i
ISU UTAMA
PKDOD review
PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
PKDOD review Vol.1 No.1, Agustus 2016 ISSN: 2528-6749
EDITORIAL ISU UTAMA
2 Refleksi Dua Dasawarsa Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah 6 Masa Depan Otonomi Daerah 9 Pemilihan Kepala Daerah Langsung Serentak: Harapan Lahirnya Kepala Daerah Aspiratif
WAWANCARA
13 Kepala LAN RI: Otonomi Daerah adalah Komitmen Kita Bersama
TINJAUAN REGULASI
16 Meretas Problematika Desentralisasi Catatan Kritis UU No. 23 Tahun 2014
PERSPEKTIF
21 Pilkada, Oligarki, dan Masa Depan Demokrasi Lokal
MIMBAR DAERAH
26 Pontianak, Kota Inovatif di Bumi Kalimantan
POLICY BRIEF
30 Penguatan Pelaksanaan Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Di Indonesia 34 Pilkada Serentak, Demokrasi Lokal, dan Efektivitas Pemerintahan Daerah 38 Implementasi UU Desa dan Tantangan Pengembangan Kapasitas Pemerintahan Desa 43 Standar Kompetensi ASN di Pemerintahan Daerah Dalam Menghadapi ASEAN Economic Community
KEGIATAN PKDOD
48 Senarai Kegiatan Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
TABULA RASA
52 Otonomi Daerah (?)
SUSUNAN REDAKSI Penanggung Jawab: Deputi Bidang Kajian Kebijakan
Distribusi: Tri Murwaningsih, Nurlina, Dewi Prakarti Utami
Pemimpin Redaksi: Ridwan Rajab
Desain & Lay Out: Mustofa
Wakil Pemimpin Redaksi: Ani Suprihartini Redaktur Pelaksana: Edy Sutrisno Staff Redaksi: Widhi Noviyanto, Suryanto, Alfie Syarien, Toni M. Hidayat, Rusman Nurjaman, Rico Hermawan, Maria Dika
PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
Alamat Redaksi: Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah Lembaga Administrasi Negara, Gd B, lt. 3 Jl. Veteran No. 10, Jakarta, 10110 Telp. 021 3868201-06, ext. 114, 115, email.
[email protected] Website: http://:makarti.lan.go.id/web/dkk Facebook: Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
EDITORIAL
1 PKDOD review
Editorial >>>
K
ita baru saja merayakan peringatan 20 Tahun Otonomi Daerah, sebuah usia yang memasuki kategori remaja. Hampir di seluruh tanah air, jajaran pemerintahan mulai dari pusat sampai daerah, melaksanakan upacara untuk merenungkan kembali makna dari perjalanan sejarah bangsa dalam melaksanakan otonomi daerah dengan berbagai dinamikanya. Bangsa Indonesia telah menyatakan tekad untuk mempercepat pelaksanaan pembangunan demi mewujudkan kesejahteraan rakyat hanya dengan satu pilihan, yaitu melalui pelaksanaan “otonomi daerah”. Bentuk kebijakan politik desentralisasi urusan pemerintahan ini diyakini akan semakin memudahkan pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan publik. Meski praktis baru diterapkan secara murni sejak sekitar dua dekade silam, otonomi daerah sesungguhnya bukan satu “barang” baru. Sejak lahirnya republik ini, otonomi daerah telah dipraktekkan oleh para penyelenggara pemerintahan, walaupun dengan skala dan bobot yang berbeda pada setiap era pemerintahan. Namun ketika bandul penyelenggaraan pemerintahan bergeser kian ke kanan, yang ditandai dengan makin menguatnya intervensi pemerintah pusat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan model pemerintahan sentralistik dan bahkan otoriter, yang mewarnai hampir lebih dari separuh perjalanan republik ini, berbagai gejolak pun muncul. Puncaknya terjadi menjelang bergulirnya tuntutan agenda reformasi tahun 1998. Tuntutan pelaksanaan otonomi daerah yang semakin luas kembali mengemuka dengan tujuan mengurangi dominasi pemerintah pusat. Otonomi daerah juga bertujuan mendorong daerah melahirkan orang-orang terbaik untuk memimpin penyelenggaraan pemerintahan di daerah dengan berbagai inovasi sehingga mampu mengelola potensi dan sumber daya setempat, peningkatan pelayanan publik, demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Namun hingga kini, memang tak bisa dipungkiri, pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah cenderung berbuah pahit. Hal ini bukanlah isapan jempol belaka namun sebuah fakta yang sangat mencengangkan bagi sebagian penghuni republik tercinta ini. Berbagai survey menunjukkan, hanya 20 persen saja pemerintahan daerah yang berkinerja baik. Selebihnya, masih jauh dari harapan. Permasalahan pengelolaan keuangan daerah, kemiskinan, korupsi, konflik sosial baik vertikal maupun horisontal, pengelolaan sumber daya alam di daerah, pemekaran daerah hingga gugatan terhadap Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 oleh pemerintah daerah masih menjadi topik hangat wacana publik, mulai obrolan warung kopi hingga perdebatan di panggung seminar internasional. Namun semuanya belum berdampak positif nan konkret bagi kemajuan pelaksanaan otonomi daerah. Pada titik inilah kita mungkin perlu merefleksikan kembali makna ber-otonomi setelah dua dekade berjalan dengan meluruskan niat kita. Terlebih menjelang berlakunya era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), pelaksanaan otonomi daerah menghadapi tantangan baru. Oleh karena itu, upaya pencarian format baru otonomi daerah perlu terus berlanjut dengan menggali berbagai konsep dan bercermin dari berbagai pengalaman terbaik (best practices) yang layak diteladani, agar bisa merespon berbagai tantangan yang muncul secara kreatif dan inovatif, dan terhidar dari sikap reaksioner. Di aras yang lebih taktis, membenahi seluruh kebijakan tanpa ada kepentingan sempitjangka pendek, seraya mendorong munculnya berbagai inovasi di daerah, merupakan agenda yang tak bisa ditawar lagi demi merebut kembali kepercayaan publik. Penting juga berupaya terus mendorong daerah agar melahirkan pemimpin-pemimpin lokal yang inovatif sebagaimana yang saat ini sudah muncul di sebagian kecil daerah di tanah air. Mereka tidak hanya berintegritas tinggi, kompeten, dan bervisi kerakyatan, tetapi juga mampu berpikir out of the box dalam memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah dan mengoptimalkan peluang dan sumber daya yang ada—betapapun terbatasnya—demi memajukan dan mensejahterakan daerah. Itulah mereka pemimpin-pemimpin daerah inovatif. Dengan demikian, visi Nawacita dan semangat Trisakti dapat tertunaikan. Semoga. Ridwan Rajab
PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
PKDOD review
ISU UTAMA
2
Refleksi Dua Dasawarsa Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Oleh: Suryanto (
[email protected])
E
budiman, 2) masalah dalam penataan daerah, dan 3) konflik dalam pemilihan dan pemilu kepala daerah.
Beberapa permasalahan krusial yang terjadi dalam penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah selama kurang lebih dua puluh tahun atau dua dasawarsa meliputi pemekaran daerah, pilkada langsung (politik dinasti, raja-raja kecil/orang kuat lokal, calon independen), penataan urusan pemerintahan, penataan kelembagaan/organisasi perangkat daerah (OPD), dan pengelolaan desa. Dalam catatan Darmawan (2010), evaluasi terhadap keberhasilan dan kegagalan desentralisasi dan otonomi daerah meliputi 1) identifikasi daerah
Yang menarik, persoalan-persoalan yang muncul pada sepuluh tahun pertama ternyata masih berlanjut pada dasawarsa berikutnya, meskipun dalam bentuk dan derajat yang berbeda. Pada tahun 2000-an misalnya, permasalahan pemekaran daerah yang mendominasi adalah euforia sejumlah masyarakat untuk membentuk daerah otonom baru. Terbitnya PP 129/2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah telah memberikan kerangka hukum yang dinilai terlalu “longgar” dalam melakukan pemekaran daerah. Evaluasi pemekaran daerah yang dilakukan LAN (2007) menunjukkan berbagai alasan yang dikemukakan oleh masyarakat daerah/pejabat daerah otonom baru (DOB) diantaranya alasan sejarah, ekonomi, mendekatkan pelayanan, dan konflik elit lokal. Jumlah DOB sebelum tahun 1999 sebanyak 26 provinsi bertambah menjadi 33 provinsi pada 2006, dan 303 kabupaten/kota pada 1999 bertambah menjadi 440 kabupaten/kota pada tahun 2006 (Bappenas, 2008). Jumlah tersebut
kspektasi publik terhadap reformasi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang telah dicanangkan sejak tahun 2001, seiring terbitnya UndangUndangan Pemerintahan Daerah pertama di era reformasi yakni UU No. 22 Tahun 1999, nampaknya masih jauh dari memadai. Hingga saat ini, persoalan-persoalan krusial yang dipertanyakan oleh khalayak masyarakat pada saat awal pemberlakuan era reformasi ternyata masih menjadi beban permasalahan walaupun pada waktu bersamaan mereka mengakui sejumlah perubahan positif (keberhasilan) dalam penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah.
PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
terus meningkat dari tahun ke tahun hingga mencapai 542 daerah, yang meliputi 34 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota (kemendagri.go.id, diakses pada 1 April 2016). Upaya moratorium yang dikeluarkan Presiden SBY, terbitnya PP 78/2007 (pengganti PP 129/2000), dan pemberlakuan Desain Besar Penataan Daerah (Desartada) ternyata tidak cukup berpengaruh terhadap “semangat” para tokoh masyarakat untuk memekarkan daerahnya. Persoalan pemekaran daerah cukup pelik karena tidak hanya berkaitan dengan jumlah (quantity) tetapi juga menyangkut kinerja (quality). Hasil evaluasi Kemendagri pada tahun 2010 menunjukkan bahwa dari 57 DOB di bawah 3 tahun yang dibentuk pada 2007-2009, hanya sebanyak 13 DOB (22,8%) yang berhasil artinya, 77,2% tidak berhasil atau tidak menunjukkan perkembangan yang positif terkait pemenuhan aspek-aspek pembentukan DOB. Dalam hal ini terdapat 10 aspek yang dinilai yakni: 1) Pembentukan organisasi perangkat daerah, 2) Pengisian personil, 3) Pengisian keanggotaan DPRD, 4) Penyelenggaraan urusan wajib dan pilihan, 5) Pembiayaan, 6) Pengalihan aset, peralatan dan dokumen, 7) Pelaksanaan penetapan
batas wilayah, 8) Penyediaan sarana dan prasarana pemerintahan, 9) Penyiapan rencana umum tata ruang wilayah, dan 10) Pemindahan ibu kota bagi daerah yang ibu kotanya dipindahkan. Selanjutnya, permasalahan penyelenggaraan desentraliasi dan otonomi daerah yang masih menjadi perbincangan publik adalah implementasi pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada), dimana terdapat dua mekanisme pilkada yakni pilkada tidak langsung (berlaku pada tahun 1999-2004) dan pilkada langsung (2005-sekarang). Pada awalnya, pilkada langsung kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan analog dengan pemilihan presiden dan wakil presiden yang juga dilaksanakan secara langsung, sehingga pada tahun 2005 (berdasarkan PP 6/2005) digelar pilkada langsung perdana di Indonesia. Melalui mekanisme pilkada langsung diharapkan lahir pemimpinpemimpin lokal yang sesuai dengan preferensi masyarakat daerah yang bersangkutan. Beberapa tokoh pun tampil menjadi Gubernur, Bupati, dan atau Walikota yang menjadi idaman masyarakat daerah seperti Fadel Muhammad (Gubernur
Gorontalo), Joko Widodo (Walikota Surakarta/Solo), Tri Rismaharini (Walikota Surabaya), Ridwan Kamil (Walikota Bandung), Nurdin Abdullah (Bupati Bantaeng), dan beberapa tokoh lain yang tidak dapat disebutkan seluruhnya. Namun harus diakui, penyelenggaraan pilkada langsung juga diwarnai dengan permasalahan-permasalahan di lapangan, mulai dari pendaftaran bakal calon hingga pelantikan kepala dan wakil kepala daerah terpilih. Bahkan, saking banyaknya persoalan yang terjadi pada proses pilkada langsung sempat muncul usulan untuk mengembalikan pilkada gubernur dan wakil gubernur ke model sebelumnya, dipilih oleh DPRD Provinsi. Sontak usulan tersebut mendapatkan kritik pedas dari beberapa kalangan yang concern terhadap pelaksanaan otonomi daerah, salah satunya dari peneliti LIPI yang menyampaikan bahwa pemikiran/usul pemilihan gubernur dan wakil gubernur oleh DPRD Provinsi menyesatkan dan merupakan langkah kemunduran (set back) dalam pelaksanaan demokrasi (Syarif Hidayat, 2010). Ironisnya, persoalan ini kembali terulang dengan diterbitkannya UU 22/2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota, dimana dalam UU ini dinyatakan bahwa gubernur, bupati, dan walikota dipilih oleh DPRD Provinsi untuk Gubernur dan Wakil dan DPRD Kabupaten/ Kota untuk Bupati dan Wakil serta Walikota dan Wakilnya. Tentu saja, UU ini mendapat penolakan keras dari berbagai pihak, dan akhirnya dibatalkan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Dalam perkembangan, Perpu 1/2014 disahkan menjadi UU 1/2015 yang kemudian diubah kembali dengan UU 8/2015 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Pemilihan kepala daerah dikembalikan seperti semula, yakni dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
ISU UTAMA
3 PKDOD review
Dalam hal pembagian urusan pemerintahan, persoalan yang dihadapi pada masa-masa awal penyelenggaraan otonomi daerah adalah minimnya kewenangan pemerintah kabupaten/kota karena pemerintah pusat menganut asas “residual”, dimana kewenangan yang diserahkan merupakan “sisa”
PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
PKDOD review
ISU UTAMA
4
dari kewenangan yang ditangani pemerintah pusat dan pemerintah provinsi (residu ada di daerah). Penerapan pembagian kewenangan sisa di level pemerintah kabupaten/ kota tertuang dalam PP 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi sebagai Daerah Otonom. Namun jika ditelisik lebih jauh, UU 32/2004 dan UU 23/2014 pun sebenarnya menggunakan asas residual, namun residunya berada di pemerintah pusat.
urusan manajemen pendidikan menengah, urusan kelautan dan perikanan, urusan energi dan sumber daya mineral, dan urusan kehutanan. Studi PKDOD LAN di Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten Bantaeng (2016) menunjukkan fakta menarik: pemerintah kabupaten tidak rela ditarik urusan pemerintahannya, sementara pemerintah provinsi tidak siap menerima limpahan urusan pemerintahan dari kabupaten. Bahkan, salah satu narasumber menyatakan ketidaksetujuannya dengan
kelembagaan melalui PP 8/2003 sebagai pengganti PP 84/2000 tentang Pedoman Penataan OPD. Namun PP 8/2003 mendapat penolakan yang sangat keras dari provinsi karena banyaknya jabatan yang akan hilang/hapus jika PP ini diberlakukan. Pengaturan penataan kelembagaan daerah kemudian mengalami perubahan kembali pada saat berlakunya UU 32/2004 yakni dengan terbitnya PP 41/2007 tentang OPD. Disini pembentukan SKPD harus memenuhi berbagai persyaratan baik pesyaratan umum maupun persyaratan teknis. Tujuannya tidak lain adalah untuk mengendalikan jumlah SKPD yang terlampau gemuk agar mampu mendukung pencapaian tujuan otda.
Pemerintah kabupaten tidak rela ditarik urusan pemerintahannya, sementara pemerintah provinsi tidak siap menerima limpahan urusan pemerintahan dari kabupaten. Bahkan, salah satu narasumber menyatakan ketidaksetujuannya dengan UU 23/2014 yang juga “merugikan” pemerintah provinsi dalam perolehan pendapatan asli daerah (PAD).
Di era UU 32/2004, pengaturan pembagian urusan pemerintahan diatur dalam PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah K abupaten/Kota. Satu hal penting yang membedakan dengan PP sebelumnya (PP 25/2000) adalah penyebutan istilah kewenangan menjadi urusan pemerintahan. Namun perbedaan yang mendasar adalah sisa kewenangan sebagai wujud residual power berada di pemerintah pusat. Yang menarik, justru pembagian urusan pemerintahan menurut UU 23/2014 dimana terjadi perubahan pembagian urusan pemerintahan antara provinsi dengan kabupaten/ kota. Berdasarkan lampiran UU 23/2014 beberapa urusan yang ditarik/dialihkan dari kabupaten/ kota ke provinsi/pusat maupun dari provinsi ke pusat. Setidaknya beberapa urusan yang ditarik menimbulkan resistensi. Beberapa urusan penting itu diantaranya: PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
UU 23/2014 yang juga “merugikan” pemerintah propinsi dalam perolehan pendapatan asli daerah (PAD). Penataan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud di atas secara langsung telah mempengaruhi aspek penataan kelembagaan/OPD-nya. Pada masa berlakunya UU 22/1999, kelembagaan yang relatif gemuk karena pemerintah daerah diberi “kebebasan” untuk membentuk sendiri satuan kerja perangkat daerah (SKPD) nya. Kemudian pada tahun 2003, diterbitkan pembatasan
Penataan OPD menurut draft PP pengganti PP 41/2007 pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan PP sebelumnya, dimana penataan organisasi perangkat daerah harus memenuhi beberapa persyaratan baik persyaratan umum maupun persyaratan teknis. Kriteria variabel umum meliputi jumlah penduduk, luas wilayah, dan jumlah anggaran pendapatan dan belanja daerah. Sedangkan kriteria vaiabel teknis ditentukan berdasarkan beban tugas utama pada setiap Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Satu hal yang menarik dalam kaitan penataan OPD adalah terbukanya kemungkinan penataan yang berbeda antara daerah yang satu dengan lainnya sesuai dengan
beban kerja yang dimilikinya dan kemudian diwujudkan dalam tipologi tertentu. Postur perangkat daerah dapat dibentuk dalam Tipe A, Tipe B, dan atau Tipe C sesuai dengan hasil perhitungan kriteria variabel umum dan variabel teknis. Dinas Tipe A misalnya, dibentuk untuk mewadahi pelaksanan fungsi dinas provinsi/kabupaten/kota dengan beban kerja yang besar. Dinas Tipe B untuk mewadahi pelaksanaan fungsi dinas provinsi/ kabupaten/kota dengan beban kerja yang sedang, sedangkan Dinas Tipe C dibentuk untuk mewadahi pelaksanaan fungsi dinas dengan beban kerja yang kecil. Untuk mewadahi terjadinya ‘penarikan’ sejumlah urusan pemerintahan dari kabupaten/kota ke provinsi sebagaimana dijelaskan pada bagian di atas, pada Pasal 12 draft PP pengganti PP 41/2007 disebutkan: (1) Pada Perangkat Daerah yang melaksanakan Urusan Pemerintahan bidang pendidikan dan Urusan Pemerintahan yang hanya diotonomikan kepada Daerah provinsi dapat dibentuk cabang dinas di kabupaten/kota, dan (2) Wilayah kerja cabang dinas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat meliputi satu atau lebih kabupaten/kota. Pada ayat selanjutnya disebutkan bahwa cabang dinas provinsi hanya akan dibentuk dalam 2 tipe yakni Cabang Dinas Tipe A dan Cabang Dinas Tipe B. Namun demikian, dalam draft dimaksud tidak diatur pembentukan organisasi untuk Cabang Dinas yang menangani urusan pemerintahan bidang kehutanan, ESDM, dan kelautan dan perikanan. Hal yang cukup menarik dari penataan OPD khususnya di provinsi
adalah rencana pembentukan Badan Daerah Provinsi. Dalam Pasal 24 draft PP pengganti PP 41/2007 disebutkan bahwa kehadiran Badan ini sebagai unsur penunjang Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi. Nantinya, badan ini akan dipimpin oleh kepala badan Daerah provinsi yang berkedudukan dan bertanggung jawab kepada gubernur melalui sekretaris Daerah provinsi. Tugasnya adalah membantu gubernur dalam melaksanakan fungsi penujang Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi. Adapun fungsinya meliputi penyusunan kebijakan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya, pelaksanaan tugas dukungan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya, pemantuan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan tugas dukungan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya, pembinaan teknis penyelenggaraan fungsi penunjang Urusan Pemerintahan Daerah sesuai dengan lingkup tugasnya, dan pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh gubernur sesuai dengan tugas dan fungsinya. Unsur penunjang urusan pemerintahan ini meliputi: perencanaan, keuangan, kepegawaian, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengambangan, dan fungsi penunjang lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Jika dicermati secara mendalam, pembentukan badan Daerah provinsi pada dasarnya untuk memperkuat kedudukan gubernur sebagai wakil Pemerintah sebagai amanat PP 23/2011 yang merupakan perubahan atas PP 19/2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan
Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Provinsi. “Kisah” dua puluh tahun desentralisasi dan otonomi daerah menjadi semakin menarik ketika terjadi perubahan UU 32/2004 menjadi 3 UU yaitu UU UU Desa, UU Pemilukada, dan UU Pemerintahan Daerah itu sendiri. Artinya, muatan materi UU Pemerintahan Daerah hanya mencakup kepemerintahan daerah karena substansi pengaturan Desa dan Pemilukada yang diatur dalam UU tersendiri yakni UU 6/2014 tentang Desa, UU 8/2015 tentang Perubahan Atas UU 1/2015 tentang Penetapan PERPU 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
ISU UTAMA
5 PKDOD review
Perjalanan dua puluh tahun penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah menjadi milestone bagi sejarah panjang otonomi daerah di Indonesia. Tentu, kelebihan dan kekurangan selalu menyertai dalam penyelenggaraan otonomi daerah tersebut, yang terpenting adalah kita menyadari semua kelemahan yang ada dan bertekad untuk memperkuatnya di masa mendatang. Adapun terhadap kelebihan yang ada kita bertekad untuk senantiasa meningkatkan dan mempertahankannya seoptimal mungkin. Pertanyaan penting yang perlu memperoleh respons cepat dari berbagai pihak adalah: 1) Apakah PP-PP tindak lanjut UU 23/2014 akan terlambat seperti biasanya? 2) Apakah UU 33/2004 akan tetap berlaku dan tidak mengalami perubahan meskipun UU Pemda sudah diganti?
PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
PKDOD review
ISU UTAMA
6
Masa Depan Otonomi Daerah Oleh: Muhammad Imam Alfie Syarien
I
(
[email protected])
ndonesia telah menghadapi banyak kemajuan dan permasalahan sejak otonomi daerah diujicobakan pada 1995. Pemerintahan datang silih-berganti, namun otonomi daerah tetap dipertahankan. Ini menunjukkan bahwa otonomi daerah telah menjadi bagian penting dalam sistem administrasi negara Indonesia. Namun demikian, hadirnya sejumlah undang-undang seperti Undangundang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa), dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) tak pelak akan mengubah pola dan bentuk pemerintahan daerah di masa depan. Ditambah lagi dengan dinamika lingkungan yang semakin tinggi dan mengglobal, baik pada dimensi demografi maupun sosial-ekonomi. Tulisan ini berupaya menggambarkan prospek otonomi daerah di masa depan seiring dengan kehadiran sejumlah undang-undang tersebut dan dinamika lingkungan demografis dan sosial-ekonomi Indonesia.
PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
Perubahan kerangka legal Terbitnya UU ASN pada awal 2014 memang belum ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksana hingga tulisan ini disusun. Akan tetapi, UU ASN telah membawa serta sejumlah tantangan baru bagi otonomi daerah. Dalam UU ASN, sistem merit sangat dikedepankan sebagai konsensus dasar, dengan harapan jabatan-jabatan di birokrasi diisi oleh orang-orang yang tepat (the right person in the right place), yaitu mereka yang memiliki kualifikasi, kompetensi, dan kinerja yag dibutuhkan jabatan. Ini dilakukan agar birokrasi, termasuk pemerintahan daerah, tidak dikooptasi oleh afiliasi politik dan/atau nepotisme. Selain itu, penerapan sistem merit juga memaksa pemerintah daerah untuk meningkatkan kapasitas pegawai ASN yang dimilikinya. Sistem merit, bagaimanapun juga, membutuhkan pendefinisian konseptual dan operasional yang jelas agar tidak disalahgunakan untuk meminggirkan orang-orang yang justru potensial. Selain sistem merit, UU ASN juga menegaskan prinsip “Satu ASN”,
sehingga tidak ada lagi istilah PNS Pusat dan PNS Daerah. Mobilitas pegawai antarinstansi, termasuk antardaerah, akan semakin tinggi. Secara kasat mata, prinsip ini dapat ditemukan pada pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) yang dilakukan terbuka. Ini sejalan dengan model boundaryless career yang oleh De Caluwe (2014) disebutkan akan melahirkan kompetisi sehat dan pengembangan karier yang ditentukan sendiri oleh pegawai. Otonomi daerah, di sisi lain, sangat kental dengan penguatan identitas lokal dan nilai putra daerah (Mietzner 2014), sehingga kehadiran prinsip “Satu ASN” ini sedikit-banyak akan bersinggungan dengan praktik otonomi daerah. Diperlukan mitigasi yang memadai agar persinggungan tersebut tidak berujung pada inefektivitas baik pada implementasi UU ASN maupun desentralisasi dan otonomi daerah. Pola karier dan pengembangan pegawai nasional dan instansional, misalnya, dibutuhkan agar tidak terjadi dominasi mobilitas pegawai dari instansi atau daerah tertentu yang memiliki sumber daya kompetensi berlebih kepada instansi atau daerah lain yang secara alamiah mengalami keterbatasan sumber daya manusia. Tantangan bagi otonomi daerah juga lahir seiring dengan terbitnya UU Desa. Jika dalam Undangundang Nomor 22 Tahun 1999 desa disebutkan berada di Daerah kabupaten dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 hanya disebutkan bahwa desa berada di kabupaten/kota, maka dalam UU Desa disebutkan kedudukan desa adalah di wilayah kabupaten/ kota. Penyebutan ini memiliki nilai dan dampak yang signifikan karena menempatkan desa tidak
semata-mata sebagai subordinat pemerintah kabupaten/kota tetapi sebagai self-governing community sekaligus local self government. Pengaturan ini membawa konsekuensi perubahan hubungan antara pemerintah desa dan supradesa (pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota), baik dalam hal hubungan kewenangan, kelembagaan, keuangan, maupun pengawasan. Semangat perubahan ini secara nyata terlihat di UU Desa, namun terlihat buram pada peraturan-peraturan pelaksana UU tersebut. Konsekuensi perubahan ini adalah reposisi peran pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/ kota dalam hubungannya dengan desa, utamanya terkait pengakuan kedudukan desa dan subsidiaritas desa dalam lingkup kewenangannya. Selain itu, terbitnya UU Desa juga mendorong revitalisasi peran Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa). Entitas ini tidak hanya berperan memberikan kontribusi pendapatan bagi desa, namun dapat berperan strategis dalam pembangunan ekonomi dan pelayanan publik di desa dan perdesaan. Banyak desa telah membuktikannya, seperti sejumlah desa di Bantul, Gunung Kidul, Klaten, atau Bantaeng. Keberadaan BUMDesa perlu disikapi oleh pemda sebagai peluang meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik serta peningkatan kesejahteraan m a s y a r a k a t perdesaan. Satuansatuan kerja perangkat daerah (SKPD) dapat membangun ke m i t r a a n strategis dengan
BUMDesa untuk meningkatkan daya jangkau dan kemanfaatan pelayanan SKPD. Perubahan regulasi lain yang turut membentuk perubahan pola dan bentuk otonomi daerah adalah UU Pemda 23/2014. Aspek paling nyata sebagai dampak UU Pemda ini adalah pada pembagian urusan pemerintahan berupa pemindahan sejumlah urusan pemerintahan dari kabupaten/kota ke provinsi dan pemerintah. Di antara urusanurusan tersebut adalah urusan di bidang kelautan dan perikanan, energi dan sumber daya mineral, pendidikan menengah, kearsipan, perdagangan, dan perhubungan. Perubahan pembagian urusan ini didasari pertimbangan akuntabilitas, efisiensi, eksternalitas, dan kepentingan strategis nasional.
ISU UTAMA
7 PKDOD review
Perubahan pembagian urusan pemerintahan ini tentu melahirkan kesetimbangan baru dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia. Dalam penelaahan sederhana, perubahan pembagian urusan pemerintahan ini akan mendorong efisiensi pemerintahan dan integrasi pengelolaan
PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
PKDOD review
ISU UTAMA
8
sumber daya alam. Efisiensi pemerintahan diperoleh melalui pengalihan sejumlah personil, pendanaan, prasarana dan sarana, serta dokumen (P3D) dari pemerintah kabupaten/kota ke pemerintah provinsi sebagai konsekuensi logis dari pengalihan kewenangan. Selain itu, koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan lebih mudah dilakukan karena hanya melibatkan pemerintah provinsi saja. Akan tetapi, di sisi lain, perubahan ini juga berpotensi melemahkan otonomi kabupaten/kota dan menjauhkan pelayanan publik dari pengguna layanan. Pelemahan otonomi kabupaten/kota dapat dilihat dari kemungkinan menurunnya potensi pendapatan asli daerah (PAD) dan penarikan urusan pemerintahan. Hoessein (2009) mencatat bahwa tingkatkewenangan dan potensi pemungutan PAD merupakan beberapa indikator untuk menentukan derajat desentralisasi. Selain itu, otonomi daerah yang sejatinya lahir untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat juga terancam dengan ditariknya urusan pemerintahan bidang pendidikan menengah (atas) ke tingkat provinsi. Kedudukan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat (WPP) juga diatur secara lebih rinci dalam UU Pemda. Hal ini tidak pernah diatur secara spesifik dalam UU Pemda sebelumnya sehingga melahirkan ketidakjelasan dan inefektivitas peran Gubernur sebagai WPP (Sutrisno 2015). Sebagai WPP, kini Gubernur memiliki perangkat tersendiri yang tentunya akan menjadi tantangan baru dalam pelaksanaan pemerintahan daerah, terutama di tingkat provinsi. Selain itu, UU Pemda juga mendorong inovasi daerah, baik yang diinisiasi oleh kepala daerah
PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
maupun oleh pegawai ASN Pemda. Semangat inovasi ini tentu akan turut membentuk keragaman dalam praktik otonomi daerah di Indonesia. Dinamika lingkungan sosial Di luar dampak peraturan perundang-undangan, otonomi daerah juga sangat dipengaruhi lingkungan eksternal yang semakin dinamis akibat perkembangan teknologi dan globalisasi. Dalam aspek demografis, misalnya, Indonesia akan menghadapi tingkat dependency ratio yang menurun hingga tahun 2030, sementara itu angka harapan hidup juga semakin tinggi (BPS 2016). Kombinasi ini secara normal menunjukkan potensi besar untuk pembangunan, tapi di sisi lain juga menghadirkan tantangan bagi pemerintah (termasuk pemerintah daerah) untuk mempersiapkan angkatan kerja yang berkualitas di masa depan sekaligus penyediaan pelayanan publik untuk lansia. Pada 2035 juga diproyeksikan dua pertiga penduduk Indonesia akan tinggal di daerah perkotaan (BPS 2016). Kajian Muhidin (2014) menemukan bahwa mayoritas migran di Indonesia berusia 20-30 tahun. Artinya, pola migrasi yang dominan adalah dilakukan oleh penduduk usia produktif dengan kecenderungan perpindahan dari perdesaan ke perkotaan. Jika tren ini berlanjut, daerah dengan karakter perdesaan akan berpotensi menghadapi kekurangan tenaga kerja. Padahal, dengan peningkatan angka harapan hidup, beban pelayanan publik kepada lansia di daerah-daerah akan semakin tinggi. Tak pelak, hal ini akan mengubah pola belanja pemerintah daerah di masa depan yang harus disikapi sejak dini.
Dari aspek sosial-ekonomi, otonomi daerah juga akan menghadapi tantangan terutama pada bidang ketenagakerjaan, kemiskinan dan kesenjangan ekonomi, serta jaminan sosial. Dengan bergulirnya ASEAN Economic Community, pemerintah daerah dihadapkan pada persaingan ekonomi dengan negara-negara tetangga, termasuk di bidang ketenagakerjaan. Tanpa bekal kompetensi aparatur pemda yang memadai dalam menghadapi ASEAN Economic Community, terdapat risiko yang nyata bahwa angka pengangguran dan kemiskinan di daerah akan meningkat. Mengantisipasi hal ini, PKDOD pada tahun 2015 telah melakukan kajian tentang kompetensi teknis yang dibutuhkan JPT di pemda dalam menghadapi AEC yang policy brief¬-nya dapat ditemukan pada edisi ini, sehingga dapat menjadi salah satu rujukan bagi pembina kepegawaian di pemerintah daerah dalam menyusun standar kompetensi, merekrut, dan mengembangkan JPT-nya. Desentralisasi dan otonomi daerah telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pemerintahan di Indonesia. Bagaimanapun, tidak ada sistem yang tertutup dari pengaruh lingkungannya. Desentralisasi dan otonomi daerah bukanlah pengecualian untuk itu. Perubahanperubahan di lingkungan baik akibat perubahan peraturan perundang-undangan maupun perubahan lingkungan eksternal akan memengaruhi berjalannya desentralisasi dan otonomi daerah. Adalah antisipasi dan respon kebijakan yang dinamis yang dapat menjaga desentralisasi dan otonomi daerah tetap berjalan efektif untuk mendukung kemajuan bangsa dan negara Indonesia.
Pemilihan Kepala Daerah Langsung Serentak:
Harapan Lahirnya Kepala Daerah Aspiratif
ISU UTAMA
9 PKDOD review
Oleh: Tony Murdianto Hidayat (
[email protected])
B
ulan Desember 2015 lalu merupakan awal perhelatan Pilkada serentak. Pilkada serentak kali ini dilakukan untuk memilih 9 Gubernur dan 260 Bupati/Walikota (38 Walikota dan sisanya Bupati). Pilkada tersebut sekaligus menandai rangkaian pelaksanaan Pilkada serentak yang akan digelar secara bertahap hingga tahun 2023, sebelum dilakukan Pilkada serentak nasional pada tahun 2027. Pelaksanaan Pilkada serentak merupakan amanat Undang-undang Nomor 8 tahun 2015, sebagai perubahan atas Undangundang No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Akhir Masa Jabatan Kepala Daerah
Waktu Pelaksanaan Pilkada Serentak Transisi I
Transisi II
Tahun 2015 dan Januari s.d. Juni 2016
Desember 2015
2020
Juli s.d. Desember 2016 dan tahun 2017
Februari 2017
2022
Tahun 2018 dan tahun 2019
Juni 2018
2023
Transisi III
2027
Tabel 1. Tahapan pelaksanaan Pilkada Ide tentang Pilkada serentak sebenarnya pernah dilontarkan Jusuf Kalla saat masih menjabat Wakil Presiden, namun usul tersebut ditolak karena dianggap hanya berorientasi ekonomi semata. Gagasan Pilkada PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
PKDOD review
ISU UTAMA
10
daerah propinsi, calon kepala daerah yang terpilih DPRD diajukan kepada Presiden untuk dipilih dan diangkat; untuk kabupaten kewenangan untuk memilih dan mengangkat calon kepala daerah dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri. Sedangkan untuk daerah desa atau kota kecil, gubernur diberi kewenangan untuk mengangkat calon yang diajukan DPRD Desa.
serentak muncul pada saat masyarakat merespon keinginan pemerintah untuk kembali menggunakan mekanisme Pilkada melalui sistem perwakilan (DPRD). Pelaksanaannya dipandang sebagai tinjauan kritis atas pelaksanaan Pilkada langsung selama ini. Salah satu isu yang mengemuka adalah tentang efisiensi anggaran. Isuisu strategis lain adalah mengenai efektivitas kepemimpinan daerah, merebaknya money politics, suburnya oligarki dan dinasti politik, serta potensi konflik antar pendukung yang timbul selama pelaksanaan Pilkada langsung menjadi faktor utama perlunya eveluasi terhadap pilkada selama ini (PKDOD, 2015). Pelaksanaan Pilkada di Indonesia telah mengalami perjalanan panjang sejak masa kemerdekaan. Di awal kemerdekaan, situasi politik, hukum dan keamanan negara saat itu belum
PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
memungkinkan diselenggarakannya Pilkada. Penunjukkan kepala daerah begitu saja untuk menjamin keberlangsungan penyelenggaraan dan eksistensi pemerintah daerah yang tergabung dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini menegaskan bahwa eksistensi daerah-daerah ini menjamin kedaulatan NKRI sesuai dengan Pasal 18 UUD 1945 . Ketika situasi politik dan hukum berangsur membaik, pemerintah menerbitkan Undang-undang No. 22 tahun 1948 tentang Pokok-pokok Pemerintah Daerah. Undangundang ini memperkenalkan sistem baru dalam penyelenggaraan pemerintahan, yaitu sistem pemerintahan collegiaal (bersama) antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai legislatif dan Dewan Pemerintah Daerah (DPD) sebagai eksekutif. Pemilihan kepala daerah dilakukan melalui sistem perwakilan, yaitu DPRD menentukan beberapa calon untuk diajukan ke pimpinan yang lebih tinggi. Ketentuannya adalah untuk
Pada masa UUD RIS, pemerintah kembali menerbitkan Undangundang tentang Pemerintah Daerah, yaitu Undang-undang No. 1 Tahun 1957. Melalui undang-undang ini muncul wacana Pilkada oleh rakyat. Namun hal itu urung dilakukan mengingat kondisi sosial dan politik saat itu tidak memungkinkan dilakukannya Pilkada. Sebagai jalan tengahnya, mekanisme Pilkada yang digunakan sama seperti sebelumnya yaitu pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD untuk setiap daerah. Mekanisme Pilkada seperti ini tetap berlaku hingga terbitnya Undang-undang No. 18 tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Aturan dalam Undangundang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah juga tidak mengubah mekanisme Pilkada melalui sistem perwakilan. Namun ada sedikit perbedaan ketentuan penetapan calon kepala daerah bila dibandingkan dengan aturan sebelumnya. Ada klausul dalam undang-undang tersebut yang menyatakan bahwa calon kepala daerah yang kelak akan dipilih ditetapkan melalui musyawarah dan kesepakatan antara Pimpinan Dewan atau Fraksi di Dewan dengan pejabat yang lebih tinggi. Yang dimaksud dengan pejabat yang lebih tinggi adalah Menteri Dalam Negeri untuk Calon Kepala Daerah
Tingkat I dan Gubernur untuk Calon Kepala Daerah Tingkat II. Hal ini menunjukkan bahwa adanya kontrol yang ketat dari pemerintah pusat terhadap calon kepala daerah. Pelaksanaan Pilkada dengan sistem perwakilan (tidak langsung) sebagaimana terjadi sebelum masa reformasi memang tidak banyak menimbulkan gejolak yang berarti. Intervensi yang sangat kuat dari pemerintah pusat membuat kondisi sosial dan politik tetap stabil. Namun model pemilihan kepala daerah dengan sistem tersebut tak terhindar dari kritikan pakar. Refly Harun mencatat ada beberapa kelemahan sistem penyelenggaraan Pilkada tidak langsung yaitu: 1) tidak sesuai dengan sistem presidensial; 2) menempatkan DPRD lebih tinggi dari kepala daerah; 3) potensi money politics kepada DPRD; 4) menjadikan kepala daerah sapi perahan DPRD; 5) hanya yang bermodal dapat kesempatan; 6) calon independen kehilangan kesempatan; 7) potensial bertentangan dengan asas kedaulatan rakyat dan pemilihan demokratis; dan 8) memunculkan fenomena elite captured.
baru menjadi momentum untuk melakukan reformasi di segala bidang, tidak terkecuali dengan penyelenggaraan Pilkada. Melalui Undang-Undang No 22 Tahun 1999 pemerintah menerapkan sistem pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkada). Pelaksanaan Pilkada semakin mendapat tempat manakala pemerintah menerbitkan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Dalam undang-undang tersebut ditegaskan bahwa pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan secara langsung dimana pasangan calon harus diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Penyelenggaraan Pilkada ternyata tidak terhindar dari ekses negatif. Pilkada langsung dituding berbiaya tinggi, rawan terjadinya money politics dan politisasi birokrasi. Selama pelaksanaan Pilkada, konflik horizontal semakin menguat. Gesekan antar pendukung calon kepala daerah menjadi hal yang tidak terelakkan. Pernyataan siap menang
dan siap kalah para calon kepala daerah tampaknya hanya menjadi jargon semata. Pada kenyataannya, para pendukung calon kepala daerah yang kalah kerap melampiaskan kekecewaannya dengan melakukan tindakan anarkis.
ISU UTAMA
11 PKDOD review
Pilkada diduga juga semakin menyuburkan paktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Selama penyelenggaraan Pilkada, tercatat 332 kepala daerah tersangkut masalah korupsi. Ini berarti lebih dari separuh jumlah kepala daerah yang ada. Nepotisme juga merebak di mana-mana. Suksesi kepala daerah seolah menjadi ladang berbagi kekuasaan. Sudah menjadi hal yang lazim dijumpai, ketika seorang kepala daerah mengakhiri masa jabatannya, maka sanak saudara, kerabat maupun pihak yang memiliki afiliasi dengannya kemudian tampil menggantikannya. Pilkada telah melahirkan dinasti baru dan menumbuhkan raja-raja kecil di daerah. Tepat 10 tahun setelah Undangundang No. 32 Tahun 2004,
Semakin menguatnya demokratisasi menimbulkan tuntutan untuk menjalankan pemerintahan yang lebih demokratis. Tuntutan itu akhirnya membuahkan hasil. Melalui gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa, pemerintah orde baru akhirnya tumbang. Tumbangnya orde
PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
PKDOD review
ISU UTAMA
12
pemerintah bersama DPR menerbitkan Undang-Undang No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Berkaca dari pengalaman menyelenggarakan Pilkada, pemerintah bersama DPR mengganti mekanisme Pilkada langsung menjadi sistem perwakilan, sebagaimana Pilkada sebelum masa reformasi. Melalui mekanisme tersebut tampaknya pemerintah dan DPR ingin meminimalkan ekses negatif dari penyelenggaraan Pilkada langsung. Tak lama setelah mendapat pengesahan, kehadiran undang-undang tersebut langsung mendapat reaksi dari masyarakat. Berbagai pihak melancarkan protes dan menuntut mekanisme Pilkada dikembalikan menjadi Pilkada langsung. Menghadapi desakan tersebut pemerintah akhirnya menerbitkan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Menurut Denny Indrayana (Wakil Menkumham waktu itu), Perppu 1/2014 terbit sebagai jawaban atas kritik, masukan, dan hasil evaluasi yang selama ini banyak disuarakan berbagai pihak. Perppu tersebut akhirnya dikukuhkan melalui Undang-undang No. 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Dalam undangundang tersebut dijelaskan bahwa mekanisme Pilkada yang digunakan adalah Pilkada serentak. Tahap pertama Pilkada serentak telah berlalu. Berkaca pada penyelenggaraan tersebut tentu
PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
ada hal-hal yang bisa masih bisa disempurnakan. Refly Harun (PKDOD 2015) menyebut salah satu hal yang berpotensi menimbulkan masalah adalah penyelesaian sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, putusan MK terkadang masih sulit diterima sebagian kelompokkelompok dalam masyarakat sehingga tidak menjamin bahwa konflik dapat berakhir setelah putusan dikeluarkan. Oleh karena itu, Refly Harun menambahkan bahwa sebelum Pilkada Langsung secara serentak pada tahun 2027 pemerintah sudah harus membentuk satu badan peradilan khusus untuk menangani perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilihan. Selama badan peradilan khusus dimaksud belum terbentuk sesuai amanah undang-undang maka perselisihan diperiksa dan diadili Mahkamah Konstitusi (MK) dengan putusan bersifat keputusan final dan banding. Sedangkan pidana pemilu menjadi tanggungjawab pengadilan umum dan masalah yang terkait administrasi pemilu ditangani oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pilkada serentak membuka ruang partisipasi publik yang lebih luas dalam demokrasi dan penentuan kepemimpinan politik di tingkat lokal. Melalui calon perseorangan (tanpa dukungan partai) pilkada juga memberi peluang munculnya preferensi kandidat di antara berbagai calon yang didukung partai. Masyarakat bisa langsung menentukan kepala daerah pilihannya tanpa direduksi oleh elit-elit politik. Pilkada serentak juga memberi kesetaraan warga dalam pengambilan keputusan politik. Pilihan secara langsung oleh
rakyat memungkinkan masyarakat mendapatkan kepala daerah yang sesuai dengan pilihannya dan berorientasi pada masyarakat. Dukungan yang kuat dari rakyat membuat kepala daerah yang terpilih memiliki kekuatan yang seimbang dengan DPRD. Kepercayaan yang diberikan rakyat secara langsung kepada kepala daerah dapat meminimalkan kepala daerah untuk melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Perjalanan menuju Pilkada serentak secara nasional memang masih panjang. Tercatat ada enam tahapan Pilkada serentak sebelum diselenggarakan Pilkada serentak secara nasional pada 2027 mendatang sebagaimana ditampilkan pada tabel di atas. Setiap tahapan Pilkada serentak tentu menyisakan problematika tersendiri. Evaluasi terhadap setiap tahap Pilkada serentak menjadi suatu keniscayaan untuk penyempurnaan pelaksanaan Pilkada serentak tahap berikutnya. Evaluasi secara kontinyu pada setiap tahap Pilkada serentak diharapkan dapat mewujudkan Pilkada serentak sebagaimana yang dicita-citakan. Dengan demikian Pilkada serentak secara nasional akan dapat melahirkan pemimpin yang sesuai dengan kehendak rakyat, berorientasi pada rakyat dan mampu mewujudkan harapan dan aspirasi rakyat.
Wawancara dengan Kepala LAN: Dr. Adi Suryanto, M.Si.
