VI. KESIMPULAN
6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan yang dilakukan untuk menjawab tujuan dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa/konflik lingkungan secara eksplisit diatur di dalam Undang-Undang Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dimana penyelesaiannya dapat dilakukan melalui dua cara yaitu: melalui jalur pengadilan dan jalur diluar pengadilan. Khusus mekanisme di luar jalur pengadilan, diperkuat oleh PP No.54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. Di dalam UU Kehutanan menyebutkan, bahwa penyelesaian sengketa kehutanan dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.
Keduanya UUPPLH dan UU Kehutanan menyatakan bahwa
penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pelanggaran pidana, namun demikian dalam pelaksanaannya UUPPLH mengedepankan asas subsidiaris. Turunan UUPA tidak ada yang secara tegas menyatakan bagaimana sengketa lingkungan, khususnya sumberdaya lahan, di dalam kawasan hutan diselesaikan melalui kedua cara tersebut. Namun demikian, dalam rangka penanganan sengketa /konflik pertanahan, BPN mengeluarkan Petunjuk Teknis No. 05/JUKNIS/D.V/2007 tentang Mekanisme Pelaksanaan Mediasi. Hingga saat ini belum ada contoh kasus penanganan sengketa lahan di dalam kawasan yang menggunakan juknis tersebut. Di dalam Undang-undang Penataan Ruang, pengaturan penyelesaian konflik penataan ruang sedikit sekali disinggung. UU ini hanya menyatakan bahwa penyelesaian
sengketa
penataan
ruang
pada
tahap
pertama
diupayakan
berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat, apa bila tidak diperoleh kesepakatan, para pihak dapat menempuh upaya penyelesaian sengketa melalui pengadilan
atau
di
luar
pengadilan
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundangundangan. Hingga saat ini belum ada turunan kebijakan yang mengatur tentang itu.
275
Di dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah,
penyelesaian
sengketa/konflik
mengandung
makna
bahwa
yang
diselesaikan lebih pada perselisihan kewenangan antar tataran pemerintah dan/atau lembaga pemerintah. Di dalam Undang-undang Pelayanan Publik dinyatakan bahwa setiap penyelenggara pemerintahan (bahkan termasuk didalamnya adalah BUMN) diwajibkan untuk membangun mekanisme untuk mengelola pengaduan. Amanat
penyelesaian
konflik
lingkungan
tidak
secara
konsisten
ditindaklanjuti kedalam turunan kebijakan. Dari kelima kebijakan yang dikaji, hanya turnan UUPPLH dan UUPA yang mengatur penyelesain konflik termasuk caracaranya seperti fasilitasi, mediasi, arbitrase, dan lain-lain. Pelaksanaan
penyelesaian
konflik
lingkungan
di
daerah
penelitian,
khususnya penyelesaian di luar pengadilan, tidak ada satupun yang ditempuh melalui kebijakan tersebut di atas. Hal tersebut disebabkan oleh belum tersedianya mekanisme pengaduan dan penyelesaian konflik di daerah. Di samping itu, karena masih lemahnya sosialisasi Undang-Undang yang telah dihasilkan tersebut, sejauh ini masyarakat menyampaikan tuntutannya melalui DPRD atau dengan difasilitasi oleh LSM sehingga masyarakat bisa berdialog dengan lembaga pemerintah. Sebelum tahun 2000 sebanyak dua kali masyarakat mencoba mencari penyelesaian melalui DPRD, namun tidak menghasilkan solusi apapun. Berdasarkan hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi konflik dalam pengelolaan kawasan hutan lindung, dapat disimpulkan bahwa . •
Pada submodel eksternalitas, peubah bencana alam antropogenik (X1) berpengaruh negatif sebesar 0,058 dan merupakan akar konflik yang paling tinggi mempengaruhi motivasi responden memutuskan untuk mengkonversi lahan (X6) Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis. Bencana alam antropogenik diukur dari ragam bencana akibat ulah manusia yang pernah dihadapi responden dalam mengolah lahan garapan mereka di luar kawasan. Di dalam penelitian ini, bencana-bencana tersebut adalah: (1) kebakaran hutan, (2) erosi dan longsor, (3) banjir dan penggenangan, dan (4) serangan penyakit dan hama tanaman. Berpengaruh negatif menunjukkan bahwa semakin beragam bencana yang mereka hadapi di luar kawasan, maka motivasi keputusan responden dalam mengkonversi lahan kawasan akan semakin rendah.
