URGENSI MODEL PEMBELAJARAN Oleh : Rusli 1 Sebelum kita menelusuri lebih jauh seberapa penting model-model pembelajaran bagi guru PAI di sekolah, entah itu sekolah elit atau sekolah yang hampir roboh di pedalaman, maka alangkah baiknya kita memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan model-model pembelajaran itu sendiri, agar nantinya kita bisa mendapatkan suatu pemahaman yang analitis dan holistik agar pemahaman tentang model tersebut tidak sama seperti orang buta merabah gajah. Model-model pembelajaran merupakan sebuah langkah nyata kreatifitas guru dalam merancang sekaligus mengembangkan suasana pengajaran kepada siswa yang tidak hanya mematung dalam satu strategi semata. Hal ini setidaknya bisa membantu siswa memperoleh informasi, gagasan, skill, nilai, cara berpikir dan tujuan mengekspresikan diri mereka sendiri.2 Walhasil, para siswa akan menjadi pribadi-pribadi yang siap bertarung menghadapi tantangan pendidikan kedepan bukan hanya jago kandang. Adapun Soekamto, dkk (dalam Nurulwati, 2000 : 10) juga mengemukakan maksud dari model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar. 3 Model pengajaran/pembelajaran mempunyai empat ciri khusus yang tidak dimiliki oleh strategi, metode, atau prosedur yakni rasional teoritis logis yang disusun oleh para
1
Penulis adalah Widyaswara di Balai Diklat Keagamaan Manado, Sulawesi Utara. Bruce Joyce, et.,al, Model of Teaching : Model-Model Pengajaran, Terj. Achmad Fawaid & Ateilla Mirza, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), Cet ke- II, h. 7 3 Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif : Konsep, Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), ( Jakarta : Kencana, 2010), Cet ke4, h. 22 2
1
pencipta atau pengembangnya, landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar, tingkah laku mengajar serta lingkungan belajar.4 Diantara
model-model
pembelajaran
tersebut
adalah
Student
Teams
Achievement Division (STAD), Tim Ahli (Jigsaw), Investigasi Kelompok (Group Investigation), Think Pair Share (TPS), Numbered Head Together (NHT) dan Teams Games Tournament (TGT). Tapi untuk kali ini, penulis tidak membahas satu per satu jenis model-model pembelajaran di atas, penulis lebih fokus untuk memberikan penjelasan dan bukti argumentasi mengapa model-model pembelajaran itu sangat penting bagi guru Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam konteks kekinian. Dan penulis yakin, jikalau anda bersedia bertanya kepada „Bah‟ Google mengenai penjelasan jenis model-model pembelajaran tersebut, Insya Allah „Sang Bah‟ akan bisa menjawabnya. Terlepas dari itu, salah satu teori yang membidani lahirnya model-model pembelajaran ini adalah rekonstruksionisme.Apa itu rekonstruksionisme? Baik, dalam bahasa yang sangat mudah untuk dipahami, rekonstruksionisme merupakan suatu kelanjutan yang logis dari cara berpikir progresif dalam pendidikan. Individu tidak hanya belajar tentang pengalaman-pengalaman kemasyarakatan masa kini di sekolah, tetapi haruslah memelopori masyarakat kearah masyarakat baru yang diinginkan. 5 Teori rekonstruksionisme ini lebih memfokuskan atau menekankan kepada kaum guru sebagai pendidik agar supaya senantiasa menguasai berbagai menu pengetahuan dan ilmu esensial demi mengantar anak muridnya ke arah yang lebih baik, kasihan kalau mereka „nyasar’ Satu kata kunci guru itu adalah pencerah bukan pencela. Mungkin dibenak anda semua bertanya-tanya, mengapa harus guru PAI (Pendidikan Agama Islam) yang dijadikan objek dalam tulisan ini bukan yang lain? Jadi begini, memang ada beberapa alasan aktual sehingga penulis mengangkat topik tentang guru PAI, Pertama, pada saat ini, kita dihadapkan pada persoalan madrasah dimana 4
Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif : Konsep, Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP),h. 23 5 Umar Tirtarahardja & S. L. La Sulo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 2008), Cet ke- 2, h. 91
2
