UPAYA HAKIM DALAM MENENTUKAN PERTIMBANGAN PERAWATAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA YANG SEDANG SAKIT JIWA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah satu Syarat Meraih Gelar Sarjana Hukum Jurusan Hukum Pidana dan Ketatanegaraan Pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar
Oleh: MEGAWATI 10300113086
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN ALAUDDIN MAKASSAR 2017
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI Mahasiswa yang bertanda tangan dibawah ini: Nama
: Megawati
NIM
: 10300113086
Tempat/Tgl. Lahir
: Teteaka, 05 Oktober 1994
Jurusan
: Hukum Pidana dan Ketatanegaraan
Fakultas
: Syariah dan Hukum
Alamat
: Jl. Mustafa Dg Bunga
Judul Skripsi
: Upaya Hakim Dalam Menentukan Pertimbangan Perawatan Bagi Pelaku Tindak Pidana Yang Sedang Sakit Jiwa Dalam Perspektif Hukum Islam
Menyatakan dengan sesungguhnya dan penuh kesadaran bahwa skripsi ini benar adalah hasil karya sendiri. Jika dikemudian hari terbukti bahwa ia merupakan duplikat, tiruan, plagiat, atau dibuat oleh orang, sebagian atau keseluruhnya, maka skripsi dan gelar yang diperoleh karenanya batal demi hukum.
Gowa, 05 Agustus 2017 Penyusun,
Megawati 10300113086
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb. Alhamdulilahi rabbil ‘aalamin. Segala puji bagi Allah SWT. Yang telah melimpahkan begitu banyak karunianya pada penulis, penulis senantiasa diberikan kemudahan, kesabaran, dan keikhlasan, dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul: UPAYA HAKIM DALAM MENENTUKAN PERTIMBANGAN PERAWATAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA YANG SEDANG SAKIT JIWA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM. Hal ini dalam rangka memenuhi syarat yang telah ditentukan untuk
mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar. Sembah sujud dan rasa terima kasih yang tak terhingga dan sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada sosok yang telah mendampingi penulis, sehingga dapat menyelesaikan karya tulis ini tepat waktu. Terkhusus kepada Ayahanda Sappewali dan Ibunda Bondeng yang telah melahirkan, membesarkan, dan mendidik penulis dengan penuh kesabaran dan kasih sayang. Melalui kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. H. Musafir Pababbari, M.Si selaku Rektor Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. 2. Prof. Dr. Darussalam Syamsuddin, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Uniersitas Islam Negeri Alauddin Makassar. 3. Ibu Dra. Nila Sastrawati, M.Si selaku ketua Jurusan Hukum Pidana dan Ketatanegaraan dan Bapak Dr. Kurniati, S.Ag., M.Hi selaku Sekretaris
Jurusan Hukum Pidana dan Ketatanegaraan. 4. Bapak Dr. Dudung Abdullah, M. Ag dan Bapak Dr. Hamzah Hasan, M. Hi. selaku pembimbing I dan pembimbing II yang dengan penuh dedikasi, keikhlasan, dan kesabaran meluangkan waktu dan pikiran untuk membimbing, memberikan masukan-masukan keilmuan yang sangat berharga hingga saat selesainya penyusun skripsi ini. 5. Bapak Drs. H. M. Gazali Suyuti, M. HI selaku penguji I dan Bapak Subehan Khalik, S.Ag.,M.Ag selaku penguji II yang telah siap memberikan nasehat, saran dan perbaikan dalam perampungan penulisan skripsi ini. 6. Seluruh Dosen Jurusan Hukum Pidana dan Ketatanegaraan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, terima kasih untuk seluruh didikan, bantuan dan ilmu yang telah diberikan kepada penulis. 7. Kepala perpustakaan beserta stafnya yang telah melayani dan menyediakan referensi yang dibutuhkan selama dalam penulisan skripsi ini. 8. Keluarga besar Jurusan Hukum Pidana dan Ketatanegaraan Angkatan 2013, khususnya HPK B 2013 Saudara-saudara seperjuangan, Terima kasih untuk kalian semua, kalian saudara yang hebat dan luar biasa 9. Kepada kakak tersayang Sulkarnain terima kasih atas kepercayaan dan dukungannya untuk penulis selama menempuh pendidikan, dan sahabatku terutama Nurul Azizah Pratiwi, Intan Sakinah Aulia, Nurfianti yang sejak dari awal masuk di UIN Alauddin Makassar sampai saat ini yang telah membantu dan memotivasi penulis, penulis bangga mengenal dan bersama kalian, Semoga kedepannya persahabatan dan persaudaraan kita tetap terjaga. 10. Keluarga KKN-R Angkatan 53 Kecamatan Lembang Desa Ulu Saddang yang
telah memberikan dukungan dalam penyelesaian Skripsi ini. Untuk kesempurnaan skripsi ini, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak, semoga skripsi ini kedepannya dapat bermanfaat untuk semua orang.
Wassalamu Alaikum Wr.Wb Gowa, 20 Agustus 2017 Penyusun,
MEGAWATI 10300113086
DAFTAR ISI
JUDUL ................................................................................................................. PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI......................................................... ... PENGESAHAN.... ............................................................................................... KATA PENGANTAR......................................................................................... DAFTAR ISI........................................................................................................ PEDOMANTRANSLITERASI.................................................................... ..... ABSTRAK ........................................................................................................... BAB
I PENDAHULUAN............................................................................... 1-17 A. Latar Belakang Masalah.....................................................................1 B. Rumusan Masalah ..............................................................................8 C. Pengertian Judul................................................................................. 9 D. Kajian Pustaka ................................................................................... 11 E. Metode Penelitian.............................................................................. 14 F. Tujuan danKegunaan Penelitian ....................................................... 16
BAB
II TINJAUAN UMUM TENTANG UPAYA HAKIM DALAM MENENTUKAN PERTIMBANGAN PERAWATAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA YANG SEDANG SAKIT JIWA..................................................................................................18-48 A. Pengertian Tindak Pidana................................................................... 18 B. Macam-macam Tindak Pidana .......................................................... 27 C. Sebab Timbulnya Tindak Pidana....................................................... 32 D. Faktor seseorang Melakukan Tindak Pidana..................................... 35
i
E. Pengaruh Kejiwaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana........................42 F. Pandangan Hukum Islam Dalam Menentukan Pertimbangan Perawatan Bagi Pelaku Tindak Pidana Yang Sedang Sakit Jiwa..................................................................................................... 44 BAB III PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENENTUKA PERAWATAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA SEDANG SAKIT JIWA..................................................................................... 49-72 A. Dasar Hukum Dalam Menentukan Pertimbangan Perawatan Bagi Pelaku Tindak Pidana Yang Sedang Sakit Jiwa ..............................49 B. Tata Cara Hakim Dalam Menentukan Pertimbangan Perawatan ......53 C. Hal-hal Yang Mempengaruhi Pertimbangan Hakim .........................56 BAB IV ANALISIS KOMPARATIF ANTARA HUKUM PIDANA ISLAM DENGAN HUKUM PIDANA NASIONALTENTANG PELAKU TINDAK PIDANA YANG SEDANG SAKIT JIWA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM................. ..................... 73-92 A. Dasar Hukum Pidana Islam Tentang Pelaku Tindak Pidana Yang Sedang Sakit Jiwa............................................................................... 73 B. Dasar Hukum Pidana Nasional Tentang Pelaku Tindak Pidana Yang Sakit Jiwa ............................................................................................85 BAB V
PENUTUP........................................................................................ 93-94
A. Kesimpulan .........................................................................................93 B. Saran....................................................................................................95 DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 96-98 DAFTAR RIWAYAT HIDUP........................................................................... 99
ii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN DAN SINGKATAN A. Transliterasi Arab-Latin Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya ke dalam huruf Latin dapat dilihat pada tabel berikut: 1.
Konsonan
Huruf Arab
Nama
Huruf Latin
Nama
ا
Alif
ب
Ba
b
Be
ت
Ta
t
Te
ث
ṡa
ṡ
es (dengan titik di atas)
ج
Jim
j
Je
ح
ḥa
ḥ
ha (dengan titik di bawah)
خ
Kha
kh
ka dan ha
د
Dal
d
De
ذ
Żal
ż
zet (dengan titik di atas)
ر
Ra
r
Er
ز
Zai
z
Zet
س
Sin
s
Es
ش
Syin
sy
es dan ye
ص
ṣad
ṣ
es (dengan titik di bawah)
ض
ḍad
ḍ
de (dengan titik di bawah)
ط
ṭa
ṭ
te (dengan titik di bawah)
ظ
ẓa
ẓ
zet (dengan titik di bawah)
ع
‘ain
‘
apostrof terbalik
tidak dilambangkan tidak dilambangkan
iii
غ
Gain
g
Ge
ف
Fa
f
Ef
ق
Qaf
q
Qi
ك
Kaf
k
Ka
ل
Lam
l
El
م
Mim
m
Em
ن
Nun
n
En
و
Wau
w
We
ه
Ha
h
Ha
ء
Hamzah
ʼ
apostrof
ى
Ya
y
ye
Hamzah ( )ءyang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa diberi tanda apa pun. Jika ia terletak di tengah atau di akhir, maka ditulis dengan tanda (‘). 2.
