Upaya Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Berbicara di Sekolah Dasar Kawasan Pedesaan oleh Atikah Anindayarini, Sumarwati, Purwadi FKIP Universitas Sebelas Maret J1.Ir. Sutami 36 A Surakarta ABSTRAK
Pembelajaran bercerita merupakan bagian dari keterampilan berbahasa. Sebagai salah satu keterampilan berbahasa, keterampilan berbicara juga harus dikuasai siswa. Kenyataannya, kemampuan berbicara siswa di Sukoharjo masih rendah. Dengan demikian, perlu diupayakan cara-cara untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa. Upaya yang bisa dilakukan guru di antaranya adalah guru harus bisa memberi motivasi kepada siswa agar bisa menerapkan faktor kebahasaan dan faktor nonkebahasaan dalam berbicara, guru sebaiknya bisa menerapkan penilaian secara otentik, guru harus bisa memilih tugas yang bisa merangsang siswa untuk bercerita, guru sebaiknya bisa menerapkan pendekatan komunikatif dalam keterampilan berbahasa, dan untuk mengatasi ketidakberanian siswa dalam bercerita, guru bisa menerapkan metode cooperative learning dalam keterampilan berbicara
Kata kunci: pembelajaran bercerita, motivasi, penilaian otentik, pendekatan komunikatif, cooperative learning, ABSTRACT Storytelling learning is a part of language skill. As one of language skills, speaking skill should be mastered by the students. In fact, the speaking skill of Sukoharjo students is still low. Thus, there should be an attempt of improving the student speaking skill. The teacher can take some attempts such as motivating the student to apply linguistic non-linguistic factors in speaking, applying assessment authentically, selecting the assignment that can stimulate the students telling story, applying communicative approach in language skill, and to cope with the student’s fear of telling story, the teacher can apply cooperative learning to the speaking skill.
Keywords: storytelling learning, motivating, assessment authentically, communicative approach cooperative learning,
1
PENGANTAR Bercerita merupakan salah satu keterampilan berbicara yang harus dikuasai oleh siswa Sekolah Dasar. Namun, berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan peneliti terhadap beberapa guru SD di Sukoharjo yang mengampu bahasa Indonesia di kelas 5 diperoleh data bahwa proses pembelajaran bercerita yang telah dilaksanakan selama ini belum sesuai dengan yang diharapkan. Kegagalan pembelajaran bercerita bisa disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor tersebut bisa dari guru, siswa, metode yang digunakan, kurangnya pemanfaatan media, maupun evaluasi yang tidak tepat. Berdasarkan wawancara terhadap para guru diperoleh informasi bahwa dalam pembelajaran bercerita khususnya dalam standar kompetensi keterampilan berbicara, anak tidak selalu diberi kesempatan oleh guru untuk praktik bercerita. Dengan demikian, evaluasi yang dilaksanakan oleh guru tidak sesuai dengan kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa yaitu ketrampilan berbicara. Biasanya, siswa hanya diperintahkan guru untuk menceritakan cerita secara tertulis selanjutnya siswa membacakannya di depan kelas. Hal ini bisa disebabkan guru tidak memperhatikan keterampilan berbahasa jenis apa yang harus dikuasai siswa, membaca, menulis, menyimak, atau berbicara. Kaitan dengan kurangnya praktik bercerita siswa, guru memberikan alasan karena terkendala oleh waktu yang sangat minim untuk memberikan kesempatan siswa praktek bercerita. Selain itu, guru juga merasa banyak siswa yang tidak percaya diri dan malu-malu bercerita di depan kelas dan siswa yang bercerita di depan kelas juga masih mengalami kesulitan ketika harus bercerita secara lancar dan runtut. Hasil wawancara ini diperkuat dengan hasil wawancara terhadap siswa yang sebagian besar merasa malu bercerita atau kurang percaya diri, kurang lancar dalam bercerita, dan siswa kesulitan menyusun kalimat ketika bercerita (Anindyarini, Sumarwati, Purwadi, 2012). Dalam proses pembelajaran bercerita, anak juga merasa jenuh dengan metode mengajar guru yang kurang variatif sehinggga siswa tidak begitu bersemangat mengikuti pembelajaran. Selain itu, sangat minimnya pemanfaatan media yang bisa merangsang siswa tertarik dengan pembelajaran bercerita.
