Vol.15 No.2. Agustus 2013
Jurnal Momentum
ISSN : 1693-752X
PERENCANAAN PENEMPATAN ARRESTER TERHADAP EFEKTIVITAS PROTEKSI TRANSFORMATOR PADA GARDU INDUK 150 KV SISTEM INTERKONEKSI SUMATERA BAGIAN TENGAH - SUMATERA BAGIAN SELATAN Yusreni Warmi, ST, MT Minarni. S.Si. M.T. Dasman. ST. M.T. Lecturer at Electrical Engineering Department, Institut Teknologi Padang Jl. Gajah Mada, Kandis nanggalo, Padang
[email protected]
Abstrak Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian sebelumnya tentang perencanaan koordinasi isolasi peralatan tegangan tinggi Gardu Induk (GI) 150 kV, namun berdasarkan hasil penelitian tersebut, penentuan penempatan arrester terhadap transformator sangat menentukan tegangan lebih yang timbul pada peralatan yang ada pada GI. Maka berdasarkan pernyataan tersebut, perlu dilakukan penelitian selanjutnya mengenai perencanaan penempatan arrester terhadap efektivitas transformator pada GI 150 kV. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan stabilitas sistem tenaga listrik untuk jangka panjang, khususnya untuk melihat efektivitas proteksi pada transformator, sehingga dapat memperkecil tegangan lebih yang muncul pada peralatan GI yakni transformator. Simulasi dilakukan dengan menggunakan Electromagnetic Transients Program (EMTP) sebagai perangkat lunak dengan cara memodelkan GI sesuai representasi peralatan-peralatan di gardu, dengan cara mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya tegangan surja dan arus surja yang terjadi pada masing-masing sistem, seperti pengawatan arrester, panjang kawat yang dipergunakan dalam sistem penempatan arrester, kecuraman gelombang datang, dan kecepatan merambat gelombang surja. Sehingga pada akhirnya didapatkan satu sistem penempatan arrester yang efektif sebagai proteksi tranformator pada GI150 kV untuk sistem interkoneksi Sumbagteng dan Sumbagsel, guna mengevaluasi koordinasi isolasi pada GI tersebut. Hasil simulasi memperlihatkan adanya pengaruh peletakan arrester, bentuk gelombang surja petir terhadap besarnya tegangan lebih yang terjadi pada transformator daya. Selain itu hasil simulasi akan bisa dijadikan referensi untuk perencanaan peletakan arrester terhadap transformator pada perencanaan GI dengan tingkat tegangan yang lebih tinggi pada Sumbagteng sehingga diperoleh koordinasi yang optimal. Kata Kunci: Penempatan Arrester, Transformator, Tegangan lebih
A.
Udara Tegangan Tinggi (SUTT) 150 kV. Sambaran petir pada saluran transmisi dapat menimbulkan tegangan lebih transien pada peralatan, hal ini akan membahayakan bila tegangan tersebut melampaui tingkat isolasi dasar peralatan (BIL). Sehingga untuk menanggulangi permasalahan tersebut diterapkan konsep koordinasi isolasi pada sistem (Jaya A.,2000). Koordinasi isolasi pada sistem tenaga listrik merupakan permilihan kekuatan listrik dari peralatan dan aplikasinya. Hal ini berhubungan dengan tegangan yang akan
Pendahuluan
Saluran Transmisi memegang peranan penting dalam proses penyaluran daya dari pusat-pusat pembangkit hingga ke pusatpusat beban. Agar dapat melayani kebutuhan tersebut maka diperlukan sistem transmisi tenaga listrik yang handal dengan tingkat keamanan yang memadai. Pada sistem interkoneksi kelistrikan di pulau Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel) dan pulau Sumatera Bagian Tengah (Sumbagteng), dipergunakan Saluran
76
Vol.15 No.2. Agustus 2013
Jurnal Momentum
