Nawawi Thabrani, Wakaf Menurut Al-Sarakhsi dalam Kitab Al-Mabsuth dan Korelasinya dengan Wakaf di Indonesia
WAKAF MENURUT AL-SARAKHSI DALAM KITAB AL-MABSUTH DAN KORELASINYA DENGAN WAKAF DI INDONESIA Oleh: Nawawi Thabrani1 Abstrak: Pembahasan di bawah ini mengenai salah satu kegiatan muamalah dalam praktik hukum Islam, yakni wakaf. Ini menbahas tentang pengertian wakaf, hukum wakaf, dasar-dasar wakaf serta korelasinya dengan tata hukum wakaf Indonesia. Secara definitif, Wakaf merupakan pemanfaatan benda secara terus-menerus dengan kondisi barang tetap utuh atau permanen. Pembahasan di bawah ini banyak menggabungkan hukum wakaf yang diusung oleh pemikiran Imam Abu Hanifah, dalam hal ini diwakili oleh Imam al-Sarakhsi yang dalam kesimpulan terakhirnya menyatakan bahwa wakaf bersifat ghair lazim (tidak tetap) yang sama kedudukannya dengan hukum akad pinjaman („âriyah). Pendapat ini terakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, khususnya berkaitan dengan wakaf sementara (muaqqat). Key Word : Wakaf, Kemaslahatan, Kepemilikan, Lazim dan Ghair Lazim, Undang-Undang. A. Pendahuluan Tujuan ajaran syariat Islam adalah demi tercapainya kemaslahatan manusia. Sedangkan tujuan hukum Islam tidak terlepas dari tiga pokok, yaitu menjaga mashlahat dlaruriyat, mashlahat hajiyat, dan mashlahat tahsiniyat. Agama Islam menjaga kemaslahatan dlaruriyat dengan memberikan kebebasan untuk melaksanakan praktek-praktek ibadah dan ketentuan hukum. Dalam hal ini, wakaf menempati urutan ketiga dari maslahat yang ditawarkan Islam, yaitu mashlahat tahsiniyat. Menurut al-Dahlawi2 wakaf mengandung kemaslahatan yang tidak dijumpai dalam sedekah yang lain, sebab kadangkala ada orang menggunakan hartanya di jalan Allah tetapi pada akhirnya habis bendanya. Sementara itu, untuk harta wakaf sekaligus manfaatnya terus berkembang dan bendanya tetap permanen. Dalam al-Qur‟an, tujuan distribusi ekonomi antara lain terlihat dalam Qs. al-Dzariyat (51: 19) dalam kekayaan mereka
1
Penulis adalah dosen IAI Ibrahimy Sukorejo Asembagus Situbondo. Kandidat Doktor IAIN Walisongo Semarang. 2 Al-Dahlawi, Hujjah allah al-Balighah, Vol II (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), hal 116 47
JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No.1 Maret 2010
terdapat hak bagi para peminta-minta dan yang terhalang. Tujuannya adalah agar harta kekayaan tidak hanya beredar di kalangan orang kaya (Qs. Al-Hasyr [59]: 7), ayat tersebut diperkuat oleh Qs. Al-Taubah (9): 60 bahwa sedekah baik yang wajib maupun yang sunnah seperti wakaf ditujukan untuk pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan karena prioritas distribusinya terhadap kelompok yang lemah (fakir miskin). Menurut Mundzer Qahaf3 (1995: 80), orang yang tidak memanfaatkan hartanya dalam produksi dan menyimpannya tanpa investasi akan kehilangan seperempatnya dalam waktu kurang dari 12 tahun. Oleh karena itu, Nabi bersabda: “perdagangkanlah harta anak yatim itu sehingga tidak habis termakan oleh zakat” 4 Dalam fikih klasik , wakaf harusk mengandung tiga syarat: (a) barang yang diwakafkan itu berupa barang tetap yang dapat diambil manfaatnya, (b) yang diberi wakaf sudah jelas, dan (c) barang yang diwakafkan bukan