi tertarik karena terdapat beberapa faktor yang mempengaruhinya. Olong (2006) menyatakan terdapat beberapa faktor yang membuat tato menjadi dikenal oleh masyarakat luas pada saat ini yaitu, isu hak asasi yang menggaung dan paling digemari (tato mencerminkan hal tersebut), sarana ekspresi kaum muda, mengikuti penampilan idola,
ditemukannya peralatan canggih yang dapat meminimalisir rasa sakit saat ditato, serta teknik untuk menghilangkan tato. Olong menambahkan bahwa media massa memiliki peran yang strategis dalam pembentukan citra bahwa tato sebagai gaya yang seringkali disandang oleh kalangan artis, olahragawan, hingga tokoh seni. Bukti-bukti arkeologis menunjukkan bahwa tato untuk pertama kali digunakan oleh kaum wanita. Bukti tato Mesir yang tertua ada pada peninggalan mumi Nubbian yang bertahun 2000 SM (Olong, 2006). Sejarah tentang wanita bertato juga terdapat di Indonesia. Pada masyarakat tradisional misalnya, tato pada kaum wanita suku Belu di pulau Timor merupakan simbol kecantikan tersendiri sebagai medium daya tarik lawan jenis (Olong, 2006). Pembuatan tato tersebut memerlukan biaya prosesi yang tidak kecil, perayaan tersebut merupakan kebanggaan tersendiri bagi yang mampu melakukannya. Pada masyarakat Sumba, wanita merajah pergelangan kaki mereka dengan warna hitam pekat untuk menandakan bahwa mereka telah mempunyai pasangan tetap (suami). Anak perempuan suku Mentawai ditato saat mereka memasuki usia remaja. Sedangkan wanita pada suku Dayak Kayan yang bertato lebih diperhitungkan derajatnya dibanding wanita yang tidak bertato. Pada masyarakat tradisional, tato diletakkan sebagai perangkat yang menunjukkan kesetiaan dan kepatuhan individu terhadap aturan-aturan yang disepakati dalam struktur masyarakat tersebut, sehingga tato dipahami maknanya secara komunal. Pada masyarakat modern hanya tiap individu yang bertato saja yang paham terhadap makna tatonya sendiri sehingga dimaknai secara personal. Namun, terdapat juga sebagian individu bertato yang memaknainya secara komunal (dalam kelompok tertentu). Sanders (2008) membagi motivasi bertato secara garis besar, yakni : a. Simbolisasi dari sebuah hubungan interpersonal. Tato merupakan simbol dari persahabatan, cinta kasih, atau yang berhubungan dengan orang yang lain. b. Partisipasi dalam sebuah kelompok. Tato digunakan untuk menunjukkan koneksi dan komitmen pada sebuah kelompok. c. Simbol identitas diri Tato digunakan sebagai representasi simbolik dari bagaimana seseorang memahami dirinya sendiri. d. Presentasi dari ketertarikan utama dan aktivitas Tato merupakan presentasi dari hobi, aktivitas kerja, maupun pemujaan idola. e. Pernyataan tentang keindahan estetis Walaupun tidak peduli pada arti definisi diri atau asosiasional dari tato yang dipilih, pengguna tato biasanya menyadari fungsi dekoratif/ estetika desain. Sanders masih membagi motivasi bertato secara garis besar, bukan hanya untuk wanita saja. Namun, Sanders (2008) mengatakan bahwa wanita cenderung menganggap tato sebagai hiasan tubuh yang permanen. Terlebih ditujukan untuk kesenangan pribadi dan kenyamanan dari hubungan intim dengan individu. Tato yang dipilih ditempatkan pada bagian tubuh yang paling sering dilihat oleh seseorang yang memiliki hubungan primer dengan wanita itu. Sedangkan Pitts (Atkinson, 2003) mengatakan bahwa memodifikasi tubuh menjadi sarana pembebasan dalam proses merekonstruksi identitas diri wanita. Decker dan Winkle (2004) pun menambahkan bahwa tato merupakan salah satu representasi simbolik dari keanggotaan pada kelompok geng. Tidak hanya terbatas pada anggota pria, namun beberapa wanita juga memilikinya. Tato umumnya untuk mengatur atau simbol keanggotaan milik geng, baik dengan memasukkan bagian dari nama geng atau simbol geng.
METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Menurut Denzin dan Lincoln (Moleong, 2011) penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada (wawancara, pengamatan, dan pemanfaatan dokumen). Penelitian kualitatif dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lain. Penelitian kualitatif diharapkan mampu menghasilkan suatu uraian mendalam tentang ucapan, tulisan, dan atau perilaku yang dapat diamati dari suatu individu, kelompok masyarakat, dan atau suatu organisasi tertentu dalam suatu setting konteks tertentu yang dikaji dari sudut pandang yang utuh, komprehensif, dan holistik. Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan (Bogdan dan Taylor dalam Basrowi dan Suwandi, 2008). Metode pendekatan yang akan digunakan dalam memperoleh data atau fenomena yang ingin diungkap dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan fenomenologi. Pendekatan ini dimaksudkan untuk mengungkap dinamika psikologis motivasi wanita mentato tubuhnya. Peneliti berusaha memahami subjek dari sudut pandang subjek itu sendiri dengan tidak mengabaikan membuat tafsiran dengan membuat skema konseptual (Handayani dan Sugiarti, 2002). Menurut Smith (2009), fenomenologi tidak mencoba mereduksi suatu gejala menjadi variabel-variabel yang bisa diidentifikasi dan mengontrol konteks ketika gejala itu hendak dikaji; fenomenologi bertujuan untuk sebisa mungkin tetap selaras dengan gejala itu dan dengan konteks ketika gejala itu muncul di dunia. Hal ini berarti bahwa bila suatu gejala khusus hendak dikaji, maka akan digali suatu situasi ketika para individu mengalami sendiri pengalaman mereka sehingga mereka bisa menggambarkannya seperti yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan mereka. Metode ini dapat memperoleh gambaran yang jelas mengenai proses motivasi yang mendorong wanita menato tubuhnya dengan setting yang alami, sehingga peneliti bisa menyusun makna yang disampaikan oleh subjek. Pada penelitian ini, pengambilan sampling sesuai dengan kriteria-kriteria tertentu. Lecompte dan Preissle (Daymon dan Holloway, 2002) menyatakan bahwa penarikan sampel yang didasarkan pada kriteria merupakan istilah yang lebih baik, karena kebanyakan strategi penarikan sampel sesungguhnya sangat berorientasi tujuan. Masing-masing subjek yang diteliti akan sangat membantu dan bermanfaat jika memiliki pengalaman sesuai dengan kriteria. Penelitian ini mengambil subjek: a) berjenis kelamin wanita b) memiliki tato lebih dari satu c) telah memiliki tato lebih dari satu tahun. Dalam penelitian ini, ada dua metode yang digunakan dalam proses pengambilan data, yaitu wawancara semi terstruktur dan observasi. Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis isi. West dan Turner (2008) menjelaskan bahwa analisis isi (context analysis) adalah teknik penelitian khusus untuk melaksanakan analisis tekstual. Langkahlangkah dalam analisis isi, yaitu mereduksi teks menjadi unit-unit (kalimat, ide, gambar, bab, halaman depan majalah, dan sebagainya) dan kemudian menerapkan skema pengodean pada unit-unit tersebut untuk membuat inferensi mengenai komunikasi dalam teks.