BAB II. TEORI KROMATOGRAFI
A. PRINSIP DASAR PEMISAHAN SECARA KROMATOGRAFI Sistem kromatografi tersusun atas fase diam dan fase gerak. Terj'adinya pemisahan campuran senyawa menjadi penyusunnya dikarenakan perbedaan afinitas masing-masing masing solut penyusun terhadap kedua fase. Solut dengan afinitas kuat terhadap fase diam akan memerlukan waktu lebih lama untuk melintasi fase diam. Berikut ini adalah ilustrasi terjadinya pemisahan dalam sistem kromatografi:
Gambar II. 1. Ilustrasi pemisahan dalam sistem kromatografi
Ketika molekul solut dimasukan dalam sistem kromatografi, maka akan segera terdistribusi ke dalam fase diam dan fase gerak. Kemudian terjadi kesetimbangan antara solut dalam fase diam dan solut dalam fase gerak. Volume fase gerak yang dibutuhkan untuk mengeluarkan solut dari ujung awal fase diam hingga ujung akhir disebut volume retensi (VR). Bila solut merupakan senyawa yang tidak berinteraksi sama sekali dengan fase diam maka disebut volume mati (V0). Dalam hal ini fase gerak diasumsikan tidak berinteraksi dengan fase diam sehingga V0 sama dengan Vm.
Volume retensi dan volume mati berhubungan dengan kecepatan alir fase gerak melewati kolom fase diam (Fc) dan dihubungkan dengan persamaan VR = TRxFc ................................................ ............................. (II.l) V0 = T0xFc ................................................ (II.2) Berikut ini ilustrasi memperoleh harga VR dari suatu kromatogram
Gambar II. 2. Ilustrasi menetapkan volume retensi dan waktu retensi dari suatu kromatogram
B. KINETIKA DALAM PEMISAHAN SECARA KROMATOGRAFI Ada dua pendekatan yang dapat dipakai untuk menjelaskan efisiensi proses pemisahan secara kromatografi yaitu 1. Teori lempeng (plate theory), dikembangkan oleh Martin dan Synge pada tahun 1941. Sebagai Sebagai dasar adalah analog! proses distilasi dan ekstraksi berkelanjutan 2. Teori laju (rate theory), dikembangkan oleh 11 Van Deemter tahun 1956. Didasarkan pada kecepatan random gerakan tiap molekul solut dalam fase diam dan fase gerak. Kedua teori memiliki kelebihan dan keterbatasan. Teori Lempeng (.Plate Theory) dan Kuantitasi Efisiensi Kolom Dengan teori ini, diasumsikan bahwa kolom fase diam tersusun atas lempengan-lempengan. lempengan. Dalam setiap lempeng akan terjadi adi kesetimbangan solut dalam fase diam dan fase gerak. Semakin banyak lempeng penyusunnya, maka kesetimbangan akan semakin banyak sehingga pemisahan akan semakin baik. Dalam ukuran panjang kolom yang sama, maka jumlah lempeng teoritik ini tergantung pada tinggi lempeng. Atau dengan kata lain, semakin tipis ti lempeng teoritik, maka jumlah lempeng akan semakin banyak. Tinggi lempeng teoritik
(height equivalent for a theoritical plate sering dinotasikan dengan HETP atau h, sedangkan jumlah lempeng teoritik dinotasikan dengan Neff. Dalam setiap lempeng teoritik terjadi kesetimbangan solut dalam fase diam dan fase gerak. Volume fase diam dalam tiap lempeng adalah vs dan volume fase geraknya vm. Vm = vm x N .............................................................. (II.3) Vs = vsxN ................................................................ (II.4) V : volume total N : jumlah lempeng teoritik v : volume dalam setiap lempeng
Efisiensi kolom paling mudah diamati dengan melihat lebar pita kromatogram. Pita kromatogram dengan lebar dasar yang sempit menunjukkan bahwa efisiensi kolom bagus.