timbul di dalam sistem, dimana peralatan harus mampu menahan tegangan tersebut dengan memperhitungkan karakteristik dari peralatan proteksi, sehingga dapat mengurangi ancaman tegangan lebih yang akan timbul pada peralatan secara teknis dan ekonomis (E Kuffel, 1984). Perencanaan sebuah gardu induk harus dibuat sedemikian rupa sehingga terlindung efektif dari tegangan lebih. Gangguan-gangguan tegangan lebih merupakan faktor yang mempengaruhi keandalan dan kontinyuitas pelayanan daya listrik. Tegangan lebih yang membahayakan isolasi peralatan listrik di gardu induk berasal dari gelombang berjalan akibat sambaran petir disepanjang hantaran yang menuju gardu induk. Perencanaan koordinasi isolasi yang baik agar terlindung dari tegangan lebih dengan hanya menambah tingkat isolasi peralatan gardu induk atau peralatan proteksi saja, tentu membutuhkan biaya yang besar, sedangkan dengan menambah tingkat isolasi saluran transmisi saja juga tidak dibenarkan, karena semakin tinggi tingkat isolasi saluran transmisi semakin besar pula tegangan lebih yang merambat ke GI (Soedibyo, 2007) . Pada kasus-kasus dimana saluran daya (kawat fasa) langsung terkena petir (kegagalan perlindungan), kerusakan peralatan mungkin terjadi pada ujung-ujung saluran, hal ini disebabkan oleh adanya tegangan lebih transien yang merambat menuju gardu induk. Tegangan ini biasanya sampai lebih dari satu juta volt. Bila tegangan tersebut tidak diamankan dengan alat pengaman, maka akan menyebabkan kerusakan isolasi pada peralatan. Sambaran petir pada kawat tanah atau menara dapat juga menimbulkan back flashover pada kawat fasa. Back flashover terjadi bila gelombang arus petir yang mengenai kawat tanah merambat melalui impedansi surja menara ke tanah, namun karena resistansi tanah cukup besar menyebabkan gelombang arus pantul akan merambat kembali ke puncak menara. Bila gelombang tegangan pantul tersebut melebihi tegangan tembus isolator yang ada pada tiang transmisi, maka arus petir akan terinjeksi ke kawat fasa (Hutauruk, 1991). Perlindungan peralatan pada gardu induk biasanya menggunakan arrester yang dapat membatasi harga tegangan surja di bawah tingkat isolasi dasar peralatan. Namun pengaruh gelombang berjalan akan
ISSN : 1693-752X
menimbulkan tegangan yang lebih tinggi di tempat-tempat yang agak jauh dari arrester (Naidu, 1995). Gelombang berjalan akan menimbulkan tegangan lebih yang tinggi melebihi kemampuan isolasi trafo hingga menyebabkan kerusakan isolasi yang fatal. Untuk mencegah terjadinya hal tersebut maka setiap pemasangan tranformator selalu dilengkapi dengan arrester. Seperti yang sudah dilakukan pada penelitian hibah bersaing (2010 – 2011) sebelumnya tentang perencanaan koordinasi isolasi peralatan tegangan tinggi gardu induk 150 kV, penentuan peletakan arreter terhadap tansformator sangat menentukan nilai tegangan lebih yang sampai ke peralatan Gardu Induk. Oleh karena itu pada penelitian ini akan dilakukan perencanaan peletakan optimal yang diizinkan antara arrester dan tranformator, sehingga dapat ditentukan efektivitas proteksi pada tranformator atau keberhasilan perlindungan yang diberikan pada tranformator agar bisa memperkecil tegangan lebih yang terjadi pada tranformator tersebut. Dengan cara mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya tegangan surja dan arus surja yang terjadi pada masing-masing sistem, seperti pengawatan arrester, panjang kawat yang dipergunakan dalam sistem penempatan arrester, kecuraman gelombang datang, dan kecepatan merambat gelombang surja. Sehingga pada akhirnya didapatkan satu sistem penempatan arrester yang efektif sebagai proteksi tranformator pada Gardu Induk 150 kV untuk sistem interkoneksi Sumbagteng dan Sumbagsel. B.
