Volume 31 No. 1, April 2014
Jurnal Jalan - Jembatan
Vol. 31
ISSN : 1907 - 0284
No. 1
Hal. 1 - 59
Bandung April 2014
Terakreditasi 484/AU3/P2MI-LIPI/08/2012 Berlaku : 7 Agustus 2012 - 7 Agustus 2015
ISSN 1907 - 0284
Volume 31 No. 1, April 2014
ISSN : 1907 - 0284
Jurnal
JALAN - JEMBATAN Jurnal Jalan-Jembatan adalah wadah informasi bidang Jalan dan Jembatan berupa hasil penelitian, studi kepustakaan maupun tulisan ilmiah terkait yang meliputi Bidang Bahan dan Perkerasan Jalan, Geoteknik Jalan, Transportasi Dan Teknik Lalu-Lintas serta Lingkungan Jalan, Jembatan dan Bangunan Pelengkap Jalan. Terbit pertama kali tahun 1984 dengan frekuensi terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember. Sesuai Surat Keputusan LIPI No.484/AU3/P2MI-LIPI/08/2012 Jurnal Jalan-Jembatan telah mendapat Akreditasi. Pelindung Kepala Pusat Litbang Jalan dan Jembatan Pembina Ka. Ka. Ka. Ka. Ka. Ka. Ka.
Balai Bahan dan Perkerasan Jalan Balai Geoteknik Jalan Balai Teknik Lalu Lintas dan Lingkungan Jalan Balai Jembatan dan Bangunan Pelengkap Jalan Bagian Tata Usaha Bidang Sumber Daya Kelitbangan Bidang Program dan Kerjasama
Penangung Jawab Ka. Bidang Standar dan Diseminasi Redaktur Prof. DR. Ir. Furqon Affandi, M.Sc Penyunting Editor Rakhman Taufik, ST., M.Sc Dulmanan, SAB Ir. Nono, M.Eng.Sc Ir. Benyamin Saptadi., M.Si Dra. Yeyeh Kursiah, Dipl. TEFL Dewi Siti Bayduri, ST Roro Willis, S.Pd Desain Grafis/ Fotografer Gelar Ermaya Nugraha Internal Editor Prof. DR. Ir. Furqon Affandi, M.Sc (Peneliti Utama Bidang Bahan dan Perkerasan Jalan) DR. Djoko Widajat, M.Sc (Peneliti Madya Bidang Bahan dan Perkerasan Jalan) Dr. Ir. M. Eddie Sunaryo, M.Sc (Peneliti Utama Bidang Geoteknik Jalan) Drs. Gugun Gunawan, M.Si (Peneliti Madya Bidang Teknik Lingkungan Jalan) DR. Ir. Hikmat Iskandar, M.Sc (Peneliti Madya Bidang Lalu Lintas Jalan) Mitra Bestari Prof. Ir. Wimpy Santosa, M.Sc. PhD (Bidang Transportasi dan Teknik Lalu Lintas Jalan; Universitas Katolik Parahyangan) Prof. Ir. Bambang Sugeng S, DEA (Bidang Teknik Perkerasan Jalan; Institut Teknologi Bandung) Prof. DR. Ir. Aziz Jayaputra, M.Sc (Bidang Geoteknik; Institut Teknologi Bandung) Prof. DR. Ir. Soegijanto, M.Si (Bidang Fisika Teknik/Lingkungan; Institut Teknologi Bandung) Prof. DR. Ir. Bambang Suryoatmono, M.Sc (Bidang Teknik Struktur; Universitas Katolik Parahyangan) Prof. Ir. Lanneke Tristanto (Ahli Peneliti Utama Bidang Jembatan & Bangunan Pelengkap Jalan) Ir. GJW Fernandez (Peneliti Utama Bidang Geoteknik Jalan) Sekretariat Bernandus Respati Wibowo, SE Decky Arief Sandy
Jurnal Jalan-Jembatan diterbitkan oleh Puslitbang Jalan dan Jembatan Badan Litbang, Kementerian Pekerjaan Umum. Alamat Redaksi/Penerbit:
Puslitbang Jalan dan Jembatan, Badan Litbang, Kementerian Pekerjaan Umum Jl. A.H. Nasution No. 264, Kotak Pos 2 Ujungberung – Bandung 40294 Tlp. (022)7802251-7802252-7802253 e-mail :
[email protected],
[email protected] Fax. : (022)7802726-7811479
PRAKATA Redaksi menyampaikan selamat bertemu kembali dengan Jurnal Jalan-Jembatan Volume 31 No.1 edisi April 2014. Pada edisi ini disajikan lima tulisan, dimana yang berkaitan dengan teknologi perkerasan jalan, sebanyak empat tulisan dan satu tulisan lainnya berkaitan dengan manajemen lalu lintas di jalan tol. Tulisan pertama, menyampaikan pengaruh pengkondisian campuran beraspal panas di laboratorium dan di Asphalt Mixing Plant, terhadap sifat volumetrik campuran beraspal panas untuk lapisan aus. Tulisan kedua mengemukakan teknologi ekstrasi Asbuton menjadi Asbuton murni dengan bahan terpentin sebagai pelarut melalui teknologi destilasi menggunakan media air. Tulisan ketiga membahas tentang pengaruh Asbuton pelet terhadap sifat aspal dan campuran beraspal panas, baik terhadap sifat reologi aspal maupun terhadap sifat kekuatan campuran seperti stabilitas, ketahanan terhadap alur, serta modulusnya. Tulisan ke empat, menyajikan daya rekat tack coat dari jenis aspal cair MC – 250 akibat pengaruh temperatur dan penundaan penghamparan lapisan diatasnya. Kajian ini didasarkan atas percobaan laboratorium, melalui pengujian kuat geser antara lapisan beraspal lama dengan lapisan aspal baru. Tulisan kelima sebagai sebagai tulisan terakhir menyampaikan pengaruh pengaturan lalu lintas dengan cara contraflow terhadap derajat kejenuhan dan keselamatan di jalan tol. Kajian ini berdasarkan pengamatan di lapangan serta studi literatur tentang peraturan keselamatan jalan. Pada kesempatan ini, kami ucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Aziz Jayaputra, M.Sc; Prof. Dr. Ir. Soegijanto. M.Si; Prof. Dr. Ir. Bambang Suryoatmono, M.Sc; atas bantuannya sebagai anggota mitra bestari Jurnal Jalan - Jembatan, dan khususnya untuk penerbitan kali ini kami ucapkan terima kasih banyak kepada Prof. Dr. Ir. Bambang Sugeng DEA dan Prof. Ir. Wimpy Santosa, M.Sc. PhD yang telah memberikan masukannya. Mudah-mudahan semua tulisan yang disajikan memberikan manfaat bagi para pengambil keputusan dan kebijakan di bidang jalan, pelaksana, konsultan dan para mahasiswa serta pembaca semua. Selamat membaca. Ketua Dewan Redaksi
i
Volume 31 No. 1, April 2014
ISSN : 1907 - 0284
JURNAL JALAN-JEMBATAN DAFTAR ISI Prakata
i
Daftar Isi
ii
Pengaruh Pengkondisian Benda Uji Terhadap Sifat Volumetrik Campuran Beraspal Panas Lapis Aus (The Conditioning Effect of Specimens on Volumetric Properties of Wearing Course of Hot Mix Asphalt) Dani Hamdani, Nono
1 – 11
Ekstraksi Asbuton Dengan Pelarut Berbasis Bahan Organik dan Media Air (Asbuton Extraction Using Organic Based Solvent And Water Media) Kurniadji
12 – 23
Asbuton Pelet Sebagai Bahan Tambah untuk Memperbaiki Sifat Aspal dan Campuran Beraspal (Asbuton Pellets as Additive for Improving Asphalt Properties and Asphalt Mixtures) Madi Hermadi, Kurniadji
24 – 37
Pengaruh Temperatur terhadap Daya Rekat Tack Coat (The Effect of Temperature on The Adhesion of Tack Coat) Atmy Verani Rouly Sihombing
38 – 49
Dampak Manajemen Lalu lintas Contraflow Terhadap Derajat Kejenuhan dan Keselamatan di Jalan Tol (Impact of Contraflow Traffic Management Towards Degree of Saturation and Road Safety in Toll Road) R. Sri Bintang Pamungkas, Edwin Hidayat, Disi M. Hanafiah
50 – 59
ii
PENGARUH PENGKONDISIAN BENDA UJI TERHADAP SIFAT VOLUMETRIK CAMPURAN BERASPAL PANAS LAPIS AUS (THE CONDITIONING EFFECT OF SPECIMENS ON VOLUMETRIC PROPERTIES OF WEARING COURSE OF HOT MIX ASPHALT) Dani Hamdani1), Nono2) 1),2)
Pusat Litbang Jalan dan Jembatan
Jalan A.H. Nasution no.264, Bandung 40294 1) e-mail:
[email protected] 2) e-mail:
[email protected]
1),2)
Diterima: 05 Februari 2014; direvisi: 20 Maret 2014; disetujui: 04 April 2014
ABSTRAK Benda uji campuran beraspal panas yang disiapkan di laboratorium memiliki sifat campuran yang berbeda dengan yang diproduksi di Unit Pencampur Aspal (UPA). Sesuai AASHTO R30-02 (2010) salah satu perbedaannya adalah lamanya waktu pengkondisian yang berakibat pada penuaan aspal atau proses oksidasi dari campuran beraspal panas yang disiapkan di laboratorium dan yang diproduksi di AMP. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji pengaruh pengkondisian benda uji terhadap sifat volumetrik campuran beraspal panas lapis aus. Campuran beraspal panas lapis aus dibuat dua tipe, yaitu yang dikondisikan di dalam oven pemanas selama 2 jam ± 5 menit pada temperatur yang setara temperatur pemadatan ± 3oC dan yang tidak dikondisikan/standar. Berdasarkan hasil kajian di laboratorium dapat diambil kesimpulan, yaitu campuran beraspal panas yang dikondisikan akan mengalami perubahan volumetrik dan penurunan nilai penetrasi aspal hasil recovery dari pelarutnya setelah ekstraksi dari campuran beraspal panas dibandingkan dengan yang tidak dikondisikan, campuran beraspal panas Laston Lapis Aus dengan gradasi halus dan gradasi kasar yang dikondisikan memiliki kekuatan sangat baik, yaitu ditunjukkan dengan nilai stabilitas yang lebih besar dari campuran beraspal panas yang tidak dikondisikan, untuk mengatasi penuaan dan penyerapan aspal yang lebih tinggi, campuran beraspal panas Laston Lapis Aus dengan gradasi halus dan gradasi kasar yang dikondisikan memerlukan kadar aspal optimum dan tebal film aspal yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak dikondisikan. Kata kunci: Sifat volumetrik, campuran beraspal panas, benda uji, Laston Lapis Aus, penuaan. ABSTRACT Specimens of hot mix asphalt prepared in the laboratory has a different mix properties than hot mix asphalt which produced in the Asphalt Mixing Plant (AMP). Based on AASHTO R 30-02 (2010) one difference is in the length of conditioning time that will result in aging or oxidation of hot mix asphalt were prepared in the laboratory and AMP. The purpose of this study was to assess the conditioning effect of specimens on volumetric properties of wearing course of hot mix asphalt. The mixture of hot mix asphalt made two types, which have been conditioned in the heating oven for 2 hours ± 5 minutes at a temperature equal to the compaction temperature ± 3°C and unconditioned/standards. Based on the results of the study in the laboratory, it can be concluded, that the hot mix asphalt conditioned will undergo volumetric changes and decrease in asphalt penetration from recovery of asphalt from solution after extraction compared with the hot mix asphalt is not conditioned, Asphalt Concrete Wearing Coarse hot mix asphalt layer with smooth gradation and coarse gradation which have been conditioned has a very well strength, that is indicated by greater stability values than hot mix asphalt is not conditioned, to overcome the problems of higher aging and asphalt absorption, Asphalt Concrete Wearing Coarse hot asphalt mixture layer with smooth gradation and coarse gradation conditioned require higer optimum bitumen content and thick asphalt films compared to the hot mix asphalt which is not conditioned. Keywords: Volumetric properties, hot mix asphalt, specimens, asphalt concrete wearing coarse, aging.
Pengaruh Pengkondisian Benda Uji Terhadap Sifat Volumetrik Campuran Beraspal Panas Lapis Aus (Dani Hamdani, Nono)
1
PENDAHULUAN Sifat volumetrik campuran dari campuran beraspal panas yang disiapkan di laboratorium memiliki sifat volumetrik campuran yang berbeda dari yang diproduksi di Unit Pencampur Aspal (Asphalt Mixing Plant, AMP). Salah satu alasannya adalah penuaan (aging) dari campuran beraspal panas selama proses pencampuran di AMP, selama penyimpanan dan transportasi menuju lokasi pekerjaan. Selama proses tersebut, temperatur campuran beraspal panas akan lebih dingin karena adanya penurunan temperatur akibat adanya selang waktu dari proses pencampuran hingga tiba di lokasi pekerjaan. Aspal yang menyelimuti agregat akan bereaksi dengan oksigen di udara sehingga aspal akan menjadi lebih keras dan lebih rapuh. Beberapa fraksi volatil dari aspal juga akan didorong keluar pada temperatur tinggi selama pelaksanaan konstruksi. Penyerapan aspal ke agregat juga dapat terjadi selama bahan pengikat masih cukup cair untuk berpindah ke dalam poripori agregat. Proses penuaan atau proses reaksi oksidasi akan berlangsung pada tingkatan yang lebih tinggi di daerah yang beriklim panas atau selama bulan-bulan musim kemarau ketika temperatur lebih tinggi (AASHTO 2010). Tujuan penelitian ini adalah mengkaji pengaruh pengkondisian benda uji terhadap sifat volumetrik campuran beraspal panas lapis aus. Yang dimaksud dengan pengkondisian disini adalah pengkondisian untuk bahan campuran beraspal panas yang tidak dipadatkan untuk perancangan sifat volumetrik campuran sebagai simulasi penuaan aspal yang terjadi selama proses perancangan campuran. KAJIAN PUSTAKA Tipe campuran beraspal panas Laston sesuai Spesifikasi Umum Bina Marga
Jenis campuran beraspal panas Laston yang selanjutnya disebut AC yang ada pada Spesifikasi Umum Bina Marga (Indonesia 2010) terdiri atas tiga jenis campuran, AC Lapis Fondasi (AC-Base), AC Lapis Antara (AC
2
Binder Course, AC-BC) dan AC Lapis Aus (AC Wearing Course, AC-WC). Jenis campuran beraspal panas yang diteliti adalah campuran Laston Lapis Aus (ACWC) dengan gradasi halus dan Laston Lapis Aus (AC-WC) dengan gradasi kasar. Laston bergradasi kasar dapat digunakan pada daerah yang mengalami deformasi yang lebih tinggi dari biasanya, seperti pada daerah pegunungan, gerbang tol atau pada dekat persimpangan lampu lalu lintas. Gradasi agregat campuran dan ketentuan sifat campuran Laston Lapis Aus disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2. Tabel 1. Gradasi agregat campuran Laston Lapis Aus (AC-WC) Ukuran saringan ASTM 3/4” 1/2” 3/8” No.4 No.8 No.16 No.30 No.50 No.100 No.200
(mm) 19,0 12,5 9,50 4,75 2,36 1,18 0,600 0,300 0,150 0,075
*) Sumber: Indonesia (2010)
Spesifikasi* Laston (AC-WC) Halus Kasar 100 100 90 – 100 90 – 100 72 – 90 72 – 90 54 – 69 43 – 63 39,1 – 53 28 – 39,1 31,6 – 40 19 – 25,6 23,1 – 30 13 – 19,1 15,5 – 22 9 – 15,5 9 – 15 6 – 13 4 – 10 1 – 10
Tabel 2. Ketentuan sifat campuran Laston Lapis Aus (AC-WC) Sifat Campuran Kadar aspal efektif (%) Penyerapan aspal (%) Jumlah tumbukan per bidang Rongga dalam campuran (%) Rongga dalam agregat, VMA (%) Rongga terisis aspal (%) Stabilitas Marshall (kg) Pelelehan (mm) Marshall Quotient (kg/mm) Stabilitas Marshall Sisa (%) Rongga dlm campuran (%) pada kepadatan membal *) Sumber: Indonesia (2010)
Min. Maks. Min. Maks. Min. Min. Min. Min. Min. Min. Min.
Spesifikasi* Laston (AC-WC) Halus Kasar 5,1
15 65
1,2 75 3,0 5,0
800 3 250 90 2
4,3
14 63
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 31 No. 1 April 2014, 1 – 11
Pengkondisian campuran beraspal panas sesuai dengan AASHTO R 30-02 (AASHTO 2012)
Prosedur pengkondisian campuran beraspal panas dibagi menjadi tiga tipe, yaitu: 1. Pengkondisian untuk bahan campuran beraspal panas yang tidak dipadatkan untuk perancangan volumetrik campuran (mixture conditioning for volumetric design) (simulasi penuaan yang terjadi selama perancangan campuran). 2. Pengkondisian jangka pendek (short term conditioning) untuk bahan campuran beraspal panas yang tidak dipadatkan untuk pengujian sifat mekanis campuran (simulasi penuaan yang terjadi sebelum tahap pemadatan pada saat konstruksi, yaitu selama proses pencampuran di AMP, penyimpanan dan transportasi menuju lokasi pekerjaan). 3. Pengkondisian jangka panjang (long term conditioning) untuk bahan campuran beraspal panas yang tidak dipadatkan dan dipadatkan untuk pengujian sifat mekanis campuran (simulasi penuaan yang terjadi selama tujuh tahun sampai dengan sepuluh tahun umur layanan perkerasan jalan). Prosedur persiapan pengkondisian bahan campuran beraspal panas untuk penelitian ini hanya dijelaskan untuk satu tipe saja, yaitu prosedur pengkondisian untuk bahan campuran beraspal panas yang tidak dipadatkan untuk perancangan volumetrik campuran, tahapan pelaksanaannya adalah sebagai berikut: 1. Letakkan bahan campuran beraspal panas gembur dalam wadah/pan dan sebarkan sehingga tebal bahan campuran beraspal panas gembur antara 25 mm - 50 mm. 2. Masukkan bahan campuran beraspal panas dan wadahnya ke dalam oven selama 2 jam ± 5 menit pada temperatur yang setara dengan temperatur pemadatan ± 30C. 3. Aduk bahan campuran beraspal panas setelah 60 menit ± 5 menit untuk menjaga keseragaman bahan. 4. Setelah 2 jam ± 5 menit, keluarkan bahan campuran beraspal panas dari oven. Bahan campuran beraspal panas yang telah dikondisikan sekarang siap untuk diuji atau dipadatkan.
Kinerja Marshall campuran beraspal panas
Konsep dasar dari metode Marshall dalam campuran beraspal panas dikembangkan oleh Bruce Marshall bersama-sama dengan The Mississippi State Highway Department. Kemudian The U.S. Army Corp of Engineers, melanjutkan penelitian dengan intensif dan mempelajari hal-hal yang ada kaitannya dengan kinerja Marshall. Selanjutnya meningkatkan dan menambah kelengkapan pada prosedur pengujian Marshall, dan pada akhirnya mengembangkan kriteria rancangan campuran pengujiannya, kemudian distandarisasikan didalam American Society for Testing and Material (ASTM), ASTM D6987-06 (ASTM 2010) Dua parameter penting yang ditentukan dalam pengujian tersebut, seperti beban maksimum yang dapat dipikul benda uji sebelum hancur atau stabilitas Marshall dan deformasi permanen dari benda uji sebelum hancur, yang disebut pelelehan, serta turunan dari keduanya yang merupakan perbandingan antara stabilitas Marshall dengan pelelehan yang disebut dengan Marshall Quotient, yang merupakan nilai kekakuan berkembang (speudo stiffness), yang menunjukkan ketahanan campuran beraspal panas terhadap deformasi permanen (Shell Bitumen 1990). Kepadatan mutlak (refusal density)
Kepadatan mutlak adalah kepadatan tertinggi (maksimum) yang dicapai sehingga campuran tersebut praktis tidak dapat menjadi lebih padat lagi. Berdasarkan pedoman perencanaan campuran beraspal dengan pendekatan kepadatan mutlak (Indonesia 1999) disebutkan bahwa rongga dalam campuran setelah dilalui lalu lintas dalam beberapa tahun mencapai kurang dari 1% sehingga terjadi perubahan bentuk plastis. Untuk kondisi seperti tersebut di atas, maka metode Marshall dengan 2 x 75 tumbukan sudah tidak sesuai lagi. Untuk menambah kesempurnaan dalam prosedur perencanaan campuran maka ditentukan pengujian tambahan yaitu pemadatan ultimit pada benda uji sampat mencapai kepadatan mutlak (refusal density).
Pengaruh Pengkondisian Benda Uji Terhadap Sifat Volumetrik Campuran Beraspal Panas Lapis Aus (Dani Hamdani, Nono)
3
Metode Marshall masih dapat digunakan sebagai dasar untuk perencanaan secara volumetrik. Untuk mengendalikan kepadatan, maka diperkenalkan kriteria kadar rongga minimum dan maksimum dalam persyaratan campuran, terutama untuk campuran beraspal panas sebagai lapis permukaan. Kepadatan mutlak ini berguna untuk menjamin bahwa dengan pendekatan adanya pemadatan oleh lalu lintas setelah beberapa tahun umur rencana, lapis permukaan tidak akan mengalami perubahan bentuk plastis (plastic deformation). Bila pengujian ini diterapkan maka kinerja perkerasan jalan beraspal yang dicampur secara panas akan meningkat. Dachlan dan Sjahdanulirwan (2012) melakukan penelitian berdasarkan data laboratorium yang diambil dari sejumlah lokasi menunjukkan penerapan uji kepadatan membal yang direpresentasikan dengan rongga dalam campuran minimum 2,5% dapat menambah keandalan kinerja perkerasan jalan yang lebih mendekati perencanaan untuk kegiatan pekerjaan pembangunan dan pemeliharaan, terutama untuk lalu lintas berat dan temperatur tinggi di Indonesia. Tebal film aspal (asphalt film thickness)
Campuran beraspal panas yang memiliki tebal film aspal lebih tebal (kadar aspal yang lebih tinggi) secara efektif dapat mencegah campuran beraspal panas dari penuaan dan pengerasan. Campuran beraspal panas yang memiliki tebal film aspal lebih tebal akan membuat ketahanan (durability) untuk mempertahankan kualitas campuran beraspal lebih tinggi (Kandhal dan Chakraborty 1996). Campen, dkk (1959) meneliti pengaruh rongga, luas permukaan dan ketebalan film aspal terhadap ketahanan (durability) campuran beraspal panas dengan gradasi rapat (dense graded). Hal itu menunjukkan bahwa campuran beraspal panas yang memiliki tebal film aspal lebih tebal menghasilkan campuran yang fleksibel dan tahan lama, sedangkan campuran beraspal panas yang memiliki tebal film aspal lebih tipis akan membuat campuran beraspal panas lebih rapuh, kecenderungan retak
4
berlebihan, kinerja perkerasan menurun dan mengurangi umur pelayanan jalan. Kandhal dan Chakraborty (1996) juga melakukan beberapa penelitian untuk mengukur hubungan antara tebal film aspal dan karakteristik penuaan campuran aspal. Untuk campuran aspal dengan kadar rongga 8%, ketebalan film aspal dari 9 µm - 10 µm direkomendasikan oleh penulis, tebal film aspal di bawah nilai 9 µm penuaan dari campuran beraspal panas akan lebih cepat secara signifikan. Kandhal, dkk (1998) meninjau persyaratan rongga dalam campuran beraspal panas di Superpave dan menyarankan bahwa rata-rata ketebalan film aspal minimum 8 µm untuk digunakan sebagai pengganti persyaratan rongga dalam campuran minimum. HIPOTESIS Campuran beraspal panas yang mengalami pengkondisian di laboratorium akan mengalami penuaan dan penyerapan aspal yang lebih tinggi. Jadi agar sifat volumetrik benda uji yang dikondisikan tetap memenuhi persyaratan sesuai Spesifikasi Umum Bina Marga (Indonesia 2010), maka diperlukan kadar aspal optimum yang lebih besar dibandingkan dengan benda uji yang tidak dikondisikan. METODOLOGI Untuk mencapai tujuan penelitian, pada tahap awal dilakukan kajian pustaka untuk berbagai tipe pengkondisian bahan campuran beraspal panas yang digunakan di beberapa negara. Selanjutnya mengkaji spesifikasi campuran beraspal panas jenis Laston Lapis Aus, yang menggunakan gradasi halus dan gradasi kasar. Kegiatan yang dilakukan di laboratorium meliputi persiapan bahan dan peralatan pengujian, pengujian bahan dan pengujian campuran dengan bahan campuran beraspal panas yang dibuat dua tipe, yaitu telah dikondisikan selama 2 jam ± 5 menit pada
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 31 No. 1 April 2014, 1 – 11
temperatur yang setara dengan temperatur pemadatan ± 30C di dalam oven pemanas dan yang tidak dikondisikan/standar. Persiapan bahan mencakup penyediaan aspal dan agregat. Selanjutnya dilaksanakan pengujian karakteristik bahan aspal dan agregat, karakteristik volumetrik, dan karakteristik Marshall campuran beraspal panas, dimana prosedur perancangan campuran beraspal panas dilakukan pengujian tambahan yaitu pemadatan ultimit pada benda uji sampat mencapai kepadatan mutlak (refusal density). HASIL DAN ANALISIS Hasil pengujian bahan Bahan campuran beraspal panas Laston Lapis Aus dengan gradasi halus dan gradasi kasar yang akan dilakukan pengujian dibuat dua tipe, yaitu yang dikondisikan dan yang standar. Adapun sifat agregat yang digunakan memiliki sifat seperti disajikan pada Tabel 3 dan memenuhi persyaratan sesuai Spesifikasi Umum Bina Marga (Indonesia 2010). Jenis aspal yang digunakan adalah aspal pen 60. Sifat aspal tersebut memenuhi persyaratan sesuai Spesifikasi Umum yang berlaku (Indonesia 2010), yaitu seperti disajikan pada Tabel 4. Hasil pengujian campuran Dalam pembuatan campuran beraspal panas Laston Lapis Aus yang dikondisikan dan yang tidak dikondisikan (standar) dibuat dua gradasi, yaitu gradasi halus atas dan gradasi kasar. Data kedua tipe gradasi tersebut disajikan pada Gambar 1. Pembuatan benda uji campuran beraspal panas dilakukan dengan penumbuk Marshall
sebanyak 2x75 tumbukan. Pembuatan benda uji campuran beraspal panas dilakukan juga untuk pengujian kepadatan membal (refusal density). Adapun sifat campuran beraspal panas Laston Lapis Aus dengan dua tipe gradasi disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan hasil pengujian pada Tabel 5, campuran beraspal panas yang mengalami pengkondisian akan mengalami perubahan volumetrik campuran beraspal panas apabila dibandingkan dengan campuran beraspal panas yang tidak dikondisikan/standar, untuk campuran beraspal panas Laston Lapis Aus yang tidak dikondisikan/standar menghasilkan nilai stabilitas yang lebih kecil dari pada nilai stabilitas campuran beraspal panas yang dikondisikan. Pada perancangan campuran beraspal panas yang tidak dikondisikan/standar memerlukan kadar aspal optimum yang lebih kecil dibandingkan kadar aspal optimum pada campuran beraspal panas yang dikondisikan untuk gradasi halus dan gradasi kasar. Hal ini berlaku pula pada tebal film aspal campuran yang tidak dikondisikan/standar lebih kecil dari pada tebal film aspal pada campuran beraspal panas yang dikondisikan untuk gradasi halus dan gradasi kasar. Pada Tabel 6 terlihat nilai penetrasi aspal berasarkan sifat aspal setelah ekstraksi sesuai dengan ASTM D2172-11 (ASTM 2011) dengan cara pemulihan aspal (recovery) dari pelarutnya sesuai dengan ASTM D5404-12 (ASTM 2012) pada campuran AC-WC gradasi halus dan gradasi kasar yang dikondisikan lebih kecil dibandingkan nilai penetrasi aspal pada campuran AC-WC gradasi halus dan gradasi kasar yang tidak dikondisikan.
