POTENSI EKOLOGI, POLA PENYEBARAN, DAN POLA PEMANFAATAN SERAT ALAM DALAM KAWASAN HUTAN PRODUKSI TERBATAS (HPT) GUNUNG SINONSAYANG, PROVINSI SULAWESI UTARA Victor W. Rante Lembang ¹⁾, W. Tilaar ²⁾, dan T.M. Frans ᵌ⁾
¹⁾ Kepala Seksi Pemolaan Kantor BPKH Wilayah VI Manado ²⁾ Program Studi Agronomi Pascasarjana UNSRAT Manado ᵌ⁾ Program Studi Ilmu Kehutanan, Fakultas Pertanian UNSRAT Manado ABSTRAK Rante Lembang, V.W., W. Tilaar, dan T.M. Frans, 2015. Potensi Ekologi, Pola Penyebaran, dan Pola Pemanfaatan Serat Alam Dalam Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Gunung Sinonsayang, Provinsi Sulawesi Utara Di daerah provinsi Sulawesi Utara, tumbuh-tumbuhan penghasil serat alami (bast plant) ditemukan tersebar dalam kawasan hutan alam maupun hutan sekunder, termasuk di dalamnya dalam kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Gunung Sinonsayang. Sampai saat ini informasi potensi ekologi, pola penyebaran, dan pola pemanfaatannya dalam kawasan belum diketahui dengan pasti sehingga perlu untuk diteliti. Tujuan penelitian untuk mendeskripsikan potensi ekologi, pola penyebaran, dan pola pemanfaatan serat alam dalam kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Gunung Sinonsayang, Provinsi Sulawesi Utara. Penelitian dilaksanakan dalam areal kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Gunung Sinonsayang, khususnya pada areal yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai areal pertanian lahan kering dan areal yang ditumbuhi semak belukar (± 500 hektar) selama 2 (dua) bulan. Penelitian menggunakan metode inventarisasi dimana penempatan petak ukur dilakukan secara acak menggunakan pola sampling acak sederhana (simple random sampling). Hasil inventarisasi di lapangan ditemukan 5 (lima) jenis serat alam, yakni : bambu, pandan, kapuk, agave, dan rosella. Bambu memiliki jumlah populasi per hektar yang lebih tinggi dibandingkan jenis serat alam lainnya yakni sebesar 19 ≤ individu/ha ≤ 21. Jenis serat alam rosella ditemukan paling sedikit populasinya yakni sebesar 0,08 ≤ individu/ha ≤ 0,09. Nilai frekuensi, dan nilai persentase per jenis serat alam bambu sebesar 0,73, dan 95,66 %. Selanjutnya, nilai frekuensi, dan nilai persentase per jenis dari serat alam rosella paling rendah yakni sebesar 0,02, dan 0,04 %. Pola penyebaran jenis serat alam bambu menyebar secara acak dalam kawasan dan jenis serat alam lainnya (pandan, kapuk, agave, dan rosella) menyebar secara berkelompok. Adapun dari 5 (lima) jenis serat alam yang ditemukan hanya 3 jenis serat alam yang dimanfaatkan oleh masyarakat, yakni : bambu, pandan, dan kapuk. Serat alam bambu paling banyak dimanfaatkan oleh masyarakat, baik dikonsumsi 1
sendiri maupun dijual ke pasar desa, dan pasar kecamatan. Terdapat 11 bentuk pemanfaatan serat alam bambu oleh masyarakat di sekitar kawasan hutan yakni untuk keperluan pembuatan dinding rumah / pondok kebun, pagar rumah, tangga, kandang ternak, peneluran ternak ayam, penyulingan cap tikus, pembuatan dinding porno, media untuk memasak ikan/kue, membuat nyiru, bahan makanan rebung (tunas muda), dan untuk lalandangan. Pemanfaatan serat alam pandan, dan kapuk masih terbatas untuk dikonsumsi sendiri sebagai bahan baku pembuatan tikar, bantal, dan sumbu lampu botol.
Kata kunci : Serat alam, potensi ekologi, pola penyebaran, dan pola pemanfaatan
Abstract
Rante Lembang, V.W., W. Tilaar, dan T.M. Frans, 2015. The Ecological Potential, Dispersion Patterns and Utilization Patterns of Natural Fiber in The Limited Production Forest (LPF) of Sinonsayang Mount, North Sulawesi
In Province of North Sulawesi, natural fiber plants (bast plant) were found scattered either in primary forests area or secondary forests area, including in the limited production forest area (LPF) of Sinonsayang Mount. The information regards to the ecological potential, dispersion pattern, and the pattern of utilization in the region is not yet known with certainty, it is therefore need to be observed. The aim of the research was to describe the ecological potential, dispersion patterns, and the utilization patterns of natural fibers within the limited production forest (LPF) of Sinonsayang Mount, North Sulawesi. This was conducted for 2 (two) months in the limited production forest (LPF) of Sinonsayang Mount, particularly, in the area which have been used by the community as a dry land farming and the shrubs overgrown area (± 500 acres). The inventory method was used in this research, in which the plots were placed randomized using random sampling pattern (simple random sampling). The results shows, there were five (5) types of natural fibers found in the inventory field, namely: bamboo, pandanus, cotton, agave, and rosella. The bamboo population per hectare was higher than other types of natural fibers, amounting to 19 ≤ individual / ha ≤ 21, while the rosella type was found as the smallest population, about 0.08 ≤ individual / ha ≤ 0.09.. The frequency value, and the percentage value of each type of bamboo natural fiber was 0.73, and 95.66%, respectively, while the frequency value and the percentage value of each type of rosella natural fiber was the lowest, that is 0.02 and 0.04%, respectively. The dispersion pattern bamboo natural fiber types were randomly spreaded in the region, while the other types of natural fibers (pandanus, cotton, agave, and rosella) were spreaded out in groups. As for of the 5 (five) natural fibers types that found, there is only 3 types of natural fiber used by the public, viz: bamboo, pandanus, and cotton. The natural
