UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM PEMENANG LELANG SEBAGAI PEMBELI BERITIKAD BAIK TERHADAP PUTUSAN RE-EKSEKUSI Muhammad Faisal1
Abstract This paper discusses the legal protections towards the purchaser in good faith, in particular a good faith purchaser of the winning bidder in the repeated execution judgments (re-execution). The purchaser in good faith may be interfered by the repeated execution judicial decision, which re-execution over executed object previously. The prime issue hence is in what form the legal protections can be acquired for good faith purchaser in a repeated execution verdict. The results of this study shows that the legal certainty for good faith purchaser can be obstructed by a repeated execution verdict whereby different executions reoccur against the similar object. Therefore the legal protection for good faith purchaser should be protected by filling lawsuit against the buyer prior executing the object, through court appeal against the judicial execution and applying court petition in matter of legal certainty. Such application of court petition is a form of legal protection that requires more consideration to the repeated execution. Furthermore, the study results found that Supreme Court in providing legal protection for purchaser in good faith, may exercise its supervision function by awarding a decision to annul the previous judicial decision that has been legally binding in order to amend previous fallacious judicial decision and provide legal certainty for purchaser in good faith. Keywords: legal protection, good faith purchaser, re-execution verdict, application for legal protection Abstrak Tulisan ini membahas mengenai upaya perlindungan hukum terhadap pembeli beritikad baik, khususnya pembeli beritikad baik dari pemenang lelang dalam suatu putusan eksekusi ulang (re-eksekusi). Kepastian hukum pembeli beritikad baik dapat terganggu oleh adanya putusanre-eksekusi dimana terjadi eksekusi ulang objek yang pernah dieksekusi sebelumnya dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap dan telah dipindahtangankan yang kemudian dieksekusi lagi dengan putusan lain yang berkekuatan hukum tetap. Upaya perlindungan hukum pembeli beritikad baik dapat dilakukan dengan kewajiban menggugat pembeli beritikad baik sebelum mengeksekusi objek, melalui perlawanan terhadap penetapan eksekusi serta melalui permohonan perlindungan hukum. Permohonan perlindungan hukum merupakan bentuk
1
Pemerhati dan praktisi hukum, Associate pada Kantor Hukum H. Ayub, S.H., M.H., & Associates. Alamat kontak:
[email protected]
84
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.1 Januari-Maret 2014
perlindungan hukum yang memerlukan perhatian lebih terhadap adanya putusan re-eksekusi. Hasil penelusuran kasus menemukan bahwa Mahkamah Agung dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pembeli beritikad baik, dapat melaksanakan fungsi pengawasannya dengan mengeluarkan penetapan yang menganulir putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam rangka memperbaiki kesalahan hakim terdahulu dan memberikan kepastian hukum kepada pembeli beritikad baik. Kata kunci: perlindungan hukum, pembeli beritikad baik, putusan re-eksekusi, permohonan perlindungan hukum I.
Pendahuluan
Pengertian itikad baik dapat diartikan sebagai jujur atau kejujuran.2 Adapun dalam Hukum Perdata kita tidak diterangkan secara jelas tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan itikad baik tersebut. Masalah itikad baik lebih berkaitan erat dengan tata kehidupan masyarakat, artinya menyangkut kesadaran hukum masyarakat yang memerlukan pembinaan dan pengaturan.3 Pengaturan berkaitan dengan itikad baik banyak tersebar dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUHPerdata).Adapun pengaturan itikad baik mengenai kedudukan berkuasa (bezit) dapat dilihat dalam muatan pasal 531, 532, 534, 548, 549, 584, 1965, dan 1966. Mengenai perlindungan hukum terhadap pembeli beritikad baik, terdapat Pasal 1977 ayat (1) KUHPerdata dimana pada hakekatnya, pasal tersebut melindungi seorang pembeli benda bergerak yang beritikad baik. Pasal 1977 ayat (1) KUHPerdata mengatakan bahwa: Terhadap benda bergerak yang tidak berupa bunga, maupun piutang yang tidak harus dibayar kepada si pembawa maka barang siapa yang menguasainya dianggap sebagai pemiliknya. Menjadi pertanyaan bagaimana pengaturannya terhadap benda tak bergerak dimana KUHPerdata tidak mengaturnya seperti halnya pada benda bergerak. Adapun terkait dengan hal ini, Prof. R. Subekti, S.H., berpendapat bahwa ketentuan pasal 1977 ayat (1) tersebut diberlakukan untuk semua macam barang, sehingga terhadap barang tidak bergerak perlu dicantumkan suatu ketentuan yang menyatakan bahwa apabila suatu perjanjian dilakukan di muka seorang pejabat, maka para pihak dapat dianggap beritikad baik.4
2
Djaja S. Meliala, “Masalah Itikad Baik Dalam KUH Perdata”, (Bandung: Binacipta, 1987), hal. 1. 3
Ibid.
4
Ibid., hal. 9-10.
