VOLUME 1 NOMOR 1, AGUSTUS 2015 DAFTAR ISI
1.
2.
3.
4.
5.
6.
FUNGI ENDOFIT: POTENSI PEMANFAATANNYA DALAM BUDIDAYA TANAMAN KEHUTANAN Safinah S. Hakim.......................................................................................
1-8
STUDI PENGUSAHAAN KAYU MANIS DI HULU SUNGAI SELATAN, KALIMANTAN SELATAN Dewi Alimah..............................................................................................
9-19
KONDISI SIFAT FISIK DAN KIMIA TANAH SERTA IKLIM MIKRO PADA TIGA TAHAP PERKEMBANGAN PEKARANGAN Junaidah...................................................................................................
21-28
PENGARUH MODEL POLYBAG DAN BEDENG TERHADAP PERTUMBUHAN TIGA PROVENAN RAMIN DI PERSEMAIAN BPK BANJARBARU Rusmana, Arif Susianto..............................................................................
29-42
PERSIAPAN LAHAN PADA TANAMAN GEMOR (Nothaphoebe coriacea): DAYA HIDUP DAN PERTUMBUHAN UMUR 3 BULAN Purwanto Budi Santosa..............................................................................
43-49
PEMBINAAN MASYARAKAT SEKITAR KHDTK DALAM BENTUK PEMASYARAKATAN IPTEK Eko Priyanto..............................................................................................
51-55
i
ii
FUNGI ENDOFIT: POTENSI PEMANFAATANNYA DALAM BUDIDAYA TANAMAN KEHUTANAN
Safinah S. Hakim Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru Jl. A. Yani Km 28,7, Landasan Ulin, Banjarbaru 70721 E-mail :
[email protected]
ABSTRAK Peningkatan produktivitas hutan tanaman melalui ekstensifikasi disinyalir merupakan penyebab degradasi lingkungan.Oleh karena itu, intensifikasi merupakan solusi utama dalam peningkatan produktivitas hutan. Intensifikasi dengan menggunakan teknologi mikroba merupakan alternatif unggulan untuk meningkatkan produktivitas hutan tanpa merusak lingkungan, bahkan bisa memperbaiki kondisi lingkungan yang rusak. Tanaman secara alami membentuk asosiasi dengan mikroba, salah satunya fungi endofit. Fungi endofit merupakan fungi yang terdapat dalam jaringan tanaman tanpa menimbulkan kerusakan pada tanaman inang. Fungi endofit diketahui memiliki manfaat positif bagi tanaman inang antara lain: (i) meningkatkan penyerapan unsur hara (ii) memproduksi senyawa metabolit sekunder dan (iii) meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit. Aplikasi fungi endofit pada tanaman kehutanan dapat menjadi alternatif dalam pemanfaatan mikroba hutan untuk pembangunan hutan tanaman serta mendukung dilakukannya bioprospeksi mikroba hutan Indonesia. Kata kunci :intensifikasi, endofit, tanaman kehutanan, biosprospeksi, metabolit sekunder
I. PENDAHULUAN Pada skala global, pertumbuhan populasi serta pertumbuhan ekonomi disinyalir merupakan penyebab utama meningkatnya kebutuhan akan hasil hutan berupa kayu. Berdasarkan data FAO (2007) disebutkan bahwa perdagangan hasil hutan dan turunannya selama 20 tahun meningkat dengan persentase rata-rata 6.6% per tahun. Angka ini diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan populasi manusia. Meningkatnya kebutuhan kayu secara pasti akan diikuti oleh peningkatan permintaan akan kayu dari hutan alam maupun dari hutan tanaman. Beberapa metode telah digunakan untuk meningkatkan produktivitas tanaman kehutanan, termasuk diantaranya ekspansi lahan untuk hutan tanaman serta penggunaan bahan-bahan kimia seperti pupuk dan pestisida. Data kementerian kehutanan menyebutkan, terdapat peningkatan yang signifikan hutan tanaman di Indonesia yakni 5 juta hektar (2005) menjadi 10 juta hektar (2010). Sayangnya, peningkatan produktivitas hasil hutan kayu, dianggap sebagai penyebab utama hilangnya biodiversitas dan memicu berbagai kerusakan lingkungan seperti banjir, tanah longsor, serta kebakaran hutan.
1
Galam Volume 1 Nomor 1, Agustus 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
Untuk meminimalkan dampak negatif dalam upaya peningkatan produktivitas hutan tanaman, intensifikasi merupakan salah satu solusi. Intensifikasi ini merupakan suatu cara untuk meningkatkan produktivitas hutan dengan meminimalisir dampak negatifnya terhadap lingkungan. Salah satu cara intensifikasi yang bisa digunakan adalah dengan memanfaatkan teknologi mikroba yang berinteraksi secara alami dengan tanaman. Secara alami, persentase tanaman yang memiliki interaksi dengan mikroorganisme adalah hampir 90% (Das dan Varma, 2009).Mikroorganisme tanah yang berinteraksi dengan tanaman memiliki peran penting dalam kesuburan tanah, meningkatkan kesuburan tanaman dalam menghadapi cekaman, dan penting bagi kesehatan tanaman (Hrynkiewicz dan Baum, 2011). Berbagai riset menunjukkan bahwa tanaman kehutanan memiliki interaksi dengan berbagai jenis mikroorganisme antara lain mikoriza, bakteri penambat nitrogen, plant growth promoting bacteria, Mycorrhiza helper bacteria (MHB) dan endofit. Studi tentang mikoriza dan tanaman kehutanan sudah banyak dipelajari. Berbagai hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa mikoriza mampu secara signifikan meningkatkan pertumbuhan tanaman, meningkatkan resistansi tanaman terhadap patogen dan meningkatkan toleransi tanaman terhadap kondisi lingkungan kritis.Tidak seperti mikoriza yang sudah banyak diteliti, studi tentang fungi endofit masih sangat minim dilakukan, terutama pada tanaman kehutanan di Indonesia. Padahal, jika dieksplorasi lebih dalam, fungi endofit ini juga memiliki potensi yang tinggi dalam mendukung pertumbuhan tanaman seperti halnya mikoriza.
II. FUNGI ENDOFIT Endofit berasal dari dua kata yakni endon yang berarti di dalam, dan pyton yang bermakna tanaman (Schulze dan Boyle, 2006). Dari terminologi di atas, maka dapat diartikan bahwa endofit bermakna mikroorganisme baik itu fungi atau bakteri yang hidup di dalam tanaman tanpa menimbulkan kerusakan yang tampak. Pada beberapa literatur, disebutkan bahwa mikoriza termasuk dalam kategori fungi endofit. Tetapi seiring dengan perkembangan penelitian yang ada, fungi endofit dikategorikan sebagai jenis fungi yang berbeda dengan mikoriza. Secara lebih detil, perbedaan fungi endofit dan mikoriza dijelaskan pada tabel 1. Tabel 1. Perbandingan antara fungi endofit dan mikoriza (Brundrett, 2006) Kriteria
Endofit
Mikoriza Hifa sudah terspesialisasi (hartig net, arbuskula, vesikel dll)
Morfologi
Hifa relatif belum terspesialisasi
Pengaruh pada inang
Sifat ketergantungan fungi pada inang Fungi bersifat obligat untuk memenuhi lemah hingga sedang kebutuhan nutrisi (FAM dan Ektomikoriza)
Pengaruh pada Tanaman
Menguntungkan atau membahayakan Sangat menguntungkan atau sedikit tetapi dalam kadar yang rendah menguntungkan
Transfer nutrisi
transfer nutrisi yang telah Transfer pasif, fungi bukan penyimpan Terdapat tersinkronisasi dengan baik, fungi merupakan nutrisi yang kuat penyimpan nutrisi yang baik
2
Fungi Endofit: Potensi Pemanfaatannya dalam Budidaya Tanaman Kehutanan Safinah S. Hakim
Fungi endofit dalam menginfeksi tanaman inang bisa menginfeksi melalui stomata, dinding sel, atau luka pada jaringan tanaman (Bayman, 2007). Fungi endofit bisa dijumpai pada berbagai bagian tanaman antara lain daun, batang, pucuk dan akar. Sebagai contoh, Orachaipunlap et al.,(2009) dan Pragathi et al., (2013) berhasil menemukan fungi endofit pada daun jenis-jenis Dipterokarpa, dan Hakim et al.,(2014) menemukan beberapa jenis fungi endofit pada akar jenis Shorea leprosula(Gambar 1).
Gambar 1. Kultur murni fungi endofit dari akar Shorea leprosula.
Persentasi adanya fungi endofit pada tanaman kehutanan relatif cukup tinggi yakni sekitar 70-100% pada akar beberapa jenis tanaman di wilayah temperate (Achlich dan Sieber, 1996), 59.3-75.5% pada daun tanaman dipterokarpa (Orachaipunlapet al.,2008), 48.5-65.6% pada tiga jenis pohon di China (Sun et al., 2012), dan lebih dari 95% pada daun di hutan neotropical (Arnold et al.,2001). Tingginya persentase kolonisasi dan keanekaragaman jenis endofit tersebut dikaitkan dengan tingginya keanaekaragaman jenis tanaman yang ada di hutan tropis (Arnold,2001). Hal ini tentu saja bisa dijadikan sebagai pemicu berkembanganya studi tentang fungi endofit pada tanaman kehutanan Indonesia dan pemanfaatannya dalam upaya mendukung bioprospeksi mikroba kehutanan yang berguna di Indonesia.
III. MANFAAT FUNGI ENDOFIT Berbagai penelitian menunjukkan bahwa fungi endofit bisa memberikan manfaat positif pada tanaman inang. Dalam interaksi tersebut terdapat hubungan mutualisme antara fungi endofit dengan tanaman. Bagi tanaman inang, fungi endofit memberikan nutrisi bagi tanaman inang dan memberikan perlindungan stres biotik. Manfaat tersebut diperoleh dari adanya metabolit sekunder, fitohormon, nutrisi, elicitin, dan formasi koloni yang menguntungkan tanaman. Skema manfaat fungi endofit yang bisa secara sederhana diilustrasikan pada Gambar 2. Manfaat-manfaat dari fungi endofit ini tentu saja harus dieksplorasi dan dipelajari lebih jauh terutama dalam aplikasinya pada skala yang lebih luas. Teknologi pemanfaatan mikroba fungi endofit pada tanaman kehutanan memiliki potensi dalam meningkatkan hasil panen, mengurangi biaya operasional, serta bersifat ramah lingkungan. Beberapa contoh manfaat fungi endofit pada tanaman adalah sebagai berikut :
3
Galam Volume 1 Nomor 1, Agustus 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
Gambar 2. Skema potensi kontribusi fungi endofit akar terhadap inang dalam interaksi simbiosis mutualisme (Schulz, 2006)
A. Meningkatkan penyerapan nutrisi pada tanaman inang Adanya interaksi antara fungi endofit dengan tanaman kehutanan menunjukkan bahwa fungi endofit bisa meningkatkan penyerapan nutrisi. Haselwandter dan Read (1982) dalam Jumponnen et al.,(2001), pada penelitiannya membuktikan bahwa inokulasi fungi endofit pada European Alps menunjukkan peningkatan biomassa dan jumlah phosphor. Peningkatan N dari tanah serta peningkatan biomassa tanaman inang juga terjadi pada jenis Pinuscontorta yang diinokulasi dengan fungi endofit. Pada kasus jenis fungi endofit pada tanaman kehutanan kawasan tropis, potensi peningkatan penyerapan nutrisi oleh fungi endofit pada jenis tanaman kehutanan dapat dilihat pada penelitian Hakim (2014). Pada uji in vitro pada media spesifik Pikovskhaya (PVK), jenis fungi endofit akar Trichoderma spirale dan Melanconiella elisii yang merupakan fungi endofit yang diisolasi dari akar Shorea leprosula menunjukkan kemampuan dalam melarutkan fosfor inorganik. Fosfor merupakan salah satu nutrisi makro yang diperlukan dalam pertumbuhan tanaman. Indikasi adanya kemampuan fungi dalam melarutkan fosfor inorganik dapat dilihat melalui pembentukan zona bening pada media yang digunakan. Oleh karena itu, suatu mikroba yang memiliki kemampuan dalam melarutkan fosfor diasumsikan bahwa mikroba tersebut memiliki potensi dalam meningkatkan kesuburan tanaman (Barrow dan Osuna, 2002). B. Produksi Metabolit Sekunder Hampir 80% fungi secara in vitro memproduksi metabolit aktif yang berguna sebagai antibakteri, herbisida dan juga pestisida alami (Schulz et al., 2006). Satu jenis fungi endofit dapat memproduksi beberapa jenis metabolit sekunder. Hal ini dibuktikan oleh penelitian Surnayaran et al.,(2009), diketahui satu jenis fungi bisa memproduksi dua hingga tiga senyawa metabolit sekunder. Selama ini, sudah banyak jenis-jenis metabolit sekunder dari fungi yang diambil dan dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan terutama dalam industri farmasi. Metabolit sekunder dari fungi endofit ini perlu dieksplorasi lebih dalam sebagai upaya bioprospeksi terhadap mikroba hutan.
4
Fungi Endofit: Potensi Pemanfaatannya dalam Budidaya Tanaman Kehutanan Safinah S. Hakim
Tabel 2. Jenis-jenis metabolit sekunder dari fungi endofit (Surnayaran et al., 2009) No 1
Spesies Fungi Phosmopsis sp.
Jenis Senyawa Metabolit Phosmopsolide A Phosmopsolide B
2
Fusarium sp.
Apicidin Enniatin A1 Enniatin B Enniatin E
3
Curvularia sp.
Chytocalasin B Chytocalasin B
Deteksi metabolit sekunder pada fungi endofit bisa dilakukan dengan analisis in vitro menggunakan media spesifik dan melalui analisis kromatografi dengan pendekatan High Performance Liquid Chromatography (HPLC) atau Gas Chromatography- Mass Spectrometry (GC-MS). Salah satu contoh media spesifik untuk uji in vitro deteksi adanya produksi senyawa metabolit oleh fungi endofit adalah media Chrome Azzurol S (CAS) Agar (Gambar 3). Media ini bisa dimanfaatkan untuk mengetahui kemampuan fungi dalam memproduksi siderophore, senyawa metabolit yang dikeluarkan fungi yang berfungsi mengikat Fe serta bisa menekan pertumbuhan bakteri yang membahayakan tanaman (Alexander dan Zuberer, 1991).
Sumber gambar : Safinah Hakim
Gambar 3. Identifikasi adanya senyawa metabolit siderophore oleh fungi endofit akar pada media CAS Agar
5
Galam Volume 1 Nomor 1, Agustus 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
C. Meningkatkan Resistensi Tanaman terhadap Penyakit Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, fungi endofit memproduksi metabolit sekunder yang bermanfaat sebagai pestisida alami. Salah satu senyawa aktif dari fungi endofit yang cukup banyak diketahui dan dipelajari sebagai pestisida alami adalah regulosin. Miller et al., (2002) menyatakan bahwa regulosin merupakan senyawa yang cukup efektif dalam menekan pertumbuhan hama ulat pucuk pada jenis-jenis pinus di Amerika. Potensi fungi endofit dalam menekan penyakit tanaman juga dapat dilihat pada uji invitro fungi endofit akar jenis Trichoderma spiraledanTrichoderma asperellum, yang diisolasi dari jenis Shorea leprosula. Dari uji inokulasi ganda yang dilakukan (Gambar 3), diketahui bahawa dua jenis fungi endofit tersebut mampu menekan pertumbuhan fungi patogen Fusarium sp. yang merupakan penyebab penyakit lodoh pada tanaman Jabon (Anthocepalus cadamba) (Hakim, 2014).
Gambar 3. Uji inokulasi ganda fungi endofit T. spirale dan T. asperellum dengan fungi patogen Fusarium sp. pada hari ke-3 dan ke-7 (E = endofit ; F = patogen) (Hakim, 2014).
Adanya penelitian-penelitian dasar tentang fungi endofit yang memberikan manfaat pada tanaman tentu saja menjadi tantangan tersendiri untuk meneliti lebih jauh interkasi antara fungi endofit dengan tanaman kehutanan. Pada tanaman kehutanan indonesia, studi tentang fungi endofit masih minim dilakukan. Hal ini tentu saja menjadi pendorong serta tantangan dalam pengembangan pemanfaatan produk mikroba hutan, terutama fungi endofit dalam pembangunan kehutanan di Indonesia.
IV. KESIMPULAN Peningkatan produktivitas hutan dapat dilakukan melalui intensifikasi dengan penggunaan teknologi mikroba berguna salah satunya fungi endofit. Fungi endofit terbukti potensial dalam mendukung pertumbuhan tanaman karena memiliki berbagai manfaat positif unuk tanaman inangnya antara lain meningkatkan penyerapan nutrisi tanaman, meningkatkan resistensi tanaman terhadap penyakit dan
6
Fungi Endofit: Potensi Pemanfaatannya dalam Budidaya Tanaman Kehutanan Safinah S. Hakim
mampu memproduksi metabolit sekunder. Banyaknya studi yang membuktikan pengaruh positif fungi endofit terhadap tanaman inang serta minimnya informasi terkait fungi endofit pada tanaman kehutanan Indonesia merupakan tantangan tersendiri untuk mendukung berkembangnya studi tentang fungi endofit.
DAFTAR PUSTAKA Achlich K dan Sieber TN. 1996. The profusion of dark septate endophytic fungi in non-ectomycorrhizal fine roots of forest trees and shrubs. New Phytol 132.259-270. Alexander DB dan Zuberer DA. 1991. Use of chrome azurol S reagents to evaluate siderophore production by rhizosphere bacteria. Biol Fertil Soils 12.39-45. Arnold AE, Maynar Z, Gilbert GS. 2001. Fungal endophytes in dicotyledonous neotropical trees: patterns of abundance and diversity. Mycol 105 (12).1502-1507. Barrow JR, Osuna P. 2002. Phosphorus solubilization and uptake by dark septate fungi in fourwing saltbush, Atriplex canescens (Pursh) Nutt.Journal of Arid Environments 51.449–459. Bayman P. 2007.Fungal endophytes.Kubicek CP dan Druzhinina IS, editor.Environmental and microbial relationship 2nd edition. Berlin (DE): Springer. Brundrett MC. 2006. How mycorrhizal fungi differ from endophytes. Schulz B ; Boyle C; Sieber, editor. Microbial root endophytes. Berlin (DE): Springer Das A dan Varma A. 2009. Symbiosis: the art of living. A Varma dan Kharkwal AC, editor.Symbiotic fungi. Berlin (DE):Springer. FAO. 2007. Global wood and products flow trends and perspectives. [diunduh 2014 Nov 10.]Tersedia pada: http://www.fao.org/forestry/12711-0e94fe2a7dae258fbb8bc48e5cc09b0d8.pdf. Hakim SS, Budi SW, Turjaman M. 2014.Sterilisasi permukaan untuk mengisolasi fungi endofit akar pada meranti tembaga (Shorea leprosula Miq.) di hutan penelitian Dramaga.Jurnal Silvikultur Tropika 5(1).56-61. Hakim SS. Identifikasi dan karakterisasi fungi endofit dari akar Shorea leprosulaMiq.danShorea selanica (DC) Blume. Tesis pada Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor : Tidak dipublikasikan. Hrynkiewicz K, Baum C. 2011. The potential of rhizosphere microorganisms to promote the plant growth in disturbed soils.A Malik, E Grohmann, editor.Environmental protection strategies for sustainable development, Strategiesfor sustainability. Berlin (DE): Springer. Jumpponen A. 2001. Dark septate endophytes - are they mycorrhizal?. Mycorrhiza 11: 207-211. Miller JD, Mackenzie S, Foto M, Adams GW, Findlay JA. 2002. Needles of White Spurce Inoculated with Regulosin-Producing Endophytes Contain regulosin reducing spurce budworm growth rate. Mycol Res 106.471-479. Orachaipunlap K, Roengsumran S, Sinahot P. 2009. Diversity of endophytic fungi isolated from plant leaves of decidious dipterocarp forest in tak province. Kasetsart J (Nat.Sci) 43. 182-188. Pragathi D, Vijaya T, Mouli KC, Anitha D. 2013. Diversity of fungal endophytes and their bioactive metabolites from endemic plants of Tirumala hills-Seshachalam biosphere reserve. African Journal of Biotechnology 12(27).4317-4323. Schulz B, Boyle C. 2006. What are Endophytes?. Schulz B, Boyle C dan Sieber TN, editor. Microbial root endophytes. Berlin (DE): Springer-Verlag.