barang haram.5 Dalam makalah ini, penulis akan mendeskripsikan tentang wakaf menurut al-Sarakhsi dalam kitab al-Mabsuth dan bagaimana korelasinya dengan konteks Indonesia yang telah memberlakukan undang-undang dan peraturan pemerintah. B. Riwayat Hidup al-Sarakhsi dan karyanya Nama lengkap al-Sarakhsi adalah Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahl al-Sarakhsi. Ia adalah ahli fikih, ushul fikih, teologi, dan hadis. Ia salah seorang ulama tersebut Mazhab Hanafi dan berada pada peringkat ketiga dalam jajaran ulama pengikut Mazhab Hanafi. peringkat pertama: Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan al-Syaibani: peringkat kedua: Imam Abu Hasan Ubaidillah bin Hasan al-Karkhi). Walaupun al-Sarakhsi termasuk kategori ulama besar, riwayat hidupnya tidak ditemukan secara lengkap. Ia diketahui lahir di Sarakhs (Sarkhas), daerah Khurasan (Iran Timur laut), tetapi tanggal dan tahun kelahirannya tidak tercatat di dalam bukubuku biografi ulama fikih dan ushul fikih. Pada masa remaja al-Sarakhsi belajar ilmu fikih pada Abdul Aziz bin Ahmad al- Hulwani (w. 448 H/1056 M), seorang ahli fikih mazhab Hanafi yang bergelar Syams al-Aimmah (matahari para imam). Setelah belajar pada al-Hulawni, al-Sarakhsi mengalami
3
Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, Terj. Muhyiddin), (Jakarta Timur: Khalifa Pustaka Al-Kausar grup, 2005), hal 80 4 Turmudzi, , Sunan al-Turmudzi, Vol III (Beirut: Dar al-Ihya’ turats al-Arabi, t.th), hal 32. 5 Azizy, A. Qadri, 2004, Membangun Fondasi Ekomoni Umat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hal 122. 48
Nawawi Thabrani, Wakaf Menurut Al-Sarakhsi dalam Kitab Al-Mabsuth dan Korelasinya dengan Wakaf di Indonesia
perkembangan pesat dalam berbagai bidang ilmu, terutama ilmu fikih dan menjadi populer. Al-Sarakhsi terkenal dengan kepandaiannya. Daya ingatannya yang luar biasa terlihat ketika ia mendektikan isi bukunya, alMabsuth, sebuah buku fikih yang besar 15 jilid dan standar dalam Madhab Hanafi. Ketika buku tersebut diterbitkan pada tahun 1409 H/1989 M oleh penerbit Dar al-Ma‟rifah Beirut, Syekh Kholil al-Mais, seorang ulama Libanon menyusun satu jilid indeks untuk kelengkapan buku tesebut. Karya-karya Al-Sarakhsi mencakup bidang fiqh dan ushul fiqh. Karya dalam ilmu fikih di antaranya al-Mabsuth. Karya yang kedua adalah syarh Kitab al-Siyar al-Kabisr, sebuah buku fikih yang berisi penjelasan atau komentar terhadap kitab al-Siyar al-Kabir karya Muhammad ibn Hasan al-Syaibani. Karya yang lain adalah syarh Mukhtashar al-Thahawi berisi penjelasan tehadap buku ringkasan yang dikarang oleh Imam Abu Ja‟far Ahmad bin Muhammad al-Thahawi (w. 321 H/933 M; seorang tokoh ulama fikih Mazhab Hanafi). Termasuk karya al-Sarakhsi dalam bidang ilmu ushul fikih adalah Ushul al- Sarakhsi. Dalam buku ini al-Sarakhsi mengawali pembahasan dengan membicarakan masalah perintah dan larangan (al- amar wa al-nahy), karena menurut al-Sarakhsi bahwa persoalan perintah dan larangan merupakan dua hal yang utama dalam kajian ushul fikih. C. Pembahasan 1. Pengertian dan Sifat Hukum Wakaf Wakaf berasal dari bahasa Arab yang bermakna menahan (alhabs) dan mencegah (al-man‟u).6 Maka wakaf tidak boleh diwariskan, dihibahkan, dan