VAKSINASI SEBAGAI SALAH SATU UPA YA PENCEGAHAN EPIDEMIKAJ.'7AN INFLUENZA (FLU BURUNG): SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS DIKABUPATENBANYUMAS
TEStS Karya tulis sebagai salah satu syarat Untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung
Oleh
HERUTHREEHANDOKO NIM : 24006003
Program Magister Studi Pembangunan Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2007
VAKSINASI SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PENCEGAHAN EPIDEMIKAVIAN INFLUENZA (FLU BURUNG): SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS DIKABUPATENBANYUMAS
Oleh
HERU THREE HANDOKO NIM : 24006003
Program Magister Studi Pembangunan Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung I
Menyetujui Pembimbing
Q-f-lr.'-'.-
Tanggal, .......................... 2007
Dr. Ir. Mu ammad Tasrif, M.Eng
ABSTRAK VAKSINASI SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PENCEGAHAN EPIDEMIKA VIAN INFLUENZA (FLU BURUNG) : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS DIKABUPATENBANYUMAS Oleh: HERU THREE HANDOKO NIM : 24006003 Epidemik Flu Burung pada unggas teijadi di Kabupaten Banyumas sejak Oktober 2003. Epidemik ini menimbulkan kematian pada unggas yang cukup tinggi. Jika dalam penanggulangannya tidak tepat, maka populasi unggas akan menurun pesat dan hampir mengalami kemusnahan yang berdampak terhadap perekonomian para petemak unggas di Banyumas. Untuk menghindari terulangnya kembali epidemik dimaksud, diperlukan suatu pemahaman tentang upaya vaksinasi sebagai salah satu upaya pencegahan epidemik Flu Burung. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang struktur epidemik dimaksud diharapkan terwujudnya kebijakan vaksinasi yang dapat mencegah terulangnya kembali epidemik Flu Burung. Pemahaman struktur epidemik Flu Burung di atas dilakukan dengan pendekatan system dynamics. Metodologi system dynamics merupakan salah satu pendekatan pemodelan kebijakan terutama dalam hal peningkatan pemahaman tentang bagaimana (how) dan mengapa (why) gejala suatu sistem teijadi. Struktur model dalam tesis ini dibuat berdasarkan keterkaitan dinamika unsur pembentuk fenomena epidemik Flu Burung di Kabupaten Banyumas. Pertama-tama model digunakan untuk mensimulasi kepunahan tersebut. Selanjutnya skenario vaksinasi didesain untuk mengatasi kepunahan populasi unggas. Analisis menunjukan bahwa kebijakan harus diarahkan kepada usaha vaksinasi sebagai upaya penanggulangan Flu Burung. Skenario vaksinasi 7 hari setelah hilangnya waktu rentan merupakan skenario yang terbaik. Simulasi skenario uji sensitifitas vaksin memperlihatkan bahwa kualitas vaksin sangat mempengaruhi keberhasilan kegiatan vaksinasi. Agar penaggulangan dapat terlaksana dengan baik, maka diperlukan dukungan dana yang berkesinambungan serta adanya pengorganisasian pelayanan kesehatan hewan terpadu. Kata kunci : Epidemik Flu Burung, Vaksinasi
ABSTRACT VACCINATION AS ONE OF THE PREVENTIVE EFFORTS on the EPIDEMIC of AVIAN INFLUENZA: A SYSTEM DYNAMICS APPROACH IN BANYUMAS REGl:NCY by: HERU TuiU:E HANDdKO
NIM:24006003 The epidemic of Avian Influenza occurred in Banyumas regency in October 2003. This epidemic has generated in the deaths of poultry. If the epidemic is not mdnaged in good order, the poultry population will decrease rapidly and may result in its total annihilation and subsequently affect economics of poultry farmers in Banyumas. To avoid a repeat of the epidemic, an understanding of vaccination as an effort to prevent epidemic of Avian Ittfluenza, is necessary. With better comprehension, it is expected that the vaccination policy can prevent the return of the Avian Influenza epidemic. A system dynamics approach is employed to understand the structure of the epidemic. The systetn dynamics method allows us to develop models to understand the basis and reasons for the occurrence of the epidemic. the model structure in this thesis is based on the interrelatiortship of element dynamics in the previous epidemic in Banyumas. First, the model is applied to simulate the poultry annihiiation. then the scemirio of vaccination is designed to dvercome the destruction of poultry popuiation. The analysis shows that the policy must be ditected for vaccination as an effort to tnai1age Avian Influenza epidemic. The vaccinatibn scenario of 7 days after loss of susceptible tittle is tlie best. The simulation of vaccine sensitivity test scenario shows that quality of vaccine significarltly influences success of vaccination. The epidemic can be carefully corttained if there are continuous funding support and establishment of integrated animal heaith s~rvice organization. Keywords: Epid~mic of Avia.n Influenza; Vaccination
11
PEDOMAN PENGGUNAAN TESIS
Tesis S2 yang tidak dipublikasikan terdaftar dan tersedia di perpustakaan Institut Teknologi Bandung dan terbuka untuk umum dengan ketentuan bahwa hak cipta ada pada pengarang dengan mengikuti aturan HaKI yang berlaku di Institut Teknologi Bandung.
Referensi
kepustakaan diperkenankan dicatat, tetapi pengutipan atau peringkasan hanya dapat dilakukan seizin pengarang dan harus disertai dengan kebiasaan ilmiah untuk menyebutkan sumhemya.
Memperbanyak atau menerbitkan sebagian atau seluruh tesis haruslah seizin Direktur Program pascasarjaha Institut Teknologi Bandung.
111
UCAPAN TERIMA KASffi
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul V AKSINASI SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PENCEGAHAN EPIDEMIK AVIAN INFLUENZA (FLU BURUNG) : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICSDI KABUPATEN BANYUMAS. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat dalam memperoleh gelar Magister pada Program Studi Magister Studi Pembangunan Institut Teknologi Bandung. Selesainya tesis ini karena dukungan dari berbagai pihak baik doa, moril maupun materil yang diberikan kepada penulis. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Muhammad Tasrif, M.Eng selaku dosen pembimbing yang dengan sabar memberikan bimbingannya sehingga tesis ini dapat selesai. 2. Ibu Ir. Teti Armiati Argo, MES, PhD selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan atas kesempurnaan tesis ini.
3. Bapak Dr. Ir. Sonny Yuliar, selaku dosen penguji yang Juga telah memberikan masukannya.
4. Kepala Pusbindiklatren Bappenas, atas bantuannya penulis mendapatkan bea siswa dalam menyelesaikan studi ini.
5. Bupati Banyumas, yang telah memberikan izin belajar. 6. Kepala BKD Kabupaten Banyumas, yang telah membantu kelancaran selama studi. 7. Kepala Disnakkan Kabupaten Banyumas, yang memberikan dukungan.
8. Rekan-rekan di Disnakkan Kabupaten Banyumas, yang telah memberikan semangat. 9. Rekan-rekan staf administrasi akademis pada Program Magister Studi Pembangunan ITB. 10. Bapak, Ibu, Papi dan Mamah yang selalu mendoakan. 11. Isteri yang tercinta Dhaliza Mustika Sari, atas segala pengertian, kesabaran dan dukungan serta doanya selama studi dan dalam proses penyelesaian tesis ini. Semoga segala kebaikan dari berbagai pihak tersebut mendapatkan balasan dari Allah SWT, amm. Bandung, September 2007 Penulis
IV
DAFTAR lSI
ABSTRAK .................................................................................................................................. . ................................................................................................................................
ii
.........................................................................................
iii
.......................................................................................................
1v
...............................................................................................................................
v
DAFTARLAMPIRAN ................................................................................................................
vii
DAFTAR GAMBAR ··················································································································· DAFTAR TABEL .......................................................................................................................
Vlll
BAB I
Pendahuluan ....... ....... ... ...... ... .............. ... .... ....... ..... ..... .. .. ...... .. ... ........ ...... ... .. .. ..... ..... ..
1
1.1
Latar Belakang .. ...... ... .... ... .. ........... .. ...... ... ... .... .... ...... .. .... .. ......... .. ...... .... ... .... ... ... .... ....
1
I.2
Perumusan Masalah ..... .... ... ....... ..... ............ ... ........ ...... .. ... . .. ......... .. ...... .. .. .... .... ... ... ..... ..
3
I.3
Tujuan
.........................................................................................................................
3
I.4
Metodologi Penelitian .................................................... ............................ ...... ..............
3
I.S
Sistematika Penulisan
6
ABSTRACT
PEDOMAN PENGGUNAAN TESIS UCAPAN TERIMA KASIH
DAFTAR lSI
ix
.........................................................................................................
7
II. I II.2
Flu burung ··········································································································'········ Virus Penyebab ............................................................................................................
7 9
Il.3
Epidemiologi
.......................................•.......................................................................
10
II.3.1 Dynamics dari Penyakit: Model Epidemik ...................................................................
12
II.3 .2 Flu Burung di Indonesia ..... ................ ......... ............. ....... .. ...... ... ... ...... ....... .. ... ... ... ........
13
II.3 .3 Kewaspadaan Menghadapi Pandemik pada Flu Man usia ..... ......... ..... .... .. .. ... .. ... .... .......
15
BAB II
Tinjauan Teoritis
Il.4
Vaksinasi
.....................................................................................................................
18
Il.5
Dampak Ekonomi ................................................................................................. .......
22
................................................................................
26
BAB III Gambaran Kabupaten Banyumas III.1 Keadaan Umum
26
III.2 Populasi Temak
27
III.3 Epidemik Flu Burung di Kabupaten Banyumas ..... ...... .. ... ...... .... .. .... ........ .. .... . .. .... ..... ..
29
III.4 Pengorganisasian dan Pelayanan Kesehatan Hewan .. ... . ... .. ............ .. ......... ... .. .... .. . .......
31
v
ill.5 Dukungan Dana dalam Penanggulangan Flu Burung ....................................................
BAB N
33
Struktur dan Perilaku Model ........................................................................................
34
N.l Batasan (Boundary) Model ..........................................................................................
35
N .2 Gambaran Model ...........................................................................................................
35
N.3 Uji Perilaku Model .......................................................................................................
43
BAB V
Simulasi dan Analisis ................................................... ...............................................
50
V.l
Pertetituan Skenario .....................................................................................................
50
V.2
Simulasi dan Skenario
............................................................................................
51
V.2.1 Skenatio Dasar ..............................................................................................................
51
V .2.2 Skenario Vaksinasi ... ...... ........... ...... ... ......... ..... .. ... .. .. ... ..... .... ........ .... ... ... ....... .. .... ....... ..
52
V.2.3 Skenario Uji Sensitifitas Vaksin ....................................................................................
55
BAB VI
Kesirrt~ulan
dan Saran ...... ... ... ... ... ...... .. .... .... ... .. .. .... ...... . .. . ......... .. ............ .. ...... . ... .........
60
VI.1 Kesimpulan ....... ... ... ....... ... .... ... .......... .... .. .. ....... .. ... ... .... .. ... .... .......... .. ... .. ... .... ... ...... .. ... ..
60
VI.2 Saran Penelitian Lanjutan...............................................................................................
62
DAFTAR PUStAKA
..................................................................................................................
63
VI
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A: Program Powersim Constructor...............................................................................
68
Lamp iran B : Diagram Alir SystemDynamics dengan Menggunakan Powersim ........ ... ...............
70
Lampiran C: Gambar-gambar Kejadian Epidemik Flu Butung di Kabupatert Banyumas ...........
74
Vll
DAFTAR GAMBAR
Gam bar 1.1
Tahapan membangun model....................................................................................
4
Gam bar 1.2
Prosedur pemodelan system dynamics .. ...... ...... ... ... ........ .. ... .. .. ........ ........ ....... .. ....
5
Gam bar It. I Struktur model SIR ....... ... ...... .. ...... ........ ...... ........ ....... ........... ............. .. ........ ......... ..
13
Gam bar IV .1 Causa/loop epidemik Flu burung ..........................................................................
34
Gambar IV.2 Causa/loop epidemik Flu Burung pada unggas di Kabupaten Banyumas .............
35
Gam bar IV .3 Diagram alir epidemik Flu Burung ..........................................................................
41
Gam bar IV .4 Perbandingan perilaku populasi S dlitt It antara model yang dibartgun dan model matematika dalam literatut ................... ........... ............ ...... .........
44
Gam bar IV .5 Petbabdingan perilaku populasi L 1 dan L2 antara model yang dibarlgun dart model matematika dalam litetahir ........................................................
45
Gambar IV.6 Perhandingan perilaku populasi R dan D antara model yang dibangtirt dart model matematika dalam literatur ... . ... .. .. .. ...... ... . . . . . . . .. . . . . . . . ............ ... . . . .
46
Gam bar IV. 7 Diagtam alir epidemik Flu Burung di Kabupaten Banyumas ............ ......... .. .. .. .... ...
49
Gambar V .I Perilaku pada basil simulasi skenario dasar .......... ... ... ...... .......... .. .. ........... .... .. .......
51
Gambar V .2 Perilaku pada basil simulasi skenario vaksinasi .....................................................
53
Gam bar V .3 Perilaku pada basil simulasi skenario uji sensitifitas vaksin ...................................
56
Vlll
DAFfAR TABEL
Tabel 11.1 Jumlah KomulatifKasus Influensa Unggas A (H5NI) pada Manusia yang Dilaporkan dan Dikonftrmasi ke WHO ..... .. .. ... .. ... ..... ... .. .. ... ... .. ............ ... ..... .. .. ... ... .. .... ... . .. ..... .....
II
Tabel 111.1 Populasi Ternak Besar di Kabupaten Banyumas Tahun 2002 s/d 2006 .....................
28
Tabel 111.2 Populasi Ternak Kecil di Kabupaten Banyumas Tahun 2002 s/d 2006 .....................
28
Tabel III.3 Populasi Ternak Unggas di Kabupaten Banyumas Tahun 2002 s/d 2006 ..................
29
Tabel III.4 Data Ternak Unggas yang Terserang Avian Influenza (Flu Burung) di Kabupaten Banyumas Tahun 2003 s/d 2007 ................................................................................
3I
lX
Bab I Pendahuluan 1.1
La tar Belakang Flu Burung adalah
suatu penyakit menular yang disebabkan oleh vtrus
influenza yang ditularkan oleh unggas yang dapat menyerang manusia sehingga disebut sebagai penyakit zoonosa. Nama lain penyakit ini adalah Avian Influenza (A I). Virus AI merupakan virus influenza tipe A, kelompok Orthomyxoviridae, dan memiliki beberapa subtipe. Subtipe yang menyerang unggas saat ini di Indonesia adalah subtipe H5Nl. A I pada unggas di Kabupaten Banyumas terjadi mulai Tahun 2003; Sampai tanggal 31 Januari 2007 ternak yang terkena A I adalah sebagai berikut : Ayam Ras Petelur : 10.800 ekor; Ayam Buras : diperkirakan 80.000 ekor; Puyuh : ± 60.000 ekor (Dinas Peternakan Dan Perikanan Kab. Banyumas, 2007). Salah satu upaya yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Banyumas dalam mengatasi Flu Burung adalah dengan kegiatan vaksinasi melalui Program Penyidikan Penyakit Avian Influenza (A I) yang sudah dilaksanakan sejak Tahun 2004. Fakta yang ada menunjukkan bahwa penanggulangan penyakit Avian Influenza ( A I ) tersebut sampai dengan saat ini belum mampu memberikan hasil yang memuaskan. Salah satu faktor penyebab kurang berhasilnya Program Penangulangan Penyakit Avian Influenza ( A I ) di Kabupaten Banyumas ditengarai karena kegiatan vaksinasi yang dilakukan masih belum sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Kondisi tersebut menuntut semua pihak yang terkait untuk mengkaji proses penanggulangan dalam program dimaksud.
