Edisi Agustus 2004
EKONOMI KERAKYATAN DI NTT : ANTARA REALITAS DAN HARAPAN Yanti Sukamdami : “Jangan menambah pajak baru, tetapi obtimalkan pengelolaan industri ini sehingga mereka dapat memperoleh nilai tambah lebih besar dan potensial membayar pajak.”
Walikota Manado Wempie Frederik: “Masyarakat Manado Siap Menjalankan Pilkada Langsung“
Bentuk logo merupakan stylirisasi dari kaca pembesar yang terbentuk atas huruf KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah) menjadi mnemonic (jembatan keledai) dari pemantau. Logo Dengan huruf FrnkGothITC Hvlt Bold berwarna electric blue melambangkan keteguhan Lembaga dalam menjalankan kegiatan utamanya yaitu melakukan pemantauan dan pengkajian terhadap pelaksanaan otonomi daerah di seluruh Indonesia. Huruf O (otonomi) adalah lensa kaca pembesar berbentuk pusaran air berwarna gradasi biru gelap. Gradasi warna dari pusat pusaran ke arah lingkaran terluar menjadi semakin nyata. Hal ini melambangkan pergeseran dari sistem pemerintahan yang selama ini terpusat lama kelamaan menjadi terdesentralisasi yang sesuai dengan konsep otonomi daerah.
EKONOMI KERAKYATAN DI NTT : ANTARA REALITAS DAN HARAPAN Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung ... Perda Kabupaten Serang No.13 Tahun 2003
Kewajiban Penyediaan Fasilitas ... Sisipan MPKP-FEUI Evaluasi UU No 34/2000 dan Beberapa Alternatif Penguatan PAD Sisipan LPEM-FEUI Seminar LPEM - Research School of Asian dan Pacific Studies
“Indonesia Update” Yanti Sukamdami :
“Jangan menambah pajak baru....” Walikota Manado Wempie Frederik:
“Masyarakat Manado Siap Menjalankan...“ Seputar Otonomi Daerah
Gambar Sampul : www.webshot.com © rcd_gomes3. Foto isi diambil dari internet dengan fasilitas http://www.google.com/ dan sumber foto lain yang disebutkan bersama dengan foto.
MELETAKKAN HARAPAN Bila semuanya lancar, akhir Oktober kita akan mempunyai pemerintahan baru, entah dengan nahkoda lama atau nahkoda baru yang 20 September mendatang akan ditentukan oleh rakyat. Berbagai p.ihak menaruh harapan terhadap pemerintahan mendatang dengan menyumbangkan sejumlah rekomendasi dalam berbagai bidang; dari perguruan tinggi, lembaga think tank, termasuk Kadin-Indonesia, yang akan menyerahkan road map industry agar dilaksanakan pemerintahan baru. Memperhatikan draft sementara Kadin, kita ketahui bahwa sebagian besar rekomendasi mengacu pada kepentingan sektor formal industri industri besar seperti pertambangan, migas, kehutanan, perkebunan, maupun industri pengolahan/manufaktur. Hampir tidak ada sentuhan langsung pada sektor informal; namun apakah hal itu keliru? Barangkali tidak!, karena Kadin memang fokus pada pengembangan sektor ekonomiformal; lagipula apa yang mau diatur untuk sektor informal? Asalkan pemerintah tidak membebani mereka dengan pungutan pungutan yang memberatkan dan mengatur penyediaan tempat penjualan mereka demi suatu keteraturan, barangkali sudah cukup. Lebih lanjut, draft road map juga mencakup rekomendasi pembenahan hal hallintas sektoral seperti: infrastruktur Galan, listrik, air, pelabuhan), pungutan (diantaranya berupa pajak) terhadap aktivitas usaha, penciptaan kondusifitas usaha (keamanan, kepastian hukum), kiranya akan berdampak positif selain terhadap aktivitas ekonomi sektor formal, juga terhadap sektor informal. Tulisan tentang ekonomi kerakyatan di NTT dalam edisi ini cukup memberikan gambaran bahwa keberadaan sektor ekonomi formal tidak saja memberikan kontribusi positif, namun bahkan merupakan suatu imperatif bagi berkembangnya sektor ekonomi kerakyatan/informal baik di pedesaan maupun perkotaan. Mengenai draft road map industry, terungkap bahwa pembenahan kinerja sektor pertanian pangan akan sangat ditentukan oleh pembenahan kinerja hal hal diluar pertanian pangan itu sendiri, sekitar 67% ditentukan oleh kinerja di lini off farm seperti: infrastruktur (jalan, transportasi, air, listrik, pelabuhan), kebijakan pemerintah (perdagangan, pungutan, dll), perdagangan, dan industri pengolahan bahan bahan pertanian. Pengembangan pariwisata yang potensinya dimiliki hampir semua daerah otonom baik berupa keindahan alam, seni budaya, kerajinan, dll., merupakan salah satu sektor ekonomi yang potensial untuk dikembangkan. Selain soal perlunya promosi intensif, hal hal seperti keamanan, kepastian pungutan, kenyamanan pelayanan usaha, dU., mesti diwujudkan oleh pemda bagi kepentingan pembangunan ekonomi daerahnya. Jangan sampai hal hal tersebut - yang berada dalam otoritas pemda - justru berkembang menjadi disinsentif aktivitas perekonomian. Salah satu contoh kebijakan yang mestinya tidak diikuti daerah otonom lainnya adalah soal ketenagakerjaanyang di-claim untuk kepentingan pekerja, namun pada dasarnya tidak mempunyai landasan kuat untuk diterapkan, sebagaimana diutarakan dalam kajian Perda. Meskipun tidak langsung terkait, namun sistem Pilkadal (Pemilihan Kepala Daerah Langsung) barangkali merupakan salah satu solusi untuk mendapatkan pimpinan daerah yang mampu mengarahkan agar geliat pembangunan ekonomi menuju ke arah yang tepat. Dengan Pilkadal, kepala daerah yang tidak mampu menunjukkan kinerja terbaiknya akan dieleminir oleh masyarakatnya dalam pemilihan langsung yang menempatkan kepala daerah dengan akuntabilitas yang tebih tinggi pada konstituennya. (pap)
Penerbit : Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Alamat Redaksi : Sekretariat KPPOD, Plaza Great River, 15th floor, Jl. HR. Rasuna Said Kav. X-2 No.1, Jakarta 12950, Phone : 62-21-5226018, 5226027, Fax : 62-21-5226027, E-mail :
[email protected], http://www.kppod.org/ Dewan Pengurus KPPOD : Bambang Sujagad, Anton J. Supit, Bambang PS Brodjonegoro, P. Agung Pambudhi, Aburizal Bakrie, Sofjan Wanandi, Adnan Anwar Saleh, Hadi Soesastro, Sri Mulyani Indrawati, Djisman Simandjuntak, Susanto Pudjomartono, Sjarifuddin, Aco Manafe, dan Taufik L. Redaksi : P. Agung Pambudhi, Sigit Murwito, Robert Endi. Tata Letak : F. Sundoko. Iklan dan Distribusi : M. Regina Retno B.
1
EKONOMI KERAKYATAN DI NTT : ANTARA REALITAS DAN HARAPAN
1
Frits O FanggidaE 2 Realitas Pelaku Ekonomi Kerakyatan di NTT Rakyat adalah suatu konsep politik yang netral. Konsep ini tidak mempersoalkan perbedaan orang dalam kepelbagaian sosial, ekonomi dan budayanya. Semuanya sama. Ketika konsep rakyat diimbuhkan dengan konsep ekonomi politik yang tidak lagi netral, karena berbagai perbedaan pelaku ekonomi mulai diperhitungkan. Dalam kajian ini, konsep ekonomi kerakyatan yang digunakan juga tidak bersifat netral, yaitu hanya menunjuk pada pelaku ekonomi kecil (gurem) yang tersebar di sudut-sudut jalan perkotaan maupun di pelosok perdesaan. Di NTT, pelaku ekonomi sebagaimana dimaksud pada umumnya terdiri dari petani kecil, peternak kecil, nelayan kecil dan pengrajin kecil di perdesaan dan para pelaku sektor informal perkotaan. Bagi para petani yang kebetulan memiliki wilayah yang cocok untuk komoditas perkebunan seperti Cengkeh, Kopi, Vanili, Jambu Mete, tingkat ekonomi mereka cukup memadai. Di Sabu dan Rote, sebagian pelaku ekonomi kecil di pesisir pantai dikabarkan mengalami kemajuan berkat budidaya rumput laut. Di Apui (Alor), sejumlah kelompok tani yang menanam vanili mendapat penghasilan yang cukup besar lantaran harga komoditas ini cukup tinggi. Namun bagi para petani yang mengandalkan tanaman pangan dengan wilayah yang relatif kering, tingkat ekonomi mereka memprihatinkan. Para peternak di TTS, betapapun daerah ini dikenal sebagai gudang ternak (sapi), tidak menunjukkan status ekonomi yang lebih baik ketimbang para petani yang menanam tanaman pangan. Demikian juga para nelayan kecil di pesisir pantai Flores, Sumba, Alor dan Timor, kondisi mereka tidak dapat digolongkan mampu secara ekonomis. Para pelaku ekonomi kecil di sektor informal perkotaan juga memperlihatkan kondisi yang relatif
2
Pelaku Ekonomi - Di NTT, pelaku ekonomi pada umumnya terdiri dari petani kecil, peternak kecil, nelayan kecil dan pengrajin kecil di perdesaan dan para pelaku sektor informal perkotaan. sama, walaupun mungkin pendapatan nominalnya lebih besar dari para peternak kecil, petani kecil dan nelayan kecil di perdesaan. Kecuali beberapa pelaku ekonomi informal yang berasal dari Jawa, Sulawesi dan Sumatra yang pada umumnya berusaha di pusat kota, kinerja ekonomi mereka terbilang cukup baik. Data makro tentang pendapatan per kapita penduduk di berbagai kabupaten di NTT bisa menjelaskan kondisi ekonomi para pelaku ekonomi kecil tersebut. Tampilan fisik usaha para pelaku ekonomi kecil ini juga memprihatinkan. Selain berjualan secara individual di pasar, mereka juga menggelar hasil usahanya di pinggir jalan secara darurat. Mungkin juga tidak setiap hari mereka bisa berjualan di pasar atau pinggir jalan karena pola produksinya yang bersifat musiman. Unit usaha industri kecil atau rumah tangga yang paling menonjol di NTT adalah industri tenun ikat. Sejumlah kelompok usaha yang dibina intensif dengan kondisi SDM yang relatif baik
menunjukkan perkembangan yang baik, namun tidak sedikit kelompok dan usaha individu menjadikan industri tenun ikat sebagai pekerjaan sampingan dengan postur usaha yang serba kekurangan. Tampaknya program-program pengentasan kemiskinan atau pemberdayaan ekonomi seperti IDT, PDMDKE dan berbagai skim program/ pendanaan lainnya belum menyentuh mereka atau mungkin sentuhannya sudah hilang sama sekali. Inilah kondisi riil pelaku ekonomi kerakyatan di NTT. Pada tataran political will pemerintah, pelaku ekonomi kerakyatan yang serba kekurangan ini ingin ditempatkan sebagai pelaku ekonomi utama, fondasi perekonomian daerah dan sejumlah julukan yang membanggakan. Pemerintah, dari pusat sampai daerah, telah melakukan banyak hal untuk memajukan mereka, tetapi kondisinya tetap seperti kita saksikan saat ini, sebagian besar dalam kondisi serba miskin. Data ekonomi makro Indonesia
bahwa share pelaku ekonomi kecil ini cukup kelihatan. Para pengamat ekonomi memuji pelaku ekonomi kecil ini sebagai lentur dan tahan terhadap konjungtus dan krisis ekonomi. Pujian demikian tidak salah, namun pelaku ekonomi kecil semacam ini pasti bukan di NTT. Pada titik inilah kita harus membedakan secara jelas petani kecil, peternak kecil, nelayan kecil, pelaku industri r umah tangga kecil dan pelaku ekonomi sektor informal perkotaan di Jawa dan kota besar lainnya di Indonesia dengan NTT. Lingkungan ekonomi makro dan mikronya sangat kontras berbeda. Suatu isyarat bahwa suatu kebijakan pengembangan yang berhasil di Jawa dan kota besar lainnya di Indonesia belum tentu berhasil di NTT. Menurut hemat saya, menjadikan pelaku ekonomi kerakyatan yang serba kecil dan kekurangan di NTT sebagai pemain ekonomi yang utama atau sebagai fondasi ekonomi daerah, masih membutuhkan waktu yang relatif lama dan yang lebih penting dari itu, membutuhkan wawasan dan perlakuan baru terutama dari para penentu dan pelaksana kebijakan pada tingkat pemerintahan. Secara teoretis, kita mengenal cukup banyak konsep pemberdayaan usaha kecil seperti kemitraan, bapak angkat, intiplasma dan sebagainya. Konsepkonsep ini telah diadopsi sedemikian rupa ke dalam berbagai program pemberdayaan ekonomi yang dilaksanakan pemerintah maupun swasta, tetapi belum berhasil mengeluarkan para pelaku ekonomi kecil dari lingkaran yang serba kekurangan.