2
fiber of bamboo was the most widely used by the community, both for personal consumption and for sale to the village market, and the market district. There were 11 forms of utilization of natural bamboo fiber by the communities surrounding the forest area for the purposes, consist of: making walls of house / cottage garden, fence, stairs, livestock pen, nesting of laying hen, ethanol refining installation of aren, to build furnace wall, medium to cook fish / pie, rice winnower, groceries bamboo shoots (young shoots), and for lalandangan. Meanwhile, the utilization of natural fibers of pandan and cotton were still limited for their own consumption as a raw material for making mats, pillows, and the fuse of the bottle lights. Keywords: Natural fibers, ecological potential, dispersion patterns, and utilization patterns A. Pendahuluan 1. Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Hal ini tercermin dari kekayaan keanekaragaman hayati dan non hayati berupa flora, fauna, dan benda-benda yang berfungsi konservasi serta jasa lingkungan. Kekayaan flora yang dimiliki antara lain 38.000 jenis tumbuhan termasuk di dalamnya lebih dari 4.000 jenis tumbuhan pohon bermanfaat ekonomi yang tumbuh dalam kawasan hutan (Kasmudjo, 2014). Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967, hutan didefinisikan sebagai lapangan bertumbuhan pohon-pohon yang secara menyeluruh merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya. Khusus di Provinsi Sulawesi Utara, berdasarkan Surat Menteri Kehutanan Nomor 250/Kpts-II/1984 tanggal 20 Desember 1984, mengenai Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) Sulawesi Utara, maka wilayah daratan (2.751.500 hektar) dibagi untuk fungsi kawasan hutan tetap seluas 1.583.720 hektar (57,56%), hutan konversi (areal hutan yang dicadangkan untuk penggunaan lain) seluas 293.500 hektar (10,67%), serta untuk pemukiman, perkebunan, pertanian dan lain-lain seluas 874.280 hektar (31,77%).
Kawasan hutan seluas 1.583.720 ha (57,56%) akan ditata sesuai
dengan fungsinya sebagaimana terlihat pada tabel 1 berikut ini :
3
No. 1 2 3 4 5
Fungsi Kawasan Hutan Hutan Suaka Alam / Hutan Wisata Hutan Lindung Hutan Produksi Terbatas Hutan Tetap Hutan Bakau
Luas (Hektar) 326.590 285.430 741.200 202.500 28.000 Total : 1.583.720 Tabel 1. Luas Kawasan Hutan Berdasarkan Fungsi di Provinsi Sulawesi (Sumber Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara, 1984) Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat dari tahun ke tahun membawa dampak terjadinya deforestasi hutan yang bermuara pada terjadinya kerusakan ekosistem hutan alam akibat praktek illegal logging dan illegal trading terhadap pengelolaan kehutanan di Indonesia.
Pola pikir antroposentris yang
mengutamakan aspek ekonomi dalam pembangunan kehutanan mejadi faktor pemicu utama terjadinya kerusakan hutan. Pola pikir masyarakat yang hanya terpaku pada pemanfaatan kayu (log) telah menimbulkan tekanan terhadap kelestarian hutan di Indonesia. Salah satu solusi untuk mengantisipasi terjadinya degradasi kualitas sumberdaya hutan di Provinsi Sulawesi Utara adalah dengan merubah orientasi pola pemanfaatan hutan dalam pengelolaan kehutanan, sehingga pemanfaatan sumberdaya hutan tidak hanya terkonsentrasi pada pemanfaatan kayu (timber management oriented / pure economic oriented) tetapi juga memanfaatkan seluruh potensi hasil hutan bukan kayu / non timber forest products (HHBK) yang ada dalam kawasan hutan. Secara ekonomi HHBK memiliki kontribusi yang signifikan untuk meningkatkan devisa negara. Salah satu golongan komoditi HHBK yang berperan besar dalam meningkatkan devisa negara di bidang kehutanan adalah tanaman penghasil serat alami (bast plant) seperti : sisal, kenaf, bambu, rami, pandan, kapuk, kapas, flax, rosella, jute, dan pisang abaca. Beberapa diantaranya telah diekspor ke berbagai pasar mancanegara serta untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri. Di provinsi Sulawesi Utara, tumbuh-tumbuhan penghasil serat alami (bast plant) ditemukan tersebar dalam kawasan hutan alam maupun hutan sekunder, termasuk di dalamnya dalam kawasan kesatuan pengelolaan hutan produksi
4
(KPHP) model Poigar.
Sampai saat ini informasi potensi ekologi, pola
penyebaran, dan pola pemanfaatannya dalam kawasan KPHP model Poigar, khususnya pada kawasan fungsi hutan produksi terbatas (HPT) Gunung Sinonsayang, belum diketahui dengan pasti sehingga perlu untuk diteliti. 2. a.
Rumusan Masalah Bagaimana potensi ekologis serat alam dalam kawasan HPT Gunung Sinonsayang
b.
Bagaimana pola penyebaran serat alam dalam kawasan HPT Gunung Sinonsayang
c.
Bagaimana pola pemanfaatan serat alam oleh masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan HPT Gunung Sinonsayang
3.
Tujuan dan Manfaat Penelitian bertujuan untuk mendeskripsikan potensi ekologi, pola
penyebaran, dan pola pemanfaatan serat alam dalam kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Gunung Sinonsayang, Provinsi Sulawesi Utara.
Adapun
manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain adalah : a.