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kedua subjek berasal dari keluarga yang masih utuh (tidak mengalami perceraian dan kedua orang tua masih hidup) dan sama-sama memiliki beberapa saudara kandung. Sejak kecil sampai remaja, kedua subjek terbiasa menerima arahan atau keputusan yang disarankan oleh orang tuanya, baik secara terpaksa maupun tidak. Keputusan untuk memiliki tato pada kedua subjek, pertama kali muncul setelah memasuki jenjang perkuliahan dan tinggal sendiri. Kedua subjek terjun ke lingkungan baru, yang kebetulan terdapat orang bertato, dan merasa nyaman berada di dalamnya. Lingkungan dan suasana baru yang bersahabat membuat mereka merasa kehidupannya lebih berbeda dan berarti dari sebelumnya. Terlebih karena sering bertemu, merasa bebas membuka diri, bebas menyatakan emosi, dan memiliki beberapa kesamaan, misalnya dalam hal ketertarikan pada dunia musik atau seni. Kedua subjek telah mengenal tato sejak usia kecil dari lingkungan kerja ayah mereka. Kedua subjek memiliki kesamaan dalam latar belakang keluarga, yaitu memiliki relasi keluarga yang rapuh. Saat kecil subjek I mengalami keambiguan dalam meyakini agamanya karena ketidakkonsistenan perilaku individu (salah satunya adalah ayah subjek I) di sekitarnya dengan ajaran agama yang dianut sehingga ketika remaja mengambil agama yang berbeda dengan orang tua. Menurut Streib (Santrock, 2011), remaja yang memiliki konflik atau kelekatan yang tidak aman pada hubungan dengan orang tua, maka dapat mencari afiliasi keagamaan yang berbeda dari orang tua. Konflik atau kelekatan tidak aman subjek I pada hubungan dengan orang tua dapat terjadi karena lemahnya figur ayah, figur ibu yang “bertopeng” (menyembunyikan emosi negatif dan hanya memperlihatkan emosi positif) dan menganut pola asuh yang terlalu melindungi (overprotected). Perlindungan yang berlebihan mengganggu usaha anak untuk menguji kemampuannya dalam menghadapi tekanan-tekanan dari lingkungan sehingga anak akan menjadi orang yang penurut atau terlalu banyak menuntut, cemas, dan merasa tidak aman (Semiun, 2006). Pada subjek II juga terjadi pola asuh orang tua yang overprotected dan cenderung otoriter (keinginan orang tua harus selalu dituruti). Menurut Baumrind (Santrock, 2003), pengasuhan autoritarian membuat remaja seringkali merasa cemas akan perbandingan sosial, tidak mampu memulai suatu kegiatan, dan memiliki komunikasi yang rendah. Relasi dengan saudara kandung pada kedua subjek juga tidak memiliki kedekatan emosional yang mendalam. Subjek I merasa iri pada kedua adiknya karena orang tuanya lebih memproteksi kegiatannya dari pada kedua adiknya. Pembagian cinta kasih oleh orang tua dapat menimbulkan perasaan iri atau bermusuhan dan selanjutnya dapat mengancam rasa aman anak (Semiun, 2006). Sedangkan pada subjek II, sejak kecil kakak laki-laki sering merendahkannya sehingga memunculkan perasaan bermusuhan pada kakaknya. Relasi dalam keluarga yang rapuh memunculkan perasaan tidak aman dan nyaman di dalam diri kedua subjek sehingga ketika menemukan hubungan teman sebaya yang memberi keleluasaan untuk saling menyatakan emosi dan kenyamanan maka hubungan itu dianggap sangat berarti. Menurut Piaget (Santrock, 2003), hubungan orang tua-anak, cenderung terdiri dari orang tua yang memiliki