VI. HASIL PENDUGAAN FUNGSI KEUNTUNGAN, ELASTISITAS PENAWARAN OUTPUT DAN PERMINTAAN INPUT 6.1. Pendugaan Fungsi Keuntungan Translog Menurut Shidu and Baanante (1981) bahwa fungsi keuntungan yang direstriksi (persamaan 47) dan persamaan pangsa biaya input variabel yang dalam hal ini pangsa biaya input benih, pupuk urea, pupuk TSP dan tenaga kerja (persamaan 48-51) diduga secara bersama-sama dengan metode SUR (Seemingly Unrelated Regression) (Zellner, 1962). Hal ini dilakukan, karena pada sistem persamaan tersebut terpaut satu sama lain melalui galat (error term). Fungsi keuntungan bersifat homogen berderajat satu dalam harga produksi dan masukan / input. Di samping itu, fungsi keuntungan translog juga bersifat simetri (Simatupang, 1988; Purwoto, 1990).
Oleh karena itu, sebelum
menganalisis hasil pendugaan fungsi keuntungan translog, akan terlebih dahulu diuraikan hasil pengujian statistika dan persyaratan produksi.
6.1.1. Pengujian Statisitika dan Persyaratan Produksi Hasil pengujian model terhadap deteksi multicolinearity, menunjukkan bahwa tidak terdapat masalah tersebut. Menurut Hanke, et.al., (2001) bahwa kekuatan multicolinearity dapat diukur dengan VIF (Variance Inflation Factor). Jika nilai VIF di atas 10, maka terdapat masalah multicolinearity, dan jika < 10 tidak terdapat masalah multikolinearity. Hasil pengujian atas R2 sistem dengan metode SUR (R2 sistem = 0.77) diperoleh nilai VIF sebesar 4.35. Hasil regresi dengan OLS, nilai r korelasi rata-rata masih dibawah 0.8. Hal ini sebagaimana
112
diungkapkan Gujarati (1997), jika r korelasi antara variabel bebas dibawah 0.8, maka tidak terdapat masalah multikolinearity. Selanjutnya untuk pengujian statistik lainnya, karena data yang digunakan pada analisis adalah data time series maka dilakukan uji autokorelasi. Autokorelasi dalam hal ini merupakan korelasi yang terjadi antara anggotaanggota dari serangkaian pengamatan yang tersusun dalam rangkaian waktu (data time series). Uji yang dilakukan untuk melihat autokorelasi dalam hal ini adalah dengan melihat nilai Durbin Watsonnya (DW). Nilai DW yang diperoleh berkisar antara 1.44 – 1.75.
Batas penerimaan hipotesis nol, yang menyatakan tidak
terdapat autokorelasi pada taraf nyata 5 persen adalah antara adalah 1.20 – 2.41. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa persamaan fungsi keuntungan translog dan persamaan pangsa biaya variabel tidak terdapat masalah autokorelasi. Sementara itu, untuk pengujian persyaratan produksi perlu diketahui bagaimana homogenitasnya, simetri, monotonicity dan convexity.
Dalam
pendugaan fungsi keuntungan translog dengan normalisasi keuntungan oleh harga output akan dapat terpenuhi sifat fungsi keuntungan homogen berderajat satu (Shidu and Baanante, 1981).
Oleh karena itu, dalam estimasi persamaan
keuntungan translog dan persamaan pangsa biaya variabel juga dilakukan pembatasan simetri dan homogennya. Kesimetrian hasil atas persamaan share input variabel dari model dapat disajikan pada Lampiran 6. Hasil uji simetri diperoleh F hitung sebesar 2.35 yang tidak nyata pada taraf 5 persen. Hal ini membuktikan bahwa persamaan fungsi keuntungan dan biaya variabel adalah simetri.
113
Untuk melihat convexity, digunakan syarat bahwa dugaan koefisien untuk harga sendiri bertanda negatif (Lampiran 6). Selanjutnya persyaratan monotonicity dapat dipenuhi jika dugaan pangsa penerimaan mempunyai tanda positif dan dugaan pangsa biaya variabel memiliki tanda negatif (Weaver, 1983). Pada model yang digunakan ini, diperoleh dugaan pangsa biaya variabel yaitu: biaya variabel benih (S S ), biaya variabel pupuk urea (S U ), biaya variabel pupuk TSP (S T ) dan biaya variabel upah tenaga kerja (S W ) bertanda negatif (Lampiran 7). Oleh karena itu, dengan terpenuhinya persyaratan simetri, linear homogen dalam harga, monotonicity dan convexity, maka hipotesis maksimisasi keuntungan harapan dapat terpenuhi. Dengan demikian model fungsi keuntungan dan pangsa biaya variabel dapat digunakan untuk analisis selanjutnya.
6.1.2. Analisis Fungsi Keuntungan Translog Pendugaan fungsi keuntungan translog yang dinormalisasi dan direstriksi dilakukan dengan persamaan 47, dan persamaan pangsa biaya variabel pada persamaan (48), (49), (50) dan (51) yang hasilnya akan diuraikan sebagai berikut. Hasil pendugaan fungsi keuntungan translog dengan metode SUR dapat dilihat pada Tabel 12. Hasil pendugaan fungsi keuntungan translog dan pangsa biaya variabel diperoleh R2 sebesar 0.77. Hal ini berarti bahwa peubah-peubah yang dimasukkan sebagai peubah penjelas dapat menjelaskan variasi fungsi keuntungan dan pangsa biaya variabel sebesar 77 persen. Berdasarkan pendugaan parameter fungsi keuntungan seperti pada Tabel 12, berdasarkan uji statistik-t, sebanyak 18 parameter berbeda nyata pada taraf 1 sampai 10 persen.
114
Pada model fungsi keuntungan translog tersebut, semua harga input variabel bertanda negatif. Harga benih dan tenaga kerja secara statistik nyata pada taraf 5 dan 10 persen. Hal ini berimplikasi bahwa apabila terjadi kenaikan harga benih dan tenaga kerja akan menurunkan keuntungan yang diperoleh petani. Harga benih jagung kecenderungannya meningkat dari tahun 1985-2009 sebesar 14.77 persen per tahun di Jawa Timur dan 14.75 persen pertahun di Jawa Barat. Harga benih di Jawa Timur tahun 1985 sebesar Rp 221 per kilogram, dan meningkat pesat menjadi Rp 15 982 per kilogram pada tahun 2009. Hal yang sama dengan di Jawa Barat, dimana harga benih tahun 1985 sebesar Rp 260 per kilogram, dan meningkat pesat menjadi Rp 124 582 per kilogram pada tahun 2009.