Gambar II.3. Bentuk pita kromatogram dipengaruhi oleh jumlah kesetimbangan (N). Semakin besar N, maka semakin runcing bentuk pita kromatogram
Bentuk pita kromatogram diasumsikan berbentuk kurva distribusi normal (kurva Gauss). Kemampuan pemisahan suatu kolom dinyatakan sebagai jumlah lempeng teoritik (N) dan dapat dihitung dengan persamaan II.22.
N = 16
……………………………………………………….
(II.5)
Karena sulit menentukan secara tepat lebar dasar pita kromatogram (W), maka digunakan perhitungan lebar pita pada setengah tingginya (W 1/2). Rumus
perhitungan N menjadi seperti persamaan II.23.
Gambar II.4. Penentuan harga w1/2
N = 5.54 H=
…………………………………………………… (II.6)
………………………………………………………………….. (II.7)
L : panjang kolom
Teori Laju (Rate Theory) dan Pelebaran Pita Kromatogram Efisiensi kolom merupakan fungsi dari banyak parameter sperti ukuran partikel fase diam, ketebalan lapisan fase diam yang diikatkan pada penyangga, keseragam packing, aliran fase gerak dan kecepatan kesetimbangan antara fase diam dan fase gerak. Pengaruh parameter-parameter ini tidak dapat dijelaskan dengan teori lempeng, tetapi hanya dapat dijelaskan dengan teori laju. Persamaan yang menghubungkan semua parameter tersebut dengan kualitas pemisahan telah dikembangkan oleh Van Deemter dengan model kromatografik isotermik dan didasarkan pada kurva distribusi normal. Bila dua molekul dimasukkan ke dalam kolom kromatografi dan dialiri fase gerak, maka ada kemungkinan rute yang dilalui kedua molekul tersebut berbeda, terutama bila fase diam tidak terpacking secara homogen. Molekul yang kebetulan melewati rute yang longgar (banyak ruang antar partikel fase diam) akan keluar lebih awal daripada molekul yang menempuh rute padat. Oleh karenanya pita kromatogram yang dihasilkan akan tampak melebar. Fenomena ini dikenal dengan fenomena difusi Eddy. Difusi Eddy dapat diperkecil dengan memperkecil diameter kolom, menghindari adanya ruang kosong dalam kolom,
menggunakan ukuran partikel fase diam yang seragam. Pelebaran pita kromatogram
juga dapat
disebabkan oleh difusi
longitudinal solut. Pita solut dapat berdifusi ke bagian yang konsentrasinya rendah, dapat ke bagian belakang pita maupun ke bagian depan pita, sehingga terjadilah pelebaran pita. Pelebaran pita disebabkan karena difusi solut ke arah berlawanan dengan arah fase gerak (ke belakang), biasanya kasus difusi seperti ini lebih dominan daripada difusi searah aliran fase gerak. Terutam bila kolom yang dipergunakan sangat panjang. Usaha yang dapat dilakukan untuk meminimalkan difusi longitudinal ini adalah mengatur viskositas dan kecepatan alir fase gerak. Difusi longitudinal dalam kromatografi gas jauh lebih besar daripada dalam kromatografi cair. Kecepatan alir fase gerak yang sangat cepat dapat mengurangi terjadinya difusi longitudinal, tetapi menimbulkan problem baru yaitu terjadinya transfer masa non ekuilibrium. Transfer mas non ekuilibrium adalah terjadinya perpindahan solut yang terjadi sebelum terjadinya kesetimbangan antara fase diam dan fase gerak. Hal ini selain disebabkan oleh aliran fase gerak yang terlalu cepat juga dapat disebabkan oleh lapisan fase diam yang sangat tebal dan viscous (kental). Untuk meminimalkan nya dapat diatasi dengan menggunakan setipis mungkin lapisan fase diam, menggunakan bahan untuk fase diam dan fase gerak yang tidak viscous, menjaga aliran fase gerak selambat mungkin tetapi jangan sampai menimbulkan difusi longitudinal. Menurut Van deemter, pengaruh ketiga parameter tersebut dituliskan dengan persamaan II.8.