276
Hubungan terbalik tersebut dapat ditafsirkan bahwa responden memiliki perhitungan kehawatiran akan terjadinya bencana serupa jika membuka lahan dan bertani di dalam kawasan hutan. Rendah tingginya motivasi responden dalam mengkonversi lahan dicerminkan oleh ragam motivasi yang dimiliki responden. •
Pada sub model persepsi dan ketimpangan struktural, terdapat dua persamaan jalur secara paralel, yang pertama yaitu sub-model ketimpangan struktural yang ditujukan untuk mengukur tingkat ordinasi responden (X10) yang berdasarkan hasil analisis terbesar dipengaruhi positif oleh oleh tingkat kesejahteraan sosial
responden
(X8)
sebesar
0,18.
Artinya
semakin
tinggi
tingkat
kesejahteraan sosial responden maka akan semakin tinggi pula tingkat ordinasi responden. Persamaan kedua di dalam sub model persepsi dan ketimpangan struktural adalah sub-model persepsi. Hasil analisis
menunjukkan bahwa
peubah eksogen kosmopolitansi responden (X18) memiliki nilai koefisien jalur yang paling tinggi dan positif terhadap ketiga peubah endogen yaitu 0,41 terhadap persepsi tentang status kawasan hutan negara (X12), 0,36 terhadap persepsi tentang fungsi lingkungan dari hutan (X13), dan 0,36 terhadap persepsi tentang
desentralisasi
pengelolaan
kawasan
hutan
(X14).
Hal
tersbut
menunjukkan bahwa semakin kosmopolitan responden, maka semakin baik persepsi dan pemahaman mereka tentang status kawasan hutan negara, fungsi lingkungan dari hutan, dan desentralisasi pengelolaan kawasan hutan. Pada tahap selanjutnya, sub-model Persepsi dan Ketimpangan Struktural kemudian dibangun dengan memadukan persamaan (22) dan (23) serta dengan penambahan peubah eksogen baru yaitu peubah tindakan represif oleh pemerintah (X11). Berdasarkan hasil analisa jalur, dibandingkan dengan peubah eksogen lainnya, peubah persepsi tentang status kawasan hutan negara (X12) memiliki koefisien jalur tertinggi dan berpengaruh positif terhadap peubah endogen keterlibatan aktif responden dalam berdialog dan negosiasi (X15) yaitu sebesar 0,25. Oleh karenanya dapat ditafsirkan bahwa semakin baik persepsi responden tentang status dan fungsi lingkungan kawasan hutan maka semakin intensif keterlibatan mereka di dalam peristiwa-peristiwa dialog dan negosiasi. •
Pada Submodel Kelangkaan, berdasarkan hasil analisis jalur, peubah status kepemilikan lahan pertanian yang dikuasai di luar kawasan (X20) memiliki
277
pengaruh positif 0,31 terhadap peubah akibat persepsi tingkat kebutuhan lahan pertanian tambahan (X22) dan merupakan koefisien jalur tertinggi dibandingkan dengan peubah eksogen lainnya. Artinya, semakin lemah atau semakin tidak jelas status kepemilikan lahan pertanian responden di luar kawasan, maka persepsi kebutuhan lahan garapan di dalam kawasan semakin tinggi. Berdasarkan hasil analisis deskriptif diperoleh fakta bahwa sebesar 36 persen responden tidak memiliki lahan pertanian di luar kawasan, sisanya surat kepemilikan tanah tidak kuat. •
Pada Submodel Etik Lingkungan, peubah etik ekosentrik (X24) memiliki koefisien jalur terbesar dan berpengaruh positif 0.073 terhadap peubah etik lingkungan (X25). Artinya semakin tinggi keyakinan responden terhadap paham ekosentris, semakin baik etik lingkungan yang dimanifestasikan oleh responden dalam mengelola lahan garapannya.