Hasil dari kajian tersebut diharapkan
1
mampu memberikan masukan untuk Program Penanggulangan Avian Influenza ( A I ) khususnya di Kabupaten Banyumas. Penyebab lain masih tingginya epidemi Avian Influenza di Kabupaten Banyumas adalah pola atau sistem pemeliharaan yang masih bersifat tradisional (sektor 4) dimana pengawasan dan pengendalian penyakit masih sulit dilakukan. Sistem petemakan unggas dibagi ke dalam 4 kategori sektor yang didasarkan pada tipe usaha dan tingkat biosekuriti (Komnas FBPI, 2007) sebagai berikut : •
Sektor 1 adalah sistem industri perunggasan yang terpadu. Kelompok Industri perunggasan ini menerapkan sistem biosekuriti tingkat tinggi dan hasilnya dijual secara komersial di wilayah kota atau diekspor;
•
Sektor 2 adalah kelompok usaha unggas yang masuk ke dalam sistem produksi unggas komersial dengan menerapkan sistem biosekuriti tingkat menengah sampai tinggi. Hasil produksinya dijual di wilayah perkotaan dan desa;
•
Sektor 3 adalah kelompok usaha petemakan unggas yang hampir sama dengan sektor 2 akan tetapi sistem biosekuriti yang diterapkannya masih tingkat bawah;
•
Sektor 4 adalah kelompok usaha petemakan yang sistem pemeliharaannya dengan cara sistem backyard dan sistem biosekuritinya sangat kurang. Tipe usaha unggas semacam ini berpusat di wilayah desa dan merupakan usaha sambilan untuk memperoleh tambahan pendapatan atau untuk dikonsumsi sendiri.
2
1.2
Perumusan Masalah Untuk menghindari terulangnya kembali epidemik Flu Burung diperlukan
suatu pemahaman tentang sebab-sebab yang dapat memunculkan persoalan di atas atau memahami sturuktur epidemiknya. Dengan pemahaman ini diharapkan dapat diajukan kebijakan vaksinasi yang tepat dalam penanggulangan epidemik Flu Burung sekaligus menghindari bahaya pandemik Flu Burung. Berdasarkan hal ini, pertanyaan yang menjadi fokus dalam kajian ini adalah: 1. Struktur epidemik dengan kegiatan vaksinasi yang bagaimanakah yang dapat mencegah timbulnya epidemik Flu Burung di Kabupaten Banyumas?; dan 2. Dengan pemahaman atas struktur pada pertanyaan 1 di atas, bagaimanakah kebijakan vaksinasi yang tepat agar epidemik Flu Burung di Kabupaten Banyumas tidak terulang kembali serta mencegah timbulnya bahaya pandemik Flu Burung.
1.3
Tujuan Tujuan dari Tesis ini adalah untuk mencoba memahami struktur epidemik Flu
Burung di Kabupaten Banyumas sehingga dapat diketahui faktor-faktor yang manakah yang menjadi penyebab timbulnya epidemik Flu Burung di Kabupaten Banyumas dan mencoba mencari arah kebijakan vaksinasi yang tepat agar epidemik Flu Burung tidak terulang kembali sekaligus mencegah bahaya pandemik Flu Burung. Untuk itu diperlukan suatu model dengan kemampuan simulasinya.
1.4
Metodologi Penelitian Metodologi system dynamics merupakan salah satu pendekatan pemodelan
kebijakan terutama dalam hal peningkatan pemahaman tentang pertanyaan bagaimana
3
(how) dan mengapa (why) gejala suatu sistem terjadi (Tasrif, 2005). Dalam tesis ini
digunakan pemodelan dengan metodologi system dynamics. Tahapan pemodelan system dynamics menurut Nancy Robert (1983) adalah sebagai berikut : definisi masalah, konseptualisasi sistem, reprsentasi model, perilaku model, evaluasi model, analisis kebijakan, dan implementasi model (Gambar 1.1 ). Defmisi masalah
l Konseptualisasi Sistem
l Representasi Model ~
l Perilaku Model
l r+
___.
'---
Definisi Masalah
l Evaluasi Model
---+
Tinjauan Ulang ( refinement )
l ....._.
Analisis Kebijakan dan lmplementasi Model
Gambar 1.1 Tahapan membangun model (N. Robert, 1983) 4
Khalid Saeed ( 1994) dalam prosedur pemodelan system dynamics menekankan kepada bukti empiris sebagai driving force untuk mengambarkan struktur mikro maupun untuk verifikasi kelakuannya (Gambar 1.2). Literatur
Model alternatif, pengalaman, literatur
/.___________, Bukti empiris
Empirical and inferred time series
Persepsi struktur sistem
~
Konseptualisasi sistem
:....
/~-~ r-------~----~--.
Perbandingan dan rekonsiliasi
Perbandingan dan rekonsiliasi
Perumusan model
____ \.---R-e-p-re_s_e-nta--si_s_truktur '-"
__,~Ar-D--ed_u_k-st-.
pe--n-"laku---m-o_d_e_l--,J
model
Penggambaran dan deskripsi
Komputasi
Gambar I.2 Prosedur pemodelan system dynamics
5
I.5
Sistematika Penulisan
Dalam Tesis yang berjudul "Vaksinasi Sehagai Salah Satu Upaya Pencegahan Epidemik Avian Influenza (Flu Burung) : Suatu Pendekatan System Dynamics di Kahupaten Banyumas" heherapa hal sudah dikemukakan dalam Bah I antara lain fenomena yang menjadi latar helakang, perumusan masalah, tujuan, metodologi penelitian serta sistematika penulisan. Dalam Bah II akan dihahas permasalahan secara teoritis dan dipaparkan teori-teori yang dirujuk mengenai flu hurung, virus penyehah, epidemiologi, vaksinasi dan dampak ekonomi. Bah III menjelaskan keadaan umum daerah studi (Kahupaten Banyumas) dan epidemik flu hurung yang timhul serta kelehihan yang dimiliki oleh Kabupaten Banyutnas. Kemudian Bah IV memaparkan hatasan (boundary) model, gambaran model serta uji perilaku model. Struktur dan perilaku model epidemik flu hurung yang dibangun menggunakan pendekatan system dynamics. Pemodelan yang dirancang pada Bah IV kemudian disimulasikan dan
dianalisis dalam Bah V. Dalam simulasi tersehut diterapkan skenario-skertario yang dilakukan. Akhimya, kesimpulan serta saran-saran yang dapat ditarik dari penelitian ini diuraikan dalatn Bab VI yang merupakan bah terakhir.
6
Bab II Tinjauan Teoritis tl.l
Flu Burung
Penyakit influensa unggas (avian influenza), atau lebih dikenal sebagai "flu burung", pertama kali dilaporkan pada tahun 1878 sebagai wabah yang menjangkiti ayam dan burung di Italia (Perroncito, 1878), yang disebut juga sebagai "Penyakit Lombardia" mengikuti nama sebuah daerah lembah di hulu sungai Po. Meskipun di tahun 1901 Centanini dan Savonucci berhasil mengidentifikasi organisme mikro yang menjadi penyebab penyakit tersebut, baru di tahun 1955 Schafer dapat menunjukkan ciri-ciri organisme itu sebagai virus influensa A (Schafer, 1955). Dalam penjamu alami yang menjadi reservoir virus flu hurting, yaitu buruhg.:.burung liar, infeksi yang terjadi biasanya berlangsung tanpa gejala (asimptomatik) karena virus influensa A itu dari jenis yang berpatogenisitas rendah
rum hidup bersama secara seimbang dengan
penjamu-penjamu tersebut (Webster, 1992, Alexander, 2000). Ketika turunan (strain) virus influensa unggas berpatogenisitas rendah (Low
Pathogenic Avian Influenza Virus, LP AIV) ditularkan dari unggas "resorvoir" ke temak unggas yang rentan, seperti ayam dan kalkun (sebuah pijakan untuk penularan lintas spesies!), pada umumnya hewan-hewan itu hanya menunjukkan gejala-gejala yang ringan. Tetapi ketika spesies unggas tersebut menjadi sebab dari terjadinya beberapa siklus penularan, turunan (strain) virus tersebut dapat mengalami serangkaian mutasi yang beradaptasi dengan penjamunya yang baru.
7
Virus influensa A subtipe H5 dan H7 bukan saja mengalami fase adaptasi dengan penjamu tetapi dapat pula berubah secara meloncat melalui mutasi insersi menjadi bentuk yang sangat patogen (Hinghly Pathogenic Avian Influenza Virus, HPAIV), yang mampu menimbulkan penyakit sistemik yang ganas dan mematikan secara cepat. Virus jenis HPAI tersebut dapat muncul secara tidak terduga dan sebagai tipe yang sama sekali baru dalam unggas yang terkena infeksi oleh progenitor LP AI darijenis subtipe H5 dan H7. Infeksi oleh virus HP AI pada unggas ditandai dengan gejala yang mendadak, berat dan berlangsung singkat, dengan mortalitas mendekati 100% pada spesies yang rentan. Akibat kerugian ekonomis yang sangat besar terhadap industri temak unggas, HP AI mendapat perhatian yang sangat besar di kalangan kedokteran hewan dunia. Oleh karena potensinya untuk dapat menurunkan HPAIV, penyakit LPAI dari subtipe H5 dan H7 juga dikenakan wajib dilaporkan (OlE 2005). Sebelum tahun 1997, HPAI merupakan penyakit yang sangat jarang terjadi, dengan hanya ada 24 kejadian primer yang dicatat di seluruh dunia sejak tahun 1950-an. Tetapi akhir-akhir ini influensa unggas memperoleh perhatian dunia ketika ditemukan ada strain (turunan) dari subtipe H5N1 yang sangat patogen, yang mungkin sudah muncul di China Selatan sebelum tahun 1997, menyerang temak unggas di seluruh Asia Tenggara dan secara tidak terduga melintasi batas antar kelas (Perkins dan Swayne, 2003) ketika terjadi penularan dari burung ke mamalia (kucing, babi, manusia). Meskipun bukan merupakan kejadian pertama (Koopmans 2004, Hayden and Croisier 2005), sejumlah kasus infeksi pada manusia akhir-akhir ini, yang ditandai
8
dengan gejala parah dan menyebabkan kematian telah menimbulkan kekhawatiran akan kemungkinan terjadinya pandemi infeksi virus strain H5N1 (Klempner dan Saphiro 2004; Webster 2006). Ada sederetan bukti yang menunjukkan bahwa virus H5Nl telah mengalami peningkatan potensi patogenik pada beberapa spesies mamalia. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa hal mt telah menimbulkan kekhawatiran umum di seluruh dunia (Kaye and Pringle 2005).
11.2
Virus Penyebab Penyakit influenza pada unggas (Avian Influenza I AI) yang saat ini kita kenai
dengan sebutan flu burung adalah penyakit yang disebabkan oleh virus influenza tipe A dari Family Orthomyxomiridae. Virus ini dapat menimbulkan gejala penyakit pemafasan pada unggas, mulai dari yang ringan (Low pathogenic) sampai pada yang bersifat fatal ( highly pathogenic ). Virus AI dibagi kedalam sub type berdasarkan permukaan Hemagglutinin (HA) dan Neoraminidase (NA) ada 15 sub type HA dan 9 jenis NA (Horimoto and Kawaoko, 1994). Virus Influeriza ada tiga tipe, yaitu tipe A (pada unggas) , tipe B dan C (pada manusia). Influensa tipe A terdiri atas beberapa strain, antara lain H1N1, H3N2, H5N1 dan lain-lain. Influensa A (H5N1) merupakan penyebab wabah flu burung yang sangat mematikan di Hongkong, Vietnam, Thailand, Indonesia dan Jepang. Di Indonesia Virus Influenza tipe A subtipe H5N1 tersebut di atas menyerang temak ayam sejak bulan Oktober 2003 s/d Februari 2005 akibatnya 14,7 juta ayam mati. Masa inkubasi (saat penularan sampai timbulnya penyakit) avian influenza adalah 3 hari untuk unggas. Sedangkan untuk flok dapat mencapai 14 - 21 hari. Hal itu tergantung pada
9
jumlah virus, cara penularan, spesies yang terinfeksi dan kemampuan petemak untuk mendeteksi
gejala
klinis
(berdasarkan
pengamatan
klinik).
Pada akhir tahun 2003 di sejumlah Negara telah tertular penyakit influenza pada unggas dan bersifat mewabah (pandemi) seperti Korsel, Jepang, Vietnam, Thailand, Taiwan, Kamboja, Hongkong, Laos, RRC dan Pakistan termasuk Indonesia. 11.3
Epidemiologi
Epidemiologi adalah studi distribusi, faktor penentu dan frekuensi dari penyakit (termasuk kejadian lain berhubungan dengan kesehatan) di dalam populasipopulasi. Epidemiologi merupakan suatu studi yang menyangkut pengukuran frekuensi penyakit, distribusinya, serta faktor-faktor yang menyebabkan penyakit tersebut (Situngkir, 2004 ). Sampai akhir tahun 2003, HPAI dianggap sebagai penyakit yang jarang terjadi pada unggas temak. Sejak 1959, hanya ada 24 wabah primer di seluruh dunia yang pemah dilaporkan. Sebagian besar teijadi di Eropa dan benua Amerika. Kebanyakan wabah tersebut terbatas secara geografis pada daerah tertentu, dengan hanya lima kejadian yang menyebar ke sejumlah petemakan, dan hanya satu yang dilaporkan menyebar secara intemasional. Tidak satupun dari wabah-wabah tersebut yang mendekati ukuran wabah H5Nl di Asia yang teijadi di tahun 2004 (WHO 2004/03/02). Sampai hari ini semua wabah dalam bentuk yang sangat patogen disebabkan oleh virus influensa A dari subtipe H5 dan H7. Di masa lalu, perdagangan ilegal atau perpindahan unggas hidup yang terinfeksi atau produk-produk darinya yang
10
belum diolah, serta penyebaran virus secara mekanikal melalui mobilitas manusia (pelancong, pengungsi, dsb) telah menjadi faktor utama dalam penyebaran HPAIV. Sampai tanggal 30 Desember 2005, sebanyak 142 kasus infeksi influensa unggas pada manusia telah dilaporkan dari berbagai wilayah. Pada saat itu penularan pada manusia masih terbatas di Kamboja, Indonesia, Thailand, dengan episenter di Vietnam (65,5% dari seluruh kasus). Sebanyak 72 orang (50,7%) telah meninggal. Jumlah tersebut kini sudah bertambah lagi terutama dengan meluasnya penyebaran dan bertambahnya kematian di Indonesia Juga dari beberapa negara lain (Turki, lrak) sudah ada laporan tentang kasus influensa unggas ini pada manusia. Di bawah ini disajikan tabel (Tabel 11.1) jumlah kasus dan kematian manusia akibat influensa unggas A (H5N1) yang dilaporkan ke WHO sampai tanggal 24 Maret 2006. Hanya kasus yang secara laboratorik sudah dikonfirmasi yang dimuat dalam tabel ini. Tabel 11.1 Jumlah KumulatifKasus Influensa Unggas A (H5N1) pada Manusia yang Dilaporkan dan Dikonfmnasi ke WHO Negara
2003
2004
2005
2006
Total
Kasus
Mati
Kasus
Mati
Kasus
Mati
Kasus
Mati
Kasus
Mati
Azerbaijan
0
0
0
0
0
0
7
5
7
5
Cambodia
0
0
0
0
4
4
1
1
5
5
China
0
0
0
0
8
5
6
6
16
11
Indonesia
0
0
0
0
17
11
12
11
29
22
Irak
0
0
0
0
0
0
2
2
2
2
Thailand
0
0
17
12
5
2
0
0
22
14
Turki
0
0
0
0
0
0
12
4
12
4
VietNam
3
3
29
20
61
19
0
0
93
42
Total
3
3
46
32
95
41
42
29
186
105
11
11.3.1 Dynamics dari Penyakit : Model Epidemik Sterman (2000) menjelaskan struktur epidemik penyakit infeksi secara umum yang terdiri atas tiga buah stocks atau level dan dua buah rate yang dikenal dengan struktur model SIR (Susceptible, Infectious and Recovery). Adapun tiga stock atau level tersebut adalah susceptible population, infectious population dan recovery
population. Susceptible population adalah populasi yang rentan terhadap infeksi virus. Infectious population adalah populasi yang telah terinfeksi virus. Recovery population adalah populasi yang sembuh dari serangan virus. Dua rate dimaksud adalah infection
rate dan recovery rate. Infectious rate adalah suatu aliran yang menunjukkan berpindahnya populasi dari level susceptible population ke level infectious population. Sedangkan recovery rate adalah suatu aliran yang menunjukkan berpindahnya populasi dari level infectious population ke level recovery population. Populasi di level susceptible population berpindah ke level infectious population melalui aliran
infection rate. Alir infection rate dipengaruhi oleh beberapa unsur yaitu contact rate, total population, infectivity, level susceptible population dan level infectious population. Populasi di level infectious population berpindah ke level recovery population melalui aliran recovery rate. Aliran recovery rate dipengaruhi oleh average duration of infectivity dan level infectious population. Gambaran struktur model SIR tersebut terlihat seperti dalam Gambar 11.1 berikut.
