Pemanfaatan Minyak Goreng Bekas (S. Wijana, dkk.)
PEMANFAATAN MINYAK GORENG BEKAS UNTUK PEMBUATAN SABUN: KAJIAN LAMA PENYABUNAN PENYABUNAN DAN KONSENTRASI DEKSTRIN
Utilization of Used Frying Oil in the Making of Soap: Effect of Saponification Time and a Dextrin Concentration Susinggih Wijana1), Siti Asmaul Mustaniroh1) dan Indha Wahyuningrum2) 1) Staf Pengajar Jurusan Teknologi Industri Pertanian, FTP, Universitas Brawijaya, Malang 2) Alumni Jurusan Teknologi Industri Pertanian, FTP, Universitas Brawijaya, Malang ABSTRACT The research was aimed to find out the best treatment in the making of soap from used frying oil and to analyze its financial feasibility. A randomized factorial block design was used in the experiment. The soap was made by saponifying at various length of time (30; 45, and 60 minutes) and dextrin concentrations of 1 %; 2.5 %; 4 % respectively. The yields as well as some characteristics of the soap, namely moisture content, the level of free alkali, pH, texture, and middle length of the foam were determined. A sensory evaluation was also performed on the colour and texture of the soap. A financial analysis was carried out to determine the values of Break Even Point (BEP), Payback Period, and Return of Investment (ROI) on the manufacturing of the selected method of soap production. It was found that the best soap was obtained by applying a 30 minutes saponification process combined with the use of 1% dextrin with the soap yield of 87.51% and having the following characteristics: moisture content 7.31 %, free alkali content 0.1279 %, pH 10.4, the texture 0.0007 mm/g.sec., and the foam’s middle length of 2.15 cm. However, the panelists tends to be like nor dislike to the colour and texture of the product. The value of BEP is 50,387 units at a value of Rp.13,574,333.00, which was equivalent with a production capacity of 45 kg/day. The respective values of Payback Period and ROI were 50 months (4 years and 2 months) and 18.49 %. Key words: used frying oil, soap, saponification, dextrin PENDAHULUAN Berkembangnya industri perhotelan, restoran dan fast food, berdampak pada semakin banyaknya limbah minyak goreng bekas yang dihasilkan. Penggunaan minyak yang berkali - kali untuk menggoreng akan mengakibatkan kerusakan minyak, antara lain minyak menjadi cepat berasap, berbusa dan mempengaruhi bahan pangan yang digoreng. Minyak goreng yang digunakan untuk proses penggorengan berulang ulang akan menyebabkan kerusakan, yaitu terjadinya perubahan warna, reaksi oksidasi yang diikuti dengan polimerisasi, dan rekasi hidrolisis dengan adanya air bahan pangan yang digoreng (Andarwulan dkk. 1997 dan Manullang, 1998). Adanya
senyawa tersebut menyebabkan makanan yang digoreng mengalami penurunan kualitas yang sangat tajam, baik dari kualitas sensoris (aroma dan rasa) maupun daya simpan produk (Rukmini dkk., 1986). Adanya senyawa acrolein, asam lemak bentuk trans dan senyawa
Polycyclic
Aromatic
Hydrocarbons
(PAHs) yang terbentuk selama penggorengan juga sangat potensial karsinogenik penyebab kanker hati dan ginjal pada manusia (Anonymous, 2003). Oleh sebab itu, minyak goring yang sudah digunakan berulang – ulang tidak layak digunakan dalam penggorengan makanan. Kerusakan lain akibat proses penggorengan adalah adanya kotoran yang berasal dari bumbu yang digunakan dan dari bahan yang digoreng 193
Jurnal Teknologi Pertanian, Vol. 6 No. 3 (Desember 2005) 193 - 202 (Andarwulan dkk., 1997) sehingga dapat menaikkan komponen bahan polar seperti gula, garam dan lain-lain. Lebih lanjut Bheem-Reddy et al. (1999) menyatakan bahwa pada minyak yang digunakan menggoreng berkali-kali akan terjadi peningkatan total polar compound (TPC) dan penurunan polar compound (PC), hal tersebut diperkuat dengan penelitian Bheem-Reddy et al., (2001) dan Abraham (2002). Hasil penelitian minyak goreng bekas di hotel yang digunakan selama 1 miggu menunjukkan terjadinya kenaikkan asam lemak bebas mencapai > 2 %, kadar polimer > 16 %, dan kandungan polar compound atau PC > 25 %. Hasil penelitian Astuti (2003) menunjukkan bahwa kualitas minyak goreng bekas yang telah mengalami reprosesing yang terdiri dari despicing, netralisasi, dan pemucatan (bleaching) mendekati SII, namun dikhawatirkan