dijual, karena al-habs (menahan) menunjukkan makna permanen. Pendapat tersebut sama subtansinya dengan pendapat Louis Makhluf 7 yang berarti kekal (dama qaim wa sakana)., karena benda wakaf bersifat kekal agar dapat dimanfaatkan barangnya selama-lamanya. Secara gramatikal kata wakaf terdiri dari dua kata waqafayaqif-waqfan dan awqafa-yuqif-iqafan 8. Hal itu berasal dari alQur‟an (37: 24) “waqifuhum fa innahum masulun” (dan tahanlah mereka karena sesungguhnya mereka akan ditanya). Sedangkan wakaf menurut istilah syar‟i adalah suatu ungkapan yang mengandung penahanan harta miliknya pada orang lain. Dalam suatu pendapat Abu Hanifah bahwa ia tidak
6 7
8
Al-Sarakhsi, al Mabsuth, Vol XII, (Beirut: Dar al-Fikr, 1985), hal 27. Ma’luf, Louis, t. th., al-Munjid fi al-Lughah wa al-Adab al-‘alam, (Beirut: Katolik), hal 914. Al-Sarakhsi, Al-Mabsuth, 27. 49
JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No.1 Maret 2010
dibolehkan wakaf, akan tetapi menurut al-Sarakhsi 9 bahwa yang dimaksud oleh Abu Hanifah adalah wakaf itu ghair lazim (tidak tetap). Menurut Abu Hanifah, wakif tidak terlepas kepemilikannya kecuali dalam tiga hal: (1) wakaf telah ditetapkan oleh hakim, sehingga dengan ketetapan hakim bahwa tanah telah diwakafkan, wakif tidak lagi memiliki dan tidak boleh memindahtangankan kepada orang lain atau pihak lain, (2) mewakafkan berbentuk wasiyat, dengan mengatakan seperti, “jika aku meninggal dunia, maka akan aku wakafkan rumahku ini”, dan (3) wakaf tanah berbentuk masjid atau mengizinkan untuk salat di dalamnya. Perbedaan status wakaf apakah tetap kepemilikan wakif atau kepemilikan orang yang menerima wakaf (mauquf „alaih). Karena ada tiga kemungkinan, pertama, yang dimaksud milik Allah itu adalah kemaslahatan umum. Hal itu dianalogikan dengan harta pembagian harta ghanimah, sebagaimana dalam al-Qur‟an, (8: 41), ”Katakanlah, sesungguhnya apa saja yang kamu peroleh sebagian harta rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil”. Ayat ini menjelaskan bahwa ghanimah (harta rampasan perang) dibagikan seperlima untuk Allah. Kedua, untuk mensakralkan harta wakaf agar tidak sewenang-wenang menggunakannya, Ketiga, milik Allah sama dengan sabilillah. Dalam Peraturan Pemerintahan Nomor 28 Tahun 1977 tentang perwakafan Tanah milik dijelaskan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta kekayaannya berupa tanah milik dan melembagakan selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai ajaran Islam. Menurut Jaih Mubarok, dari definisi tersebut memperlihatkan tiga hal (1) wakif atau pihak yang mewakafkan secara perorangan atau badan hukum seperti perusahaan atau organisasi kemasyarakatan, (2) pemisahan tanah milik belum menunjukkan pemindahan kepemilikian tanah milik yang diwakafkan, dan (3) tanah wakaf digunakan untuk kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai ajaran Islam. Abu Yusuf sependapat dengan Abu Hanifah, akan tetapi ketika ia berangkat haji bersama al-Rasyid (w. 194 H/809 M), dan melihat hasil peninggalan wakaf para sahabat Nabi di Madinah, ia menarik kembali pendapatnya dan berfatwa bahwa wakaf termasuk akad lazim.10 (Oleh karena itu, Abu Yusuf berkata “kalau
9 10
Ibid Al-Sarakhsi, Al-Mabsuth, 28.
