Vol. 1 No. 5 November 2012
Vol. 1, No. 5 November 2012
Diterbitkan oleh Pusat Studi Hukum Militer Sekolah Tinggi Hukum Militer Penanggungjawab Ketua Sekolah Tinggi Hukum Militer Kolonel Chk Joko Purnomo, S.H., M.H. Dewan Redaksi Kehormatan Direktur Hukum Angkatan Darat Prof. Dr. H. Priyatna Abdurrasyid, S.H., Ph.D. Prof. Hikmahanto Juwana, S.H, LLM., Ph.D. Prof. Dr. Agusddin Aminoedin, S.H. Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H, M.H. Pemimpin Redaksi Kolonel Chk Haning Satyagraha, S.H., M.H. Sekretaris Redaksi Mayor Chk Sutrisno, S.H. Kapten Chk Masyar Sa’adi, S.H., M.H. Anggota Redaksi Letkol Chk (K) Dr. Susiani, S.H., M.H. Letkol Chk Agustinus PH, S.H., M.H. Mayor Chk Untung, S.H., M.T. Fotografer Sertu Lovi Darman Desain Grafis Sertu Hendro Eko Witanto Tim Editing Sertu Ikhwan Nizar Serda Ralf Hansang PNS Kusgiyanto
Alamat Redaksi Pusat Studi Hukum Militer Sekolah Tinggi Hukum Militer Jl. Matraman Raya No. 126, Jakarta Timur Telepon 021-85904737 e-mail :
[email protected] Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
PENGANTAR REDAKSI
P
embinaan Hukum Militer sebagaimana tema utama dalam Jurnal Hukum Militer edisi ini, merupakan persoalan urgen sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 64 Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI sehingga perlu mendapat perhatian ekstra, mengingat sejak dikeluarkannya undangundang tersebut, masih terdapat perbedaan pendapat tentang lembaga yang membidangi pembinaan hukum militer. Pembinaan hukum militer merupakan suatu proses yang penting. Hukum militer, antara lain ditujukan untuk mendukung penyelenggaraan upaya pendayagunaan wilayah, potensi dan sumber daya untuk kepentingan pertahanan, serta mengatur keadaan bahaya, keadaan perang, termasuk mobilisasi dan demobilisasi. Disamping tema sentral, Jurnal Hukum Militer edisi ini juga memuat artikel lepas tentang Mekanisme Deklarasi Statuter dan “Mareva Injunction” Dalam Usaha Memberantas Korupsi yang dapat dijadikan sebagai salah satu jalan keluar mengatasi korupsi yang kompleks saat ini, serta Penemuan-penemuan bukti penggunaan kekerasan seksual dalam konflik bersenjata di Bosnia. Akhir kata, Redaksi mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca, agar penerbitan berikutnya dari Jurnal Hukum Militer ini, dapat lebih baik. Jakarta,
November 2012
Redaksi
Jurnal Hukum Militer terbit setiap enam bulan I
DAFTAR ISI zz Sambutan ...................................................................................................................iii zz Sekilas STHM ............................................................................................................ iv zz Konsepsi Pembinaan Dan Pengembangan Hukum Militer Di Indonesia Oleh : Mayjen TNI S. Supriyatna, S.H., M.H. .............................................................. 1 zz Pembinaan Dan Pengembangan Hukum Militer Dalam Sistem Hukum Nasional Oleh: Noor M. Aziz, S.H.,M.H., M.M. ......................................................................... 26 zz Pembinaan Dan Pengembangan Hukum Militer Oleh Pemerintah Untuk Kepentingan Penyelenggaraan Pertahanan Negara Oleh : Dr. M. Fachruddien, S.H., M.H. ...................................................................... 36 zz Bagaimana Membina Dan Mengembangkan Hukum Militer Indonesia Oleh : Letkol Chk (K) Dr. Susiani. S.H., M.H. ............................................................ 41 zz Pembinaan Hukum Militer Dalam Perspektif Politik Hukum Oleh : Letkol Chk Agustinus PH., S.H., M.H. ............................................................ 48 zz Pemerintah dan Perumusan Hukum Militer Oleh : Dr. Ir. Kusnanto Anggoro ................................................................................ 56 zz Memanfaatkan Mekanisme Deklarasi Statuter Dan “Mareva Injunction” Dalam Usaha Memberantas Korupsi Oleh : Prof. Dr. H. Priyatna Abdurrasyid, S.H., Ph.D. ................................................ 60 zz Penemuan-Penemuan: Penggunaan Kekerasan Seksual Sebagai Alat Dan Metode Bertempur Dalam Peperangan Di Bekas Wilayah Yugoslavia Direview oleh: Kapten Chk Achmad Fadilah, S.H., M.Hum. .................................... 66 zz Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum ........................................................................................ 77 zz Peraturan Panglima TNI Tentang Nasihat dan Bantuan Hukum Di Lingkungan TNI ................................................................................................. 86 zz Berita Dalam Gambar .............................................................................................. 91
II
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
DIREKTORAT HUKUM ANGKATAN DARAT SEKOLAH TINGGI HUKUM MILITER
SAMBUTAN KETUA SEKOLAH TINGGI HUKUM MILITER “AHM-PTHM”
Assalamu’alaikum Wr.Wb. Pada penghujung Tahun 2012, Sekolah Tinggi Hukum Militer “AHM-PTHM” melalui Jurnal Hukum Militer mengetengahkan bahasan hukum militer yang diangkat dalam artikel utama bertemakan Pembinaan dan Pengembangan Hukum Militer. Sebagai negara yang karena proses historisnya, mewarisi sistem hukum produk pemerintah kolonial, maka setelah kemerdekaan, pemerintah Indonesia telah berupaya memperbaharui beberapa substansi hukum peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda, dengan menggantikan perundang-undangan warisan kolonial dengan undang-undang nasional, termasuk dalam hukum militer. Pembaharuan sistem hukum militer sesungguhnya telah dilakukan sejak awal kemerdekaan Negara Indonesia, antara lain dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 7 tahun 1946 tentang Pengadilan Tentara disamping Pengadilan Biasa. Sejak Tahun 1982 dalam Undang-undang Pertahanan Negara Nomor 20 Tahun 1982 telah diamanatkan bahwa, “Hukum Militer dibina dan dikembangkan oleh Pemerintah untuk kepentingan penyelenggaraan pertahanan negara.” Rumusan ini kemudian juga dipertegas kembali dalam Undang-undang nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Pembinaan hukum militer sebagai satu sistem hukum, tidak hanya meliputi pembinaan dalam substansi undang-undangnya saja, tetapi juga mencakup pembinaan struktur kelembagaan dan budaya hukumnya. Beberapa pemikiran yang konstruksif terkait dengan pembinaan hukum militer, digagas dan disampaikan oleh para penulis, dalam beberapa artikel yang termuat didalam jurnal ini, diharapkan dapat memberikan pencerahan tidak hanya bagi para pihak yang berkepentingan dengan pembinaan hukum militer tetapi juga bagi siapa saja yang berminat untuk ikut ambil bagian dalam memikirkan pembinaan hukum militer. Saya mengucapkan terima kasih kepada para penulis artikel yang berkenan memberikan kontribusi pemikiran untuk bagaimana sebaiknya pembinaan hukum militer. Terimakasih juga saya sampaikan kepada staf redaksi yang telah menyiapkan penerbitan Jurnal Hukum Militer Volume 1 Nomor 5 Tahun 2012 ini. Semoga Jurnal Hukum Militer dapat terbit secara berkesinambungan untuk mewadahi pemikiran, gagasan dan diskusi-diskusi ilmiah seputar hukum militer. Sekian dan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Ketua Sekolah Tinggi Hukum Militer
Joko Purnomo, S.H., M.H. Kolonel Chk NRP 32421
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
III
SEKILAS STHM Pendahuluan
Tujuan Pendidikan
Sekolah Tinggi Hukum Militer (“AHM-PTHM”) merupakan unsur pelaksana Direktorat Hukum Angkatan Darat bidang pendidikan hukum tingkat doctoral, yang berkedudukan langsung di bawah Direktorat Hukum Angkatan Darat. Awalnya bernama Sekolah Hukum Militer (SHM). Didirikan pada 5 Juni 1952, SHM berganti nama menjadi Akademi Hukum Militer (AHM) pada 2 Oktober 1953. Karena pada Tahun 1961 keluar peraturan bahwa jenjang Pendidikan Perwira Ahli Hukum harus mencapai tingkat sarjana hukum, Perguruan Tinggi Hukum Militer (PTHM) pun didirikan. Berikutnya, pada 13 Juli 1994, AHM-PTHM disesuaikan menjadi Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM). Program studinya adalah Hukum Pidana/Militer, Hukum Tata Negara, Hukum Internasional dan Hukum Perdata.
Mendidik dan mengembangkan kemampuan Perwira Mahasiswa TNI yang berjiwa Sapta Marga agar memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan di bidang Hukum dan Hukum Militer yang dapat digunakan dalam melaksanakan tugas pada fungsi hukum di lingkungan TNI dan TNI AD.
Sistem Pendidikan Penyelenggaraan pendidikan di STHM “AHM-PTHM” dilakukan berdasarkan sistem satuan kredit semester (SKS), dengan materi pendidikan yang dirancang khusus yang akan memberikan warna khas baik dari segi materi maupun penyelenggaraannya. Materi kurikulum, tenaga pengajar dan sarana pendukung lainnya diarahkan untuk menghasilkan Sarjana Hukum yang dapat mendukung tugas pokok TNI.
IV
P e n ye l e n gga r a a n P e n di di k a n Program Sarjana menyelesaikan 144–160 SKS selama 4 tahun (8 semester) dan Program Profesi menyelesaikan 40 SKS selama 1 tahun (2 semester). Biaya pendidikan disesuaikan dengan anggaran yang berlaku di TNI AD.
Persyaratan Peserta Perwira TNI AD yang memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. MDP maksimal 8 tahun b. Usia maksimal 36 tahun c. Lulus seleksi administrasi d. Lulus Diksarcab/setingkat e. Konduite dan prestasi kerja baik f. Berbadan sehat dinyatakan PPBPAD 2 setempat g. Nilai kesegaran jasmani minimal 65 h. Tidak sedang terlibat proses hukum i. Lulus seleksi akademik j. Lulus tes psikologi guna memenuhi persyaratan alih korps (WO) menjadi Korps Hukum (Chk)
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
KONSEPSI PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM MILITER DI INDONESIA Oleh : Mayjen TNI S. Supriyatna, S.H., M.H.
BAB I PENDAHULUAN 1. Umum
P
ertama-tama saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Pimpinan Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “Veteran” Jakarta, khususnya Dekan Fakultas Hukum, yang telah memberikan kepercayaan kepada saya, dalam kapasitas sebagai Kababinkum TNI, untuk menyampaikan makalah dalam acara Focused Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Hukum Bidang Pertahanan Fakultas Hukum UPN “Veteran” Jakarta bekerja sama dengan Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM) dengan tema “Pengembangan dan Pembinaan Hukum Militer Sebagai Realisasi Dari Amanat Pasal 64 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia”. Mengacu pada konteks judul makalah, istilah pembinaan sengaja ditempatkan di depan istilah pengembangan karena pengembangan pada hakikatnya merupakan kesinambungan
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
dari suatu proses pembinaan. Pembinaan adalah usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara efisien dan efektif untuk memperoleh hasil yang lebih baik. 1 Sedangkan pengembangan adalah proses, cara, perbuatan mengembangkan.2 Selanjutnya, perbuatan mengembangkan adalah perbuatan untuk menjadikan maju. 3 Dengan demikian yang dimaksud dengan Pembinaan dan Pengembangan Hukum Militer di Indonesia adalah usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara efisien dan efektif untuk memperoleh hasil yang lebih baik dalam rangka memajukan Hukum Militer di Indonesia. Menurut ketentuan Pasal 64 UndangUndang Nomor 34 Tahun 20044 ditegaskan
1. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 193. 2. Ibid., hal. 662. 3. Ibid., hal. 661. 4. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, (LN Tahun 2004 Nomor 127; TLN Nomor 4439).
1
Konsepsi Pembinaan Dan Pengembangan Hukum Militer Di Indonesia Oleh : Mayjen TNI S. Supriyatna, S.H., M.H.
bahwa Hukum Militer dibina dan dikembangkan oleh Pemerintah untuk kepentingan penyelenggaraan pertahanan negara. Yang dimaksud dengan Hukum Militer adalah semua perundang-undangan nasional yang subjek hukumnya adalah anggota militer atau orang yang dipersamakan sebagai militer berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. Di samping itu segala hukum dan ketentuan perundangundangan yang dipakai sebagai dasar pelaksanaan tugas TNI dalam melaksanakan fungsi pertahanan negara dikategorikan sebagai Hukum Militer.5 Mencermati norma tersebut dan sesuai ToR (Term of Reference) yang telah disusun oleh penyelenggara, maka uraian yang akan dibahas lebih lanjut diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai: pembinaan dan pengembangan Hukum Militer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004; institusi atau lembaga mana yang dimaksud dengan pemerintah, yang bertanggung jawab untuk mengembangkan dan membina Hukum Militer; materi apa saja yang dibina dan dikembangkan sebagai Hukum Militer; dan prioritas apa yang harus dibina dan dikembangkan saat ini sebagai Hukum Militer. Pembahasan makalah diawali dengan Bab Pendahuluan yang menguraikan latar belakang penulisan makalah, maksud dan tujuan, metode dan pendekatan, serta ruang lingkup dan tata urut. Pada bab berikut dikemukakan pokokpokok Hukum Militer yang meliputi pengertian dan asas Hukum Militer. Rumusan pengertian tentang Hukum Militer Indonesia disarikan dari pengertian hukum dan pengertian militer yang dihubungkan dengan dasar, falsafah dan cita-cita bangsa dan negara Indonesia. Sedangkan asas Hukum Militer meliputi antara lain asas kesatuan komando (Unity of Command), asas komandan bertanggung jawab terhadap anak buah, asas kepentingan militer (Military Necessity), asas tidak mengenal menyerah, asas pembatasan, 5. Ibid., Penjelasan Pasal 64.
2
asas proporsionalitas, dan asas tujuan. Selanjutnya dikemukakan pula landasan Hukum Militer yang meliputi landasan ideologi, landasan konstitusi, landasan yuridis, landasan etika profesi yakni Sapta Marga dan Sumpah Prajurit, landasan doktrin yang terdiri atas doktrin militer, doktrin Hukum Militer, dan doktrin Hukum Militer Indonesia, serta landasan historis yang meliputi uraian tentang Hukum Militer pada masa Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi. Sebagai pokok pembahasan makalah dikemukakan tentang penyelenggaraan pembinaan dan pengembangan Hukum Militer di lingkungan TNI. Selanjutnya untuk dapat memenuhi syarat ilmiah minimal, yang meliputi antara lain obyektif, logis, sistematis dan inheren, uraian materi dalam bab ini disusun dalam bentuk jawaban terhadap persoalan mengenai siapa (who), apa (what), bilamana/ kapan (when), dimana (where), bagaimana (how), dan mengapa (why), yang lazim dikenal di lingkungan TNI dengan istilah siabidibame. Oleh sebab itu penyelenggaraan pembinaan dan pengembangan Hukum Militer meliputi lembaga penyelenggara, materi, waktu, tempat, cara dan alasan penyelenggaraan. Mengacu pada uraian tersebut maka proyeksi terhadap aspek-aspek yang diprioritaskan dalam penyelenggaraan pembinaan dan pengembangan Hukum Militer meliputi aspek kelembagaan dan aspek materi Hukum Militer. Sebagai bagian akhir makalah, pada bab penutup, tidak dibuatkan kesimpulan dan saran dengan harapan agar penyelenggara dapat merumuskannya sebagai hasil (out put) pelaksanaan diskusi dalam Focused Group Discussion (FGD) ini, untuk selanjutnya disampaikan sebagai masukan (out come) kepada Pemerintah sesuai tujuan yang telah direncanakan. 2. Maksud dan Tujuan a. Maksud. Memberikan gambaran tentang penyelenggaraan pembinaan dan pengembangan Hukum Militer di Indonesia. b. Tujuan. Meningkatkan penyelenggaraan pembinaan dan pengembangan Hukum
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Konsepsi Pembinaan Dan Pengembangan Hukum Militer Di Indonesia Oleh : Mayjen TNI S. Supriyatna, S.H., M.H.
Militer di Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. 3. Metode dan Pendekatan a. Metode. Deskriptif analisis, yakni dengan melakukan analisis terhadap permasalahan tentang penyelenggaraan pembinaan dan pengembangan Hukum Militer di Indonesia diharapkan dapat diperoleh gambaran mengenai hal-hal yang perlu diantisipasi dan ditindaklanjuti guna dapat meningkatkan kualitas pembinaan dan pengembangannya. b. Pendekatan. Yuridis normatif, yakni menelaah dan menganalisis ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta literatur yang ada, baik yang bersifat primer maupun sekunder, sebagai acuan dalam melakukan pembahasan tentang Konsepsi Pembinaan dan Pengembangan Hukum Militer di Indonesia. 4. Ruang Lingkup dan Tata Urut Penyelenggaraan pembinaan dan pengembangan Hukum Militer di Indonesia sesungguhnya mempunyai cakupan yang sangat luas, sehingga pembahasan makalah ini perlu dibatasi pada penyelenggaraan di tingkat operasional yang dilakukan oleh Babinkum TNI, dengan tata urut sebagai berikut: a. Pendahuluan. b. Pokok-Pokok Hukum Militer. c. Landasan Hukum Militer Indonesia. d. P e n y e l e n g g a r a a n P e m b i n a a n d a n Pengembangan Hukum Militer di Lingkungan TNI. e. Penutup. BAB II POKOK-POKOK HUKUM MILITER 5. Pengertian Hukum Militer Dalam sejarah perkembangan ilmu hukum telah banyak sarjana yang mengemukakan pengertian tentang hukum. Secara umum terdapat persamaan pengertian bahwa hukum
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
merupakan ketentuan yang mengatur tata kehidupan masyarakat. Namun dibalik persamaan itu terdapat unsur yang membedakannya, tergantung dari sudut pandang yang digunakan dalam mengartikan hukum. Menurut Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia (Persahi), hukum adalah alat atau sarana untuk menyelenggarakan kehidupan negara atau ketertiban dan sekaligus merupakan sarana untuk menyelenggarakan kesejahteraan sosial. Secara ringkas hukum adalah sarana untuk tata tenteram karta rahardja dan bukan semata-mata untuk keamanan dan ketertiban masyarakat (rust en orde) ataupun stabilitas nasional.6 Istilah militer berasal dari kata miles, yang dalam bahasa Yunani berarti orangorang yang dipersiapkan dan ditugaskan untuk perang. 7 Militer sebagai organisasi kenegaraan merupakan keniscayaan karena setiap negara merasa berkepentingan untuk memproteksi dirinya dari setiap ancaman baik yang datang dari luar maupun dari dalam negeri. Setiap negara juga berkepentingan dalam memberikan jaminan rasa aman dan damai bagi kelangsungan hidup warga (bangsa)-nya. Dalam konteks ini berlaku adagium ”Solus populi suprema lex”, bahwa keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi.8 Mayjen TNI (Purn) T.B. Simatupang, dalam buku Pelopor Dalam Perang Pelopor Dalam Damai, menulis: ”Tujuan pembangunan Angkatan Perang pada pokoknya ialah mempersiapkan Angkatan Perang untuk menghadapi tugas-tugas yang akan timbul dalam masa perang”.9 Oleh sebab
6. Padmo Wahyono, dkk., Kerangka Landasan Pembangunan Hukum, Cet. Pertama, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989), hal. 14. 7. S.R. Sianturi, Pengenalan dan Pembangunan Hukum Militer Indonesia, Pidato (sebagai Lektor Kepala) pada Dies Natalis Ke-32 Akademi Hukum Militer-Perguruan Tinggi Hukum Militer, tanggal 2 Oktober 1984, (Jakarta: Alumni AHAEM-PETEHAEM, 1985), hal. 9. 8. Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Ed. 1, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 47. 9. Mayor Jenderal TNI T.B. Simatupang, Pelopor Dalam Perang Pelopor Dalam Damai, (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1981), hal. 282.
3
Konsepsi Pembinaan Dan Pengembangan Hukum Militer Di Indonesia Oleh : Mayjen TNI S. Supriyatna, S.H., M.H.
itu kekuatan dan kemampuan militer selalu dipersiapkan jauh sebelum potensi ancaman yang telah diprediksikan berubah menjadi bahaya nyata guna mengantisipasinya secara dini sehingga dapat meminimalisasi risiko yang mungkin timbul. Letjen TNI JS. Prabowo mengutip Flavius Vegetius Renatus (390 M) dalam The Military Institutions of the Romans (De Re Militari) menyatakan: ”Qui desiderat pacem, praeparet bellum”, yakni siapa saja menghendaki perdamaian, dia harus siap perang.10 Pandangan tersebut mempertegas pameo Latin yang cukup populer sebagai: ”Civis pacem para bellum”, jika kita menginginkan damai maka siap-siaplah untuk perang.11 Menurut The NewBook of Knowledge Dictionary Vol. II cetakan ke IX tahun 1980 Massachusetts, sebagaimana dikutip oleh S.R. Sianturi,yakni: “Military Law: Regulations and Rules pertaining to the discipline and administration of the armed forces. Compare Martial law”,12 bahwa pengertian Hukum Militer dapat disimpulkan memiliki cakupan yang tidak sama di setiap negara. Hukum Militer itu tumbuh dan berkembang selaras dengan perkembangan hukum internasional dan tata kehidupan militer di masing-masing negara, baik mengenai objek permasalahannya, subjeknya, waktu (tempos) dan tempat (locus) berlakunya. Tim Penelitian Perkembangan Hukum Militer di Indonesia yang dibentuk berdasarkan Perjanjian Kerja Sama antara Badan Pembinaan Hukum ABRI dan Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Nomor J.H./3266/III/78 tanggal 2 Desember 1978 yang ditandatangani di Jakarta, dalam kerangka konsepsionalnya berpendapat bahwa pengertian Hukum Militer adalah “Kaidah-kaidah hukum khusus, tertulis maupun tidak tertulis, yang pada pokoknya berlaku di lingkungan Angkatan
10. Letnan Jenderal TNI JS. Prabowo, Pokok-Pokok Pemikiran tentang Perang Semesta, Cet. Pertama, (Jakarta: Pusat Pengkajian dan Strategi Nasional, 2009), hal. 78. 11. S.R. Sianturi, Loc. Cit. 12. Ibid., hal. 16-17.
4
Bersenjata dan lingkungan yang lebih luas dalam keadaan tertentu, terutama dalam keadaan darurat atau perang”.13 Mengacu pada pengertian-pengertian di atas, istilah Hukum Militer dapat diartikan sebagai kaidah-kaidah hukum khusus, tertulis maupun tidak tertulis, yang mengatur kewenangan, hak dan kewajiban militer sebagai perseorangan maupun satuan, dalam hubungannya sebagai alat negara di bidang pertahanan. Dengan demikian apabila pengertian hukum dikaitkan dengan dasar, falsafah dan cita-cita dari suatu bangsa dan negara, maka pengertian Hukum Militer Indonesia adalah “Ketentuanketentuan hukum khusus, tertulis maupun tidak tertulis, yang mengatur kewenangan, hak dan kewajiban prajurit maupun satuan Tentara Nasional Indonesia, yang bertugas menegakkan kedaulatan negara, menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta melindungi keselamatan segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia”. 6. Asas-asas Hukum Militer Asas-asas hukum yang bersifat umum pada dasarnya berlaku juga sebagai asas-asas Hukum Militer. Asas-asas yang bersifat khusus dalam Hukum Militer meliputi: a. Asas Kesatuan Komando (Unity of Command); yakni pengendalian dalam pelaksanaan tugas TNI secara hierarki berada di bawah satu komando dan/atau penanggung jawab. b. Asas Komandan Bertanggung Jawab Terhadap Anak Buahnya; yakni komandan bertanggung jawab terhadap apa yang harus dan/atau tidak harus dilakukan oleh anak buahnya yang dapat berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas pokok TNI. c. Asas Kepentingan Militer (Military Necessity); yakni setiap kegiatan harus diorientasikan pada kepentingan pelaksanaan tugas pokok TNI. 13. Ibid., hal. 15
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Konsepsi Pembinaan Dan Pengembangan Hukum Militer Di Indonesia Oleh : Mayjen TNI S. Supriyatna, S.H., M.H.
d. Asas Tidak Mengenal Menyerah; yakni semangat dan motivasi TNI tidak boleh terhenti dalam menghadapi situasi sesulit apapun sebelum mencapai keberhasilan pelaksanaan tugas pokok. e. Asas Pembatasan; yakni pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI tidak melampaui kepentingan untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. f. Asas Proporsionalitas; yakni pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI harus sesuai dengan kepentingan untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. g. Asas Tujuan; yakni sesuai tujuan strategi TNI untuk memenangkan setiap peperangan/ pertempuran dan menjamin keberhasilan Tugas Pokok TNI yang dilaksanakan secara terpadu dalam rangka menjaga tetap tegaknya kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa.14 BAB III LANDASAN HUKUM MILITER INDONESIA 7. Umum Landasan Hukum Militer Indonesia meliputi landasan ideologi, landasan konstitusi, landasan yuridis, landasan etika profesi, landasan doktrin dan landasan historis. 8. Landasan Ideologi Ideologi adalah kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup.15 Ideologi bangsa dan Negara Indonesia adalah Pancasila, yang tercantum dalam
14. Doktrin TNI Tridarma Ekakarma (Tridek), hal. 31. 15. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op. Cit., hal. 517.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai berikut: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia …, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.16 Bung Karno sebagai penggali Pancasila menerangkan: “… maksud Pancasila itu adalah philosophische grondslag dari pada Indonesia Merdeka. Dan philosophische grondslag itulah pundamen filsafat, fikiran jang sedalamdalamnja untuk diatasnja didirikan gedung Indonesia Merdeka jang kekal dan abadi”.17 Ki Hadjar Dewantoro, salah seorang anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) memaknai Pancasila sebagai berikut: “…, bahwa Pantja-Sila mendjelaskan serta menegaskan tjorak atau watak rakjat kita sebagai bangsa : bangsa jang menginsafi keluhuran dan kehalusan hidup manusia, serta sanggup menjesuaikan hidup kebangsaannja dengan dasar peri-kemanusiaan jang universal, meliputi seluruh alam kemanusiaan tjiptaan Tuhan”.18 Notonagoro, berpandangan bahwa Pancasila itu satu kebulatan yang bersifat
16. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Amandemen Keempat, Pembukaan dalam Alinea Keempat. 17. Kuntjoro Purbopranoto, mengutip Pidato Ir. Soekarno: “Lahirnja Pantja-Sila” (1945), Hak-Hak Azasi Manusia dan Pantjasila, tjetakan ke 3 (diperbaiki), (Djakarta: Pradnja Paramita, 1969), hal. 36. 18. Kuntjoro Purbopranoto, mengutip Ki Hadjar Dewantoro, Ibid., hal. 36-37.
5
Konsepsi Pembinaan Dan Pengembangan Hukum Militer Di Indonesia Oleh : Mayjen TNI S. Supriyatna, S.H., M.H.
hierarkis dan piramidal, yang mengakibatkan adanya hubungan organis diantara kelima sila dalam Pancasila. Lebih lanjut dikatakannya bahwa Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 itu adalah hasil satu konsensus nasional dari pelbagai aliran politik, agama dan sosial ketika menghadapi puncak revolusi pada saat proklamasi kemerdekaan. Oleh sebab itu beliau menyatakan bahwa kedudukan Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 merupakan satu kesatuan yang melandasi kelangsungan Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 dan oleh sebab itu tidak dapat diubah.19 Inilah kemudian menjadi alasan rasional yang ditetapkan sebagai konsensus nasional bahwa Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya terdapat Pancasila sebagai ideologi negara tidak dapat diubah. Oleh sebab itu, Pancasila adalah landasan ideologi bagi Hukum Militer Indonesia. Selain itu, juga telah dikonsensuskan secara nasional tentang 4 (empat) pilar Negara Republik Indonesia yang meliputi: Pancasila, Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 9. Landasan Konstitusi UUD 1945 (Amandemen Keempat), sebagai hukum dasar yang tertulis (grondwet), dalam batang tubuhnya memuat landasan konstitusi bagi Hukum Militer sebagai berikut: a. Kedudukan TNI diatur dalam Pasal 10: “Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara”. b. Tugas TNI diatur dalam Pasal 30 ayat (3): “Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara sebagai alat negara
19. Kuntjoro Purbopranoto, mengutip Pidato Prof. Mr. Drs. Notonagoro pada Dies Natalis Universitas Airlangga tanggal 10 Nopember 1955 dan Dies Natalis Universitas Pancasila tanggal 16 Nopember 1967, Ibid., hal. 39-40.
6
bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara”. c. Pernyataan Perang, Perdamaian dan Perjanjian dengan negara lain diatur dalam Pasal 11 ayat (1): “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”. d. Pernyataan Keadaan Bahaya diatur dalam Pasal 12: “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undangundang”. 10. Landasan Yuridis a. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 3; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4169). b. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 127; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4439). c. Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Pencabutan Undang-Undang No. 74 Tahun 1957 (Lembaran Negara No. 16 Tahun 1957) dan Penetapan Keadaan Bahaya (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 139; Tambahan Lembaran Negara Nomor 1908). 11. Landasan Etika Profesi a. Sapta Marga. Setiap Angkatan Bersenjata, dari negara manapun di dunia, pasti mempunyai kode kehormatan atau pedoman kehidupan, yang merupakan tuntunan, menjadi tali-ikatan yang memberikan arah dan mengatur tiap langkah tindak-tanduknya di dalam dan di luar dinas. Kode kehormatan ini menentukan corak dan watak dan hakikat militer itu.20
20. S.R. Sianturi, Pengenalan dan Pembangunan Hukum Militer Indonesia, Op. Cit., hal. 19.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Konsepsi Pembinaan Dan Pengembangan Hukum Militer Di Indonesia Oleh : Mayjen TNI S. Supriyatna, S.H., M.H.
Sapta Marga sebagai landasan utama etika profesi berintikan bahwa Prajurit TNI: 1) Sebagai warga negara Indonesia; yang bersendikan Pancasila. 2) Sebagai Patriot Indonesia; pendukung serta pembela ideologi negara yang bertanggung jawab dan tidak mengenal menyerah. 3) Sebagai Ksatria Indonesia; yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta membela kejujuran, kebenaran dan keadilan. 4) Sebagai Prajurit Bhayangkari negara dan bangsa Indonesia; yang memegang teguh disiplin, patuh dan taat kepada pimpinan serta menjunjung tinggi sikap dan kehormatan Prajurit; yang mengutamakan keperwiraan di dalam melaksanakan tugas serta senantiasa siap sedia berbakti kepada negara dan bangsa; serta yang senantiasa, setia dan menepati janji serta Sumpah Prajurit. Inti Sapta Marga memberikan corak watak Prajurit TNI yang bersifat monodualisme, yakni, pertama, sebagai Prajurit Pejuang (Warga Negara Indonesia, Ksatria Indonesia, Patriot Indonesia),dan, kedua, sebagai Prajurit Profesional. b. Sumpah Prajurit Landasan etika Sumpah Prajurit mengandung ikrar kesetiaan Prajurit TNI sebagai Pejuang maupun Prajurit Profesional untuk: 1) Setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. 2) Tunduk kepada hukum dan memegang teguh disiplin keprajuritan. 3) Taat kepada atasan dengan tidak membantah perintah atau putusan. 4) Menjalankan segala kewajiban dengan penuh rasa tanggung jawab kepada Tentara dan Negara Republik Indonesia. 5) Memegang segala rahasia Tentara sekeras-kerasnya.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
12. Landasan Doktrin a. Doktrin Militer Doktrin Militer pada dasarnya merupakan ajaran, asas, prinsip, konsepsi yang bersifat mendasar bagi militer untuk memenangkan perang. Pada sisi lain, perang sesungguhnya keadaan yang tidak diinginkan terjadi oleh setiap orang karena hanya menimbulkan akibat yang menyengsarakan umat manusia. Carl von Clausewitz, sebagaimana dikutip oleh S.R. Sianturi, menyatakan: ”Perang tidak lain daripada kelanjutan politik negara dengan mempergunakan alat yang berlainan”.21 Dalam perspektif yang lain, Cicero, seorang Yunani menggambarkan situasi perang sebagai ”Inter arma silens leges” (jika senjata menyalak maka bungkamlah undang-undang).22 Perang merupakan kondisi yang memungkinkan apapun dapat terjadi dan cenderung dilakukan dengan menghalalkan segala cara serta menyimpangi kaidahkaidah hukum yang berlaku sehingga hakhak asasi manusia dapat dengan mudah terlanggar dan tergerus oleh kekerasan yang lazim terjadi pada waktu perang. S.R. Sianturi yang menerjemahkan cuplikan pidato Adolf Hitler tanggal 22 Agustus 1939 menuliskan: ”Yang menang perang tidak akan ditanya apakah kita benar atau tidak. Dalam perang bukan Hukum yang penting, tetapi kemenangan”.23 Meskipun perang hanya menimbulkan kesengsaraan bagi umat manusia akan tetapi tanpa mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan itu maka intensitas kekerasan yang berpotensi terjadi pada waktu perang
21. S.R. Sianturi., Hukum Pidana Militer di Indonesia, Cetakan Ketiga, untuk kalangan sendiri tidak diperjualbelikan, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum TNI, 2010), hal. 165. 22. S.R. Sianturi., Pengenalan dan Pembangunan Hukum Militer Indonesia, Op. Cit., hal. 6. 23. Ibid.
7
Konsepsi Pembinaan Dan Pengembangan Hukum Militer Di Indonesia Oleh : Mayjen TNI S. Supriyatna, S.H., M.H.
akan lebih menyengsarakan. Oleh sebab itu militer harus dipersiapkan secara dini dengan diperlengkapi fasilitas pendukung untuk dapat menggandakan kekuatannya agar memiliki kemampuan daya gempur (daya gerak dan daya tempur) untuk memenangkan perang pada setiap palagan pertempuran, setidaknya d a p a t memb e ri ja min a n perlindungan prinsip-prinsip kemanusiaan terhadap segenap warga bangsa dari segala ekses yang mungkin timbul dalam perang. Jenderal TNI Purn. Soemitro, dalam buku Perjalanan Seorang Prajurit Pejuang dan Professional, mengatakan: ”Yang penting bukan hanya bagaimana menang perang, tapi lebih penting lagi adalah memenangkan perdamaian (To win the war is important, but more important is how to win the peace)”.24 Sun Tzu, seorang ahli strategi perang dari Cina, mengisyaratkan cara-cara memenangkan perang sebagai berikut: ”Oleh karena itu ada lima cara untuk mengetahui siapa yang bakal menang. Mereka yang tahu kapan untuk berperang dan kapan untuk tidak berperang adalah pemenang. Mereka yang mampu memastikan kapan menggunakan pasukan dalam jumlah banyak atau kapan dalam jumlah sedikit adalah pemenang. Mereka yang para perwira tingginya maupun para perwira rendahnya memiliki hasrat yang sama adalah pemenang. Mereka yang menghadapi ketidaksiapan dengan kesiapan adalah pemenang. Mereka yang para jenderalnya cakap dan memenuhi kewajibannya tanpa tekanan dari pemerintahnya adalah pemenang. Inilah kelima cara untuk mengetahui siapa yang akan menang”.25 Bentuk dan sifat perang pada era kekinian telah mengalami perubahan. Para pakar ilmu
24. Jenderal TNI Purn.Sumitro, Perjalanan Seorang Prajurit Pejuang dan Professional, (Jakarta: PT Sinar Cakra Sakti, 1998), hal. 85. 25. Sun Tzu, Seni Perang Menang Dalam Persaingan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), hal. 109-110.
8
perang menggolongkan peperangan dalam empat generasi (generation warfare/ GW).26 Peperangan generasi pertama (1GW) ditandai dengan peperangan jarak dekat, musuh saling berhadapan, mengandalkan kekuatan manusia, senjata yang digunakan laras licin (smoothbore), dengan taktik bersyaf dan berbanjar, sehingga terlihat jelas perbedaan antara kombatan dan nonkombatan.27 Peperangan generasi kedua (2GW) merupakan pengembangan teknologi senjata (senapan dan meriam) yang memiliki jarak tembak efektif lebih jauh dan taktik yang digunakan merupakan kombinasi tembakan dan gerakan (tembak-gerak), sudah menggunakan teknik perkuatan medan dengan parit perlindungan, kawat berduri, dan ranjau serta memperhitungkan perimbangan daya tempur pasukan penyerang dan yang bertahan dengan perbandingan 3:1. 28 Peperangan generasi ketiga (3GW) dikenal dengan konsep Revolution in Military Affairs (RMA), yang berciri precision strike, information warfare, dominating maneuvres, dan space warfare, dengan tujuan untuk meningkatkan daya bunuh (increased lethality), meningkatkan pengendalian peperangan (control of the tempo of warfare), mengurangi terjadinya kasus salah lirik atau baku tembak antar kawan (friendly fire). 29 Peperangan generasi keempat (4GW) adalah peperangan asimetris dan non-linier yang menggunakan seluruh sarana prasarana dan sistem senjata yang ditujukan terutama untuk menghancurkan kemauan bertempur musuh. Deskripsi inilah yang sangat dekat dengan konsep perang semesta.30 Konsep perang semesta dianut dalam Doktrin TNI dan Doktrin Pertahanan NKRI.