Peningkatan harga benih karena semakin mahalnya harga benih hibrida,
dan sekitar 50 persen petani saat ini hampir telah menggunakan benih jagung hibrida yang diperoleh dari kios saprotan. Untuk upah tenaga kerja kecenderungannya juga meningkat pada kurun waktu 1985-2009 sebesar 11.92 persen per tahun di Jawa Timur dan 11.92 di Jawa Barat. Upah tenaga kerja di Jawa Timur pada tahun 1985 mencapai Rp 792 per hari kerja, kemudian meningkat pesat menjadi Rp 18 145 per hari kerja pada tahun 2009. Sementara di Jawa Barat, upah tenaga kerja pada tahun 1985 mencapai Rp 779 per hari kerja, kemudian meningkat pesat menjadi Rp 19 689 per hari kerja pada tahun 2009. Semakin meningkatnya upah tenaga kerja disebabkan karena semakin kompetitifnya pasar kerja, sebagai akibat semakin meningkatnya jumlah penduduk terutama pada usia kerja. Untuk variabel input tetap kecuali biaya lain yaitu luas panen, pengeluaran riset jagung dan infrastruktur jalan semuanya bertanda positif. Hal ini berarti
115
bahwa apabila faktor tetap tersebut mengalami peningkatan maka keuntungan usahatani jagung akan meningkat. Misalnya untuk faktor infrastruktur jalan nyata pada taraf 10 persen dan berpengaruh positif terhadap keuntungan, yang berarti jika infrastruktur jalan meningkat maka keuntungan usahatani akan meningkat. Semakin meningkatnya infrastruktur jalan, maka akan semakin mudah bagi petani untuk memasarkan hasil pertanian. Semakin meningkatnya prasarana transportasi akan menyebabkan biaya transportasi akan semakin rendah, serta harga-harga input usahatani juga akan semakin rendah. Selanjutnya, semua variabel interaksi harga sendiri untuk variabel harga input (benih, urea, TSP dan upah tenaga kerja) memiliki tanda negatif. Terutama untuk variabel benih, pupuk urea dan tenaga kerja nyata pada taraf 1 sampai 10 persen. Hal ini berarti bahwa peningkatan harga input variabel benih dan upah tenaga kerja akan menurunkan keuntungan usahatani jagung. Interaksi antara variabel input tetap (kecuali biaya lain), yaitu luas lahan, pengeluaran riset dan panjang jalan bertanda positif. Selanjutnya interaksi antara harga input variabel dengan variabel input tetap secara umum memiliki tanda negatif. Program komputer (SAS 9.1) dan hasil estimasi fungsi keuntungan translog dan pangsa biaya variabel usahatani jagung di Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat tahun 1985-2009 masing-masing disajikan pada Lampiran 8 dan 9.
116
Tabel 12. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Keuntungan Translog di Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat, Tahun 1985-2009 Variabel Intercept LNRS LNRUR LNRT LNRW LNZ1 LNZ2 LNZ3 LNZ4 0.5 LNRS*LNRS 0.5 LNRUR*LNRUR 0.5 LNRT*LNRT 0.5 LNRW*LNRW 0.5 LNZ1*LNZ1 0.5 LNZ2*LNZ2 0.5 LNZ3*LNZ3 0.5 LNZ4*LNZ4 LNRS*LNRUR LNRS*LNRT LNRS*LNRW LNRS*LNZ1 LNRS*LNZ2 LNRS*LNZ3 LNRS*LNZ4 LNRUR*LNRT LNRUR*LNRW LNRUR*LNZ1 LNRUR*LNZ2 LNRUR*LNZ3 LNRUR*LNZ4 LNRT*LNRW LNRT*LNZ1 LNRT*LNZ2 LNRT* LNZ3 LNRT*LNZ4 LNRW*LNZ1 LNRW*LNZ2 LNRW*LNZ3 LNRW*LNZ4
Harga Benih (H. Benih) Harga Urea (H. Urea) Harga TSP (H. TSP) Upah Tenaga Kerja (UTK) Biaya lain (B. lain) Luas Panen (L. Panen) Pengeluaran Riset Jagung (PRJ) Infrastruktur jalan (PJl) Interaksi H. Benih dgn H.Benih Interaksi H.urea dgn H. Urea Interaksi H.TSP dgn H. TSP Interaksi UTK dgn UTK Interaksi B.Lain dgn B. Lain Interaksi L.Panen dgn L.Panen Interaksi PRJ dgn PRJ Interaksi PJl dgn PJl Interaksi H.Benih dgn H. Urea Interaksi H.Benih dgn H. TSP Interaksi H.Benih dgn UTK Interaksi H.Benih dgn B. Lain Interaksi H.Benih dgn L. Panen Interaksi H.Benih dgn PRJ Interaksi H.Benih dgn PJl Interaksi H.Urea dgn H. TSP Interaksi H.Urea dgn UTK Interaksi H.Urea dgn B. Lain Interaksi H.Urea dgn L. Panen Interaksi H.Urea dgn PRJ Interaksi H.Urea dgn PJl Interaksi H. TSP dgn UTK Interaksi H.TSP dgn B. Lain Interaksi H.TSP dgn Luas Panen Interaksi H.TSP dgn PRJ Interaksi H.TSP dgn PJl Interaksi UTK dgn B. Lain Interaksi UTK dgn L. Panen Interaksi UTK dgn PRJ Interaksi UTK dgn PJl
Parameter P Value dugaan 13.2332 0.4103 -0.0598 0.0195 -0.1155 0.1772 -0.0255 0.2787 -0.7391 0.0322 -1.0650 0.0588 1.8863 0.0501 1.9060 0.0299 1.4573 0.0283 -0.0343 0.0005 -0.0322 0.1000 -0.0063 0.2560 -0.0668 0.0362 -0.6954 0.1506 0.01681 0.9005 0.5125 0.0703 0.8048 0.0618 0.0162 0.0368 -0.0022 0.4382 0.0203 0.0225 -0.0212 0.0163 -0.0041 0.6580 -0.0030 0.5646 -0.0048 0.6480 0.0110 0.0918 0.0270 0.1826 -0.0374 0.0164 0.0078 0.7042 -0.0007 0.9524 -0.0074 0.7398 0.0195 0.0327 -0.0107 0.0332 -0.0061 0.4211 0.0003 0.9390 -0.0037 0.6491 -0.1601 0.1462 0.0919 0.4436 -0.0870 0.2168 -0.0267 0.8517
117
6.2. Elastisitas Penawaran Output dan Permintaan Input terhadap Harga Output dan Harga Input Pendugaan elstisitas penawaran output dan permintaan input jagung dihitung berdasarkan persamaan
(52), (53), (54), (55), (56), (57) dan (58).
