Volume 12
ISSN
9
Nomor 1
Maret 2015
0216-8537
77 0 21 6
8 5 3 7 21
12
1
Hal. 1 -86
Tabanan Maret 2015
Kampus : Jl. Wagimin No.8 Kediri - Tabanan - Bali 82171 Telp./Fax. : (0361) 9311605
KEWENANGAN PRESIDEN DALAM MERATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL I DEWA GEDE BUDIARTA Fakultas Hukum Universitas Tabanan ABSTRAK Selama ini dalam hubungan luar negeri antar negara yang dikaitkan dengan praktek Perjanjian Internasional yang ditentukan dalam pasal 11 UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa wewenang konstitusional pembuat perjanjian internasional berada di tangan Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dimana Perjanjian Internasional dapat dibedakan yaitu perjanjian internasional yang sangat memerlukan persetujuan DPR yang disebut perjanjian (treaty) dan perjanjian internasional ) yang dapat tanpa persetujuan DPR yang disebut dengan persetujuan (agreement ). Namun dilihat dari banyaknya Perjanjian Internasional yang mengikat seluruh bangsa Indonesia walaupun tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, ini membuktikan bahwa telah terjadi pergeseran kewenangan presiden dalam meratifikasi perjanjian internasional dari ketentuan Pasal 11 UUD 1945 tersebut. Tetapi ada dampak positif dari ratifikasi Perjanjian Internasional tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat adalah untuk memudahkan bagi pemerintah dalam pencabutan atau pembatalan suatu Perjanjian Internasional yang diikat apabila tidak sesuai situasi dan kondisi negara atau mungkin bertentangan dengan Garis-garis Besar Haluan Negara atau UUD 1945 dan pertimbangan praktis demi kelancaran hubungan internasional yang intensifnya sehingga menghendaki tindakantindakan yang cepat dari pemerintah yang membutuhkan prosedur konstitusional yang lancer. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan kewenangan Presiden dalam meratifikasi perjanjian internasional yang akan menjadi Undang-Undang dan dapat mengikat seluruh warga negara Indonesia serta Untuk mengetahui akibat hukum apabila pelaksanaan kewenangan Presiden dalam meratifikasi perjanjian internasional yang akan menjadi Undang-Undang dan dapat mengikat seluruh warga negara Indonesia mengalami suatu perubahan Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dalam meratifikasi Perjanjian Internasional Presiden mengajukan unsur ratifikasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapat persetujuan. Di mana Perjanjian Internasional yang dibuat oleh Presiden ini disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dalam bentuk Undang-Undang. Pengajuan ini dibedakan antara perjanjian (treaty) dan perjanjian internasional (agreement). Konsekuensi yuridis terhadap perubahan kewenangan dalam ratifikasi perjanjian internasional tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat adalah untuk memudahkan bagi pemerintah dalam pencabutan atas pembatalan suatu perjanjian internasional yang diikat apabila tidak sesuai dengan situasi dan kondisi negara atau mungkin bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, Kata Kunci : Kewenangan, Meratifikasi, Perjanjian Internasional
Latar Belakang Masalah Sejak jamannnya Aristoteles manusia dikenal sebagai makhluk yang bermasyarakat, manusia tidak dapat hidup sendiri atau hidup dalam isolasi melainkan harus saling berhubungan satu sama lainnya (Zoon politecum). Dalam bidang yang lebih luas,
hubungan manusia tidak hanya terbatas pada hubungan antar kelompok tertentu saja, akan tetapi meliputi pula hubungan yang lebih luas lagi yaitu hubungan antar bangsa-bangsa yang lebih dikenal sebagai masyarakat internasional. Untuk menyelaraskan hubungan antar bangsa-bangsa ini diperlukan kondisi tertentu yang memungkinkan masyarakat internasional
Majalah Ilmiah Untab, Vo. 12 No. 1 Maret 2015
79
PENDAHULUAN