Tersedianya data base mengenai potensi ekologis, pola penyebaran, dan pola pemanfaatan serat alam yang dapat dipakai oleh pemangku kepentingan dalam menunjang aspek pengelolaan KPHP Model Poigar.
b.
Mengintensifkan pemanfaatan potensi hasil hutan bukan kayu (HHBK) khususnya serat alam di Provinsi Sulawesi Utara, untuk menunjang penerimaan devisa negara di bidang kehutanan. B. Tinjauan Pustaka
1.
Pengertian, dan Penggolongan Serat Alam Menurut Karina (2012), serat adalah suatu jenis bahan berupa potongan-
potongan yang membentuk jaringan memanjang yang utuh ataupun senyawa. Selanjutnya dikemukakan bahwa serat dapat digolongkan menjadi dua jenis berdasarkan asal bahan yaitu serat alami, dan serat sintetis (buatan manusia). Serat alami adalah serat yang dapat langsung diperoleh dari alam (tumbuhan atau hewan) yang memiliki dasar kimia selulosa, hemiselulosa, dan lignin (Jumaeri, 1977 dalam Rismawati, 2012). Selanjutnya dikemukakan bahwa serat alam dari tumbuh-tumbuhan dapat diperoleh dari bagian biji (kapas dan kapuk), daun 5
(abaka, sisal, henequen), batang (flax, jute, rossela, henep, rami, urena, kenaf, sunn), dan buah (sabut kelapa). 2.
Kondisi Umum Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Gunung Sinonsayang Berdasarkan dokumen data base pembentukan KPHP model Poigar tahun
2007, kawasan HPT Gunung Sinonsayang terletak di wilayah administratif Kabupaten Minahasa Selatan memiliki empat satuan lahan (SL) dengan kondisi penutupan dan kelerengan lahan sebagaimana terlihat pada tabel 2. Di sekitar kawasan HPT Gunung Sinonsayang terdapat beberapa desa yang masuk dalam wilayah administratif Kecamatan Motoling dan Kecamatan Sinonsayang, Kabupaten Minahasa Selatan, sehingga memberikan kontribusi secara langsung terhadap aspek sosial ekonomi masyarakat yang bermukim disekitar kawasan tersebut. Tabel 2. Luas Kawasan HPT Gunung Sinonsayang Berdasarkan Tipe Lahan dan Kemiringan Lereng Tipe Lahan dan Kemiringan Lereng Luas (Hektar) Hutan Sekunder Agak Curam s/d curam 257,81 Pertanian Lahan Kering/Kebun Datar s/d Landai 443,82 Pertanian Lahan Kering/Kebun Agak Curam s/d Curam 2.576,90 Pertanian Lahan Kering/Kebun Sangat Curam 232,38 Semak Belukar Datar s/d Landai 49,36 Semak Belukar Agak Curam s/d Curam 272,26 Total : 3.832,53 Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara (2007) 3.
Potensi Ekologi Dari segi ekologi, potensi hutan diartikan sebagai semua kondisi yang
mencakup jumlah anakan atau permudaan, jenis, kerapatan, dan penyebarannya dalam kawasan hutan (Junus, Wasaraka, dan Frans, 1984). Beberapa aspek ekologi yang penting dalam kehutanan antara lain adalah : komposisi dan struktur hutan, penyebaran suatu jenis pohon, permudaan hutan, pertumbuhan dan riap pohon, serta fenologi pohon (Soerianegara dan Indrawan, 1982). Selanjutnya dikemukakan bahwa potensi ekologi suatu jenis pohon dapat diukur melalui parameter kerapatan, dominansi, dan frekuensi jenis dalam suatu kawasan hutan melalui perisalahan tegakan.
6
Dominansi suatu jenis pohon
terhadap jenis-jenis yang lain dalam tegakan hutan dapat dinyatakan berdasarkan besaran-besaran : jumlah individu dan kerapatan (density), persen penutupan (cover percentage) dan luas bidang dasar (basal area), volume, biomass, dan indeks nilai penting (impotence value index).
Kerapatan adalah banyaknya
individu yang dinyatakan per satuan luas seperti banyaknya (bilangan) per hektar. Frekuensi adalah perbandingan banyaknya petak yang terisi oleh suatu jenis terhadap jumlah petak-petak keseluruhan yang dibuat, dan dinyatakan dalam persen. Frekuensi adalah ukuran dari uniformitas atau regularitas terdapatnya jenis pohon dalam tegakan hutan. 4.
Pola Penyebaran Soerianegara dan Indrawan (1982) mengemukakan bahwa kehadiran
populasi organisme tertentu pada suatu wilayah, mencerminkan karakteristik biologi dan ekologi yang dimiliki.
Pada kondisi yang sesuai populasi akan
berkembang biak secara optimal sesuai dengan ciri-ciri populasi yang dimiliki atau dikenal dengan istilah dinamika populasi. Secara umum pola penyebaran populasi dalam suatu areal habitat menurut Tjitrosoedirdjo, Utomo, dan Wiroatmodjo (1984) terlihat pada gambar 1. X
X
X
X
X
X
X
X
X X
X
X
X
X
X
X
X
X
X X
Seragam
XXX X
X X
Acak
XXX XXX
XXXX
X XX
Berkelompok
Gambar 1. Pola Penyebaran Populasi 6.
Pola Pemanfaatan Serat Alam Pemanfaatan hutan guna produksi HHBK diselenggarakan oleh usaha
skala kecil untuk menciptakan dunia usaha kehutanan yang mampu menghadapi perubahan lingkungan strategis yang sangat dinamis (Suharisno, 2009 dalam Baharuddin dan Taskirawati, 2009). Selanjutnya Primack (1993) mengemukakan bahwa pola pemanfaatan HHBK oleh masyarakat disekitar kawasan hutan didasarkan pada orientasi ekonomi yang dimilikinya, dan dapat dikelompokkan menjadi dua pola pemanfaatan, yakni : (a). Produktif, diperjual belikan di pasar, dan (b). konsumtif : dikonsumsi sendiri dan tidak diperjual belikan. 7
C. Bahan dan Metode 1.
Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan dalam areal kawasan Hutan Produksi Terbatas
(HPT) Gunung Sinonsayang, khususnya pada areal yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai areal pertanian lahan kering dan areal yang ditumbuhi semak belukar (± 500 hektar).