Jauh dari Permintaan dan Miskin Kelembagaan Salah satu persoalan yang menjadikan pelaku ekonomi kerakyatan di perdesaan NTT sulit berkembang adalah bahwa mereka jauh dari permintaan (pasar). Jauh bukan hanya dalam arti fisik saja, tetapi lebih penting adalah aksesibilitas. Mereka memasuki pasar pembeli (buyer market) secara individual tanpa dukungan kelembagaan yang memadai. Akibatnya, posisi tawar mereka sangat lemah. Petani Vanili di Apui (Alor) yang baru saja menikmati harga vanili yang tinggi, saay ini mulai merasakan bahwa harga vanili sangat ditentukan oleh
pembeli (pedagang skala menengah dan besar). Para peternak di TTS sudah sejak lama takluk dengan para pembeli (pedagang). Penghasil rumput laut di Rote dan Sabu juga mulai merasakan betapa fluktuasi harga yang terjadi sulit mereka kendalikan. Sementara itu sebagian nelayan di Pulau Timor secara perlahan-lahan telah bertransformasi menjadi buruh nelayan. Para pembeli memiliki organisasi yang solid. Mereka bahu-membahu menjalin kekuatan untuk menguasai dan mendikte harga pasar. Organisasi pembeli yang kuat tersebut tidak bisa dilawan oleh para petani secara individual. Organisasi harus dilawan dengan organisasi pula, agar tercapai keseimbangan posisi tawar di pasar. Apakah koperasi sebagai lembaga ekonomi yang dekat dengan para petani, nelayan, peternak, pengrajin dan pedagang kecil dapat menjadi organisasi ekonomi yang diandalkan untuk meningkatkan posisi tawar mereka di pasar? Sangat sulit untuk mengatakan Ya. Kita masih membutuhkan wadah ekonomi lain atau sekurang-kurangnya cara penanganan pasar sedemikian rupa sehingga aksesibilas pasar dan posisi tawar mereka dapat ditingkatkan. Dalam kaitan ini menarik untuk disimak lebih lanjut langkah Pemda Kabupaten Kupang. Dua Perusahaan Daerah, masing-masing bergerak di bidang kelautan dan agribisnis didirikan sebagai outlet bagi para pelaku ekonomi kecil. Sekiranya langkah ini mampu meningkatkan posisi tawar para pelaku ekonomi kecil dan mampu meningkatkan kinerja ekonomi mereka, maka inilah salah satu langkah yang dapat dipertimbangkan untuk direplikasi pada daerah lain.
Formasi Ekonomi Makro dan Mikro Salah satu keuntungan pelaku ekonomi kecil dan sektor informal perkotaan di Jawa dan kota besar lainnya adalah struktur ekonominya telah terdiversifikasi dengan baik sehingga hubungan fungsional antar sektor ekonomi (pertanian, industri, perdagangan, perhubungan dan lembaga keuangan) telah terjadi dengan baik. Kondisi ini sangat kondusif bagi para pelaku ekonomi kecil. Dengan tingkat pendapatan masyarakat yang relatif tinggi serta
kompetisi yang baik antar sektor ekonomi menjadikan outlet bagi produk pelaku ekonomi kecil cukup tersedia dengan insentif harga yang memadai. Demikian juga pada tataran ekonomi mikro, dinamika dunia usaha yang relatif tinggi menjadi media pembelajaran yang efektif dalam pembentukan perilaku ekonomi yang rasional dan produktif. Sikap kewiraswastaan mereka terbentuk dalam dinamika dunia usaha yang tinggi, bukan melalui pelatihan-pelatihan formal. Inilah formasi ekonomi makro dan mikro yang sangat kondusif bagi pelaku ekonomi kecil di Jawa dan kota besar lainnya untuk berkembang. Di NTT, struktur ekonomi belum terdiversifikasi dengan baik menjadikan hubungan fungsional antar sektor ekonomi belum terjalin baik. Share sektor pertanian sangat menonjol sementara share sektor industri sangat kecil. Pada sisi lain share sektor perdagangan dan perhubungan sedikit agak menonjol. Dari kondisi semacam ini dapat dibayangkan bahwa yang diperdagangkan adalah komoditas pertanian tanpa pengolahan yang berarti. Ciri pasar komoditas semacam ini adalah harga relatif rendah dan inferior terhadap komoditas hasil olahan yang diimpor dari luar. Para pelaku ekonomi kecil tidak menikmati nilai tambah dari komoditas yang dihasilkan. Dalam kondisi semacam ini, pengembangan pelaku ekonomi kecil membutuhkan perubahan yang cukup berarti pada formasi ekonomi makro dan mikro. Perlu ada kebijakan untuk percepatan perubahan struktur ekonomi NTT agar keterkaitan fungsional antar sektor ekonomi dapat tercipta. Berkembangnya sektor ekonomi sekunder dan tersier menjadi prasyarat bagi pengembangan dunia usaha pada aras ekonomi mikro. Menjadi persoalan adalah bagaimana percepatan perubahan struktur ekonomi ini dapat terjadi. Secara teoretis, perubahan struktur ekonomi akan terjadi bila aliran investasi pada sektor industri pengolahan (sekunder) meningkat. Sektor ekonomi tersier adalah sektor yang melayani. Karena itu sektor ini akan menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi pada sektor primer dan sekunder. (Bersambung ke hal. 17)
3
Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Sebagai Salah Satu Sarana Perbaikan Pelaksanaan Otonomi Daerah idak bisa dipungkiri bahwa institusi pemerintahan daerah yang dikepalai oleh gubernur dan wali kota/bupati merupakan ujung tombak dari pelaksanaan otonomi daerah. Para kepala daerah tersebut merupakan inti dari kelembagaan pemerintah daerah yang sehat dalam menopang pelaksanaan otonomi daerahnya masing-masing. Jika ada pendapat yang mengatakan bahwa desentralisasi menjadi penghambat masuknya investasi ke daerah, tentunya ini patut kita cermati lagi, sebab jika hal itu yang terjadi pastilah ada sesuatu yang tidak semestinya dalam pelaksanaan otonomi daerah, dan bukan merupakan tujuan dari pelaksaksanaan otonomi daerah dimaksud. Faktor yang paling signifikan berpengaruh dalam keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah adalah institusi atau kelembagaan pemerintah daerah itu sendiri, yang diwakili oleh kepemimpinan seorang kepala daerah. Seperti apa yang tertera di dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18 Ayat (4) yang menyebutkan, “Gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Dalam pasal ini terdapat tekanan untuk memilih kepala-kepala daerah tersebut secara demokratis. Dalam konteks pemilu yang baru-baru ini dijalankan rakyat Indonesia untuk memilih presiden Indonesia secara langsung untuk pertama kalinya, maka hal yang menarik kita amati adalah upaya mempersiapkan rakyat serta aparat daerah—dalam hal ini Komite Pemilihan Umum Daerah (KPUD)— untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung. Munculnya ide pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung didasari oleh ketentuan hukum berdasarkan revisi Undangundang No. 22 Tahun 1999 yang
4
Kepala Daerah - institusi pemerintahan daerah yang dikepalai oleh gubernur dan wali kota/bupati merupakan ujung tombak dari pelaksanaan otonomi daerah. Para kepala daerah tersebut merupakan inti dari kelembagaan pemerintah daerah yang sehat dalam menopang pelaksanaan otonomi.
