Vol. 1 Periode No.1 Januari-Juni 2014
ISSN 2406-954X
QATHRUNÂ (Jurnal Keilmuan dan Pendidikan Islam) MENUNTUT ILMU SEBAGAI TRANSFORMASI PERUBAHAN PARADIGMA (Studi Matan Hadis Nabi saw. dalam Sunan al-Tarmidzi, Kitab al ilm an Rasulullah,Bab Fadhl Thallab al-Ilm. No. Hadis 2572) M. Fadholi Noer PENDIDIKAN ISLAM TRANSFORMATIF - INTEGRATIF Zainullah dan Ali Muhtarom REKONSTRUKSI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM Wahyudin Noor TASAWUF DIKALANGAN PENDIDIK MUHAMMADIYAH KABUPATEN PANDEGLANG Agung Soleh Rahayu dan Naf’an Tarihoran KONSEP BELAJAR DAN PEMBELAJARAN MENURUT AL - GHAZALI Asep Hermawan SIGNIFIKANSI PERGURUAN PENGEMBANGAN SOSIAL BUDAYA Muhajir
TINGGI
ISLAM
DALAM
FOKUS ORIENTASI PENDIDIKAN ISLAM. (Studi Terhadap Potensi Nafs) H. Hafid Rustiawan TEORI BELAJAR PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM Subri PERANAN SUPERVISI PENDIDIKAN ISLAM Maralih
DALAM
PENINGKATAN
KUALITAS
METODE PENDIDIKAN ISLAM M.Kholil Asy’ari PENGARUH KEPEMIMPINAN VISIONER KEPALA RAUDAHTUL ATHFAL DAN BUDAYA ORGANISASI TERHADAP DISIPLIN KERJA GURU RAUDAHTUL ATHFAL KECAMATAN CILEDUG KOTA TANGERANG Supardi
Vol. 1 No. 1 Periode Januari-Juni 2014
ISSN 2406-954X
QATHRUNÂ (Jurnal Keilmuan dan Pendidikan Islam)
Program Studi Pendidikan Agama Islam Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri “Sultan Maulana Hasanuddin “ Banten
Vol. 1 No. 1 Periode Januari-Juni 2014
ISSN 2406-954X
QATHRUNÂ
(Jurnal Keilmuan dan Pendidikan Islam) Penanggung Jawab Fauzul Iman Redaktur Supardi Penyunting Darwyansyah Ali Muhtarom Rosidah Mitra Bestari Ilzamuddin (IAIN “SMH” Banten) Jamali Sahrodi (IAIN Syekh Nurjati Cirebon) Rahmad Syukor Abd.Samad (University of Malaya) Redaktur Pelaksana Muhajir Mansur Ahmad Fauzan Sekretariat Hajani Iis Haris Fauzi
Penerbit: Program Studi Pendidikan Agama Islam Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri “Sultan Maulana Hasanuddin “ Banten Jalan Jendral Sudirman Nomor 30 Serang Banten 42118, Telp. 0254200323, 208849, f ax. 0254-200022
PENGANTAR REDAKSI Pembaca yang budiman, Dengan ucapan Alhamdulillah, redaktur jurnal “QATHRUN” senantiasa memanjatkan syukur ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya sehingga terbit Jurnal QATHRUN periode Januari-Juni 2014. Demikian, Sholawat dan Salam senantiasa terlimpahkan ke Pangkuan Rasullullah SAW yang telah banyak memberikan spirit peradaban kepada umatnya. Jurnal “QATHRUN” merupakan jurnal keilmuan dan pendidikan, yang diharapkan memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu-ilmu pendidikan dan keislaman, juga diharapkan menjadi penanda semakin dinamisnya kajian pendidikan. Edisi pertama Vol 1. Mengetengahkan judul-judul sebagai berikut: menuntut ilmu sebagai transformasi perubahan paradigma (Studi Matan Hadis Nabi saw. dalam Sunan al-Tarmidzi, Kitab al ilm an Rasulullah,Bab Fadhl Thallab al-Ilm. No. Hadis 2572) oleh M. Fadholi Noer, pendidikan Islam transformatif – integrative oleh Zainullah dan Ali Muhtarom, rekonstruksi pendidikan agama Islam oleh Wahyudin Noor, tasawuf dikalangan pendidik muhammadiyah kabupaten Pandeglang oleh Agung Soleh Rahayu dan Naf’an Tarihoran, konsep belajar dan pembelajaran menurut Al - Ghazali oleh Asep Hermawan, signifikansi perguruan tinggi islam dalam pengembangan sosial budaya oleh Muhajir, fokus orientasi pendidikan Islam. (Studi Terhadap Potensi Nafs) oleh H. Hafid Rustiawan, teori belajar perspektif pendidikan Islam oleh Subri, peranan supervisi dalam peningkatan kualitas pendidikan Islam oleh Maralih, dan metode pendidikan Islam oleh M.Kholil Asy’ari Demikianlah, beberapa tulisan yang hadir pada edisi ini. Guna mengetahui dan mengkaji lebih jauh, dipersilakan para pembaca untuk menyimak satu per satu tulisan yang ada dalam edisi ini. Akhirnya, redaktur Jurnal “QATHRUN mengucapkan terima kasih atas bantuan banyak pihak sehingga edisi ini bisa hadir di hadapan pembaca. Redaktur juga mohon maaf atas segala kekurangan edisi ini. Sehingga, saran konstruktif senantiasa terbuka guna perbaikan pada edisi-edisi mendatang. Selamat Membaca !
Serang, Januari 2014 Redaktur
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Huruf Arab ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ ع غ ف ق ك ل م ﻥ و ء ي
Nama Alif Bā’ Tā’ ā’ Jim Hā’ Khā’ Dal al Rā’ Zai Sīn Syīn Şād Dād Tā’ Zā’ ‘Ayn Gayn Fā’ Qāf Kāf Lām Mīm Nūn Wau Hā’ Hamzah Yā’
Huruf Latin ……. b t s j h kh d r z s sy s d t z …’… g f q k l m n w h …’… y
Keterangan tidak dilambangkan be te es titik di atas je ha titik di bawah ka dan ha de zet titik atas er zet es es dan ye es titik di bawah de titik di bawah te titik di bawah zet titik di bawah koma terbalik (di atas) ge ef qi ka el em en we ha apostrof ye
Vol. 1 No. 1 Periode Januari-Juni 2014 ISSN 2406-954X
DAFTAR ISI MENUNTUT ILMU SEBAGAI TRANSFORMASI PERUBAHAN PARADIGMA (Studi Matan Hadis Nabi saw. dalam Sunan al-Tarmidzi, Kitab al ilm an Rasulullah,Bab Fadhl Thallab al-Ilm. No. Hadis 2572) 1 – 22 M. Fadholi Noer PENDIDIKAN ISLAM TRANSFORMATIF - INTEGRATIF 23 – 39 Zainullah dan Ali Muhtarom REKONSTRUKSI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM 40 – 59 Wahyudin Noor TASAWUF DIKALANGAN PENDIDIK KABUPATEN PANDEGLANG 60 – 83 Agung Soleh Rahayu dan Naf’an Tarihoran
MUHAMMADIYAH
KONSEP BELAJAR DAN PEMBELAJARAN MENURUT AL - GHAZALI 84 – 98 Asep Hermawan SIGNIFIKANSI PERGURUAN TINGGI PENGEMBANGAN SOSIAL BUDAYA 99 – 127 Muhajir
ISLAM
DALAM
FOKUS ORIENTASI PENDIDIKAN ISLAM. (Studi Terhadap Potensi Nafs) H. Hafid Rustiawan 128 – 144 TEORI BELAJAR PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM 145 – 178 Subri PERANAN SUPERVISI DALAM PENDIDIKAN ISLAM 179 – 192 Maralih
PENINGKATAN
KUALITAS
METODE PENDIDIKAN ISLAM 193 – 205 M.Kholil Asy’ari PENGARUH KEPEMIMPINAN VISIONER KEPALA RAUDAHTUL ATHFAL DAN BUDAYA ORGANISASI TERHADAP DISIPLIN KERJA GURU RAUDAHTUL ATHFAL KECAMATAN CILEDUG KOTA TANGERANG 206 - 220 Supardi
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Menuntut Ilmu sebagai Transformasi Perubahan Paradigma: M. Fadholi Noer
MENUNTUT ILMU SEBAGAI TRANSFORMASI PERUBAHAN PARADIGMA (Studi Matan Hadis Nabi saw. dalam Sunan al-Tarmidzi, Kitab al ilm an Rasulullah,Bab Fadhl Thallab al-Ilm. No. Hadis 2572) Oleh: M. Fadholi Noer
Abstrak Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan asasi manusia, karena dengan pendidikan manusia dapat meraih kesuksesan di dunia dan akhirat. Dengan ilmu manusia dapat membedakan mana yang khaq dan yang bathil, dan ilmu adalah suatu yang sangat mulia, sebab ilmu adalah pemberian Allah bagi manusia sebagai jalan menuju yang muttaqin. Penelitian matn dan isnad yang ada pada hadis sunan al Tirmidzi no. 2572 merupakan bagian kegiatan untuk membuktikan keontentisitasan hadis, sehingga diketahui nilai sebuah hadis yang diteliti, apakah hadis tersebut shahih, hasan atau dhaif. Hadis dalam sunan al Tirmidzi no. 2572 merupakan hadis yang dapat dijadikan motivasi untuk belajar dan belajar sebagai proses menuju suatu yang lebih baik, karena dengan ilmu kita akan mendapatkan pencerahan sebagaimana ungkapan al ilm nurun (ilmu itu cahaya). Kata Kunci: ilmu, transformasi, motivasi belajar
Pendahuluan Kajian terhadap hadis nabi saw. merupakan lapangan pengkajian yang tak akan pernah habis-habisnya untuk diselami yang tetap dilakukan oleh para pemikir muslim (insider) maupun oleh para orientalis (outsider). Diakui atau tidak, hadis selalu menjadi kajian yang problematik dan menarik bagi para pemikir muslim maupun para orientalis baik yang mengkajinya sebagai pembela maupun sebagai penentangnya.1 Dalam kajian Hadis, kita telah paham bahwa setiap hadis memuat dua bagian: isnad (mata rantai para perawi) dan matn (teks atau lafadz hadis). Kedua bagian ini sama pentingnya bagi para ahli hadis. Matn merupakan rekaman 1
Diantara orientalis yang banyak mengkaji hadis dan cenderung meragukan bahkan menentang keontetisitas hadis, mereka itu adalah: A. Sprenger, Goldziher, J. Schact. Lihat G.G. A Juy boll, The Auntheticity of the Tradition Literature; Discussion in Modern Egypt (Leiden: E.J. Brill, 1965), hlm. 1.
1
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Menuntut Ilmu sebagai Transformasi Perubahan Paradigma: M. Fadholi Noer
perkataan atau perbuatan Nabi saw yang membentuk landasan ritual atau hukum Islam. Sementara isnad menunjukkan kebenaran adanya matn. Menurut Muhammad Zubayr Siddiqi pengertian tersebut mengandung pengertian bahwa para ahli hadis kemudian mencari dan menempatkan hadis-hadis dengan isnad yang satu dan sama tetapi menggunakan beberapa teks yang berbeda, juga hadishadis dengan teks yang satu dan sama tetapi memiliki beberapa isnad yang berbeda. Sebagai hadis-hadis yang berdiri sendiri-sendiri, dengan demikian studi al Hadis memuat: studi tentang isnad2 dan studi tentang Matn.3. Untuk meneliti isnad diperlukan pengetahuan tentang kehidupan, pekerjaan dan karakter pribadi yang membentuk rangkaian yang bervariasi dalam mata rantai isnad yang berbeda-beda, sedangkan untuk memahami signifikansi yang tepat dari matn, juga untuk menguji keasliannya diperlukan pengetahuan tentang berbagai makna ungkapan yang digunakan dan juga diperlukan kajian terhadap hubungannya dengan lafadz matn di hadis-hadis yang lain. Dalam proses penelitian Hadis, hal yang sering dan selalu dilakukan oleh peneliti hadis adalah melakukan pendekatan dalam pengkajiannya. Pendekatan terhadap penelitian hadis saat ini mengalami perubahan ke arah yang lebih positif dan ketat. Di antaranya adalah kajian penelitian yang tidak hanya menggunakan jalur sanad (karena dianggap sudah final dengan kodifikasi/tadwin hadis oleh ulama-ulama ahli hadis seperti Imam Bukhori, Imam Muslim, Imam Nasa’i, Imam Abu Dawud, Imam Turmudzi, Imam Ibnu Majjah dan sebagainya. Namun dalam kajian kontemporer saat ini, perkembangan penelitian hadis,
2
Studi tentang isnad hadis berarti mempelajari rangkaian para perawi dalam sanad dengan cara mengetahui biografi masing-masing perawi, kuat dan lemahnya dengan gambaran umum dan sebab-sebab kuat dan lemahnya perawi secara rinci, menjelaskan muttasil dan munqathi’ nya perawi dalam rangkaian sanad, dengan cara mengetahui lahir dan wafatnya perawi, pentadlisan sebagian perawi, terutama jika meriwayatkan syarat perawinya adalah harus muttasil dan bebas dari pemalsuan serta adanya jaminan bertemunya orang yang meriwayatkan dengan guru yang meriwayatkan hadis) dan mengetahui pendapat para ulama jarh dan ta’dil bahwa seseorang pernah atau sama sekali tidak mendengar riwayat dari orang lain; mendalami semua sanad hadis guna menjelaskan illat hadis yang samar dan mengetahui sahaba, tabiin guna membedakan berhubungan dengan ilmu jarh wa ta’dil, serta mengetahui para perawi yang membutuhkan banyak ilmu seperti muttafiq, muftariq, mutasyabih, kunyah, laqab serta lainnya. Lihat Muhammad al-Tahhan, Metode Tahrij dan Penelitian Sanad Hadis, terj. Ridlwan Nasir (Surabaya: Bina Ilmu Offset, 1995), hlm. 97-98. 3 Fazlur Rahman, dkk. Wacana Studi Hadis Kontemporer (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), hlm. 77.
2
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Menuntut Ilmu sebagai Transformasi Perubahan Paradigma: M. Fadholi Noer
sudah memulai melalui pendekatan yang lebih terfokus pada jalur matn, direformulasi sesuai dengan konteks kekinian.4 Pada dasarnya penelitian matn dan isnad yang ada pada hadis merupakan bagian kegiatan untuk membuktikan keontentisitasan hadis,5 sehingga kita bisa mengetahui nilai (baca: derajat atau klasifikasi) sebuah hadis yang kita teliti, apakah hadis tersebut shahih, hasan atau dhaif. Sesuai dengan Tema judul di atas, penulis akan mencoba mengkaji Hadis Nabi saw dalam kitab sunan al Tirmidzi, kitab al ilm an Rasulullah, bab Fadhl Thallab al ilm no. 2572, ditinjau dari segi matannya. Teks Hadis Sunan al Turmudzi kitab al ilm an Rasulullah bab Fadh Thallab al ilm dengan nomer hadis 2572 Pendidikan (baca: “Thallab al ilm”, menuntut ilmu) sangat penting dalam kehidupan manusia, karena tanpa pendidikan seorang anak manusia tidak akan menjadi pribadi yang berkembang. Selain itu menuntut ilmu dianggap sebagai sebuah titik tolak (turning point) yang sedahsyat dalam menumbuhkan kesadaran sikap6. Menurut pandangan Driyakara yang terdapat dalam buku membangun pendidikan yang memberdayakan dan mencerahkan. Dikatakan bahwa proses mencari ilmu merupakan media kultural untuk membentuk manusia (humanisasi) yaitu media dan proses untuk membimbing manusia muda menjadi dewasa dan seterusnya menjadi lebih manusiawi. Dengan kata lain melalui
4 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual (Jakarta : Bulan Bintang, 1994), hlm. 4. Pendekatan pada jalur matan (baca: teks hadis Nabi saw.) juga banyak dikembangkan oleh intelektual muslim seperti Muhammad al Ghazali, Hasan Hanafi, Fazlurrahman, Mustafa al Azami yang merupakan salah satu bentuk ijtihad dalam upaya mendudukkan kembali semangat kenabian (pemahaman kembali teks hadis Nabi saw.) dengan mengambil ruh Islam dan mengontekskannya pada masa sekarang. Baca Fazlur Rahman dkk, Wacana Studi Hadis …, Ibid., hlm. 55-75. 5 Menurut Mustafa Azami yang dikutip oleh Abdul Mustaqim, bahwa otentisitas sebuah hadis sesungguhnya dapat dibuktikan juga secara ilmiah melalui metodolgi kritis hadis antara lain dengan (1) membandingkan hadis-hadis dari berbagai murid dari seorang Syeikh (guru); (2) memperbandingkan pernyataan-pernyataan dari seorang ulama yang dikeluarkan pada waktu-waktu yang berlainan (3) memperbandingkan pembacaan lisan dengan dokumen tertulis; (4) memperbandingkan hadis-hadis dengan ayat Al-Qur'an; (5) pendekatan rasional atau dengan akal sehat yang dikontekskan masa kekinian yang tidak menafikan asbabul wurud hadis. Lihat Fazlur Rahman, dkk, Waacna Studi Hadis…, Ibid., hlm. 74. 6 Nadjamudin Ramly, Membangun Pendidikan yang Memberdayakan dan Mencerdaskan, (Jakarta: Grafindo, 2005), hlm. xii
3
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Menuntut Ilmu sebagai Transformasi Perubahan Paradigma: M. Fadholi Noer
proses menuntut ilmu; “pendidikan” merupakan sebuah garapan kultural yang diorientasikan untuk mencapai cita-cita kemanusiaan.7 Dalam Islam sendiri menuntut ilmu bukan hanya sekedar imbauan belaka, tapi sudah dijadikan kewajiban bagi setiap umat manusia. Hal ini terbukti begitu banyaknya perintah yang terdapat dalam Al-Qur'an ataupun hadits yang membahas tentang menuntut ilmu, penting penguasaan ilmu serta berbagai hal yang mengarah kepada kewajiban mencari ilmu.8 Dalam tulisan ini, penulis ingin mengeksplorasi sebuah hadits tentang keutamaan menuntut ilmu yang terdapat pada kitab sunan at Tirmidzi terutama hadits nomor 2572. Mengenai teks hadis tentang keutamaan orang yang menuntut ilmu, yang diriwayatkan dalam kitab sunan al Turmudzi yang menjadi objek kajian dalam tulisan ini adalah :
َزارلم امينم ُنم ُد َمنم ا َنثدح َ َادحيم دحا َنثم ز مَُْا ُنم ُد َمنم ا َنثدح ز ي ِ ْد َمن ْنم يز يم يَُأ ْنم َيمميم ُنم ن ََم ْنم َةديخم ْنم َةديخم ُ َم ِ ىَْا ز دَدَ لم أ َمح َةَحا مخَ َحام ز َُْسم َْلم ُنم َحام ََْسم ْْي َمل َم يز يم يُأ ح َيمز َ َدم ُ َُيعم ا َنددم اذز َْييا يُأ َحام ُضا د يَأ دضَُعم َِ َُد َمن ُُ َيعم لم ز د َند َم ن َم ٍأيم َدَييم َةديخم ُ َم ز َانم رييم َةحيخم يَي َمل َمَْسم زِْما ُةيفم يز يم ي َُأ زَسم ََُِي َمل لم ه َُنم ز َُْ َمس يا َم9
Adapun syarah hadis di atas adalah sebagai berikut:
ل ه ب ن
ق:( ب رن ع ب د
ب ن م ح م د أخ ال ك ري ي
7
مع م دان
) ال ال
Ibid Sebagai contoh: Datangnya iman yang dideklarasikan melalui wahyu pertama QS. Al aq 1-5 memperlihatkan keterkaitan antara ilmu pengetahuan dan pembebasan dalam iman. Kelima ayat tersebut menegaskan bahwa praktis liberatif mengharuskan penguasaan ilmu pengetahuan, karena dengan ilmu dapat membuka cakrawala. Dalam konteks inilah maka ayat itu dalam batas-batas tertentu justru lebih mengesankan sebagai manifesto pendidikan yang berisi ajaran untuk melakukan perubahan sehingga menggugah terbentuknya kesadaran massif di kalangan umat Islam untuk melakukan gerakan perubahan sosial. Singgih Nugroho, Pendidikan Pemerdekaan Sistem (yogya: Pondok Edukasi, 2005) hlm. 1-2 9 CD Mausu'ah al-Hadis al-Syarif al-Kutub at-Tis'ah, 1997. 8
4
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Menuntut Ilmu sebagai Transformasi Perubahan Paradigma: M. Fadholi Noer
ي م ي ال ,ال ك ف ي ب ل ت ح ت ن ي ال ر ن زي ل ث م ن م ن ص د ( ال د أخ ب رن ال ج ع ي ) خ ي ث م ب ن زي ال ك ف ي ( :ق ل ه .ال س ب ع م ن ث م ن ط ),ال ع أ ال ش رع ي ال ع ) ك ن ( ب ه ل ي ع مل ب هط ل أ ع (ل ر ة ه ي ) ك ي س تر م ال ذن ل م ( س ت ر إذ ا ك ر م ن ي زي ) مض ب ه م ن أ ه ذ ا ق ي ل ذن م ع ال ح دي ث ال ض عف م ن ف ي ه م م خ ل ف ك ت س نن ل ر ة ال ال م ش ف ي إي ج را ح د د ال ك ال إذ ا إ ا ن ي ع ن ي ب ل ت خص يص ق ب ل صغ ئ ر ف ي ك ذ ا .ب حث م ض ع ه ه ال ع ر زي ن ال ظ ه ر ,ال س ي د ن ر ةأ ن ب ل ص غ ئ ر م خ تص ال ك أ هب ح تي ل يس ال ل ت دار ي ش مل أ ت ي ال ع ب د ح ا ال ه ي م كن ت دارك أ ن ي م كن .ل ي ك ن أ ن :ال م ع ن ط ال ع س ي ب ه ب ه ي ك ر م إل ك ه ذن م ن ت ب ر د ال .غ ي ره ال م ظ ل ة ف ي ك ذ ا . ه ذ ا( :ق ل ه .ال م رق س ن ض ع يف ح دي ث أخ رج ه )ا داإ ( :ق ل ه .ال دارم ي د أب ا س م ه دا 5
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Menuntut Ilmu sebagai Transformasi Perubahan Paradigma: M. Fadholi Noer
يع ن م ر )اأع ب ك ن ي ته م ش ل ,ك ف ي ف ي ي ض عف ( ن ف ع ل ه ي ال ح ف ظ ق ل (ال ح دي ث ق د,م تر ا ( ال خ م س م ن م ع ي ن اب ن ك ذب ه ت ح ) ن ع رف ن ن ي ال را ء ك س ر ال أ ب ض تح ت ي ال ف تح ه ل ع ب د(ال را ء ق ل )سخ بر ة ب ن ف ي ذي ت ذ ت ي ه ع ن ر ى :ي ال أب ع نه د أب م دا ل ه ر ى ,اأع ت رم ذ ,ض ع ه اح د ا ح دي ث ال ل ق ف ي ت ري ل ال م ن م ج ) ش ي ء ك ب ي ر ( ال راب ع ك ث ير أ دي ث م ن ش ي ء ا ( اأح يه ) أب تح سخ بر ة ه ال س ي ن ب ال م م سك ن ال خ ء ف ت ح ال م ع ج م ال م ح د ة ل را ء .ب ق ل ف ي ت ري ح دي ث ه إ س ن د ف ي س خ ب ر :ال ع ن د ض عف ت رم ذ س خ ب ر ة ع ن ال ل يس ل ,ب أزد غ ير ,ق ه .10اأزد Dari penelusuran yang dilakukan mengenai hadis di atas, melalui CD mausuah ditemukan pula hadis dengan redaksi matan yang sama dalam kitab musnad Ad darimi hadis no. 560 sebagai berikut:
Ibid.
6
10
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Menuntut Ilmu sebagai Transformasi Perubahan Paradigma: M. Fadholi Noer
َُنم ُدأيم ٍحَث أ ى ََمَُْا َُنم ُد َمحم ٍحَث أ ٍم َي ُمح َُنم ُد َمحم ا َنر أ ِ ْ َرحم ْنَم يىُيم اُأ ْنَم ن َيمميم ْنَم َ َةر خم ْنَم َ َةر خم َُنم َم ِ ىَْا ىَ َر لم أ َمأ َةَأ مخَ َأام ى ََُ َْسم َْلم ُنَم َأام ََُْسم ْْ َيلم َم ُضا11 Kritik Editis Setelah membahas teks hadis diatas selanjutnya penulis akan menjelaskan teks hadis tersebut melalui kajian kritik editis. Kritik editis ini dimaksudkan untuk mengetahui tema dari teks hadis tersebut yang mengungkapkan keutamaan dari menuntut ilmu yang selanjutnya dielaborasi dari 3 kajian yang meliputi: Analisis Isi : yaitu pemahaman terhadap muatan makna hadis melalui beberapa kajian, di antaranya: Kajian Linguistik atau kebahasaan. Yaitu kajian dengan menggunakan prosedur-prosedur gramatikal bahasa arab. Kajian ini sangat diperlukan untuk mengetahui teks hadis tersebut yang harus ditafsirkan ke dalam bahasa aslinya yaitu bahasa arab. Dari tinjauan kajian linguistik ini bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Sakhbarah ini dapat dianalisa dengan pendekatan arti kata perkata (secara harfiah) maupun pendekatan arti secara kalimat utuh (secara istilah). Beberapa kata yang menjadi tema sentral dalam hadis ini adalah kata : ط, ال ع ا dan َةحاخ. Pada lafadz dari matan hadis di atas kata طdalam kamus al Munawwir dijelaskan bahwa kata طatau ال ش ئ طdiartikan ط ف م yang memiliki arti mencari dengan pelan-pelan 12 artinya ada sebuah proses yang dilalui. Sedangkan dalam kamusnya Ali al-Mascatie menyebutkan, kata ط 13 yang berarti mencari (to seek, look for). Kemudian kata yang mengikuti kata طadalah kata عyang bermakna pengetahuan. Dalam kamus lisan al arab
11
Ibid. Ahmad Warsun Munawwir, Kamus al Munawwir Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002), Cet. Ke -25, hlm. 857. 13 Ali al Mascatie, Kamus-Arab-Inggris-Indonesia (Bandung: Al Ma’arif, 1983), cet. I, hlm. 624. 12
7
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Menuntut Ilmu sebagai Transformasi Perubahan Paradigma: M. Fadholi Noer
kata ilm hanya dimaknai sebagai lawan kata jahlun.14 Dalam kamus al Munawir kata :( .) diartikan pengetahuan dan dapat juga diartikan ز مددياي ز ُْأا زان ت ب ر ال م ب حث ع أأخyaitu (suatu ilmu yang dibangun atas dasar penelitian) “ilmu pengetahuan”, bisa juga diartikan اح د ع ت عatau م ح تص ب عyang bermakna pengetahuan (science, scientific).15 Jika kita melihat dalam ensiklopedi Al-Qur'an, ilmu berasal dari bahasa arab ilm, kata jadian dari kata alima, ya’lamu menjadi ilmun, ma’lumun dan seterusnya yang berarti juga pengetahuan.16 Adapun kata ilm dalam konteks hadis menuntut ilmu masih bersifat umum, maka kata ilm tersebut terkena kaidah bahwa suatu kata dalam suatu redaksi yang tidak disebutkan objeknya maka objek yang dimaksud adalah masih bersifat umum.17 Kata yang menjadi tema sentral berikutnya adalah kata َةاحاخ. Kata َةاحاخ merupakan bentuk muannas dari lafadz َةاحاdalam kamus Mu’jamat al Washit, kata َةايjika diberi ع نà َةايك memiliki arti ز مةاحاخ يْعاcontoh pada lafadz ( ز مةاحاخ يْعيأmembayar denda), dan jika digabungkan dengan ال ش ئ memiliki arti ( س ت ر ه غ ط هmemiliki arti menutupi). Lafadz َةايdapat dinisbatkan pada lafadz (pengampunan); ه َةاي ع نه ال ذن 18 contoh lafadz ini mengandung maksud ( غ رmengampuni). Dalam al Munawir ditemukan, bahwa lafadz َةاحاخmempunyai arti menutupi, menyelubungi, 19 bisa juga berarti menjauhkan dari (to expiate), mengampuni (a tone for), menutupi, menyembunyikan (to cover, hide), juga dapat diartikan penance for a sin (penebusan dosa).20 Dalam kitab syarah al sunan at tirmidzi, hadis tersebut memiliki arti secara istilah sebagai berikut: kata م ن ط ال عà( ا ى ط ال ع ) ب ه ل ي ع م ل ال ش رعmenuntut ilmu syar’i untuk diamalkannya. Kata عdalam teks hadis di atas terdapat ( ا ل )ال عyang menunjukkan
14 Jamal ad Diin, Muhammad Ibnu Manzur, Lisan al Arab (Beirut: Dar al Fikr, 1990), hlm. 870. 15 Al Mascatie, … Ibid., hlm. 700. 16 Ensiklopedi Al-Qur'an, Ilmu dalam Jurnal Ulumul Qur’an no. 4 vol. 1. 1990, hlm. 56-64. 17 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 168. 18 Ibrahim Anis, Mu’jam al washit Juz II (Mesir: Dar al Maarif 1973), hlm. 791, lihat juga Ibrahim Madkur, Mu’jam Lughah al Arabi, Mu’jam Wajiz (tt., 1995), hlm. 537. 19 Warsun Munawir, Kamus Al Munawwir, …., hlm. 1217. 20 Al Mascatie…, ibid., hlm. 917-918. lihat juga Hanswehr, A Diction of Modern Written Arabic (Ithaca: Spoken Language service, 1994), hlm. 975.
8
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Menuntut Ilmu sebagai Transformasi Perubahan Paradigma: M. Fadholi Noer
ma’rifat “sesuatu ilmu yang sifatnya sudah diketahui atau sudah khusus. Dari arti di atas maka yang dimaksud ال عadalah ilmu agama/ ilmu syariah). ا Kemudian diikuti kata َةحاخmemiliki maksud: ي س ترم ال ذن ( ) س ت ر إذ ا ك ر م ن ي زيsesuatu yang menutupi dosa dan menghilangkannya dari kekufuran ketika melakukan dosa. Lafadz م ض ل مdiartikan dengan dimaafkannya dari dosa-dosa yang telah lalu. Namun demikian lafadz م ض ل مdiartikan oleh Bapak Suryadi sebagai suatu yang telah lalu yang lingkupnya lebih besar yaitu tidak sekedar dosa saja namun bisa tentang banyak hal misalnya tadinya bodoh setelah mau belajar menjadi lebih baik dari sebelumnya, dari perilaku yang tidak baik menjadi baik dan sebagainya.21 Dari penelusuran kebahasaan, hadis no. 2572 dapat penulis disimpulkan bahwa sesungguhnya proses menuntut ilmu itu merupakan penyebab atau menjadi perantara (sarana) terhapusnya beberapa dosa yang telah dilalui, karena proses pencarian ilmu tersebut merupakan langkah “taubat” yang bisa menjadikan terhapusnya dosa dan segala kedzaliman dan lain-lain. Kajian Tematis Komprehensif Setelah membahas hadis dari tinjauan kebahasaan, selanjutnya akan dikaji melalui kajian tematis komprehensif, yaitu kajian teks hadis dengan mempertimbangkan teks-teks hadis lain yang memiliki tema yang relevan dengan tema hadis no. 2572 dalam kitab sunan al Tirmidzi, dengan bahasa sederhana mengkaji lafadz matan hadis yang berbeda-beda namun pada intinya menerangkan tentang pokok permasalahan yang sama. Dalam konteks hadis tentang keutamaan menuntut ilmu misalnya terdapat beberapa perawi yang meriwayatkannya dengan lafadz masing-masing. Hal ini dilakukan atau dimaksudkan dalam rangka mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif. Pada hadis no. 2578 kitab sunan at Tirmidzi diterangkan :
د يُأ ا َنثدح نزا ُنم يامنم زٍُِ َم أ ز َم َم َح َنم ُنم يُيَيم ا َنثدح ز دْ َيرلم ز ََُْْ لم ن دديا ُنم ََُدسم ا َنثدح ل زُنم ا َنثدَأ َْديم ُ َم ن َُ َم َحام يَُي َمل ْنم ُح َام ُ َم َِ اَأام َ َمُأم ِ ىَْا َم حارم ز َُْسم َْلم ُنم د أام ََْسم ْْي َمل َم َ َُْ َمل َي حارم ي م ز ُْمحيم ِ ييَْلم َُ ي َمل ز د َ َم َم َ حن هأجم َُ َمل دْ َيعم ي م ز يلة حيم َُ َمل َيم ل ا َنددم اذز َْييا يُأ َحام ز دَحام ريد م ز أه َمل اذز َُنم َُ َ م َ ل ُُ َييلم لم
21 Dalam kuliah Studi Hadis hari Jum’at 8 Desember 2006 di kelas A pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
9
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Menuntut Ilmu sebagai Transformasi Perubahan Paradigma: M. Fadholi Noer
ن يَي َلم َمْلسم َْدناسم ز َأرلم َُذز م ييم َْديم ُ َنم دديا ُنم ََُدسم ه َُ م ََد َم َاة َظ َمل Rasulullah saw. besabda: barang siapa menuntut ilmu hanya berobsesi untuk berdebat mengalahkan orang bodoh atau untuk mengejar popularitas maka Allah akan memasukkannya ke neraka. Hadis lain dalam sunan Ibn Majah no. 222 diterangkan:
زر ْدنم ا َنثدح دديا ُنم ُد َمنم ا َنثدح ى َمس ْنم ُُم مي يُدبُح ز َي َا َم يَُأ ُ َم َ ن ْح ن َاالم ْنم ز دَْأ َمي ر ْيَحام ُنم ىةأزام يَيأم َحام اديبم ُ َم ُح ي حام ز ميز َي َم ََْسم ْْي َمل َم َِ اَأام َ َمُأم ينَُلأ َحام ز َُْسم يُدَنم َْأم َُام هحيم ِ ىَْا َم حاام َُنم ُح د أام ل ز َُْ َمس َْ َم ز مِاَميم لم ُُأم َُ َ م َ َ ل يَأ ُيةَ َمل َُنم َيام دْدفم َُمح َاَُح ة حيهدَدم
Rasulullah saw bersabda: Barang siapa yang keluar dari rumahnya dalam rangka menuntut ilmu, kecuali para malaikat akan membentangkan sayapnya karena puas akan apa yang diperbuatnya.
Dalam sunan at Tirmidzi no. 2571 dijelaskan:
أ ُنم ُْيم ا َنثدح أ د َددنم ُنم َح َنم ا َنثدح َحام َْْ َم ي َُأ ْنم ز ُة َم لم ر هُةيم َزا لم ن ز َي َُ َم ي ْنم يُيم ُ َم ن يُ َم َحام َحام ُح َام ُ َم َ يف ْنم ز ي َِ اَأام ِ ىَْا َم ل يَأ َيام ُنم ََْسم ْْي َمل َم َحام ز َُْ َمس َْ َم ه يَأ َِ َدَي َم ل اينم ا َنددم اذز َْييا يُأ َحام دي َهفم اةَا َم ر َيد م دييُلم يْسم ُُض سم ا زجم
Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa keluar/berkelana (baca: pergi) untuk menuntut ilmu maka dia seperti dalam keadaan jihad di jalan Allah. Dalam sunan at Tirmidzi no. 2570 disebutkan:
ب ْنم يَحُيم يُأ ا َنثدح ريِام ُنم ُدمأيم ا َنثدح يَُأ ْنم زِْم َم َِ اَأام َحام َحام ايديخم يَُأ ْنم ىح َام ِ ىَْا َم ََْسم ْْي َمل َم ِ َ َهم َْْ َمح يَي َمل دْة َميم َ َيد َح َْام نمُم ز ْدَ َمي َُ ا َ َيد َح لم َم اينم ا َنددم اذز َْييا يُأ َحام 10
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Menuntut Ilmu sebagai Transformasi Perubahan Paradigma: M. Fadholi Noer
Rasulullah saw bersabda: Barang siapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya menuju surga. Dari beberapa hadis di atas dapat disimpulkan bahwa subtansi dari teks hadis diatas dapat diambil hikmah bagi kita untuk memberikan dorongan atau pemberi motivasi tentang pentingnya sebuah pengetahuan yang harus dicari dan yang diharapkan nantinya adalah menjadikan seseorang berubah ke arah yang lebih positif, yaitu berubah dari hal yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tadinya tidak bisa menjadi bisa,dan dari seorang yang memiliki sifat tidak arif menjadi bijaksana, karena pengetahuan atau ilmu yang didapatkannya tersebut menunjukkan kepada jalan ke surga sebagai balasannya dari akibat berbuat kebaikan. Dan karena ilmu, manusia dapat mengenal dirinya, tahu tujuannya, tahu tugas dan kewajiban. Dari hadis-hadis di atas dapat dipahami, bahwa hadis tersebut adalah sebagai proses menuntut ilmu. Menuntut ilmu merupakan proses perubahan untuk menuju sesuatu yang lebih baik, yaitu dengan pengetahuan yang dimiliki dari hasil pencariannya. Seseorang dengan sendirinya akan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan. Selain itu pula, dari penjelasan hadis-hadis di atas tersirat makna esensial bahwa manusia (umat Islam) didorong untuk selalu mengkaji dan menggali ilmu. Tetapi penulis memiliki anggapan bahwa ilmu di sini tidak terbatas hanya pada ilmu agama saja, tetapi semua ilmu. Lebih dari itu menurut penulis pribadi, mengacu teks hadis di atas kata ز ُ ْس مyang dimaksudkan adalah perlu adanya prioritas keilmuan yang perlu diutamakan, dalam kasus ini yang dimaksud adalah agama. Tapi bukan berarti ilmu yang lain tidak penting karena penulis memiliki keyakinan kuat bahwa semua pengetahuan (baca: ilmu agama dan ilmu umum) itu bersumber dari satu sumber yaitu Allah swt, selain itu ilmu agama merupakan ilmu yang mendasari keimanan seseorang “sebuah baju yang melekat”. Sehingga maksud kata dز ُ ْسمi atas lebih condong ke arti ilmu agama. Adapun persoalan dikotomi keilmuan menurut penulis, pada dasarnya tidak ada, Karena dalam Al-Qur'an sendiri tidak mengenal dikotomi keilmuan.22 22
Dalam Islam sebagaimana diredaksikan dalam Al-Qur'an tidaklah mengenal dikotomi ilmu dengan pengertian bahwa “berilmu berarti beragama dan beragama berarti berilmu” (wakullu man bighairi ilmin ya’malu, ‘amaluhu mardudatun la tuqbalu) barang siapa yang beramal tanpa ilmu, maka amalnya ditolak atau tidak
11
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Menuntut Ilmu sebagai Transformasi Perubahan Paradigma: M. Fadholi Noer
misalkan dipaksakan ada itu karena perbedaan sumber dan medan garapan, dan juga dalam perbedaan titik tolak dari pengetahuan dan agama itu sendiri. Jika ilmu agama (revealed knowledge) berangkat dari sebuah kepercayaan, ilmu umum (scientific knowledge). Berangkat dari keraguan sekalipun anggapan ini sesungguhnya tidak keselurahannya benar, karena masing-masing menyisakan pelbagai persoalan metodologis di dalam menemukan kebenaran sejati. Dari sekian hadis tentang keutamaan ilmu membuktikan begitu besar apresiasi Islam yang diberikan terhadap pengetahuan, sehingga tidak heran jika Umar bin Khattab mengatakan “Wahai semua manusia, hendaklah kalian menuntut ilmu, karena sesungguhnya Allah swt memiliki ‘selendang kecintaan’, siapa yang mempelajari ilmu sebanyak satu bab, Allah swt akan menyelimutinya dengan selendang tersebut.23 Selanjutnya apa yang dapat kita jadikan pelajaran dari hadis-hadis di atas? Adapun yang perlu digaris bawahi, bahwa nilai-nilai yang dapat kita ambil untuk dijadikan pedoman adalah adanya semangat (ghirrah) dalam menuntut ilmu dan penggalian terhadap ilmu pengetahuan yang memiliki tujuan pada perubahan ke arah yang lebih baik. Kajian Konfirmatif Pada kajian ini sesungguhnya hanya cara bagaimana kita mengkonfirmasikan makna hadis dengan petunjuk-petunjuk Al-Qur'an sebagai sumber tertinggi. Telah disepakati oleh mayoritas umat Islam, bahwa Al-Qur'an itu bersifat konsep, maka ketika muncul keraguan terhadap suatu hadis kita boleh bersikap bahwa kalau memang hadis itu benar dari Nabi saw, tidak akan bertentangan dengan kandungan Al-Qur'an. Adapun hadis no. 2572 yang terdapat dalam kitab sunan at Tirmidzi dalam syarahnya dikatakan bahwa isi (matan) hadis ini dhoif karena menyalahi Al-Qur'an dan sunah yang masyhur dalam hal “keharusan peleburan dosa dan denda” kecuali jika kita berpendapat bahwa matan hadis ini ditakhsis (dikhususkan) dengan maksud, membatasinya pada dosa-dosa kecil saja.
diterima. Namun perlu diketahui bahwa ilmu (science) tidaklah bebas nilai, melainkan bebas dinilai. Artinya bahwa rahasia kesuksesan sejati adalah terletak pada usaha harmonisasi ilmu dan agama dengan memberikan penekanan kepada kebebasan, demokrasi, etika dan sekaligus estetika akademik. Imam Tolkhah & Al-Barizi, Membuka Jendela Pendidikan … hlm 29 23 Lihat, Ibnu Abdil Barr, Jamiu al Bayani al Ilm, jilid I (ttp, tt.), hlm. 70.
12
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Menuntut Ilmu sebagai Transformasi Perubahan Paradigma: M. Fadholi Noer
Demikian penjelasan Zaenal Arobi dalam syarah kitab sunan at Turmudzi, yang mengatakan bahwa secara literal sesungguhnya peleburan dosa hanya dikhususkan pada dosa kecil atau dosa yang tidak mungkin dimaafkan. Barangkali ada kemungkinan makna lain yang dikehendaki, sehingga tidak bertentangan dengan Al-Qur'an. Makna lain tersebut adalah menuntut ilmu menjadi sarana menuju “taubat” yang bisa menjadi penghapus (baca: mentipe-x) dosa dan segala kedzaliman yang pernah dilakukan. Ayat Al-Qur'an yang menyinggung tentang penghapusan dosa misalnya dalam surat al Ankabut ayat 7.
Dan orang-orang yang beriman dan beramal saleh, benarbenar akan kami hapuskan dari mereka dosa-dosa mereka dan benar-benar akan kami beri mereka ganjaran yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan. Menurut Quraish Shihab, ayat sebelumnya mengandung janji baik kepada yang taat, yang berarti mengandung dorongan untuk beramal saleh, sedangkan yang ingin ditekankan dalam kaitan ayat ke 7 dengan hadis no. 2572 )ُمةا اyang terambil dari akar kata ك رyang diartikan oleh adalah kata (يام Quraish dengan “menutup”. Sementara ulama berpendapat bahwa yang dimaksud di sini adalah Allah menggantikan amal buruk dengan amal saleh. Ini terjadi dengan menganugerahkan kepada pelaku sebuah petunjuk (taufiq) sehingga dapat terdorong dan mampu melakukan amal kebajikan, atau kata tersebut berarti menjadikan amal saleh yang dikerjakannya menghapus menutupi amal buruk. Dalam konteks ini Quraish Shihab memperkuat argumentasinya dalam al Misbah dengan sabda Nabi saw, bahwa Nabi berpesan: Ikutkanlah amal saleh setelah amal buruk niscaya ini menghapusnya. (HR. Tirmidzi).24 Analisis Realitas Historis Tahapan selanjutnya dalam usaha memahami konteks suatu hadis adalah dengan melakukan kajian historis. Apakah ada hal-hal yang melatarbelakangi turunnya (baca: munculnya) hadis, baik secara mikro atau makro. Dari 24
443 – 445.
Quraish Shihab, Tafsir al Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002), vol. 10, hlm.
13
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Menuntut Ilmu sebagai Transformasi Perubahan Paradigma: M. Fadholi Noer
penelusuran yang penulis lakukan dan karena keterbatasan pengetahuan penulis serta literatur tentang tema makalah ini, tidak ditemukan adanya asbabul wurud hadis, namun demikian kita dapat menghubungkan dengan sebab-sebab makro sesuai dengan kondisi Nabi saw pada saat itu. Dalam bahasa Arab sehari-hari sebelum turunnya Al-Qur'an, ilmu hanya bermakna pengetahuan biasa. Tapi melalui ayat-ayat Al-Qur'an yang turun tahap demi tahap, kata ini berproses dan membentuk makna dan pengertian tersendiri, yang terstruktur. Memang, kata ilmu itu bisa sekedar dapat diartikan sebagai “pengetahuan” biasa, tetapi bisa lebih dari itu, tergantung dari pemahaman orang terhadap makna kata tersebut, jika pemahaman itu dilakukan dengan mempelajari dan mendalami implikasi maknawi yang terkandung dalam berbagai penggunaan kata itu dalam Al-Qur'an. Tapi yang jelas, kata-kata itu kemungkinan besar berkembang karena pernyataan Nabi yang mengandung anjuran, bahkan perintah, seperti yang kita kenal: “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap orang Muslim”; “Carilah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina”; “Carilah ilmu sejak dari buaian sampai ke liang lahat”; “Barang siapa mati ketika sedang mengembangkan ilmu untuk menghidupkan Islam, maka di surga ia sederajat di bawah para Nabi”; “Para ilmuwan adalah pewaris (tugas) para nabi”; “ilmu pengetahuan itu adalah milik orang mukmin yang hilang, di mana saja ia mendapatkannya, maka ia lebih berhak memilikinya dari yang lain”. Pernyataanpernyataan Nabi ini diperkuat oleh firman Allah dalam surat Al Mujadalah ayat 11, yang berbunyi: Allah akan meninggikan martabat orang yang beriman dan berilmu beberapa derajat. Karena menuntut ilmu dinyatakan wajib, maka kaum muslimin pun menjalankannya sebagai ibadah. Ada pula sebuah hadis yang mengatakan bahwa “barang siapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah memudahkan jalannya ke surga”. Dan di dalam AlQur'an ilmu terdapat dalam doa: “Ya Tuhanku, tambahkan padaku ilmu pengetahuan” (Q.S. Thoha : 114) Tapi lebih dari itu timbul pertanyaan; mengapa menuntut ilmu itu diwajibkan? Maka orangpun mencari keutamaan ilmu itu. Di samping itu, timbul pula proses belajar mengajar sebagai konsekuensi menjalankan perintah Rasulullah itu. Dalam kenyataan sejarah perkembangan Islam, proses belajar-mengajar itu menimbulkan perkembangan ilmu, yang lama maupun baru, dalam
14
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Menuntut Ilmu sebagai Transformasi Perubahan Paradigma: M. Fadholi Noer
berbagai cabangnya. Ilmu telah menjadi tenaga pendorong perubahan dan perkembangan masyarakat. Hal itu terjadi karena ilmu telah menjadi suatu kebudayaan. Dan sebagai unsur kebudayaan, ilmu mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam masyarakat kaum Muslimin di masa lampau.25 Dari uraian di atas dapat kita ketahui bahwa Nabi saw juga senantiasa menghidupkan tradisi keilmuan di kalangan umat Islam saat itu. Sehingga tidak heran jika banyak ungkapan Nabi saw mengenai keutamaan ilmu seperti halnya hadis dalam sunan al tirmidzii no. 2572 (meskipun banyak kalangan muhaddisun, hadis no. 2572 tersebut itu termasuk hadis garib bahkan masuk pada klasifikasi hadis dhoif). Analisis Generalisasi Dalam analisis generalisasi ini, dimaksudkan untuk menangkap makna universal yang tercakup dalam hadis yang merupakan inti dan esensi dari sebuah hadis yang kita teliti. Hadis yang menjadi tema sentral dari makalah ini secara makna tekstual adalah: “sabda Rasulullah saw. “Barang siapa yang menuntut ilmu maka akan diampuni dosa yang telah lalu”. Dalam konteks ini penulis cenderung pada pengertian bahwa ilmu adalah suatu proses menuju kepada hal yang lebih baik, sehingga tingkah laku jelek seolah tidak nampak atau tertutupi dengan hal-hal (perilaku) yang baik-baik. Kalimat “proses menuju ke arah yang lebih baik” dapat dibahasakan dalam tujuan pendidikan. Karena menurut penulis tindakan pendidikan merupakan sebuah (baca: sebagai) proses. Dari pemahaman di atas tentang menuntut ilmu adalah bagian dari sebuah proses ke arah positif. Maka pendidikan Islam-pun dapat dipahami sebagai proses transformasi ilmu, dengan berupaya mewujudkan tujuan akhir yaitu mewujudkan manusia yang beriman dan bertaqwa. Nilai-nilai yang akan ditransformasikan adalah pelajaran yang lebih identik dengan kurikulum. Selain pendidikan diartikan proses transformasi keilmuan, pendidikan juga merupakan prosees pemanusiaan manusia. Suatu pandangan yang mengimplikasikan pada proses kependidikan dengan berorientasi kepada pengembangan aspek kemanusiaan manusia baik secara fisik atau biologis maupun ruhaniah psikologis.26 Aspek fisik biologis manusia dengan sendirinya 25
Ensiklopedi Al-Qur'an “ilmu” dalam jurnal Ulumul Qur’an No. 4 vol I 1990,
hlm. 57. 26 Malik Fajar, Kembalii ke Jiwa Pendidikan dalam Imam Tolhah dan A. Barizi “membuka jendela pendidikan … hlm v)
15
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Menuntut Ilmu sebagai Transformasi Perubahan Paradigma: M. Fadholi Noer
akan mengalami perkembangan pertumbuhan dan penuaan. Sedangkan aspek ruhaniah psikologis manusia melalui pendidikan dicoba “didewasakan” disadarkan dan diinsan kamilkan. Proses pendewasaan dan penyadaran dalam kontek pendidikan ini mengandung makna yang mendasar, karena bersentuhan dengan aspek paling dalam dari kehidupan manusia yaitu kejiwaan dan keruhanian; sebagai elemen yang berpretensi positif bagi pembangunan kehidupan yang berbudaya dan berkeadaban. Dengan dasar di atas hadis yang memiliki tema sentral pada kata , dan َةاحااخdapat dipahami pada suatu proses transfer keilmuan, karena dengan ilmu dapat dijadikan petunjuk menuju kebenaran dan memanusiakan manusia sebagai proses. Kata َةاحااخdalam hadis yang diartikan dengan “menutupi”, dimaksudkan dengan ilmu dan mengamalkannya, seseorang dengan sendirinya akan tertutupi perbuatan yang buruk itu dengan hal yang baik, sehingga perbuatan jelek tertutupi. Selain lafadz ط, ْْس, َةاحاخlafadz yang menjadi perdebatan penafsiran dalam hadis di atas adalah lafadz م ض ل م. Lafadz م ض ل مdalam syarah sunan al tirmidzi ( )ل مdi situ diartikan dengan dosa. Sedangkan menurut Suryadi, mengartikan ( )ل م, ( )م-nya tersebut diartikan dengan sesuatu yang sifatnya luas tidak berhenti dengan pengertian dosa saja, karena lafadz ( )م ض ل مtersebut merupakan isim mausul sehingga hadis di atas dapat dibahasakan; “dengan menuntut ilmu seseorang dengan sendirinya menyadari hal yang tidak baik dan kemudian untuk ditinggalkannya atau orang yang menuntut ilmu itu akan tahu kesalahan yang sebelumnya dia tidak tahu.” Dari sini kita melihat bahwa hadis tersebut mengisyaratkan pentingnya “melakukan proses perubahan”. Konteks ini dapat dikaitkan dengan keurgensian pendidikan bagi kehidupan manusia, karena dengan pendidikan (baca: proses mencari/menuntut ilmu) merupakan bagian dari cara mengembangkan potensi dasar manusia yaitu rasa ingin tahu.27 Namun kalau kita memahami hadis di atas bahwa menuntut ilmu merupakan sebuah “proses” dan di qiyaskan kepada arti “proses” dalam sebuah pendidikan, maka maksud hadis di atas dapat dimaknai sebagai pendidikan dan proses belajar. Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan asasi manusia. Kant berkesimpulan bahwa manusia menjadi manusia karena pendidikan. Sedangkan Natsir juga menegaskan bahwa maju mundurnya suatu kaum bergantung kepada pendidikan yang berlaku di kalangan mereka.28 27 Ceramah kuliah terbatas (Kelas A) Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, hari Jum’at, tgl. 8 Desember 2006. 28 M. Natsir, Kapita Selecta (Jakarta: Bulang Bintang, 1973), hlm. 77.
16
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Menuntut Ilmu sebagai Transformasi Perubahan Paradigma: M. Fadholi Noer
Hadis di atas merupakan isyarat dalam ajaran Islam bahwa menuntut ilmu merupakan satu hal yang sangat dianjurkan, karena hanya dengan ilmu manusia memperoleh kebahagiaan hidup. Kedudukan menuntut ilmu dalam Islam juga menempati posisi yang sangat penting. Dalam kerangka religi, perjalanan menuntut ilmu memiliki nilai seperti halnya orang yang sedang berjihad di jalan Allah, di mana balasan bagi orang yang berjihad itu adalah surga. Begitu juga dalam langkahnya, penuntut ilmu akan dimudahkan jalannya menuju surga. Secara tekstual hadis di atas merupakan dalil pendukung yang menunjukkan bahwa ilmu adalah merupakan sarana penunjuk jalan ke surga dan jalan kebenaran. Kritik Praksis Setelah mengadakan analisis generalisasi, langkah-langkah metode dalam memahami hadis Nabi saw.,selanjutnya adalah langkah kritik praksis, yaitu mengkaitkan makna hadis yang diperoleh dari proses generalisasi ke dalam realitas kehidupan kekinian, sehingga memiliki makna praktis bagi problematika hukum dan kemasyarakatan kekinian. Memahami hadis tentang menuntut ilmu dalam konteks kekinian dapat dibahasakan ke dalam proses belajar. Secara umum, belajar dapat diartikan sebagai proses transfer yang ditandai oleh adanya perubahan pengetahuan, tingkah laku dan kemampuan seseorang yang relatif tetap sebagai hasil dari latihan dan pengalaman yang terjadi melalui aktifitas mental yang bersifat aktif, konstruktif, kumulatif dan berorientasi pada tujuan.29 Dari pengertian tersbut dapat diambil tiga pemahaman umum, pertama belajar ditandai oleh adanya perubahan pengetahuan yang lebih baik, sikap, tingkah laku dan ketrampilan yang relatif tetap dalam diri seseorang sesuai dengan tujuan yang diharapkan, menerjemahkan, menjelaskan, menerapkan ajaran Al-Qur'an dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, belajar terjadi melalui latihan dan pengalaman yang bersifat kumulatif artinya hasil belajar tidak diperoleh secara tiba-tiba, akan tetapi berlangsung melalui proses demi tahap. Dengan kata lain belajar melibatkan pengetahuan yang telah dikuasai sebelumnya (prior knowledge). Ketiga, belajar merupakan proses aktif-konstruktif yang terjadi melalui persepsi, perhatian, mengingat (memory), berpikir (thinking, reasoning) memecahkan masalah (problem solving) dan lain-lain.
29 Abdul Mu'thi, dkk, PBM – PAI di Sekolah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 94-95.
17
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Menuntut Ilmu sebagai Transformasi Perubahan Paradigma: M. Fadholi Noer
Belajar merupakan proses yang dilakukan dengan kesadaran (consciousness). Dengan kesadaran tersebut seseorang akan secara aktif memberikan perhatian, mengingat, berfikir, menafsirkan, mengelompokkan, mengkaitkan, mengkonfirmasikan informasi yang diterima berdasarkan apa yang ingin dicapai dan apa yang telah diketahui. Pengertian di atas sesuai dengan prinsip dasar belajar sebagai proses alamiah untuk mendapatkan sesuatu yang bermakna. Sesuai dengan sifat dasar tersebut seseorang cenderung untuk belajar secara aktif dan memiliki keinginan yang kuat untuk memperoleh apa yang diinginkannya. Karena itu pada dasarnya seseorang akan mampu belajar secara mandiri (self directed) Dalam konteks ini belajar tidak berarti hanya proses untuk memperoleh dan mengumpulkan pengetahuan, tetapi lebih merupakan proses menciptakan pengetahuan atau memecahkan masalah. Pengertian tersebut mengandung implikasi bahwa belajar merupakan proses yang unik yang bertumpu pada usaha perorangan untuk menciptakan atau memberi makna terhadap informasi atau secara singkat dapat dikatakan bahwa belajar adalah proses informasi yang dilakukan oleh masing-masing individu untuk memberi atau membentuk makna dari setiap informasi yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Dalam konteks kekinian dan keindonesiaan, hadis tentang menuntut ilmu di atas dapat dipahami pula ke dalam pendidikan sebagai sarana perubahan sosial dalam masyarakat. Menurut penulis esensi dasar dari hadis tentang keutamaan seseorang menuntut ilmu adalah proses perubahan, baik perubahan sikap intelektual, perubahan sosial, perubahan pemahaman keilmuan, pengetahuan dan sebagainya. Adapun proses perubahan sosial konteks kekinian dari hadis tersebut dapat dilalui dengan berbagai cara, diantaranya dengan pendidikan (baca: menuntut ilmu) secara sosiologis, pendidikan selain memberikan amunisi memasuki masa depan, ia juga memiliki hubungan dialektikal dengan transformasi sosial masyarakat. Seperti dikatakan Emile Durkheim mengenai “on education and society” yang dikutip dalam Imam Tholkhah dan A Barizi bahwa transformasi pendidikan selalu merupakan hasil dari transformasi sosial masyarakat dan begitulah sebaliknya.30 Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan dan masyarakat, merupakan dua variabel yang sulit dipisahkan dan tidak bisa dihindari. Pendidikan sebagai aspek kehidupan yang tidak bisa dipisahkan dari masyarakat juga harus terlihat dalam arus perubahan itu. Keterlibatannya tidak 30 Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 38.
18
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Menuntut Ilmu sebagai Transformasi Perubahan Paradigma: M. Fadholi Noer
hanya terbatas pada kemampuannya untuk mengadakan penyesuaian diri terhadap perubahan, tetapi bagaimana supaya pendidikan itu merupakan agen perubahan sosial, maka kata kunci yang relevan untuk dikedepankan adalah “kreativitas”. Untuk menjadi kreatif menurut Abdulrohman diantaranya diperlukan kecerdasan (intelegensi). 31 Butir-butir tujuan pendidikan nasional sendiri, sebagaimana dalam UUSPN, diantaranya dinyatakan bertujuan “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Dengan kata lain, tujuan pendidikan nasional diantaranya adalah mempersiapkan manusia-manusia yang cerdas. Dengan kecerdasan yang dimilikinya, manusia menjadi kreatif, dan dengan kreatifitasnya, seseorang dapat mengaktualisasikan dirinya, mampu melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian masalah, mampu meningkatkan kualitas hidupnya. Demikian pula kecerdasan, semakin cerdas seseorang akan semakin dapat menentukan cara-cara menghadapi sesuatu dengan semestinya, makin dapat bersikap kritis di satu sisi, dan membuat perubahan di sisi yang lain. Sebab kreativitas yang merupakan produk kecerdasan yang menjadi bagian yang sangat inheren dengan perubahan, dan sangat tidak toleran adanya status quo, hal ini tidak lepas karena pengaruh dari proses pendidikan (baca: menuntut ilmu). Dari kerangka sosiologi ini memberi pengertian bahwa suatu sistem pendidikan dibangun guna melaksanakan “amanah masyarakat” untuk menyalurkan anggota-anggota (baca: peserta didik)-nya ke dalam posisi-posisi tertentu. Artinya suatu sistem pendidikan bagaimana mampu menjadikan dirinya sebagai mekanisme alokasi posisionil bagi civitas akademika untuk menghadapi masa depan. Ilmu (al-‘ilm) di dalam Islam, yang seringkali diterjemahkan dengan sains (science), merupakan materi pokok pendidikan yang harus diajarkan di sekolahsekolah karena fungsinya sebagai penentu pola hidup masyarakat, seperti mobilitas sosial (berpindah-pindah atau bepergian dari satu tempat ke tempat lain), pengetahuan kehidupan (individual maupun sosial), kerangka nilai dan tradisi, dan sebagainya. 31
Kecerdasan, yang sering disebut intelegensi adalah istilah yang melukiskan kemampuan manusia untuk mengetahui dan melihat problema seta memecahkannya dengan sukses, dan kemampuan untuk mempelajari dan menyesuaikan perilaku dengan lingkungan yang umumnya mempunyai bermacam aspek dan coraknya, karena dengan kecerdasan yang memadai, manusia mampu mengetahui hubungan faktorfaktor dan problem satu sama lain, mampu memberi solusi terhadap sesuatu permasalahan dengan benar dan cepat. Lihat Abdul Rohman, Pendidikan Islam dalam Perubanan Sosial dalam Ismail sm dkk (ed) Paradigma Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 311 – 312.
19
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Menuntut Ilmu sebagai Transformasi Perubahan Paradigma: M. Fadholi Noer
Sebagai kerangka mobilitas sosial, ilmu pengetahuan atau sains telah menemukan cara-cara mengubah satu bentuk energi ke bentuk lainnya, lebih praktis, lebih pragmatis, dan lebih berdaya guna bagi kehidupan manusia. Contoh yang sangat jelas adalah penggunaan hand phone dewasa ini mampu mendongkrak nilai-nilai keakraban dan sekaligus merenggangkan silaturrahmi fisikal antara sesama. Ini menggambarkan bahwa betapa kemajuan sains melalui pendidikan, penelitian, dan eksperimentasi memiliki pengaruh besar bagi kehidupan masyarakat. Adapun pelbagai kemajuan sains dan teknologi di dalam kehidupan masyarakat bisa dirumuskan dalam kerangka yang paling mendasar sifatnya, yaitu bahwa sains itu tumbuh dan berkembang melalui proses pendidikan (baca: proses belajar atau menuntut ilmu). Sepakat atau tidak, penulis memiliki keyakinan bahwa pendidikan (baca: proses belajar/proses menuntut ilmu) merupakan sarana mengubah masa depan. Pendidikan diyakini sebagai amunisi yang mampu memberikan kemampuan teknologis, fungsional, informatif, dan terbuka bagi pilihan utama masyarakat. Kecenderungan ini makin menguat manakala budaya global membuat masyarakat semakin terbuka dan sistematis yang lebih ditentukan oleh kompetensi rasional-individual, penguasaan teknologi dan informasi, dan kerja keras, bukan lagi ditentukan oleh sesuatu yang tidak rasional seperti karisma, kesalehan lahiriah, keturunan.32 Penulis juga sependapat dengan Munir Mulkan, yang dikutip Imam Tholkhah dan A Barizi dalam bukunya Membuka Jendela Pendidikan yang menurutnya pendidikan dipersepsikan sebagai wahana bagi tumbuhnya daya kritis, kreatif, akan kecerdasan personal, sosial dan kemanusiaan di tengahtengah pluralisme. Pluralisme kehidupan mengharuskan pelaku kehidupan ini dibekali pendidikan yang bernilai positif menuju pribadi pintar, kreatif dan berbudi luhur.33 Sebagai contoh mislanya: orang yang cerdas/pintar selalu menggunakan nalarnya secara benar dan objektif. Orang kreatif mempunyai banyak pilihan dalam memenuhi kepentingan hidupnya. Orang arif dan luhur budi bisa menentukan pilihan tepat dan menolak cara-cara kekerasan. Kecerdasan dan kearifan bersumber dari daya kritis dan kesadaran atas nilai diri dan sosial, sehingga tumbuh kepedulian pada sesama. Lebih dari itu, menurut Mulkhan, proses belajar haruslah dibebaskan dari doktrin legal formal, seperti baik-buruk, benar-salah, halal-haram, mukmin32 33
Imam Thalkhah dan A. Barizi, Membuka Jendela Pendidikan, hlm. 41. Ibid., hlm. 40.
20
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Menuntut Ilmu sebagai Transformasi Perubahan Paradigma: M. Fadholi Noer
kafir, dan sebagainya yang dapat mengebiri peserta didik kepada keberpihakan parsial. Proses pembelajaran hendaknya juga dijauhkan dari proses reproduksi ideologis kelas dominan yang memaksa nilai-nilai kependidikan ke arah komoditi bisnis dan langgengnya kekuasaan. Proses pembelajaran hendaknya diarahkan pada terciptanya tranformasi dan edukasi sosial secara menyeluruh.34 Dengan demikian penulis berkesimpulan bahwa hadis keutamaan menuntut ilmu di atas dapat dijadikan spirit dalam melakukan berbagai perubahan dengan melalui proses belajar atau menuntut ilmu, sehingga dari proses itu diibiratkan pada akan terhapusnya “sesuatu” yang lama (baca: cara pandang) yang lain oleh cara berfiri yang baru dari pengetahuan yang diperoleh setelah menuntu ilmu, yang jelas, belajarlah! Karena dengan belajar semua menjadi mungkin dan kebebasan memilih menjadi lebih terbuka bagi munculnya alternatif masa depan yang lebih. Seorang pelajar akan senantiasa merasa bodoh dan haus akan ilmu baru, laksana seseorang dalam kehausan lalu ia meminum air garam maka ia justru semakin haus dan haus. Sabda Nabi Saw, “Ilmu akan menjaga dirimu dan karena itu, kamu mampu menjadi kekayaanmu” (al-‘ilm yahfazhuka wa ‘anta tahfazh al-mal). Jadi, ilmu dan orang berilmu merupakan pengawal sejati kelangsungan kehidupan manusia. Penutup Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan asasi manusia, karena dengan pendidikan manusia dapat meraih kesuksesan di dunia dan akhirat, selain itu, karena dengan ilmu manusia dapat membedakan mana yang khaq dan yang bathil, dan ilmu adalah suatu yang sangat mulia, sebab ilmu adalah pemberian Allah bagi manusia sebagai jalan menuju yang muttaqin. Hadis dalam sunan al Tirmidzi no. 2572 merupakan hadis yang dapat dijadikan motivasi kita untuk belajar dan belajar sebagai proses menuju suatu yang lebih baik, karena dengan ilmu kita akan mendapatkan pencerahan sebagaimana ungkapan al ilm nurun (ilmu itu cahaya).
34
Ibid., hlm. 41.
21
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Menuntut Ilmu sebagai Transformasi Perubahan Paradigma: M. Fadholi Noer
DAFTAR PUSTAKA Abdul Mu'thi, dkk. PBM – PAI di Sekolah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998. Anis, Ibrahim. Mu’jam al washit Juz II, Mesir: Dar al Maarif 1973. Ibnu Abdil Bar , kitab Jamiu al Bayani al Ilm, jilid I,ttp, tt. Ismail, Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Jakarta: Bulan Bintang, 1994. Madkur, Ibrahim Mu’jam Lughah al Arabi,Mu’jam Wajiz, tt., 1995. al Mascatie, Ali. Kamus-Arab-Inggris-Indonesia, Bandung: Al Maarif, cet. I, 1983. Muhammad Ibnu Manzur, Jamal ad Diin. Lisan al Arab, Beirut: Dar al Fikr, 1990. Munawwir, Ahmad Warsun. Kamus al Munawir Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressif, Cet. Ke -25, 2002. Natsir, M. Kapita Selecta, Jakarta: Bulang Bintang, 1973. Rahman, Fazlur. Dkk. Wacana Studi Hadis Kontemporer, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000. Shihab, M.Quraish. Membumikan Al-Qur'an, Bandung: Mizan, 1992. -------------------. Tafsir al Misbah, Jakarta, Lentera Hati, 2002. SM, Ismail, dkk (ed). Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Taufikurohman, makalah; Kajian Hadis Tentang Menuntut Ilmu, Desember 2006. Tholkhah, Imam, dan Ahmad Barizi. Membuka Jendela Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. Jurnal Ulumul Qur’an, no. 4 vol. I, 1990. CD Mausu'ah al-Hadits al-Syarif al-Kutub al-Tis'ah,1997.
22
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Pendidikan Islam Transformatif-Integratif: Zainullah dan Ali Muhtarom
PENDIDIKAN ISLAM TRANSFORMATIF-INTEGRATIF
Oleh : Zainullah dan Ali Muhtarom Abstrak Islam sangat mementingkan pendidikan. Pendidikan yang berkualitas, menghasilkan individu-individu yang beradab akan terbentuk dan akan menciptakan kehidupan sosial yang bermoral. Pendidikanislam bersifat transforamtif-integratif. Transformatif adalah proses transformasi pengetahuan untuk mendewasakan manusia menjadi insan paripurna. Integratif adalah internalisasi nilai-nilai religius dan pengetahuan. Pendidikan islam transformatif – integratif bukan khayalan utopis yang mengawang melainkan keniscayaan rasional yang menemukan pembenarannya dalam argumentasi filosofis maupun teologis. Keyword: pendidikan islam, integratif, transformatif, fitrah, ilmu.
Abstract. Islam is concerned with education. Quality education, generating civilized individuals will beformed and will create a moral social life. Transforamtif-Islamic education is integrative Transformative is the process of transforming knowledge to be come nature human being splenary. Integrative is the internalization of religious valuesand knowledge. Transformative-integrative Islamic educationis not a utopian fantasy that goes upbutthe rationalnecessity that finds justification in philosophical and theological arguments. Keyword: islamic education, integrative, transformative, fitrah, science. PENDAHULAUN Pendidikan adalah proses yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Melalui pendidikan, setiap manusia belajar seluruh hal yang belum mereka ketahui. Bahkan dengan pendidikan, manusia dapat menguasai dunia dan tidak terikat lagi oleh sekat-sekat yang membatasi dirinya. Pendidikan melahirkan manusia yang berilmu, yang dapat menjadi khalifah Allah di bumi ini. Seperti diungkapkan Muhammad Abduh, seorang tokoh pembaharu Muslim terkenal, bahwa pendidikan adalah hal terpenting dalam kehidupan manusia dan dapat merubah segala sesuatu1 Islam sangat mementingkan pendidikan. Dengan pendidikan yang benar dan berkuali-tas akan menghasilkan output yang berakhlak yang mampu menjadikan masyarakat yang beradab. Al-Ghazali mengungkapkan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Sayangnya, saat ini, institusi atau lembaga pendidikan seringkali mengabaikan prinsip ini, sehingga output yang dicetak lebih banyak berintelek saja daripada berakhlak.