Waktu penelitian selama 2 (dua) bulan sejak awal
persiapan sampai pada pelaporan. 2.
Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian adalah : GPS, hand counter, kamera
digital, tali, teropong binokuler, meteran roll, tally sheet, kuisioner, kompas, termometer, hygrometer, pisau, parang, kuas, peta kerja (skala 1 : 50.000), peralatan berkemah, buku identifikasi dan determinasi tumbuhan serat alam, dan alat tulis menulis. Sedangkan bahan yang digunakan adalah cat minyak. 3.
Metode Penelitian
A. Potensi Ekologi; Metode yang digunakan adalah metode inventarisasi/perisalahan populasi dengan teknik sampling berupa petak ukur seluas 20 m x 50 m (0,1 hektar). Penempatan petak ukur dilakukan secara acak menggunakan pola sampling acak sederhana (simple random sampling) pada areal yang diduga terdapat populasi tumbuhan serat alam, yaitu pada areal pertanian lahan kering dan areal yang ditumbuhi semak belukar (± 500 hektar). Intensitas sampling yang digunakan sebesar 2,26 %. B. Pola Penyebaran; Pemetaan pola penyebaran populasi tumbuhan serat alam digunakan metode survey untuk mendeskripsikan pola penyebaran populasi dalam kawasan. Pemetaan dilakukan menggunakan program archview dimana untuk pengambilan titik koordinat menggunakan bantuan alat GPS. C. Pola Pemanfaatan; Metode yang digunakan untuk mendeskripsikan pola pemanfaatan serat alam oleh masyarakat di sekitar kawasan hutan adalah metode wawancara langsung. Jumlah sampel (kepala keluarga) dari populasi masyarakat yang akan
8
diwawancara adalah 10%
dari jumlah total KK setiap desa/kelurahan.
Wawancara menggunakan daftar isian kuisioner. 4.
Variabel Pengamatan
A. Potensi Ekologi ; Jenis (species) serat alam, asal serat dari bagian tumbuhan (akar, batang, daun, buah, biji), jumlah populasi per jenis (tanaman/batang), derajat kemiringan lereng (%) lokasi jenis ditemukan, ketinggian tempat (dpl), iklim mikro (suhu dan kelembaban udara), dan hari / tanggal pengamatan. B. Pola Penyebaran; Jenis (species) serat alam, derajat kemiringan lereng (%) lokasi jenis ditemukan, ketinggian tempat (dpl), titik koordinat jenis ditemukan, dan hari / tanggal pengamatan. C. Pola Pemanfaatan; Jenis (species) serat alam, bagian tumbuhan yang dimanfaatkan (akar, batang, daun, buah, biji), peruntukan (konsumsi sendiri atau dijual di pasaran), harga di pasaran (Rp), dan hari / tanggal wawancara. 5.
Analisis Data
A. Potensi Ekologi ; 1.
Jumlah populasi per hektar untuk setiap jenis ; Pendugaan menggunakan persamaan
yang diberikan oleh Husch (1987)
sebagai berikut : X̅ ± t.05 X̅ ..................................................... (1) dimana :
2.
X̅ t.05 ʃ X̅
= =
rata-rata jumlah populasi per hektar kesalahan dugaan (sampling error / SE)
Frekuensi per jenis ; Pendugaan frekuensi menggunakan persamaan yang diberikan oleh Soerianegara dan Indrawan (1982) sebagai berikut : Jumlah petak ditemukan suatu jenis Frekuensi
=
...... (2) Jumlah seluruh petak yang dibuat
3.
Persentase populasi per jenis ; Pendugaan persentase populasi per jenis menggunakan persamaan yang diberikan oleh Hitam (1980) sebagai berikut :
9
Pa Pi = dimana :
Pi Pa Ps
x 100% ..................................... (3) Ps = nilai persentase suatu jenis (%) = jumlah populasi suatu jenis = jumlah populasi semua jenis
Data pendukung (derajat kelerengan, tinggi tempat dari permukaan laut, dan iklim mikro) ditabulasikan untuk mendeskripsikan karakteristik tempat tumbuh dari jenis serat alam yang ditemukan. B. Pola Penyebaran ; Titik-titik koordinat dari lokasi ditemukannya setiap jenis serat alam di sajikan dalam bentuk overlaying peta dasar untuk mendeskripsikan penyebaran populasi masing-masing jenis serat alam yang ditemukan dalam kawasan. Peta dilengkapi dengan derajat kemiringan (topografi), ketinggian tempat (dpl), dan iklim mikro (suhu dan kelembaban udara). Peta disajikan dalam skala 1 : 50.000 C. Pola Pemanfaatan; Pola pemanfaatan jenis serat alam oleh masyarakat disekitar kawasan lokasi penelitian, dideskripsikan dalam bentuk tabulasi data.
Data diperoleh
dengan teknik wawancara langsung dan penelusuran pustaka dari berbagai sumber 6.
Prosedur Kerja
A. Persiapan ; -
Tahap awal persiapan penelitian adalah merekrut personil tim kerja dan pengorganisasiannya.
