Membangun konstitusionalitas Indonesia Membangun budaya sadar berkonstitusi Website: www.mahkamahkonstitusi.go.id e-mail:
[email protected]
Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara pengawal konstitusi dan penafsir konstitusi demi tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi untuk kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat. Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu wujud gagasan modern dalam upaya memperkuat usaha membangun hubungan-hubungan yang saling mengendalikan antar cabang-cabang kekuasaan negara.
Volume 1 Nomor 3 Mei 2005 DITERBITKAN OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Jl. Medan Merdeka Barat Nomor 7 Jakarta Pusat Telp. (021) 3520173, 3520787 Fax. (021) 352-2058
Jurnal Konstitusi, VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER 2004
1
Dewan Pengarah: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. Prof. Dr. Muhamad Laica Marzuki, S.H. Prof. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. Letjen TNI (Purn) H. Ahmad Roestandi, S.H. Prof. H. Ahmad Syarifuddin Natabaya, S.H. LLM Dr. Harjono, S.H., MCL Maruarar Siahaan, S.H. I Dewa Gede Palguna S.H., M.H. Soedarsono, S.H. Penanggung Jawab: Janedjri M. Gaffar Wakil Penanggung Jawab: Ahmad Fadlil Sumadi Pemimpin Redaksi: Rofiqul-Umam Ahmad Redaktur Pelaksana: Mustafa Fakhri Sidang Redaksi: Janedjri M. Gaffar, Ahmad Fadlil Sumadi, Winarno Yudho, Rofiqul-Umam Ahmad, Mustafa Fakhri, Ali Zawawi, Munafrizal, Bisariyadi, Zainal A. M. Husein Sekretaris Redaksi: Bisariyadi Distributor: Nanang Subekti Alamat Redaksi: Jl. Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat Telp. 021-3520173, Faks. 021-3522087 Diterbitkan oleh: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Website: http://www.mahkamahkonstitusi.go.id
Opini yang dimuat dalam jurnal ini tidak mewakili pendapat resmi MK. 2
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
Volume 1 Nomor 3, Mei 2005 Terbit 184 halaman
KETENAGALISTRIKAN PASCA PUTUSAN MK
Pengantar Redaksi ....................................................................... 4 Opini Hakim Konstitusi, DR. HARJONO, S.H., M.CL ................ 8 Analisis Putusan Urgensi Persaingan Usaha pada Sektor Ketenagalistrikan di Indonesia, BANU MUHAMMAD H .................................... 22 Pengalaman Restrukturisasi dan Privatisasi Sektor Ketenagalistrikan di Berbagai Negara, FABBY TUMIWA .... 42 Privatisasi & Oligarkhi Ekonomi, EKO PRASETYO .............. 84 Catatan Hukum dan Konstitusi Implikasi Globalisasi terhadap Perubahan Kebijakan Pemerintah di Bidang Ekonomi, Politik, dan Pembangunan, BIVITRI SUSANTI ...................................... 108 Wacana Singkat tentang Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, RIKRIK RIZKIYANA ...................................... 1 3 1 Historika Konstitusi How Should We Interpret Our Constitution R.M.A.B. KUSUMA ................................................................ 1 5 7 Resensi Buku Mafia: Legenda Kehormatan, Martabat, Kekuatan dan Kejahatan yang Memukau, MULYADI J. AMALIK ............. 1 7 2 Menatap (lagi) Kemestian Perubahan UUD 1945 NURFAQIH IRFANI, S.H. ...................................................... 180
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
3
D
i penghujung tahun 2004, MK memutus perkara pengujian UU Ketenagalistrikan (UU Nomor 20 Tahun 2002) terhadap UUD. Ada beberapa hal yang istimewa terkait dengan pengujian UU Ketenagalistrikan ini. Pertama, dalam konteks waktu pemeriksaan perkara, pengujian UU Ketenagalistrikan adalah salah satu perkara yang paling lama diperiksa oleh MK. Perkara pengujian UU ketenagalistrikan diajukan oleh 3 (tiga) pemohon yang kemudian digabungkan pemeriksaannya oleh Majelis Hakim. Dan salah satu di antara permohonan pengujian UU tersebut merupakan limpahan perkara dari MA, yang memegang kewenangan MK sebelum MK terbentuk, sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945. Dengan demikian pemeriksaan perkara pengujian UU ketenagalistrikan memakan waktu lebih dari satu tahun. Lamanya pemeriksaan pengujian UU ini setidaknya menandakan betapa peliknya permasalahan yang dikandung di dalamnya sekaligus betapa Majelis Hakim sangat berhati-hati dalam mengambil putusan mengingat perkara ini menyangkut hajat hidup seluruh rakyat Indonesia. Keistimewaan kedua adalah bahwa Putusan MK atas perkara pengujian UU Ketenagalistrikan adalah putusan MK pertama yang menyangkut perkara yang terkait dengan bidang ekonomi. Secara khusus, putusan ini merupakan penafsiran MK atas Pasal 33 UUD tahun 1945 mengenai perekonomian nasional. Keistimewaan ketiga adalah bahwa pengujian UU Ketenagalistrikan adalah perkara kedua setelah perkara pengujian UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme atas Peledakan Bom di Bali (UU Nomor 16 Tahun 2003) di mana MK menyatakan bahwa UU tersebut, secara keseluruhan, bertentangan dengan UUD dan oleh karenanya UU tersebut dinyatakan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. 4
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
Berangkat dari keistimewaan yang ada dalam putusan maupun proses pemeriksaan pengujian UU Ketenagalistrikan tersebut setidaknya faktor-faktor tersebut menjadi sebuah pertanda awal bahwa putusan pengujian UU Ketenagalistrikan merupakan salah satu landmark case yang berhasil ditangani oleh MK. Namun tentunya letak magnum opus dari putusan MK atas pengujian UU Ketenagalistrikan ini bukan dari ukuran tata cara proses pemeriksaan maupun lamanya waktu pengujian, akan tetapi diukur dari substansi putusan terutama landasan pertimbangan diambilnya putusan yang mempertimbangkan dalam segala perspektif, tidak hanya dari legal perspective namun juga sudut dampak yang akan dihasilkan Putusan tersebut di masyarakat, sociological context. Tentu dalam setiap kebijakan termasuk di dalamnya putusan MK menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Namun demikian, putusan MK yang bersifat final and binding atas perkara pengujian UU membuat semua orang harus menghormati putusan MK. Perdebatan yang terjadi di masyarakat menjadi suatu yang wajar dan lumrah, sebagai pertimbangan dan pelajaran untuk masa yang akan datang. Pro dan kontra adalah kata lain untuk menggambarkan perbedaan pendapat, dan perbedaan pendapat adalah bagian dari demokratisasi bahkan dalam putusan MK pun dimungkinkan adanya dissenting opinion. Segala pendapat yang berkembang di masyarakat berkaitan dengan Putusan MK atas pengujian UU Ketenagalistrikan juga coba di rekam dalam Jurnal Konstitusi edisi 3 ini. Analisis atas putusan MK mengenai pengujian UU ketenagalistrikan yang direkam dalam jurnal ini dihantarkan oleh Banu Muhammad, Fabby Tumiwa, dan Eko Prasetyo. Banu Muhammad mengangkat analisis putusan MK atas UU Ketenagalistrikan dari perspektif persaingan usaha. Fabby Tumiwa melihat praktek penyelenggaraan perusahaan pembangkit tenaga listrik dengan melakukan perbandingan di negara-negara lain. Sedangkan Eko Prasetyo menyoroti masalah privatisasi dari sudut , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
5
pandang historis. Selain itu, terdapat pula tulisan-tulisan lain yang dimuat dalam Jurnal Konstitusi ini dalam upaya mengembangkan teori-teori yang berkaitan dengan konstitusi dan hukum tata negara. Dr. Harjono, SH.,M.Cl., salah seorang hakim konstitusi, dalam rubrik opini mengemukakan gagasan mengenai penyusunan serta pembentukan UU. Dengan terlebih dahulu menggambarkan perbandingan antara penyusunan dan pembentukan UU menurut UUD 1945 sebelum Perubahan dan setelah Perubahan (UUD 1945), menarik untuk mencermati idenya yang menggagas serta mewacanakan untuk membedakan UU yang dibuat oleh DPR serta UU yang disusun berdasarkan usul inisiatif Presiden. Tentu, sebagai sebuah ide dasar, gagasan ini terlontar sebagai sebuah wacana untuk pembahasan lebih lanjut. Sekelumit ide ini menarik untuk dielaborasi lebih lanjut dalam rangka penyusunan dan pembentukan UU di Indonesia. Dalam rubrik catatan hukum dan konstitusi, Bivitri Susanti mengungkapkan mengenai bagaimana pandangan neo-liberalisme telah merambah segala segi kehidupan dan mencakup lingkup dunia internasional dengan kendaraan globalisasi. Dampak pandangan neo-liberalisme dalam mempengaruhi kebijakan di dunia hukum kemudian membangun apa yang disebut sebagai “new constitutionalism”. Sedangkan Rikrik Rizkiyana mencatat mengenai hukum persaingan usaha di Indonesia. Pemuatan tulisan ini adalah berdasarkan pemikiran bahwa berhubung jurnal edisi kali ini berbicara mengenai privatisasi maka redaksi mencoba menarik benang merah untuk melihat bagaimana sebenarnya kebijakan persaingan usaha atau kebijakan monopoli yang diterapkan di Indonesia. Kemudian, seperti biasa redaksi juga memuat tulisan tetap yang mengungkap sejarah ketatanegaraan Indonesia yang ditulis Ananda B. Kusuma; adalah salah seorang anggota tim penyusun buku risalah sidang BPUPKI yang kini beliau pun menyusun buku yang dapat dikatakan sebagai 6
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
revisi atas risalah sidang BPUPKI tersebut. Dalam tulisannya di jurnal edisi kali ini beliau mengungkapkan gagasannya tentang bagaimana seharusnya kita menafsirkan UUD 1945. Terakhir, sebagai book review redaksi memilih 2 buah buku yang berjudul Mafia Global: Sebuah Ekspose Mega Kejahatan Dunia Masa Kini yang ditulis oleh Antonio Nicaso dan Lee Lamothe serta Reformasi Konstitusi dalam Masa Transisi Paradigmatik yang ditulis oleh Prof. A. Mukthie Fadjar, SH., MS.. Buku pertama dieksplorasi oleh Mulyadi J. Amalik dimana dia menemukan bahwa ternyata mekarnya mafia kejahatan yang mengglobal itu tumbuh seiring dengan kemajuan proyek kapitalisme negara maju. Dengan kata lain bahwa mafia kejahatan itu merupakan jawaban tak langsung atau bahkan mungkin dapat disebut sebagai perlawanan dari kemajuan kapitalisme. Buku kedua yang diresensi oleh Nurfaqih Irfani, S.H. berisi kumpulan tulisan-tulisannya yang mengomentari seputar Perubahan UUD 1945 yang dilakukan MPR. Dan sebagian besar tulisantulisan tersebut beliau goreskan pada saat isu tersebut masih hangat didiskusikan dan belum menjadi sebuah keputusan yang akan diambil oleh MPR. Walaupun tulisan tersebut disusun beberapa tahun yang lalu, namun di baliknya tersimpan ide brilian yang dapat diambil sebagai bahan diskusi dan pengembangan cakrawala pemikiran. Himpunan tulisan-tulisan yang dikelompokkan dalam rubrik-rubrik di Jurnal Konstitusi ini semoga menghadirkan inspirasi dan memperluas pengetahuan kita semua dalam memperkuat gagasan-gagasan konstitusional dan menjadi bagian dari upaya membangun budaya berkonstitusi di Indonesia. Dengan mengibaratkan jurnal ini bak sebuah hidangan lezatyang disajikan untuk kebutuhan intelektual kita, maka sebagai penutup kepada pembaca kami mengucapkan, Bon Appetite..!!
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
7
PEMBUATAN UNDANG-UNDANG MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR Oleh DR. HARJONO, S.H., M.CL
A. Pembuatan Undang-Undang Sebelum Perubahan Undang-Undang Dasar Pembentukan UU merupakan hal yang sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, oleh karena itu Hukum Tata Negara perlu untuk membahas pembuatan UU tersebut secara komprehensif dan tuntas sehingga seluruh aspek yang terkait dengan pembentukan tersebut dapat difahami. Untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang pembentukan UU setelah adanya perubahan UUD 1945, diperlukan pembahasan pembuatan UU berdasarkan UUD 1945 sebelum perubahan karena dengan demikan akan tergambar secara jelas hal-hal yang mendasari pembentukan UU yang baru dengan memperbandingkan dengan pembentukan UU pada masa sebelumnya. Undang-Undang Dasar 1945 hasil perubahan mengubah ketentuan tentang pembuatan UU. Perubahan tersebut utamanya dilakukan pada Pasal 5 dan Pasal 20 UUD 1945. Pasal 5 ayat (1) UUD sebelum perubahan menyatakan “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang 8
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Ketentuan inilah yang menjadi dasar hukum utama bagi pembuatan undang-undang dalam sistem ketatanegaraan UUD 1945 sebelum perubahan. Pasal 5 ayat (1) termasuk dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara. Dengan demikian jelas bahwa dalam sistem ketatanegaraan yang diatur dalam UUD 1945 sebelum perubahan, pembuatan UU yang dikenal sebagai proses legislatif berada dalam lingkup Kekuasaan Pemerintahan Negara dan organnya adalah Presiden. Di samping memegang kekuasaan membentuk undang-undang, dalam Bab yang sama, pada Pasal 4 ayat (1) dinyatakan bahwa “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut UndangUndang Dasar”. Dengan dasar kandungan atau isi Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara dapatlah disimpulkan bahwa Kekuasaaan Pemerintahan Negara menurut UUD 1945 sebelum perubahan terdiri atas (i) Kekuasaan Pemerintahan (tanpa kata Negara) berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, (ii) Kekuasaan membentuk undang-undang (dengan persetujuan DPR) menurut Pasal 5 ayat (1). Selain pengaturan dalam Pasal 5 UUD 1945, untuk membentuk undang-undang juga diatur dalam Pasal 20 ayat (1) yang mengatur bahwa “Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Apabila dibandingkan dengan rumusan Pasal 5 UUD 1945, perumusan Pasal 20 UUD 1945 ini tidak dicantumkan kata memegang kekuasaan, sehingga jelaslah bahwa UUD 1945 sebelum perubahan memang benar-benar menganut sistem bahwa pembuatan UU berada di tangan Presiden sedangkan DPR berfungsi untuk memberikan persetujuan. Pasal 21 UUD 1945 sebelum perubahan memberikan hak kepada anggota DPR untuk memajukan rancangan undang-undang (RUU). Ada perbedaan kedudukan antara Presiden dan anggota DPR dalam rangka pembentukan UU. Presiden adalah pemegang kekuasaan pembentuk UU, , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
9
sebagaimana disebut dalam Pasal 5 UUD 1945 sebelum perubahan, sedangkan anggota DPR mempunyai hak mengajukan RUU. Sebagai pemegang kekuasaan membentuk UU tentu kekuasaan itu lebih besar dibandingkan memiliki hak untuk memajukan RUU. Sebagai pemegang kekuasaan, Presiden menjadi sentral dalam proses pembuatan undang-undang baik dari proses awal pembentukan sampai terbentuknya undang-undang. Anggota DPR diberi hak untuk mengajukan RUU dan hak ini dapat digunakan secara fakultatif dan bukan merupakan kewajiban. Oleh karenanya, jika ada RUU yang diajukan oleh anggota DPR maka disebut sebagai RUU inisiatif karena RUU ini bukan berasal dari penyelenggara kekuasaan membentuk UU yang berada di tangan Presiden. Proses berikutnya adalah RUU tersebut harus mendapatkan persetujuan dari DPR. Apabila telah mendapatkan persetujuan DPR untuk menjadi UU, RUU tersebut harus disahkan oleh Presiden. Ketentuan ini didapatkan dari bunyi Pasal 21 UUD 1945 sebelum perubahan yang mengatur “Jika rancangan itu meskipun disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tidak disahkan oleh Presiden, maka rancangan itu tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu”. Dengan demikian dalam UUD 1945 sebelum perubahan ada dua macam undang-undang dilihat dari proses pembentukannya yaitu (a) Undang-undang yang dibuat berdasarkan Pasal 5 jo. Pasal 20 UUD 1945, dan; (b) Undang-undang yang dibuat berdasarkan pasal 21 UUD 1945. Perbedaan proses tersebut seharusnya juga tercerminkan dalam bentuk atau format sebuah undang-undang yang dibuat. Apabila sebuah Undang-undang lahir karena Presiden menggunakan kekuasaan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 maka jelas undang-undang tersebut bentuknya adalah sebuah Keputusan Presiden yang 10
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (vide Pasal 20). Sedangkan undang-undang yang dibuat berdasarkan Pasal 21 di mana RUU tersebut berasal dari anggota DPR yang kemudian disetujui oleh DPR setelah itu diajukan kepada Presiden, bentuk hukum undang-undang tersebut seharusnya berupa Keputusan Presiden tentang Pengesahan Rancangan Undang-Undang DPR menjadi undang-undang. Pada masa lalu bentuk atau format undang-undang hanya mengenal satu bentuk saja tanpa membedakan proses lahirnya undang-undang. Adanya satu bentuk atau format undang–undang yang dibuat berdasarkan Pasal 20 UUD 1945 saja ini, kemungkinan adalah disebabkan tidak adanya kebutuhan karena dalam praktik belum pernah anggota DPR mengajukan rancangan undang-undang yang kemudian diterima oleh DPR untuk diajukan pengesahannya kepada Presiden. Pada masa lalu dapat dipastikan rancangan undang-undang selalu datang dari Presiden. B. Pembuatan Undang-Undang Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar 1945 pada tahun 1999 mengubah Pasal 5 ayat (1) UUD yang sebelumnya menyatakan “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat” menjadi “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Perubahan ini jelas mengubah hal yang sangat esensi dari kekuasaan Presiden yaitu dari “Pemegang Kekuasaan Membentuk Undang-undang” menjadi “berhak mengajukan rancangan undang-undang”. Di samping perubahan pada Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, sebagai pasangannya, juga diubah Pasal 20 yang semula terdiri atas 2 (dua) ayat menjadi 5 (lima) ayat. Pasal 20 ayat (1) semula berbunyi “Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat” menjadi berbunyi “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
11
undang-undang”. Dari perubahan Pasal 20 ayat (1) ini dapatlah diketahui bahwa Perubahan Pertama UUD 1945 bermaksud memindahkan kekuasaan pembuatan undang-undang dari Presiden ke Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian sistem ketatanegaraan sebelum perubahan dimana Presiden menduduki fungsi sentral diubah dengan menempatkan DPR dalam posisi penyeimbang kekuasaan eksekutif, atau dengan kata lain menguatkan fungsi legislasi DPR. Substansi Pasal 20 ayat (2) lama tetap dipertahankan namun dengan sedikit mengalami penyesuaian redaksional dan tempatnya dipindahkan dari ayat (2) menjadi ayat (3). Pasal 20 ayat (2) setelah mengalami perubahan tersebut menjadi menyatakan bahwa “Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu”. Meskipun kekuasaan pembuatan undangundang dengan adanya perumusan perubahan pada Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 perubahan telah beralih ke DPR, namun aktifitas pembuatan undang-undang tetap melibatkan dua lembaga yaitu Presiden dan DPR, sebagaimana dirumuskan oleh Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 hasil perubahan. Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 setelah perubahan mengatur bahwa “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”. Di samping perubahan terhadap Pasal 5 dan Pasal 20, dalam hubungannya dengan pembuatan undang-undang, perubahan juga dilakukan terhadap Pasal 21 yang kemudian berbunyi menjadi “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usulan rancangan undang-undang”. Dengan adanya ketentuan perubahan dalam pembuatan undang-undang sebagai hasil perubahan Pasal 5 dan Pasal 20 UUD 1945 tersebut maka mekanisme pembuatan undang-undang menurut konstitusi urutannya adalah:
12
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
1. Tahap Pengajuan dan Pembahasan RUU Rancangan undang-undang dapat berasal dari Presiden dan DPR. Pasal 5 ayat (1) UUD perubahan memberikan hak kepada Presiden untuk mengajukan rancangan undangundang, sedangkan hak DPR untuk mengajukan rancangan undang-undang tidak dinyatakan secara ekplisit dalam rumusan pasal. Hak mengajukan RUU ini timbul dari kewenangan DPR sebagai pemegang kekuasaan membentuk undang-undang. Karena DPR adalah sebuah lembaga perwakilan tentunya kekuasaan untuk membuat undangundang tersebut juga tercerminkan dalam hak-hak yang dimiliki oleh anggota DPR, dan untuk itu Pasal 21 UUD 1945 hasil perubahan memberikan hak anggota DPR untuk mengajukan usul rancangan undang-undang. Sebagai sebuah usul tentunya rancangan undang-undang yang datang dari anggota tersebut haruslah dibahas oleh DPR untuk disetujui sebagai rancangan DPR. Pada masa sebelum dilakukan perubahan UUD 1945, hak untuk mengajukan RUU oleh DPR disebut sebagai hak inisiatif. Tentunya hal ini tepat karena kekuasaan membentuk undang-undang berada di tangan Presiden. Namun, setelah perubahan UUD 1945 penggunaan hak inisiatif sebagai hak DPR tidaklah tepat lagi karena memang fungsi utama DPR adalah legislasi. Hak inisiatif seharusnya dimaknai sebagai hak anggota DPR untuk mengajukan usul RUU, atau hak Presiden untuk mengajukan RUU. Pembahasan bersama suatu RUU antara Presiden dan DPR adalah ketentuan konstitusi sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 20 ayat (2). Oleh karena itu pembahasan bersama menjadi syarat formal bagi sahnya sebuah undang-undang. Hal ini berbeda dengan ketentuan sebelum perubahan dimana pembahasan bersama tidaklah merupakan syarat konstitusionalitas sebuah undang-undang. Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan menyatakan “Jika suatu rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, maka rancangan tadi tidak boleh , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
13
dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu”. Ketentuan ini jelas mengatur perihal persetujuan DPR terhadap sebuah rancangan undang-undang, sehingga forum untuk memberikan persetujuan ini adalah forum internal DPR, bukan merupakan forum DPR bersama Presiden untuk melakukan pembahasan RUU. Dengan ketentuan UUD 1945 sebelum perubahan tersebut DPR dapat melakukan sidang sendiri tanpa melibatkan Presiden untuk satu agenda saja yaitu membahas RUU yang diajukan Presiden dan mengambil putusan guna menolak atau menyetujui RUU yang diajukan oleh Presiden. Ketentuan Pasal 21 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan pun juga menyiratkan bahwa sebuah forum pembahasan bersama antara Presiden dan DPR bukan merupakan syarat konstitusional bagi sahnya undang-undang. Ketentuan tersebut berbunyi “Jika rancangan itu, meskipun disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tidak disahkan oleh Presiden, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu”. Dengan adanya ketentuan ini maka Presiden secara sepihak, tanpa pembahasan bersama dengan DPR, dapat langsung mengesahkan atau tidak mengesahkan RUU yang diajukan DPR kepada Presiden. 2. Tahap Persetujuan Bersama Terhadap RUU Sebuah forum untuk melakukan pembahasan bersama terhadap RUU yang dilakukan oleh Presiden dan DPR dengan demikian adalah sangat penting dan bahkan menjadi syarat konstitusionalitas sebuah undang-undang. Syarat berikutnya adalah bahwa dalam pembahasan bersama tersebut dicapai persetujuan bersama. Persetujuan bersama tersebut seharusnya menyangkut dua hal yaitu (i) aspek formal dan (ii) aspek substansi yang saling berkait. Dari aspek formal harusnya pembahasan tersebut menghasilkan sebuah naskah kesepakatan terhadap hal-hal yang telah disetujui bersama di mana kedua belah pihak membubuhkan tanda persetujuannya. Sedangkan dari aspek substansi, menam14
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
pung hal-hal yang dituangkan dalam naskah kesepakatan yang merupakan substansi hasil pembahasan bersama. Dalam hal pembahasan bersama, belum atau tidak dapat menghasilkan kesepakatan bersama terhadap RUU yang diajukan, tentunya naskah kesepakatan atau persetujuan tersebut belum atau tidak dapat dirumuskan. Naskah ini sangat penting karena proses pembuatan undang-undang secara konstitusional akan terkait dengan hasil persetujuan bersama Presiden dan DPR yang telah tertuang dalam naskah tersebut sebagaimana tercermin dalam tahapan ini. Apabila ternyata antara Presiden dan DPR tidak berhasil mencapai persetujuan bersama terhadap materi RUU yang dibahas dalam suatu kurun masa persidangan, maka ketentuan Pasal 20 ayat (3) melarang RUU tersebut diajukan kembali dalam persidangan DPR masa itu. 3. Tahap Pengesahan RUU Menjadi Undang-undang. Proses konstitusional yang disyaratkan agar RUU sah menjadi undang-undang, pengaturan hukumnya terdapat dalam Pasal 20 ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945 setelah perubahan. Pasal 20 ayat (4) menyatakan “Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang”. Dengan adanya ketentuan ini, berubahnya rancangan undangundang menjadi undang-undang adalah karena adanya perbuatan Presiden untuk mengesahkan rancangan undangundang yang telah disetujui bersama dengan DPR menjadi undang-undang. Di pihak lain, UUD 1945 memberikan alternatif kapan sebuah RUU yang telah disetujui bersama Presiden dan DPR berubah statusnya secara sah menjadi undang-undang. Waktu itu adalah sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 20 ayat (5) yang menyatakan “Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
15
undang dan wajib diundangkan”. Dari dua ketentuan tersebut ternyata RUU yang disetujui bersama oleh Presiden dan DPR sangatlah penting, karena dari RUU ini undang-undang lahir baik karena adanya pengesahan Presiden maupun karena lewat waktu 30 (tiga puluh) hari sejak adanya persetujuan. Sebuah RUU yang sah menjadi undang-undang karena lewat waktu 30 (tiga puluh) hari sejak RUU tersebut disetujui bersama, tidak memerlukan perbuatan Presiden lagi atau dapat dikatakan RUU tersebut demi hukum telah berubah menjadi undang-undang. 5. Tahap Pengundangan Ketentuan tentang pengundangan Undang-undang dalam UUD 1945 disinggung dalam Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 yang mengatur tentang RUU yang tidak disahkan oleh Presiden dengan menyatakan “wajib diundangkan”. Hal demikian tentulah tidak dimaksudkan bahwa yang wajib diundangkan hanya RUU yang menjadi undang-undang karena berdasarkan Pasal 20 ayat (5) saja. RUU yang menjadi UU karena pengesahan Presiden pun wajib untuk diundangkan. UUD 1945 tidak menentukan aturan yang khusus tentang pengundangan dan dengan adanya Pasal 22A UUD yang menyatakan “Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undangundang”. Dengan demikian maka tata cara pengundangan dapat diatur dalam undang-undang yang melaksanakan Pasal 22A tersebut. C. Pembuatan Undang-Undang dalam UU No.10 Tahun 2004 Presiden, pada tanggal 22 Juni 2004, telah mengesahkan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. UU tersebut mengatur substansi yang lebih luas dibandingkan dengan substansi yang diperintahkan oleh Pasal 22A UUD karena yang diatur tidak hanya tata cara pembentukan undang-undang tetapi termasuk juga di dalamnya peraturan perundang-undangan 16
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
lain. Pengaturan yang berhubungan dengan pembuatan undang-undang antara lain tentang Pengesahan, sebagaimana dimuat dalam Pasal 37 UU No. 10 Tahun 2004 yang berbunyi: (1) Rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden disampaikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden untuk disahkan menjadi undang-undang. (2) Penyampaian rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Ketentuan tersebut di atas seharusnya mengoperasionalisasikan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 20 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi “Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama menjadi undang-undang”. Dengan adanya ketentuan Pasal 37 UU No. 10 Tahun 2004 tersebut DPR dibebani kewajiban menyampaikan RUU yang telah disetujui bersama kepada Presiden untuk disahkan dalam tenggat waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal persetujuan bersama. Dalam Pasal 37 UU No. 10 Tahun 2004 tidak diatur format dan bentuk RUU yang telah disetujui bersama DPR dan Presiden. Format dan bentuk RUU yang telah disetujui bersama DPR dan Presiden adalah sangat penting bagi pembuatan undangundang, karena dari naskah atau dokumen inilah sebuah undang-undang akan terbentuk atau lahir. Apabila naskah RUU yang telah disetujui bersama tersebut kemudian disahkan oleh Presiden maka lahirlah undang-undang yang proses hukumnya diatur menurut Pasal 20 ayat (4) UUD 1945. Sedangkan kalau naskah RUU tersebut ternyata tidak disahkan oleh Presiden dalam tenggat waktu 30 (tiga puluh) hari terbentuklah undang-undang secara sah berdasarkan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 dan wajib diundangkan oleh , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
17
pejabat yang diserahi tugas untuk itu. Dengan prosedur konstitusional seperti ini dapat dibedakan antara UU yang lahir atas dasar Pasal 20 ayat (4) UUd 1945 dan yang lahir dengan prosedur Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 yang terbentuk tanpa adanya pengesahan Presiden. Naskah RUU yang disetujui bersama tersebut seharusnya memuat di dalamnya: (1) Substansi undang-undang yang tertuang dalam rumusan ketentuan yang telah disepakati antara Presiden dan DPR. Hal ini diperlukan untuk menjadi bukti otentik tentang hal-hal yang telah disetujui. (2) Bukti DPR dan Presiden bahwa telah menyetujui bersama substansi undang-undang dengan cara pembubuhan tanda tangan Presiden dan Ketua DPR sebagai institusi. (3) Momentum atau waktu kapan persetujuan tersebut dicapai yaitu saat ditandatangani oleh Presiden dan Ketua DPR. Dua prosedur terbentuknya undang-undang tersebut seharusnya juga tercerminkan dalam bentuk hukum dan format sebuah undang-undang. Prosedur terbentuknya undang-undang berdasarkan Pasal 20 ayat (4) UUD 1945 adalah karena adanya Keputusan Presiden tentang Pengesahan Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama DPR dan Presiden yang tertuangkan dalam naskah atau dokumen persetujuan menjadi undang-undang. Materi dari pengesahan Presiden tersebut hanya menyangkut 2 (dua) hal, yaitu (i) pernyataan pengesahan RUU menjadi Undangundang, (ii) tanggal mulai berlaku RUU menjadi UU. Sedangkan substansi UU yang isinya adalah Naskah RUU yang telah disetujui Presiden dan DPR cukup menjadi lampiran dari Keputusan Presiden tentang pengesahan tersebut. Apabila undang-undang terbentuk berdasarkan Pasal 20 ayat (5) yang tidak memerlukan Keputusan Presiden, maka yang menjadi wadah hukumnya adalah keputusan dari pejabat yang wajib untuk mengundangkan, yang berisi 18
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
pernyataan pemuatan naskah RUU yang telah disetujui bersama Presiden dan DPR dalam lembaran negara. Ketentuan yang diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004 menyamakan format dan bentuk hukum 2 (dua) undangundang yang prosedur lahirnya berbeda tersebut, perbedaannya adalah pada bagian penutup dari undang-undang. Sebuah undang-undang yang lahir berdasarkan Pasal 20 ayat (4) UUD 1945 pada bagian penutup undang-undang diakhiri dengan mencantumkan pada bagian bawah kanan frasa yang berbunyi “Disahkan di Jakarta, pada tanggal … PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA” yang kemudian ditandatangani serta dicantumkan nama Presiden. Contoh: Disahkan di Jakarta Pada tanggal … PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd. ……………………
Undang-undang yang lahir berdasarkan Pasal 20 ayat (5) format dan bentuk hukumnya sama dengan format dan bentuk hukum yang lahir berdasarkan Pasal 20 ayat (4) yaitu pada bagian judul tetap mencantumkan frasa “Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa” dan kemudian diikuti “Presiden Republik Indonesia”, setelah konsideran “Menimbang”, dan “Mengingat” kemudian diikuti frasa “Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA” kemudian “MEMUTUSKAN” dan “Menetapkan:” Undang-undang yang dimaksud. Pada bagian penutup bawah sebelah kanan format undang-undang , sesuai dengan ketentuan Pasal 38 ayat
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
19
(3) UU No. 10 Tahun 2004 dituliskan “Undang-undang ini dinyatakan sah berdasar ketentuan Pasal 20 ayat (5) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Contoh: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: …… Mengingat: …… Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan: ……
Format yang demikian ini menimbulkan kerancuan hukum karena tetap digunakan frasa “PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA” pada judul undang-undang, padahal di bagian bawah tidak terdapat tanda tangan Presiden tetapi digantikan oleh frasa sebagaimana disebutkan di atas. Apakah hal ini tetap dapat dikategorikan bahwa bentuk hukum undang-undang ini adalah Keputusan Presiden meskipun tidak ada tanda tangan Presiden. Dengan adanya frasa sebagaimana disebutkan dalam Pasal 38 ayat (3) yang terdapat di dalamnya anak kalimat “… dinyatakan sah berdasar ketentuan …” menimbulkan pertanyaan siapa yang menyatakan bahwa undang–undang yang bersangkutan sah. Kalau dilihat dari format judul tentunya Presiden yang menyatakan tetapi justru Presiden tidak berbuat sesuatu 20
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
apapun untuk sahnya undang-undang yang bersangkutan tetapi undang-udang ini sah karena hukum dalam hal ini UUD 1945 dan bukan karena adanya suatu pernyataan. Dengan adanya beberapa catatan sebagaimana tersebut di atas seharusnya dilakukan penyempurnaan terhadap UU No. 10 Tahun 2004 yang menyangkut format dan bentuk undang-undang yang lahir berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 agar sesuai dengan konstitusi.
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
21
URGENSI PERSAINGAN USAHA PADA SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA Oleh BANU MUHAMMAD H Peneliti pada Lembaga Kajian Kebijakan dan Persaingan Usaha (LKPU) Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Abstraksi Listrik adalah hajat hidup dan kebutuhan pokok masyarakat, karenanya pemerintah memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut. Akan tetapi, kondisi ketenagalistrikan di Indonesia saat ini menunjukkan adanya ketimpangan antara supply dan demand, antara kemampuan PLN memenuhi kebutuhan pasar dengan besarnya permintaan pasar itu sendiri. Sebagai akibatnya, banyak masyarakat yang belum menikmati listrik dengan sempurna, hal ini terlihat pada data yang menunjukkan angka elektrivikasi di Indonesia sebesar 58%. Untuk itu, sektor ketenagalistrikan di Indonesia mesti direstrukturisasi. Sesungguhnya Undang-Undang No 20 Tahun 2002 sudah mengatur hal tersebut, termasuk di dalamnya adalah aturan 22
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
tentang kompetisi dan persaingan sehat yang akan mengarahkan pada efisiensi dan inovasi yang berujung pada terpenuhinya kebutuhan listrik bagi masyarakat. Akan tetapi, Undang-Undang ini dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. I . Pendahuluan Percaya atau tidak, statistik menunjukkan bahwa Indonesia saat ini sedang mengalami krisis listrik. Listrik yang telah menjadi kebutuhan yang sangat pokok bagi masyarakat, ketersediaannya sangat terbatas dikarenakan pertumbuhan kebutuhan tenaga listrik yang semakin meningkat tidak diimbangi dengan usaha penyediaan tenaga listrik yang memadai. Bahkan, hanya daerah-daerah tertentu saja yang sarana dan prasarana serta biaya pembangkitannya relatif murah yang kebutuhan listriknya dapat terpenuhi. Pertumbuhan kebutuhan akan listrik yang demikian tinggi membuat isu penyediaan listrik oleh pihak selain Perusahaan Listrik Negara (PLN) menjadi sangat penting.1 Dengan kata lain bahwa peran pihak swasta sangat dibutuhkan untuk ikut serta dalam usaha penyediaan tenaga listrik di samping PLN sebagai salah satu pelaksana kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik di Indonesia. Tentu saja hal ini diharapkan dapat dilakukan tanpa merugikan kepentingan masyarakat luas terutama dalam hal menetapkan tarif yang dapat dijangkau masyarakat sesuai dengan kamampuan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat. Di sisi lain, masih banyak pihak yang mempersoalkan keikutsertaan pihak swasta dalam usaha di bidang ketenagalistrikan. Hal ini dapat dipahami mengingat listrik adalah salah satu public goods yang penguasaannya oleh Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 ada pada negara karena menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak. Kalangan ini berpendapat bahwa listrik adalah komoditi yang vital untuk mendongkrak dan menggairahkan perekonomian secara keseluruhan, karenanya produksi, distribusi, dan transmisi listrik tidak dibolehkan untuk swasta.2 , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
23
Terlepas perbedaan pendapat yang terjadi, UndangUndang Nomor 20 tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan muncul sebagai salah satu instrumen hukum yang memberikan kepastian hukum bagi badan-badan usaha di luar PLN seperti badan usaha milik swasta, koperasi dan badan usaha-badan usaha lainnya untuk ikut serta menyelenggarakan usaha penyediaan tenaga listrik serta dimulainya era kompetisi dalam bidang usaha ketenagalistrikan. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 ini muncul di tengah terjadinya krisis tenaga listrik di mana diharapkan dengan kehadiran Undang-Undang ini ketersediaan tenaga listrik dapat dipenuhi melalui mekanisme penerapan kompetisi yang sehat. Dan PLN sebagai badan usaha milik negara yang selama ini dianggap selalu bermasalah terutama dalam hal finansial sehingga akibatnya kurang dapat memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat, dapat lebih meningkatkan kinerjanya mengingat mulai muncul para pesaing atau pengusaha-pengusaha baru yang masuk dalam usaha ketenagalistrikan dan hal ini menciptakan suatu iklim kompetisi dari para pelaku usaha di bidang ketenagalistrikan. Undang-undang ini sepertinya ingin mengatakan bahwa tanpa kehadiran listrik swasta, nampaknya pemerintah tidak akan mampu mengejar pertumbuhan permintaan tenaga listrik. Berbeda dengan Undang-Undang Ketenagalistrikan yang lama yakni Undang-Undang Nomor 15 tahun 1985, maka dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2002 semua pelaku usaha diberikan kesempatan yang lebih luas untuk bisa masuk dalam usaha penyediaan tenaga listrik. Selain itu hal yang cukup berbeda ialah bahwa undang-undang ini telah mengatur hal-hal yang terkait dalam penerapan kompetisi di wilayah-wilayah tertentu. Persaingan usaha di sektor ketenagalistrikan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 dapat dianggap suatu terobosan dalam memasuki era mekanisme pasar. Efisiensi merupakan kata kunci yang tidak bisa lagi 24
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
ditawar dalam memenangkan persaingan. Apalagi persaingan sudah menjurus ke arah global. Untuk menghadapi hal tersebut kiranya perlu untuk mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional. Sayangnya, ‘berita gembira’ kelahiran Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002, tidak berlangsung lama, hanya seumur biji jagung. Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan yang mencabut Undang-Undang No 20 Tahun 2002. Dan bagi sebagian kalangan, keputusan MK ini merupakan ‘lonceng kematian’ bagi persaingan usaha pada sektor ini. Menurut mereka, keputusan ini menjadikan prediksi kegagalan pemenuhan permintaan listrik menjadi kenyataan. Tulisan ini ingin memaparkan tiga hal, (1) Bagaimana kondisi ketenagalistrikan di Indonesia. (2) Belum berdayanya PLN, sehingga perlu bantuan sektor swasta untuk memenuhi kebutuhan listrik (3) Pentingnya persaingan usaha dan pengaturannya pada sektor ketenagalistrikan di Indonesia. Dan tulisan ini bukan ditujukan untuk ‘menggugat’ Mahkamah Konstitusi, akan tetapi hanya ingin memaparkan kepada publik tentang suatu fakta yang mestinya menjadi perhatian bagi para pengambil kebijakan pada bidang ketenagalistrikan di Indonesia. II. Profil dan Kondisi Ketenagalistrikan di Indonesia Listrik di Indonesia adalah bentukan sejarah, keadaan geografis, dan ketersediaan sumber daya alam dari zaman dahulu. Dalam perjalanannya, pemerintah selalu mengambil peran yang sempurna dalam penyediaan listrik bagi rakyat. Dan pemerintah menyadari ini sebagai tanggungjawab berdasarkan Pasal 33 UUD 1945. Walaupun pada pemerintahan kolonial Belanda dan setelah kemerdekaan tahun 1945 sudah ada perusahaan swasta komersial yang memproduksi listrik, pemerintah nasional mengambil peranan dalam , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
25
pembangunan sektor ini selama 50 tahun terakhir. Perusahaan Umum Listrik Negara (PLN) yang didirikan pada 1950 telah menjadi pemain kunci dalam cepatnya pembangunan sektor kelistrikan. Data statistik menunjukkan bahwa PLN adalah salah satu perusahaan listrik terbesar di dunia dengan total pelanggan 22 juta dan lebih dari 50.000 karyawan.3 Dan hampir seluruh bagian masyarakat adalah stakeholders bagi PLN. Bagan 1. Hubungan PLN dengan stakeholders Presiden
Menteri Keuangan
MeNeg PBUMN
Menteri Energi & SDM
Pemerintah Daerah
Pemasok
PLN
IPP
Investor
Pelanggan LSM
Masyarakat
Industri
Captive Power
Sumber: Eddie Widiono, Direktur PLN, disampaikan pada diskusi interaktif yang bertajuk “Good Governance pada Sektor Ketenagalistrikan”. Jakarta, 27 Januari 2003.