H = 2
…………………………….
(II.8)
= faktor karakteristik dari packing
dp
= ukuran partikel
= faktor yang mewakili jarak antar partikel yang tidak teratur
Dg
= koefisien difusi solut galam fase gas
U
= kecepatan linear gas
K
= faktor kapasitas
H
= tinggi lempeng teoritik
Dari persamaan di atas, terdapat tiga komponen dasar yaitu : : berhubungan dengan fase gerak (terutama dalam gas) : berhubungan dengan fase diam (terutama dalam cair)
: berhubungan dengan packing fase diam dalam kolom Lebih sederhana lagi persamaan van Deemter sering ditulis dengan H = A + B/u + Cu ..........................................................................
(II.9)
A : difusi Eddy B : difusi longitudinal C : transfer masa non ekuilibrium Dalam kolom kapiler parameter A sangat kecil dan praktis tidak ada, sehingga persamaan menjadi: H = B/u + Cu ................................................................................
(11.10)
Cu terdiri dari Csu dan Cmu, yaitu transfer masa non ekuilibrium dalam fase diam dan fase gerak. Untuk memperoleh efisiensi pemisahan yang optimal, maka harus dicari harga H yang paling minimum. Persamaan Van Deemter dapat dilukiskan dengan kurva seperti pada gambar II.11.
Gambar II.5. Kurva dari persamaan Van deemter untuk kromatografi gas kolom packing Dengan memahami bagaimana pengaruh ketiga parameter tersebut, maka kita dapat merancang kolom yang baik dan kecepatan alir fase gerak yang optimum agar harga H seminimal mungkin. C. Termodinamika dalam Pemisahan secara kromatografik
C. Termodinamika dalam Pemisahan secara kromatografik Ketika molekul solut dimasukan dalam sistem kromatografi, maka akan segera terdistribusi ke dalam fase diam dan fase gerak. Kemudian terjadi kesetimbangan antara solut dalam fase diam dan solut dalam fase gerak. Kesetimbangan ini dapat dituliskan secara matematis dengan persamaan sebagai berikut : K=
……………………………………………(II. 11)
K
: koefisien partisi / koefisien distribusi
Cs
: konsentrasi solut dalam fase diam
Cm
: konsentrasi solut dalam fase gerak
K diukur untuk konsentrasi yang kecil. Pemisahan secara kromatografi selalu dikerjakan
dalam
konsentrasi
yang
rendah
sehingga
kemungkinan
terjadinya saturasi dalam salah satu fase dapat dihindari, Oleh karena itu persamaan yang ideal adalah faktor kapasitas (kO yang formulanya sebagai berikut : k’ =
k' = K
…………………………………………….. (II.12)
...........(11.13)
Vs Vm β
: volume fase diam : volume vase gerak :rasio volume fase diam dan fase gerak
k’ = Kβ …………………………………………………….. (II.14)
Fraksi solut dalam fase gerak =
k' Fraksi solut dalam fase diam =
........................... (II.15)
...................... (II.16)
Volume fase gerak yang dibutuhkan untuk mengeluarkan solut dari ujung awal fase diam hingga ujung akhir disebut volume retensi (VR). Bila solut merupakan senyawa yang tidak berinteraksi sama sekali dengan fase diam maka disebut volume mati (V0). Dalam hal ini fase gerak diasumsikan tidak berinteraksi dengan fase diam sehingga V0 sama dengan Vm. VR = V0x(l + k') ................................................ (II.17)
Volume retensi dan volume mati berhubungan dengan kecepatan alir fase gerak melewati kolom fase diam (Fc) dan dihubungkan dengan persamaan VR = TRxFc ..................................................... (II.18) V0 = T0xFc .................................................... (II.19) Dengan mensubstitusikan persamaan 11.15 dan 11.16 ke persamaan 11.17, maka diperoleh persamaan VR = V0x(l + k')
1 + k' = k' = k’ =
!