kewenangan searah terhadap anak mereka. Sedangkan hubungan teman sebaya cenderung terdiri dari partisipan yang berhubungan satu sama lain dengan kedudukan yang lebih setara. Ketika memasuki awal perkuliahan, ketertarikan kedua subjek untuk memiliki tato muncul saat menemukan lingkungan pergaulan (hubungan teman sebaya) yang dianggap berarti dan dapat memberikan kenyamanan serta keamanan emosional (keleluasaan dalam menyatakan emosi). Lingkungan pergaulan tersebut adalah lingkungan pergaulan individu yang memiliki toleransi terhadap tato. Menurut Rubin dkk (King, 2010) selama masa remaja, individu menghabiskan lebih banyak waktu bersama teman sebayanya dibandingkan dengan
ketika mereka masih anak-anak. Pengaruh dari teman sebaya ini dapat berupa hal positif maupun negatif. Kedua subjek memiliki intensitas tinggi dan menjalin hubungan interpersonal dengan individu/kelompok yang memiliki tato sehingga timbul ketertarikan untuk memiliki tato juga. Paparan informasi tentang tato ikut mempengaruhi pemikiran individu untuk mentato tubuhnya. Sejak kecil kedua subjek telah mengenal dan terbiasa serta memiliki image positif terhadap tato. Keinginan bertato pada subjek II pertama kali muncul saat ia memiliki body image negatif pada usia remaja karena mendapat diskriminasi atas fisiknya yang gemuk dari teman-temannya. Subjek II ingin penampilannya menjadi menarik. Menurut Allen dkk (Santrock, 2011) remaja terobsesi dengan tubuh mereka dan mengembangkan gambaran dari bentuk tubuh yang mereka sukai. Keinginan itu diperkuat dengan pemberitaan di media massa (televisi) yang sering menayangkan keberadaan tato sebagai tampilan dari penyanyi idolanya (selebriti). Olong (2006) mengatakan bahwa media massa memiliki peran yang strategis dalam pembentukan citra bahwa tato sebagai gaya yang kerap disandang oleh kalangan artis, olah ragawan, hingga tokoh seni. Secara tidak langsung, media massa turut menyumbangkan peranannya dalam memberikan paparan informasi tentang tato. Skema dinamika psikologis wanita yang mentato tubuhnya secara terinci dapat dilihat pada gambar 1. Gambar 1. Skema Dinamika Psikologis Wanita yang Mentato Tubuhnya Relasi dalam keluarga Figur Ayah lemah Figur Ibu “bertopeng”(hanya memperlihatkan emosi positif) Orang tua pilih kasih dan overprotected Pola asuh orang tua otoriter Hubungan antar saudara kandung tidak dekat
Relasi dalam pertemanan Mendapat perlakuan diskriminatif
Memiliki body image negatif Merasa tidak aman dan nyaman
Lingkungan pergaulan yang toleran terhadap tato Paparan informasi tentang tato Telah terbiasa melihat dan memiliki image positif terhadap tato.
Menemukan keluarga “baru” di kelompok teman sebaya yang dapat memberikan kenyamanan dan keamanan emosional (keleluasaan menyatakan emosi), yang toleran terhadap tato.
Motivasi mentato tubuh
Mentato Tubuhnya
Media Massa
Sanders (2008) membagi motivasi bertato menjadi lima dan termasuk dalam motivasi wanita mentato tubuh, yaitu simbolisasi dari sebuah hubungan interpersonal, partisipasi dalam sebuah kelompok, simbol identitas diri, presentasi dari ketertarikan utama dan aktivitas, serta pernyataan tentang keindahan estetis. Pembahasan ini mengacu pada teori Sanders di atas.
1.