Tim kerja dibentuk sebanyak dua kelompok yang
beranggotakan 5 orang personil per kelompok di tambah dua orang sebagai personil base camp yang bertugas sebagai pengumpul dan pengolah data. Adapun job description setiap personil kelompok adalah : 1 orang (pemimpin/crew leader) yang bertugas sebagai compassman (penunjuk arah) serta penentu merangkap pembuat rintisan petak kerja/unit pengamatan, 1 orang sebagai pembantu crew leader yang bertugas untuk membantu pembuatan petak kerja, 2 orang sebagai penghitung dan pencatat populasi, dan 1 orang sebagai pencatat titik koordinat, ketinggian tempat, kelerengan, dan iklim mikro. -
Pembuatan pondok kerja (base camp) sebagai pusat koordinasi pelaksanaan penelitian di lapangan.
Penentuan lokasi pondok kerja didasarkan pada 10
kemudahan akses jangkauan untuk transportasi ke lokasi penelitian serta untuk mendapatkan logistik bahan makanan. -
Penyediaan alat dan bahan sesuai kebutuhan untuk pelaksanaan penelitian di lapangan.
B. Pengambilan data potensi ekologi, dan penyebaran serat alam ; -
Penentuan petak kerja di lapangan dilakukan secara acak sederhana (simple random sampling) pada lokasi-lokasi yang diduga sebagai tempat bertumbuhnya serat alam.
-
Pada lokasi-lokasi tersebut dibuatkan rintisan petak kerja berukuran 20m x 50 m sebagai unit pengamatan, dan diberi nomor petak (label) dengan cat minyak.
-
Pada setiap petak kerja dilakukan pengambilan data berdasarkan variabel pengamatan. Data yang diperoleh dicatat dalam tally sheet.
-
Kondisi biofisik pada setiap petak kerja didokumentasikan dengan bantuan alat kamera digital.
C. Pengambilan data pola pemanfaatan serat alam ; Untuk memperoleh data pola pemanfaatan komoditi serat alam oleh masyarakat di sekitar kawasan hutan dilakukan teknik wawancara langsung dengan masyarakat pengguna.
Tahapan kerja untuk memperoleh data pola
pemanfaatan adalah sebagai berikut : -
Langkah awal adalah menginventarisasi jumlah desa/kelurahan yang terdapat di sekitar kawasan hutan beserta jumlah kepala keluarga.
-
Menentukan jumlah sampel kepala keluarga yang akan diwawancarai (10% dari jumlah KK per desa/kelurahan).
-
Wawancara dilakukan
dengan mendatangi/menemui
secara
langsung
masyarakat (sampel) pengguna komoditi serat alam. -
Data yang diperoleh dicatat / dimasukkan ke dalam kuisioner
-
Selama proses wawancara, dilakukan pengambilan dokumentasi dengan kamera digital. D. Hasil dan Pembahasan Hasil inventarisasi di lapangan pada areal kawasan Hutan Produksi
Terbatas (HPT) Gunung Sinonsayang, khususnya pada areal yang telah
11
dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai areal pertanian lahan kering dan areal yang ditumbuhi semak belukar (± 500 hektar), .ditemukan 5 (lima) jenis serat alam masing-masing
:
bambu
(Bambusa
sp./Gramineae),
Pandan
(Pandanus
tectorius/Pandanaceae), kapuk (Ceiba petandra/Bombacaceae), agave/sisal (Agave sp./Amaryllidaceae), dan rosella (Hibiscus sabdariffa/Malvaceae). 1. Potensi Ekologi Serat Alam Taksiran jumlah populasi per hektar untuk setiap jenis serat alam yang ditemukan dalam kawasan hutan terlihat pada tabel 3 berikut ini : Tabel 3.
Jenis Serat Alam Bambu Pandan Kapuk Agave Rosella
Taksiran Jumlah Populasi Setiap Jenis Serat Alam Dalam Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Gunung Sinonsayang Pada Peluang 95%. Taksiran (Peluang 95%) Jml Pop / Hektar Jml Pop Dlm Kawasan Seluas (Individu / Ha) ± 500 Ha (Individu) 19 ≤ individu/ha ≤ 21 9,500 ≤ individu ≤ 10,500 8 ≤ individu/ha ≤ 9 4,000 ≤ individu ≤ 4,500 0,36 ≤ individu/ha ≤ 0,40 180 ≤ individu ≤ 200 0,42 ≤ individu/ha ≤ 0,47 210 ≤ individu ≤ 235 0,08 ≤ individu/ha ≤ 0,09 40 ≤ individu ≤ 45
Data menunjukkan bahwa jenis serat alam bambu
Sampling Error (SE) 1,4651 0,4194 0,0150 0,0246 0,0026
memiliki jumlah
populasi per hektar yang lebih tinggi dibandingkan jenis serat alam lainnya yakni sebesar 19 ≤ individu/ha ≤ 21. Sebaliknya, jumlah populasi per hektar dari jenis serat alam rosella ditemukan paling sedikit individunya yakni sebesar 0,08 ≤ individu/ha ≤ 0,09. Besar kecilnya nilai jumlah populasi per hektar dari masingmasing jenis serat alam yang ditemukan akan mempengaruhi nilai frekuensi per jenis, dan nilai persentase populasi per jenisnya. Adapun nilai frekuensi per jenis, dan nilai persentase populasi per jenis dari masing-masing serat alam yang ditemukan disajikan pada gambar 2, dan 3 berikut ini :
12
Potensi Frekuensi Per Jenis Serat Alam 0.07 0.02 0.09
Bambu Pandan Kapuk 0.73
0.41
Agave Rosella
Gambar 2. Potensi Frekuensi Per Jenis Serat Alam
Persentase Populasi Per Jenis Serat Alam (%) 95.66
100 80 60 40 20
3.94 0.18
0 Bambu
Pandan
Kapuk
0.19
Agave
0.04
Rosella
Gambar 3. Potensi Persentase Per Jenis Serat Alam (%) Data memperlihatkan bahwa jenis serat alam bambu
memiliki nilai
frekuensi, dan nilai persentase per jenis yang lebih tinggi dibandingkan jenis serat alam lainnya yakni sebesar 0,73, dan 95,66 %. Sebaliknya, nilai frekuensi, dan nilai persentase per jenis dari serat alam rosella paling rendah yakni sebesar 0,02, dan 0,04 %. Kondisi ini mencerminkan besar kecilnya potensi ekologi dari masing-masing jenis serat alam tersebut.