2
Penelitian tentang pembelajaran bercerita juga pernah dilakukan oleh Susilowati (2007). terhadap siswa kelas 5 SD. Dari hasil observasi yang telah dilakukan oleh Susilowati (2007:1) terhadap kemampuan bercerita siswa kelas 5 Sekolah Dasar Negeri 4 Masaran, diperoleh kesimpulan bahwa kemampuan bercerita setiap siswa bervariasi. Ada sebagian siswa yang sudah lancar menyatakan pendapatnya, sebaliknya masih ada beberapa siswa.yang belum bisa menyatakan pendapatnya secara efisien. Beberapa siswa masih takut-takut berdiri di depan kelas untuk bercerita. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kompetensi berbahasa siswa, khususnya keterampilan berbicara siswa sekolah dasar masih rendah. Rendahnya nilai keterampilan berbicara siswa sekolah dasar bisa dilihat dari nilai KKM berbicara yang ditentukan SD yang kami teliti yaitu sebagai berikut SDN Laban 2 dan SDN Banaran 1 KKM 65, SDN Laban 1 KKM 65, SDN Bekonang 2 KKM 68. Nilai KKM berbicara tertinggi terdapat di SDN Joho 2 (Anindyarini, Sumarwati, Purwadi, 2012). Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka dalam artikel ini kami tertarik untuk menulis tentang Upaya untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Bercerita pada Siswa Sekolah Dasar di Kawasan Pedesaan. Dalam artikel ini kami akan membahas tentang upaya-upaya yang bisa dilakukan guru untuk meningkatkan kualitas pembelajaran bercerita. Sebaiknya, sebagai seorang guru bisa memperhatikan faktor-faktor penunjang keefektifan berbicara dan bisa mengajarkannya kepada anak untuk dipraktekkan, bisa menerapkan penilaian secara otentik, bisa memilih tugas yang merangsang keterampilan berbicara siswa, bisa menerapkan pendekatan komunikatif dalam keterampilan berbahasa, dan
bisa
menerapkan cooperative learning dalam keterampilan berbicara. Penjelasan labih lanjut dapat dilihat dalam uraian berikut ini;
Faktor-faktor Penunjang Keefektifan Berbicara Kemampuan berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau mengucapkan kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan (Arsyad dan Mukti, 1997:2.2). Tujuan utama dari berbicara adalah untuk berkomunikasi. Agar dalam berkomunikasi kita dapat menyampaikan informasi secara efektif, sebaiknya pembicara memahami dengan sungguh-sungguh apa yang akan disampaikan dan mengetahui bagaimana cara kita menyampaikannya. Keefektifan berbicara didukung oleh faktor kebahasaan dan faktor nonkebahasaan. Faktor-faktor kebahasaan yang dimaksud adalah (1) ketepatan ucapan, (2) penempatan 3
tekanan, nada, emosi, sendi, dan durasi yang sesuai, (3) pilihan kata, dan (4) ketepatan sasaran pembicaraan. Adapun yang dimaksud faktor nonkebahasaan adalah (1) sikap yang wajar, tenang, dan tidak kaku, (2) pandangan harus diarahkan kepada lawan bicara, (3) kesediaan menghadapi pendapat orang lain, (4) gerak-gerik dan mimik yang tepat, (5) kenyaringan suara, (5) kelancaran, (6) relevansi/penalaran, dan penguasaan topik. (Arsyad dan Mukti, 1997:2.2). Dari hasil anaisis kebutuhan yang telah kami lakukan diperoleh informasi bahwa sejumlah
siswa
merasa sulit
untuk
menceritakan
secara lisan
hasil
pengamatannya/kunjungannya. Sejumlah 90 % siswa menyatakan sulit, 10 % siswa menyatakan tidak sulit. Adapun permasalahan yang dialami siswa dalam bercerita dengan urutan permasalahan sebagai berikut takut, malu, atau grogi sebesar 90 % siswa, tidak lancar
lO % siswa, tidak runtut 80 % siswa. tidak lengkap 70% siswa, dan lupa 50 % siswa (Anindyarini, Sumarwati, Purwadi, 2012). Data tersebut
menunjukkan bahwa siswa mengalami permasalahan dalam faktor
kebahasaan maupun faktor nonkebahasaan. Namun, berdasarkan data tersebut bisa kita lihat bahwa faktor nonkebahasaan lebih mendominasi daripada faktor kebahasaan. Dengan demikian, ketika guru mengajarkan keterampilan berbicara
sebaiknya guru tidak hanya mengajarkan
faktor
kebahasaannya tetapi juga mengajarkan faktor nonkebahasaannya kepada siswa. Faktor nonkebahasaan lebih mengarah pada masalah mental dan bahasa tubuh. Oleh karena itu, dalam praktik berbicara siswa sebaiknya menguasai kedua faktor tersebut.