Vokal
Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Vokal tuggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat, transliterasinya sebagai berikut: Tanda
Nama
Huruf Latin
Nama
ا
fatḥah
a
a
ا
kasrah
i
i
ا
ḍammah
u
u
Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara harakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu:
iv
Tanda
Nama
Huruf Latin
Nama
ٸ
fatḥah dan yā’
ai
a dan i
ٷ
fatḥah dan wau
au
a dan u
Contoh: َ َﻛﯿْﻒ: kaifa ھَﻮْ َل: haula 3.
Maddah
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harakat dan huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu: Harakat dan
Nama
Huruf dan
Huruf
Nama
Tanda
ى... | ا...
fatḥah dan alif atau yā’
ā
a dan garis di atas
ى
kasrah dan yā’
ī
i dan garis di atas
و
dammah dan wau
ū
u dan garis di atas
Contoh: َ ﻣﺎت: māta َرﻣَﻰ: ramā ﻗِ ْﯿ َﻞ
: qīla
ُ ﯾَﻤﻮْ ت: yamūtu 4.
Tā’ marbūṭah
Transliterasi untuk tā’ marbūṭah ada dua, yaitu: tā’ marbūṭah yang hidup atau mendapat harakat fatḥah, kasrah, dan ḍammah, transliterasinya adalah [t]. Sedangkan tā’ marbūṭah yang mati atau mendapat harakat sukun, transliterasinya adalah [h].
v
Kalau pada kata yang berakhir dengan tā’ marbūṭah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka tā’ marbūṭah itu ditransliterasikan dengan ha (h). Contoh: : طﻔَﺎ ِل ْ رَوْ ﺿَﺔ اﻷrauḍah al-aṭfāl ﺿﻠَﺔ ِ اﻟَ َﻤ ِﺪ ْﯾﻨَﺔُ اﻟْﻔﺎ: al-madīnah al-fāḍilah اﻟَ ِﺤ ْﻜﻤَﺔ: al-ḥikmah 5.
Syaddah (Tasydīd)
Syaddah atau tasydīd yang dalam sistem tulisan Arabdilambangkan dengan sebuahtanda tasydīd ( ّ◌ ), dalamtransliterasi ini dilambangkan dengan perulangan huruf (konsonanganda) yang diberi tanda syaddah. Contoh: َ َرﺑّﻨﺎ: rabbanā َ ﻧَ ّﺠﯿْﻨﺎ: najjainā ﻖ ّ اﻟَ َﺤ: al-ḥaqq ﻧ ﱡﻌ َﻢ: nu“ima َﻋ ُﺪ ّو: ‘aduwwun Jika huruf ىber-tasydid diakhir sebuah kata dan didahului oleh huruf kasrah (ى ّ ) maka ia ditransliterasi seperti huruf maddah menjadi ī. Contoh: َﻋﻠِ ّﻰ
: ‘Alī (bukan ‘Aliyy atau ‘Aly)
َﻋﺮَﺑ ّﻰ: ‘Arabī (bukan ‘Arabiyy atau ‘Araby)
vi
6.
Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf ( الalif lam ma‘arifah). Dalam pedoman transliterasi ini, kata sandang ditransliterasi seperti biasa, al-, baik ketika ia diikuti oleh huruf syamsiyah maupun huruf qamariyah. Kata sandang tidak mengikuti bunyi huruf langsung yang mengikutinya. Kata sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya dan dihubungkan dengan garis mendatar (-). Contoh: ُ اﻟَ ّﺸﻤْﺲ: al-syamsu (bukan asy-syamsu) اﻟَ ّﺰﻟﺰَﻟﺔ: al-zalzalah (bukan az-zalzalah) اﻟَﻔَ ْﻠ َﺴﻔَﺔ: al-falsafah اﻟَﺒﻠ َﺪ: al-bilādu 7.
Hamzah
Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (’) hanya berlaku bagi hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila hamzah terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab ia berupa alif. Contoh: َ ﺗﺄ ْﻣﺮُوْ ن: ta’murūna ع ُ ْاﻟَﻨّﻮ
: al-nau‘
ﺷَﻲْ ٌء
: syai’un
ُ أ ِﻣﺮْ ت: umirtu 8.
Penulisan Kata Arab yang Lazim Digunakan dalam Bahasa Indonesia
Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata, istilah atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata, istilah atau kalimat
vii
yang sudah lazim dan menjadi bagian dari perbendaharaan bahasa Indonesia, atau sering ditulis dalam tulisan bahasa Indonesia, atau lazim digunakan dalam dunia akademik tertentu, tidak lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas. Misalnya, kata al-Qur’an (dari al-Qur’ān), alhamdulillah, dan munaqasyah. Namun, bila kata-kata tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks Arab, maka harus ditransliterasi secara utuh. Contoh: Fī Ẓilāl al-Qur’ān Al-Sunnah qabl al-tadwīn 9.
Lafẓ al-Jalālah ()ﷲ
Kata “Allah” yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf lainnya atau berkedudukan sebagai muḍāf ilaih (frasa nominal), ditransliterasi tanpa huruf hamzah. Contoh: ِ دِﯾﻦُ ﷲdīnullāh
billāh
Adapun tā’ marbūṭah di akhir kata yang disandarkan kepada Lafẓ al-Jalālah, ditransliterasi dengan huruf [t]. Contoh: ِھُ ْﻢ ﻓِﻲْ رﺣ َﻤ ِﺔ ﷲhum fī raḥmatillāh 10. Huruf Kapital Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital (All Caps), dalam transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan tentang penggunaan huruf kapital berdasarkan pedoman ejaan Bahasa Indonesia yang berlaku (EYD). Huruf kapital, misalnya, digunakan untuk menuliskan huruf awal nama diri (orang, tempat, bulan) dan huruf pertama pada permulaan kalimat. Bila nama diri didahului oleh kata sandang (al-), maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri
viii
tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Jika terletak pada awal kalimat, maka huruf A dari kata sandang tersebut menggunakan huruf kapital (Al-). Ketentuan yangsama juga berlaku untuk huruf awal dari judul referensi yang didahului oleh kata sandang al-, baik ketika ia ditulis dalam teks maupun dalam catatan rujukan (CK, DP, CDK, dan DR). Contoh: Wa mā Muḥammadun illā rasūl Inna awwala baitin wuḍi‘a linnāsi lallażī bi Bakkata mubārakan Syahru Ramaḍān al-lażī unzila fīh al-Qur’ān Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī Abū Naṣr al-Farābī Al-Gazālī Al-Munqiż min al-Ḍalāl Jika nama resmi seseorang menggunakan kata Ibnu (anak dari) dan Abū (bapak dari) sebagai nama kedua terakhirnya, maka kedua nama terakhir itu harus disebutkan sebagai nama akhir dalam daftar pustaka atau daftar referensi. Contoh:
Abū al-Walīd Muḥammad ibn Rusyd, ditulis menjadi: Ibnu Rusyd, Abū al-Walīd Muḥammad (bukan: Rusyd, Abū al-Walīd Muḥammad Ibnu) Naṣr Ḥāmid Abū Zaīd, ditulis menjadi: Abū Zaīd, Naṣr Ḥāmid (bukan: Zaīd, Naṣr Ḥāmid Abū) B. Daftar Singkatan Beberapa singkatan yang dibakukan adalah: swt.
=
subḥānahū wa ta‘ālā
saw.
=
ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam
ix
a.s.
=
‘alaihi al-salām
H
=
Hijrah
M
=
Masehi
SM
=
Sebelum Masehi
l.
=
Lahir tahun (untuk orang yang masih hidup saja)
w.
=
Wafat tahun
QS …/…: 4
=
QS al-Baqarah/2: 4 atau QS Āli ‘Imrān/3: 4
HR
=
Hadis Riwayat
x
ABSTRAK Nama NIM Fakultas Jurusan Judul
: Megawati : 10300113086 : Syariah dan Hukum : Hukum Pidana dan Ketatanegaraan : Upaya Hakim Dalam Menentukan Pertimbangan Perawatan Bagi Pelaku Tindak Pidana Yang Sedang Sakit Jiwa Dalam Perspektif Hukum Islam
Pokok-pokok masalah penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana Hakim dalam menentukan pertimbangan perawatan bagi pelaku tindak pidana yang sedang sakit jiwa, serta untuk mengetahui dasar hukum pidana Islam dan hukum pidana nasional dalam menentukan pertimbangan perawatan bagi pelaku tindak pidana yang sedang sakit jiwa dalam perspektif hukum Islam. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, maka digunakan penelitian normatif, yaitu perbandingan hukum. Adapun pendekatan penelitian yang digunakan yaitu pendekatan perbandingan dan pendekatan syar’i. Sedangkan metode pengumpulan data dengan studi kepustakaan (library Research) dan analisis data dengan induktif kualitatif, kemudian mengulas dan menyimpulkannya. Adapun hasil penelitian ini adalah Setelah mengurai tentang dasar-dasar hukum dalam menentukan pertimbangan perawatan bagi pelaku tindak pidana yang sakit jiwa, hakim memutuskan bahwasanya seseorang yang melakukan tindak pidana atas motivasi kejiwaan mendapat keringanan hukuman atau pengahapusan hukuman, karena ketidakmampuan bertanggungjawab seperti yang dimaksud dalam Pasal 44 KUHP. Sedangkan dasar hukum Pidana Islam tentang pelaku tindak pidana yang Sakit jiwa. Dalam hal ini tidak dianggap sebagai suatu tidak pidana bagi orang yang melakukan perbuatan atau meninggalkan perbuatan selama tidak ada nash dengan jelas. Dan Dasar hukum pidana nasional tentang pelaku tindak pidana yang sakit jiwa setiap orang bagaimanapun keadaannya bisa dibebani pertanggungjawaban pidana, tanpa membedakan apakah orang tersebut mempunyai kemampuan sendiri atau tidak, sudah dewasa atau belum. Melalui penelitian ini, diharapkan bagi setiap orang yang berkecimpung di dunia hukum, terkhusus bagi para pakar hukum agar selalu menyumbangkan penelitian terbaru. Karena hukum akan terus berubah seiring waktu dan tempat serta diharapkan pula bagi para peneliti hukum bagi yang beragama Islam agar meneliti setiap peraturan perundang-undangan Indonesia telah sesuai atau belum sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk menjadikan peraturan perundang-undangan Indonesia mengandung nilai-nilai Islam, walaupun bukan negara yang bersistem hukum Islam.