7
Galam Volume 1 Nomor 1, Agustus 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
Schulz B. 2006. Mutualistic Interaction with fungal root endophytes. Schulz B, Boyle C , Sieber TN, editor : Microbial root endophytes. Berlin Heidelberg (DE): Springer-Verlag. Sun X, Ding Q, Hyde KD, Guo LD. 2012.Community structure and preference of endophytic fungi of three woody plants in a mixed forest.Fungal Ecology 5.624-632. Suryanarayan TS; Thirunavukkarasu,N; Govindarajulu,MB; Sasse,F; Jansen,R; Murali,TS. 2009. Fungal endophytes and Bioprospecting. Fungal Biology Reviews 23 .9-19.
8
STUDI PENGUSAHAAN KAYU MANIS DI HULU SUNGAI SELATAN, KALIMANTAN SELATAN
Dewi Alimah Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru Jl. A. Yani Km 28,7, Landasan Ulin, Banjarbaru 70721 E-mail :
[email protected]
ABSTRAK Kalimantan Selatan merupakan salah satu daerah pengembang tanaman kayu manis jenis C. burmanii dengan kualitas unggulan. Penelitian ini bertujuan mengetahui pemanfaatan dan pengusahaan kayu manis yang dilakukan oleh masyarakat di Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data sekunder dari Biro Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Perkebunan dan Pertanian serta studi literatur terhadap beberapa tulisan ilmiah terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengusahaan kayu manis di Loksado, Kab. Hulu Sungai Selatan masih terbatas pada pengusahaan bagian kulit dari pohon kayu manisnya saja. Kegiatan yang dilakukan meliputi produksi, penjemuran kulit kayu manis, dan distribusi produk dari kulit kayu manis baik itu dalam bentuk gulungan (mentah) maupun sirup. Kata kunci : kayu manis, potensi, pemanfaatan, diversifikasi, Loksado
I. PENDAHULUAN Kayu manis (Cinnamomum sp.) merupakan tumbuhan asli Asia Selatan, Asia Tenggara dan daratan Cina, termasuk Indonesia (Smith, 1986). Tanaman kayu manis yang dikembangkan di Indonesia sebagian besar adalah jenis Cinnamomum burmanii Blume. Jenis kayu manis ini merupakan tanaman asli Indonesia. Selain C. burmanii, Indonesia pun masih memiliki beberapa jenis tanaman dari keluarga Cinnamomum, yaitu C. Cassia dan C. cullilawan. Namun kualitas kulitnya masih lebih rendah dibanding C. Burmanii (Rismunandar dan Paimin, 2009). Kayu manis termasuk famili Lauraceae yang memiliki nilai ekonomi dan merupakan tanaman tahunan yang memerlukan waktu lama untuk diambil hasilnya. Hasil utama kayu manis adalah kulit batang dan dahan, sedang hasil ikutannya adalah ranting dan daun. Komoditas ini selain digunakan sebagai rempah, hasil olahannya seperti minyak atsiri dan oleoresin banyak dimanfaatkan dalam industri-industri farmasi, kosmetik, makanan, minuman, rokok, dan sebagainya (Heyne, 1987). Pada tahun 2003 - 2005 Indonesia menjadi produsen dan eksportir utama kayu manis dengan pangsa pasar dunia sebesar 26,10%, diikuti Tiongkok (24,63%), Sri Lanka (8,05%), Vietnam (5,30%), dan negara lainnya (35,92%). Pada tahun yang sama jumlah ekspor Indonesia adalah sebesar 37.192 ton dengan nilai 22.4 US$ (FAOSTAT, 2005). Pada umumnya kayu manis dikembangkan dalam bentuk hutan rakyat. Pada tahun
9
Galam Volume 1 Nomor 1, Agustus 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
2005 luas areal pengembangan kayu manis adalah 134.770 ha yang tersebar di 19 wilayah propinsi dengan nilai produksi mencapai 100.775 ton. Namun tahun 2013, luas areal penanaman kayu manis mengalami penurunan hingga tersisa 101.800 ha dengan nilai produksi sebesar 89.500 ton (Jaya, dkk. 2009; BPS, 2014). Daerah unggulan penghasil kayu manis, sebagian besar berada di Sumatera Barat (Rantau Kermas, Renah Alai, dan Pulau Tengah) dengan potensi produksi sekitar 1,5 ton/bulan (Wangsa dan Nuryati, 2006). Selain itu, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi juga merupakan salah satu wilayah kabupaten terluas dalam melakukan pengembangan kayu manis di Indonesia, dengan areal penanaman seluas 40.962 ha dan nilai produksinya mencapai 52.980 ton (64,92%) dari total produksi nasional. Angka ini menempatkan Kabupaten Kerinci sebagai penyumbang utama dari total produksi kayu manis nasional bersama Sumatera Barat. Kayu manis yang berasal dari Kerinci ini dikenal memiliki kualitas terbaik di Indonesia (Ditjenbun, 2014). Kalimantan, khususnya Kalimantan Selatan juga merupakan daerah pengembang tanaman kayu manis jenis C. Burmanii dengan kualitas nomor dua setelah Sumatera. Beberapa daerah penghasil kayu manis di Kalimantan Selatan adalah Loksado dan Padang Batung, dimana keduanya masuk dalam Kabupaten Hulu Sungai Selatan yang berlokasi di sepanjang punggung Pegunungan Meratus. Masyarakat Dayak Meratus merupakan produsen utama kayu manis di propinsi ini. Daerah Kalimantan Selatan lainnya, yaitu Kotabaru dan Kabupaten Hulu Sungai Tengah juga merupakan pengembang kayu manis. Kawasan - kawasan ini memiliki potensi rempah – rempah yang sangat besar dan secara ekonomis dapat bersaing dengan produk kayu manis dari daerah manapun (Wangsa dan Nuryati, 2006; BPS Kab. Hulu Sungai Selatan, 2004). Pengusahaan kayu manis oleh masyarakat petani di Kalimantan Selatan pada umumnya masih dalam taraf industri hulu. Keuntungan yang mereka peroleh adalah dari hasil penjualan kulit kayu manis. Sebagian diantara mereka ada yang berusaha mendapatkan nilai tambah dengan cara menjual kayu manis dalam bentuk produk sirup. Cara pembuatannya pun masih dilakukan secara tradisional. Penyusunan makalah ini bertujuan mengetahui pemanfaatan dan pengusahaan kayu manis serta berbagai kendala yang dihadapi oleh petani kayu manis di Kalimantan Selatan, khususnya di daerah Loksado, Kab. Hulu Sungai Selatan.
II. METODE PENELITIAN A. Kerangka Analisis Sebagai hasil hutan non kayu, kayu manis mempunyai berbagai manfaat. Pengusahaan kayu manis merupakan kegiatan untuk memperoleh manfaat ekonomi dari tanaman kayu manis. Makin banyak produk yang dihasilkan dari tanaman ini, maka manfaat ekonomi yang diterima masyarakat sekitar semakin besar. Penelitian ini mengeksplorasi semua kegiatan usaha yang telah dilakukan oleh masyarakat dan menganalisis peluang – peluang pengusahaan lainnya. Keberhasilan memperoleh peluang baru dari pengusahaan kayu manis sangat bermanfaat bagi perekonomian masyarakat. B. Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan adalah data sekunder dari Biro Pusat Statistik dan Situs Internet Direktorat Jenderal Perkebunan dan Pertanian. Data sekunder diambil pada tahun 2015. C. Metode Analisis data Data dianalisis secara eksploratif. Hasil analisis data digunakan untuk mengeksplorasi peluang pengusahaan kayu manis dan mengembangkannya.
10
Studi Pengusahaan Kayu Manis di Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan Dewi Alimah
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Potensi Kayu Manis di Kalimantan Selatan Kayu manis di Kalimantan Selatan merupakan komoditas perkebunan yang menempati peringkat produksi nomor 8 sebesar 1.463 ton pada tahun 2013 setelah kelapa sawit, karet, kelapa dalam, rumbia, kemiri, aren, dan kopi (BPS Prop. Kalimantan Selatan, 2014). Di propinsi ini terdapat beberapa daerah pengembang kayu manis jenis C. burmanii, yaitu Kab. Hulu Sungai Selatan, Kab. Hulu Sungai Tengah, dan Kab. Kotabaru. Potensi kayu manis di Kalimantan Selatan pada tahun tertentu disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Potensi Kayu Manis di Kalimantan Selatan Pada Tahun Tertentu
No.
Nama Kabupaten
1
Hulu Sungai Selatan*)
TR
Produksi (ton)
Rata-rata Produksi (kg/ha)
2,44
2,56
2,60
1.015,63
1.529
1.120
1.166,9
1.184,43
1.014,99
1.532
1.122,88
1.169,50
1.187,03
1.014,99
Haruyan
1
1
0
0,9
900
TBM
TM
Padang Batung
3
Loksado
Jumlah
2
Hulu Sungai Tengah**)
Benawa
6
6
0
0,94
156
Hantakan
2
2
0
1,8
900
BAS
2
16
10
1,63
102,0
11
25
10
5,268
211
50
20
-
24
342,85
50
20
-
24
342,85
Jumlah 3
)
Kotabaru***
Luas Produktif (ha)
Nama Kecamatan
-
Jumlah
Sumber : *)BPS Kab. Hulu Sungai Selatan, 2004 **)Dinas Kehutanan dan Perkebunan HST, 2011 ***)BPS Kab. Kotabaru, 2003 Dari Tabel 1 di atas diketahui bahwa Kabupaten Hulu Sungai Selatan merupakan daerah penghasil kayu manis terbesar di Kalimantan Selatan, yaitu sebesar 1.187,03 ton pada tahun 2004. Meskipun harga kayu manis di pasaran mengalami fluktuasi, tidak menyurutkan masyarakat setempat untuk tetap membudidayakan kayu manis. Terbukti pada tahun 2012 terjadi peningkatan produktivitas kayu manis yang dapat diketahui dari semakin luasnya areal penanaman pohon kayu manis. Pada tahun 2012, luas areal perkebunan kayu manis Kab. Hulu Sungai Selatan mengalami peningkatan menjadi 2.552,38 ha dengan total produksi sebanyak 1.4336,53 ton. Rata-rata produksi kayu manis per ha sebesar 1.100 kg. Areal kayu manis kategori tanaman menghasilkan (TM) seluas 1.305,94 ha; tanaman belum menghasilkan (TM) seluas 1.205,44 ha; dan tanaman tua/rusak (TR) seluas 41 ha (BPS Kab. Hulu Sungai Selatan, 2012). Dari Tabel 1 di atas diketahui pula bahwa Kecamatan Loksado, Kab. Hulu Sungai Selatan merupakan daerah penghasil kayu manis terbesar di Kalimantan Selatan. Di kecamatan ini hampir sebagian besar masyarakat bermata pencaharian utama sebagai petani kayu manis. Pohon kayu manis di Loksado sebagian besar berada di luar kawasan hutan, yaitu di tanah atau kebun masyarakat yang berkembang secara sporadis
11
Galam Volume 1 Nomor 1, Agustus 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
dari hasil budidaya. Pada awalnya produksi kayu manis dilakukan oleh masyarakat Dayak setempat dengan cara meramu kayu manis di dalam hutan sepenuhnya. Keberadaan pohon kayu manis di dalam hutan yang semakin langka, mendorong masyarakat Dayak untuk membudidayakannya (Rismunandar dan Paimin, 2009; Susanto, 2010). Meskipun demikian sampai saat ini rempah – rempah yang diproduksi secara alami tetap dicari dan diminati, terutama oleh konsumen di pasar internasional. Untuk itu, ada upaya pembudidayaan tanaman kayu manis secara organik, dimana ladang diolah secara ekologis dan telah melalui proses sertifikasi oleh lembaga sertifikasi internasional NASAA Australia. Kayu manis organik ini dijadikan alternatif solusi persoalan yang dihadapi oleh petani dalam meningkatan harga jual (ekonomi), melestarikan kearifan sosial budaya, dan memperpanjang masa kesuburan tanah milik petani serta melibatkan petani dalam pengelolaan sumberdaya alam yang arif dan bijaksana (Wangsa dan Nuryati, 2006). Sejak tahun 2010, kayu manis dari Loksado telah mendapatkan sertifikat organik SNI (Towaha, 2010). Adanya sertifikasi ini cenderung berkontribusi dalam meningkatkan pendapatan petani sehingga memotivasi petani kayu manis untuk meningkatkan produktivitasnya. Produktivitas pohon kayu manis sangat bervariasi tergantung tempat tumbuh dan diameter pohon. Kapasitas produksi tegakan kayu manis di Kecamatan Loksado dapat mencapai 50 ton/bulan (Towaha, 2010). Adapun kapasitas produksi kayu manis organik dari beberapa daerah di Kalimantan Selatan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Produksi Kayu Manis Organik Kalimantan Selatan No.