Hingga tahun 2000, Indonesia memiliki pembangkit listrik dengan total kapasitas sebesar 39,5 GW (Giga Watt). PLN sendiri mengambil porsi sebesar 56% dari kapasitas total atau sekitar 20,76 GW. Dari total kapasitas tersebut, 75%nya ada di Jawa dan Bali, di mana pengoperasiannya dilaksanakan oleh dua operator yaitu PT Pembangkit Listrik Jawa Bali dan PT Indonesia Power. Sisanya sekitar 10 GW 26
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
didistribusikan di 12 daerah kelistrikan luar Jawa. Sebesar 16,8 GW pembangkit listrik dimiliki oleh swasta (Independent Power Producer, IPP), koperasi dan captive power (produsen listrik untuk keperluan sendiri, pada umumnya adalah industri yang tidak mempunyai akses ke jaringan PLN).4 Saat ini, PLN memainkan perannya sebagai pemilik dan pengoperasi semua jaringan transmisi dan distribusi di Indonesia, di mana lebih dari 70% dari jaringan transmisi dan setengah jaringan distribusi ada di Pulau Jawa. Kapasitas terpasang PLN adalah sebesar 58% dari total pasokan listrik Indonesia. Sisanya dipasok oleh IPP dan captive power. IPP melayani sekitar 4,3% dari kapasitas terpasang pembangkit listrik. Sekitar 62% dari kapasitas yang terlayani oleh IPP berada di Pulau Jawa. Listrik yang dijual ke PLN adalah sebesar 2,9 TWH (Terra Watt Hour), atau sekitar empat persen dari total listrik yang dijual PLN ke jaringannya. 5 Selain IPP adalah captive power yang menyumbang 40,5% kapasitas terpasang pembangkit listrik. Sayangnya, data yang detail dan akurat mengenai kontribusi captive power tidak mudah diperoleh. Hal ini dikarenakan tidak semua pelaku di-captive power melaporkan aktifitasnya ke PLN, sehubungan dengan aturan yang menyatakan bahwa hanya yang berkapasitas lebih besar dari 200 kVA yang diharuskan memiliki izin (terdaftar di PLN). Ada perkiraan yang menyatakan bahwa kapasitas terpasang captive power lebih tinggi daripada pembangkit listrik PLN, hal ini disebabkan peran PLN yang waktu itu masih sangat terbatas. Namun selama tahun 1982-1989 pembangkit listrik PLN tumbuh pesat sekitar 15% per tahun, sehingga kapasitas terpasang captive power bisa dipastikan lebih rendah dari PLN.6 Data statistik pada PLN menghitung besaran kapasitas terpasang dari captive power diperkirakan mencapai sebesar 15,22 GW pada akhir tahun 1997. dari angka tersebut, 60% di antaranya menggunakan generator diesel dan 25% lainnya , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
27
dengan cogenaration. Sekitar 77% kapasitas yang ada pada captive power digunakan oleh industri manufaktur yang 52% di antaranya berlokasi di Pulau Jawa dan Bali. Sepertiga dari pembangkit ini digunakan sebagai pembangkit cadangan (reserve margin), selebihnya dipergunakan sebagai pembangkit utama. Total listrik yang dibangkitkan adalah sebesar 39 GWH atau lebih dari 50% listrik yang dijual PLN kepada pelanggannya pada tahun yang sama.7 Perkembangan sektor kelistrikan di Indonesia telah mengalami laju pertumbuhan luar biasa tinggi pada awal tahun 1980-an hingga sekarang. Pada rentang waktu tahun 1982-1989, kapasitas terpasang PLN tumbuh 15% per tahun8 dan pertumbuhan berlanjut 10% per tahun antara tahun 1990-19989. Bahkan pada masa krisis moneter tahun 1998, ketika pertumbuhan ekonomi minus 13%, sektor kelistrikan tetap tumbuh sebesar empat persen per tahun. Akan tetapi kemajuan yang pesat tersebut, ternyata belum bisa memenuhi kebutuhan dan permintaan masyarakat. Satu hal yang harus disadari adalah bahwa rasio elektrivikasi di Indonesia baru sebesar 58% (60% di Jawa dan 40% di luar Jawa), artinya masih ada sekitar 42% penduduk dan wilayah yang belum bisa mengkonsumsi listrik karena PLN belum menjangkau mereka. Belum lagi fakta yang menunjukkan adanya ketimpangan pelayanan PLN pada daerah JAMALI dan luar JAMALI10. Padahal listrik memiliki peran yang sangat vital dan urgen sebagai motor percepatan dan pemerataan pembangunan ekonomi. Karenanya keterbatasan PLN harusnya disikapi dengan kebijakan yang memungkinkan percepatan penyediaan listrik bagi rakyat. Kalau memang PLN -yang sebenarnya pertumbuhannya tinggi- masih belum sanggup memenuhi kebutuhan listrik nasional, mestinya tidak ada masalah jika pelaku ekonomi lain ikut masuk ke pasar ketenagalistrikan di Indonesia. UU No 20 Tahun 2002 memungkinkan hal tersebut, hal ini dicerminkan pada beberapa perubahan struktural jika dibandingkan Undang28
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
Tabel 1. Gambaran Sarana Penyediaan Tenaga Listrik tahun 2003 - 2010 Sarana Tenaga Listrik
JAMALI
Luar JAMALI
Indonesia
13.365
8.896
22.261
Transmisi (kms)
5.493
11.577
17.070
Gardu Induk (MVA)
39.379
10.870
50.249
Distribusi A. 20 kV B. Low Voltage (kms) C. Travo Dist. (MVA) D. Pelanggan (Juta)
38.130 39.638 7.049 11,3
63.325 42.866 4.325 8,5
101.455 82.504 11.374 19,8
Listrik Perdesaan (desa)
472
8,375
8,847
Pembangkit (MW)
Undang sebelumnya, di antaranya : – Penataan-ulang peran pemerintah – Unbundling perusahaan listrik negara (PLN) – Pembentukan Badan Pengatur (Bapeptal) – Pengenalan mekanisme kompetisi Undang-Undang ini sangat menginginkan adanya industri ketenagalistrikan nasional yang efisien dan mandiri. Sayangnya, Undang-Undang tersebut kini sudah tidak berlaku lagi. III. Perlunya Persaingan Usaha pada Sektor Ketenagalistrikan di Indonesia III.1. Manfaat Kompetisi dan Persaingan Usaha
Secara ekonomi, iklim kompetisi dan persaingan yang sehat dapat menghemat milyaran atau bahkan trilyunan rupiah uang konsumen yang harus dibayarkan ke produsen karena harga yang tidak wajar (overcharge) sebagai akibat kenaikan harga yang artifisial. Secara umum, ada beberapa , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
29
Bagan 2. Alur Pikir Pengembangan Industri Ketenagalistrikan Nasional
Restrukturisasi Badan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (khususnya PT. PLN (Persero)
UU No. 20/2002 (Restrukturisasi Industri Ketenagalistrikan)
Otonomi Daerah (UU No. 22/1999)
Good Governance
Badan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik yang Bertumbuh Kembang, Unggul dan Credible
Iklim Investasi yang Kondusif
Badan Usaha Jasa & Industri Penunjang Tenaga Listrik Nasional Berkembang
Industri Ketenagalistrikan Nasional yang Efisien dan Mandiri
Pengaruh Makro Ekonomi
Sumber: Luluk Sumiarso, Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, Prospek Investasi vs Kendala Regulasi Bisnis Ketenagalistrikan, Jakarta, 21 April 2003.
manfaat yang didapat perekonomian jika pada sektor ketenagalistrikan terjadi kompetisi dan persaingan yang sehat, di antaranya adalah: Pertama, harga yang wajar dilihat dari kualitas. Dalam iklim persaingan, produsen akan berlomba-lomba menarik konsumen dengan menurunkan harga dan meningkatkan kualitas barang/jasa yang dijualnya. Hanya barang/jasa dengan harga yang rendah dengan kualitas terbaik yang akan dibeli oleh konsumen. Kedua, konsumen memiliki banyak pilihan dalam membeli barang/jasa. Pasar yang kompetitif akan menghasilkan barang/jasa yang ditawarkan pelaku usaha dengan pilihan harga dan kualitas yang bervariasi. Setiap konsumen pada dasarnya memiliki daya beli dan selera yang berbedabeda. Karakteristik konsumen yang berbeda ini menjadi signal dan memberi arah bagi produsen untuk memproduksi 30
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
barang/jasa sesuai dengan kemampuan dan keinginan konsumen. Produsen dituntut untuk sensitif terhadap daya beli dan perubahan selera konsumen. Pelaku usaha yang tidak tanggap terhadap perubahan daya beli dan perubahan selera konsumen lambat laun akan tersingkir dari pasar. Ketiga, persaingan memungkinkan timbulnya inovasi. Persaingan akan merangsang pelaku usaha berlomba-lomba membuat inovasi, baik inovasi produk untuk memenuhi selera konsumen, inovasi teknologi ataupun inovasi metode produksi yang lebih efisien. Inovasi akan terus berkembang karena dalam pasar yang bersaing hanya pelaku usaha inovatif yang dapat bertahan dan berkembang. Terkait dengan sektor ketenagalistrikan, jika ada pesaing lain bagi PLN, tentunya akan mendorong PLN berpikir dan melakukan yang terbaik dalam menentukan harga dan memberikan pelayan. Hal ini , secara positif akan mendorong PLN pada efisiensi kinerja dan inovasi teknologi. III.2. Kerangka Pengaturan Kompetisi di Sektor Ketenagalistrikan
Walau sudah dibatalkan, aturan yang ada pada Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang ketenagalistrikan sesungguhnya sangat positif jika ditinjau dari teori ekonomi industri. Berdasarkan Undang-undang yang menjadi landasan dan acuan bagi pelaksanaan restrukturisasi sektor ketenagalistrikan ini, kompetisi usaha penyediaan tenaga listrik dalam tahap awal diterapkan pada sisi pembangkitan dan di kemudian hari sesuai dengan kesiapan perangkat keras dan perangkat lunaknya akan diterapkan di sisi penjualan. Hal ini dimaksudkan agar konsumen listrik memiliki pilihan dalam menentukan pasokan tenaga listriknya yang menawarkan harga paling bersaing dengan mutu dan pelayanan lebih baik. Dengan demikian, yang baru dapat dikompetisikan pada masa awal -jika tidak dibatalkan MKadalah usaha penyediaan tenaga listrik di sisi pembangkitan.
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
31
Namun yang perlu juga diperhatikan adalah bahwa ada wilayah tertentu yang berada pada tahap pembangunan yang berbeda dan bahwa sebagian anggota masyarakat berada pada tingkat perekonomian yang belum mapan sehingga kepentingan masyarakat tersebut perlu dilindungi. Pada wilayah yang tahap pembangunannya masih tertinggal dengan tingkat perekonomian sebagian anggota masyarakatnya yang belum mapan maka wilayah tersebut tidak atau belum dapat menerapkan kompetisi. Sehingga secara garis besar pasar tenaga listrik di Indonesia dibagi menjadi dua: a. Wilayah yang tidak atau belum dikompetisikan; b. Wilayah yang dikompetisikan Di wilayah yang tidak atau belum dapat menerapkan kompetisi karena kondisi tertentu, usaha penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 2 UndangUndang Nomor 20 Tahun 2002 dapat dilakukan secara terintegrasi.11 Dalam artian, bahwa sarana penyediaan tenaga listrik kepemilikannya dilakukan secara vertikal mulai dari pembangkitan tenaga listrik sampai dengan penjualan tenaga listrik kepada konsumen. Kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik di wilayah yang belum menerapkan kompetisi tersebut dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, koperasi, swasta, atau swadaya masyarakat yang ditetapkan oleh Pemerintah. 12 Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, koperasi, swasta, atau swadaya masyarakat tersebut wajib memenuhi kebutuhan tenaga listrik di dalam wilayah usahanya.13 Tetapi di dalam Pasal 30 ayat (3) disebutkan bahwa dengan pertimbangan pengembangan sistem ketenagalistrikan yang lebih efisien, kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik tersebut dilaksanakan dengan memberikan kesempatan pertama kepada Badan Usaha Milik Negara.14 Dengan adanya pasal yang menyatakan hal tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya Badan Usaha Milik Daerah, koperasi, swasta, atau swadaya masyarakat sangat kurang memiliki kesempatan untuk menja32
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
lankan kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik di wilayah yang tidak atau belum dapat menerapkan kompetisi dengan alasan Badan Usaha Milik Daerah, koperasi, swasta, atau swadaya masyarakat dianggap kurang dapat mengembangkan sistem ketenagalistrikan yang lebih efisien dibandingkan dengan Badan Usaha Milik Negara. Terlebih lagi faktor kemampuan dana yang dimiliki, jelas Badan Usaha Milik Daerah, koperasi, swasta, atau swadaya masyarakat jauh di bawah Badan Usaha Milik Negara. Dan memang dalam kenyataannya PLN sebagai Badan Usaha Milik Negara yang memonopoli usaha tersebut sehingga kecil kemungkinan pasal yang memberikan kesempatan usaha tersebut dapat dilaksanakan secara efektif. Dalam hal Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, koperasi, swasta, atau swadaya masyarakat tidak dapat memenuhi kebutuhan tenaga listrik, maka Pemerintah Daerah atau Pemerintah berkewajiban memenuhinya.15 Kewajiban Pemerintah Daerah atau Pemerintah di sini sesuai dengan yurisdiksinya. Dalam hal kompetisi tidak atau belum dapat di terapkan, Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik dikeluarkan secara transparan dan akuntabel masing-masing oleh:16 a. Bupati atau Walikota, untuk usaha penyediaan tenaga listrik di dalam daerahnya masing-masing yang tidak terhubung dengan Jaringan Transmisi Nasional sesuai dengan Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah; b. Gubernur, untuk usaha penyediaan tenaga listrik lintas kabupaten atau kota, baik sarana maupun energi listriknya, yang tidak terhubung dengan Jaringan Transmisi Nasional sesuai dengan Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah; c. Menteri, untuk usaha penyediaan tenaga listrik lintas propinsi, baik sarana maupun energi listriknya yang tidak terhubung ke dalam Jaringan Transmisi Nasional atau usaha penyediaan tenaga listrik yang terhubung dengan Jaringan Transmisi Nasional sesuai dengan Rencana , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
33
Umum Ketenagalistrikan Nasional; atau d. Menteri, untuk usaha penyediaan tenaga listrik yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara sesuai dengan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional. Jaringan Transmisi Nasional adalah jaringan transmisi tegangan tinggi, ekstra tinggi, dan/atau ultra tinggi untuk menyalurkan tenaga listrik bagi kepentingan umum yang ditetapkan Pemerintah sebagai jaringan transmisi nasional.17 Rencana Umum Ketenagalistrikan adalah rencana pengembangan sistem penyedian tenaga listrik yang meliputi bidang pembangkitan, transmisi, dan distribusi tenaga listrik yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik di suatu wilayah, antar wilayah, atau secara nasional.18 Rencana Umum Ketenagalistrikan ini terbagi menjadi: a. Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah. Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah ini disusun oleh Pemerintah Daerah dengan melibatkan pihak-pihak terkait termasuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan memperhatikan keadaan sosial ekonomi. Rencana tersebut mencakup antara lain prakiraan kebutuhan tenaga listrik, potensi sumber energi primer, dan jalur lintasan transmisi sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang Daerah. Ini dilakukan mengingat keadaan ketenagalistrikan yang khas di setiap daerah. b. Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional merupakan kebijakan umum di bidang ketenagalistrikan yang mencakup antara lain, prakiraan kebutuhan dan penyediaan tenaga listrik, penetapan Jaringan Transmisi Nasional, kebijakan investasi dan pendanaan, kebijakan pemanfaatan sumber energi baru dan terbarukan. Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional ditetapkan oleh Pemerintah. Dalam menyusun Rencana Umum Ketenagalistrikan 34
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
Nasional, Pemerintah wajib mempertimbangkan Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah dan pendapat serta masukan dari masyarakat. 19 Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional dimutakhirkan setiap tahun untuk menampung perkembangan yang terjadi. Sedangkan untuk wilayah yang dikompetisikan, suatu wilayah dapat menerapkan kompetisi apabila telah ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah yang penetapannya dilakukan secara bertahap. 20 Penetapan wilayah yang menerapkan kompetisi tenaga listrik dilakukan secara bertahap berdasarkan tingkat kesiapan usaha penyediaan tenaga listrik antara lain cadangan daya yang cukup, jaringan transmisi dan jaringan distribusi yang luas, serta penanganan masalah biaya yang mungkin timbul sebagai akibat adanya perubahan kebijakan Pemerintah dan tidak menjadi tanggung jawab pelaku usaha (stranded cost). Penerapan kompetisi dimulai dari wilayah yang sistem tenaga listriknya sudah siap secara teknis. Penerapan kompetisi tersebut dimulai dari sisi pembangkitan tenaga listrik. Penetapan wilayah yang menerapkan kompetisi tenaga listrik harus memenuhi syarat-syarat antara lain:21 a. Tingkat harga jual tenaga listrik telah mencapai keekonomiannya. Maksudnya tingkat harga jual tenaga listrik telah mencapai keekonomiannya adalah harga jual tenaga listrik yang dapat menutupi biaya produksinya ditambah keuntungan yang wajar. Besarnya keuntungan yang wajar tersebut ditetapkan oleh Pemerintah. b. Kompetisi pasokan energi primer. Di sini energi primer sudah tidak lagi mendapatkan subsidi. c. Telah dibentuk Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik. Badan inilah yang nantinya akan mengatur dan mengawasi terselenggaranya kompetisi penyediaan tenaga listrik. d. Kesiapan aturan yang diperlukan dalam penerapan kompetisi. Aturan tersebut meliputi antara lain aturan pasar, aturan distribusi, dan aturan penjualan tenaga , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
35
listrik. e. Kesiapan infrastruktur, perangkat keras dan perangkat lunak sistem tenaga listrik. Perangkat keras meliputi antara lain sistem komputer dan perlengkapannya, sistem komunikasi untuk proses transaksi tenaga listrik. Perangkat lunak meliputi antara lain program komputer untuk pelaksanaan pasar tenaga listrik, program untuk penyelesaian transaksi dan sistem organisasi. f. Kondisi sistem yang memungkinkan untuk dilakukannya kompetisi. Dengan begitu tidak ada kendala teknis sistem tenaga listrik yang menyebabkan pasar tidak berfungsi secara baik. g. Kesetaraan Badan Usaha yang akan berkompetisi. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi pemberian perlakuan istimewa terhadap Badan Usaha yang berkompetisi. h. Syarat-syarat lain yang ditetapkan dengan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik. Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sesuai dengan jenis usahanya dilakukan secara terpisah oleh Badan Usaha yang berbeda.22 Ini dimaksudkan agar kompetisi terselenggara secara adil dan sehat. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kompetisi baru dapat diterapkan di sisi pembangkitan tenaga listrik sedangkan jenis usaha yang lain masih dilakukan secara monopoli oleh Badan Usaha Milik Negara. Penerapan kompetisi di sisi pembangkitan dimaksudkan agar mendapatkan harga pembangkitan tenaga listrik yang wajar dan peluang investasi dari berbagai badan usaha. Penerapan kompetisi terbatas di sisi pembangkitan akan dilakukan untuk sistem di Batam termasuk pemisahan badan usaha berdasarkan jenis usahanya (pembangkitan, transmisi, distribusi dan penjualan tenaga listrik) dan baru akan terlakasana pada tahun 2004.23 Kompetisi di sisi penjualan dimaksudkan untuk menghasilkan pelayanan yang lebih baik kepada konsumen. 36
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
Penerapan kompetisi terbatas di sisi pembangkitan untuk Sistem Jawa-Madura-Bali (JAMALI) termasuk pemisahan badan usaha berdasarkan jenis usahanya terselenggara pada tahun 2007.24 Dengan demikian tarif listrik di Batam dan JAMALI tak akan disubsidi lagi oleh Pemerintah. Pemilihan kedua wilayah itu sebagai wilayah kompetisi dilakukan karena kedua wilayah tersebut dianggap paling siap untuk melaksanakan kompetisi pasar. Dan pemilihan itu diadakan dengan melalui penetapan langsung oleh Pemerintah. Sedangkan untuk memilih wilayah berikutnya akan dilakukan oleh Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik (Bapeptal) dengan mempersiapkan calon wilayah kompetisi baru. Badan usaha di bidang pembangkitan tenaga listrik di satu wilayah kompetisi dilarang menguasai pasar berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002.25 Yang dimaksud dengan satu wilayah kompetisi adalah satu wilayah yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagai wilayah kompetisi. Pertimbangan dalam menetapkan suatu wilayah kompetisi antara lain mencakup kapasitas pembangkit, tingkat kebutuhan tenaga listrik, kesiapan sistem interkoneksi, dan aspek sosial ekonomi. Larangan penguasaan pasar meliputi segala tindakan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat antara lain meliputi: a. Menguasai kepemilikan. b. Menguasai sebagian besar kapasitas terpasang pembangkitan tenaga listrik dalam satu wilayah kompetisi. c. Menguasai sebagian besar kapasitas pembangkitan tenaga listrik. d. Menciptakan hambatan masuk pasar bagi Badan Usaha lainnya. e. Membatasi produksi tenaga listrik dalam rangka mempengaruhi pasar. f. Melakukan praktek diskriminasi. g. Melakukan jual rugi dengan maksud menyingkirkan , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
37
usaha pesaingnya. h. Melakukan kecurangan usaha, dan/atau i. Melakukan persekongkolan dengan pihak lain. IV. Kesimpulan dan Saran Listrik adalah kebutuhan primer masyarakat yang harus bisa dipenuhi oleh perekonomian, dalam hal ini PLN sebagai produsen dan distributor serta pemerintah sebagai regulator. Akan tetapi, kenyataan yang ada menunjukkan terjadinya ketimpangan antara supply dan demand, antara kemampuan pemenuhan kebutuhan pasar dengan permintaan pasar itu sendiri. Hal tersebut disebabkan ketidakmampuan PLN sebagai pemain tunggal dalam memenuhi derasnya permintaan pasar tersebut. Kondisi ini, tentunya bukan kondisi yang diinginkan oleh siapapun, termasuk oleh PLN dan pemerintah, apalagi konsumen. Karenanya, peran pemerintah sebagai regulator mestinya bisa dimaksimalkan dengan mengusahakan dan mengupayakan strategi kebijakan yang memungkinkan masalah ini tertangani. Salahsatu strategi kebijakan tersebut adalah dengan merestrukturisasi sektor ketenagalistrikan dan membuka peluang bagi badan usaha selain PLN untuk bermain pada sektor ketenagalistrikan ini. Kesadaran ini, sebenarnya sudah ada pada pemerintah dan wakil rakyat yang terhimpun dalam Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Kedua lembaga negara ini telah bekerjasama menelurkan Undang-Undang No 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Sayangnya, MK membatalkan UU ini sehingga monopoli PLN menjadi terlindungi dan iklim kompetisi dan persaingan usaha yang akan mengarahkan industri ketenagalistrikan pada efisiensi menjadi buyar. Sesungguhnya, iklim kompetisi dan persaingan usaha yang sehat pada sektor ini adalah suatu kemestian. Akan tetapi, tidak semua hal ideal bisa diwujudkan dalam tataran realita. Dengan demikian, dikarenakan posisinya sebagai 38
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
monopolis, PLN harus ‘tahu diri’ dan mampu menunjukkan kesanggupan, profesionalitas dan inovasi teknologi sehingga mampu meningkatkan kinerjanya dan memenuhi derasnya permintaan pasar. Di sisi lain, pemerintah dan DPR juga tidak boleh ‘patah arang’ dan harus terus bersemangat membuat terobosan-terobosan kebijakan yang memungkinkan sektor ketenaglistrikan bisa berjalan dengan baik untuk memenuhi hajat hidup orang banyak. Kalau perlu, pemerintah dan DPR mengajukan rancangan UU yang baru tentang ketenagalistrikan, walaupun nantinya akan dimentahkan oleh Mahkamah Konstitusi. Endnotes Purnomo Yusgiantoro, Ekonomi Energi Teori dan Praktik, cetakan I, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2000), hal. 200. 2 Kwik Kian Gie, Praktek Bisnis dan Orientasi Ekonomi Indonesia, cet. III, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1998), hal. 334. 3 Frances Seymour dan Agus P. Sari, “Restrukturisasi di Tengah Reformasi”, Pelangi, 2002 4 Data statistik PLN tahun 2000 5 ibid 6 ibid 7 ibid 8 Pape, H. 1999. “Captive Power in Indonesia: Development in the Period 1980-1997.” Makalah yang disajikan pada seminar setengah hari tentang Captive Power di Indonesia: Perkembangan, Status saat ini dan Peran Masa Depan.Jakarta: Indonesia, Juli. 9 Statistik PLN tahun 2000 10 JAMALI = Jawa-Madura-Bali 11 Indonesia, Undang-Undang Tentang Ketenagalistrikan, UU No. 20 Tahun 2002, op.cit., Ps. 30 ayat (1). 12 Ibid., ayat (2). 13 Ibid., ayat (4). 14 Ibid., ayat (3). 15 Ibid., ayat (5). 16 Ibid., Ps. (10). 17 Ibid., Ps. 1 butir 16. 1
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
39
Ibid., butir 17. Ibid., Ps. 5 ayat (3). 20 Ibid., Ps. 15 ayat (1). 21 Ibid., ayat (2). 22 Ibid., Ps. 16. 23 Departemen Energi Dan Sumber Daya Mineral, “Pedoman dan Pola Tetap Pengembangan Industri Ketenagalistrikan Nasional 2003 – 2020,” Blueprint Implementasi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, hal. 8 24 Ibid. 25 Ibid., Ps. 17 ayat (2). 18 19
Daftar Pustaka Bank Dunia. 2000. Indonesia Oil and Gas Study. Washington D.C.: Bank Dunia Energy and Mining Sector Unit. Basri, Faisal. Perekonomian Indonesia Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan Indonesia. cet.I. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 2002. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Pedoman dan Pola Tetap Pengembangan Industri Ketenagalistrikan Nasional 2003-2020, Jakarta , 2003 Fuady, Munir Fuady. Hukum Anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat. cet.I. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999. Gellhorn, Ernest and William E. Kovacic. Antitrust and Economic in a Nutshell. Fourth edition. St. Paul Minn, West Publishing Company, 1994 Gie, Kwik Kian. Analisis Ekonomi Politik Indonesia. Cet.4. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995. ________. Praktek Bisnis dan Orientasi Ekonomi Indonesia. cet.3. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1998. Kristov, Lorenzo. 1995. “The Price of Electricity in Indonesia.” Bulletin of Indonesian Economic Studies, 31(3). Canberra: Australia National University. Media Indonesia. 2000. “DPR Akan Tolak Usulan Kenaikan TDL Jika Hasil Audit PLN Tak Diumumkan. Media Indonesia (9 Februari). 40
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
Motoyama, Hisako and Nurina Widango. 1999. Power Restructuring in Indonesia: A Preliminary Study for Advocacy Purposes. Washington D.C.: Bank Information Center. Norplan A/S. 1993. Institutional Framework and Regulation of the Power Sector in Indonesia. Washington D.C.: The Bank Dunia.. Oil and Gas Journal Online. 2000. “Indonesian legislators end Pertamina monopoly with new law.” Online di: http:// ogj.pennet.com (Oktober 24). Pape, H. 1999. “Captive Power in Indonesia: Development in the Period 1980- 1997.” Makalah yang disajikan pada seminar setengah hari tentang Captive Power di Indonesia: Perkembangan, Status saat ini dan Peran Masa Depan. Jakarta: Indonesia, Juli. Pemerintah Indonesia. 2000c. Konsep Akhir Rencana Umum Kelistrikan Nasional. Jakarta: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Pemerintah Indonesia. UU No 15 Tahun 1985 Pemerintah Indonesia. UU No 20 Tahun 2002 Perusahaan Listrik Nasional (PLN). 2000. Statistik PLN. Jakarta: PLN. Perusahaan Listrik Nasional (PLN). 2000. Empowering the Indonesian Villages. Jakarta: PLN Pusat Penelitian Energi Institut Teknologi Bandung. 2001. Kajian Harga Listrik Yang Rasional. Jakarta. Seymour, Frances dan Agus P. Sari, “Restrukturisasi di Tengah Reformasi”, Pelangi Indonesia , 2002. Sullivan, Lawrence Anthony. Handbook of The Law of Antitrust. St Paul Minn: West Publishing Co,1977. Sumiarso, Luluk, Prospek Investasi vs Kendala Regulasi Bisnis Ketenagalistrikan , Jakarta, 21 April 2003 Sustainable and Peaceful Energy Network Asia (SPENA) Newsletter. 2001. Volume 3, Number 2, December 2001. Tempo Interaktif. 2002a. “YLKI Maklumi Kenaikan Harga BBM dan Listrik” Januari 2, 2002. Widiono, Eddie , Good Governance pada Sektor ketenagalistrikan. Jakarta, 27 Januari 2003 Yusgiantoro, Purnomo. Ekonomi Energi Teori dan Praktik, cet.2. Jakarta: Pustaka LP3ES, 2000.
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
41
PENGALAMAN RESTRUKTURISASI DAN PRIVATISASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI BERBAGAI NEGARA Oleh FABBY TUMIWA Koordinator Working Group on Power Sector Restructuring (WGPSR). Penulis buku Listrik yang Menyengat Rakyat: Menggugat Peranan Bank-
Bank Pembangunan Multilateral (2002). Email:
[email protected].
42
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
A. PENDAHULUAN Pemilihan Umum 2004 di Indonesia diakui masyarakat internasional sebagai pemilihan yang paling rumit di dunia. Dikatakan paling rumit bukan saja karena sistemnya yang tidak sederhana, melainkan juga karena dalam satu hari masyarakat harus memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota secara serentak. Kerumitan itu semakin bertambah karena tak lama kemudian kita melaksanakan dua tahap pemilihan Presiden secara langsung untuk pertama kalinya dalam sejarah politik ketatanegaraan Indonesia. Pemilu 2004 telah belangsung cukup sukses, dan jika kesuksesan tersebut dapat diikuti oleh kesuskesan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung mulai bulan Juni 2005 ini, maka Indonesia layak dijuluki sebagai negara keajaiban demokrasi abad ini.1 Ketua Mahkamah Agung RI Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., MCL. dalam
pidatonya selaku keynote speaker pada diskusi panel “Konflik dan Penyelesaian Sengketa Penetapan Hasil Pilkada” di Universitas Negeri Surakarta (UNS) 18 Juni 2005 menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah dapat dilihat dari 4 (empat) aspek, yaitu aspek konstitusional, aspek politik, aspek pemerintahan dan aspek hukum. Aspek konstitusional merupakan bagian dari wilayah kewenangan Mahkamah Konstitusi, sementara aspek hukum merupakan bagian wilayah Mahkamah Agung. Pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung merupakan suatu kemajuan demokrasi sebagai kelanjutan upaya untuk meneguhkan eksistensi kedaulatan rakyat. Di seluruh Indonesia, tahun ini bakal digelar tidak kurang 240 pemilihan kepala daerah secara langsung, sementara di Jawa Tengah untuk tahun 2005 tercatat akan digelar pilkada di 17 kabupaten/ kota. Sinyal akan
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
43
dilaksanakannya pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung sesungguhnya sudah tampak tahun 2002 ketika Amandemen ke II UUD 1945 merumuskan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi bahwa “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis”. Sinyal tersebut makin kuat ketika Pasal 62 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD tidak mencantumkan tugas dan wewenang DPRD untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Tidak ada yang tidak setuju jika, makna pemilihan Kepala Daerah secara demokratis sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 adalah pemilihan secara langsung oleh rakyat (Vide: dissenting opinion Prof. H. A. Mukthie Fadjar, S.H., M.S. dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 072-073/
44
PUU-II/2004). Sekalipun tidak ada yang tidak setuju penyelenggaraan pilkada secara langsung, namun keberadaan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) sebagai dasar hukum ternyata melahirkan banyak kontroversi. P e n g a t u r a n penyelenggaraan pilkada diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004, pada Bagian Kedelapan tentang Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Pasal 56 sampai Pasal 119, meliputi tujuh paragraf yang mengatur tentang: pemilihan, penetapan pemilih, kampanye, pemungutan suara, penetapan calon terpilih dan pelantikan, pemantauan pilkada dan ketentuan pidana. UU Pemda sebagai landasan regulasi penyelenggaran pilkada langsung masih menyisakan berbagai perbedaan pendapat. Setidaknya ada perbedaan paradigma antara
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
pembentuk undang-undang di satu pihak, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan kalangan Lembaga Swadaya masyarakat (LSM) di pihak lain. Pembentuk undang-undang berangkat dari paradigma bahwa Pilkada langsung adalah bagian dari urusan penyelenggaraan pemerintahan daerah, sehingga termasuk rezim hukum pemerintah daerah dan tak ada kaitannya dengan pemilihan umum (pemilu). Sedangkan KPU dan kalangan LSM berpandangan bahwa pilkada adalah bagian dari rezim hukum pemilu menurut Pasal 22E UUD 1945. P e r b e d a a n paradigmatik tersebut kemudian melahirkan permohonan pengujian materi (judicial review) UU No. 32 tentang Pemerintahan Daerah terhadap UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai penafsir konstitusi (the interpreter of constitution) dan sekaligus
mengawal konstitusi agar dijalankan dengan konsisten (the guardian of constitution) 2 . Permohonan pengujian tersebut diajukan oleh banyak pihak yang merasa kepentingannya dirugikan oleh pengaturan UU No. 32 Tahun 2004. Sampai saat ini setidaknya sudah ada dua putusan judicial review dari Mahkamah Konstitusi terhadap undangundang tersebut.3 B. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 072-073/PUU/ 2004 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/ PUU/2004 dijatuhkan atas permintaan para pemohon yang terdiri dari lima LSM dan 16 KPU Provinsi, yang pada pokoknya sebagai berikut. 1. Pokok Perkara Menurut pandangan Para Pemohon tidak semua materi pilkada langsung yang terdapat dalam UU Pemda bersesuaian dengan ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945. Tiga hal
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
45
yang menjadi perhatian Para Pemohon dalam permohonan ini adalah mengenai: (1) Pemilu termasuk di dalamnya Pilkada, (2) Penyelenggara pilkada langsung, dan (3) i n d e p e n d e n s i penyelenggaraan pilkada langsung. Terdapat beberapa aspek yang menjadi alasan pemohon mengenai ketiga hal tersebut. a. Undang-Undang Dasar 1945 (Tahun 2001), di dalam Pasal 22E ayat (1) menyatakan; “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali”. Kemudian dalam Pasal 22E ayat (2) menyatakan; “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. Sedangkan sebagai pelaksanaannya disebutkan dalam Pasal 22E ayat (5) menyatakan; “Pemilihan umum diselenggarakan oleh
46
suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”. Perubahan Pasal 18 UUD 1945 merupakan Perubahan Kedua, sedangkan Pasal 22E UUD 1945 adalah merupakan Perubahan Ketiga, maka secara hukum mempunyai makna pelaksanaan Pasal 18 khususnya dalam pemilihan kepala daerah harus merujuk pada Pasal 22E, karena logika hukumnya kalau oleh pengubah UUD 1945, Pasal 18 dianggap bertentangan dengan Pasal 22E, maka dapat dipastikan dalam Perubahan Ketiga rumusan yang terdapat dalam Pasal 18 akan diubah dan disesuaikan dengan Pasal 22E. Namun, kenyataannya hal itu tidak pernah terjadi sehingga sampai saat ini yang berlaku tetap Pasal 18 merupakan hasil Perubahan Kedua UUD 1945. Pengertian “dipilih secara demokratis” harus ditafsirkan sama dengan tata cara pemilihan yang dilakukan terhadap Presiden seperti yang tercantum dalam BAB VIIB tentang
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
Pemilihan Umum Pasal 22E UUD 1945. b. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam pertimbangan hukumnya tidak mencantumkan Pasal 22E UUD 1945 sebagai landasan konstitusional di dalamnya. Padahal setelah berlakunya UU a quo seluruh Pemilihan Kepala Daerah, baik itu Kepala Daerah yang berlaku Otonomi atau Otonomi Khusus sesuai amanat Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 harus dilakukan secara demokratis. Artinya, walaupun pelaksanaan Pilkada tidak dilaksanakan secara serentak tetapi seusai habis masa jabatan kepala daerah, maka sifat nasional di sini tidak dititik beratkan pada keseragaman waktu pelaksanaan, tetapi pada keseragaman jenis dan kualitas pemilihan. Dengan demikian merupakan pelanggaran konstitusi yang serius dari UU Nomor 32 Tahun 2004 tanpa mencantumkan Pasal 22E UUD 1945 sebagai dasar
pertimbangan hukum, karena seolah-olah pelaksanaan Pilkada langsung dapat menyimpangi asas pemilu luber dan jurdil. c. Pasal 22E ayat (5) menentukan bahwa “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam menyelenggarakan pemilu, untuk menjaga kemandiriannya lembaga ini diberikan kewenangan; pertama, untuk mengatur lebih lanjut aturan mengenai pemilu dalam bentuk produk hukum “Keputusan KPU” sebagai peraturan pelaksana undang-undang yang setara dengan “Peraturan Pemerintah”. Kedua, Penyelenggara Pemilu tidak bertanggung jawab baik kepada Eksekutif maupun Legislatif, tetapi hanya membuat laporan kepada Presiden dan DPR. Para Pemohon berpendapat bahwa menyerahkan pengaturan lebih lanjut
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
47
mengenai penyelenggaraan pilkada langsung kepada pemerintah melalui produk hukum “Peraturan Pemerintah” bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan ayat (5) Perubahan Ketiga UUD 1945. d. Pasal 57 ayat (1): “Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggung jawab kepada DPRD”. Pasal 66 ayat (3) e: “Meminta pertanggungjawaban pelaksanaan tugas KPUD”; Pasal 67 ayat (1) e: “Mempertanggung jawabkan penggunaan anggaran kepada DPRD”; Pasal 82 ayat (2): “Pasangan calon dan/atau tim kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh DPRD”. Kelima ketentuan tersebut menurut Para Pemohon bertentangan dengan
48
ketentuan Pasal 22E ayat (5) Perubahan Ketiga UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Pemilihan umum diselenggarakan oleh satu komisi pemilihan umum yang bersifat , mandiri”. e. KPU bersifat mandiri dan bebas dari pengaruh pihak mana pun. Oleh karena itu, KPU dalam menyelenggarakan Pemilu harus dilaksanakan secara transparan dan pertanggungjawaban yang jelas sesuai dengan peraturan perundangan untuk menjamin t e r c a p a i n y a penyelenggaraan Pemilu yang independen dan demokratis. Sebagai konsekuensi pelaksana pemilu yang mandiri, maka KPUD tidak bertanggung jawab kepada DPRD, tetapi hanya memberikan laporan kepada DPRD, sedangkan pertanggunjawaban KPUD hanya kepada KPU sebagai penanggung jawab pemilu secara nasional. Pemohon berpendapat bahwa k e w e n a n g a n penyelenggaraan Pilkada
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
Langsung hanya oleh KPUD yang bertanggung jawab kepada DPRD, secara nyatanyata mengingkari prinsip penyelenggara pemilu yang besifat “nasional” dan “mandiri” karena KPUD (KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota) hanyalah bagian dari KPU. 2. Pertimbangan dan Amar Putusan Dalam konsideran mengenai pokok perkara MK memberikan pertimbangan hukum yang pada intinya sebagai berikut. Mahkamah juga mengaitkan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dengan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, yang sebagaimana halnya dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 adalah hasil Perubahan Kedua UUD 1945 Tahun 2000. Pasal 18B ayat (1) berbunyi: “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undangundang.” Dengan dirumuskan “dipilih secara demokratis”, maka
ketentuan Pilkada juga mempertimbangkan pelaksanaan pemilihan kepala daerah di daerahdaerah yang bersifat khusus dan istimewa sebagaimana dimaksud Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 tersebut. Frasa “dipilih secara demokratis”, yang maksudnya adalah memberi kewenangan kepada pembuat undang-undang untuk mempertimbangkan cara yang tepat dalam Pilkada. Sekalipun pemilihan secara langsung telah ditetapkan untuk memilih Presiden sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 6A UUD 1945, hal ini tidak dapat diartikan bahwa Pilkada secara langsung menjadi satu-satunya cara untuk memaknai frasa “dipilih secara demokratis” yang dimuat dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. M a h k a m a h berpendapat bahwa Pilkada langsung tidak termasuk dalam kategori pemilihan umum sebagaimana dimaksudkan Pasal 22E UUD 1945. Namun
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
49
demikian, Pilkada langsung adalah pemilihan umum secara materiil untuk mengimplementasikan Pasal 18 UUD 1945. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraannya dapat berbeda dengan Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD 1945, misalnya dalam hal regulator, penyelenggara, dan badan yang menyelesaikan perselisihan hasil Pilkada, meskipun harus tetap didasarkan atas asas-asas pemilihan umum yang berlaku. M a h k a m a h berpendapat bahwa penyelenggaraan Pilkada langsung harus berdasarkan asas-asas Pemilu, yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil serta diselenggarakan oleh penyelenggara yang independen (mandiri). Maksud UUD 1945 tersebut, tidak mungkin dicapai apabila KPUD sebagai penyelenggara Pilkada langsung ditentukan harus bertanggungjawab kepada DPRD. Sebab, DPRD sebagai
50
lembaga perwakilan rakyat di daerah terdiri atas unsurunsur partai politik yang menjadi pelaku dalam kompetisi Pilkada langsung tersebut. Oleh karena itu, KPUD harus bertanggungjawab kepada publik bukan kepada DPRD sedangkan kepada DPRD hanya menyampaikan laporan pelaksanaan tugasnya, seperti yang ditentukan dalam Pasal 57 ayat (2) UU Pemda. M a h k a m a h berpendapat bahwa peranan pemerintah dalam pembentukan Peraturan Pemerintah tentang Pilkada langsung adalah karena diperintahkan oleh undangundang, in casu Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sehingga dengan demikian keharusan berpedoman kepada atau pengaturan dalam Peraturan Pemerintah, tidaklah sertamerta bertentangan dengan UUD 1945. KPUD tidak mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
kepada DPRD oleh karena dalam penyelenggaraan Pilkada dana yang dipergunakan tidak hanya bersumber/berasal dari APBD tetapi juga dari APBN, oleh karenanya pertanggungjawaban penggunaan anggaran harus dilakukan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Selain itu, yang lebih penting lagi adalah bahwa pertanggungjawaban penggunaan anggaran kepada DPRD dapat mengancam jaminan independensi KPUD sebagai penyelenggara Pilkada langsung sesuai dengan asasasas pemilihan yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E juncto Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah yang bersifat politik karenanya mempunyai kepentingan politik dalam arena persaingan kekuasaan di tingkat daerah harus dihindarkan dari
kemungkinan potensinya untuk melakukan intervensi terhadap independensi KPUD dalam penyelenggaraan Pilkada langsung melalui m e k a n i s m e pertanggungjawaban anggaran. M a h k a m a h berpendapat bahwa oleh karena KPUD yang menetapkan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah (vide Pasal 66 ayat (1) huruf g undang-undang a quo) maka yang berwenang mengenakan sanksi pembatalan pasangan calon bukanlah DPRD, melainkan KPUD. Menurut Pasal 66 ayat (1) huruf g tersebut jelas ditentukan bahwa KPUD-lah yang berwenang menetapkan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah. Sesuai dengan prinsip a contrario actus, yang berlaku universal dalam ilmu hukum, maka pembatalan statu tindakan hukum harus dilakukan menurut cara dan oleh badan yang sama dalam pembentukannya. Dalam putusannya
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
51
MK Menyatakan : Pasal 57 ayat (1) sepanjang anak kalimat “… yang bertanggungjawab kepada DPRD”; Pasal 66 ayat (3) huruf e “meminta pertanggungjawaban pelaksanaan tugas KPUD”; Pasal 67 ayat (1) huruf e sepanjang anak kalimat “…kepadaDPRD”; Pasal 82 ayat (2) sepanjang anak kalimat “… oleh DPRD” Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sekalipun demikian, putusan MK dalam perkara ini tidak dapat diambil secara bulat, karena dari sembilan hakim Mahkamah, terdapat tiga hakim yang tidak sependapat dengan pertimbangan hukum
52
maupun amar keputusan tersebut. Tiga orang Hakim Konstiusi tersebut adalah Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H., Prof. H. A. Mukthie Fadjar, SH., M.S., dan Maruarar Siahaan, S.H., yang mengemukakan pendapatnya pada dissenting opinion yang perlu dibaca dan dipahami sebagai kesatuan dari putusan.
B. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 005/PUU/2005 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/ PUU/2005 dijatuhkan atas permintaan para pemohon dalam kapasitasnya sebagai warga negara dan Ketua Partai Politik di Kota Manado yang pada pokoknya sebagai berikut. 1. Pokok Perkara Menurut para pemohon Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Pemda, bertentangan dengan UUD 1945 dan Penjelasan Pasal tersebut sudah seharusnya batal demi hukum dan tidak mempunyai kekuatan
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
hukum mengikat. Adapun yang menjadi dasar permohonan tersebut adalah sebagai berikut. a. Substansi batang tubuh Pasal 59 ayat (1) dan (2) UU No. 32 Tahun 2004, mengatur bahwa yang boleh mengusulkan pasangan calon adalah Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang memiliki sekurangkurangnya 15 % (Lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15 % (Lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan; Apa yang diatur dalam batang tubuh pasal tersebut sebenarnya sudah sangat jelas, masalahnya pada Penjelasan Pasal 59 ayat (1) menyatakan bahwa Partai Politik atau gabungan Partai Politik dalam ketentuan ini adalah Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang memiliki kursi di DPRD. Hal ini berarti bahwa Pasal 59 ayat (2) yang memberikan kesempatan kepada gabungan Partai Politik yang
memiliki 15 % (lima belas persen) akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan sudah dianulir, karena yang dimungkinkan untuk mengusulkan pasangan calon dengan adanya Penjelasan Pasal 59 ayat (1) tersebut hanyalah Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang memperoleh 15 % (Lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD. antara Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 59 ayat (2) diperhadapkan dengan Penjelasan Pasal 59 ayat (1) terdapat contradictio in terminis, sehingga dengan demikian menjadikan Penjelasan Pasal 59 ayat (1) cacat hukum. Seharusnya Pasal 59 ayat 1 sudah tidak memerlukan penjelasan, karena sudah sangat jelas. b. UUD 1945 Pasal 18 ayat (4) mengamanatkan bahwa; Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten dan
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
53
Kota dipilih secara demokratis. Hakekat dari pasal tersebut “dipilih secara demokratis” bukan hanya pada pelaksanaan pemungutan suara dan perhitungan suara yang harus demokratis, tetapi juga harus ada jaminan pada saat penjaringan dan penetapan calon. Masyarakat perlu mendapatkan akses yang luas untuk berpartisipasi dalam mengusung pasangan calon atau untuk di calonkan.Oleh sebab itu pembatasan sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 59 ayat (1) tersebut sungguh-sungguh tidak mencerminkan azas demokrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. c. Bahwa UUD 1945 Pasal 18 ayat (4) mengamanatkan bahwa; Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota masingmasing sebagai kepala Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis. Hakekat dari pasal tersebut “dipilih secara
54
demokratis” bukan hanya pada pelaksanaan pemungutan suara dan perhitungan suara yang harus demokratis, tetapi juga harus ada jaminan pada saat penjaringan dan penetapan calon. Masyarakat perlu mendapatkan akses yang luas untuk berpartisipasi dalam mengusung pasangan calon atau untuk dicalonkan.Oleh sebab itu pembatasan sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 59 ayat (1) tersebut sungguh-sungguh tidak mencerminkan azas demokrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. d. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Pasal 8 ayat a Undang-undang Negara RI Nomor 31 tahun 2002 tentang Partai Politik menyatakan Partai Politik berhak memperoleh
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
perlakuan yang sama, sederajat, dan adil dari Negara. Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Pemda jelasjelas tidak memberikan perlakuan yang sama serta sederajat terhadap sesama Partai Politik, karena dibedakan antara Partai Politik yang memiliki kursi di DPRD dan yang tidak memiliki kursi di DPRD, hal ini telah mencederai keadilan yang didambakan oleh masyarakat, termasuk kami Para Pemohon. Seharusnya Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 harus dapat diwujudkan dalam bentuk konkrit, dalam kehidupan berpolitik dinegara Republik Indonesia. 2. Pertimbangan dan Amar Putusan Dalam pertimbangan hukumnya MK menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Pemda bertentangan dengan norma yang terkandung dalam Pasal 59 ayat (1) dan (2), dan bahkan telah menegasikan norma yang ada itu. Pasal tersebut telah dengan jelas mengatur bahwa yang boleh Sumber:
Thomas
(2004),
Electricity
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
Association 55
mengajukan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah adalah partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh 15% kursi di DPRD atau yang memperoleh 15% akumulasi suara dalam pemilu anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. Kata “atau” dalam Pasal 59 ayat (2) merujuk pada alternatif di antara dua pilihan yang disebut, sesuai dengan keterangan ahli, terhadap mana Mahkamah sependapat sebagai sikap akomodatif terhadap semangat demokrasi yang memungkinkan bagi calon dari partai yang tidak memiliki kursi di DPRD tetapi memiliki akumulasi suara 15% atau pun calon independen sepanjang diajukan oleh partai atau gabungan partai untuk turut serta dalam Pilkada langsung. Aturan demikian dipandang sudah sesuai dengan visi demokrasi yang dianut dalam UUD 1945, karena partai-partai politik yang tidak mencapai electoral threshold pada Pemilu
56
2004 yang lalu adalah tetap sah sebagai partai politik T e r j a d i n y a pertentangan antara substansi pasal dari suatu undang-undang dan penjelasannya yang nyatanyata mengandung inskonsistensi yang melahirkan interpretasi ganda, dan menyebabkan keragu-raguan dalam p e l a k s a n a a n y a . Ketidakpastian hukum demikian tidak sesuai dengan semangat untuk menegakkan prinsip-prinsip negara hukum sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum dimana kepastian hukum merupakan prasyarat yang tak dapat ditiadakan. Pasal 59 ayat (1) telah jelas dirumuskan pula dalam ayat (2)-nya yang cukup menjamin makna pemilihan kepala daerah yang demokratis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Namun makna demokratis tersebut
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
menjadi tereduksi karena adanya Penjelasan Pasal 59 ayat (1). Dengan demikian, Penjelasan Pasal 59 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437) bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 ayat (4), Pasal 28D ayat (1) dan (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam putusannya yang bulat (tanpa ada dissenting opinion) MK menyatakan: bahwa Penjelasan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah, bertentangan dengan UUD 1945 Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menyatakan Penjelasan Pasal 59 ayat (1) undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. C.
IMPLIKASI
PILKADA PASCA PUTUSAN M A H K A M A H KONSTITUSI Sebagai konsekuensi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka pasal-pasal dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 juga dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga sekalipun pasal-pasal tersebut oleh pembentuk undang-undang belum atau tidak diubah maka norma tersebut tidak mempunyai daya berlaku lagi. Tetapi pada tingkatan peraturan di bawah undang-undang, maka peraturan pelaksanaannya harus segera disesuaikan sebagaimana tuntutan asas lex superiori derogat legi inferiori. 4 Suhubungan dengan itu pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005 tentang Perubahan PP Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan Pengesahan
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
57
Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Putusan MK membawa implikasi hukum terhadap penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, yang ketika putusan tersebut dikeluarkan di beberapa daerah proses pelaksanaannya sudah melewati tahap persiapan berupa proses penjaringan calon oleh KPUD. Secara psikopolitis dan teknis di lapangan putusan tersebut sempat menimbulkan kejutan bagi pihak penyelenggara pilkada (KPUD), DPRD, Partai Politik maupun pasangan calon kepala daerah, sehingga perlu proses dan tidak juga mudah dalam memahami dan menindaklanjuti. 1 . Pertanggungjawaban KPUD Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU/2004 maka KPUD sebagai penyelenggara pilkada tidak bertanggungjawab kepada
58
DPRD, KPUD juga tidak mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran kepada DPRD. Sebaliknya DPRD tidak memiliki kewenangan meminta pertanggungjawaban pelaksanaan tugas KPUD. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, kepada siapa dan bagaimana bentuk pertanggungjawaban KPUD pasca putusan tersebut ? Kepada siapa KPUD harus bertanggungjawab dapat dicermati dalam pertimbangan hukum MK dimana disebutkan bahwa KPUD harus bertanggungjawab kepada publik bukan kepada DPRD, sedangkan kepada DPRD hanya menyampaikan laporan pelaksanaan tugasnya, seperti yang ditentukan dalam Pasal 57 ayat (2) UU Pemda. Penyebutan publik di sini sebenarnya hanya sebagai pilihan kata untuk menunjukkan bahwa yang dimaksudkan adalah rakyat sebagai pemegang kedaulatan sesuai prinsip negara demokrasi.
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
P e n y e b u t a n pertanggungjawaban KPUD kepada publik memang sempat menimbulkan kekhawatiran sebagian kalangan bahwa hal tersebut akan menjadikan KPUD uncontrolable karena dianggap tidak jelas mekanismenya. Apalagi dalam hal keuangan, pertanggungjawaban kepada publik dinilai akan menimbulkan kerawanan dan membuka peluang terjadinya korupsi. Kekhawatiran ini kian bertambah karena tidak lama setelah diterbitkannya putusan MK, KPU pusat sedang menjadi pusat perhatian publik terkait dugaan korupsi dana pemilu milyaran rupiah oleh para anggotanya yang imbasnya dirasakan oleh KPU di daerah.5 Putusan MK yang m e n g a l i h k a n pertanggungjawaban KPUD dari DPRD ke publik sudah tepat karena dua alasan. Pertama, pilkada langsung pada dasarnya adalah pemilu lokal sehingga tetap harus
berdasarkan asas-asas Pemilu, yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil serta diselenggarakan oleh penyelenggara yang independen (mandiri). Maksud tersebut tidak mungkin dicapai apabila KPUD sebagai penyelenggara Pilkada langsung ditentukan harus bertanggungjawab kepada DPRD. Sebab, DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah terdiri atas unsurunsur partai politik yang menjadi pelaku dalam kompetisi Pilkada langsung tersebut. Dalam konstelasi yang demikian hampir dapat dipastikan bahwa KPUD tidak “kedap pengaruh” political interest DPRD.6 Kedua, keharusan K P U D mempertanggungjawabkan keuangan kepada DPRD tidak memiliki legal reasoning yang cukup kuat, mengingat dalam penyelenggaraan pilkada sumber pendanaan bukan hanya semata-mata berasal dari APBD tetapi juga berasal
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
59
dari APBN. 7 Sekalipun nantinya (tahun 2006 dan selanjutnya) pendanaan pilkada bersumber murni dari APBD pertanggungjawaban keuangan kepada DPRD tetap tidak pada tempatnya karena dapat mengancam kemandirian dan independensi KPUD. Sesungguhnya p e n y e b u t a n pertanggungjawaban KPUD kepada publik tidak berarti segala sesuatunya menjadi abstrak dan tidak jelas kepada siapa, karena sesuai prinsip negara hukum (rechtstaat) menghendaki negara dipahami sebagai suatu konsep hukum, yaitu hukum sebagai kesatuan sistem dimana terdapat (1) elemen kelembagaan (elemen institutional), (2) elemen kaedah aturan (elemen instrumental), dan (3) elemen perilaku para subyek hukum yang menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan oleh norma aturan itu (elemen subjektif dan kultural).8
60
Pada prinsipnya pertanggungjawaban KPUD dalam penyelenggaraan pilkada dapat dilihat dari berbagai sisi. Paling tidak terdapat enam bentuk pertanggungjawaban yaitu secara hukum, administrasi, etik dan moral, finansial, serta publik. Pertanggungjawaban hukum (legal responsibility) yang dimaksudkan, KPUD harus tunduk kepada aturan-aturan hukum sebagai penyelenggara kekuasaan negara di bidang pemilu (pilkada). Sebagai lembaga yang mendapat atribusi kekuasaan publik maka keputusan yang dibuat harus tunduk kepada prinsip hukum adminitrasi negara yang jika dilanggar dapat diajukan gugatan kepada Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sebagai subyek hukum KPU juga dapat digugat secara perdata oleh mereka yang kepentingannya dirugikan atas dasar perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad).
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
Sementara sebagai individu anggota KPU tidak memiliki imunitas dari jerat hukum pidana seandainya melakukan perbuatan yang mengandung unsur korupsi. Pertanggungjawaban administrasi (administrative r e s p o n s i b i l i t y ) mengharuskan KPUD sebagai penyelenggara pilkada membuat laporan yang secara admnistrasi harus disampaikan kepada instansi atasan dalam hal ini KPU Propinsi dan KPU Pusat. Kewajiban untuk membuat laboran tersebut tidak terlepas dari fungsi yang dijalankan oleh. KPU Propinsi dan KPU Pusat utuk melakukan supervisi dan bimbingan teknis kepada KPUD sebagai penyelenggara pilkada. Laporan tersebut juga harus disampaikan untuk setiap tahap pelaksanaan pemilihan kepada DPRD sebagai representasi formal dari masyarakat. Pertanggungjawaban secara etik (ethics responsibility) dan moral (moral responsibility) mengharuskan
bahwa anggota KPUD dalam menjalankan tugasnya sebagai penyelenggara pilkada tunduk kepada etika dan moral. Kata etika sendiri berasal dari kata ethos (Yunani) atau ethics (Inggris), diartikan sebagai branch of philosophy concerned with conduct, the determination of the god, and of right and wrong. Etika dapat pula diartikan sebagai ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral; kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; dan nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.9 Secara teoritis, acapkali diperdebatkan seberapa jauh suatu etik(a) bisa menjadi patokan berperilaku (code of conduct). Nilai-nilai dari suatu etika biasanya merupakan pantulan dari kondisi yang ada di sekelilingnya, sehingga respon keberlakuannya kadang-kadang bergantung kepada lingkungan yang mengitarinya. Seperti diketahui, fungsi utama etika
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
61
adalah untuk membantu manusia mencari orientasi secara kritis dalam berhadapan dengan moralitas yang 10 membingungkan. Sebagai penyelenggara pilkada KPUD terikat kepada kode etik sebagai code of conduct yang telah dirumuskan dalam SK KPU No. 33 Tahun 2002 yang berisi : a. Pelaksana pemilu (pilkada) harus menggunakan kewenangan berdasar hukum; b. Pelaksana pemilu (pilkada) harus bertindak non partisan dan tidak memihak (imparsial); c. Pelaksana pemilu (pilkada) harus bertindak transparan dan akuntabel; d. Pelaksana pemilu (pilkada) harus melayani pemilih menggunakan haknya; e. Pelaksana pemilu (pilkada) harus tidak melibatkan diri dalam konflik kepentingan; f. Pelaksana pemilu (pilkada) harus bertindak profesional; g. Pelaksana pemilu
62
(pilkada) harus akurat. Kode etik tersebut berlaku sebagai standar moral bagi anggota KPUD dalam berperilaku sebagai penyelenggara pilkada yang sekalipun tidak tertulis dalam peraturan perundangan namun memiliki kekuatan mengikat dan bersifat keharusan. Karena pada hakekatnya antara hukum dan moral adalah ibarat daun sirih yang berbeda permukaannya namun jika digigit sama rasanya. Pertanggungjawaban finansial (financial responsibility) mengharuskan KPUD mempertanggungjawabkan pendanaan penyelenggaraan pilkada sesuai hukum dan peraturan perundangan yang berlaku. Dalam hal ini pertanggungjawaban keuangan tunduk kepada UU No. 17 Tahun 2004 tentang Keuangan Negara. Pasal 3 ayat (1) UU tersebut berbunyi : “Keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan”. Sebagai bentuk pertanggungjawaban keuangan pilkada KPUD wajib membuat laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang disusun dan disajikan sesuai dengan estándar akuntasi pemerintahan (vide : Pasal 31 jo. pasal 32). Di sisi lain berdasar UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, KPUD sebagai pengguna anggaran yang bersumber dari APBN dan APBD secara formal dan material bertanggungjawab kepada Presiden/gubernur/ bupati/walikota atas pelaksanaan kebijakan anggaran yang berada dalam penguasaanya. Dalam penyusunan laporan keuangan KPUD juga tunduk pada Pasal 55 dan Pasal 56 UU Perbendaharaan Negara tersebut.11 Pertanggungjawaban publik (public responsibility) sangat penting mengingat
dalam kegiatan politik faktor kepercayaan (trust) merupakan modal utama. Pertanggungjawaban publik dilakukan dalam rangka mewujudkan akuntabilitas dan transparansi kinerja KPUD, terbukanya akses dan peran serta masyarakat s e l u a s - l u a s n y a , terbangunnya komunikasi publik dan kemitraan yang strategis dan tersosialisasi kegiatan pilkada pada semua tahapan. Dalam hal ini KPUD harus proaktif melaporkan kinerja dan penyelenggaraan pilkada secara periodik kepada masyarakat, melakukan public hearing dengan semua stake holder terutama dalam menyusun regulasi pilkada, serta melakukan fungsi kehumasan dengan efektif.12 Implikasi lain dalam penyelenggaraan pilkada pasca putusan MK adalah tereduksinya hak-hak DPRD yang semula diatur dalam UU Pemda. Jika semula DPRD memiliki kewenangan sedemikian luas namun oleh MK telah “dipreteli” sehingga
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
63
tinggal dua kewenangan yang tersisa yaitu m e n g u s u l k a n pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berakhir masa jabatannya dan m e n g u s u l k a n pengangkatan kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih [ Vide : Pasal 42 ayat (1) huruf d ], di samping kewenangan membentuk panitia pengawas (panwas) pilkada. Dalam hal kewenangan DPRD untuk mengusulkan pengangkatan (dan pemberhentian) kepala daerah/wakil kepala daerah kepada Presiden melalui Mendagri bagi DPRD Propinsi dan kepada Mendagri melalui Gubernur bagi DPRD kabupaten/kota bisa menjadi titik krusial, karena bisa jadi jika DPRD yang karena kepentingan tertentu menolak calon terpilih kemudian tidak bersedia mengusulkan pengangkatan yang bersangkutan. Jika ini betulbetul terjadi tentu harus ada instrumen hukum untuk
64
menyelesaikannya. 2. Pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU/2005 maka dimungkinkan bagi calon dari partai atau gabungan partai yang tidak memiliki kursi di DPRD tetapi memiliki akumulasi suara 15 (lima belas) % atau pun calon independen sepanjang diajukan oleh partai atau gabungan partai untuk turut serta dalam Pilkada langsung. Putusan ini sudah tepat mengingat hal ini berarti menghargai suara pemilih yang sah sekalipun tidak sempat masuk ke DPRD. Implikasi dari putusan tersebut akan membuka peluang bagi adanya lebih banyak pasangan calon kepala daerah sehingga lebih menjamin demokratisnya pilkada. Yang menjadi persoalan, kesempatan tersebut tidak sepenuhnya bisa dimanfaatkan oleh partai politik atau gabungan partai politik Hal ini terjadi
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
pada daerah yang sudah harus menyelenggarakan pilkada bulkan Juni 2005. Bagi daerah tersebut penyelenggaraan pilkada telah memasuki langkah persiapan berupa selesainya penjaringan calon kepala daerah oleh partai politik Sebagai ilustrasi di Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Boyolali dan Kota Surakarta yang menyelenggarakan pilkada pada tanggal 27 Juni 2005, terbukanya peluang bagi partai-partai kecil yang tidak memiliki kursi di DPRD untuk berkoalisi mengusung calon baru hampir tidak dapat dimanfaatkan karena mereka sudah terlanjur membangun koalisi dengan partai besar yang memiliki kursi di DPRD. Hanya partaipartai kecil di Kota Surakarta yang dapat memanfaatkan peluang yang dibuja oleh putusan MK tersebut. Melalui koalisi yang diberi nama Persatuan Partai Politik Masyarakat Surakarta (PPMS) partai-partai kecil yang tidak memiliki kursi di DPRD mengusulkan
pasangan cawali Slamet Suryanto dan cawawali Henky Nartosabdo. Keberhasilan pencalonan dalam waktu yang singkat itu pun tidak lepas dari kesiapan figur Slamet Suryanto (mantan walikota sebelumnya) yang terlempar dari penjaringan di Partai Demokrasi Indonesia Pembaruan (PDIP) karena tidak mendapat rekomendasi DPP PDIP.13 Putusan MK tersebut dirasakan oleh partai-partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD sudah “sangat terlambat”, mereka yang semula sudah merasa tidak memiliki hak mencalonkan tiba-tiba “hidup” kembali sehingga sangat sulit untuk membangun koalisi dalam waktu yang terbatas. Pada umumnya partai-partai tersebut telah terlanjur terikat koalisi dengan partai besar lain, sekalipun bargaining power mereka tidak seimbang. Pada sisi lain mereka juga merasa sudah kalah start jika dibandingkan dengan partai lain yang
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
65
sudah sejak awal memiliki hak untuk mencalonkan pasangan calon kepala daerah. Partai-partai besar sudah lebih awal memiliki calon pasangan dan bahkan sudah melakukan kampane secara terselubung. Kondisi yang demikian secara politis sangat tidak menguntungkan bagi partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD jika baru kemudian menyusul dalam persaingan menuju pencalonan kepala daerah yang bersangkutan. D. PENUTUP Putusan MK yang berkaitan dengan UU No. 32 Tahun 2004 dapat dipandang sebagai upaya untuk meneguhkan demokrasi di tingkat lokal. Sebagai produk institusi peradilan yang bersifat final putusan tersebut harus dihormati dan dilaksanakan semua pihak, sekalipun tidak berarti putusan tersebut tidak dapat mengundang perbedaan pendapat. Setidaknya di kalangan majelis MK sendiri keputusan tersebut diambil tidak
66
dengan suara bulat, terbukti dengan adanya dissenting opinion dari beberapa anggota majelis hakim. Di luar pasal-pasal yang telah dibatalkan oleh MK, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda sebagai regulasi penyelenggaraan masih banyak mengandung berbagai problematik hukum banyak pasal mengandung multitafsir, inkonsistensi, kerancuan sehingga dapat menyulitkan dalam penegakan hukumnya. Misalnya pasangan yang melakukan politik uang (money politics) dapat dikenai sanksi pembatalan sebagai calon. Tetapi jika pasangan yang bersangkutan sudah terlanjur menjadi Kepala Daerah maka pembatalan pasangan calon tersebut berarti tidak dapat dilakukan. 14 UU tersebut juga mengandung ketidaktegasan karena banyak aturan yang mewajibkan sesuatu tanpa disertai ancaman sanksi., misalnya ketentuan mengenai kewajiban melaporkan dana kampanye
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
kepada KPUD, tidak disertai aturan tentang sanksi yang memadai untuk menghalangi dan mencegah terjadinya pelanggaran. 1515 Lihat : Pasal 84 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 juncto Pasal 66 PP No. 6/2005.
DAFTAR PUSTAKA Anas Urbaningrum, 2004. “Antisipasi MasalahMasalah Dalam Pilkada Langsung” dalam Pilkada Langsu ng: Tradisi Baru Demokrasi Lokal (Ari Pradanawati, ed.), KOMPIP: Surakarta.
Budi Susanto (ed), et.all, 1992. Nilai-Nilai Etis dan Kekuasaan Utopis , Kanisius: Jogyakarta.
Mahkamah Konstitusi, 2004.
Cetak Biru Membangn Mahkamah Konstitusi Sebagai Institusi Peradilan Konstitusi Yang Modern dan Terpercaya . Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi: Jakarta.
Jimly Asshiddiqie, 2005.”Mahkamah Konsitusi Dalam Sistem Hukum Indonesia”, Makalah Ceramah di Universitas Sebelas Maret, Jumat, 13 Mei 2005. Surakarta, Jawa Tengah.
KOMPAS , 23 April 2005.
Mahkamah Konstitusi, 2004. Satu Tahun MK Mengawal Konstitusi Indonesia Buku II Laporan Pelaksanaan Putusan MPR Oleh Mahkamah Konstitusi 2003-2004 . Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi : Jakarta.
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
67
Moh Jamin “Kode Etik Dan Badan Kehormatan MPR 2004-2009” Makalah disampaikan pada Semiloka Rancangan Tata Tertib MPR 2004-2009. Kerjasama Panitia Ad Hoc II Badan Pekerja MPR dengan Universitas Sebelas Maret, 28 Pebruri 2004, Hotel Novotel, Surakarta.
N a z a r u d d i n Sjamsuddin. 2004. “Sisi-Sisi Kemungkinan Sukses Tidaknya Pilkada Langsung” dalam Pilkada Langsung: Tradisi B aru Demokrasi Lokal (Ari Pradanawati, ed.), KOMPIP: Surakarta.
SUARA MERDEKA , 20 April 2005.
68
Sebagai pengalaman baru dalam membuat regulasi pilkada langsung berbagai kelemahan dari UU No. 32 Tahun 2004 dapat dipahami, namun ke depan dalam membuat regulasi perlu perbaikan agar kualitas demokrasi yang hendak dibangun melalui pilkada dapat benar-benar terwujud.***(Endnotes) 1 Nazaruddin Sjamsuddin, 2004. “ S i s i - S i s i Kemungkinan Sukses Tidaknya Pilkada Langsung” dalam Pilkada Langsung: Tradisi B aru Demokrasi Lokal (Ari Pradanawati, ed.), KOMPIP: Surakarta. 2 (Baca Cetak Biru Membangun Mahkamah Konstitusi , 2004 : halaman 5). 3 Pengujian materil ( judicial review ) terhadap UU No. 32 Tahun 2004 merupakan salah satu perkara yang menarik dan menjadi
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
perhatian publik di samping perkara-perkara lain yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (Baca Satu Tahun MK Mengawal Konstitusi Indonesia, Laporan Pelaksanaan Putusan MPR Oleh MK 2003-2004 . halaman 18-19). 4
Baca : S u d i k n o Mertokusumo, 2003. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
69
70
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
71
dukungan kelompokkelompok usaha swasta dan para lembaga-lembaga ekonomi pro-pasar. Sedangkan untuk negaranegara berkembang, Kotak 1 Pengalaman Negara-Negara Amerika Latin Setelah Melakukan Program Restrukturisasi dan Privatisasi Listrik El Salvador mengalami ketidakstabilan harga pada harga listrik curah (wholesale price). Setelah restrukturisasi dan privatisasi sektor kelistrikan sejak tahun 1987, Chili mengalami pemadaman pada akhir 1998 dan awal 1999, harga listrik mengalami kenaikan terus menerus, akses masyarakat di pedesaan dan yang miskin kepada infrastruktur listrik tetap kecil, listrik perdesaan bergantung pada subsidi dari pemerintah. Kegagalan kompetisi pada pasar di Peru dan Bolivia. Sejumlah kesulitan terjadi pada Pool Market di Colombia yang berasal dari kegagalan untuk mengontrol kekuatan pasar dari para pemain dan dalam melakukan transpalansi perancangan system untuk Power Pool yang berasal dari pasar yang didominasi oleh pembangkit thermal kepada pasar Colombia yang didominasi oleh pembangkit hidro. Biaya tinggi akibat kontrak listrik swasta (PPA) yang ditandatangani sebelum restrukturisasi menyebabkan beban keuangan yang sangat berat bagi sektor ketenagalistrikan di Guatemala dan pemerintah terpaksa memakai seluruh asset yang tersisa untuk menyanggah dampak PPA terhadap tarif listrik untuk mencegah kenaikan yang terlalu tinggi yang dapat menimbulkan ketidakstabilan politik dan ekonomi. Pemadaman listrik di Argentina yang menyebabkan 160.000 klien tanpa listrik sama sekali selama dua minggu pada tahun 1999.
Sumber: Njeri Wakumonya (2003): Electricity Reform: Social and Environmental Challenges; United Nation Enviromental Program, UNEP RISO Center, Denmark; Marguez, Miguel (2002): Lesson Learned from the Chilean Power Sector Reform, Presentation in UNEPTIE Meeting on Power Sector Reform and Sustainable Development, UNEP, Paris.
dorongan itu datang dari lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia, negara-negara donor dan sejumlah elit 72
ekonomi pro-pasar (Tumiwa 2002, Dubash 2002). Dalam konteks Brasil dan Indonesia, krisis hutang yang menjadi pemicu adanya bantuan dan
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
dukungan finansial oleh Bank Dunia dan IMF untuk program-program pemulihan ekonomi yang salah satunya adalah program restrukturisasi sektor energi, termasuk ketenagalistrikan (Almeida & Pinto Junior 2000, Tumiwa 2002, Sulistiyanto & Wu Xun 2004). Fakta-fakta yang terjadi di berbagai negara, dari Inggris Raya (United Kingdom), California dan Amerika Serikat dan di berbagai negara di belahan benua lain seperti Australia (Victoria), Canada (Alberta dan Ontario), India, Argentina, sejumlah negara Afrika menunjukkan bahwa restrukturisasi sektor ketenagalistrikan yang terdiri dari rangkaian kebijakan deregulasi, liberalisasi dan privatisasi yang berdasar pada kepercayaan ‘fundamental pasar’ tidak dapat bekerja sebagaimana yang diharapkan atau yang direncanakan (lihat kotak 1). Untuk sektor ketenagalistrikan, terlepas
dari berbagai hambatanhambatan sosial dan politik akibat penolakan terhadap program deregulasi, liberalisasi dan privatisasi oleh masyarakat, penerapan mekanisme kompetisi baik curah maupun eceran, yang dirancang berdasarkan teoriteori ekonomi pasar, sesungguhnya sukar dilakukan. Berbagai pengalaman penerapan restrukturisasi dan kompetisi mengalami hambatan dan gangguan yang berujung pada kegagalan bekerjanya mekanisme pasar tersebut. Ada sejumlah penjelasan mengapa mekanisme kompetisi curah maupun kompetisi penuh tidak dapat bekerja. Pertama, listrik dan industri ketenagalistrikan memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan komoditas lainnya. Energi listrik tidak dapat disimpan secara permanen atau dalam waktu yang lama, oleh karena itu sekali ia diproduksi harus dapat segera dimanfaatkan, industri listrik sangat padat
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
73
Tabel 6. Perbandingan
antara
Sumber: Nengah Sudja (2004)
modal, teknologi yang dipakai relatif tinggi dan untuk dapat m e n y e d i a k a n n y a dibutuhkan waktu yang lama. Karakteristik ini menyebabkan tidak semua orang atau jenis usaha dapat dengan mudah memasok listrik untuk kepentingan umum. Dengan adanya sifat-sifat alami ini, listrik tidak dengan mudah Perbandingan antara sifat alami listrik dan pangan dapat dilihat pada tabel 6. Kedua, industri ketenagalistrikan yang terdiri dari pembangkit listrik, transmisi, dan 74
distribusi serta penjualan, merupakan satu kesatuan yang saling terkait untuk menciptakan sistem produksi dan distribusi yang handal dan efisien. Melakukan pemecahan (unbundling) akan menyebabkan rente ekonomi (economic rent) yang lebih panjang dan mengurangi tingkat kehandalan (reliability) sistem. Ketiga, kegagalan mekanisme kompetisi pasar di sektor kelistrikan dengan mudah terjadi karena tidak ada pasar yang sempurna dan ketika mekanisme pasar kompetisi diterapkan, sifat
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
alami industri listrik mendorong terjadinya penguasaan pasar oleh sejumlah kecil perusahaan bermodal kuat atau oligopoli. Ferdinand Banks (2003), guru besar ekonomi energi terkemuka dari Swedia menyatakan: “When regulated monopolies are replaced by unregulated monopolies or oligopolies, prices are almost certain to go up – sooner or later.” Menurut Banks, deregulasi m e n i n g k a t k a n ketidakpastian (uncertainties) – ceteris paribus – yang artinya mengurangi investasi. Deregulasi memang menjanjikan terjadinya penurunan harga listrik. Dalam prakteknya, penurunan harga tersebut dicapai lewat merger yang pada akhirnya sejumlah kecil perusahaan memiliki ‘market power’ yang lebih besar dari sebelumnya untuk mengontrol harga listrik. Dalam kasus Inggris dan California kasus kegagalan deregulasi, liberalisasi dan privatisasi dapat dilihat dengan jelas.
Kenyataan di Inggris menunjukkan bahwa restrukturisasi listrik tidak mudah dilakukan. Walaupun saat restrukturisasi mulai dijalankan pada tahun 1995, telah dirancang perangkat pengaturan (regulasi) dan badan pengatur independen untuk memberikan perlindungan bagi para pemain dan konsumen. Kenyataannya manipulasi harga listrik oleh para pelaku pasar terjadi dengan berbagai cara. Badan pengatur seringkali gagal mendeteksi kecurangan-kecurangan tersebut sejak awal sehingga konsumen, khususnya konsumen kecil sangat dirugikan oleh kenaikan harga listrik. Di California, badan pengatur juga gagal mendeteksi secara dini kecurangan-kecurangan oleh perusahaan pembangkit listrik yang menyebabkan terjadinya kelangkaan pasokan dan kenaikan harga. Rancangan pasar yang awalnya dianggap dapat bekerja efektif,
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
75
ternyata tidak berfungsi. Kenyataan lain di Inggris juga menunjukkan bahwa setelah 10 tahun, restrukturisasi menghasilkan pengambilalihan (take over) perusahaan-perusahaan listrik kecil, yang pada awal privatisasi terbentuk, dengan cara akusisi oleh perusahaan-perusahaan listrik multinasional. Upaya untuk memecah struktur integrasi vertikal yang dulunya dimiliki oleh CGEB dengan tujuan menciptakan kondisi ideal untuk terlaksananya kompetisi mengalami kegagalan total. Untuk dapat bertahan dalam iklim kompetisi yang keras, perusahaan-perusahaan tersebut melakukan reintegrasi, baik usaha pembangkitan maupun usaha distribusi yang pada akhirnya menghasilkan struktur integrasi vertikal di antara para pembangkit listrik swasta. Perbedaanya adalah jika pada tahun 1990, struktur itu dimiliki oleh perusahaan listrik milik negara, pada akhir tahun 1990 struktur itu didominasi
76
oleh enam perusahaan swasta multinasional yang membentuk struktur pasar oligopoli. Dari sejumlah kasus yang dipaparkan di atas, deregulasi, liberalisasi dan privatisasi listrik juga tidak berhasil menepati janjijanjinya, salah satunya investasi di sektor listrik untuk menjaga kesetimbangan pasokan dan permintaan (demand-supply).13 Kasus di Inggris dan Brasil, program privatisasi menyebabkan perpindahan kepemilikan atas asset perusahaan listrik, dari tangan pemerintah ke tangan swasta tetapi tidak diiringi dengan masuknya investasi baru untuk membangun infrastruktur ketenagalistrikan yang sebelumnya dijanjikan oleh para pendukung privatisasi. Pengalaman di Brasil menunjukkan bahwa implementasi restrukturisasi di negara-negara berkembang memiliki kompleksitas masalah dan resiko yang tinggi. Laporan Bank Dunia (2003)
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
menunjukkan bahwa para perancang restrukturisasi sektor ketenagalistrikan di negara berkembang, termasuk Bank Dunia sendiri, seringkali mengabaikan kompleksitas serta lamanya waktu yang diperlukan oleh program tersebut untuk ’tumbuh dewasa’ (mature). Kompleksitas ini termasuk teknis, politik, sosial, dan pendanaan keuangan. Pengalaman Brasil menunjukkan sangat sukar untuk berpindah dari sistem ketenagalistrikan yang awalnya tersentralisasi dan struktur pasarnya dimonopoli oleh perusahaan publik kepada mekanisme kompetisi baru yang melibatkan lebih banyak pemain dan kepentingan. Sehingga model dan tahapan restrukturisasi yang standar, sebagaimana yang diterapkan di Inggris dan AS, tidak dapat diterapkan dengan mudah. Sejumlah kasus yang sama juga terjadi di berbagai negara berkembang lainnya. Program deregulasi,
liberalisasi dan privatisasi sektor ketenagalistikan pada prakteknya membawa kerugian ekonomi besar. Pengalaman yang terjadi di berbagai negara menunjukkan bahwa privatisasi mengakibatkan pemutusan hubungan kerja rata-rata sebesar 30 – 60% dibandingkan tenaga kerja sebelumnya. Pemutusan hubungan kerja ini didorong oleh keinginan untuk meningkatkan keuntungan perusahaan. Studi di Inggris menunjukkan bahwa para pemilik perusahaan listrik menikmati keuntungan finansial terbesar dari privatisasi, sedangkan konsumen mengalami kerugian finasial terbesar (Hall 1999). Privatisasi juga mendorong adanya jaminan publik jangka panjang terhadap investasi listrik swasta, baik dalam bentuk kontrak pembelian listrik (power purchase agreement, PPA) atau jaminan pemerintah berkaitan dengan proyek-proyek investasi infrastruktur ketenagalistrikan.