Upaya Perlindungan Hukum Pemenang Lelang, Faisal
85
Berdasarkan hal tersebut di atas, diketahui bahwa pembeli beritikad baik wajib dilindungi oleh hukum. Hal ini tentunya juga termasuk kepada pembeli lelang yang beritikad baik dimana dalam Vendu Reglement (staatsblad 1908) pasal 1 ayat (1), lelang merupakan:5 1. Cara penjualan yang dilakukan pada waktu dan tempat yang telah ditentukan; 2. Dilakukan di depan umum yaitu dengan cara mengumumkannya untuk mengumpulkan peminta/peserta lelang; 3. Dilaksanakan dengan cara penawaran harga yang khusus, yaitu dengan cara penawaran harga secara lisan atau tertulis yang bersifat kompetitif; 4. Peserta yang mengajukan penawaran tertinggi akan dinyatakan sebagai pemenang. Adapun dalam pasal 1 angka (4), (5) dan (6) Peraturan Menkeu No. 106/PMK.06/2013lelang diklasifikasikan menjadi: 1. Lelang Eksekusi, merupakan lelang untuk melaksanakan putusan/ penetapan pengadilan, dokumen-dokumen lain yang dipersamakan dengan itu, dan/atau melaksanakan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Jenis lelang inilah yang dimaksud Pasal 200 ayat (1) HIR. 2. Lelang Noneksekusi Wajib adalah lelang untuk melaksanakan penjualan barang yang oleh peraturan perundang-undangan diharuskan dijual secara lelang. 3. Lelang Noneksekusi Sukarela adalah lelang atas barang milik swasta, orang atau badan hukum/badan usaha yang dilelang secara sukarela. Sehubungan dengan klasifikasi di atas, fokus yang dibicarakan adalah mengenai perlindungan hukum pembeli beritikad baik terhadap pemenang lelang eksekusi pengadilan. Lelang eksekusi merupakan kelanjutan dari adanya sita eksekusi. Sebagaimana ditegaskan dalam pasal 200 ayat (1) HIR yang mengatakan: \ Penjualan barang yang disita dilakukan dengan bantuan kantor lelang, atau menurut keadaan yang dipertimbangkan Ketua, oleh orang yang melakukan penyitaan itu atau orang lain yang cakap dan dapat melakukan penyitaan itu atau orang lain yang cakap dan dapat dipercaya, yang ditunjuk oleh Ketua untuk itu dan berdiam di tempat di mana penjualan itu harus dilakukan atau di dekat tempat itu.
5
Wildan Suyuthi, “Sita eksekusi: Praktek Kejurusitaan Pengadilan”, (Jakarta: Tatanusa, 2004), hal. 43-44.
86
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.1 Januari-Maret 2014
Jadi setelah sita eksekusi dilaksanakan, undang-undang memerintahkan penjualan barang sitaan dengan cara penjualan melalui kantor lelang dan penjualannya disebut penjualan lelang.6 Eksekusi yang berlanjut kepada lelang eksekusi mengisyaratkan adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi terkadang terdapat juga putusan yang dapat dieksekusi secara serta merta (uitvoerbaar bij voorraad) tanpa perlu menunggu putusan akhir dari pengadilan di tahap selanjutnya. Berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam pasal 180 HIR, diberikan kewenangan kepada hakim untuk menjatuhkan putusan yang berisi diktum: memerintahkan pelaksanaan lebih dahulu putusan, meskipun belum memperoleh kekuatan tetap adalah bersifat eksepsional. Penerapan pasal 180 HIR tersebut tidak bersifat generalisasi, tetapi terbatas berdasarkan syaratsyarat yang sangat khusus. Dimana syarat yang dimaksud merupakan pembatasan kebolehan menjatuhkan putusan uitvoerbaar bij voorraad.7 Masalah kemudian dapat timbul terhadap lelang eksekusi berdasarkan putusan uitvoerbaar bij voorraad. Seperti misalnya telah dilakukan lelang eksekusi berdasarkan putusan uitvoerbaar bij voorraad yang dimenangkan oleh pihak penggugatpada tahap Pengadilan Negeri akan tetapi kemudian bisa saja tahap banding pada Pengadilan Tinggi berpendapat lain dan bisa saja putusan banding diperkuat pada tahap kasasi oleh Mahkamah Agung dan dimenangkan oleh pihak tergugat walaupun pada tingkat pertama objek perkara telah dilelang eksekusi secara sah. Dimana terhadap pemulihan kembali eksekusi dalam kasus seperti ini tidak dapat dilakukan secara langsung oleh karena barang sengketa tidak berada di bawah kekuasaan penggugat lagi tetapi dibawah kekuasaan pemenang lelang ataupun oleh pihak lain sebagai pembeli dari pemenang lelang dan selanjutnya.8 Terhadap objek barang sengketa yang telah berpindah tangan kepada pihak ketiga, berdasarkan alas hak yang sah (seperti misalnya melalui eksekusi putusan uitvoerbaar bij voorraad), apabila tergugat menghendaki agar objek tersebut dipulihkan kepadanya dalam bentuk fisik atau in natura, tergugat harus menempuh proses gugatan perdata ke pengadilan.9 Adapun proses pemulihan yang demikian terhadap pihak ketiga sebagai pemenang lelang, dikatakan dalam salah satu putusan Mahkamah Agung No. 323K/Sip/1968 bahwa:
6
M. Yahya Harahap (1), “Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata”, ed. ke-2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 113. 7
M. Yahya Harahap (2), “Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan”, cet. ke-6, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal. 898. 8
9
Ibid., hal. 908. Ibid.
Upaya Perlindungan Hukum Pemenang Lelang, Faisal
87
Pembeli dalam lelang executie harus dilindungi, apabila telah terjadi executie bij voorraad, sedang putusan pengadilan yang bersangkutan kemudian dibatalkan, jalan yang dapat ditempuh untuk mengembalikan upaya keadaan semula adalah penuntutan terhadap barang-barang jaminan yang diserahkan oleh executant pada waktu mengajukan permohonan executie. Esensi pokok kesimpulan hukum dalam putusan tersebut adalah bahwa pemulihan kembali terhadap barang yang dikuasai pihak ketiga harus dinyatakan tidak dapat dijalankan atau non-executable, dan eksekusinya harus lebih dahulu melalui gugatan biasa.10 Adanya kesempatan pemulihan kembali dalam bentuk fisik atau in natura, melalui gugatan kepada pihak ketiga (kepada pemenang lelang atau pembeli pihak ketiga) mengakibatkan terganggunya hak-hak yang dimiliki oleh pihak ketiga sebagai pembeli beritikad baik yang dilindungi oleh hukum. Adanya benturan kepentingan antara hak tergugat dalam pemulihan kembali dengan hak pihak ketiga sebagai pembeli beritikad baik menimbulkan permasalahan tersendiri bagi penegak hukum dalam menentukan pihak mana yang berhak akan perlindungan hukum atas hak-haknya tersebut. Menjadi lebih menarik lagi adalah bagaimana hukum dalam prakteknya memberikan perlindungan kepada pembeli beritikad baik dalam adanya gugatan dimana terjadi eksekusi ulang (re-eksekusi) terhadap satu objek sengketa yang telah dieksekusi sebelumnya. II.