26. Letnan Jenderal TNI JS. Prabowo, Op. Cit., hal. 19. 27. Ibid., hal. 19-20. 28. Ibid., hal. 20-21. 29. Ibid., hal. 24. 30. Ibid., hal. 30.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Konsepsi Pembinaan Dan Pengembangan Hukum Militer Di Indonesia Oleh : Mayjen TNI S. Supriyatna, S.H., M.H.
b. Doktrin Hukum Militer Selain bentuk dan sifat perang asimetris dan non-linier yang telah diuraikan di atas, praktik perang kekinian yang diperlihatkan oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya dalam perang di Irak (2003) maupun Afghanistan (2001) justru menunjukkan realita yang bersifat paradoks, meskipun perang itu dimaksudkan untuk menegakkan keadilan sesuai prinsip-prinsip kemanusiaan yang bersifat universal. Alasan tersebut sesungguhnya sulit dipahami sebab perang tersebut hanya menimbulkan ketidakadilan dan kesengsaraan bagi kehidupan masyarakat di Irak dan Afghanistan. Deskripsi demikian dalam doktrin hukum dikenal secara paradoks sebagai adagium, bahwa keadilan yang tertinggi, adalah justru ketidakadilan yang tertinggi (summum ius, summa iniuria). Paham perang bagi negara tertentu dimaknai sebagai bentuk perjuangan untuk mewujudkan perdamaian (peace) dalam rangka melindungi keselamatan bangsa dan mempertahankan kedaulatan negara seperti paham perang yang dianut bangsa Indonesia. Mengenai hal ini, Panglima Besar Jenderal Besar TNI Soedirman mengingatkan: ”Tentara Nasional Indonesia lahir, karena Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, hidup dengan Proklamasi itu, dan bersumpah mati-matian hendak mempertahankan kesuciannya Proklamasi tersebut, sebab Proklamasi itulah yang menjadi Dasar dan Pokok pegangan serta pedoman perjuangan Bangsa Indonesia seluruhnya, buat hari besok dan buat hari selamanya”.31 Hal demikian mempertegas betapa pentingnya dukungan Hukum Militer guna memenangkan perang dalam setiap palagan pertempuran. Dukungan Hukum Militer berpotensi sebagai kekuatan pengganda
31. Pusat Pembinaan Mental ABRI, Wawasan Kejuangan Panglima Besar Jenderal Sudirman, (Jakarta: Yayasan Kejuangan Panglima Besar Sudirman, 1991), hal. 233.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
untuk memperoleh keunggulan secara politis-strategis. Keunggulan politis-strategis dapat dilakukan dengan pelibatan unsur Hukum Militer dalam kegiatan-kegiatan diplomasi sebagai bagian dari strategi memenangkan perang. Dukungan Hukum Militer dalam keadaan perang diharapkan dapat menjamin bahwa hukum dan keadilan tetap dapat ditegakkan dalam keadaan apapun tanpa menafikan prinsip-prinsip perlindungan terhadap kedaulatan dan keutuhan wilayah negara serta keselamatan bangsa. Dukungan Hukum dalam keadaan perang merupakan postulat yang mempertegas adagium dalam doktrin hukum sebagai viat justicia ruat coellum, bahwa meskipun langit akan runtuh, hukum harus tetap ditegakkan. c. Doktrin Hukum Militer Indonesia Doktrin Hukum Militer Indonesia didasarkan pada Doktrin TNI Tridarma Ekakarma (Tridek) yang disahkan dengan Peraturan Panglima TNI Nomor Perpang/45/ VI/2010 tanggal 15 Juni 2010. Doktrin TNI Tridek dimaksudkan sebagai pedoman TNI dalam rangka melaksanakan peran, fungsi, dan tugas pokoknya sebagai alat pertahanan negara; dengan tujuan agar TNI mempunyai pedoman yang jelas dan tegas dalam melaksanakan tugasnya sehingga terwujud kesamaan pola pikir, pola sikap, dan pola tindak dalam pembinaan dan penggunaan kekuatan TNI.32 Terwujudnya kesamaan pola pikir (mind-set), pola sikap, dan pola tindak dalam pembinaan dan penggunaan kekuatan TNI merupakan jaminan terhadap pencapaian tujuan Strategi TNI yakni untuk memenangkan setiap peperangan/ pertempuran dan menjamin keberhasilan Tugas Pokok TNI yang dilaksanakan secara terpadu dalam rangka menjaga tetap
32. Doktrin TNI Tridarma Ekakarma (Tridek), Op. Cit., hal. 6-7.
9
Konsepsi Pembinaan Dan Pengembangan Hukum Militer Di Indonesia Oleh : Mayjen TNI S. Supriyatna, S.H., M.H.
tegaknya kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa.33 Dalam Doktrin TNI disebutkan bahwa kemampuan Dukungan Hukum dilaksanakan baik dalam Operasi Militer untuk Perang (OMP) maupun Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dalam rangka penyelenggaraan penggunaan kekuatan TNI.34 Penggunaan kekuatan TNI pada OMP merupakan jalan terakhir yang terpaksa harus dipilih setelah berbagai upaya damai dalam penyelesaian konflik antar negara tidak dapat dicapai. OMP dilakukan untuk tujuan mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, serta keselamatan bangsa dan negara dari kekuatan militer negara lain yang melakukan agresi terhadap Indonesia dan/atau dalam konflik bersenjata dengan satu atau beberapa negara lain.35 Penggunaan kekuatan TNI pada OMSP dilakukan untuk mempertahankan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonsia, menjaga keselamatan bangsa dan negara, serta membantu meningkatkan kesejahteraan umum.36 13. Landasan Historis Sejarah perkembangan Hukum Militer di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan sejarah perkembangan ketatanegaraan sehingga dapat dibedakan menurut rezim pemerintahan, yakni Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi. a. Orde Lama37 Pada masa pemerintahan Orde Lama keadaan sistem ketatanegaraan masih
33. Ibid., hal. 31. 34. Ibid., hal. 48. 35. Ibid., hal. 49-50. 36. Ibid., hal. 60. 37. Brigadir Jenderal TNI Soegiri dkk, 30 Tahun Perkembangan Peradilan Militer di Negara Republik Indonesia, Cet. Pertama, Jakarta: CV Indra Jaya, 1976), hal. 112-162.
10
belum stabil karena badan-badan negara yang ada dan peraturan-peraturan yang diberlakukan merupakan peninggalan Belanda. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 (sebagai produk Proklamasi), bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD 1945.38 Pada masa ini dapat dikatakan sebagai masa transisi dari masa penjajahan berabadabad ke masa kemerdekaan sehingga segala sesuatunya berada dalam proses konsolidasi untuk membangun sistem pemerintahan yang baik berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pada masa transisi ini terjadi beberapa peristiwa yang merongrong kewibawaan pemerintah baik dari luar negeri maupun dalam negeri. Pada tanggal 19 Desember 1948, Tentara Belanda melakukan agresinya yang kedua terhadap Negara Republik Indonesia yang berimbas pada perubahan tatanan berbangsa dan bernegara. Seluruh kota besar di Jawa dan Madura berhasil dikuasai dan para Pemimpin Pemerintah RI yang berkedudukan di Yogyakarta ditawan oleh Tentara Belanda. Para pejuang dan Tentara Indonesia menyingkir ke daerah-daerah kantong perlawanan untuk menyusun strategi melakukan serangan balas secara bergerilya. Pimpinan Tentara Indonesia mengambil alih pemerintahan karena Pemerintahan Sipil tidak dapat berfungsi secara efektif dan mengumumkan pemberlakuan Pemerintahan Militer di seluruh Jawa dan Madura dengan tujuan untuk melanjutkan perjuangan dalam rangka mempertahankan kedaulatan Negara Republik Indonesia yang telah diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945. Pimpinan Markas Besar Komando Djawa (MBKD) kemudian menetapkan keputusan bahwa perlu mengkonsolidasikan
38. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Berita Republik Indonesia, II, 7, hal. 4548; Penjelasan hal. 51-56), Pasal II Aturan Peralihan.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Konsepsi Pembinaan Dan Pengembangan Hukum Militer Di Indonesia Oleh : Mayjen TNI S. Supriyatna, S.H., M.H.
Pemerintahan Militer yang ada termasuk Pengadilan Sipil dan Pengadilan Militer sebagai rangkaian kampanye militer (politik) untuk menunjukkan kepada dunia luar bahwa Pemerintah Republik Indonesia beserta alatalat kekuasaannya termasuk badan-badan peradilan masih berfungsi di daerah-daerah di luar wilayah pendudukan Tentara Belanda. Maka kemudian ditetapkan Peraturan Darurat Tahun 1949 Nomor 46/ MBKD/49 pada tanggal 7 Mei 1949 yang memberikan kewenangan kepada Pemerintahan Militer untuk menyelenggarakan fungsi Pengadilan Tentara sekaligus Pengadilan Sipil. Hal-hal yang diatur dalam peraturan darurat tersebut tentang Pengadilan Tentara Pemerintahan Militer, Pengadilan Sipil Pemerintahan Militer, Mahkamah Luar Biasa, dan cara menjalankan hukuman penjara. Dalam periode 1950-1959, Indonesia mengalami lagi masa krisis ketatanegaraan karena adanya pemberontakan dihampir seluruh wilayah persada nusantara seperti pemberontakan Andi Azis di Makasar; peristiwa pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)/Westerling di Bandung dan Sulawesi; peristiwa pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku; peristiwa pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh dan Sulawesi Selatan; peristiwa pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/Permesta) di Sumatera dan Sulawesi. Pada waktu yang bersamaan Indonesia harus menghadapi Tentara Belanda yang masih tetap mempertahankan wilayah Irian Barat (Papua) sebagai daerah kekuasaannya, meskipun telah dicapai Persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada 23 Agustus 1949. Menyikapi hal tersebut, Presiden RI mengeluarkan Keputusan Nomor 160 Tahun 1950, Keputusan Nomor 169 Tahun 1950 dan Keputusan Nomor 204 Tahun 1950 yang memberlakukan Keadaan Darurat Perang dihampir seluruh wilayah bekas Negara Indonesia Timur (NIT), yang berada dalam
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
kekuasaan Komando Tentara & Teritorium VII/Wirabuana. Dalam keadaan seperti itu Peradilan Militer tidak dapat berfungsi secara efektif sehingga diusulkan untuk membentuk Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub). Berdasarkan Surat Keputusan Penguasa Militer Pusat Nomor 3 Tahun 1950 tanggal 18-10-1950, Panglima Komando Tentara & Teritorium VII dapat membentuk Mahmillub di daerah-daerah yang berstatus Keadaan Darurat Perang. Ternyata kemudian bahwa pemberontakan menunjukkan gejala meluas dan dinilai lebih berbahaya daripada menghadapi Tentara Belanda yang masih menguasai Irian Barat, oleh sebab itu Pemerintah Pusat menyatakan seluruh wilayah Indonesia dalam Keadaan Bahaya dengan menetapkan Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 tentang Keadaan Bahaya, sekaligus peraturan pelaksanaannya yakni Keputusan Presiden Nomor 225 Tahun 1957. Dengan demikian terdapat beberapa catatan penting yang berkaitan dengan Hukum Militer pada masa Orde Lama sebagai berikut: 1) Pembinaan terhadap Hukum Militer merupakan peninggalan Belanda, khususnya Hukum Pidana Militer (Wetboek van Militair Strafrechtvoor Nederlandsch Indie; Staatsblad 1934 Nomor 167; yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara, disingkat KUHPT) dan Hukum Disiplin Militer (Wetboek van Krijgstucht voor Nederlandsch Indie; Staatsblad 1934 Nomor 168; yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1947 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Tentara, disingkat KUHDT). 2) Dukungan Hukum Militer yang menonjol adalah fungsi Peradilan Militer. 3) Yustisiabel Peradilan Militer meliputi personel militer, anggota kepolisian dan orang-orang sipil yang ditundukkan karena pada masa itu berlaku keadaan bahaya dalam tingkatan keadaan perang.
11
Konsepsi Pembinaan Dan Pengembangan Hukum Militer Di Indonesia Oleh : Mayjen TNI S. Supriyatna, S.H., M.H.
b. Orde Baru39 Pada tanggal 11 Maret 1966, terjadi peristiwa monumental dalam sejarah perkembangan ketatanegaraan Indonesia dengan diterbitkannya Surat Perintah Presiden/Pangti ABRI/Mandataris MPRS kepada Letnan Jenderal Soeharto Menteri/ Panglima Angkatan Darat yang kemudian dikenal sebagai Supersemar. Peristiwa ini sekaligus menjadi pembeda rezim pemerintahan yang semula disebut Orde Lama (Orla) berubah menjadi Orde Baru (Orba). Adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai konstitusi negara pada masa pemerintahan Orde Lama ternyata belum dilaksanakan secara murni dan konsekuen sehingga banyak terjadi penyimpangan dan penyelewengan yang berujung pada peristiwa pengkhianatan G30-S/PKI. Jenderal Soeharto selaku pemegang mandat Supersemar kemudian mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966 yang menyatakan membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta ormasormasnya dan menyatakannya sebagai organisasi terlarang diseluruh wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia. Dalam rangka pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen maka dilakukan penataan dan penyusunan kembali Pokokpokok Organisasi dan Prosedur Bidang Pertahanan-Keamanan, yang antara lain mengintegrasikan unsur angkatan bersenjata (TNI-Polri), sehingga terbentuklah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 132 Tahun 1967, kemudian disempurnakan dengan Keputusan Presiden Nomor 79 Tahun 1969, dan disempurnakan lagi dengan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1974. Prinsip pengintegrasian TNI-Polri menjadi
39. Ibid., hal. 242-243.
12
dasar pertimbangan membentuk Peradilan Militer yang terintegrasi. Perubahan signifikan terjadi pada kekuasaan kehakiman ketika ditetapkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, pada Pasal 10, antara lain mengatur bahwa Peradilan Militer merupakan salah satu badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman. Mengacu pada ketentuan tersebut, eksistensi Peradilan Militer yang semula terpisahpisah diintegrasikan menjadi satu badan. Pengintegrasian Peradilan Militer semakin memperoleh penegasan setelah ditetapkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, sekaligus menjadi dasar perubahan istilah Mahkamah Militer menjadi Pengadilan Militer yang terdiri dari: Pengadilan Militer (Dilmil), Pengadilan Militer Tinggi (Dilmilti), Pengadilan Militer Utama (Dilmil-tama) dan Pengadilan Militer Pertempuran (Dilmilpur) yang berlaku sampai sekarang. Beberapa catatan penting yang berkaitan dengan Hukum Militer pada masa Orde Baru sebagai berikut: 1) Pembinaan Hukum Militer masih dilakukan terhadap Hukum Pidana Militer (Wetboek van Militair Strafrechtvoor Nederlandsch Indie; Staatsblad 1934 Nomor 167; yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara, disingkat KUHPT). 2) Pembinaan Hukum Disiplin Militer (Wetboek van Krijgstucht voor Nederlandsch Indie; Staats-blad 1934 Nomor 168; yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1947 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Tentara, disingkat KUHDT) mengalami perubahan karena telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (LN Tahun 1997
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Konsepsi Pembinaan Dan Pengembangan Hukum Militer Di Indonesia Oleh : Mayjen TNI S. Supriyatna, S.H., M.H.
Nomor 74; TLN Nomor 3703). 3) Dukungan Hukum Militer yang menonjol masih pada fungsi Peradilan Militer. 4) Yustisiabel Peradilan Militer mengalami perubahan dan pada dasarnya meliputi Prajurit ABRI dan anggota Polri. Penundukan orang sipil sebagai Yustisiabel Peradilan Militer merupakan pengecualian, jika undang-undang menentukan dipersamakan dengan Prajurit ABRI. 5) Hukum Militer mengalami perkembangan setelah ditetapkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (LN Tahun 1997 Nomor 84; TLN Nomor 3713) yang mengatur mengenai Susunan dan Kekuasaan Badan-Badan Pengadilan Militer (Pasal 8-46), Susunan dan Kekuasaan Badan-Badan Oditurat Militer (Pasal 47-68),Hukum Acara Pidana Militer (Pasal 69-264) dan Hukum Acara Tata Usaha Militer (Pasal 265-343). c. Orde Reformasi S e b a g a i b a g i a n d a r i k e p u t u s a n politik yang diilhami semangat reformasi, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengeluarkan Ketetapan Nomor VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI-Polri dan Ketetapan Nomor VII Tahun 2000 tentang Penundukan Prajurit TNI pada kekuasaan Peradilan Umum ketika melakukan pelanggaran hukum pidana umum. Keputusan politik tersebut kemudian ditetapkan sebagai materi muatan dalam Undang-Undang No 34 Tahun 2004, pada Pasal 65 ayat (2), dengan demikian Prajurit TNI secara de yure ditundukkan pada dua sistem peradilan pidana sekaligus yakni ketika melakukan tindak pidana umum sebagai yustisiabel Peradilan Umum dan ketika melakukan tindak pidana militer sebagai yustisiabel Peradilan Militer. Sedangkan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tunduk pada kekuasaan Peradilan Umum sesuai ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Kepolisian Negara Republik Indonesia.40 Sejalan dengan perubahan yang terjadi di tubuh TNI, berdasarkan ketentuan Pasal 42 ayat (3) UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dilakukan pengalihan pembinaan organisasi, administrasi, dan finansial pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer yang semula oleh Markas Besar TNI dialihkan kepada Mahkamah Agung RI. Presiden RI Megawati kemudian mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 2004 tentang Pengalihan Organisasi, Administrasi, dan Finansial Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Militer dari Markas Besar Tentara Nasional Indonesia ke Mahkamah Agung RI. Sejak tanggal 30 Juni 2004, pembinaan organisasi, administrasi, dan finansial pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer tidak lagi dilakukan oleh Mabes TNI. Reformasi Nasional yang ditindaklanjuti dengan Reformasi Internal di lingkungan TNI menimbulkan perubahan yang signifikan khususnya berkaitan dengan implementasi prinsip-prinsip supremasi hukum. Sesuai prinsip supremasi hukum, setiap pelaksanaan operasi militer meniscayakan pelibatan Satuan (Perwira) Hukum, khususnya dalam proses perencanaan dan penyusunan Lampiran Hukum pada Rencana Operasi (RO)/Perintah Operasi (PO) maupun Rule of Engagement (RoE) atau Aturan Pelibatan Prajurit, yang berfungsi sebagai payung hukum dalam setiap pelaksanaan operasi militer. Pelibatan Satuan (Perwira) Hukum dalam pelaksanaan operasi militer di era reformasi antara lain: ketika berlaku Keadaan Darurat Sipil di Maluku dan Maluku Utara (2000); ketika berlaku Keadaan Darurat Sipil dan Keadaan Darurat Militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (2004); pelaksanaan pengamanan perbatasan di Papua, Atambua,
40. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, (LN Tahun 2002 Nomor 2; TLN Nomor 4168).
13
Konsepsi Pembinaan Dan Pengembangan Hukum Militer Di Indonesia Oleh : Mayjen TNI S. Supriyatna, S.H., M.H.
dan Kalimantan; Pelaksanaan pengamanan pelayaran terhadap pembajakan di Somalia (2011); Pelaksanaan Misi Perdamaian di bawah komando dan pengendalian Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Beberapa catatan penting yang berkaitan dengan Hukum Militer pada masa Orde Reformasi sebagai berikut: 1) Pembinaan Hukum Militer masih dilakukan terhadap Hukum Pidana Militer (Wetboek van Militair Strafrechtvoor Nederlandsch Indie; Staatsblad 1934 Nomor 167; yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara, disingkat KUHPT). 2) Pembinaan Hukum Disiplin Militer didasarkan pada ketentuan UndangUndang Nomor 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (LN Tahun 1997 Nomor 74; TLN Nomor 3703). 3) Dukungan Hukum Militer meliputi pelibatan Satuan (Perwira) Hukum dalam Operasi Militer Selain Perang antara lain: a) Ketika berlaku Keadaan Darurat Sipil di Maluku dan Maluku Utara (2000). b) Ketika berlaku Keadaan Darurat Sipil dan Keadaan Darurat Militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (2004). c) P e l a k s a n a a n p e n g a m a n a n perbatasan di Papua, Atambua, dan Kalimantan. d) Pelaksanaan pengamanan pelayaran terhadap pembajakan di Somalia (2011). e) Pelaksanaan Misi Perdamaian di bawah komando dan pengendalian Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB). f) Perencanaan dan penyusunan Lampiran Hukum pada Rencana Operasi (RO)/ Perintah Operasi (PO) dan Rule of Engagement (RoE) atau Aturan Pelibatan Prajurit, yang berfungsi sebagai payung hukum
14
dalam setiap pelaksanaan operasi militer. 4) Y u s t i s i a b e l P e r a d i l a n M i l i t e r mengalami perubahan setelah adanya pemisahan TNI-Polri, karena anggota Polri menjadi yustisiabel Peradilan Umum dan tidak sebagai yustisiabel Peradilan Militer. Penundukan orang sipil sebagai Yustisiabel Peradilan Militer sebagai pengecualian tidak mengalami perubahan, jika undangundang menentukan dipersamakan dengan Prajurit ABRI. 5) Prajurit TNI secara yuridis tunduk pada dua sistem peradilan pidana, yakni ketika melakukan tindak pidana umum sebagai yustisiabel Peradilan Umum dan ketika melakukan tindak pidana militer sebagai yustisiabel Peradilan Militer. BAB IV PENYELENGGARAAN PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM MILITER DI LINGKUNGAN TNI 14. Umum Untuk dapat memenuhi syarat ilmiah minimal, yang meliputi antara lain obyektif, logis, sistematis dan inheren, uraian materi dalam bab ini disusun dalam bentuk jawaban terhadap persoalan mengenai siapa (who), apa (what), bilamana/kapan (when), dimana (where), bagaimana (how), dan mengapa (why), yang lazim dikenal di lingkungan TNI dengan istilah siabidibame. Oleh sebab itu penyelenggaraan pembinaan dan pengembangan Hukum Militer di lingkungan TNI meliputi lembaga penyelenggara, materi, waktu, tempat, cara dan alasan penyelenggaraan. Mengacu pada uraian tersebut maka proyeksi terhadap aspek-aspek yang diprioritaskan dalam penyelenggaraan pembinaan dan pengembangan Hukum Militer meliputi aspek kelembagaan dan aspek materi Hukum Militer.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Konsepsi Pembinaan Dan Pengembangan Hukum Militer Di Indonesia Oleh : Mayjen TNI S. Supriyatna, S.H., M.H.
15. Penyelenggaraan Pembinaan Penyelenggaraan dilakukan dalam satu siklus pembinaan secara berkelanjutan meliputi semua aspek yang berpengaruh terhadap pencapaian tugas pokok. Pada setiap eselon, pembinaan tersebut dilakukan secara terpadu, terencana dalam penentuan tujuan, penahapan sasaran, penerapan sistem, dan metode yang baku untuk setiap jenjang. 41 Pembinaan dan pengembangan Hukum Militer yang diselenggarakan oleh Pemerintah, di tingkat nasional dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), di tingkat kebijakan dalam tataran strategis dilakukan oleh Kementerian Pertahanan, dan di tingkat operasional dilakukan oleh Babinkum TNI. a. Lembaga Penyelenggara Pembinaan Hukum Militer di lingkungan TNI diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum (Babinkum) TNI, sebagaimana ditentukan dengan tegas dalam Pasal 33 Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2010,42 sebagai berikut: “Badan Pembina Hukum TNI disingkat Babinkum TNI bertugas membantu Panglima TNI dalam menyelenggarakan pembinaan hukum dan hak asasi manusia di lingkungan TNI, pembinaan penyelenggaraan oditurat, dan pemasyarakatan militer dalam lingkungan peradilan militer”. b. Materi Pembinaan 1) Pembinaan fungsi kelembagaan. Pem bin a a n fungsi d i lin g kun g a n Babinkum TNI meliputi: a) F u n g s i H u k u m , P e r u n d a n g undangan, dan Hak Asasi Manusia (Kumdangham). Yakni, menyusun dan merumuskan rancangan peraturan
41. Doktrin TNI Tridarma Ekakarma (Tridek), Op. Cit., hal. 39. 42. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi TNI.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
perundang-undangan dalam rangka program legislasi Pertahanan Negara yang berkaitan dengan tugas-tugas TNI; menyusun dan merumuskan rancangan peraturan pelaksanaan dari peraturan perundangundangan; menyelenggarakan evaluasi, penelitian, pengkajian dan pengembangan hukum, perundang-undangan dan HAM; serta menyelenggarakan dokumentasi dan perpustakaan tentang informasi hukum, perundang-undangan dan HAM.43 b) F u n g s i P e n y u l u h a n H u k u m (Luhkum). Yakni, menyiapkan, menyusun dan merumuskan materi serta metode penyuluhan hukum dan HAM di lingkungan TNI; merumuskan dan menyiapkan serta menyelenggarakan program penyuluhan hukum dan HAM di lingkungan TNI; serta mengevaluasi dan menyusun laporan penyelenggaraan penyuluhan hukum dan HAM di lingkungan TNI.44 c) Fungsi Bantuan dan Nasihat Hukum (Banhatkum). Yakni, merencanakan, menyusun dan merumuskan metode bantuan dan nasihat hukum di lingkungan TNI; menyelenggarakan pemberian bantuan dan nasihat hukum kepada pejabat atau badan/ instansi/lembaga TNI, prajurit TNI, mantan prajurit dan keluarganya; memberikan pertimbangan dan saran mengenai pemecahan masalah hukum yang berkaitan dengan fungsi TNI di bidang pertahanan negara; dan menerima kuasa dari pejabat atau
43. Pokok-pokok Organisasi dan Prosedur Badan Pembinaan Hukum Tentara Nasional Indonesia (Babinkum TNI), yang disahkan dengan Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/24/VIII/2005 tanggal 10 Agustus 2005, hal. 8. 44. Ibid., hal. 13.
15
Konsepsi Pembinaan Dan Pengembangan Hukum Militer Di Indonesia Oleh : Mayjen TNI S. Supriyatna, S.H., M.H.
badan/instansi/lembaga TNI, prajurit TNI, mantan prajurit dan keluarganya yang sedang berperkara.45 d) F u n g s i P e n e g a k a n H u k u m (Gakkum). Yakni, merencanakan, merumuskan kebijakan dan menyelenggarakan kursus jabatan Hakim Militer dan Oditur Militer, kursus kejuruan Perwira Panitera dan kursus pelaksana teknis Pemasyarakatan Militer; merumuskan dan menyusun petunjuk pelaksanaan fungsi Babinkum TNI di bidang pembinaan dan penegakan hukum; menyelenggarakan pembinaan hukum laut, hukum udara, hukum humaniter dan hukum internasional; dan menyelenggarakan pengumpulan data dan mengevaluasi serta menyusun laporan atas pelaksanaan program kerja Babinkum TNI di bidang Pembinaan dan penegakan hukum.46 e) Fungsi Administrasi Peradilan M i l i t e r . Ya k n i , m e n y i a p k a n , merumuskan dan memberikan petunjuk tentang pengendalian penyelesaian perkara pada Oditurat guna percepatan penyelesaian perkara; menyiapkan, merumuskan dan memberikan petunjuk tentang tata laksana administrasi Oditurat dan Pemasyarakatan Militer; menyelenggarakan pembinaan tata ruang Pemasyarakatan Militer, pakaian Narapidana Militer, serta sarana dan prasarana lainnya; serta mengumpulkan dan mengevaluasi data penyelesaian perkara dan data Narapidana Militer sebagai bahan penyusunan program pembinaan.47 f) Fungsi Pengawasan (Was). Yakni, menyelenggarakan pengawasan
45. Ibid. 46. Ibid., hal. 7. 47. Ibid., hal. 10.
16
terhadap pekerjaan dan kegiatan yang bersifat teknis administratif Oditurat dan Pemasyarakatan Militer; menyelenggarakan pengawasan profesi Oditur dan pelaksana teknis Pemasyarakatan Militer; menyelenggarakan pengawasan dan pemeriksaan terhadap pendayagunaan organisasi, administrasi dan finansial; serta menyelenggarakan penelitian dan pemeriksaan terhadap personel yang diduga melakukan pelanggaran hukum.48 g) Fungsi Penyelenggaraan Oditurat. Yakni, melaksanakan kekuasaan negara di bidang penyidikan dan penuntutan.49 h) F u n g s i P e n y e l e n g g a r a a n Pemasyarakatan Militer. Yakni, melaksanakan kekuasaan negara di bidang pembinaan Narapidana Militer.50
2) Pembinaan materi hukum. Berdasarkan hasil penelitian terhadap produk perundang-undangan dapat disimpulkan bahwa Hukum Militer di Indonesia mencakup: Hukum Disiplin Militer; Hukum Pidana Militer; Hukum Tata Negara Darurat; Hukum Administrasi (Tata Usaha) Militer; dan Hukum Sengketa Bersenjata/Hukum Humaniter.51 a) Hukum Disiplin Militer. Secara normatif terdapat dua istilah yang dimaksud dengan Hukum Disiplin Militer di Indonesia, yakni Hukum Disiplin Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang disebut dalam Pasal 1 angka 2 Undang-
48. Ibid., hal. 7. 49. Ibid., hal. 10. 50. Ibid., hal. 11. 51. S.R. Sianturi., Pengenalan dan Pembangunan Hukum Militer Indonesia, Op. Cit., hal. 25.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Konsepsi Pembinaan Dan Pengembangan Hukum Militer Di Indonesia Oleh : Mayjen TNI S. Supriyatna, S.H., M.H.
Undang Nomor 26 Tahun 1997 52 dan Hukum Disiplin Prajurit TNI yang disebut dalam Pasal 1 huruf a Peraturan Disiplin Prajurit TNI.53 Perbedaan yang terdapat dalam rumusan pengertian kedua istilah itu sebagai akibat adanya pemisahan TNI-Polri, sehingga yang dimaksud pengertian Hukum Disiplin Militer tidak lain sebagai Hukum Disiplin Prajurit TNI, sebagai berikut: “Hukum Disiplin Prajurit TNI adalah serangkaian peraturan dan norma untuk mengatur, menegakkan, dan membina disiplin atau tata kehidupan prajurit TNI agar setiap tugas dan kewajibannya dapat berjalan dengan sempurna”. b) Hukum Pidana Militer54 Hukum Pidana Militer adalah bagian dari hukum positif yang berlaku bagi yustisiabel badan peradilan militer, yang menentukan dasar-dasar dan peraturan-peraturan tentang tindakan terlarang dan diharuskan yang terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana, yang menentukan pula dalam hal apa dan bilamana si pelanggar dipertanggungjawabkan atas tindakannya serta menentukan juga tentang cara penuntutan, penjatuhan pidana dan pelaksanaan pidana, demi tercapainya keadilan dan ketertiban. Rumusan tersebut sekaligus mencakup pengertian Hukum Pidana Militer material dan Hukum Pidana Militer formal serta Kepenjaraan/
52. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, (LN Tahun 1997 Nomor 74; TLN Nomor 3703). 53. Peraturan Disiplin Prajurit Tentara Nasional Indonesia, yang disahkan dengan Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/22/VIII/2005 tanggal 10 Agustus 2005 54. S.R. Sianturi., Pengenalan dan Pembangunan Hukum Militer Indonesia, Op. Cit., hal. 27-29.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Pemasyarakatan Militer karena sangat erat terkait satu sama lain. Hukum Pidana Militer sebagai bagian dari Hukum Militer juga merupakan bagian dari Hukum Pidana pada umumnya. Hukum Pidana Militer diklasifikasikan sebagai hukum pidana khusus (lex specialis) dibandingkan dengan hukum Pidana Umum (lex generali). Kekhususan Hukum Pidana Militer didasarkan pada keberlakuannya yang ditujukan kepada golongan yustisiabel tertentu yang dalam hal ini adalah militer dan yang dipersamakan serta non-militer dalam hal yang lebih khusus. Yang menjadi persoalan, adanya pemisahan TNI-Polri berdampak pula terhadap perubahan mengenai yustisiabel Peradilan Militer, karena menurut ketentuan Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, Prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam hal melakukan pelanggaran Hukum Pidana Militer dan tunduk kepada kekuasaan Peradilan Umum dalam hal melakukan pelanggaran Hukum Pidana Umum, sehingga ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer perlu dilakukan penyesuaian. c) Hukum Tata Negara Darurat (Staatsnoodrecht). Hukum Tata Negara Darurat adalah ketentuanketentuan hukum khusus yang berlaku terutama dalam keadaan darurat dan/atau perang di seluruh atau sebagian wilayah Republik Indonesia.55 Hal ini antara lain berdasarkan ketentuan Pasal 12 UUD 1945 yang menentukan: “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya, 55. Ibid., hal. 30.
17
Konsepsi Pembinaan Dan Pengembangan Hukum Militer Di Indonesia Oleh : Mayjen TNI S. Supriyatna, S.H., M.H.
ditetapkan dengan undang-undang”. Yang dimaksud dengan keadaan bahaya adalah suatu keadaan negara yang karena sebab-sebab tertentu membahayakan kelangsungan hidup negara. Untuk menjamin kelangsungan hidup negara, maka keadaan darurat merupakan syarat kondisional yang membolehkan dilakukan tindakantindakan yang di dalam keadaan biasa adalah dianggap bertentangan dengan hak-hak asasi. Tindakantindakan itu diperlukan justru untuk menjamin dan melindungi hidupnya kembali pengakuan hak-hak asasi, yang tanpa tindakan-tindakan tersebut di atas akan hilang lenyap sama sekali bersama dengan hilang lenyapnya negara.56 Ketentuan mengenai keadaan bahaya telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Pencabutan Undang-Undang No. 74 Tahun 1957 (Lembaran Negara No. 16 Tahun 1957) dan Penetapan Keadaan Bahaya.57 Pada saat reformasi Perpu tersebut ditentang karena dianggap membelenggu kebebasan dan HAM sehingga perlu dicabut atau diganti. Pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie disusunlah Rancangan Undang-Undang tentang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB), yang sampai sekarang belum ditetapkan. K e m u d i a n P e m e r i n t a h mengajukan Rancangan Undang-
Undang tentang Keamanan Nasional kepada DPR tetapi oleh DPR dikembalikan lagi kepada Pemerintah untuk disempurnakan. Keadaan ini menyebabkan terjadi kekosongan hukum mengenai pengaturan keadaan bahaya, karena Perpu Nomor 23 Tahun 1959 secara de yure masih mempunyai kekuatan berlaku tetapi secara de facto sudah tidak memiliki legitimasi. Hal seperti itu oleh Winarno Yu d h o 58 d i k a t a k a n s e b a g a i ketidakseimbangan antara hukum dan politik yang dapat menyebabkan kekuatan mengikat suatu perundang-undangan makin lama semakin menghilang karena tidak lagi dipercayai oleh masyarakat, akibatnya legalitas perundangundangan itu masih tetap ada akan tetapi legitimasinya menjadi hilang. Dalam pengertian lain, bahwa negara Indonesia saat ini berada dalam keadaan darurat perundangundangan atau noodstaatsrecht59 (Hukum Tata Negara berada dalam keadaan darurat), khususnya yang mengatur mengenai keadaan bahaya (darurat) dan/atau perang. d) Hukum Administrasi (Tata Usaha) Militer60 Hukum Administrasi/Tata Usaha, (untuk selanjutnya disebut Hukum Administrasi) secara umum adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hubungan dan akibat hukum antara yang berkuasa dengan yang dikuasai mengenai suatu masalah yang ada kaitannya
56. S.R. Sianturi, mengutip Kabul Arifin dkk., Ibid. 57. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Pencabutan UndangUndang No. 74 Tahun 1957 (Lembaran Negara No. 16 Tahun 1957) dan Penetapan Keadaan Bahaya, (LN Tahun 1959 Nomor 139; TLN Nomor 1908).
58. Winarno Yudho, “Ilmu Politik dan Hukum”, Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial, Cet. 3., (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 114. 59. Jimly Asshiddiqie, Op. Cit., hal. 18-19. 60. S.R. Sianturi., Pengenalan dan Pembangunan Hukum Militer Indonesia, Op. Cit., hal. 31-32.
18
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Konsepsi Pembinaan Dan Pengembangan Hukum Militer Di Indonesia Oleh : Mayjen TNI S. Supriyatna, S.H., M.H.
dengan kekuasaan itu sendiri, namun dirasakan masih belum perlu untuk ditingkatkan dengan mengancamkan ultimum remedium (sanksi pidana). Dalam kaitannya dengan Hukum Administrasi Militer maka masalahnya tidak hanya menyangkut bidang organisasi, personalia, material dan keuangan saja, tetapi juga mencakup masalah-masalah lain yang bersangkut paut dengan TNI. Dengan demikian sebenarnya ruang lingkup Hukum Administrasi Militer itu luas sekali, hanya di dalam praktek kehidupan kedinasan TNI masalahmasalah yang menonjol adalah di bidang administrasi personel dan di bidang administrasi perbendaharaan. Dalam bidang administrasi personel yang umumnya menyangkut tentang hak dan kewajiban personel, hubungan personel dengan penguasa administrasi, dsb. Sedangkan yang menyangkut bidang administrasi perbendaharaan adalah UndangUndang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara 61 dan UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,62 beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya. B e r d a s a r k a n p e r u n d a n g undangan tersebut di atas, maka Pimpinan/Komandan dapat mengambil tindakan/ kebijaksanaan terhadap anak buahnya berupa: pemberhentian dengan hormat dan dengan tidak hormat; pemberhentian sementara (schorsing) dari jabatan; memensiunkan; dan menentukan ganti rugi.
61. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, (LN Tahun 2003 Nomor 47; TLN Nomor 4286). 62. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, (LN Tahun 2004 Nomor 5; TLN Nomor 4355).