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
77
P r o g r a m restrukturisasi biasanya didanai oleh dana yang berasal dari hutang luar negeri dengan jumlah yang cukup besar. Pinjaman tersebut biasanya dipakai untuk melakukan studi, menyusun perangkat peraturan baru, institusi dan badan pengatur yang diinginkan dan kegiatankegiatan lainnya.14 Pinjaman ini memberikan beban pembayaran hutang bagi negara-negara berkembang. Oleh karena program restrukturisasi dilakukan secara bertahap dan dalam jangka waktu yang relatif panjang, program ini m e n c i p t a k a n ketergantungan yang tinggi terhadap bantuan dan dukungan politik dari lembaga-lembaga keuangan internasional serta lembagalembaga kreditor. Di California, deregulasi dan privatisasi menyebabkan biaya sebesar $ 71 miliar bagi penduduk dan negara bagian itu. Biaya itu termasuk untuk biaya penyusunan UU dan lobby,
78
biaya stranded cost dari perusahaan listrik sebesar $ 23,6 miliar, pengambilalihan hutang perusahaan listrik sebesar $ 10 miliar dan $ 16 miliar biaya tambahan yang dibayarkan kepada listrik swasta ketika terjadi lonjakan harga pada tahun 2001 (Beder 2003). Yang harus diperhatikan secara sungguh-sungguh, biaya sosial dan ekonomi akibat kesalahan melakukan restrukturisasi harus ditanggung oleh seluruh warga negara, termasuk mereka yang tidak memiliki akses atas listrik. Kesimpulan Pengalaman selama dua dekade membuktikan bahwa keberhasilan restrukturisasi sektor tenaga listrik adalah mitos. Sayangnya, berbagai kegagalan tersebut tidak menyurutkan keinginan dari para pendukungnya untuk terus mendesak berbagai negara berkembang melakukan deregulasi, liberalisasi dan privatisasi.
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
Kebijakan restrukturisasi hanya mengintensifkan listrik sebagai komoditas ekonomi semata yang berorientasi pada kepentingan modal jangka pendek tetapi mengorbankan kepentingan dan manfaat publik jangka panjang. Sejumlah studi terbaru merekomendasikan bahwa untuk mencapai tujuantujuan efisiensi pengusahaan negara-negara berkembang lebih tepat mengadopsi model pasar pembeli tunggal (single buyer) yang tidak memerlukan pemecahan (unbundling) dan privatisasi perusahaan listrik milik negara. Alternatif kebijakan lainnya adalah dengan memperbaiki aspek tata kelola (governance) sektor ketenagalistrikan dan di tingkat yang lebih mikro yaitu pada badan usaha milik negara. Berkaca dari pengalaman berbagai negara sebagaimana yang dipaparkan di atas, maka Mahkamah Konstitusi sesungguhnya telah membuat keputusan yang
tepat pada tanggal 15 Desember 2004, dengan membatalkan UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang memiliki semangat deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi, yang berpotensi mengurangi kemakmuran rakyat Indonesia yang dicitacitakan para pendiri republik ini. Endnotes Istilah terintegrasi secara vertikal (vertically integrated) menunjukkan struktur industri listrik yang terintegrasi dari pembangkit, jaringan transmisi dan distribusi, dan unit-unit itu dimiliki oleh sebuah perusahaan yang sama. 2 CGEB didirikan setelah PD II pada tahun 1948 sebagai badan usaha milik negara untuk menyediakan pelayanan tenaga listrik kepada seluruh daratan Inggris. Oleh karena tugas itu, CGEB diberikan status monopoli. Pada saat yang hampir bersamaan di daratan Eropa, berbagai negara juga melakukan nasionalisasi perusahaan listrik swasta dan membentuk perusahaan listrik milik negara, misalnya di Prancis dan Italia. 1
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
79
Nasionalisasi dan pendirian perusahaan listrik milik negara di Eropa pada saat itu terkait dengan rekonstruksi pasca PD II dengan semangat negara kesejahteraan (welfare state). 3 Dalam konsep restrukturisasi pasar ketenagalistrikan, dikenal tiga model pasar kompetisi yaitu: model pasar pembeli tunggal (single buyer model), model pasar kompetisi curah (wholesale/bulk competition) dan model pasar kompetisi pengecer (retail competition) atau dikenal juga sebagai pasar kompetisi penuh. Untuk mengetahui karakteristik masing-masing jenis pasar kompetisi tersebut lihat karya klasik Sally Hunt (2001): Making Competition in Electricity Work. 4 Electricite de France (EdF) yang dimiliki oleh pemerintah Prancis membeli jaringan distribusi listrik milik Eastern, dan Powergen dari Inggris (kemudian dibeli oleh perusahaan Jerman, E.ON) membeli jaringan untuk pengantar listrik /retail-nya. 5 Sekitar 50% dari harga listrik yang dibangkitkan oleh PLTN di Inggris disubsidi oleh pemerintah. 6 Pada awal 1990, privatisasi lewat penjualan CGEB dan Area Boards hanya 80
sebesar sepertiga dari nilai bukunya. Dengan demikian, ketika formula baru ditetapkan yang terdiri dari komponenkomponen: nilai aset yang ada, depresiasi, investasi baru, tingkat pengembalian (rate of return) yang ditetapkan oleh regulator dan besarnya biaya operasi, secara matematis perhitungan formula tarif yang baru ini menghasilkan tarif yang lebih rendah dari sebelumnya. 7 Konsep ‘initial contract’ yang menjadi proposal C & L bertujuan untuk mengatasi perbedaan struktur biaya yang ditimbulkan oleh adanya ‘stranded cost’ dan perbedaan antara sumber energi air yang investasinya telah terbayarkan seluruhnya dan sumbersumber energi baru yang akan dipakai untuk pembangunan pembangkit listrik yang baru. Kontrak-kontrak ini bersifat mandatory yang ditandatangani antara perusahaan pembangkit listrik dan perusahaan distribusi sebagai bagian dari mekanisme yang baru. 8 Dalam perkembangannya karena mengalami berbagai kendala, operasi dari pasar spot ini ditunda pelaksanaannya hingga 2003. Itu pun terbatas hanya untuk kontrak-kontrak
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
jangka pendek. Sejak 1996 daya listrik yang dihasilkan dari pembangkit dijual langsung kepada perusahaan pengecer listrik. 9 Penjualan Gerasul sukses dilakukan pada September 1998. 10 Sejak restrukturisasi dan deregulasi dilakukan di California pada tahun 1996, badan regulator menetapkan batas atas (cap) untuk tarif listrik hingga tahun 1998. Ketika tarif listrik dikendalikan selama kurang lebih dua tahun tidak terjadi lonjakan tarif listrik untuk konsumen. Situasi mulai berubah ketika batasan tarif dicabut. Tiba-tiba saja tarif listrik mulai mengalami kenaikan dan diikuti dengan terjadinya krisis pasokan. 11 California adalah salah satu negara yang memiliki skala ekonomi terbesar keenam di dunia. 12 Gregory Palast, seorang kolumnis AS menulis: ‘For decade the US has been selling the wonder of free markets to the rest of the world but it always exempted itself…In California, power companies and traders throught they could bring home to the US the freemarket methods they used to huge profit in Brasil, Pakistan, Britain and other backwaters,’ Why the Light Went out All
over California, The Observer, 1 July 2001. 13 Dalam sistem pasar kompetisi, kesetimbangan demand-supply adalah kondisi yang mutlak ada. Ketidakseimbangan keduanya akan mempengaruhi perilaku harga. Menurut Pritchard (2003), salah satu syarat penerapan kompetisi listrik adalah daya cadangan (reserved margin) dari suatu sistem lebih dari 30%. Dalam kasus Inggris, California dan negara lainnya ketika kompetisi diterapkan tahuntahun awal tingkat cadangan daya masih tinggi tetapi dalam kurun waktu 3-5 tahun, cadangan tersebut mengalami penurunan secara drastis. Kasus California menunjukkan bahwa cadangan daya sebelum deregulasi yang sebelumnya mencapai 30% turun hingga 5% di akhir 1999. Penyebabnya adalah perusahaanperusahaan listrik tidak melakukan investasi untuk membangun pembangkit listrik baru atau jaringan distribusi. Salah satu motivasi tidak melakukan investasi karena keinginan untuk memaksimalkan keuntungan jangka pendek. 14 Sebagai contoh pinjaman untuk program restrukturisasi sektor ketenagalistrikan di In, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
81
donesia didanai oleh pinjaman dari ADB & JBIC pada tahun 1999, sebesar US$ 800 juta. WGPSR memperkirakan total pinjaman dan hibah untuk melaksanakan program ini sejak tahun 1998 – 2003 mencapai US$ 1 miliar.
Acuan Almeida, E.L.F & H.Q Pinto Junior (2000): Driving Forces of Brazilian Electricity Industry Reform, Energy Studies Review Vol 09 No. 02 (dapat diakses di www.ie.ufjr.br/energia/ pdf/driving forces of the brazilian electricity_industry_reform.pdf) Bacon, R.W. & J Besant-Jones (2002): Global Electric Power Reform, Privatization and Liberalization of Electric Power Industry in Developing Countries, The World Bank Group, Washington D.C. Banks, Ferdinand (2003): Economic Theory and Some Disobliging Aspects of Electricity Trading and Deregulation, draft paper untuk Journal of
82
Energy Policy (komunikasi pribadi dengan penulis). Beder, Sharon (2003): Power Play, the Fight to Control the World’s Electricity, the New Press, New York. Brower, Thomas and Mitchell (1997): Lessons from the British R e s t u c t r u r i n g Experience, Electricity Journal, Vol. 10, No. 3. Brown, Ashley C. (2002): The Privatization of Brasil’s Electricity Industry: Sector Reform or Restament of the Government’s Balance Sheet? Paper Prepared for Inter-American Development Bank. Czamanski, Daniel (1999): Privatization and Restructuring of Electricity Provision, Praeger, Westport. Dubash, Navroz K. (Editor) (2002): Power Politics, Equity and Environment in Electricity Reform, World Resource Institute, Washington D.C. Ferreira, Carlos Kawall Leal (2004): Privatizing Electric Power Sector in Brazil, Brazilian Chamber of Commerce
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
(dapat diakses di www.brazilianchambers.org.uk/ documents/), akses Oktober 2004. Hall, David (1999): Electricity Restructuring, Liberalisation and Privatisasion – some I n t e r n a s i o n a l Experience, PSIRU, University of Greenwich, London. Hall, David (2004): Electricity in Latin America 2004,
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
83
PRIVATISASI & OLIGARKHI EKONOMI Oleh EKO PRASETYO Koordinator Resist Book, staf pada Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia.
Uang ini sungguh benda jahat. Selalu membingungkan, baik waktu hendak mengeluarkan maupun waktu hendak menerima. (Maxim Gorki, Ibunda)
ermula dari hasil riset yang menyebut kalau pendapatan daerah dari hasil parkir tidak seperti yang diharapkan. Gagal meraih target pendapatan membikin pemerintah daerah berpikir serius untuk menambal kekurangan. Parkir menjadi kegiatan yang mendatangkan potensi pendapatan besar, dalam bilik pikiran kepala daerah. Karena politik otonomi maka beberapa daerah mulai mencari siasat untuk meraih pendapatan yang besar. Ide swastanisasi muncul dari sana yakni bagaimana menyerahkan urusan parkir tidak lagi pada komunitas masyarakat, melainkan pada usahawan yang mampu berpikir serba efektif. Swasta memiliki kelebihan dalam segala soal, terutama dalam pertanggung jawaban dan pengejaran setoran. Swasta karenanya menjadi pilihan dan tukang parkir sebutannya kelak berubah menjadi karyawan
B
84
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
parkir.1 Begitulah soal parkir ini bergulir dan menggema di Yogyakarta. Sebuah kawasan yang kini mulai menggeser peran dari yang semata-mata kota pelajar menjadi kawasan yang cocok untuk investasi. Di sana kini direncanakan akan berdiri sejumlah mal yang akan menyulap kota ini jadi lebih metropolis. Sejumlah sektor pekerjaan rakyat kini mulai direlokasi di pinggiran kota, agar wajah Yogyakarta jauh lebih berseri dan tertib. Peran-peran ekonomi rakyat mulai ditertibkan, terutama untuk pedagang kaki lima, agar akrab dengan logika ekonomi industri. Kota Yogyakarta karenanya menjadi kawasan yang harus memikat investor dan untuk itu digalakkan berbagai proyek swastanisasi. Salah satu di antara yang banyak memicu perdebatan sekarang ini adalah lahan parkir. Swastanisasi adalah trend ekonomi pasar yang berangkat dari kepercayaan kalau pemerintah adalah organ yang brengsek. Penguasa selalu lekat dengan sifat korupsi, kolusi dan nepotisme. Praktek korupsi yang menyemut dan berakar dari pusat hingga daerah menunjukkan betapa bebalnya pemerintah dengan tugas wajibnya. Tugas melindungi, mencerdaskan dan mensejahterakan masyarakat sebagaimana kutipan undang-undang kini mulai tidak lagi dipercayai. Soeharto dan semua fasilitas kekuasaanya memberikan amsal yang buruk bagaimana kekuasaan sebenarnya mereka kelola. Soeharto menjalankan kekuasaan mirip dengan kerajaan di masa lalu yang penuh dengan bau persekongkolan, itikad buruk dan represif. Ekonomi yang dikelola oleh penguasa bertipe kerajaan ini pastilah tidak akan mampu menunjukkan prestasi. Swastanisasi seperti mengulang sejarah kelam bagaimana ekonomi bangsa ini dijalankan. Suatu tatanan ekonomi yang menihilkan peran serta rakyat. Tatanan yang meyakini kalau kemakmuran ekonomi diukur dari angka dan pujipujian lembaga keuangan International. Dalil ini begitu buas diyakini bukan hanya oleh para penguasa melainkan ilmu, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
85
wan yang kini menduduki kursi akademis. Tampaknya keyakinan ini bukan muncul sekejap dari langit melainkan proses sejarah yang berakar dalam dan memakan waktu yang panjang. Tulisan ini berangkat dari keyakinan dasar itu, yakni bagaimana perjalanan sejarah telah mengukir panjang nilai-nilai absolut tentang kedigdayaan swasta dalam menyelesaikan segala persoalan ekonomi. Soal ekonomi tidak hanya diukur dari bagaimana kemampuannya mensejahterakan melainkan juga dilihat dari siapa yang memegang. ‘Siapa’ yang memegang inilah yang meyentuh prinsip ekonomi politik yang dasar, yakni kedaulatan!
VOC: Privatisasi Primitif Tidak ada sesuatupun yang lebih menyakitkan pada sebuah negara selain orang cerdik yang berpura-pura menjadi orang bijak (Francis Bacon)
Sejarah penindasan 2 bangsa ini, sebagian percaya karena keberadaan badan yang bernama “Serikat Perseroan Hindia Timur” (Vereenigde Oostindische Compagnie, VOC) yang mengawasi perdagangan Belanda, tidak hanya di Nusantara, tetapi juga di Srilanka dan kekuasaanya merentang dari Tanjung Harapan hingga ke Jepang. Badan ini dipimpin oleh dewan pesero “de XVII Heeren” atau “ke – 17 Tuan-Tuan” di mana dewan ini menempatkan Gurbenur Jenderal untuk bertanggung jawab atas setiap transaksi dagang yang ada di daerah kewenangan VOC. Semula perhatian VOC mengarah ke luar pulau Jawa seperti Ambon (1605), Banda (1621) dan Malaka (1641) Perluasan pengaruh VOC mendulang kesuksesan ketika ikut dalam sejumlah intrik politik pada penguasa-penguasa daerah. Perjanjian Bongaya (1667), yaitu perjanjian VOC dengan Sultan Makassar setelah terjadinya peperangan yang sengit, merupakan awal ikut campurnya VOC dalam urusan politik. Perjanjian pertama yang membuat VOC mampu 86
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
mengontrol perdagangan rempah-rempah sekaligus melumpuhkan perdagangan orang-orang Bugis serta Portugis. Novel karya Utuy Tatang Sontani, yang berjudul Tanbera, mengilustrasikan bagaimana invasi VOC dalam melumpuhkan kaum pedagang lokal. Rumusan cara kerja VOC-juga disebut Kumpeni-untuk meraih laba sederhana saja: Beli dengan murah, jual dengan mahal. Misalnya dalam menerapkan strategi di Maluku, VOC dengan ketat melakukan monopoli atas produksi rempah-rempah, sampai melakukan perjalanan hongi untuk menghancurkan pohon cengkeh yang bukan di bawah pengawasannya. Di Jawa, dimana sebagian besar terdapat perkebunan kopi dan gula, siasat VOC meliputi pemaksaan terhadap petani supaya menanam dan memanen tanaman untuk Kompeni dengan sedikit atau sama sekali tanpa imbalan.3 Hingga suatu saat, karena konflik Jawa khususnya para penguasa yang berkedudukan di Mataram,VOC menawarkan untuk menjadi penengah dan masuk terlibat dalam konflik. Bahkan VOC masuk hingga kekuasaan teritorial pedalaman, terutama kawasan Pesisiran, di mana VOC bersaing keras dengan orang-orang Portugis serta Spanyol. VOC menjadi lebih gampang masuk ketika di daerah terjadi konflik seputar masalah ‘suksesi’, seperti pemberontakan Trunajaya dari Madura (1677-1680) kemudian Untung Surapati, seorang budak, dari Bali (1686-1706) terhadap kekuasaan Mataram. Campur tangan yang berbuah pada monopoli perdagangan sekaligus permusuhan di antara fihak-fihak yang bertikai. Bahkan pada tahun 1721, sebuah komplotan yang dipimpin oleh seorang Indo-Eropa, Pieter Erberveld melakukan perlawanan atas VOC. Juga masyarakat Cina yang memberontak karena dibatasi ruang gerak mereka, diberantas, dan dibantai secara massal pada tahun 1740. Usaha penumpasan ini merupakan kebijakan represif yang kemudian dicoba diperbaiki oleh sejumlah Gurbenur Jenderal, seperti yang dikerjakan oleh, Van Imhoff (1743-1750). Perbaikan yang tidak membawa hasil karena buruknya manajemen dan , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
87
...karena tanah dianggap sebagai milik pemerintah, berdasar hukum kuno “semua tanah adalah milik penguasa (raja)” maka setiap petani harus membayar pajak dalam bentuk beras atau uang sesuai dengan luas tanah yang disewa. korupsi yang melanda di lingkungan VOC. VOC ambruk dan ini diiringi dengan persaingan antarbangsa Eropa selama Perang Revolusi dan Kekaisaran Napoleon, terutama sekali setelah lahirnya “Eropa Modern” pasca perjanjian Wina, di mana pulau Jawa menjadi ladang konflik tiga negara besar yakni, Belanda, Inggris serta Perancis. Gurbenur Jenderal yang berkuasa pada zaman perubahan ini bernama Herman Williem Daendels dengan kebijakannya yang terkenal kejam, yakni praktek kerja paksa. Di bawah pimpinanya dibangun “Jalan Raya Pos” dari ujung ke ujung pulau, sehingga hubungan timur-barat menjadi mungkin, juga arus perdagangan komersial. Bahkan Daendels yang menjual hak atas tanah kepada para pengusaha Cina. Pasca pemerintahan Daendels Batavia jatuh pada kekuasaan Sir Thomas Stamford Raffles (1781-1826) yang mengembangkan sistem sewa tanah. Dalam anggapan penguasa, karena tanah dianggap sebagai milik pemerintah, berdasar hukum kuno “semua tanah adalah milik penguasa (raja)” maka setiap petani harus membayar pajak dalam bentuk beras atau uang sesuai dengan luas tanah yang disewa. Raffles juga mendukung pembentukan tanah-tanah pribadi yang luas dan memberi hak kepada teman-temannya untuk memiliki lahan luas. Karena Perjanjian Wina (1815) Raffles dipaksa untuk mengembalikan Jawa ke Belanda dan pimpinan waktu itu beralih ke tangan Gubenur Jenderal, Johannes van den Bosch. Bosch memperkenalkan praktek politik yang kejam yakni sistem tanam paksa, di mana sistem ini, berpandangan kalau Jawa harus diperlakukan sebagai produsen komoditaskomoditas ekspor daripada sebagai pasar untuk produk88
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
produknya. Pembayaran pajak yang didasarkan pada hasilhasil pertanian dianggap lebih menguntungkan dan lebih mudah dikumpulkan daripada pembayaran dalam bentuk uang. Sistem tanam paksa ini berjalan dengan sukses karena didukung oleh sejumlah elemen, di antaranya, penguasa pribumi yang memiliki kekuasaan regional, kedua adalah para residen, ketiga pengusaha swasta (Eropa maupun Cina) dan keempat adalah negara koloni sendiri. Koaliasi ini menghasilkan laba yang besar buat pemerintah Belanda tetapi mendatangkan musibah untuk rakyat. Serangkaian kegagalan panen, epidemi, kelaparan dan penyakit mulai berjangkit di kalangan rakyat. Seputar tahun 1846-1850 demam tipus telah mematikan sekurang-kurangnya 100.000 orang di Jawa, malah sebelumnya pada kurun 1840-an di Demak serta Grobogan terjadi kelaparan dan pada tahun 1849 serta 1850 wabah kelaparan di Semarang menghasilkan 80.000 orang meninggal.4 Lontaran kritik yang keras itu muncul dalam karya Multatuli, Max Havelaar, yang terbit pada tahun 1860. Dalam pandangan Clifford Geertz, sistem tanam paksa telah membuat para petani Jawa jatuh miskin untuk selamanya karena mereka diikat pada struktur bagi-nilai yang semakin rumit, sehingga pembangunan ekonomi berdasarkan pengumpulan nilai menjadi hampir tidak mungkin, tesis yang kemudian dinamakan dengan “involusi pertanian”. Tahun 1870 sistim tanam paksa akhirnya ditutup, apalagi pada tahun itu, Terusan Suez dibuka. Dampak yang nyata terjadi perubahan besar khususnya pada sejumlah komoditi tanaman-tanaman tropis, seperti karet, tembakau dan kelapa sawit. Apalagi sistem tanam paksa telah membawa akibat pada perluasan perkebunan.5 Diam-diam terdapat perkembangan di lingkungan kaum borjuasi Belanda khususnya dalam melontarkan gagasan liberalnya. Gagasan yang dalam konteks ekonomi melakukan kritik atas peran dominatif negara dalam mengatur lalu lintas pasar. Kalangan borjuasi Belanda , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
89
menuntut agar sistem merkantilisme negara digantikan dengan korporasi-korporasi swasta. Melalui Partai Liberal dilakukanlah sejumlah reformasi politik yang puncaknya pada tahun 1870 mendesakkan pengundangan Agrarische Wet dan Agrarische Besluit. Undang-undang yang memudahkan jalan bagi pengusaha swasta untuk menginvestasikan modalnya di sektor agroindustri. Inovasi hukum yang memberikan kesempatan perusahaan swasta untuk menyewa tanah dalam skala luas atas dasar kontrak secara teratur. Situasi yang mendorong munculnya korporasikorporasi besar swasta yang menguasai jalur produksi dan distribusi komoditi strategis. Perkembangan pesat ini pada tahun 1938 memunculkan 2400 perusahaan dengan menggunakan tanah penduduk yang luasnya berkisar 2.500.000 hektar.6 Saat itulah kelompok swasta melakukan perluasan pasar dengan mencari sasaran tanah sekaligus tenaga buruh yang murah. Hubungan sosial yang terbentuk antara buruh dengan pemilik modal membawa sejumlah ciri7 (a) buruh menjadi mayoritas pekerjaan penduduk miskin dimana tenaga kerjanya diperlakukan sebagai komoditi yang dipertukarkan secara bebas dengan upah yang diterimanya; (b) sementara itu pemilik modal adalah segelintir manusia yang memiliki alat produksi dan bahan mentah produksi, dan membeli komoditi tenaga kerja bebas melalui buruh, melalui mekanisme upah; (c) seluruh hasil kerja buruh mengolah bahan mentah produksi dengan mempergunakan alat produksi, menjadi milik pemilik modal. Prof Van Gelderen, dalam melihat perkembangan ini, menyatakan “Perkembangan perusahaan asing telah menjadikan rakyat pribumi suatu bangsa buruh, dan dengan demikian Hindia Belanda (yaitu Indonesia) menjadi buruh di antara bangsa-bangsa”.8 Yang menyolok dari perkembangan ini adalah proletarisasi rakyat akibat kesenjangan antara pemilikan tanah dengan usaha-usaha kapitalis. Jika diperbandingkan antara tanah yang digunakan untuk perkebunan asing, 90
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
pertanian rakyat, hutan dan beberapa usaha lain, akan tampak ketimpangan menyolok. Untuk Jawa penggunaan tanah untuk kapitalis agro industri skala besar, mengambil jumlah 1.250.786 ha, yang berarti 9,74% dari seluruh tanah yang ada di Jawa, sedangkan tanah yang dipergunakan untuk pertanian rakyat adalah 8. 662.600 ha. Untuk Sumatera Timur 888.000 ha yang berarti 26,35% sementara jumlah yang dipergunakan untuk pertanian rakyat 252.000 ha. Polarisasi kepemilikan sebagai dampak dari politik perkebunan itulah yang telah mendorong resistensi di kalangan rakyat. Apalagi petani mendapatkan beban pajak serta kewajiban kerja paksa. Tekanan yang kemudian memunculkan sejumlah protes, yang bervariasi antar wilayah. Peristiwa Cimamare 1919 yang sifatnya sekedar melakukan demonstrasi, kemudian yang populer yakni Pemberontakan Petani Banten 1888 atau gerakan-gerakan perlawanan individual, yang dikerjakan oleh si Pitung hingga pemberontakan yang terorganisir sebagaimana dilakukan oleh Sarekat Islam. Korporasi perkebunan yang memunculkan perlawanan sengit rakyat ini terhenti ketika Indonesia diduduki Jepang. Pemerintahan Jepang yang disibukkan oleh peperangan melakukan kebijakan penyerahan produksi pangan untuk kepentingan perang dan menjalankan praktek Romusha. Sejumlah tanah-tanah perkebunan diambil alih oleh kekuasaan Jepang hingga kekalahannya dalam perang melawan sekutu. Sepanjang masa kolonial kekuasaan swasta memang menjadi begitu buas. VOC sama sekali tidak memberikan keuntungan yang memadai bagi rakyat, tidak pernah mendirikan pendidikan sebaliknya merampok habis kekayaan alam rakyat. Kebangkrutan VOC juga tidak kemudian memunculkan kekuatan ekonomi baru melainkan perusahaan swasta yang menjalankan mesin penindasan dengan memakai kaki para kaum pribumi. Kolonialisme Belanda juga mampu menumbuhkan golongan perantara , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
91
yang dulu kedudukannya menjadi penting karena staf VOC yang terbatas dan jangkauan wilayah untuk pemasokan barang yang kian meluas. Kebanyakan perantara ini dikuasai oleh orang-orang Cina. Jadi sejarah ekonomi kolonial pada hakekatnya melahirkan dua pilar kekuatan ekonomi, yakni golongan swasta Barat yang menguasai sektor perdagangan dan perusahaan dalam skala besar, yang berperan sebagai pelaku importir dan eksportir komoditi perdagangan yang laku di pasaran dunia. Golongan kedua adalah wiraswasta Cina yang bergerak di sektor perantara, seperti menjadi distributor, penyalur agen dan penjualan komoditi perdagangan di dalam negeri dalam skala menengah dan kecil. Di mana usaha ekonomi pribumi? Wiraswasta pribumi adalah kelompok kecil baik secara lokal maupun etnik. Wertheim menyebut mereka sebagai minoritas regional (regional minority) seperti yang tercermin pada orang-orang Minangkabau, sebagian orang Jawa, dan Manado. Mereka adalah kelompok pribumi yang memiliki kegiatan dalam dunia perdagangan dan usaha industri kerajinan dalam skala kecil. Sektor usaha yang mereka jalankan memang yang belum dijamah oleh pengusaha Barat atau Cina. Pertenunan, batik dan perak adalah usaha ekonomi rakyat yang sisa-sisanya masih kita saksikan di Surakarta, Kotagede, dan Jepara. Tapi keadaan ini berubah ketika proklamasi dibunyikan dan kemerdekaan menjadi semangat baru kaum republik.
Kaum Republik yang tak berusia Panjang Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji Aku sudah cukup lama dengar bicaramu, dipanggang Atas apimu, digarami oleh lautmu Dari mulai tanggal 17 agustus 1945 Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu Aku sekarang api aku sekarang laut Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat 92
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak Dan berlabuh (Chairil Anwar, Persetujuan dengan Bung Karno)
Hatta adalah ekonom didikan Rotterdam yang memiliki pandangan sosialis dan terlatih untuk memahami berbagai prinsip demokrasi. Melalui Pasal 33 UUD 45 Hatta mengembangkan ide tentang koperasi sebagai unit ekonomi sekaligus unit sosial. Gaya berpikir Hatta ini tentu mempengaruhi Soekarno maupun Sutan Sjahrir. Ketiganya menjadi penguasa yang mencoba melugaskan kembali semangat sosialis dalam berbagai kebijakan ekonominya. Bersama Soemitro Djojohadikusumo-yang juga lulusan Rotterdam-Hatta menyusun rencana urgensi perekonomian (1951) dan rencana lima tahun yang lebih dikenal sebagai Rencana Djuanda (1955-1960). Jika ditilik dokumen yang tertera di dalamnya memang terasa sekali keinginan untuk mengatur ekonomi dan mengarahkan kegiatan investasi dengan dasar pandangan yang sosialistis. Dalam rencana urgensi perekonomian 1951, dinyatakan bahwa pemerintah mengontrol ‘industri-industri kunci termasuk pabrik senjata, industri kimia dasar, pabrik semen, listrik, air dan transpor’.9 Kenapa gagasan sosialis begitu kuat pada masa-masa itu? Pandangan anti kapitalistik kaum Republik yang kukuh ini oleh beberapa sarjana ditanggapi dengan berbeda. Benjamin Higgins, menunjukkan kemungkinan penyebabnya adalah dampak depresi besar pada 1930-an. Malaise memaksa pemerintah kolonial Belanda untuk mengubah sistem ekonomi ‘dari sistem ekonomi yang relatif bebas menjadi sistem ekonomi yang sarat aturan’. Sistem inilah yang diwarisi oleh kaum Republik. Argumen yang berbeda diutarakan oleh George McTurnan Kahin, yang melihat kalau pandangan para pemimpin yang anti kapitalis sangat bertalian dengan paham nasionalisme yang tumbuh subur pada era pra kemerdekaan. Pandangan kapitalis saat itu disamakan , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
93
dengan kolonialisme. 10 Sebagian lain beranggapan kalau pendidikan yang diterima saat itu sangat mempengaruhi pandangan nasionalis yang ada. Dengan antusias gagasan nasionalis itu mulai diterapkan secara aktif oleh kaum Republik. Dan bukan berarti gagasan ini pada praktiknya sesuai dengan harapan. Salah satu kebijakan sosialis Soekarno adalah menghancurkan kekuatan ekonomi swasta asing, dengan menerapkan kebijakan nasionalisasi. Melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Nasionalisasi Perusahaan Milik Belanda yang berada di wilayah Indonesia (Undang-Undang No. 86/1958, LN 1958, No. 162) ditetapkanlah sebuah kebijakan nasionalisasi. Perusahaan yang dapat dinasionalisasi di antaranya: perusahaan milik Belanda perseorangan, Badan Hukum yang sahamnya seluruh atau sebagian milik Belanda, perusahaan yang berkedudukan di Indonesia dan perusahaan-perusahaan yang berkedudukan di Indonesia yang dimiliki oleh badan hukum yang domisilinya di Nederland. Efek dari kebijakan ini sangatlah meluas, 38 perusahaan Tembakau dinasionalisasi di wilayah Jawa dan Sumatera, 205 aneka perusahaan, perkebunan, dan industri di Indonesia dinasionalisasi, 22 aneka perusahaan dan perkebunan di Sumatera dan Jawa dinasionalisasi, serta 12 aneka perusahaan dan cabang perusahaan di Bandung dinasionalisasi. Sosialisme ala Soekarno, yang didukung oleh PKI, serta dijalankan melalui praktek Demokrasi Terpimpin membawa kecemasan bagi sejumlah investor maupun modal swasta yang hendak masuk. Di samping itu Soekarno juga berambisi untuk mengubah struktur kelas perekonomian di Indonesia, dari yang semula dikuasai oleh pedagang Belanda dan etnis Cina dialihkan ke kaum pribumi. Program Benteng sebagai bagian terpenting dari ‘rencana urgensi perekonomian’ secara resmi dilaksanakan pada Maret 1951. Harapan dari program Benteng ini adalah tumbuh dan berkembangnya kelas 94
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
menengah dari golongan penduduk asli yang harus menguasai sektor perdagangan dan industri, sementara pemerintah tetap menguasai cabang-cabang industri berat dan modal asing diminta memberi bantuan. Tapi sejarah menunjukkan program ini gagal, pertama faktor party politics dan sifat patrimonialisme masyarakat, sehinga pemerintah tidak selektif dalam memberikan kredit dan hakhak istimewa pada golongan asli. Hampir seluruh ‘pengusaha’ yang mendapatkan kredit bukan yang memiliki keahlian wiraswasta melainkan yang punya hubungan tertentu dengan penguasa. Akses pada kekuasaan adalah modal untuk mendapatkan kredit. Faktor kedua kegagalan diperuncing oleh tumbuhnya pengusaha dan perusahaan yang disebut ‘Ali Baba’. Dalam jaringan kegiatan ekonomi seperti ini, ‘pengusaha’ asli yang telah mendapatkan hak dan kredit dari pemerintah berusaha menjualnya kepada golongan Cina. Orang asli yang diharapkan menjadi pelaku ekonomi hanya menjadi ‘tameng’ dari usaha ekonomi yang dikerjakan oleh orang Cina. Wewenang politik yang diselewengkan inilah yang menunjukkan gagalnya kaum Republik dalam membentuk kelas menengah yang kuat. Yang terbentuk adalah ‘ploretariat’ yang kedudukan sosialnya bergantung pada kemampuanya ‘menjual tenaga serta kekuasaan birokratisnya.11 Di sinilah patron menjadi elemen terkuat dalam mengembangkan sistem ekonomi yang seolah-olah berjiwa sosialis. Paham ekonomi sosialis ini tidak berusia panjang. Di samping terjadi penguasaan ekonomi pada sekelompok orang yang memakai jalur jabatan juga aktivitas politik penguasa yang begitu tinggi. Kegiatan politik eksternal yakni kegiatan pengembalian Irian Barat (Trikora) dan aktivitas menentang Malaysia (Dwikora) telah banyak menguras pendapatan nasional. Dengan kegiatan militer semacam ini, terutama kasus Dwikora, komitmen pinjaman luar negeri terhenti. Di bawah konsep Demokrasi Terpimpin mudah ditebak kebijakan ekonomi yang dirancang dengan ideal ini , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
95
harus tumbang. Perlahan-lahan terjadi inflasi dan kemerosotan tajam pada neraca pembayaran utang luar negeri. Struktur masyarakat goncang karena badai inflasi yang sangat gila-gilaan. Inflasi pengaruhnya bagi sektor masyarakat, ditandai oleh dua gejala penting, yang pertama adalah pembagian pendapatan yang tidak selalu merata yang selalu mendampingi inflasi. Penghasilan yang nyata dari golongan masyarakat yang hidup dari upah dan gaji tetap, biasanya tidak begitu cepat dapat mengikuti kenaikan harga barang dan jasa-jasa. Gejala yang kedua adalah liarnya harga barang-barang yang tidak atau sukar dapat diperhitungkan lebih dahulu, terutama dalam suatu negara di mana pengaruh terbesar terhadap jalannya ekonomi terpusat pada satu lembaga sentral.12 Ujung dari tragedi ekonomi itu adalah Penetapan Presiden No 27 tahun 1965 tentang pengeluaran uang rupiah baru yang di masyarakat kemudian terjadi ‘pengguntingan uang’. Harga bensin dinaikkan dalam waktu dua bulan dari Rp 4,00 (lama) menjadi Rp 1.000,00 (baru) yang mengobarkan kegelisahan massal. Kondisi yang mencuatkan protes luar biasa ini telah mempercepat kejatuhan Soekarno, setelah ditinggalkan oleh beberapa kawan karibnya, Hatta dan Sjahrir. Konsep ekonomi sosialis yang diidam-idamkan jatuh dalam tragedi dan gerakan politik 65 yang melemparkan PKI sebagai tersangka menjadi monumen akhir dari pikiran ekonomi sosialis. Akhir kekuasaan Soekarno memunculkan para ekonom liberal yang dididik dalam tradisi Amerika, terutama yang berasal dari University of California, Berkeley, Amerika Serikat. Widjojo Nitisastro adalah maestro yang mengungkapkan pentingnya perencanaan sektoral, perencanaan proyek, dan perencanaan regional. Bersama Emil Salim, Sadli dan beberapa kawan mulai ditumbuhkan kepercayaan akan kedigdayaan pasar. Sadli misalnya, melihat kalau subsidi yang waktu itu dikeluarkan oleh negara akan menambah beban sekaligus merugikan perusahaan negara. Dalam kalimatnya, 96
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
tak ada negara di dunia di mana orang dapat membeli satu jerigen bensin lebih murah dari satu gelas sirop (ketika itu harga bensin seharga Rp 4,00 seliter) di mana orang dapat naik kereta api, 500 kilometer hingga 1000 kilometer, dengan harga karcis yang sama dengan harga beberapa puluh butir telur? Tak ada jalan lain, menurut Sadli untuk menambal kerugian ini adalah berusaha untuk mendapat kredit dari luar negeri.13 Kekalahan kaum Republik yang berusaha menanam benih ekonomi sosialis hancur berantakan. Pusat pemikiran yang kemudian berusaha menggantikannya, adalah kepercayaan kalau ekonomi warisan Soekarno bisa diperbaiki asalkan ada penghormatan pada mekanisme pasar, membuka akses pada perdagangan luar negeri dan intervensi negara dalam bentuk apapun harus menunjang mekanisme pasar. Usaha inilah yang menjadi peretas awal konsolidasi ekonomi yang dikerjakan oleh Soeharto yang dalam kurun waktu 1966 sampai 1973 telah menanam hasil menakjubkan: dukungan rakyat dan mulai tumbuhnya kepercayaan yang besar pada masyarakat internasional. Soeharto mulai menanggalkan semua kepercayaan sosialis yang dituang dalam pasal 33 UUD 45 warisan kaum Republik.