Metodologi Riset
Penelitian ini dilakukan selama dua tahun, pada tahun pertama dilakukan pembuatan pemodelan untuk Sumbagsel, dengan cara membuat pemodelan kondisi sebenarnya (diagram satu pada lampiran) dan berdasarkan pada data-data real yang diambil dari P3B Sumatera. Ruang lingkup materi penelitian ini mengkaji tentang perencanaan jarak peletakan antara arrester dan transformator yang masih diperbolehkan serta memperhatikan bentuk gelombang surja yang datang, sehingga diperoleh konsep koordinasi isolasi yang
77
Vol.15 No.2. Agustus 2013
Jurnal Momentum
optimal pada gardu induk. Dengan demikian materi kajian terdiri dari atas: Penelitian tahuan pertama meliputi tiga tahap: 1. Pembuatan model saluran SUTT Sumbagsel 2. Pantauan nilai setiap parameter saluran sesuai dengan kondisi yang ada. 3. Penerapan pemodelan kedalam pemrogaman EMTP (Electromagnetic Transients Progam), dengan langkah sebagai berikut; EMTP dapat digunakan untuk menganalisis transien pada rangkaian yang mengandung parameter terkonsentrasi (R, L dan C). Saluran transmisi dengan parameter terdistribusi, saluran yang ditransposisikan atau saluran yang tidak ditransposisi. Persamaan-persamaan diferensial pada saluran transmisi tanpa rugi-rugi untuk saluran multi konduktor dengan N fasa, diperoleh:
2V Z Y V z 2
ISSN : 1693-752X
2V Z Y I z 2
(2.2)
dengan V dan I adalah besaran fasa, juga dinyatakan dengan Vfasa dan Ifasa. Dengan menggunakan transformasi moda dua matrik eigenvector, Tv dan T1, untuk [Z][Y] dan [Y][Z] diperoleh:
Z I
fasa
T I 1
node
V V fasa T v V node
t
T1 T v dan dengan menggunakan transformasi moda, sistem terkopel N fasa awal dapat ditransformasikan ke dalam sistem-sistem N fasa tunggal takterkopel (atau konduktor tunggal), seperti yang diperlihatkan pada gambar 2.1:
(2.1)
z i( z, t )
L Z
Rz
i( z z, t ) C z
v( z, t)
v(z z,t)
Gz
i( z, t )
i( z z, t ) (a) Domain Waktu
Rz
I(z) jL Z
v( z, t)
I ( z z ) jCz
V (z z)
G z
I (z z, t )
I(z)
z
z z
(b) Domain frekuensi Gambar 2.1 Bagian yang Sangat Kecil dari Saluran Transmisi Dua Konduktor Pada prinsipnya, eliminasi kopling modamoda adalah dengan diagonalisasi matrikmatrik impedansi dan admitans (hanya elemen
diagonal yang tidak nol). Oleh karena itu diperoleh:
78
Vol.15 No.2. Agustus 2013
Jurnal Momentum
Z mod a T v Z
dengan Zc adalah impedansi surja moda saluran, yang didefinisikan sebagai:
T
1
fasa
ISSN : 1693-752X
1
(2.6)
Zc
Y mod
T 1 1 Y
a
TSuatu
fasa
(2.7) dengan bus Zmoda dan Ybus adalah matrikmatrik diagonal. Solusi dari persamaan diatas adalah:
V
z
V 1e
I
z
I1e
z
z
V 2e I 2e
z
z
dengan
2
R
j L
G
R G
j C
(2.10) +V1, V2, I1, dan I2 merupakan gelombanggelombang tegangan dan arus datang dan pantul. Semua besaran-besaran R, L, G dan C merupakan besaran-besaran moda persatuan panjang. Persamaan (2.9) dapat dituliskan sebagai:
j L j C
v gelombang berjalan maju pada satu terminal dan gelombang berjalan kembali (pantul) pada terminal lainnya dapat direalisasikan. Hal ini menimbulkan suatu hubungan antara tegangan dan arus pada terminal-terminal saluran yang akan menjelaaskan suatu model cabang (2.8) yang digunakan dengan cabang-cabang yang merepresentasikan bagian-bagian lain dari (2.9) dll). sistem (transformator, kapasitor, shunt, Persamaan cabang domain waktu untk node k adalah:
ik
e k em t t i m (t t ) Zc Zc
(a) Saluran Fisik Konduktor Tunggal
I
z
1 Zc
V
1
e
z
V
2
e
z
(2.11)
ek t ik t Zc
e m t i m t Zc (b) Rangkaian Ekivalen Gambar 3.2 Model Saluran Konduktor Tunggal EMTP Cabang-cabang yang didefinisikan oleh persamaan (2.11) diperlihatkan pada gambar 3.2, suatu cabang pada setiap node. Bahan dan Alat Penelitian Peralatan utama untuk melaksanakan penelitian ini adalah Komputer dengan spesifikasi Processor Pentium, RAM 500MB, dan Harddisk 1 GB. M. Komputer ini digunakan sebagai validasai hasil pengukuran yang dengan menggunakan Software Electromagnetic transients Program (EMTP). C.