“Otonomi Daerah adalah Komitmen Kita Bersama”
ISU UTAMA
13 PKDOD review
PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
PKDOD review
WAWANCARA
14
P
elaksanaan otonomi daerah yang telah berlangsung selama dua dekade memberi warna tersendiri dalam dinamika penyelenggaraan pemerintahan di negeri ini. Sejumlah pencapaian dari daerah memunculkan harapan besar. Ada juga sejumlah catatan kritis yang perlu segera direspon agar upaya pencapaian tujuan otonomi daerah berjalan sebagaimana mestinya. Pada awal Mei silam, Redaksi PKDOD Review berkesempatan mewawancarai Kepala LAN, Dr. Adi Suryanto, M. Si, mengenai perjalanan otonomi daerah di Indonesia beserta pencapaian dan problematikanya, dan kontribusi LAN terkait penguatan otonomi daerah ke depan. “LAN memiliki peran dan posisi yang strategis dalam penguatan pelaksanaan otonomi Daerah,” ungkap beliau. Peran dan posisi seperti apakah yang dimaksudkannya? Berikut adalah petikan wawancaranya. =======
Bagaimana pandangan Bapak tentang perjalanan Otonomi Daerah di Indonesia yang sudah berlangsung selama dua dekade? Menurut saya, perjalanan otonomi daerah sudah memberikan perspektif positif bagi penyelenggaraan pemerintahan. Kita melihat berbagai kebijakan sudah mendorong adanya pencapaian kinerja pemerintahan daerah yang baik, dan tentu ini sangat menggembirakan. Sebagai contoh, hasil survey menunjukkan banyak pemerintah daerah yang berkinerja baik, pelayanan publik yang semakin berkualitas, berkembangnya demokrasi lokal, dan kesejahteraan. Namun dalam praktiknya kita juga tidak bisa memungkiri bahwa sejumlah daerah masih menyisakan catatan negatif dan tentu hal ini menjadi PR kita bersama. Misalnya, kemunculan raja-raja kecil di daerah, politik dinasti, konflik pengelolaan sumber daya alam, politisasi birokrasi, tuntutan pemekaran daerah yang tinggi, kinerja daerah pemekaran belum sesuai harapan, konflik horisontal dalam Pilkada, dan meningkatnya angka korupsi di daerah. Hal itulah yang muncul dalam dua dekade ini dan menjadi tanggung jawab kita bersama untuk memikirkan solusinya ke depan. Jadi, menurut Bapak, apakah pelaksanaan otonomi daerah selama ini sudah sesuai dengan harapan? Sudah. Tetapi masih banyak yang perlu untuk dibenahi. Misalnya, dari sisi regulasi, bagaimana setiap perubahan UU pemerintahan daerah harus dapat meminimalisir persoalan-persoalan negatif seperti disebut tadi. Konsistensi pemerintah untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah juga diperlukan agar hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah selaras. Terbitnya UU No. 23/2014 membawa konsekuensi, terutama terkait sejumlah urusan pemerintahan PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
yang ditarik dari kabupaten/kota. Bagaimana pandangan bapak terhadap UU tersebut? Menurut saya, perubahan regulasi otonomi daerah merupakan hal yang wajar dalam proses perbaikan penyelenggaran dan pencapaian tujuan otonomi daerah. Kalau kita runut ke belakang, perubahan regulasi itu terjadi karena pada dasarnya para perumus kebijakan menginginkan terjadinya keseimbangan dalam implementasi antara sistem pemerintahan sentralistik dan desentralistik. Sejak UU No. 1/1945 sampai dengan UU No. 23/2014 dapat dicermati adanya fenomena keseimbangan tersebut: dominan sentralistik, dominan desentralistik, atau mencoba menyeimbangkan kedua-duanya. Dalam konteks UU No. 23 2014, saya melihat bahwa para perumus kebijakan memandang adanya konflik pelaksanaan urusan pemerintahan yang ada selama ini, yaitu UU No. 32/2004, dianggap menimbulkan ekses negatif bagi keberlanjutan ekosistem di daerah. Oleh karena itu, bagi saya, perubahan pembagian urusan pemerintahan ini harus disikapi secara proporsional. Betul bahwa akan muncul resistensi dari pemerintah daerah kabupaten/ kota maupun provinsi, namun hal ini hendaknya dilihat dalam konteks jangka panjang. Memasuki era pasar tunggal ASEAN atau MEA, apa yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah daerah agar lebih kompetitif dan berdaya saing? Salah satu tujuan otonomi daerah adalah meningkatkan daya saing. Keberadaan MEA sesungguhnya menjadi momentum, tantangan, dan peluang, yang nyata bagi daerah. Untuk merespon tantangan dan peluang ini, pemerintah daerah perlu meningkatkan kompetensi ASN dan kapasitas kelembagaannya, serta menumbuhkembangkan inovasi. ASN di Pemda harus memiliki profesionalisme, integritas, budaya pelayanan, dan wawasan yang luas. Selain itu, pemerintah daerah
15 juga harus membangun sinergi, baik di internal organisasi maupun dengan para pemangku kepentingan lainnya agar dapat mengelola tantangan dan memanfaatkan peluang di era MEA. Di samping itu, Pemda harus mampu mengembangkan inovasi-inovasi. Hal ini sesuai dengan amanat UU No. 23/2014 Pasal 386-390 yang mendorong Pemda untuk melaksanakan berbagai inovasi di daerah. Terkait hal ini, LAN juga berupaya membangun Pemda inovatif dengan membentuk Laboratorium Inovasi. Kini, sejumlah Pemda telah menjadi bagian dalam program tersebut. Menurut Bapak, apakah daerah sudah cukup siap menghadapi MEA? Kesiapannya belum optimal, bahkan terbilang masih banyak daerah yang belum siap. Hal ini karena sejumlah faktor. Misalnya, masih banyaknya regulasi-regulasi di daerah yang menimbulkan ekonomi berbiaya tinggi, infrastruktur yang belum memadai, masih rendahnya kompetensi ASN terkait MEA. Selain itu, ada juga faktor eksternal seperti minimnya informasi dan pembinaan dari Pemerintah Pusat. Apa yang harus dilakukan pemerintah untuk mendorong daya saing menghadapi MEA? Menurut saya, pemerintah harus segera fokus membangun infrastruktur, menata regulasi yang tumpang tindih, dan mempercepat peningkatan kapasitas aparatur sipil negara. Hal ini sebenarnya sudah menjadi program pemerintah saat ini, sebagaimana yang ditegaskan melalui visi Nawacita yang diusung oleh Pemerintah Jokowi-JK. Bagaimana proyeksi Bapak tentang masa depan otonomi daerah di Indonesia? Otonomi daerah sudah menjadi komitmen kita bersama sehingga apa pun yang terjadi dalam praktiknya adalah bagian dari dinamika mencari format ideal dalam membangun tata kelola pemerintahan yang lebih baik. Selama ini, pandangan dominan memang menganggap bahwa otonomi daerah itu hanya tanggung jawab kementerian tertentu dan pemerintah daerah. Menurut saya, hal ini keliru, karena hampir seluruh urusan desentralisasi masih terkait dengan urusan pemerintah pusat (lintas K/L), sehingga ke depan harus dirumuskan kembali peran yang dimainkan oleh masing-masing sektor dalam memperkuat implementasi otonomi daerah.
Apa peran yang dilakukan LAN ke depan untuk memperkuat penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah? Sebagai lembaga negara yang berfokus pada peningkatan kapasitas aparatur sipil negara dan kajiankajian bidang kebijakan publik, LAN sebagaimana diamanatkan dalam Perpres No. 57 Tahun 2013 dan UU No. 5 Tahun 2014 Tentang ASN, memiliki peran dan posisi yang strategis dalam memperkuat pelaksanaan otonomi daerah. Hal ini berkaitan dengan strategi peningkatan kualitas aparatur sipil negara melalui pendidikan dan pelatihan aparatur— mulai dari pusat sampai daerah— m e n d o r o n g munculnya inovasiinovasi di bidang administrasi negara, dan memberikan advokasi dan perkonsultasian bagi pemerintah pusat dan daerah dalam melakukan penataan, baik aspek kelembagaan, ketatalaksanaan, maupun sumber daya manusia aparatur. Hal penting lain yang juga akan dilakukan oleh LAN adalah pembentukan Sekolah Kader ASN serta Politeknik LAN yang membuka program sarjana dan pasca sarjana S2 dan S3, khusus bagi aparatur sipil negara, baik di pusat maupun daerah
PKDOD review
TINJAUAN REGULASI
16
Meretas Problematika Desentralisasi Catatan Kritis UU No. 23 Tahun 2014
Oleh: Rusman Nurjaman
B
(
[email protected])
arangkali masih segar dalam ingatan kita tentang tewasnya Salim Kancil, warga Desa Selok Awar-Awar, Lumajang, Jawa Timur, yang terjadi menjelang akhir September 2015 silam. Kasus terbunuhnya Salim Kancil secara keji bukan peristiwa kriminal biasa, melainkan pembunuhan berencana yang dipicu penolakan warga terhadap penambangan pasir besi. Kendati kini para pelakunya telah diadili, kasus serupa masih berpotensi terulang di kemudian hari. Jika kita mencoba melihat kasus ini dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan yang terdesentralisasi atau era otonomi daerah, pelajaran apa yang dapat dipetik? Pertama, kasus Salim Kancil merupakan fenomena gunung es sebagai akibat dari kian meruncingnya persoalan-persoalan agraria, terutama setelah dilaksanakannya kebijakan otonomi daerah. Maraknya jual beli perizinan penggalian tambang di daerah yang tidak diimbangi dengan kapasitas pemerintah daerah untuk mengontrolnya di satu sisi, dan kian melebarnya ketimpangan akses masyarakat atas sumber-sumber agraria di sisi lain, melatarbelakangi terjadinya berbagai konflik agraria di daerah. Dengan kata lain, kasus Salim Kancil menunjukkan wajah kelam era otonomi daerah di negeri ini yang sudah berjalan hampir dua dekade—terhitung sejak dibentuknya daerah otonom percontohan tahun 1995. Kedua, besarnya kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah (Kabupaten/ Kota)—sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004—tidak serta-merta berbanding lurus dengan peningkatan pemerataan kesejahteraan dan terwujudnya tatanan sosial yang berkeadilan. Meski di bawah UU ini,
PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
pelaksanaan otonomi daerah telah juga melahirkan pemimpinpemimpin daerah yang inovatif, toh hal ini tak menyurutkan niat Pemerintah dan elite politik (DPR) untuk mengoreksi beleid ini. Ketika kemudian terbit UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, banyak pihak beranggapan bahwa kasus Salim Kancil sesungguhnya dapat diantisipasi seandainya Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) dapat berfungsi. Ironisnya, kasus Salim Kancil justru terjadi ketika UU No. 23/2014 genap berusia satu tahun berjalan. Paradoks desentralisasi UU No. 23 Tahun 2014 sendiri lahir dengan semangat untuk mendorong efisiensi dan efektivitas roda pemerintahan. Hal ini ditengarai sebagai upaya untuk menjawab berbagai kontradiksi praktik desentralisasi yang sudah berlangsung selama ini. Era otonomi daerah sejak 1999, yang disempurnakan lima tahun kemudian dengan pemilihan kepala daerah langsung, membawa “musibah” dan “berkah”. Kedekatan “jarak” antara pemimpin dengan yang dipimpin membuat berbagai persoalan publik mendapat respon lebih cepat. Pembangunan daerah pun, dengan demikian, semestinya dapat dipacu dan mencerminkan pelaksanaan aspirasi lokal. Otonomi daerah memang memungkinkan ruang bagi pemimpin yang bertumbuh dari bawah sehingga lebih gampang menggerakkan masyarakatnya. Hal ini pula yang mendorong kemunculan pemimpin-pemimpin inovatif di daerah.
Namun otonomi daerah juga mengundang “musibah”, terutama di daerah yang kesadaran kritis kelas menengahnya belum tersemai. Alih-alih meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan warga, di daerah serupa ini otonomi daerah justru melahirkan raja-raja kecil, oligarki lokal, atau bahkan dinasti politik, yang niat utamanya sekadar meraih kuasa. Sistem pengawasan dan kontrol publik yang lemah membuat korupsi tumbuh subur. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK, 2015) menyebutkan, dalam 11 tahun terakhir terdapat 64 kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah di negeri ini. Puncaknya terjadi pada 2014, yaitu terdapat 17 kasus. Dalam konteks seperti ini, tak heran jika kemudian di daerah, terutama yang kaya sumber daya alam, kerap terjadi tumpang tindih perizinan eksploitasi sumber daya alam. Pengelolaan sumber daya alam, seperti hutan dan tambang, misalnya, juga melahirkan sejumlah paradoks karena tidak berdampak pada peningkatan kesejahteraan warga. Dengan kata lain, efektivitas dan efisiensi pemerintahan daerah ibarat jauh panggang dari api. Terbukti, misalnya, berdasarkan hasil kajian Kementerian Dalam Negeri, dari 34 Provinsi dan 508 Kabupaten/Kota, 65 persen di antaranya gagal berkembang sebagai daerah otonom (Kompas, 11 Juli 2015). Lalu, sejauh mana tujuan UU No. 23 Tahun 2014 untuk mendorong efisiensi dan efektifivitas pemerintahan daerah tersebut dapat terwujud?Tentunya masih terlalu dini untuk menjawabnya.
Isu krusial dalam UU No. 23 Tahun 2014 Namun, menjadi menarik jika kita mencoba mencermati beberapa aspek dalam UU No. 23 Tahun 2014 ini. Pertama, untuk pertama kali dalam sejarah pengaturan pemerintahan daerah, UU ini dibuka dengan penegasan eksplisit kekuasaan Presiden. Hal ini dapat berdampak positif dalam manajemen pemerintahan karena memungkinkan tegaknya upward-accountability dan hirarki pemerintahan. Hanya saja, pengaturan demikian menyiratkan bias dalam penafsiran undangundang, yaitu bahwa otonomi adalah pemberian Presiden. Tafsir demikian bertentangan dengan prinsip yang mengakui otonomi sebagai mandat Konstitusi sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 UUD 1945 pasca Amandemen. Desentralisasi berarti kamar urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah diambil dari kamar eksekutif (Presiden), dan proses penyerahan urusan dilakukan bersama legislatif dan Presiden sebagai pembentuk UU. Kebutuhan untuk mendorong manajemen pemerintahan yang efektif dan hubungan pusat-daerah yang sinkron tidak berarti bahwa otonomi mesti ditafsirkan sebagai pemberian Presiden.
TINJAUAN REGULASI
17 PKDOD review
Kedua, UU No. 23 Tahun 2014 mengatur tata kelola sejumlah urusan di bawah kewenangan Provinsi yang dulu menjadi kewenangan Kabupaten/Kota, yaitu antara lain pendidikan menengah, pengelolaan sumber daya laut, pertambangan (energi
PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
PKDOD review
TINJAUAN REGULASI
18
dan sumber daya mineral), dan sumber daya hutan. Dari sejumlah substansi yang diatur dalam beleid ini, penarikan sejumlah urusan tersebut menjadi isu krusial yang hingga kini terus bergulir. Selain karena berpotensi menimbulkan gejolak baru dalam konteks hubungan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, hal ini juga membawa implikasi yang tidak ringan dalam tata kelola pemerintahan daerah ke depan. Selain kedua hal tersebut di atas, sesungguhnya masih terdapat beberapa aspek lain dalam UU No. 23/2014 yang juga menarik untuk dicermati lebih jauh, yaitu terkait dengan hubungan pemanfaatan sumber daya alam, pengelolaan laut, dan upaya hukum atas pembatalan Perda. Semangat pengaturan yang sentralistik, sebagaimana tertuang dalam UU ini, atas ketiga aspek yang terakhir juga dipastikan bakal berimplikasi serius bagi masa depan otonomi daerah di negeri ini. Namun begitu, tulisan ini hanya akan membatasi diri pada implikasi pembagian urusan pemerintahan saja sebagaimana diatur dalam UU, yang dalam banyak segi juga beririsan dengan isu lain di atas. Problem inefisiensi kambing hitam
sebagai
Jelas, ketimbang niat untuk memperkuat peran Provinsi, alasan di balik penarikan sejumlah urusan dari tangan Kabupaten/ Kota ke Provinsi diniatkan untuk mendorong efisiensi penyelenggaraan pemerintahan. Para konseptornya sendiri mengklaim bahwa UU ini mungkin bakal segera direvisi lagi menjadi sebuah aturan/sistem yang ideal.
PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
Hanya untuk sekarang, apa yang diatur dalam UU merupakan yang paling realistis. Hal ini karena berbagai problem di tingkat lokal yang mengganggu efisiensi pemerintahan daerah, seperti konflik, korupsi sumber daya alam, membutuhkan respon yang cepat sehingga menyebabkan pemerintahan daerah harus ditata ulang. Oleh karena itu, berbeda dengan sangkaan banyak pihak, terbitnya UU No. 23/2014 tidak bertujuan untuk penguatan peran Provinsi, melainkan untuk mempermudah penanganan urusan pemerintahan. Urusanurusan yang selama ini tidak mudah ditangani oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, maka jika ditangani oleh Pemerintah Provinsi diasumsikan bakal lebih mudah. Namun demikian, benarkah masalah inefisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan tersebut disebabkan karena letak urusan itu ada di tangan pemerintah kabupaten/ kota? Bagaimana dengan faktor lain, seperti koordinasi yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi yang sejauh ini tidak berjalan optimal? Sebagai contoh, dalam urusan pertambangan, apakah inefisiensi itu terjadi karena masalah perizinan dari kabupaten/kota yang tidak jelas dan terkesan tumpang tindih atau karena faktor koordinasi pengawasan dan pembinaan yang lemah? Sikap Pemerintah, sebagaimana tersirat dalam UU No. 23/2014, jelas berpendirian bahwa masalah inefisiensi itu karena letak urusannya di kabupaten/kota sehingga harus ditarik ke provinsi. Namun, manakala kewenangan
tersebut ditarik ke provinsi, apakah terdapat jaminan tata kelola sejumlah urusan tersebut akan berjalan efektif-efisien sebagaimana yang diangankan? Tidakkah masalah inefisiensi tata kelola tersebut muncul bukan karena letak urusannya ada pada kabupaten/kota, melainkan karena lemahnya koordinasi dan pembinaan-pengawasan dalam struktur berjenjang (hierarki) tata pemerintahan (Pusat-ProvinsiKabupaten/Kota) selama ini? Fakta di lapangan memang terdapat gap yang besar antara besarnya otoritas dan rendahnya kapasitas kabupaten/kota. Tapi apakah karena hal itu Pemerintah lalu mempunyai cukup alasan untuk menarik sejumlah urusan strategis dari Kabupaten/Kota? Kondisi tersebut justru kian menegaskan tidak berjalannya pembinaan yang dilakukan Provinsi. Berpijak dari pokok persoalan di atas, solusi yang lebih masuk akal kemudian bukanlah menarik urusan itu ke atas, melainkan bagaimana agar kesenjangan antara otoritas dan kapasitas pada Kabupaten/Kota dapat diatasi. Jika mengikuti alur pikiran tersebut, letak urusannya sebaiknya tetap di Kabupaten/Kota dan seiring dengan itu kapasitas tatakelolanya ditingkatkan. Hal ini berarti bahwa koordinasi, pembinaan dan pengawasan (korbinwas) dari Pemerintah Provinsi juga harus diperkuat. Isu tentang penguatan Provinsi sudah saatnya diarahkan pada aspek korbinwas tersebut. Oleh karena itu, kini ketika kita masuk ke isu penguatan Provinsi, pendekatannya tidak lagi melihat status Provinsi sebagai satu wilayah
otonom dan Gubernur sebagai kepala daerah. Penguatan Provinsi harus memakai pendekatan yang menempatkan Provinsi sebagai wilayah administratif dan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah, yaitu dengan memperkuat aspek korbinwas. Tak bisa dipungkiri, kondisi riil di lapangan menunjukkan bahwa selama ini provinsi sangat lemah dalam melakukan koordinasi, pembinaan dan pengawasan, terhadap Kabupaten/Kota. Dengan kata lain, yang harus diperkuat adalah sisi dekonsentrasi yang terkait dengan tugas pembinaan dan pengawasan.Inilah yang seyogyanya menjadi fokus kita dalam mendorong efektivitas pemerintahan daerah. Selanjutnya, di tingkat Kabupaten/ Kota, kesenjangan antara besarnya otoritas di satu sisi dengan rendahnya kapasitas di sisi lain, harus diatasi dengan penguatan kapasitas tata kelola yang baik dan sistem integritas. Sebab, jika menyangkut masalah inefisiensi, tidak semua urusan yang terkait tambang, misalnya, mempunyai eksternalitas dan lintas wilayah. Bahkan, malah ada tambang di tingkat kecamatan dan desa. Lalu dengan lahirnya UU No. 23/2014, apakah kemudian Provinsi yang akan mampu mengatur semua itu sebagai pemangku otoritasnya? Argumen yang sering muncul, untuk menjalankan otoritasnya Pemerintah Provinsi akan mendirikan cabang dinas di tingkat Kabupaten/Kota. Hal ini justru akan menambah rumit persoalan. Bagi pelaku usaha, barangkali tidak menjadi soal siapapun yang
mengatur selama memenuhi asas kelayakan. Tapi bagi Kabupaten/ Kota, masalahnya sederhana: jika letak urusan itu ditarik ke Provinsi, ketika terjadi masalah (karena bencana, misalnya), apakah kemudian mereka boleh menutup mata terhadap semua hal itu? Sebab, jika kewenangan sudah ditarik ke Provinsi, artinya penanganan urusan, personalia, dan anggaran juga berada di Pemerintah Provinsi. Sementara Kabupaten/ Kota, baik secara moral dan secara politik, berhak untuk tidak mengindahkannya.
Re-sentralisasi merupakan sentralisasi yang terjadi pada tingkatan yang lebih kecil dan lebih rendah dari Pusat, yaitu di level Provinsi.
Jadi, persoalannya bukan sekadar terkait dengan tatakelola yang berorientasi pada pencapaian efisiensi, tetapi juga harus mempertimbangkankemungkinan lain ketika terjadi masalah: apakah Provinsi bakal siap? Sementara itu, berdasarkan pengalaman, kantor cabang dinas biasanya tidak solid. Inilah yang perlu dipertimbangkan ketika kita menyoal isu penguatan provinsi. Otonomi hilang
yang
(terancam)
Tak pelak lagi, dengan proses yang berlangsung sekarang ini sesungguhnya telah terjadi resentralisasi parsial atau mikro sentralisasi. Re-sentralisasi merupakan sentralisasi yang terjadi padatingkatan yang lebih kecil dan lebih rendah dari Pusat, yaitu di level Provinsi. Kendati begitu, para
TINJAUAN REGULASI
19 PKDOD review
perumus UU No. 23/2014 tentunya tidak setuju dengan sebutan mikro-sentralisasi. Bagi mereka, penarikan urusan dari Kabupaten/ Kota ke Provinsi hanya sekadar upaya penataan kembali urusanurusan yang selama ini bermasalah karena dianggap disalahgunakan oleh Kabupaten/Kota. Namun demikian, tak bisa dipungkiri, penarikan sejumlah urusan tersebut berimplikasi secara signifikan tidak hanya terhadap hubungan Kabupaten/Kota dengan Provinsi dan Pemerintah Pusat, tetapi juga terhadap pendapatan Kabupaten/Kota itu sendiri. Hal ini dikarenakan urusan-urusan yang ditarik kewenangannya ke Provinsi adalah urusan-urusan yang sangat strategis bagi Kabupaten/Kota. Oleh karena itu, faktanya sekarang titik berat otonomi itu ada di Provinsi. Di masa mendatang, Kabupaten/ Kota hanya akan mengurus pelayanan publik, sementara urusan-urusan yang lebih strategis dan ekonomis, ditarik ke Provinsi. Dengan kondisi seperti ini menjadi beralasan jika kemudian APKASI, didukung oleh APEKSI, menyampaikan keberatan yang
PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
PKDOD review
TINJAUAN REGULASI
20
sangat serius ke Mahkamah Konstitusi. Dengan adanya UU No. 23/2014, kewenangan Kabupaten/Kota menjadi sangat terbatas. Esensi otonominya sudah hilang karena kewenangannya sangat kecil, urusannya juga kecil. UU ini memang mengamanatkan adanya bagi hasil dari pengelolaan sejumlah urusan yang ditarik ke Provinsi untuk Kabupaten/Kota. Namun, hal ini pun belum jelas karenamensyaratkan revisi atas pengaturan tentang perimbangan keuangan Pusat dan Daerah sebagaimana tertuang dalam UU No. 33/ 2004 sehingga bisa selaras dengan amanat UU No. 23/2004. Menuju Revisi UU Dengan fakta yang terjadi saat ini, apakah implikasi yang kirakira bakal muncul? Revisi UU No. 23/2014 menjadi satu keniscayaan politik. Revisi diperlukan karena sejumlah alasan. Pertama, dengan penarikan kewenangan sejumlah urusan dari Kabupaten/Kota ke Provinsi muncul persoalan dalam otonomi. Kabupaten/Kota terancam kehilangan otonominya karena kewenangannya menjadi sangat terbatas dan lingkup urusannya sangat kecil. Kedua, dengan penarikan kewenangan sejumlah urusan strategis ke Provinsi muncul persoalan dalam aspek rentang kendali wilayah. Untuk konteks provinsi-provinsi di Jawa-Bali yang infrastrukturnya relatif lebih baik dan wilayahnya tidak terlalu luas, hal ini mungkin tidak menjadi persoalan. Namun kondisinya jauh berbeda dengan sebagian besar provinsiprovinsi luar Jawa yang rata-rata infrastrukturnya masih jauh dari memadai.
PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
Ketiga, dalam aspek pelayanan publik tentunya semakin dekat semakin baik. Teori “paradoks jarak” mengatakan bahwa lebih dekat belum tentu akan lebih efisien, namun hal ini berlaku juga sebaliknya: belum ada bukti bahwa jika urusan ini ditarik ke Provinsi, tata kelolanya akan lebih efisien. Keempat, dari sisi politik, penarikan urusan ke Provinsi berpotensi menggerus peluang partisipasi masyarakat. Semakin jauh letak urusan dari masyarakat maka semakin sulit untuk berpartisipasi, terlebih untuk kondisi wilayah di luar Jawa, seperti Kalimantan, Sulawesi, Papua, NTT, dll, yang infrastruktur dan sistem komunikasinya belum terbangun dengan baik. Meskipun kelak Provinsi akan dibentuk cabang dinas di Kabupaten/Kota, tetapi otoritasnya tetap berada di Provinsi. Apakah partisipasi masyarakat akan tersalurkan dengan baik? Siapa yang mau berdemonstrasi hingga ke ibukota untuk sebuah problem yang memang terkait dengan kewenangan Provinsi tetapi ada di depan mata mereka di Kabupaten/Kota? Hal ini penting untuk dipertimbangkan. Meskipun sekarang zaman teknologi informasi, tapi partisipasi harus dilakukan secara langsung. Akses kontrol melalui partisipasi dan tuntutan akuntabilitas menjadi tantangan berikutnya ketika letak urusan berada di tangan Provinsi. Kelima, teori organisasi menyebutkan, semakin kompleks suatu organisasi maka harus semakin terdesentralisasi. Yang terjadi di negeri ini justru menunjukkan sebaliknya. Urusan-urusan yang sangat
kompleks seperti kehutanan dan pertambangan ditarik ke Provinsi. Ini akan menimbulkan komplikasi persoalan yang cukup berat. Dengan sejumlah alasan itu, penarikan kewenangan ke Provinsi justru akan memunculkan masalah baru. Padahal sebagaimana ditunjukkan di atas, sejatinya, hampir semua urusan pemerintahan itu memiliki dimensi lokalitas yang kuat. Ironisnya, pendekatan skala/luasan urusan, eksternalitas, apalagi prinsip subsidiaritas, justru ditabrak di UU baru ini. Oleh karena itulah, sekali lagi, revisi UU menjadi satu keniscayaan politik karena sebaiknya letak kewenangan urusan-urusan itu tetap berada di Kabupaten/Kota. Lalu, untuk mengatasi problem inefisiensi yang terjadi selama ini, penguatan fungsi korbinwas pada Provinsi mutlak diperlukan, dan peningkatan kapasitas tata kelola dan sistem integritas Kabupaten/ Kota menjadi prioritas. ##
Pilkada, Oligarki, dan Masa Depan Demokrasi Lokal
PERSPEKTIF
21 PKDOD review
Oleh: Rico Hermawan
[email protected] Pengantar
B
erbicara tentang politik Indonesia saat ini tentu tak bisa melepaskannya dari pengalaman masa lalu yang turut menaungi dan menentukan kondisi saat ini. Boleh jadi, kita menyebut pengalaman di bawah pemerintahan Orde Baru adalah masa-masa yang paling menentukan kekinian bangsa Indonesia tersebut. Dalam kajian ilmu politik, Pemerintahan Orde Baru kerap diasosiasikan dengan wujud identik model negara tradisionalis, persis dengan model kerajaan nusantara lama, terutama kerajaan Jawa. Satu hal yang penting dalam usaha memahami model pemerintahan tersebut adalah bagaimana memaknai kekuasaan dalam konstruksi pemikiran budaya Jawa. Seorang Indonesianis berkebangsaan Amerika Serikat, Benedict Anderson (Ben), dalam tulisannya, The Idea of Power in Javanese Culture, memberikan intepretasi menarik tentang bagaimana memaknai kekuasaan (power) dalam konsep budaya Jawa. Menurut Ben, makna kekuasaan dalam tradisi Jawa memiliki keterikatan kuat dengan sosial budaya masyarakat Jawa yang beragam dan sinkretis. Dalam budaya Jawa itu kekuasaan dipandang sebagai sesuatu yang “konkret”, ia nyata atau benar-benar ada, dapat diraih!1. Ide ini berbeda dengan masyarakat di Barat yang cenderung meletakkan kekuasaan sebagai sesuatu yang “abstrak”. Bagi Ben, yang pernah dilarang puluhan tahun mengunjungi Indonesia, Orde baru adalah gambaran empirik pemerintahan tradisional Jawa tersebut. Lebih jauh, dalam pandangan Soeharto yang tradisionalis, seorang anak petani yang lekat dengan budaya kejawen, kemakmuran suatu bangsa ikut ditentukan oleh halhal yang bersifat metafisis. Seorang penguasa adalah mandataris Ilahi yang diberkahi wahyu, menentukan 1 Benedict Anderson, The Idea of Power in Javanese Culture, dalam Holt, Claire (ed), 2007, Culture and Politics in Indonesia, Jakarta: EQUINOX Publishing, hal. 7.
nasib bangsanya, maka dari itu ia boleh atau ia adalah absolut. Kekuasaan cenderung terpusat (centralized), terkontrol ditangannya dan kemudian dibagi-bagikan kepada orang-orang kepercayaannya. Sedangkan, birokrasi dan militer adalah alat serta perpanjangan tangan penguasa. Dengan meminjam istilah dalam model birokrasi Weber, Ben menyebut Indonesianya Soeharto sebagai Patrimonial State (Negara Patrimonial)2. Dan selama tiga dekade kekuasaannya, Soeharto berhasil meletakkan makna kekuasaan dalam logika berpikir manusia politik Indonesia. Meski teori Ben ini boleh jadi tak lagi dianggap relevan untuk memahami budaya politik Indonesia modern saat ini, namun kecenderungan melihat kekuasaan sebagai sesuatu yang ada, konkret, dapat dilihat dari perilaku elit Indonesia pasca Orde Baru. Apalagi, terdesentralisasinya kekuasaan ke daerah menjadikannya daya tarik anyar dan arena baru pertarungan politik elit melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Tak sedikit orang yang berlombalomba mengejar kursi jabatan lima tahunan itu, menggunakan segala daya dan cara, baik halal maupun haram, demi berkuasa. Pilkada dan menguatnya oligarki kolektif Perhelatan Pilkada secara Langsung –sejak tahun 2005merupakan agenda terusan dari “proyek” reformasi 2 Di masa Kerajaan Kuno, kekuasaan raja sarat dengan nuansa renumeratif (konsentrasi kekayaan) dan punitif (koersif/menghukum) untuk memelihara kekuasaan raja. Untuk keperluan itu, maka ia perlu merangkul pihak-pihak seperti Pedagang dan Militer. Cara inilah yang dilakukan oleh Soeharto ketika berkuasa, merangkul kroni-kroni bisnisnya untuk menguasai sumber daya dan memelihara koersifitas militer untuk mempertahankan kekuasaan. Lihat Riswanda Imawan, Kepemimpinan Nasional dan Peran Militer dalam Proses Demokratisasi (Yogyakarta: Jurnal Ilmu Sosial & Ilmu Politik, Vol. 4, No. 1, 2000), hal. 71. PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
PKDOD review
PERSPEKTIF
22
politik setelah bubarnya Orde Baru. Sistem pemilihan ini menjadi antitesis sistem pilkada Orde Baru yang sangat bernuansa korporatis. Keseluruhan kepala daerah ditentukan oleh, dan atas penunjukkan serta restu “Jakarta”. Lebih-lebih secara sengaja mereka yang dipilih mayoritas berlatar belakang militer. Tujuannya jelas, memperkuat rezim militerisme. Sebagai bagian integral dari proses desentralisasi dan otonomi daerah, pilkada menjadi prosedur minimal pelaksanaan demokratisasi di daerah. Ia diharapkan menjadi langkah awal mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis, sustainabel, partisipatif, akuntabel dan berkualitas layanan. Lebih lanjut dari proses ini diharapkan akan lahir caloncalon pemimpin nasional yang telah terlebih dahulu mengalami penggemblengan kepemimpinan sejak level terendah. Namun demikian, sejumlah penelitian yang berfokus pada pelaksanaan pilkada justru menemukan kekhawatiran-kekhawatiran yang cukup beralasan. Beberapa penelitian itu memperlihatkan adanya kerapuhan proses politik dalam pelaksanaan pilkada. Sebagian besar mencoba menyimpulkan jika pilkada belum sepenuhnya menjadi metode terbaik untuk menghasilkan pemimpin daerah yang mumpuni. Salah satu faktor dikarenakan kooptasi kelompok “predator” yang menggunakan segala cara untuk memenangkan arena kontestasi dan memaksimalkan kepentingan mereka. Vedi Hadiz dalam penelusurannya mengamati patologi demokrasi lokal Indonesia pasca Orde Baru. Menurutnya kepentingan kelompok predator di tingkat lokal tidak dilumpuhkan seiring runtuhnya Orde Baru beserta demokratisasi dan desentralisasi yang mengikutinya3. Perubahan sistem dan rezim di Jakarta justru menghasilkan dorongan baru bagi elite lokal untuk memanfaatkan sebanyak mungkin kekuasaan yang didelegasikan ke daerah. Satu penjelasan alternatif yang ingin ditekankan dari imbas perubahan politik dan proses transisi demokrasi pasca Orde Baru adalah adanya suatu transisi oligarki. Bahwa dalam suatu negara penganut demokrasi keniscayaan berkembangnya oligarki adalah sesuatu yang tak bisa dihindarkan, apalagi pada negara yang masih berada pada tahap awal berdemokrasi, seperti 3 Vedi R. Hadiz, Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective (Stanford: Stanford University Press, 2010).
PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
Indonesia. Demokrasi liberal yang tumbuh pesat pasca kekalahan komunisme telah menggeneralisir kemunculan oligarki ke hampir seluruh negara di dunia. Pengertian oligarki sendiri di sini, meminjam pendapat Winters4, adalah sistem relasi kekuasaan yang memungkinkan terkonsentrasinya kekayaan dan otoritas serta perlindungan kolektif terhadap keduanya. Dan siapakah kaum oligarki itu, yaitu mereka yang menurut Aristoteles (1996, dalam Winters, 2011: 2) disebut sebagai the few (sedikit orang), sekaligus the wealthy (hartawan), yang memiliki agenda bersama yakni mempertahanakan sekaligus menambah kekayaan mereka. Variannya beragam, mereka bisa berdiri sendiri dan berkuasa, pribadi atau korporasi, melekat dalam berbagai bentuk rezim, bahkan dapat berkembang dan bertahan dalam rezim demokrasi, seperti yang terjadi di Indonesia pasca Orde Baru. Pemerintahan Orde Baru dibawah Soeharto menjadi titik awal berkembangnya Indonesia menjadi negara oligarki. Sepak terjang rezim ini ditandai dengan penekanan pada praktik-praktik otoritarianisme serta menguatnya kapitalisme negara. Otoritarianisme sendiri menjadi dasar serta fondasi pembangunan ekonomi Orde Baru yang berkolaborasi dengan kelompok swasta yang disponsori negara. Selama berkuasa itu, Soeharto berhasil mengembangbiakkan pengusaha-pengusaha yang, sebagian besar keturunan Tionghoa. Mereka inilah cikal bakal kaum-kaum oligarki di masa depan. Melalui proyek-proyek pemerintah dan monopoli di beberapa sektor, para pengusaha ini tumbuh di bawah kontrol dan kendali negara. Kepentingan mereka sangat bergantung pada masa depan kekuasaan Soeharto. Oleh karena itu golongan kelas menengah ini pun tidak terlalu antusias dengan gagasan-gagasan liberal selama Soeharto berkuasa. Di lain sisi, karena pada dasarnya dirinya pun juga seorang pemain bisnis, Soeharto pun secara sadar mengendalikan kebijakan negara untuk kepentingan akumulasi profit bisnis keluarga serta para kroninya itu5. Seiring dengan ambruknya Orde 4 Jeffrey Winters, Oligarchy, (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), hal. 3 5 Winters memasukkan model oligarki Orde Baru ke dalam tipe Oligarki Sultanistik. Tipe ini memiliki karakteristik seperti dikatakan Winters: A sultanistic oligarchy is a mode of wealth and property defense. Oligarchs are either fully disarmed or coercively overwhelmed, tend not to rule directly, and yet enjoy protection from a single powerful oligarch against potentially devastating lateral
Baru, terjadi suatu perubahan pola oligarki dalam peta politik nasional, dari oligarki penguasa personal menjadi oligarki penguasa kolektif. Pasca Orde Baru, oligarki kolektif ini berkembang pesat melalui jaringan pengusaha yang tumbuh semasa Orde Baru. Pertumbuhan ini terjadi seiring dengan watak kapitalisme politik Indonesia yang kian menguat. Politik begitu cepat dikuasai oleh para oligark Orde Baru yang telah dan baru masuk ke dalam percaturan politik itu, berhasil memodifikasi struktur kelembagaan politik, yang secara konstitusional membuka ruang tumbuh kembangnya mereka, melalui partai-partai politik yang semakin menguat posisi strategisnya seiring perubahan (amandemen) Konstitusi 1945. Liberalisasi politik yang berkelindan dengan kapitalisme ini secara langsung telah mengkreasi ulang watak partai-partai lama sekaligus melahirkan partai-partai baru dengan kendali kuat oligark dibelakangnya. Beberapa parpol lama seperti Golkar diketuai oleh seorang konglomerat ternama Aburizal Bakrie (sebelumnya diketuai oleh pengusaha veteran Jusuf Kalla). Sedangkan sosok oligark yang berada di balik munculnya partai-partai baru6 diantaranya: and vertical threats. The primary locus of coercion to defend wealth rests “above” all oligarchs, but not in the law-bound institutions of an impersonal bureaucratic state. The defense role remains in oligarchic hands – but those of one oligarch whose overarching rule is direct and personalistic. As in the other oligarchies already considered there are no absolute property rights under a sultanistic oligarch. There are only property claims, which sultanistic regimes enforce systemically but also with the vicissitudes that accompany personalistic rule. The stability of a sultanistic oligarchy depends vitally on how well the lead oligarch manages wealth defense for oligarchs in general, although, ironically, this usually involves sultanistic predations on individual oligarchs to be effective. lihat Winters, Oligarchy,…….. hal. 139-193. 6 Meski secara teoritis, hakikat pengertian oligarki adalah sama, namun perwujudannya di beberapa negara berbeda-beda. Di Rusia (bekas Uni Soviet), kaum oligarki adalah para pengusaha yang berhasil menjalin koneksi kuat dengan para elit politik. Atas koneksi tersebut, kaum oligark ini diuntungkan dari liberalisasi pasar yang berlaku di Rusia pasca Perang Dingin. Di Amerika Serikat, kaum oligarki, yang oleh Winters diistilahkan dengan civil-oligarchy, meraup keuntungan dengan tidak secara langsung mendesakkan pengaruhnya kepada pemerintah, tetapi melalui lobi-lobi politik, donasi kampanye, atau pembentukan opini publik. Sedangkan di Indonesia, wujud Oligarki ditandai dengan kaum oligark secara langsung terjun dalam dunia politik, menjadi ketua partai, bertarung dalam pemilu dan bisa menjadi Presiden,
Surya Paloh, pendiri Partai Nasdem, Prabowo Subianto di Gerindra, dan yang teranyar, Perindo, yang didirikan oleh pengusaha keturunan Tionghoa, Harry Tanoesoedibyo7. Pemilu nasional yang telah berlangsung tiga kali (1999, 2004, 2009) secara tidak langsung memperlihatkan hegemoni oligark dalam politik Indonesia. Tidak adanya partai mayoritas dan terkepungnya Presiden terpilih oleh koalisi partaipartai membuktikan hal tersebut. Meski didukung kekuatan finansial tak terbatas beserta penguasaan media, konsolidasi kepentingan melalui partai di level pusat belumlah dianggap cukup. Penguasaan sumbersumber ekonomi politik perlu dilakukan hingga ke tingkat daerah, salah satunya melalui pemilihan kepala daerah (Pilkada).
PERSPEKTIF
23 PKDOD review
Pembagian kewenangan antara pusat dan daerah satu sisi memang membuka kesempatan kepada daerah untuk mengelola sumber daya ekonominya sendiri. Namun, dalam logika politik elektoral, sumber daya ini merupakan alat barter strategis, komoditas bisnis politik. Kecenderungan logika ini terjadi di hampir seluruh daerah terutama, di daerah-daerah yang secara sumber daya alam terbilang kaya atau memiliki posisi strategis dalam peta politik nasional. Laporan investigasi majalah Tempo pada kasus Pilkada DKI 2012 menjadi contoh kasus menarik. Majalah Tempo menerbitkan sebuah artikel yang menyoroti sepak terjang oligarki menyokong pencalonan Joko Widodo (Jokowi), saat itu Walikota Solo, sebagai Gubernur DKI Jakarta. Disebutkan, para oligark itu adalah pengusaha Hasim Djojohadikusumo dan saudaranya Letjen (Purn.) Prabowo Subianto. Prabowo dan Hashim dengan matang merencanakan pencalonan Jokowi yang kemudian disandingkan dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai calon Wakil Gubernur. Dengan elektabilitas dan popularitas Jokowi yang cukup tinggi, mereka bersedia mendanai seluruh biaya kampanye mereka. Keputusan ini jelas memiliki maksud dan tujuan. Lalu apa yang diminta oleh mereka sebagai balas budi politik itu? Laporan tersebut menurunkan: menteri, atau posisi penting lainnya dalam pemerintahan, lihat Winters, Oligarchy……… hal. 211 7 Mengenai sepak terjang Oligarki Indonesia pasca Soeharto, lihat Jeffrey Winters, “Oligarchy and Democracy in Indonesia”, dalam Indonesia, Special Edition: Wealth, Power, and Contemporary Indonesian Politics, Cornell Southeast Asia Program Publications, No. 96, October 2013, hal. 11-34 PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
PKDOD review
PERSPEKTIF
24
“Prabowo kali pertama bertemu Ahok sekitar akhir Februari 2012 di Hotel Intercontinental, Jakarta. Ahok mengatakan, “Saya tidak punya uang,” dan Prabowo menukas, “Saya tidak minta uang kamu. Kami akan menanggung semua biayanya.” Merasa aneh dengan jawaban Prabowo, Ahok bertanya, “Lalu bagaimana cara saya membalas budi? Apakah Anda ingin proyek MRT (mass rapid trasportation) diserahkan kepada Pak Hashim?”8 Meski demikian, di balik keputusannya tersebut, Prabowo dan Hashim tentu menginginkan sesuatu yang jauh lebih besar. Dalam hal ini tujuan terdekat yang paling realistis adalah memperkuat posisi strategis Gerindra di ibu kota dan menjaga ikatan dengan PDI-P sebagai mitra dan bagian dari upaya pencalonan Prabowo pada Pemilu Presiden 2014, serta tujuan lain yaitu pertahanan kekayaan Hashim Djojohadikusumo.9 Disamping Prabowo-Hashim, sangat mungkin ada banyak lagi oligark yang berada di balik pencalonan Jokowi-Ahok dan sangat mungkin juga para oligark lain menyokong pasangan calon lainnya. Sehingga, pada akhirnya arena pilkada tak lebih menjadi ajang “persaingan” antar oligark. Siapa pemenangnya bisa jadi bergantung pada siapakah yang paling banyak mendapatkan “dukungan”. Kasus DKI dan daerah lainnya memberi makna jika demokrasi lokal telah sarat mengalami pembajakan oleh oligarki. Setiap kepala daerah yang terpilih hampir selalu dikelilingi oleh para oligark, baik skala kecil maupun besar. Dengan kata lain, cengkraman oligarki ini menjadikan kepala daerah tak lebih sebagai “boneka” politik semata. Dalam berbagai hal, eksistensi dari persekutuan kepala daerah dengan oligarki ini melahirkan bangunan rezim pemerintahan daerah yang seperti dikatakan oleh Ben bercirikan rezim patrimornial. Bukankan untuk keperluan kekuasaannya mereka kerap merangkul para pengusaha, dan untuk keperluan pengamanan kepentingan politik, mereka memerlukan organisasi-organisasi yang menggunakan atribut dan cara-cara militer sebagi
8 Lihat Who Owns Jokowi?, dalam Majalah Tempo, 24 Juli 2012. 9 Winters, “Oligarchy and Democracy in Indonesia”, ibid. PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
satuan pengamanan? Dalam literatur-literatur dinamika politik lokal Indonesia, persekutuan itu menghasilkan varian fenomena kekuasaan yang beragam, seperti: orang kuat lokal (local strongmen), bossism, shadow state, Politik Dinasti (Migdal, 1988; Sidel, 2004; Erwiza Erman, 2007; Andi Faisal Bakti, 2007; Hidayat: 2007). Begitulah kekuasaan, ia tampak begitu nyata. Memupuk harapan Desentralisasi memang telah memperkuat aktor politik daerah dengan cara baru sekaligus meletakkan tekanan baru di pundak mereka agar senantiasa memenuhi tuntutan konstituen. Namun hasil desentralisasi di sejumlah daerah justru mengecewakan banyak pihak: korupsi dan politik uang merajalela, efektivitas pemerintahan yang masih gerak ditempat, dan patologi lainnya. Sistem pilkada yang berbiaya politik tinggi menanggung konsekuensi besar tersebut, salah satunya berimbas pada maraknya kasus korupsi kepala daerah. Data dari Kementerian Dalam Negeri (2015) menunjukkan hingga tahun 2015, jumlah kepala daerah yang tersangkut kasus hukum mencapai 343 kasus dengan 56 diantaranya adalah kasus korupsi yang ditangani oleh KPK, belum ditambah dengan jumlah yang ditangani Kejaksaan dan Polisi. Kaitan dengan hal tersebut, partai politik menjadi pihak yang harus bertanggung jawab atas pasang dan surutnya pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Mereka dianggap gagal melahirkan kader-kader berkualitas yang mumpuni mengelola daerah. Ditambah kuatnya kendali oligarki kerap menempatkan mereka pada sikap pragmatis, lebih memilih calon yang mampu memodali dirinya sendiri, atau adanya orang kuat lokal yang memiliki kedekatan dengan penguasa atau ketua umum partai yang, dalam berbagai hal semakin mengukuhkan patronase partai. Selain itu, telah menjadi rahasia umum jika penentuan pencalonan kepala daerah kerap menyertakan “mahar” yang harus dibayarkan kepada partai. Fenomena-fenomena ini secara tidak langsung menjadi realitas empirik jika praktik pilkada selama ini terbatas menjadi agenda kaum “hartawan” saja. Oleh karena itu reformasi kelembagaan partai menjadi agenda mendesak yang harus segera dilakukan. Walaupun upaya ini hampir
dikatakan mustahil dilakukan karena kuatnya budaya patrimornialisme yang mengukung partai. Dan budaya inilah yang secara tidak sadar menjadi ekses kuat muncul dan berkembangnya oligarki. Artinya, selama patrimonialisme ini masih terus dipupuki, hampir dapat dipastikan demokratisasi akan terus berjalan di tempat, atau bahkan berjalan mundur (PKDOD, 2015). Meski demikian, ada setitik anomali, yang positif, yang mulai nampak dalam kurun waktu hampir 20 tahun berjalannya demokrasi. Dimulai dari beberapa daerah, jumlahnya tak banyak, beberapa diantaranya bahkan bukanlah daerah yang kaya sumber daya alam atau strategis secara perpolitikan nasional. Akan tetapi mampu menarik harapan publik banyak. Para kepala daerah di kabupaten/kota seperti: Bantaeng, Bojonegoro, Batang, Enrekang, Bandung, Surabaya, Malinau, Tarakan, Banyuwangi dan lain sebagainya, telah berani menyajikan perubahan, menentang logika formalitas kekuasaan. Memimpin pemerintahan bukanlah sekedar mengurusi administrasi kebijakan semata atau dalam hal yang cukup serius sebagai usaha mengakumulasi kekayaan. Tetapi, tentang bagaimana kebijakan dapat memberi kemanfaatan bagi rakyatnya. Para kepala daerah tersebut mampu menampilkan diri sebagai pemimpin perubahan; membuktikan integritas; menawarkan inovasi dalam pelayanan publik; mereformasi tata kelola pemerintahan; dan membuka hadirnya ruang partisipasi publik. Perubahan mindset menjadi kunci keberhasilan. Karena zaman telah berubah, cara memerintahpun harus berubah. Ia tak bisa lagi dikelola dengan cara-cara lama. Dan perubahan itu memang telah membawa perbaikan kesejahteraan. Namun demikian, masih banyak tantangan yang harus di jawab di masa depan, salah satunya terkait bagaimana mempertahankan
kontinuitas dari perubahan/inovasi serta kesuksesan ini ketika periode kepemimpinan mereka berakhir? Tentu tak ada jaminan sustainabilitas itu akan terjaga, bisa lebih baik, atau bahkan sebaliknya. Tantangan ini tentu menjadi tanggung jawab dan harus dijawab sendiri oleh masyarakat bahwa perlu adanya kebijaksanaan untuk memastikan keberlanjutan dari perubahan itu dengan memilih calon pemimpinpeminpin yang terbaik.