Pembahasan 1. Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Beritikad Baik Dalam Black‟s Law Dictionary yang dimaksud itikad baik atau good faith adalah: A state of mind consisting in (1)honesty in belief or purposes. (2) faithfulness to one‟s duty or obligation, (3) observance of reasonable commercial standards of fair dealing in a given trade or business, or (4) absence of intent to defraud or to seek unconscionable advantage.11 Pasal 548 KUHPerdata menyatakan: Tiap-tiap kedudukan berkuasa yang beritikad baik, memberi kepada si yang memangkunya, hak-hak atas kebendaan yang dikuasai sebagai berikut:
2009).
10
Ibid., hal. 909.
11
Bryan A. Garner, “Black‟s Law Dictionary”, ed. ke-9, (USA: Thompson Reuters,
88
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.1 Januari-Maret 2014
1. Bahwa ia sampai pada saat kebendaan itu dituntut kembali ke muka hakim, sementara harus dianggap sebagai pemilik kebendaan; 2. Bahwa ia karena daluwarsa dapat memperoleh hak milik atas kebendaan itu; 3. Bahwa ia sampai pada saat penuntutan kembali akan kebendaan itu di muka Hakim, berhak menikmati segala hasilnya; 4. Bahwa ia harus dipertahankan dalam kedudukannya, bilamana diganggu dalam memangkunya, ataupun dipulihkan kembali dalam itu, bilamana kehilangan kedudukannya.” Secara teoritis, pembeli beritikad baik akan dilindungi berdasarkan kedudukan berkuasanya yang beritikad baik tersebut berdasarkan pasalpasal dalam KUHPerdata yang telah disebutkan di atas.Sebagaimana yang tertera dalam pasal 584 KUHPerdata itikad baik itu ada apabila hak kebendaan tersebut diperoleh melalui salah satu cara untuk memperoleh hak milik, dimana dari pasal tersebut diketahui bahwa beberapa peralihan hak milik yang ada tersebut tidaklah lepas dari keberadaan hukum perjanjian dalam KUHPerdata Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyatakan bahwa: “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Pasal ini bertujuan mencegah perbuatan yang tidak patut dan yang bertentangan dengan hukum.12 Rumusan dari pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata tersebut mengindikasikan bahwa sebenarnya itikad baik bukan merupakan syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana syarat yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata.Unsur itikad baik hanya disyaratkan dalam hal pelaksanaan dari suatu kontrak, bukan pada pembuatan suatu kontrak sebagai itikad baik dalam pengertian objektif. Seperti diketahui, KUHPerdata mengenal pembendaan ke dalam 2 macam pembendaan yaitu benda bergerak dan benda tidak bergerak.Terhadap benda bergerak dalam kaitannya dengan itikad baik, pasal 1977 ayat (1) KUHPerdata pada hakekatnya melindungi seorang pembeli benda bergerak yang beritikad baik.Dimana dalam ayat (2)-nya merupakan pengecualian terhadap pasal 1977 ayat (1).Pasal 1977 ayat (2) KUHPerdata menentukan bahwa perlindungan yang diberikan oleh pasal 1977 ayat (1) KUHPerdata itu tidak berlaku bagi barang-barang yang hilang atau yang berasal dari pencurian. Barangsiapa yang kehilangan atau kecurian suatu barang, dalam jangka waktu 3 tahun terhitung sejak hilangnya atau dicurinya barang itu berhak meminta kembali barangnya dari setiap orang yang memegangnya kecuali jika si pemegang barang itu memperolehnya di pasar tahunan atau di tempat-tempat pelelangan
12
Djaja S. Meliala, Op. Cit., hal. 9.
Upaya Perlindungan Hukum Pemenang Lelang, Faisal
89
umum sebagaimana ketentuan dalam pasal 582 KUHPerdata.13 Adapun terhadap penerapan pasal 1977 ayat (1) KUHPerdata ini kiranya sejalan dengan ketentuan pasal 1966 KUHPerdata yang menyatakan: “Adalah cukup bahwa pada waktu benda atau piutang diperoleh, itikad baik itu ada”. Terhadap benda tidak bergerak, KUHPerdata tidak mengaturnya sebagaimana dalam pengaturan benda bergerak. Dalam hal ini, Prof. R. Subekti, berpendapat bahwa ketentuan pasal 1977 ayat (1) tersebut diberlakukan untuk semua macam barang, sehingga terhadap barang tidak bergerak perlu dicantumkan suatu ketentuan yang menyatakan bahwa apabila suatu perjanjian dilakukan di muka seorang pejabat, maka para pihak dapat dianggap beritikad baik. Lain halnya dengan hukum adat kita, hukum adat tidak hanya memberi perlindungan kepada pembeli beritikad baik terhadap benda bergerak saja tetapi juga kepada pembeli benda tidak bergerak yang beritikad baik.14 Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa hukum memberikan perlindungan kepada pembeli beritikad baik untuk menguasai benda yang dimilikinya dengan itikad baik dan memperoleh manfaat dari benda tersebut sebagai akibat dari kedudukan berkuasanya atas benda tersebut selama ia tidak dibuktikan lain di muka pengadilan atas itikad baiknya tersebut. Walaupun topik yang dibahas dalam tulisan ini adalah pembeli dari pemenang lelang sebagai pembeli beritikad baik, dimana mengingat pasal 531 jo. 533 KUHPerdata dapat dikatakan beritikad baiklah pembeli dari pemenang lelang tersebut apabila jual-beli dilakukan sebagaimana mestinya, akan tetapi terkait dengan kedudukan berkuasa dalam bentuk fisik atau in natura, perlu diperhatikan juga sisi itikad baik pemenang lelang dalam memperoleh objek jual-beli tersebut. Mengingat akan adanya kesempatan menggugat batal Risalah Lelang yang mengakibatkan batalnya lelang yang telah terjadi sehingga dikembalikanlah seperti semula objek sengketa yang dilelang tersebut di bawah kepemilikan pelaku lelang yang secara tidak langsung dapat membatalkan demi hukum perjanjian jual-beli antara pembeli (pihak ketiga) dengan pemenang lelang sehingga pembeli dari pemenang lelang yang beritikad baik tidak lagi berhak memiliki kedudukan berkuasanya dalam bentuk fisik atau in natura.Menepis kemungkinan tersebut maka perlu dibahas juga terlebih dahulu mengenai pemenang lelang sebagai pembeli beritikad baik.
