Uji Cepat Tanah USDA USDA Soil Quality Institute menyediakan Soil Quality Test Kit Guide dikembangkan oleh Yohanes Doran bekerjasama dengan Agricultural Research di Lincoln, Nebraska
Test kit (kotak uji) dirancang untuk penggunaan di lapangan. Isi kotak uji berupa komponen diperlukan dalam evaluasi seperti botol sampel (bekas botol film, Syekhfani), pisau lipat, cangkul, dan kantong plastik. Juga dilengkapi beberapa peralatan yang tidak didapat di lapangan seperti jarum suntik, tabung karet, termometer tanah, alat pengukur DHL (daya hantar listrik), kertas saring, dan standar kalibrasi DHL. Kit dilengkapi pula dengan alat pengukur infiltasi, kapasitas pegang air, tingkat kepadatan tanah, pH, nitrat tanah, konsentrasi garam, stabilitas agregat, populasi cacing tanah, dan pengukur respirasi. Soil Quality Test Kit Guide dapat dipesan dari USDA melalui Web: Http://Www.Statlab.Iastate.Edu/Survey/Sqi/Sqihome.Shtml. Dalam web di atas, terdapat sebanyak 88 halaman petunjuk versi on-line tersedia dalam format Adobe Acrobat yang bisa di printed out. Ringkasan uji tersedia pada halaman web. Untuk memesan dalam bentuk makalah, lihat referensi dari the Soil Quality Institute di bawah seksi the Additional Information Resources. Seksi II dalam test kit terdapat petunjuk interpretisi bagi uji individu seperti digambarkan dalam seksi I. Suatu penilaian secara cepat dan sederhana terhadap kualitas tanah dapat ditemui dalam web Soil Quality Institute dengan meng-klik ―Getting to Know your Soil,‖ di bagian bawah homepage. Metode sederhana yaitu menggali lubang dan melakukan beberapa pengamatan. Di sini terdapat prosedur: Gali lubang 4 hingga 6 inci di bawah kedalaman pengolahan tanah dan ditemukan bagaimana sulitnya menggali. Meriksa akar tanaman dan mengelompokkan akar cabang dan akar rambut yang baik atau mengelembung. Ketidak-beradaan akar rambut berarti akar kekurangan oksigen, sedang pertumbuhan menyamping menandakan adanya hardpan. Lebih lanjut dapat diketahui tentang perkembangan cacing tanah, bau tanah, dan agregasi. Prosedur langsung lain menaksir manfaat tanah padang rumput tersedia dalam penerbitan ATTRA berjudul Assessing the Pasture Soil Resource.
Peringatan Awal Monitoring Lahan Pertanian
Suatu panduan peringatan awal monitoring lahan pertanian telah diterbitkan oleh Center for Holistic Management (30). Panduan monitoring berisi satu set indikator tanah sehat yang dapat diukur di lapangan. Tidak diperlukan peralatan angan-angan dalam panduan. Pada dasarnya, semua peralatan dijumpai di tempat dengan harga murah mudah didapat di lahan. Pengukuran sederhana dapat membantu menentukan kesehatan tanaman dalam kaitan dengan efektivitas siklus unsur hara, siklus air, dan keaneka-ragaman organisme tanah tertentu.
Beberapa di antaranya kehidupan organisme, agregasi, infiltrasi, penutup tanah, dan cacing tanah. Panduan monitoring mudah dibaca dan dipahami, serta dilampiri satu lembar kertas catatan. Semua] ada tersedia dengan harga $ 12 di Center for Holistic Management lihat Additional Resources).