banyak sekali guru-guru PAI yang berteduh di sana. Madrasah sebagai institusi pendidikan yang mengemban visi-misi Islam dalam dunia pendidikan di era globalisasi, pembaharuan dan perubahan sekarang ini, mempunyai tanggung jawab moral yang tidak ringan. Prof. Dr. Azyumardi Azra6 pernah mengungkapkan “ 3 unsur kepentingan dalam pengembangan madrasah untuk menuju kepada terbentuknya madrasah unggul. Ketiga unsur tersebut adalah input, proses dan out put. Pada dasarnya input madrasah memang lemah. Kita sadari memang banyak murid yang masuk ke Madrasah rendah kualitasnya, sehingga menjadi sulit untuk meningkatkan kualitas madrasah. Karena kondisi tersebut, maka akan terjadi semacam „lingkaran setan‟ yang tidak berujung.7 Guru-guru PAI khususnya harus mampu menciptakan proses pembelajaran aktif, kreatif, efektif, inovatif dan menyenangkan di dalam ruang-ruang kelas, mengapa demikian? Ibaratnya, ketika kita hendak pulang ke rumah, dan saat sampai ke rumah makanan yang disediakan oleh si istri itu-itu saja (nasi kuning misalnya), tidak ada model atau perubahan rasa dan warna sama sekali maka sudah bisa dipastikan hati kecil kita akan mendongkol diiringi kening
mengkerut jengkel serta tidak menutup
kemungkinan kita akan mencari rumah makan yang menunya enak tenan. Nah, begitu pula dengan penerimaan murid yang ada di
sekolah atau madrasah, mereka akan
merasa bosan bahkan GALAU (Gelisah Antara Lanjut Atau Udahan) jikalau para guru PAI seperti kelakuan si istri di atas. Dan sayangnya, nuansa bosan dan galau di atas sampai saat ini masih dirasakan karena guru-guru PAI khususnya banyak yang belum mampu mengimplementasikan teori ke lapangan dengan baik dan benar. 6
Guru Besar sejarah dan Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sejak Januari 2007 sampai sekarang. Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI, 2005-sekarang), anggota Dewan Riset Nasional (DRN, 2005-sekarang), juga anggota Southeast Asian Regional Exchange Program (SEASREP, Tokyo 1999-2001), Asian Research Foundation-Asian Muslim Action Network (ARF-AMAN, Bangkok, 2004-sekarang), The Habibie Centre Scholarship (2005sekarang), Ford Foundation International Fellowship Program (IFP-IIEF, 2006-sekarang), Asian Scholarship Foundation ( ASF, Bangkok, 2006-sekarang), Asean Public Intellectual (API), the Nippon Foundation (Tokyo, 2007-sekarang), dan anggota Selection Committee Senior Fellow Program AMINEFFulbright (2008). 7 Majalah Dinamika : Pembaharuan Pendidikan Islam, Edisi Juni-Juli 1999, h.16
3
Kedua, Dalam hal pentransferan ilmu pengetahuan kepada murid, khusus untuk guru-guru PAI diberikan kado amanah untuk mengajarkan mata pelajaran Al-Quran hadist, Fiqih, Akidah Akhlak, SKI, Bahasa Arab. Dimana beberapa mata pelajaran tersebut menuntut pembawaan bertangkaikan skill mumpuni dari seorang guru yang bersangkutan.Di samping itu, guru juga dituntut agar menerapkan empat pilar pendidikan sebagai landasan model pembelajaran berbasis kompetensi yakni learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together yang dicanangkan oleh UNESCO.Tapi pada kenyataannya masih ada juga proses pembelajaran yang memposisikan peserta didik sebagai pendengar, sementara guru aktif berceramah laksana botol kosong yang diisi dengan ilmu pengetahuan.8Mau buktinya?Silahkan lihat ada begitu banyak murid-murid di Madrasah yang lebih banyak „mengkhayal‟ dan menghafal serta kurang cerdas mengaktualisasikan nilai-nilai pengetahuan secara nyata di ruang sosial-kemasyarakatan. Satu hal yang patut direnungkan oleh kaum guru khususnya guru Pendidikan Agama Islam adalah, melihat realita di lembaga-lembaga pendidikan, dimana mata pelajaran agama Islam kurang begitu diminati oleh peserta didik, dan memang benar setelah penulis menganalisa lebih jauh dengan bukti-bukti yang empirik di lapangan, faktor pertama dan utama yang menyebabkan peserta didik tidak memiliki gairah untuk belajar agama Islam adalah karena guru yang mengajarkan mata pelajaran tersebut hanya seperti „mendongeng‟ bebas ke samping telinga siswa. Memang inilah yang menjadi dilema tersendiri bagi guru PAI, terkadang mereka tidak tahu membedakan mana siswa dan mana jamaah. Faktor yang kedua tapi sangat mempengaruhi adalah minimnya daya kreatifitas guru PAI dalam mengolah model-model pembelajaran di dalam kelas bahkan terkesan suka menggampang-gampangkan urusan, dengan ungkapan “ Ah, yang penting saya sudah mengajar, mereka paham atau tidak paham itu urusan belakangan, kan ada remedial”. Wah, kalau sudah begini jadinya bisa-bisa 5 atau 10 tahun mendatang guru-guru PAI harus siap digantikan oleh CD, Radio, TV yang 8