Penilaian secara Otentik Keberhasilan suatu kegiatan memerlukan penilaian. Dari hasil analisis kebutuhan yang kami lakukan diperoleh informasi bahwa guru belum semua melaksanakan penilaian sesuai dengan kompetensi yang harus dicapai siswa. Pada Kompetensi Dasar (KD) berbicara, guru hanya menugasi siswa untuk membaca atau menulis, tidak berbicara. Kondisi demikian disebabkan ketidaktahuan guru dengan keterampilan berbahasa yang harus dikuasai siswa atau karena pertimbangan guru kaitan dengan minimnya waktu untuk praktik berbiara. Guru yang melaksanakan penilaian berbicara,
biasanya
guru-guru bahasa
memberikan penilaian berdasarkan kesan umum, baik dalam penilaian berbahasa secara tertulis maupun secara lisan. Hal ini tentu tidak memberikan umpan balik yang jelas terhadap siswa. Cara demikian membuat siswa tidak tahu kelemahannya dalam berbahasa tulis maupun lisan. Selain itu, guru kadang-kadang tidak mempunyai pengetahuan tentang kriteria yang digunakan dalam penilaian (Arsyad dan Mukti, 1997:2.2). 4
Penilaian hendaknya tidak semata-mata hanya mengukur dan memberikan angka pada suatu kegiatan pembelajaran, tetapi hendaknya ditujukan kepada usaha perbaikan prestasi siswa sehingga menumbuhkan motivasi kepada siswa untuk bisa melakukan yang terbaik. Ketika melakukan penilaian pada kemampuan berbicara, guru sebaiknya tidak hanya memberikan catatan pada kekurangan siswa tetapi juga memberikan catatan kemajuan siswa. Hasil penilian tersebut bisa ditunjukkan kepada siswa. Dengan demikian, siswa merasa tumbuh motivasinya untuk berlatih mengatasi kekurangan-kekurangannya. Faktor-faktor yang dinilai berdasarkan kedua faktor penunjang kekefektifan berbicara bisa dilihat dalam bagan berikut ini :
FAKTOR KEBAHASAAN
FAKTOR NONKEBAHASAAN
1
Pengucapan Vokal , Konsonan
Keberanian/semangat
2
Penempatan
Kelancaran
Tekanan,
Persendian 3
Nada/irama
Kenyaringan Suara
4
Pilihan Kata
Pandangan Mata
5
Pilihan Ungkapan
Gerak-gerik Mimik
6
Ketepatan
Sasaran
Keterbukaan
Pembicaraan 7
Penalaran
8
Penguasaan Topik
(Arsyad dan Mukti, 1997:2.14). Pengisian kolom-kolom pada tabel penilaian tidak dilkukan sekaligus, tetapi bertahap. Dengan latihan yang berulang-ulang akhirnya semua komponen dalam tabel akan terisi. Keterampilan berbicara dapat dicapai melalui latihan yang intensif dan bimbingan yang sistematis. Makin sering siswa berlatih makin banyak ia mendapat umpan balik, sehingga lama kelamaan kemampuan mereka akan meningkat (Arsad dan Mukti, 1997:2.15). Dalam penilaian ini perlu diingat, mulailah dengan faktor yang lebih mudah, misalnya faktor keberanian. Latihlah keberanian siswa terlebih dahulu, karena biasanya siswa tidak berani berbicara dalam situasi formal. Kalau faktor keberanian ini sudah dimiliki, kita lebih mudah melatih faktor-faktor yang lain. 5
Secara garis besarnya pelaksanaan penilaian ini dapat dijelaskan sebagai berikut (1) guru memberi tugas kepada semua siswa untuk melakukan kegiatan berbicara, (2) guru menentukan faktor-faktor yang dinilai atau diamati, (3) siswa yang tidak diberi tugas disuruh mengamati berdasarkan pedoman penilaian, (4) guru dan siswa akktif mengamati dan mengisi tabel penilaian dengan komentar, (5) setelah selesai kegiatan berbicara para pengamat mengemukakan komentarnya, guru membetulkan komentar yang kurang tepat, (6) setelah itu kegiatan berbicara dapat diulangi untuk melihat perubahan berbicara pembicara setelah mendapat umpan balik (Arsyad dan Mukti, 1997:2.17).