Selanjutnya, untuk menguji apakah nilai elastisitas penawaran dan permintaan input berbeda nyata dengan nol digunakan uji t. Bila dianggap pangsa biaya variabel tetap pada tahun tertentu tetap, maka galat baku (standar error) untuk menguji elastisitas digunakan rumus: Se (Seij) = (1/Si*) se (βij) dimana se (seij) adalah galat baku elastisitas penawaran output dan permintaan input komoditas jagung, Si* adalah pangsa biaya variabel i, dan se (βij) adalah standar error untuk koefisien pangsa biaya variabel i pada komoditas jagung. Untuk kepentingan analisis kebijakan yang akan datang, maka nilai elastisitas dihitung pada tahun 2009. Berdasarkan hasil perhitungan, nilai elastisitas penawaran dan permintaaan input di provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat disajikan pada Tabel 13 dan Tabel 14. 6.2.1. Elastisitas Penawaran Output Elastisitas penawaran output jagung hasil pendugaan meliputi elastisitas penawaran terhadap harga input dan elastisitas terhadap harga sendiri.
Di
Provinsi Jawa Timur, nilai elastisitas penawaran output (jagung) terhadap harga sendiri bernilai positif yang signifikan pada taraf 5 persen. Elastisitas penawaran output terhadap harga sendiri mempunyai nilai yang elastis yaitu sebesar 1.6645 persen (Tabel 13).
Sementara hasil penelitian Hartoyo (1994) memperoleh
elastisitas penawaran jagung terhadap harga jagung sendiri sebesar 0.911. Nilai elastisitas penawaran harga yang elastis tersebut mengindikasikan bahwa respon petani jagung di Jawa Timur terhadap perubahan harga sangat besar. Oleh karena
118
itu, perubahan harga jagung akan sangat menentukan kebijakan pengembangan jagung di Jawa Timur.
Tabel 13. Dugaan Elastisitas Penawaran Output dan Permintaan Input Jagung di Provinsi Jawa Timur, Tahun 2009 Peubah
Jagung
Benih
Pupuk Urea
Pupuk TSP
T. Kerja
Harga Jagung
1.6645** (2.3211)
1.5534* (1.4851)
1.6269 (0.4101)
1.6676 (0.1799)
1.4530** (1.7788)
Harga Benih
-0.3328* (-1.4851)
-0.5961* (-1.6797)
-0.2892** (-1.7931)
-0.2638 (-0.5022)
-0.1220* (-2.1024)
Harga Urea
-0.2489 (-0.4101)
-0.2807** (-1.7931)
-0.5528 (-1.1206)
-0.5007* (-1.5139)
-0.1335 (-0.9403)
Harga TSP
-0.2538 (-0.1799)
-0.0393 (-0.5022)
-0.1538* (-1.5139)
-0.1833 (-0.7696)
-0.0522** (-1.8676)
Upah T. Kerja
-0.8290** (-1.7788)
-0.6373** (-2.1024)
-0.6313 (-0.9403)
-0.7198* (-1.4676)
-1.1453** (-1.8074)
Biaya Lain
-1.1980** (-2.1968)
-1.2922** (-2.32)
-1.3474** (-2.3213)
-1.4471** (-1.8594)
-1.0523 (-1.0497)
Luas Panen
1.6378** (2.1870)
1.6997** (2.0880)
1.5862** (2.2251)
1.0220* (5.2188)
1.3523 (1.2729)
Pengel. Riset Jagung
0.9880* (1.3515)
0.9057* (1.3783)
0.9160* (1.3659)
0.8642* (1.4951)
0.7421 (1.0636)
Infrastruktur jalan
1.3025* (1.5448)
1.4795* (1.3601)
1.5532* (1.9214)
1.6512* (1.4695)
1.1686 (0.0437)
Keterangan: Angka dalam kurung adalah t hitung ***) signifikan pada taraf α = 1 persen **) signifikan pada taraf α = 5 persen *) signifikan pada taraf α = 10 persen Sementara itu, nilai elastisitas penawaran terhadap harga input: benih, pupuk urea, pupuk TSP dan tenaga kerja seluruhnya bernilai inelastis dan semuanya bertanda negatif, yaitu masing-masing sebesar -0.3328, -0.2489, 0.2538, -0.8290. Hal ini berarti bahwa apabila harga input produksi variabel tersebut meningkat 1 persen, maka penawaran jagung akan menurun masing-
119
masing sebesar 0.3328, 0.2489, 0.2538, dan 0.8290 persen.
Nilai elastisitas
penawaran terhadap harga input variabel (benih dan pupuk) relatif kecil dan inelastis. Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan subsidi input seperti subsidi pupuk dan benih kurang berpengaruh terhadap petani dalam menggunakan input tersebut. Petani akan berupaya menggunakan benih dan pupuk sesuai kebutuhannya dan sesuai kemampuan modal usahataninya. Selanjutnya dari keempat input variabel tersebut ternyata hanya benih dan tenaga kerja yang berpengaruh nyata 10 dan 5 persen terhadap output yang ditawarkan. Hal ini disebabkan karena peningkatan harga benih dan upah tenaga kerja akan sangat mempengaruhi usahatani jagung, mengingat harga benih dan upah tenaga kerja di Jawa Timur yang cenderung mahal dan sangat jauh diatas harga input pupuk. Harga benih dan upah tenaga kerja tahun 2009 di Jawa Timur masing-masing sebesar Rp 15 982/kg dan Rp 18 145/HK. Sementara itu, dari nilai elastisitas diatas juga dapat diketahui bahwa tenaga kerja memiliki pengaruh terbesar terhadap penawaran jagung, hal ini disebabkan proporsi biaya tenaga kerja terhadap biaya produksi mencapai 66 persen dan proporsinya paling tinggi dari seluruh input yang digunakan pada usahatani jagung di Jawa Timur (Lampiran 10). Sementara itu, di Provinsi Jawa Barat (Tabel 14), terlihat bahwa nilai elastisitas penawaran output terhadap harga sendiri juga elastis dengan nilai 1.7372 dan nyata pada taraf 1 persen. Hal ini berarti bahwa jika harga jagung meningkat 1 persen maka penawaran jagung akan meningkat sebesar 1.7637 persen. Nilai elastisitas penawaran harga yang elastis tersebut dalam hal ini juga mengindikasikan bahwa respon petani jagung di Jawa Barat terhadap perubahan
120
harga sangat besar.