Jalan aneh ekonomi Pasar Mereka membuat rel dan sepur Hotel dan kapal terbang Mereka membuat sekolah dan kantor pos Gereja dan restoran Tapi tidak buatku Tidak buatku (Afrika Selatan, Subagi0 Sastrowardoyo)
Tapi semua kemudian tahu kalau dasar-dasar ekonomi yang dikemudikan oleh Soeharto ternyata dihantam oleh badai krisis yang besar. Akar kejatuhan ekonomi yang dikembangkan oleh Orde Baru ini ternyata memiliki
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
97
landasan yang rapuh. Keyakinan sederet ilmuwan harus berhadapan dengan kenyataan yang kerapkali kejam dan kurang peduli dengan dalil-dalil teoritis yang didedahkan oleh buku ekonomi lama. Pasar bukan hanya menghukum Soeharto untuk turun tapi juga mengembalikan kekuasaan dinasti ekonomi lama yang dulu dilindungi oleh Soeharto juga. Kuasa birokrasi dan ekonomi masih jadi paras ekonomi Indonesia yang ternyata tidak banyak mengalami perubahan. Nampaknya keberhasilan Soeharto, satu di antaranya adalah mempertahankan kelas ekonomi lama untuk terus beradaptasi dengan perubahan. Wewenang politik yang dominan di tangan Soeharto membuatnya berperan seperti Raja Midas. Apa saja peraturan yang disentuhnya akan berubah menjadi kawanan kekuasaan yang bisa menjajah rakyatnya sendiri. Tahun 1970-an adalah masa di mana Soeharto punya hasrat untuk mengembangkan ekonomi kaum pribumi. Dengan murah hati Soeharto membagi monopoli negara pada beberapa kapitalis pribumi dan Cina yang menjadi sekutunya. Konsesi hutan, lisensi impor, hak distribusi barang-barang kebutuhan pokok dan kontrak untuk membangun dan memasok. Ia mengulang kembali apa yang dilakukan oleh Soekarno dengan program bentengnya dan kejatuhannya tak membuat para monopolis ini kehilangan harta kekayaanya. Di antara yang terbesar adalah Lim Sioe Liong yang berhasil mendapat monopoli cengkeh, lisensi tepung terigu terbesar dan kemudahan untuk mendapat devisa negara. Oom Liem, begitu sapaan akrabnya, hingga kini tetap mampu mempertahankan kekuasaan ekonominya. Yang berikutnya adalah minyak yang menjadi andalan pendapatan. Di bawah kekuasaan Ibnu Soetowo, lagi-lagi seorang Jenderal yang dekat dengan Soeharto, Pertamina digunakan untuk sumber keuangan membiayai usaha-usaha industri baja, petrokimia dan perkapalan yang berada di luar perencanaan Bappenas. 14 Ada dua langkah penting Ibnu dalam melakukan pengelolaan Pertamina, yang pertama 98
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
adalah mendirikan kemitraan Pertamina dengan para produsen asing yang menghasilkan alat-alat untuk eksplorasi dan produksi. Imbalan untuk keikutsertaan perusahaan asing ini adalah proteksi penuh pemerintah dari persaingan luar. Yang kedua adalah pemberian kontrak-kontrak Pertamina, terutama untuk konstruksi spesifik non minyak kepada caloncalon pengusaha muda yang berusia dua puluhan tahun hingga tiga puluhan tahun. Kelak mereka ini menjadi pengusaha sekaligus bagian penting dari lingkungan kekuasaan, di antaranya Fahmi Indris, Pontjo Nugro Susilo anak Ibnu Soetowo, dan Ir. Siswono Judo Husodo.15 Cara Ibnu Soetowo mengelola pertamina yang berujung pada pemecatan atas dirinya menjadi miniatur kecil bagaimana Soeharto mengendalikan pasar. Dasar ekonomi yang dibangun dan kekal hingga kini memang mengkombinasikan antara Nasionalisme, ras dan patronase. Pasar apapun gejolaknya tetap berada dalam bentangan tangan Soeharto selama tiga watak kekuasaan ini mampu dikendalikannya. Ironi ekonomi Orde Baru berawal dari sana, yakni mengembangkan kesetiaan pada Soeharto melalui asosiasi-asosiasi bisnis yang selalu saja mendapat proteksi para penguasa. Konglomerat adalah sebutan istimewa karena merekalah yang mendapat anugerah penguasa karena meyandang status sebagai pembayar setia pajak. Konglomerat ini dengan lihai beradaptasi pada sistem ekonomi pasar yang membuka ruang liberalisasi. Di antaranya adalah sektor perbankan yang diliberalkan dan dimanfaatkan untuk mencuri uang rakyat. Dalam sebuah laporan disebutkan, bagaimana pada tahun 1994 empat perlima jumlah kredit bank, yang sebagian besar berasal dari Bank Negara diberikan pada grup-grup bisnis. Banyak dari pinjaman itu dimaksudkan untuk mendanai berbagai mega proyek, baik itu perbaikan prasarana negara maupun kemudahan ekspansi para konglomerat. Sekurangkurangnya kelompok konglomerat ini bertanggung jawab atas hutang macet, yang berkisar 80-85% yang nilainya , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
99
tercatat Rp 87,9 triliun yang belum tertagih pada tahun 1994. Guncangan yang tak bisa ditahan ini membuat banyak perusahaan keluarga mulai mendapat kecaman dan sorotan publik. Dalam Warta Ekonomi justru keluargalah yang memiliki dan mengelola sebagian besar dari 200 kelompok bisnis terbesar pada tahun 1992. Usia panjang kekuasaan Soeharto membuat perusahaan keluarga mulai beradaptasi dengan melakukan restrukturisasi: dipisah pemilikan dari managemen, konsolidasi sub unit yang tumpang-tindih, dan penjualan saham ke BEJ.16 Pada saat bersamaan perusahaan ini mengembangkan internasionalisasi dengan penanaman modal ke luar negeri. Lippo, Salim, dan Sinar Mas merupakan tiga kekuatan yang pada tahun 1990-an melakukannya, walau dengan catatan ini bukan prioritas bisnis mereka. Kecaman untuk para konglomerat ini sama halnya dengan kecaman pada bisnis negara yang dijalankan dengan tidak efisien dan korup. Bersamaan dengan itu memang Soeharto tampak kurang mampu mengendalikan kesetiaan anak buahnya dan selalu mempraktekkan prilaku politik yang buruk. Johannes Soemarlin, Menteri Keuangan waktu itu, menanggapi kritikan pada perusahaan negara dengan melakukan evaluasi di tahun 1989 dan menilai kalau hanya sepertiga dari perusahaan negara dalam keadaan ‘sangat sehat’ atau ‘sehat’. Sedangkan dua pertiga lainnya dikategorikan ‘kurang sehat’ atau tidak ‘sehat’. Pemecahannya hanya dua, yakni melakukan likuidasi atau swastanisasi. Pecahlah ide swastanisasi ini ke publik pada dekade 1986 dengan mencampur-baurkan perdebatan dengan keinginan untuk mengembangkan mekanisme politik yang demokratis. Pada saat itu pula Indonesia telah menggabungkan diri dengan mekanisme pasar internasional yang sangat mempengaruhi dinamika pertumbuhan ekonomi di tingkatan lokal. Lebih-lebih dengan teknologi perbankan yang dengan kemudahan cepat memindahkan kapital dari satu negara ke negara lain. Kapitalisme, persis sebagaimana yang dibayang100
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
kan oleh Karl Marx, tidak saja membangun dan menimbun modal akan tetapi pada suatu saat akan memunculkan diri sebagai jenis kekuatan baru. Kurs rupiah yang diambangkan kemudian menjadi pintu masuk bagi berakhirnya kekuasaan Soeharto dan peluang lebar pada IMF untuk menjadi penasehat ekonomi pemerintah. Dasar-dasar pasar bebas yang telah berakar lama dengan patronase bisnis membuat krisis ekonomi berjalan panjang. Mengapa IMF terlibat? Hanya ada dua jawaban sederhana, pertama sudah sejak zaman Presiden Soekarno, tepatnya pada 21 Februari 1967, Indonesia menjadi anggota IMF. Kedua, dalam masa krisis hanya satu hal yang diperlukan yakni mengembalikan kepercayaan international. Lewat IMF yang beranggotakan 183 negara, kepercayaan itu hendak diraih kembali. Kepercayaan itu yang membikin Indonesia patuh atas semua petuah IMF, salah satu di antaranya adalah privatisasi sejumlah asset-asset publik. Proses privtisasi ini tidak saja seiring dengan derasnya kritik pengelolaan tetapi juga cara termudah untuk mendapat uang. Dalam istilah Soeharto saat itu ‘kalau kita tak bisa mendapat bantuan dari negara-negara lain, kita bisa jual 160 BUMN yang dimiliki untuk membayar hutang luar negeri’. Dengan antusias Tanri Abeng yang saat itu menjabat Menteri BUMN mengumumkan rencana pemerintah menjual 12 perusahaan negara untuk mendapat Rp 15 triliun. Privatisasi kemudian menjadi target penerimaan kekuasaan pasca Soeharto. Misalnya pada tahun 2003 target penerimaan pemerintah dalam program privatisasi mustinya Rp 8 triliun tapi yang bisa dicapai hanya sekitar Rp 3-4 triliun. Penerimaan itu berasal dari penerbitan saham baru atau initial public offering (IPO) Bank Mandiri, BRI dan privatisasi Perusahaan Gas Negara (PGN). Kegagalan penerimaan lebih karena penundaan privatisasi PT Indo Farma, sebuah pabrik farmasi. Privatisasi ini kemudian berangsur-angsur menjalar pada sektor-sektor yang langsung berhubungan dengan hajat hidup rakyat banyak, seperti air. , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
101
Selalu saja alasan yang diutarakan adanya keburukan managemen dalam tubuh PDAM. Andai benar buruk managemen tapi apa pemecahan satu-satunya adalah melakukan privatisasi? Ada pula alasan kalau privatisasi untuk menambal APBN. Ternyata rakyat tidak juga bodoh dengan mengatakan kalau penjualan asset untuk menambal APBN. Seperti yang terjadi pada penjualan saham PT Indosat kepada Singapore Technologies Telemedia (STT) yang dituding hanya untuk menambal kas partai penguasa. Gara-gara disinvestasi yang murah itu negara mengalami kerugian mencapai Rp 21,9 triliun hingga Rp 2,63 triliun.17 Hal yang sama juga dilakukan oleh grup Salim yang membeli kembali berbagai aset-asetnya. Penjualan saham stasiun televisi Indosiar Visual Mandiri, yang dimenangkan TDM Asset Managemen, diduga kuat karena keberadaan Grup Salim. Hal yang sama terjadi dalam kasus PT Indomobil Sukses International. Meski semua tahu kalau Grup Salim masih menanggung hutang yang lumayan besar. Efek dari praktek pat gulipat ini negara, menurut Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dirugikan sebesar Rp 228 milliar. Kejanggalan memang banyak mewarnai penjualan sejumlah aset yang sangat penting. Beberapa BUMN yang dianggap terus merugi dan tidak efisien diputuskan untuk dilego. Hal serupa terjadi pada beberapa asset bermasalah yang menjadi pasien BPPN. Tapi akal para penjahat ekonomi ini tak kurang lincah. Asset ini bisa berpindah tangan kembali pada pemilik semula. Ujung-ujungnya negara tidak memperoleh sepersen pun dari pencurian yang selalu berjalan mulus. Jika anda pernah menonton film Ocean Eleven, maka begitulah para konglomerat hitam ini mengambil peran sebagai komplotan pencuri. Asset dilego dan diambil kembali oleh pemiliknya yang lama. Pejabat atau instansi yang terkait hanya menyatakan khilaf, lupa, tak tahu dan ujung-ujungnya saling melempar tanggung jawab. Tapi meski ada informasi semacam ini nampaknya pemerintah masih teguh meme102
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
gang saran IMF privatisasi adalah solusi persoalan. Misalnya yang direncanakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menswastakan rumah sakit umum daerah yang tidak hanya berhenti pada Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Rebo, Jakarta Timur, saja. Jika dianggap sukses dalam waktu dua atau tiga tahun mendatang swastanisasi RSUD Pasar Rebo akan diikuti 16 RSUD lainnya di Jakarta. Alasan Dinkes DKI Jakarta atas swastanisasi ini adalah penghematan anggaran. Selama ini Dinkes DKI Jakarta, memberikan subsidi pada enam RSUD Jakarta, yakni RSUD Pasar Rebo, RSUD Koja, RSUD Budhi Asih, RSUD Tarakan, RSUD Duren Sawit dan RSUD Cengkareng. Dana untuk menyubsidi keenam rumah sakit tersebut mencapai Rp 400 milliar lebih atau memakan 45-50 persen anggaran kesehatan Dinkes DKI.18 Jadi Soeharto bukan hanya mengekalkan monopoli ekonomi melainkan juga memberikan teladan dalam pemanfaatan asset negara bukan untuk kepentingan publik. Kapling wilayah kekuasaan ekonomi Indonesia kini berjalan persis sebagaimana VOC dulu pertama kali turun. Bukit Timika untuk Freeport, Lhok Seumawe untuk Exxon Mobil, beberapa kabupaten Sulawesi Selatan untuk Monsanto, Buyat-Minahasa dan Sumbawa untuk Newmont International, Teluk Bintuni di Papua untuk British Petrolium, Kalimantan Timur untuk PT Kaltim Prima Coal, hutan Papua untuk sejumlah jenderal pensiunan dan beberapa usaha kecil yang ada di Jawa Tengah kini berada dalam genggaman pemodal asing.19 Bukan hanya kapling, kaum pribumi yang dulu dibesarkan oleh proteksi kini sudah memiliki posisi dan pundipundi yang banyak. Jabatan dan kekuasaan ekonomi kini menyatu dengan jauh lebih canggih. Jusuf Kalla (Grup Bukaka, Ketua Umum Partai Golkar, wakil Presiden Republik Indonesia), Agung Laksono (Grup Hasmuda, mantan Presiden Direktur ANTV, ketua DPR, Wakil Ketua Umum Partai Golkar), Aburizal Bakrie (Grup Bakrie dan Bumi Re, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
103
sources, Menteri Koordinator Perekonomian, peyantun dan pendiri Freddom Institute), Surya Paloh (Grup Media/Metro TV, Ketua Dewan Penasehat Golkar) Fahmi Idris (Grup Kodel, Ketua Partai Golkar, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi) Yusuf Asy’ary (kader Partai Keadilan Sejahtera, mantan Eksekutif RCTI, Menteri Negara Perumahan Rakyat) Arifin Panigoro (Grup Medco, fungsionaris dan calon ketua umum PDI Perjuangan) Sugiharto (mantan Direktur Keuangan Grup Medco, kader Partai Persatuan Pembangunan dan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara) Sutrisno Bachir (Grup Ika Muda, Calon Ketua Umum PAN), dan sederet contoh lain.20 Privatisasi itu sebabnya menjadi kebijakan ekonomi yang digemari karena bisa jadi perusahaan publik jatuh ke tangan segelintir orang yang kini sudah memegang jabatan publik. Jalan menggelikan ke arah ekonomi pasar bebas, ternyata tak mengubah apapun kecuali: kekuasaan ekonomi yang kian jauh dari kepemilikan rakyat. Cita-cita kaum republik memang sudah pudar bukan saja karena keengganan pemerintah melainkan juga dukungan segelintir ilmuwan yang sangat percaya dengan semangat pasar. Merekalah kini yang duduk di belakang kekuasaan dan dengan mahir memutar mistar grafik untuk menghitung secara eksak jumlah orang miskin yang perlahan-lahan akan berkurang kalau mengikuti semangat pasar bebas. Kepada pasar bebas itulah ilmuwan-ilmuwan itu bersimpuh.
Kini saatnya Oligarkhi Kaum Fundamentalis Pasar Selembar penuh iklan besar itu menggoreskan pesan kuat: Mengapa kami mendukung pengurangan subsidi BBM? Dengan kibasan grafik mereka meyakinkan pada publik kalau pengurangan subsidi BBM yang ditunjang dengan dana kompensasi akan mampu mengurangi kemiskinan. Di bawah tertera nama yang sudah begitu populer: dari yang paling muda Agus Sudibyo hingga Thee Kian Wie. Dengan berlindung di balik organisasi yang penuh uang, Freddom Insti104
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
tute yang suka mengganjar prestasi pengetahuan, mereka semuanya bagaikan orkestra massal yang menolak pendapat supir angkot hingga barisan protes mahasiswa. Kelas menengah yang memang menikmati keistimewaan di negeri ini, mulai mencoba menjadi kaki tangan dan mempromosikan pendapat mereka melalui opini yang memakan 1 lembar halaman koran. Mungkin Goenawan Mohammad lebih meyakinkan menjadi penyair atau penulis esai ketimbang ikut dalam rombongan pro pencabutan subsidi. Tapi itulah profil ilmuwan masa kini yang harus nekat untuk menjadi bemper pasar dan budayawan memang tak boleh diam menyaksikan kenaifan rakyat. Dengan grafik yang sejak dulu dijadikan patokan dalam ilmu ekonomi, mereka semua menginginkan subsidi dikurangi dan begitu percaya dengan mekanisme kompensasi. Suara media yang dibeli dalam lembaran iklan, di mana ini memakan biaya yang lebih besar ketimbang merawat sebuah sekolah, menjadi cerminan bagaimana oligarkhi ekonomi kini memerlukan dukungan intelektual. Privatisasi yang telah jadi bagian intim dari kebijakan kini erat berdampingan dengan ilmuwan yang dulu jadi bagian rakyat. Untuk menyudahi tulisan ini, penulis memandang waktunya kini, untuk menggali kembali sejarah hitam ekonomi yang memang sudah terlalu lama menjauh dari kebutuhan rakyat!
Endnotes 1
Bermula dari penelitian yang dilakukan oleh UGM tentang potensi PAD Pemkot Jogja dari retribusi parkir. Ternyata menurut hasil penelitian, potensi untuk menyumbang pendapatan asli daerah (PAD) sebesar 4,5 milliar. Jumlah yang sangat tinggi mengingat realisasi parkir tak lebih dari Rp 2 milliar. Pada tahun 2003 retribusi parkir baik dari jalan umum maupun kawasan khusus ditargetkan sebesar Rp 1,425 milliar. Dari target tersebut, yang terealisasi hanya Rp 1,263 milliar atau hanya sekitar 88 persen. Ini sebagian pihak, terutama kalangan pemerintah melihat adanya ‘tukang parkir berdasi’ yang melakukan praktik di lapangan , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
105
dengan berperan sebagai makelar. Muncul kemudian gagasan untuk melakukan swastanisasi parkir yang menimbulkan heboh di kalangan tukang parkir. Bagi kalangan tukang parkir selayaknya Pemkot (pemerintahan tata kota) juga memaksimalkan beberapa lahan parkir yang selama ini dikelola secara liar. Langkah yang memang baru ditempuh saat ini adalah bagaimana merumuskan kerja Pokja (kelompok kerja) yang akan menjadi lembaga pengawas dan yang akan menampung 60 persen pendapatan dari pengelolaan parkir. Bernas Jogja, 3 Februari 2005 dan Radar Jogja 7 Februari 2005 2 Tulisan mengenai perkembangan sejarah kekuasaan kolonial ini banyak penulis kutip dari karya Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Gramedia, 1996 3 Lih Robert Cribb, Bangsa: Menciptakan Indonesia dalam Indonesia Beyond Soeharto, Donald K Emmerson (ed), Gramedia, 2001 4 Kegagalan sistem tanam paksa, selain oleh kekejamannya, juga rontoknya koalisi pendukung berjalannya sistem ini. Seperti korupsi yang merajalela yang menyebabkan sistem tanam paksa ini mengalami kegagalan. Lih. RE Nelson, Dari State ke State: Rezim yang Berubah dari Produksi Ekspor Petani pada Pertengahan Abad ke 19 di Jawa, dalam J. Thomas Lindblad, Fondasi Historis Ekonomi Indonesia, Pustaka Pelajar & Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM, 2002 5 Contoh kasus adalah pemrosesan tebu menjadi gula untuk ekspor semula hanya berlangsung di beberapa wilayah, tapi setelah penerapan program tanam paksa, maka perkebunan tebu meluas dan bahkan menjadi sebuah industri padat modal. Di Jawa mulai muncul penggilingan-penggilingan gula yang dibangun di daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat apalagi dengan perbaikan jalan membuat transportasi menjadi dipermudah. Lih Yoshifumi Azuma, Abang Beca, Pustaka Sinar Harapan, 2001 6 Lih. Rikardo Simarmata, Kapitalisme Perkebunan dan Konsep Pemilikan Tanah oleh Negara, Insist Press, 2002 7 Lih. Noer Fauzi, Petani & Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria, Insist Press, 1999 8 Lih. Gunawan Wiradi, Reforma Agraria, Insist Press, 2000 9 Sjahrir, Perencanaan Ekonomi Indonesia: Ide, Perencanaan dan Implementasi, Prisma no 10, 1986 10 Rizal Malarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, KPG, 106
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
2002 11
Yahya Muhaimin, Politik, Pengusaha dan Kelas Menengah Indonesia, Prisma 3 Maret 1984 12 Prof. Dr. Selo Sumardjan, Akibat-akibat sosilogis dari Inflasi Moneter, Seminar KAMI, Sinar Harapan, 1984 13 Prof. Dr. Ir. Moh. Sadli, Masalah-masalah Ekonomi Moneter Kita yang Struktural, Seminar KAMI, Sinar Harapan, 1984 14 Richard Robinson, Pengembangan Industri dan Ekonomi Politik Pengembangan Modal: Indonesia, YOI, 1998 15 Jean Aden, Kewirausahaan dan Proteksi dalam Industri Jasa Perminyakan Indonesia, YOI, 1998 16 Ahmad D. Habir, “Konglomerat antara Pasar dan Keluarga”, dalam Indonesia Beyond Soeharto, Gramedia, 2001 17 Forum Keadilan No 40, 9 Februari 2003 18 Kompas 11 Februari 2005 19 Tamrin Amal Tomagola, Republik Kapling, Kompas 14-22005 20 M. Fajroel Rachman, Bangkitnya Negara Dagang, Koran Tempo 15-2-2005.
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
107
IMPLIKASI GLOBALISASI TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DI BIDANG EKONOMI, POLITIK, DAN PEMBANGUNAN Oleh BIVITRI SUSANTI Direktur Eksekutif PSHK (Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia). www.pshk.org
Mereka datang, kami yang tunjukkan lokasi-lokasi tambang rakyat, untuk mereka teliti. Kami kira mereka akan bantu kami, tetapi yang terjadi, mereka yang mendapatkan ijin dari pemerintah, dan kami digusur dari tanah adat kami. Jika melawan, kami berhadapan dengan todongan senjata. Banyak dari kami yang kehilangan tanah, ratusan orang dipenjarakan, ribuan orang kehilangan rumah karena dibakar dan diratakan dengan tanah, dan kini lingkungan kami jadi tercemar. Sudah banyak kerugian kami, tetapi tidak ada yang mendengar. Kami sudah protes ke semua instansi, tapi, kami tetap saja kalah. Tidak tahu tindakan apalagi yang bisa kami lakukan, agar hak kami dihargai, dan kami tidak lagi menjadi korban dari kebijakan pertambangan yang ada. 1
Makalah disampaikan dalam Peluncuran Jurnal HAM dan Seminar “Globalisasi dan Implikasinya Terhadap Pemenuhan HAM,” Jakarta, 21 Oktober 2003. Sebagian diolah dari makalahmakalah penulis untuk berbagai diskusi terbatas dengan tema yang serupa.
108
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
Perampasan tanah adat seperti narasi di atas, penggusuran yang marak belakangan ini, dan masih banyak bentuk penindasan lainnya seringkali terlihat sebagai sebuah problem lokal. Problem mengenai rejim yang represif yang mengeluarkan kebijakan yang represif. Tanpa keterkaitan langsung dengan apa yang terjadi di luar batas negara. Spekulasi-spekulasi yang dilakukan di pasar uang dan pasar modal, selera konsumtif yang dimanjakan dengan impor barang mewah, seakan merupakan peristiwa yang terlepas dari penggusuran dan pengusiran pedagang kaki lima yang (sayangnya) sering kita lihat. Dilihat sepintas, globalisasi yang lebih sering bercitrakan informasi digital tanpa batas ruang dan waktu, transaksi perdagangan tanpa batas negara, dan banyak hal ‘menakjubkan’ lainnya, memang tampak tidak menyentuh banyak orang-orang di kampung dan yang terpinggirkan. Padahal jejaring yang menyebabkan munculnya masalah-masalah lokal begitu rumitnya dan saling mempengaruhi dengan kuat. Lantas, seperti topik yang akan didiskusikan, bagaimana globalisasi bisa berimplikasi terhadap kebijakan pemerintah lokal? Begitu banyaknya permainan bahasa dalam topik tersebut. Bahasa memang mengandung banyak arti pemaknaan yang diberikan dalam masyarakat dan budaya tertentu. Karenanya, untuk memberi alur dalam bertutur, makalah pengantar diskusi ini akan membahasnya berdasarkan beberapa kata kunci dalam pokok bahasan yang diajukan penyelenggara diskusi.
1. Beberapa Kata Kunci 1.1. Kebijakan Kalau dilihat dari akar katanya (bijak), “kebijakan” sepertinya mengacu pada penggunaan akal budi dengan baik, pandai, mahir. Sehingga dalam bahasa Inggris, sekadar , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
109
sebagai bahasa pembanding, “kebijakan” sepertinya berarti “wisdom”. Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan dua makna bagi kata “kebijakan.” Yang pertama memang seperti “wisdom” dalam bahasa Inggris, kepandaian, kemahiran, kebijaksanaan – kepandaian menggunakan akal budi, kecakapan bertindak apabila menghadapi kesulitan. Namun yang makna yang kedua jauh berbeda: rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi, dsb).2 Di sini seakan “kebijakan” menjadi selalu dikonotasikan dengan sesuatu yang bijaksana, tindakan atau perencanaan tindakan yang akan menghasilkan yang terbaik bagi setiap pihak. Benarkah demikian? Untuk kepentingan diskusi ini, kebijakan ditafsirkan secara luas menjadi dua hal: (i) kebijakan tertulis, dalam bentuk peraturan perundang-undangan; dan (ii) kebijakan tidak tertulis, berupa instruksi dari yang “berwenang,” termasuk dalam melaksanakan peraturan perundangundangan. Makalah ini akan lebih berfokus pada hukum, dan memandang kebijakan sebagai bagian dari hukum. Sebab hukum secara luas juga bisa dimaknai sebagai hukum yang tidak tertulis dan instruksi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Satu hal yang harus disadari sejak awal adalah, karena subyektivitasnya sebagai produk dari yang dianggap memiliki legitimasi, hukum dan kebijakan akan sangat diwarnai oleh berbagai kepentingan. Bukan hanya kepentingan dari aktor pembuatnya, yaitu negara, melainkan juga kekuatankekuatan yang dimiliki oleh negara. Kebijakan harus dilihat sebagai suatu site of struggle antara kekuatan-kekuatan. Ia sama sekali bukan ruang hampa. Beberapa aliran pemikiran mengemukakan hal ini. Namun yang akan disebutkan di sini adalah analisis Marxisme mengenai hukum, yaitu yang dikemukakan oleh Gramsci. Gramsci membedakan dua tingkatan superstruktur: masyarakat sipil (civil society) dan masyarakat 110
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
politik atau negara. Masyarakat sipil berfungsi memelihara hegemoni kelas yang berkuasa (dominasi melalui persetujuan), sementara negara menerapkan kekuatan yang bersifat memaksa (coercive power). Hukum tampil dalam dua tingkatan ini. Negara melalui aparat penegak hukum beroperasi melalui paksaan untuk melanggengkan hegemoni; dan beroperasi melalui instruksi-instruksi ketika terdapat krisis ideologi dan politik. Sedangkan pemberlakuan hukum mendidik dan mendekatkan massa kepada tujuan-tujuan masyarakat sipil kepada lapangan “moralitas dan adat istiadat.” Perlu dicatat di sini bahwa tujuan-tujuan masyarakat sipil itu adalah tujuan yang dimaknai oleh sistem melalui kelas yang berkuasa dalam masyarakat tersebut. Dinamika sistem hukum inilah yang dinamakan “persoalan yuridis” (the juridical problems) oleh Gramsci, yaitu persoalan mengasimilasikan seluruh kelompok menjadi bentuk yang paling baik. Singkatnya, Gramsci berpandangan bahwa fungsi hukum secara umum adalah memelihara homogenitas kelas yang berkuasa dan menciptakan kompromi sosial yang berguna untuk perkembangan kelompok yang berkuasa tersebut.3 Berbeda dengan Marxisme tradisional, Gramsci memang tidak melihat hukum semata-mata sebagai refleksi dari struktur ekonomi. Ia lebih melihat hukum sebagai tempat di mana kompromi politik bisa terjadi. Masalahnya, siapa yang bisa memenangkan perjuangan kepentingan itu akhirnya kembali pada siapa yang mempunyai kekuatan dan akses. Di sinilah kemudian diskusi kita menjadi sangat relevan. 1.2. Pemerintah Pemerintah secara harfiah berarti pihak yang memberikan perintah kepada orang atau sekelompok orang. Kata ini secara umum sudah diterima maknanya sebagai sekelompok orang dalam suatu negara, yang memiliki , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
111
legitimasi politik melalui prosedur yang disepakati dan karenanya memiliki wewenang untuk mengatur kehidupan rakyatnya. Pemerintah seringkali dibedakan dengan negara, yang mempunyai arti lebih luas. Pemerintah seringkali dimaknai hanya sebagai lembaga eksekutif. Dalam konteks diskusi kali ini, yang banyak membicarakan hukum secara luas yang mencakup kebijakan, “negara” dirasakan lebih cocok untuk ditempatkan sebagai aktor atau agen. Sebab hukum dan kebijakan tidak hanya dikeluarkan oleh lembaga eksekutif, melainkan juga oleh lembaga legislatif. Bahkan, lembaga yudikatif pun berperan dalam hukum dan kebijakan dalam hal penerapannya. Dalam bahasan di atas, tampak bahwa hukum sebagai site of struggle mempertemukan berbagai kepentingan. Secara kasat mata, negara memiliki kekuatan yang lebih dibandingkan dengan aktor lainnya, yaitu masyarakat sipil. Namun di sini muncul kembali soal yang sama: negara juga dalam dirinya sendiri mengandung berbagai kepentingan. Dan modal internasional adalah kekuatan yang sama sekali tidak dapat dinafikan. Di sini kata kunci “globalisasi” muncul dengan kuat. Globalisasi hanya sebuah kata yang menggambarkan proses. Dalam proses itu ada sebuah “ideologi” yang dibawa: neo-liberalisme. Secara sederhana, sebagai ideologi neo-liberalisme dapat dilihat sebagai cara pandang yang secara dominan mendasari relasi-relasi dalam masyarakat. Pembentukan hukum dan kebijakan termasuk dalam relasi-relasi ini. Bahkan lebih jauh lagi, persoalan ideologi dalam hukum dan kebijakan menjadi sangat penting karena keduanya memiliki sifat memaksa (coercive) yang diterapkan kepada masyarakat luas. Hukum dan kebijakan akan berlaku umum dan tidak dapat ditolak kekuatannya, karena dalam kerangka kehidupan bernegara, sudah tersedia pula seperangkat lembaga pelaksana hukum tersebut (polisi, jaksa, hakim, profesi pengacara). Ditambah lagi, melalui peraturan perundangundangan pula, biasanya lembaga-lembaga dalam masya112
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
rakat dibentuk. Misalnya saja pembentukan berbagai institusi birokrasi (Kejaksaan melalui UU Kejaksaan, Kepolisian melalui UU Kepolisian, dll.) dan sistem politik (sistem pemilu melalui UU Pemilu dan Parpol, sistem hukum melalui UU tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dll.). Karena itulah, hukum dan kebijakan menjadi sangat penting dalam pembicaraan ini. Neo-liberalisme masuk ke dalam hukum dan kebijakan melalui (i) proses pembentukan maupun (ii) penegakannya. Proses pembentukan dan penegakan hukum dan kebijakan dapat dilihat sebagai arena pertarungan antara kelompok yang memiliki akses dan yang tidak. Masuknya neoliberalisme ke dalam hukum menjadi konsekuensi dari merasuknya ideologi neo-liberal dalam berbagai sendi kehidupan – pandangan yang melihat bahwa negara harus menjauh dari aras ekonomi dan semua individu harus berkompetisi dalam mekanisme pasar. Lantas, di mana peran pemerintah atau negara sebagai pembuat hukum dan kebijakan yang legitimate? Milton Friedman menyatakan bahwa hukum sangat penting bagi neo-liberalisme karena hukum pada dasarnya adalah materialisasi dari kekuatan negara sebagai “wasit,” yang merupakan satu-satunya peran negara dalam kerangka pikir neo-liberal. Dikatakannya: [T]he organization of economic activity through voluntary exchange presumes that we have provided, through government, for the maintenance of law and order to prevent coercion of one individual by another, the enforcement of contracts voluntarily entered into, the definition of the meaning of property rights, and the provision of a monetary framework. 4
Friedman menyatakan bahwa peran negara adalah “pembentuk aturan dan wasit.” Terlihat di sini bahwa di satu sisi, neo-liberalisme menginginkan agar negara tidak ikut campur dalam arus perdagangan antar-negara. Namun di sisi lainnya, negara diharapkan ikut serta dalam memberikan
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
113
aturan-aturan yang memudahkan liberalisasi perdagangan. Di titik inilah kemudian muncul upaya-upaya untuk mempengaruhi negara sebagai pembuat hukum yang memuluskan liberalisasi. Dalam konteks hukum, konstitusionalis pro-neo-liberalisme semacam Schneiderman misalnya, dengan mengutip Panitch dan Santos, menyatakan bahwa negara seharusnya tidak dipinggirkan dalam sistem ekonomi global. Yang diperlukan justru adalah reorganisasi negara. Hal ini dikarenakan fakta bahwa negara adalah penyusun perangkat hukum yang dapat menata kembali batas-batas bagi tindakan yang dapat dilakukan dalam kerangkan neo-liberalisme.5 Di sini, lebih jauh lagi bahkan ada upaya yang lebih sistematis untuk memanfaatkan negara untuk menciptakan perangkat konstitusional yang menyokong neo-liberalisme. 1.3. Pembangunan Kata “pembangunan” di sini sebenarnya lebih baik dimaknai dengan mengacu kepada bahasa Inggris “development” sebagai pembanding. Sebab “pembangunan” yang didiskusikan di sini memang sebuah konsep yang lebih dekat kepada “development”, “developmentalism” dan semacamnya. Kata “pembangunan” dalam bahasa Indonesia sendiri kadang diasosiasikan dengan pembangunan fisik, infrastruktur, sesuatu yang berwujud. Barangkali karena memang selama ini kata itu memang dipersepsikan secara politik sebagai demikian. Kalau kita mau bongkar dari awal, development sebenarnya mengacu pada perkembangan, bisa perkembangan masyarakat, perkembangan menuju sesuatu yang lebih dianggap baik, kemajuan, progress. Karena itu, development sebenarnya mengandung nilai-nilai yang melekat pada masyarakat. Bisa berbentuk tradisi, nilai-nilai lokal (local values), sejarah, kolonialisasi, dan lain-lain. Development bisa terjadi secara “alamiah” dari masyarakat yang berproses 114
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
tanpa diintervensi. Namun development bisa juga terjadi karena intervensi dari luar, kata development diberi makna subyektif sehingga secara umum ia dipersepsikan berdasarkan makna itu, dan kemudian intervensi dilakukan agar suatu masyarakat mencapai development yang sudah dipersepsikan tersebut. Persepsi yang bagaimana? Dan siapa yang mempersepsikan? Sebagaimana dalam power struggle pada umumnya, kekuatan yang dominanlah yang mendapatkan kapasitas, kekuatan, power untuk memberikan pemaknaan. Sejarah dunia menampakkan bahwa negara-negara Baratlah yang memegang kekuatan dominan di dunia. Berakar dari negara-negara Eropa yang menjajah negaranegara lain, mengkolonialisasi dan mengokupasi tanah-tanah “masyarakat terbelakang” seperti masyarakat Indian di Amerika bagian Utara sehingga akhirnya menjadi bangsabangsa bentukan baru yang juga akhirnya menjadi dominan seperti Amerika Serikat dan Kanada. Ini terkait dengan soal spirit of Western capitalism dan Kristenisasi di abad pertengahan yang membawa semangat “Gold, Gospel, Glory” atau “Commerce, Conquest, Christianity, Civilisation” (4C) dan mendorong mereka menguasai dunia dengan semangat tersebut. Bicara soal narasi sejarah mengenai kolonialisasi memang tidak akan pernah selesai. Kolonialisasi sebagai narasi bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Terlepas dari soal yang lebih rinci mengenai soal sejarah, yang jelas pandangan negara Barat menjadi pandangan dominan karena perkembangan kesejarahannya bangsa-bangsa Eropa yang praktis menguasai dunia karena sejarah kolonialisasi (dalam berbagai bentuknya). Ekonomi negara-negara Barat pula yang dominan di dunia. Dari kekuatan ekonomi dan politik itulah, negara-negara Barat mempersepsikan development dan progress dengan dirinya sendiri. Apa yang mereka capai dianggap sebagai ukuran. Pembangunan adalah apa yang sudah dicapai oleh negara-negara tersebut. Karena kekuatan ekonomi-politiknya pula, negara-negara , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
115
Barat kemudian mempunyai kapasitas untuk mengintervensi proses development dari negara-negara yang kekuatan ekonomi-politiknya lebih lemah dengan menjadikan negaranegara mereka sebagai ukuran development. Karena itulah istilah developed country, developing country ataupun underdeveloped country muncul. Sebuah politik bahasa, dominasi interpretasi atas tanda (signs), language and power. Padahal proses development akan berbeda di tiap tempat karena sejarahnya berbeda. Beberapa “dekonstruksionis” sudah mengemukakan hal ini dalam berbagai literatur.6 Lantas, apa itu ‘development’ yang bisa diekstraksi dari sebuah “globalisasi”? Pembangunan adalah industrialisasi. Pembangunan adalah menuju apa yang sudah dicapai oleh negara-negara maju. Pembangunan adalah angkaangka indikator ekonomi yang tinggi dan tampilan fisik pembangunan yang baik.
2. Globalisasi dan Kebijakan Bidang Ekonomi, Politik, dan Pembangunan Kembali kepada pertanyaan awal diskusi ini: bagaimana globalisasi bisa mempunyai implikasi terhadap kebijakan pemerintah di bidang ekonomi, politik, dan pembangunan? Dalam potongan-potongan makna kata kunci di atas, sudah tergambar suatu cerita. Dalam cerita ini, gambar besarnya adalah: hukum dan kebijakan selalu dibentuk dengan asumsi bahwa semua orang punya akses, kapasitas yang sama untuk mencapai kesejahteraan dan mengambil keputusan. Prosedur-prosedur ekonomi, politik, maupun keadilan dibuat berdasarkan asumsi ini. Dalam konteks hukum dan kebijakan, yang mesti disoroti adalah prosedur politik yang biasa disebut demokrasi. Pada tingkat yang lebih teknis, “prosedur” demokrasi dalam pemaknaan Schumpeterian, demokrasi diberi saluran dalam bentuk pemilihan umum dan perangkatnya. Asumsinya, dalam kerangka liberalisme pula, tiap orang punya suara 116
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
yang sama. Maka, digunakan sistem “satu orang satu suara” dalam pemilihan umum dengan koridor pembatas di tingkat teknis untuk mengatasi kemungkinan ketidaksetaraan dalam hal proses kampanye orang-orang yang akan dipilih. Di sini muncul perangkat pelaksanaan Pemilu seperti pembentukan daerah pemilihan, batas dana kampanye, dan lain-lain. Namun kembali, konteksnya adalah asumsi akan akses yang sama dalam hal informasi dan kapasitas pengambilan keputusan. Begitulah, wakil-wakil rakyat, “pemerintah,” terpilih dalam Pemilu. “Pemerintah” yang mempunyai legitimasi berdasarkan prosedur demokrasi inilah yang membuat “hukum dan kebijakan.” Dalam prosedur pembuatan hukum dan kebijakan inipun, muncul kembali asumsi bahwa setiap individu maupun negara sebagai agen bisa mengambil keputusan secara netral dan untuk “kepentingan”nya sendiri. Padahal sedari awal, negara atau pemerintah juga tidak netral; dan rakyat juga diorganisasikan secara massif oleh negara dengan tujuan-tujuan yang dipersepsikan oleh kelas yang berkuasa. Tujuan-tujuan, kepentingan-kepentingan mana yang dominan di sini? Di sinilah letak keterkaitannya dengan globalisasi. Globalisasi yang membawa semangat neoliberalisme bermain di segala lini untuk mencapai tujuannya. Di lapangan ekonomi misalnya, semangat untuk menumbuhkan ekonomi rakyat menjadi tidak diperhatikan, karena ada anggapan bahwa setiap individu dan kelompok harus bersaing secara sehat. Padahal dalam kenyataannya, modal dasar untuk bersaing tidaklah seimbang antara kelompok usaha yang memiliki dana yang kuat dan akses (pertemanan, perlindungan dari pejabat publik) dengan kelompok usaha kecil yang tidak memiliki keduanya. Di bidang politik, tidak ada upaya-upaya yang melibatkan masyarakat dalam pembentukan kebijakan karena anggapan bahwa lembaga politik yang ada adalah netral. Sementara dalam kenyataannya kelompok yang memiliki kekuasaan , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
117
dan uang dapat mempengaruhi kebijakan yang dibuat. Sementara di sektor keadilan (pidana, perdata), penegakan hukum tidaklah seimbang. Bukan rahasia lagi bahwa hakim begitu mudah disuap, keadilan hanya berpihak pada pihak yang punya uang dan kekuasaan. Seorang pencuri sendal di sebuah musholla dihukum penjara selama empat bulan sementara seorang Akbar Tanjung yang “diduga” kuat melakukan korupsi milyaran rupiah masih berkendaraan mewah menuju gedung DPR untuk memimpin rapat. Sebagaimana disebutkan di atas, hukum yang dibentuk dengan pandangan neo-liberalisme mengasumsikan bahwa semua orang harus bersaing dalam ‘mekanisme pasar’ – semua orang dianggap mempunyai kekuatan yang sama. Persaingan bebas ini tidak hanya diasumsikan dalam lapangan ekonomi, melainkan juga lapangan politik, sosial, keadilan. Padahal asumsi pasar yg sempurna hanya berjalan kalau semua orang punya akses yg setara. Akibatnya, dalam peraturan perundang-undangan tidak dibuat upaya-upaya untuk membuka akses – kesempatan – dalam prosedur politik dan keadilan kepada kelompok yang tidak punya kekuatan politik dan ekonomi. Contoh yang paling nyata memang ada di lapangan ekonomi, di mana misalnya tidak ada perlindungan untuk usaha kecil dan menengah serta adanya pengistimewaan yang luar biasa untuk pemodal-pemodal besar. Lihat saja misalnya para pengutang besar di BPPN yang sudah jelas-jelas melanggar berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan, namun tetap dibebaskan dari tuntutan hukum melalui skema Release and Discharge (R & D) yang kontroversial itu. Dengan pandangan neo-liberal ini pula, peran negara untuk menjamin kesejahteraan rakyat melalui hak-hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, dan hak-hak ekonomi sosial lainnya tidak dilaksanakan. Sebab, lagi-lagi, negara dianggap harus mundur dari area ekonomi, dan biarkan saja individu-individu saling bersaing sendiri dan menggapai kesejahteraannya sendiri. Kalau negara ikut 118
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
campur di sini, tidak akan ada efisiensi dan terlalu banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk sektor yang dianggap tidak produktif.