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997,63 pada Bab V, Pasal 265-343, telah mengatur mengenai Hukum Tata Usaha Militer namun hingga kini masih belum berjalan efektif, sedangkan dalam Pasal 353 menentukan bahwa Hukum Acara Tata Usaha Militer yang penerapannya diatur dalam Peraturan Pemerintah selambat-lambatnya mulai berlaku pada tahun 2000 (yakni 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 diundangkan). e) Hukum Sengketa Bersenjata/ Hukum Humaniter64 Hukum Sengketa Bersenjata adalah hukum yang mengenai suatu sengketa bersenjata yang timbul antara dua atau lebih pihakpihak yang bersengketa, walaupun keadaan sengketa tersebut tidak diakui oleh salah satu pihak. Istilah yang dipergunakan semula adalah Hukum Perang (The law of war), tetapi setelah perang dunia kedua berubah menjadi Hukum Sengketa Bersenjata (The law of armed conflict). P a d a e r a b e l a k a n g a n i n i dikembangkan istilah baru yang populer dikenal sebagai Hukum Humaniter Internasional yang kemudian disingkat menjadi Hukum Humaniter. Perkembangan istilah dari Hukum Perang menjadi Hukum Sengketa Bersenjata dan kemudian menjadi Hukum Humaniter sebenarnya tidak terlepas dari tujuan yang hendak dicapai oleh hukum tersebut yaitu: melindungi baik kombatan maupun nonkombatan dari penderitaan yang
63. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, (LN Tahun 1997 Nomor 84; TLN Nomor 3713). 64. S.R. Sianturi., Pengenalan dan Pembangunan Hukum Militer Indonesia, Op. Cit., hal. 32-34.
19
Konsepsi Pembinaan Dan Pengembangan Hukum Militer Di Indonesia Oleh : Mayjen TNI S. Supriyatna, S.H., M.H.
tidak perlu; menjamin hak-hak asasi tertentu dari orang yang jatuh ke tangan musuh; memungkinkan dikembalikannya perdamaian; dan membatasi kekuasaan pihak berperang. Melihat tujuan tersebut maka hakikat Hukum Perang adalah untuk kemanusiaan, sehingga orang cenderung berpendapat lebih tepat jika disebut Hukum Humaniter. Walaupun ada perbedaan istilah, namun pada prinsipnya istilah-istilah tersebut mengandung pengertian yang sama, yang berbeda hanya penekanannya. Hukum Perang/ Hukum Sengketa Bersenjata lebih menekankan pada segi yuridis dan pada peristiwa persengketaan yang bersifat kekerasan, sedangkan istilah Hukum Humaniter lebih menitikberatkan pada tujuan yang hendak dicapai yaitu kemanusiaan. Hukum Sengketa Bersenjata/ Hukum Humaniter tidak saja meliputi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian-perjanjian internasional, tetapi juga kebiasaankebiasaan internasional yang terjadi dan diakui, yang meliputi sengketa bersenjata di darat, di laut dan di udara dalam lingkup internasional maupun nasional. Perjanjianperjanjian internasional yang terkenal antara lain: a. Konvensi-konvensi Den Haag Tahun 1899/1907 tentang penggunaan senjata dan cara-cara perang; b. Konvensi-konvensi Palang Merah atau Konvensi Jenewa tahun 1864/1949 tentang perlindungan terhadap para korban sengketa bersenjata; c. Konvensi Den Haag tahun 1954 tentang perlindungan benda-benda kebudayaan jika terjadi pertikaian bersenjata; d. Protokolprotokol tambahan pada Konvensi Jenewa tahun 1974/1977 tentang perlindungan korban sengketa bersenjata internasional dan non
20
internasional; e. Konvensi Jenewa tahun 1980 tentang larangan/ pembatasan penggunaan senjata konvensional tertentu. c. Waktu Pembinaan Penyelenggaraan pembinaan dilakukan dalam satu siklus pembinaan secara berkelanjutan yang mengandung makna bahwa penyelenggaraan pembinaan tidak mengenal batas waktu, dilaksanakan secara kontinu dan berkesinambungan. d. Tempat Pembinaan Tempat penyelenggaraan disesuaikan dengan pembinaan fungsi kelembagaan dan materi hukum yang dibina. e. Cara Pembinaan Penyelenggaraan pembinaan dilakukan dengan cara: 1) Pembinaan materi hukum: a) Membuat dan menyusun peta peraturan perundang-undangan. b) Membuat dan menyusun daftar dan prioritas program legislasi bidang pertahanan. c) Membuat dan menyusun rancangan peraturan perundang-undangan. d) Membuat dan menyusun peta peraturan perundang-undangan yang tidak harmonis/ valid. e) Melakukan pengkajian dan penelitian hukum. f) Membuat dan menyusun revisi rancangan peraturan perundangundangan. 2) Pembinaan penegakan hukum: a) Membuat dan menyusun peranti lunak seperti: Buku Petunjuk Teknis (Bujuknis) Penyelidikan Militer dalam rangka pro yustisia, Bujuknis Penyidikan Militer, Bujuknis Keodituran Militer, Bujuknis Kehakiman Militer dan Bujuknis Kepemasyarakatan
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Konsepsi Pembinaan Dan Pengembangan Hukum Militer Di Indonesia Oleh : Mayjen TNI S. Supriyatna, S.H., M.H.
Militer. b) Mengadakan dan menyiapkan peranti keras seperti pemasangan jaringan komputer secara on line sebagai sistem informasi yang dikendalikan secara terpusat untuk melakukan pendataan perkara secara elektronik di badan-badan Peradilan Militer. c) M e n g u p a y a k a n p e r c e p a t a n penyelesaian perkara. d) Monitoring dan evaluasi (monev). 3) Pembinaan sumber daya aparatur penegak hukum. Penyelenggaraan pembinaan sumber daya aparatur penegak hukum di lingkungan TNI dilakukan dengan pendidikan dan latihan (Diklat) sesuai pola pembinaan profesi meliputi: a) Kursus Jabatan Oditur Militer (Susjabormil). b) K u r s u s P e r w i r a A d m i n i s t r a s i Pengolahan Perkara (Suspaminlahkara). c) K u r s u s B i n t a r a A d m i n i s t r a s i Pengolahan Perkara (Susbaminlahkara). d) Kursus Bintara Pemasyarakatan Militer (Susbamasmil). e) Penataran Penyuluhan Hukum. f) Penataran Perundang-undangan. f. Alasan Pembinaan Penyelenggaraan pembinaan Hukum Militer dilakukan dengan alasan agar dapat: 1) Mengoptimalkan efisiensi dan efektifitas fungsi kelembagaan di lingkungan TNI, khususnya Babinkum TNI. 2) Meningkatkan kualitas sumber daya aparat penegak hukum yang selaras dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya ilmu pengetahuan hukum dan teknologi yang diperlukan dalam penegakan hukum. 3) Menyusun peraturan perundangundangan berkualitas yang menjamin validitas, harmonisasi dan dapat
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
menjangkau ke depan (doelmatigheids) sehingga mempunyai daya laku yang relatif lama dan tidak sering dilakukan perubahan. 4) Menjamin terdukungnya penyelenggaraan fungsi dan Tugas Pokok TNI sebagai alat negara dalam bidang pertahanan dari aspek hukum. 16. Penyelenggaraan Pengembangan a. Lembaga Penyelenggara Pengembangan Hukum Militer di lingkungan TNI diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum (Babinkum) TNI, dalam hubungannya dengan penyelenggaraan Fungsi Hukum, Perundang-undangan, dan Hak Asasi Manusia (Kumdangham), yang salah satu fungsinya menyelenggarakan evaluasi, penelitian, pengkajian dan pengembangan hukum, perundangundangan dan HAM. Secara kelembagaan, fungsi tersebut dilaksanakan hanya oleh seorang yang berpangkat Letnan Kolonel dengan jabatan sebagai Kepala Subdinas Evaluasi dan Pengkajian (Kasubdisevjian) sehingga kurang realistis jika dihadapkan dengan luasnya cakupan bidang Hukum Militer yang secara kontinu perlu dilakukan evaluasi dan pengkajian untuk dikembangkan dalam rangka kepentingan mendukung pelaksanaan Tugas Pokok TNI sebagai alat negara dalam bidang pertahanan dari aspek hukum. Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan pembentukan suatu badan yang berfungsi dan bertugas di bidang pengkajian dan pengembangan Hukum Militer. b. Bidang Pengembangan 1) Terjadinya perubahan akibat pemisahan TNI-Polri maka perlu dilakukan penyesuaian terhadap perkembangan aktual mengenai: a) Ketentuan undang-undang yang masih menggunakan istilah organisasi
21
Konsepsi Pembinaan Dan Pengembangan Hukum Militer Di Indonesia Oleh : Mayjen TNI S. Supriyatna, S.H., M.H.
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), yakni UndangUndang Nomor 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit ABRI, untuk disesuaikan dan ditetapkan sebagai Hukum Disiplin Prajurit TNI. b) Ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer perlu dilakukan penyesuaian dalam rangka pengembangan Hukum Pidana Militer, sebagai realisasi dari ketentuan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, yang mengamanatkan bahwa Prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam hal melakukan pelanggaran Hukum Pidana Militer dan tunduk kepada kekuasaan Peradilan Umum dalam hal melakukan pelanggaran Hukum Pidana Umum. 2) Adanya kekosongan hukum saat ini berkaitan dengan Hukum Tata Negara Darurat (Staatsnoodrecht) yang mengatur mengenai keadaan bahaya dan keadaan perang, karena Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Pencabutan Undang-Undang No. 74 Tahun 1957 (Lembaran Negara No. 16 Tahun 1957) dan Penetapan Keadaan Bahaya, tidak lagi diakui dan ditentang karena dianggap membelenggu kebebasan dan HAM sehingga perlu dicabut atau diganti. Sedangkan RUU yang mengatur hal tersebut sampai sekarang belum ditetapkan, sehingga perlu ada upaya pengembangan untuk membuat dan menyusun rancangan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hal tersebut. Mengingat kekosongan hukum merupakan salah satu alasan bagi pembentukan peraturan perundangundangan, dan materi yang diatur sangat penting berkaitan dengan perlindungan
22
terhadap kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan segenap bangsa serta seluruh tumpah darah Indonesia, maka alasan tersebut merupakan kepentingan mendesak yang dapat diklasifikasi sebagai ”kegentingan memaksa” untuk dapat membentuk dan menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). Oleh sebab itu, upaya penyelesaian terhadap masalah ini dapat dilakukan dengan dua cara, yakni: a) mendorong percepatan penyelesaian Rancangan Undang-Undang tentang Keamanan Nasional; atau b) membuat dan menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang mengatur mengenai keadaan bahaya dan keadaan perang, untuk menggantikan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Pencabutan Undang-Undang No. 74 Tahun 1957 (Lembaran Negara No. 16 Tahun 1957) dan Penetapan Keadaan Bahaya. 3) Pengembangan terhadap Hukum Tata Usaha Militer, sesuai amanat Pasal 353 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997, yakni dengan membuat dan menyusun Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai Hukum Acara Tata Usaha Militer. c. Waktu Pengembangan P e n g e m b a n g a n H u k u m M i l i t e r diselenggarakan dalam satu siklus yang ekuivalen dengan penyelenggaran pembinaan sehingga juga berkelanjutan dan mengandung makna bahwa penyelenggaraan pengembangan tidak mengenal batas waktu, dilaksanakan secara kontinu dan berkesinambungan selaras dengan perkembangan Doktrin TNI dan Hukum Militer.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Konsepsi Pembinaan Dan Pengembangan Hukum Militer Di Indonesia Oleh : Mayjen TNI S. Supriyatna, S.H., M.H.
d. Tempat Pengembangan Tempat penyelenggaraan disesuaikan dengan pengembangan fungsi kelembagaan dan materi hukum yang dikembangkan. e. Cara Pengembangan Pengembangan meliputi dua aspek, yakni aspek kelembagaan dan aspek Hukum Militer yang dilakukan sebagai berikut: 1) Cara pengembangan terhadap aspek kelembagaan dilakukan dengan pembentukan badan/instansi/lembaga baru dan/atau meningkatkan sinergi antar badan/instansi/lembaga yang sudah ada. 2) Cara pengembangan terhadap aspek hukum dilakukan sama dengan cara yang dilakukan dalam penyelenggaraan pembinaan Hukum Militer. f. Alasan Penyelenggaraan P e n g e m b a n g a n H u k u m M i l i t e r diselenggarakan dengan alasan yang sama seperti dalam penyelenggaraan pembinaan Hukum Militer. 17. Prioritas Penyelenggaraan a. Aspek Kelembagaan Mengingat luasnya jangkauan pembinaan dan pengembangan Hukum Militer, dapat kiranya mempertimbangkan pembentukan suatu badan yang berfungsi dan bertugas di bidang pembinaan (pengkajian) dan pengembangan Hukum Militer. Kedudukan badan tersebut dapat ditempatkan dalam tataran strategis di bawah Kementerian Pertahanan (Kemhan) dan/atau sebagai badan pelaksana (Balak) dalam tataran operasional yang berkedudukan di bawah Babinkum TNI. Apabila badan tersebut berkedudukan di bawah Kemhan, nama badan itu seyogianya disesuaikan dengan amanat Pasal 64 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004,
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
yakni Badan Nasional Pembinaan dan Pengembangan Hukum Militer (BNPPHM) yang dipimpin oleh seorang pejabat berpangkat golongan kepegawaian setingkat Letnan Jenderal (Letjen)/ Laksamana Madya (Laksdya)/ Marsekal Madya (Marsdya) TNI. Untuk di lingkungan TNI, badan yang dimaksud berkedudukan sebagai badan pelaksana (Balak) di bawah Babinkum TNI, badan itu dapat disebut sebagai Pusat Pengkajian dan Pengembangan Hukum Militer (Pusjianbang Kummil) yang dipimpin oleh seorang pejabat berpangkat Brigadir Jenderal (Brigjen)/Laksamana Pertama (Laksma)/Marsekal Pertama (Marsma) TNI. Pembentukan suatu badan baru secara substantif merupakan salah satu aspek manajemen perubahan dalam hubungannya dengan Reformasi Birokrasi, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 10 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Manajemen Perubahan.65 Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam mengukur besaran perubahan terhadap wacana pembentukan Badan Nasional Pembinaan dan Pengembangan Hukum Militer (BNPPHM) di lingkungan Kemhan dan/atau Pusat Pengkajian dan Pengembangan Hukum Militer (Pusjianbang Kummil) di lingkungan TNI, harus dapat menjawab persoalan sebagai berikut:66 1) Seberapa kompleks perubahan yang akan dilakukan: a) jumlah kantor dan unit organisasi yang terlibat; b) jumlah pegawai (personel) yang terkena dampak perubahan dan hingga pada level apa tugas dan
65. Biro Hukum Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Bidang Pendayagunaan Aparatur Negara, Jilid II, hal. 251-252. 66. Ibid., hal. 270.
23
Konsepsi Pembinaan Dan Pengembangan Hukum Militer Di Indonesia Oleh : Mayjen TNI S. Supriyatna, S.H., M.H.
tanggung jawab mereka akan berubah; dan c) seberapa besar risiko yang harus dikelola. 2) Seberapa mudah diprediksi solusi perubahan yang akan diberikan: a) seberapa jelas dan konsisten pemahaman akan kondisi birokrasi yang diinginkan; b) apakah perubahan yang dilakukan bergantung pada pihak eksternal yang lain; dan c) seberapa besar tingkat resistansi terhadap perubahan. 3) Seberapa mampu Kementerian/Lembaga untuk melaksanakan perubahan (yang dimaksud di atas): a) apakah kepemimpinan yang ada mendukung perubahan; b) apakah kepemimpinan yang ada memiliki kapabilitas dan kompetensi untuk mengelola perubahan; dan c) apakah Kementerian/Lembaga berpengalaman mengelola perubahan dengan sukses. 4) Seberapa mendesak (urgent) perubahan yang diinginkan: a) apakah ada batas waktu yang dipersyaratkan untuk melaksanakan perubahan; dan b) kapan manfaat dari perubahan yang diharapkan dapat direalisasikan. Cara yang dilakukan untuk menilai besaran perubahan sebagaimana dimaksud di atas, dapat dilakukan dengan metode antara lain:67 1) studi dokumen, bila pernah terjadi perubahan sebelumnya; dan 2) focused group discussion. Melalui forum Focused Group Discussion yang diselenggarakan saat ini diharapkan dapat diperoleh penilaian mengenai penting dan mendesaknya pembentukan Badan Nasional Pembinaan dan Pengembangan Hukum Militer (BNPPHM) di lingkungan 67. Ibid., hal. 270-271.
24
Kemhan dan/atau Pusat Pengkajian dan Pengembangan Hukum Militer (Pusjianbang Kummil) di lingkungan TNI, untuk kepentingan penyelenggaraan pertahanan negara, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004. b. Aspek Materi Hukum Militer Prioritas yang dapat segera dilakukan berkaitan dengan aspek materi Hukum Militer meliputi: 1) M e n d o r o n g p e r c e p a t a n p r o s e s penyelesaian RUU tentang Hukum Disiplin Prajurit TNI, sebagai konsekuensi adanya pemisahan TNI-Polri, sehingga terhadap Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia(ABRI) perlu dilakukan penyesuaian. 2) M e n d o r o n g p e r c e p a t a n p r o s e s penyelesaian RUU tentang Peradilan Militer, sebagai realisasi amanat yang ditentukan dalam Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, sehingga terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer perlu dilakukan penyesuaian. 3) M e n d o r o n g p e r c e p a t a n p r o s e s penyelesaian RUU tentang Keamanan Nasional (Kamnas), guna menyikapi kekosongan hukum tentang pengaturan keadaan bahaya/darurat/perang akibat adanya resistansi terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Pencabutan Undang-Undang No. 74 Tahun 1957 (Lembaran Negara No. 16 Tahun 1957) dan Penetapan Keadaan Bahaya, karena dianggap membelenggu kebebasan dan HAM. 4) M e n d o r o n g p e m b e n t u k a n d a n penyusunan Naskah Akademik (Nasmik) dan RPP tentang Hukum Acara Tata Usaha Militer, sebagai realisasi amanat yang ditentukan dalam Pasal 353 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Konsepsi Pembinaan Dan Pengembangan Hukum Militer Di Indonesia Oleh : Mayjen TNI S. Supriyatna, S.H., M.H.
Indikator-indikator capaian dalam aspek materi Hukum Militer sebagai salah satu prioritas penyelenggaraan niscaya berpengaruh pada penilaian terhadap “penting dan mendesaknya” pembentukan Badan Nasional Pembinaan dan Pengembangan Hukum Militer (BNPPHM) di lingkungan Kemhan dan/atau Pusat Pengkajian dan Pengembangan Hukum Militer (Pusjianbang Kummil) di lingkungan TNI. BAB V PENUTUP Pada bagian akhir makalah ini sengaja tidak dibuatkan kesimpulan dan saran karena bahasan yang telah diuraikan di depan merupakan sumbangan pemikiran kepada penyelenggara sebagai salah satu bahan diskusi sehingga diharapkan penyelenggaralah yang akan merumuskannya sebagai hasil (out put) pelaksanaan diskusi dalam Focused Group Discussion (FGD) ini, untuk selanjutnya disampaikan sebagai masukan (out come) kepada Pemerintah sesuai tujuan yang telah direncanakan. Demikianlah penyampaian makalah ini, selamat melaksanakan diskusi semoga dapat menghasilkan pemikiran-pemikiran konstruktif yang dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh Pemerintah dalam menetapkan kebijakan mengenai Pembinaan dan Pengembangan Hukum Militer di Indonesia. Akhir kata, atas perhatian dari segenap hadirin yang berbahagia serta kepercayaan yang diberikan oleh penyelenggara, khususnya Pimpinan Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “Veteran” Jakarta dan Ketua Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM), sehingga saya dapat berkesempatan menyumbangkan pemikiran melalui penyampaian makalah dalam forum diskusi ini, saya menyampaikan terima kasih. Semoga Tuhan memberkati kita dan meridai ikhtiar penyelenggara demi kejayaan bangsa dan negara Indonesia.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
25
PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM MILITER DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL1 Oleh: Noor M. Aziz, S.H.,M.H., M.M.2
A. PENDAHULUAN
P
embinaan hukum dapat meliputi “Pengembangan” dan “Pembentukan” atas hukum. Pengembangan hukum adalah proses-proses pembinaan yang dilakukan dengan melaksanakan kegiatan pembangunan hukum yang sendi-sendinya sudah ada, misalnya melaksanakan kegiatan evaluasi dan pembaharuan atas peraturan perundangundangan, merevitalisasi lembaga-lembaga hukum yang telah ada, serta pembangunan atas sikap masyarakat. Sedangkan pembentukan hukum dilakukan dengan melaksanakan proses pembinaan hukum dengan pembentukan
1. Disampaikan dalam FGD Pengembangan dan Pembinaan Hukum Militer Sebagai Realisasi dan Amanat Pasal 64 UU No.34 Tahun 2004 Tentang TNI, pada Selasa, 10 Juli 2012 di UPN Veteran Jakarta, yang diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Hukum Bidang Pertahanan bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM). 2. Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional, BPHN Kementerian Hukum dan HAM RI
26
berbagai peraturan perundang-undangan, pembangunan lembaga-lembaga hukum, pembangunan mental masyarakat untuk mewujudkan budaya hukum. Pembinaan dan pengembangan hukum militer harus mengacu pada pemahaman bahwa hukum adalah sebuah sistem, dan dengan demikian menjadi bagian dari hukum nasional. Pengertian “sistem” seperti diuraikan dalam buku Pola Pikir dan Kerangka Sistem Hukum Nasional Serta Rencana Pembangunan Hukum Jangka Panjang, 1995/1996 adalah : Sejumlah unsur atau komponen atau fungsi/ variabel yang selalu pengaruh-mempengaruhi, terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas dan berinteraksi. Semua unsur/ komponen/ fungsi/variabel itu terpaut dan terorganisasi menurut suatu struktur atau pola yang tertentu, sehingga senantiasa saling pengaruh mempengaruhi dan berinteraksi.3 Sedangkan pengertian “hukum nasional” 3. BPHN, Pola Pikir dan Kerangka Sistem Hukum Nasional Serta Rencana Pembangunan Hukum Jangka Panjang, 1995/1996.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Pembinaan Dan Pengembangan Hukum Militer Dalam Sistem Hukum Nasional Oleh: Noor M. Aziz, S.H.,M.H., M.M.
seperti juga tercantum dalam buku pola pikir adalah dasarnya hukum nasional adalah suatu sistem.4 Asas utama yang mengaitkan semua unsur atau komponen hukum nasional itu ialah Pancasila dan UUD 1945, di samping sejumlah asas-asas hukum yang lain seperti asas kenusantaraan, kebangsaan, dan kebhinekaan. Sistem hukum nasional tidak hanya terdiri dari kaidah-kaidah atau norma-norma hukum belaka, tetapi juga mencakup seluruh lembaga aparatur dan organisasi, mekanisme dan prosedur hukum, falsafah dan budaya hukum, termasuk juga perilaku hukum pemerintah dan masyarakat.5 Pembinaan hukum militer harus menggunakan pendekatan kesisteman dan berpijak pada cita-cita bangsa, yaitu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila; ditujukan untuk mencapai tujuan negara; dipandu oleh nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara; dan harus melindungi semua unsur bangsa demi mewujudkan keadilan sosial dalam ekonomi dan kemasyarakatan, mewujudkan demokrasi (kedaulatan rakyat) dan nomokrasi (kedaulatan hukum) serta menciptakan keadaban dan kemanusiaan. Salah satu tujuan negara adalah untuk melindungi rakyatnya. Hal ini dapat dilihat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menyatakan bahwa cita-cita bangsa ini diantaranya adalah:6 “.....untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa......”. Untuk melaksanakan tujuan tersebut tentunya dibutuhkan suatu sistem untuk dapat menanggulangi seluruh bentuk ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang berasal baik dari dalam maupun dari luar Indonesia. Pertahanan negara merupakan salah satu fungsi pemerintahan negara yang merupakan usaha untuk mewujudkan satu
4. Ibid., 5. Ibid., 6. Tercantum dalam alinea 4 Pembukaan UUD 1945
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
kesatuan pertahanan negara guna mencapai tujuan nasional, yaitu untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dalam pengertian sempit segenap kekuatan serta kemampuan pertahanan dan keamanan diorganisasikan ke dalam TNI dan Polri.7 Pada konteks ini perlu ada pembagian tugas dan fungsi yang jelas antara masalah keamanan dan pertahanan. Pertahanan diserahkan kepada TNI, sedang keamanan dalam negeri diserahkan kepada POLRI. TNI dapat dilibatkan untuk menangani masalah dalam negeri jika POLRI tidak mampu karena eskalasi ancaman yang meningkat ke keadaan darurat. Secara historis, tentara atau prajurit sebagai kekuatan bersenjata yang dimiliki Indonesia memiliki ikatan emosional dan peran vital dalam proses kedaulatan dan eksistensi bangsa Indonesia, sejak embrio bernama BKR, TKR, TRI, hingga kini bernama TNI. Dalam perkembangannya TNI pernah digabungkan dengan POLRI dengan nama ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), proses penggabungan antara dua kekuatan bersenjata berbaju militer dan sipil ini dirasa tidak ideal dan menggeser khittah prajurit sebagai garda terdepan dalam mempertahankan kedaulatan wilayah negara kesatuan Indonesia. Oleh karena itu, kemudian dilakukan reformasi TNI dimulai pada tahun 2000 dengan pemisahan antara TNI dan POLRI serta penegasan peran antara dua kekuatan bersenjata di Republik ini.8 TNI sebagai pilar pertahanan negara kesatuan Indonesia memiliki payung hukum untuk menunjang eksistensinya dalam ketatanegaraan
7. Sumarsono, Pendidikan Kewarganegaraan, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 2001, hlm.127 8. Sesuai Ketetapan MPR nomor VI/MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan POLRI serta Ketetapan MPR nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan peran POLRI
27
Pembinaan Dan Pengembangan Hukum Militer Dalam Sistem Hukum Nasional Oleh: Noor M. Aziz, S.H.,M.H., M.M.
Republik Indonesia, payung hukum tersebut adalah Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia.9 B. PEMBINAAN HUKUM MILITER Pembinaan hukum militer diarahkan pada terwujudnya salah satu tujuan negara yaitu untuk melindungi rakyatnya. Hal ini dapat dilihat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menyatakan bahwa cita-cita bangsa ini diantaranya adalah:10 “.....untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa......”. Untuk melaksanakan tujuan tersebut tentunya dibutuhkan suatu sistem untuk dapat menanggulangi seluruh bentuk ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang berasal baik dari dalam maupun dari luar Indonesia. Pertahanan negara merupakan salah satu fungsi pemerintahan negara yang merupakan usaha untuk mewujudkan satu kesatuan pertahanan negara guna mencapai tujuan nasional, yaitu untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dalam pengertian sempit segenap kekuatan serta kemampuan pertahanan dan keamanan diorganisasikan ke dalam TNI dan Polri.11 Pada konteks ini perlu ada pembagian tugas dan fungsi yang jelas antara masalah keamanan dan pertahanan. Pertahanan diserahkan kepada TNI, sedang keamanan dalam negeri diserahkan kepada POLRI. TNI dapat dilibatkan untuk menangani masalah 9. UU TNI ini disahkan DPR pada tanggal 30 September 2004 dan ditanda tangani oleh Presiden Megawati pada tanggal 19 Oktober 2004. 10. Tercantum dalam alinea 4 Pembukaan UUD 1945 11. Sumarsono, Pendidikan Kewarganegaraan, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 2001, hlm.127
28
dalam negeri jika POLRI tidak mampu karena eskalasi ancaman yang meningkat ke keadaan darurat. Secara historis, tentara atau prajurit sebagai kekuatan bersenjata yang dimiliki Indonesia memiliki ikatan emosional dan peran vital dalam proses kedaulatan dan eksistensi bangsa Indonesia, sejak embrio bernama BKR, TKR, TRI, hingga kini bernama TNI. Dalam perkembangannya TNI pernah digabungkan dengan POLRI dengan nama ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), proses penggabungan antara dua kekuatan bersenjata berbaju militer dan sipil ini dirasa tidak ideal dan menggeser khittah prajurit sebagai garda terdepan dalam mempertahankan kedaulatan wilayah negara kesatuan Indonesia. Oleh karena itu, kemudian dilakukan reformasi TNI dimulai pada tahun 2000 dengan pemisahan antara TNI dan POLRI serta penegasan peran antara dua kekuatan bersenjata di Republik ini.12 TNI sebagai pilar pertahanan negara kesatuan Indonesia memiliki payung hukum untuk menunjang eksistensinya dalam ketatanegaraan Republik Indonesia, payung hukum tersebut adalah Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia.13 C. S U B S TA N S I H U K U M M I L I T E R D I INDONESIA Yang dimaksud dengan hukum militer adalah semua perundang-undangan nasional yang subjek hukumnya adalah anggota militer atau orang yang dipersamakan sebagai militer berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, di samping itu segala hukum dan ketentuan perundang-undangan yang dipakai sebagai dasar pelaksanaan tugas TNI dalam melaksanakan fungsi pertahanan negara
12. Sesuai Ketetapan MPR nomor VI/MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan POLRI serta Ketetapan MPR nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan peran POLRI 13. UU TNI ini disahkan DPR pada tanggal 30 September 2004 yang selanjutnya ditanda tangani oleh Presiden Megawati pada tanggal 19 Oktober 2004.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Pembinaan Dan Pengembangan Hukum Militer Dalam Sistem Hukum Nasional Oleh: Noor M. Aziz, S.H.,M.H., M.M.
dikategorikan sebagai hukum militer.14 Hukum militer merupakan bagian integral dan tidak terpisahkan dari hukum nasional yang sekaligus juga merupakan subsistem dari ketentuan yang mengatur tentang pertahanan negara, dalam hal ini Indonesia memiliki payung hukum yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara. Dengan demikian sistem dan asas-asas pokok hukum militer harus berpangkal tolak dari tugas militer dan dari sistem serta asas-asas pokok hukum nasional, disisi lain hukum militer berkewajiban menjamin terselenggaranya tugas-tugas militer tersebut dengan baik dan benar. Hukum militer sebagai subsistem dari sistem pertahanan negara perlu mengatur secara tegas mengenai operasionalisasi dari tatanan kehidupan bela negara secara semesta. Pertahanan negara bertujuan untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman. Dengan demikian, semua usaha penyelenggaraan pertahanan negara harus mengacu pada tujuan tersebut. Oleh karena itu, pertahanan negara berfungsi untuk mewujudkan dan mempertahankan seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pertahanan. Pertahanan negara diselenggarakan oleh pemerintah dan dipersiapkan secara dini dengan sistem pertahanan negara melalui usaha membangun dan membina kemampuan dan daya tangkal negara dan bangsa serta menanggulangi setiap ancaman.15 Pengembangan dan pembentukan hukum militer dapat dilakukan dalam klasifikasi bidangbidang hukum sebagai berikut:16 14. Pengertian Hukum Militer Menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia 15. Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara 16. Bandingkan dengan hasil laporan Tim Peneliti Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemenkumham RI, Pembahasan Perkembangan Hukum Nasional Tentang Hukum Militer dan Bela Negara. BPHN Departemen Kehakiman RI, 1995, hlm. 10-11
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
1. Hukum Pidana Militer, ditinjau dari sudut hukum pidana umum, maka hukum pidana militer adalah hukum pidana khusus, yang pada umumnya berlaku bagi militer dan yang dipersamakan. Dari sudut justibel peradilan militer, hukum pidana militer adalah bagian dari hukum positif: - yang berlaku bagi justiabel peradilan militer; - yang menentukan dasar-dasar dan peraturan-peraturan tentang tindakan terlarang dan diharuskan yang terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana. - Ya n g m e n e n t u k a n d a l a m h a l apa dan bilamana si pelanggar dipertanggungjawabkan atas tindakannya. - Yang menentukan juga cara penuntutan, penjatuhan pidana dan pelaksanaan pidana demi tercapainya ketertiban hukum. 2. Hukum disiplin militer, adalah seperangkat ketentuan hukum yang mengatur mengenai sikap, penampilan dan tingkah laku seorang militer atau seorang yang ditundukkan pada hukum disiplin militer yang harus sesuai dengan perintah kedinasan, peraturan kedinasan serta kelayakan, ketertiban dan tata kehidupan yang terhadap pelanggarnya dapat dikenakan hukuman. 3. Hukum Tata Negara Militer, adalah ketentuanketentuan hukum khusus yang berlaku terutama dalam keadaan darurat dan/atau perang di seluruh atau sebagian wilayah NKRI atau di lingkungan TNI maupun di lingkungan yang lebih luas. 4. Hukum Tata Usaha (Administrasi) Militer, adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hubungan dan akibat hukum dalam bidang organisasi, personalia, materiil dan keuangan yang bersangkut paut dengan TNI berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. 5. Hukum sengketa bersenjata adalah ketentuan-ketentuan hukum dalam bidang internasional yang berlaku bagi anggota TNI dalam masa perang. Ketentuan pokok
29
Pembinaan Dan Pengembangan Hukum Militer Dalam Sistem Hukum Nasional Oleh: Noor M. Aziz, S.H.,M.H., M.M.
hukum sengketa bersenjata ini masih berpatokan pada, antara lain: Konvensi Denhaag 1899/1907 dan konvensi Denhaag tahun 1954, konvensi Jenewa 1949 serta protokol-protokol tambahan Jenewa 1977. 6. Serta Hukum Acara Militer dan Hukum Kepenjaraannya D. PENGARUH KULTUR MILITER DALAM PEMBINAAN HUKUM MILITER Dalam kultur militer terdapat anggapan bahwa yang terpenting bagi militer adalah disiplin. Salah satu unsur yang menegakkan disiplin adalah hukum. Maka secara tak langsung hukum menyelenggarakan pemeliharaan disiplin militer. Karena itu, hukum disamping sebagai alat pengawasan sosial melalui legalisasi dari tata kelakuan yang baku dalam masyarakat, juga merupakan alat rekayasa sosial, yaitu memberi suatu postur militer yang penampilanya “membahayakan musuh-musuhnya dan ramahtamah terhadap teman-temannya” (dangerous to their enemies and gentle to their friends).17 Kultur militer sangat berbeda dengan kultur sipil dalam beberapa hal. Ketidakpahaman atas beda budaya yang terjadi dapat menimbulkan kesalahpahaman baik di kalangan sipil, maupun di kalangan militer. Secara kultural, militer dibentuk sebagai garda depan penanggulangan ancaman bahaya dari luar. Untuk hal tersebut dibutuhkan ketangguhan secara fisik dan psikis dari anggota-anggota militer, akibat lebih jauh adalah diperlukannya tindakan keras untuk membentuk aparat militer. Dampak yang muncul adalah individu-individu militer akan berbeda dalam fisik dan psikis dibandingkan dengan kalangan sipil. Penyelesaian sengketa secara musyawarah dan demokrasi yang dikenal di kalangan sipil jarang difahami oleh kalangan militer, walaupun saat ini telah mulai diajarkan pendidikan tentang HAM. Akan tetapi merubah mindset, ideologi, dan paradigma bukanlah hal yang mudah dilakukan. Kultur kedisiplinan keras,
17. Amiroedin Sjarif. Hukum Disiplin Militer Indonesia. Jakarta. Rineka Cipta.Hlm. 2
30
tunduk pada perintah atasan tanpa membantah di kalangan militer tentunya tidak akan dapat diubah secara cepat. Kultur sipil yang dapat mendebat atasan jika bawahan tidak setuju dengan instruksi atasan atau pimpinan tidak pernah hidup di kalangan militer. Hal ini menjadi kultur militer kuat karena soliditas sesama anggota yang menjadi le esprit de corps adalah harga mati kalangan militer dimanapun di muka bumi ini. Merubah watak, karakter dan budaya tentu tidak mudah. Berdasarkan hal itu dimana militer memiliki karakter yang berbeda, maka secara histories dibutuhkan aturan-aturan hukum yang bersifat lex specialis untuk mengatur dan mengendalikan warga militer tersebut.18 Hukum militer yang dipergunakan untuk kalangan militer tentunya dibentuk dan diarahkan oleh kalangan militer pula, adapun pembinaan hukum bagi kalangan militer (baca: TNI) adalah ditempatkan secara strategis sebagai landasan dan perekat dalam pembangunan TNI, baik sebagai landasan kekuatan pokok pertahanan dalam konteks tugas Operasi Militer Perang (OMP), maupun landasan sebagai salah satu komponen pembangunan bangsa dalam hubungan pelaksanaan tugas Operasi Militer Selain Perang (OMSP).19 Pembinaan hukum TNI sebagai landasan kekuatan pokok pertahanan bermakna teraktualisasinya fungsi hukum sebagai alat kontrol TNI, instrumen penyelesaian masalah dan instrumen pengatur perilaku prajurit TNI dalam pelaksanaan tugas pokok dalam kehidupan bermasyarakat. Adapun pembinaan hukum sebagai perekat dalam pembangunan TNI bermakna bahwa kehadiran hukum dalam satuan dan diri prajurit
18. http://uai.ac.id/2011/04/13/ pelaksanaan- peradilansipil- bagi- anggota- militer- sebuah-tinjauan-sociolegal/ 19. Seperti yang dikatakan Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono, SE dalam amanatnya yang dibacakan Kasum TNI Letjen TNI Suryo Prabowo pada acara Pembukaan Rapat Kerja Teknis Badan Pembinaan Hukum TNI (Rakernis Babinkum TNI) TA 2011, di Aula Mako Akademi TNI Cilangkap Jakarta Timur, Kamis (1/12).
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Pembinaan Dan Pengembangan Hukum Militer Dalam Sistem Hukum Nasional Oleh: Noor M. Aziz, S.H.,M.H., M.M.