Kabupaten
Rata-rata Produktivitas (ton/bulan)
1
Hulu Sungai Selatan*)
1,5
2
Hulu Sungai Tengah**)
2,5
3
Kotabaru**)
1,5
Jumlah
5,5
Sumber : *) Towaha, 2010; **) Wangsa dan Nuryati, 2006 Dari Tabel 2 di atas diketahui bahwa produksi kayu manis organik asal Kalimantan Selatan lebih besar bila dibandingkan dengan produksi kayu manis organik asal Sumatera Barat (1,5 ton/bulan). Hal ini merupakan suatu peluang bagi petani kayu manis Kalimantan Selatan untuk memajukan perdagangan kayu manis di pasar internasional. B. Budidaya Diketahui bahwa kehidupan masyarakat Dayak di Kalimantan Selatan cenderung bergantung pada alam. Sebagian besar masyarakat suku Dayak yang bermukim di sepanjang kaki pegunungan Meratus mengandalkan kayu manis dan kemiri sebagai mata pencaharian. Budidaya kayu manis baru dimulai sekitar tahun 2000 an dengan bantuan pemerintah daerah. Budidaya kayu manis dipusatkan di beberapa wilayah hutan balai adat di Kecamatan Loksado, Kab. Hulu Sungai Selatan (Susanto, 2010). Sebelumnya kayu manis yang dipasarkan oleh masyarakat setempat berasal dari pohon kayu manis yang tumbuh alami di dalam hutan. Pohon kayu manis hanya bisa dipanen satu kali. Untuk mengambilnya,
12
Studi Pengusahaan Kayu Manis di Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan Dewi Alimah
warga harus memasuki hutan belantara, berjalan hingga berjam – jam. Dari waktu ke waktu jarak yang ditempuh semakin jauh karena jumlah pohon kayu manis semakin berkurang. Budidaya kayu manis kini telah dikenal baik oleh masyarakat, teknik penanaman dikembangkan dari biji dan cabutan anakan yang tumbuh di sekitar pohon kayu manis. C. Pemanenan Menurut Fauzi (2008), pemanfaatan kayu manis di Kabupaten Hulu Sungai Selatan dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti musim, fluktuasi harga, musim gawi (tugal, panen), kegiatan aruh (nih sambu, nih muda, nih halin). Panen kulit kayu manis biasanya dilakukan pada musim hujan, ini dimaksudkan agar mudah mengulitinya.Di samping itu, panen kulit manis cenderung dilakukan berdasarkan kebutuhan ekonomi walaupun sudah ada yang berorientasi pada harga. Pengambilan kulit manis dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu memilih pohon kayu manis yang akan ditebang, menebang pohon, mengerat dan menguliti pohon. Panen dilakukan terhadap pohon kayu manis yang telah berumur lebih dari 8 tahun dan berdiameter 15 – 20 cm. Pohon ditebang dan kulitnya diambil dengan cara dikuliti dengan kampak (Fauzi, 2008; Susanto, 2010). Sebelum dilakukan pengulitan, terlebih dahulu pohon yang telah rebah dikerat dengan ukuran 2 kilan atau 4 kilan (1 kilan = 1 rentangan maksimal jari – jari tangan orang dewasa atau ± 20 cm) secara memutar melingkari pohon mulai dari pangkal pohon hingga ke ujung hingga ke percabangan. Kemudian dikuliti, kulit manis yang tadinya dikerat dengan ukuran 4 kilan dipotong menjadi 2 bagian sama (Fauzi, 2008). Berbeda dengan masyarakat petani kayu manis di Kalimantan Selatan, cara pemanenan kayu manis di Jambi dan Sumatera Barat, dinilai lebih lestari daripada cara pemanenan yang dilakukan oleh masyarakat petani kayu manis di Kalimantan. Pemanenan kulit kayu manis di Jambi dilakukan dengan cara mengupas kulit langsung ketika pohon kayu manis masih berdiri (belum ditebang), sedangkan di Kalimantan Selatan, pohon kayu manis ditebang dahulu baru dikuliti. Di Jambi, pemanenan dilakukan dengan menyisakan potongan batang bawah (tunggul). Tunggul tersebut sengaja ditinggalkan agar segera tumbuh tunas – tunas baru, tetapi hanya satu tunas yang ditinggalkan atau dipelihara untuk dipanen setelah 5 – 6 tahun berikutnya (Rusli dan Daras, 2010). Dari kedua cara pemanenan tersebut, kelestarian hasil kayu manis asal Jambi lebih terjamin dan lebih cepat daurnya sedangkan di Kalimantan Selatan tidak ada pemeliharaan terhadap tunas pada tunggul. Kelestarian hasil harus diupayakan dengan cara menanam kembali bibit kayu manis dan harus menunggu lebih lama untuk dapat mengambil hasilnya (daur lebih lama). D. Penanganan Pascapanen Kulit kayu manis yang telah diperoleh dari pengeratan, dikerik pada bagian luarnya menggunakan pisau sampai terlihat kulit dalamnya yang berwarna jingga. Pengerikan ini bertujuan memisahkan kulit kayu manis dari lumut dan kulit ari. Setelah kulit kayu manis bersih, dilakukan pengirisan selebar 3 cm dan panjang 25 cm dengan arah membujur serat kayu dan selanjutnya dijemur. Penjemuran dilakukan di bawah sinar matahari selama 1 – 2 hari hingga kulit kering sempurna dan menggulung secara alami. Kayu manis yang telah kering diikat dengan rotan atau tali bambu dengan bobot 10 – 15 kg per ikat. Dalam setiap kilogram kayu manis super biasanya terdapat 35 – 45 gulungan kayu manis. Semakin bulat gulungannya dan semakin lurus bentuknya, maka kualitas kayu manis dinilai semakin bagus. Bentuk kayu manis yang demikian biasanya diperoleh dari bagian batang. Kegiatan pemanenan hingga penanganan pascapanen
13
Galam Volume 1 Nomor 1, Agustus 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
sepenuhnya dikerjakan oleh anggota keluarga (Wangsa dan Nuryati, 2006; Fauzi, 2008). Penanganan pasca panen seperti sortasi secara tidak langsung berpengaruh terhadap tingkat kualitas produk kayu manis yang dihasilkan. Diketahui bahwa kualitas kayu manis dibagi menjadi beberapa tingkatan (grade) dan setiap grade digunakan sebagai penentu harga jual kayu manis di pasaran (Tabel 3). Tabel 3. Kualitas Kayu Manis dalam Perdagangan Internasional Tipe Kualitas Kulit Kayu Manis
Deskripsi
Umur Pohon yang Dipanen
Grade A
Kualitas terbaik, kulit kayu harus sepanjang 1 m dan diambil dari batang utama, lapisan epidermis dihilangkan dan berwarna cokelat muda
15 – 20 tahun (kualitas sangat bagus) 8 – 10 tahun (kualitas bagus)
Tinggi
Grade B
Kualitas menengah, diambil dari percabangan, lapisan epidermis tidak dihilangkan, warna cokelat kehitam-hitaman
Di atas 7 tahun
Lebih murah dari grade A
Grade C
Kualitas terendah, diambil dari pecahan kulit kayu manis, dihasilkan dari kayu manis tipe grade B
Di atas 7 tahun
Murah
Harga Jual
Sumber : FAO dalam Wangsa dan Nuryati, 2006 Meskipun harga kulit kayu manis sudah ada standarnya, tetapi dalam praktiknya ketentuan tersebut selalu berubah. Faktor yang menentukan adalah tingkat kekeringan. Semakin kering kulit kayu manis, semakin tinggi harganya dan umumnya tingkat kekeringan ini ditentukan oleh tengkulak. Melalui kendali harganya, para tengkulak mendominasi penentuan harga dan laba (Wangsa dan Nuryati, 2006). E. Pemasaran Kayu manis hasil panen sebagian besar dijual bahkan hampir tidak ada yang dimanfaatkan sendiri. Penjualan kayu manis umumnya dalam bentuk gulungan kayu. Saat ini harga kayu manis di Kecamatan Loksado sekitar Rp 15.000,-/kg. Nilai ini jauh lebih baik bila dibandingkan dengan harga kayu manis pada tahun 2010 yang hanya berkisar Rp 8.000,- (Susanto, 2010). Meskipun harga kayu manis dari tahun ke tahun cenderung menanjak, akan tetapi nilainya belum mampu menyejahterakan kehidupan masyarakat petani kayu manis. Hal ini dikarenakan, adanya fluktuasi harga yang tidak menentu akibat sistem alamiah di arena perdagangan sederhana, dimana kendali pemasaran dan harga kayu manis ada di tangan para tengkulak. Menurut Rezekiah dkk (2014), saluran pemasaran untuk kayu manis di Kecamatan Loksado ada 4 (empat) pola, yaitu : 1. Petani → konsumen 2. Petani → pengumpul → pedagang → konsumen 3. Petani → pengumpul → pedagang besar → konsumen 4. Petani → pengumpul → pedagang besar → pedagang kecil → konsumen Secara keseluruhan saluran pemasaran kayu manis adalah efisien. Jika ditinjau dari sudut pandang petani maka pola 1 adalah yang lebih efisien karena petani mendapatkan keuntungan yang lebih banyak. Petani berpendapat bahwa penjualan kayu manis di pasar lokal mempunyai harga yang lebih baik dibanding menjualnya kepada pengumpul. Namun kemampuan daya serap terhadap komoditi kayu manis di pasar
14
Studi Pengusahaan Kayu Manis di Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan Dewi Alimah
lokal sangat terbatas. Sementara itu, jika ditinjau dari sudut pandang lembaga pemasaran maka pola 2 yang lebih efisien. Apabila pasar sudah tidak mampu menyerap lagi, maka para pemilik kayu manis akan menjualnya kepada pengumpul untuk selanjutnya di perdagangkan antarpulau, khususnya ke Jawa. Menurut Wangsa dan Nuryati (2006), petani kayu manis di Kalimantan Selatan tidak mempunyai akses pasar secara langsung. Ada 2 (dua) pola pemasaran yang umum dilakukan oleh petani kayu manis di Kalimantan Selatan, yaitu : Pola 1 : Para tengkulak yang mendatangi petani, dimana pada pola ini petani tinggal menunggu tengkulak datang. Pola 2 : Dijual ke pengumpul, dimana petani harus mendatangi pengumpul untuk menyerahkan produk kayu manisnya. Berdasarkan pola – pola di atas, posisi petani sangat tergantung dari para tengkulak dan permintaan pasar, baik untuk menentukan harga maupun kapasitas produksi yang bisa dipasarkan. Akses pasar petani produsen juga terbatas pada pasar desa yang dikuasai pengumpul dan tengkulak. Untuk pasar ekspor pun, petani juga tidak mempunyai akses langsung ke eksportir. Petani akan berhubungan dengan pengumpul, dan pengumpul inilah yang langsung berhubungan dengan eksportir. Dengan sistem pengusahaan yang berlangsung seperti saat ini maka pihak petani terutama petani kecil dengan jumlah kepemilikan tanaman kayu manis terbatas berada dalam kondisi yang kurang menguntungkan. Kebutuhan hidup yang mendesak menyebabkan mereka menjual kayu manis secepatnya setelah panen walaupun pada saat itu harga jual kurang menguntungkan. Menurut Wangsadan Nuryati (2006), walaupun kala itu komoditas rempah – rempah andalan Kalimantan Selatan tersebut terus terpuruk, namun hingga kini para peladang tetap memproduksi kayu manis. Mereka sama sekali tidak mengenal manajemen pascapanen menghadapi fluktuasi harga, semisal dengan menahan barang. Pembentukan koperasi dapat dijadikan sebagai lembaga untuk melindungi para petani kecil agar memperoleh keuntungan yang lebih memadai. F.
Produk Kayu Manis Untuk Pengusahaan Pengusahaan kayu manis di Kabupaten Hulu Sungai Selatan masih terbatas pada penjualan kayu manis gulung. Hal ini mengingat bahwa Indonesia hanya mengekspor produk kayu manis jenis C. burmanii dalam bentuk gulungan dan patahan (95%) serta serbuk (5%) tanpa pengolahan lebih lanjut (Kemenperin, 2013). Sangat disayangkan tingginya produktivitas kayu manis di Indonesia tidak diimbangi dengan teknologi pengolahan yang memadai sehingga hanya diperoleh nilai jual minimum. Diversifikasi produk kayu manis masih sangat terbatas. Diversifikasi produk yang tengah diusahakan masyarakat setempat adalah sirup kayu manis. Dengan mengolah kayu manis menjadi sirup, diharapkan dapat menjangkau konsumen yang lebih umum dengan implikasi sebaran pasar yang lebih luas daripada kayu manis gulung. Produksi sirup kayu manis pertama kali dilakukan pada tahun 2011 di Dusun Malaris, Desa Lok Lahung, Loksado, Hulu Sungai Selatan. Proses pembuatan sirup diawali dengan merendam kayu manis kering dalam air sampai mengembang kembali. Proses ini memakan waktu 1 – 2 jam. Kayu manis yang sudah merekah dibersihkan dan direbus sampai mendidih. Kemudian ditambahkan gula rafinasi ke dalam rebusan. Rebusan air kayu manis disaring dengan kain agar bersih. Hasil saringan siap dikemas ke dalam botol – botol kaca yang telah dibersihkan. Umumnya sirup kayu manis dapat bertahan hingga 6 bulan. Selain sebagai perisa
15
Galam Volume 1 Nomor 1, Agustus 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
minuman, sirup kayu manis juga berkhasiat mencegah flu, mengobati masuk angin, pegal – pegal, dan menghangatkan badan (Yanto, 2012). Secara ekonomi, pengolahan kayu manis menjadi sirup lebih menguntungkan daripada hanya memasarkan kayu manis gulungan. Kayu manis gulung seberat 1 kg dihargai Rp 12.000,-, sementara 1 kg kayu manis untuk sirup mampu menghasilkan Rp 490.000,- dari penjualan sirup. Saat ini produk sirup kayu manis sudah mendapatkan PIRT dari Dinas Kesehatan Kab. Hulu Sungai Selatan. Untuk sementara omset penjualannya kurang lebih Rp 3.600.000,- per bulan untuk 300 botol seharga Rp 12.000,- per botol (Aliansi Organis Indonesia, 2011). Meskipun demikian masih ada beberapa kendala yang harus dihadapi diantaranya pemasaran yang belum maksimal, terbatasnya kemasan botol, dan masih dikerjakan secara manual dengan peralatan terbatas, sehingga produksinya pun juga terbatas. Keterbatasan produksi berimbas pada pemasaran yang tidak luas. Pengiriman keluar daerah juga masih menjadi kendala karena kemasan yang berat dan rentan pecah, sementara kemasan plastik tidak bisa digunakan. Untuk mengatasi kendala alat dan pemasaran, sementara petani mengupayakan kerja sama dengan Dinas Pariwisata Kab. Hulu Sungai Selatan. Pemasaran dilakukan dengan aktif ikut serta dalam berbagai pameran produk unggulan dan mendistribusikan produknya ke berbagai toko pusat oleh – oleh, minimarket, dan menjualnya secara langsung (Aliansi Organis Indonesia, 2011). Peluang lainnya dari komoditi kayu manis adalah dengan mengkonversi bagian – bagian pohon kayu manis menjadi minyak kayu manis. Hal ini sangat memungkinkan karena adanya jumlah produksi kayu manis asal Loksado yang melimpah. Di sisi lain, ada kecenderungan permintaan pasar dunia mengarah pada minyak kayu manis. Menurut Wangsadan Nuryati (2006), permintaan dunia akan minyak kayu manis berada pada kisaran 120 – 150 ton/5 tahun (1987 – 1992) dan kebanyakan dipasok dari Sri Lanka meskipun tidak lebih dari 2,8 ton. Meskipun minyak kayu manis ini bernilai tinggi tetapi volume perdagangannya masih sangat sedikit. Hal ini membuka peluang bagi Indonesia untuk menjadi terdepan dalam memasok minyak kayu manis di pasar dunia. Pasar utamanya adalah masyarakat Eropa, dan Perancis merupakan importir terbesar disusul Amerika Serikat. Minyak kayu manis diperoleh dengan cara penyulingan (distilasi), tidak hanya dari kulit kayu manis saja, tetapi juga dapat diolah dari bagian pohon kayu manis lainnya seperti ranting dan daun kayu manis. Hal ini menandakan bahwa dengan mengolah kayu manis menjadi minyak atsiri akan semakin mengoptimalkan pemanfaatan bagian – bagian pohon kayu manis dan pada akhirnya dapat meningkatkan nilai ekonomis dari komoditas kayu manis itu sendiri. Kandungan utama minyak kayu manis adalah sinnamaldehida yang banyak digunakan dalam industri obat dan makanan (Guenther, 1990). Pada bagian kulit batang mengandung sekitar 1 – 2% minyak atsiri dengan kandungan utama sinnamaldehida (70 – 80%) sedangkan pada bagian daun kayu manis mengandung sekitar 0,5 – 0,7% dengan kandungan utamanya adalah eugenol sekitar 70 – 95% dan sinamil asetat 3 – 4%. Minyak atsiri daun kayu manis mempunyai sifat aroma rempah yang wangi, agak manis, dan pungent (tajam) (Winarni, 2006)
16
Studi Pengusahaan Kayu Manis di Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan Dewi Alimah
G. Peluang Pemanfaatan Bagian Tanaman Lainnya Pada pemanenan kulit kayu manis, bagian batang dari pohon kayu manis hanya dianggap sebagai limbah. Kayu pohon yang telah diambil kulit manisnya hanya dimanfaatkan untuk keperluan kayu bakar. Bahkan kayu pohon tersebut seringkali ditinggal begitu saja di dalam hutan karena sulit untuk dibawa keluar. Pohon kayu manis yang telah dipanen tersebut otomatis mati. Sementara itu, waktu tumbuh pohon kayu manis hingga siap dipanen berkisar antara 10 – 15 tahun (Susanto, 2010). Hal ini sangat disayangkan mengingat proporsi terbesar dari suatu pohon justru terdapat pada batangnya. Pada umur panen (misal 8 tahun) hanya dihasilkan kulit kering antara 20 – 30 kg per pohon, padahal batang kayu yang dibuang rata – rata berukuran diameter lebih dari 30 cm (Hamidah dkk, 2009). Usaha – usaha pemanfaatan bagian batang dari pohon kayu manis perlu dilakukan guna meningkatkan pendapatan petani. Menurut Hamidah dkk (2009), bagian kayu dari pohon kayu manis dari berbagai kelas umur pohon dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pulp dan kertas, papan serat, vinir dan kayu lapis, papan partikel, meubel, dan perkakas rumah tangga bahkan dapat digunakan sebagai bahan bangunan yang tidak dipersyaratkan seperti papan untuk dinding. H. Kendala yang Dihadapi Petani Kayu Manis Kayu manis asal Kalimantan Selatan masih kalah pamor jika dibandingkan dengan kayu manis asal Sumatera Barat dan Jambi. Padahal dari segi kualitas, kayu manis asal Kalimantan Selatan tidak kalah bagusnya sehingga sangat berpeluang menembus pasar internasional. Berbeda dengan produk kayu manis dari daerah lainnya, dimana umumnya ukuran kayu manis hanya seukuran jari kelingking orang dewasa, kayu manis asal Dayak Meratus memiliki ukuran lebih panjang (sekitar 40 cm), dengan warna merah menyala dan beraroma lebih kuat. Ada beberapa kendala yang menyebabkan komoditas unggulan ini belum mampu memberikan kontribusi bagi masyarakat sekitar. Kendala tersebut antara lain cara pengolahan produk yang kurang maksimal, kapasitas sumberdaya manusia yang kurang memadai, informasi dan akses pasar yang belum terbuka, dan lain – lain (YCHI, 2006).Pengetahuan dan kemampuan masyarakat petani yang terbatas mengakibatkan daya tawar mereka masih rendah sehingga pendampingan berupa penyuluhan dan pemberian bantuan modal serta pengetahuan kelembagaan perlu dilakukan. Penyuluhan secara berkesinambungan sangat diperlukan baik kuantitas maupun kualitas, terutama pada tingkat pedagang pengumpul untuk bisa melakukan pengolahan kembali kulit hasil dari petani sehingga bisa memenuhi permintaan pasar baik nasional maupun internasional. Kebanyakan produk rempah – rempah seperti kayu manis ini ditanam dan dipanen di ruang terbuka, maka banyak kemungkinan produk – produk tersebut masih terkotori benda asing seperti ranting, daun, serangga, kerikil, dan kotoran sebelum produk – produk tersebut disalurkan ke prosesor dan pabrik. Produk rempah – rempah yang belum bersih dari benda – benda asing di atas biasanya akan ditolak oleh pasar, khususnya pasar internasional. Pada prinsipnya persyaratan yang yang harus dipenuhi dari pengolahan kulit kayu manis asal Indonesia oleh pembeli di luar negeri melalui ketentuan yang ditetapkan oleh ASTA/FDA ditekankan pada faktor kebersihan seperti adanya serangga hidup/mati, benda asing, dan persentase jamur. Kondisi yang demikian ini dapat diatasi bila cara pengolahannya tepat dan dapat diamati secara langsung tingkat kebersihannya, dengan hasil olahan kulit keringnya yang berbentuk “rata.” Dengan bentuk tersebut bahan relatif mudah dibersihkan dan diharapkan menjadi tidak terlalu voluminous (Wangsa dan Nuryati,
17
Galam Volume 1 Nomor 1, Agustus 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
2006).
IV. PENUTUP Tingginya produktivitas kayu manis asal Loksado, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan belum diimbangi dengan teknologi pengolahan yang memadai sehingga hanya diperoleh nilai jual minimum. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan nilai produk kayu manis melalui diversifikasi pengusahaan kayu manis. Pengoptimalan bagian – bagian pohon kayu manis dapat diupayakan dengan cara mengambil minyak atsiri yang terkadung dalam bagian kulit, ranting, dan daun kayu manis untuk dimanfaatkan lebih lanjut. Selain itu, dapat dilakukan pemanfaatan bagian batang dari pohon kayu manis sebagai bahan baku produk teknologi hasil hutan seperti pulp dan kertas, meubel – furniture, perkakas rumah tangga, dan masih banyak lagi. Para pengusaha, pemerintah, dan masyarakat petani hendaknya bersinergi dalam mengupayakan pengembangan dan kemajuan pengusahaan kayu manis sehingga diperoleh manfaat ekonomi dan lingkungan bagi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA Aliansi Organis Indonesia Newsletter. 2011. Sirup Kayu Manis Organik, Lebih Manis dan Menguntungkan. Artikel AOI Newsletter Edisi 04(01) : 2 – 3. Badan Pusat Statistik. 2014a. Luas Areal Tanaman Perkebunan Rakyat Menurut Jenis Tanaman, 2000 – 2013. http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=3&tabel=1&daftar=1&id_subyek=54%20¬ab=5. Diakses 13 – 01 – 2015. ______. 2014b. Produksi Perkebunan Rakyat Menurut Jenis Tanaman, 2000 –2013. http://www.bps.go.id/ tab_sub/view.php?kat=3&tabel=1&daftar=1&id_subyek=54%20¬ab=6. Diakses pada 13 – 01 – 2015. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2014. Si Manis dari Kerinci yang Menjadi Idola Dunia. http://ditjenbun. pertanian.go.id/tanregar/berita-269-si-manis-dari-kerinci--yang-menjadi-idola-dunia-.html. Diakses 13 – 01 – 2015. Badan Pusat Statistik Kabupaten Kotabaru. 2003. Kabupaten Kotabaru Dalam Angka 2003. BPS Kabupaten Kotabaru. Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Selatan. 2014. Kalimantan Selatan Dalam Angka 2014. BPS Provinsi Kalimantan Selatan. FAOSTAT. 2005. Statistics of Food and Agricultural Organization of the United Nation, External Trade.http:// faostat3.fao.org/search/cinnamon/E. Diakses pada 13 – 01 – 2014. Fauzi, H. 2008. Peranan Hasil Hutan Non Kayu Terhadap Pendapatan Masyarakat. Jurnal Hutan Tropis Borneo No. 23 : 73 – 82. Guenther, E. 1990. Minyak Atsiri : Jilid IVA (Terjemahan Ketaren). UI Press. Jakarta. Hamidah, S., V. Burhanudin, dan W.T. Istikowati. 2009. Kajian Sifat – sifat Dasar Kayu Manis Sebagai Pertimbangan Pemanfaatan Limbah Pemanenan Kulit Kayu Manis (Cinnamomum burmanii, Blume). Jurnal Hutan Tropis Borneo Vol 10(26) : 210 – 223. Heyne. 1987.Tumbuhan Berguna Indonesia III. Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta. Jaya, A., E. Rustiadi, I. Gonarsyah, D.S. Bratakusumah, dan B. Juanda. 2009. Dampak Pengembangan Komoditas Kayu Manis Rakyat Terhadap Perekonomian Wilayah : Kasus Kabupaten Kerinci, Provinsi
18
Studi Pengusahaan Kayu Manis di Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan Dewi Alimah
Jambi. Forum Pascasarjana Vol. 32(1) : 67 – 79. Kemenperin. 2013. Indonesia eksportir utama kayu manis.http://www.kemenperin.go.id/artikel/1992/ Indonesia-Eksportir-Utama-Kayu-Manis. Diakses pada 24-02-2015. Rezekiah, A.A., M. Helmi, dan Lolyta. 2014. Analisis Saluran Pemasaran Kulit Kayu Manis (Cinnamomum burmanii) di Kecamatan Loksado, Kalimantan Selatan. E-Jurnal. http://www.e-jurnal.com/2014/06/ analisis-saluran-pemasaran-kulit-kayu.html?m=1. Diakses pada 04 Januari 2015. Rismunandar dan F.B. Paimin. 2009. Kayu Manis : Budidaya dan Pengolahan. Penebar Swadaya. Jakarta. Rusli dan U. Daras. 2010. Mengenal Cara Panen dan Pengolahan Kayu Manis di Kabupaten Kerinci. Artikel. Majalah Semi Populer Tree Tanaman Rempah dan Industri. Pusat Pelitian dan Pengembangan Perkebunan (Balitri). Sukabumi. Smith, A. E. 1986. International Trade in Cloves, Nutmeg, Mace, Cinnamon, Cassia, adn Their Derivatives. Tropical Development and Research Institute. London. Susanto, D. 2010. Nasib Pahit Petani Kayu Manis. Artikel. Media Indonesia. Towaha, J. 2010. Prospek Kayu Manis Organik Untuk Meningkatkan Pendapatan Petani. Majalah Semi Populer : Tree (Tanaman Rempah dan Industri) Vol 1(19) : 74. Wangsa, R. dan S. Nuryati. 2006. Status dan Potensi Pasar Kayu Manis Organik Nasional dan Internasional. Laporan Penelitian. Aliansi Organis Indonesia. Bogor. Winarni, I. 2006. Teknologi Pengolahan dan Budidaya Minyak atsiri. Prosiding Ekspose Hasil – hasil Penelitian Balai Litbang Kehutanan Bali – Nusa Tenggara. Kupang. Yanto. 2012. Sirup Kayu Manis Kalimantan yang Kaya Khasiat. Artikel Bisnis.com Jawa Barat. http://bandung. bisnis.com/m/read/20120912/12/241741/sirup-kayu-manis-kalimantan-yang-kaya-khasiat. Diakses pada 24 – 02 – 2015. Yayasan Cakrawala Hijau Indonesia. 2006. Laporan Assessment Kayu Manis Organik.