13
Ibid.
14
Ibid., hal. 10.
90
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.1 Januari-Maret 2014
2. Pemenang Lelang Sebagai Pembeli Beritikad Baik Lelang merupakan suatu istilah hukum yang penjelasannya diberikan dalam pasal 1 Undang-Undang Lelang (Vendu Reglement) yang memberikan definisi sebagai berikut:15 Yang dimaksud dengan penjualan di muka umum ialah; pelelangan dan penjualan barang yang diadakan di muka umum dengan penawaran harga yang makin meningkat atau dengan persetujuan harga yang makin menurun, atau dengan pendaftaran harga, dimana orang-orang yang diundang atau sebelumnya sudah diberitahukan tentang pelelangan itu, diberikan kesempatan kepadanya untuk membeli dengan jalan: menawar harga, menyetujui harga atau dengan jalan pendaftaran. Dalam Black‟s Law Dictionary yang dimaksud dengan lelang atau auction adalah:16 A public sale of property to the highest bidder, a sale at auction is ordinarily complete when the auctioneer so announces in a customary manner, as by pounding a hammer. Pengertian tersebut kemudian diperjelas dengan Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 106/PMK.06/2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, yang menyatakan bahwa: Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan Pengumuman Lelang. Dari pengertian lelang tersebut, secara garis besar lelang dapat diartikan sebagai:17 1) Cara penjualan yang dilakukan pada waktu dan tempat yang telah ditentukan; 2) Dilakukan di depan umum yaitu dengan cara mengumumkannya untuk mengumpulkan peminta/peserta lelang;
15
Rochmat Soemitro, “Peraturan dan Instruksi Lelang”, ed. ke-2, (Bandung: Eresco, 1987), hal. 153. 16
Bryan A. Garner, Op. Cit.
17
Wildan Suyuthi, Op. Cit., hal. 43-44.
Upaya Perlindungan Hukum Pemenang Lelang, Faisal
91
3) Dilaksanakan dengan cara penawaran harga yang khusus, yaitu dengan cara penawaran harga secara lisan atau tertulis yang bersifat kompetitif; 4) Peserta yang mengajukan penawaran tertinggi akan dinyatakan sebagai pemenang. Begitu pula asas yang digunakan dalam lelang tercermin dari pengertian lelang tersebut diatas, beberapa asas yang dapat dikemukakan antara lain:18 1) Asas Publisitas (Publicity), artinya setiap pelelangan harus didahului dengan pengumuman lelang, baik dalam bentuk iklan, brosur, atau undangan. Di samping untuk menarik peserta lelang sebanyak mungkin, pengumuman lelang juga dimaksudkan untuk memberi kesempatan sosial kontrol sebagai bentuk perlindungan publik. 2) Asas Persaingan (Competition), yaitu karena para peserta lelang bersaing dan peserta lelang dengan penawaran tertinggi yang sudah sesuai atau di atas harga limit yang akan dinyatakan sebagai pemenang. 3) Asas Kepastian (Certainty), artinya independensi Pejabat Lelang seharusnya mampu membuat kepastian bahwa penawar tertinggi dinyatakan sebagai pemenang, bahwa pemenang lelang yang telah melunasi kewajibannya akan memperoleh barang beserta dokumennya. 4) Asas Pertanggungjawaban (Accountability), artinya pelaksanaan lelang dapat dipertanggungjawabkan karena Pemerintah melalui Pejabat Lelang berperan untuk mengawasi jalannya lelang dan membuat Akta Otentik yang disebut Risalah Lelang. 5) Asas Efisiensi (Efficiency), artinya karena lelang dilakukan pada suatu saat dan tempat yang ditentukan dan transaksi terjadi pada saat itu juga maka diperoleh efisiensi biaya dan waktu, karena dengan demikian barang secara cepat dapat dikonversi menjadi uang. Lelang di Indonesia secara resmi dikenal dengan diberlakukannya Undang-Undang Lelang (Vendu Reglement, Ordonantie 28 Februari 1908 Staatsblad Tahun 1908 Nomor 189 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad Tahun 1941 Nomor 3) dan Instruksi Lelang (Vendu Instructie, Staatsblad Tahun 1908 Nomor 190 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad Tahun 1930 Nomor 85) oleh pemerintah Hindia Belanda yang masih berlaku sampai sekarang sebagai peraturan tertinggi yang mengatur 18
Fifidiana, Kompetensi Badan Peradilan Umum Dan Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Gugatan Pembatalan Risalah Lelang Study Kasus Willem Irianto Vs Bank Internasional Indonesia Dan Willem Irianto Vs Kepala Kantor Lelang Kelas Ii Kediri, (Tesis Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, Jakarta 2009), hal. 17.