•
Pada Submodel Eskalasi Konflik, eskalasi konflik dibangun dari gabungan persamaan jalur beberapa sub-model sebelumnya yaitu sub-model eksternalitas, sub-model persepsi dan ketimpangan struktural, sub-model kelangkaan, dan sub-model etik lingkungan. Berdasarkan hasil analisis jalur, peubah keputusan konversi lahan kawasan oleh responden (X6) adalah peubah yang paling kuat mempengaruhi terjadinya eskalasi konflik (X26) yaitu berpengaruh positif sebesar 0,37. Semakin tinggi motivasi responden mengkonversi lahan kawasan semakin eskalatif konflik yang terjadi.
Eskalasi konflik diukur dengan peningkatan ketegangan karena
perbedaan kepentingan dan keselarasan perilaku (gaya mengelol konflik) antar pihak, yang dimulai dari situasi tanpa konflik, potensi konflik, konflik laten, konflik permukaan, hingga menjadi konflik terbuka. Kebaikan model ditunjukkan sejauh mana kesesuaian model dengan data yang digunakan. Untuk kepentingan tersebut, dilakukan analisis penelitian ini menggunakan analisis Goodness of Fit Index (GFI) guna menilai kesesuaian model dengan data yang dipergunakan, dan diperoleh nilai GFI 0,83. Dalam penelitian ilmu sosial nilai GFI minimal 0,80 sudah cukup untuk menyatakan bahwa model sudah baik dan model sesuai dengan data yang dipergunakan.
278
Selain GFI, kebaikan model juga dianalisis dengan Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) khusunya untuk menilai kebaikan struktur model. Model yang dipergunakan di dalam penelitian ini memiliki nilai AGFI sebesar 0.63. Berdasarkan hasil hasil analisis gaya mengelola konflik dapat disimpulkan bahwa: •
Pada konflik status lahan, para pihak yang akan bersikap kolaboratif adalah (1) pihak LSM-perguruan tinggi-lembaga litbang, dan (2) pihak kabupaten. Kedua pihak tersebut memiliki nilai tengah gaya mengelola konflik masing-masing sebesar 5,44 dan 5,31 atau dapat dinyatakan bahwa pihak LSM-perguruan tinggi-litbang bersikap lebih kolaboratif dari pihak kabupaten. Para pihak yang akan bersikap kompromi adalah (1) pihak masyarakat yang bertani di dalam kawasan, dan (2) pihak kecamatan-pekon yang memiliki nilai tengah gaya mengelola konflik masing-masing sebesar 4,29 dan 4,23 atau pihak masyarakat lebih kompromistis dari pada pihak kecamatan-pekon.
•
Pada kasus konflik tata batas kawasan kutan, hanya pihak LSM-perguruan tinggi-lembaga litbang yang bersikap kolaboratif (ditunjukkan oleh nilai tengah sebesar 5,51) dan menyatakan bahwa dalam menghadapi konflik tata batas kawasan hutan, mereka akan membawa kepentingan semua pihak dalam iklim kerjasama yang terbuka untuk menghasilkan jalan keluar bersama. Sementara ketiga pihak lainnya menunjukkan sikap kompomi dengan nilai tengah masingmasing yaitu pihak kabupaten sebesar 4,86, pihak kecamatan-pekon sebesar 4,48, dan pihak masyarakat sebesar 4,24. Fakta bahwa pihak kabupaten bersikap kompromi diduga merupakan bagian dari langkah “kehati-hatian” mereka menyangkut keutuhan tata batas kawasan yang apabila “temu gelang” patok tata batas kawasan bisa dipertahankan maka luas kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis akan tetap 8295 hektar.
•
Pada konflik hak akses masyarakat terhadap pemanfaatan lahan dalam kawasan hutan, diperoleh fakta bahwa semua pihak bersikap kolaboratif dengan nilai tengah masing-masing yaitu pihak kabupaten sebesar 5,37, pihak kecamatan-pekon sebesar 5,21, pihak LSM-perguruan tinggi-lembaga litbang sebesar 5,06, dan pihak masyarakat sebesar 5,04.