19
20
KONDISI SIFAT FISIK DAN KIMIA TANAH SERTA IKLIM MIKRO PADA TIGA TAHAP PERKEMBANGAN PEKARANGAN Junaidah Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru Jl. A. Yani Km 28,7, Landasan Ulin, Banjarbaru 70721 E-mail :
[email protected]
ABSTRAK Pekarangan memberikan fungsi sosial dan ekonomi. Tipe perkembangan pekarangan yang berbeda akan memberikan dampak terhadap kondisi kesuburan tanah dan iklim mikro. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisik dan kimia tanah serta iklim mikro pada tiga tahap perkembangan pekarangan. Penentuan lokasi pekarangan tanah dilakukan secara purposive. Pekarangan yang akan diamati berjumlah 12 buah yang mewakili 3 tingkat perkembangan agroforestri pekarangan, yaitu: agroforestri awal, agroforestri menengah dan agroforestri lanjut. Sampel tanah komposit diambil dari 3 titik tempat pada masing-masing petak perlakuan lalu dicampur.Sampel tanah diambil pada kedalaman 0-30 cm. Unsur-unsur yang dianalisis adalah : pH tanah, kandungan N, kandungan P, kandungan K dan tekstur tanah. Hasil analisa menunjukkan bahwa secara umum terlihat bahwa semakin lanjut perkembangan pekarangan, sifat fisik dan kimia tanah semakin baik. Semakin lanjut tingkat perkembangan pekarangan, kandungan C, N, P dan pH tanah semakin tinggi; dan kandungan K semakin menurun. Keberadaan pohon mampu menciptakan iklim mikro yang berbeda dengan iklim di luar (tempat lebih terbuka). Kata kunci: pekarangan, tingkat perkembangan, tanah, iklim mikro
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pekarangan merupakan salah satu praktik agroforestri kompleks. Pekarangan memenuhi prinsip-prinsip keberlanjutan secara ekologi dan sosial dimana pohon, tanaman semusim, tanaman hias dan tanaman lainnya serta ternak dapat hidup secara bersama-sama. Konsep keberlanjutan sosial memiliki dua dimensi yaitu peran positif untuk memenuhi kebutuhan pada saat sekarang dan kemampuan untuk menanggapi perubahan sosial ekonomi masyarakat (Wiersum, 2006). Walaupun terlihat sederhana dan konvensional, pekarangan menjadi salah satu “jaring pengaman petani”, penyelamat ekosistem dan sistem pengelolaan lahan yang mensinergikan produksi dan konservasi (Suryantoet al., 2012). Danoesastro (1976) menyebutkan bahwa pekarangan memiliki fungsi menghasilkan bahan makanan tambahan pokok dan gizi keluarga, sumber penghasilan tunai, menghasilkan rempah-rempah, obat-obatan, tanaman hias, bahan bangunan, kayu bakar dan bahan baku kerajinan. Pekarangan telah menjadi cara hidup selama berabad-abad dan masih penting untuk ekonomi lokal yang bersifat subsisten, ketahanan pangan dan keamanan gizi (Nair dan Kumar, 2006; Nair, 2006). Selain itu, pekarangan memberikan fungsi
21
Galam Volume 1 Nomor 1, Agustus 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
konservasi jenis yang terancam punah (Watson dan Eyzaguire, 2002). Pekarangan juga memiliki fungsi sosial penting melalui pemberian hadiah produk pekarangan untuk silaturahmi, membantu pengobatan dan acara keagamaan (Soemarwoto, 1984 dalam Wiersum, 2006). Pada masyarakat pedesaan, pekarangan masih berkedudukan sebagai “terugval basis”, yakni suatu pangkalan induk yang dapat diduduki kembali apabila sewaktu-waktu usaha di sawah atau tegalan gagal karena tertimpa malapetaka, untuk selanjutnya dengan apa yang dapat dihasilkan di pekarangan kesulitan hidup dapat diperingan, sampai sawah atau tegalan dapat menghasilkan secara normal kembali (Danoesastro, 1978). Berdasarkan struktur dan komponen penyusunnya, pekarangan dapat dibedakan menjadi 3 fase perkembangan yaitu fase awal, fase menengah dan fase lanjut. Suryanto et al., ( 2005) menyatakan ada 3 kelompok agroforestri berdasarkan struktur dan komponen penyusun, yaitu (a) agroforestri awal dimana model agroforestri yang pemanfaatan sumberdaya ruang horizontal untuk tanaman semusim lebih dari 50 %, (b) agroforestri pertengahan dimana model agroforestri yang berkembang sudah mengarah pada pengurangan bidang olah efektif. Pohon memberikan pengaruh naungan sehingga luasan bidang olah 25-50 %, (c) Agroforestri lanjut, merupakan proses lanjutan dari agroforestri pertengahan sehingga model lanjutnya adalah sangat tergantung pada jenis pengkayaan. Apabila jenis yang dipilih adalah pohon multiguna maka bentuk agroforestri lanjutnya adalah kebun campur, sedangkan kalau menggunakan jenis pohon maka akan mengarah pada hutan rakyat. Pengolahan lahan pelarangan oleh masyarakat banyak dilakukan secara tradisional. Pengelolaan lahan pekarangan yang telah dilakukan menyebabkan kondisi sifat fisik dan kimia tanah pada tiap perkembangan pekarangan berbeda-beda. Untuk itu perlu adanya evaluasi kondisi sifat fisik dan kimia tanah pada tiga tahap perkembangan pekarangan sehingga bisa disusun kegiatan intensifikasi lahan agar lahan pekarangan tetap produktif. B. Tujuan Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah mengetahui sifat fisik dan kimia tanah serta iklim mikropada tiga tahap perkembangan pekarangan.
II. METODOLOGI A. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Giripurwo, daerah Perbukitan Menoreh yang termasuk ke dalam wilayah administratif Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.Uji coba penanaman wijen dilakukan dengan pembuatan plot penanaman.Penelitian dilaksanakan pada bulan Pebruari 2012 sampai dengan Pebruari 2013. B. Bahan dan Alat Alat yang digunakan adalah: 1. Lux meter, untuk mengukur intensitas cahaya 2. Hand counter, untuk menghitung jumlah pohon di lapangan 3. Bor tanah, untuk mengambil sampel tanah 4. Termohigrometer, untuk mengukur suhu dan kelembaban udara 5. Seperangkat alat pembuatan petak ukur, yaitu meteran gulung, tambang plastik dan kompas
22
Kondisi Sifat Fisik dan Kimia Tanah Serta Iklim Mikro pada Tiga Tahap Perkembangan Pekarangan Junaidah
6. 7. 8.
Alat ukur dimensi pohon yaitu pita meter dan haga meter Alat tulis menulis yaitu pensil, spidol, handboard, penghapus, penggaris dan pena Tally sheet data pengukuran
C. Prosedur Kerja 1. Penentuan sampel penelitian dilakukan secara purposive berdasarkan ketersediaan data dan informasi yang diperoleh di lapangan. Pekarangan yang akan diamati berjumlah 12 buah yang mewakili 3 tingkat perkembangan agroforestri pekarangan, yaitu: agroforestri awal, agroforestri menengah dan agroforestri lanjut. 2. Sampel tanah komposit diambil dari 3 titik tempat pada masing-masing petak perlakuan lalu dicampur. Sampel tanah diambil pada kedalaman 0-30 cm. Unsur-unsur yang dianalisis adalah : pH tanah, kandungan N, kandungan P, kandungan K dan tekstur tanah. 3. Pengamatan kondisi lingkungan dilakukan dengan mengukur suhu, kelembaban dan intensitas cahaya di bawah tegakan pada tiap tahap perkembangan pekarangan. Pengamatan dilakukan pada pagi (07.00-08.00), siang hari (11.00-13.00) dan sore hari (16.00-17.00). Pengamatan dilakukan masing-masing pada 3 titik yang berbeda selama 3 hari. 4. Pengamatan vegetasi pohon dilakukan dengan membuat petak ukur 20x20 m pada 12 lokasi pekarangan. Parameter yang diamati adalah tinggi dan diameter.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sifat Fisik dan Kimia Tanah Tanah pada lokasi penelitian termasuk tanah yang kurang subur. Hal ini dapat terlihat dari kandungan C organik, N total, dan P tanah yang memiliki kadar dari rendah sampai dengan sangat rendah dan pH tanah dari masam sampai dengan agak masam. Sifat kimia tanah lokasi penelitian disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Sifat kimia tanah pada lokasi penelitian No.
Lokasi
C. Organik (%)
N Total (%)
P2O5 Tersedia (ppm)
K20 Tersedia (me %)
pH H20
1
P1.1
0,626
0,076
0,040
0,554
4,980
2
P1.2
0,622
0,053
0,660
1,921
5,550
3
P1.3
0,618
0,044
0,199
1,419
5,870
4
P1.4
0,733
0,064
0,223
1,400
4,580
Rerata
0,64975
0,05925
0,2805
1,3235
5,245
5
P2.1
0,734
0,078
0,143
1,153
5,040
6
P2.2
1,855
0,182
0,366
1,493
4,940
7
P2.3
0,989
0,098
0,003
2,598
5,180
8
P2.4
0,845
0,084
0,246
1,424
5,590
Rerata
1,10575
0,1105
0,1895
1,667
5,1875
9
P3.1
0,941
0,089
1,853
1,313
5,000
10
P3.2
1,378
0,120
0,145
2,385
5,060
11
P3.3
1,011
0,100
0,611
2,517
5,200
23
Galam Volume 1 Nomor 1, Agustus 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
No.
Lokasi
C. Organik (%)
N Total (%)
P2O5 Tersedia (ppm)
K20 Tersedia (me %)
pH H20
12
P3.4
2,306
0,213
0,097
3,965
5,860
Rerata
1,409
0,1305
0,6765
2,545
5,28
Keterangan: P1= Pekarangan awal
P2= Pekarangan menengah
P3= Pekarangan lanjut
Tanah di daerah tropis umumnya tidaklah terlalu subur kecuali lahan-lahan yang tersusun atas tanah alluvial baru dan tanah vulkanik (Weaver dan Clement, 1980). Daerah tropis memiliki curah hujan yang tinggi. Jumlah curah hujan per tahun berkisar antara 1600 sampai dengan 4000 mm (Warsito, 1999) dengan sebaran bulan basah 9,5-12 bulan basah (Sanches, 1992). Resosoedarmo et al., (1986) menyatakan curah hujan yang tinggi akan menyebabkan tanah-tanah yang tidak tertutupi oleh vegetasi rentan sekali terhadap pencucian yang akan mengurangi kesuburan tanah dengan cepat. Walaupun kesuburan tanah rendah, produktifitas lahan di daerah tropis tinggi. Menurut Resosoedarmo et al., (1986) produktivitas yang tinggi pada kawasan tropis khususnya ekosistem hutan hujan tropis karena memiliki sistem daur hara yang sangat ketat, tahan kebocoran, dan berlangsung cepat. Kondisi iklim tropis (curah hujan tinggi, suhu udara berkisar + 270 C, ketersediaan cahaya matahari yang lebih banyak dibanding iklim sedang) sangat mendukung pertumbuhan tanaman. Resosoedarmo et al., (1986) menyatakan serasah yang jatuh ke permukaan tanah tidak akan lama tertimbun di lantai hutan tetapi segera mengalami dekomposisi sehingga dapat dengan segera diserap kembali oleh tumbuhan. Interaksi antara suhu yang tinggi dan curah hujan yang banyak yang berlangsung sepanjang tahun menghasilkan kondisi kelembaban yang sangat mendukung proses dekomposisi. Ketersediaan unsur hara di dalam tanah juga sangat dipengaruhi oleh jenis dan komposisi vegetasi penyusun di atasnya dan ketersediaan biomassa yang kembali ke tanah. Pada lokasi penelitian, banyak biomassa yang keluar dari dalam pekarangan. Keluarnya biomas dari pekarangan melalui pengambilan hasil panen tanaman baik secara mingguan, bulanan dan harian; serta pakan ternak dan kayu bakar yang diambil setiap hari. Jumlah pakan yang diambil sangat tergantung dari jenis, jumlah dan umur ternak. Sedangkan kebutuhan kayu bakar rumah tangga sangat tergantung dari status ekonomi dan jumlah anggota keluarga. Input pupuk yang diberikan oleh petani pada tanaman hanya mampu mendukung ketersediaan hara yang dibutuhkan oleh tanaman, namun tidak mampu meningkatkan kesuburan tanah. Hal inilah yang menyebabkan kesuburan tanah pada lokasi penelitian rendah. Nilai pH tanah di lokasi penelitian berkisar dari 4,58-5,86 yang artinya berada pada kondisi masam sampai dengan agak masam. Tanah masam disebabkan karena curah hujan tinggi yang menyebabkan ion-ion H+ menukar logam-logam alkali (Na+, Ca2+, Mg2+, K+) yang teradsorbsi pada permukaan koloid, tercuci/terlindi (leaching) terbawa aliran air ke bawah. Kondisi topografi berbukit dan berlereng-lereng menyebabkan aliran permukaan semakin besar dan kondisi tanah menjadi masam.pH tanah yang masam juga disebabkan terjadinya proses nitrifikasi yaitu perubahan dari amonium (NH4+) menjadi nitrit (oleh bakteri Nitrosomonas), kemudian menjadi nitrat (oleh bakteri Nitrobacter). Proses ini akan melepaskan ion H+ yang akan menurunkan pH tanah. Tanah yang masam menyebabkan penyerapan unsur hara rendah. Harjdowigeno (2003) menyatakan unsur hara mudah diserap akar tanaman pada pH tanah sekitar netral (6,0-6,5) karena pada pH tersebut kebanyakan unsur hara mudah larut dalam air.
24
Kondisi Sifat Fisik dan Kimia Tanah Serta Iklim Mikro pada Tiga Tahap Perkembangan Pekarangan Junaidah
Semakin lanjut tingkat perkembangan agroforestri pekarangan, kandungan hara tanah secara umum meningkat. Hal ini disebabkan peningkatan luas bidang dasar dan keragaman jenis tanaman berkayu. Tabel 2. Luas bidang dasar vegetasi pohon pada 3 tahap perkembangan pekarangan No.
Tahap Perkembangan Pekarangan
Rerata Luas Bidang Dasar (m2/0,04 ha)
Jumlah jenis
1.
Pekarangan awal
0,1795
12
2.
Pekarangan menengah
0,4055
16
3.