92
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.1 Januari-Maret 2014
mengenai pokok-pokok lelang berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian dilengkapi dengan berbagai Peraturan Menteri Keuangan yang terkait dengan pelaksanaan lelang. Dalam sistem perundang-undangan Indonesia, lelang digolongkan sebagai suatu cara penjualan khusus yang prosedurnya berbeda dengan jual beli pada umumnya. Lelang termasuk perjanjian bernama (nominaat) atau perjanjian khusus (benoemd) karena mempunyai nama sendiri yaitu “lelang”.19 Lelang tidak secara khusus diatur dalam KUHPerdata tetapi penjualan lelang diatur dalam ketentuan-ketentuan Buku III tentang Perikatan KUHPerdata mengenai jual beli. Pasal 1319 KUHPerdata mengatur bahwa semua perjanjian baik yang mempunyai nama khusus, maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lalu.20 Dasar penjualan lelang juga mengacu pada ketentuan Pasal 1457 KUHPerdata yang merumuskan “jual-beli” sebagai suatu persetujuan, dengan mana pihak satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak lain untuk membayar harga yang dijanjikan. Lelang mengandung unsur-unsur yang tercantum dalam definisi jual beli yaitu adanya subjek hukum (adanya penjual dan pembeli), adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang barang dan harga serta adanya hak dan kewajiban yang timbul antara pihak penjual dan pembeli.Dengan demikian lelang adalah jual beli dalam bentuk khusus.Berkaitan dengan lelang sebagai suatu bentuk jual beli, terdapat hak dan kewajiban yang timbul di antara penjual terhadap pembeli yang beritikad baik untuk menjamin adanya kepastian hukum terhadap barang yang telah dibeli oleh pembeli tersebut.21 Lelang sebagai suatu bentuk jual-beli sebagaimana pasal 1319 jo. pasal 1457 KUHPerdata dan mengingat pasal 584 jo. pasal 531 KUHPerdata dimana untuk dapat dikatakan beritikad baik, maka kedudukan berkuasa yang didapatkan melalui lelang baru dapat dikatakan beritikad baik apabila telah memenuhi prosedur dan asas-asas yang terdapat dalam suatu penjualan melalui lelang, dalam hal ini khususnya lelang eksekusi pengadilan.Sehingga oleh karena itu, pembeli dari pemenang lelang dapat dikatakan beritikad baik apabila jual-beli yang dilakukan antaranya dengan pemenang lelang seusai dengan kaedah-kaedah yang ada dalam peraturan perundang-undangan mengenai jual-beli secara umum dengan mengindahkan pasal 1320 dan 1338 KUHPerdata. 19
Ibid., hal. 4.
20
Elizabeth Karina Leonita, “Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Barang Jaminan Melalui Lelang Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang- ndang Lelang (Studi Kasus Lelang Gedung Aspac oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional)”, (Tesis Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, Jakarta 2010), hal. 7. 21
Ibid.
Upaya Perlindungan Hukum Pemenang Lelang, Faisal
93
3. Upaya Perlindungan Hukum Pemenang Lelang Sebagai Pembeli Beritikad Baik Dalam Hal Terjadinya Eksekusi Ulang Objek Perkara Secara teoritis, pembeli dari pemenang lelang yang beritikad baik akan dilindungi oleh hukum berdasarkan kedudukan berkuasanya yang beritikad baik tersebut berdasarkan pasal-pasal dalam KUHPerdata yang telah disebutkan di atas. Akan tetapi terkait dengan pembeli dari pemenang lelang, apalagi terhadap adanya sengketa kepemilikan yang dimulai dari putusan uitvoerbaar bij voorraad yang mengawali terlaksananya penjualan lelang eksekusi, terdapat bentuk perlindungan lainnya. Bertitik tolak dari ketentuan pasal 195 ayat (6) HIR (pasal 258 ayat (6) R.Bg, pasal 378 Rv), dimungkinkan pihak ketiga atau pihak lawan mengajukan Derden Verzet (perlawanan) terhadap eksekusi putusan yang berkekuatan hukum tetap.22Terhadap penyitaan yang dilakukan berdasarkan putusan hakim, pihak ketiga dapat melakukan perlawanan terhadap penyitaan itu apabila ternyata barang yang disita itu adalah miliknya dan ia dapat membuktikan hak miliknya tersebut. 23 Perlawanan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang dalam wilayah hukumnya terjadi penyitaan itu, baik secara lisan maupun secara tulisan. Perlawanan tersebut akan diperiksa terlebih dahulu oleh Pengadilan Negeri yang bersangkutan untuk diputuskan, setelah mendengar kedua belah pihak yang berperkara itu. Perlawanan sebagaimana yang dimaksud tidaklah menghalangi dilakukannya pelelangan atas barang sitaan itu, kecuali jika ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan memerintahkan supaya menangguhkan pelelangan itu sampai dijatuhkannya putusan tentang perlawanan yang bersangkutan, sebagaimana dalam pasal 196 ayat (6),pasal 207, pasal 208 HIR dan pasal 206 ayat (6) , pasal 226, pasal 227, pasal 228 R.Bg. Bantahan mengenai pokok perkara yang telah diputuskan dalam putusan hakim tidak dapat digunakan untuk melawan sita eksekutorial.24 HIR kiranya tidak mengatur mengenai perlawanan pihak ketiga terhadap sita conservatoir dan sita revindicatoir, dimana perlawanan terhadap eksekusi riil juga tidak diatur, sekalipun begitu perlawanan sedemikian tersebut dalam prakteknya tetap dapat diajukan.25 Dalam praktek menurut
22
M. Yahya Harahap (3), “Perlawanan Terhadap Eksekusi Grose Akta Serta Putusan Pengadilan dan Arbitrase dan Standar Hukum Eksekusi”, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 323. 23
Abdulkadir Muhammad, “Hukum Acara Perdata Indonesia”, cet. ke-IV, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1990), hal. 228-229. 24 Sudikno Mertokusumo, “Hukum Acara Perdata Indonesia”, ed. ke-VI, (Yogyakarta, Liberty, 1998), hal. 250.