PERSPEKTIF
Demokrasi harus di mulai dari keyakinan kolektif bahwa kedaulatan negara berada di tangan rakyatnya.
25 PKDOD review
Melihat sejumlah keberhasilan di beberapa daerah tersebut, satu sisi memperlihatkan bahwa demokrasi Indonesia sedang bergerak menuju kematangannya. Meski untuk menuju kesana, jalan terjal begitu menghadang. Maka, ada beberapa hal yang perlu dilakukan dalam rangka memperkuat demokrasi, pertama, proses politik yang berlangsung harus mampu menghadirkan pemimpin yang demokratis. Tentu sebelumnya ia harus lahir dari proses politik yang demokratis pula. Disamping itu, harapkan akan terjadinya suatu transformasi masyarakat politik dari yang sangat tradisional menuju masyarakat yang melek politik, partisipatif, dan saling percaya. Kedua, membangun mekanisme dan institusionalisasi politik yang efektif. Selama ini, rendahnya partisipasi publik terhadap pilkada mengisyaratkan jika partai politik belum sepenuhnya menyerap dan menyalurkan aspirasi rakyatnya, terutama dapat dilihat dari rendahnya kualitas proses rekruitmen calon kepala daerah, ketiga, mendorong keikutsertaan publik dalam pemerintahan. Pemerintahan tak melulu tentang apa yang pemerintah berikan kepada rakyatnya, tapi juga tentang bagaimana mengkikutsertakan publik ke dalam proses pemerintahan itu sendiri. Demokrasi harus di mulai dari keyakinan kolektif bahwa kedaulatan negara berada di tangan rakyatnya. Kemudian, kolektivisme harus menjadi pegangan untuk meredam munculnya individualisme sempit yang ingin merebut kedaulatan rakyat tersebut. Dan sudah semestinya seorang kepala daerah yang demokratis harus lahir dari proses keyakinan kolektif tersebut, dan mampu mengedepankan sifat saling percaya antar keduanya. Disitulah fungsi demokrasi dan demokrasi berfungsi.##
PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
PKDOD review
MIMBAR DAERAH
26
PONTIANAK, KOTA INOVATIF DI BUMI KALIMANTAN
Oleh: Jemi Ibrahim (Humas Pemerintah Kota Pontianak/
[email protected])
K
ota Pontianak sebagai pusat perdagangan dan jasa terus berupaya mereformasi birokrasinya. Kota yang dijuluki sebagai Kota Khatulistiwa ini berkomitmen untuk menyelenggarakan pemerintahan yang efisien dan efektif di bidang ekonomi demi mendorong terwujudnya iklim investasi yang kondusif. Inovasi kebijakan sebagai strategi yang dipilih oleh Kepala Daerah menjadi katalisator penting dalam proses tersebut.
tahun ini. Kunci keberhasilannya adalah dengan meningkatkan sumber daya manusia yang dimiliki dan pelayanan publik sebagaimana visi dan misi Kota Pontianak, “Pontianak Kota Khatulistiwa Berwawasan Lingkungan Terdepan Dalam Kualitas Sumber Daya Manusia, Prima Dalam Pelayanan Publik Didukung Dengan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dan Bersih”.
Sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan Barat, Kota Pontianak tidak memiliki sumber daya alam yang bisa diandalkan untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun dibalik keterbatasan itu, Kota Pontianak mampu mendulang PAD dengan kenaikan yang signifikan dari tahun ke tahun dan mampu bersaing dengan daerah lainnya hampir dalam segala bidang. Berbagai penghargaan tingkat nasional diraih kota yang berusia 244
Kota Pontianak merupakan pusat perdagangan dan jasa dengan luas wilayah 107 kilometer persegi dan jumlah penduduk lebih 600 ribu jiwa. Sebagai kota perdagangan dan jasa, pelayanan publik mendapat perhatian khusus dari Pemerintah Kota (Pemkot) Pontianak. Kendati dengan komposisi Aparatur Sipil Negara di lingkungan Pemkot Pontianak hanya 1,1 persen dari jumlah penduduk, namun hal itu bukan halangan untuk memberikan
PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
Meningkatkan Pelayanan Publik
pelayanan publik yang maksimal. Sebagai kota perdagangan dan jasa, pelayanan publik di Pontianak harus prima. Dengan pelayanan yang baik, diharapkan iklim investasi kondusif dan dapat memacu pertumbuhan ekonomi yang berdaya saing. Wali Kota Pontianak, Sutarmidji, menilai pemerintahan yang banyak memberi kemudahan dalam segala sektor, terutama pelayanan perizinan, akan semakin banyak menarik minat para investor untuk berusaha di daerahnya. Ia pun mengeluarkan kebijakan untuk memangkas sejumlah perizinan, dari semula 99 jenis perizinan,
MIMBAR DAERAH
27 PKDOD review
dipangkas menjadi hanya tersisa 14 jenis perizinan. Dalam waktu dekat, dua jenis perizinan, yakni Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP) menyusul akan dihapuskan. Tak cukup hanya memangkas sejumlah perizinan, percepatan pelayanan pun kian dipersingkat. Salah satu inovasi Pemkot Pontianak di bidang pelayanan publik, yakni dengan melakukan percepatan proses waktu penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) khusus perumahan. Sepanjang persyaratannya lengkap, hanya butuh waktu satu hari para pengembang
atau developer perumahan sudah mengantongi izin pendahuluannya. Semua ini sebagai upaya untuk membuka pintu bagi para investor menanamkan modalnya di Kota Pontianak sebagai kota perdagangan dan jasa. Hal itu diakui Ketua DPD REI (Realestat Indonesia) Kalbar, Sukiryanto yang menyatakan bahwa benar untuk mengurus IMB di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BP2T) Kota Pontianak, sepanjang persyaratan lengkap, maka hari itu juga izin itu bisa dibawa pulang. Tak hanya sektor properti yang mendapat kemudahan dan pelayanan cepat, Pemkot Pontianak
Pelayanan Terpadu Perizinan Kota Pontianak
PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
PKDOD review
MIMBAR DAERAH
28
juga memberlakukan kebijakan pemutihan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) bagi rumah tinggal yang telah berdiri dan belum mengantongi IMB. Pemutihan IMB merupakan penyederhanaan prosedur atau persyaratan dengan keringanan biaya retribusi izin mendirikan bangunan rumah tempat tinggal. Kebijakan ini diambil Pemkot dalam rangka supaya warga tertib aturan dalam setiap mendirikan bangunan. Pemutihan ini khusus bangunanbangunan rumah tinggal di dalam gang. Kecuali bangunan-bangunan komersil seperti ruko yang berada di jalan protokol tidak berlaku pemutihan. Proses pemutihan IMB ini cepat dan dengan syarat yang ringan, hanya bukti kepemilikan lahan berupa surat pernyataan atau surat keterangan tanah, tidak harus berbentuk sertifikat karena IMB bukanlah sebagai bukti kepemilikan tanah dan bangunan, sebagaimana halnya PBB. Keluhan yang kerap dilontarkan para investor adalah lamanya proses perizinan. Padahal, mereka mesti mengantongi izin tersebut
untuk mulai melakukan aktivitas usahanya. Hal demikian dipastikan tidak akan terjadi di Kota Pontianak sebab Walikota Pontianak selalu melakukan evaluasi terhadap pelayanan perizinan di jajarannya. Saat ini, perizinan yang paralel di Pemkot Pontianak berjumlah empat izin, sementara daerahdaerah lainnya hanya tiga. Standar dalam proses penyelesaian perizinan paralel yang dipatok oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) adalah 10 hari kerja, sedangkan di Kota Pontianak, untuk proses empat izin paralel hanya butuh waktu lima hari kerja. Hal tersebut sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang telah ditetapkan melalui Peraturan Walikota Pontianak Nomor 54 Tahun 2015 tentang Standar Operasional Prosedur Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Pontianak. Apabila dalam prosesnya terjadi keterlambatan hingga izin itu baru selesai selama 10 hari kerja, sebagai kompensasinya, Pemkot memberikan dispensasi berupa pengurangan retribusi sebesar 2 persen per hari keterlambatan dari nilai retribusi yang disetor. Dispensasi tersebut merupakan bentuk kontrol terhadap pelayanan publik yang mendorong supaya aparatur lebih maksimal dalam memberikan pelayanan dan masyarakat pun merasa puas. Untuk melaksanakan a d m i n i s t r a s i pelayanan tersebut, Pemkot Pontianak membangun Sistem Pelayanan Terpadu (SIMYANDU).
Hasil Survey Kepuasan Masyarakat pada Semester 1 Tahun 2015 adalah 75,70 (baik) dan pada Semester 2 meningkat menjadi 78,92 (baik). Hasil ini naik 10% dari tahun sebelumnya. PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
Masyarakat dapat memantau proses perizinan melalui aplikasi tersebut. Upaya perbaikan pelayanan perizinan yang dilakukan oleh Pemkot Pontianak telah dirasakan langsung oleh masyarakat pengguna layanan tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan terus meningkatnya angka hasil Survey Kepuasan Masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan oleh BP2T. Hasil Survey Kepuasan Masyarakat pada Semester 1 Tahun 2015 adalah 75,70 (baik) dan pada Semester 2 meningkat menjadi 78,92 (baik). Hasil ini naik 10% dari tahun sebelumnya. Komitmen Wali Kota yang mengusung pelayanan publik sebagai visi dan misinya semasa pencalonan pemilihan kepala daerah ini, tidak terlepas dari peran aktif jajaran aparatur di lingkungan Pemkot Pontianak yang selama ini sudah berkomitmen memberikan pelayanan yang baik sehingga diakui oleh sebagian besar masyarakat. Terbukti, 109 unit layanan yang dimiliki Pemkot Pontianak, ditetapkan masuk dalam zona hijau oleh Ombudsman RI. Hal ini menunjukkan pelayanan publik di jajaran Pemkot Pontianak dinilai baik dan memenuhi standar. Tak tanggung-tanggung, prestasi yang diraih Kota Pontianak berada di puncak teratas memimpin kotakota lainnya sebagai kota pelayanan publik terbaik se-Indonesia dengan meraih penghargaan dari Ombudsman RI pada tanggal 16 Desember 2015 lalu. Pontianak berhasil meraih nilai tertinggi yakni 87,32. Kemudian disusul posisi kedua, Lubuk Linggau 84,69 dan ketiga diraih Yogyakarta 81,03 serta diikuti tujuh kota lainnya sesuai dengan peringkat yang
MIMBAR DAERAH
29 PKDOD review tetapkan Ombudsman RI. Menyandang predikat terbaik dalam Kepatuhan Standar Pelayanan Publik menurut Undang-undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, setelah Kota Pontianak berhasil melakukan inovasi percepatan dalam memberikan pelayanan. Wajar saja bila Kota Pontianak dinilai pantas menjadi lumbung inovasi secara nasional. Banyak hal yang berhasil dipecahkan oleh Kota Pontianak. Pada tahun 2015 lalu, Kota Yogyakarta menjadi laboratorium inovasi lantaran menawarkan sebanyak 120 inovasi. Tahun 2016, Kota Pontianak berhasil memecahkan rekor tersebut dengan jumlah inovasi 149. Pontianak sudah memiliki berbagai pengalaman inovasi yang cukup berat, dari inovasi sebagai daerah yang memiliki anggaran perjalanan dinas terendah seIndonesia hingga inovasi-inovasi yang sudah dilakukan seperti klinik berhenti merokok, program inovasi kelurahan, school map dan masih banyak lagi inovasi lainnya. Sutarmidji menyatakan, pihaknya tidak akan berhenti dalam melakukan inovasi-inovasi di Kota Pontianak. Bagi dirinya, inovasi itu tidak ada batasannya. Ia mempunyai obsesi, Kota Pontianak menjadi laboratorium inovasi dalam tata kelola pemerintahan di segala aspek sebab tidak sedikit prestasi yang diukir Pemkot dalam hal perbaikan tata kelola pemerintahan. Menurutnya, semakin baik tata kelola pemerintahan maka semakin tinggi tingkat kepercayaan
masyarakat kepada pemerintah. “Ketika kepercayaan masyarakat kepada pemerintah itu tinggi maka sumbangsih keikutsertaan masyarakat dalam menyukseskan pembangunan akan tinggi juga,” katanya.. Lesson learned Inovasi perizinan di Kota Pontianak tidak terlepas dari komitmen Walikota untuk meningkatkan kualias pelayanan publik di kotanya. Upaya ini telah dilakukan sejak tahun 2010 saat ia pertama mengemban amanah sebagai Walikota Pontianak. Komitmen tersebut direalisasikan dengan ditetapkannya sejumlah Peraturan Daerah maupun Peraturan Walikota, peningkatan kompetensi aparatur, serta sistem informasi yang mendukung. Aturan-aturan yang ditetapkan tersebut termasuk juga Standar Pelayanan dan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang menjadi pedoman bagi aparatur daerah yang bertugas memberikan pelayanan perizinan, maupun masyarakat
yang mengakses layanan. Pemkot tidak hanya menetapkan sejumlah persyaratan bagi masyarakat, melainkan juga menerapkan disinsentif bagi dirinya sendiri selaku penyelenggara layanan apabila tidak dapat memenuhi ketentuan tersebut. Dalam hal ini tampak bahwa Pemkot berusaha untuk membuktikan bahwa birokrasi pemerintah yang selama ini dikenal berbelit-belit ternyata mampu melakukan reformasi dan dapat dipercaya masyarakat. Kepercayaan inilah yang akhirnya menarik partisipasi masyarakat secara luas untuk kemajuan Kota Pontianak. ##
PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
PKDOD review
POLICY BRIEF
30
PENGUATAN PELAKSANAAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA Ridwan Rajab (
[email protected]) Pengantar Pasang surut penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah menyisakan pekerjaan rumah tidak ringan baik bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Harapan terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan daerah yang efektif belum sepenuhnya terwujud mengingat problematika yang dihadapi semakin kompleks.Salah satu upaya yang kemudian dilakukan oleh pemerintah dan DPR untuk mengatasi berbagai persoalan penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah merevisi undangundang pemerintahan daerah yang menghasilkan UU No. 23 Tahun 2014 sebagai pengganti UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang yang diterbitkan di penghujung masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut diharapkan dapat mengurangi distorsi dalam pelaksanaan otonomi daerah dan mampu meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Permasalahan Mendasar Otonomi Daerah Sebagai entitas politik, desentralisasi dan otonomi daerah tidak pernah bergerak dalam ruang hampa. Setidaknya tujuan keberadaannya adalah sebagai jawaban atas penyelenggaraan pemerintahan daerah yang selama Orde Baru tidak membawa dampak positif bagi situasi nasional kala itu. Sentralisasi
PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
yang dijalankan justru menimbulkan ketidakefektifan pembangunan. Efisiensi pemerintahan hanya menghasilkan ketidakmerataan pembangunan. Namun sebagai produk politik baru, desentralisasi beserta otonomi daerah tidak langsung menjadi obat mujarab. Beberapa faktor determinan yang masih membelenggu keberhasilan penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, diantaranya sebagai berikut: a. Benturan pendekatan penyelenggaraan antara rezim pelayanan publik dengan rezim kekuasaan. Tujuan utama dari desentralisasi dan otonomi daerah adalah mendekatkan pembangunan atau dengan kata lain yaitu pelayanan publik kepada masyarakat, namun kerap kali tujuannya berbenturan dengan kebijakan pengiring yang disusun oleh para elit yang justru mengaburkan makna pelaksanaannya. Contohnya adalah penarikan sejumlah urusan pemerintahan dari kabupaten/kota ke tingkat provinsi atau bahkan pusat. b. Belum kokohnya konstruksi desentralisasi di Indonesia. Pertanyaan tentang dimana otonomi daerah harus diletakkan, dititikberatkan atau diseimbangkan pada pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota merupakan pertanyaan yang belum terjawab hingga kini. Apakah desentralisasi dilaksanakan di provinsi dan kabupaten/ kota bersamaan dengan dekonsentrasi? Atau provinsi saja yang menjalankan dekonsentrasi
tanpa desentralisasi? Apakah desentralisasi diterapkan hanya di kabupaten/kota, atau provinsi yang menjalankan desentralisasi bersama dengan kabupaten/kota tanpa dekonsentrasi. Seberapa besar derajat desentralisasi diberikan kepada daerah sangat menentukan gerak laju pemerintahan daerah. c. Hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota, pemerintah provinsi dengan kabupaten/kota serta keberadaan instansi vertikal belum menuju titik ideal. Dibutuhkan sinergi, koordinasi, konsolidasi yang harmonis dan dinamis antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota, termasuk instansi vertikal untuk menyelenggarakan kebijakan desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Pada tataran yang lebih operasional relasi antar daerah otonom juga membutuhkan mekanisme penanganan yang lebih baik terhadap persoalanpersoalan yang terus muncul. d. Pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/ kota yang hingga saat ini masih belum clear cut. Pembagian tugas, wewenang, hak dan kewajiban antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam desain sistem pemerintahan daerah secara nasional. Bagaimana konstruksi ideal Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdesentralisasi dalam konteks pembagian urusan pemerintahan? Dibutuhkan diskusi yang panjang untuk menjawab pertanyaanpertanyaan tersebut. e. Perimbangan keuangan antara pusat dan daerah belum menemukan desain ideal. Perimbangan keuangan ini merupakan isu strategis yang memiliki pengaruh besar dalam menjelaskan hubungan pusat dan daerah. Hal ini menjadi persoalan mendasar yang kerep menjadi bumbu utama timbulnya ketegangan antara pusat dan daerah.
Isu-Isu Strategis Desentralisasi dan Otonomi Daerah Terdapat sejumlah isu strategis yang perlu mendapat perhatian serius bersamaan dengan terbitnya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu: a. Implementasi nilai-nilai Nawa Cita dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah menjadi isu penting selama pemerintahan Presiden Joko Widodo berjalan. Bagaimana kemudian daerah dapat mengejawantahkan Nawa Cita dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan merupakan isu strategis yang perlu terus dikawal.
POLICY BRIEF
31 PKDOD review
b. Problematika hubungan pemerintah pusat - daerah, dan pembagian wewenang urusan pemerintahan antara pusat - daerah yang belum jelas hingga saat ini seringkali menimbulkan ketegangan antara pusat dan daerah. Penarikan sejumlah urusan pemerintahan oleh pusat yang selama ini dikelola oleh kabupaten/kota adalah contoh konkrit kasus ini. Terdapat pertanyaan besar, mengapa pusat mencabut kewenangan kabupaten/kota untuk mengurus kelautan, kehutanan, dan energi sumber daya mineral serta menyerahkan pengelolaannya kepada pemerintah provinsi. c. Tingginya kasus korupsi di daerah yang membawa implikasi mendalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan mengingat praktik ini sebagian besar justru melibatkan kepala daerah, pejabat pemerintahan termasuk pula anggota DPRD. Ironisnya, persentasenya terus meningkat dari tahun ke tahun. d. Kelindan permasalahan semakin kompleks dengan maraknya politik kekerabatan yang memperparah terjadinya praktek kolusi, korupsi, nepotisme, dan kroniisme. Dinasti politik tumbuh subur yang melibatkan kepala daerah, tokoh partai politik, keluarga penguasa, kolega bisnis yang menguasai birokrasi dan sumber daya ekonomi daerah. Fenomena ini tumbuh pesat sedangkan instrumen pemerintah pusat untuk melakukan kontrol dan pengawasan sangat terbatas.
PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
PKDOD review
POLICY BRIEF
32
e. Pemilihan kepala daerah langsung seringkali menuai pro kontra mengingat berbagai permasalahan yang timbul sebagai dampak dari Pilkada langsung. Diakui atau tidak pemerintah dan/atau KPU belum memiliki konsep yang kokoh terkait dengan Pilkada langsung di Indonesia. Pertanyaan yang perlu diajukan adalah apakah Pilkada merupakan format yang tepat untuk memilih kepala daerah. Apabila Pilkada yang dipilih, bagaimana manajemen Pilkada dilakukan sehingga dapat melahirkan pemimpin daerah yang mumpuni, berintegritas dan memiliki legitimasi yang tinggi. f. Kedudukan ganda gubernur sebagai wakil pemerintah pusat (WPP) belum memberikan dampak yang signifikan bagi efektifitas penyelenggaraan pemerintahan daerah maupun pemerintah pusat. Hal ini disebabkan selama ini gubernur WPP tidak didukung dengan personil, anggaran keuangan, perangkat organisasi dan ruang lingkup tugas dan wewenang yang jelas. Akibatnya kedudukan, tugas dan wewenang gubernur WPP tidak berjalan efektif. Lebih jauh efektivitas gubernur WPP juga sangat mempengaruhi efektivitas Forkopimda (Forum Kooordinasi Pimpinan Daerah) dalam menjalankan tugas dan fungsinya yang di ketuai oleh gubernur WPP. g. Inovasi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah masih lemah. Inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan menjadi topik sentral beberapa tahun terakhir sebagai kritik terhadap kompetensi dan kapasitas pemimpin daerah. Baik buruknya kualitas pelayanan publik memiliki korelasi dengan sejauh mana daerah dapat melakukan pembaruan pelayanan kepada masyarakat. Inovasi menjadi kata kunci disini, hanya dengan inovasi kualitas pelayanan publik dapat diterjemahkan dengan baik. h. Pelaksanaan ASEAN Economic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) memberi dimensi baru bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Persaingan di tingkat global saat ini tidak bisa dielakkan lagi. Pemerintah
PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
daerah dituntut perannya untuk menghadapi era perdagangan bebas.
Rekomendasi Kebijakan Di luar isu-isu strategis yang telah dikemukakan di atas, berbagai isu penting terkini yang sedang berkembang adalah: 1) Implementasi UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, 2) Pro kontra UU Pilkada, 3) Implementasi UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa,4) implementasi UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, 5) Kebijakan Otonomi Khusus, 6) Desentralisasi dan pembangunan wilayah perbatasan, serta kasus-kasuslain yang sering muncul di daerah seperti konflik lokal dan ancaman bencana alam. Mencermati berbagai permasalahan dan isu strategis dalam penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah seperti yang disebutkan, terdapat sejumlah rekomendasi kebijakan untuk memperkuat penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah kedepan: 1. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, perlu sinkronisasi pelaksanaan antara beberapa undang-undang yang berkait paut, yaitu Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentangPilkada, Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 Aparatur Sipil Negara, undangundang administrasi pemerintahan, undangundang yang mengatur tentang perimbangan keuangan pusat-daerah, juga undang-undang yang berkaitan dengan sistem perencanaan pembangunan nasionaluntuk mewujudkan sistem pemerintahan daerah yang sinergis, kuat, dinamis, efektif, dan efisien. 2. Pemerintah perlu segera menerbitkan peraturan pemerintah sebagai instrumen kebijakan implementasi UU No. 23 Tahun 2014. Keberadaan peraturan pemerintah akan sangat membantu pemerintah daerah untuk segera menyesuaikan ritme penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2014. Sudah
dua tahun lahir sejak diterbitkan, baru PP No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah yang terbit sebagai aturan pelaksana UU No. 23 Tahun 2014. 3. Pemerintah dan DPR perlu me-redesign format dan sistem Pilkada langsung sebagai sebuah mekanisme demokratis untuk menjawab kebutuhan lahirnya pemimpin daerah yang legitimate secara etis dan moral. Sistem Pilkada perlu diperkokoh melalui undang-undang berdasarkan kajian mendalam untuk melahirkan sistem yang jelas dan tepat sebagai dasar pelaksanaan pemilihan kepala daerah di negara kesatuan yang terdesentralisasi, Indonesia. 4. Kebijakan desentralisasi asimetris melalui penyelenggaraan Otonomi Khusus harus dilakukan melalui pertimbangan yang jelas, berdasarkan kajian yang mendalam dan komprehensif sebelum kebijakan tersebut diterapkan pada
daerah tertentu. Pemerintah dalam hal ini perlu mengeluarkan kebijakan tentang kriteria dan batasan-batasan yang jelas mengenai Otonomi Khusus, sebab ke depan kebijakan Otonomi Khusus sangat mungkin dilaksanakan bukan semata atas dasar pertimbangan politik, namun atas faktor lain misalnya keunggulan ekonomi, adat – sosial – budaya, dan kesejarahan.