Simbolisasi dari sebuah hubungan interpersonal Ketertarikan untuk memiliki tato pada subjek I muncul di saat ia bergabung di dalam kelompok band dan memiliki hubungan interpersonal yang mendalam (persahabatan, persaudaraan) dengan salah satu anggota band yang memiliki tato. Sebelumnya, subjek telah terbiasa melihat dan memiliki image positif terhadap tato. Combs dan Snygg (Semiun, 2006) mengatakan bahwa tingkah laku ditentukan oleh dan berhubungan dengan medan perseptual (medan fenomenal) individu. Saat bertindak, medan itu diatur sesuai dengan kebutuhankebutuhan dari orang yang melakukan tindakan tersebut dan sarana yang digunakan untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan tersebut. Pada subjek I yang telah memiliki paparan informasi tentang tato sebelumnya dan memiliki kebutuhan afiliasi yang tinggi untuk mengikatkan hubungan interpersonalnya dengan seseorang yang paling dekat dengannya (anggota band) maka memunculkan motivasinya untuk mentato tubuhnya. Menurut Murray (Chaplin, 2005), kebutuhan afiliasi adalah kebutuhan akan tali perkawanan dengan orang lain; pembentukan persahabatan; ikut serta dalam kelompok-kelompok tertentu; bercinta; kerjasama; dan koorperasi. Kebutuhan ini memotivasi subjek untuk memiliki tato sebagai simbol dari hubungan interpersonalnya dengan seseorang yang intim. Selain itu, subjek juga mengikatkan hubungan interpersonal yang mendalam (cinta kasih) dengan suami maupun anaknya. Sanders (2008) menyatakan bahwa tato merupakan simbol persahabatan, cinta kasih, atau yang berhubungan dengan orang lain. 2. Partisipasi dalam sebuah kelompok Sanders (2008) menyatakan bahwa tato digunakan untuk menunjukkan koneksi dan komitmen pada kelompok. Berdasarkan hasil wawancara, kedua subjek tidak memiliki tato sebagai komitmen kelompok karena tidak ingin terikat di dalam peraturan kelompok. 3. Simbol identitas diri Kedua subjek memiliki tato yang digunakan sebagai pemahamannya atas dirinya sendiri. Sanders (2008) menyatakan bahwa tato digunakan sebagai representasi simbolik dari bagaimana seseorang memahami dirinya sendiri. Subjek I menggambarkan tentang pemahaman dirinya yang sangat menyukai musik, memiliki filosofi hidup dan religiusitas terhadap agamanya. Menurut Erikson (Feist dan Feist, 2006), identitas ego (ego identity) adalah imaji yang dimiliki individu tentang dirinya di beragam peran sosial. Sedangkan pada subjek II, relasi keluarga yang rapuh dan perlakuan diskriminatif membuatnya memiliki kebutuhan untuk dicintai dan dihargai dan kebutuhan akan otonomi. Ketertarikan dan keputusannya untuk memiliki tato didasari oleh relasi keluarga yang rapuh dan paparan informasi tentang tato yang tinggi (memiliki image positif dan intensitas bergaul yang tinggi dengan teman-temannya yang memiliki tato) sehingga menggunakan tato untuk menjadi individu baru yang memiliki otonomi dan dicintai serta dihargai teman-teman dan beberapa orang lainnya (individu lain yang segan dan menghormati karena subjek memiliki tato). 4. Presentasi dari ketertarikan utama dan aktivitas Berdasarkan hasil wawancara, kedua subjek memiliki tato sebagai simbol dari kegemaran dan minat yang besar pada suatu hal. Sanders (2008) menyatakan bahwa pengguna tato mewakili diri dengan memilih desain yang melambangkan keterlibatan pribadi yang penting, hobi, aktivitas kerja dan sebagainya. Subjek I memiliki ketertarikan pada misteri dan musik. Sedangkan pada subjek II memiliki ketertarikan yang mendalam pada binatang kucing dan macan tutul. 5. Pernyataan tentang keindahan estetis. Berdasarkan hasil wawancara yang diperoleh dari kedua subjek dapat diketahui bahwa keduanya sama-sama memiliki kebutuhan akan keindahan estetis pada desain maupun penempatan tato. Menurut Maslow (Feist dan Feist, 2006), orang dengan kebutuhan estetis