Pemilihan Tugas yang Bisa Merangsang Keterampilan Berbicara Ada banyak tugas yang dapat diberikan kepada siswa untuk mengukur kompetensi berbicaranya dalam bahasa target. Apapun bentuk tugas yang dipilih harus yang memungkinkan siswa untuk tidak saja mengekspresikan kemampuan berbahasanya, melainkan juga mengungkapkan gagasan, pikiran, perasaan, atau menyampaikan informasi (Nurgiyantoro, 2011:402). Tugas yang diberikan bisa berupa rangsang gambar, rangsang suara, rangsang gambar dan suara, dan bercerita; Untuk dapat mengungkap kemampuan berbicara siswa, gambar dapat dijadikan rangsang pembicaraan yang baik. Rangsang yang berupa gambar sangat baik untuk dipergunakan anak-anak usia sekolah dasar ataupun pembelajar bahasa asing pada tahap awal. Rangsang gambar yang dapat dipakai sebagai rangsang berbicara dapat dikelompokkan ke dalam gambar objek dan gambar cerita. Gambar objek merupakan gambar tentang objek tertentu yang berdiri sendiri yang kehadirannya tidak memerlukan bantuan objek gambar yang lain. Gambar cerita adalah gambar susun yang terdiri dari sejumlah panel gambar yang saling berkaitan yang secara keseluruhan membentuk sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2011:402). Gambar cerita tersebut berisi suatu aktivitas, mencerminkan maksud atau gagasan tertentu, bermakna, menunjukkan urutan gambar, panel-panel gambar tersebut dapat diberi nomor urut, namun dapat pula tanpa nomor agar peserta dapat menentukan logika urutannya sendiri. Selain dengan mempergunakan rangsang gambar, kemampuan berbicara siswa bisa juga dilakukan dengan memperguanakan rangsang suara serta rangsang visual dan suara. Pada tugas berbicara dengan rangsang suara, tugas ini memang terkait dengan tes kemampuan menyimak. Pengaitan antara kedua kompetensi tersebut justru harus ditekankan 6
dalam pembelajaran bahasa sehingga pembelajaran yang dimaksud memenuhi tuntutan whole language.
Salah satu tugas berbicara dengan rangsang suara salah satunya ditunjukkan di bawah: Dengarkan siaran sandiwaa radio yang telah direkan ini dengan baik. Anda boleh menuliskan hal-hal yang penting. Setelah itu Anda diminta untuk menceritakannya kembali di depan kelaas.