POLICY BRIEF
33 PKDOD review
5. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu melakukan sinergi dalam rangka ASEAN Economic Community (Masyarakat Ekonomi ASEAN) yang sudah berjalan pada akhir tahun 2015, baik dalam konteks sinergi kebijakan maupun implementasinya sehingga MEA dapat memberi manfaat yang besar bagi masyarakat. Pada derajat tertentu kampanye terhadap MEA perlu lebih digencarkan mengingat nilai strategis dari MEA tersebut.
PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
PKDOD review
POLICY BRIEF
34
PILKADA SERENTAK, DEMOKRASI LOKAL, DAN EFEKTIVITAS PEMERINTAHAN DAERAH Edy Sutrisno (
[email protected]), Rusman Nurjaman (
[email protected]) Muhammad Imam Alfie Syarie (
[email protected]) Pengantar
L
ahirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang memuat ketentuan tentang pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat membawa angin segar bagi pelaksanaan desentralisasi politik dan menjadi penanda penting berlangsungnya fase transisi politik yang menentukan bagi Indonesia menuju transformasi politik yang lebih demokratis dan berkeadilan. Gagasan utama Pilkada langsung adalah memberi kesempatan kepada rakyat untuk terlibat langsung dalam suksesi politik di daerah dengan menentukan sendiri kepala daerah di wilayahnya masing-masing. Dengan mekanisme demikian, pengangkatan kepala daerah oleh orang pusat seperti yang terjadi pada era sebelumnya sudah tidak berlaku lagi. Pilkada langsung telah berlangsung selama 10 tahun yang dilaksanakan pertama kali pada bulan Juni 2005 di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Sejak berlakunya UU No. 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, Pilkada dimasukkan ke dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama “pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah” (Pemilukada) dimana pada masa sebelumnya Pilkada merupakan bagian dari rezim pemerintah daerah. Pilkada pertama yang diselenggarakan berdasarkan UU ini adalah Pilkada DKI Jakarta tahun 2007. Sistem Pilkada masih jauh dari sempurna. Kritik yang muncul didasarkan pada argumen bahwa Pilkada selama ini menghabiskan anggaran sangat besar, legitimasinya rendah (faktor politik uang) dan sejauh ini pengaturan tentang Pilkada cenderung mengakomodasi kandidat
PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
dari partai politik untuk berkon-testasi dalam arena Pilkada. Baik UU No. 32/2004 maupun UU No. 22/2007 tidak mengakomodasi kandidat independen yang berasal dari luar parpol. Akibatnya, para calon kepala daerah yang maju ke arena Pilkada didominasi oleh wakil dari parpol-parpol besar dan kuat, seperti PDIP, Golkar, Partai Demokrat, PPP, PKB, atau yang mendapat dukungan dari partai-partai tersebut. Tak heran jika kemudian hasil Pilkada langsung pun secara keseluruhan didominasi oleh calon-calon gubernur, bupati, dan walikota dari partai-partai besar yang mempunyai akses ke birokrasi dan sumber-sumber logistik yang luas. Baru setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi No. 5/ PUU-V/2007 yang ditindaklanjuti dengan terbitnya UU No. 12/2008 calon independen memiliki kesempatan mengikuti Pilkada. Secara konseptual pelaksanaan Pilkada langsung relevan dilaksanakan di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdesentralisasi. Salah satu esensi desentralisasi adalah mendorong demokrasi lokal melalui pelaksanaan Pilkada langsung. Dalam konteks lokal, Pilkada Langsung memungkinkan terwujudnya mekanisme dan proses rekrutmen pemimpin daerah yang memiliki legitimasi kuat karena dipilih langsung oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat. Spirit dan motivasi inilah yang sesungguhnya harus terus dijaga, dirawat, dan dikem-bangkan, meskipun terdapat banyak tantangan. Problematika Pilkada Serentak
P
elaksanaan Pilkada secara serentak merupakan amanat dari UU No. 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Dalam perkembangannya kemudian, pemerintah, KPU dan DPR menyepakati bahwa Pilkada serentak pertama akan dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2015. Realitas menunjukkan, perubahan undang-undang tersebut menyisakan banyak catatan penting, baik menyangkut substansi maupun implementasinya. Atas dasar kondisi tersebut Tim Peneliti Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Deputi Bidang Kajian Kebijakan Lembaga Administrasi Negara mengidentifikasi sejumlah isu krusial Pilkada Serentak 20151 melalui serang-kaian kegiatan meliputi: 1) FGD dengan pemerintah daerah, KPU Kabup-aten/Kota, Bawaslu/Panwaslu, Kepolisian Daerah, dan organisasi masyarakat sipil; dan 2) seminar hasil penelitian dengan pembahas yang memiliki kepakaran relevan. Dari serangkaian kegiatan tersebut, berhasil diidentifikasi isu-isu sebagai berikut, sebagai berikut: a. Pilkada Serentak 9 Desember 2015 akan dilaksanakan di 269 daerah yang berpotensi terjadinya sengketa Pilkada. Bagaimana langkah KPU, Bawaslu, Panwaslu, dan Polri dalam mengantisipasi dan menyelesaikan sengketa Pilkada? Bagaimana kesiapan Mahkamah Konstitusi jika sengketa hasil Pilkada diajukan dalam waktu bersamaan dan masif? b. Mahkamah Konstitusi melalui keputusan Nomor 100/PUU-XIII/2015 memberi jalan untuk tetap dilaksanakannya Pilkada bagi daerah yang memiliki satu pasangan calon. Esensi dari pelaksanaan Pilkada adalah adanya kontestasi, yaitu pertarungan antar calon kepala daerah bukan seorang calon kepala daerah melawan kotak kosong. Bagaimana implementasi keputusan MK terse-but di lapangan dan implikasi yang ditimbulkan? Apakah Pilkada dengan satu pasangan calon memenuhi unsur legitimasi bagi calon kepala daerah yang terpilih? Bagaimana jika partisipasi masyarakat ternyata sangat rendah dalam pemilihan? Bagaimana jika calon tunggal yang maju merupakan hasil dari persekongkolan politik? c. Potensi penyelewengan wewenang calon kepala daerah berstatus petahana (incumbent) terhadap birokrasi terus terjadi dan mengancam netralitas birokrasi, politisasi PNS dan perangkat desa, serta potensi intervensi terhadap anggaran Pilkada (Pilkada Serentak 2015 dibiayai oleh APBD) sangat
mungkin terjadi. d. Pada sisi yang lain kedudukan incumbent memunculkan dilema tersendiri. Hal ini terkait dengan tafsir Bawaslu yang banyak memberikan rambu-rambu larangan kepada incumbent dalam mengikuti proses kontentasi Pilkada yang justru berpotensi menghambat efektivitas pemerintahan daerah. Banyak rambu-rambu larangan tersebut bersinggungan dengan tugas dan fungsi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.
POLICY BRIEF
35 PKDOD review
e. Kekosongan sanksi pidana untuk tindak pelanggaran dalam Pilkada menjadi salah satu isu krusial. Hal ini terkait dengan regulasi Pasal 73 UU No. 8 Tahun 2015 di mana ada larangan tapi tidak ada sanksi. Sebagai contoh, Pada ayat 1 dinyatakan bahwa dalam kampanye dilarang menjanjikan dan memberi uang atau materi lainnya. Ironisnya, di dalam aturan tersebut tidak ada sanksi secara tegas. Demikian juga dalam PKPU No. 7 Tahun 2015 Pasal 59 ayat 2 tentang politik uang, tidak ada sanksi tegas. Pasal 72 juga demikian. Persoalannya, jika hanya diberikan sanksi tertulis atau penguran-gan/ penurunan Alat Peraga Kampanye (APK), sejauh mana kekuatan regulasi ini? Buktinya, hampir semua pihak tidak mengindahkan. f. Rendahnya jumlah calon independen, 137 calon (16 %) dari total 826 pasangan calon, (KPU, 2015). Hal ini menunjukkan minimnya minat dari calon di luar partai untuk mengikuti pilkada yang antara lain disebabkan semakin beratnya persyaratan administratif bagi calon perseorangan sebagaimana diatur dalam UU Pilkada. g. Wewenang Bawaslu dan Panwaslu untuk menangani kasus-kasus Pilkada di tempat sangat lemah. Banyak pelanggaran pada masa Pilkada, misalnya: pelanggaran terhadap alat peraga kampanye (APK), jadwal kampanye, serta persoalan-persoalan teknis dan administratif lain yang terus terjadi sepanjang pelaksanaan Pilkada selama ini belum dapat diselesaikan secara optimal. h. Potensi rendahnya partisipasi masyarakat. Hal ini terjadi karena KPU tidak optimal dalam membangun atmosfer Pilkada Serentak. Informasi tentang pelaksanaan Pilkada Serentak masih terlalu minim.
PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
PKDOD review
POLICY BRIEF
36
i. Isu krusial lainnya adalah mengenai mantan narapidana korupsi masih diperbolehkan menjadi peserta Pilkada, isu calon boneka, dan suburnya praktik oligarki kekuasaan melalui dinasti politik yang justru memperkuat elite capture. Kondisi ini jelas berimplikasi luas pada kehidupan demokrasi lokal sertamengancam tujuan dan esensi desentralisasi politik yang dibangun melalui Pilkada.
Rekomendasi
B
erpijak pada kompleksitas persoalan Pilkada Serentak di atas, maka rekomendasi yang dapat diberikan untuk memperbaiki penyelenggaraan Pilkada Serentak ke depan adalah sebagai berikut: a. Desain pilkada serentak perlu dibenahi agar tujuan efisiensi pilkada dapat tercapai. Pilkada serentak perlu dimaknai sebagai pemilihan lembaga-lembaga demokrasi tingkat lokal secara bersamaan. Oleh sebab itu, desain pilkada serentak hendaknya menggabungkan pemilihan kepala daerah dan pemilihan anggota DPRD, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Desain tersebut memiliki keunggulan dilihat dari berbagai perspektif. Dari perspektif penyelenggara, efisiensi akan terwujud melalui penghematan honor penyelen-ggara pemilihan. Dari perspektif peserta pemilihan, efisiensi dapat terwujud melalui kampanye bersama calon kepala daerah dan anggota dewan, serta kampanye bersama calon anggota dewan di tingkat provinsi dan calon anggota dewan di tingkat kabupaten/kota. Sementara itu, dari perspektif pemilih, desain pemilu lokal serentak akan memudahkan pemilih untuk memberikan suara kepada peserta pemilu secara konsekuen. Artinya, pemilih akan cenderung memberikan suara kepada kepala daerah dan anggota legislatif yang dicalonkan dari partai politik yang sama. Dengan demikian, percepatan program kepala daerah terpilih juga dapat lebih mudah dilakukan karena didukung oleh DPRD yang berasal dari parpol/koalisinya. b. Pemerintah perlu segera membentuk dan mendirikan badan peradilan khusus yang menangani sengketa hasil Pilkada sesuai dengan amanat undangundang. Kebutuhan terhadap badan peradilan khusus tersebut sudah sangat mendesak mengingat penyelenggaraan Pilkada di Indonesia sangat masif dan potensi terjadinya sengketa hasil Pilkada sangat
PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
tinggi. Jika badan peradilan khusus sudah berdiri, badan tersebut diharapkan tidak hanya menangani persoalan yang menyangkut sengketa hasil Pilkada akan tetapi juga masalah-masalah yang berhubungan dengan praktik money politics. c. Instansi terkait (Kemendagri, KPU, Bawaslu) agar mengkaji ulang putusan MK Nomor 100/PUUXIII/2015 tentang calon tunggal. Fenomena calon tunggal tidak mencerminkan adanya kekosongan hukum dan hanya terjadi di beberapa daerah saja. Apabila hal ini diadaptasi dalam kebijakan nasional tentang Pilkada dikhawatirkan akan menjadi preseden buruk bagi pelaksanaan Pilkada demokratis. Terlebih jika persoalan-persoalan Pilkada dengan calon tunggal seperti yang disebutkan di atas terjadi. Apabila hal ini tidak dapat dilakukan akibat pertimbangan putusan MK yang bersifat final dan mengikat, maka yang perlu dilakukan adalah memitigasi risiko-risiko penyelenggaraan pilkada dengan calon tunggal. Risiko persekongkolan politik, misalnya, dapat diantisi-pasi dengan pengaturan sanksi pidana atas candidacy buying dan pemberian fasilitasi bagi calon perseorangan untuk maju dalam pilkada. Sementara itu, terkait risiko rendahnya legitimasi dan partisipasi pemilih dalam pilkada dengan calon tunggal, mitigasi yang dapat dilakukan adalah dengan pengat-uran atas alat peraga kampanye dan metode kampanye lewat media massa yang harus dibedakan dengan pilkada dengan calon jamak. Ini diperl-ukan agar calon pemilih teredukasi pentingnya untuk memberikan suaranya, baik kepada calon kepala daerah ataupun kepada penolakan atas calon kepala daerah. Selain kedua risiko di atas, mitigasi juga perlu dilakukan terhadap risiko inefektivitas pemerintahan apabila pasangan calon dalam pilkada tunggal gagal memperoleh suara pemilih, karena sesuai Pasal 25 Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2015, pemilihan akan dilakukan kembali pada pilkada serentak selanjutnya. Ini berarti terdapat potensi kepala daerah akan dijabat oleh pelaksana tugas selama sekitar satu tahun. Apabila agenda pilkada serentak nasional jadi dilakukan pada 2027, maka periode pelaksana tugas tersebut menjadi lebih panjang lagi, yaitu lima tahun. Keterbatasan kewenangan yang dimiliki pelaksana tugas akan menjadikan pemerintahan daerah berjalan inefektif. Dalam hal ini, maka perlu ada aturan yang berbeda tentang pemilihan ulang khusus bagi daerah dengan calon tunggal.
d. Dalam konteks untuk mencapai efisiensi anggaran, sepanjang Pilkada di suatu daerah hanya memilih Gubernur, Bupati/Walikota maka efisiensi itu tidak akan didapatkan. Efisiensi akan tercipta jika antara Pilkada Gubernur disuatu provinsi berjalan bersama dan serentak dengan Pilkada Bupati/ Walikota di provinsi bersangkutan, maka format Pilkada Serentak harus ditinjau kembali.
Pilkada asimetris. Indonesia merupakan negara yang heterogen dalam banyak aspek, termasuk karakter dan budaya politik masyarakat. Sebagai contoh sistem Noken di Papua dan di daerah lain sangat mungkin terdapat keberagaman kearifan lokal yang biasa digunakan untuk mekanisme pemilihan pemimpin setempat yang tidak kompatibel dengan sistem Pilkada langsung.
e. Anggaran Pilkada Serentak 2015 dibebankan pada masing-masing daerah yang menyelenggarakan Pilkada. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh calon incumbent petahana untuk melakukan intervensi dan/atau penyalahgunaan wewenang terkait dengan anggaran. Di samping itu anggaran Pilkada melalui APBD menyebabkan sebagian daerah terseokseok, sehingga ke depannya anggaran Pilkada harus ditanggung oleh pusat melalui APBN. Kemendagri sebagai kementerian yang mewakili pemerintah dalam persoalan pemerinta-han daerah perlu mendorong revisi UU No. 8/2015 terkait hal ini.
i. Indonesia sudah saatnya mengadopsi sistem pemilihan umum berbasiskan IT yaitu E-Vote. Dalam konteks Pilkada langsung konsep E-Vote sangat mungkin diterapkan, khususnya daerah atau wilayah-wilayah yang secara sumber daya sudah memadai, baik menyangkut sumber daya manusia di daerah bersang-kutan, infrastruktur teknologi informasi, dan aspek-aspek pendukung lainnya. Konsep E-Vote tersebut dapat mendukung terwujudnya Pilkada langsung yang efektif, dan efisien, serta meminimalisir potensi manipulasi penghitungan suara.
f. Perlu ada aturan yang jelas dan tegas sehubungan dengan sanksi yang dapat diberikan kepada calon kepala daerah khususnya petahana yang melakukan politisasi dan mobilisasi dukungan kepada PNS, Kepala Desa dan perangka-tnya, penyalahgunaan wewenang anggaran, sarana dan infrastruktur birokrasi oleh petahana terhadap birokrasi. Pada konteks yang lain perlu juga untuk dipertimbangkan mengenai aturan yang tegas, misalnya: seorang incumbent harus mundur dari jabatannya sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah 6 (enam) bulan sebelum masa kampanye Pilkada dilaksanakan. Ini untuk menjaga agar birokrasi tidak terkontaminasi politik dan penyeleng-garaan pemerintahan daerah dapat tetap berjalan seperti seharusnya.
j. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pilkada, perlu penegasan kembali peran pemerintah daerah, KPU, Bawaslu terhadap Pilkada, misalnya mengenai peran untuk melakukan pendidikan politik kepada masyarakat, sosialisasi pemilu nasional, pilkada, dan lain sebagainya.
g. Meninjau kembali konstruksi kelembagaan Bawaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota, ruang lingkup tugas dan wewenangnya. Panwaslu perlu diberikan wewenang eksekusi karena selama ini tugas dan wewenang Panwaslu belum efektif untuk menangani kasus-kasus pelanggaran Pilkada. h. Perlu dicari format yang tepat mengenai pemilihan kepala daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Apakah konstruksi Pilkada langsung dan/atau Pilkada Serentak kompatibel dengan sistem NKRI yang terdesentralisasi. Selain itu penting pula mempertimbangkan pelaksanaan
POLICY BRIEF
37 PKDOD review
k. Penjadwalan Pilkada perlu ditinjau ulang. Pelaksanaan Pilkada Serentak pada akhir tahun (Pilkada Serentak 2015 dilaksanakan pada tanggal 9 Desember) memiliki resiko tinggi terhadap pertanggungjawaban anggaran sebab Dese-mber merupakan bulan terakhir dalam siklus anggaran tahunan. Di samping itu penyelenggaraan Pilkada Serentak pada bulan Desember memiliki resiko hambatan yang sangat besar mengingat pada bulan Desember hingga Januari merupakan bulan yang sarat ancaman bencana alam seperti banjir, tanah longsor yang dapat menghambat Pilkada. Bulan ideal untuk pelaksanaan Pilkada adalah pada bulan April dan Mei dengan alasan bahwa pada kedua bulan tersebut ancaman bencana alam berkurang. Kemudian jika kepala daerah terpilih dilantik pada bulan Juni atau Juli, kepala daerah dapat langsung tune in dengan program dan kegiatan pemerintah daerah pada tahun anggaran yang sedang berlangsung.
PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
PKDOD review
POLICY BRIEF
38
IMPLEMENTASI UU DESA DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN KAPASITAS PEMERINTAHAN DESA Edy Sutrisno (
[email protected]), Rusman Nurjaman (
[email protected]) Tahun 2014 merupakan momentum kebangkitan penyelenggaraan pemerintahan desa menyusul disahkannya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa (UU Desa). Melalui undang-undang tersebut desa memperoleh kedudukan yang kuat dalam penyelenggaraan pemerintahan yang secara integral bagian dari penyelenggaraan pemerintahan nasional dan daerah. Berdasarkan Pasal 19 UU Desa, desa memiliki kewenangan yang sangat luas, meliputi: a) kewenangan berdasarkan asal usul; b) kewenangan lokal berskala desa; c) kewenangan penugasan dari pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota; dan d) penugasan kewenangan lain dari pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan kabupaten/kota.Keempat kewenangan tersebut secara langsung membawa implikasi dan tantangan baru bagi bagi pemerintah desa terkait dengan implementasinya. Latar Belakang
U
U No. 6 Tahun 2014 tentang Desa mengamanatkan hak dan kewajiban yang tidak ringan bagi desa. Pasal 67 ayat (1), di dalam Undang-Undang Desa menyebutkan bahwa desa berhak mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat, menetapkan dan mengelola kelembagaan desa, dan mendapatkan sumber pendapatan. Sementara pada ayat (2), eksplisit disebutkan bahwa kewajiban desa terdiri dari: a) melindungi dan menjaga persatuan, kesatuan serta kerukunan masyarakat desa dalam rangka kerukunan nasional dan keutuhan NKRI; b) meningkatkan kualitas masyarakat desa; c) mengembangkan kehidupan demokrasi; d) mengembangkan pemberdayaan masyarakat desa; e) memberikan dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat desa. Wewenang, hak dan kewajiban desa tersebut memunculkan banyak harapan, tantangan juga kekhawatiran yang bermuara pada tuntutan terhadap meningkatnya kapasitas penyelenggara pemerintahan desa dalam hal ini adalah pemerintah desa yang terdiri dari kepala desa dan perangkat desa. Wewenang, hak dan kewajiban desa memiliki dimensi yang luas terkait dengan pelaksanaan dan pengelolaan berbagai aspek yang melingkupinya, seperti: keuangan dan kekayaan desa, perencanaan dan anggaran desa, kebijakan
PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
desa, pelayanan desa, kepemimpinan kepala desa, kelembagaan dan perangkat desa, pemberdayaan masyarakat desa, kapasitas Badan Permusyawaratan Desa, dan aspek lain yang relevan. Problemnya adalah terdapat sinyalemen yang menunjukkan bahwa beban pemerintah desa sangat berat untuk melaksanakan amanat undang-undang desa jika melihat berbagai problematika dan kondisi pemerintahan desa. Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa merupakan kebijakan penting dan fundamental dalam tata kelola pemerintahan desa. Salah satu keputusan strategis yang dibuat oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat adalah ditetapkannya Alokasi Dana Desa dalam rangka pelaksanaan hak dan kewajiban desa. Namun demikian seiring dengan terobosan besar tersebut, pemerintah juga memiliki pekerjaan rumah yang tidak ringan mengingat potensi persoalan dan kegagalan yang ditimbulkan tidak kecil jika dikaitkan dengan kondisi pemerintahan desa yang umumnya masih lemah. Diakui atau tidak penyelenggaraan pemerintahan desa hingga saat ini masih memiliki banyak kelemahan dilihat dari kapasitas manajemen pemerintahan desa serta kompetensi kepala desa dan perangkat desa. Lebih jauh apabila mengacu pada amanat undangundang desa Pasal 24, yang menyebutkan bahwa asas penyelenggaraan pemerintahan desa mencakup:
kepastian hukum, tertib penyelenggaraan pemerintahan, tertib kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efektifitas dan efisiensi, kearifan lokal, keberagaman, dan partisipatif, maka sudah seharusnya pemerintah membantu meningkatkan kapasitas pemerintahan desa agar amanat undang-undang tersebut dapat dilaksanakan dengan baik. Apabila dicermati, tampak bahwa substansi Pasal 24 tersebut mengandung nilainilai good governance dan demokrasi lokal yang tinggi. Isu Krusial A. Pengelolaan Dana Desa Dalam prosesnya, pelaksanaan UU Desa memunculkan dinamika dan permasalahan baik yang bersifat normatif maupun permasalahan operasional di lapangan. Terkait dengan pengelolaan keuangan desa, PP 60 menyebutkan bahwa pengalokasian dana desa dilakukan secara proporsional dengan mempertimbangkan 4 faktor berikut: jumlah penduduk desa, angka kemiskinan desa, luas wilayah desa, dan tingkat kesulitan geografis desa. Namun fakta di lapangan menunjukkan problematika yang tidak sedikit. Jika tetap dipaksakan, mekanisme pembagian dana desa menggunakan asas proporsionalitas akan menghasilkan pembagian yang timpang dan berpotensi memicu konflik horisontal di ranah desa. Selain itu, pembagian dana desa menurut asas proporsional mensyaratkan pemutakhiran dan akurasi data wilayah dan demografi dari BPS. Masalah muncul karena data yang dimiliki BPS seringkali berasal dari pendataan di daerah yang berasal dari 2-3 tahun silam. Dengan kondisi demikian, tak pelak lagi, pengelolaan keuangan desa merupakan salah satu isu krusial dalam implementasi UU Desa. Di awal-awal periode pelaksanaannya, UU Desa memunculkan kebingungan, baik di kalangan pemerintah kabupaten/kota, pemerintah desa, maupun masyarakat desa umumnya. Pencairan dana desa seringkali tersendat. Meskipun dana desa sudah tersedia di kas pemerintah kabupaten/kota, namun belum bisa dicairkan karena peraturannya belum jelas secara operasional. Di satu sisi, mekanisme pencairan harus menunggu revisi peraturan PP 43 dan PP 60, sementara di desa juga beredar kabar
bahwa Permendagri No. 113 tentang Pengelolaan Keuangan Desa juga tengah direvisi. Di sisi lain, sebagian pemerintah daerah masih belum membuat aturan-aturan yang diperlukan, semisal Perbup atau Perda, karena menunggu peraturan yang lebih jelas dan rinci. Sedangkan, daerah sangat terbatas dengan waktu, padahal harus segera mengimplementasikan UU Desa.