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN DAN SINGKATAN A. Transliterasi Arab-Latin Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya ke dalam huruf Latin dapat dilihat pada tabel berikut: 1.
Konsonan
Huruf Arab ا
Nama Alif
Huruf Latin tidak
Nama tidak dilambangkan
dilambangkan ب
Ba
b
Be
ت
Ta
t
Te
ث
ṡa
ṡ
es (dengan titik di atas)
ج
Jim
j
Je
ح
ḥa
ḥ
ha (dengan titik di bawah)
خ
Kha
kh
ka dan ha
د
Dal
d
De
ذ
Żal
ż
zet (dengan titik di atas)
ر
Ra
r
Er
ز
Zai
z
Zet
س
Sin
s
Es
ش
Syin
sy
es dan ye
ص
ṣad
ṣ
es (dengan titik di bawah)
ض
ḍad
ḍ
de (dengan titik di bawah)
ط
ṭa
ṭ
te (dengan titik di bawah)
ظ
ẓa
ẓ
zet (dengan titik di bawah)
ع
‘ain
‘
apostrof terbalik
غ
Gain
g
Ge
ف
Fa
f
Ef
ق
Qaf
q
Qi
ك
Kaf
k
Ka
ل
Lam
l
El
م
Mim
m
Em
ن
Nun
n
En
و
Wau
w
We
ه
Ha
h
Ha
ء
Hamzah
ʼ
apostrof
ى
Ya
y
ye
Hamzah ( )ءyang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa diberi tanda apa pun. Jika ia terletak di tengah atau di akhir, maka ditulis dengan tanda (‘). 2.
Vokal
Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Vokal tuggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat, transliterasinya sebagai berikut: Tanda
Nama
Huruf Latin
Nama
ا
fatḥah
a
a
ا
kasrah
i
i
ا
ḍammah
u
u
Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara harakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu:
Tanda
Nama
Huruf Latin
Nama
ٸ
fatḥah dan yā’
ai
a dan i
ٷ
fatḥah dan wau
au
a dan u
Contoh: َ َﻛﯿْﻒ: kaifa ھَﻮْ َل: haula 3.
Maddah
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harakat dan huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu: Harakat dan
Nama
Huruf
Huruf dan
Nama
Tanda
ى... | ا...
fatḥah dan alif atau yā’
ā
a dan garis di atas
ى
kasrah dan yā’
ī
i dan garis di atas
و
dammah dan wau
ū
u dan garis di atas
Contoh: َ ﻣﺎت: māta َرﻣَﻰ: ramā ﻗِ ْﯿ َﻞ
: qīla
ُ ﯾَﻤﻮْ ت: yamūtu 4.
Tā’ marbūṭah
Transliterasi untuk tā’ marbūṭah ada dua, yaitu: tā’ marbūṭah yang hidup atau mendapat harakat fatḥah, kasrah, dan ḍammah, transliterasinya adalah [t]. Sedangkan tā’ marbūṭah yang mati atau mendapat harakat sukun, transliterasinya adalah [h].
Kalau pada kata yang berakhir dengan tā’ marbūṭah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka tā’ marbūṭah itu ditransliterasikan dengan ha (h). Contoh: طﻔَﺎ ِل ْ رَوْ ﺿَﺔ اﻷ: rauḍah al-aṭfāl ﺿﻠَﺔ ِ اﻟَ َﻤ ِﺪ ْﯾﻨَﺔُ اﻟْﻔﺎ: al-madīnah al-fāḍilah اﻟَ ِﺤ ْﻜﻤَﺔ: al-ḥikmah 5.
Syaddah (Tasydīd)
Syaddah atau tasydīd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda tasydīd ( ّ◌ ), dalam transliterasi ini dilambangkan dengan perulangan huruf (konsonan ganda) yang diberi tanda syaddah. Contoh: َ َرﺑّﻨﺎ: rabbanā َ ﻧَ ّﺠﯿْﻨﺎ: najjainā ﻖ ّ اﻟَ َﺤ: al-ḥaqq ﻧ ﱡﻌ َﻢ: nu“ima َﻋ ُﺪ ّو: ‘aduwwun Jika huruf ىber-tasydid diakhir sebuah kata dan didahului oleh huruf kasrah (ى ّ ) maka ia ditransliterasi seperti huruf maddah menjadi ī. Contoh: َﻋﻠِ ّﻰ
: ‘Alī (bukan ‘Aliyy atau ‘Aly)
َﻋﺮَﺑ ّﻰ: ‘Arabī (bukan ‘Arabiyy atau ‘Araby) 6.
Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf ال (alif lam ma‘arifah). Dalam pedoman transliterasi ini, kata sandang ditransliterasi seperti biasa, al-, baik ketika ia diikuti oleh huruf syamsiyah maupun huruf
qamariyah. Kata sandang tidak mengikuti bunyi huruf langsung yang mengikutinya. Kata sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya dan dihubungkan dengan garis mendatar (-). Contoh: ُ اﻟَ ّﺸﻤْﺲ: al-syamsu (bukan asy-syamsu) اﻟَ ّﺰﻟﺰَﻟﺔ: al-zalzalah (bukan az-zalzalah) اﻟَﻔَ ْﻠ َﺴﻔَﺔ: al-falsafah اﻟَﺒﻠ َﺪ: al-bilādu 7.
Hamzah
Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (’) hanya berlaku bagi hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila hamzah terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab ia berupa alif. Contoh: َ ﺗﺄ ْﻣﺮُوْ ن: ta’murūna ع ُ ْاﻟَﻨّﻮ
: al-nau‘
ﺷَﻲْ ٌء: syai’un ُ أ ِﻣﺮْ ت: umirtu 8.
Penulisan Kata Arab yang Lazim Digunakan dalam Bahasa Indonesia
Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata, istilah atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata, istilah atau kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dari perbendaharaan bahasa Indonesia, atau sering ditulis dalam tulisan bahasa Indonesia, atau lazim digunakan dalam dunia akademik tertentu, tidak lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas. Misalnya, kata al-Qur’an (dari al-Qur’ān), alhamdulillah, dan munaqasyah. Namun, bila
kata-kata tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks Arab, maka harus ditransliterasi secara utuh. Contoh: Fī Ẓilāl al-Qur’ān Al-Sunnah qabl al-tadwīn 9.
Lafẓ al-Jalālah ()ﷲ
Kata “Allah” yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf lainnya atau berkedudukan sebagai muḍāf ilaih (frasa nominal), ditransliterasi tanpa huruf hamzah. Contoh: ِ دِﯾﻦُ ﷲdīnullāh
billāh
Adapun tā’ marbūṭah di akhir kata yang disandarkan kepada Lafẓ alJalālah, ditransliterasi dengan huruf [t]. Contoh: ِ ھُ ْﻢ ﻓِﻲْ رﺣ َﻤ ِﺔ ﷲhum fī raḥmatillāh 10. Huruf Kapital Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital (All Caps), dalam transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan tentang penggunaan huruf kapital berdasarkan pedoman ejaan Bahasa Indonesia yang berlaku (EYD). Huruf kapital, misalnya, digunakan untuk menuliskan huruf awal nama diri (orang, tempat, bulan) dan huruf pertama pada permulaan kalimat. Bila nama diri didahului oleh kata sandang (al-), maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Jika terletak pada awal kalimat, maka huruf A dari kata sandang tersebut menggunakan huruf kapital (Al-). Ketentuan yang sama juga berlaku untuk huruf awal dari judul referensi yang
didahului oleh kata sandang al-, baik ketika ia ditulis dalam teks maupun dalam catatan rujukan (CK, DP, CDK, dan DR). Contoh: Wa mā Muḥammadun illā rasūl Inna awwala baitin wuḍi‘a linnāsi lallażī bi Bakkata mubārakan Syahru Ramaḍān al-lażī unzila fīh al-Qur’ān Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī Abū Naṣr al-Farābī Al-Gazālī Al-Munqiż min al-Ḍalāl Jika nama resmi seseorang menggunakan kata Ibnu (anak dari) dan Abū (bapak dari) sebagai nama kedua terakhirnya, maka kedua nama terakhir itu harus disebutkan sebagai nama akhir dalam daftar pustaka atau daftar referensi. Contoh:
Abū al-Walīd Muḥammad ibn Rusyd, ditulis menjadi: Ibnu Rusyd, Abū al-Walīd Muḥammad (bukan: Rusyd, Abū al-Walīd Muḥammad Ibnu) Naṣr Ḥāmid Abū Zaīd, ditulis menjadi: Abū Zaīd, Naṣr Ḥāmid (bukan: Zaīd, Naṣr Ḥāmid Abū) B. Daftar Singkatan Beberapa singkatan yang dibakukan adalah: swt.