50
Nawawi Thabrani, Wakaf Menurut Al-Sarakhsi dalam Kitab Al-Mabsuth dan Korelasinya dengan Wakaf di Indonesia
seandainya hadis ini (hadis Umar) sampai pada Abu Hanifah, niscaya ia mencabut pendapatnya.”. 11 Legalitas wakaf dalam pandangan ulama berdasarkan hadis Nabi yang sangat populer, prilaku Umar bin Khatthab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair, Aisyah, Hafshah yang melakukan wakaf sampai hari sekarang ini. Demikian pula wakaf yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim As. tetap berlaku sampai sekarang ini.12 Maka apabila perbuatan manusia tanpa ada yang menentangnya adalah termasuk argumentasi (hujjah) yang kuat sebagai dasar legalits dalam Islam. 13( Perbedaan ulama tentang wakaf termasuk akad lazim (tetap) atau ghair lazim (tidak tetap), maka perlu dianalisa apakah wakaf termasuk bidang ibadah atau muamalah. Dari segi akad pemindahan barangnya adalah wakaf termasuk bidang muamalah. Muamalah adalah bersifat ta‟aqquli (rasional), 14 2. Perwakilan dan Penyerahan dalam Wakaf Harta wakaf tidak boleh dijual dan dihutangkan. Menurut Muhammad, hal ini menunjukkan bahwa wakaf tidak sempurna kecuali ada penyerahan kepada mauquf alaih. Diriwayatkan bahwa Abu Bakar pernah menyerahkan wakaf pada anaknya sendiri, yaitu Hafshah. Menurut Muhammad apabila si wakif mensedakahkan seluruh hartanya pada waktu hidupnya berarti seluruhnya sah menjadi wakaf. Namun, jika mewakafkan pada waktu sakit berarti hanya sepertiga menjadi wakaf dari hartanya, kerena wakaf dapat menghilangkan kepemilikan secara akad tabarru‟. 15 Penempatan wakaf dalam konteks muamalah menuntut adanya pernyataan lisan atau tertulis yang disaksikan oleh pejabat yang berwenang serta dihadiri oleh saksi. Oleh karena itu, prinsip kepastian hukum dan tranparansi merupakan tuntutan modernitas tertib administratif. Apalagi wakaf berkaitan dengan kegiatan ekonomi, maka pencatatan wakaf yang dilakukan oleh pihak yang berwenang secara hukum adalah suatu keniscayaan dan keharusan.16 3. Shighat Wakaf Shighat adalah ungkapan yang berasal dari orang yang mewakafkan.dalam pelaksanaan wakaf di Indonesia dikenak dengan “ikrar”. Dalam KHI pasal 215 (3) jo. Pasal 1 (3) PP 28 Tahun 1977,
11
Jaih Mubarok, Wakaf Produksi, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008), hal 78 Al-Sarakhsi, Al-Mabsuth, 28 13 Ibid 14 Abdul Karim Zaidan, al Wajiz fi ushul al-fiqh, tnp, 1976), hal 158. Abdul Wahhab AlKhallaf, 1978, Ilm Ushul al-Fiqh, Beirut: Dar al-Kalam), hal 33-34. 15 Al-Sarakhsi, Al-Mabsuth, 31-32. 16 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), hal 494. 12