Penilaian Kesehatan Tanah Secara Langsung
Cara cepat untuk mengidentifikasi suatu tanah sehat adalah dengan perasaan dan pembau-an. Genggam segumpal tanah dan bau-i. Apakah berbau khas tanah? Apakah mudah hancur/remah dan dijumpai cacing tanah? Dr. Ray Weil, ahli tanah di Universitas Maryland menguraikan bagaimana ia mengevaluasi kesehatan tanah hanya dalam 5 menit (31). Perhatikan permukaan tanah apakah mengerak, yang menunjukkan praktek pengolahan tertentu, bahan organik, dan struktur tanah. Masukkan bor hingga ke lapisan 12 inci, angkat ke luar contoh tanah lapisan tersebut dan periksa teksturnya dengan cara piridan. Bila mencapai lapis tapak bajak, maka mata bor akan merasakan lapisan padat. Angkat satu sekop penuh amati keberadaan cacing tanah dan bau-i keberadaan aktinomiset, mikroorganisme membantu dekomposisi dan menghasilkan humus. Aktivitas mereka meninggalkan bau khas tanah segar. Dua metode pengamatan yang lebih gampang menghitung jumlah organisme tanah di seputar satu kaki persegi sisa tanaman di permukaan dan tuangkan 0,56 lt air di atas tanah dan catat waktu resapan (infiltrasi). Sebagi pembanding dapat dilakukan pengamatan sederhana ini menggunakan cara evaluasi Ray Weil di atas dalam menentukan kualitas sistem penggunaan lahan. Sebagian sistem penilaian kualitas tanah dibahas di atas menggunakan cara dan pengamatan lain menggunakan lembar catatan untuk mencatat data pengamatan.
Uji Erosi Sederhana Uji ini menunjukkan nilai penutupan tanah
Lekatkan potongan kertas putih pada ujung tongkat dengan panjang 3 kaki. Pegang ujung tongkat dengan satu tangan sampai bagian akhir kertas berada 1 inci di permukaan tanah terbuka. Sekarang tuangkan 0,56 lt air ke tanah terbuka berjarak 2-3 inci dari kertas putih dan amati akumulasi tanah yang menempel pda lembar kertas tersebut. Pekerjaan serupa diulang dan dilakukan di atas tanah tertutup 100% penutup tanah, amati akumulasi tanah dipermukaan kertas. Bandingkan potongan kedua kertas.
Uji sederhana ini menunjukkan bagaimana penutup tanah efektif dalam mencegah partikel butir lepas dari permukaan tanah.
Penghancuran agregat tanah terjadi ketika butir air hujan jatuh di permukaan tanah terbuka. Setelah air menjenuhi permukaan tanah, diikuti penghancuran, air di bagian atas mengalir membawa serta lapisan tanah turun ke bagian bawah.
Tanah yang terperangkap aliran permukaan menggerus dan melepaskan partikel agregat tanah bertambah sepajang lereng yang dilalui aliran permukaan. Pencegahan penghancuran adalah cara paling efektif dalam mengendalikan erosi sebab tanah tetap berada di tempatnya. Praktek pengendalian erosi lain adalah memperlambat pengangkutan partikel agregat tanah dan menyebabkan tanah disimpan di tempat tertentu sehingga tidak terjangkau arus aliran permukaan. Praktek belakangan ini merupakan cara khusus yang lazim diterapkan (terasering dan diversi). Terasering, diversi dan praktek pengendali erosi pada dasarnya tak perlu tanah tertutup sepanjang tahun. Dalam pencegahan erosi, persentase penutupan tanah adalah ―peringatan awal‖ terbaik sebagai indikator yang sukses, sedang tanah terbuka pertanda resiko erosi tinggi (Croplands monitoring guide, 98). Erosi parit dan gully adalah indikator erosi yang ―sudah terlambat‖. Pada kondisi ini tindakan pencegahan sudah tidak berguna. 2. Penggunaan Alat dan Teknik Membangun Tanah Dapatkah penutup tanah dimasukkan dalam rotasi pertanaman? Bagaimana halnya dengan sisa tanaman dan tajuk tanaman tahunan? Adakah sumber bahan material organik atau pupuk yang ekonomis? Adakah cara mengurangi pengolahan tanah dan pupuk nitrogen?
Bila memungkinkan pemberian bahan organik dalam jumlah banyak harus ditambahkan dalam menyediakan baik bahan organik maupun unsur hara tanaman. Hal tersebut penting terutama dalam menghitung penambahan unsur hara dan penggunaan pupuk organik. Aplikasi dimulai dari analisis kebutuhan unsur hara. Pengetahuan tentang kebutuhan akan unsur hara bagi pertumbuhan tanaman adalah acuan dalam menentukan jenis pupuk dan upaya penghematan. Komposisi unsur hara dalam bahan organik bervariasi, menjadi alasan kuat penting analisis sebelum menentukan jumlah yang dibutuhkan. Sebagai tambahan bagi kandungan unsur hara tanaman utama, pupuk organik dapat merupakan sumber unsur mikro yang penting. Kalibrasi alat penyebar pupuk juga penting untuk memastikan dosis aplikasi yang akurat.