94
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.1 Januari-Maret 2014
yurisprundensi Mahkamah Agung tanggal 31 November 1962 No. 306 K/Sip/1962 dalam perkara CV. Sallas dkk. melawan PT. Indonesian Far Eastern Pasific Line, dinyatakan bahwa meskipun mengenai perlawanan terhadap sita conservatoir tidak diatur secara khusus dalam HIR, menurut yurisprundensi perlawanan yang diajukan oleh pihak ketiga selaku pemilik barang yang disita dapat diterima, juga dalam hal sita conservatoir, walaupun belum disahkan (van waarde verklaard).26 Ketentuan pasal 380 Rv memberikan kewenangan kepada pengadilan untuk menunda eksekusi apabila diajukan perlawanan. Akan tetapi perlu diingat bahwa perlawanan tidak boleh bersifat generalisasi menunda eksekusi. Daya tundanya hanya bersifat eksepsional. Patokan daya tunda eksepsional tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:27 1) Barang yang hendak dieksekusi merupakan milik pelawan; 2) Barang yang hendak dieksekusi telah diagunkan kepada pelawan. Terhadap objek barang sengketa yang telah berpindah tangan kepada pihak ketiga (pembeli dari pemenang lelang), berdasarkan alas hak yang sah melalui eksekusi putusan uitvoerbaar bij voorraad, apabila tergugat menghendaki agar objek tersebut dipulihkan kepadanya dalam bentuk fisik atau in natura, tergugat harus menempuh proses gugatan perdata ke pengadilan.28 Adapun proses pemulihan yang demikian terhadap pihak ketiga sebagai pemenang lelang, dikatakan dalam salah satu putusan Mahkamah Agung No. 323K/Sip/1968 yang pada pokoknya mengatakan bahwa pemulihan kembali terhadap barang yang dikuasai pihak ketiga harus dinyatakan tidak dapat dijalankan atau non-executable, dan eksekusinya harus lebih dahulu melalui gugatan biasa.29 Objek lelang yang dimiliki pemenang lelang yang terjadi berdasarkan lelang eksekusi putusan tidak bisa langsung dieksekusi begitu saja berdasarkan putusan yang dimenangkan oleh pihak yang menjatuhkan sita eksekutorial terhadap objek tersebut. Eksekusi objek sengketa yang dikuasai pemenang lelang hanya bisa dilakukan melalui gugatan perdata terlebih dahulu. Dimana dengan adanya proses persidangan tersebut diberi kesempatan bagi pemenang lelang untuk melindungi kedudukan berkuasanya tersebut atas dasar pembeli beritikad baik.
25
Supomo, “Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri”, (Jakarta: Fasco, 1985), hal.
195. 26
Mahkamah Agung RI, “Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus”, Buku II, ed. 2007, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2008), Hlm 101-103. 27 M. Yahya Harapap (3), Op. Cit., hal. 324-325. 28
M. Yahya Harahap (2), Op. Cit., hal. 908.
29
Ibid., hal. 909.
Upaya Perlindungan Hukum Pemenang Lelang, Faisal
95
Jadi terhadappemenang lelang sebagai pembeli beritikad baik dalam hal terjadinya eksekusi ulang objek perkara,upaya perlindungan hukum yang dapat dilakukan adalah melalui kewajiban diajukannya proses gugatan terlebih dahulu, dimana terhadap objek yang telah dimiliki oleh pemenang lelang tidak dapat langsung dieksekusi begitu saja oleh pemenang putusan tetapi harus melalui proses gugatan terlebih dahulu sebagai sarana bagi pemenang lelang yang merupakan pembeli beritikad baik untuk melindungi hak-haknya.Upaya perlindungan hukum lainnya adalah dengan mengajukan perlawanan terhadap penetapan eksekusi, dimana pemenang lelang sebagai pembeli beritikad baik dapat mengajukan perlawanan terhadap penetapan eksekusi dengan dasar kepemilikannya sebagai pemenang lelang. 4.
Permohonan Perlindungan Hukum Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Pembeli Beritikad Baik
Selain bentuk perlindungan tersebut diatas, terdapat juga bentuk perlindungan lainnya yaitu melalui permohonan perlindungan hukum. Terdapat berbagai kasus menarik yang dapat dijadikan contoh upaya perlindungan hukum melalui permohonan perlindungan hukum seperti misalnya kasus dari putusan Mahkamah Agung No. 556/PK/Pdt/2012. Dimana dalam kronologis kasus tersebut terjadi re-eksekusi yang merugikan pihak ketiga sebagai pembeli beritikad baik. Secara singkat dalam kronologis perkara putusan Mahkamah Agung No. 556/PK/Pdt/2012dapat diilustrasikansebagai berikut: a) A memiliki hutang piutang dengan B dimana dalam perjanjian hutang piutang tersebut, A telah meletakkan jaminan hak tanggungan atas sebidang tanah kepada B; b) Kemudian diketahui bahwa A juga memiliki sengketa dengan C dimana dalam gugatannya, C memohonkan untuk meletakkan sita jaminan terhadap sebidang tanah tersebut yang telah diletakkan hak tanggungan kepada B; c) B sebagai pemegang hak tanggungan kemudian melakukan perlawanan atas sita jaminan yang diletakkan atas permohonan C tersebut dimana dalam perlawanan tersebut dimenangkan oleh B sehingga dilakukanlah eksekusi objek hak tanggungan yang telah diagunkan kepada B dan melalui lelang eksekusi, objek tersebut dimenangkan oleh D; d) Bahwa kemudian perkara sengketa antara A dan C berlanjut sampai tahap kasasi dimana ternyata dalam kasasi dimenangkan oleh C dan dikabulkan sita jaminan atas objek yang telah dimenangkan D sebagai pemenang lelang sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi D dimana terdapat dua putusan yang saling tumpang tindih yaitu antara putusan perlawanan yang dimenangkan B dengan putusan kasasi yang dimenangkan oleh C;
96
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.1 Januari-Maret 2014
