VOLUME 2 NOMOR 1 OKTOBER 2016 HALAMAN 1-112
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
PEDOMAN BAGI PENULIS Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada
SMH Diterbitkan oleh: Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Maluku Husada Alamat:
Jl. Lintas Seram Waiselang, Kairatu, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku Email:
[email protected]
Website:
http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/index.php/jk
SUSUNAN DEWAN REDAKSI Penanggung Jawab: Lukman La Basy, S.Farm., M.Sc., Apt. Pemimpin Umum: Hamdan Tunny, S.Kep., M.Kes. Pemimpin Redaksi (Editor in Chief): Abu Bakar Lating, S.E. Anggota Redaksi: M. Taufan Umasugi, S.Kep., Ns., M.Kes. Epi Dusra, S.K.M., M.Kes. Risman Tunny, S.Farm., M.Farm., Apt. Aulia Deby Pelu, S.Farm., M.Si., Apt. Wiwi Rumaolat, S.Pd., M.Si.Med Editor: Sahrir Sillehu, S.K.M., M.Kes. Luthfy Latuconsina, S.K.M. Indah Susanti, S.Kep. Administrasi: Idham Soamole, S.Kep. Maryam Lihi, S.K.M.
Volume 2 Nomor 1 i
SMH menerima artikel asli (hasil penelitian tinjauan lteratur dalam bidang kesehatan), belum pernah dipublikasikan melalui media Dewan redaksi berwenang untuk menerima menolak naskah yang masuk. Redaksi berwenang mengubah isi naskah, sebatas akan mengubah arti dari isi naskah.
atau yang lain. atau juga tidak
Persyaratan naskah: 1. Diketik pada format halaman A4 satu kolom, dengan semua margin 3 cm, menggunakan huruf Arial 10, maksimum sebanyak 10 halaman. 2. Softcopy naskah harus dikirim secara online melalui:
http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/index.php/jk Isi artikel: 1. Judul ditulis dalam Bahasa Indonesia maksimal 14 kata, menggunakan huruf kapital dan dicetak tebal pada bagian tengah. 2. Penulis ditulis di bawah judul, pada bagian tengah. Di bawah nama ditulis institusi asal penulis berada di dalam kurung. Di paling bawah dituliskan alamat email dari salah satu penulis. 3. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia. Judul abstrak menggunakan huruf kapital di tengah dan isi abstrak dicetak rata kiri dan kanan dengan awal paragraf masuk 0,5 cm. Abstrak harus dilengkapi dengan 2-5 kata kunci. 4. Pendahuluan ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan dan paragraf masuk 0,5 cm. 5. Metode Penelitian ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan, paragraf masuk 0,5 cm. Penulisan metode penelitian disesuaikan dengan penelitian yang telah dilakukan. 6. Hasil Penelitian ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan, paragraf masuk 0,5 cm. Bagian ini boleh dilengkapi dengan tabel dan gambar (foto, diagram, gambar grafis, dan sebagainya). Judul tabel ditulis di atas tabel pada posisi di tengah, sedangkan judul gambar ditulis di bawah gambar juga pada posisi di tengah. 7. Pembahasan ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan, paragraf masuk 0,5 cm. Hasil penelitian dibahas berdasarkan referensi dan hasil penelitian lain, disertai dengan opini peneliti. 8. Kesimpulan dan Saran ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan, paragraf masuk 0,5 cm. 9. Referensi ditulis dalam Bahasa Indonesia, dengan penomoran Angka Arab (selain baris pertama masuk 0,5 cm) rata kiri dan kanan, menggunakan APA Style. Redaksi
Halaman 1 – 112
Oktober 2016
ISSN 2442-8590
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
PENGANTAR REDAKSI Selamat bertemu dengan publikasi SMH pada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016. Pada nomor kedua ini kami menyajikan artikel-artikel hasil penelitian dalam bidang kesehatan. Kami menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada para penulis yang telah mendukung eksistensi SMH, semoga karya-karya yang dipublikasikan pada nomor kedua ini dapat berkontribusi bagi kemajuan IPTEK kesehatan di Indonesia. Anda dipersilakan mengunduh seluruh isi dari jurnal kesehatan ini melalui http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/index.php/jk secara fulltext. Terimakasih. Redaksi
DAFTAR ISI 1
PERILAKU SEKSUALITAS REMAJA TERHADAP KEJADIAN KEHAMILAN USIA DINI PADA SISWA KELAS X DI SMA NEGERI 1 TEON NILA SERUA (TNS) KABUPATEN MALUKU TENGAH TAHUN 2016 Lukman La Basy, Epi Dusra, Albarthina Maria Lopuhaa
1-8
2
PENGARUH TEKNIK RELAKSASI NAFAS DALAM TERHADAP PENURUNAN SKALA NYERI PADA PASIEN PASCA APENDEKTOMI DI RUANG BEDAH LAKI RSUD DR. M. HAULUSSYAMBON TAHUN 2016 L Hadija, Risman Tunny, R.S. Rumakey, Setiawan Andri
9-14
3
HUBUNGAN HEALTH LOCUS OF CONTROL DENGAN KEPATUHAN PENATALAKSANAAN DIET DIABETES MELITUS TIPE II DI RSUD PIRU KABUPATEN SERAM BAGIAN BARATTAHUN 2016 Wiwi Rumaolat, Risman Tunny, Arif Febrianto, Anna J Corputty
15-21
4
PENGARUH SENAM ASMA TERHADAP FREKUENSI KEKAMBUHAN PENYAKIT ASMA DI PUSKESMAS PERAWATAN TOMALEHU KECAMATAN AMALATU KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT TAHUN 2016 Y. Husepunny, SW Rumakey, Jumra Ningsi, Arfa Mahu
22-28
5
KEPUASAN PASIEN BPJS DAN NON BPJS TERHADAP KINERJA PELAYANAN KEPERAWATAN (STUDI KOMPARASI) PADA PUSKESMAS WAHAI KECAMATAN SERAM UTARA KABUPATEN MALUKU TENGAH TAHUN 2016 Y. Tappang, Idham Soamole, U Jubeda, Hartina
29-38
6
KARAKTERISTIK PENDERITA DENGAN RESIKO KEJADIAN HEMOROID DI RSU PIRU KAB.SBB TAHUN 2015 Astuti Tuharea, SW Rumakey, Jainab Waleulu, Hartina
39-46
7
HUBUNGAN PERAN ORANG TUA DALAM PERAWATAN GIGI DENGAN STATUS KESEHATAN GIGI ANAK USIA 6-12 TAHUN DI SD INPRES SIOMPO KECAMATAN KAIRATU KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT M.S.J. Malisngorar, Lukman La Basy, Irnawati, Dalila Nakul
47-53
8
PENGARUH PEMBERIAN HEALTH EDUCATION TENTANG PENANGANAN GIGITAN ANJING RABIES (Canis familiaris) TERHADAP PENINGKATAN PENGETAHUAN MASYARAKAT DI DESA ETI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PIRUTAHUN 2016 Aulia Debby Pelu, Lukman La Basy, Ibrahim R, Akbar Ely
54-59
ii
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
DAFTAR ISI 9
FAKTO-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN RENDAHNYA MINAT PEMAKAIAN ALAT KONTRASEPSI PADA PASANGAN USIA SUBUR (PUS) DI DUSUN PATINEA KECAMATAN SERAM BARAT KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT TAHUN 2016 Ira Sandi Tunny, Risman Tunny, Ulima Asni, Isman Wally
60-66
10
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP PERAWAT DENGAN PENULARAN KUMAN Mycobacterium tubercolosis DI RUANGANPARUPARU RSUD DR. M. HAULUSSY AMBON TAHUN 2016 Saida Rauf, Mirdat H., Husna M, Marta Topasou
67-72
11
PERUBAHAN TINGKAT KECEMASAN KLIEN DIRUANG MASOHI KABUPATEN MALUKU TENGAH TAHUN 2016 Hamdan Tunny, Mirdat H, Hapisa Ningsi, Wa Saida
IGD RSUD
73-82
12
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN ISPA PADA ANAK PRASEKOLAH DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KAIRATU KECAMATAN KAIRATU KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT TAHUN 2016 Ibiham Samiun, Risman Tunny, Alfian L.W, Ibrahim, Isman Wally
83-89
13
HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN PERKEMBANGAN SOSIAL ANAK PADA USIA 1-5 TAHUN DI DUSUN WAIMITAL DESA WAIMITAL KECAMATAN KAIRATU KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT TAHUN 2016 Abuzar Wakano, Fatmi.S. Soulisa, Eko Puji Astuti, Nanang.S.Soulisa
90-94
14
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KECEPATAN WAKTU TANGGAP PENANGANAN KASUS GAWAT DARURAT PADA RESPONSE TIME DI IGD RUMAH SAKIT MASOHI KABUPATEN MALUKU TENGAH TAHUN 2016 Ira Sandi Tunny, Endah Firiasari, Citra H.S. Lawia, Harisa Marasabessy
94-105
15
HUBUNGAN PERSEPSI KELUARGA DENGAN FUNGSI KELUARGA DALAM 106-112 PERAWATAN PASIEN SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT KHUSUS DAERAH PROVINSIMALUKU TAHUN 2016 M.Taufan Umasugi, Risman Tunny, Ayu N. Sari, Rahma H. Payapo
iii
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
PERILAKU SEKSUALITAS REMAJA TERHADAP KEJADIAN KEHAMILAN USIA DINI PADA SISWA KELAS X DI SMA NEGERI 1 TEON NILA SERUA (TNS) KABUPATEN MALUKU TENGAH TAHUN 2016 Lukman La Bassy (STIKes Maluku Husada) Epi Dusra (STIKes Maluku Husada) Albarthina Maria Lopuhaa (STIKes Maluku Husada) Email:
[email protected] ABSTRAK Kejadian kehamilan usia dini adalah kehamilan yang tidak diinginkan dan merupakan suatu kehamilan yang terjadi karena suatu sebab sehingga keberadaannya tidak diinginkan oleh salah satu atau kedua calon orang tua bayi. Tingginya angka kehamilan remaja di Indonesia saat ini dapat dibuktikan dari hasil pengamatan dan survey Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2010, berdasarkan dari jumlah penduduk remaja (usia 14– 19 tahun) 34 juta atau 19,6% dari total penduduk Indonesia, angka seks bebas di seluruh kota besar di Indonesia melampaui angka 50%. Perubahan mendasar dalam remaja bersikap dan berperilaku seksual serta masih minimnya pengetahuan akan hubungan seksual menjadi penyebab terus meningkatnya masalah kehamilan remaja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor – faktor yang berhubungan dengan perilaku seksualitas remaja terhadap kejadian kehamilan usia dini pada siswa kelas X di SMA Negeri 1 Teon Nila Serua (TNS) Kabupaten Maluku Tengah tahun 2016. Penelitian ini merupakan penelitian Kuantitaf dengan metode Cross Sectional, sampel penelitian ditentukan dengan menggunakan metode Total Sampling yang berjumlah 70 orang. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner. Pengolahan data dengan SPSS, menggunakan uji Chi-Square dan tingkat kemaknaan 0,05. Hasil dalam penelitian ini diperoleh nilai signifikan pengetahuan (ρ = 0,964), sikap (ρ = 0,058), dan peran orang tua (ρ = 0,055). Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa pengetahuan tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian kehamilan usia dini. Sementara sikap dan peran orang tua memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian kehamilan usia dini. Kata Kunci: Pengetahuan, Sikap, Peran Orang Tua, Kejadian Kehamilan Usia Dini. PENDAHULUAN Masa remaja adalah masa yang penting dalam perjalanan kehidupan manusia. Golongan umurini penting karena menjadi jembatan antara masa kanak-kanak yang bebas menuju masa dewasa yang menuntut tanggung jawab (Kusmiran, 2012). Perubahan mendasar dalam remaja bersikap dan berperilaku seksual dan reproduksi dikalangan remaja telah menjadi salah satu masalah sosial yang memprihatikan masyarakat Indonesia. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kehamilan remaja adalah kurangnya pengetahuan mengenai hubungan seksual. Sejumlah remaja yang hamil pada pra-nikah dapat disimpulkan bahwa banyak remaja masih minim pengetahuannya akan hubungan seksual. Pengetahuan yang setengah-setengah justru lebih berbahaya ketimbang tidak tahu sama sekali. Selain itu kehamilan usia remaja juga disebabkan banyak remaja yang dinikahkan oleh orang tuanya dengan orang yang dianggap mampu demi meringankan beban kedua orang tuannya (Kumalasari & Andhyantoro 2012). Dampak kehamilan pada usia remaja banyak menimbulkan masalah kesehatan reproduksi wanita, seringkali membahayakan terhadap keselamatan ibu dan bayi. Usia bagus untuk hamil secara medis adalah 20–35 tahun, maka bila usia kurang meski secara fisik telah menstruasi dan bisa dibuahi, namun bukan berarti siap untuk hamil dan melahirkan serta mempunyai kematangan mental untuk melakukan reproduksi (Marmi 2013). 1
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 menunjukkan angka kematian ibu melahirkan 359 per 100.000 kelahiran hidup, yang tidak jauh berbeda dengan capaian 17 tahun silam, dimana AKI 1995 sebesar 373 per 100.000 kelahiran hidup. Bila dibandingkan dengan target Sustainable Development Goals (SDGs) tahun 2015, tentu AKI tahun 2012 semakin jauh dari harapan SDGs 2015 yang menargetkan 102 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI 2012). Masalah kehamilan remaja menjadi semakin konkret jika dikaitkan dengan kecenderungan peningkatan angka kematian ibu belakangan ini. Angka kematian ibu di rumah sakit disebabkan oleh banyaknya kasus kegawatdaruratan pada kehamilan, persalinan dan nifas. Selain itu kematian ibu disebablan oleh perdarahan, tekanan darah tinggi saat hamil (eklampsia), infeksi, persalinan macet dan komplikasi keguguran, sedangkan penyebab langsung kematian bayi adalah Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan kekurangan oksigen (asfiksia). Penyebab tidak langsung kematian ibu dan bayi baru lahir adalah karena kondisi masyarakat yang masih lemah seperti pendidikan, sosial ekonomi dan budaya. Kondisi geografis serta keadaan sarana pelayanan yang kurang siap ikut memperberat permasalahan ini (Mboi, 2010). Tingginya angka kehamilan pada remaja di Indonesia saat ini dapat dibuktikan dari hasil pengamatan dan survey Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2010, berdasarkan dari jumlah penduduk remaja (usia 14-19 tahun) 34 juta atau 19,6 % dari total penduduk Indonesia, angka seks bebas di seluruh kota besar di Indonesia melampaui angka 50%, sebuah angka yang memiriskan, dari hasil survey tersebut sekitar 30 % berakhir pada kawin "terpaksa" karena hamil dan rata - rata pada usia yang sangat muda. Kehamilan remaja di Indonesia menunjukkan masih banyak remaja - remaja wanita yang belum begitu memahami resiko dari akibat kehamilan di usia muda, banyak remaja yang masih menyepelekan tentang kesehatan reproduksi dan cara untuk mencegah penyakit yang mungkin akan muncul dari kurangnya kesadaran diri untuk menjaga kebersihan dan kesehatan reproduksi mereka (BKKBN Pusat, 2010). Di Kabupaten Maluku Tengah kehamilan usia remaja juga masih tinggi. Ini terbukti dengan data yang diperoleh dari Dinas BKKBN Kabupaten Maluku Tengah tahun 2014 yaitu sebesar 4250 jiwa usia < 20 tahun (BKKBN Maluku Tengah 2014). Di SMA Negeri 1 Teon Nila Serua Kabupaten Maluku Tengah, tidak teridentifikasi siswa yang telah mengalami kehamilan usia remaja. Namun data yang diperoleh peneliti berdasarkan informasi dari masyarakat setempat, bahwa ada beberapa siswa yang pernah putus sekolah karena hamil di luar nikah. Selain itu, data yang diperoleh dari pemegang program Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) Puskesmas Perawatan Layeni Kecamatan TNS bahwa ada kejadian kehamilan usia remaja sejak 3 tahun terakhir, dan mengalami peningkatan secara signifikan seperti yang tertera pada tabel 1 berikut ini: Tabel 1. Data Kehamilan Usia Remaja Di Wilayah Kerja Puskesmas Perawatan Layeni Kecamatan TNS Kab.Maluku Tengah.
Tahun
Umur
Jumlah Yang Hamil Usia Remaja
Total
2013
18 Tahun 19 Tahun
4 Orang 16 Orang
20 Orang
15 Tahun 1 Orang 16 Tahun 2 Orang 2014 23 Orang 17 Tahun 1 Orang 19 Tahun 19 Orang 16 Tahun 1 Orang 2015 21 Orang 19 Tahun 20 Orang Jumlah 64 Orang Sumber: Data Puskesmas Perawatan Layeni Tanggal 11 April 2015
2
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Tabel 1 menunjukkan bahwa kehamilan usia remaja di Kecamatan TNS terjadi penurunan namun masih termasuk usia yang rentan untuk hamil dan melahirkan. Hal ini menyebabkan remaja mengalami putus sekolah dan lebih sering kawin paksa karena kehamilan yang terjadi, akibat perilaku seksual yang tidak terkontrol. Pada saat pengambilan data awal serta informasi yang diperoleh dari pemegang program Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) Puskesmas Perawatan Layeni Kecamatan TNS, bahwa terjadinya kehamilan di usia remaja disebabkan karena kurangnya pengetahuan remaja tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi. Selain itu, kurangnya peran orang tua dalam memberikan informasi terkait permasalah seks yang terjadi pada usia remaja dan pengaruh bebas remaja yang tidak terkontrol dengan baik juga turut mempengaruhi terjadinya kehamilan remaja di kecamatan TNS. Selain itu hasil observasi peneliti yang secara fakta berdomisili pada lokasi penelitian, dimana ditemukan sebagian besar remaja yang tinggal tidak bersama orang tua kandung melainkan dengan keluarga terdekat, sehingga pola anutan maupun pemantauan secara langsung dari orang tua terhadap perilaku remaja kurang maksimal. Berdasarkan permasalahan di atas peneliti sangat tertarik untuk menulis tentang Perilaku Seksualitas Remaja Terhadap Kejadian Kehamilan Usia Dini Pada Siswa Kelas X Di SMA Negeri 1 Teon Nila Serua (TNS) Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2016. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 1 Teon Nila Serua (TNS) Kabupten Maluku Tengah pada tanggal 18 Juli s/d 18 Agustus 2016. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas X SMA Negeri 1 Teon Nila Serua berjumlah 70 orang. pengambilan sampel yang digunakan adalah Total Populasi yaitu mengambil keseluruhan populasi sebagai sampel. Teknik Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan jenis instrument berupa lembar kuesioner. Setelah pengambilan data dilakukan dan data diperoleh, maka selanjutnya dilakukan pengolaha data yang meliputi beberapa bagian yaitu: Editing, Coding, Entry, dan Tabulating. Setelah data diolah, selanjutnya dilakukan analisis menggunakan uji statistik Chi-Square. HASIL PENELITIAN Tabel 2. Distribusi Umur Siswa Di SMA Negeri I TNS Kab.Maluku Tengah Tahun 2016 Umur 14 tahun 15 tahun 16 tahun Jumlah
Frekuensi 13 48 9 70
Persen (%) 18,6 % 68,6 % 12,9 % 100,0 %
Bardasarkan tabel 2 dapat digambarkan bahwa klasifikasi umur siswa yang paling banyak usia 15 tahun berjumlah 48 responden (68,6%), sedangkan untuk jumlah yang sedikit pada usia 16 tahun dengan hanya berjumlah 9 responden (12,9%). Tabel 3. Distribusi Jenis Kelamin Siswa Di SMA Negeri I TNS Kab.Maluku Tengah Tahun 2016 Jenis Kelamin Laki – Laki Perempuan Jumlah
Frekuensi 27 43 70
Persen (%) 38,6 % 61,4 % 100,0 %
Berdasarkan tabel 3 dapat digambarkan bahwa klasifikasi jenis kelamin siswa yang paling banyak adalah jenis kelamin perempuan berjumlah 43 responden (61,4 %), sedangkan untuk jumlah yang sedikit jenis kelamin laki – laki berjumlah 27 responden (38,6%). 3
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Tabel 4. Distribusi Pekerjaan Orang Tua Siswa di SMA Negeri I TNS Kab. Maluku Tengah Tahun 2016 Pekerjaan Orang Tua PNS Non PNS Jumlah
Frekuensi 11 59 70
Persen (%) 15,7 % 84,3 % 100,0 %
Berdasarkan tabel 4 dapat digambarkan bahwa klasifikasi pekerjaan orang tua siswa yang paling banyak adalah yang memiliki pekerjaan Non PNS berjumlah 59 responden (84,3%), sedangkan untuk jumlah yang sedikit pekerjaan PNS yaitu sebanyak 11 responden (15,7%). Tabel 5. Distribusi Pengetahuan Siswa Di SMA Negeri I TNS Kab.Maluku Tengah Tahun 2016 Pengetahuan Baik Cukup Kurang Jumlah
Frekuensi 46 24 0 70
Persen (%) 65,7 % 34,3 % 0% 100,0%
Berdasarkan tabel 5 dapat digambarkan bahwa klasifikasi pengetahuan siswa yang paling banyak yaitu siswa dengan pengetahuan baik berjumlah 46 responden (65,7%), sedangkan yang paling sedikit siswa dengan pengetahuan yang cukup berjumlah 24 reponden (34,3%). Tabel 6. Distribusi Sikap Siswa Di SMA Negeri I TNS Kab. Maluku Tengah Tahun 2016 Sikap Baik Kurang Jumlah
Frekuensi 29 41 70
Persen (%) 41,4 % 58,6 % 100,0%
Berdsarakan tabel 6 dapat digambarkan bahwa klasifikasi sikap siswa yang paling banyak yaitu siswa dengan memiliki sikap yang kurang berjumlah 41 responden (58,6%), sedangkan yang paling sedikit siswa yang memiliki sikap baik berjumlah 29 responden (41,4%) Tabel 7. Distribusi Peran Orang Tua Siswa di SMA Negeri I TNS Kab.Maluku Tengah Tahun 2016 Peran Orang Tua Baik Kurang Jumlah
Frekuensi 45 25 70
Persen (%) 64,3 % 35,7 % 100,0%
Berdasarkan tabel 7 dapat digambarkan bahwa klasifikasi peran orang tua siswa yang paling banyak yaitu orang tua memiliki peranan yang baik berberjumlah 45 responden (64,3%), sedangkan yang paling sedikit yaitu orang tua yang memiliki peran yang kurang berjumlah 25 responden (35,7%). Tabel 8. Distribusi Kejadian Kehamilan Usia Dini Siswa Di SMA Negeri I TNS Kab.Maluku Tengah Tahun 2016 Kejadian Kehamilan Usia Dini Resiko Tinggi Resiko Rendah Jumlah 4
Frekuensi 26 44 70
Persen (%) 37,1 % 62,9 % 100,0%
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Berdasarkan tabel 8 dapat digambarkan bahwa klasifikasi kejadian kehamilan usia dini yang paling besar yaitu siswa beresiko rendah terhadap kejadian kehamilan usia dini yaitu sebanyak 44 responden (62,9%), sedangkan yang paling sedikit yaitu siswa beresiko tinggi terhadap kejadian kehamilan usia dini yaitu sebanyak 26 reponden (37,1%). Tabel 9. Analisis Hubungan Pengetahuan Siswa Dengan Kejadian KehamilanUsia Dini Di SMA Negeri I TNS Kab.Maluku Tengah Tahun 2016
Sikap Baik Cukup Kurang Total
Kejadian Kehamilan Usia Dini Resiko Tinggi Resiko Rendah n % n % 17 24,2 29 41,4 9 13 15 21,4 0 0 0 0
n 46 24 0
Total % 65,7 34,3 0
26
70
100
37,2
44
62,8
Ρ
0,964
Berdasarkan hasil pengolahan data dengan menggunakan Uji statistic Chi-Square (Pearson Chi- Squaret) pada tabel 9 diperoleh nilai ρ = 0,964, yang lebih besar dari α = 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa H0 diterima dan Ha ditolak atau hipotesis penelitian ini tidak diterima. Artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan siswa dengan kejadian kehamilan usia dini. Tabel 10. Analisis Hubungan Sikap Siswa Dengan Kejadian Kehamilan Usia Dini Di SMA Negeri I TNS Kab.Maluku Tengah Tahun 2016 Kejadian Kehamilan Usia Dini Resiko Tinggi Resiko Rendah n % n % 7 10 22 31,4
N 29
Total % 41,4
Kurang
19
27,2
22
31,4
41
58,6
Total
26
37,2
44
62,8
70
100
Sikap Baik
Ρ
0,058
Berdasarkan hasil pengolahan data dengan menggunakan Uji statistic Chi-Square ( Pearson Chi- Squaret) pada tabel 10 diperoleh nilai ρ=0,058, yang lebih kecil dari α = 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan Ha diterima atau hipotesis penelitian ini diterima. Artinya terdapat hubungan yang signifikan antara sikap siswa dengan kejadian kehamilan usia dini. Tabel 11. Analisis Hubungan Peran Orang Tua Siswa Dengan Kejadian Kehamilan Usia Dini Di SMA Negeri I TNS Kab. Maluku Tengah Tahun 2016 Kejadian Kehamilan Usia Dini Resiko Tinggi Resiko Rendah n % n % 13 18,6 32 45,7
n 45
Total % 64,3
Kurang
13
18,6
12
17,1
25
35,7
Total
26
37,2
44
62,8
70
100
Sikap Baik
Ρ
0,055
Berdasarkan hasil pengolahan data dengan menggunakan Uji statistic Chi-Square (Pearson Chi- Squaret) pada tabel 11 diperoleh nilai ρ=0,055, yang lebih kecil dari α = 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan Ha diterima atau hipotesis penelitian ini diterima. Artinya terdapat hubungan yang signifikan antara peran orang tua siswa dengan kejadian kehamilan usia dini. 5
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
PEMBAHASAN Hubungan Pengetahuan Siswa dengan Kejadian Kehamilan Usia dini Berdasarkan hasil pengolahan data dengan menggunakan Uji statistic Chi-Square ( Pearson Chi- Squaret) pada tabel 4.8 diperoleh nilai ρ=0,964, yang lebih besar dari α = 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa H0 diterima dan Ha ditolak atau hipotesis penelitian ini tidak diterima. Artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan siswa dengan kejadian kehamilan usia dini. Teori Mubarak mengatakan pengetahuan merupakan hasil mengingat suatu hal termasuk mengingat secara sengaja maupun tidak sengaja dan terjadi setelah orang melakukan kontak atau pengamatan terhadap suatu objek tertentu. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih baik dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ayu Asmarani yang berjudul “Hubungan Tingkat Pengetahuan Dan Sikap Remaja Putri Tentang Dampak Kehamilan Usia Dini Di SMK Assanadiyah Tahun 2014” dengan ρ=0,053 > α= 0,05 dan tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan tentang dampak kehamilan usia dini. Dari hasil pengolahan data menggunakan Chi-Square dengan jumlah sampel 106 responden yang mempunyai pengetahuan baik yang dampak kehamilan usia dini tidak beresiko sebanyak 53,8% dan yang dampak kehamilan usia dini beresiko sebanyak 17,9%. Remaja yang berpengetahuan baik akan berpikir positif dan tidak mendukung terjadinya kejadian kehamilan usia dini. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Daria (2010). Diketahui bahwa tingkat pengetahuan remaja sangat berpengaruh terhadap sikap atau perilaku remaja baik positif maupun negatif terhadap kehamilan usia dini. Menurutnya, sikap negatif remaja (mendukung) terhadap kehamilan usia dini disebabkan karena pengetahuan yang kurang, informasi yang didapat tidak akurat mengenai kehamilan usia dini dan dampaknya. Menurut asumsi peneliti pengetahuan tetang kehamilan usia dini bukanlah pengetahuan yang hanya sekilas dibicarakan. Hal ini terbukti ketika melakukan penelitian peneliti mendapatkan bahwa sebagian besar remaja berusia 15 tahun, tetapi mereka sudah memiliki pengetahuan yang baik tentang kejadian kehamilan usia dini. Remaja membutuhkan pengetahuan dengan sistem pendidikan yang lebih menjurus kepada arah pencegahan kehamilan usia dini tersebut. Hubungan Sikap Siswa dengan Kejadian Kehamilan Usia Dini Berdasarkan hasil pengolahan data dengan menggunakan Uji statistic Chi-Square ( Pearson Chi- Squaret) pada tabel 4.9 diperoleh nilai ρ=0,058, yang lebih kecil dari α = 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan Ha diterima atau hipotesis penelitian ini diterima. Artinya terdapat hubungan yang signifikan antara sikap siswa dengan kejadian kehamilan usia dini. Teori Notoatmodjo (2010) mengatakan bahwa sikap merupakan kesediaan atau kesiapan untuk berperilaku. Sikap negatif didefenisikan sebagai sikap yang menolak, menentang atau ketidaksetujuan terhadap objek. Hal yang sebaliknya berlaku pada sikap positif. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yeni Rosyeni dan Isti Dariah yang berjudul “Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Remaja Putri Terhadap Kehamilan Remaja Di Puskesmas Pageran Cimahi Utara Tahun 2010”, dengan ρ=0,033 ( ρ < 0,05) sehingga H0 ditolak dengan demikian ada hubungan antara sikap dengan kehamilan remaja. Namun penelitian ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh I Nyoman Gede Sanjaya yang mengatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna anatar sikap dengan periluku seksual remaja denga nilai ρ=0,131 ( ρ > 0,05). Menurut asumsi peneliti semakin baik seorang remaja dalam merespon suatu objek tertentu maka semakin baik pula remaja tersebut bersikap. Dalam hal ini, sebagian besar remaja yang di temukan peneliti berjenis kelamin perempuan dan bersikap kurang baik terhadap kejadian kehamilan usia dini, sehingga membuat seorang yang bersikap kurang baik terhadap kejadian kehamilan usia dini secara tidak langsung beresiko terjadi kejadian kehamilan usia dini. 6
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Hubungan Peran Orang Tua Siswa dengan Kejadian Kehamilan Usia Dini Berdasarkan hasil pengolahan data dengan menggunakan Uji statistic Chi-Square ( Pearson Chi- Squaret) pada tabel 4.10 diperoleh nilai ρ=0,055, yang lebih kecil dari α = 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan Ha diterima atau hipotesis penelitian ini diterima. Artinya terdapat hubungan yang signifikan antara peran orang tua siswa dengan kejadian kehamilan usia dini. Hal ini sejalan dengan teori oleh Widyastuti menyatakan adanya perhatian atau kontrol orang tua terhadap anak dapat menunda usia pertama kali remaja melakukan hubungan seks. Hasil penelitian ini mendukung pendapat Laily dan Matulessy, kualitas komunikasi antara orang tua dan anak dapat menghindarkan remaja dari perilaku seksual pranikah, hal ini dikarenakan antara orang tua dan anak terjalin hubungan atau komunikasi yang intensif sehingga memungkinkan terjadinya diskusi, sharing, dan pemecahan masalah secara bersama. Komunikasi dalam keluarga adalah jembatan interaksi antara oran tua dengan anaknya. Hal ini merupakan penjelasan bahwa tidak benar selalu menjadikan komunikasi yang buruk dalam keluarga sebagai satu-satunya penyebab kenakalan remaja, ketidakharmonisan keluarga dan sebagainya. Masih banyak hal lain yang saling terkait seperti saling pengertian dari kedua belah pihak, saling menghargai dan menghormati, keterusterangan ataupun adanya rasa empati. Komunikasi orang tua-anak dikatakan efektif apabila kedua belah pihak saling dekat, saling menyukai dan komunikasi diantaranya merupakan hal yang menyenangkan dan adanya keterbukaan sehingga tumbuh sikap percaya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mambang dkk yang berjudul “Hubungan Peran Orang Tua Terhadap Perilaku Remaja Dalam Mencegah Terjadinya Resiko Kehamilan Di Usia Dini Pada Siswi SMA Swasta X Banjarmasin”, dengan p-value 0,000 (p < 0.05), sehingga H0 ditolak dengan demikian ada hubungan antara peran orang tua dengan perilaku remaja dalam mencegah terjadinya kehamilan di usia dini. Asumsi peneliti mengatakan, semakin baik peran orang tua maka semakin baik pula remaja itu berperilaku. Hal ini didasari bahwa dukungan keluarga atau peran orang tua berpengaruh besar terhadap pengetahuan anak dalam membentuk kepribadiannya dengan cara mengarahkan, membimbing dan memperhatikan masalah-masalah emosional. Walaupun sebagian besar pekerjaan orang tua siswa yang ditemukan peneliti dalam penelitian ini adalah petani (non PNS) dan mereka selalu berkerja di luar rumah, namun mereka selalu menyediaakan waktu yang cukup untuk berkomunikasi tentang apa saja yang berkaitan dengan perkembangan anaknya dan membicarakan hal - hal yang juga berkaitan dengan masalah masalah kehamilan remaja. Anak-anak perlu mengerti bahwa mereka bisa bicara dengan orang tua dan orang tua dapat membantu mereka menghadapi situasi tersebut dan memberikan pemahaman bahwa kehamilan di usia dini adalah sesuatu yang tidak dapat diterima. Sebagai orang tua perlu mendidik anak secara baik agar tumbuh menjadi aktif, cerdas, dan memiliki masa depan cemerlang. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil yang telah didapatkan, maka dapat disimpulkan bahwa pengetahuan tidak mempunyai hubungan yang signifikan deangan kejadian kehamilan usia dini dengan ρ value = 0,964. Sementara sikap memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian kehamilan usia dini deangan nilai ρ value = 0,058 dan peran orang tua memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian kehamilan usia dini ρ value = 0,055. Saran Diharapkan dengan adanya penelitian ini masyarakat dapat memahami dan menghindari faktor-faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya kejadian kehamilan usia dini. Demikian juga bagi peneliti selanjutnya agar dapat mencari hubungan dari variabel yang lain ataupun 7
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
yang telah diteliti dalam penelitian ini maupun faktor – faktor lain yang mempengaruhi perilaku seksualitas remaja terhadap kejadian kehamilan usia dini. DAFTAR PUSTAKA 1. Kusmiran E, 2012, Kesehatan Reproduksi Remaja dan Wanita. Jakarta: Salemba Medika. 2. Kumalasari, Intan & Iwan Andhyantoro.2012.Kesehatan Reproduksi untuk Mahasiswa Kebidanan dan Keperawatan. Jakarta.Salemba Medika. 3. Marmi. Gizi Dalam Kesehatan Reproduksi Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013. ISBN 97-602229-196-1 4. Kepmenkes. 2012 Survei Demografi Kesehatan Indonesia 2012 Kesehatan Reproduksi Remaja. Jakarta : Kementrian Kesehatan. 5. Mboi N, 2010. Untuk Menurunkan Angka Kematian Ibu Dan Kematian Bayi Perlu Kerja Keras. Diakses tanggal 19 Maret 2013. Dari http://www.depkes.go.id/indek. 6. Notoatmodjo, S 2010 Ilmu Perilaku Kesehatan Jakarta : Rineka Cipta. 7. Notoatmodjo, S 2012. Promosi Kesehatan Dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. 8. Sarwono, S.W. (2010). Psikologi remaja. Jakarta : Rajawali Pers: Jakarta. 9. Hurlock, E, B. (2011): Pisikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan Edisi Kelima (Ali Bahasa: Isti Widayanti dan Soetjarwo) Jakarta: Erlangga. 10. Sarwono, S.W. 2012 Psikologi Remaja. Jakarta Raja Gravindo Persada. 11. Sarwono, S.W. 2011.Psikologi Remaja, Edisi Revisi Catatan 14, Remaja Grafindo Persada Jakarta. 12. Kusmarini, 2011. Kesehatan Reproduksi Remaja dan Wanita. Salemba Medika. Jakarta. 13. Manuaba, IBG., 2010 Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan KB Untuk Pendidikan Bidan Edisi 2. Jakarta: EGC. 14. Sujarweni, Wiratna. 2014 SPSS Untuk Penelitain Pustaka Baru Pres, Yogyakarta. 15. Hidayat A. 2012 Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. 16. Notoatmodjo. S. 2013 Metodologi Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. 17. Asmarani, A (2014). Hubungan Tingkat Pengetahuan Dan Sikap Remaja Putri Tentang Dampak Kehamilan Usi Dini Di SMK Assanadiah Tahun 2014. Jakarta. FKMUI. 18. Mubarak, 2011. Promosi Kesehatan Sebuah Pengantar Proses Belajar Mengajar Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Graha Ilmu. 19. Rosyeni Y, dan Dariah I (2010). Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Remaja Putri Terhadap Kehamilan Remaja Di Puskesmas Pageran Cimahi Utara Tahun 2010. Stikes A. Yani Cimahi. 20. Mubarak, I,W., 2012. Promosi Kesehatan Untuk Kebidanan, Salemba Medika, Jakarta.
8
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
PENGARUH TEKNIK RELAKSASI NAFAS DALAM TERHADAP PENURUNAN SKALA NYERI PADA PASIEN PASCA APENDEKTOMI DI RUANG BEDAH LAKI RSUD DR. M. HAULUSSYAMBON TAHUN 2016 L Hadija (STIKes Maluku Husada) Risman Tunny (STIKes Maluku Husada) R.S. Rumakey (STIKes Maluku Husada) Setiawan Andri (STIKes Maluku Husada) ABSTRAK Appendicitis adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat. Pada tahun 2013 insidensi apendisitis di Indonesia menempati urutan tertinggi di antara kasusus kegawatan abdomen lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan skala nyeri pada pasien pasca apendektomi di Ruang Bedah Laki RSUD dr. M. Haulussy Ambon. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental semu (quasy eksperimental) dengan pendekatan one group pre-post test design, sampel 3 orang dengan teknik pengambilan sampel menggunakan accidental sampling. Instrumen yang digunakan dalam bentuk observasi. Pengolahan data dengan SPSS, menggunakan uji Willcoxon dan tingkat kemaknaan 0,05. Hasil dalam penelitian ini diperoleh nilai signifkasi teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan skala nyeri 0,10. Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan tidak ada pengaruh teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan skala nyeri pada pasien pasca apendektomi di Ruang Bedah Laki RSUD dr. M. Haulussy Ambon. Kata Kunci: Relaksasi Nafas Dalam Skala Nyeri PENDAHULUAN Derajat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh empat fator utama, yakni: lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan, dan keturunan (herediter). Karena itu upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat harus ditujukan pada keempat faktor utama tersebut secara bersama-sama (Notoatmodjo, 2012). Salah satu penyakit yang sering terjadi di Indonesia adalah penyakit appendicitis. Appendicitis adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Mary, 2014). Keluhan appendicitis biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus yang disertai dengan muntah. Dalam 2-12 jam nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, yang akan menetap dan diperberat bila berjalan. Terdapat juga keluhan anoreksia, malaise, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Biasanya juga terdapat konstipasi, tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual, dan muntah. Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang menetap. Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen bawah akan semakin progresif, dan dengan pemeriksaan seksama akan dapat ditunjukkan satu titik dengan nyeri maksimal. Perkusi ringan pada kuadran kanan bawah dapat membantu menentukan lokasi nyeri. Nyeri lepas dan spasme biasanya juga muncul (Mansjoer, 2000 dalam Nugrohoningsih, 2014). Menurut International Association for Study of Pain (IASP) nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan (Tamsuri, 2007 dalam Nursalam, 2014). Perawat tidak bisa melihat dan merasakan nyeri yang dialami oleh klien, karena nyeri bersifat subyektif (antara satu individu dengan individu lainnya berbeda dalam menyikapi nyeri) (Ghandi, 2010 dalam Terry 2014). Nyeri pasca operasi mungkin sekali disebabkan oleh luka operasi, tetapi kemungkinan sebab lain harus dipertimbangkan. Sebaiknya pencegahan nyeri sebelum operasi direncanakan agar penderita tidak terganggu oleh nyeri setelah pembedahan. Cara pencegahan tergantung 9
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
pada penyebab dan letak nyeri dan keadaan penderitanya (Sjamsuhidajat, 2002 dalam Mary, 2014). Penanganan nyeri bisa dilakukan secara farmakologi yaitu dengan pemberian obat-obatan analgesik dan penenang. Sedangkan secara non farmakologi melalui distraksi, relaksasi, kompres hangat atau dingin, aromaterapi, hypnotis, dan lain-lain (Rezkiyah, 2011 dalam Terry, 2013). Pengkombinasian antara teknik non farmakologi dan teknik farmakologi adalah cara yang efektif untuk menghilangkan nyeri terutama nyeri yang sangat hebat yang berlangsung selama berjam-jam atau bahkan berhari-hari (Smeltzer dan Bare, 2002 dalam Mary, 2014). Penanganan nyeri dengan teknik non farmakologi merupakan modal utama menuju kenyamanan (Catur, 2005 dalam Mary, 2014). Dipandang dari segi biaya dan manfaat, penggunaan manajemen non farmakologi lebih ekonomis dan tidak ada efek sampingnya jika dibandingkan dengan penggunaan manajemen farmakologi. Selain juga mengurangi ketergantungan pasien terhadap obat-obatan (Burroughs, 2001 dalam Lyndon, 2014 ). Nursalam (2014) menjelaskan bahwa kebanyakan perawat melaksanakan program terapi hasil dari kolaborasi dengan dokter untuk menghilangkan atau meringankan nyeri pada pasien. Diantaranya adalah pemberian analgesik yaitu asam mefenamat, yang memang mudah dan cepat dalam pemberiannya dibandingkan dengan pemberian intervensi manajemen nyeri non farmakologi. Jika dengan manajemen nyeri non farmakologi belum juga berkurang atau hilang maka barulah diberikan analgesik. Pemberian analgesik juga harus sesuai dengan yang diresepkan dokter, karena pemberian analgesik dalam jangka panjang dapat menyebabkan pasien mengalami ketergantungan. Selain penanganan secara farmakologi, cara lain adalah dengan manajemen nyeri non farmakologi dengan melakukan teknik relaksasi, yang merupakan tindakan eksternal yang mempengaruhi respon internal individu terhadap nyeri. Manajemen nyeri dengan tindakan relaksasi mencakup relaksasi otot, nafas dalam, masase, meditasi dan perilaku. Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan nafas secara perlahan. Selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi nafas dalam juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenisasi darah (Smeltzer & Bare, 2002 dalam Lyndon, 2014). Menurut WHO, insidensi apendisitis di Asia pada tahun 2008 adalah 4,8% penduduk dari total populasi. Menurut kemenkes RI pada tahun 2012 apendisitis menduduki urutan ke empat penyakit terbanyak setelah dispepsia, gastritis, duodenitis, dengan jumlah pasien rawat inap sebanyak 2840. Selain itu pada tahun 2013 insidensi apendisitis di Indonesia menempati urutan tertinggi di antara kasusus kegawatan abdomen lainnya. Insiden terjadinya appendicitis di negara maju lebih tinggi dibandingkan dengan Negara berkembang. Sementara di Indonesia sendiri appendicitis merupakan penyakit dengan urutan keempat terbanyak pada tahun 2010. Data yang dirilis oleh Kemenkes RI pada tahun 2011 jumlah penderita appendicitis di Indonesia mencapai 591.819 orang dan meningkat pada tahun 2012 sebesar 596.132 orang. Kelompok usia yang umumnya mengalami appendicitis yaitu pada usia 10-30 tahun. Dimana insiden laki-laki lebih tinggi daripada perempuan (Kemenkes RI, 2013). Studi pendahuluan yang peneliti lakukan di RSUD dr. M. Haulussy Ambon dari catatan Medical Record (MR) yang dilihat 3 bulan terakhir yaitu pada bulan Februari-April 2016, didapatkan jumlah pasien yang terdiagnosa appendicitis yaitu 45 orang dan appendicitis merupakan penyakit terbanyak di Ruangan Bedah Laki RSUD dr. M. Haulussy Ambon. Dari survei peneliti di ruangan bedah terdapat 18 orang pasien, 6 orang di antaranya pasca apendiktomi, yang masing-masing 4 orang diantaranya mengalami nyeri berat dan 2 orang mengalami nyeri ringan. Pasien mengatakan mereka mendapatkan obat untuk mengurangi nyeri sesudah operasi, namun setelah minum obat, 4 orang mengatakan masih nyeri dan 2 orang mengatakan nyerinya berkurang sedikit. Kalau nyeri tidak juga teratasi maka akan memberikan dampak kepada pasien seperti meningkatnya tekanan darah, takikardi, tidak bisa tidur/istirahat, cemas dan lain-lain. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa relaksasi nafas dalam sangat efektif dalam menurunkan nyeri pasca operasi (Brunner & Suddart, 2002 dalam Marry, 2014). Penelitian Tunner dan Jansen (1993), Almatsier dkk (1992) dalam Wisnu (2015), menyimpulkan bahwa 10
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
relaksasi otot progresif dapat menurunkan nyeri dengan merileksasikan ketegangan otot yang dapat menunjang nyeri, hal ini dibuktikan pada penderita nyeri punggung bahwa teknik relaksasi efektif dalam menurunkan nyeri. Pada pasca operasi, pasien ditempatkan pada posisi senyaman mungkin, posisi ini mengurangi ketegangan pada insisi organ abdomen yang mengurangi nyeri. Penelitian Lorenzi (1991) Miller & Perry, (1990) dalam Wisnu (2015), telah menunjukkan bahwa teknik relaksasi dapat menurunkan nyeri pasca operasi dengan efektif, hal ini terjadi karena relatif kecilnya peran otot-otot skeletal dalam nyeri pasca operasi atau kebutuhan pasien untuk melakukan teknik relaksasi agar efektif. Penelitian yang telah membuktikan tentang keberhasilan teknik relaksasi nafas dalam dan masase menurunkan tingkat nyeri diantaranya penelitian Maulana (2003) dalam Nurty (2014) yang meneliti tentang “Pengaruh Pemberian Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Tingkat Nyeri Post Partum Di RSUD Bantul”. Dari hasil penelitiannya tersebut menunjukkan bahwa ada pengaruh yang bermakna pemberian teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan tingkat nyeri post partum di RSUD Bantul. Berdasarkan wawancara dengan tiga orang perawat, mereka mengetahui teknik relaksasi nafas dalam dan masase dapat menurunkan nyeri, namun mereka belum mau melaksanakan teknik relaksasi ini, karena mereka menganggap bahwa penggunaan analgesik memberikan efek kerja yang lebih cepat dari pada menggunakan teknik relaksasi atau tindakan non farmakologi. Berdasarkan fenomena diatas, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai pengaruh teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan skala nyeri pada pasien pasca apendiktomi di Ruangan Bedah Laki RSUD dr. M. Haulussy Ambon tahun 2016. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang di gunakan adalah penelitian eksperimental semu (quasy eksperimental) dengan pendekatan one group pre-post test design. Dalam penelitian ini, peneliti mengobservasi proses nyeri yang dirasakan oleh pasien pasca appendektomi sebelum melakukan teknik relaksasi nafas dalam, kemudian skala nyerinya juga di observasi setelah dilakukan teknik relaksasi nafas dalam. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien pasca appendiktomi di Ruangan Bedah Laki RSUD dr. M. Haulussy Ambon. Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan accidental sampling pengambilan sampel yang dilakukan sesaat, sehingga sampel yang diperoleh adalah sampel yang ada/ tersedia sesaat pada waktu itu. Data yang diperoleh peneliti dari instansi atau Rumah Sakit, berupa data rekam medis. Data yang digunakan adalah data yang berasal dari responden yang diukur skala nyeri sebelum diberi teknik relaksasi nafas dalam (nilai pre test) dan diukur skala nyerinya setelah diberi teknik relaksasi nafas dalam pada pasien pasca appendektomi (nilai post test). Selanjutnya nilai masing-masing responden dibandingkan antara sebelum di beri teknik relaksasi nafas dalam (pre test) dengan setelah diberi teknik relaksasi nafas dalam (post test). Data dan setiap kelompok analisis dilakukan uji normalitas untuk melihat apakah data berdistribusi normal atau tidak. Dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel dengan menggunakan uji normalitas shapiro-wilk, dan data hasil penelitian menunjukan bahwa tidak teridentifikasi normal dengan nilai ≤ 0,05, sehingga uji yang di gunakan adalah Willcoxon. HASIL PENELITIAN Tabel 1. distribusi karakteristik responden berdasarkan umur klien dengan di lakukannya teknik relaksasi nafas dalam di ruang bedah laki RSUD dr. M. Haulussy Ambon Tahun 2016 No. 1 2 3
11
Usia 28 Tahun 40 Tahun 52 Tahun Total
Jumlah 1 1 1 3
% 33,3 33,3 33,3 100
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Tabel 1 menunjukkan bahwa responden dengan kategori lansia berjumlah 1 orang, dewasa awal 1 orang dan dewasa akhir 1 orang dengan nilai reratanya masing-masing 33,3%. Table 2. distribusi karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan klien No. 1 2 3
Pendidikan SD SLTP SD Total
Jumlah 1 1 1 3
% 33,3 33,3 33,3 100
Tabel 2. memaparkan bahwa responden memiliki jenjang pendidikan tamatan SD berjumlah 2 orang dan yang tamatan SLTP 1 orang dengan nilai reratanya masing-masing 33,3%. Tabel 3. distribusi karakteristik responden berdasarkan jenis pekerjaan klien. No. 1 2 3
Pekerjaan Karyawan Wiraswasta Karyawan Total
Jumlah 1 1 1 3
% 33,3 33,3 33,3 100
Tabel 3 menijelaskan bahwa responden bekerja sebagai karyawan berjumlah 2 orang dan yang wiraswasta hanya 1 orang dengan nilai reratanya masing-masing 33,3%. Tabel 4. Distribusi rataan skala nyeri pre-Test post-Test di ruang bedah laki RSUD dr. M. Haulussy Ambon Tahun 2016 Skala nyeri Pre Post
(n) 3 3
Median (minimum-maximum) 400(3-4) 200(1-2)
Table 4 menjelaskan bahwa skala nyeri yang dirasakan saat pre (sebelum di berikan teknik relaksasi) dengan jumlah responden 3 orang nilai median 400 dengan nilai minimum 3 dan nilai maksimum 4. Saat post (setelah di beri teknik relaksasi) dengan jumlah responden yang sama median menurun menjadi 200 dengan nilai minimum 1 dan maksimum 2. Yang artinya peniliti berhasil melakukan penelitian teknik relaksasi nafas dalam pada pasien pasca apendiktomi di ruang bedah laki RSUD dr. M. Haulussy Ambon. Table 5. Analisis statistic normalitas data di ruang bedah laki RSUD dr. M. Haulussy Ambon. Skala nyeri Pre Post
(n) 3 3
Median (minimum-maximum) 400(3-4) 200(1-2)
P value 0.00 0.00
Tabel 5 menjelaskan bahwa dengan jumlah sampel kurang dari 50 sehingga tes normalitas data yang digunakan menggunakan Shapiro wilk. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa saat pre dengan jumlah sampel 3 responden nilai median 0,60 dengan nilai minimum 48 dan maksimum 60 dengan nilai p value 0,00. Saat post dengan jumlah sampel yang sama nilai median 0,30 dengan nilai minimum 00 dan maksimum 30 dengan nilai p value 0,00. Tabele 6. hasil statistic dengan menggunakan uji willcoxon signed Rank Test di ruang bedah laki RSUD dr. M. Haulussy Ambon Skala nyeri Pre Post
(n) 3 3
Median (minimum-maximum) 400(3-4) 200(1-2)
Std. Devisiasi 577 577
P value 0.10
Uji Wilcoxon 3 responden menurun, 0 responden meningkat dan 0 responden tetap 12
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Table 6. Menjelaskan bahwa saat pre dengan jumlah responden 3 orang nilai median 400 dengan nilai minum 3 maksimum 4, dan standar devisiasinya 577. Saat post dengan jumlah responden yang sama nilai median 200 dengan nilai minimum 1 maksimum 2, dan nilai standar devisiasinya yang sama. Sehingga dapat menunjukkan adanya penurunan intensitas nyeri yang dirasakan oleh responden tetapi nilai p value 0,10 yang artinya nilai p ≥ 0,005 sehingga dapat disimpulkan tidak adanya pengaruh yang signifikan terhadap efektifitas pemberian teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan skala nyeri pada pasien dengan post operasi appendiksitis. PEMBAHASAN Tabel 6. menjelaskan bahwa saat pre dengan jumlah responden 3 orang nilai median 0 dengan nilai minum 3 dan maksimum 4. Saat post dengan jumlah responden yang sama nilai median 400 dengan nilai minimum 1 dan maksimum 2. Sehingga dapat menunjukkan adanya penurunan intensitas nyeri yang dirasakan oleh responden tetapi nilai p value 0,10 yang artinya nilai p ≥ 0,005 sehingga dapat disimpulkan tidak adanya pengaruh yang signifikan terhadap efektifitas pemberian teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan skala nyeri pada pasien dengan post operasi appendiksitis. Tetapi jika dilihat dari hasil respon skala nyeri yang dirasakan terbukti bahwa nilai rerata skala nyeri yang dirasakan menurun. Hal ini bertentangan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nugrohoningsih (2014) yang judulnya “Pengaruh Pemberian Teknik Relaksasi Nafas Dalam terhadap Penurunan Nyeri pada Pasien dengan Post Amputasi Below Knee atas Indikasi Multiple Fraktur Region Cruris Sinistra di RSUD dr. Moewardi Surakarta” dengan nilai p value 0,000 yang berarti bahwa terdapat pengaruh yang signifikan. Selain itu juga Vista (2013) memiliki pendapat yang sama mengenai “Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam terhadap Intensitas Nyeri pada Pasien Post Operasi Sectio Caesaria di RSUD Prof. dr. Hi. Aloei Saboe Kota Gorontalo”. Berdasarkan data hasil analisis uji statistik Wilcoxon Signed Rank Test yang menunjukkan bahwa besar nilai Z (bassed of posstive ranks) yakni -5.591 a dengan signifikan p value 0.000 dari nilai t < 0,05. Maka dengan nilai p value 0.000 lebih kecil dari ߙ < 0,05, artinya hipotesis alternative sebelumnya dapat diterima. Dengan demikian pada penelitiannya, ada pengaruh teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan intensitas nyeri pada pasien post operasi sectio caesaria di Rumah Sakit Umum Prof.Dr. Ha.Aloei Saboe Kota Gorontalo. Teknik relaksasi napas dalam dipercayai mampu merangsang tubuh untuk melepaskan opoiod endogen yaitu endorphin dan enkefalin (Smeltzer & Bare, 2002 dalam Terry, 2014). Saat nyeri akut, denyut jantung, tekanan darah, dan frekuensi pernapasan meningkat. Perawat membandingkan tanda-tanda vital dengan nilai dasar yang tercatat sebelum mengalami nyeri. Apabila klien mengalami nyeri, maka perawat mengkaji kata-kata yang diucapkan, respon vokal, gerakan wajah dan tubuh serta interaksi sosial. Merintih, mendengkur dan menangis merupakan vokalisasi yang digunakan untuk mengekspresikan nyeri. Dalam proses penelitian skala nyeri yang dirasakan oleh pasien menurun, tetapi hasil statistik menyatakan hal yang sebaliknya, yaitu tidak ada pengaruh yang signifikan dari pemberian teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan skala nyeri. Nugrohoningsih (2014), Wisnu (2015), Vista (2014) dan Sumiati et al (2013) menyebutkan banyak faktor yang mempengaruhi respon nyeri, antara lain: usia, jenis kelamin, kebudayaan, pengalaman masa lalu dengan nyeri, perhatian, dan ansietas. Meskipun hasil penelitian dinyatakan tidak ada pengaruh yang signifikan antara pemberian teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan skala nyeri, tetapi berdasarkan hasil pengkajian OPQRST saat pre dan post pemberian teknik relaksasi nafas dalam terbukti bahwa setiap responden skala nyerinya berkurang. Hal itu dikarenakan banyak faktor yang dapat mempengaruhi respon nyeri, diantaranya: usia, jenis kelamin, kebudayaan, pengalaman masa lalu dengan nyeri, perhatian, dan ansietas KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Tidak ada pengaruh yang signifikan sebelum dan sesudah teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan skala nyeri pada pasien pasca apendiktomi di Ruang Bedah Laki RSUD dr. M. Haulussy Ambon dengan nilai p value (0,10). 13
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Saran 1. Institusi Rumah Sakit lebih sering digunakan teknik relaksasi nafas dalam untuk mengatasi rasa nyeri yang dirasakan oleh pasien selain dengan pemberian obat anti nyeri. 2. Institusi Pendidikan menggunakan hasil penulisan ini sebagai bahan kepustakaan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan keperawatan sehingga pendidikan akan menghasilkan tenaga keperawatan yang terampil dan profesional. 3. Pasien dan Keluarga menggunakan hasil penelitian ini sebagai rujukan atau pedoman bagi pasien dan keluarga dalam menangani penyakit pasien secara mandiri setelah kepulangannya dari rumah sakit. DAFTAR PUSTAKA 1. 2.
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
10. 11.
12. 13. 14.
15. 16. 17.
18.
Arikunto. (2013). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika Ayudianingsih. (2012). Pengaruh Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Penurnan Intensitas Nyeri Post Operasi Sectio Cesarea di Shorea Eka Hospital BSD Tangerang. Jakarta: Tesis Universitas Esa Unggul Estrada. (2014). Buku Ajar: Clinical Nursing Procedurei Jilid Satu. Jakarta: Binarupa Aksara Publisher Herdman. (2015). Nanda International Inc. Diagnosis Keperawatan: Definisi & Klasifikasi 2015-2017. Jakarta: EGC Goodman & Gilman. (2008). Buku Keterampilan Dasar Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara Publisher Kemenkes RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kemenkes RI Lyndon. (2014). Fundamental of Nursing: Clinical Skills Workbook. Australia: Elsevier Publisher Mary. (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Rapha Publishing Nurgrohoningsih. (2014). Pemberian Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Penurunan Nyeri Pada Asuhan Keperawatan Tn. H Dengan Post Amputasi Below Knee Atas Indikasi Multiple Fraktur Region Cruris Sinistra di Ruang Mawar 2 RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Surakarta: Karya Tulis Ilmiah Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kusuma Husada Nursalam. (2014). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pendekatan Praktis Edisi 3. Jakarta: Salemba Medika Nurty. (2014). Pengaruh Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Penurunan Tingkat Kecemaan Pasien Pre Operasi di RSUD Kota Bekasi. Bekasi: Skripsi Program Studi S Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Medistra Indonesia Notoatmodjo. (2012). Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Statistik. Jakarta: EGC Sumiati et al. (2013). Pengaruh Penggunaan Tindakan Teknik Relaksasi Nafas Dalam, Distraksi, Gate Kontrol Terhadap Penurunan Sensasi Nyeri Ca Mamae di RSUD Labuang Baji. Makassar: Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Nani Hasanuddin Makassar Terry. (2014). Keperawatan Kritis. Yogyakarta: Rapha Publishing Vista. (2013). Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Intensitas Nyeri Pada Pasien Post Operasi Sectio Caesaria di RSUD Prof. Dr. Hi. Aloei Saboe. Gorontalo: Wisnu. (2015). Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam Sebagai Terapi Tambahan Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pada Pasien Hipertensi Tingkat I. Semarang: Skripsi Program Sarjana Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Semarang Yeni. (2014). Efektifitas Penurunan Intensitas Nyeri Sebelum dan Sesudah Dilakukan Teknik Relaksasi Nafas Dalam. Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Indonesia Maju
14
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
HUBUNGAN HEALTH LOCUS OF CONTROL DENGAN KEPATUHAN PENATALAKSANAAN DIET DIABETES MELITUS TIPE II DI RSUD PIRU KABUPATEN SERAM BAGIAN BARATTAHUN 2016 Wiwi Rumaolat (STIKes Maluku Husada) Risman Tunny (STIKes Maluku Husada) Arif Febrianto (STIKes Maluku Husada) Anna J Corputty (STIKes Maluku Husada) ABSTRAK Diabetes mellitus adalah gangguan kesehatan yang berupa kumpulan gejala yang disebabkan oleh peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan ataupun resistensi insulin. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi peningkatan kadar gula darah adalah kepatuhan diet dan Health Locus Of Control yaitu keyakinan atau upaya seseorang. dalam meningkatkan kesehatannya. penelitian ini adalah mengetahui Hubungan Health Locus Of Control dengan Kepatuhan Penatalaksanaan Diet Diabetes Mellitus Tipe 2 di RSU Piru kabupaten seram bagian barat Tahun 2016. jenis penelitian yang di gunakan adalah kuantitatif, yaitu di mana peneliti ingin mengetahui hubungan Health Locus Of Control dengan kepatuhan diet diabetes mellitus tipe 2 dengan jumlah responden 32 orang, teknik pengambilan sampel menggunakan Acidental sampling,dengan menggunakan uji chi square. dari hasil uji statistik menunjukan bahwa nilai p=0,000 (<0,05) artinya ada hubungan bermakna antara health locus of control dengan kepatuhan penatalaksanaan diet diabetes mellitus tipe 2. responden yang memiliki Health Locus Of Control Internal baik sebanyak 13 orang (40,6%), menyatakan dan memiliki Health Locus Of Control skala internal kurang sebanyak 19 orang (59,4%). Responden yang memiliki Health Locus Of Control skala eksternal baik sebanyak 10 orang (31,2%),dan memiliki Health Locus Of Control skala eksternal kurang sebanyak 22 orang (68,8%).Diketahui responden yang menyatakan patuh sebanyak 14 orang (43,8%), dan yang menyatakan tidak patuh sebanyak 18 orang (56,2%). Terdapat Hubungan antara Health locus Of Control Dengan Kepatuhan Penatalaksanaan Diet Diabetes Melitus Tipe 2. Kata kunci: Health Locus Of Control, kepatuhan, diet, Diabetes Mellitus PENDAHULUAN Diabetes melitus (DM) adalah gangguan kesehatan yang berupa kumpulan gejala yang disebabkan oleh peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan ataupun resistensi insulin. Penyakit ini sudah lama dikenal, terutama dikalangan keluarga, khususnya keluarga berbadan besar (kegemukan) bersama dengan gaya hidup tinggi atau modern (Bustan, 2015).Wanita lebih berisiko mengindap diabetes karena secara fisik wanita memiliki peluang peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar, sindrom siklus bulanan (premenstrual syndrome), pasca menopause yang membuat distribusi lemak tubuh menjadi mudah terakumulasi akibat proses hormonal tersebut sehingga wanita berisiko menderita diabetes melitus tipe 2 (Trisnawati, 2013). Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu masalah kesehatan yang besar. Data dari studi global menunjukan bahwa jumlah penderita diabetes melitus pada tahun 2011 telah mencapai 366 juta orang. Jika tidak ada tindakan yang dilakukan, jumlah ini di perkirakan akan meningkat menjadi 552 juta pada tahun 2030 (International Diabetes Federation, 2014). Diet merupakan dasar dari penatalaksanaan (DM), yang bertujuan untuk memberi semua unsur makanan esensial, mencapai dan mempertahankan berat badan, memenuhi kebutuhan energi dan mencegah fluktuasi kadar glukosa darah (Smeltzer dan Bare, 2004 dalam Adnyani 2015). Health locus of control adalah sebuah teori yang berhubungan dengan kesehatan. Awal mula dari teori health locus of control ini adalah berasal dari teori kognisi sosial Julian rotter. 15
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Health Locus Of Control adalah seperangkat keyakinan seseorang tentang pribadinya yang memiliki pengaruh terhadap kesehatan dan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan diet DM. HLOC dapat di bagi menjadi dua yaitu HLOC internal dan HLOC eksternal. Seorang individu dengan HLOC yang tinggi akan memiliki kesehatan yang lebih baik karena individu cenderung mengambil tindakan untuk meningkatkan kesehatannya (Theofilau, 2012). HLOC internal yaitu keyakinan seseorang bahwa kejadian-kejadian dalam hidupnya ditentukan terutama oleh kemampuan dirinya sendiri. HLOC internal ditentukan oleh skala Locus of control dengan skala Kemampuan, minat dan usaha. Sedangkan HLOC eksternal yaitu keyakinan seseorang bahwa kejadian-kejadian dalam hidupnya ditentukan oleh kekuatan diluar dirinya dengan diukur menggunakan skala Sosial ekonomi dan pengaruh orang lain (Rahmat 2012). Arsana (2011) menyebutkan bahwa control glikemik pasien sangat dipengaruhi oleh kepatuhan pasien terhadap anjuran diet meliputi jenis, jumlah dan jadwal makanan yang di konsumsi, dan ketidakpatuhan merupakan salah satu hambatan untuk tercapainya tujuan pengobatan. Kepatuhan merupakan tingkat ketepatan prilaku seorang individu dengan nasehat medis atau kesehatan, kepatuhan jangka panjang diet salah satu aspek yang paling menimbulkan tantangan dalam penatalaksanaan diabetes mellitus (Siregar et.al 2006 dalam Adnyani 2015 ). Tingkat kepatuhan diet terhadap gula darah menunjukan bahwa kepatuhan diet mempunyai hubungan kuat dengan terkendalinya gula darah pasien. Kepatuhan diet diabetes melitus dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor psikososial seperti stress, health locus of control, sikap, sistem pendukung dan self efficacy (Reloith et.al 2004 dalam Adnyani 2015). Ketidakpatuhan pasien terhadap diet di pengaruhi oleh keyakinan pasien bahwa kendali atas kesehatan dalam hidupnya ditentukan oleh orang lain bukan oleh dirinya sendiri. Jika pasien memiliki keyakinan eksternal, maka perawat berusaha membentuk keyakinan internal pada diri pasien agar pasien dengan senang hati patuh dan merubah prilaku demi kesembuhannya (Lestari 2014). Menurut WHO, dunia kini di diami oleh 171 juta penderita diabetes melitus (2013) dan akan meningkat dua kali 366 juta pada tahun 2030. Diabetes mellitus (DM) di Indonesia pada tahun 2013 jumlah penderita sebanyak 8.554.155 orang termasuk peringkat ke -7 di dunia dan pada tahun 2014 sebanyak 8.995.135 orang sedangkan di tahun 2015 mencapai hingga 9,1 juta orang, sehingga Indonesia masuk dalam peringkat ke -5 di dunia (Kemenkes, 2015). Laporan dari badan penelitian dan pengembangan kesehatan kementrian kesehatan (RISKESDAS) tahun 2013 menyebutkan terjadi peningkatan prevalensi pada penderita diabetes melitus yang diperoleh berdasarkan wawancara yaitu 1,1% pada tahun 2012 menjadi 1,5%, pada tahun 2013 sedangkan prevalensi diabetes melitus berdasarkan diagnosis dokter atau gejala pada tahun 2013 sebesar 2,1% dengan prevalensi terdiagnosis dokter tertinggi pada daerah Maluku (11,1 % dan paling rendah pada daerah jawa barat (0,5%), prevalensi dari penderita diabetes melitus cenderung meningkat pada perempuan di bandingkan dengan laki-laki dan terjadi peningkatan prevalensi penyakit diabetes melitus sesuai dengan pertambahan umur namun mulai umur 65 tahun cenderung menurun dan tersebut cenderung lebih tinggi bagi penderita yang tinggal di perkotaan di bandingkan dengan dipedesaan. Jika ditinjau dari segi pendidikan menurut RISKESDAS bahwa prevalensi diabetes melitus cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan tingkat pendidikan tinggi serta dengan indeks kepemilikan yang tinggi (RISKESDAS, 2013). Jumlah diabetes yang tinggi membuktikan bahwa (DM) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius dan apabila tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan timbulnya komplikasi. Komplikasi DM tipe 2 dapat dicegah melalui pengelolaan diabetes mellitus yang terdiri dari empat pilar utama yaitu edukasi, terapi gizi medis (diet), latihan jasmani dan intervensi farmakologi (PERKENI, 2011). Berdasarkan studi pendahuluan yang di peroleh dari RSU Piru pada pasien diabetes melitus tipe 2 diperoleh data penderita yakni pada tahun 2013 jumlah penderita sebanyak 15 orang, tahun 2014 sebanyak 16 orang, tahun 2015 sebanyak 29 orang Dan pada tahun 2016 pada bulan januari sampai bulan april sebanyak 38 orang. Berdasarkan dengan terjadinya peningkatan penderita DM di RSU piru maka, penulis ingin meneliti untuk mengetahui tentang Hubungan Health Locus Of Control Dengan Kepatuhan Penatalaksanaan Diet Diabetes Melitus Di RSU Piru Tahun 2016. 16
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
METODE PENELITIAN Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini bersifat infinitive yaitu populasi yang tidak dapat di ramalkan/dipastikan berapa jumlahnya, atau populasi dengan jumlah tidak terbatas. Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah kusioner. Kuisioner ini terdiri atas empat bagian. Bagian yang pertama berisi data demografi responden, bagian kedua terdiri atas 9 pertanyaan tertutup tentang Health Locus Of Control skala internal, bagian ketiga terdiri atas 9 pertanyaan tertutup tentang Health Locus Of Control skala eksternal, dan bagian keempat terdiri atas 7 pertanyaan tertutup tentang kepatuhan diet Diabetes Mellitus Tipe II. Pertanyaan yang dibuat menggunakan skala Guttman dengan pilihan jawaban, ya diberikan nilai 1 dan jika menjawab tidak diberikan nilai 0. Prosedur pengumpulan data pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Menetapkan klien sebagai subyek penelitian dan meminta persetujuan (inform consent) 2) Pengisian kuisoner health locus of control dan kepatuhan diet pada pasien Diabetes melitus tipe 2 3) Wawancara pada pasien untuk mengetahui jenis makanan yang di konsumsi responden 4) Menganalisis jumlah makanan yang dikonsumsi responden 5) Mengecek kelengkapan data yang telah terkumpul. 6) Melakukan klasifikasi data. Setelah data terkumpulkan maka data dideskripsikan. Hasil dari HLOC dibagi menjadi dua yaitu internal dan eksternal dan hasil dari kepatuhan penatalaksanaan diet DM dibagi menjadi dua yaitu patuh dan tidak patuh. Selanjutnya data di tabulasi dan dimasukan ke dalam tabel distribusi frekuensi kemudian diinterpretasikan. Untuk menganalisis hubungan HLOC dengan kepatuhan penatalaksanaan diet diabetes mellitus tipe 2 maka digunakan uji chi square karena sel yang nilai expected-nya kurang dari lima adalah 75% jumlah sel dengan tingkat signifikansi p<0,05. HASIL PENELITIAN Tabel 1. Distribusi Umur responden di RSUD Piru Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016 Umur (Tahun) 46-51 52-57 58-63 64-69 70-75 Total
Frekuensi 3 7 6 2 3 32
% 9,4 21,9 18,6 6,2 9,4 100
Berdasarkan tabel diatas karakteristik responden berdasarkan umur diperoleh responden lebih banyak berumur pada range 40-45 Tahun yaitu sebanyak 11 orang (34,4%) sedangkan responden yang paling sedikit berada di range umur 64-69 Tahun yaitu berjumlah 2 orang (6,2). Tabel 2. Distribusi responden berdasarkan Jenis Kelamin Di RSUD Piru Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016 Tabel 1. Distribusi Jenis Kelamin responden di RSUD Piru Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total
Frekuensi 13 19 32
Persen 40,6 59,4 100
Berdasarkan tabel diatas karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin diperoleh responden berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 13 orang (40,6%) sedangkan responden dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 19 orang (59,4%).
17
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Tabel 2. Distribusi responden berdasarkan HLOC Skala Internal Di RSUD Piru Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016 HLOC Baik Kurang Total
Frekuensi 13 19 32
Persen 40,6 59,4 100
Berdasarkan tabel diatas karakteristik responden berdasarkan HLOC Skala Internal, diketahui responden yang memiliki Health Locus Of Control (HLOC) skala internal baik sebanyak 13 orang (40,6%), menyatakan dan memiliki Health Locus Of Control (HLOC) skala internal kurang sebanyak 19 orang (59,4%). Tabel 3. Distribusi responden berdasarkan HLOC Skala Eksternal Di RSUD Piru Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016 HLOC Baik Kurang Total
Frekuensi 10 22 32
Persen 31,2 68,8 100
Berdasarkan tabel di atas karakteristik responden berdasarkan Health Locus Of Control (HLOC) skala eksternal, diketahui responden yang memiliki Health Locus Of Control (HLOC) skala eksternal baik sebanyak 10 orang (31,2%), dan memiliki Health Locus Of Control (HLOC) skala eksternal yang kurang sebanyak 22 orang (68,8%). Tabel 4. Distribusi responden berdasarkan Kepatuhan Diet DM Tipe II Di RSUD Piru Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016 Kepatuhan Patuh Tidak Patuh Total
Frekuensi 14 18 32
Persen 43,8 56,2 100
Berdasarkan tabel di atas karakteristik responden berdasarkan kepatuhan diet Diabetes Mellitus Tipe II, diketahui responden yang menyatakan patuh sebanyak 14 orang (43,8%), menyatakan tidak patuh sebanyak 18 orang (56,2%). Tabel 5. Hubungan Health Locus Of Control Skala internal dengan kepatuhan diet Diabetes Melitus Tipe 2 HLOC Skala Internal Baik Kurang Total
n 11 3 14
Kepatuhan Diet DM Tipe II Patuh Tidak Patuh % N % 34,4 2 6,2 9,4 16 50 43,8 18 56,2
total
%
Sig(p)
13 19 32
40,6 59,4 100
P= 0,000
Tabel 5 menunjukan bahwa dari 13 responden yang Memiliki Health Locus Of Control (HLOC) skala internal baik, menjadi patuh terhadap diet Diet Diabetes Mellitus tipe II sebanyak 11 orang (34,4%), dan tidak patuh sebanyak 2 orang (6,2%). Sedangkan dari 19 responden yang memiliki Health Locus Of Control (HLOC) Skala Internal kurang, menjadi patuh sebanyak 3 orang (9,4%), dan tidak patuh sebanyak 16 orang (50%).
18
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Hasil uji statistik menunjukan bahwa nilai p=0.000 (p<0,05 ) artinya hipotesis alternatif diterima yaitu ada hubungan bermakna antara Health Locus Of Control (HLOC) skala internal denga kepatuhan diet Diabetes Mellitus tipe II di RSUD Piru Kabupaten Seram Bagian Barat. Tabel 6. Hubungan Health Locus Of Control skala Eksternal dengan kepatuhan diet Diabetes Melitus Tipe 2 Kepatuhan Diet DM Tipe II
HLOC Skala Eksternal Baik Kurang Total
Patuh n 10 4 14
% 31,2 12,6 43,8
Tidak Patuh N % 0 0 18 56,2 18 56,2
total 10 22 32
%
Sig(p)
31,2 68,8 100
P= 0,000
Table 6 di atas menunjukan bahwa dari 22 responden yang Memiliki Health Locus Of Control (HLOC) skala eksternal baik, semua menjadi patuh terhadap diet Diet Diabetes Mellitus tipe II sebanyak 10 orang (31,2%). Sedangkan dari 22 responden yang memiliki Health Locus Of Control (HLOC) Skala Internal kurang, menjadi patuh sebanyak 4 orang (12,6%) dan tidak patuh terhadap diet Diabetes Mellitus Tipe II sebanyak 18 orang (56,2%). Hasil uji statistik menunjukan bahwa nilai p=0.000 (p<0,05 ) artinya hipotesis alternatif diterima yaitu ada hubungan bermakna antara Health Locus Of Control (HLOC) skala Eksternal dengan kepatuhan diet Diabetes Mellitus tipe II di RSUD Piru Kabupaten Seram Bagian Barat. PEMBAHASAN Karakteristik Responden Dalam penelitian ini, faktor usia berpengaruh terhadap kejadian DM dan kepatuhan pasien. Menurut Suyono (2009), kasus DM Tipe 2 di Indonesia biasanya meningkat diatas usia 40 tahun. Pada kasus DM, usia memiliki pengaruh terhadap kepatuhan dalam melakukan terapi non farmakologis salah satunya adalah diet (Isnarian, 2006). Kepatuhan diet akan lebih tinggi pada usia produktif karena dapat lebih mudah menerima dan melaksanakan anjuran dari tenaga kesehatan (Tera, 2012). Dalam berbagai penelitian, usia mempunyai hubungan terhadap kepatuhan diet DM tipe 2 (Ellis, 2010). Berdasarkan penelitian, usia ternyata memegang peranan dalam kepatuhan penatalaksanaan diet diabetes mellitus tipe II, Semakin bertambahnya usia, maka akan terjadi penurunan fungsi pendengaran, penglihatan dan daya ingat seorang pasien sehingga pada pasien usia lanjut akan sulit menerima informasi dan akhirnya salah paham tentang instruksi yang diberikan (Angina et.al,2010 dalam lestari 2012). Kejadian DM tipe 2 juga dipengaruhi oleh jenis kelamin yang sebagian besar dapat dijumpai pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki (Jelantik,dkk 2014). Jumlah lemak pada lakilaki dewasa rata-rata berkisar antara 15-20 % dari berat badan total, dan pada perempuan sekitar 20-25 % sehingga faktor risiko terjadinya DM pada perempuan 3-7 kali lebih tinggi dibandingkan pada laki-laki yaitu 2-3 kali (Soeharto, 2003 dalam Jelantik, dkk 2014). Wanita lebih berisiko mengindap diabetes karena secara fisik wanita memiliki peluang peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar, sindrom siklus bulanan (premenstrual syndrome), pasca menopause yang membuat distribusi lemak tubuh menjadi mudah terakumulasi akibat proses hormonal tersebut sehingga wanita berisiko menderita diabetes melitus tipe 2 (Trisnawati, 2013). Berdasarkan hasil Penelitian jenis kelamin wanita pada penderita Diabetes Melitus Tipe II lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki dengan nilai perempuan sebanyak 19 orang atau 59,4% dan laki-laki sebanyak 13 orang atau 40,6%. Hubungan Health Locus Of Control skala internal dengan Kepatuhan Penatalaksanaan Diet Diabetes Melitus Tipe 2 Seorang individu dengan HLOC internal yang tinggi akan memiliki kesehatan yang lebih baik karena individu cenderung mengambil tindakan untuk meningkatkan kesehatannya (Theofilau, 2012). 19
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa lebih banyak responden memiliki Health Locus Of Control (HLOC) Skala Internal kurang yaitu 59,4%. Kepatuhan diet diabetes mellitus dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor psikososial seperti stress, Health Locus Of Control, sikap, sistem pendukung dan self efficacy (Reloith Et.Al 2004 dalam Adnyani 2015). Berdasarkan hasil uji statistik chi-square,nilai p = 0,000 hal ini berarti ada hubungan bermakna antara Health Locus Of Control (HLOC) skala internal dengan kepatuhan diet Diabetes Mellitus Tipe II di RSUD Piru Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016. Penelitian empiris menunjukan bahwa HLOC memainkan peranan penting dalam menentukan perilaku kesehatan masyarakat (Bonichini dkk, 2009). Menurut Kreitner & Kinichki (2009) individu yang memilik kecenderungan locus of control internal adalah individu yang memiliki keyakinan untuk dapat mengendalikan segala peristiwa dan kosekuensi yang memberikan dampak pada hidup mereka. Dari hasil penelitian diketahui bahwa terdapat 2 orang yang memiliki HLOC skala internal baik tetapi tidak patuh. Hal ini dapat disebabkan karena dukungan orang disekitar pasien yang kurang, yaitu dukungan keluarga yang rendah, jauhnya fasilitas kesehatan serta tingkat ekonomi pasien yang rendah sehingga pasien tidak dapat mengatur makanan yang sesuai pengaturan diet diabetes mellitus tipe II. Hal ini dapat diketahui dari jumlah makanan yang dikonsumsi, keterbatasan ekonomi menyebabkan klien meningkatkan konsumsi karbohidrat yang akan memperburuk kondisi penyakit diabetes melitus yang dideritanya. Selain itu dari hasil penelitian diketahui bahwa terdapat 3 orang yang memiliki HLOC skala internal kurang tetapi patuh terhadap diet Diabetes Mellitus Tipe II. Hal ini dikarenakan dukungan orang lain yang baik sehingga pasien bisa terbantu dalam pengaturan diet, petugas kesehatan juga sering memberikan pendidikan kesehatan untuk pengaturan diet diabetes mellitus. Selain itu pasien juga berasal dari tingkat ekonomi yang baik sehingga sudah mampu mengeluarkan biaya untuk pengaturan diet diabetes mellitus tipe II. Hubungan Health Locus Of Control Skala Eksternal dengan Kepatuhan Penatalaksanaan Diet DM tipe 2 HLOC eksternal yaitu keyakinan seseorang bahwa kejadian-kejadian dalam hidupnya ditentukan oleh kekuatan diluar dirinya (Iskandarsyah 2013). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa lebih banyak responden memiliki Health Locus Of Control (HLOC) Skala Eksternal kurang yaitu 68,8%. Berdasarkan hasil uji statistik chi-square,nilai p = 0,000 hal ini berarti ada hubungan bermakna antara Health Locus Of Control (HLOC) skala Eksternal dengan kepatuhan diet Diabetes Mellitus Tipe II di RSUD Piru Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016. Penelitian empiris menunjukan bahwa HLOC memainkan peranan penting dalam menentukan perilaku kesehatan masyarakat (Bonichini dkk, 2009). Menurut Kreitner & Kinichki (2009) individu individu yang memiliki Locus Of Control eksternal lebih percaya bahwa kejadiankejadian dalam dirinya tergantung pada kekuasaan dari pihak lain terutama tenaga kesehatan. Hasil penelitian diketahui bahwa terdapat 4 orang yang memiliki HLOC skala eksternal kurang tetapi patuh terhadap diet Diabetes Mellitus Tipe II. Hal ini dapat terjadi karena keyakinan yang kuat dari diri sendiri sembuh. Sehingga pasien berinisiatif, memiliki minat yang kuat dan berusaha untuk menjadi patuh terhadap diet diabetes mellitus tipe II. Dukungan keluarga, petugas kesehatan sangat penting bagi pasien diabetes melitus, karena akan membantu pasien untuk memperbaiki pola makan sehingga sesuai dengan pengatura diet dan menjadi patuh terhadap penatalaksanaan diet diabetes mellitus tipe II. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Diketahui hasil uji statistik menunjukan bahwa nilai p=0,000 (p<0,05) artinya hipotesis alternatif diterima yaitu ada hubungan bermakna antara Health Locus Of Control dengan kepatuhan diet diabetes mellitus tipe II di RSUD Piru tahun 2016.
20
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Saran Untuk menyikap hal tersebut maka peneliti menyampaikan beberapa saran yaitu agar perawat dapat melihat HLOC pasien dan mengubah kendali pasien menjadi lebih positif dengan memberikan edukasi kepada pasien bahwa pentingnya pengendalian dan kesadaran diri sendiri untuk melakukan tindakan yang bertujuan meningkatkan kesehatannya. Selain itu diharapkan perawat memberikan evaluasi dan edukasi gizi secara berkelanjutan kepada pasien dan memberikan edukasi kepada keluarga pasien tentang penatalaksanaan diet DM. DAFTAR PUSTAKA 1. American Diabetes Assocation.2011, Executive Summary. Standards of medical care in diabetes care, 46 (1) : 234-237 2. Afifah, (2013). Hubungan antara self-Efficacy dengan Health Locus Of Control pada penderita Diabetes Melitus tipe 2 di puskesmas Pakis Surabaya. 3. Arsana, P.M, (2011). Pengaruh penyuluhan gizi terhadap kepatuhan diet pasien diabetes mellitus di poli gizi RSU Dr. Saiful Anwar Malang. Majalah Kesehatan FKUB (Online)(http://elibrary.ub.ac.id/bitstream/123456789/24771/8/%28lengkap%29.pdf.) diakses pada tanggal 26 mei 2016. 4. Bustan Nadjib (2015) Manajemen pengendalian penyakit tidak menular/Jakarta: Rineka Cipta 5. Haryati & Jelantik. (2014). Hubungan faktor resiko umur, jenis kelamin, kegemukan dan hipertensi dengan kejadian DM tipe 2 di Wilayah Kerja Puskesmas Mataram. Media Bina Ilmiah 39. (Online) (http://www.lpsdimataram.com) diakses pada tanggal 26 mei 2016. 6. International Diabetes Federation. (2014).Diabetes atlas sixth edition (online) (http://www.idf.org/sites/default/files/EN_6E_Atlas_full_0.pdf) diakses pada tanggal 26 mei 2016. 7. Kemenkes. (2015). Diabetes melitus penyebab kematian nomor 6 di dunia: kemenkes tawarkan solusi cerdik melalui posbind, (online) (http://www.depkes.go.id) diakses pada tanggal 26 mei 2016. 8. Lestari (2014). Hubungan tipe kepribadian dan Health locus of control terhadap tingkat kepatuhan diet DM tipe 2 di RSUP sanglah tahun 2014.skripsi tidak diterbitkan.denpasar: Program studi ilmu Keperawatan fakultas Kedokteran Universitas Udayana 9. PERKENI, (2011). Konsensus DM tipe 2 indonesia 2013, (online).(http://www.perkeni.org.download/)diakses pada tanggal 27 mei 2016. 10. Reloith, D.,Taylor,S.I.,Olefsky,J.M. (2004). Dalam Adnyani (2015) Hubungan Health Locus Of Control dengan kepatuhan penatalaksanaan diet diabetes Melitus Tipe II di puskesmas paguyuban III Denpasar. 11. Riskesdas.(2013).Riset kesehatan dasar 2013.(online) (http://www.litbang.depkes.go.id/sites/download/rkd2013/laporan_riskesdas 2013.pdf) diakses 27 mei 2016. 12. Siregar. (2006). dalam Adnyani (2015). Hubungan Health Locus Of Control dengan kepatuhan penatalaksanaan Diet Diabetes Melitus Tipe II di puskesmas paguyuban III Denpasar. 13. Smeltzer,SC.,Bare,B.G.(2004).dalam Adnyani (2015).Hubungan Health Locus Of Control dengan kepatuhan penatalaksanaan Diet Diabetes Melitus Tipe II di puskesmas paguyuban III Denpasar. 14. Theofilau.(2012). Relationships between locus of control and adherence to diabetes regimen in a sample of Iranias. Departement of Contol Disease, School of Health, Danesjhjoo Blvd 30 (1) (Online) http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20431803 . diakses 2 juni 2016. 15. Trisnawati, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah .Jakarta : EGC,2013 16. WHO, http//www. Diabettes.com,2013,. di akses pada tanggal 28 mei 2016. 17. Yulianto Sigit Wibowo, Tahukah anda? Makanan berbahaya untuk Diabetes: Jakarta Timur, Dunia Sehat. 2015
21
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
PENGARUH SENAM ASMA TERHADAP FREKUENSI KEKAMBUHAN PENYAKIT ASMA DI PUSKESMAS PERAWATAN TOMALEHU KECAMATAN AMALATU KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT TAHUN 2016 Y. Husepunny (STIKes Maluku Husada) S W Rumakey (STIKes Maluku Husada) Jumra Ningsi (STIKes Maluku Husada) Arfa Mahu (STIKes Maluku Husada) ABSTRAK Asma adalah suatu keadaan klinik yang ditandai oleh terjadinya penyempitan bronkus yang berulang namun reversibel, dan diantara episode penyempitan bronkus tersebut terdapat keadaan ventilasi yang lebih normal. Kasus asma juga meningkat setiap tahunnya di wilayah kerja Puskesmas Perawatan Tomalehu yaitu pada tahun 2013 sebanyak 126 orang, tahun 2014 sebanyak 191 orang, tahun 2015 sebanyak 249 orang sementara tahun 2016 dari januari sampai mei 2016 sebanyak 65 orang. Penelitian ini bertujuan untuk mngetahui pengaruh senam asma terhadap frekuensi kekambuhan penyakit asma di puskesmas perawatan tomalehu kecamatan amalatu kabupaten seram bagian barat tahun 2016. Metode penelitin yang digunakan adalah desain penelitian eksperimental semu (quasy eksperimental) dengan pendekatan one group pre – post test design dengan jumlah sampel sebanyak 20 orang, dari jumlah populasi sebanyak 65 orang, instrumen penelitian menggunakan lembar chek list. Hasil dari penelitian ini diperoleh frekuensi kekambuhan sebelum diberikan senam asma paling banyak yang frekuensi kambuh malamnya > 2x perbulan dan serangan mengganggu aktivitas yaitu 8 orang (40%) dan yang paling sedikit dengan frekuensi kambuh malamnya ≤ 2x perbulan dan serangan berlangsung singkat yaitu 5 orang (25%) kemudian jumlah responden yang memiliki frekuensi kambuh > 2x perminggu tetapi < 1x perhari sebanyak 7 orang (35%) sedangkan frekuensi kakambuhan setelah diberikan senam asma paling banyak dengan frekensi kambuhnya ≤ 2x seminggu yaitu 15 orang (75%) dan yang paling sedikit dengan frekuensi kambuhnya > 2x perminggu tetapi < 1x perhari yaitu 1 orang (5%). Berdasarkan uji paired sampel t - test diperoleh nilai p=0,000 karena nilai p=0,000 ini berarti ada pengaruh senam asma terhadap frekuensi kekambuhan penyakit asma. Dapat disimpulkan bahwa dari hasil tersebut ada pengaruh senam asma terhadap frekuensi kekambuhan penyakit asma. Kata kunci: Senam Asma, Frekuensi Kekambuhan. LATAR BELAKANG Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga dalam hidup seseorang, karena itu kita wajib bersyukur apabila berada dalam kondisi sehat. Banyak diantara kita yang sering mengalami gangguan kesehatan oleh berbagai macam penyakit, ada yang hanya menderita penyakit yang ringan misalnya demam dan flu namun ada pula yang menderita penyakit yang berat misalnya penyakit jantung, HIV/AIDS, asma dan beberapa penyakit lain. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat diantaranya tingkat ekonomi, pendidikan, keadaan lingkungan, kesehatan dan budaya sosial (Adnan, 2013). Data Report World Health Organization tahun 2013 (WHO) menunjukan 300 juta orang di dunia terdiagnosa asma dan diperkirakan akan meningkat menjadi 400 juta orang di tahun 2025. Kematian asma mencapai 250.000 orang pertahun. Di Amerika Serikat prevalensi asma mencapai 8,4%pada tahun 2013 dan terus meningkat hingga mencapai 17,8 pada tahun 2015. Hasil diagnosis prevalensi asma adalah 1,9%, terdapat 17 provinsi dengan prevalensi asma lebih tinggi dari angka nasional diantaranya Povinsi Aceh sebesar 4,9%, Provinsi Jawa Barat sebesar 4,1%, Provinsi Sulawesi Tengah sebesar 6,5%. Menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai provinsi di Indonesia menunjukan asma menenmpati urutan kelima dari sepuluh penyebab kesakitan (Morbiditas) (Mangunegoro, 2004 dalam Wijanegara, 2014). 22
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
National Center for Health Statistics (NCHS) pada tahun 2013, mengatakan bahwa prevalensi asma menurut usia sebesar 9,5% pada anak dan 8,2% pada dewasa, sedangkan menurut jenis kelamin 7,2% laki-laki dan 9,7% perempuan. Hasil Riset Kesehatan Dasar (2013) mencatat bahwa asma masih merupakan sepuluh besar penyakit yang menyebabkan kematian di Indonesia, hal itu tergambar dari data studi Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) di berbagai provinsi di Indonesia. Hasil RISKESDAS menunjukan prevalensi nasional untuk penyakit asma pada semua umur adalah 4,5%. Dengan prevalensi asma tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah (7,8%), diikuti Nusa Tenggara Timur (7,3%), Di Yogyakarta (6,9%), dan Sulawesi Selatan (6,7%) (RISKESDAS, 2013). Berdasarkan hasil penelitian Handari (2009) dalam Mahardika (2013), membuktikan bahwa ada hubungan antara sebelum mengikuti senam asma dengan setelah mengikuti senam asma 2 – 3 kali seminggu mendapatkan penurunan gejala klinis lebih dari 75%. Senam asma merupakan suatu jenis terapi latihan yang dilakukan secara kelompok (exercise group) yang melibatkan aktivitas gerakan tubuh atau merupakan suatu kegiatan yang membantu proses rehabilitasi pernapasan pada penderita asma (Supriyantoro, 2004 dalam Firdaus, 2010). Senam asma mempunyai banyak manfaat baik manfaat fisik maupun psikologis atau sosial. Manfaat fisik diantaranya mengoptimalkan otot – otot pernapasan dan penderita mampu bernapas dengan benar pada saat terjadi serangan. Manfaat psikologis atau sosial di antaranya meningkatkan rasa nyaman dan rasa percaya diri serta mengurangi kebutuhan obat – obatan (Yayasan Asma Indonesia, 2008 dalam Firdaus, 2010). Hubungan senam asma dengan kekambuhan penyakit asma sangat berhubungan erat, karena penderita mendapatkan kesegaran jasmani, meningkatkan rasa percaya diri dan mengurangi ketergantungan terhadap obat – obatan. Pasien asma yang mengikuti senam asma dapat memperbaiki gejala klinis yang di alami serta diperoleh hubungan yang bermakna antara senam asma dengan frekuensi kekambuhan penyakit asma sebanyak 75% (Nur, 2012 dalam Wijanegara, 2014). METODE Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental semu (quasy eksperimental) dengan pendekatan one group pre-post test design. Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Kerja Puskesmas Perawatan Tomalehu Kecamatan Amalatu pada tanggal 29 juni-29 juli 2016. Populasi pada penelitian ini adalah semua penderita asma di Wilayah Kerja Puskesmas Peawatan Tomalehu Kecamatan Amalatu sebanyak 65 orang. Penarikan sampel menggunakan purposive sampling. Maka di dapatkan sampel sebanyak 20 orang responden. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara langsung dengan responden menggunakan instrument penelitian lembar chek list dengan cara home to home. Setelah pengambilan data diakukan dan data diperoleh, maka selanjutnya dilakukan pengolahan data yang meliputi beberapa bagian yaitu : Editing, Coding, Processing, Cleaning, dan Tabulating. Setelah data diolah, selanjutnya dilakukan analisis data dengan menggunakan software komputer SPSS. Adapun analisa yang digunakan yaitu : Analisis univariat dan Bivariat dengan menggunakan uji statistik paired sampel t – test dengan tingkat kemaknaan (α = 0,05). HASIL PENELITIAN Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Umur Di Puskesmas Perawatan Tomalehu Kecamatan Amalatu Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016 Umur 22 – 29 30 – 37 38 – 45 46 – 53 54 – 61 62 - 69 Total 23
Frekuensi 2 3 5 2 4 4 20
% 10 15 25 10 20 20 100
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Berdasarkan tabel 1 diatas berdasarkan karakteristik umur diperoleh responden lebih banyak berumur pada range 38-45 Tahun sebanyak 5 orang (25%) sedangkan responden yang paling sedikit berada range umur 22-29 Tahun yaitu berjumlah 2 orang (10%). Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Di Puskesmas Perawatan Tomalehu Kecamatan Amalatu Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016 Jenis Kelamin Laki - laki Perempuan Total
Frekuensi 10 10 20
% 50 50 100
Berdasarkan tabel 2 di atas karakteristik jenis kelamin, jumlah antara responden yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan adalah sama yaitu sebanyak 10 orang (50%). Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Di Puskesmas Perawatan Tomalehu Kecamatan Amalatu Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016 Pendidikan SD SMP SMA Total
Frekuensi 7 5 8 20
% 35 25 40 100
Berdasarkan tabel 3 diatas berdasarkan karakteristik pendidikan diperoleh responden memiliki pendidikan SD sebanyak, 7 Orang (35%), pendidikan SMP sebanyak 5 orang (25%). Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan Di Puskesmas Perawatan Tomalehu Kecamatan Amalatu Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016 Pekerjaan PNS IRT Petani Total
Frekuensi 5 8 7 20
% 25 40 35 100
Berdasarkan tabel 4 diatas berdasarkan karakteristik pendidikan diperoleh responden memiliki pekerjaan terbanyak adalah sebagai IRT yaitu sebanyak 8 orang (40%), sebagai Petani sebanyak 7 orang (35%) dan sebagai PNS sebanyak 5 orang (28%) Tabel 5. Distribusi Berdasarkan Senam Asma Di Puskesmas Perawatan Tomalehu Kecamatan Amalatu Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016 Senam Asma Ya Tidak Total
Frekuensi
%
20 0 20
100 0 100
Berdasarkan tabel 5 diatas distribusi responden berdasarkan pelaksanaan senam asma, diperoleh keseluruhan responden melakukan senam asma yaitu sebanyak 20 orang (100%).
24
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Tabel 6. Distribusi Kekambuhan Asma Pre Test di Puskesmas Perawatan Tomalehu Kecamatan Amalatu Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016 Frekuensi Kekambuhan Frekuensi % Frek.Kambuhnya ≤ 2X seminggu 0 0 Kambuh Malamnya ≤ 2X perbulan dan serangan berlangsung singkat 5 25 Frek.Kambuhnya > 2X perminggu tetapi < 1X perhari 7 35 Frek.Kambuh malamnya >2x perbulan dan serangan mengganggu aktivitas 8 40 Total 20 100 Berdasarkan tabel 6 diatas Distribusi responden berdasarkan frekuensi kekambuhan pre test yaitu pengukuran frekuensi kekambuhan responden sebelum dilakukan senam asma didapatkan hasil responden dengan frekuensi kambuh malamnya ≤ 2X perbulan dan serangan berlangsung singkat sebanyak 5 orang (25%), frekuensi kambuhnya > 2X perminggu tetapi < 1X perhari sebanyak 7 orang (35%), dan frekuensi kambuh malamnya > 2X perbulan dan serangan mengganggu aktivitas sebanyak 8 orang (40%). Tabel 7 Distribusi Kekambuhan Asma Post Test Di Puskesmas Perawatan Tomalehu Kecamatan Amalatu Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016 Frekuensi Kekambuhan Frek.Kambuhnya ≤ 2X seminggu Kambuh Malamnya ≤ 2X perbulan dan serangan berlangsung singkat
Frekuensi 15 4
% 75 20
Frek.Kambuhnya > 2X perminggu tetapi < 1X perhari Frek.Kambuh malamnya >2x perbulan dan serangan mengganggu aktivitas
1 0
5 0
Total
20
100
Berdasarkan tabel 7 diatas Distribusi responden berdasarkan frekuensi kekambuhan Post test yaitu pengukuran frekuen si kekambuhan responden setelah dilakukan senam asma didapatkan hasil responden dengan frekuensi kambuhnya ≤ 2X seminggu sebanyak 15 orang (75%), frekuensi kambuh malamnya ≤ 2X perbulan dan serangan berlangsung singkat sebanyak 4 orang (20%), dan responden dengan frekuansi kambuhnya > 2X perminggu tetapi < 1X perhari sebanyak 1 orang (5%). Tabel 8 Pengaruh Senam Asma Terhadap Frekuensi Kekambuhan Asma Di Puskesmas Perawatan Tomalehu Kecamatan Amalatu Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016 Pair 1 Frekuensi kekambuhan pre test Frekuensi kekambuhan post test
Mean 3.15 1.30
N 20 20
Std.Deviation .813 .571
Sig.(2-tailed) 0.000
Berdasarakan Tabel 8 diatas dapat dejelaskan bahwa terjadi penurunan nilai rata – rata frekuensi kekambuhan, dimana sebelum diberikan senam asma nilai rata – rata frekuensi kekambuhan responden adalah sebesar 3,15 dan setelah diberikan senam asma nilai rata – rata frekuensi kekambuhan responden adalah sebesar 1,30, dengan nilai probabilitas (sig.2tailled) = 0 ,000 yang lebih kecil dari nilai α(0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara sebelum dan sesudah diberikan senam asma terhadap frekuensi kekambuhan yang positif maka Hipotesis alternatif diterima yaitu terdapat pengaruh senam asma terhadap frekuensi kekambuhan penyakit asma. PEMBAHASAN Pengaruh Senam Asma Terhadap Frekuensi Kekambuhan Asma Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan ada pengaruh senam asma terhadap frekuensi kekambuhan asma pada penderita Asma di Puskesmas Tomalehu Kecamatan Amalatu Kabupaten Seram Bagian Barat dengan nilai p = 0,000. Hal ini disebabkan karena senam asma dapat meningkatkan fungsi kardiovaskuler, respirasi dan memelihara keseimbangan
25
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
kadar Immunoglobulin E dan eosinofil pada bronkus serta dapat menurunkan respon yang berlebihan dari jalan napas dan kadar serum IgE (Mayr et al 2003 dalam Wijanegara 2014). Dari hasil penelitian diketahui bahwa terjadi penurunan frekuensi kekambuhan asma yaitu 75% pasien memiliki frekuensi kekambuhan ≤ 2 kali perminggu setelah melakukan senam asma secara teratur selama 1 bulan. Menurut asumsi peneliti senam asma dapat meningkatkan kapasitas penyandang asma dalam melakukan kegiatan sehari - hari, yaitu: Pertama. Meningkatkan kemampuan pernafasan, Kedua, Meningkatkan efisiensi kerja otot – otot pernafasan, menambah aliran darah ke paru sehingga aliran darah yang teroksigenasi lebih banyak. Ketiga, Menyebabkan pernafasan lebih lambat dan efisien, mengurangi laju penurunan faal paru, dan memendekkkan waktu yang diperlukan untuk pemulihan. Kemampuan tersebut dapat dibuktikan dengan: Menaikkan toleransi terhadap latihan Berkurangnya kekambuhan, Menurunnya depresi dan kecemasan, Perbaikan faal paru, dan Menurunnya resiko kematian sebelum waktunya. Hal tersebut akan meningkatkan kapasitas fungsi paru dan menurunkan frekuensi kekambuhan. Pendapat tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Naning Yudiani (2011) dalam Wijanegara (2014) bahwa senam asma secara rutin dan teratur dapat meningkatkan kemampuan otot terutama yang berkaitan dengan otot pernafasan akan dapat meningkatkan pengembangan dan fungsi paru dibandingkan dengan orang yang tidak melakukan latihan, dengan melakukan senam asma secara rutin dan teratur dapat meningkatkan kekuatan otot otot pernafasan dan akan mengurangi frekuensi kekambuhan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Meilasari Nenden (2011) dalam Wijanegara (2014) dengan judul “Pengaruh frekuensi senam asma Indonesia terhadap keluhan serangan asma pada pasien asma di Puskesmas Bandarharjo Kota Semarang”, diperoleh kesimpulan bahwa kegiatan senam asma Indonesia dapat mengurangi frekuensi keluhan serangan asma pada penderita asma di wilayah kerja Puskesmas Bandarharjo Kota Semarang. Peran senam asma sebagai latihan fisik dalam patofisiologi asma dan pengendalian penyakit telah menjadi fokus perhatian untuk dipertimbangkan, karena kapasitas ventilasi yang lebih baik dan peredaan gejala yang terkait dengan asma merupakan keuntungan yang diperoleh dari latihan fisik untuk pasien asmatik (Ram et al 2005 dalam Wijanegara 2014). Kekambuhan asma dapat dicegah dengan menghindari faktor pencetus dan melakukan olah raga (senam asma) secara teratur sesuai dengan porsi yang telah ditentukan Dari hasil penelitian diketahui bahwa hanya satu orang yang mengalami frekuensi kekambuhan > 2 kali perminggu tetapi kurang dari satu kali perhari setelah melakukan senam asma secara teratur selama satu bulan. Bila seseorang melakukan senam asma yang teratur sehingga ia menjadi seseorang yang terlatih, maka akan terjadi peningkatan efisiensi system pernafasan. Senam asma juga akan meningkatkan kerja otot termasuk otot pernafasan. Senam asma yang teratur akan meningkatkan kesegaran jasmani, yaitu kesanggupan tubuh melakukan penyesuaian terhadap beban fisik yang diberikan kepadanya berupa kerja yang dilakukan sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan yang berlebihan. Karena kapasitas difusi orang yang terlatih lebih besar dari orang yang tidak terlatih. Perubahan system respirasi yang terjadi akibat latihan adalah: pertama,. Bertambahnya ventilasi semenit sebagai akibat bertambahnya volume tidal dan frekuensi nafas, kedua, terjadinya peningkatan efisiensi ventilasi, yaitu jumlah udara yang ikut berventilasi pada tingkat konsumsi O2 yang sama akan lebih rendah pada orang yang terlatih. Otot rangka yang aktif mendapat O2 lebih banyak dari otot pernafasan, dan ketiga, vol ume paru lebih besar pada orang yang terlatih. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai Pengaruh Senam Asma Terhadap Frekuensi Kekambuhan Penyakit Asma Di Puskesmas Perawatan Tomalehu Kecamatan Amalatu Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016, dapat disimpulkan bahwa : 1. Frekuensi kekambuhan sebelum diberikan senam asma paling banyak yang frekuensi kambuh malamnya > 2x perbulan dan serangan mengganggu aktivitas yaitu 8 orang (40%) dan yang paling sedikit dengan frekuensi kambuh malamnya ≤ 2x perbulan dan serangan 26
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
berlangsung singkat yaitu 5 orang (25%) kemudian jumlah responden yang memiliki frekuensi kambuh > 2x perminggu tetapi < 1x perhari sebanayak 7 orang (35%). 2. Frekuensi kekambuhan setelah diberikan senam asma paling banyak dengan frekuensi kambuhnya ≤ 2x seminggu yaitu 15 orang (75%) dan yang paling sedikit dengan frekuensi kambuhnya > 2x perminggu tetapi < 1x perhari yaitu 1 orang (5%). 3. Ada pengaruh yang bermakna pada sebelum dan setelah senam asma terhadap frekuensi kekambuhan penyakit asma, dengan p = 0,000 (p<0,05). Karena nilai p = 0,000 maka hipotesis alternatif diterimah yaitu terdapat pengaruh senam asma terhadap frekuensi kekambuhan penyakit asma. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan, maka saran yang penulis sampaikan adalah sebagai berikut: 1. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan perbandingan, bahan kajian, atau pengembangan terhadap ilmu keperawatan khususnya keperawatan medikal bedah. 2. Dapat memberikan informasi kepada mahasiswa tentang pengaruh senam asma terhadap frekuensi kekambuhan penyakit asma. 3. Dari hasil penelitian diharapkan dapat memberi wawasan kepada masyarakat atau keluarga yang mempunyai anggota keluarga dengan penyakit asma agar menghindari faktor-faktor yang dapat mencetuskan penyakit asma. 4. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian di lokasi yang berbeda dalam jumlah yang lebih besar dan sampel yang lebih banyak. DAFTAR PUSTAKA 1. Adnan. 2013. Tingginya Angka Kejadian Asma di Sulawesi-Selatan, (online) (http://www.kopelonline.com diakses tanggal 10 Mei 2016). 2. Alimun Aziz, A (2013). Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Salemba Medika : Jakarta 3. Badan Litbangkes, (2013). Faktor – faktor yang berhubungan dengan penyakit asma pada usia > 10 tahun di Indonesia. http:// jurnalresirologi.org/wpcontent/uploads/2012/04/85-91-APRIL-VOL_30-NO_2-2010.PDF. Diakses tanggal 1 Mei 2016 4. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI 2013.Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. Jakarta http://www.dinkes.qo.id 5. Darmayasa I.K. (2011). Senam Asma Tiga Kali Seminggu Lebih Meningkatkan Kapasitas Vital Paksa (KVP) Dan Volume Ekspirasi Paksa Detik 1 (VEP 1) Dari Pada Senam Asma Satu Kali Seminggu Pada Penderita Asma Persisten Sedang (Jurnal). Unit Rehabilitasi Medic RSU Pusat Sanglah Jalan Kesehatan Denpasar 6. Darmila.A.R. (2012). Hubungan Karakteristik Pasien Asma Bronkial Dengan Gejala Penyakit Refluks Gastroesofagus (PRGE) Di RSUD DR.Soedarso Pontianak (Naskah Publikasi). Universitas Tanjungpura Pontianak 7. Departemen Kesehatan RI. Laporan Riset Hasil Kesehatan Dasar 2013. Jakarta : Depkes RI : 2013 8. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Direktorat Pengendalian Penyakit Menular (2013), Pedoman Pengendaian Penyakit Asma . Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 9. Firdaus.M.I. (2010). Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Prilaku Pasien Asma Dalam Melakukan Senam Asma Indonesia Di RS Persahabatan (SKRIPSI). Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 10. Global Intiative For Asthma ( GINA ). (2014). Global Strategi For Asthma Management And Prevention. Diakses pada tanggal 24 Mei 2016 melalui www.ginasthma.org 11. Hasdianah & Suprapto ( 2014), Patotologi & Patofisiologi Penyakit. Yogyakarta : Nuha Medika 27
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
12. Mahardika.A.R. (2013). Perbedaan Frekuensi Kekambuhan Asma Berdasarkan Kebiasaan Mengikuti Senam Asma Pada Penderita Di Balai Kesehatan Paru Masyarakat Semarang (Jurnal). Universitas Muhammadiyah Semarang 13. Notoatmojdo, S. 2013. Metodologi Penelitian Kesehatan . Edisi Revisi, Jakarta : Rineka Cipta 14. Sugiyono (2013). Statistik Untuk Penelitian. Alfabeta : Bandung 15. Taqiyyah Bararah & kk, 2013.Asuhan Kepeawatan : Panduan Lengkap Menjadi Perawat Propesional. Jakarta 16. WHO. 2013. Global Asma Control: A Short Update to the 2010 Report. http://www.who.int. Diakses: 24 Mei 2016. 17. Wijanegara I.G. (2014). Senam Asma Mengurangi Kekambuhan Dan Meningkatkan Saturasi Oksigen Pada Penderita Asma Di Poliklinik Paru Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Denpasar (Tesis). Universitas Udayana Denpasar 18. ---------- (2016). Buku Panduan Penulisan Skripsi Revisi IV. Program Studi Ilmu Keperawatan STIKes Maluku Husada.
28
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
KEPUASAN PASIEN BPJS DAN NON BPJS TERHADAP KINERJA PELAYANAN KEPERAWATAN (STUDI KOMPARASI) PADA PUSKESMAS WAHAI KECAMATAN SERAM UTARA KABUPATEN MALUKU TENGAH TAHUN 2016 Y. Tappang (STIKes Maluku Husada) Idham Soamole (STIKes Maluku Husada) U Jubeda (STIKes Maluku Husada) Hartina (STIKes Maluku Husada) ABSTRAK ABSTRAK Kepuasan pasien dianggap sebagai salah satu dimensi yang sangat penting berkualitas dan merupakan salah satu indikator utama dari standar suatu fasilitas kesehatan yang merupakan akibat pengaruh pelayanan kesehatan yang disampaikan pihak puskesmas dan hal inilah yang membuat pengukuran kepuasan pasien menjadi komponen penting. Dalam penelitian ini adalah Mengetahui perbedaan kepuasan pasien BPJS dan Non BPJS terhadap kinerjapelayanan keperawatan (studi komparasi) pada puskesmas wahai Kecamatan Seram Utara Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2016. Penelitian ini merupakan penelitian kualitati dengan pendekatan Cross Sectional dengan jumalah sampel sebanyak 60 responden 30 BPJS dan 30 Non BPJS.Instrumen penelitian menggunakan kosioner dan lembaran observasi kinerja perawat dengan tehnik pengeambilan sampel cluster random sampling. Di perolehdata analisa pa sien BPJS yang puas terhadap kinerja perawat puskesmas sebanyak (73.3 %) responden dan yang kurang puas terhadap kinerja perawat sebanayak (26.7%) responden untuk Non BPJS berdasarkan data analisa yang puas sebanyak (36.7%) responden dan untuk yang tidak puas terhadap kinerja perawat dengan mayoritas tingkat kepuasan yang sedang (63.3%) responden sehingga di peroleh nilaip (Value) = 0,003 (> 0,05) Maka dapat disimpulkan ada perbedaan antara pasien BPJS dan pasien Non BPJS di Puskesmas Wahai Kecamatan Seram Utara Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2016 Kata Kunci: Kepuasan Pasien, BPJS PENDAHULUAN Terwujudnya keadaan sehat adalah kehendak semua pihak tidak hanya oleh orang, tetapi juga oleh keluarga, kelompok dan bahkan masyarakat.Dalam rangka mewujudkan status kesehatan masyarakat yang optimal, maka berbagai upaya harus dilaksanakan, salah satu di antaranya ialah menyelenggarakan pelayanan. Kesehatan. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan untuk masyarakat di tingkat dasar. Di Indonesia adalah melalui Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang merupakan unit organisasi fungsional Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kotamadya dan diberi tanggung jawab sebagai pengelola kesehatan bagi masyarakat tiap wilayah kecamatan dari kabupaten/ kotamadya bersangkutan (Ramli, 20013). Kepuasan pasien dianggap sebagai salah satu dimensi yang sangat penting berkualitas dan merupakan salah satu indikator utama dari standar suatu fasilitas kesehatan yang merupakan akibat pengaruh pelayanan kesehatan yang disampaikan pihak puskesmas dan hal inilah yang membuat pengukuran kepuasan pasienmenjadi komponen penting (Mulyadi,2013). Di era krisissekarangini, pemerintah merencanangkan program BPJS khususnya BPJS bagi pelayanan kesehatan masyarakat miskin. Program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (BPJS) merupakan salah satu upaya pemerintah dalam bidang kesehatan untuk mengatasi dampak krisis ekonomi terhadap kesehatan keluarga miskin. Pelayanan BPJS dapat ditemui pada seluruh unit pelayanan kesehatan Perawat harus bersikap professional baik terhadap pasien BPJS maupun Non BPJS. Perawat dituntut memberikan pelayanan yang komprehensip 29
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
dan professional. Dalam memberikan pelayanan keperawatan, peranperawat yang utama adalah memenuhi kebutuhan dasar manusia dan tercapainya suatu kepuas an bagi diri sendiri serta kliennya. Sikap perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan akan dipersepsikan oleh pasien sehingga pasien akan menilai pelayanan keperawatan yang diterimanya baik atau tidak (Depkes RI, 2012). Selama ini pasien BPJS menilai bahwa pelayanan keperawatan yang diberikan kurang baik dan terkesan berbeda dengan pasien Non BPJS Demikian juga pasien Non BPJS menilai bahwa pelayanan yang diberikan oleh perawat kurang baik. Hal ini disebabkan karena perbedaan sikap professional yang ditunjukkan oleh perawat kepada pasien.Sehingga akan menimbulkan ketidakpuasan terhadap pelayanan yang diberikan oleh perawat dan akan dipersepsikan berbeda-beda oleh pasien berdasarkan latar belakang pendidikan pasien (Steven at. al. 2011). Kepuasan pasien tergantung persepsi pasien terhadap pelayanan keperawatan yang diterimanya. Sering kali pasien dan keluarga pasien mengeluh terhadap pelayanan yang ditunjukkan perawat. Suatu pembahasan tentang 35 studi di antara tipe-tipe pasien yang berbedamenunjukkan 8% - 85% pasien tidak puas (Lay, 1992 dikutipoleh Bart Smet, (2010). Jaminan pemeliharaan kesehatan di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Dan setelah kemerdekaan, pada tahun 1949, setelah pengakuan kedaulatan oleh Pemerintah Belanda, upaya untuk menjamin kebutuhan pelayanan kesehatan bagi masyarakat, khususnya pegawai negeri sipil beserta keluarga, tetap dilanjutkan. Prof.G.A. Siwabessy, selaku Menteri Kesehatan yang menjabat pada saa titu, mengajukan sebuah gagasan untuk perlu segera menyelenggarakan program asuransi kesehatan (health insurasnce) sementara saat itu mulai diterapkan di banyak negara maju dan tengah berkembang pesat (Gaffar, 2013). Pada tahun 1968 pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan yang secara jelas mengatur pemeliharaan kesehatan bagi pegawai Negeri dan menerima pensiun (PNS dan ABRI) beserta anggota keluarganya berdasarkan keputusan presiden Nomor 230 tahun 1968. Tahun 1992 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1992 status perum diubah menjadi perusahan perseroan (PT persero) dengan pertimbangan fleksibilitas pengelolaan keuangan, kontribusi kepada pemerintah dapat dinegosiasi untuk kepentingan pelayanan kepada peserta dan manejemen lebih mandiri. Tahun 2005 PT.askes (persero) diberitugas oleh pemerintah melalui Departemen Kesehatan RI, sesuai Keputusan Menteri Kesehatan RI. (Lay, 1992 dikutip oleh Bart Smet, 2010). Tahun 2014 mulai tanggal 1 januari 2014, PT askes Indonesia (persero) berubah nama menjadi BPJS kesehatan sesuai dengan undang-undang no. 24 tahun 2014 tentang BPJS . Sedangkan dibandingkan dengan kebijakan pemerintah luar Negri yang dikenal dengan Obamacera (Amerika) yaitu seluruh warga legal di Amerika wajib memiliki asuransi kesehatan mulai 1 januari 2014 atau kenal denda saat pembayaran pajak tahunan dengan IRS di tahun 2015. wajib asuransi di Amerika sering dikenal sebagai Individual Mandate (wajib punya asuransi kesehatan) karena sistem Obamacera baru bisa berjalan jikalau setiap orang diwajibkan untuk mempunyai/membeli asuransi kesehatan. Tujuan Individual mandate ini agar semua orang sehat membeli asuransi kesehatan untuk membantu membiayai ongkos orang yang sakit . dengan kebijakan tesebut maka masyarakat memiliki kewajiban untuk membayar asuransi, dimana asuransi tersebut juga mendapat subsidih dari pemerinta faderal (Ikrar T, 2014). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2010), mendorong seluruh negara mengembangkan jaminan kesehatan untuk semua penduduknya (Universal Health Coverage). Dengan jaminan kesehatan tersebut semua penduduk di negara yang mengembangkan jaminan kesehatan ini termasuk peserta jaminan kesehatan (WHO, 2010). Di Indonesia, pada tanggal 1 Januari 2014 telah didirikan suatu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang selaras dengan tujuan Organisasi Kesehatan Dunia dalam mengembangkan jaminan kesehatan untuk semua penduduk. BPJS Kesehatan ini merupakan badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program kesehatan Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 1 Tahun 2014 (Gaffar,2013). Keuntungan masyarakat dalam menggunakan BPJS adalah salah satu biaya pengobatan akan ditanggung untuk istri atau suami yang mendapatkan tunjangan istri maupun suami yang tercantum di dalam daftar gaji maupun slip gaji bahkan termasuk juga daftar penerima pensiun 30
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
bagi anda yang sudah lansia atau lanjut usia. Kemudian keuntungan BPJS yang selanjutnya adalah bagi anak akan dapat baik itu anak kandung maupun tiri atau angkat yang sah dari peserta yang mendapatkan tunjangan anak yang telah tercantum di dalam daftar gaji atau slip yang di bawah umur dua puluh satu tahun atau yang sudah berumur sampai dua puluh lima tahun tapi masih mengikuti jenjang pendidikan formal, selain itu juga bagi anda yang belum menikah, belum mempunyai pekerjaan sehingga tidak punya penghasilan dan masih menjadi Tanggungan sianggota BPJS. Dan jumlah anak yang akan ditanggung oleh BPJS maksimal dua dan berdasarkan urutan tanggal lahirnya termasuk juga anak angkat. Kemudian pelayanan seperti ambulan dari tempat satu ketempat lain ditanggung oleh pihak BPJS sehingga anda tak perlu lagi memikirkan biaya. Dan adanya pelayanan forensik bagi anggota BPJS dan juga pemulasaraann jenazah, biaya kesehatan gratis untuk segala jenis penyakit bagi seluruh anggota BPJS, dan juga iuran setiap BPJS sangat terjangkau dan juga berdasarkan kelas-kelas yang sudah di sediakan oleh karena itu anda tinggal memilih sesuai dengan keinginan anda dan juga keadaan ekonomi dan jaminan yang dijanjikan oleh BPJS merupakan jaminan perseorangan yang mencakup pelayanan yang berupa preventif, promotif, kuratif termasuk juga pemberian obat-obatan dan bahan medis lainnya yang habis pakai (Ikrar T, 2014). Dari hasil pengambilan data awal pada tahun 2014-2016 untuk pasien pengguna BPJS tahun 2014 sebesar 355 orang, tahun 2015 sebesar 382 orang dan tahun 2016 sebesar 235 orang. Sedangkan untuk pasien Non BPJS pada tahun 2014 berjumlah 4436 orang, pada tahun 2015 sebesar 4409 orang dan pada tahun 2016 sebesar 4556 orang. Sedangkan periode bulan April sampai Juni tahun 2016 yang di ambil sebagai populasi untuk pasien dengan BPJS sebanyak 60 orang dan untuk pasien Non BPJS sebanyak 120 orang (Puskesmas Wahai, 2016). Berdasarkan pengamatan yang dilakukan sebagian besar masyarakat Wahai belum memiliki kartu BPJS kesehatan tetapi mereka memiliki keinginan besar supaya terdaftar sebagai anggota BPJS, alasan masyarakat tidak ikut dalam pendaftaran BPJS karena pembayaran iuran perbulan yang memberatkan mereka, sedangkan tingkat ekonomi masyarakat Wahai ratarata rendah. Selain itu, beberapa masyarakat mendengarkan kabar tentang pelayanan kesehatan menggunakan BPJS tidak sebaik pelayanan pasien umum.Banyak masyarakat Wahai yang mengeluh terhadap pelayanan yang di lakukan oleh pihak puskesmas, mereka tidak puas karena pelayanan yang dilakukan lambat.Disisi lain, beberapa masyarakat yang tidak menggunakan BPJS kesehatan (pasien umum) mengeluhkan biaya administrasi yang mahal walaupun pelayanan kesehatan yang diberikan cepat. Penelitian yang dilakukan oleh Desimawati (2013) di Puskesmas Sumbersari Kabupaten Jember. Bahwa mutu pelayanan mempengaruhi tingkat kepuasan pasien, hal tersebut ditunjukkan dari hasil penelitiannya terhadap 30 responden yang diteliti, terdapat 25 responden (83,3%) mengatakan pelayanan keperawatan di Puskesmas Sumbersari kurang baik, dan pada tingkat kepuasan pasien terdapat 23 responden (76,6%) mengatakan kurang puas dengan pelayanan keperawatan. Dari gambaran uraian tabel di atas menunjukkan bahwa persepsi pasien menentukan mutu pelayanan pada pasien dari status sosial yang berbeda-beda dan jumlah kunjungan pengguna BPJS dan Non BPJS sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah penduduk wahai yang teerdiri dari 19.163 jiwa dan 4791 KK.Sehubungan dengan itu maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Kepuasan Pasien BPJS dan Non BPJS Terhadap Kinerja Pelayanan Keperawatan (Studi Komparasi) pada Puskesmas Wahai Kecamatan Seram Utara Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2016” METODE PENELITIAN Penelitian yang digunakan adalah pendekatan study comparatif yang merupakan variabel independen yang terdiri dari pelayanan keperawatan di kinerja puskesmas dan variabel dependen yaitu kepuasan pasien BPJS dan Non BPJS di puskesmas Wahai Kecamatan Seram Utara Kabupaten Maluku Tengah. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yaitu peneliti ingin mengetahui hubungan antara variabel independen dan variabel dependen dengan menggunakan pendekatan cross sectional (potong lintang) yaitu rancangan penelitian yang pengukuran dan pengamatannya dilakukan secara simultan pada satu waktu (Notoatmojo, 31
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
2012). Penelitian ini bermaksud mengetahui perbandingan kepuasan pasien BPJS dan Non BPJS Terhadap Kinerja Pelayanan Keperawatan (Studi Komparasi) Pada Puskesmas Wahai Kecamatan Seram Utara Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2016. Populasi target dalam penelitian adalah pasien BPJS dan Non BPJS di Puskesmas Wahai Kecamatan Seram Utara Kabupaten Maluku Tengah tahun 2016 dengan jumlah populasi sebanyak 180 responden yang terdiri dri pasien BPJS 60 responden dan Non BPJS 120 responden. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara langsung dengan responden dengan instrumen penelitian menggunakan kuesioner dan lembaran observasi perawat dilakukan dengan cara membagikan kuesioner pada pasien BPJS maupun Non BPJS dan perwat ketika melakukan tindakan pelayanan dengan 180 responden.yang terdiri dari 60 responden BPJS dan 120 responden Non BPJS. Setelah pengambilan data dilakukan proses pengolaan data yang meliputi beberapa bagian yaitu: editing, coding, dan tabulating. Setelah data diolah, selanjutnya di analisis menggunakan uji statistik Independen T-test. HASIL PENELITIAN Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin BPJS dan Non BPJS di Puskesmas Wahai Kecamatan Seram UtaraKabupaten Maluku Tengah Tahun 201 Pasien Jenis kelamin Laki – laki Perempuan Total
BPJS n 17 13 30
% 56.7 % 43.3% 100%
Non BPJS % 56.7 % 43.3 % 100%
n 17 13 30
Berdasarkan jenis kelamin, responden baik pada pasien BPJS maupun pada pasien non BPJS lebih banyak berjenis kelamin laki-laki yaitu masing-masing sebanyak 17 orang (56,7%) dan berjenis kelamin perempuan yaitu masing-masing sebanyak 13 orang (43,3%). Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur BPJS dan Non BPJS di Puskesmas Wahai Kecamatan Seram Utara Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2016 Pasien Umur (Tahun) 21-29 30-39 40-50 Total
BPJS n
%
n
11 12 7 30
36,7 40 23,3 100
12 11 7 30
Non BPJS % 40 36,7 23,3 100
Berdasarkan umur, responden pasien BPJS pada kelompok umur 30-39 tahun lebih banyak yaitu sebanyak 12 orang (40%), kelompok umur 21-29 tahun sebanyak 11 orang (36,7%), dan pada kelompok umur 40-50 tahun sebanyak 7 orang (23,3%). Sedangkan pada responden pasien Non BPJS, untuk kelompok umur 21-29 tahun sebanyak 12 orang (40%), kelompok umur 30-39 tahun sebanyak 11 orang (36,7%) dan pada kelompok umur 40-50 tahun sebanyak 7 orang (23,3%) Tabel 3. Distribusi Status PerkawinananPasien BPJS dan Non BPJS di Puskesmas Wahai Kecamatan Seram Utara Kabupaten Maluku TengahTahun 2016 Pasien BPJS
Status Perkawinan Belum Kawin Kawin Total 32
n 6 24 30
% 20 80 100%
n 6 24 30
Non BPJS % 20 80 100%
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Berdasarkan status perkawinan, responden baik pada pasien BPJS maupun pada pasien non BPJS lebih banyak sudah kawin yaitu masing-masing sebanyak 24 orang (80%) dan responden yang belum kawin masing-masing sebanyak 6 orang (20%). Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir Pasien BPJS dan Non BPJS di Puskesmas Wahai Kecamatan Seram Utara Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2016 Pasien Pendidikan Terakhir SD SMP SMU D3/Sarjana Total
BPJS n
%
n
8 8 8 6 30
26,7 26,7 26,7 20 100
7 9 8 6 30
Non BPJS % 23,3 30 26,7 20 100
Berdasarkankan tabel 4 diketahui berdasarkan pendidikan terakhir, responden pasien BPJS yang memiliki pendidikan terakhir SD, SMP dan SMU masing- masing memiliki jumlah yang sama yaitu sebanyak 8 orang (26,7%), pendidikan D3/Sarjana sebanyak 6 orang (20%). Sedangkan untuk responden pasien non BPJS, memiliki pendidikan terakhir SD sebanyak 7 orang (23,3%), pendidikan SMP sebanyak 9 orang (30%), pendidikan SMU sebanyak 8 orang (26,7%), dan pendidikan D3/Sarjana sebanyak 6 orang (20%). Tabel 5. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Penghasilan PasienBPJS dan Non BPJS di Puskesmas Wahai KecamatanSeram Utara Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2016 Pasien Penghasilan < Rp. 1.750.000,00 Rp. 1.750.000,00 – 2.500.000,00 Rp. 2.500.000,00 – 5.000.000,00 Total
BPJS n 8 11 11 30
% 26,7 36,7 36,7 100
n 9 11 10 30
Non BPJS % 30 36,7 33,3 100
Berdasarkan penghasilan, responden pasien BPJS yang memiliki penghasilan Rp.2.500.000,00 – 5.000.000,00 dan penghasilan Rp. 1.750.000,00 – 2.000.000,00 dengan jumlah yang sama yaitu sebanyak 11 orang (36,7%) dan responden yang memiliki penhasilan < Rp. 1.750.000,00 sebanyak 8 orang (26,7%). Untuk responden pasien Non BPJS yang memiliki penghasilan Rp. 1.750.000,00 – 2.500.000,00 paling banyak yaitu berjumlah 11 orang (36,7%), penghasilan Rp. 2.500.000,00 – 5.000.000,00 sebanyak 10 orang (33,3%) dan untuk penghasilan < Rp. 1.750.000,00 sebanyak 9 orang (30%) Tabel 6. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan kepuasan PasienBPJS dan Non BPJS di Puskesmas Wahai KecamatanSeram Utara Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2016 Pasien Kepuasan Puas Tidak Puas Total
BPJS n 22 8 30
% 73,3 26,7 100
n 11 19 30
Non BPJS % 36,7 63,3 100
Berdasarkan kepuasan pasien, untuk pasien BPJS menyatakan puas sebanyak 22 orang (73,3%) dan tidak puas sebanyak 8 orang (26,7%). Sedangkan untuk pasien non BPJS menyatakn puas sebanyak 11 orang (36,7%) dan tidak puas sebanyak 19 orang (63,3%)
33
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Tabel 7. Distribusi Responden Berdasarkan kinerja PelayananKeperawatan BPJS dan Non BPJS di Puskesmas WahaiKecamatan Seram Utara Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2016 Pasien Kinerja Pelayanan Keperawatan Baik Kurang Total
BPJS n 20 10 30
Non BPJS % 66,7 33,3 100
n 11 19 30
% 36,7 66,3 100
Berdasarkan kinerja perawat, untuk pasien BPJS menyatakan kinerja Pelayanan Keperawatan baik sebanyak 20 orang (66,7%) dan tidak puas sebanyak 10 orang (33,3%). Sedangkan untuk pasien non BPJS menyatakan kinerja pelayanan Keperawatan yang baik sebanyak 10 orang (33,3%) dan kinerja perawat kurang sebanyak 19 orang (66,3%). Tabel 8. Perbedaan Kepuasan Pasien BPJS dan Non BPJS terhadap Kinerja Pelayanan Keperawatan di Puskesmas Wahai, Seram Utara Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2016 Kepuasan pasien Kepuasan pasien BPJS Kepuasan pasien Non BPJS
N 30 30
Mean 7,03 5,03
SD 2.735 2.327
SE 0.449 0.425
p 0,003
Dari tabel 8 di atas diketahui bahwa berdasarkan mean, maka rata-rata kepuasan pasien BPJS lebih tinggi dibandingkan dengan kepuasan pasien non BPJS yaitu sebesar 7,03 dengan standar deviasi 2,735 untuk rata-rata kepuasan pasien BPJS sedangkan rata-rata kepuasan pasien non BPJS sebesar 5,03 dengan standar deviasi 2,327. Pada uji independt sample t test didapatkan nilai p = 0,003, (p<0,05) maka dapat diartikan bahwa Hipotesis alternatif diterima yaitu terdapat perbedaan bermakna antara kepuasan pasien BPJS dan Non BPJS terhadap kinerja pelayanan keperawatan di Puskesmas Wahai Kecamatan Seram Utara Kabupaten Maluku Tengah. PEMBAHASAN Karakteristik Responden Berdasarkan hasil penelitian diketahui sebagian besar responden mengalami berjenis kelamin laki-laki yaitu sebesar 56,7%. Selain itu berdasarkan karakteristik umur proporsi terbanyak berada pada kelompok umur 20-49 tahun yaitu masing-masing sebesar 38,3% . terdapat variasi umur mulai dari 20 tahun termuda sampai 51 tahun paling tua. Sebesar 80% responden telah menikah. Penghasilan yang dimiliki responden paling banyak berkisar antara Rp 1.750.000-5.000.000, sedangkan tidak terdapat perbedaan berarti dalam pendidikan terakhir responden. Kepuasan pasien terhadap kinerja perawat merupakan pernyataan masing-masing individu yang dapat terkait dengan umur, jenis kelamin, pendidikan, penghasilan, dan status perkawinan. Responden sebagian besar berada pada kelompok umur dewasa, artinya pada tahapan umur ini seseorang sudah mampu menilai secara objektif kinerja dengan memperhatikan berbagai aspek, sehingga sudah dapat menentukan kepuasannya. Tingkat pendidikan juga menentukan seberapa baik pengetahuan serta pemahaman seseornag untuk menentukan kepuasannya terhadap kinerja pelayanan yang diberikan kepadanya selama dia sakit atau mendapatkan pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka pengetahuan serta pemahaman semakin baik sehingga akan memudahkan individu menilai secara objektif. Penghasilan yang cukup menyebabkan individu dapat mengalokasikan dana untuk perlindungan kesehatan dengan menggunkan BPJS ataupun membayar umum, hal ini terkait dengan pemahaman tentang pentingnya memiliki jaminan perlindungan kesehatan. Pasien 34
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
BPJS akan cenderung secara objektif menentukan kepuasan terjadap kinerja perawat dalam memberikan pelayanan kesehatan selama dia sakit atau selama berkunjung ke fasilitas kesehatan tersebut. Kepuasan Pasien BPJS Menurut Jacobalis (2013) kepuasan atau ketidak puasan pasien terhadap pelayanan kesehatan rumah sakit berhubungan dengan dokter, perawat atau petugas lain di rumah sakit, aspek hubungan antara manusia, kebersihan, kenyamanan /kemudahan fasilitas dan lingkungan, peralatan dan perlengkapan atau biaya pengobatan. Berdaraskan hasil penelitian, pada pasien BPJS, 73,3% menyatakan puas terhadap kinerja perawat dan 26,7% menyatakan tidak puas. Sedangkan untuk pasien Non BPJS, 36,7% pasien menyatakan puas terhadap kinerja perawat dan 63,3% pasien menyatakan tidak puas. Pelayanan keperawatan yang baik dapat diketahui dari kinerja petugas keperawatan baik perawat pelaksana maupun perawat manajer. Pasien BPJS cenderung merasa puas terhadap kinetrja perawat dibandingkan dengan pasien Non BPJS yang cenderung merasa tidak puas terhadap pelayanan keperawatan yang diberikan. Pasien akan puas apabila layanan yang didapatkannya sekurang-kurangnya sama atau melampaui harapan pasien.Sedangkan ketidakpuasan akan timbul apabila hasil (outcome) tidak memenuhi harapan pasien. ketidak puasan pasien yang paling sering dikemukakan adalah ketidak puasan sikap dan perilaku petugas rumah sakit atau karyawan (dokter, perawat), keterlambatan pelayanan dokter atau perawat, dokter dan perawat kurang informatif dan komunikatif, proses penerimaan atau pendaftaran pasien yang lama, kebersihan dan ketertiban lingkungan, sikap perilaku, tutur kata, keramahan petugas, kesediaan membantu, kemudahan pasien mendapatkan informasi dan komunikasi adalah merupakan ukuran kepuasan yang tinggi bagi pasien Kinerja Pelayanan Keperawatan Menurut Handersoan (2011) Pelayanan keperawatan (nursing services) adalah upaya untuk membantu individu baik sakit maupun sehat dari lahir sampai meninggal dunia. Pelayanan kesehatan dalam bentuk peningkatan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki sehingga individu tersebut dapat secara optimal melakukan kegiatan sehari – hari secara mandiri (Ali Z., 2012). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pada pasien BPJS menyatakn kinerja perawat baik sebesar 66,7% dan kinerja perawat kurang sebesar 36,7%. Sedangakan pada pasien Non BPJS menyatakan kinerja perawat baik sebesar 26,7% dan kinerja perawat kurang sebesar 63,3%. Pelayanan keperawatan diberikan dalam bentuk asuhan keperawatan melalui proses pengkajian terhadap penyebab utama tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, penentuan diagnosa keperawatan, perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, dan pengevaluasian. Seluruh proses di atas disebut proses keperawatan (Ali Z., 2012). Sasaran pelayanan keperawatan menurut Mitchel dalam Ali Z. (2012) membantu individu bereaksi secara positif dalam menghadapi kondisi yang berhubungan dengan penyakit. Kepuasan Pasien BPJS dan Non BPJS TerhadapKinerja Pelayanan Keperawatan Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan ada perbedaan bermakna kepuasan pasien BPJS dan Non BPJS terhadap kinerja pelayanan keperawatan dengan nilai p = 0,003. Rata-rata kepuasan pasien BPJS lebih tinggi yaitu sebesar 7,03 dibandingkan dengan kepuasan pasien non BPJS sebesar 5,03. Kepuasan pasien berkaitan erat dengan pemasaran rumah sakit. Pasien yang puas akan merekomendasikan teman, keluarga, dan tetangga, pasien yang puas akan datang kembali untuk kontrol atau memerlukan pelayanan yang lain. Pelayanan yang memuaskan akan mendapatkan pelanggan lebih banyak lagi (Hayaza, 2013). Kepuasan pasien dianggap sebagai salah satu dimensi yang sangat penting berkualitas dan merupakan salah satu indikator utama dari standar suatu fasilitas kesehatan yang merupakan 35
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
akibat pengaruh pelayanan kesehatan yang disampaikan pihak rumah sakit dan hal inilah yang membuat pengukuran kepuasan pasien menjadi komponen penting. Menanyakan pendapat pasien tentang perhatian dan perawatan yang telah mereka dapatkan merupakan langkah penting untuk memastikan bahwa pelayanan kesehatan telah memenuhi apa yang pasien butuhkan (Alrubaiee & Alkaa’ida, 2011). WHO Expert Committee on Nursing Practice, 1996 (Dalam Tjandra Yoga Aditama, 2011) menyatakan bahwa keperawatan adalah ilmu dan seni sekaligus. Disebutkan bahwa pelayanan keperawatan bertugas membantu individu, keluarga dan kelompok untuk mencapai potensi optimalnya di bidang fisik, mental dan sosial, dalam ruang lingkup kehidupan dan pekerjaannya. Perawat harus mampu untuk melakukan upaya promosi dan pemeliharaan kesehatan serta mencegah terjadinya penyakit. Keperawatan juga meliputi kegiatan perencanaan dan pemberian perawatan yang juga meliputi kegiatan perencanaan dan pemberian perawatan pada saat sakit, masa rehabilitasi dan menjaga tingkat kesehatan fisik, mental dan sosial yang seluruhnya akan mempengaruhi status kesehatan, terjadinya penyakit, kecacatan dan kematian. Dari hasil penelitian diketahui bahwa rata-rata kepuasan pasien BPJS terhadap terhadap kinerja pelayanan keperawatan cenderung tinggi yaitu sebesar 7,03 dibandingkan dengan ratarata kepuasan pasien Non BPJS sebsar 5,03. Menurut asumsi peneliti hal ini dikarenakan pada pasien BPJS, seluruh perawatan telah ditanggung oleh BPJS dan pasien mendapatkan pelayanan sesuai kelas yang di pilih, sehingga pasien akan merasa nyaman karna tidak perlu lagi memikirkan biaya dan jenis perawatan yang diterima. Pasien akan menerima pelayanan sesuai yang diharapkan karena telah ditanggung oleh BPJS, dan pasien tidak perlu membayar biaya tambahan untuk pelayanan keperawatan yang diterimanya. Hal ini akan mendorong pasien merasa nyaman dan lebih berfokus pada kesembuhan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Zarra Ozi Annisa (2016) dengan judul “Perbedaan tingkat kepuasan pasien BPJS dan non BPJS pada mutu pelayanan pendaftaran Rumah sakit pusat angkatan udara Dr. S. Hardjolukito bantul”, diperoleh kesimpulan bahwa ada perbedaan tingkat kepuasan pasien BPJS dengan tingkat kepuasan pasien non BPJS di RSPAU dr. S. Hardjolukito (p value = 0,000). setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman ,bermutu,dan terjangkau. Sebaliknya, setiap orang juga mempunyai kewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan social(Depkes RI, 2012). Untuk mewujudkan komitmen global dan konstitusi di atas, pemerinta bertanggung jawab atas pelaksanan jaminan kesehatan masyarakat melalui jamian kesehatan nasional (JKN). Dari hasil penelitian diketahui bahwa pasien non BPJS cenderung menyatakan tidak puas terhadap kinerja perawat yaitu sebesar 63,3% pasien non BPJS menyatakan tidak puas terhadap kinerja perawat, sedangkan untuk pasien BPJS hanya 26,7% pasien yang menyatakan tidak puas. Menurut asumsi peneliti hal ini dikarenakan pasien umum, perlu mempersiapkan biaya yang cukup untuk perawatan sehingga cenderung merasakan adanya perbedaan dalam pelayanan yang diberikan. Kepuasan menjadi sesuatu yang subjektif karena bergantung pada bagaimana sesorang menilai. Persiapan dana yang cukup untuk perawatan menyebabkan pasien umum ini menjadi tidak fokus pada kesembuhan tetapi berfikir bagaimana mempersiapkan dana. Oleh sebab itu maka pasien non BPJS cenderung menyatakan tidak puas. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Primatika Ambar Sari (2016) dengan judul “Perbedaan tingkat kepuasan pasien BPJS dan non BPJS Di RSUD Soemiran Mangun Sumarso Wonogiri”, diperoleh kesimpulan bahwa ada perbedaan tingkat kepuasan pasien BPJS dengan tingkat kepuasan pasien non BPJS di RSPAU dr. S. Hardjolukito (p value = 0,001) dan menyatakan kepuasan pasien Non BPJS lebih tinggi Hasil observasi menunjukan bahwah System pelayanan kesehatan juga terlihat tidak begitu baik,buruknya sosialisasi berdampak pada layanan kesehatan yang tidak maksimal,Warga juga belum memahami mekanisme layanan yang ditetapkan dalam program BPJS, serta pandangan pasien terhadap BPJS masih kurang baik. Keluhan yang dirasakan oleh pasien berkaitan dengan pelayanan administrasi, perawat, dokter, fasilitas dan infrastuktur, obat dan biaya. Kepuasan pasien dipengaruhi oleh kualitas pelayanan kesehatan dalam metode pembiayaan, yang dapat diwakilkan perbedaannya antara pasien pengguna BPJS dengan 36
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kesimpulan yang dapat di berikan antara lain: 1. Diketahui pasien BPJS menyatakan puas terhadap kinerja pelayanan keperawatan sebanyak 22 orang (73,3%) dan tidak puas sebanyak 8 orang (26,7%). 2. Diketahui kepuasan pasien Non BPJS terhadap kinerja pelayanana keperawatan menyatakn puas sebanyak 11 orang (36,7%) dan tidak puas sebanyak 19 orang (63,3%). 3. Diketahui berdasarka nilai p = 0,003, (p<0,05) maka diketahui terdapat perbedaan bermakna antara kepuasan pasien BPJS dan Non BPJS terhadap kinerja pelayanan keperawatan di Puskesmas Wahai Kecamatan Seram Utara Kabupaten Maluku Tengah tahun 2016. 4. Diketahui pasien BPJS menyatakan kinerja Pelayanan Keperawatan baik sebanyak 20 orang (66,7%) dan tidak puas sebanyak 10 orang (33,3%). Sedangkan untuk pasien non BPJS menyatakan kinerja pelayanan Keperawatan yang baik sebanyak 10 orang (33,3%) dan kinerja perawat kurang sebanyak 19 orang (66,3%). Saran Saran yang dapat di berikan antara lain : 1. Bagi petugas kesehatan hendaknya lebih meningkatkan pelayanan keperawatan baik untuk pasien BPJS maupun pasien non BPJS. 2. Bagi peneliti berikutnya, di harapkan untuk lebih meneliti dan mengembangkan beberapa factor yang mempengaruhi perbedaan kepuasan pasien BPJS dan non BPJS terhadap kinerja pelayanan keperawatan. 3. Penelitian ini dapat menjadi masukan bagi masyarakat tentang manfaat yang baik tentang BPJS sehingga msyarakat dapat lebih mengoptimalkan penggunaan BPJS. DAFTAR PUSTAKA 1. Aditama, 2010. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jilid 1. PT. Gunung Agung: Jakarta. 2. Ali, J. 2012. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Ghalia Indonesia Alrubaiee Laith., Alkaa'ida 3. Feras., 2011. The Mediating Effect of Patient Satisfaction in the Patients' Perceptions of Healthcare Quality-Patient Trust Relationship. International Journal of Marketing Studies. Vol. 3, No. 1; February, pp: 106. 4. Azwar, A. 2012. Menulis Karya Ilmiah. Airlangga University Pres. Surabaya Barat 5. Smeet,2010.Filsafat Ilmu Kedokteran. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya 6. Barnes, 2013. Riset Sumber Daya Manusia dan Organisasi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 7. Budianto. A dan Gwendolyn, 2012. Aspek Jasa pelayanan Kesehatan Dalam Perspektif Perlindungan Pasien, ( Karaya putri Darwati, Bandung ) 8. Depkes, RI. 2012. Pedoman Umum Program Nasional Kesehatan. Jakarta 9. Depkes RI. Data BPJS Kesehatan, 2015-2016 Data BPJS Propinsi Maluku, 2016 10. Dahlan, M.S. 2013. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika. pp: 130-134 11. Gaffar, 2013. Manajemen Sumber Daya Manusia.Jilid 2. PT. Gunungagung, Jakarta. 12. Hayaza, Y.T. 2013. Analisis Kepuasan Pasien Terhadap Kualitas Pelayanan Kamar Obat di Puskesmas Surabaya Utara. Jurnal ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya, Vol. 2 No. 2, Februari, pp: 2-4. 13. Handersoan, 2010. Organisasi; Perilaku, Struktur, Proses.Terjemahan oleh Agus Dharma (ed) Erlangga. Jakarta 14. Husain, 2013. Metodologi Penelitian Social Format Kuantitatif dan Kualitatif. Airlangga University Press. Surabaya. 15. Irkar T, 2014. University of California Amerika Serikat, Depertemen Manejemen. (Articel) 16. Jacobalis, 2012. Perilaku Organisasi. CV. Citra Media. Surabaya. 37
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
17. Mitehel, 2012. Statistika Untuk Penelitian. Alfabeta: Bandung 18. Mulyadi, D. Fadli, M. Fitriyani Cipta, K.N. 2013. Analisis Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan Pada Rumah Sakit Islam Karawang. Jurnal Manajemen, Vol.10 No.3,April, pp:1203-1208 19. Nursalam, 2010. Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan. CV. Sagung Seto: Jakarta 20. Nursalam, 2014. Metode penelitian Ilmu Keperawatan: Pendekatan Praktis Edisi 3. Salemba Medika : Jakarta 21. Nursalam, 2011. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika 22. Notoatmodjo, 2012. Promosi kesehatan dan perilaku kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta 23. Octavia et al (2012), 2012. Health Care Facilities And Patients Satisfaction: A Case Study Of Civil Hospital Karachi. Journal Of Contemporary Research In Business,Vol. 4 No. 1 May, pp: 781-782. 24. Ramli, 2013. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. PT. Remaja Rosdakarya: Bandung 25. Sari,A.P 2015. Perbedaan tingkat kepuasan pasien BPJS dan Non BPJS Di RSUD DR. SOEDIRAN MANGUN SUMARSO WONOGIRI. Jurnal (tidak diterbitkan) 26. Steven, 2010. Restrukturisasi Dalam Keperawatan, Majalah Keperawatan Bina Sehat. 27. Saryono, S.M.K. 2011. Metodologi Penelitian Kesehatan. Mitra Cendakia Jogjakarta. 28. Tjiptono, 2012. Psikologi Kependidikan. PT. Remaja Rosdakarya : Bandung.