Kotoran Hewan Kotoran hewan adalah penyubur tanah yang sempurna, menyediakan baik unsur hara maupun bahan organik
Tingkat kebutuhan produksi kotoran hewan harian untuk tanaman jagung berkisar antara 10 hingga 30 ton kotoran padat tiap are atau 4,000 hingga 11,000 galon kotoran cair. Pada tingkat ini tanaman jagung akan mendapatkan antara 50 hingga 150 pon nitrogen tersedia tiap are. Terlebih lagi, sejumlah karbon akan ditambahkan ke tanah, mencegah kehilangan tanah maupun bahan organik. Biomas tanaman yang tinggi yang tumbuh akibat aplikasi juga menyokong tambahan bahan organik. Bagaimanapun, secara umum dasar penentuan kebutuhan pupuk sebagai sumber unsur hara bagi tanaman mengacu pada kebutuhan akan nitrogen. Karena kebutuhan pupuk fosfor tidak sebanyak nitrogen, acuan tersebut seringkali menyebabkan kurangnya perbaikan terhadap fosfor tanah. Sebagai contoh klasik adalah perlakuan seresah ayam untuk tanaman yang memerlukan dosis nitrogen tinggi, seperti rumput padang rumput dan jagung. Seresah ayam pedaging, sebagai contoh, mengandung sekitar 50 pon nitrogen dan fosfor dan 40 pon kalium tiap ton. Aplikasi pupuk umum untuk padang rumput fescue adalah 50 pon nitrogen dan 30-40 pon fosfor tiap are. Jika satu ton seresah unggas diaplikasikan untuk kebutuhan nitrogen fescue, akan terjadi kelebihan aplikasi fosfor. Penggunaan beberapa tahun seresah dapat meningkatkan fosfor tanah ke tingkatan berlebihan. Jalan keluar yang mudah untuk hal ini adalah dengan meng-adjust kebutuhan fosfor untuk tanaman dan memberikan kekurangan nitrogen melalui aplikasi legum penutup tanah.
Kompos Kompos sebagai bahan organik lain merupakan pupuk pertanian yang sempurna dalam menstabilkan kandungan unsur hara tanah
Bagian yang berperan langsung adalah bentuk tidak stabil, dan mudah tersedia. Bentuk tidak stabil tertentu dapat hilang melalui aliran permukaan ataupun tercuci ke lapisan bawah saat pengolahan. Oleh karena itu kompos bukanlah merupakan sumber yang baik dalam menyediakan unsur hara tanaman dibandingkan kotoran hewan. Kompos melepaskan unsur hara secara lambat, sehingga memperkecil kehilangan. Kompos berkualitas mengandung lebih banyak humus dibanding bahan kotoran hewan segar sebab dekomposisi utama hanya menyisakan bentuk senyawa stabil. Tidak sama dengan kotoran hewan segar, kompos dapat digunakan kapan saja tanpa menyebabkan akar tanaman terbakar.
Faktanya, aplikasi kompos dalam pot di rumah kaca mengandung 20 hingga 30% kompos. Pupuk kompos (seperti halnya kotoran hewan) perlu dianalisis terlebih dulu di laboratorium untuk menjamin jumlah unsur tersedia adalah cukup.
Suatu masalah umum dalam penggunaan kotoran hewan sebagai sumber unsur hara tanaman adalah tingkat dosis aplikasi biasanya ditetapkan berdasar pada kandungan nitrogen
Pengomposan juga mengurangi kadar bahan organik mentah terutama dalam keadaan kadar air tinggi. Bagaimanapun, selama ukuran kompos sedikit lebih besar dan lebih mudah untuk ditangani, maka kompos dapat lebih mahal. Pengomposan di lahan (on-farm) mengurangi biaya secara dramatis dibandingkan dengan membeli kompos. Untuk informasi lengkap hubungi penerbit ATTRA berjudul: On-Farm Composting Resource List.