3. Upaya-Upaya Sistematis Secara khusus, telah ada pula upaya-upaya sistematis untuk menumbuhkan kepercayaan di kalangan hukum (pengacara, sarjana hukum secara umum) bahwa neoliberalisme merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan karena ia sudah mendunia dan karenanya peraturan perundang-undangan yang dibentuk juga perlu diwarnai oleh semangat neo-liberal. Hal ini dilakukan antara lain melalui masuknya program-program utang IMF dan World Bank yang memang selalu disertai seperangkat persyaratan yang disebut Structural Adjustment Program (SAP). Dalam SAP biasanya dipersyaratkan dibentuknya berbagai undangundang dan kebijakan yang bertujuan meliberalkan pasar dan semakin meminggirkan peran negara dalam ekonomi. Di samping itu, upaya ‘pencangkokan’ hukum dilakukan pula secara sistematis oleh negara-negara maju kepada negara-negara berkembang. Anggapannya, apa yang sudah dicapai oleh negara-negara ‘maju’ merupakan standar yang harus diterapkan agar seluruh bangsa di dunia “sejahtera”. Ukuran kemajuan dan pembangunan adalah negara-negara maju (antara lain Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Jerman, dll., yang sering dibahasakan sebagai “G-7 Nexus”), sehingga perangkat hukum pun harus dibuat berdasarkan apa yang ada di negara-negara tersebut. Namun mereka “lupa” bahwa sejarah tiap bangsa berbeda. Apa yang mereka capai saat ini merupakan hasil dari narasi sejarah yang berbeda dengan yang dilalui oleh negara-negara lainnya. Nilai-nilai dalam masyarakat tiap bangsa pun berbeda. Apakah bisa, misalnya, perangkat peraturan perundang-undangan hak atas kekayaan intelektual (hak cipta, hak paten) yang lahir dengan paradigma hak kebendaan barat yang bersifat individualistik dicangkokkan , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
119
begitu saja kepada negara-negara macam Indonesia dan India yang pandangan hak kolektifnya lebih kuat? Dalam pembentukan undang-undangnya yang dipaksakan memang bisa saja,7 namun pelaksanaannya menjadi sulit karena nilainilainya berbeda. Pencangkokan hukum ini, selain dilakukan melalui persyaratan pemberian utang, juga dilakukan melalui pelatihan-pelatihan kepada mahasiswa dan sarjana hukum dan pembentukkan kurikulum pendidikan tinggi hukum. Program yang paling terlihat misalnya yang dilakukan oleh Amerika Serikat. Dari sini, masuklah pandangan neoliberalisme, bahwa perlu dibentuk hukum-hukum modern yang dapat membuat bangsa Indonesia ‘siap bersaing dalam globalisasi’. Akibatnya, lagi-lagi masyarakat yang tidak punya akses tertinggal dalam ‘persaingan global’ ini. 3.1. Gerakan Hukum dan Pembangunan Lebih jauh lagi, bahkan ada upaya-upaya sistematis di bidang hukum dengan memasukkan neo-liberalisme sejak “hulu” melalui pemberian bantuan teknis bagi negara berkembang guna mencangkokkan hukum dari negara maju. Ada yang disebut dengan “Gerakan hukum dan pembangunan (law and development)”. Gerakan ini tumbuh dan dikembangkan di Amerika Serikat sebagai kebijakan paska-Perang Dunia II. Gerakan yang pada awalnya berupa diskursus akademis ini kemudian dipraktekkan secara formal melalui program luar negeri AS dengan menuangkannya dalam US Foreign Assistance Act, yang diikuti dengan dilaksanakannya Administration of Justice Program. Gerakan ini didefinisikan sebagai “specialized area of academic study … concerned with the relationship between the legal system and development.”8 Gerakan Hukum dan Pembangunan berlandaskan pada teori modernisasi, yang pada dasarnya menyatakan bahwa pembangunan merupakan proses evolusi yang 120
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
niscaya dan akan menghasilkan institusi ekonomi, politik dan sosial yang modern, yaitu sebagaimana di negara Barat.9 Berdasarkan pandangan ini, gerakan hukum dan pembangunan melihat hukum sebagai perangkat yang dibutuhkan untuk “membantu” negara berkembang dalam mencapai hasil “pembangunan” yang sudah dicapai oleh negara maju. Pemikiran klasik yang paling sering dikaitkan dan menjadi dasar analisis gerakan hukum dan pembangunan adalah pandangan Max Weber, yang dalam beberapa tulisannya membahas mengenai peran hukum dalam pembangunan ekonomi kapitalis.10 Pada dasarnya, Weber mengatakan bahwa keinginan bersama individu-individu dan masyarakat untuk mendirikan negara didorong oleh aspekaspek ekonomi dan politik; dan faktor-faktor ini dikanalisasi melalui norma-norma dan hukum, baik yang dipaksakan, dinegosiasikan, maupun diterima. Masyarakat kapitalis membutuhkan kepastian dalam bermasyarakat (bertransaksi), karena itulah dibutuhkan hukum. Hukum di sini dipandang sebagai alat untuk memberikan kepastian atas kehidupan ekonomi dalam suatu masyarakat yang rasional. Dalil paling terkenal dari Weber adalah dalilnya mengenai legitimasi kekuasaan atau governance. Menurutnya, ada tiga sumber legitimasi kekuasaan, yaitu: legitimasi berdasarkan tradisi, legitimasi berdasarkan karisma, dan legitimasi berdasarkan “rational legal” atau hukum. Yang ketiga adalah yang paling kuat legitimasinya dan sulit untuk dipatahkan secara rasional karena lebih berdasarkan pengaturan sistemik daripada soal personal. Sebab itu, dalam pandangan Weberian, hukum mempunyai fungsi untuk menciptakan ketertiban dan mendorong kepastian (predictability). Bagaimana dengan kandungan dari hukum itu sendiri dan proses pembuatannya? Ini tidak menjadi soal bagi pandangan Weberian. Sepanjang hukum dibuat oleh penguasa yang sah dan dapat memberikan kepastian hukum dalam transaksi ekonomi, maka setiap warga negara harus , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
121
mematuhinya. Diskusi mengenai hukum dan pembangunan sebenarnya sudah sangat menurun sejak tahun 1980-an. Banyak kritik yang diajukan oleh akademisi dari negara asalnya sendiri, terutama bahwa gerakan ini sangat “naif dan etnosentris.”11 Gerakan ini dinilai gagal untuk melihat realitas di negara berkembang dan hanya bercermin pada kondisi di negara maju yang jelas berbeda kesejarahannya. Namun, perlu dicatat bahwa walau sebagai diskursus akademik semangat gerakan ini menurun, prakteknya masih diterapkan di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Francis Botchway mengidentifikasi bentuk lain dari gerakan ini, yaitu proyek “Good Governance” dari lembaga keuangan internasional, sementara Carol V. Rose mengistilahkannya sebagai “Gerakan Hukum dan Pembangunan Baru”. 12 Bagaimana dengan di Indonesia? Gagasan untuk memodernkan sistem hukum Indonesia dengan mentransplantasikan perangkat hukum negara maju dilakukan melalui bantuan teknis. Amerika Serikat misalnya, dalam menerjemahkan program yang disebutkan di atas memberikan asistensi melalui US Agency for International Development (USAID). Program USAID di Indonesia antara lain meliputi demokratisasi, desentralisasi, dan pertumbuhan ekonomi. Proyek reformasi hukum difokuskan pada perbaikan sektor yudisial dan diletakkan di bawah program demokratisasi. Sementara penerapan gerakan hukum dan pembangunan dapat dilihat jelas justru pada program ekonomi yang mencakup isu pembangunan hukum ekonomi. Salah satu gambaran jelasnya dapat ditemukan dalam tujuan dari proyek Economic Law and Improved Procurement Systems (ELIPS), yang merupakan proyek utama dalam program pembangunan hukum ekonomi: [T]o improve Indonesia’s economic law and procurement systems in order to decrease the costs and risk of business transactions, reduce barriers to private investment, and support 122
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
more efficient government procurement of goods and services.13
Kemudian dikatakan pula: The World Bank, the International Monetary Fund, the Asia Development Bank, and bilateral aid agencies such as USAID are all placing increasing resources into legal reform programs. The extensive experience of these international aid agencies with diverse development projects has led them to the conclusion that without an appropriate legal and institutional infrastructure in place, deregulation and structural reforms are unlikely to lead to improved economic performance.14
Implementasi proyek ELIPS antara lain sebagai berikut.15 1. Pengembangan Hukum, yang bertujuan mengadopsi hukum ekonomi modern dan membantu pemerintah untuk melakukan peningkatan-peningkatan di bidang hukum ekonomi. Kegiatan yang dilakukan dalam konteks “pengembangan hukum” ini adalah penelitian dan perumusan berbagai undang-undang baru yang terkait dengan ekonomi dan memberikan kursus perumusan peraturan perundang-undangan (legislative drafting training) di bidang ekonomi. 2. Pelatihan Hukum, yang mencakup: kerja sama dengan Konsorsium Pendidikan Tinggi Hukum untuk merumuskan 20 silabi baru di Universitas Indonesia yang berkaitan dengan hukum ekonomi, menyusun materi pengajaran untuk 10 mata kuliah hukum ekonomi, memberikan kursus singkat di bidang hukum ekonomi di seluruh Indonesia, dan mendatangkan profesor-profesor dari AS untuk mengajar hukum ekonomi dan mengembangkan materi pengajaran di bidang ekonomi. Kontribusi gerakan hukum dan pembangunan pada dunia hukum Indonesia sudah terlihat setelah penerapannya selama sekitar 30 tahun dalam proyek-proyek di atas dan semacamnya. Bukan hanya dalam hal transplantasi langsung , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
123
hukum yang neo-liberal, melainkan juga membentuk kaderkader hukum yang berpola pikir “modern”. 3.2. Gerakan Konstitusionalisme Baru (New Constitutionalism) Neo-liberalisme dalam konteks hukum dapat dilihat dari hukum dan peraturan yang berorientasi neo-liberal: ekonomi pasar dan minimalisasi peran negara dalam ekonomi. Tendensi ini dalam bidang hukum juga dipotret oleh banyak ahli hukum. Salah satu terminologi yang diperkenalkan adalah apa yang disebut “new constitutionalism” yang dipahami sebagai “rangkaian perubahan politik dan konstitusional yang terkait dengan rekonstitusi dan perlindungan modal dalam skala dunia.”16 Konstitusionalisme di sini dipahami bukan sebagai konstitusi sebagai undang-undang dasar tertulis sebagaimana umum dikenal, melainkan pembentukan hukum (dari kata “to constitute”) secara luas, termasuk terjemahan politik dan yudisial atas konstitusi maupun produk hukum lainnya seperti perjanjian-perjanjian internasional. New Constitutionalism dikatakan sebagai inisiatif untuk “mengunci secara politis reformasi neo-liberal dalam rangka stabilitas ekonomi makro, perlindungan hak-hak kebendaan (property rights) dan mobilitas modal.”17 Ia merupakan alat dalam skala nasional untuk mendorong mobilitas modal dalam skala global. New Constitutionalism tampil dalam berbagai bentuk kebijakan, seperti perubahan berbagai kebijakan dalam rangka penerapan WTO dan berbagai kontrak dagang multilateral dan bilateral. Batas-batas negara dilihat sebagai hambatan bagi pergerakan modal. Karenanya, perlu dilakukan penyesuaianpenyesuaian di tingkat nasional yang bertujuan memberikan kerangka pengaturan yang menjamin mobilitas modal dengan memisahkan ekonomi dari politik. Intinya adalah “pemisahan ekonomi dan politik”. Proyek pemisahan duo 124
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
ekonomi dan politik dilakukan dalam tiga tingkat. Pertama, penyesuaian aparatur negara untuk membuat pemerintah bertindak sebagai fasilitator, dan bergerak dalam konteks, pasar dan disiplin pasar.18 Kedua, proses untuk menciptakan pasar, yang mendorong efisiensi pertukaran komoditas tanah, modal, dan buruh di satu sisi, dan mendorong kompetisi dengan mengadopsi kebijakan liberal di bidang ekonomi makro di sisi lainnya.19 Ketiga, proses penyesuaian alokasi yang dihasilkan oleh komodifikasi modal. Proses ini termasuk melindungi pasar dari: (1) kontradiksi yang dihasilkan oleh komodifikasi modal, seperti peraturan kehati-hatian (prudential regulations) bagi bank; (2) kontradiksi dan dislokasi yang terkait dengan komodifikasi tanah, seperti perlindungan lingkungan; dan (3) kontradiksi dan dislokasi yang terkait dengan komodifikasi tenaga kerja, seperti jaring pengaman sosial.20 Tahap pertama telah terjadi di Indonesia misalnya dengan adanya penerapan SAP dari IMF untuk mengubah proses yudisial terhadap transaksi ekonomi. Maka dibuatlah penyesuaian dalam struktur organisasi negara dengan adanya peradilan niaga, yang pendiriannya diamanatkan oleh Letter of Intent dari IMF. Diperkenalkan pula lembagalembaga baru dalam negara di bidang ekonomi seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), yang merupakan hasil godokan dari asistensi beberapa negara, terutama Amerika Serikat dan Jerman. Reorganisasi negara memang tidak selalu berarti negatif, analisis Gill di sini mencoba menunjukkan adanya upaya reorganisasi negara untuk memisahkan soal ekonomi dari soal politik dan membuat negara bergerak dalam disiplin pasar yang berorientasi efisiensi. Tahap kedua terlihat jelas dengan adanya perubahan rejim pengaturan HAKI untuk menerapkan TRIPs, dibukanya keran investasi asing dan perubahan kebijakan di bidang pasar modal. Sementara tahap ketiga terlihat dari serangkaian program dalam Letter of Intent pemerintahan Indonesia kepada IMF: penguatan peraturan kehati-hatian dalam perbankan yang sesuai dengan Basle Committee’s Core Principles of banking , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
125
supervision, perubahan struktural di bidang pengelolaan lingkungan, dan penguatan program jaring pengaman sosial.21 Keseluruhan upaya di atas telah menciptakan rangka hukum yang positif bagi neo-liberalisme.
4. Penutup Apa yang diuraikan di atas sama sekali tidak baru. Dalam suatu kesimpulan singkat, globalisasi mempengaruhi kebijakan melalui pembentukan dan penerapan hukum dan kebijakan yang dilakukan dalam ruang yang dibuat terbuka dan liberal. Di sini masuklah kepentingan-kepentingan yang dominan, ideologi dominan neo-liberal dalam proses globalisasi. Layaknya sebuah dominasi, pendukung neo-liberal sudah melakukan upaya-upaya yang menyeluruh, mulai dari penciptaan kader-kader di bidang hukum, hingga bentuk konkrit transplantasi hukum. Negara dan proses pembentukan kebijakan sudah dibuat untuk mendukung pencapaian globalisasi. Sekarang tinggal bagaimana kita melihat dan menyikapinya: apakah kepercayaan bahwa pertarungan bebas dalam ruang pembentukan hukum dan kebijakan mau dilihat sebagai site of struggle tanpa perombakan di tingkat struktur mau dipelihara? Ataukah tidak?
(Endnotes) 1
“Orang Dayak Menggugat!” (Potret Buram PT. Indo Muro Kencana/Aurora Gold Australia), dari Situs Internet Jaringan Advokasi Tambang (JATAM),
(dikutip 19 Oktober 2003). 2 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua, cet. 9 (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), hlm. 131. 3 Lihat Antonio Gramsci, Prison Notebooks, (London: Lawrence and Wishart, 1971). 4 Milton Friedman, Capitalism and Freedom, (Chicago and 126
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
London: The University of Chicago Press, 1982), hlm. 27. 5 David Schneiderman, “Investment Rules and New Constitutionalism,” 25 Law & Soc. Inquiry 757, hlm. 758, mengutip Leo Panitch, “Globalization, States, and Left Strategies,” Social Justice 23:79-90, hlm. 80; Leo Panitch, Rethinking the Role of the State. In Globalization: Critical Refelctions, ed. James Mittelman, International Political Economy Yearbook, vol. 9 (Boulder, Colo.: Lynne Reiner Publishers, 1996), hlm. 85; dan Boaventura de Sousa Santos, Toward a New Common Sense: Law, Science, and Politics in the Paradigmatic Transition (New York: Routledge, 1995), hlm. 279. 6 Untuk ringkasnya, lihat Arturo Escobar, Encountering Development: The Making and Unmaking of the Third World (New Jersey: Princeton University Press, 1955), hlm. 12. 7 Lebih dalam mengenai kepentingan internasional sebagai salah satu aktor dalam proses legislasi di Indonesia, lihat Bivitri Susanti dkk, “Menggugat Prioritas Legislasi DPR: Catatan PSHK untuk Masa Sidang DPR 2003-2004,” Laporan Penelitian yang disampaikan dalam Diskusi “Menggugat Prioritas Legislasi DPR,” Hotel Indonesia, Jakarta, 2 September 2003. 8 Francis N. Botchway, “Good Governance: The Old, The New, The Principle, and The Elements,” 13 FJIL, 159, hlm. 172, mengutip Bruce Zagaris, “Law and Development or Comparative Law and Social Change: The Application of Old Concepts in the Commonwealth Caribbean,” dalam Law and Development, ed., Anthony Carty, (Aldershot: Dartmouth Pub.Co., 1992) 121, hlm. 123. 9 Brian Z. Tamanaha, “The Lessons of Law and Development Studies,” 89 The American Journal of International Law (1995) 470, hlm. 471. Tamanaha tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai apa yang diidentifikasinya sebagai “Barat,” namun dalam tulisan ini “Barat” dipahami sebagai negara-negara maju, terutama di Eropa Barat dan Amerika Serikat, tempat di mana teori modernisme dan paham “social Darwinism” lahir dan berkembang. 10 Lihat: Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretative Sociology (Guenther Roth and Claus Wittich eds., Eprhaim Fischoff et. al. trans., 1968) dikutip dari Francis N. Botchway, “Good Governance: The Old, The New, The Principle, and The Elements,” 13 FJIL, 159, hlm. 167. 11 David Trubek and Marc Galanter, “Scholars in Self-Estrange, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
127
ment: Some Reflections on the Crisis in Law and Development Studies,” 1974 Wis. L. Rev. 1062, hlm. 1071. Lihat juga Botchway, ibid.; Sammy Adelman and Abdul Paliwala, “Law and Development in Crisis,” dalam Law and Crisis in the Third World, eds. Sammy Adelman and Abdul Paliwala (London, New York: Hans Zell, 1993), 1. Mengenai implementasi Gerakan Hukum dan Pembangunan di negara-negara Asia Tenggara, lihat Kanishka Jayasuriya, “The Rule of Law and Governance in the East Asian State,” Asian Law Vol. 1, 107. 12 Lihat Botchway, ibid., hlm. 179 dan Carol V. Rose, “The “New” Law and Development Movement in the Post-Cold War Era: A Vietnam Case Study,” 32 Law & Soc’y. Rev. 1 (1988), 93, hlm. 126. 13 Dikutip dari website USAID
(dikutip 18 Agustus 2002). Pembahasan lebih lanjut mengenai peran ELIPS di Indonesia dapat dilihat di David M. Trubek et al., “Global Restructuring and the Law: Studies of the Internationalization of Legal Fields and the Creation of Transnational Arenas,” 44 Case W. Res. L. Rev. 407 (1994), 482. 14 Website USAID, loc. cit., penebalan huruf ditambahkan oleh Penulis. 15 Ibid. 16 Stephen Gill, “New Constitutionalism and The Reconstitution of Capital,” Sambutan dalam sesi pembuka Konferensi “NonState Actors and Authority in the Global System,” Warwick University, UK, 31 Oktober 1997, hlm. 1. 17 Ibid. 18 Ibid., hlm. 4. 19 Ibid. 20 Ibid., hlm. 5. 21 Bivitri Susanti, “Neo-liberalism and Its Resistance in Indonesia’s Constitution Reform 1999-2002: A Constitutional and Historical Review of Indonesian Socialism and Neo-Liberalism,” LLM diss. University of Warwick, UK, 2002.
Daftar Bacaan Adelman, Sammy dan Abdul Paliwala. “Law and Development in Crisis,” dalam Law and Crisis in the Third World, eds. Sammy Adelman and Abdul Paliwala (London, New York: Hans Zell, 1993), 1. 128
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
Botchway, Francis N. “Good Governance: The Old, The New, The Principle, and The Elements,” 13 FJIL, 159. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua, cet. 9 (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), hlm. 131. Escobar, Arturo. Encountering Development: The Making and Unmaking of the Third World. New Jersey: Princeton University Press, 1955. Friedman, Milton. Capitalism and Freedom. Chicago and London: The University of Chicago Press, 1982. Gill, Stephen. “New Constitutionalism and The Reconstitution of Capital,” Sambutan dalam sesi pembuka Konferensi “NonState Actors and Authority in the Global System,” Warwick University, UK, 31 Oktober 1997. Gramsci, Antonio. Prison Notebooks. London: Lawrence and Wishart, 1971. Jayasuriya, Kanishka. “The Rule of Law and Governance in the East Asian State,” Asian Law Vol. 1, 107. “Orang Dayak Menggugat!” (Potret Buram PT. Indo Muro Kencana/ Aurora Gold Australia), dari Situs Internet Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), (dikutip 19 Oktober 2003). Panitch, Leo. “Globalization, States, and Left Strategies,” Social Justice 23:79-90 ______. Rethinking the Role of the State. In Globalization: Critical Refelctions, ed. James Mittelman, International Political Economy Yearbook, vol. 9. Boulder, Colo.: Lynne Reiner Publishers, 1996. Rose, Carol V. “The “New” Law and Development Movement in the Post-Cold War Era: A Vietnam Case Study,” 32 Law & Soc’y. Rev. 1 (1988), 93. Santos, Boaventura de Sousa. Toward a New Common Sense: Law, Science, and Politics in the Paradigmatic Transition. New York: Routledge, 1995. Schneiderman, David. “Investment Rules and New Constitutionalism,” 25 Law & Soc. Inquiry 757. Susanti, Bivitri dkk. “Menggugat Prioritas Legislasi DPR: Catatan PSHK untuk Masa Sidang DPR 2003-2004,” Laporan Penelitian yang disampaikan dalam Diskusi “Menggugat Prioritas Legislasi DPR,” Hotel Indonesia, Jakarta, 2 , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
129
September 2003. ______. “Neo-liberalism and Its Resistance in Indonesia’s Constitution Reform 1999-2002: A Constitutional and Historical Review of Indonesian Socialism and NeoLiberalism,” LLM diss. University of Warwick, UK, 2002. Tamanaha, Brian Z. “The Lessons of Law and Development Studies,” 89 The American Journal of International Law (1995) 470. Trubek, David M., et al., “Global Restructuring and the Law: Studies of the Internationalization of Legal Fields and the Creation of Transnational Arenas,” 44 Case W. Res. L. Rev. 407 (1994), 482. ______. dan Marc Galanter. “Scholars in Self-Estrangement: Some Reflections on the Crisis in Law and Development Studies,” 1974 Wis. L. Rev. 1062. Weber, Max. Economy and Society: An Outline of Interpretative Sociology. Guenther Roth and Claus Wittich eds., Eprhaim Fischoff et. al. trans., 1968. Website USAID (dikutip 18 Agustus 2002).
130
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
WACANA SINGKAT TENTANG HUKUM PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA
Oleh RIKRIK RIZKIYANA Kepala Subdirektorat Penanganan Perkara Direktorat Penegakan Hukum Sekretariat Komisi Pengawas Persaingan Usaha RI
A. Posisi Hukum Persaingan Usaha dalam Sistem Hukum Nasional. Tidak dapat dipungkiri bahwa pesatnya dinamika bidang ekonomi nasional telah pula memacu pula perkembangan bidang hukum yang merupakan “rule of the game” dari kegiatan ekonomi. Berbagai perangkat hukum di bidang ekonomi sebelum ini yang berbasis kepada KUH Perdata dan KUH Dagang serta KUH Pidana yang nota bene merupakan peninggalan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang berkiblat kepada mazhab Eropa Kontinental tidak lagi mampu mengakomodasi permasalahan dari dinamika kegiatan ekonomi yang ada. Oleh karenanya kecenderungan penyusunan berbagai produk peraturan perundangundangan yang khusus (lex specialist) di bidang ekonomi tidak terbendung lagi. , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
131
Kekhasan yang sangat menonjol dari produk perundang-undangan yang khusus (lex specialist) ini adalah kondisi karakteristik substansialnya dimana telah terlingkupinya seluruh aspek dari bidang-bidang hukum yang selama ini dikenal yaitu hukum perdata dan hukum publik di dalam sistem hukum nasional. Hal ini terjadi karena semakin banyak aspek-aspek kehidupan bersama yang diatur oleh hukum. Sehingga sebagian pakar hukum Indonesia menyatakan bahwa pembidangan hukum yang selama ini dianut (hukum perdata dan hukum publik) dalam sistem hukum nasional sudah tidak relevan lagi untuk dipertahankan. Pada akhirnya pembidangan hukum seharusnya didasarkan pembidangan dari kegiatan yang terkait, misalnya untuk kegiatan di bidang ekonomi maka bidang hukumnya adalah hukum ekonomi atau kegiatan yang lain yang menghasilkan spesialisasi hukum tersendiri misalnya saja, dikenal adanya: hukum lingkungan, hukum kependudukan, hukum kedokteran, hukum kesehatan dan sebagainya. Dan spesialisasi hukum tersebut mencakup beberapa bidang tata hukum sekaligus baik perdata maupun publik (lihat Hartono, S.R., 2000 & Brotosusilo, Agus, 1994). Hukum persaingan usaha sebagai bagian dari hukum ekonomi juga memiliki dimensi bidang hukum lainnya, sebagaimana terlihat dalam skema lingkaran di halaman berikut: Skema tersebut menjelaskan keberadaan Hukum Persaingan Usaha yang merupakan bagian (atau dilingkupi) oleh berbagai bidang hukum yaitu: a. Hukum Publik: - Hukum Negara: - Hukum Tata Negara (HTN) yang melingkupi perihal Instansi/Pejabat dan Peranannya, misalnya tentang keberadaan institusi pengawas pelaksanaan undangundang persaingan usaha di dalam struktur ketatanegaraan. - Hukum Administrasi Negara (HAN) yang melingkupi 132
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
Skema Lingkaran Hukum Persaingan Usaha
HUKUM PUBLIK Hk. Tata Neg.
Hk. Pidana Hk. Adm. Neg.
Hk. Dagang
Hukum Persaingan Usaha
Pid. Ekonomi
HUKUM PERDATA Diadopsi dan disempurnakan dari Agus Brotosusilo (1994)
perihal proses pelaksanaan peranan dari institusiinstitusi terkait. - Hukum Pidana yang melingkupi perihal keberadaan sanksi pidana yang masuk dalam kategori yang lebih khusus lagi yaitu pidana ekonomi. b. Hukum Perdata (termasuk di dalamnya Hukum Dagang) yang melingkupi perihal keberadaan perjanjian (kontrak, bila tertulis) dan para pelaku usaha (baik yang berbentuk badan hukum maupun persekutuan perdata lainnya). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam kerangka sistem hukum nasional, hukum persaingan usaha sebagai bagian dari hukum ekonomi tidak hanya berdimensi hukum perdata saja tapi lebih luas lagi yaitu melingkupi hukum publik (hukum negara dan pidana).1
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
133
B. Jenis-jenis prilaku anti-persaingan. Sebelum dibahas mengenai jenis-jenis prilaku antipersaingan dan prakteknya di Indonesia, perlu dikemukakan di sini adanya teori pendekatan dalam menentukan ilegalnya suatu praktek persaingan usaha dari sudut pengaturan persaingan usaha. Di dalam rezim pengaturan persaingan usaha terdapat dua pendekatan. Pendekatan yang pertama adalah pendekatan yang dikenal dengan istilah “per se” dan pendekatan yang kedua dikenal dengan “rule of reason”. Pada illegal per se (dengan sendirinya / “by itself” atau “in itself” (Ray August, 1997) dan not subject to interpretation (Roger Alan Boner dan Reinald Krueger, 1991)) beberapa bentuk persaingan usaha, misalnya penetapan harga (price fixing), harus dianggap secara otomatis (dengan sendirinya) bertentangan dengan atau melanggar hukum karena aspek negatifnya dapat langsung terlihat atau diduga. Pendekatan pelarangan ini, penekanannya terletak pada unsur formal dari perbuatannya. Sehingga tidak diperlukan adanya klausula kausalitas di dalam pengaturannya seperti klausula “…mengakibatkan kerugian perekonomian dan atau pelaku usaha lain.” Sedangkan dengan “rule of reason”, beberapa bentuk tindakan persaingan usaha baru dianggap salah jika telah terbukti adanya akibat dari tindakan tersebut yang merugikan pelaku usaha lain atau perekonomian nasional secara umum. Dalam pendekatan rule of reason, mungkin saja dibenarkan adanya suatu tindakan usaha yang meskipun antipersaingan (misalnya tindakan merger yang menghasilkan dominasi satu pelaku usaha) tetapi menghasilkan suatu efisiensi yang menguntungkan konsumen atau perekonomian nasional pada umumnya. Atau sebaliknya suatu tindakan usaha dianggap salah karena meskipun ditujukan untuk efisiensi tetapi ternyata dalam prakteknya mengarah kepada penyalahgunaan posisi dominan yang merugikan pelaku usaha, konsumen, dan perekonomian nasional 134
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
umumnya, seperti pada tindakan integrasi vertikal yang disertai dengan tindakan restriktif (menghasilkan barriers to entry). Oleh karenanya, penekanan pada rule of reason adalah unsur material dari perbuatannya. Dan pada rule of reason, tindakan restriktif tidak rasionil yang menjadi sasaran pengendaliannya dan penentuan salah tidaknya digantungkan kepada akibat tindakan usaha (persaingan) terkait terhadap pelaku usaha lain, konsumen dan atau perekonomian nasional pada umumnya. Maka dari itu untuk tindakan-tindakan tersebut dalam substansi pengaturannya dibutuhkan klausula kausalitas seperti di atas.
1. Monopolisasi. Monopoli adalah situasi di mana hanya ada satu penjual di dalam pasar. Di dalam analisis ekonomi konvensional, kasus monopoli adalah oposisi terhadap kondisi persaingan yang sempurna. Sedangkan monopolisasi adalah upayaupaya yang dilakukan oleh satu pelaku usaha dominan atau group pelaku usaha besar (ologopoly) untuk menjaga atau meningkatkan kontrol terhadap pasar melalui berbagai praktek anti-persaingan (PBC, 2001).
2. Perjanjian atau Pengaturan Usaha Restriktif.2 Ditinjau dari maksud perikatan atau perjanjian antar perusahaan dengan karakteristik produk yang dihasilkan atau jenis produk perusahaan-perusahaan bersangkutan, perjanjian antara perusahaan pada dasarnya terdiri dari dua macam yaitu perjanjian yang bersifat vertikal dan horisontal. Perjanjian vertikal yaitu perjanjian antar perusahaan pada berbagai tahap dalam proses manufakturing atau proses distribusi, misalnya perjanjian-perjanjian antar para produsen dan wholesaler, atau antara produsen, wholesaler dan pengecer. Sedangkan perjanjian horisontal adalah perjanjian yang diadakan antara perusahaanperusahaan yang bergerak secara umum di bidang , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
135
kegiatan yang sama, yaitu antara para produsen atau para wholesaler, atau antar para pengecer yang bergerak dalam jenis produk yang sama. Perjanjian-perjanjian tersebut dapat dengan sekaligus bersifat horisontal dan vertikal seperti perjanjian dalam penetapaan harga. Perjanjian-perjanjian, baik yang bersifat vertikal maupun horisontal (tertulis/lisan) apabila dilakukan dengan niat untuk mengurangi persaingan atau bahkan menghilangkan persaingan di pasar (perjanjian yang bersifat restriktif) berdampak buruk bagi perekonomian. Oleh karenanya di banyak negara dikeluarkan aturanaturan yang melarang esksistensi perjanjian ini. Pengurangan, pembatasan atau penghilangan persaingan usaha antar perusahaan tidak saja dihasilkan oleh perjanjian yang dibuat antar perusahaan tapi juga dapat dilakukan oleh pemerintah yang mengeluarkan peraturan yang menghasilkan kondisi atau akibat yang sama terhadap pasar. Peraturan yang dihasilkan itu disebut peraturan yang bersifat restriktif. Pengeluaran peraturan tersebut banyak mendapat tentangan, tidak saja oleh perusahaan pesaing di dalam negeri namun pula dilakukan oleh perusahaan di luar negeri yang mempunyai akses ke pasar negara yang bersangkutan yang biasanya dilakukan melalui pemerintah asal perusahaan tersebut. Maka banyak negara meminta agar dilarang adanya peraturan yang bersifat restriktif itu melalui perjanjian internasional. Praktek-praktek perjanjian atau peraturan restriktif biasanya dilakukan dalam bentuk antara lain: a. Price Fixing (Perjanjian penetapan harga atau syaratsyarat penjualan lain). Penetapan harga adalah salah satu di antara bentuk paling umum praktek bisnis restriktif dan terlepas apakah menyangkut barang atau jasa, di banyak negara dianggap sebagai pelanggaran per se sementara di beberapa negara lain diatur secara rule of reason. 136
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
Penetapan harga dapat terjadi di sembarang tingkatan di dalam proses produksi dan distribusi. Ia bisa mencakup perjanjian mengenai harga barang-barang primer, input antara atau produk final. Ia juga dapat mencakup perjanjian yang berkaitan dengan bentuk khusus potongan harga, termasuk discount dan rabat, susunan daftar harga dan tukar-menukar informasi harga. b. Collusive Tendering/Conspiracy Requirement (Tender Kolusif). Tender kolusif pada hakekatnya bersifat anti persaingan, karena bertentangan dengan maksud tender itu sendiri, yang adalah untuk membeli barang atau jasa berdasarkan harga dan persyaratan yang paling menguntungkan. Tender secara kolusif dapat berbentuk macam-macam, misalnya “perjanjian untuk menyerahkan penawaran harga yang sama, perjanjian mengenai siapa yang harus menyerahkan penawaran terendah, perjanjian untuk menyerahkan penawaran bohong-bohongan (penawaran bohong dengan sukarela), perjanjian untuk tidak bersaing satu sama lain, perjanjian mengenai norma bersama dalam menghitung harga atau persyaratan lelang, perjanjian untuk membungkam peserta lelang yang tidak ikut dalam perjanjian tersebut, perjanjian untuk memilih pemenangnya lebih dahulu atas dasar yang masuk akal atau atas dasar alokasi pelanggan atau alokasi geografis. Perjanjian-perjanjian seperti itu biasanya memberikan suatu sistem kompensasi bagi peserta lelang yang gagal berdasarkan suatu prosentase tertentu dari keuntungan peserta lelang yang menang untuk dibagi di antara peserta lelang yang gagal pada akhir jangka waktu tertentu. c. Market and Customer Allocation (Alokasi Pasar atau Konsumen). Pengaturan alokasi pasar dan konsumen di antara perusahaan mencakup penugasan kepada perusahaan , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
137
tertentu untuk secara eksklusif menggarap konsumen atau pasar tertentu. Pengaturan seperti ini dimaksudkan terutama untuk memperkokoh atau mempertahankan pola perdagangan tertentu para pesaing yang meninggalkan (forgoing) persaingan dalam hal konsumen atau pasar. Pengaturan demikian dapat bersifat membatasi untuk jenis produk tertentu atau jenis konsumen tertentu. Pengaturan alokasi konsumen dapat terjadi dalam perdagangan dalam negeri maupun luar negeri; dalam hal terakhir ini mereka seringkali mencakup pembagian pasar internasional atas dasar geografis, yang mencerminkan hubungan pemasok-pembeli yang terjalin sebelumnya. d. Restraints on Production or Sales (Pembatasan produksi atau penjualan, termasuk dengan kuota). Pengaturan pembagian pasar dapat juga dirancang atas dasar alokasi kuantitas ketimbang atas dasar wilayah atau kelompok konsumen. Pembatasan seperti itu seringkali diterapkan di sektor-sektor yang memiliki surplus kapasitas atau di mana tujuannya adalah menaikan harga. Di bawah skema seperti itu perusahaan seringkali sepakat untuk membatasi pasokan sampai pada proporsi penjualan sebelumnya, dan untuk melaksanakan ini, kerap diciptakan pengaturan suatu pooling arrangement di mana perusahaan yang menjual kelebihan kuotanya diminta membayar kepada pool tersebut sebagai kompensasi kepada mereka yang menjual di bawah kuota. e. Concerted Refusals to Purchase or Supply – Boycotts (Penolakan untuk Membeli atau Memasok). Penolakan bersama untuk membeli atau memasok, atau mengancam untuk itu, adalah salah satu dari cara paling lazim yang ditempuh untuk memaksa mereka yang tidak menjadi anggota suatu grup atau kelompok agar mengikuti kelompok aksi yang ditetapkan. Boikot grup dapat horisontal (misalnya 138
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
anggota kartel dapat bersepakat di antara mereka untuk tidak menjual kepada atau membeli dari konsumen tertentu), atau dapat vertikal (mencakup perjanjian di antara para pihak dari berbagai tingkat produksi dan tingkat distribusi) untuk menolak berhubungan bisnis dengan pihak ketiga, biasanya pesaing dari salah satu yang disebutkan di atas. f. Collective Denial of Access to An Arrangements or Association (Penolakan bersama terhadap pihak untuk mengikuti suatu Persetujuan atau suatu Asosiasi). Keanggotaan suatu asosiasi profesi dan dagang adalah lazim dalam produksi dan penjualan dari barang dan jasa. Asosiasi seperti itu biasanya memiliki aturan tertentu mengenai persyaratan menjadi anggota dan biasanya siapa yang memenuhi persyaratan tersebut diperbolehkan menjadi anggota. Tetapi persyaratan menjadi anggota dapat dirumuskan sedemikian rupa sehingga dapat menghadang (menghalangi) masuknya pesaing (calon pesaing) baik melalui diskriminasi terhadapnya atau bertindak seperti “toko tutup”. Namun demikian sebagaimana diatur di AS, profesional syah (handal) yang bersangkutan dapat dengan syah/benar menolak individu dari asosiasi profesional. Penolakan kolektif ke dalam suatu persetujuan dapat juga berbentuk penolakan masuk ke suatu fasilitas/ kemudahan yang perlu dalam rangka bersaing secara efektif di pasar tersebut. Dalam kaitan ini, konsep “fasilitas/kemudahan yang perlu bagi persaingan” telah diterima di AS dengan menetapkan bahwa suatu kelompok pembeli lebih dari 30 persen pangsa pasar dapat mengeluarkan perusahaan seperti yang diinginkan. Contoh perkara yang ditangani KPPU adalah monitoring di industri bahan bangunan.
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
139
3. Penyalahgunaan Posisi Dominan.3 a. Predatory Behaviour Towards Competitors (lihat juga Rising Rival’s Cost). Perilaku mematikan terhadap pesaing-pesaingnya, seperti penggunaan kebijakan harga di bawah biaya produksi, untuk mematikan pesaing-pesaingnya. Salah satu bentuk paling umum perilaku mematikan pasar, biasanya adalah penerapan strategi harga yang mematikan. Perusahaan melakukan perbuatan seperti itu untuk menggusur perusahaan-perusahaan yang sedang bersaing ke luar dari jalur bisnis. Semakin besar diversifikasi kegiatan perusahaan tersebut arti produk dan pasar, semakin besar sumber daya keuangannya, semakin besar pula kemampuannya untuk melakukan perbuatan mematikan. Contoh perkara yang ditangani KPPU adalah monitoring di industri makanan. b. Discriminations. Diskriminasi harga, dalam hal ini pembedaan harga tanpa alasan ekonomis kuat atau diskriminasi dalam persyaratan, kondisi dalam pemasokan atau pembelian harga barang atau jasa, termasuk dengan menggunakan kebijakan harga dalam transaksi di antara perusahaan yang berafiliasi dengan peninggian atau perendahan harga barang atau jasa yang dibeli atau dipasokkan dibandingkan dengan transaksi yang sama atau serupa terhadap perusahaan di luar afiliasinya. Erat kaitannya dengan siasat harga mematikan adalah praktek diskriminasi harga. Jika taktik harga di bawah biaya produksi terhadap pesaing langsung, jelas-jelas bersifat mematikan (predatory), taktik diskriminasi harga dapat juga bersifat mematikan, seperti misalnya dalam hal pemberian potongan harga (discount) berdasarkan kuantitas, “sistem bonus” atau “discount karena kesetiaan”.
