VIBRIO PARAHAEMOLUTICUS PENYEBAB GASTROENTERITIS Makanan termasuk kebutuhan dasar terpenting dan sangat esensial dalam kehidupan manusia. Salah satu ciri makanan yang baik adalah aman untuk dikonsumsi. Makanan yang menarik, nikmat, dan tinggi gizinya, akan menjadi tidak berarti sama sekali jika tak aman untuk dikonsumsi. Makanan yang aman adalah yang tidak tercemar, tidak mengandung mikroorganisme atau bakteri dan bahan kimia berbahaya, telah diolah dengan tata cara yang benar sehingga sifat dan zat gizinya tidak rusak, serta tidak bertentangan dengan kesehatan manusia. Karena itu, kualitas makanan, baik secara bakteniologi, kimia, dan fisik, harus selalu diperhatikan. Kualitas dari produk pangan untuk konsumsi manusia pada dasarnya dipengaruhi oleh mikroorganisme. Pertumbuhan mikroorganisme dalam makanan memegang peran penting dalam pembentukan senyawa yang memproduksi bau tidak enak dan menyebabkan makanan menjadi tak layak makan. Beberapa mikroorganisme yang mengontaminasi makanan dapat menimbulkan bahaya bagi yang mengonsumsinya. Kondisi tersebut dinamakan keracunan makanan. Lebih dari 90 persen terjadinya foodborne diseases pada manusia disebabkan kontaminasi mikrobiologi, yaitu meliputi penyakit tifus, disentri bakteri atau amuba, botulism dan intoksikasi bakteri lainnya, serta hepatitis A dan trichinellosis. WHO mendefinisikan foodborne diseases sebagai penyakit yang umumnya bersifat infeksi atau racun yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan yang dicerna. Salah satu mikroba bakteri yang mengkontaminasi makanan (kerang, udang dan hasil kaut lainnya), menyebabkan keracunan makanan dan gastroenteritis (diare akut) adalah bakteri Vibrio parahaemolyticus. Karena bumi ini ini merupakan planet biru dimana sebagian besar wilayahnya merupakan lautan dan rata-rata penduduk dunia menyukai produk makanan laut, maka penting bagi kita untuk mengetahui mikroba yang mengkontaminasi produk makan dari laut sehingga kita dapat mencegah, menanggulangi dan mengobati penyakit akibat bakteri ini. 1. Vibrio parahaemolyticus dan Nama Lainnya sinonim: Beneckea parahaemolytica Beneckea parahaemolytica (Fujino et al. 1951) Baumann et al. 1971 (Approved Lists 1980) Vibrio parahaemolyticus Sakazaki et al. 1963 (sic) "Oceanomonas parahaemolytica" (Fujino et al. 1951) Miyamoto et al. 1961 Oceanomonas parahaemolytica "Pasteurella parahaemolytica" Fujino et al. 1951 Pasteurella parahaemolytica 2. Klasifikasi Super kingdom Filum Kelas
: Bacteria : Proteobacteria : Gammaproteobacteria
Ordo Famili Genus Spesies
: Vibrionales : Vibrionaceae : Vibrio : Vibrio parahaemolyticus
3. Morfologi bakteri Bakteri Vibrio parahaemolyticus(Vp) merupakan bakteri gram negatif, halofilik, bersifat motil atau bergerak, berbentuk bengkok atau koma, menghasilkan energi untuk pertumbuhan dengan oksidasi,fakultatif anaerob dan mempunyai flagelum kutub tunggal dan tidak dapat membentuk spora. Telah diidentifikasi bahwa Vp memiliki 12 grup antigen &Idquo; Ordquo dan sekitar 60 tipe antigen &Idquo&rdquo.