masih mengandung bahan berbahaya bagi kesehatan tubuh apabila dikonsumsi sebagai bahan pangan. Oleh karena itu, alternatif pemanfaatan minyak goreng bekas yang terbaik adalah untuk bahan baku industri sabun. Sabun dapat dibuat dengan mereaksikan minyak dengan alkali, kemudian dilakukan penyabunan atau ditambah dengan pemanasan untuk mempercepat proses penyabunan. Lama waktu penyabunan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kualitas sabun yang dihasilkan. Oleh karena itu perlu, penelitian dilakukan untuk mengetahui waktu yang sesuai untuk menyabunkan minyak goreng bekas yang telah dimurnikan dengan alkali (NaOH) sehingga dapat dihasilkan sabun yang berkualitas. Menurut Sugeng (1999), bahan pengisi untuk menambah volume produksi dapat ditambahkan pada pembuatan sabun mandi. Bahan pengisi juga untuk memberi bentuk yang kompak dan padat. Salah satu bahan pengisi yang dapat ditambahkan adalah dekstrin, dekstrin memiliki sifat lebih mudah larut dalam air dan memiliki kekentalan lebih rendah 194
dibandingkan pati sehingga pemakaian dalam jumlah banyak masih diizinkan. Hal ini akan menguntungkan jika dekstrin digunakan sebagai bahan pengisi karena dapat meningkatkan berat produk yang dihasilkan. BAHAN DAN METODE Bahan Minyak goreng bekas dari berbagai hotel di Malang, karbon-aktif, NaOH, aquades, dekstrin dan parfum minyak melati (jasmine oil). Bahan kimia analisis yang digunakan meliputi alkohol 96 %, H2SO4 20 %, KOH 0,1 %, HCl 0,1 %, indikator phenophtalein, aquades dan HCl 0,1 N. Rancangan Rancangan Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang disusun secara faktorial, dengan ulangan 3 kali. Faktor pertama adalah lama penyabunan (a1: 30 menit, a2: 45 menit, dan a3 60 menit), faktor kedua adalah dekstrin yang ditmbahkan (b1: 1% b/b, b2: 2,5% b/b, dan b3: 4% b/b). Pelaksanaan Bahan baku yang digunakan pada pembuatan sabun mandi padat adalah minyak goreng bekas yang telah diproses ulang sesuai hasil penelitian terbaik yang dilakukan Astuti (2003). Proses reprocessing minyak goreng bekas meliputi despicing, netralisasi dan
bleaching. Despicing Proses despicing menggunakan metode steaming (uap panas). Minyak goreng bekas sebanyak 200 ml dimasukkan dalam gelas ukur 1000 ml kemudian dialirkan uap panas dari alat steaming yang berisi aquades pada o tekanan 1 atm dan suhu 100 C dengan ratio minyak:steam = 1:1. Campuran minyak dan air yang telah mengalami steaming diendapkan kemudian dibuang bagian airnya.
Pemanfaatan Minyak Goreng Bekas (S. Wijana, dkk.) Netralisasi Minyak bebas air dari proses pengendapan dinetralisasi dengan NaOH 4 N, pada beaker glass di atas hotplate yang dilengkapi magnetic stirer selama o 30 menit dan suhu 60 C. Pengambilan minyak dilakukan dengan kertas saring Whatman No.4.
Bleaching Proses bleaching dilakukan dengan o memanaskan minyak pada suhu 70 C. Penambahan arang aktif sebanyak 5,06 % dari berat minyak, diaduk selama 60 o menit sampai suhu mencapai 100 C, kemudian minyak disaring.dengan detail pelaksanaan pemrosesan ulang (reprocessing). Minyak hasil reprocessing selanjutnya dipanaskan pada suhu 45+2°C dengan suhu larutan o NaOH antara 35+ 2 C. Larutan NaOH 32 % dimasukkan ke dalam minyak sebanyak 60,25 ml kemudian dilakukan penyabunan (diaduk dengan mixer) sesuai perlakuan (30 menit, 45 menit, dan 60 menit) sampai diperoleh masa sabun kental. Dekstrin sesuai perlakuan sebanyak 1%, 2,5%, dan 4% dari berat minyak atau sebanyak 1 g, 2,5 g, dan 4 g ditambahkan ke dalam sabun kemudian diaduk selama 10 menit. Minyak melati sebanyak 1% (v/b) dimasukkan ke dalam bahan dan diaduk selama 5 menit selanjutnya bahan sabun yang telah mengental dituang ke dalam cetakan dan ditutup dengan plastik. Sabun dibiarkan selama sehari agar konsistensinya memadat, dikeluarkan dari cetakan, dan didiamkan selama 2 minggu untuk analisis. Analisis Analisis yang dilakukan terhadap minyak goreng yang telah mengalami reprocessing yang meliputi kadar air, asam lemak bebas, bilangan peroksida dan warna. Analisis pada produk sabun meliputi kualitas (kadar air, jumlah asam lemak, alkali bebas, pH, tekstur, daya busa), rendemen, uji organoleptis (warna, tekstur, dan daya busa), serta analisis kelayakan finansial (BEP, Payback Period, dan ROI).
Data hasil pengamatan selanjutnya dilakukan ANOVA yang dilanjutkan dengan Uji BNT jika terdapat beda nyata. Data hasil dari pengamatan organoleptik dianalisa dengan Uji Friedman dengan program SPSS 10.0 for Windows. Pemilihan alternatif terbaik dilakukan berdasarkan hasil analisis laboratorium dan uji organoleptik dengan menggunakan metode multiple attribute. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Bahan Baku Karakteristik minyak goreng bekas yang telah mengalami reprocessing (despicing, steaming, netralisasi dan bleaching), seperti disajikan seperti pada Tabel 1, terlihat bahwa kualitas minyak yang telah mengalami reprocessing telah memenuhi Standar Industri Indonesia (SII). Karakteristik Produk Sabun Analisis terhadap sabun mandi padat dilakukan berdasarkan parameter yang telah ditentukan oleh SNI 06-3532-1994 yang terdiri dari: kadar air, jumlah asam lemak, alkali bebas, asam lemak bebas, pH serta tekstur dan daya busa. Selain dibandingkan dengan SNI, pembandingan juga dilakukan terhadap sabun mandi yang telah beredar di pasaran (merek Priti). Hasil analisis disajikan pada Tabel 2. Tampak bahwa sebagian besar parameter kualitas telah memenuhi SNI, hanya parameter daya busa tidak dapat memenuhi SNI, baik sabun mandi hasil penelitian maupun sabun mandi komersial yang digunakan sebagai pembanding. Nilai parameter kualitas sabun yang dihasilkan secara rinci disajikan pada Tabel 3 dan Tabel 4. Kadar Air Rerata kadar air sabun hasil penelitian sebesar 6,81 % - 8,22 %, terendah pada penyabunan 30 menit serta konsentrasi dekstrin 1 %, dan tertinggi pada penyabunan 30 menit dan penambahan dekstrin 4 %. Hasil analisis 195
Jurnal Teknologi Pertanian, Vol. 6 No. 3 (Desember 2005) 193 - 202 ragam menunjukkan bahwa lama penyabunan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air, sedangkan konsentrasi dekstrin berpengaruh nyata (α = 0,05) terhadap kadar air sabun dan tidak ada interaksi antar perlakuan. Rerata kadar air sabun pada berbagai konsentrasi dekstrin dapat dilihat pada Tabel 4. Semakin tinggi dekstrin yang ditambahkan kadar airnya semakin meningkat. Hal tersebut disebabkan dekstrin memiliki sifat mengikat air. Sabun yang mengandung dekstrin lebih banyak mengikat air karena air di dalam sabun tidak dapat keluar dengan baik. Menurut Paul dan Palmer (1972), dekstrin merupakan senyawa hidrofilik yang akan mengikat air serta akan membentuk sistem koloidal dan air sulit
dilepaskan kembali apabila dipanaskan. Kadar air sabun yang ditetapkan SNI maksimal sebesar 15%. Hal ini menyebabkan sabun yang dihasilkan cukup keras sehingga lebih efisien dalam pemakaian karena sabun tidak mudah larut dalam air. Kadar air sabun yang dihasilkan antara 6,36 8,51%, sedangkan kadar air sabun merek Priti sebesar 7,95 %. Hal ini menunjukkan bahwa sabun hasil penelitian masih memenuhi SNI. Jumlah Asam Lemak Berdasarkan Tabel 4 terlihat bahwa rerata jumlah asam lemak terendah sebesar 80,83% pada konsentrasi dekstrin 4% dan tertinggi pada konsentrasi dekstrin 1%, yaitu 82,46%.
Tabel 1. Karakteristik Minyak Goreng Hasil Reprocessing Parameter Kadar Air (%) Kadar FFA (%) B. Peroksida (meq/kg) Warna: L* (kecerahan) a* (merah) b* (kuning) Sumber: Astuti (2003)
Standar SII Maksimal 0,3 Maksimal 0,3 Maksimal 2 Minimal 24 Maksimal 9 Minimal 10
Minyak Goreng Bekas 0,830 1,680 3,457 19,860 11,520 7,230
Minyak Goreng setelah Reprocessing 0,100 0,120 1,044 24,000 8,348 10,552
Tabel 2. Karakteristik Sabun Mandi Padat yang Dihasilkan Sabun Mandi Parameter yang Dianalisis SNI Sabun Mandi Hasil Penelitian Merek Priti Kadar air (%) Maksimal 15* 7,9500 6,3600 - 8,5100 Jumlah asam lemak (%) Minimal 70* 88,2100 80,0100 - 83,4200 Alkali bebas (%) Maksimal 0,1* 0,0900 - 0,1400 Asam lemak bebas (%) Maksimal 2,5* 1,6900 pH 8-11** 10,0500 10,1100 - 10,5800 Tekstur (mm/g dt) 0,0012 0,0006 - 0,0013 Daya Busa (cm) 2,4000 1,7000 - 2,2000 Sumber: * SNI Sabun Mandi (1994) dan ** SNI Sabun Cair (1996).
196
Pemanfaatan Minyak Goreng Bekas (S. Wijana, dkk.) Tabel 3. Rerata Alkali Bebas, pH dan Tekstur Sabun pada Berbagai Lama Penyabunan Lama Penyabunan Alkali Bebas (%) pH Tekstur (mm/g dt) 30 menit 0,14 a 10,47 a 0,0008 a 45 menit 0,12 b 10,36 b 0,0009 b 60 menit 0,11 c 10,22 c 0,0010 b Keterangan: angka pada kolom sama yang didampingi huruf (notasi) beda berbeda nyata pada uji BNT 5%. Tabel 4. Nilai Rerata Kadar Air, Asam Lemak, Alkali bebas, pH, Tekstur, Daya Busa dan Rendemen Sabun pada Berbagai Penambahan Dekstrin Asam Alkali Tekstur Daya Rendemen Penambahan Air (%) lemak (%) Bebas pH (mm/g dt) Busa (%) Dekstrin (%) (cm) Dekstrin 1 % 7,05 a 82,10 a 0,13 a 10,41a 0,0008 a 2,0533 a 87,42 a Dekstrin 2,5% 7,36 ab 81,32 b 0,12 ab 10,36 b 0,0009 b 1,8911 ab 88,52 ab Dekstrin 4 % 7,86 b 80,83 b 0,12 b 10,29 c 0,0010 b 1,8244 b 89,51 b Keterangan: angka pada kolom sama yang didampingi huruf (notasi) beda berbeda nyata pada uji BNT 5%. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Kamikaze (2001) yang menyatakan bahwa penurunan jumlah asam lemak disebabkan karena komposisi bahan bukan sabun pada bahan dasar sabun yang merupakan campuran minyak dan alkali semakin banyak. Semakin banyak dekstrin berarti mengurangi komposisi asam lemak dalam sabun sehingga jumlah asam lemak menurun. Sabun yang sesuai dengan standar SNI memiliki jumlah asam lemak dengan nilai lebih besar dari 70%. Sabun hasil penelitian mempunyai jumlah asam lemak antara 80,01 - 83,42%, sedangkan sabun merek Priti mengandung jumlah asam lemak sebesar 88,21%. Hal ini menunjukkan bahwa sabun hasil penelitian masih memenuhi standar jika dilihat dari jumlah asam lemak meskipun kurang dari jumlah asam lemak sabun komersial. Alkali Bebas Rerata alkali bebas pada sabun mandi padat hasil penelitian adalah 0,92 % - 0,15%, tertinggi pada lama penyabunan 30 menit dan konsentrasi dekstrin 1%, sedangkan terendah pada lama penyabunan 60 menit dan konsentrasi dekstrin 4%. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa lama
penyabunan dan konsentrasi dekstrin berpengaruh nyata (α = 0,05) terhadap alkali bebas namun tidak ada interaksi antara kedua faktor. Rerata alkali bebas pada berbagai lama penyabunan terlihat pada Tabel 3. Nilai rerata alkali bebas tertinggi dicapai pada penyabunan 30 menit, yaitu 0,14 %, sedangkan alkali bebas terendah pada penyabunan 60 menit, yaitu 0,11%. Hal ini disebabkan karena larutan NaOH kemungkinan akan bereaksi lebih sempurna dengan asam lemak pada minyak dengan bertambahnya waktu penyabunan sehingga alkali bebas makin berkurang, sedangkan reaksi penyabunan yang terjadi belum sempurna jika waktu penyabunan kurang. Menurut Kamikaze (2001), penyabunan yang dilakukan dengan penyabunan merupakan hal yang sangat penting agar proses saponifikasi terjadi secara merata pada semua bagian minyak. Pada Tabel 4 nampak bahwa rerata alkali bebas terendah pada penambahan dekstrin 4 %, yaitu 0,12 %, dan alkali bebas tertinggi pada konsentrasi dekstrin 1 %, yaitu 0,13 %. Semakin banyak dekstrin yang ditambahkan, kandungan alkali bebas menurun. Hal ini disebabkan dekstrin merupakan bahan tambahan yang memiliki pH rendah, sekitar 3,05, 197
Jurnal Teknologi Pertanian, Vol. 6 No. 3 (Desember 2005) 193 - 202 sehingga alkali yang ditambahkan tidak hanya menyabunkan asam lemak pada minyak tetapi juga menetralkan asam pada dekstrin. pH Rerata pH sabun mandi hasil penelitian 10,15 – 10,53, tertinggi pada lama penyabunan 30 menit dan konsentrasi dekstrin 1%, sedangkan terendah pada lama penyabunan 60 menit dan konsentrasi dekstrin 4%. Semakin lama waktu penyabunan, pH sabun cenderung menurun karena alkali telah bereaksi lebih sempurna dengan asam lemak pada minyak. Rerata pH pada berbagai konsentrasi dekstrin menunjukkan pH sabun cenderung turun atau lebih asam karena semakin banyak dekstrin yang ditambahkan. Dekstrin adalah golongan karbohidarat dengan berat molekul tinggi yang dibuat dengan modifikasi pati dan asam. Semakin besar kadar alkali bebas, pH sabun juga semakin tinggi karena kandungan alkali bebas akan menentukan nilai pH, yaitu nilai yang menunjukkan tingkat basa atau asam suatu bahan. Tekstur Rerata tekstur sabun sebesar 0,0007 - 0,0012 mm/g dt. Nilai tekstur yang semakin tinggi menunjukkan semakin lunak sabun karena jarum penetrometer dapat menembus ke dalam sabun. Sebaliknya, semakin kecil nilai tekstur berarti sabun makin keras karena jarum penetrometer makin sulit menembus massa sabun. Pada Tabel 3 terlihat bahwa rerata tekstur tertinggi (sabun paling lunak) pada penyabunan 60 menit sebesar 0,0010 mm/g dt dan rerata tekstur terendah (paling keras) pada lama penyabunan 30 menit, yaitu 0,0008. Hal ini disebabkan tekstur yang terbentuk akibat lama penyabunan berbeda, semakin sedikit lama penyabunan adonan sabun yang dihasilkan lebih encer dan antara minyak dan alkali belum tercampur merata sehingga minyak belum semuanya tersabunkan. 198
Pada Tabel 4 menunjukkan bahwa konsentrasi dekstrin 4% memberikan nilai tekstur tertinggi (paling lunak), yaitu 0,0010 mm/g dt, sedangkan nilai tekstur terendah (paling keras) pada konsentrasi dekstrin 1 %, yaitu 0,0008 mm/g dt. Hal ini diduga berhubungan dengan kadar air bahan. Sabun dengan kadar air rendah cenderung memiliki tekstur yang keras. Sebaliknya, semakin tinggi kadar air, sabun yang dihasilkan cenderung makin lunak. Menurut Bourne (1982), kadar air dan tekstur saling berhubungan. Peningkatan kadar air akan mengakibatkan tekstur semakin lunak dan sebaliknya. Tekstur sabun yang dihasilkan antara 0,0013-0,0006mm/g dt, sedangkan sabun merek Priti memiliki kekerasan 0,0012 mm/g dt. Hal tersebut menunjukkan bahwa kekerasan sabun yang dihasilkan hampir sama dengan sabun di pasaran meskipun sebagian memiliki tekstur lebih keras. Daya Busa Rerata daya busa sabun tertinggi, yaitu sebesar 2,0533 cm, dihasilkan pada lama penyabunan 45 menit dan konsentrasi dekstrin 1%, sedangkan daya busa terendah, yaitu sebesar 1,8244 cm, pada lama penyabunan 60 menit dan konsentrasi dekstrin 4%. Semakin banyak penambahan dekstrin, maka daya busa sabun berkurang sebab dekstrin merupakan bahan bukan sabun sehingga penambahan yang terlalu banyak akan menghambat kemampuan sabun dalam menghasilkan busa. Daya busa sabun hasil penelitian antara 1,70 - 2,20 cm, sedangkan daya busa sabun merek Priti 2,40 cm. Hal tersebut menunjukkan bahwa sabun hasil penelitian memiliki daya busa lebih rendah dari sabun merek Priti karena sabun di pasaran biasanya telah ditambahkan bahan lain (surfaktan) untuk meningkatkan kualitas sabun, sedangkan pada penelitian belum ditambahkan surfaktan.
Pemanfaatan Minyak Goreng Bekas (S. Wijana, dkk.) Rendemen Rerata rendemen sabun antara 84,22 % – 92,39 %, terendah pada lama penyabunan 60 menit dan konsentrasi dekstrin 1 %, yaitu sebesar 91,52 %, sedangkan tertinggi pada lama penyabunan 30 menit dan konsentrasi dekstrin 4 %, yaitu sebesar 85,52 %. Semakin lama penyabunan akan menyebabkan adonan bertambah kental karena air yang ada telah digunakan untuk reaksi penyabunan dengan sempurna. Hal tersebut mempengaruhi penuangan adonan sabun ke dalam cetakan karena semakin banyak adonan yang tertinggal pada mixer sehingga berpengaruh pada jumlah produk akhir yang dihasilkan. Pada penambahan dekstrin nampak bahwa rendemen tertinggi pada konsentrasi dekstrin 4 %, yaitu sebesar 89,51 %, dan rendemen terendah pada konsentrasi dekstrin 1 %, yaitu sebesar 87,42 %. Semakin banyak penambahan dekstrin akan meningkatkan rendemen karena meningkatkan total padatan di dalam sabun. Menurut Wurzburg (1986), dekstrin merupakan salah satu bahan pengisi, yaitu bahan yang ditambahkan untuk memperbesar volume dan meningkatkan jumlah total padatan yang akan berpengaruh terhadap rendemen. Uji Organoleptik Organoleptik Warna Warna sabun yang dihasilkan merupakan warna asli tanpa penambahan bahan pewarna. Rerata nilai kesukaan panelis terhadap warna sabun antara 2,17 (tidak suka) – 3,97 (suka). Nilai warna terendah ditunjukkan pada lama penyabunan 45 menit dan konsentrasi dekstrin 4%, sedangkan nilai warna tertinggi pada lama penyabunan 60 menit dan konsentrasi dekstrin 1 %. Hasil uji Friedman menunjukkan adanya beda nyata perlakuan terhadap warna. Hal ini terutama disebabkan penambahan dekstrin yang berbeda antar perlakuan. Penambahan dekstrin yang semakin banyak menyebabkan warna sabun menjadi lebih gelap. Hal ini
disebabkan dekstrin yang digunakan warnanya kurang putih, seperti yang dikemukakan oleh Whistler dan Miller (1972) bahwa dekstrin berwarna putih sampai kuning. Aroma Aroma dihasilkan dari penambahan parfum aroma melati pada sabun. Meskipun bahan ini tidak akan mengurangi fungsi sabun, tetapi keberadaannya dapat meningkatkan daya tarik konsumen (Permono, 2002). Rerata nilai kesukaan panelis terhadap aroma sabun antara 3,00 – 3,43 (netral). Nilai terendah pada perlakuan lama penyabunan 30 menit dan dekstrin 1 %, sedangkan nilai tertinggi pada perlakuan lama penyabunan 30 menit dan dekstrin 2,5 %. Hasil uji Friedman menunjukkan tidak ada beda nyata perlakuan terhadap aroma. Hal ini terutama disebabkan penambahan parfum tiap perlakuan sama, yaitu 1 % dari berat minyak. Aroma wangi sabun yang dihasilkan menurut para panelis kurang kuat dan hampir sama pada tiap perlakuan sehingga antar perlakuan tidak memberikan perbedaan. Tekstur Tekstur yang dimaksud adalah berkaitan dengan kekerasan sabun. Menurut Soekarto (1985), penilaian tekstur menyangkut basah, kering, halus, keras, atau berminyak suatu produk. Rerata nilai kesukaan panelis terhadap tekstur sabun antara 3,10 – 3,43 (netral). Nilai terendah ditunjukkan pada perlakuan lama penyabunan 45 menit dengan konsentrasi dekstrin 4 % dan nilai tertinggi pada perlakuan lama penyabunan 30 menit dengan konsentrasi dekstrin 2,5 %. Hasil uji Friedman menunjukkan tidak ada beda nyata perlakuan terhadap tekstur. Hal ini disebabkan tekstur sabun hampir sama keras sehingga panelis tidak dapat membedakan dengan baik. Menurut panelis, sabun yang dihasilkan cenderung terlalu keras. Hal tersebut diduga berkaitan dengan rerata kadar air pada 199
Jurnal Teknologi Pertanian, Vol. 6 No. 3 (Desember 2005) 193 - 202 sabun yang relatif rendah, yaitu sebesar 6,8125 % – 8,2167 %, sehingga sabun yang dihasilkan cenderung keras. Daya Busa Daya busa merupakan kemampuan sabun untuk menghasilkan busa yang dilakukan panelis dengan mencoba menggunakan sabun di tangan. Rerata nilai kesukaan panelis terhadap daya busa sabun antara 3,00 (netral) – 3,50 (suka). Nilai terendah ditunjukkan pada perlakuan lama penyabunan 60 menit dengan konsentrasi dekstrin 2,5 % dan nilai tertinggi pada perlakuan lama penyabunan 30 menit dengan konsentrasi dekstrin sebesar 2,5 %. Hasil uji Friedman menunjukkan tidak ada beda nyata perlakuan terhadap daya busa. Panelis diduga kurang dapat membedakan daya busa masing - masing sabun sehingga antar perlakuan tidak berbeda nyata. Rasa Rasa Kesat Rasa kesat yang dimaksud adalah rasa tidak licin atau tidak berminyak di tangan setelah menggunakan sabun. Rerata nilai kesukaan panelis terhadap rasa kesat sabun antara 2,97 - 3,67 (netral - suka), nilai terendah pada lama penyabunan 60 menit dengan konsentrasi dekstrin 2,5%, sedangkan nilai tertinggi pada lama penyabunan 30 menit dengan konsentrasi dekstrin 2,5%. Hasil uji Friedman menunjukkan adanya beda nyata perlakuan terhadap rasa kesat. Hal ini diduga berhubungan dengan kadar alkali bebas dan pH pada sabun. Semakin banyak alkali bebas dan pH tinggi akan menyebabkan sabun makin kesat, namun jika berlebihan cenderung dapat menyebabkan kulit kering. Semakin besar kadar alkali bebas, kesukaan konsumen terhadap rasa kesat yang ditimbulkan juga semakin tinggi. Pemilihan Alternatif Terbaik Pemilihan alternatif terbaik dilakukan dengan menggunakan metode Multiple Attribute berdasarkan parameter yang diuji pada sabun mandi padat, yang 200
terdiri dari: kadar air, jumlah asam lemak, alkali bebas, pH, tekstur, daya busa, rendemen serta uji organoleptik terhadap warna, aroma, tekstur, daya busa dan rasa kesat sabun. Alternatif terbaik diperoleh dengan melihat L1, L2 dan L~ minimal pada perlakuan, yaitu pada perlakuan lama penyabunan 45 menit dan konsentrasi dekstrin 1 %. Perlakuan terbaik mempunyai kadar air 7,31 %, jumlah asam lemak 82,69 %, alkali bebas 0,13 %, pH 10,40, tekstur 0,0007 mm/g dt, daya busa 2,15 cm, rendemen 87,51, warna 3,96 (suka), aroma 3,3 (netral), rasa kesat 3,5 (suka), tekstur 3,30 (netral) dan daya busa 3,27 (netral). Analisis Finansial Berdasarkan perhitungan Payback Period diketahui bahwa investasi yang digunakan akan kembali dalam jangka waktu 4,19 atau 4 tahun 2 bulan 3 hari. Hal ini berarti Payback Period di bawah umur proyek, yaitu 5 tahun, sehingga perusahaan dikatakan menguntungkan. Return on Invesment (ROI) dihitung untuk mengetahui tingkat kembalinya modal yang digunakan dan untuk merumuskan apakah digunakan modal sendiri atau dari luar untuk membiayai usaha (Purba, 1997). Berdasarkan perhitungan diperoleh ROI sebesar 18,49 %. Hal ini berarti nilai ROI lebih besar dari suku bunga bank, yaitu 18 % per tahun, namun prospek implementasi relatif kurang bagus karena selisih dengan suku bunga bank sangat kecil kecuali dengan menggunakan modal sendiri. KESIMPULAN DAN SARAN Alternatif terbaik diperoleh pada proses pembuatan sabun padat dengan kondisi lama penyabunan 45 menit dan konsentrasi dekstrin yang ditambahkan sebesar 1 %. Produk yang dihasilkan dengan kadar air 7,31 %, jumlah asam lemak 82,68 %, alkali bebas 0,12 %, pH 10,40, tekstur 0,0007 mm/g dt, daya busa 2,15 cm, rendemen 87,51 %, warna 3,96 (suka), aroma 3,3 (netral),
Pemanfaatan Minyak Goreng Bekas (S. Wijana, dkk.) rasa kesat 3,5 (suka), tekstur 3,30 (netral) dan daya busa 3,27 (netral). Pada kapasitas produksi per hari 45 kg per kemasan @ 80 g dengan harga jual Rp. 820,00, diperoleh HPP sebesar Rp. 630,00, nilai BEP diperoleh pada 50.387 unit kemasan dan Rp.13.574.333,00 serta Payback Period 4 tahun 2 bulan dan ROI sebesar 18,49 %. Untuk meningkatkan kualitas sabun padat yang dibuat dari minyak goreng bekas diperlukan upaya penelitian lanjut dengan penambahan berbagai surfaktan sehingga terjadi peningkatan daya busa. DAFTAR PUSTAKA Anonymous. 1994. SNI Sabun Mandi. Dewan Standarisasi Nasional Indonesia. Jakarta Anonymous. 1996. SNI Sabun Mandi Cair. Dewan Standarisasi Nasional. Jakarta Anonymous, 2003. Is Reusing Cooking Oil Safe?. Go Ask Alice!. Columbia University’s Health Question & Answer Internet Service. http://www.goaskalice.columbia.ed u/2277.htm1. Anonymous, 2003. Soy Oil Refining Technologies. New Industrial Product and Processes. http://www.ag.iastate.edu/centers/ occur/newindus.2.htm1. Abraham, V., 2002. Guidelines for Deepfrying in Restaurants and Foodservice Outlets. Canadian Restaurant and Foodservices Association. CRF Guidelines for Deep-frying in Restaurants and Foodservice Outlets.http://www.crfa.ca/foodsaf ety/ foodsafety _howto_frying.htm. Andarwulan, N; YT. Sadikin dan FG. Winarno, 1997. Pengaruh Lama Penggorengan dan Penggunaan Adsorben terhadap Mutu Minyak Goreng Bekas Penggorengan Tahu dan Tempe. Buletin Teknologi dan Industri Pangan 7 (1): 40-45. Astuti, F.D. 2003. Optimasi Proses Bleaching dengan Metode Adsorpsi pada Minyak Goreng Bekas yang Telah Mengalami Despicing dan
Netralisasi. Skripsi. Jurusan Teknologi Industri Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang. Hal. 19,35. Bheem-Reddy, R; MS. Chinnan; KS. Pannu; K. Holownia and AE. Reynolds, 1999. Reducing Quality Degradation of Frying Oil and Maintaining Fried Food Quality by Active Treatment of Oil. Frying Oil. http://www. Griffin.peachnet.edu fst/Pages/FryingOil.htm1. Bheem-Reddy, R; MS. Chinnan and K. Holownia, 2000. Estimation of Total Polar Compounds in Frying Oils Using Sep-pak Cartridges. Frying Oil. http://www.Griffin.peachnet.edu/fs t/Pages/FryingOil.htm1. Bourne. 1982. Food Texture and Viscosity. Concept and Measurement. Academic. Academic Press, Inc. New York Kamikaze, D. 2001. Studi Awal Pembuatan Sabun Menggunakan Campuran Lemak Abdomen Sapi dan Curd Susu Afkir. Skripsi. Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. IPB. Bogor Hal 7-10 Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Lemak dan Minyak Pangan. UI Press. Jakarta Hal 6,191-195 Manullang, M. 1998. Perlakuan Panas pada Minyak Goreng. Buletin Teknologi Industri Pertanian 9 (2). Paul, C.D dan Palmer, H. 1972. Food Theory and Applications. John Willey & Sons,Inc. New York Permono, A. 2002. Membuat Sabun Colek. Penebar Swadaya. Jakarta Hal 3-38 Purba, R. 1997. Analisis Biaya dan Manfaat (Cost and Benefit Analysis). Rineka Cipta. Jakarta. Hal 76-77. Rukmini, A, Hardiman dan B. Kartika, 2000. Prospek Bahan Tanaman Bersilikat untuk Regenerasi Minyak Goreng Bekas. Proseding Seminar Nasional Industri Pangan 2000 (11): 22-30. Soekarto, S.T. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Bhratara Karya Aksara. Jakarta
201
Jurnal Teknologi Pertanian, Vol. 6 No. 3 (Desember 2005) 193 - 202 Sugeng, H.R. 1998. Home Industri Jenis Barang Keperluan Sehari-hari. Aneka Ilmu. Semarang Whistler, R.L. dan J.N.B. Miller. 1972. Industrial Gums Polysaccharides
202
and Their Derivatives. Academic Press. New York Wurzburg, O.B. 1986. Starch in The Food Industry in Handbook of Food Additives. Thomas E.F. Eagen Pers. New York