diamanahkan untuk dilaksanakan setidaknya setelah revisi UU tersebut berlaku, berjalan selama satu tahun dan telah dilakukan proses sosialisasi serta persiapan teknisnya secara baik.. Pemilihan kepala daerah secara langsung tidak mungkin tidak dilakukan demi mencapai tujuan pemerintahan daerah yang demokratis, di mana para pemilih daerah akan mendapat hak secara bebas untuk memilih kepala daerah yang dianggapnya paling memenuhi kebutuhan di daerah tersebut, antara lain mencapai terlaksananya otonomi daerah yang mengutamakan peningkatan dan perbaikan pelayanan publik serta peningkatan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi daerah. Urgensi inilah setidaknya yang dapat dianggap sebagai titik tolak pentingnya dilaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung. Terlepas dari berbagai permasalahan yang menghambat kesuksesan pelaksanaan otonomi daerah, seperti
terdapatnya permasalahan institusi di daerah yang tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya, faktor sosial, politik, dan keamanan, potensi ekonomi daerah, ketenagakerjaan dan sumber daya manusia di daerah, serta infrastruktur daerah—terdapat masalah yang bisa dikatakan genuine, berasal dari kelembagaan pemerintah daerah itu sendiri yang masih belum berjalan secara efektif dan efisien, atau bahkan cenderung menjadi barrier bagi bergeraknya roda pertumbuhan ekonomi daerah (misalnya, dengan munculnya berbagai peraturan daerah yang tidak semestinya yang hanya berakibat menghambat laju pergerakan barang, orang, dan investasi). Wacana pemilihan kepala daerah secara langsung ini bahkan menjadi bahan pembicaraan serius dan menjadi salah satu hasil kesimpulan di dalam forum Gubernur se-Indonesia yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) yang melakukan
Rapat Kerja III di Jayapura, Papua bagi rakyat daerah untuk dapat selaku Kepala Pusat Pendidikan dan SPIMNAS Bidang belum lama ini. Bila kita simak lebih menyampaikan kebutuhan daerah Latihan Lembaga jauh, wacana pemilihan kepala yang sesungguhnya, menentukan Kepemimpinan daerah secara langsung memiliki siapa yang yang dianggap paling Administrasi Nasional, “Pandangan potensi untuk mengurangi—jika kompeten dalam mewujudkan itu benar-benar kacau, semuanya masih belum dapat dikatakan pemerintahan otonomi daerah yang terjebak pada filosofi kekuasaan, menghindari—money politics yang sehat. Namun, ide pemilihan kepala bukan pelayanan. Padahal hasil biasa terjadi dalam proses peme- daerah secara langung memiliki penelitian LAN, 50 responden rintahan. Kepala daerah tidak lagi sedikit “ancaman” yang dapat melihat pelayanan publik di daerah ditentukan oleh DPRD setempat, menjadi bumerang bagi pelaksanaan semakin buruk.” (Kompas, Senin, 9 namun oleh rakyatnya secara otonomi daerah itu sendiri, yakni Agustus 2004). Tentunya cara langsung, yang disenggarakan oleh seperti apa yang terungkap di dalam pandang seperti ini harus diperbaiki dan diberikan Komisi Pemilihan tanggapan yang Umum Daerah sebaik-baiknya (KPUD). Kolusi oleh pemerintah dan kepentingan pusat, agar pepolitik lain yang merintah daerah biasa muncul di tidak terjebak antara DPRD dalam paradigdengan kepala ma kekuasaan daerah juga akan semata. Munculdapat berkurang nya peraturan dan diminimalisir, pemilihan kepakarena di sini tidak la daerah secara terdapat suatu langsung serta politik balas jasa ide agar guberyang mungkin nur diberikan biasanya dilakukedudukan sekan oleh kedua tingkat menteri belah pihak. Bila merupakan dua ditinjau dari segi hal yang dan kekuatan politik, tidak sejalan dan maka kepala daemenjadi rancu rah yang dipilih jika dilaksanasecara langsung kan bersamaan. oleh rakyatnya tentunya diyakini Pilkadal - Dengan pemilihan kepala daerah langsung (Pilkadal) dilakukan demi Di satu sisi memiliki ikatan pemerintahan daerah yang demokratis. Pemilih mendapat hak memilih yang wacana pertama kepercayaan yang dianggapnya paling memenuhi kebutuhan di daerah tersebut, antara lain perbaikan m e r u p a k a n kuat untuk mewu- pelayanan publik, peningkatan kesejahteraan, dan pertumbuhan ekonomi daerah. ajang demokrasi judkan apa yang yang dilakukan paling diinginkan oleh rakyat daerah hasil Rapat Kerja III APPSI bahwa oleh rakyat daerah, di sisi lain sebagai pemilihnya. Selain itu, gubernur menghendaki porsi dalam wacana kedua menjadi ajang dengan pemilihan langsung, pemilih hirarkhi pemerintahan, posisinya penunjukkan kekuasaan yang tidak lokal juga akan menjalani suatu setingkat dengan menteri. Tentu seharusnya dilakukan oleh seorang proses pembelajaran penting yakni saja, hal ini merupakan filosofi yang kepala daerah. Kembali kepada menyampaikan message kepala terbalik dari wacana otonomi daerah, dasar hukumnya pun, tidak daerah. Pesan yang disampaikan di mana otonomi daerah diharapkan seharusnya gubernur meminta porsi dapat mengenai apa saja yang akan menjadi instr umen untuk sedemikian, karena seperti tertuang menjadi kebutuhan utama daerah mendekatkan pelayanan pemerintah di dalam Pasal 17 Ayat (1) UUD 1945, tersebut ataupun memilih calon kepada masyarakat daerah. Namun “Presiden dibantu menteri-menteri mana yang paling kompeten dalam bila mengacu pada hasil Raker negara”, Porsi gubernur dan kepala menjalankan pemerintah daerah APSSI, otonomi daerah justru akan daerah lainnya hanyalah untuk untuk mencapai kebutuhan daerah, menjadi ajang pemerintahan daerah dipilih secara demokratis untuk dan selanjutnya mengukur akuntabi- yang menjalankan filosofi kekuasaan. menjalankan fungsinya sebagai Gambaran seperti di atas aparat litas pemerintahan yang bersangpemerintahan yang kutan. Tentunya ini semua akan mengisyaratkan bagi kita, bahwa ide memberikan pelayanan kepada menjadi ajang pendidikan politik dan otonomi daerah masih dijadikan masyarakat daerah. pemerintahan yang baik bagi “kesempatan” oleh orang- orang pemerintahan untuk berkuasa di masyarakat lokal. Dalam konteks pemilihan kepala daerah, dengan kata lain menjadi daerah secara langsung, aktivitas “raja kecil”. Seperti dikatakan oleh yang demikian akan menjadi ajang Deddy Supriady Bratakusumah
5
Perda Kabupaten Serang No.13 Tahun 2003
Kewajiban Penyediaan Fasilitas Kesejahteraan Pekerja : Antara Beban Bisnis dan PAD emerintah Daerah Kabupaten Serang memiliki suatu cara untuk memastikan terjaminnya fasilitas kesejahteraan buruh/pekerja yang bekerja di perusahaan-perusahaan swasta yang beroperasi dalam wilayahnya. Melalui Perda No.13 Tahun 2003, dengan tata cara penyelenggaraannya dalam SK Bupati Serang No. 04 dan 05 Tahun 2004, setiap perusahaan swasta wajib men y e d i a k a n sejumlah fasilitas kesejahte-raan buruh/peker-janya, seperti fasili-tas pendukung kesehatan, peribadatan, tempat makan olahraga, pakaian seragam kerja, rekreasi, kopera-si, dan asuransi jaminan kecelakaan di luar jam kerja (Pasal 4 Perda No.13/03). Jenis-jenis fasilitas kesejahteraan berbeda jumlahnya untuk setiap skala perusahaan yang berbeda (SK Bupati Serang No.05 Tahun 2004). Perusahaan besar (yang mempekerjakan lebih dari 100 orang atau kurang tapi membayar total gaji/ upah pekerjanya sekurang-kurangnya Rp 65 juta/sebulan) wajib menyediakan setiap jenis fasilitas tersebut. Sementara perusahaan berskala sedang (20-99 pekerja atau total gaji/upah Rp 13 juta/sebulan) membayar fasilitas pendukung kesehatan, peribadatan, olah raga, transportasi, koperasi dan asuransi jaminan kecelakaan di luar jam kerja). Dan perusahaan kecil (maksimal 19 pekerja atau total gaji/ upah Rp 3.250.000/sebulan) wajib menyediakan fasilitas pendukung
6
kesehatan, peribadatan, olah raga dan asuransi kecelakaan di luar jam kerja). Perda dan berbagai instrumen operasionalnya itu dimaksudkan sebagai instrumen untuk meningkatkan taraf kesejahteraan bu-
ruh.pekerja sekaligus mengecek perkembangan perusahaan dalam menyelenggarakan penyediaan berbagai fasilitas tersebut (pasal 2 Perda No.13/03). Bahkan, puncak upaya memastikan apakah setiap perusahaan mematuhi kewajiban menyediakan berbagai fasilitas itu adalah adanya hak penyidikan (dengan berbagai kewenangan yang menyertainya) oleh Pejabat PNS tertentu di lingkungan pemerintahan daerah yang diberi wewenang khusus dalam UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Bagi perusahaan yang tidak memenuhi kewajibannya ini, Pemda akan mengambil tindakan administratif (teguran tertulis dan diikuti peringatan tertulis) maupun langkah-langkah lebih jauh dengan mencabut ijin operasi perusahaan dan atau mengenakan sanksi tertentu (pasal 11). Secara umum,
pelanggaran atas ketentuanketentuan dalam Perda ini diancam pidana kurungan selama-lamanya 6 bulan dan atau denda setingtingginya Rp 5 juta. Sementara klausul yang agak fleksibel dalam Perda/Sk Bupati ini adalah: (1). Penyediaan fasilitas atau kriteria fasilitas juga turut mempertimbangkan kondisi/ kemampuan perusahaan, kecuali untuk item asuransi kecelakaan di luar jam kerja. Hal ini juga sejalan dengan rumusan pasal 100 (ayat 2 dan 3) UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. (2) Kewajiban penyediaan sebagian fasilitas, seperti peribadatan dan olah raga, bisa dikompensasi dengan pemberian kesempatan untuk beribadat atau ber olahraga (SK Bupati No.05 tahun 2004).
Asuransi Kecelakaan Di Luar Jam Kerja/Hubungan Kerja Hal krusial dalam Perda dan SK Bupati ini adalah klausul tentang kewajiban perusahaan menyediakan sarana dan fasilitas asuransi jaminan kecelakaan di luar jam kerja bagi buruh/pekerja. Bahkan, sedemikian pentingnya, jenis fasilitas kesejahteraan ini memperoleh penjabaran operasional tersendiri berupa SK Bupati Serang No. 04 Tahun 2004, selain secara bersama-sama (dengan 8 jenis fasilitas kesejahteraan buruh/pekerja lainnya) diatur secara umum dalam SK Bupati No.05 Tahun 2004. Menurut SK 04 Tahun 2004,
terhadap kecelakaan di luar jam kerja dan di luar hubungan kerja, yakni kecelakaan yang dialami buruh/pekerja di mana kecelakaan tersebut tidak berhubungan dengan jam/hubungan kerja, perusahaan wajib memberikan jaminan berupa tunjangan semnetara tidak mampu bekerja, tunjangan cacat tetap, tunjangan kematian, peng-gantian alat Bantu, atau pengganatian gigi palsu dan kaca mata (pasal 1 dan Pasal 9). Untuk keperluan itu, per usahaan wajib menem-puh mekanisme asuransi bagi para buruh/ peker-janya (Penjelasan Perda No.13/03), dengan jalan mendaftarkan para peker-janya kepada Disnaker dan Lembaga Pertang-gungan dan membayar premi asuransi sebesar 0,24% dari gaji/upah perkerja terkait ke Bank Pembangunan Daerah atas nama rekening milik Lembaga Pertanggungan itu selambat-lambatnya tanggal 10 bulan bersangkutan. Selanjutnya, Lembaga Pertanggungan sebagai pihak yang bertindak sebagai pengelola premi asuransi tersebut me-nyusun rekapitulasi pe-nerima premi guna dilaporkan kepada Kepala Daerah melalui Disnaker dan wajib menyetorkan sebesar 25% dari jumlah uang premi yang diterima setiap bulan kepada Kas Daerah sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD). Dalam rangka penyelenggaraan jaminan kesejahteraan ini, pemerintah melakukan penyuluhan, pembinaan dan pengawasan (pasal 10 dan Pasal 11). Sementara atas tindakan pelanggaran atau ketidakpatuhan terhadap kewajibannya, perusahaan akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan dalam Perda No.13/03 (Pasal 12 SK 04/04). Tampak jelas, niat untuk memaksimalkan kesejahteraan buruh/pekerja dari Pemda
Kabupaten Serang ini justru membawa efek kerugian pada sisi lain, pada sisi kelompok masyarakat lain (dunia usaha). Secara legal, seperti diatur dalam Pasal 99 dan 100 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perusahaan
dikenakan kewajiban menyediakan fasilitas kesejahteraan buruh/ pekerja sebagai hak setiap pekerja dan keluarganya itu dalam bentuk jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek). Jenis asuransi ini, seperti dibaca dalam Perda/SK di atas maupun UU No.03 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, terkait dengan kecelakaan kerja (baca: dalam jam kerja atau dalam hubungan kerja). Sebagaimana ditafsirkan dari ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan pasal 8 UU No.03/92, jaminan kecelakaan tenaga kerja hanya terkait kecelakaan yang menimpa pekerja dalam jam kerja atau dalam hubungan kerja. Di sini perusahaan wajib melaporkan kecelakaan kerja kepada Disnaker dan wajib mengurus hak tenaga kerja
bersangkutan kepada badan Penyelenggara. Dengan asumsi bahwa pengusaha maupun buruh/ pekerjanya telah memnuhi kewajiban kepesertaan Jam-sostek sebagaimana ditegaskan pasal 17 UU No.03/92, pihak Jamsoteklah yang menang-gung biaya yang terkait kecelakaan tersebut, seperti biaya pengobatan, rehabilitasi, santunan, dll. Dalam konteks jaminan kecelakaan kerja, tentu kewajiban pelaku usaha/perusahaan untuk mendaftar dan membayar asuransi buruh/ pekerjanya. Namun, membebankan kewajiban yang sama kepada perusahaan untuk menanggung asuransi kecelakaan di luar jam kerja atau di luar hubungan kerja sebagaimana diatur dalam Perda No.13/2003 dan SK Bupati No.04/2004 yang berlaku di Kabupaten Serang ini tentu sudah me-rupakan kebijakan berlebihan. Selain tidak memiliki acuan yuridis dan mungkin pula tak punya preseden di tempat lain, keberadaan berbagai aturan di salah satu kawasan industri ini sungguh akan menambah beban usaha para pelaku usaha. Apalagi diketahui ujungnya bahwa, sebagian (25%) premis asuransi yang salah ini dijadikan sebagai sumber pendapatan asli bagi daerah (PAD).