Bentuk vibrio parahaemolyticus
3. Habitat Vibrio parahaemolyticus Bakteri Vp hidup pada persekitaran muara sungai (brackish water atau estuaries), pantai (coastal waters) tetapi tidak hidup pada laut dalam (open sea).Bakteri Vp pada terutama hidup di perairan Asia Timur. Bakteri ini tumbuh pada air laut dengan kadar NaCl optimum 3%, pada skisaran suhu 5- 430C, pH 4,8 –11 dan water activity (aw) 0,940,99. Pertumbuhan berlangsung cepat pada suhu optimum 370C dengan waktu generasi hanya 9-10 menit. Selama musim dingin, organisme ini ditemukan di lumpur laut, sedangkan selama musim panas mereka ditemukan di perairan pantai. Bakteri Vp dapat hidup sebagai koloni pada kerang-kerangan, udang, ikan dan produk makanan laut lainnya. 4. Distribusi penyakit Kasus sporadis dan beberapa KLB dengan common source dilaporkan dari berbagai bagian dunia, terutama dari Jepang, Asia Tenggara dan AS. Beberapa KLB dengan korban yang banyak terjadi di AS yang disebabkan karena mengkonsumsi seafood yang
tidak dimasak dengan sempurna. Kasus-kasus ini terjadi terutama pada musim panas. Beberapa KLB yang akhir-akhir ini terjadi disebabkan oleh strain Kanagawa negatif, dan strain urease positif.
Distribusi penyakit diare akut (gastroenteritis)
5. Siklus Hidup Vibrio parahaemolyticus
6. Proses Penularan Bakteri Vibrio parahaemolyticus masuk ke dalam tubuh manusia yang mengkonsumsi produk makanan laut seperi udang, kerang, ataupun ikan mentah yang dimasak kurang sempurna. Penularan juga dapat terjadi pada makanan yang telah dimasak sempurna namun tercemar oleh penjamah yang pada saat bersamaan menangani produk ikan mentah.
kerang yang terkontaminasi Vibrio parahaemolyticus
7. Penyakit Jika kita mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi Vibrio parahaemolyticus, ada kemungkinan kita terkena gastroenteritis bila sistem kekebalan tubuh dalam keadaan buruk. Gastroenteritis atau diare akut adalah kekerapan dan keenceran BAB dimana frekuensinya lebih dari 3 kali perhari dan banyaknya lebih dari 200 – 250 gram (Syaiful Noer, 1996). Istilah gastroenteritis digunakan secara luas untuk menguraikan pasien yang mengalami perkembangan diare dan/atau muntah akut. Istilah ini menjadi acuan bahwa terjadi proses inflamasi dalam lambung dan usus. Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan jumlah tinja yang lebih banyak dari biasanya (normal 100 – 200 ml per jam tinja), dengan tinja berbentuk cairan atau setengah cair (setengah padat) dapat pula disertai frekuensi yang meningkat (Arif Mansjoer, 1999 : 501).Diare adalah defekasi yang tidak normal baik frekuensi maupun konsistensinya, frekuensi diare lebih dari 4 kali sehari. Saluran gastrointestinal berjalan dari mulut melalui esofagus, lambung dan usus sampai anus. Esofagus terletak di mediastinum rongga torakal, anterior terhadap tulang punggung dan posterior terhadap trakea dan jantung. Selang yang dapat mengempis ini, yang panjangnya kira-kira 25 cm (10 inchi) menjadi distensi bila makanan melewatinya. Bagian sisa dari saluran gastrointestinal terletak di dalam rongga peritoneal. Lambung ditempatkan di bagian atas abdomen sebelah kiri dari garis tengah tubuh, tepat di bawah diafragma kiri. Lambung adalah suatu kantung yang dapat berdistensi dengan kapasitas kira-kira ± 1500 ml. Lambung dapat dibagi ke dalam empat bagian anatomis, kardia, fundus, korpus dan pilorus. Usus halus adalah segmen paling panjang dari saluran gastrointestinal, yang jumlah panjangnya kira-kira dua pertiga dari panjang total saluran. Untuk sekresi dan absorbsi, usus halus dibagi dalam 3 bagian yaitu bagian atas disebut duodenum, bagian tengah disebut yeyunum, bagian bawah disebut ileum. Pertemuan antara usus halus dan usus besar terletak dibagian bawah kanan duodenum. Ini disebut sekum pada pertemuan ini yaitu katup ileosekal. Yang berfungsi untuk mengontrol isi usus ke dalam usus besar, dan mencegah refluks bakteri ke dalam usus halus. Pada tempat ini terdapat apendiks