e) C kemudian melakukan eksekusi tanpa melalui gugatan terlebih dahulu terhadap objek yang dimiliki D sehingga timbul kerugian yang nyata bagi D tanpa kesempatan untuk melindungi hak-haknya dimuka pengadilan. Berdasarkan hal tersebut kemudian D dan B menyampaikan permohonan perlindungan hukum kepada Mahkamah Agung dimana dalam balasannya, Mahkamah Agung mengeluarkan penetapan untuk menghentikan eksekusi ulang tersebut dan menyatakan eksekusi ulang yang dilakukan C tidak berkekuatan hukum sehingga memberikan kepastian hukum bagi D sebagai pembeli beritikad baik. Permohonan perlindungan hukum merupakan bentuk perlindungan hukum kepada pembeli beritikad baik yang memerlukan perhatian lebih terhadap suatu putusan re-eksekusi.Jika dianalisis, sesuai dengan apa yang ditentukan dalam Pasal 195 ayat (1) HIR atau Pasal 206 ayat (1) RBg, menjalankan eksekusi terhadap putusan pengadilan mutlak hanya diberikan kepada instansi peradilan tingkat pertama, yakni Pengadilan Negeri. Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung tidak mempunyai wewenang menjalankan eksekusi. Tidak menjadi soal apakah putusan yang hendak dieksekusi itu merupakan hasil putusan Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung, eksekusinya tetap berada dibawah kewenangan Pengadilan Negeri yang memutus perkara pada tingkat pertama.30 Eksekusi secara nyata dilakukan oleh Panitera atau Juru Sita berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan, yang dituangkan dalam bentuk surat penetapan. Perintah eksekusi menurut Pasal 197 ayat (1) HIR harus dengan surat penetapan, tidak diperkenankan secara lisan dan ini merupakan syarat imperatif. Hal ini menyebabkan menjalankan eksekusi terhadap putusan pengadilan mutlak hanya diberikan pada Pengadilan Tingkat Pertama, yaitu Pengadilan Negeri.31 Selain itu, dalam Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan dikatakan bahwa kewenangan Mahkamah Agung dalam rangka pengawasan jalannya peradilan dibawahnya hanyalah sebatas pengangguhan atau meneruskan eksekusi.32 Akan tetapi perlu diingat juga pasal 32 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung yang telah dilakukan perubahan dengan UndangUndang No. 5 Tahun 2004, dikatakan bahwa:
30
M. Yahya Harahap (1), Op. Cit., hal. 19.
31
Asdian Taluke, Eksekusi Terhadap Perkara Perdata yang Telah Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap (Ingkraah) Atas Perintah Hakim Dibawah Pimpinan Ketua Pengadilan Negeri, “Lex Privatum”,. Vol. I, No. 4, (Oktober 2013), hal. 34-35. 32
Mahkamah Agung RI,” Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan”, Buku II, ed. revisi, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2007), hal. 151.
Upaya Perlindungan Hukum Pemenang Lelang, Faisal
97
Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman. Dimana pengawasan adalah segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas atau kegiatan, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak. Tujuan pengawasan adalah untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenar-benarnya tentang obyek yang diawasi apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak.33 Perlu diingat bahwa pengawasan terhadap perbuatan aparat pemerintahan oleh lembaga kehakiman, selalu akan berbentuk pengawasan yang bersifat represif. Maksudnya pengawasan tersebut dilakukan setelah ada perbuatan konkrit dari aparat pemerintah yang dianggap merugikan pihak lawan berbuat.34 Mengingat keadaan dalam kasus, dimana terjadi re-eksekusi terhadap objek sengketa yang sama karena tumpang tindihnya putusan eksekusi yang dikeluarkan oleh putusan-putusan yang telah berkekuatan hukum tetap yang saling bertentangan tesebut. Menurut hemat penulis adalah tepat dikeluarkannya penetapan penghentian eksekusi oleh Mahkamah Agung dalam rangka menjalankan fungsi pengawasannya. Adapun analisisnya adalah sebagai berikut: Pertama, Mahkamah Agung berwenang dalam hal pengawasan sebagaimana yang tertera dalam pasal 32 UU No. 14 Tahun 1985. Dikeluarkannya penetapan penghentian eksekusi oleh Mahkamah Agung pada dasarnya adalah untuk meluruskan permasalahan yang ditimbulkan dari tumpang tindihnya putusan-putusan yang telah diputus dan berkekuatan hukum tetap oleh hakim-hakim di bawah kekuasaan Mahkamah Agung sehingga tepatlah dikeluarkannya penetapan penghentian eksekusi dalam rangka fungsi pengawasan Mahkamah Agung yang didasari oleh pasal 32 UU No. 14 Tahun 1985. Penetapan penghentian eksekusi tersebut merupakan bentuk represif pengawasan yang dilakukan Mahkamah Agung terhadap tindakan yang dilakukan oleh hakim-hakim yang berada dibawah naungannya. Kedua, isi dari penetapan penghentian eksekusi yang membatalkan penetapan eksekusi yang dikeluarkan Ketua Pengadilan Negeri serta perintah untuk memulihkan kembali segala sesuatu dalam keadaan semula sebelum eksekusi dilaksanakan memang menimbulkan kontroversi akan tetapi menurut hemat penulis penetapan seperti inilah yang diperlukan untuk meluruskan permasalahan dan mengisi kekosongan hukum yang ada sehingga tidak menimbulkan ketidakpastian hukum. Lagipula jika dianalisis lebih dalam, pelaksanaan eksekusi 33
Sujatmo, “Aspek-Aspek Pengawasan di Indonesia”, cet. ke-4, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 63. 34
Muchsan, “Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah Dan Peradilan tata Usaha Negara Di Indonesia”, (Yogyakarta: Liberty, 2007), hal. 36.