Oleh karena itu, perubahan harga jagung akan sangat
menentukan kebijakan pengembangan jagung di Jawa Barat. Nilai elastisitas penawaran terhadap harga input (benih, urea, dan TSP) di Provinsi Jawa Barat juga seluruhnya bernilai inelastis dan bertanda negatif yaitu masing-masing sebesar -0.2886, -0.2656, dan -0.2325. Untuk tenaga kerja nilai elastisitasnya -0.9770 (hampir elastis). Hasil penelitian Chaudary, et. al., (1998) memperoleh elatisitas penawaran output tanaman pangan terhadap tenaga kerja adalah elastis (1.12). Sementara itu, nilai elastisitas penawaran terhadap harga input variabel (benih dan pupuk) relatif kecil dan inelastis. Seperti telah dianalisis di Provinsi Jawa Timur, bahwa hal ini juga mengindikasikan bahwa kebijakan subsidi input seperti subsidi pupuk dan benih kurang berpengaruh terhadap petani dalam menggunakan input tersebut. Petani akan berupaya menggunakan benih dan pupuk sesuai kebutuhannya dan sesuai kemampuan modal usahataninya. Harga input benih dan tenaga kerja masing-masing nyata pada taraf 5 dan 10 persen terhadap penawaran jagung di Jawa Barat. Nilai elastisitas benih dan tenaga kerja sebesar -0.2886 dan -0.9880 menunjukan bahwa jika harga benih dan upah tenaga kerja masing-masing meningkat sebesar 1 persen, maka penawaran jagung akan menurun masing-masing sebesar 0.2886 persen dan 0.9770 persen. Adapun penyebabnya adalah karena peningkatan harga benih dan upah tenaga kerja akan sangat mempengaruhi usahatani jagung, mengingat harga benih dan upah tenaga kerja di Jawa Barat yang juga cenderung mahal dan sangat jauh diatas harga input pupuk. Harga benih dan upah tenaga kerja tahun 2009 di Jawa Barat masing-masing sebesar Rp 24 582/kg dan Rp 19 689/HK. Semakin meningkatnya upah tenaga kerja pada usahatani jagung dapat disebabkan oleh banyaknya tenaga
121
kerja terutama di kalangan generasi muda di pedesaan yang lebih memilih bekerja di sektor non pertanian, sehingga untuk memperoleh tenaga kerja usahatani di pedesaan relatif makin sulit.
Oleh karena itu, upah tenaga kerja di sektor
pertanian (pangan) semakin berkompetitif dengan upah di sektor non pertanian (industri dan jasa). Seperti halnya di Jawa Timur, maka di Jawa Barat pun nilai elastisitas tenaga kerja memiliki pengaruh terbesar terhadap penawaran jagung, hal ini disebabkan proporsi biaya tenaga kerja terhadap biaya produksi mencapai 85 persen dan proporsinya paling tinggi dari seluruh input yang digunakan pada usahatani jagung di Jawa Timur (Lampiran 11).
Tabel 14. Dugaan Elastisitas Penawaran Output dan Permintaan Input Jagung di Provinsi Jawa Barat, Tahun 2009 Peubah
Jagung
Benih
1. Harga Jagung
1.7637*** (3.7154) -0.2886** (-1.7765) -0.2656 (-0.6564) -0.2325 (-0.2879) -0.9770* (-1.4467) -1.2525** (-2.0701) 1.4032** (1.9117) 0.9884*** (2.1314) 1.3022* (1.3522)
1.4336** (1.7765) -0.3182** (-1.7277) -0.2577*** (-2.8703) -0.0589 (-0.8040) -0.7988*** (-3.3654) -1.2781*** (-3.7209) 1.5938** (2.2857) 0.9003* (1.4585) 1.4733* (1.3501)
2. Harga Benih 3. Harga Urea 4. Harga TSP 5. Upah T. Kerja 6. Biaya Lain 7. Luas Panen 8. Pengeluaran Riset Jagung 9. Infrastruktur jalan
Pupuk Urea 1.6859 (0.6564) -0.3431*** (-2.8703) -0.3473** (-1.7938) -0.2086* (-1.4629) -0.7869* (-1.5052) -1.5609*** (-3.7157) 1.5586** (2.3834) 0.9151* (1.3535) 1.5731* (1.4302)
Keterangan: Angka dalam kurung adalah t hitung ***) signifikan pada taraf α = 1 persen **) signifikan pada taraf α = 5 persen *) signifikan pada taraf α = 10 persen
Pupuk TSP
T. Kerja
1.5807 (0.2879) -0.1504 (-0.8040) -0.0763* (-1.4629) -0.6392 (-1.2320) -0.7148*** (-2.9895) -1.3781*** (-2.9763) 1.6557*** (2.3538) 0.8811 (1.4682) 1.5552* (1.4652)
1.5332* (1.4467) -0.1101*** (-3.3654) -0.0983* (-1.5052) -0.0584*** (-2.9895) -1.2664*** (-2.8931) -0.9245* (-1.6803) 1.4120 (1.2082) 0.6687 (1.0348) 1.1401 (1.1864)
122
6.2.2. Elastisitas Permintaan Input Permintaan input variabel dapat berubah-ubah tergantung pada harga input itu sendiri atau harga input variabel lain. Persentase perubahan jumlah yang diminta akibat perubahan harga input disebut dengan elastisitas permintaan harga input.
Elastisitas ini sebagaimana telah diuraikan sebelumnya terdiri atas
elastisitas harga sendiri (own elasticities) dan harga silang (cross elasticities). Secara ekonomi tanda dari nilai nilai elastisitas silang dapat menunjukkan hubungan antara produk yang satu dengan yang lainnya.