Tanaman Penutup Tanah dan Pupuk Hijau Banyak jenis tanaman dapat digunakan sebagai penutup tanah
Sebagian di antaranya: rye, buckwheat, hairy vetch, crimson clover, subterranean clover, red clover, sweet clover, cowpeas, millet, dan forage sorghums. Masing-masing tanaman ini mempunyai kelebihan tersendiri dibandingkan yang lain termasuk kemampuan adaptasi. Tanaman penutup tanah dapat meningkatkan kadar bahan organik tanah jika mereka dibiarkan tumbuh cukup lama untuk menghasilkan biomas tinggi. Sering terjadi, petani terburu-buru memanen tanaman penutup tanah umur satu minggu atau dua minggu sebelum potensi maksimal tercapai. Hairy vetch atau crimson clover dapat berproduksi 2.5 ton tiap are jika dibiarkan tumbuh hingga fase berbunga 25%. Campuran rye dan hairy vetch dapat menghasilkan biomas lebih tinggi. Sebagai tambahan terhadap manfaat bahan organik, tanaman penutup tanah jenis legum menyediakan cukup nitrogen bagi tanaman berikutnya. Sebagai konsekwensi, tingkat dosis nitrogen dapat dikurangi dari pertanaman legum penutup tanah bila dipanen dengan benar. Sebagai contoh, jagung yang ditanam setelah aplikasi 2 ton hairy vetch menghasilkan butir hanya 50% dibandingkan tingkat dosis nitrogen normal. Bila digunakan rye sebagai tanaman penutup tanah dan dibiarkan hingga fase berbunga, pemberian tambahan nitrogen diperlukan untuk membantu suplai nitrogen akibat tingginya kadar karbon dari sisa tanaman rye. Hal sama berlaku pula bila digunakan sumber karbon tinggi seperti serbuk gergaji atau jerami gandum.
Tanaman penutup tanah juga menekan gulma, membantu pemutusan siklus hama, dan melalui madu dan tepung sari mereka menyediakan sumber makanan bagi lebah madu dan serangga menguntungkan. Mereka juga membantu siklus unsur hara tanah tersedia untuk tanaman berikutnya begitu pupuk hijau terdekomposisi. Untuk infrormasi lebih lanjut hubungi publikasi ATTRA berjudul: Overview of Cover Crops and Green Manure. Publikasi ini lengkap dan menyediakan acuan tentang pertumbuhan tanaman penutup tanah.
Humat Humat dan derivatnya adalah produk keluarga yang berbeda, biasanya diperoleh dari berbagai bentuk oksidasi arang
Humus derivat arang sama pentingnya dengan humus diekstrak dari tanah tetapi terdapat ganjalan dalam hal siklus dari dalam tanah. Dalam hal tertentu, diyakini hanya humus berasal dari dekomposisi bahan organik yang menguntungkan. Hal ini didukung fakta bahwa produksi dan daur ulang bahan organik dalam tanah tidak bisa digantikan oleh humus derivat arang. Bagaimanapun, selama gula, gum, lilin dan bahan serupa didapatkan dari pelapukan bahan organik memegang peran penting bagi mikrobiologi dan struktur tanah, kecuali terhadap humus. Hanya sebagian kecil bahan organik ditambahkan ke dalam yang tanah dikonversi menjadi humus. Kebanyakan kembali ke atmosfer dalam bentuk gas asam-arang begitu melapuk. Kebanyakan penelitian menunjukkan pengaruh positif dari pemberian humat, beberapa penelitian tidak menunjukkan pengaruh. Secara umum, diketahui bahwa penelitian-penelitian tersebut bekerja pada kondisi kandungan bahan organik rendah. Tetapi ada sedikit yang tidak mendapatkan hasil positif pada tanah berkadar bahan organik tinggi. Pada tingkat dosis tinggi bisa jadi humat mengikat unsur hara. Ada banyak produk humus dipasaran. Mereka tidaklah sama. Produk humat, harus dites terlebih dulu untuk mengetahui efektivitas biaya sebelum diggunakan. Para pedagang kadang-kadang melakukan promosi berlebihan untuk produk mereka. ATTRA menyediakan informasi lebih banyak tentang humat.