TNI akan semakin memperkuat komitmen, soliditas serta solidaritas dalam pelaksanaan tugas pokok yang diembankan negara. Dengan demikian pembinaan hukum di lingkungan TNI bermakna sebagai optimalisasi peran dan tugas TNI serta memberi jaminan bahwa peran dan tugas tersebut akan berjalan dengan cara yang teratur, memberikan kemanfaatan serta dapat meramalkan segala konsekuensi hukum dari keputusan dan langkah-langkah yang diambil.20 Prajurit TNI yang memiliki status militer memiliki pranata hukum tersendiri yang berlaku terbatas untuk dan dikalangan militer serta orang yang dipersamakan, begitu pun dengan sistem peradilan serta lembaga peradilan yang terpisah dari peradilan sipil. Hukum militer dari suatu Negara merupakan sub-sistem hukum dari hukum negara tersebut. Karena militer itu adalah bagian dari masyarakat, dengan ini maka militer berdiri diatas dua unsur, sebagai aparat dan hidup dalam masyarakat dengan budaya hukumnya. Salah satu komitmen Reformasi TNI selain penghapusan dwi fungsi ABRI adalah perubahan posisi Peradilan Militer yang tidak lagi di bawah Mabes TNI tetapi di bawah Mahkamah Agung Republik Indonesia. Secara konstitusional, keputusan ini telah diperkuat dalam tentang Kekuasaan Kehakiman dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2004, selain itu proses peradilan militer mengacu kepada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer. Dalam pengimplementasiannya tentulah perlu dihindari intervensi garis komando institusi TNI dalam proses peradilan militer utamanya dalam kasus-kasus yang melibatkan masyarakat sipil, supremasi HAM dan demokrasi menjadi sangat penting untuk dipertimbangkan. Janganlah mendikotomikan bahwa militer tidak dapat saling bersinergis dengan sipil, HAM dan demokrasinya, sebagai contoh adalah Amerika yang menjadi contoh ideal negara demokrasi dan HAM sekaligus memiliki angkatan bersenjata terkuat saat ini.
20. Ibid
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
E. STRUKTUR DAN ARAH PEMBINAAN HUKUM MILITER Dalam melaksanakan tugasnya Markas Besar TNI memiliki Badan Pelaksana Pusat, salah satu yang terkait dengan pembinaan dan pembinaan hukum di lingkungan TNI adalah Badan Pembinaan Hukum (BABINKUM) TNI, adapun salah satu tugas utama BABINKUM TNI adalah melakukan pengembangan dan pembinaan hukum militer.21 Secara eksplisit kata-kata terkait pembinaan dan pengembangan hukum militer ini termuat dalam Pasal 64 Undang-Undang TNI yang menyatakan : “Hukum militer dibina dan dikembangkan oleh pemerintah untuk kepentingan penyelenggaraan pertahanan negara”. Kata-kata “Pemerintah” dalam pasal 64 UU TNI mengacu kepada jajaran eksekutif, seperti tercantum dalam penjelasan pasal 64 bahwa hukum militer perlu dibina dan dikembangkan oleh departemen yang melaksanakan fungsi pemerintahan di bidang pertahanan negara. Departemen yang memiliki fungsi tersebut adalah Departemen Pertahanan atau sekarang bernama Kementerian Pertahanan. Pada saat ini berlaku dua ragam hukum di Indonesia. Yang pertama adalah hukum yang dilahirkan dari aturan peralihan UUD 1945 pasal II yaitu adanya hukum barat yang bersifat individualistik dan hukum feodal yang patrimonial. Bersamaan dengan itu ada juga hukum yang transisional, hukum adat yang komunal serta hukum adat yang bersifat religius. Ragam yang kedua adalah hukum yang dibuat setelah Indonesia merdeka dan hukum sebagai penerimaan hukum internasional. Dua ragam hukum ini harus dipadukan hingga merupakan suatu sistem hukum nasional dengan nilai-nilai pancasila, dan ditujukan pada satu kepentingan nasional. Dalam penjelasan umum UUD 1945 dinyatakan bahwa:
21. Faisal Salam, Hukum Tata Usaha Peradilan Militer Indonesia, Penerbit Pustaka, Bandung, hlm.125
31
Pembinaan Dan Pengembangan Hukum Militer Dalam Sistem Hukum Nasional Oleh: Noor M. Aziz, S.H.,M.H., M.M.
“Undang-Undang suatu negara adalah sebagian dari hukum dasar negara itu. UUD ialah hukum dasar yang tertulis, sedang disamping UUD itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis”. Dari uraian diatas jelas bahwa dari sisi bentuk maka bangsa Indonesia mengutamakan hukum tertulis dilengkapi dengan hukum tidak tertulis dimana esensi muatannya merupakan ramuan terpadu dari sifat dua ragam hukum yang pernah ada di Indonesia dengan nilai-nilai pancasila dan UUD 1945, inilah sistem hukum khas Indonesia.22 Pengembangan hukum militer dalam setiap jenis dan bidang hukum militer perlu disesuaikan kepada asas dan landasan, karena pembangunan suatu hukum militer nasional akan mencakup aspek, sistem, materi, aparat, sarana dan prasarana serta kegiatan pelayanan, penyuluhan, penegakkan dan penelitian hukum.23 Ini berarti perlu ada suatu kesatuan dan pengelompokan secara tertulis agar menjadi acuan yang jelas, sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh UU TNI mengenai hukum militer yaitu perlu dicapai kesatuan hukum, kepastian hukum dan kodifikasi hukum. F. UU TNI DAN PERTAHANAN NEGARA Salah satu yang melatar belakangi pembentukan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara, karena UU Pertahanan Negara telah mengamanatkan pembentukan peraturan perundang-undangan mengenai TNI. Hal ini sangat logis dan sejalan karena dalam penyelenggaraan pertahanan negara, sistem pertahanan negara menempatkan Tentara Nasional Indonesia sebagai Komponen utama. Penyelenggaraan pertahanan negara adalah segala kegiatan untuk melaksanakan
22. Tim Peneliti Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemenkumham RI, Pembahasan Perkembangan Hukum Nasional Tentang Hukum Militer dan Bela Negara. BPHN Departemen Kehakiman RI, 1995, hlm. 10-11 23. Ibid, hlm. 50
32
kebijakan pertahanan negara. Presiden sebagai pemegang kuasa tertinggi TNI adalah pemegang kekuasaan usaha penyelenggaraan pertahanan negara. Dalam konteks pertahanan negara, TNI tidak semata diarahkan dan dikerahkan untuk kepentingan operasi militer dan perang, dalam UU Pertahanan Negara disebutkan bahwa tugas dari TNI adalah melaksanakan kebijakan pertahanan negara untuk :24 1. mempertahankan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah; 2. melindungi kehormatan dan keselamatan bangsa; 3. melaksanakan Operasi Militer Selain Perang; dan 4. ikut serta secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional. Oleh karena itu pertahanan negara tak dapat lagi dipandang sekedar urusan perang antara kekuatan militer dan militer namun juga hal-hal lain selain adu senjata. Jika dimasa lalu dwi fungsi ABRI dianggap sebagai intervensi militer terhadap kehidupan sipil dalam bernegara, maka dimasa kini paradigmanya mulai bergeser, justru sipil non-militer diberi hak dalam penyelenggaraan pertahanan negara. UU Pertahanan negara mengakomodir hal tersebut dalam pasal 2 yang menyebutkan: “Hakikat pertahanan negara adalah segala upaya pertahanan bersifat semesta yang penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara serta keyakinan pada kekuatan sendiri”. Warga negara pun diakui sebagai komponen dalam sistem pertahanan negara yaitu sebagai komponen cadangan dan komponen penunjang.25 Ini sejalan dengan amanat konstitusi kita yang menyatakan bahwa Upaya pertahanan negara harus didasarkan pada kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga
24. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara 25. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Pembinaan Dan Pengembangan Hukum Militer Dalam Sistem Hukum Nasional Oleh: Noor M. Aziz, S.H.,M.H., M.M.
negara serta keyakinan pada kekuatan sendiri sebagaimana tertuang pada Pasal 30 ayat (1) UUD 1945 “tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara” dan ayat (2) “usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan pendukung”. Pertahanan negara melibatkan segenap komponen dan elemen bangsa karena dimasa yang akan datang, “pertempuran” tidak akan berlangsung seperti masa lalu secara konvensional, namun melibatkan seluruh elemen dan potensi bangsa yang disebut oleh peraturan perundang-undangan sebagai pertahanan yang bersifat semesta 26 yang kemudian berkembang menjadi Sishanta (Sistem Pertahanan Semesta). Kemajuan bangsa dan dengan hasil pembangunannya, kesemestaan perang mendatang tidak menitik-beratkan tumpuannya kepada kerakyatan semata, akan tetapi, akan lebih bersandar kepada kesemestaan segenap potensi yang dimiliki bangsa, yaitu totalitas dukungan kemampuan negara di bidang teknologi, industri, sarana dan prasarana, maupun daya tahan rakyat yang turut mendukung angkatan bersenjatanya dalam penyelenggaraan perang. Namun yang jangan dilupakan adalah bahwa dalam penyelenggaraan pertahanan negara, kekuatan intinya adalah tetap angkatan bersenjata atau militer dalam hal ini TNI. Sebagai landasan logis bagi pemahaman tentang Sishanta adalah persepsi yang komprehensif bahwa sistem kehidupan berbangsa-bernegara mencakup berbagai dimensi yang fundamental dan eksistensial seperti ideologi, ekonomi, politik, sosial, budaya serta pertahanan dan keamanan
26. Yang dimaksud dengan bersifat semesta adalah pengikutsertaan seluruh warga negara, pemanfaatan seluruh sumber daya nasional, dan seluruh wilayah negara dalam usaha pertahanan negara. (penjelasan pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara)
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
(Hankam). Oleh karena bersifat saling terkait dan tidak dapat saling meniadakan (mutually exclusive) tetapi justru saling komplementer dan interdependen. Logika atau basis argumentasi Sishanta dapat digambarkan sekilas dengan mengacu pada kebiasaan umum (habitus universal) dalam Rekayasa Sishan. Idealnya, sebuah negara memiliki Sishan di mana kekuatan riil yang dimilikinya lebih unggul daripada kekuatan yang mengancam (ancaman potensial). Jika belum dapat mencapai kekuatan ideal tersebut maka biasanya dibangun aliansi dalam rangka memelihara balance of power. Namun bila hal itu pun tidak dapat dilakukan maka tidak ada pilihan lain selain “Perang Rakyat”. Bagi Indonesia, membangun kekuatan ideal masih jauh dari mungkin karena terhadang kendala anggaran. Untuk beraliansi membangun pakta pertahanan pun tidak mungkin karena prinsip politik luar negeri yang bebas-aktif. Dengan demikian, langkah realistis yang merupakan pilihan logis adalah Sishanta (total defence).27 Memang, isu tentang relevansi Sishanta dengan dinamika perubahan situasi dan kondisi sudah terjadi sejak lama. Disadari bahwa Doktrin memang harus berkembang sejalan dengan perkembangan situasi dan kondisi khususnya perkembangan Ilpengtek, namun dari segi lain Sishanta yang merupakan hakikat dari Doktrin Dasar Hankamnas dan dirumuskan berdasarkan pengalaman, penghayatan para perumusnya yang langsung mengalami sendiri perjuangan TNI dalam merebut, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan bangsa Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 tetap harus dipertahankan.28 Di era globalisasi dimana hakekat ancaman telah berkembang menjadi multidimensi mencakup semua bidang kehidupan bangsa (Ipoleksosbudhankam), baik yang bersifat kasar (ancaman militer) maupun yang halus (ancaman terhadap pemikiran dan persepsi). Oleh sebab
27. http://www.theglobal-review.com/content_detail. php?lang=id&id=284&type=8 28. Ibid
33
Pembinaan Dan Pengembangan Hukum Militer Dalam Sistem Hukum Nasional Oleh: Noor M. Aziz, S.H.,M.H., M.M.
itu maka kekuatan yang dikembangkan untuk menghadapi ancaman tersebut juga harus mempunyai kemampuan yang multi dimensi pula, tidak hanya berupa kemampuan militer (Sistek), tetapi juga juga kemampuan nonmiliter (Sissos) yang melibatkan seluruh potensi bangsa, baik fisik maupun psikis. Sishanta erat kaitannya dengan jatidiri TNI sebagai kekuatan utama. Bahwa pengalaman TNI dengan ke-khas-an jatidirinya dalam merebut, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan secara bersamaan telah melahirkan suatu sistem pertahanan yang sesuai dengan kondisi geografi, demografi dan budaya bangsa Indonesia yang dikenal dengan Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (Sishanta). Dengan demikian maka pada dasarnya antara jatidiri TNI dengan doktrin Sishanta terdapat kaitan timbal balik yang erat, karena doktrin Sishanta disusun dengan memperhatikan jatidiri TNI sebagai komponen utama sistem, dan sebaliknya keberhasilan doktrin Sishanta tergantung kepada kadar komitmen TNI terhadap jatidirinya sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional dan tentara profesional. Pasca pemisahan dengan POLRI, TNI memang memiliki koordinasi vertikal yang berbeda, jika Kapolri langsung bertanggung jawab kepada Presiden maka TNI dinaungi oleh Kementerian Pertahanan. Dalam konteks ini maka sesungguhnya kekuatan sipil lah yang mengarahkan kekuatan militer untuk kepentingan pertahanan suatu negara. Pada Negara-negara berkembang umumnya dimana kekuatan militer mendominasi tataran kehidupan sosial politik kenegaraan akan tidak mudah untuk tunduk pada kekuatan sipil seperti yang berlaku di Negara-negara maju. Negara Indonesia yang sedang berada dalam masa transisi menuju masyarakat madani, sebaiknya perlu berfikir dalam-dalam untuk memberlakukan pasal ini. Kendala utama adalah munculnya beban psikologis dari kalangan militer tentunya, oleh karena itu sebaiknya jalan yang terbaik adalah melakukan proses sosialisasi pada kalangan militer. Hal ini tentu memakan waktu, akan tetapi hasil yang diperoleh akan lebih baik, ketika aparat militer telah siap tunduk
34
pada kekuasaan sipil. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam konteks pertahanan negara maka pemerintahan sipil pun memiliki peran vital, sehingga menjadi sangat strategis bagaimana kepemimpinan sipil mampu menyinergikan kekuatan bersenjata sebagai komponen utama dengan komponen cadangan serta komponen penunjang, banyak hal yang telah dilakukan Pemerintah dalam rangka menyelenggarakan fungsi pertahanan negara, antara lain telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2011 tentang Santunan dan Tunjangan Cacat Prajurit TNI, sebagai perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2007. Di samping itu, saat ini sedang dilaksanakan proses pembahasan di DPR beberapa RUU terkait dengan pertahanan, yaitu: RUU tentang Keamanan Nasional, RUU tentang Komponen Cadangan, dan RUU tentang Revitalisasi Industri Pertahanan dan Keamanan. Saat ini, sudah ada beberapa RUU yang telah diharmonisasikan antar Kementerian, yaitu, RUU tentang Veteran Indonesia, RUU tentang Rahasia Negara, dan RUU tentang Kitab Undang-undang Hukum Disiplin Militer. Selain itu, sesuai amanat UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, terkait jati diri TNI yang tidak berbisnis, maka telah dilaksanakan Pengambilalihan Aktivitas Bisnis TNI. Usaha-usaha pemberdayaan wilayah pertahanan dan pengelolaan perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar dilakukan melalui pelaksanaan kebijakan pengerahan TNI di wilayah perbatasan, pembangunan dan peningkatan kualitas pos TNI di wilayah perbatasan, dan penanaman kesadaran bela negara bagi penduduk di sekitar perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar. G. PENUTUP Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pembinaan dan pengembangan hukum militer dilakukan oleh pemerintah, dan hukum militer dengan kedudukannya sebagai bagian integral dari sistem hukum nasional harus
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Pembinaan Dan Pengembangan Hukum Militer Dalam Sistem Hukum Nasional Oleh: Noor M. Aziz, S.H.,M.H., M.M.
memiliki unsur-unsur: 1. Bersumber pada pancasila dan UUD 1945. 2. Memiliki arah dan fungsi untuk: a. Menjamin kehidupan negara (menjamin penegakkan ketertiban) b. Menegakkan kehidupan yang demokratis c. M e n e g a k k a n k e h i d u p a n y a n g berperikemanusiaan (dengan menjunjung HAM) d. Menjamin kehidupan yang berkeadilan e. Menjamin penyelenggaraan pertahanan negara 3. Pelaksanaan kekuasaan kehakiman, berpuncak pada satu puncak yang sama dalam konstalasi hukum nasional yaitu Mahkamah Agung. Hukum militer ditujukan untuk menjamin serta mendukung seluruh kepentingan dan kebijakan nasional, termasuk mendukung penyelenggaraan upaya pendayagunaan wilayah, potensi dan sumber daya untuk kepentingan pertahanan, serta mengatur keadaan bahaya, keadaan perang, termasuk jika diperlukannya mobilisasi dan demobilisasi. Arah pengembangan serta pembinaan hukum militer dalam konteks penyelenggaraan pertahanan negara memperhatikan keserasian antara penyelenggaraan kesejahteraan, demokrasi, Hak Asasi Manusia, dalam rangka menjamin kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
35
PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM MILITER OLEH PEMERINTAH UNTUK KEPENTINGAN PENYELENGGARAAN PERTAHANAN NEGARA Oleh Dr. M. Fachruddien, S.H., M.H. *)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
R
eformasi nasional Indonesia yang dimulai sejak awal tahun 1998 telah menghasilkan perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan Negara Republik Indonesia. Perubahan sistem tersebut berimplikasi pula terhadap penataan kembali peran dan fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang semula terdiri dari TNI dan Polri. Dalam rangka penataan peran dan fungsi ABRI tersebut Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan POLRI dan Ketetapan MPR Nomor VII/ MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran POLRI, sekaligus menjadi referensi yuridis dalam mengembangkan suatu undang-undang yang mengatur peran dan tugas TNI maupun Polri.
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, merupakan realisasi dari amanat Pasal 11 Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000. dan dalam Pasal 64 Undang-Undang 34 Tahun 2004 disebutkan bahwa ”Hukum militer dibina dan dikembangkan oleh pemerintah untuk kepentingan penyelenggaraan pertahanan negara”. Ketentuan tersebut sampai saat ini belum dilaksanakan sesuai dengan perintah undang-undang. B. Permasalahan Kemudian yang menjadi permasalahan dan yang akan kita bahas dalam makalah ini adalah: 1. Apa yang dimaksud dengan Pembinaan dan pengembangan hukum militer? 2. Siapa institusi/lembaga yang dimaksud dengan pemerintah yang bertanggung jawab untuk Membina dan mengembangkan hukum militer? 3. Materi dan prioritas apa yan harus dibina dan dikembangkan ?
*) Direktur Hukum Strategi Pertahanan Kemhan
36
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Pembinaan Dan Pengembangan Hukum Militer Oleh Pemerintah Untuk Kepentingan Penyelenggaraan Pertahanan Negara Oleh : Dr. M. Fachruddien, S.H., M.H.
BAB II PEMBAHASAN C. Pengertian Sebelum kita membahas mengenai apa yang dimaksud dengan Pembinaan dan pengembangan hukum militer, terlebih dahulu akan kita bahas mengenai beberapa kata menurut arti bahasanya, kemudian kita simpulkan arti dan maksud kalimat tersebut. Pembinaan dari segi bahasa berarti proses, cara, perbuatan membina (negara dsb); pembaharuan; penyempurnaan; usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara efisien dan efektif untuk memperoleh hasil yg lebih baik. Pengertian Pengembangan berasal dari kata dasar kembang yang berarti menjadi bertambah sempurna. Kemudian mendapat imbuan pe- dan -an sehingga menjadi pengembangan yang artinya proses, cara atau perbuatan mengembangkan. Jadi pengertian pengembangan adalah usaha sadar yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan agar lebih sempurna dari pada sebelumnya. Pengertian Hukum Militer yang dalam istilah Belanda disebut Millitaire Recht, menurut tim Peneliti Badan Pembinaan Hukum TNI bekerjasama dengan BPHN, Pengertian Hukum Militer adalah landasan-landasan hukum khusus, tertulis maupun tidak tertulis yang berlaku dilingkungan angkatan bersenjata dan lingkungan yang Iebih luas dalam keadaan tertentu terutama dalam keadaan darurat atau perang. SR. Sianturi, SH juga merumuskan tentang Hukum Militer, dimana menurutnya Hukum Militer adalah sebagai rangkaian dari ketentuan-ketentuan, dimana rangkaian dari ketentuan-ketentuan tersebut menyatakan tentang penunjukan dan kedudukan dari orang-orang yang ditugaskan untuk perang, tingkah laku dari militer, dan hal-hal yang menjadi kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan tugasnya. Sedangkan ASS. Tambunan memberikan pengertian umum Hukum Militer, menurutnya Hukum Militer merupakan bagian khusus dari berbagai bidang
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
hukum Perdata, Pidana, Tata Negara dan Tata Usaha Negara, dan Hukum lnternasional yang objeknya kehidupan militer khusus karena hanya berlaku bagi militer dan angkatan perang, sedangkan fungsi Hukum Militer adalah agar militer dan TNI dapat melakukan tugas dan kewajibannya sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan. Sehingga SR. Sianturi dan ASS Tambunan menyimpulkan bahwa cakupan Hukum Militer meliputi : 1. Hukum Disiplin Militer 2. Hukum Pidana Militer (termasuk Hukum Acara Pidana Militer) 3. Hukum Tata Negara (Darurat Militer) 4. Hukum Administrasi (Hukum Tata Usaha Militer) 5. Hukum Perang (Sengketa Bersenjata) Hukum Humaniter. 6. Hukum Perdata Militer. (tidak dikembangkan) Dan dalam penjelasan Pasal 64 UndangUndang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, disebutkan bahwa hukum militer adalah semua perundang-undangan nasional yang subyek hukumnya adalah anggota militer atau orang yang dipersamakan sebagai militer berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. D e n g a n d e mi ki a n ya ng d i ma ksu d dengan pembinaan dan pengembangan hukum militer adalah proses, cara atau usaha dan kegiatan membina dan mengembangkan untuk pembaharuan; penyempurnaan Hukum militer (Hukum disiplin militer, hukum pidana militer, Hukum administrasi militer, hukum tata negara (darurat) militer dan hukum perang).; yang dilakukan secara efisien dan efektif untuk memperoleh hasil yg lebih baik. D. Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Hukum Militer Menurut ketentuan Pasal 64 UU RI Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, menyatakan bahwa ”Hukum Militer dibina dan dikembangkan oleh pemerintah untuk kepentingan penyelenggaraan p e rt a h a n a n n e g a ra ”. K e mu d ia n d a l a m Penjelasan pasal 64 tersebut dinyatakan bahwa “hukum militer sebagaimana dimaksud di atas
37
Pembinaan Dan Pengembangan Hukum Militer Oleh Pemerintah Untuk Kepentingan Penyelenggaraan Pertahanan Negara Oleh : Dr. M. Fachruddien, S.H., M.H.
perlu dicapai kesatuan hukum, kepastian hukum dan kodifikasi hukum oleh sebab itu hukum militer tersebut perlu dibina dan dikembangkan oleh departemen yang melaksanakan fungsi pemerintahan dibidang pertahanan negara”, Dan menurut UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, dan UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, mengenai departemen/kementerian yang melaksanakan fungsi pemerintahan di bidang pertahanan adalah Kementerian Pertahanan. Dengan demikian institusi lembaga yang mempunyai tugas untuk melakukan pembinaan dan pengembangan adalah Kementerian Pertahanan. Namun dalam kenyataannya sekarang ini, jika kita lihat dalam Permenhan Nomor 16 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertahanan, ternyata tidak ada satupun satuan kerja yang mempunyai tugas dan fungsi untuk melakukan pembinaan dan pengembangan hukum militer, karena di dalam struktur Organisasi Kementerian Pertahanan tersebut ada dua satuan kerja di bidang hukum, yaitu Biro Hukum Setjen Kemhan dan Direktorat Hukum Strategi Pertahanan juga tidak mempunyai tugas dan fungsi dalam pembinaan dan pengembangan hukum militer. Biro Hukum Setjen Kemhan (Rokum), mempunyai tugas melaksanakan pemberian bantuan hukum, nasehat hukum dan penyuluhan hukum serta pelayanan hukum di lingkungan Kementerian. Sedangkan Direktorat Hukum Strategi Pertahanan (Ditkum Strahan) bertugas untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan serta standarisasi teknis, pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perundangundangan pertahanan negara, kajian pertahanan, hukum internasional, dan informasi hukum. Hal tersebut diatas bisa terjadi karena berdasarkan sejarah bahwa Badan Pembinaan Hukum ABRI (Babinkum ABRI) yang dulunya merupakan Badan Pembina hukum yang berada dibawah Kemhan, namun sejak tahun 1984 dengan perubahan organisasi ABRI kedudukannya berubah menjadi di bawah Mabes ABRI. Memang dulunya Babinkum ABRI berdasarkan Keputusan Menhankam/ Pangab Nomor Kep/44/XII/ 1975, kedudukan
38
Babinkum ABRI adalah suatu Badan Pelaksana Pusat (Balakpus) pada tingkat Departemen yang berkedudukan langsung di bawah Menhankam/Pangab, yang mempunyai tugas pokok membantu Menhankam/Pangab untuk merumuskan dan menyiapkan kebijaksanaan umum/pokok di bidang hukum, khususnya hukum di bidang perundang-undangan, kemahkamahan militer, keodituran militer, kepenjaraan (pemasyarakatan) militer dan bantuan/nasehat hukum. Kemudian dalam melaksanakan tugas pokoknya salah satu fungsi utama adalah melakukan pembinaan hukum militer. Namun kedudukan Babinkum ABRI/TNI berubah sejak dikeluarkannya Keputusan Pangab Nomor Kep/01/P/1984 tanggal 20 Januari 1984 tentang Organisasi dan Prosedur Badan Pembina Hukum ABRI, dimana kedudukan Babinkum ABRI berubah dari Balakpus Departemen Hankam menjadi Balakpus tingkat Mabes TNI yang berkedudukan langsung di bawah Panglima ABRI (TNI) dengan tugas membantu Panglima TNI dalam menyelenggarakan pembinaan hukum dan HAM di lingkungan TNI, pembinaan penyelenggaraan Oditurat, dan Pemasyarakatan Militer dalam lingkungan Peradilan Militer. Tugas Babinkum TNI sebagai Balakpus Mabes TNI diperkuat dengan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi TNI, Pasal 33 ayat 1 menyatakan bahwa Babinkum TNI bertugas membantu Panglima TNI dalam menyelenggarakan pembinaan hukum dan hak asasi manusia di lingkungan TNI, pembinaan penyelenggaraan oditurat, dan pemasyarakatan militer dalam lingkungan peradilan militer. Babinkum TNI juga menyelenggarakan koordinasi dengan Direktorat Hukum/Dinas Hukum Angkatan dalam pembinaan hukum sesuai dengan tugas masing-masing matra. Secara garis besar tugas pembinaan hukum yang dilakukan oleh masing-masing direktorat/ dinas hukum angkatan dapat dilihat di Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2010. Pada Pasal 81 dinyatakan bahwa Direktorat Hukum TNI Angkatan Darat disingkat Ditkumad bertugas menyelenggarakan pembinaan personel dan
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Pembinaan Dan Pengembangan Hukum Militer Oleh Pemerintah Untuk Kepentingan Penyelenggaraan Pertahanan Negara Oleh : Dr. M. Fachruddien, S.H., M.H.
menyelenggarakan fungsi hukum dalam rangka mendukung tugas TNI Angkatan Darat. Pasal 111 ayat (1), Dinas Pembinaan Hukum TNI Angkatan Laut disingkat Diskumal bertugas menyelenggarakan pembinaan hukum di lingkungan TNI Angkatan Laut yang meliputi pembinaan hukum laut dan humaniter, bantuan hukum, pembinaan kesadaran dan penegakan hukum serta perundang-undangan dalam rangka mendukung tugas TNI Angkatan Laut. Sedangkan dalam Pasal 154 ayat (1), Dinas Hukum TNI Angkatan Udara disingkat Diskumau, bertugas menyelenggarakan pembinaan hukum di lingkungan TNI Angkatan Udara, yang meliputi pembinaan hukum udara dan ruang angkasa (antariksa), humaniter, serta hak asasi manusia, bantuan hukum, pembinaan kesadaran dan penegakan hukum serta perundang-undangan dalam rangka mendukung tugas TNI Angkatan Udara. E. Materi dan Prioritas Pembinaan dan Pengembangan Hukum Militer Seperti apa yang telah diuraikan diatas bahwa cakupan hukum militer itu terdiri dari Hukum Disiplin Militer, Hukum Pidana Militer, Hukum Administrasi Militer, Hukum Tata Negara (darurat) Militer, Hukum Humaniter, maka sebaiknya materi dan prioritas pembinaan dan pengembangan diarahkan terhadap keseluruhan cakupan materi hukum militer tersebut, karena materi tersebut sangat perlu bagi militer (TNI) dalam rangka untuk kepentingan penyelenggaraan pertahanan negara. Materi hukum militer yang perlu dan yang saat ini telah ada perlu dilakukan pembinaan dan pengembangan adalah: 1. Hukum Disiplin Militer: Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1997 tentang Disiplin Prajurit ABRI 2. Hukum Pidana Militer: Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947 tentang KUHPM, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1947 tentang Kepenjaraan Tentara. 3. Hukum Tata Negara (darurat) Militer:
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Undang-Undang Nomor 23 Prp 1959 tentang Keadaan Bahaya, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1997 tentang Mobilisasi dan Demobilisasi. 4. Hukum Administrasi Negara: Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2010 tentang Administrasi Prajurit TNI, Bab V Tentang Hukum Acara Tata Usaha Militer, UndangUndang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. 5. Hukum Humaniter : Undang-Undang Nomor 59 Tahun 1958 tentang Ikut sertanya Negara RI dalam keempat Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949. dll. Namun tidak kalah pentingnya pembinaan dan pengembangan sebagai prioritas yang perlu dilakukan adalah pembenahan organisasi Kementerian Pertahanan dimana perlu adanya suatu badan pembinaan hukum, yang bertugas melakukan pembinaan dan pengembangan hukum militer seperti apa yang diamanatkan oleh UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. BAB III PENUTUP F. Kesimpulan Pembinaan dan pengembangan hukum militer adalah proses, cara atau usaha dan kegiatan membina dan mengembangkan untuk pembaharuan; penyempurnaan Hukum militer (Hukum disiplin militer, hukum pidana militer, Hukum administrasi militer, hukum tata negara (darurat) militer dan hukum perang/hukum humaniter) yang dilakukan secara efisien dan efektif untuk memperoleh hasil yg lebih baik. Instansi/lembaga yang dimaksud dengan pemerintah yang bertanggung jawab untuk Membina dan mengembangkan hukum militer menurut Penjelasan pasal 64 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dinyatakan bahwa ”hukum militer sebagaimana dimaksud di atas perlu dicapai kesatuan hukum, kepastian hukum dan kodifikasi hukum oleh sebab itu hukum militer tersebut perlu dibina dan dikembangkan oleh departemen yang melaksanakan fungsi
39
Pembinaan Dan Pengembangan Hukum Militer Oleh Pemerintah Untuk Kepentingan Penyelenggaraan Pertahanan Negara Oleh : Dr. M. Fachruddien, S.H., M.H.
pemerintahan di bidang pertahanan negara”. Dan menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, dan UU No. 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara, mengenai departemen/kementerian yang melaksanakan fungsi pemerintahan di bidang pertahanan adalah Kementerian Pertahanan. Materi dan prioritas pembinaan dan pengembangan diarahkan terhadap keseluruhan cakupan materi hukum militer, karena materi tersebut sangat perlu bagi militer (TNI) dalam rangka untuk kepentingan penyelenggaraan pertahanan negara. Namun tidak kalah pentingnya sebagai prioritas yang perlu dilakukan adalah pembenahan organisasi Kementerian Pertahanan dimana perlu adanya suatu badan Pembinaan hukum, yang bertugas melakukan pembinaan dan pengembangan hukum militer seperti apa yang diamanatkan oleh UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNl. G. Rekomendasi Pembinaan hukum militer sebaiknya dievaluasi untuk dikembalikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, yang dalam hal ini dilakukan oleh Kementerian Pertahanan sebagai lembaga yang berwenang dalam merumuskan kebijakan umum sistem pertahanan negara termasuk di dalamnya kebijakan pembinaan dan pengembangan hukum militer dalam rangka penyelenggaraan pertahanan negara sudah seharusnya Kementerian Pertahanan melaksanakan pembinaan hukum militer di segala aspek, termasuk pembinaan kelembagaannya, sehingga pembinaan yang dilakukan dapat terintegrasi agar tercapai kesatuan hukum, kepastian hukum, dan kodifikasi hukum dalam mendukung penyelenggaraan pertahanan negara.
40
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
BAGAIMANA MEMBINA DAN MENGEMBANGKAN HUKUM MILITER INDONESIA Oleh : Letkol Chk (K) Dr. Susiani. S.H., M.H.1
A. Pendahuluan
B
erdasarkan sejarahnya bangsa Indonesia mencatat bahwa dalam merebut kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 Tentara Rakyat sebagai cikal bakal TNI bersamasama dengan rakyat berjuang bahu membahu saling tolong menolong sehingga timbul semboyan TNI berasal dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. TNI tumbuh dan berkembang dengan sendirinya karena perjuangan bukan dibentuk oleh pemerintah. Dapat dipastikan dari Angkatan Bersenjata di dunia ini, hanya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang Angkatan Bersenjatanya memiliki hubungan yang tidak terpisahkan dengan rakyatnya. Hubungan yang demikian timbul karena adanya penjajahan Belanda selama 3 1/2 Abad dan Jepang selama 3 tahun. Tumbuhnya TNI yang berasal dari perjuangan bersama
rakyat berdampak pada tidak ada satupun peraturan atau hukum yang mengatur tentang TNI (hukum militer) dibuat oleh Pemerintah pasca kemerdekaan, sehingga peraturan yang berlaku masih mengacu pada warisan produk hukum Belanda, hingga kini. Meskipun pembaharuan hukum nasional te!ah dilakukan, dengan mengganti produk hukum kolonial dengan hukum nasional (misalnya: Hukum Disiplin Prajurit), namun secara substansi hukum militer sampai dengan saat ini belum tersentuh. Selain itu meskipun telah diamanatkan oleh UU No : 20 tahun 1982 tentang Pertahanan Negara dan dilanjutkan dalam UU No : 34 Tahun 2004 tentang TNI, bahwa Hukum Militer dibina dan dikembangkan oleh pemerintah untuk kepentingan penyelenggaraan pertahanan Negara, namun permasalahannya adalah bagaimana membina dan mengembangkan hukum militer Indonesia, dalam rangka mendukung penyelenggaraan pertahanan negara.
1. Dosen Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM) Ditkumad
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
41
Bagaimana Membina Dan Mengembangkan Hukum Militer Indonesia Oleh : Letkol Chk (K) Dr. Susiani. S.H., M.H.