279
Walaupun secara statistik terdapat perbedaan nilai tengah gaya mengelola konflik masing-masing pihak, besarnya nilai tengah pada semua konflik yang diuji (status, tata batas, dan hak akses) masih berkisar antara 4,23 hingga 5,51. Artinya semua pihak bersikap ingin mengelola konflik baik secara kompromi atau kolaborasi. Kedua gaya tersebut sudah dapat dipergunakan sebagai petunjuk awal untuk dilakukannya penyelesaian-penyelesaian konflik konstruktif melalui perundingan baik berupa dialog, negosiasi dan bentuk-bentuk penyelesaian konflik alternatif lainnya. Berdasarkan hasil analisis kebersediaan responden dan preferensi bentuk perundingan, dapat disimpulkan bahwa: •
Sebesar 68,3 persen responden menyatakan akan hadir langsung termasuk di dalamnya adalah Ketua DPRD Kabupaten Lampung Barat dan sebesar 17,1 persen akan diwakili oleh anggota lembaga/kelompoknya. Sebesar 9,8 persen menyatakan tidak akan hadir dengan alasan mereka sudah berapa kali berdialog namun tidak pernah ada penyelesaian yang dihasilkan..
•
Hasil
wawancara
menunjukkan
bahwa,
preferensi
para
pihak
untuk
menyelesaikan konflik yang paling tinggi adalah dengan cara bernegosiasi yaitu sebesar 58,5 persen untuk konflik status lahan, 46,3 persen untuk konflik tata batas, dan 56,1 persen untuk konflik hak akses. Sedangkan cara fasilitasi adalah merupakan preferensi yang kedua yaitu konflik status lahan sebesar 26,8 persen, konflik tata batas sebesar 22 persen, dan konflik hak akses sebesar 29,3 persen. •
Dalam persentase yang relatif kecil, ada preferensi responden yang memilih penyelesaian konflik status lahan dan konflik tata batas diselesaikan melalui arbitrase, yaitu masing-masing sebesar 2,4 persen dan 4,9 persen. Mereka adalah masyarakat petani dan LSM dedngan alas an yaitu selama ini sudah sering dilakukan upaya penyelesaian konflik status dan tata batas melalui perundingan ataupun berupa dialog, namun tidak ada keputusan yang berkekuatan mengikat semua pihak agar hasil kesepakatan dialog dilaksanakan.
•
Tingginya preferensi para pihak untuk menyelesaikan konflik melalui negosiasi dan fasilitasi, cukup untuk dijadikan landasan yang kuat dalam pengambilan keputusan untuk memenuhi tujuan keempat penelitian ini yaitu mengembangkan model penanganan konflik lingkungan secara kognitif. Untuk tujuan tersebut,
280
75,6 persen responden menyatakan bersedia untuk hadir, dan sebesar 14,6 persen menyatakan ragu-ragu. Keragu-raguan dalam menjawab karena kehadirannya mungkin akan diwakilkan, atau akan hadir pada hari pertama dan hari berikutnya diteruskan oleh wakilnya. Berdasarkan hasil Semiloka Pengembangan Model Kognitif Penyelesaian Konflik Konflik Status Lahan; Kasus Status Wilayah Pekon (Desa) Sukapura Yang Berada di Dalam Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis, dapat disimpulkan bahwa: •
Dalam analisis rekonstruksi masalah konflik status lahan, ketika bagan rekonstruksi pohon masalah disandingkan dengan alur model faktor-faktor yang menyebabkan konflik lingkungan seperti telah diuraikan dalam analisis sebelumnya, diperoleh beberapa kesamaan faktor penyebab diantaranya, kelangkaan lahan, demikina
dapat
status lahan, dan pendapatan rumah tangga. Dengan disimpulkan
adanya
keserupaan
sistem
berpikir
yang
dikembangkan antara model yang dibangun secara hard system analysis dengan model pohon masalah yang dibangun secara soft system analysis. •
Dalam analisis faktor pemacu konflik, disimpulkan: •
Berdasarkan analisis faktor pemacu dan peredam, diperoleh beberapa faktor yang memacu terjadinya konflik status lahan di Pekon Sukapura yaitu: Faktor-faktor yang amat kuat (skor=5) memacu konflik adalah adanya reformasi, biaya hidup semakin tinggi, keinginan masyarakat untuk meningkatkan status lahan, dan pertambahan jumlah penduduk.