Mengurangi Pengolahan Tanah Selama pengolahan tanah menjadi kelaziman pada banyak sistem produksi, pengaruhnya pada tanah dapat mengurangi produksi
Pengolahan tanah memperhalus permukaan tanah, mengurangi agregasi alami, dan merusak lubang cacing. Porositas dan infiltrasi dikurangi karena pengolahan tanah. Tapak bajak dapat terjadi pada berbagai kondisi. Tanah diolah menyebabkan erosi jauh lebih tinggi dibanding dibiarkan tertutup oleh sisa tanaman. Berkaitan dengan permasalahan tanah dengan operasi pengolahan secara konvensional, luasan lahan dengan sistem pengolahan tanah meningkat di Amerika Serikat. Beberapa sistem pengolahan tanah yang membiarkan lebih dari 30% sisa tanaman di permukaan tanah dianggap sebagai ―pengolahan tanah konservasi‖ sistem USDA (32). Pengolahan tanah konservasi meliputi: tanpa olah, olah nol, gulud, olah setempat, dan beberapa jenis pembajakan dan penggaruan. Strategi dan teknik konservasi ini membiarkan tanaman berada di atas sisa sisa tanaman sebelumnya, yang sengaja ditinggalkan di permukaan tanah. Keuntungan utama sistem konservasi adalah upaya pengurangan erosi tanah dan peningkatan pengikatan air tanah, sehingga tanaman lebih tahan terhadap kekeringan. Sebagai manfaat tambahan, seperti halnya manfaat berbagai sistem pengolahan tanah konservasi lain, terjadi penghematan bahan bakar, fleksibilitas pertanaman dan pemanenan, pengurangan tenaga kerja, dan perbaikan pengolahan tanah. Dua di antara sistem pengolahan tanah konservasi paling umum dilakukan adalah pengolahan cara gulud dan tanpa olah. Pengolahan gulud adalah suatu bentuk pengolahan tanah konservasi digunakan petani untuk tanaman tertentu pada guludan permanen di mana gulud menjadi baris pertanaman. Setelah panen, sisa tanaman dibiarkan hingga tanam berikutnya. Pada pertanaman berikutnya, petani menanam benih di puncak gulud setelah membersihkan sisa-sisa tanaman yang ada. Guludan diperbaiki selama pemeliharaan pertanaman baru. Sering, suatu baris herbisida diaplikasikan di bagian puncak guludan selama pertanaman. Dengan aplikasi herbisida, dua pertanaman digunakan: satu untuk menggemburkan tanah dan yang lain untuk membuat guludan baru pada musim tersebut. Tidak diperlukan pengolahan jika dilakukan aplikasi herbisida secara sebar rata dibandingkan alur. Oleh karena pengolahan tanah cara gulud berdasar pada pengendalian gulma dan perbaikan guludan, sistem ini membiarkan petani mengurangi ketergantungan akan herbisida, dibandingkan dengan sistem konvensional atau tanpa olah. Memelihara guludan merupakan kunci keberhasilan sistem pengolahan tanah cara gulud. Alat yang digunakan harus tajam untuk membentuk kembali guludan, membersihkan sisa tanaman, menanam puncak gulud, dan menanam bibit sehat. Perbaikan gulma tidak hanya untuk penyiangan gulma, tetapi juga meningkatkan tinggi guludan.
Pemanen tanaman gulud memerlukan roda sempit atau kombinasi roda rangkap agar guludan tidak rusak saat menggunakan mesin panen. Demikian pula halnya bila menggunakan truk pengangkut hasil panen. Pemeliharaan guludan menjadi bahan pertimbangan untuk masing-masing proses. Metode konservasi tanpa olah dikritik oleh banyak produsen bahan kimia herbisida pengendali gulma. Terlebih lagi, pertanian sistem tanpa olah memerlukan pengelolaan yang seksama dan peralatan mesin spesifik yang mahal. Di pihak lain, suhu tanah di musim semi lebih rendah pada tanah tanpa olah daripada diolah. Suhu rendah lebih rendah ini dapat menghambat perkecambahan benih jagung yang ditanam awal musim berikutnya. Juga, permasalahan hama serangga dan binatang penggerek dilaporkan meningkat. Di satu pihak, metode tanpa olah mampu mencegah erosi tanah. Pada kondisi drainase baik sistem olah tanah mengalirkan udara hangat pada musim semi, namun tanpa olah berpengaruh sama atau lebih baik dibandingkan cara konvensional. Peralatan penanaman mutakhir telah diperkenalkan untuk sistem tanpa olah tanah yang dinamakan ―kultivator tanpa olah‖. Kultivator ini memudahkan penanaman di atas tumpukan sisa yang tebal dan merupakan alternatif untuk tidak menggunakan herbisida kimia sebelum perkecambahan. Petani mempunyai pilihan aplikasi herbisida alur dan menggunakan penanaman tanpa olah untuk membersihkan bagian tengah untuk mengurangi penggunaan herbisida. ATTRA menyediakan sejumlah sumber yang dapat dihubungi dalam hal budidaya, peralatan, dan manajemen untuk merancang sistem konservasi hingga pemanenan.
