Seminar Nasional “Kearifan Lokal (Local Wisdom) dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan” PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009
Warna–Warni Arsitektur Bali Christina Gantini1)
Abstrak Isu besar yang dilontarkan dalam makalah ini yaitu melihat bahwa arsitektur ’utama’ Bali yang diangkat oleh Perda Provinsi Bali No.5/ tahun 2005 tentang Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung, hanya mengusung satu jenis arsitektur sebagai ”main-frame’ dalam peraturannya, yaitu hanya mengetengahkan arsitektur yang selama ini dikenal sebagai arsitektur warisan Majapahit/ arsitektur Bali Majapahit/ arsitektur Bali Apanage. Pada kenyataannya di Bali juga terdapat arsitektur-arsitektur lainnya yang dapat dikatakan eksistensinya dalam Perda Bali, kurang atau belum tertampung aspirasinya sebagai yang termasuk dalam arsitektur Bali. Jika Perda Provinsi Bali No.5/ tahun 2005 membagi arsitektur Bali dalam 3 kategori besar (1) arsitektur tradisional Bali, (2) arsitektur non tradisional Bali, dan (3) arsitektur warisan, maka paper ini memperlihatkan bahwa ke tiga kategori tersebut, masih harus dipilah dan dipilih lagi apa saja yang dapat disebut dan termasuk dalam arsitektur Bali itu? Berdasarkan temuan lapangan, makalah ini membagi arsitektur Bali menjadi 8 bagian, yaitu : (1) Arsitektur Tradisional Bali, (2) Arsitektur ”Stil Bali”, (3) Arsitektur ”Bali Style”, (4) Arsitektur ”Bali-Modern”/”Bali Kontemporer”, (5) Arsitektur bagi masyarakat di desa-desa Muslim, (6) Arsitektur bagi masyarakat di desa-desa Kristen, (7) Arsitektur bagi masyarakat Bali Aga/Bali Asli/Bali Kuna, (8) Arsitektur Kolonial Belanda. Bali sesungguhnya di bangun di atas beragam pelapisan tradisi. Mencoba memarjinalkan aristektur Bali lainnya dan hanya mengusung Bali Apanage sebagai yang utama; sama saja dengan menggiring Bali ke arah homogenitas dalam berarsitektur. Kata Kunci – arsitektur Bali, arsitektur tradisional Bali, Perda Provinsi Bali No.5/ thn 2005
1. PENDAHULUAN Berbicara mengenai arsitektur Bali, kita harus bersepakat dengan lawan bicara kita; dan itu bukan karena perbincangan tentang arsitektur Bali itu rumit, tetapi lebih pada beragamnya pengertian masyarakat Bali tentang apa yang disebut dengan arsitektur Bali. Jika kita bicara dengan arsitek Bali, maka akan beda persepsi dengan seorang tukang. Tukang ini pun masih bisa dibedakan lagi antara tukang yang tahu masalah per-undagi-an dan tukang yang hanya tahu masalah ornamen yang biasa terdapat pada bangunan Bali (sangging). Beragamnya pemahaman masyarakat Bali terhadap arsitektur Bali tersebut dapat dilihat contohnya ketika seseorang pemirsa radio di Singaraja mengusulkan lewat siaran radio interaktif, agar pemerintah Kabupaten Buleleng memperhatikan bangunan-bangunan di jalan Diponegoro Singaraja, yang menurutnya sama sekali tidak mencerminkan arsitektur Bali. Ketika ditanya seperti apa arsitektur Bali yang dimaksud, ia menunjuk bangunan toko-toko disepanjang jalan Gajahmada Denpasar (lihat gambar 1), artinya bangunan yang ada tiang dan tembok depan ditempeli dengan batu merah gosok berikut ornamen-ornamen berukir atau setengah berukir (lelengisan). Ornamenornamen semacam ini, memang pernah diajurkan oleh pejabat-pejabat Bali, terutama untuk bangunan yang berada di jalan utama. Serentak semua pemilik toko menempelkan ornamen Bali di depan tokonya, bahkan parahnya, terjadi duplikasi koridor jalan Gajah Mada Denpasar yang sangat berkemiripan dengan jalan Gajah Mada Karangasem (gambar 2).