B. Konsep Hukum Militer Menurut Sistem Hukum yang Dianut Negara-negara di Dunia Pada dasarnya terdapat beberapa sistem hukum yang dianut oleh negara-negara di dunia, namun secara garis besar dibagi dalam sistem hukum Anglo Saxon dan sistem Eropa Kontinental. Berkaitan dengan konsep hukum militer, terdapat perbedaan konsep hukum militer antara negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon dengan negaranegara yang menganut sistem Eropa Kontinental sebagai berikut : 1. Konsep Hukum Militer Menurut Negaranegara yang Menganut Sistem Anglo Saxon Di Negara Inggris dan negara-negara yang menganut sistem hukum Anglon Saxon, pada dasarnya tidak mengenal hukum militer seperti di negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental yang pada umumnya mempunyai cakupan yang cukup luas dan memberikan kewenangan yang cukup luas kepada penguasa militer. Hal ini adalah sebagai kelanjutan dari sistem hukum mereka yang disebut Common Law. Berdasarkan hukum tersebut semua orang sama kedudukannya dimuka hukum. Bahkan sistem hubunganhubungan hukum yang khusus berlaku dalam keadaan daruratpun (martial law) tidak diartikan sebagai pembekuan dari hukum umum dan pemberian hak dari pemerintahan darurat militer. Misalnya ; “Martial law in the proper sense of that term in which it means the suspension of ordinary law and the tempory government of a country of parts of it by military tribunals is unknown to the law of England“2 (Berarti : hukum militer atau hukum darurat dalam pengertian yang sepatutnya berarti pembatalan hukum yang
2. M.O. Edward and Charles L.Decker “ 77le Senicemen and 77le Law “ 6th Revised, (Harrisburg, Pennsylvania: The Military Service Publishing Company : 1951) hlm. 54
42
biasanya berlaku dan pemerintahan sementara dari suatu negara atau sebagian dari padanya oleh peradilan militer, adalah tidak dikenal di Inggris). Mereka menyatakan bahwa berdasarkan Common Law adalah kewajiban setiap warga negara untuk mempertahankan negaranya dari setiap serbuan atau gangguan keamanan. Oleh karena itu dengan pernyataan berlakunya “Martial Law“ tidak berarti memberi kewenangan yang khusus bagi kaum militer untuk menjalankan kekuasaan pemerintahan. Martial Law is sometimes employed as a name for the Common Law right of the Crown and its servants to repel force by force in the case of invation, insurrection, riot or generally of any violent resistance to the law 3 (Berarti : Martial Law sering disebutkan sebagai hak raja (Crown) berdasarkan Common Law untuk menggunakan kekerasan melawan kekerasan dalam hal terjadi invasi dsb). Namun demikian tidak berarti di Inggris tidak dikenal badan-badan Peradilan Militer. Pengadilan Militer di Inggris mengadili tindak pidana militer dan kejahatan perang. Hukum militer Inggris dikodifikasikan dalam UU Disiplin dan Regulasi tahun 1789 (The Army Discipline and Regulation Act 1879) kemudian diubah menjadi The Army Act 1955, The Air Force Act 1955 dan The Naval Discipline Act 1957.4 Sejak tahun 1971 selalu dapat diperbarui setiap tahun atau lima tahun sekali (Since 1971 The Naval Discipline Act has been renewable annually and quinquenlally like The Air force Acts).5 Hal ini memperlihatkan adanya pendekatan kepada sistem yang dianut oleh Eropa Kontinental. Di Amerika Serikat dan Pilipina yang dalam banyak hal meniru sistem hukum Amerika Serikat terdapat perbedaan dengan sistem hukum di Inggris, kendati pada mulanya banyak berorientasi pada sistem hukum Inggris. Namun dalam perkembangannya bahwa hukum yang berlaku di Amerika Serikat lebih
3. Ibid. 283 4. Ibid. 293 5. S.A Smith, Foundation of Law, Constitutional and Administrative Law; 2nd Edition, (Middlesex England : Penguin Education, 1973), hlm 200.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Bagaimana Membina Dan Mengembangkan Hukum Militer Indonesia Oleh : Letkol Chk (K) Dr. Susiani. S.H., M.H.
demokratis, karena pemerintahan di Amerika Serikat pada umumnya dilakukan oleh orangorang sipil (In The United States, government have almost always been civil government ... The cause must be sought in the fact that the north American Republic is essentially an inheritance of the English monarch)6 Berarti: Di Amerika Serikat pemerintahannya selalu berupa pemerintahan sipil, karena fakta bahwa republik di Amerika Utara (Amerika Serikat dan Kanada) pada dasarnya adalah warisan dari Kerajaan Inggris. Apabila sumber Yurisdiksi di Inggris adalah “Common Law“, maka di Amerika Serikat sumber itu adalah konstitusinya dan hukum internasional. Pengadilan militernya (Court Martial) dibagi dalam tiga kelas yaitu yang umum, yang khusus dan yang ringan (general special and summary court-martial).7 Yurisdiksi-yurisdiksi dari Court Martial adalah yang berstatus militer (Uniform Code of Military Justice) yang seluruhnya di bidang hukum pidana dan hukum disiplin. Mereka tidak mempunyai kewenangan di bidang hukum perdata seperti menetapkan ganti rugi pembayaran dsb. 2. Hukum Militer menurut Negara-negara Eropa Kontinental Salah satu sistem hukum di Eropa Kontinental yang banyak pengaruhnya adalah sistem hukum yang terdapat di Perancis, selain dari pada yang terdapat di Jerman dan Rusia. Berdasarkan uraian di atas, cakupan hukum militer mereka lebih luas dibandingkan dengan negara Inggris. Selain dari pada perkara pidana dan disiplin, juga mencakup hukum administrasi (tentang organisasi umum dari militer, prinsip-prinsip pengurangan militer wajib
6. John Johnson, et.aI “77le role of the Military in Under developed Countries, 2nd Edition, (New Jerse : Princeton University Press 1962) hlm. 66. 7. Gerald R. Ford, Manual for Court — Martial of 77le United States, (Washington : US Government Printing Office, 1969), revised edition, Executive Order, 11835, The White House 1975.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
dsb.), hukum tata negara (pengorganisasian bangsa dalam keadaan perang) dan hukum sengketa bersenjata (mematuhi perjanjian internasional, pengawalan perbatasan dsb). Secara khusus di bidang hukum pidana apabila Court Martial Amerika Serikat pada dasarnya hanya memeriksa dan mengadili tindak pidana tertentu seperti pada Appendik (Lampiran) 2 Uniform Code of Military Justice (UCMJ). Maka berbeda bagi hukum militer Perancis seperti pendapat A.V Dicey, The Fundamental principle of French law is, as it apparently always has been, that every kind of Crime or offence Commited by a soldier or person subject to military law must be tried by a military tribunal [Berarti : merupakan prinsip yang mendasar bagi hukum militer Perancis, bahwa tindak pidana apapun (umum atau militer) yang dilakukan seorang militer atau justisiabel badan Peradilan Militer maka diadili di Badan Peradilan Militer]. Sejalan dengan pendapat tersebut di atas dan sebelum diuraikan konsep hukum militer Indonesia, terlebih dahulu diuraikan pengertian hukum militer beberapa negara menurut beberapa sumber seperti yang dikutip oleh ASS Tambunan sebagai berikut: a. Menurut Negara Belanda : Militair recht : het bizondere straf en tuchtrecht voor de militairen geldende8 Berarti: Hukum militer merupakan target khusus untuk kekuatan militer dan disiplin. b. Menurut Negara Inggris : 1) English Military Law embraces both a penal code for the maintenance of discipline of the army and also administrative laws which provides for the maintenance of the army 9 (Hukum Militer Inggris mencakup baik hukum pidana untuk pemeliharaan disiplin AD maupun Hukum Administrasi yang menyediakan pemeliharaan AD juga).
8. S . J F o c k e m e r A n d r e a c , R e c h t g e l e e r d Handwoordenboek, hlm. 185 9. Encyclopedia Britanica, tahun 1951 Vol. X hlm 116.
43
Bagaimana Membina Dan Mengembangkan Hukum Militer Indonesia Oleh : Letkol Chk (K) Dr. Susiani. S.H., M.H.
2) Military law is the code rules laid down in the army act which regulated the army and the air force.10 (Hukum Militer adalah peraturan-peraturan yang berlaku untuk mengatur tentara AD & Angkatan Bersenjata). c. Menurut Negara Amerika Serikat : 1) Military law may mean all the law that deals with national armed forces, including laws and usages governing methods of conducting warfare, of administering occupied enemy territory and of maintaning discipline among prisoners of war. It is sometimes used to include also those laws that authorizy military interference with the normal nights of a civillians such as law enabling compulsory billeting of soldiers.11 (Hukum Militer berarti semua hukum yang berhubungan dengan Angkatan Bersenjata (AB) Nasional termasuk hukum yang mengatur metode untuk melakukan perang, administrasi wilayah yang diduduki musuh dan mempertahankan/menegakkan disiplin diantara tawanan perang. Kadangkadang termasuk hukum yang digunakan untuk mengesahkan campur tangan militer dengan hak-hak sipil seperti hukum yang memungkinkan wajib militer) 2) Military Law (Hukum Militer): - Those laws relating to the government of the armed force. (Hukum yang berkaitan dengan pembangunan Angkatan Bersenjata) - That body or system of rules for the conduct of military personnel. (Sistem atau aturan untuk melakukan pembangunan terhadap personil militer) - In a limited sense, the Uniform Code of Military Justice12
(Dalam arti terbatas adalah UCMJ/ KUHPM Amerika Serikat) d. Menurut Negara Perancis: French Military Law Comprises the Law on: hukum militer Perancis meliputi : - the organization of the nation in time of war (Organisasi bangsa-bangsa di masa perang) - the general organization of the Army (Organisasi umum AD) - the constitution of cadres and effectives on recruiting for the Army (Peraturan yang mengatur perekruitan kader-kader AD). - the principles of reductions of compulsory services to on a year (Prinsip-prinsip tentang wajib militer) - the respect of international (Rasa hormat pada perjanjian internasional) - t h e p ro t e c t io n o f f ro n t ie rs et c . 1 3 (Perlindungan terhadap perbuatan).
10. Oxford Yunior Encyclopedia, tahun 1957 Vol. X. hlm. 116. 11. Chambers Encyclopedia New Edition, tahun 1959, Vol IX. Hlm 405
12. Richard C. Dahl and John F. Whelen, The Military Law Dictionary, (New York : Ocean Publications Inc. : 1960), him 102. 13. Encyclopedia Britanica, Op. Cit
44
e. Menurut Negara Jerman: Negara Jerman mempergunakan istilah Wehrecht merupakan himpunan hukum militer Jerman yang meliputi : - Wehverfassung (UU pertahanan), - Rechtstellung, Plichten und Rechts (kedudukan hukum, kewajiban-kewajiban dan hak-hak militer), - Disiplinerstrafrecht (hukum pidana disiplin) - Strafrecht (hukum pidana) - Lei’stungsrecht (hukum perawatan / administrasi) - Verkehsrecht (hukum lalu lintas) - Seerecht (hukum laut) - Burgerliches recht (hukum perdata) - Kriegvoikerrecht (hukum perang) Dari uraian di atas terlihat bahwa ruang lingkup hukum militer di masing-masing negara berbeda-beda. Di Negara Belanda hukum militer
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Bagaimana Membina Dan Mengembangkan Hukum Militer Indonesia Oleh : Letkol Chk (K) Dr. Susiani. S.H., M.H.
hanya meliputi hukum pidana militer dan hukum disiplin militer dan berlaku bagi seluruh Angkatan Bersenjata. Di Inggris hukum militer hanya berlaku bagi AD saja kemudian berkembang dan berlaku bagi Angkatan Bersenjata.
Pada dasarnya konsep hukum militer masing-masing negara memiliki kekhususan sendiri yang didasarkan pada sejarah Angkatan Perangnya. Demikian juga tentang istilah hukum militer, baik arti maupun ruang lingkupnya juga berbeda-beda. Meskipun demikian yang pasti adalah bahwa hukum militer diberlakukan bagi militer, dan militer sendiri berarti orang yang dipersiapkan untuk bertempur yang dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI berarti prajurit. Konkritnya hukum militer berlaku bagi prajurit yang dipersiapkan untuk bertempur/berperang. Apabila dicermati sejarah perang, dalam perang juga berlaku hukum bahkan perang itu sendiri juga dikendalikan oleh hukum. Dalam keadaan yang demikian hukum militer berarti peraturan-peraturan yang mengatur tentang; 1) penunjukan dan kedudukan dari orang-orang yang ditugaskan untuk perang, 2) tingkah laku militer (prajurit), 3) hal-hal yang menjadi kewenangan, hak dan kewajiban militer untuk dapat melaksanakan tugasnya. Apabila pemberian arti kepada hukum dikaitkan dengan dasar, falsafah dan cita-cita dari suatu bangsa dan negara, maka pengertian hukum militer harus dapat senantiasa dikembalikan kepada kaitannya tersebut.14 Tidak mudah untuk merumuskan apa yang dimaksud dengan Hukum Militer Indonesia karena berdasarkan sejarahnya hukum yang berlaku bagi militer Indonesia adalah hukum militer yang diwarisi dari Belanda. Sehingga hukum militer yang berlaku adalah hukum militer di Indonesia (bukan hukum militer Indonesia). Dalam rangka pembinaan hukum
militer Indonesia, Babinkum TNI dan BPHN pernah membentuk Tim untuk meneliti tentang hukum militer Indonesia. Pada dasarnya Tim ini dibentuk atas kerja sama antara Badan Pembinaan Hukum TNI (dulu Babinkum ABRI) dan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Kehakiman Nomor: J.H./3266/ XII/78 tgl 2 Desember 1978 di Jakarta yang ditangani selama tiga tahun anggaran. Dalam kerangka konsesionalnya bahwa yang dimaksud dengan hukum militer adalah kaidah-kaidah hukum khusus tertulis maupun tidak tertulis yang pada pokoknya berlaku di lingkungan Angkatan Bersenjata dan lingkungan yang luas dalam keadaan tertentu, terutama dalam keadaan darurat perang.15 Setelah pada tahun pertama penelitiannya Tim Peneliti Perkembangan Hukum Militer di Indonesia membuat kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan Hukum Militer di Indonesia pada dasarnya adalah : - merupakan suatu hukum khusus dan dalam hal tertentu mandiri; - mengatur hal-hal yang berkaitan dengan militer, tugas militer, yang keseluruhannya harus dapat dikembalikan kepada pertahanan keamanan nasional; - berlaku bagi militer, dan dalam hal atau keadaan tertentu juga bagi non militer tertentu; - berlaku di daerah tertentu dan dalam hal tertentu pula sesuai dengan ketentuan hukum Internasional di lingkungan yang lebih luas; - berasaskan hukum nasional di satu pihak dan hukum internasional (khususnya hukum sengketa bersenjata) di lain pihak meliputi bidang-bidang hukum disiplin, hukum pidana, hukum tata negara, hukum tata usaha dan hukum sengketa bersenjata. - Berkembang ke arah hukum militer Indonesia.16 Pada dasarnya pengertian hukum militer
14. SR Sianturi, “Pengenalan dan Pengembangan Hukum Militer Indonesia”( Jakarta: Alumm Ahaem-Petehaem: 1985) hlm. 11
15. Tim Peneliti Perkembangan Hukum Militer di Indonesia, Laporan Tahun pertama, tahun 1982 16. Ibid.
3. Hukum Militer Indonesia
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
45
Bagaimana Membina Dan Mengembangkan Hukum Militer Indonesia Oleh : Letkol Chk (K) Dr. Susiani. S.H., M.H.
dan cakupannya di masing-masing negara tidak sama. Namun yang pasti hukum militer semakin berkembang baik mengenai permasalahannya, subyeknya, waktu dan tempat berlakunya seiring dengan perkembangan hukum nasional dan hukum internasional masing-masing negara. Dalam hal ini pengaruh perkembangannya tidak terkecuali juga mempengaruhi NKRI. Sehubungan dengan perkembangan tersebut dapat diartikan bahwa Hukum Militer Indonesia harus mendasari: a. Pancasila, UUD 1945, UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, dasar atau prinsip organisasi kemiliteran, b. Sejarah pertumbuhan hukum militer Indonesia itu sendiri yang menyatukan jiwa kejuangan dan keprajuritan bagi setiap militer Indonesia karena kebutuhan seluruh rakyat Indonesia. c. Asas-asas hukum internasional sepanjang tidak bertentangan dengan negara dan bangsa. d. Costum and Usage atau kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dan diakui mempunyai kekuatan yang mengikat. e. Putusan Hakim, doktrin militer yang berlaku di lingkungan militer. C. Bagaimana membina dan mengembangkan hukum militer Indonesia Mencermati uraian di atas, bahwa sampai dengan saat ini hukum militer yang berlaku di Indonesia masih hukum militer di Indonesia, karena hukum militer yang ada masih merupakan warisan dari Belanda. Meskipun demikian perlu adanya pembinaan dan pengembangan, sehingga akan terwujud adanya Hukum Militer Indonesia, yang pembinaan dan pengembangannya harus memperhatikan halhal sebagai berikut : 1. Lembaga yang berkewajiban membina dan mengembangkan Hukum Militer Beberapa waktu yang lalu lembaga Babinkum TNI bekerja sama dengan lembaga BPHN pernah membentuk Tim untuk mengkaji
46
dan meneliti masalah hukum militer. Meskipun sudah pernah diadakan kajian ataupun penelitian, namun belum merubah hukum militer sebagai warisan dari Belanda. Berkaitan dengan lembaga yang berkewajiban membina dan mengembangkan hukum militer, meskipun Babinkum TNI dan BPHN pernah bekerja sama dalam rangka mengkaji dan meneliti hukum militer, tidak berarti kedua lembaga tersebut sebagai pembina hukum militer. Hal ini dikarenakan Babinkum TNI sebagai Badan Pelaksana Mabes TNI kapasitasnya sebagai pengguna militer/prajurit TNI, kurang tepat apabila juga sebagai pembina militer/ prajurit termasuk hukum militernya. Kemudian BPHN yang juga berarti Badan Pembinaan Hukum Nasional, sebenarnya merupakan lembaga yang membina hukum nasional termasuk hukum militer. Namun kendalanya tidak banyak atau bahkan tidak adanya sumber daya manusia yang memahami masalah hukum militer. Dengan demikian lembaga yang berkewajiban membina dan mengembangkan hukum militer yang tepat adalah Kementerian Pertahanan, dengan bekerja sama dengan BPHN atau lembaga yang lain untuk membina hukum militer Indonesia. 2. Cara melaksanakan pembinaan dan pengembangan hukum militer Terdapat berbagai cara dalam melakukan pembinaan dan pengembangan hukum militer. Membina hukum militer berarti membangun hukum militer sendiri sebagai, ganti dari hukum militer warisan Belanda, sedangkan mengembangkan berarti membuat hukum militer menjadi besar, meluas, berkembang dengan baik, dalam rangka mendukung penyelenggaraan pertahanan negara. 3. Materi-materi apa yang termasuk dalam hukum militer yang akan dibina Sebelum melaksanakan pembinaan dan pengembangan terhadap hukum militer, terlebih dahulu ditentukan hukum militer Indonesia ini mengacu hukum militer yang mana. Apabila mengacu pada hukum militer Belanda, berarti
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Bagaimana Membina Dan Mengembangkan Hukum Militer Indonesia Oleh : Letkol Chk (K) Dr. Susiani. S.H., M.H.
hukum militer itu hanya hukum pidana militer dan hukum disiplin militer. Demikian juga bila mengacu pada hukum militer Jerman yang berarti luas dan berkembang. Setelah memilih mengacu pada hukum militer Negara mana, baru ditentukan materi-materi apa yang dibina dan dikembangkan terlebih dahulu. Misalnya, mengacu pada hukum militer Jerman dan memprioritaskan untuk membina dan membangun Hukum Administrasi Militer. D. Kesimpulan
Oxford Yunior Encyclopedia, tahun 1957 Vol. X. S.J Fockemer Andreac, Rechtgeleerd Handwoordenboek, Encyclopedia Britanica, tahun 1951 Vol. X. S.A Smith, Foundation of Law, Constitutional and Administrative Law, 2nd Edition, (Middlesex England : Penguin Education, 1973). SR Sianturi, “Pengenalan dan Pengembangan Hukum Militer Indonesia“ (Jakarta : Alumni Ahaem-Petehaem : 1985)
Dari uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa untuk membina dan mengembangkan hukum militer Indonesia terlebih dahulu ditentukan: lembaga yang berkewajiban mengembangkan hukum militer Indonesia adalah Kementerian Pertahanan, hukum militer negara Jerman yang dipakai sebagai acuan karena lebih luas, sedangkan materi yang diprioritaskan untuk dikembangkan adalah Hukum Administrasi Militer. DAFTAR PUSTAKA Chambers Encyclopedia New Edition, tahun 1959, Vol IX. Richard C. Dahl and John F. Whelen, The Military Law Dictionary, (New York : Ocean Publications Inc. : 1960), John Johnson, et.al “The role of the Military in Under developed Countries, 2nd Edition, (New Jersey : Princeton University Press 1962). Gerald R. Ford, Manual for Court - Martial of The United States, (Washington: US Government Printing Office, 1969), revised edition, Executive Order, 11835, The White House 1975. M.O. Edward and Charles L.Decker “The Servicemen and The Law“ 6 th Revised, (Harrisburg, Pennsylvania : The Militaly Service Publishing Company : 1951)
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
47
PEMBINAAN HUKUM MILITER DALAM PERSPEKTIF POLITIK HUKUM Oleh: Letkol Chk Agustinus PH., S.H., M.H.*
A. Pendahuluan
S
ebagai Negara yang mewarisi sistem hukum dari pemerintahan kolonial, termasuk di dalamnya sistem hukum militer maka pembinaan (dan pengembangan) hukum militer harus dimulai dari pemahaman sejarah hukum militer. Para ahli hukum menyadari, bahwa untuk dapat menetapkan arah kebijakan hukum pada masa mendatang perlu dilandasi oleh pemahaman sejarah perkembangan hukum yang berlaku pada suatu negara, karena tidak mungkin dapat memahami sistem hukum dengan baik, termasuk jika hendak memahami sistem hukum militer, tanpa memiliki pengetahuan sejarahnya. Para ahli hukum juga meyakini, bahwa hukum dapat berubah tidak hanya dalam dimensi ruang tetapi juga dalam dimensi waktu. Itulah sebabnya, paling tidak ada dua hal mendasar, mengapa sejarah hukum sangat penting untuk memahami suatu sistem hukum tertentu yang sekarang berlaku. Pertama, kaedah-kaedah hukum yang saat ini berlaku sering hanya dapat dipahami dengan sarana sejarah hukum. Kedua, sistem hukum
48
yang berlaku dalam ruang (tempat, teritori, negara) yang berbeda, dapat saja berasal dari sumber yang sama, atau sebaliknya dari sumber dan akar yang sama, karena ruang dan waktu yang berbeda, hukum dapat tumbuh dan berkembang secara berbeda (same root, different development). Di Indonesia misalnya, meskipun sistem hukum Indonesia dapat dikatakan lahir dari akar sistem hukum yang sama dengan sistem hukum Belanda dengan tradisi civil law system, ternyata perkembangannya terdapat perbedaan. Selain itu, para ahli hukum juga meyakini, bahwa untuk memahami hukum yang saat ini berlaku, ternyata tidak hanya dapat dipahami dengan pendekatan logika dan dogmatika hukum semata-mata, ternyata justru sejarah hukum telah mampu menerangkan mengapa dan bagaimana hukum dan lembaga-lembaga hukum yang saat ini berlaku.
* Dosen STHM “AHM-PTHM”, Lulus AHM XIII 1998, PTHM VIII 1994, S-2 Universitas Indonesia 1999, Mahasiswa Program Doktor Universitas Padjadjaran.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Pembinaan Hukum Militer Dalam Perspektif Politik Hukum Oleh : Letkol Chk Agustinus PH., S.H., M.H.
Norma-norma hukum yang ada, sering kali hanya dapat dipahami melalui perantaraan sejarahnya. Menurut Prof. Belifante, dalam bukunya Beginselen van Nederlands Staatsrecht, bahwa negara bukan merupakan kebenaran mutlak tetapi merupakan produk sejarah, dengan demikian sistem suatu negara (termasuk sistem hukumnya) hanya dapat dimengerti dari pertumbuhan dan perkembangannya. (ASS Tambunan, 2001: 8). Tidak hanya penting untuk mengkaji dan mendalami aspek kesejarahan hukum, tetapi persoalan yang utama adalah, bagaimana usaha negara untuk memperbaharui sistem hukum yang memang bukan merupakan hukum asli yang berasal dari bangsanya sendiri. Atau, setidak-tidaknya mendalami, mengkaji, menganalisis mana saja yang dapat dipertahankan dan mana saja yang harus digantikan untuk diisi dan disesuaikan dengan nilai dan jiwa bangsa Indonesia. Penting untuk menetapkan bagaimana politik hukum (legal policy) pada hukum militer sebagai garis kebijakan tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka penyelenggaraan pertahanan negara. B. Hukum Militer Menyatu Dalam Sejarah Perjuangan Bangsa Secara faktual, sebagaimana hukum pada umumnya, hukum militer menyatu dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Tulisan singkat ini tidak akan mengurai bagaimana sejarahnya hukum militer di Indonesia, tetapi sekedar mengilustrasikan kembali bahwa melihat sejarah hukum militer ini penting untuk menentukan kebijakan dalam mengembangkan dan memberi arah hukum militer Indonesia untuk masa mendatang. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa tidak ada suatu negara yang betul-betul memiliki sistem hukum nasional yang murni berasal dari negaranya sendiri. Hampir dapat dipastikan bahwa negara-negara di belahan dunia ini mengadopsi dan menerapkan sistem hukum dari
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
negara luar, tidak terkecuali Negara Indonesia, saat ini pun masih menerapkan beberapa perundang-undangan, kelembagaan dan bahkan budaya hukum yang disusun dan berasal dari pemerintah kolonial Belanda. Maka, sampai hari ini kita masih menyisakan persoalan tentang pembaharuan hukum dari sistem hukum kolonial. Hukum peninggalan pemerintah kolonial sebagian memang sudah disempurnakan, diperbaharui atau diganti dengan sistem hukum nasional. Namun, menggantikan sistem hukum warisan bukannya tanpa persoalan. Sejak awal kemerdekaan, menggantikan sistem hukum kolonial telah menjadi persoalan yang tidak mudah dipecahkan. Kalau kita menengok sejarahnya, sejak Indonesia merdeka, khususnya pada awal kemerdekaan, pada dasarnya dan pada awalnya para pemimpin bangsa Indonesia dengan semangat nasionalnya, telah mencoba membangun hukum Indonesia dengan sedapatdapatnya melepaskan diri dari ide hukum kolonial, yang ternyata tidak mudah. Inilah periode yang berawal dengan keyakinan bahwa substansi hukum rakyat yang selama ini terjajah akan dapat diangkat dan dikembangkan secara penuh menjadi substansi hukum nasional. Namun, yang terjadi di dalam kenyataan ialah bahwa segala upaya itu berakhir dengan pengakuan bahwa proses realisasi ide hukum itu ternyata tidak sesederhana model-model strategiknya dalam doktrin. Kesulitan telah timbul bukan hanya karena keragaman hukum rakyat yang umumnya tidak terumuskan secara eksplisit. Akan tetapi menurut Sutandjo Wignyosoebroto (1994:187) karena sistem pengelolaan hukum yang modern, meliputi pengorganisasian, prosedur-prosedur dan asasasas doktrinal pengadaan dan penegakannya, telah terlanjur tercipta sepenuhnya sebagai warisan kolonial yang tak akan mudah dirombak atau digantikan begitu saja dalam waktu singkat. Keadaan tersebut, menurut Daniel S. Lev, dalam penelitiannya di Indonesia menemukan bahwa, pada waktu itu para pemimpin Republik, perhatiannya banyak tersita untuk upaya-upaya merealisasi kesatuan dan persatuan nasional saja, dan sedikit banyak mengabaikan inovasi-
49
Pembinaan Hukum Militer Dalam Perspektif Politik Hukum Oleh : Letkol Chk Agustinus PH., S.H., M.H.
inovasi pranata dan kelembagaan masyarakat dan Negara. Maka, ketika dihadapkan pada persoalan dan realita yang ada, para elit Republik cenderung untuk mencari pemecahan dengan merujuk pada petunjuk-petunjuk lama yang pernah mereka kenal pada masa lalu. Satu hal lagi sebagai penunjuk dipertahankannya pola lama yang telah dikenal pada jaman kolonial adalah lebih dipilihnya hukum ini untuk mencegah terjadinya kevakuman yang akan mengundang perebutan pengaruh oleh berbagai golongan dan kekuatan politik, yang masingmasing mempunyai alternatif sistem politik dan sistem hukum. Penganjur-penganjur hukum agama dan hukum adat telah lama menjajagi kemungkinan untuk masuk dan mengangkat sistem hukum pilihan mereka itu sebagai hukum nasional. Pada jaman Hindia Belanda, hukum kolonial yang sekuler dan netral dapat menengahi dan mencegah setiap maksud untuk mendesakkan hukum agama dan sementara itu mampu mengkooptasi hukum adat sebagai bagian dari hukum nasional. Maka, kebijakan untuk meneruskan berlakunya hukum lama berdasarkan Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945, dirancang berdasarkan arahan Soepomo: Was not merely a metter of convenience … nor was it simply because no one had any ideas” akan tetapi karena “… the colonial law provided an available and appropriate framework”; dan lagi pula hukum colonial ini “… was a … secular neutrality between conflicting religious and social groups, … that also kept the existing dominant elite in control of national institutions.” (Sostandyo Wignyosubroto, 1994: 190). Kiranya juga disadari pada waktu awal kemerdekaan, tak akan berdaya melangkah lebih lanjut untuk menata ulang seluruh sistem hukum Indonesia berdasarkan konstitusi baru secara total dalam waktu yang singkat, pada era yang masih penuh dengan pergolakan dan perjuangan fisik untuk mempertahankan eksistensi republik yang masih berusia muda. Maka, yang dilakukan oleh para pendiri republik adalah tidak bisa lebih, selain menyatakan terus berlakunya seluruh ketentuan hukum yang selama ini telah ada, dengan menyatakan
50
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945: “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.” Satu-satunya pernyataan normatif yang mengesankan kebijakan, dan dapat disebut sebagai satu politik hukum pada masa itu, untuk menolak berlakunya hukum kolonial hanyalah Maklumat Presiden Tahun 1945 Nomor 2 tanggal 10 Oktober 1945, yang kecuali mengulang apa yang telah dinyatakan dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 juga menyatakan: bahwa hanya hukum yang tidak bertentangan dengan UUD 1945 sajalah yang tetap boleh dianggap berlaku. Akan tetapi, dimaklumatkannya Maklumat Presiden Nomor 2 Tahun 1945 ini dalam praktik malah menimbulkan keraguan. Karena dalam praktik tak selalu dapat dimengerti dengan segera, mana saja hukum kolonial yang masih langsung berlaku, dan mana pula yang harus dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya harus dianggap tidak berlaku lagi, dan mana pula yang tidak demikian. (Soetandyo W, 1994: 191). Oleh sebab itu, jika keadaan hukum militer pada era sekarang ini kondisinya masih seperti yang ada pada masa awal kemerdekaan atau bahkan sama dengan sebelum kemerdekaan, dimana masih terdapat berbagai tata hukum militer yang hanya bersifat terjemahan dari undang-undang Belanda, karena memang politik hukum terhadap hukum militer tidak atau kurang terpikirkan atau barang kali dianggap tidak penting, sejak masa awal kemerdekaan. C. Politik Hukum “Hukum Militer” Kini, setelah 67 tahun merdeka, menjadi penting untuk kita melihat dan mempersoalkan bagaimana politik hukum dalam atau terhadap hukum militer, yang sesungguhnya tidak boleh dipandang sebelah mata dan dianggap tidak penting, walaupun sesungguhnya memang tidak banyak yang secara sungguh-sungguh memperhatikan politik hukum militer ini. Sebelum melihat bagaimana politik hukum terhadap hukum militer, kiranya perlu ada kesamaan persepsi terlebih dulu mengenai apa hakikat dari
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Pembinaan Hukum Militer Dalam Perspektif Politik Hukum Oleh : Letkol Chk Agustinus PH., S.H., M.H.
politik hukum dimaksud. Padmo Wahyono (1986:160) merumuskan politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk. Di dalam tulisan yang lain, Padmo Wahyono (1991: 63) memperjelas bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu yang di dalamnya mencakup pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum. Sedangkan Teuku Mohamad Radhie (1973:3), yang pernah menjabat Ketua BPHN, mengatakan bahwa politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun. Moh. Mahfud MD (2010: 1), merumuskan politik hukum sebagai legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan Negara. Dengan demikian, politik hukum merupakan legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang dapat berisi pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan, sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut, diperbaharui, atau akan dibuat baru, yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara. Pertanyaan yang timbul adalah, dimana dapat ditemukan dokumen politik hukum militer. Ketika dalam kehidupan kenegaraan kita mengenal adanya Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang ditetapkan dengan Ketetapan MPR-RI, maka dengan mudah akan diketahui bagaimana politik hukum bangsa Indonesia dalam jangka panjang maupun jangka lima tahunan ke depan. Namun, ketika kini tidak dikenal lagi GBHN, setidaknya untuk jangka lima tahun ke depan tidak lagi dapat diketahui secara jelas arah kebijakan negara di bidang hukum. Pada masa GBHN, kebijakan pembangunan hukum nasional jelas dirumuskan, misalnya: “Pembangunan materi hukum diarahkan pada terwujudnya sistem hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
dengan menyusun awal materi hukum secara menyeluruh yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945, khususnya penyusunan produk hukum baru yang sangat dibutuhkan untuk mendukung tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional. Oleh sebab itu perlu disusun Program Legislasi Nasional yang terpadu sesuai dengan prioritas, termasuk upaya penggantian peraturan perundang-undangan warisan kolonial dengan peraturan perundangundangan yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945”. (GBHN 1993, Ketetapan MPR RI No: II/MPR/1993). Meskipun tidak ada lagi GBHN, namun dewasa ini telah diundangkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP). Undangundang ini menjadi salah satu acuan dalam menyusun kebijakan pembangunan hukum nasional, yang dituangkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 20102014 sebagaimana tertuang di dalam Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor: 41A/DPR RI/2009-2010 tentang Persetujuan Penetapan Program Legislasi Nasional Tahun 2010-2014, di dalamnya telah ditetapkan tujuan Prolegnas Tahun 2010-2014: 1. Mewujudkan negara hukum yang demokratis melalui pembangunan sistem hukum nasional dengan membentuk undang-undang yang menjamin kepastian hukum, kemanfaatan, keadilan, dan ketertiban; 2. Mewujudkan supremasi hukum yang menjunjung tinggi rasa keadilan dan nilainilai hukum yang hidup dalam masyarakat; dan 3. Menyempurnakan undang-undang agar sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat, serta berorientasi pada pengaturan perlindungan hak asasi manusia dengan memperhatikan prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan jender. Arah dan kebijakan Prolegnas Tahun 2010-2014 adalah membentuk undang-undang dalam rangka untuk: 1. Mewujudkan tata hukum nasional yang integratif dan meningkatkan kesadaran hukum masyarakat, aparat penegak
51
Pembinaan Hukum Militer Dalam Perspektif Politik Hukum Oleh : Letkol Chk Agustinus PH., S.H., M.H.
hukum, maupun penyelenggara negara demi terwujudnya konsolidasi penegakan supremasi hukum dan perlindungan hak asasi manusia. 2. Meningkatkan kemampuan pertahanan dan keamanan negara melalui pengembangan struktur pertahanan dan keamanan negara dalam mengantisipasi ancaman, baik dari dalam maupun dari luar yang dapat mengganggu stabilitas dan kedaulatan bangsa dan negara. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, dalam Pasal 64 menyatakan bahwa: “Hukum militer dibina dan dikembangkan oleh pemerintah untuk kepentingan penyelenggaraan pertahanan negara”. Penjelasan Pasal 64 sbb: “Yang dimaksud dengan hukum militer adalah semua perundang-undangan nasional yang subyek hukumnya adalah anggota militer atau orang yang dipersamakan sebagai militer berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. Di samping itu, segala hukum dan ketentuan perundangundangan yang dipakai sebagai dasar pelaksanaan tugas TNI dalam melaksanakan fungsi pertahanan Negara dikategorikan sebagai hukum militer. Hukum militer sebagaimana dimaksud di atas perlu dicapai kesatuan hukum, kepastian hukum dan kodifikasi hukum. Oleh sebab itu, hukum militer tersebut perlu dibina dan dikembangkan oleh Departemen yang melaksanakan fungsi pemerintahan di bidang pertahanan Negara”. Jadi, rumusan Pasal 64 dan penjelasannya ini pada hakikatnya merupakan politik hukum “hukum militer”. Sebab dari rumusan pasal tersebut terlihat arah kebijakan hukum militer, yaitu: 1. Hukum militer dibina dan dikembangkan untuk kepentingan penyelenggaraan pertahanan Negara. 2. Perlu dicapai kesatuan hukum, kepastian hukum, dan kodifikasi hukum di bidang hukum militer. 3. Dibina dan dikembangkan oleh Pemerintah, dalam hal ini oleh Kementerian yang melaksanakan fungsi pemerintahanan di bidang pertahanan Negara.