Radno Harsanto, Pengelolaan Kelas yang Dinamis : Paradigma Baru Pembelajaran Menuju Kompetensi Siswa, ( Yogyakarta : Kanisius, 2007), Cet ke-5, h. 18
4
lebih menarik dalam penyajian pembelajaran. Jika para guru PAI tidak mau berbenah diri dan memperkaya kemampuan mengajar maka akibatnya, ilmu-ilmu agama islam terasa semakin berat, dan menyebalkan. Secara garis besar, kaum guru (khususnya PAI) dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis.Pertama, guru robot, yaitu guru yang bekerja persis seperti robot.Mereka hanya masuk kelas, mengajar, lalu pulang. Guru jenis ini banyak sekali menggunakan ungkapan “ Wah, itu bukan masalahku, tapi masalah kamu. Jadi, selesaikan sendiri!” atau seperti ini “Maaf, saya tidak dapat membantu sebab ini bukan tugas saya…” Kedua, guru materialistis, yaitu guru yang selalu melakukan perhitungan, mirip dengan aktivitas bisnis jual beli. Ungkapan-ungkapan yang biasa mereka lontarkan adalah “Cuma digaji sekian saja, kok mengharapkan saya total dalam mengajar, jangan harap, ya!”.Ketiga, gurunya manusia yaitu guru yang punya keikhlasan dalam mengajar dan belajar. Guru yang punya keyakinan bahwa target pekerjaannya adalah membuat para siswa berhasil memahami materi-materi yang diajarkan.9 Sebagai kesimpulan, tulisan di atas telah memperlihatkan kepada kita bahwa model-model pembelajaran merupakan kunci keberhasilan mutlak ketika seorang guru PAI ingin mengaktualisasikan ilmunya kepada murid, Menciptakan kelas efektif dengan peningkatan efektivitas proses pembelajaran tidak bisa dilakukan dengan parsial, tapi harus holistik, yang dalam teori Hunt ada lima bagian yaitu perencanaan, komunikasi, pengajaran, pengaturan dan evaluasi (Hunt, 1999:21).10 Menurut penulis juga, berhasil tidaknya kinerja guru dalam dunia pendidikan formal sangat ditentukan oleh bagaimana cara dia berkomunikasi dengan siswa. Untuk lebih jelasnya, lihat bagan di bawah ini :
9
Munif Chatib, Gurunya Manusia : Menjadikan Semua Anak Istimewa dan Semua Anak Juara, (Bandung : Kaifa, 2012), Cet ke-VII, h. 56-57 10 Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis : Sebuah Model Pelibatan Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta : Kencana, 2004) Cet ke-II h. 120
5
GURU SEBAGAI SUMBER KOMUNIKASI
PESAN TERPILIH UNTUK DISAMPAIKAN
PESAN DITERIMA GURU, DAN GURU MENYUSUN ULANG PESAN TERSEBUT
SISWA SEBAGAI SASARAN KOMUNIKASI
SISWA BEREAKSI DAN MENGIRIM PESAN ULANG PADA GURU
Dengan demikian, semakin konkret bahasa yang digunakan, maka akan semakin efektif pesan itu tersampaikan. Begitu pun sebaliknya. Dengan demikian dalam proses pembelajaran, sebaiknya guru menggunakan kata-kata yang tidak bermakna ganda.11 Terakhir, ketika guru PAI berhasil „memahami‟ & mengamalkan model-model pembelajaran di atas, serta diperkaya dengan seni mengajar dan konsep pendekatan SCIENTIFIC:
Observing(mengamati
)Questioning(menanya)Associating(menalar)Experimenting(mencoba)Networking(membentuk Jejaring)maka kemajuan madrasah akan jelas
kelihatan!
11
Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis : Sebuah Model Pelibatan Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pendidikan, h. 151-152
6
DAFTAR RUJUKAN
Chatib, Munif,Gurunya Manusia : Menjadikan Semua Anak Istimewa dan Semua Anak Juara, Bandung : Kaifa, 2012. Harsanto, Radno,Pengelolaan Kelas yang Dinamis : Paradigma Baru Pembelajaran Menuju Kompetensi Siswa, Yogyakarta : Kanisius, 2007. Joyce, Bruce, et.,al, Model of Teaching : Model-Model Pengajaran, Terj. Achmad Fawaid & Ateilla Mirza, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009. Majalah Dinamika : Pembaharuan Pendidikan Islam, Edisi Juni-Juli 1999 Rosyada, Dede,Paradigma Pendidikan Demokratis : Sebuah Model Pelibatan Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pendidikan, Jakarta : Kencana, 2004. Tirtarahardja, Umar &La Sulo, S. L. Pengantar Pendidikan, Jakarta : PT Rineka Cipta, 2008. Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif : Konsep, Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Jakarta : Kencana, 2010.
7