Pengaruh Pengkondisian Benda Uji Terhadap Sifat Volumetrik Campuran Beraspal Panas Lapis Aus (Dani Hamdani, Nono)
5
Tabel 3. Sifat agregat No
Jenis Pengujian
1. 2. 3.
Abrasi, % Setara pasir, % Berat jenis Bulk SSD Apparent 4. Penyerapan, % 5. Angularitas agregat halus, % 6. Angularitas agregat kasar, % 7. Kelekatan terhadap aspal, % 9. Partikel pipih dan lonjong, % 10. Pelapukan, % 11. Analisa saringan, % lolos 3/4" (19,1 mm) 1/2" (12,5 mm) 3/8" (9,5 mm) # 4 (4,76 mm) # 8 (2,36 mm) # 16 (1,18 mm) # 30 (0,60 mm) # 50 (0,30 mm) # 100 (0,149 mm) # 200 (0,075 mm) *) Sumber: Indonesia (2010)
Metode Pengujian SNI 2417:2008 SNI 03-4428-1997 SNI 03-1969-2008 & SNI 03-1970-2008 SNI 1969:2008 SNI 03-6877-2002 ASTM D 5821-01 SNI 2439:2011 ASTM D4791 SNI 03-3407-1994 SNI 03-1968-1990
Agregat kasar 17,5 -
Hasil Pengujian Agregat Agregat sedang halus 61,0
2,647 2,688 2,760 1,543 99,9/99,6 1,0 0,3
2,676 2,710 2,771 1,269 +95 0,4
100,0 57,2 16,9 6,4 3,6 1,9 1,3 1,0 0,7 0,5
100,0 99,6 81,5 2,4 1,1 0,8 0,7 0,7 0,6 0,5
Spesifikasi* Maks 40 Min 60
2,658 2,691 2,748 1,235 48,50 1,8
Maks 3 Min 45 Min 95/90 Min 95 Maks 10 Maks 12
100,0 99,3 79,1 54,0 36,5 23,7 14,1 9,9
-
Tabel 4. Sifat aspal Pen-60 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Jenis Pengujian
Penetrasi pada 25oC (0,1 mm) Titik lembek (oC) Indeks penetrasi Daktilitas pada 25oC, 100 g, 5 cm/menit Titik nyala (oC) Kelarutan dalam Trichlor Ethylen (%) Berat jenis aspal Pengujian Residu hasil TFOT: 7. Berat yang Hilang (%) 8. Penetrasi pada 25oC (%) 9. Indeks penetrasi 10. Titik lembek (oC) 11 Daktilitas pada 25oC (cm) *) Sumber: Indonesia (2010)
6
Metode Pengujian SNI 2456:2011 SNI 2434:2011 SNI 2432:2011 SNI 2433:2011 ASTM D2042 SNI 2441:2011 SNI 06-2440-1991 SNI 2456:2011 SNI 2434:2011 SNI 2432:2011
Hasil Pengujian Aspal Pen 60 66 49,9 -0,4949 >140 328 ≥99 1,036 0,0103 83,3 -0,5058 51,7 >140
Spesifikasi* 60-70 ≥48 ≥ ≥100 ≥232 ≥99 ≥1,0 ≤0,8 ≥54
≥50
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 31 No. 1 April 2014, 1 – 11
100 90
Prosen lolos (%)
80 70 60 50 40 30 20 10 0 0,01
0,10
1,00
10,00
100,00
Ukuran saringan (mm)
Gambar 1.
Grad.halus batas atas
Grad.halus batas bawah
Gradasi halus gabungan
Grad.kasar batas atas
Grad.kasar batas bawah
Gadasi kasar gabungan
Gradasi rencana agregat campuran beraspal panas jenis Laston Lapis Aus gradasi halus dan Laston Lapis Aus gradasi kasar
Tabel 5. Sifat campuran beraspal panas Laston Lapis Aus gradasi halus dan gradasi kasar Hasil Pengujian Campuran Laston Lapis Aus (AC-WC) Gradasi Halus Gradasi Kasar
Uraian Kadar aspal optimum, % Kepadatan, ton/m3 Rongga dlm agregat VMA, % Rongga terisi aspal VFB, % Rongga dalam campuran, % Stabilitas, kg Pelelehan, mm Marshall Quotient (kg/mm) Rongga dalam campuran (%) pada kepadatan membal Tebal film aspal*, µm
Spesifikasi Laston Lapis Aus (Bina Marga, 2010 Revisi 2)* Dikondisikan 6,19 2,330 17,57 Min. 15 74,90 Min. 65 4,40 3,0 – 5,0 1110,9 Min. 800 4,20 Min. 3,0 256,6 Min. 250
Standar 5,93 2,350 17,25 75,54 4,27 975,5 3,57 270,6
Dikondisikan 6,08 2,352 17,27 77,29 3,86 1377,8 3,92 357,2
Standar 5,97 2,345 16,80 76,03 4,04 1089,8 3,56 313,7
2,64
3,18
2,69
2,72
Min. 2
8,39
8,62
9,91
10,32
-
*) Sumber: Hasil analisis perhitungan tidak termasuk dalam Spesifikasi Umum Bina Marga (Indonesia 2010)
Tabel 6. Sifat aspal setelah ekstraksi dengan cara pemulihan aspal (recovery) dari pelarutnya
Uraian Penetrasi pada 25 C (0,1 mm) Titik lembek (oC) Daktilitas pada 25oC, 100 g, 5 cm/menit (cm) o
Hasil Pengujian Ekstraksi Campuran Laston Lapis Aus (AC-WC) Gradasi Halus Standar 57 49,9 >140
Dikondisikan 37 54,0 >140
Pengaruh Pengkondisian Benda Uji Terhadap Sifat Volumetrik Campuran Beraspal Panas Lapis Aus (Dani Hamdani, Nono)
Gradasi Kasar Standar 55 51,5 >140
Dikondisikan 36 56,2 >140
7
8
Kadar Aspal Optimum (%)
6,4 6,2 6,0 5,8 5,6 5,4 5,2 5,0
Standar Dikondisikan AC-WC Gradasi halus
Standar Dikondisikan AC-WC Gradasi kasar
Gambar 2. Kadar aspal optimum (%) 11,0
10,5 Tebal film aspal (µm)
Campuran beraspal panas Laston Lapis Aus dibuat dengan dua tipe pengkondisian, yaitu yang dikondisikan dan yang tidak dikondisikan/standar serta dengan dua tipe gradasi, yaitu gradasi halus dan gradasi kasar yang menggunakan bahan pengikat aspal pen 60. Selanjutnya campuran beraspal dilakukan pengujian di laboratorium dan hasil pengujian yang ditunjukkan pada Tabel 5 memenuhi persyaratan sesuai yang ditetapkan berdasarkan Spesifikasi Umum Bina Marga (Indonesia 2010). Apabila membandingkan antara sifat campuran beraspal panas Laston Lapis Aus gradasi halus dan gradasi kasar dengan dua tipe pengkondisian dengan persyaratan Spesifikasi Lapis Aus Laston Bina Marga (Indonesia 2010), maka seperti ditunjukkan pada Tabel 5 dan Tabel 6 campuran beraspal panas yang mengalami pengkondisian akan mengalami penuaan dan penyerapan aspal yang lebih tinggi dibandingkan dengan campuran beraspal panas yang tidak dikondisikan. Jadi agar sifat volumetrik benda uji yang dikondisikan tetap memenuhi persyaratan sesuai Spesifikasi Umum Bina Marga (Indonesia 2010), maka diperlukan kadar aspal optimum yang lebih besar untuk campuran beraspal panas yang dikondisikan sebesar 6,08% untuk gradasi halus dan 6,19% pada gradasi kasar dibandingkan dengan benda uji yang tidak dikondisikan memerlukan kadar aspal optimum sebesar 5,93% untuk gradasi halus dan 5,97% pada gradasi kasar seperti ditunjukkan pada Gambar 2. Nilai kadar aspal optimum yang lebih besar untuk campuran beraspal panas yang dikondisikan menunjukkan bahwa penyerapan aspal untuk campuran beraspal panas yang dikondisikan lebih tinggi dibandingkan dengan campuran beraspal panas yang tidak dikondisikan. Hal ini berlaku pula pada tebal film aspal campuran yang dikondisikan sebesar 8,62 µm untuk gradasi halus dan 10,32 µm pada gradasi kasar. Tebal film aspal campuran ini lebih besar dari pada tebal film aspal pada campuran beraspal panas yang tidak dikondisikan sebesar
8,39 µm untuk gradasi halus dan 9,91 µm pada gradasi kasar seperti ditunjukkan pada Gambar 3.
10,0 9,5 9,0
8,5 8,0 7,5
7,0
Standar Dikondisikan AC-WC Gradasi halus
Standar Dikondisikan AC-WC Gradasi kasar
Gambar 3. Tebal film aspal (µm)
Campuran beraspal panas Laston Lapis Aus dengan gradasi halus dan gradasi kasar yang dikondisikan memiliki kekuatan sangat baik, yaitu ditunjukkan dengan nilai stabilitas sebesar 1377,8 kg untuk gradasi halus dan 1110,9 kg pada gradasi kasar yang lebih besar dari campuran beraspal panas yang tidak dikondisikan/standar sebesar 975,5 kg untuk gradasi halus dan 1089,8 kg pada gradasi kasar seperti ditunjukkan pada Gambar 4. 1.200 1.150 Stabilitas (Kg)
PEMBAHASAN
1.100 1.050 1.000 950 900
Standar Dikondisikan AC-WC Gradasi halus
Standar Dikondisikan AC-WC Gradasi kasar
Gambar 4. Stabilitas (kg)
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 31 No. 1 April 2014, 1 – 11
Penetrasi pada 25o C (0,1 mm) (Recovery hasil ekstraksi)
60 55 50 45
60 58 56 54
52 50
40
AC-WC Gradasi halus dikondisikan
AC-WC Gradasi kasar dikondisikan
Gambar 6. Prosentase penetrasi pada 25oC
35 30
gradasi halus dan kasar yang dikondisikan, mengalami penuaan/pengerasan aspal yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak dikondisikan dimana hal ini akan mengakibatkan workability campuran beraspal semakin rendah. Apabila persyaratan prosentase penetrasi pada 25oC ≥ 54% sesuai Spesifikasi Umum Bina Marga (Indonesia 2010) dijadikan persyaratan, maka prosentase penetrasi pada 25oC untuk aspal pada campuran beraspal panas AC-WC gradasi halus yang dikondisikan adalah 56% dan prosentase penetrasi pada 25oC untuk aspal pada campuran beraspal panas AC-WC gradasi kasar yang dikondisikan adalah 55% masih memenuhi persyaratan Spesifikasi Umum Bina Marga (Indonesia 2010) seperti ditunjukkan pada Gambar 6. Tingginya tingkat penuaan aspal pada proses perancangan campuran beraspal, dan berdasarkan nilai prosentase penetrasi pada 25oC untuk aspal pada campuran beraspal panas AC-WC gradasi halus dan kasar yang dikondisikan sudah mendekati batas minimum persyaratan prosentase penetrasi pada 25oC ≥ 54%, maka dapat diindikasikan durabilitas aspal setelah terhampar/tergelar di lapangan akan rendah. Prosentase penetrasi pada 25o C
Kinerja aspal sangat dipengaruhi oleh sifat aspal tersebut setelah digunakan sebagai bahan pengikat dalam campuran dan setelah dihampar di lapangan. Hal ini disebabkan karena sifat-sifat aspal akan berubah secara signifikan akibat oksidasi/penuaan yang terjadi baik pada saat pencampuran, pengangkutan dan penghamparan campuran beraspal panas di lapangan. Perubahan sifat ini akan menyebabkan aspal menjadi keras dan getas atau dengan kata lain aspal telah mengalami penuaan. Penuaan aspal yang menyebabkan aspal menjadi keras dan getas disebabkan oleh menguapnya fraksi ringan dalam aspal dan berubahnya fraksi cair (maltens) menjadi fraksi padat (asphaltenes) hal ini terlihat pada Tabel 6 sifat aspal setelah ekstraksi sesuai dengan ASTM D2172-11 dengan cara pemulihan aspal (recovery) dari pelarutnya sesuai dengan ASTM D5404-12 (ASTM 2012). Pada Tabel 6 terlihat nilai penetrasi aspal pada campuran AC-WC gradasi halus yang dikondisikan dengan nilai 37 dmm lebih kecil dibandingkan nilai penetrasi aspal pada campuran AC-WC gradasi halus yang tidak dikondisikan dengan nilai 57 dmm. Begitu juga pada nilai penetrasi aspal campuran AC-WC gradasi kasar yang dikondisikan dengan nilai 36 dmm lebih kecil dibandingkan nilai penetrasi aspal pada campuran AC-WC gradasi kasar yang tidak dikondisikan dengan nilai 55 dmm seperti ditunjukkan pada Gambar 5.
Standar Dikondisikan AC-WC Gradasi halus
Standar Dikondisikan AC-WC Gradasi kasar
Gambar 5. Penetrasi pada 25 C (0,1 mm) (Recovery hasil ekstraksi) o
Nilai penetrasi di atas menunjukkan bahwa penuaan aspal setelah digunakan sebagai bahan pengikat dalam campuran beraspal panas, dan setelah dipadatkan untuk campuran AC-WC
Pada penelitian ini ditunjukkan alasan digunakannya cara pengkondisian adalah dengan ditunda semakin lama (dikondisikan) campuran beraspal panas dalam kondisi gembur (loose mixture) sebelum dipadatkan meskipun temperatur masih memenuhi temperatur pemadatan akan tetapi berdasarkan nilai penetrasi pada Tabel 6 maka nilai penetrasi aspal
Pengaruh Pengkondisian Benda Uji Terhadap Sifat Volumetrik Campuran Beraspal Panas Lapis Aus (Dani Hamdani, Nono)
9
pada campuran beraspal panas yang dikondisikan akan semakin turun/mengecil dan semakin keras dimana hal ini akan mengakibatkan workability campuran beraspal semakin rendah. Berdasarkan Tabel 5 dengan ditunda semakin lama (dikondisikan) campuran beraspal panas dalam kondisi gembur (loose mixture) maka sifat volumetrik dan campuran beraspal panas setelah dipadatkan akan mengalami perubahan. Berdasarkan data diatas untuk tipe campuran beraspal panas yang dikondisikan akan mengalami proses penuaan (aging) yang lebih tinggi daripada tipe campuran beraspal panas yang tidak dikondisikan (standar), untuk mengantisipasi penuaan yang lebih tinggi pada campuran beraspal panas yang dikondisikan memerlukan kadar aspal optimum dan tebal film aspal yang lebih tinggi daripada campuran beraspal panas standar. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil kajian di laboratorium maka dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu sebagai berikut: 1. Campuran beraspal panas yang dikondisikan akan mengalami perubahan volumetrik campuran salah satunya adalah kadar aspal optimum yang lebih besar dibandingkan dengan campuran beraspal panas yang tidak dikondisikan, dan sifat volumetrik benda uji campuran beraspal panas yang dikondisikan dan benda uji yang tidak dikondisikan tetap memenuhi persyaratan sesuai Spesifikasi Umum Bina Marga (Indonesia 2010). 2. Campuran beraspal panas Laston Lapis Aus dengan gradasi halus dan gradasi kasar yang dikondisikan memiliki kekuatan sangat baik, yaitu ditunjukkan dengan nilai stabilitas yang lebih besar dari campuran beraspal panas yang tidak dikondisikan (standar), dan tetap memenuhi persyaratan Spesifikasi Lapis Aus Laston dalam Spesifikasi Umum Bina Marga (Indonesia 2010). 3. Untuk campuran beraspal panas Laston Lapis Aus dengan gradasi halus dan gradasi kasar
10
yang dikondisikan mengalami penuaan yang lebih tinggi, hal ini terlihat pada nilai penetrasi aspal pada campuran AC-WC gradasi halus dan gradasi kasar yang dikondisikan lebih kecil dibandingkan nilai penetrasi aspal pada campuran AC-WC gradasi halus dan gradasi kasar yang tidak dikondisikan dimana hal ini akan mengakibatkan workability campuran beraspal semakin rendah. Untuk mengatasi permasalahan penuaan yang lebih tinggi, campuran beraspal panas memerlukan kadar aspal optimum dan tebal film aspal yang lebih tinggi dibandingkan dengan campuran beraspal panas yang tidak dikondisikan. Saran
Sesuai AASHTO R30-02 (2010) (AASHTO 2012) untuk perancangan campuran beraspal panas, yaitu dalam menentukan volumetrik campuran beraspal panas disarankan dengan pengkondisian. Namun demikian untuk pelaksanaan di lapangan sebaiknya rentang waktu antara proses pencampuran dan awal pelaksanaan pemadatan dilakukan sesegera mungkin. DAFTAR PUSTAKA American Association of State Highway Transportation Officials Standard. 2012. Mixture Conditioning of Hot Mix Asphalt (HMA). AASHTO R 30-02 (2010). Washington, DC: AASHTO. American Society for Testing and Material. 2010. Standard Test Method For Resistance Of Plastic Flow Of Bituminous Mixtures Using Marshall Apparatus. ASTM D6927-06. 2010 Annual Book of ASTM Standards, section 04, volume 04.03. West Conshohocken : ASTM International. American Society for Testing and Material. 2011. Standard Test Methods for Quantitative Extraction of Bitumen From Bituminous Paving Mixture. ASTM D2172-2011. 2011 Annual Book of ASTM Standards, section 04, volume 04.03. West Conshohocken, : ASTM International.
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 31 No. 1 April 2014, 1 – 11
---------------. 2012. Standard Practice for Recovery of Asphalt from Solution Using the Rotary Evaporator. ASTM D5404-2012. 2012 Annual Book of ASTM Standards, section 04, volume 04.03. West Conshohocken: ASTM International. Campen, W.H., Smith, J.R., Erichson, L.G. and Mertz, L.R. 1959. The relationships between voids, surface area, film thickness and stability in bituminous paving mixtures. Proceedings of the Association of Asphalt Paving Technologists 28. Minneapolis: Association of Asphalt Paving Technologist, pp. 149-178. Dachlan A.T, Sjahdanulirwan M. 2012. “Kajian Pengaruh Modulus Resilien Dan Kepadatan Membal, Terhadap Kekuatan Dan Keawetan Perkerasan Beraspal Panas”. Jurnal JalanJembatan, Vol 29 No.1, hal 34-46.
Indonesia. Kementerian Pekerjaan Umum. Direktorat Jenderal Bina Marga. 1999. Pedoman Perencanaan Campuran Beraspal dengan Pendekatan Kepadatan Mutlak. No.025/T/BM/1999. Jakarta: Ditjen Bina Marga. -------------- . 2010. Spesifikasi Umum Bina Marga Edisi 2010 – Revisi 2. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina. Kandhal, P.S. & Chakraborty, S. 1996. Effect of asphalt film thickness on short - and long term aging of asphalt paving mixtures. Washington, D.C: Transportation Research Board ---------------. Foo, K.Y. & Mallick, R.B. 1998. A critical review of VMA requirements in superpave, Transportation Research Record. 1609. Washington, D.C: Transportation Research Board. Shell Bitumen. 1990. Shell Bitumen Handbook. London: Shell Bitumen.
Pengaruh Pengkondisian Benda Uji Terhadap Sifat Volumetrik Campuran Beraspal Panas Lapis Aus (Dani Hamdani, Nono)
11
EKSTRAKSI ASBUTON DENGAN PELARUT BERBASIS BAHAN ORGANIK DAN MEDIA AIR (ASBUTON EXTRACTION USING ORGANIC BASED SOLVENT AND WATER MEDIA) Kurniadji Pusat Litbang Jalan dan Jembatan
Jl.A.H.Nasution 264, Bandung 40294 e-mail:
[email protected]
Diterima: 10 Februari 2014; direvisi: 20 Maret 2014; disetujui: 04 April 2014
ABSTRAK Potensi aspal batu buton (Asbuton) yang melimpah, merupakan aspal alam yang terdapat di Pulau Buton Provinsi Sulawesi Tenggara, belum maksimal dimanfaatkan. Meskipun telah diproduksi Asbuton yang bisa langsung digunakan seperti Asbuton butir, Asbuton pra campur dan Asbuton murni hasil ekstraksi, namun untuk memperoleh Asbuton murni belum ada teknologi yang optimal, oleh karena itu dilakukan kajian teknologi ekstraksi Asbuton yang paling baik. Untuk kajian dipilih teknologi ekstraksi melarutkan bitumen Asbuton dengan pelarut Trichlor Ethylene (TCE), Tetra Hidro Furan (THF), etil asetat, aseton, furfural, toluen, limonene, bromopropan dan terpentin. Untuk kajian selanjutnya dipilih terpentin sebagai pelarut potensial yang ditambah surfaktan dengan teknologi destilasi menggunakan media air. Dengan tujuan untuk mensubstitusi aspal minyak secara total, Asbuton murni yang diperoleh adalah setara dengan aspal minyak pen 60 dengan penetrasi 64 dmm, titik lembek 49,6oC dan daktilitas >140 cm, selanjutnya pada campuran beraspal panas dengan Asbuton murni menghasilkan stabilitas 1388 kg dan kelelehan 3,98 mm; stabilitas sisa: 95,4% dibandingkan menggunakan aspal minyak pen 60 dengan stabilitas 1238 kg; kelelehan 4,33 mm; stabilitas sisa 91,8%. Dari uji modulus memperlihatkan campuran beraspal dengan Asbuton murni mempunyai kecederungan lebih tahan panas, pada temperatur 45oC diperoleh modulus 612 MPa, sedangkan campuran beraspal panas dengan aspal minyak pen 60 adalah 324 MPa. Dari uji ketahanan terhadap deformasi menunjukkan campuran beraspal panas dengan Asbuton murni lebih tahan terhadap deformasi dengan nilai stabilitas dinamis 1703 lintasan/mm dan campuran beraspal dengan aspal minyak pen 60 adalah 1016 lintasan/mm, untuk uji fatik menunjukkan nilai ketahanan fatik yang relatif sama dengan aspal minyak. Data ini menunjukkan, meskipun klasifikasi Asbuton murni sama dengan klasifikasi aspal minyak pen 60, namun setelah dicampur dengan agregat pada campuran beraspal panas, Asbuton murni mempunyai kecenderungan lebih baik dari pada aspal minyak. Kata kunci: Asbuton, ekstraksi, bahan pelarut, Asbuton murni, aspal minyak
ABSTRACT Natural asphalt from Buton Island called asbuton has not been fully utilized. Although it has been manufactured that can be directly used such as granular, preblended and full extracted Asbuton, but to obtain pure Asbuton, ther is no appropriate technology, therefore the best technology of asbuton extraction is reviewed. To study selected extraction technology dissolves the solvent Trichlor Ethylene (TCE), Tetra Hidro Furan (THF), etil asetat, aseton, furfural, limonene, toluene, bromopropan and turpentine. Selected for further study potential turpentine as a solvent, with additional surfactants used with distilled technology water media. With the aim to substitute conventional asphalt in total, show pure Asbuton obtained is equivalent to conventional asphalt cement pen grade 60, penetration: 64 dmm, softening point 49.6°C and ductility > 140 cm, then in a mixture of hot asphalt, pure Asbuton to produce the value of stability in 1388 kg and flow 3.98 mm; stability of the residual value of 95.4% compared with petroleum asphalt stability: 1238 kg; flow: 4.33 mm; stability of the residual
12
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 31 No. 1 April 2014, 12 – 23
value of 91.8% of the test bituminous mixture with pure Asbuton modulus showed a tendency to have more heat resistant, at a temperature of 45oC obtain modulus 612 MPa, while the asphalt mixture with 60 bitumen pen grade is 324 MPa. Resistance to deformation of the test showed the hot mixed asphalt with pure Asbuton is more resistant to deformation by dynamic stability of the value of 1703 passing/ mm and 1016 passing/ mm for hot mixed with conventional asphalt cement pen grade 60, to show the fatikue test fatikue resistance values are relatively similar to conventional asphalt cement pen grade 60. With these data show, although Classification bitumen Asbuton similar with conventional asphalt cement pen grade 60, but once mixed with the aggregate in hot mix asphalt, pure Asbuton have a tendency better than conventional asphalt cement pen grade 60. Keywords: Asbuton, extraction, solvents, pure Asbuton, 60 bitumen pen grade
PENDAHULUAN Di Indonesia umumnya jenis perkerasan ada dua macam yaitu perkerasan lentur dan perkerasan kaku, namun perkerasan lentur masih merupakan pilihan yang ekonomis untuk pembangunan dan pemeliharaan jalan (Harmein 2010) Teknologi Asbuton saat ini yang telah berkembang adalah teknologi Asbuton butir dan modifikasi aspal keras dengan Asbuton butir semi ekstraksi. Selain kedua tipe tersebut, terdapat alternatif teknologi lain yang lebih menjanjikan yaitu teknologi ekstraksi Asbuton secara penuh (full extraction) sehingga diperoleh bitumen Asbuton atau biasa disebut bitumen murni, dimana Asbuton jenis ini dapat langsung digunakan sebagai bahan untuk campuran beraspal, apakah sebagai aditif untuk meningkatkan mutu aspal minyak atau sebagai pengganti aspal minyak secara penuh. Untuk memperoleh bitumen Asbuton dengan cara ekstraksi penuh (full extraction) telah dicoba digunakan bahan pelarut seperti Trichlor Ethyline (TCE), premium, benzene, kerosin, naphta, toluen atau pelarut lainnya seperti yang telah dilakukan oleh beberapa perusahaan misalnya Alberta, PT. Timah, PT. Buton Asphalt Indonesia dan PT. Wijaya Karya, namun diperoleh hasil yang tidak begitu menggembirakan terutama dari segi karakteristik bitumen (Asbuton murni) yang dihasilkan serta biaya operasional yang terlalu tinggi, sehingga harga jual Asbuton murni tidak kompetitif dengan harga aspal minyak. Untuk menanggulangi hal tersebut dicoba digunakan bahan pelarut non standar yaitu
Ekstraksi Asbuton dengan Pelarut Berbasis Bahan Organik dan Media Air (Kurniadji)
terpentin, untuk meningkatkan daya larut ditambah surfaktan dengan teknologi air. KAJIAN PUSTAKA Deposit Asbuton Aspal alam yang tersedia di Pulau Buton mempunyai cadangan yang sangat besar, dengan kadar aspal bervariasi antara 10% dan 50% dengan lokasi tersebar dari teluk Sampolawa s/d teluk Lawele sepanjang 75 km dengan lebar 27 km ditambah wilayah Enreke (kuli susu) (Dairi 1992) yang termasuk wilayah kabupaten Buton Utara, dengan jumlah deposit seperti diperlihatkan pada Tabel 1. Tabel 1. Perkiraan lokasi dan deposit Asbuton No. 1. 2. 3. 4. 5. 6, 7.