POLICY BRIEF
39 PKDOD review
Baik di kalangan aparatur pemerintah daerah dan perangkat desa, muncul kesan bahwa implementasi UU Desa ini terlalu birokratis mengingat banyaknya peraturan yang harus diperhatikan untuk mencairkan dana desa. Kepala desa sering beranggapan Pemkab mempersulit pemberian dana desa. Sementara itu banyak desa yang belum menyiapkan RPJMDes, APBDes, RKP Desa, sebagai persyaratan untuk mencairkan dana desakarena pembuatan semua dokumen itu mengandaikan adanya kepastian besaran jumlah dana yang akan dikelola oleh setiap desa. Desa memang mempunyai RPJMDes pola lama, tapi dengan adanya UU Desa perlu ada penyesuaian baru. Pada titik ini seringkali terjadi miskomunikasi antara desa dan kabupaten/kota. Masing-masing daerah merespon secara beragam adanya kecenderungan birokratisasi yang menguat dalam aturan pengelolaan dana desa. Karena khawatir dana desa akan diselewengkan, pemerintah daerah ada yang merasa perlu untuk membentuk tim verifikasi di tingkat kecamatan dan pengawasan pembinaan dilakukan oleh camat.Di beberapa daerah ada juga kencenderungan desa tidak tahu tentang pola-pola penggunaan dana desa sehingga banyak kepala desa yang diundang ke kejaksaan/ kepolisian untuk dimintai keterangan. Persoalan ini ditanggapi secara beragam. Di Jawa Barat, Polda yang menugaskan jajaran Polres di setiap kabupaten/kota melakukan pembinaan aparatur pemerintahan desa dalam rangka menyongsong implementasi UU Desa. Hal ini bertujuan agar desa lebih waspada dalam mengoptimalkan penggunaan dana desa sehingga pengelolaannya berjalan sesuai aturan. Persoalan lain muncul karena dalam APBD kabupaten tidak ada pos anggaran untuk membiayai kegiatan sosialisasi tentang anggaran desa. Padahal, banyak desa yang kesulitan menyusun RAPBDes karena besaran nominalnya belum pasti dan aturannya pun belum jelas. Selama ini, desa sesungguhnya mempunyai sumber PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
PKDOD review
POLICY BRIEF
40
anggaran desa yang cukup besar dan beragam. Selain dari penghasilan asli dan swadaya masyarakat desa, aliran dana yang masuk ke dalam anggaran desa juga antara lain berasal dari dana bantuan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten, perusahaan/dana CSR, dana Parpol, hibah, dan lainlain. Dengan sumber yang beragam tersebut, setiap desa dapat mengelola anggaran berkisar antara Rp600-800 juta. Namun, mekanisme pengaturan dan pertanggungjawabannya yang selama ini belum jelas dapat menjadi masalah di kemudian hari. B. Perencanaan Pembangunan Desa Isu krusial lainnya dalam rangka implementasi UU Desa adalah perencanaan pembangunan desa. Pasal 79 UU Desa antara lain menyebutkan bahwa penyusunan perencanaan pembangunan desa dilakukan dengan memperhatikan: 1) mengacu pada perencanaan pembangunan Kabupaten/ Kota; 2) Program Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah yang berskala lokal Desa dikoordinasikan dan/atau didelegasikan pelaksanaannya kepada Desa; 3) sebagai salah satu sumber masukan dalam perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota. Pasal 80 menyebutkan bahwa prioritas, program, kegiatan, dan kebutuhan pembangunan desa yang didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, swadaya masyarakat Desa, dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/ Kota ditetapkan melalu mekanisme musyawarah perencanaan pembangunan desa. Namun dalam kenyataannya di lapangan tidak semua kegiatan desa sesuai dengan perencanaan desa. Kasus yang sering terjadi justru desa membuat program tanpa memperhatikan dokumen perencanaan. Ada juga desa yang belum tahu bentuk perencanaannya akan seperti apa; apakah harus mengikuti model daftar pengeluaran anggaran (DPA, seperti di SKPD) atau model rencana anggaran belanja (RAB) saja. Berdasarkan kasus di Kabupaten Sumedang, selama ini bentuk perencanaan belanja mengikuti model RAB, tetapi pelaksanaanpembelanjaannya sering tidak sesuai. Problem juga muncul terkait dengan rancangan pembangunan kawasan perdesaan. UU Desa mengamanatkan agar rancangan pembangunan kawasan perdesaan dibahas bersama oleh
PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
Pemerintah, Pemerintah DaerahProvinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Desa (Pasal 83). Hasilnya, kemudian ditetapkan oleh Bupati/Walikota sesuai dengan RPJMD Kabupaten/kota. Namun, perencanaan desa belum bisa dilakukan sepenuhnya karena perencanaan di tingkat kabupaten/provinsi sering terlambat. Padahal sejak bulan Desember, desa sudah menetapkan Perdes tentang pembangunan desa. Tidak hanya itu, sosialisasi rencana tata ruang dari atas ke bawah (provinsi-kabupaten/kota-desa) juga kadang tidak sampai hingga ke tingkat desa, sehingga menyebabkan perencanaan desa bentrok dengan perencanaan kabupaten/provinsi. Masalah kian bertambah karena di desa sering juga dipimpin oleh figur-figur pemimpin desa yang berwawasan sempit. Sesungguhnya, lemahnya koordinasi antara pemerintah desa dengan lembaga supradesa seperti yang dipaparkan di atas berkaitan dengan hubungan antara keduanya dalam konteks lebih luas yang selama ini memperlihatkan pola hubungan yang tidak “sedang baik-baik saja”. Pasal 15 dan 16 UU Desa memang mengatur hubungan pemerintah desa dengan supradesa. Dalam hal ini, UU Desa menyebutkan bahwasanya Pemerintah, Pemda Provinsi dan Pemda Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan untuk melakukan: 1)pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan desa; 2) mendelegasikan pembinaan dan pengawasan kepada perangkat daerah; dan 3) memberdayakan masyarakat desa. Kenyataan di lapangan, semenjak adanya otonomi hubungan berjenjang antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, hingga ke desa, justru sering berjalan kurang lancar. Hal ini karena dalam banyak kasus seorang kepala daerah kadang-kadang masih membawa kepentingan parpolnya sendiri. Jika dari atas hingga ke bawah parpolnya berbeda, biasanya hubungan yang terbangun diwarnai ketegangan. Terkait perencanaan pembangunan desa, hal yang juga perlu diperhatikan di masa depan adalah seputar ketimpangan akses terhadap informasi. Salah satu hambatan penyampaian informasi rencana pembangunan desa adalah disebabkan oleh kesenjangan pemahaman dan penerimaan informasi tentang anggaran desa. Untungnya, guna menjawab masalah ini, UU Desa sudah mengakomodasi isu
mengenai pentingnya membangun sistem informasi desa. Pasal 86 antara lain menyebutkan “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengembangkan sistem informasi Desa dan Pembangunan Kawasan Perdesaan”. Lebih lanjut, Pasal 86 menyebutkan agar sistem informasi desa tersebut dikelola oleh pemerintah desa dan dapat diakses oleh masyarakat desa dan semua pemangku kepentingan. Dalam hal ini, sistem informasi desa meliputi data desa, data pembangunan desa, kawasan perdesaan, serta informasi lain yang berkaitan dengan pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan. Dimensi akses terhadap informasi ini tentunya tidak bisa dipandang sebelah mata. Sistem informasi desa yang tertata dengan baik dan solid memungkinkan terwujudnya kemudahan dan pemerataan akses atas informasi yang relevan dengan pembangunan desa. Penguasaan akses informasi desa yang relatif merata dan memadai pada gilirannya akan berdampak pada peningkatan kepercayaan diri masyarakat desa untuk kemudian turut terlibat dalam pembangunan desanya. Dari segi ini, pemerataan akses informasi akan berdampak pada dua hal: penguatan demokratisasi desa dan pendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa. Dengan demikian, hal tersebut dapat menjawab problem bahwa selama ini tidak banyak desa yang mempunyai pengalaman untuk melibatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa, baik dalam tataran perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban. Dalam Pasal 80, UU No. 6/2014 sendiri secara eksplisit mengamanatkan bahwa perencanaan pembangunan desa harus mengikutsertakan masyarakat desa. C. Tantangan SDM Desa Dari pemaparan di atas tampak jelas bahwa yang menjadi tantangan utama di desa salah satunya adalah potensi dan kapasitas sumber daya manusia setempat yang masih minim. Hal ini tidak hanya tercermin dari sulitnya mencari figur-figur pemimpin desa yang visioner, berwawasan luas, dengan kapasitas yang mumpuni, melainkan juga problem yang kurang lebih sama terletak pada kelompok perangkat desa dengan kapasitas yang terbatas. Di Jawa Barat, misalnya, terdapat beberapa desa yang berhasil mengoptimalkan potensi sumber daya yang ada karena sejumlah faktor
seperti kapasitas pemimpin, perangkat desa dan masyarakatnya, serta sebagai buah dari kolaborasi dengan organisasi masyarakat sipil, sehingga tampil menjadi desa yang mandiri seperti Desa Ciburial di Kabupaten Bandung. Namun, umumnya desa-desa di Jawa Barat masih mengalami kesulitan serius dalam menghadapi tantangan rendahnya kapasitas sumber daya manusia di pedesaan.
POLICY BRIEF
41 PKDOD review
Minimnya potensi sumber daya manusia di desa selama ini tidak mengherankan karena rata-rata tingkat pendidikan penduduk desa hanya lulusan sekolah dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan maksimal Sekolah Menengah Umum (SMU). Tentunya hal ini menjadi tantangan tersendiri dalam implementasi UU Desa. Sebab, Pasal 50 UU Desa menyebutkan bahwa persyaratan perangkat desa antara lain berpendidikan minimal SMA dan berusia 20-42 tahun. Padahal selain hambatan tingkat pendidikan, berdasarkan temuan lapangan dari ketiga daerah kabupaten di Jawa Barat yang menjadi lokus kajian, selama ini posisi perangkat desa seringkali diisi oleh orang-orang yang menjelang usia pensiun. Mereka dipilih berdasarkan pertimbangan ketokohan atau pengalaman yang bersangkutan. Dinamika politik desa pun tak jarang mempengaruhi pemilihan dan pengangkatan perangkat desa. Di sejumlah desa di Jawa Barat, ada kecenderungan fenomena “ganti kepala desa, ganti perangkat”. Fenomena ini jelas merugikan desa karena pembinaan yang sudah dilakukan BPMPD selama ini menjadi sia-sia. Dimensi keberlanjutan program pembinaan juga menjadi terancam dan hanya menghambur-hamburkan anggaran. Apa sebenarnya yang menyebabkan desa mengalami kelangkaan sumber daya manusia yang mumpuni, termasuk untuk menjalankan pemerintahan desa? Benarkah desa tak pernah melahirkan sumber daya manusia yang mampu menjawab tantangan kebutuhan pembangunan dan pemerintahan di tingkat desa? Ilmuwan sosial yang menekuni isu pedesaan umumnya berpandangan bahwa paradigma pembangunan yang cenderung “antidesa” melahirkan struktur sosial yang timpang antara desa dan kota (Lawang, 2006). Kurangnya perhatian pemerintah dan sektor swasta pada pembangunan prasarana jalan, pendidikan, kesehatan, perbankan di daerah pedesaan, membuat desa itu menjadi tempat yang penuh masalah yang tidak teratasi. Tak PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
PKDOD review
POLICY BRIEF
42
heran jika kemudian desa ditinggalkan oleh orangorang terbaik yang pernah dilahirkannya. Rekomendasi
B
erpijak pada uraian di depan, rekomendasi yang perlu ditempuh bagi upaya mengoptimalkan implementasi UU Desa, adalah:
1. Penataan desa perlu segera disiapkan oleh pemerintah kabupaten/kota dengan memprioritaskan penataan sistem administrasi desa dan memasukkan agenda pengembangan kapasitas SDM untuk membangun manajemen yang efektif. 2. Perlunya memprioritaskan pemetaan kapasitas desa untuk menentukan tipologi desa melalui penghitungan aset desa, kapasitas sumber daya manusia, jumlah dan sebaran penduduk desa, ketersediaan infrastruktur dasar bagi masyarakat desa, serta kondisi ekonomi, sosial, dan kultural masyarakat desa. Dengan demikian, perencanaan desa di masa mendatang tidak hanya sekadar mengacu pada apa yang sudah ada saat ini. 3. Lembaga supradesa (pemerintah kabupaten/kota), perlu mengoptimalkan program pendampingan desa, pemanfaatan jaringan, dan menetapkan program pembelajaran yang berkelanjutan untuk mendongkrak kapasitas dan kinerja desa dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa. 4. Peningkatan kapasitas perangkat desa diarahkan pada dua hal pokok: 1) penguatan kapasitas dalam pemetaan sosial dan perencanaan pembangunan desa; 2) penguatan kapasitas dalam mengelola dan mengalokasikan anggaran desa untuk kepentingan masyarakat luas. 5. Pemerintah desa perlu mengintegrasikan sistem informasi desa (SID) tidak hanya ke dalam sistem perencanaan pembangunan, tapi juga dalam pengelolaan keuangan dan aset desa. Dalam hal ini, kiranya penting bagi desa diberi kewenangan untuk membentuk unit organisasi baru yang memiliki tugas pokok dan fungsi dalam pembuatan dan pembaharuan data base desa, hingga melakukan pemantauan atas perubahan struktur geografis desa, baik karena proses alamiah atau penetrasi modal yang masuk ke desa.
PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
6. Partisipasi masyarakat merupakan salah satu elemen kunci dalam perumusan perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban program pembangunan desa. Proses perencanaan desa dirumuskan melalui suatu mekanisme bertahap dan agenda panjang yang dilakukan secara kolektif-partisipatif dan inklusif, yakni mulai dari musyawarah desa, pemetaan desa, sensus, eksplorasi, pengorganisasian aset, pertemuan apresiatif, perencanaan dan penganggaran. 7. Perencanaan daerah dan perencanaan desa mempunyai hubungan yang terkonsolidasi. Desa dalam menyusun RPJM Desa dan RKP Desa memuat program prioritas, program dan kegiatan lokal berskala desa yang akan dibiayai sendiri oleh desa. Sedangkan kabupaten/kota berkewajiban memberikan informasi tentang program dan prioritas kegiatan pembangunan daerah yang akan dilaksanakan di desa. Untuk memudahkan desa dalam mengacu program-program daerah, maka informasi perencanaan daerah yang diberikan kepada desa dibuat lebih sederhana, misalnya berupa ringkasan RPJMD/RKPD. Hal ini dimaksudkan agar RPJM Desa/RKP Desa dan RPJMD/RKPD kabupaten/kota dapat terkonsolidasi dengan baik. 8. Dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan berskala desa, pemerintah supra desa (Kementerian/ Lembaga Sektoral dan Dinas/SKPD) hadir dalam rangka memberikan panduan (asistensi) dan dukungan (fasilitasi), misalnya melalui penyelenggaraan-penyelenggaraan pelatihan atau bantuan teknis yang dibutuhkan desa. 9. Perlunya memperkuat musyawarah desa dengan melibatkan lebih banyak aktor dalam proses perencanaan desa. Semakin banyak aktor yang dilibatkan dalam proses perencanaan, maka hasilnya semakin legitimated. Selain melibatkan aktor-aktor yang merepresentasikan kelompok elite desa seperti pemerintah desa, BPD, tokoh agama/adat, musyawarah desa perlu melibatkan kelompokkelompok kegiatan/kepentingan tertentu seperti kelompok tani, kelompok nelayan, kelompok rentan (warga miskin, perempuan, dan penyandang disabilitas), serta organisasi masyarakat sipil yang ada di desa.
STANDAR KOMPETENSI ASN DI PEMERINTAH DAERAH DALAM MENGHADAPI ASEAN ECONOMIC COMMUNITY
POLICY BRIEF
43 PKDOD review
Widhi Novianto (
[email protected]), Maria Dika (
[email protected]) Pendahuluan
S
etelah krisis ekonomi yang melanda khususnya kawasan Asia Tenggara, para Kepala Negara ASEAN dalam KTT ASEAN ke-9 di Bali pada tahun 2003, meyepakati pembentukan komunitas ASEAN (ASEAN Community) dalam bidang Keamanan Politik (ASEAN Political-Security Community), Ekonomi (ASEAN Economic Community), dan Sosial Budaya (ASEAN SocioCulture Community) dikenal dengan Bali Concord II. Untuk pembentukan AEC pada tahun 2015, ASEAN menyepakati perwujudannya diarahkan pada integrasi ekonomi kawasan yang implementasinya mengacu pada AEC Blueprint. AEC Blueprint merupakan pedoman bagi negara-negara Anggota ASEAN dalam mewujudkan AEC 2015. AEC Blueprint memuat empat pilar utama yaitu: (1) ASEAN sebagai pasar tunggal dan berbasis produksi tunggal yang didukung dengan elemen aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik dan aliran modal yang lebih bebas; (2) ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi tinggi, dengan elemen peraturan kompetisi, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan intelektual, pengembangan infrastruktur, perpajakkan dan e-commerce, (3) ASEAN sebagai kawasan dengan pengembangan ekonomi yang merata dengan elemen pengembangan usaha kecil dan menengah, dan prakarsa integrasi ASEAN, (4) ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi secara penuh dengan perekonomian global dengan elemen pendekatan yang koheren dalam hubungan ekonomi di luar kawasan, dan meningkatkan peran serta dalam jejaring produksi global.
Sesuai dengan empat pilar utama AEC tersebut, negaranegara ASEAN telah melakukan persiapan yang diawali dengan diberlakukanya penghapusan hambatan tarif menjadi 0% pada tahun 2010 oleh negara-negara ASEAN 6 (Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand). Akan tetapi, perencanaan para elite politik negara ASEAN melalui pilar-pilar tersebut faktanya menimbulkan permasalahan utama dalam pencapaian regionalisasi ekonomi ASEAN yaitu ketimpangan signifikan antara dua pilar pertama dengan dua pilar yang terakhir. Laporan tahunan pembentukan AEC tahap II misalnya, menunjukkan bahwa target integrasi dengan pasar global telah tercapai 85,7% sementara target peningkatan daya saing regional dan pemerataan pembangunan baru tercapai berturut-turut 67,9% dan 66,7% (ASEAN Secretariat, 2012). Dengan kata lain, upaya ASEAN untuk membebaskan pasarnya dengan berbagai kesepakatan pasar bebas dengan negara-negara diluar kawasan jauh lebih akseleratif daripada memperkuat daya saing internal kawasan ASEAN itu sendiri. Kendati secara regional pencapaian empat pilar utama AEC masih menemui ganjalan, data Perdagangan pada tahun 2014 menunjukkan bahwa share perdagangan intra-ASEAN menunjukkan angka yang cukup menjanjikan pada masing-masing share perdagangan ke negara-negara ASEAN, yaitu di atas 15%. Hal ini berarti bahwa regionalisme ekonomi di Asia Tenggara merupakan hal yang krusial bagi masing-masing negara ASEAN. Pada tingkat regional, kerjasama ekonomi ASEAN semakin meningkat sejak dimulainya integrasi ekonomi regional dalam ASEAN Free Trade Area (AFTA) PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
PKDOD review
POLICY BRIEF
44
hingga kepada pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan diimplementasikan secara penuh pada tanggal 1 Desember 2015. Perkembangan persiapan implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang diukur melalui scorecard, menunjukkan bahwa Indonesia telah mencapai 82,4 persen dari 431 butir penilaian pada scorecard MEA, capaian tersebut di atas rata-rata ASEAN yang saat ini mencapai 82,1 persen dari 229 Key Deliverables prioritas yang ditargetkan selesai pada tahun 2015. Tantangan kerjasama ekonomi internasional antara lain : 1) masih belum selarasnya antara diplomasi politik dan diplomasi ekonomi; 2) belum optimalnya kualitas koordinasi lintas sektor dan seluruh pihak terkait dalam proses penyiapan dan implementasi hasil-hasil kerjasama ekonomi internasional serta 3) belum optimalnya pemanfaatan kesepakatan kerjasama ekonomi internasional dalam mencapai kepentingan nasional terutama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam konteks AEC, aparatur memerlukan penyesuaianpenyesuaian kompetensi dalam menghadapi tantangan baru yang akan muncul di lingkungan ASEAN. Sehubungan dengan hal tersebut, dipandang perlu untuk menyusun standar kompetensi khususnya kompetensi teknis Aparatur Sipil Negara (ASN) Jabatan Pimpinan Tinggi di sektor perdagangan dan perindustrian pemerintah daerah dalam menghadapi ASEAN Economic Community dengan mempertimbangkan permasalahan, kebutuhan, mandat kebijakan dan tantangan dalam menghadapi AEC. Pemilihan sektor perdagangan dan perindustrian didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut : Pertama, isu perdagangan dan industri adalah salah satu dari empat elemen penting dalam AEC yang akan dihadapi oleh Indonesia. Kedua, Secara komparatif, Indonesia cukup tertinggal dari negara-negara anggota ASEAN lain dalam dua isu tersebut. Ketiga, isu perdagangan dan industri adalah dua isu yang krusial bagi negara- negara Middle Power seperti Indonesia, karena isu ini menunjukkan daya saing (competitiveness ) Indonesia di tingkat global. Pendekatan Dalam Penyusunan Standar Teknis
U
ndang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, mengatur bahwa kompetensi Aparatur Sipil Negara meliputi :
PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
a. kompetensi teknis yang diukur dari tingkat dan spesialisasi pendidikan, pelatihan teknis fungsional, dan pengalaman bekerja secara teknis; b.
kompetensi manajerial yang diukur dari tingkat pendidikan, pelatihan struktural atau manajemen, dan pengalaman kepemimpinan; dan
c. kompetensi sosial kultural yang diukur dari pengalaman kerja berkaitan dengan masyarakat majemuk dalam hal agama, suku, dan budaya sehingga memiliki wawasan kebangsaan. Sejalan dengan implementasi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara dalam konteks AEC, maka diperlukan penyesuaian-penyesuaian kompetensi Aparatur Sipil Negara khususnya dalam liberalisasi di sektor perdagangan baik perdagangan dalam maupun luar negari serta peningkatan daya saing sektor perindustrian dengan mereposisi kebijakan-kebijakan ekonominya dan juga memastikan semua komponen Aparatur Sipil Negara (ASN) siap dengan perubahan struktural ini. Terkait dengan kompetensi misalnya, dalam menghadapi AEC, Kasali (2014) mengisyaratkan perlunya penyesuaian kapasitas internal organisasi. AEC memberikan paradigma baru, sebuah transformasi dari cara pandang ‘siapa yang mampu beradaptasi akan bertahan’ menjadi ‘siapa yang cepat, dialah pemenangnya’. Menurut Kasali, tantangan seperti AEC tadi memerlukan sebuah kapasitas yang dibangun secara berkelanjutan agar Aparatur Sipil Negara mampu merespon perubahan dengan waktu yang efisien, tangkas dan efektif. Kasali menyebutnya sebagai agility dan dynamic capability yaitu kualitas sensorik yang cepat dalam mengidentifikasi ancaman maupun kesempatan. Penyusunan standar kompetensi Aparatur Sipil Negara dalam menghadapi AEC dalam kajian ini dengan mempertimbangkan berbagai aspek antara lain : a. Kompetensi-kompetensi tertentu yang harus dimiliki, dimana negara bisa menghadapi kompetisi di tingkat regional/global tetapi juga mampu membangun legitimasi internal di tingkat domestik. Dalam model knowledge economy, ada tiga elemen yang diperlukan: (1) institusi untuk mendukung inovasi; (2) jaringan untuk mengembangkan dan mentransfer pengetahuan (ke dalam inovasi), serta (3) dukungan infrastruktur inovasi untuk mendorong perusahaan untuk berinovasi. Dalam lanskap integrasi ekonomi
regional posisi negara menjadi penting untuk membangun kapasitas dalam empat hal penting. Pertama, kapasitas regulatory, yakni kapasitas untuk membuat aturan-aturan, norma, dan koridor yang memastikan pasar bisa berjalan secara optimal dan risiko-risiko yang berpotensi muncul dalam hal tersebut dapat diantisipasi. Kedua, kapasitas pengetahuan, yakni kapasitas untuk merespons perubahan-perubahan yang terjadi di tingkat global/regional dan menghubungkan pengetahuan tersebut, secara institusional, dengan para pemangku kepentingan (stakeholders). Ketiga, kapasitas pemberdayaan stakeholders, yakni kapasitas untuk memperkuat kapasitas pemangku kepentingan yang tidak memiliki kapasitas skill, pengetahuan, serta akses terhadap modal yang membuat mereka gagal berkompetisi dalam pasar regional/global. Keempat, kapasitas negosiasi, yakni kapasitas untuk bisa berhubungan dengan kekuatan ekonomi lain, baik di dalam maupun luar negeri, serta membangun kerjasama yang bisa menguntungkan untuk pengembangan ekonomi domestik. Dalam lanskap integrasi ekonomi regional posisi negara menjadi penting untuk membangun kapasitas dalam empat hal penting. Pertama, kapasitas regulatory, yakni kapasitas untuk membuat aturan-aturan, norma, dan koridor yang memastikan pasar bisa berjalan secara optimal dan risiko-risiko yang berpotensi muncul dalam hal tersebut dapat diantisipasi. Kedua, kapasitas pengetahuan, yakni kapasitas untuk merespons perubahan-perubahan yang terjadi di tingkat global/regional dan menghubungkan pengetahuan tersebut, secara institusional, dengan para pemangku kepentingan (stakeholders). Ketiga, kapasitas pemberdayaan stakeholders, yakni kapasitas untuk memperkuat kapasitas pemangku kepentingan yang tidak memiliki kapasitas skill, pengetahuan, serta akses terhadap modal yang membuat mereka gagal berkompetisi dalam pasar regional/global. Keempat, kapasitas negosiasi, yakni kapasitas untuk bisa berhubungan dengan kekuatan ekonomi lain, baik di dalam maupun luar negeri, serta membangun kerjasama yang bisa menguntungkan untuk pengembangan ekonomi domestik. b. AEC Blueprint merupakan pedoman bagi negaranegara Anggota ASEAN dalam mewujudkan AEC 2015. AEC Blueprint memuat empat pilar utama yaitu : (1) ASEAN sebagai pasar tunggal
dan berbasis produksi tunggal yang didukung dengan elemen aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik dan aliran modal yang lebih bebas; (2) ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi tinggi, dengan elemen peraturan kompetisi, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan intelektual, pengembangan infrastruktur, perpajakkan dan e-commerce, (3) ASEAN sebagai kawasan dengan pengembangan ekonomi yang merata dengan elemen pengembangan usaha kecil dan menengah, dan prakarsa integrasi ASEAN, (4) ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi secara penuh dengan perekonomian global dengan elemen pendekatan yang koheren dalam hubungan ekonomi di luar kawasan, dan meningkatkan peran serta dalam jejaring produksi global.