yang kuat menginginkan lingkungan sekeliling yang indah dan teratur. Pada kedua subjek menginginkan desain yang indah dan penempatan tato yang teratur pada bagian tubuhnya. Pada sisi lain, kedua subjek melakukan pelepasan emosi negatif (katarsis) melalui tato. Keinginan untuk memiliki tato pertama kali pada subjek II menguat bersamaan ketika sedang mengalami emosi negatif (perasaan bersalah, penyesalan, sakit hati, kecewa, marah) dengan seseorang sehingga timbul keinginan lain untuk meluapkannya pada suatu objek (dalam hal ini tato) agar seolah-olah terbebas dari perasaan bersalah dan sakit hati (perilaku buruk di masa lalu dan pengkhianatan pada pasangan). Begitu pula dengan subjek I, setelah menemukan tato sebagai sarana untuk meluapkan dan mengekspresikan emosi positifnya (persahabatan, cinta kasih, kegemaran), ia juga menggunakan tato sebagai sarana pelepasan emosi negatif (katarsis) yang ditahannya, dengan cara memindahkan emosi negatifnya melalui tato. Freud (Semiun, 2006) mengatakan bahwa pemindahan (displacement) dilakukan dengan cara memindahkan ungkapan emosional, biasanya kemarahan, dari sumber penyebabnya kepada suatu objek yang lain (dalam hal ini tato). Setelah melakukannya, subjek I mendapatkan perasaan lega dan tenang. Freud (Surbakti, 2008) mengatakan bahwa manusia sejatinya memiliki sifat agresif seperti merusak, membunuh, atau menghancurkan. Dorongan ini tentu bertentangan dengan norma-norma dan kepatutan sosial. Jika dorongan agresif terhambat maka timbul ketegangan, sewaktu-waktu bisa meledak dan menghancurkan tatanan yang ada. Tujuan katarsis untuk menyalurkan dorongan agresi secara konstruktif. Konstruktif dalam hal ini adalah mengubah dorongan agresi menjadi suatu perilaku yang membangun dan memajukan diri. Namun, perilaku bertato sendiri adalah perilaku beresiko, baik secara kesehatan maupun kesesuaian terhadap norma sosial dan merupakan suatu langkah untuk membatasi pilihan pekerjaan (instansi pekerjaan tertentu tidak menerima individu bertato sebagai karyawan). Motivasi wanita mentato tubuhnya dapat dilihat secara rinci pada gambar 2. Gambar 2. Motivasi Wanita Mentato Tubuhnya Simbolisasi dari sebuah hubungan interpersonal
Simbol identitas diri
Tato sebagai simbol dari hubungan interpersonal (persaudaraan, cinta kasih, kebersamaan) dengan individu yang paling intim (sahabat, suami, anak) dengannya. Tato berfungsi sebagai simbol dari identitas ataupun representasi dari pemahaman mereka terhadap diri mereka sendiri.
Presentasi dari ketertarikan utama dan aktivitas
Tato berfungsi sebagai presentasi dari kegemaran (bermusik) dan ketertarikan masing-masing terhadap sesuatu hal (binatang kucing dan macan tutul, serta misteri).
Pernyataan tentang keindahan estetis
Tato berfungsi sebagai dekoratif atau pemilihan desain tato berdasarkan kesadaran atas keindahan desain.
Media Katarsis
Tato sebagai sarana pelepasan diri dari emosi negatif.
Mentato Tubuhnya
Kesimpulan dan Saran Berdasarkan penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan sebelumnya dan untuk mengungkap serta mencari jawaban atas pertanyaan penelitian, maka dapat disimpukan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi wanita mentato tubuhnya, yaitu relasi keluarga yang rapuh. Subjek I memiliki figur ayah yang lemah, figur ibu yang “bertopeng” (hanya memperlihatkan emosi positif), pola asuh orang tua yang pilih kasih dan overprotected, serta hubungan dengan saudara kandung yang tidak dekat. Sedangkan pada subjek II memiliki pola asuh orang tua yang overprotected dan otoriter. Faktor yang kedua adalah lingkungan pergaulan yang memiliki toleransi terhadap tato. Kedua subjek memiliki ketertarikan untuk memiliki tato saat bergaul dengan lingkungan yang di dalamnya terdapat individu atau sekelompok individu yang memiliki toleransi terhadap tato. Faktor yang ketiga adalah paparan informasi tentang tato. Sejak kecil, kedua subjek telah mendapat paparan informasi tentang tato (terbiasa melihat dan memiliki image positif terhadap tato), baik secara langsung bertemu ataupun sering melihat di televisi individu yang memiliki tato. Kebutuhan-kebutuhan di dalam diri mendorong kedua subjek untuk mentato tubuhnya yang mengarah pada suatu tujuan tertentu. Subjek I memiliki kebutuhan afiliasi, kebutuhan akan identitas, dan kebutuhan estetis. Sedangkan kebutuhan di dalam diri subjek II yaitu, kebutuhan dicintai dan dihargai, kebutuhan akan identitas, kebutuhan akan otonomi, dan kebutuhan estetis. Kebutuhan-kebutuhan yang ada di dalam diri kedua subjek mendorongnya untuk mentato tubuhnya, yang mengarah pada tujuan sebagai ikatan dari hubungan interpersonal dengan seseorang yang intim, identitas diri, simbol dari minat dan kegemaran, serta pemuas akan keindahan secara estetis. Selain itu, pada penelitian ini, kedua subjek memiliki kebutuhan akan keamanan emosional yang mendorongnya untuk mentato tubuhnya dengan tujuan sebagai katarsis. Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik melakukan penelitian dengan tema serupa, diharapkan untuk dapat menyempurnakan penelitian ini, karena selain motivasi wanita untuk mentato tubuh jarang dibahas, literatur mengenai topik tersebut juga sulit ditemukan. Selain itu, perlu dilakukan penelitian terhadap subjek dari latar belakang sosial budaya tertentu, misalnya pada subjek dengan etnis dan agama tertentu. Keluarga merupakan faktor paling utama yang dapat mempengaruhi individu mentato tubuhnya. Maka dari itu, disarankan bagi para orang tua untuk menjadi model yang baik dan mengajarkan anak agar dapat menyalurkan emosi dan suasana hatinya ke dalam bidang yang konstruktif, yang secara sosial dapat diterima oleh masyarakat. Orang tua pun disarankan agar membagi cinta kasih anak-anak dengan adil (tidak pilih kasih) agar tidak menimbulkan perasaan iri dan bermusuhan pada anak yang dapat mengancam rasa amannya.
Daftar Pustaka Aldy. 2007. Eksibisionis Dengan Tato. Diambil pada 26 November 2010 dari Http://www.mail-archive.com/
[email protected]/msg 02984.html. Amstrong, dkk. 2008. Motivation for Contemporary Tattoo Removal: A Shift in Identity. Arch Dermatol. Volume 144 Nomor 7. Diambil pada 3 Mei 2012 dari Http://courses.ttu.edu/jkoch/Research/ Tattoo%20Remover%20AoD.pdf.
Atkinson, M. 2003. Tattoed: The Sociogenesis of A Body Art. Canada: University of Toronto Press Incorporated Basrowi dan Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Rineka Cipta. Budiarti, dkk. 2001. Tato, Perjalanan Purba Ornamen Abadi. 2 April 2001. Jakarta. Diambil pada 26 November 2010 dari Http://arsip.gatra.com Carroll, dkk. 2002. Tattoos and Body Piercings as Indicators of Adolescent Risk-Taking Behaviors. Pediatrics. Vol. 109, No. 6. Diambil pada 20 Maret 2012 dari http://pediatrics.aappublications.org/content/109/6/1021.full.pdf+html. Chaplin, J. P. 2005. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada Daymon, C. Dan Holloway, I. 2002. Metode-Metode Riset Kualitatif dalam Public Relations dan Marketing Communications. Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka Decker, S. H. Dan Winkle, B. V. 2004. Life In The Gang: Family, Friends, and Violence. Cambridge: Cambridge University Press Evy. 2009. Awas, Tato dan Tindik Tularkan Hepatitis. 16 April 2009. Jakarta. Diambil pada 8 Maret 2012 dari Http://nasional.kompas.com Feist, J. dan Feist G. J. 2008. Theories of Personality. Edisi Keenam. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar Friedman, H. S. dan Schustack, M. W. 2008. Kepribadian: Teori Klasik dan Riset Modern. Edisi Ketiga. Jilid I. Jakarta: Penerbit Erlangga Handayani, T. dan Sugiarti. 2002. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang: UMM Press Karacaoglan, U. 2012. Tattoo and Taboo: On The Meaning of Tattoos in the Analytic Process. The International Journal of Psychoanalysis. Diambil pada 20 Maret 2012 dari http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1745-8315.2011.00497.x/pdf. King, L. A. 2010. Psikologi Umum: Sebuah Pandangan Apresiatif. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika Lemma, A. 2010. Under The Skin: A Psychoanalytic Study of Body Modification. New York: Routledge Mahbub, dkk. 2010. Tato Menolak Mati. 12 April 2010. Jakarta. Diambil pada 20 Maret 2012 dari Http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/04/12/GH/mbm.20100412. GH133215 .id.html. Moleong, L. J. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif: Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Munandar, A. S. 2006. Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: UI- Press
Nipnip. 2011. Hot Ink. Majalah Magic Ink. Volume 8, halaman 11-13. Bali: Temprina Bali Printing Nishioka, A dan Gyorkos T. W. 2001. Tattoos as Risk Factors for Transfusion-Transmitted Diseases. International Journal of Infectious Diseases, Vol. 5 No. 1. Diambil pada 3 Mei 2012 dari http://ac.els-cdn.com/S1201971201900451/1-s2.0S1201971201900451-main.pdf?tid=81143b0cfc3657f5dc1109d36319f9fb&acdnat= 13360598311233aa14b6d96a2b82a8b6b90711076d. Olong, H. A. K. 2006. Tato. LKiS: Yogyakarta Poerwandari, E. K. 2009. Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi. Putra, Y. 2009. Penyebaran HIV/AIDS Sudah Masuk Daerah. Koran Kompas. 5 Desember 2009. Jakarta Quaranta, dkk. 2011. Body Piercing and Tattoos: A Survey on Young Adults’ Knowledge of The Risk and Practices in Body Art. BMC Public Health. 11: 774. Diambil pada 5 Mei 2012 dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3196715/pdf/14712458-11-774.pdf. Rixco. 2008. Bahaya Tato Dari Segi Medis. Diambil pada 8 Maret 2012 dari Http://rixco.multiply.com/journal/item/183/BAHAYANYA_TATOO_DARI_SEGI_ME DIS?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem. Sanders, C. R. 2008. Customizing The Body: The Art and Culture of Tattooing. Philadelphia: Temple University Press Santrock, J. W. 2003. Adolescence. Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit Erlangga Santrock, J. W. 2011. Masa Perkembangan Anak. Edisi 11. Buku 2. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika Semiun, Y. 2006. Kesehatan Mental 1. Yogyakarta: Penerbit Kanisius Sheumaker, H. dan Wadja, S. T. 2008. Material Culture in America: Understanding Everyday Life. California: ABC-CLIO Smith, J. A. 2009. Dasar-Dasar Psikologi Kualitatif: Pedoman Praktis Metode Penelitian. Bandung: Penerbit Nusa Media. Superfenda. 2011. Majalah Magic Ink. Volume 6, halaman 18-19. Bali: Temprina Bali Printing Surbakti. 2008. AWAS TAYANGAN TELEVISI: Tayangan Misteri dan Kekerasan Mengancam Anak Anda. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo
Tapaningtyas, D. A. 2008. Perancangan Buku Esai Foto Perempuan dan Tato”. Surabaya: Universitas Kristen Petra. Diambil pada 10 Desember 2011 dari Http://dewey.petra.ac.id/jiunkpe_dg_11096.html. Walgito, B. 2002. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Penerbit Andi. West, R. dan Turner, L. H. 2008. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Edisi Ketiga. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika _________. 2010. Bincang-Bincang Bareng “Risha” Tentang Bertato dan Suka Dukanya. Diambil pada 26 November 2010 pada Http://www.coretanpecundang.co.cc/2010/ 11/bincang-bincang-tentang-bertato-dan.html. _________. 2011. Hot Ink. Majalah Magic Ink. Volume 7, halaman 18-19. Bali: Temprina Bali Printing