38
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
KARAKTERISTIK PENDERITA DENGAN RESIKO KEJADIAN HEMOROID DI RSU PIRU KAB.SBB TAHUN 2015 Astuti Tuharea (STIKes Maluku Husada) SW Rumakey (STIKes Maluku Husada) Jainab Waleulu (STIKes Maluku Husada) Hartina (STIKes Maluku Husada) ABSTRAK Hemoroid adalah pelebaran vena dalam pembuluh darah (varises) fleksus hemoroidalis yang biasanya muncul akibat mengejan pada waktu defekasi. Berdasarkan kasus hemoroid di RSU Piru menunjukan bahwa kejadian resiko hemoroid mengalami peningkatan di mana pada tahun 2013 sebanyak 85 orang, tahun 2014 sebanyak 89 orang, tahun 2015 sebanyak 90 orang, dan pada tahun 2016 dari bulan januari sampai mei terdapat sebanyak 30 orang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahuai karakteristik penderita dengan resiko kejadian hemoroid di RSU Piru Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016. Penelitian ini merupakan penelitian survey yang bersifat Deskriptif dengan menggunakan pendekatan observasional. Karena pada penelitian ini untuk melihat karakteristik penderita apa saja dengan resiko kejadian hemoroid di RSU Piru. Hasil dalam penelitian ini di dapatkan penderita hemoroid untuk umur di peroleh responden lebih banyak berada pada umur yang beresiko yaitu 16 orang (53,3%) yang terjadi pada umur resiko yaitu 40-55 tahun yang berjumlah 10 orang (33,3%). Tidak beresiko 14 orang (46,7%) Yang berada pada umur yaitu 20-27 tahun 1 orang (3,3%). Jenis kelamin laki-laki dan perempuan memiliki tingkat kejadian yang sama 15 orang (50%). Dan tipe keluhan yang paling banyak di temukan dalam penelitian ini adalah keluhan utama berat 18 responden (60%) dan sedang 12 orang (40%). Sedangkan Hemoroid yang paling banyak ditemukan dalam penelitian ini adalah Hemoroid Internal 18 orang (60%) dan di ikuti dengan Hemoroid eksternal 12 orang (40%). Dari hasil tersebut data disimpulkan bahwa berdasarkan hasil penelitian tingkat kejadian hemoroid pada umur diatas 45 tahun termaksud besar, namun kejadian hemoroid pada laki-laki dan perempuan memiliki tingkat kejadian yang sama. Kata Kunci: Umur, Jenis Kelamin, Keluhan Utama, Hemoroid, PENDAHULUAN Kesehatan adalah hak asasi manusia dan merupakan investasi sumber daya manusia yang paling mahal, serta memiliki kontribusi yang besar untuk meningkatkan indeks pembangunan manusia (Human Development Index-HDI), Oleh karena itu menjadi keharusan bagi semua pihak untuk memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatan demi kesejahteraan seluruh masyarakat(Depkes RI, 2013). Menurut Departemen Kesehatan RI pada tahun 2013 angka prevalensi hemoroid di Indonesia adalah sekitar 5,7%. Berdasarkan penelitian sepuluh juta orang di Indonesia dilaporkan menderita hemoroid dengan prevalensi lebih dari 4% penelitian diruangan endoskopi Rumah Sakit Cipto Manungkusumo Jakarta pada tahun 2013 samapi dengan 2014 adalah sebanyak 414 pasien yang menderita hemoroid (Mutaqin et al 2013). Laporan bersama UNICEF (2013), (united nations children’s fund)(world health organization) WHO, penyebab utama kematian di dunia.Terdapat 50 rumah sakit di 12 negara menunjukan 50% di rumah sakit tersebut terdapat pasien dengan hemoroid. 1,5 juta orang meninggal dunia tiap tahunnya karena hemoroid. Angka tersebut bahkan masih lebih besar dari korban HIV/AIDS, malaria, dan cacar jika digabung. Sayang beberapa Negara berkembang hanya 50% penderita mendapatkan penanganan serius. 39
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Penyakit hemoroid yang terjadi di Amerika Serikat merupakan penyakit yang cukup umur dimana pasien dengan umur 45 sampai 65 tahun yang di diagnosa hemoroid mencapai 1.294 per 100.000 jiwa (Everheart 2013). Angka kejadian hemoroid di Amerika Serikat pada tahun 2013 di laporkan >4% menderita hemoroid dan meningkat pada tahun 2014-2015 yaitu sebanyak 5,6% (American Health Assocition, 2013). Gambaran dari data Dinas provinsi Maluku sebanyak 6,181 orang (0,3%) jumlah penderita Hemoroid di tahun 2013 sebanyak 20% kemudian meningkat menjadi 25% di tahun 2014 sedangkan pada tahun 2015 meningkat menjadi 35%. Menurut (Diyono et al 2013) gejala hemoroid dapat timbul karena banyak faktor yang memegang peranan penting antara lain: mengedan pada waktu defekasi,konstipasi manahun, kehamilan dan obesitas. Konstipasi merupakan masalah eliminasi yang menjadi faktor penyebab utama yang ditemukan pada pasien hemoroid. Konstipasi yang lama atau menahun lama kelamaan dapat menyebabkan pelebaran pada pembuluh darah hemoroidalis sehingga dapat terjadi hemoroid. Oleh karena itu, petugas kesehatan khususnya perawat harus memiliki pengetahuan dan ketrampilan untuk mengatasi masalh tersebut melalui pendekatan proses keperawatan. Salah satu penyakit yang berhubungan dengan pola hidup atau kebiasaan hidup adalah Hemoroid. Dimana, orang yang memiliki kebiasaan makan makanan yang keras dan kurang serat juga kurang konsumsi air putih dapat menyebabkan penggumpalan pada feses, sehingga dapat menyebabkan obstipasi. Dan seseorang memiliki pekerjaan duduk berjam-jam tanpa melakukan aktifitas, dapat menyebabkan gangguan aliran darah sehingga mempermuda terjadinya hemoroid (Ulima, 2012). Hemoroid atau lebih dikenal dengan nama wasir atau ambeien, bukan merupakan suatu keadaan yang ptologis, namun bila sudah mulai menimbulkan keluhan harus segera dilakukan tindakan untuk mengatasinya. Hemorroid berasal dari kata “haima” dan “rheo”, yang dalam medis berarti pelebaran pembuluh darah (Diyono, et al 2013). METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian survey yang bersifat Deskriptif dengan menggunakan pendekatan observasional. Penelitian ini dilaksanakan di RSU Piru Kabupaten Seram Bagian Barat Pada Tanggal 16 juni s/d 29 juni 2016. Populasi pada penelitian ini adalah semua penderita hemoroid di RSU Piru Kabupaten Seram Bagian Barat sebanyak 25 orang. Penarikan sampel menggunakan Acidental sampling, maka didapatkan sampel sebanyak 30 orang responden. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara langsung dengan responden menggunakan lembar observasi dengan cara home to home. Setelah pengambilan data diakukan dan data diperoleh, maka selanjutnya dilakukan pengolahan data yang meliputi beberapa bagian yaitu: Editing, Coding, Processing, Cleaning, dan Tabulating. Setelah data diolah, selanjutnya dilakukan analisis secara deskriptif berupa distribusi frekuensi. HASIL PENELITIAN Tabel 1. Distribusi responden Berdasarkan Umur Di RSU Piru Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016 Umur (tahun) Tidak resiko 20-27 28-34 35-39 Resiko 40-55 56-62 63-69 Total
40
Frekuensi
%
1 5 8
3,3 20 26,7
10 3 3 30
33 10 10 100
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Berdasarkan tabel 1. diatas berdasarkan variabel umur, diperoleh responden lebih banyak berada pada umur yang memiliki resiko untuk terjadinya hemoroid yaitu umur lebi dari atau sama dengan 40 tahun sebanyak 16 orang (53,3%) sedangkan responden yang memiliki umur tidak beresiko yaitu umur kurang dari 45 tahun lebih sedikit yaitu 14 orang (46,7%). Yang paling terbesar berada pada umur resiko 40-55 tahun yang berjumlah 10 orang (33%). Yang paling sedikit tidak resiko yaitu 20-27 tahun 1 orang (3,3%). Tabel 2. Distribusi responden berdasarkan Jenis Kelamin Di RSU Piru Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016. Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total
Frekuensi 15 15 30
% 50 50 100
Berdasarkan tabel 2 di atas karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin diperoleh jumlah yang sama antara responden berjenis kelamin laki-laki dan perempuan yaitu sebanyak 15 orang (50%). Tabel 3. Distribusi responden berdasarkan Keluhan Utama di RSU Piru Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016. Keluhan Utama Sedang Berat Total
Frekuensi 12 18 30
% 40 60 100
Berdasarkan tabel 3. diatas berdasarkan keluhan utama diperoleh responden yang memiliki keluhan utama terkait hemoroid dengan kriteria berat lebih banyak yaitu 18 orang (60%) dibandingkan responden yang memiliki keluhan utama terkait hemoroid dengan kriteria sedang sebanyak 12 orang (40%). Tabel 4. Distribusi responden Berdasarkan Kejadian Di RSU Piru Kabupaten Seram Bagian Tahun 2016 Hemoroid Hemoroid Eksternal Hemoroid Internal Total
Frekuensi 12 18 30
% 40 60 100
Berdasarkan tabel 4. diatas berdasarkan variabel kejadian hemoroid di RSU Piru, diperoleh responden yang mengalami hemoroid internal lebih banyak yaitu sebanyak 18 orang (60%) dibandingkan dengan responden yang mengalami hemoroid eksternal sebanyak 12 orang (40%). Tabel 5. Distribusi responden Berdasarkan Kejadian Hemoroid Di RSU Piru Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016 Hemoroid Internal Derajat I Derajat II Derajat III Derajat IV Total
41
Frekuensi 4 3 7 4 30
% 13,3 10 23,3 13,3 100
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Berdasarkan tabel 5. diatas berdasarkan derajat hemoroid di RSU Piru, diperoleh responden dengan hemoroid eksternal terbanyak berada pada derajat III yaitu sebanyak 7 orang (23,3%), pada derajat I dan IV masing-masing sebanyak 4 orang (13,3%) dan berada pada derajat II sebanyak 3 orang (10%). Sedangkan 12 orang (40%) lainnya berada pada derajat hemoroid eksternal. PEMBAHASAN Umur Usia mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang. Umur seseorang secara garis besar menjadi indikator dalam setiap mengambil keputusan yang mengacu pada setiap pengalamnnya, dengan semakin bertambah umur maka dalam menerima sebuah instruksi dan dalam melaksanakan suatu prosedur akan semakin bertanggung jawab dan berpengalaman. Semakin cukup umur seseorang akan semakin matang dalam berfikir dan bertindak (Arikunto (2006), dalam Nugroho (2014). Sesuai hasil penelitian lebih banyak berada pada umur yang memiliki resiko untuk terjadi hemoroid yaitu lebih dari atau sama dengan 40 tahun sebanyak 16 orang (53,3%) sedangka responden yang memiliki umur tidak beresiko yaitu umur kurang dari 45 tahun lebih sedikit yaitu 14 orang ( 46,7%). Yang paling terbesar resiko 40-55 tahun yang berjumlah 10 orang (33%). Yang paling sedikit tidak resiko yaitu 20-27 tahun 1 orang (3,3%). Menurut asumsi peneliti, kejadian hemoroid cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya usia seseorang, dimana usia puncaknya adalah 45-65 tahun. Sekitar setengah dari orang -orang yang berumur 50 tahun pernah mengalami hemoroid. Hal ini tersebut terjadi karena orang lanjut usia sering mengalami konstipasi, sehingga terjadi penekanan berlebihan pada pleksus hemoroidalis karena proses mengejan pada saat (BAB). Umur beresiko yaitu umur diatas 40 tahun, saat tersebut individu mengalami proses penuaan ditandai dengan degenerasi dan penuaan fungsi dari organ tubuh, hal ini juga terjadi pada sistem pencernaan. Selain karena proses degenerasi, pada usia tua juga sering terjadi konstipasi( sembelit) yang di karenakan penyerapan air yang berlebihan pada saluran cerna. Hal tersebut dapat mengakibatkan konsistensi tinja menjadi keras. Sehingga dapat terjadi penekanan yang berlebihan pada plexus hemorrhoidalis yang dipicu oleh suatu mengejan untuk mengeluarkan tinja. Pasien yang mengalami hemmoroid berada pada rentang umur beresiko yaitu seseorang dengan umur ≥ 45 tahun. Dari hasil penelitian diketahui bahwa terdapat 16 orang (53,3%) yang berada pada umur resiko. Hal ini dikarenakan pada pasien memiliki aktivitas fisik yang berat seperti mengangkat beban berat, bekerja secara terus menerus sehingga mempengaruhi pergerakan otot-otot pencernaan sehingga mudah terjadi konstipasi, dan akan mengharuskan pasien tersebut sering mengejan saat defekasi. Dan terdapat umur tidak resiko sebanyak 14 orang (46,7%) yang berada pada umur 20-35 tahun. Hal ini karena, selain faktor umum terdapat beberapa faktor lain yang dapat di modifikasi sehingga kejadian hemoroid yaitu pola makan yang tinggi serat sehingga walaupun telah mengalami degenerasi pada otot spingter akibat proses penuaan, tetapi menjaga konsumsi tinggi serat akan mengurangi resiko konstipasi sehingga pasien tidak sering mengejan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Gebbensleben et al di Park Klinik Berlin pada tahun 2014 yang mengambil kesimpulan bahwa aktivitas fisik yang berat dapat menyebabkan terjadinya umur beresiko. Karena pada aktivitas tersebut terjadi peregangan musculus sphincter ani yang berulang sehingga ketika penderita mengejan akan terjadi peregangan yang bertambah buruk. Penderita hemoroid banyak di derita oleh pasien pada umur 45 sampai dengan 65 tahun. Umumnya manusia mengalami perubahan fisiologi yang secara menurun dengan cepat setelah usia 40 tahun. Hemoroid sering muncul setelah seseorang memasuki usia rawan tersebut (Ulima 2012). Pasien hemoroid yaitu dengan usia 45-65 tahun, tersebut rentang dengan penyakit hemoroid. karena pada usia lanjut manusia telah mengalami penuaan pada fisiknya. Salah satu usia lanjut adalah menurunkan tonus sfingter. Keadaan ini menyebabkan kelemahan 42
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
struktur dinding pembuluh darah dan yang nantinya akan menimbulkan prolaps. Prolapse terjadi karena kendornya jaringan dibawah mukosa dan kulit. Walaupun tidak semua usia lanjut dapat mengalami hemoroid tetapi faktor ini dapat menyebabkan terjadinya hemoroid apabila faktor lain juga menunjang (Mohamad fikih,(2010) dalam Nugroho (2014). Jenis Kelamin Berdasarkan hasil penelitian diketahui proporsi pasien hemoroid berdasarkan jenis kelamin adalahn dalam jumlah yang sama antara antara perempuan dan laki-laki yaitu sebanyak 15 orang (50%). Memiliki tingkat kejadian yang sama antara jenis kelamin perempuan dan laki-laki dapat memungkinkan karena perbedaan fisik dan anatomi pada orang tersebut, di samping itu juga pengaruh faktor genetik dan perbedaan-perbedaan dalam hal perawatan (Mohamad fikih, (2010) dalam Nugroho (2014). Berdasarkan tinjauan pustaka, perbandingan angka penyakit hemoroid antara laki-laki dan perempuan tidak menunjukan perbedaan yang signifikan. Faktor predisposisi terjadinya hemoroid adalah herediter, anatomi, makanan, pekerjaan, psikis, dan senilitas. Sedangkan sebagai faktor presipitasi adalah faktor mekanis (kelainan sirkulasi parsial dan peningkatan tekanan intra abdominal), fisiologis dan radang. Umumnya penyebab tersebut tidak berdiri sendiri tetapi saling berkaitan. (Manjoer, 2013). Berdasarkan tinjauan pustaka, perbandingan angka penyakit hemoroid antara laki-laki dan perempuan tidak menunjukan perbedaan yang signifikan. Keluhan Utama Keluhan utama merupakan keluhan yang dirasakan pasien sehingga menjadi alasan pasien dibawa ke Rumah Sakit. Menurut (Weni, 2013), mengemukakan bahwa tanda dan gejala utama pada Hemoroid, antara lain : Rasa gatal dan nyeri, Perdarahan berwarna merah terang pada saat BAB. Pada hemoroid eksternal, sering timbul nyeri hebat akibat inflamasi dan edema yang disebabkan oleh thrombosis (pembekuan darah dalam hemoroid) sehingga dapat menimbulkan iskemia dan nekrosis pada area tersebut. Berdasarkan hasil penelitian kejadian Hemoroid di RSU Piru, diketahui sebanyak 60 % pasien mengalami keluhan utama berat pada diagnosa hemoroid. yang memiliki keluhan utama terkait hemoroid dengan kriteria berat lebih banyak yaitu 18 orang (60 %) karena, Keluhan berat pada pasien ditandai dengan terdapat benjolan kecil yang keluar pada waktu defekasi (BAB) tidak dapat masuk sendiri tanpa bantuan orang lain, terdapat benjolan pada saat defekasi (BAB) dan keluar darah pada saat defekasi (BAB). Menurut asumsi peneliti, keluhan tersebut muncul sebagai akibat dari perubahan yang terjadi pada pleksus hemoroidalis. Perubahan ini meliputi dilatasi vena yang abnormal, trombosis pembuluh darah, proses degeneratif pada serat kolagen dan jaringan fibroelastik, distorsi dan pecahnya otot subepitel anal reaksi inflamasi yang melibatkan dinding pembuluh darah dan jaringan ikat sekitarnya telah dibuktikan dalam spesimen hemoroid, dengan terkait ulserasi mukosa, iskemia dan thrombosis. Umumnya perdarahan merupakan tanda pertama dari hemoroid internal akibat trauma oleh feses yang keras. Darah yang keluar berwarna merah segar dan tidak tercampur dengan feses, dapat hanya berupa garis pada feses atau kertas pembersih sampai pada perdarahan yang terlihat menetes atau mewarnai air toilet menjadi merah. Hemoroid yang membesar secara perlahan -lahan akhirnya dapat menonjol keluar menyebabkan prolaps. Pada tahap awal, penonjolan ini hanya terjadi pada waktu defekasi dan disusul reduksi spontan setelah defekasi. Pada stadium yang lebih lanjut, hemoroid internal ini perlu didorong kembali setelah defekasi agar masuk kembali ke dalam anus. Pada akhirnya hemoroid dapat berlanjut menjadi bentuk yang mengalami prolaps menetap dan tidak bisa didorong masuk lagi. Selain itu dari hasil penelitian diketahui terdapat 12 orang (40% ) pasien datang dengan keluhan sedang mengalami hemoroid eksternal yang ditandai dengan gatal pada anus, dan nyeri pada saat defekasi (BAB).hal ini di karenakan Dilatasi vena yang abnormal, trombosis pembuluh darah, proses degeneratif pada serat kolagen dan jaringan fibroelastik, distorsi dan pecahnya otot subepitelanal. Selain temuan di atas, reaksi inflamasi yang melibatkan dinding 43
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
pembuluh darah dan jaringan ikat sekitarnya telah dibuktikan dalam spesimen hemoroid, dengan terkait ulserasi mukosa, iskemia dan thrombosis yang menimbulkan manifestasi atau keluhan pada hemoroid eksternal. Dan diketahui bahwa 18 orang (60%), Pasien datang dengan Keluhan utama muncul, biasanya berupa nyeri pada saat (BAB), keluar darah pada saat buang air,terdapat benjolan pada anus, dan gatal, darah berwarna merah, benjolan yang keluar pada waktu (BAB), keluar cairan dan benjolan kecil yang keluar pada waktu (BAB) tidak dapat masuk sendiri tanpa bantuan orang lain terdapat benjolan pada saat defekasi (BAB) dan keluar darah pada saat defekasi (BAB). Hemoroid adalah pelebaran vena dalam pembuluh darah (varises) fleksus hemoroidalis yang biasanya muncul akibat mengejan pada waktu defekasi. Hemoroid biasanya dibagi dalam dua jenis, hemoroid eksternal dan internal. Hemoroid eksternal pembesaran vena rektalis inferior yang terletak dibawah linea dinata dan ditutup epitel gepeng. sedangkan hemoroid internal merupakan pembesaran vena yang berdilatasi pada pleksus rektalis superior dan media yang timbul di atas lenia dinata yang dilapisi oleh mukosa (Mulyanti, et al 2013). Berdasarkan derajat hemoroid di RSU Piru, diperoleh responden dengan hemoroid eksternal terbanyak berada pada derajat III yaitu sebanyak 7 orang (23,3%), pada derajat I dan IV masing-masing sebanyak 4 orang (13,3%) dan berada pada derajat II sebanyak 3 orang (10%). Sedangkan 12 orang (40%) lainnya berada pada derajat hemoroid eksternal. Sedangkan Hemoroid internal merupakan Pembesaran vena yang berdilatasi pada pleksus rektalis superior dan media yang timbul diatas lenia dinata dan dilapisi oleh mukosa. Hemoroid internal dibagi menjadi empat derajat yaitu : Derajat I ditandai dengan Dilatasi fleksus hemoroid superior yang tidak mengalami prolapse dan hanya terdapat luka kecil yang masuk pada anal, Derajat II ditandai dengan Pada waktu gerak, benjolan keluar (prolapse) dan waktu selesai berak, masuk sendiri tanpa didorong dengan jari / secara spontan, Derajat III ditandai dengan Benjolan yang keluar waktu BAB tidak dapat masuk sendiri tanpa dorongan dengan jari / secara manual, dan Derajat IV ditandai dengan Benjolan mengalami inkarserasi dan tidak dapat di dorong masuk ke anus. Pada pasien dengan hemoroid internal, ditemukan responden berada pada derajat III hemoroid yaitu ditandai dengan Benjolan yang keluar waktu BAB tidak dapat masuk sendiri tanpa dorongan dengan jari / secara manual. Pada tahap awal, penonjolan ini hanya terjadi pada waktu defekasi dan disusul reduksi spontan setelah defekasi. Pada stadium yang lebih lanjut, hemoroid internal ini perlu didorong kembali setelah defekasi agar masuk kembali ke dalam anus. Pada akhirnya hemoroid dapat berlanjut menjadi bentuk yang mengalami prolaps menetap dan tidak bisa didorong masuk lagi. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai Karakteristik Penderita Dengan Resiko Kejadian Hemoroid Di RSU Piru Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016 dapat disimpulkan bahwa: 1. Pengetahuan pada umur yang beresiko yaitu 16 orang (53,3%) Yang paling terbesar berada pada umur resiko 40-55 tahun yang berjumlah 10 orang (33%). Dan Tidak beresiko 14 orang (46,7%) Yang berada pada umur tidak resiko yaitu umur 20-27 tahun 1 orang (3,3%). 2. Sedangkan kejadian hemoroid pada laki-laki dan perempuan memiliki tingkat kejadian yang sama 15 orang (50%). Dengan keluhannya gatal pada anus, terdapat benjolan, nyeri pada saat (BAB) benjolan kecil yang keluar pada waktu (BAB) tidak dapat masuk sendiri tanpa bantuan orang lain, terdapat benjolan pada anus, nyeri pada saat (BAB), dan keluar darah pada saat (BAB). 3 Dan keluhan yang paling banyak di temukan dalam penelitian ini adalah keluhan utama berat 18 responden (60%). sedang 12 orang (40%). Dan Hemoroid yang paling banyak ditemukan dalam penelitian ini adalah Hemoroid Internal 18 orang (60%) Saran 1. Bagi penelitian selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian dilokasi yang berbeda dalam jumlah yang lebih banyak besar dan sampel yang lebih banyak. Dengan variabel lain dan metode / jenis penelitian yang berbeda. Dan lebih teliti lagi dalam melakukan penelitian 44
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
agar mendapat hasil yang signifikan. Diharapkan dapat di jadikan sebagai bahan referensi dan rekomendasi oleh peneliti lain untuk di kembangkan pada penelitian selanjutnya khususnya terkait pengetahuan tentang penyakit Hemoroid. 2. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan kepustakaan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan keperawatan sehingga institusi pendidikan dapat menghasilkan tenaga kesehatan yang terampil dan profesional. 3. Bagi Ilmu Keperawatan Diharapkan dapat di gunakan sebagai pengembangan ilmu pengetahuan khusunya pada penanganan pasien Hemoroid dan tingkatkan pelayanan kesehatan pada pasien Hemoroid di Rumah Sakit tersebut. 4. Bagi masyarakat khususnya penderita dan keluarga hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan rujukan dan pedoman untuk penanganan penyakit penderita. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6.
7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
23.
Ahmmad Sharizal Abdul Satar.(2013). Karakteristik Penderita Hemoroid. Makasar. Alimun Aziz, A. (2013). Riset keperawatan dan teknik penulisan ilmiah. Salemba medikal : Jakarta Budiman, A.R (2013). Pengetahuan dan sikap dalam penulisan kesehatan. Jakarta: Salemba Medika. Depkes RI. (2013) Indonesia sehat kebijakan dan strategi pembangunan kesehatan . Depkes RI : Jakarta Diyono dan Mulyanti (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Sistem Pencernaan.Jakarta. Djumhana. (2010). Patogenesis Diagnosis dan Pengelolaan Medik Hemorroid Berdasarkan Umur dan Jenis kelamin di RSUD H. Adam Malik (karya tulis ilmiah ). Medan : Universitas Sumatra Utara. Huber, DL. (2013). Leadership and Nursing Care Management. Thirt Edition, Philadelphia Saunders. Hananto, P. Nugroho. (2014). Hubungan Aktivitas Fisik dan Konstipasi dengan derajat Hemoroid. Hidayat, A . Aziz, 2013. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah . Jakarta : Salemba Medika Irawati D. (2013). Hubungan antara Riwayat Keluarga, Konstipasi, dan Olahraga Berat dengan Kejadian Hemorrhoid . Semarang: Universitas Muhammadiyah Semarang ------------------(2013) Kebijakan kesehatan, Departemen Kesehatan, Jakarta.. Muttaqin Arif dan Kumala Sari. (2011). Gangguan Gastrointestinal Aplikasi Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medikal Manjoer A. (2013) kapita selekta kedokteran. Media Aesculapius : Jakarta Nugroho S.H.P (2014). Hubungan Aktivitas Fisik dan Konstipasi dengan Derajat Hemoroid di URJ Bedah RSUD. Dr. Soegiri Lamongan Notoatmojdo, S. (2013). Metodologi Penelitian Kesehatan . Edisi Revisi, Jakarta : Rineka Cipta RisKesDas, (2013). Riset Kesehatan Dasar. Diperoleh pada tanggal 14 mei 2014 http://www.riskesdas.litbang.depkes.go.id/download/TabelRiskesdas2013.pdf. Riwanto. (2014) . Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi ke-3. Jakarta Satar dan Abdul. A.S. (2013). Karakteristik Penderita Hemoroid Di RSUDP Dr. Wahidin Sudirohusodo. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin : Makasar. Sudarsono. D.F (2015). Diagnosis Penanganan Hemoroid (Jurnal Kesehatan). Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung Sylvia dan M. Wilson, (2013) Gangguan Sistem Pencernaan. EGK: Jakarta Sri Mulyanti.. (2013) Bedah Resiko Hemoroid.http:// jurnal/2013/Desember NO-2-224.PDF. Septadina S.I, (2015). Gambaran Histopatologi Epitel Transisional Kolorektal Pada Pasien Hemoroid. (Jurnal kedokteran dan kesehatan). Fakultas kedokteran universitas sriwijaya Palembang. Saryono. (2013). Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif Dalam Bidan Kesehatan. Cetakan Pertama. Penerbit Nuha Medika. Yogyakarta 45
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
24. Thornt Mumarak. (2013). Jurnal kesehatan, karakteristik hemoroid berdasarkan umur dan jenis kelamin. http://Repository.Usu.ac.id/abstract.pdf. Diakses tanggal 1 januari 2013. 25. UNICEF, (2013). Global hemoroid control. http://www.who.int. 26. Ulima. B. (2012). Faktor resiko kejdian hemoroid. ( karya tulis ilmia). Universitas Diponegoro semarang. 27. Wambes. J. N. (2012). Askep Pada Tn. A Dengan Post Operasi Hemoroid dalam upaya pencegahan infeksi dengan tehnik rendam duduk di Bangsal Yudha Rumkit Tingkat III 16.06.01 Ambon. (Karya Tulis Ilmiah). Akper Rumkit Tinggkat III Dr. J. A Latumeten 28. WHO. 2013. Global Hemoroid : A Short Update to the 2010 Report. http://www.who.int. Diakses: 25 januari 2011 29. Weni,(2013).Jurnal kesehatan hemoroid http://Repository. Usu.ac.id/abstract.pdf. Diakses tanggal 25 agustus 2013 30. Wilson LM, Lester LB. (2013) Usus Besar. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed 4. Jakarta: EGC.
46
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
HUBUNGAN PERAN ORANG TUA DALAM PERAWATAN GIGI DENGAN STATUS KESEHATAN GIGI ANAK USIA 6-12 TAHUN DI SD INPRES SIOMPO KECAMATAN KAIRATU KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT M.S.J. Malisngorar (STIKes Maluku Husada) Lukman La Basy (STIKes Maluku Husada) Irnawati (STIKes Maluku Husada) Dalila Nakul (STIKes Maluku Husada) ABSTRAK Hasil studi morbiditas Studi Kesehatan Rumah Tangga Survei Kesehatan Nasional (2001), dari prevalensi sepuluh kelompok penyakit yang dikeluhkan masyarakat, penyakit gigi dan mulut di urutan pertama dengan prevalensi 61%, diderita oleh 90% penduduk Indonesia dan 89% anak di bawah umur 12 tahun 1,2 sebesar 62,4% penduduk terganggu sekolahnya karena sakit gigi selama rata-rata 3,86 hari per tahun. Prevalensi anak yang mengalami masalah kesehatan gigi dan mulut berdasarkan karakteristik umur adalah 5-9 tahun sebesar 21,6%, umur 10-14 tahun sebesar 20,6% dan terjadi di pedesaan sebesar 24,4 % (Riskesdas, 2013).Penelitian ini Untuk mengetahui hubungan peran orang tua dalam perawatan gigi dengan status kesehatan gigi pada anak usia 6-12 tahun di SD Inpres Siompo. Jenis penelitian ini merupakan penelitian Deskriptif Analitik dengan menggunakan rancangan penelitian Cross Sectional. Teknik pengambilan sampel secara accidental sampling dengan jumlah sebanyak 54 responden. Pengambilan data dilakukan dengan membagikan kuesioner dan observasi secara langsung kepadaresponden. Analisa data dilakukan dengan menggunakan uji statistik ChiSquare. Hasil penelitian ini diperoleh nilai signifikasi Peran Orang Tua Dalam Perawatan Gigi Dengan Status Kesehatan Gigi Pada Anak Usia 6-12 Tahun (ρ=0.002>α=0.05). Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara Peran Orang Tua Dalam Perawatan Gigi Dengan Status Kesehatan Gigi Pada Anak Usia 6-12 Tahun Kata Kunci: Kesehatan Gigi, Peran Orang Tua, Perawatan Gigi Anak PENDAHULUAN Kesehatan gigi dan mulut merupakan bagian integral dar kesehatan secara keseluruhan yang dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang dan menjadi perhatian penting dalam pembangunan kesehatan penduduk Indonesia maupun negara-negara berkembang. Kesadaran terhadap kebersihan mulut pada anak-anak sangat rendah yang diakibatkan karena kurangnya pendidikan dan kemampuan anak-anak dalam menjaga kebersihan gigi dan mulut umumnya pada anak usia sekolah 6-12 tahun kurang mengetahui dan mengerti tentang cara memelihara kebersihan mulut. Pulu, MA. (2012) Kondisi kesehatan gigi dan mulut di Indonesia saat ini masih sangat memprihatinkan, perlu perhatian serius dari tenaga kesehatan. Hasil studi morbiditas Studi Kesehatan Rumah Tangga - Survei Kesehatan Nasional (2001), dari prevalensi sepuluh kelompok penyakit yang dikeluhkan masyarakat, penyakit gigi dan mulut di urutan pertama dengan prevalensi 61%, diderita oleh 90% penduduk Indonesia dan 89% anak di bawah umur 12 tahun 1,2 sebesar 62,4% penduduk terganggu sekolahnya karena sakit gigi selama rata-rata 3,86 hari per tahun. Karies gigi dan penyakit periodontal dapat dicegah melalui kebiasaan memelihara kesehatan gigi dan mulut sejak dini dan secara kontiniu. Hasil National Oral Health Survey (NOHS) tahun 2006 di Filipina, 97,1% anak sekolah dasar umur 6 tahun dan 78,4% anak umur 12 tahun mengalami karies, dan hampir 50% menderita infeksi odontogenic dengan karies yang mencapai pulpa, ulserasi, fistula dan abses (PUFA). Riyanti,(2013) Status kesehatan gigi dan mulut usia 12 tahun merupakan indikator utama pengukuran pengalaman karies gigi yang dinyatakan dengan indeks Decay Missing Filling Tooth (DMF-T). World Health Organization dalam Health for Allbythe Year 2000 menargetkan pada tahun 2000 sebanyak 50% anak usia 5 - 6 tahun bebas karies, hingga saat ini target tersebut belum 47
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
tercapai. World Health Organization tahun 2001 menetapkan Oral Health Global Indicator for year 2015, skor Decay Missing Filling Tooth (DMF-T) pada usia 12 tahun<3. Target nasional indeks Decay Missing Filling Tooth (DMF-T rata-rata ≤ 2, target Oral Higiene Index Simplify (OHI-S) rata-rata adalah ≤ 1,2 dan indeks Community Periodontal Index of Treatment Needs (CPITN) ≥ 3 sekstan. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya pencegahan penyakit gigi melalui sekolah, pada jenjang yang lebih awal. Riyanti, (2013) Usaha untuk mengatasi masalah kesehatan gigi pada anak adalah program Usaha Kesehatan Gigi Sekolah (UKGS), yaitu salah satu program pelayanan kesehatan gigi dan mulut di puskesmas dan dibawahi oleh program Usaha Kesehatan Sekolah. UKGS memberikan pelayanan dalam bentuk promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang ditujukan bagi anak usia sekolah di lingkungan sekolah binaan agar mendapatkan generasi yang sehat. Program UKGS berjalan sejak tahun 1951, tetapi status kesehatan gigi pada usia 12 tahun masih belum memuaskan. Hasil Riset Kesehatan Daerah (RISKESDAS) tahun 2013 oleh Departemen Kesehatan RI menunjukkan prevalensi anak yang mengalami masalah kesehatan gigi dan mulut berdasarkan karakteristik umur adalah 5-9 tahun sebesar 21,6%, umur 10-14 tahun sebesar 20,6% dan terjadi di pedesaan sebesar 24,4 %. Pada tahun 2014 di Provinsi Maluku, 28.8% penduduknya mempunyai masalah dengan gigi dan mulut, 28.8% menerima perawatan dari tenaga medis gigi. Jenis perawatan gigi yang di terima terbanyak adalah pengobatan (92.1%). Berkaitan dengan perilaku menggosok gigi untuk mencegah karies gigi, maka ada 92.1% penduduk menggosok gigi setiap hari tetapi yang berperilaku benar yaitu menggosok gigi sesudah makan pagi dan sebelum tidur malam hanya 15.8%. Prevalensi karies aktif di Provinsi Maluku sebesar 45.6% dan persentase penduduk dengan fungsi normal gigi adalah 91.5%. Silaban, (2013). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2014 dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan sebanyak 89% anak-anak di bawah usia 12 tahun mengalami karies gigi. Data terbaru yang dirilis oleh Oral Health Media Centre pada April 2012, memperlihatkan sebanyak 60-90% anak usia sekolah dan hampir semua orang dewasa di seluruh dunia memiliki permasalahan pada gigi. Anak usia sekolah adalah satu kelompok usia yang rentan terhadap penyakit gigi dan mulut karena umumnya pada usia tersebut masih mempunyai perilaku atau kebiasaan diri yang kurang menunjang terhadap kesehatan gigi. Anonymout, (2012). METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan jenis penelitian Cross Sectional. Penelitian ini dilaksanakan di SD Inpres Siompo Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat pada tanggal 13 juli sampai 13 Agustus 2016. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa SD Inpres Siompo yang berusia 6-12 tahun berjumlah 117 siswa tahun 2015-2016, Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik accidental sampling pengambilan sampel yang dilakukan sesaat, sehingga sampel yang diperoleh adalah sampel yang ada/tersedia sesaat pada waktu itu sampai di jumlah sebanyak 54 responden. Teknik pengumpulan data melalui wawancara langsung dan dilakukan observasi.Setelah pengambilan data dilakukan dan data diperoleh, maka selanjutnya dilakukan pengolahan data yang meliputi beberapa bagian yaitu: Editing, Coding, dan Tabulasi. Setelah data diolah, selanjutnya dilakukan analisis menggunakan uji statistik Chi-Square. HASIL PENELITIAN Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Umur di SD Inpres Siompo Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016 Umur 10 11 8 9 Total
48
n 25 11 7 11 54
(%) 46.3 20.4 13.0 20.4 100
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Berdasarkan tabel 1 di atas menunjukan bahwa dari 54 siswa yang menjadi responden umur yang terbanyak adalah usia 10 tahun dengan jumlah 25 responden (46.3 %) sedangkan yang paling sedikit adalah usia 8 tahun yaitu 7 responden (13.%). Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Peran Orang Tua sebagai Pengasuh di SD Inpres Siompo Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat Pengasuh Baik Cukup Kurang Total
n 9 14 31 54
(%) 16.7 25.9 57.4 100
Berdasarkan tabel 2 di atas menunjukan bahwa dari 54 siswa yang menjadi responden berdasarkan peran orang tua sebagai pengasuh dalam perawatan gigi anak yang paling banyak adalah peran orang tua yang kurang sebanyak 31 responden (57.4%) sedangkan yang paling sedikit adalah peran orang tua yang baik sebanyak 9 responden (16.7%). Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Peran Orang Tua Sebagai Pendidik di SD Inpres Siompo Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat 2016 Pendidik baik cukup kurang total
n 9 18 27 54
(%) 16.7 33.3 50.0 100
Berdasarkan tabel 3. di atas menunjukan bahwa dari 54 siswa yang menjadi responden berdasarkan peran orang tua sebagai pendidik dalam perawatan gigi anak yang paling banyak adalah peran orang tua yang kurang sebanyak 27 responden (50.%) sedangkan yang paling sedikit adalah peran orang tua yang baik sebanyak 9 responden (16.7%). Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Peran Orang Tua Sebagai Pendorong di SD Inpres Siompo Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat Pendorong Baik Cukup Kurang Total
n 19 25 10 54
(%) 35.2 46.3 18.5 100
Berdasarkan tabel 4 di atas menunjukan bahwa dari 54 siswa yang menjadi responden berdasarkan peran orang tua sebagai pendorong dalam perawatan gigi anak yang paling banyak adalah peran orang tua yang cukup sebanyak 25 responden (46.3%) sedangkan yang paling sedikit adalah peran orang tua yang kurang sebanyak 10 responden (18.5%). Tabel 5. Distribusi Responden Berdasarkan Peran Orang Tua Sebagai Pengawas di SD Inpres Siompo Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat pengawas baik cukup kurang total
49
n 2 17 35 54
(%) 3.7 31.5 64.8 100.0
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Berdasarkan tabel 5. di atas menunjukan bahwa dari 54 siswa yang menjadi responden berdasarkan peran orang tua sebagai pengawas dalam perawatan gigi anak yang paling banyak adalah peran orang tua yang kurang sebanyak 35 responden (64.8%) sedangkan yang paling sedikit adalah peran orang tua yang baik sebanyak 2 responden (3.7%). Tabel 6. Distribusi Responden Berdasarkan Status Kesehatan Gigi Pada Siswa di SD Inpres Siompo Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat status kesehatan gigi sehat tidak sehat total
n 8 46 54
(%) 14.8 85.2 100
Berdasarkan tabel 6 di atas menunjukan bahwa dari 54 siswa yang menjadi responden berdasarkan status kesehatan gigi pada siswa SD Inpres siompo yang sehat sebanyak 8 responden (14.8%) sedangkan yang tidak sehat sebanyak 46 responden (85.2%). Tabel 7. Hubungan Peran Orang Tua Dalam Perawatan Gigi Dengan Status Kesehatan Gigi Pada Anak Usia 6-12 Tahun Di SD Inpres Siompo Peran orang tua Baik Cukup Kurang Total
n 2 3 3 8
Status Kesehatan Gigi Sehat Tidak Sehat % n % 100 0 0 17.6 14 82.4 8.6 32 91.4 14.8 46 85.2
Total N 2 17 35 54
% 100 100 100 100
Ƿ. Value
0.000
Dari tabel 7 diketahui bahwa dari 54 responden yang diteliti, hubungan peran orang tua dalam perawatan gigi dengan status kesehatan gigi yang paling banyak yaitu peran orang tua yang kurang sebanyak 35 responden, sehat 3 (8.6%) dan tidak sehat sebanyak 32 (91.4%) sedangkan peran orang tua yang paling sedikit yaitu baik sebanyak 2 responden, sehat 2 (100%) dan tidak sehat sebanyak 0 (0%). PEMBAHASAN Peran Orang Tua Hasil analisis univariat menunjukan bahwa terdapat hubungan antara peran orang tua dalam perawatan gigi dengan status kesehatan gigi pada anak usia 6-12 tahun di SD Inpres Siompo. Selain itu, didapatkan nilai Pvalues= 002, dilihat dari peran orang tua yaitu pengasuh, pendidik, pendorong dan pengawas yang paling dominan terhadap terjadinya status kasehatan gigi yang tidak sehat yaitu sebagai pengawas, yang baik (3,7%) dari 2 responden, cukup (31,5%) dari 17 responden, kurang (64,8%) dari 35 responden. Terjadinya peran orang tua yang kurang dalam perawatan gigi sebagai pengawas karena orang tua kurang mengawasi tingkah laku anak untuk mencegah terjadinya sakit gigi, seperti mengawasi anak saat makan, menyikat gigi, pemberian susu, dan orang tua juga kurang mengawasi apakah anak sudah membersihkan gigi dengan baik dan benar sehingga terjadinya status kesehatan gigi yang tidak sehat kepada anak. Status Kesehatan Gigi Terdapat hubungan antara peran orang tua dalam perawatan gigi dengan status kesehatan gigi pada anak usia 6-12 tahun di SD Inpres Siompo selain itu, didapatkan Pvalues=002, yang mempunyai status kesehatan gigi sehat (14.8%) dari 8 responden, dan tidak sehat (85.2%) dari 46 responden. Terjadinya status kesehatan gigi yang tidak sehat karena kurangnya tingkat 50
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
pengetahuan kesehatan gigi sehingga memiliki status kebersihan mulut yang buruk dan hal ini akan mempengaruhi status karies pada anak. Terjadinya status kesehatan gigi yang buruk berhubungan dengan gaya hidup anak dalam menjaga kesehatan gigi dan mulutnya seperti frekuensi menyikat gigi, waktu menyikat gigi, cara menyikat gigi, kebiasaan membersikan lidah, frekuensi mengkonsumsi makanan dan miniman yang manis, dan kunjungan ke dokter gigi. Perawatan gigi yang kurang berhubungan dengan kejadian karies gigi pada anak dan angka kejadian karies gigi tersebut didominasi oleh anak yang tidak melakukan perawatan terhadap kerusakan giginya. Hubungan Peran Orang Tua Dalam Perawatan Gigi Dengan Status Kesehatan Gigi Pada Anak Usia 6-12 Tahun Hasil analisa data dengan menggunakan uji statistik Chi-Square dengan menggunakan kemaknaan = 0,05 di peroleh nilai ρ < α atau 0.000 < 0.05. dapat diketahui bahwa hipotesanya (Ho) di tolak yang berarti ada hubungan yang bermakna antara peran orang tua dalam perawatan gigi dengan status kesehatan gigi pada anak usia 6-12 tahun di SD Inpres Siompo Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat. Penelitian yang dilakukan oleh Sangadah tahun 2015 mengatakan bahwa Pola asuh orang tua yang menyekolahkan anaknya sebagian besar menggunakan pola asuh permisif (52,5%). Kebersihan gigi anak prasekolah sebagian besar memiliki kategori buruk (57,5%). Dapat disimpulkan bahwa Pola asuh orang tua yang buruk akan mengakibatkan kebersihan diri anak buruk terutama kebersihan gigi. Penelitian yang dilakukan oleh Yuliati mengatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan orang tua dengan kejadian karies gigi dengan nilai p-value yaitu 0,033. Hal ini berarti p-value<0,05. Dari hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa Ho ditolak, maka ada hubungan antara pengetahuan orang tua dengan kejadian karies gigi. Penelitian yang dilakukan oleh Kawuryan (2004), dalam (Yuliati Puji Riska, tahun 2014) dengan judul Hubungan Antara Pengetahuan Orang Tua Tentang Kesehatan Gigi Dan Mulut Dengan Kejadian Karies Gigi Pada Anak Di SDN V Jaten Karanganyar menjelaskan bahwa dengan adanya pengetahuan tentang kesehatan gigi dan mulut secara tidak langsung akan menjaga kesehatan gigi dan mulut dan pada akhirnya dapat mencegah terjadinya karies gigi. Hal ini berarti pengetahuan tentang kesehatan gigi dan mulut dapat berdampak pada kejadian karies gigi. Penelitian yang dilakukan oleh Rosdawati (2004), dalam (Sangadah Nasikhatus tahun 2015) dengan judul Hubungan Pola Asuh Dengan Kebersihan Gigi Pada Anak Prasekolah Di Tk Pgri Tunas Harapan Desa Pekutan Kecamatan Mirit Kabupaten Kebumen, menjelaskan bahwa Pengetahuan yang cenderung baik, kurang memotivasi untuk bersikap dan melakukan tindakan pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut, sehingga status kesehatan gigi dan mulut relatif rendah dengan banyaknya timbul karies gigi. Orang tua memiliki tanggung jawab terhadap kesehatan anggota keluarga terutama anak. Orang tua harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang kesehatan gigi dan mulut serta karies gigi. Pengetahuan mengenai kesehatan akan berpengaruh terhadap perilaku sebagai hasil jangka panjang dari pendidikan kesehatan. Penyebab timbulnya masalah gigi dan mulut pada masyarakat salah satunya adalah faktor perilaku atau sikap mengabaikan kebersihan kesehatan gigi dan mulut. Hal tersebut dilandasi oleh kurangnya pengetahuan akan pentingnya pemeliharaan gigi dan mulut. Paus-Edwards dan Liu menyatakan bahwa pola asuh orang tua merupakan elemen penting dari masa balita. Panduan, dukungan dan bimbingan dari orang tua akan menghasilkan perkembangan yang maksimal pada masa balita. Anak-anak yang selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene. Pada usia 612 tahun diperlukan perawatan lebih intensive karena pada usia tersebut terjadi pergantian gigi dan tumbuhnya gigi baru. Anak memasuki usia sekolah mempunyai. resiko karies makin tinggi. Banyaknya jajanan di sekolah. Dari hasil penelitian yang di dapat bahwa dari 54 responden yang diteliti ada 46 siswa yang status kesehatan giginya tidak sehat. Dan dilihat dari peran orang tua yaitu pengasuh, pendidik, pendorong dan pengawas, yang paling dominan terhadap terjadinya status kesehatan gigi yang tidak sehat pada siswa-siswi SD Inpres Siompo adalah Pengawas orang tua terhadap anak. 51
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Menurut Asumsi peneliti Semakin baik kebersihan gigi dan mulut maka akan semakin baik juga status kesehatan gigi. Peran pola asuh orang tua yang buruk akan mempengaruhi status kesehatan gigi yang mengakibatkan karies gigi dan. Dengan adanya peran orang tua dalam perawatan gigi pada anak yang baik maka kesehatan gigi pada anak akan terjaga sehingga tidak menimbulkan karies, sebaliknya apabila peran orang tua tidak memperhatikan anaknya dengan baik maka stutus kesehatan giginya tidak bagus sehingga bisa menyebabkan karies gigi pada anak. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah di uraikan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara peran orang tua dalam perawatan gigi dengan status kesehatan gigi pada anak usia 6-12 tahun dalam dengan nilai ƿ=0.000 (ƿ=0.002 < α= 0.05). Saran Agar tujuan jangka panjang tercapai yakni prevalensi karies gigi menurun dan peningkatan pengetahuan anak tentang kesehatan gigi maka peneliti memberikan saran kepada beberapa pihak diantaranya: 1. Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi penelitian yang akan dilakukan selanjutnya sehingga dapat mengetahui status kesehatan gigi pada anak dan peran orang tua dalam perawatan gigi. 2. Ibu sangat penting memberikan informasi yang sesuai tentang kesehatan gigi, memberikan contoh yang baik dalam melakukan perawan gigi seperti membiasakan anak menggosok gigi setelah makan dan sebelum tidur serta rutin memeriksakan gigi ke dokter gigi. 3. Meningkatkan program pendidikan kesehatan gigi di sekolah yang lebih aplikatif sesuai kurikulum yang ada. Menyelenggarakan adanya Usaha Kesehatan Gigi Sekolah guna lebih memperhatikan kesehatan gigi dan mulut pada anak,Sehingga pengetahuan anak tentang kesehatan gigi dan perawatan gigi dapat meningkat dan berkualitas. 4. Dengan penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan terhadap pengetahuan ibu tentang kesehatan gigi dan mulut dengan kejadian karies gigi pada anak. Serta dapat berguna sebagai bahan referensi bagi penelitian selanjutnya yaitu perihal menjaga kesehatan gigi dan mulut. DAFTAR PUSTAKA 1. Alhamda , S. (2011) Status kebersihan gigi dan mulut dengan status karies gigi (kajian pada murid kelompok umur 12 tahun di sekolah dasar negeri kota bukittinggi). Berita Kedokteran Masyarakat: 27(2): 108–15. 2. Alhamda S. Status kebersihan gigi dan mulut dengan status karies gigi. Berita Kedokteran Masyarakat; 2011; 27(2): 109 3. Ariningrum dan Indriasih. (2015). Hubungan Pengetahuan, Sikap, Dan Perilaku Tentang Karies Gigi Terhadap Indeks Dmf-T www.jurnal.pdii.lipi.go.id Pada Siswa SD Kelas VI Di Daerah Kumuh Dan Tidak Kumuh Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara. Skripsi. Notoatmodjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta,3(1):134 4. Anggriana, D, & Musrifah (2012) Stimulting faktor of parents motivation to take their childrens dental health for treatment in the Faculty of Dentistry Airlangga University, Journal of dental heath,12-15 5. Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan RI (2011). Kamus bahasa Indonesia. Jakarta:Pusat Bahasa 6. Eriska R, Risti S. Upaya peningkatan kesehatan gigi dan mulut melalui perubahan tingkah laku anak;2005 7. E Rooney, G Davies, J Neville, M Robinson, C Perkins, M A Bellis. Oral Health Survey of 12 years old Children 2008 / 2009. NHS DEP for England;2010:2 52
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
8. Gupte, S. (2011). Panduan perawatan anak, edisi 1, hal 166. (Pustaka Populer Obor, Penerjemah). Jakarta: Pustaka Populer Obor 9. Halim MP. Peran orang tua terhadap pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut anak dan status kesehatan gigi dan mulut Hockenberry. M. J., & Wilson, D. (2007). 10. Hastono, S.P. (2012) Analisis data. Depok: Fakultas kesehatan masyarakat Universitas Indonesia 11. Ignatia PS, Trining W, Ranny R. Perbedaan tingkat pengetahuan kesehatan gigi dan mulut pada siswa sekolah dasar di kota dan di desa;2013:1-2 12. Kartono,K (2012). Hygiene mental. Cetakan ke-7. Bandung: PT. Mandrar Maju. H 36-40 13. Natamiharja L, Margaret. Peran orangtua terhadap pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut anak kelas II SD Medan. Dentika Dental Journal; 2011; 16(2): 163 14. Natamiharja L, Dwi NS. Hubungan pendidikan, pengetahuan dan perilaku ibu terhadap status karies gigi balitanya. Dentika Dental Journal; 2010; 15(1): 37 15. Oulis CJ, Raadal M, Martens L. Guidelines on the use of fluoride in children: an EAPD policy document. EJPD 2000; 1(110. Suwelo IS. Petunjuk praktis sistem merawat gigi anak di klinik, diagnosis dan rencana perawatan. Cetakan II. Jakarta: EGC; 1991.. 20–1.):7–12. 16. Potter , P,A, & Perry, A,G (2014) Fundamental nursing :concept, proses, and practive (6 th ed) St.Louis: Mosby Year Book 17. Potter, P,A, & Perry, A,G(2012) Profil kesehatan gigi dan mulut di Indonesia pada pelita v. Jakarta:EGC 18. Pulu MA, Gunawan PN, Juliatri. Status kebersihan mulut dan kebiasaan menyikat gigi siswa SD GMIM Eben Haezer Kombos Manado. Dentire J. 2012;1(2):109. 19. Riyanti E. ( 2013) Pengenalan dan perawatan kesehatan gigi anak sejak dini. Jakarta: EGC. 2005: p. 3-5. 20. Rahmawati I, Hendrartini J, Priyanto A. Perilaku kesehatan gigi dan mulut pada anak sekolah dasar. Berita Kedokteran Masyarakat; 2011; 27(4): 180-1 21. Rosdawati, Lilik. 2004. Hubungan Perilaku Pemeliharaan Kesehatan Gigi Dan Mulut Dengan Status Kesehatan Gigi Dan Mulut Murid SMU Di Kabupaten Langkat Tahun 2004. Skripsi. http://www.researchgate.net 22. Muscari, M. E(2015) Panduan belajar: Keperawatan pediatric (3 ed). Jakarta: Penerbit EGC 23. Notoatmodjo, S. (2013) Ilmu kesehatan masyarakat : prinsip-prinsip dasar. Jakarta: Rineka Cipta 24. Notoatmodjo, S (2010). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta 25. Notoatmodjo, S (2011). Promosi kesehatan dan ilmu perilaku. Jakarta: Rineka Cipta 26. Schuurs, A.H.B. (2012). Ilmu Kesehatan Anak. Ed.2 Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran:EGC. 27. Schuurs, A.H.B. (2013). Patologi Gigi Geligi. Yogyakarta: UGM Press. 28. Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: Penerbit Alfabeta. 29. Suwelo, I.S.(2010). Karies gigi pada anak dengan berbagai faktor etiologi. Jakarta:IGC 30. Susanty H. Waktu pertumbuhan gigi geligi. Dentia dental. 2009 [Internet] Available from: URL: http://www.dentiadental.com/2009/articles/waktu-pertumbuhan-gigi-geligi/ Accessed March 10, 2014. 31. Silaban S, Gunawan PN, Wicaksono D. Prevalensi karies gigi geraham pertama permanen pada anak umur 8-10 tahun di SD Kelurahan Kawangkoan Bawah. Jurnal e-gigi; 2013; 1(2): 2 32. Santrock, Mikrajab, M.A. (2013). Hubungan pola makan dan kebiasaan menyikat gigi dengan kesehatan gigi dan mulut (karies) di Indonesia jurnal kesehatan , Vol.13 No 1, 83-91 33. Wongs nursing care infants and children. St. Gede YI, Pandelaki K, Mariati NW. Hubungan pengetahuan kebersihan gigi dan mulut dengan status kebersihan gigi dan mulut pada siswa SMAN 9 Manado. e-Journal PAAI;2013: (1) 34. Wong, D.L., Hockenberry, M,Wilson, D, Schwartz, P.(2012). Buku ajar keperawatan pediatric Wong (6 th ed).