"#$% "#
%$
!
"&$% "&
%$k’ = (TR-T0)/T0 ............................................... (II.20) t k' =
"# "
………………………………………. (II.21)
T’R sering disebut sebagai waktu retensi terkoreksi.
Bila terdapat dua solut masing-masing solut 1 dan solut 2 dengan harga rasio kapasitas k\ dan ki maka waktu retensi TRI dan TRZ, dapat dihitung dengan persamaan TR1
= T0(1+k’1) ....................................... (II.22)
TR2
= T0 (1+k’2) ...................................... (II.23)
Pemisahan solut 1 dan 2 adalah TR2 –TR1 = To (k’2 – k’1).............................................................. (II.24) Pemisahan tersebut terjadi apabila perbedaan antara k’1 dan k’2 cukup besar, apabila harga keduanya hampir sama maka tidak dapat diproleh pemisahan yang memuaskan. Kemampuan pemisahan sering dituliskan sebagai faktor selektifitas (a) dan dapat dihitung dengan persamaan II.25
()2!(* ()1!(*............................................... (II.25) α= ....................................................... (II.26) α=
Faktor retensi (Rf) merupakan besaran perbandingan antara kecepatan solut melewati kolom (Uavg) terhadap kecepatan fase gerak melewati kolom (Vm). Faktor retensi merupakan fungsi dari rasio kapasitas (k;). Uavg = f1V1 + f2V2 + ................fnVn = ∑ f. V. ............................... (II.27)
Uavg = 0 1
2 0 12 …………………………………… (II.28)
f : fraksi molekul pada kecepatan V Fraksi solut dalam fase gerak memiliki kecepatan gerak yang sama dengan kecepatan fase gerak (Vm), sedangkan kecepatan gerak solut dalam fase diam sama dengan nol, maka persamaan II.17 menjadi
Uavg = 0 1
Rf
=
Rf =
2 3 12 ……………………………………… (II.29 )
4567
………………………………………………………….. (II.30)
Volume fase gerak yang dibutuhkan untuk membawa solut melintasi kolom besarnya proporsional dengan panjang kolom, sehingga proses retensi juga meningkat bila panj'ang kolom diperbesar. Selama melewati kolom, pita solut dapat melebar, sehingga untuk mencapai pemisahan yang baik tidak cukup hanya dengan memperpanjang kolom. Berikut ini adalah ilustrasi terjadinya pelebaran pita solut selama melewati kolom. Parameter faktor resolusi (Rs) merupakan besaran untuk menghitung bagaimana dua pita berdekatan dapat dipisahkan secara sempurna satu sama lain. Pers II. 31
Pers II. 32
Gambar II.6. Perhitungan faktor resolusi
Rs =
……………………………………… (II.33)
α = k’2/k’1 , bila ini disubstitusikan ke persamaan II.33, maka diperoleh Rs =
……………………………………… (II.34)
, k' rata-rata, bila ini disubstitusikan ke persamaan II.34, maka Rs =
………………………………………… (II.35)
2 a + ll + k' Bila diasumsikan pita-pita kromatogram berbentuk kurva Gauss, maka Rs juga dapat dihitung secara matematis dengan dasar analisis variansi.