tetap dapat melaksanakan hubungan antar satu negara dengan negara lain. Kondisi yang dimaksud adalah keadaan tertib dan aman. Salah satu sarananya untuk timbulnya kondisi ini adalah dengan diadakannya perjanjianperjanjian antar bangsa yang dikenal sebagai Perjanjian Internasional. Adalah merupakan suatu kenyataan dalam hukum internasional dewasa ini, bahwa “semakin banyaknya hubungan atau persoalan internasional yang diatur dengan perjanjian-perjanjian internasional, sebagai sarana untuk mengatur hubungan-hubungan internasional.” (Suwardi Sri Setianingsih, 2001: 345 ). Dengan diterimanya Indonesia oleh masyarakat Internasional sebagai anggota masyarakat Internasional, maka Indonesia mempunyai hak untuk ikut dan membuat perjanjian-perjanjian Internasional. Perjanjianperjanjian tersebut bukan saja dalam bentuk bilateral tetapi juga multilateral baik yang bersifat kerjasama regional yang khusus maupun yang umum. Secara umum wewenang kepala negara dlm hubungan luar negeri adl : a. Menerima wakil diplomatik dan konsul negara lain. b. Mengangkat dan mengirim wakil diplomatik dan konsul negaranya ke negara asing c. Mengadakan perjannjian internasional d. Menyatakan perang kpd negara lain e. Mengadakan perdamaian dengan negara lain. Bagi Indonesia ketentuan yang mengatur mengenai masalah perjanjian Internasional adalah Pasal 11 UUD 1945, yang berbunyi “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain” Pasal ini berlaku ketika Republik Indonesia dalam tahun 1945 – 1949 berada di bawah UUD 1945, dan sejak tanggal 5 Juli 1945 hingga sekarang kembali kepada UUD 1945. Sementara itu antara 1949 dan 1959 kita juga pernah mempunyai Konstitusi Indonesia Serikat dan UUDS. Di mana ketentuan mengenai Perjanjian Internasional diatur secara jelas. Karena di dalam UUDS 1950 dibedakan antara perjanjian (treaty) dengan 80
persetujuan (agreement), akan tetapi tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai materi mana yang termasuk perjanjian (treaty) dan mana yang termasuk persetujuan (agreement). Sehingga kita tidak dapat mengemukakan mana yang termasuk Perjanjian Internasional dan yang mana termasuk perjanjian. “Usahausaha untuk menjelaskan pasal tersebut dalam peraturan perundang-undangan telah dimulai sejak kemerdekaan, seperti Rancangan Undang-Undang tentang Perjanjian Internasional pada tahun 1954, disertai dengan Surat Presiden”.( Mas Subagio, 1986,: 460 Kesulitan-kesulitan dalam pelaksanaan pasal 11 UUD 1945 tentunya dapat dipahami karena sebagaimana diketahui bahwa UUD 1945 disiapkan dalam suasana perang Asia Timur Raya oleh Badan Penyidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Seperti dikatakan oleh Hamid S. Attamini bahwa “UUD 1945 ketika tanggal 18 Agustus 1945 dinamakan oleh Bung Karno (Ketua PPKI) sebagai Undang-Undang Dasar Kilat, maka sudah tentu kita tidak mengharapkan rumusanrumusan yang panjang lebar ataupun mendetail”.( A. Hamid Attamini, 2000 :339) Lebih dari itu UUD 1945 sebagaimana dinyatakan dalam penjelasannya memang hanya memuat aturan-aturan pokok saja yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar, sedangkan hal-hal yang perlu untuk menyelenggarakan aturan-aturan pokok itu harus diserahkan kepada Undang-Undang dalam hal ini menyangkut kewenangan Presiden sebagai Kepala Eksekutif dalam mengadakan Perjanjian Internasional. Dengan demikian sebagaimana diketahui dewasa ini rumusan pasal 11 UUD 1945 memang hanya memuat garis-garis besar saja, yakni “untuk menyatakan perang dan membuat perjanjian dengan negara lain memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, dan dapatlah dimengerti apabila konstitusi RIS dan UUDS 1950 yang lahir kemudian dalam suasana yang lebih tenang, lebih memperjelas mengenai Perjanjian Internasional. Yang lebih penting disini adalah kembalinya pada UUD 1945 pada tanggal 5 Juli 1959 tidaklah berarti bahwa pengalaman dan kebiasaan sebelumnya jadi hapus. Selama
I Dewa Gede Budiarta, Kewenangan Presiden Dalam.......