=
subḥānahū wa ta‘ālā
saw.
=
ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam
a.s.
=
‘alaihi al-salām
H
=
Hijrah
M
=
Masehi
SM
=
Sebelum Masehi
l.
=
Lahir tahun (untuk orang yang masih hidup saja)
w.
=
Wafat tahun
QS …/…: 4
=
QS al-Baqarah/2: 4 atau QS Āli ‘Imrān/3: 4
HR
=
Hadis Riwayat
ABSTRAK Nama NIM Fakultas Jurusan Judul
: Megawati : 10300113086 : Syariah dan Hukum : Hukum Pidana dan Ketatanegaraan : Upaya Hakim Dalam Menentukan Pertimbangan Perawatan Bagi Pelaku Tindak Pidana Yang Sedang Sakit Jiwa Dalam Perspektif Hukum Islam
Pokok-pokok masalah penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana Hakim dalam menentukan pertimbangan perawatan bagi pelaku tindak pidana yang sedang sakit jiwa, serta untuk mengetahui dasar hukum pidana Islam dan hukum pidana nasional dalam menentukan pertimbangan perawatan bagi pelaku tindak pidana yang sedang sakit jiwa dalam perspektif hukum Islam. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, maka digunakan penelitian normatif, yaitu perbandingan hukum. Adapun pendekatan penelitian yang digunakan yaitu pendekatan perbandingan dan pendekatan syar’i. Sedangkan metode pengumpulan data dengan studi kepustakaan (library Research) dan analisis data dengan induktif kualitatif, kemudian mengulas dan menyimpulkannya. Adapun hasil penelitian ini adalah Setelah mengurai tentang dasar-dasar hukum dalam menentukan pertimbangan perawatan bagi pelaku tindak pidana yang sakit jiwa, hakim memutuskan bahwasanya seseorang yang melakukan tindak pidana atas motivasi kejiwaan mendapat keringanan hukuman atau pengahapusan hukuman, karena ketidakmampuan bertanggungjawab seperti yang dimaksud dalam Pasal 44 KUHP. Sedangkan dasar hukum Pidana Islam tentang pelaku tindak pidana yang Sakit jiwa. Dalam hal ini tidak dianggap sebagai suatu tidak pidana bagi orang yang melakukan perbuatan atau meninggalkan perbuatan selama tidak ada nash dengan jelas. Dan Dasar hukum pidana nasional tentang pelaku tindak pidana yang sakit jiwa setiap orang bagaimanapun keadaannya bisa dibebani pertanggungjawaban pidana, tanpa membedakan apakah orang tersebut mempunyai kemampuan sendiri atau tidak, sudah dewasa atau belum. Melalui penelitian ini, diharapkan bagi setiap orang yang berkecimpung di dunia hukum, terkhusus bagi para pakar hukum agar selalu menyumbangkan penelitian terbaru. Karena hukum akan terus berubah seiring waktu dan tempat serta diharapkan pula bagi para peneliti hukum bagi yang beragama Islam agar meneliti setiap peraturan perundang-undangan Indonesia telah sesuai atau belum sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk menjadikan peraturan perundang-undangan Indonesia mengandung nilai-nilai Islam, walaupun bukan negara yang bersistem hukum Islam.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sistem Peradilan Pidana Terpadu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan dasar bagi terselenggaranya proses peradilan pidana yang benar-benar bekerja dengan baik serta benar-benar memberikan perlindungan hukum terhadap harkat dan martabat, terdakwa atau terpidana sebagai manusia. Sistem Peradilan Pidana yang dianut oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana terdiri dari sub-sistem yang merupakan tahapan proses jalannya penyelesaian perkara, sub-sistem Penyidikan dilaksanakan oleh Kepolisian, sub sistem penuntutan dilaksanakan oleh Kejaksaan, sub-sistem pemeriksaan di Sidang Pengadilan dilaksanakan oleh Pengadilan dan sub-sistem pelaksanaan putusan pengadilan dilaksanakan oleh Kejaksaan dan Lembaga Pemasyarakatan. Guna mengantisipasi orang yang melakukan tindak pidana/tindak kekerasan, maka jika orang tersebut terbukti mengalami gangguan jiwa, maka hal ini ada kaitannya dengan Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang intinya tidak dipidana orang yang mengalami gangguan jiwa jika orang tersebut melakukan tindak pidana dan dikirim ke Rumah Sakit Jiwa untuk dirawat selama satu tahun.1Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka di dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, ilmu forensik sangat dibutuhkans sebagai suatu ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memperoleh pembuktian secara ilmiah. 2 1
Sambutan Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Buku Pedoman Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan RI (Jakarta: t.p. 2002), h. 36. 2
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana (Cet.3, Jakarta: Ghalia, 2002), h. 36.
1
2
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak menyebutkan secara eksplisit sistem pertanggungjawaban pidana yang dianut. Beberapa pasal Kitab UndangUndang Hukum Pidana sering menyebutkan kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan. Namun sayang, kedua istilah tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut oleh undang-undang tentang maknanya. Jadi, baik kesengajaan maupun kealpaan tidak ada keterangan lebih lanjut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kedua katakata itu sering dipakai dalam rumusan delik, seakan-akan sudah pasti tetapi tidak tahu apa maknanya. Hal itu seakan-akan tidak menimbulkan keraguan lagi dalam pelaksanaannya.3 Jika dicermati rumusan pasal-pasal yang ada dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana terutama
Buku Kedua, tampak dengan jelas disebutkan
istilah “kesengajaan” atau “kealpaan”. Berikut ini akan dikutipkan rumusan pasalpasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tersebut, antara lain sebagai berikut: 1. Dengan sengaja, misalnya, Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi : “Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan penjara paling lama lima belas tahun”4 2. Karena kealpaan, misalnya, Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi :“Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun”.5
3
Roeslan Saleh, Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggungan Jawab Pidana (Cet. 1; Jakarta: Ghalia, 1963), h. 33. 4
Gerry Muhammad Rizki. KUHP Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan KUHAP Kitab undang-Hukum Acara Pidana (t.t. Permata Press; 2007), h. 115. 5
Gerry Muhammad Rizki. KUHP dan KUHAP, h. 120.
3
Tidak ada penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan kesengajaan atau kealpaan tersebut. Namun berdasarkan doktrin dan pendapat para ahli hukum dapat disimpulkan bahwa dengan rumusan seperti itu berarti pasal-pasal tersebut mengandung unsur kesalahan yang harus dibuktikan oleh pengadilan. Dengan kata lain, untuk memidana pelaku selain telah terbukti melakukan tindak pidana, maka unsur kesengajaan atau kealpaan juga harus dibuktikan. Bila seseorang manusia berhasil mendeteksi adanya sifat-sifat buruk ini dalam dirinya, ia dapat mengobati penyakit kejiwaan yang menimpanya dengan cara menghilngkan sifat ini. Seperti dalam QS Al-Baqarah/2: 282 berbunyi:
ﺿﻌِﯿﻔًﺎ أ َۡو َﻻ ﯾَﺴۡ ﺘَﻄِﯿ ُﻊ َ ﻖ َﺳﻔِﯿﮭًﺎ أ َۡو َﺲ ﻣِﻨۡ ﮫُ ﺷ َٔٗﯿۡ ۚﺎ ﻓَﺈِن ﻛَﺎنَ ٱﻟﱠﺬِي َﻋﻠَﯿۡ ِﮫ ٱﻟۡ َﺤ ﱡ ۡ َو َﻻ ﯾَﺒۡ ﺨ أَن ﯾُ ِﻤ ﱠﻞ ھُ َﻮ ﻓَﻠۡ ﯿُﻤۡ ﻠ ِۡﻞ َوﻟِﯿﱡﮫۥُ ﺑِﭑﻟۡ ﻌَﺪۡ ِۚل َوٱﺳۡ ﺘَﺸۡ ِﮭﺪُو ْا َﺷﮭِﯿﺪَﯾۡ ِﻦ Terjemahnya: Dan janganlah dia mengurangi sedikit pun daripadanya. Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau tidak mampu menditekankan sendiri.6 Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya tidak pandai mengurus harta karena suatu dan lain sebab, atau lemah keadaanya, seperti sakit, atau sangat tua, atau dia tidak mampu mengimlakan, karena bisu atau tidak mengetahui bahasa yang digunakan
atau boleh jadi malu maka hendaklah walinya mengimlakan dengan
jujur.7 Di dalam hukum pidana, terdapat banyak teori yang dipakai untuk menetapkan hubungan kausal secara normatif, akan tetapi bagaimanapun untuk 6
Kementrian Agama RI,Al-Quran dan Terjemahnya (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia,2012), h.59. 7
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran (Cet. 1; Vol 1. Jakarta: PT. Lentera Hati, 2009), h. 734.