Memperkecil Penggunaan Pupuk Nitrogen Sintetik Bila semua memungkinkan, tambahkan sumber karbon dan nitrogen Kotoran hewan merupakan sumber yang baik untuk karbon maupun nitrogen
Bila digunakan pupuk nitrogen, coba dilakukan pada waktu bersamaan dengan pemasukan sisa tanaman yang banyak. Sebagai contoh, pada pergiliran tanamn jagung, kacang, dan gandum pemberian nitrogen yang baik adalah saat sisa tanaman jagung telah disebarkan dan dicampur tanah saat pengolahan. Penanaman kedelai musim semi tidak memerlukan penambahan nitrogen. Sedikit nitrogen dapat diberikan pada pertanaman gandum musim gugur. Setelah gandum, ditanam legum penutup tanah semusim. Pada musim semi, ketika tanaman legum penutup tanah dipanen, pemberian nitrogen yang telah dikurangi sebagai konpensasi masukan nitrogen dari legum, diberikan untuk tanaman jagung. Pembenaman sisa legum penutup tanah juga memerlukan tambahan karbon.
Hindari penggunaan rumput kering terus-meneru dibarengi pemupukan nitrogen tinggi. Pembenaman rumput kering terus-menerus dibarengi penggunaaan nitrogen tinggi mempercepat dekomposisi bahan organik tanah. Penggunaan sisa pakan ternak ternak yang disimpan dalam gudang dalam jumlah banyak, terutama saat pengolahan tanah, akan menyebabkan kesuburan tanah cepat merosot dan bahan organik tanah cepat habis. 3. Kontinyu Monitor: Indikator Sukses atau Gagal
Seperti halnya dengan penelitian dan pengembangan terhadap hal-hal baru dalam praktek, monitoring perubahan tanah secara berkelanjutan menggunakan berbagai peralatan, dibahas dalam the Assessing Soil Health dan Biological Activity. Panduan monitoring terhadap beberapa perubahan dicatat dalam kertas kerja untuk merekam data perubahan setelah dilakukan praktek oleh petani. Peninjauan ulang terhadap prinsip pengelolaan tanah bisa mendukung dan menemukan jalan untuk menerapkan hal baru kepada mereka. Jika ditemukan hal-hal baru yang menarik, pilih salah satu yang terbaik untuk dikembangkan dan diterapkan. Cari cara memotivasi agar petani tertarik dengan metode baru yang dikembangkan tersebut seperti halnya apa yang dilakukan petani contoh berikut ini. SELESAI
Prepared by: Preston Sullivan, ATTRA Technical Specialist Appropriate Technology Transfer for Rural Areas (ATTRA), P.O. Box 3657, Fayetteville, AR 72702, Phone: 1-800-346-9140 — FAX: (501) 442-9842 References: 1. Cramer, Craig. 1994. Test your soils’ health-first in a series. The New Farm. January. p. 1721. 2. Pimentel, D. et al. 1995. Environmental and economic costs of soil erosion and conservation benefits. Science. Vol. 267, No. 24. p. 1117-1122. 3. US Department of Agriculture. 1998. Soil Biodiversity. Soil Quality Information Sheet, Soil Quality Resource Concerns. January. 2 p. 4. Edwards, Clive A. and P.J. Bohlen. 1996. Biology and Ecology of Cacing tanah. Chapman and Hall, New York. 426 p. 5. Edwards, Clive A. and Ian Burrows. 1988. The potential of cacing tanah composts as plant growth media. p. 211-219. In: Cacing tanah in Waste and Environmental Management. C.A. Edwards and E.F. Neuhauser, (eds.) SPB Academic Publishing, The Hague, The Netherlands.