12
Susceptible Population
Recovery Population
+
Contact Rate
Infectivity
Recovery Rate
/-
Average Duration of Infectivity
Total Population
Gambar 11.1 Struktur Model SIR 11.3.2 Flu Burung di Indonesia Beberapa kejadian yang mengawali ditetapkannya Indonesia sebagai negara terinfeksi Flu Burung: •
29 Agustus 2003: Muncul penyakit yang mematikan di petemakan ayam di Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Setelah itu penyakit ini menyebar di sejumlah kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur, termasuk Kabupaten Banyumas.
•
23 Oktober 2003: bepartemen Pertanian mengkonfmnasi wabah itu sebagai virus tetelo dengart jenis vilogenik viserotropik berdasarkan pengujian beberapa lembaga dan laboratorium.
•
28 Oktober 2003: dtoritas Agrifood and Veterinary Authority (AVA) Singapura telah melarang sementara impor burung dan unggas lainnya dari Indonesia karena adanya informasi wabah penyakit flu burung di beberapa daerah.
13
•
19 November 2003: Dua sumber independen yang layak dipercaya di Indonesia telah mengirim informasi adanya wabah flu burung ke International Society for lnfoctious Diseases (ISID). Mereka mengabarkan, wabah tersebut telah terjadi di Jawa Barat dan Sumatera.
•
22 Desember 2003: Pusat Informasi Unggas Indonesia (Pinsar) menyebutkan adanya keikutsertaan flu burung dalam wabah tetelo yang terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Virus tersebut tidak hanya diisolasi, tetapi sudah diidentifikasi melalui berbagai metode diagnostik. Pinsar menyarankan virus flu burung yang ditemukan sebaiknya dikirim ke laboratorium rujukan intemasional di Australia, lnggris, J errnan, atau Amerika Serikat.
•
15 Januari 2004: Sebuah tim yang terdiri atas Kepala Badan Karantina dan Direktur Kesehatan Hewan pergi ke Cina sekitar enam hari untuk mempelajari kasus flu burung, termasuk pengadaan vaksin.
•
21 Januari 2004: Dirjeil Bina Produksi Petemakan menginformasikan bahwa pemerintah menunjuk PT Bio Farma untuk mengimpor vaksin flu burung dengan jenis patogenitas tendah.
•
24 Januari 2004: Ketua I Persatuan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) CA Nidom mengunn1mkan, dari identifikasi DNA dengan sampel 100 ekor a yam yang diambil dati daerah wabah diketahui positif telah berjangkit flu burung.
14
•
25 Januari 2004: Departemen Pertanian mengumumkan secara resmi kasus avian influenza teJ.jadi di Indonesia, namun belum ditemukan korban manusia akibat wabah tersebut.
1!.3.3 Kewaspadaan Menghadapi Pandemik pada Flu Manusia
Virus flu burung juga sangat mudah berubah di lapangan. Oleh karena itu, vaksin flu burung yang diberikan pada unggas saat ini belum tentu cocok untuk tahun depan. Mudah berubahnya virus flu burung maupun virus flu manusia makin menunjukkan bahwa vaksinasi influenza pada manusia tidak akan melindungi manusia dari risiko penularan flu burung. Data didapat dari pengalaman kasus di Hongkong. Dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa sejauh ini jumlah kasus flu burung pada manusia masih relatif sedikit jumlahnya. Artinya, walau sejak 1997 kasus ini sudah dilaporkah mulai teJ.jadi dan jutaan unggas yang mati, jumlah kasus pada manusia dalam hitungan puluhan orang. Masyarakat tidak perlu resah berlebihan, kendati niemang perlu waspada dan mengikuti perkembangan yang ada. Program penanggulangan telah
dan
sedang dilakukan oleh berbagai negara.
Dari pengalaman tahun-tahun lalu, kasus flu burung dapat ditanggulangi. Tentu saja kita harus waspada, sebab hila program penanggulangan tidak beJ.jalan baik, apalagi kalau teJ.jadi mutasi dan timbul virus baru yang ganas dan mudah menular, masalahnya tentu akan jadi lebih serius lagi. Sejauh ini kita percaya upaya penanggulangan telah dilakukan secara optimal di berbagai negara yang terkena flu burung.
15
Kemungkinan teijadinya suatu Pandemi ( Wabah yang sangat besar) dari virus flu burung ini dapat kita lihat dari perkembangan menuju teijadinya Pandemi yang dikeluarkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai berikut ini. Fase pandemi: A. Periode Interpandemik B. Periode kewaspadaan terhadap pandemi C. Periode Pandemik A. Periode Interpandetttik ;
Fase 1. (Indonesia sebelum Juli, 2003) Tidak ada subtipe virus influenza baru dideteksi pada manusia. Suatu subtipe virus influenza yang telah menyebabkan infeksi pada manusia mungkin ada pada binatang. Jika ada pada munusia risiko infeksi atau penyakit pada manusia dipetkirakan rendah. Fase 2. Tidak ada subtipe virus influenza baru dideteksi pada manusia. Tetapi, suatu subtipe virus influenza bersirkulasi pada binatang memiliki suatu risiko penyakit pada manusia. Di Indonesia fase ini mulai pada bulan AgUStus 2003 ketika virus subtipe H5N 1 dideteksi pada unggas. B. Periode kewaspadaan terhadap pandemi;
Fase 3. lnfeksi pada munusia dengan suatu subtipe baru, tetapi tidak ada penyebaran dari manusia ke manusia, atau pada kejadian-kejadian yang paling jarang pada kontak yang dekat.
16
Di Indonesia fase ini mulai pada bulan Juli 2005 ketika infeksi oleh subtipe H5Nl dikonfirmasikan pada manusia. Fase 4. kelompok melingkar kecil (cluster) dengan penularan terbatas dari manusia ke manusia tetapi penyebaran sangat terlokalisir, memberi isyarat bahwa virus itu tidak beradaptasi baik dengan manusia. Di Indonesia sampai September 2005, fase ini belum mulai. Fase 5. "Cluster" lebih besar, tetapi penyebaran dari manusia ke manusia masih terlokalisasi, memberi isyarat bahwa virus itu meningkat menjadi lebih baik beradaptasi dengan manusia, tetapi mungkin belum sepenuhnya menular dengan mudah (risiko pandemi yang substantif). Waktu yang diperlukan dari fase lima ini untuk masuk ke periode pandemik (fase keenam) selama tiga bulan.
t. Periode Pandemik ; Fase 6. Fase Pandemik: penularan yang meningkat dan berkesinambungan pada masyarakat umum. Ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk mettandai awal terjadinya pandemi: •
Sebuah virus subtipe HA, yailg tidak pemah menyerang manusia minimal satu generasi, kini tnuncul (atau muncul kembali) dan
•
Meriginfeski serta mengalam.i replikasi secara efisien dalam tubuh manusia dan
•
Secara niudali tnenyebar dan bertahah daiam populasi manusia.
Ini menunjukkan bahwa ancaman tetjadirtya pandemi influensa baru pada manusia bukanlah secara khusus terkait dengan munculnya HPAI H5Nl. Sebegitu jauh, H5Nl hanya memenuhi dua dari tiga syarat di atas: artinya, untuk sebagian besar
17
umat manusia ada subtipe baru dan sudah menular serta menimbulkan penyakit yang berat dan sangat mematikan, dengan kematian yang 140 kasus sampai sat ini. Pada sebagian besar manusia tidak ada kekebalan terhadap virus sejenis H5Nl. Sebuah pandemi baru sudah di ambang pintu seandainya H5Nl garis Asia berhasil memperoleh sifat-sifat yang memungkinkan ia dapat menular secara efisien dan bertahan dari manusia ke manusia. Baik sifat-sifat itu diperoleh melalui adaptasi secara berangsur ataupun melalui reasortasi dengan virus yang sudah beradaptasi dalam tubuh manusia (Guan 2004). 11.4
Vaksinasi Dalam dunia kedokteran hewan, vaksinasi ditujukan untuk mencapai empat
sasaran: (i) perlindungan terhadap timbulnya penyakit secara klinis, (ii) perlindungan terhadap serangan virus yang virulen, (iii) perlindungan terhadap ekskresi virus, (iv) pembedaan secara serologik antara hewan yang terinfeksi dari hewan yang divaksinasi (dikenal sebagai differentiation of infected from vaccinated animals, atau prinsip DIVA). Di bidang vaksiriasi influensa, sampai saat ini. belum ada vaksin, baik secara eksperimental maupun yang beredar secara komersial, yang dapat memenuhi semua persyaratan di atas (Lee and Suarez 2005). Tujuan pertama, yaitu perlindungan terhadap munculnya penyakit secam klinis dapat dipenuhi oleh semua vaksin. Risiko hewan yang divaksinasi untuk terkena infeksi virus virulen, dan mengeksresinya, biasanya juga dapat diturunkan tetapi tidak sepenuhnya tercegah. Hal ini dapat menimbulkan masalah epidemiologik yang signifikan di daerah endemik yang sudah mendapat vaksinasi secara luas: unggas yang sudah divaksinasi yang nampak sehat 18
dapat juga terkena infeksi dan mengeluarkan virus liar di balik perlindungan vaksin. Efektivitas pengurangan ekskresi virus merupakan hal yang penting bagi mencapai tujuan utama pengendalian wabah, yaitu, terbasminya virus virulen di lapangan. Efektivitas tersebut dapat dikuantifikasikan dengan menggunakan faktor replikasi rO. Jika sekawanan unggas yang sudah divaksinasi terkena infeksi dan menularkan infeksinya ke rata-rata kurang dari satu kawanan lainnya, (rO < 1), maka secara matematik virus virulen tersebut cenderung dapat dibasmi (van der Goot 2005). Dalam hal vaksinasi terhadap virus H5N 1 zoonotik, penurunan jumlah virus yang diekskresi berarti juga menurunkan risiko penularan ke manusia karena untuk dapat menembus batas penghalang (barrier) antara unggas dan manusia diperlukan jumlah virus yang signifikan. Pada akhimya, teknik DIVA juga memungkinkan pendeteksian infeksi oleh virus liar melalui pemeriksaan serologik terhadap unggas yang sudah divaksinasi. Untuk kepentingan praktikal beberapa persyaratan harus dipenuhi (Lee and Suarez 2005): • Karena adanya potensi reasortasi genetik, dan juga, druam hal subtipe H5 dan H7, risiko terjadinya mutasi spontan yang mengarah ke peningkatan patogenisitas, vaksin sebaiknya tidak berisi virus influensa yang berpotensi mengalami replikasi. Oleh karena ifu penggunaan vaksin dengan virus hidup yang dilemahkan sudah ketinggalan jaman. • Perlindungan terhadap HP AI pada unggas tetutama tergantung kepada antibodi yang spesifik untuk 1-lA tertentu. Oleh karena itu vitus untuk vaksin harus berasal dari subtipe H yang sama dengan virus liar yang ada di sana. Kecocokan ideal antara
19
vak:sin dengan virus liar, yang disyaratkan bagi vak:sin untuk manusia, tidak: menjadi keharusan bagi vak:sin unggas. Pembangkitan imunitas reaktif-silang homosubtipik pada unggas mungkin sudah menjadi perlindungan yang memadai karena pada saat ini jarang dijumpai adanya pembentukan antigen yang dipicu vak:sin pada virus influensa unggas, ak:ibat tidak: adanya upaya vaksinasi yang meluas. • Strategi penandaan (DIVA) harus digunak:an (Suarez 2005). Atau sebagai gantinya, digunak:an unggas yang tidak: divak:sinasi sebagai penanda untuk monitoring. Ada sejumlah vaksin yang dikembangkan. Sebagian besar masih didasarkan pada penggunaan virus utuh yang dibuat tidak: ak:tif yang pemberiannya dilak:ukan dengan menyuntikkan pada unggas satu persatu. Vak:sin homolog yang sudah dilemahkan, menggunak:an strain HP AI yang sesungguhnya, memicu perlindungan secara baik tetapi tidak: memungkinkan pembedaan serologik baik pada vak:sinnya maupun unggas yang terinfeksi. Sebaliknya vak:sin heterolog yang dilemahkan dapat digunak:an sebagai vak:sin penanda ketika virus vak:sin mengekspresikan subtipe HA yang sama tetapi subtipe NA yang berbeda dibandingkan dengan virus liar (mis. vak:sin H5N9 vs. HPAI H5N2). Dengan mendeteksi antibodi yang spesifik terhadap subtipe NA, ciri serologik vak:sin dan unggas yang terinfeksi dapat dibedakan (Cattoli 2003). Tetapi metoda ini dapat sangat rumit dan vak:sin ini pun kurang sensitif. Meskipun demikian vak:sin seperti itu dapat disimpan di bank vak:sin yang mempuny,; beberapa subtipe H5 dan H7 dengan subtipe NA yang tidak bersesuaian. ProSQfi genetik berbalik (reverse genetics) ak:an sangat membantu pembuatan vak:sin baik untuk kedokteran hewan maupun keperluan 20
kedokteran manusia dengan kombinasi HxNy yang diinginkan dalam lingkungan genetik yang mendukung (Liu 2003, Neumann 2003, Lee 2004, Chen 2005, Stech 2005). Pada saat ini vaksin heterolog yang dilemahkan digunakan di lapangan di daerah wabah H5Nl di Asia Tenggara dan juga Meksiko, Pakistan dan Italia Utara (mis. Garcia 1998, Swayne 2001 ). Sebagai pengganti dari penggunaan sistem DIVA untuk vaksin dari virus yang dilemahkan, diusulkan untuk menggunakan pendeteksian adanya antibodi yang spesifik NS-1 (Tumpey 2005). Antibodi-antibodi ini terbentuk dengan titer yang tinggi pada unggas yang terinfeksi, tetapi rendah pada yang sudah divaksinasi dengan vaksin yang dilemahkan. Vaksin yang terbentuk melalui rekombinan dalam vektor hidup menampilkan gen HA jenis H5 atau H7 yang terdapat dalam kerangka virus atau bakteri yang dapat menginfeksi spesies unggas (mis. antara lain virus cacar burung [Beard 1991, Swayne 1997 + 2000c], virus laringotrakheitis ([Lueschow 2001, Veits 2003] atau virus penyakit New Castle [Swayne 2003]). Karena digunakan sebagai vaksin hidup, penggunaan massal melalui penyemprotan atau air dimungkinkan. Di satu sisi vaksin ini memungkinkan pembedaan cara DIVA secara jelas, di sisi lain imunitas terhadap virus vektor yang sudah ada sebelumnya akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Suatu pengujian dengan menggunakan vaksin rekombinan cacar unggas di lapangan sedang dilakukan di Meksiko dan AS. Pada akhirnya, keberhasilan vaksinasi dengan protein rekombinan HA dan DNA menggunakan plasmid penampil HA telah dibuktikan dalam suatu percobaan (Crawford 1999, Kodihall 1997). 21