53
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
PENGARUH PEMBERIAN HEALTH EDUCATION TENTANG PENANGANAN GIGITAN ANJING RABIES (Canis familiaris) TERHADAP PENINGKATAN PENGETAHUAN MASYARAKAT DI DESA ETI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PIRUTAHUN 2016 Aulia Debby Pelu (STIKes Maluku Husada) Lukman La Basy (STIKes Maluku Husada) Ibrahim R (STIKes Maluku Husada) Akbar Ely (STIKes Maluku Husada) ABSTRAK Rabies atau biasa disebut penyakit anjing gila merupakan penyakit hewan menular yang bersifat zoonosis. Sesuai data dari World Health Organization (WHO) tahun 2013, diperkirakan bahwa sejumlah 55.000 angka kematian di dunia disebabkan oleh penyakit ini. Hasil observasi didapatkan data sebanyak 329 KK memiliki anjing yang tidak dipelihara dengan baik, anjing ini yang berpotensi menyebabkan penyakit rabies. Tindakan seseorang terhadap masalah kesehatan, pada dasarnya akan dipengaruhi oleh pengetahuan seseorang tentang bagaimana cara penanganan yang akan dilakukan. Health education merupakan salah satu cara untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai masalah kesehatan yang ada. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian health education tentang penanganan gigitan anjing rabies (Canis familiaris) terhadap peningkatan pengetahuan masyarakat di Desa Eti Wilayah Kerja Puskesmas Piru tahun 2016. Penelitian ini merupakan jenis penelitian quasy experiment dengan desain penelitian yaitu one-group pre and post test design. Sampel penelitian menggunakan metode simple random sampling dengan jumlah sampel 49 KK. Instrumen penelitian menggunakan kuisioner. Pengolahan data dengan SPSS, menggunakan uji Paired t Test dengan tingkat kemaknaan 0,05. Hasil penelitian diperoleh Nilai signifikan pengetahuan (p=0,00). Dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh pemberian health education tentang penanganan gigitan anjing rabies (Canis Famliaris) terhadap peningkatan pengetahuan masyarakat di Desa Eti Wilayah Kerja Puskesmas Piru Tahun 2016. Kata Kunci: Rabies, Pengetahuan, Health Education PENDAHULUAN Rabies atau biasa disebut penyakit anjing gila merupakan penyakit hewan menular yang bersifat zoonosis. Penyakit ini ditularkan ke manusia melalui pajanan atau gigitan oleh hewan berdarah panas seperti anjing, kera, kucing dan lain-lain yang telah terinfeksi virus rabies sebelumnya. Infeksi rabies yang terjadi pada manusia dan hewan baik yang sudah memperlihatkan manifestasi klinis rabies pada otak (encephalomyelitis) akan berakhir dengan kematian (Kemenkes, 2014). Tahulending (2015) memaparkan bahwa penyakit rabies telah menjadi perhatian utama di sektor kesehatan masyarakat saat ini. Secara global, penyakit Rabies telah tersebar luas di Negara-negara berkembang seperti di Amerika Selatan dan Tengah, Afrika dan Asia. Sesuai data dari World Health Organization (WHO) tahun 2013, diperkirakan bahwa sejumlah 55.000 angka kematian di dunia disebabkan oleh penyakit ini. Provinsi Maluku memiliki 11 kabupaten/kota dimana pada tahun 2014 dilaporkan oleh dinas kesehatan provinsi Maluku bahwa penyakit rabies terjadi pada 5 kabupaten dengan total jumlah kasus mencapai 1.650 kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR), 1.200 kasus yang diberi Vaksin Anti Rabies (VAR) dan jumlah kasus kematian mencapai 20 kasus. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di Puskesmas Piru didapatkan data mengenai distribusi penyakit rabies di wilayah kerja Puskesmas Piru, antara lain: 54
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Tabel 1. Distribusi Prevalensi Rabies di Puskesmas Piru No
Tahun
GHPR
%
SP
%
1. 2. 3. 4.
2013 2014 2015 Januari s/d April 2016 Total
86 33 68 18 205
42 16 33 9 100
13 10 16 4 43
30 23 37 10 100
Keterangan: GHPR: Gigitan Hewan Penular Rabies; SP: Spesimen Positif Kejadian kasus rabies dewasa ini terjadi karena korban acuh saat pertama kali digigit oleh hewan rabies, Biasanya korban tidak melakukan langkah penanganan awal dengan cara luka segera dibersihkan dan hanya dibiarkan begitu saja (Tanzil, 2014). Notoatmodjo (2010) memaparkan bahwa pengetahuan merupakan faktor yang mempermudah terjadinya perubahan seseorang dalam bertindak. Tindakan seseorang terhadap masalah kesehatan, dalam hal ini tindakan penanganan gigitan anjing rabies (Canis familiaris) pada dasarnya akan dipengaruhi oleh pengetahuan seseorang tentang bagaimana cara penanganan yang akan dilakukan. Notoatmojo (2014) juga menjelaskan bahwa health education atau pendidikan kesehatan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai masalah kesehatan yang ada karena pendidikan kesehatan adalah suatu pedagogik praktis atau praktik pendidikan khususnya dibidang kesahatan. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti masyarakat belum sepenuhnya paham mengenai penanganan gigitan anjing rabies (Canis familiaris), sehingga dengan cara ini diharapkan agar setelah diberikan health education masyarakat mampu menangani masalah tersebut dengan baik dan benar. Masyarakat di Desa Eti seluruhnya memiliki anjing peliharaan, anjing-anjing ini sebagian dipelihara dengan baik namun sebagian besarnya tidak terpelihara dengan baik dalam arti dibiarkan bebas berkeliaran begitu saja. Hasil observasi lapangan yang dilakukan oleh peneliti didapatkan data sebanyak 329 KK yang memiliki anjing yang tidak dipelihara dengan baik karakteristik anjing peliharaan seperti ini yang berpotensi menyebabkan penyakit rabies. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan jenis penelitian Quasy experiment dengan desain penelitian one-group pre and post test design. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Eti Wilayah Kerja Puskesmas Piru pada tanggal 25 Juli s/d 08 Agustus 2016. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat Desa Eti yang memiliki anjing berpotensi menyebabkan penyakit rabies dengan 329 KK. Cara pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik simple random sampling, dengan jumlah sampel sebanyak 49 KK. Data primer dikumpulkan oleh peneliti langsung dari objek penelitian melalui instrumen penelitian yakni kuesioner. Data sekunder atau data pendukung diperoleh peneliti dari instansi tekait, data pendukung yang diperoleh peniliti berasal dari Puskesmas Piru. Setelah data diolah, selanjutnya dianalisis menggunakan uji statistik Paired t Test. HASIL PENELITIAN Tabel 2. Distribusi Umur Responden Di Desa Eti Wilayah Kerja Puskesmas Piru Tahun 2016. No Umur 1. 23 s/d 29 2. 30 s/d 36 3. 37 s/d 43 4. 44 s/d 50 5. 51 s/d 57 6. 58 s/d 64 Total
55
Jumlah 7 6 7 13 10 6 49
Persen 14.3 12.2 14.3 26.5 20.4 12.2 100
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Berdasarkan tabel 2 diketahui umur responden adalah 23 tahun s/d 64 tahun. Jumlah umur responden terbesara yaitu 44 s/d 50 tahun sebanyak 13 orang (26.5%) dan yang paling sedikit berumur 30 s/d 36 dan 58 s/d 64 tahun masing-masing sebanyak 6 orang (12.2%). Tabel 3. Distribusi Jenis Kelamin Responden Di Desa Eti Wilayah Kerja Puskesmas Piru Tahun 2016 No Jenis Kelamin 1. Pria 2. Wanita Total
Jumlah 30 19 49
Presen 61.2 38.8 100
Berdasarkan tabel 3 diketahui sebagian besar responden berjenis kelamin pria sebanyak 30 orang (61,2%) dan yang paling sedikit berjenis kelamin wanita sebanyak 19 orang (38,8%). Tabel 4. Distribusi Hasil Pengukuran Pengetahuan Sebelum Health Education Diberikan Pada Masyarakat di Desa Eti Wilayah Kerja Puskesmas Piru Tahun 2016 No
n
1
49
Mean 51,76
Pre Test St. Deviasi 5,027
Tabel 4 menunjukkan bahwa hasil pengukuran pengetahuan yang dilakukan pada 49 responden didapatkan nilai rerata pengetahuan responden sebelum dilakukan health education sebesar 51,76 dengan nilai standar deviasi sebesar 5,027. Tabel 5. Distribusi Hasil Pengukuran Pengetahuan Setelah Health Education Diberikan Pada Masyarakat di Desa Eti Wilayah Kerja Puskesmas Piru Tahun 2016. No
n
1
49
Post Test Mean St. Deviasi 70,94 3,158
Tabel 5 menunjukkan bahwa hasil pengukuran pengetahuan yang dilakukan pada 49 responden didapatkan nilai rerata pengetahuan responden setelah dilakukan health education sebesar 70,94 dengan nilai standar deviasi sebesar 3,158. Tabel 6 Distribusi Hasil Pengaruh Pemberian Health Education Terhadap Peningkatan Pengetahuan Masyarkat Di Desa Eti Wilayah Kerja Puskesmas Piru Tahun 2016. No
n
1
49
Pre Test Mean S.D 51,76 5,027
Post Test Mean S.D 70,94 3,158
Sig (p) 0,000
Tabel 5 menunjukkan adanya perbedaan yang cukup signifikan yakni nilai rerata pengetahuan masyarkat sebelum health education diberikan berbeda dengan nilai rerata pengetahuan masyarakat setelah health education diberikan yang mengalami peningkatan. Dengan nilai p-value < α = (0,00 < 0,05). PEMBAHASAN Dari tabel 2 diketahui umur responden adalah 23 tahun s/d 64 tahun. Jumlah umur responden terbesara yaitu 44 s/d 50 tahun sebanyak 13 orang (26.5%) dan yang paling sedikit berumur 30 s/d 36 dan 58 s/d 64 tahun masing-masing sebanyak 6 orang (12.2%). Pengetahuan dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satu diantaranya yakni umur. Umur mempengaruhi pengetahuan kerena semakin bertambahnya umur semakin banyak informasi yang didapatkan Budiaman et al., (2013) dalam Bintari (2016). Umur merupakan salah satu faktor yang dipandang perlu untuk diperhatikan, hal ini dikarenakan umur merupakan salah satu faktor predisposisi seseorang mudah terserang penyakit. Menurut Notoatmodjo (2003) dlm Malhayati 2011 menyatakan bahwa salah satu faktor individu (person) yang terkait kesehatan antara lain adalah umur. 56
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Umur manusia terdiri dari beberapa tingkatan. Berikut ini tingkatan umur berdasarkan WHO dalam Malhayati 2011 antara lain: 0 s/d 14 tahun adalah bayi dan anak-anak, 15 s/d 49 tahun adalah orang muda dan dewasa 50 tahun ke atas adalah orang tua atau lansia. Pada penelitian ini responden yang berumur lansia yakni 51 tahun s/d 64 tahun sebanyak 16 orang. Peneliti dapat berasumsi bahwa ada keinginan yang dimiliki responden untuk meningkatkan derajat kesehatannya dengan membuka diri menerima siapapun yang ingin memberikan informasi kesehatan yang bermamfaat untuk mewujudkan keinginan tersebut, umur memang sengat perlu diperhatikan karena memeliki hubungan dengan angka kesakitan ataupun kematian. Notoatmodjo 2003 dalam Malhayati 2011 menjelaskan bahwa umur adalah variabel yang perlu diperhatikan dalam penyelidikan epidemologi. Angka-angka kesakitan maupun kematian di dalam hampir semua keadaan menunjukkan hubungan dengan umjur. Selain umur jenis kelamin juga perlu diperhatikan. Tabel 3 diketahui sebagian besar responden berjenis kelamin pria sebanyak 30 orang (61,2%) dan yang paling sedikit berjenis kelamin wanita sebanyak 19 orang (38,8%). Menurut asumsi peneliti pria lebih beresiko terkena gigitan dibandingkan wanita karena pria lebih sering berinteraksi dengan anjing karena sering menggunakan anjing sebagai hewan untuk berburu. Hal ini sesuia dengan penjabaran Malhayati (2011). Menyatakan bahwa penelitian di Amerika Serikat menunjukkan angka kesakitan lebih tinggi di kalangan wanita, sedangkan angka kematian lebih tinggi di kalangan pria. Tabel 4 dan 5 diketahui nilai rerata responden sebanyak 49 KK sebelum diberikan health education yakni mean 51,76 dengan standar deviasi sebesar 5,027. Setelah diberikan health education 49 responden mengalami peningkatan yakni mean 70,94 dengan standar deviasi sebesar 3,158. Perubahan nilai rerata responden sebelum dan sesudah health education diberikan membuat peneliti dapat berasumsi bahwa dengan pemberian health education tentang penanganan gigitan anjing rabies (Canis familiaris) mampu meningkatkan pengetahuan responden sehingga responden mampu mengaplikasikan pengetahuan yang dimiliki untuk menangani gigitan anjing rabies. Ini Artinya health education yang diberikan efektif untuk responden. Hal ini sesuai dengan yang dituliskan oleh Kartasupatra (1991) dalam Astuti (2010) bahwa efektifitas penyuluhan yang dapat mencapai efesiensi dalam mewujudkan perubahanperubahan yang dapat dinilai hanyalah pada tingkat pengetahuan bagi peserta penyuluhan agar menjadi lebih baik dari sebelumnya. Pada penelitian ini perubahan yang dapat dinilai hanyalah pada tingkat pengetahuan masyarakat Desa Eti yang menjadi responden yang mengalami peningkatan setelah mengikuti health education yang dilakuakan, Adnani (2011). Health education atau pendidikan kesehatan adalah semua kegiatan untuk memberikan dan atau meningkatkan pengetahuan, sikap, dan praktek masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka sendiri. Efektifitas pemberian health education yang telah dilakukan menurut Luce (2010) didukung oleh bebrapa faktor pendukung, antara lain metode penyuluhan, media penyuluhan, materi penyuluhan, serta tempat dan waktu penyuluhan. Metode yang digunakan peneliti kali ini adalah berdasarkan pendekatan individual, pendekatan secara individual menurut peneliti sangat efektif karena responden dapat dengan mudah menyerap informasi kesehatan yang disampaikan tanpa terganggu oleh hal lain. Dalam pemberian health education kali ini juga peneliti menggunakan media berupa liflet. Menurut peneliti media ini sangat membantu sehingga selain penjelasan yang diberikan, responden juga dapat membaca topik yang dibicarakan pada kesempatan itu. Sehingga, responden dapat benar-benar mengetahui memahami dan mengaplikasikan sesuai dengan tingkatan pengetahuan yang dijabarkan oleh peneliti dalam defenisi oprasional menurut teori tingkatan pengetahuan oleh Notoatmodjo (2014). Efektifitas pemberian health education yang telah dilakukan menurut Luce (2010) didukung oleh bebrapa faktor pendukung, antara lain metode penyuluhan, media penyuluhan, materi penyuluhan, serta tempat dan waktu penyuluhan. Metode yang digunakan peneliti kali ini adalah berdasarkan pendekatan individual, pendekatan secara individual menurut peneliti sangat efektif karena responden dapat dengan mudah menyerap informasi kesehatan yang disampaikan tanpa terganggu oleh hal lain. Dalam pemberian health education kali ini juga peneliti menggunakan media berupa liflet. Menurut peneliti media ini sangat membantu 57
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
sehingga selain penjelasan yang diberikan, responden juga dapat membaca topik yang dibicarakan pada kesempatan itu. Sehingga, responden dapat benar-benar mengetahui memahami dan mengaplikasikan sesuai dengan tingkatan pengetahuan yang dijabarkan oleh peneliti dalam defenisi oprasional menurut teori tingkatan pengetahuan oleh Notoatmodjo (2014). Notoatmodjo (2012) menjelaskan bahwa komunikasi interpersonal merupakan salah satu bentuk pendekatan yang paling efektif, karena antara komunikan dan komunikator dapat langsung tatap muka, sehingga stimulus yakni pesan atau informasi yang disampaikan oleh komunikan dapat direspon atau diterima saat itu juga. Berdasarkan beberapa teori pendukung yang ada sehingga peneliti dapat menyimpulkan bahwa pengaruh pemberian helath education dalam meningkatkan pengetahuan responden dipicu oleh dua hal yang pertama yakni faktor pendukung saat memberikan helath education dan yang kedua yakni jenis komunkasi yang digunakan saat memberikan health education. Tabel 6 dapat dilihat dengan jelas bahwa terjadi perbedaan yang signifikan rerata nilai pre test dan post test setelah health education diberikan. Nilai perbedaan rerata yang menunjukkan peningkatan setelah health education diberikan lebih tinggi dari nilai rerata sebelum health education diberikan. Berdasarkan uji paired t test yang telah dilakukan diperoleh nilai p (Sig.) sebesar 0,000 yang berarti kurang dari 0,05 (p value < α), Maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa H 0 ditolak dan H1 diterima artinya ada pengaruh pemberian health education tentang penanganan gigitan anjing rabies (Canis familiaris) terhadap peningkatan pengetahuan masyarakat di Desa Eti Wilayah Kerja Puskesmas Piru. Hal ini sesuai dengan penjabaran Kartasaputra (1991) dalam Astuti (2010) bahwa tujuan penyuluhan antara lain untuk menumbuhkan perubahan-perubahan yang menyangkut tingkat pengetahuan, kecakapan atau sikap para peserta penyuluhan. Hasil penelitian ini sesui dengan penelitian yang dilakukan oleh Astuti (2010) dengan judul “Pengaruh penyuluhan terhadap tingkat pengetahuan tentang penyakit rabies pada siswa sekolah dasar di provinsi sumatera barat”, fakultas kedokteran hewan institut pertanian bogor 2010 yang mengemukakan bahwa terdapat perbedaan pengetahuan siswa sebelum dan sesudah penyuluhan dilakukan. Menggunakan uji t-test berpasangan hasil yang didapatkan terdapat peningkatan pengetahuan siswa sebanyak 98,8% berpengetahuan baik, dibandingkan dengan sebelum dilakukan penyuluhan siswa yang berpengetahuan baik sebanyak 25,6%. (pvalue 0,000 < 0,05). Dengan demikian peneliti dapat menyimpulkan bahwa pada penelitian ini didapatkan hasil adanya pengaruh pemberian health education tentang penanganan gigitan anjing rabies (Canis familiaris) terhadap peningkatan pengetahuan masyarakat di Desa Eti Wilayah Kerja Puskesmas Piru Tahun 2016. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengaruh pemberian health education tentang penanganan gigitan anjing rabies (Canis familiaris) terhadap peningkatan pengetahuan masyarakat di Desa Eti Wilayah Kerja Puskesmas Piru, dapat disimpulkan bahwa : 1. Pengetahuan masyarakat di Desa Eti mengenai tindakan penanganan gigitan anjing rabies sebelum dilakukan health education terbilang cukup rendah hal ini dibuktikan dengan hasil yang diperoleh pada saat penelitian berdasarkan nilai rata-rata sebesar 51,76. 2. Pengetahuan masyarkat di Desa Eti mengenai tindakan penanganan gigitan anjing rabies setelah dilakukan health education mengalami peningkatan hal ini dibuktikan dengan hasil yang diperoleh pada saat penelitian berdasarkan nilai rata-rata 71,69. 3. Terdapat pengaruh pemberian health education tentang penanganan gigitan anjing rabies (Canis familiaris) terhadap peningkatan pengetahuan masyarakat di Desa Eti Wilayah Kerja Puskesmas Piru tahun 2016 dibuktikan dengan hasil penelitian berdasarkan nila p-value < α (p = 0,000 < 0,05) artinya H0 ditolak dan H1 diterima.. Saran Adapun saran yang ingin disampaikan oleh peneliti yaitu : 58
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
1. Hasil penelitian ini dapat dibaca dan dijadikan sebagai tambahan refrensi untuk penelitian selanjutnya guna dapat membantu dalam pengembangan ilmu pengetehuan khususnya pengembangan riset dibidang ilmu kesehatan tentang masalah Rabies. 2. Kepada masyarakat ditempat penelitian yaitu di Desa Eti ataupun masyarakat di daerah lain apabila memiliki anjing dengan gejala rabies maka segera dibunuh atau dilaporkan kepada instansi kesehatan setempat. 3. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Maluku Husada Kairatu agar kedepannya ada penelitian lanjutan yang dilakukan karena penelitian mengenai masalah rabies di Stikes Maluku Husada masih sangat sedikit. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4.
5. 6.
7. 8. 9.
10. 11. 12. 13. 14. 15.
16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
Arikunto. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta: Jakarta. Astuti. (2010) Pengeruh Penyuluhan Terhadap Tingkat Pengetahuan Tentang Penyakit Rabies Pada Siswa Sekolah Dasar Di Provinsi Sumatera Barat: Insitut Pertanian Bogor Adnani. (2011). Ilmu Kesehatan Masyarakat. Nuha Medika: Yogyakarta. Adjeng R. (2016) Perbedaan Tingkat Pengetahuan Rabies Pada Kader Posyandu Yang Diberikan Pendidikan Kesehatan Dengan Metode Ceramah Dan Leaflet Di Kabupaten Sintang, Kalimmantang Barat: Universitas Muhamadiyah Surkarta Dinkes Provinsi Maluku. (2015). Profil Kesehatan Provinsi Maluku 2015: Ambon. Gallaran. (2015). Ekologi Dan Studi Demografi Rabies Pada Anjing Di Kecamatan Tallunglipu Kabupaten Toraja Utara Provinsi Sulawesi Selatan: Universitas Hasanuddin Makassar. Kemenkes RI. (2014). Pusat Data Dan Informasi: Jakarta Selatan. Muchtar. (2010). Rahasia Hidup Sehat Dan Bahagia. Bhuana Ilmu Popular: Jakarta. Malhayati E. (2011) Pengeruh Karakteristik Pemilik Anjing Terhadap Partisipasinya Dalam Program Pencegahan Penyakit Rabies Di Kelurahan Kwala Bekala Kecamatan Medan Johor Kota Medan Tahun 2010: Univerisitas Sumatera Utara Notoatmodjo. (2012). Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta: Jakarta. Notoatmodjo. (2014). Ilmu Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta: Jakarta Notoatmodjo. (2014). Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Rineka Cipta: Jakarta. Nursalam. (2014). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Salemba Medika: Jakarta. Nurarif et al., (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc. Mediaction: Jogjakarta. Rumadaul (2015). Pengaruh Pendidikan Kesehatan Berbasis Teori Health Belief Model (HBM) Terhadap Pengetahuan, Sikap Berobat Dan Perilaku Minum Obat Klien TB Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Perawatan Bula Kecamatan Bula Kabupaten Seram bagian Timur Tahun 2015: STIKes Maluku Husada Kairatu Riwidikdo. (2012). Statistik Kesehatan. Mitra Cendika Press: Jogjakarta. Sudoyo et al., (2011). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.InternaPublishing: Jakarta. Saputra. (2014). Mudah Mempelajari Patofisiologi. Binarupa Aksara: Tanggerang Selatan. Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Kombinasi. Alfa Beta: Bandung. Setiana Luce. (2010). Teknik Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat. Ghalia Indonesia: Bogor Tunny H. (2011). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Penggunaan Alat Kontrasepsi Suntik Di Desa Negeri Lima Tahun 2011: STIKes Maluku Husada Kairatu. Tanzil. (2014). Penyakit Rabies Dan Penatalaksanaannya: Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. Tahulending et al., (2015). Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Tindakan Pencegahan Penyakit Rabies Di Kelurahan Makawidey Kecamatan Aertembaga Kota Bitung: Universitas Sam Ratulangi Manado.
59
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
FAKTO-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN RENDAHNYA MINAT PEMAKAIAN ALAT KONTRASEPSI PADA PASANGAN USIA SUBUR (PUS) DI DUSUN PATINEA KECAMATAN SERAM BARAT KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT TAHUN 2016 Ira Sandi Tunny (STIKes Maluku Husada) Risman Tunny (STIKes Maluku Husada) Ulima Asni (STIKes Maluku Husada) Isman Wally (STIKes Maluku Husada) ABSTRAK Kontrasepsi adalah suatu alat, obat atau cara yang di gunakan untuk mencegah terjadinya konsepsi atau pertemuan sel telur dan sel sperma di dalam kandungan atau rahim. Meskipun program KB di nyatakan cukup berhasil di Indonesia, namun dalam pelaksanaanya hingga saat ini mengalami hambatan-hambatan yang di rasakan antara lain masih banyak pasangan usia subur yang masih belum menjadi peserta KB. Penelitian ini Bertujuan untuk mengetahui faktorfaktor yang berhubungan dengan rendahnya rendahnya minat pemakian alat kontrasepsi pada pasanga usa subur. Penelitian ini menguunakan desain penelitian deskritif analitik dengan metode Cross Sectional, sampel penelitian di tentukan dengan menggunakan metode purposive sampling yang berjumlah 82 responden. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner. Analisis data uji Chi-square. Hasil penelitian ini di peroleh nilai signifikan pendapatan (p=0,001), pengetahuan (p=0,000), pendidikan (p=0,000) dan kebiasaan (p=0,008). Dari hasil tersebut dapat di Simpulkan bahwa pendapatan, pengetahuan dan pendidikan dan kebiasaan memilki hubungan yag signifikan terhadap pemakaian alat kontrasepsi. Kata Kunci: Pendapatan, Pengetahuan, Pendidikan, Kebiasaan, Rendahnya minat PENDAHULUAN Masalah utama yang sedang di hadapi negara-negara yang sedang bekembang termasuk indonesia adalah masih tingginya laju pertumbuhan penduduk dan kurang seimbangnya penyebaran dan struktur umur penduduk. Keadaan penduduk yang demikian telah mempersulit usaha peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Semakin tinggi pertumbuhan penduduk, semakin besar usaha yang di perlukan untuk mempertahankan tingkat tertentu kesejahteraan rakyat (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, 2010). Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan berbagai jenis masalah yang dihadapi di indonesia salah satunya adalah di bidang kependudukan yaitu masih tingginya pertumbuhan penduduk.di ketahui bahwa pertumbuhan penduduk melebihi proyeksi nasional yaitu sebesar 237,6 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk (LPP)1,49 per tahun. Jika laju pertumbuhan penduduk 1,49% per tahun maka setiap tahunnya akan terjadi pertumbuhan penduduk sekitar 3,5 juta, jika di tahun 2010 jumlah penduduk 237,6 juta jiwa maka di tahun 2011 bertambah 3,5 juta yakni sekitar 241,1 juta jiwa. Jika laju pertumbuhan tidak di tekan maka jumlah penduduk di indonesia pada tahun 2012 menjadi sekitar 450 juta jiwa. Ini berarti 1 dari 20 penduduk di dunia adalah orang indonesia (BKKBN,2011). Meskipun program KB di nyatakan cukup berhasil di indonesia, namun dalam pelaksanaannya hingga saat ini masih mengalami hambatan-hambatan yang di rasakan antara lain adalah masih banyak pasangan usia subur (PUS) yang masih belum menjadi peserta KB. Di sinyalir ada beberapa faktor penyebab mengapa wanita PUS enggan menggunakan alat kontrasepsi. Faktor-faktor tersebut dapat ditinjau dari berbagai segi yaitu : segi pelayanan KB, segi ketersediaan alat kontrasepsi, segi penyampaian konseling maupun KIE dan, hambatan budaya. (Andria, 2013). 60
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan Cross sectional. Penelitian ini di laksanakan di Daerah Dusun Patinea Kecamatan Seram Barat pada Tanggal 25 Juli s/d 25 Agustus 2016. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasanga usia subur di dusun patinea yang berjumlah 103 pasangan. Teknik pengambilan sampel yang di gunakan adalah purposive sampling, maka di dapatkan sampel sebanyak 82 responden. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini di peroleh melalui wawancara langsung dengan responden menggunakan instrument penelitian kuesioner dan di lakukan dengan cara home to home. Setelah pengambilan data di lakukan dan data di peroleh, maka selanjutnya di lakukan pengolahan data yang meliputi beberapa bagian yaitu: Editing, Coding, dan Tabulating. Setelah data diolah, selanjutnya dilakukan analisis data menggunakan uji statistic Chi-square. HASIL PENELITIAN Tabel 1. Distribusi Umur Responden di Dusun Patinea Kecamatan Seram Barat Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016 Umur 20-26 26-30 31-35 36-40 41-45 Total
n 4 10 17 24 27 82
% 4.9 12.2 20.7 29.3 32.9 100.0
Berdasarkan tabel 1 menunjukan bahwa dari 82 responden memiliki umur tertinggi 41-45 tahun sebanyak 27 orang (32.9) dan terendah sebanyak 4 orang (4.9). Tabel 2. Distribusi Pendapatan Responden Di Dusun Patinea Kecamatan Seram Barat Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016 Pendapatan < Rp.500.000 >Rp.500.000 Total
n 73 9 82
% 89.0 11.0 100.0
Berdasarkan tabel 2 menunjukan bahwa dari 82 responden memiliki pendapatan terbanyak yaitu
Rp.500.000 sebanyak 9 orang (11.0). Tabel 3. Distribusi Pengetahuan Responden Di Dusun Patinea Kecamatan Seram Barat Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016 Pengetahuan Baik Cukup Kurang Total
n 1 12 69 82
% 1.2 14.6 84.1 100.0
Berdasarkan tabel 3 menunjukan bahwa dari 82 responden meiliki pengetahuan tertinggi yaitu kurang sebanyak 69 orang (84.1%) dan terendah yaitu baik sebanyak 1 orang ( 1,2%) Tabel 4. Distribusi Pendidikan Responden Di Dusun Patinea Kecamatan Seram Barat Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016 Pendidikan SD SMP SMA Total 61
n 66 12 4 82
% 80.4 14.6 4.9 100.0
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Berdasarkan tabel 4. menunjukan bahwa dari 82 responden yang banyak pada pendidikan terendah SD yaitu 66 orang (80.4%) sedangkan yang paling sedikit pada pendidikan tinggi SMA yaitu 4 orang (4.9%) . Tabel 5. Distribusi Kebiasaan Responden Di Dusun Patinea Kecamatan Seram Barat Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016 Kebiasaan Ya Tidak Total
n 63 19 82
% 76.8 23.2 100.0
Berdasarkan tabel 5 menunjukan bahwa dari 82 responden memiliki kebiasaan dengan kategori Ya jika ada kepercayaan yaitu sebanyak 63 orang (76.8%) dan Tidak jika tidak ada kepercayaan yaitu sebanyak 19 orang (23.2%). Tabel 6. Distribusi Minat Responden Di Dusun Patinea Kecamatan Seram Barat Kabupaten Seram Bagian barat Tahun 2016 Minat Ya Tidak Total
n 40 42 82
% 48.8 51.2 100.0
Berdasarkan tabel 6 menunjukan bahwa dari 82 responden memiliki minat pemakaian kontrasepsi yaitu 40 orang (48,8%) sedangkan yang tidak berminat tehadap pemakain alat kontrasepsi yaitu 42 orang (51,2%). Tabel 7. Hubungan Pendapatan Dengan Rendanya Minat Pemakian Alat Kontrasepsi Pada Pasangan Usia Subur di Dusun Patinea Kecamatan Seram Barat Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016
Pendapatan Rp.500.000 Jumlah
Minat Berminat Tidak berminat n % n % 31 42.5 42 57.5 9 100.0 0 0 40 48,8 42 51,2
Total n 73 9 82
% 100.0 100.0 100.0
Sig (p) 0,001
Berdasarkan tabel 7 hasil uji statistik di peroleh nilai p=0,001, hal ini berarti ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendapatan dengan rendahmya minat pemakaian alat kontrasepsi pada pasangan usia subur di Dusun Patinea Kecamatan Seram Barat Kabupaten Seram Bagian Barat. Tabel 8. Hubungan Pengetahuan Dengan Rendahnya Minat Pemakaian Alat Kontrasepsi Pada Pasangan Usia Subur Di Dusun Patinea Kecamatan Seram Barat Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016
Pengetahuan Baik Cukup Kurang Jumlah
62
Berminat n % 1 100.0 12 100.0 27 39.1 40 48,8
Minat Tidak berminat n % 0 0 0 0 42 60.9 42 51,2
Total n 1 12 69 82
% 100.0 100.0 100.0 100.0
Sig (p)
0,000
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Berdasarkan tabel 8 Hasil uji statistik di peroleh nilai p=0,000 hal ini berarti ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan rendahnya minat pemakaian alat kontrasepsi pada pasangan usia subur di Dusun Patinea Kecamatan seram Barat Kabupaten seram bagian barat. Tabel 9. Hubungan Pendidikan Dengan Rendahnya Minat Pemakaian Alat Kontrasepsi Pada Pasangan Usia Subur di Dusun Patinea Kecamatan Seram Barat Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016 Minat Pendidikan SD SMP SMA Jumlah
n 24 12 4 40
Berminat % 36.4 100.0 100.0 48,8
Tidak berminat n % 42 63.6 0 0 0 0 42 51,2
Total n 66 12 4 82
% 100.0 100.0 100.0 100.0
Sig (p)
0,000
Berdasarkan tabel 9. Hasil uji statistic di peroleh nilai p=0,000 hal ini berarti ada hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan rendahnya minat pemakaian alat kontrasepsi pada pasangan usia subur di Dusun Patinea Kecamatan Seram barat. Tabel 10. Hubungan Kebiasaan Dengan Rendahnya Minat Pemakaian Alat Kontrasepsi Pada Pasangan Usia Subur Di Dusun Patinea Kecamatan Seram barat Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016 Minat Kebiasaan Ya Tidak Jumlah
Berminat n 36 4 40
% 57.1 21.1 48,8
Tidak Berminat n % 27 42.9 15 78.9 42 51,2
Total n 63 19 82
% 100.0 100.0 100,0
Sig (p) 0,008
Berdasarkan tabel 10. Hasil uji statistic di peroleh nilai p=0,008 hal ini berarti ada hubungan yang signifikan antara tingkat kebiasaan dengan rendahnya minat pemakaian alat kontrasepsi pada pasangan usia subur di Dusun Patiniea Kecamatan Seram Barat Kabupaten Seram Bagian Barat. PEMBAHASAN Pendapatan Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa penggunaan kontrasepsi pada pasangan usia subur di dusun patinea masih sangat rendah. Penggunaan kontrasepsi pada pasangan usia subur paling banyak di dominasi suntik dan sisanya pil. Beberapa responden menyatakan alasan mereka tidak menggunakan kontrasepsi untuk penundaan kehamilan karena takut mengganggu kesuburan di kemudian hari, tidak di izinkan oleh suami, serta ada yang beralasan di karenakan masih muda sehingga tidak perlu menunda untuk memiliki anak. Hal ini menunjukan bahwa terdapat norma-norma di kalangan masyarakat mengenai penggunaan kontrasepsi. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa penggunaan kontrasepsi pada pasangan usia subur tidak di tentukan berdasarkan tingkat pendapatan. Uji stratifikasi dengan variabel usia menikah pertama kali dan pengetahuan menyebutkan bahwa penggunaan kontrasepsi lebih tinggi pada wanita yang menikah di usia lebih muda dan di perbesar jika wanita berasal dari keluarga yang berpendapatan tinggi, serta penggunaan kontrasepsi lebih tinggi pada wanita yang meiliki pengetahuan yang lebih rendah dan di perbesar apabila wanita berasal dari keluarga yang berpendapata tinggi. Hasil penelitia ini di dukung oleh penelitian Mohammed (2014), Pastuti dan Wilopo (2007) yang mneyebutkan bahwa responden yang memilki pendapatan yang tinggi 63
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
akan mempunyai peluang untuk menggunaka kontrasepsi. Pendapat ini di dukung oleh Arliana et al (2014) yag mengamsusika bahwa semakin tingi pendapatan rata-rata keluarga perbulan maka daya beli responden akan kontrasepsi akan semakin besar pula. Peneliti mengamsumsi bahwa yang berminat terhadap pemakian alat kontrasepsi yaitu 31 responden dengan pendapatannya
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
tidak menggunakan alat kontrasepsi. Adapun beberapa faktor sehingga masyarakat mempunyai kebiasaan tidak menggunakan alat kontrasepsi yaitu faktor pengetahuan, faktor pendapatan dan faktor pendidikan. Hal ini sejalan dengan teori yang di kemukakan oleh Aritonang (2010) yang menyatakan bahwa masyarakat pada umumnya mengikuti kebiasaan kebudayaan yang sejak dulu dibentuk demi mempertahankan hidup dirinya sendiri ataupun kelangsungan hidup mereka. Aritonang (2010) juga mengatakan bahwa sebagain mahluk social manusia hidup tidak terlepas dari kebiasaan bahkan dapat di pengaruhi oleh kabiasan di mana ia hidup. Budaya menyangkut adat istiadat, tradisi, kebiasaan, dan aturan-aturan dan pendapat-pendapat. Penggunaan alat kontrasepsi juga di pengaruhi oleh faktor kebiasaan. Peneliti mengamsumsi bahwa yang tidak berminat terhadap pemakaian alat kontrasepsi dengan kebiasaan jika menggunakan yaitu 27 responden dan kebiasaan jika tidak menggunakan yaitu 4 responden. Hal ini artinya kebiasaan terhadap penggunaan alat kontrasepsi yang tidak berminat lebih besar dari pada yang berminat sehingga memepengaruhi rendahnya minat pemakaian alat kontrasepsi. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil yang telah di dapatkan, maka dapat di simpulkan bahwa pendapata berhubungan dengan rendahnya minat pemakain alat kontrasepsi dengan p value =0,001. Sementara pengetahuan berhubungan dengan rendahnya minat pemakaia alat kontrasepsi dengan nilai p value =0,000. Pendidikan berhubungan dengan rendahnya minat pemakaian alat kontrasepsi dengan nilai p value =0,000. Dan kebiasaan berhubungan dengan rendahnya minat pemakaian alat kontrasepsi dengan nilai p value =0,008. Saran Di harapkan dengan adanya penelitian ini pasangan usia subur dapat memahami tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan rendahnya minat pemakaian alat kontrasepsi pada pasangan usia subur. Demikian juga bagi peneliti selanjutnya agar dapat melakukan penelitian tentang faktor-faktor lain yag juga dapat berhubungan dengan rendahnya minat pemakaian alat kontrasepsi secara luas. Semoga hasil penelitian ini dapat menjadi tambahan informasi tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan rendahnya minat pemakian alat kontrasepsi. DAFTAR PUSTAKA 1.
2. 3. 4.
5. 6. 7. 8. 9.
Andria. (2013). Faktor-Faktor Yang Mempengartuhi Pasangan Usia Subur (PUS) Tidak Menggunakan Alat Kontrasepsi Di Dusun II Desa Tanjung Anom Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang. Jurnal Maternity and Neonatal Vol.1 No 2 Anggriani (2012). Sistem Reproduksi. Jakarta. Erlangga BKKBN, (2010), Konfersi Peserta Keluarga Berencana, Jakarta, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. Darmawati. (2011) Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Wanita Usia Subur Memilih Kontrasepsi Suntik. Staf Pengajar Bagian Keilmuan Keperawatan Maternitas Dan Anak PSIK-FK Unsyiah. Dewa Ayu Nida Gustikawati. (2014). Faktor Pendukung Dan Penghambat Istri Pasangan Usia Subur Dalam Penggunaan Alat Kontrasepsi Implant Di Puskemas I Denpasar Utara. Dinas Kesehatan Provinsi Maluku (2013)Representasi Jumlah Pengguna Kontrasepsi di Maluku Dinas Kesehatan Kabupaten SBB (2014-2015) Representasi Jumlah Pengguna kontrasepsi di Kabupaten Seram Bagian Barat. Elvan (2012) Ragam Metode Kontrasepsi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Eni Astuti, Ratifah (2014). Deskritif Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Wanita Usia Subur (WUS)Tidak Menggunakan Alat Kontrasepsi. Jurnal Ilmiah Kebidanan, Vol. 5 No. 2. 65
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
10. Handayani, Sri. (2012) Pelayanan Keluarga Berencana, Pustaka Rihama, Jogjakarta. 11. Hartanto. (2010) Keluarga Berencana Dan Kontrasepsi, PT. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 12. Hartanto. (2010) Keluarga Berencana Dan Kontrasepsi, PT. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 13. Hidayani, (2010), Buku Pelayanan Kontrasepsi, Jakarta ; SaleSlameto. (2010) Belajar Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya, PT. Rineka Cipta, Jakarta. 14. Jurnal Kesehatan Masyarakat, (2010) Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Penggunaan Alat Kontrasepsi Pada Pasangan Usia Subur Di Wilayah Puskesmas Buhu Kabupaten Gorontalo. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Gorontalo. 15. Manuaba, Ida Bagus Gede. (2012), Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan Dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan, Jakarta ; EGC. 16. Manuaba (2012) Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita, Jakarta, Erlangga. 17. Notoatmodjo,.S.2010 Metode Penelitian Kesehatan, Jakarta:Rineka Cipta. 18. Nursalam. (2014). MetodologiPenelitian Keperawatan : Pendekatan Praktis Edisi 3. Jakarta: Salemba Medika.