Pekarangan lanjut
0,984
23
Peningkatan luas bidang dasar dan jumlah jenis berdampak pada peningkatan kandungan hara dalam tanah sebagai hasil dari proses dekomposisi serasah yang jumlahnya meningkat. Hasil analisis tanah (Tabel 1) menunjukkan secara umum semakin lanjut tingkat perkembangan agroforestri, kandungan bahan organik, kadar unsur N, P dan K meningkat. Saha et al. (2009) menyatakan bahwa kandungan C organik tanah berhubungan erat dengan keragaman jenis dan luas bidang dasar pohon di pekarangan. Semakin tinggi tingkat keragaman jenis dan kerapatan pohon pekarangan, kandungan C organik tanah lebih tinggi khususnya pada kedalaman < 50 cm. Sedangkan Pinho et al. (2012) menyatakan bahwa semakin tua usia pekarangan yang dicirikan dengan semakin tinggi keragamannya; kandungan P, K, Ca, Mg, Fe, Zn, Mn, Cu, bahan organik dan pH (H20) pada kedalaman 0-20 cm meningkat sedangkan pada kedalaman > 20 cm tidak terjadi peningkatan. Tekstur tanah memiliki peran penting terhadap kesuburan tanah yang akan sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Tanah pada lokasi penelitian memiliki kandungan pasir berkisar dari 5,540-22,190 %, debu berkisar dari 43,69-51,28 % dan liat berkisar dari 27,78-49,47 %. Berdasarkan kandungan pasir, debu dan liat; tanah lokasi penelitian dikelompokkan dalam 3 kelas tekstur yaitu liat berdebu, lempung liat berdebu dan lempung berliat. Tekstur tanah pada lokasi penelitian disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Tekstur tanah pada lokasi penelitian No
Lokasi
Pasir (%)
Debu (%)
Liat
(%)
Kelas
1
P1.1
5,540
52,580
41,880
Liat berdebu
2
P1.2
9,350
53,510
37,150
Lempung liat berdebu
3
P1.3
11,290
54,930
33,780
Lempung liat berdebu
4
P1.4
5,850
48,530
45,620
Liat berdebu
5
P2.1
8,970
58,530
32,500
Lempung liat berdebu
6
P2.2
22,190
47,880
29,930
Lempung Berliat
7
P2.3
9,190
47,200
43,600
Liat berdebu
8
P2.4
8,830
50,370
40,800
Liat berdebu
9
P3.1
12,720
48,850
38,430
Lempung liat berdebu
10
P3.2
6,840
43,690
49,470
Liat berdebu
11
P3.3
8,440
63,780
27,780
Lempung liat berdebu
12
P3.4
7,950
51,280
40,770
Liat berdebu
Keterangan: P1= Pekarangan awal
P2= Pekarangan menengah
P3= Pekarangan lanjut
25
Galam Volume 1 Nomor 1, Agustus 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
Tekstur tanah lokasi penelitian termasuk dalam kelompok tanah bertekstur liat. Tekstur tanah yang didominasi oleh liat secara umum mempunyai sifat drainase buruk, aerasi kurang baik, kurang baik untuk sistem perakaran dan sukar diolah. Tanah yang bertekstur liat, karena lebih halus maka setiap satuan berat mempunyai luas permukaan lebih besar sehingga kemampuan menahan air tinggi. Tanah bertekstur lempung/liat mengandung leburan silica dan/atau aluminium yang halus. Lempung membentuk gumpalan keras saat kering dan lengket apabila basah terkena air. Sifat ini ditentukan oleh jenis mineral lempung yang mendominasinya. Golongan 1:1 memiliki lapisan satu oksida silikon dan satu oksida aluminium, sementara golongan 2:1 memiliki dua lapis golongan oksida silikon dan satu lapis oksida aluminium. Mineral lempung golongan 2:1 memiliki sifat elastis yang kuat, menyusut saat kering dan membesar saat basah. Karena perilaku inilah beberapa jenis tanah dapat membentuk kerutan-kerutan atau “pecah-pecah” bila kering (Hardjowigeno, 1993). Peningkatan kesuburan tanah merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan produktifitas lahan. Tanah yang miskin hara dengan pH yang rendah dan bertekstur liat sebaiknya dipupuk dengan pupuk organik. Pupuk organik yang bisa digunakan pada lokasi penelitian adalah pupuk kandang, pupuk hijau dan kompos. Kandungan unsur hara dalam pupuk kandang tidak terlalu tinggi, tetapi jenis ini memiliki keunggulan yaitu dapat memperbaiki sifat fisik tanah, seperti: fermiabilitas tanah, daya menahan air dan kation-kation tanah, porositas tanah dan struktur tanah. Kotoran yang bisa digunakan petani adalah kotoran kambing, sapi dan ayam. Pupuk hijau dapat diartikan sebagai hijauan muda dan dapat sebagai penambah N dan unsur-unsur lain, atau sisa-sisa tanaman yang dikembalikan ke dalam tanah. Pupuk hijau umumnya berupa tanaman leguminosa dan ditanam sebagai tanaman sela atau sebagai tanaman rotasi untuk memanfaatkan waktu sehingga tidak diberakan. Beberapa jenis tanaman leguminosa yang bisa dijadikan tanaman pupuk hijau adalah Calophogonium sp., Centrosema sp. dan Mimosa sp. Kompos adalah bahan organik yang dibusukkan pada suatu tempat yang terlindungi dari matahari dan hujan dengan pengaturan kelembaban dan penambahan komponen-komponen tertentu. Bahan untuk kompos dapat berupa sampah atau sisa-sisa tanaman (jerami). B. Iklim Mikro Intensitas naungan lokasi penelitian berkisar antara 3,07-89,23 %; kelembaban udara 61,74-78,04 %; suhu udara berkisar 28,98-34,17 0C; suhu tanah berkisar 22,04-26,3 0Cdengan ketinggian tempat berkisar 575-635 mdpl. Kondisi iklim mikro lokasi penelitian disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Kondisi iklim mikro lokasi penelitian No.
Lahan
Intensitas Naungan (%)
Suhu Udara (0C)
Suhu Tanah (0C)
Kelembaban Relatif (%)
Ketinggian Tempat (mdpl)
1
P1.1
3,07
32,00
26,30
65,52
629
2
P1.2
9,94
33,39
23,70
61,74
635
3
P1.3
12,74
33,48
23,90
63,48
624
4
P1.4
15,01
31,62
25,36
64,46
575
Rerata
10,19
32,6225
24,815
63,8
615,75
P2.1
35,55
31,96
24,06
68,82
624
5
26
Kondisi Sifat Fisik dan Kimia Tanah Serta Iklim Mikro pada Tiga Tahap Perkembangan Pekarangan Junaidah
No.
Lahan
Intensitas Naungan (%)
Suhu Udara (0C)
Suhu Tanah (0C)
Kelembaban Relatif (%)
Ketinggian Tempat (mdpl)
6
P2.2
35,51
31,30
22,56
70,98
608
7
P2.3
46,41
32,40
23,87
74,18
585
8
P2.4
52,35
34,17
23,60
69,18
617
Rerata
42,455
32,4575
23,5225
70,79
608,5
9
P3.1
68,31
30,06
22,06
78,53
614
10
P3.2
74,56
31,19
22,06
72,85
608
11
P3.3
71,67
28,98
22,04
78,04
625
12
P3.4
89,23
30,28
22,40
72,35
624
Rerata
75,9425
Keterangan: P1= Pekarangan awal
30,1275
22,14
P2= Pekarangan menengah
75,4425
617,75
P3= Pekarangan lanjut.
Tingkat perkembangan pekarangan memberikan pengaruh terhadap iklim mikro di bawah tegakan. Hal ini tidak lepas dari peningkatan keberadaan jumlah vegetasi dan kerapatan/luas bidang dasar pohon pada setiap perkembangan pekarangan. Keberadan pohon ternyata terbukti mampu menciptakan iklim mikro yang berbeda dengan iklim di luar (tempat lebih terbuka). Berkurangnya radiasi matahari yang sampai ke bawah tegakan karena peningkatan kepadatan pohon dan peningkatan ketebalan tajuk. Hal ini menyebabkan suhu udara menurun dan kelembaban meningkat.
IV. KESIMPULAN Sifat fisik dan kimia tanah pada tiga tahap perkembangan pekarangan berbeda-beda. Secara umum terlihat bahwa semakin lanjut perkembangan pekarangan, sifat fisik dan kimia tanah semakin baik. Keberadaan pohon mampu menciptakan iklim mikro yang berbeda dengan iklim di luar (tempat terbuka).
DAFTAR PUSTAKA Danoesastro, H. 1976. Laporan Penelitian Kemungkinan Peningkatan Pertanaman Pekarangan. Lembaga Penelitian Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Danoesastro, H. 1978. Laporan Survey Pekarangan Kecamatan Turi. Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika Pressindo. Jakarta. Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta. Nair, P.K.R. 2006. Wither Homegardens? Tropical Homegardens A Time-Tested Example of Sustainable Agroforestry (eds). Nair, P.K.R. and Kumar, B.M. 2006. Introduction. Tropical Homegardens A Time-Tested Example of Sustainable Agroforestry (eds) Pinho R.C., Miller, R.P. and Alfaia, S.S. 2012. Agroforestry and the Improvement of Soil Fertility: AView from Amazonia. Hindawi Publishing Corporation Applied and Environmental Soil Science Volume 2012, Article ID 616383, 11 pages. doi:10.1155/2012/616383
27
Galam Volume 1 Nomor 1, Agustus 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
Saha, S.K., Nair, P.K.R, Vimala, Nair, D. and Kumar, B.M. 2009. Soil Carbon Stock in Relation to Plant Diversity of Homegardens in Kerala, India. Agroforest Syst (2009) 76:53–65. DOI 10.1007/s10457-009-9228-8. Sanches, P.A.1992. Properties and Management of Soils in The Tropic. Wiley, New York. Sitompul, S.M. 2002. Radiasi dalam Sistem Agroforestri.Bahan Ajar. Suryanto, P. 2005. Model Berbagi Sumber Daya (Resources Sharing) dalam Sistem Agroforestri. Tesis Program Studi Agronomi Jurusan Ilmu-Ilmu Pertanian Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.(Tidak dipublikasikan). Warsito, E. 1999. Kajian Klasifikasi Ekologis Hutan Hujan Tropis. Studi Kasus Di Lombok Barat. Disertasi. PPS Univ. Gadjah Mada, Jogjakarta. Wiersum, K.F. 2006. Diversity and Change in Homegarden Cultivation in Indonesia. Tropical Homegardens A Time-Tested Example of Sustainable Agroforestry (eds). Watson J.W and Eyzaguire, P.B. (Eds). 2002. Homegardens and in Situ Conservation of Plant Genetic Resources in Farming System. Proc Second International Homegarden Workshop, 17-19 July 2001. Witzenhauses, Germany; International Plant Genetic Resources Institute, Rome, 184 pp.
28
PENGARUH MODEL POLYBAG DAN BEDENG TERHADAP PERTUMBUHAN TIGA PROVENAN RAMIN DI PERSEMAIAN BPK BANJARBARU
Rusmana dan Arif Susianto Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru Jl. A. Yani Km 28,7, Landasan Ulin, Banjarbaru 70721 E-mail :
[email protected]
ABSTRAK Ramin (Gonystylus bancanus Miq. Kurz.) sat ini sudah langka dan penebangannya diatur berdasarkan kuota. Selain itu sulitnya untuk memperoleh benih generatif jenis ramin karena musim berbuahnya tidak menentu dan tidak setiap tahun. Pembangunan kebun pangkasan merupakan satu alternatif yang urgen untuk memperoleh benih vegetatif (bahan stek). Kebun pangkasan dibangun dengan 2 metode yaitu polybag dan bedeng. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh model polybag dan bedeng serta karakter pertumbuhan kebun pangkasan ramin dari masing-masing provenan sebagai sumber benih vegetatif (bahan stek). Rancangan percobaan menggunakan rancangan acak lengkap pola splitplot. Main plot adalah metode kebun pangkasan bedeng dan wadah polybag. Sebagai sub plotnya adalah provenan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan dari masing-masing provenan cukup baik dengan persentase hidup antara 90 – 95%. Untuk pertumbuhan model kebun pangkasan dengan wadah polybag (volume 10 liter/10 kg) menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dibanding model bedeng pada umur 2 bulan. Kata Kunci: Konservasi, Ramin,Gonysthylus bancanus (Miq.)Kurtz.), Kebun pangkasan, stek
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ramin (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz.), adalah hasil hutan kayu dari kawasan rawa gambut yang sangat komersildi pasaran nasional maupun internasional sebelum tahun 2004. Ramin tergolong famili Themyliaceae (Marta Widjaya, et. al., 1989) dan pada tahun 2004 masuk dalam Appendix III CITES (Convention on International Trade in Endangered Species), (Istomo, et.al., 2006; Wardhani et.al., 2010; Setyawati, 2010). Artinya ramin sudah dalam kategori terancam punah dan perlu rencana aksi konservasi agar tidak punah. Diperlukan teknik koservasi melalui teknik silvikultur untuk pelestarian ramin. Salah satunya adalah pembangunan sumber benih, pembangunan kebun pangkasan sebagai stockplant atau tanaman donor untuk mendapatkan bahan stek sebagai benih vegetatif untuk tindakan alternatif benih berupa biji (seed) yang sulit diperoleh saat ini. Selain itu pengembangan produksi bibit dengan cara stek pucuk dan penanaman serta pemeliharaan ramin di lahan rawa gambut, diperlukan secara terus menerus setiap tahun (Tajudin et.al., 2010). Teknik produksi bibit dengan cara stek, saat ini telah dikuasai (Sumbayak dan Komar,
29
Galam Volume 1 Nomor 1, Agustus 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
2010). Kendala yang dihadapi adalah sumber bahan steknya masih terbatas pada skala penelitian. Dalam hal ini, pembangunan kebun pangkasan menjadi sangat krusial dan mendesak untuk dilakukan terus menerus dalam skala operasional. Permasalahan yang dihadapi juga adalah penurunan populasi tegakan ramin di alam yang tajam saat ini (Komar, 2005). Sehingga pohon induk ramin sebagai sumber benih sulit diperoleh. Ramin tidak setiap tahun berbuah dan musimnya tidak beraturan. Konservasi ramin melalui penyediaan sumber benih merupakan hal penting untuk menjadi pemikiran dalam pelaksanaan konservasi jenis tersebut pada saat ini dan masa yang akan datang. Sebab, tidak mungkin dapat melakukan konservasi melalui penanaman, jika benih dan bibit tidak tersedia (Rusmana, at. Al., 2014). Berdasarkan permasalahan tersebut di atas telah dilakukan penelitian pembangunan kebun pangkasan dengan metode/model dengan 2 (dua) metode yaitu, bedengan dan polybag. Selain itu telah dilakukan uji provenan ramin dengan 3 (tiga) provenan pada tingkat kebun pangkasan untuk penyediaan sumber benih vegetatif (stek). Hal tersebut dilakukan untuk memperoleh bahan stek sebagai sumber benih vegetatif dalam rangka pembuatan bibit ramin. Dengan adanya kebun pangkasan diharapkan kesulitan untuk memperoleh benih ramin baik dari biji (generatif) dan stek pucuk (vegetatif) dapat teratasi. B. Tujuan dan Sasaran Tujuan penelitian adalah untuk : 1. Mengetahui pengaruh model polybag dan bedeng terhadap pertumbuhan kebun pangkasan ramin. 2. Mengetahui pengaruh pertumbuhan kebun pangkasan ramin yang lebih baik dari 3 (tiga) porovenan benih yang diuji. Sasaran penelitian adalah : 1. Diperolehnya data pertumbuhan kebun pangkasan ramin dengan model polybag dan bedeng untuk pengembangan lebih lanjut dalam skala operasional. 2. Diperolehnya data pertumbuhan kebun pangkasan ramin yang lebih baik dari 3 provenan yang diuji.
II. TINJAUAN PUSTAKA A.
Pembuatan Kebun Pangkasan Pengertian kebun pangkas adalah donor tanaman atau stocplant sebagai sumber benih klonal. Sedangkan kebun pangkasan adalah donor tanaman atau stocplant sebagai sumber benih belum dilakukan uji klonal (Perscom. Budi Leksono, 2011). Terkait ramin, masih belum mengalami uji klonal (clonal test) sehingga namanya disebut kebun pangkasan. Keberadaan kebun pangkasan penting untuk tanaman kehutanan yang benihnya berupa biji sulit diperolah (Tolkamp dan Leppe, 2002) agar benih sebagai bahan produksi bibit tersedia setiap tahun. Benih dari kebun pangkasan dikenal dengan nama benih vegetatif atau bahan stek. Kebun pangkasan untuk Jenis-jenis famili dipterokarpa sudah banyak dibangun di beberapa tempat. Sedangkan untuk jenis ramin belum banyak dilakukan. Melalui kegiatan ITTO (International Trade Tree Organization) bekerja sama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Hutan serta Balai penelitian Kehutanan Banjarbaru telah membangun kebun pangkasan ramin sebanyak ±4.000 stok plantdi KHDTK Tumbang Nusa. Metode pembangunan kebun pangkas dengan cara penanaman
30
Pengaruh Model Polybag dan Bedeng Terhadap Pertumbuhan Tiga Provenan Ramin di Persemaian BPK Banjarbaru Rusmana, Arif Susianto
langsung di lahan rawa gambut pada tapak semak belukar, di bawah tegakan jelutung umur 6 tahun yang jauh dari lokasi persemaian. Kebun pangkasan sebaiknya dibangun dekat persemaian, agar bahan stek yang diambil dapat ditangani pada hari yang sama dan kerusakan bahan stek dapat diperkecil akibat penanganan dan lamanya waktu transportasi, sehingga persentase daya hidupnya tinggi, karena tidak terjadi kerusakan dalam pengangkutan bahan steknya (Tolkamp & Leppe, 2002). Pembuatan kebun pangkasaan dapat dilakukan dengan cara di dalam bedengan (1,5 m x 6 m) dan di polybag besar. Masing-masing model ada kelemahan dan keunggulannya antara lain jika menggunakan bedengan perlu areal luas dan tempat khusus, namun jika menggunakan polibag besar/pot besar tidak memerlukan tempat khsus yang permanen karena bisa di pindah - pindah (Subikato & sakai, 2008). B. Pemeliharaan kebun pangkasan Pemeliharaan kebun pangkasan, hampir sama dengan pemeliharaan bibit di persemaian yang meliputi: penyiraman, pengendalian gulma, pemupukan dan pengaturan pertunasan melalui pemangkasan. Produktivitas setiap indivitu stock plant berbeda-beda, tergantung karakter stock plant itu sendiri (Tolkamp & Leppe, 2002). Demikian pula kecepatan pertumbuhan akar mulanya. Hartman dan Kester (1990) menyatakan bahwa kondisi lingkungan seperti kelembaban dan temperatur juga sinar matahari akan berpengaruh terhadap produktivitas kebun pangkasan.
III. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian dilakukan pada Oktober 2013 hingga Desember 2014. Pembuatan kebun pangkasan dilakukan di persemaian BPK Banjarbaru di Guntung Payung/Landasan Ulin. Lokasi ini berdasarkan administratif masuk Desa Guntung Manggis, Kecamatan Landasan Ulin Timur, Kota Banjarbaru, Provinsi Kalimantan Selatan. B. Bahan dan peralatan Bahan penelitian utama yang digunakan antara lain bibit ramin dari beberapa tempat asal sumber benih (provenances). Sedangkan peralatan utama yang digunakan antara lain sarana-prasarana persemaian, parang, cangkul, sharlon net, meteran, kalifer dan alat tulis menulis serta kamera untuk dokumentasi berupa photo-photo. C. Prosedur Kerja 1. Eksplorasi benih dan pembuatan bibit Eksplorasi benih dilakukan dari 3 (tiga) provenances dari provinsi Kalimantan Tengah. Setiap provenance dikumpulkan minimal sebanyak 500 individu bibit jadi untuk stockplant di kebun pangkasan. 2. Pembuatan kebun pangkasan Pembuatan kebun pangkasan ada dua model, yaitu dalam wadah polybag besar (isi 10 liter) dan tanpa wadah polybag, di tanam pada lahan pada bedengan tanah dengan ukuran bedeng 1,0 m x 4 m. Bedengan dilengkapi dengan sharlon net di atasnya yang memiliki intensitas cahaya sekitar
31
Galam Volume 1 Nomor 1, Agustus 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
40% – 50%. Demikian pula kebun pangkasan model polybag. Media tumbuh dalam polybag adalah campuran antara topsoil dengan sekam padi dengan komposisi 1 : 1. Sedangkan media dalam bedeng merupakan tanah asli setempat di lokasi penelitian yang hanya digemburkan dalam setiap titik tanamnya dengan ukuran lubang tanam 20 x 20 x 20 cm (panjang x lebar x dalam). Jarak tanam kebun pangkasan di bedeng ± 30 x 30 cm. Sedangkan jarak tanam polybag (letak polybag satu dengan lainnya) ± 30 x 30 cm. D. Rancangan Penelitian Penelitian ini terdiri dari 3 provenan (faktor A) dan 2 model kebun pangkasan (Faktor B) sebagai perlakuan yang akan dibuat kebun pangkasannya. Rancangan percobaan menggunakan Rancangan faktorial pola split plot (A x B atau 3 x 2), ulangan 6 kali @ 10 tanaman.Sebagai main plot adalah model kebun pangkasannya dan subplot adalah provenance. Berdasarkan rancangan tersebut, jumlah bibit yang diperlukan adalah 3 x 2 x 6 x 10 = 360 bibit. Pendataan dilakukan terhadap plot penelitian kebun pangkasan ramin dari masing-masing provenance dengan parameter : persentase jadi bibit, persentase jadi kebun pangkasan, pertumbuhan tinggi, jumlah daun, tunas flusing dan kondisi lingkungan kebun pangkasan (kelembaban dan temperatur tanah/media, udara dan pH media). Analisis data Analisis data dilakukan terhadap masing-masing parameter yaitu daya hidup bibit, daya hidup kebun pangkasan, pertambahan tinggi, diameter batang, jumlah daun dan jumlah tunas flusing. Model matematis analisis data (Yitnosumarto, 1993) adalah : Yijk = μ + ɚi + ßj + (ɚß)ij + ɛijk i = 1, 2, ..., a j = 1, 2, ..., b k = 1, 2, ..., n di mana : Yijk = hasil pengamatan untuk faktor A level ke-i, faktor B level ke-j dan pada ulangan ke-k. μ = nilai tengah umum ɚi = pengaruh faktor A (provenance) pada level ke-i ßj = pengaruh faktor B (model kebun pangkasan) ke-j (ɚß)ij = interaksi AB pada level A ke-i, level B ke-j ɛijk = galat percobaan untuk level ke-i (A), level ke-j (B), ulangan ke-k Analsiis data dapat juga dilakukan juga dengan banyuan PC SPSS atau program sejenis.