Gambar II. 7. Dua pita kromatogram saling berdekatan dan berbentuk kurva Gauss Berdasarkan kurva di atas, dapat dihitung harga F yaitu : F=
………………………………… (II.36)
Jika harga F=l, maka tidak ada overlapping antara dua pita tersebut. Jika harga F=0.95, maka terdapat 5% luas area pita yang overlapping. Berdasarkan kurva Gauss, nilai Rs dapat dihitung dengan persamaan II.31
Rs = 1.18
……………………….. (II.37) atau
Rs = 1.18
Rs = 1.18
"8"
9: / 9: / : 8
9: / 9: / :
……………………….. (II.37) atau
………………………… (II.38)
D. Optimasi Kinerja Kolom Jika pemisahan terhadap senyawa A dan B memberikan hasil yang tidak memuaskan, maka dapat dilakukan usaha untuk meningkatkan pemisahan, yaitu 1. Meningkatkan efisiensi pemisahan Dapat ditempuh dengan : a. Meningkatkan jumlah kesetimbangan antara fase diam dan fase gerak (memperbanyak jumlah lempeng teoritik N) Jumlah lempeng teoritik dapat dikerjakan dengan memperkecil ukuran partikel fase diam, sehingga luas kontak fase diam menjadi lebih banyak dan kesetimbangan solut dalam fase diam dan fase gerak menjadi bertambah besar dan pemisahan akan semakin baik. Selain itu juga dapat ditempuh dengan memperpanjang kolom yang berarti akan memperbanyak jumlah lempeng teoritk. Tetapi perlu hatihati karena sering kali menimbulkan problem baru yaitu terjadinya pelebaran pita kromatografi akibat adanya difusi balik. b. Memperkecil tinggi lempeng teoritik H Menurut Van Deemter H dipengaruhi oleh difusi Eddy, difusi longitudinal dan transfer masa non ekuilibrium. Difusi eddy dapat diminimalkan dengan menggunakan diameter kolom diperkecil, menghindari adanya ruang kosong dalam kolm, menggunakan ukuran partikel fase diam yang seragam. Difusi longitudinal dapat diiminalkan dengan memperkecil viskositas dan mempercepat kecepatan alir fase gerak. Tetapi perlu diatur agar tidak menimbulkan transfer masa non ekuilibrium. Transfer masa non ekuilibrium sendiri dapat diminimalkan menggunakan setipis mungkin lapisan fase diam, menggunakan bahan untuk fase diam dan fase gerak yang tidak viscous, menjaga aliran
fase
gerak
selambat
menimbulkan difusi longitudinal.
mungkin
tetapi
jangan
sampai
2. Meningkatkan ingkatkan
selektifitas
kolom,
dengan
mengganti
material
fase
diam disesuaikan dengan interaksi solut-fase solut diam-fase fase gerak. Dengan mengganti material fase diam, maka diharapkan dapat mengubah harga k'A dan k'B. Bila perubahan ini menyebabkan harga harga kedua faktor kapasitas tersebut semakin berbeda, maka akan semakin mudah dipisahkan karena selektifitas semakin besar. Meningkatkan kapasitas kolom, dengan menggunakan tehnik temperature programming untuk kromatografi gas dan gradient elution programming untuk kromatografi
cair.
Temperature
programming
adalah
program
untuk
mengatur temperatur kolom. Secara bertahap temperatur koJom dinaikkan sesuai dengan titik didih solut yang dipisahkan. Gradient elution programming adalah program ogram untuk mengatur komposisi fase gerak selama elusi secara bertahap disesuaikan kelarutan solut yang dipisahkan. Dengan menjalankan pemrograman tersebut, maka akan diperoleh pemisahan yang lebih sempurna dan terkadang waktu analisis menjadi semakin cepat. cepa E. Kuantitasi Solut serta Kontrol Kualitas Data Jenis dan jumlah asing-masing asing masing komponen dalam sampel yang dipisahkan dalam kromatografi hanya dapat diketahui bila sistem kromatografi dihubungkan dengan detektor dan recorder, sehingga keluar pita-pita pita kromatogram. Luas area atau tinggi pita kromatogram berkaitan erat dengan jumlah atau konsentrasi solut, sedangkan letakpita kromatogram berkaitan erat dengan jenis solut. Dalam banyak sistem kromatografi modern, kromatogram yang dihasilkan telah dihitung luas areanya dan waktu retensinya secara otomatis, dan juga telah dikoreksi terhadap sinyal baseline (noise).