66
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP PERAWAT DENGAN PENULARAN KUMAN Mycobacterium tubercolosis DI RUANGANPARU-PARU RSUD DR. M. HAULUSSY AMBON TAHUN 2016 Saida Rauf (STIKes Maluku Husada) Mirdat H. (STIKes Maluku Husada) Husna M (STIKes Maluku Husada) Marta Topasou (STIKes Maluku Husada) ABSTRAK TB Paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis (Kemenkes RI, 2013), Hiswani (2012) Penularan tuberkulosis dari seseorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang terdapat dalam paru-paru penderita, pesebaran kuman tersebut diudara melalui dahak berupa droplet. Studi pendahuluan yang dilakukan di RSUD Dr. M. Haulussy Ambon pada tahun 2016 dari bulan juli-agustus. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk Menganalisa hubungan pengetahuan dan sikap perawat dengan penularan kuman Mycobacterium tubercolosis di ruangan paru-paru RSUD Dr. M. Haulussy Ambon tahun 2016. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Deskritif Analitik dengan pendekatan Cross sectional, Sampel dalam penelitian ini adalah 13 perawat yang ada di ruangan Paru-Paru RSUD Dr. M. Haulussy Ambon tahun 2016. Analisis data yang digunakan adalah analisis univariat dan bivariat. Analisis bivariat mengunakan uji Spearman’s rho. Populasi dalam penelitian ini adalah 13 perawat yang ada diruangan paru-paru tahun 2016. Hasil uji statistik untuk pemgetahuan menunjukan bahwa nilai p = 0,002(>0,05) maka Ho di tolak artinya ada hubungan signifikan antara pengetahuan dengan penularan kuman Mycobacterium tubercolosis, Dan hasil uji statistik untuk sikapmenunjukan p= 0,019 (p=0.05),Maka Hodi tolak artinya ada hubungan sikap perawat dengan penularan kuman Mycobacterium tubercolosis di ruangan paru-paru RSUD DR. M. Haulussy Ambon Tahun 2016. Kata kunci: Pengetahuan,Sikap,Perawat,Penularan PENDAHULUAN TB Paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis (Kemenkes RI, 2013). Sebagian besar kuman Mycobacterium tuberculosis menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya termasuk meninges, ginjal, tulang, dan nodus limfe (Smeltzer & Bare, 2002). TB Paru merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan ditandai oleh pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi dmman oleh hipersensifitas yang diperantarai sel (cell-mediated hypersensitivity) (Wahid dan Suprapto, 2014). Menurut WHO terdapat 6.800 kasus baru TB Paru dengan Multi Drug Resistance (MDR) setiap tahun. Diperkirakan 2% dari kasus TB Paru dan 12% dari kasus TB Paru pengobatan ulang merupakan kasus TB Paru MDR. Diperkirakan pula lebih dari 55% pasien multi drug resistant. Sementara jumlah kasus TB Paru yang terjadi di asia tenggara adalah 33% dari seluruh kasus TB Paru di dunia, dan bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus/100.000 penduduk, sedangkan di Afrika hampir 2 kali jumlah kasus di Asia tenggara,yaitu 350/100.000 penduduk. TB Paru belum terdiagnosa atau mendapat pengobatan yang benar. Jumlah penderita penyakit TB Paru di Indonesia kini menempati peringkat ketiga di dunia setelah Cina dan India Prevalensi penduduk indonesia yang di diagnosa TB Paru oleh tenaga kesehatan dari hasil Riskesdas tahun 2013-2014 yang berusia 15 tahun ke atas adalah 759 penderita/100.000 penduduk, sedangkan pada tahun 2015 jumlah kasus TB Paru sebanyak 680 penderita. (Kemenkes, 2015). sedangkan di provinsi maluku TB Paru berada pada urutan ke dua setelah ISPA, prevalensi TB Paru saat ini terbilang tinggi yakni mencapai 281 kasus tiap 67
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
100.000 penduduk. Provinsi papua menempati posisi teratas yaitu sebesar 302 dan untuk di yokyakarta menempati posisi paling bawah sebesar 72/3.679.200 jiwa (Kemenkes, 2015). Perawat atau Nurse berasal dari bahasa latin yaitu dari kata nutrix yang berarti merawat atau memelihara. Perawat adalah seseorang yang berperang dalam merawat atau memelihara, Membantu dan melindungi seseorang karena sakit. Perawat profesional adalah perawat yang bertanggung jawab dan berwewenang memberikan pelayanan keperawaan secara mandiri dan atau berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain sesuai dengan kewenangannya (Kemenkes RI, 2011). Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam terbentknya suatu tindakan. Dengan demikian terbentuk perilaku terhadap seseorang karena adanya pengetahuan yang ada pada dirinya terbentuk suatu perilaku baru, Terutama yang ada pada orang dewasa dimulai pada domain kognitif. Dalam arti seseorang terlebih dahulu diberi stimulasi yang berupa informasi tentang upaya pencegahan penyakit TB Paru sehingga menimbulkan pengetahuan yang baru dan selanjutnya menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap pada orang tersebut terhadap informasi upaya pencegahan penyakit TB Paru yang diketahuinya. Akhirnya rangsangan yakni informasi upaya pencegahan penyakit TB Paru yang telah diketahuinya dan disadari sepenuhnya tersebut akan menimbulkan respon lebih jauh lagi yaitu berupa tindakan atau sehunbungan dengan stimulasi atau informasi upaya pencegahan penyakit TB Paru (Notoatmodjo, 2010). Sikap dalam hal ini merupakan sikap seseorang dalam menghadapi penyakit TB Paru dan upaya pencegahannya. Sikap merupakan kecenderungan seseorang untuk menginterprestasikan sesuatu dan bertindak atas dasar hasil interprestasi yang diciptakannya. Sikap seseorang terhadap sesuatu dibentuk oleh pengetahuan, Antara lain nilai-nilai yang diyakini dan norma-norma yang dianut. Untuk dapat mempengaruhi seseorang, informasi perlu disampaikan secara perlahan-lahan dan berulang-ulang dengan memperlihat keuntungan dan kerugiannya bila mengadopsi informasi tersebut. (Kurniasari, 2010). METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Deskritif Analitik dengan pendekatan Cross sectional (potong lintang). Penelitian ini dilaksanakan di Ruang Paru-Paru RSUD dr. M. Haulussy Ambon pada tanggal 21 juli s/d 21 agustus 2016. Populasi dan sampel pada penelitian ini adalah seluruh perawat kesehatan diruangan Paru-Paru RSUD dr.M.Haulussy Ambon. sebanyak 13 orang. Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan Total Sampling. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh dari lembar wawancara langsun dengan responden menggunakan lembar kuesioner dari responden. Setelah pengambilan data dilakukan dan data diperoleh, maka selanjutnya dilakukan pengolahan data yang meliputi beberapa bagian yaiu : Editing, Coding, Processing, Cleaning, dan Tabulating. Setelah data diolah, selanjutnya dilakukan analisis data dengan menggunakan uji Spearman Rho. HASIL PENELITIAN Tabel 1. Distribusi responden berdasarkan umur di RSUD Dr.M.Haulussy Ambon Tahun 2016. Umur 26 27 29 30 34 36 38 39 40 42 44 Total 68
(n) 2 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 13
Persen (%) 15.4% 7.7% 7.7% 7.7% 7.7% 7.7% 7.7% 7.7% 15.4% 7.7% 7.7% 100%
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Tabel 1 menunjukan kategori umur tertinggi 44 tahun dan umur terendah 26 tahun. Tabel 2. Distribusi responden berdasarkan pendidikan di RSUD Dr.M.Haulussy Ambon Tahun 2016. Pendidikan DIII Ners Total
(n) 12 1 13
Persen (%) 92,3% 7,7% 100%
Berdasarkan tabel 2 diperoleh data berdasarkan tingkat pendidikan yang mempunyai pendidikan terbanyak adalah D3 sebanyak 12 orang (92,3%) dan yang mempunyai pendidikan paling sedikit yaitu Ners hanya 1 orang (7,7%). Tabel 3. Distribusi responden berdasarkan pengetahuan di RSUD Dr.M.Haulussy Ambon Tahun 2016. Pengetahuan Baik Cukup Kurang Total
(n) 2 9 2 13
Persen (%) 15.4% 69,2% 15.4% 100%
Tabel 3 di atas menunjukan bahwa untuk jenis pengetahuan yang paling tinggi adalah pengetahuan cukup dengan jumlah responden sebanyak 9 orang perawat (69,2%) dan memiliki pengetahuan kurang hanya 2 orang perawat (15,4%). Tabel 4. Distribusi responden berdasarkan sikap di RSUD Dr.M.Haulussy Ambon Tahun 2016. Sikap Positif Negatif Total
(n) 3 10 13
Persen (%) 23,1% 76,9% 100%
Tabel 4 di atas menunjukan bahwa responden yang memiliki sikap positif sebanyak 3 (23,1%) perawat dan yang memiliki sikap negatif sebanyak 10 (76,9%) perawat. Tabel 5. Distribusi responden berdasarkan penularan di RSUD Dr.M.Haulussy Ambon Tahun 2016. Penularan Menular Tidak Menular Total
(n) 11 2 13
Persen (%) 84.6% 15.4% 100%
Tabel 5 di atas menunjukan bahwa responden yang menular sebanyak 11 (84,6%) perawat dan yang tidak menular sebanyak 2 (15,4%) perawat. Tabel 6. Hubungan pengetahuan dan penularan kuman Mycobacterium tubercolosis di ruangan paru-paru RSUD Dr.M.Haulussy Ambon tahun 2016
Kuman TBC
pengetahuan
Penularan
69
Kolerasi koefisien N Kolerasi koefisian N
P
kuman TBC pengetahuan 1000
Penularan 0.769
13 0.769
13 1000
13
13
0.002
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Nilai uji Statistik Spearman’s rho yaitu Pvalues 0.002 artinya nilai signifikansi ά= 0,05< 0,002 artinya ada hubungan antara pengetahuan dengan penularan kuman Mycobacterium tubercolosis. Tabel 7. Hubungan sikap dan penularan kuman Mycobacterium tubercolosis di ruangan paruparu RSUD Dr.M.Haulussy Ambon tahun 2016 Kuman TBC Sikap
Penularan
Korelasi Koefisien
1000
640
N
13
13
Korelasi Koefisien
640
1000
N
13
13
P
Sikap Kuman TBC
0,019
Penularan
Nilai uji Statistik Spearman’s rho yaitu P values 0.019 artinya nilai signifikansi ά= 0,05< 0,019 artinya ada hubungan antara sikap dengan penularan kuman Mycobacterium tubercolosis. PEMBAHASAN Hubungan pengetahuan dan sikap perawat dengan penularan kuman Mycobacterium tuberculosis Nilai uji Statistik Spearman’s rho yaitu Pvalues 0.002 artinya nilai signifikansi ά= 0,05< 0,002 artinya ada hubungan antara pengetahuan dengan penularan kuman Mycobacterium tubercolosis. Hasil ini didukung oleh penelitian yang telah dilakukan Ridwan (2014) yang menggunakan uji Spearman’s rho didapatkan nilai sig p= 0,021 > 0,05 yang berarti ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan penularan kuman TBC di wilayah kerja Puskesmas Ngemplak Kabupaten Boyolali. Pengetahuan adalah informasi yang telah dikombinasikan dengan pemahaman dan potensi untuk menindaki. Pada umumnya, pengetahuan memiliki kemampuan prediktif terhadap sesuatu sebagai hasil pengenalan atas suatu pola. Pengetahuan yang baik juga dipengaruhi dengan pendidikan yang baik pula, semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin banyak pula ilmu yang didapat , Menurut Ariani dan Isnanda (2012) bahwa perilaku yang didasari pengetahuan akan bertahan lebih lama dibandingkan perilaku yang tidak berdasarkan pengetahuan.35 Hal ini dapat peneliti simpulkan bahwa perilaku yang berdasarkan pengetahuan akan berdampak baik daripada perilaku yang tidak berdasarkan pengetahuan yang baik maksudnya disini pasien lebih menjaga kesehatan, jika sudah terkena penyakit TB paru dapat melakukan pencegahan penularan terhadap keluarganya dan sekitarnya. Adapun asumsi peneliti sendiri tentang hubungan pengetahuan perawat dengan penularan kuman Mycobacterium tubercolosis di ruangan paru-paru RSUD dr. M. Haulussy Ambon yaitu karena semakin tingginya tingkat pengetahuan tentang penularan kuman Mycobacterium tubercolosis dari perawat tersebut, maka semakin luas pula pemahaman terhadap masalah sehingga dapat mempengaruhi dalam pengambilan keputusan disetiap tindakan yang dilakukan. Hal ini menunjukan adanya hubungan antara pengetahuan perawat dengan penularan kuman Mycobacterium tubercolosis Hubungan sikap dengan penularan kuman Mycobacterium tubercolosis Nilai uji Statistik Spearman’s rho yaitu Pvalues 0.019 artinya nilai signifikansi ά= 0,05< 0,019 artinya ada hubungan antara sikap dengan penularan kuman Mycobacterium tubercolosis. 70
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Hasil ini didukung oleh penelitian yang telah dilakukan Astuti (2013) yang menggunakan uji Spearman’s rho menghasilkan nilai probabiliti sebesar 0,003 lebih kecil dari nilai 𝑎 = 0,05 maka dapat disimpulkan Ho ditolak yang berarti ada hubungan yang signifikan antara sikap perawat terhadap upaya penularan kuman Mycobacterium tubercolosis. Nilai coefficient correlation 0,378 menyatakan bahwa ada hubungan antara sikap perawat dengan penulran kuman Mycobacterium tubercolosis. Sumiyati (2013) dalam Notoatmodjo (2012) yang menyatakan bahwa domain dari perilaku adalah pengetahuan, Sikap dan tindakan. Astuti (2013) dalam Notoatmodjo (2010) memiliki pendapat yang sama yaitu sikap dan praktek yang tidak didasari oleh pengetahuan yang adekuat tidak akan bertahan lama pada kehidupan seseorang. Sedangkan pengetahuan yang adekuat jika tidak diimbangi oleh sikap dan praktek yang berkesinambungan tidak akan mempunyai makna yang berarti bagi kehidupan. Adapun asumsi peneliti sendiri tentang hubungan sikap perawat dengan penularan kuman Mycobacterium tubercolosis di ruangan paru-paru RSUD dr. M. Haulussy Ambon yaitu berdasarkan pengetahuan yang luas tentang penularan kuman Mycobacterium tubercolosis maka hal tersebut akan menggerakan sikap para perawat pada ruang paru untuk lebih berhatihati dalam melakukan tindakan kuratif sehingga dengan demikian hal ini menunjukan bahwasanya terdapat hubungan yang signifikan antara sikap perawat dengan penularan kuman Mycobacterium tubercolosis KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya dapat di ambil kesimpulan dari penelitian ini antara lain : 1. Nilai uji Statistik Spearman’s rho yaitu P value 0.002 artinya nilai signifikansi ά= 0,05< 0,002 artinya ada hubungan antara pengetahuan dengan penularan kuman Mycobacterium tubercolosis 2. Nilai uji Statistik Spearman’s rho yaitu P value 0.019 artinya nilai signifikansi ά= 0,05< 0,019 artinya ada hubungan antara sikap dengan penularan kuman Mycobacterium tubercolosis 3. Ada hubungan yang bermakna pada pengetahuan dan sikap terhadap pemularan kuman Mycobacterium tubercolosis dengan nilai p value untuk pengetahuan 0,002 dan nilai p value untuk sikap 0,019 artinya nilai p<0,05, Maka Ha diterimah dan Ho ditolak. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan, maka saran yang penulis sampaikan sebagai berikut 1. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan perbandinga ,bahan kajian, atau pengembangan terhadap ilmu keperawatan khususnya keperawatan medikal bedah 2. Sebagai bahan referensi pada mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah sehingga dapat memberikan gambaran nyata tentang kondisi lahan praktikum dan dapat dijadikan acuan untuk mempersiapakan para peserta didik yang akan turun ke lahan. 3. Dari hasil penelitian diharapkan dapat memberi wawasan kepada perawat dalam pengetahuan dan sikap terhadap penularan kuman Mycobacterium tubercolosis 4. Agar melakukan penelitian berkelanjutan untuk mengetahui Hubungan pengetahuan dan sikap perawat dengan penularan kuman Mycobacterium tubercolosis. DAFTAR PUSTAKA 1. Azwar, S. Sikap Manusia ( Teori & Pengukuran). Yogyakarta Pustaka Pelajar. 2013 2. Astuti (2013), Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Perawat Terhadap Penularan Penyakit Tuberkulosis di Puskesmas Airtiris kecamatan Kampar Kabupaten Kampar, Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah 71
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
3. Budiman, A.R. Pengetahuan & Sikap Dalam Penelitian Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika. 2013 4. Global Intiative For TB Paru, (2012), Global Strategi For TB Paru Manajemen And Prevention, Diakses Pada Tangal 24 Mei 2016 5. Hiswani. (2012). Tubercolosis Merupakan Penyakit Infeksi yang Masih Menjadi Masalah Kesehatan Masyarakat. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara 6. Kemenkes RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kemenkes RI 7. Kurniasari, N. Hubungan Pengetahuan & Sikap Penderita TBC Dengan Keteraturan Dalam Pengobatan TBC Di UPTD Puskesmas Cibogo Kabupaten Subang Tahun 2010 8. Nursalam. (2014). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pendekatan Praktis Edisi 3. Jakarta: Salemba Medika 9. Nursalam. (2010). Konsep & Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperaawatan: Pedoman Skripsi, Tesis, & Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. 10. Notoatmodjo (2010) Kesehatan Masyarakat, Edisi Revisi, Jakarta: Rineka cipta 11. Notoatmodjo. (2012) Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. 12. Ridwan. (2014) Hubungan Tingkat Pengetahuan dan sikap Perawat Dengan Perilaku Penularan Tuberkulosis (TB) di Wilayah Kerja Puskesmas Ngemblak Kabupaten Boyolali, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiya Surakarta 13. Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Statistik. Jakarta: EGC 14. Smeltzer,S,C. & Bare, G.B. Buku Ajar Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC. 202 15. Syitra. (2015) Pengaruh Pendidikan Kesehatan Berbasis Teori Health Belief Model Terhadap Pengetahuan, Sikap Berobat Dan Perilaku Minum Obat Klien TB Paru, Kairatu, Program Studi Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Maluku Husada 16. Wabula. (2013) Perilaku Kepatuhan Dalam Berobat Pada Klien TB Paru Berbasis Teori Health Belief Model, Surabaya, Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga
72
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
PERUBAHAN TINGKAT KECEMASAN KLIEN DIRUANG IGD RSUD MASOHI KABUPATEN MALUKU TENGAH TAHUN 2016 Hamdan Tunny (STIKes Maluku Husada) Mirdat H (STIKes Maluku Husada) Hapisa Ningsi (STIKes Maluku Husada) Wa Saida (STIKes Maluku Husada) ABSTRAK Kecemasan yang terjadi atas tindakan medis dapat mempengaruhi kesehatan klien yang mengakibatkan proses penyembuhan menjadi terhambat, Salah satu prosedur tindakan medis seperti pemasangan terapi cairan intervena dapat menimbulkan kecemasan dalam diri klien karena terdapat ancaman integritas tubuh, Komunikasi terapeutik memberikan pengertian antara perawat-klien dengan tujuan membantu klien memperjelas dan mengurangi beban pikiran serta diharapkan dapat menghilangkan kecemasan beberapa ketakutan dan kecemasan klien yang disebabkan oleh tindakan atau prosedur keperawatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan komunikasi terapeutik efektif dan tindakan pemasangan infus terhadap tingkat kecemasan klien diruang IGD RSUD Masohi Kabupaten Maluku Tengah. Penelitian ini merupakan penelitian Deskriptif Analitik dengan metode cross sectional, Tehnik pengambilan sampel dengan cara accidental sampling dengan jumlah sampel 30 responden, Instrument penelitian menggunakan kuesioner, data dianalisis dengan menggunakan Chisquare. Hasil penelitian ini diperoleh nilai signifikan komunikasi terapeutik (p=0,002), dan tindakan pemasangan infus (p=0,000). Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa ada hubungan komunikasi terapeutik dengan tingkat kecemasan klien dan ada hubunga ntindakan pemasangan infuse dengan tingkat kecemasan. Kata kunci: komunikasi terapeutik,tindakan pemasangan infus, tingkat kecemasan. PENDAHULUAN Kecemasan menjadi masalah utama dan perlu penanggulangannya. Lebih dari 23 juta penduduk kira-kira satu dari empat individu di Amerika serikat mengalami gangguan kecemasan ini setiap tahun. Gangguan ansietas (kecemasan) pada pasien menghabiskan 46,6 miliyar dolar Amerika serikat pada tahun 1990 dalam biaya langsung dan tidak langsung. Hampir sepertiga dari total biaya kesehatan di Amerika Serikat sebesar 148 miliar dolar. Penduduk yang mengalami gangguan panikmenghabiskan biaya besar untuk pelayanan kesehatan. Satu survey menemukan bahwa seorang pasien yang mengalami serangan panic melakukan rata-rata 7 kunjungan medis dalam satu tahun. kurang dari 25% penduduk yang mengalami gangguan mencari bantuan, tertuma karena mereka tidak menyadari bahwa gejala fisik yang mereka alami (stuart, 2006 dalam Yulinda,2015). Menurut laporan World Health Organization (WHO, di kutip oleh John, 2012 dalam Suprapta 2015) sekitar 10% orang di Amerika Serikat Utara, Eropa Barat, Australia dan Selandia Baru mengalami kecemasan saat dilakukan tindakan keperawatan ( pemasangan infus) di bandingkan dengan sekitar 8% di Timur tengah dan 6% di Asia. Kecemasan pasien yang dilakukan tindakan keperawatan Diperkirakan 20% dari populasi dunia menderita kecemasan (Gail ,2010 ) dan sebanyak 47,7% remaja sering merasa cemas (Haryadi, 2012). Kecemasan yang terjadi atas tindakan medis dapat mempengaruhi kesehatan klien dan keluarga yang mengakibatkan proses penyembuhan menjadi terhambat. Salah satu prosedur tindakan medis seperti pemasangan terapi cairan intervena dapat menimbulkan kecemasan dalam diri klien karena terdapat ancaman integritas tubuh.Komunikasi 73
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
terapeutik memberikan pengertian antara perawat - klien dengan tujuan membantu klien memperjelas dan mengurangi beban pikiran serta diharapkan dapat menghilangkan kecemasan beberapa ketakutan dan kecemasan klien yang disebabkan oleh tindakan atau prosedur keperawatan, diantarantanya adalah perawat tidak selalu mengenalkan diri,klien tidak diberi tahu atau tidak diberikan informasi secara lengkap termaksud fungsi,maksud dan tujuan tindakan pengobatan atau prosedur tindakan keperawatan yang dilakukan (Hermawan, 2010). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas,2013) Prevalensi penduduk Indonesia yang mengalami gangguan mental emosional secara nasional seperti gangguan kecemasan saat menghadapi tindakan keperawatan sebesar 6%. Gangguan ansietas pada pasien yang dilakukan tindakan keperawatan di Indonesia terutama di Sulawesi Tengah, menunjukan prevalensi yang jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata umum. gangguan ansietas pada pasien yang dilakukan tindakan keperawatan berkisar pada angka 11,6%. Untuk daerah Sulawesi Utara prevalensi kecemasan pasien yaitu 5,9%. Dan prevalensi kecemasan pasien untuk DKI Jakarta (2,03%), sedangkan di Provinsi Maluku prevalensi kecemasan (ansietas) pada pasien yang masuk dirumah sakit dan dilakukan tindakan keperawatan yang paling terendah angka kecemasannya berkisar (0,09 %) dari populasai umum, semakin tingginya prevalensi gangguan kecemasan pasien maka perawat harus mampu mengavaluasi sumber-sumber penyebab kecemasan klien. Jumlah pasien yang mendapatkan terapi infus di perkirakan sekitar 25 juta pertahun di inggris dan mereka telah terpasang berbagai bentuk akses intervena selama perawatannya Terapi intervena (IV) adalah salah satu teknologi yang paling sering di gunakan dalam pelayanan kesehatan di seluruh dunia lebih dari 60 % pasien yang masuk ke rumah sakit mendapatkan terapi melalui IV. pemasangan infus berdasarkan rekomendasi dari The Infusio Nursing Standars Of Practice dapat di pertahankan selama 72 jam setelah pemasangan sedangkan dari The Center Disease ( CDC), Menganjurkan bahwa infus harus di pindahkan setiap 72-96 jam (Alexander et al 2010 dalam Nurjanah 2011), Mempertahankan suatu infus intervena yang sedang terpasang merupakan tugas perawat yang menuntut pengetahuan serta ketrampilan tentang pemasangan dan perawatan infus (Nurma Irawati , 2014). Hasil Penelitian Yang Dilakukan Oleh Jayanti (2009) bahwa dari 50 respnden yang dilakukan tindakan pemasangan infus terdapat 21 responden mengalami kecemasan sedang dan 29 responden mengalami kecemasan berat, kecemasan yang timbul akibat dari suatu tindakan keperawatan merupakan respon tubuh terhadap stessor yang dihadapi. contoh pada tindakan pemasangan infus tubuh merespon ada ancaman fisik yang kemudian menimbulkan perasaan khawatir dan ketakutan. Berdasarkan Data catatan kunjungan klien di instalasi gawat darurat (IGD) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Masohi Kabupaten Maluku Tengah pada Tahun 2014 total klien yang masuk diruang IGD sebanyak 2.299 yang dilakukan tindakan pemasangan infus 85%, pada Tahun 2015 total pasien yang masuk sebanyak 2.573 dengan dilakukan tindakan keperawatan (pemasangan infus) 90%, sedangkan pada Tahun 2016 dari bulan Januari sampai bulan April, total pasien yang masuk sebanyak 2.404 dengan dilakukan pemasangan infus 80%, Dari data di atas menunjukan bahwa tindakan pemasangan infus merupakan salah satu tindakan invasif yang sering dilakukan ( Rekam Medis RSUD Masohi Tahun 2016 ). METODE PENELITIAN Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriktif analitik dengan menggunakan pendekatan cross sectional. Penelitian ini dilaksanakan diruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Umum daerah (RSUD) Masohi pada tanggal 16 juli-10 agustus tahun 2016. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang berobat dan dilakukan pemasangan infus di ruang instalasi gawat darurat RSUD Masohi Kabupaten Maluku Tengah 2016. Teknik pengambilan sampel yang dipakai dalam penelitian ini adalah accidental sampling (convenience sampling) yaitu prosedur sampling yang memilih sampel dari orang atau unit yang paling mudah dijumpai atau diakses, 74
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
atau siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel bila orang yang kebetulan di temui cocok sebagai sumber data (Umar, 2010). Setelah pengambilan data dilakukan dan diperoleh, maka selanjutnya dilakukan pengolahan data yang meliputi beberapa bagian yaitu:editing,coding, dan tabulating. Setelah data diolah, selanjutnya dilakukan analisis data menggunakan uji statistik Chi-Square. HASIL PENELITIAN Tabel 1. Distribusi Umur Responden Yang dilakukan Pemasangan Infus Di Ruang IGD RSUD Masohi Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2016 Umur responden 15-24 25-34 35-44 45-54 Jumlah
Jumlah 6 7 7 10 30
Persentase (%) 20 23.3 23.3 33,3 100
Berdasarkan tabel 1 diatas menunjukan bahwa dari 30 reponden yang diteliti, distribusi umur paling banyak berumur 45-54 tahun yaitu sebanyak 10 responden (30%). Dan yang paling sedikit berumur 15-24 tahun yaitu 6 responden (20%). Tabel 2. Distribusi Pendidikan Responden Yang Di Lakukan Pemasangan Infus Di Ruang IGD RSUD Masohi Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2016 Pendidikan SD SMP SMA S1 jumlah
Jumlah 10 11 5 4 30
Persentase (%) 33.3 36.7 16.7 13.3 100.0
Berdasarkan tabel 2 diatas menunjukan bahwa 30 responden yang di teliti, distribusi responden yang memiliki pendidikan terakhir adalah SMP menduduki jumlah terbanyak yaitu 11 responden (36,7%) dan yang paling sedikit yaitu S1 sebanyak 4 responden (13,3%) Tabel 3. Distribusi Pekerjaan Responden Yang Di Lakukan Pemasangan Infus Di Ruang IGD RSUD Masohi Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2016 Pekerjaan Petani PNS Wiraswasta IRT Belum Bekerja Jumlah
Jumlah 15 4 2 6 3 30
Persentase (%) 50.0 13.3 6.7 20.0 10.0 100.0
Berdasarkan tabel 3 di ketahui bahwa dari 30 responden yang di teliti, dapat di jelaskan bahwa distribusi responden berdasarkan status pekerjaannya dengan jumlah yang sangat sedikit yaitu wiraswasta hanya 2 reponden (6.7%), dan jumlah yang terbanyak adalah petani yaitu 15 responden (50.0%).
75
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Tabel 4. Distribusi Jenis Kelamin Responden Yang Di Lakukan Pemasangan Infus Di Ruang IGD RSUD Masohi Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2016 Jenis Kelamin laki-laki Perempuan Jumlah
Jumlah 14 16 30
Persentase (%) 46.7 53.3 100.0
Berdasarkan tabel 4 menunjukan distribusi responden berdasarkan jenis kelamin. Jumlah responden terbanyak adalah perempuan yaitu sebanyak 16 responden (53.3%), sedangkan laki-laki berjumlah 14 responden (46.7%). Tabel 5. Penilaian Komunikasi Terapeutik Perawat Di Ruang IGD RSUD Masohi Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2016 Komunikasi Terapeutik Kurang Cukup Baik Jumlah
Jumlah 9 16 5 30
Persentase (%) 30.0 53.3 16.7 100.0
Berdasarkan tabel 5 di atas di ketahui bahwa pelaksanaan komunikasi terapeutik yang di lakukan perawat di ruang IGD RSUD Masohi Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2016 dalam melaksanakan tindakan keperawatan pemasangan infus terhadap pasien, dinilai oleh responden dalam hal ini pasien di peroleh nilai, yang terbanyak adalah dengan kategori cukup sebesar 16 responden (53,3%), dan yang paling sedikit adalah dengan kategori baik 5 responden (16,7%). 2.Tindakan Pemasangan Infus Tabel 6. Tindakan Pemasangan Infus Diruang IGD RSUD Masohi Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2016 Tindakan pemasangan infus TIDAK YA JUMLAH
Jumlah 3 27 30
Persentase (%) 10.0 90.0 100.0
Berdasarkan tabel 6 diatas dapat di ketahui bahwa yang paling banyak terdapat 27 responden (90%) yang mengalami cemas pada saat tindakan pemasangan infus dan yang paling sedikit terdapat 3 responden (10%) yang tidak mengalami cemas saat dilakukan pemasangan infus. Tabel 7. Tingkat Kecemasan Responden Diruang IGD RSUDMasohi Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2016 Tingkat Kecemasan Tidak Ada Gejala Ringan Sedang Berat Jumlah
Jumlah 3 7 16 4 30
Presentase (%) 10.0 23.3 53.3 13.3 100.0
Berdasarkan Tabel 7 diatas dapat diketahui bahwa klien yang dilakukan tindakan keperawatan invasif khususnya pemasangan infus oleh perawat diruang IGD RSUD Masohi Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2016 yang mengalami tingkat kecemasan 76
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
sedang yaitu 16 responden (53.3%).7 responden (23,3%) mengalami tingkat kecemasan ringan, 4 responden (13.3%) mengalami kecemasan berat, dan 3 responden (10.0%) tidak mengalami kecemasan. Tabel 8. Hubungan Komunikasi Terapeutik Dengan TingkatKecemasan Klien Di Ruang IGD RSUD Masohi Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2016 Komunikasi terapeutik Kurang Cukup Baik Jumlah
Tingkat kecemasan Tidak Ringan sedang n % n % n % 0 0 2 6.7 4 13.3 0 0 4 13.3 11 36.7 3 10.0 1 3.3 1 3.3 3 10.0 7 23.3 16 53.3
n 3 1 0 4
Berat % 10.0 3.3 0 13.3
total % 9 30.0 16 53.3 5 16.7 30 100
Nilai p
n
0,002
Berdasarkan tabel 8 diatas menunjukan bahwa dari 16 responden menilai komunikasi terapeutik perawat cukup, ada 11 responden (36.7%) yang mengalami kecemasan sedang, 4 responden (13.3%) mengalami kecemasan ringan dan 1 responden (3.3%) mengalami kecemasan berat. Responden yang menilai komunikasi terapeutik perawat kurang hanya 9 responden, 4 responden (13.3%) mengalami kecemasan sedang, 2 responden (6.7%) mengalami kecemasan ringan dan 3 responden (10.0%) mengalami kecemasan berat. Responden yang menilai komunikasi terapeutik perawat baik hanya 5 responden, 3 responden (10.0%) tidak mengalami kecemasan, 1 responden (3.3%) mengalami kecemasan ringan dan 1 responden (3.3%) mengalami kecemasan sedang, Berdasarkan uji Chi-Square dimana df :1, nilai kemaknaan α = 0,05. Di peroleh nilai p =0,002, yang menunjukan p < α atau 0,002 < 0,05. Dari analisis tersebut menunjukan bahwa ada hubungan bermakna antara komunikasi terapeutik dengan tingkat kecemasan. Tabel 9. Hubungan Tindakan Pemasanagan Infus Dengan Tingkat Kecemasan Klien Di Ruang IGD RSUD Masohi Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2016 Tindakan pemasangan infus TIDAK YA Jumlah
Tingkat kecemasan Tidak ada Ringan Sedang gejala n % n % n % 3 10.0 0 0 0 0 0 0 7 23,3 16 53.3 3 10.0 7 23,3 16 53,3
Nilai p total
Berat n 0 4 4
% 0 13.3 13,3
n 3 27 30
% 10.0 90.0 100
0.000
Berdasarkan tabel 9 mennunjukan bahwa dari 27 responden mengalami tingkat kecemasan saat dilakukan pemasangan infus , ada 16 responden (53,3%) mengalami tingkat kecemasan sedang saat dilakukan pemasangan infus, 7 responden (23,3%) mengalami tingkat kecemasan ringan saat dilakukan pemasangan infus, dan 4 responden (13,3%) mengalami kecemasan berat saat dilakukan pemasangan infus oleh perawat. Dan klien yang tidak merasa cemasa saat dilakukan pemasangan infus 3 responden (10,0%) Bedasarkan uji Chi-Square dimana df :1, nilai kemaknaan α = 0,05. Di peroleh nilai p =0,000, yang menunjukan p < α atau 0,000 < 0,05. Dari analisis tersebut menunjukan bahwa ada hubungan bermakna antara tindakan pemasangan infus dengan tingkat kecemasan. PEMBAHASAN Komunikasi Terapeutik Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang dilakukan secara sadar, bertujuan, dan kegiatannnya di pusatkan untuk kesembuhan pasien (Nurjannah, 2005 dalam Yuk Bariroh 2012). Komunikasi terapeutik yang efektif menimbulkan dukungan psikologis, pasien mendapatakan pemahaman dan informasi yang cukup sehingga dapat mengurangi 77
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
kecemasan. Komunikasi terapeutik adalah komunikasi interpersonal yang saling memberikan pengertian antara perawat dengan pasien menurut Achiryani (1998, dalam Mundakir 2006 “Yuk Bariroh 2014”) perawat yang memiliki ketrampilan komunikasi secara terapeutik tidak saja akan menjalin hubungan rasa percaya dengan pasien, mencegah terjadinya masalah dan mengurangi kecemasan pasien. Berdasarkan analisis data tentang penerapan komunikasi terapeutik perawat menunjukan bahwa sebanyak 16 responden menyatakan komunikasi terapuetik cukup, 9 responden menyatakan komunikasi terapeutik kurang dan 5 orang menyatakan komunikasi baik. Berdasarkan hasil observasi, bahwa perawat yang bertugas sebagian besar cukup menerapkan komunikasi terapeutik, tetapi ada beberapa hal yang masih kurang seperti preinteraksi (merencanakan kontrak waktu dengan klien), fase orientasi (perawat memperkenalkan diri, perawat menanyakan nama panggil kesukaan klien, perawat menjelaskan waktu yang akan dibutuhkan) fase kerja, dan fase terminasi. dalam pelaksanaannya perawat belum melaksanakan ketika berinteraksi dengan pasien dalam melakukan tindakan keperawatan invasif pemasangan infus. Tindakan Pemasangan Infus Pemasangan infus yaitu tindakan yang dilakukan pada pasien yang memerlukan masukan cairan atau obat, langsung ke dalam pembuluh darah vena, dalam jumlah dan waktu tertentu dengan menggunakan infus set (potter,2013). Pemasangan infus merupakan prosedur invasif merupakan tindakan yang sering di lakukan di rumah sakit. Berdasarkan analisis data tentang tindakan pemasangan infus menunjukan bahwa sebanayak 27 responden menyatakan merasa cemas saat dilakukan pemasangan infus, dan 3 orang menyatakan tidak merasa cemas saat dilakukan pemasangan infus. Beberapa ketakutan dan kecemasan klien yang disebabkan oleh tindakan atau prosedur keperawatan, diantaranya adalah perawat tidak selalu mengenalkan diri, klien tidak diberitahu atau tidak diberikan informasi secara lengkap termasuk fungsi, maksud dan tujuan tindakan pengobatan atau prosedur tindakan keperawatan yang akan dilakukan (Hermawan, 2010).Berdasarkan hasil observasi yang peneliti melihat bahwa kebanyakan perawat saat melakukan pemasangan infus tidak menggunakan Tourniquet saat dilakukan pemasangan infus. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurma Irawati (2014) bahwa dari 4 orang perawat tidak mengikuti tahapan-tahapan SOP seperti pemasangan tourniquet 5 cm, pemasangan parlak saat dilakukan pemasangan infus. Tingkat Kecemasan Klien Berdasarkan analisa data tentang tingkat kecemasan menunjukan bahwa sebanyak 16 responden (53,3%) mengalami tingkat kecemasan sedang dan 7 responden (23,3%) mengalami tingkat kecemasan ringan. Menurut Stuart Dan & Sundeen (1998, Dalam Pamungkas 2011 “ Yuk Bariroh 2012) beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan adalah faktor umur, tingkat pendidikan, tongkat pengetahuan, jenis kelamin. Berdasarkan tabel 4.1, responden berumur 45-54 tahun yang paling banyak yaitu 10 responden (33,3%) dimana ini termaksud usia dewasa madya yang menurut Horn (1980, dalam santawi 2010) pada usia tersebut individu mengalami penurunan kemampuan berfikir dan penurunan kemampuan fisik seperti kondisi fisik yang mulai rentan terhadap penyakit, juga kondisi psikologis yang relatif menjadi lebih peka, dalam arti mudah tersinggung, tertekan stress, hingga depresi. Individu dewasa sering mengalami ansietas dalam merespon perubahan fisiologis dan psikososial yang terjadi pada usia dewasa madya. Individu yang mengalami depresi pada usia pertengahan biasanya mengalami ansietas dengan intensitas sedang atau berat dan mengalami keluhan fisik (potter & perry, 2009). Tingkat pendidikan responden berbeda-beda mulai dari SD sampai perguruan tinggi dimana responden yang paling banyak adalah tingkat pendidikan SMP yaitu 11 78
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
responden (36,7%). Pendidikan rendah di anggap lebih banyak mengalami stress dan kecemasan, hal ini di buktikan pada penelitian ini bahwa responden yang berpendidikan SD dan SMP yang banyak mengalami kecemasan. Tingkat pendidikan seseorang atau individu akan berpengaruh terhadap kemampuan berpikir, semakin tinggi pendidikan akan mudah semakin berfikir rasional dan menangkap informasi baru termaksud dalam menguraikan masalah baru (stuart & sunnden, 2010). Berdasarkan data di atas tentang frekuensi umur, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan dapat mempengaruhi kecemasan hal ini di buktikan pada penelitian yang di lakukan Sherly Ika Purnama Sari (2011) yang berjudul “ gambaran tingkat kecemasan sebelum pemasangan EKG pertama kali pada pasien jantung ditinjau dari faktor jenis kelamin, usia, dan pendidikan terakhir studi poli jantung RSI Jemursari Surabaya”, menunjukan bahwa dari 35 responden sebagian besar (57,12 %) mengalami kecemasan sedang, responden yang memiliki tingkat kecemasan sedang, responden yang memiliki tingkat kecemasan sedang sebagian besar (64,71%) berjenis kelamin perempuan, sebagian besar (72,22%) berumur 45-59 tahun/usia madya, sebagian besar (52,94%) berpendidikan menengah. Hasil tentang jenis pekerjaan responden bahwa yang paling banyak adalah petani (50,0%) dimana responden tidak semuanya mempunyai ansuransi atau jaminan kesehatan bila berobat, sedangkan menurut Ramaiah (2003) bahwa pada pasien yang dirawat dirumah sakit, kecemasan yang timbul salah satunya biasa di seababkan oleh karena biaya pengobatan. Responden mempunyai bermacam-macam tingkat kecemasan dalam menghadapi tindakan keperawatan invasif, yaitu ada responden yang menyatakan tidak cemas sebesar (10%), kecemasan sedang (53,3%) kecemasan ringan (23,3%), kecemasan berat (13,3%). Hal ini dapat di simpulkan bahwa pasien mengalami tingkat kecemasan.Kecemasan adalah kekhawatiran atau ketakutan yang mendalam dan berkelanjutan (hawari,2011) menggambarkan perasaan, keadaan emosional yang dimiliki seseorang pada saat ia menghadapi suatu kenyataan atau kejadian daalam hidupnya, diman kecemasan ini dapat timbul atau terjadi pada setiap orang. Berdasarkan analisa data tentang tingkat kecemasan menunjukan bahwa sebanyak 16 responden (53,3%) mengalami tingkat kecemasan sedang 7 responden (23,3%) mengalami tingkat kecemasn ringan. Dari hasil observasi yang peneliti lakukan dari 30 responden 53,3% mengalami tingkat kecemasan sedang dengan tanda dan gejala yang sering muncul pada responden yaitu irama jantung meningkat, terlihat mulut kering, badan gemetar, tidak ada kontak mata, tampak meremas - remas tangan, sering berubah posisi tidur, mual – muntah, dan banyak bicara. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa responden yang memiliki kecemasan ringan lebih tinggi bila dibandingkan dengan responden yang memiliki kecemasan sedang, dan terdapat beberapa responden yang tidak mengalami kecemsan. Tanda-tanda yang sering muncul pada responden diantaranya sering bangun pada malam hari, denyut nadi meningkat, gemetar , merasa takut terhadap tindakan pemasangan infus, peralatan. Hal ini dikarenakan respon cemas seseorang tergantung pada kematangan pribadi, pemahaman dalam menghadapi tantangan, harga diri, dan mekanisme koping yang digunakan (Stuart 2012) dan juga mekanisme pertahanan diri yang digunakan untuk mengatasi kecemasannya. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hendri (2009) dengan sampel 38 orang, menunjukan bahwa sebagian besar responden mengalami tingkat kecemasan sedang (44,7%) kecemasan ringan (28,9%) dan kecemasan berat (26,3%). tanda gejala yang sering muncul pada responden yaitu irama jantung meningkat, terlihat mulut kering, badan gemetar. Hubungan Komunikasi Terapeutik
Dengan Tingkat Kecemasan Klien
Hasil penelitian ini menunjukan dari dari 16 responden menilai komunikasi terapeutik perawat cukup, ada 11 responden (36.7%) yang mengalami kecemasan sedang, 4 79
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
responden (13.3%) mengalami kecemasan ringan dan 1 orang (3.3%) mengalami kecemasan berat. Responden yang menilai komunikasi terapeutik perawat kurang hanya 9 responden, 4 responden (13.3%) mengalami kecemasan sedang, 2 responden (6.7%) mengalami kecemasan ringan dan 3 responden (10.0%) mengalami kecemasan berat. Responden yang menilai komunikasi terapeutik perawat baik hanya 5 responden, 3 responden (10.0%) tidak mengalami kecemasan, 1 responden (3.3%) mengalami kecemasan ringan dan 1 responden (3.3%) mengalami kecemasan sedang. Hasil uji satistik menunjukan bahwa nilai p = 0.002 < 0.05 hal ini berarti bahwa ada hubungan bermakna antara komunikasi terapeutik dengan tingkat kecemasan klien dalam menghadapi tindakan keperawatan invasif diruang IGD RSUD Masohi Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2016. Hal ini juga berarti bahwa semakin baik komunikasi perawat maka akan semakin rendah tingkat kecemasan klien. Dengan melakukan tehnik komunikasi terapeutik yang baik maka dapat menurunkan kecemasan klien dan dapat membantu agar klien merasa bahwa interaksinya dengan perawat merupakan kesempatan untuk berbagai perasaan dan informasi dalam rangka mencapai tujuan keperawatan yang optimal. Menurut asumsi peneliti bahwa pasien yang akan dilakukan pemasangan infus mengalami kecemasan, baik ringan, sedang maupun berat disini peran perawat sangatlah besar pada kondisi seperti ini yaitu dengan memberikan komunikasi teraupetik yang efektif dengan memperhatikan sikap, prinsip dan tehnik komunikasi terapeutik yang baik serta memperhatikan tingkat stress pasien dalam menghadapi tindakan pemasangan infus yang dilakukan, dimana komunikasi memberikan pengertian antara perawat dan klien dengan tujuan membantu klien memperjelas dan mengurangi beban pikiran serta diharapkan dapat menghilangkan kecemasan, Perawat sebagai komponen penting dalam proses keperawatan dan orang yang terdekat dengan klien diharapkan mampu berkomunikasi teraupetik, melalui perkataan, perbuatan, atau ekspresi yang memfasilitas penyembuhan klien. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Christianawati (2007) bahwa komunikasi terapeutik sangat mempengaruhi terhadap tingkat kecemasan pasien dalam menghadapi tindakan keperawatan. Kurangnya komunikasi terapeutik pada saat melakukan tindakan keperawatan merupakan salah satu penyebab kecemasan pasien dasarnya salah satu tujuan komunikasi terapeutik adalah membantu pasien untuk memperjelas, mengurangi beban perasaan dan pikiran serta dapat mengambil tindakan untuk situasi yang ada bila pasien percaya pada hal yang di perlukan, maka untuk mengurangi kecemasan tersebut perlu adanya komunikasi. Hasil penelitian ini Didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Setiawan dan Tanjung (2005) menunjukan bahwa komunikasi teraupetik mempunyai hubungan yang signifikan dalam menurunkan kecemasan klien (p = 0,002; α = 0,05). Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian (Yuk Bariroh 2012) bahwa penilaian komunikasi terapeutik perawat cempaka sebagian besar adalah cukup (48,6%) tingkat kecemasan pasien dalam menghadapi tindakan keperawatan invasif pemasangan infus atau kateter diruang cempaka sebagian besar mengalami cemas sedang (68,6%). Berdasarkan hasil penelitian Arafiah (2012) menunjukan bahwa kecemasan ringan sebanyak 21 orang (46,7%) sebelum pemberian informasi tentang persiapan operasi. Kecemasan terjadi karena cemas dijadikan sebagai stessor yang merupakan perasaan takut seseorang terhadap suatu keadaan yang tidak menyenangkan yang secara subjektif dialami dan di komunikasikan secara interpersonal (Agustin, 2009). Manifestasi kecemasan yang dapat muncul seperti sulit tidur, dada berdebar-debar, tubuh berkeringat meskipun tidak gerah, tubuh panas atau dingin, sakit kepala, otot tegang atau kaku, sakit perut, terengah-engah atau sesak nafas ( Smeltzer & Bare 2012). Hubungan Tindakan Pemasangan Infus Terhadap Tingkat Kecemasan Klien Hasil penelitian menunjukan bahwa dari 27 responden mengalami tingkat kecemasan saat dilakukan pemasangan infus , ada 16 responden (53,3%) mengalami tingkat kecemasan sedangsaat dilakukan pemasangan infus, 7 responden (23.3%) mengalami 80
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
tingkat kecemasan ringan saat dilakukan pemasangan infus, dan 4 responden (13.3%) mengalami kecemasan berat saat dilakukan pemasangan infus oleh perawat. dan klien yang tidak merasa cemasa saat dilakukan pemasangan infus 3 responden (10.0%) . Berdasarkan uji Chi-Square dimana df :1, nilai kemaknaan α = 0,05. Di peroleh nilai p =0,000, yang menunjukan p < α atau 0,000 < 0,05. Dari analisis tersebut menunjukan bahwa ada hubungan bermakna antara tindakan pemasangan infus dengan tingkat kecemasan. Kecemasan yang timbul dari suatu tindakan adalah merupakan respon tubuh terhadap stessor yang dihadapi, sebagai contoh pada tindakan pemasangan infus tubuh merespon adanya ancaman fisik yang kemudian menimbulkan perasaan khawatir dan ketakutan hal tersebut juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh jayanti (2009) bahwa dari 50 responden yang dilakukan tindakan pemasangan infus terdapat 21 responden mengalami kecemasan sedang dan 29 responden yang mengalami kecemasan berat. Selain tindakan pemasangan infus, tindakan keperawatan invasif lainnya yang dapat menimbulkan kecemasan adalah pemasangan kateter. Hasil penelitian Rizwijaya (2008) dinyatakan bahwa dari 45 responden yang di pasang kateter ada 37 responden (83%) yang mengalami kecemasan dengan berbagai tingkat kecemasan dari kecemasan ringan, sedang sampai kecemasan berat, responden setelah dilakukan perlakuan komunikasi terapeutik pada saat akan menjalani tindakan pemasangan kateter maka terjadi penurunan tingkat kecemasan yang bermakna 90% responden tidak mengalami kecemasan. Hasil penelitian yang dilakukan Setiawan dan Tanjung (2003) menjelaskan bahwa 84,6% responden mengalami kecemasan ringan dan 15,4% mengalami kecemasan sedang sesudah di berikan tindakan pemasangan invasif. Karif (2006) menjelaskan bahwa setiap tindakan medis yang diberikan terutama kepada pasien tanpa pengalaman, tindakan tersebut pasien akan mengalami tingkat kecemasan. Dari hasil penelitian yang dilakukan, peneliti berasumsi bahwa, Dari beberapa pertanyaan dapat disimpulkan bahwa pasien yang akan dilakukan pemasangan infus maupun kateter mengalami kecemasan, baik ringan, sedang maupun berat peran perawat sangat besar pada kondisi seperti ini yaitu dengan memberikan komunikasi terapetuik yang efektif dengan memperhatikan sikap, prinsip dan tehnik komunikasi terapeutik yang baik serta memperhatikan tingkat stress pasien dalam menghadapi tindakan pemasangan infus yang dilakukan. KESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan Berdasarkan hasil yang telah didapatkan maka dapat di simpulkan bahwa komunikasi terapeutik berhubungan dengan tingkat kecemasan klien diruang IGD RSUD Masohi Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2016, dimana hasil uji statistik diperoleh nilai (p =0,002). sedangkan tindakan pemasangan infus berhubungan dengan tingkat kecemasan klien diruang IGD RSUD Masohi Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2016, dimana hasil uji statistik di peroleh nilai (p=0,000) Saran Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat dalam bidang kesehatan khususnya komunikasi terapeutik dan tindakan pemasangan infus terhadap perubahan tingkat kecemasan. Bagi peneliti selanjutnya di harapkan dapat meneliti atau mengembangkan peneliti ini dengan menggunakan metode yang lebih baik tentang komunikasi terapeutik dan menggunakan tehnik pengumpulan data yang lebih lengkap. Bagi STIKes Maluku Husada agar memberikan bekal khususnya tentang komunikasi terapeutik agar mahasiswa mampu menerapkannya di dunia kerja atau praktek lapangan. 81
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3.
4.
5. 6. 7.
8.
9.
10. 11.
12. 13.
14. 15.
16. 17.
18.
19. 20.
Abdul Nasir, dkk. 2013 Komunikasi Dalam Keperawatan Teori Dan Aplikasi, Jakarta: Penerbit Salemba Medika Afrianto,(2014), pemberian cairan infus intravena. Jakarta: Widya Medika. Arbani A.fadilah .(2015).Hubungan Komunikasi Teraupetik Dengan Tingkat Kecemasan Klien Pasien Pre Operasi Di RS PKU Muhammadiyah Sukoharjo.(Skripsi). Stikes kusuma husada Surakarta Bariroh yuk, 2012, Hubungan Komunikasi Teraupetik Dengan Tingkat Kecemasan Pasien Dalam Menghadapi Tindakan Keperawatan Invasive Diruang Cempaka RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta, Naskah Publikasi. Program studi ilmu keperawatan sekolah tinggi ilmu kesehatan “Aisyyah” Yogyakarta. Haryadi, D. (2012). Perilaku bermasalah remaja muncullebihdini. http://www.duniaguru.com.Diakses 29 September 2015 Hawari, D. 2013. Manajemen Stresscemas Dan Depresi.edisi 3, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Hermawan, 2010, persepsi pasien tentang pelaksanaan komunikasi teraupetik perawat dalam asuhan keperawatan kepada pasien di ugd RS mardi rahayu kudus. http://eprints.undip.ac.id//10473/1/ARTIKEL.Pdf, di akses tanggal 10 april 2015. Irawati Nurma. 2014.gambaran pelaksanaan pemasangan infuse yang tidak sesuai sop terhadap kejadian flebilitis di RSUD dr.soedirman mangun sumarso kapupaten wonogiri. Skripsi.stikes kusuma husada Surakarta. Mulyani, S, Paramastri, I, Priyanto,MA 2014, Komunikasi Dan Hubungan Teraupetik Perawat Klien Terhadap Kecemasan Prabedah Mayor, Berita Kedokteran Masyarakat,Vol 24,No 3,September 2015,Hal 151-155 Nursalam.(2011). Manajemen keperawatan .edisi 3. Jakarta: Salemba Medika. Priska. (2011). GambaranTingkat Nyeri Pasien Selama Dilakukan Pemasangan Infuse Di Rawat Inap Dahlia Rumah Sakit Mitra Keluarga Bekasi.Skripsi,Program Sarjana, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta. Tidak Dipublikasikan Purba, dkk (2013), Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Masalah Psikososial Dan Gangguan Jiwa,Medan: USU PRESS. Purnama, S, 2011, Gambaran Tingkat Kecemasan Sebelum Pemasangan EKG Pertama Kali Pada Pasien Jantung Ditinjau Dari Factor Jenis Kelamin, Usia Dan Pendidikan Terakhir Studi Di Poli Jantung RSI Jemuran Surabaya, Dalam Http://Share Stikesyarsis. Ac. Id / Elib / Main / 00456 / Gambaran- Tingkat –Kecemasan diakses tanggal 1 augustus 2015. Riskesdas.(2013). Diseminasi Kesehatan Jiwa. http://www.litbang.depkes.go.iddiakses 29 september 2014 Rizky Hardiyani 2013 .hubungan komunikasi therapeutic perawat dengan motivasi sembuh pada pasien rawat inap di ruang melati rumah sakit umum daerah kalisari batang,(skripsi).Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidkan Universitas Negeri Semarang Siti Fatmawati, 2010, Komunikasi Keperawatan Plus Materi Komunikasi Teraupetik, Yoyakarta: Medical Book. Sri wulandari, 2015, pemberian dzikir khafi untuk menurunkan tingkat kecemasan pada asuhan keperawatan tn.s dengan preoprasi hernia di ruang anggrek RSUD,Dr.Soediran Mangun Wonogiri. ( Skripsi). Program studi keperawatan,stikes kusuma husada Surakarta. Suprapta,I gusti ngurah, (2015),factor intrinsic yang berhubungan dengan tingkat kecemasan pada klien yang terpasang terapi cairan intervena diruangan asoka bougenville.( jurnal). Diakses tanggal 2 maret 2016. Tamasuri, A, 2014 Komunikasi Dalam Keperawatan, EGC , Jakarta Yulinda,devi lintyi, 2015, perbedaan efektifitas terapi music klasik dan relaksasi nafas dalam terhadap penurunan tingkat kecemasan pasien di ruang HCU RSUD prof.Dr. Margono Soekarjo Porwekerto. (skripsi). fakultas ilmu kesehatan UMP.