1
Mahasiswa Program Doktor Arsitektur, Program Pascasarjana, Universitas Katolik Parahyangan, Jalan Merdeka No. 30 - Bandung 40117, Telpon : (022) 4202351, 4205090, 4213556, 4213470, Faksimili : (022) 4200691, email :
[email protected],
[email protected] 1
Seminar Nasional “Kearifan Lokal (Local Wisdom) dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan” PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009
Gambar 1. Contoh tampilan “stil Bali” pada Jln. Gajahmada Denpasar Sumber : dok. pribadi (2008)
Gambar 2. Contoh tampilan “stil Bali” pada Jln. Gajahmada Karangasem Sumber : dok. pribadi (2008)
Bangunan perkantoranpun ditempeli dengan ukiran dari paras, tak peduli apakah itu cocok atau tidak (lihat gambar 3 dan gambar 4). Lantas pertanyaannya menjadi betulkah ini yang dimaksud dengan arsitektur Bali? Kalau pertanyaan ini diajukan kepada arsitek Bali, tentu saja jawabannya tidak, mereka akan menjawab bahwa arsitektur Bali bukan sekedar ornamen berukir yang ditempelkan begitu saja.
Gambar 3. Dept. Keuangan, Jln Mpu Tantular, Denpasar Sumber : dok. pribadi (2008)
Gambar 4. Bank Permata, Jln Teuku Umar, Denpasar Sumber : dok. pribadi (2008)
Ada lagi contoh lainnya, ketika ditanyakan ke beberapa mahasiswa arsitektur di Bali, termasuk arsitektur apakah bangunan Karang Kembar Estate Villa di Bukit? (gambar 5 dan gambar 6). Seorang menyebutkan arsitektur modern, yang lain menyebutkan arsitektur kontemporer, tapi tak ada seorangpun yang menyebutkan bahwa itu arsitektur Bali. Alasannya, tak melihat ada pemakaian atap rumbia disana, juga tidak ada ukir-ukiran, maupun penggunaan batu merah gosok.
Gambar 5. Karang Kembar Estate Villa di Bukit Sumber: Hot Property (2005)
Gambar 6. Karang Kembar Estate Villa di Bukit Sumber: Hot Property (2005)
Gambar 1 Gambar 1 2
Seminar Nasional “Kearifan Lokal (Local Wisdom) dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan” PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009
Selain cerita itu; ada juga sekelompok tukang, yang sedang mengerjakan bale, yang sebenarnya hanya terdiri dari satu kamar tidur dengan beranda di depannya. Kelompok tukang tersebut dengan bangga menyebutkan bahwa inilah arsitektur Bali yang sebenarnya. Alasannya, ukuran yang dipakai sesuai dengan hitungan hasta tangan dan tapak kaki dari pemilik rumah, pintu dan jendela diukir, dinding memakai bata merah gosok, ada ukiran dan batu paras, pondasinya tinggi, dan entah apalagi yang mereka katakan. Jadi, jelas sekali pemahaman orang Bali terhadap apa yang disebut dengan arsitektur Bali itu sangat beragam. Lantas pertanyaannya, yang manakah arsitektur Bali itu? Pertanyaan ini menjadi penting dan relevan untuk diangkat sebagai isu mengingat: 1)
2)
bahwa yang selama ini ada dan diakui sebagai arsitektur Bali, yaitu hanya arsitektur tradisional Majapahit warisan leluhur yang terdapat pada lontar hasta kosali dan merupakan satu-satunya arsitektur tradisonal Bali yang mendominasi dan dipakai sebagai acuan utama pada Perda Provinsi Bali No.5/ tahun 2005 (psl 9, psl 10, terutama lihat lampiran bagian penjelasan, hal. 25). bahwa di Bali pada kenyataannya juga terdapat arsitektur-arsitektur lainnya, seperti arsitektur masyarakat desa adat Bali Aga/Bali Asli/Bali Kuno, maupun arsitektur masyarakat desa Muslim baik yang berada di Buleleng maupun di Karangasem, dan juga desa yang sebagian besar masyarakatnya beragama Kristen seperti di desa Palasari Jembrana, desa Dalung Denpasar; merupakan desa-desa yang dapat dikatakan eksistensinya dalam Perda Bali, kurang atau belum tertampung aspirasinya sebagai yang juga termasuk dalam arsitektur Bali.