140
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
c. Price Resale Maintenance. Penetapan harga jual kembali suatu barang, pada umumnya oleh pabrikan atau oleh wholesaler biasanya dinamakan resale price maintenance (RPM). Sementara penerapan suatu harga jual kembali adalah dilarang, peraturan perundang-undangan di banyak negara tidak melarang harga jual kembali maksimum (dalam hal ini Inggris) ataupun harga yang dianjurkan atau recomended prices (dalam hal ini, Inggris dan Amerika Serikat). Di Amerika Serikat praktek harga jual kembali yang dianjurkan akan tidak syah jika diketemukan bukti adanya tekanan langsung maupun tidak langsung dalam penerapan kebijaksanaan tersebut. Di Inggris meskipun harga jual kembali yang dianjurkan itu tidak dilarang, tetapi the Director General of Fair Trading boleh melarang penyalahgunaan harga yang dianjurkan tersebut, misalnyaa jika harga tinggi yang tidak wajar itu dianjurkan dalam rangka menarik perhatian kepada suatu potongan harga yang kelihatan lebih tinggi. Di Kanada, publikasi oleh suatu pemasok produk suatu iklan yang menyebutkan harga jual kembali produk tersebut dianggap sebagai suatu usaha untuk mempengaruhi harga penjualan menjadi naik, kecuali jika diperjelas bahwa produk tersebut dapat dijual pada harga yang lebih rendah. d. Jika tanpa ada alasan bisnis yang sah melakukan pembatasan seperti mencapai kualitas, keamanan, distribusi atau pelayanan yang memadai suatu perusahaan: (i) Menolak untuk bertransaksi secara penuh atau sebagian berdasarkan persyaratan komersil yang lazim. (ii) Membuat pemasokan barang-barang atau jasajasa tertentu tergantung pada penerimaannya atas pembatasan-pembatasan dalam distribusi atau , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
141
pembuatan barang-barang bersaing atau barangbarang lainnya; (iii) Menerapkan pembatasan mengenai ke mana, kepada siapa, atau bentuk apa atau jumlah berapa, barang-barang yang dipasokkan atau barangbarang lainnya dapat dijual kembali atau diekspor; (iv) Membuat pemasokkan barang atau jasa tertentu tergantung pada pembelian barang atau jasa lain dari pemasok atau yang ditunjuknya. e. Merger, takeovers, joint ventures atau akuisisi kontrol lainnya (restrukturisasi antar perusahaan), termasuk interlocking directorships, apakah itu bersifat vertikal, horisontal atau konglomerasi. Untuk bisa dikatakan bahwa suatu tindakan merupakan perbuatan atau prilaku penyalahgunaan posisi dominan melalui Mergers, takeovers, joint ventures atau akuisisi kontrol lainnya, termasuk interlocking directorships. Menurut pendapat UNCTAD ciri khas adanya potensi penyalahgunaan posisi dominan tersebut apabila dari adanya restrukturisasi dua atau lebih perusahaan tersebut menghasilkan suatu perusahaan dominan dan menurunkan tingkat persaingan secara berarti dalam suatu pasar yang didominasi oleh sedikit perusahaan. Di samping adanya potensi penyalahgunaan posisi dominan, restrukturisasi antar perusahaan tersebut dapat pula mengakibatkan konsentrasi penguasaan ekonomi (concentration of economic power). Merger ialah suatu tindakan penggabungan antara dua atau lebih perusahaan dimana identitas salah satu atau dua di antaranya hilang dan hasilnya adalah satu perusahaan. Takeovers suatu perusahaan oleh perusahaan lainnya biasanya menyangkut pembelian semua atau sebagian besar saham atau asset signifikan dari perusahaan lainnya sehingga 142
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
memungkinkan terlaksananya pengendalian dan itu dapat tanpa adanya perusahaan lainnya tadi. Joint venture menyangkut pembentukan suatu perusahaan terpisah oleh dua atau lebih perusahaan. Cara memperoleh pengendalian seperti itu dalam banyak kasus mengakibatkan konsentrasi kekuatan ekonomi yang dapat bersifat horisontal (misal, akuisisi terhadap seorang pesaing), vertikal (misal, antar perusahaan pada berbagai tahap proses manufakturing dan distribusi), atau konglomerat (melibatkan berbagai jenis kegiatan). Dalam beberapa hal lain konsentrasi seperti itu dapat sekaligus bersifat horisontal dan vertikal, dan perusahaan-perusahaan yang terlibat dapat berasal dari satu atau lebih negara. Suatu interlocking directorship (rangkap jabatan direktur) adalah keadaan dimana seseorang adalah anggota dewan direksi dari dua atau lebih perusahaan atau wakil dari dua atau lebih perusahaan bertemu dalam dewan direksi dari salah satu perusahaan. Interlocking directorship dapat mempengaruhi persaingan dalam/dengan sejumlah cara. Dapat bermuara pada kontrol administratif, dalam putusan mengenai investasi dan produksi dapat dengan efektif menjurus pada pembentukan strategi bersama antar perusahaan mengenai harga, alokasi pasar dan kegiatan kolektif lainnya. Interlocking directorates pada tingkat vertikal dapat mengakibatkan integrasi vertikal kegiatan seperti misalnya, antara pemasok dan pelanggan menurun ekspansi ke bidang-bidang yang kompetitif, dan menjurus kepada pengaturan timbal balik di antara mereka. Kaitan antara direktur perusahaan keuangan dan perusahaan nonkeuangan dapat berakibat pada kondisi keuangan yang bersifat diskriminatif bagi para pesaing dan berfungsi sebagai katalisator bagi akuisisi kontrol secara konglomerat atau secara vertikal-horisontal.
4. Praktek Bisnis Tidak Jujur (Curang). Praktek ini merupakan praktek bisnis yang dilarang , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
143
berdasarkan asas per se. Kebanyakan praktek ini langsung merugikan konsumen, maka sebagian besar rezim pengaturan di beberapa negara memasukkan praktek ini ke dalam pengaturan dalam perlindungan konsumen. Praktek tersebut antara lain: a. Perbuatan yang bersifat bohong atau menyesatkan. b. Pernyataan menyesatkan mengenai sifat, ciri, standar atau mutu suatu barang, jasa tertentu, usaha tertentu. c. Pernyataan bohong dalam pemberian hadiah atau potongan harga. d. Iklan bohong. e. Penjualan barang atau jasa disertai janji potongan harga apabila pembeli membawa serta calon pembeli lain kepada penjual. f. Penjualan barang atau jasa dengan mendatangi tempat tinggal calon pembeli dengan cara tidak pantas. g. Penjualan piramidal. h. Penjualan barang-barang yang tidak memenuhi standar keselamatan barang atau konsumen. i. Penjualan barang yang tidak memenuhi standar informasi barang konsumsi.
5. Praktek Bisnis Trans-National yang Merugikan. Melihat trend global yang ada, ternyata terminologi praktek bisnis trans-national yang merugikan tidak hanya yang terkait dengan aspek perekonomian saja tetapi lebih luas dari itu yaitu melingkupi pula issue hak asasi manusia dan lingkungan hidup. Beberapa contoh dari praktek bisnis transnational yang merugikan antara lain: a. Penjualan dengan cara Dumping. b. Pemberian Subsidi yang tidak rasional. c. Transfer Pricing. d. Penjualan barang hasil pekerjaan narapidana. e. Ekspor dan Impor barang yang melanggar Intellectual Property Rights. f. Kuota impor dan ekspor. 144
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
g. Penjualan produk hasil perusakan lingkungan.
C. Sekilas Tinjauan praktek Anti-Persaingan di Indonesia. Sampai saat ini belum terdapat hasil penelitian yang cukup komprehensif membahas dampak dari penerapan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat terhadap perubahan prilaku persaingan usaha dari para pelaku usaha di Indonesia. Sehingga sangat disayangkan belum ada data yang dapat diandalkan sebagai referensi bagi kita untuk mengukur seberapa jauh prilaku anti-persaingan masih menjadi prilaku yang lazim. Di bawah ini diungkapkan beberapa prilaku antipersaingan di Indonesia yang terekam dari pengamatan penulis selama ini. — Menurut data di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), kasus-kasus yang kini ditangani baik berdasarkan “pengaduan” publik maupun inisiatif penanganan perkara oleh KPPU sebagian besarnya menyangkut praktek tender kolusif. Ada beberapa perkiraan mengenai mengapa kasus-kasus tender kolusif ini yang kemudian dominan ditangani oleh KPPU saat ini. Perkiraan tersebut antara lain karena praktek tender kolusif merupakan jenis praktek anti-persaingan yang akibatnya langsung dirasakan oleh pelaku usaha korbannya (pesaingnya) yang biasanya pula dalam nilai yang cukup signifikan, lain dengan praktek anti-persaingan lainnya. Maka biasanya pengaturan dari salah tidaknya praktek tender kolusif ini didasarkan pada pendekatan per se. Namun sayangnya sesuai dengan UU No. 5/1999 Pasal 22, ilegal atau tidaknya praktek ini di Indonesia digantungkan kepada pendekatan rule of reason melalui klausula kausalitasnya (“mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat”). Tingginya frekuensi pengaduan kasus-kasus tender kolusif agaknya dipacu pula oleh keputusan KPPU yang pertama kali yang menyangkut kasus tender kolusif (Negara v. Caltex). Hal ini mendorong pihak-pihak yang , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
145
merasa dirugikan dalam suatu proses tender, “berlombalomba” mengadukan kasusnya ke KPPU. Padahal kita semua mafhum bahwa praktek-praktek tender kolusif ini sudah “membudaya” di Indonesia terutama dalam proses tender pengadaan barang dan jasa bagi instansi-instansi pemerintah atau publik (termasuk di BUMN dan BUMD) yang di kenal dengan istilah “arisan”. Oleh karenanya, bisa jadi “ancaman pengaduan ke KPPU” menjadi senjata bagi pihak-pihak yang tidak mendapat bagian dari “arisan” tersebut. — Menurut hasil kajian tahun 1995 yang dilakukan penulis sendiri, didapat kesimpulan bahwa sebagian besar grup perusahaan (termasuk konglomerasi) di Indonesia, mempraktekkan rangkap jabatan atau dikenal dengan “interlocking directorship”. Alasan utama dari dilakukannya praktek ini selain memang ditujukan untuk mendapatkan “absolute control” terhadap perusahaanperusahaan yang terafiliasi, terdapat juga alasan atas langkanya SDM yang mumpuni dalam mengelola perusahaan-perusahaan tersebut. Dapat dengan mudah dijumpai dalam buku yang bertemakan tokoh-tokoh bisnis “sukses” di Indonesia, bahwa dengan gamblangnya mereka (tokoh-tokoh ini) bahkan cenderung dengan penuh kebanggaan menyatakan bahwa mereka menjabat posisi direktur di beberapa perusahaan. Baik pada perusahaan-perusahaan yang terintegrasi secara vertikal maupun dalam struktur konglomerasi. Di beberapa negara, pelarangan praktek ini ditinjau secara per se, namun di Indonesia sesuai dengan UU No. 5/1999 dilakukan secara rule of reason. Sehingga dengan begitu praktek rangkap jabatan memiliki legalitasnya sampai kemudian terbukti mengakibatkan praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat. Kasus yang cukup fenomenal dari praktek interlocking directorship ini adalah kasus yang melibatkan dua 146
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
perusahaan (asing) besar minuman berkarbonat dengan perusahaan bottling-nya di Indonesia. Dimana salah satu perusahaan minuman berkarbonat tersebut pernah satu ketika produknya menghilang di Indonesia, akibat perusahaan bottling-nya di Indonsia mengalihkan manufacturing plant-nya ke perusahaan lain yang dibentuknya sendiri. Perusahaan lain yang nota bene seluruh direkturnya sama persis namun memiliki “bottling agreement” dengan perusahaan minuman berkarbonat lainnya. — Praktek integrasi vertikal banyak dilakukan oleh grup perusahaan dan konglomerasi di Indonesia. Praktek ini sebenarnya ditujukan untuk mencapai suatu efisiensi akibat tidak kondusifnya persaingan pada bidang usaha di bawahnya (misalnya antara bidang pabrikan dengan bidang distribusinya). Maka dari itu pendekatan legal atau illegalnya praktek ini di hampir semua negara termasuk di Indonesia dilakukan dengan rule of reason. Artinya, bahwa sebelum diputuskan legal atau tidaknya praktek integrasi vertikal, perlu adanya penilaian terlebih dahulu apakah praktek integrasi vertikal tersebut menyimpang dari tujuan efisiensi tersebut atau tidak (disertai tindakan anti-persaingan). Namun faktanya, selama ini, kebanyakan prakteknya di Indonesia hampir selalu disertai dengan tindakantindakan anti-persaingan antara lain praktek diskriminasi harga dan pelayanan. Contoh kasus yang paling fenomenal di dalam praktek ini adalah yang (dahulu?) dilakukan oleh sebuah perusahaan tepung terigu yang dominan (akibat kebijakan pemerintah yang anti persaingan) di Indonesia. Di mana pemilik perusahaan terigu (sebagai perusahaan hulu) tersebut juga memiliki perusahaan makanan sebagai usaha hilirnya. Pada prakteknya perusahaan terigu tersebut banyak melakukan tindakan diskriminasi antara lain diskriminasi pasokan terigu kepada perusahaan makanan yang menjadi pesaing , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
147
dari perusahaan makanan yang terafiliasi dengannya. Akibatnya, perusahaan makanan tersebut tidak dapat bersaing dengan perusahaan makanan yang terafiliasi dengan perusahaan terigu tersebut sehingga lambat laun mati. Dari situlah timbul praktek monopolisasi atas bidang industri makanan tersebut, dimana perusahaan makanan yang terafiliasi tersebut akhirnya melakukan akusisi terhadap perusahaan makanan yang tidak dapat berkompetisi satu per satu. Hingga akhirnya perusahaan makanan terafiliasi itu sampai kini dapat sangat dominan di industri makanan tersebut. Contoh kasus lainnya adalah yang terkait dengan praktek-praktek diskriminasi penyaluran kredit oleh perbankan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa (sebelum krisis) bank-bank di Indonesia akan lebih mengutamakan penyaluran kredit ke perusahaan yang terafiliasi ketimbang perusahaan lainnya, artinya ada diskriminasi perlakuan di sini. Dipicu oleh penyimpangan praktek integrasi vertikal tersebutlah maka di mana-mana terjadi pelanggaran BMPK untuk perusahaan dalam group sendiri. Karenanya praktek integrasi vertikal, jika tidak diawasi akan mengakibatkan multiplier effect terhadap timbulnya praktek-praktek anti-persaingan lainnya seperti diskriminasi, interlocking directorship, hostile takeover, dll. — Price fixing, Resale Price Maintenance (RPM), territorial (market) allocation, dan exclusive dealing menurut pengamatan penulis masih sangat dominan dipraktekkan oleh perusahaan-perusahaan manufacturing dan distribusi yang memiliki posisi dominan terhadap perusahaan retailer. Penetapan harga yang “direkomendasikan” serta penetapan syarat-syarat penjualan kembali, serta alokasi konsumen dan pasar sudah menjadi praktek yang wajar di dunia perdagangan di Indonesia. Dan seringkali, pelaku usaha dominan di setiap perjanjian 148
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
pemasokan dan pemasaran dengan retailer juga memasukkan klausula mengenai tying arrangement dan exclusive dealing. Untuk praktek-praktek tersebut, di beberapa negara, diterapkan pendekatan per se namun di Indonesia beberapa praktek masih ditinjau secara rule of reason. Padahal praktek-praktek tersebut telah jelas anti-persaingan. Sehinggap pendekatan rule of reason menjadi beban yang cukup signifikan bagi KPPU dalam pembuktiannya. — Kondisi oligopolistik pada industri-industri tertentu seperti pada industri semen, terigu, kertas, pakan ternak dan DOC, dll. seringkali menimbulkan praktek kartel. Dengan berkedok asosiasi industri tertentu banyak oligopolist-oligopolist melakukan praktek kartel. Untuk mengidentifikasi adanya praktek kartel sebenarnya “gampang-gampang susah”. “Gampang”nya adalah bahwa biasanya praktek kartel di suatu industri dapat terlihat dari beberapa indikasi antara lain adanya “keseragaman” tindakan usaha seperti penaikan harga produk secara bersamaan tanpa ada faktor sebab-akibat yang rasional, misalnya tidak ada kenaikan harga bahan baku atau bahan pendukung (misalnya kenaikan BBM) tetapi harga produk bersamaan naiknya bahkan dengan tingkat kenaikan yang tidak wajar. Adanya kelangkaan produk secara bersamaan dan tidak rasional sebelum kenaikan tersebut akibat pengaturan bersama atas output. Adanya pembagian wilayah pemasaran tanpa adanya alasan beban “transportation cost”. Serta indikasi prilaku anti-persaingan lainnya. Dan susahnya, praktek-praktek kartel itu sulit dibuktikan karena biasanya tidak ada bukti-bukti tertulis misalnya berupa perjanjian tertulis atau kebijakan antipersaingan (dari pemerintah) tertulis yang dapat dijadikan pendukung bagi pembuktian atas keberadaan praktek kartel tersebut. Memang diakui bahwa munculnya para oligopolist , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
149
serta praktek kartel saat ini merupakan hasil dari kebijakan dan kebijaksanaan pemerintah masa lalu yang kolusif terutama lewat mekanisme perizinan yang diskriminatif. Namun begitu, dengan adanya UU No. 5/1999 ini minimal, kini pemerintah tidak dapat dengan “bebas”nya menerapkan kebijakan dan kebijaksanaan anti persaingan tersebut. — Sebenarnya banyak lagi prilaku dan praktek antipersaingan lain yang terjadi di Indonesia dan itu hampir di seluruh bidang baik industri, perdagangan, perbankan, sampai dengan bidang pasar modal. Dan ini semua merupakan tugas dari KPPU untuk membenahi, mengusut, dan menerapkan sanksi sesuai dengan kewenangannya.
D. Sekilas Problematika Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. 1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Salah satu faktor yang paling penting dalam upaya pembenahan kondisi persaingan usaha dan memberantas praktek-praktek atau prilaku anti-persaingan adalah keberadaan infrastruktur hukum dalam kerangka sistem hukum persaingan usaha nasional yang ada. Sebagaimana telah diketahui, Indonesia telah memiliki UndangUndang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No. 5/ 1999) yang di dalamnya melahirkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Namun begitu secara obyektif dapat dikatakan bahwa substansi dari UU No. 5/1999 tersebut masih jauh dari sempurna. Terdapat beberapa kesalahan dan kelemahan mendasar baik dari sisi ketentuan materiel maupun formil dari UU tersebut yang seringkali justru menjadi kendala dalam penegakan hukumnya (law enforcement). Secara ringkas dapat dikemukakan beberapa 150
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
kesalahan dan kelemahan dari UU tersebut antara lain: a. Judul dari UU No. 5/1999 tidak merepresentasikan seluruh permasalahan yang seharusnya menjadi lingkup suatu undang-undang di bidang persaingan usaha dan terkesan populis. Hal ini karena substansi dari undang-undang ini, sebenarnya tidak hanya mengatur aspek larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat saja namun lebih dari itu yaitu melingkupi pula aspek-aspek lain dari issue persaingan usaha. Praktek monopoli hanya bagian kecil dari bidang persaingan usaha yang sebenarnya melingkupi pula perihal praktek bisnis restriktif dan penyalahgunaan posisi dominan. Dan jika mengacu kepada Australian Trade Act maka perihal praktek persaingan usaha tidak sehat adalah bidang yang terkait dengan perihal perlindungan konsumen, maka seharusnya perihal praktek persaingan usaha tidak sehat tersebut jika menganut rezim sistem hukum Indonesia yang memisahkan pengaturan perlindungan konsumen dengan persaingan usaha maka perihal persaingan usaha tidak sehat harus diadopsi oleh Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Maka dapat dikatakan bahwa pencantuman istilah “praktek persaingan tidak sehat” atau “unfair business practices” dalam undangundang ini salah kaprah. Tambahan lagi, bahwa, sebenarnya, konstitusi negara ini yaitu UndangUndang Dasar 1945 (UUD 45), fakta yuridisnya, masih membolehkan adanya praktek monopoli sebagaimana tercermin dari Pasal 33. Begitu pula UU No. 5/1999 ini yang di dalam pengecualiannya masih diperbolehkan praktek monopoli dalam kondisi-kondisi tertentu. Sehingga ironis sekali apabila judul dari UU No. 5/1999 ini tetap dipertahankan. Judul yang tepat bagi undang-undang ini adalah “Undang-Undang tentang Persaingan Usaha” yang diharapkan menjadi , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
151
lebih sesuai, komprehensif, serta efisien dan efektif (mudah diingat). b. Sistematika dan substansi dari batang tubuh UU No. 5/1999 terutama yang terkait dengan pengaturan praktek-praktek persaingan usaha mengakibatkan terjadinya tumpang tindih pengaturan atau paling tidak perulangan (redundant) pengaturan. Bahkan jika mengacu kepada jenis-jenis prilaku persaingan usaha yang telah dipaparkan di atas, UU ini tidak mengatur larangan terhadap prilaku-prilaku anti-persaingan tersebut secara komprehensif sehingga terdapat beberapa prilaku anti-persaingan yang tidak ter-cover secara baik dalam UU ini, sementara terdapat prilaku anti-persaingan yang diatur secara redundant dan berlebihan. c. Kesalahan penggunaan istilah atau terminologi persaingan usaha, pelebaran pengertian dari suatu istilah, serta ketidak-konsistenan dalam penggunaan istilah dalam suatu pasal, serta kesalahan dan ketidakefektifan redaksional yang lain yang mewarnai formulasi dan substansi pengaturan dalam UU No. 5/1999 ini menjadi ancaman bagi tidak efektifnya atau “mandul”nya penerapan undang-undang ini sendiri. d. Pencantuman klausula kausalitas “dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat” atau “dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat” pada hampir setiap pasal dalam bab aturan mengenai “Perjanjian yang dilarang”, “Kegiatan yang dilarang” maupun “Posisi Dominan” memperlihatkan bahwa: - Diduga bahwa tidak ada pertimbangan yang cukup kuat kepada konsekuensi penggunaan pendekatan antara “rule of reason” atau “per se” untuk melihat kasus-kasus persaingan usaha. Sebagaimana diterangkan di bagian awal tulisan ini bahwa konsekuensi dari penggunaan pendekatan rule of 152
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
-
-
-
reason adalah bahwa beban pembuktian kepada salah atau tidaknya suatu tindakan persaingan menjadi sangat rumit ketimbang penggunaan pendekatan per se. Ada banyak tindakan usaha yang jelas-jelas antipersaingan dan tidak ada sedikitpun tujuan efisiensi ekonomis di dalamnya yang sebaiknya tidak perlu lagi digunakan pendekatan rule of reason cukup per se saja, namun dengan tercantumnya klausula kausalitas di formulasi aturannya menjadi harus diperlakukan dengan pendekatan rule of reason. Penggunaan pendekatan “rule of reason” pada hampir seluruh praktek persaingan usaha yang diformulasikan dalam setiap aturannya di dalam pada pasal-pasal yang ada. Serta dengan mempertimbangkan kondisi sumber daya manusia di bidang persaingan usaha (termasuk di dalamnya, para angota KPPU) yang masih jauh dari memadai. Dapat diprediksi bahwa penerapan UU No. 5/ 1999 ini akan mengalami berbagai kendala yang cukup pelik jika memang tidak bisa dikatakan bahwa undang-undang ini tidak akan efektif atau mandul. Dampak lanjutannya dari sangat dominannya pendekatan rule of reason dalam undang-undang ini ternyata secara tidak langsung memberikan peluang yang sangat besar kepada lembaga peradilan dan otoritas yang terkait dengan penanganan persaingan usaha untuk membuat pertimbangan yang salah atau bahkan kolusif dalam memutuskan salah atau tidaknya suatu tindak persaingan usaha.
e. Berkaitan dengan ketentuan formil prosedur penanganan perkara persaingan usaha. Terdapat banyak kekurangan baik yang terkait dengan prosedur , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
153
beracara maupun tugas dan kewenangan KPPU sebagai lembaga penegak hukumnya. Masih terdapat kontroversi prosedur beracara di KPPU terutama dikaitkan dengan prinsip “due process of law”-nya. Tambahan lagi, saat ini sering terjadi benturan antara prosedur beracara di KPPU dengan prosedur beracara di Lembaga Peradilan dalam hal putusan KPPU diajukan keberatan ke lembaga peradilan. Belum lagi apabila melihat kondisi SDM peradilan Indonesia yang masih jauh dari layak, tentunya ini menjadi ancaman tersendiri bagi efektifitas undang-undang ini dalam perbaikan kondisi persaingan usaha di Indonesia. f. Khusus untuk pengaturan mengenai pengecualian, terdapat kesalahan vatal dalam penggunaan istilah “peraturan perundang-undangan” ketimbang penggunaan istilah “undang-undang” atau “produk peraturan setingkat dengan atau lebih dari undang-undang”, menjadi ancaman tersendiri bagi ketidakefektifan atau “kemandulan” akibat abuse yang dilakukan oleh Pemerintah melalui berbagai peraturan produksinya. Sementara itu ada upaya lainnya yang perlu dilakukan yaitu harmonisasi aturan perundang-undangan di sektor di luar perindustrian dan perdagangan terutama yang bertentangan dengan semangat persaingan usaha. Harmonisasi tersebut menjadi sangat penting karena produk undangundang sektoral karena kekhususannya dapat saja dianalogikan memiliki prinsip lex specialis derogat lex generalis, mengecualikan keberlakuan undang-undang persaingan usaha. Dan upaya yang tidak kalah pentingnya pula adalah penertiban terhadap produk peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang kenyataannya sarat akan kebijakan anti-persaingan (terutama produk pemerintah sebelum masa reformasi). Meskipun peraturan perundangundangan tersebut secara otomatis tidak berlaku bila bertentangan dengan undang-undang persaingan, namun 154
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
pencabutan secara formal produk perundang-undangan tersebut perlu dilakukan untuk mencegah kebingungan publik dan abuse of interpretation yang mungkin dilakukan oleh pengambil kebijakan.
2. Pemberdayaan Budaya Hukum dan Etika Usaha. Kebijakan tentang persaingan usaha memerlukan dukungan berupa perubahan orientasi sikap dan budaya hukum serta etika dari tidak hanya pelaku usaha namun juga pelaku ekonomi lainnya termasuk konsumen berkaitan dengan issue persaingan usaha. Perubahan orientasi sikap itu terutama diharapkan dari pelaku-pelaku usaha besar yang nota bene kini merasa terancam oleh keberlakuan undangundang persaingan usaha. Perlu diupayakan ditanamkan suatu sikap dan kesadaran bahwa kondisi persaingan usaha yang baik perlu ditumbuhkan dan dijaga agar dapat dicapai efisiensi dunia usaha yang tentunya bermanfaat dan melanggengkan usaha. Bahwa kebijakan persaingan usaha itu tidaklah anti-“besar” tetapi anti-inefisiensi dan tindakan restriktif serta penyalahgunaan posisi dominan. Sehingga apabila usaha mereka besar tapi efisien dan tidak melakukan tindakan restriktif dan penyalagunaan posisi dominan, mereka tidak perlu takut “terlibas” oleh keberlakuan undangundang persaingan usaha. Dan yang paling penting pula untuk ditanamkan kesadaran pada para pelaku ekonomi adalah bahwa kebijakan persaingan usaha itu adalah satu cara untuk menegakkan keadilan dan demokrasi ekonomi bagi kepentingan seluruh pihak di Indonesia. Masalah persaingan usaha, diakui adalah masalah yang kompleks, oleh karena untuk sampai ada kepada suatu perubahan orientasi sikap dan terciptanya budaya dan etika persaingan usaha membutuhkan waktu dan upaya yang keras dari dunia usaha itu sendiri dengan dibantu oleh otoritas yang ada. Baik melalui upaya edukasi publik maupun sosialisasi kebijakan persaingan usaha itu sendiri. , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
155
Dan hal yang penting untuk diketahui otoritas yang terkait dengan persaingan usaha dalam hal ini terutama KPPU dalam rangka menciptakan budaya dan etika usaha yang baik di tengah dunia usaha adalah bahwa pelaku ekonomi sangat terpengaruh oleh kenyataan yang terjadi di dunia usaha itu sendiri. Jika satu pelaku usaha tidak melihat bahwa kebijakan persaingan usaha yang ada tidak memberi manfaat atau sesuatu yang positif padanya, maka pelaku usaha itu akan bosan dan kembali tidak peduli terhadap kebijakan persaingan usaha tersebut.
(Endnotes) 1Sebagai
catatan. Keberadaan konvensi-konvesi atau kesepakatan-kesepakatan internasional di bidang perekonomian maupun bisnis tidak dapat dijadikan alasan bagi adanya pembidangan hukum yang tersendiri untuk mewadahinya. Alasannya adalah bahwa efektivitas dan positivitas dari konvensi dan kesepakatan internasional tersebut baru terjadi bila terdapat tindakan hukum nasional berupa ratifikasi dari DPR yang berarti tindakan pengadopsian ke dalam sistem hukum nasional, yang berarti pula setara dengan ketentuan yang berhierarki undang-undang. 2 United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), Model Law on Competition, Geneva 2000. 3 Ibid.
156
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
BAGAIMANA MENGINTERPRETASIKAN KONSTITUSI KITA Oleh R.M.A.B. KUSUMA Pengajar Sejarah Ketatanegaraan pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia
eyogyanya, cara menginterpretasikan konstitusi benarbenar difahami oleh semua orang, terutama para anggota legislatif yang akan membuat undang-undang, para eksekutif yang akan melaksanakan Undang-undang yang dibuat bersama oleh legislatif (DPR) dengan eksekutif (Presiden); dan kalangan yudisial yang akan menentukan apakah suatu perundang-undangan sesuai dengan UUD. Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, yang saat ini menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, bila kita akan melakukan interpretasi, pertama-tama yang harus dilakukan adalah meneliti apakah niat (intensi) dari penyusunnya. Pendapat Prof. Asshiddiqie tersebut sama dengan pendapat Jaksa Agung Amerika Serikat masa pemerintahan Ronald Reagan, Edwin Meese III, bahwa “satu-satunya cara Pengadilan untuk menginterpretasikan konstitusi agar legitimate adalah mengikuti intensi (niat) yang asli dari penyusun
S
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
157
dan yang meratifikasinya. Bila Hakim menyimpang dari interpretasi yang baku itu, ucapnya, berarti dia mengganti pendapat rakyat Amerika dengan pendapatnya sendiri yang tidak mantap. Bila hal itu terjadi, menurutnya lagi, gagasan demokrasi akan menciut dan keteguhan konstitusi akan melemah. Suatu konstitusi yang hanya dipandang dari sudut apa menurut pendapat hakim, tidak merupakan konstitusi dalam arti sebenarnya (“the only legitimate way for courts to interpret the Constitutions is to be guided by the original intentions of those who wrote and ratified the document. Judges who depart of that standard of interpretations, he warned, substitute their own personal whim for the will of the American people. When that happens, he said, “the idea of democracy has suffered [and] the permanence of the Constitutions has been weakend. A constitutions that is viewed as only what the Judges say it is, is no longer a Constitutions in the true sense “).1 Banyak ahli konstitusi di Amerika Serikat yang menyetujui pendapat dari Edwad Meese tersebut di atas, tetapi ada juga yang tidak setuju, umpamanya Hakim Agung William J.Brennan menyatakan bahwa: “kiranya agak berlebihan bila dari tempat kedudukan kita sekarang ini kita menyatakan bahwa kita dapat mengukur dengan tepat apa niat dari para penyusun. Biasanya, yang dapat kita simak adalah adanya perbedaan pendapat di antara para penyusun dan menyembunyikan perbedaan itu dalam ketentuan yang bersifat umum. Siapa yang akan membatasi tuntutannya pada nilai-nilai yang dianut pada tahun 1789 seperti yang dinyatakan dengan tegas dalam Konstitusi, pada hakekatnya menutup mata pada kemajuan sosial dan menjauhkan diri untuk merentangkan prinsip adanya perubahan sosial (“it is arrogant to pretend that from our vantage we can gauge accurately the intent of the framers Typically, all that can be gleaned is that the framers themselves did not agree .... and hid their differences in cloacks of generality Those who would restrict claims of rights to the values of 1789 specifi158
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
cally articulated in the Constitutions, turn blind eye to social progress and eschew adaptation of overarching principles of changes of social circumstances).2 Perbedaan pendapat seperti di Amerika Serikat juga terjadi di Indonesia. Ada kalangan yang berpendirian bahwa nilai 1945 perlu dipegang teguh, masih relevan dilaksanakan di jaman globalisasi. Sebaliknya ada kalangan yang menganggap bahwa nilai 1945 sudah tidak layak diberlakukan sekarang ini, bahwa nasionalisme janganlah dipakai, masukkan saja ke kantong, karena uang/modal tidak mengenal nasionalisme. Demikianlah kata kalangan yang tidak mengenal terima kasih, tidak mau menghargai pengorbanan nyawa, darah, dan harta benda dari para Pendiri Negara dan para pejuang yang menegakkan Republik Proklamasi 1945. Di Amerika Serikat, perdebatan untuk mengetahui “intensi” dari penyusun konstitusi dapat dilakukan dengan sehat, bukan “debat kusir” seperti yang dilakukan oleh politisi di sini, karena mereka rajin membaca dan mereka dengan mudah dapat menemukan tulisan-tulisan para penyusun konstitusi, baik yang setuju, maupun yang kontra rancangan konstitusi 1787 yang disahkan dua tahun kemudian, 1789. Tulisan James Madison, Alexander Hamilton dan John Jay yang pro rancangan konstitusi, terkumpul di The Federalist Papers, dengan mudah ditemukan, bahkan di Indonesia pun buku tersebut mudah ditemukan. Tetapi tulisan yang anti Federalist, seperi tulisan Robert Yates, Letters of Brutus, Luther Martin yang menulis Genuine Information dan Mercy Otis Warren yang menulis Observation on the New Constitution by a Columbian Patriot memang susah ditemukan. Perlu diketahui bahwa yang anti Federalist ada yang menyetujui negara kesatuan, ada yang menyetujui lembaga perwakilan hanya terdiri dari satu kamar, seperti tercermin di negara bagian Nebraska yang sampai hari ini pun lembaga perwakilannya hanya terdiri dari satu kamar. Di Indonesia, buku yang memuat pertukaran fikiran , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
159
atau perdebatan tentang masalah kenegaraan yang dilakukan oleh para Pendiri Negara dan Penyusun UUD 1945 itu ada, tetapi jarang didalami oleh para anggota legislatif, eksekutif maupun yudisial. Yang mendalami hanyalah kalangan akademisi dan kalangan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Itulah sebabnya amandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR memakai asumsi yang keliru, bahwa sistem pemerintahan kita presidensiel. Demikian pula para anggota DPR dan Pemerintah keliru menginterpretasikan pasal 33 dalam pembuatan UndangUndang No.20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Itulah sebabnya undang-undang tersebut kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Kalau kita membaca buku tentang terjadinya UUD 1945, kita akan melihat bahwa para penyusun UUD 1945 sadar bahwa pembicaraan di sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPM) akan dijadikan referensi untuk menafsirkan UUD 1945. Hal itu terlihat di sidang tanggal 15 Juli 1945 ketika Bung Hatta menyanggah pendapat Prof. Supomo tentang “pertanggungjawaban menteri terhadap DPR”. Bung Hatta menyatakan bahwa: “Saya ingin mendapat keterangan, oleh karena pembicaraan kita di sini mungkin menjadi dasar atau buat pertimbangan di kemudian hari bagi orang yang akan menafsirkan Undang-Undang (Dasar) ini. 3 Sejumlah anggota BPUPK yang lain seperti Mr. M. Yamin, Dr. Sukiman dan Prof. Supomo sendiri menyatakan hal senada. Oleh sebab itu, Prof. Supomo dan Bung Hatta membuat interpretasi yang singkat mengenai Sistim Pemerintahan Negara dan cara memahami konstitusi. Selama ini interpretasi yang dikenal sebagai Penjelasan UUD 1945 dianggap berguna. Penjelasan UUD 1945 terutama berisi interpretasi, umpamanya bahwa penyusun UUD menganut sistem pemerintahan yang konstitusional, kita menganut Rechtsstaat (Negara berdasar atas Hukum), bukan Machtstaat 160
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
(Negara Kekuasaan). Sayang sekali anggota MPR mengira bahwa Penjelasan hanya berisi “nilai-nilai” dan semua nilai yang dimuat di Penjelasan telah dimasukkan dalam Batang Tubuh UUD 1945 yang telah diamandemen, sebab itu mereka menghapus Penjelasan UUD 1945. 4 Dengan penghapusan itu, bila anggota DPR/MPR ingin mengetahui “intensi” para penyusun UUD 1945, mereka harus menelusuri risalah BPUPK dan PPKI yang otentik yang tebalnya seratus kali lipat dari Penjelasan UUD 1945. Timbul pertanyaan, berapa banyakkah anggota legislatif dan eksekutif yang mau mendalami isi risalah BPUPK dan PPM yang otentik?