52
D. Hukum Militer Dibina dan Dikembangkan Untuk Kepentingan Penyelenggaraan Pertahanan Negara Salah satu unsur penting dari “politik hukum militer”, bahwa hukum militer dibina dan dikembangkan untuk kepentingan penyelenggaraan pertahanan negara. Oleh sebab itu, pembinaan dan pengembangan sebagai bagian dari dari politik hukum militer, harus dapat mendukung tujuan dan fungsi pertahanan Negara sebagaimana ada di dalam Undang-Undang Pertahanan Negara, dimana tujuan pertahanan adalah untuk menjaga dan melindungi kedaulatan Negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman. (Pasal 4 UU Nomor 3 Tahun 2002). Sedangkan fungsi pertahanan negara untuk mewujudkan dan mempertahankan seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pertahanan. (Pasal 5 UU Nomor 3 Tahun 2002) Lebih dari itu, pembinaan dan pengembangan hukum militer juga harus memperhatikan prinsip dan dasar pertahanan Negara (Pasal 3 UU Nomor 3 Tahun 2002), yaitu: 1. Prinsip demokrasi dan hak asasi manusia; 2. Kesejahteraan umum, lingkungan hidup; 3. Ketentuan hukum nasional; 4. Ketentuan hukum internasional dan kebiasaan internasional; 5. Prinsip hidup berdampingan secara damai; 6. Memperhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai Negara kepulauan. Satu hal lagi yang juga penting diperhatikan untuk bagaimana mengatur dan merumuskan dalam tata hukum militer yang menyangkut sistem pertahanan yang bersifat semesta (Pasal 1 UU Nomor 3 Tahun 2002). E. Kesatuan Hukum, Kepastian Hukum dan Kodifikasi Hukum Militer Kesatuan hukum militer harus dimaknai sebagai berlakunya hukum yang sama, (yaitu hukum pidana militer, hukum acara pidana militer, hukum disiplin militer, hukum administrasi
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Pembinaan Hukum Militer Dalam Perspektif Politik Hukum Oleh : Letkol Chk Agustinus PH., S.H., M.H.
militer, hukum tata usaha militer, dll) bagi seluruh militer/prajurit/TNI di lingkungan TNI AD, TNI AL, dan TNI AU. Penegasan kesatuan hukum bagi militer menjadi penting karena pengalaman sejarah masa lalu, pada masa terbentuknya negara Federasi Republik Indonesia Serikat (R.I.S.) timbul persoalan hukum militer. Hukum militer manakah yang berlaku bagi Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS), dimana APRIS terdiri dari TNI (asal RI), KNIL asal NICA, Pasukan-pasukan Federal dan Pasukan-pasukan asal Negara-negara Bagian. TNI mempunyai hukum militernya sendiri, dan pasukan KNIL mempunyai hukum militer sendiri, dan Pasukan lainnya mempunyai hukum militernya sendiri-sendiri. Meskipun bermacam hukum militer tersebut mempunyai kesamaannya karena didasarkan pada hukum militer Belanda. Akan tetapi, disamping kesamaannya, terdapat juga perbedaan-perbedaan yang disebabkan perkembangan masing-masing. Pada masa itu, pemecahan persoalan perbedaan ini diserahkan kepada para pelaksana militer. (lihat BPHN 1995: hal 20). Barang kali karena latar belakang itulah, maka perlu ada penegasan kesatuan hukum bagi militer. S.R Sianturi (1985: 53) juga menegaskan salah satu prinsip umum hukum militer adalah adanya kesatuan hukum (KUHPM) bagi militer. Dengan menyatakan, KUHPM berlaku untuk seluruh militer, hal ini tidak berarti bahwa pembuat undang-undang tidak menginsyafi perbedaan-perbedaan kematraan dari masingmasing Angkatan, tetapi justru pertimbangan utama didasarkan pada suatu pendapat umum bahwa kesatuan hukum lebih memberikan pemuasan terhadap kesadaran hukum dan lebih dapat mencegah kesulitan dalam praktik. (Eenheid recht bevredigt het rechtsgevoel en voorkomt vele moeilijkheden der practijk). Secara faktual, hukum militer sudah merupakan satu kesatuan hukum yang berlaku bagi seluruh militer, baik hukum disiplin militer; hukum pidana militer/KUHPM; hukum acara pidana militer; hukum administrasi militer; dll. Dewasa ini yang penting dilakukan dalam rangka pembinaan dan pengembangan hukum militer adalah memperbaharui hukum/undang-
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
undang yang masih didasarkan pada peninggalan pemerintah kolonial, yaitu khususnya dua materi hukum yaitu hukum pidana militer dan hukum pelaksanaan pidana yaitu pemasyarakatan militer. Sehingga dalam hukum pidana militer akan tercipta satu jiwa mulai dari hukum pidana materiil, hukum acara, dan hukum pelaksanaan pidana. Karena faktanya saat ini, baru hukum acara pidana militer yang telah disempurnakan ke dalam hukum nasional. Sedangkan hukum materiil dan hukum pelaksanaan pidana masih merupakan warisan pemerintah kolonial. Selain dua materi hukum tersebut, juga perlu pengkajian untuk penyempurnaan beberapa materi hukum/undang-undang untuk disesuaikan dengan perkembangan kesadaran hukum seiring dengan perkembangan dinamika ketatanegaraan. Terkait dengan kodifikasi hukum militer, jika kodifikasi hukum kemudian diartikan sebagai pengkitaban satu materi hukum tertentu ke dalam satu Kitab Undang-undang, maka kiranya dalam hukum militer hanya tinggal satu materi hukum yang masih dalam bentuk kitab undang-undang, yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (Wetboek van Militair Strafrecht Stbl 1934 Nr. 167 Jo UU No. 39 Tahun 1947). Sedangkan Kitab Undang-undang Hukum Disiplin Militer (Wetboek van Krijgstucht Stbl. 1934 Nr 168 Jo UU No. 40 Th 1947) telah dirubah dalam bentuk undang-undang yang bukan dalam bentuk kitab undang-undang, yaitu menjadi Undang-undang Nomor 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit ABRI. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (Wetboek van Militair Strafrecht (Stbl 1934 Nr. 167 Jo UU No. 39 Tahun 1947), dewasa ini sedang diupayakan untuk disusun konsep Rancangan Undang-undang, apakah nantinya akan tetap mempertahankan bentuknya sebagai satu Kitab Undang-undang sebagaimana juga RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP), atau akan menjadi berbentuk undang-undang pada umumnya, sudah barang tentu akan ditentukan dalam pembahasan di lembaga legeslatif. Khusus kodifikasi Hukum Pidana Militer (Wetboek van Militair Strafrech), yang kini berlaku
53
Pembinaan Hukum Militer Dalam Perspektif Politik Hukum Oleh : Letkol Chk Agustinus PH., S.H., M.H.
di Indonesia sebagai warisan dan sekaligus lahir dari akar sistem hukum pidana militer di negeri Belanda yang dalam perkembangannya tidak banyak mengalami perubahan, karena ada pedoman yang diatur pada Indische Staats regeling art 132, yang mengamanatkan bahwa: “De Militaire Strafrechtspleging berust op Ordonanties, zoeveel mogelijk overeenkomende met de in Nederland bestaande wetten” (Pelaksanaan Hukum Pidana Militer dicantumkan dalam ordonansi-ordonansi yang sejauh mungkin bersesuaian dengan undangundang yang ada di Negeri Belanda). Sehingga sedikit berbeda dengan perkembangan hukum pidana umum (KUHP) yang telah mengalami berbagai perubahan, dalam KUHPM relatif tidak mengalami banyak perubahan dan penyimpangan. Kemungkinan penyimpangan itu hanya diadakan dalam hal-hal: 1) Jika adanya kondisi khusus di Indonesia yang menghendaki (penyimpangan) demikian itu (Specifieke Indische toetstanden daartoe noopten); 2) Jika dalam prektek menunjukkan adanya kebutuhan yang sangat untuk mengadakan perubahan atau penambahan (in de praktijk de noodzakelijkheid van wijziging of aanvulling had aangetoond), dan 3) Untuk memperjelas sesuatu pasal (verduidelijking van enig artikel gewenst bleek) (S.R. Sianturi, 1995: 13). G. Penutup Kata kunci dari pembinaan dan pengembangan hukum militer adalah bagaimana politik hukum terhadap hukum militer sebagai satu arah kebijakan negara atau pemerintah pada masa mendatang. Rumusan Pasal 64 Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 beserta penjelasannya dapat diartikan sebagai satu politik hukum dalam hukum militer, bahwa hukum militer dibina dan dikembangkan untuk kepentingan penyelenggaraan pertahanan Negara. Maka, hukum militer harus didasarkan dan sekaligus mewujudkan untuk terjaganya dan terlindunginya kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman. Karena hukum militer dikembangkan untuk
54
penyelenggaraan pertahanan negara, maka juga harus memperhatikan yang diamanatkan dalam undang-undang, bahwa pertahanan Negara dilakukan dengan memperhatikan dan mempertimbangkan: prinsip demokrasi dan hak asasi manusia; Kesejahteraan umum dan lingkungan hidup; Ketentuan hukum nasional; Ketentuan hukum internasional dan kebiasaan internasional; Prinsip hidup berdampingan secara damai; Kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan; dan Sistem pertahanan yang bersifat semesta. Disadari bahwa tugas-tugas yang dibebankan oleh ketentuan-ketentuan dan menjalankan amanat undang-undang guna membangun hukum nasional, lebih-lebih dalam hukum militer, itu sungguh bukan tugas yang ringan. Dilema antara realitas dengan cita-cita sungguh tidaklah mudah diatasi. Pilihan yang harus dibuat pun tidaklah bisa didasarkan pada pertimbangan yang terbatas pada pertimbangan yang besifat sosial-yuridis semata, tetapi bisa diduga akan melebar ke pertimbanganpertimbangan serius yang sifatnya politik. Bukti dan pengalaman sudah menunjukkan bagaimana ketika RUU yang bermuatan hukum militer, sangat “alot” dan berat dalam pembahasan pada lembaga politik, bukan semata-mata karena alasan yuridis, filosofis dan sosiologis tetapi pada aspek-aspek politik, sehingga beberapa RUU tersebut kandas pada tataran pembahasan di tingkat institusi politik. Jadi, bagaimana menterjemahkan dan menjabarkan hukum militer dibina dan dikembangkan untuk kepentingan penyelenggaraan pertahanan negara, dengan memperhatikan rambu-rambu hakikat, dasar, tujuan dan fungsi pertahanan negara bukanlah pekerjaan yang mudah. DAFTAR PUSTAKA Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Reneka Cipta: 1994. A.S.S Tambunan. Hukum Militer Suatu Pengantar. Jakarta: Pusat Studi Hukum Militer, 2005.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Pembinaan Hukum Militer Dalam Perspektif Politik Hukum Oleh : Letkol Chk Agustinus PH., S.H., M.H.
Daniel S. Lev. Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan, Jakarta: LP3ES, 1990. John Gillisen dan Frits Gorle, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, Bandung: Refika Aditama, Cet. V 2011. Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: 2010. Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986. Peter de Cruz. Comparative Law in Changing World. Alih bahasa oleh Narulita Yusron, Perbandingan Sistem Hukum, Bandung: Nusa Media, 2010. Soetandyo Wignjosoebroto. Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, Dinamika Sosial Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994. S.R. Sianturi. Hukum Pidana Militer di Indonesia. Jakarta: Alumni Ahaem-Petehaem, 1985. Teuku Mohamad Radhie, Pembaharuan dan Politik Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Prisma No. 6 Th. II Desember 1973 Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. _____,Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
55
PEMERINTAH DAN PERUMUSAN HUKUM MILITER Oleh Dr. Ir. Kusnanto Anggoro *)
P
embaruan hukum militer di Indonesia tampaknya masih terbatas pada diferensiasi kewenangan sipil dan militer, yurisdiksi sipil dan militer, serta penegakan disiplin ketentaraan (alinea 2 TOR). Sejak awal 40 tahun silam, pembinaan dan pengembangan hukum militer menjadi kewenangan pemerintah dan dimaksudkan untuk penyelenggaraan p e rtahanan neg a ra. Tulisa n ini h a n y a memusatkan perhatian pada masalah kedua seperti tertulis dalam TOR, yaitu “siapa/ institusi/ lembaga yang dimaksud dengan pemerintah, yang bertanggung jawab untuk mengembangkan dan membina hukum militer”. Persoalan tentang apa yang harus dikembangkan dan dibina serta bagaimana pembinaan dan pengembangan itu dilakukan tidak berada dalam lingkup tulisan ini. The Limit of Reform Istilah pembinaan (bin) dan pengembangan (bang) tidak mustahil diasosiasikan, atau tidak
*) Alamat email:
[email protected]
56
dapat dilepaskan dari konteks pemahaman diskursus pada masa awal reformasi, khususnya kewenangan pembinaan yang berada di dalam/ bawah lingkungan militer dan pengembangan sebagai kewenangan untuk menetapkan orientasi, arah, ruang lingkup, dan prioritas elemen-elemen hukum militer. Asosiasi pembinaan dengan kewenangan pimpinan militer menunjukkan division of labour dan salah satu bentuk otonomisasi militer untuk internalisasi, sosialisasi, peningkatan kesadaran anggota militer pada segenap hukum dan/atau regulasi yang diberlakukan untuknya. Baik istilah pembinaan maupun pengembangan tampaknya tidak cukup mencerminkan apa yang sebenarnya diperlukan oleh tentara Indonesia maupun pertahanan negara. Kalau pembinaan akan tetap diberikan kepada otoritas militer, maka diperlukan kesepakatan bahwa otoritas tersebut hanya meliputi lingkup terbatas pada fungsi sosialisasi, internalisasi dan adjudikasi tetapi tidak termasuk otonomisasi untuk penetapan orientasi hukum dan regulasi militer. Begitu pula kalau pengembangan harus seluruhnya
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Pemerintah dan Perumusan Hukum Militer Oleh : Dr. Ir. Kusnanto Anggoro
diberikan kepada otoritas politik, perlu disiapkan mekanisme artikulasi, agregasi, dan akomodasi agar prioritas pengembangan ditetapkan sesuai dengan kebutuhan konkrit di dunia militer, dan tidak semata-mata dirumuskan berdasarkan agenda politik. Begitu pula halnya dengan istilah “pemerintah” yang terutama diasosiasikan dengan pihak eksekutif, khususnya Kementerian Pertahanan. Sama dengan istilah bin dan bang, konotasi istilah pemerintah pada waktu perumusan UU TNI (2004) lebih menampilkan sisi keinginan untuk menegakkan supremasi sipil (otoritas politik, pembuat dan penentu kebijakan) atas militer (otoritas komando, pelaksana kebijakan). UU 20/1982 berada dalam konteks yang berbeda, khususnya adalah sentralisasi kedua kewenangan tersebut pada “Menteri Pertahanan/ Panglima TNI”. Perbedaan orientasi, tetapi persamaan rumusan, dalam UU No. 20/1982 dan UU No. 34/2004 memperlihatkan “pembinaan dan pengembangan hukum militer” tampaknya belum menjadi prioritas utama. Titik paling jauh yang dicapai setelah 8 tahun, terhitung dari pemberlakuan UU No. 34/2004, adalah pemisahan kewenangan peradilan sipil dan militer. Ruang lingkup dari hukum militer, prioritas pengembangan, metode pembinaan masih menjadi isu yang perlu dibicarakan. Pasal 65 UU TNI juga mengasosiasikan hukum itu hanya dengan masalah keprajuritan dan kekuasaan peradilan umum atau militer. Masih menjadi persoalan tentang apa yang termasuk sebagai ranah “keprajuritan” dan apakah bentuk peradilan seperti itu cukup memadai untuk menjamin penyelenggaraan kepentingan pertahanan negara. Peradilan Militer, Yurisdiksi Militer dan Hukum Militer Hukum militer (military laws) bukanlah satu-satunya istilah yang pada umumnya dikaitkan dengan governing military. Di samping istilah tersebut ada juga istilah “peradilan militer” (military justice), yaitu sekumpulan rujukan hukum dan prosedur yang diberlakukan
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
terhadap anggota tentara; ataupun “yurisdiksi militer” (military jurisdiction), yaitu segenap ketentuan yang terkait dengan kemiliteran, dan pada umumnya terdiri dari hukum militer, pemerintahan militer (military goverment) dan UU Darurat (martial law). Secara umum, aturan-aturan tersebut, baik hukum ataupun pengaturan, menjadi landasan untuk mengatur perikehidupan tentara, dalam masa damai maupun perang. Hukum militer berbeda dari pengaturan militer (military regulations). Hukum militer, seperti layaknya hukum di negara demokratik, merupakan produk politik (legislatif) berikut segenap proses yang diperlukannya. Military regulations meliputi ketentuan yang lebih rendah dari UU dan hingga tingkat tertentu merupakan konsekuensi prerogratif dari otoritas terkait dengan dunia kemiliteran, baik otoritas politik seperti kementerian-kementerian negara maupun otoritas militer sendiri. Di Amerika, apa yang dianggap sebagai hukum militer terdiri dari pengaturan terkait dengan organisasi ketentaraan, hak-hak konstitusional tentara, sistem keadilan/peradilan kriminal untuk militer, dan hukum internasional untuk konflik bersenjata. Terlepas dari otoritas tersebut, keberadaan dan pemberlakuan hukum dan regulasi militer dimaksudkan untuk “memajukan efektivitas operasional tentara melalui pemeliharaan disiplin, efisiensi dan moral” serta untuk “memberi sumbangan bagi kepatuhan hukum di lingkungan tentara”. Rumusan ini jelas lebih sempit, tetapi lebih memberikan arahan dibandingkan dengan sekedar “kepentingan penyelenggaraan pertahanan negara”. Konotasi tujuan penyelenggaraan pertahanan negara lebih berorientasi kepada negara, dan sebagai konsekuensinya pada warga non-militer, tetapi bisa jadi belum cukup memberi inspirasi pada apa yang seharusnya diperlukan bagi anggota tentara. UU Keprajuritan tidak sepenuhnya bisa digantikan hanya dengan UU No. 34/2004 yang memang dimaksudkan untuk lebih menata organisasi tentara daripada menjamin hak-hak anggota tentara dalam sistem pemerintahan demokratik, yang sekaligus memadukan
57
Pemerintah dan Perumusan Hukum Militer Oleh : Dr. Ir. Kusnanto Anggoro
kepentingan politik demokratik dan kesejahteraan anggota tentara. Hak-hak konstitusional tentara belum cukup memperoleh perhatian di Indonesia.
protection lainnya.
Otoritas Pemerintah
Pemerintah, seperti dimaksud dalam pasal 64 UU No. 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, merupakan representasi dari kewenangan eksekutif yang terdiri dari pimpinan berikut segenap jajaran birokrasi yang berada di dalamnya. Pimpinan tersebut pada umumnya merupakan penunjukan politik (political appointee). Struktur pemerintahan negara (baca: esekutif) pada umumnya diatur secara sektoral, dengan setiap sektor membidangi urusan tertentu, misalnya pertahanan, luar negeri dan dalam negeri. Mereka merupakan cabang kekuasaan negara yang bertugas untuk merumuskan kebijakan di sektornya, misalnya sektor pertahanan, industri, perdagangan, dan hukum. Pertahanan dan hukum merupakan kewenangan pemerintahan pusat - seperti halnya politik luar negeri, fiskal dan moneter, dan agama. Lembaga-lembaga pemerintahan yang langsung maupun tidak terkait dengan hukum militer adalah, pertama, Kementerian Pertahanan, Kementerian Hukum dan Perundang-undangan dan HAM. Di luar itu, kedua, ada beberapa kementerian yang dalam keadaan dan konteks tertentu memainkan peran contributory. Sebagai contoh adalah kementerian luar negeri (international laws), lingkungan hidup (terkait dengan pembangunan tempat latihan militer), kementerian sosial (dalam konteks pensiun dan beragam bentuk kesejahteraan sosial di lingkungan militer), informasi dan komunikasi (diseminasi informasi ketentaraan) dan kementerian dalam negeri (hak-hak demokratik anggota tentara). Selain itu, ketiga, bukan tidak mungkin kalau Presiden, dengan menggunakan kewenangannya seperti tercantum dalam UU Kementerian Negara (2008), membentuk lembaga pemerintahan non-kementerian atau non-struktural, termasuk semacam Komisi Pembaharuan Hukum Militer atau komisikomisi lain yang bersifat ad hoc. Sekedar sebagai catatan, pembaharuan hukum militer di
Terdapat sejumlah argumen mengapa hukum militer harus dirumuskan oleh “pemerintah”. Pertama adalah bahwa negara demokratik merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pemerintahan yang paling representatif dalam kaitannya dengan menampung aspirasi rakyat, mengagregasikan kepentingan-kepentingan berbagai kelompok, dan, lebih dari itu dianggap paling legitimate karena memperoleh mandat kedaulatan rakyat melalui proses demokratik (pemilihan umum). Pejabat-pejabat politik (misalnya menteri), merupakan sosok jabatan yang mencerminkan mandat demokratik tersebut berbeda dengan aparat-aparat negara, terutama TNI dan POLRI, yang memperoleh kedudukannya sesuai dengan kompetensi dan/ atau profesionalisme. Kelaziman dalam sistem demokratik adalah bahwa hanya mereka yang memiliki mandat kedaulatan rakyat yang dapat menerapkan kebijakan. Mereka-mereka yang tidak memiliki mandat seperti itu hanya dapat melaksanakan kebijakan. Kedua adalah bahwa sebagai konsekuensi dari pengelolaan militer dalam kerangka demokratik ada pembagian/hierarki tugas antara mereka yang membuat (merencanakan, menyusun, dan menetapkan) kebijakan dengan mereka yang melaksanakannya. Mereka yang disebut terdahulu adalah kementeriankementerian negara; yang disebut belakangan adalah TNI, aparat penegak hukum, maupun aparat keamanan lainnya serta aparat-aparat lain yang lebih terkait dengan penyelanggaraan fungsi pemerintahan di bidang kesejahteraan. Ketiga adalah bahwa hukum merupakan instrumen disiplinasi dan oleh sebab itu hanya dapat ditetapkan oleh mereka-mereka yang tidak menjadi subyek hukum itu sendiri. Di sisi lain, keharusan ini sekaligus juga berfungsi untuk melindungi (organisasi) ketentaraan dari tanggungjawab politik, khususnya terkait dengan tuduhan impunity atau beragam bentuk self-
58
Struktur Pemerintah
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Pemerintah dan Perumusan Hukum Militer Oleh : Dr. Ir. Kusnanto Anggoro
beberapa negara juga bisa diprakarsai kalangan non-pemerintah, seperti yang dilakukan oleh “Military Law Task Force of the National Lawyer Guild” Catatan penutup Konseptualisasi pemerintah sebagai driver dan tentara sebagai subyek hukum seperti di atas tidak boleh ditafsirkan bahwa tentara hanya sekedar sebagai kurban; dan dengan demikian tidak dapat memiliki gagasan tentang apa yang menjadi kebutuhan obyektif di lingkungan militer dan kemudian mengusulkannya kepada pemerintah. Sejak awal TNI memiliki ranah sistem hukum tersendiri. Menurut UU No. 5/1950 (Hukum Acara Pidana pada Pengadilan Tentara maupun UU No. 17/1951 (Susunan dan kekuasaan Pengadilan/Kejaksaan dalam lingkungan peradilan ketentaraan), misalnya, organisasi tentara juga dilengkapi dengan struktur yang memiliki kewenangan dalam bidang tertentu. Sebagian dari struktur organisasi yang ada saat ini mungkin saja tidak relevan, bahkan mungkin bertentangan dengan prinsip demokratik; namun sebagian yang lain mungkin juga tetap harus dipertahankan. Penambahan struktur organisasi, di dalam maupun di luar organisasi kemiliteran mungkin juga diperlukan. Di Amerika Serikat bahkan ada penasihat militer yang berasal dari kalangan non-militer sehingga oleh karenanya tidak dibayangbayangi oleh kedudukannya sebagai bawahan seorang komandan (pimpinan) tentara serta dapat melihat kepentingan lebih dari sekedar kepentingan institusinal dan parokial, termasuk sekedar mementingkan pada orientasi disiplin dan ketertiban tetapi hak-hak warganegara seorang anggota tentara.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
59
MEMANFAATKAN MEKANISME DEKLARASI STATUTER DAN “MAREVA INJUNCTION” DALAM USAHA MEMBERANTAS KORUPSI Oleh Prof. Dr. H. Priyatna Abdurrasyid, S.H., Ph.D.
1. Patut didukung kinerja KPK yang dengan penuh keberanian berusaha mengemban amanah yang dibebankan masyarakat meniadakan korupsi yang tampaknya begitu menjamur di semua lapisan. Tampaknya kini korupsi bukan lagi merupakan jalan keluar bagaimana menyambung hidup keluarga (Indonesia), akan tetapi sepertinya sudah tertanam sebagai suatu perlombaan mengumpulkan harta-benda sebanyak mungkin dengan mengabaikan hukum. Alangkah ironisnya bahwa adanya sejumlah anggota penegak hukum yang diberitakan di media hampir setiap hari. 2. Tulisan ini dimaksud sebagai dukungan kepada KPK dan para anggota pimpinan masyarakat, kiranya memiliki keimanan dan keberanian moral, untuk menerapkan suatu sistem-tata cara pemberantasan korupsi yang diharapkan hasilnya dapat bermanfaat bagi bangsa/negara kita. Kalau kita baca di mass media, alangkah menakutkannya masa-masa mendatang di mana jumlah pengangguran sudah mencapai puluhan juta
60
yang tentunya akan sangat berakibat kepada keamanan - ekonomi - sosial budaya - mental moral kita. 3. Kebetulan penulis telah mengalami sampai empat kali berkesempatan dan turut serta dalam usaha melawan - menindak korupsi, yang pertama tahun 1957 yang digerakkan oleh TNI - AD. Bermula berjalan lancar, akan tetapi dipolitisasikan dengan adanya intervensi dari Kepala Negara. Kesempatan kedua tahun 1962 dan kesempatan ketiga pada tahun 1967 (TPK) yang itupun tidak berjalan, karena ternyata diarahkan hanya sebagai suatu sandiwara politik belaka. Dan akhirnya pada tahun 1999, akan tetapi dibubarkan oleh Mahkamah Agung. Sampai akhirnya seakan-akan ada suatu kompetisi yang mengarah kepada kegagalan. KPK kini tampaknya masih menggunakan konsep lama, seperti konsep - arah - aplikasi konsep 1957, 1962, 1967 dan 1999. Bagaimana memberdayakan tenaga anti korupsi yang berjumlah begitu kecil, walaupun berdedikasi dan komitmen
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Memanfaatkan Mekanisme Deklarasi Statuter Dan “Mareva Injunction” Dalam Usaha Memberantas Korupsi Oleh : Prof. Dr. H. Priyatna Abdurrasyid, S.H., Ph.D.
begitu tinggi melawan korupsi yang sudah mengakar kokoh di masyarakat luas. Menerapkan mekanisme dari suatu usaha luar ke dalam (“outside in”), yakni di mana alat-alat penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan lain-lainnya kurang bahkan tidak mencapai sasaran optimal mengapa tidak memanfaatkan konsep mekanisme yang akan lebih efektif. Masyarakat (koruptif) sendiri yang melakukan tindakan pengendaliannya, yakni dari dalam keluar (“inside - out”) dengan menerapkan bentuk-bentuk - konsep - sistem yang mau tidak mau akan melibatkan lembagalembaga negara dihilir yang sudah berfungsi, misalnya DepKeu - Pajak, Badan Pertanahan Nasional, Perbankan, Imigrasi, Sekretariat Negara, dan lembaga-lembaga resmi lainnya. Kegiatan “inside out” ini dikaitkan dan dilayani melalui mekanisme Deklarasi Statuter (“Statutory Declaration”), dan yang didampingi dengan usaha pemasukan kembali dana-dana dari luar negeri melalui mekanisme “MAREVA INJUNCTION (MI)”. Pemulihan dana liar di luar negeri yang akan sangat bermanfaat bagi pembangunan dan masa depan kesejahteraan nasional. 4. M I d i t e r a p k a n u n t u k p e r t a m a - t a m a menelusuri keberadaan aset/dana yang sejak lama diparkir di luar dan praktis tidak dapat dimanfaatkan oleh pemiliknya. Hasil penelusuran ini dilanjutkan untuk membawa kembali aset/dana tersebut ke wilayah Indonesia dan diarahkan ke investasi dalam negeri di sektor-sektor yang ditetapkan oleh Pemerintah dengan pengawasan dan kontrol Negara (Pemerintah). Sesuai dengan hasil penelitian sejak beberapa lama, aset/dana yang dilarikan dan ditempatkan di luar negeri oleh para anggota masyarakat resmi, pihak swasta dan keluarganya yang berindikasikan koruptif, menurut informasi suatu Bank Asing terkemuka di luar negeri sudah mencapai jumlah + US$ 200 - US$ 250 milyard (kasar) dan tiap tahun bertambah dengan bunga. Para pemiliknya sulit atau tidak dapat memanfaatkannya
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
secara penuh (dalam usaha mendukung ketepatan angka ini ada baiknya untuk menghitung dana bentuk devisa asing, misalnya US$, yang terkumpul melalui kegiatan-kegiatan seperti melalui ekspor minyak mentah/Pertamina, kayu/log, ikan, handicraft, komisi - mark-up pembelianpembelian di luar negeri seperti kapal laut, senjata, bahan kimia, dan proyek PLN dan lain-lainnya; untuk ini dapat dihubungi Depperindag dan Jawatan Statistik. Kalau kita hitung saja 30% kebocoran pinjaman luar negeri - ingat pernyataan Prof. DR. Sumitro Djojohadikusumo - dari angka yang ada, maka akan sampai pada jumlah angka tersebut di atas). Alhasil aset/dana tersebut sepertinya menganggur di bankbank di luar negeri. Dapat dikatakan, bahwa pelarian dana terbesar terjadi pada masa Orde Baru, terutama oleh para pejabat dan swasta (kemudian antara lain mereka yang tersangkut dengan BLBI, MSAA). Juga dana hasil ekspor tidak pernah dibawa kembali ke Indonesia atau sama sekali tidak dilaporkan. Statutory Declaration (SD)
Selama itu kegiatannya dilakukan secara ”Outside in”, artinya Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dengan jumlah SDMnya yang sangat terbatas diarahkan meneliti/menyidik sekian banyak pihak yang diindikasikan melakukan tindak pidana korupsi. Mekanisme Statutory Declaration (SD), merupakan mekanisme “inside out” yang dilakukan melalui 2 mekanisme hukum, yakni: a. Statutory Declaration (SD: Deklarasi Statuter). b. Mareva Injunction (MI: penuntutan/litigasi melalui Pengadilan negara asing). Kegiatan hukum ini diarahkan kepada pertama-tama bagaimana menghentikan korupsi dan sekaligus melakukan penindakan hukumnya. Caranya adalah di mana aset/ dana seseorang diteliti melalui mekanisme SD dalam bentuk menyerahkan daftar harta kekayaannya yang dimiliki suami-istri, anak-menantu, cucu dan kakek-nenek.
61
Memanfaatkan Mekanisme Deklarasi Statuter Dan “Mareva Injunction” Dalam Usaha Memberantas Korupsi Oleh : Prof. Dr. H. Priyatna Abdurrasyid, S.H., Ph.D.
Selama ini pengusutan tindak pidana korupsi dilakukan melalui mekanisme dan yang diterapkan oleh alat-alat penegak hukum sesuai dengan hukum yang berlaku, yakni dari luar ke dalam (outside-in) dan adakalanya kenyataan tidak terjaminnya kredibilitas dan reputasi alat-alat penegak hukum tersebut. Melalui SD, setiap orang memeriksa diri sendiri dengan mengisi daftar kekayaan/aset milik masing-masing yang bentuk daftar isiannya disiapkan secara baku oleh Pemerintah. Bilamana ada aset/dana mereka tersebut di atas tidak didaftarkan/ dilaporkan, maka aset tersebut walaupun terdaftar resmi di lembaga-lembaga negara tertentu misalnya (BPN, Perbankan) atas nama mereka, berarti mereka tidak mengakui kepemilikannya. Dengan demikian aset tersebut secara hukum kembali masuk dalam pemilikan negara (public domain) dan akan dikelola oleh semacam Balai Harta Peninggalan. Diterapkan bukan saja pada pejabat-pejabat negara, tetapi juga kepada mereka (antara lain mantan dan swasta) yang ditetapkan oleh terutama KPK (kalau perlu dibantu Kejaksaan Agung, Pajak, Bank Indonesia dan Lembaga-lembaga lainnya). 5. Keberadaan aset/dana telah tertumpuk hampir di seantero wilayah internasional, dalam bentuk barang-barang tidak bergerak dan bergerak, maupun berupa dana berbagai bentuk dan paling besar adalah berupa US$ dan kini mungkin EURO, Pound Sterling, Y, S $, dan lain-lain. Dalam hal ini sangat menarik, bahwa kebanyakan aset/dana tersebut ditempatkan di dalam yurisdiksi hukum Anglo Saxon, seperti USA, UK, Singapore, Cayman Island. Rupanya wilayah Swiss kini kurang menarik, walaupun dalam hal ini Bank Swiss yang berada di luar Swiss banyak digunakan (yang berada dalam yurisdiksi hukum Anglo Saxon). Ada pula yang ditempatkan di RRC, terutama oleh warga negara keturunan Tionghoa yang berupa penanaman modal setempat, sedangkan aset berupa sisa dana tetap dipilih ditempatkan di wilayah US$.
62
Mareva Injunction (MI)
MI ini merupakan mekanisme semacam asset tracing yang dilaksanakan di luar negeri melalui proses pengadilan di mana tersangka/tertuduh/terpidana diperkirakan memiliki harta benda berupa deposito maupun dalam bentuk lainnya. MI merupakan kepanjangan tindakan hukum dalam suatu proses hukum di Pengadilan Nasional dan menghendaki penyitaan-penyitaan terhadap aset milik tersangka/tertuduh/terpidana di luar negeri (istilah common law: attachment). Bermanfaat bagaimana membawa danadana milik perorangan di luar negeri kembali ke Indonesia dan diwajibkan, melalui proses hukum, diinvestasikan pada proyek-proyek yang tercantum dalam daftar prioritas negara. Kepada mereka ini dapat dikenakan semacam denda damai ataupun bentuk penalti lainnya.
6. Dalam rangka kegiatan inilah penulis telah mulai menghubungi beberapa lembaga internasional yang akan mampu menyiapkan tenaga ahli untuk mengusahakan penarikan kembali aset/dana tersebut yang disimpan tidak lagi secara konvensional, artinya dengan menggunakan nama-nama sendiri, nomor atau “nominee” untuk benda-benda tidak bergerak dan untuk dana-dana lainnya. Cara-cara yang dilakukan kini, sejak beberapa lama lebih panjang dan dibuat penuh komplikasi dengan menggunakan penghalang-penghalang “legal barriers”, misalnya si pemilik menunjuk seorang “nominee” membentuk perusahaan “holding” di Cayman Island. Perusahaan ini, melalui nominee/trustee membentuk anak perusahaan yang tersebar diseluruh pelosok dunia. Anak-anak perusahaan ini selanjutnya menunjuk trustee yang diberi tugas menghubungi Bank Internasional tertentu dan menempatkan dana-dana tersebut dalam bentuk “bearier certificates” (yang berhak adalah pemegang). Sertifikat tersebut kemudian disimpan di dalam safebox oleh trustee.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Memanfaatkan Mekanisme Deklarasi Statuter Dan “Mareva Injunction” Dalam Usaha Memberantas Korupsi Oleh : Prof. Dr. H. Priyatna Abdurrasyid, S.H., Ph.D.
7. Bentuk pemberantasan korupsi yang merupakan mekanisme baru yang diperhitungkan dapat ampuh dan efektif ini telah diterapkan oleh lembaga penegak hukum internasional dalam rangka usaha mengejar dan menyita aset/dana yang diparkir di luar negeri atau mencegah pelaku tindak pidana (korupsi) dan lainnya memindah-tangankan atau menyembunyikan aset/dana melalui berbagai cara (“Judgment proof”). Tindakan-tindakan “pengamanan” tersebut dilakukan melalui suatu bentuk mekanisme internasional yang dinamakan “Mareva Injunction”. Mekanisme melalui Deklarasi Statuter dan mekanisme melalui Mareva Injunction kiranya merupakan “pengamanan” dana dan aset liar agar dapat dimanfaatkan secara terbuka, efektif dan disahkan secara hukum oleh negara melalui proses hukum tertentu. 8. Mekanisme “Mareva Injunction” sejak 20 tahun belakangan telah diterapkan oleh lembaga penegak hukum (seperti Kejaksaan dan Pengadilan) di Inggris dan kemudian di USA. Bahkan sejak 10 tahun yang lalu telah dijadikan suatu prinsip atau mekanisme Hukum Internasional (teliti Piagam PBB dan perjanjian-perjanjian internasional dan regional mengenai pemberantasan korupsi). 9. MI (Mareva Injunction) ternyata telah berhasil mencegah Ferdinand dan Imelda Marcos mengalihkan aset-asetnya antara lain yang berupa bangunan bertingkat di New York - USA. Dari sini dapat dibuktikan bahwa wewenang penyitaan (“injunctive power”) dapat diterapkan secara internasional terhadap harta milik seorang tertuduh koruptif dimanapun ia berada, apakah benda milik tersebut berkaitan atau tidak dengan perkara pidana / perdata yang dihadapinya. 10. MI berlaku berdasarkan suatu prinsip yang fundamental bahwa pengadilan tidak dibenarkan mengizinkan terdakwa/termohon untuk melakukan tindakan-tindakan yang ditujukan mengacaukan kewajiban-
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
kewajibannya terhadap ketetapan-ketetapan lembaga penegak hukum. MI ini diterapkan dalam rangka mencegah terdakwa/ termohon yang merencanakan menyembunyikan atau memindah-tangankan aset/dana untuk dijadikan barang bukti dalam suatu perkara (“judgment proof”). 11. Pada awalnya Ml diterapkan di dalam kasus “Mareva Compania Naviera S.A versus International Bulk Carriers S.A (The Mareva, nama kapal, 1980) yakni sengketa antara sebuah perusahaan Mexico lawan sebuah perusahaan USA. Manipulasi perusahaan Mexico telah menimbulkan kerugian kepada perusahaan USA yang kemudian memperoleh dukungan menyita harta milik Mareva yang belum sempat dipindah-tangankan. 12. Kasus ini kemudian disidangkan di Pengadilan USA yang menerbitkan ketetapan sementara yang berbunyi sebagai berikut: “a district court has authority to issue a preliminary injunction where the plaintiffs can establish that money damages will be an inadequate remedy due to impending insolvency of the defendant or that defendant has engaged in a pattern of secreting or dissipating assets to avoid judgment”. 13. a. D e k l a r a s i S t a t u t e r ( “ S t a t u t o r y Declaration”) 1) Semua anggota masyarakat tanpa kecuali, tentunya didahulukan mereka yang akan mengisi jabatan penting dan mereka yang diperkirakan memiliki dana - aset “liar”, diwajibkan mengisi daftar isian “Deklarasi Statuter Statutory Declaration” dalam bentuk tertentu yang berisikan dana-aset milik: Suami - Istri Anak - Menantu Cucu Kakek - Nenek Manajemen deklarasi ini dapat dilakukan oleh suatu tim kerja sama
63
Memanfaatkan Mekanisme Deklarasi Statuter Dan “Mareva Injunction” Dalam Usaha Memberantas Korupsi Oleh : Prof. Dr. H. Priyatna Abdurrasyid, S.H., Ph.D.
antara alat-alat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Bea-Cukai, Pajak, Imigrasi, Badan Pertanahan Nasional dan lembaga-lembaga swasta yang ditunjuk untuk itu yakni KPK. Juga Perbankan dan lain-lain yang dianggap perlu). 2) Dana-aset yang dengan sengaja tidak dicantumkan di dalam deklarasi ini secara hukum kalau diketemukan melalui SD dan MI menjadi hak hukum pengurusan negara, melalui suatu badan semacam Balai Harta Peninggalan. b. Mareva Injunction Dalam rangka Deklarasi Statuter dan MI ini diusulkan beberapa penerapan atau cara yang harus dilakukan secara beruntun (“sequence”), yakni: 1) Menerbitkan peraturan tentang penindakan aset/dana dengan kewajiban menanamkan dananya di dalam perusahaan nasional yang kini harganya jauh di bawah harga pasar. Perusahaan-perusahaan semacam ini lebih baik dimiliki oleh warga nasional daripada oleh pihak asing, karena untuk apa menjualnya secara murah kepada asing, akan lebih baik kepada warga sendiri. Dan sekaligus memperkuat ekonomi nasional dan mengurangi pengangguran/ kejahatan. 2) Kepada mereka yang membawa kembali aset/ dana tersebut, dapat diberikan berbagai fasilitas kesempatan, misalnya investasi di bidang tertentu dan bebas pajak selama 2-5 tahun. Dikenakan denda wajib dan penalti, semacam denda damai (seperti denda damai pada kasus-kasus penyelundupan pada tahun 1967 an). 3) Melalui kesempatan/fasilitas bebas pajak, diharapkan paling tidak 30% aset/dana illegal tersebut akan kembali (seperti terjadi di India barubaru ini).
64
4) Dengan sendirinya aset-dana di luar negeri juga diusahakan menempatkannya di bawah pengawasan penggunaan oleh negara dan di mana para pemilik diberi kesempatan luas memanfaatkan dana-asetnya yang selama ini melanggar ketentuan-ketentuan negara akhirnya dapat diputihkan melalui Undang-undang. 14. Perlu ditambahkan, konsep sistem tersebut terdahulu tentunya menghendaki penjabaran lebih rinci selanjutnya. 15. Akan bijaksana, andaikata masyarakat luas dan mass media diikutsertakan dalam pengawasannya, seperti adanya Civilian Complaint Review Board (CCRB) seperti halnya di beberapa negara maju (Ombudsman di Indonesia). Badan ini independen, bukan alat penegak hukum, akan tetapi memiliki otoritas kredibilitas, keahlian untuk mengawasi kinerja lembagalembaga tersebut terdahulu serta menerima pengaduan masyarakat yang merasa dirugikan hak-haknya, bilamana terjadi tindakan negatif (terutama oleh Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan).