32
Pengaruh Model Polybag dan Bedeng Terhadap Pertumbuhan Tiga Provenan Ramin di Persemaian BPK Banjarbaru Rusmana, Arif Susianto
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Eksplorasi benih Sasaran eksplorasi benih ramin dilakukan ke daerah Desa Tumbang Nusa, Kabupaten Pulang Pisau, Desa Tasik Payawan Kabupaten Katingan, dan Desa Lahei, Kabupaten Kapuas. Semua daerah tersebut masuk dalam wilayah Provinsi Kalimantan Tengah. Hasil eksplorasi benih ramin disampaikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Hasil eksplorasi benih ramin dari beberapa provenan untuk kebun pangkasan. No.
Provenan
Bentuk benih
Jumlah benih
Tinggi tempat (m dpl)
1.
Kab. Pulang Pisau
biji
2,0 Kg
24
2.
Kabupaten Kapuas
biji
2,0 Kg
50
3.
Kabupaten Katingan
biji
3,0 Kg
45
3.
Produksi bibit a. Perkecambahan benih Benih ramin hasil dari eksplorasi di semai di persemaian. Berdasarkan hasil pengamatan perkecambahan benih dari beberapa provenan (3 provenan) disampaikan dalam Tabel 2. Dalam Tabel 2 menunjukkan, daya kecambah normal benih ramin sangat rendah yaitu provenan Kabupten Kapuas 40%, Provenan Kabupaten Pulang Pisau 43% dan provenan Kabupaten Katingan 50%. Berdasarkan daya kecambah normal, viabilitas benih tersebut tergolong rendah karena kurang dari 80 %. Hal ini disebabkan benih diperoleh dari alam dan banyak rusak bagian embrio benih karena serangan predator/hama seperti tupai, burung dan kera. Tabel 2. Persentase daya berkecambah normal, kecambah abnormal dan biji busuk benih ramin dari 3 provenan yang diuji.
No.
Provenan
n (butir)
Mulai berkecambah (hari ke :)
Terakhir berkecambah (hari ke :)
Daya berkecambah normal (%)
Kecambah abnormal (%)
Biji busuk (%)
1.
Kabupaten Kapuas
600
14
30
40
23
37
2.
Kabupaten Pulang Pisau
640
16
30
43
25
32
3.
Kabupaten
900
15
30
50
15
35
Katingan
Berdasarkan persentase daya kecambah, benih dari provenan Kabupaten Katingan lebih baik daya kecambah normalnya, yaitu 50% dibanding provenan Kabupaten Kapuas (40%) dan kabupaten Pulang Pisau (43%). Hal tersebut disebabkan terjadi benih busuk dan kecambah abnormal. Kecambah abnormal adalah kecambah yang tidak sempurna tumbuhnya (pertumbuhan akar tidak
33
Galam Volume 1 Nomor 1, Agustus 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
wajar naik ke atas dan batang kecambah tumbuh menyerupai bentuk spriral/per dan daun seolaholah stagnan tidak tumbuh sempurna. Contoh kecambah normal dan abnormal disampaikan dalam Gambar 1.
A
B
Kecambah normal
Kecambah tidak normal (abnormal)
Gambar 1. Kecambah normal dan abnormal jenis ramin umur 2 bulan.
Seperti dalam Gambar 1, kecambah normal pada umur 2 bulan setelah benih disemai tumbuh baik dan berkembang daunnya. Sementara kecambah abnormal pada umur dan kondisi perkecambahan sama (dalam greenhouse), pertumbuhan daun tidak muncul dengan pertumbuhan batang bengkok-bengkok. b.
Pertumbuhan bibit Pertumbuhan bibit ramin dari 3 provenan dengan pembiakan generatif umur 7bulan,disajikan dalam Gambar 2.
34
Pengaruh Model Polybag dan Bedeng Terhadap Pertumbuhan Tiga Provenan Ramin di Persemaian BPK Banjarbaru Rusmana, Arif Susianto
Gambar 2.Karakter pertumbuhan rata-rata diameter batang, tinggi dan jumlah daun bibit ramin dari 3 (tiga) provenan umur 7 bulan.
Berdasarkan data Gambar 2, benih provenan Kabupaten Kapuas untuk diameter batang dan jumlah daun lebih baik dari provenan lainnya. Untuk tinggi, provenan Kabupaten Katingan lebih baik. 4.
Kebun pangkasan Pertumbuhan diameter batang, tinggi, jumlah daun, tunas flusing dan survival kebun pangkasan ramin dari 3 provenan dengan model polybag dan bedengan umur 2 bulan, disampaikan dalam Tabel 3. Tabel 3. Tinggi tanaman kebun pangkasan model polybag dan bedengan pada masing-masing provenan umur 2 bulan di Persemaian BPK Banjarbaru. Polybag Provenan
N
Diameter Tinggi (mm) (cm)
Bedeng
Jumlah Jumlah Tunas Survival Tunas Survival Diameter Tinggi daun daun flusing (%) flusing (%) (mm) (cm) (helai) (helai)
Kabupaten 60 Pulang Pisau
3,1 a
23,6 a
3,1 a
0,4 b
96,7
2,7 a
20,5 a
2,6 a
0,2 a
95,0
Kabupaten Katingan
60
3,8 a
30,8 b
4,1 b
0,4 b
96,7
3,2 b
22,5 a
3,4 b
0,2 a
80,0
Kabupaten Kapuas
60
3,6 a
30,9 b
4,2 b
0,3 a
98,3
3,4 b
21,8 a
3,6 b
0,3 a
95,0
Keterangan : angka diikuti huruf yang sama dalam kolom menunjukkan tidak ada beda nyata pada tingkat kepercayaan 95%. Berdasarkan analisa metode Tukey menunjukkan bahwa untuk tinggi tanaman kebun pangkasan ramin provenan Kabupaten Katingan dengan metode polybag (30,8 cm) dan Kabupaten Kapuas (30,9 cm) relatif lebih baik dibanding provenan kabupaten Pulang Pisau (23,6 cm). Demikian juga untuk jumlah daun. Sedangkan diameter batang pada masing-masing provenan dengan metode polybag tidak menunjukkan ada perbedaan yang nyata. Namun pada metode bedeng menunjukan ada perbedaan nyata. Dalam hal ini provenan Kabupaten Katingan (3,4 mm) dan Kabupaten Kapuas (3.2 mm) lebih baik dibanding provenan Kabupaten Pulang Pisau (2,7 mm) dalam hal pertumbuhan diameter batang.
35
Galam Volume 1 Nomor 1, Agustus 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
Metode polybag dibanding metode bedeng dalam pertumbuhan kebun pangkasan ramin dari masing-masing provenan menunjukkan bahwa metode polybag lebih cepat pertumbuhan diameter, tinggi dan jumlah daunnya. Berdasarkan persentase, untuk diameter batang 5,9% - 18,8% lebih baik pada metode polybag dibanding bedeng. Tinggi 15,1% - 41,7% lebih baik pada metode polybag dibanding bedeng dan jumlah daun 16,7% - 20,6% lebih baik pada metode polybag dibanding metode bedeng. Berdasarkan data tersebut, provenan Kabupaten Katingan dan Kabupaten Kapuas adalah provenan yang lebih baik pertumbuhannya dibanding provenan Kabupaten Pulang Pisau. Sedangkan untuk metode kebun pangkasan, metode polybag menunjukkan pertumbuhan kebun pangkasan yang lebih baik pertumbuhannya sampai dengan umur 2 bulan. Produktivitas kebun pangkasan dari setiap provenan pada kedua metode penanaman tersebut belum menghasilkan bahan stek karena ukuran tingginya masih belum memadai untuk diambil steknya. Selain itu ruas-ruas batang antara duduk daun satu dengan berikutnya belum mencukupi. Kebun pangkasan yang siap diambil steknya memerlukan tinggi minimal 50 cm atau jumlah ruasnya minimal 7 ruas dan sudah berkayu. Saat ini dengan jumlah daun 2 – 4 helai, jumlah ruasnya antara 1 – 3 ruas dan liginifikasi batang belum maksimal. Persentase hidup (survival (%)) kebun pangkasan ramin dari masing-masing provenan rata-rata antara 80 – 96,7 % pada umur 2 bulan (Tabel 3). Hal ini dinilai masih cukup baik daya hidupnya. Kondisi kebun pangkasan metode polybag dan bedeng dari masing-masing provenan disampaikan dalam Gambar 3.
Metode wadah polybag
Metode bedengan
Gambar 3. Kebun pangkasan ramin dari 3 provenan dengan metode wadah polybag dan bedengan umur 2 bulan.
B. Pembahasan 1. Eksplorasi benih Pohon ramin di hutan alam, musim berbuahnya tidak menentu/tidak beraturan.Pada saat ini tegakan alam ramin perlu diselamatkan dari gangguan. Eksplorasi benih ramin yang telah dilakukan merupakan upaya konservasi materi genetik melalui uji provenan kebun pangkasan di persemaian. Dari hasil uji provenan tersebut diharapkan ada salah satu provenan unggul untuk dipropagasi secara makro melalui stek pucuk dan pada gilirannya untuk upaya konservasi melalui pembibitan dan program penanaman.
36
Pengaruh Model Polybag dan Bedeng Terhadap Pertumbuhan Tiga Provenan Ramin di Persemaian BPK Banjarbaru Rusmana, Arif Susianto
Dengan tersedianya bibit diharapkan upaya konservasi jenis ramin melalui teknik silvikultur dapat direncanakan oleh para pihak yaitu pemerintah daerah dan instansi terkait di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Berdasarkan teknik pembuatan kebun pangkasan antara metode polybag dan bedeng menunjukkan bahwa metode polybag pertumbuhan ramin lebih baik dibanding metode bedeng. Sedangkan berdasarkan provenan (tempat asal sumber benih) menunjukkan bahwa provenan Kabupaten Katingan dan Kabupaten Kapuas lebih baik dari provenan Kabupaten Pulang Pisau. Oleh karena itu untuk membangun kebun pangkasan ramin pada lahan kering direkomendasikan dengan menggunakan metode polybag dan benih yang diambil dari provenan Kabupaten Katingan dan Kabupaten Kapuas. Perbedaan pertumbuhan antara provenan mengindikasikan ada perbedaan genetik. Tentang genetik perlu diuji lebih lanjut. Berdasarkan laporan Sidiyasa et.al. (2007) dan hasil eksplorasi yang telah dilakukan tahun 2014, untuk sumber benih ramin cukup tersedia di Kabupaten Kapuas yakni di Desa Lahei, Kecamatan Mentangai, seluas ± 200 ha. Areal tersebut telah ditunjuk sebagai kawasan konservasi ramin oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kapuas sejak tahun 1998. Untuk sumber benih provenan kabupaten Katingan dapat diambil dari wilayah Taman Nasional Sebangau. Ketersediaan sumber benih ramin dari tegakan alam berupa peta lokasi, disampaikan dalam Lampiran. 1. Produksi bibit a. Perkecambahan benih Rendahnya daya kecambah benih disebabkan benih yang dikoleksi atau diunduh adalah benih yang sudah jatuh ke lantai hutan yang berasal dari tegakan alam. Karena tegakan alam, tidak dapat dikelola secara intensif sehingga sulit untuk dimonitoring pada saat kondisi perkembangan mulai muncul bunga hingga buah masak. Sedangkan untuk memanjat pohon dalam pengunduhan buahnya sangat sulit karena tidak tersedianya alat panjat untuk kondisi tegakan yang tinggi (> 20 m) dan diameter batang yang besar (> 35 cm) dan buahnya berada di ujung ranting. Dalam hal ini keselamatan jiwa lebih diutamakan dan orang yang terlatih untuk pengunduhan buah tidak tersedia. Benih yang jatuh banyak rusak oleh predator alami seperti burung betet, tupai tanah, jenis kera dan akibat buah jatuh sebelum masak fisiologis. Tiupan angin yang kencang dan aktivitas predator pada tajuk tegakan ramin mengakibatkan buah jatuh sebelum masak. Benih ramin termasuk rekalsitran artinya benih tidak dapat disimpan lama sehingga harus segera disemai dan tidak dapat dikeringkan (diturunkan kadar airnya hingga 15%) seperti halnya benih ortodok untuk memperoleh viabilitas benih yang tinggi. Untuk memperoleh kuantitas dan kualitas benih yang tinggi diperlukan metode pengelolaan dan pemeliharaan tegakan benih/sumber benih yang baik (http://www.bpthbalinusra.net/sumber benih) : 1) Damarkasi : upaya pemberian tanda batas yang jelas, dengan maksud untuk cepat mengenali area pengumpulan benih, dalam pemeliharaan dan perlindungan yang akan dilaksanakan. Tanda batas ini juga diperlukan untuk menghindari kegiatan eksploitasi yang tidak diinginkan terhadap areal tersebut (penggembalaan ternak, penebangan dan lain-lain).
37
Galam Volume 1 Nomor 1, Agustus 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
2) Perlindungan : melindungi tegakan dengan cara tertentu seperti membersihkan dan melindungi tegakan dari bahaya kebakaran. Tindakan perlindungan juga diperlukan terhadap hama penyakit yang mempengaruhi perkembangan bunga dan buah/benih. 3) Penyiangan : untuk membersihkan lantai tegakan dari gulma. Penyiangan ini dapat memudahkan pengumpulan benih dan pengelolaan sumber benih serta tempat berlindungnya predator benih. 4) Penjarangan : untuk memberikan ruang yang cukup untuk membentuk tajuk dan membersihkan genotif yang tidak diinginkan, dapat meningkatkan pembungaan dan produksi benih. 5) Pemupukan : dilakukan jika tidak ada alternatif lain untuk produksi yang lebih baik. Jika kualitas benih yang dihasilkan sangat rendah. 6) Isolasi : untuk perlindungan terhadap pencemaran serbuk sari dari luar yaitu penetapan jarak yang cukup dari sumber benih yang tidak digunakan dari jenis yang sama dan pemisahan dari sumber benih (provenan) yang berkaitan erat secara botanis dengan jenis lain. Misalnya pohon berdaun jarum diselingi dengan pohon berdaun lebar. 7) Konservasi : sumber benih dalam kondisi tertentu berada dalam kondisi genting/ mengkhawatirkan punah akibat tekanan yang semakin meningkat dalam penggunaan hutan alam dan lahan. Konservasi sumber benih merupakan langkah yang paling baik yaitu merupakan tindakan dan kebijaksanaan yang menjamin kelangsungan ketersediaan dan keberadaan sumber benih jenis tertentu yang semakin sedikit populasinya melalui in situ dan ex situ. Dengan pengelolaan dan pemeliharaan tegakan benih, diharapkan menghasilkan mutu benih yang tinggi. Terkait dengan konservasi ramin BPK Banjarbaru telah menunjuk tegakan benih ramin pada level TBT (Tegakan Benih Teridentifikasi) seluas 25 ha dengan populasi 162 pohon pada tahun 2012 di KHDTK Tumbang Nusa. b.
Pertumbuhan bibit Pertumbuhan bibit ramin sangat lambat dibanding jenis-jenis dari marga dipterokarpa atau jenis-jenis tergolong tumbuh lambat (slowgrowing species) lainnya. Karena itu, pembibitan ramin memakan waktu lebih dari 24 bulan untuk mencapai tinggi 50 cm jika pembiakannya dari generatif. Sedangkan dari pembiakan vegetatif (stek pucuk) dengan panjang stek 15 cm untuk mencapai tinggi tunas 30 cm memakan waktu 24 - 30 bulan. Dengan demikian, pertumbuhan bibit pada pembiakan generatif dari provenan kabupaten Katingan dalam waktu 9 bulan mencapai 23,05 cm merupakan provenan yang tergolong cepat (2,6 cm/bulan) pertumbuhannya dibanding provenan lainnya. Untuk memacu pertumbuhan tinggi bibit nampaknya diperlukan tambahan nutrisi dengan cara pemupukan di persemaian yang lebih tinggi dari normal. Pemupukan normal bibit di persemaian yaitu antara 0,4 – 0,5 gram/bibit/bulan (15 gram/270 bibit, 8 kali pemupukan dalam sebulan) dengan menggunakan media tumbuh bibit campuran antara topsoil + sekam padi (perbandingan volume 1:1). Hal tersebut perlu diteliti lebih lanjut dengan dosis lebih tinggi dari normal untuk jenis ramin. Atau, memang karakter ramin lambat pertumbuhannya.
38
Pengaruh Model Polybag dan Bedeng Terhadap Pertumbuhan Tiga Provenan Ramin di Persemaian BPK Banjarbaru Rusmana, Arif Susianto
2.
Kebun pangkasan Provenan Kabupaten Katingan dan Kabupaten Kapuas adalah provenan yang lebih baik pertumbuhan tingginya dibanding provenan Kabupaten Pulang Pisau. Sedangkan untuk metode kebun pangkasan, metode polybag menunjukkan pertumbuhan kebun pangkasan yang lebih baik pertumbuhannya sampai dengan umur 2 bulan. Berdasarkan persentase, provenan Kabupaten Katingan dan Kabupaten Kapuas lebih baik 30,5 – 30,9% dibanding provenan Kabupaten Pulang Pisau. Keunggulan provenan Kabupaten Katingan dan Kabupaten Kapuas diduga benih yang diperoleh berasal dari populasi tegakan yang berbuah bersamaan lebih banyak dibanding provenan Tumbang Nusa. Hal ini secara penyerbukan kemungkinan faktor genetik lebih baik provenan Kabupaten Katingan dan Kabupaten Kapuas karena masih banyak populasi pohon yang baik-baik dan berdiameter besar (> 35 cm). Sedangkan di provenan Kabupaten Pulang Pisau tegakan ramin yang berbuah sedikit karena tegakan yang ada merupakan sisa tebangan Hak Pengusahaan Hutan PT. Arjuna Wiwaha (perusahaan tutup tahun 2001), dimana pohon yang baik ditebang seluruhnya dan yang ditinggal pohon-pohon berdiameter kecil. Persilangan antara sesama pohon yang baik, benihnya secara genetis akan baik pula dan persilangan antara pohon yang jelek dan baik diindikasikan akan menghasilkan benih 50% baik dan 50% jelek. Sedangkan jika terjadi persilangan antara pohon jelek dengan jelek akan menghasilkan benih yang jelek. Persilangan secara inbreeding juga akan mengakibatkan genetik kurang baik (Leksono, 2007) Faktor genetik ramin masih belum banyak diidentifikasi sampai saat ini. Namun, Balai Besar Bioteknologi dan Pemuliaan Pohon Yogyakarta telah mengidentifikasi genetik ramin yang tumbuh alami di Nyarumenteng, Kalimantan Tengah merupakan variasi genetik yang lebih baik. Namun, sayang kondisi tegakan ramin di Nyarumenteng banyak rusak dan tidak menghasilkan buah/benih karena terganggu oleh orang utan karena di Nyarumenteng merupakan lokasi introduksi orang utan oleh proyek BOS (Borneo Orang Utan Survival) sejak tahun 1999 hingga sekarang. Kebun pangkasan ramin yang telah ada di persemaian akan terus dilakukan pemeliharaan dan pendataannya hingga diketahui produktivitas bahan steknya untuk setiap provenan pada masingmasing metode kebun pangkasan (polybag dan bedeng). Tindakan konservasi melalui teknik silvikultur dan pengembangan kebun pangkasan sangat urgen dilakukan agar jenis ramin yang sudah langka saat ini dapat dilakukan penanaman pengayaan dalam bentuk kebun konservasi dengan skala operasional. Untuk masa depan, kebun pangkasan polybag akan dijadikan kebun pangkasan bergulir. Artinya, jika stockplantsudah lebih dari 3 tahun dan bahan stek sudah sulit tumbuh akar karena stockplantnya sudah tua, maka stockplant tersebut bisa ditanam ke lapang. Sementara bibit stek yang dibuat sudah dapat diambil steknya sebelum ditanam diambil dahulu bahan steknya, stockplantnya (pohon induknya) baru ditanam kelapang. Diagram kebun pangkasan bergulir disampaikan dalam gambar berikut (Subiakto & Sakai, 2007) :
39
Galam Volume 1 Nomor 1, Agustus 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
Gambar 4. Diagram alur kegiatan operasional pengambilan bahan stek secara bergulir untuk kebun pangkasan metode polybag di masa yang akan datang.