Berbicara berdasarkan rangsang visual dan suara merupakan gabungan antara berbicara berdasarkan gambar dan suara. Contoh rangsang yang dimaksud adalah siaran televisi, video, atau berbagai bentuk rekaman sejenis. Salah satu tugas berbicara dengan rangsang gambar dan suara salah satunya ditunjukkan di bawah: Cermatilah siaran berita televisi/ Catatlah hal-hal yang penting. Setelah itu Anda disuruh menceritakannya kembali di depan kelas. Selain guru memberikan tugas berbicara berdasarkan rangsang gambar, rangsang suara, rangsang gambar dan suara, guru bisa juga memberikan tugas berbicara kepada siswa untuk bercerita. Tugas ini dalam jenis asesmen otentik berupa tugas menceritakan kembali teks atau cerita. Jadi, rangsang yang dijadikan bahan untuk bercerita dapat berupa buku yang sudah dibaca, berbagai cerita, berbagai pengalaman, dan lain-lain. Dalam penelitian kami, untuk meningkatkan keterampilan berbicara, siswa disuruh mengadakan suatu pengamatan atau kunjungan. Selanjutnya siswa menceritakan hasil pengamatan atau kunjungannya secara lisan. Rubrik penilaian tugas menceritakan kembali cerita bisa dilihat pada tabel berikut
Aspek yang Dinilai
Tingkat Capaian Kinerja 1 2 3 4 5
1 Ketepatan isi cerita 2 Ketepatan penunjukkan detil cerita 3 Ketepatan logika cerita 4 Ketepatan makna berdasarkan cerita 5 Ketepatan kata 6 Ketepatan kalimat 7 Kelancaran (Nurgiyantoro, 2011:406). 7
Pendekatan Komunikatif dalam Keterampilan Berbahasa Pembelajaran bahasa Indonesia dinilai masih belum berhasil atau belum memenuhi harapan banyak pihak sehingga selama ini pembelajaran bahasa Indonesia dinilai gagal. Penyebab kegagalan pengajaran bahasa Indonesia ini juga sudah dicari oleh para ahli, salah satu kegagalan pengajaran bahasa ialah pengajaran yang lebih banyak memberikan pengetahuan tentang bahasa atau struktur bahasa daripada keterampilan berbahasa (Sugono dalam Muammar, 2008:317). Siswa hanya diajari tentang tata bahasa, tetapi siswa tidak diberikan kesampatan untuk menggunakannya dalam praktik berbahasa. Oleh karena itu, pentingya diterapkan pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa. Beberapa prinsip utama pendekatan komunikatif (Cahyono dalam Anindyarini, 2007: 63) adalah sebagai berikut (a) Tujuan utama pengajaran bahasa ialah membantu pembelajar menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, kosumunikasi menggunakan fungsi-fungsi bahasa maupun struktur gramatika, (b) Bahasa digunakan dalam konteks sosial dan harus sesuai dengan latar, topik, dan partisipan, (c) Pembelajar harus diberi kesempatan untuk mencapai makna yang disepakati, yaitu mencob membuat mereka memahami; (d) Pembelajaran harus mampu mengungkapkan pendapat, pikiran, dan perasaan. Salahsatu tujuan pembelajaran bahasa yang berdasarkan pendekatan komunikatif adalah mempersiapkan pembelajar untuk melakukan interaksi yang bermakna dalam penggunaan bahasa secara alamiah. Memang salahsatu tugas guru dalam pembelajaran bahasa adalah mengusahakan terjadinya peristiwa berbahasa yang dilaksanakan secara alamiah (Azies dalam Wardani, 2002:6.29). Penelitian kami juga berusaha untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk melaksanakan praktik berbahasa secara alamiah. Dalam pembelajaran bahasa, Kompetensi Dasar (KD) yang kami pilih adalah menceritakan hasil pengamatan/kunjungan dengan bahasa runtut, baik, dan benar. Dengan mengamati/mengunjungi secara langsung apa yang akan diceritakannya, hal ini diharapkan akan mempermudah mereka dalam menceritakan hasil pengamatannya atau kunjungannya. Dengan demikian, mereka lebih mudah melaksanakan praktik bercerita secara lisan.