Tegangan
dan Arus Surja Sistem Penempatan Arrester Kawat yang digunakan sebagai pengawatan dari keempat sistem penempatan arrester menggunakan penghantar jenis AAAC dengan luas penampang (A) 70 mm2, ketinggian kawat di atas tanah (h) 850 cm dan jari-jari (r) kawat adalah:
r
80
5,0475mm 0,5475cm
sehingga berdasarkan Persamaan impedansi surja kawat udara adalah
Diskusi dan Hasil
79
(2-6)
Vol.15 No.2. Agustus 2013
Jurnal Momentum
ISSN : 1693-752X
dengan nilai puncak E1 =100% merambat pada saluran-1, setelah sampai pada titik C gelombang dibagi ke dalam dua percabangan saluran. Sehingga gelombang tegangan pada saluran-2 (e2) yang menuju arrester dan saluran-3 (e3) yang menuju trafo berdasarkan Persamaan (2-19) akan memiliki amplitudo sebesar:
2h r 2.900 60 ln 0,5475 z 485,876 z 60 ln
sedangkan impedansi surja transformator diambil zT = 5000
E 2 E3
Skenario-1 Sistem ini menunjukkan rangkaian dua percabangan saluran pada struktur yang seragam dalam tiga bagian dengan nilai impedansi surja z1 = z2 = z3 = 491. Dalam hubungan dua percabangan saluran-2 dan saluran-3 yang memiliki nilai impedansi surja z2 dan z3 yang sama sehingga dalam suatu hubungan paralel nilai impedansi menjadi setengahnya. Sebuah gelombang datang e1
2 E1 3
(3-1) Nilai tegangan surja fungsi waktu yang akan diamati adalah pada arrester di titik A dan pada trafo di titik T. Sedangkan nilai arus surja fungsi waktu yang akan diamati adalah pada saluran-3 yang menjadi tempat terpasangnya PMT.