tidak bertentangan dengan UUD 1945, kebiasaan ketatanegaraan yang sudah menjadi konvensi masih dapat terus berlaku RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian Latar Belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah kewenangan Presiden dalam meratifikasi Perjanjian Internasional berdasarkan UUD 1945? 2. Apakah konsekuensi yuridis dari perubahan kewenangan dalam pembuatan Perjanjian Internasional? HASIL DAN PEMBAHASAN Dasar Hukum Kewenangan Presiden meratifikasi Perjanjian Internasional Dasar hukum bagi Republik Indonesia dalam mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional sejak memperoleh kemerdekaannya adalah : 1. Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 (1945 – 1949) 2. Pasal 175 Konstitusi RIS 1950 (1949 – 1950) 3. Pasal 120 UUDS 1950 (1950 – 1959) 4. Pasal 11 UUD 1945 (1959 – sekarang) (Edy Suryono, 1984 :33 ) Kekuasaan Presiden yang diatur dalam UUD 1945, Amandemen ke-4 Tahun 2002 dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara dan diatur dalam pasalpasal antara lain : Pasal 4 : 1. Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut UndangUndang Dasar. 2. Dalam melakukan kewajiban Presiden dibantu oleh satu orang atau Wakil Presiden. Pasal 5 : 1. Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Majalah Ilmiah Untab, Vo. 12 No. 1 Maret 2015
Perubahan Pertama Tahun 1999 Pasal 5 Ayat (1) diubah menjadi : 1. Presiden berhak mengajukan rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. 2. Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan UndangUndang sebagaimana mestinya. Pasal 175 Konstitusi RIS, berbunyi : 1. Presiden mengadakan dan mengesahkan segala perjanjian (traktat) dan persetujuan lain dengan negara lain kecuali ditentukan lain dengan Undang-Undang Federal, perjanjian atau persetujuan lain tidak disahkan, melainkan sudah disetujui dengan Undang-Undang. 2. Masuk dalam dan memutuskan perjanjian dan persetujuan lain dilakukan oleh Presiden dengan kekuasaan UndangUndang. (Pringgodigdo, H.A.K., 1983:34) Sedangkan pasal 120 UUD 1950 yang berbunyi hampir sama dengan Pasal 175 Konstitusi RIS yaitu : 1. Presiden mengadakan dan mengesahkan segala perjanjian (traktat) dan persetujuan lain dengan negara lain. Kecuali ditentukan lain dengan UndangUndang Federal, perjanjian atau persetujuan lain tidak disahkan, melainkan sudah disetujui dengan Undang-Undang. 2. Masuk dalam dan memutuskan perjanjian dan persetujuan lain dilakukan oleh Presiden dengan kekuasaan Undang-Undang. ( Pringgodigdo Ibid :41 ) Dari ketiga ketentuan Undang-Undang Dasar yang pernah kita miliki itu, di dalam Konstitusi RIS dan UUDS 1950 diatur lebih tegas dan terperinci dari pada yang terdapat dalam ketentuan UUD 1945 baik wewenang Presiden dalam mengadakan dan mengesahkan (meratifikasi) perjanjian dan persetujuan internasional. Demikian pula dalam hal turut serta (accesion) dan mengakhiri (termination) ke dalam atau dari suatu perjanjian (treaty) dan persetujuan (agreement) internasional, ditegaskan pula disitu bahwa pengesahan (ratifikasi) suatu perjanjian internasional harus 81
disetujui terlebih dahulu oleh Dewan Perwakilan Rakyat dalam bentuk UndangUndang. Pengertian, Tujuan dan Fungsi Meratifikasi Dengan menentukan isinya perjanjian belum berarti bahwa perjanjian itu sudah mengikat. Untuk ini dibutuhkan suatu penegasan oleh pemerintah yang bersangkutan setelah mereka ini mempunyai kesempatan untuk mempelajari dan setelah diajukan pada parlemen bilamana perlu penegasan tersebut dinamakan pengesahan atau meratifikasi, kecuali bila ditentukan lain dalam perjanjian. Di sini meratifikasi dipandang sebagai persetujuan (approval) atau penetapan berlakunya perjanjian yang diadakan antara negara atau raja (monarch) pada abad ke-18. Sedang ratum facere dan ratum alicuicase di lain pihak menunjuk kepada “persetujuan” yang menjadikan berlakunya suatu akta. Persetujuan tersebut akan meningkatkan suatu project of treaty (rencana perjanjian) menjadi perjanjian yang berlaku dan mengikat negaranegara peserta. Dari kedua macam istilah tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kata meratifikasi mempunyai arti : 1. Persetujuan secara formal terhadap treaty yang melahirkan kewajiban-kewajiban internasional sesudah ditandatangani. 