Penutup Protes pihak pelaku usaha, sebagaimana ditunjukkan oleh PT Nikomas Gemilang yang berbasis di Kabupaten Serang saat ini, wajib menjadi perhatian pemerintah setempat. Revisi Perda (terkait klausul asuransi kecelakaan di luar jam kerja) dan pencabutan SK Bupati No.04/04 adalah jalan solusi yang mesti diambil. Kalau pun masalah asuransi di luar jam kerja/hubungan kerja ini patut dipikirkan, biarkanlah itu menjadi urusan pihak perusahaan atau menjadi bagian aspirasi pekerja sendiri. Pemerintah setempat tak sepatutnya mewajibkan/mengintervensi, kecuali berupa himbauan.* (ndi)
7
8
Evaluasi UU No 34/2000 dan Beberapa Alternatif Penguatan PAD Robert A. Simanjuntak1
alaupun seandainya UU No 34/2000 dapat diimplementasikan deng-an baik, banyak pihak ragu kalau PAD dari banyak daerah dapat meningkat signifikan dibandingkan sebelum dilaksanakannya otonomi daerah. Indikasi awal menunjukkan bahwa secara umum tidak akan terjadi perubahan yang berarti. Alasannya karena pungutan-pungutan baru yang bisa diterapkan oleh daerah umumnya kurang potensial. Sebagian bahkan bermasalah — yakni melang-gar kriteria dalam UU 34 dan distortif. Sampai dengan akhir tahun 2003, sudah lebih dari 250 peraturan daerah tentang pajak dan retribusi yang diusulkan untuk dibatalkan oleh departemen keuangan atas dasar tidak memenuhi berbagai kriteria tersebut. Persoalan utamanya disini yang cukup disadari oleh banyak pihak adalah bahwa pajak-pajak dengan potensi penerimaan yang terbesar, misalnya pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai, adalah pajak-pajak pusat. Sedangkan daerah dilarang untuk menerapkan pajakpajak yang tumpang-tindih atau bersinggungan dengan pajak-pajak pusat. Bagi banyak daerah, kurang terbuka luasnya peluang untuk memperkuat PAD ini menjadi masalah serius. Sebagian sudah enggan untuk menempuh lagi pengalaman ketergantungan yang berlebihan terhadap transfer dari pusat, khususnya di era otonomi ini. Oleh karena itu uraian ringkas berikut mengusulkan beberapa alternatif pemikiran — yang satu sama lain diharapkan bisa saling melengkapi — untuk memperbaiki PAD pada
khususnya dan kewenangan pajak daerah pada umumnya.2 Tentu saja pengajuan beberapa alternatif ini dengan mempertimbangkan beberapa kriteria UU 34 ataupun prinsipprinsip teoretis dari sumber penerimaan negara/daerah yang baik. Selain itu, pertimbangan utama lain adalah akuntabilitas dari pemerintah daerah sendiri dalam rangka good governance. Secara garis besar, alternatif perbaikan PAD yang dapat dilihat sebagai usulan penyempurnaan UU No 34/2000 ini terfokus pada perluasan basis pajak daerah, disamping membahas mengenai peningkatan kewenangan daerah dalam penetapan tarif-tarif pajak. Perluasan basis pajak daerah dilakukan baik terhadap kabupaten/ kota maupun propinsi. Usulan penguatan PAD ini utamanya adalah berupa pengalihan PBB dan BPHTB, dan penerapan opsen atas PPh. Namun sebelumnya, tidak kalah penting adalah pemberian kewenangan pentarifan kepada daerah.
Kewenangan Penetapan dan Penyesuaian Tarif Pajak Daerah Sentralisasi dan penyeragaman tarif pajak dimaksudkan untuk mengatasi atau mengurangi disparitas antar daerah, baik antara daerah pedesaan dan daerah perkotaan maupun antar wilayah. Secara prinsip keseragaman tarif pajak memang dapat diterima. Namun dalam beberapa hal pemberian kewenangan penetapan tarif berikut keleluasaan dalam melakukan penyesuaian tarif dalam rangka perluasaan kewenangan pemajakan di Indonesia juga diperlukan. Ada
beberapa alasan. Pertama adalah karena secara teoritis jenis pajak ideal untuk diserahkan ke pada pemerintah daerah adalah pajak yang bebannya hanya ditanggung oleh penduduk setempat. Sehingga pemberian kewenangan untuk penetapan dan penyesuaian besarnya tarif akan membuka peluang bagi daerah untuk menyelaraskan tingkat pelayanan yang disediakan dengan tarif pajak yang dibebankan kepada masyarakat. Ini diharapkan dapat mendorong terciptanya penyediaan pelayanan masyarakat yang efisien dan efektif. Kedua, jika pemerintah daerah diberikan kewenangan dalam menetapkan tingkat pelayanan dan program pengeluarannya sesuai dengan preferensi masyarakat setempat maka pemerintah daerah juga harus dapat menentukan tingkat penerimaannya. Tidak adanya kewenangan dalam penetapan dan penyesuaian tarif akan menimbulkan masalah dalam menyesuaikan penerimaan dengan pengeluaran yang memberikan tingkat (kualitas dan kuantitas) pelayanan yang sesuai dengan preferensi masyarakat setempat3 . Ketiga, pemberian kewenangan penetapan dan penyesuaian tarif pajak daerah dapat meningkatkan akuntabilitas pemerintah daerah, karena mereka berhubungan langsung dengan penduduk setempat. Jadi masyarakat dapat mengawasi dan memberikan reaksi langsung atas kebijakan yang mempengaruhi beban pajak yang harus dipikulnya. Selanjutnya, kewenangan daerah dalam menetapkan tarif pajak dapat menciptakan pasar dalam penyediaan pelayanan masyarakat dan
9
persaingan dalam penyediaan pela- pusat. Seyogianya ini diserahkan dalam pengembangan sistem inforyanan yang paling murah (cost effec- kepada daerah kabupaten/kota masi. Kesulitan-kesulitan itu pula tive), sehingga akan mempengaruhi meskipun, mengingat banyak faktor, yang barangkali menyebabkan pemilihan lokasi tempat tinggal dan pelaksanaannya dapat dilakukan sebagian daerah lebih suka kalau secara bertahap dimulai dari, pajak ini tetap menjadi pajak pusat kegiatan investasi. Namun sebaliknya, persaingan misalnya, kewenangan menentukan sementara daerah cukup menunggu alokasi bagiannya saja. Namun dan perbedaan tarif antar daerah tarif. Disamping itu, sifat lokal, demikian, dalam rangka good goverjuga dianggap sebagai pendorong tim-bulnya ketidakstabilan dan visibilitas dan immobilitas dari obyek nance dan untuk memenuhi tuntutan ketidak-harmonisan antar daerah PBB menjadi alasan penting me- reformasi dan era desentralisasi, dalam hal penyediaan pelayanan ngapa ini seyogianya jadi pajak semestinya persoalan tersebut bisa masyarakat karena adanya daerah. Apalagi kalau dikaitkan diatasi dalam jangka menengah. perbedaan potensi ekonomi dan dengan pelayanan masyarakat, kapasitas administrasi masing- dimana akuntabilitas dan trans- Opsen PPh dan/atau PPN paransi menjadi isu yang amat masing pemerintah daerah. Kedua, untuk memperkuat PAD Salah satu argumen menonjol disoroti di era otonomi daerah. Propinsi beberapa sumber peneyang menentang pemberian kewe- Pengalaman di banyak negara rimaan yang bisa dipertimbangkan nangan penetapan dan penyesuaian menunjukkan bahwa beban pajak adalah: surcharge atau piggy-back tarif ke pada (atau istilah yang pemerintah pernah dipakai di Indaerah adalah Tabel: Ilustrasi Penerapan Opsen atas PPh Perorangan (%) donesia pada masa berkurangnya lalu: opsen) pada ruang gerak pajak penghasilan pemerintah pusat (baik untuk badan dalam mengenataupun – terutama dalikan kebijakan yang lebih feasible fiskal secara untuk – perorangan) nasional. Karena dan PPN. Kenyataan kewenangan bahwa pajak ini penetapan tarif sekarang sudah Sumber: Tim Asistensi Menteri Keuangan bidang Desentralisasi Fiskal. pajak akan dibagihasilkan Catatan: Asumsi tarif daerah (maks) 25% diterapkan atas tarif nasional . berdam-pak dengan daerah langsung kepada bukanlah penghalang penerimaan daerah yang selanjutnya properti sering dikaitkan langsung kemungkinan diterapkannya opsen. berpeng-aruh terhadap belanja dengan pelayanan masyarakat yang Namun, untuk menghindari bertampemerintah dan pengendalian defisit diberikan oleh pemerintah daerah, bahnya beban bagi masyarakat pada secara keseluruhan. Namun misalnya dalam menyediakan/ umumnya, maka bagian daerah yang masalah tersebut dapat di-cegah memelihara sarana-prasarana. 20% itulah yang diubah menjadi melalui pe-netapan batas pePersoalan yang mungkin timbul tambahan/supplemen pajak bagi ngeluaran/belanja daerah yang dapat adalah dari segi kemampuan aparat daerah atas pajak pendapatan peditoleransi (caping). daerah, terutama dalam penentuan merintah. Akan tetapi perlu kajian basis pajak. Ini menyangkut yang mendalam dan cermat untuk kemampuan teknis karena penilaian melihat kemungkinan ini. Pengalihan PBB dan BPHTB Evaluasi awal me-nunjukkan Hal pertama yang bisa dila-kukan juga mesti mengikuti perkembangan untuk mem-perbaiki struktur harga pasar. Selain itu, terbuka bahwa, dengan mekanisme ini, pajak keuangan daerah adalah dengan kemungkinan kecilnya kemauan yang diba-yarkan rumah tangga menyerahkan PBB dan BPHTB politik daerah untuk mengenakan maksimum akan sama dengan kepada daerah (menjadi pajak tarif yang memadai dan/atau implementasi Undang-undang Pajak Akan tetapi, daerah). Praktis, dilihat dari sisi menerapkan sanksi yang keras Penghasilan. kepada siapa sebagian besar berhubung terkait langsung dengan pemerintah daerah mesti dibe-rikan penerimaannya diserahkan, pajak- kepentingan politik penguasa yang paling tidak kewenangan dalam menentukan apakah mereka ingin pajak ini sudah merupakan pajak bersangkutan di daerah. Hal lain yang juga kemungkinan mening-katkan penghasilan mereka daerah. Namun kewenangan dalam hal penentuan basis pajak dan dapat menjadi masalah adalah masih dari PPh ini dengan menerapkan maksimum atau pentarifan berada pada pemerintah terbatasnya pengalaman daerah tarif
10
menggunakannya sebagai insentif. Tabel 1. menunjukkan bagaimana usulan opsen serupa ini dapat diterapkan. Opsen pada PPh perorangan ini dilakukan di banyak negara seperti Kanada, negara-negara Skandinavia, Swiss, dan Amerika Serikat. Kelebihan dari opsen ini berdasarkan pengalaman negara-negara tersebut adalah (i) biaya administrasi relatif rendah; (ii) penerimaannya relatif signifikan; dan (iii) penerimaannya sangat buoyant, karena basisnya akan tumbuh seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Namun, untuk negara seperti Indonesia, ada beberapa persoalan yang dapat muncul seiring dengan penerapan opsen PPh tersebut, yakni: (i) banyak orang yang belum membayar pajak, meskipun mereka mendapat pelayanan pemerintah daerah; (ii) menuntut sistem administrasi yang baik; dan (iii) dampak serius pada pemerataan antar daerah. Kalaupun opsen untuk PPh (perorangan) tidak ingin diterapkan, alternatifnya barangkali adalah dengan memperluas bagi hasil PPh perorangan yang sudah dilakukan sekarang ini, yaitu tidak hanya mencakup pasal-pasal 21, 25 dan 29, tetapi juga ditambah dengan pasalpasal 23 dan 26. Surcharge pada PPN juga bisa dipertimbangkan (khususnya dalam jangka panjang) meskipun dengan kemungkinan implementasi yang lebih sukar karena konsekuensi administratifnya dan berhubung sistem PPN di Indonesia yang agak berbeda dengan pada umumnya pajak penjualan.