veriformis. Usus besar terdiri dari segmen asenden pada sisi kanan abdomen, segmen transversum yang memanjang dari abdomen atas kanan ke kiri dan segmen desenden pada sisi kiri abdomen. Yang mana fungsinya mengabsorbsi air dan elektrolit yang sudah hampir lengkap pada kolon. Bagian ujung dari usus besar terdiri dua bagian. Kolon sigmoid dan rektum kolon sigmoid berfungsi menampung massa faeces yang sudah dehidrasi sampai defekasi berlangsung. Kolon mengabsorbsi sekitar 600 ml air perhari sedangkan usus halus mengabsorbsi sekitar 8000 ml kapasitas absorbsi usus besar adalah 2000 ml perhari. Bila jumlah ini dilampaui, misalnya adalah karena adanya kiriman yang berlebihan dari ileum maka akan terjadi diare. Rektum berlanjut pada anus, jalan keluar anal diatur oleh jaringan otot lurik yang membentuk baik sfingter internal dan eksternal Diare akut akibat bakteri Vp disebabkan invasi bakteri dan sitotoksin di kolon dengan manifestasi sindroma disentri dengan diare yang disertai lendir dan darah sehingga disebut diare inflamasi. Akibatnya terjadi kerusakan mukosa baik usus halus maupun usus besar. Masa inkubasi bakteri Vp biasanya antara 12 sampai 24 jam, tetapi dapat juga berkisar antara 4 sampai30 jam. 8. Gejala Penyakit Gejala yang muncul adalah tiba-tiba dan kejang perut yang berlangsung selama 48 – 72 jam dengan masa inkubasi 8 – 72 jam. Gejala lain adalah mual, muntah, sakit kepala, badan agak panas dan dingin. Pada sebagian kecil kasus, bakteri juga menyebabkan septisemia.
anak yang menderita dehidrasi, diare dan gastroenteritis di Dhadgoan
9. Penatalaksanaan Pengobatan a. Penggantian Cairan dan elektrolit Aspek paling penting dari terapi diare adalah untuk menjaga hidrasi yang adekuat dan keseimbangan elektrolit selama episode akut. Ini dilakukan dengan rehidrasi oral,
dimana harus dilakukan pada semua pasien kecuali yang tidak dapat minum atau yang 1
terkena diare hebat yang memerlukan hidrasi intavena yang membahayakan jiwa. Idealnya, cairan rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5 g Natrium klorida, dan 2,5 g Natrium bikarbonat, 1,5 g kalium klorida, dan 20 g glukosa per liter air. Cairan seperti itu tersedia secara komersial dalam paket-paket yang mudah disiapkan dengan mencampurkan dengan air. Jika sediaan secara komersial tidak ada, cairan rehidrasi oral pengganti dapat dibuat dengan menambahkan ½ sendok teh garam, ½ sendok teh baking soda, dan 2 – 4 sendok makan gula per liter air. Dua pisang atau 1 cangkir jus jeruk diberikan untuk mengganti kalium. Pasien harus minum cairan tersebut sebanyak mungkin sejak mereka merasa haus pertama kalinya. Jika terapi intra vena diperlukan, cairan normotonik seperti cairan saline normal atau laktat Ringer harus diberikan dengan suplementasi kalium sebagaimana panduan kimia darah. Status hidrasi harus dimonitor dengan baik dengan memperhatikan tanda-tanda vital, pernapasan, dan urin, dan penyesuaian infus jika diperlukan. Pemberian harus diubah ke cairan rehidrasi oral sesegera mungkin. Jumlah cairan yang diberikan, hendaknya sesuai dengan jumlah cairan yang keluar. b. Antibiotik Pemberian antibotik secara empiris jarang diindikasikan pada diare akut infeksi, karena 40% kasus diare infeksi sembuh kurang dari 3 hari tanpa pemberian antibiotik Pemberian antibiotik diindikasikan pada : Pasien dengan gejala dan tanda diare infeksi seperti demam, feses berdarah,, leukosit pada feses, mengurangi ekskresi dan kontaminasi lingkungan, persisten atau penyelamatan jiwa pada diare infeksi, diare pada pelancong, dan pasien immunocompromised. Pemberian antibiotik secara empiris dapat dilakukan, tetapi terapi antibiotik spesifik diberikan berdasarkan kultur dan resistensi kuman. c. Obat anti diare Kelompok antisekresi selektif Terobosan terbaru dalam milenium ini adalah mulai tersedianya secara luas racecadotril yang bermanfaat sekali sebagai penghambat enzim enkephalinase sehingga enkephalin dapat bekerja kembali secara normal. Perbaikan fungsi akan menormalkan sekresi dari elektrolit sehingga keseimbangan cairan dapat dikembalikan secara normal. Di Indonesia saat ini tersedia di bawah nama hidrasec sebagai generasi pertama jenis obat baru anti diare yang dapat pula digunakan lebih aman pada anak.