23
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Pendidikan Islam Transformatif-Integratif: Zainullah dan Ali Muhtarom
Apalagi Transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadi keniscayaan zaman modern ini ternyata memunculkan problem baru dalam dunia pendidikan. Hal ini berkaitan dengan penyiapan sumber daya manusia yang diharapkan mampu mengakses perkembangan ilmu dan teknologi tersebut. Jika dunia pendidikan tumpul dalam merespon dan mengikuti tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, mustahil akan mampu menghasilkan sumber daya manusia seperti yang diharapkan. Lantas, bagaimana prinsip-prinsip dasar pedidikan dalam Islam sesuai AlQur’an danHadits,yang diharapkan mampu mengakses perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut? Apakah hal itu hanya diorientasikan pada kepentingan teknis yang berujung pada peningkatan ekonomi semata? Hal yang penting digarisbawahi adalah bahwa penyiapan sumber daya manusia melalui pendidikan yang diharapkan mampu mengakses tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi harus memperhatikan bagaimana dasar-dasar epistemologi pendidikan yang dikembangkan, termasuk aspek nilai (aksiologi) yang inheren dalam setiap aktifitas pendidikan. Apabila dua hal tersebut tidak diperhatikan maka pengembangan pendidikan akan menimbulkan problem kemanusiaan yang serius. Kekhawatiran serius muncul akibat semakin menipisnya rasa kemanusiaan dan hilangnya semangat religius dalam segala aktifitas kehidupan manusia. Pesatnya perkembangan sains dan teknologi di satu sisi memang telah menghantarkan manusia pada peningkatan kesejahteraan materiil. Di sisi lain, paradigma sains dan teknologi modern dengan berbagai pendekatan nonmetafisik dan netral etik telah menyeret manusia pada kegersangan dan kebutuhan pada dimensi-dimensi spiritual. Kebudayaan sebagai manifestasi empirik dari interaksi hidup manusia, baik sesama maupun dengan alam lingkungan, semakin bergeser dari nilai-nilai ilahiyah. Nilai-nilai altruistik (cinta kasih) mulai berganti menjadi nilai-nilai individualistik, dan hal ini memicu kompetisi hidup yang tajam. Demikian pula cara pandang manusia mengenai alam. Manusia memandang alam sebagai objek yang bisa dieksploitasi demi kepentingan manusia. Sementara dimensi spiritual kealaman tidak lagi menjadi pertimbangan manusia dalam memanfaatkannya. Pergeseran-pergeseran tersebut tampaknya merupakan konsekuensi logis dari kecenderungan pendidikan yang ada saat ini dan landasan berpikirnya yang dipakai. Menurut Cyril Edwin Black, abad mutakhir ini berdaya kuat merombak struktur nilai (social values) yang akhirnya memberi peluang akan hadirnya nilainilai baru, pilihan-pilihan baru, dan pandangan-pandangan baru yang kemudian
24
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Pendidikan Islam Transformatif-Integratif: Zainullah dan Ali Muhtarom
mengkristal dalam pranata budaya yang cenderung tidak manusiawi. Kristalisasi budaya tersebut sangat melekat dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ditransformasikan melalui proses pendidikan yang berwawasan parsial dan tidak lagi berpijak pada nilai-nilai normatif ilahiah. Kondisi ini pada akhirnya memunculkan konsekuensi-konsekuensi baru sebagai problematika kemanusiaan secara universal.2 Suatu hal yang pasti adalah apabila pendidikan didasarkan pada tuntutan ilmu pengetahuan dan kebutuhan teknik, maka pendidikan tersebut akan mengutamakan perkembangan ratio semata-mata. Pendidikan yang mempunyai dasar demikian, bisa saja akan menghasilkan orang-orang cerdik pandai yang mempunyai pikiran brilian, akan tetapi dalam pandangan jagadnya mempunyai asas-asas pikiran yang salah. Pikiran yang salah dan falsafah yang mengandung kekhilafan dapat menimbulkan kerusakan dan kelumpuhan di dalam organisasi kosmos, masyarakat, dan tatanan politik suatu negara.3 Berkenaan dengan ilmu dan moral, Jujun S. Suriasumantri mengatakan, ilmu membuat orang menjadi pandai, teknologi memberi kemudahan, namun semua itu tidak membawa bahagia, hanya sepi dan kengerian yang terbayang. Hal itu terjadi karena masing-masing pengetahuan terpisah satu dengan lainnya. Ilmu terpisah dari moral, moral terpisah dari seni, seni pun terpisah dari ilmu. Pengetahuan yang kita miliki hanya sepotong-potong, tidak utuh.4 Dalam tulisannya, Jujun mengutip pesan Albert Einstein kepada mahasiswa California Institute of Technology (CIT), dalam bentuk pertanyaan bernada korektif, “Mengapa ilmu yang sangat indah ini, yang menghemat kerja dan membikin hidup lebih mudah, hanya membawa kebahagiaan yang sedikit kepada kita? Ilmu yang seharusnya membebaskan kita dari pekerjaan yang melelahkan malah menjadikan manusia budak-budak mesin?”5 Dalam kekhawatirannya, Karl Jaspers menyatakan bahwa dunia benar-benar mengalami despiritualisasi yang tunduk pada rezim kemajuan teknologi. Manusia tampaknya tidak mampu menghindari kehilangan jati dirinya serta mendapat kepuasan dalam keadaan yang impersonality (tanpa kepribadian). Kita sedang dalam perjalanan menuju ditelannya manusia secara fungsional ke dalam mesin.6 Pengembangan spiritualitas manusia menjadi suatu yang asing dalam proses pendidi-kan. Paradigma sistem pendidikan yang dikembangkan disesuaikan dengan perkembangan paradigma ilmu pengetahuan kontemporer (modern) yang memiliki kadar rasionalisme dan empirisisme yang tinggi dalam upayanya mentransfer ilmu- ilmu objektif. Hal ini telah memaksa konsep pendidikan bergeser ke arah paradigma sistem pengajaran semata. Peserta didik tidak lagi
25
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Pendidikan Islam Transformatif-Integratif: Zainullah dan Ali Muhtarom
diajak dan diperkenalkan secara intens mengenai cara-cara untuk menghayati makna dan kearifan hidup, tetapi lebih ditekankan sekedar bisa merespon kehidupan secara mekanik.7 Dari sinilah mulai terasa betapa pentingnya pendidikan yang berasaskan pada nilai-nilai Al-Qur’an dan Hadits tanpa mengesampingkan nilai-nilai humanisme dengan menggali potensi dan dimensi yang dimiliki oleh manusia. Konsep pendidikan yang lebih integratif-transformatif, yang memandang seluruh potensi manusia secara komprehensif dalam upayanya menyerap seluruh wawasan keilmuan dan dimensi spiritual-etiknya. Karena melihat Pendidikan saat ini lebih bersifat pragmatis, mengarah pada pendidikan yang mengejar kesuksesan materi daripada spiritual dan akhlak. Pendidikan dipandang secara ekonomis dan dianggap sebagai sebuah investasi. Dalam makalah ini penulis mencoba berbagi dan mendeskripsikan prinsipprinsip dasar pedidikan dalam Islam,fungsi dan tujuannya sesuai dengan dalildalil naqli yang sudah ada dalam al-Qur’an dan Hadits serta permasalahan yang dihadapi beserta solusinya. Prinsip-prinsip ini yang harus diperhatikan untuk kembali pada tujuan pendidikan Islam yang sebenarnya. PRINSIP PENDIDIKAN ISLAM TRANSFORMATIF -INTEGRATIF Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata "Prinsip" mempunyai pengertian dasar, asas yang menjadi pokok atau landasan berpikir8. Prinsipprinsip ini menjadi patokan dalam melaksanakan sesuatu. Sedangkan Pendidikan Islam diartikan sebagai suatu sistem pendidikan yang memungkinkan seseorang dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologi Islam, sehingga dengan mudah ia dapat membentuk hidupnya sesuai dengan ajaran Islam.9 Abdul Mujibmerumuskan pendidikan Islam sebagai proses transinternalisasi pengetahuan dan nilai Islam kepada peserta didik melalui upaya pengajaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan, pengawasan, dan pengembangan potensinya, untuk mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidupdi dunia dan akhirat10. Sederhananya, pendidikan Islam adalah proses Islamisasi karakter anak didik. Islamisasi karakter ini bisa melalui perorangan atau institusi. Dari pengertian kata prinsip dan pendidikan Islam di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa prinsip pendidikan Islam adalah pegangan yang harus ada dalam proses Islamisasi karakter tersebut. Dasar yang akan mengantarkan proses Islamisasi karakter ini pada tujuan yang diimpikan.
26
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Pendidikan Islam Transformatif-Integratif: Zainullah dan Ali Muhtarom
1) Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam Dalam proses pendidikan Islam, ada dasar-dasar pemikiran yang harus diterapkan agar tercapai tujuan pendidikan Islam itu sendiri, dan disebut dengan prinsipn pendidikan Islam. Prinsip pertama adalah prinsip transformatifintegratif. Suatu prinsip yang seharusnya dianut adalah bahwa dunia ini merupakan jembatan menuju kampung akhirat11. Karena itu, mempersiapkan diri secara utuh merupakan hal yang tidak dapat dielakkan agar masa kehidupan di dunia ini benar benar bermanfaat untuk bekal yang akan dibawa ke akhirat. Perilaku dan dimensi kehidupan yang didapat dalam kehidupan ini harus diabdikan untuk mencapai ridho Tuhan terutama dengan mematuhi keinginan Tuhan. Allah Swt Berfirman, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) kampung akhirat, dan janganlah kanu melupakan kebahagiaanmu dari kenikmatan duniawi” (QS. Al Qoshosh: 77). Ayat ini menunjukkan kepada prinsip integritas dimana diri dan segala yang ada padanya dikembangkan pada satu arah, yakni kebajikan dalam rangka pengabdian kepada Tuhan. Karena ada prinsip integrasi, prinsip keseimbangan merupakan keniscayaan, sehingga dalam pengembangan dan pembinaan manusia tidak ada kepincangan dan kesenjangan12. Keseimbangan ini diartikan sebagai keseimbangan antara berbagai aspek kehidupan13. Keseimbangan antara material dan spiritual, unsur jasmani dan rohani. Pada banyak ayat dalam Al-Qur’an Allah menyebutkan iman dan amal secara bersamaan. Tidak kurang dari enam puluh tujuh ayat yang menyebutkan iman dan amal secara besamaan, secara implisit menggambarkan kesatuan yang tidak terpisahkan. Diantaranya adalah QS. Al ‘Ashr: 1-3, “Demi masa, sesungguhnya manusia dalam kerugian kecuali mereka yang beriman dan beramal sholeh.”. Prinsip pendidikan islam selanjutnya dalah prinsip kesamanan. Prinsip ini berakar dari konsep dasar tentang manusia yang mempunyai kesatuan asal yang tidak membedakan derajat, baik antara jenis kelamin, kedudukan sosial, bangsa, maupun suku, ras, atau warna kulit14. Sehingga budak sekalipun mendapatkan hak yang sama dalam pendidikan. Nabi Muhammad Saw bersabda:“Siapapun diantara seorang laki laki yang mempunyai seorang budak perempuan, lalu diajar dan didiknya dengan ilmu dan pendidikan yang baik kemudian dimerdekakannya lalu dikawininya, maka (laki laki) itu mendapat dua pahala” (HR. Bukhori).
27
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Pendidikan Islam Transformatif-Integratif: Zainullah dan Ali Muhtarom
Islam juga memiliki prinsip pendidikan seumur hidup. Sesungguhnya prinsip ini bersumber dari pandangan mengenai kebutuhan dasar manusia dalam kaitan keterbatasan manusia dimana manusia dalam sepanjang hidupnya dihadapkan pada berbagai tantangan dan godaan yang dapat menjerumuskandirinya sendiri ke jurang kehinaan. Dalam hal ini dituntut kedewasaan manusia berupa kemampuan untuk mengakui dan menyesali kesalahan dan kejahatan yang dilakukan, disamping selalu memperbaiki kualitas dirinya. Sebagaimana firman Allah, “Maka siapa yang bertaubat sesuadah kedzaliman dan memperbaiki (dirinya) maka Allah menerima taubatnya.” (QS. Al Maidah: 39)15. Pendidikan Islam menjunjung prinsi-prinsip keutamaan. Dengan prinsip ini ditegaskan bahwa pendidikan bukanlah hanya proses mekanik melainkan merupakan proses yang mempunyai ruh, dimana segala kegiatannya diwarnai dan ditujukan kepada keutamaan-keutamaan. Keutamaan-keutamaan tersebut terdiri dari nilai-nilai moral. Nilai moral yang paling tinggi adalah tauhid. Sedangkan nilai moral yang paling buruk dan rendah adalah syirik. Denganprinsip keutamaan ini, pendidik bukan hanya bertugas menyediakan kondisi belajar bagi subjek didik, tetapi lebih dari itu turut membentuk kepribadiannya dengan perlakuan dan keteladanan yang ditunjukkan oleh pendidik tersebut16. Nabi Saw bersabda;“Hargailah anak anakmu dan baikkanlah budi pekerti mereka,” (HR. An-Nasa’i). Fungsi Pendidikan Islam Fungsi pendidikan Islam, dijelaskan dalam Al-Qur'an (Al Baqarah :151) memiliki lima fungsi seperti yang dijelaskan dalam tafsir al-Manar karangan Muhammad Abduh17, yaitu, 1) Membacakan ayat-ayat Allah; Ialah membacakan ayat-ayat yang tidak tertulis dalam Al-Quran, yaitu ayat-ayat kauniyah,dimana isinya termasuk diri manusia sendiri sebagai mikro kosmos; 2) Dengan demikian, wawasan seseorang akan semakin luas dan mendalam, sehingga sampai pada kesadaran diri terhadap wujud dzat yang Maha Pencipta, yaitu Allah; 3) Menyucikan diri; Merupakan efek langsung dari membaca ayat-ayat Allah setelah mengkaji gejala-gejalanya serta menangkap hukum-hukumnya. Yang dimaksud dengan penyucian diri adalah menjauhkan diri dari syirik dan memelihara akhlaq al-karimah. Dengan sikap dan perilaku demikian fitrah kemanusiaan manusia akan terpelihara; 4) Mengajarkan Kitab; Ialah Al-Quran al-Karim yang secara eksplisit berisi tuntunan hidup bagaimana manusia berhubungan dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan dengan alam sekitarnya dengan baik dan benar; 5) MengajarkanHikmah; Menurut Abduh adalah hadits, akan tetapi kata al-hikmah
28
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Pendidikan Islam Transformatif-Integratif: Zainullah dan Ali Muhtarom
diartikan lebih luas yaitu kebijaksanaan, maka yang dimaksud ialah kebijaksanaan hidup berdasarkan nilai-nilai yang datang dari Allah dan rasul-Nya. Walaupun manusia sudah memiliki kesadaran akan perlunya nilai-nilai hidup, namun tanpa pedoman yang mutlak dari Allah, nilai-nilai tersebut akan nisbi; 6) Mengajarkan Ilmu Pengetahuan; Banyak ilmu pengetahuan yang belum terungkap, itulah sebabnya Nabi Muhammad SAW mengajarkan umatnya ilmu pengetahuan yang belum diketahui. Karena tugas utamanya adalah mendidik dan membangun akhlak al-Karimah.18 Tujuan Pendidikan Islam Tujuan Pendidikan Islam identik dengan tujuan agama Islam, yaitu agar manusia memiliki keyakinan yang kuat dan menjadi pedoman hidupnya,untuk menumbuhkan pola kepribadian yang bulat melalui berbagai proses usaha yang dilakukan. Jadi tujuan Pendidikan Islam adalah suatu harapan yang diinginkan oleh agama Islam itu sendiri. Zakiah Daradjad dalam Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam mendefinisikan tujuan Pendidikan Islam yaitu membina manusia beragama, berarti manusia yang mampu melaksanakan ajaranagama Islam dengan baik dan sempurna, tercermin pada sikap dan tindakan dalam seluruh kehidupannya, untuk mencapai kebahagiaan dan kejayaan dunia dan akhirat melalui pengajaran agama yang intensif dan efektif, dalam hal ini peserta didik agar mereka mampu menjadi manusia atau mengembalikan manusia kepada fitrahnya yaitu kepada Rubbubiyah Allah sehingga mewujudkan manusia yang:19 1) Berjiwa Tauhid; Tujuan ini harus ditanamkan pada peserta didik,sesuai denganfirman Allah surat Luqman ayat 13. Manusia yang mengenyam pedidikan seperti ini sangat yakin bahwa ilmu yang ia miliki adalah bersumber dari Allah, dengan demikian ia tetap rendah hati dan semakin yakin akan kebesaran Allah SWT; 2) b. Takwa Kepada Allah SWT; Mewujudkan manusia yang bertaqwa merupakan tujuan utama, sebab walaupun ia genius dan gelar akademiknya banyak, tapi kalau tidak bertaqwa kepada Allah maka ia dianggap belum/tidak berhasil sesuai firman Allah pada surat Al-Hujurat ayat 13; 3) Rajin Beribadah dan Beramal Saleh; Adalah agar peserta didik lebih rajin dalam beribadah dan beramal saleh, apapun aktivitas dalam hidup ini haruslah didasarkan untuk beribadah kepada Allah, karena itulah tujuan Allah menciptakan manusia di muka bumi ini. Seperti firman Allah pada surat Adz-Dzariyaat ayat 56; 4) Ulil Albab; Adalah mewujudkan orang-orang yang dapat memikirkan dan meneliti keagungan Allah melalui ayat-ayat qauliyah yang terdapat di Al-Qur'an dan Ayat-ayat kauniyah
29
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Pendidikan Islam Transformatif-Integratif: Zainullah dan Ali Muhtarom
yang terdapat di alam semesta. Mereka merupakan ilmuan dan intelektual, dan mereka juga rajin berzikir dan beribadah kepada Allah SWT, sesuai firman Allah pada Surat Ali Imran ayat 190-191. 5) Berakhlaq al- Karimah; Pendidikan Islam tidak hanya bertujuan untuk mencetak manusia yang memiliki kecerdasan saja, tapi juga berusaha mencetak manusia yang berahklak mulia. Ia tidak akan bersifat arogan (sombong) dengan ilmu yang dimilikinya, sebab Allah mengajarkan manusia untuk bersifat rendah hati dan berakhlak mulia, sesuai firman Allah pada Surat Luqman ayat 18. Perbedaan Paradigma dalam Pendidikan Setelah uraian tentang pengertian, fungsi dan tujuan pendidikan Islam diatas, perlu kiranya perubahan pemahaman tentang proses transformasi ilmu dan nilai dalam sistem pendidikan, yaitu paradigma hubungan guru dan murid yang terbentang dalam hierarki pengajar dan pelajar; subjek dan objek. Proses pendidikan sejatinya merupakan kegiatan antara manusia dengan manusia lainnya; pihak yang dididik adalah manusia, dan pihak yang mendidikpun juga manusia. Paradigma pendidikan tidak mengenal objek dalam pengertiannya yang definitif, karena objek dan subjek dalam sistem pendidikan berhimpit menjadi satu, yakni manusia. Hal ini berbeda dengan sistem pengajaran, karena dalam pengajaran (bukan proses mendidik) terdapat unsur objek baik objek sasaran (peserta didik) maupun objek materi (materi pelajaran). Hubungan yang dibangun hanya satu arah: dari pengajar ke pelajar.20 Batasan-batasan lain yang membedakan antara sistem pengajaran dan pendidikan adalah, yang pertama lebih menekankan pada usaha pembinaan kemampuan berpikir dalam arti digital-mekanik, sedangkan sistem pendidikan lebih menekankan pada pembi-naan kesadaran, yang merupakan dasar dari proses berpikir itu sendiri. Berkaitan dengan pembedaan antara ilmu subjektif dengan ilmu objektif, dapat dikatakan bahwa proses mendidik berpijak secara langsung pada ilmu subjektif, sedangkan proses mengajar berpijak pada landasan ilmu objektif.21 Sistem pendidikan berbeda secara diametral dengan sistem pengajaran. Sistem pengajaran terlihat merupakan kanal bagi transfer dari seluruh model paradigma ilmiah kontemporer. Sedangkan pada sistem pendidikan, yang tampak justru bertentangan dengan landasan paradigma dalam dunia ilmu pengetahuan kontemporer. Mainstream paradigma keilmuan modern, sistem pendidikan semakin mengarah ke sistem pengajaran semata-mata, sehingga
30
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Pendidikan Islam Transformatif-Integratif: Zainullah dan Ali Muhtarom
aspek-aspek lain yang memperkaya khazanah pengetahuan dan kebenaran dari seluruh realitas menjadi tereduksi. Dalam sistem pengajaranyang muncul adalah sebuah asumsi bahwa sumber pengetahuan &kebenaran cukup digali dari prinsip-prinsip keilmuan yang dikembangkan dalam dunia kontemporer. Berkaitan dengan ini, Jujun S. Suriasumantri mengingatkan, “Meskipun ilmu memberikan kebenaran, namun kebenaran keilmuan bukanlah satu-satunya kebenaran dalam hidup kita ini. Terdapat berbagai sumber kebenaran lain yang memperkaya khazanah kehidupan kita, dan semua kebenaran itu mempunyai manfaat asal diletakkan pada tempatnya yang layak. Kehidupan ini terlalu rumit untuk dianalisis hanya oleh satu jalan pemikiran.”22 Kondisi seperti itu berlaku pula dalam hal mencitra hakekat manusia melalui pendidikan, yang pada dasarnya tidak ditelusuri dari satu sudut saja, baik dari segi material maupun spiritualnya. Hal ini disebabkan oleh struktur manusia yang dikotomik. Dualisme struktur manusiawi itu justru menjadikan manusia sebagai makhluk yang spiritual di satu sisi, dan sebagai makhluk yang material konkrit di sis lain.23 Apabila pendidikan lebih cenderung berjalan pada langkahlangkah pembinaandimensi material−sebagaimana paradigma pengajaran−dengan menyingkirkan segi spiritualitasnya, maka inilah suatu proses kelumpuhan eksistensi manusiawinya. Urgensi Pendidikan Transformatif-Integratif Dari uraian diatas, sedikitnya ada dua kecenderungan yang bisa diidentifikasi berkaitan dengan zaman globalisasi. Pertama, semakin kuatnya dominasi ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dalam kehidupan manusia. Iptek seakan malaikat imajinatif kreatifitas dan produktifitas,yang mampu merekayasa apa saja semaksimal mungkin bagi kepentingan hidup manusia. Tidak satupun kekayaan alam bisa dieksploitasi oleh manusia tanpa penguasaan Iptek secara sempurna. Kedua, kuatnya dominasi Iptek secara pelan-pelan menggeser nilai-nilai luhur yang secara universal dijunjung tinggi oleh manusia. Nilai-nilai kemanusiaan, budaya, dan agama mengalami alienasi baik pemahaman, pelestarian, maupun aplikasinya. Hampir seluruh analisis sosial dan keagamaan sepakat bahwa globalisasi dan teknologi menyebabkan bergesernya nilai baik dan nilai buruk dalam kehidupan masyarakat. Dalam konteks itulah, maka peran pendidikan dan lembaga pendidikan sebagai pemasok utamamanusia-manusia yang memiliki kemahiran dan keterampilan penguasaan Iptek, bertanggungjawab mengembalikan visi, konsep,
31
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Pendidikan Islam Transformatif-Integratif: Zainullah dan Ali Muhtarom
dan orientasi penguasaan dan sekaligus penggunaan Iptek kepada nilai-nilai yang semakin tergerus. Pendidikan saat ini lebih terfokus pada pengayaan keilmuan yang gersang dari nilai-nilai, terutama nilai-nilai agama. Karenanya, masalah yang seringkali muncul bukan saja berkaitan dengan rendahnya kualitas lulusan tetapi juga berkaitan dengan masalah keadaban (civility) masyarakat pada umumnya. Tidak mengherankan apabila keberadaan pendidikan yang ada sekarang ini belum sepenuhnya berhasil mencetak manusiayang beradab karena kecerdasan yang diperolehnya tidak disertai dengan terwujudnya sikap-sikap dan tradisi-tradisi luhur. UUSistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 pasal 30 yang mewajibkan penyelenggaraan pendidikan agama pada semua strata pendidikan merupakan bentuk kesadaran bersama untuk mencapai kualitas hidup manusia yang utuh. Upaya pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan agama pada semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan kiranya memperoleh apresiasi positif dari semua elemen masyarakat yang peduli terhadap pola pikir, sikap, dan prilaku anak bangsa dewasa ini. Disinilah, integrasi sistem pendidikan perlu ditingkatkan, semua tujuan dari pencapain akhir pendidikan adalah untuk menciptakan manusia paripurna secara akal, budi pekerti dan akhlahnya sesuai dengan tuntutan agama dan situasi kondisi zaman. Bukan zamannya lagi pendidikan dipisahkan antar satu materi dengan yang lainnya.24 “Agama adalah akal, dan tidak ada agama bagi mereka yang tidak berakal (aldîn ‘aql, lâ dîna li man lâ ‘aqla lahu)”,menyiratkan intelektualisme dan rasionalisme adalah bagian integral dan urgen dalam ajaran Islam. Etos intelektualisme dan rasionalisme dalam beragama, mengandaikan manusia bukanlah sekedar tamu di rumah yang sudah jadi. Manusia tidak boleh puas dengan (meminjam istilah Abdul Karim Soroush) “jatah” kehidupan mereka, dan hendaknya menghindarkan diri dari pepatah yang berbunyi: “kita hanya dibagi beberapa jatah dari meja takdir ini.” Manusia harus mengambil peran agen dunia yang agresif dan aktif untuk mengubahnya.25 Atas dasar inilah maka orientasi dan sistem pendidikan di sekolah tidak perlu terjadi ambivalensi dikotomis antara ilmu agama dan ilmu umum (sains), tetapi bagaimana kita mampu mengintegrasikannya secara lebih terpadu. Perpaduan yang dimaksud bukanlah sekedar proses pencampuran biasa atau islamisasi, tetapi sebagai proses pelarutan. Pemikiran ini kiranya mengandaikan suatu
32
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Pendidikan Islam Transformatif-Integratif: Zainullah dan Ali Muhtarom
bentuk perpaduan sejati antara ilmu agama dan sains, yang dapat mensinergikan keduanya secara fleksibel, dan tentu saja link and match. Dasar Teologis dan Filosofis bagi Pendidikan Transformatif-Integratif Mengingat pendidikan integratif-transformatif sangatlah penting dan harapan kepada-nya sangatlah besar, maka yang patut digarisbawahi bahwa harapan tersebut bukanlah harapan yang utopis. Pendidikan integratiftransformatif yang memadukan sains dan nilai-nilai agama memiliki landasan filosofis yang sangatlah kuat. Bahkan, pendidikan yang integral-transforman tersebut juga memiliki landasan teologisnya dalam agama normatif. Dengan begitu, pendidikan yang integral-transforman memiliki dua dasar sekaligus: filosofis dan teologis. Dasar filosofis dapat dilihat dari kenyataan bahwa perjumpaan antara sainsdan agama merupakan keniscyaan yang rasional. Para ilmuan telah banyak menyuarakan secara filosofis tentang integrasi sains dan agama. Seperti yang dikutip oleh Moh Dahlan, secara gairs besar, Ian G. Barbour membagi relasi pengetahuan (sains) dan agama menjadi empat pendekatan: Pertama, pendekatan konflik, yaitu pendekatan yang saling menafikan antara agama dan sains. Dengan menggunakan pendekatan ini maka akan dipahami bahwa sains dan agama merupakan dua hal yang saling bertentangan.Kedua, pendekatan independensi, yaitu pendekatan yang menyatakan bahwa agama dan sains merupakan dua domain independen yang dapat hidup bersama selagi menjaga “jarak aman” satu sama lain. Karena itulah, antara agama dan sains tidak perlu ada konflik, sebab keduanya berada di dua domain yang berbeda. Ketiga, pendekatan dialog, yaitu pendekatan yang berusaha menunjukkan sisi-sisi kemiripan metode agama dan sains sekaligus sisi-sisi perbedaannya. Sebagai alternatifnya, dialog dapat terjadi ketika sains menyentuh sesuatu di luar wilayah kekuasaannya sendiri. Keempat, pendekatan integrasi, yaitu pendekatanyang berusaha membangun kemitraan yang lebih sistematis dan ekstensif antara sains dan agama yang terjadi di kalangan orang-orang yang mencari titik temu di antara keduanya.26 Pendekatan sains dan agama di Barat mengasumsikan agama sebagai pengetahuan subjektif dan sains sebagai pengetahuan objektif. Dengan sudut pandang demikian maka muncullah sebuah posisi sekuler yang menganggap agama sebagai persoalan personal-individual yang dibedakan dari sains yang sifatnya kolektif. Spektrum hubungan sains-agama semacam itu mencerminkan keyakinan epistimologis tersendiri.
33
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Pendidikan Islam Transformatif-Integratif: Zainullah dan Ali Muhtarom
Dengan penjelasan di atas, kita dapat menarik gambaran sederhana bahwa nilai-nilai agama secara umum, termasuk agama Islam di dalamnya, memiliki satu kemungkinan filosofis untuk berjumpa dengan sains dan teknologi. Pendasaran yang filosofis semacam ini membuka ruang interpretasi baru bahwa Islam sebagai agama juga memungkinkan sekali untuk berjalan selaras dengan pandangan-pandangan sains pada aspek-aspek tertentu. Karena itulah, tidak berlebihan apabila digadang-gadang bahwa Islam dan sains pasti bertemu, sebab kemungkinan tersebut memiliki pijakan filosofis yang sudah matang. Sedangkan dasar teologis bagi pendidikan integratif-transformatif ini dapat ditelusuri dari teks ayat-ayat suci. Apabila menelusuri ayat-ayat Al-Quran, akan ditemukan sekitar854 kata al-‘ilm dalam berbagai bentuk dan arti. Diantara pengertian kata al-‘ilm tersebut adalah pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan.27 Ayat-ayat Al-Quran tidak menentang pengembangan ilmu pengetahuan yang membuahkan kemudahan hidup bagi manusia di muka bumi. Sebaliknya, AlQuran (QS: Al-Baqarah: 30) menegaskan peran penting manusia sebagai khalifah28 di muka bumi yang tugasnya tidak lain adalah mengolah kehidupan menjadi lebih baik. Untuk mengolah kehidupan menjadi lebih baik, sudah barang tentu membutuhkan perangkat pengetahuan yang matang. Sebaliknya pula, tanpa pengetahuan yang cukup manusia tidak akan mampu mengkonstruksi kehidupan ini menjadi lebih baik. Al-Quran (QS: Al-Zumar: 9) secara tegas membedakan antara manusia yang berpengetahuan dan yang tidak.29 Rasulullah SAW juga pernah menjelaskan bahwa Umat muslim adalah umat yang wajibmenuntut ilmu, memahami gejala-gejala alam, dan mengembangkan peradaban yang berpijak pada ilmu pengetahuan. (HR. Bukhori) Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang mendatangi masjidku ini, yang dia tidak mendatanginya kecuali untuk kebaikan yang akan dipelajarinya atau akan diajarkannya, maka kedudukannya sama dengan seorang mujahid di jalan Allah. Dan siapa yang datang untuk maksud selain itu, maka kedudukannya sama dengan orang yang melihat perhiasan orang lain.”(HR. Ibnu Majah)30. Dalam riwayat yang lain, Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang pergi menuntut ilmu, maka dia berada di jalan Allah sampai ia kembali.” (HR. Tirmidi)31 Mari kita perhatikan tentang teori modern dalam sains yang bicara tentang expanding universe (alam yang mengembang). Kita akan menemukan pula siratan pengetahuan dalam ayat-ayat suci, seperti “Dan langit, Kamilah yang membangunnya dengan menggunakan tangan,dan sungguh Kamilah yang membuatnya meluas.” (QS: Al-Dzariyat: 47)32
34
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Pendidikan Islam Transformatif-Integratif: Zainullah dan Ali Muhtarom
Ketika ilmu modern mengatakan bahwa bumi bergerak mengelilingi matahari, ayat suci juga mengatakan hal yang sama, seperti “Dan engkau melihat gunung, engkau mengiranya diam, padahal ia bergerak seperti bergeraknya awan. Itulah ciptaan Allah yang membuat yakin segala-galanya. Sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang kalian perbuat.”(QS: An-Naml: 88)33 M. Quraish Shihab juga mengatakan, ayat-ayat suci Al-Quran menganjurkan umatnya untuk mengamati jagad semesta, memikirkannya dengan akal rasional,melakukan eksperimeneksperimen dalam rangka memahami gejalagejalanya.34 Anjuran Islam agar manusia memanfaatkan akal pikirannya secara maksimal dan rasional adalah tuntutan ilahiah yang bernilai ibadah dalam menjalankannya. Dengan kata lain, mengembangkan sains natural adalah perintah Tuhan dalam kitab suci. Di sini dapat disimpulkan, pengembangan sains dan teknologi merupakan ajaran Islam yang berguna bagi kemudahan hidup manusia di muka bumi. Secara teologis, Al-Quran menegaskan bahwa semua yang ada di dalam jagad semesta ini dimudahkan oleh Tuhan agar dimanfaatkan oleh manusia. Pada tataranini, pengembangan sains memiliki akar teologis dalam ajaran Islam. Akar teologis tersebut menjadi fundamen dasar untuk mengatakan bahwa perintah pengembangan ilmu dan sains merupakan ajaran integral dalam Islam. Begitu integrasi pendidikan yang seharusnya menjadi salah satu jawaban permasalahan saat ini, karena kita menemukan dalil-dalil teologis yang mendukung bahwa pendidikan yang berawal dari belajar ilmu-ilmu, memahami gejala alam, mengembangkan teknologi, adalah bagian inti dari ajaran Islam. Penutup Prinsip Pendidikan Islam adalah patokan yang harus dipegang dalam proses Islamisasi karakter anak didik. Setidaknya, ada lima prinsip dasar yang harusdiperhatikan, yaitu prinsip integrasi-transformasi, prinsip keseimbangan, prinsip persamaan, prinsip pendidi-kan seumur hidup, dan prinsip keutamaan. Prinsip-prinsip ini yang nantinya akan membawa kesuksesan pendidikan Islam dalam ranah praktisnya. Dengan memegang pada dasar yang benar, maka akan sangat mungkin kita sampai pada tujuan yang benar pula. Prinsip integratiftransformatif ini juga dikenal dalam dunia pesantren dengan istilah al-Muhafadhah ‘ala al-Qodimis Sholeh wa al-Akhdu min al-Jadidi al-Ashlah (mempertahankan sistem lama yang baik dan mengadopsi dari sistem baru yang baik)
35
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Pendidikan Islam Transformatif-Integratif: Zainullah dan Ali Muhtarom
Manusia lahir dalam keadaan fitrah, polos, dan hanya membawa potensi (fitrah). Pendidikan adalah aktifitas memancing potensi dan fitrah manusia tersebut. Mengingat fitrah dan potensi manusia itu kompleks maka pendidikan yang baik tidak akan mereduksi kemanusiaan manusia, sebaliknya pendidikan akan memaksimalkan seluruh potensi manusia itu sendiri.Karena itulah, pendidikan tidak seharusnya bersifat materialistikseutuhnya melainkan juga harus disemati nilai-nilai religius. Pendidikan yang bernuansa integratiftransformatif, yakni pendidikan yang memadukan nilai-nilai agama dan sains, adalahsatu-satunya model pendidikan yang dapat diharapkan memanusiakan manusia sehingga selaras dengan fitrahnya. Endnote 1 Muhammad ‘Ammarah, Al-Imam Muhammad ‘Abduh: Mujaddid al-Islam (Beirut: Al-Muassassah al-Islamiyyah li al-Dirasah wa al-Nasyr, 1981), hlm. 207. 2 Agus Purwadi, Teologi Filsafat Sains, (Malang: UMM-Press, 2002), hlm. 119. 3 Fachry Ali, Agama, Islam, dan Pembangunan (Yogyakarta: PLP2M, 1985), cet. I, hlm. 49. 4 Jujun S. Suriasumantri, (ed.), Ilmu dalam Perspektif, (Jakarta: Yayasan Obor, 1992), hlm. 248. 5 Ibid., hlm. 266. 6 Fachry Ali, op. cit., hlm. 56. 7 Prasetya Irawan, dkk, Teori Belajar, Motivasi dan Keterampilan Mengajar, (Jakarta: PAU-PPAI Universitas Terbuka, 1996), hlm. 2-6. 8 http://kamusbahasaindonesia.org/prinsip, vol.v, diakses tanggal 05September 2013. 9 HM Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 3-4. 10 Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Pernada Media, 2006), hlm. 28. 11 Muznir Hitami, Mengonsep Kembali Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Infnite Pess, 2004), hlm. 24. 12 Ibid., hlm. 26. 13 Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, op.cit., hlm. 73. 14 Muznir Hitami, Mengonsep Kemali Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Infnite Pess, 2004),hlm. 27. 15 Ibid., hlm. 28. 16 Ibid., hlm. 30.
36
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Pendidikan Islam Transformatif-Integratif: Zainullah dan Ali Muhtarom 17 Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, Juz III, (Beirut: Darul Ma'arif, t.th),
hlm. 29. 18 Ibid., hlm.30 19 Zakiah Daradjad, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 172. 20 Syamsul Arifin, dkk, Spiritualitas Islam dan Peradaban Masa Depan, (Yogyakarta: Sipress, 1996), hlm. 155. 21 Penjelasan lebih detail tentang pembedaan ini dapat ditelusuri lebih jauh dalam Hidajat Nataatmadja, Krisis Global Ilmu Pengetahuan dan Penyembuhannya (al-Furqan) -Seri Psi-War, No. 001, (Bandung: Iqra, 1982), hlm. 257. 22 Jujun S. Suriasumantri, (ed.), Ilmu dalam Perspektif, (Yayasan Obor Indonesia, 1992), hlm. 3. 23 Fachry Ali, Agama, Islam, dan Pembangunan, (Yogyakarta: PLP2M, 1985), cet. I, hlm. 45. 24 Zainal Abidin Bagir, dkk, Ilmu, Etika, dan Agama, (Yogyakarta; CRCS, 2006), hlm. v. 25 Abdul Karim Soroush, Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, (terj.) Abdullah Ali, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 42. 26 Moh Dahlan, Relasi Sains Modern dan Sains Islam; Suatu Upaya Pencarian Paradigma Baru, dalam e-journal.umm.ac.id, diunduh pada 07 September 2013. 27 Ibid., hlm. 198. 28 Ibid., hlm. 214 29 A. Baiquni, Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern, (Jakarta: Penerbit Pustaka, 1983), cet. I, hlm. 5. 30 Lihat Al-Quran, (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1404 H.), cet. V, hlm. 6. 31 Ibid., hlm. 459. 32 Ibid., hlm. 512. 33 Dikutip dari Syaikh Abdul Qadir Abdul Aziz, Keutamaan Ilmu dan Ahli Ilmu, (terj.) Abu ‘Abidah el-Qudsy, (Solo: Pustaka Al-‘Alaq, 2005), hlm. 59. 34 Dikutip dari Ibnu Qayyim Al-Jauzi, ‘Awn al-Ma’bud, Sharh Sunan Abi Daud, (Ed.) ‘Isam al-Din Al-Sababati, jilid. 6, (Kairo: Dar al-hadits, 2001), hlm. 473. 35 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, (Jakarta: Mizan, 1992), cet. II, hlm. 62.
37
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Pendidikan Islam Transformatif-Integratif: Zainullah dan Ali Muhtarom
DAFTARPUSTAKA Al-Quran,(Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1404 H.), cet. V. Abdullah,Amin,Desain Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN Sunan Kalijaga dalamIntegrasi Ilmu dan Agama, Interpretasi dan Aksi,(Bandung:Mizan,kerjasamadenganUIN Press, Yogyakarta, 2005). Abduh, Muhammad, Tafsir al-Manar, Juz III (Beirut: Darul Ma'arif, t.th). Abdul Qadir Abdul Aziz, Syaikh, Keutamaan Ilmu dan Ahli Ilmu, (terj.) Abu ‘Abidah el-Qudsy, (Solo: Pustaka Al-‘Alaq, 2005). ‘Ammarah, Muhammad. Al-Imam Muhammad ‘Abduh: Mujaddid al-Islam (Beirut: Al-Muassassah al-Islamiyyah li al-Dirasah wa al-Nasyr, 1981). Arifin, dkk, Syamsul, Spiritualitas Islam dan Peradaban Masa Depan, (Yogyakarta: Sipress, 1996). Arifin, HM, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991). Abidin Bagir, Zainal, dkk, Ilmu, Etika, dan Agama, (Yogyakarta; CRCS, 2006). Ali, Fachry, Agama, Islam, dan Pembangunan, (Yogyakarta: PLP2M, 1985), cet. I. Baiquni, A, Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern, (Jakarta: Penerbit Pustaka, 1983), cet. I. Dahlan, Moh, Relasi Sains Modern dan Sains Islam; Suatu Upaya Pencarian Paradigma Baru, dalam e-journal.umm.ac.id, diunduh pada 07 September 2013. Daradjad, Zakiah, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995). Ginanjar Agustian, Ary, ESQ: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosional dan Spiritual, (Jakarta: ARGA, 2005). Hitami, Muznir, Mengonsep Kembali Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Infnite Pess, 2004). Http://kamusbahasaindonesia.org/prinsip, vol.v, diakses tanggal 05September 2013. Prasetya, dkk, Teori Belajar, Motivasi dan Keterampilan Mengajar, (Jakarta: PAUPPAI Universitas Terbuka, 1996). G. Barbour, Ian, Issues in Science and Religion, (New York; Prentice-hall 1966). G. Barbour, Ian, When Science Meet Religion, (Harper San Francisco, 2000). Mustanshir, Rijal dan Munir, Misnan, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002). Mujib, Abdul, Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Pernada
38
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Pendidikan Islam Transformatif-Integratif: Zainullah dan Ali Muhtarom
Media, 2006) Nataatmadja, Hidajat, Krisis Global Ilmu Pengetahuan dan Penyembuhannya (alFurqan) -Seri Psi-War, No. 001, (Bandung: Iqra, 1982). Purwadi, Agus, Teologi Filsafat Sain, (Malang: UMM-Press, 2002). S. Suriasumantri, Jujun, (ed.), Ilmu dalam Perspektif, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992). Soroush, Abdul Karim, Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, (terj.) Abdullah Ali, (Bandung: Mizan, 2002). Qayyim Al-Jauzi, Ibnu, ‘Awn al-Ma’bud, Sharh Sunan Abi Daud, (ed.), ‘Isam al-Din Al-Sababati, jilid. 6, (Kairo: Dar al-hadits, 2001). Quraish Shihab, M, Membumikan Al-Quran, (Jakarta: Mizan, 1992), cet. II.
39
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam: Wahyudin Noor
REKONSTRUKSI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM Oleh : Wahyudin Noor
Abstrak Kedudukan pendidikan agama Islam sangat penting dan strategis dalam pelaksanaan pendidikan di setiap jenjang dan jenis pendidikan. Namun dalam realitasnya, pelaksanaan pendidikan agama Islam yang di selenggarakan oleh sekolah/madrasah masih menuai permasalahan dan kritik dari berbagai pihak. Dan untuk mengatasi segala kekurangan dan kelemahan praktek pendidikan agama Islam di lapangan setidaknya harus ditempuh jalan perubahan. Untuk itu, dibutuhkan bangun dan kaji ulang melalui apa yang dinamakan rekonstruksi pendidikan agama Islam. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui : pertama, menginterkoneksikan pendidikan agama Islam dengan pelajaran lain; kedua, melakukan atau menciptakan suasana religius di sekolah/madrasah. Kata Kunci : Rekonstruksi, Pendidikan Agama Islam Pendahuluan Masalah pendidikan, termasuk pendidikan agama Islam tidak akan pernah selesai dibicarakan sampai kapan pun. Hal ini setidak-tidaknya didasarkan pada beberapa alasan : pertama, adalah merupakan fitrah setiap orang bahwa mereka menginginkan pendidikan yang lebih baik sekalipun mereka kadang-kadang belum tahu mana sebenarnya pendidikan yang lebih baik itu. Karena merupakan fitrah, sehingga sudah menjadi takdirnya pendidikan itu tidak pernah selesai diperbincangkan. Kedua, teori-teori pendidikan akan selalu ketinggalan zaman, karena ia dibuat berdasarkan kebutuhan masyarakat yang selalu berubah pada setiap tempat dan waktu. Karena adanya perubahan itu, maka masyarakat tidak pernah puas dengan pendidikan yang ada. Ketiga, perubahan pandangan hidup juga ikut berpengaruh terhadap ketidakpuasan seseorang akan keadaan pendidikan, sehingga pada suatu saat seseorang telah puas dengan sistem pendidikan yang ada karena sesuai dengan pandangan hidupnya, dan pada saat yang lain seseorang bisa terpengaruh oleh pandangan hidup lainnya yang pada gilirannya berubah pula pendapatnya tentang pendidikan yang semula dianggap memuaskan tersebut.1 1 Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, (Jakarta : Rajawali Pers, 2011), h. 160
40
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam: Wahyudin Noor
Kenyataan di atas sebanding lurus dengan realitas yang ada, di mana selama ini pendidikan agama Islam selalu dianggap kurang berhasil (untuk tidak mengatakan “gagal”) dalam menggarap sikap dan perilaku keberagamaan peserta didik serta membangun moral dam etika bangsa. Indikatornya antara lain : pertama, membudayanya ketidakjujuran dan rasa tidak hormat anak kepada orang tua dan guru; kedua, meningkatnya tindak kekerasan atau pertengkaran di kalangan remaja dan pelajar; ketiga, maraknya penggunaan narkoba serta minuman keras di kalangan pelajar dan remaja; keempat, menurunnya semangat belajar, etos kerja dan kedisiplinan; keempat, membudayanya nilai materialisme dan hedonisme pada remaja dan pelajar; 2 kelima, mengguritanya budaya permissivness; keenam, pergaulan bebas di antara remaja dan para pelajar; dan lainlain. Dari indikator tersebut menimbulkan keprihatinan sekaligus juga memunculkan penilaian dari berbagai pihak, seperti Mochtar Buchori sebagaimana dikutip Muhaimin, menilai kegagalan pendidikan agama disebabkan karena praktek pendidikannya hanya memperhatikan aspek kognitif semata dari pertumbuhan kesadaran nilai-nilai (agama), dan mengabaikan pembinaan aspek afektif dan konatif-volutif, yakni kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilainilai ajaran agama. Akibatnya terjadi kesenjangan antara pengetahuan dan pengalaman, antara gnosis dan praxis dalam kehidupan nilai agama. Atau dalam praktek pendidikan agana berubah menjadi pengajaran agama, sehingga tidak mampu membentuk pribadi-pribadi islami. 3 Selain itu, Hasan Nasution pun memberikan komentar, pendidikan agama selama ini telah banyak dipengaruhi oleh trend Barat, yang mngutamakan dan mengedepankan pola pengajaran daripada pendidikan moral, padahal intisari dari pendidikan agama sesungguhnya adalah pendidikan moral.4 Samsul Nizar menyebutkan bahwa pendidikan agama Islam pada saat ini lebih berorientasi pada belajar tentang agama. Karena itu, tidak aneh kalau di negeri ini sering dijumpai seseorang yang banyak mengetahui nilai-nilai ajaran agama, tetapi perilakunya tidak relevan dengan nilai-nilai ajaran agama yang diketahuinya. 5 Amin Abdullah seperti dikutip Muhaimin, mengatakan bahwa 2
Ibid., h. 153-154 Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2008), Cet. Ke-4, h. 88 4 Harun Nasution, Islam Rasional : Gagasan dan Pemikiran, (Bandung : Mizan, 1995), h. 428 5 Samsul Nizar dan Muhammad Syaifudin, Isu-isu Kontemporer tentang Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 2010), h. 240 3
41
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam: Wahyudin Noor
pendidikan agama lebih banyak terkonsentrasi pada persoalan-persoalan teoritis keagamaan yang bersifat kognitif, dan kurang concern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang kognitif menjadi “makna” dan “nilai” yang perlu diinternalisasikan dalam diri peserta didik lewat berbagai cara, media dan forum.6 Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa berbagai kritik dan keprihatinan atas kelemahan pelaksanaan dan orientasi pendidikan agama Islam yang lebih banyak bersifat teoritis, normatif dan kognitif. Tampaknya model pendidikan agama Islam yang seperti itulah yang menyebabkan terjadinya keterpisahan dan kesenjangan antara ajaran agama dengan realitas sosial dan perilaku para pemeluknya. Lantas, pertanyaannya adalah, pertama, mampukah kegiatan pendidikan agama Islam juga berdialog dan berinteraksi dengan perkembangan zaman modern yang ditandai dengan berbagai kemajuan dalam segala lini kehidupan? Kedua, mampukah kegiatan pendidikan agama Islam tidak melulu dikesankan normatif, teoritis dan kognitif an sich tapi juga dapat menyentuh sisi terdalam peserta didik sekaligus termanifestasikan dalam perilaku kehidupan peserta didik? A. Pembahasan 1. Kerancuan Istilah Banyak orang merancukan pengertian istilah “pendidikan agama Islam” dan “pendidikan Islam”. Kedua istilah ini dianggap sama, sehingga ketika seseorang berbicara tentang pendidikan Islam ternyata isinya terbatas pada pendidikan agama Islam, atau sebaliknya ketika seseorang berbicara tentang pendidikan agama Islam justru yang dibahas di dalamnya adalah tentang pendidikan Islam. Padahal kedua istilah tersebut memiliki substansi yang berbeda. 7 Meski tidak dapat dipungkuri, perbedaan tersebut cukup prinsipil namun maksud dan tujuan dari penyebutan kedua istilah tersebut mengarah kepada satu makna, yakni pendidikan yang berlandaskan pada ajaran-ajaran Islam, atau pada intinya pendidikan Islam maupun pendidikan agama Islam merupakan bagian dari usaha-usaha komunitas muslim untuk mendidik komunitasnya, untuk mengetahui warisan pengetahuan Islam, melalui sumber utamanya yakni alQur’an dan Sunnah.8 6
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, (Jakarta : Rajawali Pers, 2012), Cet. Ke-5, h. 23-24 7 Muhaimin, Pemikiran…., h. 162-163 8 H. Anshori LAL, Transformasi Pendidikan Islam, (Jakarta : Gaung Persada Press, 2010), h. 20
42
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam: Wahyudin Noor
Pendidikan agama Islam telah dibakukan sebagai nama kegiatan mendidikkan agama Islam. Pendidikan agama Islam sebagai mata pelajaran seharusnya dinamakan “Agama Islam”, karena yang diajarkan adalah agama Islam bukan pendidikan agama Islam. Nama kegiatannya atau usaha-usaha dalam mendidikkan agama Islam disebut sebagai pendidikan agama Islam. Kata “pendidikan” ini ada pada dan mengikuti setiap mata pelajaran. Dalam hal ini pendidikan agama Islam sejajar atau sekategori dengan pendidikan Matematika (nama mata pelajarannya adalah Matematika) atau pendidikan lainnya dan seterusnya. Sedangkan pendidikan Islam adalah nama sistem, yaitu sistem pendidikan yang islami, yang memiliki komponen-komponen yang secara keseluruhan mendukung terwujudnya sosok muslim yang diidealkan. Pendidikan Islam ialah pendidikan yang teori-teorinya disusun berdasarkan al-Qur’an dan Hadis (ayatayat qauliyah) yang didukung oleh hasil penelitian terhadap ayat-ayat kauniyah, atau sebaliknya hasil penelitian terhadap ayat-ayat kauniyah (empiris) dikonsultasikan dengan ayat-ayat qauliyah.9 Dengan demikian, pendidikan agama Islam merupakan salah atu bagian dari pendidikan Islam, yang bertujuan menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengamalan serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan, ketakwaannya, berbangsa dan bernegara. 10 Istilah pendidikan Islam dapat dipahami dalam beberapa perspektif, yaitu : a. Pendidikan menurut Islam, atau pendidikan yang berdasarkan Islam, dan/atau sisitem pendidikan yang islami, yakni pendidikan yang dipahami dan dikembangkan serta disusun dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkadung dalam sumber dasarnya, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah/Hadis. Dalam pengertian yang pertama ini, pendidikan Islam dapat berwujud pemikiran dan teori pendidikan yang mendasarkan diri atau dibangun dan dikembangkan dari sumber-sumber dasar tersebut. Dalam realitasnya, pendidikan yang dibangun dan dikembangkan dari kedua sumber dasar tersebut terdapat beberapa perspektif, yaitu : (1) pemikiran, teori dan praktek penyelenggaraannya melepaskan diri dan/atau kurang Muhaimin, Pemikiran…., h. 163 Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi; Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2006), Cet. Ke-6, h. 135 9
10
43
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam: Wahyudin Noor
mempertimbangkan situasi konkret dinamika pergumulan masyarakat muslim (era klasik dan kontemporer) yang mengitarinya; (2) pemikiran, teori dan praktek penyelenggaraannya harus mempertimbangkan pengalaman dan khazanah intelektual ulama klasik; (3) pemikiran, teori dan praktek penyelenggaraannya hanya mempertimbangkan situasi sosio-historis dan kultural masyarakat kontemporer, dan melepaskan diri dari pengalamanpengalaman serta khazanah intelektual ulama klasik; (4) pemikiran, teori dan praktek penyelenggaraannya mempertimbangkan pengalaman dan khazanah intelektual muslim klasik serta mencermati situasi sosio-historis dan kultural masyarakat kontemporer. b. Pendidikan ke-Islam-an atau pendidikan agama Islam, yakni upaya mendidikkan agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya, agar menjadi way of life (pandangan dan sikap hidup) seseorang. Dalam pengertian yang kedua ini dapat berwujud : (1) segenap kegiatan yang dilakukan seseorang untuk membantu seorang atau sekelompok peserta didik dalam menanamkan dan/atau menumbuhkembangkan ajaran Islam dan nilainilainya untuk dijadikan sebagai pandangan hidupnya, yang diwujudkan dalam sikap hidup dan dikembangkan dalam keterampilan hidupnya seharihari; (2) segenap fenomena atau peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih yang dampaknya ialah tertanamnya dan/atau tumbuhkembangnya ajaran Islam dan nilai-nilainya pada salah satu atau beberapa pihak. c. Pendidikan dalam Islam, atau proses dan praktek penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam sejarah umat Islam. Dalam arti proses bertumbuhkembangnya pendidikan Islam dan umatnya, baik Islam sebagai agama, ajaran maupun sistem budaya dan peradaban, sejak zaman Nabi Muhammad SAW sampai sekarang. Jadi, dalam pengertian yang ketiga inilah istilah pendidikan Islam dapat dipahami sebagai proses pembudayaan dan pewarisan ajaran ajaran agama, budaya dan peradaban umat Islam dari generasi ke generasi sepanjang sejarahnya. Dalam pengertian yang ketiga ini, realitas historis sistem pendidikan Islam dapat mengalami kesenjangan dengan ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam sumber dasarnya, yaitu al-Qur’an dan alSunnah/Hadis.11
11 Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum Hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan, (Bandung : Nuansa, 2003), h. 30
44
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam: Wahyudin Noor
2. Tantangan Pendidikan Agama Islam Thomas Lickona (1993), mengemukakan bahwa ada sepuluh tanda-tanda zaman yang harus diwaspadai karena jika tanda-tanda itu sudah ada, maka itu berarti bahwa sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran. Tanda-tanda yang dimaksud adalah : (1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja; (2) pengunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk; (3) pengaruh peer-group yang kuat dalam tindak kekerasan; (4) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol, dan seks bebas; (5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk; (6) menurunnya etos kerja; (7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru; (8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara; (9) membudayanya ketidakjujuran; dan (10) adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama. Jika mencermati beberapa indikator tersebut di atas, ternyata kesepuluh tanda zaman tersebut sudah ada di Indonesia. Padahal di dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pada pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa pendidikan di Indonesia didefinisikan sebagai “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara” (UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pasal1 ayat 1). Ada satu hal yang perlu digarisbawahi dari definisi tersebut, yaitu pendidikan merupakan upaya pengembangan potensi diri anak agar memiliki kekuatan spritual keagamaan. Sebagai implikasinya siapa pun dan guru apa pun yang melaksanakan aktivitas pendidikan harus melakukan upaya spritualisasi pendidikan, atau berupaya menginternalisasi nilai-nilai atau spirit agama melalui proses pendidikan ke dalam seluruh aspek pendidikan di sekolah/madrasah. Untuk menjabarkan pengertian tersebut antara lain dilakukan dengan cara memadukan nilai-nilai sains dan teknologi serta seni dengan keyakinan dan kesalehan dalam diri peserta didik. Ketika belajar Biologi misalnya, maka pada waktu yang sama diharapkan pelajaran itu dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT, karena di dalam ajaran agama diterangkan bahwa Tuhan-lah yang telah menciptakan keanekaragaman (biodiversity) di muka bumi ini dan semuanya tunduk pada hukum-hukum-Nya.12 Di sisi lain, Imam Tholkhah, seperti dikutip Muhaimin, telah mengidentifikasi bahwa tantangan pendidikan agama Islam, yaitu : 12
Muhaimin, Pemikiran…., h. 152-155
45
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam: Wahyudin Noor
a. Guru agama harus membebaskan diri dari paradigma mengajar lama yang berciri dogmatis-eksklusif dan menekankan hafalan. Pendidikan agama harus menghasilkan insan muda yang tahu menghargai perbedaan dan menghayati nilai-nilai kemanusiaan universal. b. Desain kurikulum pendidikan agama masih dogmatis dan informatif. Untuk itu dibutuhkan kreativitas dan dedikasi guru agama untuk mengajarkan nilai-nilai universal agama kepada semua muridnya. c. Masyarakat cenderung memandang bahwa pendidikan agama di sekolah selama ini tidak berhasil mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan diharapkan masyarakat. Penilaian masyarakat ini pada umumnya didasarkan pada pengamatan terhadap fenomena kehidupan masyarakat Indonesia. Khususnya bagi kalangan generasi muda yang sebagian besar cenderung memperhatikan berbagai tingkah laku yang justru bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama yang telah diajarkan kepada mereka di bangku sekolah. d. Terjadinya krisis moral dan krisis sosial yang kini semakin menggejala dalam kehidupan masyarakat, diduga sebagai salah satu penyebabnya adalah gagalnya pelaksaan pendidikan agama Islam di sekolah. e. Masih banyaknya orang mempertanyakan keberhasilan pendidikan agama di sekolah dikarenakan beberapa hal di antaranya : (1) kenyataan anak didik setelah belajar 12 tahun (SD, SLTP dan SMU/K), umumnya tidak mampu membaca al-Qur’an dengan baik, tidak melakukan sholat dengan tertib, tidak melakukan puasa di Bulan Ramadhan dan kurang sopan santun; (2) masih seringnya terjadi tawuran antarpeserta didik sekolah yang tidak jarang memakan korban jiwa, juga masih banyaknya pelanggaran susila serta tingginya persentase pengguna obat terlarang dan minuman keras di kalangan anak sekolah; (3) masih meluasnya korupsi, kolusi dan nepotisme di semua sektor kemasyarakatan, merupakan isyarat masih lemahnya kendali akhlak di dalam diri seseorang, sehingga ia bersifat konsumtif, berperilaku hidup mewah, dan mudah tergoda untuk berbuat tidak baik. Ini menggambarkan kurang berperannya pendidikan agama. f. Yang menjadi ukuran berhasil tidaknya pendidikan agama di sekolah adalah sejauhmana pengamalan ajaran agama yang telah diajarkan di sekolah. Namun, pada kenyataannya berbagai kajian dan penelitian tentang penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah (SD, SMP dan SMU) yang dilakukan oleh Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan
46
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam: Wahyudin Noor
selama ini tidak memiliki korelasi yang signifikan dengan perilaku dalam ketaatan beragama bagi anak didik. Temuan ini menunjukkan, bahwa pendidikan agama yang diselenggarakan di sekolah belum efektif. Indikatornya adalah, bahwa anak didik yang memperoleh nilai tinggi dalam mata pelajaran pendidikan agama tidak menunjukkan ketaatan dalam melaksanakan ajaran agama. g. Ketidakefektifan pendidikan agama yang diselenggarakan di sekolah itu antara lain disebabkan : (1) pendidikan agama di sekolah lebih mengutamakan orientasi kognisi; (2) belum ada pendidikan agama di sekolah yang diselenggarakan secara sistematis dan terpadu bagi anak didik; (3) pelaksanaan evaluasi pendidikan agama di sekolah cenderung menekankan pada aspek kognitif. Ini menunjukkan bahwa pelaksanaan pendidikan agama di sekolah, sebagian besar kurang efektif. h. Pendidikan agama di sekolah selama ini tidak berhasil meningkatkan etika dan moralitas peserta didik. Metode pendidikan agama masih sebatas mentrasfer materi pelajaran agama, sehingga peserta didik hanya menghafalkan materi pelajaran agama, tetapi kurang bisa memahaminya dengan baik. Sebagaimana diungkapkan Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Sahal Mahfudz bahwa “selama ini, diakui atau tidak, pendidikan formal (agama) di sekolah gagal. Pendidikan agama di sekolah ternyata belum bisa memengaruhi sistem etika dan moral peserta didik. Buktinya konflik di masyarakat tetap saja ada”. Hal itu di antaranya menurut beliau adalah karena pendidikan agama di sekolah hanya merupakan pelajaran menghafal ajaran agama. Akibatnya pendidikan agama di sekolah hanya mampu mengantarkan peserta didik mendapatkan nilai bagus dalam ujian. Pendidikan agama di sekolah tidak mampu menampilkan perbaikan moral. Menurutnya, “buktinya korupsi tetap merajalela, penyalahgunaan wewenang dan ketidakberhasilan semakin semarak. Demikian juga tawuran pelajar tetpa saja terjadi dan penyalahgunaan narkotika di kalang pelajar semakin menjadi”. i. Maslaah pendidikan agama Islam yang berhubungan dengan peserta didik, yaitu : (1) minat belajar/mendalami pengetahuan agama Islam rendah; (2) minat belajar/kemampuan membaca kitab suci al-Qur’an rendah, meskipun akhir-akhir ini mulai membaik; (3) fondasi keimanan dan ketakwaan peserta didik terkesan masih relatif rentan; (4) perilaku menyimpang di bidang akhlak/moral keagamaan peserta didik, pergaulan bebas/seks bebas terkesan sangat rentan/tinggi; (5) pemakaian narkoba,
47
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam: Wahyudin Noor
tindak kriminal dan anarkhis sebagian peserta didik sekolah umum terkesan rentan/tinggi.13 3. Paradigma Pengembangan Pendidikan Agama Islam Paradigma atau pun pandangan manusia terhadap peranan pendidikan dalam membantu mewujudkan eksistensi dirinya secara fungsional di tengahtengah masyarakat saat ini semakin jelas. Manusia rela mengorbankan biaya, waktu, tenaga bahkan perasaannya demi memperoleh pendidikan yang diharapkan,14 terlebih ketika pendidikan itu dapat membantu mengatasi problem moral dan peradaban bangsa yang bermartabat. Dan dari beberapa kajian tentang paradigma pengembangan pendidikan Islam, ditemukannya tiga peta paradigma pengembangan pendidikan Agama Islam, yaitu paradigma dikotomis, paradigma mechanism dan paradigma oragnism atau sistemik.15 a. Paradigma Dikotomis Di dalam paradigma ini, aspek kehidupan dipandang dengan sangat sederhana, dan kata kuncinya adalah dikotomi atau diskrit. Segala sesuatu hanya dilihat dari dua sisi yang berlawanan, seperti laki-laki dan perempuan, ada dan tidak ada, bulat dan tidak bulat, pendidikan keagamaan dan nonkeagamaan atau pendidikan agama dan pendidikan umum, demikian seterusnya. Pandangan dikotomis tersebut pada gilirannya dikembangkan dalam melihat dan memandang aspek kehidupan dunia dan akhirat, kehidupan jasmani dan rohani, sehingga pendidikan agama Islam hanya diletakkan pada aspek kehidupan akhirat saja atau kehidupan rohani saja. Seksi yang mengurus masalah keagamaan disebut sebagai seksi kerohanian. Dengan demikian pendidikan keagamaan dihadapkan dengan pendidikan non-keagamaan, pendidikan keislaman dengan non-keislaman, pendidikan agama dengan pendidikan umum, dan seterusnya. Pendidikan agama Islam seolah-olah hanya mengurusi persoalan ritual dan spritual, sementara kehidupan ekonomi, politik, seni-budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni, dan sebagainya dianggap sebagai urusan duniawi yang menjadi bidang garap pendidikan non-agama. Pandangan dikotomis inilah yang menimbulkan dualisme dalam sistem pendidikan. Istilah pendidikan agama dan pendidikan umum, atau ilmu agama dan ilmu umum sebenarnya muncul dari paradigma dikotomis 13
Ibid., h. 156-159 Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam, (Jakarta : Grasindo, 2001), h. 2 15 Muhaimin, Pengembangan Kurikulum...., h. 31
14
48
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam: Wahyudin Noor
tersebut.16 Menurut Azyumardi Azra, pemahaman semacam itu di Indonesia muncul ketika umat Islam Indonesia mengalami masa penjajahan yang sangat panjang, di mana umat Islam Indonesia mengalami keterbelakangan dan disintegrasi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.17 Paradigma dikotomis ini mempunyai implikasi terhadap pengembangan pendidikan agama Islam yang lebih berorientasi pada keakhiratan, sedangkan masalah dunia dianggap tidak penting, serta menekankan pada pendalaman al-‘ulum al-diniyah (ilmu-ilmu keagamaan) yang merupakan jalan pintas untuk menuju kebahagiaan akhirat, sementara sains (ilmu pengetahuan) dianggap terpisah dari agama. Demikian pula pendekatan yang dipergunakan lebih bersifat keagamaan yang normatif, doktriner dan absolutis. Peserta didik diarahkan untuk menjadi pelaku yang loyal, memiliki sikap komitmen dan dedikasi yang tinggi terhadap agama yang dipelajari. Sementara itu, kajian-kajian keilmuan yang bersifat empiris, rasional, analitiskritis, dianggap dapat menggoyahkan iman, sehingga perlu ditindih oleh pendekatan keagamaan yang normatif dan doktriner tersebut. b. Paradigma Mechanism Paradigma mechanism memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek, dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya, bagaikan sebuah mesin yang terdiri atas beberapa komponen atau elemen-elemen, yang masing-masing menjalankan fungsinya sendiri-sendiri, dan antara satu dengan lainnya bisa saling berkonsultasi atau tidak. Aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan itu sendiri terdiri atas : nilai agama, nilai individu, nilai sosial, nilai politik, nilai ekonomi, nilai rasional, nilai estetik, nilai biofisik dan lain-lain. Dengan demikian, aspek atau nilai agama merupakan salah satu aspek atau nilai kehidupan dari aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan lainnya. Hubungan antara nilai agama dengan nilai-nilai lainnya kadang-kadang bersifat horizontal-lateral (independen) atau bersifat lateral-sekuensial, tetapi tidak sampai kepada vertikal linear.18
16
Ibid., h. 31-32 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, (Jakarta : Logos, 1999), h. 159-160 18 Muhaimin, Paradigma…, h. 43 17
49
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam: Wahyudin Noor
Relasi yang bersifat horizontal-lateral (independen), mengandung arti bahwa beberapa mata pelajaran (mata kuliah) yang ada dan pendidikan agama mempunyai hubungan sederajat yang independen, dan tidak saling berkonsultasi. Relasi yang bersifat lateral-sekuensial, berarti di antara masing-masing mata pelajaran tersebut mempunyai relasi sederajat yang bisa saling berkonsultasi. Sedangkan relasi vertikal-linear berarti mendudukkan pendidikan agama sebagai sumber nilai atau sumber konsultasi, sementara seperangkat mata pelajaran yang lain adalah termasuk pengembangan nilainilai insani yang mempunyai relasi vertikal-linear dengan agama.19 Dalam konteks tersebut, selama ini di sekolah-sekolah masih ada proses sekuralisasi ilmu, yakni pemisahan antara ilmu agama dan pengetahuan umum. Pandangan ini jelas bertentangan dengan konsep ajaran Islam sendiri yang bersifat integral; Islam mengajarkan keharusannya adanya keseimbangan antara urusan dunia (umum) dengan akhirat (agama).20 Akibat dari sekuralisasi tersebut, maka nilai-nilai keimanan dan ketakwaan seolaholah hanya merupakan bagian dari mata pelajaran pendidikan agama, sementara mata pelajaran yang lain mengajarkan bidang ilmunya seolah-olah tidak ada hubungannya dengan masalah nilai keimanan dan ketakwaan. Paradigma tersebut tampak dikembangkan pada sekolah yang di dalamnya diberikan seperangkat mata pelajaran, salah satunya adalah mata pelajaran pendidikan agama yang hanya diberikan 2 atau 3 jam pelajaran per minggu, dan didudukkan sebagai mata pelajaran yakni sebagai upaya pembentukkan kepribadian yang religius. Kemudian, tentang pembinaan pendidikan agama Islam secara terpadu di sekolah umum misalnya, antara lain menghendaki agar pendidikan agama dan sekaligus para guru agamanya mampu memadukan antara mata pelajaran agama dengan pelajaran umum. Kebijakan ini akan sulit diimplementasikan pada sekolah yang cukup puas hanya mengembangkan pola relasi horizontal-lateral (independen). Barangkali kebijakan tersebut relatif mudah diimplementasikan pada lembaga pendidikan yang mengembangkan pola literal-sekuensial. Hanya saja implikasi dari kebijakan tersebut adalah para guru agama harus menguasai ilmu agama dan memahami substansi ilmu-ilmu umum, sebaliknya guru umum dituntut untuk menguasai ilmu umum dan memahami ajaran dan nilai-nilai agama. 19
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum...., h. 36 Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta : Ciputat Press Group, 2007), Cet. Ke-2, h. xi 20
50
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam: Wahyudin Noor
Bahkan guru agama dituntut untuk mampu menyusun buku-buku teks keagamaan yang dapat menjelaskan hubungan antara keduanya. Suasana tersebut kadang-kadang menimbulkan ketegangan pada diri peserta didik, terutama jika kedua-duanya (baik pendidikan agama maupun pendidikan umum) saling memaksakan kebenaran pandangannya. Agama bertolak dari keimanan terhadap kebenaran wahyu Ilahi, sedangkan ilmu pengetahuan bertolak dari fenomena empiris. Dari sini peserta didik tampaknya diuji pandangannya. Ketika pandangan agama mendominasi pemikirannya, kadang-kadang ada kecenderungan untuk bersikap pasif dan statis atau fatalistik, sedangkan bila ilmu pengetahuan mendominasi pemikirannnya, maka ada kecenderungan untuk bersikap split of personality.21 c. Paradigma Organism Dalam konteks pendidikan Islam, paradigma organism bertolak dari pandangan bahwa aktivitas kependidikan merupakan suatu sistem yang terdiri atas komponen-komponen yang hidup bersama dan bekerja sama secara terpadu menuju tujuan tertentu, yaitu terwujudnya hidup yang religius atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai agama. Pandangan semacam itu menggarisbawahi pentingnya kerangka pemikiran yang dibangun dari fundamental doctrines dan fundamental values yang tertuang dan terkandung dalam al-Qur’an dan al-Sunnah Shahihah sebagai sumber pokok. Ajaran dan nilai-nilai Ilahi/agama/wahyu didudukkan sebagai sumber konsultasi yang bijak, sementara aspek-aspek kehidupan lainnya didudukkan sebagai nilai-nilai insani yang mempunyai hubungan vertikal-linear dengan nilai Ilahi/agama. Melalui upaya semacam itu, proses integrasi antara ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum ini sebagai usaha untuk mengembalikan dunia pendidikan kepada ajaran agama yang sebenarnya,22 maka sistem pendidikan diharapkan dapat mengintegrasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, nilai-nilai agama dan etik, serta mampu melahirkan manusia-manusia yang menguasai dan menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, memiliki kematangan profesional dan sekaligus hidup di dalam nilai-nilai agama. Paradigma tersebut tampaknya mulai dirintis dan dikembangkan dalam sistem pendidikan di madrasah, yang dideklarasikan sebagai sekolah umum yang berciri khas agama Islam. Dengan demikian, maka pendidikan, seperti 21 22
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum...., h. 37-38 Armai Arief, Reformulasi…, h. xii
51
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam: Wahyudin Noor
yang dikemukakan oleh Moh. Roqib, bukan hanya sebuah kerja mekanis, melainkan sebuah proses yang agung guna mengembalikan dan meningkatkan potensi-potensi dan moral utama manusia.23 Tampaknya, fenomena pengembangan pendidikan agama Islam di sekolah sangat bervariasi. Dalam arti ada yang cukup puas dengan pola horizontal-lateral (independent), yakni bidang studi (non-agama) kadang-kadang berdiri sendiri tanpa dikonsultasikan dan berinteraksi dengan nilai-nilai agama, dan ada yang mengembangkan pola relasi lateral-sekuensial, yakni bidang studi (non-agama) dikonsultasikan dengan nilai-nilai agama. Ada pula yang mengembangkan pola vertikal-linear, mendudukkan agama sebagai sumber nilai atau sumber konsultasi dari berbagai bidang studi. Namun demikian, pada umumnya dikembangkan ke pola horizontal-lateral (independent), kecuali bagi lembaga pendidikan tertentu yang memiliki komitmen, kemampuan atau political will dalam mewujudkan relasi/hubungan lateral-sekuensial dan vertkal linear. Paradigma organism atau sistemik ini dapat dilakukan apabila para guru memahami keterkaitan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan dengan mata pelajaran/bidang studi yang dibinanya. Dalam konteks ini ada dua permasalahan yang dihadapi para guru, yaitu : (1) para guru harus melek (menguasai) bidang ilmunya; dan (2) para guru harus mampu menerjemahkan bidang ilmu tersebut dengan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan yang terkandung dalam ajaran agama Islam. Paradigma tersebut seyogyanya berjalan secara alamiah, tidak melalui proses yang mengada-ada. Sebab dalam kenyataannya ada beberapa konsep ilmu pengetahuan yang tidak bisa diterjemahkan ke dalam nilai-nilai tersebut. Melalui paradigma tersebut bukan berarti setiap pokok bahasan harus dilegalkan dengan ayatayat al-Qur’an dan al-Hadis, melainkan dari setiap pokok bahasan tersebut diambil hikmah yang dapat diambil peserta didik bagi kehidupan (nilai spiritual)-nya.24 Dengan demikian, diperlukan upaya spritualisasi pendidikan atau berupaya menginternalisasi nilai-nilai atau spirit agama melalui proses pendidikan ke dalam seluruh aspek pendidikan di sekolah-sekolah. Hal ini dimaksudkan untuk memadukan nilai-nilai sains dan teknologi serta seni dengan keyakinan dan kesalehan dalam diri peserta didik. 23 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam; Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, (Yogyakarta : LKiS, 2009), h. 87 24 Muhaimin, Pengembangan Kurikulum...., h. 41-43
52
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam: Wahyudin Noor
4. Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam a. Interkoneksi dengan Pelajaran Lain Guru adalah salah satu komponen pendidikan yang memiliki peran dan fungsi yang amat strategis. 25 Menurut Zakiyah Darajat, seperti dikutip Muhammad Fathurrohman, guru merupakan pendidik profesional karena secara implisit ia telah merelakan dirinya menerima dan memikul sebagian tanggung jawab pendidikan yang terpikul dipundak para orang tua.26 Dan guru Pendidikan Agama Islam sejatinya dan pada dasarnya melakukan kegiatan pendidikan Islam, yaitu “upaya normatif untuk membantu seseorang atau sekelompok orang (peserta didik) dalam mengembangkan pandangan hidup islami (bagaimana akan menjalani dan memanfaatkan hidup dan kehidupan sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai Islam), sikap hidup islami, yang dimanifestasikan dalam keterampilan hidup sehari-hari”. Ada empat pertanyaan dasar yang perlu dijawab agar seseorang menyadari pandangan hidupnya sebagai seorang muslim, yaitu : (1) apa yang akan diperbuat dengan pribadi/dirinya? (2) apa yang harus dilakukan terhadap lingkungan fisik atau alam sekitarnya? (3) apa makna lingkungan sosial bagi kehidupan pribadinya, dan sikap apa yang diambil terhadap lingkungan sosialnya? (4) apa yang akan diperbuat terhadap keturunan atau generasi penerusnya? Keempat pertanyaan ini merupakan inti dari pandangan hidup seseorang yang akan menentukan sikap hidup dan keterampilan hidupnya. Dalam konteks pengembangan pendidikan Islam, maka jawaban-jawaban terhadap keempat pertanyaan dasar tersebut digali dari ajaran dan nilai-nilai yang terkandung dalam teks-teks al-Qur’an dan al-Hadis yang didukung oleh hasil-hasil penelitian dan temuan-temuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Apa yang harus diperbuat peserta didik terhadap dirinya sendiri? Dalam QS al-Tahrim [66] ayat 6, dinyatakan bahwa manusia beriman hendaknya menjaga, memelihara dan memperbaiki kualitas diri dan keluarganya agar terhindar dari kesengsaraan hidup (neraka). Menjaga, memelihara dan memperbaiki kualitas diri sendiri ditinjau dari aspek fisik-biologis, berarti menjaga dan meningkatkan kualitas kesehatan anggota tubuhnya. Sedangkan ditinjau dari aspek psikologis menyangkut upaya pengembangan IQ (intelligent 25
Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam; Isu-isu Kontemporer tentang Pendidikan Islam, (Jakarta : Rajawali Pers, 2012), h. 343 26 Muhammad Fathurrohman dan Sulistyorini, Meretas Pendidikan Bekualitas dalam Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Teras, 2012), h. 20
53
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam: Wahyudin Noor
Quotient), EQ (Emotional Quotient), CQ (Creativity Quotient) dan SQ (Spiritual Quotient).27 Semuanya haruslah merupakan suatu kesatuan dan terintegrasi pada diri peserta didik. Terintegrasinya semua kecerdasan ini dalam diri peserta didik, pastilah akan melahirkan sosok yang cerdas, kreatif dan beradab.28 Apa yang akan diperbuat oleh peserta didik terhadap lingkungan fisiknya? Di dalam al-Qur’an telah dijelaskan bagaimana sikap yang harus dikembangkan seseorang terhadap lingkungan fisiknya, dan hal ini harus terimplisitkan dalam pendidikan ilmu pengetahuan alam (IPA). Di dalam QS al-Ghasyiyah [88] ayat 17-20 dijelaskan bahwa Allah SWT menunjukkan kepada manusia adanya fenomena-fenomena alam yang menakjubkan dan bermanfaat bagi manusia, yang menunjukkan bahwa alam semesta diciptakan oleh-Nya dengan rencana dan tujuan yang jelas. Semua itu perlu dipahami oleh manusia agar sadar akan kebesaran Allah SWT sebagai pencipta, serta untuk menyadarkan manusia akan ketentuan bahwa manusia harus mempertanggungjawabkan hidupnya kepada Tuhan. Dengan demikian, program pendidikan IPA (Biologi, Kimia, Fisika) perlu dirancang untuk diarahkan kepada upaya mengembangkan potensi peserta didik dengan cara memfasilitasi, memotivasi, membantu, membimbing, melatih, menginspirasi serta mengajar dan/atau menciptakan suasana agar para peserta didik dapat mensyukuri alam, memahami dan menikmatinya sebagai karunia Allah SWT, serta menjaga dan memelihara alam, tidak boleh merusaknya. Dengan perkataan lain, kompetensi dasar dan hasil belajar pendidikan IPA di sekolah/madrasah ditekankan pada pembentukkan kemampuan memahami dan menerima lingkungan fisik dengan rasa syukur, serta kemampuan memanfaatkannya tanpa merusak. Apa makna lingkungan sosial bagi dirinya dan apa pula yang akan diperbuat olehnya di lingkungan sosialnya? Di dalam QS al-Hujurat [49] ayat 118 antara lain dijelaskan bahwa manusia harus mengembangkan sikap bersaudara terhadap lingkungan sosialnya, dan dilarang menertawakan, mengolok-olok dan mengumpat. Manusia juga harus bersikap toleran, terbuka dan tidak bersikap eksklusif. Sebagai konsekuensi dari sikap bersaudara adalah ia harus mampu mendamaikan pihak-pihak yang konflik atau bertengkar. Dengan demikian, program pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan Pendidikan Kewarganegaraan perlu dirancang dan diarahkan untuk Muhaimin, Pemikiran…., h. 165-166 Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2007), h. 128 27
28
54
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam: Wahyudin Noor
mengembangkan potensi peserta didik dengan cara memfasilitasi, memotivasi, membantu, membimbing, melatih, menginspirasi serta mengajar dan/atau menciptakan suasana agar para peserta didik dapat memiliki sikap dan rasa persaudaraan terhadap berbagai jenis lingkungan sosial yang cakupan geografisnya makin luas, baik menyangkut lingkungan sosial lokal, daerah, nasional, regional maupun lingkungan sosial global. Sebagai konsekuensinya, pendidikan bahasa asing perlu dikembangkan secara intensif, baik untuk bahasa bahasa Arab, bahasa Inggris maupun bahasa asing lainnya, agar mereka mampu berkomunikasi secara langsung atau tidak langsung melalui bahasa lisan ataupun tulisan. Apa yang akan diperbuat terhadap keturunannya atau generasi mendatang? Hal ini merupakan konsekuensi dari pertanyaan-pertanyaan sebelumnya. Dalam arti, jika peserta didik telah mampu mengembangkan kualitas diri baik dari segi fisik-biologis (sehat kinestetis-sportif), psikis (IQ, EQ, CQ, SQ), sikap dan rasa persaudaraan terhadap terhadap berbagai jenis lingkungan sosial yang cakupan geografisnya makin luas (lingkungan sosial lokal, daerah, nasional, regional maupun lingkungan sosial global) dan kemampuan memahami dan menerima lingkungan fisik dengan rasa syukur, serta kemampuan memanfaatkannya tanpa merusaknya, maupun kemampuan bahasa asing, maka akan berdampak pada kualitas generasi mendatang. Karena itu, orang-orang Islam (para guru, tenaga kependidikan, peserta didik, dan lain-lain) setiap selesai sholat selalu berdoa dengan ungkapan : “Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah buat kami, dari pasanganpasangan hidup kami (para guru, tenaga kependidikan, peserta didik dan lain-lain) serta keturunan kami, kiranya mereka semua menjadi penyejuk-penyejuk mata (hati) kami dan orang lain melalui budi pekerti dan karya-karya mereka yang terpuji, dan jadikanlah kami (yang berdoa bersama pasangan dan anak keturunannya) secara khusus sebagai teladanteladan atau pengayom bagi orang-orang bertakwa” (QS al-Furqan [25] ayat 74.29 Maka demi lahirnya generasi-generasi muslim yang cerdas, kritis dan kreatif, 30 dan dengan memperhatikan standar isi kurikulum sekolah/madrasah yang memuat bahan kajian dan mata pelajaran sebagai berikut : (1) Pendidikan Agama Islam (meliputi : al-Qur’an-Hadis, Akidah-Akhlak, Fikih, Sejarah Kebudayaan Islam); (2) Pendidikan Kewarganegaraan, (3) Bahasa (Indonesia, Arab, Inggris); (4) Matematika, (5) Ilmu Pengetahuan Alam (Fisika, Kimia, Biologi); (6) Ilmu Pengetahuan Sosial (Sejarah, Ekonomi, Geografi, Sosiologi, Antropologi); (7) Seni Budaya, (8) Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan, 29 30
Muhaimin, Pemikiran…., h. 167-169 Syamsul Ma’arif, Revitalisasi…, h. 53
55
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam: Wahyudin Noor
(9) Keterampilan/Kejuruan (termasuk Teknologi Informasi Komunikasi); (10) Muatan Lokal, dan (11) Pengembangan Diri, maka model pengembangan kurikulum sekolah/madrasah dapat menggunakan pendekatan eklektik, yakni dapat memilih yang terbaik dari keempat pendekatan dalam pengembangan kurikulum (pendekatan subjek akademik, humanistis, rekonstruksi sosial dan teknologis) sesuai dengan karakteristik bahan-bahan kajian dan/atau mata pelajaran-mata pelajaran tersebut. Bertolak dari uraian di atas, maka model interkoneksi antara pendidikan agama Islam dengan mata pelajaran lainnya digambarkan sebagai berikut : Guru, Tenaga Kependidikan, Media/Sumber Belajar, Dana, dsb
1. Pendidikan Kewarganegaraan 2. Bahasa (Indonesia, Arab, Inggris) 3. Matematika 4. Ilmu Pengetahuan Alam 5. Ilmu Pengetahuan Sosial 6. Seni Budaya 7. Penjas dan Orkes 8. Keterampilan (termasuk TIK) 9. Muatan Lokal 10. Pengembangan Diri
IQ PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (Al-Qur’an-Hadis, Akidah Akhlak, Fikih, SKI
EQ CQ SQ
Environment (Lingkungan)
Dari ilustrasi di atas, dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Agama Islam yang terdiri dari al-Qur’an-hadis, Akidah Akhlak, Fikih dan Sejarah Kebudayaan Islam, merupakan core (inti), sehingga bahan-bahan kajian yang termuat dalam Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Seni Budaya, Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan, Keterampilan/Kejuruan (termasuk TIK), Muatan Lokal dan Pengembangan Diri, disamping harus mengembangkan kualitas IQ, EQ, CQ dan SQ, juga harus dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai Islam (PAI). 31
31
Muhaimin, Pemikiran…., h. 170-171
56
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam: Wahyudin Noor
b. Penciptaan Suasana Religius Religiusitas tidak identik dengan agama,32 karena aktivitas beragama tidak hanya terjadi ketika seseorang melakukan ritual (beribadah), tetapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya yang berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat dengan mata, tetapi juga aktivitas yang tidak tampak dan terjadi dalam diri seseorang. Penciptaan suasana religius berarti menciptakan suasana atau iklim kehidupan beragama. Dalam konteks pendidikan agama Islam di sekolah/madrasah berarti penciptaan suasana atau iklim kehidupan keagamaan Islam yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan hidup yang bernafaskan atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai agama Islam, yang diwujudkan dalam sikap hidup serta keterampilan hidup oleh para warga sekolah/madrasah. Apa saja yang religius itu? Dalam konteks pendidikan agama Islam ada yang bersifat vertikal dan horizontal. Yang vertikal berwujud hubungan manusia atau warga sekolah/madrasah dengan Allah (habl min Allah), misalnya shalat, doa, puasa, khatam al-Qur’an, dan lain-lain. Yang horizontal berwujud hubungan manusia atau warga sekolah/madrasah dengan sesamanya (habl min an-nas), dan hubungan mereka dengan lingkungan dan alam sekitarnya. Penciptaan suasana religius yang bersifat vertikal dapat diwujudkan dalam bentuk kegiatan shalat berjama’ah, puasa Senin dan kamis, doa bersama ketika akan dan/atau telah meraih sukses tertentu, menegakkan komitmen dan loyalitas terhadap moral force di sekolah/madrasah, dan lain-lain. Penciptaan Suasana religius yang bersifat horizontal lebih mendudukkan sekolah/madrasah sebagai institusi sosial, yang jika dilihat dari struktur hubungan antar manusianya, dapat diklasifikasikan ke dalam tiga hubungan, yaitu : (1) hubungan atasan-bawahan; (2) hubungan professional; dan (3) hubungan sederajat atau sukarela.33 B. Penutup Pendidikan Agama Islam sebagai satu pendukung utama sistem pendidikan nasional dalam rangka meningkatkan kualitas manusia Indonesia, memberi warna untuk merekonstruksi pendidikan agama Islam bagi peningkatan iman dan takwa (imtak) dalam upaya mengimbangi ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dewasa ini. Keseimbangan antara kemajuan iptek dan imtak diharapkan
32 33
Muhaimin, Paradigma…, h. 287 Muhaimin, Pengembangan Kurikulum...., h. 61-62
57
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam: Wahyudin Noor
menghasilkan cendekiawan muslim yang memiliki rasa tanggung jawab dunia dan akhirat. Untuk itu, peran pendidikan agama Islam dalam dunia akademik tidak hanya diletakkan dalam lingkup pembenaran (context of justification), melainkan yang lebih penting lagi diletakkan dalam lingkup penemuan (context of discovery), visi baru ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian, pendidikan agama Islam sejatinya harus melakukan interaksi, interkoneksi dan koordinasi dengan pelajaran-pelajaran lain. Hal ini dilakukan tentunya untuk memposisikan pendidikan agama Islam sebagai celupan (sibghah) bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sungguh-sungguh bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia. Selain itu, pendidikan agama Islam pun mengandung arti yang luas, karena tidak hanya menyangkut pendidikan dalam arti pengetahuan, namun juga pendidikan dalam arti kepribadian. Pendidikan dalam arti pengetahuan tidak akan ada artinya kalau tidak melibatkan pendidikan kepribadian, karena pendidikan agama Islam tidak hanya cukup diukur oleh ranah kognitif semata, namun melibatkan ranah afektif dan psikomotorik. Dan ini diharapkan akan dapat terwujud ketika pendidikan agama Islam dilakukan atau termanifestasikan dalam sebuah desain berupa penciptaan suasana religius di lingkungan sekolah/madrasah.