13
Besarnya potensi ekologi dari serat alam bambu mencerminkan karakteristik kemampuan menyesuaikan diri atau dapat beradaptasi dengan baik pada lingkungan setempat termasuk di dalamnya kondisi iklim (suhu, kelembaban udara), dan tinggi tempat dari permukaan laut.
Baharuddin, dan Taskirawati
(2009) mengemukakan bahwa serat alam bambu dapat tumbuh di daerah yang beriklim basah hingga kering, dari dataran rendah sampai ke daerah pegunungan sampai pada ketinggian 900 meter dari permukaan laut (dpl), dan pada semua jenis tanah. Lebih lanjut, Sutiyono (2004) dan Priyono (2008) mengemukakan bahwa semua jenis tanaman bambu dapat tumbuh baik pada daerah-daerah yang memiliki tipe iklim hujan A (sangat basah), dan B (basah) menurut klasifikasi tipe iklim Schmidt dan Ferguson.
Hal ini sesuai dengan kondisi daerah tempat
pengambilan sampel yang memiliki suhu udara rata-rata antara 27⁰C sampai 29,9⁰C, dan kelembaban udara rata-rata antara 71,2 % sampai 82,4 %, dengan ketinggian tempat antara 281 m dpl sampai 867 m dpl, sebagaimana terlihat pada table 4 berikut ini : Tabel 4.
Rata-Rata Suhu Udara (⁰C), Kelembaban Udara (%), Dan Ketinggian Tempat (m) Dpl Berdasarkan Lokasi Pengambilan Sampel Dalam Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Gunung Sinonsayang
Desa / Lokasi Sampel Lalumpe Toyopon Tondey
Rata - Rata Kelembaban Udara (%) Suhu Udara (⁰C) 27 82,3 29,9 82,4 29,5 71,2
Ketinggian Tempat (m) Dpl 560 - 867 208 - 749 281 - 444
Demikian juga kecilnya potensi ekologis dari jenis serat alam rosella turut dipengaruhi oleh kemampuannya untuk menyesuaikan diri pada lingkungan setempat. Menurut Wijayanti (2010), tanaman rosella tumbuh optimal di daerahdaerah dengan ketinggian 600 m dari permukaan laut. Semakin tinggi dari permukaan laut, pertumbuhan rosella akan terganggu. 2. Pola Penyebaran Serat Alam Hasil inventarisasi di lapangan memperlihatkan bahwa pola penyebaran jenis serat alam bambu menyebar secara acak dalam kawasan, dan jenis serat alam lainnya (pandan, kapuk, agave, dan rosella) menyebar secara berkelompok. Hal ini menunjukkan bahwa setiap jenis serat alam memiliki karakteristik tempat
14
tumbuh (habitat) yang berbeda.
Menurut National Mission On Bamboo
Aplications (2004), bambu memiliki kemampuan tempat tumbuh di daerah-daerah yang tergolong basah yaitu tempat-tempat yang dekat dengan sumber air seperti sungai, danau dan lain sebagainya, sampai pada daerah-daerah kering yakni pada lahan kritis (marginal). Lebih lanjut Baharuddin dan Taskirawati (2009) mengemukakan bahwa bambu dapat tumbuh di daerah tropis, sub tropis, dan daerah beriklim sedang. Bambu tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian sedang di daerah tropis, hidup liar, dibudidayakan atau tumbuh di habitat yang sangat bervariasi. Berbagai keadaan tanah dapat ditumbuhi bambu mulai dari tanah berat sampai ringan, tanah kering sampai becek, dan dari tanah subur sampai tanah kurang subur. Penyebarannya sangat luas, baik vertikal maupun horizontal. Dengan demikian hampir semua jenis bambu dapat tumbuh pada berbagai tempat. Kondisi seperti ini memungkinkan pertumbuhannya menyebar secara acak dalam kawasan hutan. Sebaliknya jenis serat alam lain (pandan, kapuk, agave, dan rosella) ditemukan hampir berkelompok dalam kawasan. Menurut Thomson, Englberger, Guarino, Thaman, dan Elevitch (2006), habitat serat alam pandan umumnya di daerah pesisir pantai sampai pada ketinggian 20 meter, tapi dapat juga tumbuh sampai pada ketinggian 600 m dpl dengan suhu udara rata-rata antara 24⁰C - 28⁰C. Tanaman ini tumbuh secara optimal pada jenis tanah berpasir dan cenderung tumbuh secara berkelompok. Direktorat Jenderal Perkebunan (2006), Direktorat Budidaya Tanaman Tahunan (2008), dan Priyono (2008) mengemukakan bahwa serat alam kapuk memiliki syarat tumbuh pada tanah-tanah kering dan datar yang tidak banyak digenangi air.
Karakteristik tempat tumbuh tersebut membuat penyebaran
populasinya cenderung berkelompok, yakni hanya ditemukan pada daerah-daerah datar. Kondisi ini sesuai dengan karakterisitik tempat tumbuh dilapangan. Petakpetak pengamatan ditemukannya serat alam kapuk umumnya pada daerah datar. Serat alam agave memiliki persyaratan tumbuh yang hampir mirip dengan serat alam kapuk, yakni pada daerah-daerah kering, landai, dan pada tanah yang memiliki kandungan batu kapur.