2. SEKILAS SEJARAH ARSITEKTUR BALI
2.1. Dominasi Arsitektur Majapahit (Modernisasi I) Jauh sebelum kedatangan Majapahit, seluruh penduduk Bali saat itu disebut dengan Bali Asli. Pada waktu itu sekitar tahun 158 Masehi datanglah Maharesi Markendhya (dari sekte Waisnawa) ke Bali dan menyebarkan ajaran Hindu; sehingga kemudian penduduk yang dibawa oleh Maharesi Markandya disebut Bali Jawa. Maharesi kemudian lebih banyak datang ke gunung-gunung maka masyarakat Bali Jawa di gunung waktu itu disebut dengan Bali Aga2, karena Aga artinya gunung. Tahun 1343, terjadi hubungan ’bilateral’ antara Majapahit dengan Dalem Kresna Kepakisan yang bertahta di Gelgel. Majapahit kemudian kelak menjadi ‘model’ modernisasi dalam segala bidang pada masa pemerintahan Dalem Kresna Kepakisan tersebut. Sebagai ‘model yang modern’ pada masanya, maka model pemerintahan pun segera mengikuti ‘model’ yang ada di Majapahit, dan orang-orang Majapahitpun kemudian menjadi panutan dan menjadi ‘warga kelas satu’. Hal ini tentu saja menimbulkan kecemburuan orang-orang Bali Aga yang merupakan penduduk asli Bali dan menuntut kesetaraan di segala bidang. Dalem Kresna Kepakisan kemudian melakukan ‘bagi-bagi kekuasaan’ di mana tokoh-tokoh Bali Aga diangkat sebagai Pasek (arti sebenarnya perangkat pemerintahan), dan ikut mengatur pemerintahan. Namun agar ada pembedaan untuk menyebutkannya, Pasek yang berasal dari Bali Aga disebut sebagai Pasek Bali Mula, sedangkan Pasek yang datang dari Majapahit disebut Pasek Gelgel, sesuai dengan pusat pemerintahan di Gelgel. Jadi, penduduk Bali saat ini secara garis besarnya ada dua keturunan, yang satu keturunan masyarakat Bali Asli/ Bali Aga, yang satu lagi keturunan dari Bali Majapahit. Lewat hubungan bilateral, kemudian Majapahit menjadi ‘kiblat’ dari modernisasi dalam segala aspek kerajaan Gelgel. 2
Istilah Bali Aga dengan demikian lebih mengacu kepada geografis tempat. Barangkali penyebutan desa-desa dipegunungan yang masih ’asli’ seperti Trunyan, Tenganan, Sukawarna lebih tepat disebut dengan desa Bali Kuna, walaupun pada kenyataannya memang desa-desa tersebut secara geografis banyak yang terletak di daerah pegunungan. Tetapi menyebutnya dengan ‘kuna’ juga mengandung masalah, karena tempat-tempat seperti situs gunung Kawi dan gua Gajah di Tampaksiring lebih layak untuk disebut dengan ‘kuna’. Sehingga paling tidak sampai sejauh ini penyebutan Bali Aga barangkali masih lebih netral dan lebih sesuai. 3
Seminar Nasional “Kearifan Lokal (Local Wisdom) dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan” PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009
Tidaklah heran jika hal ini juga berpengaruh pada arsitekturnya atau dengan kata lain terjadi peniruan besar-besaran akibat model ‘modernisasi’ Majapahit di seluruh kerajaan Gelgel mengikuti arsitektur yang dibawa oleh Majapahit (contohnya yaitu penerapan hasta kosali pada hampir seluruh lingkungan permukiman Bali). Kelak dikemudian hari rupa-rupanya dampak ini terasakan sampai sekarang, yaitu membentuk wajah arsitektur Bali yang “homogen”, yang begitu mendominasi hampir diseluruh Bali. 2.2. Konsep Baliseering Belanda (Modernisasi II) Semenjak tentara Kerajaan Belanda berhasil menaklukkan “pulau surga terakhir” ini pada awal abad ke-20 dan mengokohkan kekuasaannya di kepulauan Nusantara, pemerintah kolonial sudah melihat bahwa budaya Bali yang unik dan gambaran Bali sebagai “pulau surga” adalah modal yang dapat dieksploitasi untuk menaikkan pendapatan pemerintah. Proses penaklukkan yang berdarah ini ternyata menimbulkan protes keras dari kalangan borjuis liberal Eropa sehingga penguasa kolonial perlu menampilkan wajah yang lebih manusiawi. Maka, para penguasa industialis-pedagang dan intelektual pun bersekutu menciptakan ‘Pulau Dewata’ – istilah yang pertama kali