58
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam: Wahyudin Noor
DAFTAR PUSTAKA Arief, Armai, Reformulasi Pendidikan Islam, Jakarta, Ciputat Press Group, 2007 Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, Jakarta, Logos, 1999 Fathurrohman, Muhammad dan Sulistyorini, Meretas Pendidikan Bekualitas dalam Pendidikan Islam, Yogyakarta, Teras, 2012 Nasution, Harun, Islam Rasional : Gagasan dan Pemikiran, Bandung, Mizan, 1995 H. Anshori LAL, Transformasi Pendidikan Islam, Jakarta, Gaung Persada Press, 2010 Majid, Abdul dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi; Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2006 Ma’arif, Syamsul, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2007 Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum Hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan, Bandung, Nuansa, 2003 ___________, Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2008 ___________, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, Jakarta, Rajawali Pers, 2011 ___________, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, Jakarta, Rajawali Pers, 2012 Nata, Abuddin, Kapita Selekta Pendidikan Islam; Isu-isu Kontemporer tentang Pendidikan Islam, Jakarta, Rajawali Pers, 2012 ___________, Paradigma Pendidikan Islam, Jakarta, Grasindo, 2001 Nizar, Samsul dan Muhammad Syaifudin, Isu-isu Kontemporer tentang Pendidikan Islam, Jakarta, Kalam Mulia, 2010 Roqib, Moh., Ilmu Pendidikan Islam; Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, Yogyakarta, LKiS, 2009
59
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Tasawuf Dikalangan Pendidik Muhammadiyah Kabupaten Pandeglang: Agung Soleh Rahayu dan Naf’an Tarihoran
TASAWUF DIKALANGAN PENDIDIK MUHAMMADIYAH KABUPATEN PANDEGLANG Agung Soleh Rahayu Naf’an Tarihoran
Abstract Muhammadiyah as an Islamic purification movement hold of all forms of heresy and superstition, but many educators in the development of Muhammadiyah who learn and follow certain taswuf so that the relationship of Sufism and Muhammadiyah were initially positioned facing into position in line . This study descript that educators Muhammadiyah Pandeglang district formalize Sufism because they think are often diverted into a congregation with ritual practices are very strict. In Muhammadiyah no tawasulan, yasinan, tahlilan or manaqiban. But the practice of Sufism and Dhikr accepted by them into individual practices, with the aim to improve the ideal morality. Muhammadiyah educators strongly encourage their students to increase voluntary prayer, dhikr and wird, and move forward in a sincere attitude. Kata Kunci: Apriori terhadap Tasawuf, Akomodatif terhadap Tasawuf, Pendidikan Ahlak Mulia Melacak Tasawuf dalam Ideologi Muhamadiyah Muhammadiyah sebagai organisasi dan gerakan sosial keagamaan didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan (1868-1923) pada awal abad kedua puluh, tepatnya pada 8 Dzulhijjah 1330 H, bersesuaian dengan tanggal 18 November 1912. Pendirian organisasi ini, antara lain, dipengaruhi oleh gerakan tajdi>d (pembaruan pemikiran Islam) yang digelorakan oleh Muhammad ibn ‘Abd alWahhab (1703-1792) di Arab Saudi, Muhammad ‘Abduh (1849-1905), Muhammad Rasyi>d Ridha> (1865-1935) di Mesir, dan lain-lain. Masing-masing tokoh tersebut memiliki corak pemikiran yang khas, berbeda satu dengan yang lain. Jika Muhammad ibn ‘Abd al-Wahha>b menekankan pemurnian akidah, sehingga gerakannya lebih bersifat puritan (purifikasi), maka Muhammad ‘Abduh lebih menekankan pemanfaatan budaya modern dan menempuh jalur pendidikan, dan karena itu, gerakannya lebih bersifat modernis dan populis. Sementara itu, Rasyi>d Ridha> menekankan pentingnya keterikatan pada teksteks al-Qur’a>n dalam kerangka pemahaman Islam, yang dikenal dengan alRuju>’ ila> al-Qur’a>n wa al-Sunnah (kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah).
60
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Tasawuf Dikalangan Pendidik Muhammadiyah Kabupaten Pandeglang: Agung Soleh Rahayu dan Naf’an Tarihoran
Oleh karena itu, gerakannya lebih bersifat skriptualis (tekstual), yang kelak menjadi akar fundamentalisme (al-us}u>liyyah) di Timur Tengah.1 Dari telaah biografi KH. Ahmad Dahlan, terlihat bahwa betapa pendiri Muhammadiyah itu sangat terkesan dan sedikit banyak terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran tokoh di atas yang kemudian dipadukan dan dikontekstualisasikan dengan setting sosial dan budaya Jawa, dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Ketika itu, masyarakat Indonesia berada dalam kondisi terjajah, terbelakang, mundur, miskin, dan keberagamaan sebagian mereka cenderung mengidap penyakit TBC (Tahayul, Bid’ah, dan Churafat). Sebagai gerakan tajdi>d (pembaruan), dalam memahami dan melaksanakan ajaran Islam, Muhammadiyah memang mengembangkan semangat tajdi>d dan ijtiha>d (mendayagunakan nalar rasional dalam memecahkan dan mengambil kesimpulan berbagai masalah hukum dan lainnya yang tidak ada dalilnya secara eksplisit dalam al-Qur’an dan al-sunnah), serta menjauhi sikap taklid (mengikuti ajaran agama secara membabi buta, tanpa disertai pemahaman yang memadai terhadap dalil-dalilnya), sehingga di samping dikenal sebagai gerakan sosial keagamaan juga dikenal sebagai gerakan tajdi>d. Bagi KH Ahmad Dahlan yang aktivis Budi Utomo itu, setiap warga harus membangun di dalam dirinya etos kehidupan dan etos sosial sebagai seorang guru dan murid sekaligus. Etos guru-murid adalah inti kekuatan ijtiha>d dan juga inti kekuatan gerakan sosial KH Ahmad Dahlan dalam usahanya mencairkan kebekuan ritual, sehingga mempunyai fungsi pragmatis sebagai pemecahan problem sosial bagi pencarian feodalisasi keagamaan dan pendidikan yang cenderung maskulin (kelelakian). Seluruh warga, laki-laki dan perempuan, digerakkan untuk bekerja sebagai guru sekaligus murid di dalam banyak bidang sosial dan kegamaan. Kasus penafsiran surat al-Mâ’u>n sebagai dasar kelahiran lembaga panti asuhan mencerminkan ide dasar metodologi pragmatis etos guru-murid dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an.2 Sebagai pelopor gerakan pembaruan pemikiran Islam yang lebih mengutamakan aspek rasional dalam beragama (meskipun akhir-akhir ini tidak sevokal dan seagresif dahulu) dan menekankan pentingnya peranan akal serta pendidikan akal, ternyata dalam praktik pemimpin dan anggotanya banyak yang mencerminkan dan menekankan pentingnya kehidupan spiritual yang sangat 1 Syafiq
Al-Mughni, Nilai Nilai Islam: Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2001), hlm 34 2 Abdul Munir Mulkhan, Menggugat Muhamadiyah (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003),hlm 63
61
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Tasawuf Dikalangan Pendidik Muhammadiyah Kabupaten Pandeglang: Agung Soleh Rahayu dan Naf’an Tarihoran
dekat dengan wilayah tasawuf. Keharusan hidup untuk mensucikan jiwa (akhlaq) yang bersumber dari ajaran agama dan berkehendak menaati seluruh perintah Allah berdasarkan Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah Saw. serta “menyifatkan dirinya dengan sifat-sifat Allah”, merupakan ciri dan perilaku kehidupan tasawuf. Meskipun perilaku seperti itu pada zaman Rasul tidak disebut tasawuf, karena istilah atau laqab (julukan) Sufi pada saat itu belum ada. Istilah ini baru muncul pada akhir abad dua atau awal abad tiga hijriyah. Ibn Taimiyah (661-728 H) menyatakan bahwa ahli agama, ahli ilmu dan ahli ibadah pada saat itu disebut kaum Salaf, yang kemudian disebut dengan “Shufiyah wa al-Fuqarâ”.3 Perilaku dan kehidupan spiritual sejumlah pemimpin Muhammadiyah, dilakukan seiring dengan pelaksanaan pemberantasan bid’ah, syirik dan khurafat serta desakralisasi praktik beragama, seperti praktik beragam) model Ibn Taimiyah. Orang-orang yang masuk ke dalam kategori ini (sufi) adalah mereka yang sungguh-sungguh mentaati Allah. Di antara mereka ada yang lebih utama karena kesungguhannya dalam ketaatannya pada Allah dan adapula yang masih dalam tahap penyempurnaan, mereka disebut dengan Ahl al-Yami>n. Sementara itu, Imam al-Ghaza>li> (1058-1111 M) memberikan makna tasawuf dengan: “Ketulusan kepada Allah dan pergaulan yang baik kepada sesama manusia”. Setiap orang yang tulus kepada Allah dan membaguskan pergaulan dengan sesama manusia menurut al-Ghaza>li> disebut sufi. Sedangkan ketulusan kepada Allah Swt. berarti menghilangkan kepentingan-kepentingan diri sendiri (hawa al-nafs) untuk melaksanakan perintah Allah dengan sepenuh hati. Sementara pergaulan yang baik dengan sesama manusia tidaklah mengutamakan kepentingannya di atas kepentingan orang lain, selama kepentingan mereka itu sesuai dengan syari’at. Sebab, setiap orang yang rela terhadap penyimpangan syari’at atau dia mengingkarinya, menurut al-Ghaza>li>, dia bukanlah sufi. Jadi, sufi adalah orang yang menempuh jalan hidup dengan menjalankan syariat secara benar dan sekaligus mengambil spiritualitas (hakikat) dari ajaran syariat dalam bentuk penyucian dan pendekatan diri secara terus-menerus kepada Allah Swt. Perilaku ketaatan terhadap syariat itu kemudian diwujudkan dalam perilaku yang penuh moralitas (akhlak mulia) dalam kehidupan sehari-hari (tasawuf akhlaqi). Apabila pengertian tasawuf mengacu pada pencanderaan seperti yang diungkapkan oleh Ibn Taimiyah maupun al-Ghaza>li> seperti yang disebutkan di atas, maka di dalam Muhammadiyah pun akan muncul wajah-wajah tasawuf, 3 Ibn Taimiyah, Tasawuf Dan Kritik Terhadap Filsafat Tasawuf, Terj. Aswadi Syukur (Surabaya: Bina Ilmu, 1986), hlm 235
62
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Tasawuf Dikalangan Pendidik Muhammadiyah Kabupaten Pandeglang: Agung Soleh Rahayu dan Naf’an Tarihoran
yakni mereka yang ketaatan serta kehidupan spiritualitasnya cukup intens. Tidaklah mengherankan bila disimak dengan seksama penuturan salah seorang murid K.H Ahmad Dahlan, yaitu K.R.H. Hadjid, bahwa di antara referensi pendiri Muhammadiyah adalah kitab-kitab yang ditulis oleh tokoh-tokoh seperti Ibnu Taimiyah, Ibn al-Qayyim, Muhammad ibn Abd al-Wahhab, Muhammad ‘Abduh dan termasuk juga karya al-Ghaza>li>. Kitab-kitab tasawuf seperti Ihya> ‘Ulu>m al-Di>n, Bida>yah al-Hida>yah, Kimiyah al-Sa’a>dah, Kitab alArba’i>n fi>Us}u>l al-Di>n dan sebagainya menjadi bacaan KHA. Dahlan, 4 sehingga keakraban kehidupan spiritual yang dekat dengan wilayah tasawuf juga mewarnai kepribadian pendiri gerakan pembaruan dalam Islam ini. Bahkan beberapa penerusnya seperti Ki Bagus Hadikusumo, cukup intens dalam kehidupan bertasawuf. Dia menekankan pentingnya akhlak luhur dan kesederhanaan dalam hidup. Ia prihatin terhadap krisis akhlak yang melanda umat. Banyak orang mengaku Muslim (KTP-nya Islam), tetapi perilakunya tidak Islami. Terhadap krisis ini, Ki Bagus menulis tentang akhlak dalam bukunya “Pustaka Ihsan“ yang mengemukakan tentang istiqa>mah, tawakkal, muha>sabah, ‘adl, s{idq, tawa>dhu’, ikhla>s, ama>nah, s}abr serta qana>’ah.5 Sementara itu, figur A.R. Fakhruddin juga pantas masuk dalam kategori sebagai sosok sufi dalam Muhammadiyah. Karena menurut penulis, ia dapat mewakili wajah kehidupan spiritual dalam Muhammadiyah, karena beberapa alasan. Pertama, praktek hidup pribadi A.R. Fakhruddin mencerminkan perilaku kehidupan spiritual yang sangat dekat dengan wilayah tasawuf. Hal ini dapat dilihat, misalnya, dalam kehidupannya sehari-hari, baik ketika bertugas, di lingkungan rumah tangganya, di masyarakat maupun di kalangan organisasi Muhammadiyah yang dipimpinnya, ia senantiasa mencerminkan pribadi mutasawwif dan watak tasawuf yang akhlaqi, mementingkan pembinaan dan pengamalan perilaku yang menunjukkan akhlak mulia. Kehidupannya mencerminkan hidup dan kehidupan yang sederhana, asketik dan tidak ngoyo (za>hid). Ia senantiasa menekankan pada perilaku akhlak terpuji. Dalam salah satu ceramah A.R. Fakhruddin, Nakamura pernah mengutip inti ceramahnya sebagai berikut6 :
4KHR. Hadjid, Ajaran K. H. Ahmad Dahlan Dengan 17 Kelompok Ayat–Ayat Al Quran,( Semarang: PWM Jawa Tengah, 1996), hlm 13 5 Farid Ma’ruf, Penjelasan tentang Maksud dan Tujuan Muhamadiyah, (Jakarta: yayasan Santakam, 1966), hlm75 6Mitsuo Nakamura, Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin, (Yogyakarta: Gajah Mada University, 1983), hlm 85
63
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Tasawuf Dikalangan Pendidik Muhammadiyah Kabupaten Pandeglang: Agung Soleh Rahayu dan Naf’an Tarihoran
“Bahwa kita dapat berdoa lima kali sehari dengan teratur, namun jika akhlak kita tetap buruk, tetap rakus, kikir, tidak mau memperhatikan yang miskin dan susah, maka do’a kita tidak akan diterima oleh Allah, tidak akan masuk surga, namun bahkan masuk neraka. Kita dapat menyelesaikan puasa, namun jika kita tetap membicarakan keburukan orang lain, berdusta, menipu, sombong, maka puasa kita tidak berguna dan tidak diakui oleh Allah, marilah kita berdo’a, berpuasa, berhaji, membayar zakat, dan di atas segalanya ini, marilah kita memperbaiki akhlak kita”. Selanjutnya A.R. Fakhruddin menambahkan: “Bahwa jalan yang paling pasti untuk membentuk akhlak yang mulia adalah melakukan ibadat, dengan kesadaran penuh kepada Tauhid. Jalan yang harus dilalui dengan kesadaran adalah hasrat seseorang untuk menjadi ikhlas. Ikhlas menunjuk kepada orientasi mental yang sepenuhnya tidak terikat pada hal-hal yang bersifat duniawi, kosong, bersih, dan kekosongan inilah yang harus diisi dengan Allah sepenuhnya diisi dengan kebaktian kepada Allah, tidak pada yang lain. Bahwa shalatshalat sunnah, termasuk witir, shalat dhuha dan yang sejenisnya sangatlah dianjurkan. Dan bahwa dzikir, wirid, bukanlah monopoli tarekat, dan boleh diperaktikkan bilamana hal tersebut dapat membantu meningkatkan kesalehan seseorang serta ikhlas dalam beribadah maupun dalam bermu’amalah”. Dalam tindakan dan perbuatannya, A.R. Fakhruddin dapat dicandera lebih mencerminkan pribadi “amal”, figur yang menekankan pada perbuatan nyata, aksis sosial kemanusiaan. Baginya yang penting adalah bagaimana Islam benar-benar dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Kepuasannya yang mendalam adalah bilamana umat Islam sungguh-sungguh dapat mencerminkan dirinya sebagai muslim yang baik, Muslim dalam keyakinan, dalam ucapan maupun dalam tindakannya. Di antara watak muslim “amal” ini agaknya lebih dekat kepada wilayah tasawuf, dibandingkan Muslim “intelektual” yang mungkin lebih dekat kepada wilayah kalam atau filsafat. Kedua, karya-karya tulisnya, jelas memang diungkapkan dengan narasi yang berbeda dengan karya al-Ghaza>li> maupun Ibn Taimiyah, namun substansinya senafas dengan karya-karya tasawuf al-Ghaza>li>, misalnya tentang Adab-Adab dalam Beragama, tentang al-Qawâid al-‘Asyrah, Tindak Kepatuhan, Menghindar dari Dosa, baik dosa-dosa tubuh maupun dosa-dosa jiwa
64
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Tasawuf Dikalangan Pendidik Muhammadiyah Kabupaten Pandeglang: Agung Soleh Rahayu dan Naf’an Tarihoran
yang berhubungan dengan Allah Swt. dan manusia, tentang tauhid, iman, penyucian diri dari noda, dosa, maksiat, dan lain sebagainya. Ketiga, A.R. Fakhruddin adalah pimpinan puncak di Muhammadiyah (Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah) terlama sepanjang sejarah perkembangannya, yaitu selama 22 tahun (1968–1990), sementara pendiri Muhammadiyah sendiri yakni K.H Ahmad Dahlan memimpin Muhammadiyah selama 11 tahun (1912–1923). Bahkan sebelum dipilih sebagai Ketua PP Muhammadiyah, cukup lama A.R. Fakhruddin menjadi pimpinan di daerah dan tingkat wilayah, dan selama 30 tahun diberi tugas oleh pengurus besar Muhammadiyah untuk menggerakkan dakwah di pelosok Sumatera Bagian Selatan. Dengan demikian, A.R. Fakhruddin memiliki kesempatan yang cukup untuk memberi corak kehidupan yang bernuansa tasawuf dalam kepemimpinan dan kehidupan gerakan Muhammadiyah. Selama periode tersebut, melalui kepemimpinannya di tingkat nasional, berbagai kegiatan dan pertemuan, baik di tingkat pusat, wilayah, daerah, cabang maupun di tingkat ranting dapat dilakukan secara intensif dan cukup padat. Bahkan ia seringkali mengisi h}alaqah-h}alaqah (pengajian-pengajian dalam forum-forum terbatas) di lingkungan keluarga besar Muhammadiyah, seperti jamaah wanita, ‘Aisyiyah, Nasyi’atul 'Aisyiyah, remaja, kaum terpelajar, guru-guru dan dalam berbagai komunitas lainnya. A.R. Fakhruddin adalah simbol dan lambang kepemimpinan Muhammadiyah, menjadi tipe pengembangan kepribadian Muhammadiyah dan tokoh sentral yang lengser dari puncak piramida persyarikatan secara ikhlas dan legowo. Ia telah bertiwikrama menjadi trade mark organisasi Islam yang paling rapih di Indonesia. Semua itu, secara langsung ataupun tidak, dapat memberi pengaruh dalam kehidupan persyarikatan. Didukung pula oleh hampir semua karya tulisnya yang lebih banyak ditujukan kepada pembaca keluarga persyarikatan, seperti: Pedoman Muballigh Muhammadiyah, Pedoman Anggota Muhammadiyah, Muhammadiyah Abad ke XV H, Kepribadian Muhammadiyah, Pemimpin Muhammadiyah dan beberapa karya lain dalam bentuk tanya jawab, artikel di majalah Suara Muhammadiyah dan Suara Aisyiyah, serta makalahmakalah yang disampaikan pada halaqah-halaqah, penataran, seminar baik untuk anggota, pengurus, maupun kader-kader Muhammadiyah, seluruhnya cukup efektif dalam kurun yang demikian relatif panjang dalam memberikan sentuhan tasawuf dari pancaran pribadinya dalam jiwa dan amalan anggota Muhammadiyah. Tanpa menyebut kata tasawuf sebenarnya ia telah mempraktekkan dan menyebarkan ajaran akhlak tasawuf secara inklusif. Waktu yang dimiliki selama
65
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Tasawuf Dikalangan Pendidik Muhammadiyah Kabupaten Pandeglang: Agung Soleh Rahayu dan Naf’an Tarihoran
menjadi tokoh puncak Muhammadiyah, memberi peluang yang cukup luas untuk mensosialisasikan pikiran/ renungan dan seruan-seruannya baik dalam perilaku organisasi maupun praktik pribadi dalam mengamalkan ajaran Islam yang bernuansa tasawuf. Jiwa dan pribadinya merentang cermin pribadi “sufi” dalam hal taubat, taqwa>, wara>, zuhu>d, raja>, khau>f, khusyu’, tawa>dhu’, qan>’ah, tawakkal, syukr, s}abr, rid}a>, istiqa>mah, ikhla>s, dan beberapa tahapan lain penempuh jalan sufi seperti pencanderaan Imam al-Qusyairi> al-Naisaburî di dalam Risa>lah al-Qusyairiyah.7 Menurut hemat penulis, kehidupan spiritual A.R. Fakhruddin dapat digolongkan dalam pribadi yang hidup berdasarkan pencerahan dan memiliki karakter tasawuf (tasawuf akhlaqi), serta menjadi salah satu tokoh puncak dan panutan di dalam komunitas persyarikatan Muhammadiyah yang menghayati dan “berjiwa sufi”. Namun, asumsi sementara di atas perlu dibuktikan, apakah benar kehidupan spiritual AR. Fakhruddin itu memang memiliki karakter tasawuf yang dekat dengan dunia Sufi. Lalu, cukup tepatkah pernyataan ini ditujukan kepada AR. Fakhruddin. Bukankah karya-karya tulisnya juga tidak spesifik menulis tentang tasawuf, meskipun sarat dengan dimensi dan pelajaran akhlak. Dalam berislam dan bermuhammadiyah, memang sangat diperlukan adanya rujukan moral dan keteladanan spiritual yang dapat membina jati diri muslim melalui akhlak tasawuf, karena kita berkeyakinan bahwa kehidupan yang Islami dapat terwujud lewat perilaku dan kehidupan spiritual yang luhur, mulia, dan sarat dengan amal shalih. Ke depan, menurut penulis, Muhammadiyah dan bangsa ini memerlukan figur pemimpin yang dapat diteladani integritas pribadi, kedalaman spiritualitas, dan kecanggihan berpikirnya. Spiritual leadership meminjam istilah Tobroni barangkali merupakan salah satu warisan kepemimpinan AR. Fakhruddin dalam menahkodai dan membesarkan Muhammadiyah. Dengan gaya dan model kepemimpinan spiritual dan sufistik inilah, jati diri Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan dapat menyentuh berbagai lapisan masyarakat. AR. Fakhruddin tidak hanya memimpin dan berdakwah, tetapi juga mendidik dan mencerdaskan umat dengan kecerdasan emosi, kedalaman spiritualitas (the corporate mystics), dan keluhuran moralnya yang tercermin dalam kepemimpinan spiritual. Umat dan bangsa dewasa ini memang sangat memerlukan figur-figur pemimpin yang dapat diteladani dari segi pemihakannya terhadap kejujuran, kebenaran, dan integritas moralnya. 7 Al-Qusyairi,
Risa>lah Al-Qusairiyah Fi> Ilm Al Tas}awuf, (Beirut: Dar Al-
Khoir,tt)
66
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Tasawuf Dikalangan Pendidik Muhammadiyah Kabupaten Pandeglang: Agung Soleh Rahayu dan Naf’an Tarihoran
Persepsi Para Pendidik Muhammadiyah Kabupaten Pandeglang Tentang Tasawuf. Apriori terhadap Tasawuf Kelompok ini meletakkan sikap penolakan terhadap tasawuf harus dipahami dalam konteks historisnya. Lothrop Stoddard melukiskan dengan tepat, bahwa pada abad ke-13 Masehi dunia Islam jatuh ke jurang keruntuhan yang terdalam. Di manapun tidak ada tanda adanya tenaga sehat dan di manamana terdapat kemacetan dan pembekuan. Kerusakan budi dan moral malah parah. Apa yang masih tinggal dari kebudayaan Arab lenyap ditelan kemewahan yang di luar batas oleh segolongan kecil maupun besar yang juga mengalami degradasi. Pengajaran atau pendidikan pun terhenti. Sejumlah universitas yang masih ada terdampar pada pembekuan.8 Kelompok ini diwakili oleh Hasan Ali Idrus 9 , Ketua Muhammadiyah Wilayah Banten. Menurutnya dalam Muhammadiyah, konsep tasawuf secara formal tidak dikenal, yang ada hanyalah dzikir. Dzikir ada dalam Muhammadiyah bukan dipahami ia sebagai salah satu elemen utama dari tasawuf melainkan memang dzikir diajarkan dalam Islam. Prinsip-prinsip dasar gerakan reformasi Islam Muhammadiyah, pada tingkat tertentu menurut Tabri, mirip dengan Reformasi Protestan Calvinis. Oleh karena itu, Muhammadiyah pantas disebut sebagai Reformasi Islam model Protestan, dengan argumen berikut. Pertama, baik Calvinis maupun Muslim puritan Muhammadiyah sama-sama mengajarkan skripturalisme: bersandarkan semata-mata pada kitab suci (Bibel dan Al Quran). Inilah doktrin sola scriptura.“Kembali pada Kitab Suci” sama-sama dipakai dalam gerakan reformasi Protestan dan Muhammadiyah. Calvinis sepenuhnya menyandarkan diri pada pembacaan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sementara Muslim puritan Muhammadiyah kembali dan bersandar pada sumber asli Islam, yakni Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad. Bibel dan Al-Qur’an diletakkan sebagai sumber utama otoritas dan legitimasi. Pada posisi seperti inilah menurut Tabri, tasawuf tidak bergitu dilihat secara total karena telah tercampur dengan doktrin-doktrin selain Qur’an dan Sunnah. Kedua, sebagai konsekuensi atas slogan “Kembali pada Kitab Suci”, baik Calvinis maupun Muslim Puritan berdiri di hadapan Tuhan. “Para Calvinis,” kata Weber, “ingin selamat melalui pembenaran hanya dengan Iman”. Inilah 8Lothrop
Stoddard, The New World of Islam, (London: Brownfox, 2008), hlm 30 dengan Hasan Ali idrus Ketua Muhamadiyah Wilayah Banten dilaksanakan tanggal 21September 2013 di Kantor Pimpinan Wilayah Muhamadiyah provinsi Banten 9Wawancara
67
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Tasawuf Dikalangan Pendidik Muhammadiyah Kabupaten Pandeglang: Agung Soleh Rahayu dan Naf’an Tarihoran
doktrin sola fide. Tidak ada lagi perantara antara Tuhan dan Calvinis. Absennya perantara keagamaan ini dapat disimak pada minimalisasi unsur sakramen, deligitimasi radikal atas sistem Imamat, dan penolakan terhadap gereja yang hierarkis dan korup. Muslim puritan Muhammadiyah berbagi prinsip dasar dengan Calvinis. Tidak ada sistem perantara keagamaan yang memediasi hubungan Muslim dengan Allah. Muslim puritan berdiri dan bertanggung jawab langsung kehadirat Allah. Seperti apa yang dilakukan Calvinis, beriman kepada Allah juga disertai etos kerja keras di dunia ini. Karena Muslim puritan muncul di lingkungan Jawa yang sinkretik, maka karakter reformasi-puritannya dapat dilihat pada usaha purifikasi Islam dari unsur magis dan aspek sinkretik lainnya. Pada posisi seperti ini konsep tawassul, asketik, mursyid yang akrab dalam dunia tasawuf menjadi sesuatu yang asing bagi Muhhamdiyah.10 Ketiga, baik Calvinis maupun Muslim puritan mengikuti apa yang diteoritisasikan Weber sebagai “disenchantment of the world”. Menurut Weber, proses ini dimulai dalam tradisi Yahudi Kuno yang sejalan dengan pemikiran dan gerakan ilmiah Yunani. Proses ini berpuncak pada teologi dan praktik Calvinis dengan menolak semua piranti magis dalam pencarian keselamatan. Kebangkitan Muslim puritan Muhammadiyah pada dasarnya sebagai respons langsung terhadap takhayul, bid’ah, dan khurafat. Semua elemen magis ini adalah nonrasional, dan, mengikuti tesis Weber, harus dibersihkan dari praktik Islam puritan dan konsepsi keduniaan. Jadi, Muslim puritan berjuang pada dua hal: eksklusi unsur-unsur magis dari Islam dan demistifikasi konsepsi keduniaan dengan mendasarkan diri pada kalkulasi rasional dan perilaku hidup asketis di dunia modern. Imbas dari pemahaman ini adalah penolakan terhadap unsureunsur karomah, kewalian dan hal-hal yang berbau mistis dalam tasawuf.11 Keempat, sebagai konsekuensi atas konsep “disenchantment of the world”, Muslim puritan mirip Calvinis dalam hal rasionalisasi. Muslim puritan merasionalisasikan doktrin keislaman melalui purifikasi iman dari unsur mistik dan Islam-Jawa-Hindu. Sikap tak kritis dalam memeluk Islam, taqlid, dipandang sebagai sumber konservatisme dan stagnasi dalam Islam. Taklid harus diganti dengan tradisi pemikiran rasional dan independen (ijtihad). Spirit rasional ini diyakini sebagai sumber kemajuan umat Islam dalam memasuki dunia modern Senada dengan Hasan Ali Idrus adalah apa yang diungkapkan oleh KH
10Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, (London and New York: Routledge, 2001),hlm 68 11Ibid , hlm 69
68
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Tasawuf Dikalangan Pendidik Muhammadiyah Kabupaten Pandeglang: Agung Soleh Rahayu dan Naf’an Tarihoran
Rahmatullah, 12 pengurus Muhammadiyah cabang Menes, Dosen STAI Babunnajah menes Pandeglang. Menurutnya dzikir dalam Muhammadiyah adalah konsep dzikir yang diajarkan oleh Rasulullah, sehingga tidak dikenal dzikir yang diucapkan sebanyak 99 kali, 4444 kali, 1000 kali atau sebagainya. Perintah untuk memperbanyak dzikir memang ada dalam Islam dengan maksud untuk lebih memahami suatu amal perbuatan ibadah tertentu tetapi secara khusus penyebutan angka tidak ada. Mengenai paham agama Islam juga cukup mendasar juga dapat dirujuk pada tafsir Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah yang tercantum dalam ”Tafsir Anggaran Dasar Muhammadiyah” hasil Majelis Tanwir tahun 1951. Dalam menafsirkan kalimat “Rad}itu bi Alla>h Rabba wa bil al-Isla>mi di>na wa bi \Muhammad shalla allah ‘alaihi wassalam Nabi>yya wa Rasula”, ditafsirkan ke dalam lima pokok ”penegasan”. Kelima pokok pernyataan penegasan menganai Muqaddimah tersebut ialah (1) Tauhid, (2) Hidup Bermasyarakat, (3) Hidup Beragama, (4) Hidup Berorganisasi (Bersyarikat), dan (5) Negara Indah Tuhan Mengampuni. Substansi inilah yang digali dari matan dan rumusan lengkap ”Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah” yang digagas Ki Bagus Hadikusuma tahun 1946, yang terdiri atas enam pernyataan fundamental mengenai Muhammadiyah, yang dikenal pula sebagai ideologi Muhammadiyah, yakni: (1) Hidup manusia harus berdasar tauhid, ibadah, dan taat kepada Allah; (2)Hidup manusia bermasyarakat; (3) Mematuhi ajaran-ajaran agama Islam dengan keyakinan bahwa ajaran Islam itu satu-satunya landasan kepribadian dan ketertiban bersama untuk kebahagiaan dunia akhirat; (4) Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam dalam masyarakat adalah kewajiban sebagai ibadah kepada Allah dan ihsan kepada kemanusiaan; (5) ‘Ittiba kepada langkah perjuangan Nabi Muhammad s.a.w.; (6) Melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi. Menurut Abdurrahman, 13 Sekretaris eksekutif cabang Muhammadiyah Labuan, dzikir memang dipraktekkan dalam Muhammadiyah dan semakin banyak, semakin bagus. Terkait dengan jumlah dzikir yang harus dibatasi, sekian dan sekian, 99 kali, 4444 kali, 1000 kali atau sebagainya serta apabila tidak sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan baik itu kurang atau kelebihan maka tidak 12 Wawancara dengen KH Rahmatullah Pengurus Cabang Muhamadiah Menes, Dosen STAI Babunnajah Pandeglang Banyten, dilaksanakan tanggal 07 Maret 2013 di Rumahnya di Cimanying Menes 13 Wawancara dengen Abdurrahman, sekretaris eksekutif cabang Muhamadiyah Labuandilaksanakan tanggal 12 Juli 2013 di SMK Muhamadiyah Labuan
69
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Tasawuf Dikalangan Pendidik Muhammadiyah Kabupaten Pandeglang: Agung Soleh Rahayu dan Naf’an Tarihoran
maqbul, ini yang tidak diterima dalam Muhammadiyah. Apalagi jika harus dipahami 99 kali, 4444 kali, 1000 kali atau sebagainya itu sebagai anak kunci yang apabila tidak pas maka tidak dapat digunakan untuk membuka, ini dinilai oleh Rozihan sebagai sesuatu yang tidak berdasar. Pernyataan di atas juga didukung oleh Hj Ene Yohana, Sekretaris cabang Aisiyah Labuan dan Rifa, Ketua 1 Aisiah daerah Pandeglang. 14 Menurut keduanya tasawuf secara formal memang tidak diterima dalam Islam, tetapi Muhammadiyah mengamalkan apa yang oleh HAMKA disebut sebagai Tasawuf Modern. Terkait dengan dzikir, tafsir mengatakan hal tersebut dapat dilakukan dalam bentuk ucapan yang dalam aplikasinya diserahkan menurut pribadi masing-masing dan dalam bentuk perbuatan yang dalam Muhammadiyah disebut dengan amal usaha baik berbentuk pembangunan Perguruan Tinggi, rumah sakit dan lain sebagainya. Dari sinilah menurut Ene Yohana, ada kesan Muhammadiyah mengalami kegersangan bacaan-bacaan dzikir tetapi sesungguhnya Yasinan, Tahlilan itu ada dalam Muhammadiyah yang ditolak hanyalah tawasul dan khadroh. Hal ini dikarenakan dalam Muhammadiyah tawasul tidak melalui orang perorang melainkan melalui amal berbuatan. Kelompok kedua ini, secara mendasar meski tidak mengharamkan tasawuf, mereka masih meragukan keaslian dan kemurnian Islam dalam Tashawuf. Akibatnya mereka masih raguragu untuk mengikuti dan mempromosikannya. Dan menganggapnya hanyalah sebagai urusan pribadi masing-masing orang dalam berhubungan dengan Tuhan Pencipta-nya. Akomodatif terhadap Tasawuf Kelompok ini diwakili oleh Dinariah IMM DPM Banten.15 Menurutnya tasawuf tidak sering ditemui di dalam Muhammadiyah. Konsep yang digunakan oleh Muhammadiyah untuk terminology spiritualitas ini lebih sering disebut dengan istilah “akal dan hati suci” sebagaimana yang diungkapkan oleh Munir Mulkhan. Penolakan terhadap TBC, menurut Dinariah muncul jauh setelah era Ahmad Dahlan karena memang tidak mendapat rujukan otentik dalam Qur’an dan Sunnah. Menurutnya, tasawuf secara formal tidak ada didalam Islam, tetapi 14Wawancara
dengen Hj Ene Yohana, sekretaris cabang Aisiyah Labuan dan Rifa, ketua 1 Aisiyah Daerah Pandeglang dilaksanakan tanggal 03 April 2013 di SMA Muhamadiyah Labuan 15Wawancara dengen Dinariah, IMM DPM Banten dilaksanakan tanggal 02 April 2013 di SMK Muhamadiyah Maja
70
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Tasawuf Dikalangan Pendidik Muhammadiyah Kabupaten Pandeglang: Agung Soleh Rahayu dan Naf’an Tarihoran
landasan dasar segala sesuatu yang dilakukan oleh seseorang haruslah diorientasikan pada rihdo Allah dan selalu dalam pengamatan Allah yang dalam aplikasinya menuju arah individualisasi spiritualistis. Menurut Dinariah, “tasawuf” akan menjadi positif, bahkan sangat positif ketika tasawuf dilaksanakan dalam bentuk kegiatan keagamaan yang searah dengan muatanmuatan peribadahan yang telah dirumuskan sendiri oleh al-Qur’an dan asSunnah; mana yang diwajibkan dan dihalalkan, dikerjakan dan mana yang haram dikerjakan ditinggalkan. Sementara itu wajah peribadahan hendaknya berkolerasi antara ibadah yang “h}ablun minallah” (ibadah murni) dengan ibadah yang “h}ablun minanna>s” (ibadah sosial nyata). Selain itu, tasawuf hendaknya juga dilaksanakan dalam bentuk kegiatan yang berpangkal pada kepekaan sosial yang tinggi dalam arti kegiatan yang dapat mendukung “pemberdayaan umat Islam” agar kemiskinan ekonomi, ilmu pengetahuan, kebudayaan, politik dan mentalitas yang dengan demikian kalau umat Islam ingin berkorban maka ada hal atau barang yang akan dikorbankan, kalau ingin mengeluarkan zakat maka ada kekayaan yang akan diberikan kepada orang yang berhak dan sebagainya. Untuk itu, bukan tradisi pandangan tarekat yang cenderung membenci dunia yang patut diangkat kembali, melainkan roh asli “tasawuf” yang semula bermaksud untuk zuhu>d terhadap dunia, yaitu sikap hidup agar hati tidak “dikuasai” oleh keduniawian. Intinya tasawuf akan memiliki efek negatif bila dilaksanakan dengan berbentuk kegiatan yang tidak digariskan oleh ajaran agama Islam yang terumus dalam al-Qur’an dan al-Hadits`. 16 Dengan memperhatikan rincian kemungkinan-kemungkinan tasawuf menjadi negatif atau positif di atas, Hamka menyimpulkan bahwa tasawuf yang bermuatan zuhu}>d yang benar, dilaksanakan lewat peribadahan dan I’tiqa>d yang benar, mampu berfungsi sebagai media pendidikan moral yang efektif. Dari kesimpulan tersebut, Hamka lalu menawarkan pendapatnya, yaitu bahwa tasawuf yang patut diintroduksi dan diamalkan “jaman modern” adalah tasawuf yang memenuhi ciri berikut : a. Bermuatan memahami, menyadari dan menghayati zuhu>d yang tepat seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw yang cukup sederhana pengertiannya, yaitu memegang sikap hidup di mana hati tidak berhasil “dikuasai’ oleh keduniawian. b. Sikap hidup zuhu>d tersebut diambil dari hasil pemahaman terhadap makna dibalik kewajiban peribadahan yang diajarkan resmi dari agama 16 Hamka, Tasawuf: Perkembangan Dan Pemurniannya, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1978), hlm 38
71
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Tasawuf Dikalangan Pendidik Muhammadiyah Kabupaten Pandeglang: Agung Soleh Rahayu dan Naf’an Tarihoran
c.
Islam, karena dari peribadahan itu dapat diambil makna metaforiknya, yang tentu saja peribadahan yang berlandaskan I’tiqad yang benar. Sikap zuhu>d yang dilaksanakan berdampak mempertajam kepekaan social yang tinggi dalam arti mampu menyumbang kegiatan pemberdayaan umat (social empowering), seperti bergairah mengeluarkan zakat dan infaq sebergairah menerima keuntungan dalam kerja dan sebagainya.17
Aplikasi Tasawuf Bagi Pendidik Muhammadiyah Kabupaten Pandeglang Tasawuf adalah usaha membersihkan diri. Setiap sisi memerlukan sisi yang lain. Tidak ada sifat kerabbaniyahan tanpa adanya sifat takwa, dan tidak ada sifat takwa tanpa adanya penyucian. Dengan bahasa yang sederhana ketiga hak tersebut dapat diungkapkan dengan kalimat al-birr (kebaikan). Pada dasarnya ilmu tasawuf dalam materinya adalah membahas tentang soal - soal yang bertalian dengan akhlak dan budi pekerti, bertalian dengan hati, yaitu cara- cara, ikhla>s}, khusu>’, tawad}u’, mura>qobah, muja>hadah, s}abar, rid}o, tawakal, dan seluruh sifat terpuji yang berjalan dalam hati. Menurut Sukarta, Seorang sufi adalah mereka yang dapat mengabungkan anatara fiqih dengan perbuatan, antara perkataan dengan pelaksanaan. Kemudian pengabungan tersebut menghasilkan kondisi rohani tertentu. Seorang yang sufi lebih dari sekedar dari seorang yang zuhud, karena sikap zuhu>d terhadap dunia hanyalah sikap tidak butuh terhadap dunia, dimana mereka menganggap bahwa dunia memang tidak ada nilainya. Sedangkan seorang sufi tidak bersikap zuhu>d kecuali terhadap hal- hal yang membuatnya terhijab dari Allah Swt. Oleh karena itu orang sufi menjadikan dunia hanya berada dalam genggaman mereka saja. Mereka tidak menjadikan dunia tersebut bersemayam di dalam hati mereka.18 Pelaksanaan pengajaran di sekolah Muhammadiyah Kubang Kondang mengkhususkan pada ajarannya pada segi pembenahan rohani melalui sistem keilmuan agama. Yang menjadi dasar pengajaran tasawuf di sekolah Muhammadiyah Kubang Kondang yaitu Al- Qur’an dan Hadist. Adapun tujuanya adalah membangun jiwa yang mulia yang murni melalui akhlaq mulya, dalam usaha menemukan kebenaran yang nyata dari hidup dan kehidupan dunia
17Ibid,
hlm vii Wawancara dengan Sukarta, Kepala Sekolah Madrasah Aliyah Muhamadiyah Kubang Kondang dilaksanakan tanggal 12 September 2013 di Madrasah Aliyah Muhamadiyah Kubang Kondang 18
72
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Tasawuf Dikalangan Pendidik Muhammadiyah Kabupaten Pandeglang: Agung Soleh Rahayu dan Naf’an Tarihoran
maupun akhirat. Tujuan yang lain yaitu demi memiliki iman hakiki taqwallah yang sempurna. Berkat ketelitian dan pemahamannya yang cermat di sekolah Muhammadiyah Kubang Kondang terhadap pelajaran-pelajaran yang diterimanya serta ketekunan dalam melakukan amalan-amalannya berdasarkan petunjuk-petunjuk yang telah diberikan, baik dalam bentuk-bentuk keterangan dan isyarat berupa contoh-contoh dan teladan dari sisi guru, khususnya dalam bertafakur, lambat laun sang murid akan mengalami perubahan-perubahan yang sangat meyakinkan dalam dirinya. Hikmah dan berkah ilmu agama dapat terus dikembangkan oleh murid sekolah Muhammadiyah Kubang Kondang dengan meningkatkan jihadnya, baik secara praktis melalui akhlaq mulya maupun dengan latihan-latihan rohani yang teratur serta percobaan-percobaan metafisis secara terus menerus, tanpa akhir. Maka sampailah kelaknya pada tingkat puncak, Tak dapat disangkal, bahwa dalam perjuangan mencapai tingkat-tingkat kebenaran tersebut banyaklah pula siswa di sekolah Muhammadiyah Kubang Kondang yang terjerumus dalam godaan dan cobaannya, sehingga tidak sedikit murid yang kandas dan bahkan banyak pula tergelincir dari jalan yang benar, sebab kurang waspada. Sang guru pembimbing senantiasa mengamati perkembangan, gerak dan laku perbuatan muridnya, khususnya disegi pengamalan ilmunya serta pengaruhnya terhadap kehidupan lungkungannya. Dengan cermat sang guru memberi petunjuk-petunjuk yang praktis dengan berbagai isyarah, demi kebenaran langkah dan perilaku sang murid lahir bathin, baik yang menyangkut kepentingan sendiri, orang banyak, maupun hukum dan agama. Pendidikan Ahlak Mulia melalui Pembiasaan untuk Menciptakan Budaya Sekolah/ Madrasah Pengelolahan pembiasaan terhadap akhlak mulia di sekolah Muhammadiyah Kubang Kondang dilakukan dengan melaksanakan fungsifungsi manajeman. Fungsi-fungsi tersebut antara lain: 1) fungsi perencanaan, 2) pengorganisasian, 3) penggerakan dan 4) pengontrolan atau pengawasan. 19 Pengelolahan dengan fungsi-fungsi manajeman tersebut harus mencakup pada semua sub sistem dalam pembiasaan akhlak mulia tersebut diatas, dan dituangkan dalam program-program.
19Ibid
73
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Tasawuf Dikalangan Pendidik Muhammadiyah Kabupaten Pandeglang: Agung Soleh Rahayu dan Naf’an Tarihoran
1. Keteladanan Yang dimaksud dengan sistem keteladanan/ uswatun h}asanah di sekolah Muhammadiyah Kubang Kondang di sini adalah upaya oleh setiap orang untuk memberikan contoh akhlak karimah kepada orang lain tentang apa dan bagimana melakuakan sesuatu dan bagaimana memperlakukan orang lain. Keteladanan merupakan inti dari semua program . Program ini dilakukan oleh semua warga sekolah. Yaitu pimpinan Sekolah ( kepala Sekolah, wakil, Pembina-pembina), para guru ( wali kelas, gur mata pelajaran dan guru BP ), murid, petugas administrasi ( TU dan staf ) , karyawan ( tukang kebun, petugas keamana dan pesuruh ). 20 Prinsip yang harus dipegang dalam memberikan tauladan agar mempunyai pengaruh kepada komunitas sekolah lebih besar dan cepat adalah prinsip 3 M : Mulai diri sendiri, Mulai dari yang kecil dan biasa, Mulai sekarang juga.21 Program ini diarahkan untuk memberiokan contoh baik kepada murid. Sebagaimana dimaklumi nahwa pembelajaran akhlak mulia adalah menyentuh pada aspek afektif murid. Aspek afektif murid akan mudah tersentuh dengan pembelajaran prilaku, penerapan langsung dengan percontohan ini. Dalam pepatah arab dikatan “ Lisa>nul H}a>l Afs}ohu min lisa>nil maqo>l “, nasehat dengan prilaku lebih bermakna dari pada ucapan. Adapun untuk mewujudkan program ini, pelaksanaannya dapat dengan melakukan beberapa upaya antara lain : Semua warga sekolah harus menampilkan prilaku penuh nilai akhlak karimah kepada orang lain, tentang ; bagaimana berjalan yang berakhlak, bagaimana menyapa, salam , berjabat tangan , bicara, menegur, menyuruh, menasehati , bahkan bagaimana marah dan memarahi yang berakhlak dan lain sebagainya. Memperlakukan orang lain dengan akhlak karimah, sehingga orang lain bisa respek dan menerima apa yang dikatakana dan anjurkan. Berkomitmen untuk saling mengingatkan. Untuk mencapai komitmen ini perlu diadakan kesepakatan bersama tentang apa yang boleh dan yang tidak boleh dilaksanakan . Hal ini tentu terkait dengan bagaimana memberi pemahaman danpengertian kepada warga sekolah. Yaitu pengertian tentang berakhlak mulia itu sendiri .22
20Ibid 21Ibid 22Ibid
74
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Tasawuf Dikalangan Pendidik Muhammadiyah Kabupaten Pandeglang: Agung Soleh Rahayu dan Naf’an Tarihoran
2.
Pembelajaran Yang dimaksud dengan program pembelajaran di sekolah Muhammadiyah Kubang Kondang di sini adalah program bagaimana memberikan pemahaman, keyakinan dan konsep serta teori tentang akhlak karimah. Pembelajaran akhlak karimah dapat dilakukan secara khusus maupun secara umum. Secara khusus berarti memberikan materi khusus tantang akhlak karimah misalnya pembelajaran akidah akhlak, memasukkan pada materi MOS ( masa orientasi siswa baru ), ceramah-ceramah, BP dan sebagainya. Pembelajaran secara umum berarti memasukkan, menghubungkan dan mengaitkan nilai-nilai akhlak karimah ke dalam semua materi pelajaran yang diajarkan di sekolah baik kurikuler maupon ekstra-kurikuler.23 Program ini diarahkan untuk penyadaran berprilaku akhlak karimah, melalui pemberian pemahaman dan pengertian tentang akhlak mulia. Prinsip yang digunakan adalah dengan merubah pemahaman dan mengisi aspek kognitif diharapkan dapat merubah prilaku, yaitu menuju prilaku yang berakhlak mulia. Adapun pelaksanaannya dapat dengan melakukan usaha-usaha antara lain: Pengajaran akidah-akhlak, lebih dioptimalkan. Memasukkan materi akhlak pada masa orientasi siswa baru (MOS) Menggalakkan kegiatan-kegiatan peringatan hari besar islam dan lainnya, serta mengisinya dengan ceramah-ceramah tentang akhlak. Memberdayakan penyelenggaraan sholat jum'at di sekolah. Pemberdayaan pertemuan-pertemuan murid pada berbagai kesempatan untuk mensosialisasikan tentang program pembudayaan akhlak. Penampilan kata-kata hikmah di tempat-tempat umum secara permanen ataupun temporer secara berkala dan terencana. Berkala berarti menuntut adanya pergantian materi dan penampilan sehingga menarik dan menimbulkan suasana baru. Pemberdayaan pertemuan wali kelas dan guru bidang studi Memberikan panduan praktis tentang sopan-santun murid dalam setiap aktifitas dan setiap interaksi dengan orang lain / siapapun. Penempelan panflet-panfflet, setiker, icon-icon dan lain-lain di tempattempat strategis. 24
23Ibid 24 Wawancara dengan Istiqomah Wakil Kepala Sekolah Madrasah Aliyah Muhamadiyah Kubang Kondang dilaksanakan tanggal 12 September 2013 di Madrasah Aliyah Muhamadiyah Kubang Kondang
75
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Tasawuf Dikalangan Pendidik Muhammadiyah Kabupaten Pandeglang: Agung Soleh Rahayu dan Naf’an Tarihoran
3.
Pengontrolan Yang dimaksud dengan pengontrolan di sekolah Muhammadiyah Kubang Kondang adalah program bagaimana pengawasan dilakukan, untuk menjamin diterapkannya prilaku akhlak mulia dalam setiap tindakan sesuai dengan rencana dan aturan yang ada. Yaitu program bagaimana setiap pribadi peka untuk mengingatkan dan menegur lalu menunjukkan terhadap prilaku yang tidak berakhlak yang terjadi dihadapannya, di manapun dan kapanpun berada. Program pengontrolan diharapkan menimbulkan hukuman sosial bagi prilaku tidak berakhlak. Pelanggar akhlak akan malu sendiri tanpa ditegur/ diingatkan. Proggram ini diarahkan untuk mengarahkan dan meluruskan prilaku menyimpang yang dilakuan oleh semua unsur; guru, murid, karyawan maupun para pimpinan. Yaitu masing masing individu menjadi pemgontrol bagi dirinya sendiri, temannya, mitra kerjanya dan bahkan atasannya. Semua diciptakan dalam suasana semangat amar ma’ru>f nahi munkar, yakni mencegah tindakan yang tidak berakhlak dan menganjurkan, mengajak serta mendorong kepada prikau yang sesuai dengan akhlak mulia. Untuk itu semua diperluakan ketentuanketentuan yang disepakati bersama dan bersifat mengikat. Pelaksanaannya adalah dengan melakukan usaha antara lain: Memberikan teguran, memberi tahu, mengingatkan dan menasehati kepada orang lain yang jelas-jelas berprilaku yang tidak berakhlak, dengan cara yang bijak. Mendorong orang lain untuk mau melakukan hal yang sebagaimana disepakati bersama. Mendorong orang lain untuk mengkoreksi / mengingatkan diri kita jika ada kekurangan.25 Dalam memberikan nasehat atau mengingatkan yang harus diperhatikan adalah: Didasari tujuan yang baik, ikhlas karena Allah. Tidak mempermalukan kepada yang diingatkan atau dinasehati. Dilakukan cara yang baik. Tidak memfonis salah, sebab mungkin ia punya alasan yang kuat untuk melakukan kesalahannya atau bahkan karena ketidaktahuannya. Tunjukkan bahwa menegur itu karena sayang bukan benci.26
25Wawancara
dengan Sukarta Kepala Sekolah Madrasah Aliyah Muhamadiyah Kubang Kondang dilaksanakan tanggal 12 September 2013 di Madrasah Aliyah Muhamadiyah Kubang Kondang 26Ibid
76
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Tasawuf Dikalangan Pendidik Muhammadiyah Kabupaten Pandeglang: Agung Soleh Rahayu dan Naf’an Tarihoran
4.
Pembinaan Yang dimaksud pembinaan di sekolah Muhammadiyah Kubang Kondang di sini adalah program bagaimana memberikan bimbingan dan pembinaan kepada murid yang punya masalah dalam memperbaiki dirinya, sulit berubah, atau murid bermasalah karena sebab tertentu yang memerlukan penanganan khusus. Proggram ini diarahkan untuk penyembuhan prialaku menyimpang yang disebabkan karena adanya factor khusus yang perlu kajian dan pendekatan atau tindakan khusus. Pelaksanan program ini adalah; konselor, atau wali kelas bahkan dengan mekanisme konferensi kasus, yang dikoordinasikan guru bimbingan dan penyuluhan (BP). Pelaksanaannya antara lain dengan melakukan langkah-langkah: Mengidentifikasi murid yang bermasalah. Mengadakan pendekatan dari hati ke hati kepada murid yang bermasalah. Mengidentifikasi masalah dan mangatasinya. Memberikan perhatian yang lebih ( sosial dan spiritual) Memberikan pemantauan terhadap perkembangan prilakunya. Me-referal / mengalihtangankan kepada yang kompeten. Memberikan tindakan hukuman.27 5.
Evaluasi Yang dimaksud evaluasi adalah program bagaimana mengevaluasi, menilai dan mengkoreksi semua pelaksanaan sistem tersebut secara terus menerus untuk menentukan kebijakan / program baru yang lebih baik .Evaluasi dilakukan dengan terus menerus, berdasarkan fakta dan data terhadap suatu masalah. Program ini diarahkan untuk menjamin berlakunya / terlaksananya semua program pembudayaan akhlak karimah secara istiqomah sehingga menjadi kebiasaan dan kebiasaan yang dipertahankan akhirnya menjada budaya . Pelaksanaan program ini dilaksanakan oleh tim yang sengaja dibentuk untuk mengkoordinasikan pelaksanaan sub-sub sistem atau komponen-komponen yang ada di sekolah. Menurut hemat penulis program pembiasaan akhlak mulia menuju budaya sekolah ini tidak cukup ditangani oleh perangkat dan mekanisme 27Wawancara dengan Ajat Sudrajat Guru BP Madrasah Aliyah Muhamadiyah Kubang Kondang dilaksanakan tanggal 12 September 2013 di Madrasah Aliyah Muhamadiyah Kubang Kondang
77
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Tasawuf Dikalangan Pendidik Muhammadiyah Kabupaten Pandeglang: Agung Soleh Rahayu dan Naf’an Tarihoran
kerja sekolah yang ada selama ini. Tapi perlu ada bentukan tim khusus menangani pembiasaan ini. Sekalipun orang-orang yang mengisi tim tersebut adalah perangkat-perangkat yang ada di sekolah itu sendiri. Setidaknya ada kesan kuat terhadap keseriusan penanganan dengan terbentuknya tim tersebut, disamping untuk menghindari benturan dan ketidak pastian tanggungjawab.28 Masalah perubahan kebiasaan dan penciptaan budaya harus ditangani serius dan sungguh-sungguh. Bukan sampingan program sekolah. Adapun setelah tercipta budaya secara mantap maka tim dapat saja dibubarkan kemudian diambil alih semua tugas dan wewenangnya oleh perangkat sekolah. Itu tidak menjadi soal. Tapi untuk tahap pembentukan budaya tetap perlu adanya tim khusus. Untuk melaksanakan evaluasi iru sendiri, hal-hal yang dapat dilakukan antara lain: Mengadakan brainstorming / curah pendapat. Mengidentifikasi permasalahan Menganalisis masalah dengan teknik tertentu. Mencari alternatif pemecahan . Menentukan tindakan pemecahan masalah. Merencanakan tindakan . Melakukan tindakan. Mengevaluasi tindakan. Dan seterusnya sebagai suatu siklus.29 Definisi dari pembinaan akhlaq di Sekolah Muhammadiyah merupakan pembaharuan, penyempurnaan atau usaha dan tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna, dan berhasil guna, untuk memperoleh hasil yang lebih baik.30 Akhlak Menurut Al-Ghazali dalam buku Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali oleh Zainuddin adalah: “al-Khuluq (jama’nya al-Akhlaq) ialah ibarat (sifat atau keadaan) dari perilaku yang konstan (tetap) dan meresap dalam
28 Wawancara dengan Siti Mahmudah sekretaris 1 wilayah Aisiyah dilaksanakan tanggal 12 September 2013 di Madrasah Aliyah Muhamadiyah Kubang Kondang 29Wawancara dengan Sukarta Kepala Sekolah Madrasah Aliyah Muhamadiyah Kubang Kondang dilaksanakan tanggal 12 September 2013 di Madrasah Aliyah Muhamadiyah Kubang Kondang 30Wawancara dengen Ihah Solihah Guru Aqidah Akhlaq dilaksanakan tanggal 10 September 2013 di Madrasah Aliah Muhamadiyah Kubang Kondang.