Nama daerah Kabungka Winto Winil Siantopina Olala Enreko Lawele
Kadar bitumen,% 10 – 20 10 – 20 10 – 20 10 – 20 10 – 20 10 – 20 20 - 40
Deposit (juta ton) 60 3,20 0,60 181,25 47,089 174,725 210
Sumber: KPN Bhumi Dharma, Bidang wilayah pertambangan dan energi propinsi Sultra (1997)
Dari sekian banyak lokasi deposit Asbuton, baru lokasi penambangan Kabungka saja yang telah ditambang dan dimanfaatkan, daerah lokasi penambangan lainnya seperti daerah Lawele, baru dalam tahap eksplorasi dan sedikit pemanfaatan. Sejak tahun dua ribuan, barulah deposit Asbuton dari Lawele ditambang
13
dengan cara penambangan terbuka, seperti diilustrasikan pada Gambar 1.
Tabel 3. Hasil uji gradasi mineral Asbuton Ukuran Saringan inci
mm
No.8 No.30 No.50 No.100 No.200
2,38 0,595 0,297 0,148 0,074
Lolos saringan (%) Asbuton dari Asbuton Kabungka dari Lawele 100 100 100 99,1 100 89,1 95,6 49,3 4,5 32,2
Tabel 4. Unsur kimia mineral Asbuton Kabungka dan Lawele Gambar 1. Penambangan Asbuton secara terbuka
Karakteristik Asbuton Seperti telah diketahui, dalam Asbuton terdapat dua jenis unsur utama, yaitu bitumen dan mineral. Di dalam pemanfaatannya untuk pekerjaan peraspalan, kedua jenis unsur tersebut akan sangat dominan mempengaruhi kinerja campuran beraspal. Hasil pengujian fisik dan analisis kimia Asbuton hasil ekstraksi Asbuton, dari Kabungka dan Lawele diperlihatkan pada Tabel 2 sampai Tabel 5. Tabel 2. Hasil uji bitumen Asbuton Kabungka dan Lawele
Jenis pengujian Kadar bitumen,% Penetrasi, 25oC,100 gr, 5 detik,0,1 mm Titik lembek, oC Daktilitas, 25oC, 5cm/menit, cm Kelarutan dalam C2HCL3, % Titik Nyala, oC Berat Jenis Penurunan berat (TFOT), 163oC, 5 jam, %
Hasil Uji Asbuton Asbuton dari dari Kabungka Lawele 20 30,08 4 36 101
59
< 140
>140
1,046 -
99,6 198 1,037 0,31
Penetrasi setelah TFOT, % asli
-
94
Titik Lembek setelah TFOT, oC
-
62
Daktilitas setelah TFOT, cm
-
>140
14
Hasil uji kimia mineral Senyawa
Asbuton dari kabungka
Asbuton dari Lawele
CaCO3
86,66
72,90
MgCO3
1,43
1,28
CaSO4
1,11
1,94
CaS
0,36
0,52
H2O
0,99
2,94
SiO2
5,64
17,06
Al2O3 + Fe2O3
1,52
2,31
Residu
0,96
1,05
Sumber: Kusnianti N. (2002)
Tabel 5. Unsur kimia bitumen Kabungka dan Lawele
Asbuton
dari
Hasil Uji Asbuton Dari Kabungka
Asbuton dari Lawele
Nitrogen (N),%
29,04
30,08
Acidafins (A1), %
9,33
6,60
Acidafins (A2), %
12,98
8,43
Parafin (P), %
11,23
8,86
Parameter Maltene
1,50
2,06
Nitrogen/Parafin, N/P
2,41
3,28
Kandungan Asphaltene, %
39,45
46,92
Jenis pengujian
Sumber: Kusnianti N. (2002)
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 31 No. 1 April 2014, 12 – 23
Dilihat dari komposisi kimia, bitumen Asbuton dari kedua daerah deposit memiliki senyawa Nitrogen base yang tinggi dan parameter malten baik. Hal ini mengindikasikan Asbuton memiliki pelekatan yang baik dengan agregat dan keawetan yang cukup. Namun dilihat dari karakteristik lainnya Asbuton dari deposit Lawele mempunyai sifat aspal yang lebih lunak dibandingkan dengan Asbuton dari deposit Kabungka (Yamin, A. 2006). Teknologi ekstraksi Secara garis besar pekerjaan ekstraksi dapat didifinisikan sebagai pekerjaan pemisahan suatu zat dari campurannya dengan pembagian sebuah zat terlarut antara dua pelarut yang tidak dapat tercampur untuk mengambil zat tersebut, namun demikian teknologi ekstraksi dapat juga dilakukan tanpa bahan pelarut terlarut atau juga dengan cara tekanan, namun dari beberapa sumber hasilnya tidak maksimal. Terdapat beberapa metoda untuk pemisahan aspal dari mineralnya, Hastings (1982), memfokuskan penggunaan kombinasi pelarut dan air panas untuk mengekstraksi pasir beraspal (tar sand). Ringkasan langkah-langkah ekstraksi yang dilakukannya meliputi metode dengan peralatan untuk mengekstraksi pasir beraspal (tar sand) memanfaatkan ruang ekstraksi tertutup bertekanan yang interkoneksi dengan ruang dimana pasir beraspal melawan arus aliran pelarut yang disemprotkan menggunakan nozel sehingga menjadi bubur pasir beraspal, langkah ini dilakukan sampai tiga kali sambil dicampur di ruangan bertekanan. Pasir beraspal yang telah disiapkan di ruang ekstraksi dan telah terjadi pengeluaran sebagian aspalnya, dengan menggunakan ban berjalan dalirkan ke ruang selanjutnya, sampai semua aspal dipisahkan dari pasir, kemudian sisa pelarut yang terperangkap dalam pasir dialirkan ke ruang terakhir dimana pasir dicuci dengan air panas untuk memisahkan pasir murni dari aspal dan pelarut. Selanjutnya Michel, David (1983) membuat metode ekstraksi pasir beraspal (tar sand) dengan pelarut. Ringkasan langkahlangkah ekstraksi yang dilakukannya meliputi:
Ekstraksi Asbuton dengan Pelarut Berbasis Bahan Organik dan Media Air (Kurniadji)
1. Pemasangan alat unit ekstraksi dipertahankan dalam posisi tegak (vertikal). 2. Menyediakan fase gas secara substansial terus menerus yang dihubungkan dengan bagian bawah alat unit ekstraksi. 3. Mempertahankan fase cair secara substansial terus menerus yang terdiri atas vaporizable pelarut cair primer dan satu pelarut cair sekunder yang dihubungkan dengan bagian bawah dan bagian atas unit ekstraksi pada fase gas. Fase cair dan fasa gas dibatasi sebuah pembatas pada arah vertikal. 4. Pelarut primer cair dialirkan ke bagian tengah dari fase cair. 5. Kemudian pelarut cair sekunder dialirkan ke fase cair di atas permukaan cairan pelarut primer. 6. Pelarut primer dan sekunder melalui fase cair, melarutkan aspal dari pasir sehingga berbentuk fase cair. 7. Mencegah fase cair mengalir melalui bagian bawah unit ekstraksi dengan mempertahankan fase gas pada tekanan yang cukup untuk mendukung fase cair di atasnya dan menguap untuk selanjutnya bahan berupa padatan terkumpul di bagian bawah unit alat ekstraksi. 8. Selanjutnya keluarkan padatan dari bagian bawah alat ekstraksi. Jenis-jenis bahan pelarut yang digunakan Kecuali bahan yang sukar diperoleh di pasaran, seperti furfural, bromopropan dan limonene, jenis bahan pelarut yang digunakan untuk melarutkan bitumen dalam Asbuton dengan proses ekstraksi adalah seperti diperlihatkan pada Tabel 6. Sebagian dari bahan pelarut pada Tabel 6. merupakan bahan yang bersumber dari bahan organik yang selama ini tidak umum digunakan sebagai bahan pelarut bitumen dan sebagai pembanding digunakan bahan yang sudah baku digunakan yaitu Trichlor Ethylene (TCE). Bahan pelarut ini dibedakan dari titik didih dan indeks kelarutannya, makin tinggi indeks kelarutannya, diprediksi akan makin tinggi daya larutnya, makin rendah titik didihnya,
15
Tabel 6. Jenis-jenis bahan pelarut bitumen yang digunakan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Jenis bahan pelarut Etil Asetat Aseton Furfural Tetra Hidro Furan (THF) Toluen Terpentin Bromopropan Trichlor Ethylene (TCE) Limonene
Titik didih oC *)
Indeks kelarutan *)
77 56 162 66 111 150-177 71 74 177
18,6 20,5 22,9 20,2 18,2 16,6 19,8 -
keterangan
Susah diperoleh
Bahan organik Susah diperoleh Pelarut standar/baku Bahan organik
*) Sumber: Didin (2008)
diprediksi makin rendah temperatur yang dibutuhkan untuk proses pemulihan (recovery). Surfaktan Surfaktan adalah bahan yang menggabungkan istilah "permukaan agen aktif" (surface active agent) berupa senyawa spesies kimia yang bertindak sebagai agen pembasahan untuk menurunkan tegangan permukaan (atau tegangan antar muka) antara dua cairan atau antara cair dan padat. Surfaktan dapat bertindak sebagai deterjen, membasahi agen, emulsifier, agen berbusa, dan dispersan (Helmenstine 2013). Disamping itu surfaktan dapat meningkatkan emulsifikasi hidrokarbon, memiliki potensi untuk melarutkan kontaminan hidrokarbon, sehingga cocok untuk melarutkan bitumen Asbuton, karena bitumen merupakan hidrokarbon. HIPOTESIS Teknologi ekstraksi menggunakan bahan pelarut terpentin yang ditambah surfaktan dengan media air dapat menghasilkan bitumen Asbuton yang maksimal.
pelarut berbasis organik dan teknologi ekstraksi, selanjutnya dilakukan kajian eksperimental di laboratorium untuk memilih bahan pelarut potensial. Menggunakan bahan pelarut potensial dilanjutkan menggunakan model alat ekstraksi untuk memperoleh bitumen hasil ekstraksi yang lebih banyak, sehingga dapat digunakan untuk uji Marshall, uji ketahanan terhadap deformasi, fatik dan modulus dengan variasi temperatur. Hasil uji campuran beraspal menggunakan Asbuton murni dibandingkan dengan campuran beraspal yang menggunakan aspal minyak pen 60. Hasilnya dimonitor dan dievaluasi untuk memperoleh kesimpulan. HASIL DAN ANALISIS Pemilihan jenis bahan pelarut Langkah pertama kajian adalah melakukan pemisahan bitumen dari mineral Asbuton butir dengan proses ekstraksi pada temperatur dengan berbagai jenis bahan pelarut, hasil yang diperoleh adalah seperti diperlihatkan pada Tabel 7 serta Gambar 2.
METODOLOGI Metodologi kajian dimulai dengan kajian literatur yang di arahkan untuk mencari bahan
16
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 31 No. 1 April 2014, 12 – 23
No 1 2 3 4 5 6
Jenis bahan pelarut Etil Asetat Aseton Tetra Hydro Furan (THF) Toluen Terpentin Trichlor Ethylen (TCE)
% Bitumen Asbuton hasil ekstraksi 11,5 5,4 23,88 20,50 10,6 20,0
Gambar 2 menunjukkan terdapat beberapa jenis bahan pelarut yang efektif melarutkan bitumen Asbuton dengan cukup signifikan yang ditunjukkan dengan persentase bitumen Asbuton yang diperoleh relatif tinggi dibandingkan persentase bitumen hasil proses ekstraksi dengan jenis pelarut lainnya, seperti tampak bahan pelarut THF memberikan nilai kadar bitumen yang paling tinggi dibandingkan dengan bahan pelarut lainnya, terutama terhadap TCE yang selama ini digunakan sebagai bahan pelarut standar. kadar Bitumen bitumen Asbuton asbuton (%) (%) Kadar
30 30 25 25 20 20
15 15 10 10 55 00
Etil Asetat Etil Asetat
Aseton Aseton
THF THF
Toluen Toluen
Jenis Bahan jenis bahanPelarut pelarut
Terpentin Terpentin
TCE TCE
Gambar 2.
Hubungan jenis pelarut dan bitumen Asbuton hasil ekstraksi temperatur 25oC
Gambar 3.
Grafik hubungan kadar bitumen dan temperatur dari jenis bahan pelarut
Ekstraksi Asbuton dengan Pelarut Berbasis Bahan Organik dan Media Air (Kurniadji)
Kadar Bitumen Asbuton(%) (%) kadar bitumen asbuton
Tabel 7. Hasil ekstraksi Asbuton dengan jenis bahan pelarut
26 26
25 25 24 24 23 23 22 22 21 21
0,00
0.00
0,20
0.20
0,40 0.40
0,60 0.60
0,80 0.80
1,00 1.00
% surfactan Persentase Surfaktan
Gambar 4. Persentase surfaktan pada terpentin dan bitumen Asbuton
Hal lainnya yang ditunjukkan adalah meskipun nilai indeks kelarutan dari suatu jenis bahan pelarut relatif tinggi, namun untuk memisahkan bitumen dengan mineral Asbuton belum tentu cocok, seperti ditunjukkan oleh daya larut aseton yang mempunyai indeks kelarutan paling tinggi seperti diperlihatkan pada Tabel 7 namun menghasilkan kadar bitumen Asbuton yang paling rendah. Untuk mengetahui pengaruh temperatur terhadap kemampuan bahan pelarut memisahkan bitumen dari mineral Asbuton, pada saat dilakukan proses ekstraksi berlangsung digunakan temperatur yang bervariasi, temperatur yang dipilih adalah 25oC; 60oC; 80oC dan 163oC. Bahan pelarut yang dipilih adalah jenis yang mempunyai potensi menghasilkan kadar bitumen yang relatif tinggi serta tingkat kemudahan untuk memperolehnya, hasil ekstraksi adalah seperti diperlihatkan pada Gambar 3. Data pada Gambar 3 menunjukkan bahwa makin tinggi temperatur yang diberikan saat proses ekstraksi berlangsung, makin tinggi bitumen Asbuton yang dihasilkan, artinya daya larut dipengaruhi temperatur yang diberikan saat proses ekstraksi berlangsung. Dari ketiga jenis bahan pelarut yang digunakan untuk memisahkan bitumen dari mineral Asbuton dipilih terpentin yang akan digunakan sebagai bahan pelarut, dengan pertimbangan, jika TCE dan THF dipilih harganya relatif mahal serta tingkat keamanannya untuk kesehatan rendah serta susah diperoleh. Namun demikian ternyata
17
terpentin merupakan bahan pelarut yang menghasilkan bitumen Asbuton paling rendah, oleh karena itu untuk meningkatkan daya larut diperlukan bahan tambahan, dipilih bahan tambahan surfaktan. Pengaruh surfaktan terhadap kelarutan Dengan menambahkan bahan surfaktan ke dalam terpentin murni dalam persentase yang divariasikan, diperoleh kadar bitumen murni bervariasi sejalan dengan penambahan surfaktan, diperlihatkan pada Gambar 4. Dari hasil ekstraksi Asbuton, seperti diperlihatkan pada Gambar 4, menunjukkan terpentin tanpa surfaktan (0% surfaktan) menghasilkan bitumen lebih rendah dibandingkan terpentin yang ditambah surfaktan, artinya surfaktan dapat meningkatkan daya larut terpentin. Selanjutnya dilakukan penambahan surfaktan terhadap bitumen hasil ekstraksi seperti diperlihatkan pada Tabel 8. Pada Tabel 8 menunjukkan makin tinggi penambahan surfaktan terhadap bitumen, makin tinggi nilai penetrasi dan makin rendah nilai titik lembek. Tabel 8. Karakteristik bitumen Asbuton ditambah surfaktan No
% surfaktan
Nilai Penetrasi (dmm)
Titik Lembek (oC)
Daktilitas (cm)
1.
0
9
70
58
2.
0.7
32
60
69
3.
1.0
35
59
>100
4.
1.5
48
56
>140
5.
2.0
82
53
>140
Model alat ekstraksi Asbuton dengan media air Proses ekstraksi yang sebelumnya menggunakan saringan dan sentrifugal dirubah dengan menggunakan media air yang didahului dengan percobaan di laboratorium. Dengan pertimbangan berat jenis air 1,000; berat jenis pelarut terpentin 0,955; berat jenis bitumen 1,03 serta berat jenis mineral 1,823, dilakukan percobaan ekstraksi
18
menggunakan media air di laboratorium dengan langkah langkah seperti diperlihatkan pada bagan alir di Gambar 5. Ekstraksi dengan media air diperoleh 3 fraksi, seperti diperlihatkan pada Gambar 6. Fraksi pertama adalah bitumen Asbuton yang masih bercampur dengan pelarut dan air, dengan berat jenis 0,954, fraksi kedua adalah air berat jenis 1,000 dan fraksi ketiga adalah mineral Asbuton yang masih bercampur dengan sedikit bitumen, air dan pelarut dengan berat jenis 1,552. Asbuton Asbuton lolos ayakan 3/8 in ayakan 3/8 in
PelarutTerpentin terpentin+ Pelarut +surfactant Surfaktan Dicampur dan Dicampur dan dipanaskan dipanaskan pada pada 160 – oC temperatur 170o(160-170) C
Airpada pada Air o temperatur+±95 95oCC temperatur
Campurandidinginkan didinginkan Campuran sampaitemperatur temperatur sampai oCoC 125 – 140 (125-140)
Dicampur Dicampur
Diamkan Diamkan Campuran Campuran
Fraksi Bitumen Fraksi Bitumen Asbuton + Pelarut + asbuton Air + air + pelarut
Gambar 5.
Air air
Fraksi Asbuton++ Fraksi Mineral Mineral asbuton Bitumen++air Air +Pelarut bitumen dan pelarut
Bagan alir proses ekstraksi di laboratorium menggunakan media air
Ekstraksi dengan media air diperoleh 3 fraksi, seperti diperlihatkan pada Gambar 6. Fraksi Fraksi 1
Bitumen Bitumen asbuton Asbuton ++pelarut Pelarut + +surfactant air Surfaktan ++Air
Fraksi 2 Fraksi
Air air
Fraksi Fraksi 3
Mineral ++bitumen Mineral Bitumen asbuton Asbuton++ Pelarut Surfaktan ++ air Air pelarut ++surfactant
Gambar 6. Fraksi hasil ekstraksi Asbuton dengan media air
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 31 No. 1 April 2014, 12 – 23
Dengan hasil kajian di laboratorium, bagan alir operasional model alat ekstraksi yang sebelumnya menggunakan media saringan menjadi menggunakan media air seperti yang diilustrasikan Gambar 7. Proses ekstraksi menggunakan model alat ekstraksi Dengan perubahan proses ekstraksi yang sebelumnya menggunakan media saringan, selanjutnya media air, langkah proses ekstraksi adalah: a. Panaskan tabung pencampur (mixer) hingga temperatur 150°C. b. Masukkan pelarut kedalam tabung pencampur (mixer) kemudian masukkan Asbuton. c. Panaskan campuran sambil diaduk. d. Alirkan campuran Asbuton bersama pelarut ke dalam tabung ekstraksi yang berisi air panas (95oC) sambil diaduk. e. Diamkan sampai terbentuk 3 fraksi, filtrat, air dan mineral Asbuton. f. Pindahkan filtrat ke dalam tabung destilasi secara masinal. Raw material asbuton hasil pecah mesin
g. Proses destilasi pada temperatur ± 170°C h. Proses vacuum pada temperatur 170°C, 600 mmHg. i. Bitumen yang dihasikan ± 5 kg. Pantauan secara visual Pantauan secara visual pada model alat ekstraksi, memperlihatkan pada tabung destilasi yang berisi bitumen Asbuton dan pelarut yang dipanaskan, untuk memproses bahan pelarut menjadi gas dan dengan proses pendinginan pada tabung pendingin menghasilkan bahan pelarut bening seperti diperlihatkan pada Gambar 8.
Pelarut Air
Gambar 8. Cairan hasil destilasi
Pelarut terpenten + surfactant
Tabung pencampur Pemanas oli dgn pompa oli
Pompa penyedot (vacuum pump)
gas
Tabung pendingin
Pelarut terpenten
pompa udara (compressor)
Tabung ekstraksi dg media air
Bitumen asbuton, air,pelarut dan mineral mineral asbuton (filtrate) + mineral filtrat
Tabung destilasi
Bitumen asbuton
Mineral asbuton+ air
Tabung pemanas
Mineral asbuton kering
Gambar 7. Bagan alir operasi model alat ekstraksi dengan media air
Ekstraksi Asbuton dengan Pelarut Berbasis Bahan Organik dan Media Air (Kurniadji)
19
Pemeriksaan bitumen Asbuton hasil model alat ekstraksi Hasil pemeriksaan bitumen Asbuton hasil model alat ekstraksi setelah beberapa kali perbaikan diperlihatkan pada Tabel 9, dan sebagai pembanding di dalam campuran beraspal panas dengan dan tanpa Asbuton murni, dilakukan juga pemeriksaan karakteristik aspal minyak pen 60, hasil uji karakteristik aspal minyak pen 60 diperlihatkan pada Tabel 10.
Setelah masing-masing jenis aspal dicampur dengan agregat telah memenuhi syarat, dilakukan uji Marshall, uji alur dengan alat Wheel Tracking Machine (WTM), uji fatik dengan alat Beam Fatigue Apparatus (BFA) dan uji modulus dengan alat UMATTA, hasil uji diperlihatkan pada Tabel 11 sampai 13 dan Gambar 9 sampai 11.
Tabel 9. Karakteristik Asbuton murni hasil alat ekstraksi No. A 1. B 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11 12 13. 14 15
Metode uji
Jenis Pengujian ASBUTON Kadar bitumen BITUMEN ASBUTON Penetrasi, 25oC, 100 g, 5 detik Viskositas pada 135oC Titik lembek Indeks penetrasi Daktilitas, 25oC, 5 cm/menit Titik nyala (COC) Kelarutan dalam C2HCl3 Berat jenis Kehilangan berat (TFOT) Penetrasi setelah TFOT Titik lembek setelah TFOT Indeks Penetrasi Daktilitas, 25oC, 5 cm/menit Perkiraan temp pencampuran Perkiraan temp pemadatan
*) Sumber: Indonesia (2010)
Hasil uji
Syarat*)
25,16 SNI 06-2456-1991 SNI 06-6441-2000 SNI 06-2434-1991
63 770 52
SNI 06-2432-1991 SNI 06-2433-1991 SNI-06-2438-1991 SNI 06-2441-1991 SNI 06-2440-1991 SNI 06-2456-1991 SNI 06-2434-1991 SNI 06-2434-1991 SNI 06-2432-1991 AASHTO-72 1990 AASHTO-72 1990
>140 232 99,59 1,093 0,663 63,5 57,5 57 >140 168-174 156-168
Satuan % dmm cSt oC
60 - 70 385 ≥48 ≥-1 ≥ 100 Min. 232 ≥ 99 ≥ 1,000 ≤ 0,8 ≥ 54 ≥ -1,0 ≥ 100 -
cm oC % % berat % asli oC oC cm oC o C
Syarat*)
Satuan
60 - 70 385 ≥48 ≥-1 ≥ 100 Min. 232 ≥ 99 ≥ 1,000 ≤ 0,8 ≥ 54 ≥ -1,0 ≥ 100 -
dmm cSt oC
Tabel 10. Karakteristik aspal minyak pen 60 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11 12 13. 14 15
Jenis Pengujian 25oC,
Penetrasi , 100g, 5 detik Viskositas pada 135oC Titik lembek Indeks penetrasi Daktilitas, 25oC, 5 cm/menit Titik nyala (COC) Kelarutan dalam C2HCl3 Berat jenis Kehilangan berat (TFOT) Penetrasi setelah TFOT Titik lembek setelah TFOT Indeks Penetrasi Daktilitas, 25oC, 5 cm/menit Perkiraan temp pencampuran Perkiraan temp pemadatan
*) Sumber: Indonesia (2010).
20
Metode uji SNI 06-2456-1991 SNI 06-6441-2000 SNI 06-2434-1991
Hasil uji 64 480 49,6
SNI 06-2432-1991 SNI 06-2433-1991 SNI-06-2438-1991 SNI 06-2441-1991 SNI 06-2440-1991 SNI 06-2456-1991 SNI 06-2434-1991 SNI 06-2434-1991 SNI 06-2432-1991 AASHTO-72 1990 AASHTO-72 1990
>140 328 99,79 1,038 0,032 86,9 51,6 >140 156-162 146-151
cm o C % % berat % asli o C oC cm oC oC
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 31 No. 1 April 2014, 12 – 23
Dari hasil uji Marshall pada Tabel 11, menunjukkan campuran beraspal yang menggunakan Asbuton murni mempunyai karakteristik campuran lebih baik dibandingkan campuran beraspal yang menggunakan aspal minyak pen 60 walaupun tidak jauh berbeda, hal
ini terjadi karena nilai penetrasi dari kedua jenis aspal relatif sama, kecuali hasil uji stabilitas sisa menunjukkan campuran beraspal dengan bitumen Asbuton lebih tinggi dibandingkan campuran beraspal dengan aspal pen 60.