H max
Gambar II.87 Perhitungan luas area pita kromatogram
Luas area pita kromatogram (A) dihitung dengan persamaan : A = hmaxxW 1/2 ........................................ (II.40) A = 1/2 (hmax + W).................................... (II.41) Bila
alat
hitung
tidak
terdapat
dalam
recorder,
maka
untuk
mengkuantifikasikan pita kromatogram dapat ditempuh dengan memotong pita kromatogram kemudian ditimbang dengan neraca analitik. Untuk dapat menghitung konsentrasi solut maka luas area perlu dibandingkan dengan luas area standard yang telah diketahui konsentrasinya. Selanjutnya dihitung dengan perbandingan sederhana, yaitu
<5=>?@
3
E<5=>?@
E
…………… (II.42)
Teknik perbandingan ini hanya dapat dikerjakan bila rentang konsentrasi sampel (Csampel) hampir sama dengan konsentrasi standard (Cstandard), hubungan luas area vs konsentrasi selalu linear untuk berapapun konsentrasinya. Oleh karena itu yang paling sering digunakan dan yang memiliki tingkat kesalahan lebih rendah adalah teknik standard eksternal (Standard External Method). Dengan teknik ini harus dibuat serangkaian larutan standard dengan konsentrasi yang berbeda-beda, kemudian dibaca dengan sistem kromatografi. Luas area yang didapatkan kemudian diplotkan dengan konsentrasinya sehingga diperoleh persamaan garis regresi linear dengan sumbu X adalah konsentrasi dan sumbu Y adalah luas area. Selanjutnya luas area sampel diintrapolasikan ke dalam persamaan garis tersebut sehingga diperoleh harga konsentrasi sampel. Perhitungan konsentrasi sampel juga dapat dikerjakan dengan teknik standard internal. Dengan cara ini sebelum sampel dianalisis dengan kromatografi, terlebih dahulu larutan sampel diberi standaard internal dalam jumlah yang telah diketahui. Standard internal adalah senyawa yang memiliki sifat mirip dengan senyawa analit yang terdapat dalam sampel, sehingga standard internal memiliki mekanisme kesetimbangan yang sama dengan sampel. Dalam sampel sendiri tidak mengandung senyawa yang digunakan untuk standard internal. Konsentrasi sampel dapat dihitung dengan persamaan II.43.
FGHIJ 3 1
E<5=>?@
EKBA?DB5@ L$
2 FMNOIPNGJ
…………………. (II.43)
F: faktor respon
Contoh perhitungan : Larutan sampel mengandung senyawa pestisida DOT tetapi tidak mengandung senyawa Aldrin, sehingga senyawa Aldrin dapat digunakan sebagai standard internal. Dari data kromatogram diperoleh data sebagai berikut: Berat sampel (yang mengandung DOT) 0.3886 ng memberikan luas area 5231 µV. Berat senyawa Aldrin 0.4395 ng memberikan luas area 6594 µV. Berapa konsentrasi DOT dalam sampel ? Jawab : Rasio berat Aldrin/DDT = 0.4395/0.3886 = 1.1310 Rasio luas area Aldrin/DDT = 6594/5231 = 1.2606 Faktor respon = Rasio luas/Rasio berat = 1.2606/1.1310 = 1.1146
FGHIJ 3 1
QR
SQTUV.US
2 0.4395 = 0.3128ng
Konsentrasi DOT sampel = (0.3128ng / 0.3886ng) x 100% = 80.49 % b/b
Untuk analisis sampel dengan konsentrasi sangat rendah (trace analysis) dapat dilakukan dengan teknik standard adisi (addition standard). Sampel diperkaya dengan standard yang sama dengan analit dalam sampel yang akan diperiksa, dalam jumlah yang telah diketahui. Kemudian larutan ini dianalisis dengan kromatografi. Luas area yang didapatkan diplotkan dalam persamaan garis regresi linear hubungan antara konsentrasi standard dengan luas areanya, sehingga diperoleh harga kadar sampel yang diperkaya dengan standard. Harga ini kemudian dikurangi dengan jumlah standard yang dimasukkan dan didapatkan kadar analit dalam sampel sebenarnya.
ditemukan pita yang tidak simetris. Bila ditemukan pita yang asimetris maka perlu dilakukan perhitungn tersendiri. Berikut adalah contoh pita yang asimetris.