•
Faktor-faktor yang kuat (skor=4) memacu konflik adalah alternatif mata pencaharian sangat terbatas, nilai ekonomi lahan tinggi, dan adanya advokasi/pendampingan masyarakat.
•
Faktor-faktor yang berkekuatan sedang (skor=3) memacu konflik adalah terjadinya rawan bencana alam akibat kerusakan hutan dan adanya upaya penertiban oleh pemerintah secara represif.
•
Faktor pemacu yang lemah (skor=2) adalah adanya tanaman tumpangsari di dalam kawasan hutan.
281
•
Berdasarkan hasil analisis rentang waktu oleh para pihak, diperoleh 26 peristiwa penting yang berkaitan dengan konflik yang terjadi. Beberapa peristiwa yang menjadi perdebatan panjang yaitu:: •
Pengwajiban IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah) pada tahun 1952 dianggap oleh masyarakat sebagai pengakuan langsung atas penguasaan mereka atas lahan yang mereka tempati di dalam kawasan hutan.
•
Penurunan masyarakat pada tahun 1994/1995 dengan Operasi Gajah merupakan tindakan represif sepihak oleh pemerintah tanpa melihat asalusul penguasaan lahan oleh masyarakat.
•
Pembukaan dan pendudukan lahan di areal Hutan Pinus pada tahun 1999 yang disinyalir diantara pelakunya adalah pejabat pemerintah kabupaten merupakan bentuk diskriminasi terhadap masyarakat.
•
Berdasarkan hasil analisis profil dengan melihat kombinasi kekuatan, kepentingan, dan legitimasi para pihak, diperoleh beberapa tingkat kekhasan para pihak dalam sengketa status lahan yaitu: •
Kekhasan Tingkat 1: Adalah kelompok dominan yang mempunyai kekuatan yang sangat kuat, kepentingan terpengaruh, dan legitimasi tinggi. Mereka adalah Dinas Kehutanan dan PSDA Kabupaten Lampung Barat (1), Badan Planologi Departemen Kehutanan (3), DPRD Kabupaten Lampung Barat (5), dan Peratin Pekon Sukapura (8).
•
Kekhasan Tingkat 2: Adalah kelompok berpengaruh yang mempunyai kekuatan yang sangat kuat, legitimasi tinggi, namun kepentingan tidak terpengaruh. Mereka adalah LSM Watala (4) dan BPLH Lampung Barat (6).
•
Kekhasan Tingkat 3: Adalah kelompok rentan yang tidak mempunyai kekuatan atau sangat lemah, kepentingan terpengaruh, dan legitimasi/klaim tinggi atau diakui. Mereka adalah Bappeda Kabupaten Lampung Barat (2) dan masyarakat Pekon Sukapura (10).
•
Kekhasan Tingkat 4: Adalah kelompok berperhatian yaitu mereka yang memiliki
power
sangat
lemah,
kepentingan
terpengaruh,
namun
legitimasi/klaim tidak diakui. Mereka adalah Kantor Kecamatan Sumberjaya (7), Kantor BPN Lampung Barat (9), dan Universitas Lampung (11).
282
•
Berdasarkan analisis hubungan antara yang kuat dan lemah, dapat disimpulkan pihak-pihak mana saja yang berpotensi dapat bekerjasama dan siapa saja yang berpotensi untuk berkonflik.
•
Berdasarkan hasil analisis mengurai skenario ideal penyelesaian konflik status lahan, disimpulkan bahwa ada 4 skenario penyelesaian konflik status lahan Pekon Sukapura dengan peringkat masing-masing yaitu yaitu: 1) Peringkat 1: Pelepasan kawasan hutan seluas 302,5 dengan nilai sekor 9. 2) Peringkat 2: Revisi Tata Ruang Kabupaten dengan nilai sekor 6,4. 3) Peringkat 3: Pengukuran ulang luas kawasan hutan dengan nilai sekor 6. 4) Peringkat 4: Relokasi penduduk dengan nilai sekor 1,2.