Hubungan yang
dimaksud dapat berupa substitusi (saling mengganti) dan komplemen (saling melengkapi). Jika nilai elastisitas silangnya bertanda negatif, maka hubungan antar produk tersebut bersifat komplemen namun jika elastisitas silangnya bertanda positif maka bersifat substitusi (Pindyck and Rubinfeld. 2005). Elastisitas permintaan input di Provinsi Jawa Timur seperti disajikan pada Tabel 13 diketahui bahwa nilai elastisitas benih terhadap harga sendiri sebesar 0.5961. Artinya bahwa setiap kenaikan satu persen harga benih maka permintaan benih menurun sebesar 0.596 persen. Hasil ini mengindikasikan bahwa petani kurang responsif terhadap perubahan harga benih dalam menentukan keputusan penggunaan benih. Elastisitas permintaan benih terhadap diri sendiri berbeda nyata dengan nol. Faktor yang menyebabkannya adalah karena harga benih yang cenderung meningkat, yaitu sebesar 14.77 persen per tahun pada periode 19852009, sehingga meskipun harga benih mahal petani tetap membeli benih dan dengan kemampuan modal terbatas maka jumlah benih yang dibelinya akan berkurang. Sementara elastisitas permintaan benih dipengaruhi oleh perubahan harga urea dan tenaga kerja. Elastisitas silangnya dengan urea dan tenaga kerja
123
masing-masing sebesar -0.2807 dan -0.6373. Dalam hal ini apabila harga benih naik 1 persen maka akan menurunkan permintaan urea sebesar 0.2807 persen dan tenaga kerja sebesar 0.6373 persen. Hal ini dilakukan petani untuk mendapatkan produksi maksimal sesuai kemampuan modal petani. Elastisitas pupuk urea terhadap harga sendiri tidak berbeda nyata dengan nol, dengan nilai elastisitas sebesar -0.5528 (inelastis). Hal ini berarti bahwa petani tidak responsif terhadap perubahan harga pupuk urea dalam menentukan penggunaan pupuk urea. Besaran nilai elastisitas tersebut berarti bahwa jika harga pupuk urea naik sebesar 1 persen maka jumlah permintaan pupuk urea turun sebesar 0.5528. Hasil penelitian Hartoyo (1994) menyimpulkan bahwa elastisitas permintaan pupuk urea terhadap harga sendiri tidak berbeda nyata dengan nol, dengan nilai elastisitas sebesar -0.077. Sementara hasil penelitian Siregar (2007), mendapatkan nilai elastisitas harga sendiri permintaan pupuk sebesar -0.968. Namun demikian, permintaan pupuk urea ini dipengaruhi oleh perubahan harga benih dan pupuk TSP. Elastisitas silang permintaan pupuk urea terhadap benih dan pupuk TSP adalah -0.2892 dan -0.1536 (bersifat komplementer). Dalam hal ini apabila harga pupuk urea meningkat
1 persen maka akan menurunkan
permintaan benih sebesar 0.2892 persen dan menurunkan permintaan pupuk TSP sebesar 0.1536 persen. Selanjutnya elastisitas permintaan pupuk TSP terhadap harga sendiri di Provinsi Jawa Timur sebesar -0.1833 (inelastis), dan tidak berbeda nyata dengan nol pada taraf nyata 10 persen. Hal ini menunjukkan bahwa petani juga tidak responsif terhdap perubahan harga pupuk TSP dalam menggunakan pupuk TSP. Nilai elastisitas -0.1883 berarti jika harga pupuk TSP meningkat sebesar 1 persen
124
maka permintaan pupuk TSP tmenurun sebesar 0.1883 persen. Permintaan pupuk TSP ini dipengaruhi oleh perubahan harga pupuk urea dan upah tenaga kerja. Elastisitas silang permintaan pupuk TSP terhadap pupuk urea dan tenaga kerja adalah inelastis yaitu masing-masing sebesar -0.5007 dan -0.7198 (keduanya bersifat komplementer). Dalam hal ini jika harga pupuk TSP meningkat 1 persen, maka akan menurunkan penggunaan pupuk urea dan tenaga kerja masing-masing sebesar 0.5007 dan 0.7198 persen. Elastisitas permintaan tenaga kerja terhadap upah tenaga kerja diperoleh sebesar -1.1453 dan berbeda nyata dengan nol pada taraf 5 persen. Hal ini berarti bahwa setiap kenaikan upah tenaga kerja sebesar 1 persen maka akan menurunkan permintaan tenaga kerja sebesar 1.1453 persen. Temuan ini mengindikasikan bahwa petani responsif terhadap perubahan upah tenaga kerja dalam menggunakan tenaga kerja pada usahataninya. Permintaan tenaga kerja di pengaruhi oleh harga benih dan pupuk TSP secara nyata pada taraf 5 persen. Elastisitas silang tenaga kerja terhadap benih dan TSP masing-masing sebesar 0.1220 dan -0.0522 atau bersifat komplementer. Dengan demikian, jika upah tenaga kerja naik sebesar 1 persen maka permintaan benih akan turun sebesar 0.1220 persen dan permintaan pupuk TSP turun sebesar 0.0522 persen. Sementara itu, elastisitas permintaan input di Provinsi Jawa Barat seperti disajikan pada Tabel 14 terungkap bahwa elastisitas permintaan benih terhadap harga sendiri dan harga output berbeda nyata dengan nol pada taraf 5 persen. Nilai elastisitas benih terhadap harga sendiri sebesar -0.3182, yang berarti jika harga benih meningkat 1 persen maka permintaan benih akan menurun sebesar 0.3182 persen. Hasil ini mengindikasikan bahwa bahwa petani kurang responsif
125
terhadap perubahan harga benih dalam menentukan keputusan penggunaan benih. Faktor yang menyebabkannya adalah karena harga benih yang cenderung meningkat, yaitu sebesar 14.75 persen per tahun pada periode 1985-2009, sehingga meskipun harga benih mahal petani tetap membeli benih sesuai dengan kemampuan modal yang dimilikinya. Sementara elastisitas permintaan benih dipengaruhi oleh perubahan harga pupuk urea dan upah tenaga kerja. Elastisitas silang benih terhadap pupuk urea dan upah tenaga kerja inelastis yaitu sebesar masing-masing
-0.2577 dan -0.7988.
Dengan demikian bila harga benih
meningkat 1 persen maka permintaan urea dan tenaga kerja masing-masing akan menurun sebesar 0.2577 persen dan 0.7988 persen. Elastisitas pupuk urea terhadap harga sendiri sebesar -0.3473 dan berbeda nyata dengan nol pada taraf nyata 5 persen. Dengan demikian, setiap kenaikan 1 persen harga pupuk urea maka permintaan pupuk urea meningkat sebesar 0.3473 persen.