4
mengukur suatu kelakuan dapat ditentukan menjadi musabab dari suatu akibat yang dilarang dan mengingat pula kompleksnya keadaan yang telah terjadi di sekitar itu, diperlukan logic objektif yang telah dicapai oleh ilmu pengetahuan lain. Hakim sebagai penerap hukum inconcrito tidak mempunyai pengetahuan yang lengkap tentang hal itu, sehingga diperlukan bantuan ahli yang menguasai ilmu pengetahuan bantu yang mempunyai arti penting yaitu ilmu pengetahuan kedokteran. 8 Mc. Naghten Rule menyatakan bahwa tidak ada tanggung jawab pelaku tindak pidana apabila jiwa terganggu, untuk memajukan pembelaan atas dasar gangguan jiwa, harus dibuktikan, bahwa pada saat perbuatan itu dilakukan terdakwa bertindak dalam keadaan gangguan akal, disebabkan karena penyakit jiwa, sehingga ia tidak mengetahui sifat-sifat perbuatan yang dilakukannya, atau sekalipun ia tahu, “ia tidak mengetahui bahwa yang diperbuatnya itu adalah salah”. Inilah tes tanggung jawab yang
didasarkan
terutama
atas
intelek;
suatu“right-and-wrong”
tes,
yangmencerminkan suatu pandangan mekanis tentang kepribadian, yaitu bahwa intelek adalah fungsi yang menentukan hubungan dengan realitas. 9 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menetapkan, bahwa tidak dapat dihukum barangsiapa bertindak dalam keadaan gangguan akal, Kitab UndangUndang Hukum Pidana itu memang menyebut salah satu kemungkinan pembatasan, yang dalam hal ini dapat diperiksa secara medis. Benar dan realistis, apabila dokter Ahli Jiwa forensic memberi persaksian mengenai adanya epilepsy, psychosis, otak yang kurang berkembang, dan lain-lain. Guna dipertimbangkan dalam tuntutan
8
Bambang Poernomo, Hukum Pidana Dan Kumpulan Karangan Ilmiah (Cet.1; Jakarta: Bina Aksara, 1982), h. 200. 9
Didi Bachtiar Lubis, Peralihan Dalam Konsep Tanggung Jawab Kriminil, Djiwa Madjalah Psikiatri, Tahun III No.1 Januari 1970, h. 13.
5
pidana, akan tetapi kita yakin bahwa ini hanya merupakan segit terbatas dari dasar penilaian yang selayaknya dalam taraf kemajuan ilmu dan kemasyarakatan. Sebagai contoh ialah pelanggaran dalam keadaan gangguan jiwa. Dalam hal ini mungkin sekali suatu hukuman tidak dapat mengubah (memperbaiki) orang itu, pengobatan lebih baik dengan cara dijauhkan dari masyarakat dapat dilakukan dalam Rumah Sakit Jiwa dengan efektif. Hukuman tidak mempunyai deterrent effect terhadap orang-orang lain yang mempunyai gangguan atau deviasi yang serupa.Apabila masyarakat yakin tentang keadaan abnormal pelanggar, maka pelaku tindak pidana itu, “tidak bertanggungjawab” dalam arti tak ada gunanya dia dihukum. Penjelasan tentang perilaku kriminalitas diberikan oleh para ahli sejak sejarah kriminalitas tercacat. Penjelasan itu diberikan oleh filosof, ahli genetika, dokter, ahli fisika, dan sebagainnya. Berbagai macam pendekatan seperti pendekatan fisik, pendekatan kepribadian, pendekatan psikoanalisis, pendekatan belajar fisik manusia dengan pelaku criminal, salah satu karakteristik pencuri yang biasanya berambut pendek dan dicat. Pendekatan kepribadian merupakan kecenderungan sesorang untuk melakukan tindakan kriminal salah satu sampelnya adalah rendah kemampuan untuk mengontrol dirinya, orang yang cenderung pemberani dominasi yang sangat kuat, power yang lebih, dan dorongan untuk memenuhi fisik yang sangat tingggi. Freud menjelaskan bahwa hysteria adalah akibat dari konflik yang terjadi antara super ego dan dorongan sex yang tidak diterima oleh super ego maka terjadilah akibat konflik tersebut yang dinamakan refresi. Apabila refressi tidak terjadi dengan sempurna atau sebagian, maka dorongan itu berusaha untuk mengungkapkan dirinya
6
secara tidak langsung dengan jalan mengubahnya menjadi penyakit badaniah, dengan arti bahwa ia lari dari alam bawa sadar dalam bentuk selubung. 10 Sigmund Freud, penemu dari Psychoanalysis, berpendapat bahwa kriminalitas mungkin hasil dari “an Overactive conscience” yang menghasilkan perasaan bersalah yang berlebih yang tak tertahankan akan melakukan kejahatan dengan tujuan agar ditangkap dan dihukum. Begitu mereka dihukum maka perasaan bersalah akan mereda. Seseorang melakukan perilaku terlarang karena hati nurani, atau superegonya begitu lemah atau tidak sempurna sehingga ego-nya (yang berperan sebagai suatu penengah antara superego dan id) tidak mampu mengontrol dorongan-dorongan dari id (bagian dari kepribadian yang mengandung keinginan dan dorongan yang kuat untuk dipuaskan dan dipenuhi). Karena superego intinya merupakan suatu citra orangtua yang begitu mendalam, terbangun ketika si anak menerima sikap-sikap dan nilai-nilai moral orang tuanya, maka selanjutnya apabila ada ketiadaan citra seperti itu mungkin akan melahirkan id yang tak terkendali dan berikutnya delinquency. 11 Pendekatan psychoanalytic masih tetap menonjol dalam menjelaskan baik fungsi maupun normal maupun normal sosial. Meski dikritik, tiga prinsip dasarnya menarik kalangan psikologis yang mempelajari kajahatan, yaitu: a. Tindakan dan tingkah laku orang dewasa dapat dipahami dengan melihat pada perkembangan masa kanak-kanak mereka; b. Tingkah laku dan motif-motif bawah sadar adalah jalin-menjalin, dan interaksi itu mesti diuraikan bila kita ingin mengerti kejahatan;
10
Sattu Alang, Kesehatan Mental dan Terapi Islam (Cet. 1; Makassar: IAIN Alauddin, 2001),
h. 15. 11
Topo Santosa dan Eva Achjani Zulfa, Kriminolgi (Cet.14; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014), h. 51.
7
c. Kejahatan pada dasarnya merupakan representasi dari konflik psikologis. Cesare Lombroso ialah seorang dokter yang menjadi bapak angkat para ahli hukum pidana dan kriminologi yang meletakkan dasar pemikiran hubungan antara hukum pidana dan kejahatan dengan memperhatikan faktor “manusia” pelaku kejahatan. Demikian pula Anselm Von Feurbach juga telah memperhatikan faktor “kejiwaan” manusia dalam merumuskan hukum pidana dan penerapan saksi pidana. 12 Berbagai jenis kejahatan yang melanggar hukum pidana karena diakibatkan keadaan kesehatan jiwa yang terganggu. Seperti, kejahatan penculikan yang dilakukan oleh wanita, kejahatan pencurian atau perampokan tertentu, pembunuhan bayi, pemerkosaan, kejahatan seks tertentu, pembunuhan tertentu, perbuatan kenakalan dan lain-lainnya.13 Dalam upaya menanggulangi kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dalam masyarakat terkadang para penegak hukum belum mampu mendapatkan hasil yang maksimal, misalnya dengan adanya kasus yang berkaitan dengan pemeriksaan kesehatan mental atau jiwa dari pelaku, saksi, atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan perkara tersebut tidak memberikan keterangan yang akurat atau dalam bahasa orang awam keterangan tersebut tidak sesuai dengan sesungguhnya ia ketahui. Dari uraian tentang berapa macam tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku kejahatan, dapat diketahui bahwa tindak pidana berarti suatu perbuatan yang dikenai hukum pidana. Pelakunya dapat dikatakan “subjek” tindak pidana. 14Dalam hukum
12
Bambang Purnomo, Operasi Pemberantasan Kejahatan dan Kemanfaatan Ahli Kedokteran Jiwa (Cet.1; Yogyakarta: Bina Aksara, 1984), h. 21. 13
Bambang Purnomo, Operasi Pemberantasan Kejahatan dan Kemanfaatan Ahli Kedokteran Jiwa, h. 22. 14
Wirjono Prodjokiro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (Jakarta: PT. Rafika Aditama, 2003),h.19.
8
pidana subjektif (ius peonale) merupakan hak dari penguasa untuk mengancamkan suatu pidana kepada suatu tingkah laku sebagaimana digariskan dalam hukum pidana objektif, mengadakan penyedikan, menjatuhkan pidana, dan mewajibkan terpidana untuk melaksanakan hukuman yang dijatuhkan. Menurut Kin’s Zulkarnain hukum pidana subjektif merupakan hak Negara dan alat-alat perlengkapannya untuk menghukum berdasarkan aturan-aturan yang telah ditentukan dalam hukum pidana objektif atau hukuman dari Negara bila aturan-aturan yang ditentukan dilanggar. Menurut Bambang Poernomo hukum pidana subjektif (ius puniendi) meliputi hukum dalam memberikan ancaman pidana menetapkan pidana, dan melaksanakan pidana yang di bebankan kepada Negara dan pejabat untuk itu.15 A.