•
Berdasarkan analisis memilih skenario ideal penyelesaian konflik status lahan dengan menamabah parameter biaya, waktu, ketersedian SMD dan keberlanjutan dukungan, disimpulkan bahwa Pelepasan kawasan hutan sesuai prosedur adalah peringkat pertama darisemua skenarion yang ada.
•
Berdasarkan hasil analisis dukungan terhadap skenario ideal penyelesaian konflik status lahan, dapat disimpulkna bahwa pelepasan kawasan hutan sesuai prosedur berada pada peringkat ke 1 dengan nilai sekor 23. Dari keseluruhan penelitian yang dilakukan, semua alat analisis yang
dilakukan dapat dipergunakan sebagai komonen pembangunan model analisis penanganan konflik (Gambar 3.54). Model analisis tersebut amat penting sebagai alat bantu penilaian (assessment) atas sebuah perselisihan/konflik dan upaya penyelesaiannya. Selain sebagai alat bantu peniliaan, rangkaian analisis dapat membantu para pihak dalam memutuskan dan mengukur dukungan atas kesepatan penyelesaian konflik yang dicapai. Selain model analisis, juka dikembangkan model kelembagaan penanganan konflik lingkungan (Gambar 5.35). Model ini terdiri dari berbagai tahap yaitu: (1) Registrasi dan Penerimaan Pengaduan, (2) Seleksi, Klasifikasi, dan Pengkajian, (3) . Keputusan untuk Merespon Pengaduan, (4) Menentukan Pendekatan dan mengimplementasikannya, (5) Melakukan Pendokumentasian dan Penelusuran, dan (6) Evaluasi, Monitoring, dan Pembelajaran. Aplikasi model tersebut mensyaratkan beberapa prakondisi diantarnya: (1) terjaminnya pelaksanaan demokrasi dan hak untuk bersuara, (2) terjaminnya kebebasan informasi publik dalam rangka
283
mewujudkan transparansi yang menjadi faktor penting konflik dapat diselesaikan, dan (3) mekanisme pengaduan oleh yang dijamin keberadaannya oleh pemerintah sebagai bagian dari pelayanan publik.
6.2 Saran
Sebagai tindak lanjut
kajian kebijakan UUPPLH, dan Undang-undang
Pelayanan Publik, di daerah perlu dikembangkan sebuah kelembagaan dan mekanisme pengaduan dan penyelesaian sengketa diluar pengadialan yang netral dan independen dan bisa di akses oleh masyarakat.
Kelembagaan tersebut
sebaiknya berada di tingkat desa/kelurahan, dan/atau berjenjang ke tingkat kabupaten, propinsi, hingga nasional sesuai dengan kewenangan regulatory atas subjek dan objek konflik yang dihadapi. Pemerintah Daerah dengan kewenangan atributis yang dimilikinya seperti diatur di dalam UU No.32 Tahun 2004, berhak dan wajib membentuk kelembagaan tersebut dan payung kebijakkannya bisa dalam bentuk Perda. Kelembagaan juga bisa dikembangkan di tingkat KPH (Kesatuan Pemangku Hutan). Apabila kelembagaan tersebut disediakan oleh suatu unit kerja pemerintah atau satuan kerja pemerintah daerah (SKPD), yang harus menjadi perhatian adalah azas netralitas dari lembaga/satuan kerja tersebut, terutama ketika lembaga pemerintah menjadi salah satu pihak yang berkonflik di dalamnya. Yang tak kalah penting juga adalah, penguatan penafsiran terhadap UU Kehutanan sehingga asas subsidiaritas dipergunakan dalam kasus konflik yang kemudian dipidanakan. Dalam pengelolaan konflik, penyelesaian disarankan dilakukan secara ordorial dengan mengembangkan resolusi konflik pada akar konflik yang paling sensitif/berpengaruh.