78
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Tasawuf Dikalangan Pendidik Muhammadiyah Kabupaten Pandeglang: Agung Soleh Rahayu dan Naf’an Tarihoran
jiwa, daripadanya tumbuh perbuatan-perbuatan dengan wajar dan mudah, tanpa memerlukan pikiran dan pertimbangan”.31 (1) Akhlak terhadap Allah Seorang muslim hendaknya melihat segala kebaikan dan kenikmatan yang telah diberikan oleh Allah SWT. Yang tidak terhitung jumlahnya. Nikmatnikmat yang tidak terhitung itu dimulai semenjak dia berada di dalam rahim ibunya sampai dia kembali menghadap Tuhannya. Hendaknya dia mensyukurinya dengan lisan, mengucapkan pujian kepada-Nya karena Dia berhak dipuji. Dan dibarengai dengan tindakan kebajikan di dalam mentaatiNya. Begitulah cara seharusnya dia beretika kepada Allah karena menolak nikmat, menolak keutamaan-Nya, dan mengingkari kebajikan Allah tidaklah etis.32 Acim Hermawan menjelaskan bahwa Akhlak terhadap Allah dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim sebagai makhluk kepada Tuhan sebagai Khalik. Sebagai pancaran jiwa umat yang taat dan patuh, takwa dan pasrah kepada Allah SWT. Segala sesuatu yang dimiliki mulai dari kehidupan pribadi, dan apa yang diperolehnya sematamata adalah pemberian dari Allah SWT. a. Karena Allahlah yang menciptakan manusia b. Karena Allahlah yang telah memberikan hidup c. Karena Allahlah yang telah memberikan rizki d. Karena Allahlah yang telah memberikan hidayah e. Tunduk dan patuh hanya kepada Allah f. Berserah diri terhadap ketentuan Allah g. Ikhlas menerima keputusan Allah h. Penuh harap kepada Allah i. Takut terhadap siksa Allah j. Berdo’a meminta pertolongan hanya kepada Allah k. Takut kehilangan rahmat Allah l. Mengabdi hanya kepada Allah.33
31Zainuddin,
dkk., Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991),
hlm. 102 32 Abu Bakar Jabir El-Jazairi, Pola Hidup Muslim (Minhajul Muslim) (Bandung: Rosdakarya, 1993), hlm.7.
33Wawancara dengen Acim Hermawan guru aqidah akhlaq dilaksanakan tanggal 10 September 2013 di Madrasah Tsanawiah Muhamadiyah Kubang Kondang
79
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Tasawuf Dikalangan Pendidik Muhammadiyah Kabupaten Pandeglang: Agung Soleh Rahayu dan Naf’an Tarihoran
(2) Akhlak terhadap sesama manusia Akhlak terhadap sesama manusia dibagi menjadi dua yaitu akhlak terhadap orang lain dan terhadap diri pribadi. 34 Akhlak terhadap orang lain meliputi: (a) Akhlak terhadap Rasulullah Allah SWT mengistimewakannya, dan menjadikannya sebagai makhluk yang sempurna, juga akhlaknya. Karena dia dicintai atas dasar kesempurnaan jiwa dan dirinya, maka diapun menjadi makhluk yang sebaikbaiknya. 35 Akhlak terhadap Rasulullah dengan menghidupkan sunnah-sunnahnya yang menjadi sumber hukum Islam yang kedua yang wajib ditaati. Cara berakhlak kepada Rasulullah: a) Mentaati dan mengikuti langkah-langkahnya,baik dalam urusan dunia maupun urusan agama. b) Kecintaan, penghormatan dan pemuliaannya pun tidak boleh terdahului. c) Mengikuti kepemimpinan seseorang yang mengikutikepemimpinannya. d) Mengagungkan namanya, menghormatinya dengan cara mengucapkan shalawat dan salam kepadanya. e) Menghidupkan sunnah, menyebarkan syari'atnya, menyampaikan dakwahnya, dan melaksanakan wasiat-wasiatnya.36 f) Akhlak musyawarah dengan Rasul Saw. g) Ikhlas beriman terhadap Nabi Muhammad Saw. h) Cinta kepada Rasul Saw. i) Percaya terhadap semua berita yang disampaikannya. j) Melaksanakan hukum Allah dan Rasul-Nya. k) Jangan bersumpah, tetapi amalkan ajaran Rasul. l) Berbicara dengan suara yang rendah. (c) Akhlak terhadap orang tua Seorang muslim berkeyakinan terdapat adanya hak dan kewajiban menghormati, mentaati, dan berbuat baik terhadap kedua orang tua yang bukan hanya keduanya merupakan faktor penyebab keberadaanya, atau karena keduanya telah lebih dulu berbuat kebajikan kepadanya sehingga dia wajib membalas budi yang setara terhadap mereka, akan tetapi karena Allah sendiri mewajibkan untuk mentaati keduanya. 37 Dalam penelitian ini kalaupun anak 34Ibid 35Abu
Bakar Jabir El-Jazairi, Pola Hidup Muslim (Minhajul Muslim) (Bandung: Rosdakarya, 1993), hlm, .26-27 36Ibid., hlm. 27. 37 Ibid., hlm.89.
80
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Tasawuf Dikalangan Pendidik Muhammadiyah Kabupaten Pandeglang: Agung Soleh Rahayu dan Naf’an Tarihoran
asuh banyak yang sudah tidak memiliki orang tua, maka yang harus dihormati adalah pengurus dan pengasuh Panti tersebut. Adapun caranya adalah: a) Mentaati keduanya dalam segala perintah dan larangannya dalam hal yang tidak merupakan maksiat kepada Allah dan dalam hal yang tidak bertentangan dengan syari'at-Nya karena mentaati makhluk dalam perbuatan maksiat kepada Allah tidaklah dibenarkan. b) Menghormati, berbicara dengan halus, merendahkan diri, dan memuliakan keduanya dengan ungkapan dan perbuatan, tidak boleh menghardik keduanya. c) Berbuat baik kepada kedua orang tua, baik masih hidup maupun sudah meninggal.38 d) Melindungi dan mendoakan keduanya. e) Hormat dengan sikap terima kasih. f) Menunaikan wasiat kecuali maksiat. g) Selalu membantu ibu dan bapak (d) Akhlak terhadap keluarga Akhlak terhadap keluarga dapat diwujudkan dalam bentuk saling membina rasa dan kasih sayang dalam kehidupan keluarga, saling menunaikan kewajiban untuk memperoleh hak, berbakti kepada ibu bapak, mendidik anak dengan kasih sayang, memelihara hubungan silaturrahim dan melanjutkan silaturrahim yang dibina orang tua yang telah meninggal dunia. (e) Akhlak terhadap tetangga Akhlak terhadap tetangga dapat diwujudkan dalam bentuk: a) Saling mengunjungi dan saling membantu di waktu susah dan senang. b) Saling tukar menukar hadiah atau pemberian. c) Saling hormat-menghormati dan saling menghindari pertengkaran dan permusuhan. d) Tidak boleh saling menyakiti. e) Tidak boleh melampaui hak milik. f) Tidak boleh menyebarkan rahasia tetangga. g) Tidak boleh membuat gaduh. h) Saling memberi nasihat. i) Menjenguk apabila sakit dan menghibur apabila mendapat musibah. j) Bila berjanji menepati.
38
Ibid., hlm.95
81
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Tasawuf Dikalangan Pendidik Muhammadiyah Kabupaten Pandeglang: Agung Soleh Rahayu dan Naf’an Tarihoran
(f) Akhlak terhadap sesama muslim Akhlak terhadap sesama muslim bisa diwujudkan dengan: a) Saling mengucapkan salam dan menjawab salam apabila bertemu. b) Menjawab bersin. c) Menyambung silaturrahim. d) Saling melindungi keselamatan jiwa dan harta. e) Melayat atau ta’ziah. f) Bersifat pemaaf dan saling menolong. g) Menepati janji. h) Membina persatuan dan kesatuan bersama. i) Bersikap adil, tidak boleh saling mencela dan menghina. j) Berlomba-lomba dalam kebaikan. k) Saling nasihat menasihati dalam hal kebaikan dan ketakwaan. (g) Akhlak terhadap masyarakat Akhlak terhadap masyarakat bisa diwujudkan dengan: a) Memuliakan tamu. b) Menghormati nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. c) Saling menolong dalam melakukan kebajikan dan takwa. d) Memberi dan menjawab salam. e) Tidak boleh mencara-carai kesalahan orang lain. f) Pandai berterima kasih. (3) Akhlak terhadap diri pribadi Akhlak terhadap diri pribadi menurut di Sekolah Muhammadiyah bisa diwujudkan melalui memelihara diri sendiri dari hal-hal yang dilarang oleh agama baik itu fisik maupun psikis seperti: a) Menjaga kesucian jiwa. b) Menghindarkan dari makanan dan minuman yang mengandung racun. c) Hindarkan berbuat tidak baik. d) Pemaaf dan pemohon maaf. e) Sikap sederhana dan jujur. f) Hindarkan perbuatan tercela.39 (4) Akhlak terhadap lingkungan Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada disekitar manusia, baik binatang, tumbuh tumbuhan, maupun benda-benda yang tidak bernyawa. Pada dasarnya akhlak yang diajarkan al-Qur’an terhadap lingkungan bersumber dari 39 Wawancara dengen Acim Hermawan guru aqidah akhlaq dilaksanakan tanggal 10 September 2013 di Madrasah Tsanawiah Muhamadiyah Kubang Kondang
82
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Tasawuf Dikalangan Pendidik Muhammadiyah Kabupaten Pandeglang: Agung Soleh Rahayu dan Naf’an Tarihoran
fungsi manusia sebagai khalifah, dalam pandangan akhlak Islam, seseorang tidak dibenarkan mengambil buah sebelum matang, atau memetik bunga sebelum mekar, karena hal ini berarti tidak member kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptaan Nya. Adapun caranya yaitu: a) Memberi makan dan minum terhadap binatang, khususnya binatang ternak. b) Mengasihi dan menyayangi binatang dan tumbuhan c) Menyirami tanaman d) Menyembelih binatang dengan cara yang baik sesuai hukum syari'at Islam. e) Tidak menyiksa binatang dan tidak merusak tanaman. f) Menyadari adanya hak Allah atas binatang-binatang yang harus dizakati. g) Menjaga kelestarian alam. h) Jangan menebang pohon sembarangan. i) Tidak boleh kencing dibawah pohon.40
40Ibid
83
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Konsep Belajar dan Pembelajaran menurut Al-Ghazali: Asep Hermawan
KONSEP BELAJAR DAN PEMBELAJARAN MENURUT AL-GHAZALI Asep Hermawan
Abstrak. Belajar dalam pandangan Islam memiliki arti yang sangat penting, sehingga hampir setiap manusia tak pernah lepas dari aktivitas belajar.Kegiatan belajar dan pembelajaran adalah tema sentral bagi pelaksanaan pendidikan, karena kegiatan ini merupakan aktivitas riil yang di dalamnya terjadi interaksi antara pendidik dan peserta didik. Banyak ahli pendidik Islam yang telah memberikan perhatian serius dalam mengkaji aktivitas belajarpembelajaran antara lain imam al-Ghazali yang merupakan salah satu pemikir cendekiawan muslim dalam pendidikan yang kompeten dalam mengembangkan pemikiran pendidikan Islam pada zamannya. Ironisnya pada saat ini banyak dari kalangan para pemerhati pendidikan khususnya Pendidikan Agama Islam, mengambil konsep-konsep pendidikan hanya mengekor pada konsep pendidikan barat secara tidak kritis.Tidak hanya sampai di situ, selain mengekor pada pandangan barat juga memandang dengan sebelah mata bahkan meninggalkan kajian-kajian terhadap para pemikir pendidik Islam seperti imam al-Ghazali. Al-Ghazâlî merupakan tokoh pemikir Islam yang banyak memberikan karya monumental dalam berbagai kajian keislaman. Beliau dikenal luas sebagai seorang tokoh sufi, oleh karenanya tidak heran jika pemikirannya banyak diilhami oleh nilai-nilai tasawwuf, termasuk hasil pemikirannya dalam bidang pendidikan. Dalam hal belajar dan pembelajaran misalnya, al-Ghazâlî terinspirasi dengan pola kehidupan sufi, yaitu bagaimana seorang anak didik dan pendidik melaksanakan aktivitas belajar mengajarnya berdasarkan perspektif ajaran Islam. Sebagai titik tolak dari kedua aktivitas itu al-Ghazâlî menyatakan bahwa kegiatan belajar pembelajaran itu harus diniatkan sebagai aktivitas ibadah kepada Allah dan mencari keridhaan-Nya. Imam al-Ghazali berpandangan bahwa belajar itu adalah suatu proses jiwa untuk memahami makna sesuatu sebagai upaya pembentukan akhlakul karimah guna mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub) demi mencapai keselamatan di dunia dan di akherat. Konsep pembelajaran Imam al-Ghazali lebih menekankan pada persyaratan moral/ akhlak, akan tetapi pada pengajar saja sebagai al-Mu’allim (pengajar). Artinya; seorang pengajar itu harus memiliki peran/ akhlak yang baik dalam mengajar. Kata Kunci : Belajar, Pembelajaran dan Al-Ghazali PENDAHULUAN Kehidupan manusia selalu penuh dengan kegiatan yangdilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja, terencana maupun secara tiba-tiba.Kejadian atau
84
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Konsep Belajar dan Pembelajaran menurut Al-Ghazali: Asep Hermawan
kegiatan tersebut menimbulkanpengalaman hidup.Sedang pengalaman hidup sendiri pada dasarnya adalahhasil belajar. Dalam pengertian belajar banyak cakupannya, seperti belajar itu suatu proses perubahan. Perubahan-perubahan tersebut merupakan perubahan yang positif artinyaperubahan yang menuju ke arah kemajuan atau perbaikan. Belajar dalam pandangan Islam memiliki arti yang sangat penting,sehingga hampir setiap saat manusia tak pernah lepas dari aktivitas belajar.Kalaulah di ambil makna yang luas dari kata belajar, seyogianya tidakhanya melibatkan kognisi (proses berfikir yang melibatkan akal/pikiran), tetapijuga hati (emosi dan spiritual), serta berlandaskan iman (keinginan kuat untukmenemukan-Nya).i “Pendidikan hanya menghasilkan air mata”, ii melalui judul tulisan ini, Shindunata, di dalam majalah basis, hendak menyingkap betapa anomali kemanusiaan seringkali terjadi dalam dinia pendidikan. Hal ini secara gamblang terlihat pada desain cover majalah basis, yaitu sebuah pensil yang seharusnya digunakan untuk menulis dalam kegiatan mengajar-belajar, malah menusuk mata seorang ibu tua, sehingga matanya mengeluarkan butiran-butiran air mata kesedihan yang membasahi pipinya yang mulai keriput. Inilah potret dunia pendidikan yang kian memprihatinkan,bahkan menggelisahkan banyak orang. Keadaan tersebut mengisyaratkan, bahwa dehumanisasi pendidikan sekolah menjadi sesuatu yang tak terpisahkan dari kehidupan, pendidikan seolah menjadi hantu masyarakat. Dehumanisasi pendidikan meminjam istila Paulo Freire, adalah pendidikan yang menindas, mengekang, dan membelenggu subyek belajar baik peserta belajar maupun pengajar itu sendiri. Dari peserta belajar, bentuk keterbelengguan itu, misalnya, terlihat tetkala peserta belajar terhergemoni oleh kekuatan kapital dari luar dirinya, sebuah kekuatan yang tidak memberi ruang kebebasan pserta belajar (manusia dan atau pun masyarakat ) untuk bertumbuh dan berkembang secara wajar. Dalam situasi seperti ini peserta belajar menjadi terbungkam, sehingga daya kritis dan kreatifnya menjadi hilang.Hal ini berakibat, misalnya, peserta belajar menjadi tidak peka dan jeli dalam menangkap perubahan zaman yang kian kompleks. Pendidikan tersebut menyebabkan peserta belajar menjadi terasing dari diri dan dunianya. Lebih lanjut manusia sudah tidak lagi merasa dirinya berada dalam pelukan zaman dan pengayoman lingkungannya serta terancam oleh dunianya sendiri.iii Jika demikian, hal menjadi petunjuk bahwa pendidikan sudah kehilangan makna sejatinya yang manusiawi.
85
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Konsep Belajar dan Pembelajaran menurut Al-Ghazali: Asep Hermawan
Problematika ini juga dialami oleh pendidikan Islam, yang perlu di carikan dan dipikirkan solosinya, Azyumardi Azra, misalnya, mengindetifikasikan persoalan-persoalan tersebut sebagai akibat sistem pendidikan Islam yang meliputi metodologi, mata pelajaran, dan tenaga pengajar yang kurang, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Di samping itu, perkembangan teknologi dan imformasi yang kian pesat, iv pasti jugu menimbulkan berbagai persoalan pendidikan Islam dewasa ini. Dari sisi metodologi, pendidikan Islam masih cederung menitikberatkan pada kemampuan hafalan dan kekuatan logika.Menurut Mastuhu v metode pendidikan Islam lebih bersifat mikanistik, mengutamakan pengayaan materi dari pada menbangun sikap reflektif dan kreatif.Jika dikalkulasikan secara akal sehat, sebenarnya sistem pembelajaran seperti ini cukup meresahkan dan membebani peserta belajar, apalagi ditambah dengan padatnya kurikulum akhirakhir ini, seperti yang diresahkan oleh masyarakat. Dari sisi materi, persoalanpersoalan aktual yang berkembang dalam masyarakat seringkali menjadi sesuatu yangf kurang tersentuh oleh proses pendidikan di ruang kelas, setidaknya antara apa yang seharusnya dan apa yang senyatanya dikaji kurang berimbang. Demikian pula, antara teori dengan prakteknya tidak berjalan seiring, bahkan kecendrungan teorisasi lebih dominan, daripada prakteknya dalam proses mengajar-belajar. Keadaan ini pada gilirannya membuat pertumbuhan pemikiran baik dari komseptual maupun operasional-praksis pendidikan Islam menjadi terhambat, yang berakibat pada paradigma pendidikan Islam menjadi sulit berkembang. Manusia-manusia yang dihasilkan dan dimunculkan dari dunia pendidikan pun hanya mencetak manusia yang tidak siap pakai dan tidak siap untuk balajar dan memerdekakan dirinya untuk menjadi manusia pembelajar Keterbelakangan yang terjadi dalam dunia pendidikan dan atau pun pendidikan Islam menurut hipotesa penulis, adalah adanya pemaknaan dan interpretasi secara parsial mengenai konsepsi manusia ( baca : peserta belajar ) yang merupakan permasalahan fondasional. Dalam sistem pendidikan dan proses mengajar-belajar, peserta belajar di posisikan sebagai objek yang tidak mengetahui apa-apa, ia ibarat botol atau bejana kosong yang harus di isi dan di beri makanan pengetahuan dengan kata-kata, gambar-gambar dari pihak pendidik. Semakin patuh pendidik menanggung proses pengisian ini, dan peserta belajar semakin merelakan segala sesuatu di sajikan pada dirinya, maka pendidikan akan semakin di anggap sukses. Pendidik adalah pusat segalagalanya, dan peserta belajar akan mengidentifikasikan dirinya seperti pendidiknya sebagai prototipe ideal yang mesti di ikuti. Konsekuensinya adalah, apabila
86
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Konsep Belajar dan Pembelajaran menurut Al-Ghazali: Asep Hermawan
peserta belajar memberontak di isi secara penuh, karena bahna makanan yang di sajikan tidak sesuai dan tidak cocok dengan selera peserta belajar serta tidak memberikan kepuasan bathin kepada dirinya, maka peserta belajar di anggap tidak berkembang dan bahkan di anggap “ bodoh ”. Pendidikan merupakan aktivitas vital dalam upaya meningkatkan sumber daya manusia melalui transfer ilmu pengetahuan, keahlian dan nilai-nilai kehidupan guna membekali anak didik menuju kedewasaan dan kematangan pribadinya. Mengingat pentingnya pendidikan, maka diperlukan upaya yang serius, sistematis, melembaga dan berkelanjutan dari seluruh pihak sebagai upaya mempersiapkan anak bangsa menuju kehidupan bangsa yang lebih sejahtera, maju, dan beradab. Kegiatan belajar dan mengajar adalah tema sentral yang menjadi inti pelaksanaan pendidikan, karena kegiatan ini merupakan aktifitas riil yang di dalamnya terjadi interaksi antara pendidik dan anak didik. Banyak ahli pendidikan Islam yang telah memberikan perhatian serius dalam mengkaji aktivitas belajar mengajar, antara lain Belajar dan Pembelajaran dalam Pandangan al-Ghazâlîyang sebagian pemikirannya akan dituangkan dalam jurnal ini. Sejarah Hidup Imam Al-Ghazali Al-Ghazali merupakan tokoh pemikir Islam yang banyak memberikan karya monumental dalam berbagai kajian keislaman. Beliau dikenal luas sebagai seorang tokoh sufi, oleh karenanya tidak heran jika pemikirannya banyak diilhami oleh nilai-nilai tasawwuf, termasuk hasil pemikirannya dalm bidang pendidikan. Imam Al-Ghazali yang nama lengkapnya adalah Abu Hamid bin AlTursi Al-Ghazali, lahir di Tus tahun 450 H (1059 M). Tus yaitu suatu kota kecil di Khurasan, yang termasuk wilayah Persia atau Iran sekarang. Ayahnya adalah seorang pengikut tasawwuf yang shaleh, yang meninggal dunia ketika Al-Ghazali masih kecil. Akan tetapi sebelum wafatnya ia telah menitipkan kepada seorang sufi untuk mendapat pemeliharaan dan bimbingan dalam hidupnya.vi Al-Ghazali kadang-kadang diucapkan Al-Ghazzali (dua z), kata ini berasal dari ghazzal, artinya tukang pintal benang, karena pekerjaan ayah AlGhazali adalah memintal benang wol. Sedangkan Al-Ghazali, dengan satu z, diambil dari kata gahzalah, nama kampung kelahiran Al-Ghazali, yang terakhir inilah yang banyak dipakai. Ayah A-Ghazali adalah seorang tasawwuf yang shaleh.Ia meninggal dunia ketika Al-Ghazali beserta saudaranya masih kecil.
87
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Konsep Belajar dan Pembelajaran menurut Al-Ghazali: Asep Hermawan
Akan tetapi, sebelum wafatnya iatelah menitipkan kedua anaknya itu kepada seorang tasawwuf pula untuk di bimbing dan di pelihara. Imam Al-Haramain adalah guru Imam Al-Ghazali. Imam Al-Haramain adalah seorang ulama (sarjana besar) yang terkenal, bersama Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf, dengan penggilan Abdul Ma’ali dan sebutan Dhiyauddin. Karena kebesarannya dia dipercaya oleh Perdana Menteri Nizamul Mulk untuk menjadi Rektor atau Presiden dari Madrasah (Universitas) Nizamiyah di Nisabur.Kepada Imam Al-Haramain inilah Imam Al-Ghazali diakui mengimbangi keahlian gurunya. Pada tahun 475 H, dalam usianya 25 tahun Imam Al-Ghazali mulai menjadi Dosen, di bawah pimpinan gurunya Imam Al-Haramain. Dosen di Universitas Nizamiyah di Nisabur, telah mengangkat namanya begitu tinggi, apalagi setelah dipercayai oleh gurunya untuk menggantikan kedudukannya baik sebagai Maha Guru maupun Peresiden Universitas (rektor).vii Belajar dan Pembelajaran Pendidikan merupakan aktivitas vital dalam upaya meningkatkan sumber daya manusia melalui transfer ilmu pengetahuan, keahlian dan nilai-nilai kehidupan guna membekali anak didik menuju kedewasaan dan kematangan pribadinya. Mengingat pentingnya pendidikan, maka diperlukan upaya yang serius, sistematis, melembaga dan berkelanjutan dari seluruh pihak sebagai upaya mempersiapkan anak bangsa menuju kehidupan bangsa yang lebih sejahtera, maju, dan beradab. Kegiatan belajar dan mengajar adalah tema sentral yang menjadi inti pelaksanaan pendidikan, karena kegiatan ini merupakan aktifitas riil yang di dalamnya terjadi interaksi antara pendidik dan anak didik.Banyak ahli pendidikan Islam yang telah memberikan perhatian serius dalam mengkaji aktivitas belajar mengajar. Belajar sangat penting bagi umat manusia, hampir setiap manusia tak lepas dari aktivitas belajar setiap harinya.Keunggulan suatu umat manusia atau bangsa juga bergantung kepada seberapa banyak mereka menggunakan rasio yang merupakan anugerah Tuhan untuk belajar dan memahami ayat-ayat Allah swt.Hingga Al-Qur’an mengangkat derajat orang yang berilmu ke derajat yang luhur. Semua manusia mempunyai semangat dalam kehidupannya untuk belajar dan belajar yang tertuang dalam hadits nabi bahwa; “Carilah ilmu mulai dari buaian
88
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Konsep Belajar dan Pembelajaran menurut Al-Ghazali: Asep Hermawan
(lahir) hingga liang lahat (wafat).” HR. Muslim. Maka manusia akan merasakan nikmatnya berilmu dan terus menggali pengetahuan untuk bekal hidup di masa depannya, dan tidak akan menyia-nyiakan kehidupan dengan berfoya-foya dan menganggur saja. Pembelajaran ialah proses dua arah, di mana mengajar dilakukan oleh pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik atau murid. Seorang guru membelajarkan siswa dengan menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan. Istilah pembelajaran lebih popular dan lebih tepat ketimbang proses belajar mengajar yang tekanannya pada motivasi peserta didik untuk aktif agar mereka dapat menemukan sendiri cara belajar yang tepat baginya (learn how to learn). Kalau secara filosofi dalam proses pembelajaran dinyatakan berilah pancing dan ajari cara memancing dan jangan diberikan kepada mereka ikan yang telah siap dimakan. Maka di sini akhirnya para peserta didik harus mampu mencari dan membangun sendiri pengetahuannya. Bagi kaum kontruktivis, mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke murid, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Menurut kaum kontruktivis, seorang pengajar atau guru berperan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar murid berjalan dengan baik. Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa pengajar atau guru mempunyai derajat yang tinggi, dan kedudukan yang agung dan mulia.Dengan persyaratan yang sedemikian rupa, pengajar merupakan seorang yang ahli dalam bidangnya, dan bukan hanya sekedar iseng dalam mengajar, apalagi hanya mengejar upah dari pekerjaannya mengajar. Jika seorang pengajar mampu memiliki semangat jihad dalam mengajar dengan menjalankan persyaratan keprofesionalan, maka seorang pengajar akan berhasil dalam memberikan apa yang diinginkan oleh peserta didik yakni pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman dalam pembentukan kepribadiannya untuk bekal kehidupannya di masa depan. Dalam belajar yang telah diungkapkan oleh para ulama terdahulu seperti Imam Al-Ghazali yang terfokus pada hubungan guru dan peserta didik serta proses belajar dan mengajar yang dilakukan oleh pihak guru dan peserta didik di atas berpijak pada teori behavioristic, memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar atau siswa. Siswa diharapkan
89
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Konsep Belajar dan Pembelajaran menurut Al-Ghazali: Asep Hermawan
akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid. Hakikat Belajar Terdapat banyak ahli yang berusaha mendefinisikan belajar, diantaranya adalah: a. James O. Wittaker: “Learning may be difined as the process by which behavior originates or altered training or experience viii Belajar adalah proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman. b. Cronbach: “Learning is shown by change in behavior as a result of experience”.ix Belajar adalah ditunjukan oleh perubahan dalam tingkah laku sebagai hasil pengalaman. c. Howard L. Kingsley: “Learning is the process by which behavior (in the broader sense) is originated or change through practice or trining” x Belajar adalah proses yang dengannya tingkah laku (dalam arti yang luas) ditimbulkan atau diubah melalui praktik dan latihan. d. Chaplin :“Acquisition of any relatively permanent change in behavior as a result of practice and experience.” xi Belajar adalah perolehan perubahan tingkah laku yang relatif menetap atau permanen sebagai akibat latihan dan pengalaman. Keempat rumusan di atas menekankan belajar kepada perubahan perilaku sebagai hasil dari latihan dan pengalaman.Dengan demikian mereka lebih cenderung meninjau belajar sebagai perubahan perilaku dan termasuk dalam tokoh aliran behaviorisme. Definisi belajar yang lebih kompleks adalah sebagaimana diungkapkan oleh Reber yang mendefinisikan belajar dalam dua pengertian berikut; (1) Learning as the process of acquiring knowledge. Belajar adalah sebagai proses memperoleh ilmu pengetahuan; (2) Learning is a relatively permanent change in respons potentialitywhich occurs as a result of reonfeced practice”. xii Belajar sebagai suatu perubahan kemampuan bereaksi yang relative langgeng sebagai hasil latihan yang diperkuat. Dengan nada yang sama, Winkle memberikan definisi belajar sebagai berikut: “Belajar adalah suatu proses mental yang mengarah pada suatu penguasaan pengetahuan, kecakapan, kebiasaan atau sikap yang semuanya
90
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Konsep Belajar dan Pembelajaran menurut Al-Ghazali: Asep Hermawan
diperoleh, disimpan dan dilaksanakan sehingga menimbulkan tingkah laku yang progresif dan adaptif”.xiii Definisi di atas menekankan pengertian belajar pada aspek kognitif – disamping behavioris (tingkah laku) –yaitu belajar sebagai upaya memperoleh ilmu pengetahuan, pemahaman, kecakapan, kebiasaan dan sikap yang disimpan dan dilaksanakan sehingga melahirkan perubahan pengetahuan dan tingkah laku. Disamping istilah belajar, dikenal juga pembelajaran. Pembelajaran dilukiskan oleh Dimyati sebagai upaya memberikan arahan dan bimbingan yang dilakukan oleh seseorang (guru/ pendidik) dalam proses belajar anak. Sebagai contoh seorang guru yang memberikan penjelasan bagaimana seorang anak harus belajar di SD selama enam tahun, yang kemudian dilanjutkan dengan sekolah di SMP selama tiga tahun, sekolah di SMA selama tiga tahun dan pada akhirnya melanjutkan ke Perguruan Tinggi sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliki anak.xiv Belajar dan Pembelajaran Menurut Al-Ghazali. Berkaitan dengan belajar Al-Ghazali menyatakan belajar itu suatu proses pengalihan ilmu pengetahuan dari guru ke siswa. Dalam pembelajaran siswa membutuhkan seorang guru dalam memperoleh ilmunya.Pendidikan yang dilakukan oleh seorang syeikh seperti pekerjaan yang dilakukan oleh petani, yang menyingkirkan duri dari tanaman liar yang mengganggu agar tanaman dapat tumbuh dengan baik dan produktif. Oleh karena itu, seorang salik harus memiliki syeikh yang akan mendidik dan menuntunnya ke jalan Allah Ta’ala.Dalam hadits Rasulullah mengungkapkan bahwa wajib hukumnya belajar (menuntut ilmu). Dalam Al-Qur’an dijelaskan mengenai ayat yang menerangkan keutamaan belajar, yaitu firman Allah Ta’ala: (Q.S: At-Taubah: 122) $tBuršc%x.tbqãZÏB÷sßJø9$#(#rã•ÏÿYuŠÏ9Zp©ù!$Ÿ24Ÿwöqn=s ùt•xÿtR`ÏBÈe@ä.7ps%ö•ÏùöNåk÷]ÏiB×pxÿͬ!$sÛ(#qßg¤)xÿtGuŠÏ j9’ÎûÇ`ƒÏe$!$#(#râ‘ É‹YãŠÏ9uróOßgtBöqs%#sŒÎ)(#þqãèy_u‘ öNÍ köŽs9Î)óOßg¯=yès9šcrâ‘ x‹øts†ÇÊËËÈ Artinya: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada
91
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Konsep Belajar dan Pembelajaran menurut Al-Ghazali: Asep Hermawan
kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapatmenjaga dirinya.” Berkaitan dengan belajar, al-Ghazâlî memandang anak sebagaisuatu anugerah Allah dan sekaligus sebagai amanah bagi orang tuanya.Orang tua-menurut al-Ghazâlî–memegang peranan penting dalamupaya mencapai keberhasilan belajar anak. Oleh karenanya, jika orangtua dapat melaksanakan amanah, ia akan mendapat pahala di sisi Allah,dan sebaliknya jika ia melalaikan tugas dan amanah, ia akan mendapatkan dosa. Al-Ghazâlî mnyatakan bahwa wajib hukumnya belajar (menunut ilmu). Kewajiban menuntut ilmu ini ia kutip dari sabda Rasulullah SAW yang menyatakan, tuntutlah ilmu sampai ke negeri China sekalipun. Berkaitan dengan tujuan belajar al-Ghazâlî menekankan belajar sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah.Al-Ghazâlî tidak membenarkan belajar dengan tujuan duniawi. Dalam hal ini, al-Ghazâlî menyatakan : “Hasil dari ilmu pengetahuan sesungguhnya adalah mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan sekalian alam, dan menghubungkan diri dengan malaikat yang tinggi dan berkumpul dengan alam arwah. Semua itu adalah keagungan dan penghormatan secara naluriyah.”xv Pandangan al-Ghazâlî di atas bersumber dari pandangan ekstrimnya bahwa segala bentuk ibadah (yang di dalamnya termasuk belajar) harus diniatkan untuk mencari keridhaan Allah, melalui pendekatan (taqarrub) kepada-Nya.xvi Dalam belajar dan pembelajaran, al-Ghazâlî mengajarkan bahwa belajar adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran yang bertahap, dimana proses pembelajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah menjadi manusia sempurna.” Berdasarkan pernyataan di atas, ada beberapa hal yang menjadi perhatian al-Ghazâlî, yaitu: 1. Belajar dan pembelajaran adalah proses memanusiakan manusia. Prinsip ini sesuai dangan aliran psikologi belajar humanisme, yang menawarkan prinsip-prinsip belajar humanistik, yaitu : - Manusia mempunyai kemampuan untuk belajar secara alami - Belajar berarti jika mata palajaran sesuai dengan maksudnya sendiri
92
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Konsep Belajar dan Pembelajaran menurut Al-Ghazali: Asep Hermawan
Belajar akan bermakna jika siswa melakukannya, bertanggung jawab, berinisiatif, percaya diri, kreatif, mawas diri, introspeksi, dan terbuka.xvii 2. Waktu belajar adalah seumur hidup, dimulai sejak lahir hingga meninggal dunia. Bahkan al-Ghazâlî menegaskan bahwa untuk mencapai keberhasilan belajar anak, orang tua sebagai pembelajar anak yang pertama memulai proses pembelajarannya sebelum anak itu lahir, yaitu ketika ia hendak melakukan hubungan suami isteri, karena hal itu akan mempengaruhi kualitas anak yang dilahirkan. Dalam kaitan ini al-Ghazâlî menyatakan dalam Adâb al- Mu’âsyarah (Adab Pergaulan Suami Istri), dalam melakukan hubungan suami isteri yang benar menurut sunnah Rasul, antara lain disebutkan harus dalam keadaan suci dari hadats kecil (berwudlu’), membaca basmalah, Surat al-Ikhlas, membaca takbir, tahlil dan doa-doa lainnya.xviii Belajar adalah sebuah pengalihan ilmu pengetahuan. Ini sesuai dengan pendapat salah seorang tokoh psikologi kognitif Reber dan Wilke, sebagai berikut: “Learning is a relatively permanent change in respons potentiality which occurs as a result of enforced practice”. xix (Belajar sebagai suatu perubahan kemampuan bereaksi yang relatif langgeng sebagai hasil latihan yang diperkuat). Demikian juga, Winkle berpendapat bahwa “Belajar adalah suatu proses mental yang mengarah pada suatu penguasaan pengetahuan, kecakapan, kebiasaan atau sikap yang semuanya diperoleh, disimpan dan dilaksanakan sehingga menimbulkan tingkah laku yang progresif dan adaptif”.xx Berkaitan dengan tujuan belajar, Al-Ghazali menekankan belajar sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT Al-Ghazali tidak membenarkan belajar dengan tujuan duniawi. Al-Ghazali berpesan: “Jika niatmu adalah untuk memperoleh harta, kesenangan dunia, kedudukan dan untuk menyombongkan diri terhadap kawan dan hal-hal semacamnya, maka sungguh merugi kau…, sungguh merugi kau…, jika tujuanmu untuk menghidupkan syari’ah Nabi Saw, memperbaiki akhlak, menundukkan nafsu amarah, maka sungguh beruntung kau”.xxi Pembelajaran menurut Dedeng adalah upaya untuk membelajarkan xxii siswa. Sedangkan mengajar menurut Al-Ghazali adalah pekerjaan paling mulia dan sekaligus tugas paling agung, pendapatnya ini ia kuatkan dengan beberapa -
93
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Konsep Belajar dan Pembelajaran menurut Al-Ghazali: Asep Hermawan
ayat Al-Qur’an dan al-Hadits tentang tingginya status guru yang sejajar dengan tugas kenabian. Berkaitan dengan belajar, Al-Ghazali memandang anak sebagai suatu anugrah Allah dan sekaligus sebagai amanah bagi orang tuanya. Orang tua menurut Al-Ghazali memegang peranan penting dalam upaya mencapai keberhasilan belajar anak. Oleh karenanya, jika orang tua dapat melaksanakan amanah, ia akan mendapatkan pahala di sisi Allah, dan sebaliknya jika ia melalaikan tugas dan amanah, ia akan mendapatkan dosa. Berkaitan dengan tujuan belajar Al-Ghazali menekankan belajar sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah. Al-Ghazali tidak membenarkan belajar dengan tujuan duniawi. Dalam hal ini, Al-Ghazali menyatakan : “Hasil dari ilmu pengetahuan sesungguhnya adalah mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan sekalian alam, dan menghubungkan diri dengan malaikat yang tinggi dan berkumpul dengan alam arwah. Semua itu adalah keagungan dan penghormatan secara naluriyah”xxiii Dalam belajar dan pembelajaran, Al-Ghazali mengajakan bahwa belajar adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang sisampaikan dalam bentuk pengajaran yang bertahap, dimana proses pembelajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah menjadi manusia sempurna. Berdasarkan pernyataan di atas, ada beberapa hal yang menjadi perhatian Al-Ghazali, yaitu : 1. Belajar dan pembelajaran adalah proses memanusiakan manusia. Perinsip ini sesuai dengan aliran psikologi belajar humanisme, yang menawarkan perinsip-perinsip belajar humanistik, yaitu : - Manusia mempunyai kemampuan untuk belajar secara alami - Belajar berarti jika mata pelajaran sesuai dengan maksudnya sendiri - Belajar akan bermakna jika siswa melakukannya, bertanggung jawab, berinisiatif, percaya diri, kreatif, mawas diri, intropeksi, dna terbuka.xxiv 2. Waktu belajar adalah seumur hidup, dimulai sejak lahir hingga meninggal dunia. Bahkan Al-Ghazali menegaskan bahwa untuk mencapai keberhasilan belajar anak, orang tua sebagai pembelajar anak yang pertama memulai proses pembelajarannya sebelum anak itu lahir, yaitu ketika ia hendak melakukan hubungan suami istri, karena hal itu mempengaruhi kualitas anak yang dilahirkan. Dalam kaitan ini AlGhazali menyatakan dalam Adab al-Mu’asyarah (Adab Pergaulan Suami
94
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Konsep Belajar dan Pembelajaran menurut Al-Ghazali: Asep Hermawan
Istri), dalam melakukan hubungan suami istri yang benar menurut sunah Rasul, antara lain disebutkan harus dalam keadaan suci dari hadats kecil (berwudhu), membaca basmalah, surat al-Ikhlas, membaca takbir, tahlil dan doa-doa lainnya.xxv 3. Belajar adalah sebuah pengalihan ilmu pengetahuan. Ini sesuai dengan pendapat salah seorang tokoh psikologi kognitif Reber dan Wilke, sebagai berikut : “Learning is a relatively permanent change in respons potentiality which occurs as a result of enforced practice” xxvi (belajar sebagai suatu perubahan kemampuan bereaksi yang relatif lenggang sebagai hasil latihan yang diperkuat). Demikian juga, Winkle berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses mental yang mengarahkan pada suatu penguasaan pengetahuan, kecakapan, kebiasaan atau sikap yang semuanya diperoleh, disimpan dan dilaksanakan sehingga menimbulkan tingkah laku yang progresif dan adaptif.xxvii Namun demikian, Al-Ghazali lebih menekankan pada proses belajar dan pembelajaran yang mengarah kepada perubahan tingkah laku, sebagaimana dinyatan oleh Al-Ghazali sebagai berikut : a. Belajar merupakan proses jiwa b. Belajar menuntut konsentrasi c. Berlajar harus didasari sikap tawadhu d. Belajar bertukar pendapat hendaknya harus mantap dasarnya e. Belajar harus mengetahui nilai dan tujuan ilmu yang sedang dipelajari f. Belajar secara bertahap g. Tujuan belajar adalah membentuk akhlaq yang muliaxxviii Berdasarkan hal di atas, ada beberapa hal yang dapat diperhatikan, yaitu bahwa belajar adalah menuntut adanya konsentrasi dalam bentuk perhatian penuh terhadap apa yang dipelajari. Tanpa perhatian maka tidak akan ada kegiatan belajar. Anak akan memberikan perhatian, ketika mata pelajarannya sesuai dengan kebutuhannya. Apabila mata pelajaran itu sesuai dengan sesuatu yang dibutuhkan, diperlukan untuk belajar lebih lanjut, atau diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, akan membangkitkan motivasi untuk mempelajarinya. Jika siswa tidak mempunyai perhatian alami, ia perlu dibangkitkan perhatiannya.xxix Al-Ghazali dalam membahas belajar menganjurkan untuk memanusiakan manusia dalam pembelajaran yang dilakukan seumur hidup, mencari ridha Allah, konsentrasi dalam belajar, dan mensucikan juwa dalam belajar.Sedangkan dalam mengajar Al-Ghazali menekankan fungsi guru dalam
95
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Konsep Belajar dan Pembelajaran menurut Al-Ghazali: Asep Hermawan
mengajar sebagai tauladan, motivator, pembimbing dan mengajar dengan penuh kasih sayang. Dalam konteks belajar, ada guru yang mengajarkan ilmu, ada murid yang diberi ilmu serta waktu yang dibutuhkan dalam belajar, hingga berkembang pada sistem pembelajaran (adanya interaksi belajar mengajar antara guru dan murid).Dalam interaksi tersebut guru memegang peranan kunci bagi berlangsungnya kegiatan pendidikan. Tanpa kelas, gedung, peralatan dan sebagainya proses pendidikan masih dapat berjalan walaupun dalam keadaan darurat, tetapi tanpa guru proses pendidikan hampir tak mungkin dapat berjalan Penutup Dari penjelasan yang dipaparkan di atas maka dapatlah ditarik benang merah bahwa al-Ghazâlî dalam membahas belajar, menganjurkan untuk memanusiakan manusia dalam pembelajaran yang dilakukan seumur hidup, mencari ridla Allah, konsentrasi dalam belajar, dan mensucikan jiwa dalam belajar.Sedangkan dalam hal pembelajaran al-Ghazâlî menekankan fungsi guru dalam mengajar sebagai tauladan, motivator, pembimbing, dan mengajar dengan penuh kasih sayang. 1. Konsep belajar dan pembelajaran menurut Imam al-Ghazali; belajar itu suatu proses jiwa untuk memahami makna sesuatu sebagai upaya pembentukan akhlakul karimah guna mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub) demi mencapai keselamatan di dunia dan di akhirat. Imam alGhazali mengatakan: “Inti dari ilmu adalah pengetahuan yang membuatmu faham akan makna ketaatan dan ibadah. Ketahuilah bahwa ketaatan dan ibadah dalam rangka melaksanakan perintah dan larangan Allah haruslah sesuai dengan Syari’at. 2. Konsep pembelajaran Imam al-Ghazali menekankan pada persyaratan moral/ akhlak, akan tetapi pada pengajar saja sebagai al-Mua’llim (pengajar). Artinya; seorang pengajar itu harus memiliki peran/ akhlak yang baik dalam mengajar. Dalam konteks pengembangan ilmu imam alGhazali mengklasifikasikan disiplin ilmu menjadi dua kelompok yaitu; ilmu yang wajib dan menjadi tanggung jawab setiap individu muslim yang diistilahkan dengan fardhu ‘ain, seperti ilmu tauhid, dan hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan ibadah mahdhah (syari’ah), dan ilmu yang wajib dicari dan menjadi tanggung jawab kelompok umat Islam yang diistilahkan dengan fardhu kifayah, seperti ilmu kesehatan, fisika, kimia, matematika, astronomi dan lain-lain.
96
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Konsep Belajar dan Pembelajaran menurut Al-Ghazali: Asep Hermawan
iAhmad
Izzan. Menjadi Muslim Pembelajar.(Bandung; Oase 2007), cet.1,hlm. 6. “Pendidikan Hanya Menghasilkan Air Mata”, Majalah Basis no. 07-08 Tahun ke49, Juli-Agustus 2000, hlm 1. iiiPaulo Freire, Pendidikan politik: Kebudayaan, kekuasaan dan Pembebasan, ter, (Yogyakarta: pustaka pelajar), 2000, hal, 176. iv Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Mellenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana, 1999 ), hal.29. vMatsuhu, Pemberdayaan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana, cet: II 1993), hal. 77.
iiShindunata,
viImam
Syafe’i, Konsep Guru Menurut Al-Ghazali, (Yogyakarta: Duta Pustaka, 1992) Cet ke 1, h. 10. viiImam Syafe’i, Konsep Guru Menurut Al-Ghazali, (Yogyakarta: Duta Pustaka, 1992) Cet ke 1, h. 11. viiiJames, O Whittaker, Introduction to Psychology ( Tokyo : Toppan Comppany Limited, 1997) hlm. 15 ixLee J. Cronbach, Educational Psychology ( New Haartcourt : Grace, 1954), hlm. 47 xHoward L. Kingsley, The Nature and Condition of Learning (New Jersy : Prentice Hall, Inc, Engliwood Clifts, 1957), hlm. 12 xiChaplin, J.P, Dictionary of Psycology (New York : Dell Publishing. Co.Inc, 1972), hlm. 24 xiiArtur Reber, Peguin Dictionary Of Psychology ( Ringwood Victoria : Peguin Book Australia Ltd, 1988), hlm. 32 xiiiW.S. Winkle, Psikologi Pendidikan (Jakarta : Gramedia, 1983), hlm. 162 xivDimyati, Belajar dan Pembelajaran (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1998), hlm. 1-2 xvAl-Ghazâlî, Ihyâ’ Ulûmuddîn, Juz I (tt: Masyadul Husaini, tt), hlm.10 xviAbdul Halim Mahmood, Hal Ihwal Tasawwuf, dari al Munqidz Min al Dlalâl, ter. Abu Bakar Basymeleh (Jakarta: Darul Ihya’, 1994), hlm.179 xviiWasty Sumanto, Psikologi Pendidikan, Landasan Kerja Pemimpin Pendidkan, (Jakarta: Rineka Cipta), hlm. 137-140 xviiiAl-Ghazâlî, Ihyâ’ Ulûmuddîn, Juz II, hlm. 43 xixArthur Reber, Peguin Dictionary of Psychology (Ringwood Victoria: Peguin Book Australia Ltd, 1988,) hlm.32. Dengan definisi yang diberikan oleh Reber itu dapat menjembatani dua kutub aliran belajar yaitu kaum kognitifis dan behavioris. xxW.S. Winkle, Psikologi Pendidikan (Jakarta : Gramedia, 1983), hlm. 162 xxiAbu ‘Abdillah al-Husainy.Terj.Ayyuhal Walad., loc cit., hlm. 16. xxiiHamzah B Uno, Perencanaan Pembelajaran., loc cit., hlm. 2. xxiiiAl-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, Juz I (tt. Masyadul Husaini, tt), h. 10 xxiv Wasty Sumanto, Psikologi Pendidikan, Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan, (Jakarta : Rineka Cipta: 2012 ), hlm. 137-140 xxvAl-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, Juz II, hlm. 43 xxviArthur Reber, Peguin Dictionary of Psychology (Ringwood Victoria : Peguin Book Australia Ltd, 1988) hlm. 32 xxviiW.S. Winkle, Psikologi Pendidikan (Jakarta : Gramedia, 1983), hlm. 162
97
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Konsep Belajar dan Pembelajaran menurut Al-Ghazali: Asep Hermawan Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, hlm. 53. Akhlaq yang mulia, al-Ghazali menyebutkannya dengan al Munjiyat, yaitu sega sifat terpuji yang membawa keselamatan bagi yang memilikinya baik di dunia maupun di akhirat. Sedangkan kebalikannya, ia sebut al Muhlikat, yaitu akhlaq tercela yang membawa orang yang memilikinya kepada kehancuran dan kebinasaan xxix Muhibin, Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2010), hlm. 133
xxviii
98
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Signifikansi Perguruan Tinggi Islam dalam Pengembangan Sosial Budaya: Muhajir
SIGNIFIKANSI PERGURUAN TINGGI ISLAM DALAM PENGEMBANGAN SOSIAL BUDAYA Oleh: Muhajir
Abstrak Perguruan Tinggi Agma Islam (PTAI) merupakan lembaga akademik yang memiliki kontribusi besar dalam melahirkan intelektualis, khususnya dalam membangkitkan semangat keberagamaan . PTAI cukup banyak melahirkan para alumni yang interes pada bidang-bidang sosial budaya, sehingga banyak muncul pengamat sosial dari alumni PTAI. Kiprah pemikiran para alumni PTAI banyak mewarnai dalam bidang kehidupan sosial keagamaan, organisasi sosial keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, PERSIS, PERTI, Matla’ul Anwar dan lain-lain. Lahirnya pengamat sosial budaya dan keagamaan dari para alumni PTAI, tidak hanya bersifat lokal (Indonesia) melainkan juga bersifat internasional. Para alumni PTAI seperti Mukti Ali, Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, Hasyim Muzadi, Din Syamsuddin, Bahtiar Effendy dan, adalah bukti bahwa kompetensi mereka dibidang kehidupan sosial dan keagamaan sudah diakui eksistensinya oleh masyarakat Indonesia dah bahkan sudah diakui oleh dunia. Ketrampilan para alumni PTAI dalam memberikan solusi terhadap masalah-masalah sosial budaya, juga cukup profesional, karena pendekatan yang mereka gunakan tidak hanya menggunakan teori-teori sosial saja melainkan dipadukan antara teori sosial dan teori keagamaan. Kata Kunci: PTAI, alumni, social, keagamaan Pendahuluan Realitas yang ada bahwa Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) hanya melahirkan tukang do’a, imam masjid dan mushalla, dimana para alumninya jika disebut kyai mereka juga belum siap secara keilmuan, jika disebut intelektual kiprah para alumninya dalam bidang birokrasi pemerintahan, politik, ekonomi, sosil dan budaya juga masih jauh tertinggal dengan para alumni Perguruan Tinggi Umum (PTU) lainnya. Ini adalah masalah bagi PTAI, apakah kondisi sekarang masih demikian?. Perguruan Tinggi Agma Islam (PTAI) yang dalam hal ini representasinya adalah IAIN adalah lembaga akademik Islam par excellence, terlepas dari sejumlah kekurangan yang dideritanya. Tantangan akademik yang dihadapinya merupakan keberanian untuk keluar dari homogenitas modernisme ke arah heterogenitas intelektualisme. Untuk tidak terasing dari perkembangan pemikiran kontemporer, IAIN tidak mungkin berkutat pada wacana keislaman puritanisme yang cenderung membangkitkan semangat keberagamaan atas dasar
99
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Signifikansi Perguruan Tinggi Islam dalam Pengembangan Sosial Budaya: Muhajir
rasionalisme sekuler melalui jargon “back to al-Qur’an dan al-Hadis”.Tradisi akademik IAIN sudah saatnya dikembangakan dengan melampoi batas-batas dikotomik modernisme versus tradisionalisme.1 Sehingga merubah para alumninya mempunyai pandangan ke depan (visioner), dan peduli terhadap permasalahan-permasalahan yang di hadapai umat saat ini. Masalah itu tidak jauh dari politik, ekonomi, sosial dan budaya. Tulisan ini mencoba melihat signifikansi Perguruan Tinggi Islam, terutama para alumninya dalam pengembangan sosial budaya. Untuk menjawab masalah tersebut, ada beberapa pertanyaan penelitian yaitu, bagaimana PTAI melahirkan para pengamat sosial budaya, bagaimana alumni PTAI berani bicara dalam Forum Internasional, bagaimana alumni PTAI
1 Lihat, Affandi Mochtar, Membedah diskursus Pendidikan Islam, (Ciputat: Kalimah, 2001), hlm. 135. Pergeseran PTAI dari tradisional ke modern ditandai oleh berbagai macam aspek, diantaranya, aspek kelembagaan, pergeseran ditandai dengan upaya peningkatan profesionalitas-institusional pendidikan Islam. Bila pada masa sebelumnya lembaga pendidikan Islam merupakan lembaga yang dikelola secara amatir, swasta, pribadi, atau keluarga, maka pada saat ini telah banyak yang dikelola dengan sistem manajerial-institusional yang berbeda dari pranata-pranata sosial yang bersifat amatir. Aspek Sosio-kultural mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Bila pada masa sebelumnya kondisi sosio-kultural umat Islam lebih bercorak sufistik, sinkretis, dan primordial, maka dewasa ini bergeser menuju pada masyarakat yang lebih rasional, terbuka, demokratis dan menyadari pluralitas. Pergeseran yang demikian ini tentu menjadikan umat Islam lebih inklusif dan proaktif terhadap berbagai budaya, aliran, mazhab, ilmu pengetahuan dan teknologi. lihat Ainurrofiq Dawam, Quo Vadis IAIN Sunan Kalijaga (Upaya Membangun Landasan Awal), dalam Al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, Volume 41, number 2, 2003/1424, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 2003), hlm. 346. Dalam aspek akademik wacana pendidikan Islam terus mengalami pergeseran sesuai dengan perkembangan zaman. Aspek akademik ini mencakup kurikulum, sumber belajar, metodologi, maupun objek kajian. Kurikulum terus disempurnakan dengan mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu. Lihat, Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 24-28, lihat pula, Mastuhu dan M. Deden Ridwan, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antar Disiplin Ilmu, (Bandung: Nuansa, 1998). Sumber belajar yang mulanya hanya dari seorang kyai dan guru, pada masa ini telah meluas dengan berbagai sumber, seperti buku, media masa, media elektronik, seminar, berbagai pertemuan dan jurnal ilmiah. Metodologi juga mengalami pergeseran dari yang monoton berupa hafalan menjadi sangat variatif. Demikian juga dengan objek kajian, khususnya di Perguruan Tinggi, semakin meluas dan melibatkan berbagai disiplin yang pada masa sebelumnya sangat mustahil untuk dilakukan, seperti kajian agama lain, kajian filsafat, kajian orientalis, bahkan kajian ekonomi, sosial politik, psikologi, kedokteran, dan teknologi, lihat, Kuntowijoyo, “Epistemologi dan Paradigma Ilmu-ilmu Humaniora dalam Perspektif Pemikiran Islam”, dalam Jarot Wahyudi, dkk. (eds.), Menyatukan Kembali Ilmu-ilmu Agama dan Umum: Upaya Mempertemukan Epistemologi Islam dan Umum (Yogyakarta: Suka-Press, 2003), hlm. 69.
100
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Signifikansi Perguruan Tinggi Islam dalam Pengembangan Sosial Budaya: Muhajir
trampil mengatasi problem sosial budaya, mengapa status sosial para alumni PTAI meningkat. PTAI Melahirkan Para Pengamat Sosial Budaya IAIN yang lahir, 1 Juni 1957, mahasiswanya adalah berasal dari kelompok marjinal, baik secara sosial, ekonomi, dan intelektual.2 Sampai pada tahun 1975-an, menurut laporan Azyumardi Azra, posisi alumni IAIN juga masih marjinal, karena ijasah IAIN baru berlaku di lingkungan Departemen Agama saja. Baru setelah tahun 1975-an, para alumni IAIN sudah menyebar di Departemen-departemen lain, seperti Departemen Luar Negeri, Departemen Penerangan, Departemen Kehakiman, Kejaksaan Agung dan Lain-lain. Dalam pada itu, mobilitas “anak-anak” IAIN terlihat pula pada lembaga penelitian ilmiah dan pengembangan masyarakat baik milik pemerintah, dan (apalagi) swasta. Mulai dari LIPI, LRKN dapat ditemukan alumni IAIN. Bahkan pada Lembaga Pengembangan Masyarakat semacam LP3ES, LSP, PPA, P3M dan semacamnya, jumlah jebolan IAIN cukup signifikan dan berkualitas. Pusat pelatihan ilmu-ilmu sosial (YIIS) yang diketuai Selo Sumardjan mencatat, bahwa dalam tahun-tahun terakhir, alumni IAIN yang mengikuti latihan yang berpusat di Ujung Pandang dan Banda Aceh itu semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Bahkan dalam dua tahun terakhir ini, beberapa alumni memperoleh predikat terbaik, sehingga hasil penelitiannya diperesentasikan ke media masa dan khalayak ramai. Semua perkembangan ini tak bisa lain, kecuali mengangkat harkat IAIN menjadi sebuah Perguruan Tinggi yang bergengsi intelektual (Intelektual Prestigious).3 Para alumni PTAI yang interes terhadap masalah sosial budaya, sekaligus sebagai pengamat diantaranya: Abdul Mukti Ali, Nurcholish Madjid, Abdul Malik Fadjar, Hasyim Muzadi, Din Syamsudin, Azyumardi Azra, Komarudin Hidayat, Said Agil Husin Al-Munawwar, Tuti Alawiyah, Bahtiar Effendi, Moeslim Abdurrahman dan lain-lain.4 Dapat dilihat kasus IAIN Yogyakarta adalah salah satu contoh paling jelas dari kondisi di atas. Dari 637 mahasiswa yang mendaftar pada tahun 1997/1998, sebanyak 72 persen (461 orang) berasal dari wilayah pedesaan, dan sisanya sebanyak 28 persen (176) adalah dari perkotaan. Lihat, Fuad Jabali dan Jamhari (Peny.), IAIN Modernisasi Islam di Indonesia, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003), hlm. 169. 3 Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), hlm. 134-135. 4 Fuad Jabali dan Jamhari menyebutkan Para alumni IAIN yang punya pengaruh besar terhadap perubahan sosial ekonomi dan pendidikan, adalah Nurcholish Madjid, Djohan Effendy, Moeslim Abdurrahman, Aswab Mahasin, 2
101
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Signifikansi Perguruan Tinggi Islam dalam Pengembangan Sosial Budaya: Muhajir
Abdul Mukti Ali, adalah tokoh pembaharu Islam yang mempelopori liberalisme pemikiran Islam di era Indonesia modern. Selain sebagai penggagas liberalisme Islam di Indonesia, A. Mukti Ali terkenal sangat moderat dan mau menghargai pluralisme, baik internal masyarakat Islam maupun eksternal di luar Islam. Mukti Ali juga sangat peduli pada dunia pendidikan. Kepedulian itu terlihat dari kegemaran mengajar di kampus tanpa perhitungan dengan waktu. Meskipun kondisi almarhum sudah lanjut usia, ia masih mengajar di rumah. Mahasiswanya sering datang ke rumah untuk menerima kuliah darinya. Mukti Ali ialah alumnus Universitas Islam Indonesia, yang dahulu bernama Sekolah Tinggi Islam. Ia lahir di Cepu, 23 Agustus 1923. Sejak berumur delapan tahun, Mukti mengenyam pendidikan Belanda di HIS. Ketika berumur 17 tahun, ia melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Termas, Kediri, Jawa Timur. PP Termas ini juga menghasilkan alumnus KH. Ahmad Zabidi (mantan Dubes untuk Arab Saudi), Let.Jend. M. Sarbini dan KH. Ali Ma'shum (pengasuh PP Krapyak dan Rois Aam PB NU). Mukti Ali muda, yang fasih berbahasa Inggris ini, kemudian melanjutkan studi ke India setelah perang dunia ke dua. Ia menyelesaikan pendidikan Islam di India dengan memperoleh gelar doktor sekitar tahun 1952. Karena belum puas mengecap pendidikan, ia melanjutkan studi ke McGill University, Montreal, Kanada mengambil gelar MA. Sejak ia menuntut ilmu di McGill University, Montreal, Kanada gagasan pembaruan Mukti Ali sebenarnya telah terlihat jelas. Mukti Ali misalnya kerap kali menulis soal-soal gagasan pembaruan keislaman Muhamamd Abduh dan Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Meskipun saat itu, Mukti Ali masih pada taraf membandingkan gagasan pembaruan kedua tokoh pembaru tersebut, namun benih-benih pembaruan Ali itu menjadi entry point penting kelak dalam perkembangannya. Pesan-pesan pembaruan Islam yang disampaikan Mukti Ali memiliki gaya dan caranya yang khas. Berbeda dengan kebanyakan pemikir dan pembaru Islam lainnya, Mukti Ali cukup lihai dan cenderung mengintrodusir gagasan liberal Islam sedemikian rupa sehingga relatif tidak menimbulkan perlawanan dari kalangan yang tidak sepaham dengannya5 Hal demikian dimungkinkan
Komarudin Hidayat, Azyumardi Azra, Bahtiar Effendy, dan sejumlah nama lain. lihat Fuad Jabali dan Jamhari (Peny.), IAIN Modernisasi Islam di Indonesia, hlm. 170.
102
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Signifikansi Perguruan Tinggi Islam dalam Pengembangan Sosial Budaya: Muhajir
karena secara sosiologis beliau berasal dari jawa dan yang dihadapi juga di lingkungan jawa (Yogyakarta). Nurcholish Madjid, yang akrab dipanggil Cak Nur lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga kyai terpandang di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, pada 17 Maret 1939. Ayahnya, KH Abdul Madjid, dikenal sebagai pendukung Masyumi. Setelah melewati pendidikan di berbagai pesantren,6 termasuk Gontor, Ponorogo, menempuh studi kesarjanaan IAIN Jakarta (1961-1968), tokoh HMI ini menjalani studi doktoralnya di Universitas Chicago, Amerika Serikat (19781984), dengan disertasi tentang filsafat dan kalam IbnuTaimiyah. Bidang yang diminati Filsafah dan Pemikiran Islam, Reformasi Islam, Kebudayaan Islam, Politik dan Agama, Sosiologi Agama, Politik negara-negara berkembang. Kendati memimpin organisasi mahasiswa ekstrakurikuler yang disegani pada awal zaman Orde Baru, Nurcholish tidak menonjol di lapangan sebagai demonstran. Bahkan namanya juga tidak berkibar di lingkungan politik sebagai pengurus Komite Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), kumpulan mahasiswa yang dianggap berperan menumbangkan Presiden Soekarno dan mendudukkan Mayor Jenderal Soeharto sebagai penggantinya. Prestasi Cak Nur lebih terukir di pentas pemikiran. Terutama pendapatnya tentang soal demokrasi, pluralisme,7 humanisme, dan keyakinannya untuk memandang modernisasi atau modernisme bukan sebagai Barat, modernisme bukan westernisme. Modernisme dilihat Cak Nur sebagai gejala global, seperti halnya demokrasi. Pluralisme Cak Nur, di mata Khalik, tidak memiliki sensitivitas pembebasan bagi kaum buruh, petani miskin di pedesaan, penghuni kampung kumuh, gelandangan, dan "sampah masyarakat" perkotaan lainnya yang rentan ketidakadilan sekaligus pengambinghitaman. Konsepsi Cak Nur tentang Islam sebagai agama keadilan, agama kemanusiaan, dan agama peradaban hanya bisa diakses kaum profesional dan eksekutif muda bergelimang duit, namun kerontang spiritual, melalui berbagai kursus filsafat keagamaan yang
5
http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/mukti-ali/index.snt. Diakses tanggal 30 November 2007. 6 Pesantren Darul ‘Ulum Rejoso, Jombang, Jawa Timur, 1955, Pesantren Daar alSalam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur 1960, lihat http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/mukti-ali/index.snt. 7 Dia mengembangkan pemikiran mengenai pluralisme dalam bingkai civil society, demokrasi, dan peradaban. Menurutnya, jika bangsa Indonesia mau membangun peradaban, pluralisme adalah inti dari nilai keadaban itu, termasuk di dalamnya, penegakan hukum yang adil dan pelaksanaan hak asasi manusia.
103
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Signifikansi Perguruan Tinggi Islam dalam Pengembangan Sosial Budaya: Muhajir
diselenggarakan Paramadina di hotel-hotel berbintang. Tak mengherankan pula bila Khalik menyebut kinerja Cak Nur sebagai pluralisme borjuis.8 Abdul Malik Fadjar, Sesaat setelah pelantikan, kepada pers ia mengatakan masalah paling mendesak adalah bagaimana segera mewujudkan pendidikan yang lebih memanusiawikan manusia. Pendekatannya lebih humanis, yaitu ada keseimbangan antara head (rasio), heart (perasaan) dan hand, tetapi semuanya harus saling bersinergi, melibatkan keseluruhan unsur tidak jalan sendiri-sendiri. Selama ini, pendekatan yang digunakan dalam dunia pendidikan kita masih lebih birokratik, monopolisme sehingga menyesakkan dada. Belum menumbuhkan suasana demokratis dan memberikan kebebasan hak asasi manusia. Maka ia bertekad mencari cara untuk mewujudkan keinginan pendidikan yang memanusiakan manusia itu. Lelaki kelahiran Yogyakarta, 22 Februari 1939 ini menegaskan bahwa pendidikan harus berorientasi pada masa depan. Sementara, tuntutan-tuntutan masa depan terhadap perkembangan zaman, terus berubah. Anggota Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIIS) memulai karir sebagai guru agama di SD Negeri Taliwang, Sumbawa Besar. Ia langsung menjadi guru selepas lulus dari Pendidikan Guru Agama Atas (PGAA) Negeri Yogyakarta tahun 1959. Gaji sebagai seorang guru yang pas-pasan, ke sekolah harus naik sepeda berkilo-kilo, pernah ia rasakan. Bahkan saat mengajar di universitas pun, ia sering berangkat mengajar dengan membonceng motor mahasiswa. Kondisi guru yang pas-pasan tak membuatnya berhenti menjemput masa depan. Setelah menjadi guru agama selama empat tahun, pada tahun 1963, ia meneruskan pendidikan ke jenjang sarjana muda di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, Malang. Kemudian, dilanjutkan lagi hingga meraih gelar sarjana tahun 1972. Begitu lulus ia mengajar di almamaternya. Kemudian menjadi Sekretaris Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel hingga tahun 1979. Setelah itu, ia mendapat kesempatan melanjutkan studi di Department of Educational Research, Florida State University, Amerika Serikat. Dari sana ia meraih gelar Master of Science tahun 1981. Setelah itu, ia mendapat kehormatan menjadi guru besar di IAIN Sunan Ampel. 8
http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/nurcholish-madjid/index.snt, diakses tanggal 24 Desember 2007. Menurut hemat penulis memang harus punya kapling sendiri-sendiri, untuk masyarakat pinggiran sudah cukup banyak yang menyentuh permasalahan ini seperti para kyai ustadh dan lain-lain.
104
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Signifikansi Perguruan Tinggi Islam dalam Pengembangan Sosial Budaya: Muhajir
Pendidikan sebagai kebutuhan hidup, memainkan peranan sosial atau dukungan terhadap pertumbuhan dan juga memandu perjalanan umat manusia, baik itu perorangan, masyarakat, bangsa dan negara. Lazim disebut education is the necessity of life as social function, as growth, as direction. Maka posisi pendidikan menjadi sebuah kegiatan yang merangkum kepentingan jangka panjang atau masa depan. Bukan sekedar kebutuhan dalam pengertian yang umum, tetapi sebagai kebutuhan mendasar. Pendidikan juga sering disebut sebagai investasi sumber daya manusia, dan sebagai modal sosial seseorang. Sehingga tidak akan mungkin selesai, tetapi berkelanjutan. Jadi membicarakan pendidikan adalah membicarakan masa depan. Dan masa depan selalu mengalami perubahan yang luar biasa.9 Gagasannya tentang pendidikan yang humanis, penulis cenderung mengatakan, bahwa A. Malik Fadjar adalah alumni PTAI yang pandai mengamati sosial pendidikan sekaligus mengimplementasikannya secara praktis. Hasyim Muzadi, Kyai kelahiran Tuban, 8 Agustus 1944, ini terpilih kembali untuk periode kedua (2004-2009) sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU).10 NU juga menjadi wadah sosial keagamaan kalangan IAIN. Di Surabaya tingkat keterlibatan kalangan IAIN dalam NU ini mungkin yang paling tinggi. Berdasarkan keterangan dari seorang informan, bahwa hampir semua posisi penting dalam kepengurusan NU wilayah Jawa Timur di pegang mereka yang berasal dari IAIN, baik itu dosen maupun alumni.Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa kegiatan-kegiatan NU di Jawa Timur, termasuk perumusan strategi pengembangan masyarakat, banyak digulirkan mereka yang berasal dari IAIN Surabaya. Kasus yang demikian juga terjadi di IAIN Medan dan Sumatera Utara.11 Kyai yang pernah menamatkan studi sarjananya dari IAIN Malang Jawa Timur 1964-1969 ini fasih terhadap tiga bahasa, Indonesia, Arab dan Inggris.12 Dalam menjalankan organisasinya sebagai Ketua Umum, Muzadi 9 http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/nurcholish-madjid/index.snt, diakses tanggal 30 November 2007. 11 lihat, Fuad Jabali dan Jamhari (Peny.), IAIN Modernisasi Islam di Indonesia, hlm. 171-172. 10 NU, yang oleh Deliar Noer menyebutnya dengan “kaum tradisi”, lihat Deliar Noer, The Modernist Movement in Indonesia 1900-1942, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (edisi Indonesia), (Jakarta: LP3ES, 1980), hlm. 242.
105
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Signifikansi Perguruan Tinggi Islam dalam Pengembangan Sosial Budaya: Muhajir
memiliki prinsip bahwa NU tidak akan berpolitik praktis dengan mengubah diri menjadi partai politik (parpol). Menurutnya, pengalaman selama 21 tahun sebagai partai politik cukup menyulitkan posisi NU. Di mata Muzadi, partai politik erat kaitannya dengan kekuasaan dan kepentingan, sementara sifat kekuasaan itu sesaat. Di sisi lain NU dituntut memelihara kelanggengan dan kiprah sosialnya di masyarakat. Oleh karena itu, NU akan menolak setiap upaya perubahan menjadi partai politik. Tanggapan Muzadi ketika Indonesia dianggap sebagai Islam garis keras oleh Amerika, pasca pengeboman WTC, 11 September 2001. “Saya gambarkan, umat Islam di Indonesia itu pada dasarnya moderat, bersifat kultural, dan domestik. Tak kenal jaringan kekerasan internasional,” ujar Hasyim. Soal kelompok-kelompok garis keras di Indonesia-betapapun jumlah dan kekuatannya cuma segelintir-Hasyim mengingatkan AS bahwa mengatasinya harus tidak sembarangan. Jangan sekali-kali menggunakan represi. Apa alternatif pendekatannya jika represi ditanggalkan? “Saya minta supaya pendekatannya pendekatan pendidikan, kultural, dan sosial problem solving. Dijamin, gerakangerakan kekerasan akan hilang,” tutur Hasyim.13 Di sini terbukti bahwa sosok Hasyim Muzadi yang notabene alumni PTAI juga pengamat sosial sekaligus solver untuk masalah-masalah ini. Din Syamsuddin, pria kelahiran Sumbawa Besar pada 31 Agustus 1958, adalah Pemimpin Pusat Muhammadiyah14 periode 2005-2010, menggantikn Syafi’i Ma’arif. Suami dari Fira Beranata dan ayah dari tiga anak, itu adalah alumnus IAIN Jakarta. Gelar masternya diraih dari University of California at Los Angeles (UCLA), AS pada 1982. Dari universitas yang sama dia mendapatkan gelar doktor pada 1996. Dia seorang tokoh yang sangat mengedepankan kepentingan muslim.15 Muhammadiyah adalah ormas keagamaan yang lebih fokus pada masalah sosial kemasyarakatan, seperti PKU pada tahun 1921 PKU bersama-sama dengan wakil-wakil dari organisasi lain memberikan bantuannya kepada korban kebakaran di Yogyakarta; pada tahun 1922 didirikan rumah yatim piyatu yang pertama dan pada tahun 1926 ia membuka klinik.16 Sampai saat ini, bisa dilihat bahwa PKU-PKU yang dikelola 12 Riwayat pendidikan Hasyim Muzadi adalah sebagai berikut: SD Tuban-Jawa Timur 1954-1955, SMPN I Tuban-Jawa Timur 1955-1956, KMI Gontor, PonorogoJawa Timur 1956-1962, PP Senori, Tuban-Jawa Timur 1963, PP Lasem-Jawa Tengah 1963, IAIN Malang-Jawa Timur 1964-1969, Bahasa 1972-1982. 13 http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/hasyim-muzadi/index.snt, diakses tanggal 30 November 2007. 16 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, hlm. 90.