Kondisi ini mengakibatkan penyebaran
populasinya cenderung berkelompok. Santoso (2009) mengemukakan bahwa, serat alam agave menyenangi tanah kering dan beriklim kering disertai batu
15
kapur. Tanaman ini tanah terhadap kekeringan, dan banyak diusahakan di lerenglereng bukit berkapur, dan beriklim kering. Khusus untuk serat alam rosella, Wijayanti (2010) mengemukakan bahwa selain tumbuh optimal di daerah-daerah datar pada ketinggian 600 m dari permukaan laut, rosella menyenangi tanah yang subur, gembur, dan kaya dengan kandungan organik. Syarat tumbuh seperti ini menyebabkan jumlah populasinya sangat kurang serta penyebarannya cenderung berkelompok.
Dari hasil
inventarisasi di lapangan, petak ditemukannya serat alam rosella umumnya pada daerah yang datar, dan kaya dengan bahan organik, yakni pada lokasi-lokasi yang sedang diusahakan dengan tanaman pertanian oleh penduduk setempat. 3. Pola Pemanfaatan Serat Alam Hasil wawancara terhadap 213 responden masyarakat yang bermukim pada 8 desa disekitar kawasan hutan produksi terbatas (HPT) Gunung Sinonsayang, masing-masing : desa Toyopon (16 responden), Lalumpe (19 responden), Keroit (35 responden), Raanan Baru (35 responden), Raanan Baru-I (17 responden), Raanan Baru-II (21 responden), Raanan Lama (34 responden), dan desa Tondey (36 responden), terlihat pada lampiran 2. Secara umum data memperlihatkan bahwa, dari 5 jenis serat alam yang ditemukan hanya 3 jenis serat alam yang dimanfaatkan oleh masyarakat, masingmasing : bambu, pandan, dan kapuk. Adapun pola pemanfaatannya terlihat pada tabel 5. Data menunjukkan bahwa serat alam bambu paling banyak dimanfaatkan oleh masyarakat, baik dikonsumsi sendiri maupun dijual ke pasar desa, dan pasar kecamatan. Terdapat 11 bentuk pemanfaatan konsumsi sendiri oleh masyarakat, dan 8 bentuk pemanfaatan di pasarkan ke pasar desa dan pasar kecamatan. Sisanya (untuk peneluran ternak ayam, penyulingan cap tikus, dan dinding porno) tidak dijual ke pasaran karena masyarakat lebih mudah mendapatkannya di kebun tempat mereka bermukim.
16
Tabel 5.
No.
Pola Pemanfaatan Serat Alam Bambu, Pandan, Dan Kapuk Oleh Masyarakat Yang Bermukim Di Sekitar Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Gunung Sinonsayang Jenis Serat Alam
Pola Pemanfaatan
Yang Dimanfaatkan 1
Bambu
Konsumsi Sendiri
Di Pasarkan
Dinding rumah + pondok
Pasar desa + kecamatan
Pagar rumah
Pasar desa
Tangga
Pasar desa + kecamatan
Kandang ternak
Pasar desa
Peneluran ternak ayam Penyulingan cap tikus Dinding porno Memasak Ikan / Kue
Pasar desa
Nyiru
Pasar desa + kecamatan
Rebung
Pasar desa + kecamatan
Lalandangan
Pasar kecamatan
2
Pandan
Tikar
3
Kapuk
Bantal Sumbu lampu botol
Widnyana (2006) mengemukakan bahwa, dalam kehidupan masyarakat pedesaan di Indonesia, bambu memegang peranan sangat penting. Bambu dikenal oleh masyarakat memiliki sifat-sifat yang baik untuk dimanfaatkan, antara lain batangnya kuat, ulet, lurus, rata, keras, mudah dibelah, mudah dibentuk, mudah dikerjakan, ringan, dan mudah diangkut.
Selain itu
bambu juga memiliki harga relatif murah dibandingkan dengan bahan bangunan lain karena banyak ditemukan disekitar pemukiman pedesaan. Bambu menjadi tanaman serba guna bagi masyarakat pedesaan. Data lain menunjukkan bahwa sebagian besar jenis peruntukan serat alam bambu yang dikonsumsi sendiri juga dipasarkan ke pasar desa maupun pasar kecamatan. Hal ini turut dipengaruhi oleh terbukanya transportasi darat menuju ke lokasi transaksi (pasar) serta dekatnya jarak tempuh transportasi ke pasar terdekat. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Minahasa Selatan (2012), memperlihatkan bahwa jarak tempuh dari ke 8 desa tersebut ke wilayah pusat kecamatan (pasar kecamatan) yakni kecamatan Motoling Timur, dan kecamatan Motoling Barat berkisar antara 5 km sampai 10 km
17
.
Khusus untuk barang jadi dari serat alam pandan dan kapuk (tikar, bantal, dan lampu botol) pola pemanfaatan dari masyarakat hanya terbatas pada konsumsi sendiri, dan tidak dipasarkan. Hal ini disebabkan karena rendahnya daya saing dibandingkan dengan bentuk-bentuk barang jadi serupa yang sudah lebih modern dan memiliki daya saing tinggi di pasaran. Ragimun (2008) mengemukakan bahwa, semakin rendah nilai tambah suatu jenis komoditi, semakin rendah pula daya saingnya di pasaran. Hal ini menyebabkan produk komoditi barang jadi dari serat alam pandan, dan kapuk kalah bersaing di pasaran, sehingga masyarakat tidak menjualnya ke pasaran. E. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan -
Ditemukan 5 (lima) jenis serat alam dalam kawasan hutan produksi terbatas (HPT) Gunung Sinonsayang, yakni : bambu (Bambusa sp./Gramineae), Pandan
(Pandanus
tectorius/Pandanaceae),
kapuk
(Ceiba
petandra/Bombacaceae), agave/sisal (Agave sp./Amaryllidaceae), dan rosella (Hibiscus sabdariffa/Malvaceae). -
Serat alam bambu (Bambusa sp.), memiliki potensi ekologi yang lebih besar dibandingkan serat alam lainnya, yakni jumlah individu per hektar ditaksir sebesar 19 ≤ individu/ha ≤ 21, nilai frekuensi sebesar : 0,73, dan nilai persentase per jenis sebesar : 95,66%.