Hasil ini mengindikasikan bahwa petani tidak responsif terhadap
perubahan harga pupuk urea dalam menentukan penggunaan pupuk urea. Permintaan pupuk urea ini juga dipengaruhi oleh perubahan harga benih, harga pupuk TSP dan upah tenaga kerja. Nilai elastisitas silang permintaan pupuk urea terhadap benih adalah sebesar -0.3431 dan terhadap tenaga kerja yaitu sebesar 0.7869 dan terhadap pupuk TSP sebesar -0.2086. Dengan demikian terdapatnya peningkatan harga pupuk urea 1 persen akan menyebabkan permintaan benih turun sebesar 0.3431 persen dan permintaan tenaga kerja turun sebesar 0.7869 persen, dan penurunan penggunaan pupuk TSP sebesar 0.2086 persen. Pupuk urea dan TSP bersifat komplementer.
126
Selanjutnya elastisitas permintaan pupuk TSP terhadap harga sendiri sebesar -0.6392 (inelastis) dan tidak berbeda nyata dengan nol pada taraf nyata 10 persen. Hal ini menunjukkan bahwa petani jagung di Jawa Barat juga tidak responsif terhdap perubahan harga pupuk TSP dalam menggunakan pupuk TSP. Nilai elastisitas -0.6392 berarti jika harga pupuk TSP meningkat sebesar 1 persen maka permintaan pupuk TSP tmenurun sebesar 0.6392 persen. Permintaan pupuk TSP ini dipengaruhi oleh perubahan upah tenaga kerja dan harga pupuk urea. Elastisitas silang permintaan pupuk TSP terhadap tenaga kerja adalah -0.7148 (bersifat komplementer) dan elastisitas silang terhadap pupuk urea juga sebesar 0.0763. Dengan demikian bila harga pupuk TSP meningkat 1 persen, maka akan menurunkan permintaan tenaga kerja sebesar 0.7148 persen dan menurunkan permintaan pupuk urea sebesar 0.0763 persen. Elastisitas permintaan tenaga kerja terhadap upah tenaga kerja sebesar -1.2664 (elastis) dan berbeda nyata dengan
nol pada taraf 5 persen.
Nilai
elastisitas tersebut berarti setiap kenaikan 1 persen upah tenaga kerja maka akan meningkatkan permintaan tenaga kerja sebesar 1.2664 persen.
Temuan ini
mengindikasikan bahwa petani responsif terhadap perubahan upah tenaga kerja dalam menggunakan tenaga kerja pada usahataninya. Permintaan tenaga kerja juga dipengaruhi oleh perubahan harga benih, harga pupuk urea dan pupuk TSP. Elastisitas silang tenaga kerja terhadap benih, pupuk urea dan pupuk TSP masingmasing sebesar -0.1101, -0.0983 dan -0.0584 atau bersifat komplementer. Dengan demikian, jika harga pupuk urea meningkat 1 persen, maka penggunaan benih akan turun sebesar 0.1101 persen, penggunaan pupuk urea dan pupuk TSP akan turun masing-masing sebesar 0.0983 dan 0.0584 persen.
127
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diketahui bahwa elastisitas harga jagung terhadap permintaan input benih dan pupuk (urea dan TSP) lebih elastis jika dibandingkan dengan elastisitas harga sendiri permintaan input benih dan pupuk baik di Provinsi Jawa Timur maupun di Provinsi Jawa Barat. Hal ini berarti bahwa untuk meningkatkan penggunaan input benih terutama benih unggul dan pupuk akan lebih efektif dengan meningkatkan harga jagung dibandingkan dengan menurunkan (mensubsidi) harga benih dan pupuk. Oleh karena itu, kebijakan peningkatan harga jagung dipandang lebih tepat dalam mendorong peningkatan produksi jagung dibandingkan dengan kebijakan subsidi harga input.
6.3. Elastisitas Penawaran Output dan Permintaan Input terhadap Pengeluaran Riset dan Pengembangan Jagung serta Infrastruktur Jalan Pada sub bab ini, disajikan elasatisitas penawaran output terhadap faktor tetap yang mencakup biaya lain, luas panen, pengeluaran riset jagung dan infrastruktur jalan. Fokus bahasan elastisitas terutama pada faktor pengeluaran riset jagung dan infrastruktur jalan. Nilai elastisitas yang dihitung untuk tahun 2009 seperti disajikan pada Tabel 13 untuk Provinsi Jawa Timur dan Tabel 14 untuk provinsi Jawa Barat. 6.3.1. Elastisitas Penawaran Output Di Provinsi Jawa Timur, elastisitas penawaran jagung terhadap perubahan pengeluaran riset jagung dan infrastruktur jalan adalah sebesar 0.9880 dan 1.3025 dan memiliki pengaruh nyata pada taraf 10 persen. Dalam hal ini setiap peningkatan 1 persen pengeluaran riset jagung dan infrastruktur jalan maka
128
penawaran jagung akan naik masing-masing sebesar 0.9880 persen dan 1.3025 persen. Nilai elastisitas penawaran terhadap pengeluaran riset hampir elastis, sehingga peningkatan anggaran riset dan pengembangan akan berpotensi besar dalam peningkatan penawaran jagung di Jawa Timur.