51
JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No.1 Maret 2010
dijelaskan , “ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan benda miliknya”. Jika ada orang yang mengatakan pada orang lain, “saya wakafkan barang ini atau saya menahan barang ini untukmu”, maka perkataan tersebut batal, kecuali menurut Abi Yusuf yang mengatakan bahwa hal itu sebagai kepemilikan yang harus diserahkan sepenuhnya. Sementara tujuan si wakif agar barang wakaf berjalan manfaatnya sampai kelak , sebagaimana hadis Nabi:
ِ َْ َنْرس ْصلَّىْاللَّْوُْ َعلَي ِْو َْ َبْ ُىَري َرَْةْ َر ِض َْيْاللَّْوُْتَ َع ْ َِو َعنْْأ َ ْولْاللَّْو ُ َ َّْ ْأ،ُْالْ َعن ْو ِ َّْ ْاتْاب ْنْآد ْمْان َقطَ ْعْعن ْوْعملُْو ْْص َدقَة َْ ََو َسلَّ َْمْق ُ ََ ُ َ َ َ ْ:ْْإّلْمنْْثَََلث َ َ ُ َْ ْ{ْإ َذاْ َم:ْال ِ ِ ْصالِحْْيَدعُوْلَْوُْ}ْ َرَو ْاهُْ ُمسلِم َ ْْْأَوْْ َولَد،ْْأَوْْعلمْْيُنتَ َف ُْعْبِْو،َْْجا ِريَة
Apabila manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah semua amal perbuatannya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariyah, atau ilmu yang bemanfaat, atau anak salih yang mendoakan untuknya.17 Menurut Abu Yusuf bahwa wakaf menjadi lazim apabila diumumkan sekalipun tidak diserahkan langsung ke tangan nazhir berbeda dengan Muhammad tidak menjadi lazim kecuali apabila diserahkan langsung kepada nazhir. Menurut Muhammad adalah jika diserahkan secara langsung akan menimbulkan hilangnya pemilikan dari akad tabarru‟. Jika dua orang mewakafkan hartanya pada seseorang kemudian si penerima mewakilkan pada dua orang untuk menerima, maka hukumnya boleh keduanya menerima sekalipun secara bersamaan karena kedua memiliki tugas sebagai wakil. Sementara menerima seorang wakil sama dengan menerima orang yang diwakili. 4. Wakaf Khairi Wakaf memiliki dua tujuan, yaitu hubungan horizontal (mengentas kemiskinan dan hubungan vertikal (pendekatan pada Allah swt.), dalam hal ini al-Saraksi berkomentar: “Apabila si wakif mengatakan bahwa ia mewakafkan hartanya pada orang yang berperang di jalan Allah, maka ucapannya berarti tertuju pada pendekatan kepada Allah. Oleh karena itu harta tersebut diberikan pada orang yang berperang yang butuh di antara mereka bukan yang kaya, sebagaimana firman Allah “wa fi sabilillah” dalam distribusi zakat. Maka apabila si wakif
17
Al-Shan’ani, Subul al-Salam, Vol. III.(Beirut: Dar al-Fikr, 1960), hal 87.