dipopulerkan oleh brosur maskapai dagang kerajaan Belanda, KPM (Koninklijke Paketwaart Maatschappij) pada 1914. Kalaupun ada kekerasan yang tak mungkin ditutupi – seperti puputan di Badung, Tabanan, dan Klungkung – maka selalu saja ada intelektual yang bisa ‘melembutkannya’ sebagai bagian dari Bali yang magis dan misterius. Pada 1915 didirikan Bali Instituut yang bertugas mengkaji dan mengusulkan kebijakan-kebijakan yang harus dilakukan pemerintah kolonial terhadap Bali. Salah satu kebijakan yang terpenting adalah sosialisasi ide “Bali Otentik” kepada masyarakatnya melalui pengajaran, atau yang lebih dikenal sebagai Baliseering (Balinisasi Bali). Sejak 1920 dimulailah pengajaran bahasa, kesusastraan dan seni tradisional di kalangan kaum muda Bali supaya mereka sadar akan kekayaan budayanya. Usaha mulia ini tentu bukannya tanpa alasan politis. Pemerintah Belanda berkepentingan untuk meredam penyebaran agama Islam dan gerakan pembebasan nasional yang mulai bangkit di Jawa dan Sumatra. Dengan menggandeng kaum ningrat Bali sebagai alat untuk ‘menghindukan’ Bali dan sebagai penyandang saka utama aturan tradisional Bali, Belanda telah menggunakan tameng yang tepat. Ide tentang ‘Bali Otentik’ ini juga membawa implikasi yang cukup besar dalam perjalanan arsitektur Bali, karena arsitektur yang dipreserve pada waktu itu sebagian terbesar adalah Bali yang Majapahit, yang intinya adalah mem-Bali-kan kembali Bali dalam konteks “menjual” Bali ke dunia internasional lewat pariwisita budayanya. Kelak dikemudian hari, dalam konteks yang sama yaitu mem-Bali-kan kembali Bali, Pemerintah Daerah Bali dan Pemerintah Pusat Jakarta mengulang kembali sejarah ini. Di mana arsitektur Bali Majapahit yang dipilih, diangkat untuk mengusung konsep Balinisasi Bali ini, sehingga kemudian mewarnai dan mendominasi hampir seluruh pulau Dewata demi kepentingan kapital dan atas nama “pariwisata budaya”. 2.3. Konsep Puncak-Puncak Kebudayaan Daerah Jaman Orde Baru (Modernisasi III) Sebelumnya kita coba lihat dahulu bagaimana perbedaan antara Orde Lama dan Orde Baru dalam menerapkan kebijakan kebudayaan nasional mereka. Pemerintah Orla dalam menerapkan konsep kebudayaan nasionalnya oleh Soekarno dilakukan dengan cara pencitraan ‘manusia Indonesia baru’ serta ‘jatidiri Indonesia’ lewat konsep memberantas ‘feodalisme’ dan ‘sukuisme’ yang diwariskan oleh zaman kolonial. Sedangkan di masa Orde Barunya Soeharto, pemerintah pusat Jakarta; sambil menerapkan kebijakan pembangunan ekonomi dan modernisasi, berusaha pula menciptakan kebudayaan nasional berlandaskan kebudayaan-kebudayaan daerah – dengan slogannya yaitu “puncak-puncak kebudayaan daerah”- dan urutan pertama diantaranya adalah kebudayaan Jawa. Seperti halnya pada sebagian besar negara-negara bekas jajahan, Indonesia harus menanggulangi masalah integrasi nasional. Masalah tersebut menyeruak amat tajam, terlebih melihat rentannya persatuan nasional. Indonesia adalah negara kepulauan, terbagi-bagi dalam deretan pulau yang menempati wilayah sangat besar dan dihuni oleh lebih dari 300 suku bangsa dengan agama, adat, dan budaya yang berbeda-beda. Meskipun kekuatan daerah telah lama bertahan, pada akhirnya, di 4
Seminar Nasional “Kearifan Lokal (Local Wisdom) dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan” PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009