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Memanfaatkan Mekanisme Deklarasi Statuter Dan “Mareva Injunction” Dalam Usaha Memberantas Korupsi Oleh : Prof. Dr. H. Priyatna Abdurrasyid, S.H., Ph.D.
STATUTORY DECLARATION
TIDAK LAPOR
PAJAK Pengampunan
atau/dan
AYAH - IBU (SAUDARA)
Diterapkan sejak lapor
MILIK NEGARA
?
SUAMI - ISTRI
BALAI HARTA PENINGGALAN
ANAK - MENANTU
CUCU
MAREVA INJUNCTION
MENGEJAR ASSET DI LUAR NEGERI
PROPERTIES
DANA/SURAT BERHARGA
PAJAK
LAPOR
TIDAK LAPOR
Pemutihan:
Investasi dalam proyek tercantum di daftar
Mareva Injunction Melalui Pengadilan Luar Negeri
Pemerintah (sesuai pilihan pribadi)
Tax holiday 2 tahun atau lebih Denda 0,5 % atau lebih
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
65
M. Cherif Bassioni dan Marcia McCormick1 :
Penemuan-Penemuan: PENGGUNAAN KEKERASAN SEKSUAL SEBAGAI ALAT DAN METODE BERTEMPUR DALAM PEPERANGAN DI BEKAS WILAYAH YUGOSLAVIA2 Direview oleh: Kapten Chk Achmad Fadilah, S.H., M.Hum.3
M
endasarkan pada data yang terkumpul dari hasil investigasi lapangan diperoleh sebuah kesimpulan tunggal yaitu bahwa: kekerasan seksual yang terjadi,
bukan semata-mata merupakan dampak dari terjadinya konflik di Bosnia, tetapi memang sengaja dilakukan sebagai bagian dari taktik pertempuran dalam sebuah peperangan. Hal
1. M. Cherif Bassiouni adalah seorang Profesor di bidang hukum dan Presiden Institut Hukum dan Hak Asasi Manusia Internasional di Universitas De Paul, Mantan Ketua Komisi Ahli Pencari Fakta Resolusi PBB 780 (1992) tentang Investigasi Kekerasan dalam Hukum Humaniter Internasional di bekas wilayah Yugoslavia. Marcia McCormick adalah seorang asisten Jaksa Agung negara Bagian Illinois, Mantan staf Kejaksaan, Staf Pengajar di Institut Hukum dan Hak Asasi Manusia Internasional di Universitas De Paul.
naskah ini mendasarkan pada “Final Report of the Commission of Experts and its Annexes” yang dipublikasikan oleh Dewan Keamanan PBB. Tidak ada sesuatu yang rahasia dalam naskah ini, sebab dalam naskah ini tidak menyebutkan nama atau identitas yang detail dari korban-korban, saksi-saksi atau pelaku sekalipun. Informasi yang ada dalam naskah ini telah dipublikasikan secara umum dan telah melalui berbagai diskusi sebagaimana yang nanti akan disampaikan dalam naskah di dalam ini.
2. Naskah ini merupakah naskah Ketiga dari Lima Naskah “Penggunaan Kekerasan Seksual Sebagai Senjata Tersembunyi dalam Perang di Bekas Wilayah Yugoslavia”. Direview dari ‘The Findings: The Use of Sexual Violence as an Instrument of War” dalam buku yang ditulis oleh M. Cherif Bassioni dan Marcia McCormick, berjudul ‘Sexual Violence: An Invisible Weapon of War in The Former Yugoslavia’, diterbitkan oleh International Human Rights Law Institute, De Paul University College of Law, Published with support from The John D and Catherine T. MacArthur Foundation, 1996, hal. 15-23. Segala informasi yang ada dalam
3. Kapten Chk Achmad Fadilah S.H, M.Hum menyelesaikan program Sarjana Hukum di Fakultas Hukum UNSOED, Purwokerto; Magister Humaniora di Pascasarjana UNDIP, Semarang dan sempat mengikuti Program Doktor Ilmu Hukum di UNDIP, namun tidak selesai. Beranjak dari konsentrasi Hukum Pidana dan Kriminologi, kini concern di Hukum Humaniter dan HAM, khususnya “Humanitarian and Human Rights Law in Peacekeeping Operation”. Kini menjabat sebagai Kaur Jiankum Hum dan HAM Subditbinundang Ditkumad, serta Asisten Dosen Kriminologi dan Metodologi Penelitian Hukum di Sekolah Tinggi Hukum Militer.
66
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Penemuan-Penemuan: Penggunaan Kekerasan Seksual Sebagai Alat Dan Metode Bertempur Dalam Peperangan Di Bekas Wilayah Yugoslavia Direview oleh: Kapten Chk Achmad Fadilah, S.H., M.Hum.
ini terjadi karena perbuatan ini memiliki indikasi dilakukan secara sistematis dan meluas, dalam rangka dilakukannya pembersihan etnis (etnis cleansing). Kesimpulan ini didasarkan pada pola-pola kejahatan tertentu, dari beberapa kejadian yang memiliki hubungan dengan kekerasan seksual, dan beberapa faktor signifikan yang dihasilkan dari hasil penelitian, investigasi dan analisis data yang terkumpul. Kejahatan ini dilakukan dengan melancarkan sebuah strategi, dimana kelompok masyarakat Serbia melakukan pemindahan paksa terhadap suatu populasi penduduk sipil dari suatu area menuju area tertentu. Pola ini dengan sengaja dilakukan dalam rangka membangun sebuah komunitas yang disebut ”Greater Serbia”. Cara-cara yang dilakukan oleh kelompok Serbia dalam membangun komunitas “Greater Serbia” ialah melalui, tindak kekerasan, teror dan intimidasi. Salah satu tujuan yang hendak dicapai dari dilakukannya intimidasi dan teror tersebut adalah untuk meruntuhkan semangat para penduduk sipil yang menjadi target pemindahan paksa. Hal ini juga dilakukan untuk memastikan bahwa mereka tidak akan kembali lagi ke kota atau kampung dimana kejahatan tersebut dilakukan. Sejak saat itu peristiwa demi peristiwa terus terjadi dengan jangka waktu yang lama (long term), dalam rangka menghancurkan kelompok keluarga dan komunitas masyarakat yang dipindahkan secara paksa. Hal ini menjadi semakin jelas manakala pola serta perilaku yang sama terjadi berulang kali dengan tujuan merendahkan serta memperlakukan para korban kekerasan seksual dan para keluarganya tersebut secara tidak senonoh, selama lebih dari satu tahun. Dari berbagai peristiwa yang terjadi, tidak ditemukan adanya indikasi bahwa kejadian tersebut dilakukan secara spontan. Namun manakala sebuah kejadian yang sama terjadi secara berulang kali, maka patut diduga bahwa hal tersebut bukanlah merupakan sebuah kebetulan belaka, melainkan memang sudah direncanakan dan menjadi sebuah metode. Dari beberapa laporan yang terkumpul dapat diambil
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
sebuah dugaan bahwa perbuatan tersebut memang sudah direncanakan sejak bulan Agustus 1991, jauh sebelum terjadinya pecah perang di bekas wilayah Yugoslavia. Dari beberapa fakta lainnya yang muncul, justru menunjukkan hal yang sangat mengejutkan dan menumbuhkan berbagai pertanyaan. Pertanyaan yang sangat kritis adalah mengapa antara bulan Mei 1992 sampai bulan Juni 1993, ketika banyak dilaporkannya kejadian perkosaan, jumlah orang Serbia yang di hukum justru lebih sedikit dari jumlah yang dilaporkan/ dituntut. Merujuk pada beberapa kegiatan investigasi yang dilakukan, maka diperoleh hasil bahwa kekerasan tersebut memang dilakukan secara meluas. Tetapi manakala media massa memberitakan hal tersebut pada dunia luar, mulai dari bulan Desember 1992 hingga bulan Mei 1993, dimana sebelum pemberitaan kepada dunia luar terdapat rata-rata hampir 500 kejadian dalam satu bulan, maka setelah diberitakan kepada dunia luar jumlah kejadian tersebut mengalami penurunan secara tajam. Mendasarkan pada hasil observasi tersebut dapat dianalisis dan diajukan sebuah hipotesis, bahwa dapat diduga bahwa penggunaan kekerasan seksual sebagai taktik dalam perang walaupun secara samar tidak terlihat, namun secara perlahan tetapi pasti terus berkembang hingga tahun berikutnya.
67
Penemuan-Penemuan: Penggunaan Kekerasan Seksual Sebagai Alat Dan Metode Bertempur Dalam Peperangan Di Bekas Wilayah Yugoslavia Direview oleh: Kapten Chk Achmad Fadilah, S.H., M.Hum.
Pengulangan Pola Kejahatan Dalam sebuah analisis yang mendasarkan pada data yang diperoleh oleh De Paul’s International Human Rights Law Institute, dan hasil dari investigasi lapangan, Komisi Investigasi telah berhasil mengumpulkan banyak laporan perihal terjadinya kekerasan seksual yang dilakukan oleh semua pihak-pihak yang bertikai dalam konflik. Kekerasan seksual itu menimbulkan korban dan penderitaan bagi banyak pihak yang meliputi kelompok etnis Muslim Bosnia, Serbia Bosnia, Katholik Bosnia, Katholik Croatia, Serbia Croatia, Muslim Croatia, dan masih banyak lainnya. Penderita korban terbesar ada di kelompok etnis Muslim Bosnia, dan sebaliknya mayoritas pelaku terbesar yang dilaporkan berasal dari kelompok etnis Serbia Bosnia. 4 Kelompok etnis Serbia adalah kelompok yang banyak mengoperasionalkan kamp-kamp tahanan dimana kekerasan seksual kerap terjadi. Perbuatan kekerasan seksual yang terjadi termasuk juga didalamnya penganiayaan dan pembunuhan, yang kemudian para korbannya tersebut disatukan dalam kuburan massal. Kamp-kamp tahanan yang berlokasi strategis dikendalikan oleh kelompok etnis Serbia Bosnia, Herzegovina dan Croatia. Kamp startegis ini berlokasi disepanjang sungai Drina dan Sava. 5 Areal kamp tahanan ini bukan hanya tertutup dan diperuntukkan bagi etnis Serbia, tetapi juga menjadi sebuah wilayah
4. Kejahatan yang terjadi, tidak sepenuhnya dituduhkan pada kelompok etnis Serbia, akan tetapi terhadap banyak kesalahan tersebut juga tidak tahu harus ditujukan pada siapa, karena ketidakjelasan pelaku kejahatan. 5. M. Cherif Bassioni dan Marcia McCormick, berjudul ‘Sexual Violence: An Invisible Weapon of War in The Former Yugoslavia’, diterbitkan oleh International Human Rights Law Institute, De Paul University College of Law, Published with support from The John D and Catherine T. MacArthur Foundation, 1996, hal. 16. “The camps are located in a strategic are joining Serbia with Bosnia and Herzegovia and Croatia, along Drina and Sava Rivers.
68
yang memiliki konsentrasi tinggi etnis Serbia. Fakta inilah yang makin memperkuat munculnya dugaan kelompok Ultra Nasionalis Greater Serbia. Seluruh informasi yang dikumpulkan oleh Komisi Investigasi memiliki kesamaan tentang adanya kekerasan seksual yang dilakukan secara meluas, melebihi area geografis dari penguasaan wilayah. Lima pola pokok kekerasan seksual yang terjadi memiliki hubungan dengan kegiatan militer dalam waktu dan area yang sama. Kelima pola pokok kekerasan seksual tersebut adalah: kekerasan seksual dengan perampasan dan intimidasi; kekerasan seksual selama pertempuran; kekerasan seksual dalam masa penahanan; kekerasan seksual dalam kamp khusus pemerkosaan dan kekerasan seksual dalam kamp ”Bordello”. • Kekerasan Seksual dengan Perampasan dan Intimidasi Pola yang pertama adalah adanya kekerasan seksual yang disertai dengan perampasan dan intimidasi. Pola ini terlihat sebelum meluasnya pertempuran disebuah region. Saat kerusuhan itu muncul, anggota dari tiap-tiap etnis melakukan kontrol yang sangat kuat kepada pemerintahan setempat yang kemudian berubah menjadi tindakan teror terhadap para tetangganya. Kelompok para militer, individual-individual lainnya, atau elemen-elemen perusuh berusaha mendobrak masuk ke dalam rumah, melakukan intimidasi terhadap para penghuninya, mencuri dan menjarah barang-barang milik penghuninya, memukuli mereka, dan melakukan serangan seksual terhadap wanita di depan anggota keluarga lainnya. Salah satu contoh kasus yang dilaporkan adalah menimpa pada seorang wanita tua Bosnia yang berasal dari keluarga muslim. Ia mendapatkan perlakuan tidak senonoh dari seorang remaja Serbia yang berusia 19 tahun. Remaja tersebut memperkosa wanita tua itu dimuka umum, dimana seluruh
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Penemuan-Penemuan: Penggunaan Kekerasan Seksual Sebagai Alat Dan Metode Bertempur Dalam Peperangan Di Bekas Wilayah Yugoslavia Direview oleh: Kapten Chk Achmad Fadilah, S.H., M.Hum.
anggota keluarga dan tetangganya dipaksa menonton tindakan perkosaan tersebut. Sebelum melakukan pemerkosaan, remaja tersebut dipaksa mabuk terlebih dahulu, selanjutnya oleh anggota milisi, remaja itu dipaksa melakukan perkosaan dibawah todongan senjata. Tindakan ini bukan sekedar untuk membuat malu, tetapi juga untuk melemahkan mental dan semangat juang penduduk setempat. Contoh lainnya menimpa seorang wanita Croatia-Bosnia. Ia menjadi korban pemerkosaan massal oleh 8 orang tentara Serbia di depan kakak perempuannya serta anak wanitanya yang baru berumur 5 bulan. Salah seorang tentara tersebut memaksa dengan senjata saat memperkosa wanita itu, dimana wanita yang ditangkap dikenal sebagai sebagai ustazah.6 Sebagian pola ini terjadi secara sporadis di satu dan areal lainnya di wilayah Bosnia, Herzegovina dan Kroasia. Pada saat itu group para militer Croatia berada di sekeliling desa melakukan penculikan terhadap wanita Bosnia-Serbia dari rumah mereka. Para wanita itu diambil secara paksa, diperkosa berulang kali oleh kelompok yang berjumlah lebih dari 15 orang dan setelah selesai wanita itu dicampakkan. • Kekerasan Seksual selama pertempuran Pola yang kedua adalah terjadinya kekerasan seksual selama pertempuran. Polanya adalah pada saat pasukan militer menyerang kota atau desa, mereka mengumpulkan seluruh populasi penduduk kota atau desa yang mereka tahan. Selanjutnya mereka dipisahkan berdasarkan
6. Menurut M. Cherif Bassiouni dan Marcia McCormick Pada perang dunia II, istilah ustadzah adalah tokoh pemerintah lokal yang bekerja sama dengan NaziJerman. Namun menurut pereview, penafsiran tersebut keliru karena penafsiran ustadzah adalah seorang guru wanita yang mengajarkan ilmu pengetahuan dan bukan hanya sekedar tokoh pemerintahan lokal.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
jenis kelamin dan usia. Beberapa wanita mengalami perkosaan dan kekerasan seksual di rumah mereka sendiri setelah pasukan para militer itu mengamankan wilayah. Sedangkan terhadap para wanita lainnya yang sengaja dipilih, mereka akan diperkosa berulang kali atau dilakukan kekerasan seksual di depan publik. Sebagai contoh, seorang saksi melihat seorang wanita tua dan beberapa wanita lainnya diperkosa di depan anggota keluarganya dan di depan 100 orang tahanan penduduk desa. Setelah kejadian itu seluruh penduduk desa dipindahkan ke kamp tahanan. • K e k e r a s a n S e k s u a l d a l a m M a s a Penahanan Pola yang ketiga adalah terjadinya kekerasan seksual di kamp tahanan dengan memanfaatkan fasilitas penahanan atau tempat lainnya yang dengan bahasa halus disebut sebagai Refugee Collection Center (Pusat Pengumpulan Pengungsi).7 Setelah penduduk desa tersebut dikumpulkan dari kota atau desa, laki-laki dan perempuan dikumpulkan secara terpisah. Laki-laki dengan usia produktif dan dinilai mampu melakukan pertempuran disiksa dan dibunuh atau dikirim ke kamp kerja paksa untuk kepentingan para penangkapnya. Umumnya wanita yang tertangkap ditempatkan secara terpisah dari kamp tentara, kamp penjaga, kamp para militer dan segenap penduduk sipil yang memiliki kepentingan tehadap wanita itu. Namun dalam kenyataannya para wanita itu dapat diambil kapan saja dan diperkosa sesuai dengan keinginan mereka. Para penjaga yang seharusnya melindungi mereka malah memanfaatkan situasi dan ruangan yang kacau di malam hari.
7. Nama dari beberapa kamp tahanan, dapat didiskusikan dan dilihat dibelakang pada Annex IX dari Laporan Akhir Komisi.
69
Penemuan-Penemuan: Penggunaan Kekerasan Seksual Sebagai Alat Dan Metode Bertempur Dalam Peperangan Di Bekas Wilayah Yugoslavia Direview oleh: Kapten Chk Achmad Fadilah, S.H., M.Hum.
Dengan berbekal lampu senter para penjaga itu memilih wanita dengan cara menyorotkan lampu senter itu ke wajahnya secara acak. Hal itu merupakan bagian teror terhadap penduduk yang ada di kamp penahanan tersebut. Setelah mereka puas terhadap wanita itu terkadang mereka membunuhnya atau mengembalikannya atau melakukan pertukaran dengan tahanan wanita lainnya. Walaupun pola ini merupakan pola yang dominan di dalam kamp tahanan, tetapi ada juga laporan yang menyatakan adanya wanita yang diperkosa atau mendapatkan serangan seksual di depan tahanan wanita lainnya. Kasus lainnya adalah perlakuan pemaksaan perkosaan antar tahanan. Dalam beberapa kasus, komandan kamp yang seharusnya bertanggung jawab dan melindungi para tahanan, malah ikut berpartisipasi atau diam saja. Perkosaan massal yang terjadi sering kali dilaporkan disertai dengan pemukulan, penyiksaan atau penganiayaan atau berbagai bentuk penghinaan lainnya. Sehingga kamp tahanan berubah fungsi menjadi tempat penyiksaan, pembunuhan massal dan pelanggaran hukum humaniter lainnya. Dalam sebuah kamp yang populasinya bercampur (laki-laki dan wanita) atau hanya laki-laki saja, terkadang laki-laki juga dapat menjadi korban penyerangan seksual.
70
Sebagai contoh dalam sebuah kasus, tahanan laki-laki dipaksa untuk memukul alat genital tahanan laki-laki lainnya. Penyerangan seksual terhadap tahanan laki-laki walaupun tidak mendapatkan publikasi yang cukup luas tetapi hal tersebut merupakan juga perbuatan yang tidak manusiawi dan kerap dilakukan oleh para penjaga untuk sekedar memuaskan keisengannya. • Kekerasan Seksual dalam Kamp Khusus Pemerkosaan Pola yang keempat adalah adanya kekerasan seksual dalam kamp khusus pemerkosaan. Beberapa orang yang masih mampu bertahan dalam kamp tahanan tersebut percaya bahwa mereka ditahan di tempat itu semata-mata bukan hanya untuk ditahan dan diamankan, akan tetapi memang sengaja ditahan dan dihukum, dengan bentuk hukuman adalah penyerangan seksual. Di tempat ini, semua wanita yang ada diperkosa dan diperlakukan secara semenamena secara rutin, perlakuan semenamena itu selalu disertai dengan pemukulan, penganiayaan dan perbuatan tersebut selalu dilakukan dihadapan para tahanan wanita lainnya. Terkadang beberapa kegiatan lainnya kerap dilakukan dengan tujuan merendahkan para korban. Sebagai contoh, dalam sebuah kamp tahanan, terdapat seorang gadis yang telah diperkosa berulangkali, selain itu ia juga diserang secara seksual didepan para tahanan lainnya. Terkadang Ia dipaksa untuk meminum alkohol secara berlebihan atau duduk diatas ranjau atau dipaksa melompat keluar dari jendela. Kejadian yang sama juga terjadi disebuah kamp tahanan orang Croatia dan Kelompok Muslim yang dijaga oleh kelompok Serbia. Dalam beberapa kasus, kelompok yang melakukan penangkapan dan penahanan tersebut mengatakan bahwa mereka berusaha untuk menghamili para korbannya. Sebagai contoh, ada sebuah peristiwa, dimana seorang wanita
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Penemuan-Penemuan: Penggunaan Kekerasan Seksual Sebagai Alat Dan Metode Bertempur Dalam Peperangan Di Bekas Wilayah Yugoslavia Direview oleh: Kapten Chk Achmad Fadilah, S.H., M.Hum.
dibuahi secara paksa oleh kelompok Serbia, tujuannya adalah agar ia dapat melahirkan seorang anak laki-laki sebagai cikal bakal kelompok Ultra Nasionalis Serbia. Anak ini jika telah dewasa nantinya diharapkan dapat membunuh orang Muslim. Beberapa rumah sakit di Sarajevo, Tuzla dan Zenica melihat adanya peningkatan angka aborsi selama tahun 1992 dan 1993. Aborsi ini banyak dilakukan oleh wanita yang hamil karena diperkosa atau dibuahi secara paksa dalam kamp-kamp tahanan. Namun karena mereka terlalu lama ditahan dalam kamp tahanan, maka usia janin yang ada dalam perut mereka sudah terlanjur besar dan sangat berbahaya jika dilakukan pengguguran secara paksa. Dari data yang terkumpul, tercatat lebih dari 120 wanita yang dibuahi secara paksa. • Kekerasan Seksual dalam “Kamp Bordello” Pola terakhir yang terjadi di kamp-kamp tersebut adalah pola yang biasa disebut dengan “Kamp Bordello”. Sebutan ini menunjukkan adanya pola penangkapan dan pengumpulan para wanita dalam sebuah kamp yang nantinya akan digunakan sebagai pemuas nafsu seksual bagi para lelaki Serbia yang baru kembali dari bertempur di garis depan. P a r a w a n i t a i n i d i t a n g k a p d a n dikumpulkan dari rumah-rumah mereka atau dari kamp-kamp tahanan yang sudah ada, lalu dibawa ke hotel atau wisma yang terpencil. Selanjutnya mereka dipaksa untuk memberikan pelayanan seksual bagi para prajurit atau orang sipil yang baru saja bertempur. Tidak seperti kamp tahanan lainnya, tujuan dari pengumpulan dan penahanan wanita ini bukan untuk melukai atau menghukum mereka tetapi sematamata memang untuk memberikan pelayanan seksual belaka. Tidak juga seperti kamp tahanan wanita lainnya, dimana setelah mereka diperkosa atau dibuahi secara paksa mereka
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
dikembalikan lagi dalam keadaan hidup, tetapi dalam kamp tahanan bordello ini, kebanyakan wanita yang sudah dipaksa memberikan pelayanan seksual ini dibunuh dan tidak dikembalikan ke kamp tahanannya. Disebuah tempat dimana terdapat sebuah rumah dengan kamar-kamar kecil di dekap Sarajevo, terdapat sejumlah wanita Muslim dan Katholik Croatia. Mereka ditangkap dan ditahan untuk memberikan ”pelayanan seksual” bagi para pejuang Serbia. Beberapa orang Serbia menyebut fasilitas ini sebagai ”hotel kesenangan (Convenience Hotel)”. Secara langsung Hannah Arendt mengilustrasikan kegiatan tersebut sebagai kebiadaban yang mencerminkan sifat dasar dari iblis. Bagaimana tidak, ia menggambarkan bahwa dalam kamp tersebut seorang penjaga juga berperan sebagai pemegang kunci dari tiap-tiap kamar. Dimana dalam kamar-kamar tersebut telah tersedia wanita-wanita yang dipaksa untuk memberikan pelayanan seksual. Ketika para pejuang kembali dari medan tempur, para pejuang tersebut melampiaskan semua ketegangan dan keperkasaannya dengan melakukan penyerangan secara seksual terhadap para wanita tersebut. Salah seorang dari pejuang paramiliter Serbia yang pernah mencoba melakukan penyerangan seksual tersebut dan telah dihukum oleh Pengadilan Militer Bosnia mengatakan bahwa ia telah berulang kali mendatangi kamp Bordello. Menurut penuturannya, ia mengambil beberapa
71
Penemuan-Penemuan: Penggunaan Kekerasan Seksual Sebagai Alat Dan Metode Bertempur Dalam Peperangan Di Bekas Wilayah Yugoslavia Direview oleh: Kapten Chk Achmad Fadilah, S.H., M.Hum.
wanita yang ia sukai dan menyekap dan “menggunakannya” selama yang ia inginkan, lalu setelah itu ia bunuh. Ketika ditanyakan mengapa para wanita itu harus dibunuh, bukankah lebih mudah untuk melepaskan mereka secara diam-diam tanpa diketahui oleh orang lain, pejuang para militer tersebut menjawab bahwa lebih mudah membunuh daripada harus melepaskannya. Karena dengan membunuhnya maka tidak ada bukti bekas kejahatan, akan tetapi dengan melepaskannya maka akan ada bukti perbuatannya yang akhirnya dapat menjeratnya hingga ke pengadilan seperti yang dia alami sekarang ini. Salah satu kasus tragis menimpa pada seorang anak perempuan berusia 11 tahun yang berasal dari Foca, Bosnia. Ia menjadi contoh nyata kisah tragis yang mengenaskan, ia harus menjalani catatonic virtuality setelah ia melahirkan akibat pemaksaan kehamilan. Kejadian lainnya juga menimpa pada dua anak perempuan yang usia lebih tua. Mereka diambil dari kediamannya dan mereka langsung ditahan dalam kamp bordello. Selanjutnya lebih dari delapan bulan, para anak perempuan itu diperkosa berulang-kali oleh beberapa penjaga, oleh beberapa teman penjaga yang mengunjunginya dan para pengawal komandan. Diakhir kisah, setelah berulang kali diperkosa, anak perempuan itu oleh komandan pasukan digunakan sebagai sasaran latihan penggunaan senapan mesin. Setahun setelah kejadian itu, anak perempuan yang tertua, berusaha mengakhiri penderitaan tersebut dengan menceritakan kejadian tersebut dengan penuh keberanian. Kasus lainnya juga menimpa seorang perempuan dewasa yang telah diperkosa dalam kamp tahanan dan dipaksa untuk berlari secara telanjang di jalan utama kota. Contoh kasus lainnya adalah, peristiwa terjadinya pemerkosaan seorang anak perempuan di sekolah menengah atas oleh teman sekelasnya. Pemerkosaan ini dilakukan dibawah paksaan personel militer, yang menyuruh melakukan pemerkosaan.
72
Dan masih banyak lagi cerita lainnya yang dilaporkan orang perorang kepada para investigator. Karakteristik Umum Beberapa karakteristik umum yang muncul dalam setiap kasus, berhubungan erat dengan tempat atau konteks dimana kejahatan itu dilakukan. Karakteristik itu meliputi: • Motivasi Etnis Setiap laporan kasus kekerasan seksual yang terjadi, hampir selalu berhubungan dengan penduduk yang mengungsi dari suatu tempat ke tempat lainnya. Rata-rata korbannya adalah para pengungsi dan pelakunya adalah kelompok etnis dimana para pengungsi tersebut menumpang diwilayahnya. Memang ada beberapa laporan kekerasan seksual dan perkosaan yang dilakukan oleh sesama kelompok etnis, namun lebih banyak kekerasan seksual dan perkosaan yang dilakukan antar etnis. Sebagai contoh, ada beberapa pengungsi dari etnis tertentu yang mendapatkan shelter perlindungan di wilayah etnis lainnya, menjadi sasaran dari etnis dominan di wilayah tersebut. Namun ada juga yang melangsungkan pernikahan dengan etnis dari wilayah tersebut, agar keberadaan mereka dilindungi. Dalam beberapa laporan lainnya motivasi etnis sangat menonjol. Sebagai contoh, ada beberapa kasus wanita yang diberikan perlindungan secara individu oleh seorang lelaki yang memiliki etnis yang sama dengan kelompok etnis yang kerap menyerang kaum perempuannya. Namun perlindungan ini bukannya tanpa pamrih, sebab ada hal-hal tertentu yang diinginkan oleh para lelaki tersebut. Para lelaki itu terkadang mengambil perempuan itu keluar dari kamp tahanan. Para lelaki itu menyampaikan pada para penjaga, bahwa mereka akan membawa perempuan tersebut keluar dari kamp untuk membantunya melarikan diri. Sehingga pada saat wanita
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Penemuan-Penemuan: Penggunaan Kekerasan Seksual Sebagai Alat Dan Metode Bertempur Dalam Peperangan Di Bekas Wilayah Yugoslavia Direview oleh: Kapten Chk Achmad Fadilah, S.H., M.Hum.
itu keluar dari kamp tahanan, mereka sudah melengkapi dirinya dengan alat pencegah kehamilan. • Mempermalukan Kekerasan seksual yang dilaksanakan secara intensif pada dasarnya bertujuan untuk mempermalukan, merendahkan dan menjatuhkan mental korban, keluarganya dan seluruh komunitasnya. Antara keluarga yang satu dengan keluarga yang lain, saling dipaksa untuk melakukan pemerkosaan secara silang. Selain itu para korban diperkosa di depan anak-anaknya, di tempat-tempat umum atau di depan para tahanan lainnya. Sekelompok besar laki-laki mengarahkan perhatiannya pada kelompok perempuan, untuk menjadikannya mereka sasaran perkosaan massal atau kekerasan seksual. Terkadang mereka melakukannya dengan disertai hantaman popor senjata. Bukan hanya wanita, kelompok lelaki yang ditangkap juga tak luput menjadi sasaran penghinaan, pelecehan seksual dan kekerasan seksual. Mereka dipaksa untuk melakukan perkosaan, melakukan oral seks di hadapan para penjaga atau saling melakukan oral seks antara tahanan laki-laki yang satu dengan tahanan yang lainnya, atau para tahanan itu dipaksa untuk melakukan berbagai macam kegiatan seksual lainnya. Dan yang paling sadis, terkadang terhadap para tahanan lelaki itu dilakukan pengebirian secara paksa, penyunatan secara paksa dan dimutilasi alat kelaminnya. • Brutal Penyerangan seksual terkadang dilakukan dengan sangat brutal. Korban diserang dengan menggunakan bendabenda asing yang sangat membahayakan, seperti misalnya pecahan botol, senjata, dan truncheons (alat pemotong). Pengebirian juga kerap dilakukan dengan cara dan alat yang sangat kasar, termasuk menggunakan gigi dan kawat.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
• Memperluas Pelanggaran Para pelaku pelanggaran tersebut, cenderung tidak hanya melakukan satu jenis pelanggaran saja, seperti misalnya kekerasan seksual saja, akan tetapi mereka juga melakukan beberapa jenis pelanggaran lainnya seperti penculikan, penyiksaan dan eksekusi massal. • Sasaran Para pelaku tidak hanya membidik para wanita muda atau para wanita yang masih perawan, tetapi juga mengincar tokoh-tokoh masyarakat yang perempuan atau para profesional perempuan. Sebagai contoh, dalam sebuah kota, komunitas Serbia menangkap dan secara berulangkali memperkosa tiga orang wanita Katholik Bosnia yang berupaya melakukan perlawanan secara luar biasa. Ketiga wanita itu adalah seorang pengacara, hakim dan seorang psikiater. Walaupun mereka telah mengalami hal yang menakutkan, namun mereka telah berani menceritakan kejadian tersebut kepada publik dan mendorong wanita lain yang mengalami hal yang sama untuk melakukan hal yang sama, seperti yang mereka lakukan. Dalam sebuah pembicaraan, Pengacara tersebut mengatakan bahwa ia telah diperkosa berulang kali, dan setiap kali diperkosa, pelaku pemerkosaan itu berharap agar si pengacara tersebut menjadi patah arang dan putus asa. Namun setiap diperkosa pengacara tersebut mengatakan, “kamu tidak akan pernah bisa membuat saya putus asa dan menyerah”. • Kehamilan yang Dipaksakan Para pelaku pemerkosaan dengan sengaja melakukan perbuatan tersebut dengan tujuan agar para korbanya menjadi hamil. Para pelaku tersebut melakukan pemerkosaan dan menjaga hingga korbannya hamil, dan terus memperkosa
73
Penemuan-Penemuan: Penggunaan Kekerasan Seksual Sebagai Alat Dan Metode Bertempur Dalam Peperangan Di Bekas Wilayah Yugoslavia Direview oleh: Kapten Chk Achmad Fadilah, S.H., M.Hum.
dan menjaganya sampai kehamilan tersebut benar-benar tidak dapat digugurkan. Para pelaku tersebut mengatakan kepada para korbannya bahwa jika para wanita tersebut memiliki anak dari keturunan atau etnis pemerkosanya, mereka akan selalu teringat sepanjang hidupnya atas kejadian yang menimpa pada diri mereka. • Tujuan Beberapa pelaku mengatakan bahwa mereka memang diperintahkan untuk melakukan pemerkosaan terhadap para penduduk sipil yang menjadi korban. Sebagian pelaku lainnya mengatakan bahwa mereka melakukan hal tersebut kepada korban serta keluarganya, dengan tujuan agar para korban serta keluarganya hengkang dari wilayah tersebut dan tidak mau kembali lagi. Disisi lain sebagian pelaku lainnya juga mengatakan bahwa, andaikata kejahatan tersebut tidak pernah terungkap, maka mereka akan terus melakukan perburuan terhadap para wanita untuk dijadikan korbannya, lalu setelah mereka puas memperkosanya mereka akan membunuhnya. Terhadap kejadian ini, Komandan
8. Ibid hal. 21. “....strongly suggest a systematic policy to use sexual violence as an instrument of war...” Menunjuk pada laporan yang dimuat oleh koran Ljubljana DELO, bagian dari rencana RAM yang telah dilaporkan bahwa memang ada rencana untuk melakukan pembunuhan massal atas kelompok Muslim dan menggunakan pemerkosaan massal sebagai senjata dalam perang psikologi. Merujuk pada informasi yang dimuat dalam DELO bahwa Departemen Operasi Psikologi, Tentara Nasional Yugoslavia di Belgrade, memiliki rencana yang mendasarkan pada sebuah analisis bahwa akan lebih mudah meruntuhkan moral dan perilaku Umat Muslim untuk bertempur, jika sudah terlebih dahulu merusak (memperkosa) kaum wanitanya, kelompok minoritas, bahkan anak-anaknya dan membunuh kelompok muslim nasionalis di tempat peribadatan mereka”. Laporan ini mendasarkan pada Kresmir Meier dan Mirjana Glusac, “Rape as a means of battle” DELO, 23 Pebruari 1993 page 6 tersedia di
74
Kamp bukannya tidak tahu, terkadang ia mengetahui adanya kekerasan seksual, namun ironisnya ia tidak berusaha mencegah bahkan tidak jarang ia ikut serta melakukan kekerasan seksual tersebut. Penafsiran Bukti-bukti Beberapa kejadian kekerasan seksual memang dilakukan secara kebetulan oleh pribadi-pribadi tertentu atau kelompok-kelompok kecil tertentu tanpa adanya perintah langsung atau kebijakan yang meluas. Namun demikian banyak kasus lainnya yang terjadi seakan-akan merupakan sebuah gambaran umum yang nyata terhadap sebuah kejahatan dengan pola dan karakteristik tertentu dari sebuah kebijakan. Mengapa demikian, karena kejadian berulang ini memiliki rentang waktu yang panjang, dan terjadi lebih dari 1000 km perbatasan yang memisahkan antara Pasukan Pemerintah Bosnia dengan Serbia Bosnia. Sehingga atas pola dan kejadian tersebut diduga adanya sebuah kebijakan yang sistematis untuk menggunakan kekerasan seksual sebagai alat dan metode dalam peperangan.8 Kejahatan yang terjadi tidak selalu harus mengikuti pola yang sudah ada, untuk jangka waktu yang lama dengan berbagai tempat yang berbeda dengan tanpa adanya perencanaan dan
F.B.I.S Daily Report, Eastern Europe, 23 Maret 1993 Page 25. Mantan Perwira Angkatan Darat Jugoslavia yang berasal dari Slovenia melaporkan bahwa rencana itu benar-benar ada. Andrew Bell Fialkoff menyatakan bahwa “stigma” (cap buruk) yang melekat pada para wanita korban pemerkosaan merupakan cara yang lebih mudah mematahkan semangat juang mereka, dengan demikian, akan lebih mudah mengatur mereka dan menguasainya. Dari pemahaman ini ditunjukkan bahwa pemerkosaan juga merupakan salah satu cara yang efektif dalam melaksanakan pembersihan etnis. Andrew Bell Fialkoff dalam “A Brief History of Etnis Cleansing” FOREIGN AFF, Summer 1993, hal 110, 120. Dalam perencanaan RAM dikemukakan bahwa untuk melakukan pembersihan etnis, penggunaan perkosaan sebagai metode untuk melakukan teror terhadap populasi muslim dirasakan cukup efektif.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Penemuan-Penemuan: Penggunaan Kekerasan Seksual Sebagai Alat Dan Metode Bertempur Dalam Peperangan Di Bekas Wilayah Yugoslavia Direview oleh: Kapten Chk Achmad Fadilah, S.H., M.Hum.