52
Nawawi Thabrani, Wakaf Menurut Al-Sarakhsi dalam Kitab Al-Mabsuth dan Korelasinya dengan Wakaf di Indonesia
menyebutkan untuk orang fakir dan yang sangat butuh, maka harus dilakukan baik mereka itu banyak maupun sedikit” . 18 Dari komentar tersebut dapat disimpulkan bahwa orang miskin menjadi prioritas utama dan jika ditujukan pada orang yang berperang di jalan Allah harus mengarah pada pendekatan pada Allah Swt. Jika ditujukan pada orang yang berjuang di jalan Allah disebut dengan wakaf khairi, karena wakaf khairi adalah wakaf yang secara tegas obyek penggunaannya untuk kepentingan agama dan kepentingan umum, tidak dikhususkan apa orang tertentu. 5. Syarat dalam Wakaf Menurut Abu Yusuf bahwa wakaf disyaratkan harus permanen sehingga apabila ada seseorang mewakafkan barang yang mungkin akan terputus adalah boleh sekalipun pada akhirnya tidak diperuntukkan untuk orang-orang miskin, tetapi menurut Muhammad wakaf harus bersifat permanent. 19 Dalam kitab al-Mabsuth al-Sarakhsi 20menguraikan antara pandangan Abu Yusuf dan Muhammad tentang syarat wakaf: “Apabila dalam wakaf disyaratkan diganti dengan tanah yang lain, menurut Abu Yusuf adalah boleh. Namun, dalam pandangan Muhammad bahwa akad wakafnya sah dan syaratnya tidak sah, karena syarat itu tidak mempengaruhi terhalangnya hilang kepemilikan dan kekekalan wakaf tetap ada. Sementara syarat tersebut dengan sendirinya tidak sah dan akad wakafnya adalah sah”. 6. Khiyar dalam Wakaf Al-Sarakhsi 21menguraikan tentang khiyar dalam wakaf: “Apabila si wakif mensyaratkan adanya khiyar selama tiga hari dalam wakaf, menurut Abu Yusuf akad dan syaratnya sah. Namun, menurut Hilal bin Yahya yang tidak sah adalah akad wakafnya saja. Menurut Muhmmad bahwa kesempurnaan wakaf berdasarkan pada kerelaan si wakif dan syarat khiyar dalam wakaf tidak berdasarkan pada kerelaan. Dengan demikian syarat tersebut dapat membatalkan wakaf yang kedudukannya sama dengan pemaksaan”. Pemaksaan dalam kaidah ushul fiqh adalah termasuk „awaridh al-ahliyah (penghalang cakap hukum). „Awaridh alahliyah adalah tidak dianggap sebagai tindakan hukum dan konsekwensinya tidak sah secara syar‟i. Oleh karena itu, nazhir harus meniliti secara cermat syarat yang diucapkan oleh wakif,
18
Al-Sarakhsi, Al-Mabsuth, 34. Ibid, 41. 20 Ibid 19
21
Ibid, 42.
53
JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No.1 Maret 2010
karena nazhir memiliki tanggung jawab untuk mengelola benda wakaf sesuai tujuan wakif. 7. Nazhir Wakaf Kedudukan Nazhir adalah sangat strtegis dalam mengembangkan harta wakaf dan harus sesuai dengan tujuan wakif, dalam hal ini al-Sarakhsi menguraikan: “Kedudukan nazhir sebagai wakil wakif yang dapat mengelola harta wakaf sehingga manfaatnya dapat dinikmati oleh mauquf „alaih (objek wakaf), maka apabila ia meniggal dunia lalu diganti dengan orang lain, maka tetap harus melakukan apa yang menjadi persyaratan nazhir yang pertama sesuai tujuan wakaf dan tidak boleh merubahnya”22. Bahkan ketika Umar mewakafkan tanahnya, ia sebagai nazhir dan mengelolanya sendiri. Dan setelah meninggal dunia, pengelolaannya diserahkan pada putrinya Hafshah, dan setelah itu ditanganai Abdullah ibn Umar, kemudian keluarganya yang lain23. Dalam hal ini, Umar sebagai wakif sekaligus nazhir dan keluarganya tidak pernah melakukan perubahan pada benda wakafnya. Dalam hal ini, al-Sarakhsi tidak menjelaskan kriteria nazhir, padahal tugas tersebut sangat berat sekali. Berdasarkan UU Wakaf No. 41/2004, tugas nazhir adalah: (1) melakukan pengadministrasian harta benda wakaf, (2) mengelola dan mengembangkan harta benada wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya, dan (3) melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia (BWI). 8. Wakaf Barang yang Bisa Dipindahkan Barang yang bisa dipindahkan yang menjadi tradisi di kalangan masyarakat hukumnya boleh diwakafkan, karena berdasarkan „urf, seperti pakaian jenazah, wadah untuk tempat memandikan mayat, mushaf, pedang untuk perang karena hal itu sudah menjaga kesepakatan pada masa khalifah Umar mewakafkan tiga ratus ekor kuda yang dicatat di pantatnya untuk wakaf di jalan Allah. Ini merupakan dalil yang sudah menjadi tradisi manusia yang tidak satu dalilpun yang membatalkannya. 24 Dalam kalangan Syafi‟iyah dibenarkan seseorang melakukan wakaf kuda kepada orang yang berperang untuk jihad, wakaf sapi kepada pelajar untuk diminum susunya atau dijual anaknya untuk keperluan asrama, wakaf domba untuk diambil woll (bulu)nya, wakaf ayam atau bebek, burung, dan sebagainya untuk diambil
22
Ibid 44.