Skenario-1 ex a _9 >LI GHT -TOP
1500000
(Ty pe 8)
ex a _9 >PT1 B (Ty pe 4 )
ex a_ 9>L I NE1A(T y pe 4 ) ex a_ 9>PT 1C (T y p e 4 )
e x a_ 9>L I NE1B (Ty pe 4) e x a_ 9>S I CA -
(Ty pe 8)
ex a _9 > LI NE1 C(Ty p e 4) ex a _9 > SI CB -
ex a_ 9>M ODELS -CLOSE (Ty p e 9)
(T y pe 8 )
ex a_ 9>SICC -
(Ty p e 8)
e x a_ 9>M ODEL S-U
(T y pe 9 )
e x a_ 9>T R40 0A (Ty pe 4 )
ex a _9 > PT1 A (Ty pe 4 ) ex a _9 > TR4 00 B(T y p e 4)
Magnitude (Mag)
1000000
500000
0
-500000 0
5
10
15
20
25
Time (us)
Grafik 3.1. Distribusi tegangan surja pada arrester di titik A pada waktu t = 0 sampai t = 0,017 s untuk skenario-1 Tegangan surja pada arrester di titik A Untuk memudahkan, Gambar 5.2 diwujudkan dalam rangkaian pengganti sebagaimana berikut ini:
e2
z1 C z3
C
A z2
A zA
Gambar 3.1. Rangkaian pengganti sistem-1 Gelombang e2 sebagai gelombang datang pada saluran-2 memiliki amplitudo sebesar:
e2 t Av.E 2 1 e t / t a .e t / t b
(3-2)
Bentuk gelombang e2 diperlihatkan pada Gambar 5.3. di bawah ini:
80
Vol.15 No.2. Agustus 2013
Jurnal Momentum
ISSN : 1693-752X
80 70 60
e (%)
50 40 30 20 10 0 0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
t (m ikrodtk)
Gambar 3.2. Gelombang tegangan surja datang e2 pada saluran-2 untuk skenario-1 Gambar 3.3. Diagram Tangga Gelombang tegangan titik C dan A untuk sistem-1
Dengan kecepatan rambat gelombang v = 3.108 m/s maka perjalanan gelombang surja dari titik C ke titik A yang berjarak S2 = 0,5 m membutuhkan waktu
Diagram ini memperlihatkan gelombang datang e2 dengan nilai puncak E2 = 66,67 % yang datang pada saluran-2 dan kemudian dipantulkan setelah sampai pada titik A dan C.
0,5 t 0,0017 s . 3.10 8 Nilai tegangan titik A sebagai fungsi waktu [vA(t)] ditentukan dengan metode pantulan berulang. Proses pantulan gelombang surja dapat digambarkan dalam sebuah diagram tangga di bawah ini (Gambar 3.4). Titik C
Titik A
C 0,3333 1 2
z
Distribusi tegangan surja yang terjadi di titik A [vA(t)] dari t = 0 sampai t = 0,017 s akibat proses perjalanan gelombang datang e2 dapat diamati pada Grafik 5.1 di atas.
A 1 z2
t0
Total tegangan surja di titik A dari t = 0 s hingga t = 4,25.10-6s diperlihatkan dalam tabel pada Lampiran 1 dan Grafik 4.2. Total tegangan surja di titik A merupakan penjumlahan gelombang tegangan e2 dengan gelombang tegangan surja yang timbul akibat proses pantulan di titik A dan C pada beberapa waktu t.
zA
e2 t1 0,0017 s
e 2 A
t2 0,0034s
e2 AC 2
e2 A C
t4 0,0068 s
t 3 0,0051s
e2 A 2 C 2 3
v total (%)
e 2 A C
2
t 5 0,0085 s
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0
0.00002
0.00004
t (s )
Grafik 3.3. Total tegangan surja pada arrester di titik A untuk skenario-1
81
Vol.15 No.2. Agustus 2013
Jurnal Momentum
Tegangan surja tertinggi di titik A, yaitu sebesar VA = 99,9888 % yang terjadi pada waktu t = 2,0893.10-6s atau 2,0893 s. Dari Grafik 4.2 terlihat bahwa setelah tegangan surja mencapai nilai puncaknya pada waktu yang sesaat, pada saat-saat berikutnya tegangan surja akan terus mengalami penurunan.