bawah pemerintahan Orde Baru kekuasaan negara dan kesatuan bangsa telah menjadi suatu kenyataan yang tidak dapat tidak harus diterima. Dampak dari digulirkannya konsep kebudayaan nasional dengan slogannya yaitu “puncak-puncak kebudayaan daerah” membawa implikasi bagi keberadaan arsitektur dari setiap provinsi, yaitu bagaimana akhirnya arsitektur dari setiap provinsi terepresi dengan digulirkannya kebijakan tersebut. Bagaimana tarik ulur kekuasaan antara pusat dan daerah pada masa Orde Baru pada kenyataannya membuat sejumlah etnis lain dalam sebuah provinsi menjadi terpinggirkan, dikarenakan pusat menginginkan sebuah bentuk kebhinekaan budaya yang didasarkan atas keragaman etnis dari setiap provinsi yang dipakai dalam rangka kebijakan integrasi nasional. Jadi konsep ini, sesungguhnya adalah konsep kebudayaan yang secara serentak merupakan gerak penyamaan dalam batasan masing-masing provinsi dan sekaligus merupakan gerak pembedaan antar provinsi-provinsi satu sama lainnya. Contoh yang paling baik untuk melihat penerapan konsep kebijakan ini, yaitu hadirnya Taman Mini Indonesia Indah, dimana pada setiap anjungan hadir rumah tradisional yang mewakili provinsi yang bersangkutan sebagai yang dianggap puncak kebudayan dari provinsi bersangkutan. Bali, sebagai salah satu provinsi Indonesia juga terkena dampak dari digulirkannya konsep kebijakan tersebut. Perda Provinsi Bali No.5/ tahun 2005, hanya merupakan sedikit contoh dari kesalahpahaman budaya dalam suatu skenario besar yang juga terjadi hampir disetiap provinsi di Indonesia. Puncak kebudayaan daerah Bali dalam hal ini adalah Bali yang Majapahit, Bali inilah yang terepresentasi hampir dalam setiap aspek berasitektur di Bali. Sungguh ‘aneh’ rasanya melihat tampilan kori versi Bali Majapahit di Tenganan - Bali Aga (gambar 7 dan gambar 8) dan masyarakatnya sendiri juga ‘bingung’ untuk bisa melihat kembali identitas mereka dalam sub-sub budaya yang tersubordinasi secara sadar ataupun tidak sadar akibat ditampilkannya dominasi Bali yang Majapahit tersebut.
Gambar 7. Langgam pintu masuk pekarangan yang biasa dipakai di desa Tenganan Bali Aga Sumber: dok. pribadi (2009)
Gambar 8. Penerapan pintu masuk pekarangan di desa Tenganan yang memakai langgam Bali Majpahit Sumber: dok. pribadi (2009)
3. WARNA WARNI ARSITEKTUR BALI 3.1. Arsitektur Bali Berdasarkan Perda Prov. BAli N0.5/ 2005 Berdasarkan Perda Provinsi Bali, maka arsitektur Bali itu, terdiri atas : 1. Arsitektur tradisional Bali adalah tata ruang dan tata bentuk yang pembangunannya didasarkan atas nilai dan norma-norma tradisi baik tertulis maupun tidak tertulis yang diwariskan secara turun-temurun. 2. Arsitektur non tradisional Bali adalah arsitektur yang tidak menerapkan norma-norma arsitektur tradisional Bali secara utuh tetapi menampilkan gaya arsitektur tradisional Bali. Melihat kepada lampiran Perda No.5/ 2005 hal. 22 lebih lanjut dijelaskan bangunan non tradisional Bali ini dapat dibedakan menjadi : 5
Seminar Nasional “Kearifan Lokal (Local Wisdom) dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan” PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009
3.
- Bangunan tradisional Bali yang dikembangkan atau dimodefikasi dari eksisting dan yang rancangannya dikembangkan dari norma-norma arsitektur tradisional Bali, sehingga mencapai peningkatan kualitas baik fungsi, teknis, maupun estetikanya; dan - Bangunan masa kini yang bergaya/ berprinsip bentuk dan berkarakter arsitektur tradisional Bali/ setempat untuk mewujudkan bangunan gedung masa kini yang bercitra arsitektur tradisional Bali. Lebih lanjut yang termasuk dalam klasifikasi fungsi bangunan non tradisional Bali adalah bangunan perkantoran, perdagangan, fasilitas kesehatan dan pendidikan, perhotelan, terminal (darat, laut, udara) Arsitektur warisan adalah arsitektur peninggalan masa lampau di Provinsi Bali, baik dalam keadaan terawat/ dimanfaatkan sesuai fungsinya atau tidak terawat/ tidak digunakan sesuai fungsi, bergerak atau tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok atau bagian-bagiannya atau sisanya, yang dianggap memiliki nilai-nilai penting bagi ilmu pengetahuan, sejarah, kebudayaan, dan nilai-nilai signifikan lainnya, seperti diatur dalam peraturan perundangundangan.