Usulan Lainnya
Penguatan
Pajak
Selain beberapa usulan pokok di atas, pemikiran-pemikiran berikut bisa dipertimbangkan untuk memperkuat otonomi fiskal daerah. Ketiga, sumber-sumber lain yang bisa memperkuat PAD Kabupaten/ Kota sebagai tumpuan otonomi daerah ini adalah misalnya: pajak lingkungan (pajak produksi?) dan betterment levy. Dewasa ini, kepedulian terhadap lingkungan di berbagai negara semakin tinggi. Salah satu upaya untuk mengurangi perusakan lingkungan yang parah di dua dekade terakhir (terutama di negara berkembang) adalah lewat pajak. Secara teoretis, pajak memang dapat diandalkan untuk mengatasi eksternalitas negatif. Obyeknya disini dapat saja output atau produksi yang dihasilkan si wajib pajak. Namun, tentu saja perlu dilakukan kajian yang mendalam untuk menjadikan ini sebagai satu alternatif penerimaan daerah yang layak. Betterment tax/levy adalah sumber penerimaan yang potensial diperkotaan. Tapi ini merupakan isu jangka panjang, karena banyak hal mesti dipenuhi untuk bisa menerapkannya. Sebagaimana diketahui, ini merupakan pungutan yang dikenakan karena meningkatnya nilai tanah atau bangunan/properti masyarakat akibat pembangunan infrastruktur di wilayah tersebut oleh pemerintah. Pemerintah DKI Jakarta dulu pernah mencobanya (dengan nama pajak khusus), namun karena kesulitan teknis/praktis, disamping perolehannya saat itu yang tidak
terlalu signifikan, pajak ini dihapus/ diabaikan. Keempat, Akan halnya retribusi, semestinya ada beberapa perluasan yang bisa dilakukan. Namun, seperti juga usulan yang lain, diperlukan telaah serius karena ini menyangkut pelayanan yang diberikan pemerintah daerah. Terkait dengan itu adalah soal pelimpahan pajak maupun non pajak akibat adanya desentralisasi ur usan. Dengan adanya UU Otonomi Daerah, kemungkinan terjadi perubahan penerimaan pada dinas-dinas, baik itu akibat penambahan wewenang yang terjadi dari UU 22/99 dan PP 25/ 2000 ataupun dari peleburan instansi pemerintah pusat yang didaerahkan atau yang dilikuidasi. Fungsi-fungsi yang dipegang oleh dinas-dinas yang baru dapat dipakai untuk menduga potensi penerimaan dinas–dinas tersebut. Selain itu, estimasi juga dapat dilakukan dari penerimaan yang dipegang oleh eks Kanwil/Kandep dan instansi vertikal lain yang didaerahkan. Sebagai tambahan, berbagai (ra)perda struktur organisasi perangkat daerah yang baru juga mesti dikaji untuk melengkapi estimasi yang dilakukan., Ulasan tentang kemungkinan pengalihan penerimaan bukan pajak kepada daerah sebagai akibat dari desentralisasi seharusnya memungkinkan pengalihan penerimaan tersebut untuk dilakukan secepatnya kepada daerah. Sayangnya proses ini belum berjalan lancar. Oleh karena itu, sebagai langkah transisi, perlu dikembangkan adanya opsen atas PNBP, diluar opsen atas PNBP SDA, yang sudah dibagikan ke daerah.
Direktur Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (MPKPFEUI) 2 Meskipun demikian, tetap perlu diberikan catatan disini bahwa otonomi itu tidak berarti bahwa daerah mesti memiliki PAD yang porsinya besar terhadap APBD (misalnya, lebih dari 50%). Daerah bisa saja menerima bantuan/ transfer dalam jumlah yang besar dari pemerintah pusat, tetapi tetap memiliki otonomi luas, sebab yang terpenting adalah keleluasaan dalam menggunakan dana tersebut, bukan asalnya. 3 John Norregard, Tax Assignment dalam Terminassian et all “Fiscal Federalism”, IMF 1997, p.53 1
11
Seminar LPEM - Research School of Asian dan Pacific Studies
“Indonesia Update” anggal 15 Juli 2004, bertempat di Ruang Flores Hotel Borobudur, Jakarta, LPEM FEUI bekerja sama dengan Research School of Asian and Pacific Studies, Australia National University (ANU) mengadakan seminar setengah hari bertema “Indonesia Update”, peluncuran buku “Business in Indonesia: Old Problems, New Challenges”, dan jurnal internasional Economic and Finance in Indonesia. Sejak tahun 1983, Divisi Indonesia Project serta Department of Political and Social Changes—sebuah divisi dari Research School of Asian and Pacific Studies (ANU) melakukan konferensi tahunan membahas isu-isu terpenting pembangunan di Indonesia yang dikenal dengan Indonesia Update. Buku Business in Indonesia: Old Problems, New Challenges merupakan kumpulan paper yang dibahas dalam konferensi tersebut pada bulan September 2003 di Canberra, Australia. Selain seminar dan peluncuran buku, juga dilakukan peluncuran jurnal ekonomi terbitan LPEM FEUI yakni Ekonomi dan Keuangan Indonesia (EKI) yang telah berubah status menjadi jurnal internasional bidang ekonomi dengan nama Economic and Finance in Indonesia (EFI). Seminar Indonesia Update menampilkan dua pembicara kunci yakni Dr. Boediono (Menteri Keuangan Republik Indonesia) dan Prof. Dr. Emil Salim (ekonom). Dr. Boediono menyampaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia serta data-data makro pendukungnya serta prestasi ekonomi yang telah dicapai oleh pemerintahan saat ini.
12
Sementara itu, Prof. Emil Salim menghimbau para ekonom untuk mengubah paradigma pembangunan ekonomi yang sudah tidak valid lagi di era abad 21 ini. Perkembangan dunia saat ini telah melahirkan suatu
konsep pembangunan baru yakni pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development), yang berorientasi mencapai keberlanjutan ekonomi (economic sustainability, social (social sustainability), dan lingkungan (environmental sustainability), bukan hanya pada pertumbuhan (growth) ekonomi semata. Seminar setengah hari dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama membahas political outlook Indonesia saat ini yang disampaikan oleh pembicara Dr. Rizal Sukma dari CSIS, gambaran politik lebih banyak membahas perilaku pemilih Indonesia dalam pemilu legislatif dan presiden lalu, serta pola pemerintahan yang diharapkan dari para capres yang ada. Sementara itu Dr. M. Chatib Basri dari LPEM FEUI menyampaikan bahasan economic outlook, yakni mengenai data-data makro ekonomi Indonesia sebelum dan sesudah krisis berlalu selama
kurang lebih 5 tahun, serta perbandingannya dengan negaranegara tetangga Asia lainnya. Yang menarik diingat adalah bahwa FDI (Foreign Direct Investment) dan ekspor di Indonesia pertumbuhannya masih minus dan relatif tertinggal dibandingkan negara Asia lainnya, serta sektor manufaktur yang cenderung stagnan bahkan mengalami penurunan dan p e r l a m b a t a n pertumbuhan. Ia menyarankan untuk melakukan deregulasi, mengikis praktekpraktek penyelundupan, serta reformasi pajak. Sesi kedua membahas investment climate, decentralization, monetary policy, dan privatization dengan pembicara masing-masing Dr. Kelly Bird (ANU), Dr. Bambang Brodjonegoro (LPEM), Dr. Ross Mc Leod (ANU), dan Dr. M. Iksan (LPEM). Iklim investasi mengalami kecenderungan adanya penurunan nilai investasi antar batas negara, hal ini berlaku secara global. Desentralisasi mengetengahkan masalah kelembagaan pemda dalam otoda, iklim investasi di daerah, serta perda bermasalah. Sementara itu, di sisi moneter pemerintah sebaiknya melakukan realokasi sumber-sumber daya yang ada agar lebih bermanfaat bagi masyarakat dan dunia usaha, sedangkan privatisasi akan memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi apabila ada regulatory framework yang jelas dalam pemerintahan (birokrasi) kita dan pemerintah memperbaiki kredibilitasnya sendiri.
Yanti Sukamdami : “Jangan menambah pajak baru, tetapi obtimalkan pengelolaan industri ini sehingga mereka dapat memperoleh nilai tambah lebih besar dan potensial membayar pajak.” “Pelaksanaan otonomi daerah sebenarnya memberikan peluang bagi daerah untuk mengembangkan pariwisata lebih baik lagi. Hal ini sangat tergantung dari aktivitas dan kreativitas pemda dalam menggunakan kewenangannya. Yang menjadi persoalan justru industri pariwisata seperti hotel dan restoran menjadi terbebani dengan pelaksanaan otonomi daerah, sehingga mereka tidak dapat berkembang secara maksimal.” Demikian diungkapkan oleh Yanti Sukamdani, President Asean Hotel & Restoran Association, yang juga President Director & CEO PT. Sahid International Hotel Management & Consultant. Berikut ini beberapa pemikiran Yanti Sukamdani berkaitan dengan perkembangan industri pariwisata Indonesia di era otonomi daerah.
Peran Industri Pariwisata
Saat ini industri pariwisata di Indonesia merupakan penyumbang devisa terbesar ke dua setelah migas, penyerapan tenaga kerja secara langsung lebih dari 12 juta orang, tenaga kerja secara tidak langsung mencapai lebih dari 32 juta orang. Pariwisata juga merupakan satusatunya sektor yang tidak melakukan PHK akibat krisis moneter, demikian diungkapkan oleh Yanti Sukamdani. Menurut Yanti berbicara mengenai pariwisata
harus melihat multiplier effect-nya, seperti transportasi, suplier, dan lainlain, dan yang paling penting pariwisata juga menghidupi UKM, seperti petani cabai, penggrajin dan penjual souvenir, yang terkait dengan industri pariwisata. Dipaparkannya bahwa kunjungan wisatawan terendah terjadi pada tahun 2002 pada saat terjadi peristiwa bom Bali, yakni sebanyak 4,2 juta wisatawan asing dan 80 juta wisatawan domestik. Tahun 2003 wisatawan domestik mencapai 100 juta orang dan sementara asing 4,4 juta orang. “Dalam kondisi terburuk saja masih ada 4 juta orang yang datang ke Indonesia, bagaimana jika ditangani secara lebih baik lagi ? Target 10 juta wisatawan asing ke Indonesia pasti akan tercapai, bahkan bisa l e b i h , karena wisata m e -
rupakan kebutuhan hidup dan Indonesia endless untuk pariwisata,” demikian ungkap Lulusan Cornell University, School of Hotel Management, New York ini. Menurut wanita pengusaha yang juga lulusan FEUI ini, pariwisata merupakan sumber devisa yang paling sustainable, berbeda dengan migas atau hasil tambang lainnya yang dalam waktu dekat akan segera habis. “Riau mengatakan bahwa I don’t need tourism, karena cukup dengan minyak. Apakah minyak tidak bakal habis ? Kalau tourism tidak akan habis, tinggal bagaimana kita menatanya,” demikian menurut Yanti wanita pengusaha kelahiran Jakarta 50 tahun lalu ini. Ditambahkannya bahwa pembenahan pengelolaan pariwisata harus dimulai dari sekarang karena akan lama untuk menatanya. “Langkawi Malaysia dan Phuket Tahilan ingin menyaingi Bali sejak 10 tahun terakhir ini tetapi tidak bisa, karena Bali sudah dikembangkan sejak 30-40 tahun yang lalu, jadi tidak sebentar untuk men-develop.” Yanti juga menghimbau kepada pemerintah daerah yang merasa memiliki potensi wisata, agar memulai menyiapkan potensi wisatanya dari sekarang. Menurut Yanti, pariwisata tidak membutuhkan modal yang besar. Yang dibutuhkan untuk pengembangan pariwisata adalah keamanan, kebersihan, serta pengemasan. “Jika negara kita aman dan bersih, kita tidak perlu me-
13
nyuruh orang datang, mereka akan datang dengan sendirinya. Modal kita sudah ada, pantai, laut, budaya, sejarah, seni dan budaya, tinggal bagaimana kita menge-masnya,” demikian ungkapnya.