Rumusan Masalah Masih kurang mendalamnya pembahasan mengenai upaya hakim yang
dikemukakan dalam buku-buku atau karya tulis ilmiah lainnya dan Islam sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam pembangunan dan penegakan hukum di Indonesia berharap agar nilai-nilai Islam dapat tercermin dalam hukum (perundangundangan) di Indonesia. Sehingga menghasilkan pokok masalah yaitu, “Bagaimana upaya hakim dalam menentukan pertimbangan perawatan bagi pelaku tindak pidana yang sedang sakit jiwa dalam perspektif hukum islam?” Berdasarkan pokok masalah tersebut, maka dapat dianalisis ke dalam beberapa sub masalah sebagaimana berikut, yaitu: 1. Bagaimanakah Dasar Pertimbangan Hakim dalam menentukan Perawatan bagi pelaku Tindak Pidana yang sedang sakit jiwa?
15
Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia (Bandung: Pustaka Setia, 2000)
9
2. Bagaimana analisis komparatif antara Hukum Pidana Nasional dengan Hukum Pidana Islam tentang Pelaku Tindak Pidana yang sedang sakit jiwa dalam perspektif Hukum Islam ? B. Pengertian Judul Adapun judul penelitian ini yaitu,”Upaya Hakim Dalam Menentukan perawatan pertimbangan Bagi pelaku tindak pidana yang sedang sakit jiwa dalam perspektif hukum Islam.” Agar tidak terjadi kesalah pahaman dalam memahami judul penelitian ini, maka penulis akan menjelaskan kata-kata yang dianggap penting, antara lain: 1. Upaya yaitu cara mengambil suatu keputusan, memecahkan persoalan yang ada, atau pendapat tentang baik atau buruk;16 2. Hakim adalah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undangundang untuk mengadili (Pasal 1 angka (8) KUHP); atau Hakim adalah orang yang
diangkat
oleh
penguasa
untuk
menyelesaikan
dakwan-dakwaan
persengketaan, karena penguasa tidak mampu melaksanakan sendiri semua tugas, sebagaimana Rasulullah SAW. Pada masanya telah mengangkat Qadhi untukmenyelesaikan sengketa diantara manusia ditempat-tempat yang jauh diatur dalam (Pasal 1 butir 3 UUNo.7 Tahun 1998).17 3. Perawatan adalah suatu kombinasi dari setiap tindakan yang dilakukan untuk menjaga sistem dalam proses perawatannya sampai kondisi dapat diterima. 18
16
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Indonesia Untuk Pelajar (Jakarta Timur: Balai Pustaka, 2011), h. 557. 17
Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Di Indonesia Sejarah Pemikiran Dan Realita (Cet. 2; UIN Malang Press, 2009), h. 7. 18
Lihat, Kamus Besar Bahasa Indonesia. h.22.
10
4. Pertimbangan adalah pendapat tentang baik dan buruknya suatu hal; 19 5. Pelaku Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Tindak pidana merupakan pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum,yang dengan sengaja dilakukan terhadap seorang pelaku.20 6. Penyakit Kejiwaan adalah pola psikologis atau perilaku pada umumnya yang terkait dengan stress atau kelainan mental yang tidak dianggap sebagai bagian dari perkembangan normal manusia. Ganguan tersebut didefinisikan sebagai kombinasi efektif, perilaku komponen kognitif atau konsepsi yang berhubungan dengan fungsi tertentu yang berhubungan dengan otak atau sistem saraf yang berfungsi menjalankan fungsi sosial manusia.21 7. Perspektif berarti penglihatan yang menembus, atau pendapat seseorang atau golongan tentang arti suatu peristiwa, baik untuk keadaan sesaat, maupun untuk masa yang akan datang.22 8. Hukum Islam adalah keseluruhan kitab Allah yang mengatur kehidupan setiap muslim dalam segala aspeknya.23
19
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Inonesia (Ed.3; Jakarta: PT. Penerbitan dan Percetakan Balai Pustaka, 2001), h.1193. 20
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), h. 54.
21
Rusdi Maslim, Buku SakuDiagnosis Gangguan Jiwa, PPDGJ-III (Panduan Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa). 22 23
Lihat, Redaksi Ensiklopedi Indonesiaa, Ensiklopedi Indonesia, Vol.3, h. 2687
Hamzah Hasan, Hudud Analisis Tindak Pidana Zina di Balik Perkawinan Legal (Cet. 1; Makassar: Alauddin Press), h. 13.
11
Berdasarkan uraian judul diatas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa dalam menentukan perawatan bagi pelaku tindak pidana yang sedang sakit jiwa hukum Islam merupakan aturan-aturan yang bersifat putusan atau sesuai kepastian hukum yang ditentukan oleh hakim. C. Kajian Pustaka Kejiwaan menurut Sarlito Wirawan Sarsono adalah tingkat kecerdasan seseorang, sifat dan perilaku serta kepribadian seperti emosi, adaptasi dan minatnya terhadap sesuatu.Pembentukan kejiwaan dimulai sejak seseorang terlahir ke dunia.24 Tiap-tiap individu telah membawa bibit-bibit sifat dari dalam diri yang sepanjang proses kehidupannya akan senantiasa berkembang menjadi kejiwaan tertentu. Selama proses itu, ada beberapa faktor yang mempengaruhinya. Diantaranya pengalaman dan cara menghadapinya sesuai tingkat kesadaran atau usia, periode dalam menghadapi suatu masalah. Kondisi mental dan fisik, dan bentuk tekanan yang diterimanya. Bibit, sifat dan faktor yang mempengaruhinya akan menyatu dan membentuk sifat dan mental yang kuat, akhlak, serta jiwa yang dipelajari berdasarkan ilmu psikologi. psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kejiwaan seseorang. Pendekatan psikologi meliputi observasi. Untuk dapat memahami psikologi seseorang, hal paling utama yang perlu dilakukan adalah mengamati bagaimana cara bersikap di depan orang lain, caranya duduk, dan pandangannya terhadap sesuatu. Psikologi kepribadian ini sangat erat kaitannya dengan psikologi kejiwaan. Kepribadian adalah cerminan dari kejiwaan seseorang akan mengenal kepribadian
24
Anne Ahira, Pembentuk Kepribadian Seseorang (Bandung: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), h. 72.
12
dan jati dirinya dalam hal beradaptasi dengan orang lain. Dari situlah orang lain dapat menilai seperti apa orang tersebut. Dalam buku Hakim dan Penegakkan Hukum, Wahyu Affandi menjelaskan bahwa Penegak Hukum tidak hanya harus mampu mengatur hukum, melainkan dituntut pula untuk mendisiplinkan diri supaya mematuhi hukum, dan adalah sulit untuk dibayangkan berhasilnya usaha untuk menegakkan hukum serta menciptakan kepastian hukum dan menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat apabila penegak hukum itu sendiri baik dalam tindakannya maupun tingkah laku sehari-hari selalu mengabaikan hukum.25 Dalam bukunya Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, Sumber-sumber sampai dengan konsep Hukum Pidana Islam. Hukum Pidana Islam merupakan terjemahan dari kata fiqh Jinayah. Fiqh Jinayah adalah segala ketentuan Hukum mengenai Tindak Pidana atau perbuatan Kriminal yang dilakukan oleh seorang mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban) sebagai hasil darii pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari al-quran dan hadis.Tindakan kriminal yang dimaksud adalah tindakan–tindakan kejahatan yang mengganggu ketentraman umum serta tindakan melawan peraturan perundang-undangan yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadis.26 Akhyar,
mengemukakan
pendapat
dalam
tulisannya
yang
berjudul
Implementasi Kekuasaan Kehakiman Dalam Era Reformasi, bahwa selain adanya berbagai kebebasan juga ditambah aturan tentang tingkah laku dan kegiatan para hakim, yaitu semacam code of conduct. Aturan tentang tingkah laku atau code conduct itu penting sebab merupakan aturan yang mengatur tingkah laku para hakim
25
Wahyu Affandi, Hakim dan Penegakan Hukum (Bandung: Alumni,1981), h. 7.
26
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam (Cet. 1: Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 1.
13
supaya memungkinkan para hakim bersifat responsive terhadap harapan dari masyarakat dan melaksanakan secara konkrit pengaturan yang menggambarkan Who watches the watchmen itu.27 Menurut National Institut Of Mental Health (1994), gangguan depresi dimengerti sebagai suatu penyakit “tubuh yang menyeluruh” (whole-body) yang meliputi tubuh, suasana perasaan (mood) dan pikiran. Ini berpengaruh terhadap cara makan dan tidur, cara seorang merasa mengenai dirinya sendiri dan cara orang berpikir mengenai sesuatu.28 Dalam bukunya Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama Di Indonesia, hakim merupakan unsur utama di dalam Pengadilan itu sendiri.Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa tuntutan terhadap hakim-sarjana itu lebih besar. Disatu pihak lain dituntut untuk mencerminkan sifat-sifat ke-kyai-an atau ke-ulama-an sebagai tokoh yang arif, yang diharapkan untuk menyelesaikan perkara keluarga yang sangat peka dan mengutamakan perdamaian. Namun dipihak lain ia dituntut untuk menerapkan teknologi pengambilan keputusan hukum, dalam upaya menempatkan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama sebagai court of law. Oleh karena itu dituntut untuk menerapkan hukum acara secermat dan setepat mungkin. 29 Kartini Kartono, mendefinisikan gangguan mental adalah merupakan totalitas kesatuan daripada ekspresi mental yang patologis terhadap stimuli sosial,
27
Akhyar, Implementasi Kekuasaan Kehakiman Dalam Era Reformasi, Himpunan Karya Tulis Bidang Hukum (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Dept. Kehakiman RI,1999), h. 295. 28 29
Siswanto, Kesehatan Mental, Konsep Cakupan dan Perkembangannya, h. 74.