struktur kimia racecadotril
Kelompok opiat Dalam kelompok ini tergolong kodein fosfat, loperamid HCl serta kombinasi difenoksilat dan atropin sulfat (lomotil). Penggunaan kodein adalah 15-60 mg 3x sehari,
loperamid 2 – 4 mg/ 3 – 4x sehari dan lomotil 5mg 3 – 4 x sehari. Efek kelompok obat tersebut meliputi penghambatan propulsi, peningkatan absorbsi cairan sehingga dapat memperbaiki konsistensi feses dan mengurangi frekwensi diare.Bila diberikan dengan cara yang benar obat ini cukup aman dan dapat mengurangi frekwensi defekasi sampai 80%. Bila diare akut dengan gejala demam dan sindrom disentri obat ini tidak dianjurkan.
Kelompok absorbent Arang aktif, attapulgit aktif, bismut subsalisilat, pektin, kaolin, atau smektit diberikan atas dasar argumentasi bahwa zat ini dapat menyeap bahan infeksius atau toksin-toksin. Melalui efek tersebut maka sel mukosa usus terhindar kontak langsung dengan zat-zat yang dapat merangsang sekresi elektrolit.
d. Zat Hidrofilik Ekstrak tumbuh-tumbuhan yang berasal dari Plantago oveta, Psyllium, Karaya (Strerculia), Ispraghulla, Coptidis dan Catechu dapat membentuk kolloid dengan cairan dalam lumen usus dan akan mengurangi frekwensi dan konsistensi feses tetapi tidak dapat mengurangi kehilangan cairan dan elektrolit. Pemakaiannya adalah 5-10 cc/ 2x sehari dilarutkan dalam air atau diberikan dalam bentuk kapsul atau tablet.
10. Cara Pencegahan Berbagai tindakan preventif mutlak dilakukan untuk meminimalkan terjadinya keracunan makanan dan gastroenteritis. Namun, pencegahan yang dilakukan tidak perlu dengan menghindari produk yang potensial tercemar mikroba karena produk pangan tersebut merupakan salah satu sumber asupan gizi yang diperlukan tubuh kita. Untuk produk makanan laut segar, pencucian dapat menurunkan potensi bahaya akibat bakteri Vp. Pencucian atau pembilasan makanan dapat menghilangkan kotoran dan kontaminan lainnya. Pencucian dapat dilakukan dengan air, deterjen, larutan bakterisidal seperti klorin, dan lain-lain. Air yang dipakai untuk mencuci harus bebas dari mikroba patogen atau mikroba penyebab kebusukan makanan Selain itu, produk makanan laut yang akan dimakan hendaknya dimasak secara sempurna untuk membunuh larva yang mengkontaminasi makanan. Untuk ikan yang akan dikalengkan,dibekukan atau dikeringkan, sebaiknya dilakukan pemblansiran terlebih dahulu. Blansir adalah suatu cara perlakuan panas pada bahan dengan cara pencelupan ke dalam air panas atau pemberian uap panas pada suhu sekitar 82-93 derajat Celsius. Waktu blansir bervariasi antara 1-11 menit tergantung dari macam tergantung pada jenis, ukuran, derajat kematangan ikan yang diinginkan.Tujuan pemblansiran adalah untuk menghambat atau mencegah aktivitas enzim Vibrio parahaemolyticus. Blansir merupakan pemanasan pendahuluan bahan pangan yang biasanya dilakukan untuk makanan sebelum dikalengkan, dibekukan, atau dikeringkan. Maksudnya untuk menghambat atau mencegah aktivitas enzim dan mikroorganisme. Penyajian pasca pemasakan juga tidak boleh luput dari perhatian. Sebaiknya makanan yang telah melalui proses pemasakan langsung dikonsumsi. Sebagian besar kasus