3.2. Arsitektur Bali Berdasarkan Fenomena Lapangan Secara umum arsitektur Bali dalam pengertian keseharian di Bali dapat dibedakan sebagai berikut: 1. Arsitektur Tradisional Bali Majapahit seperti yang dikenal selama ini biasanya berada di daerah dataran rendah; dan pada umumnya terdiri dari beberapa massa bangunan dalam satu area pekarangan. Masing-masing bangunan mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Bentuk massa adalah empat persegipanjang dengan atap seperti pelana. Bangunan-bangunan tersebut diantaranya adalah Sanggah atau Merajan yang fungsinya sebagai tempat pemujaan, Meten fungsinya sebagai ruang tidur, Bale Dangin untuk tempat mengadakan upacara, Jineng sebagai tempat menyimpan padi, Paon sebagai tempat memasak. Bangunan-bangunan ini diatur dalam suatu pola dalam satu area pekarangan dengan jarak dan besaran tertentu sesuai dengan fungsi dan status sosial pemiliknya. Satu area pekarangan dibatasi oleh tembok pembatas yang disebut tembok penyengker (gambar 9 dan gambar 10).
Gambar 9. Arsitektur Tradisional Bali (Majapahit) dalam suatu ‘umah’ Bali. Sumber: Davison, Julian. & Bruce Granquist (1999)
2.
3.
Gambar 10. Bale Meten Sumber : Davison, Julian. & Bruce Granquist (1999)
Arsitektur ”Stil Bali”, lebih merupakan unsur dekoratif yang ditempelkan di atas unsur-unsur struktural arsitektur fungsional, dengan cirinya adalah ukuran yang diperbesar dan penggunaan unsur dekoratif yang dibuat-buat serta biasanya tiang dan tembok depan ditempeli dengan batu merah gosok berikut ornamen-ornamen berukir atau setengah berukir/ lelengisan (gambar 11). Arsitektur ”Bali Style”, contoh yang paling mudah barangkali adalah villa-villa yang tumbuh di Bali saat ini. Sebagian villa mengambil baik pola, tata letak, bentuk atap dan unsur rupa lainnya dari rumah tradisional Bali (Majapahit) dan kemudian diaplikasikan pada bangunan villa yang baru, inilah yang kemudian disebut dengan ’Bali-Style’ (gambar 12).
6
Seminar Nasional “Kearifan Lokal (Local Wisdom) dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan” PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009
Gambar 11. Kantor Walikota Denpasar merupakan salah satu contoh bangunan yang menggunakan ”stil Bali”. Sumber: dok. pribadi (2008)
4.
5.
Arsitektur ”Bali-Modern”, merupakan fenomena baru tampilnya bangunan tanpa ornamen maupun ragam hias seperti pada umumnya bangunan di Bali. Merupakan arsitektur yang dipertanyakan, apakah arsitektur jenis ini dapat dikategorikan sebagai arsitektur Bali? (gambar 13) Arsitektur bagi masyarakat di desa-desa Muslim seperti di desa Pegayaman di Buleleng Singaraja (gambar 14).
Gambar 13. The Infinity Conrad Chapel di Jimbaran, Nusa Dua Sumber: www.Baliwedingchapel.com).
6. 7.
Gambar 12. Santosa Legian Seminyak merupakan salah satu contoh arsitektur ”Bali Style”. Sumber : Hot Property (2005)
Gambar 14. Desa Pegayaman, Kec. Sukasada, Kab. Buleleng Sumber : dok pribadi (2008)
Arsitektur bagi masyarakat di desa-desa Kristen seperti di desa Palasari Jembrana, desa Dalung Denpasar (gambar 15). Arsitektur Tradisional Bali Aga biasanya terdapat di daerah pedalaman. Daerah pedalaman tersebut ada yang di dataran tinggi atau pegunungan dan ada yang di dataran rendah. Dari segi fisik rumah tradisional yang ada di pegunungan pada umumnya sangat sederhana (gambar 16).
Gambar 15. Gereja Palasari, Jembrana. Sumber: www.simplyoga.multiply.com/blog).
Gambar 16. Desa Bali Aga Tenganan Sumber : dok pribadi (2009)
7
Seminar Nasional “Kearifan Lokal (Local Wisdom) dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan” PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009
8. 9.
Arsitektur Bali Kuna. Salah satunya adalah seperti yang terlihat pada gambar 17, yaitu situs Gunung Kawi. Arsitektur Kolonial. Arsitektur jenis ini banyak terdapat di Bali bagian Utara tepatnya di kota Singaraja; yang pada jaman Belanda merupakan ibukota Bali. Terdapat pula di Denpasar (Bali Hotel di Jln. Veteran), dan Kompleks Taman Ujung di Karangasem maupun di puri Karangasem terdapat juga peninggalan bangunan kolonial Belanda yang disebut dengan Maskerdam (gambar 18).