23 24
54
Muhammad Rawas Qal’ah Jy, Mausu’ah Fiqh ‘Umar ibn al-Khatthab, (Beirut: Dar al-Nafais, 1989), hal 878. Al-Sarakhsi, Al-Mabsuth, 45
Nawawi Thabrani, Wakaf Menurut Al-Sarakhsi dalam Kitab Al-Mabsuth dan Korelasinya dengan Wakaf di Indonesia
telurnya, wakaf hewan jantan untuk pengembangbiakan melalui perkawianan dengan hewan-hewan betina. 25 D. Korelasi Kitab al-Mabsuth dengan Perwakafan di Indonesia Wakaf menurut istilah syar‟i adalah suatu ungkapan yang mengandung penahanan harta miliknya pada orang lain. Dalam suatu pendapat Abu Hanifah tidak membolehkan wakaf, akan tetapi menurut al-Sarakhsi bahwa yang dimaksud pendapat Abu Hanifah tersebut adalah wakaf itu ghair lazim (tidak tetap). Artinya, status wakaf sama dengan „ariyah (akad pinjaman). Hal ini hampir senada dengan UU No. 41 Tahun 2004 pasal (1), wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Berbeda dengan KHI Pasal 215 ayat (1) wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam. Menurut Jaih Mubarok, pendapat Abu Hanifah tersebut diakomodasi oleh UU No. 41 Tahun 2004 yang mengakui adanya akad wakaf yang bersifat ghair lazim yang dipandang sama dengan al-„ariyah. Pendapat tersebut memberi angin segar terjadinya wakaf temporal dengan subur terutama di kota-kota, seperti bangunan, gedung, dan tanah yang disewakan. Oleh karena itu, pendapat Abu Hanifah ini adalah sangat fleksibel untuk konteks kekinian, karena menurutnya hukum Islam adalah berdasarkan „illat. Al-Sarakhsi menyebutkan wakaf harus hak milik sendiri, hak milik adalah mencakup pada barang, manfaat, dan hak yang bernilai materi yang bukan barang haram. Hal ini sesuai dengan UU No. 41 Tahun 2004 pasal (15) wakaf benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh wakif secara sah dan KHI pasal 217 ayat (3) benda milik yang bebas dengan segala pembebanan, ikatan, sitaan, dan sengketa. Harta wakaf tidak boleh dijual dan dihutangkan. UndangUndang 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf merupakan keputusan politik (hukum) yang menjadikan wakaf bersifat lazim dan ghair lazim, dan dapat dilakukan secara permanen atau temporal. Tentang kebolehan perwakilan dalam wakaf. Hal ini senada dengan UU Nomor 41 Tahun 2004 pasal 17 ayat (2), yaitu apabila
25
Al-Nawawi, t. th, al-Raudhah, Vol. IV Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), hal 380 55
JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No.1 Maret 2010
wakif tidak dapat menyatakan ikrar secara lisan atau tidak dapat hadir dalam pelaksanaan ikrar wakaf karena alasan yang dibenarkan oleh hukum, wakif dapat menunjuk kuasanya dengan suarat kuasa yang diperkuat dengan dua saksi. Syarat wakaf harus permanent. Hal ini senada dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yang menyatakan bersifat langgeng, PP Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik ditetapkan bahwa wakaf bersifat mu‟abbad (selamanya), dan Kompilasi Hukum Islam pasal 215 ayat (1). Kedudukan nazhir sebagai wakil dari wakif yang dapat mengelola harta wakaf sehingga manfaatnya dapat dinikmati