82
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN ISPA PADA ANAK PRASEKOLAH DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KAIRATU KECAMATAN KAIRATU KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT TAHUN 2016 Ibiham Samiun (STIKes Maluku Husada) Risman Tunny (STIKes Maluku Husada) Alfian L.W Ibrahim (STIKes Maluku Husada) Isman Wally (STIKes Maluku Husada) ABSTRAK ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) merupakan salah satu penyakit penyebab kematian terbesar di dunia maupun di Indonesia. Banyak anak dengan usia prasekolah mengalami penyakit ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas Kairatu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA pada Anak Prasekolah di Wilayah Kerja Puskesmas Kairatu Kecamatan Kairatu tahun 2016. penelitian ini merupakan penelitian Deskriptif Analitik dengan metode Cross Sectional, tehnik pengambilan sampel menggunakan Cluster Sampling, maka didapatkan sampel sebanyak 96 orang responden yang terdiri dari penderita pada anak prasekolah Pengumpulan data diperoleh dari pengisian kuensioner wawancarara dan observasi pengolahan data dengan SPSS, menggunakan uji statistik dengan tingkat kemaknaa 0,05 Hasil dalam penelitian ini diperoleh Nilai signifikasi pendidikan Ibu (p=0,006) kepadatan hunian (p=0,028) jenis lantai (p=0.507) ventilasi (p=0,302) perilaku keluarga (p=0,023) dari hasil tersebut dapat di simpulkan bahwa jenis lantai dan ventilasi tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian ISPA sementara pendidikan ibu, kepadatan hunian dan perilaku keluarga memiliki hubungan dengan kejadian ISPA. Kata Kunci: ISPA. Anak Prasekolah, Faktor Ibu, Faktor Lingkungan, Faktor Keluarga LATAR BELAKANG Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah proses infeksi akut berlangsung selama 14 hari, yang di sebabkan mikroorganisme dan menyerang salah satu bagian, dan atau lebih dari saluran napas, mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) (widoyono, 2011). Infeksi saluran pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak. Insiden menurut kelompok umur belita diperkirakan 0,29 kasus per anak/tahun di negara berkembang dan 0,05 kasus per anak/tahun di negara maju. Ini menunjukan bahwa terdapat 156 juta kasus baru di dunia per tahun dimana 151 juta kasus (96,7%) terjadi di Negara berkembang. Kasus terbanyak terjadi di India (43 juta), China (21 juta) dan Pakistan (10 juta) dan Bangladesh, Indonesia, Nigeria masing-masing 6 juta kasus (Depkes, 2012) ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) merupakan terinfeksi saluran pernafasan atas maupun di saluran pernafasan bawah maupun keduanya masalah infeksi di saluran pernafasan atas adalah laryngitis, sinusitis, influenza (virus) yaitu nasofaring, rhinitis, epligotitis, infeksi telingan, pembangkakan membrane mukosa dan adanya pengeluaran eksudat serosa mukopurulent atau yang sering di katakan pilek. ISPA mudah sekali menyerang anak-anak terutama di bawa usia lima tahun. (Kemenkes, 2012). ISPA merupakan kepanjangan dari Infeksi Saluran Pernapasan Akut dan mulai diperkenalkan pada tahun 1984 setelah dibahas dalam lokakarya Nasional ISPA di Cipanas. Istilah ini merupakan istilah bahasa inggris yakni Acute Respiratory Infections (ARI). ISPA adalah penyakit yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran napas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA umumnya 83
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
berlangsung 14 hari. Tanda dan gejala ISPA yakni batuk pilek , sakit telinga, radang tenggorokan, influenza, bronchitis, dan sinusitis (Arbatasiah. 2015). Anak dibawah lima tahun atau anak masa prasekolah adalah dimana anak sedang aktifaktifnya, inggin mengetahui segala bentuk dan segala rupa yang dilihat olehnya, senang bermain air, bermain diluar rumah dan banyak sekali yang ingin di lakukannya, selain itu pula anak dengan usia dibawah lima tahun memiliki kecenderungan nafsu makan yang menurun. Anak pada masa usia prasekolah ini juga sudah mengenal berbagai macam permainan dan ingin bermain dengan teman-teman semuanya diluar rumah, sehinga dengan berbagai aktifitas yang ingin di lakukan dan nafsu makan menurun atau asupan nutrisi tidak terpenuh, membuat usia anak prasekolah lebih rentang terhadap suatu penyakit, terutama penyakit infeksi (Namira. S, 2013). Menurut WHO ISPA merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada anak di negara berkembang. ISPA menyebabkan empat dari lima belas juta perkiraan kematian pada anak berusia lima tahun setiap tahunnya. Di Amerika terdapat dua sampai tiga juta kasus pneumonia per tahun dengan jumlah kematian rata-rata 45.000 orang. Di indonesia pneumonia merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah kardiovaskuler dan TB. Faktor sosial ekonomi yang rendah menjadi penyebab tingginya angka kematian. (WHO 2012). Data provinsi maluku sejak tahun 2009, penyakit ISPA merupaka penyakit terbanyak di Puskesmas provinsi maluku dengan jumlah 27%. Tahun 2010 masi menjadi urutan pertama yaitu sebanyak 31,02% dan tahun 2011 terjadi peningkatan menjadi 38,43% untuk tahu 2012 ISPA tetap diurutan pertama dengan jumlah 269.879 kasus (47,88%). (Dinkes Provinsi Maluku, 2013). Kabupaten Seram Bagian Barat pada tahun 2015 jumlah penderita penyakit ISPA yang terbesar pada 11 kecamatan dari 17 Puskesmas sebanyak 18057 kasus ISPA (Laporan Tahunan Dinas Kesehatan SBB, 2015). Berdasarkan data yang diperoleh dari survei awal di Puskesmas Kairatu dari tahun 2013 adalah sebanyak 510 sedangkan dari tahun 2014 sebanyak 402 untuk tahun 2015 sebanyak 352 sedangkan dari tahun 2016 jenuari sampai mei sebanyak 200 orang (Data Puskesmas Kairatu) METODE PENELITIAN Desain penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini di laksanakan di desa Kairatu Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat pada tanggal 01 Agustus-01 September 2016. Populasi dalam penelitian ini sebanyak 383 tehnik pengambilan sampel menggunakan Cluster Samplin, maka didapatkan sampel sebanyak 96 orang responden yang terdiri dari penderita pada anak prasekolah. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan kuesioner wawancara dan observasi yang di lakukan dengan cara home to home. Setelah pengambilan data dilakukan dan data diperoleh, maka selanjutnya dilakukan pengolahan data yang meliputi beberapa bagian yaitu : editing, coding dan tabulating. Setelah data diolah selanjutnya dilakukan analisis data dengan menggunakan uji statistik Chi-Square. HASIL PENELITIAN Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan menurut umur di Wilayah Kerja Puskesmas Kairatu Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016 Umur > 20 = 30 < 40 Total
84
Frekuensi 30 8 58 96
Persent % 31.2 8.3 60.4 100.0
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Berdasarkan tabel 1. di atas diketahui bahwa dari 96 responden, terbanyak pada umur < 40 tahun yaitu 58 orang (60,4 %) dan yang sedikit adalah umur = 30 tahun yaitu 8 orang (8.3 %) Tabel 2. distribusi responden berdasarkan variabel tingkat pendidikan Ibu di Wilayah Kerja Puskesmas kairatu Kecamatan Kairau Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016. Pendidikan ibu RENDAH TINGGI Total
Frekuensi 73 23 96
Persent % 76.0 24.0 100.0
Dari tabel 2. di atas diketahui bahwa dari 96 responden yang berpendidikan rendah sebanyak 23 orang (24.0%).) dan berpendidikan tinggi sebanyak 73 orang (76.0%). Tabel 3. distribusi responden berdasarkan variabel kepadatan hunian di Wilayah Kerja Puskesmas kairatu Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016 Kepadatan hunian TMS MS Total
Frekuensi 67 29 96
Persent % 69.8 30,2 100.0
Dari tabel 3. di atas diketahui bahwa dari 96 responden kepadatan hunian kamar yang tidak memenuhi syarat sebanyak 67 orang (69.8) dan yang memenuhi syarat sebanyak 29 orang (30.2). Tabel 4. distribusi responden berdasarkan variabel jenis lantai di Wilayah Kerja Puskesmas kairatu Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016 Jenis lantai TMS MS Total
Frekuensi 18 78 96
Persent % 18,8 81,2 100.0
Dari tabel 4. di atas diketahui bahwa dari 96 responden jenis lantai yang tidak memenuhi syarat sebanyak 18 orang (18,8%) dan yang memenuhi syarat 78 orang (81.2%). Tabel 5. distribusi responden berdasarkan variabel ventilasi di Wilayah Kerja Puskesmas kairatu Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016 Ventilasi TMS MS Total
Frekuensi 32 64 96
Persent % 33.3 66.7 100.0
Dari tabel 5. di atas diketahui bahwa dari 96 responden, ventilasi yang tidak memenuhi syarat sebanyak 32 orang (33.3%) dan yang memenuhi syarat sebanyak 64 orang (66.7%). Tabel 6. distribusi responden berdasarkan variabel faktor perilaku di Wilayah Kerja Puskesmas kairatu Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016 Faktor perilaku TMS MS Total 85
Frekuensi 32 64 96
Persent % 33.3 66.7 100.0
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Dari tabel 6. di atas diketahui bahwa dari 96 responden yang kurang berperilaku 68 orang (70.8%) dan yang berperilaku baik sebanyak 28 orang (29.2%). Tabel 7. distribusi responden berdasarkan variabel Kejadian ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas kairatu Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016 Kejadian ISPA Sakit ISPA TDK Sakit ISPA Total
Frekuensi 32 64 96
Persent % 33.3 66.7 100.0
Dari tabel 7. di atas di ketahui bahwa dari 96 responden yang sakit ISPA sebanyak 61 orang (63.5%) dan yang tidak sakit ISPA sebanya 35 orang (36.5%). Tabel 8.Hubungan Pendidikan Ibu dengan Kejadian ISPA pada Anak Prasekolah di wilayah kerja Puskesmas Kairatu Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016 Pendidikan ibu Rendah Tinggi Total
Kejadian ISPA Sakit ISPA Tidak sakit ISPA (n) % (n) % 41 42.7 32 33.3 20 20.8 3 3.1 61 63.5 35 36.5
Total (n) 73 23 96
P (sig) % 76.0 24.0 100
0.006
Berdasarkan uji statistik dengan Chi Square diperoleh nilai p= 0.006 hal ini menunjukan bahwa ada hubungan signifikan antara pendidikan ibu dengan kejadian ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas Kairatu Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016. Tabel 9. Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian ISPA pada Anak Prasekolah di wilayah kerja Puskesmas Kairatu Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016 Kepadatan hunian TMS MS Total
Kejadian ISPA Sakit ISPA Tidak sakit ISPA (n) % (n) % 38 39.6 29 30,2 23 24.0 6 6.2 61 63.5 35 36.5
P (sig)
Total (n) 67 29 96
% 69.8 302 100
0.028
Berdasarkan uji statistik dengan Chi Square diperoleh nilai p= 0.028 hal ini menunjukan bahwa ada hubungan signifikan antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas Kairatu Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016. Tabel 10. Hubungan Jenis Lantai dengan Kejadian ISPA pada Anak Prasekolah di wilayah kerja Puskesmas Kairatu Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016 Jenis lantai TMS MS Total
Kejadian ISPA Sakit ISPA Tidak sakit ISPA (n) % (n) % 11 11.5 7 7.3 50 52.1 28 29.2 61 63.5 35 36.5
Total (N) 18 78 96
P (sig) % 18.8 81.2 100
0,507
Berdasarkan uji statistik dengan Chi Square diperoleh nilai p= 0.507 hal ini menunjukan bahwa tidak ada hubungan signifikan jenis lantai dengan kejadian ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas Kairatu Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016. 86
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Tabel 11. Hubungan Ventilasi dengan Kejadian ISPA pada Anak Prasekolah di wilayah kerja Puskesmas Kairatu Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016 Ventilasi
TMS MS Total
Kejadian ISPA Sakit ISPA Tidak sakit ISPA (n) % (n) % 22 22.9 10 10.4 39 40.6 25 26.0 61 63.5 35 36.5
Total (N) 32 64 96
P (sig) % 33.3 66.7 100
0.302
Berdasarkan uji statistik dengan Chi Square diperoleh nilai p= 0,302 hal ini menunjukan bahwa tidak ada hubungan signifikan ventilasi dengan kejadian ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas Kairatu Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016. Tabel 12. Hubungan Ventilasi dengan Kejadian ISPA pada Anak Prasekolah di wilayah kerja Puskesmas Kairatu Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016 Faktor perilaku Kurang Baik Total
Kejadian ISPA Sakit ISPA Tidak sakit ISPA (n) % (n) % 48 50.5 20 20.8 13 13.5 15 15.6 61 63.5 35 36.5
Total (N) 68 28 96
P (sig) % 70,8 29.2 100
0,023
Berdasarkan uji statistik dengan Chi Square diperoleh nilai p= 0.023 hal ini menunjukan bahwa ada hubungan signifikan antara faktor perilaku dengan kejadian ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas Kairatu Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016. PEMBAHASAN Hubungan Pendidikan Ibu dengan Kejadian ISPA pada Anak Prasekolah Berdasarkan uji statistik dengan Chi Square diperoleh nilai p= 0.006 hal ini menunjukan bahwa ada hubungan signifikan antara pendidikan ibu dengan kejadian ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas Kairatu Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nani Rusdawati hasan (2012) ) dengan judul Faktor-Faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada belita di Wilayah Kerja UPTD Kesehatan Luwuk Timur, Kabupaten Banggai Provensi sulawesi Tengah dengan nilai p= 0,040, hal ini menunjukan bahwa terdapat hubungan signifikan antara faktor – faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada belita di Wilayah Kerja UPTD Kesehatan Luwuk Timur, Kabupaten Banggai Provensi sulawesi Tengah. Penelitian yang dilakukan oleh Supratini (2011), menunjukan adanya hubungan antara pendidikan dengan kejadian ISPA pada anak prasekolah, dimana ibu dengan pendidikan tidak tamat SD, tamat SD dan SMP lebih beresiko anaknya terkena ISPA dibandingkan tamat SLTA keatas. Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian ISPA pada Anak Prasekolah Berdasarkan uji statistik dengan Chi Square diperoleh nilai p= 0.028 hal ini menunjukan bahwa ada hubungan signifikan antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas Kairatu Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Embriyowati Catiyas (2012) dengan judul Faktor-Faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada belita di Wilayah Kecamatan Gombang Kabupaten Kebumen Jawa Tengah p= 0.029 , hal ini menunjukan bahwa terdapat hubungan signifikan antara Faktor-Faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada belita di Wilayah Kecamatan Gombang Kabupaten Kebumen Jawa Tengah. Penelitian yang dilakukan oleh Prabu (2012) menunjukan adanya hubungan bermakna antara kepadatan hunian dan kematian dari bronkopneunomia pada bayi, Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor polusi dalam rumah. tetapi 87
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
disebutkan bahwa polusi udara, tingkat sosial, dan pendidikan memberikan korelasi yang tinggi pada faktor ini. Hubungan Jenis Lantai dengan Kejadian ISPA pada Anak Prasekolah Berdasarkan uji statistik dengan Chi Square diperoleh nilai p= 0.507 hal ini menunjukan bahwa tidak ada hubungan signifikan jenis lantai dengan kejadian ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas Kairatu Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016. Jenis lantai rumah merupakan suatu jenis lantai yang digunakan pada rumah-rumah yang berada di pedesaan, jenis lantai yang tergolong baik yaitu jenis lantai yang kadap air (keramik, semen dan ubin), dan yang kurang baik adalah jenis lantai tidak kadap air (tanah), Notoatmodjo, 2010). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sinaga (2012), yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis lantai dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah. Hubungan Ventilasi dengan Kejadian ISPA pada Anak Prasekolah Berdasarkan uji statistik dengan Chi Square diperoleh nilai p= 0,302 hal ini menunjukan bahwa tidak ada hubungan signifikan ventilasi dengan kejadian ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas Kairatu Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016. Asap yang di hasilkan dari pembakaran obat nyamuk dapat menyebabkan polusi udara yang berasal dari dalam rumah (indoor). Pencemaran udara tersebt dapat berupah partikel debu diameter 2,5u (PM2.5) dan partikel debu diameter 10 u (PM 10) yang menimbulkan ISPA (Kemankes RI 2011). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Namira (2012), yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita usia 0-5 tahun yang tinggal di rumah hunian akibat bencana lahar dingin merapi di kecamatan salam kabupaten magelang. Hubungan Faktor Perilaku dengan Kejadian ISPA pada Anak Prasekolah Berdasarkan uji statistik dengan Chi Square diperoleh nilai p= 0.023 hal ini menunjukan bahwa ada hubungan signifikan antara faktor perilaku dengan kejadian ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas Kairatu Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016. Penelitain yang dilakukan oleh Fidiani (2011) menunjukan bahwa terdapat hubungan bermakna antara perilaku keluarga dengan kejadian ISPA, bahwa belita dengan perilaku keluarga yang kurang baik berisiko untuk menderita ISPA sebesar 3,38 kali lebih besar dibandingkan dengan perilaku keluarga yang baik. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nani Rusdawati hasan (2012) ) dengan judul Faktor-Faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada belita di Wilayah Kerja UPTD Kesehatan Luwuk Timur, Kabupaten Banggai Provensi sulawesi Tengah. p= 0,050, bahwa terdapat hubungan antara Faktor-Faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada belita di Wilayah Kerja UPTD Kesehatan Luwuk Timur, Kabupaten Banggai Provensi sulawesi Tengah. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Hasil uji statistik pendidikan ibu menggunakan Chi square menunjukan bahwa: nilai p= 0,006 ( 0,05) maka Ha diterima Ho ditolak artinya ada hubungan antara pendidikan ibu dengan kejadian ISPA pada anak prasekolah di Wilayah Kerja Puskesmas Kairatu Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016. 2. Hasil uji statistik faktor lingkungan menggunakan Chi square menunjukan bahwa: a. nilai p= 0,028 ( 0,05) maka Ha diterima H0 ditolak artinya ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada anak prasekolah di Wilayah Kerja Puskesmas Kairatu Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016. 88
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
b. nilai p= 0.507 ( 0,05) maka Ho diterima Ha ditolak artinya tidak ada hubungan antara jenis lantai dengan kejadian ISPA pada anak prasekolah di Wilayah Kerja Puskesmas Kairatu Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016. c. Hasil uji statistik menggunakan Chi square menunjukan bahwa nilai p= 0,302 (0,05) maka Ho diterima Ha ditolak artinya tidak ada hubungan antara ventilasi dengan kejadian ISPA pada anak prasekolah di Wilayah Kerja Puskesmas Kairatu Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016. 3. Hasil uji statistik faktor perilaku menggunakan Chi square menunjukan bahwa: nilai p= 0,023 (0,05) maka Ha diterima Ho ditolak artinya ada hubungan antara faktor perilaku dengan kejadian ISPA pada anak prasekolah di Wilayah Kerja Puskesmas Kairatu Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016. Saran Saran yang dapat disampaikan berdasarkan hasil penelitian ini antara lain: 1. Bagi Puskesmas Perawatan Kairatu agar memberikan penyuluhan berkaitan dengan kejadian ISPA (perilaku keluarga misalnya kebiasaan merokok, penggunaan bahan bakar memasak, penggunaan anti nyamuk bakar dan PHBS ).mengaktifkan kembali petugas promkes untuk melakukan pendidikan kesehatan tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA terutama faktor lingkungan fisik rumah, pencemaran udara dalam rumah, dan perilaku yang menjadi resiko terjadi ISPA kepada masyarakat sehingga terbentuk kesadaran dan kemauan masyarakat untuk merubah perilaku dan lingkungan rumah yang lebih sehat. 2. Bagi masyarakat/keluarga hasil penelitian ini dapat menamba wawasan kepada masyarakat atau keluarga yang mempunyai anak prasekolah untuk lebih memperhatikan anaknya, karena Anak dibawah lima tahun atau anak masa prasekolah adalah dimana anak sedang aktif-aktifnya, ingin mengetahui segala bentuk dan segala rupa yang dilihat olehnya, senang bermain air, bermain diluar rumah dan banyak sekali yang ingin di lakukannya, selain itu pula anak dengan usia di bawah lima tahun memilki kecenderungan nafsu makan yang menurun. Diharapkan bagi masyarakat turut serta melakukan upaya pencegahan terhadap penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut. 3. Diharapkan pada peneliti lain agar mengembangkan penelitian ini dengan faktor resiko lain, desain penelitian, metode pengambilan sampel yang berbeda agar didapatkan hasil penelitian yang lebih sempurna dan lebih baik lagi. DAFTAR PUSTAKA 1. Widoyono. (2011) penyakit tropis. Jakarta: Erlangga. 2. Depkes RI (2012). Kumpulan ringkasan Eksekuti Laporan Penelitian. Didusun oleh Tim Risbinkes (Riset Pembinaan Kesehatan)1997-2005. Badan Pengembangan dan Penelitian Kesehatan : Jakarta. 3. Kemankes RI. (2012). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 829/MENKES/SK/VI 2012 tentang persyratan kesehatan perumahan. Kemantrian Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta. 4. Namira. S, 2013 Skripsi Gambaran Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Ispa Pada Anak Prasekolah Di Kampong Pemulung Tangerang Selatan. 5. WHO. Jurnal Penanggulangan ISPA pada Anak di Rumah Sakit Kecil Negara Berkembang, Pedoman untuk Dokter dan Petugas Kesehatan Senior. Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2012 6. ------------- 2013, Profil Dinas Kesehatan Provinsi Maluku. 7. Anggraeni saryono Dwi Mekar, (2013). Metodologi Penelitian kualitatif dan kuantitatif dalam bidang kesehatan : Yogyakarta Medikal 8. Arbatasiah. (2015). Skripsi Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Infeksi Saluran Pernapasan Akut (Ispa) Terhadap Pengetahuan Ibu Merawat Balita Di Desa Pajukukang Kecamatan Bontoa Kabupaten Maros
89
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN PERKEMBANGAN SOSIAL ANAK PADA USIA 1-5 TAHUN DI DUSUN WAIMITAL DESA WAIMITAL KECAMATAN KAIRATU KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT TAHUN 2016 Abuzar Wakano (STIKes Maluku Husada) Fatmi.S. Soulisa (STIKes Maluku Husada) Eko Puji Astuti (STIKes Maluku Husada) Nanang.S.Soulisa (STIKes Maluku Husada) ABSTRAK Pola asuh orang tua adalah merupakan sebuah interaksi mengenai aturan, nilai, dan normanorma di masyarakat dalam mendidik, merawat, dan membesarkan anak-anaknya untuk mencapai kedewasaa yang sesuai dengan aturanyang berlaku dalam lingkungan setempatnya Perkembangan sosial adalah kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosialmenjadi orang yang bermasyarakatdan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral, dan tradisi, melebur diri menjadi satu kesatuan dan saling berkomonikasi dan berkerja sama.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan sosial anak di Dusun Waimital Desa Waimital Kecamatan Kairatu KabupatenSeram Bagian Barat Tahun 2016. Penelitian ini menggunakan desain analitik dengan menggunakan metode desain cross sectional. yang dilakukan di Dusu Waimital Desa Waimital Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016. Sampel dalam penelitian adalah total sampling yaitu semua populasi dijadikan sampel sebanyak 60 orang. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner dan lembar observasi DDTK . Pengolahan data, menggunakan uji statistik chi-square dengan tingkat kemaknaan (α) ≤ 0,05. Hasil dalam penelitian ini di peroleh nilai signifikan antara pola asuh dengan perkembangan sosial anak (0,005) sehingga p lebih kecil dari < α (0,05) yang menunjukkan bahwa Ho ditolak. Dari hasil tersebut disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pada pola asuh orang tua dengan perkembangan sosial anak. Kata Kunci : Pola asuh, Perkembangan Sosial PENDAHULUAN Anak adalah harapan orang tua, harapan masa depan keluarga bahkan bangsa, oleh sebab itu perlu dipersiapkan agar kelak menjadi manusia yang berkualitas, sehat, bermoral dan berguna bagi dirinya, keluarga, agama dan bangsanya (Suharsono, 2014). Perkembangan sosial anak adalah sebuah proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral dan tradisi, meleburkan diri menjadi satu kesatuan dan saling berkomunikasi dan kerja sama. Kemampuan sosial anak berkembang dari berbagai kesempatan dan pengalaman bergaul denganorang-orang dilingkungannya. Kebutuhan berinteraksi dengan orang lain telah dirasakan sejak usia enam bulan, disaat itu mereka telah mampu mengenal manusia lain, terutama ibu dan anggota keluarganya. Anak mulai mampu membedakan arti senyum dan perilaku social lain, seperti marah (tidak senang mendengar suara keras) dan kasih sayang (Hurlock,E.201). Untuk mencapai kematangan sosial, anak harus belajar tentang cara-cara menyesuaikan diri dengan orang lain. Kemampuan ini diperoleh anak melalui berbagai kesempatan atau pengalaman bergaul dengan orang-orang di lingkungannya, baik orang tua, saudara, teman sebaya ataupun orang dewasa lain. Pada proses berikutnya perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh perlakuan atau bimbingan orang tua terhadap anak dalam mengenalkan berbagai aspek kehidupan sosial atau norma-norma kehiduapan bermasyarakat serta mendorong dan memberikan contoh kepada 90
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
anaknya bagaimana menerapkan norma-norma tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Proses bimbingan orang tua disebut sosialisai. Pola asuh orang tua sangat berperan dalam pembentukan karakter anak, yang mana orang tua mendidik dan mengasuh anaknya.Pola asuh orang tua sangat membantu bagaimana peran dan sikap anak sesuai dengan jenis kelaminnya dalam keluarga, masyarakat, dan bangsa.Pola asuh orang tua membantu anak mengenal nilai-nilai atau aturan yang ada agar anak mematuhi aturan tersebut dan anak bisa diterima oleh lingkungannya.Selain itu, orang tua juga harus memberikan sebuah kasih sayang terhadap anaknya agar tidak merasa (Damayanti, 2013). Hasil penelitian yang dilakukan oleh UNICEF pada tahun (2014) mengungkap sebanyak 165 juta anak di seluruh dunia terhambat perkembangan fisik maupun otaknya. Kondisi itu bisa terjadi dikarenakan bayi mengalami keterlambatan perkembangan dan gizi buruk, hingga berisiko untuk menghadapi masa depan kesehatan yang buruk, pendidikan buruk, pendapatan ekonomi rendah dan kemiskinan, Sejak tahun 2010-2014, WHO mengeluarkan sebuah kurva pertumbuhan standar yang menggambarkan pertumbuhan anak umur 0-59 bulan di lingkungan yang diyakini dapat mendukung pertumbuhan optimal anak.Indonesia adalah negara ke empat yang memiliki jumlah penduduk terbesar didunia. Hal ini terbukti dari data sensus tahun 2013, Indonesia memiliki populasi 214.6 juta penduduk, dan hampir dari 2 juta anak- anak di bawah umur 5 tahun mengalamiketerlambatan perkembangan dan gizi buruk. Sepertiga dari anak berusia 5-9 tahun tidak mendapat pendidikan sekolah (Hurlock,E.2010). Berdasarkan hasil penelitian yang di lakukan oleh Candrasari (2010), menunjukkanbahwa,Maluku mempunyai prevelensi masalah dengan perkembangan pola pikir anak sebesar 44,4%. Dimana dataini menunjukkanbahwa terdapat masalah yang cukup serius pada daerah Maluku tentang perkembangan anak dalam proses belaja. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan desain analitik dengan menggunakan metode desain cross sectional yang merupakan rencana penelitian untuk mengetahui “hubungan pola asuh orang Tua dengan perkembangan sosial anak usia 1-5 tahun pada Dusun Waimital”. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah orang Tua dan anak usia1-5 tahun Dusun Waimital Desa Waimital Kec Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat Desa waimital yangberjumlah 60 anak. Sampel yang digunakan dalam penelitian adalah total sampling yaitu semua populasi dijadikan sampel sebanyak 60 orang. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara memberikan lembar penyataan persetujuan dan membagikan kuesioner pola asuh orang tua di Desa Waimital kec Kairatu Kab Seram Bagian Barat, kemudian menjelaskan tentang cara pengisiannya. Responden di mintan untuk mengisi kuesioner sampai dengan selesai dan kuesioner pada saat itu juga oleh peneliti. Untuk melihat perkembangan anak dilkakukan uji perkembangan pedoman DDTK. Setelah pengambilan data di lakukan dan di peroleh, maka selanjutnya dilakukan pengolahan data yang meliputi beberapa bagian yaitu: Editing,Coding,dan Tabulating. Selanjutnya dilakukan analisa data dengan menggunakan uji statistik Chi-Square. HASIL PENELITIAN Tabel 1 distribusi responden berdasarkan kelompok umur orang tua di Dusun Waimital Desa Waimital Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat tahun 2016 Umur (Tahun) 20-30 31-40 41-50 51-60 Total
n 16 38 5 1 60
% 26,7 63,3 8,3 1,7 100,0
Berdasarkan tabel 1 di atas karakteristik responden berdasarkan umur orang tua diperolehresponden yang paling banyak berusia 31-40 tahun yaitu sebanyak 38 orang (63,3 %) sedangkan responden yang paling sedikit berusia 51-60 tahun hanya 1 orang (1,7%).
91
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Tabel 2. Distribusi Sampel berdasarkan kelompok umur bayi di DusunWaimital DesaWaimital kecamatan KairatuKabupaten Seram Bagian BaratTahun 2016. Umur(bulan) 12 18 24 36 48 Total
n 17 10 19 6 8 60
% 28,3 16,7 31,7 10 13,3 100,0
Berdasarkan tabel 2 menunjukan bahwa dari 60 anak umur diperoleh sampel yang paling banyak berusia 24 Bulan sebanyak 19 orang (31,7 %) sedangkan paling sedikit berusia 36 Bulan sebanyak 6 orang (10%). Tabel 3 Distribusi responden berdasarkan pola asuh orang tua di Dusun Waimital Desa Waimital Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016. Pola Asuh Demokratis Otoriter Permisif Penelantar Total
n 33 7 14 6 60
% 55 11,7 23,3 10,0 100,0
Berdasarkan tabel 3 menunjukan bahwa dari 60 anak pengan pola asuh demokratis tertinggi sebanyak 33 orang (55% ) sedangkan responden yang paling sedikit menyatakan menggunakan pola asuh penelantar yaitu sebanyak 6 orang (10 %). Tabel 4 Distribusi responden berdasarkan perkembangan sosial di Dusun Waimital Desa Wamital Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016. Perkembangan Sosial Sesuai Terlambat Total
n 37 23 60
% 61,7 38,3 100,0
Berdasarkan tabel 4 menunjukan bahwa dari 60 anak dengan perkembangan sosial yang sesuai tertinggi sebanyak 37 orang (61,7%) sedangkan yang terlambat yaitu sebanyak 23 orang (38,3%). Tabel 5 hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan sosial anak Di Dusun Waimital Desa Waimital Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2016 Pola Asuh Demokratis Otoriter Permisif Penelantar Total
Perkembangan Sosial Sesuai tidak sesuai n % % 27 81,8 6 18,2 3 42,9 4 57,1 5 35,7 9 64,3 2 33,3 4 66,7 37 61,7 23 38,3
total
%
33 7 14 6 60
100 100 100 100 100
Sig(p)
p=0,00 5
Berdasarkan tabel 5 di atas menunjukan bahwa dari 33 responden yang menggunakan pola asuh demokratis, memiliki anak yang mengalami perkembangan sosial sesuai dengan usia sebanyak (81,8%) dan terlambat dengan usia (18,2%). Sedangkan untuk responden yang menggunakan pola asuh otoriter sebanyak 7 responden memiliki anak dengan perkembangan sosial sesuai usia sebanyak (42,9%) dan terlambat sebanyak (57,1%). Selain itu untuk 92
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
responden dengan pola asuh permisif dari 14 responden, memiliki anak dengan perkembangan sosial sesuai usia sebanyak (35,7%) dan terlambat sebanyak(64,3%). Sedangkan responden yang mengunakan pola asuh penelantar dari 6 responden, memiliki anak dengan perkembangan sosial yang sesuai dengan usia (33,3%) dan yang terlambat dengan usia sebanyak (66,7%). Hasil uji statistik menunjukan bahwa nilai p=0.005 (<0,05 ) artinya adahubungan antara pola asuh dengan perkembangan sosial anak usia 1-5 tahun di Dusun Waimital Desa Waimital Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat tahun 2016. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian di atas menunjukanbahwa dengan Pola asuh demokratis, anak yang mengalami perkembangan sosial yang sesuai sebanyak 27 orang (81,8%) dan tidak sesuai sebanyak 6 orang (18,2%). Dari hasil uji statistik menunjukan nilai P=0,005 yang artinya ada hubungan yang signifikan antara pola asuh dengan perkembangan sosial anak usia 1-5 tahun di dusun waimital desa waimital kecamatan kairatu kabupaten seram bagian barat. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Elsya,D. dengan judul hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan sosial dan bahasa anak di PAUD Aisyiyah Nur’aini Ngampilan Yogyakarta tahun 2014 dengan hasil uji chi-square dengan nilai p= 0,044 berarti ada hubungan bermakna antara pola asuh dengan perkembangan sosial. Orang tua yang dikategorikan kedalam pola asuh demokratis adalah orang tua yang berusaha mengarahkan anaknya agar dapat bertingkah laku secara rasional. Sedangkan responden dengan pola asuh otoriter, 3 orang (5%) mengalami perkembangan sosial yang sesuai dan 4 anak lainnya (6,7%) mengalami perkembangan sosial tidak sesuai. Menurut (Yanti,2012), Pola asuh merupakan interaksi antara orang tua dan anak-anaknya yang meliputi pengekspresian perilaku,sikap, minat,bakat,danharapan-harapanorang tua dalam mengasuh,membesarkan dan memenuhi anak-anaknya. Sedangkan menurut Damayanti (2013), Pola asuh merupakan kesuluruhan interaksi, dimana orang tua bermaksud menstimulasi anaknya dengan mengubah tingkah laku, pengetahuan serta nilai-nilai yang dianggap paling tepat oleh orang tua, agar anak dapat mandiri, tumbuh dan berkembang secara sehat dan optimal. Semua sikap dan perilaku anak dalam keluarga dipengaruhi oleh pola asuh orang tua. Pola asuh orang tua akan mempengaruhi perkembangan jiwa anak. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulkan bahwa pola asuh terhadap anakanak di desa waimital 55% dengan pola asuh demokratis,sedangkan perkembangan sosial di desa waimital 61,7% telah sesuai dengan usia,maka ada hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan anak di dusun waimital. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka di sarankan bagi masyarakat dapat memberikan masukan tentang pola asuh orang tua yang baik yang dapat di terapkan dilingkungan masyarakat pada anak sehinga anak biasa menjadi pribadi yang lebih baik sesuai dengan harapan terutama dalam perkembngan sosil anak. Bagi lembaga institusi di harapkan sebagi referensi ilmiah untuk peneliti lebih lanjut, hususnya yang berkaitan dengan pola asuh orang tua denga perkembangan sosial anak. Bagi peneliti selanjutnya di harapkan agar dapat melakukan penelitian lebih lanjut dengan perkembangan variabel dan jumlah populasi yang lebih banyak sehingga akan di peroleh hasil yang lebih baik. DAFTAR PUSTAKA 1. Adriana Dian, 2011. Tumbuh Kembandan Terapi Bermain Pada Anak.akarta; Salemba Medika. 2. Ahmad Susanto, Perkembangan Anak Usia Dini Pengantar dalam Berbagai Aspeknya, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012). 93
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
3. Ahmad Tafsir, (2012). Peran orang tua dalam mendidik anak usia dini,(http://vemale.com/kesehatan/Anak t.html)diakses pada tanggal 04mei 2016. 4. Ariyani, (2015). Hubunga pengetahuan ibu tentang perkembangan anak dengan perkembangan motorik kasar dan motorik halus anak. Jurnal Keperawatan Muhammadiyah Semarang. Diakses pada tanggal 07 mei 2016. 5. Baumrind Hidayah, (2011). Pengantar ilmu anak 1.Jakarta: Salemba 6. Candrasari, (2010). Hubungan pola asuh orang tua dengan cara pola piker pada anak usia pra sekolah 3-tahun.(http://pola asuh orang tua-pola-pikir-anak.htm) diakses pada 4 juni 2016 7. Damayanti, (2013). Pola asuh anak dan balita dalam keluarga. (http://www.myhypnotherapyeft.com/pola-asuh-anak-usia-prasekolah)Diakses pada tanggal 05 mei 2016 8. Depkes RI, 2010 Pedoman deteksi dini tumbuh kembang anak.Yayasan suya karti 9. Dinas Kesehatan, Maluku (2013) tahap tumbuh kembang, (http://berita.anak.kesehatan.htm) diakses pada 4 juni 2016 10. Elsya, D. (2010). Peranan pola asuh orang tua dalam perkembangan dankompetensi social anak, diakses pada 6 juni 2016 11. Gunarsa andi. (2010). Perkembangan dan Konsep Dasar Pengembangan Anak Usia Dini.diakses pada 3 juni 2016. 12. Hamalik, (2011). Pertumbuhan perkembangan anak dan remaja. : (http://Indonesia Publising House.anak-dan-dewasa.htm) diakses pada tanggal 06 Mei 2016 13. Hasbullah, (2012). Pengaruh pola asuh orang tua terhadap moral anak, (http://pusatpanduan.com/pdf/hubungan+pengaruh+pola+asuh+orang) diakses 05 Mei 2016 14. Hidayat, (2011) metode penelitian keperawatan dan teknik analisa data: Jakarta salembang medical. 15. Hurlock,E. (2010). Perkembangan anak.(Edisi 6 jilit 1).Jakarta PT Erlangga. 16. Notoatmodjo, soekidjo. (2010) Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta : Jakarta 17. Nurcahya, (2012).Perkembangan pendidikan anak usia dini di Indonesia dan Mancanegara, (http://jurnaltugas.blogspot.Com/2012/06/ perkembangan-pendidika-anak-usia-dini.htm) diakses pada tanggal 03mei 2016. 18. Pangaji, (2015) pola asuh terhadap perkembangan anak tepat untuk anak. (http://www.khasanah-nikita-polaasuh-orang-tua). diakses pada tanggal 07 mei 2016 19. Riyanto. (2013) metode kesehatan : yokyakarta nuhan medikal 20. Rina M. Taufi, (2011). Pola Asuh Orang Tua.(http://www.tabloid_polaasuh-orang-tuanakita.co . diakses pada tanggal 05 mei 2016 21. Singgih D Gunarsa (2014). Peran orang tua dalam mendidik anak usia dini. Jakarta: EGC 22. Suharsono, (2014). Hubungan pola asuh orang tua terhadap kemampuan sosialisasi pada anak prasekolah. Jurnal Keperawatan Soedirman. Diakses pada tanggal 04 Mei 2016 23. Sutari Imam, (2013). Deteksi dini tumbuh kembang balita (http://www.indonesianpublichealth.com/2013/01/deteksi-dini-tumbuh-kembang-anak.html) diakses pada tanggal 05 mei 2016 24. Syaiful Bahr Djamarah, (2013). Tumbuh kembang anak,(http://www.infoanak.com/kariesakar/definisimengenai.html)diakses pada tanggal 05 mei 2016 25. UNICEF Indonesia (2013), Mapping child protection systems. A consolidated report of findings in six target provinces in Indonesia. Diakses pada tanggal 05 mei 2016 26. Yanti Tarsidi,(2012).Peranan orang tua dalam perkembangan kompetensi 27. Social anak, (http///C:/tabloidkesehatan./Downloads/Standarperawatan-gigi.htm)diakses pada 4 mei 2016Yuniarti. (2015). Psikologi 28. Perkembangan Anak dan Remaja.. (http://nyriza..com/2013/06/psikologiperkembangan-anak-dan-remaja.html), diakses pada tanggal 4 juni 2016
94
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KECEPATAN WAKTU TANGGAP PENANGANAN KASUS GAWAT DARURAT PADA RESPONSE TIME DI IGD RUMAH SAKIT MASOHI KABUPATEN MALUKU TENGAH TAHUN 2016 Ira Sandi Tunny (STIKes Maluku Husada) Endha Firiasari (STIKes Maluku Husada) Citra H.S. Lawia (STIKes Maluku Husada) Harisa Marasabessy (STIKes Maluku Husada) ABSTRAK Pelayanan pasien gawat darurat memegang peranan yang sangat penting berdasarkan kaidah Time saving is live live saving dan waktu tanggap sebagai indikator proses untuk mencapai indikator hasil yaittu kelangsungan hidup. Pada tahun 2012, data kunjungan pasien ke Instalasi Gawat Darurat di seluruh Indonesia mencapai 4.402.205 913,3% dari seluruh total kunjungan di Rumah Sakit Umum dengan jumlah kunjungan 12% dari kunjungan Instalasi Gawat Darurat berasal dari rujukan dengan jumlah Rumah Sakit Umum 1.033 Rumah Sakit Umum dari 1.319 Rumah Sakit yang ada. Jumlah yang signifikan ini kemudian memerlukan perhatian yang cukup besar dengan pelayanan pasien gawat darurat (Keputusan Menteri Kesehatan, 2012). Tujuan dalam penelitian ini adalah mengetahui faktor – faktor yag berhubungan dengan keceptan waktu tanggap penanganan kasus gawat darurat pada Responsee Time di IGD Rumah Sakit Masohi Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2016. Penelitian ini merupakan penelitian Analitik Korelasional dengan menggunakan pendekatan Cross Sectional Study dengan jumlah sampel sebanyak 18. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner. Pengolahan data dengan SPSS, menggunakan uji Chi-Square dan tingkat kemaknaan 0,05. Hasil dalam penelitian ini diperoleh Nilai signifikan antara pengetahun dengan waktu tanggap (p=0,023), beban kerja dengan waktu tanggap (p=0,041), fasilitas dengan waktu tanggap (p=0,023), pelatihan degan waktu tanggap (p=0,083). Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa pengetahuan, beban kerja dan fasilitas dapat mempengaruhi kecepatan waktu tanggap penanganan kasus gawat darurat sedangkan pelatihan tidak dapat mempengaruhi kecepatan waktu tanggap penanganan kasus gawat darurat. Kata Kunci: Pengetahuan, Beban Kerja, Fasilitas, Pelatihan, Waktu Tanggap, Penanganan Kasus di IGD PENDAHULUAN Instalasi Gawat Darurat sebagai gerbang utama penanganan kasus gawat darurat di rumah sakit memegang peranan penting dalam upaya penyelamatan hidup klien. Wilde (2011) telah membuktikan secara jelas tentang pentingnya waktu tanggap (respon time) bahkan pada pasien selain penderita penyakit jantung. Mekanisme waktu tanggap, disamping menentukan keluasan rusaknya organ-organ dalam, juga dapat mengurangi beban pembiayaan. kecepatan dan ketepatan pertotolongan yang diberikan pada pasien yang datang ke Instalasi gawat darurat memerlukan standar sesuai dengan waktu tanggap yang cepat dan penanganan yang tepat. Hal ini dapat dicapai dengan meningkatkan sarana, prasarana, sumber daya manusia dan manajemen Instalasi Gawat Darurat rumah sakit sesuai standar (Keputusan Menteri Kesehatan, 2012). Dalam penanganan gawat darurat ada filosofinya yaitu Time Saving is Life Saving artinya seluruh tindakan yang dilakukan pada saat kondisi gawat darurat haruslah benar-benar efektif dan efisien. Hal ini mengingatkan bahwa pasien dapat kehilangan nyawa hanya dalam hitungan menit saja. Berhenti nafas selama 2-3 menit pada manusia dapat menyebabkan kematian yang fatal (Sutawijaya, 2012). 95
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Pelayanan pasien gawat darurat adalah pelayanan yang memerlukan pertolongan segera yaitu cepat, tepat dan cermat untuk mencegah kematian dan kecacatan, atau pelayanan pasien gawat darurat memegang peranan yang sangat penting (Time saving is life saving) bahwa waktu adalah nyawa. Salah satu indikator mutu pelayanan berupa response timeatau waktu tanggap, hal ini sebagai indikator proses untuk me ncapai indikator hasil yaitu kelangsungan hidup. Waktu tanggap pelayanan merupakan gabungan dari waktu tanggap saat pasien tiba di depan pintu rumah sakit sampai mendapat tanggapan atau respon dari petugas instalasi gawat darurat dengan waktu pelayanan yaitu waktu yang di perlukan pasien sampai selesai.(Moewardi, 2010). Gawat artinya mengancam nyawa, sedangkan Darurat perlu mendapatkan penanganan awal atau tindakan dengan segera untuk menghilangkan ancaman nyawa korban. Sebenarnya dalam tubuh kita terdapat berbagai organ dan semua itu terbentuk dari sel–sel, sel tersebut akan timbul jika pasokan oksigen tidak terhenti. Kematian ada dua macam yaitu mati klinis dan mati biologis, mati klinis adalah bila seorang penderita henti nafas dan henti jantung, waktu 6−8 menit setelah terhentinya pernafasan dan system sirkulasi tubuh sedangkan mulai terjadinya kerusakan sel−sel otak dan waktunya dimulai 6−8 menit setelah berhentinya system pernafasan dan sirkulasi. (Musliha, 2010). Prinsip umum mengenai pelayanan di IGD tercantum dalam Kepmenkes RI nomor 856 tahun 2012 mengenai Standar IGD di Rumah Sakit, yang berbunyi:“ Pasien gawat darurat harus ditangani paling lama 5 (lima) menit setelah sampai di IGD”. Pelayanan gawat darurat harus sesuai dengan waktu tanggap yang cepat dan penanganan yang tepat. Semua itu dapat dicapai antara lain dengan meningkatkan sarana, prasarana, sumber daya manusia dan manajemen Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit sesuai dengan standar. Hasil penelitian pada 120 emergency medical service di Beijing, Chinapada tahun 2009 oleh Zhang, Wang dan Zhao didapatkan waktu tanggap rata−ratapada 51.918 kasus adalah 16,5 menit lebih lama dari standar nasional yan ditetapkan oleh China yaitu 15 menit ( Zhang JJ, Wang LD, Zhao YC, 2010). Pada tahun 2012, data kunjungan pasien ke Instalasi Gawat Darurat di seluruh Indonesia mencapai 4.402.205 913,3% dari seluruh total kunjungan di Rumah Sakit Umum dengan jumlah kunjungan 12% dari kunjungan Instalasi Gawat Darurat berasal dari rujukan dengan jumlah Rumah Sakit Umum 1.033 Rumah Sakit Umum dari 1.319 Rumah Sakit yang ada. Jumlah yang signifikan ini kemudian memerlukan perhatian yang cukup besar dengan pelayanan pasien gawat darurat (Keputusan Menteri Kesehatan, 2012). Pada tahun 2015, data kunjungan pasien ke Instalasi Gawat Darurat di Propinsi Maluku sebanyak 18,944 orang (Dinkes Propinsi Maluku, 2015). Pasien yang masuk ke Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Masohi Pada Tahun 2013 sebanyak 1921 orang, tahun 2014 sebanyak 2299 orang dan tahun 2015 sebanyak 2573 orang. Angak kematian di RSU Masohi dari tahun ke tahun meningkat yaitu tahun 2013 sebanyak 57 orang, 2014 sebanyak 65 orang dan 2015 sebanyak 95 orang.( Rekam Medis RSU Masohi, 2016) Respons time merupakan waktu antara dari permulaan suatu permintaan ditanggapi dengan kata lain dapat disebut waktu tanggap. Waktu tanggap yang baik bagi pasien yaitu ≤ 5 menit (Menteri Kesehatan RI, 2012). Instalasi gawat darurat RSUD Masohi memiliki tenaga perawat sebanyak 20 perawat yang terbagi menjadi 3 shift yaitu shift pagi, siang dan malam, setiap shift terdiri dari 4 perawat dengan tingkat pendidikan Ners sebanyak 2 orang, S.Kep sebanyak 6 orang, A.Md.Kep sebanyak 9 orang, SPK sebanyak 1 orang, SE sebanyak 1 orang dan SMA sebanyak 1 orang. (Rekam Medis RSUD Masohi, 2015). METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian analitik korelasional dengan pendekatan Cross Sectional Study. Penelitian ini dilaksankan di Rumah Sakit Umum Daerah Masohi pada Tanggal 10 Juli s/d 10 Agustus 2016. Populasi pada penelitin ini adalah semua perawat di Rumah Sakit Masohi tahun 2016. Penarikan sampel menggunakan total sampling maka didapatkan sampel sebanyak 18 orang responden. 96
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara langsung dengan responden menggunakan instrument penelitian kuesioner dan dilakukan dengan cara home to home. Setelah pengambilan data dilakukan dan data diperoleh, maka selanjutnya dilakukan pengolahan data yang meliputi beberapa bagian yaitu: Editing, Coding dan Tabulating. Setelah data diolah selanjutnya dilakukan analisis data dengan menggunakan uji statistik Chi-Square. HASIL PENELITIAN Tabel 1. Distribusi Umur Responden Perawat Yang Bertugas di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Masohi Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2016. Umur 25 – 30 tahun 31 – 35 tahun 36 – 40 tahun Total
n 5 6 7 18
(%) 27,8 33,3 38,9 100,0
Tabel 1. menunjukan bahwa dari 18 responden yang paling banyak berusia 36-40 tahun yaitu 7 responden (38,9 %) dan paling sedikit berusia 25-30 tahun yaitu 5 responden (27,8%) dan 31-35 tahun 6 responden (33,3%). Tabel 2. Distribusi Pendidikan Responden Perawat Yang Bertugas di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Masohi Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2016. Pendidikan SPK DIII Keperwatan S1 Keperawatan Ners Total
n
(%) 5,6 55,6 33,3 11,1 100,0
1 9 6 2 18
Tabel 2. menunjukan bahwa dari 18 responden yang paling banyak berpendidikan DIII Keperawatan sebanyak 9 responden (55,6%), dan yang paling sedikit berpendidikan SPK sebanyak 1 responden (5,6%), Ners sebanyak 2 responden (11,1%) dan S1 Keperawatan sebanyak 6 responden (33,3%). Tabel 3. Distribusi Masa Kerja Responden Perawat Yang Bertugas di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Masohi Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2016. Masa Kerja 6 bulan - ≤ 5 tahun 5 – 10 tahun >10 tahun Total
n 3 6 9 18
(%) 16,7 50,0 33,3 100,0
Tabel 3 menunjukan bahwa sebagian besar perawat telah bekerja 5 – 10 tahun sebanyak 9 responden (50,0%) dan paling terendah masa kerjanya yaitu 6 bulan - ≤ 5 tahun sebanyak 3 responden (16,7%). Tabel 4. Distribusi Waktu Tanggap Responden Perawat Yang Bertugas di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Masohi Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2016. Waktu Tanggap Cepat Lambat Total
n 14 4 18
(%) 77,8 22,2 100,0
Tabel 4 menunjukan bahwa perawat dengan waktu tanggap cepat sebanyak 14 responden (77,8%) dan perawat dengan waktu tanggap lambat sebanyak 4 responden (22,2%). 97
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Tabel 5. Distribusi Pengetahuan Responden Perawat Yang Bertugas di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Masohi Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2016. n
Pengetahuan Baik Kurang Total
(%) 55,6 44,4 100,0
10 8 18
Tabel 5 menunjukan bahwa distribusi responden berdasarkan tingkat pengetahuan perawat tentang waktu tanggap didapatkan hasil perawat dengan pengetahuan baik sebanyak 10 responden (55,6%) dan pengetahuan kurang sebanyak 8 responden (44,4%). Tabel 6. Distribusi Beban Kerja Responden Perawat Yang Bertugas di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Masohi Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2016. Beban Kerja Berat Ringan Total
n 9 9 18
(%) 50,0 50,0 100,0
Tabel 6 menunjukan bahwa Distribusi Responden berdasarkan beban kerja perawat menunjukan bahwa dari 18 responden terdapat 9 responden (50,0%) yang mempunyai beban kerja berat dan yang memiliki beban kerja ringan sebanyak 9 responden (50,0%). Tabel 8. Distribusi Fasilitas Responden Perawat Yang Bertugas di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Masohi Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2016. Fasilits Tersedia Tidak Tersedia Total
n 10 8 18
(%) 55,6 44,4 100,0
Tabel 8. menunjukan bahwa Distribusi responden berdasarkan fasilitas di Instalasi Gawat Darurat RSU Masohi Kabupaten Maluku Tengah menunjukan bahwa dari 18 responden terdapat 10 responden yang bekerja didukung ketersediaan fasilitas (55,6%) dan 8 responden (44,4%) yang bekerja tidak didukung ketersedian fasilitasnya. Tabel 9. Distribusi Pelatihan Responden Perawat Yang Bertugas di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Masohi Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2016. Pelatihan Tidak Pernah Mengikuti Pelatihn Kegawat Daruratan Pernah Mengikuti Pelatihn Kegawat Daruratan Total
n 12 6 18
(%) 66,7 33,3 100,0
Tabel 9 menunjukan bahwa Distribusi responden berdasarkan pelatihan di Instalasi Gawat Darurat RSUD Masohi Kabupaten Maluku Tengah menunjukan bahwa dari 18 responden terdapat 12 responden (66,7%) yang tidak pernah mengikuti pelatihan Kegawat Daruratan dan 6 responden (33,3%) yang pernah mengikuti pelatihan Kegawat Daruratan. Tabel 10 Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Dengan Kecepatan Waktu Tanggp Pada Penanganan Kasus Gawat Darurat di Instalasi Gawat Darurat RSUD Masohi Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2016 Tingkat Pengetahuan Baik Kurang Total
98
Waktu Tanggap Cepat Lambat n % n % 10 55,6 0 0 4 22,2 4 22,2 14 77,8 4 22,2
Total n 10 8 18
% 55,6 44,4 100,0
Sig (P)
0,023
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Tabel 10 menunjukan bahwa gambaran kecepatan waktu tanggap penanganan kasus gawat darurat di Instalasi Gawat Darurat di RSU Masohi menunjukan bahwa responden yang tingkat pengetahuan baik yang mempunyai waktu tanggap yang cepat sebanyak 10 responden (55,6%) dan yang mempunyai rata-rata waktu tanggap yang lambat sebanyak 0 responden (0%) sedangkan responden dengan tingkat pengetahuan kurang baik yang mempunyai ratarata waktu tanggap yang cepat sebanyak 4 (22,2%) dan yang mempunyai rata-rata waktu tanggap yang lambat sebanyak 4 responden (22,2%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,023 (p<0,05) hal ini menunjukan bahwa berarti ada hubungan tingkat pengetahuan dengan waktutanggap perawat pada pasien gawat darurat di Instalasi Gawat Darurat RSU Masohi. Tabel 11 Hubungan Antara Beban Kerja Dengan Kecepatan Waktu Tanggp Pada Penanganan Kasus Gawat Darurat di Instalasi Gawat Darurat RSUD Masohi Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2016. Beban Kerja
Berat Ringan
n 9 5
Total
14
Waktu Tanggap Cepat Lambat % n % 50,0 0 0 27,8 4 22,2 77,8
4
22,2
Total N 9 9
% 50,0 50,0
18
100,0
Sig (P)
0,041
Tabel 11 menunjukan bahwa Gambaran kecepatan waktu tanggap penanganan kasus gawat darurat di Instalasi Gawat Darurat RSUD Masohi berdasarkan beban kerja menunjukkan bahwa responden yang saat beban kerjanya berat mempunyai waktu tanggap yang cepat sebanyak 9 responden (50,0%) dan waktu tanggap yang lambat sebanyak 0 responden (0%), sedangkan responden yang saat beban kerjanya ringan yang mempunyai waktu tanggap yang cepat sebanyak 5 responden (27,8%) dan lambat sebanyak 4 responden (22,2%). Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai 0,041 berarti nilai p < α (0,05). Hal ini berarti ada hubungan antara beban kerja dengan waktu tanggap perawat di Instalasi Gawat Darurat RSU Masohi Kabupaten Maluku Tengah tahun 2016. Tabel 12 Hubungan Antara Fasilitas Dengan Kecepatan Waktu Tanggp Pada Penanganan Kasus Gawat Darurat di Instalasi Gawat Darurat RSUD Masohi Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2016 Ketersediaan Fasilitas Tersedia Tidak Tersedia Total
Waktu Tanggap Cepat Lambat n % n % 10 55,6 0 0 4 22,2 4 22,2
n 10 8
% 55,6 44,4
14
18
100,0
77,8
4
22,2
Total
Sig (P)
0,023
Tabel 12 menunjukan bahwa gambaran kecepatan waktu tanggap penanganan kasus gawat darurat di Instalasi Gawat Darurat di RSU Masohi berdasarkan ketersediaan fasilitas menunjukan bahwa respoden yang saat fasilitas tersedia waktu tanggapnya cepat sebanyak 10 responden (55,6%) dan yang memiliki waktu tanggap lambat sebanyak 0 responden (0%) sedangkan responden yang saat fasilitas tidak tersedia waktu tanggapnya cepat sebanyak 4 responden (22,8%) sedangkan responden yang waktu tanggapnya menjadi lambat sebanyak 4 (22,2%). Berdesarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,023, berarti nilai p< α (0,05), hal ini berarti ada hubungan antara ketersedian fasilitas dengan waktu tanggap ketersedin fasilitas di Instalasi Gawat Darurat RSUD Masohi Kabupaten Maluku Tengah tahun 2016. 99
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Tabel 13 Hubungan Antara Fasilitas Dengan Kecepatan Waktu Tanggp Pada Penanganan Kasus Gawat Darurat di Instalasi Gawat Darurat RSUD Masohi Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2016. Pelatihan Emergency Tidak Pernah Mengikuti Pelatihan Emergency Pernah Mengikuti Pelatihan Emergency Total
n 1
Waktu Tanggap Cepat Lambat % n % 61,1 1 5,6
Total n 12
Sig (P)
% 66,7 0,083
3
16,7
3
14
77,8
4
16,7
22,2
6
33,3
18
100,0
Tabel 13. menunjukan bahwa gambaran kecepatan waktu tanggap penanganan kasus gawat darurat di Instalasi Gawat Darurat RSUD Masohi berdasarkan ada atau tidak adanya pelatihan emergency yang didapatkan oleh perawat menunjukan bahwa responden yang pernah mengikuti pelatihan emergency yang mempunyai kecepatan waktu tanggap cepat sebanyak 11 responden (61,1%)dan waktu tanggapnya lambat sebanyak 1 responden (5,6%). Sementara responden yang tidak pernah mengikuti pelatihan emergency yang mempunyai waktu tanggap cepat sebanyak 3 responden (16,7%) dan waktu tanggapnya lama sebanyak 3 responden (16,7%). Berdesarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,083, berarti nilai p> α (0,05), hal ini berarti tidak ada hubungan antara pelatihan emergency dengan waktu tanggap di Instalasi Gawat Darurat RSUD Masohi Kabupaten Maluku Tengah tahun 2016. PEMBAHASAN Hubungan tingkat pengetahuan dengan kecepatan waktu tanggap penanganan kasus gawat darurat di Instalasi Gawat Darurat RSU Masohi Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2016. Hasil perhitungan dengan menggunakan uji chi square pada tabel menunjukan nilai p = 0,011 (α = 0,05) sehingga H0 ditolak dan Ha diterima berarti secara statistic terdapat hubungan antara pengetahuan dengan waktu tanggap penanganan kasus gawat darurat. Asumsi peneliti, pengetahuan sangat mempengaruhi perawat dalam melakukan tugasnya. Seiring dengan bertambahnya lama kerja yang telah dijalani oleh perawat akan membentuk pengalaman kerja sehingga mampu meningkatkan pengetahuan dan kompetensi dalam melak sanakan tugasnya. Hal ini juga didukung oleh pelatihan yang telah diikuti oleh semua perawat yaitu Basic Trauma Cardiac Life Support (BTCLS) yang menunjang pengetahuan perawat. Menurut Wawan & Dewi (2011) dalam Fathoni (2014), pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan dan keterampilan berhubungan dengan penanganan prosedur, persiapan klien, teaching, dan perawatan post prosedur adalah hal esensial dalam praktek keperawatan gawat darurat. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Achmad, dkk pada tahun 2012 yang meneliti tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan lama waktu tanggap perawat pada penanganan asma di IGD RSUD Panembahan Senopati Bantul yang mendapatka hasil sebanyak 65% perawat dengan pengetahuan baik dan 35% perawat dengan pengetahuan kurang. Dari hasil uji analisis terdapat hubungan antara pengetahuan dengan lama waktu tanggap penanganan asma dengan nilai p 0,004.