foodborne diseases di Indonesia diakibatkan oleh penanganan pasca pemasakan yang tidak sempurna, seperti penyimpanan yang terlalu lama. Untuk produk pangan yang dikalengkan, sebaiknya perhatikan keadaan kaleng. Jangan mengonsumsi makanan dari kaleng yang sudah rusak atau berbau asam. Selain itu, tanggal kedaluwarsa juga mutlak diperhatikan. Satu hal yang perlu mendapat perhatian untuk produk kemasan adalah proses yang tidak sempurna dan kerusakan kemasan selama distribusi maupun penyimpanan. Ciri-ciri makanan kaleng yang telah rusak, yaitu flipper, springer, soft swell, dan hard swell. Flipper dapat dicirikan permukaan kaleng kelihatan datar, tetapi bila salah satu ujung kaleng ditekan, ujung lainnya akan menjadi cembung.Springer dapat dicirikan dari salah satu ujung kaleng sudah cembung secara permanen. Bila ditekan, cembung akan bergerak ke arah yang berlawanan.Soft swell dicirikan dengan kedua ujung kaleng sudah cembung, tetapi belum begitu keras sehingga masih bisa ditekan sedikit ke dalam. Hard swell dicirikan dengan kedua ujung permukaan kaleng cembung dan sangat keras, sehingga tidak bisa ditekan ke dalam oleh ibu jari.Selain itu, masih ada flat sour, yakni permukaan kaleng tetap datar tetapi produknya sudah berbau asam yang menusuk. Hal itu disebabkan oleh aktivitas spora bakteri tahan panas yang tidak hancur selama proses sterilisasi. Cara pencegahan yang lain adalah dengan pemberian Imunisasi aktif dengan vaksin mati whole cell, yang diberikan secara parenteral kurang bermanfaat untuk penanggulangan wabah maupun untuk penanggulangan kontak. Vaksin ini hanya memberikan perlindungan parsial (50%) dalam jangka waktu yang pendek (3 - 6 bulan) di daerah endemis tinggi tetapi tidak memberikan perlindungan terhadap infeksi asimptomatik; oleh karena itu pemberian imunisasi tidak direkomendasikan. Dua jenis Vaksin oral yang memberikan perlindungan cukup bermakna untuk beberapa bulan terhadap kini tersedia di banyak negara. Pertama adalah vaksin hidup (strain CVD 103 – HgR, dosis tunggal tersedia dengan nama dagang Orachol® di Eropa dan Mutacol di Kanada, SSV1); yang lainnya adalah vaksin mati yang mengandung vibrio yang diinaktivasi ditambah dengan subunit B dari toksin kolera, diberikan dalam 2 dosis (Dukoral, SBL). Sampai dengan akhir tahun 1999, vaksin-vaksin ini belum mendapat lisensi di AS.
DAFTAR PUSTAKA
Syamsir, Elvira, 18 April, 2008, Kasus Vibrio parahaemolyticus di dalam seafood, http:/kesehatan.bandungkab.go.id/index.php?option=com_mtree&task=viewlink&link_id =20&Itemid=109 http://www.india-today.com/itoday/20010521/development.shtml Astawan, Made, 27 Desember 2007, Wapadai Bakteri Patogen pada Makanan, http://cybermed.cbn.net.id/cbprtl/cybermed/detail.aspx?x=Nutrition&y=cybermed%7C0 %7C0%7C6%7C425 Cahyadi, Eko, 3 Oktober read_article.php?articleId=17
2006,
Gastroenteritis,
http://fkuii.org/tiki-
Siagian, Albert, 2002, Mikroba Patogen pada Makanan dan Sumber Pencemarannya, http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-albiner3.pdf http://pkukmweb.ukm.my/~danial/Vibrio.html http://wwwdokter-doddy-tisna.blogspot.com/2007/12/psikiatri-komunitas-psikiatrikomunitas.html Risk assessment of Vibrio http://www.fao.org/docrep/008/y8145e/y8145e08.htm
spp.
in
seafood
http://www.ehponline.org/members/2007/115-4/focus.html Jawetz, Ernesst, 1996, Mikrobiologi Kedokteran, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta Purwijantiningsih, E dan exsyupransia, M, Mutu Bakteriologi Pindang Tongkol, (Euthynnus affinis) yang Berasal dari Beberapa Pasar di Yogyakarta, Biota, Vol XI No I, Februari 2006, Fakultas Biologi UAJY, Yogyakarta