Saat ini sedang direncanakan vaksinasi yang dilakukan secara luas di negaranegara Asia Tenggara (Normile 2005). 11.5
Dampak Ekonomi
Wabah influensa unggas yang sangat patogen secara keseluruhan dapat mengakibatkan kehancuran bagi industri temak unggas, apalagi bagi petemak individual, di wilayah yang terserang. Kerugian ekonomis biasanya hanya sebagian yang secara langsung diakibatkan oleh kematian unggas yang terinfeksi H5Nl. Berbagai upaya yang dilakukan untuk mencegah penyebaran lebih lanjut juga memerlukan biaya yang besar. Bagi negara berkembang yang memerlukan unggas dan telur sebagai sumber utama protein, dampak wabah ini terhadap keadaan gizi rakyatnya juga sangat besar. Sekali wabah sudah meluas, pengendaliannya semakin sulit dilakukan dan mungkin memerlukan waktu sampai bertahun-tahun (WHO 2004/01/22). U paya pengendaliari wabah itPAI
Mengingat potensi dampak ekonomi yang sangat merugikan, HPAI menjadi sasaran kewaspadaan di semua negara serta pengaturan yang ketat (Pearson 2003, OlE Terrestrial Animal Health Code 2005). Tindakan yang hams diambil dalam menghadapi wabah HP AI bergantung kepada keadaan epidemiologis di tiap negara/wilayah yang terkena. Di wilayah Uni Eropa yang HPAI-nya tidak endemik, pencegahan influensa unggas melalui vaksinasi biasanya dilarang. Dengan demikian jika ada wabah HPAI di antara unggas temak dapat diperkirakan akan terjadi secara mencolok karena sifat klinis penyakit ini yang dapat menghancurkan industri temak
22
unggas. Akibatnya, jika hal itu terjadi, akan diambil tindakan yang lebih agresif, misalnya memusnah.kan segala sesuatu yang tercemar virus, dengan tujuan segera membasmi virus HPAI dan melokalisasi wabah pada daerah atau perusahaan yang terkena saja. Untuk tujuan ini, zona pengawasan dan pengendalian didirikan di sekitar kejadian dengan radius yang berbeda-beda pada tiap negara (antara 3 dan 10 kilometer di wilayah Uni Eropa). Pengkarantinaan petemakan yang terserang dan yang berhubungan dengannya, pemusnahan semua unggas yang terinfeksi atau terpapar virus, dan pembuangan bangkai unggas secara baik, merupakan cara yang baku untuk mencegah penyebaran secara lateral ke petemakan yang hiin (OlE- Terrestrial Animal Health Code). Adalah sangat penting bahwa perpindahan unggas hidup dan, barangkali, juga produk temak unggas, baik di dalam negeri maupun lintas negara, harus dibatasi selama ada wabah. Selain itu, pengendalian LP AI subtipe H5 dan H7 pada unggas, melalui penutupan dan pembersihan atau bahkan pemusnahan petemakan yang terinfeksi, perlu dianjurkan untuk memperkecil risiko perkembangan HPAIV secara de novo di daerah itu. Masalah khusus dari konsep pemberantasan wabah seperti ini dapat muncul di daerah (i) dengan populasi unggas temak yang sangat tinggi (Marangon 2005, Stagemann 2004, Manelli 2005) dan (ii) usaha temak kecil di sekitamya dengan unggas yang dibiarkan lepas berkeliaran. Akibat kedekatan lokasi industri petemakan unggas dengan industri yang terkait, penyebaran penyakit dapat lebih cepat dibanding upaya pemberantasannya. Oleh karena itu sewaktu terjadi wabah di ltalia tahun 1999/2000, bukan hanya perusahaan yang terinfeksi atau yang bersentuhan yang dihancurkan, tetapi juga kelompok unggas yang berisiko terinfeksi
23
dalam radius satu kilometer dari petemakan yang terserang infeksi ikut dimusnahkan sebagai tindakan pre-emptive. Tindakan pembasmian tersebut memakan waktu empat bulan dan memusnahkan sebanyak 13 juta unggas (Capua 2003). Pembentukan zona penyangga yang berupa daerah bebas unggas dengan radius satu sampai beberapa kilometer dari petemakan yang terserang juga merupakan kunci keberhasilan pemberantasan wabah virus HPAI di Belanda di tahun 2003 dan Kanada di tahun 2004. Akibatnya musnahnya 30 juta unggas di Belanda dan 19 juta di Kanada bukan hanya disebabkan oleh wabah penyakit itu sendiri tetapi juga karena pemusnahan preemptive yang dilakukan. Di tahun 1977, penguasa Hong Kong memusnahkan seluruh
populasi unggas dalam waktu tiga hari (pada tanggal 29, 30 dan 31 Desember; 1,5 juta unggas). Penerapan tindakan seperti itu yang ditujukan untuk segera membasmi HPAIV dengan juga mengorbankan hewan yang tidak terinfeksi, mungkin hanya dapat dilakukan di daerah perkotaan dan daerah petemakan unggas komersial. Akan tetapi tindakan ini juga akan memukul industri secara bermakna dan menimbulkan pertanyaan publik tentang aspek etika jika pemustiahart juga dilakukan terhadap jutaan hewan yang sehat dan tidak terinfeksi di wilayah penyangga. Tindakan seperti itu sangat sulit dilakukan di daerah perdesaan yang mengusahakan petemakan unggas secara tradisional dan unggas, ayam dan bebek, dibiarkan berkeliaran secara bebas bergaul dengan burung-burung liar atau berbagi air dengan mereka. Terlebih lagi bebek temak dapat menarik kedatangan bebek liar (karena secara alamiah sudah menjadi sifatnya) dan dengan demikian dapat menjadi rantai penularan yang berarti (WHO 2005). Keadaan ini dapat menjadi pijakan bagi 24
virus HPAI untuk menjadi endemik. Sifat endemik HPAI di daerah tertentu akan terus menekan industri petemakan. Karena tindakan-tindakan tersebut tidak dapat dipertahankan untuk jangka waktu lama tanpa menghancurkan industri temak unggas, atau kalau dilakukan di negara berkembang, mengakibatkan kehilangan sumber protein bagi penduduknya, maka harus dicari cara lain. Vaksinasi sudah secara luas dilakukan dalam keadaan tersebut dan mungkin dapat dijadikan sebagai upaya pendukung untuk memberantas wabah di daerah non-endemik.
25
Bab ill Gambaran Kabupaten Banyumas 111.1
Keadaan Umum Kabupaten Banyumas merupakan salah satu bagian wilayah Propinsi Jawa
Tengah atau terletak diantara 108°39'17" - 109°7' 15" Bujur Timur dan 7°15'05" 7°37'10" Lintang Selatan.
Kabupaten Banyumas memiliki luas wilayah 132.759 Ha
atau sekitar 4,08 % dari luas wilayah Propinsi Jawa Tengah (3.254 juta Ha). Kabupaten Banyumas terdiri atas 27 Kecamatan dan berbatasan dengan beberapa wilayah kabupaten lain yaitu : a.
Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Tegal dan Kabupaten Pemalang;
b.
Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Kebumen;
c.
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Cilacap dan
d.
Sebelah Barat dengan Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Brebes. Dari 27 kecamatan yang ada di Kabupaten Banyumas, Kecamatan Cilongok
merupakan Kecamatan yang paling luas yaitil sekitat 10.534 Ha, sedangkan Kecamatan Purwokerto Barat merupakan kecamatan yang mempunyai wilayah paling sempit yaitu 740 Ha. Keadaan topografi wilayah Kabupaten Banyumas lebih dari 45 % merupakan daerah dataran yang terse bar di bagian tengah dan selatan serta membujur dari barat ke timur.
Ketinggian wilayah sebagian besar berada pada kisaran 25 - 100 m dpl seluas
42.310,3 Ha dan 100 - 500 m dpl yaitu seluas 40.385,3 Ha.
Kabupaten Banyumas
26
beriklim tropis basah dengan rata-rata suhu udara 26,3° C, hujan rata-rata pertahun sebanyak 217 hari dengan curah hujan rata-rata 4.779 mm per thn.
Kecamatan yang
paling sering terjadi hujan adalah Kecamatan Cilongok dengan 218 hari hujan dan Kecamatan yang paling sedikit terjadi hujan adalah Kecamatan Lumbir dengan 120 hari hujan. Penduduk Kabupaten Banyumas pada akhir tahun 2003 tercatat sebesar 1.524.901 jiwa atau naik sebesar 15.534 jiwa. Dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduknya pertahun (2002-2003) sebesar 1,03 persen, yang berarti mengalami percepatan pertumbuhan sebesar 0,28 persen dari kurun waktu sebelumnya (20012002). Laju pertumbuhan menurun terlihat cukup bervariasi, tertinggi ada pada Kecamatan Rawalo sebesar 8, 78 persen dan yang terendah pada Kecamatan Banyumas, sebesar 0.18 persen. 111.2
Populasi Ternak
Wilayah
Kabupaten
Banyumas
secara
umum
sangat
cocok
untuk
pengembangan peternakan, khususnya ternak sapi potong, sapi perah, kambing dan ayam.
Berbagai jenis ternak mampu berkembang secara baik di seluruh wilayah
Kabupaten Banyumas. Hal ini dapat dilihat dari populasi temak yang berkembang di wilayah ini, seperti tertera pada Tabel III.1, Tabel III.2 dan Tabel III.3. Berdasarkan populasi ternak yang berkembang serta dukungan kondisi geografi, topografi dan iklim, maka Kabupaten Banyumas sangat potensial untuk pengembangan peternakan.
Jumlah ternak yang besar selain sebagai upaya
peningkatan kesejahteraan masayarakat, khususnya masyarakat peternakan di
27
Kabupaten Banyumas juga merupakan sumber dari barbagai jenis penyakit jika pemeliharaannya tidak memperhatikan sanitasi seperti timbulnya penyakit Flu Burung. ~abel
No.
III. I
Populasi Temak Besar di Kabupaten Banyumas Tahun 2002 s/d 2006 Jenis Temak ( ekor)
Tahun Sapi Potong
Sapi Perah
Kerbau
Kuda
l.
2002
16.287
1.932
3.585
311
2.
2003
18.136
1.949
3.200
300
3.
2004
18.210
1.920
3.250
302
4.
2005
18.190
1.922
3.560
298
5.
2006
18.360
1.637
3.110
276
Sumber
Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas, 2007
Tabel III.2
No.
Populasi Temak Kecil di Kabupaten Banyumas Tahun 2002 s/d 2006 Jenis Temak ( ekor)
Tahun Kambing
Domba
Babi
l.
2002
166.375
14.941
2.310
2.
2003
224.606
19.423
3.350
3.
2004
224.945
19.570
3.600
4.
2005
284.406
24.700
4.865
5.
2006
257.835
23.682
5.115
Sumber
Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas, 2007
28
Tabel 111.3
Populasi Temak Unggas di Kabupaten Banyumas Tahun 2002 s/d 2006 Jenis Temak ( ekor)
No.
Tahun
Ayam Petelur
Ayam Pedaging
Ayam Buras
ltik
I
2002
502.990
1.163.095
1.227.964
111.531
2
2003
732.905
3.451.239
1.363.817
164.992
3.
2004
769.550
3.727.338
1.377.455
169.942
4.
2005
772.700
3.756.065
1.374.695
177.589
5.
2006
667.650
3.943.868
1.176.860
130.500
Sumber
iii.3
Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas, 2007
Epidemik Flu Butung di Kabupaten Banyrimas Wabah Flu Burung pertarna menyerang di Kabupaten Banyumas pada bulan
Oktober 2003 di Desa Susukan Kecamatan Sumbang di petemakan rakyat milik Bapak Lemi. Dari situ terns menyebar ke enam Kecatnatan lainnya yaitu Kecamatan Cilongok, Sokaraja, Jatilawang, Somagede, Purwojati dan Kebasen.
Kasus di atas
dapat diatasi pada tahun 2004 dan tahun 2005 muncul kejadian di Desa Sikapat Kecamatan Sumbang, hal ini disebabkan pembelian pullet (atau ayam ras petelur yang berumur sampai dengan empat bulan) dari luar Kabupaten Banyumas dimana status kesehatan unggasnya tidak diketahui. Wabah Flu Burung muncullagi pada tahun 2006 dan 2007 dimana kematian teJ.jadi pada ayam buras atau lebih dikenal dengan nama ayam kampung. Hal ini dapat dipahami karena petemakan ayam buras tidak bersifat komersial, sehingga sistem
29
kesehatan tennasuk biosekuritinya kurang diperhatikan dengan baik (tennasuk dalam sektor 4 jika ditinjau dari sistem pemeliharaan tema.k unggas). Berdasarkan laporan yang diterima Dinas Petema.kan dan Perikanan Kabupaten Banyumas, kasus Flu Burung pada ayam
buras pada tahun 2007
menyerang di wilayah berikut ini. I. Kecamatan Jatilawang. 2. Kecamatan Purwojati. 3. Kecamatan Somagede. 4. Kecamatan Kebasen. 5. Kecamatan Cilongok. 6. Kecamatan Sumbang. 7. Kecamatan Sokaraja. 8. Kecamatan Tamba.k. 9. Kecamatan Karanglewas. I 0. Kecamatan Purwokerto Selatan. II. Kecamatan Purwokerto Barat. I2. Kecamatan Purwokerto Timur. 13. Kecamatan Kalibagor. I4. Kecamatan Kemranjen. Tema.k unggas yang terserang Flu Burung sampai dengan Bulan Januari 2007 di Kabupaten Banyumas yang tercatat sebanya.k 150.800 ekor meliputi temak ayam petelur, ayam buras dan burung puyuh seperti terlihat dalam Tabel 111.4.
30
Tabel III.4
No.
Data Temak Unggas yang Terserang Avian lnjl.uenza (Flu Burung) di Kabupaten Banywnas Tahun 2003 s/d 2007 Jenis Ternak ( ekor)
Talmo Ayam Petelur
Puyuh
Ayam Buras
Total
1
2003
9.800
70.000
50.000
129.800
2
2004
0
0
0
0
3.
2005
1.000
4.400
6.200
11.600
4.
2006
0
3.500
2.300
5.800
5.
2007
0
2.100
1.500
3.600
10.800
80.000
60.000
150.800
Jumlah Sumber
111.4
Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas, 2007
Perigorgaliisasian dan Pelayanati Kesehatan Hel\'ati Dalam rangka meningkatkan pelayahan kesehatan hewan kepada masyarakat
petemak serta mencegah timbulnya ketnbali epidemik Flu Burung, Pemerintah Kabupaten Banywnas melalui Dinas Peternakan dan Perikanan telah melakukan upaya pemantapan kegiatan.
Upaya tersebut dilakukan melalui penataan sistem, perbaikan
struktur dan peningkatan sumber daya manusia. KegiaUtn ini dilaksanakan melalui Pelayanan Kesehatan I-lewan Terpadu, dimana para petugas kesehatan hewan yang terdiri atas lima orang Dokter Hewan dan 27 orang Manteri Kesehatan Hewan serta sekitar 987 orang Kader Vaksinator yang berada di 329 Desa!Kelurahan siap memberikan pelayanan kesehatan hewan (setiap Kecamatan terdapat satu orang Manteri Kesehatan Hewan dan setiap Desa!Kelurahan terdapat tiga orang Kader
31
Vaksinator). Kabupaten Banyumas memiliki satu buah Klinik Hewan dan satu Pos Kesehatan Hewan yang melayani masyarakat petemak melalui tiga cara, yaitu :
1.
Pelayanan secara aktif, artinya petugas yang mendatangi lokasi guna melakukan kegiatan pelayanan kesehatan hewan secara berkala.
2.
Pelayanan secara pasif, dimana para petugas menunggu laporan I permintaan pelayanan dan kemudian datang memberi pelayanan.
3.
Pelayanan semi-aktif, yang merupakan perpaduan dari keduanya.
Struktur orgarusas1 pelaksana kesehatan hewan di Kabupaten Banyumas sebagai berikut : 1.
Tingkat Kabupaten Dilaksanakan oleh Satuan Pelayanan Kesehatan Hewan Tihgkat Kabupaten (SP-Keswan Kab) dengan petugas yang terdiri atas: satu orang Dokter Hewan supervisor I penyelia Tingkat II tiga orang Dekter Hewan beberapa orang Manteri dan staf administrasi yang menjalankan Klinik Hewan yang ada.
2.
Tingkat Kecamatan Dilaksanakan oleh
Satuan Pelayanan Kesehatan
Hewan
tingkat
Kecamatan atau Mantri Kesehatan Hewan (Petugas Dinas Petemakan di Kecamatan)
sebagai
petugas
koordinator
yang
mengkoordinir
Kader
Vaksinator dari setiap Desa/Kelurahan dalam wilayah kerjanya.
32
3.
Tingkat Desa/K.elurahan Dilaksanakan oleh Satuan Pelayanan Kesehatan Hewan yang disebut Kader Vaksinator yang terdiri atas tiga orang untuk setiap Desa/Kelurahan yang ada.
4.
Pos Kesehatan Hewan Dilaksanakan oleh satu orang Dokter Hewan dan tiga orang Manteri Kesehatan Hewan serta satu orang staf administrasi yang melaksanakan pelayanan kesehatan hewan secara pasif.
111.5
Dukungan Dana dalam Penanggulangan Flu Burung
Dalam penanggulangan Flu Burung, sejak Tahun 2004 telah dianggarkan pos melalui Dana APBD II Kabupaten Banyumas dalam bentuk Proyek Penyidikan Penyakit Flu Burung. Dana tersebut dialokasikan untuk pengadaan sarana vaksinasi dan biosekuriti. Selalli itu Kabupaten Banywrtas juga mendapat dana dari APBD I dan APBN yang dia1o1dtsikan untuk penyedlaarl vaksin, peralat8i1 penyimpan serta pendistribusian vaksin. Dana tersebut diharapkan terns bergulir di masa mendatang agar penanggulangan Flu Burung di Kabupaten Banyumas dapat berhasil dan dapat mencegah timbulnya kembali epidemik Flu Burung serta mencegah bahaya pandemik.
33
Bah IV Struktur dan Perilaku Model
Fenomena epidemik Flu Burung yang terjadi di Kabupaten Banyumas seperti sudah diuraikan pada bah sebelurnnya terdiri atas struktur fisik yaitu epidemik dan struktur pengambilan keputusan yang merupakan kegiatan vaksinasi. Kedua struktur tersebut memiliki hubungan saling mempengaruhi dimana struktur fisik akan mempengaruhi struktur pengambilan keputusan dan struktur pengambilan keputusan akan mempengaruhi struktur fisik yang ada seperti digambarkan pada Gambar IV .1 di bawah ini.
Gam bar IV .1
Causal LootJ Epidemik Flu Burung
Causal loop di atas merupakan causal loop negatif (negative feedback). Kegiatan vaksinasi yang sesuai dengan prosedur akan mencegah timbulnya epidemik Flu Burung dan timbulnya epidemik Flu Burung akan mendorong pengambil kebijakan mengarahkan kebijakannya pada kegiatan vaksinasi. Dalam kerangka berpikir sistem, causa/loop negatif (negative feedback) menghasilkan suatu perilaku pencapaian tujuan (goal seeking) yang merupakan suatu proses penyeimbangan. 34
IV.l
Batasan (Boundary) Model
Batasan fenomena yang akan dibahas dalam tesis ini adalah pada struktur fisik atau struktur yang terbentuk secara alamiah dari epidemik Flu Burung di Kabupaten Banyumas, sedangkan struktur pengambilan keputusan (vaksinasi) berada di luar boundary yang ada namun secara krusial akan mempengaruhi struktur fisik yang akan
dibahas. Unsur-unsur serta pola keterkaitan dari struktur pengambilan keputusan tidak akan dibahas secara detail. IV.2
Gambaran Model
Struktur fenomena epidemik Flu Burung pada hewan temak ungggas di Kabupaten Banyumas secara umum dapat digambarkan dengan causal loop di bawah ini, terlihat bahwa berbagai unsur turut berperan dalam epidemik Flu Burung. ~------------------------------------------------------------------------------,
Laju reproduksi dasarLPAI
+ \
+
~ ~
(!
+
Populasi / Terinfeksi
~
-
LPAI
Laju kepindahan LPAI
~~.,:V+\ LPAI
+
+
~~·~-1~
+ '+K+
+
Populasi Sembuh
Laju kepindahan LPAI yang mutasi
Laju mutasi LPAI ke HPAI
Populasi Rentan
~
/+
Populasi Terinfeksi LPAI mutasi menjadi ~PAl
HPAI
+~
Vaksinasi
~
\......_)
Laju reproduksi dasarHPAI
Populasi Terinfeksi HPAI
L~ju
Populasi yang mati
kepmdah
~ +
anHPAI
~
+
~-------------------------------------------------------------------------------
Gam bar IV .2
Causa/loop epidemik Flu Burung pada unggas di Kabupaten Banyumas
35
Setelah melakukan studi literatur yang ada temyata gambaran Causal loop dari struktur fisik fenomena di atas sesuai dengan beberapa persamaan matematika (oleh Deckelman dan Tian, 2006) di bawah ini : dS = -[a1Lt+a2(H +L2)]S dt
(IV.1)
-
S
adalah populasi unggas retan (ekor)
Lt
adalah populasi unggas terinfeksi LPAI (ekor)
H
adalah populasi unggas terinfeksi HP AI (ekor)
a1
adalah laju infeksi LPAI (per hari)
a2
adalah laju infeksi HPAI (per hari)
Persamaan IV .1 merupakan penggambaran jumlah populasi unggas S atau rentan ditentukan oleh berpindahnya populasi unggas rentan ke populasi unggas LP AI dan ke populasi unggas HP AI. Perpindahan populasi unggas rentan menjadi populasi unggas LP AI ditentukan oleh laju infeksi LPAI (alpha 1) dimana laju infeksi LPAI ditentukan oleh suatu perkalian fraksi RLPAI (atau reproduksi dasar LPAI
=
1) dengan penjumlahan fraksi
laju perpindahan LP AI ke populasi sembuh (b 1) dengan fraksi laju mutasi LP AI ke HPAI (c). Nilai c adalah 0,011 per hari. Hasilnya dibagi dengan jumlah populasi dan
unggas rentan. Kemudian alpha 1 dikalikan dengan populasi unggas LPAI
dengan populasi unggas rentan. Perpindahan populasi unggas rentan menj adi populasi unggas HPAI ditentukan oleh laju infeksi HPAI (alpha 2) dimana laju infeksi HPAI ditentukan oleh suatu perkalian fraksi RHPAI (atau reproduksi dasar HP AI
=
2)
dengan laju perpindahan HPAI (b3). Nilai b3 adalah 0,5 per hari. Hasilnya dibagi 36
dengan jumlah populasi unggas rentan. Kemudian Alpha 2 dikalikan dengan penjumlahan populasi unggas HP AI dengan populasi unggas LPAI mutasi dan hasilnya dikalikan lagi dengan populasi unggas rentan. dLt = [atS- bt-c)Lt dt
(IV.2)
-
S
adalah populasi unggas retan (ekor)
Lt
adalah populasi unggas terinfeksi LPAI (ekor)
b1
adalah kepindahan LP AI (per hari)
c
adalah laju mutasi LP AI ke HP AI (per hari)
a1
adalah laju infeksi LP AI (per hari)
Persamaan IV .2 merupakan gambaran populasi unggas L 1 atau LP AI ditentukan oleh berpindahnya populasi unggas rentan karena terinfeksi virus LP AI dan berpindahnya populasi unggas LP AI ke populasi unggas LPAI mutasi serta berpindahnya populasi unggas LPAI ke populasi unggas sembuh. Perpindahan populasi unggas rentan menjadi populasi unggas LPAI ditentukan oleh laju infeksi LPAI (alpha 1) dimana laju infeksi LPAI ditentukan oleh suatu perkalian fraksi RLPAI (atau reproduksi dasar LPAI
=
1) dengan penjumlahan fraksi
laju perpindahan LPAI ke Populasi sembuh (b1) dengan fraksi laju mutasi LPAI ke HPAI (c). Nilai c adalah 0,011 per hari. Hasilnya dibagi dengan jumlah populasi unggas rentan. Kemudian alpha 1 dikalikan dengan populasi unggas LP AI
dan
dengan populasi unggas rentan. Perpindahan populasi unggas LP AI ke populasi unggas LPAI mutasi ditentukan oleh laju mutasi yang merupakan hasil perkalian
37
populasi unggas LP AI dengan fraksi mutasi LPAI ke HP AI (c). Perpindahan populasi unggas LPAI ke populasi ungas sembuh ditentuk:an oleh laju recovery yang merupakan hasil perkalian dari fraksi laju kepindahan LP AI ke sembuh dengan populasi unggas LP AI.
dLz -=cLt-bzLz dt
(IV.3)
L2
adalah populasi unggas terinfeksi LPAI mutasi (ekor)
L1
adalah populasi unggas terinfeksi LPAI (ekor)
c
adalah laju mutasi LP AI ke HPAI (per hari)
b2
adalah laju kepindahan LP AI mutasi (per hari)
Persamaan IV.3 merupakan penggambaran jumlah populasi unggas L2 atau LP AI mutasi yang ditentuk:an oleh berpindahnya populasi unggas LP AI ke populasi unggas LP AI mutasi dan berpindahnya populasi unggas LP AI mutasi ke populasi unggas sembuh. Perpindahan populasi unggas LP AI ke populasi unggas LP AI mutasi ditentuk:an oleh laju mutasi dimana laju mutasi merupakan perkalian antara populasi unggas LP AI dengan fraksi mutasi LP AI ke HPAI. Perpindahan populasi unggas LP AI mutasi ke populasi unggas sembuh ditentuk:an oleh perkalian populasi unggas LP AI mutasi dengan fraksi laju perpindahan LP AI mutasi (b2), nilai b2 adalah 0,4 per hari.
38
dR = btLt + b2L2 dt
-
(IV.4)
R
adalah populasi unggas sembuh (ekor)
L1
adalah populasi unggas terinfeksi LPAI (ekor)
L2
adalah populasi unggas terinfeksi LP AI mutasi (ekor)
b1
adalah laju kepindahan LPAI (per hari)
b2
adalah laju kepindahan LP AI mutasi (per hari)
Persamaan IV.4 merupakan penggambaran jumlah populasi unggas R atau sembuh ditentukan oleh penambahan jumlah populasi unggas yang sembuh dari laju perpindahan populasi unggas LP AI dan populasi LPAI mutasi. Penambahan jumlah populasi unggas yang sembuh ditentukan oleh laju
recovery LP AI dan LPAI mutasi dimana laju recovery LP AI ditentukan oleh b 1 yang merupakan fraksi laju perpindahan populasi unggas LP AI ke populasi unggas sembuh. Nilai b 1 adalah 0,2 per hari. Laju recovery LP AI mutasi ditentukan oleh b2 yang merupakan fraksi laju perpindahan populasi unggas LP AI mutasi ke populasi unggas sembuh. Nilai b2 adalah 0,4 per hari.
(IV.5) S
adalah populasi unggas retan (ekor)
L2
adalah populasi unggas terinfeksi LP AI mutasi (ekor)
H
adalah populasi unggas terinfeksi HP AI (ekor)
b3
adalah laju kepindahan HP AI (per hari)
a2
adalah laju infeksi HPAI (per hari)
39
Persamaan IV.5 merupak:an penggambaran jumlah populasi unggas H atau HP AI ditentukan oleh berpindahnya populasi unggas rentan karena terinfeksi virus HP AI serta berpindahnya populasi unggas HP AI ke mati. Perpindahan populasi unggas rentan menjadi populasi unggas HPAI ditentukan oleh laju infeksi HPAI (alpha 2) dimana laju infeksi HPAI ditentukan oleh suatu perkalian frak:si RHPAI (atau reproduksi dasar HPAI
=
2) dengan laju perpindahan
HPAI (b3). Nilai b3 adalah 0,5 per hari. Hasilnya dibagi dengan jumlah populasi unggas rentan. Kemudian Alpha 2 dikalikan dengan penjumlahan populasi unggas HP AI dengan populasi unggas LPAI mutasi dan hasilnya dikalikan lagi dengan populasi unggas rentan. Perpindahan populasi unggas HP AI ke mati ditentukan oleh laju mati yang merupak:an perkalian fraksi laju perpindahan HPAI (b3). Nilai b3 adalah 0,5 per hari yang dikalikan dengan jumlah populasi unggas HP AI. dD -=bJH dt
(IV.6)
D
adalah populasi unggas mati karena terinfeksi HP AI (ekor)
H
adalah populasi unggas HPAI (ekor)
b3
adalah laju kepindahan HP AI (per hari)
Persamaan IV.6 merupak:an penggambaran jumlah populasi unggas D atau mati ditentukan oleh berpindahnya populasi unggas HP AI ke populasi uggas mati. Perpindahan populasi unggas HP AI ke mati ditentukan oleh laju mati yang merupak:an perkalian frak:si laju perpindahan HPAI (b3). Nilai
b3 adalah 0,5 per hari yang
dikalikan dengan jumlah populasi unggas HP AI.
40
Dari enam persamaan di atas, penulis mencoba menggambarkan suatu struktur fenomena epidemik Flu Burung seperti pada Gambar IV.3 sebagai berikut.
RHPAI
b3
Gambar IV .3 Diagram alir epidemik Flu Burung Keterangan Diagram : 1.
S atau populasi unggas rentan adalah populasi unggas yang rentan terhadap infeksi virus Flu Burung (baik LPAI atau Low Pathogenic Avian Influenza maupun HPAI atau Highly Pathogenic Avian Influenza). Populasi ini akan berkurang seiring dengan berpindahnya unggas yang rentan ke populasi unggas 41
HP AI (karena terinfeksi virus HP AI) dan dan ke populasi unggas LP AI (karena terinfeksi virus LP AI) (ekor). 2.
R atau populasi unggas sembuh adalah populasi unggas yang sembuh dari inf~ksi virus Flu Burung (LP AI) dan memiliki kekebalan terhadap virus LP AI. akan bertambah seiring dengan laju recovery (ekor).
3.
L 1 atau populasi unggas LP AI adalah populasi unggas yang terinfeksi virus LP AI dan merupakan sumher penularan virus LP AI, akan bertambah seiring dengan terinfeksinya populasi unggas rentan oleh virus LP AI dan akan berkurang dengan sembuhnya dari infeksi LP AI serta terjadinya mutasi virus dari LPAI menjadi HPAI (ekor).
4.
L2 atau populasi unggas LPAI mutasi adalah populasi unggas yang terinfeksi virus LP AI yang rriutasi menjadi HP AI, akan bertambah seiring dengan terjadinya mutasi dari Populasi unggas LP AI ke HP AI dan akan berkurang seiring dengan laju recovery (ekor).
5.
H atau populasi unggas HPAI adalah populasi unggas yang terinfeksi virus HP AI, akan bertambah seiring dengan terinfeksinya populasi unggas rentan dengan virus HPAI dan virus HPAI yang berasal dari mutasi LPAI dan akan berkurang seiring dengan matinya unggas yang terinfeksi virus HPAI (ekor).
6.
D atau populasi unggas mati adalah populasi unggas yang mati karena terinfeksi virus HPAI (ekor).
7.
RS 1 atau laju infeksi LPAI adalah suatu alir yang menunjukkan berpindahnya populasi unggas rentan ke populasi unggas LP AI (ekor per harl).
8.
RS2 atau laju infeksi HPAI adalah suatu alir yang menunjukkan berpindahnya populasi unggas rentan ke populasi Unggas HP AI (ekot per hari).
9.
LPAI adalah suatu alir yang menunjukkan biLl atau laju recovery berpindahnya populasi ungas LPAI ke populasi unggas sembuh (ekor per hari).
10.
b2L2 atau laju recovery LPAI mutasi adalah suatu alir yang menunjukkan berpindahnya populasi unggas LP AI mutasi ke populasi unggas sembuh ( ekor per hari).
11.
eLl atau laju mutasi adalah suatu alir yang menunjukkan berpindahnya populasi unggas LP AI ke populasi unggas LP AI mutasi (ekor per hari).
42
12.
b3H atau laju mati adalah suatu alir yang menunjukkan berpindahnya populasi unggas HPAI karena kematian akibat virus HPAI (ekor per hari).
13.
Alpha 1 adalah faktor yang mempengaruhi laju infeksi LPAI (per hari).
14.
Alpha 2 adalah faktor yang mempengaruhi laju infeksi HPAI (per hari).
15.
b1 adalah laju kepindahan LPAI ke sembuh (per hari).
16.
b2 adalah laju kepindahan LPAI mutasi ke sembuh (per hari).
17.
b3 adalah laju kepindahan HP AI ke mati (per hari ).
18.
c adalah mutasi LPAI ke HPAI (per hari).
19.
RLPAI adalah laju reproduksi dasar LPAI [].
20.
RHPAI adalah laju reproduksi dasar HPAI [].
IV.3
Uji Perilaku Model
Dalam tesis ini proses pemodelannya menggunakan software program Powersim Constructor version 2.5d (4002). Adapun daftar notasi, dan persamaan pemrogramannya secara lengkap ditampilkan dalam Lampiran A. Agar sebuah model dapat digunakan untuk memprediksi pola perkembangan di masa datang, atau menganalisis kebijakan yang akan dibuat, model tersebut harus diuji. Pengujian validitas model salah satu caranya adalah dengan membandingkan perilaku model yang dibangun dengan perilaku model matematika dalam literatur yang ada. Sampai sejauh mana ketepatan perilaku model yang dibangun mendekati model matematika yang ada, menunjukkan validitas model seperti ditunjukkan pada Gambar IV.4, Gambar IV.5 dan Gambar IV.6 berikut.
43
s 110 lOCO 1 ,000~
Go
2
~
(J)
~
500
a::o ffl)
-100 lO 0 34
1\
0
100
200 TimE
~
300
1CO 133166199232 Ji5 :;9!331 :E~ days
Perilaku model matematika
Perilaku model
H 200
200
ISO
15().
0
?. 100
~
:X: 100
50
so-
-0
n. /
Jl
100
200 Time
Perilaku model
300
Q;
82 tmll) 163 100 2172« 27121! ~ 352 379 m; daJS
Perilaku model matematika
Gambar IV .4 Perbandingan perilaku populasi S dan H antara model yang dibangun dan model matematika dalam literatur
44
L1 12r-----------------------~
_,...... 2
?5 100
0
200
~~
13 91 121
1451~191211241265
300
289313331361
~
Time
Perilaku model
Perilaku model matematika
L2 OJ r-:-:-:-----:-:---------:::-:---- - - - - - ,
t.25 ~~~F-~-...;...::;;,;.__ ____, ~
8.2 M~~=~--....:._;______--:-~
..1
1.15 f-+~~~--~~--------i 8.1 H~~?'.-.-~--....;,.-::-""'"""'=...-..:.j
i
~ 0.1
US-H~~~~~~~~~~
50
100
150
Time
Perilaku model
200
250
I
~
51 16 101126151176 201226 251276 301 32051 ~~'S
Perilaku model matematika
Gambar IV .5 Perbandingan perilaku populasi L 1 dan L2 antara model yang dibangun dan model matematika dalam literatur
45
R ro~~~==~~~~-=~~~
ro~~~~~~~~~ • .ro ~])
~ll
10 25 0
100
200
~
13
~
1211451&9 193 217 2~1lQ~313 337 ~
300
41JS
Time
Perilaku model matematika
Perilaku model
0
0
2& 51 1& 101 m15117&Jl1 n; :;¥;1270 3Dt3'Jll51 0
100
200
Time
Perilaku model
300
4aYJ
Perilaku model matematika
Gambar IV .6 Perbandingan perilaku populasi R dan D antara model yang dibangun dan model matematika dalam literatur
46
Terlihat dari uji perilaku model temyata perilaku model yang dibangun sudah menyerupai perilaku model matematika yang dibandingkan. Model matematika dalam tesis ini adalah model yang ada dalam Jurnal A Case Study of Disease Ecology :
Modeling ofAvian Flu oleh Steve Deckleman dan Jianjun Paul Tian, 18 Oktober 2006. Setelah model yang dibangun dianggap valid dengan uji perilaku model (dengan asumsi model matematika dalam jurnal dimaksud telah melalui uji empiris), barulah kemudian peneliti menggunakannya sebagai model dasar Epidemik Flu Burung yang ada di Kabupaten Banyumas. Namun karena model dasar tersebut sedikit berbeda dari kenyataan yang ada di lapangan, penulis mencoba menambahkan beberapa unsur (yang merupakan struktur pengambilan keputusan) dan pola keterkaitannya agar model yang ada benar-benar menggambarkan keadaan yang sesungguhnya. Model ini merupakan gambaran di Kabupaten Banyumas, serta tidak menutup kemungkinan model tersebut mirip atau sama dengan di daerah lainnya. Beberapa unsur ya.ilg ditambahkan dalam model dasar tersebut diberi wama yang berbeda dari model dasar yang ada seperti pada Gambar N.4. Beberapa unsur yang ditambahkan : 1.
Populasi tervaksin adalah populasi unggas yarig sudah divaksin dan imun terhadap infeksi virus Flu Burung (baik LPAI atau Low Pathogenic Avian
Influenza maupun HP AI atau Highly Pathogenic Avian Influenza). Populasi ini akan berkurang seiring dengan berpindahnya unggas tervaksin ke populasi
47
unggas R dan bertambah karena berpindahnya populasi unggas S ke populasi tervaksin (karena telah dilakukan vaksinasi) (ekor). 2.
Vaksinasi adalah suatu alir yang menunjukkan berpindahnya populasi unggas rentan ke populasi tervaksin (ekor per hari).
3.
Unggas sehat karena imun adalah alir yang menunjukkan berpindahnya populasi tervaksin ke populasi R (ekor per hari).
4.
Laju rentan adalah suatu alir yang menunjukkan berpindahnya populasi unggas R ke populasi unggas S (ekor per hari).
5.
Mati adalah suatu alir yang menunjukkan berkurangnya populasi unggas R karena mati secara alamiah (ekor per hari).
6.
Pertambahan adalah suatu alir yang menunjukkan bertambahnya populasi unggas R secara alamiah (ekor per hari).
7.
Waktu vaksin adalah waktu yang harus digunakan untuk vaksinasi (hari).
8.
Waktu delay imun adalah waktu yang dibutuhkan untuk menjadi imun setelah vaksinasi (hari).
9.
Waktu rentan adalah waktu yang dibutuhkan untuk kehilangan imun (hari).
10.
Umur adalah umur normal unggas (hari).
11.
Fraksi pertambahan unggas adalah angka pertambahan unggas secara alamiah (per hari).
48
Populasi_tervaksin __ ---
Waktu_Rentan
Unggas_Sehat_Karena_lmun
RHPAI
b3
Gambar IV. 7 Diagram alir epidemik Flu Burung di Kabupaten Banyumas
49
Bab V
Simulasi dan Analisis
Dalam Bab IV telah diuraikan model Epidemik Flu Burung dengan pendekatan
system dynamics yang dibangun sehingga perilakunya dianggap valid menggambarkan keadaan sebenarnya (real) di wilayah studi. Model itu kemudian dianggap sebagai skenario dasar, yaitu model yang belum diberi perubahan perlakuan apapun. Dalam bab ini akan dipaparkan skenario-skenario serta analisis terhadap perilaku model tersebut. Model yang dibangun ini selain ditujukan untuk memahami permasalahan yang terjadi, juga dapat digunakan untuk melakukan prakiraan perilaku pembangunan di masa datang akibat adanya intervensi kebijakan.
V.l
Penentuan Skenario Intervensi kebijakan yang dapat dilakukan dalam upaya mencegah terjadinya
kembali epidemik Flu Burung adalah dengan melakukan tindakan vaksinasi pada populasi unggas S agar imun terhadap virus LP AI dan HP AI. Dalam abalisisnya ada tiga sketi&io yW'lg akan dibahas, yaitu skenario dasar, skenario vaksinasi dan skenario uji serlsitifitas vaksin. 1.
Skenario dasar adalah skenario yang ada pada model dasar. Dalam skenario ini masih belurn diintervensi oleh kebijakan apapurt dan pola populasi H, populasi D menunjukkan angka yang tinggi, populasi S dan R memperlihatkan angka yang cukup rendah.
50
2.
Skenario V aksinasi dengan waktu vaksinasi yang bervariasi mulai dari 90 hari, 60 hari, 30 hari dan 7 hari setelah hilangnya imun dalam populasi unggas (waktu rentan atau waktu hilangnya imun = 90 hari).
3.
Skenario uji sensitifitas vaksin dilakukan dengan melihat keefektifan pelaksanan vaksinasi yang dilakukan.
V.2 Simulasi dan Skenario V .2.1 Skenario Dasar Jika paradigma pembangunan dibiarkan seperti saat terjadinya epidemik Flu Burung (tahun 2003) terus berlangsung tanpa adanya usaha perubahan, dibiarkan sebagaimana adanya maka populasi unggas yang ada akan berkurang seperti pada Gambar V .1 berikut ini. 1,00(). 80(} 60(} 0
40(). 200n.
200
100
0
300
0
100
Time
200
300
Time
1,00(}
en
:
50(). : ----------~--~--
----------
n
0
100
200 Time
300
0
100
200
300
Time
Gambar V .1 Perilaku pada basil simulasi skenario dasar 51
Terlihat pada perilaku D atau populasi unggas yang mati karena terinfeksi virus HP AI dari 1000 ekor unggas akan mati sebesar 800 ekor unggas dalam waktu kurang dari 100 hari. Perilaku S atau populasi unggas rentan terhadap tertularnya virus Flu burung dalam waktu kurang dari 30 hari berkurang sampai dengan 200 ekor dari jumlah 1000 ekor unggas. Perilaku R atau populasi unggas yang sembuh dari serangan virus Flu Burung kurang dari 60 ekor unggas. Perilaku H atau populasi unggas yang terinfeksi virus HPAI naik sampai lebih dari 150 ekor dalam waktu kurang dari 30 hari. Hasil simulasi menunjukkan bahwa dengan tidak adanya intervensi kebijakan apapun jelas terlihat populasi unggas yang ada di masa yang akan datang mengalami penurunan jumlah yang sangat tajam dan hampir mengalami kemusnahan. Dan hal tersebut akan berimplikasi pada perekonomian peternak unggas pada khususnya di Kabupaten Banyumas dan dapat mempengaruhi pasokan protein hewani yang berasal dari temak unggas karena populasi temak unggas yang ada mengalami penurunan jumlah yang sangat besar. V.2.2 Skenario Vaksinasi Dalam skenario vaksinasi dimana dilakukan intervensi kebijakan vaksinasi pada setiap unggas rentan yang ada dalam populasi tersebut di atas, dengan beberapa variasi waktu pelaksanaan vaksinasi yakni setelah 90 hari, 60 hari, 30 hari dan 7 hari setelah masa imun berakhir akan terlihat adanya perbedaan hasil simulasi seperti pada Gambar V .2 berikut.
52
0
100
0
200
100
0
300
200
300
Hari
Hari
Ont\ ,----4---.4---4-1,5uv- 4
1,000-
en
0::: 5()().
~
?.r 2 " ~,......----1---1-"---1--
n
0
100
200 Hari
300
0
100
200
300
Hari
= skenario 1 waktu vaksin setelah 90 hari dari hilangnya imun = skenario 2 waktu vaksin setelah 60 hari dari hilangnya imun = skenario 3 waktu vaksin setelah 30 hari dari hilangnya imun
= skenario 4 waktu vaksin setelah 7 hari dari hilangnya imun Gambar V .2 Perilaku pacht hasil simulasi skenario vaksinasi
Waktu pelaksanaan vaksinasi setelali 90 hari : terlihat dalam perilaku D atau populasi unggas yang mati karena terinfeksi virus HP AI dari 1000 ekor unggas akan mati sebesar 560 ekor unggas dalam waktu kurang dari 100 hari. Perilaku S atau populasi unggas rentan terhadap tertularnya virus Flu burung dalam waktu kurang dari 30 hari berkurang sampai dengan 230 ekor dari jumlah 1000 ekor unggas. Perilaku R atau populasi unggas yang sembuh dari serangan virus Flu Burung 230 ekor unggas.
53
Perilaku H atau populasi unggas yang terinfeksi virus HPAI naik sampai 68 ekor dalam waktu kurang dari 30 hari. Waktu pelaksanaan vaksinasi setelah 60 hari : terlihat dalam perilaku D atau populasi unggas yang mati karena terinfeksi virus HP AI dari 1000 ekor unggas akan mati sebesar 450 ekor unggas dalam waktu kurang dari 100 hari. Perilaku S atau populasi unggas rentan terhadap tertulamya virus Flu burung dalam waktu kurang dari 30 hari berkurang sampai dengan 230 ekor dari jumlah 1000 ekor unggas. Perilaku R atau populasi unggas yang sembuh dari serangan virus Flu Burung menjadi 360 ekor unggas. Perilaku H atau populasi unggas yang terinfeksi virus HPAI 62 ekor dalam waktu kurang dari 30 hari. Waktu pelaksanaan vaksinasi setelah 30 hari : terlihat dalam perilaku D atau populasi unggas yang mati karena terinfeksi virus HP AI dari 1000 ekor unggas akan mati sebesar 170 ekor unggas dalam waktu kurang dari 100 hari. Perilaku S atau populasi unggas rentan terhadap tertulamya virus Flu burung dalam waktu kurang dari 30 hari berkurang sampai dengan 220 ekor dari jumlah 1000 ekor unggas. Perilaku R atau populasi unggas yang sembuh dari serangan virus Flu Burung menjadi 690 ekor unggas. Perilaku H atau populasi unggas yang terinfeksi virus HP AI hanya i 9 ekor dalam waktu kurang dari 30 hari. W aktu pelaksanaan vaksinasi setelah 7 hari : terlihat dalam perilaku D atau populasi unggas yang mati karena terinfeksi virus HP AI dari 1000 ekor unggas akan mati sebesar kurang dari 4 ekor unggas dalam waktu kurang dari 100 hari. Perilaku S atau populasi unggas rentan terhadap tertulamya virus Flu burung dalam waktu kurang
54
dari 30 hari berkurang sampai dengan 90 ekor dari jumlah 1000 ekor unggas. Perilaku R atau populasi unggas yang sembuh dari serangan virus Flu Burung menjadi 1300 ekor unggas. Perilaku H atau populasi unggas yang terinfeksi virus HP AI kurang dari 1 ekor dalam waktu kurang dari 30 hari. Hasil simulasi dalam seluruh skenario vaksinasi mulai dari waktu vaksin 90 hari, 60 hari, 30 hari dan 7 hari setelah waktu rentan habis, semua perilakunya menunjukkan perubahan ke arah perbaikan dalam jumlah populasi unggas yang ada. Hal tersebut dapat dipahami karena dengan adanya intervensi kebijakan vaksinasi pada setiap unggas rentan yang ada maka populasi unggas rentan yang telah divaksin terse but akan memiliki kekebalan terhadap virus Flu Burung baik LP AI maupun HP AI sehingga terhindar dari kematian akibat terinfeksi virus Flu Burung. Waktu vaksin yang terbaik menurut simulasi adalah waktu 7 hari setelah masa rentan habis yang diperlihatkan dalam simulasi ke 4. V.2.3 Skenario Uji Sensitifitas Vaksin Dalam skenario uji sensitifitas vaksin dilakukan dengan melihat efek yang ditimbulkan jika vaksin sudah rusak atau kadaluwarsa, yaitu tidak memberikan efek maksimal. Efeknya adalah waktu menjadi imun setelah divaksin akan mundur dan waktu imun dari temak yang divaksinpun akan lebih singkat dari waktu yang seharusnya. Vaksin dapat rusak jika penanganannya (baik penyimpanan maupun pendistribusian) tidak tepat. Dalam simhlasi ini penulis mencoba memberikan beberapa variasi antara waktu delay dan waktu rentan dengan beberapa asumsi yaitu : (1)
waktu_delay_imun 3 hari dan waktu_rentan 90 hari yang merupakan skenario awal (asumsi apabila kualitas vaksin masih baik);
55
(2)
waktu_delay_imun 15 hari dan waktu_rentan 30 hari (asumsi apabila kualitas vaksin agak kurang baik);
(3)
waktu_delay_imun 15 hari dan waktu_rentan 20 hari (asumsi apabila kualitas vaksin kurang baik) dan
(4)
waktu_delay_imun 15 hari dan waktu_rentan 15 hari (asumsi apabila kualitas vaksin sudah jelek).
Terlihat adanya perbedaan hasil simulasi seperti berikut (Gambar V.3).
/
4
~3
_........--J--
3
100
0
200
300
0
100
0
100
300
Hari
Hari
--1---
200
---1--
200
300
0
Hari
100
200
300
Hari
= skenario I asumsi kualitas vaksin masih baik = skenario 2 asumsi kualitas vaksin agak kurang baik = skenario 3 asumsi kualitas vaksin kurang baik
= skenatio 4 asumsi kualitas vaksin sudah jelek Gambar V.3 Perilaku pada hasil simulasi skerttuio uji sensitifitas vaksin
56
Waktu_delay_imun tiga hari dan waktu_rentan 90 hari pada skenario apabila asumsi kualitas vaksin masih baik: terlihat dalam perilaku D atau populasi unggas yang mati karena terinfeksi virus HP AI dari 1000 ekor unggas akan mati sebesar kurang dari tiga ekor unggas dalam waktu kurang dari 100 hari. Perilaku S atau populasi unggas rentan terhadap tertulamya virus Flu burung dalam waktu kurang dari 30 hari berkurang sampai dengan 99 ekor dari jumlah 1000 ekor unggas. Perilaku R atau populasi unggas yang sembuh dari serangan virus Flu Burung menjadi 1.278 ekor unggas. Perilaku H atau populasi unggas yang terinfeksi virus HP AI kurang dari satu ekor dalam waktu kurang dari 30 hari. Waktu_delay_imun 15 hari dan waktu_rentan 30 hari pada skenario apabila asumsi kualitas vaksin agak kurang baik : terlihat dalam perilaku D atau populasi unggas yang mati karena terinfeksi virus HP AI dari 1000 ekor unggas akan mati sebanyak tujuh ekor unggas dalam waktu kurang dari 100 hari. Perilaku S atau populasi unggas rentan terhadap tertulamya virus Flu burung dalam waktu kurang dari 30 hari naik lagi menjadi 419 ekor dari jumlah 1000 ekor unggas. Perilaku R atau populasi unggas yang sembuh dari serangan virus Flu Burung menjadi 1.796 ekor unggas. Perilaku H atau populasi unggas yang terinfeksi virus HPAI kurang dari satu ekor dalam waktu kurang dari 30 hari. Waktu_delay_imun 15 hari dan waktu_rentan 20 hari pada skenario apabila asumsi kualitas vaksin kurang baik : terlihat dalam perilaku D atau populasi unggas yang mati karena terinfeksi virus HPAI dari 1000 ekor unggas akan mati sebesar 265 ekor unggas dalam waktu kurang dari 300 hari. Perilaku S atau populasi unggas rentan
57
terhadap tertulamya virus Flu burung dalam waktu kurang dari 30 hari naik lagi menjadi 4 75 ekor dari jumlah 1000 ekor unggas. Perilaku R atau populasi unggas yang sembuh dari serangan virus Flu Burung menjadi 1360 ekor unggas. Perilaku H atau populasi unggas yang terinfeksi virus HP AI kurang dari satu ekor dalam waktu kurang dari 30 hari. Waktu_delay_imun 15 hari dan waktu_rentan 15 hari pada skenario apabila asumsi kualitas vaksin jelek : terlihat dalam perilaku 0 atau populasi unggas yang mati karena terinfeksi virus HPAI dari 1000 ekor unggas akan mati sebesar 732 ekor unggas dalam waktu kurang dari 100 hari. Perilaku S atau populasi unggas rentan terhadap tertulamya virus Flu burung dalam waktu kurang dari 30 hari menjadi 452 ekor dari jumlah 1000 ekor unggas. Perilaku R atau populasi unggas yang sembuh dari serangan virus Flu Burung menjadi 968 ekor unggas. Perilaku H atau populasi unggas yang terinfeksi virus HP AI kurang dari 24 ekor dalam waktu kurang dari 100 hari. Hasil simulasi dari berbagai skenario uji sensitifitas vaksin di atas terlihat jika vaksin yang digunakan sudah mulai berkurang kualitasnya maka akan sia-sia saja vaksinasi yang dilakukan karena kegiatan vaksinasi yang dilakukan tidak akan membawa hasil yang memuaskan. Hal tersebut disebabkan karena daya tahan tubuh yang seharusnya akan terbentuk dalam waktu tiga hari setelah vaksinasi mengalami kemunduran sampai 15 hari sehingga menambah wahtu rentan untuk dapat terinfeksi virus Flu Burung karena tubuh tidak memilki daya tahan tubuh. Dan waktu untuk menjadi rentan kembalipun akan menjadi lebih singkat dari 90 hari menjadi kurang
58
dari 30 hari. Hal inilah yang menjelaskan terjadinya kenaikan populasi unggas yang
mati. Dari keseluruhan skenario yang sudah disimulasikan di atas, ada dua hal krusial yang jika hal tersebut tidak tersedia maka akan sia-sia saja penanggulangan yang telah dilakukan. Hal tersebut adalah dukungan dana yang berkesinambungan dan Pengorganisasian Pelayanan Kesehatan Hewan Terpadu. Dua hal tersebut telah dimiliki oleh Kabupaten Banyumas dalam rangka penanggulangan Flu Burung. Pelaksanaan Vaksinasi yang merupakan bagian dari penanggulangan Flu Burung membutuhkan dukungan dana yang tidak sedikit serta pengorganisasian pelayanan kesehatan hewan yang cukup solid agar dapat terlaksana dengan baik. Upaya tersebut harus dilakukan melalui penataan sistem, perbaikan struktur dan peningkatan sumber daya manusia.
59
Bah VI Kesimpulan dan Saran
VI.l
Kesimpulan Jika Penanggulangan Flu Burung di Kabupaten Banyumas seperti saat
tetjadinya epidemik Flu Burung (tahun 2003) terus berlangsung tanpa adanya usaha perubahan, dibiarkan sebagaimana adanya maka populasi unggas yang ada akan menurun pesat. Hal tersebut tidak akan tetjadi apabila dapat dipahami struktur epidemik Flu Burung di Kabupaten Banyumas. Salah satu faktor yang menjadi penyebab timbulnya epidemik Flu Burung adalah adanya populasi unggas yang rentan. Dengan kebijakan vaksinasi yang tepat pada populasi unggas rentan tersebut maka epidemik Flu Burung tidak akan terulang kembali dan sekaligus dapat mencegah bahaya pandemik Flu Burung. Hasil-hasil yang diperoleh dari simulasi menggunakan berbagai skenario, adalah sebagai berikut ini. 1.
Jika paradigma pembangunan seperti saat tetjadinya kasus epidemik Flu Burung (tahun 2003) terus berlangsung tanpa adanya usaha perbaikan dalam penanggulangan Flu Burung, maka populasi unggas akan mengalami penurunan yang cukup tinggi dan hampir mengalami kemusnahan yang berdampak terhadap perekonomian para petemak unggas di Kabupaten Banyumas dan dapat mempengaruhi pasokan protein hewani yang berasal dari temak unggas karena populasi temak unggas yang ada mengalami penurunan jumlah yang sangat besar. 60
2.
Dalam mencegah terulangnya kembali epidemik Flu Burung serta menghindari bahaya pandemik, kebijakan diarahkan pada kegiatan vaksinasi bagi seluruh unggas rentan yang ada, skenario waktu vaksin tujuh hari setelah masa rentan habis merupakan skenario terbaik. Hal tersebut dapat dipahami karena dengan adanya intervensi kebijakan vaksinasi pada setiap unggas rentan yang ada maka populasi unggas rentan yang telah divaksin tersebut akan memiliki kekebalan terhadap virus Flu Burung.
3.
Dalam simulasi skenario uji sensitifitas vaksin terlihat bahwa kualitas vaksin sangat mempengaruhi keberhasilan kegiatan vaksinasi yang dilakukan. Apabila digunakan vaksin dengan kualitas yang tidak baik dalam kegiatan vaksinasi, maka daya tahan tubuh yang seharusnya akan terbentuk dalam waktu tiga hari setelah vaksinasi mengalami kemunduran sampai 15 hari sehingga menambah waktu rentan untuk dapat terinfeksi virus Flu Burung karena tubuh tidak memilki daya tahan tubuh. Dan waktu untuk menjadi rentan kembalipun akan menjadi lebih singkat dari 90 hari menjadi kurang dari 30 hari. Hal inilah yang menjelaskan tetjadinya kenaikan populasi unggas yang mati. Keberhasilan penanggulangan Flu Burung tidak terlepas dari adanya
pengorganisasian pelayanan kesehatan hewan terpadu dan adanya dukungan dana yang berkesinambungan di daerah terserang Epidemik Flu Burung.
61
VI.2 Saran Penelitian Lanjutan Dalam kajian ini masih banyak faktor yang seharusnya bisa diperinci lebih lanjut dengan model sistem dinamik, untuk penelitian lanjutan mungkin dapat menjadi pertimbangan saran berikut ini. 1.
Dalam penelitian ini, peneliti tidak memasukkan faktor Flu Burung pada populasi manusia yang dikarenakan peneliti merasa akan melakukan sesuatu yang diluar bidangnya karena peneliti bertugas di Dinas Petemakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas yang menangani sektor petemakannya saja.
2.
Peneliti juga tidak membahas struktur pengambilan keputusan secara detail, baik unsur-unsumya maupun pola keterkaitan antara unsur-unsur pembentuk struktur pengambilan keputusan karena berada di luar boundary dari penelitian tm.
Penggambaran yang lebih lengkap dalam model sistem dinamik ini akan lebih mewakili perilaku dunia nyata pada penanggulangan Flu Burung di Kabupaten Banyumas. Dengan demikian simulasi kebijakan akan lebih tepat dan mendekati kebenaran di dunia nyatanya. Saran bagi Pemerintah Kabupaten Banyumas sebagai pengambil kebijakan, agar simulasi yang ada dalam tesis ini dapat digunakan sebagai "Flight Simulator" dalam kegiatan
penyuluh~
bagi para petemak yang ada agar dapat menambah
kesadaran akan bahaya yang ditimbulkan dan akan mengancam jika tidak dilaksanakan program vaksinasi pada unggas rentan yang ada.
62
DAFI'AR PUSTAKA
1. Alexander DJ. A review of avian influenza in different bird species. Vet Microbial 2000; 74: 3-13 Abstract: http://amedeo.com/lit.php?id=10799774 2. Beard CW, Schnitzlein WM, Tripathy DN. Protection of chicken against highly pathogenic avian influenza virus (H5N2) by recombinant fowlpox viruses. Avian Dis 1991; 35: 356-9. Abstract: http://amedeo.com/lit.php?id=1649592 3. Capua I, Marangon S, dalla Pozza M, Terregino C, Cattoli G. Avian influenza in Italy 1997-2001. Avian Dis 2003; 47: Suppl: 839-43. Abstract: http://amedeo.com/lit.php?id=14575074 4. Cattoli G, Terregino C, Brasola V, Rodriguez JF, Capua I. Development and preliminary validation of an ad hoc N1-N3 discriminatory test for the control of avian influenza in Italy. Avian Dis 2003; 47: Suppl: 1060-2. Abstract: http://amedeo.com/lit.php?id=14575111 5. Chen H, Smith GJ, Zhang SY, Qin K, Wang J, Li KS, Webster RG, Peiris JS, Guan Y. Avian flu: H5N1 virus outbreak in migratory waterfowl. Nature 2005; 436: 191-2. Abstract: http://amedeo.com/lit.php?id=16007072 6. Crawford J, Wilkinson B, Vosnesensky A, et al. Baculovirus-derived hemagglutinin vaccines protect against lethal influenza infections by avian H5 and H7 subtypes. Vaccine 1999; 17: 2265-74. Abstract: http://amedeo.com/lit.php?id=10403594 7. Deckelman, S., and Tian, J.P. 2006. Journal :A of Case Study Disease Ecology: Modeling ofAvian Flu 8. Garcia A, Johnson H, Srivastava DK, Jayawardene DA, Wehr DR, Webster RG. Efficacy of inactivated H5N2 influenza vaccines against lethal A/Chicken/Queretaro/19/95 infection. Avian Dis 1998; 42: 248-56. Abstract: http://amedeo.com/lit.php?id=9645315 9. Guan Y, Poon LL, Cheung CY, Ellis TM, Lim W, Lipatov AS, Chan KH, SturmRamirez KM, Cheung CL, Leung YH, Yuen KY, Webster RG, Peiris JS. H5N1 influenza: a protean pandemic threat. Proc Natl Acad Sci US A 2004; 101: 815661. Abstract: http://amedeo.com/lit.php?id=15148370 Full text at http://www.pnas.org/cgi/content/fulV10112118156 63
10. Hayden F, Croisier A. Transmission of avian inj1uenza viruses to and between humans. J Infect Dis 2005;192: 1311-4. 11. Horimoto, T., andY. Kawaoka. 1994. Pandemic Threat Posed by Avian Influenza A Viruses, Clinical Microbiological Reviews, 0893-8512/011$04.0010 DOl: 10.1128/CMR.14.1.129-149.2001 Jan. 2001, p. 129-149. 12. Kaye D, Pringle CR. Avian influenza viruses and their implication for human health. Clin Infect Dis 2005; 40: 108-12. Epub 2004 Dec 7. Abstract: http://amedeo.comllit.php?id= 15614699 13. Klempner MS, Shapiro DS. Crossing the species barrier- one small step to man, one giant leap to mankind. N Engl J Med 2004; 350: 1171-2. Epub 2004 Feb 25. http://amedeo.comllit.php?id=14985471 14. Kodihalli S, Haynes JR, Robinson HL, Webster RG. Cross-protection among lethal H5N2 influenza viruses induced by DNA vaccine to the hemagglutinin. J Virol 1997; 71: 3391-6. Abstract: http://amedeo.com/lit.php?id=9094608 - Full text at http://jvi.asm.org/cgilreprint/7115/3391 15. Komisi Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi (KOMNAS FBPI) Pandemi Influenza http://www.komnasfbpi.go.id/glossary_ind.html diakses tanggal 16-7-2007 16. Koopmans M, Wilbrink B, Conyn M, et al. Transmission of H7N7 avian influenza A virus to human beings during a large outbreak in commercial poultry farms in the Netherlands. Lancet 2004; 363: 587-93. Abstract: http://amedeo.comllit.php?id= 14987882 17. Lee CW, Suarez DL. Avian influenza virus: prospects for prevention and control by vaccination. Anim Health Res Rev. 2005; 6: 1-15. Abstract: http://amedeo.comllit.php?id=16164006 18. Lee CW, Senne DA, Suarez DL. Generation ofreassortant influenza vaccines by reverse genetics that allows utilization of a DIVA (Differentiating Infected from Vaccinated Animals) strategy for the control of avian influenza. Vaccine 2004; 22: 3175-81. Abstract: http://amedeo.com/lit.php?id=15297071 19. Liu M, Wood JM, Ellis T, Krauss S, Seiler P, Johnson C, Hoffmann E, Humberd J, Hulse D, Zhang Y, Webster RG, Perez DR. Preparation of a standardized, efficacious agricultural H5N3 vaccine by reverse genetics. Virology. 2003; 314: 580-90. Abstract: http://amedeo.com/lit.php?id=14554086 64
20. Lueschow D, Werner 0, Mettenleiter TC, Fuchs W. Vaccination with infectious laryngotracheitis virus recombinants expressing the hemagglutinin (H5) gene. Vaccine. 2001 Jul20;19(30):4249-59. http://amedeo.comllit.php?id=l1457552 21. Marangon S, Capua I. Control of AI in Italy: from ,Stamping-out"-strategy to emergency and prophylactic vaccination. In: Proc. Internat. Conf on Avian Influenza, Paris 2005; O.I.E., p. 29. 22. Mannelli A, FerreN, Marangon S. Analysis of the 1999-2000 highly pathogenic avian influenza (H7Nl) epidemic in the main poultry-production area in northern Italy. Prev Vet Med. 2005 Oct 19; [Epub ahead of print]. Abstract: http://amedeo.com/lit.php?id=16243405 23. Neumann G, Hatta M, Kawaoka Y. Reverse genetics for the control of avian influenza. Avian Dis. 2003;47(3 Suppl):882-7. Abstract: http://amedeo.comllit.php?id=14575081 24. Normile D. Avian influenza. China will attempt largest-ever animal vaccination campaign. Science. 2005; 310: 1256-7. Abstract: http://amedeo.comllit.php?id=16311302 25. OlE 2005 (World Organisation for Animal Health). Highly pathogenic avian influenza in Mongolia: in migratory birds. http://www.oie.int/eng/info/hebdo/ais_55.htm- Accessed 31 octobre 2006. 26. OlE. Terrestrial Animal Health Code. Chapter 2.7.12. Avian influenza. http://www.oie.int/eng/normes/mcode/en_chapitre_2. 7.12.htm - Accessed 28 December 2006 27. Pearson JE. International standards for the control of avian influenza. Avian Dis 2003; 47: Suppl: 972-5. Abstract: http://amedeo.com/lit.php?id=14575096 28. Perkins LE, Swayne DE. Comparative susceptibility of selected avian and mammalian species to a Hong Kong-origin H5Nl high-pathogenicity avian influenza virus. Avian Dis. 2003;47(3 Suppl):956-67. Abstract: http://amedeo.comllit. php?id= 14575094 29. Perroncito CE. [it. Typhoid epizootic in gallinaceous birds.] Epizoozia tifoide nei gallinacei. Torino: Annali AccademiaAgricoltura 1878; 21:87-126. 30. Robert, Nancy; Cs, 1983, Introduction to Computer Simulation: The System Dynamics Approach, Addison-Wesly Publishing Co, Sydney 65
31. Saeed Khalid, 1994,.Development Planning and Policy Design, A System Dynamics Approach, Avebury ashgate Publoshing Limited, England. 32. Schafer W. Vergleichende sero-immunologische Untersuchungen iiber die Viren der Influenza und klassischen Gefliigelpest. Zeitschr Naturforschung 1955; lOb: 81-91 33. Situngkir Hokky, 2004, EPIDEMIOLOGY THROUGH CELLULAR AUTOMATA Case of Study: Avian Influenza in Indonesia Dept. Computational Sociology Bandung Fe Institute http://www.geocities.com/quicchote 34. Stech J, Gam H, Wegmann M, Wagner R, Klenk HD. A new approach to an influenza live vaccine: modification of the cleavage site of hemagglutinin. 2005; Nat Med 11: 683-689. Abstract: http://amedeo.com/lit.php?id=l5924146 35. Stegeman A, Bouma A, Elbers AR, et al. Avian influenza A virus (H7N7) epidemic in The Netherlands in 2003: course of the epidemic and effectiveness of control measures. J Infect Dis 2004; 190: 2088-95. Epub 2004 Nov 15. Abstract: http://amedeo.com/lit.php?id=15551206 Full text at http://www.joumals. uchicago.edu/JID/joumal/issues/v 190n12/3 264 7/3 264 7.html 36. Sterman, John D. 2000, Business Dynamics : System Thinking and Modeling for a Complex World Irwin/McGraw-Hill: Boston, MA 37. Swayne DE, Beck JR, Perdue ML, Beard CW. Efficacy of vaccines in chicken against highly pathogenic Hong Kong H5Nl avian influenza. Avian Dis 2001; 45: 355-65. Abstract: http://amedeo.com/lit.php?id=11417815 38. Swayne DE, Beck JR, Mickle TR. Efficacy ofrecombinantfowl poxvirus vaccine in protecting chicken against a highly pathogenic Mexican-origin H5N2 avian influenza virus. Avian Dis 1997; 41: 910-22. Abstract: http://amedeo.comllit.php?id=9454926 39. Swayne DE, Garcia M, Beck JR, Kinney N, Suarez DL. Protection against diverse highly pathogenic H5 avian influenza viruses in chicken immunized with a recombinant fowlpox vaccine containing an H5 avian influenza hemagglutinin gene insert. Vaccine 2000c; 18: 1088-95. Abstract: http://amedeo.comllit.php?id= 10590330 40. Swayne DE, Suarez DL, Schultz-Cherry S, et al. Recombinant paramyxovirus type 1- avian influenza-H7 virus as a vaccine for protection of chicken against influenza and Newcastle disease. Avian Dis 2003; 47: Suppl: 1047-50. Abstract: http://amedeo.com/lit.php?id=14575108 66
41. Tasrif Muhammad, 2005, Analisis Kebijakan menggunakan Model System Dynamics, Program Magister Studi Pembangunan - Institut Teknologi Bandung. 42. Tumpey TM, Alvarez R, Swayne DE, Suarez DL. Diagnostic approach for differentiating infected from vaccinated poultry on the basis of antibodies to NS 1, the nonstructural protein of influenza A virus. J Clin Microbial 2005; 43: 676-83. Abstract: http://amedeo.com/lit.php?id= 15695663 43. van der Goot JA, Koch G, de Jong MC, van Boven M. Quantification of the effect of vaccination on transmission of avian influenza (H7N7) in chickens. Proc Natl Acad Sci U S A. 2005;102: 18141-6. Abstract: http://amedeo.com/lit.php?id=16330777 Full text at http://www.pnas.org/cgi/content/full/1 02/50/18141 44. Veits J, Luschow D, Kindermann K, et al. Deletion of the non-essential ULO gene of infoctious laryngotracheitis (ILT) virus leads to attenuation in chicken, and ULO mutants expressing influenza virus hemagglutinin (H7) protect against ILT and fowl plague. J Gen Virol 2003; 84: 3343-52. Abstract: http://amedeo.com/lit.php?id=14645915 45. Webster RG, Bean WJ, Gorman OT, Chambers TM, Kawaoka Y. Evolution and ecology of influenza A viruses. Microbial Rev 1992; 56: 152-79. Abstract: ttp://amedeo.com/lit.php?id=1579108 46. Webster RG, Peiris M, Chen H, Guan Y. H5Nl outbreaks and enzootic influenza. Emerg Infect Dis 2006; 12: 3-8 Full text at http://www.cdc.gov/ncidod/EID/vol12no0 1/05- 1024.htm 47. WHO 2004/01122. Avian influenza H5Nl infection in humans: urgent need to eliminate the animal reservoir. http://www.who.int/csr/don/2004_01_22/en/index.html - Accessed 31 October 2006. 48. WHO 2004/03/02. Avian influenza A(H5Nl)- update 31: Situation (poultry) in Asia: need for a long-term response, comparison with previous outbreaks. http://www.who.int/csr/don /2004_03_02/en/index.html -Accessed 31 Octobre 2006. 49. WHO 2005/08/18. Geographical spread of H5Nl avian influenza in birds- update 28. http://www.who.int/csr/don/2005 _08 _18/en/index.html- Accessed 31 October 2006. 67
Lamp iran A : Program Powersim Constructor 2.5d (4002) init flow init flow init flow
init flow init flow init flow
init flow
aux aux aux aux aux aux aux aux.
aux aux. aux.
aux
D=0 D = +dt*b3H H=0 H = -dt*b3H +dt*RS2 Ll = LO Ll = -dt*cLl -dt*blLl +dt*RSI L2 = 0 L2 = -dt*b2L2 +dt*cLl Populasi_tervak:sin = 600 Populasi_tervak:sin = -dt*Unggas_Sehat_Krn_Imun +dt* Vak:sinasi R=O R = +dt*Pertambahan -dt*rliati +dt*Unggas_Sehat_Krn_Imun -dt*Laju_ Rentan +dt*b2L2 +dt*blLl
s =so S = -dt*Vak:sinasi +dt*Laiu Rentan -dt*RS2 -dt*RSl b1tl = bl *Ll b2L2 = b2*L2 b3H=b3*H eLl = c*Ll Laju_ Rentan = R!Waktu_ Rentan mati = RJumur Pertambahan = R*Frak:si_pertambahan_unggas RSI =ALPHA! *S*Ll RS2 = ALPHA2*(H+L2)*S Unggas_Sehat_Krn_Imun = DELAYMTR(Vak:sinasi, Wak:tu_delay_Imun, 3, Vak:sinasi) V ak:sinasi = S/Wak:tu Vak:sin ALPHAl = ((c+bl)*RLPAI)/SO
68
aux const const const const const const const const const const const const const spec spec spec
ALPHA2 = (b3*RHPAl)/SO b 1 = 0.2 b2 = 0.4 b3 = 0.5 c = .011 Fraksi_pertambahan_unggas = 1/1095 LO = 10 RHP AI = 2 RLP AI = 1 SO = 990 wnur = 1095 Waktu_delay_Imun = 3 Waktu Rentan = 90 Waktu Vaksin = 7 start = 0 stop= 370 dt = 0.5
69
Lampiran B:
Diagram Alir System Dynamics dengan Menggunakan Powersim
Sink
Source
Auxiliary
Constant 2
1. Level Level merupakan hasil akumulasi dari aliran aliran dalam diagram alir dan menyatakan kondisi sistem setiap saat. Dalam konsep sistem, level dikenal sebagai
state variable. Level dapat dibayangkan sebagai suatu tangki air yang mengakumulasi perbedaan air masuk dengan air keluar. Dalam diagram alir system dynamics, level dilukiskan dengan simbol persegi panjang.
D
Level
70
2. Rate Rate merupakan suatu aliran yang menyebabkan bertarnbah atau berkurangnya suatu
level. Oleh karena itu rate terdiri dari dua jenis, yaitu rate masuk dan rate keluar. Rate masuk akan menambah akumulasi di dalam level dan dilambangkan dengan simbol katup dan panah menuju level. Sedangkan rate keluar ditunjukkan dengan katup yang dihubungkan dengan panah yang menunjuk pada 'sink'.
Rate 3. Source dan Sink Simbol awan (cloud) menunjukkan source dan sink untuk material yang mengalir ke dalam atau keluar suatu level.
4. IrltdhHation Link Aliran informasi dalam powersim dilambangkan dengan tanda panah yang tegas. Aliran ini merupakan penghubung antar sejumlah variable di dalam suatu sistem. Jika suatu aliran informasi keluar dari level, ia tidak akan mengurangi akumulasi yang terdapat di dalam level tersebut.
71
5. Inisialisasi Tanda panah yang terputus-putus menunjukkan inisialisasi atau penentuan nilai awal. Inisialisasi ini hanya berlaku pada awal simulasi saja.
.,------6. Variable Auxiliary Variable Auxiliary adalah suatu penambahan informasi yang dibutuhkan dalam merumuskan persamaan atau variable rate. Atau dapat pula dikatakan suatu variable yang
membantu untuk memfonnulasikan variable
rate.
Variable Auxiilary
digambarkan dengan suatu lingkaran penuh
Auxiliary
7. Parameter (Konstanta) Konstanta adalah suatu besaran yang nilainya tetap selama proses simulasi. Konstanta dalam powersim digambarkan dengan simol persegi belah ketupat seperti gambar berikut:
,.----
......
'
0
Konstanta
72
8. Delay Proses delay dalam powersim akan tergambar dalam simbol berikut ini :
Waktu_delay
Waktu_Delay_1
Dalam menggambarkan delay dibutuhkan penghubung panah bergaris yang menunjukkan delay dan panah sebagai aliran informasi, jika nilai awal delay ditetapkan sebagai variable input akan ada satu panah terputus-putus lagi. Jika nilai awal ditetapkan terlepas dari variable input hanya dibutuhkan satu panah delay sebagai penghubung.
73
Lampiran C : Gambar-gambar Kejadian Epidemik Flu Burung di Kabupaten Banyumas
Gambar : Petemakan Ayam Petelur Bpk Lemi di Desa Susukan Kecamatan Sumbang Kabupaten Banyumas Oktober 2003
Gambar : Kematian di Petemakan Ayam Petelur Bpk Lemi di Desa Susukan Kecamatan Sumbang Kabupaten Banyumas Oktober 2003
74
Gambar: Ayam yang mati karena Flu Burung
Gambar : Ciri-ciri ayam yang terinfeksi Flu Burung
75
Gambar : Ciri-ciri ayam yang terinfeksi Flu Burung
Gambar : Ciri-ciri ayam yang terinfeksi Flu Burung
76