ISSN : 1693-752X
e3
z2 C z1
T z3
C
T
zT
Gambar 3.4. Rangkaian pengganti sistem-1
Tegangan surja pada trafo di titik T Rangkaian pengganti dari sistem-1 menjadi seperti di bawah ini: Skenario-2 ex a_ 9 >L IGHT -TOP
4000000
(Ty pe 8 )
ex a_ 9 >PT1B (Ty pe 4 )
ex a _9 > LINE1 A(Ty pe 4) ex a _9 > PT1C (Ty p e 4 )
e xa _ 9> LINE1B(Ty pe 4 ) e xa _ 9> SICA -
(Ty p e 8 )
e xa _ 9> L INE1C(Ty p e 4 ) e xa _ 9> SI CB -
(T yp e 8 )
e x a_ 9 >M ODELS-CL OSE (Ty pe 9) e x a_ 9 >SICC -
(T yp e 8)
ex a_ 9 >M ODELS-U
(Ty pe 9)
ex a_ 9 >TR40 0 A(Ty p e 4)
ex a _9 > PT1A (Ty p e 4 ) ex a _9 > TR40 0 B(T y pe 4)
Magnitude (Mag)
3000000
2000000
1000000
0
-1000000 0
5
10
15
20
25
Time (us)
Grafik 3.4. Distribusi tegangan surja di titik T pada waktu t = 0 hingga t = 0,077 s untuk skenario-1
dan gelombang e3 fungsi waktunya adalah
e3 t Av.E 3 1 e
t / t a
.e
saluran-2. Perbedaan terletak pada koefisien pantulan tegangan pada titik T (T). Sehingga gelombang e3 yang sampai pada titik T dengan arah maju akan menghasilkan gelombang pantulan yang besar amplitudonya adalah T.E3 = 54,749 % yang menuju ke titik C, gelombang ini selanjutnya akan dipantulkan dalam beberapa waktu t sehingga memunculkan gelombang-gelombang pantul baru setelah gelombang surja dipantulkan dari titik C atau setelah dipantulkan dari titik T. Total tegangan surja di titik T dari t = 0 s hingga t = 1,475.10-4s diperlihatkan dalam tabel pada Lampiran 2 dan Grafik 5.4.
t / tb
(3-4) Perjalanan gelombang e3 dari titik C ke titik T yang berjarak S = 2 m (panjang saluran + panjang kawat lebur), membutuhkan waktu t
2 0,007 s . 3.10 8
Diagram ini memperlihatkan gelombang datang e3 dengan nilai puncak E3 = 66,67% yang datang dan kemudian dipantulkan secara berulang setelah sampai di titik T dan C. Proses perjalanan gelombang e3 sebagai gelombang datang pada saluran-3, seperti halnya perjalanan gelombang e2 pada
82
v total (%)
Vol.15 No.2. Agustus 2013
Jurnal Momentum
ISSN : 1693-752X
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0
0.00002
0.00004
t (s)
Grafik 3.5. Total tegangan pada trafo di titik T untuk sistem-2
Tegangan surja tertinggi yang terjadi di titik T, yaitu sebesar VT = 95,3058 % dan terjadi pada waktu t = 2,093.10-6s atau 2,093 s. Dari Grafik 4.4 terlihat bahwa setelah tegangan surja mencapai nilai puncaknya pada waktu yang sesaat, pada saatsaat berikutnya tegangan surja akan terus mengalami penurunan.
lebur minimum ini akan digunakan untuk menentukan besarnya energi pemutusan minimum dari kawat lebur. Energi pemutusan minimum dari kawat lebur inilah yang akan dijadikan sebagai tolak ukur dalam menentukan kemampuan kawat lebur menahan energi petir. Energi pemutusannya didasarkan pada persamaan berikut ini: T
W pemutusan R i 2 t dt
Nilai arus surja pada saluran-3
0
T
2
R I m . sin 2 t dt
Besarnya arus surja pada skenario-1 yang perlu diketahui adalah pada saluran-3, karena pada saluran ini terpasang PMT yang berfungsi sebagai pengaman arus lebih. PMT yang dilengkapi kawat lebur memiliki batasan dalam mengalirkan arus pada frekuensi jalajala (50 Hz). Kawat lebur dapat dengan cepat melebur atau putus bila energi yang timbul padanya telah melampaui batas kemampuannya. Sedangkan arus surja petir yang mengalir pada kawat lebur pada selang waktu tertentu akan menghasilkan energi pada kawat lebur. Energi pemutusan kawat lebur pada frekuensi jala-jala akan dijadikan sebagai tolak ukur dalam menentukan kemampuan kawat lebur menahan energi yang disebabkan oleh surja petir. Energi pemutusan kawat lebur pada frekuensi jala-jala ditentukan berdasarkan kurva karakteristik waktu-arus dari kawat lebur. Pada kurva ini akan ditunjukkan waktu lebur minimum dimana pada waktu ini akan terdapat arus lebur atau pemutusan minimum yang merupakan arus perkiraan minimum yang mampu diputuskan oleh pelebur. Arus