106
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Signifikansi Perguruan Tinggi Islam dalam Pengembangan Sosial Budaya: Muhajir
Muhammadiyah berdiri Rumah Sakit Muhammadiyah, yang tersebar di seluruh Indonesia. Rumah sakit swasta ini menjadi pilihan masyarakat untuk berobat. Dengan manajemen yang modern, rumah sakit ini tampil menjadi rumah sakit swasta yang religious. Kepedulian sosial yang diajarkan Ahmad Dahlan, merupakan pembelajaran amal yang luar biasa. Seperti semboyan Ahmad Dahlan yang disampaikan kepada para muridnya: “sedikit bicara banyak kerja”.17 Dengan aktifnya Din dalam organisasinya Muhammadiyah, terlebih saat sekarang ia menjadi top organisasinya, maka Din adalah alumni PTAI yang peduli dalam bidang sosial. Azyumardi Azra, pria Minangkabau kelahiran Lubuk Alung, Sumatera Barat, 4 Maret 1955 Azyumardi lulus dari Fakultas Tarbiyah, IAIN Jakarta pada tahun 1982. Pada tahun 1986 memperoleh beasiswa Fullbright Scholarship 15
http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/din-syamsudin/index.snt, diakses tanggal 30 November 2007. 14 Muhammadiyah sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia yang berbasis perkotaan, dan berorientasi sosial keagamaan, banyak para alumni PTAI (IAIN), yang turut andil di dakamnya dan ikut mewarnai organisasi tersebut. Mereka itu adalah Din Syamsuddin (dosen IAIN Jakarta dan pimpinan Pusat Muhammadiyah), Hajriyanto Y. Thohari (alumnus IAIN Semarang dan pernah menjadi ketua Pemuda Muhammadiyah), Yunan Yusuf, Fathurrahman Djamil, dan Sudarnoto Ahdul Hakim (tiga mereka adalah dosen IAIN Jakarta dan pengurus Muhammadiyah), M. Amin Abdullah (rektor IAIN Yogyakarta dan anggota majelis tarjih Muhammadiyah) dan sejumlah tokoh lain yang belum disebut di sini, lihat, Fuad Jabali dan Jamhari (Peny.), IAIN Modernisasi Islam di Indonesia, hlm. 170.
17 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1997), hlm. 204. Tetapi walaupun demikian, Kuntowijoyo masih mengkritik terhadap Muhammadiyah, dengan mengatakan bahwa sesungguhnya Muhammadiyah belum memiliki konsep gerakan sosial yang jelas. Selama ini kegiatan pembinaan Muhammadiyah lebih diorientasikan kepada kegiatan untuk mengelola pengelompokan-pengelompokan yang didasarkan pada diferensiasi jenis kelamin dan usia. Ada Nasyiatul Aisyiyah dan Aisyiyah untuk kelompok remaja putri dan ibu-ibu; ada gerakan Pemuda Muhammadiyah, IPM (sekarang IRM), dan IMM. Kategori pengelompokan semacam ini sesungguhnya bersifat antisosial, demikian ujar Kunto. Lihat, Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991), hlm. 265. Lihat pula, Ahmad Syafi’i Ma’arif, Menerobos Kemelut, Refleksi Cendekiawan Muslim, (Jakarta: Grafindo, 2005), hlm. 38.
107
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Signifikansi Perguruan Tinggi Islam dalam Pengembangan Sosial Budaya: Muhajir
untuk melanjutkan studi ke Columbia University, Amerika Serikat. Dia memperoleh gelar MA (Master of Art) pada Departemen Bahasa dan Budaya Timur Tengah pada tahun 1998. Kemudian, memenangkan beasiswa Columbia President Fellowship dari kampus yang sama, tapi kali ini Azyumardi pindah ke Departemen Sejarah, dan memperoleh gelar MA lain di tahun 1989, kemudian gelar Master of Philosophy (M. phil) di tahun 1990, serta Doktor Philosophy Degree (PhD) di tahun 1992 dengan disertasi berjudul “The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Networks of Middle Eastern and Malay-Indonesian `Ulama in the Seventeenth and Eighteenth Centuries”. Disertasi ini bahkan telah dipublikasikan oleh Australia Association of Asian Studies bekerjasama dengan Allen Unwin. Renaisans Islam di Asia Tenggara –buku ini berhasil memenangkan penghargaan nasional sebagai buku terbaik untuk kategori ilmu-ilmu sosial dan humaniora di tahun 1999, dan buku Islam Substantif tahun 2000. Azyumardi juga ingin agar wawasan keislaman akademik yang dikembangkannya harus mempunyai wawasan keindonesiaan sebab hidup kampusnya di Indonesia. “Jadi, keislaman yang akan kita kembangkan itu adalah keislaman yang konstekstual dengan Indonesia karena tantangan umat muslim di sini adalah tantangan Indonesia,” ujarnya. Pendekatannya terhadap agama adalah pendekatan yang tidak berfanatisme dan bermadzhab, berbeda dengan anakanak yang memahami agama secara literer yang cenderung hitam putih.18 Sedikit cuplikan tentang Azyumadi, menggambarkan bahwa Azyumardi adalah sosok alumni PTAI yang sangat peduli terhadap permasalahan sosial budaya, bahkan sering buah pikirannya menjadi rujukan, sekaligus disuruh berkomentar tentang masalah-masalah sosial budaya yang sedang terjadi di Indonesia. Komarudin Hidayat, nama yang tidak asing lagi di dunia dakwah Islam, khususnya dakwah dengan pendekatan sufistik. Sejak menyelesaikan S3nya dalam bidang filsafat di Universitas Ankara, Turki pada 1990,19 pria yang biasa dipanggil Mas Komar ini bergabung dengan Yayasan Wakaf Paramadina di Jakarta. Dari Paramadina inilah ia mulai mengguratkan namanya sebagai cendekiawan Muslim yang cukup diperhitungkan.
18 http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/azyumardi-azra/index.snt, diakses tanggal 30 November 2007. 19 Latar belakang pendidikan Komarudin Hidayat ini adalah Ponpes Pabelan, Magelang (1969), Sarjana Fakultas Ushuludin IAIN Jakarta (1981), Master and PhD Bidang Filsafat pada Middle East Technical University, Ankara, Turki (1995), Post Doctorate Research Program di Harfort Seminary, Conecricut, AS, selama satu semester (1997), International Visitor Program (IVP) ke AS (2002), lihat http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/komarudinhidayat/index.snt, diakses tanggal 30 November 2007.
108
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Signifikansi Perguruan Tinggi Islam dalam Pengembangan Sosial Budaya: Muhajir
Said Agil Husin Al-Munawwar,20 Doktor (Ph.D) lulusan Fakultas Syari’ah Universitas Ummu Al-Qura Makkah Saudi Arabia (1987), Ketika menjadi menteri berpendapat, bahwa bangsa Indonesia pernah dikenal sebagai masyarakat yang santun dan ramah. Namun belakangan menjadi masyarakat yang menyukai kekerasan, mudah marah, agresif dan melakukan tindakantindakan anarkis. Marah sedikit lalu membakar. Marah sedikit lalu memukul dan membunuh orang. Ada apa ini? Maka dengan itu perlu dilakukan sebuah upaya untuk mencegah masyarakat ini agar terhindar dari berbagai bentuk radikalisme, perilaku radikal, ekstrim, perilaku yang tidak toleran. Melainkan memiliki sikap yang menghormati perbedaan, senantiasa dalam kebersamaan. Pria lulusan Fakultas Syariah IAIN Raden Fatah, yang pernah mendapat beasiswa selama beberapa bulan serta meraih gelar sarjana muda tahun 1974 dengan predikat cum laude ini, dikenal sebagai seorang tokoh yang moderat, tokoh yang mudah diterima semua golongan. Ketika menjadi Menteri Agama Agil menetapkan lima agenda pokok Departemen Agama adalah: (1) Reposisi dan refungsionalisasi dari fungsi penguasaan ke arah pelayanan dan pemberdayaan masyarakat; (2) Peningkatan kinerja melalui optimalisasi pemanfaatan sumber daya; (3) Peningkatan citra Depag dengan menumbuhkan kebersamaan dan sinergi antar satuan dan unit kerja; (4) Peningkatan akuntabilitas melalui pemberantasan KKN, sistem yang transparan dan SDM yang berkualitas dan memiliki integritas moral dalam penegakan hukum; dan (5) Pemantapan kerukunan umat beragama untuk mengembangkan kesadaran hidup bersama, saling menghormati dan menanggulangi konflik guna mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa. Di sisi lain Agil ketika ditanya mengenai keadaan pendidikan saat ini, dengan berbagai perkelahian antarpelajar, ia melihat selama ini sekolah tidak memberikan pendidikan akhlak atau budi pekerti yang memadai. Selama ini lebih
20 Said Agil, yang dilahirkan di Kampung Tigabelas Ulu, Palembang, tanggal 26 Januari 1954. Ayahnya, K.H. Sayyid Husin bin Agil Ahmad Al-Munawar (wafat 13 November 1989), berasal dari keluarga yang menekuni keilmuan dan keagamaan. Seorang sosok pemuka kampung, kyai dan ustadh, yang sejak usia muda peduli dengan pendidikan. Ibunya, Hj. Syarifah Sundus (Utih) binti Muhammad Al-Munawar (wafat 20 Februari 2001), Kampung Tigabelas Ulu, Palembang, tanggal 26 Januari 1954. Ayahnya, K.H. Sayyid Husin bin Agil Ahmad Al Munawar (wafat 13 November 1989), berasal dari keluarga yang menekuni keilmuan dan keagamaan. Seorang sosok pemuka kampung, kyai dan ustad, yang sejak usia muda peduli dengan pendidikan. Ibunya, Hj. Syarifah Sundus (Utih) binti Muhammad Al Munawar (wafat 20 Februari 2001). Lihat, http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/husin-al munawar/index.snt, diakses tanggal 30 November 2007
109
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Signifikansi Perguruan Tinggi Islam dalam Pengembangan Sosial Budaya: Muhajir
menekankan aspek pengajaran bukan pendidikan. Anak-anak dipaksa untuk terus belajar dan belajar.21 Tuti Alawiyah, lulusan Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta ini dilahirkan 30 Maret 1942 di Jakarta dari pasangan KH. Abdullah Syafi’ie dan Hajjah Rogayah. Mubaligah kondang dan Rektor Universitas Islam As-Syafi’iyah ini mempunyai visi bahwa perempuan Indonesia adalah pilar bangsa. Kemampuan intelektualnya dan banyaknya jam terbang menjadi pembicara dan penceramah di berbagai kota di 5 benua, hanyalah sedikit bukti bahwa perempuan memiliki kesempatan dan hak yang sama dengan laki-laki dalam berkarya di berbagai sektor bagi bangsa ini. Ia pernah diundang pemerintah Amerika Serikat tahun 1984 untuk bertemu dengan para tokoh dari berbagai agama, tokoh-tokoh pendidik dari perguruan tinggi, tokoh-tokoh wanita, dan mengunjungi lembaga-lembaga sosial dan keagamaan Hingga kini, Tutty masih terus berkarya meneruskan pesan ayahnya agar ia hidup berguna bagi masyarakat, kaum duafa dan wanita, terjun dalam bidang dakwah, sosial dan pendidikan. Ketika ia ceramah di Singapura, melihat wanita tampil dengan baik dalam segala peran kehidupan, baik muda ataupun tua. Mereka memimpin sekolah seperti ustadzah Saadah Suhaimi di Ipoh Lane. Wanita-wanita Islam berbahasa Inggris, berpakaian trendy, menyetir mobil sendiri, bekerja di luar, punya organisasi yang mapan. Ia melihat di sana seperti tidak ada hambatan untuk maju dan berkarier. Melihat hal ini, ia tertarik ingin menerapkannya kepada kawan-kawan dan murid-muridnya di Indonesia. Karena perhatiannya yang besar terhadap kaum perempuan, berbagai dukungan dan simpati masih terus berdatangan. Itu terbukti dari dukungan sekitar 600 anggota majelis taklim se-Jabotabek menggelar aksi di DPRD DKI Jakarta menuntut agar Tutty – yang diajukan oleh Fraksi Golkar – bisa menduduki kursi Gubernur DKI periode 2002-2007. Terakhir, April 2003 yang lalu, Tutty sebagai Ketua International Moslem Women Union (IMWU) untuk Indonesia menggelar kongres organisasi internasional ini di Jakarta. Kongres yang melibatkan wakil perempuan dari 87 negara ini membahas isu seputar pemberdayaan wanita dan peran wanita dalam perdamaian dunia.22 21
http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/husin-al munawar/index.snt, diakses tanggal 30 November 2007. 22http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/husin-al munawar/index.snt, diakses tanggal 30 November 2007.
110
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Signifikansi Perguruan Tinggi Islam dalam Pengembangan Sosial Budaya: Muhajir
Bahtir Effendi, lahir di Ambarawa, 10 Desember 1958. Sarjana IAIN Jakarta, 1986, ini meraih Master Program Studi Asia Tenggara dari Ohio University, Athens, 1988 dan Master Ilmu Politik dari Ohio State University, Colombus, OH, 1991. Gelar Doktor Ilmu Politik diperolehnya dari Ohio State University, Colombus, OH, 1994 Menurut Bahtiar, seperti dilaporkan Imam Prihadiyoko, “bahwa transisi demokrasi di Indonesia tanpa disadari telah membawa anomali. Adanya ketidaksesuaian antara apa yang diinginkan dan realitas politik. Salah satu yang menonjol, keinginan untuk tetap mempertahankan sistem pemerintahan presidensial, tetapi juga menoleransi bahkan terkesan mendorong lahirnya multipartai”.23 Walaupun Bahtiar keahlian yang pokok adalah politik Islam, tetapi masalah politik tidak dapat terpisahkan dengan permasalahan sosial. Moeslim Abdurrahman, master dan doktor antropologi University of Illinois, Urbana, Amerika Serikat, ini menemukan keberagamaan menurut pengalaman religiusnya sendiri. Ada perasaan kemanusiaan yang lebih humanis sifatnya, yang merupakan bagian dari artikulasi keberagamaan Direktur Ma’arif Institute for Culture, dan Direktur Lembaga Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (LPIS) ini. Lantaran aktivitasnya di berbagai LSM dan ormas itu lulusan sarjana (S1) dari Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam (UMS=Universitas Muhammadiyah Surakarta), ini tidak pernah bersedia menjadi dosen tetap. Dia hanya bersedia menjadi dosen tamu, antara lain di Program Pascasarjana Studi Antropologi dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) serta Pascasarjana Antropologi dan Filsafat Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Saat aktif di HMI, ia merasa ada pergulatan. Ia pernah menjadi ketua. Pergulatan terus berlanjut ketika diterima di Pusat Penelitian Ilmu Sosial di bawah bimbingan Dr Alfian (almarhum) dari LIPI. Pandangan-pandangannya yang normatif berubah ke empiris semakin kental saat bekerja di Badan Litbang Departemen Agama (1977-1989), dan merasa namanya mulai dikenal saat ada pertemuan anak-anak muda yang diselenggarakan Kompas di Pacet, Puncak, tahun 1984. Setelah sempat mampir bekerja sebagai wartawan, dan terlibat dalam penelitian-penelitian di LIPI, Moeslim kemudian memfokuskan diri aktif dalam kegiatan LSM. Dia mendirikan Asosiasi Peneliti Indonesia, LSM yang kemudian menghasilkan peneliti-peneliti andal seperti Wardah Hafidz, Indro
23 Kompas 23/7/2005 oleh: Imam Prihadiyoko, lihat juga http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/bahtiar-effendy/index.snt, diakses tanggal 30 November 2007.
111
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Signifikansi Perguruan Tinggi Islam dalam Pengembangan Sosial Budaya: Muhajir
Tjahjono. Ia pun bergaul intensif dengan kalangan non-Islam di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Proses pergulatan keimanan berikutnya, adalah ketika dia mengikuti Pusat Pelatihan dan Penelitian Ilmu Sosial yang betul-betul mengubah cara hidup dan keberagamaannya. Analisis sosialnya sudah muncul dalam paradigma yang kedua ini. Dulu dia berpikir simpel saja: “Yang tidak saleh pasti melawan Allah.” Baru kemudian dia tahu, ada rintangan sosial atau budaya, yang membuat seseorang menjadi tidak saleh.24 Urain ini jelas menggambarkan, bahwa PTAI sedang dan telah mengalami reorientasi programnya menatap masa depan dan respon terhadap perkembangan zaman. Sehingga terbukti bahwa alumni PTAI sekarang sudah banyak yang menjadi pengamat sosial budaya. Terlebih adanya program desentralisasi PTAI, setiap PTAI akan berkompetisi meluluskan para sarjananya yang terbaik, dalam rangka menjawab tantangan zaman.25 Alumni PTAI Berani Bicara dalam Forum Internasional Abdul Mukti Ali, sebagai tokoh pembaharu Islam yang pernah menempuh pendidikan master di McGill University Montreal, Kanada dan pendidikan doktor di India, sekaligus ia juga pernah dipercaya sebagai menteri Agama Republik Indonesia, dipastikan sering bicara dalam forum-forum internasional, baik dalam masalah perbandingan agama, sosial budaya dan lainlain. Ia adalah selaku komite kebudayaan Islam UNESCO di Paris, Dewan Penasehat Pembentukan Parlemen Agama-agama sedunia di New York, Dewan Penasehat National Hijran Council di Pakistan26 Ini adalah bukti bahwa Mukti Ali, sebagai sosok alumni PTAI yang cerdas mampu berbicara di forum-forum internasional, dalam artian sebagai alumni PTAI tidak hanya jago kandang. Nurcholish Madjid, cukup sering dan banyak berbicara dalam forumforum internasional, diantaranya, presenter, Seminar Internasional tentang “Agama Dunia dan Pluralisme”, Nopember 1992, Bellagio, Italy. Presenter, Konperensi Internasional tentang “Agama-agama dan Perdamaian Dunia”, April 1993, Vienna, Austria. Presenter, Seminar Internasional tentang “Islam di Asia Tenggara”, Mei 1993, Honolulu, Hawaii, USA. Presenter, Seminar Internasional 24http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/moeslimabdurrahman/index.snt, diakses tanggal 30 November 2007. 25 Bisa dibaca, A. Qodri A. Azizi, Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial, (Mendidik Anak Sukses Masa Depan Pandai dan Bermanfaat), (Semarang: CV. Aneka Ilmu, 2002), hlm. 6-8. 26 lihat, A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1988), hlm. Cover Belakang.
112
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Signifikansi Perguruan Tinggi Islam dalam Pengembangan Sosial Budaya: Muhajir
tentang “Persesuaian aliran Pemikiran Islam”, Mei 1993, Teheran, Iran. Presenter, Seminar internasional tentang “Ekspresi-ekspresi kebudayaan tentang Pluralisme”, Jakarta 1995, Cassablanca, Morocco. Presenter, seminar internasional tentang “Islam dan Masyarakat sipil”, Maret 1995, Bellegio, Italy. Presenter, seminar internasional tentang “Kebudayaan Islam di Asia Tenggara”, Juni 1995, Canberra, Australia Presenter, seminar internasional tentang “Islam dan Masyarakat sipil”, September 1995, Melbourne, Australia. Presenter, seminar internasional tentang “Agama-agama dan Komunitas Dunia Abad ke21,” Juni 1996, Leiden, Netherlands. Presenter, seminar internasional tentang “Hak-hak Asasi Manusia”, Juni 1996, Tokyo, Jepang. Presenter, seminar internasional tentang “Dunia Melayu”, September 1996, Kuala Lumpur, Malaysia. Presenter, seminar internasional tentang “Agama dan Masyarakat Sipil”, 1997 Kuala lumpur. Pembicara, konperensi USINDO (United States Indonesian Society), Maret 1997, Washington DC, USA. Peserta, Konperensi Internasional tentang “Agama dan Perdamaian Dunia” (Konperensi Kedua, Mei 1997, Vienna, Austria). Peserta, Seminar tentang “Kebangkitan Islam”, Nopember 1997, Universitas Emory, Atlanta, Georgia, USA. Pembicara, Seminar tentang “Islam dan Masyarakat Sipil” Nopember 1997, Universitas Georgetown, Washington DC, USA Pembicara, Seminar tentang “Islam dan Pluralisme”, Nopember 1997, Universitas Washington, Seattle, Washington DC, USA. Sarjana Tamu dan Pembicara, Konperensi Tahunan, MESA (Asosiasi Studi tentang Timur Tengah), Nopember 1997, San Francisco, California, USA. Sarjana Tamu dan Pembicara, Konperensi Tahunan AAR (America Academy of Religion) Akademi Keagamaan Amerika, Nopember 1997, California, USA. Presenter, Konperensi Internasional tentang “Islam dan Hak-hak Asasi Manusia”, Oktober 1998, Geneva, Switzerland. Presenter, Konperensi Internasional tentang “Agamaagama dan Hak-hak asasi Manusia”, Nopember 1998 state Departmen (Departemen Luar Negeri Amerika), Washington DC, USA. Peserta Presenter “Konperensi Pemimpin-pemimpin Asia”, September 1999, Brisbane, Australia. Presenter, Konperensi Internasional tentang “Islam dan Hak-hak Asasi Manusia, pesan-pesan dari Asia Tenggara”, Nopember 1999, Ito City, Japan. Peserta, Sidang ke-7 konperensi Dunia tentang Agama dan Perdamaian (WCRP), Nopember 1999, Amman, Jordan.27 Masih banyak lagi tampilnya Nurcholish Madjid dalam forum internasional, uaraian di atas adalah yang hanya terkait dengan sosial budaya saja. 27http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/nurcholish-
113
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Signifikansi Perguruan Tinggi Islam dalam Pengembangan Sosial Budaya: Muhajir
Malik Fadjar, alumni PTAI yang pernah kuliah di Department of Educational Research, Florida State University, Amerika Serika untuk meraih gelar Master of Science pada tahun 1981,28 dan pernah menjabat menjadi menteri di dua departemen –Departemen Agama dan Pendidikan Nasional –, dipastikan pernah berbicara dalam forum-forum internasional, baik dalam bidang pendidikan, sosial, budaya dan lain-lain. Hasyim Muzadi, tokoh NU yang fasih berbicara dalam tiga bahasa yaitu Indonesia, Arab dan Inggris. Dengan modal dua bahasa asing dan pemimpin organisasi keagamaan terbesar di Indonesia ini, Muzadi sering tampil dalam forum-forum internasional. Dalam konferensi tokoh-tokoh agama di dunia, ia sering ditunjuk sebagai ketua. Bahkan ketika WTC di bom pada 11 September 2001, dimana Amerika langsung menuduh al-Qaeda ada di balik peristiwa tersebut, dan Indonesia juga ikut kena imbasnya yakni banyak para teroris yang ada di Indonesia, Muzadi langsung angkat bicara mewakili umat Islam Indonesia. Muzadi adalah termasuk tokoh diundang pemerintah AS untuk memberi penjelasan tentang pemahaman masyarakat Islam di Indonesia. Ia cukup gamblang menjelaskan peta dan struktur Islam Indonesia. AS beruntung mendapat gambaran itu langsung dari ormas Muslim terbesar Indonesia. Indonesia juga bersyukur karena seorang tokoh ormas Muslimnya menjelaskan soal-soal Islam Indonesia kepada pihak luar. “Saya gambarkan, umat Islam di Indonesia itu pada dasarnya moderat, bersifat kultural, dan domestik. Tak kenal jaringan kekerasan internasional,” ujar Hasyim.29 Din Syamsudin, Bila melihat pengalaman internasional, cukup banyak yang pernah dilaksanakan oleh M. Din Syamsudin. Dalam buku pidato pengukuhannya Din menyebut 30 pengalaman internasionalnya30 Ini dilaporkan tahun 2001, kalau tahun 2007, penulis yakin pengalaman internasional sudah bertambah banyak. Sebagai contoh dapat disebut, pembicara, seminar on social Science in Indonesia: Action and Reflektion in ASEAN Perspective, Amsterdam, Belanda (1993), pemakalah, internasional seminar On Social Sciences in Southeast Asia, Casa, Amsterdam, Belanda (1995) dan lain-lain. madjid/index.snt, diakses tanggal 30 November 2007. 28http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/malik-fadjar/index.snt, diakses tanggal 30 November 2007. 29http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/hasyim-muzadi/index.snt, diakses tanggal 30 November 2007. 30 lihat M Din Syamsuddin, Antara Yang Berkuasa dan yang dikuasai ( Refleksi atas Pemikiran dan Praktek Politik Islam), dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang Pemikiran Politik Islam IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ( tp: Jakarta, 2001 ), hlm. I
114
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Signifikansi Perguruan Tinggi Islam dalam Pengembangan Sosial Budaya: Muhajir
Azyumardi Azra Kembali ke Jakarta, di tahun 1993 Azyumardi mendirikan sekaligus menjadi pemimpin redaksi Studia Islamika, sebuah jurnal Indonesia untuk studi Islam. Kembali melanglang buana, pada tahun 1994-1995 dia mengunjungi Southeast Asian Studies pada Oxford Centre for Islamic Studies, Oxford University, Inggris, sambil mengajar sebagai dosen pada St. Anthony College. Azyumardi pernah pula menjadi profesor tamu pada University of Philippines, Philipina dan University Malaya, Malaysia keduanya di tahun 1997. Selain itu, dia adalah anggota dari Selection Committee of Southeast Asian Regional Exchange Program (SEASREP) yang diorganisir oleh Toyota Foundation dan Japan Center, Tokyo, Jepang antara tahun 1997-1999. Di tahun 2001 Azyumardi Azra memperoleh kepercayaan sebagai profesor tamu internasional pada Deparmen Studi Timur Tengah, New York University (NYU). Sebagai dosen, dia antara lain mengajar pada NYU, Harvard University (di Asia Center), serta pada Columbia University. Dia juga dipercaya menjadi pembimbing sekaligus penguji asing untuk beberapa disertasi di Universiti Malaya, Universiti Kebangsaan Malaysia, maupun di University of Leiden.31 Komarudin Hidayat, intelektual Muslim yang namanya terus melejit setelah menjadi ketua panitia pengawas pemilu, disusul sederet jabatan, diantaranya pernah menjabat sebagai Direktur PTAI Departemen Agama RI, Direktur pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan sekarang menjabat sebagai rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta masa bakti 2006-2010, menggantikan Azyumardi Azra.32 Aktif dakwah di media elektronik seperti di metro TV, sesuai dengan gaya intelektual dia. Jebolan pesantren pabelan magelang dan IAIN jakrta ini juga melanjutkan studinya ke Ankara, Turki, untuk mengambil gelar master dan doktor dalam bidang filsafat pada Middle East Technical University. Post Doctorate Research Program di Harfort Seminary, Conecricut, AS, selama satu semester (1997) International Visitor Program (IVP) ke AS (2002).33 Kemampuan orasi yang sangat baik dipadukan dengan kompetensi ilmiahnya yang cukup paten ini, Mas Komar – demikian panggilan akrab Komarudin Hidayat – sering bicara tentang sosial dan budaya dalam forumforum internasional. 31http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/azyumardi-azra/index.snt, diakses tanggal 30 November 2007. 33http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/komarudinhidayat/index.snt, diakses tanggal 30 November 2007. 32 Terpilih dengan suara mutlak (61 dari 80 suara senat) sebagai rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk masa bakti 2006-2010. Menggantikan Azumardi
115
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Signifikansi Perguruan Tinggi Islam dalam Pengembangan Sosial Budaya: Muhajir
Said Agil Husin Al-Munawwar, bicara hubungan luar negeri, said agil lebih banyak menjalin hubungan dengan Timur Tengah, disamping sebagai Menteri Agama, ia adalah alumni Timur Tengah untuk ademik S2 dan S3nya. Terlebih sebelum ia menjadi dosen di IAIN Jakarta, ada tawaran untuk menjadi diplomat, tetapi oleh Munawir Zadzali, waktu itu Menteri Agama, tidak diperkenankan, karena ilmu Said Agil dibutuhkan di Indonesia.34 Sebelum menjabat sebagai menteri Agama Said Agil, pernah menjabat sebagai Direktur Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kemampuan dan karir Agil yang demikian membuka lebar untuk berbicara dalam forum internasional, tentang sosial keagamaan dan budaya, terlebih fashihnya dia dalam bahasa Arab. Tuti Alawiyah, Pengalamannya mengunjungi 63 kota besar di 23 negara demi kepentingan berdakwah dan kegiatan sosial mengharumkan namanya sehingga ia layak dianugerahkan gelar doktor honoris causa bidang dakwah Islam dari IAIN Syarif Hidayatullah dan gelar profesor dari Federation Al Munawarah, Berlin Jerman Mubaligah kondang dan Rektor Universitas Islam As-Syafi’iyah ini mempunyai visi bahwa perempuan Indonesia adalah pilar bangsa. Kemampuan intelektualnya dan banyaknya jam terbang menjadi pembicara dan penceramah di berbagai kota di 5 benua, hanyalah sedikit bukti bahwa perempuan memiliki kesempatan dan hak yang sama dengan laki-laki dalam berkarya di berbagai sektor bagi bangsa ini. Ia pernah diundang pemerintah Amerika Serikat tahun 1984 untuk bertemu dengan para tokoh dari berbagai agama, tokoh-tokoh pendidik dari perguruan tinggi, tokoh-tokoh wanita, dan mengunjungi lembagalembaga sosial dan keagamaan.35
yang sudah dua periode menjabat. Lihat, http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/komarudin-hidayat/index.snt, diakses tanggal 30 November 2007.
34http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/said-agil/index.snt,
diakses tanggal 30 November 2007. 35 http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/tuti-alawiyah/index.snt, tanggal 30 November 2007.
116
diakses
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Signifikansi Perguruan Tinggi Islam dalam Pengembangan Sosial Budaya: Muhajir
Tuti Alawiyah juga sebagai Muslimah pertama Indonesia sebagai pembicara dalam muktamar haji yang diselenggarakan Kementerian Wakaf dan Haji Arab Saudi di kota suci Makkah pada 12-14 Desember 2007.36 Bahtir Effendi, ia lebih banyak komentarnya dalam bidang sosial politik, termasuk dalam seminar dan komentar yang bertaraf internasional, ia termasuk dosen yang lebih aktif di luar kampus ketimbang di dalam kampus. Moeslim Abdurrahman, yang aktif dalam Lembaga Pemberdayaan Buruh, Tani, dan Nelayan PP Muhammadiyah, Anggota Dewan Penasihat Center for Strategic and International Studies (CSIS), Direktur Ma’arif Institute for Culture, Direktur Lembaga Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (LPIS).37 Aktif dalam lembaga-lembaga yang cukup strategis ini memungkinkan sekali untuk berbicara dalam forum-forum internasional. D. Alumni PTAI Trampil Mengatasi Problem Sosial Budaya Hingga masa senjanya, Mukti Ali telah menulis puluhan buku, antara lain: Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini; Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia; Muslim Bilali dan Muslim Muhajir di Amerika; Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dahlan, Muhammad Iqbal; Ta'limul Muta'alim versi Imam Zarkasyi; Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam; Asal Usul Agama; dan Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan.38 Mengatasi problem sosial lewat menyusun buku-buku sosial adalah jariyah yang cukup panjang waktunya. Nurcholis Madjid, Ia cendekiawan Muslim milik bangsa. Gagasan tentang pluralisme telah menempatkannya sebagai intelektual Muslim terdepan. Terlebih di saat Indonesia sedang terjerumus di dalam berbagai kemorosotan dan ancaman disintegrasi bangsa. Kepedulian Nurcholis dalam masalah sosial termasuk juga politik adalah mulai sejak muda. Bahkan ketika menjadi kandidat Ketua Umum Pengurus Besar HMI, pikirannya, ngajinya, menjadi imam, khotbah, ceramah agama, bagus semua. “Orang-orang HMI waktu itu terpukau oleh pikiran-pikiran Cak Nur,” kata Utomo menirukan kekaguman Eky Syahrudin Duta Besar Indonesia untuk Kanada itu. 36
Republika, 10 Desember 2007, hlm. 12. Dalam forum ini Tuti membuat makalah setebal 15 halaman. Makalah ini berbicara tentang mengupas perhatian Islam terhadap hak asasi manusia, baik jiwa, kehormatan, dan hartanya, tidak boleh dirusak. Wasiat Nabi SAW kepada perempuan, kata dia, harus dijunjung tinggi dan dihormati serta tidak adanya perbedaan antara Arab maupun non Arab, warna kulit, kecuali taqwa. 37 http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/moeslim-abdurrahman/index.snt, diakses tanggal 30 November 2007. 38http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/mukti-ali/index.snt, diakses tanggal 30 November 2007.
117
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Signifikansi Perguruan Tinggi Islam dalam Pengembangan Sosial Budaya: Muhajir
Walaupun sebagai lokomotif organisasi besar dan disegani pada zaman orde baru, Nurcholis tidak pernah demonstrasi turun ke jalan. Kritiknya lebih tertuang dalam bentuk pikiran, terutama pendapatnya tentang soal demokrasi, pluralisme, humanisme, dan keyakinannya untuk memandang modernisasi atau modernisme bukan sebagai Barat, modernisme bukan westernisme. Modernisme dilihat Cak Nur sebagai gejala global, seperti halnya demokrasi.39 Cukup banyak masalah-masalah sosial politik dan juga kebudayaan yang berskala nasional maupun internasional yang mana Nurcholis Madjid ikut serta memecahkannya. Malik Fadjar, ketika menjadi menteri ia tetap mengajar40 Pada suatu ketika, --waktu ia menjabat Mendiknas – saat keliling daerah dan melihat kondisi SD di beberapa daerah, hatinya menangis. ”Menangis hati saya melihat itu semua,” katanya dalam wawancara dengan Suara Pembaruan. Bangunan SD itu tidak pernah direnovasi sejak tahun 1970-an. Waktu berkunjung ke Irian, ia berpikir, pantas mereka minta merdeka, tidak ada pembangunan di sana.41 Kunjungan yang dia laksanakan bukan sekedar rekreasi belaka tetapi benarbenar mencari problem sosial apa yang melanda pendidikan kita sekarang, kemudian ia memberi solusi lewat otoritasnya sebagai menteri. Hasyim Muzadi, menaggapi tuduhan AS, ketika AS menyuruh untuk memberantas teroris yang ada di Indonesia. Soal kelompok-kelompok garis keras di Indonesia-betapapun jumlah dan kekuatannya cuma segelintir- Hasyim mengingatkan AS bahwa mengatasinya harus tidak sembarangan. Jangan sekalikali menggunakan represi. Apa alternatif pendekatannya jika represi ditanggalkan? “Saya minta supaya pendekatannya pendekatan pendidikan,
39http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/nurcholish-
madjid/index.snt, diakses tanggal 30 November 2007. 41http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/malik-fadjar/index.snt, diakses tanggal 30 November 2007. 40Penulis ketika menyelesaikan studi S2 mengambil mata kuliah Manajemen pendidikan, di mana dosen mata kuliah tersebut adalah Malik Fadjar. Ia juga aktif hadir untuk mengajar walaupun menjadi menteri, bahkan ajudannya juga tidak boleh masuk kelas, alasannya katanya “posisi saya sekarang adalah sebagi dosen, bukan sebagai menteri”.
118
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Signifikansi Perguruan Tinggi Islam dalam Pengembangan Sosial Budaya: Muhajir
kultural, dan social problem solving. Dijamin, gerakan-gerakan kekerasan akan hilang,” tutur Hasyim.42 Din Syamsuddin, alumni PTAI yang disamping sebagai intelektual Muslim, ia juga aktif dalam organisasi sosial kemasyarakatan. Sosok alumni PTAI ini pernah memasuki dua organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia yatu NU43 dan Muhammadiyah, walupun besarnya di Muhammadiyah. Dengan Muhammadiyah Din banyak tampil mengatasi problem-problem sosial kemasyarakatan. Azyumardi Azra, dalam mengatasi masalah-masalah sosial, sesuai dengan eksistensinya sebagai intelektual Muslim, ia lebih banyak menulis dari pada terjun langsung berhadapan dengan masalah sosial. Buku Renaisans Islam di Asia Tenggara –buku ini berhasil memenangkan penghargaan nasional sebagai buku terbaik untuk kategori ilmu-ilmu sosial dan humaniora di tahun 1999.44 Analisisnya yang tajam tentang sosial, sering Azyumardi dimintai komentarnya baik di media cetak maupun media elektronik oleh ormas-ormas di Indonesia. Komarudin Hidayat, mengatakan bahwa setiap agama memiliki doktrin kesucian tempat dan waktu. Diharapkan umat beragama saling menghargai keyakinan serta ritual umat lainnya. Di antara doktrin yang mencolok pada setiap agama adalah perintah bersembahyang dan berdoa serta berpuasa meski dengan keyakinan dan cara berbeda-beda. Dengan bersembahyang, berdo’a dan berpuasa yang dilaksanakan semua agama, masalah-masalah sosial di Indonesia dapat teratasi. Lebih lanjut, ungkap Komaruddin, Indonesia saat ini membutuhkan orang-orang yang mau berkorban untuk bangsanya, ketika ditemui di Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok, Selasa (18/10).45 Hal-hal yang dapat mengantisipasi masalah-masalah sosial, lebih sering diungkapkan Komaruddin dalam bentuk statemen-statemen, sesuai kapasitasnya sebagai rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan intelektual Muslim. 42http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/hasyim-muzadi/index.snt,
diakses tanggal 30 November 2007. 43 Ketika itu Din masih duduk di Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah dan Sekolah Menengah pertama/Madrasah Tsanawiyah di Sumbawa Besar, lihat M Din Syamsuddin, Antara Yang Berkuasa dan Yang Dikuasai (Refleksi atas Pemikiran dan Praktek Politik Islam), hlm.1. 44 http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/azyumardiazra/index.snt, diakses tanggal 30 November 2007 45http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/komaruddinhidayat/index.snt, diakses tanggal 30 November 2007
119
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Signifikansi Perguruan Tinggi Islam dalam Pengembangan Sosial Budaya: Muhajir
Said Agil Husin Al-Munawwar, sementara tanggapannya tentang terorisme, ia menyebut tidak pernah ada agama yang mengajarkan terorisme. Namanya agama jangan dianggap sebagai ancaman, karena agama mengajarkan tentang hal-hal yang membawa kedamaian. Sehingga jika bicara tentang agama jangan unsur-unsur politik dibawa-bawa. Karena jika orang memiliki hati nurani, tidak mungkin ia melakukan hal-hal yang seperti itu. Mengenai keadaan pendidikan saat ini, dengan berbagai perkelahian antarpelajar, ia melihat selama ini sekolah tidak memberikan pendidikan akhlak atau budi pekerti yang memadai. Selama ini lebih menekankan aspek pengajaran bukan pendidikan. Anak-anak dipaksa untuk terus belajar dan belajar.46 Tuti Alawiyah, di Singapura ia melihat wanita tampil dengan baik dalam segala peran kehidupan, baik muda ataupun tua. Mereka memimpin sekolah seperti ustadzah Saadah Suhaimi di Ipoh Lane. Wanita-wanita Islam berbahasa Inggris, berpakaian trendy, menyetir mobil sendiri, bekerja di luar, punya organisasi yang mapan. Ia melihat di sana seperti tidak ada hambatan untuk maju dan berkarier. Melihat hal ini, ia tertarik ingin menerapkannya kepada kawan-kawan dan murid-muridnya di Indonesia.47 Bahtir Effendi, dalam mengatasi masalah-masalah sosial lebih banyak berbentuk tulisan dan buku serta komentar lepas di media masa baik media cetak maupun elektronik, terutama dalam hal-hal sosial politik. Kritik dan analisisnya yang dalam dan tajam dalam masalah politik inilah menjadikan ia terkenal dengan pengamat politik, ketimbang pengamat sosial. Moeslim Abdurrahman, perhatian dan keterlibatannya pada gerakan masyarakat, LSM, dimulai ketika aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Solo. Setelah lulus dari Pesantren Raudlatul Ilmiyah yang ketat dan ortodoks di Kertosono. Setelah sempat mampir bekerja sebagai wartawan, dan terlibat dalam penelitian-penelitian di LIPI, Moeslim kemudian memfokuskan diri aktif dalam kegiatan LSM. Dia mendirikan Asosiasi Peneliti Indonesia, LSM yang kemudian menghasilkan peneliti-peneliti andal seperti Wardah Hafidz, Indro Tjahjono. Ia pun bergaul intensif dengan kalangan non-Islam di Sekolah Tinggi Filsafat
46http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/said-agil/index.snt,
diakses tanggal 30 November 2007 47http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/tuti-alawiyah/index.snt, diakses tanggal 30 November 2007
120
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Signifikansi Perguruan Tinggi Islam dalam Pengembangan Sosial Budaya: Muhajir
Driyarkara.48 Aktifitas Moeslim yang demikian membuktikan kepeduliannya dalam masalah-masalah sosial. E. Meningkatnya Status Sosial Para Alumni PTAI Para alumni PTAI, yang mayoritas latar belakang sosial ekonominya menengah ke bawah dan berasal dari daerah ini, setelah berkarir ternyata hasilnya sangat spektakuler. Buktinya dengan karir dan karya mereka memberi dampak positif yaitu status sosial mereka meningkat di masyarakat. Mukti Ali, Karier politiknya berada di puncak ketika menjabat Menteri Agama tahun 1971 hingga tahun 1978. Saat itulah ia antara lain menggagas model kerukunan antar-umat beragama. Bagi Mukti Ali, gagasan kerukunan beragama ini amat penting untuk menciptakan harmonisasi kehidupan nasional. Apalagi di masa-masa itu, konflik antar-agama kerap kali terjadi. Meski tak lagi menjabat sebagai menteri agama, gagasan dan pemikirannya ini tetap diteruskan oleh penggantinya, kala itu, Alamsyah Ratu Perwiranegara. Bahkan kemudian oleh penggantinya itu dikembangkan menjadi konsep "Trilogi Kerukunan" yang meliputi kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan antara umat beragama dan pemerintah.49 Jabatan sebagai menteri adalah suatu status sosial yang cukup bergengsi, terlebih Mukti Ali adalah sosok yang dibesarkan di pesantren dan jebolan PTAI. Nurcholish Madjid, termasuk alumni PTAI yang berhasil menggaet banyak jabatan dan karya. Diantaranya, peneliti, Lembaga Penelitian Ekonomi dan Sosial (LEKNAS-LIPI), Jakarta 1978-1984. Peneliti Senior, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, 1984-2005. Dosen, Fakultas Pascasarjana, Institute Agama Islam Negeri (IAIN) Syaruf Hidayatullah, Jakarta 1985-2005. Rektor, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta, 1998 – 2005. Anggota MPR-RI 1987-1992 dan 1992-1997 Anggota Dewan Pers Nasional, 1990-1998. Ketua yayasan Paramadina, Jakarta 1985-2005. Fellow, Eisenhower Fellowship, Philadelphia, 1990 Anggota KOMNAS HAM, 1993-2005. Profesor Tamu, McGill University, Montreal, Canada, 1991-1992. Wakil Ketua, Dewan Penasehat ICMI, 1990-1995 Anggota Dewan Penasehat ICM, 1996. Penerima Cultural Award ICM, 1995. Rektor Universitas Paramadina Mulya, Jakarta 19982005. Penerima “Bintang Maha Putra”, Jakarta 1998.50 Sederet jabatan dan karir 48http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/moeslim-
abdurrahman/index.snt, diakses tanggal 30 November 2007 49http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/mukti-ali/index.snt, diakses tanggal 30 November 2007
121
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Signifikansi Perguruan Tinggi Islam dalam Pengembangan Sosial Budaya: Muhajir
Cak Nur ini sangat mengangkat status sosial Nurcholish Madjid baik di forum nasional maupun internasional. Malik Fadjar, sederet jabatan yang pernah disandang, diantaranya sebagai rektor Universitas Muhammadiyah (UNMUH) Malang, Universitas Muhammadiyyah Surakarta (UMS), pernah menjabat sebagai Dirjen Departemen Agama RI, yang spektakuler pernah menjabat menteri di dua departemen yaitu menteri Agama RI pada masa presiden BJ. Habibie, dan mendiknas pada masa presiden Megawati Sukarno Putri.51 Adalah suatu prestasi yang luar biasa bagi alumni PTAI Hasyim Muzadi, pernah menjadi anggota DPRD Tingkat II MalangJawa Timur, ketua PBNU dua periode, dan pernah mencalonkan diri menjadi wakil presiden RI berpasangan dengan Megawati Sukarno Putri.52 Ini adalah sebagai indikator bahwa, Muzadi yang back ground-nya pesantren dan alumni PTAI, meningkat status sosialnya dengan sederet karir yang telah dicapainya. Din Syamsuddin, alumni PTAI disamping sebagai ketua umum Muhammadiyah, juga sekretaris umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), juga seorang politisi. Dia pernah aktif sebagai Ketua Litbang Golongan Karya. Selain itu Din pernah masuk birokrasi sebagai Dirjen Binapenta, Departemen Tenaga Kerja RI.53 Din yang lulusan PTAI ini, tidak hanya asyik di Departemen Agama RI, tetapi justeri banyak menjabat di depertemen di luar Departemen Agama. Azyumardi, alumni PTAI ini merasa hidup ini berjalan mengalir saja bagai air, prestasi yang meningkatkan status sosialnya adalah karirnya, awalnya sebagai Pembantu Rektor 1 IAIN Jakarta, kemudian berturut-turut dua periode sebagai rektor IAIN/UIN Jakarta. Perubahan IAIN menjadi UIN adalah semasa Azyumardi memimpinnya, perubahan IAIN menjadi UIN ini adalah sekaligus meningkatkan status sosial para mahasiswa dan alumni di mana image masyarakat bahwa alumni UIN sekarang sudah sederajat dengan alumni UI, ITB, UGM dan perguruan tinggi umum ternama lainnya. Selepas dari jabatan rektor UIN Azyumardi menjadabat Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta dan di sela-sela kesibukannya sebagai Direktur Pasca, ia diangkat oleh wakil presiden Jusuf Kalla sebagai Deputi Wakil Presiden Bidang Kesra. 50http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/nurcholishmadjid/index.snt, diakses tanggal 30 November 2007 51 http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/malik-fadjar/index.snt, diakses tanggal 30 November 2007 52http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/hasyim-muzadi/index.snt, diakses tanggal 30 November 2007 53http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/dinsyamsuddin/index.snt, diakses tanggal 30 November 2007
122
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Signifikansi Perguruan Tinggi Islam dalam Pengembangan Sosial Budaya: Muhajir
Komarudin Hidayat, Direktur Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta dan mantan Ketua Panwaslu 2004, Komaruddin Hidayat terpilih dengan suara mutlak (61 dari 80 suara senat) sebagai rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk masa bakti 2006-2010. Dia menggantikan Azyumardi Azra, yang sudah dua kali menduduki jabatan tersebut.54 Alumni pesantren dan PTAI yang berasal dari pinggiran kota Magelang ini terus melejit status sosialnya setelah bermanfaat ilmunya yang mengakibatkan ia banyak menduduki berbagai jabatan. Said Agil Husin Al-Munawwar, alumni madrasah dan PTAI ini meningkat status sosialnya setelah menjadi dosen IAIN Jakarta dan menjadi menteri Agama, serta aktifnya di organisasi sosial keagamaan seperti di NU dan MUI. Tuti Alawiyah. Mantan Menteri Negara Peranan Wanita dalam dua pemerintahan yang berbeda ini - Kabinet Pembangunan VII tahun 1998 masa Soeharto dan Kabinet Reformasi Pembangunan masa Habibie Hingga kini, Tutty masih terus berkarya meneruskan pesan ayahnya agar ia hidup berguna bagi masyarakat, kaum duafa dan wanita, terjun dalam bidang dakwah, sosial dan pendidikan. Karena perhatiannya yang besar terhadap kaum perempuan, berbagai dukungan dan simpati masih terus berdatangan. Itu terbukti dari dukungan sekitar 600 anggota majelis taklim se-Jabotabek menggelar aksi di DPRD DKI Jakarta menuntut agar Tutty – yang diajukan oleh Fraksi Golkar – bisa menduduki kursi Gubernur DKI periode 2002-2007. Terakhir, April 2003 yang lalu, Tutty sebagai Ketua International Moslem Women Union (IMWU)55 untuk Indonesia menggelar kongres organisasi internasional ini di Jakarta. Kongres yang melibatkan wakil perempuan dari 87 negara ini membahas isu seputar pemberdayaan wanita dan peran wanita dalam perdamaian dunia.56 Bahtir Effendi, alumni PTAI yang kemudian menyelesaikan studi S2 dan S3nya di Political Science dari Ohio University, menghantarkan ia menjadi 54http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/komaruddinhidayat/index.snt, diakses tanggal 30 November 2007 56http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/tuti-alawiyah/index.snt, diakses tanggal 30 November 2007 55 Republika, 10 Desember 2007, hlm 13
123
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Signifikansi Perguruan Tinggi Islam dalam Pengembangan Sosial Budaya: Muhajir
pengamat politik terkenal di Indonesia, pernah menjadi direktur PPIM IAIN Jakarta (1998-2000), sekarang menjabat wakil Direktur Lembaga Studi dan Pengembangan Usaha Etika Usaha Indonesia (LSPEUI), dan juga dosen Pascasarjana UIN Jakarta. Dari sinilah ia meningkat status sosialnya, yang tadinya alumni pesantren dan PTAI.57 Moeslim Abdurrahman, alumni pesantren dan PTAI ini dalam perjalanan karirnya menjadi Direktur Ma’arif Institute for Culture, dan Direktur Lembaga Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (LPIS), diterima di Pusat Penelitian Ilmu Sosial di bawah bimbingan Dr Alfian (almarhum) dari LIPI. bekerja di Badan Litbang Departemen Agama (1977-1989). Moeslim, yang tidak mau menjadi dosen tetap di sebuah Perguruan Tinggi ini, lebih memilih untuk menjadi dosen tamu di beberapa Perguruan Tinggi seperti, dosen tamu Pascasarjana Studi Antropologi dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) serta Pascasarjana Antropologi dan Filsafat Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).58 Para santri dan alumni Perguruan Tinggi ini meningkat status sosialnya karena kegigihan mereka dalam menuntut ilmu dan perjuangan mereka mengaplikasikan ilmunya di lembaga pendidikan, lembaga swadaya masyarakat dan lembaga pemerintahan F. Penutup PTAI cukup banyak melahirkan para alumninya dimana mereka banyak sekali yang interes pada bidang-bidang sosial budaya, sehingga banyak muncul pengamat sosial dari alumni PTAI. Terlebih ketika kita menghubungkannya dengan sosial keagamaan, cukup banyak organisasi sosial keagamaan yang muncul seperti NU, Muhammadiyah, PERSIS, PERTI, Matla’ul Anwar dan lain-lain adalah didominasi oleh para alumni PTAI. Lahirnya pengamat sosial budaya dan keagamaan dari para alumni PTAI, tidak hanya bersifat lokal (Indonesia) melainkan juga bersifat internasional. Para alumni PTAI seperti Mukti Ali, Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, Hasyim Muzadi, Din Syamsuddin, Bahtiar Effendy dan lainlain, adalah bukti bahwa kompetensi mereka adalah bertarap internasional dalam mengkomunikasikan masalah-masalah sosial budaya.
57
lihat, Hendro Prasetyo, Ali Munhanif dkk, Islam dan Civil Society, Pandangan Muslim Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm. 320. 58http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/moeslimabdurrahman/index.snt, diakses tanggal 30 November 2007
124
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Signifikansi Perguruan Tinggi Islam dalam Pengembangan Sosial Budaya: Muhajir
Ketrampilan mereka – para alumni PTAI – dalam memberikan solusi terhadap masalah-masalah sosial budaya, juga cukup profesional, karena pendekatan yang mereka gunakan tidak hanya menggunakan teori-teori sosial saja melainkan dipadukan antara teori sosial dan teori keagamaan. Dengan demikian pendekatan yang mereka gunakan lebih arif dan bijak. Hal ini menarik karena sering pendekatan yang digunakan para alumni PTAI lebih menarik ketimbang para alumni Perguruan Tinggi Umum. Sehingga kedekatan para alumni PTAI dengan masyarakat secara emosional lebih dekat dari pada para sosiolog di luar PTAI. Efek dari perjuangan para alumni PTAI membuahkan hasil yang cukup memuaskan, karena secara umum mereka meningkat status sosialnya baik dari sisi ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain. Ini yang sering dikatakan makin meningkatnya strata sosial golongan menengah keagamaan atau santri baru. Di sini jelas bahwa ada hubungan yang signifikan antara PTAI dan perkembangan sosial budaya.
DAFTAR PUSTAKA Ali, Mukti, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, Bandung: Mizan, 1988.
125
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Signifikansi Perguruan Tinggi Islam dalam Pengembangan Sosial Budaya: Muhajir
Azizi, A. Qodri A., Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial, (Mendidik Anak Sukses Masa Depan Pandai dan Bermanfaat), Semarang: CV. Aneka Ilmu, 2002. Azra, Azyumardi, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998 Dawam, Ainurrofiq, Quo Vadis IAIN Sunan Kalijaga (Upaya Membangun Landasan Awal), dalam Al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, Volume 41, number 2, 2003/1424, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 2003. Hassan, Muhammad Kamal, Modernisasi Indonesia (Muslim Intellectual Responses to “New Order” Modernization in Indonesia), Terj. Ahmadie Thaha, Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset, 1987. http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/mukti-ali/index.snt. tanggal 30 November 2007.
Diakses
http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/nurcholish-madjid/index.snt, diakses tanggal 24 Desember 2007. http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/hasyim-muzadi/index.snt, diakses tanggal 30 November 2007. http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/din-syamsudin/index.snt, diakses tanggal 30 November 2007. http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/azyumardi-azra/index.snt, diakses tanggal 30 November 2007. http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/komarudin-hidayat/index.snt, diakses tanggal 30 November 2007. http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/said-agil/index.snt, tanggal 30 November 2007.
126
diakses
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Signifikansi Perguruan Tinggi Islam dalam Pengembangan Sosial Budaya: Muhajir
http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/bahtiar-effendy/index.snt, diakses tanggal 30 November 2007. http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/moeslimabdurrahman/index.snt, diakses tanggal 30 November 2007. http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/malik-fadjar/index.snt, tanggal 30 November 2007.
diakses
http.//www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/tuti-alawiyah/index.snt, tanggal 30 November 2007.
diakses
Jabali, Fuad dan Jamhari (Peny.), IAIN Modernisasi Islam di Indonesia, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003 Jarot Wahyudi, dkk. (eds.), Menyatukan Kembali Ilmu-ilmu Agama dan Umum: Upaya Mempertemukan Epistemologi Islam dan Umum, Yogyakarta: Suka-Press, 2003. Kompas 23/7/2005 oleh: Imam Prihadiyoko. Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1991 Ma’arif, Ahmad Syafi’i, Menerobos Kemelut, Refleksi Cendekiawan Muslim, Jakarta: Grafindo, 2005. Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. Mastuhu dan M. Deden Ridwan, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antar Disiplin Ilmu, Bandung: Nuansa, 1998. Mochtar, Affandi, Membedah diskursus Pendidikan Islam, Ciputat: Kalimah, 2001. Nata, Abudin,Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1997. Noer, Deliar, The Modernist Movement in Indonesia 1900-1942, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (edisi Indonesia), Jakarta: LP3ES, 1980.
127
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Signifikansi Perguruan Tinggi Islam dalam Pengembangan Sosial Budaya: Muhajir
Prasetyo, Hendro, Ali Munhanif dkk, Islam dan Civil Society, Pandangan Muslim Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2002. Republika, 10 Desember 2007. Syamsuddin, M Din, Antara Yang Berkuasa dan yang dikuasai ( Refleksi atas Pemikiran dan Praktek Politik Islam), dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang Pemikiran Politik Islam IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tp: Jakarta, 2001. Suwito dan Fauzan (Ed.), Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta: Prenada Media, 2005.
128
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Fokus Orientasi Pendidikan Islam: H. Hafid Rustiawan
FOKUS ORIENTASI PENDIDIKAN ISLAM. (Studi Terhadap Potensi Nafs) Oleh: Oleh: H. Hafid Rustiawan
Abstrak Nafs berarti jiwa yaitu unsur psikhis manusia yang sangat potensial, menurut fithrohnya, nafs adalah suci, namun memiliki dua kekuatan yang seimbang, yakni yang membawa pada fujur dan yamg membawa kepada perbuatan-perbuatan taqwa, dan perbuatan yang dilakukan oleh manusia akan berdampak pada kondisi nafs, sehingga nafs yang menurut fithrohnya bersih, suci dapat berubah menjadi kotor atau tetap dalam kesuciannya. Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan manusia, serta dinamika kehidupan manusia, nafs juga mengalami dinamika secara labil, terkadang kearah baik, terkadang kearah buruk, terkadang seimbang terkadang salah satunya memiliki kekuatan secara konsisten. Kondisi seperti itu berpengaruh terhadap arah prilaku manusia, sehingga prilaku manusia terkadang baik, terkadang buruk terkadang buruk, bahkan terkadang konsisten pada salah satunya. Kondisi nafs berpengaruh terhadap kepribadian manusia, sehingga kepribadian manusia dapat dikategorikan kepada kepribadian yang zolim li al-nafsih muqtashid serta kepribadian yang fastabiq al-khoirot. Kepribadian yang zolim li al-nafsih didorong oleh nafs sayyi’ah, kepribadian muqtashid didorong oleh nafs lawwamah, sedangkan kepribadian fastabiq al-khoirot didorong oleh nafs muthma’innah dan kepribadian fastabiq al-khoirot adalah kepribadian yang menjadikan nafs eksis dalam kesuciannya sehingga disebut nafs muthmainnah. Pendidian Islam adalah pendidikan yang berupaya Untuk membentuk kepribadian yang baik dan kepribadian yang baik adalah kepribadian yang fastabiq al-khoirot, yakni yang senantiasa melakukan kebajikan-kebajikan. Untuk mencapai kepribadian tersebut, pendidikan harus menguatkan potensi berbuat baik pada nafs, yakni dengan membiasakan melakukan kebaikan-kebaikan dan menghalngi peserta didik dari melakukan perbuatanperbuatan yang buruk, sebab akan menimbulkan kebiasaan dan akan menguatkan potensi berbuata jahat peserta didik, sehingga potensi berbuat jahat memilikidaya yang lebih kuat dan akan mendorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk. Kata Kunci: Nafs dalam suroh al-Syams, perkembangan nafs, fokus pendidikan Islam.
128
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Fokus Orientasi Pendidikan Islam: H. Hafid Rustiawan
Pendahuluan Pendidikan Islam dapat difahami sebagai upaya yang dilakukan oleh orang dewasa secara sadar dan terencana dalam membantu mengembangkan potensi peserta didik, guna mencapai perkembangan optimal, sehingga ia dapat menjalankan tugasnya sebagai manusia, guna mencapai keridhoan Allah, yang pada akhirnya ia mencapai keinginan yang diidamkannya, yaitu kebahagiaan hakiki, yakni kebahagiaan di dunia hingga di akhirat. Al-Qur’an adalah kitab suci, wahyu dari Allah, kitab petunjuk, bagi seluruh manusia, teutama bagi orang beriman dan orang bertaqwa. Sebagai kitab petunjuk, al-Qur’an tidak saja memberikan petunjuk tentang akidah, ibadah dan akhlak, tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik bidang ekonomi politik sosial, budaya, maupun bidang pendidikan. Diantara petunjuk-petunjuk tersebut yang paling urgen adalah petunjuk tentang pendidikan, sebab petunjuk-petunjuk yang ada dalam al-Qur’an akan difahami dan diamalkan hanya melalui proses pendidikan. Oleh karena itu petunjuk-petunjuk tentang pendidikan yang ada dalam al-Qur’an harus selalu digali agar dalam menjalankan pendidikan sesuai dengan petunjuk al-Qur’an. Memahami petunjuk al-Qur’an tentang pendidikan, baik dari sisi tujuan, maupun prosesnya merupakan sesuatu yang sangat penting guna menentukan tindakan yang tepat dalam pelaksanaannya, sebab jika tidak memahami petunjuknya, maka tindakan tersebut tidak akan memperoleh hasil yang maksimal, namun ketika berupaya untuk mendapatkan petunjuk tersebut, petunjuk yang ada dalam al-Qur’an tidak menjelaskan metodologinya secara terperinci terkadang hanya berupa isyarat-isyarat atau dalam bentuk secara mujmal, bahkan terkadang dengan menggunakan lafaz yang musytarok atau murodif yang memerlukan kajian yang lebih mendalam yang hanya dapat dilakukan oleh para ahli. Al-Qur’an adalah petunjuk bagi manusia, namun ketika mencoba untuk memahaminya, ternyata masih banyak yang sulit dipahami kecuali oleh para ahli, misalnya untuk sekedar contoh, memahami manusia misalnya, para ahli mulai dari filosof hingga ilmuwan, secara teoritis hingga kini masih belum mampu memaparkan eksistensi manusia secara utuh, bahkan diantara mereka sering terjadi perbedaan pendapat, diantaranya ada yang berpendapat bahwa manusia adalah makhluk dua dimensi, pendapat yang berbeda mengatakan dengan sebutan makhluk tiga dimensi. Perbedaan pandangan tersebut dapat menimbulkan sikap dan prilaku yang berbeda dalam hal menyikapi manusia, termasuk dalam bidang pendidikan.
129
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Fokus Orientasi Pendidikan Islam: H. Hafid Rustiawan
Untuk menyebut manusia saja, al-qur’an menyebutnya dengan berbagai macam istilah, yakni al-insan, al-basyar, al-nas, al-insa, abd Allah, bani Adam dan Kholifah Allah. 1 Istilah-istilah tersebut diklasifikasikan kepada, yang menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk hidup yang memiliki fisik, yakni al-basyar, dan bani Adam, yang menunjuk kepada karakter manusia, yaitu alinsan, al-nas dan al-insa, yang menunjuk kepada fungsi/tugas yakni, kholifah Allah dan abd Allah. Al-Basyar adalah istilah yang menunjuk kepada makhluk hidup yang memiliki fisik, berarti bahwa manusia adalah makhluk hidup sebagaimana makhluk hidup lainnya yang memiliki fisik seperti binatang. 2 Istilah ini pada hakikatnya menunjuk kepada semua makhluk hidup yang memiliki fisik, yang memiliki kebutuhan biologis, oleh karena itu manusia memiliki karakter sebagaimana makhluk lain yang memiliki fisik. Bani Adam adalah Istilah yang menunjuk pada karakter manusia, yaitu makhluk yang memiliki potensi untuk meyakini bahwa Allah adalah Rab mereka. Dengan potensi baik, manusia memiliki daya untuk menjalankan fungsinya sebagai kholifah Allah di bumi mengebdi kepada-Nya dengan menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Kholifah Allah adalah istilah yang berhubungan dengan jabatan manusia yang diciptakan Allah sebagai pemegang amanah, dengan fungsi mewujudkan kesejahteraan bagi alam semesta, sedangkan abd Allah adalah istilah bagi makhluk yang senantiasa menjalankan perintah Allah tanpa lalai sedikitpun. Istilah abd Allah pada hakikatnya adalah istilah yang relevan bagi Malaikat, karena makhluk yang selalu tunduk menjalankan perintah Allah tanpa inkar sedikitpun adalah Malaikat. Begitu pula kata nafs dalam al-Qur’an adalah contoh lafaz yabg sulit untuk dipahami, padahal kata tersebut behubungan dengan aspek manusia. Kata tersebut sering disebut secara berulang-ulang dan tersebar pada beberapa suroh dalam al-Qur.an, dalam berbagai bentuk serta berbagai redaksi kalimat yang berbeda beda. contoh, ayat-ayat al-Qur’an yang menggunakan kata nafs adalah terdapat dalam suroh al-Baqoroh ayat 48 dan 233, yang menggunakan kata anfus terdapat dalam suroh al-Tahrim ayat 6, al-Ra’ad 11 dan yang menggunakan kata 1
Mengenai penjelasan istilah-istilah tersebut dapat dibaca dalam Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta, Raja Graffindo, 2002, hal. 19-30. 2 Hasan Langgulung, Azas-Azas Pendidikan Islam, Jakarta, Al-Husna, 1987. Hal. 289
130
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Fokus Orientasi Pendidikan Islam: H. Hafid Rustiawan
“nufus” terdapat dalam suroh al-Isro ayat 25.dan masih banyak lagi ayat-ayat lainnya yang tidak mungkin di sini disebutkan secara terperinci. Penggunaan kata tersebut mengingat bahwa al-Qur’an adalah petunjuk bagi manusia, maka pengulangan kata tersebut tidak terlepas dari signifikansinya. Oleh karena itu, berupaya untuk memahami makna kata tersebut, menjadi penting, sebab tanpa ada upaya untuk memahaminya, meski merupakan sesuatu yang penting tentu tidak dapat diambil manfa’atnya. Yang lebih menarik adalah kata al-nafs yang terdapat dalam suroh alSyams ayat 7-11. Dalam suroh al-Syams ayat 7, kata “nafs” digunakan sebagai qosam, padahal bagi manusia qosam hanya boleh dengan menggunakan nama Yang Maha Agung, yakni Allah SWT, namun bagi Allah boleh saja karena tidak ada satupun yang melebihi keaqungan Allah, disamping itu tujuannyapun berbeda. Ketika Allah bersumpah dengan makhluk-Nya, Allah menunjukkan bahwa hal itu adalah peristiwa yang mengagungkan dalam pandangan manusia di samping itu adalah untuk menunjukkan keagungan penciptanya. Bagi seorang mu’min, sudah tentu meyakini bahwa segala yang ada di alam ini adalah sebagai wujud dari kekuasaan dan keagungan Allah, namun ketika makhluk itu dijadikan sebagai qosam oleh Allah, berarti tidak saja menunjukkan keagungan Allah, tetapi pada makhluk tersebut juga terdapat sesuatu yang mengagumkan bagi manusia, kelebihan tersebut perlu mendapat perhatian dari manusia. Di antara makhluk Allah yang dijadikan qosam oleh Allah adalah “alnafs” yang terdapat dalam suroh al-syams ayat 7 dan pada awal suroh al-Zariat ayat 21, Allah memerintahkan agar manusia memperhatikannya, sebagaimana firman-Nya dalam suroh al-Zariat: “Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang yakin dan (juga) pada dirimu sendiri, maka apakah kamu tidak memperhatikan”(Q.S. Al-Zariat: 20-21). Perintah tersebut menjadi pendorong pada penulis untuk mengkajinya guna memperoleh pemahaman tentag nafs kaitannya dengan pendidikan Islam. Oleh karena itu, fokus pembahasannya adalah bagaimana nafs dalam suroh alSyams, bagimana nafs kaitannya dengan kepribadian manusia, dan upaya pendidikan Islam.
131
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Fokus Orientasi Pendidikan Islam: H. Hafid Rustiawan
Potensi Nafs Kata nafs (Bahasa Arab), berbentuk mufrod, dan jamaknya adalah anfus. Dalam kamus al-Munjid nafs berarti ruh atau diri sendiri.3 Dalam kamus Almunawwir nafs diartikan dengan ruh, jiwa, badan, orang, diri orang, atau diri sendiri,4 sedangkan dalam kamus Lisan Arob Ibn manzur nafs berarti nyawa dan digunakan pula untuk menyebut keseluruhan diri pribadi.5 Seiring dengan banyak makna kata nafs dalam Bahasa Arab, kata nafs dalam al-Qur’an juga mempunyai berbagai macam makna sesuai dengan konteksnya. Ahmad Mubarok misalnya, mengkaji makna nafs dengan menggunakan metode tematik menyebutkan ada tujuh macam makna nafs yang terdapat dalam al-Qur’an, yakni diri (seseorang), diri Tuhan, person sesuatu, roh, jiwa, totalitas manusia, sisi manusia yang melahirkan tingkah laku.6 Beragamnya makna yang terkandung dalam kata nafs, adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari, oleh karena itu, dalam memahami makna nafs dalam al-Qur’an memerlukan kajian yang lebih mendalam, antara lain selain memperhatikan makna dasar juga harus memperhatikan konteks makna ayat tersebut. Di antara ayat al-qur’an yang menjelaskan tentang nafs adalah suroh alsyams. “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”.(Q.S. Al-Syams (91): 7-10) Kata nafs pada suroh al-Syams diikuti dengan kata “ wama sawwaha.” Sawwa bermakna al-“adal” (seimbang), sedangkan dhomir “ha” pada kalimat “wama sawwaha, kembali kepada “nafs” berarti nafs manusia diciptakan Allah berada dalam kondisi seimbang, seimbang dalam unsur-unsurnya, seimbang dalam penciptaannya, serta seimbang dalam pembalasannya.7
Luis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lugoh wa A’lam, Beirut Dar al-Masyrik, 1986, hal. 826. Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta, Krapyak, 1984, 1545 5 Ibn Manzur, Muhammad Ibn Mukarram al-Anshari, Lisan al-Arob, Juz. V111, al-Qohiroh, Dar al-Mishriyah, Li al-Ta’lif wa al-Tarjamah, 1968, hal. 119-120 6 Ahmad Mubarok, Jiwa Dalam Al-Qur’an: Solusi Krisis Ketuhanan Manusia Modern, Jakarta, Paramadina, hlm. 44-53. 7 Al-Qusyairi, Tafsir al-Qusyairi hal 80, Ibn Abd al-Salam, hal. 42.
3
4
132
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Fokus Orientasi Pendidikan Islam: H. Hafid Rustiawan
Kata “ilham” dalam ayat tersebut adalah mendatangkan/ memberikan, dengan pengertiannya adalah bahwa Allah mendatangkan sesuatu kepada nafs. 8 Yang didatangkan kepada nafs, menurut ayat tersebut adalah fujur dan taqwa. Berarti pada nafs terdapat dua daya atau dua kekuatan (potensi) yang berlawanan, yakni fujur dan taqwa. Fujur adalah dosa. Yang dimaksud adalah Allah telah memberikan kepada nafs yang menyebabkan orang berbuat buruk sehingga menimbulkan dosa dan sesuatu yang menyebabkan orang berbuat baik dan menimbulkan taqwa.9 Kata nafs pada ayat di atas berbentuk mufrod, namun ada dua pendapat mengenai penggunaannya, pertama, karena kata nafs dalam ayat tersebut berbentuk mufrod, maka maksud nafs yang memiliki kekuatan seimbang tersebut ditujukan kepada Adam. Kedua meski kata nafs dalam ayat tersebut berbentuk mufrod, namun bermakna nufus (jama), sehingga maknanya bukan hanya ditujukan kepada Adam, tetapi juga kepada seluruh manusia.10 Pendapat pertama merujuk kepada makna yang tersurat pada teks ayat, sehingga yang sempurna menurut ayat tersebut adalah Adam, sedangkan pendapat kedua berdasarkan kepada makna yang tersirat, karena manusia itu mencakup keturunan Adam, maka ayat tersebut tidak saja berkaitan dengan Adam tetapi juga mencakup seluruh keturunan Adam. Oleh karena itu, nafs yang memiliki kekuatan seimbang tersebut tidak hanya pada adam, tetapi juga terdapat pada seluruh manusia. Makna aflaha dalam suroh al-syams ayat 9 adalah al-salamah berarti selamat, bahagia, selamat dari neraka ia masuk sorga yang disebabkan karena jiwanya suci dari perbuatan-perbuatan dosa yang merugikan diri dan ahlinya di akhirat. “Tazakka” berarti mensucikan jiwa, yaitu mensucikan diri dari dosa dengan iman dan amal shaleh. Kata “Khoba” semakna dengan khosaro, yakni celaka, yakni celaka di akhirat dan orang yang tidak mendapat kebahagiaan adalah orang yang telah mengotori jiwanya. Kata dassa asalnya dassasa berarti khozala artinya jatuh, rendah. Orang yang merendahkan dirinya adalah orang yang mengotori jiwanya yaitu dengan ma’shiat kepada Allah.11 Menurut Ibn. Abbas, Mukotil, al-Farrro, dan al-Zujaz, bahwa sucinya nafs (jiwa) karena orang jiwa tersebut telah disucikan jiwanya oleh Allah, 8
Abd al-Rohman bin Ali bin Muhammad al-Jauzi, Zad al-Masir fi ulum al-Tafsir, Beirut, alMaktabah al-Isami, hal. 164 9 . Al-Qusyairi, Op-Cit., 10 Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Habib al-Bisri al-Bagdadi, alSyahir al-Maududi, Al-Sakat wa al’Uyun, hal, 423 11 Al-Qusyairi, hal. 81, Al-Jazair, hal. 403. Jalalain, op. Cit, 48.