Anggaran riset dan
pengembangan jagung khusus pada lembaga pemerintah saat ini masih terbatas. Pada tahun 2009 anggaran riset jagung di lingkup penelitian dan pengembangan pertanian hanya sekitar 1.60 dari total anggaran riset keseluruhan pertanian. Namun demikian, dengan keterbatasan anggaran masih dapat meningkatkan penawaran jagung di Provinsi Jawa Timur. Peningkatan anggaran riset dan pengembangan khususnya untuk pengembangan komoditas jagung dapat mencakup untuk uji adaptasi spesifik lokasi pengembangan jagung unggul, penyebarluasan varietas unggul, penyebarluasan teknologi budidaya jagung spesifik lokasi dan sebagainya. Menurut Mosher (Mubyarto,1989) bahwa teknologi yang selalu berubah merupakan salah satu syarat mutlak bagi pembangunan pertanian. Salah satu indikator perubahan teknologi adalah dengan melihat dampak dari perubahan riset misalnya untuk komoditas jagung, sehingga dengan makin besarnya pengeluaran riset jagung diharapkan makin besar peluang meningkatkan teknologi, dan pada gilirannya dapat meningkatkan produksi jagung. Menurut hasil penelitian Nagy and Alam (2000) bahwa terdapatnya riset atas varietas unggul (teknologi baru) untuk komoditas-komoditas seperti padi, gandum dan kentang di Bangladesh akan diadopsi petani terutama bagi yang
129
memberikan dampak peningkatan hasil yang peroleh petani dibandingkan dengan varietas (teknologi) yang lama (sebelumnya). Sementara nilai elastisitas penawaran terhadap infrastruktur jalan adalah elastis. Tingginya nilai elastisitas tersebut mengindikasikan bahwa peningkatan kuantitas dan kualitas sarana transportasi jalan memiliki pengaruh dan potensi besar terhadap peningkatan produksi pertanian. Menurut Delis (2011) bahwa pembangunan infrastruktur seperti jalan memiliki dampak besar terhadap pendapatan kelompok rumah tangga berpenghasilan rendah di perkotaan dan perdesaan sehingga mendorong terjadinya redistribusi pendapatan antar kelompok rumah tangga dan antara desa dan kota. Selain itu, infrastruktur jalan yang disediakan pemerintah kabupaten berperan penting dalam mendukung aktivitas ekonomi di wilayah sentra produksi. Hal yang sama di Provinsi Jawa Barat, seperti disajikan pada Tabel 14 bahwa elastisitas penawaran terhadap pengeluaran riset dan infrastruktur jalan adalah 0.9884 dan 1.3022 dan memiliki pengaruh nyata pada taraf nyata 1 dan 10 persen. Untuk pengeluaran riset jagung, jika naik 1 persen, maka penawaran jagung akan meningkat sebesar 0.9884 persen. Sementara untuk infrastruktur jalan, jika terjadi peningkatan sebesar 1 persen maka akan meningkatkan penawaran jagung sebesar 1.3022 persen. Nilai elastisitas penawaran terhadap pengeluaran riset hampir elastis, sehingga peningkatan anggaran riset dan pengembangan akan berpotensi besar dalam peningkatan penawaran jagung di Jawa Barat. Begitupula halnya dengan nilai
elastisitas
penawaran
terhadap
infrastruktur
jalan
yang
elastis
mengindikasikan bahwa peningkatan kuantitas dan kualitas sarana transportasi
130
jalan memiliki pengaruh dan potensi besar terhadap peningkatan produksi pertanian. Menurut hasil penelitian Wahab (2009) bahwa peningkatan infrastruktur jalan pada suatu wilayah di Sulawesi Selatan berperan penting dalam kegiatan ekonomi wilayah yaitu berupa peningkatan distribusi pangan, perdagangan dan bisnis yang berguna bagi pertumbuhan ekonomi wilayah. Hasil penelitian lainnya yaitu Dhakal (2009) mengungkapkan bahwa ketika infrastruktur jalan buruk di lokasi penelitian Davao Filipina maka partisipasi petani terhadap akses pasar terbatas, sehingga motivasi petani untuk meningkatkan produksi pertanian juga terbatas.
6.3.2. Elastisitas Permintaan Input Di Provinsi Jawa Timur, elastisitas permintaan input (benih, pupuk urea, pupuk TSP dan tenaga kerja) akibat perubahan pengeluaran riset masing-masing sebesar 0.9057, 0.9160, 0.8642, dan 0.7421 serta memiliki pengaruh yang nyata untuk permintaan input benih dan pupuk. Artinya setiap peningkatan pengeluaran riset 1 persen akan menyebabkan peningkatan permintaan keempat input diatas masing-masing sebesar 0.9057, 0.9160, 0.8642, dan 0.7421 persen. Sementara itu, elastisitas permintaan input (benih, pupuk urea, pupuk TSP dan tenaga kerja) akibat perubahan infrastruktur jalan permintaan input masing-masing sebesar 1.4795, 1.5532, 1.6512 dan 1.1686. Artinya setiap peningkatan infrastruktur jalan 1 persen akan menyebabkan peningkatan permintaan keempat input diatas masing-masing sebesar 1.4795, 1.5532, 1.6512 dan 1.1686 persen. Dengan demikian permintaan input responsif terhadap peningkatan infrastruktur jalan.
131
Hal yang sama di Provinsi Jawa Barat, elastisitas permintaan input (benih, pupuk urea, pupuk TSP dan tenaga kerja) akibat perubahan pengeluaran riset masing-masing sebesar 0.9003, 0.9151, 0.8811 dan 0.6687 serta memiliki pengaruh yang nyata untuk permintaan input benih dan pupuk urea. Artinya setiap peningkatan pengeluaran riset 1 persen akan menyebabkan peningkatan permintaan keempat input diatas masing-masing sebesar 0.9003, 0.9151, 0.8811 dan 0.6687 persen. Selanjutnya elastisitas permintaan input (benih, pupuk urea, pupuk TSP dan tenaga kerja) akibat perubahan infrastruktur jalan masing-masing sebesar 1.4733, 1.5731, 1.555, dan 1.1401. Artinya setiap peningkatan infrastruktur jalan 1 persen akan menyebabkan peningkatan permintaan keempat input diatas masing-masing sebesar 1.4733, 1.5731, 1.555, dan 1.14011 persen. Dengan demikian permintaan input di Provinsi Jawa Barat responsif terhadap peningkatan infrastruktur jalan. Melihat besarnya nilai elastisitas terutama infrastruktur jalan di kedua provinsi yang rata-rata positif diatas satu menunjukkan potensi peningkatan permintaan input cukup besar jika terjadi peningkatan infrastruktur jalan. Semakin meningkatnya infrastruktur jalan terutama di pedesaan akan menyebabkan mudahnya memperoleh input usahatani dan biaya transportasi menjadi murah, sehingga akan mendorong peningkatan penggunaan input terutama benih dan pupuk untuk kebutuhan usahatani jagung.