0
(3-6) dimana R adalah tahanan kawat lebur dianggap sama dengan 1. Energi pemutusan kawat lebur atau disebut energi spesifik yang artinya sama dengan energi yang timbul pada tahanan R = 1 pada rangkaian, selama peleburnya bekerja (SPLN 64:1985:2). Dan energi pemutusan minimum pada waktu 0,1 sekon dari beberapa angka pengenal kawat lebur tipe K (cepat) yang umum digunakan di lapangan dapat dituliskan dalam Tabel 3.1 di bawah ini: Angka pengenal (rating) kawat lebur yang kecil akan menghasilkan energi pemutusan yang kecil sedangkan angka pengenal kawat lebur yang besar akan menghasilkan energi pemutusan yang besar juga. Dengan demikian untuk memastikan kemampuan kawat lebur dari PMT dalam menahan energi petir yang timbul pada kawat lebur tersebut, dapat digunakan angka pengenal kawat lebur yang terkecil, yaitu 6 A. Bila kawat lebur yang digunakan dalam suatu sistem penempatan arrester dengan angka
83
Vol.15 No.2. Agustus 2013
Jurnal Momentum
pengenal 6 A dapat menahan atau tidak mengalami pemutusan saat timbul energi petir pada sistem tersebut, maka dapat dipastikan kawat lebur dengan angka pengenal yang lebih besar juga tidak akan mengalami pemutusan bila digunakan dalam sistem tersebut. Sesuai dengan data yang ada di lapangan, maka digunakan anak pelebur tipe
ISSN : 1693-752X
K dengan angka pengenal arus 6 A, ini merupakan angka pengenal (rating) kawat lebur yang terkecil dari kurva waktu-arus berdasarkan standar SPLN 52-3:1983. Grafik 3.5. Distribusi arus saluran-3 pada t = 0 sampai t = 0,042 s untuk skenario-1 Model untuk Skenario -1
Model untuk Skenario -2
Model untuk Skenario -3
84
Vol.15 No.2. Agustus 2013
Jurnal Momentum
ISSN : 1693-752X
yaitu di atas standar IEEE (1,20) bila bentuk arus surja petir yang masuk maksimum 100 kA, 8/20 s . Namun untuk arus surja petir 100 kA (1/70 s , 1,2/50 s ) tidak aman lagi karena tingkat perlindungannya lebih kecil dari 1,2.
D.
Kesimpulan dan Saran Dari hasil analisis dan perhitungan dapat diambil kesimpulan: a. Skenario penempatan arrester pada trafo saluran transmisi 150 kV sangat mempengaruhi besarnya tegangan surja yang terjadi pada trafo dan arrester, dan mempengaruhi besarnya arus surja yang mengalir pada kawat lebur dari PMT. Tegangan dan arus surja dari masing-masing skenario penempatan arrester adalah sebagai berikut: Skenario-1, nilai tegangan surja lebih besar pada arrester dibandingkan dengan tegangan surja pada trafo, sehingga kerja dari arrester untuk melindungi trafo dari tegangan surja tersebut menjadi lebih ringan. Dan arus surja yang terjadi pada kawat lebur sangat kecil, menimbulkan energi petir lebih kecil joule sehingga tidak memutuskan kawat lebur dari energi pemutusan yang dimiliki oleh PMT. Skenario-1 merupakan skenario penempatan arrester yang efektif. Dari segi tegangan surja yang dihasilkan: skenario ini tidak mudah menghasilkan tegangan surja yang tinggi sehingga dari keempat skenario yang ada, skenario-1 merupakan skenario yang menghasilkan tegangan surja paling rendah baik pada trafo maupun pada arrester. Dari segi arus surja yang dihasilkan: skenario ini tidak mudah menghasillkan arus surja yang tinggi sehingga energi petir yang ditimbulkannya tidak akan memutuskan kawat lebur dari PMT/pelebur. Semakin curam bentuk gelombang arus petir yang masuk ke gardu induk, maka semakin besar nilai tegangan lebih yang sampai pada peralatan yang dilindungi. Untuk jarak peletakan yang sama yaitu 8 meter, diperoleh 634,344 kV untuk sambaran petir 100 kA, 8/20 s . Tingkat perlindungan koordinasi isolasi pada GI 150 kV Kilirian Jao – Muaro masih dalam batas aman,
Saran Perlu adanya penelitian tentang penentuan nilai impedansi surja dari transformator transmisi 150 kV.