Marilah kita mengkaji interpretasi yang dilakukan oleh pemerintahan Suharto. Presiden Soeharto ingin melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Pemerintahannya diselenggarakan dengan bantuan para Manggala yang mendapat kualifikasi telah “Menghayati Pancasila”. Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa beliau mengetahui di Penjelasan UUD 1945 ditegaskan bahwa “Indonesia ialah negara yang berdasar atas Hukum” (Rechtsstaat) dan “Pemerintahan berdasar sistem konstitusi”. Tetapi, pada kenyataannya, selama 32 tahun pemerintahannya, beliau terus menerus menyelenggarakan pemerintahan dengan Hukum Tata Negara Darurat; padahal, menurut para Pendiri Negara, HTN Darurat yang didasarkan pada pasal 12 UUD 1945 boleh diberlakukan tetapi hanya untuk sementara waktu. Sebagaimana diketahui, HTN Darurat dapat diberlakukan bila pranata biasa tidak bisa dijalankan dan agar persoalannya dapat diselesaikan dengan cepat maka perlu diadakan tindakan khusus dengan menangguhkan untuk sementara waktu prinsip Negara Hukum. Presiden Soekarno memberlakukan HTN Darurat selama 3 bulan pada waktu terjadi percobaan coup d’etat yang dilakukan oleh Mr. M. Yamin dkk. (Peristiwa 3 Juli 1946). , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
161
Pada masa UUD Sementara 1950, Presiden Soekarno memberlakukan HTN Darurat selama 1 tahun, kemudian diperpanjang selama 1 tahun lagi, yakni pada waktu terjadi pemberontakan PRRI/Permesta, tahun 1957, yang dipimpin oleh Mr. Sjafrudin Prawiranegara. Selain dari yang tersebut diatas, Presiden Soeharto juga membuat interpretasi tentang sistem pemerintahan yang menyimpang dari “intensi” para penyusun UUD 1945. Presiden Soeharto membuat interpretasi bahwa sistem pemerintahan kita “Executive Heavy“. Interpretasi itu didasarkan hanya pada “kunci pokok” ke-IV yang berbunyi: “Dalam menyelenggarakan pemerintahan Negara, kekuasaan dan tanggung jawab adalah di tangan presiden (concentration of power and responsibility upon the President). Bila kita hanya membaca “kunci pokok” ke-IV, kesimpulan bahwa sistem pemerintahan kita “Executive Heavy” dapat dibenarkan. Tetapi bila kita membaca keseluruhan “kunci pokok” yang berjumlah sembilan, terutama “kunci pokok” ke-II, ke-VIII, dan Penjelasan Pasal 23, maka kita akan menyimpulkan bahwa Legislatif lebih kuat daripada Eksekutif. Di “kunci pokok” ke-II dikemukakan bahwa “Majelis memegang kekuasaan negara yang tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang ditetapkan oleh Majelis. Presiden tunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis. Ia ialah “mandataris” dari Majelis. Ia wajib menjalankan putusan Majelis. Presiden tidak “neben”, akan tetapi “untergeordnet” kepada Majelis. Sesuai dengan “kunci pokok” ke-II, dalam sistem pemerintahan menurut UUD 1945, Presiden tidak boleh membuat kebijakan sendiri (berlainan dengan sistem pemerintahan setelah amandemen UUD 1945). Dia harus tunduk kepada kebijakan yang dibuat oleh Legislatif. Kekuasaan eksekutif dibatasi oleh legislatif hanya sebagai “mandataris”, tetapi setelah dinyatakan sebagai “mandataris”, presiden diberi tanggung jawab dan kekuasaan penuh untuk 162
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
menjalankan pemerintahan. Di “kunci pokok” ke-VIII 5 dikemukakan bahwa: Kedudukan DPR adalah kuat. Dewan ini tidak bisa dibubarkan oleh Presiden (berlainan dengan sistem parlementer). Kecuali itu, anggota DPR semuanya merangkap menjadi anggota MPR. Oleh karena itu DPR dapat senantiasa mengawasi tindakan Presiden dan jika Dewan menganggap bahwa Presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh UUD atau oleh MPR, maka Majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar supaya bisa minta pertanggungan jawab kepada Presiden. Kedudukan DPR juga terkait dengan penjelasan Pasal 23 yang berbunyi: “Dalam negara yang berdasar Fascisme, anggaran itu ditetapkan semata-mata oleh Pemerintah. Tetapi, dalam negara demokrasi atau dalam negeri yang berdasar kedaulatan rakyat, seperti Republik Indonesia, anggaran pendapatan dan belanja itu ditetapkan dengan undang-undang. Artinya dengan persetujuan DPR Pasal 23 menyatakan, bahwa dalam menetapkan pendapatan dan belanja, kedudukan DPR lebih kuat daripada kedudukan Pemerintah. Ini tanda kedaulatan rakyat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Presiden harus tunduk sepenuhnya kepada legislatif yang berbentuk MPR dan dalam hal menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), legislatif yang berbentuk DPR lebih kuat daripada Presiden.6 Kesimpulan itu diperkuat oleh asas demokrasi yang dikemukakan oleh Bung Hatta bahwa anggota lembaga perwakilan yang dipilih langsung, kedudukannya harus lebih menentukan dari pada presiden yang dipilih secara tidak langsung, presiden dipilih oleh MPR.7 Pada waktu berdebat tentang “pertanggungjawaban menteri”, Bung Hatta mengemukakan bahwa: “Di sini (Amerika Serikat) Kongres dipilih oleh rakyat, jadi dua badan itu, yang executief maupun yang legislatief, kedua-duanya , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
163
dipilih oleh rakyat, kedudukannya sama-sama kuat, akan tetapi antara DPR yang dipilih oleh rakyat dan Presiden tidak sama kekuatannya dalam kedudukannya. Presiden dipilih oleh MPR..8 Arti “kedaulatan” memang rumit. Mungkin Presiden Suharto dan pembantunya tidak merasa telah melanggar UUD 1945 dan menghilangan kedaulatan negara ketika mau menerima tawaran International Monetary Fund (IMF) untuk mengatur perekonomian dan keuangan negara kita tanpa berkonsultasi dengan DPR maupun MPR, tempat kedaulatan rakyat berada (locus of souvereignty). Presiden Soeharto tunduk kepada kemauan IMF agar menalangi utang para konglomerat dan menganggapnya sebagai utang dalam negeri dengan dalih restrukturisasi perbankan. Tindakan itu dilakukan sebelum membahasnya dengan DPR dan mengingat jumlahnya demikian besar, 650 trilliun, tiga kali lipat APBN tahun 1998, seyogyanya dibahas juga di MPR.9 Presiden juga membebankan bunga utang konglomerat kepada rakyat Indonesia. Pada tahun anggaran 1999/2000 jumlahnya 60 trilliun, empat kali lipat dari biaya untuk pendidikan yang hanya sekitar 15 trilliun. Sampai sekarang, tahun 2005, bunga utang konglomerat itu masih dibebankan pada rakyat Indonesia; jumlahnya masih 38 trilliun, dua kali lipat biaya pendidikan. Selain itu, pemerintahan Soeharto, atau tepatnya Menteri Keuangan dan mafianya, telah melanggar kedaulatan negara dengan membuat perjanjian dengan fihak asing dengan bahasa Inggris saja, tanpa adanya teks dalam bahasa Indonesia. Demikian pula pembuatan perjanjian dengan warga negara Indonesia dalam bahasa Inggris, seperti Master Settlement and Acquisition Agreement yang sangat merugikan rakyat Indonesia itu melanggar kedaulatan negara. 10 Tentang pelaksanaan UUD 1945 pada jaman pemerintahan Presiden Habibie tidak ada hal yang dapat dipelajari. Beliau pandai di bidang teknologi tetapi awam mengenai UUD 164
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
1945. Beliau sendiri mengaku belajar tentang pemerintahan dari Guru Besar yang bernama Soeharto. Demikian pula tentang Presiden Abdurrahman Wahid. Pengetahuannya tentang UUD 1945 sangat minim. Dia mengira bahwa Pendiri Negara (yang juga penyusun UUD 1945) menganut Trias Politika, tetapi pada kenyataannya tidak mau melaksanakannya, sebab itu dia berani menyebut Pendiri Negara kita munafik (sic). Abdurrahman Wahid tidak mengetahui bahwa penyusun UUD 1945 dengan jelas menyatakan bahwa kita mempunyai sistem sendiri..11 Mantan Presiden Abdurrahman Wahid tidak menyadari kekurangannya. Dia tidak faham bahwa pemerintahan yang demokratis itu bisa juga dijalankan dengan fusion of powers seperti di Inggris,12 bukan hanya dengan jalan Trias Politika atau separation of powers seperti di Amerika Serikat. Dia tidak memahami bahwa menurut UUD 1945, DPR tidak bisa dibubarkan oleh pemerintah, bahwa UUD 1945 mengenal hak angket dan hak interpelasi. Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid adalah pemerintahan yang paling buruk melaksanakan UUD 1945. Dia menghapus Departemen Sosial, padahal Pasal 34 menyatakan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Dia juga keliru menginterpretasikan Pasal 17 ayat (2) yang berbunyi: “Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”. Dia mengira punya hak prerogatif yang dapat diberlakukan menurut seleranya sendiri. Padahal, menurut “intensi” dari penyusun UUD 1945, presiden harus menganggap menterinya sebagai pemimpin negara, Staatsman (Statesman). Hal itu tercermin di “kunci pokok” ke-IX: “Menteri-menteri negara bukan pegawai tinggi biasa”, dan diberi keterangan sebagai berikut: Meskipun kedudukan menteri negara tergantung daripada Presiden, akan tetapi mereka bukan pegawai tinggi biasa oleh karena menteri-menterilah yang terutama menjalankan kekuasaan pemerintah (power executive) dalam praktek. Memang yang dimaksudkan ialah, para menteri itu , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
165
pemimpin-pemimpin negara. Presiden Abdurrahman Wahid juga tidak mengetahui bahwa Pendiri Negara telah menggariskan “politik gaji” yang menetapkan perbandingan gaji yang tertinggi dan terendah 1000 : 50 atau 20 : 1 (Peraturan Gaji Pegawai Negeri 1948). Tindakannya untuk menaikkan gajinya sendiri menunjukkan bahwa dia mementingkan diri sendiri, dia tidak mengenal asas kekeluargaan dan rasa senasib sepenanggungan. Pada waktu Presiden Abdurrahman Wahid bergaji 50 juta, gaji terendah 500.000 rupiah; perbandingannya 100: 1. Dia merasa bahwa gajinya tidak mencukupi dan dia menaikkan gajinya sendiri menjadi 100 juta lebih, berarti perbandingannya menjadi 200: 1;13 padahal di negara yang berdasar kapitalisme pun tidak ada perbandingan sebesar itu. Presiden Megawati dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tetapi semangatnya kurang demokratis. Dia tidak faham bahwa salah satu syarat suatu negara dianggap menganut asas demokrasi adalah bahwa jabatan negara itu bersifat terbuka, setiap warga negara diperbolehkan berusaha mencapai jabatan negara yang diinginkannya. Tindakan Presiden Megawati melarang anggota partainya untuk memperebutkan jabatan Gubernur DKI Jakarta dan Jawa Tengah adalah tindakan yang tidak demokratis.14 Presiden Megawati dan anak buahnya kurang memahami bahwa sistem “Single Executive” itu berarti bahwa dia harus menerima semua tanggung jawab yang dilakukan anak buahnya. Anak buahnya pernah mengatakan jangan melemparkan “bola panas” kepada Ibu Megawati,15 yang berarti tidak memahami sistem pemerintahan presidensiel. Nampaknya Presiden Megawati tidak mau mempelajari ajaran ayahnya. Setelah menjadi presiden, dia tidak mau menghadiri Peringatan Lahirnya Pancasila di Gedung Proklamasi. Bagaimanakah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan melaksanakan UUD 1945 yang sudah diamandemen? Sumpah Presiden berbunyi: “Demi Allah saya bersumpah 166
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh UUD dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya, serta berbakti kepada nusa dan bangsa”. Presiden Yudhoyono harus benar-benar menghayati UUD 1945 yang sudah diamandemen karena sekarang ada Mahkamah Konstitusi, Pengawal Konstitusi, yang punya hak untuk menentukan apakah undang-undang selaras atau berlawanan dengan UUD. Mahkamah Konstitusi juga berhak menentukan apakah kebijakan Presiden mencerminkan keadilan dan apakah Presiden telah melaksanakan undang-undang dengan selurus-lurusnya. Bila Pasal 31 ayat (4) yang berbunyi: “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”, tidak dilaksanakan, maka dapat dianggap bahwa Presiden Yudhoyono telah melanggar sumpahnya, dia tidak berbuat adil, dan dia tidak melaksanakan undang-undang dengan selurus-lurusnya karena undang-undang pendidikan juga menyatakan hal yang senada, sekurang-kurangnya dua puluh persen untuk pendidikan. Seorang presiden dikatakan adil bila dia memberikan hak rakyat yang telah dijamin oleh UUD. Dapat dikemukakan bahwa para penyusun UUD 1945 sepakat dengan pendapat Mr.Wongsonagoro bahwa corak Hukum Dasar itu itu seratus persen efektif, 16 jadi harus dijalankan. Tetapi bagaimana kalau anggaran tidak mencukupi? Dapatkah interpretasinya seperti kewajiban ummat Islam untuk naik haji, kalau mampu harus dijalankan, kalau tidak mampu boleh ditangguhkan, seperti interpretasi Prof. Amien Rais? Interpretasi Prof. Amien Rais tidak sesuai dengan amanat Pendiri Negara dan amanat konstitusi. Masalahnya , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
167
terletak pada istilah “kemampuan menggunakan dana”. Pada jaman Presiden Megawati, pemerintah membayari utang yang dibuat oleh konglomerat, pemerintah mengurangi hak rakyat untuk mendapat pendidikan, pelayanan kesehatan dan untuk mendapat pekerjaan agar dapat mensubsidi perbankan sebanyak 50 trilliun. Sekiranya dana 50 trilliun itu sebagian besar digunakan untuk pendidikan apakah rakyat berdosa? Apakah rakyat berdosa bila tidak mau membayari utang para konglomerat? Bila pemerintahan Presiden Yudhoyono tetap mengikuti kebijakan pemerintahan Megawati yang memprioritaskan membayari bunga utang konglomerat yang direkayasa menjadi “utang dalam negeri” seperti yang tercantum di APBN 2005, sudah dapat diperkirakan bahwa Pemerintah akan menuai badai. APBN 2005 adalah buatan orangnya Megawati, memakai paradigma lama. Seyogyanya, pemerintahan Presiden Yudhoyono merombak APBN 2005 dengan paradigma baru, memberikan hak rakyat yang telah dijamin oleh UUD, mendahulukan langkah untuk mencapai tujuan negara. Presiden Yudhoyono perlu meluangkan waktu untuk merenungkan pada tingkat falsafah sampai pada tingkat pelaksanaan UUD 1945. Banyak pasal yang interpretasinya masih kontroversial, seperti di manakah letak “residual powers“. Amerika Serikat menempatkan “residual powers” di negara bagian. Negara Federal Kanada dan India menempatkannya di Pusat. Negara Kesatuan Indonesia yang sekarang memakai Federal (like) Arrangement, sebaiknya menempatkan “residual powers” di Pusat. Akhir kata penulis menghimbau agar DPR dan Pemerintah mempunyai ahli konstitusi yang dapat mengimbangi ahli konstitusi di Mahkamah Konstitusi agar tidak banyak undang-undang yang di-“judicial review “.
168
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
Endnotes R.A.Goldwin, W.A.Schambra, A.Kaufman (Eds). Constitutional Controversies, Washington D.C., 1987:131-132 2 Ibid ,halaman 132 3 Prof. Mr. H. Muh. Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945, 1959: 361; Sekretariat Negara, Risalah BPUPKI/PPKI, 1995: 326; R.M.A.B. Kusuma, Lahirnya UUD 1945 (Memuat Salinan Otentik Dokumen BPUPK dan PPKI), 2004:406. 4 Penghapusan Penjelasan UUD 1945 juga disebabkan asumsi yang keliru. Anggota MPR mengira bahwa di dunia ini tidak ada UUD yang memakai Penjelasan; padahal UUD Myanmar dan UUD India yang sudah terperinci, terdiri dari 395 pasal, masih memerlukan penjelasan (explanations). Prof Supomo dengan sengaja menyusun “Penjelasan” agar mudah difahami oleh para pembacanya seperti keterangan beliau pada waktu menjawab pertanyaan Pangeran Surjohamidjojo: Tehnis UUD tidak bisa dimengerti dengan membaca undang-undang itu saja, untuk dimengerti harus dibaca dengan penerangannya (Yamin, 1959: 366; Risalah, 1995:331; Kusuma, 2004:409). 5 Di Penjelasan UUD 1945, “Kedudukan DPR adalah kuat”, tercantum sebagai “kunci pokok” tetapi tidak tercantum angka Romawi VIII karena adanya salah cetak. Salah satu definisi sistem pemerintahan adalah hubungan antara lembaga-lembaga negara (Logemann). Jadi, “kunci pokok” ke-VIII adalah hubungan DPR dan Pemerintah. 6 Pada jaman Orde Baru, asas bahwa dalam hal menentukan APBN kedudukan DPR lebih kuat daripada Presiden selalu disembunyikan. Di Perguruan Tinggi diajarkan bahwa “kunci pokok’ hanya tujuh karena asas “DPR adalah kuat” tidak dianggap sebagai “kunci pokok”. Setelah Presiden Suharto membuat “Konsensus Nasional agar anggota DPR tidak mengubah-ubah rancangan APBN (berarti bertentangan dengan Penjelasan Pasal 23) maka Menteri Keuangan, Prof. Ali Wardana dengan sombongnya bisa mengintimidasi anggota DPR yang akan mengubah rancangan APBN dengan ucapan: Take it or leave it (Keterangan Drs. Rifai Syauta di Seminar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Oktober 1989) 7 Salah satu ciri demokrasi adalah Elected officials should have determining voice in making laws and public policies. Setelah amandemen UUD 1945, Presiden dipilih secara langsung sehingga 1
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
169
kedudukannya sama dengan anggota DPR, bahkan lebih karena hanya dua orang (Hidayat Nur Wahid dan Saleh Djasit) dari lima ratus lima puluh anggota DPR yang memenuhi bilangan pembagi suara. 8 Yamin,1959:360; Risalah,1995:325; Kusuma,2004: 405. 9 Di UUD 1945 ada ketentuan bahwa perjanjian yang membebani rakyat harus diputuskan di DPR. Di Venezuela, bila pemerintah akan memindahkan pengelolaan kekayaan negara yang besar, seperti perusahaan perminyakan, maka harus dilakukan referendum untuk mendapat persetujuan rakyat. Kita seharusnya melakukan hal yang sama, tetapi cukup di MPR saja. 10 Bahasa termasuk kedaulatan seperti tercermin di Konstitusi Perancis, 1999. Tercantum di Title I,On Sovereinty, Article 2. Pembuatan perjanjian dengan orang asing yang hanya dalam satu bahasa juga melanggar kedaulatan. Pembuatan perjanjian antar sesama warga negara Indonesia dengan bahasa asing juga melanggar sumpah Pemuda. 11 Yamin, 1959: 340; Risalah, 1995:304; Kusuma, 2004:389. 12 Lihat P.C. Manuel dan A.M. Cammisa, Checks & Balances? (How a Parliamentary System Could Change American Politics), Westview Press, 1999:16. Di buku tersebut dikemukakan bahwa Presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson (1912 — 1920), pada waktu masih menjadi pengajar, condong pada sistem Westminster (Inggris), Fusion of Powers. 13 Pada waktu Presiden Abdurrahman Wahid menaikkan gajinya menjadi 100 juta lebih, masih ratusan ribu pegawai honorer daerah yang menerima honor sebesar 100 sampai 200 ribu rupiah. 200.000 Guru honorer di Jawa Timur yang banyak diantaranya berijasah saijana menuntut agar honornya dinaikkan setara dengan upah minimum regional yang besarnya 600.000 rupiah, tetapi tidak dikabulkan. 14 Salah satu ciri dari demokrasi adalah setiap orang boleh memperebutkan suatu jabatan publik. (Key Characteristics of democracy: Competition of Office, A high level of citizen participation, Guarantee of basic civil and political liberties). 15 Para Founding Fathers Amerika memilih “Single Executive” daripada “Dural Executive” atau “Council”. Alexander Hamilton Federalist Papers No. 70 menyatakan bahwa Plural Executive atau 170
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
Council menyebabkan kita tidak dapat menentukan siapa yang bersalah dan siapa yang harus bertanggung jawab (to conceal faults and destroy responsibility). William R. Davie memilih single executive karena lebih mudah mengetahui siapa yang bertanggung jawab (“the more obvious responsibility of one person’). Kalau hanya satu orang, kata Davie, publik tidak akan bingung menentukan siapa yang bersalah ( When there was but one man, said Davie, “the public were never at a loss” to fix the blame). Para Pendiri Negara kita juga sangat menekankan keberanian untuk bertanggung jawab. Pada tanggal 18 Agustus dikeluarkan Maklumat kepada Rakyat Indonesia yang berbunyi sebagai berikut: Dengan ini dimaklumkan, bahwa pembangunan Negara Indonesia Merdeka yang dikehendakkan oleh rakyat sekalian, di waktu ini sedang dijalankan dengan saksama. Beberapa tenaga yang berani bertanggung jawab terhadap Rakyat ikut serta dalam pembangunan ini 16 Risalah,1995: 220; Kusuma, 2004: 310. Di Yamin, 1959. tidak tercantum karena Mr. M. Yamin memakai notulen sidang tanggal 11 Juli 1945 yang disingkat, hanya 4 halaman. Risalah, 1995 dan Kusuma, 2004 memakai notulen sidang yang lengkap, terdiri dari 17 halaman.
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
171
Judul Buku: Mafia Global: Sebuah Ekspose MegaKejahatan Dunia Masa Kini. Judul Asli: Global Mafia: The New World Order of Organized Crime. Pengarang: Antonio Nicaso dan Lee Lamothe. Penerjemah: Tim Grafitipers. Penyunting: H.B. Supiyo. Penerbit: P.T. Grafitipers, Jakarta. Cetakan: Pertama, 2003.
MAFIA: LEGENDA KEHORMATAN, MARTABAT, KEKUATAN, DAN KEJAHATAN YANG MEMUKAU Oleh MULYADI J. AMALIK Mahasiswa S-2 Sosiologi Studi-Pembangunan Pascasarjana UGM (Saat ini sedang riset tentang Duta [Bandit-Sosial] Kayuagung di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan).
BUKU ini membuka peluang bagi aparat kepolisian dan rezim berkuasa di negara-negara kapitalis di Eropa dan Amerika Serikat dalam mengambil kebijakan perang terhadap organisasi kejahatan transnasional atau mafia global. Tidak bisa dipungkiri bahwa mekarnya kekuatan mafia kejahatan tersebut hingga mengglobal, sungguh seiring dengan kemajuan proyek kapitalisme di negara-negara maju. Bahkan, boleh dikatakan bahwa kekuatan signifikan mafia global itu dalam melakukan operasi kejahatannya merupakan jawaban tak langsung terhadap kemajuan kapitalisme di sektor ilmu-pengetahuan dan teknologi, selain efek dari perang dan kebencian terhadap ideologi komunis, sosialis, etnis, dan agama yang selalu ditembangkan oleh negaranegara kapitalis. 172
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
Patutlah dicatat bahwa kebencian Amerika Serikat dan bangsa Eropa yang tak sudah-sudah terhadap Islam, misalnya, melahirkan “kelompok kejahatan” yang memproduksi gerakan terorisme atas nama Islam. Sebagai contoh lain, runtuhnya negara Uni Soviet sebagai negara komunis melahirkan banyak tentara yang kehilangan pekerjaan dan eksistensi diri. Tentara-tentara ini tak sungkan menceburkan diri atau bergabung dengan kelompok mafia global dalam kegiatan perdagangan obat-obatan terlarang serta senjata gelap. “Dalam masa empat tahun pertama dasawarsa itu telah terjadi pertumbuhan luar biasa kejahatan terorganisasi Eropa Timur akibat runtuhnya Uni Soviet pada 1991. Kelompokkelompok kejahatan Eropa Timur telah sepenuhnya mengubah wajah dunia kejahatan internasional sebab mereka membentuk mata rantai dengan berlusin-lusin organisasi kejahatan di seluruh Eropa dan Amerika Utara. Garis-garis lama yang memisahkan berbagai pelaku dalam dunia kejahatan global mulai kabur. ‘Orang-orang Rusia’, demikian mereka secara populer disebut, telah memotong sendiri bagian kue kejahatan itu dan berusaha untuk mendapatkan lebih banyak lagi. Runtuhnya penghalangpenghalang di Eropa Timur telah membuka pasar baru bukan hanya bagi obat terlarang melainkan juga bagi barangbarang produksi Barat, dari mobil hingga pakaian dan teknologi. Sebagai penukar untuk barang-barang ini, orangorang Rusia memasok persenjataan dan menyediakan bahan nuklir bagi para pembeli di Eropa” (halaman xii-xiii). Negara-negara miskin dan korup, seperti Indonesia merupakan pasar potensial untuk perniagaan obat-obatan terlarang dan senjata gelap, tetapi tetap tidak menjanjikan pemasukan uang dalam jumlah besar bagi kelompok mafia global. Bagi sebagian orang di Indonesia, obat-obatan terlarang dan senjata (gelap maupun terang) itu hanya untuk dikonsumsi secara pengecut, yaitu dalam pengertian untuk bersombong dan gagah-gagahan. Namun, negara-negara kecil dan miskin serta korup, seperti Indonesia tersebut tetap , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
173
akan menjadi sarang madu dan jaringan empuk bagi gerakan transnasional organisasi-organisasi kejahatan itu, yang saban waktu mulai terdesak oleh kecanggihan teknologi yang digunakan oleh aparat kepolisian di negara-negara maju.
Mafia: Campuran Mitos dan Legenda. Menurut Antonio Nicaso dan Lee Lamothe (halaman 64), kata “mafia” selalu melambangkan semua kelompok kejahatan terorganisasi, baik dari Sisilia, daratan Italia, Asia, dan Amerika Selatan. Bahkan, kata “mafia” pun telah merasuk ke dalam bahasa-bahasa daerah lain untuk menunjukkan sebuah kelompok tertutup yang beroperasi sendiri. Namun, menurut dua pengarang buku ini, “di dunia kejahatan, hanya ada satu kelompok kejahatan terorganisasi yang secara historis dianggap berhak atas istilah tersebut dan itu adalah Mafia Sisilia”, yang juga dikenal dengan sebutan Cosa Nostra. Secara harfiah, sebutan itu bermakna “barang kami” atau “barang milik kami”, tetapi FBI untuk mafia Amerika merancukan sebutan tersebut dengan julukan La Cosa Nostra. Kerancuan istilah ini menimbulkan banyak salah paham terhadap berbagai gerakan kejahatan sehingga penjahat kelas teri pun kadang disebut mafia. Di Indonesia, kata “mafia” dikenakan ke berbagai bentuk kejahatan berskala receh dan bahkan dicapkan pula pada kecurangankecurangan dalam lapangan kerja, seperti yang paling populer ialah mafia peradilan (sektor hukum) atau mafia perwasitan (sektor olahraga sepak bola), dan lain-lain. Padahal, dalam konteks kecurangan di sektor peradilan yang selalu melibatkan aparatur pemerintah, kata “korupsi” lebih cocok dilabelkan karena bekaitan erat dengan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. Semakin asal-usul kata “mafia” ini ditelusuri, akarnya semakin tidak jelas. Terhadap kata “mafia” ini, “belum ada etimologi yang disetujui semua orang” dan “campuran antara mitos dan legenda serta berlalunya waktu telah mengaburkan akarnya,” tulis Antonio Nicaso dan Lee Lamothe untuk 174
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
membuktikan betapa rumitnya memulai kerja dari sebuah definisi dan etnis. Namun, tetap saja poin mitos dan legenda tentang “mafia” ini menjadi memikat dalam penjelasan kedua pengarang tersebut di dalam bukunya ini. Dari sebuah legenda, Antonio Nicaso dan Lee Lamothe mengatakan bahwa serangan Perancis pada tahun 1282 ke Sisilia mendorong lahirnya moto MAFIA yang merupakan singkatan dari Morte Alla Francia Italia Anela! dan bermakna “Maut di Tangan Perancis adalah Tangis Italia!”. Dalam konteks yang sama, sebuah legenda juga menceritakan bahwa kata “mafia” muncul setelah seorang gadis Sisilia diperkosa dan dibunuh oleh seorang serdadu Perancis sehingga ibu si gadis meratap dengan ucapan “Ma fia, ma fia!” atau “Putriku, putriku!” Pada tahun 1862, penulis drama Sisilia, Giuseppe Rizzuto, secara terang menggunakan kata “mafia” dalam karyanya yang berjudul I Mafiusi della Vicaria (Mafia di Gereja). Drama tersebut menceritakan tentang kehidupan para anggota tapa-brata dari sebuah masyarakat kriminal rahasia di penjara-penjara Pelermo. Mafia ini memiliki sejumlah lambang, isyarat tangan yang aneh, upacaraupacara, dan struktur keanggotaan tersendiri. Akhirnya, pada tahun 1868, kata “mafia” masuk dalam daftar kamus Sisilia dari Traina dengan makna: “tantangan, keberanian, bualan”. Sementara itu, etimologi kata “mafia” dalam kamus tersebut dibentuk dari kata-kata Arab, yaitu mihfal (pertemuan atau reuni) dan mahyas (besar mulut). Dengan demikian, menurut Antonio Nicaso dan Lee Lamothe (halaman 65), kata “mafia” —berdasarkan definisinya— bukanlah sebuah julukan atau sebuah nama, melainkan cara untuk menggambarkan “perilaku tertentu, sikap kejantanan, dan kekuatan, yang dinilai tinggi di kalangan masyarakat Sisilia”. Jadi, seseorang dapat disebut “mafioso” tanpa harus menjadi penjahat. “Dia adalah seorang individu yang banyak dikagumi, yang memperhatikan kebutuhan-kebutuhannya sendiri, memecahkan persoalan, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
175
persoalannya sendiri, dan yang menjalani kehidupannya sendiri dengan kehormatan, martabat, dan kekuatan,” urai Antonio Nicaso dan Lee Lamothe dalam pengertian yang positif. Namun, secara negatif dan di luar konteks kriminal, kedua pengarang ini mengatakan bahwa perilaku “mafia” sungguh dekat dengan sebuah konsep antisosial yang menjurus pada ketidaksesuaian dengan hak-hak demokratis dan ketidakpatuhan pada aturan negara atau gereja. Jadi, “pada dasarnya, aturan perilaku mafia adalah aturan kelompok luar yang diterapkan secara tidak sah dan pada akhirnya, (menjadi) korupsi dan kekerasan.” Dalam penjelasan berikutnya (halaman 66), Antonio Nicaso dan Lee Lamothe menguraikan juga adanya hubungan sebab-akibat yang kuat antara sikap patriotisme mafia dan ketertindasan sebuah masyarakat. Sebagai contoh, ada kemiripan antara orang-orang Sisilia yang membentuk berbagai kelompok bawah-tanah untuk melawan para penyerang asal Arab pada abad ke-19 dan munculnya kelompok-kelompok partisan Perancis yang bersatu dalam organisasi rahasia untuk memerangi kaum Nazi pada Perang Dunia II. Akan tetapi, setelah kaum penindas dan rasis dapat dikalahkan, kelompok-kelompok perlawanan yang berisi para mafia itu pun kehilangan relevansinya dalam perubahan politik. Bila mereka tidak memperoleh kekuasaan, maka anggota-anggota kelompok klandestin itu mengorganisasikan sistem rahasia mereka sendiri dan membentuk sebuah ikatan di antara mereka sendiri serta membuktikan keunggulan kekuatan mereka. Menurut Antonio Nicaso dan Lee Lamothe, “beginilah cara basis mafia berkembang.” Dengan demikian, gambaran tentang mafia sebagai legenda kehormatan, martabat, kekuatan, dan kejahatan yang memukau betulbetul manifes.
Mafia Global Tak Bisa Mati Sejujurnya, membaca buku ini setara dengan menonton film The Godfather Francis Ford Copolla atau setara dengan 176
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
membaca novel-novel Mario Puzo. Antonio Nicaso dan Lee Lamothe betul-betul berhasil menyuguhkan anatomi dan profil kelompok-kelompok kejahatan transnasional secara memukau, seperti Mafia Sisilia, La Costa Nostra Amerika, Yakuza Jepang, Triad Cina, kartel-kartel Kolombia, mob Rusia, geng-geng Vietnam, dan lain-lain. Akan tetapi, secara jujur pula, data-data tentang mafia global yang diuraikan Antonio Nicaso dan Lee Lamothe dalam buku ini umumnya bersumber dari statistik kriminal kepolisian. Statistik kriminal tidak bisa menjelaskan secara langsung mengenai sebab-sebab kriminalitas, walau dapat menggambarkan faktor-faktor individual; tidak bisa memperhitungkan hidden criminality yang selalu berubah menurut waktu, tempat, dan sifat pelanggarannya; dan memiliki banyak sumber kekeliruan, baik soal angka kejahatan atau interpretasi yang diperoleh dari angka-angka kejahatan itu.1 Pada bagian lain, kejahatan merupakan obyek kriminologi. Kejahatan dianggap sebagai peristiwa sosial. Berdasarkan kriminologi, dapat dibahas keadaan-keadaan sosial tertentu yang ikut menyebabkan berubahnya pendapat atau pandangan subyektif moral tentang kejahatan atau mafia. Di sini, statistik kriminal dapat menunjang analisis kriminologi.2 Pertama, berdasarkan teori anomi, dinyatakan bahwa kejahatan dalam masyarakat terjadi karena struktur masyarakat menyediakan sarana yang sudah melembaga serta tujuan atau cita-cita yang sudah membudaya. Cita-cita, tujuan, atau aspirasi itu ialah tentang hidup sukses, sedangkan sarana yang telah melembaga itu ialah kesempatan memperoleh pendidikan tinggi dan pekerjaan tetap/layak. Kedua, berdasarkan teori asosiasi diferensial, ada penolakan atas pandangan yang menyatakan bahwa kejahatan adalah milik kaum papa selamanya. Nyatanya, kejahatan juga sering dilakukan oleh kalangan masyarakat elit, walau pelakunya kebanyakan jarang sampai ke meja hijau sehingga tidak diketahui publik. Ketiga, berdasarkan teori differential acces to opportunity structure, dijelaskan bahwa kejahatan terjadi , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
177
karena adaptasi atas sarana yang dapat mewakili aspirasinya, dan karena reaksi atas ketimpangan/ketidakadilan dalam masyarakat. Aspek lain penyebabnya ialah masalah kecemburuan sosial yang terkait dengan ketimpangan sosial. Keempat, berdasarkan teori labeling, dijelaskan bahwa kejahatan dapat terjadi akibat proses stigmatisasi sosial, yaitu proses krisis identitas mengenai jati-diri seseorang di tengahtengah masyarakat. Stigmatisasi ini terjadi karena persepsi atau konstruksi masyarakat, termasuk oleh pemerintah atau aparat-aparat penegak hukum. Proses stigmatisasi ini kebanyakan dialami oleh mantan narapidana yang telah memperoleh hak bebas dan hak hidup di tengah-tengah masyarakat.3 Perdebatan mengenai kejahatan selalu muncul karena banyaknya definisi tentang makna kejahatan tersebut. Mengenai mafia adalah salah satunya. Kebanyakan pakar yang meminati dunia ini selalu menghubungkannya dengan kekerasan. Berarti dunia ini dikategorikan sebagai kejahatan konvensional karena kasat mata dan bukti materialnya bisa ditunjukkan langsung. Tentu saja pendefinisian ini tidak cukup adil bila melihat perkembangan dunia kejahatan yang tidak hanya terjadi di kalangan orang miskin dan kumuh, tetapi juga di kalangan orang berdasi dan cerdas. Pada sisi lain, dalam konteks mafia global, tidak dapat dipungkiri bahwa tidak jarang sejumlah aparat pemerintahan ikut terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Inilah salah satu akar mafia global sehingga tak pernah bisa mati! Jadi, mafia global itu seperti benalu yang dibudidayakan oleh lembaga-lembaga legal, bukan? Begitulah, mafia global sudah memiliki basis ekonomi dan sosial yang kuat serta struktur yang tersembunyi sehingga keabadian kejahatannya melegenda bercampur kehormatan, martabat, dan kekuatan yang memukau.
178
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
Endnotes Stephen Hurwitz, 1982, Krimonologi, saduran Ny. L. Moeljatno, S.H., Jakarta: P.T. Bina Aksara, halaman 30-31. Lihat juga Editor, No. 29/Thn. III/24 Maret 1990, halaman 36-37 dan No. 30/Thn. IV/6 April 1991, halaman 74-75. 2 P.J. Bouman, 1976, Sosiologi. Pengertian-pengertian dan Masalah-masalah, Yogyakarta: Yayasan Kanisius, halaman 106107. 3 Romli Atmasasmita, 1995, “Preman dan Masyarakat. Sebuah Tinjauan Hukum, Kriminologi, dan Viktimologi,” dalam Prisma 7, Juli 1995, halaman 81-83. 1
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
179
Judul Buku: Reformasi Konstitusi dalam Masa Transisi Paradigmatik. Penulis: Prof. A. Mukhtie Fadjar, SH., MS. Penerbit: In-Trans, Malang. Cetakan I: Agustus 2003. Jumlah Halaman: 193 + xiv
MENATAP (LAGI) KEMESTIAN PERUBAHAN UUD 1945 Oleh NURFAQIH IRFANI, S.H. Peneliti pada Lembaga Kajian Hukum dan Kebijakan Otonomi Daerah (LKHD OTDA)
“Negara Indonesia yang berdasarkan atas hukum adalah suatu bangunan yang belum selesai disusun, dan masih dalam pembentukannya yang intensif…” (Satjipto Rahadjo)
SEPANJANG tahun 1999-2002, agenda amandemen Undang-Undang Dasar 1945 telah melewati empat tahap perubahan. Perubahan Pertama di tahun 1999, hingga Perubahan Keempat di tahun 2002 telah membawa aroma baru konstitusi Indonesia. Bukan sekedar memberikan beberapa potret hak konstitusional baru, tetapi juga memberikan peta sistematis dengan paradigma baru tentang sistem-sistem legislatif, yudikatif dan eksekutif. Artinya, melirik lebih jeli pada Undang-Undang Dasar 1945 hasil pasca amandemen tersebut, terdapat beragam perubahan yang secara signifikan ikut memberikan sentimen pada sistem ketatanegaraan. 180
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
Perubahan ini merupakan aplikasi dari amanah agenda reformasi, yang salah satu ‘titah’-nya adalah perubahan konstitusi. Perubahan terhadap konstitusi ini tentu saja tidak semudah membalikkan telapak tangan. Memafhumi konstitusi sebagai seperangkat ketentuan hukum yang disusun secara sistematis, mengatur pokok-pokok struktur dan fungsi lembaga-lembaga negara dalam menjalankan pemerintahan, termasuk kewenangan dan batas-batas kewenangan, akan mencatatkan konsekuensi logis yakni beberapa perubahan mendasar terhadap sistem ketatanegaraan yang berujung pada wujud bangunan negara. Apalagi, meng-up grade konstitusi sebagai hal yang ikut mengatur perlindungan dasar terhadap hak-hak azasi manusia dan kewarganegaraan, semakin menahbiskan kebutuhan suatu konstitusi yang kokoh agar dapat menyanggah kokohnya negara konstitusional (constitutional state) dalam sebuah sistem demokrasi yang berkelanjutan (sustainable democracy). Dalam hal inilah, terdapat berbagai ‘pertarungan’ pemikiran (bahkan kepentingan) yang ikut meramaikan di kitaran perubahan undang-undang dasar tersebut. Baik pemikiran yang terbingkai dari prosesi ideal paradigmatis, maupun kepentingan yang pragmatis paradigmatis. Hal yang seakan membenarkan tesis Weber tentang hukum sebagai abstaksi dari kelompok kepentingan, tentunya selain punya sisi hukum murni seperti yang digagas oleh Hans Kelsen. Pelbagai background perubahan konstitusi inilah yang menjadi titik tekan utama pada buku ini. Seakan ingin mereview ulang semua latar belakang itu, buku ini mencoba merangkum 3 hal. Pertama, secara gamblang menceritakan beberapa hal yang mengharuskan terjadinya perubahan terhadap konstitusi. Misalnya, tuntutan menjadikan negara hukum (the rule of law) yang secara sosiologis bermakna adanya otoritas dalam bentuk hukum, termasuk untuk mendepersonalisasikan kekuasaan dan menundukkan , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
181
pelaksananya pada aturan-aturan, sehingga melindungi warga negara dari tindakan sewenang-wenang (hal 9-10). Belum lagi beberapa hal ‘salah’ pada tatanan dan mekanisme pemerintahan Negara Republik Indonesia. Misalnya beberapa kelemahan dan distorsi yang mengemuka pada UndangUndang Dasar 1945 termasuk pada beberapa pelaksanaannya yang membuka peluang untuk terdistorsi (hal 2527). Hal lain adalah tuntutan melahirkan negara demokrasi sebagai keharusan bagi kondisi pluralitas bangsa dan upaya tanggapan terhadap konstelasi politik di era global. Sekelumit kondisi-kondisi historis, filosofis, teoritis, yuridis dan praktis politis ini, telah menjadi syarat cukup (conditio sine quanon) yang mengharuskan pelaksanaan amandemen terhadap UUD 1945. Kedua, secara partisipatif memberikan beberapa masukan pemikiran yang seharusnya menjadi item dalam perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Misalnya, adanya beberapa hal yang menjadi prinsip atau asas bernegara yang harus dipertahankan. Dengan mengadopsi beberapa butir pemikiran Lafran Pane, penulis buku ini mereduplikasi beberapa pendapatnya tentang hal yang harus dipertahankan. Seperti dasar filsafat negara, tujuan negara dan asas hukum, dan ia menolak beberapa butir, misalnya, tentang bentuk negara kesatuan (hal. 40-41). Tentang substansi yang perlu dipertimbangkan untuk ditambah/diubah, penulis juga masih menggunakan pemikiran dan analisa Lafran Pane, walau kemudian penulis menambahkan beberapa hal termasuk usulannya tentang prosedur perubahan. Lebih lanjut, penulis juga memberikan tawaran kerangka teoritik maupun paradigma pemikiran yang seharusnya melatarbelakangi perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Ketiga, mengeksplorasi konsekuensi logis dari perubahan Undang-Undang Dasar 1945 terhadap beberapa anasir penting dalam sistem ketatanegaraan. Kecenderungan checks and balances yang ditekankan oleh hasil amandemen 182
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
Undang-Undang Dasar 1945 telah membidani kelahiran beberapa lembaga-lembaga baru dan konsep baru terhadap beberapa lembaga. Misalnya, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Konstitusi, dan lembaga lainnya. Penulis terlihat sangat ‘mahir’ ketika menjelaskan beberapa hal tentang Mahkamah Konstitusi. Sebagai salah seorang anggota hakim konstitusi, penulis terlihat ‘prigel’ ketika menjelaskan posisi Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan, termasuk ketika ia menjelaskan beberapa hal yang bersifat jauh lebih teknis, yakni hukum acara (hukum formil) Mahkamah Konstitusi (hal. 119-138). zzz
Namun sayang, karena ‘ijtihad’ memperkenalkan reformasi konstitusi ini ter-‘nodai’ oleh beberapa hal. Pertama, pertidaksesuaian antara isi dan judul buku yang kelihatan ‘over-bombastis’. Ada ketidakjelasan perihal transisi paradigmatik yang sesungguhnya dimaksudkan oleh buku ini. Merujuk pada istilah (umum) paradigma, ialah a set of assumptions, concepts, values, and practices that constitutes a way of viewing reality for the community that shares them. Beberapa pokok inipun, juga sama sekali tidak terjelaskan dalam buku ini. Jika diasumsikan bahwa judul buku ini ‘meminjam’ salah satu judul tulisan pada buku ini (halaman 59-75), malangnya, tulisan itu sendiri juga gagal memberikan penjelasan memadai dan komprehensif tentang apa yang dimaksud dengan transisi paradigmatik. Kedua, mengecilkan scoupe proses transisi kehidupan kenegaraan ‘hanya’ pada transisi paradigmatik, akan menghasilkan ruang pandang yang juga akan sangat terbatas. Transisi paradigmatik seakan mengeliminir realitas bahwa perubahan yang terjadi juga karena gerak sejarah, bukan hanya sekedar sumbangan ide dunia abstrak, tapi juga lahir dari pembelajaran terhadap realitas. Belum lagi jika berbicara tentang konflik kepentingan yang melatarbelakangi proses , VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005
183
pembentukan hukum. Buku ini seakan melupakan sindiran Weber tentang proses legislasi bahwa hukum itu senantiasa dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan ideal maupun material dan sangat ditentukan oleh kelas-kelas sosial dan kelompok-kelompok yang berpengaruh. Ketiga, beberapa kesalahan teknis kecil-kecilan yang seharusnya tidak perlu tapi terlihat cukup mengganggu. Misalnya, terdapat beberapa ketikan yang keliru bahkan juga terdapat paragraf yang tidak selesai, dan seakan-akan ada yang hilang. zzz
Kumpulan tulisan yang dijadikan buku, selalu meninggalkan kemungkinan kadaluarsa, apalagi di hadapan pergeseran spasio-temporal. Buku ini juga ‘menderita’ hal yang sama. Namun, membaca buku ini seakan menatap lagi hal yang sudah lewat, tetapi bukan untuk sebuah (meminjam istilah Goenawan Mohammad) ‘kegenitan romantik’, tetapi dapat dijadikan sarana reflektif dalam pengingatan masa yang telah lewat. Hal lain, buku ini cukup ‘kaya’ analisa yang cukup berguna dalam ranah pembicaraan reformasi konstitusi yang masih jarang dijamah oleh ahli hukum Indonesia. Karenanya, buku ini masih sangat pantas untuk diakses oleh siapapun.
184
, VOLUME 1, NOMOR 3, MEI 2005