Pembangunan kebun pangkasan untuk jenis-jenis tidak teratur musim berbuahnya seperti jenis ramin merupakan langkah yang bijaksana dan strategis untuk menyiapkan benih berupa bahan stek (benih vegetatif). Ramin merupakan jenis komersil tinggi dari kawasan hutan rawa gambut yang perlu dilestarikan keberadaanya. Konservasi ramin secara insitu dan eks-situ perlu terus dikembangkan agar tidak terjadi kepunahan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Pertumbuhan awal kebun pangkasan ramin dengan wadah polybag menunjukkan pertumbuhan lebih baik 15 – 41,7% dibanding dengan metode bedengan. Hal ini disebabkan media dalam polybag aerasi dan drainase medianya lebih baik dibanding pada bedengan lantai tanah, 2. Provenan Kabupaten Katingan dan Kabupaten Kapuas relatif lebih baik 30,5 – 30,9% pertumbuhan tingginya pada umur 2 bulan di kebun pangkasan dengan metode polybag. Provenan Kabupaten Katingan dan Kabupaten Kapuas merupakan provenan terpilih dari segi pertumbuhan tinggi. Penelitian lanjutan ke depan yang perlu dilakukan adalah keberhasilan stek berakar dan penandaan genetiknya untuk setiap provenan. 3. Kebun pangkasan umur 1 bulan dengan materi dari biji (seed) pada umur 9 bulan sejak disemai dan umur 2 bulan dalam kebun pangkasan pada 3 provenan yang diuji tersebut belum menghasilkan bahan stek. Pemeliharaan dan pendataan kebun pangkasan perlu dilanjutkan.
40
Pengaruh Model Polybag dan Bedeng Terhadap Pertumbuhan Tiga Provenan Ramin di Persemaian BPK Banjarbaru Rusmana, Arif Susianto
B. Saran 1. Pendataan dan pemeliharaan kebun pangkasan perlu dilanjutkan sampai diketahui produktivitas bahan stek dari masing-masing provenan. 2. Konservasi ramin melalui teknik silvikultur perlu dikembangkan. Salah satu yang dapat dilakukan adalah pembangunan kebun pangkasan sebagai sumber benih vegetatif, konservasi sumber daya genetik, pembangunan tegakan benih dan melindungi habitat tempat tumbuh alaminya yaitu hutan rawa gambut agar ramin tidak punah. 3. Permudaan alam ramin di hutan rawa gambut yang masih cukup banyak anakan alamnya diperlukan pemeliharaan yang relatif intensif agar ramin kembali mengisi hutan rawa gambut sebagai habitat alami ramin dari species bancanus. 4. Tegakan benih ramin yang telah ditunjuk oleh BPTH Wilayah Kalimantan di daerah Lahe, Kecamatan Mentangai, Kabupaten Kapuas diharapkan dapat di pelihara oleh Dinas Kehutanan atau Balai Konservasi Sumber daya Alam (BKSDA) sebagai hutan konservasi dan pemeliharaan lingkungan hidup ramin yang tersisa seluas 200 Ha di Kalimantan Tengah.
DAFTAR PUSTAKA Daryono, H. 1996. Kondisi Tegakan dan Permudaan Alam Hutan Rawa Gambut Setelah Pembalakan dan Teknik Propagasinya. Diskusi Hasil-hasil Penelitian Dalam Menunjang Pemanfaatan Hutan yang Lestari di Cisarua. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Hanafiah, A.K. 2004. Rancangan Percobaan. Teori dan aplikasi (Edisi ketiga). Fakultas pertanian Universitas Sriwijaya Palembang. Divisi perguruan tinggi. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. P. 259. Hamzah, Kh.A. 2010. Gonystylus bancanus : Jewel of the peat swamp forest. Forest Research Institute Malaysia. Printed in Malaysia by Gemilang Press Sdn. Bhd, Sungai Buloh. P.83 Hartman, Hudson.T, Dale E Kester & Fred Davis. 1990. Plant Propagation Principles and Practice. Fifth Editions. Prentice-Hall. Internanional. Inc. London. Istomo. 2006. Komar E.T (edt.). Evaluasi dan penyesuaian sistem silvikultur hutan rawa gambut, khususnya jenis ramin ( Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz.) di Indonesia. Alternatif Kebijakan dalam Pelestarian dan Pemanfaatan Ramin. Prosiding Workshop Nasional. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam bekerjasama dengan ITTO PPD 87/03 Rev.2 (F). Bogor. Pp. 55 – 81. Leksono, B. 2012. Program Pemuliaan tanaman Hutan Untuk Menghasilkan Benih Unggul. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Materi Inhouse Training di Balai Perbenihan Tanaman Hutan Kalimantan. Banjarbaru 25 Juli 2012. Tidak diterbitkan Rusmana, Panjaitan, S. & Santosa, P.B. 2004. Teknik Budidaya Jenis Pohon di Hutan Rawa Gambut. Makalah Seminar Ilmiah Hasil-hasil Penelitian di Palangkaraya tanggal 12 Mei 2004. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru. P : 7. Rusmana, Ariani, R., Nduka, S. & Susianto, A. 2012. Teknik Konservasi ramin (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz.). Balai penelitian Kehutanan Banjarbaru. Laporan Hasil Penelitian. Tidak diterbitkan. Rusmana, Susianto, A. &Nduka, S. 2013. Teknik Konservasi ramin (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz.). Balai penelitian Kehutanan Banjarbaru. Laporan Hasil Penelitian. Tidak diterbitkan. Setyawati, T. 2010. Konservasi Flora, Fauna dan Mikroorganisme. Rencana Penelitian Integratif (RPI) Tahun 2010 – 2014.Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Hutan. Pp. 105 – 142.
41
Galam Volume 1 Nomor 1, Agustus 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
Sidiyasa, K., Yafid, B., Adinugroho, C.W. dan Rusmana. 2007. Seed sources of ramin in west and Central Kalimantan. Forestry Research and Development Agency in cooperation with International Tropical Timber Organization. Bogor. P. 30. Sumbayak, E.S.S dan Komar T.E. 2010. Pedoman pembuatan stek pucuk ramin (Gonystylus bancanus) dengan sistem pengkabutan KOFFCO. Pusat Litbang dan Konservasi Alam bekerja sama dengan ITTO – CITES Project. Bogor. P. 20 Supriadi, G & L. Valli. 1988. Manual Persemaian ATA-267 Mechanized Nursery and Plantation Project in South Kalimantan (Indonesia-Finlandia). Balai Teknologi Reboisiasi Banjarbaru. Penerbitan No. 52. Tajudin, E.K., Savitri, E. Dan Rusmana. 2010. Conservation and the establishment of ramin (Gonystylus bancanus) Genepool. Paper presented on the Regional Workshop on the Sharing of Findings from the Activities Implemented in Malaysia and Indonesia under the ITTO – CITES Project on Ensuring International Trade in CITES – Listed Timber Species is Consent with their Sustainable Management and Conservation. Kuantan, Pahang Malysia 1 – 4 December 2010. Tolkamp.G.W & Leppe, D. 2002. Edt. Yasman, I & Hernawan. Pembangunan Kebun Pangkas. Bagian dari buku Manual Persemaian Dipterocarpaceae. Kerjasama antara Badan Litbang Kehutanan dengan Asosiasi Pengusaha hutan Indonesia. Jakarta. P. V-1 – V-11. Wardhani,M., Yafid, B., Komar, T.E., Nurjanah, S. dan Rosita, D.T. 2010 (edt.). Gonystylus spp. (ramin): population status, genetics and gene conservation. IITO – CITES Project in cooperation with Center for Forest and Nature Conservation Research and Development. Printed by CV. Biografika. Bogor. P. 28. http://www.bpthbalinusra.net/sumberbenih. Pengelolaan dan Pemeli-haraan Sumber Benih. Balai Perbenihan Tanaman Hutan Bali dan Nusa Tenggara. Diakses Desember 2014.
42
PERSIAPAN LAHAN PADA TANAMAN GEMOR (Nothaphoebe coriacea): DAYA HIDUP DAN PERTUMBUHAN UMUR 3 BULAN
Purwanto Budi Santosa Jl. A Yani Km 28,7 Landasan Ulin, Banjarbaru, 70712 Email:
[email protected]
ABSTRAK Gemor (Nothaphoebe coriacea) merupakan salah satu jenis pohon penghasil produk hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang budidayanya masih belum dilakukan dengan baik. Penanaman gemor perlu dilakukan sehingga para pencari gemor tidak hanya mengandalkan dari tegakan alam. Informasi teknik persiapan lahan sangat diperlukan agar diketahui cara penanaman yang baik.Tujuan penelitian ini adalah untuk megentahui cara persiapan lahan yang baik untuk tanaman gemor. Penelitian dilakukan di KHDTK Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah. Bahan yang digunakan adalah tanaman gemor umur 3 dari perbanyakan vegetatif. Perlakuan yang diuji adalah cara persiapan lahan, yaitu gunduk (P1) dan tanpa Gunduk (P2). Hasil penelitian terhadap tanaman gemordiketahui bahwa persiapan gunduk (P1) menunjukkan pertumbuhan tingg ilebih baik 446%, diameter 1,7% dan jumlah daun lebih baik 5,8% dibanding tanpa gundukan. Kata Kunci : Gemor, persiapan lahan
I. PENDAHULUAN Gemor (Nothaphoebe coriacea) merupakan salah satu jenis pohon penghasil produk hutan bukan kayu (HHBK) yang tumbuh di hutan rawa gambut. Panjaitan et al., (2009) ; Santosa dan Harun (2013) juga melaporkan pencarian kulit kayu gemor telah dilakukan oleh masyarakat sejak lama berlangsung sekitar 40-70 tahun yang lalu. Kulit gemor digunakan sebagai bahan hio, bahan perekat / lem dan obat nyamuk. Santosa dan Panjaitan (2012) juga melaporkan bahwa terdapat potensi manfaat obat di dalam kandungan kulit, daun dan buahnya terdapat kandungan fitokimia.Ekspor gemormencapai $ 5.368 pada tahun 2011 (Anonim 2011) Pemanenan gemor dari tegakan alam masih berlangsung, tidak sebanding dengan budidaya penanaman yang masih belum dilakukan oleh masyarakat. Jika budidaya tidak segera dapat dilakukan, maka tidak menutup kemungkinan bahwa keberadaan gemor semakin langka. Dalam melakukan penanaman di lahan gambut tidak jarang mengalami kegagalan karena kondisi biofisik yang kurang mendukung. Kondisi lingkungan yang mempengaruhi antara lain ketergenangan ketika puncak musim penghujan, sehingga bibit tanaman terendam bahkan tenggelam sampai ke bagian tajuk tanaman. Oleh karena itu diperlukan manipulasi lingkungan untuk mendukung pertumbuhan tanaman, terutama pada saat awal tanaman
43
Galam Volume 1 Nomor 1, Agustus 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
adaptasi terhadap lingkungan tapak tanaman. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa cara persiapan lahan dengan gunduk dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman di lahan rawa gambut (Nuyim, 2000; Santosa, 2012). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh persiapan lahan, yaitu gunduk dan tanpa gunduk pada gemor di lahan gambut.
II. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan dari bulan November tahun 2013 sampai dengan Februari 2014.Lokasi penelitian di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Tumbang Nusa, yang terletak di Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah. Letak lokasi secara geografis adalah 0o8’48” sampai dengan 3o27’00” LS dan 113o2’36” sampai dengan 114o44’00” BT. Topografi pada 0-5 meter diatas permukaan laut, dengan elevasi 0% - 18%.Kondisi lokasi secara umum tidak tergenang ketika puncak musim penghujan. Lokasi ini merupakan areal hutan rawa gambut bekas terbakar. Qirom et al., (2013) melaporkan vegetasi yang mendominasi di KHDTK Tumbang Nusa pasca terbakar 1997 adalah Lithocarpus sp. dan Knema intermedia. Jenis tanah didominasi oleh ordo histosol yang memiliki kandungan C-organik lebih besar dari 18 % dan kemasaman (pH) tanah rendah yaitu berkisar 3,5. Curah hujan di lokasi penelitian antara 200-3500 mm/ tahun. Bulan basah terjadi antara Oktober sampai dengan Maret dan bulan kering pada bulan Juni sampai Agustus. Temperatur udara berkisar antara 21oC - 23oC, suhu maksimal 36oC. (Santosa dan Panjaitan 2012). Curah hujan selama di lokasi penelitian November 2013 - Februari 2014 terendah 173 mm dan tertinggi 1017 mm seperti pada Gambar 1.
Gambar 1. Curah hujan dan hari hujan di lokasi penelitian B.
Bahan Alat Penelitian Bahan-bahan serta peralatan yang diperlukan antara lain: tanaman gemor yang ditanambulan November tahun 2013,kaliper untuk mengukur diameter, meteran untuk mengukur tinggi dan alat tulis.
44
Persiapan Lahan pada Tanaman Gemor (Nothaphoebe Coriacea): Daya Hidup dan Pertumbuhan Umur 3 Bulan Purwanto Budi Santosa
C. Metode penelitian 1. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian menggunakan rancangan acak lengkap berblok dengan dua perlakuan yaitu persiapan lahan pada jalur tanaman yaitu dengan gunduk (P1) dan tanpa gunduk / kontrol (P2). Setiap jalur terdiri dari 30 tanaman dan masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Jalur tanamn dibuat dengan lebar 3 meter, jarak antar jalur 5 meter dan jarak tanaman di dalam jalur 3 meter. 2. Pengamatan Pengukuran pertumbuhan tanaman yaitu tinggi, diameter, dan jumlah daun dilakukan pada saat tanam dan 3 bulan setelah ditanam. 3. Analisis data Analisis data dilakukan untuk menguji pengaruh perlakuan terhadap parameter yang diamati menggunakan Mann-Whitney–U Test. 4. Prosedur Kerja Perlakuan persiapan lahan yang dilakukan adalah persiapan lahan dengan gunduk (P1) dan tanpa gunduk (P2). Kegiatan operasional penelitian ini seperti pada Tabel 1 Tabel 1. Tahapan kegiatan penanaman tanaman gemor di lapangan. No
Kegiatan
Uraian
1.
Pembersihan lahan
-
Pembersihan lahan dilakukan menggunakan cara menebas vegetasi tumbuhan bawah menggunakan parang dan bertujuan memprakondisikan tapak pada areal tanam
2.
Persiapan lahan
a.
Gunduk (P1) Gundukan dibuat pada titik tanam dibuat dari karung volume 50 kg yang diisi dengan gambut yang diambil di bagian permukaan (kedalaman ± 30 cm), dibersihkan dari sisa akar, ranting dan kayu. Ukuran tinggi gundukan ±23 cm, lebar ±35 cm dan panjang ±50 cm. Tanpa gunduk (P2) Pada titik tanam gambut dicacah, dicincang dan dibuat lobang tanam
b. 4.
Penanaman
-
Penanaman gemor dilakukan pada ajir titik tanam yang sudah ditentukan. Pada saat tanam, polibag dibuka bagian bawahnya dengan cara disobek menggunakan parang. Bibit yang ditanam berasal dari perbanyakanvegetativ stek
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Areal penanaman tanaman gemor di lokasi penelitian terletak di hutan rawa gambut sekunder dan bekas terbakar tahun ± 18 tahun lalu. Kondisi vegetasi di sekitar lokasi pada umunya adalah jenis pioner seperti merapat (Combretucarpus rotundatus), geronggang (Cratoxylon glaucum).Tinggi tegakan sekitar lokasi tanam ± 10-17 cm, lebar tajuk ± 3- 4 meter. Penanaman dilakukan di dalam jalur tanam (lebar jalur ± 3
45
Galam Volume 1 Nomor 1, Agustus 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
meter) dan penutupan kanopi yang ada memungkinkan intensitas cahaya matahari yang masuk ± 50%.Cara penanaman bibit gemor dengan cara gunduk dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Pengangkutan bibit gemor (1), Cara menanam dengan merobek polibag (2), akar gemor pada dasar polibag (3), merobek karung berisi gambut (4), menanam bibit gemor pada gunduk berupa karung berisi gambut (5) dan tanaman pada gunduk karung (P1= gunduk)
Salah satu kondisi lingkungan yang mendukung pertumbuhan tanaman adalah curah hujan. Curah hujan dan jumlah hari hujan pada saat tanam sampai dengan pengukuran tanaman berumur 3 bulan yaitu November 2013 (173.0 mm; 17 hari), Desember 2013 (275 mm;22 hari), Januari 2014 (1017 mm; 25 hari), Februari 2014 (396 mm, 396 hari). Curah hujan setelah bibit ditanam cenderung meningkat dan curah hujan pada bulan Januari merupakan curah hujan tertinggi dan selama 3 bulan pertumbuhan kondisi curah hujan masih memasuki bulan basah. Berdasarkan pengukuran tanaman pada saat awal ditanam atau umur 0 bulan (November tahun 2013) dan umur 3 bulan setelah ditanam (Februari tahun2014) dapat dilihat pada Gambar 3.