Gambar 17. Kawasan konservasi Gunung Kawi, Tampaksiring Sumber : dok. Pribadi (2008)
Gambar 18. Arsitektur Kolonial Taman Ujung Karangasem Sumber : dok pribadi (2009)
3.3. Rangkuman Warna Warni Arsitektur Bali Dari fenomena lapangan maupun Perda 5/ 2005 Provinsi Bali, dapat terlihat begitu banyaknya, atau begitu beragamnya yang dapat termasuk dalam arsitektur Bali tersebut. Matriks di bawah ini (lihat tabel 1) akan menampilkan keanekaragaman arsitektur Bali itu sendiri. Dari matriks di atas terdapat beberapa hal yang dapat dirangkum dari keanekaragaman arsitektur yang ada di Bali, bahwa :
Tabel 1 : Matriks Perda Prov. Bali No.5/ tahun 2005 dengan fenomena lapangan
8
Seminar Nasional “Kearifan Lokal (Local Wisdom) dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan” PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009
Keterangan : = Ranah arsitektur tradisional Bali berdasarkan versi Perda 5/ thn 2005, 1 + 7 meliputi arsitektur tradisional Bali yang merupakan warisan arsitektur dari Majapahit (dibawa ke Bali pada tahun 1343), dan juga arsitektur Bali Aga/ Bali Asli/ Bali Kuna. Hanya saja kenyataannya, yang memperoleh porsi terbesar dan diakui sebagai arsitektur tradisional Bali dalam Perda tersebut adalah arsitektur yang merupakan warisan dari Majapahit, arsitektur yang didasarkan atas lontarlontar seperti hasta bumi, hasta kosali, dll. Sedangkan porsi arsitektur Bali Aga, mendapat tempat yang kurang dalam Perda tersebut, pada bagian lampirannya hanya membahasnya pola dan tata letak tipologi pemukimannya saja. 2 + 3+ 4 = Ranah arsitektur non tradisional Bali terdiri atas arsitektur ’stil Bali’ dan arsitektur ’Bali style’ yang pada hakekatnya dalam tampilan bangunannya hanya mencitrakan nuansa/ suasana bangunan Bali. Jadi lebih kepada penggunaan unsur-unsur dekoratif maupun material bahan bangunan setempat pada tampilan bangunannya yang baru. Pada prinsipnya dapat dikatakan bahwa baik arsitektur ’stil Bali’ maupun arsitektur ’Bali style’ itu merupakan ’turunan’ atau transformasi dari arsitektur tradisional Bali versi warisan dari Majapahit. Termasuk dalam ranah ini yaitu arsitektur Kolonial Bali yang ’hibrid’ dengan arsitektur Bali Majapahit. Dalam Perda pengaturan secara jelas mengenai arsitektur ’stil Bali’ maupun yang ’Bali style’ belum dibahas secara cukup rinci/jelas, sehingga implementasinya masih bisa dipersepsi atau ditafsir secara berbeda-beda masyarakat penggunanya. Sedangkan fenomena yang terbaru yaitu arsitektur ’Balimodern’ merupakan arsitektur yang pada tampilan bangunannya sama sekali tidak menggunakan ragam hias seperti yang biasa dipakai pada arsitektur ’stil-Bali’ maupun ’Bali-style’, dan bebas ornamen. Arsitektur jenis terakhir ini memang masih dipertanyakan apakah ”ia” bisa disebut dengan arsitektur Bali? = Merupakan ranah arsitektur non tradisional Bali juga. Desa Pegayaman, 5 + 6 Kec. Sukasada, Kab. Buleleng, juga sejumlah kampung Islam di Amlapura Karangasem merupakan sekian contoh desa Islam di Bali. Desa Islam di Karangasem merupakan desa Islam yang sudah cukup lama berada di Bali. Kebanyakan mereka berasal dari kelompok Islam Sasak Waktu Telu Lombok. Banyak dari mereka datang ke kerajaan Karangasem sejak kerajaan Karangasem menanamkan kekuasaan di Lombok, dan kebanyakan dari mereka itu sebagai tetadtadan raja atau sebagai pengiring. Sedangkan p komunitas permukiman Kristen yang tersebar pada wilayah kabupaten Badung maupun di kabupaten Jembrana memperlihatkan pula suasana Bali Majapahit yang cukup kuat. Pada masyarakat Bali Kristen ini, pernak-pernik adat Bali masih tetap dipegang kuat, karena mereka memang orang Bali yang bertanah tumpah di Bali. Memang memerlukan penelitian lebih lanjut, apakah dalam tatacara membangun bangunan, baik Bali Islam, maupun Bali Kristen yang mereka miliki mengacu ke naskah hasta kosali atau tidak? Kalau tidak, apakah yang menjadi acuan mereka dalam membangun bangunan yang mereka miliki sekarang ini? Ataukah jangan-jangan arsitektur Bali Muslim dan Bali Kristen ini hanya merupakan varian lain dari hasil evolusi arsitektur Majapahit juga? = Merupakan ranah arsitektur warisan. Pada arsitektur warisan ini, ranahnya 8 + 9 meruapakan ranah heritage. Sehingga aturan-aturan mengenai konservasi maupun preservasi dari kawasan yang dimaksud dalam Perda ini mengacu ke Undang-Undang Cagar Budaya. Contoh yang baik mengenai arsitektur warisan yaitu kawasan gunung kawi, maupun arsitektur kolonial yang banyak terdapat di Bali Utara – Singaraja.