98
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.1 Januari-Maret 2014
sejatinya masih berada dibawah Ketua Pengadilan Negeri dimana penetapan penghentian eksekusi yang dikeluarkan Mahkamah Agung hanya memiliki fungsi secara de jure dalam hal memberi perintah sedangkan pelaksanaannya secara de facto masih berada dibawah kekuasaan Ketua Pengadilan Negeri sehingga tidak melanggar ketentuan pasal 195 ayat (1) HIR. Selain itu, tidak terdapat larangan dalam hukum positif yang melarang Mahkamah Agung dalam melaksanakan fungsi pengawasannya membatalkan penetapan eksekusi terlebih lagi penetapan eksekusi yang dibatalkan adalah penetapan eksekusi yang menimbulkan ketidakpastian hukum. III. Penutup Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut: Pembeli beritikad baik adalah pembeli yang harus dilindungi hak-haknya oleh hukum sebagaimana dalam pasal 548 KUHPerdata. Terhadap suatu putusan re-eksekusi dimana terjadi eksekusi ulang objek sengketa yang pernah dieksekusi sebelumnya dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap dan telah dipindahtangankan yang kemudian dieksekusi lagi (re-eksekusi) dengan putusan lain yang berkekuatan hukum tetap, upaya perlindungan terhadap pembeli beritikad baik sebagaimana tersebut dapat dilakukan melalui proses digugatnya pembeli beritikad baik, melalui perlawanan terhadap penetapan eksekusi serta melalui permohonan perlindungan hukum kepada instansi terkait. Permohonan perlindungan hukum merupakan bentuk perlindungan hukum kepada pembeli beritikad baik yang memerlukan perhatian lebih terhadap suatu putusan re-eksekusi sebagaimana dalam kasus putusan Mahkamah Agung No. 556/PK/Pdt/2012. Dimana melalui permohonan tersebut, Mahkamah Agung mengeluarkan penetapan yang meluruskan hal tersebut sehingga permasalahan yang ada telah terabsorbsi dalam penetapan tersebut dan dinyatakan telah selesai permasalahannya. Permohonan perlindungan hukum merupakan bentuk perlindungan yang lebih responsif, cepat dan mudah dalam memberikan perlindungan hukum kepada pembeli beritikad baik terhadap suatu putusan re-eksekusi jika dibandingkan dengan perlindungan hukum yang diberikan melalui proses gugatan atau perlawanan. Terhadap penetapan penghentian eksekusi dimana dalam hukum positif tidak terdapat pengaturan yang memberikan wewenang maupun larangan bagi Mahkamah Agung untuk melakukannya memang dapat menimbulkan perdebatan akan keabsahan dari penetapan tersebut. Akan tetapi, dengan pertimbangan menjalankan fungsi pengawasan, dapat dilihat bahwa Mahkamah Agung telah mengisi kekosongan hukum dengan mengeluarkan penetapan eksekusi tersebut yang isinya berada di luar skenario aturan yang ada. Penetapan penghentian eksekusi tersebut dalam kenyataannya merupakan produk hukum yang dibutuhkan dalam meluruskan permasalahan yang ada dan memberikan kepastian hukum kepada pembeli beritikad baik yang wajib dilindungi hukum. Sehingga berdasarkan hal tersebut, permohonan
Upaya Perlindungan Hukum Pemenang Lelang, Faisal
99
perlindungan hukum merupakan upaya perlindungan hukum yang efektif dan tanggap dalam memberikan kepastian perlindungan hukum kepada pembeli beritikad baik, khususnya pemenang lelang sebagai pembeli beritikad baik terhadap putusan re-eksekusi yang merugikannya.
100
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.1 Januari-Maret 2014
Daftar Pustaka BUKU Garner, Bryan A. Black‟s Law Dictionary, Ed. ke-9.USA: Thompson Reuters, 2009. Harahap, M. Yahya. Perlawanan Terhadap Eksekusi Grose Akta Serta Putusan Pengadilan dan Arbitrase dan Standar Hukum Eksekusi, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993. -----------------------, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Ed. ke-2. Jakarta: Sinar Grafika. 2006. -----------------------, Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Cet. ke-6. Jakarta: Sinar Grafika. 2007. Mahkamah Agung RI.Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Buku II.Ed. Revisi. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2007. -----------------------, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, Buku II.Ed. 2007. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2008. Meliala, Djaja S. Masalah Itikad Baik Dalam KUHPerdata, Bandung: Binacipta. 1987. Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia, Ed. ke-VI. Yogyakarta, Liberty, 1998. Muchsan. Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah Dan Peradilan tata Usaha Negara Di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 2007. Muhammad, Abdulkadir. Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet. ke-IV. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1990. Soemitro, Rochmat. Peraturan dan Instruksi Lelang, Ed. ke-2. Bandung: Eresco, 1987. Sujatmo. Aspek-Aspek Pengawasan di Indonesia, Cet. ke-4. Jakarta: Sinar Grafika, 1996. Supomo. Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Jakarta: Fasco, 1985. Suyuthi, Wildan. Sita Eksekusi: Praktek Kejurusitaan Pengadilan, Jakarta: Tatanusa. 2004. Jurnal dan Tesis Fifidiana. “Kompetensi Badan Peradilan Umum Dan Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Gugatan Pembatalan Risalah Lelang Studi Kasus Willem Irianto Vs Bank Internasional Indonesia Dan Willem Irianto Vs Kepala
Upaya Perlindungan Hukum Pemenang Lelang, Faisal
101
Kantor Lelang Kelas II Kediri”. Tesis Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, Jakarta, 2009. Leonita, Elizabeth Karina. “Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Barang Jaminan Melalui Lelang Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang- ndang Lelang (Studi Kasus Lelang Gedung Aspac oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional)”. Tesis Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, Jakarta, 2010. Taluke, Asdian. “Eksekusi Terhadap Perkara Perdata yang Telah Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap (Ingkraah) Atas Perintah Hakim Dibawah Pimpinan Ketua Pengadilan Negeri”. Lex Privatum. Vol. I. No. 4. (Oktober 2013): 24-35.