oleh mauquf „alaih (objek wakaf). Hal tersebut sama dengan UU Nomor 41 Tahun 2004 pasal 12 bahwa nazhir dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10%. Menurut al-Sarakhsi, barang yang bisa dipindahkan dan telah menjadi tradisi di kalangan masyarakat, boleh diwakafkan berdasarkan „urf. Oleh karena itu, ulama mutaqaddimin mazhab Hanafiyah membolehkan wakaf uang dinar dan dirham berdasarkan istihsan dan „urf. Dalam UU Nomor 41 Tahun 2004 pasal 16 ayat (1) bahwa harta benda wakaf terdiri dari benda tidak bergerak dan benda bergerak. E. Kesimpulan Dari deskripsi di atas dapat disimpulkan bahwa wakaf menurut Abu Hanifah yang diwakili oleh al-Sarakhsi dalam kitab alMabsuth bersifat ghair lazim (tidak tetap) yang sama kedudukannya dengan hukum akad pinjaman („âriyah). Hal ini akomodatif dengan konteks Indonesia yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, khususnya berkaitan dengan wakaf sementara (muaqqat). Al-Sarakhsi membolehkan benda wakaf bergerak berdasarkan „urf (hukum adat) sesuai dengan kaidah ushul fiqh yang menjelaskan bahwa adat bisa dijadikan sumber hukum Islam. Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf pasal 16 ayat (3) menyatakan bahwa harta bergerak adalah harta yang tidak habis karena dikonsumsi, meliputi: uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa, dan lainnya sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundangundangan. Pada prinsipnya, segala sesuatu yang dapat diambil manfaatnya dan benda pokoknya tetap dan tidak habis sekali pakai atau dikonsumsi adalah boleh diwakafkan.
56
Nawawi Thabrani, Wakaf Menurut Al-Sarakhsi dalam Kitab Al-Mabsuth dan Korelasinya dengan Wakaf di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Azizy, A. Qadri, 2004, Membangun Fondasi Ekomoni Umat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Al-Dahlawi,1986, Hujjah allah al-Balighah, Beirut: Dar al-Fikr. Al-Khallaf, Abdul Wahhab,1978, Ilm Ushul al-Fiqh, Beirut: Dar alKalam. Ma‟luf, Louis, t. th., al-Munjid fi al-Lughah wa al-Adab al-„alam, Beirut: Katolik. Al-Nawawi, t. th, al-Raudhah, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. Qahaf, Mundzir, 2005, Manajemen Wakaf Produktif, Terj. Muhyiddin), Jakarta Timur: Khalifa Pustaka Al-Kausar grup. _______________, 1995, Ekonomi Islam, Telaah Analitik terhadap Fungsi Sistem Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Qal‟ah Jy, Muhammad Rawas,1989, Mausu‟ah Fiqh „Umar ibn alKhatthab, Beirut: Dar al-Nafais. Rofiq, Ahmad, 2004, Fiqh Kontekstual: Dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ______________, 1997, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Al-Sarakhsi, 1985, al Mabsuth, Beirut: Dar al-Fikr. Al-Shan‟ani, 1960, Subul al-Salam, Beirut: Dar al-Fikr. Turmudzi, t. th., Sunan al-Turmudzi, Beirut: Dar al-Ihya‟ turats alArabi. Zaidan, Abdul Karim, 1976, al Wajiz fi ushul al-fiqh, tnp. Mubarok, Jaih, 2008, Wakaf Produksi, Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
57
JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No.1 Maret 2010
58