9
Seminar Nasional “Kearifan Lokal (Local Wisdom) dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan” PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009
4. KESIMPULAN Beberapa hal yang dapat disimpulkan pada makalah ini, yaitu : 1) Bahwa ide untuk membuat Perda tentang persyaratan arsitektur bangunan gedung sesungguhnya merupakan ide/ gagasan mendasar untuk membuat Perda tentang arsitektur Bali atau lebih luas lagi membuat Perda tentang budaya Bali; dan ini sesungguhnya perlu kehatihatian dan diskusi yang panjang; karena budaya Bali itu sendiri harus diperjelas dahulu, budaya Bali yang mana? atau yang mana saja disebut dengan budaya Bali? Jika budaya nya sendiri sudah diperjelas, sudah bisa dideliniasi, maka barulah dapat dibuat Perdanya. Sejauh yang dikaji Perda N0.5/ tahun 2005 dapat dikatakan belum mengakomodir seluruh tradisi yang terdapat dalam setiap sub-budaya Bali. Budaya dominasi Majapahit, yang tercermin pada arsitektur Bali Majapahit, merupakan bentuk keprihatinan bagaimana kemudian dalam Perda tersebut terjadi tendensi subordinasi terhadap sub-sub budaya lainnya yang terdapat di Bali. 2)
Bahwa yang disebut dengan arsitektur Bali sesungguhnya terdiri atas : Arsitektur Bali Aga Arsitektur ‘dominasi’ Bali Majapahit dengan varian-variannya seperti, “stil-Bali”, “Balistyle”, arsitektur “Bali-Kristen”, arsitektur “Bali-Islam”, dan yang terbaru yaitu arsitektur “Bali-modern” atau “Bali-kontemporer” Arsitektur “Bali-kolonial” Arsitektur “warisan”/ Arsitektur “Bali-kuna”
Demokrasi menjadi kata kunci untuk menjawab arsitektur Bali. Demokrasi dalam berarsitektur itu menjadi mungkin justru ketika setiap pihak berusaha keras untuk menerima dan memahami kemajemukan. Tuntutan sikap demokratis yang dapat kita pelajari dari makalah ini, yaitu perlunya pengakuan terhadap realitas kemajemukan kelompok-kelompok minoritas, ketidakberaturan dan kelompok yang tersubordinasi. Homogenitas dalam berarsitektur memang tidak masalah, namun masalahnya adalah ketika “ia” tidak mampu menghargai perbedaan. Padahal arsitektur Majapahit dengan ‘merangkul’ budaya lain seperti contohnya arsitektur Bali Aga, akan berkesempatan menjadi lebih heterogen sehingga dapat menambah ’reference’ tentang apa atau yang mana saja yang disebut dengan arsitektur Bali itu REFERENSI Covarrubias, Miguel. “Island of Bali”, 2 nd ed., Singapore: Oxford University Press, 1972. Davison, Julian. & Bruce Granquist. “Balinese Architecture”, Periplus, 1999. Hot Property Magazine Volume 1 Summer 2005. Kagami, Haruya. Balinese Traditional Architecture in Process, Inuyama: Little World Museum of Man, 1988. Michel, Picard. Bali : Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia, 2006. Oka Windhu, Ida Bagus. Bangunan Adat Bali Serta Fungsinya, Denpasar: Proyek Sasana Budaya Bali, 1977. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2005 tentang Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung. Salura, Purnama. Menelusuri Arsitektur Masyarakat Sunda, Ciptassatrasalura, Bandung, 2007. Setia, Putu. Mendebat Bali; catatan perjalanan budaya Bali hingga bom Kuta, Denpasar : Pustaka Manikgeni, 2002. Wijaya, M. “Trends in Modern Balinese Architecture. How Fares the Environment on the Fabel Isle?”, Prisma, 1986.
10