2. Persetujuan terhadap rencana treaty itu (project of treaty) supaya menjadi suatu treaty yang berlaku bagi negara-negara tersebut. Meratifikasi perjanjian internasional adalah untuk menyetujui treaty agar mengikat negara-negara, sedangkan meratifikasi konstitusional adalah untuk memungkinkan treaty dilaksanakan dan berlaku di negara yang bersangkutan. Seperti pada uraian terdahulu, traktat yang penting harus diratifikasi terlebih dahulu sebelum berlaku. Hal ini disebabkan karena secara yuridis ketentuan UndangUndang Dasar atau konstitusi masing-masing negara yang bersangkutan tidak jarang mengharuskan suatu traktat antar negara sebelum diratifikasi oleh pemerintah (eksekutif). Oleh karena itu negara-negara 82
peserta akan mendapat kesempatan untuk meninjau traktat yang telah ditandatangani oleh wakil-wakil berkuasa penuh dari negara yang bersangkutan. Atau dengan kata lain, tujuan meratifikasi disini adalah memberikan kesempatan kepada negara-negara guna mengadakan peninjauan serta pengamatan yang seksama apakah negaranya dapat diikat oleh perjanjian tersebut. Apabila ternyata suatu negara peserta itu menyetujui traktat yang sengaja dibuat dengan tanda tangan wakilwakil mereka, karena dokumen yang telah ditandatangani oleh wakil-wakil negara itu belum dapat disebut traktat yang sebenarnya. Dan umumnya dalam kata “meratifikasi” sudah tersimpul pula pengertian penukaran terakhir, sebab suatu meratifikasi baru akan mengikat sesudah diketahui oleh pihak-pihak lain dari traktat itu serta sesudah naskah atau dokumen meratifikasi ditukarkan. Maka barulah traktat yang bersangkutan dianggap sempurna. Sebagaimana diketahui bahwa sistem dan prosedur meratifikasi terhadap suatu perjanjian internasional yang dianut oleh masing-masing negara adalah berbeda atau disesuaikan dengan hukum tata negara dari berbagai negara yang bersangkutan. Di dalam praktek negara-negara berkenaan dengan meratifikasi ini dapat dibedakan dalam 3 sistem yaitu : 1. Sistem dimana meratifikasi semata-mata dilakukan oleh Badan Eksekutif. 2. Sistem dimana meratifikasi semata-mata dilakukan oleh Badan Legislatif. 3. Sistem campuran, baik badan eksekutif maupun badan legislatif sama-sama memegang peranan dalam proses ratifikasi perjanjian Internasional. (Mochtar Kusumaatmadja,1986:121 ) Selanjutnya untuk di Indonesia ditegaskan bahwa dalam ratifikasi perjanjian internasional harus dianggap mencakup dua aspek yaitu : 1. Tindakan Legislatif Umumnya dengan jalan Undang-Undang, sehingga dengan diundangkannya perjanjian itu, perjanjian menjadi mengikat negara dipandang dari Hukum Nasional.
I Dewa Gede Budiarta, Kewenangan Presiden Dalam.......
2.
Tindakan Eksekutif Pembuatan piagam ratifikasi dan pertukaran atau pengesahan / penyimpanan piagam tersebut. Di Indonesia dalam ratifikasi perjanjian internasional menganut sistem campuran di mana baik badan eksekutif maupun badan legislatif memainkan peranan dalam proses ratifikasi perjanjian internasional. Akan tetapi di Indonesia peranan badan eksekutif lebih menonjol dari badan legislatif. Namun walaupun dalam sistem ini resminya badan eksekutif yang melakukan ratifikasi dalam kenyataannya nasehat dan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai peranan yang menentukan pula bagi terselenggaranya peratifikasian suatu perjanjian internasional. Hal ini sebagai konsekuensi dari kekuasaan Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan sekaligus juga sebagai kepala eksekutif. Kekuasaan ini diperoleh berdasarkan UUD 1945.
mengesahkan suatu perjanjian internasional kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk di evaluasi.