133
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Fokus Orientasi Pendidikan Islam: H. Hafid Rustiawan
sedangkan menurut Qotadah, Ibn Qutaibah yang dimaksud adalah orang yang telah mensucikan jiwanya dengan ta’at kepada Allah dan dengan beramal shaleh, berarti mensucikan jiwa dari dosa, sedangkan orang yang rugi adalah orang yang kufur dan maksiat sehingga jiwanya kotor.12 Dari rujukan di atas, difahami, bahwa menurut fithrohnya, nafs (jiwa) adalah suci, namun ia memiliki dua daya, yakni daya untuk berbuat baik yang menimbulkan manusia menjadi orang bertaqwa dan daya untuk berbuat jahat (buruk) yang menimbulkan manusia menjadi durhaka (fujur). Nafs netral, berada di tengah lurus tidak condong pada baik dan tidak condong pada buruk, nafs berada di tengah-tengah diantara keduanya, karena nafs berada dalam kesucian, maka manusia dikatakan sebagai makhluk yang sesuai dengan agama yang lurus.13 Memelihara kesucian jiwa adalah sesuatu yang sangat urgen, karena akan berdampak terhadap perolehan kebahagiaan. Kesucian jiwa dilakukan dengan menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya, Pentingnya memelihara kesucian jiwa diisyaratkan pula oleh dari berdo’anya Rasulullah SAW. sebagaimana yang dikatakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas, bahwa Rasulullah SAW. apabila membaca al-Qur’an dan melewati suroh al-Syams ayat 7, Rasulullah membaca do’a.14 Pengaruh Nafs Nafs adalah salah satu dimensi manusia, menurut fithrohnya nafs diciptakan dalam keadaan suci, namun memiliki dua potensi yang seimbang, yakni potensi fujur dan potensi taqwa. Potensi fujur adalah potensi yang menimbulkan perbuatan buruk, sedangkan potensi taqwa adalah potensi yang menimbulkan perbuatan taqwa. Jika nafs melahirkan perbuatan baik, maka nafs akan tetap dalam keadaan suci, namun jika yang lahir adalah perbuatan buruk maka nafs menjadi kotor. Seiring dengan dinamika pertumbuhan dan perkembangan manusia, nafs (jiwa) juga mengalami dinamika secara labil, jika nafs yang baik lebih kuat maka akan melahirkan tingkah laku yang baik pula, sebaliknya jika nafs yang buruk yang berkembang maka akan melahirkan tingkahlaku yang buruk pula. Nafs mempengaruhi prilaku manusia dan prilaku juga akan mempengaruhi nafs (jiwa), 12
Zad al-Masir, hal. 164 Al-Imam Abi al-Fida al-Hafiz Ibn Katsir al-Damsyiki, Tafsir al-Qur’an al-Karim Makkah al-Mukarromah al-Maktabah al-Tijaroh, tt, jild. 1v, hal. 470. 14 Ibn Katsir Jild 1v, hal. 470 13
134
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Fokus Orientasi Pendidikan Islam: H. Hafid Rustiawan
sehingga nafs yang menurut fithrohnya adalah sesuatu yang suci dapat berubah menjadi kotor. Dari asumsi di atas, dapat dipahami bahwa, nafs tidak hanya mendorong perbuatan tertentu, tetapi akibat dari perbuatan tersebut juga berpengaruh terhadap nafs, sehingga semakin banyak prilaku buruk yang dilakukan, akan semakin kotor nafsnya dan semakin besar pula kekuatan dorongan pada keburukan, sebaliknya semakin banyak kebaikan yang dilakukan semakin bersih nafsnya dan semakin besar pula kekuatan dorongan nafs pada kebajikan, namun demikian, karena yang menimbulkan prilaku itu, bukan hanya nafs, maka nafs juga terkadang dapat dikendalikan, sehingga prilaku manusia terkadang baik dan terkadang buruk. Dalam suroh fathir Allah menyatakan: Kemudian kami wariskan al-kitab kepada orang-orang yang kami pilih, maka di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, ada pula yang di tengah-tengah dan adapula yang lebih dahulu berbuat kebajikan(Q’S. Fathir/35 : 32). Berdasarkan suroh Fathir sebagaimana dikemukakan di atas, dipahami, bahwa nafs (jiwa) memiliki pengaruh yang besar terhadap dinamika prilaku manusia, sehingga membentuk tiga kelompok kepribadian manusia, yakni, kelompok “zolim li al-nafsih”, kelompok “muqtashid” dan kelompok “al-sabiq bi al-khairot. Menurut Umar bin khotob, yang dimaksud dengan zolim linafsih adalah orang-orang yang memiliki dosa kecil, menurut Atho dari Ibn Abbas Zolim li alnafsih adalah mereka yang berdosa besar dan mati tanpa bertaubat, sedangkan menurut Umar Bin Dinar dari Ibn Abbas bahwa zolim li al-nafsih adalah orangorang kafir. Hasan, bahwa yang dimaksud dengan zolim li al-nafsih adalah orangorang munafiq, yaitu yang lebih kuat keburukannya dari pada kebaikannya, dan kelompok muqtashid adalah yang seimbang antara kebaikan dan keburukannya, sedangkan kelompok al-sabiq bi al-khoirot adalah yang lebih banyak kebaikannya.15 Dalam konteks manusia secara umum, yang dimaksud zolim li al-nafsihi adalah mereka yang dikategorikan kepada orang kafir, kelompok muqtashid adalah orang munafiq, sedangkan al-sabiq bi al-khoirot adalah kelompok orangorang mu’min.16
15 16
Zad al-Masir, hal. 181. Samarqondi, Bahar al-Ulum, hal. 454
135
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Fokus Orientasi Pendidikan Islam: H. Hafid Rustiawan
Dalam kontek orang mu’min, zolim li-al-nafsihi adalah mengerjakan perbuatan-perbuatan yang wajib dikerjakan, namun mereka juga mengerjakan perbuatan-perbuatan yang diharomkan. Kelompok “muqtashid” adalah mereka yang mengerjakan kewajiban-kewajiban, serta meninggalkan yang diharomkan, namun terkadang juga meninggalkan yang disunnahkan dan mengerjakan sebahagian yang dimakruhkan, sedangkan kelompok al-sabiq al-khoirot adalah mereka yang mengerjakan kewajiban dan sunnah, juga meninggalkan yang diharomkan dan yang dimakruhkan17 Al-Jazair, dalam Tafsir al-Aisir Tafasir. Menjelaskan bahwa Yang dimaksud dengan “zolim li al-nafsihi” adalah kelompok orang-orang yang penuh dengan dosa, kelompok “muqtashid” adalah kelompok yang memenuhi kewajiban, dan menjauhi dosa besar, sedangkan kelompok al-sabiq bi al-khairot adalah kelompok orang-orang yang mengerjakan kewajiban dan yang sunah, serta menjauhi dosa, baik besar maupun kecil.18 Ketiga kelompok mu’min tersebut, relasinya dengan pembalasan di hari kiamat nanti, kelompok pertama orang-orang zolim akan mendapat ampunan, kelompok “muqtashid” akan dihisab dengan mudah, sedangkan al-sabiq alKhoirot masuk sorga tanpa dihisab19 Ketiga macam kepribadian tersebut, jika dihubungkan dengan nafs, maka a. Zolim li al-nafsih, Zolim li al-nafsih yaitu mereka yang memiliki nafsu amarah “Sesungguhnya nafs itu selalu menyerukan kepada perbuatan buruk, kecuali nafs yang diberi Rahmat oleh Tuhan-Ku” (Q.S. Yusuf/12: 53) Menurut Ibn Qoyyim, pola al-nafs al-amarah al-su adalah orangorang yang selalu mengikuti hawa nafsu (syahwat), hawa nafsu dijadikan sebagai pemimpin dalam segala aktivitasnya, segala sesuatunya didorong oleh hawa nafs, yang pada akhirnya kelompok tersebut dimurkai Allah.20 b. Muqtashid (tengah-tengah).
17
Ibn Katsir, 731 Abu Bakar al-Jazair, Aisiru al-Tafasir, hal. 344. 19 Ibn Katsir, 732 20 Ibn. Qoyyim, Loc. Cit.,
18
136
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Fokus Orientasi Pendidikan Islam: H. Hafid Rustiawan
Muqtashid Yaitu manusia yang memiliki atau pemilik al-naf allawwamah. Dalam al-Qur’an dikatakan: “aku bersumpah dengan hari kiamat dan sungguh aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali” (Q.S. Al-Qiyamah/75: 1-2). Pola kepribadian al-lawwamah adalah kepribadian yang tidak konsisten, tidak stabil, terkadang mengikuti al-nafs al-amarah, terkadang mengikuti al-nafs al-muthmainnah, namun ia memiliki tingkat lebih tinggi dibanding dengan al-nafs al-amarah. Ibn Qoyyim membagi pola an-nafs al-Lawwamah kepada dua, yakni: 1. Iawwamah ma’lumah, yaitu kepribadian yang bodoh dan zolim. 2. Lawwamah gair ma’lumah, yaitu kepribadian yang mencela atas perbuatannya yang buruk dan berusaha untuk memperbaikinya21. c. Kelompok al-Sabiq al-Khairot, Kelompok al-sabiq al-khoirot adalah mereka yang memiliki al-nafs al-muthmainnah, “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.”(Q’S. Al-Fajr/89: 27-28) Al-Nafs al-Muthmainnah, artinya jiwa yang tenang karena jiwa bertemu dengan Tuhannya, ارْ ِج ِعي إِلَى َرب ِِكkembali kepada Tuhanmu bermakna kembali menuju pahala Tuhan-mu, yaitu yang dijanjikan Allah di sorga/hari kiamah ًاضيَة ِ َرadalah yang rela terhadap pahala yang diberikan Allah, menurut al-Farra adalah mereka yang ketika hidup di dunia merasa cukup dengan pemberian Allah, dan mensyukuri ni’mat Allah., kemudian mereka diperintahkan untuk masuk sorga bersama-sama dengan hamba Allah yang saleh tanpa dihisab. 22 Orang yang dikategorikan kepada “al-sabiq al-Khoirot” atau yang memiliki jiwa muthmainnah adalah mereka yang memelihara dirinya, takut kepada Allah, menahan dirinya dari dorongan fujur. Orang seperti itu akan kembali dan menempati tempat yang paling baik. “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsnya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya” (Q.S. Al-Nazi’at/79: 40-41). Orang yang menahan diri dari hawa nafs adalah orang yang beruntung, karena mereka akan melakukan kebajikan-kebajikan yang berarti ia mensucikan
21 22
Ibn Qoyyim, Ibid., Samar Qondi, hal.408
137
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Fokus Orientasi Pendidikan Islam: H. Hafid Rustiawan
jiwanya sehingga jiwanya tetap suci sebagaimana dikatakaan Allah dalam suroh al-Syams, ayat 9-10, yang merupakan jawab qosam. َ( َم ْن َد َس هَ قَ ْد أَفْلَ َح َم ْن َز َك ه9) َوقَ ْد َخ ”Maka berbahagialah orang yang mensucikan jiwanya, dan merugilah orang-orang yang mengotori jiwanya”(Q.S. As-Syams: 9-10). Kepribadian al-Sabiq al-khoirot adalah pemilik nafs al-muthma’innah, jiwanya tenang selalu mendorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang diperintahkan Allah serta mengikuti Sunnah Rasulullah dan menjauhi laranganlarangannya. Perbuatan-perbuatannya didorong oleh iman dan bimbingan Allah, hatinya disinari dengan cahaya iman dan selalu zikir kepada Allah, menurut Ibn Qoyyim kepribadian tersebut bersumber dari qalb.23 Kelompok al-sabiq al-khairot adalah kelompok yang paling baik, kelompok al-nafs al-muthmainnah, jiwa yang dirido’i Allah, nafs tersebut tetap eksis dalam kesuciannya, sebagaimana fithrohnya, dan ketika kembali kepada Penciptanya ia mendapat ridho Penciptanya. Hai jiwa yang tenang. kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku.(Q.S. Al-Fajr/89: 27-30). Pendidikan Islam Dalam bahasa Arab terdapat beberapa istilah yang berhubungan dengan pendidikan, yakni tarbiyah, ta’dib, ta’lim, tadris dan tahzib. Diantara istilah-istilah tersebut, mayoritas para ahli pendidikan Islam, berpendapat bahwa yang paling tepat untuk kata pendidikan adalah istilah tarbiyah. Menurut tata bahasa Arab, kata al-tarbiyah adalah isim mashdar, bahkan menurut Ramayulis,24 terdapat tiga akar kata yang masdarnya membentuk kata “tarbiyah” , yakni: 1. Kata Rabba, Yarbu, tarbiyyah, yang memimiliki arti zad (tambah), nama (berkembang) yang didasarkan kepada al-Qur’an suroh alRum, ayat 39) “Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat 23 24
Ibn. Qayyim, Op. Cit., Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta Kalam Mulia, 2002, hal. 2.
138
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Fokus Orientasi Pendidikan Islam: H. Hafid Rustiawan
demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). (Q.S. Al-Rum/30: 39) 2. Robba, Yurobbi, tarbiyyah, yang berarti tumbuh (nasya) dan menjadi besar (tara ra’a). 3. Rabba Yurobbi Tarbiyyah, yang memiliki arti memperbaiki (ashlaha), menguasai urusan, memelihara, merawat, menunaikan, memperindah, memberi makan, mengasuh tuan, memiliki, mengatur dan menjaga kelestarian dan eksistensinya. “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". Dalam al-Qur’an, suroh al-Syuaro, juga dikatakan: Fir'aun menjawab: "Bukankah Kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) Kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama Kami beberapa tahun dari umurmu .(Q.S.-Al-Syuaro: 18). Selain ayat al-Qur’an sebagaimana dikemukakan di atas, juga disebutkan dalam suroh al-Baqoroh: “Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu, (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah, dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.(Q.S. Al-Baqoroh/2: 275-276). Kata rabbi, al-riba dan yurb, mengandung pengertian mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membesarkan, menumbuhkan, memproduksi dan menjinakan. 25 Seluruh makna yang terkandung dalam Kata rabbi, al-riba dan yurbi adalah kata kerja yang termasuk pada perbuatan-perbuatan mendidik. 25Ibid.,
139
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Fokus Orientasi Pendidikan Islam: H. Hafid Rustiawan
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dikatakan bahwa: pendidikan adalah usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, Bangsa dan Negara.26 Dalam definisi tersebut, pendidikan sangat berhubungan dengan potensi manusia, sehingga dengan adanya pendidikan, setiap individu dapat mengembangkan dirinya ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu, al-Djamaly, sebagaimana yang dikutif Asifin, bahwa pendidikan adalah suatu proses yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik dan yang mengangkat derajat kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan dasar dan kemampuan ajarnya.27 Dilihat dari fungsinya, disamping memiliki fungsi preventif, juga mempunyai fungsi kuratif. Dalam fungsi preventif, pendidikan berati mempersiapakan peserta didik dalam menghadapi masa yang akan datang dan membekali dirinya agar tidak melakukan perbuatan yang menyimpang sedangkan dalam makna kuratif, pendidikan dikatakan sebagai upaya perbaikan tingkah laku manusia secara totalitas baik dalam kehidupannya secara pribadi, hubungannya dengan sesama manusia, maupun dengan alam lingkungannya.28 Hubungannya dengan nafs, bahwa nafs adalah salah satu aspek ruhani manusia yang memiliki dua potensi, yaitu potensi yang menjadi energi untuk berbuat buruk dan potensi yang menjadi energi untuk berbuat baik. Kedua potensi tersebut menurut fithrohnya adalah seimbang, tidak ada yang lebih kuat, dan tidak ada yang lebih lemah, namun dalam perkembangannya mengalami perubahan yang dipengaruhi oleh prilaku yang ditimbulkannya, sehingga semakin banyak perbuatan buruk semakin kuat potensi berbuat buruknya dan semakin banyak berbuat baik, akan semakin kuat potensi berbuat baiknya, sehingga semakin besar dorongan untuk melakukan kebaikan. Potensi yang menjadi energi jahat akan mendorong manusia untuk berbuat jahat, dan ketika berbuat jahat, maka jiwa menjadi kotor dan menyebabkan manusia merugi, sedangkan potensi yang menjadi energi berbuat baik mendorong manusia untuk berbuat baik dan ketika berbuat baik, maka 26
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) Bab.1, pasal 1. 27 Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1996.hal. 36 28 Omar Muhammad Al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam (terj) Jakarta, Bulan Bintang, 1979, hal. 399.
140
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Fokus Orientasi Pendidikan Islam: H. Hafid Rustiawan
jiwanya menjadi suci. Orang yang mampu mensucikan jiwanya adalah orang yang beruntung yang akan mendapatkan kebahagiaan, berarti menghantarkan untuk mencapai cita-cita yang diinginkannya. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang berupaya untuk mengantarkan manusia untuk mencapai apa yang diinginkannya, yaitu kebahagiaan dalam hidupnya berlanjut hingga di akhirat. Kebahagiaan akan didapatkan jika manusia mensucikan jiwanya. Oleh karena itu, pendidikan Islam tidak hanya mengembangkan sikap ilmiyah semata, tetapi juga ilmiyah tersebut arus dibarengi dengan perbuatan-perbuatan yang terarah pada membersihkan dan mensucikan jiwa peserta didik. sebagaimana tugas yang diberikan Allah kepada RasulNya. Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,(Q.S. Al-Jum’at (62): 2) Mensucikan jiwa dilakukan dengan cara mengembangkan potensi taqwanya dan menahan potensi untuk berbuat durhaka (maksiat), sebab kesucian jiwa akan dicapai jika peserta didik mampu menjalankan kebajikan dan mencegah dirinya dari perbuatan yang dilarang, sedangkan mengerjakan yang dilarang hanya akan mengotori jiwanya yang akan menghalangi dirinya untuk mendapatkan keuntungan. Mensucikan jiwa tidak lain kecuali dengan menghambakan diri kepada Allah, yaitu menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya, sebagaimana yang diserukan Allah dalam suroh al-Baqoroh: “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa (Q.S. AlBaqoroh/2:21).
Kesimpulan Kata nafs (Bahasa Arab), berbentuk mufrod, sedangkan jamanya adalah anfus. Kata tersebut mempunyai makna yang beragam, yakni ruh, diri sendiri, jiwa, badan, orang, diri orang, atau diri sendiri, nyawa dan keseluruhan diri pribadi. Nafs dalam suroh al-Syams berarti jiwa, yaitu salah satu aspek yang ada pada manusia yang memiliki kekuatan yang seimbang, yakni potensi untuk berbuat buruk dan potensi untuk berbuat baik. Adanya kedua potensi tersebut
141
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Fokus Orientasi Pendidikan Islam: H. Hafid Rustiawan
menjadikan manusia memiliki kekuatan yang seimbang, yakni dapat berbuat buruk yang dapat mengakibatkan jiwa menjadi kotor dan dapat berbuat baik yang mengakibatkan jiwa tetap dalam kesucian. Dalam perkembangannya, nafs dapat mendorong manusia untuk melakukan kebaikan, juga keburukan, seiring dengan kekuatan yang mempengaruhinya dan perbuatan manusia juga mempengaruhi nafs, sehingga nafs ada yang dikategorikan kepada nafs. Amaroh, lawwamah dan nafs muthma’innah. Seiring dengan kondisi nafs, akan lahir pula berbagai kepribadian manusia, yakni: zolim li al-nafsih, yaitu orang-orang yang senantiasa melakukan kejahatan, sehingga keburukan lebih banyak dari pada kebaikan, kelompok pertengahan/muqtashid, yaitu mereka yang terkadang melakukan kejahatan dan terkadang melakukan kebaikan, anatara kebaikan dan keburukan dilakukan secara seimbang, dan kelompok yang terbaik, yaitu “al-sabiq al-khoirot” mereka yang senantiasa melakukan kebaikan. Bahwa setiap manusia menginginkan kebahahagiaan selamanya, sedangkan kebahagiaan hanya didapatkan jika manusia mampu mensucikan jiwanya (nafs). Oleh karena itu, pendidikan Islam tidak saja mencerdaskan peserta didik dengan mengetahui secara kognitif, tetapi yang lebih penting adalah membina dan mengarahkan sikap dan prilaku peserta didik untuk melakukan kebaikan-kebaikan dan mencegah/ menjauhkan peserta didik dari perbuatan-perbuatan tercela, karena dengan mengerjakan kebaikan peserta didik akan suci jiwanya. Jiwa yang suci mendorong pada kebajikan, sehingga jiwa menjadi suci selamanya dan jiwa yang suci adalah jiwa muthmainnah yang akan mendapat keridhoan Allah. Sehingga dengan mendapat keridhoan Allah peserta didik akan mendapatkan kebahagiaan selamanya.
142
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Fokus Orientasi Pendidikan Islam: H. Hafid Rustiawan
DAFTAR PUSTAKA Abi al-Fida al-Hafiz, al-Imam Ibn Katsir al-Damsyiki, Tafsir al-Qur’an alKarim Makkah al- Mukarromah al-Maktabah al-Tijaroh, tt, jild. 1v.. Abd al-Rohman bin Ali bin Muhammad al-Jauzi, Zad al-Munir fi ulum alTafsir, Beirut, al-Maktabah al-Isami, Ahmadi, Abu, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, Yogyakarta, Adiya Media, 1992. Al-Bana, Hasan,Akidah Islam, Bandung, al-Ma’arif, 1983. Al-Ghozali, Ihya Ulum al-Din, III, Al-Mishriyah, Cairo, al-Masyhad alHusain, tt, Al-Maududi, Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Habib al-Bisri al-Bagdadi, al- Syahir , Al-Sakat wa al’Uyun, Al-Qusyairi, Tafsir al-Qusyairi hal 80, Ibn Abd al-Salam,. Al-Syaibani, Omar Muhammad Al-Toumy, Falsafah Pendidikan Islam (terj) Jakarta, Bulan Bintang, 1979. Al-Suyuthi, Al-Rohman Bin Abi Bakr, Tafsir al-Qur’an al-Karim, AlUluwiyah, Semarang, tt, Amin, Ahmad, Kitab al-Akhlak, Cairo, Al-Mishriyah, Dar al-Kutub, tt. An-Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam Di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, (terjemah), Jakarta, Gema Insani Press, 1996. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1996. Daradjat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1992. Jalaluddin, 2002, Teologi Pendidikan, Jakarta, Raja Graffindo Langgulung, Hasan 1987, , Azas-Azas Pendidikan Islam, Jakarta, Al-Husna. Luis Ma’luf, Al-Munjid, Beirut, tt, Manzur, Ibn. Muhammad Ibn Mukarram al-Anshari, Lisan al-Arob, Juz. V111, al-Qohiroh, Dar al- Mishriyah, Li al-Ta’lif wa alTarjamah, 1968. Mubarok, Ahmad, Jiwa Dalam Al-Qur’an: Solusi Krisis Ketuhanan Manusia Modern, Jakarta, Paramadina, Muhaimin dkk, Kawasan Dan Wawasan Studi Islam, Jakarta, Prenada Media, 2005.
143
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Fokus Orientasi Pendidikan Islam: H. Hafid Rustiawan
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Arab Indonesia, Yoyakarta. Krapyak, 1987. Uhbiyati, Nur, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung, Pustaka Setia, 1998. Yunus, Mahmud, Tafsir al-Qur’an al-Karim, Jakarta, Yayasan Penyelenggara, Penterjemah Pentafsir al-Qur’an, 1973. Qordowi, Yusuf, Iman dan Kehidupan (terj.) Fachruddin Hs. Dari judul buku al-Iman wa Al-Hayat, Jakarta, Bulan Bintang, 1977, cet 1. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Kalam Mulia, 2002, hal. 28. RI, Tim Depag, Agama Islam, Jakarta, PKIA, PPTAI, 1984.
144
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No. 1 Periode Januari-Juni 2014 Teori Belajar Perspektif Pendidikan Islam: Subri
TEORI BELAJAR PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM Oleh : Subri
Abstrak “Long life education” belajar sepanjang hayat, sejak dari buaian sampai ke liang lahat. Istilah tersebut adalah sang motivator bagi pembelajar untuk memperbaiki kehidupan dan untuk mencapai derajat yang mulia. Namun belajar yang baik harus mengikuti teori-teori belajar yang baik pula. Ada beberapa aspek teori belajar menurut Islam yang layak untuk dijadikan sebagai lentera bagi pembelajar dalam menekuni ilmu pengetahuan, diantranya adalah Taqlid (Imitasi/Peniruan), Tajribah wa Khatha’ (Trial dan Error), Ta’wid (Pembiasaan), Tafakkur (Berpikir), Ijtihad, Hurriyyah (Kebebasan). Proses belajar akan berjalan dengan lancar dan mudah apabila prinsipprinsipnyaditerapkan dengan benar. Al-Qur’an dan al-Sunah empat belas abad yang lalu telah mempraktekkan prinsip-prinsip untuk meluruskan perilaku manusia, mendidik jiwa dan membangun kepribadian mereka. Diantara prinsip-prinsip tersebut adalah Niat, Hatstsu (Motivasi), Tsawab (Reward), Takhawwulu Al-Auqot Li AlTa’allum (Pembagian Waktu Belajar), Takrir (Repetisi/ Pengulangan), Al-Nasyith Wa Al-’Amaliyyah Al ’Ilmiyyah (Partisipasi Aktif dan Praktek Ilmiah), Tarkiz (Konsentrasi), Tadrij (Belajar secara Gradual), Ihtimam (Perhatian). Terjemahan: Abstract Long life education, the eternal education in life. From the aerly life until the death in funeral. This definition becomes the motivator for learners to fix the life and to reach the great value. But the good learning should follow good theories. There are some learning theori aspects according to Islam that is proper for learners to pursue the study which are Taqlid (Imitating), Tajribah wa Khatha’ (Trial dan Error), Ta’wid (Custom), Tafakkur (Thinking), Ijtihad, Hurriyyah (Freedom). Al Quran and Al Sunnah The learning process will run well if the aspects done smoothly. In the fourteen centuries already practiced the principals to straight human behaviour, educate the soul, and build their personality. Which are intention, , Hatstsu (Motivation), Tsawab (Reward), Takhawwulu Al-Auqot Li Al-Ta’allum (Learning time Arrangment), Takrir (Repetition), Al-Nasyith Wa Al-’Amaliyyah Al ’Ilmiyyah (Actif Participation andScientific Practice), Tarkiz (Concentration), Tadrij (Gradual Study), Ihtimam (Attention).
145
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No. 1 Periode Januari-Juni 2014 Teori Belajar Perspektif Pendidikan Islam: Subri
Pendahuluan Belajar adalah kebutuhan setiap mahluk hidup, terlebih bagi manusia. Belajar berlangsung sepanjang hayat. Sejak dari buaian bunda hingga berada di liang lahat. Untuk mencapai suatu tujuan atau cita-citanya manusia harus melalui proses belajar. Belajar, disamping penambah pengetahuan, pengalaman dan ketrampilan juga untuk mengembangkan sikap dan pola hidup di tengah-tengah masyarakat. Dalam pandangan Islam belajar merupakan kewajiban bagi setiap manusia baik dia laki-laki ataupun perempuan. Hal ini sesuai perintah Rasulullah SAW. Belajar dimulai dengan “membaca” apa yang tersirat ataupun yang tersurat dari segala ciptaan Allah. Belajar dimulai dari apa yang belum kita ketahui sampai kepada mernadukan dari pengetahuan dan pengalaman yang telah kita miliki (Al-Quran: AI-Alaq: 1-5). Masalah belajar adalah masalah yang selalu aktual dan selalu dihadapi oleh setiap orang.Belajar adalah dasar untuk memahami perilaku. Maka dari itu banyak ahli membahas dan menghasilkan berbagai teori tentang belajar. Dalam hal ini tidak ada perdebatan tentang kebenaran setiap teori yang dihasilkan tetapi yang lebih penting adalah pemakaian teori-teori itu dalam praktek kehidupan. Sehubungan dengan itu dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan salah satu usaha yang dilakukan adalah memahami bagaimana anak-anak belajar.Belajar merupakan suatu proses usaha sadar yang dilakukan oleh individu untuk suatu perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak memiliki sikap menjadi bersikap benar, dari tidak terampil menjadi terampil melakukan sesuatu. Belajar tidak hanya sekedar memetakan pengetahuan atau informasi yang disampaikan. Namun bagaimana melibatkan individu secara aktif dalam membuat atau pun merevisi hasil belajar yang diterimanya menjadi suatu pengalamaan yang bermanfaat bagi pribadinya. Proses tersebut adalah sebuah pembelajaran yang merupakan suatu sistem yang membantu individu belajar dan berinteraksi dengan sumber belajar dan lingkungannya. Dalam kegiatan belajar dan mengajar di sekolah terjadi sebuah proses yaitu interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa jika terjadi kegiatan belajar kelompok. Dalam interaksi tersebut akan terjadi sebuah proses pembelajaran. Belajar sebagai suatu proses berfokus pada apa yang terjadi ketika belajar berlangsung. Penjelasan tentang apa yang terjadi merupakan teori-teori belajar. Teori belajar adalah upaya untuk menggambarkan bagaimana peserta didik bisa belajar, sehingga membantu kita dalam memahami proses kompleks inheren pembelajaran.
146
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No. 1 Periode Januari-Juni 2014 Teori Belajar Perspektif Pendidikan Islam: Subri
Pengertian Belajar Belajar adalah berubah, artinya usaha mengubah tingkah laku yang akan membawa suatu perubahan pada individu-individu yang belajar. Perubahan tidak hanya berkaitan dengan penambahan ilmu pengetahuan akan tetapi juga berbentuk kecakapan, keterampilan, sikap, pengertian, harga diri, minat, watak serta penyesuaian diri. Jelasnya menyangkut segala aspek organisme dan tingkah laku pribadi seseorang. Oloeh karena itu belajar dapatlah dikatakan sebagai rangkaian kegiatan jiwa, psiko-fisik untuk menuju ke perkembangan pribadi manusia seutuhnya menyangkut unsur cipta, rasa dan karsa, ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Istilah yang lazim digunakan dalam bahasa Arab tentang kata belajar adalah Ta’allama dan Darasa. Al-Qur’an juga menggunakan kata darasa yang diartikan dengan mempelajari, yang sering kali dihubungkan dengan mempelajari kitab. Hal ini mengisyaratkan bahwa kitab (dalam hal ini al-Qur’an) merupakan sumber segala pengetahuan bagi umat Islam, dan dijadikan sebagai pedoman hidupnya (way of life). Salah satunya terdapat dalam surat al-An’am ayat 105 yang berbunyi: Demikianlah kami mengulang-ulangi ayat-ayat kami supaya (orang-orang yang beriman mendapat petunjuk) dan supaya orang-orang musyrik mengatakan: "Kamu Telah mempelajari ayat-ayat itu (dari ahli Kitab)", dan supaya kami menjelaskan Al Quran itu kepada orang-orang yang Mengetahui.1 Kata darasta yang berarti ”engkau telah mempelajari”, menurut Quraish Shihab yaitu membaca dengan seksama untuk dihafal atau dimengerti. 2Belajar dalam Islam juga diistilahkan dengan menuntut ilmu (Thalab Al-’Ilm). Karena dengan belajar, seseorang akan mendapatkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi dirinya. Dan dalam Islam, ilmu yang diperoleh harus diaplikasikan sehingga memberikan perubahan dalam diri pelajar, baik kepribadian maupun perilakunya. Dalam tataran istilah, tidak terdapat definisi secara eksplisit yang diberikan oleh para pemikir Islam, baik klasik maupun kontemporer. Akan tetapi, secara implisit bisa diambil dari pemikiran mereka, di antaranya adalah: a. Al-Ghazali memberikan gambaran bahwa belajar merupakan usaha yang dilakukan dalam rangka memperoleh ilmu kemudian mengaplikasikannya. Di sini Al-Ghazali menekankan bahwa ilmu yang sudah didapatkan peserta didik dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2005), hlm. 141. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol.4, (Jakarta: Lentera Hati, 2001), hlm. 224. 1Al-Qur’an 2M.
147
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No. 1 Periode Januari-Juni 2014 Teori Belajar Perspektif Pendidikan Islam: Subri
akan bermanfaat dan memberikan perubahan pada diri peserta didik apabila ia mau mengaplikasikannya. Keadaan seperti ini seringkali diumpamakan bagaikan pohon yang tidak berbuah.3 b. Al-Attas memberikan isyarat bahwa belajar adalah proses pencarian ilmu dalam rangka membentuk manusia paripurna.4 c. A.Busyairi Harits berpendapat bahwa belajar adalah berusaha mengeluarkan (upaya dari dalam) sesuatu dengan kekuatan sampai menjadi perbuatan.5 d. Belajar Islami adalah perubahan perilaku manusia sebagai proses untuk menuju pada terbentuknya insan kamil sebagai hasil dari ikhtiarnya untuk mengembangkan, meningkatkan dan mengfungsionalkan potensi-potensi, alat-alat dan hidayah-hidayah yang dianugerahkan oleh Allah secara proporsional dan optimal dalam pelbagai aspek kehidupan, sebagai manifestasi dari rasa syukur kepada Allah SWT.6 Dari beberapa pendapat di atas, maka belajar adalah proses untuk menuju terbentuknyainsankamil. Tujuan Belajar Belajar akan lebih bermakna jika siswa mengalami apa yang dipelajari, bukan mengetahuinya. Oleh karena itu proses belajar dapat dilaksanakan oleh siapa saja, dimana saja, kapan saja dan dengan cara bagaimanapun juga. Proses belajar ini sangat berpengaruh kepada hasil belajar seorang siswa, maka dari itu proses belajar harus benar-benar diperhatikan, paling tidak ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam belajar diantaranya: 1) Belajar tidak hanya sekedar menghafal, siswa hanya mengkontruksi pengetahuan di jiwa mereka, 2) Anak belajar dari mengalami dan praktik, anak mencatat sendiri pola-pola bermakna 3
Hal ini oleh al-Ghazali diumpamakan bagaikan seorang laki-laki yang sangat berani sedang membawa sepuluh pedang dan senjata lainnya, bertemu dengan serigala yang besar. Apakah senjata-senjata tersebut dapat membatunya dari terkaman serigala apabila ia tidak menggunakan atau memukulkannya?. Begitu juga dengan pelajar yang membaca seratus buku, akan tetapi tidak mempraktekkannya. Apakah ilmunya dapat memberikan kebaikan dan perubahan pada dirinya apabila ia tidak mempraktekkannya?. Lebih lanjut lihat Imam abi Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, Ayyuha al-Walad (Surabaya: al-Hidayah, tt), hlm. 3-4. 4 Al-Attas memberikan penekanan pada pembentukan individu, bukan pada masyarakatnya. Karena menurutnya, warga yang baik tidak sama dengan individu yang baik. Sebaliknya, manusia yang baik sudah pasti akan menjadi pekerja yang baik dan warga masyarakat yang baik. Wan Daud, loc.cit., hlm. 172-173. 5 Harits, loc.cit., hlm. 55. 6 Sjahminan Zaini dan Muhaimin. Belajar Sebagai Sarana Pengembangan Fitrah Manusia (Jakarta: Kalam Mulia, 1991), hlm. 13.
148
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No. 1 Periode Januari-Juni 2014 Teori Belajar Perspektif Pendidikan Islam: Subri
dari pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh guru, 3) Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki siswa itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan, 4) Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan, 5) Tiap siswa mempunyai tingkatan yang berbeda dalam menyikapi situasi baru, 6) Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide, 7) Proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur otak itu berjalan seiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan siswa.7 Sebagaimana tujuan penciptaan manusia, maka belajar dalam Islam juga mempunyai tujuan dalam rangka pengabdian kepada Allah. Oleh karena itu, belajar mempunyai dimensi tauhid, yaitu dimensi dialektika horisontal dan ketundukan vertikal. 8 Belajar dalam Islam juga bertujuan dalam rangka mengembangkan sains dan teknologi dengan cara menggali, memahami dan mengembangkan ayat-ayat Allah guna memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bersama sebagai khalifah Allah di bumi. Dari sini, diketahui bahwa orientasi belajar dalam Islam bukan sematamata untuk mendapatkan kekuasaan, atau suatu yang bersifat materi, melainkan lebih dari itu, yaitu untuk mendapatkan keridhaan-Nya dan kemaslahatan bersama. Hal ini senada dengan pendapat al-Ghazali yang menyatakan bahwa jika tujuan belajar adalah untuk memperoleh harta benda, menumpuk harta, mendapatkan kedudukan dan sebagainya, maka ia akan mendapatkan kecelakaan. Oleh karena itu, tujuan belajar yang sebenarnya adalah untuk menghidupkan syari’at nabi dan mendidik akhlak peserta didik serta melawan hawa nafsu yang senantiasa mengajak berbuat kejahatan (nafsu al-’ammarah bi alsu’). Dengan demikian, peserta didik akan mendapatkan kebahagiaan dalam hidupnya, di dunia maupun di akhirat.9
7Sofan
Amri dan Iif Khoiru Ahmadi, Proses Pembelajaran Kreatif dan Inovatif dalam Kelas, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2010), hlm. 22-23 8 Jumberansyah, loc.cit., hlm. 35. Hal ini senada dengan Omar M. Al-Toumy yang berpendapat tujuan yang paling utama adalah mendekatkan diri kepada Allah, mengharapkan keridhaan-Nya dan taat sebaik-baiknya kepadanya. Dan menuntut ilmu yang berguna bagi akhirat dan dunia serta memberikan kemaslahatan dan petunjuk kepada manusia. Lihat Al-Toumy al-Syaibany, loc.cit., hlm. 596. 9 Hal ini sesuai dengan sya’irnya: ”Begadangnya mata selain untuk mengaharpkan ridhoMu adalah sia-sia, tetesan air mata tidak karena merasa kehilanganMu itu tidak berguna”. Al-Ghazali, loc.cit., hlm. 6.
149
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No. 1 Periode Januari-Juni 2014 Teori Belajar Perspektif Pendidikan Islam: Subri
Sedangkan al-Attas berpendapat bahwa tujuan belajar (mencari ilmu) adalah untuk menanamkan kebaikan agar terbentuk manusia paripurna. Sebagaimana pernyataannya, tujuan mencari ilmu adalah untuk menanamkan kebaikan atau pun keadilan dalam diri manusia sebagai seorang manusia dan individu....Yang perlu ditekankan ...adalah nilai manusia sebagai manusia sejati, sebagai warga kota, sebagai warga negara dalam kerajaan mikro, sebagai sesuatu yang bersifat spiritual, (dengan demikian yang ditekankan) bukanlah nilai manusia sebagai entitas fisik yang diukur dalam konteks pragmatis dan utilitarian berdasarkan kegunaannya bagi negara, masyarakat, dan dunia.10 Dari uraian di atas, maka tujuan belajar dalam Islam hakikatnya seiring dengan tujuan penciptaan manusia, yaitu dalam rangka pengabdian kepada Ilahi dan memberikan kemaslahatan bagi sesama. Di samping itu, belajar juga merupakan sarana membentuk manusia menjadi insan paripurna, sehingga ia dapat berlaku baik di mana pun ia berada. Dan Islam tidak berorientasi pada halhal yang bersifat materi. Prinsip-Prinsip Belajar Proses belajar akan berjalan dengan lancar dan mudah apabila beberapa prinsipnya11 diterapkan dengan benar. Al-Qur’an dan al-Sunah empat belas abad yang lalu telah mempraktekkan prinsip-prinsip untuk meluruskan perilaku manusia, mendidik jiwa dan membangun kepribadian mereka.12 Adapun prinsipprinsip tersebut adalah sebagai berikut:13 a) Niat Dalam Islam, niat merupakan langkah awal yang harus dilakukan oleh setiap muslim sebelum memulai semua bentuk aktifitas. Karena baik buruknya aktifitas itu dinilai dari niatnya, belum tentu aktifitas yang positif dinilai sebagai ibadah karena tidak diniati sebagai ibadah. Dengan niat yang benar (ikhlas), sesuatu yang kecil bisa menjadi besar nilainya di sisi Allah. Dengan demikian, niat merupakan penentu segala aktifitas umat Islam, tak terkecuali belajar.
10
Wan Daud, loc.cit., hlm. 172. Prinsip secara harfiah diartikan sebagai dasar, asas (kebutuhan yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak dan sebaginya). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 701. 12 Najati, Psikologi dalam., loc. cit., hlm. 217. 13 Ibid.,Akan tetapi di buku-buku lain, prinsip-prinsip yang ada di sini diistilahkan dengan metode pendidikan atau metode mengajar. 11
150
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No. 1 Periode Januari-Juni 2014 Teori Belajar Perspektif Pendidikan Islam: Subri
Ketika seorang muslim belajar hendaknya dimulai dengan niat dalam rangka beribadah untuk mendapatkan keridhaan-Nya. Maka niat ini yang akan memotivasinya untuk senantiasa sabar, tetap semangat dalam belajar. Dan niat yang benar akan menentukan kesiapan belajar bagi peserta didik, baik secara fisik maupun psikis sampai pada tujuan yang dikehendaki. Dalam hal ini imam al-Zarnuji mengingatkan: “Selanjutnya bagi pelajar hendaknya meletakkan niat selama dalam belajar. Karena niat itu sebagai pangkal dari segala amal. Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw: Sahnya semua perbuatan itu apabila disertai niat”.14 b) Motivasi (Al-Hatstsu) Motivasi merupakan dorongan yang menyebabkan individu melakukan aktifitasbelajar. Berikut beberapa cara atraktif untuk membangkitkan motivasi belajar diantaranya adalah: 1. Membangkitkan Motivasi Belajar Dengan Al-Targhib Wa Al-Tarhib Al-Qur’an menggunakan cara al-targhibwa al-tarhib (memberitahukan sesuatu yang atraktif dan intimidatif)15. Di antara ayat-ayat targhib adalah ayat yang melukiskan kenikmatan surgawi dengan segala perangkatnya, sehingga mampu membangkitkan harapan dalam jiwa manusia (misalnya dalam QS. Al-Anbiya’: 90). Dan ayat-ayat yang melukiskan siksa neraka jahanam dengan segala kepedihan dan kesakitannya dapat membangkitkan ketakutan pada mereka terhadap siksaan neraka (misalnya dalam QS. Al-Baqarah: 81-82). Rasulullah juga menggunakan prinsip ini dalam memotivasi umatnya agar memeluk Islam. Hal ini bisa dilihat pada masa awal Rasul yang menyiarkan tauhid kepada kaum Quraisy. Rasulullah mengajak mereka dengan menawarkan sesuatu yang atraktif, yaitu balasan (walaupun bersifat abstrak dan futuristik) berupa pahala yang besar di akhirat kelak dengan cara masuk surga. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar yang artinya: ”Tidak ada seorang hamba pun yang mengucapkan lafadz ’la ilaha illa Allah’ (artinya tiada tuhan selain Allah), kemudian dia meninggal dunia, kecuali ia masuk surga” Abu Dzar berkata: Sekalipun ia telah berzina dan telah mencuri? Rasulullah bersabda: ”sekalipun ia telah berzina dan mencuri.” Abu Dzar mengulangi pertanyaannya empat kali, 14 Syekh
al-Zarnuji, Pedoman Belajar untuk Pelajar dan Santri, Terj., Noor Aufa Shiddiq, (Surabaya: Al-Hidayah, tt ), hlm. 10. 15 Atraktif ialah mempunyai daya tarik, bersifat menyenangkan. Sedangkan intimidatif adalah bersifat intimidasi, yaitu tindakan menakut-nakuti terutama untuk memaksa orang atau pihak lain agar berbuat sesuatu.
151
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No. 1 Periode Januari-Juni 2014 Teori Belajar Perspektif Pendidikan Islam: Subri
sehingga membuat Nabi saw. menyangka Abu Dzar begitu rendah karena harus diulangi empat kali.16 Penggunaan prinsip ini (targhib dan tarhib) harus dilakukan secara bersama-sama. Karena ketika menggunakan al-targhib saja, terkadang membuat manusia terlalu berharap mendapatkan ampunan dari Allah dan terlalu berangan-angan untuk masuk surga. Akhirnya mereka cenderung untuk santai, mengabaikan kewajiban dan aturan agama. Begitu juga jika hanya menerapkan al-tarhib (unsur intimidasi) saja, tidak jarang membuat orang untuk putus asa memperoleh rahmat Allah dan tidak memiliki harapan untuk bisa masuk surga. Akhinya bisa berakibat membuahkan hasil yang kontraproduktif, yaitu mereka tidak lagi mau menunaikan kewajiban bahkan melakukan yang dilarang. Maka jika dilakukan secara bersama-sama, al-targhib bisa menghancurkan rasa pesimis dari Rahmat Allah. Dan dengan al-tarhib sangat efektif dalam membenahi tawakal yang berlebihan yang menyebabkan seseorang senantiasa berangan-angan mendapatkan rahmat-Nya. Keterangan di atas mengindikasikan bahwa dalam proses pembelajaran, Allah dan Rasulullah (pendidik) memberikan motivasi kepada umatnya (peserta didik) dengan cara memberikan sesuatu yang atraktif dan intimidatif. Maka, pendidik harus mampu memberikan motivasi yang persuasif dan membuat visualisasi secara jelas dan rinci. Dengan demikian, peserta didik dapat membayangkan dengan jelas apa yang disampaikan dan memberikan daya tarik bagi peserta didik akibatnya ia akan semangat dalam belajar. Di samping pendidik memberikan al-targhib, pendidik juga harus mengimbanginya dengan altarhib, agar membuat peserta didik dapat belajar dengan penuh semangat dan tidak asal-asalan, karena sudah dipastikan ia mengetahui segi positif dan negatif apabila tidak melakukannya. 2. Membangkitkan Motivasi Belajar Melalui Cerita (bi al-Qishash) Cerita (al-Qishash) tentang kejadian, terutama peristiwa sejarah, merupakan metode yang banyak ditemukan dalam al-Qur’an dan sebagian besar kandungan al-Qur’an berisi cerita. Di samping itu, kisahkisah kesejarahan itu diabadikan dalam nama-nama surat al-Qur’an, misalnya Ali ’Imran, al-Maidah, Yunus, Hud, Nuh, Kahfi, al-Naml, al-
16 HR. Muslim. Muslim, Shahih Muslim, Jilid 1; kitab Iman (Beirut: Ihya’ al-Kutub alArabiyyah,tt), hadits ke 138.
152
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No. 1 Periode Januari-Juni 2014 Teori Belajar Perspektif Pendidikan Islam: Subri
Nur, al-Jinn dan sebagainya. 17 Hal ini disebabkan tabiat manusia itu sendiri lebih senang diberikan cerita dari pada penjelasan secara teori. Al-Qur’an memberi nasihat dan membimbing manusia serta banyak mengajarkan kepada mereka berbagai pelajaran dan hikmah. Pengaruh kisah terhadap proses pembelajaran telah disinggung dalam al-Qur’an secara global dalam surat Yusuf ayat 111, artinya: ”sesungguhya pada kisahkisah mereka terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal....”. Dalam perspektif Islam, cerita (Qishash) diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu: pertama, cerita berdasarkan fakta sejarah yang terjadi secara nyata (bukan fiktif) yang berkaitan dengan pembelajaran, seperti cerita tentang rasul-rasul, orang-orang teladan dan sebagainya. Kedua, cerita faktual yang berkaitan dengan perilaku dan emosi individu agar menjadi pelajaran, sepeti cerita tentang dua anak nabi Adam. Ketiga, ilustrasi tentang peristiwa-peristiwa masa lampau yang dapat terjadi lagi sewaktu-waktu, seperti cerita tentang banjir bandang pada masa nabi Nuh, bisa jadi terjadi pada masa sekarang.18 Rasulullah juga menggunakan kisah untuk mendidik jiwa para sahabatnya. Rangkaian kisah memiliki pengaruh yang sangat besar dalam merangsang perhatian dan bisa memunculkan keinginan untuk menyimaknya secara tuntas. Dengan demikian, nasehat bisa disampaikan secara sempurna. Misalnya nabi ingin mengajarkan akhlak terhadap binatang, beliau menggunakan kisah sebagaimana hadits dari Ibnu Umar yang artinya: ”ada seorang wanita masuk neraka gara-gara seekor kucing yang dia ikat dan tidak dia beri makan. Wanita itu tidak membiarkan binatang itu lepas mencari makanan berupa hewan-hewan kecil di muka bumi”.19 Relevansi metode cerita dalam pembelajaran adalah cerita-cerita merupakan metode yang sangat bermanfaat untuk menyampaikan informasi dan pelajaran.20 Dengan cerita yang menarik dan faktual, maka secara tidak langsung akan memberikan motivasi tersendiri bagi peserta didik yang mendengarkannya. Karena cerita merupakan sesuatu yang relatif ringan untuk dicerna oleh peserta didik, sehingga pelajaran yang terkandung dari cerita itu dapat diambil dengan mudah. Di samping itu, pembelajaran dengan cerita akan mudah mengingatnya, karena peserta 17
Saleh, loc. cit., hlm. 205-206. Untung, loc.cit., hlm 106. 19 HR. Ibnu Majah. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, jilid 2; kitab zuhud (Beirut: Dar al-Fikri), hlm. 578. 20 Saleh, op.cit., hlm. 209. 18
153
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No. 1 Periode Januari-Juni 2014 Teori Belajar Perspektif Pendidikan Islam: Subri
didik mampu memvisualisikan secara mandiri. Sehingga peserta didik mampu mereproduksi kembali jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Apalagi obyek cerita yang disampaikan itu benar-benar terjadi dan sesuai dengan lingkungan peserta didik. Dengan cerita-cerita yang menarik akan memberikan motivasi kepada peserta didik untuk lebih giat belajar. Motivasi merupakan unsur terpenting dalam belajar. Al-Qur’an dan al-Sunah sering memberikan motivasi kepada umatnya dengan berbagai bentuk, seperti al-targhib wa al-rahib yang penekanannya lebih kepada motivasi secara verbal, karena berupa pernyataan yang atraktif dan intimidatif dengan obyek yang abstrak. Walaupun bersifat abstrak, peserta didik –umat Islam- dapat memvisualisasikannya. Juga memotivasi dengan menggunakan cerita-cerita untuk diambil ibrah-nya. Prinsip ini diperlukan oleh pelajar, karena tabiat manusia ingin selalu mendapatkan keamanan dan menghindari hal-hal yang memberikan kesulitan. c) Reward (ats-tsawab) Ats-tsawab (Reward) yang berarti balasan atau ganjaran juga memiliki posisi penting untuk memotivasi seseorang melakukan respon yang positif. Istilah reward yang sering digunakan al-Qur’an adalah tsawab dan al-ajru yang berarti ganjaran atau pahala. Istilah ini digunakan untuk menunjukkan balasan atas perbuatan baik seseorang dalam kehidupan ini atau di akhirat kelak.21 Dalam surat Ali ’Imran: 148, Allah berfirman: Artinya: ”Maka Allah berikan ganjaran kepada mereka di dunia dan di akhirat dengan ganjaran yang baik. Dan Alah mencintai orang-orang yang berbuat baik”. Rasulullah telah mengisyaratkan arti penting tsawab dalam membentuk kepribadian yang luhur sebagai produk pendidikan yang diidam-idamkan. Hal ini tercermin dalam sabda Nabi yang artinya: ”Berikanlah bayaran pelayan sebelum keringatnya mengering”.22 Bayaran yang diberikan secara langsung akan memberikan motivasi tersendiri bagi pekerja untuk menunaikan pekerjaannya dengan sebaik-baiknya. Hal ini bisa membentuk etos kerja dan produktifitas yang tinggi bagi pekerja. Begitu juga dalam proses pembelajaran, tsawab yang diberikan secara langsung bisa memunculkan efek positif dalam menggugah semangat belajar. 21Ibid.,
hlm. 221. HR. Ibnu Majah dari ‘Abdullah bin ‘Umar. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, jilid 2; kitab Ruhun (Beirut: Dar Al-Fikri, 1995), hlm. 20. 22
154
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No. 1 Periode Januari-Juni 2014 Teori Belajar Perspektif Pendidikan Islam: Subri
Dalam hal ini, pendidik diharapkan mengikuti nilai-nilai dalam memberikan ganjaran atau pujian agar efektif. Pemberian tsawab harus direncanakan dan dilakukan dengan seksama. Ganjaran-ganjaran hendaknya mudah diberikan dengan harapan akan dapat menghilangkan akibat-akibat yang tidak baik. Akan tetapi, pendidik juga harus berusaha agar pelajar tidak hanya berharap akan mendapat pujian dalam pemberian tsawab ini, sebaliknya menganggap sebagai tsawab hanya sebagai salah satu instrumen dalam belajar, bukan sebagai tujuan dalam belajar. Pendidik juga harus memperhatikan efek dari pemberian tsawab kepada peserta didik. Karena tidak menutup kemungkinan peserta didik yang diberi pujian menganggap kemampuannya terlalu tinggi sehingga menganggap rendah yang lain. Jadi, dalam pemberian tsawab ini harus proporsional dan tidak berlebihlebihan. Berbicara tentang tsawab, maka selalu diikuti dengan adzab (punishment) yang berarti hukuman. Dalam Islam, hukuman, teguran atau nasihat hanya diberikan ketika anjuran-anjuran yang diberikan tidak dilaksanakan. Karena terkadang sebagian peserta didik masih saja tetap melakukan perbuatan yang dilarang, walaupun sudah diberitahu. Kenyataan ini sebagimana al-Qur’an memberikan teguran-teguran dan peringatan-peringatan para nabi, yang sudah tidak dipedulikan lagi oleh kebanyakan manusia. Maka di sinilah nampaknya hukuman harus diterapkan untuk memberi petunjuk tingkah laku manusia. 23 Dengan demikian, maksud yang dituju dalam pelaksanaan hukuman itu adalah menjadikan manusia jera sehingga tidak melakukan pelanggaran lagi.24 Walaupun demikian, Ibnu Khaldun memberikan rambu-rambu bahwa guru hendaknya tidak menggunakan hukuman yang keras dalam proses belajar mengajar. Ia mengingatkan, ”Hukuman yang keras di dalam pengajaran ta’lim, berbahaya bagi murid, khusunya bagi anakanak kecil. Karena tindakan tersebut dapat menyebabkan kebiasaan buruk bagi anak didik, kekerasan membuka jalan ke arah kemalasan dan keserongan, penipuan serta kelicikan. Kecenderungan23
Saleh, loc.cit., hlm. 225. Hal ini sebagaimana hukuman had dan qishos yang diberikan kepada seorang muslim yang pelaksanaannya disaksikan oleh orang banyak. Tujuannya agar pelakunnya jera dan masyarakat yang menyaksikan hukuman tersebut seolah-olah merasakan hukumannya, sehingga mereka tidak akan meniru perbuatan pelanggaran. Lebih lanjut baca Ibid.,hlm. 227-228. 24
155
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No. 1 Periode Januari-Juni 2014 Teori Belajar Perspektif Pendidikan Islam: Subri
kecenderungan ini kemudian menjadi kebiasaan dan watak yang berurat akar di dalam jiwa. Orang-orang semacam itu akan menjadi beban orang lain sebagi tempat berlindung. Jiwa menjadi malas dan enggan memupuk sifat keutamaan dan keluhuran moral. Mereka merasa dirinya kecil dan tidak mau berusaha menjadi manusia yang sempurna, lalu jatuh ke dalam ’golongan yang paling rendah”25 Ats-tsawab merupakan penghargaan yang diberikan kepada pelajar untuk menimbulkan respon yang positif dalam belajar yang berupa materi maupun pujian. Akan tetapi, pendidik juga harus memperhatikan agar pemberian tsawab tidak memberikan dampak negatif bagi peserta didik, sehingga harus dilakukan secara proporsional. Dan adzab merupakan konsekuensi dari adanya tsawab. Ketika peserta didik sudah tidak melakukan aktifitas belajar misalnya, maka konsekuensinya ia diberi hukuman agar tidak mengulanginya lagi. Dan dalam pemberian adzab ini hendaknya dilakukan secara wajar dan bijaksana, artinya jangan sampai berdampak negatif pula fisik maupun psikologis peserta didik. d. Pembagian Waktu Belajar (Takhawwulu Al-Auqot Li Al-Ta’allum) Belajar memerlukan manajemen waktu yang tepat agar kegiatan belajar dapat efektif. Belajar tidak perlu memerlukan waktu yang lama akan tetapi secara gradual dan kontinuitas. Al-Qur’an telah menerapkan prinsip ini, terbukti dengan turunnya alQur’an secara gradual (bertahap) sampai memakan waktu dua puluh tiga tahun. Hal ini tidak lain bertujuan agar umat Islam mudah menghafal dan menguasainya dengan baik. Sebagaimana yang disinggung dalam surat al-Isra’ ayat 106: Artinya: ”Dan al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkan bagian demi bagian”. Rasulullah juga telah menerapkan prinsip pembagian waktu ini dalam mendidik jiwa para sahabatnya atau ketika mengajarkan materi agama. Rasulullah mengajari dan mengarahkan para sahabat dalam waktu yang terpisah-pisah karena khawatir kalau mereka merasa jemu atau bosan. ’Abdullah ibn Mas’ud berkata: ”Nabi shallaahu ’alaihi wa sallam senantiasa
25Ibid.,
hlm. 763.
156
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No. 1 Periode Januari-Juni 2014 Teori Belajar Perspektif Pendidikan Islam: Subri
mencari waktu yang tepat untuk menasehati kami karena khawatir akan menimbulkan rasa bosan pada diri kami”.( HR. Bukhori)26 Cara belajar seperti ini sangat efektif, karena jika belajar dilakukan secara langsung, tidak ada kesempatan bagi otak menyimpan apa yang telah diterimanya. Sebaliknya, jika dalam belajar diberi jeda waktu, maka akan memberikan kesempatan kepada otak untuk mengendapkan apa yang telah diterimanya sedikit demi sedikit, sehingga otak mampu menyimpannya secara efektif dan reseptif, serta dapat mereproduksinya kembali. d) Repetisi/ Pengulangan(at-takrir) Dalam Al-Qur’an dapat ditemukan adanya pengulangan kata, terutama yang berkaitan dengan akidah tauhid dan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi. Sebagian besar kisah-kisah yang diceritakan al-Qur’an itu dalam suatu masalah diceritakan lebih dari satu surat. Misalnya tentang kisah Adam yang diceritakan dalam delapan surat al-Qur’an dengan variasi redaksi. Pengulangan kata dalam al-Qur’an tersebut tentunya mengandung makna dan pengulangan yang bervariasi sehingga tidak menimbulkan kebosanan.Rasulullah pun senantiasa berwasiat kepada para sahabatnya agar senantiasa memelihara hafalan al-Qur’an dengan cara mengulangulang dan selalu membacanya sehingga hafalan tersebut tidak sampai lupa. Nabi saw. bersabda: “Sesungguhnya perumpamaan orang yang biasa bergumul dengan al-Qur’an hanyalah seperti unta yang diikat dengan tambang oleh pemilik. Jika dia senantiasa memperhatikannya, maka dia akan berhasil memegannya dengan erat. Namun jika dia melepaskan, maka unta itu akan lari pergi”.27 Hadits di atas merupakan perumpamaan tentang arti pentingnya pengulangan dan kontinuitas dalam menghafal al-Qur’an. Karena jika pengetahuan yang diterima itu diabaikan, maka dalam waktu yang tidak lama, kemampuan itu pun akan sirna begitu saja. Oleh karena itu, diperlukan pengulangan agar apa yang telah dipelajari mampu terjaga dengan baik.
Bukhori, Shahih al-Bukhori, jilid 1; kitab ’Ilmu (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1992), hlm. 31. 27 HR. Ahmad dari Ibnu ‘Umar. Ahmad ibn Hambal, Musnad Ahmad, kitab alMukatstsirina min al-Shahabah, hadits no. 5653. 26
157
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No. 1 Periode Januari-Juni 2014 Teori Belajar Perspektif Pendidikan Islam: Subri
Fakta seperti ini mempunyai signifikansi yang relevan bagi pembelajaran. Pada saat pelajar memerlukan pengulangan tentang sebagian materi pelajaran, maka guru tidak perlu mengulangi lagi dengan cara yang sama dengan sebelumnya, karena akan menimbulkan kesan mengabaikan hal baru. Oleh karena itu, pengulangan yang dipadukan dengan ilustrasi atau hal yang baru adalah lebih produktif daripada hanya pengulangan yang membosankan. 28 Dalam belajar, pelajar harus senantiasa mengulang-ulang pelajaran yang telah diterimanya, sehingga paham dengan benar dan bisa berkembang menjadi kebiasaan. Dalam memberikan pengulangan, pendidik harus mengungkapkan dengan redaksi yang berfariasi, agar tidak terkesan menjemukan bagi peserta didiknya, dan hal itu akan menguatkan ingatannya tentang materi yang telah diterimanya. e) Partisipasi Aktif dan Praktek Ilmiah (Al-Nasyith Wa Al-’Amaliyyah
Al ’Ilmiyyah)
Belajar akan lebih baik dan lebih cepat kalau terdapat partisipasi aktif dari pelajar dalam proses pembelajaran. Partisipasi aktif ini dapat diwujudkan dengan praktek ilmiah ataupun adanya hubungan timbal balik antara peserta didik dengan pendidik. Dengan demikian, materi yang disampaikan kemungkinan besar dapat diterima dengan baik oleh peserta didik, sehingga bisa dipastikan ia mampu menguasainya. Al-Qur’an memiliki atensi yang besar terhadap pentingnya praktek dalam proses pembelajaran, seperti pengajaran tentang wudlu, sholat, puasa, dan lain-lain yang dalam al-Qur’an dijelaskan secara global. Di samping itu, al-Qur’an dalam menjelasakan tentang keimanan pasti diikuti dengan “amal shalih”. Hal ini menunjukkan bahwa keimanan yang benar harus termanifestasikan dalam perilaku dan amal orang mukmin sebagai bentuk prakteknya. Bisa dikatakan, keimanan dianggap sebagai teorinya, sedangkan amal shalih sebagai wujud partisipasi aktif maupun praktek ilmiah. Banyak sekali ayat yang menjelaskan hal ini, diantaranya adalah yang terdapat dalam surat alBaqarah ayat 82: Artinya: “Dan orang-orang yang beriman serta beramal shaleh, mereka itu penghuni surga dan mereka kekal di dalamnya.”
28Ibid.,
hlm. 212.
158
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No. 1 Periode Januari-Juni 2014 Teori Belajar Perspektif Pendidikan Islam: Subri
Rasulullah juga sangat memperhatikan pengarahan kepada para sahabatnya. Beliau mengarahkan mereka untuk melakukan praktek ilmiah ketika belajar. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Kiladah bin al-Hanbal “aku berkunjung kepada Rasulullah sementara akau tidak mengucapkan salam. Maka Nabi bersabda: kembalilah kamu. Lantas ucapkanlah: assalamu’alaikum, apakah aku boleh masuk?”. 29 Hadits ini menujukkan bahwa nabi saw. tidak hanya memerintah peserta didiknya (dalam hal ini sahabatnya), melainkan juga disuruh mempraktekkannya secara langsung. Tidak diragukan lagi bahwa menerapkan prinsip partisipasi aktif dan praktek ilmiah dalam proses pembelajaran memiliki pengaruh yang lebih besar daripada melalui mauizhoh dan arahan yang bersifat teoritis. Karena arahan dan nasihat tidak melibatkan peserta didik secara aktif untuk mempraktekkan pelajaran yang telah diterimanya. f) Konsentrasi (at-tarkiz) Manusia tidak akan dapat mempelajari sesuatu kalau ia tidak berkonsentrasi. Maka konsentrasi merupakan unsur yang penting juga dalam proses pembelajaran. Tidak heran kalau para pengajar selalu membangkitkan konsentrasi belajar para peserta didik dengan harapan mereka mampu menguasai materi yang disampaikan. Konsentrasi dalam Islam secara implisit berasal dari perintah Allah untuk khusyu’ ketika shalat. Khusyu’ menurut pengertian bahasa adalah tunduk, rendah dan tenang. Maka khusyu’ berarti keberadaan hati di hadapan Rabb dalam keadaan tunduk dan merendah yang dilakukan secara bersamaan. 30 Seorang muslim dikatakan shalatnya khusyu’ apabila ia telah mampu menghadirkan hatinya dalam shalat, menghayati yang dibaca, menyelami makna-maknanya dan lainnya. Maka jika diaplikasikan dalam proses pembelajaran adalah peserta didik harus khusyu’, yaitu konsentrasi dan fokus ketika belajar. Dalam membangkitkan konsentrasi belajar ini dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai cara, seperti dengan memberi contoh yang bermakna, mengajukan pertanyaan, diskusi, menggunakan berbagai media, ataupun melalui kisah-kisah yang menarik perhatian. HR. Turmudzi. Al-Turmudzi, Sunan al-Turmudzi, jilid 3; kitab al-Isti’dzan wa alAdab ’an Rasulillah saw (Beirut: dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 2000), hlm. 492-493. 30 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarijus Salikin (Pendakian Menuju Allah), Penjabaran Kongkrit Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in, terj. Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka alKautar, 2005), cet. 7, hlm. 135. 29
159
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No. 1 Periode Januari-Juni 2014 Teori Belajar Perspektif Pendidikan Islam: Subri
g) Belajar secara Gradual(at-tadrij) Di antara prinsip-prinsip penting dalam belajar dan dalam proses perilaku manusia adalah melakukannya secara gradual (bertahap). Mengganti tradisi buruk menjadi tradisi yang baru tidak mungkin dilakukan secara instan. Al-Qur’an telah menerapkan prinsip ini dalam pengharaman khamr dan zina. Al-Qur’an tidak serta merta melarang khamr dan zina, namun menerapkan pengharamannya secara gradual sampai akhirnya hukum keduanya jelas keharamannya. Ali bin Abi Thalib berkata:”Seandainya ayat pertama yang turun adalah ”janganlah kalian meneguk khamr, pasti orang-orang mengatakan ”kami tidak akan pernah meninggalkan khamr”. Dan seandainya ayat yang pertama turun adalah ”janganlah kalian berzina!” pasti mereka akan berkata, ”kami tidak akan pernah meninggalkan perzinahan”.31 Di antara contoh prinsip belajar secara gradual yang diterapkan oleh Rasulullah untuk meluruskan perilaku sahabatnya adalah wasiat beliau yang disampaikan kepada Mu’adz bin Jabal ketika akan diutus ke negeri Yaman. Hadits tersebut menjelaskan bahwa nabi saw. tidak berwasiat kepada Mu’adz untuk menuntut orang-orang Ahlu al-Kitab agar melakukan berbagai kewajiban secara sekaligus, melainkan bertahap. Yaitu mulai dari materi tentang tauhid, setelah matang tauhid (aqidah), baru kemudian diberi materi tentang kewajiban shalat. Setelah mereka mau menunaikan ibadah shalat, kemudian diberi kewajiban tentang berzakat begitu seterusnya.32 Belajar secara bertahap sangat diperlukan dalam merubah perilaku manusia yang sudah mendarah daging dan sulit dirubah secara instan. Dengan pentahapan dalam belajar, akan memudahkan peserta didik dalam pencapaian tujuan yang diinginkan. Karena manusia itu 31
Atsar ini diriwayatkan oleh al-Bukhari. Ibid., hlm. 258. 32 Haditsnya: “Mu’adz berkata: Rasulullah mengutus saya, kemudian berkata: Sesungguhnya kamu akan mendatangi sebuah kaum Ahlu al-Kitab, jika kamu datang kepada mereka, maka ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tiada ada Tuhan selain Allah dan bahwa saya adalah utusan Allah. Jika mereka mentaatimu dalam hal itu, maka kabarkan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat lima kali dalam sehari semalam. Jika mereka mentaatimu dalam hal itu, maka kabarkan lagi kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka bersedekah yang akan diambil dari orang-orang yang kaya di antara mereka dan dikembalikan lagi kepada kaum fakir di kalangan mereka. Jika mereka mentaatimu dalam hal itu, maka berhati-hatilah kamu terhadap harta yang dianggap paling utama oleh mereka! Dan takutlah kamu pada doa orang yang teraniaya! Karena sesungguhnya tidak ada hijab penghalang antara doa orang yang teraniaya dengan Allah ”(HR. Muslim). Muslim, Shahih Muslim, jilid; fi kitab al-iman (Beirut: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, tt), hlm. 50.