DAFTAR PUSTAKA Dommel, H.W (Agustus 1996). Electromagnetic Transients Progam. Vancouver, Kanada. EMTP Development Coordination Group (1998). The Electromagnetic Transients Progam (Version 3,0; Rule book 1 Volume 1,2,3), EPRI Report. EKuffel, W.S, Zangl,1984.”High Voltage Engineering”, Peragamon Press Oxford Hutauruk (1991). Gelombang Berjalan dan Proteksi Surja. Jakarta: Penerbit Erlangga. Jaya A. (2000). Evaluasi Koordinasi Isolasi Pada GITET 500 kV. Tesis S2 Universitas Gajah Mada Kadir Abdul (1998). Transmisi Tenaga Listrik. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia Lorenzo T, (2000). Trend Isulation Coordination Toward, International Symposium On Modern Insulator Tecnologies Marsudi Djiteng (1990). Operasi Sistem Tenaga Listrik. Jakarta: Institut Sains dan Teknologi Nasional. Muhammad Rudianto (2007). Studi Penempatan Arrester Terhadap Transformator Distribusi 20 kV Pada Gardu Transformator Tiang. Skripsi S1 Universitas Brajiwa. Naidu, N.S, Karamaju (1995). High Voltage Engineering. Tata Mc. Graw-Hill Publishing Company Limited.
85
Vol.15 No.2. Agustus 2013
Jurnal Momentum
Tobing Bonggas L. (2003). Peralatan Tegangan Tinggi. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Tim SOP PLN-UPBSBT (Agustus 2003). Standing Operation Procedure Sistem Interkoneksi Sumbar Riau. Padang Pariaman – Sumbar. William D. (1994). Power Sistem Analysis. Singapore: International Edition. Warmi Y. (2000). Analisis Pengaruh Pelepasan Beban Terhadap Tegangan Lebih Transien Dengan Menggunakan Electromagnetic Progam. Tugas Akhir S2 UGM. Warmi Y. (2007). Analisis Pengaruh Surja Hubung Terhadap Tegangan Lebih Transien pada SUTT 150 kV Dengan Menggunakan Electromagnetic Transients Program. Penelitian Dosen Muda Kopertis Warmi Y, Pengaruh Pelepasan beban pada SUTT 150 kV, Proceeding, SNTE, 2003 Warmi Y, Analisa Pengaruh Pelepasan Beban Terhadap Tegangan Lebih Transien Payakumbuh – Koto Panjang, Momentu, Februari 2008
ISSN : 1693-752X
Y, Pengaruh Panjang saluran Terhadap Tegangan Lebih Akibat Pelepasan Beban, Momentum, September 2009 Warmi Y, Evaluasi Koordinasi Isolasi pada GI dengan memperhatikan Bentuk Gelombang Surja petir dengan Menggunakan EMTP, Poli Rekayasa, Maret 2010 Warmi Y, Analisis Pengaruh Surja Hubung Terhadap Tegangan Lebih Transien dengan menggunakann EMTP, Electrician, September 2010 Warmi Y, Pengaruh Surja Hubung Terhadap Tegangan Lebih Transien Pada Sistem Interkoneksi Sumbagteng dan Sumbagsel, proceding PIMIMD, Januari 2011 Warmi Y, Analisa Tegangan Lebih Pada Gardu Induk 150 kV Akibat Sambaran Petir Pada Saluran Transmisi (Umbilin – Kilirian Jao), Momentum , Agustus 2011 Yamada T, et al (1995). Experient Evaluation of UHV Tower Model for Lighning Surge Analisys. IEEE Transaction on PWRD vol 10 No.1 Warmi
86