Presiden Dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Membuat Perjanjian Internasional Pada saat ini telah ada Undang-Undang yang mengatur Perjanjian Internasional (UU No. 24 Tahun 2000). Menurut UndangUndang No. 24 Tahun 2000, perjanjianperjanjian yang memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat adalah sebagai berikut : 1. Masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara. 2. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah RI. 3. Kedaulatan atau hak kedaulatan Negara. 4. Hak asasi manusia dalam lingkungan hidup. 5. Pembentukan kaidah dalam hukum baru. 6. Pinjaman dan/hibah luar-negeri (pasal 10). Selanjutnya dalam pasal 11 disebutkan : 1. Pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi sebagai dimaksud pasal 10 yang dilakukan dengan Presiden. 2. Pemerintah RI menyampaikan salinan setiap Keputusan Presiden yang
Daya Mengikat Perjanjian yang Diratifikasi Dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dan Tanpa Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Surat Presiden No. 2826/HK/60 dinyatakan bahwa perkataan “perjanjian” di dalam Pasal 11 UUD 1945 ini tidak mengandung arti segala perjanjian dengan Negara Asing, tetapi hanya perjanjianperjanjian terpenting saja, yaitu yang mengandung soal-soal politik dan yang lazimnya dikehendaki berbentuk traktat (treaty), jika tidak diartikan sedemikian, maka pemerintah tidak akan mempunyai cukup keleluasaan bergerak untuk menjalankan hubungan internasional dengan sewajarnya, karena untuk tiap-tiap perjanjian walaupun mengenai soal-soal yang kecil harus diperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan hubungan internasional dewasa ini demikian intensifnya, sehingga menghendaki tindakan-tindakan yang cepat dari pemerintah yang membutuhkan prosedur konstitusional yang lancar. Untuk menjamin kelancaran dalam pelaksanaan kerjasama antara Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat tertera dalam Pasal 11 UUD 1945, pemerintah akan menyampaikan pada Dewan Perwakilan Rakyat untuk memperoleh persetujuan DPR, hanya perjanjian-perjanjian terpenting saja (treaties), sedangkan perjanjian-perjanjian lain (agreement) akan disampaikan kepada DPR hanya untuk diketahui. Dengan berpedoman pada Surat Presiden No. 2826/HK/60 jika materi perjanjian tersebut perlu diratifikasi dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, maka Presiden meminta kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk menyetujui terlebih dahulu. Untuk hal ini lebih lanjut ditegaskan oleh Bagir Manan bahwa “kerja sama antara Presiden dengan Dewan Perwakilan Rakyat sekurang-kurangnya dapat digolongkan dalam tiga golongan yaitu” : ( Bagir Manan, 1997, :. 61)
Majalah Ilmiah Untab, Vo. 12 No. 1 Maret 2015
83
1.
Kerjasama dalam bidang kegiatan legislatif yang didasarkan pada Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945. 2. Kerjasama dalam pembuatan penetapan tertentu, keikutsertaan Dewan Perwakilan Rakyat dalam memberikan persetujuan didasarkan pada hak Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengajukan (persetujuan). 3. Kerjasama dalam menyelenggarakan pengawasan. Tugas ini tidak mungkin berjalan dengan baik tanpa kerjasama dengan Presiden sehingga Presiden harus membantu agar tugas pengawasan terselenggara sebaik-baiknya. Dari ketentuan tersebut terlebih dapatlah diketahui bahwa perjanjian internasional tersebut merupakan salah satu unsur pembentuk hukum nasional yang pada hakekatnya berisi atau mengatur hubungan hukum antar peserta, hak dan kewajiban masing-masing peserta, sehingga dengan demikian hukum nasional tersebut dalam pembentukannya juga memperhatikan unsurunsur dari perjanjian internasional. Hukum yang lebih dari perjanjian internasional adalah bagian dari peraturan perundang-undangan nasional. Dengan demikian maka persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat adalah dalam rangka kerjasama di bidang perundangundangan atau legislatif. Meratifikasi perjanjian internasional pada umumnya adalah : “Dituangkan dalam dua bentuk peraturan perundang-undangan yaitu meratifikasi yang memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dituangkan dalam bentuk Undang-Undang, sedangkan meratifikasi yang tidak memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dituangkan dalam bentuk keputusan Presiden (Keppres). (Syahmin AK. II, 2002 ; 110 ) Dari segi kekuatan hukumnya sudah jelas perjanjian internasional yang diratifikasi dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat yang dituangkan dalam bentuk Undang – undang maupun tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat yang dituangkan dalam bentuk Keputusan Presiden adalah sama , yaitu mengikat seluruh masyarakat Indonesia.