100
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Hubungan beban kerja dengan kecepatan waktu tanggap penanganan Kasus gawat darurat Instalasi Gawat Darurat RSU Masohi Kabupaten Malukun Tengah tahun 2016. Beban kerja adalah besaran pekerjaan yang harus dipikul oleh suatu jabatan/unit organisasi dan merupakan hasil kali antara jumlah pekerjaan dengan waktu. Setiap pekerja dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan dirinya sendiri maupun masyarakat di sekelilingnya, untuk itu perlu dilakukan upaya penyerasian antara kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja agar, sehingga diperoleh produktivitas kerja yang optimal (UU Kesehatan No 36 Tahun 2010). Berdasarkan hasil uji statistic dengan menggunakan uji chi squere didapatkan nilai p=0,041 yang berarti ada hubungan beban kerja dengan waktu tanggap perawat perawat pada pasien gawat darurat di Instalasi Gawat Darurat RSUD Masohi. Berbeda dengan hasil uji penelitian yang dilakukan oleh Panggah Widodo & Arum Pratiwi yang bertujuan untuk menilai hubungan beban kerja dengan waktu tanggap perawat gawat darurat menurut persepsi pasien di instalasi gawat darurat RSU Pandan Arang Boyolali tahun 2008 didapatkan hasil bahwa perawat dengan beban kerja fisik ringan, 75% pasien menilai waktu tanggap perawat cepat dan hanya 25% pasien yang menilai waktu tanggap perawat lambat. Perawat dengan beban kerja fisik berat, 58,3% pasien menilai waktu tanggap perawat lambat, dan 41,7% pasien menilai waktu tanggap perawat lambat. Hubungan antara beban kerja fisik dengan waktu tanggap perawat gawat darurat mempunyai nilai r-0,548. Harga r hitung lebih besar dari r tabel yang berarti ada hubungan antara beban kerja fisik dengan waktu tanggap perawat gawat darurat, dan masuk ke dalam kekuatan hubungan yang cukup kuat, dimana nilai p : 0,028 maka hubungan keduanya bermakna. Asumsi peneliti bahwa beban kerja sangat mempengaruhi perawat dalam melakukan tugasnya. Beban kerja erat dengan etos kerja dan displin kerja. Beban kerja juga berkaitan erat dengan produktifitas tenaga kesehatan. Sesuai dengan hasil penelitian yang peneliti dapatkan antara beban kerja dengan kecepatan waktu tanggap penanganan kasus gawat darurat di Instalasi Gawat Darurat tahun 2016 yaitu semakin cepat waktu tanggap perawat semakin berat juga beban kerjanya. Beban kerja juga erat dengan pengetahuan perawat tentang kasus gawat darurat. Perawat dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakn dirinya dan pasien. Beban kerja seorang perawat dapat dilihat dari banyaknya pasien yang masuk rumah sakit, fisik yang kurang fit, diberikan tugas tambahan diluar tugas keperawatan, bekerja lewat dari jam yang ditentukan, perawat yang bertugas tidak ada di tempat dan fasilitas yang diperlukan saat pasien masuk rumah sakit tidak ada. Hubungan ketersedian fasilitas dengan kecepatan waktu tanggap penangagan kasus gawat darurat di Instalasi Gawat Darurat RSU Masohi Kabupaten Maluku Tengah tahun 2016 Hasil penelitian ini didapatkan bahwa 4 dari 18 responden (22,2%) tidak didukung dengan ketersediaan fasilitas saat melakukan pertolongan awal pada pasien gawat darurat dan berdasarkan hasil uji statistic dengan menggunakan uji chi squere didapatkan nilai p=0,001 yang berarti ada hubungan antara ketersediaan fasilitas dengan kecepatan waktu tanggap penanganan kasus gawat darurat pada pasien gawat darurat di Instalasi Gawat Darurat RSUD Masohi kabupaten Maluku tengah. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurisnah tahun 2012 yang bertujuan untuk mengetahui dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus pada response time I di IGD bedah dan non-bedah RSU Dr.Wahidin Sudirohusodo dimana didapatkan hasil terdapat hubungan ketersediaan stretcher dengan ketepatan waktu tanggap (p = 0,006). Nilai PR ketersediaan stretcher yaitu 9,217. Hal ini menunjukkan bahwa besar kekuatan hubungan ketersediaan stretcher yang tersedia dengan ketepatan waktu tanggap adalah 9,217 kali lebih besar dibandingkan dengan yang tidak tersedia.
101
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Menurut moenir bahwa fasilitas pelayanan sangat penting artinya dalam rangka mewujudkan pelayanan berkualitas, fasilitas pelayanan yang lengkap dan memadai merupakan kondisi yang harus diwujudkan mampu mencapai kualitas yang tinggi. Sesuai dengan teori dan hasil penelitian di atas maka asumsi peneliti dapat menyimpulkan bahwa ada hubungan signifikan fasilitas dengan kecepatan waktu tanggap penanganan kasus gawat darurat di Instalasi Gawat Darurat tahun 2016 fasilitasnya kurang memadai tetapi pelayanan di berikan tetap baik.Hasil opservasi menunjukan bahwa petugas Instalasi Gawat Darurat RSU masohi selalu berpenampilan rapi dan bersih dan selalu ramah terhadap pasien, selalu memberikan pelayanan sesuai SOP, kadang juga ada keluhan dari pasien karna ada keterlambatan dalam pelayanan pasien disebabkan keterlambatan melakukan tindakan keperawatan, hasil observasi yang di dapatkan di Instalasi Gawat Darurat bahwa keterbatasan fasilitas yang sudah rusak dan keterbatasan fasilitas antara lain obat-obatan sehingga keluarga pasien sering membeli obat di luar apotik puskesmas tetapi walaupun keterbatasan fasilitas pemberian pelayanan yang berkualitas. Hubungan pelatihan Emergency dengan kecepatan waktu tanggap perawat pada kasus gawat darurat di Instalasi Gawat Darurat di RSU Masohi tahun 2016. Pelatihan dan pengembangan di definisikan sebagai usaha yang terencana dari organisasi untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan pegawai (Hariandja, 2010). Pelatihan dan pengembangan merupakan hal yang harus dilakukan oleh organisasi agar staf mendapatkan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang baru sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pelaksanaan pelatihan dimaksudkan untuk mendapatkan tenaga kerja yang memiliki pengetahuan, keterampilan yang baik, kemampuan dan sikap yang baik untuk mengisi jabatan pekerjaan yang tersedia dengan produktivitas kerja yang tinggi, yang mampu menghasilkan hasil kerja yang baik. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,083 yang berarti tidak ada hubungan antara pelatihan emergency dengan kecepatan waktu tanggap penanganan kasus gawat darurat di Instalasi Gawat Darurat RSUD Masohi. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh fakhrizal pada tahun 2010 yang bertujuan untuk menganalisis pengaruh pelatihan dan supervisi terhadap kinerja perawat pelaksana di ruang rawat inap RSUD Dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan Aceh pada 68 populasi dengan sampel didapatkan sebanyak 58 orang perawat pelaksana dengan jenis penelitian adalah explanatory research. Yang menggunakan teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner, kemudian dianalisis dengan uji regresi linear berganda pada α = 5%, dan didapatkan hasil bahwa variabel pelatihan dan supervisi mempengaruhi kinerja perawat pelaksana di ruang rawat inap RSUD Dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan Aceh. Psikoanalisis merupakan suatu aliran psikologi dimana individu ini dipengaruhi oleh 3 subsistem yang mengarahkannya untuk bertindak, Freud menggambarkan tentang 3 subsistem tersebut yakni id, ego dan super ego. Id merupakan subsistem yang ada sejak manusia itu dilahirkan, id ini yang mendorong agar individu tersebut bertindak namun dari alam yang tidak sadar ibarat gunung es yang mengambang itu yang kelihatan dipermukaan hanyalah ujung gunung yang sedikit, jadi id ini berada di bawah permukaan yakni alam tidak sadar. Sifat-sifat ini dapat di contohkan dengan sikap egois, bicara yang tidak sopan dan lain sebagainya, id ini tidak bisa membedakan mana yang baik, benar, salah, moral atau tidak bermoral. Subsistem yang berikutnya adalah ego yakni subsistem yang menjembatani id, jadi ego ini menahan id agar tidak sampai melakukan hal-hal yang yang dirasa perlu dipikirkan lebih dahulu. Misalkan sesorang yang terserempet mobil, tanpa sadar dia telah mengumpat dan berbicara kasar terhadap yang telah menyerempet namun, ketika melihat orang tersebut ternyata orang itu pernah membantunya pada waktu pasti orang tersebut akan berpikir-pikir dulu akan akan melakukan hal-hal yang telag diprogram oleh id. Ego ini menahan tindakan-tindakan tersebut. Super ego yakni subsistem yang mengawasi dan mengontrol jalannya id dan ego sehingga tidak semata-mata seorang tersebut harus langsung melakukan tindakan-tindakan bawah alam sadar mereka. Tindakan tersebut dapat dikontrol dengan superego ini. Manusia pasti merasakan proses ketiga subsistem tersebut dari id ke ego dan 102
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
sampai ke superego. Psikologi behavioristik merupakan aliran psikologi dimana seseorang dipengarhi oleh lingkungan, manusia dalam aliran ini dinamakan dengan homo mechanicus yaitu manusia mesin. Yakni manusia yang di gerakkan oleh mesin, dia mau bergerak ketika sudah diprogram dan di suruh untuk bergerak. Pengaruh lingkungan sangat besar jadi seseorang tersebut langsung terpengaruh dengan apa yang terjadi pada saat itu dan langsung memberikan rangsangan. Bisa di contohkan seorang anak dapat di bentuk karakternya menjadi penakut bila anak tersebut ditakut-takuti, anak tersebut langsung memberikan respon dari apa yang telah diketahuinya. Psikologi kognitif yakni aliran psikologi dimana manusia tersebut masih menggunakan pikirannya untuk merenung dan berpikir kembali apa yang telah diterimanya, jadi individu tersebut tidak langsung melakukan respon namun di telaah terlebih dahulu dan dicari sebabnya mengapa bisa begitu. Kalau behavioristik jika individu itu di takut-takuti maka akan langsung takut berbeda dengan kognitif, dia akan mencari tahu kenapa hal tersebut perlu di takuti sehingga ibarat komputer setelah data itu masuk maka akan di proses dahulu sebelum data itu akan keluar sebagai output. Psikologi humanistic merupakan aliran psikologi yang memanusiakan manusia maksudnya aliran ini meyakinkan manusia tersebut bahwa dalam dirinya itu terdapat potensi, kreativitas dan kemampuan sehingga individu tersebut dapat bertanggung jawab atas dirinya (Semiun, 2010). Sesuai dengan teori dan hasil penelitian di atas maka asumsi peneliti bahwa tidak tidak adanya hubungan signifikan antara pelatihan emergency dengan kecepatan waktu tanggap penanganan kasus gawat darurat di Instalasi Gawat Darurat tahun 2016 dengan nilai p=0,083. Perawat yang tidak pernah mengikuti pelatihan emergency semakin cepat waktu tanggapnya dan perawat yang pernah melakukan pelatihan emergency waktu tanggapnya semakin lambat di karenakan pelatihan dan pengembangan merupakan hal yang harus dilakukan oleh organisasi agar staf mendapatkan pengetahuan. Pelatihan sangat erat dengan pengetahuan perawat dalam melakukan penanganan kasus gawat darurat agar penangan kasus gawatdarurat diberikan dengan tepat, mengurangi angka kematian dan cedera yang lebih parah dapat berkurang. Setiap tahunya akan dilakukan refisi kembali tentang pelatihan emergency. Perawat yang pernah melakukan pelatihan kurang membaca atau membuka internet tentang asumsi-asumsi peneliti yang terbaru tentang pelatihan emergency KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Ada hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan dengan kecepatan waktu tanggap penanganan kasus gawat darurat di Instalasi Gawat Darurat RSUD Masohi Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2016 dengan nilai p=0,023. Ada hubungan beban kerja dengan kecepatan waktu tanggap penanganan Kasus gawat darurat Instalasi Gawat Darurat RSUD Masohi Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2016 dengan nilai p=0,41. Ada hubungan ketersedian fasilitas dengan kecepatan waktu tanggap penangagan kasus gawat darurat di Instalasi Gawat Darurat RSUD Masohi Kabupaten Maluku Tengah tahun 2016 p=0,023. Tidak ada hubungan pelatihan Emergency dengan kecepatan waktu tanggap perawat pada kasus gawat darurat di Instalasi Gawat Darurat di RSUD Masohi tahun 2016 dengan nilai p=0.083. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat diberikan beberapa saran kepada pihak yang terkait : Bagi rumah sakit Perlunya diberikan pelatihan yang berhubungan tentang kegawat daruratan secara berkala dan berkesinambungan serta perlu melakukan eksplorasi secara mendalam terhadap ketepatan waktu tanggap pelayanan serta faktor yang mempengaruhi waktu tanggap pelayanan di IGD. Bagi tenaga keperawatan. Hasil penelitian ini dijadikan sebagai sumber informasi khususnya tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja perawat dan khususnya pada waktu tanggap perawat pada penanganan pasien gawat daruratsehingga dapat meningkatkan kualitas perawat. Bagi peneliti agar dapat mengaplikasikan pengetahuannya pada lingkungan pekerjaan kelak sehingga waktu 103
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
tanggap perawat dapat lebih responsif lagi sehingga pelayanan kesehatan utamanya life saving pada pasien gawat darurat dapat lebih di maksimalkan. Bagi responden agar lebih menambah wawasan pengetahuan tentang kecepatan waktu tanggap penanganan kasus gawat darurat. DAFTAR PUSTAKA 1. AIPNI. (2012). Kompetensi Perawat Berdasarkan Pendidikan. Jakarta : EGC 2. As’ad, M. (2012). Psikologi Industri . Liberty. Yogyakarta 3. Departemen Kesehatan RI. (2010). Seri PPGD. Penanggulangan Penderita Gawat Darurat/General Emergency LifeSupport (GSLS). Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT). Direktoral Jendral Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI. Jakarta 4. Depkes. (2011). Standar Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat di Rumah Sakit. Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan dan Keteknisan Medik Direktorat Jendral dan Bina Upaya Kesehatan Kementrian RI. Jakarta. 5. Departemen Kesehatan RI. (2011). Kepmenkes No. 129, Standar Pelayanan Minimal Rumah Skit. Kementrian Kesehatan Jakarta 6. Dharma, A. (2011). Manajemen Supervisi. PT. Raja Grafindo Persada . Jakarta 7. Fakhrizal. (2010). Pengaruh Pelatihan Supervisi Terhadap Kinerja Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap RSUD Dr. H Yuliddin Away Tapaktuan Kabupaten Aceh Selatan. Tesis Tidak di Terbitkan. Program Pascasarjana Fakultas Kesehatan Masyaraka, Universitas Sumatra Utara, Medan 8. Haryatun, N, & Sudaryanto, A. (2011). Perbedaan Waktu Tanggap Tindakan Keprawatan Pasien Cedera Kepala Kategori I – V di Instalasi Gawat Darurat RSUD Dr. Moewardi. Jakarta : Berita Ilmu Keperawatan 9. Hidayat. (2012). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data. Jakarta 10. Irwandy. (2012). Faktor – Faktor yang Berhubungan Dengan Beban Kerja Perawat diUnit Rawat Inap RSJ Dudi Makassar Tahun 2005. Tesis tidak diterbitkan. Program Pascasarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanudin. Makasar 11. Kartika Dewi. (2013). Buku Ajar Dasar – dasar Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta : Salemba Medika Jakarta 12. Kepmenkes Republik Indonesia. (2012). Standar Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia diakses 13. Krisanty, dkk. (2012). Asuhan Keperawatan Gawat Darurat, Trans Info Media. Jakarta 14. Krisyanti, P. (2012). Asuhan Keperawatan. Jakarta : Trans Info Media 15. Manuaba. (2012). Ergonomi dan Kesehatan Keselamatan Kerja. Edisi Proceeing Seminar Nasional Ergonomi Pt. Guna Widya. 16. Maryuani. (2012). Asuhan Keperawatan. Trans Info Media. Jakarta 17. Mubarak, W.I. (2010). Promosi Kesehatan Sebuah Pengantar Proses Belajar Mengajar dan Pendidikan 18. Musliha. (2010). Keperawatan Gawat Darura. Nuha Medika : YogyakartaSurabaya 19. Notoadmojo. (2010). Ilmu Perilaku Kesehatan Cetakan Pertama. Rineka Cipta. Jakarta 20. Oman, Kathleen, S. (2014). Panduan Belajar Keperawatan Emergensi. Jakarta : EGC 21. Prihatini, L.D. (2010). Analisis Hubungan Beban Kerja Dengan Stress Kerja Perawat Di Tiap Ruang Rawat Inap RSUD Sidikalang. Tesis tidak diterbitkan 22. Pusponegoro, A.D. (2011). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta : EGC 23. Rekam Medik RSUD Masohi. (2015) 24. Ritonga. (2011). Manajemen Unit Gawat Darurat pada Penanganan Kasus Kegawat Daruratan Obstetri di Rumah sakit Umum Tengku Mansyur Tanjung Bulat. Tesis Tidak diterbitkan, Program Megister Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan, Universitas Gajah Mada. Yogyakarta 25. Sanjaya Nariasa. (2012). Evaluasi Penerapan Code Green dalam Mempercepat Response Time pada Kasus Gawat Darurat Janin di IGD RSUP Sangalah Denpasae. Diakases pada tanggal 17 mei 2016. http://1.b.ui.ac.id. 26. Semiun Yustinus. (2010). Teori Kepribadian Dan Terapi Psikoanalitik Freud. PenerbitKanisius. Yogyakarta 104
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
27. Sutawijaya, R.B. (2012). Gawat Darurat di Yogyakarta : Aulia Publishing 28. Wilde, E.T. (2011). DO Emergency Medical System Response Time Matter for Health Outcomes. New York : Columbia University 29. Yurisa W. (2010). Etika Penelitian Kesehatan, Fakultas Kedokteran Universitas Riau,Pekanbaru 30. Zhang JJ, Wang LD & Zhao YC. (2010). Response time of the Beijing 120 emergency medical service Emergency Medicine Journalemj.bmj.com. Emerg Med J 2010;27:784−785 doi:10.1136/emj.2009.08656. http://www.ncbi.nlm.nij.gov/pubmed/20679424. Diakses tanggal 17 mei 2015 31. Zimmermann & Heer. (2012). Triange Nursing Secret. Philadephia : Elsevier Mosby
105
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
HUBUNGAN PERSEPSI KELUARGA DENGAN FUNGSI KELUARGA DALAM PERAWATAN PASIEN SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT KHUSUS DAERAH PROVINSI MALUKU TAHUN 2016 M.Taufan Umasugi (STIKes Maluku Husada) Risman Tunny (STIKes Maluku Husada) Ayu N. Sari (STIKes Maluku Husada) Rahma H. Payapo (STIKes Maluku Husada) ABSTRAK Persepsi masyarakat terhadap pasien Skizofrenia berbeda di setiap kebudayaan. Skizofrenia cenderung diabaikan sehingga penanganan akan menjadi tidak maksimal, Keluarga dalam menjalankan fungsi perawatannya haruslah tidak membedakan antara sakit fisik maupun jiwa. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Hubungan persepsi keluarga tentang gangguan jiwa dan fungsi keluarga dalam perawatan pasien skizofrenia di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Maluku. Desain penelitian adalah Kuantitatif Analitik dengan metode Cross – Sectional, dengan menggunakan tehnik Aksidental Sampling. Sampel pada penelitian ini berjumlah 37 responden yang datang berkunjung pada poliklinik psikiatrik Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Maluku. Hasil pada penelitian ini diperolah dari hasil uji Fisher҆ s Exact Test dengan nilai p : 0.021 yang berarti α < 0,05 dengan demikian bahwa ada hubungan yang bermakna antara persepsi keluarga tentang gangguan jiwa dengan fungsi keluarga dalam perawatan pasien skizofrenia, sehingga H1 diterima. Kesimpulannya bahwa persepsi keluarga dengan fungsi keluarga dalam perawatan pasien skizofrenia di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Maluku baik (86,5%) dan terdapat hubungan yang bermakna dengan hasil uji fisherʹs exact test diperoleh hasil p:,0,021. Dikarenakan petugas kesehatan selalu memberikan pendidikan kesehatan pada setiap responden yang datang berkunjung pada poliklinik psikiatrik. Untuk itu strategi yang digunakan adalah promosi kesehatan perlu ditingkatkan pada setiap lapisan masyarakat. Kata Kunci: Persepsi, Fungsi Keluarga, Skizofrenia PENDAHULUAN Masalah kesehatan terutama gangguan jiwa insidennya masih cukup tinggi. Data American Psychiatric Association (APA) menyebutkan 1% penduduk dunia akan mengidap skizofrenia. Jumlah tiap tahun makin bertambah dan akan berdampak bagi keluarga dan masyarakat. (Kaplan & Saddock, 2005 dalam Wiyati, Wahyuningsih, Widayanti,2010). Skizofrenia merupakan penyakit neurologis yang memengaruhi persepsi klien, cara berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya. Perubahan atau pergantian semua sensasi akan secara khusus mencolok pada tahap awal skizofrenia. Orang diliputi oleh membanjirnya sensasi-sensasi yang mereka rasakan, sebagaimana halnya jika penyaringan alamiah di otak tidak lagi bekerja. Bagi banyak orang, perubahan persepsi ini berkembang menjadi full-blown hallucination Diperkirakan lebih dari 90% klien dengan skizofrenia mengalami halusinasi. (Menurut Yosep 2011) Menurut data WHO, pada tahun 2016 jumlah penderita skizofrenia mencapai 450 juta jiwa di seluruh dunia. Prevalensi masalah kesehatan jiwa di Indonesia sebesar 6,55%. Angka tersebut tergolong sedang dibanding dengan negara lainnya. Data dari 33 rumah sakit jiwa (RSJ) di seluruh Indonesia menyebutkan hingga kini jumlah penderita gangguan jiwa berat mencapai 2,5 juta orang. (Maslim, 2012) 106
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Prevalensi gangguan jiwa berat atau dalam istilah medis disebut psikosis/skizofrenia di daerah pedesaan ternyata lebih tinggi dibanding daerah perkotaan. Di daerah pedesaan, proporsi rumah tangga dengan minimal salah satu anggota rumah tangga mengalami gangguan jiwa berat dan pernah dipasung mencapai 18,2%. Sementara di daerah perkotaan, proporsinya hanya mencapai 10,7%. Nampaknya, hal ini memberikan konfirmasi bahwa tekanan hidup yang dialami penduduk pedesaan lebih berat dibanding penduduk perkotaan. Dan mudah diduga, salah satu bentuk tekanan hidup itu, meski tidak selalu adalah kesulitan ekonomi (Riskesdas, 2013 ). Kesadaran dan persepsi masyarakat terhadap gangguan jiwa berbeda di setiap kebudayaan. Gangguan jiwa cenderung diabaikan sehingga penanganan akan menjadi tidak maksimal, atau di sisi lain masyarakat kurang antusias dalam mendapatkan bantuan untuk mengatasi gangguan jiwanya. Bahkan gangguan jiwa dianggap memalukan atau membawa aib bagi keluarga serta cenderung menganggap orang dengan gangguan jiwa sebagai sampah sosial. Pola pikir demikian harus di dekonstruksi (Irwanto, 2011). Keluarga dalam menjalankan fungsi perawatannya haruslah tidak membedakan antara sakit fisik maupun jiwa. Perhatian, dukungan, perawatan, pengobatan, dan dorongan semangat untuk membantu proses penyembuhannya. Penderita skizofrenia bahkan membutuhkan lebih banyak dukungan, perhatian dan kasih sayang dari keluarga. (Rasmun, 2009). Kolly 2011 berpendapat bahwa gangguan jiwa dapat disembuhkan, sehingga secara rutin mereka datang setiap 2 minggu untuk mengambil obat, serta keluarga nampak selalu berkomunikasi dan akrab dengan klien. Ada juga keluarga yang berpendapat bahwa gangguan jiwa disebabkan karena guna-guna tetapi mereka selalu datang untuk mengambil obat. Namun sebagian kecil keluarga masih merasa malu dengan keadaan anggota keluarganya, sehingga tidak memberikan perhatian kepada klien. Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Maluku merupakan satu-satunya Rumah Sakit yang merawat pasien gangguan jiwa di provinsi Maluku. Data periode Tahun 2016, jumlah penderita yang dirawat inap sebanyak 182 penderita dengan diagnosa terbanyak skizofrenia yaitu 179 penderita. Untuk penderita rawat jalan data tahun 2016 jumlah penderita skizofrenia sebanyak 542 penderita. Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan 5 anggota keluarga, 3 di antaranya memiliki persepsi yang kurang baik tentang pasien Skizofrenia dan fungsi keluarga dalam perawatan pasien skizofrenia. sedangkan 2 keluarga sudah baik pengetahuannya tentang pasien Skizofrenia dan fungsi keluarga dalam perawatan pasien skizofrenia. yang belum baik pengetahuan-nya tentang pasien Skizofrenia mereka lebih mempercayai dukun pintar dari pada fasilitas pelayanan kesehatan karena keluarga menganggap penyakit tersebut disebabkan oleh santet atau guna-guna dari orang yang membenci keluarganya. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif analitik dengan pendekatan Cross – Sectional. Penelitian ini di dilakukan di Instalasi rawat jalan Rumah Sakit khusus Daerah Provinsi Maluku pada tanggal 20 juli s/d 20 agustus 2016. Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga yang anggotanya mengalami skizofrenia di instalasi rawat jalam rumah sakit khusus daerah provinsi maluku tahun 2015-2016. Penarikan sampel menggunakan sebagian subjek dari populasi yang diteliti, maka didapatkan sampel sebanyak 37 orang responden. Teknik pengumpulan data pada tahap awal peneliti mengajukan permohonan izin pelaksanaan penelitian pada institusi pendidikan (Program Studi Ilmu Keperawatan stikes maluku husada), kemudian permohonan izin yang telah diperoleh dikirimkan ke tempat penelitian (instalasi rawat jalan rumah sakit khus daerah provinsi maluku). Setelah mendapat izin, peneliti melaksanakan pengumpulan data penelitian. Peneliti menentukan responden sesuai dengan kriteria yang telah dibuat sebelumnya. Apabila peneliti menemukan calon responden yang memenuhi kriteria cukup banyak maka calon responden tersebut dipilih sesuai dengan keinginan peneliti. Selanjutnya peneliti menjelaskan pada calon responden tersebut tentang tujuan, manfaat dan proses pengisian kuesioner, kemudian calon responden yang bersedia diminta untuk menandatangani surat persetujuan. Kemudian responden diminta untuk mengisi kuesioner yang diberikan oleh peneliti. Jumlah responden yang didapatkan dilapangan setelah dilakukan seleksi berdasarkan kriteria subjek penelitian yang telah ditetapkan yaitu 37 107
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
responden. Setelah data diolah, selanjutnya dilakukan analisis data dengan menggunakan uji statistik Chi-Square. HASIL PENELITIAN Tabel 1 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Responden Di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Maluku Tahun 2016 Jenis kelamin responden Laki-laki Perempuan Total
Jumlah 15 22 37
Persen 40.5 59.5 100.0
Berdasarkan tabel distribusi diatas dapat diketahui bahwa jenis kelamin laki-laki sebanyak 15 responden (40.5%) dan jenis kelamin perempuan sebanyak 22 responden (59.5%). Tabel 2 Distribusi Responden Berdasarkan Umur Responden Di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Maluku Tahun 2016 Umur Responden <19 20-28 29-37 >38 Total
Jumlah 4 10 6 17 37
Persen 10.8 27.1 16.2 45.9 100.0
Berdasarkan tabel diatas, maka jumlah responden dari umur <19 tahun sebanyak 4 orang (10.8%), umur 20-28 sebanyak 10 orang (27.1%), umur 29-37 sebanyak 6 orang (16.2%), dan umur >38 sebanyak 17 orang (45.9%). Tabel 3 Distribusi Responden Berdasarkan Agama Responden Di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Maluku Tahun 2016 Agama Responden Islam Kristen Total
Jumlah 20 17 37
Persen 54.1 45.9 100.0
Berdasarkan tabel distribusi diatas, dapat diketahui bahwa responden yang beragama Islam sebanyak 20 responden (54.1%) dan responden yang beragam Kristen sebanyak 17 responden (45.9%). Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Responden Di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Maluku Tahun 2016 Pendidikan responden SD SMP SMA Perguruan Tinggi Total
Jumlah 9 7 14 7 37
Persen 24.3 18.9 37.8 18.9 100.0
Berdasarkan tabel distribusi responden diatas dapat diketahui bahwa pendidikan responden yang paling tertinggi yaitu tingka SMA sebanyak 14 responden (37.8%), sedangkan pendidikan
108
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016 responden yang paling terendah yaitu responden (18.9%).
tingkat
ISSN 2442-8590
SMP dan Perguruan Tinggi
sebanyak
7
Tabel 5 Distribusi Responden Berdasarkan Suku Responden Di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Maluku Tahun 2016 Suku Responden Ambon Makassar Buton Total
Jumlah 26 2 9 37
Persen 70.3 5.4 24.3 100.0
Berdasarkan hasil distribusi responden diatas maka dapat diketahui bahwa suku responden yang tertinggi yaitu suku Ambon sebanyak 26 responden (70.3%), sedangkan yang paling terendah yaitu suku Makassar dengan jumlah sebesar 2 responden (5.4%). Tabel 6 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan Responden Di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Maluku Tahun 2016 Jenis Pekerjaan Responden Tidak Bekerja Pegawai Wiraswasta Total
Jumlah 14 3 20 37
Persen 37.8 8.1 54.1 100.0
Berdasarkan tabel distribusi responden diatas dapat diketahui bahwa, jenis pekerjaan responden yang paling tertinggi yaitu wiraswasta sebanyak 20 responden (54.1%), sedangkan jenis pekerjaan yang paling terendah yaitu pegawai dengan jumlah 3 responden (8.1%). Tabel 7 Distribusi Responden Berdasarkan Persepsi Keluarga Di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Maluku Tahun 2016 Persepsi Baik Kurang Baik Total
Jumlah 32 5 37
Persen 86,5 13,5 100.0
Berdasarkan tabel distribusi diatas maka dapat diketahui bahwa persepsi responden yang baik sebanyak 32 responden (86.5%) sedangkan persepsi responden yang kurang baik sebanyak 5 responden (13.5%). Tabel 8. Distribusi Responden Berdasarkan Fungsi Keluarga Di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Maluku Tahun 2016 Fungsi Keluarga Baik Kurang Baik Total
Jumlah 26 11 37
Persent 70.3 29.7 100.0
Berdasarkan tabel distribusi diatas dapat diketahui bahwa fungsi keluarga responden yang baik sebanyak 26 orang (70.3%) dan fungsi keluarga yang kurang baik sebanyak 11 orang (29.7%).
109
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
Tabel 8 Hubungan Persepsi Keluarga Dengan Fungsi Keluarga Dalam Perawatan pasien Skizofrenia Di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Maluku Tahun 2016 Persepsi Keluarga Baik Kurang
Baik N 25 1
Fungsi Keluarga kurang % N % 78,1 7 21,9 20,0 4 80,0
N 32 5
Total % 100 100
OR 0,070 P-Value 0,021
Dari tabel 8 diketahui bahwa dari 37 responden yang diteliti, persepsi dan fungsi keluarga yang baik sebanyak 25 orang (78.1%) dan persepsi yang baik dengan fungsi keluarga yang kurang baik sebanyak 7 orang (21.9%). Sedangkan responden yang tersisa diantaranya persepsi yang kurang baik dengan fungsi keluarga yang baik sebanyak 1 orang (20.0%), dan persepsi yang kurang baik dengan fungsi keluarga yang kurang baik sebanyak 4 orang (80.0%). Jadi totalnya yaitu sebanyak 5 orang (100.0%). PEMBAHASAN Hubungan persepsi keluarga dengan fungsi keluarga dalam perawatan pasien skizofrenia Berdasarkan uji Chi-Squaret dapat diketahui bahwa nilai signifikansi ρ-value=0.021 dari nilai Fisher Exact Test. Karena nilai signifikansi 0.021 lebih besar dari nilai Alfha 0.05 atau ρ-Value 0.021 <α 0.05 maka H0 ditolak dan H1 diterima artinya dari analisis tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan antara persepsi keluarga dengan fungsi keluarga dalam perawatan pasien dengan skizofrenia. Berdasarkan nilai Odds Ratio (OR): 0.070, dengan Confidence Interval (CI): 95%; Lower: 0.007, Upper : 0.731. hasil menunjukkan bahwa OR < 1, yang artinya tidak beresiko. Maka dapat diketahui bahwa keluarga yang persepsi baik maupun yang tidak baik dapat menjalani fungsi keluarganya dengan baik. Menurut Notoatmojo (2007) bahwa semakin baik persepsi keluarga tentang ganggun jiwa semakin baik pula keluarga menjalankan fungsinya secara baik terhadap pasien. Hal ini didukung oleh sebagian besar responden berpendidikan SMA dan mereka berpendapat bahwa gangguan jiwa dapat disembuhkan. Sehingga secara rutin mereka datang kontrol ke RSKD setiap 2 minggu sekali. Dari hasil wawancara dan observasi peneliti terhadap keluarga yang datang berkunjung di Poliklinik Psikiatrik Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Maluku, didapatkan bahwa keluarga yang mempunyai persepsi yang baik tentang pasien skizofrenia selalu melaksanakan fungsi keluarganya dengan baik, hal ini dibuktikan dengan keluarga selalu berkomunikasi dan nampak akrab dengan pasien serta mereka selalu menemani pasien selama menjalankan perawatan dan pengobatan. Selain itu keluarga juga mau meluangkan waktu untuk mendengar penyuluhan kesehatan terkait dengan gejala dan perawatan pasien di rumah dari petugas kesehatan. Namun masih ada sebagian kecil keluarga yang beranggapan bahwa pasien skizofrenia disebabkan karena guna-guna tetapi mereka selalu datang untuk mengambil obat, dan ada sebagian kecil keluarga masih merasa malu dengan keadaan anggota keluarganya, hal ini menimbulkan stigma bagi keluarga sehingga mereka malu mengakui ataupun mencari bantuan yang diperlukan dari masyarakat. Menurut Notoatmojo (2005) bahwa, Persepsi atau tanggapan adalah proses mental yang terjadi pada diri manusia yang akan mewujudkan bagaimana kita melihat, mendengar, merasakan, sehingga ia membuat respon bagaimana dan dengan apa ia bertindak hal ini di pengaruhi faktor-faktor seperti, harapan, mengulang-ulang pendidikan kesehatan dan sesuatu hal yang menjadi perhatian orang banyak. Hal ini di kemukakan oleh M. Marlin & Fridmen 2010 bahwa Semakin banyak keluarga yang menjalankan fungsi yang vital kepada anggotanya secara sukses, semakin kuat sistem keluarga tersebut. Agar keluarga dapat menjalankan sumber kesehatan yang efektif dan utama 110
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
maka keluarga harus lebih terlibat dalam tim perawatan kesehatan dan keseluruhan proses terapeutik. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Prinda Kartika Mayang Ambari dengan judul Hubungan persepsi keluarga dengan fungsi keluarga dalam perawatan pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Manuru Surabaya tahun 2010. Hasil yang diperoleh dari uji hipotesis dengan tehnik regresi sederhana menunjukan ada hubungan yang positif dan signifikan antara persepsi keluarga dengan fungsi keluarga dalam perawatan pasien skizofrenia. Dengan tingkat signifikan korelasi sebesar p=0,00 (p<0,05). Hubungan positif mengindikasikan bahwa semakin tinggi persepsi keluarga maka semakin tinggi pula fungsi keluarga dalam perawatan pasien skizofrenia. Berdasarkan asumsi peneliti tentang hubungan persepsi keluarga dengan fungsi keluarga dalam perawatan pasien skizofrenia, bahwa persepsi keluarga yang baik sebanyak (86,5%) yang artinya keluarga pasien selalu melaksanakan fungsi keluarganya dengan baik hal ini dibuktikan dengan keluarga selalu berkomunikasi dan nampak akrab dengan pasien serta mereka selalu menemani pasien selama menjalankan perawatan dan pengobatan. Sedangkan persepsi yang kurang baik sebanyak (13,5%) yang artinya ada sebagian kecil keluarga yang beranggapan bahwa pasien skizofrenia disebabkan karena guna-guna tetapi mereka selalu datang untuk mengambil obat, jadi kesimpulanya bahwa keluarga yang persepsi baik maupun yang tidak baik dapat menjalani fungsi keluarganya dengan baik. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan tentang Hubungan Persepsi keluarga Dengan Fungsi Keluarga Dalam Perawatan Pasien Skizofrenia Di rumah saki khusus daerah provinsi maluku, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Persepsi keluarga dengan fungsi keluarga dalam merawat pasien skizofenia di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Maluku, yang persepsi keluarga baik (86,5%). 2. Fungsi keluarga dalam perawatan pasien dengan skizofrenia di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Maluku, yang fungsi keluarga dalam perawatan pasien skozofrenia yang baik (70,3%). 3. Ada hubungan antara persepsi keluarga dengan fungsi keluarga dalam perawatan pasien skizofrenia. Saran Diharapkan penelitian ini dapat dikembangkan pada penelitian selanjutnya yang lebih spesifik dengan memperbaiki kelemahan-kelemahan dalam instrumen penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA 1. Ambari, Prinda Kartika Mayang. (2010) Hubungan antara dukungan keluarga dengan keberfungsian sosial pada pasien skizofrenia paska perawatan diRuamah Sakit Undip Semarang. 2. Arif, Iman Setiadi (2006). Skizofrenia Memahami Dinamika Kelurga Penerbit PT.Rafika Aditama. Bandung. 3. Arikunto.s (2010) Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik, lakarta : Rineka cipta 4. Irwanto, (2004). Persepsi Masyarakat Tentang Kegilaan Dan Dampaknya Bagi Orang Gila, Artikel – Atmajaya, Diakses tanggal 02 April 2016, Dari http://www.wikimu.com/News/printspx?id=1045 http://id.wikipedia.org/wiki/penyakit mental. 5. Maramis, F & Maramis, A. (2009), Ilmu Kedokteran Jiwa. penerbit AUP : Edisi 2 Surabaya 6. Makhfudli, Ferry Efendi, (2009). Keperawatan komunitas Teori dan praktek dalam keperawatan.2009 .penerbit Salemba Medik: Jakarta. 7. Notoatmodjo, (2007). Promosi kesehatan dan ilmu perilaku. Ed. I. Penerbit PT Rineka Cipta: Jakarta. 111
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk
Jurnal Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Maluku Husada Volume 2 Nomor 1, Oktober 2016
ISSN 2442-8590
8.
Notoatmojo Soekidjo (2005). Prpmosi Kesehatan Teori dan Aplikasi Ed pertama penerbit PT Rineka Cipta. Jakarta. 9. Rasmun (2009). Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi dengan Kelurga. Ed Pertama Penerbit CV. Sagung Seto. Jakarta. 10. Soetjiningsih, (2009) Tumbuh Kembang Anak. Ed pertama penerbit EGC: Jakarta 11. Senium , Yastinue Ofn., 2006. Kesehatan Mental .penerbit PT Kanisius. Jakarta. 12. Saifuddin, A.R, (2009) .Persepsi Masyarakat Tentang Gangguan Jiwa, Jurnal UGM, Diakses Tanggal 02 April 2016, Dari http://ssbangs.multiply.com/journal/item/121/Jenis_Gangguan_Jiwa
112
SMH -------------------------------- http://jurnal.stikesmalukuhusada.ac.id/ index.php/jk