Tabel 11. Karakteristik campuran beraspal dengan Asbuton murni dan aspal minyak pen 60 No
Hasil uji
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kadar Aspal Optimum Kepadatan Rongga terisi Aspal (VFB) Rongga Dalam Campuran (VIM) Marshall Rongga Mineral Agregat (VMA) Rongga Dalam Campuran (VIM) pada kepadatan membal Stabilitas Kelelehan Marshall Quotient Kadar aspal efektif Stabilitas sisa
7. 8. 9. 10 11
Jenis aspal Asbuton Aspal murni minyak 5,85 5,80 2,409 2,396 74,51 73,16 4,06 4,33 15,7 16,0 2,9 1388 3,98 352 5,3 95,4
2,9 1238 4,33 282 5,0 91,8
Syarat*)
satuan
65 3-5 15 Min 2
% t/m3 % % % % kg mm kg/mm % %
Min 800 Min 3 Min 250 Min 90
*) Sumber: Indonesia (2010)
Tabel 12. Hasil pemeriksaan kedalaman campuran beraspal panas
alur
Jenis campuran dan aspal Hasil pengujian Satuan AC-WC AC-WC Pen 60 Pen 60 Asmin Asbuton Deformasi Awal (Do) 4,34 4,68 mm Kecepatan Deformasi (RD) 0,0413 0,0247 mm/menit Dinamis Stabilitas (DS) 1016,1 1702,7 lintasan/mm
Gambar 9.
Hasil uji kedalaman alur campuran beraspal panas
Ekstraksi Asbuton dengan Pelarut Berbasis Bahan Organik dan Media Air (Kurniadji)
Tabel 13. Modulus resilien campuran beraspal Modulus Resilien (MPa) AC-WC dengan Asmin Pen 60 1 25 2706 2 25 2631 3 25 2804 1 35 814 2 35 856 3 35 791 1 45 423 2 45 414 3 45 324
No
Temp (oC)
Modulus Resilien (MPa) AC-WC dengan Asbuton murni 25 3511 25 3430 25 3312 35 1562 35 1469 35 1403 45 605 45 624 45 612
Temp (oC)
Gambar 10. Hasil uji modulus campuran beraspal
21
Regangan Tarik (micro strain)
10000
1000
100
1000
10000 100000 Umur Kelelahan (Nf)
1000000
Gambar 11. Hasi uji fatik campuran beraspal
PEMBAHASAN Didahului dengan percobaan di laboratorium, untuk ekstraksi Asbuton digunakan model alat ekstraksi, kapasitas satu kali ekstraksi diperoleh Asbuton murni sebanyak ± 5 kg. Proses ekstraksi menggunakan bahan pelarut terpentin dan air, namun untuk memperoleh bitumen maksimal diperlukan surfaktan, yang disamping meningkatkan daya larut terpentin juga berfungsi sebagai bahan aditif bitumen, sehingga penetrasi bitumen yang tadinya 9 dmm, dengan 1,7% menjadi pen 60 dmm dengan titik lembek 52oC. Dari data hasil uji menunjukkan Asbuton murni yang diperoleh dari hasil ekstraksi memenuhi persyaratan aspal pen 60, dan dapat digunakan untuk campuran beraspal. Setelah dicampur dalam campuran beraspal dibandingkan dengan aspal pen 60 memperlihatkan campuran beraspal dengan bitumen pen 60 Asbuton murni mempunyai karakteristik dan kinerja yang lebih baik dibandingkan campuran beraspal dengan aspal minyak pen 60. Dari hasil uji Marshall, karakteristik campuran beraspal dengan Asbuton murni pen 60 lebih baik dibandingkan karakteristik campuran beraspal dengan aspal minyak pen 60 ditinjau dari nilai stabilitas yang lebih tinggi, yang menarik stabilitas sisa dengan Asbuton murni jauh lebih tinggi dibandingkan dengan aspal minyak pen 60 yaitu 95,4% dan 91,8% dari
22
nilai stabilitas awal standar, artinya campuran beraspal dengan Asbuton murni lebih tahan terhadap pengaruh air. Dari hasil uji alur dengan alat Wheel Tracking Machine menunjukkan campuran beraspal dengan Asbuton murni lebih tahan terhadap alur dibandingkan aspal minyak pen yang ditunjukkan dengan nilai stabilitas dinamis yang lebih tinggi dibandingkan aspal minyak pen 60 yaitu 1703 lint/mm dan 1015 lint/mm. Dari hasil uji modulus menunjukkan campuran beraspal dengan Asbuton murni lebih tahan terhadap perubahan temperatur tinggi dibandingkan aspal minyak pen 60 yang diperlihatkan dengan hasil uji pada temperatur 45oC campuran dengan Asbuton murni adalah 612 MPa, sedangkan campuran beraspal dengan aspal minyak pen 60 adalah 324 MPa yang dari hasil uji pada temperatur 25oC masing-masing adalah 3511 MPa dan 2705 MPa. Dari hasil uji fatik, menunjukkan campuran beraspal dengan bitumen murni dengan regangan tarik konstan bervariasi antara 399 µ sampai 700 µ dengan siklus 21870150770 dibandingkan dengan campuran beraspal aspal pen 60 dengan regangan tarik konstan 399-401 µ, siklus sampai hancur 11030-86480. Campuran dengan Asbuton murni mempunyai siklus yang lebih tinggi menunjukkan campuran beraspal dengan Asbuton murni lebih tahan terhadap fatik. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari data yang diperoleh dapat dikemukakan hal-hal berikut: 1. Bahan pelarut Tetra Hidro Furon (THF), terpentin, Trichlor Ethylen (TCE) dapat digunakan sebagai bahan pelarut pada proses ekstraksi Asbuton dengan temperatur cukup tinggi. 2. Untuk proses ekstraksi Asbuton digunakan bahan pelarut terpentin dan media air, agar diperoleh bitumen maksimal diperlukan surfaktan, disamping meningkatkan daya larut terpentin berfungsi sebagai bahan aditif
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 31 No. 1 April 2014, 12 – 23
3.
4.
5.
6.
bitumen, sehingga penetrasi bitumen Asbuton yang tadinya 9 dmm, dengan penggunaan 1,7% surfaktan menjadi penetrasi 60 dmm dengan titik lembek 52oC. Dengan merubah proses ekstraksi, dari penggunaan media penyaringan dirubah dengan menggunakan media air maka hasil ekstraksi Asbuton lebih baik. Dari hasil uji Marshall, karakteristik campuran beraspal dengan Asbuton murni pen 60 lebih baik dibandingkan karakteristik campuran beraspal dengan aspal minyak pen 60 ditinjau dari nilai stabilitas yang lebih tinggi, stabilitas sisa dengan Asbuton murni jauh lebih tinggi dibandingkan dengan aspal minyak pen 60, yaitu 95,4% dan 91,8%. Hasil uji alur dengan alat Wheel Tracking Machine, menunjukkan campuran beraspal dengan Asbuton murni lebih tahan terhadap alur dibandingkan aspal minyak pen 60 dengan nilai stabilitas dinamis masingmasing 1703 lint/mm dan 1015 lint/mm. Dari pengujian modulus pada berbagai temperatur pengujian, menunjukkan campuran beraspal panas dengan Asbuton murni lebih tahan terhadap perubahan temperatur dibandingkan campuran beraspal panas dengan aspal pen 60 yang ditunjukkan pada temperatur 45oC campuran dengan Asbuton murni adalah 612 MPa sedangkan campuran beraspal dengan aspal minyak pen 60 adalah 324 MPa.
Saran
Untuk mengetahui pengaruh penggunaan jenis-jenis bahan pelarut lainnya terhadap hasil ekstraksi Asbuton, disamping bahan pelarut terpentin yang telah digunakan, perlu digunakan bahan pelarut jenis lain yang ada.
Ekstraksi Asbuton dengan Pelarut Berbasis Bahan Organik dan Media Air (Kurniadji)
DAFTAR PUSTAKA Dairi, G. 1992. Review Pemanfaatan Asbuton sebagai Bahan Perkerasan Jalan, (Review of Asbuton as Roads materilas) Reserach Report. Bandung: Institute of Road Engineering. Didin. 2008. Pelarut untuk Ekstraksi Aspal Buton, Bandung: Institut Teknologi Bandung, Harmein, Rahman. 2010. Evaluasi model modulus bitumen Asbuton dan model modulus campuran yang mengandung Asbuton, Phd. Diss. Institut Teknologi Bandung. Hastings, Larry W. 1982. Apparatus for extracting bitumen for Tar sand. US Patent 4311561 A Helmenstine Anne Marie. 2013. Surfactant definition. http://chemistry.about.com/od/chemistrygloss ary/g/surfactant.htm. Indonesia. Kementerian Pekerjaan Umum, Dirjen Bina Marga. 2010. Spesifikasi Umum Dokumen Pelelangan Nasional APBN TA 2010 (Revisi-2). Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Marga. KPN Bhumi Dharma, 1997. Laporan Pendugaan Geolistrik dan core drilling Asbuton desa Lawele. Sulawesi: Bidang wilayah Pertambangan dan Energi Provinsi Sulawesi Tenggara Kusnianti, Neni. 2002. Laboratory evaluation of Lawele Buton Natural Asphalt. Master thesis Institut Teknologi Bandung . Michel, David 1983. Extraction used solvent method United States Patent Application Publishing 21 Juni 1983. Yamin, Anwar. 2006. Pelaksanaan Pekerjaan peningkatan jalan dengan teknologi Asbuton, Workshop Asbuton. Bandung: Puslitbang Jalan dan jembatan.
23
ASBUTON PELET SEBAGAI BAHAN TAMBAH UNTUK MEMPERBAIKI SIFAT ASPAL DAN CAMPURAN BERASPAL (ASBUTON PELLETS AS ADDITIVE FOR IMPROVING ASPHALT PROPERTIES AND ASPHALT MIXTURES) Madi Hermadi1), Kurniadji2) 1), 2) 1), 2) 1)
Pusat Litbang Jalan dan Jembatan
Jl. A.H. Nasution 264, Bandung 40294 e-mail:
[email protected], 2) e-mail:
[email protected]
Diterima: 15 Januari 2014; direvisi: 20 Maret 2014; disetujui: 04 April 2014
ABSTRAK Keruntuhan lapis perkerasan beraspal yang diakibatkan oleh temperatur tinggi dan beban berat berupa ketidaktahanan terhadap deformasi permanen dan retak lelah. Untuk menanggulangi hal tersebut maka salah satu cara adalah dengan menambahkan Asbuton semi ekstraksi kedalam campuran beraspal. Penambahan Asbuton semi ekstraksi akan menurunkan nilai penetrasi dan meningkatkan nilai titik lembek aspal sehingga campuran menjadi lebih tahan terhadap kerusakan deformasi permanen. Selama ini Asbuton semi ekstraksi yang sudah banyak digunakan adalah dalam bentuk pra-campur (20% Asbuton semi ekstraksi: 80% aspal minyak). Kendala dalam bentuk ini adalah terjadinya pengendapan mineral Asbuton pada ketel aspal. Untuk menghindari permasalahan tersebut maka dibuat Asbuton semi ekstraksi dalam bentuk pelet yang penggunaannya di Asphalt Mixing Plant (AMP) langsung ditambahkan ke dalam campuran di pugmil melalui bin khusus. Untuk mengetahui sampai sejauh mana efektifitas penambahan Asbuton pelet maka telah dilakukan pengkajian terhadap sifat aspal minyak yang mengandung Asbuton pelet 0%, 5%, 10%, 15%, 20% dan 25% serta terhadap sifat campuran yang menggunakan aspal dengan kandungan Asbuton pelet 0%, 15% dan 20%. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa makin tinggi kandungan Asbuton pelet maka nilai penetrasi aspal makin rendah dan nilai titik lembek makin tinggi. Sedangkan sifat campuran menunjukkan makin tinggi kandungan Asbuton pelet akan menyebabkan makin tinggi nilai stabilitas Marshall, modulus resilien dan stabilitas dinamis. Kesimpulan yang diperoleh yaitu kandungan Asbuton pelet optimum adalah 15% diperoleh setelah dievaluasi pula hasil uji kelelahan yang menunjukkan bahwa ketahanan campuran dengan 20% Asbuton pelet lebih rendah sedangkan campuran dengan 15% Asbuton pelet relatif sama bila dibandingkan dengan ketahanan campuran tanpa Asbuton pelet. Kata kunci: Asbuton pelet, campuran beraspal, modulus resilien, uji kelelahan, stabilitas dinamis ABSTRACT Failure of asphalt pavement, that caused by high pavement temperatures and heavy traffic loads, is in the form of permanent deformation and fatigue cracking. The problems can be solved by adding semi-extraction Asbuton into the asphalt mixture. The addition of semi extraction Asbuton will decrease penetration value and increase softening point value of the asphalt. Therefore, the mixture becomes more resistant to permanent deformation damage. Curently, semi extraction Asbuton in the market is in the form of pre-blended asphalt (20% semi extraction Asbuton: 80% petroleum asphalt). A constraint of this form is sedimentation of the Asbuton mineral in the asphalt kettle. To avoid this problem, semi extraction Asbuton is produced in the form of pellets to be added from a special cold bin directly into the asphalt mixture in the pugmill of Asphalt Mixing Plant (AMP). To find out the effectiveness of Asbuton pellets, characteristics of petroleum asphalts with 0%, 5%, 10%, 15%, 20% and 25% Asbuton pellets and the mixture performance with the 0%, 15% and 20% Asbuton pellets were investigated. The results indicated that higher Asbuton pellets content caused lower penetration value and higher softening point value of the asphalt while Marshall Stability, resilient modulus and dynamic stability of the mixture were
24
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 31 No. 1 April 2014, 24 – 37
higher. The conclusion, that the optimum content of Asbuton pellets is 15%, was obtained base on fatigue characteristic of the mixture. The mixture with 20% Asbuton pellets in the asphalt was less resistant to fatigue while with 15% Asbuton pellets was similar comparing with the mixture without Asbuton pellets. Keywords: Asbuton pellets, asphalt mixture, resilient modulus, fatigue, dynamic stability
PENDAHULUAN Pada beberapa lokasi di Indonesia, perkerasan jalan beraspal terjadi keruntuhan dini akibat dari temperatur tinggi dan beban berat di lapangan. Secara umum ada dua jenis keruntuhan perkerasan jalan beraspal. Pertama, ketidak tahanan perkerasan terhadap retak akibat prosentase aspal dalam campuran yang relatif rendah dan tingginya persentase rongga dalam campuran. Kedua, ketidaktahanan perkerasan terhadap deformasi akibat aspal terlalu kaku, prosentase aspal dalam campuran tinggi, dan rongga udara dalam campuran rendah. Untuk menanggulangi keruntuhan dini campuran beraspal, apabila sudah tidak dapat ditanggulangi dengan memperbaiki properties campuran beraspal antara lain dengan merubah proporsi aspal dan agregat, maka dapat pula dengan menggunakan bahan tambah yang telah direkomendasikan untuk memodifikasi aspal yang sekaligus juga untuk memperbaiki kinerja campuran beraspal. Bahan tambah yang dapat digunakan untuk memodifikasi aspal diantaranya adalah polimer. Aspal yang dimodifikasi dengan bahan tambah polimer biasa disebut sebagai aspal polimer. Saat ini, ada dua jenis polimer yang umum digunakan untuk memodifikasi aspal yaitu polimer jenis elastomer dan polimer jenis plastomer. Aspal polimer memiliki ketahanan yang tinggi terhadap kerusakan deformasi dan retak. Namun, kendala yang sering ditemui pada aspal polimer adalah pada saat penyimpanan pada ketel bertemperatur tinggi, padat mengalami pemisahan. fraksi (asphalten) aspal turun dan berada pada bagian bawah, sedangkan polimer dan fraksi cair (maltene) aspal berada pada bagian atas. Karena ada kelemahan pada aspal yang dimodifikasi polimer maka sebagai alternatif
dikaji pula aspal yang dimodifikasi oleh Asbuton semi ekstraksi jenis pelet sebagaimana yang disajikan pada tulisan ini. Dipilihnya Asbuton pelet ini karena pada pelaksanaan pencampuran dengan agregat di unit pencampur aspal (Asphalt Mixing Plant, AMP) lebih praktis dibanding Asbuton semi ekstraksi bentuk pre-blended (pra-campur) yang selama ini sudah banyak digunakan pada berbagai proyek jalan. Pada penggunaan Asbuton semi ekstraksi jenis pre-blended, aspal minyak pen 60 yang sudah dicampur di pabrik dengan Asbuton semi ekstraksi dengan perbandingan 80:20 seringkali menimbulkan permasalahan terjadinya pengendapan atau penyumbatan pipa oleh mineral Asbuton yang terdapat pada Asbuton pre-blended sebesar sekitar 10%. Pada jenis pelet, kendala pengendapan dan penyumbatan oleh mineral tersebut tidak terjadi karena Asbuton pelet dimasukan dari cold bin khusus langsung ke dalam alat pencampur panas untuk dicampur dengan agregat dan aspal pen 60 pada keadaan panas. KAJIAN PUSTAKA Kinerja aspal dan hubungannya dengan kinerja campuran beraspal Berbagai jenis kerusakan pada campuran panas beraspal telah banyak dilaporkan. Jenis kerusakan yang umum terjadi adalah deformasi permanen (rutting), retak lelah (fatigue cracking), retak pada temperatur rendah (low temperature cracking), kerentanan terhadap air (moisture susceptibility), dan friksi (friction) (Brown 2001). Kerusakan dini juga banyak terjadi karena lokasi berupa tanjakan dengan lalu lintas berat dan waktu pembebanan lama seperti pada saat kecepatan kendaraan rendah. Di Indonesia, khususnya di Jalan Pantura (Pantai Utara Pulau Jawa) kerusakan yang
Asbuton Pelet Sebagai Bahan Tambah Untuk Memperbaiki Sifat Aspal Dan Campuran Beraspal, (Madi Hermadi, Kurniadji)
25
Gambar 1. Hubungan kedalaman alur dengan grade aspal (Williams 2003)
Hasil pengkajian yang telah dilakukan oleh Kurniadji dkk (2006) diperoleh bahwa ketahanan retak lelah campuran beraspal dengan bahan pengikat yang telah dimodifikasi Asbuton (AC Mod) lebih baik (lebih tahan lama) dibandingkan ketahanan retak lelah untuk campuran dengan aspal minyak untuk lalu lintas dengan beban yang ringan sedangkan
26
untuk beban berat campuran AC 60 (aspal Pen 60) lebih tahan retak dibandingkan dengan Aspal modifikasi sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2. 1000 Regangan Awal (microstrain)
dominan berupa deformasi dan retak lelah. Hal tersebut dapat dipahami karena Indonesia beriklim tropis dengan curah hujan tinggi dan sinar matahari terjadi sepanjang tahun sehingga pada beberapa ruas jalan tertentu setelah mengakomodir beban dan kecepatan lalu lintas maka temperatur Kelas Kinerja (Performance Grade) aspal tertinggi dapat mencapai sekitar 70oC dan terendah sekitar 22oC (Nono dan Hermadi 2012). Aspal minyak standar yang sekarang diproduksi kilang-kilang minyak, kenyataannya umumnya memiliki kelas kinerja lebih rendah yaitu PG 58 sehingga untuk memperoleh campuran beraspal sesuai rencana aspal tersebut perlu perbaikan dengan bahan tambah. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Brian D. Prowell yang dikutip Nono dkk (2005) diperoleh bahwa untuk gradasi agregat dan kadar aspal yang sama tetapi menggunakan bahan pengikat aspal yang memiliki kinerja aspal yang bervariasi (dinyatakan dalam jenis PG yang berbeda), maka kualitas campuran dengan bahan pengikat yang mempunyai PG tinggi lebih tahan terhadap alur. Hal tersebut sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 1.
9
-2,6925
NfAC 60 = 2,0161 .10 . e
100
24
NfAC Mod = 4,6889 . 10 .e
-10,0908
10 10
1000 Jumlah Repetisi Beban (Nf) AC 60
100000
AC Mod
Gambar 2. Hubungan antara regangan awal dengan repetisi beban campuran
Kondisi seperti ini juga sangat tergantung pada sumber dan jenis Asbuton yang digunakan. Ada kalanya dari uji ketahanan terhadap retak lelah menunjukkan campuran beraspal dengan bahan tambah Asbuton hanya lebih tahan pada lalu lintas ringan saja namun pada lalu lintas berat lebih tidak tahan dibanding campuran beraspal tanpa bahan tambah Asbuton. Campuran beraspal Secara umum campuran beraspal panas didefinisikan sebagai kombinasi antara agregat yang dicampur merata dan dilapis dengan aspal untuk mengeringkan agregat dan mencairkan aspal agar mudah dicampur dengan baik, maka sebelum pencampuran bahan-bahan tersebut harus dipanaskan. Berdasarkan definisi di atas, ada tiga faktor yang mempengaruhi kinerja campuran beraspal, yaitu mutu aspal; mutu agregat; dan mutu campuran (sifat volumetrik dan sifat mekanis campuran). Ketiga faktor tersebut merupakan syarat utama yang hasus dipenuhi agar diperoleh suatu campuran beraspal panas yang awet, kuat, memiliki kelenturan yang cukup, tahan terhadap retak, kedap air dan mudah dalam pelaksanaannya.
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 31 No. 1 April 2014, 24 – 37
Untuk mengantisipasi kerusakan deformasi plastis pada temperatur tinggi di lapangan dan retak lelah ataupun retak pada temperatur rendah, telah dikembangkan kriteria campuran beraspal panas yang disebut kriteria Superpave (Arora dan Kennedy 1997). Kriteria Superpave tersebut sangat memperhatikan antisipasi terhadap ketiga jenis kerusakan perkerasan jalan beraspal tersebut. Kriteria ini sebagian besar dijadikan dasar Spesifikasi Umum Bina Marga (Indonesia 2010) yang mengharapkan karakteristik campuran beraspal mempunyai: 1. Kadar aspal yang cukup untuk memperoleh keawetan, dengan rongga terisi aspal (VFB) yang tepat. 2. Rongga dalam agregat (VMA) dan rongga dalam campuran (VIM) yang cukup. 3. Kemudahan pengerjaan yang cukup. 4. Kinerja yang memuaskan selama umur rencana perkerasan. Sifat-sifat aspal dalam campuran beraspal Salah satu syarat untuk memperoleh campuran beraspal panas yang memenuhi persyaratan, dalam pelaksanaan pencampuran di Asphalt Mixing Plant (AMP) harus memperhatikan pemanasan aspal baik di dalam ketel penyimpanan maupun saat pencampuran dengan agregat sehingga fungsi aspal dalam campuran terpenuhi, antara lain: 1. Sebagai pengikat yang memberikan ikatan yang kuat antara agregat dalam campuran. 2. Sebagai pengisi, berfungsi mengisi rongga antara butir agregat dan rongga yang ada dalam agregat itu sendiri. 3. Sebagai bahan anti air yang menyelimuti permukaan agregat, sehingga mengamankan perkerasan dari pengaruh air. 4. Sebagai pelumas antar butir agregat saat pencampuran, penghamparan dan pemadatan pada temperatur tertentu. Aspal yang ideal adalah aspal yang menghasilkan sifat campuran beraspal dengan kinerja yang baik serta mudah diaplikasikannya. Untuk maksud tersebut maka aspal harus memiliki sifat sebagai berikut: 1. Kekakuan rendah atau viskositas yang cukup sehingga tidak memerlukan temperatur
tinggi pada saat pemompaan, pencampuran dan pemadatan. 2. Kekakuan tinggi pada saat temperatur perkerasan jalan tinggi (musim panas) untuk menghindari alur (rutting) dan shoving. 3. Kekakuan rendah pada saat temperatur perkerasan jalan rendah (musim dingin) untuk menghindari retak. 4. Kelekatan terhadap agregat yang tinggi untuk menghindari stripping. Model kekakuan aspal telah dikembangkan juga oleh Van der Poel yang disajikan dalam bentuk nomograph dan rumus (Shell Bitumen 1995). Model kekakuan aspal tersebut ditunjukan pada rumus (1). ...... (1) Keterangan: ( R) = Titik lembek setelah pemulihan TRB (0C) = Temperatur lapis beraspal (0C) T asp
PI (R ) t1
= Penetrasi Indeks setelah pemulihan = Waktu pembebanan (detik)
persamaan di atas hanya berlaku bila: 0,01 detik < t1 < 1 detik, dan
( R) 20oC < TRB Tasp < 60oC
Untuk mendapatkan karakteristik aspal yang direkomendasikan melalui beberapa pengujian yang terkait dengan kinerja, yaitu: 1. Titik nyala. 2. Kekentalan. 3. Dynamic Shear. 4. Rolling Thin Film Oven Test (RTFOT). 5. Dynamic Shear setelah RTFOT. 6. Pressure Aging Vessel Residue (PAVR). 7. Dynamic Shear setelah PAVR. 8. Creep Stiffness setelah PAVR. 9. Direct Tension Tester setelah PAVR.
Asbuton Pelet Sebagai Bahan Tambah Untuk Memperbaiki Sifat Aspal Dan Campuran Beraspal, (Madi Hermadi, Kurniadji)
27
Aspal modifikasi Aspal modifikasi dibuat dengan mencampur aspal keras dengan suatu bahan tambah. Terdapat beberapa jenis bahan tambah untuk memodifikasi aspal antara lain elastomer termoplastik, plastomer termoplastik, polimer termoseting, modifier kimia, fiber, antioksidan, bahan pengisi (filler), anti stripping, dan aspal alam (Shell Bitumen 1995). Sebelum memilih salah satu jenis bahan tambah, harus dipertimbangkan: 1. Tersedia dalam jumlah yang cukup. 2. Tahan degradasi temperatur saat pencampuran. 3. Tercampur dengan aspal. 4. Memperbaiki ketahanan terhadap pelelehan pada temperatur tinggi tanpa membuat aspal menjadi cair saat pencampuran dan pelapisan atau sangat kaku atau brittle pada temperatur rendah. 5. Harganya relatif murah. 6. Memelihara properties saat penyimpanan, aplikasi dan pelayanan. 7. Dapat cocok saat diproses dengan alat konvensional. 8. Stabil saat penyimpanan, aplikasi dan pelayanan, bila dilihat dari sifat fisik dan kimia. 9. Tercapainya viskositas saat coating atau penyemprotan pada temperatur normal.