Berdasarkan
hasil
analisis
model
faktor-faktor
yang
mempengaruhi konflik lingkungan di Kawasan Hutan lindung Register 45B Bukit Rigis, maka upaya de-eskalasi konflik di kawasan ini disarankan dengan terlebih dahulu mengembangkan resolusi terhadap akar konflik
(peubah) keputusan
konversi lahan kawasan oleh responden. Hal tini dapat ditempuh melalui: 1) Pemberian hak atau ijin akses kepada masyarakat di sekitar dan di dalam kawasan hutan diyakini dapat mendeskalasi konflik. Dalam pidato politiknya tahun 2000 di hadapan DPRD Propinsi Lampung,
Gubernur Lampung
menyatakan bahwa “jangan berharap hutan akan lestari jika masyarakat tidak
284
memperoleh manfaat darinya”. Di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis saat ini ada sekitar 2000 KK yang bermukim/bergubug di dalamnya, tentunya suatu hal yang beresiko untuk mengusir mereka mengingat biaya sosial yang ditimbulkan amat tinggi. Mengijinkan mereka untuk tetap merawat kebun kopinya sekaligus menjaga fungsi hutan lindung dapat menjadi kebijakan yang secara berkelanjutan mendorong deskalasi konflik akses lahan di dalam kawasan hutan di lokasi penelitian ini. Untuk melaksanakan ini, perlu didukung dengan sistem zonasi pemenfaatan kawasan hutan lindung tersebut serta penerapan manajemen konservasi lahan dan agroforestri sistem multi tajuk. 2) Mereka yang memperoleh hak akses merupakan aset sosial untuk menjaga hutan yang masih tersisa sekaligus berpartisipasi dalam reforestasi areal-areal yang secara fisik diklasifikasikan sebaga areal perlindungan, sehingga tidak terjadi perluasan areal konversi. Kedua upaya tersebut, disarankan perlu dilengkapi dengan upaya mereduksi pengaruh pasar, diantaranya: a. Pengembangan dan penerapan sistem sertifikasi semacam green labelling terhadap produksi kopi. Khusus terhadap kopi yang berasal dari kawasan hutan, pasar dikondisikan agar hanya menerima kopi yang sistem tanamnya benarbenar tidak mengganggu fungsi kawasan sesuai peruntukannya. b. Sebagai pelaku pasar, para pembeli dihimbau untuk berperan serta mendukung program-program pengentasan kemiskinan di zona penyangga sehingga secara ekonomis masyarakat tidak termotivasi masuk ke dalam kawasan. Dana itu bisa diambil dari hasil penerimaan retribusi yang dibebankan oleh AEKI, yaitu sebanyak Rp. 50,- untuk pembelian setiap 1 kilogram kopi rakyat. Sebelum suatu upaya resolusi konflik dilaksanakan, disarankan terlebih dahulu dilakukan: 1) Pemetaan akar konflik, para pihak yang berkonflik, dan polarisasi perbedaan kepentingan yang terjadi. 2) Mengetahui gaya para pihak dalam mengelola konflik sehingga prefersni cara penyelesaian dapat dilakukan secara tepat apakah mediasi, negosiasi, fasilisasi, dan lain-lain. 3) Mengetahui keinginan dan komitmen para pihak untuk menyelesaikan secara kolaboratif dan bertemu langsung.
285
Upaya penyelesaian konflik di luar pengadilan merupakan suatu peluang bagi masyarakat dalam menyempaikan klaim-klaim yang memerlukan penyelesaian oleh para pihak terkait. Dari peraturan dan perundangan yang ada, sejauh ini bagaimana upaya tersebut dilakukan baru sebatas penyedian prosedur secara umum dan belum ada juknis (metodelogi, alat penilaian/assessment) sepesifik yang bisa membantu. Model kognitif penyelesaian konflik denga metode SAS dapat menjadi seperangkat alat yang disarankan untuk dipergunakan. Terkait dengan penanganan konflik lingkungan di kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis, dan dalam rangka melengkapi hasil analisis model kognitif penyelesaian konflik status lahan kawasan, disarankan untuk dilakukan analisis serupa kada kasus konflik tata batas dan konflik akses sehingga upaya resolusi konflik lingkungan yang akan dilakukan bisa lebih komprehensif.