-
Pola penyebaran serat alam bambu mengikuti pola penyebaran secara acak. Selanjutnya serat alam pandan, kapuk, agave, dan rosella menunjukkan pola penyebaran berkelompok dalam kawasan HPT Gunung Sinonsayang.
-
Terdapat 3 (tiga) jenis serat alam yang sudah dimanfaatkan oleh masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan, yakni : bambu, pandan, dan kapuk. Serat alam bambu lebih banyak dimanfaatkan untuk konsumsi sendiri untuk keperluan pembuatan dinding rumah / pondok kebun, pagar rumah, tangga, kandang ternak, peneluran ternak ayam, penyulingan cap tikus, pembuatan dinding porno, media untuk memasak ikan/kue, membuat nyiru, bahan makanan rebung (tunas muda), dan untuk lalandangan. Sebagian komoditi
18
dalam bentuk bahan baku dan barang jadi dipasarkan ke pasar desa maupun pasar kecamatan. Pemanfaatan serat alam pandan dan kapuk masih terbatas untuk dikonsumsi sendiri sebagai bahan baku pembuatan tikar, bantal, dan sumbu lampu botol. 2. Saran Penelitian serupa perlu dilakukan pada kawasan hutan lainnya, untuk menginventarisasi potensi serat alam (bast plant) di Provinsi Sulawesi Utara, sebagai upaya pengembangan serat alam nasional sebagai salah satu sumber devisa negara. Daftar Pustaka Badan Pusat Statitik Minahasa Selatan., 2012. Minahasa Selatan Dalam Angka. Amurang. Baharuddin dan I. Taskirawati, 2009. Buku Ajar Hasil Hutan Bukan Kayu. Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin. Makassar. Dinas
Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara, (http://www.dephut.go.id/informasi/propinsi/sulut/sulut_3.html) pada tanggal 20 September 2014.
1984. Diakses
Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara, 2007. Rancangan Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Model Poigar di Wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow dan Kabupaten Minahasa Selatan Provinsi Sulawesi Utara - Buku I. Dinas Kehutanan Sulawesi Utara. Manado. Direktorat Budidaya Tanaman Tahunan, 2008., Budidaya Kapuk. Jakarta Direktorat Jenderal Perkebunan., petandra). Jakarta.
2006., Pedoman Budidaya Kapuk (Ceiba
Hitam, H. 1980. Dasar-Dasar Teori dan Penggunaan Teknik Pengambilan Contoh (Sampling Techniques) Dalam Inventarisasi Hutan. Pradnya Paramita. Jakarta. Husch, B. 1987. Perencanaan Inventarisasi Hutan. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Junus, H.M., A.R. Wasaraka, dan J.F. Frans, 1984. Dasar Umum Ilmu Kehutanan Buku-I. Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Bagian Timur. Ujung Pandang. Karina, A. 2012. Definisi Serat dan Jenis-Jenis Serat. (http://www.airinkarina blogspot/serat. html). Diakses pada tanggal 7 September 2014). 19
Kasmudjo, M.S., 2014. Produk Ekstraktif Tumbuhan, Potensi dan Prospek. Cakrawala Media. Yogyakarta. National Mission On Bamboo Applications., 2004. Training Manual Propagating Bamboo. Technology Information, Forecasting, And Assessment Council (TIFAC). Department of Science And Technology. India. Primack, 1993. Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu di Kabupaten Lombok Utara. (http://www.lombokutara.hhbk/indeksphp/news/html.) Diakses pada tanggal 7 September 2014. Priyono, R., 2008. Kesesuaian Lahan Tanaman Kapuk (Ceiba petandra) Di Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Ragimun, 2008. Analisis Daya Saing Karet Dan Produk Dari Karet Indonesia Terhadap China. (www. kemenkeu.go.id/Analisis%20Daya%20Saing%20Karet%20 pdf). Diakses pada tanggal 18 Mei 2015. Rismawati, Z.E. 2012. Macam Macam Serat Alam. Universitas Negeri Jakarta. Jakarta. Santoso, B., 2009. Peluang Pengembangan Agave Sebagai Sumber Serat Alam. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat. Malang Soerianegara, I., dan A. Indrawan, 1982. Ekologi Hutan Indonesia. Departemen Managemen Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Sutiyono, 2004. Budidaya Bambu. (www.forda-mof-org/files/Budidaya-bambuSutiyono-pdf). Diakes pada tanggal 18 Mei 2015. Thomson, L.A.J., L. Englberger, L. Guarino, R.R. Thaman, and C.R. Elevitch., 2006. Species Profiles for Pacific Island Agroforestry. (www. traditionaltree.org). Diakses pada tanggal 18 Mei 2015 Tjitrosoedirdjo, S., I.H. Utomo, dan J. Wiroatmodjo, 1984. Pengelolaan Gulma di Perkebunan. PT. Gramedia. Jakarta. Widnyana, K., 2006. Bambu Dengan Berbagai Manfaatnya. Fakultas Pertanian Universitas Mahasaraswati. Denpasar. Wijayanti, P., 2010. Budidaya Tanaman Obat Rosella Merah (Hibiscus sabdariffa L.) Dan Pemanfaatan Senyawa Metabolis Sekundernya Di PT. Temu Kencono, Semarang. Laporan Tugas Akhir Program Diploma III Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
20
21