Teknologi aspal berbentuk pelet telah digunakan untuk banyak pekerjaan peraspalan, terutama apabila perlu kebutuhan khusus, seperti lokasi peraspalan yang terpencil, kebutuhan aditif peralatan khusus, untuk menghindari segregasi, mengurangi konsumsi energi tinggi, kelambatan jadwal produksi, bahan limbah, dan keselamatan pekerja . Teknologi aspal pelet bukanlah bahan untuk memperbaiki aspal, melainkan merupakan sistem pengiriman baru, karena pelet diproduksi di fasilitas pengolahan terpusat/pabrik dan kemudian diangkut ke lokasi pekerjaan pada temperatur udara. Namun demikian apabila di dalam pelet aspal tersebut terdapat bahan tambah seperti polymer, bahan kimia, karet dan lainnya, maka aspal pelet dapat berfungsi sebagai bahan tambah untuk memperbaiki aspal dan campuran beraspal TLA (Trinidad Lake Asphalt) yang merupakan aspal alam terdeposit di La Brea, Trinidad & Tobago, Mainland Amerika Selatan, umumnya digunakan sebagai aditif aspal minyak. Namun untuk kepraktisan pengiriman dan penggunaan telah juga dibuat dalam bentuk pelet. Berdasarkan uji Marshall dan PG, telah dibuat spesifikasi TLA sesuai ASTM D 5710-03 (ASTM 2011) dan ASTM D6626-09 (ASTM 2011), terlihat pada Tabel 1.
Aspal bentuk pelet Di pasaran, ditinjau dari bentuknya selain aspal minyak (aspal keras) dan aspal cair (aspal cut back dan aspal emulsi), dikenal Aspal berbentuk pelet yang merupakan sebuah teknologi inovatif yang dirancang untuk kenyamanan, presisi, kepraktisan, penghematan biaya dan perlindungan lingkungan dalam pengiriman bahan aspal dan aditif untuk berbagai pekerjaan peraspalan (King 2012). Aspal berbentuk pelet padat dapat mengalir bebas dan dapat diangkut dari pabrik pembuatnya ke lokasi penggunaan disimpan dalam karung atau secara curah. Pelet dirancang untuk dicampur dengan agregat panas, baik untuk campuran beraspal panas, hangat, atau untuk pekerjaan peraspalan lainnya.
Tabel 1. Spesifikasi TLA pelet
28
No. 1.
Jenis pengujian Penetrasi, 25oC 25oC
2.
Berat jenis,
3.
Titik lembek
persyaratan 1–4 1,4 93 - 98
satuan dmm oC
HIPOTESIS Penambahan Asbuton pelet dalam campuran beraspal akan meningkatkan kualitas aspal dan campuran beraspal.
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 31 No. 1 April 2014, 24 – 37
METODOLOGI
HASIL DAN ANALISIS
Metodologi kajian penggunaan Asbuton pelet sebagai bahan tambah pada campuran beraspal adalah merupakan kajian eksperimental di laboratorium dengan langkahlangkah sebagai berikut: 1. Menguji karakteristik Asbuton pelet, aspal minyak pen 60 dan gabungan dari kedua aspal tersebut. 2. Melakukan perencanaan campuran (mix design) untuk mendapatkan komposisi optimum campuran yang menggunakan aspal gabungan tersebut dengan metoda Marshall. 3. Menguji karakteristik campuran yang menggunakan aspal gabungan pada komposisi optimum. Pengujian meliputi uji lelah (fatigue test), uji deformasi serta uji modulus resilien pada temperatur yang bervariasi. 4. Melakukan analisis dan evaluasi hasil kajian. Untuk lebih lengkapnya, langkahlangkah kerja pada studi ini dibuat dalam bentuk bagan alir, sebagaimana yang diperlihatkan pada Gambar 3.
Hasil pengujian Asbuton pelet Sebelum dilakukan uji coba pengaruh bitumen Asbuton pelet terhadap sifat aspal terlebih dahulu dilakukan pengujian sifat dari Asbuton pelet tersebut dan sifat bitumennya setelah diekstraksi dan dipulihkan. Hasil pengujian karakteristik Asbuton pelet disajikan pada Tabel 2, sedangkan hasil penguujian karakteristik bitumen Asbuton pelet hasil ekstraksi (ASTM D2172-11) (ASTM 2011) dan pemulihan (ASTM D5404-03) (ASTM 2011) disajikan pada Tabel 3.
Mulai Persiapan bahan: Ektraksi Asbuton Pelet Aspal Pen 60 (AC 60) Agregat untuk campuran beraspal Gabungkan bitumen Asbuton dan AC 60 dengan variasi tertentu Uji karakteristik tiap variasi Buat Formula campuran Rencana Asbuton Pelet dan AC 60 berdasarkan aspal gabungan Uji karakteristik campuran beraspal Uji modulus resilien dengan UMATTA Uji ketahanan lelah (fatigue) Uji ketahanan deformasi dengan Wheel Tracking Machine (WTM) Hasil uji bandingkan dengan spesifikasi yang tersedia
Hasil pengujian aspal pen 60 dengan bahan tambah bitumen Asbuton pelet Pengujian pengaruh bitumen Asbuton pelet yang sudah diekstraksi dan dipulihkan terhadap sifat aspal minyak pen 60 dilakukan dengan menguji karakteristik aspal minyak pen 60 tersebut masing-masing dengan variasi kadar bitumen Asbuton pelet 0%, 5%, 10%, 15%, 20% dan 25%. Hasil pengujian tersebut disajikan pada Tabel 4. Hasil pengujian propertis agregat Untuk keperluan perencanaan campuran beraspal panas, dilakukan pula pengujian propertis agregat. Terdapat tiga jenis agregat yang akan digunakan pada uji coba campuran beraspal yang diambil dari stockpile, yaitu agregat kasar, agregat sedang dan agregat halus, hasil pengujian terhadap agregat tersebut disajikan pada Tabel 5. Perencanaan campuran beraspal panas Setelah semua bahan diuji dan memenuhi syarat, dilakukan perencanaan campuran. Spesifikasi yang dipilih adalah campuran beraspal untuk lapis aus (AC-WC) yang mengacu kepada divisi 6.3 pada Spesifikasi Umum Bina Marga (Indonesia 2010).
Analisis dan Evaluasi
Gambar 3. Bagan alir langkah kerja kajian Asbuton bentuk pelet
Asbuton Pelet Sebagai Bahan Tambah Untuk Memperbaiki Sifat Aspal Dan Campuran Beraspal, (Madi Hermadi, Kurniadji)
29
Tabel 2. Hasil pengujian Asbuton pelet No.
Jenis Pengujian
1.
Kadar bitumen
2.
Kadar air
3.
Analisa saringan mineral
Metode Pengujian
Hasil Pengujian
Satuan
SNI 03-3640-1994
35,5
%
SNI-2490-2008
0,1
%
SNI 03-1968-1990
Ukuran saringan No. 30
100
% Lolos
Ukuran saringan No. 50
99
% Lolos
Ukuran saringan No. 100
92
% Lolos
Ukuran saringan No. 200
76
% Lolos
Tabel 3. Karakteristik bitumen Asbuton pelet hasil ekstraksi No.
Jenis Pengujian
Metode Pengujian
Hasil Pengujian
Satuan dmm
1.
Penetrasi pada 25 C, 100 g, 5 detik
SNI 06-2456-1991
12
2.
Titik lembek
SNI 06-2434-1991
66,9
3.
Daktilitas pada 25oC, 5 cm/menit
SNI 06-2432-1991
30
4.
Kelarutan dalam C2HCl3
SNI-06-2438-1991
99,8
%
5.
Kehilangan berat (TFOT )
SNI 06-2440-1991
0,477
% berat
o
o
C
Cm
6.
Penetrasi setelah TFOT
SNI 06-2456-1991
83,3
%
7.
Titik lembek setelah TFOT
SNI 06-2434-1991
71,4
o
8.
Daktilitas setelah TFOT
SNI 06-2432-1991
16
9.
Titik nyala (COC)
SNI 06-2433-1991
262
10.
Berat jenis
SNI 06-2441-1991
1,136
-
C
Cm o
C
11.
Indeks penetrasi
-
-0,556
-
12.
Indeks penetrasi setelah TFOT
-
-0,166
-
Tabel 4. Hasil pengujian properties aspal keras pen 60 (AC-60) dan gabungan dengan bitumen Asbuton pelet hasil ekstraksi No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Jenis Pengujian Penetrasi pada 25oC, 100 g, 5 detik Viskositas pada 135oC Titik lembek Indeks penetrasi Daktilitas pada 25oC, 5 cm / menit Titik nyala (COC) Kelarutan dalam C2HCl3 Berat jenis Kehilangan berat (TFOT) Penetrasi setelah TFOT Titik lembek setelah TFOT Daktilitas setelah TFOT Indeks penetrasi setelah TFOT Perkiraan suhu pencampuran Perkiraan suhu pemadatan
30
Hasi pengujian properties aspal dengan kandungan bitumen Asbuton berikut: 0% 65 401 48,8 -0,882 > 140 324 99,8 1,030 0,0179 84,6 51,9 > 140 -0,5099 154-160 139-146
5% 62 496 49,2 -0,895 > 140 326 99,5 1,047 0,2370 80,6 52,3 > 140 -0,6406 157 - 162 146 - 151
10% 61 502 50,2 -0,677 > 140 326 99,7 1,051 0,0389 80,3 53,0 > 140 -0,524 157 - 163 146 - 151
15% 60 622 51,3 -0,442 > 140 328 99,9 1,050 0,0798 80,0 53,0 > 140 -0,572 164 - 170 151 - 156
20% 54 640 52,4 -0,435 > 140 322 99,4 1,055 0,1020 83,3 54,8 > 140 -0,314 162 - 168 150 - 156
25% 45 707 53,7 -0,559 > 140 319 99,3 1,064 0,1319 84,4 55,5 > 140 -0,534 164 – 170 152 - 158
Satuan dmm cSt o C -
cm o C % % % o C cm o C o C
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 31 No. 1 April 2014, 24 – 37
Tabel. 5. Hasil pengujian properties dan analisa saringan agregat No 1. 2. 3.
Jenis Pengujian
Abrasi Setara pasir Berat jenis Bulk SSD Apparent 4. Penyerapan 5. Angularitas agregat halus 6. Angularitas agregat kasar 7. Kelekatan terhadap aspal 8. Partikel pipih dan lonjong 9. Pelapukan 10. Material lolos No.200 11. Analisa saringan 3/4" (19,1 mm) 1/2" (12,5 mm) 3/8" (9,5 mm) # 4 (4,76 mm) # 8 (2,36 mm) # 16 (1,18 mm) # 30 (0,60 mm) # 50 (0,30 mm) # 100 (0,149 mm) # 200 (0,075 mm) *) Sumber: Indonesia (2010)
Metoda Pengujian SNI 03-2417-2008 SNI 03-4428-1997 SNI 03-1969-2008 & SNI 03-1970-2008 SNI 031969 -2008 SNI 03-6877-2002 DoT’s PTM No.621 SNI 03-2439-1991 RSNI T-01-2005 SNI 03-3407-1994 SNI 03-4142-1996 SNI 03-1968-1990
Gradasi gabungan agregat Dari 6 varian kadar bitumen Asbuton pelet dipilih tiga varian yaitu 0% bitumen Asbuton pelet yang artinya 100% aspal minyak pen 60 yang diperlukan sebagai pembanding. Dua varian lainnya yaitu 15% dan 20% bitumen Asbuton pelet yang dipilih karena menghasilkan Indeks Penetrasi (Penetration Index/PI) paling tinggi yaitu masing-masing -0,442 dan -0,432. Gradasi gabungan masingmasing campuran beraspal untuk masingmasing varian kadar bitumen Asbuton pelet tersebut diperlihatkan pada Tabel 6 dan pada Gambar 4 sampai Gambar 6. Perbedaan gradasi campuran untuk setiap variasi kadar Bitumen Asbuton pelet disebabkan karena yang ditambahkan ke dalam campuran bukan bitumen murni hasil ekstraksi dan pemulihan melainkan Asbuton pelet yang dengan kadar bitumen 35,5% dan mineral 64,5%.
Agregat kasar 16 -
Metode Pengujian Agregat Agregat sedang halus 61
2,64 2,69 2,77 1,7 100/100 0,0 1,8 0,2
2,62 2,68 2,77 2,0 100/100 95+ 0,0 1,2 0,7
100 93 31 1.0 0.9 0.9 0.8 0.8 0.7 0.6
100 99 28 6.0 2.8 2.2 1.8 1.2 0.6
Spesifikasi*)
Satuan
Max 30 & 40 Min 60
% %
0,0 2,2 -
Max 3 Min.45 Min 95/90 Min 95 Max 10 Max 12 Max 1
% % % % % % %
100 98 68 47 34 26 19 14
-
% % % % % % % % % %
2,53 2,60 2,73 2,8 46 -
Pengujian campuran beraspal panas Tahap selanjutnya adalah melakukan penentuan kadar aspal optimum campuran dengan metoda Marshall untuk masing-masing bahan pengikat dengan kadar bitumen Asbuton pelet 0%, 15% dan 20%. Karakteristik Marshall masing-masing jenis campuran tersebut pada kadar aspal optimum disajikan pada Tabel 7. Setelah diperoleh komposisi optimum masing-masing campuran, selanjutnya dilakukan pengujian kinerja campuran yang meliputi modulus resilien pada temperatur 25oC, 35oC dan 45oC dengan alat UMATTA, ketahanan deformasi (stabilitas dinamis) pada temperatur 60oC dengan alat WTM (Wheel Tracking Machine). Hasil pengujian untuk kinerja campuran tersebut disajikan pada Tabel 7 sampai Tabel 9 serta Gambar 7 sampai dengan Gambar 8.
Asbuton Pelet Sebagai Bahan Tambah Untuk Memperbaiki Sifat Aspal Dan Campuran Beraspal, (Madi Hermadi, Kurniadji)
31
Tabel 6. Gradasi gabungan agregat dan mineral Asbuton pelet Gradasi Gabungan
spesifikasi. Ukuran Saringan
Gradasi Campuran *)
3/4" (19,1mm) 1/2" (12,7 m) 3/8" (9,52mm) No. 4 (4,75 m) No. 8 (2,36 m) No. 16 (1,18mm) No. 30 (0,60mm) No. 50 (0,30mm) N0.100 (0,150mm No. 200 (0,075mm *) Sumber: Indonesia (2010)
100 90 -100 72 - 90 43 - 63 28 - 39,1 19 - 25,6 13 - 19,1 9,0 - 15,5 6,0 - 13 4,0 - 10
Gambar 4. Grafik gradasi gabungan agregat untuk campuran AC-WC menggunakan aspal Pen 60 (0% bitumen Asbuton pelet)
Gambar 6.
32
100% AC 100 98 83 54 34 23 18 14 10 7,6
85%AC:
80%AC:
15% bit
20% bit
100 98 83 52 32 23 18 14 11 8,1
100 98 83 51 32 23 18 15 12 8,9
Satuan % % % % % % % % % %
Gambar 5. Grafik gradasi gabungan agregat untuk campuran AC-WC menggunakan 15% bitumen Asbuton pelet
Grafik gradasi gabungan agregat untuk campuran AC-WC menggunakan 20% bitumen Asbuton pelet
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 31 No. 1 April 2014, 24 – 37
Tabel 7. Hasil uji Marshall Campuran AC-WC No.
Kriteria Campuran
Aspal Pen 60
85% AC 60: 15% Bitumen Asbuton
80% AC 60: 20% Bitumen Asbuton
Spesifikasi
Satuan
1
Kadar aspal Optimum
5.90
5.90
6.00
-
%
2
Kepadatan
2.290
2.303
2.307
-
gr/cc
3
Rongga terisi aspal (VFB)
73.65
73.78
73.61
Min. 65
% %
4
Rongga terhadap campuran VIM
4.45
4.35
4.65
3 - 5
5
Rongga terhadap campuran (VIM) PRD
2.58
2.71
2.88
Min. 3
6
Rongga diantara agregat, VMA
16.94
16.47
17.44
Min. 15
%
7
Stabilitas
899.01
1130.7
1208.6
Min. 1000
kg
8
Kelelehan
3.6
3.52
3.89
Min. 3
mm
9
Marshall Quotient
253.05
321.0
313.4
Min. 300
kg/mm
10
Kadar aspal efektif
5.63
5.55
5.95
Min. 4.3
%
Tabel 8. Hasil uji modulus resilien menggunakan alat UMATTA Hasil Pengujian
Uraian
AC 60
85% AC 60 : 15% Bitumen Asbuton
80% AC 60 : 20% Bitumen Asbuton
Satuan
Temperatur 25oC
2147
3234
3746
MPa
Temperatur 35 C
971
1637
1762
MPa
Temperatur 45 C
362
432
508
MPa
o o
Tabel 9. Hasil uji alur menggunakan alat WTM Hasil Pengujian Uraian Stabilitas dinamis Kecepatan deformasi
AC 60
85% AC 60 : 15% Bitumen Asbuton
80% AC 60 : 20% Bitumen Asbuton
Satuan
1500
3000
4846
lintasan/mm
0,0280
0.0140
0.0087
mm/menit
Modulus Ressilien (MPa)
Temperatur 25oC Temperatur 35oC Temperatur 45oC
100% AC 60
85% AC 60 : 15% Bit Asbuton
80% AC 60 : 20% Bit Asbuton
Gambar 7. Hasil uji modulus resilien dengan alat UMATTA
Asbuton Pelet Sebagai Bahan Tambah Untuk Memperbaiki Sifat Aspal Dan Campuran Beraspal, (Madi Hermadi, Kurniadji)
33
Gambar 8. Grafik hubungan deformasi dan jumlah lintasan
Kinerja campuran lainnya adalah ketahanan terhadap lelah (fatigue) sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 9. Sesuai dengan yang ditunjukkan pada Gambar 9, hubungan antara regangan dan umur kelelahan (Nf) AC-WC 0% dan 15% bitumen Asbuton hampir berimpit.
Pengamatan terhadap temperatur campuran beraspal Pada umumnya semua jenis campuran beraspal panas akan selalu mengalami penurunan temperatur, terutama campuran beraspal panas yang ditambah dengan Asbuton akan mengalami penurunan temperatur sangat signifikan, sehingga mutu lapisan yang dilapis dengan campuran panas dengan Asbuton sering mengalami kerusakan dini akibat temperatur pemadatan tidak sesuai persyaratan. Oleh karena itu untuk campuran beraspal panas dengan Asbuton pelet setelah dicampur, penurunan temperaturnya diamati, hasil pengamatan ditunjukkan pada Tabel 10.
Gambar 9. Hasil uji kelelahan menggunakan Beam Fatigue Apparatus Tabel 10. Pengamatan temperatur campuran beraspal panas dengan Asbuton pelet waktu pengamatan ke-1 (jam) 10.50 11.05 11.30 11.45 12.05 rata-rata
34
Temperatur campuran awal (0C) 156 163 159 166 174 170 170 172 171 171 169 170 175 171 173 168.69
waktu pengamatan ke-2 (jam) 12.50 13.30 13.45 14.00 14.28
Temperatur setelah didiamkan (0C) 145 157 151 160 160 160 155 155 155 160 165 163 160 160 160 158
Lamanya perbedaan waktu (jam)
Penurunan temperatur (0C)
Penurunan temperatur tiap jam (0C)
2.00
8.5
4.3
2.25
10.1
4.2
2.15
15.9
7.1
2.55
7.5
2.6
2.23
13.0
5.5 4.7
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 31 No. 1 April 2014, 24 – 37
Pengamatan yang ditampilkan pada Tabel 10 menunjukkan penurunan temperatur campuran beraspal panas yang dimodifikasi Asbuton Butir mengalami penurunan temperatur maksimum 7,1oC dan minimum bila dirata-ratakan penurunan 2,6oC, termperatur campuran adalah 4,7oC tiap jam nya. PEMBAHASAN Karakteristik Asbuton pelet dan pengaruhnya terhadap sifat aspal Sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel 2, Asbuton pelet yang digunakan memiliki kadar bitumen 35,5 atau lebih rendah dari kadar bitumen semi-ekstraksi yang merupakan bahan dasarnya dengan kadar bitumen sekitar 55%. Hal ini dikarenakan pada Asbuton pelet telah ditambahkan mineral bahan anti penggumpalan agar aspal semi-ekstraksi tersebut dapat berbentuk pelet dan tidak menggumpal. Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa bitumen Asbuton pelet memiliki nilai penetrasi 12 dmm, titik lembek 67oC dan indeks penetrasi (PI) -0,556. Bila dibandingkan dengan aspal minyak pen 60 (0% bitumen Asbuton) yang digunakan, sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel 4, bitumen Asbuton pelet lebih keras dan lebih tahan terhadap perubahan temperatur karena memiliki nilai PI yang lebih tinggi dibanding aspal minyak pen 60. Namun setelah ditambahkan pada aspal minyak, nilai PI terendah terjadi pada penambahan bitumen Asbuton pelet 20% dengan nilai PI -0,435. Hal ini mengindikasikan pada 20% kandungan bitumen Asbuton pelet, komposisi fraksi-fraksi dalam aspal mencapai optimum. Pengaruh Asbuton pelet terhadap sifat campuran Sebagaimana ditunjukkan oleh data pada Tabel 7, campuran beraspal panas dengan aspal mengandung bitumen Asbuton pelet yang lebih tinggi memiliki stabilitas Marshall dan kelelehan yang lebih tinggi. Hal ini mengindikasikan penambahan bitumen Asbuton
pelet dapat meningkatkan kemampuan campuran untuk memikul beban kendaraan yang lebih tinggi. Sedangkan apabila dilihat dari nilai perbandingan Marshall menunjukkan bahwa makin tinggi kadar bitumen Asbuton pelet, maka makin kecil nilai perbandingan Marshall yang berarti campuran beraspal tersebut makin elastis. Ini dimungkinkan sebagai akibat dari tingginya kadar resin dan aromatik dalam bitumen Asbuton, sehingga bitumen Asbuton memiliki sifat kohesi dan adhesi yang lebih tinggi dibanding aspal minyak. Sebagaimana ditunjukan dalam Gambar 7, bahwa semakin tinggi kadar bitumen Asbuton pelet, maka makin tinggi nilai modulus resilien, yang berarti dapat memikul beban kendaraan berat. Dari pengujian modulus dengan variasi temperatur, menunjukkan campuran beraspal panas yang ditambah Asbuton pelet lebih tahan terhadap perubahan temperatur, yang ditunjukkan dengan nilai modulus resilien pada temperatur tinggi yang lebih besar dibandingkan dengan campuran beraspal panas dengan aspal pen 60. Hal ini selain sejalan dengan nilai stabilitas Marshall, juga sejalan dengan sifat ketahanan deformasi campuran. Sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 8, makin tinggi kadar bitumen Asbuton pelet maka campuran makin tahan terhadap deformasi permanen. Kelebihan ini menunjukkan campuran beraspal menggunakan aspal minyak pen 60 yang ditambah Asbuton pelet dapat digunakan untuk pelapisan pada jalur jalan dengan lalu lintas berat, sedangkan campuran beraspal menggunakan aspal minyak pen 60 dengan nilai stabilitas dinamis kurang dari 2500 lintasan/mm tidak memenuhi syarat untuk pelapisan pada jalur jalan dengan lalu lintas berat. Campuran beraspal panas dengan menggunakan asbuton pelet memberikan suatu penurunan temperatur relatif sangat kecil dibandingkan dengan campuran asbuton lainnya. Hal ini memberikan keuntungan lokasi penghamparan bisa lebih jauh dari lokasi AMP dibandingkan campuran asbuton lainnya. Berdasarkan hasil pengujian, terdapat kelebihan campuran beraspal panas yang
Asbuton Pelet Sebagai Bahan Tambah Untuk Memperbaiki Sifat Aspal Dan Campuran Beraspal, (Madi Hermadi, Kurniadji)
35
ditambah Asbuton pelet yaitu lebih kaku dan lebih tahan terhadap alur yang diperlihatkan dengan makin tingginya nilai stabilitas Marshall dan Marshall Quotient serta lebih kecilnya kedalaman alur dan lebih tingginya stabilitas dinamis seperti yang ditunjukkan dari hasil uji alur menggunakan Wheel Tracking Machine. Pengujian ketahanan terhadap retak lelah pada campuran AC-WC pen 60 dan AC-WC pen 60 ditambah bitumen Asbuton pelet 15% menunjukkan umur kelelahan keduanya relatif sama. Sedangkan campuran dengan 20% bitumen Asbuton pelet memiliki grafik Nf yang lebih curam yang berarti umur kelelahannya lebih pendek dibandingkan campuran beraspal dengan 0% dan 15% bitumen Asbuton pelet.
diperlihatkan dengan peningkatan stabilitas dinamis yang tadinya 1500 lintasan/mm menjadi 3000 lintasan/mm, dengan penambahan Asbuton pelet menghasilkan grafik yang sama dengan tanpa Asbuton pelet dan dari hasil uji modulus pada temperatur 25oC terjadi peningkatan yang sebelumnya 2147 MPa menjadi 3234 MPa. 4. Dari data yang diperoleh penambahan Asbuton dalam campuran beraspal dapat digunakan untuk perkerasan jalan dengan lalu lintas berat. 5. Dari pengamatan yang telah dilakukan, penurunan temperatur campuran beraspal yang ditambah Asbuton pelet adalah tertinggi 7,1oC, terendah 2,6oC dan rata-rata per jam 4,7oC.
KESIMPULAN DAN SARAN
Saran
Kesimpulan Dari uraian yang telah dikemukakan dapat diambil kesimpulan dan saran sebagai berikut: 1. Dari data uji aspal, bitumen Asbuton pelet memperbaiki karakteristik aspal minyak pen 60, pada perbandingan 85% aspal minyak pen 60 dan 15% bitumen Asbuton pelet yang tadinya mempunyai nilai penetrasi 65 dmm berubah menjadi 60 dmm dengan titik lembek yang tadinya 48,80C menjadi 51,30C dan nilai indeks penetrasi yang tadinya -0,882 meningkat menjadi -0,442. 2. Dari uji Marshall, pada kadar aspal optimum yang sama 5,9% pada perbandingan 85% aspal minyak pen 60 dan 15% bitumen Asbuton pelet, meningkatkan karakteristik campuran beraspal, hal ini berdasarkan campuran beraspal sebelum ditambah Asbuton meningkatkan nilai stabilitas, yang sebelumnya 899 kg menjadi 1131 kg dan kelelehan turun dari 3,6 mm menjadi 3,52 mm, sehingga Marshall Quotient meningkat, yang sebelumnya 235 kg/mm menjadi 321 kg/mm. 3. Ditinjau dari segi deformasi dan ketahanan terhadap retak lelah serta modulus resilien campuran beraspal yang ditambah Asbuton pelet meningkatkan kinerja. Hal ini
36
Perlu dilakukan uji gelar di lapangan dengan lalu lintas berat untuk penerapan hasil uji di laboratorium sehingga dapat diketahui kinerja yang sebenarnya setelah dilakukan monitoring dan evaluasi. DAFTAR PUSTAKA American Standard Testing Materials. 2011, Standard Specification for Performance Graded Trinidad Lake Modified Asphalt Binder, ASTM D6626-09. 2011 Annual Book of ASTM Standards. Volume 04.03. West Conshohocken: ASTM. __________. 2011, Standard Specification for Trinidad Lake Modified Asphalt, ASTM D 5710-05. 2011 Annual Book of ASTM Standards. Volume 04.03. West Conshohocken: ASTM. ________. 2011, Standard Practice for Recovery of Asphalt from Solution Using the Rotary Evaporator, ASTM D 5404-03. 2011 Annual Book of ASTM Standards. Volume 04.03. West Conshohocken: ASTM. _________.2011. Standard Test Methods for Quantitative Extraction of Bitumen From Bituminous Paving Mixtures, ASTM D 217211, 2011 Annual Book of ASTM Standards. Volume 04.03. West Conshohocken: ASTM. Arora, M. G. and Kennedy, T. W. 1997. SHRP Asphalt Binder Specifications for Saudi
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 31 No. 1 April 2014, 24 – 37
Environment. In the Road Construction Rehabilitation and Maintenance Session of the XIIIth IRF World Meeting, Toronto: IRF Brown, E. R., Kandhal, P. S. dan Zhang, J. 2001. NCAT Report 01-05 Performance Testing for Hot Mix Asphalt. Alabama: National Center for Asphalt Technology (NCAT) Auburn University Indonesia. Kementerian Pekerjaan Umum, Dirjen Bina Marga. 2010. Spesifikasi Umum Dokumen Pelelangan Nasional APBN TA 2010 (Revisi-2). Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Marga. King, G. 2012. Asphalt Pellets: An Alternative Delivery System for Asphalt Products, http://www.pavingpellets.com/wpcontent/uploads/2012/02/asphalt-pelletwhite-paper.pdf.
Kurniadji dkk. 2006. Perencanaan, Pengawasan dan Evaluasi Teknik Pada Uji Skala Penuh Asbuton di Pasuruan. Bandung: Puslitbang Jalan dan Jembatan. Nono dan Hermadi, M. 2012. “Karakteristik Ketahanan Rutting Aspal Keras Kelas Penetrasi Berdasarkan Kriteria Kelas Kinerja”, Jurnal Jalan-Jembatan. Vol 29 No. 3. hal. 150-158 Nono dkk. 2005. Pengkajian penanganan Deformasi dan Retak akibat beban Lalu lintas. Bandung: Puslitbang Jalan dan Jembatan. Sheel Bitumen. 1995, The Shell Bitumen Industrial Handbook. Surrey: Sheel Bitumen. Williams, S. G. 2003. The Effects of HMA Mixture Characteristics on Rutting Susceptibility, TRB Annual Meeting, Department of Civil Engineering University of Arkansas, p. 14.
Asbuton Pelet Sebagai Bahan Tambah Untuk Memperbaiki Sifat Aspal Dan Campuran Beraspal, (Madi Hermadi, Kurniadji)
37
PENGARUH TEMPERATUR TERHADAP DAYA REKAT TACK COAT (THE EFFECT OF TEMPERATURE ON THE ADHESION OF TACK COAT) Atmy Verani Rouly Sihombing Jurusan Teknik Sipil POLBAN
Jl. Gegerkalong Hilir Ds. Ciwaruga Bandung 40012 e-mail :
[email protected]
Diterima:04 Maret 2014; direvisi: 20 Maret 2014; disetujui; 04 April 2014
ABSTRAK Penggunaan tack coat sebagai lapis perekat baik pada lapisan perkerasan lama-baru, sangat dibutuhkan. Idealnya penggunaan tack coat untuk pelapisan ulang membutuhkan penundaan waktu maksimum selama dua jam, namun gangguan cuaca dan masalah lalu lintas sering kali menyebabkan penundaan waktu tack coat lebih dari penundaan waktu maksimum tack coat. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui daya rekat tack coat akibat penundaan waktu selama lebih dari 5 jam dan dipanaskan kembali hingga mencapai temperatur tack coat yang bervariasi sebelum lapisan jalan baru dihamparkan. Pada penelitian ini dilakukan terhadap lataston HRS-WC, aspal pen 60, dengan kadar aspal 8,5%. Benda uji lapisan perkerasan lama diambil dari lapangan, kemudian ditambahkan tack coat sebanyak 0,0327 gr/cm2 sebagai lapis perekat dengan lapisan perkerasan baru pada setiap benda uji. Variasi temperatur tack coat yang digunakan adalah 400C, 500C, 600C, 700C, dan 800C, yang masing-masing terdiri dari tiga buah contoh uji. Uji terakhir yang dilakukan adalah dengan menggunakan alat uji geser, untuk mengetahui tahanan geser dan pergeseran benda uji. Berdasarkan analisis, hasil penelitian menunjukkan bahwa tack coat masih dapat digunakan sebagai lapis perekat pada temperatur tack coat sebesar 420C hingga 820C. Kata kunci: tack coat, lataston HRS–WC, aspal pen 60, temperatur, tahanan geser ABSTRACT The use of tack coat as an adhesive between layers either for old or new pavement is needed. In normal condition delay of tack coat used in overlaying process is maximum two hours, but sometime due to weather and traffic problem, application of tack coat takes longer than the maximum delay. The purpose of this study is to examine the adhesion level of tack coat due to more five hours delay time and reheated to different temperatures of tack coat before application . The study was carried out to the mix LATASTON HRS-WC, penetration 60 bitumen pen grade, with the asphalt content of 8,5 %. The sample test was taken from existing pavement, and then 0,0327 gr/cm2 of tack coat added to it as adhesion to new layers of bituminous mixes. Different tack coat temperatures used in this study are 40ºC, 50ºC, 60ºC, 70ºC, and 80ºC with 3 samples each . To find out the shear resistance and displacement of the samples, shear test was carried out. Based on the analysis, the study indicated that tack coat can be applied for overlay at temperature of 42ºC – 80ºC. Keywords: tack coat, HRS – WC, 60 bitumen pen grade, temperature, shear resistance
38
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 31 No. 1 April 2014, 38 – 49
PENDAHULUAN
KAJIAN PUSTAKA
Semakin berkembangnya zaman sangat mempengaruhi perkembangan konstruksi jalan, dengan adanya perkembangan tersebut memudahkan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Seiring dengan hal tersebut, kendaraan yang digunakan oleh manusia sebagai sarana transportasi pun makin berkembang dan meningkat baik dalam jumlah, ukuran, dan berat kendaraan yang bervariasi. Meningkatnya volume dan berat kendaraan menyebabkan makin kurangnya kemampuan jalan untuk menahan beban yang diterimanya, hal tersebut ditanggulangi dengan melakukan peningkatan kualitas jalan yang salah satunya adalah dengan cara pelapisan ulang sehingga daya dukung jalan dapat ditingkatkan. Pelapisan ulang pada suatu konstruksi jalan dibutuhkan suatu lapisan aspal perekat (tack coat), sehingga antara lapisan lama dengan lapisan baru ataupun lapisan baru dengan lapisan baru dapat melekat. Kegiatan pelapisan ulang biasanya harus dilakukan sesegera mungkin sebelum lapisan perekat mengering. Namun pada kenyataan di lapangan tidaklah demikian, hal tersebut diakibatkan banyaknya faktor yang mempengaruhi, terkadang pelapisan ulang dilakukan lama setelah tack coat mengering, hal tersebut dapat mengakibatkan hilangnya daya rekat tack coat, sehingga harus menambah atau menggantinya agar kualitas tack coat itu sendiri tidak berubah. Adanya penambahan atau pergantian tack coat yang telah dihamparkan akan mengakibatkan pemborosan biaya peningkatan jalan, oleh sebab itu perlu adanya suatu penelitian untuk menangani hal tersebut. Salah satunya adalah pemanasan kembali tack coat yang telah dihamparkan selama lebih dari waktu maksimum penghamparan dan diteliti daya rekatnya apakah masih memenuhi persyaratan atau tidak. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemanasan kembali tack coat yang sudah tergelar, terhadap daya rekatnya pada lapis overlay
Lataston HRS – WC Lapisan Tipis Aspal Beton (Lataston) adalah salah satu jenis campuran beraspal panas yang umumnya digunakan di Indonesia, biasa dikenal dengan nama Hot Rolled Sheet (HRS). Lataston merupakan lapis penutup yang terdiri dari campuran antara agregat bergradasi timpang, mineral pengisi (filler) dan aspal keras dengan perbandingan tertentu yang dicampur dan dipadatkan dalam keadaan panas. Tebal padat antara 2,5 cm-3 cm. Lataston umumnya dilaksanakan pada jalan yang telah beraspal dengan ketentuan sebagai berikut: a. Jalan yang stabil dan rata atau dibuat rata b. Jalan yang mulai retak-retak atau mengalami degradasi permukaan Jenis Lataston (Lapis Tipis Aspal Beton) atau Hot Roll Sheet ada dua macam, yaitu: a. Tipe HRS A, digunakan untuk jalan-jalan pada lalu lintas ringan atau sedang. b. Tipe HRS B, digunakan untuk jalan-jalan pada lalu lintas berat dan cenderung lebih stabil bila dibandingkan dengan tipe HRS A. Adapun kriteria lalu lintas ringan, sedang, dan berat adalah sebagai berikut: 1. Ringan : 100 UE 18 KSAL 2. Sedang : 100-1000 UE 18 KSAL 3. Berat : 1000-4000 UE 18 KSAL
Pengaruh Temperatur Terhadap Daya Rekat Tack Coat, (Atmy Verani Rouly Sihombing)
UE 18 KSAL (Unit Equivalent 18 Kips Single Axle Load) adalah satuan beban as kendaraan dalam 18000 pound beban as tunggal. Bahan LATASTON terdiri dari agregat kasar, agregat halus, filler dan aspal keras. Bahan harus terlebih dahulu diteliti mutu dan gradasinya. Penggunaan hasil pencampuran aspal dari beberapa pabrik yang berbeda tidak dibenarkan, walaupun jenis aspalnya sama. Overlay Lapisan tambahan atau yang biasa disebut dengan overlay adalah lapisan perkerasan jalan yang berfungsi untuk meningkatkan kembali kekuatan struktur perkerasan, yang mana konstruksi jalan tersebut
39
telah habis masa pelayanannya dan telah mencapai indeks permukaan akhir. Dalam perencanaan tebal dari jenis lapisan tambahan atau overlay yang dibutuhkan harus sesuai dengan spesifikasi yang ada. Oleh sebab itu, jika perencanaan tebal lapisan tambahan melebihi ketebalan maksimal yang diizinkan untuk suatu jenis campuran maka lapisan tambahan tersebut harus dibuat dua lapis atau biasa disebut dengan overlay ganda. Penggunaan lapisan tambahan ini biasanya membutuhkan tack coat sebagai perekat overlay dengan lapisan perkerasan lama ataupun dengan lapisan perkerasan baru. Tack coat Lapis perekat (tack coat) adalah penggunaan aspal pada permukaan perkerasan beraspal yang bertujuan untuk mengikat permukaan lapis beraspal lama dengan lapis beraspal baru. Selain itu terdapat beberapa definisi mengenai tack coat adalah pelaburan aspal cair cepat mantap Rapid Setting (RS) di atas lapisan beraspal lama untuk membantu ikatan dengan konstruksi lapisan beraspal baru agar membentuk satu kesatuan konstruksi perkerasan yang monolit (Atkins 1983). Adapun yang mengatakan bahwa tack coat adalah laburan perekat di atas perkerasan beton atau beraspal yang akan dilapisi lagi dengan lapisan beraspal (Oglesby and Hicks 1996). Pada Spesifikasi Umum Bidang Jalan dan Jembatan Revisi 2, dinyatakan bahwa jenis aspal emulsi yang dapat digunakan sebagai tack coat adalah jenis Rapid Setting (RS) yang memenuhi ketentuan AASHTO M140 (AASHTO 2012) atau AASHTO M208-01 (2009) (AASHTO 2012). Sedangkan aspal cair (cutback asphalt) yang dapat digunakan adalah jenis Middle Curing (MC), harus dibuat dengan menggunakan aspal semen Pen 60/70 atau Pen.80/100 yang memenuhi ketentuan AASHTO M20-70 (AASHTO 2008), diencerkan dengan 25 sampai 30 bagian minyak per 100 bagian aspal.
40
Alat uji geser langsung Pengujian tahanan geser pada setiap contoh uji pada tulisan ini dilakukan secara langsung dengan menggunakan alat uji geser langsung, yang mana alat ini mirip dengan alat uji geser yang biasa digunakan untuk menentukan besarnya parameter geser tanah, modifikasinya hanya dilakukan pada proving ring dan tempat benda uji. Proving ring yang digunakan sebesar 4000 kg dan tempat benda uji yang berbentuk silinder. Pemeriksaan benda uji dengan alat uji geser langsung ini menghasilkan angka (dial) tanpa satuan baik pergeserannya maupun tahanan gesernya. Setelah mendapat dial tersebut, kemudian dial tersebut dikalibrasi, sehingga menghasilkan tahanan geser dengan satuan kg, dan pergeseran dengan satuan mm. Sertifikat kalibrasi tersebut sesuai prosedur ISO/DIS 376-2002 (ISO 2002) yang dikeluarkan oleh Balai Besar Logam dan Mesin. Pada pengujian ini, benda uji diletakkan pada silinder geser kemudian diberi beban normal (N) sebesar 20 kg. Uji geser ini dilakukan arah mendatar dengan kecepatan pergeseran sebesar 20 mm/menit. Kekuatan geser Adanya beban kendaraan yang melewati suatu perkerasan jalan akan mengakibatkan terjadinya gaya geser dan momen lentur pada lapis perkerasan tersebut. Momen lentur yang terjadi diakibatkan adanya gaya tarik pada tepi bawah lapisan beraspal. Sedangkan gaya geser terjadi akibat adanya percepatan atau perlambatan laju kendaraan. Pada struktur perkerasan, agar tidak terjadi slip antar lapisan pada struktur perkerasan, gaya geser yang timbul harus mampu ditahan oleh ikatan pada interface antar lapisan. Untuk tujuan tersebut tack coat biasanya digunakan. Pemberian tack coat pada bidang kontak antar lapisan (interface) dimaksudkan untuk meningkatkan daya lekat (adhesi) dua lapisan agar menjadi satu kesatuan.
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 31 No. 1 April 2014, 38 – 49
Kemampuan tack coat untuk menahan gaya geser ini sangat dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas tack coat serta kondisi permukaan dimana tack coat tersebut digunakan. Terdapat beberapa penelitian terkait akan hal tersebut, salah satunya adalah penelitian mengenai pengaruh penggunakan berbagai jenis tack coat sebagai bahan perekat, temperatur dan waktu pengeringan terhadap kuat geser lapisan. Pada penelitian tersebut disimpulkan bahwa massa tack coat akan berkurang, tetapi daya rekatnya akan meningkat sampai mencapai suatu nilai konstan tertentu setelah proses pengeringan beberapa jam. Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mengering tergantung pada kuantitas tack coat yang digunakan dan kurang dipengaruhi oleh cuaca. Selain itu pada penelitian Arief (2002). dikatakan bahwa spesifikasi penggunaan jumlah tack coat pada perkerasan beraspal masih sangat bervariasi dari segi penyebaran dan bahan yang digunakannya. Penelitiannya terhadap aspal cair tipe MC-250 dan aspal emulsi tipe CRS-1 dengan penyebaran yang bervariasi. Kesimpulan yang didapatkan dari penelitian tersebut mengatakan bahwa, untuk aspal cair jenis MC-250 yang digunakan sebagai tack coat pada perkerasan lama-baru dengan penyebaran 0,2 l/m² hingga 0,5 l/m² memiliki tahanan geser sebesar 25,557 kg/m² hingga 37,227 kg/m². Penelitian lain yang terkait dengan penelitian ini ialah penelitian Maesa (2005) yang menggunakan MC -250 sebagai bahan perekat antara lapisan perkerasan jalan lama dengan jalan yang baru (overlay), didapatkan tahanan geser optimum sebesar 32,56 x10-2 kg/cm2 dan pergeseran sebesar 2,462 mm pada penundaan 2 jam, dengan penyebaran tack coat sebesar 0,3 l/m2. Pembuktian mengenai tahanan geser optimum pada penundaan waktu tack coat selama 2 jam di penelitian tersebut, digambarkan pada Gambar 1.
Pengaruh Temperatur Terhadap Daya Rekat Tack Coat, (Atmy Verani Rouly Sihombing)
Sumber: Maesa (2005)
Gambar 1.
Grafik hubungan tahanan geser vs penundaan waktu
HIPOTESIS Hipotesis dari tulisan ini adalah besarnya tahanan geser suatu lapis overlay dengan menggunakan tack coat MC-250 yang dipanaskan kembali setelah dihamparkan dengan penyebaran tack coat sebesar 0,3 l/m2 dan dilakukan penundaan lebih dari lima jam pada rentang suhu tertentu masih memenuhi syarat tahanan geser minimum (32,56 x10-2 kg/cm2) berdasarkan hasil penelitian (Maesa 2005), sehingga tack coat tersebut masih dapat dipergunakan (tidak perlu menambah atau mengganti tack coat yang sudah terhampar) untuk lapis perekat overlay jenis campuran Lataston HRS – WC. METODOLOGI Metodologi pengkajian pada tulisan ini berdasarkan pada pendekatan laboratorium dengan melakukan percobaan-percobaan yang kemudian dianalisis dengan menggunakan batasan nilai tahanan geser dari pengujian yang sudah ada antara perkerasan lama dengan perkerasan baru. Berdasarkan metodologi penelitian maka urutan kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Studi pustaka. 2. Penyiapan dan pengujian alat dan bahan (agregat dan aspal).
41
3. Pembuatan rencana campuran beraspal dengan metode Marshall dan persyaratan Bina Marga tentang campuran Lataston HRS-WC. 4. Pembuatan benda uji dengan variasi temperatur tack coat yang telah dipanaskan kembali setelah dilakukan penundaan overlaying selama lebih dari lima jam. 5. Pengujian kekuatan geser (direct shear) antara perkerasan jalan beraspal lama dan baru.
6. Analisa data. Untuk mendapatkan data hasil pengujian, dilakukan penelitian di Laboratorium Material Perkerasan Jalan - Institut Teknologi Nasional Bandung dan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan dan Jembatan Bandung. Diagram alir untuk penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.
Mulai
Studi Literatur
Persiapan Alat dan Bahan
Pembuatan Tack coat
Contoh Uji Lapangan
Pemeriksaan Agregat
Pemeriksaan Aspal Pen 60
(data Sekunder) Contoh lapangan + Tack coat
Perhitungan Kadar Aspal Acuan (KAA) : P = 0,35(%CA) + 0,045(%FA) + 0,18(%Filler) + K
Penundaan waktu selama > 5 jam
Pembuatan benda uji dengan kadar aspal acuan : KAA ± 0,5 %
Pemanasan Kembali Tack coat
Uji Marshall Variasi Temperatur akibat pemanasan kembali Kadar Aspal Optimum 40° C
50° C
60° C
70° C
80° C
Pembuatan benda uji @ 3 buah
Uji Geser
Analisis hasil Percobaan
Kesimpulan dan Saran
Selesai
Gambar 2. Diagram alir prosedur kerja penelitian
42
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 31 No. 1 April 2014, 38 – 49
2. 3.
4.
5.
6. 7.
HASIL DAN ANALISIS Hubungan waktu pemanasan dan temperatur tack coat setelah pemanasan kembali Tack coat yang telah digelar dan ditunda selama lebih dari lima jam pada benda uji dipanaskan dalam ruang tertutup dengan menggunakan alat pengering rambut hingga tack coat mencapai variasi temperatur yang berbeda pada waktu pemanasan yang bervariasi pula. Adapun hubungan temperatur dan waktu pemanasan tack coat yang dihasilkan dari percobaan pada penelitian ini dijabarkan pada Tabel 1 dan digambarkan pada grafik di Gambar 3.
Pengaruh Temperatur Terhadap Daya Rekat Tack Coat, (Atmy Verani Rouly Sihombing)
Tabel 1. Hubungan waktu pemanasan dengan Temperatur Waktu (menit) 5 15 30 45 60 75 90 105 120 135 150
Temperatur (ºC) 49 52 55 60 64 69 77 80 82 82 82
90 80
Temperatur (ºC)
Adapun batasan lingkup kegiatan adalah: agregat yang memenuhi persyaratan perkerasan Lataston HRS-WC sesuai spesifikasi SNI 03-1971-1990 (BSN 1990), SNI 03-24171991 (BSN 1991) dan SNI 03-1968-1990 (BSN 1990) Aspal yang digunakan adalah aspal yang memenuhi persyaratan aspal penetrasi 60. Pemeriksaan agregat kasar, agregat halus, filler, dan aspal dilakukan menggunakan prosedur yang ditentukan oleh SNI 031968-1990 (BSN 1990). Aspal cair yang digunakan sebagai tack coat adalah Jenis MC-250, yang berfungsi sebagai perekat antara lapisan perkerasan jalan lama-baru. Tack coat dipanaskan kembali setelah penundaan lebih dari 5 jam dengan variasi temperatur tack coat yang digunakan adalah 400C, 500C, 600C, 700C, dan 800C. Penggunaan tack coat yang dihamparkan di atas permukaan lapisan perkerasan jalan lama sebanyak 0,3 l/m2. Evaluasi kinerja tack coat dilakukan dengan uji geser langsung menggunakan alat uji geser.
1. Agregat yang digunakan adalah
70 60 50 40 0
20
Gambar 3.
40
60
80
100
Waktu (menit)
120
140
160
Grafik acuan temperatur pemanasan kembali tack coat
Persiapan benda uji campuran beraspal Persiapan benda uji campuran beraspal dilakukan dengan terlebih dahulu menguji bahan agregat, aspal yang dipergunakan. Hal tersebut dilakukan sebagai jaminan bahwa bahan yang digunakan telah memenuhi persyaratan kualitas bahan untuk suatu campuran beraspal. Pengujian dilakukan sesuai dengan Standar Nasional Indonesia untuk agregat dan aspal (Indonesia 2007). Hasil penentuan gradasi acuan yang digunakan Hasil penentuan gradasi acuan diperlihatkan pada Tabel 2.
43
Tabel 2. Acuan gradasi agregat yang digunakan Ukuran Saringan
Gradasi Agregat yang Digunakan
No.
Bukaan (mm)
% Lolos
% Tertahan
3/4” 1/2” 3/8” No.4 No.8 No.30 No.40 No.50 No.100 No.200 Filler
19 12,5 9,5 4,75 2,36 0,6 0,425 0,3 0,15 0,075 -
100 95 80 70 61 50 41 35 22 9 0
5 15 10 9 11 9 6 13 13 9
Sumber: Indonesia (2002)
Batasan Agregat
100 90-100 75-85 50-72 35-60 6-12 -
Hasil penentuan kadar aspal acuan Perhitungan kadar aspal acuan (KAA) mengikuti rumus:. Pb
= 0,035 (%CA) + 0,045 (%FA) + 0,18 (%filler) + K
Keterangan: Pb = kadar aspal tengah/ideal, persen terhadap berat campuran % CA = persentase agregat tertahan saringan No.8 % FA = persentase agregat lolos saringan No.8 dan tertahan saringan No. 200 % filler = persentase lolos saringan No. 200 K = konstanta, untuk HRS = 2,0-3,0
Perhitungan di atas diambil sesuai dengan penggunaan gradasi agregat campuran yang digunakan. Dari gradasi agregat yang digunakan didapatkan:
%CA %FA %Filler K Pb Pb
= 39 % = 52 % =9% = 2,0 = 0,035 (%CA) + 0,045 (%FA) + 0,18 (%filler) + K = (0,035 x 39) + (0,045 x 52) + (0,18 x 9) + 2,0 = 7.325 % ≈ 7,5%
Pada penelitian ini, kadar aspal yang digunakan adalah 7,5% ± 0,5%, sehingga didapatkan variasi nilai kadar aspal tersebut
44
antara lain: 6,5%; 7%; 7,5%; 8%; 8,5%; 9%. Yang selanjutnya dengan dilakukannya pengujian Marshall, didapatkan nilai kadar aspal optimum. Hasil pemeriksaan agregat Pemeriksaan agregat dilakukan sesuai dengan prosedur uji di laboratorium sesuai SNI 03-1969-1990 (BSN 1990) dengan jenis pengujian yang meliputi pengujian berat jenis, penyerapan, uji abrasi dan uji kepipihan agregat. Dimana agregat yang diuji terdiri dari agregat kasar, agregat halus dan abu batu (filler). Hasil pemeriksaan agregat dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Pemeriksaan agregat Jenis Pengujian Berat Jenis a. Agregat Kasar b. Agregat Halus c. Filler Penyerapan
Bulk
Hasil Pengujian SSD Apparent
2,25 2,47
2,32 2,56
2,5 2,71
a. Agregat Kasar b. Agregat Halus Uji Abrasi Indeks Kepipihan
Effektif 2,33 2,59 2,00 3,09 % 3,46 % 24,93 % 19,50 %
Hasil pemeriksaan aspal Pemeriksaan karakteristik aspal ini meliputi beberapa jenis pemeriksaan, antara lain: penetrasi, titik lembek, titik nyala, daktilitas, dan berat jenis. Pemeriksaan yang mengikuti prosedur uji laboratorium sesuai SNI 06-2456-1991 (BSN 1991), SNI 06-2432-1991 (BSN 1991) dan SNI 2433-2011 (BSN 2011). Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Pemeriksaan aspal Jenis Pemeriksaan Penetrasi Titik Lembek Titik Nyala Daktilitas Berat Jenis
Persyaratan Min Maks 60 79 48 58 200 100 1 -
Aspal Pen 60 74 48 308 157 1,03
Satuan 0,1 mm ºC ºC cm -
Pengujian campuran beraspal Pengujian campuran beraspal dilakukan untuk mendapatkan rumusan perbandingan
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 31 No. 1 April 2014, 38 – 49
agregat terhadap aspal, sehingga sifat–sifat campuran yang digunakan memenuhi persyaratan yang diinginkan dalam hal ini persyaratan untuk campuran Lataston HRS – WC sesuai dengan Persyaratan Campuran Lapisan Tipis Aspal Beton (Indonesia 2002). Metode yang digunakan untuk mendapatkan rumusan campuran beraspal ini adalah metode Marshall.
Tabel 5. Hasil pemeriksaan benda uji untuk aspal pen 60
Hasil pengujian Marshall Pengujian campuran beraspal berdasarkan (AASHTO 1993) dilakukan dengan pengujian Marshall, pada penelitian ini benda uji dibuat dengan menggunakan gradasi seperti yang diberikan pada Tabel 2 dan menggunakan aspal pen 60 dengan sifat-sifat yang diberikan pada Tabel 4. Dari hasil uji Mashall dapat dibuat grafik hubungan sifat-sifat campuran beraspal, yaitu kadar aspal vs stabilitas, kadar aspal vs flow, kadar aspal vs VIM, kadar aspal vs VMA, kadar aspal vs VFA, dan kadar aspal vs Marshall Quotient. Dari grafik hubungan antara parameter Marshall dengan kadar aspal dapat ditentukan kadar aspal yang diperlihatkan pada Gambar 4. Rentang kadar aspal yang didapatkan adalah 8,1%-8,6%, sehingga didapatkan kadar aspal optimum sebesar 8,35%. Pada penelitian ini kadar aspal yang digunakan adalah 8,5%. Hasil pemeriksaan benda uji dengan kadar aspal optimum sebesar 8,35%, didapatkan nilai dari parameter Marshall yang dapat dilihat pada Tabel 5.
Penyiapan benda uji untuk pengujian kuat geser Benda uji yang dibuat terdiri dari tiga lapisan, yaitu lapisan beraspal yang merupakan contoh lapangan (lapisan perkerasan jalan lama), lapisan tack coat, dan lapisan beraspal sebagai overlay. Lapisan pertama (contoh lapangan) dan lapisan kedua merupakan lapisan beraspal yang dibuat dengan menggunakan agregat yang sesuai dengan spesifikasi bahan untuk Lataston, dengan menggunakan bahan pengikat aspal minyak pen 60. Campuran beraspal untuk lapisan ini dibuat dengan gradasi timpang. Campuran beraspal dibuat pada kadar aspal optimum campuran yaitu sebesar 8,5% terhadap berat total campuran. Jenis tack coat yang digunakan pada penelitian ini adalah jenis MC-250. Kuantitas penggunaan tack coat dibuat sama untuk setiap contoh uji, yaitu 0,3 liter/m² atau 0,0327 gram/cm². Karena keterbatasan untuk pengambilan contoh lapangan, maka lapis pertama yang merupakan contoh lapangan dibuat di laboratorium dengan spesifikasi yang telah ditentukan. Lapis pertama dibuat dengan meletakan campuran beraspal panas yang gembur ke dalam cetakan (mold) dengan ukuran 152,4 mm ± 0,2 mm (6 inci ± 0,008 inci), tinggi 95,2 mm (3,75 inci) lalu dipadatkan oleh alat pemadat, lalu dimasukkan ke dalam oven dengan temperatur 85ºC selama lima hari. Setelah itu lapisan tack coat sebanyak 0,3 liter/m2 atau 3 gram digelar di atas lapis pertama (contoh lapangan), lalu dilakukan penundaan waktu terhadap tack coat yang telah digelar selama lebih dari lima jam. Setelah itu lapisan tack coat dipanaskan hingga mencapai temperatur yang bervariasi, yaitu 40ºC; 50ºC;
Gambar 4.
Penentuan kadar aspal optimum untuk aspal pen 60
Pengaruh Temperatur Terhadap Daya Rekat Tack Coat, (Atmy Verani Rouly Sihombing)
Parameter Kadar Aspal VMA VIM VFA Stabilitas Marshall Flow Marshall Quotient
Hasil Pengujian 8,35 18,11 4,49 73,15 1206,04 3,69 326,84
Satuan % % % % kg mm kg/mm
45
60ºC; 70ºC; 80ºC. Selanjutnya campuran beraspal panas yang gembur diletakkan di atas lapisan perekat yang telah dipanaskan kembali dan dipadatkan oleh alat pemadat. Setelah dingin contoh uji dapat dikeluarkan dari cetakan. Benda uji yang telah dibuat tersebut, selanjutnya diuji geser langsung. Pengujian tahanan geser Pengujian kuat geser langsung dilakukan di laboratorium untuk mengetahui kuat geser antara lapisan lama (contoh lapangan yang telah dihamparkan tack coat dengan penundaan lebih dari lima jam dan dipanaskan kembali) dengan lapisan baru (Lataston HRS-WC). Benda uji yang disimpan pada alat uji geser langsung diberi gaya normal dengan berat 20 kg yang kemudian diberikan gaya horizontal pada lapisan campuran beraspal yang sejajar dengan bidang kontak antara lapis permukaan beraspal lama dengan lapisan permukaan baru (overlay), yang besar gayanya terus meningkat dengan kecepatan geser 20 mm/menit, hingga terjadi keruntuhan geser dari kedua lapisan campuran beraspal tersebut. Adapun contoh benda uji dan alat uji geser langsung digambarkan pada Gambar 5, Gambar 6a dan Gambar 6b. Dari hasil pengujian tahanan geser, didapatkan nilai tahanan geser (kg/cm2) dan nilai pergeseran (mm) dengan hasil seperti yang dijabarkan pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil pengujian pemanasan kembali terhadap daya rekat tack coat Temperatur Tack coat (ºC) 40 50 60 70 80
46
Tahanan Geser (kg/cm²)
Pergeseran (mm)
0,165 0,294 0,358 0,326 0,422 0,551 0,422 0,454 0,519 0,487 0,294 0,519 0,358 0,358 0,744
4,2 4,2 4,3 3,6 3,6 3,4 3,4 3,4 3,4 3,4 4,0 3,7 3,8 3,7 3,5
PEMBAHASAN Agregat Untuk agregat kasar, berdasarkan spesifikasi HRS-WC berat jenis apparent agregat minimum 2,50 dan penyerapan agregat terhadap air maksimum 3%, karena agregat kasar yang diuji memiliki berat jenis apparent 2,50 dan penyerapan 3,09%, maka agregat kasar tersebut memenuhi persyaratan untuk berat jenis tetapi penyerapan tidak memenuhi syarat. Untuk agregat halus, disyaratkan berat jenis apparent 2,50 dan penyerapan terhadap air maksimum 3%. Agregat yang diuji memenuhi syarat yang ditentukan karena memiliki berat jenis apparent 2,71 dan penyerapan 3,46 tidak memenuhi persyaratan. Abu batu memiliki berat jenis 2,39 dan tidak terdapat persyaratan minimum untuk berat jenis. Untuk pemeriksaan abrasi dan indeks kepipihan memenuhi persyaratan. Aspal
Pada spesifikasi aspal pen 60 untuk Lataston No.12/PT/B/1983 (Indonesia 1983) penetrasi minimum adalah 6 mm dan penetrasi maksimum 7,9 mm. Dari hasil penelitian didapatkan penetrasi 7,4 mm, maka penetrasi aspal tersebut memenuhi syarat. Titik lembek yang didapatkan dari hasil penelitian adalah 48oC, pada persyaratan batas minimum titik lembek adalah 48ºC dan batas maksimumnya adalah 58oC. Maka titik lembek aspal tersebut memenuhi syarat. Titik nyala yang didapatkan adalah 308oC, maka titik nyala aspal tersebut memenuhi persyaratan karena minimum titik nyala pada 200oC. Pada penelitian daktilitas, aspal yang diuji putus pada 157 cm hal tersebut menunjukkan bahwa daktilitas aspal yang digunakan memenuhi persyaratan daktilitas yaitu minimum 100 cm. Untuk berat jenis aspal didapakan berat jenis sebesar 1,03 yang melebihi batas minimum persyaratan berat jenis yaitu 1. Dari semua persyaratan, aspal yang diuji untuk digunakan pada penelitian ini memenuhi syarat.
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 31 No. 1 April 2014, 38 – 49
Gambar 5. Contoh benda uji penelitian
untuk lapisan perkerasan jalan lama dan baru. Dari Gambar 7a dapat diketahui bahwa pada temperatur 42oC hingga 79oC, tahanan geser yang dihasilkan lebih dari tahanan geser minimum yang ditetapkan sedangkan untuk pergeserannya, pada temperatur 60oC mencapai nilai minimum sebesar 3,4 mm seperti terlihat pada Gambar 7b. Kualitas tack coat optimum didapatkan pada saat temperatur tack coat setelah pemanasan kembali mencapai 60ºC, karena tahanan geser yang dihasilkan maksimal sebesar 48x10-2 kg/cm2 dan pergeserannya minimum. batas min
Gambar 6a. Tampak atas alat uji geser
*) tahanan geser hasil study Maesa, 2005
Gambar 7a. Grafik hubungan terhadap temperatur
tahanan
geser
Gambar 6b. Tampak samping alat uji geser
Tahanan geser Uji geser yang dilakukan pada penelitian menggunakan beban 20 kg, yang kemudian menghasilkan parameter berupa pergeseran (mm) dan tahanan geser (kg/m2). Selanjutnya dibuat grafik antara temperatur terhadap tahanan geser dan temperatur terhadap pergeseran (Gambar 7a dan 7b). Adapun batasan minimum tahanan geser pergeseran pada penelitian ini menggunakan hasil penelitian (Maesa 2005) yaitu sebesar 32,56 x10-2 kg/cm2 dan pergeseran sebesar 2,462 mm. Makin besar tahanan geser dan makin kecil pergeseran yang dihasilkan maka makin baik kualitas tack coat tersebut untuk merekatkan antar lapisan perkerasan jalan, baik
Pengaruh Temperatur Terhadap Daya Rekat Tack Coat, (Atmy Verani Rouly Sihombing)
Gambar 7b. Grafik hubungan pergeseran terhadap temperatur
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil pengujian dan analisis terhadap penelitian pengaruh pemanasan kembali lapis perekat (tack coat) MC-250 terhadap daya rekatnya dapat disimpulkan sebagai berikut:
47
1. Pada pemeriksaan temperatur tack coat MC250 akibat pemanasan kembali dengan tahanan geser dapat disimpulkan bahwa: a. Temperatur tack coat setelah pemanasan kembali sebesar 42ºC-79ºC menghasilkan tahanan geser lebih dari tahanan geser maksimal yang dihasilkan dari penundaan waktu tack coat selama 2 jam sebesar 32,56 x10-2 kg/cm2. b. Temperatur tack coat setelah pemanasan kembali kurang dari 420C dan lebih dari 790C menghasilkan tahanan geser kurang dari tahanan geser minimum yang dihasilkan dari penundaan waktu tack coat selama 2 jam sebesar 32,5631x10-2 kg/cm2. 2. Pada pemeriksaan temperatur tack coat MC250 akibat pemanasan kembali dengan pergeseran dapat disimpulkan bahwa: a. Temperatur tack coat sebesar 600C menghasilkan pergeseran minimum sebesar 3,4 mm. b. Temperatur tack coat lebih besar dan lebih kecil dari 600C menghasilkan pergeseran yang lebih besar dari 3,4 mm. 3. Dengan hasil tahanan geser yang besar akan memperoleh pergeseran yang kecil maka daya rekat tack coat MC-250 akan optimal, hal tersebut dicapai pada saat temperatur 600C. Saran
Berdasarkan hasil studi dan pengujian yang dilakukan di laboratorium, maka disarankan untuk penundaan waktu tack coat yang sudah tergelar lebih dari lima jam sebaiknya dilakukan pemanasan kembali hingga mencapai temperatur tack coat 400C-790C. Adapun alat pemanas dapat berupa alat penyemprot air atau aspal yang dimodifikasi menjadi alat penyemprot uap panas. DAFTAR PUSTAKA American Association of State Highway and Transportation Officials. 1993. Guide For Design of Pavement Structure, Washington DC: AASHTO.
48
American Association of State Highway and Transportation Officials. 2008. Standard specification for Penetration graded asphalt cement. M 20-70 (2004). Standard Specifications for Transportation materials and methods of sampling and Testing. 28th ed. Part 1A: Specifications. Washington, DC: AASHTO. American Association of State Highway and Transportation Officials. 2012. Standard Specification for Emulsified Asphalt. AASHTO M 140-08. Standard Specifications for Transportation materials and methods of sampling and Testing. 32nd ed. Part 1A: Specifications. Washington, DC: AASHTO. American Association of State Highway and Transportation Officials. 2012. Standard Specification for Cationic Emulsified Asphalt. AASHTO M 208-01(2009). Standard Specifications for Transportation materials and methods of sampling and Testing. 32nd ed. Part 1A: Specifications. Washington, DC: AASHTO. Arief . 2002. Tinjauan Kuat Geser dan Aspal Emulsi sebagai Tack coat antara Wearing dan Binder Course. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Atkins, Harold N. 1983. Highway Materials, Soils dan Concrete, Second Edition, Reston: Reston Publishing Company. Badan Standardisasi Nasional. 1990. Standar Nasional Indonesia, Metode Pengujian Berat Jenis Dan Penyerapan Air Agregat Kasar, SNI 03-1969-1990. Jakarta: BSN ________. 1990. Metode Pengujian Tentang Analisis Saringan Agregat Halus dan Kasar, SNI 03-1968-1990. Jakarta: BSN. ________. 1990. Metode Pengujian Kadar Air Agregat, SNI 03-1971-1990. Jakarta: BSN. ________. 1990. Penetrasi Bahan-bahan Bitumen, SNI 06-2456-1991. Jakarta: BSN ________ . 1991. Metode Pengujian Duktalitas Bahan-bahan Aspal, SNI 06-2432-1991. Jakarta: BSN. ________. 1991. Metode Pengujian Keausan Agregat Dengan Mesin Los Angles, SNI 032417-1991. Jakarta: BSN. ________. 2011. Cara uji titik nyala dan titik bakar aspal dengan alat Cleveland open cup. SNI 2433:2011. Jakarta: BSN. Indonesia. Departemen Pekerjaan Umum. Ditjen Bina Marga. 1983. Petunjuk Pelaksanaan Lapis Tipis Aspal beton (Flexibel)
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 31 No. 1 April 2014, 38 – 49
(Lataston).No. 12/PT/B/1983. Jakarta: Ditjen Bina Marga. _______. Kementerian Pekerjaan Umum, Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan. 2002. Petunjuk Pelaksanaan Lapis Tipis Aspal Beton (Lataston). Bandung: Pusjatan ________. 2007. Departemen Pekerjaan Umum. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 28/PRT/M/2007 tentang Pedoman pelaksanaan lapis campuran beraspal panas. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum
Pengaruh Temperatur Terhadap Daya Rekat Tack Coat, (Atmy Verani Rouly Sihombing)
International Organization for Standardization. Metallic materials – calibration of force – proving instruments used for the verification of uniaxial testing machines. ISO/DIS 366:2002. Maesa. 2005. Pengaruh Penundaan Waktu Pengaspalan Terhadap Daya Rekat Tack coat Pada Perkerasan Jalan Raya. Skripsi. ITENAS. Oglesby and Hiks. 1996. Highway Engineering. 4th edition. New Jersey: John Wiley & Son.
49
DAMPAK MANAJEMEN LALU LINTAS CONTRAFLOW TERHADAP DERAJAT KEJENUHAN DAN KESELAMATAN DI JALAN TOL (IMPACT OF CONTRAFLOW TRAFFIC MANAGEMENT TOWARDS DEGREE OF SATURATION AND ROAD SAFETY IN TOLL ROAD) R. Sri Bintang Pamungkas1), Edwin Hidayat2), Disi M. Hanafiah3) 1),2),3) 1),2),3) Jl
Puslitbang Jalan dan Jembatan
A.H Nasution No. 264, Bandung 40294 1) e-mail:
[email protected] 2) e-mail:
[email protected] 3) e-mail:
[email protected]
Diterima:12 Februari 2014; direvisi: 20 Maret 2014; disetujui: 04 April 2014
ABSTRAK Volume kendaraan yang sangat tinggi terutama di daerah Jabodetabek disinyalir menyebabkan tingkat kemacetan yang tinggi pula. Bahkan kemacetan juga terjadi di Jalan tol yang notabene merupakan jalan bebas hambatan, namun kemacetan yang terjadi hanya bersifat sementara karena terjadi pada jam-jam tertentu, hal ini diindikasikan karena perjalanan komuter dari daerah satelit bodetabek ke Jakarta. Salah satu solusi untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan manajemen lalu lintas contraflow. Tulisan ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh contraflow terhadap waktu terbaik pelaksanaan contraflow, pengurangan derajat kejenuhan dan evaluasi peraturan dari aspek keselamatan jalan. Studi kasus dilakukan di jalan tol Jakarta – Tangerang, pengambilan data primer dilakukan dengan metode video camera selama 5 x 24 jam. Kemudian dianalisa dengan metode kecepatan, mensimulasikan volume kendaraan tanpa contraflow dan dengan contraflow, serta studi literatur peraturan yang berlaku terkait keselamatan jalan. Dari hasil analisis diketahui bahwa pelaksanaan manajemen lalu lintas contraflow sudah tepat dilaksanakan dari jam 06.00-09.00, kemudian contraflow dapat mengalirkan aliran lalu lintas rata-rata sebesar 800 smp/jam/lajur, dan mengurangi tingkat derajat kejenuhan sebanyak 0,14. Dari hasil kajian literatur contraflow masih dimungkinkan untuk dilakukan dengan persyaratan pembatasan kecepatan. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa contraflow mempunyai dampak yang baik dalam mengurangi kemacetan. Kata kunci: contraflow, jalan tol, manajemen lalu lintas, derajat kejenuhan, keselamatan jalan ABSTRACT A very high volume of vehicles especially in Jabodetabek is presumed causing a very high level of congestion. Even congestion occured on a highway which is supposed to be a freeway, although the congestions are temporary because its occured during a certain time, this due to a traveling commuter from Bodetabek satelite’s region to Jakarta. One of the solutions to cope with this problem is traffic management contraflow. This research aimed to understand the contraflow impact for the best time of contraflow implementation , reducing the degree of saturation level and evaluation of road safety regulation. A case study was taken on JakartaTangerang highway, primary data collecting was conducted using a video camera method for 5x24 hours. Afterwards analized by speed method, simulating the vehicle volume with contraflow and without contraflow, and literature study on road safety. The analysis result detected that traffic management contraflow had implemented in good time, that is 06.00-09.00, distribution of traffic flow on an average of 800/pcu/hour/lanes, and can reduce the degree of saturation up to 0.14, based on literature study, contraflow still can be implemented with requirement of speed limit. From the result, it was found that contraflow has a good impact on reducing a congestion. Keywords: contraflow, toll road, traffic management, degree of saturation, road safety
50
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 31 No. 1 April 2014, 50 – 59
PENDAHULUAN Pertumbuhan penduduk di Indonesia setiap tahun cenderung meningkat, secara tidak langsung kebutuhan akan perjalanan juga semakin meningkat. Dalam Iswanto dkk (2010) disampaikan bahwa jumlah kendaraan pribadi di Jakarta bertambah 1.117 per hari atau 9% per tahun. Hal ini mengakibatkan kebutuhan perjalanan meningkat, sehingga penggunaan jalan tol yang merupakan jalan alternatif semakin meningkat pula, hal ini menyebabkan kemacetan di jalan tol padahal dalam UU 38/2004 (Indonesia 2004) dijelaskan bahwa jalan tol merupakan jalan bebas hambatan. Dilain pihak berdasarkan PP No.15/2005 (Indonesia 2005a) tentang jalan tol serta Permen PU No. 392/PRT/M/2005 (Indonesia 2005b) tentang standar pelayanan minimal (SPM) Jalan Tol, Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) dituntut untuk dapat meningkatkan pelayanannya kepada para pengguna jalan dimana salah satunya adalah dengan memberikan kondisi konstruksi perkerasan jalan yang baik serta memiliki tingkat kejenuhan lalu lintas yang ideal. Upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas jalan telah dilakukan oleh BUJT, salah satu upaya untuk menanggulangi kemacetan yang sering terjadi di jalan tol yang bersifat sementara dan hanya terjadi pada jam tertentu adalah dengan penanganan yang bersifat sementara pula, yaitu dengan melakukan kegiatan manajemen lalu lintas contraflow. Menurut Jasamarga (2012) secara prinsip contraflow dilakukan untuk menambah kapasitas layanan lalu lintas dengan cara mengambil 1 lajur dari jalur arah berlawanan. Disisi lain, manajemen lalu lintas contraflow berlawanan dengan definisi jalan bebas hambatan (freeway), karena dalam UU 38/2004 (Indonesia 2004) dijelaskan bahwa jalan bebas hambatan harus mempunyai syarat jalan dilengkapi dengan median, padahal pelaksanaan conftraflow dilakukan hanya dengan traffic cone untuk pembagian arah arus lalu lintas.
Dari beberapa latar belakang tersebut, tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengevaluasi tiga hal, yang pertama yaitu kapan waktu yang tepat dalam pelaksanaan manajemen lalu lintas contraflow, kedua yaitu untuk mengetahui pengaruh pelaksanaan contraflow dalam mengurangi kemacetan dilihat dari derajat kejenuhan, ketiga yaitu mengelaborasi peraturan tentang manajemen lalu lintas contraflow dilihat dari sisi keselamatan jalan. Dengan diketahuinya dampak manajemen lalu lintas contraflow dengan studi kasus di jalan tol JakartaTangerang, diharapkan dapat dijadikan benchmark dalam pelaksanaan manajemen lalu lintas contraflow yang lebih tepat sasaran untuk ruas jalan tol yang lain. KAJIAN PUSTAKA Contraflow Pengertian contraflow menurut Hausknecht et al (2011) adalah given a road network, a specification of vehicles’ locations and destinations, and a method for determining network efficiency (such as an objective function), assign a direction of flow to each lane such that network efficiency is maximized. Jika diartikan secara sederhana manajemen lalu lintas contraflow adalah kegiatan penggunaan lajur yang berlawanan arah untuk digunakan pada jalan yang mempunyai tingkat derajat kejenuhan tinggi sehingga dengan adanya penambahan lajur diharapkan terjadi penurunan derajat kejenuhan dikarenakan kapasitas arah yang mengalami kemacetan menjadi bertambah. Contoh ilustrasi penerapan manajemen contraflow, dimana satu lajur ruas arah JakartaTangerang digunakan oleh kendaraan yang bergerak dari Tangerang-Jakarta. Penggunaan lajur Jakarta-Tangerang oleh arus kendaraan Tangerang-Jakarta dilakukan dengan menggunakan alat traffic cone yang diletakan pada marka jalan, yang ditunjukkan pada Gambar 1.
Dampak Manajemen Lalu Lintas Contraflow Terhadap Derajat Kejenuhan Dan Keselamatan Di Jalan Tol, (R. Sri Bintang Pamungkas, Edwin Hidayat, Disi M. Hanafiah)
51
Gambar 1. Simulasi manajemen lalu lintas contraflow
Volume dan ekuivalensi mobil penumpang Nilai volume lalu lintas (Q) merupakan cerminan dari komposisi beberapa jenis kendaraan, sehingga untuk menyeragamkan jenis kendaraan dibuat penggolongan untuk mempermudah dalam analisa, volume kendaraan dikonversi menjadi satuan mobil penumpang (smp) dengan menggunakan emp (ekuivalensi mobil penumpang), dan dijumlahkan menjadi per arah. Penggolongan kendaraan tidak mengikuti penggolongan berdasarkan Badan Usaha Jalan Tol, namun berdasarkan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) (Indonesia 1997) yang penggolongan kendaraan ini didasarkan pada panjang kendaraan dan Muatan Sumbu Terberat (MST) atau beban kendaraan, dengan pembagian golongan kendaraan adalah sebagai berikut: 1. Kelompok kendaraan ringan atau mobil penumpang (MP) terdiri dari sedan, jeep, pick up, taksi, van dan lain-lain. 2. Kelompok kendaraan sedang (KS) terdiri bus sedang, truk sedang, mobil kargo dll 3. Kelompok kendaraan bus besar (BB) terdiri dari bus besar. 4. Kelompok kendaraan truk besar (TB) terdiri dari truk besar, trailer, truk gandeng dan lain-lain. Agar bisa mendapatkan satuan mobil penumpang, maka diperlukan konversi kendaraan, dimana mobil penumpang (MP) dianggap mempunyai nilai 1 yang dijadikan acuan dalam nilai konversi untuk KS, BB dan TB, pada Tabel 1 ditampilkan Emp jalan tol terbagi dan Emp jalan tol tidak terbagi disajikan nilai konversi kendaraan.
52
Kapasitas (C) MKJI (Indonesia 1997) Kapasitas diartikan sebagai ukuran kemampuan suatu ruas jalan tol dalam mengalirkan aliran lalu lintas pada satuan ruang dan waktu tertentu. Besaran kapasitas ditentukan dari kapasitas dasar dan faktor koreksi yang mempengaruhinya. Jika terjadi jumlah volume kendaraan yang sama dengan atau melebihi kapasitas jalan maka akan terjadi tingkat pelayanan yang buruk. Persamaan perhitungan kapasitas dalam MKJI (Indonesia 1997) dapat dilihat pada persamaan sebagai berikut: C = C0 x FCw x FCSP (smp/jam) ………….....(1) Keterangan: C = kapasitas C0 = kapasitas dasar FCW = faktor penyesuaian lebar jalan bebas hambatan FCSP = faktor penyesuaian pemisahan arah (hanya untuk jalan bebas hambatan tak terbagi)
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 31 No. 1 April 2014, 50 – 59
Tabel 1. Emp jalan bebas hambatan 6/2 D dan 2/2UD Emp jalan bebas hambatan 6/2 D Volume kend/jam Emp Terbagi / arah KS BB kend/jam Datar 0 1.2 1.2 1900 1.4 1.4 3400 1.6 1.7 ≥ 4150 1.3 1.5 Sumber: Indonesia (1997)
Type alinyemen
TB 1.6 2 2.5 2
Emp jalan bebas hambatan 2/2UD Volume kend/jam Emp Tidak Terbagi / KS BB arah kend/jam 0 1.2 1.2 900 1.8 1.8 1450 1.5 1.6 ≥ 2100 1.3 1.5
Kapasitas dasar (C0) Berdasarkan MKJI (Indonesia 1997) kapasitas dasar untuk jalan bebas hambatan terbagi dan tidak terbagi dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 4.
Tabel 2. C0 Jalan Bebas Hambatan 6/2D
Sumber: Indonesia (1997)
Tipe alinyemen
C0 Terbagi C0 (smp/jam /lajur) Datar 2300 Sumber: Indonesia (1997)
C0 Tidak Terbagi C0 Total kedua arah (smp/jam) 3400
Faktor penyesuaian lebar jalan (FCW) Sedangkan untuk faktor penyesuaian lebar lajur untuk jalan bebas hambatan berdasarkan MKJI 1997 dapat dilihat pada Tabel 3 penyesuaian untuk lebar jalur lalu lintas. Tabel 3. Faktor penyesuaian kapasitas akibat Lebar jalur lalu lintas (FCW) Tipe Jalan Bebas Hambatan Empat lajur terbagi / Enam lajur terbagi (Per Lajur) Dua-lajur tak-terbagi (Total Kedua Arah) Sumber: Indonesia (1997)
Lebar Efektif (meter) 3,25 3,50 3,75 6,5 7 7,5
FCSP
TB 1.8 2.7 2.5 2.5
Faktor penyesuaian kapasitas akibat pemisahan arah (FCSP) 50-50
55-45
60-40
65-35
70-30
1,00
0,97
0,94
0,91
0,88
Derajat kejenuhan Evaluasi dari penggunaan manajemen lalu lintas contraflow dilihat dari Derajat Kejenuhan (DS), dimana dalam MKJI (Indonesia 1997) Derajat kejenuhan didefinisikan sebagai rasio arus terhadap kapasitas, digunakan sebagai faktor kunci dalam penentuan tingkat kinerja suatu ruas. Ini adalah ukuran yang banyak digunakan untuk menunjukkan apakah suatu segmen jalan bebas hambatan akan mempunyai masalah kapasitas atau tidak, dengan persamaan sebagai berikut: DS = V/C …………..…………………….. (2)
FCW 0,96 1,00 1,03 0,96 1,00 1,04
Faktor penyesuaian pemisahan arah (FCSP) Sedangkan untuk faktor penyesuaian pemisahan arah untuk jalan bebas hambatan berdasarkan MKJI 1997 dapat dilihat pada Tabel 4 penyesuaian untuk lebar jalur lalu lintas.