POLICY BRIEF
45 PKDOD review
c. Peraturan Perundang-undangan yang relevan dijadikan pertimbangan dalam kajian ini antara lain Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Perindustrian; Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. d. Penyusunan standar kompetensi yang dibutuhkan Aparatur Sipil Negara (ASN) di Pemda dalam menghadapi ASEAN Economic Community mempertimbangkan Nawa Cita (9 Program Prioritas Pemerintahan Jokowi) dan aspek lingkungan strategis sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2015-2019) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) pada lokus kajian. Aparatur Sipil Negara dihadapkan pada beberapa permasalahan di bidang perindustrian antara lain deindustrialisasi, populasi dan struktur industri lemah, bahan mentah diekspor, sementara bahan setengah jadi diimpor, ketergantungan pada impor tinggi serta produktivitas rendah. Sedangkan permasalahan perdagangan dalam negeri antara lain masih terdapatnya kelangkaan stok dan disparitas harga bahan pokok yang tinggi, belum optimalnya aktivitas perdagangan dalam negeri, masih rendahnya minat masyarakat terhadap produk domestik, dan belum optimalnya upaya pelindungan konsumen, serta permasalahan luar negeri peningkatan kerjasama internasional baik di forum bilateral, regional, maupun multilateral.
PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
PKDOD review
POLICY BRIEF
46
Identifikasi Kompetensi
B
erdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, berikut ini disampaikan beberapa jenis kompetensi bagi Aparatur Sipil Negara khususnya Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam menghadapi AEC, yaitu : No
Jenis Kompetensi
1
Menyusun kebijakan di bidang perdagangan dan perindustrian
2
Menkoordinaskan perdagangan dalam negeri
3
Mengkoordinasikan perdagangan luar negeri
4
Merumuskan sasaran pembangunan dan pengembangan industri
5
6
Mengarahkan Desain Produk Industri
Mengarahkan Standarisasi Produk Industri
7
Mengarahkan Hak Kekayaan Intelektual
8
Mengarahkan Sistem Informasi Industri
9
Membina Manajemen IKM
Deskripsi Mengetahui dan mampu menyusun kebijakan di bidang perdagangan dan perindustrian Mengetahui dan mampu mengkoordinasikan berbagai aspek terkait dengan perdagangan barang atau jasa dalam negeri, Mengetahui dan mampu mengkoordinasikan berbagai aspek terkait dengan perdagangan barang dan jasa luar negeri. Mengetahui dan mampu merumuskan sasaran pembangunan dan pengembangan industry Mengetahui dan mampu mengarahkan kebijakan desain produk industri baik dalam perancangan, perencanaan, dan pembuatan produk industri. Mengetahui dan mampu mengarahkan kebijakan produk industri dengan mempertimbangkan aspek daya saing dan perlindungan konsumen. Mengetahui dan mampu mengarahkan kebijakan hak kekayaan intelektual Mengetahui dan mampu mengarahkan kebijakan penerapan sistem informasi industri. Mengetahui dan mampu mengarahkan kebijakan manajemen IKM baik dalam hal pembiayaan, penciptaan nilai tambah, jangkauan pasar, penguatan kelembagaan usaha, dan perlindungan usaha, serta menumbuhkan semangat kewirausahaan.
PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
10
11
Membina Pemanfaatan Rantai Nilai Global dan Jaringan Produksi Global Mengarahkan Pemanfaatan Teknologi Industri
12
Membina perlindungan Konsumen
13
Mengendalikan Stabilisasi Harga
14
Mengendalikan Manajemen Stok
15
16
Mengkoordinasikan Fasilitasi Sarana Penunjang Perdagangan Mengevaluasi Pemberiaan Izin Usaha
17
Mengarahkan promosi
18
Mengarahkan pemanfaatkan market intellegence
19
Mengevaluasi insentif perdagangan
20
Mengevaluasi fasilitasi ekspor dan Impor
21
Mengarahkan pemanfaatan Teknologi Informasi
Mengetahui dan mampu mengarahkan kebijakan pemanfaatan rantai nilai global dan jaringan produksi global. Mengetahui dan mampu mengarahkan kebijakan pemanfaatan teknologi industri . Mengetahui dan mampu mengarahkan kebijakan perlindungan konsumen dan pengawasan produk yang beredar. Mengetahui dan mampu mengarahkan kebijakan stabilitas harga barang atau jasa Mengetahui dan mampu mengarahkan kebijakan persediaan dan pendistribusian barangbarang kebutuhan pokok Mengetahui dan mampu mengkoordinasikan penyediaan sarana penunjang perdagangan Mengetahui dan mampu mengevaluasi pemberian izin usaha Mengetahui dan mampu mengarahkan kebijakan promosi produk-produk yang dihasilkan Mengetahui dan mampu memanfaatkan market intellegence penetrasi pasar dan pengembangan pasar Mengetahui dan mampu mengevaluasi kebijakan insentif perdagangan Mengetahui dan mampu mengevaluasi kebijakan fasilitasi ekspor dan impor Mengetahui dan mampu memanfaatkan teknologi informasi dalam rangka membuka akses pasar dan meningkatkan pangsa pasar produk Indonesia
Rekomendasi Dan Rencana Aksi Jenis Rekomendasi
Rencana Aksi • Aspek kebijakan, merancang dan mengintegrasikan isu AEC dalam kebijakan agar mampu meminimalisir resiko-resiko yang muncul.
Membangun kepedulian dan kesiapan pemerintah dan pemda dalam menghadapi AEC
POLICY BRIEF
47 PKDOD review
• Aspek kelembagaan, membangun sinergi dan aksi kolaboratif antara pemerintah dan pemerintah daerah, perguruan tinggi, dunia usaha dalam menghadapi AEC. • Aspek SDM, sosialisasi AEC kepada ASN untuk membangun kepedulian dan kesiapan ASN dalam menghadapi AEC • Identifikasi potensi daerah, penyusunan standar kompetensi seharusnya didasarkan potensi daerah masing-masing.
Penyusunan standar kompetensi yang bersifat spesifik
• Identifikasi geo spasial, penyusunan standar kompetensi mencakup pengetahuan tentang tata ruang dan kewilayahan masing-masing daerah. • Dokumen Perencanaan, penyusunan standar kompetensi didasarkan pada RPJMN, RPJMD dan Renstra • Promosi
Integrasi standar kompetensi dengan manajemen ASN
• Rotasi • Pelatihan dan Pengembangan • Evaluasi kinerja
Penyusunan kebijakan standar kompetensi Melaksanakan dan melakukan evaluasi terhadap standar kompetensi
Penyesuaian standar kompetensi dengan target-target kinerja dalam RPJMN/D
• Penyusunan kebijakan standar kompetensi oleh pemerintah daerah • Pelaksanaan standar kompetensi yang telah disusun • Melakukan evaluasi terhadap standar kompetensi • Mengidentifikasi Isu-Isu strategik • Mengidentifikasi Sasaran • Mengidentifikasi Arah kebijakan • Mengidentifikasi Strategi
Melakukan tindak lanjut kajian dengan mengidentifikasi standar kompetensi teknis negara-negara ASEAN lainnya
• Melakukan tindak lanjut kajian standar kompetensi negara ASEAN lainnya • Menjalin kemitraan dengan Sekretariat ASEAN dalam rangka kegiatan tersebut
PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
PKDOD review
KEGIATAN PKDOD
48
Senarai Kegiatan Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah Seminar Nasional “Pilkada Serentak, Demokrasi Lokal, dan Efektivitas Pemerintahan Daerah”
P
ada 16 Nopember 2015, PKDOD menyelenggarakan Seminar Nasional bertajuk “Pilkada Serentak, Demokrasi Lokal dan Efektivitas Pemerintahan Daerah”. Seminar ini digelar dalam rangka menyambut Pilkada serentak yang dilaksanakan pada 9 Desember 2015. Seminar ini menjadi salah satu bentuk komitmen PKDOD untuk selalu memberikan kontribusi sumbangan pemikiran, rekomendasi kebijakan terhadap berbagai isu aktual dan persoalan yang dihadapi bangsa khususnya di bidang desentralisasi dan otonomi daerah. Hadir sebagai pembicara adalah Titi Anggraini (Perludem), Anselmus Tan (Direktur Fasilitasi Kepala Daerah dan DPRD Kemendagri), Refly Harun (Pakar Hukum Tata Negara) dan Benyamin Davnie
(Wakil Walikota Tangerang Selatan). Bertindak sebagai moderator yakni Muhammad Taufik (Kepala Pusat Kajian Reformasi Administrasi).
Diskusi Research Design Kajian Hubungan Pemerintah Desa dengan Supradesa
M
engawali kegiatan isu dan kajian PKDOD tahun 2016, pada 16 Maret 2016 PKDOD mengadakan kegiatan diskusi membahas rancangan penelitian (Research Design) kajian “Hubungan Pemerintah Desa dengan Supradesa” yang disusun oleh tim peneliti PKDOD. Sebagai pembahas (reviewer) dalam diskusi tersebut adalah Dr. Tri Widodo Wahyu Utomo SH, MA, Deputi Inovasi Administrasi Negara LAN.
Review Rancangan Kajian “Hubungan Desa-Supradesa”
PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
Penelitian Lapangan ke DiskusiTerbatas Isu Strategis Pembagian Urusan Pemerintahan Sulawesi Selatan
T
erbitnya UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah membawa konsekuensi logis dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. Satu hal yang paling dirasakan dari terbitnya revisi UU No. 32 tahun 2004 ini adalah terkait dengan pembagian urusan pemerintahan yang banyak mengalami perubahan. Banyaknya penarikan sejumlah kewenangan dari kabupaten/kota ke propinsi dan pusat atau propinsi ke pusat menimbulkan banyak resistensi di daerah. Isu inilah yang menjadi salah satu concern utama PKDOD untuk merumuskan kebijakan yang tepat dari implementasi UU ini. Tampil sebagai narasumber dalam diskusi ini adalah Robert Na Endi Jaweng, Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD).
Diskusi Terbatas Pembagian Urusan Pemerintahan
KEGIATAN PKDOD
49 PKDOD review
Audiensi dan wawancara tim PKDOD dengan Bupati Bantaeng Prof. Nurdin Abdullah.
D
alam rangka pengumpulan data terkait dengan penelitian mengenai Hubungan Desa dengan Supradesa dan Pembagian Urusan Pemerintahan, tim peneliti PKDOD melakukan kegiatan pengumpulan data lapangan di Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan Pemerintah Kabupaten Bantaeng. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah diskusi terbatas dan wawancara mendalam dengan sejumlah narasumber. Selain itu, tim juga melakukan kunjungan langsung untuk melakukan pengamatan lapangan (observasi) penyelenggaraan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di Kabupaten Bantaeng.
Konsultasi dan Advokasi LAKIP dan LPJ dengan DPRD Kabupaten Nganjuk
A
wal Februari 2016, PKDOD LAN menerima kunjungan anggota DPRD Kabupaten Ngajuk. Tujuan kunjungan tersebut adalah konsultasi mengenai Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) dan Laporan Pertanggungjawaban Pemerintah Daerah. Kegiatan tersebut dihadiri oleh sekitar 20 anggota DPRD Kabupaten Nganjuk dan pejabat struktural maupun fungsional peneliti PKDOD.
PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
PKDOD review
KEGIATAN PKDOD
50
Integrated Research on Goverment (Ir-Gov)
D
alam rangka meningkatkan jejaring kerja antar unit kajian di bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah, PKDOD mengembangkan kegiatan Integrated Research on Goverment (Ir-Gov). Secara sederhana, Ir-Gov merupakan suatu jejaring yang menghubungkan antar lembaga penelitian dan kajian maupun antar individu peneliti lembaga yang terkait dengan bidang penelitian dan pengembangan. Selama tahun 2016 ini, PKDOD telah ikut terlibat dalam tiga kali kegiatan kerjasama riset diantaranya dengan PATTIRO dalam isu tentang UU Desa, Direktorat EKPKD, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam isu pembagian urusan pemerintahan pasca implementasi UU No. 23 tahun 2014 khususnya di bidang Kelautan dan Perikanan.
Penandatanganan MoU LAN dengan KPPU dan Seminar Nasional “Persaingan Usaha dalam Menghadapi MEA”
P
ada 6 April 2016, LAN dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyepakati perjanjian kerjasama dalam bidang kajian, pendidikan dan pelatihan, dan pengembangan inovasi dalam rangka internalisasi nilai-nilai persaingan usaha bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam menghadapi era persaingan usaha. Salah satu tindak lanjut dari kerjasama ini adalah diselenggarakannya Seminar Nasional bertajuk “Persaingan usaha dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN” yang diselenggarakan pada hari yang sama. Hadir sebagai narasumber dalam seminar tersebut Kepala LAN, Dr. Adi Suryanto; Gubernur Jawa Timur, Dr. Soekarwo; Wali Kota Kediri, Abdullah Abu Bakar; dan Komisioner KPPU, Dr. Candra Setiawan. Diskusi ini dimoderatori oleh Ekonom Universitas Lampung, Prof. Dr. Bustanil Arifin.
PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
Penelitian Lapangan di Provinsi DIY
P
ada Tanggal 9 – 13 Mei 2016, Tim Peneliti PKDOD melakukan kunjungan ke Propinsi DI Yogyakarta dalam rangka pengumpulan data lapangan.
Dalam kesempatan tersebut, tim kajian menggali data dan informasi terkait tiga topik yaitu kajian tentang pembagian kewenangan antara pemerintah desa dan supra desa, isu strategis BUMDes dan Pendamping Desa. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah melakukan diskusi terbatas dengan beberapa narasumber diantaranya dari Pemprov DIY, Pemkab Bantul, Pemkab Gunung Kidul, Perangkat Desa di Desa Panggungharjo, Kab. Bantul, dan Desa Karangrejek, Kab. Gunung Kidul. Selain itu, metode lainnya digunakan adalah dengan melakukan pengamatan langsung (observasi) ke desa-desa dan BUMDes.
KEGIATAN PKDOD
51 PKDOD review
Seminar Nasional “Memperkuat Otonomi Daerah: Membangun Indonesia dari Pinggiran”
D
alam rangka menyambut dua dasawarsa penyelenggaran otonomi daerah di Indonesia, PKDOD LAN mengadakan “Seminar Nasional Memperkuat Otonomi Daerah: Membangun Indonesia dari Pinggiran”. Dalam seminar tersebut, 3 (tiga) orang Kepala Daerah hadir sebagai narasumber yaitu: Gubernur Kalimantan Utara, Dr. Ir. Irianto Lambrie, Ir. H. Mochammad Anton (Walikota Malang) dan Bupati Bantaeng, Prof. Dr. Nurdin Abdullah. Narasumber lainnya adalah Deputi Bidang Inovasi Administrasi Negara merangkap Plt. Deputi Bidang Kajian Kebijakan LAN, Dr. Tri Widodo Wahyu Utomo. Sebagai keynote speaker adalah Dirjen Otonomi Daerah, Dr. Sumarsono, yang mewakili Menteri Dalam Negeri. Diskusi ini dimoderatori oleh Kepala Pusat PKDOD LAN Dr. Ridwan Rajab. Seminar tersebut diharapkan menjadi media diseminasi keberhasilan (best practices) daerah-daerah yang bisa menjadi lesson learned bagi daerah lain.
PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
PKDOD review
TABULA RASA
52
Otonomi Daerah (?) Edy Sutrisno (
[email protected])
Setelah melalui perdebatan panjang oleh anggota Parlemen Belanda, pada 23 Juli 1903 terbitlah sebuah undang-undang tentang desentralisasi di “Tanah Hindia”. Wet Houdende Decentralisatie in Nederlandsch Indie atau kemudian disingkat Decentralisatie Wet 1903 dibentuk untuk mengurangi kewenangan sentral yang berpusat di negeri Belanda melalui penyerahan sebagian kewenangan pusat ke berbagai majelis (raad) di daerah-daerah (Soetandyo Wignyosoebroto, 2008). Menarik disimak bahwa penyerahan sebagian kewenangan pusat ketika itu tidak dilakukan secara “gelondongan” kepada seluruh gemeente akan tetapi realisasi desentralisasi dilakukan secara bertahap. Jenis kewenangan dan pada level apa kewenangan tersebut diberikan sangat tergantung pada kesiapan masing-masing komunitas dalam memenuhi syarat penyelenggaraan urusan pemerintahan mulai dari komunitas pedesaan (inlandse gementee), gementee kota, kemudian diperluas pada satuan-satuan kabupaten. Satu abad lebih pasca Decentralisatie Wet 1903 dijalankan, pasang surut praktik desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia terus berlangsung hingga saat ini. Pada masa UU No. 5/1974 (demikian pula UU No. 22/1948, UU No. 1/1957, Penetapan Presiden No. 6/1959, UU No. 18/1965) dijalankan, rezim pemerintahan daerah menganut mahzab Structural Efficiency Model. Sistem ini memaksimalkan kontrol pusat dalam segala aspek pemerintahan daerah dan pembatasan prakarsa serta kemandirian daerah. UU No. 22/1999 memberi narasi baru bagi relasi pusat daerah. Local Democratic Model menjadi dasar bagi sistem pemerintahan daerah diawal era reformasi menggantikan Structural Efficiency Model yang telah diberlakukan selama Orde Lama dan Orde Baru. Peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan pembangunan menjadi basis penyelenggaraan pemerintahaan daerah. Hampir semua urusan pemerintahan diserahkan kepada daerah, hierarki antara pusat – provinsi – kabupaten/kota tidak lagi sekokoh dulu. Perimbangan keuangan antara pusat – daerah ditata kembali, desentralisasi politik mengalami pembaruan yang selanjutnya melahirkan pilkada langsung, daerah didorong untuk keluar dari kutukan Orde Baru melalui otonomi daerah seluas-luasnya. Namun, sistem demikian faktanya tidak serta merta kompatibel dengan model negara kesatuan. Euforia reformasi justru memicu daerah cenderung lepas kontrol. Gerakan sentrifugal menguat, indikatornya sejumlah daerah berhasrat melepaskan diri dari Indonesia. UU No. 32/2004 lahir menggantikan UU No. 22/1999 dengan harapan
PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
agar otonomi daerah tidak menjadi kebablasan. Bahwa seluas apapun otonomi daerah yang diterapkan di negara kesatuan terdesentralisasi, daerah merupakan subordinat bagi pemerintahan nasional NKRI. Suatu daerah akan dimekarkan, digabung, bahkan dibubarkan-pun adalah hak mutlak bagi pemerintah pusat. UU No. 32/2004 mengkombinasikan Structural Efficiency Model dan Local Democratic Model. Efisiensi tetap menjadi perhatian pemerintah pusat, pemekaran daerah lebih dikontrol, hubungan kepala daerah dengan DPRD adalah mitra kerja bukan relasi yang saling menafikkan, struktur kelembagaan daerah tidak kaku juga tidak longgar, urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kompetensi dan kapasitas daerah. Konstruksi perimbangan keuangan pusat – daerah dibangun untuk menjaga stabilitas fiskal nasional. Desentralisasi politik melalui pemilihan kepala daerah langsung semakin kokoh dalam kerangka pembangunan demokrasi lokal. Dapat dikatakan selama satu dekade implementasi UU No. 32/2004 tidak teridentifikasi letupanletupan membahayakan yang muncul dari daerah. Namun demikian bukan berarti pelaksanaan otonomi daerah melalui UU No. 32/2004 tanpa cacat. Raja-raja kecil dengan dinasti politik, ekonomi dan kekuasaannya masih tumbuh subur, tren korupsi di daerah terus meningkat, stagnasi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan hampir tiap tahun dialami oleh daerah-daerah yang tidak mampu melakukan terobosan dan pembaruan birokrasi pemerintahan. Pilkada langsung menyimpan problematika yang semakin tahun tidak semakin jelas arah perbaikannya. Kesejahteraan masyarakat sebagai muara dari pelaksanaan otonomi daerah belumlah nyata. UU No. 23/2014 menawarkan konstruksi baru dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Penarikan sejumlah urusan pemerintahan seperti, energi dan sumber daya mineral, kelautan, kehutanan, dan manajemen pendidikan menengah memicu kontroversi. Muncul isu pemerintah pusat melalukan resentralisasi. Di luar itu, hal ini semakin meneguhkan pendapat yang menyatakan bahwa pusat selama ini setengah-setengah dalam menjalankan desentralisasi dan otonomi daerah. UU No. 23/2014 jelas akan membawa kesetimbangan baru antara pusat dan daerah, pusat telah memainkan pendulum baru desentralisasi dan otonomi daerah. Meskipun gugatan judicial review terhadap UU No. 23/2014 telah berada di Mahkamah Konstitusi, kita meyakini bahwa mengacu Pasal 18 UUD 1945, hakikatnya otonomi daerah adalah konsensus pendiri bangsa, otonomi daerah adalah komitmen kita bersama.
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
[email protected] makarti.lan.go.id/web/dkk (021) 3455021-5 ext. 112-116 Fax: (021) 3866857 Jl. Veteran No.10, Jakarta, 10110
PKDOD review/Vol. 1 No.1 Tahun 2016
Redaksi PKDOD Review Mengucapkan
Selamat Ulang Tahun ke-59 Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia