USULAN KEBIJAKAN BERAS DARI BANK DUNIA: RESEP YANG KELIRU M. Husein Sawit Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161
ABSTRACT The World Bank has experienced a long time in influencing the Indonesian economic development policy, including rice policy. The economic policy as well as rice policy in the era of decentralization and democratic government is a public policy. It should be discussed openly to the public, involving civil society, political parties, parliament members, local and central government, scientists and others. The policy should not be dictated dominantly by scientists, particularly foreign experts. This paper argues that the Bank viewed too narrowly on poverty reduction. Expenditure poverty is very sensitive to rice price and inflation. Human poverty is different to the expenditure poverty. The former is closely related to generating employment, increasing productivity and efficiency in agriculture sector, particularly food sub-sector where the poor is more involved. The Bank is bias for short run poverty reduction, ignoring structural and chronic human poverty. The human poverty can be solved by increasing productivity in agriculture sector. At the same time, government has to spend an appropriate amount of public expenditure for the poor. It is not about how to make the rice price low. Key words : rice policy, public policy, poverty alleviation
ABSTRAK Kebijakan perberasan Indonesia telah menjadi perhatian untuk sejumlah lembaga internasional, termasuk Bank Dunia. Lembaga ini telah lama mengeritik dan mengintervensi sejumlah kebijakan pembangunan ekonomi, termasuk kebijakan perberasan. Tampaknya, perilaku Bank Dunia belum banyak berubah di era desentralisasi dan demokrasi. Seharusnya yang diberi peran besar adalah masyarakat sipil, partai politik, DPR/DPRD, pemda, dan peneliti dalam merancang kebijakan publik. Itu bukan lagi menjadi domain peneliti, apalagi ahli asing. Dalam makalah ini dibahas tentang kelemahan cara pandang Bank Dunia terhadap kebijakan beras di Indonesia, terutama yang dikaitkan dengan kemiskinan. Kelemahan itu mencakup pengukuran kemiskinan yang terlalu sempit, dan bias jangka pendek, bukan melihat kemiskinan manusia yang bersifat struktural dan kronis. Hampir tidak pernah dijumpai dalam literatur ekonomi pembangunan bahwa kemiskinan di negera-negara berkembang dapat diatasi dengan memurahkan harga pangan. Itu konsep pengentasan kemiskinan yang keliru. Solusi yang benar adalah gerakkan sektor riil, ciptakan lapangan kerja, serta tingkatkan produktivitas terutama di sektor pertanian dimana penduduk miskin banyak menggantungkan hidupnya. Industri padi/beras adalah salah satu di antaranya, bukan membuat harga beras murah. Kata kunci: kebijakan beras, kebijakan publik, pengentasan kemiskinan
USULAN KEBIJAKAN BERAS DARI BANK DUNIA : RESEP YANG KELIRU M. Husein Sawit
193
PENDAHULUAN
Sejak akhir 2006, Bank Dunia semakin sering mengeritik pemerintah tentang kenaikan harga beras, baik terbuka maupun tertutup. Akhir-akhir ini, Bank Dunia semakin aktif melobi dan menawarkan resep buat pemerintah, agar Indonesia menempuh privatisasi lembaga pangan, melepas cadangan beras nasional ke swasta, dan liberalisasi impor, mendorong agar swasta diperankan sebagai stabilisator harga dalam negeri. Mereka yakin sekali, pasar dapat menyelesaikan instabilitas harga, maupun kemiskinan (World Bank, 2007). Perilaku Bank Dunia di Indonesia tampaknya belum berubah, belum belajar dari kekecewaan masyarakat Indonesia atas krisis ekonomi, terjerat hutang luar negeri, serta terlalu banyaknya sumberdaya alam, perbankan dikuasai oleh perusahaan asing. Pendapat Bank Dunia termasuk juga berbagai hasil penelitiannya, tidak kredibel di mata masyarakat luas di Indonesia. Di Makasar misalnya, Bank Dunia terpaksa harus menghilangkan atribut Bank Dunia di kantor di mana proyek mereka ada. Sebelumnya, hampir setiap hari ada saja demonstrasi ke kantor proyek Bank Dunia, sehingga mereka tidak nyaman bekerja. Sebaik apapun saran Bank Dunia, masyarakat Indonesia pasti mencurigainya. Ini akibat dari reputasi mereka masa lalu dan akibat dari perilaku mereka sebagai salah satu lembaga perusak ekonomi, termasuk ekonomi Indonesia (Perkin, 2004). Tujuan makalah ini adalah untuk menilai kelemahan cara pandang yang bias tentang kebijakan beras Bank Dunia. CARA PANDANG BANK DUNIA DAN KENYATAANNYA Domain Publik bukan Domain Peneliti Bank Dunia seharusnya memahami benar, tentang cara-cara menyusun kebijakan publik di era demokrasi, tidak boleh didikte oleh segelintir para ahli. Pada era sentralisasi Orba, para teknokrat dan birokrat –dibantu oleh tenaga ahli asing- berperan besar dalam mendikte kepentingan masyarakat banyak. Namun dalam era demokrasi, peran masyarakat dalam proses penyusunan kebijakan publik-seperti kebijakan beras- haruslah lebih besar. Kebijakan beras itu adalah domain kebijakan publik. Kebijakan beras harus mendapat dukungan luas dari masyarakat sipil, DPR, pemerintah daerah, tidak boleh didikte oleh peneliti, apalagi oleh peneliti asing atau ahli lembaga asing yang kurang memahami secara mendalam tentang rumah tangga petani dan masyarakat desa. Di samping itu, apabila saran-saran mereka diterapkan pemerintah, diperkirakan akan sulit diimplementasikan di lapangan, apabila kurang dukungan publik, kurang dukungan Pemda, serta akan selalu dipersoalkan oleh DPR/DPRD, sehingga kebijakan yang diputuskan itu menjadi tidak produktif. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 3, September 2007 : 193-212
194
Kebijakan beras yang mereka susun itu (Bank Dunia, 2007) hanya mengacu pandangan ahli asing atau literatur yang ditulis oleh orang asing. Itu tidak berarti pandangan ahli asing tidak diperlukan, tetapi tidak boleh dominan, serta perlu didalami sejumlah kepentingan yang melekat di belakangnya. Dari total hampir 100 jumlah literatur, hanya 4-5 literatur yang ditulis oleh orang Indonesia asli. Padahal, banyak studi tentang padi/beras yang telah dilakukan oleh para ahli bangsa Indonesia, tetapi diabaikan tanpa dipakai sebagai bahan rujukan. Ini menunjukkan bagaimana miskinnya Bank Dunia dalam memahami pikiran para ahli Indonesia. Namun mereka mencoba mempengaruhi sejumlah menteri ekonomi yang beraliran neoliberal. Bank Dunia juga rajin menyampaikan gagasan perubahan kebijakan beras pada berbagai forum sejak akhir 2006, baik dengan cara mengundang sejumlah ahli Indonesia ke markas mereka di Jakarta, atau mengadakan seminar di luarnya, seperti di lembaga PBB (CAPSA) di Bogor. Namun, mereka menghindari diskusi terbuka dengan masyarakat luas (civil society) atau dengan para pakar Indonesia di luar kubu mereka. Bank Dunia langsung menyampaikan gagasannya ke tingkat pengambilan keputusan tentang kebijakan beras ke Kantor Menko Perekonomian atau ke sejumlah menteri lain yang sealiran dengan Bank Dunia. Penulis juga kaget, ada power point tentang kebijakan beras disiapkan oleh Bank Dunia untuk SBY. Net Konsumen? Data Susenas vs data Tingkat Usahatani Bank Dunia mengatakan bahwa telah terjadi kenaikan jumlah orang miskin yang cukup serius sejak harga beras naik. Itu buruk buat penduduk miskin, karena sebagian besar petani adalah net konsumen. Pandangan ini adalah keliru. Pola panen padi adalah musiman, mereka surplus pada MPR (musim panen raya) dan MPG (musim panen gadu), dan defisit pada MP (musim paceklik). Tetapi, data Susenas BPS memperlihatkan sebaliknya, sebagian besar petani padi adalah net konsumen. Data Susenas haruslah dianalisis dengan hatihati dalam kaitannya dengan estimasi produksi musiman dan pengeluaran musiman. Susenas menaksir tahunan berdasarkan hasil penelitian seminggu, kemudian dikalikan menjadi tahunan. Hasilnya adalah defisit produksi (net consumer), seolah-olah terjadi sepanjang tahun. Data itulah yang dipakai Bank Dunia untuk mempertahankan argumentasinya. Namun, hasil studi intensif yang dilakukan oleh Sumaryanto et al. (2002) di DAS Brantas melaporkan sebaliknya. Para petani mengelola usahatani padi untuk MH (musim hujan), MK1 (musim kemarau pertama) dan MK2, masingmasing seluas 0,35 ha, 0,33 ha, dan 0,23 ha per petani. Luas ini adalah umum dijumpai pada usahatani pangan, khususnya padi di Indonesia. Mereka melaporkan bahwa konsumsi per kapita sebesar 107 kg/kap/tahun (Tabel 1). Ini adalah jumlah yang dikonsumsi langsung oleh rumah tangga tani, belum termasuk konsumsi tidak langsung seperti makan di warung, pesta, tempat kerja, dll. USULAN KEBIJAKAN BERAS DARI BANK DUNIA : RESEP YANG KELIRU M. Husein Sawit
195
Tabel 1. Konsumsi Beras per Kapita oleh Petani Miskin dan Petani Tidak Miskin di DAS Brantas, Jawa Timur, 1999/2000 Petani Miskin % RT Kg/Kapita Hulu 42,5 106,6 Tengah 53,0 109,2 Hilir 56,9 105,1 Total 51,7 107,2 Note: RT=Rumah tangga Sumber: Sumaryanto et al. (2002) Wilayah
Petani Tidak Miskin % RT Kg/Kapita 57,5 120,5 47,0 102,2 43,1 101,7 48,3 107,5
TOTAL RT Kg/Kapita 120 114,6 200 105,9 160 103,6 480 107,3
Rataan produksi padi sekitar 462 kg/kapita/tahun. Terungkap adanya marketable surplus sekitar 354 Kg/kap/tahun. Marketable surplus di musim hujan lebih tinggi dari MK1, namun negatif pada MK2. Pada MK2, banyak petani tidak tanam padi karena kekurangan air, sehingga luas usahatani menurun (Sumaryanto et al., 2002). Oleh karena itu, tidaklah tepat untuk mengasumsikan bahwa semua petani sempit sebagai net konsumen sepanjang tahun. Yang benar adalah mereka net produsen pada dua musim pertama, atau hanya net konsumen di musim paceklik (MK2). Keputusan konsumsi dan pengeluaran bergantung pada asumsi itu. Oleh karena itu, asumsi net konsumen untuk petani padi adalah tidak didukung oleh data empiris. Terabaikan Peran Non-Food Services Seterusnya, laporan Bank Dunia (2007) itu juga terlalu sempit dalam melihat industri beras yaitu hanya sebagai industri penghasil padi/beras untuk tujuan komersial belaka. Mereka tidak menilai peran pangan, khususnya beras yang menghasilkan non-food services. Itu menyangkut stabilitas politik, stabilitas ekonomi, distribusi pendapatan, penyerapan tenaga kerja. Harga beras yang berlaku di pasar belum memperhitungkan non-food services yang ia berikan ke publik (Dillon et al., 1999). Konsumen seharusnya perlu membayar harga beras lebih tinggi dari tingkat harga pasar, sekiranya non-food services itu diperhitungkan. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa padi/beras adalah industri kunci dalam pembangunan, khususnya pembangunan perdesaan. Kalau suatu industri yang erat kaitannya ke depan dan kebelakang, menyerap tenaga kerja yang begitu besar, pengangguran tinggi, terutama di perdesaan, maka industri itu harus dianalisis keterkaitannya yang luas, tidak dianalisis secara parsial. Oleh karena itu, industri padi/beras harus dilihat dengan hati-hati dan bijaksana, jangan bias ke jangka pendek. Harga merupakan salah satu insentif buat pelaku usaha, namun itu bukanlah satu-satunya insentif buat mereka. Peningkatan produktivitas dan Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 3, September 2007 : 193-212
196
efisiensi, merupakan insentif lain yang tidak boleh diabaikan, itu terkait dengan non-price incentive. Insentif harga dan nonharga akan saling memperkuat, bukan saling menggantikan. Oleh karena itu, insentif nonharga tidak ampuh manakala harga gabah/beras terlalu rendah, tidak mampu menutupi ongkos produksi. Tingkat kemiskinan yang dikaitkan dengan harga beras, merupakan cara pandang sempit. Itu hanya cara hitung menghitung, amat jangka pendek dan ad hoc sifatnya. Kita jangan mengorbankan kepentingan jangka panjang, hanya sekedar untuk mencapai kepentingan jangka pendek. Adalah hampir tidak mungkin, kemiskinan jangka panjang dapat dikurangi secara berkelanjutan, manakala industri beras/padi lesu. Kelesuan ini, tidak dengan sendirinya akan tergantikan oleh komoditas lain, seperti hortikultura. Kita tidak boleh menghambat suatu industri yang punya keunggulan komparatif, dipaksakan untuk keluar dari industri itu, padahal industri lain belum kuat terbangun. Pengembangan hortikultura misalnya, akan berisiko tinggi dan instabilitas harga yang besar, karena infrastruktur pemasaran dan distribusi yang masih amat lemah. Apabila mereka beralih ke sektor lain dalam kondisi infrastruktur itu belum diperkuat, maka akan menggiring petani sempit untuk menanggung risiko yang tinggi. Itu tidak akan mampu mengurangi jumlah orang miskin secara berkelanjutan. Itu mengingatkan pengalaman Meksiko dalam meliberalisasi komoditas jagung sebagai makanan utama mereka, dan petani jagung dialihkan ke kentang. Namun petani Meksiko tidak beralih ke tananam kentang, mereka pindah ke kota. Sebagian juga bermigrasi ke AS (IATP, 2007a dan Albert, 2004). Penanganan kentang berbeda dengan jagung, terutama dalam penyimpanan, karena pemerintah belum menyiapkan infrastruktur yang layak untuk itu. Akibatnya terjadi peningkatan kemiskinan dan pengangguran di perdesaan Meksiko. Pada saat kita mengabaikan sektor kunci seperti subsektor padi/beras, maka risikonya menjadi besar. Pada situasi pengangguran tinggi dan pengangguran tidak kentara di desa amat menonjol, itu akan menambah kemiskinan dan akan mendorong bertambahnya urbanisasi. Perkotaan akan menerima beban dan akibatnya, seperti kekumuhan, kriminalitas dan keresahan sosial yang terus bertambah. Itu buah dari urbanisasi yang berlebih, mengabaikan peningkatan pendapatan serta lapangan kerja di perdesaan. Perdagangan tentu tidak dapat menyelesaikan semua itu, apalagi kemiskinan. Mengotak-atik harga pangan agar dibuat murah, sama saja memberi obat penghilang rasa sakit sementara (pin killer), tetapi tidak menyembuhkan penyakit itu sendiri. Penyakit utama adalah lapangan kerja yang terbatas, produktivitas rendah, insentif untuk bekerja di sektor pertanian merosot. Insentif harga adalah salah satu yang tidak boleh diabaikan untuk itu. Demikian juga, pada saat harga beras turun murah yaitu terjadi pada periode serbuan impor beras yang tinggi periode 1999, 2002, dan 2003 (seperti yang dibahas pada bagian lain dalam makalah ini), ternyata jumlah orang miskin tetap tidak berkurang secara USULAN KEBIJAKAN BERAS DARI BANK DUNIA : RESEP YANG KELIRU M. Husein Sawit
197
signifikan. Namun, pada saat harga beras naik, harga beras dianggap sebagai faktor penyebabnya, tidak sebaliknya. Hal itu amat tidak realistis. Hampir tidak pernah dijumpai dalam literatur ekonomi, bahwa kemiskinan di negera-negara berkembang dapat diatasi dengan memurahkan pangan. Itu konsep pengentasan kemiskinan yang keliru. Yang benar adalah gerakan sektor riil, ciptakan lapangan kerja, serta tingkatkan produktivitas terutama di sektor pertanian di mana penduduk miskin banyak menggantungkan hidupnya. Industri padi/beras adalah salah satu diantaranya. Bukan membuat harga pangan atau beras murah sehingga menjadi tidak wajar buat petani. Harga Beras dan Kemiskinan: Keganjilan Analisis Kelemahan lain kaitan harga beras dengan kemiskinan yang dibuat Bank Dunia, telah dibahas dengan baik oleh Sugema (2006). Ia mengatakan bahwa Bank Dunia keliru dalam menyimpulkan hubungan itu. Beras memang besar kontribusinya dalam inflasi, 23 persen. Namun peran nonberas jauh lebih tinggi mencapai 77 persen. Ia juga menyebutkan bahwa hasil penelitiannya dan penelitian lain seperti yang dilakukan UNIDO dan UNSFIR, menemukan bahwa angka kemiskinan BPS amat sensitif dari pengaruh inflasi. Penyebab inflasi tidak sama dengan komponen inflasi. Harga beras adalah komponen inflasi, yang belum tentu penyebab inflasi itu sendiri. Ia juga mengatakan bahwa adalah keliru kalau memfokuskan pengentasan kemiskinan dari sisi pengeluaran dan harga. Rendahnya pengeluaran keluarga miskin akibat dari ketidakmampuan mereka untuk memperoleh pendapatan yang layak. Peningkatan pendapatan dari pekerjaan yang mereka tekuni, meningkatkan produktivitas kerja, mendorong aktivitas padat kerja adalah solusi yang tepat untuk atasi kemiskinan (Sugema, 2006). Juga penting untuk disikapi secara kritis adalah cara pengukuran tingkat kemiskinan itu sendiri. Pengukuran kemiskinan sebelum krisis terlalu banyak bersandar pada kemiskinan pendapatan berdasarkan indikator konsumsi. Belum banyak memberikan perhatian pada konsep Sen (2000) tentang kemiskinan nonpendapatan. Sen mengatakan bahwa poverty as capability deprivation. Kemiskinan sebagai kehilangan/ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti kesehatan, perumahan, pendidikan dan pangan. Dimensi kemiskinan Sen terfokus pada non-income poverty, bukan kemiskinan pengeluaran. Tingkat kemiskinan itu tidak sensitif terhadap harga maupun inflasi. Atas dasar inilah kemudian UNDP merancang kemiskinan manusia, bukan kemiskinan pendapatan. UNDP telah membuat indek tentang itu, yang disebut Human Development Index. Ini seharusnya menjadi acuan kita. Laporan tentang Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 3, September 2007 : 193-212
198
kemiskinan manusia telah dilakukan di Indonesia dengan bantuan UNDP sejak beberapa tahun terakhir. Pada 2004 misalnya, dilaporkan tentang Ekonomi dari Demokrasi: Membiayai Pembangunan Manusia, diterbitkan oleh BPS, Bappenas dan UNDP (2004). Dengan konsep ini Dhanani dan Islam (2000) misalnya, menghitung kemiskinan manusia di Indonesia sebesar 25 persen, bandingkan dengan kemiskinan pendapatan BPS hanya 11 persen pada 1996. Sayang, konsep kemiskinan manusia kurang dipakai sebagai acuan dalam penyusunan program pembangunan daerah maupun nasional. Akibatnya Indonesia amat terbelakang di antara negara ASEAN dalam menyediakan dana untuk kesehatan yang terkait dengan harapan hidup, kematian bayi, akses terhadap air minum yang bersih, juga dana untuk pendidikan. Oleh karena itu, kalau konsep kemiskinan manusia yang dipakai, maka harga beras atau pangan tidaklah sensitif sebagai penyebab kemiskinan. Capability poverty terkait dengan kemiskinan struktural dan kronis. Itu hanya mungkin dipecahkan oleh pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, pertumbuhan yang pro-poor, serta adanya intervensi pemerintah yang terarah ke orang miskin.
Impor Beras dari AS tidak Penting? Bank Dunia (2007) juga mengklaim bahwa ekspor beras AS berpengaruh kecil ke Asia, tentunya juga ke Indonesia. Ekspor beras AS banyak ditujukan ke Amerika Latin. Kalaupun diekspor ke Asia, jenis berasnya berbeda, sehingga harga pasar jenis itu tidak terkait sama sekali (almost completely disconnected) dengan beras lokal. Ini untuk membuktikan bahwa Indonesia tidak perlu khawatir dengan beras yang penuh subsidi berasal dari AS, karena tidak akan berpengaruh besar ke pasar beras dalam negeri. Namun, data memperlihatkan bahwa impor beras Indonesia dari AS cukup tinggi di antara negara maju yang mengekspor beras ke Indonesia. Impor beras dari AS meningkat di era liberalisasi dan era tarif. Pada 1996, hanya 9 ribu ton, meningkat menjadi 75 ribu ton pada 1999. Pada 2001 dan 2003, adalah tahuntahun tertinggi impor beras dari AS yaitu mencapai masing-masing 178 ribu dan 108 ribu ton, terbesar selama 10 tahun terakhir. Setelah Indonesia menerapkan batasan impor beras sejak 2004, impor beras dari AS menurun drastis, hanya 2 ribu ton pada 2005 (Tabel 2). AS berperan penting dalam impor beras ke Indonesia. Hampir separoh impor beras ke Indonesia yang datang dari negara maju berasal dari AS. Beras dari AS yang murah harganya, dipakai oleh para pedagang untuk dicampur (oplos) dengan beras lokal, sehingga menghasilkan jenis beras baru dengan harga yang lebih murah. Hal itu telah memperbesar stok Bulog, sehingga menjadi berkurang kemampuannya untuk menyerap pengadaan beras/gabah dalam negeri.
USULAN KEBIJAKAN BERAS DARI BANK DUNIA : RESEP YANG KELIRU M. Husein Sawit
199
Tabel 2. Impor Beras Indonesia dari Negara Maju dan AS: 1996-2005 (Ton) Tahun AS Negara Maju Lain 1996 9.031 6.980 1997 0 12.352 1998 22.072 17.756 1999 74.956 385.725 2000 49.409 46.975 2001 177.889 1.522 2002 13.393 33.158 2003 107.608 25.231 2004 16.767 7.327 2005 2.184 9.081 Rataan: Jumlah (MT) 47.331 54.611 Persen (%) 48 52 Sumber: Data dasar berasal dari data impor beras bulanan BPS, seperti yang dilaporkan oleh Husein Sawit dan Lokollo (2007)
Total Negara Maju 16.011 12.352 39.828 460.681 96.384 179.411 46.551 132.839 24.094 11.266 101.942 100
Impor itu dalam bentuk food aid melalui bantuan multilateral (WFP) dan melalui program PL480 dengan kredit lunak jangka panjang. Kredit lunak dan jangka panjang sesungguhnya juga merugikan pemerintah Indonesia, karena Indonesia harus membayar harga beras yang jauh lebih mahal dari harga beras di luar program. Ini sering dikeluhkan oleh berbagai pejabat di berbagai departemen, seperti Departemen Keuangan, Bappenas. AS “memaksa” agar Indonesia mau menerima program PL480. Apabila tidak berhasil meyakinkan Bulog misalnya, mereka akan ke departemen lain, atau ke pejabat tertinggi seperti presiden atau wakil presiden. Apabila telah disetujui, selanjutnya yang memutuskan kedatangan beras itu adalah AS. Umumnya didatangkan pada musim panen raya. Itu telah berpengaruh negatif terhadap tingkat harga beras/gabah di dalam negeri. Pemerintah tidak berdaya untuk itu. AS tentu mampu menjual beras dengan harga murah ke Asia. AS melalui Farm Bill 2002 misalnya memberikan subsidi terhadap 20 komoditas pertanian. Namun, subsidi terbesar ditujukan ke 5 komoditas utama yaitu beras, kapas, gandum, jagung dan kedelai (IATP, 2007b). Inilah yang menyebabkan mengapa sejumlah negara berkembang sulit bersaing dan terpuruk, seperti petani jagung Meksiko, petani kapas di Afrika (Husein Sawit, 2007). AS mensubsidi sejumlah komoditas pangan, itu banyak kaitannya dengan kepentingan korporasi raksasa. Korporasi AS itu merambah dunia, seperti Cargill (beroperasi di 63 negara), Mosanto (61 negara), Tyson Foods (80 negara) dan Archer Danniels Midland yang beroperasi di Amerika Latin, Negara Pasifik, Afrika, Kanada, Eropa. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 3, September 2007 : 193-212
200
Hasil penelitian IATP (2007b) menyebutkan bahwa AS melalui lembaga WTO dan Bank Dunia memaksa negara berkembang untuk menurunkan tarif dan membuka pasar, sehingga memuluskan MNCs milik AS untuk melakukan kegiatan bisnis pangan secara global. AS tentu ngiler melihat potensi pasar di sejumlah negara Asia, seperti China, India dan Indonesia. Disana banyak penduduk yang memerlukan pangan, permintaan berbagai jenis pangan yang terus meningkat seiring dengan kemajuan ekonomi. Hal itulah yang mereka ingin rebut.
SERBUAN IMPOR BERAS Indonesia adalah negara net importir beras sejak lama, kecuali pada waktu swasembada beras 1984. Sejak 1990, impor beras terus meningkat. Produksi beras dalam negeri tidak mampu mengejar laju pertumbuhan permintaan beras dalam negeri, seiring dengan pertambahan penduduk dan peningkatan pendapatan, terutama berkurangnya jumlah penduduk miskin. Puncak impor beras Indonesia terjadi pada periode krismon 1998-1999. Pada era liberalisasi perdagangan, impor beras Indonesia mengalir pesat, tanpa hambatan. Kemudian pemerintah mengoreksi kebijakan itu dengan berbagai cara, menetapkan tarif spesifik dan terakhir membatasi impor (import restriction). Pada waktu pemerintah Orba, stabilisasi ekonomi makro, khususnya inflasi menjadi inti untuk pembangunan ekonomi. Harga beras berperan besar dalam penentuan tingkat inflasi, sehingga harga beras dikendalikan untuk tujuan menstabilkan harga umum. Bulog diberikan hak monopoli impor beras oleh pemerintah, guna mestabilkan harga beras dalam negeri. Monopoli impor beras telah ada sejak zaman penjajahan. Penjajah Belanda melarang perdagangan bebas untuk beras, guna untuk melindungi kesejahteraan masyarakat perdesaan, sebagai akibat dari rendahnya harga beras di pasar global serta lemahnya posisi petani (Boeke, 1946). Sejak itu, rasional untuk mengontrol perdagangan beras telah berubah, namun monopoli impor tetap dipertahankan dengan alasan kandungan politik yang amat sensitif (Mears, 1981) Pada pertengahan 1997, krisis moneterpun datang yang selanjutnya menjalar ke krisis ekonomi. Banyak sektor keuangan dan sektor riil yang tutup, terutama sektor perbankan dan konstruksi. Tingkat pengangguran tiba-tiba bertambah, serta harga barang sulit dikontrol, termasuk harga pangan dan beras khususnya. Inflasi pada 1998 melonjak menjadi 78 persen, yang sebelumnya di bawah 10 persen, misalnya pada 1996 hanya 6 persen. Indonesia pun terpaksa harus berhutang yang lebih banyak lagi pada lembaga internasional, terutama IMF. Pada 1998, hutang luar negeri Indonesia telah mencapai 168 persen dari GDP. Pada tahun 2006, hutang luar negeri Indonesia tinggal 40 persen dari GDP. Morosot tajam, setelah Indonesia memutuskan untuk mengembalikan seluruh hutang kepada lembaga tersebut. USULAN KEBIJAKAN BERAS DARI BANK DUNIA : RESEP YANG KELIRU M. Husein Sawit
201
Sejak itulah, Indonesia harus menerima “resep pahit” dalam kerangka pemulihan ekonomi. Resep pahit itu merambah ke sektor-sektor lain, terutama perubahan dalam kebijakan pangan, yang sesungguhnya IMF tidak punya kompetensinya. Mulai 1998, semua pangan termasuk beras tentunya, dideklarasikan pasar bebas. Peran Bulog dibatasi dan dipersempit perannya. Malah pada 1999, perannya sebagai STE dicabut. Pada 2002, Bulog memperoleh lagi haknya sebagai STE, setelah dinotifikasi di WTO akhir 2002 (Husein Sawit, 2005). Sejumlah previlage buat Bulog dihapus, seperti subsidi kredit, dana luar budget (off-budget) dan akses terhadap nilai tukar yang bersubsidi. Sejak itu, impor pangan yang dikelola Bulog selama ini seperti gula, beras, gandum, kedelai dibebaskan tata niaganya. Itu tentu tidak lepas dari berbagai komitmen pemerintah yang disepakati dengan pihak IMF. IMF mengikat pemerintah dengan LOI (letter of intend). LOI itu dirancang oleh IMF di kantor pusat di Washington. Pemerintah tidak punya kekuatan untuk merubah apalagi mengatakan tidak, pemerintah diharuskan untuk menandatangani kesepakatan itu. Setelah LOI disetujui, maka pemerintah harus mengeluarkan keputusan menteri, peraturan pemerintah atau keputusan lain, sehingga kuat dasar hukumnya. Inti dari LOI itu adalah liberalisasi perdagangan, privatisasi BUMN, penghapusan subsidi, dan pendisiplinan defisit APBN. Lihat analisis Stiglitz (2002) tentang cara kerja mereka sebagai aliran neo-liberal, dan Blustein (2001) merekam perilaku IMF di negara berkembang. Juga kritik Stiglitz (2003) terhadap pemerintah AS yang memaksa kehendaknya melalui Bank Dunia atau IMF. Padahal di negara AS sendiri banyak hal yang terkait dengan privatisasi dan liberalisasi tidak sepenuhnya dilaksanakan. Chang dan Grabel (2004) membahas khusus tentang mitos dan realita tentang pasar bebas dan global neoliberal. Contohnya, LOI yang dikeluarkan tgl 11 September 1998. Isinya antara lain : ”also, for the first time in thirty years, we will allow private traders to import rice”. Kemudian, pemerintah mengeluarkan SK Mendag no.439 tentang bea masuk, tertanggal 22 September 1998. Isi SK itu adalah impor beras dibebaskan, dengan bea masuk 0 persen. Hampir semua kesepakatan itu, tidak pernah dibahas dengan transparan, yang melibatkan masyarakat luas, bahkan parlemen sekalipun tidak pernah mengetahuinya. Itu suatu produk kesepakatan yang amat tidak demokratis. Para ahli ekonomi dan politik pribumi tercengang dan shock dengan reformasi radikal yang dilakukan oleh pemerintah. Padahal banyak kesepakatan dengan IMF melanggar UUD 45 dan GBHN (Baswir, 2003 dan Swasono, 2003). Pada 15 Januari 1998, Presiden Suharto menandatangani program IMF yang terkait dengan penghapusan KKN. Banyak rakyat Indonesia terutama pejabat militer marah, menonton TV dan baca koran besok harinya, bagaimana Presiden RI menandatangani proposal itu, dihadapan Mr. Camdessus yang berdiri dengan pongah bersilang tangan. Itu amat menghina rakyat Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 3, September 2007 : 193-212
202
Banyak pihak, bahkan para ahli luar negeri sekalipun, melihat keganjilan atas program IMF yang dipaksakan buat Indonesia. Blustein (2001) melaporkan salah seorang diantaranya adalah Paul Volcker, mantan pimpinan Fed. Ia kaget tentang hubungan antara penghapusan monopoli cengkeh dengan program stabilisasi ekonomi makro. Atas program IMF itu, Mr. Volcker berkomentar seperti berikut ”I’d never read an entire Fund program before”. Seterusnya ia tambahkan “The Fund’s business is macro policy, and that’s stuff you can change. How programmatic you can be, in things that go into basic culture and economic structure- whether that’s productive or counterproductive, well, it’s a continuing issue, that’s all I will say”. Selanjutnya Blustein (2001) menuturkan pandangan seorang banker dunia berkedudukan di Washington yang dimintakan bantuan oleh IMF yaitu Ms. Florence Cazenave. Ia ragu atas paket anti KKN dan reformasi struktural yang dibuat IMF, karena tidak terkait dengan isu utama tentang pasar. Ia mengatakan pada IMF: “The program, should focus on addressing the problems of the banking system and the foreign debt burden of Indonesia corporations”. Akhirnya ia mangatakan kepada Camdessus “I would love to go home, but we have still not started on the problems of the financial sector.” “Krismon” berlangsung bersamaan dengan musim kemarau panjang, yang menyebabkan produksi nasional turun 3,37 persen dan 0,28 persen masing-masing untuk 1997 dan 1998, sehingga impor beras dalam periode 1998-1999 mencapai 3,8 MMT/tahun. Itu sama dengan hampir 15 persen dari total beras yang diperdagangkan di pasar dunia (Tabel 3). Pada waktu itu, rasio swasembada merosot turun menjadi 88 persen, terendah sejak 1990. Itu artinya, ketergantungan impor beras meningkat yaitu menjadi hampir 12 persen/tahun. Peningkatan impor ini tidak lepas dari kebijakan liberalisasi perdagangan beras. Tabel 3. Produksi, Impor dan Rasio Ketergantungan Impor Beras: 1995-2006 Tahun
Produksi (000 Ton)
Impor (000 Ton)
1996-97 32.211 911 1998-99 31.633 3.827 2000-03 32.356 1.318 2004-06 34.337 280 Sumber: Husein Sawit dan Lokollo (2007)
Rasio Ketergantungan Impor (%) Rataan Tahunan 3,0 11,7 4,3 0,9
Impor Terhadap Volume Perdagangan Beras Dunia (%) 4,7 14,6 5,1 1,0
Selama periode 10 tahun terakhir (1996-2005) dapat pula dipakai untuk menghitung dan menganalisis tentang terjadinya serbuan impor beras ke Indonesia. Serbuan impor didefinisikan bila terjadi lonjakan impor lebih dari 10 persen dari rataan bergerak (moving average) periode 3 tahun terakhir. Dengan memakai kriteria itu, maka Indonesia mengalami serbuan impor beras pada 1998, 1999, 2002 dan 2003, yang besarannya mencapai masing-masing 84 persen, 78 persen, 42 persen dan 11 persen (Tabel 4). USULAN KEBIJAKAN BERAS DARI BANK DUNIA : RESEP YANG KELIRU M. Husein Sawit
203
Tabel 4. Serbuan Impor Beras: 3 Tahun Rataan Bergerak Sebagai Volume Trigger Tahun
Impor Total (Kg)
Volume Trigger (Kg)
Perubahan Impor (%)
Serbuan Impor (>10%)
1998
2.900.550.168
1.574.023.021
84
Ada
1999
4.751.849.761
2.668.130.685
78
Ada
2000
1.375.497.862
3.009.299.264
(54)
Tidak Ada
2001
649.487.560
2.258.945.061
(71)
Tidak Ada
2002
1.811.988.250
1.278.991.224
42
Ada
2003
1.437.472.137
1.299.649.316
11
Ada
2004
246.256.381
1.165.238.923
(79)
Tidak Ada
2005
195.014.801
626.247.773
(69)
Tidak Ada
Catatan: 1) MA= moving average 3 years (rataan bergerak 3 tahunan), sebagai Volume Trigger (VT) 2) Serbuan impor bila deviasi positif > 10% Sumber: Perhitungan Husein Sawit dan Lokollo (2007) berdasarkan data impor BPS
Serbuan impor ini terjadi lebih parah, karena sebagian besar beras impor itu masuk dalam musim panen raya (MPR) dan panen gadu (MPG). Pada periode 1998-99 dan 2000-03, jumlah beras impor yang masuk dalam periode itu mecapai masing-masing 79 persen dan 77 persen. Ini mendorong secara langsung atau tidak langsung terhadap kekacauan pergerakan harga antar musim. Harga gabah pada musim paceklik mejadi lebih rendah dari harga gabah di musim panen raya atau panen gadu. Ini juga mendorong terjadi dan meluasnya kasus kejatuhan harga tingkat petani di bawah harga dasar yang ditetapkan pemerintah. Dalam Tabel 5 berikut, diringkas tentang hal itu. Dengan kata lain, serbuan impor telah berdampak negatif terhadap perdagangan antar musim, menyulitkan pemerintah untuk melindungi petani dari kejatuhan harga di musim panen padi. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, pada 1997 dan 1998, terjadi serbuan impor yang cukup besar yaitu masing-masing 84 persen dan 78 persen. Harga beras impor memang lebih tinggi dari harga grosir, hampir sepanjang tahun 1997 dan terus berlangsung beberapa bulan dalam 1998. Tingginya harga beras impor dalam rupiah, itu sebagai akibat dari ketidakstabilan nilai tukar rupiah terhadap USD. Namun, sejak pertengahan 1998, harga beras impor menjadi jauh lebih rendah dari harga dalam negeri, seiring dengan stabilnya nilai tukar rupiah serta penurunan harga beras di pasar internasional (Gambar 1). Sehingga harga beras dalam negeri menjadi tertekan rendah. Inilah yang telah membuat petani dan penggilingan padi resah. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 3, September 2007 : 193-212
204
Tabel 5. Beras: Volume Impor, Kejatuhan Harga Periode Serbuan Impor, dan Harga Tertekan
Tahun Serbuan Impor
Volume Impor pada Periode MPR dan MPG
Ketergantungan Impor (%)
Harga Beras di MP < MPR atau MPG
Kejatuhan Harga Gabah dibawah HPP (%)
79%a) 79%a) 77%b) 77%b)
9,4 14,1 5,8 4,6
c) Ya Ya Ya
c) 8,3 7,7 42,9
d) d)
0,8 0,6
Tidak Tidak
15,2 7,3
1998 1999 2002 2003 Tahun Tanpa Serbuan Impor 2004 2005
a) Rataan 1998-1999 b) Rataan 2000-03 c) Tidak terditeksi, karena instabilitas nilai tukar (Rp/USD) d) Hampir semuanya beras impor masuk dalam periode MP, karena telah diatur dengan kebijakan pembatasan impor.
5.000.000
3.500.000
Harga Pedagang Besar (Rp/Ton) 4.500.000
Des 98
Des 99
Des 02
3.000.000
4.000.000
2.500.000
3.500.000
3.000.000
Ton
Rp/Ton
2.000.000
Harga Impor (Rp/Ton) 2.500.000 1.500.000 2.000.000
1.500.000
1.000.000
1.000.000
Volume Impor (Ton) 500.000 500.000
DES03
SEP03
OKT03
NOV03
AGU03
MEI03
JUL03
JUN03
APR03
JAN03
FEB03
MAR03
DES02
SEP02
OKT02
NOV02
AGU02
MEI02
JUL02
JUN02
APR02
JAN02
FEB02
MAR02
DES99
SEP99
OKT99
NOV99
AGU99
MEI99
JUL99
JUN99
APR99
JAN99
FEB99
MAR99
DES98
SEP98
OKT98
NOV98
AGU98
MEI98
JUL98
JUN98
APR98
JAN98
FEB98
MAR98
-
Bulan
Gambar 1. Volume Impor, Harga Impor, Harga Grosir dalam Periode Serbuan Impor Beras
USULAN KEBIJAKAN BERAS DARI BANK DUNIA : RESEP YANG KELIRU M. Husein Sawit
205
Harga beras di pasar dunia terus merosot, yaitu mencapai angka terendah US$ 140/Ton, serta menguatnya nilai tukar Rp terhadap USD, menyebabkan harga beras impor menjadi jauh lebih murah. Petani dan penggilingan padi, menjerit. Beras hasil produksi dari wilayah produsen di desa tidak cepat mengalir ke wilayah konsumen di kota. Suplai beras di kota telah terisi dengan beras impor yang harganya murah, sehingga harga gabah menjadi tertekan, perdagangan antar pulau lesu. Daerah konsumen utama di luar Jawa, seperti Sumatera dan Kalimantan, telah terisi oleh beras impor. Mengalirnya impor beras itu, seperti yang diperlihatkan dalam Gambar 2 berikut. Beras impor masuk ke kantong-kantong konsumen di kota-kota besar di luar Jawa dan di Jawa. Walaupun beras impor itu tidak sampai ke tingkat petani/desa, namun dampaknya luas. Beras dari desa produsen tidak bisa mengalir ke wilayah konsumen di kota, perdagangan antar pulau lesu. Ini menjadi penyebab, harga beras dan gabah di wilayah produsen menjadi tertekan rendah.
Gambar 2. Aliran Beras Impor dan Penggilingan/Pedagang Lokal serta Petani
Setelah terjadi kebanjiran impor 1998 dan 1999, kekacauan harga baru terjadi mulai 1999. Harga gabah di MP jauh lebih rendah dari harga MPR (Gambar 3). Harga gabah tingkat produsen sebaiknya dianalisa sesuai dengan pola panen padi, karena padi adalah komoditas musiman. Separoh dari luas total areal panen berlangsung pada Musim Panen Raya (MPR), sedangkan pada Musim Panen Gadu (MPG) mengambil peran 35 persen, dan sisanya 15 persen berlangsung pada Musim Paceklik (MP). Apabila tidak ada intervensi pemerintah Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 3, September 2007 : 193-212
206
(baik berupa pengamanan HPP maupun pengelolaan impor), maka harga gabah tingkat produsen pasti akan jatuh di MPR, dan harganya melonjak pada MP. Kejatuhan harga beras di bawah HPP meluas, mencapai 43 persen pada 2003. Pergerakan harga antar musim menjadi kacau, tidak seperti biasanya. Misalnya harga GKP pada MP atau MPG lebih rendah dari harga MPR. Ini artinya, banyak beras impor masuk pada masa MPG dan stok itu, menyebabkan over supply sehingga mendorong harga turun di MP (Gambar 3). Dengan pergerakan harga seperti itu, maka akan mengurangi insentif para pelaku usaha, terutama UKM untuk membeli gabah, menggiling serta menyimpannya. Kejatuhan harga dasar meluas dan besar. Pemerintah kemudian menetapkan tariff untuk beras Rp 430/kg atau setara dengan 30 persen Ad Valorem pada waktu ditetapkan, Januari 2000.
2.000
1.800
1.600
Harga GKP (Rp/Kg)
1.400
1.200
1.000
800
600
400
200
0
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Tahun Musim Panen Raya
Musim Panen Gadu
Musim Paceklik
Gambar 3. Harga Gabah Tingkat Petani menurut Musim (MPR, MPG dan MP), 1998-2005
Melihat keresahan petani dan pengggilingan padi, pemerintahan baru Presiden Abdulrahman Wahid (Gus Dur) mendiskusi ulang dengan IMF untuk mengoreksi tentang kebijakan liberalisasi beras dan gula. Kebijakan tarif ini, awalnya tidak disetujui IMF. Seorang Menteri Senior, Kwik Kian Gie mengeluh bagaimana perasaannya tercabik-cabik pada waktu menghadapi para ahli dari IMF, yang umumnya masih muda, belum berpengalaman di negara berkembang. Mereka masih hijau, hanya ahli moneter USULAN KEBIJAKAN BERAS DARI BANK DUNIA : RESEP YANG KELIRU M. Husein Sawit
207
dan belum lama lulus dari universitas. Hal yang sama juga keluhan, Wapres Yusuf Kala, yang kala itu menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Mereka harus bertemu dengan tim IMF sampai 5-6 kali, hanya sekedar untuk memperoleh persetujuan penerapan tarif untuk beras dan gula. Akhirnya, pemerintah menetapkan tarif seperti yang telah disebutkan di atas, mulai berlaku Januari 2000. Awalnya, hanya hambatan tarif, tetapi kemudian ditambah dengan inspeksi fisik dengan ketat (red line) terhadap beras. Ini diperlukan untuk mengefektifkan penerapan tarif. Penerapan tarif, ternyata tidaklah mudah. Banyak hambatan di border, terutama pengamanan dari penyelundupan. Infrastruktur yang kurang memadai, jumlah kapal untuk menjaga pantai amat terbatas, dan telah berumur tua. Belum lagi, masalah keterbatasan biaya serta rigiditas penggunaan APBN untuk membiayai operasional kapal pengawas pantai. Di samping itu, rendahnya gaji dan tunjangan para pelaksana di border maupun para pengawas, sehingga sulit sekali memberantas penyelundupan. Walaupun telah dicoba dengan kontrol ketat melalui pemeriksaan fisik (red line), ternyata masih kurang ampuh. Bahkan salah urus itu terjadi di Tanjung Periuk, pelabuhan di ibu kota. Padahal, penerapan tujuan penerapan tariff specific untuk memperkecil risiko penyelewengan dalam penentuan harga beras yang berbeda harganya karena berbeda kualitasnya. Namun para importer tidak kalah akal, mereka melaporkan lebih rendah dari volume impor dari sesungguhnya (under-invoice), lihat Tabor et al. (2002). Itu berbeda sekali penerapan tariff specific di negara maju, yang tujuannya untuk meningkatkan tingkat tariff dalam persentase, manakala harga produk yang dimaksud di pasar dunia turun. Ketidakefektifan tarif dapat dilihat secara tidak langsung melalui selisih data impor beras dari negara eksportir dibandingkan dengan data resmi yang dilaporkan pemerintah. Data impor yang berasal dari TRR (berasal dari negara eksportir) jauh lebih tinggi dari yang dilaporkan BPS yang memperoleh data dari Ditrektorat Bea Cukai. Selisih itu, semakin tinggi dari satu periode ke periode lainnya. Pada periode 1998-99, sekitar 25 persen laporan data impor beras dari BPS lebih rendah dari data TRR. Sedangkan periode 2000-03, melonjak menjadi 44 persen (Tabel 6). Semakin tinggi selisih harga beras dalam lawan luar negeri, semakin tinggi pula insentif terjadinya penyelundupan, dan salah urus di border tentunya. Pergerakan harga gabah antar musim terganggu lagi, pada 2002 dan 2003, karena adanya serbuan impor masing-masing sebesar 42 persen dan 11 persen. Impor beras ternyata banyak masuk dalam bulan-bulan di mana masih panen yaitu di MPG, padahal pada periode itu suplai beras dalam negeri masih tinggi (Tabel 7). Ini menyebabkan bertambahnya suplai dan stok berlebih, sehingga telah mendorong harga tertekan di MP. Kasus kejatuhan harga gabah juga meluas dalam periode itu. Pada waktu itu, kejatuhan harga di MP masing-masing 13 persen dan 42 persen. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 3, September 2007 : 193-212
208
Tabel 6. Impor Beras dari Berbeda Sumber: 1996-2005 (Ton) Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
BPS 1.469.527 351.992 2.900.550 4.751.850 1.375.498 649.488 1.811.988 1.437.472 246.256 195.015
TRR 1.173.014 781.604 6.076.542 4.182.774 1.511.611 1.404.051 3.707.037 2.775.328 633.756 446.679
Perbedaan (BPS/TRR) (%) 25 -55 -52 14 -9 -54 -51 -48 -61 -56
Rataan Tahunan 1996-97 910.759 977.309 -7 1998-99 3.826.200 5.129.658 -25 2000-03 1.318.611 2.349.507 -44 2004-05 220.636 540.218 -59 Note: BPS dan TRR=The Rice Report, seperti yang dikutip oleh Husein Sawit dan Lokollo (2007)
Tabel 7. Produksi dan Impor Beras menurut Musim: Rataan Tahunan 1998-99 dan 20002003 Produksi
Impor
Rataan 1998-99 (Ton) % (Ton) MPR (Musim Panen Raya) 16.244.149 51 865.252 MPG (Musim Panen Gadu) 9.906.401 31 2.202.784 MP (Musim Paceklik) 5.741.532 18 827.083 100 3.895.119 TOTAL 31.892.082 Rataan 2000-03 MPR (Musim Panen Raya) 16.770.602 51 516.994 MPG (Musim Panen Gadu) 10.411.157 32 432.334 17 343.810 MP (Musim Paceklik) 5.425.630 TOTAL 32.607.390 100 1.293.139 Note: MPR (Feb-Mei); MPG (Jun-Sept), dan MP (Okt-Jan) Sumber: Husein Sawit dan Lokollo (2007) dihitung dari data BPS Musim Panen
% 22 57 21 100 40 33 27 100
Salah satu akibat dari ketidakmampuan pengelolaan impor beras adalah perdagangan antar pulau menjadi lesu, beras dari daerah produsen tidak mengalir USULAN KEBIJAKAN BERAS DARI BANK DUNIA : RESEP YANG KELIRU M. Husein Sawit
209
ke wilayah konsumen di kota. Akibatnya adalah harga beras ditingkat petani tertekan rendah. Ini telah berdampak buruk terhadap petani miskin/sempit serta lesunya aktivitas perdagangan yang umumnya dikuasai oleh UKM. Itu juga telah memperburuk distribusi pendapatan dan membuat pembangunan perdesaan menjadi lesu. Berbagai kesulitan dan salah urus tentang efektifitas penerapan tarif, mendorong petani dan parlemen untuk meminta pemerintah untuk melarang impor beras. Pada Januari 2004, impor beras dilarang sesuai dengan SK Menperindag no.9/MPP/Kep/1/2004. Mulanya hanya berlaku beberapa bulan yaitu sebulan sebelum panen raya, selama panen raya dan dua bulan setelahnya. Di luar bulan-bulan tersebut, impor beras dikontrol dengan pemberian kuota terhadap importir IP (importir produsen) dan IT (importir terdaftar), impor beras tidak dibuka sebagai importir umum. Pemerintah kemudian mengoreksinya, dengan terus melarang impor beras sampai sekarang. Penerapan larangan impor ternyata efektif untuk mencegah terjadi impor berlebih. Pada waktu yang sama, pemerintah amat gencar untuk memberantas penyelundupan dan mendorong produksi padi dalam negeri, sehingga impor beras sejak 2004 berkurang dengan drastis. Rataan impor turun menjadi 221 ribu ton/tahun periode 2004-2005. Pergerakan harga gabah antar musim pun menjadi normal kembali (Gambar 3), walau peningkatan harga beras dalam negeri cukup tinggi. PENUTUP Pandangan Bank Dunia harus disikapi secara kritis, karena yang merasakan akibat dari implementasi saran mereka yang bias itu adalah bangsa kita, petani kita, masyarakat kita. Mereka datang kemari silih berganti ahlinya, tetapi itu sekedar melaksanakan pesan sponsor. Kita telah terperangkap dengan hutang luar negeri dan SDA milik bangsa ini yang dikapling dan dikuasai bangsa asing. Kita semakin sulit keluar dari kemiskinan dan kepapaan, padahal kita berada di negara yang kaya. Sayang para pengambil keputusan, banyak diantara para birokrat kurang memahami politik kurang terpuji di belakang lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia dan IMF. Dalam tataran perundingan multilateral misalnya, mereka juga jarang memihak negera berkembang, mereka jelas memihak negara kaya dan korporasi internasional (MNCs). Itulah yang harus disikapi dangan bijaksana dan hati-hati. Indonesia telah berpengalaman dalam liberalisasi beras. Dampaknya amat buruk buat petani dan pelaku usaha UKM seperti pedagang kecil, penggilingan Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 3, September 2007 : 193-212
210
padi. Indonesia pernah mengalami serbuan impor beras pada 1998, 1999, 2002 dan 2003. Demikian juga instrumen tarif tampaknya belumlah cukup ampuh untuk melindungi petani dari perdagangan yang tidak adil, walaupun diakui instrumen ini lebih transparan dan sesuai dengan kaidah perdagangan multilateral. Salah satu alasannya karena lemah dalam implementasi dan buruknya infrastruktur di border, disamping para pelaksana di lapangan yang belum jujur, sehingga penyelundupan sulit diberantas. Solusi yang terbaik adalah tetap perlu instrumen non-tariff barrier seperti quantitative restriction untuk mengefektifkan perlindungan, setidaktidaknya dalam jangka menengah, sambil membenahi efektivitas perlindungan melalui instrumen tarif. DAFTAR PUSTAKA Albert, H. 2004. The US Farm Bill and Cotton Cultivation: Is the WTO undermining Rural Development?, Agriculture and Rural Development, 11 (2). Baswir, R. 2003. Di Bawah Ancaman IMF, Koalisi Anti Utang. Pustaka Pelajar: Yogyakarta BPS, Bappenas, UNDP. 2004. Ekonomi dari Demokrasi: Membiayai Pembangunan Manusia Indonesia. UNDP. Jakarta Blustein, P. 2001. The Chastening: Inside the crisis that rocked the global financial system and humbled the IMF. PublicAffairs, New York Boeke, J.H. 1946. The Evolution of the Netherlands Indies Economy, Institute of Pacific Relations. New York. Chang, H-J and I. Grabel. 2004. Recliming Development: an alternative economic policy mannual, Zed Books. London and New York. Dillon, HS, M.H. Sawit, P.Simatupang dan S.R. Tabor. 1999. Rice Policy: A Framework for the Next Millennium. Report for Internal Review Only for Bulog (November 1999). Dhanani, S dan I. Islam. 2000. Poverty, Inequality and Social Protection: lessons from the Indonesian Crisis. Working Paper. 00/01, UNSFIR, UNDP. Husein Sawit, M. 2005. Perum Bulog dalam Perjanjian Pertanian WTO: apa, mengapa dan bagaimana. Pusat Penelitian Perum Bulog. Jakarta. Husein Sawit, M. 2007. Liberalisasi Pangan: Aksi dan Reaksi dalam Putaran Doha WTO. Lembaga Penerbit FE Universitas Indonesia. Jakarta. Husein Sawit, M. dan E.M. Lokollo. 2007. Rice Import Surge in Indonesia, final report collaborated research between Action Aid International and ICASEPS. Bogor. IATP. 2007a. A Fair Farm Bill for the World, a series of papers on the 2007 US Farm Bill. Institute for Agriculture and Trade Policy (IATP). Minnesota. IATP. 2007b. A Fair Farm Bill for America, a series of papers on the 2007 US Farm Bill. Institute for Agriculture and Trade Policy (IATP). Minnesota. USULAN KEBIJAKAN BERAS DARI BANK DUNIA : RESEP YANG KELIRU M. Husein Sawit
211
Mears, L.A. 1981. The New Rice Economy of Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Perkins, J. 2004. Confessions of an Economic Hit Man. Penguin Books Ltd. London. Sen, A.. 2000. Development as Freedom. Oxford University Press. New Delhi. Sugema, I. 2006. Inflasi, Kemiskinan, dan Beras. Kompas, 23 November 2006. Sumaryanto, M. Siregar and Wahida M. 2002. Socio Economic Analysis of Farm Household in Irrigated Area of Brantas River Basin. Research report as a part of the study Irrigation Investment. Fiscal Policy, and Water Resource Allocation in Indonesia and Vietnam. collaboration of IFPRI-CASERD-Kimpraswil-Jasa Tirta. Stiglitz, J. 2002. Globalization and Its Discontents. Penguin Books. London. Stiglitz, J. 2003. The Roaring Nineties: why we’re paying the price for the greediest decade in history. Penguin Books. London. Swasono, S.E. 2003. Kata Pengantar. Di Bawah Ancaman IMF (Introduction” in Under IMF Control), Koalisi Anti Utang. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Tabor, S.R; M. Husein Sawit, HS. Dillon. 2002. Indonesian Rice Policy and the Choice of a Trade Regime for Rice in Indonesia. paper presented at the LPEM. World Bank. 2007. Issues in Indonesian Rice Policy. draft March 2007.
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 3, September 2007 : 193-212
212