46
Persiapan Lahan pada Tanaman Gemor (Nothaphoebe Coriacea): Daya Hidup dan Pertumbuhan Umur 3 Bulan Purwanto Budi Santosa
Gambar 3. Tinggi, diameter dan Jumlah daun pada umur 0 dan 3 bulan
Berdasarkan gambar diatas diketahui bahwa pada masing-masing parameter pengamatan tinggi, diameter dan jumlah daun pada P1 (gunduk) menunjukkan lebih tinggi daripada P2 (tanpa gunduk). Untuk selanjutnya data pertumbuhan masing-masing parameter pengamatan baik tingg, diameter dan jumlah daun dianalisis menggunakan uji Mann-Whitney –U Test seperti Tabel 1 berikut Tabel 1. Pertumbuhan tinggi, diameter dan jumlah daun tanaman gemor umur 3 bulan. Parameter
Gunduk (P1)
Tanpa Gunduk (P2)
P
Rata-rata
SE
Rata-rata
SE
Tinggi (cm)
0.83
0.15
0.16
0.76
< 0,001*
Diameter (cm)
0.20
0.02
0.15
0.03
< 0,003*
Jumlah daun
0.93
0.33
0.86
0.37
< 0,007*
Tabel 1 diatas diketahui bahwa penanaman dengan gunduk dapat menunjukkan pertumbuhan tinggi 0,83 cm, sedangkan tanpa gunduk 0,16 cm. Pertumbuhan diameter tanaman dengan gundukan 0,2 cm, sedangkan tanpa gunduk 0,15 cm dan jumlah daun pada persiapan lahan gunduk 0,93 cm dan tanpa gunduk 0,86 cm. Pertumbuhan tinggi tanaman gemor pada perlakuan gunduk (P1) menunjukkan perbedaan nyata (P < 0,001) demikian juga pada pertumbuhan diameter ( P< 0.003) dan jumlah daun (P <0,007). Hal ini menunjukkan pengaruh persiapan lahan terhadap pertumbuhan tanaman gemor umur 3
47
Galam Volume 1 Nomor 1, Agustus 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
bulan. Pertumbuhan tinggi tanaman pada persiapan lahan gunduk menunjukkan pertumbuhan lebih baik dari pada tanpa gundukan masing-masing pada parameter tinggi yaitu sebesar 446%, diameter 1,7% dan jumlah daun 5,8%. B. Pembahasan Tanaman yang ditanam dengan cara gunduk menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik daripada tanpa gunduk. Hal ini seperti laporan Santosa (2013) yang menyatakan bahwa tanaman Balangeran yang ditanam dengan cara gunduk pada lahan rawa gambut mempunyai pertumbuhan tinggi 4% lebih baik dan diameter 3% lebih baik. Hal ini karena kondisi lingkungan yang berbeda pada yang berpengaruh pada pertumbuhan tanaman.Lebih lanjut Santosa (2013) melaporkan bahwa kondisi lingkungan lahan gunduk dan tanpa gunduk nampak terdapat perbedaan yaitu pH dan kandungan serat, dimana pH lebih rendah pada areal yang tidak digunduk dibanding yang gunduk, sedangkan kandungan serat gunduk lebih rendah. pH tanah yang semakin meningkat mampu meningkatkan ketersediaan unsur-unsur hara yang diperlukan oleh tanaman, sedangkan kandungan serat menunjukkan tingkat kematangan gambut. Semakin sedikit kandungan serat menunjukkan tingkat dekomposisi yang lebih baik.O¨ rlander et al., (1990)dalam Lo¨f et al., (2006) melaporkan bahwa gundukan dapat meningkatkan suplai hara pada tanaman karena stimulasi dari mineralisasi humus. Sedangkan Barchia (2006) melaporkan bahwa semakin tinggi dekomposisi gambut, semakin baik terhadap tingkat kesuburannya. Dengan kondisi lingkungan yang mendukung tersebut maka dapat menjelaskan pertumbuhan tanaman gemor dengan persiapan lahan gunduk lebih.
IV. KESIMPULAN A. Persiapan dengan cara gunduk dengan cara memasukkan gambut ke dalam karung ukuran volume 50 kg dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi, diameter dan jumlah daun tanaman gemor umur 3 bulan. B. Peningkatan pertumbuhan tinggi tanaman gemor dengan persiapan lahan gunduklebih baik 446%, diameter 1,7% dan jumlah daun 5,8% dibanding tanpa gunduk.
DAFTAR PUSTAKA Anonim 2011. Laporan ekspor tahun 2011.Dinas Perindustrian dan Perdangangan Propinsi Kalimantan Selatan. Barchia, M,F., 2006. Gambut Agroekosistem dan Transformasi karbon. Gadjahmada Univesity Press. Yogyakarta. Lo¨f ,M., D. Rydberg , Bolte, 2006. c, Forest Mounding site preparation for forest restoration: Survival and short term growth response in Quercus robur L. seedlings. Ecology and Management 232 :19–25 Nuyim, T., 2000.Whole Aspec on Nature and Management of Peat Swamp Forest Thailand.Procedding of The International Symposium on Tropical Peatland.Hokkaido Universitu and Indonesian Institute of Science. Hal 109-117. Panjaitan, S., Halwany, W., Andriani, S., Lestari, F., 2009. Potensi dan Persyaratan Tumbuh Hasil Hutan Bukan Kayu Jenis Gemor (Nothaphoebe coreacea Kosterm.) di Kalimantan. Laporan Hasil
48
Persiapan Lahan pada Tanaman Gemor (Nothaphoebe Coriacea): Daya Hidup dan Pertumbuhan Umur 3 Bulan Purwanto Budi Santosa
Penelitian Dana Bantuan Sosial DIKTI Lingkup Balai Penelitian. Qirom, M.A, Yuwati T.W, Harun, M.K, Arianim R., and Santosa, P.B., 2013. Research to The Trials of Agroforestry System and The Monitoring of The Natural Regeneration After Forest Fire on Peatland Rehabilitation in Central Kalimantan. Banjarbaru Forestry Research Institute Forestry Research And Development Agency The Ministry Of Forestry Of Indonesia Santosa, P.B , 2013. Peningkatan Produktifitas Kayu Pertukangan di Lahan Gambut : Kajian Pertumbuhan Balangeran (Shorea balangeran(Korth.)Burck.). Prosiding Seminar Hasil Penelitian. Pusat Produktifitas Hutan. Bogor Santosa, P.B dan Harun, M,K. 2013. Strategi budidaya gemor (Nothaphoebe coriacea Kosterm.) untuk agroforestri di lahan gambut. Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional Agroforestri. Universitas Lambung Mangkurat, 30 Oktober 2013. Santosa, P.B, Panjaitan, S,. 2012. Teknik budidaya gemor (Nothaphoebe coriacea Kosterm.). Laporan hasil penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru. Tidak dipublikasikan.
49
50
PEMBINAAN MASYARAKAT SEKITAR KHDTK DALAM BENTUK PEMASYARAKATAN IPTEK
Eko Priyanto Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru Jl. A. Yani Km 28,7, Landasan Ulin, Banjarbaru 70721 E-mail :
[email protected]
ABSTRAK KHDTK (Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus) merupakan kawasan yang ditetapkan sebagai lokasi kegiatan penelitian, pendidikan dan pelatihan namun tidak merubah fungsi dari kawasan tersebut. Keberadaan KHDTK tidak hanya dapat dipandang sebagai lokasi kegiatan penelitian, pendidikan dan pelatihan namun juga memiliki peranan besar baik secara ekologi sampai sosial ekonomi. Dalam keberadaannya KHDTK juga tidak lepas dari berbagai jenis gangguan yang juga dapat terjadi di semua kawasan hutan oleh karena itu KHDTK diharapkan dapat menjadi contoh miniatur penggelolaan hutan. Pelibatan masyarakat dan pembinaan masyarakat sekitar KHDTK menjadi hal yang positif sebagai salah satu bentuk kegiatan yang dapat dilakukan dalam penggelolaan KHDTK. Pemasyarakatan IPTEK merupakan salah satu kegiatan yang dapat dilakukan di setiap KHDTK. Tujuannya untuk membina dan memberikan sosialisasi kepada masyarakat di sekitar KHDTK. Selain itu, kegiata n pemasyarakatan IPTEK ini sangat efektif untuk memenuhi kekurangan input teknologi masyarakat sekitar KHDTK. Pemilihan materi yang tepat sesuai aspirasi masyarakat, dapat menjamin keefektifan kegiatan ini. Kata Kunci : KHDTK, Pemasyarakatan IPTEK, pembinaan, masyarakat sekitar KHDTK
I. PENDAHULUAN Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) adalah kawasan hutan yang ditetapkan untuk keperluan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan serta kepentingan religi dan budaya setempat, sesuai dengan amanat UU No. 41 tahun 1999 (Pasal 8 UU No.41 Tahun 1999) dengan tanpa mengubah fungsi kawasan dimaksud. Saat ini terdapat 33 KHDTK yang penggelolaannya di bawah koordinasi Badan Litbang Kehutanan, 33 KHDTK tersebut telah ditunjuk dan dan sebagaian juga telah ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan. 33 KHDTK tersebut tersebar di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur dengan luas total kurang lebih 37.000 ha, yang mencakup
51
Galam Volume 1 Nomor 1, Agustus 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
berbagai tipe hutan dan kondisi sosial budaya. KHDTK memiliki fungsi sebagai areal hutan penelitian baik dalam bentuk sebagai laboratorium alam, lokasi kegiatan penelitian dan pengembangan kehutanan serta wadah kegiatan konservasi. KHDTK memiliki peranan penting sebagai lokasi prioritas pelaksanaan kegiatan penelitian dan pengembangan bidang kehutanan khususnya lingkup badan litbang kehutanan. Kegiatan penelitian yang dilaksanakan di dalam KHDTK tidak hanya dibatasi oleh satu bidang penelitian namun hampir semua bidang penelitian dapat dilakukan di KHDTK. Semakin banyak kegiatan penelitian yang dilakukan di KHDTK akan menambah nilai manfaat bagi keberadaan KHDTK itu sendiri, ditambah dengan keterlibatan masyarakat sekitar yang dapat menambah nilai plus akan keberadaan suatu KHDTK. Penggelolaan KHDTK dapat dipandang sebagai bentuk miniatur dalam penggelolaan kawasan hutan, permasalahan dan tantangan dalam penggelolaan KHDTK juga hampir terjadi disemua kawasan hutan seperti masalah batas kawasan, pencurian kayu, penyerobotan dan pendudukan lahan, alih fungsi kawasan serta kebakaran hutan dan lahan. Oleh karena itu sangat diperlukan rencana penggelolaan yang telah dirancang baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang untuk menggelola KHDTK agar keberadaan KHDTK itu dapat benar-benar menjadi aset dan memberi nilai manfaat yang besar.
II. PERANAN KHDTK KHDTK tidak hanya berfungsi sebagai lokasi penelitian, pendidikan dan pelatihan namun KHDTK memiliki fungsi yang penting dan tidak hanya bagi aspek lingkungan saja seperti fungsi tata air, zona penyangga, maupun cadangan karbon namun KHDTK juga sebagai tempat sebagian masyarakat melaksanakan aktifitasnya baik sebagai petani, pemungut HHBK serta aktifitas lainnya, karena keberadaan masyarakat di sekitar KHDTK lebih dahulu ada sebelum lokasi KHDTK itu ditetapkan oleh pemerintah. Oleh karena itu dalam keberadaannya KHDTK dihadapkan kepada tantangan yang besar, dalam artian perlunya penanganan khusus dan melibatkan banyak pihak mulai dari aparat desa sampai kepada instansi pusat lainnya, agar dalam penggelolaannya KHDTK dapat menjadi KHDTK lestari, lestari dalam bingkai pengertian tidak hanya memberi manfaat lingkungan namun juga manfaat sosial. Bila kondisi ini dapat terwujud akan mampu mengurangi tingkat tekanan terhadap KHDTK itu sendiri, karena pelibatan masyarakat dalam penggelolaan KHDTK akan membuat masyarakat merasa memiliki KHDTK itu sendiri karena telah merasakan manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung.
III. TANTANGAN DAN PERMASALAHAN DI KHDTK Banyak tantangan dan permasalahan yang terjadi di KHDTK, mulai dari penyerobotan lahan, kebakaran hutan dan lahan, pencurian kayu, tumpang tindih kawasan sampai dengan alih fungsi kawasan. Melihat kondisi demikian dirasa perlu upaya yang harus bersinergi dan terkoordinasi dalam rangka mencegah dan menanggulangi permasalahan yang timbul. Koordinasi dan sosialisasi keberadaan KHDTK kepada instansi terkait dapat dilakukan guna membangun komunikasi dan koordinasi sehubungan dengan pengelolaan KHDTK. KHDTK yang dalam penggelolaannya merupakan tanggung jawab Badan Litbang Kehutanan dapat menjadi aset bersama baik bagi instansi Dinas Kehutanan Kab/Kota dan khususnya masyarakat sekitar KHDTK.
52
Pembinaan Masyarakat Sekitar KHDTK dalam Bentuk Pemasyarakatan Iptek Eko Priyanto
Bila hal ini dapat terbangun maka akan memperkuat keberadaan KHDTK yang tidak hanya dikuatkan oleh SK penunjukkan kawasan maupun SK penetapan kawasan oleh Menhut semata, namun juga secara tidak langsung keberadaan KHDTK itu sendiri telah mendapat pengakuan dari instansi terkait serta dari masyarakat sekitar. Segala bentuk tantangan dan permasalahan KHDTK perlu penanganan serius dan kontinyu, upaya penyelesaian masalah baik bersifat administratif maupun tindakan langsung dilapangan adalah upaya untuk terus menjaga keberadaan KHDTK.
IV. PEMASYARAKATAN IPTEK SEBAGAI SARANA PEMBINAAN KOMUNIKASI DENGAN MASYARAKAT SEKITAR KHDTK
SERTA
Kegiatan pemasyarakatan IPTEK salah satu bentuk kegiatan yang dapat dilakukan di KHDTK, dengan pesertanya masyarakat sekitar KHDTK. Dengan adanya kegiatan tersebut diharapkan terjalin komunikasi yang baik antara pihak pengelola KHDTK dan masyarakat sekitar KHDTK itu sendiri. Pelaksanaan pemasyarakatan IPTEK dapat menjadi salah satu sarana memberikan informasi kepada masyarakat sekitar KHDTK (kawasan hutan) yang pada umumnya melaksanakan aktivitas banyak tergantung pada keberadaan KHDTK itu sendiri, seringkali masyarakat sekitar KHDTK sangat kurang mendapatkan input teknologi yang mereka butuhkan dalam rangka kegiatan aktivitasnya misalnya dalam usaha pertanian dan perkebunannya, oleh karena itu diharapkan melalui pemasyarakatn IPTEK dapat mengisi kekurangan informasi dan teknologi yang dihadapi masyarakat khususnya di sekitar KHDTK. Kegiatan di KHDTK sering kali lebih banyak menitikberatkan pada aspek pemeliharaan sarana dan prasarana di KHDTK dan penataan kawasan, sedangkan aspek sosial ekonomi yang melibatkan masyarakat sekitar seringkali masih belum menjadi prioritas. Oleh karena itu melalui pemasyarakatan IPTEK diharapkan menjadi salah satu wahana komunikasi untuk membangun kemitraan bersama masyarakat sekitar KHDTK untuk mewujudkan KHDTK lestari.
Gambar 1. Kegiatan pemasyarakatan IPTEK
Gambar 2. Masyarakat peserta
53
Galam Volume 1 Nomor 1, Agustus 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
V. PEMASYARAKATAN IPTEK YANG TELAH DILAKUKAN BPK BANJARBARU DI KHDTK BPK Banjarbaru memiliki tanggung jawab dalam menggelola 4 KHDTK. Dalam pelaksanaannya telah melakukan kegiatan pemasyarakatan IPTEK. Tema yang diberikan saat pelaksanaan pemasyarakatan IPTEK dipilih berdasarkan tingkat kebutuhan masyarakat. Artinya kebutuhan informasi dan teknologi yang diberikan sangat diperlukan oleh masyarakat untuk dapat menunjang kegiatan mereka dalam beraktifitas, sebagai contoh untuk masyarakat sekitar KHDTK yang umumnya bermata pencaharian sebagai petani dan pekebun diberikan materi yang berhubungan dengan aktifitas yang mereka lakukan seperti tema budidaya dan pengembangan tanaman karet, budidaya tanaman gaharu, budidaya hasil hutan bukan kayu (lebah madu, empon-emponan dll) sampai dengan pembuatan pupuk organik. Materi-materi tadi merupakan materi yang praktis dan sangat diperlukan oleh masyarakat, karena dalam kesehariannya mereka selalu melakukan dan perlu input teknologi maupun informasi tambahan agar apa yang mereka usahakan menjadi lebih berhasil. Di sisi lain sebagai penggelola KHDTK kegiatan pemasyarakatan IPTEK merupakan salah satu bentuk kepedulian penggelola KHDTK terhadap keberadaan masyarakat sekitar KHDTK sehingga dapat terjalin hubungan yang baik antara penggelola KHDTK dan masyarakat sekitar Tabel 1. Kegiatan pemasyarakatan IPTEK oleh BPK Banjarbaru No
Tema Pemasyarakatan IPTEK
Lokasi
Keterangan
1.
Teknik pemadaman kebakaran hutan dan lahan
KHDTK Rantau
Kegiatan tahun 2012, peserta sebanyak 50 orang (masyarakat sekitar KHDTK anggota MPA/BPK)
2.
Teknik budidaya beberapa jenis tanaman dan pengembangan HHBK di KHDTK Riam Kiwa
KHDTK Riam Kiwa
Kegiatan tahun 2013, peserta sebanyak 50 orang dari 3 desa sekitar KHDTK (masyarakat sekitar KHDTK beserta komponen aparat desa)
3.
Teknik pengendalian dan pemadaman kebakaran di lahan Gambut
KHDTK Tumbang Nusa
Kegiatan tahun 2013, peserta masyarakat sekitar KHDTK beserta komponen aparat desa
4.
Teknik pengembangan budidaya gaharu
KHDTK Rantau
Kegiatan tahun 2013, peserta sebanyak 50 orang (masyarakat sekitar KHDTK beserta komponen aparat desa)
5.
Pemberdayaan masyarakat sekitar KHDTK Riam Kiwa dengan sistem agroforestri
KHDTK Riam Kiwa
Kegiatan tahun 2014, peserta sebanyak 30 orang
Sumber: Laporan hasil kegiatan pemeliharaan dan penataan KHDTK Riam Kiwa, Rantau, Tumbang Nusa dan Kintap (BPK Banjarbaru).
54
Pembinaan Masyarakat Sekitar KHDTK dalam Bentuk Pemasyarakatan Iptek Eko Priyanto
Gambar 3. Pembuatan kompos organik
Gambar 4. Hasil madu kelulut
VI. PENUTUP Kegiatan pemasyarakatan IPTEK ini diharapkan mampu sebagai salah satu sarana komunikasi antara penggelola KHDTK dengan masyarakat sekitar KHDTK, materi yang disajikan bersifat praktis dan menjadi kebutuhan masyarakat. Diharapkan kegiatan ini dapat memberi efek yang baik akan keberadaan KHDTK terhadap masyarakat sekitar karena dengan adanya KHDTK masyarakat juga dapat memperoleh pengetahuan yang dibutuhkan dan langsung dapat dipraktekkan dalam aktivitasnya sehari-hari dan tujuan akhirnya akan menjalin hubungan yang baik antara penggelola KHDTK dengan masyarakat sekitar yang dapat ditempuh dengan banyak cara termasuk lewat format pemasyarakatan IPTEK.
DAFTAR PUSTAKA Aryani, R. 2013. Laporan Kegiatan Pemeliharaan dan Penataan KHDTK Tumbang Nusa. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru. Priyanto, E. 2012. Laporan Kegiatan Pemeliharaan dan Penataan KHDTK Rantau. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru. Priyanto, E. 2013. Laporan Kegiatan Pemeliharaan dan Penataan KHDTK Riam Kiwa. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru. Suryanto, E. 2013. Laporan Kegiatan Pemeliharaan dan Penataan KHDTK Rantau. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru. Aryani, R. 2013. Laporan Kegiatan Pemeliharaan dan Penataan KHDTK Tumbang Nusa. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru.
55
56