6.4. Bias Perubahan Teknologi Teknologi produksi senantiasa berkembang dari waktu ke waktu yang ada memiliki
pengaruh
terhadap
kegiatan
mengalokasikan penggunaan faktor produksi.
berusahatani,
terutama
dalam
Hicks membedakan pengaruh
132
perubahan teknologi dalam tiga pengaruh, yaitu perubahan teknologi yang mengarah pada padat modal, padat tenaga kerja dan netral. Faktor produksi / input usahatani jagung yang dimasukkan ke dalam model adalah benih, pupuk urea, pupuk TSP dan tenaga kerja. Oleh karena itu, bias perubahan teknologi yang akan dilihat adalah antara benih-urea, benih-TSP, pupuk urea-tenaga kerja, dan pupuk TSP-Tenaga kerja. Dalam penelitian, perubahan teknologi digunakan indikator pengeluaran riset untuk jagung. Hasil perhitungan bias perubahan teknologi disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15. Bias Perubahan Teknologi Jagung dengan Indikator Pengeluaran Riset Jagung di Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat, Tahun 1985-2009 Provinsi/Tahun A. Jawa Timur 1. 1985 2. 1998 3. 2000 4. 2005 5. 2009 B. Jawa Barat 1. 1985 2. 1998 3. 2000 4. 2005 5. 2009
Benih-Urea
Benih-TSP
Urea-Tenaga Kerja
TSP-Tenaga Kerja
0.0280 (0.0522) 0.0908 (0.0189) 0.0565 (0.0292) 0.0283 (0.0527) 0.0280 (0.0502)
0.0193 (0.0058) 0.0824 (0.0052) 0.0481 (0.0059) 0.0235 (0.0062) 0.0095 (0.0049)
-0.8158 (-0.0016) -2.8516 (-0.0016) -0.3741 (-0.0017) -0.4521 (-0.0022) -0.1703 (-0.0010)
-0.8071 (-0.1546) -2.8433 (-0.0445) -3.656 (-0.3335) -0.4473 (-0.2772) -0.1518 (-0.7082)
0.0622 (0.0264) 0.0514 (0.0317) 0.0629 (0.0257) 0.0345 (0.0429) 0.0244 (0.0522)
0.0627 (0.0051) 0.0526 (0.0059) 0.0634 (0.0046) 0.0333 (0.0041) 0.0258 (0.0040)
-0.2361 (-0.0032) -0.1502 (-0.0040) -0.1230 (-0.0028) -0.1230 (-0.0026) -0.1035 (0.0026)
-0.2366 -0.5196) -0.2423 (0.5114) -0.1508 (-0.7943) -0.1238 (-0.9482) -0.1049 (1.1059)
Keterangan: Angka dalam kurung adalah t hitung ***) signifikan pada taraf α = 1 persen **) signifikan pada taraf α = 5 persen *) signifikan pada taraf α = 10 persen
133
Berdasarkan
Tabel
15
tersebut,
dengan
menggunakan
indikator
pengeluaran riset dan pengembangan baik di Provinsi Jawa Timur maupun Jawa Barat bahwa koefisiennya perubahan teknologi pada usahatani jagung mendekati nol. Hasil uji-t, ternyata nilai t hitung untuk semua koefisien lebih kecil dari nilai tabel t pada taraf 10 persen. Hal ini berarti bahwa perubahan teknologi dalam usahatani jagung cenderung netral. Hasil ini senada dengan hasil penelitian Hartoyo (1994) yang menyimpulkan bahwa dengan menggunakan indikator pengeluaran riset tanaman pangan di Jawa, maka perubahan teknologi dalam tanaman pangan di Jawa juga cenderung netral. Dengan demikian perubahan teknologi dalam usahatani jagung akan diikuti oleh perubahan faktor produksi yang satu dengan yang lainnya dalam proporsi yang sama. Perubahan teknologi cenderung bersifat netral pada kegiatan usahatani jagung, artinya perubahan teknologi cenderung proporsional dengan perubahan faktor produksi yang digunakan. Hal ini antara lain disebabkan oleh beberapa alasan: (1) pada umumnya usahatani jagung di kedua provinsi berskala kecil, dimana berdasarkan data BPS (2009) persentase rumahtangga petani jagung yang tidak berlahan sendiri dan kurang dari 0.5 hektar mencapai 91.78 persen di Jawa timur dan 96.5 persen di Jawa Barat, (2) secara umum modal usahatani bersumber dari hasil usahatani sendiri, sehingga sulit untuk lebih mengembangkan usahataninya, (3) usahatani pada umumnya dilakukan dengan lebih mengandalkan tenaga kerja keluarga, karena keterbatasan modal rumahtangga petani dan ratarata lahan usahatani yang dikelola petani berskala kecil, (4) rendahnya skala usahatani pada usahatani jagung menyebabkan kurang berkembangnya mekanisasi dalam mendukung kegiatan usahatani seperti pada proses panen dan pasca panen,
134
(5) teknologi yang diterapkan oleh petani secara umum dalam upaya peningkatan produksi merupakan teknologi konvensional yang belum mampu menghasilkan peningkatan produktivitas jagung yang tinggi, seperti halnya produktivitas petani jagung di negara produsen yang sudah maju, dan (6) petani lebih cenderung menjual hasil tidak lama setelah panen, karena desakan kebutuhan hidup dan belum melakukan pengolahan hasil jagung lebih lanjut. Dengan terdapatnya alasan-alasan tersebut diatas, maka solusi dalam pengembangan usahatani antara lain melalui: (1) peningkatan skala pengelolaan usahatani melalui konsolidasi manajemen pengelolaan dan pemberdayaan gabungan kelompok tani dengan aturan legal formal yang mendukungnya, (2) peningkatan akses terhadap kredit permodalan usahatani dalam wadah kelompok tani/gabungan kelompok tani yang telah berbadan hukum, (3) memfasilitasi kemitraan yang saling menguntungkan antara kelompok tani/gabungan kelompok tani dengan pihak lain terutama terkait pemasaran hasil dan pembinaan usahatani yang berkesinambungan, (4) peningkatan pemanfaatan lahan-lahan (termasuk lahan tidur) yang ada untuk meningkatkan skala pengusahaan lahan usahatani khususnya untuk usahatani jagung, (5) mendorong pengembangan teknologi peningkatan produktivitas secara modern dan mendiseminasikannya terhadap petani, sehingga dapat menghasilkan produktivitas jagung seperti halnya produktivitas petani jagung di negara produsen yang sudah maju, dan (6) mendorong penciptaan nilai tambah ditingkat petani agar tidak hanya menjual jagung sebagai bahan baku industri semata, namun perlu melakukan dukungan pengolahan jagung melalui bantuan sarana dan prasarana pengolahan sehingga dapat menjual jagung dalam bentuk olahan.