6. Graff, O. 1971. Stikstoff, phosphor und kalium in der regenwormlosung auf der wiesenversuchsflche des sollingprojektes. Annual Zool. Ecol. Anim. Special Publication 4. p. 503-512. 7. Anon. 1997. Product choices help add to worm counts. Farm Industry News. February. p. 64. 8. Kladivko, Eileen, J. No date. Cacing tanah and crop management. Agronomy Guide, AY-279. PurdueUniversity Extension Service, West Lafayette, IN. 5 p. 9. Ernst, David T. 1995. The Farmer’s Cacing tanah Handbook: Managing Your Underground Money Makers. Lessiter Publications, Brookfield, WI. 112 p. 10. Bollen, Walter B. 1959. Microorganismes and Soil Fertility. OregonState College. OregonState Monographs, Studies in Bacteriology, Number 1. 22 p. 11. Jackson, William R. 1993. Organic Soil Conditioning. Jackson Research Center, Evergreen CO. 957 p. 12. Comis, Don. 1997. Glomalin-soil’s superglue. Agricultural Research. USDA-ARS. October. p. 22. 13. Boyle, M., W.T. Frankenberger, Jr., and L.H. Stolzy. 1989. The influence of organic matter on soil aggregation and water infiltration. Journal of Production Agriculture. Vol. 2. p. 209-299. 14. Pipel, N. 1971. Crumb formation. Endeavor. Vol. 30. p. 77-81. 15.Land Stewardship Project. 1998. The Monitoring Toolbox. White Bear Lake, MN. Page number unknown. 16. Allison, F.E. 1968. Soil aggregation – some facts and fallacies as seen by a microbiologist. Soil Science. Vol. 106, Number 2. p. 136-143. 17. Reicosky, D.C. and M.J. Lindstrom. 1995. Impact of fall tillage on short-term carbon dioxide flux, p. 177-187. In: R.Lal, J. Kimble, E. Levine, and B.A. Stewards (eds.) Soils and Global Change. Lewis Publisher, Chelsea, Michigan. 18. Nations, Allan. 1999. Allan’s Observations. Stockman Grass Farmer. January. p. 12-14. 19. Sanderson, M.A. et al. 1999. Switchgrass cultivars and germplasm for biomass feedstock production in Texas. Bioresource Technology. Vol. 67, No 3. p. 209-219. 20. Sachs, Paul D. 1999. Edaphos: Dynamics of a Natural Soil System, 2nd edition. The Edaphic Press. Newbury, VT. 197 p. 21. Kinsey’s Agricultural Services
297 County Highway 357 Charleston, MO63834 573-683-3880 22. Tisdale, S.L., W.L. Nelson, and J.D. Beaton. 1985. Soil Fertility and Fertilizers, 4th Edition. Macmillian Publishing Company, New York, NY. 754 p. 23. Francis, Charles, A., Cornelia B. Flora, and Larry D. King. 1990. Sustainable Agriculture in Temperate Zones. John Wiley and Sons, Inc. New York. 487 p. 24. Parker, M.B., G.J. Gasho, and T.P. Gaines. 1983. Chloride toxicity of soybeans grown on Atlantic coast flatwoods soils. Agronomy Journal. Vol. 75. p. 439-443. 25. Schertz 1985. Field evaluation of the effect of soil erosion on crop productivity. p. 9-17. In: Erosion and Soil Productivity. Proceedings of the National Symposium on Erosion and Soil Productivity. American Society of Agricultural Engineers. December 10-11, 1984. New Orleans, LA. ASAE Publication 8-85. 26. Troeh, F.R., Hobbs, J.A. and Donahue, R.L. 1991. Soil and Water Conservation. Prentice Hall, Englewood Cliffs, NJ. 27. Gantzer, C.J., S.H. Anderson, A.L. Thompson, and J.R. Brown. 1991. Evaluation of soil loss after 100 years of soil and crop management. Agronomy Journal. Vol. 83. p. 74-77. 28. Shiflet, T.N. and G.M. Darby. 1985. Table 3.4: Effect of row and sod crops on aliran permukaan and erosion [from G.M. Browning, 1973]. p. 26. In: M.E. Heath, R.F. Barnes, and D.S. Metcalfe (eds). Forages: The Science of Grassland Agriculture, 4th ed. IowaStateUniversity Press, Ames, IA. 29. Jackson, Wes. 1980. New Roots for Agriculture, 1st edition. Friends of the Earth, San Francisco, CA. 150 p. 30. Sullivan, Preston G. 1998. Early Warning Monitoring Guide for Croplands. Center for Holistic Management, Albuquerque, NM. 22 p. 31. Bowman, Greg. 1994. Why soil health matters. The New Farm. January. p. 10-16. 32. Magdoff, Fred. 1992. Building Soils for Better Crops. University of Nebraska Press, Lincoln, NE. 176 p. 33. Sickman, Tim. 1998. Building soil with sisae farming. Tennessee Farmer. August. p. 32, 34. 34. Dirnburger, J.M. and John M. Larose. 1997. Tanpa olah saves dairy farm by healing the harm that tillage has done. National Conservation Tillage Digest. Summer. p. 5-8.