84
Dampak Positif Meratifikasi Perjanjian Internasional Tanpa Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Dalam praktek menunjukkan bahwa pengesahan dengan bentuk Keputusan Presiden masih menunjukkan keanekaragaman penafsiran dari para teoritis maupun praktisi tapi hal ini tidak dapat dipungkiri karena dari sejumlah praktek pengesahan perjanjian internasional kelihatannya bentuk ini lebih dominan. Hal ini disebabkan oleh karena hubungan internasional yang demikian intensif sehingga menghendaki tindakan-tindakan cepat dari pemerintah yang membutuhkan prosedur konstitusional dari Dewan Perwakilan Rakyat memerlukan waktu yang terlalu lama. Dampak positif yang ditimbulkan dari perubahan praktek ketatanegaraan mengenai perjanjian internasional dan ratifikasinya berdasarkan Surat Presiden No. 2826/HK/60 adalah memudahkan prosedur dalam pembuatan perjanjian internasional dan pencabutan atau pembatalan suatu perjanjian yang mengikat apabila sudah tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi negara atau mungkin bertentangan dengan Garis-garis Besar Haluan Negara dan Undang-Undang Dasar 1945. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari pembahasan permasalahan tersebut di atas maka dapat kami simpulkan sebagai berikut : 1. Dasar hukum yang digunakan oleh Negara Republik Indonesia di dalam mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional adalah ketentuan Pasal 11 UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa wewenang Presiden dalam pembuatan perjanjian internasional dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam meratifikasi Perjanjian Internasional Presiden mengajukan unsur ratifikasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapat persetujuan, dan disahklan oleh Dewan perwakilan Rakyart dalam bentuk undang – Undang .
I Dewa Gede Budiarta, Kewenangan Presiden Dalam.......
2.. Konsekuensi yuridis terhadap perubahan kewenangan dalam ratifikasi perjanjian internasional tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat adalah untuk memudahkan bagi pemerintah dalam pencabutan atas pembatalan suatu perjanjian internasional yang diikat apabila tidak sesuai dengan situasi dan kondisi negara atau mungkin bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, dan pertimbangan praktis demi kelancaran hubungan internasional yang demikian intensifnya sehingga menghendaki tindakan-tindakan yang cepat dari pemerintah yang membutuhkan prosedur konstitusional yang lancar.
siapa atau suatu badan yang menentukan suatu perjanjian itu tidak termasuk dalam treaty atau agreement apakah oleh Badan Eksekutif (Presiden) atau Badan Legislatif atau mungkin ada lain. Sehingga dalam praktek ketatanegaraan akan terdapat suatu ketegasan dalam hal membuat hal perjanjian internasional. DAFTAR PUSTAKA
Saran-saran Dalam kesempatan ini dicoba untuk memberikan saran-saran dalam hubungannya dengan pembuatan perjanjian internasional di Indonesia, yaitu : 1. Walaupun Surat Presiden No. 2826/HK/60 telah merupakan Konvensi Ketatanegaraan, namun Surat Presiden tersebut bukan sebagai sumber hukum dalam sumber tertib hukum di Indonesia, maka akan lebih baik jika hal itu mendapat pengaturan yang lebih lanjut dengan menuangkannya dalam Undang-Undang sehingga tidak akan melemahkan hukum positif di Indonesia. 2. Perlunya pengaturan lebih lanjut mengenai pedoman pelaksanaan UUD 1945 (seperti Surat Presiden No. 2826/HK/60) berupa penegasan mengenai
Suwardi Sri Setianingsih, 2001, Indonesia dan Perjanjian Internasional Berdasarkan Pasal 11 UUD 1945, Pasca Sarjana HI UNPAD, Bandung Mas Subagio, 1986, Ensiklopedia PerundangUndangan Republik Indonesia, Alumni, Bandung A. Hamid Attamini, 2000, Pengesahan Ratifikasi Perjanjian Internasional “diatur” oleh Konvensi Ketatanegaraan dalam Hukum dan Pembangunan. Edy Suryono, 1984, Praktek Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia , CV. Remaja karya, Bandung Pringgodigdo, H.A.K., 1983, Tiga UndangUndang Dasar, PT. Pembangunan, Jakarta Mochtar Kusumaatmadja, 1986, Pengantar Hukum Intenasional, Buku I, Bagian Umum, Bina Cipta, Bandung Bagir Manan, 1997, Konvensi Ketatanegaraan, Armico, Bandung Syahmin AK. II, 2002 , Hukum Internasional Publik (dalam Kerangka Study Analisis), Bina Cipta, Bandung,
Majalah Ilmiah Untab, Vo. 12 No. 1 Maret 2015
85