8
Penerapan Cooperative Learning dalam Keterampilan Berbicara Pembelajaran kooperatif merujuk pada berbagai macam metode pembelajaran di mana para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lainnya dalam memperlajari materi pelajaran. Dalam kelas kooperatif, parasiswa diharapkan dapat saling membantu, saling mendiskusikan dan berargumentasi, untuk mengasah pengetahuan yang mereka kuasai saat itu dan menutup kesenjangan dalam pemahaman masing-masing (Slavin, 2005:4) Hal tersebut sesuai dengan pendapat Lie (2005:7 ) yang menyatakan bahwa suasana kelas perlu direncanakan dan dibangun sedemikian rupa sehingga siswa mendapatkan kesempatan untuk berinteraksi satu sama lain. Dalam interksi ini, siswa akan membentuk komunitas yang memungkinkan mereka untuk mencintai proses belajar dan mencintai satu sama lain. Untuk mencapai hasil maksimal, ada lima unsur dalam pembelajaran kooperatif yang harus diterapkan (Lie, 2005: 31). Lima unsur tersebut adalah saling ketergantungan positif, interaksi tatap muka, akuntabilitas individual (tanggung jawab perorangan), dan komunikasi antaranggota. Penerapan Cooperative Learning dalam pelaksanaan KD menceritakan hasil pengamatan/kunjungan dengan bahasa runtut, baik, dan benar, tampak dalam kegiatan mendiskusikan objek pengamatan atau kunjungan, menentukan hal-hal pokok yang akan diamati/dikunjungi, pembagian tugas dalam kelompok, melaksanakan pengamatan atau kunjungan, mewawancarai narasumber, mendiskusikan hasil pengamatan atau kunjungan, membuat kerangka cerita, dan yang terakhir bercerita secara bergantian dalam kelompok. Penerapan Cooperative Learning dalam kegiatan tersebut diharapkan dapat mempermudah siswa dalam melaksanakan KD tersebut, selain itu juga bisa menumbuhkan keberanian siswa untuk praktik berbicara. Dengan bercerita secara berkelompok, siswa diharapkan akan lebih percaya diri dan saling membantu ketika bercerita.
PENUTUP Selama ini pembelajaran bahasa Indonesia dikatakan belum berhasil, karena guru belum banyak memberikan kesempatan kepada siswa untuk praktik berbahasa. Baik praktik dalam keterampilan menyimak, berbicara, membaca, maupun menulis. Kenyataannya keterampilan berbicara siswa masih rendah. Untuk itu perlu diupayakan cara-cara untuk bisa meningkatkan keterampilan berbicara siswa. Dengan demikian, 9
guru perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut guru harus bisa memberi motivasi kepada siswa agar bisa menerapkan faktor kebahasaan dan faktor nonkebahasaan dalam berbicara, guru sebaiknya bisa menerapkan penilaian secara otentik, guru harus bisa memilih tugas yang bisa merangsang siswa untuk bercerita, guru sebaiknya bisa menerapkan pendekatan komunikatif dalam keterampilan berbahasa, dan untuk mengatasi ketidakberanian siswa dalam bercerita, guru bisa menerapkan metode cooperative learning dalam keterampilan berbicara
DAFTAR PUSTAKA Anindyarini, Atikah. 2007. “Relasi Semantik Keberlawanan Arti dan Pengajarannya “dalam Jurnal Dwija Wacana.Jilid 8 Nomor 1, Mei 2007. ISSN 0216-1303. Anindyarini, Sumarwati, Purwadi, 2012. Pengembangan Model Pembelajaran Bercerita Berbasis Pendidikan Karakter dengan Metode Cooperative Learning di Kawasan Pedesaaan. ( Laporan Hibah Bersaing 2012. Arsyad, Maidar G. dan Mukti M.S..1997. Berbicara II. Jakarta: Universitas Terbuka. Lie, Anita. 2005.Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruangruang Kelas. Jakarta: Grasindo. Muammar 2008. “Pembelajaran Berbicara yang Terabaikan pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Sekolah Dasar” dalam Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: UNY dan Tiara Wacana. Nurgiyantoro, Burhan. 2011. Penilaian Pembelajaran Sastra. Univesitas Negeri Yogyakarta. Slavin, Robert E. 2005. Cooperative Learning: Teori, Riset, dan Praktik. Bandung: Nusa Media. Susilowati, Yuni. 2007.Upaya Meningkatkan Kemampuan Bercerita dengan Pendekatan Kooperatif Model Paired Storytelling pada Siswa Kelas V Sekolah Dasar Negeri 4 Masaran. Skripsi. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UNS. Wardani, 2002.Sistem Pembelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: Universitas Terbuka.
10
11
12