dengan tanpa sepengetahuan dari pemimpin politik dan komandan militer setempat. Manakala diingatkan kembali terhadap kondisi nyata, maka akan terlihat secara kuat sejumlah besar peristiwa yang terjadi di kamp tahanan sekitar 600 sampai dengan kurang lebih 1100 kasus yang dilaporkan. Kasus ini diambil tidak secara acak, melainkan merupakan hasil dari pemilahan, pengelompokan dan koordinasi yang dilakukan oleh berbagai pihak. Semua kasus ini memperlihatkan bahwa komandan kamp memang memiliki kebijakan minimal terhadap terjadinya kekerasan seksual, dan kontrol yang lemah terhadap orang-orang yang berada di bawah kendali komandonya. Pada tingkat pimpinan militer dan politik tertinggi memang sudah seharusnya mengetahui apa yang tengah terjadi, dan mereka mengetahui bahwa mereka memiliki tanggungjawab secara pidana, paling tidak mereka menyadari bahwa mereka gagal untuk melakukan pencegahan terjadinya kejahatan kekerasan seksual dan mengambil tindakan untuk menghukum para pelakunya. Beberapa penemuan di lapangan ini menumbuhkan rasa penasaran yang kuat terutama dugaan adanya interpretasi atas sebuah kebijakan pimpinan tingkat tinggi dalam merencanakan penggunaan kekerasan seksual. Laporan kejadian yang terkumpul di database Komisi menyebutkan bahwa antara tahun 1991 dan 1993 telah terjadi banyak kekerasan seksual. Mayoritas kejahatan tersebut terjadi antara bulan April sampai Nopember 1992, dan mengalami kenaikan yang signifikan di tahun 1993. Bahkan jumlah yang dirilis oleh media massa jauh melebihi angka yang terkumpul di Tim Komisi, meningkat tajam terkumpul dari yang mengalami sendiri kejadian tersebut yaitu di musim semi tahun 1992 hingga JanuariPebruari 1993 lebih dari 1000. Angka ini terus bertambah, walaupun terdapat perbedaan selisih yang tajam antara jumlah kejahatan yang dirilis media dengan jumlah kejahatan yang dihimpun oleh Tim Komisi. Apakah dalam hal ini media massa terasa sangat lamban dalam mengangkat berbagai permasalahan buruk yang terjadi di
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
wilayah konflik? Atau apakah adanya tekanan dari media massa dunia terhadap para pelaku kejahatan tersebut untuk berhenti? Atau mungkin masih ada kemungkinan lain, dimana para pelanggar tersebut merasa bahwa perbuatan mereka sedang disoroti oleh masyarakat dunia, sehingga perbuatan kekerasan seksual menjadi terhenti? Terhadap beberapa pertanyaan ini, ada dua penjelasan yang menunjukkan bahwa Komandan sebenarnya dapat melakukan kontrol atau kendali terhadap pelaku kekerasan seksual. Dan jika dalam kasus tersebut tetap terjadi kesalahan dalam melaksanakan kontrol yang kuat berdasarkan fakta yang ada, maka dapat diperkirakan bahwa terdapat sebuah kebijakan dibalik terjadinya kekerasan seksual tersebut. Kebijakan ini dilakukan oleh Serbia, dengan tujuan terjadi sebuah efek yang dramatis. Penggunaan kekerasan dan teror, melalui penghinaan dan merendahkan martabat manusia sampai dengan penggunaan kekuatan/ kekerasan dalam rangka mengusir sebuah komunitas tertentu dari wilayahnya merupakan sebuah proses viktimisasi pada komunitas tersebut. Dan ini merupakan sebuah kunci awal terjadinya aksi pembersihan etnis. Manakala tim Komisi mengajukan tuntutan atas terjadinya perkosaan dan beberapa kejahatan serius lainnya yang dilakukan oleh Muslim Bosnia dan Croatia terhadap wanita Serbia, kejahatan sangat serius tersebut jangan diabaikan, walaupun dalam kejahatan tersebut tidak terdapat indikasi adanya kebijakan dilakukannya kekerasan seksual sebagaimana yang dilakukan oleh Pemerintah Bosnia dan Croatia. Kesimpulan/Ringkasan hasil kerja Tim Komisi Penggunaan kekerasan seksual saat terjadinya konflik di wilayah bekas Yugoslavia, terjadi secara meluas. Perbuatan tersebut dilakukan oleh berbagai faksi-faksi yang tengah bertikai. Mayoritas korban dari kekerasan seksual ini menimpa kelompok Muslim Bosnia, dan mayoritas pelaku kekerasan seksual tersebut dalam kelompok Serbia Bosnia. Kelompok Serbia Bosnia ditenggarai menggunakan
75
Penemuan-Penemuan: Penggunaan Kekerasan Seksual Sebagai Alat Dan Metode Bertempur Dalam Peperangan Di Bekas Wilayah Yugoslavia Direview oleh: Kapten Chk Achmad Fadilah, S.H., M.Hum.
perkosaan sebagai bagian dari kebijakan mereka untuk melancarkan teror dan kekerasan dalam rangka mendukung kebijakan pembersihan etnis (etnis cleansing). Tim Komisi telah melakukan identifikasi yaitu terdapat beberapa pola yang berbeda saat terjadinya kekerasan seksual, korbannya, baik di dalam maupun diluar kamp tahanan. Tim Komisi juga menemukan adanya beberapa kesamaan perilaku dan pola pelaku kekerasan seksual yang terjadi baik di seluruh wilayah Bosnia dan Herzegovina, antara bulan April 1992 dan Juni 1993. Jumlah kejadian tersebut mengalami peningkatan secara signifikan di tahun 1993. Kemungkinan hal ini terjadi karena respon yang intensif dari media massa serta dunia luar, dalam mengangkat permasalahan yang mempermalukan ummat manusia itu. Manakala kekerasan seksual terjadi secara sporadis, kebanyakan dari kejadian tersebut dilakukan secara sistematis dan meluas, dengan menggunakan moment terhadap para penduduk yang mengungsi dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Mereka dijadikan sasaran kejahatan oleh kelompok etnis yang ada di wilayah tersebut. Yang lebih parah, terkadang komandan militer yang ada di lapangan, ataupun komandan militer yang bertanggungjawab atas sebuah kamp pengungsian, secara eksplisit justru memerintahkan bawahannya untuk melakukan kekerasan seksual. Dalam kasus ini, secara tersirat, seorang Komandan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana secara individu. Dalam kasus yang lain, dimana seorang komandan militer lapangan atau komandam kamp gagal untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual dan tidak berupaya untuk menghukum para pelaku setelah kejahatan itu dilakukan, maka itu merupakan sebuah pelanggaran terhadap kewajiban seorang komandan. Sehingga terhadap komandan yang tidak mencegah dan menghukum anggotanya tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban komando berdasarkan doktrin pertanggungjawaban komando dalam lingkup hukum internasional. Dalam doktrin ini beban tanggungjawabnya dapat mengikuti hingga ke komando atas
76
berdasarkan rantai komando yang ada. Bentuk pertanggungjawaban ini dapat mencapai orang yang merencanakan kebijakan tersebut dengan mempertimbangkan perkiraan akibat yang bakal terjadi secara masuk akal. Terhadap kasus yang seperti ini maka harus ditangani secara baik dan hati-hati, dengan tetap memperhatikan fakta yang ada, pola yang terjadi serta kebijakan yang diambil, sebelum dilangsungkannya International Tribunal for the Former Yugoslavia (Pengadilan Pidana Internasional bagi Bekas Wilayah Yugoslavia). Rerefensi Utama: M. Cherif Bassioni; Marcia McCormick, ‘Sexual Violence: An Invisible Weapon of War in The Former Yugoslavia’, International Human Rights Law Institute, De Paul University College of Law, Published with support from The John D and Catherine T. MacArthur Foundation, 1996. Rerefensi Pendukung: Final Report of the Commission of Experts Established Pursuant to Security Resolution 780, U.N. SCOR, Annex, U.N. Doc. S/1994/674 (May 27, 1994) The Commission’s final report includes a set of twelve detailed annexes setting out on the factual and legal support for its finding. Annex IX to the final report is a study based on report of sexual violence committed in the former Yugoslavia. Rape and Sexual Assault, U.N.SCOR, Annex IX, U.N. Doc S/1994/674/ Add.2 (Vol.V) (Dec 28,1994). Annex II is a legal analisys of rape and sexual assault in international law. Rape and Sexual Assault: A Legal Study, U.N.SCOR, Annex II, U.N.Doc S/1994/674/Add.2 (Vol.I) (May 31, 1995) The Annexes and the final report can be accessed via the internet at the following addreeses: http://www.cij.org/cij/commission.html http://www.cij.org/cij/
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara menjamin hak konstitusional setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagai sarana perlindungan hak asasi manusia; b. bahwa negara bertanggung jawab terhadap pemberian bantuan hukum bagi orang miskin sebagai perwujudan akses terhadap keadilan; c. bahwa pengaturan mengenai bantuan hukum yang diselenggarakan oleh negara harus berorientasi pada terwujudnya perubahan sosial yang berkeadilan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Bantuan Hukum; Mengingat: Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5), dan Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
77
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG BANTUAN HUKUM BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum. 2. Penerima Bantuan Hukum adalah orang atau kelompok orang miskin. 3. P e m b e r i B a n t u a n H u k u m a d a l a h lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan Hukum berdasarkan UndangUndang ini. 4. M e n t e r i a d a l a h m e n t e r i y a n g menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. 5. Standar Bantuan Hukum adalah pedoman pelaksanaan pemberian Bantuan Hukum yang ditetapkan oleh Menteri. 6. Kode Etik Advokat adalah kode etik yang ditetapkan oleh organisasi profesi advokat yang berlaku bagi Advokat. Pasal 2 Bantuan Hukum dilaksanakan berdasarkan asas: a. keadilan; b. persamaan kedudukan di dalam hukum; c. keterbukaan; d. efisiensi; e. efektivitas; dan f. akuntabilitas. Pasal 3 Penyelenggaraan Bantuan Hukum bertujuan untuk: a. menjamin dan memenuhi hak bagi Penerima Bantuan Hukum untuk mendapatkan akses keadilan; b. mewujudkan hak konstitusional segala warga
78
negara sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum; c. menjamin kepastian penyelenggaraan Bantuan Hukum dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia; dan d. mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan. BAB II RUANG LINGKUP Pasal 4 (1) Bantuan Hukum diberikan kepada Penerima Bantuan Hukum yang menghadapi masalah hukum. (2) Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik litigasi maupun nonlitigasi. (3) Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/ atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum Penerima Bantuan Hukum. Pasal 5 (1) Penerima Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) meliputi setiap orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri. (2) Hak dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak atas pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan. BAB III PENYELENGGARAAN BANTUAN HUKUM Pasal 6 (1) B antuan Hukum diselenggarakan untuk membantu penyelesaian permasalahan hukum yang dihadapi Penerima Bantuan Hukum. (2) P emberian Bantuan Hukum kepada
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum
Penerima Bantuan Hukum diselenggarakan oleh Menteri dan dilaksanakan oleh Pemberi Bantuan Hukum berdasarkan UndangUndang ini. (3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertugas: a. menyusun dan menetapkan kebijakan penyelenggaraan Bantuan Hukum; b. menyusun dan menetapkan Standar Bantuan Hukum berdasarkan asas-asas pemberian Bantuan Hukum; c. menyusun rencana anggaran Bantuan Hukum; d. mengelola anggaran Bantuan Hukum secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel; dan e. menyusun dan menyampaikan laporan penyelenggaraan Bantuan Hukum kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada setiap akhir tahun anggaran. Pasal 7 (1) Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3), Menteri berwenang: a. m e n g a w a s i d a n m e m a s t i k a n penyelenggaraan Bantuan Hukum dan pemberian Bantuan Hukum dijalankan sesuai asas dan tujuan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini; dan b. melakukan verifikasi dan akreditasi terhadap lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan untuk memenuhi kelayakan sebagai Pemberi Bantuan Hukum berdasarkan UndangUndang ini. (2) Untuk melakukan verifikasi dan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Menteri membentuk panitia yang unsurnya terdiri atas: a. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia; b. akademisi; c. tokoh masyarakat; dan d. lembaga atau organisasi yang memberi layanan Bantuan Hukum. (3) Verifikasi dan akreditasi sebagaimana
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan setiap 3 (tiga) tahun. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara verifikasi dan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diatur dengan Peraturan Menteri. BAB IV PEMBERI BANTUAN HUKUM Pasal 8 (1) P elaksanaan Bantuan Hukum dilakukan oleh Pemberi Bantuan Hukum yang telah memenuhi syarat berdasarkan UndangUndang ini. (2) S yarat-syarat Pemberi Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. berbadan hukum; b. terakreditasi berdasarkan UndangUndang ini; c. memiliki kantor atau sekretariat yang tetap; d. memiliki pengurus; dan e. memiliki program Bantuan Hukum. Pasal 9 Pemberi Bantuan Hukum berhak: a. melakukan rekrutmen terhadap advokat, paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum; b. melakukan pelayanan Bantuan Hukum; c. menyelenggarakan penyuluhan hukum, konsultasi hukum, dan program kegiatan lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan Bantuan Hukum; d. menerima anggaran dari negara untuk melaksanakan Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang ini; e. mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; f. mendapatkan informasi dan data lain dari pemerintah ataupun instansi lain, untuk kepentingan pembelaan perkara; dan g. mendapatkan jaminan perlindungan hukum,
79
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum
keamanan, dan keselamatan selama menjalankan pemberian Bantuan Hukum. Pasal 10 Pemberi Bantuan Hukum berkewajiban untuk: a. melaporkan kepada Menteri tentang program Bantuan Hukum; b. melaporkan setiap penggunaan anggaran negara yang digunakan untuk pemberian Bantuan Hukum berdasarkan UndangUndang ini; c. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan Bantuan Hukum bagi advokat, paralegal, dosen, mahasiswa fakultas hukum yang direkrut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a; d. menjaga kerahasiaan data, informasi, dan/atau keterangan yang diperoleh dari Penerima Bantuan Hukum berkaitan dengan perkara yang sedang ditangani, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang; dan e. memberikan Bantuan Hukum kepada Penerima Bantuan Hukum berdasarkan syarat dan tata cara yang ditentukan dalam Undang-Undang ini sampai perkaranya selesai, kecuali ada alasan yang sah secara hukum.
Hukum yang bersangkutan tidak mencabut surat kuasa; b. mendapatkan Bantuan Hukum sesuai dengan Standar Bantuan Hukum dan/atau Kode Etik Advokat; dan c. mendapatkan informasi dan dokumen yang berkaitan dengan pelaksanaan pemberian Bantuan Hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 13 Penerima Bantuan Hukum wajib: a. menyampaikan bukti, informasi, dan/atau keterangan perkara secara benar kepada Pemberi Bantuan Hukum; b. membantu kelancaran pemberian Bantuan Hukum. BAB VI SYARAT DAN TATA CARA PEMBERIAN BANTUAN HUKUM
BAB V HAK DAN KEWAJIBAN PENERIMA BANTUAN HUKUM
Pasal 14 (1) U ntuk memperoleh Bantuan Hukum, pemohon Bantuan Hukum harus memenuhi syarat-syarat: a. mengajukan permohonan secara tertulis yang berisi sekurang-kurangnya identitas pemohon dan uraian singkat mengenai pokok persoalan yang dimohonkan Bantuan Hukum; b. menyerahkan dokumen yang berkenaan dengan perkara; dan c. melampirkan surat keterangan miskin dari lurah, kepala desa, atau pejabat yang setingkat di tempat tinggal pemohon Bantuan Hukum. (2) Dalam hal pemohon Bantuan Hukum tidak mampu menyusun permohonan secara tertulis, permohonan dapat diajukan secara lisan.
Pasal 12 Penerima Bantuan Hukum berhak: a. mendapatkan Bantuan Hukum hingga masalah hukumnya selesai dan/atau perkaranya telah mempunyai kekuatan hukum tetap, selama Penerima Bantuan
Pasal 15 (1) P emohon Bantuan Hukum mengajukan permohonan Bantuan Hukum kepada Pemberi Bantuan Hukum. (2) P emberi Bantuan Hukum dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah
Pasal 11 Pemberi Bantuan Hukum tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam memberikan Bantuan Hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang dilakukan dengan iktikad baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan sesuai Standar Bantuan Hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau Kode Etik Advokat.
80
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum
permohonan Bantuan Hukum dinyatakan lengkap harus memberikan jawaban menerima atau menolak permohonan Bantuan Hukum. (3) Dalam hal permohonan Bantuan Hukum diterima, Pemberi Bantuan Hukum memberikan Bantuan Hukum berdasarkan surat kuasa khusus dari Penerima Bantuan Hukum. (4) Dalam hal permohonan Bantuan Hukum ditolak, Pemberi Bantuan Hukum mencantumkan alasan penolakan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pemberian Bantuan Hukum diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB VII PENDANAAN Pasal 16 (1) Pendanaan Bantuan Hukum yang diperlukan dan digunakan untuk penyelenggaraan Bantuan Hukum sesuai dengan UndangUndang ini dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. (2) Selain pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sumber pendanaan Bantuan Hukum dapat berasal dari: a. hibah atau sumbangan; dan/atau b. sumber pendanaan lain yang sah dan tidak mengikat. Pasal 17 (1) P emerintah wajib mengalokasikan dana penyelenggaraan Bantuan Hukum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. (2) P endanaan penyelenggaraan Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan pada anggaran kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. Pasal 18 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyaluran dana Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) kepada Pemberi Bantuan Hukum diatur dengan
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Peraturan Pemerintah. Pasal 19 (1) Daerah dapat mengalokasikan anggaran penyelenggaraan Bantuan Hukum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Daerah. BAB VIII LARANGAN Pasal 20 Pemberi Bantuan Hukum dilarang menerima atau meminta pembayaran dari Penerima Bantuan Hukum dan/atau pihak lain yang terkait dengan perkara yang sedang ditangani Pemberi Bantuan Hukum. BAB IX KETENTUAN PIDANA Pasal 21 Pemberi Bantuan Hukum yang terbukti menerima atau meminta pembayaran dari Penerima Bantuan Hukum dan/atau pihak lain yang terkait dengan perkara yang sedang ditangani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 22 Penyelenggaraan dan anggaran Bantuan Hukum yang diselenggarakan oleh dan berada di Mahkamah Agung Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, dan instansi lainnya pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, tetap dilaksanakan sampai berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan.
81
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum
Pasal 23 (1) Pemberian Bantuan Hukum yang sedang diproses sebelum Undang-Undang ini mulai berlaku tetap dilaksanakan sampai dengan berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan. (2) D alam hal pemberian Bantuan Hukum belum selesai pada akhir tahun anggaran yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemberian Bantuan Hukum selanjutnya dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang ini. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 24 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Bantuan Hukum dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam UndangUndang ini.
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 November 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 104 Salinan sesuai dengan aslinya KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI Asisten Deputi Perundang-undangan Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat, ttd, Wisnu Setiawan
Pasal 25 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 31 Oktober 2011 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
82
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM I. UMUM Hak atas Bantuan Hukum telah diterima secara universal yang dijamin dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)). Pasal 16 dan Pasal 26 ICCPR menjamin semua orang berhak memperoleh perlindungan hukum serta harus dihindarkan dari segala bentuk diskriminasi. Sedangkan Pasal 14 ayat (3) ICCPR, memberikan syarat terkait Bantuan Hukum yaitu: 1) kepentingankepentingan keadilan, dan 2) tidak mampu membayar Advokat. Meskipun Bantuan Hukum tidak secara tegas dinyatakan sebagai tanggung jawab negara namun ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dalam negara hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia bagi setiap individu termasuk hak atas Bantuan Hukum. Penyelenggaraan pemberian Bantuan Hukum kepada warga negara merupakan upaya untuk memenuhi dan
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
sekaligus sebagai implementasi negara hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin hak asasi warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan (access to justice) dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law). Jaminan atas hak konstitusional tersebut belum mendapatkan perhatian secara memadai, sehingga dibentuknya Undang-Undang tentang Bantuan Hukum ini menjadi dasar bagi negara untuk menjamin warga negara khususnya bagi orang atau kelompok orang miskin untuk mendapatkan akses keadilan dan kesamaan di hadapan hukum. Oleh karena itu, tanggung jawab negara harus diimplementasikan melalui pembentukan Undang-Undang Bantuan Hukum ini. Selama ini, pemberian Bantuan Hukum yang dilakukan belum banyak menyentuh orang atau kelompok orang miskin, sehingga mereka kesulitan untuk mengakses keadilan karena terhambat oleh ketidak-mampuan mereka untuk mewujudkan hak-hak konstitusional mereka. Pengaturan mengenai pemberian Bantuan Hukum dalam Undang-Undang ini merupakan jaminan terhadap hak-hak konstitusional
83
Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum
orang atau kelompok orang miskin. Beberapa pokok materi yang diatur dalam UndangUndang ini antara lain mengenai: pengertian Bantuan Hukum, Penerima Bantuan Hukum, Pemberi Bantuan Hukum, hak dan kewajiban Penerima Bantuan Hukum, syarat dan tata cara permohonan Bantuan Hukum, pendanaan, larangan, dan ketentuan pidana. II. PASAL DEMI PASAL Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Huruf a Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah menempatkan hak dan kewajiban setiap orang secara proporsional, patut, benar, baik, dan tertib. Huruf b Yang dimaksud dengan “asas persamaan kedudukan di dalam hukum” adalah bahwa setiap orang mempunyai hak dan perlakuan yang sama di depan hukum serta kewajiban menjunjung tinggi hukum. Huruf c Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh informasi secara lengkap, benar, jujur, dan tidak memihak dalam mendapatkan jaminan keadilan atas dasar hak secara konstitusional. Huruf d Yang dimaksud dengan “asas efisiensi” adalah memaksimalkan pemberian Bantuan Hukum melalui penggunaan sumber anggaran yang ada. Huruf e Yang dimaksud dengan “asas efektivitas” adalah menentukan pencapaian tujuan pemberian Bantuan Hukum secara tepat.
84
Huruf f Yang dimaksud dengan “asas akuntabilitas” adalah bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan Bantuan Hukum harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
Ayat (1) Cukup jelas.
Pasal 3 Pasal 4 Pasal 5 Pasal 6
Ayat (2) Ketentuan ini tidak mengurangi kewajiban profesi Advokat untuk menyelenggarakan Bantuan Hukum berdasarkan UndangUndang mengenai Advokat. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Verifikasi dan akreditasi dimaksudkan untuk menilai dan menetapkan kelayakan lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan sebagai Pemberi Bantuan Hukum. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Cukup jelas.
Pasal 8
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum
Pasal 9 Huruf a Yang dimaksud dengan “mahasiswa fakultas hukum” termasuk juga mahasiswa dari fakultas syariah, perguruan tinggi militer, dan perguruan tinggi kepolisian. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “program kegiatan lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan Bantuan Hukum” adalah program: investigasi kasus, pendokumentasian hukum, penelitian hukum, mediasi, negosiasi, dan pemberdayaan masyarakat. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas.
Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12 Pasal 13
Pasal 14 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “identitas” antara lain nama lengkap, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir, alamat lengkap, dan pekerjaan yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk dan/atau dokumen lain yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. Huruf b Cukup jelas.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas.
Pasal 15 Pasal 16 Pasal 17 Pasal 18 Pasal 19 Pasal 20 Pasal 21 Pasal 22 Pasal 23 Pasal 24 Pasal 25
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5248
85
TENTARA NASIONAL INDONESIA MARKAS BESAR
PERATURAN PANGLIMA TNI Nomor : Perpang/21/IV/2008 Tentang NASIHAT DAN BANTUAN HUKUM DI LINGKUNGAN TNI
PANGLIMA TENTARA NASIONAL INDONESIA Menimbang: 1. Bahwa setiap prajurit/PNS TNI dan keluarganya berhak mendapatkan rawatan kedinasan berupa nasihat dan bantuan hukum. 2. Bahwa dengan keterbatasan kemampuan penghasilan prajurit dalam penyelesaian permasalahan hukum, maka diperlukan adanya nasihat dan bantuan hukum secara kedinasan. 3. Bahwa nasihat dan bantuan hukum dilaksanakan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas kedinasan secara tertib, efektif dan efisien serta demi penegakan hukum dan keadilan di lingkungan TNI. 4. Bahwa pemberian nasihat dan bantuan hukum kepada prajurit/PNS TNI dan keluarganya dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 5. B a h w a b e r d a s a r k a n p e r t i m b a n g a n sebagaimana dimaksud pada pasal 1, 2, 3, dan 4, perlu menetapkan Peraturan Panglima Tentara Nasional Indonesia tentang Nasihat dan Bantuan Hukum di lingkungan TNI.
86
Mengingat 1. Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1997 Pasal 215 ayat (1) tentang Peradilan Militer (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3713). 2. Undang-Undang RI Nomor 34 Tahun 2004 Pasal 50 ayat (3) tentang Tentara Nasional Indonesia (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4439). 3. Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4389). 4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1990 Pasal 50 angka (1) huruf h jo. ayat (2) huruf a angka 6) jo. ayat (3) dan ayat (4) tentang Administrasi Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1997.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
PERATURAN PANGLIMA TNI Nomor : Perpang/21/IV/2008 Tentang NASIHAT DAN BANTUAN HUKUM DI LINGKUNGAN TNI
MEMUTUSKAN Menetapkan: 1. Peraturan Panglima TNI tentang Nasihat dan Bantuan Hukum di Lingkungan TNI sebagaimana tercantum pada lampiran dan sublampiran peraturan ini. 2. Hal-hal yang belum diatur dalam peraturan ini dan memerlukan pengaturan lebih lanjut akan diatur tersendiri. 3. Peraturan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 24 April 2008 Panglima TNI Cap/tertanda Djoko Santoso Jenderal TNI Autentikasi Kepala Setum TNI M. Rusdi Zaini Kolonel Caj NRP 28889 Distribusi: 1. Kas Angkatan 2. Kasum TNI 3. Irjen TNI 4. Para Asisten Panglima TNI 5. Kabalakpus TNI 6. Orjen TNI
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
87
TENTARA NASIONAL INDONESIA MARKAS BESAR Lampiran Peraturan Panglima TNI Nomor: Perpang/21/IV/2008 Ta n g g a l : 24 April 2008
NASIHAT DAN BANTUAN HUKUM DI LINGKUNGAN TNI
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Pengertian Yang dimaksud dengan: a. B a n t u a n h u k u m a d a l a h s e g a l a usaha,pekerjaan dan kegiatan yang dilakukan baik secara tertulis maupun tidak tertulis di luar pengadilan ataupun di dalam pengadilan secara langsung beracara di segala tingkat pengadilan guna bertindak selaku kuasa, mewakili, mendampingi, membela, atau melakukan tindakan hukum lainnya untuk kepentingan dinas dan sebagai bagian dari rawatan kedinasan dan di luar rawatan kedinasan terhadap prajurit TNI serta PNS di lingkungan TNI. b. Rawatan kedinasan adalah segala pemberian dalam bentuk materiil dan non-materiil oleh negara guna memenuhi kebutuhan insani baik jasmani maupun rohani terhadap prajurit TNI dan PNS di lingkungan TNI. c. Nasihat hukum adalah usaha, pekerjaan,
88
dan kegiatan yang dilakukan dengan memberikan konsultasi hukum baik secara tertulis maupun tidak tertulis kepada dinas, dan prajurit TNI dan PNS di lingkungan TNI serta untuk kepentingan rawatan kedinasan dan bukan untuk kepentingan rawatan kedinasan yang dilakukan di luar sidang pengadilan. d. Prajurit adalah anggota Tentara Nasional Indonesia. e. Prajurit siswa adalah warga negara yang sedang menjalani pendidikan pertama untuk menjadi prajurit. f. Purnawirawan adalah prajurit yang telah diberhentikan dengan hormat dari dinas keprajuritan dengan hak pensiun atau hak tunjangan bersifat pensiun. g. Warakawuri adalah isteri seorang prajurit/ purnawirawan yang sampai saat suaminya gugur/tewas/meninggal dunia masih menjadi isteri yang sah menurut peraturan yang berlaku dan belum menikah lagi. h. Pegawai Negeri Sipil TNI disingkat PNS TNI adalah Pegawai Negeri Sipil yang bertugas di lingkungan Tentara Nasional Indonesia.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Lampiran PERATURAN PANGLIMA TNI Nomor : Perpang/21/IV/2008 Tentang NASIHAT DAN BANTUAN HUKUM DI LINGKUNGAN TNI
i. Duda adalah suami seorang Prajurit/PNS TNI yang sampai saat isterinya gugur/tewas/ meninggal dunia masih menjadi suaminya yang sah menurut peraturan yang berlaku dan belum menikah lagi. j. Janda PNS TNI adalah isteri seorang PNS TNI yang sampai saat suaminya gugur/ tewas/meninggal dunia masih menjadi isteri yang sah menurut peraturan yang berlaku dan belum menikah lagi. k. Keluarga adalah suami/isteri beserta anak yang menjadi tanggungannya sesuai dengan peraturan yang berlaku. l. Anak adalah anak kandung, anak tiri atau anak angkat yang sah menurut peraturan yang berlaku. m. Anak yang diluar tanggungan adalah anak yang sudah menikah. n. Orang tua adalah bapak atau ibu kandung serta mertua. o. Biaya administrasi adalah biaya yang harus dibayar untuk proses penyelesaian perkara di pengadilan/setiap tingkat pemeriksaan. p. Biaya operasional adalah biaya yang diperlukan oleh pelaksana pemberi nasihat dan bantuan hukum dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. q. Pelaksana nasihat dan bantuan hukum adalah prajurit dan/atau PNS TNI yang berkualifikasi Sarjana Hukum atau ahli hukum di lingkungan TNI yang bertugas dan bertindak sebagai pelaksana nasihat dan bantuan hukum berdasarkan surat perintah. r. Surat Kuasa Khusus adalah surat kuasa yang ditandatangani di atas materai yang diberikan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa khusus untuk menangani suatu perkara di setiap tingkat pemeriksaan. s. Perwira Penyerah Perkara disingkat Papera adalah Perwira yang oleh atau atas dasar undang-undang mempunyai wewenang untuk menentukan suatu perkara pidana yang dilakukan oleh prajurit yang berada di bawah wewenang komandonya diserahkan kepada atau diselesaikan di luar pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
BAB II PENERIMA DAN PEMBERI NASIHAT DAN BANTUAN HUKUM Pasal 2 Penerima Nasihat dan Bantuan Hukum a. Yang berhak menerima nasihat dan bantuan hukum 1. Di dalam rawatan kedinasan : a) Prajurit b) Prajurit Siswa c) Keluarga Prajurit 2. Di luar rawatan kedinasan : a) Satuan dalam jajaran TNI b) Organisasi istri Prajurit, Yayasan, Koperasi di lingkungan TNI c) Badan-badan di lingkungan TNI d) PNS TNI beserta keluarga e) Purnawirawan TNI dan pensiunan PNS TNI beserta keluarganya, warakawuri, duda, dan veteran. b. Yang dapat menerima nasihat dan bantuan hukum. 1) Anak yang di luar tanggungan. 2) Orang tua/mertua prajurit/PNS TNI. 3) Orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai hubungan kerja dengan TNI c. Nasihat dan bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada subpasal a, subpasal b, dapat diberikan setelah diadakan penelitian terlebih dahulu oleh pemberi nasihat dan bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 3. Pasal 3 Pemberi Nasihat dan Bantuan Hukum a. Badan Pembinaan Hukum TNI memberikan nasihat dan bantuan hukum kepada pemohon bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 baik di lingkungan Mabes TNI maupun di luar struktur organisasi Mabes TNI. b. D i r e k t o r a t / D i n a s H u k u m A n g k a t a n memberikan nasihat dan bantuan hukum kepada pemohon bantuan hukum
89
Lampiran PERATURAN PANGLIMA TNI Nomor : Perpang/21/IV/2008 Tentang NASIHAT DAN BANTUAN HUKUM DI LINGKUNGAN TNI
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 di lingkungan Angkatan. c. Kakum/Pakum Kotama/Kasatker memberikan nasihat dan bantuan hukum kepada pemohon bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 di lingkungan Kotama/ Kasatker.
kerja dengan TNI diajukan oleh pemohon sendiri setelah mendapat izin dari pejabat yang berwenang dengan tataran sebagai berikut : a. Di lingkungan Mabes TNI/Angkatan diajukan kepada Panglima TNI/Kas Angkatan . b. Di l;ingkungan Kotama dan jajarannya diajukan kepada Dan/Pang Kotama
BAB III PROSES PENGAJUAN NASIHAT DAN BANTUAN HUKUM
Bab IV JENIS PERKARA NASIHAT DAN MANTUAN HUKUM
Pasal 4
Pasal 9
Permohonan nasihat dan bantuan hukum untuk kepentingan dinas diajukan oleh Dan/Kasatker
a. Bantuan hukum di persidangan meliputi : 1) Perkara Perdata 2) Perkara Pidana 3) Perkara Tata Usaha Negara/Militer. 4) Perkara yang berkaitan dengan Nikah, Talak, Cerai, Rujuk dan Waris. 5) Perkara-perkara lain sesuai dengan peraturan yang berlaku. b. Nasihat Hukum di luar proses persedangan melalui perdamaian, mediasi, negosiasi, abitrase atau konsiliasi
Pasal 5 Permohonan nasihat dan bantuan hukum bagi : a. Prajurit dan PNS TNI beserta keluarganya, diajukan langsung oleh pemohon diketahui Dan/Kasatker atau diajukan langsung oleh Dan/Kasatker. b. Duda, orang tua, mertua diajukan langsung secara perorangan oleh pemohon. c. Anak, diajukan oleh pemohon sendiri atau orang tua dan atau wali pemohon.
BAB V DUKUNGAN ADMINISTRASI
Pasal 6
Pasal 10
Permohonan nasihat dan bantuan hukum untuk organisasi istri Prajurit, Koperasi TNI, Yayasan TNI, diajukan oleh Ketua/Pimpinannya masingmasing.
a. Biaya perkara perdata di pengadilan meliputi: 1) Administrasi : a) Pendaftaran gugatan. b) Izin beracara di pengadilan. c) Penyumpahan. d) Fotocopi alat bukti berupa surat/ dokumen. e) Legalisasi fotocopi alat bukti berupa surat/dokumen f) Pengambilan salinan putusan. g) Upaya Hukum h) Biaya lain yang timbul dalam persidangan. 2) Operasioanal : a) Transportasi. b) Pencarian dan pengumpulan data (sebagai alat bukti), apabila diperlukan
Pasal 7 Permohonan nasihat dan bantuan hukum untuk purnawirawan TNI, pensiunan PNS TNI, warakawuri, janda PNS TNI, veteran, diajukan langsung secara perorangan atau melalui pengurus organisasi yang bersangkutan. Pasal 8 Permohonan nasihat dan bantuan hukum untuk mereka yang mempunyai hubungan
90
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Lampiran PERATURAN PANGLIMA TNI Nomor : Perpang/21/IV/2008 Tentang NASIHAT DAN BANTUAN HUKUM DI LINGKUNGAN TNI
c) Menghubungi dan atau menghadirkan saksi, apabila diperlukan. d) Akomodasi dan konsumsi apabila diperlukan. b. Biaya sebagaimana diatur pada subpasal a untuk kepentingan dinas menjadi tanggung jawab dinas. c. Biaya sebagaimana diatur pada subpasal a untuk kepentingan perkara perdata termasuk didalamnya perkara Tata Usaha Negara/ Militer, perkara Nikah, Talak, Cerai, Rujuk, Waris dan perkara-perkara lain di luar perkara pidana untuk kepentingan pribadi ditanggung oleh pemohon.
Pasal 15 Pengawasan dan pengendalian nasihat dan bantuan hukum di lingkungan Mabes TNI, maupun di luar struktur Mabes TNI, dan penyelesaian perkara khusus sebagaimana dimaksud Pasal 14 dilaksanakan secara fungsional oleh Kababinkum TNI. Pasal 16 Ketentuan nasihat dan bantuan hukum di lingkungan Angkatan akan diatur lebih lanjut oleh Kas Angkatan.
Pasal 11 Biaya bantuan hukum bagi prajurit/ PNS TNI dan prajurit siswa untuk perkara pidana ditanggung oleh dinas. BAB VI LAIN-LAIN Pasal 12 P r a j u r i t d a n p ra j u ri t s i s w a ya n g a k a n menggunakan jasa nasihat dan bantuan hukum dari advokat di luar dinas bantuan hukum TNI harus seizin Papera. Pasal 13 Dalam hal Permohonan bantuan hukum dari prajurit/PNS/keluarganya berhadapan dengan kepentingan dinas TNI, maka nasihat dan bantuan hukum diberikan kepada para pihak secara berimbang dengan tetap mengutamakan kepentingan dinas TNI. Pasal 14 Dalam penyelesaian perkara khusus yang mendapat perhatian masyarakat, pemberian nasihat dan bantuan hukum dapat dilaksanakan oleh tim yang anggotanya terdiri atas perwira hukum Babinkum TNI dan Angkatan.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
BAB VII PENUTUP Pasal 17 Bentuk formulir pelaksanaan peraturan ini sebagaimana tercantum pada lampiran-lampiran peraturan ini. Demikian peraturan ini untuk dipedomani dan dilaksanakan. PANGLIMA TNI Cap/tertanda Djoko Santoso Jenderal TNI Autentikasi Kepala Setum TNI
M. Rusdi Zaini Kolonel Caj NRP 28889
91
Berita Dalam Gambar
92
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Berita Dalam Gambar
Kegiatan Orientasi Program Studi dan Pengenalan Kampus STHM
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
93
Berita Dalam Gambar
Pamasis STHM dan Mahasiswa S2 sedang mengikuti Kuliah Umum
94
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Berita Dalam Gambar
Pamasis sedang praktek kerja lapangan di Pengadilan Negeri dan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
95
Berita Dalam Gambar
Pamasis STHM sedang praktek Sidang Semu
96
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
Berita Dalam Gambar
Seminar Sehari yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Militer STHM
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012
97
Berita Dalam Gambar
Wisuda Pamasis STHM Angkatan XIV Tahun 2012
98
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 5/November 2012