Penanganan Pariwisata Menurut Yanti, saat ini jika berbicara mengenai pariwisata konotasinya selalu mewah dan “jorjoran”, padahal pariwisata merupakan suatu kebutuhan hidup. “Pembatu rumah tangga mudik juga pariwisata, kita anggap saja pariwisata itu sebagai suatu kebutuhan hidup, jadi kita tidak bisa mengatakan bahwa pariwisata sebagai barang mewah, tinggal kita maunya kelas yang mana.” Yanti juga menyatakan bahwa jika kita percaya pariwisata merupakan satu sektor yang menjadi unggulan, maka dalam penanganannya harus dibawah satu departemen tersendiri bukan digabung dalam Departemen Pariwisata Seni dan Budaya. “Pariwisata harus sendiri karena pariwisata adalah suatu industri dimana yang dijual di dalamnya ada alam, seni, budaya, lingkungan seperti ecotourism.” Jika kita melihat sektor pariwisata mempunyai prospek dan peran yang besar, kita harus fokus dan serius dalam menangani pariwisata, tetapi yang terjadi sekarang pariwisata belum digarap secara fokus dan serius. Menurut Yanti untuk pengembangan pariwisata di
kawasan Indonesia Timur, seharusnya pemerintah banyak membangun dermaga karena pengembangan pariwisata ke depannya adalah maritim tourism. Harus disadari bahwa pembangunan dermaga tidak bisa secara langsung dan cepat akan kembali modal, tetapi akan muncul multiplier effect yang luar biasa. Mobilitas masyarakat menjadi lebih lancar sehingga penerimaan pemda dari pajak hotel dan restoran, pajak tambat kapal, dan lain-lain juga akan meningkat. Yang terpenting dalam industri pariwisata adalah dampaknya pada pelestarian lingkungan, karena yang dijual adalah kelestarian lingkungan hidup itu sendiri. “Jika lingkungan di negri ini rusak siapa yang mau datang ke sini ?” demikian kata Yanti. Menjual pariwisata adalah menjual image, sehingga membutuhkan promosi. Sebagai gambaran, di Malaysia menargetkan akan mendatangkan wisatawan sebanyak 15 Juta orang dan pemerintahnya mengeluarkan dana US$.52 juta atau Rp.500 milyar. Sementara di Indonesia pemasukan dari Pajak Hotel dan Restoran kira-kira 15 trilyun, namun anggaran untuk kegitan promosi pariwisata hanya Rp.90 milyar. Tentunya hal ini tidak sebanding dengan pemasukan dari sektor ini. “Saya dan pengusaha pariwisata lainnya menginginkan agar
Sektor Pariwisata di Bali sudah dikembangkan sejak 30-40 tahun yang lalu.
14
sebagian dari hasil pungutan pajak dikembalikan untuk kegiatan promosi, pelatihan SDM, perbaikan product, membantu pembentukan paket-paket wisata, dll.” Menurut Yanti, dalam pengembangan pariwisata harus dilakukan dengan target. “We must work with target ! Kalau kita sudah tahu target yang ingin dicapai, bagaimana menuju kesana, programnya seperti apa, budgetnya berapa dan sebagainya, jadi jelas semuanya terukur. Berapa target jumlah wisatawan, berapa biaya promosinya harus ada.” Pemerintah jangan berfikir sesaat, jika mereka memberikan fasilitas kepada pengusaha tentunya pengusaha akan melakukan penjualan lebih bagus, dan pembayaran pajaknya lebih tinggi lagi.
Perkembangan Pariwisata Perkembangan pariwisata di Indonesia, saat ini didominasi oleh tiga daerah yakni, Bali, Batam, Jakarta, dan Jogjakarta. Menurut Yanti, Jogjakarta telah berhasil mengembangkan pariwisatanya dengan baik, terlihat dari pendapatan pajak hotel dan restoran adalah yang paling besar, sama dengan Bali. Sebenarnya banyak daerah yang bisa berhasil seperti Jogja dan Bali. Yang menjadi persoalan pengembangan pariwisata di berbagai daerah di Indonesia adalah belum digarap secara serius dan optimal. Yang membuat pariwisata di Indonesia tetap bertahan h i n g g a
line dan Asita yang akan mengemas sekarang adalah karena peran UKM. Pariwisata di Era Otonomi Daerah paket wisata. “Selama krisis kita hidup dari grass Dalam beberapa tahun Namum menurut Yanti salah satu root, makanya kita survive, dan resis- belakangan ini ada beberapa succes kendala pengembangan pariwisata tance terhadap krismon.” Namun story dalam pengembangan wisata daerah di Indonesia adalah kuindustri pariwisata saat ini hanya bisa domestik. ASITA bekerjasama rangnya atau bahkan tidak ada flight survive saja dan tidak berkembang, dengan Pemda Sulawesi Selatan dan secara direct antar berbagai daerah. padahal potensinya luar biasa. BRI membuat Wisata Mudik Untuk mengatasinya tergantung Sebagai gambaran, turis dari Cina Makasar. Pemda setempat yang pada aktivitas dan kreativitas Pemda. saat ini yang datang ke Singapura 2 menyiapkan potensi wisatanya, Yanti memberikan contoh baik yang juta orang, ke Thailadd 1 juta, dan ke sementara ASITA dan BRI membuat dilakukan oleh Pemda DI. YogMalaysia 800 ribu orang, sementara packetges. “Orang Makasar di yakarta, yang dinilainya sangat yang datang ke Indonesia hanya 40 perantauan ada 8 juta. Sekarang agresif. “Sekarang ada flight Jogja ribu orang. Hal ini terjadi karena tahun ke 2 yang mudik tidak hanya Kuala Lumpur, sulitnya untuk datang ke Yo g y a - S i n g a Indonesia dengan biaya Novotel Bukittinggi Corallia pore. Di Yogya yang sangat mahal disekarang ada 39 bandingkan dengan komflight dalam sepetitor kita seperti Mahari dari berbalaysia, Singapura, dan gai tujuan. Yogya Thailad, serta kurangnya sangat potensial, promosi wisata kita, dan hal ini tidak padahal menurut Yanti terjadi di daerah kunci dari pengemtetangganya, bangan pariwisata adaSolo, yang selah promosi. harinya hanya Selain keamanan dan empat flight pakebersihan, harapan dahal internapelaku industri wisata di tional air port. Indonesia terhadap Jadi pemda sapemerintah adalah pemngat menentubenahan infrastruktur, kan dalam mengdestinasi, promosi, dan create pariwiSDM. “Yang terpenting sata, dan hal ini dari tamu atau turis merupakan peluadalah rasa aman. Waang pengemlaupun kenyataannya bangan industri tidak aman, tapi buatlah pariwisata di era mereka merasa aman.” otonomi, yakni bagaimana pemUntuk itu har us ada da menggunakan komitmen dari pemekewenangannya rintah untuk membeuntuk mengemrikan jaminan keamanan. bangkan pariwiYanti menyatakan bahwa sata di daerahuntuk pariwisata Indonenya.” sia endless, banyak hal Menur ut yang bisa ditawarkan, Yanti yang menpersoalannya kita tidak jadi persoalan pandai dan tidak kreatif saat ini justr u dalam mengemas dan Pariwisata di Daerah - Pemerintah daerah yang merasa memiliki potensi banyak daerah wisata hendaknya menyiapkan potensi wisatanya. Pariwisata tidak menjual pariwisata. “You membutuhkan modal besar, untuk pengembangan pariwisata yang di yang dinilainya are selling image, You kebablasan butuhkan adalah keamanan, kebersihan, serta pengemasan. karena diberi are selling dream, otonomi, mereka menggunakan menjual impian harus divisualisasi. orang Makasar, karena paket wisata kesempatan untuk membuat Kita branding saja baru tahun ini, or- kesana sangat murah.” Keberhasilan berbagai peraturan daerah (perda) pengembangan pariwisata bekerjadinarily diversity, padahal Malaysia yang tujuannya untuk meningkatkan sama dengan Pemda tersebut sudah lima tahun dengan “the truly PAD. “Perda-perda yang mengatur asia”, dan sekarang malah sudah mendorong, ASITA akan mengemperizinan usaha kepariwisataan bangkan wisata daerah Sumatera mau diganti branding-nya. Branding seperti hotel dan restoran, sebelum Barat yang sangat potensial. Skenario harus bikin production-nya dan bikin otonomi daerah hanya berjumlah 12 kerjasama yang akan dijalin adalah promotionnya, seperti apa yang buah, setelah pelaksanaan otonomi pemda setempat menyiapkan potensi akan kita jual.” daerah malah menjadi 41 jenis wisata yang akan dikembangkan, air-
15
perizinan yang harus diurus oleh pengusaha,” demikian salah satu contoh yang diungkapkan oleh Yanti “Saat ini yang terjadi seolah-olah bupati-bupati menjadi raja-raja kecil di daerah, they can do anything, apapun saya berkuasa jadi saya bisa lakukan apapun that’s it, tidak ada kontrol lagi. Mereka lupa bahwa tujuan otonomi daerah adalah untuk mensejahterakan rakyat.” Ditambahkannya pula, “Jika belum apa-apa pengusaha harus membayar berbagai pungutan pajak, lama-lama mereka tidak mampu berkembang, akhirnya daerah maupun pengusaha tidak akan mendapatkan manfaat dari keberadaan hotel tersebut.” Sebenarnya dengan pelaksanaan otonomi daerah ada peluang bagi daerah untuk mengembangkan pariwisata lebih baik lagi. Persoalannya dengan pelaksanaan otonomi daerah industri pariwisata seperti hotel dan restoran justru terbebani banyak pajak dan retribusi, sehingga mereka tidak dapat berkembang secara maksimal. Menurutnya industri pariwisata sekarang menjadi tidak dapat bersaing lagi, karena ditambah beban baru berupa pajak dan retribusi. Jika mau bersaing tentunya mereka harus menurunkan harga produk, namun konsekuensinya kualitas pelayanan juga turun. “Perusahaan bingung karena tiap hari harus mengurusi pajak, mereka tidak dapat fokus mengurus core business-nya. Seharusnya mereka bisa lebih
berkonsentrasi lagi jika tidak banyak pajak, retribusi, dan perizinan yang harus dibayar dan diurus. Dengan banyaknya potongan pajak dan retribusi, pengusaha menjadi berfikir bagaimana harus saving cost, karena kalau tidak mereka akan merugi, akibatnya mereka less creative. Kalau mereka tidak kreatif siapa yang mau datang ke daerah.” Yanti berharap agar dalam revisi UU No.22 tahun 1999, dapat mengembalikan otonomi pada konsep dasarnya mengapa harus dilakukan desentralisasi. Menurutnya kewenangan diberikan ke daerah supaya daerah dapat mengembangkan sumber daya alamnya dan SDM-nya, serta lebih fokus dalam mensejahterakan rakyat di daerah. Praktik negatif dalam pelaksanaan otonomi daerah, menurut Yanti terjadi karena ada kesan aji mumpung karena ada kekhawatiran dari penguasa di daerah untuk berapa lama mereka tetap menjabat di daerah. Menurut Yanti, dalam proses perumusan suatu program atau perda seharusnya eksekutif, legislatif, yudikatif dan masyarakat harus bersatu, mengingat bahwa secara keseluruhan yang akan melaksanakan kebijakan tersebut adalah masyarakat. Pengusaha sudah tahu apa yang menjadi kewajibannya, bahkan mau compromise. Ditambahkannya pula bahwa jika ada transparansi dalam perumusan kebijakan daerah, baik Pemda maupun pengusaha akan dapat bersama-sama bekerja keras untuk untuk mencapai target yang telah disepakati. Demikian juga dalam
Danau Toba sebagai salah satu obyek wisata andalan Indonesia.
16
dalam penggunaan dana juga harus ada transparansi, sehingga pengusaha juga merasa nyaman. “Dengan transparansi menjadi enak, pajak berasal dari masyarakat sehingga masyarakat berhak tahu apa yang dilakukan oleh pemerintahnya.” Ditambahkannya pula bahwa sebenarnya asal aturannya jelas dan penggunaannya jelas, harus ada transparansi, pengusaha telah tahu kewajibannya. Yanti berpendapat bahwa seharunya Pemda memberikan insentif dan rangsangan sehingga pengusaha akan lebih giat, dan akan dapat membayar pajak lebih besar lagi. “Jangan menambah pajak baru, tetapi obtimalkan pengelolaan industri ini sehingga mereka dapat memperoleh nilai tambah lebih besar dan potensial membayar pajak.” Pengusaha yang aktif di berbagai organisasi ini menyatakan bahwa yang terpenting dalam membuat kebijakan adalah bagaimana membuat semua pihak happy. “Jangan hanya berfikir PAD semata ! PAD akan datang dengan sendirinya, profit comes automaticly.” Yanti juga mengatakan bahwa pemerintah harus harus memikirkan satled account dari multiplier effec yang akan didapat dari hasil pajak karena orang datang ke sana, UKM akan berkembang, wisatawan, dan investor juga akan datang. “You can’t have it now sesuatu yang bersifat jangka panjang, kita adalah pelaku di lapangan, dan pemerintah adalah pembuat kebijakan. Kebijakan harus dibuat secara kompak antara pemerintah, pengusaha, dan pihakpihak terkait. Cantik banget jika bisa dilakukan dengan cara demikian. (git)
EKONOMI KERAKYATAN DI NTT : ANTARA REALITAS DAN HARAPAN (Sambungan dari hal. 3) Berkembangnya sektor ekonomi sekunder akan menciptakan peluang bagi dinamika dunia usaha. Perilaku ekonomi atau sikap kewirausahaan merupakan fungsi dari dinamika dunia usaha. Jangan dipaksakan dengan berbagai pelatihan kewirausahaan bila formasi ekonomi makro dan mikro tidak kondusif. Dorong perkembangan dunia usaha melalui percepatan perubahan struktur ekonomi, agar tercipta media pembelajaran yang luas bagi pelaku ekonomi kecil untuk mematangkan perilaku ekonomi atau sikap kewirausahaannya. Melalui pendekatan semacam ini diharapkan pelaku ekonomi kerakyatan dapat berkembang menjadi fondasi ekonomi yang kokoh bagi perekonomian daerah.
mendatang, PDRB NTT akan didominasi share pelaku ekonomi kecil. Visi semacam ini diperlukan agar ada komitmen dan daya paksa untuk menjabarkan visi tersebut dalam perencanaan yang baik. Berkaitan dengan representasi
Ancangan Perencanaan
pengembangan usaha kecil dalam dokumen perencanaan yang ada, harus diakui bahwa format perencanaan standar yang ada saat ini (Poldas, Propeda dan Rentra) tidak memungkinkan rencana pengembangan pelaku ekonomi kecil sebagai inti dari pengembangan ekonomi rakyat diakomodasi dengan baik. Karena itu perlu terobosan dari sisi perencanaan. Rencana Pengembangan Pelaku Ekonomi Kecil dapat dijadikan subsidiary plan dari Propeda atau Renstra yang keabsahannya dilegitimasi juga oleh Perda. Subsidiary plan adalah produk perencanaan sejumlah instansi yang berkaitan langsung dengan usaha kecil yang penyusunannya dikoordinasi Bappeda dan melibatkan representasi pelaku ekonomi skala menengah dan besar. Dari segi pendanaan tidak ada masalah, karena dalam format APBD yang baru, yang menggunakan program sebagai nomenklatur generik serta format pengusulan untuk mendapatkan pembiayaan dekonsentrasi, pembiayaan terhadap subsidiary plan
Berbagai perubahan yang diinginkan terhadap pelaku ekonomi kecil butuh perencanaan yang baik dan perencanaan yang baik muncul dari suatu visi pengembangan usaha kecil yang jelas pula. Pertanyaannya, adakah visi kita yang jelas tentang usaha kecil? Cukupkah dokumen perencanaan yang ada (Poldas, propeda dan Renstra) memberi tempat bagi pengembangan usaha kecil secara terpadu dan berkesinambungan? Bagaimana strateginya menjadikan usaha kecil sebagai sokoguru perekonomian daerah? Sampai sejauh ini kita belum melihat adanya visi yang jelas tentang pelaku ekonomi kecil, selain retorika tentang mereka. Menurut hemat saya, Kepala Daerah harus berani merumuskan visi yang jelas tentang pengembangan pelaku ekonomi kerakyatan. Bila pemerintah menginginkan pelaku ekonomi kecil menjadi fondasi perekonomian daerah, maka Kepala Daerah harus berani mer umuskan visi bahwa dalam jangka waktu lima atau 10 tahun
tersebut dapat diakomodasi. Subsidiary plan tersebut paling kurang berisikan lima hal pokok yaitu Visi dan Misi, strategi yang digunakan, program-program lintas instansi yang akan dilaksanakan, pembiayaan dan guide line pengelolaannya. Untuk itu diperlukan suatu pengkajian mendalam mengenai eksistensi pelaku ekonomi kecil saat ini. Seluruh program yang berkaitan dengan mereka perlu dievaluasi tuntas dan yang paling penting mesti ada wawasan baru tentangnya. Misalnya dalam perumusan kebijakan fiskal daerah (APBD), sebagian dari pos belanja modal yang dianggarkan dapat diarahkan sebagai kapitalisasi pelaku ekonomi kecil. Dengan strategi, pedekatan, program aksi dan pengelolaan yang jelas, kapitalisasi pelaku ekonomi kecil tersebut dapat menjadi pemicu bagi berkembangnya aktivitas usaha pelaku ekonomi kecil.
Perlu Regulasi bagi Pelaku Ekonomi Kecil Esensi regulasi adalah untuk menciptakan keteraturan, kepastian hukum dan komitmen yang jelas dalam pengembangan UKM. Bila urusan-urusan ekonomi lainnya diregulasi oleh Pemerintah Daerah, maka perangkat hukum dalam bentuk Perda tentang pelaku ekonomi kecil atau UKM perlu dibuat. Perda ini sangat penting, terutama bagi pelaku UKM untuk menuntut dan mengontrol pemerintah agar bersungguh-sungguh dalam mengembangkan UKM. Tanpa Perda ini, wacana tentang UKM ibarat macan ompong. Gaungnya kedengaran keras di mana-mana, tetapi ia tak punya gigi. Demikianlah beberapa pokok pikiran tentang pengembangan ekonomi kerakyatan di NTT. Semoga berguna. Sekian.
1. Makalah disampaikan pada Seminar Pemberdayaan Ekonomi Rakyat di Provinsi NTT, tgl. 26 Nopember 2002. di Kristal, Kupang. Dimuat di media ini atas persetujuan penulis. 2. Dosen Fakultas Ekonomi - Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW) Kupang
h o t e l
17
Walikota Manado Wempie Frederik:
“Masyarakat Manado Siap Menjalankan Pilkada Langsung“ anado adalah kota bercita Kesejahteraan (Perda No.03 Tahun kebijakan daerah,”tegas Wempie. rasa tinggi. Seakan, apa saja 2001). Kongkritnya, “dalam perumusan yang menyegarkan mata dan Dalam tataran makro dan holistik, ranperda yang berkaitan dengan yang memanjakan para pengunjung bersama staf birokrasi dan mitra pungutan pajak atau retribusi, pihak ada di kota utara Indonesia ini. Dari legislatifnya, mantan anggota DPR/ terkait (stakeholder) seperti unsur bubur Manado yang bertebaran di MPR dari Partai Golkar ini dunia usaha ini dilibatkan secara Kawasan Bolevard sampai ke taman menetapkan sejumlah program intensif. Pelibatan itu mulai dari laut Bunaken di Manado Tua. strategisnya. “Antara lain adalah tata tahapan penyiapan melalui undangan Bahkan, tidak bermaksud merendah- kelola pemerintahan yang baik, seminar, melakukan jajak pendapat, kan tapi untuk sekedar menyatakan peningkatan ekonomi rakyat dan dan penyampaian pendapat langsung rasa kagum, para perempuan penciptaan iklim usaha yang kondusif ke Pemda sampai kepada tahapan Manado menjadi pesona tersendiri menuju terciptanya kota jasa, pembahasan di Dewan Kota melalui yang menambah kesemarakan isi pelayanan publik, penataan ruang, public hearing oleh DPRD”. kota. S e l a i n Berada dalam perhatian dalam segala situasi yang aras kebijakan, menguntungkan Pemda juga memitu, Kota ini meneberikan dukungtapkan dirinya seannya bagi perbagai kota jasa, kembangan usaha terutama jasa padi daerah ini riwisata dan berbamelalui upayagai jasa pendukungupaya nyata danya. Dan dari sektor lam mendukung unggulan itulah, penciptaan iklim menurut Walikota dan kelancaran Manado Drs. Wemaktivitas usaha. pie Frederik, kota Hal ini tercermin ini mendapat nafdalam langkah kah hidupnya. “Sepeyederhanaan kitar 2/3 dari total sistem perijinan PDRB Kota Manausaha berupa sisdo merupakan nilai tem one-stop sertambah yang di- Dunia Usaha di Manado - Menyadari peran dunia usaha dalam mengatasi vice yang terkomsumbangkan sektor persoalan lapangan kerja, kapasitas keuangan daerah dan kesejahteraan masya- putersiasi yang tersier, seperti jasa rakat, Pemkot Manado akan selalu memperhatikan dan memperhitungkan mulai dijalankan dan perdagangan”, eksistensi mereka itu dalam setiap pengambilan kebijakan daerah. sejak bulan Juli demikian Wempie lalu, upaya pedalam kesempatan wawancara dan pendidikan yang menghasilkan mangkasan rantai pelayanan yang dengan KPPOD News. kualifikasi sumber daya yang tidak efektif dan tidak efisien, bermutu tinggi.” penyediaan prasarana/infrastruktur Khusus terkait keberadaan dunia seperti telekomunikasi, transportasi, Pembangunan Manado dalam usaha dan pelaku usaha di Manado, tenaga listrik, dan air bersih. Pandangan Walikota Wempie Wempie mengakui betapa besarnya Namun, meski demikian Wempie Frederik peran mereka. “Kontribusi dunia tetap mengakui sejumlah sisa Memulai masa kepemimpinannya usaha di kota ini sangat nyata. persoalan yang masih menghambat di tahun 2000 silam, Wempie Menyadari signifikannya peran perkembangan usaha seperti “masamencanangkan pola dasar pembamereka dalam mengatasi persoalan lah Perda, pelayanan birokrasi dan ngunan Kota Manado dalam arah lapangan kerja, kapasitas keuangan prilaku masyarakat.” Berbagai pembangunan kota yang indah, sejuk, daerah dan ksesejahteraan masyamasalah ini masih dalam taraf efek nyaman, tertata dn lestari untuk rakat pada umumnya, pemerintah gangguan yang kurang signifikan bagi mendukung citra sebagai kota jasa. akan selalu memperhatikan dan aktivitas usaha. “Lagi pula, saat ini Ini sejalan dengan visi Manado memperhitungkan eksistensi mereka Pemda telah bertekad untuk segera sebagai Kota Pantai Nyiur Melambai yang Maju dalam Peradaban dan itu dalam setiap pengambilan menyelasaikannya,” janji Wempie.
18
Otonomi dan Revisi Aturan
dengan ide pemilihan langsung para kondisi hubungan yang terjadi saat Penggalian pandangan dari kepala daerah yang juga mesti ini, ketika Kepala Daerah masih mantan ketua KNPI Sulawesi Utara direalisasikan dalam hasil revisi dipilih oleh DPRD. “Implementasi otonomi berdampak pada sedemikian ini juga bergerak ke isu-isu mendasar nanti. Bagi mantan Dosen Univesitas kuatnya transfer kekuasaan dari seperti soal kebijakan otonomi, rencana revisi UU dan wacana Sam Ratulangie ini, rencana eksekutif kepada legislatif. Yang perlu pemilihan langsung kepala daerah. per ubahan sistem Pilkada dari diperhatikan dalam situasi itu adalah Bagi Wempie, rencana revisi UU sebelumnya oleh DPRD kepada rentannya posisi Kepala daerah No.22/99—yang kini sedang rakyat sendiri secara langsung adalah karena adanya ketakutan pada tekanan pihak legislatif. berlangsung intens Sementara pada sisi proses pembahasannya— lain, kami para Kepala perlu, namun harus Daerah tidak bisa “mengacu kepada filosofi berargumentasi bahwa keragaman dalam kesakami didukung rakyat, tuan dan pemberian meski program/kebijakotonomi yang luas, nyata annya berpihak kepada dan bertanggungjawab kepentingan rakyat.” kepada daerah”. Dengan Artinya “Legitmasi pokata lain, revisi itu litik rakyat inilah yang sungguh bermaksud unmau dicari dalam perutuk menyempurnakan bahan sistem pemilihan bukan menarik kembali nanti. Dengan itu pula, kewenangan ke pusat konsentrasi kami akan (resentralisasi). Dari segi lebih kepada tugas proses, revisi ini pelayanan publik, samhendaknya “dilakukan bil tidak mengabaikan secara transparan dengan melibatkan daerah Pilkada di Manado - Mekanisme demokrasi lewat pemilihan langsung sama sekali hubungan sebagai pihak yang bukan hal baru bagi masyarakat Manado. Hal itu terbukti lewat dengan pihak DPRD.” Mengenai kondisi berkepentingan”, tegas kebiasaan pemilihan kepada desa atau Hukum Tua. salah satu terobosan revisi UU No.22/ sosiologis dan kesiapan masyarakat Wempie. Mengapa revisi itu perlu ? 99. Diharapakn dengan reformasi sendiri untuk menjalankan sistem Menurut Wempie, tidak saja dalam elektoral ini, “Kepala Daerah yang baru ini, Wempie merasa optimis, akan lebih mampu khususnya untuk konteks masyarakat tataran teknis tetapi juga secara dipilih yang dipimpinnya. konseptual, otonomi yang berlaku menterjemahkan keinginan rakyat daerah saat ini mengandung banyak dalam pelaksanaan pembangunan, “Mekanisme demokrasi lewat masalah. Belum lagi pemahaman serta memiliki posisi yang kuat dan pemilihan langsung oleh rakyat berbagai pihak atas konsep otonom efektif dalam pemerintahan.” bukan mer upakan hal baru bagi itu sendiri beragam dan bahkan “Pemerintahan yang terbentuk akan masyarakat Kota Manado. Hal ini bertentangan. “Dalam bidang ke- benar-benar berasal dari, oleh dan sudah lama dikenal lewat pemilihan wenangan, sering dijumpai tumpang- untuk rakyat, bukan lagi produk Kepala Desa (Hukum Tua) di desatindih kebijakan antara dae- DPRD yang mungkin tidak mewakili desa di Kota manado sebelum dirubah statusnya menjadi kelurahan.” rah,”demikian ia memberi contoh aspirasi rakyat.” Mencoba untuk membuat neraca Bercermin dari pengalaman efek pemahaman yang salah itu. Atau pula “otonomi sering dipahami dan untung-rugi dari rencana Pilkada panjang itu, Wempie juga tidak cemas diidentikan dengan uang, sehingga langsung ini, menurut Wempie akan dengan potensi konflik sebagaimana daerah cenderung menerapkan lebih banyak untungnya. Seperti diperkirakan sebagian orang sebagai berbagai pungutan yang membe- “minimalisasi politik uang, terjamin- ekses yang harus diantispasi dari ratkan masyarakat. Pada sisi lain, nya orientasi program pelayanan rencana Pilkada langsung ini. “Dalam aspek pelayanan sebagai timbal balik publik, dan adanya kepastian dalam pelaksanaan selama pemilihan yang mesti diberikan pemerintah proses penentuan seorang pemim- langsung para Kepala Desa itu, pin”. Sementara kelemahannya keamanan terjamin cukup baik. justru terbengkelai”. Dalam pandangan ke depan, adalah pada berkurangnya kewe- Semua pihak juga dapat menerima alasan revisi itu terkait pada nangan legislatif dalam proses hasil pemilihan, dan kemudian secara persoalan menempatkan rakyat pemilihan kepala daerah dan elegan mendukung pemimpin yang dalam posisi yang lebih berdaya. “For- kesulitan dalam menjaga kelancaran terpilih.” “Dengan demikian, secara mat otonomi yang dihasilkan revisi ke proses pemerintahan bagi kepala sosiologis, kondisi masyarakat depan seharusnya mampu meng- daerah terpilih yang tidak didukung Manado sangat mendukung bagi hasilkan mekanisme penyaluran oleh partai pemenang pemilu. Dua berlangsungnya perubahan sistem aspirasi masyarakat secara terbuka hal ini tentu berpengaruh kepada pemilihan ini,”demikian Wempie dalam setiap kegiatan pembang- hubungan kemitraan eksekutif dan menutup pembicaraan. Tentu, kita berharap, pada semua daerah bisa unan.” Dalam konteks yang lebih legislatif ke depan.” Soal hubungan Kepala daerah- seperti ini. (ndi) besar, menurut Wempie, persoalan partisipasi rakyat ini bersambungan DPRD itu, Wempie coba merefleksi
19
Qanun No. 14 TTahun ahun 2004 Ditinjau Ulang Pemerintah Daerah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada akhir Juni lalu telah meminta Pemkab Nagan Raya agar meninjau kembali Qanun No. 14 Tahun 2004 tentang Sumbangan Pihak Ketiga. Menurut surat Gubernur NAD pada Bupati Nagan Raya, Qanun tersebut pada pasal 3 ayat 4 bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar penetapan pungutan daerah dan materi qanun itu sendiri yakni adanya musyarwarah para pihak yang terlibat, sumbangan dilakukan secara sukarela, tidak mengikat, dan tidak bertentangan dengan Undang-undang yang lebih tinggi. Selain itu, besarnya sumbangan tidak perlu dicantumkan pada qanun tersebut, akan tetapi cukup dituangkan dalam SK Bersama antara Pihak Ketiga dengan pemkab Nagan Raya.
Sleman PPublik ublik asik an Laporan KKeuangan euangan ublikasik asikan Pemerintah Kabupaten Sleman akhir Juli lalu memublikasikan laporan keuangan daerah melalui media massa. Laporan yang mirip dengan laporan keuangan perusahaan umumnya itu terdiri dari neraca dan laporan aliran kas. “Sleman itu bagus. Dia berani mengumumkan lewat koran. Keseriusan pemda bisa dilihat dari bagaimana cara mereka mengelola administrasi keuangan,” ucap Dirjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Machfud Sidik. Pujian itu bukanlah hasil kerja tiba-tiba sebab menurut Bupati Sleman, Ibnu Subianto, upaya menyajikan laporan tersebut telah dirintis sejak tiga tahun lalu. (Kontan)
DAU Daerah KKaya aya ak an Dihapusk an akan Dihapuskan Pemerintah akan menghapus Dana Alokasi Umum (DAU) bagi daerah kaya yang memiliki kapasitas fiskal surplus. Menurut Dirjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Machfud Sidik, DAU hanya diperkenankan bagi daerah yang memiliki kapasitas fiskal lebih rendah atau sama dengan kebutuhannya.. “Formula DAU nanti dihitung berdasarkan celah fiskal antara propinsi, kabupaten, dan kota. Distribusi seperti ini penting untuk mengurangi ketimpangan horisontal antar daerah,” katanya di Jakarta akhir pekan lalu. Berdasarkan UU ‘lama’, DAU merupakan transfer yang bersifat umum(block grant) untuk mengatasi masalah ketimpangan horisontal (antar daerah) dengan tujuan pemerataan. Sementara formula DAU yang baru membagi DAU berdasarkan celah fiskal yaitu selisih antara kebutuhan dan kapasitas fiskal. Jika kebutuhan bisa dibiayai dengan kapasitas fiskal (kapasitas fiskal sama dengan nol) makan daerah berhak mendapatkan DAU sebesar alokasi dasar. (Bisnis Indonesia)
Daerah Tidak Berhak Ambil Alih PPelabuhan elabuhan Pemerintah kabupaten/kota tidak berhak mengambil alih pengelolaan pelabuhan umum nasional dan internasional yang selama ini dikelola oleh PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo). Selama PP N. 69 Tahun 2001 sebagai dasar hukum pengelolaan pelabuhan-belum diubah atau dicabut, pengelolaan pelabuhan di seluruh Indonesia tetap dilaksanakan Pelindo. Kepala Bagian Hukum Dirjen Perhubungan Laut Departemen Perhubungan Umar Aris menegaskan hal itu di Jakarta, Rabu (11/8) menanggapi langkah 57 kabupaten/kota yang tergabung dalam Forum Deklarasi Balikpapan (FDB), yang berencana merebut pengelolaan pelabuhan dari Pelindo dan membuat perda sendiri tentang kepelabuhanan. Rencana tersebut dilakukan menyusul dikabulkannya uji materiil PP No. 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan oleh Mahkamah Agung. Ahli hukum laut internasional, Hasyim Djalal, mengingatkan pengelolaan pelabuhan tidak sama dengan aset lain karena pelabuhan terikat dengan berbagai aturan internasional. Jika aturan tersebut diabaikan, maka barang yang diekspor dari Indonesia tidak bisa masuk ke pasar dunia. Hasyim meragukan kabupaten/kota yang ingin mengelola pelabuhanitu mampu memenuhi aturan internasional tersebut. (Kompas)
Pembahasan RRevisi evisi UU PPerimbangan erimbangan KKeuangan euangan PPusat usat dan Daerah Masih Alot Pemerintah dan Pansus DPR sampai saat ini masih membahas RUU tentang revisi atas UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Revisi UU yang ditargetkan selesai pada akhir September 2004, belum selesai dibahas mengingat masih adanya masalah yang alot. Dari enam masalah yang belum diselesaikan, baru dua yang bisa disepakatiyakni soal pengenaan pajak lingkungan eksternal dan masalah rentang waktu pinjaman daerah. Dirjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Depkeu Machfud Sidik kepada Kompas, Jumat (20/8) di Jakarta, mengatakan, empat masalah lainnya yang belum dapat disepakati adalah soal peningkatan proporsi dana alokasi umum sebesar 25 persen dari pendapatan dalam negeri neto, peningkatan anggaran untuk pelayanan dasar di bidang pendidikan dan kesehatan di daerah, dana bagi hasil (DBH) sumber daya alam (SDA) untuk daerah pengolah dibedakan dengan daerah yang bukan pengolah SDA, juga permintaan DPR agar DBH cukai rokok, yaitu daerah produsen rokok, seperti di Kediri, Kudus, dan lainnya, ditingkatkan. Secara terpisah, Ketua Pansus DPR tentang Revisi UU No 25/1999 dan Revisi UU No 22/1999 tentang Pemerintah Daerah Teras Narang mengatakan, dalam pembahasan revisi kedua UU itu, DPR tidak bersikap ingin menang-menangan dalam memenuhi aspirasi daerah, tetapi justru ingin berhati-hati dan cermat pembahasannya. (Kompas)
20