Keterangan: DS = derajat kejenuhan Q = volume kendaraan (smp/jam) C = kapasitas ruas (smp/jam) HIPOTESIS Beberapa dugaan awal dari kajian ini adalah: 1. Waktu terbaik dalam pelaksanaan manajemen lalu lintas contraflow adalah pada waktu kondisi lalu lintas jam puncak, yang dilihat dari kecepatan kendaraan yang rendah.
Dampak Manajemen Lalu Lintas Contraflow Terhadap Derajat Kejenuhan Dan Keselamatan Di Jalan Tol, (R. Sri Bintang Pamungkas, Edwin Hidayat, Disi M. Hanafiah)
53
2. Contraflow dapat mengurangi tingkat kemacetan dengan cara mengalirkan aliran kendaraan di lajur yang harusnya berlawanan, sehingga hal ini dapat mengurangi derajat kejenuhan, namun pelaksanaan contraflow melanggar peraturan yang berlaku dan memiliki kecenderungan membahayakan pengguna jalan. METODOLOGI Langkah-langkah yang dilakukan dalam kajian ini untuk bisa mendapatkan hasil yang maksimal adalah sebagai berikut: Langkah pertama penentuan lokasi studi, pemilihan lokasi dilakukan dengan persyaratan merupakan jalan tol yang sudah melaksankan rekayasa lalu lintas contraflow. Selain hal tersebut terdapat lokasi/tempat untuk pemasangan alat dan perlengkapan pengambilan data primer, disarankan berupa Jembatan Penyeberangan Orang (JPO). Langkah kedua adalah pelaksanaan survai lalu lintas yang dilakukan dengan dua (2) metode, yaitu metode manual, dimana dilakukan perekaman dengan video kamera yang dipasang sedemikian rupa sehingga hasil rekaman diketahui per jenis kendaraan, kemudian diolah di laboratorium komputer untuk menghitung jumlah kendaraan yang melalui satu ruas jalan pada satuan waktu tertentu. Selain hal tersebut juga digunakan metode otomatis melalui alat Video Image Processor (VIP), metode ini digunakan untuk mendapatkan kecepatan kendaraan dengan penempatan VIP minimal 8 meter di atas perkerasan jalan. Durasi waktu pelaksanaan survai lalu lintas adalah pukul 5 x 24 jam, dimana diharapkan diperoleh data per jam. Langkah ketiga adalah menghitung kecepatan kendaraan dengan bantuan dari alat VIP, hal ini dilakukan untuk mengevaluasi waktu pelaksanaan manajemen lalu lintas contraflow dengan berdasarkan kecepatan kendaraan, kecepatan kendaraan rendah terindikasi bahwa terjadi kemacetan, sehingga perlu dilakukan manajemen lalu lintas contraflow.
54
Langkah keempat adalah menghitung volume lalu lintas untuk arah yang macet (tidak diberlakukan contraflow), hal ini diperuntukkan untuk mengetahui derajat kejenuhan tanpa manajemen lalu lintas contraflow, dan menghitung volume lalu lintas pada lajur yang digunakan untuk manajemen lalu lintas contraflow, menghitung kapasitas jalan untuk 6/2D (enam-lajur dua-arah terbagi) dan untuk lajur contraflow dianggap menggunakan jalan 2/2 UD (dua-lajur dua-arah tak terbagi). Berdasarkan MKJI (Indonesia 1997) kapasitas jalan untuk tipe 6/2D dengan lebar efektif 3,5 m adalah 6900 smp/jam, sedangkan untuk tipe jalan 2/2UD lebar efektif 3,5 m adalah 3400 smp/jam. Langkah kelima adalah mensimulasikan data, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui dampak dari manajemen lalu lintas contraflow, dengan cara data volume kendaraan yang menggunakan lajur contraflow disimulasikan masuk ke dalam arah yang macet atau dianggap tidak ada contraflow, sehingga dapat diketahui selisih dari derajat kejenuhan jalan dengan contraflow dan tanpa contraflow. Langkah keenam yaitu melakukan pembahasan tentang pelaksanaan contraflow dilihat dari sudut pandang peraturan yang terkait dengan keselamatan pengguna jalan. HASIL DAN ANALISIS Hasil dari langkah pertama metodologi yaitu penentuan lokasi adalah di JPO pada km. 06+200 yang mempunyai geometrik jalan tipe 6/2 D dengan lebar efektif lajur lalu lintas 3,50 m dengan lebar bahu 2 m. Lokasi ini dipilih karena termasuk pada segmen jalan yang diberlakukan manajemen lalu lintas contraflow pada jam 06.00-09.00 WIB, lokasi ini mempunyai karakteristik jalan inter urban. Kondisi ruas jalan Tol Jakarta-Tangerang km. 06+200 pada hari kerja waktu pagi hari, lalu lintas sangat padat, dimana arus lalu lintas sering terhenti untuk beberapa saat, selain itu lokasi ini sudah mendekati gerbang tol Kebun Jeruk yang merupakan gerbang utama menuju pusat kota Jakarta. Ilustrasi
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 31 No. 1 April 2014, 50 – 59
kondisi segmen jalan tol Jakarta-Tangerang km. 06+200 dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2.
Hasil perhitungan data kecepatan digunakan untuk mengetahui jam-jam puncak terjadinya kemacetan lalu lintas, hal ini penting untuk penentuan waktu pemberlakuan manajemen lalu lintas contraflow yang efektif. Jika tren kecepatan kendaraan rendah berulang di beberapa hari waktu survai, hal tersebut mengindikasikan terjadinya kemacetan. Pada Gambar 3 dan Gambar 4 ditampilkan kecepatan rata-rata kendaraan per jam.
Kondisi segmen jalan tol Jakarta– Tangerang km. 06+200
Gambar 3. Kecepatan rata-rata arah Jakarta
Gambar 4. Kecepatan rata-rata arah Tangerang
Dampak Manajemen Lalu Lintas Contraflow Terhadap Derajat Kejenuhan Dan Keselamatan Di Jalan Tol, (R. Sri Bintang Pamungkas, Edwin Hidayat, Disi M. Hanafiah)
55
Hasil ekstraksi data dari langkah kedua metodologi yang merupakan data rekaman video kamera berupa gambar yang diubah menjadi data angka yang disesuaikan dengan penggolongan jenis kendaraan dan waktu. Kemudian dianalisa pada langkah keempat metodologi, hasil perhitungan dapat dilihat pada Gambar 5 yaitu volume lalu lintas harian ruas tol Jakarta-Tangerang (arah Jakarta) dan volume kendaraan yang menggunakan lajur contraflow. Selanjutnya hasil perhitungan yang merupakan langkah kelima pada metodologi
yaitu melakukan simulasi volume lalu lintas jika dilakukan contraflow dan tidak dilakukan contraflow dapat dilihat pada Tabel 5. Dengan diberlakukannya manajemen lalu lintas contraflow berakibat meningkatnya kapasitas ruas, maka akan berbanding lurus dengan turunnya nilai DS. Hal tersebut dapat diketahui dengan membandingkan kolom 5 dan kolom 10 Tabel 5, rata-rata penurunan nilai DS akibat diberlakukannya manajemen contraflow selama lima hari pengamatan adalah sebesar 0,14.
Gambar 5. Volume Tol Jakarta-Tangerang (arah Jakarta) dan Lajur contraflow Tabel 5. Kinerja lalu lintas jalan tol ruas Jakarta-Tangerang (arah Jakarta) dengan dan tanpa contraflow TANPA CONTRAFLOW Tanggal
Jam
(smp/jam)
Arus arah Jakarta (smp/jam)
DS
(4)
Kapasitas
DENGAN CONTRAFLOW
(smp/jam)
Arus arah Jakarta (smp/jam)
Arus pada lajur contraflow
Jumlah arus (smp/jam)
DS
(5) = (4)/(3)
(6)
(7)
(8)
(9) =(7)+(8)
(10) = (9)/(6)
Kapasitas
(1)
(2)
(3)
25 Feb 13
06:00 - 07:00
6900
6183
0.9
8600
5365.4
817.6
6183
0.72
25 Feb 13
07:00 - 08:00
6900
5289.4
0.77
8600
4609.4
680
5289.4
0.62
25 Feb 13
08:00 - 09:00
6900
4152.4
0.6
8600
3343.4
809
4152.4
0.48
26 Feb 13
06:00 - 07:00
6900
5830.2
0.84
8600
5041.6
788.6
5830.2
0.68
26 Feb 13
07:00 - 08:00
6900
4006.4
0.58
8600
3396.4
610
4006.4
0.47
26 Feb 13
08:00 - 09:00
6900
4322.7
0.63
8600
3574.4
748.3
4322.7
0.5
27 Feb 13
06:00 - 07:00
6900
6327.7
0.92
8600
5650.4
677.3
6327.7
0.74
27 Feb 13
07:00 - 08:00
6900
5187
0.75
8600
4480
707
5187
0.6
27 Feb 13
08:00 - 09:00
6900
3729.8
0.54
8600
3037.8
692
3729.8
0.43
28 Feb 13
06:00 - 07:00
6900
5776
0.84
8600
4980.5
795.5
5776
0.67
28 Feb 13
07:00 - 08:00
6900
3567
0.52
8600
2954
613
3567
0.41
28 Feb 13
08:00 - 09:00
6900
4700.5
0.68
8600
4147.9
552.6
4700.5
0.55
1 Mar 13
06:00 - 07:00
6900
5412.2
0.78
8600
4629.6
782.6
5412.2
0.63
1 Mar 13
07:00 - 08:00
6900
4565.1
0.66
8600
3921.5
643.6
4565.1
0.53
1 Mar 13
08:00 - 09:00
6900
3904
0.57
8600
3169.4
734.6
3904
0.45
56
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 31 No. 1 April 2014, 50 – 59
Gambar 6. Perbandingan kinerja lalu lintas saat diberlakukannya contraflow
Jam pelaksanaan contraflow Dari Gambar 3 diketahui bahwa kecepatan rata-rata untuk arah Jakarta pada jam 06.00-09.00 memiliki kecenderungan kecepatan rata-rata yang sangat rendah yaitu kurang dari 20 km/jam. Sedangkan pada Gambar 4 arah Tangerang, kecepatan rata-rata pada jam 06.0009.00 WIB adalah 50 km/jam. Sehingga waktu manajemen contraflow dianggap sudah cukup pas dilaksanakan pada jam 06.00-09.00 WIB. Masih dari Gambar 3, dapat kita ketahui bahwa pada hari kedua dan keempat, kecepatan ratarata pada jam 10.00-13.00 WIB memiliki kecenderungan yang rendah pula, berkisar 20 km/jam yang mengindikasikan kondisi lalu lintas yang cenderung jenuh. Namun ini hanya bersifat pada hari-hari tersebut sehingga dianggap insidentil dan tidak perlu dilakukan manajemen lalu lintas contraflow pada jam tersebut.
yang menggunakan lajur contraflow berada di atas angka 800 smp/jam, dimana dari jam 06.00 sampai jam 07.00 WIB mengalami peningkatan dan di jam 07.00-08.00 WIB mengalami kecenderungan turun dan kemudian naik kembali pada jam 08.00-09.00 WIB. Data kendaraan yang menggunakan contraflow digunakan sebagai data simulasi kondisi lalu lintas tanpa diberlakukannya manajemen lalu lintas contraflow, sehingga dari Tabel 1 dapat diketahui untuk kolom 3 dan kolom 6, dapat dilihat hasil perhitungan derajat kejenuhan (DS) dengan dan tanpa contraflow berdasarkan persamaan (1) pada kolom 5 dan kolom 10. Dengan hasil bahwa memang terdapat selisih nilai derajat kejenuhan jika dilakukan contraflow, hasil perhitungan ratarata DS berkurang 0,14 jika dilakukan contraflow, hal ini cukup berhasil mengingat jika tidak dilakukan contraflow DS rata-rata 0,7, sedangkan setelah dilakukan contraflow DS rata-rata adalah 0,56.
Pengurangan derajat kejenuhan Dari Gambar 5 dapat diketahui bahwa jumlah volume lalu lintas perhari arah Jakarta pada hari kerja menunjukkan angka diatas 3.000 smp/jam. Kemudian masih pada Gambar 5 dapat diketahui volume kendaraan
Peraturan dan keselamatan jalan Dalam UU no UU 38/2004 disampaikan bahwa jalan bebas hambatan (freeway) adalah jalan umum untuk lalu lintas menerus yang memberikan pelayanan menerus/tidak terputus dengan pengendalian jalan masuk secara penuh,
PEMBAHASAN
Dampak Manajemen Lalu Lintas Contraflow Terhadap Derajat Kejenuhan Dan Keselamatan Di Jalan Tol, (R. Sri Bintang Pamungkas, Edwin Hidayat, Disi M. Hanafiah)
57
dan tanpa adanya persimpangan sebidang, serta dilengkapi dengan pagar ruang milik jalan, paling sedikit dua lajur setiap arah dan dilengkapi dengan median. Dengan adanya manajemen lalulintas contraflow yang membatasi arah arus kendaraan hanya dengan traffic cone, maka hal ini melanggar syarat dari jalan bebas hambatan yang harus mempunyai median. Pengertian median menurut menurut Standar Konstruksi dan Bangunan No. 007/BM/2009 (Indonesia 2009b) tentang geometri jalan bebas hambatan untuk jalan tol, median merupakan bagian dari jalan yang tidak dapat dilalui oleh kendaraan dengan bentuk memanjang sejajar jalan, terletak di sumbu/tengah jalan, dimaksudkan untuk memisahkan arus lalu lintas yang berlawanan, median dapat berbentuk median yang ditinggikan, median yang diturunkan, atau median datar. Hal ini penting karena terkait dengan faktor keselamatan, karena dengan adanya median pengendara dapat menggunakan standar kecepatan jalan tol yang tinggi. Dalam PP 15/2005 disampaikan bahwa jalan tol yang digunakan untuk lalu lintas antar kota didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 80 km/jam, dan untuk jalan tol di wilayah perkotaan didesain dengan kecepatan rencana paling rendah 60 km/jam. Jika hanya traffic cone maka jika terjadi kecelakaan maka akan berakibat fatal, menurut Richards dan Cuerden (2009) Jika terjadi tabrakan depan-depan antar kendaraan dengan kecepatan 60 km/jam maka berpotensi 94% meninggal dunia, sehingga fungsi median sangat penting. Namun disisi lain, dalam UU 22/2009 (Indonesia 2009a) disebutkan bahwa manajemen dan rekayasa lalu lintas dilaksanakan untuk mengoptimalkan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan lalu lintas dalam rangka menjamin Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Contraflow jika dilihat dari UU 22/2009 (Indonesia 2009a) digunakan untuk mendukung kelancaran lalu lintas, karena menurut Permen PU No. 392/PRT/M/2005 tentang standar pelayanan minimal (SPM) jalan tol, BUJT mempunyai
58
kewajiban untuk memberikan pelayanan yang melebihi dari jalan non tol, hal ini merupakan konsekuensi dari penerapan tarif tol. Manajemen lalu lintas contraflow jika merujuk UU 38/2004 melanggar tentang persyaratan median yang dapat membahayakan keselamatan pengguna jalan, namun disisi lain jika berdasarkan UU 22/2009 (Indonesia 2009) contraflow merupakan salah satu cara untuk memberikan pelayanan kepada pengguna jalan. Untuk itu dalam pelaksanaan manajemen lalu lintas contraflow disarankan untuk berlakukannya pembatasan kecepatan kendaraan, hal ini penting untuk mengurangi potensi tingkat fatalitas jika terjadi kecelakaan.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan kecepatan kendaraan, jadwal diberlakukannya manajemen lalu lintas contraflow saat ini merupakan waktu yang tepat, yaitu saat terjadinya waktu jam puncak lalu lintas, yaitu dari jam 06.00-09.00 WIB. Manajemen lalu lintas contraflow juga cukup berhasil dalam mengurangi kemacetan lalu lintas, hal ini dapat dibuktikan dengan menurunnya nilai DS setelah diberlakukannya manajemen lalu lintas contraflow dengan nilai DS rata-rata 0,14. Selain hal tersebut pelaksanaan contraflow masih mungkin dilakukan karena dalam UU 22/2009 dimungkinkan untuk dilakukan manajemen dan rekayasa lalu lintas, namun dengan persyaratan pembatasan kecepatan kendaraan.
Saran
Beberapa saran dari hasil kajian diatas, untuk waktu pelaksanaan contraflow dari hasil visual (video recording) terlihat pada pukul 8.30-09.00 WIB volume kendaraan sudah mulai berkurang, disarankan untuk dikaji per 15 menit, sehingga kemungkinan waktu optimal pelaksanakan contraflow adalah 06.00-08.30 WIB. Perlu dilakukan penelitian kondisi penerapan contraflow jika dilakukan di hari Sabtu-Minggu. Disarankan untuk dibuat peraturan yang resmi tentang pemberlakukan
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 31 No. 1 April 2014, 50 – 59
manajemen lalu lintas contraflow, hal ini penting jika terjadi kecelakaan sehingga terdapat pihak-pihak yang bertanggung jawab.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan terhadap tim survai studi Occupancy Lane dan kinerja Jalan Tol pada ruas Jalan Tol Jakarta-Tangerang Balai Teknik Lalu lintas dan Lingkungan JalanPusat Litbang Jalan dan Jembatan, dan pihakpihak terkait di PT. Jasa Marga. Tbk. DAFTAR PUSTAKA Hausknecht et al. 2011. Dynamic Lane Reversal in Traffic Management, Proceedings of the 14th IEEE ITS Conference (ITSC 2011). Washington DC: Institute of Electrical and Electronics Engineers Indonesia. 1997. Manual Kapasitas Jalan Indonesia, No. 036 /T/BM/1997, Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum. ________________. 2004. Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan. Jakarta: Dephub. _______________. 2005a. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 15 Tahun 2005 Tentang Jalan Tol. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia
_______________. Kementerian Pekerjaan Umum. 2005b. Peraturan Menteri PU No. 392/PRT/M/2005 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Jalan Tol. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum. _______. 2009a. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu lintas dan angkutan Jalan: Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia. _______. Departemen Pekerjaan Umum. Direktorat Jenderal Bina Marga. 2009b. Standar Geometri Jalan Bebas Hambatan Untuk Jalan Tol No. 007/BM/2009. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum. ________. Departemen Pekerjaan Umum. 2009. Geometri Jalan Bebas Hambatan Untuk Jalan Tol. No. 007/BM/2009. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum. Iswanto, Noerdityo dkk. 2010. “Desain dan Implementasi Color Code untuk Verifikasi Nomor Kendaraan Bermotor pada Sistem Parkir.” Seminar Ilmiah Nasional Komputer dan Sistem Intelijen (KOMMIT 2010). Jakarta: Univeristas Gunadarma. Jasa Marga. 2012. “Menambah Kapasitas Layanan Lalu Lintas.” Press Release, Nomor : 006/2012 Tanggal 30 April 2012. http://www.jasamarga.com/release/item/30 3-jasa-marga-lakukan-contra-flow-disebagian-ruas-cawang-kuningan.html diakses 21 januari 2014. Richards dan Cuerden. 2009. The Relationship between Speed and Car Driver Injury Severity. Crowthorne: Transport Research Laboratory.
Dampak Manajemen Lalu Lintas Contraflow Terhadap Derajat Kejenuhan Dan Keselamatan Di Jalan Tol, (R. Sri Bintang Pamungkas, Edwin Hidayat, Disi M. Hanafiah)
59
PETUNJUK PENULISAN NASKAH 1.
Redaksi menerima naskah/karya ilmiah bidang jalan dan jembatan dari dalam dan luar lingkungan Pusat Litbang Jalan dan Jembatan. Dewan Redaksi dan Mitra Bestari akan memeriksa naskah yang masuk dan berhak menolak naskah yang dianggap tidak memenuhi ketentuan.
2.
Naskah dapat berupa hasil penelitian atau kajian yang belum dan tidak akan dipublikasikan dalam media cetak lain.
3.
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia, diserahkan dalam bentuk file elektronik dalam program MS Office disertai satu eksemplar cetakan. Jumlah naskah maksimum 15 halaman, termasuk abstrak, gambar, tabel dan daftar rujukan. Bila lebih dari 15 halaman, Redaksi berhak untuk menyunting ulang, dan apabila dianggap perlu akan berkonsultasi dengan penulis.
4.
Sistematika penulisan disusun sebagai berikut : Bagian awal: nama penulis, abstrak (abstrak dan kata kunci ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris dengan huruf italic). Bagian utama: pendahuluan, kajian pustaka, hipotesis, Metodologi, hasil dan analisa, pembahasan, kesimpulan dan saran. Bagian akhir: keterangan simbol (bila perlu), ucapan terima kasih (bila perlu), daftar pustaka minimal 10 referensi (wajib) berupa buku teks atau jurnal terbaru dan lampiran (jika ada).
5.
Judul naskah sesingkat mungkin dan harus mencerminkan isi tulisan serta tidak memberikan peluang penafsiran yang beraneka ragam, ditulis dengan huruf kapital posisi tengah.
6.
Nama penulis ditulis : a) Di bawah judul tanpa gelar diawali huruf kapital ditulis posisi tengah dan tidak diawali kata “oleh”; apabila penulis lebih dari satu orang, nama-nama tersebut ditulis pada satu baris. b) Nama lengkap disertai keterangan alamat instansi dan kotanya, apabila penulis lebih dari satu orang, semua nama penulis dicantumkan secara lengkap.
7.
Abstrak memuat permasalahan, tujuan, metodologi, hasil dan kesimpulan (antara 150-250 kata) ditulis dalam satu alinea, ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Hindari penggunaan singkatan dalam abstrak. Di bawah abstrak dicantumkan minimal 5 kata kunci.
8.
Teknik penulisan : a) Naskah ditulis pada kertas ukuran A4, ketikan satu spasi dengan 2 kolom, jarak kolom pertama dan kedua 1 cm. b) Batas pengetikan : tepi atas dan tepi bawah 3 cm, sisi kiri dan sisi kanan 2,5 cm. Alinea baru pada satu cm batas tepi kiri, antara alinea tidak diberi tambahan spasi. c) Penggunaan Font Times New Roman - Judul, ditulis di tengah halaman, Kapital 14 pt, bold - Isi, 11 pt - Nama penulis, ditulis di tengah halaman, 11 pt, bold - Persamaan/rumus, 10 pt - Nama instansi, ditulis di tengah halaman, 10 pt - Keterangan Persamaan/Rumus, 10 pt - Alamat instansi dan email, ditulis di tengah halaman, 9 pt - Judul tabel dan gambar, 10 pt - Sub judul, ditulis di tepi kiri, Kapital 11 pt, bold - Tulisan tabel dan gambar, 10 pt, bold - Isi Abstrak, 10 pt, Italic - Sumber tabel dan gambar, 9 pt - Kata kunci, 10 pt, Italic - Isi daftar pustaka, 10 pt d) Kata asing ditulis dengan huruf italic, apabila sudah ada bahasa Indonesia kata asing ditulis dalam kurung, untuk selanjutnya istilah yang sama cukup ditulis istilah Indonesianya. Bilangan ditulis dengan angka kecuali pada awal kalimat. e) Ketentuan Tabel/Gambar : - Tabel dan gambar harus diberi keterangan yang jelas. Judul tabel diletakkan di bagian atas tabel (rata kiri dengan tabel), sedangkan judul gambar di bagian bawah gambar (rata kiri dengan gambar), - Tabel dan Gambar tidak menggunakan garis pinggir, tabel menggunakan jenis “table simple 1”, - Gambar, foto dan grafik berwarna, - Sumber tabel dan gambar dicantumkan di bawah tabel dan gambar. f) Sumber pustaka (sitasi dalam teks) terdiri dari nama penulis dan tahun penerbitan yang diacu, ditulis dalam kurung. Contoh: (Calvez 2004). Untuk kutipan langsung ditambah nomor halaman (Calvez 2004, 73). g) Daftar pustaka dan sitasi bibliografis menggunakan Chicago Manual of Style (Author-Date System), ditulis dalam urutan abjad nama penulis dan disusun dengan urutan : a. Untuk buku : pengarang (nama keluarga diikuti nama pertama), tahun terbit, judul buku, kota dan nama penerbit b. Untuk jurnal : pengarang (nama keluarga diikuti nama pertama), tahun terbit, judul majalah (judul prosiding), judul artikel, volume, nomor, bulan, halaman. c. Karya di internet: URL dan karya tersebut diakses Contoh: Buku (monograf) Okuda, Michael, dand Denis Okuda. 1993. Star Trek chronology: The history of the Future. New York: Pocket Books. Artikel Jurnal Wilcox, Rhonda V. “Shifting Roles and Synthetic Woman in Star Trek: The Next Generation. “ Studies in Popular Cultur 13 (April 1991):53-65. Terbitan Pemerintah Indonesia, Kementerian Pekerjaan Umum. Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan dan Jembatan. 2010. Pedoman Perencanaan Perkerasan Lentur. Jakarta : Kementerian Pekerjaan Umum. h) Jika dalam Daftar pustaka ada pencantuman nama seseorang lebih dari 1 kali, nama kedua tidak perlu ditulis kembali, cukup mengganti nama dengan titik putus-putus. i) Contoh Daftar pustaka tanpa tahun dan tanpa penerbit a. Caltrans California Departement of Transportation. [s.n]. Highway Design Manual. California : D.O.T b. Caltrans California Departement of Transportation. 1996. Highway Design Manual. California: [s.n]
9.
Dewan Redaksi tidak bertanggung jawab terhadap isi naskah.
10. Penulis wajib menyertakan alamat korespondensi dengan jelas. 11. Dewan Redaksi dapat menyesuaikan bahasa dan/atau istilah tanpa mengubah isi dan pengertiannya dengan tidak memberitahukan kepada penulis, dan apabila dianggap perlu akan berkonsultasi dahulu dengan penulis. 12. Naskah yang dimuat dalam jurnal ini menjadi hak milik Pusat Litbang Jalan dan Jembatan, Badan Litbang Pekerjaan Umum.
KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PUSAT LITBANG JALAN DAN JEMBATAN
ISSN 1907 - 0284 9
771907
028497