160
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No. 1 Periode Januari-Juni 2014 Teori Belajar Perspektif Pendidikan Islam: Subri
mengalami pertumbuhan dan perkembangan sehingga materi yang diberikan harus mengikuti fase-fase pertumbuhannya tersebut. h) Perhatian (al-Ihtimam) Sesungguhnya perhatian adalah faktor yang penting dalam belajar, perolehan pengetahuan dan pencapaian ilmu. Al-Qur’an pula menujukkan pentingnya perhatian, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Muzzamil, bahwa bangun setelah tidur menjadikan seseorang lebih perhatian terhadap makna-makna al-Qur’an dan lebih mengerti terhadapnya.33 Dari penjelasan di atas, maka prinsip-prinsip belajar dalam Islam meliputi niat, al-hatstsu (motivasi), tsawab (reward), hawwalu al-auqat fi al-ta’allum (pembagian waktu belajar), takrir (repetisi), al-nasyith wa al’amaliyah al-’ilmiyah (partisipasi aktif dan praktek ilmiah), tarkiz (konsentrasi), tadrij (belajar secara gradual), dan ihtimam (perhatian). Prinsip al-hatstsu bisa dibangkitkan dengan memberikan sesuatu yang atraktif, sesuatu yang mengandung intimidasi ataupun dengan menggunakan cerita. Tsawab diberikan untuk menimbulkan respon yang positif dari peserta didik. Hawwalu al-auqat fi al-ta’allum sangat diperlukan agar peserta didik tidak mengalami kebosanan dalam menerima pelajaran. Hal ini juga sebagai upaya untuk mengendapkan pelajaran yang diterima agar tersimpan di memori peserta didik lebih lama. al-nasyith wa al-’amaliyah al-’ilmiyah merupakan pelibatan aktif peserta didik, sehingga apa yang telah dilakukan akan membekas dalam memorinya dan ia dapat mempraktekkannya secara langsung. Sedangkan prinsip tarkiz berkaitan juga dengan ihtimam, sangat dibutuhkan ketika proses belajar, agar apa yang dipelajari dapat lebih mudah dipahami dan diterima dengan baik. Signifikansi Belajar Islam memberikan perhatian sangat besar kepada ilmu pengetahuan, sebagaimana yang dikatakan oleh Munawar Anees bahwa kata ilmu dalam alQur’an disebut sebanyak 800 kali.34 Karena sempurnanya keimanan dan ibadah seseorang dalam Islam itu ditentukan oleh ilmu yang mendasarinya. Dan “Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk terlalu khusyu’) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan” QS. Muzzammil: 6. Najati, op. cit., hlm. 197. 34 Jumberansyah Indar, “Konsep Belajar Menurut Pandangan Islam”, Jurnal Ulul Albab. Vol 3. no. 2. 2001, hlm. 35. 33
161
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No. 1 Periode Januari-Juni 2014 Teori Belajar Perspektif Pendidikan Islam: Subri
sesungguhnyakandungan al-Qur’an dan al-Sunah sendiri merupakan ilmu pengetahuan. Konsekuensi logis dari perhatian terhadap ilmu pengetahuan, Islam mendorong dan mewajibkan tiap muslim dan muslimah untuk belajar. Urgensi belajar bagi kehidupan manusia termanifestasikan dengan turunnya wahyu pertama yang berkaitan erat dengan baca-tulis dan belajar (Q.S. al-’Alaq: 1-5). Bahkan Islam memandang belajar ilmu pengetahuan sebagai amal ibadah yang bernilai tinggi di sisi Allah. Allah akan memberikan beberapa keutamaan bagi hamba-Nya yang belajar ilmu pengetahuan, yaitu: pertama, Alah akan meninggikan derajat orang yang belajar (menuntut ilmu) dengan menempatkan penyebutan mereka setelah nama-Nya sendiri dan setelah pujian kepada malaikat (Q.S. Ali Imron: 18).35Kedua, para malaikat akan mengepakkan sayap-sayapnya bagi pelajar karena ridha dengan aktifitasnya. Begitu juga dengan makhluk yang ada di langit dan di bumi, bahkan ikan paus yang ada di lautan juga memohonkan ampunan bagi orang yang belajar. Ketiga, Rasulullah menganggap perjalanan menuntut ilmu (belajar) itu sebagai jalan meniti surga-Nya. 36 Keempat, Nabi memberikan perbandingan antara orang yang berilmu (terpelajar) dengan ahli ibadah seperti perbandingan antara bulan dan bintang. Dan masih banyak lagi keutamaan yang lainnya. Oleh karena itu, Rasulullah memotivasi umatnya untuk berilmu pengetahuan dengan menganjurkan kepada semua umatnya untuk belajar tanpa batas waktu, tempat dan usia. Bahkan dalam Islam dianjurkan untuk berdo’a agar senantiasa diberi ilmu yang bermanfaat oleh Allah, yaitu yang bermanfaat bagi diri kita sendiri dan kebaikan bersama. Dalam tataran sosiologis, motivasi belajar tidak saja perintah Allah dan rasul-Nya, tetapi lebih dikarenakan adanya tuntunan hidup yang selalu berkembang menuju kesempurnaan dirinya. Belajar menjadi sebuah kebutuhan manusia, baik secara individu maupun kelompok demi mencapai tujuan hidupnya di dunia. Barang siapa yang ingin hidupnya bahagia di dunia maupun di akhirat capailah dengan belajar dan menuntut ilmu.37 Maka belajar merupakan keniscayaan bagi umat Islam, demi melaksanakan perintah ilahiah dan akan menjadikannya menuju kesempurnaan dirinya baik secara individual maupun dalam komunitas bersama. Dan dengan 35
Najati, Psikologi dalam., loc.cit., hlm. 198-199. Hadits tersebut adalah:”Barang siapa yang meniti jalan untuk mencari ilmu pengetahuan, maka Allah akan memudahkan ia jalan menuju surga”. (HR. Ibnu Majah). Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, jilid 1; Muqaddimah (Beirut: Dar al-Fikri, 1995), hlm. 86. 37 Harits, loc.cit., hlm. 143-144. 36
162
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No. 1 Periode Januari-Juni 2014 Teori Belajar Perspektif Pendidikan Islam: Subri
belajar inilah Allah memberikan keutamaan yang tidak diberikan kepada yang lainnya yang tidak melakukannya, yaitu berupa derajat, penjagaan dari makhluk yang suci, permohonan ampunan dari makhluk lain dan keutamaan lainnya. Etika Belajar Dalam Islam, seseorang yang melakukan aktifitas belajar akan mencapai keberhasilan menuntut ilmu, apabila ia mengikuti etika belajar. Maka belajar tidak bisa dilakukan dengan asal-asalan, pelajar dituntut memperhatikan norma dan akhlak al–karimah yang mengitari perjalanan hidupnya. Karena dengan jalan itu, pelajar mampu menggali dan memperdalam ilmu pengetahuan dengan baik yang hasilnya dapat dimanfaatkan dengan sempurna. Etika tersebut adalah:38 a. Meluruskan niat. Artinya ketika belajar hendaklah diniatkan untuk mencari keridhaan Allah, kebahagiaan akhirat, memerangi kebodohan, dan mengembangkan agama. Karena itu semua harus diwujudkan dengan ilmu. b. Adanya kesungguhan hati, artinya ketika belajar harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan secara kontinyu. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Ankabut ayat 69: Artinya: ”Dan orang-orang yang berjuang untuk mencari keridhaan kami, niscaya akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” c. Mengulang pelajaran yang sudah diterima. d. Mempunyai cita-cita yang tinggi. e. Menyantuni diri, artinya melihat kemampuan dirinya dalam belajar. f. Hindari bermalas diri. Abu Hanifah berkata kepada Abu Yusuf: “Hati dan akalmu tertutup. Tapi kamu bisa keluar dari belenggu itu dengan cara terus-menerus belajar. Jauhilah sifat malas yang jahat dan sumber petaka itu.” Aktifitas belajar dalam Islam harus dilakukan dengan beberapa etika dalam hal ini akhlak yang mulia, sehingga mampu mengantarkan pelajar mencapai tujuan belajar, yaitu sebagai ‘abdullah dan khalifah Allah. Aktifitas Belajar Pembahasan tentang aktifitas belajar berkaitan dengan sarana belajardisebut sebagai alat-alat potensi, yaitu: a) al-Sam’u (Pendengaran), 2) al-Bashar (Penglihatan), 3) al-Fuad (akal), 39 4) al-Lams dan al-Syuam (peraba dan 38
Harits, loc. cit., hlm. 146-149. Tentang tiga sarana ini, al-Qur’an telah banyak menjelaskannya, di antaranya yang terdapat dalam surat al-Nahl ayat 78: ”Dan Allah telah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur”. 39
163
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No. 1 Periode Januari-Juni 2014 Teori Belajar Perspektif Pendidikan Islam: Subri
penciuman), dan 5) al-Qalb (kalbu). Maka aktivitas belajar yang dilakukan manusia menurut Islam tidak lepas dari penggunaan lima sarana tersebut. Adapun aktivitas belajar dalam perspektif Islam adalah: a. Bashar (Melihat) Melihat merupakan salah satu aktifitas belajar yang bisa dilakukan oleh semua orang. Dengan melihat, individu mampu dengan mudah mengamati sesuatu, sehingga ia bisa menirunya atau belajar dari apa yang dilihatnya. Dan aktifitas ini sering dilakukan oleh anak kecil yang belajar dari melihat atau pun mengamati dari apa yang ia lihat. Akan tetapi tidak semua individu menjalankan fungsi yang sebenarnya sehingga menyebabkan ia menjadi sesat, bahkan lebih rendah dari binatang (QS. Al-’A’raf: 179, 195). b. Istima’ (Mendengar) Mendengar dalam bahasa Arab adalah istama’a yastami’u istima’an yang berasal dari akar kata sami’a. Mendengar merupakan salah satu aktifitas belajar, karena manusia diberi potensi pendengaran. Dalam al-Qur’an banyak disebutkan ayat tentang mendengar, baik berupa perintah untuk mendengar maupun larangan. Perintahnya misalnya apabila al-Qur’an dibacakan, orang yang tidak membaca berkewajiban untuk mendengarkannya dan memperhatikan dengan seksama agar mendapatkan rahmat dan keberkahan dari bacaan tersebut (QS. Al-A’raf: 204). Sedangkan larangannya adalah mendengarkan sesuatu yang yang tidak ada manfaatnya (QS. Qashash: 55). c. Qira’ah (Membaca) Membaca merupakan perintah pertama kali yang disampaikan oleh malaikat Jibril kepada nabi Muhammad. Ini artinya penghargaan Islam sangat tinggi terhadap pengetahuan. Kata iqra’ 40 yang terdapat dalam surat al-’Alaq ayat satu terambil dari kata qara’a, yang arti asalnya adalah menghimpun. Kata ”menghimpun” mempunyai banyak fariasi yaitu, menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri sesuatu dan sebagainya. 41 Perintah membaca di ayat pertama ini tidak disebutkan obyek bacaannya. Hal ini menunjukkan bahwa kita diperintah 40 Sebagian ahli tafsir berpendapat, al-Razi misalnya, bahwa yang dimaksud dengan ”iqra’” dalam ayat pertama surat al-’Alaq itu berarti belajar dan ”iqra’” yang kedua berarti mengajar. Atau yang pertama berarti ”bacalah dalam shalatmu” dan yang kedua berarti ”bacalah di luar shalatmu”. Zainuddin, loc. cit., hlm. 54. 41 M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol.15, (Jakarta: Lentera Hati, 2003), hlm. 392-395.
164
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No. 1 Periode Januari-Juni 2014 Teori Belajar Perspektif Pendidikan Islam: Subri
untuk membaca segala sesuatu dan bersifat umum,42 baik membaca ayatayat kauniyah (seperti fenomena alam, membaca diri sendiri) maupun ayat-ayat qauliyah (sumber yang tertulis). Akan tetapi dalam membaca, menelaah, harus atas nama Allah. Artinya aktifitas ini dilakukan dalam rangka mengantarkan pelakunya kepada Allah, ikhlas dalam mendekatkan diri kepada Allah. d. Kitabah (Menulis) Menulis dalam bahasa Arab adalah kitabah yang berasal kata kataba. Aktifitas menulis ini secara implisit terdapat dalam surat al-’Alaq ayat 4, ”Yang mengajarkan dengan pena”. Ini menunjukkan bahwa khazanah ilmu pengetahuan dapat diperoleh dalam bentuk tulisan. Dan menulis merupakan salah satu aktifitas belajar yang terpenting, karena hanya melalui tulisan peradaban Islam bisa diwariskan sehingga bisa diketahui hingga sekarang ini. e. Tahfidz (Menghafal) Menghafal merupakan salah satu aktifitas belajar supaya apa yang telah dipelajari tetap teringat dalam pikirannya. Dengan hafalan, seseorang akan dengan mudah akan mereproduksi pengetahuan ynag dimiliki jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Cara menghafal yang efektif adalah dengan memahami materi terlebih dahulu. f. Tafakkur (Berpikir) Berpikir adalah bekerjanya kekuatan yang berusaha mencapai ilmu pengetahuan dengan bimbingan akal. Dalam al-Qur’an banyak sekali istilah yang digunakan dalam aktifitas berpikir rasional, yaitu: 1) Nadzara, yaitu melihat sambil memikirkan berbagai obyek ciptaan Allah yang terlihat, seperti manusia, binatang dan sebagainya (QS. al-Thariq: 5, QS. Al-Ghasiyah: 17-20). 2) Tadabbur, yaitu memikirkan tentang ayat-ayat Allah yang difirmankannya (lebih mengacu pada kandungan al-Qur’an) (QS. Shad: 29, QS. Muhammad: 24). 3) Tafakkur, yaitu memikirkan berbagai peristiwa dan berbagai keunikan ciptaan Allah sehingga timbul kesadaran akan kebesaran dan keagungan Allah (QS. Al-Nahl: 68-69, QS. Al-Jatsiyah: 12-13). Kaidah kebahasaan menyatakan bahwa: “apabila suatu kata kerja yang membutuhkan obyek, tetapi tidak disebutkan obyeknya, maka obyek yang dimaksud bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata tersebut”. Shihab, Ibid., hlm. 394. 42
165
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No. 1 Periode Januari-Juni 2014 Teori Belajar Perspektif Pendidikan Islam: Subri
4) Tafaqquh, yaitu memahami perintah dan larangan Allah (agama) untuk diamalkan dalam kehidupannya (QS. Al-Taubah: 122, 127). 5) Tadzakkur, yaitu mengingat kebesaran Allah dalam kaitannya dengan berbagai kesempurnaan ciptaan-Nya sambil memikirkan dan mengambil pelajaran (QS. Al-Nahl: 17, QS. Adz-Dzariyat: 49). g. Sirah (Kunjungan/Perjalanan Ilmiah) Pendidik-pendidik Muslim menaruh perhatian yang besar terhadap kunjungan ilmiah dan dianggap sebagai aktifitas yang efektif dalam menuntut ilmu, memperoleh pengetahuan, meriwayatkan hadits, sejarah, syair dan sebagainya. 43 Karena sumber belajar tidak hanya berasal dari buku-buku yang sifatnya tertulis, melainkan bisa juga berasal dari fenomena alam semesta, membaca manusia, membaca keadaan suatu masyarakat dan sebagainya. Maka tidak heran jika nabi mengajurkan kepada umat Islam untuk mencari ilmu hingga ke negeri Cina (yang ketika itu mempunyai peradaban yang tertinggi). Dalam al-Qur’an, sering kita jumpai kata-kata siiru yang berarti ”berjalanlah kamu” dalam rangka mengobservasi, meneliti sehingga mampu mengambil pelajaran dari apa yang telah dijumpainya (QS. Ali ’Imran: 137). Bahkan Imam al-Ghazali mewajibkan kepada peserta didik untuk berkelana jauh dari tempat tinggalnya agar ia tidak disibukkan dengan urusan duniawi.44 h. Tadrib (Praktek /Latihan Melakukan Sesuatu) Belajar akan lebih tepat sasaran dan mengena apabila bisa langsung dipraktekkan. Hal inilah yang dilakukan oleh nabi Nuh dalam membuat bahtera yang sebelumnya langsung mendapat petunjuk dan bimbingan dari Allah (QS. Hud: 37-38). Aktifitas yang bisa dikategorikan seseorang bisa sebagai belajar dari penjelasan di atas adalah bashar (melihat), istima’ (mendengar), qira’ah (membaca), kitabah (menulis), tahfidz (menghafal) tafakkur (berpikir), sirah (kunjungan ilmiah /mengadakan perjalanan), dan tadrib (praktek/latihan). TEORI BELAJAR DALAM ISLAM Pada mulanya teori-teori belajar dikembangkan oleh para ahli psikologi dan dipraktekkan tidak langsung kepada manusia di sekolah, melainkan menggunakan percobaan kepada binatang. Mereka beranggapan 43
Al-Toumy, loc. cit., hlm. 579. Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam (Perspektif SosiologisFilosofis), terj., Mahmud Arif, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2002), hlm. 125. 44
166
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No. 1 Periode Januari-Juni 2014 Teori Belajar Perspektif Pendidikan Islam: Subri
bahwa hasil percobaannya akan dapat diterapkan pada proses belajar mengajar untuk manusia. Pada tingkat perkembangan berikutnya, baru para ahli mencurahkan perhatiannya pada proses belajar mengajar untuk manusia di sekolah. Penelitian-penelitiannya yang tertuang dalam berbagai teori dengan berbagai macam jenisnya, ada yang mereka sebut dengan programed text, teaching machiness, association theory dll. Teori-teori ini kemudian berkembang pada suatu stadium yang berdasar atas prinsip conditioning, yakni pembentukan hubungan antara stimulus dan respons. Berdasarkan fakta tersebut di atas, maka kegiatan belajar itu cenderung diketahui sebagai suatu proses psikologis yang terjadi dalam diri seseorang. Oleh karena itu, sulit diketahui dengan pasti bagaimana terjadinya karena prosesnya begitu kompleks, maka timbul beberapa teori tentang belajar. Dari beberapa teori belajar ini berkembanglah konsep belajar untuk mendapatkan suatu pengetahuan dan perubahan tingkah laku seseorang.Teori belajar yang baik harus dilakukan sesuai dengan aspek-aspek teori belajar. Secara garis besaraspek belajar dalam Islam dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: a) aspek teori belajar akhlaq, yang terdiri dari taqlid (imitasi/tiruan), ta’wid (pembiasaan), dan tajribah wa khatha’ (trial dan error); b) aspek teori belajar fikr (berpikir), yang terdiri dari tafakkur (berpikir) dan ijtihad; c) aspek teori belajar insaniyyah (humanisme) yang terdiri dari hurriyyah. Adapun penjelasan beberapa aspek teori belajar yang terdapat dalam al-Qur’an maupun al-Sunah adalah:45 a. Taqlid (Imitasi/Peniruan)46 Pada tahap tertentu seseorang melakukan peniruan kepada orang yang ada di sekelilingnya pada aspek-aspek tertentu. Proses belajar dapatjuga melalui melalui imitasi/peniruan kepada orang lain. Teori ini terealisasi ketika seseorang meniru orang lain dalam mengerjakan sesuatu maupun melafalkan suatu kata. Karena menurut Ibnu Sina terdapat Pengaruh tabi’iyah anak yang cenderung mengikuti dan meniru segala yang dilihat, dirasakan dan didengarnya.47 Al-Qur’an telah menyebutkan contoh-contoh yang menjelaskan bahwa manusia cenderung belajar dengan meniru apa yang dilihatnya. 45
Najati, loc. cit., hlm. 207-216. Istilah taqlid dalam Islam biasanya digunakan dalam ilmu ushul fiqih yang mengkaji tentang proses penggalian hukum Islam. Akan tetapi peneliti di sini hanya mengadopsi istilah saja yang dikaitkan dengan belajar. 47 Slamet Untung, Muhammad Sang Pendidik (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2005), hlm. 166. 46
167
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No. 1 Periode Januari-Juni 2014 Teori Belajar Perspektif Pendidikan Islam: Subri
Di antaranya adalah ketika Qabil membunuh saudaranya Habil, dan ia tidak mengetahui bagaimana ia harus memperlakukan mayat saudaranya yang telah dibunuhnya. Maka Allah mengajarkan kepada Qabil dengan mengutus seekor burung Gagak yang menggali tanah untuk menguburkan bangkai burung Gagak lainnya yang telah mati. Dari sini Qabil belajar bagaimana mengubur mayat (QS. Al-Maidah: 31). Begitu juga dalam al-Sunah, para sahabat belajar mengerjakan berbagai ibadah dan manasik dari Rasulullah dengan cara meniru apa yang dilakukan oleh Rasulullah. Seperti mengajarkan tata cara sholat. Rasululah mendemonstrasikan cara sholat di hadapan para sahabatnya, dengan tujuan agar mereka menirunya. 48 Beliau adalah figur ideal sebagai manusia sempurna yang dapat dilihat dari berbagai aspek kehidupannya. Karena dalam segala segi kehidupannya, dapat dipastikan Rasulullah mengedepankan keteladanan sebelum beliau sendiri menerjemahkannya dalam ungkapan verbal (kata-kata). 49 Sehingga para sahabat meneladani beliau dalam setiap perilaku dan perkataannya. Bahkan Allah sendiri telah memerintahkan kepada kita untuk mengikuti perilaku Rasulullah (QS. Al-Ahzab: 21). Menurut al-Attas, Taqlid di sini tidak hanya sebatas proses peniruan buta yang memandulkan kemampuan rasional dan intelektual seseorang. Sebaliknya, mempraktikkan taqlid atau menyerahkan pada otoritas tertentu, membutuhkan pengetahuan murni atas suatu masalah dalam rangka membedakan antara pelbagai pandangan ahli mengenai hal itu. Jadi, menurut al-Attas, taqlid tidaklah berseberangan dengan belajar, tetapi merupakan suatu sifat alami dan positif pada tahap awal perkembangan pelajar atau seseorang yang tidak berkesempatan mengecam pendidikan dan latihan yang cukup untuk memahami alasan dan bukti-bukti secara detail.50 Haditsnya: “Sesungguhnya Rasulullah saw. Berdiri di atas mimbar. Lantas beliau bertakbir dan orang-orang yang berada di belakang beliau ikut bertakbir. Lalu Rasulullah ruku’ untuk kemudian turun sambil berjalan mundur. Kemudian beliau sujud di ujung mimbar. Kemudian kembali [ke atas mimbar] sampai usai menunaikan shalatnya. Seusai shalat, beliau menghadap kepada orang-orang seraya bersabda: sesungguhnya aku berbuat seperti ini hanya bertujuan supaya kalian mengikuti aku dan supaya kalian mempelajari cara shalatku ”. (HR. Bukhari), Bukhari, loc. cit., hlm. 124-125. 49 Untung, op.cit., hlm. 160. 50 Wan Daud, Filsafat., loc. cit., hlm. 263. 48
168
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No. 1 Periode Januari-Juni 2014 Teori Belajar Perspektif Pendidikan Islam: Subri
Imitasi(Taqlid) merupakan kecenderungan yang dilakukan oleh kebanyakan manusia dalam berperilaku. Sehingga taqlid bisa dikatakan sebagai proses belajar yang paling sederhana, karena mudah untuk melakukannya. Belajar dengan cara taqlid ini tidak berarti memandulkan “istilah al-Attas” kemampuan rasional seseorang, melainkan langkah awal bagi mereka yang belum pernah mendapatkan pendidikan secara formal. b. Tajribah wa Khatha’ (Trial dan Error) Manusia juga belajar melalui eksperimen pribadi. Dia akan berusaha secara mandiri untuk memecahkan problem yang dihadapinya. Terkadang beberapa kali ia melakukan kesalahan dalam memecahkan masalah, namun dia juga beberapa kali mencoba untuk melakukannya kembali. Sampai pada akhirnya dia mampu menyelesaikan permasalahannya dengan benar. Model semacam ini disebut sebagai trial and error (coba dan salah).51 Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering melakukan hal ini terhadap sesuatu baru yang belum kita ketahui cara pemecahannya. Rasulullah pun ternyata sudah mengisyaratkan teori trial and error ini dalam haditsnya tentang penyemaian mayang kurma. Dari ‘Aisyah, sebagai berikut: Sesungguhnya Rasulullah mendengar suara, lalu beliau bertanya: “ini suara apa?”. Para sahabat menjawab: orang-orang sedang menyerbukkan kurma. Maka nabi bersabda: “seandainya mereka tidak melakukannya, tentu itu lebih baik”. Maka para sahabat tidak melakukan hal itu lagi tahun ini, ternyata mereka mengalami gagal panen. Kemudian mereka memberitahu nabi, lalu nabi bersabda: “jika sesuatu itu termasuk perkara dunia kalian, maka itu terserah kalian. Akan tetapi jika itu termasuk urusan agama kalian, maka tanyalah kepada saya” (HR. Ibnu Majah).52 Hadits di atas menyebutkan bahwa Nabi saw. menduga penyerbukan yang dilakukan oleh para sahabat dengan mengawinkan sari bunga laki-laki (serbuk sari) pada sari bunga perempuan (putik) tidak berguna. Maka beliau berpendapat hal tersebut tidak perlu dilakukan. Sabda beliau: “…jika sesuatu itu termasuk perkara dunia
51Ibid.,
hlm. 209. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, jilid 2; kitab Ruhun (Beirut: dar al-Fikri, 1995), hlm. 28. 52
169
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No. 1 Periode Januari-Juni 2014 Teori Belajar Perspektif Pendidikan Islam: Subri
kalian, maka itu terserah kalian. Akan tetapi jika itu termasuk urusan agama kalian, maka tanyalah kepada saya”. Hal ini mengisyaratkan bahwa pentingnya melakukan usaha coba-coba, jika menggunakan cara ini salah, maka ganti kepada cara lain yang lebih baik hasilnya. Teori ini hanya berlaku bagi hal-hal yang bersifat praktis yang tidak membutuhkan pemikiran panjang dan lebih bersifat senso-motorik. Hal ini berguna bagi peserta didik yang belajar untuk menemukan jawaban-jawaban baru bagi situasi yang baru dan juga sebagai solusi problem yang dihadapinya dalam kehidupan praktis. Jadi, teori belajar melalui tajribah dan khatha’ merupakan usaha yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan urusan dunia atau kehidupan aplikatif yang tidak membutuhkan pemikiran yang panjang dan bersifat praktis. c. Ta’wid (Pembiasaan) Seseorang dikatakan belajar dengan Ta’wid (pembiasaan) jika ada stimulus inderawi yang merangsangnya. Ketika itulah seseorang menanggapi stimulus inderawi yang disebut sebagai respon. Respon ini kemudian diikuti dengan stimulus netral. Hal ini seperti yang dipaparkan Hasan Langgulung yang menyebutkan terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi agar proses belajar itu bisa berlaku, yaitu:53 1) Harus ada perangsang (stimulus). Dan perangsang ini harus mudah dipahami oleh orang yang belajar. Misalnya, soal-soal yang diberikan oleh guru. 2) Pelajar harus bergerak balas (respon) kepada perangsang tersebut. Kalau pelajar tidak berbuat apa-apa ketika diberi soal, maka si pelajar tadi tidak dikatakan belajar. 3) Gerak balas itu diberi peneguh (tsawab) agar gerak balas itu bersifat kekal. Misalnya, guru menanyakan kepada siswanya, apa nama buah ini? Bila siswa menjawab buah jeruk, dan memang benar, kemudian guru tersenyum dan mengatakan bahwa jawaban kamu benar. Maka ucapan benar tadi merupakan peneguhan terhadap jawaban (gerak balas) siswa terhadap soal guru (perangsang). Dalam al-Qur’an, teori ini bisa diambil dari pentahapan proses pengkondisian umat Islam agar mempunyai kepribadian yang islami. 53
Langgulung, Asas-Asas ., loc.cit., hlm. 362.
170
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No. 1 Periode Januari-Juni 2014 Teori Belajar Perspektif Pendidikan Islam: Subri
Bagaimana Islam mengkondisikan umatnya yang ketika itu masih menyembah berhala, menjadi manusia yang hanya mentauhidkan Allah semata. Islam mampu mengkondisikan bangsa Arab menjadi bangsa yang mempunyai peradaban yang tinggi dan kepribadian yang mulia. Mampu menciptakan kehidupan yang tidak berorientasi pada materialisme dan hedonisme, melainkan kepada kehidupan yang beragama. Tentunya dalam pengkondisian ini, Islam memberikan tsawab bagi umatnya, yaitu berupa balasan pahala dan surga kelak di akhirat nanti dan adzab bagi yang melanggarnya (walaupun bersifat abstrak). Pengkondisian merupakan langkah yang dilakukan oleh Islam dalam proses pembelajaran bagi umatnya untuk menjadikan komunitas masyarakat yang lebih baik. Itulah yang dilakukan oleh nabi Muhammad dalam membentuk bangsa Arab menjadi masyarakat yang berperadaban. Dalam pengkondisian ini, Islam memberikan tsawab dan adzab agar proses belajar dapat berjalan secara efektif dan memberikan motivasi tersendiri bagi peserta didik. d. Tafakkur (Berpikir) Bertafakur adalah pangkal dari segala kebaikan. Bertafakur merupakan pekerjaan hati yang utama dan paling bermanfaat. 54 Pikiran dan niat dalam hati yang terlintas dalam hati akan diikuti oleh perbuatan dan perkataan. Mereka juga menegaskan bahwa seseorang dapat dengan mudah mengubah pikiran dan angan-angan yang negatif sebelum menjadi syahwat. Mengubah niat buruk lebih mudah daripada mencegah yang sudah menjadi perilaku dan perbuatan dalam hidup bahkan menjadi kebiasaan. Jika sudah terlanjur menjadi kebiasaan, maka untuk menghilangkan kebiasaan ini adalah dengan cara membiasakan perbuatan yang berlawanan dengan kebiasaan tersebut. Pembahasan ini telah dikemukakan oleh Ibnu Qayyim alJauziah, yaitu: Dorongan niat akan menjadi pikiran, jika belum Anda turuti; dorongan pikiran akan menjadi syahwat jika belum juga Anda lakukan. Karena itu, perangilah hal tersebut. Jika hal itu belum juga Anda lakukan, akan menjadi azimah (kemauan keras); jika tidak Anda tolak, akan menjadi perbuatan; dan jika tidak Anda
54
Malik Badri, Tafakkur., loc.cit., hlm. 19.
171
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No. 1 Periode Januari-Juni 2014 Teori Belajar Perspektif Pendidikan Islam: Subri
ikuti dengan yang bertolak belakang dengannya, akan menjadi kebiasaan yang sulit dihilangkan.55 Tafakur merupakan ibadah yang bebas, artinya terlepas dari segala ikatan kecuali satu ikatan saja, yaitu tafakur tentang Zat Allah. Seorang mukmin bebas dan merdeka untuk melihat dan berimajinasi. Tafakur merupakan pengembaraan pikiran menerobos dinding tandatanda kekuasaan Allah di alam raya ini menuju Sang Maha Pencipta dan Maha Pemelihara. Oleh karena itu, al-Qur’an sangat menganjurkan agar manusia memfungsikan akalnya secara optimal untuk mencari kebenaran dengan melakukan percobaan (experiment). Hal ini sebagaimana dijumpai dialog Nabi Ibrahim dalam al-Qur’an: ”Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati. Allah befirman: ’Belum yakinkah kamu?’ Ibrahim menjawab: Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap.... ”56 Dari hal-hal tersebut, jelaslah bahwa tafakur dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya, seperti zikir, merupakan tiang penting untuk mengubah pandangan seorang muslim terhadap dirinya dan kesiapannya untuk mengubah perilaku dan kebiasaannya. Tanpa proses perubahan itu, ia tidak mungkin dapat meluruskan tingkah laku dan kebiasaannya. Tentang berpikir ini, Syekh al-Zarnuji selalu mengikutsertakan aktifitas ta’ammul (merenungkan). Karena dua aktifitas tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Beliau mengingatkan, ”Dan seyogyanya bagi orang yang mencari ilmu, hendaknya seluruh waktunya dapat digunakan untuk merenung dan memikirkan kehalusan ilmu. Karena untuk mendapatkan hasil ilmu yang lembut itu, harus dengan jalan berpikir dan merenung secara sungguh-sungguh. Karena itu dikatakan: berpikirlah, tentu kamu akan menemukannya. Demikian juga hendaknya selalu menggunakan ta’amul (perenungan)....Dalam ilmu ushul fikih dikatakan bahwa merenung adalah menjadi dasar pokok yang penting”.57
56
55Ibid., hlm. 20. QS. Al-Baqarah: 260. 57 Syekh al-Zarnuji, loc.cit., hlm. 61-62.
172
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No. 1 Periode Januari-Juni 2014 Teori Belajar Perspektif Pendidikan Islam: Subri
Tafakur merupakan kunci segala kebaikan karena akan membentuk segala kegiatan kognitif seorang mukmin dengan zikir kepada Allah, bertafakur memahami hikmah-hikmah yang terkandung dalam keajaiban segala ciptaan-Nya dari segala sisi-sisinya. Tafakur merupakan faktor pemantapan keimanan dan pembeda keimanan para muttaqin. Dalam proses tafakur ini selalu diikuti dengan perenungan-perenungan yang mengantarkan peserta didik menemukan jawabannya. e. Ijtihad Ijithad58 berasal dari akar kata jahada, yang berarti mencurahkan segala kemampuan atau menanggung beban kesulitan59 dan berusaha dengan sungguh-sungguh. 60 Ijtihad mengikuti wazan ifti’al yang menunjukkan arti berlebih (mubalaghah) dalam perbuatan. Maka arti ijtihad menurut bahasa adalah mencurahkan semua kemampuan dalam segala perbuatan. Kata-kata ijtihad ini tidak dipergunakan kecuali pada hal-hal yang mengandung kesulitan dan memerlukan banyak tenaga.61 Ijtihad menurut istilah, banyak definisi yang diberikan oleh para ahli, yaitu: 1. Imam al-Amidi berpendapat, ”ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang bersifat dhanni (dugaan), sampai merasa dirinya tidak mampu untuk mencari tambahan kemampuannya itu”. 2. Al-Ghazali mengatakan, ”ijtihad secara mutlak adalah mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan ilmu tentang hukum syara’”. 3. Imam al-Syaukani mendefinisikan ijtihad yaitu mencurahkan kemampuan guna mendapatkan hukum syara’ yang bersifat operasional dengan cara istimbath (mengambil kesimpulan hukum).62 58Ijtihad dalam Islam biasanya digunakan dalam ilmu ushul fiqih yang mengkaji tentang proses penggalian hukum Islam. Akan tetapi peneliti di sini mengadopsi dalam istilah saja yang dikaitkan dengan belajar. 59 Yusuf Qardhawy, Ijtihad dalam Syari’at Islam; Beberapa Pandangan Analitis Tentang Ijithad Kontemporer, terj., Achmad Syathori (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hlm. 1. 60 Munawwir, loc.cit., hlm. 217. 61 Qardlawy, op.cit., hlm. 1. 62Ibid., hlm. 2-3.
173
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No. 1 Periode Januari-Juni 2014 Teori Belajar Perspektif Pendidikan Islam: Subri
Dari berbagai pengertian di atas, maka ijtihad adalah usaha mencurahkan segala kemampuan hingga batas terakhir guna mendapatkan ilmu tentang hukum syara’ yang bersifat dhanni dengan cara istimbath. Kaitannya dengan belajar, maka ijtihad merupakan proses pencarian ilmu pengetahuan (tidak hanya hukum syara’) dengan mengerahkan semua kemampuan dan potensi yang dimiliki hingga batas akhir. Dengan ijtihad, peserta didik berusaha memecahkan masalah baru yang dihadapinya, mencari ilmu pengetahuan, dan membentuk sendiri pengetahuan yang baru dengan mengerahkan segala kemampuan dan potensi yang dimilikinya. Tujuannya untuk mendapatkan kebenaran sesuatu dengan menjadikan realitas yang ada sebagai alat bantu dalam proses ijtihad tersebut. Di sini peserta didik dituntut untuk berusaha keras dan sungguh-sungguh dalam melakukannya. Hal ini sebagaimana ayat al-Qur’an yang menjelaskan bagaimana Nabi Ibrahim mencari Tuhan yang sebenarnya. Surat Al-An’am ayat 76 menyebutkan:63 ”Tatkala datang malam menyelimutinya, ia melihat bintang. Maka ia berkata, apakah ini Tuhanku? Namun setelah bintang itu menghilang, dia berkata, aku tidak suka kepada yang hilang ”. Oleh karena itu, maka ijtihad merupakan aspek belajar dengan cara mencurahkan segala kemampuan yang ada hingga batas akhir untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, kebenaran, maupun memecahkan masalah baru. Dalam hal ini peserta didik diperkenankan untuk mengoptimalkan kemampuan, potensi dan pengetahuan yang telah dimiliki untuk diolah sehingga mendapatkan pengetahuan yang dicari-cari. f. Hurriyyah (Kebebasan) Langkah pertama yang diambil untuk menciptakan kebebasan adalah melepaskan manusia dari kekuasaan manusia atau makhluk lain sebagai sesembahan menuju kepada penyembahan mutlak kepada Allah. 64 Islam sangat menekankan makna ini, karena menyembah selain Allah dan tunduk Menurut Saleh ‘Abdulah ayat tersebut (dari ayat 76-79) memperlihatkan bagaimana Nabi Ibrahim mengikuti pemikiran deduksi untuk mencapai kesimpulan, bahwa sungguh yang ada di dalam ini hanyalah Allah semata. Saleh, loc. cit., hlm. 216. 64 Firman Allah “Katakanlah Muhammad, wahai Ahli Kitab, marilah menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah (kepada mereka), ’saksikanlah bahwa kami adalah orang muslim’” (QS. Ali ’Imran: 64). AlQur’an dan Terjemahnya, loc. cit., hlm. 58. 63
174
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No. 1 Periode Januari-Juni 2014 Teori Belajar Perspektif Pendidikan Islam: Subri
serta mencari perantara selain-Nya akan membekukan bakat-bakat manusia dan menghina dirinya yang menyebabkan ia selalu takut dan cemas, yang tidak akan membawa kepada kebenaran. Sedangkan tauhid dan iman kepada Allah akan membebaskan kekuatan dan membukakan jalan untuk melepaskan diri ke ufuk yang lebih luas tanpa terikat kecuali oleh kebenaran, kebaikan dan keadilan.65 Setelah mengetahui konsep utama kebebasan dalam Islam, maka perlu juga diketahui prinsip-prinsip kebebasan dalam Islam, yaitu: 1) Adanya pertalian antara kebebasan dengan keadilan dan persamaan (QS. Al-Maidah:8, QS.Al-Nahl:90, dan QS.Al-Hujurat:9). Hal ini dimaksudkan agar kebebasan itu terlaksana tanpa kekerasan maupun paksaan. 2) Kebebasan dalam Islam disertai oleh sikap toleransi, persaudaraan, kasih sayang, tetapi dengan tegas, kontrol, dan adanya kekuatan undang-undang. 3) Kebebasan bertitik tolak pada kepercayaan akan harga diri manusia. Karena harga diri inilah yang memunculkan keutamaan dan kebaikan. 4) Kebebasan menyelaraskan antara kemaslahatan hak-hak individu dengan hak-hak masyarakat. Artinya ketika individu memenuhi kebebasannya, maka ia harus menjaga kepentingan masyarakat. 5) Kebebasan yang bertanggung jawab yang dibingkai dalam bingkaian agama, akhlak, akal dan keindahan.66 Kaitannya dengan belajar adalah kebebasan dijadikan sebagai titik tolak bagi peserta didik dalam proses belajar. Artinya, peserta didik yang telah memiliki harga diri dan kehormatan diri dihormati layaknya sebagai manusia untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya tanpa belenggu apapun, juga untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang diinginkan tanpa batas. Karena masing-masing individu mempunyai perbedaan kemauan dan kehendak yang harus dijaga dan dihormati, asalkan tidak menyimpang dari prinsip kebebasan dalam Islam. Berdasarkan uraian di atas, maka beberapa aspek belajar dalam Islam terdiri dari aspek akhlak yang lebih menekankan pada perilaku (psikomotorik), yang terdiri dari taqlid, tajribah wa khatha’, dan ta’wid; juga terdapat aspek fikr (kognitif) yang terdiri dari tafakkur dan ijtihad; dan aspek insaniyah (humanistik)
65
Langgulung, Beberapa Pemikiran, loc.cit., hlm. 47-48. hlm. 61-79.
66Ibid.,
175
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No. 1 Periode Januari-Juni 2014 Teori Belajar Perspektif Pendidikan Islam: Subri
yang berupa hurriyyah. Kesemuanya itu merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi. Kesimpulan Apapun kegiatannya dalam belajar baik membaca, menelaah, mengembangkan keterampilan, meneliti, membuat karya, maupun merubah kondisi psikologis dan fisiologis kearah yang lebih baik adalah tergantung pada efektifitas dalam belajar. Belajar yang efektif dapat membantu siswa untuk meningkatkan kemampuan yang diharapkan sesuai dengan tujuan instruksional yang ingin dicapai. Untuk meningkatkan efektifitas dalam belajar para siswa perlu memperhatikan hal-hal berikut : a. Kondisi internal, yaitu kondisi yang ada dalam diri siswa itu sendiri seperti kesehatan, keamanan, ketentraman dan sebagainya. Siswa dapat belajar dengan baik apabila kebutuhan-kebutuhan internalnya terpenuhi. Menurut Maslow ada lima kebutuhan primer manusia yaitu: 1. Kebutuhan psikologis yaitu kebutuhan jaman misalnya makan, minum, istirahat dan kesehatan. 2. Kebutuhan akan rasa aman 3. Kebutuhan akan kebersamaan dan cinta 4. Kebutuhan akan status 5. Kebutuhan akan aktualisasi diri b. Kondisi Eksternal yaitu kondisi yang ada diluar diri manusia misalnya kebersihan. Penerangan, keadaan lingkungan dan sebagainya. Untuk belajar yang efektif diperlukan adanya kondisi lingkungan fisik yang baik seperti, ruang belajar yang baik, penerangan yang cukup dan sarana belaiar yang memadai. Dari beberapa teori belajar menurut Islam yang dikemukakan diatas, dapatlah disimpulkan bahwa keberhasilan dalam belajar adalah tergantung kemudian kepada insan pembelajarnya. Memiliki niat, kemauan yang kuat, motivasi yang tinggi adalah faktor internal yang memacu diri untuk terus belajar dan belajar sepanjang hayat. Bukankah menuntut ilmu sejak dari buaian sampai ke liang lahat merupakan konsep dasar Islam dalam mencetak insan pembelajar sehingga menjadi manusia paripurna (insan kamil)
176
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No. 1 Periode Januari-Juni 2014 Teori Belajar Perspektif Pendidikan Islam: Subri
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an dan Terjemahnya,2005, Bandung: Diponegoro Al-Syaibany, Al-Toumy. 1979,Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang Al-Zarnuji, Pedoman Belajar untuk Pelajar dan Santri, Terj., Noor Aufa Shiddiq, Surabaya: Al-Hidayah Ahmad dari Ibnu ‘Umar. Ahmad ibn Hambal, Musnad Ahmad, kitab alMukatstsirina min al-Shahabah Al-Turmudzi, 2000, Sunan al-Turmudzi, jilid 3; kitab al-Isti’dzan wa al-Adab ’an Rasulillah saw, Beirut: dar al-Kutub al-’Ilmiyyah Al-Ghazali, Muhammad ibn Muhammad. Ayyuha al-Walad, Surabaya: al-Hidayah Bukhori, 1992, Shahih al-Bukhori, jilid 1; kitab ’Ilmu (Beirut: Dar al-Kutub al’Ilmiyyah Harits, A. Busyairi. 2004 , Ilmu Laduni dalam Perspektif Teori Belajar Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Indar, Jumberansyah. “Konsep Belajar Menurut Pandangan Islam”, Jurnal Ulul Albab. Vol 3. no. 2. Ibnu Majah, 1995, Sunan Ibnu Majah, jilid 2; kitab Ruhun, Beirut: dar al-Fikri Jawwad Ridla, 2002, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam Perspektif SosiologisFilosofis), terj., Mahmud Arif, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1989 , Jakarta: Balai Pustaka Langgulung, Hasan. 1988, Asas-Asas Pendidikan Islam Jakarta: Pustaka al-Husna Malik Badri, Malik Badri, 2001, Fiqih Tafakkur; dari Perenungan Menuju Kesadaran, Sebuah Pendekatan Psilikologi Islami, Solo: Era Intermedia Malik Badri, 1986, Dilema Psikolog Muslim, terj. Siti Zainab Luxfiati, Jakarta: PT. Temprint M. Utsman Najati, 2001, Jiwa Manusia dalam Sorotan Al-Qur’an, terj. Ibnu Ibrahim Jakarta: CV. Cendikia Sentra Muslim Muslim, Shahih Muslim, Jilid 1; kitab Iman, Beirut: Ihya’ al-Kutub al-Arabiyyah Majah, Ibnu. 1995, Sunan Ibnu Majah, jilid 2; kitab zuhud, Beirut: Dar al-Fikri Najati, M. Utsman. 2003 , Psikologi dalam Tinjauan Hadits, terj. Wawan Djunaedi Soffandi. Jakarta: Mustaqiim Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany, 1979, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung (Jakarta: Bulan Bintang
177
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No. 1 Periode Januari-Juni 2014 Teori Belajar Perspektif Pendidikan Islam: Subri
Qayyim Al-Jauziyah, Ibnu. 2005, Madarijus Salikin (Pendakian Menuju Allah), Penjabaran Kongkrit Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in, terj. Kathur Suhardi, 2001, Jakarta: Pustaka al-Kautar Saleh ‘Abdullah, Abdurrahman. Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an, terj., M. Untung Shihab, M. Quraisy. 2003, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol.15, Jakarta: Lentera Hati Shihab, M. Quraish. 2001, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol.4, Jakarta: Lentera Hati Slamet Untung, 2005, Muhammad Sang Pendidik, Semarang: Pustaka Rizki Putra Yusuf Qardhawy, 1987, Ijtihad dalam Syari’at Islam; Beberapa Pandangan Analitis Tentang Ijithad Kontemporer, terj., Achmad Syathori, Jakarta: Bulan Bintang, Munawwir Zaini, Sjahminan dan Muhaimin. 1991, Belajar Sebagai Sarana Pengembangan Fitrah Manusia Jakarta: Kalam Mulia
178
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Peranan Supervisi dalam Peningkatan Kualitas Pendidikan: Maralih
PERANAN SUPERVISI DALAM PENINGKATAN KUALITAS PENDIDIKAN Oleh Maralih
Abstrak Kualitas proses belajar mengajar sangat dipengaruhi oleh kualitas kinerja guru. Untuk meningkatkan kemampuan dalam melaksanakan proses pembelajaran , diperlukan perhatian dari penanggung jawab sistem pendidikan secara terus menerus. Pelaksanaan supervisi dapat dilakukan melalui teknik 1) Kunjungan kelas, 2) Kunjungan sekolah, 3) Ujian dadakan, 4) Konfrensi kasus, 5) Observasi Dokumen, 6) Wawancara, 7) Angket, 8) Laporan. Supervisi pengajaran merupakan pekerjaan professional, yang menuntut persyaratan sebagaimana layaknya pekerjaan professional yang lain. Tugas seorang supervisor adalah untuk membantu, mendorong, dan memberikan keyakinan kepada guru bahwa proses belajar-mengajar dapat dan harus diperbaiki. Kegiatan supervisi dilaksankan melalui berbagai proses pemecahan masalah pengajaran dan bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses belajar-mengajar. Supervisi merupakan bantuan kepada guru dalam perbaikan situasi belajar-mengajar, supervisi pendidikan meliputi supervisi terhadap pengajaran maupun komponen pendukungnya. Supervisi pengajaran merupakan kegiatan yang berhubungan langsung dengan pengajaran tetapi tidak langsung dengan siswa. Kegiatan supervisi dilaksanakan melalui berbagai proses pemecahan masalah pengajaran. Kata kunci: Supervisi, kualitas, pembelajaran Pendahuluan Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal secara terencana dan strategis diharapkan mampu dalam meningkatan kualitas pendidikan, untuk itu diperlukan peningkatan kualitas sumber daya manusia sekolah yaitu pimpinan serta guru. Mutu pendidikan yang dinilai dari prestasi belajar peserta didik sangat ditentukan oleh guru, yaitu 34% pada Negara sedang berkembang dan 36% pada Negara industri” Supriadi (1998:178). Keberhasilan pembaharuan sekolah sangat ditentukan oleh gurunya, karena guru adalah pemimpin pembelajaran, fasilitator, dan sekaligus merupakan pusat inisiatif pembelajaran (Mulyasa: 1995:9). Aktifitas guru sebagai tenaga pengajar menjadi landasan dalam pencapaian tujuan pendidikan dalam sekolah, kegiatan yang dilakukan guru sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan proses pembelajaran, hal ini dikarenakan seorang guru dalam berbagai kegiatannya
179
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Peranan Supervisi dalam Peningkatan Kualitas Pendidikan: Maralih
menjadi seorang pemimpin serta pembimbing dalam kelas. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (Undang-undang No. 14 2005 tentang Guru dan Dosen). Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 Bab XI pasal 40 ayat 2b (UU RI, 20/2003; 2003: 27) menjelaskan, “bahwa pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban: mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan”. Peranan guru dalam penyelenggaraan pendidikan sangat dominan terhadap pencapaian kualitas pendidikan, untuk itu seorang guru dituntut untuk bekerja secara professional. Menurut Arifin (2000:56) guru itu dikatakan profesional atau tidak dapat dilihat apabila guru mempunyai: 1) dasar ilmu pengetahuan yang kuat (latar belakang pendidikan) sebagai pengejawatan terhadap teknologi dan ilmu pengetahuan, 2) penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan bukan merupakan konsep-konsep belaka, 3) kematangan profesional berkesinambungan, 4) memiliki kepribadian matang dan berkembang dan 5) keterampilan untuk membangkitkan peserta didik kepada sains dan teknologi. Untuk tercapainya pendidikan yang berkualitas diperlukan guru yang profesional, berkulitas dan memenuhi kompetensi-kompetensi yang dipersyaratkan. Kemampuan profesional yang harus dimiliki seorang guru menurut Glasser (Sudjana, 2002: 13), “adalah (1) menguasai bahan pelajaran, (2) kemampuan mendiagnosa tingkah laku siswa, (3) kemampuan melaksanakan proses pengajaran, (4) kemampuan mengukur proses belajar siswa”. Berdasarkan hasil penelitian Adams, Hutchinson & Martray 1980 dalam Glickman, (1985:68), di Kentucky Amerika Serikat, “didapati minat dan prestasi guru-guru hanya muncul pada tiga tahun pertama mengajar dan merosot setelah beberapa waktu berlalu”. Untuk melaksanakan tugas dan menjaga kualitas diri, guru memerlukan pembimbing agar dapat mengembangkan kemampuan profesionalnya terutama dalam mengelola proses pembelajaran, dalam menjaga proses pembelajaran tetap berjalan dengan baik, untuk itu guru memerlukan perhatian dari seorang pimpina. Bimbingan dan perhatian tersebut melalui supervisi terhadap kinerja dan profesionalisme guru dalam proses pembelajaran. Sergiovani dan Starrat (Mulyasa, 2003: 111) menyatakan, “Supervisi merupakan suatu proses yang dirancang secara khusus untuk membantu para guru dalam mempelajari tugas sehari-hari di sekolah, agar dapat menggunakan pengetahuan dan kemampuannya untuk memberikan layanan yang lebih baik pada orang tua
180
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Peranan Supervisi dalam Peningkatan Kualitas Pendidikan: Maralih
peserta didik dan sekolah, serta berupaya menjadikan sekolah sebagai masyarakat belajar yang lebih efektif”. Kepala sekolah dalam pelaksanaan supervisi bukan hanya menilai kinerja seorang guru saja tetapi semua kegiatan yang berhubungan dengan proses pembelajaran. Hal ini didukung pernyataan oleh Glickman (1981: 34), yang mengatakan supervisi akademik adalah serangkaian kegiatan membantu guru mengembangkan kemampuannya mengelola proses belajar mengajar demi pencapaian tujuan pengajaran. Dalam Undang -Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 disebutkan bahwa guru harus memiliki 4 kompetensi yaitu (1) kepribadian, (2) pedagogik, (3) profesional, dan (4) sosial. Tetapi tidak semua guru memiliki kesempurnaan kompetensi tersebut, hal ini terlihat dari banyaknya guru-guru yang tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik, dalam perencanaan maupun pelaksanaan proses pembelajaran di sekolah, sehingga terdapat berbedaan hasil atau kualitas pendidikan yang dihasilkan oleh setiap guru. Guru harus mampu menciptakan situasi pembelajaran yang kondusif, mampu mengelola kelas, mampu menguasai materi pelajaran, menguasai teori belajar, dan terampil menerapkan berbagai metode dalam mendidik siswa dalam sekolah. Menurut Mark, “salah satu faktor ekstrinsik yang berkontribusi secara signifikan terhadap motivasi kerja, prestasi, dan profesionalisme guru ialah layanan supervisi kepala sekolah” (Mark, et. Al.; 1991:79). Dapat dikatakan bahwa baik atau buruknya guru dalam pelaksanaan proses pembelajaran bergantung pada supervisi seorang kepala sekolah, supervisi dilaksanakan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas diri seorang guru, seperti yang diungkapkan oleh (Peter; 1994:67) rendahnya motivasi, dan prestasi guru yang mempengaruhi profesi guru tidak terlepas dari rendahnya kontribusi kepala sekolah dalam membina guru di sekolah melalui kegiatan supervisi”. Kenyataan di lapangan dalm pelaksanaan supervisi kepala sekolah dan guru masih kurang terlaksana, hal ini terlihat dari masih banyaknya guru-guru yang enggan dan tidak bias meningkatkan kualitas dan prestasi kerja, ini sangat mengganggu proses pembelajaran di sekolah, guru yang telah disupervisi dapat merencanakan dan menjalankan proses pembelajaran dengan baik, bila dibandingkan dengan guru yang belum disupervisi, guru menjalankan proses pembelajaran hanya untuk menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya sebagai tenaga pendidik walaupun hasilnya tidak sesuai dengan harapan. Hal ini berbeda dengan guru-guru yang telah disupervisi, guru lebih giat dan berusaha untuk memberikan kualitas proses pembelajaran yang baik, menghasilkan mutu
181
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Peranan Supervisi dalam Peningkatan Kualitas Pendidikan: Maralih
pendidikan yang tinggi menjadi prioritas sehingga guru lebih aktif dan inovatif serta kreatif dalam pelaksanaan proses pembelajaran di sekolah. Selain itu permasalahan yang terjadi adalah masih rendahnya kualitas kepala sekolah dalam pelaksanaan supervisi terhadap guru, Faktor yang menyebabkan kesukaran kepala sekolah dalam pelaksanaan supervisi seperti yang diungkapkan oleh (Imran 1995:99) yang mengatakan terbatasnya kemampuan profesional, terbatasnya waktu, terbatasnya petunjuk pelaksanaan dan terbatasnya biaya”. Hasil penelitian Imran memperkuat hasil penelitian yang dilakukan Hill et. al (1980:222) yang mendapati bahwa: “kepala sekolah-kepala sekolah di Amerika Serikat mengalami kekurangan waktu untuk menyempurnakan tugas mereka sebagai pemimpin pengajaran, termasuk mensupervisi guru-guru”. Sagala (2000) mengatakan bahwa: “Rendahnya profesi, prestasi, mutu proses dan hasil pembelajaran siswa, juga disebabkan oleh peran supervisi di sekolah di Indonesia menjadi lemah, kurang efesien dan efektif sesuai tujuannya.” Supervisi harus dilaksanakan oleh orang yang memiliki kemampuan profesional dan memiliki visi sebagai agen pembelajaran dalam melakukan pembaharuan pendidikan dan pengajaran. Supervisi Supervisi pendidikan adalah suatu usaha menstimulir, mengkordinir dan membimbing secara kontinyu pertumbuhan guru-guru di sekolah baik secara individual maupun secara kolektif, agar lebih mengerti dan lebih efektif dalam mewujudkan seluruh fungsi pengajaran dengan demikian mereka dapat menstimulir dan membimbing pertumbuhan setiap murid, sehingga dengan demikian mereka mampu dan lebih cakap berpartisipasi dalam masyarakat demokrasi modern (Bordman Et. Al., 1953:5). Pengertian istilah supervisi Suharsimi Arikunto (2004: 4) mengemukakan, “Supervisi yang berasal dari bahasa Inggris terdiri dari dua akar kata, yaitu super yang artinya “diatas” dan vision yang mempunyai arti “dilihat”, maka secara keseluruhan supervisi diartikan sebagai “melihat dari atas”, dengan pengertian itulah maka supervisi diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh pengawas dan kepala sekolah sebagai pejabat yang berkedudukan di atas atau lebih tinggi dari guru untuk rnelihat atau mengawasi pekerjaan guru ”. Adam & Dickey (Piet Sahertian, 2000: 17) berpendapat bahwa “supervisi adalah program yang berencana untuk memperbaiki pengajaran. Program itu pada hakikatnya adalah perbaikan hal belajar dan mengajar”. Dapat dikatakan bahwa supervisi memberikan bimbingan atau pelayanan profesional terhadap guru pelayanan professional yang dimaksud adalah bantuan dalam mengembangkan situasi pembelajaran ke arah yang lebih baik, pelayanan
182
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Peranan Supervisi dalam Peningkatan Kualitas Pendidikan: Maralih
tersebut melalui pengarahan, bimbingan dan pengawasan terhadap guru dengan tujuan dapat meningkatkan kualitas serta prestasi guru, guru yang berkualitas dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik serta memiliki kompetensi yang tinggi. Sementara Wilem Mantja (2007) mengatakan bahwa, supervisi diartikan sebagai kegiatan supervisor (jabatan resmi) yang dilakukan untuk perbaikan proses belajar mengajar (PBM). Ada dua tujuan (tujuan ganda) yang harus diwujudkan oleh supervisi, yaitu; perbaikan (guru murid) dan peningkatan mutu pendidikan. Tak jauh pula arti supervisi yang diungkapkan oleh Purwanto (1987), supervisi ialah suatu aktivitas pembinaan yang direncanakan untuk membantu para guru dan pegawai sekolah dalam melakukan pekerjaan secara efektif. Supervisi pendidikan merupakan pembinaan yang berupa bimbingan atau tuntunan ke arah perbaikan situasi pendidikan pada umumnya dan peningkatan mutu mengajar dan belajar dan belajar pada khususnya. Kegiatan Supervisi Kegiatan supervisi bermaksud untuk menjaga dan memelihara kualitas seorang guru, dalam proses pembelajaran di sekolah, kegiatan supervise sangat penting bila menginginkan kualitas pendidikan yang baik di sekolah, hal ini disebabkan karena supervisi merupakan bantuan terhadap guru. Piet Sahertian (2000: 19) mengemukakan tujuan supervisi adalah memberikan layanan dan bantuan untuk meningkatkan kualitas mengajar guru di kelas yang pada gilirannya untuk meningkatkan kualitas mengajar guru di kelas yang pada giliranya untuk meningkatkan kualitas belajar siswa. Tujuan supervisi pendidikan yang dilakukan kepala sekolah adalah untuk membantu guru-guru di sekolah agar mampu melaksankan tugas sebagai tenaga pendidik dan pengajar secara maksimal guna menciptakan situasi pembelajaran yang lebih baik. Berkaitan dengan supervisi, Suharsimi Arikunto (2004: 40) mengemukakan supervise memiliki tujuan “memberikan bantuan teknis dan bimbingan kepada guru (dan staf sekolah yang lain) agar personil tersebut mampu meningkatkan kualitas kinerjanya, terutama dalam melaksanakan tugas, yaitu melaksanakan proses pembelajaran. selanjutnya apabila kualitas kinerja guru dan staf sudah meningkat, demikian pula mutu pembelajarannya, maka diharapkan prestasi belajar siswa juga akan meningkat. Pemberian bantuan pembinaan dan pembimbing tersebut dapat bersifat langsung ataupun tidak langsung kepada guru yang bersangkutan”. Supervisi pendidikan memiliki berbagai macam fungsi. Secara sederhana fungsi supervisi meliputi empat fungsi utama yaitu: “(1) fungsi penelitian, (2) fungsi penilaian, (3) fungsi perbaikan, dan (4) fungsi peningkatan” (Satori, 2006:5). Supervisi yang dilakukan berkaitan langsung dengan tugas-tugas profesional guru yaitu: “(1) keterampilan merencanakan pengajaran, (2) keterampilan mengimplementasikan pengajaran, dan (3) keterampilan menilai
183
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Peranan Supervisi dalam Peningkatan Kualitas Pendidikan: Maralih
pengajaran” (Bapadal, 1992:37). Supervisi pengajaran secara umum bertujuan untuk: “memantau dan mengawasi kinerja staf sekolah dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing agar para staf tersebut bekerja secara profesional dan mutu kinerjanya meningkat” (Goldamer, et. al., 1993, Waite, 1995). Dalam kegiatan keseluruhan di sekolah supervisi mempunyai kawasan tugas sebagai bahagian dari kegiatan sekolah itu secara keselurhan yang langsung berhubungan dengan pengajaran, tetapi tidak langsung berhubungan dengan pelajar seperti pada gambar 2.3 berikut:
Langsung
Fungsi Mengajar
Fungsi Supervisi Hubungan dengan pengajaran
Fungsi Pengurusan
Umum
Tidak Langsung
Fungsi Manajemen
Fungsi Pelayanan Khusus
Tidak
Langsung
Langsung Hubungan pelajar
dengan
Gambar 2. 1 Kaitan Antara Supervisi dengan Kegiatan Pendidikan Sekolah Sumber: Soetjipto dan Kosasih (1999:234)
184
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Peranan Supervisi dalam Peningkatan Kualitas Pendidikan: Maralih
Sebagai salah satu kegiatan pengawasan dalam manajemen, “dalam pelaksanaanya supervisi dekat dengan istilah inspeksi, penilikian, pengawasan, monitoring, penilaian atau evaluasi” (Soetjipta dan Kosasih; 1994:231). Supervisi pada hakekatnya melakukan pengawasan terhadap proses pendidikan di sekolah, supervisi itu lebih diarahkan kepada usaha untuk memberikan bantuan bagi guru-guru guru agar dapat melakukan semua tugas dengan lebih baik. Lucio dan McNeil (1978) mendefinisikan tugas supervisi, yang meliputi : a) Tugas perencanaan, yaitu untuk menetapkan kebijaksanaan dan program; b) Tugas administrasi, yaitu pengambilan keputusan serta pengkoordinasian melalui konferensi dan konsultasi yang di lakukan dalam usaha dalam mencari perbaikan kualitas pengajaran; c) Partisipasi secara langsung dalam pengembangan kurikulum, yaitu dalam kegiatan merumuskan tujuan, membuat penuntun mengejar bagi guru dan memilih isi pengalaman belajar; d) Melaksanakan demontrasi mengajar untuk guru – guru, serta; e) Melaksanakan penelitian Supervisi dilandasi oleh berbagai prinsip. Terdapat beberapa prinsip yang harus dieprhatikan dalam melakukan supervisi pendidikan yaitu: 1) Ilmiah (scientific), dimana dalam pelaksanaan supervisi hendakanya dilaksanakan secara ilmiah, hal ini berarti pelaksanaanya harus: (a) sistematis, taratur, terprogram dan terus-menerus, (b) objektif, berdasarkan pada data dan pengetahuan, (d) menggunakan instrumen (alat) yang dapat memberikan data/pengetahuan yang akurat, dapat dianalisa dan dapat mengukur ataupun menilai terhadap pelaksanaan proses pembelajaran. 2) Demokrasi, dalam pelaksanaan supervisi hendaknya menjunjung tinggi azas musyawarah, memiliki jiwa kekeluargaan yang kuat serta menghargai dan sanggup menerima pendapat orang lain. 3) Kooperatif, dalam melaksanakan supervisi hendaknya dapat mengembangkan usaha bersama untuk situasi pembelajaran yang lebih baik. 4) Konstruktif dan kreatif, dalam pelaksanaan supervisi hendaknya dapat membina inisiatif guru serta mendorong untuk aktif dalam menciptakan situasi pembelajaran yang lebih baik (Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah; 1990), Rifai (1979:).
185
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Peranan Supervisi dalam Peningkatan Kualitas Pendidikan: Maralih
Pelaksanaan Supervisi Pelaksanaan supervisi dilaksanakan oleh pelaku supervisi dan subjek yang akan disupervisi, pelaku supervise adalah unsur yang paling dekat atau langsung terlibat dengan prestasi belajar siswa, yaitu: Pengawas, Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah bidang kurikulum atau akademik, wali kelas, petugas bimbingan dan konseling, serta petugas perpustakaan, sementara subjek supervise adalah guru dan pegawai. Sasaran utama supervisi pendidikan adalah untuk melakukan-pembinaan terhadap guru-guru agar dapat melakukan semua tugas dengan lebih baik. sebagai supervisor harus mampu mengadakan pengendalian dan supervisi terhadap tenaga kependidikan khususnya guru dengan tujuan meningkatkan kemampuan profesi guru dan kualitas proses pembelajaran Dalam pelaksanaan supervise ada beberapa teknik supervisi yang dapat dipilih dan digunakan supervisor meliputi: 1) Kunjungan kelas, 2) Kunjungan sekolah, 3) Ujian dadakan, 4) Konfrensi kasus, 5) Observasi Dokumen, 6) Wawancara, 7) Angket, 8) Laporan. Supervisi yang dilakukan kepala sekolah terhadap guru meliputi (1) masalah wawasan dan kemampuan profesional guru, (2) masalah kehadiran dan aktiviti guru, (3) masalah persiapan mengajar guru, mulai dari analisa bahan mata pelajaran pelajaran, program tahunan, program semester, program satuan pelajaran, pembuatan mata pelajaran sampai dengan persiapan mengajar harian atau rencana pelaksanaan pembalajaran, (4) Masalah pencapaian tujuan kurikuler dan pelaksanaan ekstrakurikuler, (5) penguasaan bahan ajar, (6) penggunaan metode pembelajaran, (7) penggunaan alata peraga/praktek, (8) pengaruh timbal balik pembelajaran, (10) penilaian hasi belajar pelajar, (8) tindak lanjut hasil penilaian pembelajaran mata pelajaran. (9) masalah kerjasama guru dengan pelajar, dengan sesama guru, tata usaha dan dengan kepala madrasah, (Departemean Agama: 2000). kegiatan supervisi yang dilakukan oleh supervisor menliputi: merencanakan program, melaksanakan supervisi dan tindak lanjut supervisi. Upaya Dalam Meningkatkan Supervisi Kepala madrasah diharapkan dapat menyusun suatu program supervisi yang mampu memberikan bantuan kepada guru-guru agar mereka memperbaiki dirinya sendiri secara maksimal.Supervisi pada hakekatnya melakukan pengawasan terhadap proses pendidikan di sekolah, kegiatan supervisi masuk ke dalam jalinan interaksi kepala sekolah dengan guru didalam kegiatan belajar mengajar. Peningkatan kualitas diri guru dapat dilakukan melalui layanan
186
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Peranan Supervisi dalam Peningkatan Kualitas Pendidikan: Maralih
supervisi pengajaran kepala sekolah. Layanan supervisi itu bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme, dalam proses pembelajaran. Peningkatan kinerja dan profesionalisme guru sangat diperlukan, karena peningkatan kinerja dan profesionalisme guru; “tidak hanya dilakukan terhadap guru di Negara berkembang tetapi juga banyak Negara maju pun, sekarang ada kecenderungan untuk meningkatkan kompetensi guru dan mengembangkan profesi guru secara terus menerus” (Kuntoro; 1890:59), Supeno (1995:49). Program-program supervisi hendaknya memberikan rangsangan terhadap terjadinya perubahan dalam kegiatan pengajaran. Perubahan – perubahan itu dapat dilakukan antara lain melalui berbagai usaha inovasi dalam pengembangan kurikulum serta kegiatan pendidikan dan pelatihan dalam jabatan untuk guru. Kepala sekolah harus menguasai langkah-langkah dalam pelaksanaan supervisi khususnya supervisi peggajaran beserta tujuannya. Supervisi merupakan suatu usaha untuk memberikan pelayanan perbaikan situasi mengajar belajar yang direncanakan secara hati-hati. Supervisi oleh kepala sekolah haruslah diarahkan untuk memberikan bantuan dan bimbingan serta pembinaan kepada guru-guru agar mereka mampu bekerja lebih baik dalam membimbing pelajarnya. Pada dasarnya Supervisi berkaitan dengan kemampuan kepala sekolah dalam memberikan arahan, bimbingan serta memberikan bantuan kepada guruguru dalam mencapai kinerja yang dipersyaratkan bagi seorang guru. Guru yang yang memiliki kinerja yang baik dan profesional dalam implementasi kurikulum memiliki ciri:ciri: “mendesain program pengajaran, melaksanakan proses belajar mengajar dan menilai hasil belajar siswa” Basyirudin dan Usman (2002:83). Supervisi dapat dilakukan dengan melakukan inspeksi terlebih dahulu yaitu: “dengan cara mengumpulkan berbagai data, mengumpulkan data itu dengan standar yang sudah ditentukan terlebih dahulu, kemudian menyusun suatu kesimpulan, suatu konduite” (Rifai; 1987:50). Di dalam pelaksanaan supervisi, sikap kooperatif guru yang ditnjukan dalam fase perencanaan tetap masih diperlukan, malahan perlu ditingkatkan. Kesediaan guru untuk diobservasi dan dianalisis perilaku mengajarnya, serta kesediaan untuk berdialog dengan supervisor harus terus dikembangkan, sehingga guru dapat memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari proses supervisi. Dalam peningkatan kualitas supervisi, seorang kepala sekolah perlu memenuhi kompetensi umum maupun kompetensi khusus. Kompetensi umum meliputi (1) Bertindak demokratis, bersifat terbuka/transparan, menghormati
187
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Peranan Supervisi dalam Peningkatan Kualitas Pendidikan: Maralih
pendapat orang lain, mampu berkomunikasi dengan baik dan menjalin kerjasama dengan berbagai pihak terkait, (2) memiliki kepribadian yang menarik dan simpatik serta mudah bergaul, (3) Bersifat ilmiah dalam segala hal serta memiliki prinsip mau terus belajar, (4) Memiliki dedikasi tinggi serta layak pada tugas dan jabatannya, (5) Menghindarkan diri dari sifat-sifat tercela, (6) Memandang guru dan seluruh staf sekolah sebagai mitra kerja, bukan sebagai bawahan. Adapaun kemampuan khusus seorang supervisor adalah: (1) Memiliki pengetahuan tentang manajemen pendidikan secara umum dan manajemen sekolah secara khusus, yang meliputi manajemen personil, manajemen bahan mata pelajaran dan manajemen operasional, (2) Memiliki pengetahuan tentang supervisi pendidikan, yang meliputi tujuan dan sasaran, teknik-teknik, langkahlangkah dan prinsip-prinsip dasar supervisi pendidikan, (3) Menguasai subtansi bahan mata pelajaran pengawasan pendidikan, yang meliputi kurikulum, proses pembelajaran, kesimpulan dan lain-lain, (4) Menguasai subtansi bahan mata pelajaran supervisi teknik manajemen, yang antara lain: adminstrasi sekolah, adminstrasi kepegawaian, adminstrasi kurikulum, pengelolaan perpustakaan, laboratorium dan sebagainya, (5) Memiliki kemampuan berkomunikasi, membina dan memberi contoh-contoh tentang pelaksanaan kegiatan belajar, mengajar yang baik, (6) Memiliki kemampuan mediator antara guru dengan guru, antara seluruh stap sekolah dengan instansi terkait, dan lain-lain, (7) Memiliki kemampuan membimbing guru dalam hal perolehan angka kredit dan membuat karya tulis/ilmiyah, (8) Harus bekerja sesuai dengan rencana dan tujuan yang telah ditetapkan, (9) Harus memiliki kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan harus menjunjung tinggi kode etik jabatan (Departemen Agama, 2000:). Kepala sekolah membuat rencana, program dan pelaksanaan supervisi yang telah disepakati bersama dengan guru. Kegiatan supervise diawali dengan perencanaan supervisi yang matang, Agar supervisi dapat dijalankan dengan baik kepala madrasah harus terlebih dahulu membuat rencana dan program supervisi, Kemampuan menyusun program supervisi pendidikan harus diwujudkan dalam penyusunan program supervisi kelas, pengembangan program supervisi untuk kegiatan ekstra kurikuler, program pengambangan supervisi perpustakaan, laboratorium dan ujian. Kemampuan melaksanakn program supervisi pendidikan harus diwujudkan dalam pelaksanaan program supervisi klinis, program supervisi non klinis, dan program supervisi kegiatan ekstrakurikuler. Sedangkan kemampuan memanfaatkan hasil supervisi pendidikan harus
188
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Peranan Supervisi dalam Peningkatan Kualitas Pendidikan: Maralih
meningkatkan prestasi kerja tenaga kependidikan, dan pemanfaatan hasil supervisi untuk mengembanngkan madrasah (Mulyasa, 2004:). Supervisi harus bersumber pada kondisi masyarakat. Sebenarnya sekolah harus mampu mengubah masyarakat agar menjadi masyarakat yang demokratis. Dalam masyarakat demokratis setiap orang berkesempatan dan kemampuan untuk menstimulasi usaha-usaha kreativitas dan mengubah kea rah perbaikan. Tugas pemimpin sebagai supervisor berfungsi membantu, mendorong, menstimulasi tiap anggota untuk bekerja bersama. Seorang supervisor dalam melakukan dalam melakukan tanggung jawabnya, ia harus mampu mengembangkan potensi kreativitas dari orang yang dibina melalui cara mengikutsertakan orang lain untuk berpartisipasi bersama. Supervisor dapat memberikan saran secara terbuka tetapi bersahabat tentang masalah-masalah yang dikemukakan dalam penilaian, dan guru harus bersifat terbuka untuk menerimannya.maka akan terjadi proses saling memperkaya antara guru supervisor dalam usaha untuk berkembang dalam melaksanakan tugas pendidkan mereka. Kesimpulan Kualitas proses belajar mengajar sangat dipengaruhi oleh kualitas kinerja guru, untuk itu sumber daya guru itu perlu terus menerus bertumbuh dan berkembang agar dapat melakukan fungsinya secara professional, mendorong guru-guru untuk terus menerus belajar menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam meningkatkan kemampuan guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar, memerlukan perhatian dari penanggung jawab sistem pendidikan secara terus menerus, Dalam pelaksanaannya supervisi dapat dilakukan melalui pendekatan-pendekatan yang harus dilakukan supervisor kepada guru, supervisi pengajaran merupakan pekerjaan professional, yang menuntut persyaratan sebagaimana layaknya pekerjaan professional yang lain. Tugas seorang supervisor bukanlah untuk mengadili tetapi untuk membantu, mendorong, dan memberikan keyakinan kepada guru bahwa proses belajarmengajar dapat dan harus diperbaiki. Usaha supervise tidak akan berhasil apabila tidak ada keinginan untuk kerjasama dan tidak ada sikap kooperatif baik dari yang dibantu yaitu guru sendiri maupun supervisor (kepala sekolah). Guru hendakna secara aktif memberikan masukan kepada supervisor tentang masalah yang dihadapi dalam mengajar. supervisor tidak mempunyai tujuan untuk
189
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Peranan Supervisi dalam Peningkatan Kualitas Pendidikan: Maralih
mencari kesalahan, tetapi memberikan balikan tentang kelemahan dan kekuatan guru dalam melaksanakan tugasnya. Supervisi mengembangkan dan meningkatkan professionalism guru sehingga guru tersebut dapat berkembang dalam pekerjaannya. Kegiatan supervisi dilaksankan melalui berbagai proses pemecahan masalah pengajaran. Tujuannya adalah untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses belajarmengajar. Supervisi merupakan bantuan kepada guru dalam perbaikan situasi belajar-mengajar, supervisi pendidikan meliputi supervisi terhadap pengajaran maupun komponen pendukungnya. Supervisi pengajaran merupakan kegiatan yang berhubungan langsung dengan pengajaran tetapi tidak langsung dengan siswa. Kegiatan supervisi dilaksanakan melalui berbagai proses pemecahan masalah pengajaran.