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama Di Indonesia (Cet. 2; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1998), h.198.
14
dikombinasikan dengan fakta-fakta penyebab sekunder lainnya.30 Sebagai pertanda formula dari pada penyakit jasmania maka mental disorder itu mempunyai petanda awal antara lain: Cemas, apatis, dengki, marah dll. Ringkasnya kekacauan atau gangguan pada ketenangan batin dan harmoni pada sruktur kepribadian. D. Metode Penelitian Metode penelitian merupakan alat, prosedur dan teknik yang dipilih dalam suatu penelitian. Adapun metode penelitian yan digunakan dalam penulisan ini yaitu: 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian normatif yaitu perbandingan hukum. Perbandingan hukum merupakan metode penyelidikan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih tentang hukum tertentu. 2. Pendekatan Penelitian a. Pendekatan perbandingan Pendekatan perbandingan dilakukan dengan mengadakan perbandingan hukum. b. Pendekatan syar’i Pendekatan syar’i merupakan kegiatan studi atau penelitian menitikberatkan pada nilai-nilai syariat. 3. Metode Pengumpulan Data Adapun metode pengumpulan data yang digunakan yaitu studi kepustakaan (library research). Studi kepustakaan merupakan model tunggal yang
30
h.14.
Sattu Alang, Kesehatan Mental dan Terapi Islam (Cet. I; Makassar: IAIN Alauddin, 2001),
15
dipergunakan dalam penelitian hukum normatif.31 Dalam studi kepustakaan sumber data diperoleh dari: a. Bahan hukum Primer Bahan hukum primer adalah data yang bersifat mengikat, yaitu peraturan perundang-undangan atau aturan hukum lainnya. b. Bahan hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah data yang diperoleh melalui buku-buku hukum atau karya tulis ilmiah hukum yang terkait dengan penelitian ini. c. Bahan hukum Tersier Bahan hukum tertier adalah data yang diperoleh dari buku-buku atau karya tulis ilmiah non-hukum yang terkait dengan penelitian ini. 4. Analisis Data Untuk menganalisa data, maka digunakan metode induktif kualitatif. Dengan menggunakan metode induktif kualitatif maka akan dianalisa data secara khusus kemudian menghasilkan informasi yang bersifat umum. Dengan kata lain, data-data yang diperoleh dari studi kepustakaan (library research) yang terkait Pertimbangan perawatan bagi pelaku tindak pidana yang sedang sakit jiwa. Sehingga menghasilkan konsep upaya hakim dan kaitannya dalam hukum Islam. Adapun langka-langka dalam menganalisa data, yaitu: a. Menganalisa pasal-pasal yang berkaitan dengan upaya hakim dalam menentukan pertimbangan perawatan
31
93.
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Ed. 1; Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h.
16
b. Menganalisa hasil penelitian hukum dan/atau buku-buku hukum yang kaitannnya dengan pasal-pasal tentang upaya hakim dalam menentukan pertimbangan perawatan c. Mengaitkan pasal-pasal tentang upaya hakim dengan hasil penelitian hukum dan/atau buku-buku hukum yang terkait. E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Agar penelitian tentang upaya hakim dalam menentukan pertimbangan perawatan bagi pelaku tindak pidana yang sedang sakit jiwa dalam perspektif hukum Islam terarah atau jelas tujuan yang akan dicapai, maka dibutuhkan tujuan penelitian. Selain itu, penelitian tersebut pun harus berguna bagi masyarakat terutama dalam disiplin hukum. Oleh karena itu, berikut tujuan dan kegunaan penelitian tentang upaya hakim dalam menentukan pertimbangan perawatan bagi pelaku tindak pidana yang sedang sakit jiwa dalam perspektif hukum Islam, yaitu: 1. Tujuan Penelitian Adapun tujun penelitian tentang upaya hakim dalam menentukan pertimbangan perawatan bagi pelaku tindak pidana yang sedang sakit jiwa dalam persfektif hukum Islam secara khusus, yaitu: 1.
Untuk
mengetahui sejauh
mana
Hakim
dalam
menentukan
pertimbangan perawatan bagi pelaku tindak pidana yang sedang sakit jiwa 2.
Untuk mengetahuiperbandingan Hukum Pidana Nasional dan Hukum Pidana Islam dalam menentukan pertimbangan perawatan bagi pelaku tindak pidana yang sedang sakit jiwa dalam perspektif hukum Islam
17
2. Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian tentang upaya hakim dalam menentukan pertimbangan perawatan bagi pelaku tindak pidana yang sedang sakit jiwa dalam perspektif hukum Islam dapat diketahui dari segi teoretis dan praktis Sebagaimana berikut, yaitu: 1. Kegunaan Teoretis b. Agar masyarakat mengetahui seberapa besar pengaruh kejiwaan seseorang yang melakukan tindak pidana dan pemahaman hukum mengenai pertimbangan perawatan bagi pelaku tindak pidana yang sedang sakit; c. Menambah khazanah pemahaman hukum mengenai upaya hakim dalam menentukan pertimbangan 2. Kegunaan Praktis a. Diharapkan dapat menjadi tambahan ilmu kepada para pembaca skripsi ini pada umumnya dan juga mampu memberikan ilmu kepada penulis pada khususnya, agar lebih mengetahui tentang bagaimana hakim itu sendiri mempertimbangkan perawatan sehingga mampu menimbulkan kesadaran bagi pelaku. b. Dapat menjadi referensi bagi peneliti berikut yang ingin melakukan kajian lebih lanjut yang berkaitan dengan upaya hakim dalam menentukan pertimbangan perawatan bagi pelaku tindak pidana yang sakit jiwa.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG UPAYA HAKIM DALAM MENENTUKAN PERTIMBANGAN PERAWATAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA YANG SEDANG SAKIT JIWA A. Pengertian Tindak Pidana Ulama fikih mengemukakan unsur yang harus ada dalam suatu tindak pidana sehingga perbuatan itu dapat dikategorikan dalam perbuatan tindak pidana. Adapun unsur-unsur itu adalah:1 Pertama, ada nas yang melarang perbuatan tersebut dan ancaman hukumannya. Dalam hukum pidana nasional unsur ini disebut unsur formil (ar-Rukn al-syar’i). dalam unsur ini ulama membuat kaidah”Tidak ada suatu tindak pidana dan tidak ada pula suatu hukuman tanpa ada nash”. Senada dengan kaidah tersebut juga dikatakan” Sebelum ada nas, tidak ada hukum bagi orang-orang yang berakal”. Oleh Haliman menyebutkan unsur ini dengan sifatnya “melawan hukum”. Kedua, adanya tingkah laku yang menbentuk perbuatan jarīmah, baik berupa perbuatan yang nyata melanggar larangan syara’, jarīmah positif, aktif melakukan suatu perbuatan, (seperti mencuri) maupun dalam bentuk sikap tidak berbuat suatu yang diperintahkan syara’, jarīmah negatif, pasif dalam melakukan perbuatan seperti perbuatan (tidak melakukan shalat dan tidak menunaikan zakat). Dalam hukum pidana nasional unsur ini disebut dengan unsur materil (al-rukn al-madiy). Menurut Haliman bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah perbuatan yang oleh hukum dinyatakan perbuatan yang dapat dihukum. Ketiga, Pelaku jarīmah tindak pidana adalah seseorang yang telah mukallaf atau yang telah dapat dipersalahkan atau yang 1
Hamzah Hasan. Hukum Pidana Islam 1 (Cet.1; Alauddin University Press: 2014), h. 11.
18
19
telah bisa diminta pertanggungjawabannya secara hukum, dalam hukum pidana Islamdisebut (al-rukn adabi). Dalam hukum pidana nasional disebut unsur moril oleh Haliman menyebutkannya orang yang melakukan perbuatan tersebut dapat dipersalahkan atau disesalkan atas perbuatannya. 2 Ada beberapa macam istilah tindak pidana yang dipergunakan dalam bukubuku yang dikarang oleh para pakar hukum pidana Indonesia sejak zaman dahulu hingga sekarang. Pada dasarnya semua istilah itu merupakan terjemahan dari bahasa Belanda: “strafbaar feit”, sebagai berikut:3 1. Delik (delict) 2. Peristiwa pidana (E. Utrecht) 3. Perbuatan pidana (Moeljatno) 4. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum 5. Hal yang diancam dengan hukum 6. Perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukum 7. Tindak pidana (Sudarto dan diikuti sampai sekarang) Mengenai pengertian tindak pidana (strafbaar feit) beberapa sarjana memberikan pengertian yang berbeda sebagai berikut:4 a. Simons, Tindak pidana adalah “kelakuan/handeling yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.” 2
Hamzah Hasan.Hukum Pidana Islam 1, h. 12.
3
Adnan Alit Suprayogi, “Pertimbangan Hakim dalam Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika,” Skripsi (Bandar Lampung: Fak. Hukum Universitas Lampung, 2016), h. 18. 4
Adnan Alit Suprayogi, “Pertimbangan Hakim dalam Perkara Tindak Pidana Penyalahguna aan Narkotika, h. 20.