Gambar II. 3. Contoh pita asimetris dan perhitungannya Persamaan untuk menghitung faktor asimetris pita kromatogram (As) AS= B/A (pada ketinggian 10%)...................................................... II.44 Persamaan untuk menghitung faktor tailing pada pita kromatogram (Tf) Faktor Tailing =
(pada ketinggian 5% ) ………… II.45
Kriteria kolom berdasarkan harga As: Harga AS 1.0-1.05 1.2 2 4
2.
Kriteria kolom Bagus Dapat diterima Tidak dapat diterima untuk analisis Kolom rusak harus diganti
Reprodusibilitas data Merupakan parameter keajegan respon pada pengulangan analisis. Apabila dilakukan pengulangan analisis terhadap larutan standard pada konsentrasi yang sama, maka akan diperoleh waktu retensi dan luas area yang sama. Secara matematis dapat dihitung dengan persamaan II.46 berikut ini. SD =
…………………………………………….. II.46
Xi: hasil analisis ke-I X’ : Rata-rata dari hasil analisis N : jumlah replikasi
Xi: hasil analisis ke-I X’ : Rata-rata dari hasil analisis N : jumlah replikasi Bila setiap pengulangan memiliki harga yang sama, maka SD=0. Semakin besar harga SD maka reprodusibilitas metode semakin jelek, karena data semakin menyebar. 3.
Linearitas data Diuji dengan menghitung harga linearitas hubungan antara luas area pita kromatogram vs konsentrasi standard dengan metode statistik least squares.
4.
Batas deteksi Merupakan salah satu ukuran sensitivitas metode analisis. Ada dua parameter batas deteksi yaitu limit of detection (LOD) dan limit of quantification (LOQ). LOD merupakan batas konsentrasi terkecil analit yang dapat diamati oleh alat (instrumental) dan sinyalnya dapat dibedakan secara nyata dari noise atau gangguan. Biasanya dipakai batasan bahwa perbandingan sinyal dan noise pada penetapan LOD tersebut adalah 3. LOQ merupakan batas konsentrasi terendah dari analit yang dapat dipreparasi hingga dianalisis dengan alat (instrument) dan sinyalnya dapat dibedakan secara nyata dari noise, sehingga harganya pasti j'auh lebih besar dibanding harga LOD. Sebagai batasan perbandingan sinyal dan noise untuk penetapan LOQ adalah 10.
5.
Recovery Pada prinsipnya, uji dilakukan dengan mengerjakan analisis sampel suatu obyek yang diperkaya dengan sejumlah kuantitatif analit yang akan ditetapkan, sama dengan yang dilakukan untuk mengetahui sensitivitas penetapan. Berat total analit, yang diperoleh dari analisis sampel yang diperkaya dikurangi berat analit dalam sampel yang tidak diperkaya, dibandingkan terhadap jumlah analit yang ditambahkan, dapat digunakan untuk menentukan nilai pungut ulang analit itu. Apabila dalam analisis tidak terdapat kesalahan sistematik, maka nilai pungut ulang yang diperoleh dalam uji ini tidak akan berbeda secara signifikan dari 100 %. Kelemahan utama uji ini adalah adanya kemungkinan perbedaan antara kondisi analit yang ditambahkan dan kondisi analit dalam matriks. Dalam matriks, analit mungkin terdapat
dalam
bentuk kompleks, sedangkan analit
yang
ditambahkan terdapat dalam keadan bebas. Nilai pungut ulang 100 % tidak selalu dapat menjamin bahwa seluruh analit dalam matriks telah benar-benar tercermin dalam data hasil analisis. Oleh karena itu, uji ini biasanya hanya digunakan sebagai uji pendahuluan dalam evaluasi ketepatan metode analisis. Harga recovery dapat dihitung dengan persamaan : <>KXKB7 8
Recovery (%) = 1
2 X 100 % ………………….. II.47