190
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Peranan Supervisi dalam Peningkatan Kualitas Pendidikan: Maralih
DAFTAR PUSTAKA Arifin. (2000). Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA UPI. Asnawir, dan Basyiruddin Usman.(2002).Media Pembelajaran. Jakarta: Ciputat Pers. Bafadal, Ibrahim. (1992). Supervisi Pengajaran: Teori dan Aplikasinya dalam Membina Profesional Guru. Jakarta: Bumi Aksara. Boardman, et. al. (1953). Democratic Supervision In Scondary School. Massachusetts: Houghton Miffin Company E. Mulyasa. (2004). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Remaja Rosda Karya Glickman Carl.D. (1981). Developmental Supervision: Alternative Practices for Help-ing Teachers Improve Instruction. Asspciation for Supervision and Curriculum Development, Virginia: Alexandria. Glickman, C.D. (1985). Supervision of Intruction : A Developmental Aproach. Massachussetts : Allyn and Bacon, Inc. Imran, Ali (1995). Pembinaan Guru di Indonesia. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya. Lucio, William H.& John D. Mc. Neil, (1978), Supervision in Thought and Action, New York: McGraw-Hill Book Company Inc. Mantja, W. (2007). Profesionalisasi Tenaga Kependidikan: Manajemen Pendidikan dan Supervisi Pengajaran. Malang: Elang Mas Mark.et.al.(1991). Handbook of Educational Supervision: A Guide for the Practitioner. Boston: Allyn and Bacon Inc. Mulyasa. (2003). Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Nana Sudjana. (2002). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Peter. D.E. (1994) Supervision in Social Work: A Method of Student Training and Staff Development. London: George Allen & Unwin. Piet. A Sahertian (2000). Konsep Dasar danTteknik Supervisi Pendidikan dalam Rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta Purwanto, Ngalim. (1987). Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung: Remaja Rodakarya. Rifa’i, M. (1987) Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung: Jemmars. Sagala. S (2000). Administrasi Pendidikan Kontemporer. Bandung: Alfabeta.
191
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Peranan Supervisi dalam Peningkatan Kualitas Pendidikan: Maralih
Satori, Dj. (2006) Supervisi Akademik dan Penjaminan Mutu dalam Pendidikan Persekolahan. Koleksi Materi Perkuliahan Supervisi Pendidikan IPA SPs Bandung. Tidak diterbitkan Soetjipto dan Kosasi Raflis, (1999). Profesi Keguruan, Jakarta : PT. Rineka Cipta. Soetjipto dan Raflis Kosasi. (1994). Profesi Keguruan. Jakarta: Depdiknas Kerja Sama dengan Rineka Cipta Suharsimi Arikunto. (2004). Dasar-dasar Supervisi. Jakarta: PT Rineka Cipta Supeno Hadi. (1995). Potret Guru. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Supriadi, D. (1998). Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Yogyakarta : Adicita Karya Nusa Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS, Jakarta. Waite.D. (1995). Rethinking Insstructional Supervision: Notes on its Language and Culture. London : Falmer Press.
192
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Metode Pendidikan Islam: M. Kholil Asy’ari
METODE PENDIDIKAN ISLAM Oleh : M.Kholil Asy’ari
Abstraksi Metode adalah seperangkat cara, jalan dan teknik yang dipakai oleh guru (pendidik) dalam proses belajar mengajar agar siswa (murid, peserta didik) mencapai tujuan pembelajaran atau kompetensi tertentu yang dirumuskan dalam kurikulum, silabus dan mata pelajaran. Pendidikan Islam adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara sesuai dengan ajaran Islam untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akherat. Untuk melahirkan peserta didik yang berkualitas dibutuhkan metode yang tepat dalam memberikan materi pelajaran. Key word : Pendidikan Islam, Tujuan, Materi Pelajaran, Metode, Pendidik dan Peserta didik. Pendahuluan Dalam pendidikan Islam, metode mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam upaya mencapai tujuan, karena ia menjadi sarana yang membermaknakan materi pelajaran yang tersusun dalam kurikulum pendidikan, sehingga dapat dipahami atau diserap oleh peserta didik menjadi pengertianpengertian yang fungsional terhadap tingkah lakunya. Dalam pendidikan Islam, metode yang tepat guna bila ia mengandung nilai-nilai intrinsik dan ekstrinsik sejalan dengan materi pelajaran dan secara fungsional dapat dipakai untuk merealisasikan nilai-nilai ideal yang terkandung dalam tujuan pendidikan Islam. Antara metode, kurikulum (materi) dan tujuan pendidikan Islam mengandung relevansi ideal dan oprasional dalam proses kependidikan. Oleh karena itu proses kependidikan Islam mengandung makna internalisasi dan transformasi nilai-nilai Islam ke dalam pribadi peserta didik dalam upaya membentuk pribadi muslim yang beriman bertakwa dan berilmu pengetahuan yang amaliah mengacu kepada tuntunan agama dan tuntutan kebutuhan hidup bermasyarakat. Menurut M.Arifin sebagai salah satu komponen oprasional Ilmu Pendidikan Islam, metode harus mengandung potensi yang bersifat mengarahkan materi pelajaran kepada tujuan pendidikan yang hendak dicapai
193
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Metode Pendidikan Islam: M. Kholil Asy’ari
melalui proses tahap demi tahap, baik dalam kelembagaan formal maupun yang non formal ataupun yang informal.1 Dan Menurut Abdurrahman Saleh Abdullah ada tiga nilai yang terkandung dalam tujuan pendidikan Islam yang akan direalisasikan melalui metode yang mengandung watak dan relevansi tersebut, yaitu : Pertama Membentuk peserta didik menjadi hamba Allah yang mengabdi kepadaNya semata; Kedua bernilai educatif yang mengacu kepada petunjuk Al-Qur’an dan Hadits; Ketiga berkaitan dengan motivasi dan kedisiplinan sesuai dengan ajaran al-Quran yang disebut pahala dan siksaan.2 Selanjutnya untuk menghasilkan out put (lulusan) pendidikan yang memiliki watak, karakter, serta moral maka pendidikan harus diproses dengan perencanaan yang jelas dan pasti sehingga dapat dikerjakan, dan perencanaan itu berisi paket materi pendidikan untuk dapat diajarkan secara intensif, efektif, dan efisien. Kemudian untuk mengajarkan materi pendidikan yang dapat mencapai sasaran yang tepat maka tujuan pendidikan Islam harus jelas3. Kejelasan tujuan pendidikan Islam ini sangat dibutuhkan untuk menentukan metode yang tepat. Karena itu tulisan ini akan mendiskripsikan apa makna metode dalam pendidikan Islam itu dan bagaimana prinsip umum metode dalam pendidikan Islam, pertimbangan menetapkan metode dalam pendidikan Islam, beberapa metode dalam pendidikan Islam, metode pendidikan Islam dalam penerpan Kurikulum 2013 Pengertian Metode Pendidikan Islam Kata cara di dalam bahasa Inggris berasal dari kata way dan methode, cara dapat mencakup makna lebih luas seperti strategi, seni, metode dan metodologi. Selanjutnya strategi merupakan acuan dasar berkaitan dengan cara untuk mencapai tujuan. Contoh : one way traffic, communication, Cara Belajar Siswa Aktif, Edutainment. Sementara seni mengajar adalah suatu cara yang membuat pembelajaran lebih indah, mengesankan dan menyenangkan. Kemudian metode adalah cara yang sudah teruji jika digunakan bagi objek pekerjaan tertentu yakni pembelajaran yang hasilnya akan lebih efektif dan efisien. Sedangkan
1 M.Arifin, Ilmu Pendidikan Islam suatu tunjauanTeoritis dan praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, ( Jakarta : Bumi Aksara,Edisi I, 1991), hlm.,198 2 M.Arifin, Ilmu Pendidikan ……..hlm.,198 3 Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan,(Yogyakarta: Ar-Ruzz, Cet. I, 2006),hlm.,120
194
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Metode Pendidikan Islam: M. Kholil Asy’ari
metodologi adalah suatu ilmu yang membicarakan cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan atau menguasai kompetensi tertentu. Kata metode dalam bahasa Indonesia diadopsi dari kata methodos dalam bahasa Yunani, kata ini terdiri dari kata meta yang berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah; dan kata hodos yang berarti jalan, perjalanan, cara, atau arah. Kata methodos sendiri berarti penelitian, metode ilmiah, hipotesa ilmiah, atau uraian ilmiah (Anton Bekker, 1984)4. Dalam bahasa Arab metode diterjemahkan dengan manhaj atau thariqah dan al-wasilah. Al-thoriqoh berarti jalan, manhaj berarti sistem, dan al-wasilah berarti perantara atau mediator5. Dengan demikian kata Arab yang dekat dengan arti metode adalah al-Thariqah. Dan di dalam bahasa Indonesia metode bermakna cara pandang yang teratur, terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya) atau cara kerja yang tersistem untuk memudahkan suatu kegiatan yang ditentukan. Dan secara leksikal, methode diartikan sebagai way of doing anything6 yaitu suatu cara yang ditempuh untuk mengerjakan sesuatu agar sampai pada suatu tujuan. Ahmad Tafsir memaknai metode dengan arti cara yang paling tepat dan cepat melakukan sesuatu7. Dan menurut Abudin Nata metode pendidikan Islam mempunyai arti antara lain: Pertama jalan untuk menanamkan pengetahuan agama pada diri seseorang sehingga terlihat dalam pribadi objek sasaran , yaitu pribadi yang Islami; Kedua cara untuk memahami, menggali, dan mengembangkan ajaran Islam, sehingga terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Prinsip-prinsip Metode Pendidikan Islam Metode pendidikan Islam dalam penerapanya banyak menyangkut permasalahan individual atau sosial peserta didik dan pendidik itu sendiri, sehingga dalam menggunakan metode seorang pendidik harus memperhatikan dasar-dasar umum metode pendidikan Islam. Sebab metode pendidikan itu hanyalah merupakan sarana atau jalan menuju tujuan pendidikan, sehingga 4M.Arifin,
Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta : Bumi Aksara, edisi I, 1991),hlm., 61; lihat dalam Supiana,M.Ag – M. Karman, M.Ag, Ulumul Quran dan Pengenalan Metode Tafsir, (Cet. I, Pustaka Islamika, Bandung, 2002), hlm.,301 5 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam I, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, Cet. I, 1997), hlm.,92-93 6A.S Hornbay, Oxford Advanced LearnersDictionary of Current English, (tp: Oxford University Press 1963), hlm.,533 7 Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,Cet.VIII, 2004), hlm.9
195
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Metode Pendidikan Islam: M. Kholil Asy’ari
segala jalan yang ditempuh oleh seorang pendidik haruslah mengacu pada dasardasar metode pendidikan secara umum antara lain : Pertama dasar agama.; Kedua biologis; Ketiga dasar psykologis; dan Keempat dasar sosiologis Kemudian menurut M. Arifin ada beberapa metodologis yang dijadikan landasan psikologis yang memperlancar proses pendidikan Islam yang sejalan dengan ajaran Islam. Beberapa prinsip itu antara lain : a. Prinsip Memberikan Suasana Kegembiraan. Prinsip ini dapat dirujuk didalam ayat al-Quran dan Hadits antara lain: Artinya “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan menghendaki kesukaran bagimu” ( QS. Al-Baqarah 2 : 185)
tidak
يسرواواتعسروابشرواواتنفروا
b.
Artinya “ Permudahlah mereka dan jangan mempersulit, gembirakanlah mereka dan jangan berbuat sesuatu yang menyebabkean mereka menjauhi kamu ( Al-Hadits) Prinsip Memberikan Layanan dan Santunan dengan Lemah Lembut. Sebagaimana Firman Allah : Artinya : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadaNya(QS; Al-Imran 3 : 159)
c. Prinsip Kebermaknaan bagi Peserta Didik. Sebagaimana sabda Nabi SAW sebagai berikut : خاطب االناس ىقدرعق ل م Artinya “ Berbicaralah kamu kepada manusia sesuai dengan kadar kemampuan akal pikiran mereka” (al-Hadits ) d. Prinsip Prasyarat Untuk menarik peserta didik dibutuhkan mukadimah dalam langkahlangkah mengajar. Di dalam al-Quran banyak ayat-ayat yang
196
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Metode Pendidikan Islam: M. Kholil Asy’ari
memberikan prasyarat kepada manusia yang menjadi sasarannya dengan menggunakan kata-kata yang mengandung tanbih ( minta) perhatian yang difirmankan pada awal suatu surat misalnya kata : ( Alif laam miim), ( Kaaf Haa Yaa 'Ain Shaad), (Alif laam mim shaad) dan lain sebagainya yang mengandung makna bahwa firman yang hendak disampaikan Allah kepada manusia adalah amat penting karena mengandung permasalahan baru yang harus mereka perhatikan sepenuhnya. e. Prinsip Komunikasi Terbuka Dalam al-quran banyak ayat yang mendorong manusia untuk membuka hati dan pikiranya diantaranya: Artinya : ” Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tandatanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orangorang yang lalai”( QS.Al-A’raf 7 : 179). Artinya : “ Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”.( QS. Al-Isra’ 17: 36) f. Prinsip Pengetahuan Baru Firman Allah yang mendorong manusia untuk menciptakan ilmu-ilmu alam dan biologi dan psikologi antara lain : Artinya : “ Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”.(QS.Al-Fushilat 41 : 53)
197
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Metode Pendidikan Islam: M. Kholil Asy’ari
g. Prinsip Memberikan Model Prilaku Yang Baik Peserta didik akan berprilaku yang baik jika ada keteladanan yang dipraktekkan oleh guru dalam proses belajar mengajar. Hal ini sesuai dengan firman-Nya : Artinya : “ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.”. (QS.AlAhzab 33; 21) Artinya : “ Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia..”.(QS.AlMumtahanah 60 : 4) h. Prinsip Praktek Pengamalan Secara Aktif Firman Allah yang menunjukkan pentingnya mengmalkan pelajaran yang telah dipahami dan hayati antara lain : Artinya : “ Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?; Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”.(QS. As-Shaf 61 : 2-3) i. Prinsip Kasih sayang dan memberikan bimbingan serta penyuluhan Artinya : “ Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.( QS.Al-Anbiya 21 : 107) Dan menurut Tim Departemen Agama bahwa agar kegiatan belajar mengajar dapat berjalan efektif, maka setiap metode harus memiliki prinsipprinsip sebagai berikut : a. Memperhatikan kecenderungan–kecenderungan peserta didik. Prinsip ini memberi landasan bagi guru untuk memberikan kepada peserta didik bahan ajar yang sesuai dengan kapasitas yang mereka miliki yaitu bakat, minat, lingkungan, dan kesiapan , sehingga mereka dapat mengambil manfaat dari proses belajar mengajar. b. Memanfaatkan aktivitas individual para peserta didik. c. Mendidik melalui permainan atau menjadikan permainan sebagai saran pendidikan. d. Menerapkan prinsip kebebasan yang rasional di dalam proses belajar mengajar tanpa membebani para peserta didik dengan berbagai perintah atau larangan yang tidak mereka butuhkan.
198
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Metode Pendidikan Islam: M. Kholil Asy’ari
e. Memberi motivasi kepada para peserta didik untuk berbuat, bukan menekannya, sehingga dapat berbuat dengan rasa senang. f. Mengutamakan dunia anak dalam arti memperhatikan kepentingan mereka dengan mempersiapkan mereka untuk kehidupan di masa depan g. Menciptakan semangat berkooperasi (bekerjasama) antara guru dengan peserta didik, peserta didik dengan peserta didik lainya, dan guru dengan orang tua. h. Memberi motivasi kepada para peserta didik untuk belajar mandiri serta memiliki kepercayaan diri untuk melakukan tugas-tugas belajar dan penelitian. i. Memanfaatkan segala indera peserta didik, sebab pendidikan inderawi merupakan alat menuju pendidikan intelektual.8 Kemudian ketepatan penggunaan metode dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain : Pertama tujuan yang hendak dicapai sebagai tumpuan untuk memberi arah dalam memperhitungkan efektifitas suatu metode; Kedua kondisi peserta didik; Ketiga bahan pengajaran; Keempat situasi belajar mengajar; Kelima fasilitas; Keenam guru; Ketujuh partisipasi; Kedelapan kekuatan dan kelemahan metode. Macam-macam Metode Pendidikan Islam Kalau melihat beberapa prinsip pendidikan Islam yang tergambar di dalam ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan Hadits, maka dapat ditarik banyak metode pendidikan yang tidak bertentangan dengan metode-metode modern yang diciptakan para ahli pendidikan saat ini. Menurut Abudin Nata Al-Qur’an menawarkan berbagai metode pendidikan Islam yaitu Pertama metode teladan. Metode ini dianggap penting karena aspek agama yang terpenting adalah akhlak yang termasuk dalam kawasan afektif yang terwujud dalam bentuk tingkah laku ; Kedua metode kisah-kisah. Kisah atau cerita sebagai suatu metode pendidikan ternyata mempunyai daya tarik yang menyentuh perasaan. Islam menyadari sifat alamiah manusia untuk menyenangi cerita itu, dan menyadari pengaruhnya yang besar terhadap perasaan; Ketiga metode nasehat. Menurut al-Qur’an metode nasehat itu hanya diberikan kepada mereka yang melanggar peraturan dan nasehat itu sasaranya adalah timbulnya kesadaran pada orang yang diberi nasehat agar mau insaf melaksanakan ketentuan hukum atau ajaran yang dibebankan kepadanya; Keempat metode pembiasaan. Metode pembiasaan ini 8
Depag.RI, Metodologi Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 2001), hlm.89-91
199
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Metode Pendidikan Islam: M. Kholil Asy’ari
digunakan untuk mengubah seluruh sifat-sifat baik menjadi kebiasaan, sehingga jiwa dapat menunaikan kebiasaan itu tanpa terlalu payah, tanpa kehilangan banyak tenaga dan tanpa menemukan banyak kesulitan; Kelima metode hukum dan ganjaran. Metode hukuman ini digunakan dalam pendidikan Islam adalah sebagai sarana untuk memperbaiki tingkah laku manusia yang melakukan pelanggaran dan dalam taraf sulit untuk dinasehati sementara ganjaran itu diberikan sebagai hadiah atau penghargaan kepada orang yang melakukan kebaikan atau ketaatan atau berprestasi yang baik; Keenam metode ceramah(khutbah). Metode ceramah termasuk cara yang paling banyak digunakan dalam menyampaikan atau mengajak orang lain mengikuti ajaran yang telah ditentukan; Ketujuh metode diskusi.Metode diskusi digunakan dalam pendidikan Islam adalah untuk mendidik dan mengajar manusia dengan tujuan lebih memantapkan pengertian dan sikap pengetahuan mereka terhadap sesuatu masalah; Kedelapan metode lainya yaitu metode perintah dan larangan, metode pemberian suasana, metode secara kelompok, metode intruksi, metode bimbingan dan penyuluhan, metode perumpamaan, metode taubat dan ampunan dan metode penyajian9. Sementara menurutAhmad Janan Asifuddinmetode pendidikan Islam itu antara lain: Pertama pengajaran yang terdiri dari pengajaran langsung dan pengajaran tidak langsung; Kedua diskusi/musyawarah; Ketiga pemberian tugas; Keempat tuntunan; Kelima pembiasaan; Keenam keteladanan; Ketujuh sosiodrama; Kedelapan targhib dan tarhib; Kesembilanmendidik diri sendiri dengan bertafakur dan bertadabbur10. Selanjutnya menurut M.Alawi al Malik bahwa beberapa metode yang digunakan Rasulullah dalam mengajar, mendidik dan berdakwah anatara lain : Pertama metode bilhikmah, mauidzah hasanah dan mujadalah; Kedua metode bertanya; Ketiga metode penyegaran; Keempat metode mengenal kapasitas; Kelima metode mengalihkan realitas indrawi kepada realitas kejiwaan; Keenam metode peragaan; Ketujuh metode kiasan; Kedelapan metode bertahap; Kesembilan metode mengapresiasi pertanyaan; Kesepuluh mendekatkan realitas abstrak dalam bentuk konkret; Kesebelas metode argumentasi; Keduabelas metode kisah dan cerita; Ketigabelas metode pendekatan
Ibid, Abudin Nata, Filsafat Pendidikan …, hlm.,95 -107 Janan Asifuddin, Kuliah Filsafat pendidikan Islam, disampaikan pada Kamis, 29 November 2007 9
10Ahmad
200
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Metode Pendidikan Islam: M. Kholil Asy’ari
perumpamaan; Keempat belas metode mengarahkan kepada pemikiran yang bernilai tinggi11. Kemudian menurut Jauhari Muchtar metode pendidikan Islam secara garis besar terdiri dari lima yaitu Pertama metode keteladanan; Kedua metode pembiasaan; Ketiga metode nasehat; Keempat metode memberi perhatian; Kelima metode hukuman12. Sementara Ahmad Tafsir13 menawarkan satu metode untuk membuat peserta didik cepat menjadi manusia yang taat beragama yaitu dengan metode internalisasi yaitu cara mendidik peserta didik tidak hanya mengetahui agama namun bagaimana peserta didik menjadi manusia yang taat beragama. Tawaran itu secara filosofi dijelaskan bahwa pembelajaran apa saja memiliki tiga tujuan yaitu Pertama Tahu, mengetahui (knowing) dimana tugas guru adalah mengupayakan agar peserta didik mengetahui, memahami sesuatu konsep; Kedua Mampu melaksanakan atau mengerjakan yang diketahui (doing); Ketiga Peserta didik menjadi orang seperti yang diketahui itu.artinya dia mampu untuk mengamalkan pengetahuan yang dipahami di dalam kehidupanya (being). Dan menurut Abdurahman an-Nahlawi metode pendidikan Islam yang dianggap paling penting dan menonjol adalah Pertama metode dialog qurani dan nabawi; Kedua metode mendidik melalui kisah-kisah qurani dan nabawi; Ketiga metode mendidik melalui perumpamaan qurani dan nabawi; Keempat metode melalui keteladanan; Kelima metode mendidik melalui aplikasi dan pengamalan; Keenam metode melaui ibrah dan nasehat; Ketujuh metode mendidik melalui targhib dan tarhib14. Kemudian E. Mulyasa menjelaskan bahwa metode pembelajaran harus dipilih dan dikembangkan untuk meningkatkan aktivitas dan kreativitas peserta didik. Dan metode yang dapat digunakan oleh guru dalam pembelajaran antara lain : Pertama metode demontrasi; Kedua metode inquiri (menyelidiki); Ketiga metode penemuan; Keempat metode eksperimen; Kelima metode pemecahan masalah; Keenam metode karyawisata; Ketujuh metode perolehan
11Heri Jauhari Muchtar, Fikih Pendidikan, (Bandung : Rosdakarya, Cet. I. 2005), hlm.,230-236 12Ibid. Heri Jauhari Muhtar,…hlm. 18-22 13 Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami Integrasi Jasmani,Ruhani dan Kalbu Memanusiakan manusia, (Bandung: Remaja Rosdakarya,Cet.I, 2006),hlm., 223-224 14 Abdurahman an-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah , sekolah, dan Masyarakat, (Jakarta : Gema Insani PressCet.IV, 2004), hlm., 205
201
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Metode Pendidikan Islam: M. Kholil Asy’ari
konsep; Kedelapan metode penugasan; Kesembilan metode ceramah; Kesepuluh metode tanya jawab; Kesebelas metode diskusi.15 Metode Pendidikan Islam dalam Implementasi Kurikulum 2013 Dari beberapa metode yang dikembangkan oleh para ahli pendidikan diatas, penulis sepakat bahwa untuk menyampaikan materi pendidikan Islam diperlukan berbagai metode yang bervariasi yang disesuaikan dengan materi dan kondisi dari objek didiknya. Lebih–lebih dalam implementasi Kurikulum 201316 yang mengamanatkan bahwa kegiatan pembelajaran merupakan proses pendidikan yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi mereka menjadi kemampuan yang semakin lama semakin meningkat dalam sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan dirinya untuk hidup dan untuk bermasyarakat, berbangsa, serta berkontribusi pada kesejahteraan hidup umat manusia. Oleh karena itu, kegiatan pendidikan diarahkan untuk memberdayakan semua potensi peserta didik menjadi kompetensi yang diharapkan. Lebih lanjut, metode pembelajaran harus diarahkan untuk memfasilitasi pencapaian kompetensi yang telah dirancang dalam dokumen kurikulum agar setiap individu mampu menjadi pembelajar mandiri sepanjang hayat. dan yang pada gilirannya mereka menjadi komponen penting untuk mewujudkan masyarakat belajar. Kualitas lain yang dikembangkan kurikulum dan harus terealisasikan dalam proses pembelajaran antara lain kreativitas, kemandirian, kerja sama, solidaritas, kepemimpinan, empati, toleransi dan kecakapan hidup peserta didik guna membentuk watak serta meningkatkan peradaban dan martabat bangsa. Untuk mencapai kualitas yang telah dirancang dalam dokumen kurikulum, kegiatan pembelajaran perlu menggunakan prinsip yang: Pertama berpusat pada peserta didik; Kedua mengembangkan kreativitas peserta didik; Ketiga menciptakan kondisi menyenangkan dan menantang, bermuatan nilai, etika, estetika, logika, dan kinestetika; Keempat menyediakan pengalaman belajar yang beragam melalui penerapan berbagai strategi dan metode pembelajaran yang menyenangkan, kontekstual, efektif, efisien, dan bermakna. 15
E.Mulyasa, Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, (Bandung : Remaja Rosdakarya,Cet. IV, 2006),hlm.,107-116 16Lampiran IV Permendikbud RI Nomor 81 A Tahun 2013 Tentang Implementasi Kurikulum Pedoman Umum Pembelajaran
202
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Metode Pendidikan Islam: M. Kholil Asy’ari
Di dalam pembelajaran, peserta didik didorong untuk menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan yang sudah ada dalam ingatannya, dan melakukan pengembangan menjadi informasi atau kemampuan yang sesuai dengan lingkungan dan jaman tempat dan waktu ia hidup. Kurikulum 2013 menganut pandangan dasar bahwa pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari guru ke peserta didik. Peserta didik adalah subjek yang memiliki kemampuan untuk secara aktif mencari, mengolah, mengkonstruksi, dan menggunakan pengetahuan. Untuk itu pembelajaran harus berkenaan dengan kesempatan yang diberikan kepada peserta didik untukmengkonstruksi pengetahuan dalam proses kognitifnya. Agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, peserta didik perlu didorong untuk bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, dan berupaya keras mewujudkan ide-idenya. Guru memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan mengembangkan suasana belajar yang memberi kesempatan peserta didik untuk menemukan, menerapkan ide-ide mereka sendiri, menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru mengembangkan kesempatan belajar kepada peserta didik untuk meniti anak tangga yang membawa peserta didik kepemahaman yang lebih tinggi, yang semula dilakukan dengan bantuan guru tetapi semakin lama semakin mandiri. Bagi peserta didik, pembelajaran harus bergeser dari “diberi tahu” menjadi “aktif mencari tahu”. Di dalam pembelajaran, peserta didik mengkonstruksi pengetahuan bagi dirinya. Bagi peserta didik, pengetahuan yang dimilikinya bersifat dinamis, berkembang dari sederhana menuju kompleks, dari ruang lingkup dirinya dan di sekitarnya menuju ruang lingkup yang lebih luas, dan dari yang bersifat konkrit menuju abstrak. Sebagai manusia yang sedang berkembang, peserta didik telah, sedang, dan/atau akan mengalami empat tahap perkembangan intelektual, yakni sensori motor, pra-operasional, operasional konkrit, dan operasional formal. Secara umum jenjang pertama terjadi sebelum seseorang memasuki usia sekolah, jejang kedua dan ketiga dimulai ketika seseorang menjadi peserta didik di jenjang pendidikan dasar, sedangkan jenjang keempat dimulai sejak tahun kelima dan keenam sekolah dasar. Proses pembelajaran terjadi secara internal pada diri peserta didik.Proses tersebut mungkin saja terjadi akibat dari stimulus luar yang diberikan guru, teman,lingkungan. Proses tersebut mungkin pula terjadi akibat dari stimulus dalam diri peserta didik yang terutama disebabkan oleh rasa ingin tahu. Proses pembelajaran dapat pula terjadi sebagai gabungan dari stimulus luar dan dalam.
203
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Metode Pendidikan Islam: M. Kholil Asy’ari
Dalam proses pembelajaran, guru perlu mengembangkan kedua stimulus pada diri setiap peserta didik. Di dalam pembelajaran, peserta didik difasilitasi untuk terlibat secara aktif mengembangkan potensi dirinya menjadi kompetensi. Guru menyediakan pengalaman belajar bagi peserta didik untuk melakukan berbagai kegiatan yang memungkinkan mereka mengembangkan potensi yang dimiliki mereka menjadi kompetensi yang ditetapkan dalam dokumen kurikulum atau lebih. Pengalaman belajar tersebut semakin lama semakin meningkat menjadi kebiasaan belajar mandiri dan ajeg sebagai salah satu dasar untuk belajar sepanjang hayat. Dalam suatu kegiatan belajar dapat terjadi pengembangan sikap, pengetahuan, dan keterampilan dalam kombinasi dan penekanan yang bervariasi. Setiap kegiatan belajar memiliki kombinasi dan penekanan yang berbeda dari kegiatan belajar lain tergantung dari sifat muatan yang dipelajari. Meskipun demikian, pengetahuan selalu menjadi unsur penggerak untuk pengembangan kemampuan lain. Kesimpulan Dari paparan diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam pendidikan Islam masalah metode mendapatkan perhatian yang sangat besar. Al-quran dan alHadits sebagai sumber ajaran Islam berisi prinsip-prinsip dan petunjuk-petunjuk yang dapat dipahami dan diinterpretasikan menjadi konsep-konsep tentang metode. Selanjutnya tidak ada suatu metode yang lebih baik daripada metode yang lain. Setiap metode mempunyai kelebihan dan kekurangan. Ada metode yang tepat digunakan terhadap peserta didik dalam jumlah besar; ada pula yang tepat digunakan untuk peserta didik jumlah kecil; ada yang tepat digunakan di dalam kelas dan ada juga yang tepat digunakan di luar kelas. Kadang-kadang guru tampil mengajar lebih baik menggunakan metode ceramah disbanding dengan memberi kebebasan bekerja kepada peserta didik. Kadang-kadang bahan pelajaran lebih baik disampaikan dengan kombinasi beberapa metode ketimbang dengan hanya satu metode. Sehingga tugas guru dalam implementasi kurikulum 2013 adalah memilih metode yang tepat untuk digunakan dalam menciptakan proses belajar mengajar yang menghasilkan out put yang memiliki sikap spiritual, sosial, pengetahuan dan ketrampilan secara utuh sebagai bekal bagi peserta didik untuk menjalani hidup yang bermartabat di dunia dan kelak di akherat
204
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Metode Pendidikan Islam: M. Kholil Asy’ari
DAFTAR PUSTAKA Endah Poerwati, Loeloek, Panduan memahami Kurikulum 2013 sebuah Inovasi Struktur Kurikulum Penunjang Masa depan,( Jakarta : Prestasi pustaka, Cetakan Pertama, 2013) Lampiran IV Permendikbud RI Nomor 81 A Tahun 2013 Tentang Implementasi Kurikulum Pedoman Umum Pembelajaran,( Jakarta: 27 Juni 2013) Sucipto, 10 Windu Prof. Dr.H.A.R.Tilaar,M.Sc,Ed Pendidikan Nasional : Arah Ke Mana, ( Jakarta : Kompas Media Nusantara, Juni 2012) An-Nahlawi, Abdurahman, Pendidikan Islam di Rumah , sekolah, dan Masyarakat, (Jakarta : Gema Insani PressCet.IV, 2004) Arifin, M., Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta : Bumi Aksara, edisi I, 1991) Arifin, M., Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996) Depag.RI, Metodologi Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 2001) Hornbay, A.S, Oxford Advanced LearnersDictionary of Current English, (tp: Oxford University Press 1963) Langgulung, Hasan Pendidikan Islam dalam Abad ke 21, (Jakarta : Pustaka alHusna, Cet.III. 2003) Jauhari Muchtar , Heri, Fikih Pendidikan, (Bandung : Rosdakarya, Cet. I. 2005) Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, Omar, Falsafah Tarbiyah al-Islamiyah yang diterjemahkan oleh Hasan Langgulung dengsn judul Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, Cet.I, 1979) Nata, Abudin, Filsafat Pendidikan Islam I, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, Cet. I, 1997) Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, Cet IV. 2005) Suhartono, Suparlan, Filsafat Pendidikan,(Yogyakarta: Ar-Ruzz, Cet. I, 2006) Tafsir, Ahmad, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,Cet.VIII, 2004) Tafsir, Ahmad, Filsafat Pendidikan Islami Integrasi Jasmani,Ruhani dan Kalbu Memanusiakan manusia, (Bandung: Remaja Rosdakarya,Cet.I, 2006)
205
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Pengaruh Kepemimpinan Visioner Kepala Raudhatul Athfal dan Budaya Organisasi terhadap Disiplin Kerja Guru : Supardi
PENGARUH KEPEMIMPINAN VISIONER KEPALA RAUDAHTUL ATHFAL DAN BUDAYA ORGANISASI TERHADAP DISIPLIN KERJA GURU RAUDAHTUL ATHFAL KECAMATAN CILEDUG KOTA TANGERANG Supardi Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN “SMH” Banten
[email protected] Abstrak. Penelitan ini bertujuan untuk: menganalisis pengaruh kepemimpinan visioner kepala raudhatul athfhal dan budaya organisasi sekolah terhadap disiplin kerja guru raudhatul athfal. Penelitian ini dilakukan dengan metode survei. Populasi penelitian sebanyak 129 orang. Sampel penelitian berjumlah 60 orang guru secara random sampling. Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh positif dan signifikan kepemimpinan visioner kepala raudhatul athfhal dan budaya organisasi terhadap disiplin kerja guru. Pengaruh kepemimpinan visioner kepala raudhatul athfal terhadap disiplin kerja guru sebesar 40,13%. Pengaruh budaya organisasi sekolah terhadap disiplin kerja guru sebesar 30,91%. Pengaruh kepemimpinan visioner kepala raudhatul athfhal terhadap budaya organisasi 12,67%. Pengaruh kepemimpinan visioner kepala raudhatul athfal terhadap budaya organisasi sekolah sebesar 21,25%. Hasil penelitian diharapkan berguna untuk meningkatkan disiplin kerja guru melalui kepemimpinan visioner kepala raudhatul athfal disertai dengan budaya organisasi sekolah. Kata kunci: displin, kepemimpinan visioner, budaya organisasi.
Abstract. The objective of this research: first, was to descriptive the level of visionary leadership of principal, culture of organization school and teacher discipline. Second, ) to analyze the effect visionary leadership of principal, organization of school culture to teacher discipline. Research method was survey with correlation analyze. The total population are 129 people. The sampling method used simple random sampling with 60 teachers as respondents. The results of study show that: There is positive and significant influence visionary leadership of principal and organizational culture to teacher disciplin. The influence of visionary leadership of principal to teacher discipline 30,91 %. The influence of culture of organization school to teacher discipline 12,67%.; The influence visionary leadership of principal to teacher discipline 21,25%. This result of research expected beneficent to increase teacher discipline to pass through visionary leadership of principal that espoused by culture of organization school. Keyword: Discipline, Visionary leaderhsip, culture organization
206
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Pengaruh Kepemimpinan Visioner Kepala Raudhatul Athfal dan Budaya Organisasi terhadap Disiplin Kerja Guru : Supardi
PENDAHULUAN Disiplin guru mutlak diperlukan, agar guru semakin berkualitas, berdaya saing tinggi dan mampu menghadapi era globalisasi. Untuk terwujudnya disiplin kerja guru pada raudhathul athfal, maka kepala raudhatul athfal harus dapat memberikan motivasi kepada guru agar dapat menjalankan segala aturan yang diberlakukan tentang guru. Strategi struktural dan strategi budya diperlukan dalam meningkatkan mutu lembaga pendidikan. Strategi struktural dilakukan pemerintah antara lain melalui berbagai latihan dan peningkatan kompetensi kepala sekolah. Strategi struktural terhadap kepala sekolah dilakukan dengan peningkatkan kemampuan kepemimpinan visioner kepala sekolah. Kepala sekolah perlu mengembangkan kepemimpinan visioner dalam menjalankan kepemimpinannya di sekolah. Stratetgi budaya dapat dilakukan dengan menciptakan budaya sekolah yang kondusip bagi terlaksananya kegiatan pembelajaran pada Raudhathul Athfal. Budaya organisasi sekolah akan dapat menjelaskan bagaimana sekolah berfungsi, seperti apakah mekanisme internal sekolah yang terjadi, karena para warga sekolah masuk ke sekolah dengan bekal budaya yang mereka miliki, sebagian bersifat positip, yaitu yang mendukung peningkatan kualitas pembelajaran. Namun ada yang negatip, yaitu yang menghambat usaha peningkatan kualitas pembelajaran. Sekolah harus berusaha memperkuat budaya yang positip dan menghilangkan budaya yang negatip. Mutu lembaga pendidikan Raudhatul Athfal masih perlu ditingtkatan. Karena masih didapati guru pada lembaga pendidikan raudhathul athfal belum melaksanakan kompetensi-kompetensi profesional. Salah satu indikasinya adalah masih di dapati guru-guru yang kurang berdisiplin dalam melaksanakan tugas mendidik dan mengajar di sekolah. Seperti diungkapkan Mahmudah (2013) bahwa masih ditemukan guru datang ke sekolah tidak tepat waktu. Pendapat ini diperkuat oleh pendapat Suratno (2013) yang mengatakan bahwa, beberapa “penyakit” guru yang akhirnya menjadi kebiasaan adalah kurang disiplin, masa bodoh, lemah inovasi, tidak terampil mengoperasikan komputer, lemah terhadap perkembangan siswa, dan pola mengajar yang konvensional. Indikasi guru tidak disiplin juga dikeluhkan oleh Muhammad Syahid kepala Dinas Pendidikan Daerah Sampang (Pelita, Mei: 2007) menghimbau agar guru lebih profesional dalam memberikan cara pendidikan kepada pelajar untuk menghindari indisiplinear. Raudhatul athfal Kecamatan Ciledug Kota Tangerang dipimpin oleh mayoritas kepala sekolah dengan jenis kelamin perempauan disbandingkan
207
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Pengaruh Kepemimpinan Visioner Kepala Raudhatul Athfal dan Budaya Organisasi terhadap Disiplin Kerja Guru : Supardi
kepala sekolah berjenis kelamin laki-laki. Memiliki pengalaman kerja antara 5 hingga 20 tahun masa kerja. Dan keseluruhan telah menyelesaikan jenjang pendidikan S-1. Namun demikian kepemimpinan kepala sekolah belum mampu menciptakan, mengkondisikan dan mewariskan budaya sekolah yang ideal. Karena masih didapati di sekolah nilai-nilai, norma-norma serta sikap dan prilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai ke-Indonesiaan, kearifan lokal, nilainilai hukum, serta nilai-nilai agama. Penelitian ini bertujuan menganalisis secara jalur pengaruh kepemimpinan visioner kepala RA dan budaya organisasi terhadap disiplin kerja guru. Sehingga rumuasan masalahnya adalah apakah terdapat pengaruh kepemimpinan visioner kepala RA dan budaya organisasi KERANGKA TEORTIK Disiplin Kerja Model disiplin kerja yang dijadikan sandaran model dari praktisi dan ilmuan sumber daya manusia Riva’i (2005) yang mengemukan tiga model disiplin. Tiga model pendekatan disiplin yang dikembangkan yaitu: aturan tungku panas (hot stove rule), tindakan disiplin progresif, dan tindakan disiplin positif. Menurut pendekatan tungku panas, tindakan disipliner haruslah memiliki analog dengan menyentuh sebuah tungku panas yaitu: membakar dengan segera, memberi peringatan, memberikan hukuman yang konsisten, membakar tanpa perbedaan. Tindakan disiplin progresif adalah memastikan bahwa terdapat hukuman minimal yang tepat terhadap tiap pelanggaran. Tindakan disiplin positif yaitu mendorong pegawai memantau perilaku-perilaku mereka sendiri dan memikul tanggungjawab berdasarkan akibat-akibat dari tindakan-tindakan mereka. Kepemimpinan Visioner Kepemimpinan visioner yang dijadikan sandaran dalam penelitian ini adalah mengacu kepada Pemimipin visioner setidaknya harus memiliki empat kompetensi kunci sebagaimana dikemukakan oleh Nanus (1992) dalam Suhar (2000), yaitu: kemampuan berkomunikasi; memahami lingkungan luar dan kemampuan berkreasi, peran penting dalam membentuk dan mempengaruhi praktek organisasi, prosedur, produk dan jasa; serta mengembangkan ceruk untuk mengantisipasi masa depan. Organiasisi membutuhkan pemimpin untuk menghasilkan petnjuk, encouragement, dan motivasi. Pemahaman terhadap lingkungan luar dan memiliki kemampuan bereaksi secara tepat atas segala ancaman dan peluang. Memliliki
208
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Pengaruh Kepemimpinan Visioner Kepala Raudhatul Athfal dan Budaya Organisasi terhadap Disiplin Kerja Guru : Supardi
kemampuan membina hubungan dengan orang-orang kunci di luar organisasi seperti investor, dan pelanggan. Seorang pemimpin terlibat dalam organisasi menghasilkan dan mempertahankan kesempurnaan pelayanan, sejalan dengan mempersiapkan dan memandu jalan organisasi ke masa depan. Ceruk ini merupakan sebuah kemampuan mengumpulkan dan memanfaatkan data untuk mengakses kebutuhan masa depan konsumen, teknologi, dan lain sebagainya. Kemampuan untuk mengatur sumber daya organisasi guna memperiapkan diri menghadapi kemunculan kebutuhan dan perubahan ini. Pandangan lainnya adalah Covey (1997) tentang pemimpin yang berprinsip, dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1) a. Selalu belajar (terus menerus), 2) Berorientasi pada pelayanan, 3) Memancarkan energy positif, 4) Mempercayai orang lain, 5) Hidup seimbang, 6) Melihat hidup sebagai petualangan, 7) Sinergistik, 8) Selalu berlatih untuk memperbaharui diri agar mampu mencapai prestasi yang tinggi. Budaya Organisasi Teori budaya organisasi yang melandasi penelitian ini adalah teori lingkungan Tagiuri, menurut teori lingkungan iklim yang berada di sekolah terbagi atas 4 dimensi, yakni: “(1) ekologi, (2) miliu, (3) sistem sosial, dan (4) budaya (Owens, 1991). Ekologi/Fisik: Ini merujuk kepada aspek fisik dan material sebagai faktor budaya madrasah (input) contohnya: ukuran, umur, reka bentuk, sarana prasarana, kondisi bangunan, teknologi yang digunakan oleh anggota dalam organisasi, kursi dan meja, papan tulis dan lain-lain sarana prasarana dalam aktivitas organisasi. Miliu/aspek sosial: Ini merujuk kepada dimensi sosial dalam organisasi (proses) contohnya apa dan siapa mereka dalam organisasi madrasah yaitu dari segi bangsa, etnis, gaji guru, sosioekonomi peserta didik, tingkat pendidikan guru, moral dan motivasi orang dewasa (ibu bapak, keluarga, tahap kepuasan kerja, dan peserta didik yang berada di madrasah tersebut). Sistem Sosial dalam Organisasi: Ini menunjuk kepada aspek struktur administrasi, bagaimana cara membuat keputusan, pola komunikasi di kalangan anggota organisasi. Budaya sekolah: Ini merujuk kepada nilai, sistem kepercayaan, norma dan cara berpikir anggota dalam organisasi, serta budaya ilmuModel budaya organisasi mengacu kepada model Taiguri (1998). Model Tugiuri bila digambarkan dalam bentuk gambar sebagai berikut:
209
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Pengaruh Kepemimpinan Visioner Kepala Raudhatul Athfal dan Budaya Organisasi terhadap Disiplin Kerja Guru : Supardi
Ecology: Umur bangunan Size bangunan Reka bentuk bangunan Peralatan dan Perabut Kondisi bangunan Kemudahan (Facilities)
Milieu: Bangsa Ethnik Kelayakan guru Kemahiran Kepimpinan pengetua Kepuasan kerja Moral Motivasi Nilai Perasaan Saiz kumpulan Sosio ekonomi pelajar Status
Sisteni Sosial: Struktur pentadbiran Pemantauan (Supervision) Pentadbiran Perkhidmatan sokongan Perkhidmatan personal pelajar Praktik membuat keputusan Paten komunikasi Mekanis kawalan Paten hiraki Perancangan Struktur formal
Budaya Sekolah: Psikososial: Nilai Norma Pemikiran Sistem kepercayaan Sejarah Hero/heroines Metos Ritual Artifak Kesenian Tingkah laku visibel
Gambar 2.1 Budaya Sekolah Model Lingkungan Sumber: Adaptasi dari Tugiuri (1998) METODLOLGI PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantiatif. Penelitian ini menggunakan metode lapangan (field research), dengan melakukan survey. Berdasarkan tingkat eksplanasinya penelitian ini bersifat deskriptif serta asosiatif melalui pendekatan path analysis (analisis jalur), dimana analisis jalur adalah melihat pengaruh dari matrik korelasi. Variabel-variabel yang terdapat dalam penelitian ini mencakup: Variabel bebas atau variabel eksogen dan variabel terikat yang sering disebut variabel endogen. Dalam penelitian ini variabel bebas adalah kepemimpinan visioner kepala raudhatul athfal (X1), dan budaya organisasi sekolah (X2), sedangkan variabel terikat adalah disiplin kerja guru (X3). Penelitian ini di lakukan pada Raudhatul Athfal Kecamatan Ciledug Kota Tangerang Provinsi Banten dari Bulan Agustus sampai dengan Bulan November 2013. Penelitian diawali dengan studi pendahuluan, penyusunan proposal, penyusunan isntrumen, ujicoba instrumen, penjaringan data tabulasi dan anlisis data, penyusunan laporan dan diakhiri dengan publikasi laporan penelitian. Populasi penelitian ini adalah seluruh Guru Raudhatul Kecamatan Ciledug Kota Tangerang berjumlah 97 orang. Berdasarkan pendapat Slovin, dari jumlah populasi pada obyek yang akan diteliti, maka jumlah sampel pada penelitian ini
210
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Pengaruh Kepemimpinan Visioner Kepala Raudhatul Athfal dan Budaya Organisasi terhadap Disiplin Kerja Guru : Supardi
ditentukan dengan margin kesalahan 0,95% sehingga didapatkan sampel sebesar 60 orang dari jumlah populasi 129 orang. Dimensi dan indikatornya instrumen disiplin kerja guru: (1) penggunaan waktu secara efektif, (a) ketepatan waktu, (b) penghematan waktu; (2) ketaatan terhadap peraturan yang telah ditetapkan (a) ketaatan terhadap jam kerja, (b) ketaatan terhadap pimpinan, (c) ketaatan terhadap prosedur dan metode kerja; (3). tanggung jawab dalam pekerjaan dan tugas, (a) melakukan pekerjaan sesuai rencana, (b) mengevaluasi hasil pekerjaan, (c) keberanian mengambil resiko. Instrumen disiplin kerja guru sebelum diujiciobakan berjumlah 30 butir dan setelah diujicobakan menjadi 27 butir, karena 3 butir instrumen tidak valid dan didrop. Butir drop adalah butir 4, 16 dan 22. Nilai reliabilitas sebesar rhitung 0,949 melebihi dari nilai rkritis 0,3 Ini menunjukkan reliabilitas instrumen disiplin kerja guru tinggi. Instrumen kepemimpinan visioner kepala RA dengn dimensi dan indikator: (1) penciptaan visi, (a) merumuskan visi secara team work, (b) merumuskam srategi pencapaian visi, (c) membuat konsesnsus untuk mencapai visi; (2) perumusan visi, (a) shared vision, (b) difusi visi; (3) transformasi visi, (a) penentu arah, (4) dimensi implementasi visi. Instrumen variabel kepemimpinan visioner kepala RA sebelum diujiciobakan berjumlah 30 butir dan setelah diujicobakan menjadi 27 butir, karena 3 butir instrumen tidak valid dan didrop yaitu butir 7, 16 dan 20. Nilai reliabilitas rhitung sebesar 0,954 melebihi dari nilai rkritis 0,3. Ini menunjukkan reliabilitas instrumen kepemimpinan visioner tinggi. Dimensi dan indikator budaya organisasi: (1) kolaborasi, (a) musyawarah, (b) kerjasama, (c) saling mengingatkan; (2) visi bersama, (a) pemahaman, (b) implementasi, (c) pengembangan; dan (3) nilai-nilai profesional, (a) kebanggaan sebagai pendidik, (b) penguasaan kompetensi, dan (c) pengembangan siswa; (4) semangat setiakawan, (a) saling memberi dukungan, (b) membina hubungan positif, (c) saling membantu memecahkan masalah kawan; (5) Nilai-nilia sekolah; (a) keunggulan, (b) prestasi, (c) kedisiplinan, (d) keakraban. Instrumen variabel budaya organisasi sebelum diujiciobakan berjumlah 30 butir dan setelah diujicobakan menjadi 26 butir, karena 4 butir instrumen tidak valid dan didrop. Adapun butir-butir instrumen drop adalah butir 3, 9, 15 dan 20. Nilai reliabilitas sebesar rhitung = 0,927 melebihi dari nilai rkritis 0,3. Ini menunjukkan reliabilitas instrumen disiplin kerja guru tinggi.
211
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Pengaruh Kepemimpinan Visioner Kepala Raudhatul Athfal dan Budaya Organisasi terhadap Disiplin Kerja Guru : Supardi
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Uji Persyatan Analisis Uji normlitas diperoleh Lo-hitung (X1) = 0,0776 nilai tersebut lebih kecil dari L-tabel (n = 60, α = 0,05) = 0,1118, jadi Lo-hitung = 0,0776 < Lo-tabel = 0,1118 sehingga Ho diterima, yang berarti galat baku taksiranŶx3 = 43,577 + 21,956X1 berdistribusi normal. Dengan demikian disitribusi data sampel kepemimpinan visioner kepala RA terhadap disiplin kerja guru berdistribusi normal. Uji normalitas diperoleh Lo-hitung diambil yang tertinggi. Dalam perhitungan diperoleh Lo-hitungbudaya organisasi sekolah (X2) = 0,0606 nilai tersebut lebih kecil dari L-tabel (n = 60, α = 0,05) = 0,1118, jadi Lo-hitung = 0,0606 < Lo-tabel = 0,1118 sehingga Ho diterima, yang berarti galat baku taksiran Ŷx3 = 53,396 + 0,1814X2 berdisribusi normal. Dengan demikian disitribusi data sampel budaya organisasi sekolah terhadap disiplin kerja guru berdistribusi normal. Uji normalitas diperoleh Lo-hitungbudaya organisasi sekolah (X2) = 0,0737 nilai tersebut lebih kecil dari L-tabel (n = 60, α = 0,05) = 0,1118, jadi Lo-hitung = 0,0737 < Lo-tabel = 0,1118 sehingga Ho diterima, yang berarti galat baku taksiran Ŷx1 = 31,150 + 0,4573X2 berdisrtibusi normal. Dengan demikian disitribusi data sampel kepemimpinan visioner kepala RA terhadap budaya organisasi sekolah berdistribusi normal. Hasil pengujian Fkritis kelinieran didapati persamaanregresi F (α = 0,01)(40:18) = 2,07 dan F (α = 0,05)(40:18) = 2,83. Setelah dikonsultasikan dengan Fkritis, ternyata Fhitung< dari F (α = 0,05)(40:18) = 0,261 < F (α = 0,01)(40:18) = 2,07 dan F (α = 0,05)(40:18) = 2,83, berarti Ho:py1 = 0 ditolak, dan H1: py1 0 diterima, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa persamaan regresi kepemimpinan visioner kepala RA (X 1) atas disiplin kerja guru X3 tersebut sangat berarti atau sangat linier. Hasil pengujian Fkritis kelinieran persamaan regresi F (α = 0,01)(38:20) = 1,99 dan F (α = 0,05)(38:20) = 2,69. Setelah dikonsultasikan dengan Fkritis, ternyata Fkritis ternyata F-hitung< dari F (α = 0,05)(38:20) = 0,313 < F (α = 0,01)(38:20) = 1,99 dan F (α = 0,05)(38:20) = 2,69, berarti Ho:py1 = 0 ditolak, dan H1: py1 0 diterima, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa persamaan regresi budaya organisasi sekolah (X2) atas disiplin kerja guru (X3) tersebut sangat berarti atau sangat linier. Hasil pengujian Fkritis kelinieran persamaanregresi F (α = 0,01)(40:18) = 2,07 dan F (α = 0,05)(40:18) = 2,84. Setelah dikonsultasikan dengan Fkritis, ternyata Fkritis ternyata F-hitung< dari F (α = 0,05)(40:18) = 0,151 < F (α = 0,01)(40:18) = 2,07 dan F (α = 0,05)(16:42) = 2,83, berarti Ho:py1 = 0 ditolak, dan H1: py1 0 diterima, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa persamaan regresi kepemimpinan visioner
212
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Pengaruh Kepemimpinan Visioner Kepala Raudhatul Athfal dan Budaya Organisasi terhadap Disiplin Kerja Guru : Supardi
kepala RA (X1) atas budaya organisasi sekolah (X2) tersebut sangat berarti atau sangat linier. Uji Hipotesis Pengaruh kepemimpinan visioner kepala RA terhadap disiplin kerja guru, pengaruh budaya organisasi sekolah terhadap disiplin kerja guru, dan pengaruh kepemimpinan visioner kepala RA terhadap budaya organisasi sekolah menggunakan analisis jalur dilakukan dengan matrik korelasi seperti pada Tabel 4.1 di bawah ini: Tabel 4.1 Matrik Korelasi Koefisien Jalur Antara Kepemimpinan Visioner Kepala RA (X1) dengan Budaya Organisasi Sekolah (X2), Kepemimpinan Visioner Kepa RA (X1) dengan Disiplin Kerja Guur (X3) dan Budaya Organisasi Sekolah (X2) dengan Disiplin Kerja Guru (X3) X1 X2
X1
X2
X3
1
0.461
0.556
1
0.356
X3
1 Dari persamaan matrik korelasi koefisien jalur 1 dan persamaan matrik korelasi koefisien jalur 2 diperoleh: 0.556 = p13 + r12p23............................................persamaan 1 0.356 = p33 + r21p13.............................................persamaan 2 0.556 = p13 + 0.461p23....................................... persamaan 1 0.356 = 0.461p13 + p23........................................persamaan 2 Dari persamaan matrik koefisien korelasi analisis jalur tersebut diperoleh koefisien jalur kepemimpinan visioner kepala RA (X1) terhadap disiplin kerja guru (X3) p13 = 0.497 dan budaya organisasi sekolah (X2) terhadap disiplin kerja guru (X3) p23 = 0.127, sedangkan dari hasil perhitungan sebelumnya koefisien jalur antara kepemimpinan visioner kepala RA (X1) terhadap budaya organisasi sekolah (X2), p12 = 0.461. Ternyata pada tingkat taraf signifikansi α = 0,05, koefisien jalur kepemimpinan visioner kepala RA (X1) terhadap disiplin kerja guru (X3), p12 = 0.497 > 0,005, yang berarti koefisien jalur antara kepemimpinan visioner kepala RA terhadap disiplin kerja guru signifikan. Koefisen jalur yang signifikan berarti menerima hipotesis alternatif yang menyatakan terdapat pengaruh 213
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Pengaruh Kepemimpinan Visioner Kepala Raudhatul Athfal dan Budaya Organisasi terhadap Disiplin Kerja Guru : Supardi
kepemimpinan visioner kepala RA terhadap disiplin kerja guru diterima. Pada tingkat taraf signifikansi α = 0,05, koefisien jalur budaya organisasi sekolah (X2) terhadap disiplin kerja guru (X3) p23 = 0.127 > 0,005, yang berarti koefisien jalur antara budaya organisasi sekolah terhadap disiplin kerja guru signifikan. Koefisien jalur yang signifikan berarti hipotesis alternatif 2 yang menyatakan terdapat pengaruh budaya organisasi sekolah terhadap disiplin kerja guru diterima. Dan pada tingkat taraf signifikansi α = 0,05, koefisien jalur kepemimpinan visioner kepala RA (X1) terhadap budaya organisasasi sekolah (X2) sebesar p13 = 0.461 > 0,005, yang berarti koefisien jalur antara profesionalisme guru terhadap iklim kerja signifikan. Koefisien jalur yang signifikan berarti hipotesis alternatif 3 terbukti yang menyatakan terdapat pengaruh positif dan signifikan kepemimpinan visioner kepala RA terahadap budaya organisasi sekolah diterima. Berdasarkan seluruh analisis koefisein jalur di atas signifikan, maka dapat diperoleh model akhir konstelasi analisis jalur, sebagai berikut: r13 = 0,556 p13 = 0,497
X1
r12 = 0,461 p12 = 0,461
X3
r23 = 0,356 p23 = 0,127
X2
Gambar
X1 = X2 = X3 = r12 =
4.1 Model Akhir r13 Konstelasi Analisis = Jalur r23 = p12 = p13 =
Kepemimpinan Visioner kepala RA Budaya Organisasi Sekolah Disiplin kerja Guru Koefisien korelasi antara kepemimpinan visioner kepala RA dengan budaya organisasi sekolah Koefisien korelasi antara kepemimpinan visioner kepala RA dengan disiplin kerja guru Koefisien korelasi antara budaya organisasi sekolah dengan disiplin kerja kerja guru Koefisien jalur antara kepemimpinan visioner kepala RA dengann disiplin kerjaguru Koefisien jalur antara kepemimimpinan visioner kepaqla RA dengann dsiplin kerja guru kerja guru Koefisien jalur budaya organisasi sekolah dengan disiplin kerja kerja guru
p23 =
Temuan
penelitian
ini
menginformasikan 214
adanya
pengaruh
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Pengaruh Kepemimpinan Visioner Kepala Raudhatul Athfal dan Budaya Organisasi terhadap Disiplin Kerja Guru : Supardi
kepemimpinan visioner kepala RA terhadap disiplin kerja guru. Hasil temuan pengaruh kepemimpinan visioner kepala RA terhadap disiplin kerja guru cukup besar dan signifikan p13 = 0.497 yang lebih besar dari ptabel 0,05, pengaruh besar tersebut karena kepemimpinan visioner kepala RA berperan dalam menumbuhkan dalam diri guru untuk melaksanakan dan menegakkan disiplin kerja. Guru melaksanakan disiplin kerja dalam pekerjaan sebagai pendidik, pengajar dan pembimibng di kelas. Oleh karena itu kepemimpinan visioner kepala RA merupakan salah satu komponen penting dalam meningkatkan disiplin kerja guru. Disiplin kerja guru dipengaruhi kepemimpinan visioner kepala RA mendukung hasil penelitian Nina (2010) yang mendapati terdapat pengaruh gaya kepemimpinan transformasional terhadap disiplin kerja guru. Pengaruh gaya kepemimpinan terhadap disiplin kerja pegawai pada Dinas Pertanian Lebak Banten berdasarkan perhitungan korelasi Rank Spearman sebesar 0,699 berarti antara variabel gaya kepemimpinan (X) dengan disiplin kerja (Y) mempunyai hubungan yang kuat. Dari hasil perhitungan koefisien determinasi gaya kepemimpinan berpengaruh sebesar 48,86% dan sisanya 51,14% dipengaruhi oleh variabel yang tidak diteliti oleh penulis. Penelitian ini juga mendukung penelitian Rihandi (2012) yang menunjukkan ada pengaruh yang positif dan signifikan antara kepemimpinan terhadap disiplin kerja Karyawan di PT. SAC Nusantara Medan, Kontribusi pengaruh kepemimpinan terhadap disiplin Kerja sebesar 89,30% sedangkan sisanya sebesar 10,70% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Pengaruh Kepemimpinan Terhadap Disiplin Kerja Karyawan di PT. SAC Nusantara Medan. Dari hasil penelitian di PT. SAC Nusantara Medan dapat ditarik kesimpulan bahwa Karyawan di PT. SAC Nusantara Medan dalam meningkatkan disiplin kerja pegawai dipengaruhi penerapan kepemimpinan yang sesuai dan yang diinginkan pegawai. Penelitian ini juga mendukung hasil penelitian Gultom (2013) yang mendapati terdapat kontribusi positif dan signifikan kepemimpinan kepala sekolah terhadap disiplin kerja guru sebesar 44,5% di SMA Negeri 1 Sei Bamban, Kabupaten Serdang Beda Domgai T.P 2012/2013. Berkaitan dengan kemampuan pemimpin mempengaruhi bawahan hasil penelitian Reja (2010) menunjukkan bahwa pimpinan perusahaan dapat mempengaruhi cara pandang karyawan untuk menyelesaikan masalah pekerjaan. Hasil ini ditunjukkan oleh 65,2% jawaban setuju. Tercapai tidaknya tujuan organisasi sangat tergantung pada pimpinan
215
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Pengaruh Kepemimpinan Visioner Kepala Raudhatul Athfal dan Budaya Organisasi terhadap Disiplin Kerja Guru : Supardi
sebagai faktor penggerak dalam membimbing, mengarahkan dan meningkatkan semangat dan disiplin pegawai dalam satu unit kerja baik melalui penerapan tata tertib organisasi maupun keteladanan yang dapat dijadikan panutan para bawahannya. Disinilah pentingnya peranan seorang pemimpin organisasi untuk mempelajari dan mengetahui sejauh mana peranannya dalam mempengaruhi dan meningkatkan disiplin kerja pegawai guna mencapai tujuan yang efektif dan efisien. Visi pendidikan mempengaruhi kinerja pendidikan. Visi sekolah mempengaruhi kinerja sekolah. Visi menjadi trigger semangat meraih kemenangan pendidikan. Visi dapat mengisi kehampaan, membangkitkan semangat, menimbulkan kinerja, bahkan mewujudkan prestasi sekolah, apalagi ditengah-tengah tuntutan kemandirian berpikir dan bertindak. Kepemimpinan kepala sekolah yang visioner pada akhirnya menunjukkan kepemimpinan efektif dan berkualitas. Karakteristik pemimpin (kepala sekolah) yang berkualitas antara lain: 1. Memiliki integritas pribadi 2. Memiliki antusiasme terhadap perkembangan lembaga (sekolah) yang dipimpinnya 3. Mengembangkan kehangatan, budaya, dan iklim organisasi (sekolah) 4. Tegas dan adil dalam mengambil tindakan/kebijakan kelembagaan (sekolah).(Komariah & Triatna, 2006) Penelitian mendapati budaya organisasi sekolah berpengaruh cukup signifikan terhadap disiplin kerja guru p23 = 0.127 yang lebih besar dari p tabel 0,05, hal ini menunjukkan bahwa budaya organisasi sekolah memiliki kekuatan yang signifikan terhadap disiplin kerja guru. Banyak hal yang dapat diperoleh dari budaya organisasi sekolah, dengan budaya organisasi sekolah yang baik memotivasi guru untuk melaksanakan tugas pendidikan dan pengajaran di sekolah denagan baik. Dengan dukungan budaya organisasi sekolah mengarahkan guru berdisiplin secara pribadi maupun organisasi. Suatu organisasi membutuhkan budaya yang kuat untuk mencapai keberhasilan. Bila dalam suatu organisasi sudah terdapat nilai-nilai yang dianut bersama, maka orang-orang akan merasa tenang dalam organisasi tersebut karena tahu apa yang harus dikerjakan. Keberhasilan suatu organisasi untuk mengimplementasikan nilai-nilai budaya organisasinya dapat mendorong organisasi tersebut tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan. Budaya organisasi yang kuat akan memberikan pengaruh yang besar pada perilaku anggota-anggotanya karena tingginya tingkat kebersamaan dan intensitas
216
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Pengaruh Kepemimpinan Visioner Kepala Raudhatul Athfal dan Budaya Organisasi terhadap Disiplin Kerja Guru : Supardi
menciptakan suatu budaya internal dari kendali perilaku yang tinggi, sehingga dapat dikatakan tingkat kedisiplinan pegawai yang berbeda-beda, yang merupakan perilaku anggota organisasi akan sangat dipengaruhi oleh budaya organisasi yang baik didalam suatu organisasi. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Indra (2011) yang mendapati pengaruh negatif dan signifikan antara budaya organisasi terhadap disiplin kerja yang ditunjukkan dengan B = -0,481 dan sig t sebesar 0,039 < 0,05. Hasil penelitian juga secara kepemimpinan visioner kepala RA signifikan mempengaruhi disiplin kerja guru dimana p12 = 0,461 > yang lebih besar dari p tabel 0,05yang berarti antar variabel eksogen dapat saling mempengaruhi dan saling menunjang, hal tersebut tentunya akan berdampak pada pengaruh kepemimpinan visioner kepala RA dan budaya organisasi sekolah terhadap disiplin kerja guru. Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan visoner kepala RA maupun budaya organisasi sekolah dapat mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung terhadap disiplin kerja guru, oleh sebab itu diperlukan kepala RA yang memiliki kepeimimpinan visioer agar dapat mempengaruhi dan menciptakan budaya organisasi sekolah dengan. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Evan (1996) tentang hubungan kepimpinan transformasional kepala sekolah dan faktor organisasi sosial terhadap budaya sekolah. Faktor visi yang dirumuskan bersama, kerjasama guru-guru, pengalaman guru, keyakinan guru dan komitmen guru adalah faktor penyumbang kepada budaya organisasi sekolah. Dapatan penelitian ini menunjukkan bahwa kepala sekolah yang melaksanakan kepimpinan transformasional terdapat di sekolah yang mempunyai organisasi sosial yang tinggi, yang mencerminkan lingkungan yang penuh kerjasama dan keharmonisan. Seterusnya Evan (1996) menyatakan bahwa ciri-ciri pemimpin transformasialn adalah jujur dan berkebolehan, memiliki visi, memiliki pandangan ke depan, memiliki inspirasi, bijaksana, adil, imajinatf, berwibawa, pemahaman diri, adil dan seksama, berbudi bahasa dan rendah hati serta bertanggungjawab terhadap kebaikan para pengikutnya. Kepemimpinan merupakan faktor penggerak organisasi melalui penanganan perubahan dan manajemenyang dilakukannya sehingga keberadaan pemimpin bukan hanya sebagai simbol yang ada atau tidaknya tidak menjadi masalah tetapi keberadaannya memberi dampak positif bagi perkembangan organisasi (Komariah dan Triatna, 2006;40). Ho well & Avolio (1992) menyatakan seseorang pemimpin itu berbeda
217
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Pengaruh Kepemimpinan Visioner Kepala Raudhatul Athfal dan Budaya Organisasi terhadap Disiplin Kerja Guru : Supardi
dengan orang lain, mempunyai tujuan dan visi yang tinggi, dapat melaksanakan suatu aktivitas dengan cakap dan dapat mempengaruhi pengikut secara tidak langsung walaupun tidak ada kesempatan untuk berkomunikasi dengan semua pengikut. Bennis (1966) mengulas bahwa para pemimpin transformasional yang berhasil memiliki sebuah visi yang amat menarik serta mempunyai kegigihan yang amat kuat untuk memastikan keberhasilan pencapai visi itu tanpa mengira apa saja rintangan yang menghalanginya. PENUTUP Kepemimpinan visioner kepala RA berpengaruh terhadap disiplin kerja guru raudhatul athfal Kecamatan Ciledug Kota Tangerang Provinsi Banten. Pengaruh kepemimpinan visioner kepala raudhatul athfal terhadap disiplin kerja guru 30,91%. Budaya organisasi sekolah berpengaruh terhadap disiplin kerja guru raudhatul athfal Kecamatan Ciledug Kota Tangerang Provinsi Banten. Budaya organisasi sekolah memiliki kekuatan yang signifikan terhadap disiplin kerja guru. Pengaruh budaya organisasi sekolah terhadap disiplin kerja guru sebesar 12,67%. Kepemimpinan visioner kepala raudhatul athfal berpengaruh positif dan signifikan terhadap budaya organisasi raudhatul athfal Kecamatan Ciledug Kota Tangerang Provinsi Banten. Pengaruh kepemimpinan visioner kepala raudhatul athfal terhadap budaya organisasi sekolah sebesar 21,25%. Berarti antar variabel eksogen dapat saling mempengaruhi dan saling menunjang, hal tersebut tentunya akan berdampak pada pengaruh kepemimpinan visioner kepala raudhatul athfal dan budaya organisasi sekolah terhadap disiplin kerja guru. Kepala sekolah melakukan pembinaan disiplin kerja terhadap guru secara berkesinambungan melalui penciptaan budaya organisasi yang baik dan kondusif semisal nilai kesetiaan dalam organisasi, kebersamaan, kepatuhan dan kejelasan tugas, kolaborasi, penciptaan visi bersama, nilai-nilai profesional, semangat setia kawan, dan nilai-nilai sekolah. Kepala sekolah melasakanakan gaya kepemimpinan visioner secara baik dan konsisten dengan cara merumuskan visi sekolah secara teamwork. Merumuskan strategi pencapaian visi, membuat konsesnsum dan komitmen seluruh anggota organisasi untuk tercapinnya visi. Mensosilisasikan visi yang telah dirmuskan bersama dengan melakukan shared vision, serta diffusi visi. Mengimplementasikan visi dengan memainkan peran sebagai penentu arah, agen perubahan, pelatih, dan sebagai juru bicara sekolah.
218
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Pengaruh Kepemimpinan Visioner Kepala Raudhatul Athfal dan Budaya Organisasi terhadap Disiplin Kerja Guru : Supardi
Guru meningkatkan disiplin kerja dengan tepat dan efesien dalam penggunaan waktu. Mentaati aturan jam kerja, pimpinan, prosedur dan metode kerja. Bertanggung jawab dalam pekerjaan dan tugas dengan melakukan pekerjaan sesuai rencana, melakukan evaluasi hasil pekerjaan sendiri, serta berani menerima resiko bila terjadi kesalahan kerja. Guru bersama-sama kepala sekolah, karyawan dan siswa bersama-sama mencipatakan budaya baru yang lebih baik, meningkatkan dan budaya sekolah yang masih perlu diperbaiki dan disempurnakan. Memperthankan budayabudaya sekolah yang baik dan sudah teruji semisal budaya salam saling menghormati dan menghargai, bangga sebagai pendidik, budaya profesional, saling memberi dukungan. Menjunjung budaya unggul, prestasi dan disiplin. Selain studi pengaruh disiplin kerja guru dari kedua variabel kepemimpinan visioner kepala raudhatul athfal dan budaya organisasi sekolah, perlu melakukan penelitian disiplin kerja guru dengan variabel lain, agar dapat diperoleh penelitian yang obyektif dan komprehensif. Daftar Pustaka Covey, Steven R.. 1994. The Seven Habith of Highly Efektive People, terj. Budiyanto.Jakarta :BinarupaAksara Evans, L. (2001). Developing Teachers in a PerfoOrmanca Culture dalam buku Gleson, D., & Husbands, C (2001), The Performing School: Managing, Teaching and Learning in a Performance Culture. London: Routledge Palmer. Gultom, Domauliate. 2013. Pengaruh kepemimpinan kepala sekolah terhadap disiplin kerja guru di SMA Negeri 1 Sei Bamban, Kabupaten Serdang Bedagai T.P 2012/2013. Skripsi Fakultas Ekonomi. Universitas Negeri Medan. Howell, B. (1981). “Profile of the Principalship”. Educational Leadership 38(4) : 333 – 336. Komariah, Aan dan Triatna, Cepi. 2008. Visionary Leadership MenujuSekolahEfektif. Jakarta: BumiAksara. Mahmudah, S. Ida A. 2013. “Melirik Guru Profesional”. Derap Guru Jawa Tengah, Edisi 158/Th. XIII/Maret 2013, hlm. 38-39. Nanus., B 1992. Visionary Leadership: Creating a Compelling Sense of Direction for Your Organization. San Francisco, CA: Jossey-Bass Publishers. Nina, Liestiani Noorjanah. 2010. Pengaruh Gaya Kepemimpinan Terhadap Disiplin Kerja Pegawai Pada Dinas Pertanian Lebak Banten,
219
JURNAL QATHRUNÂ Vol. 1 No.1 Periode Januari-Juni 2014 Pengaruh Kepemimpinan Visioner Kepala Raudhatul Athfal dan Budaya Organisasi terhadap Disiplin Kerja Guru : Supardi
http://repository.widyatama.ac.id/ xmlui/handle/ 123456789/1182 diakses, 18 Npember 2013 Reja, Regina Aditia. 2010. Pengaruh Gaya Kepemimpinan, Motivasi dan Disiplin Kerja terhadap Kinerja Karyawan PT Sinar Santosa Perkasa Banjarnegara, Skripsi: Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang. Riva’i, Viethzal. 2005. Manajemen Sumber Daya Manusia Untuk Perusahaan dari Teori Ke Praktek. Jakarta: Murai Kencana. Rihandi, Wahyu. 2012. http://wahyurishandi.blogspot.com/ 2012/12/judulskripsi-pengaruh-kepemimpinan_24.html. Suratno, Ringsung. 2013. “Kinerja Guru Pasca Sertifikasi.” Derap Guru Jawa Tengah, Edisi 162/Th. XIII/Juli 2013, hlm. 34-43. Suhar, Wahibur. (2008). Apa yang Dimaksud Gaya KepemimpinanVisioner. http://id.answers. yahoo.com/
220