20
b.
Pompe Memberikan pengertian tindak pidana menjadi 2 (dua) definisi, yaitu: 1. Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan hukum; 2.
Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian/feit yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.
c. Vos, Tindak pidana adalah “Suatu kelakukan manusia diancam pidana oleh peraturan undang-undang, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana.” d. Van Hamel: Tindak pidana adalah “kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet (undang-undang-pen), yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana, dan dilakukan dengan kesalahan.” e. Wirjono Prodjodikoro: Tindak pidana adalah “Suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana.” f. Pengertian tindak pidana menurut Moeljatno yaitu Perbuatan pidana (tindak pidana pen.) adalah “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. Moeljatno merumuskan unsur-unsur perbuatan pidana/tindak pidana sebagai berikut:
21
a) Perbuatan (manusia); b) Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan syarat formil); c) Bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil) Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:5 1.
Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
2.
Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3.
Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. Rumusan diatas agak panjang, dan memerlukan sekedar penjelasan, terdapat
dalam hal dibawah ini:6 a.
Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara. Bagian-bagian lain adalah hukum perdata, huku tata negara dan tata pemerintah, hukum agrarian, hukum pemburuhan, hukum intergentil dan sebagainya. Biasanya bagian hukum tersebut dibagi yaitu hukum publik dan hukum privat, dan hukum pidana ini digolongkan dalam hukum publik yaitu mengatur hubungan antara negara dan perseorangan atau mengatur
5
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana (Cet. 8; Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 1.
6
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, h. 2.
22
kepentingan umum. Sebaliknya hukum privat mengatur hubungan antara perseorangan. b.
Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barang siapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya kita namakan perbuatan pidana atau delik. Perbuatan-perbuatan pidana menurut wujud atau sifatnya adalah bertentangan
dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum, mereka adalah perbuatan yang melawan (melanggar) hukum. Tegasnya mereka merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang baik dan adil, dapat pula dikatakan bahwa perbuatan-perbuatan pidana itu bersifat merugikan masyarakat, jadi anti-sosial. Karenanya perbuatanperbuatan itu dilarang keras atau pantang dilakukan. Dengan demikian konsepsi perbuatan pidana seperti dimaksud diatas dapat, dapat disamakan atau disesuaikan dengan konsepsi perbuatan pantang (pantangan) atau pemali yang telah lama dikenal dalam masyarakat Indonesia asli sejak zaman nenek moyang kita. 7 Tetapi tidak semua perbuatan yang melawan hukum atau merugikan masyarakat diberi sanksi pidana. Pelacuran misalnya, disini tidak dijadikan perbuatan pidana dalam arti bahwa perbuatan pelacurannya sendiri tidak dilarang dan diancam dengan pidana. Bahwa pelacuran tidak dijadikan larangan pidana, janganlah diartikan bahwa hal ini tidak dianggap merugikan masyarakat, tetapi karena sukarnya untuk mengadakan rumusan (formula) yang tepat, dan juga yang dalam praktik dapatk dilaksanakan. Mungkin dinegara-negara lain telah ada rumusan yang demikian, tetapi belum diketahui bagaimana hasilnya dalam praktik. Disini yang dapat dituntut ialah misalnya orang
7
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, h. 3.
23
yang menyediakan tempat untuk pelacuran dan menjadikan hal itu sebagai pencarian atau kebiasaan (lihat pasal 296 KUHP). Begitu pula perbuatan menepati janji (break of trust), tidak membayar utang dan sebagainya.Walaupun sudah nyata bahwa perbuatan-perbuatan ini bersifat melawan hukum dan merugikan masyarakat.8 c. Tentang penentuan perbuatan mana yang dipandang sebagai suatu perbuatan pidana, kita menganut asas legalitas (principle of legality), yakni asas yang menentukan bahwa tiap-tiap perbuatan pidana harus ditentukan sebagai demikian oleh suatu aturan Undang-undang (pasal 1 ayat 1 KUHP) atau setidak-tidaknya oleh suatu aturan hukum yang telah ada dan berlaku bagi terdakwa (pasal 14 ayat 2 UUDS) dahulu sebelum orang dapat dituntut untuk dipidana karena perbuatannya. d. Barang siapa melakukan pebuatan pidana diancam dengan pidana. Akan tetapi ini belum berarti bahwa tiap-tiap orang melakukan perbuatan tersebut lalu mesti dipidanaa. Sebab untuk memidana seseorang disamping melakukan perbuatan yang dilarang, dikenal asas yang berbunyi: “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.” Dalam Bahasa Belanda “Geen straf zonder schuld.” Jerman: Keine Straf ohne Schuld.” Dalam hukum pidana Inggris asas dikenal dengan Bahasa latin yang berbunyi: Actus non facit, nisi mens sit rea. (An act does not make aperson guilty, unless the mind is guilty). Asas tersebut tidak kita dapat dalam KUHP sebagaimana halnya dengan asas legalitas juga tidak ada dalam lain-lain perundangan. Asas ini adalah asas yang ada dalam hukum yang tidak tertulis, yang hidup dalam anggapan masyarakat dan yang tidak kurang mutlak berlakunya daripada asas
8
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, h. 4.
24
yang tertulis dalam perundangan. Buktinya ialah andaikata ada orang yang dipidana tanpa mempunyai kesalahan, misalnya dia elakukan perbuatan yang tidak tahu, bahkan tidak mungkin untuk mengetahuinya bahwa merupakan perbuatan pidana, niscaya hal itu akan melukai perasaan keadilan. Dalam KUHP sendiri ada beberapa aturan mengenai tidak dipidananya orang yang telah melakukan perbuatan pidana, misalnya Pasal 44 (mengenai orang yang tidak mampu bertanggung jawab), Pasal 48 mengenai orang yang melakukan perbuatan pidana karena adanya daya paksa (overmacht). Ini adalah beberapa perwujudan daripada asas tindak pidana jika tidak ada kesalahan tadi.9 e. Kalau yang disebut dalam ke-1 dari rumusan hukum pidana diatas adalah mengenai perbuatan pidana (criminal act), maka yang disebut kedalam ke-2 adalah mengenai pertanggungjawaban hukum pidana (criminal liability atau criminal responssibilty). Semua peraturan yang mengenai kedua bidang diatas merupakan apa yang dinamakan hukum pidana material (substantive criminallaw) oleh karena mengenai isinya hukum pidana sendiri. Sebaliknya yang disebut kedalam ke-3 adalah mengenai bagaimana cara atau prosedurnya untuk menuntut ke muka Pengadilan orang-orang yang disangka melakukan perbuatan pidana ini, dinamakan hukum pidana formal (criminal procedure), hukum acara pidana. Lazimnya jika disebut hukum pidana saja, maka yang dimaksud adalah hukum pidana material. f. Rumusan makna hukum pidana yang disebut diatas adalah berbeda dengan rumusan yang biasa dipakai sebagai contoh misalnya: Prof. Mezger, Munchen Jerman, dalam bukunya: “Strafrecht Allgemeniner Teil 4e aufl. 1952 hal. 4.
9
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, h. 6.
25
dikatakan bahwa hukum pidana adalah semua aturan-aturan hukum (die jenige Rechtsnormen) yang menentukan (menghubungkan) suatu pidana sebagai akibat hukum (Rechtfolge) kepada suatu perbuatan yang telah dilakukan”. Prof. Simons almarhum (Utrecht) dalam bukunya Leerboek Nederlands Strafrecht 1937 memberikan definisi sebagai berikut: “Hukum pidana adalah kesemuanya perintah-perintah dan larangan-larangan yang diadakan oleh negara dan yang diancam dengan suatu nestapa (pidana) barang siapa yang tidak menaatinya, kesemua aturan yang menentukan syarat-syarat bagi akibat hukum itu dan kesemuanya aturan-aturan untuk mengadakan (menjatuhi) dan menjalankan pidana tersebut”. g.
Dalam definisi diatas ada dua hal yang perlu ditegaskan yaitu: 10Pertama, bahwa hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berdiri sendiri. Dengan ini ditolak pendapat bahwa hukum pidana adalah bergantung pada bagian-bagian hukum lainnya dan hanya memberi sanksi saja pada perbuatan-perbuatan yang telah dilarang dalam bagian-bagian hukum lainnya. Dalam buku Prof. Van kan Rectswetenschap. Inleiding Rectswetenschap, 1931 sebagai berikut: “Hukum pidana tidak mengadakan norma-norma baru yang tidak menimbulkan kewajiban-kewajiban yag dulunya belum ada. Hanya norma-norma yang sudah ada saja yang dipertegas, yaitu dengan mengadakan ancaman pidana dan pemidanaan”. Kedua, berhubung dengan definisi tersebut maka yang penting dalam hukum pidana bukan hanya saja hal memidana terdakwa, akan tetapi sebelum sampai kepada itu terlebih dahulu harus ditetapkan apakah terdakwa benar melakukan perbuatan atau tidak. Dan aspek
10
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, h. 9.
26
atau segi dari hukum pidana itu, yaitu menentukan apakah perbuatan seseorang merupakan perbuatan pidana atau bukan, dan kemudian menentukan apakah orang yang melakukan perbuatan itu dapat dipertanggung jawabkan (dipersalahkan) karena perbuatan tersebut atau tidak, hal itu jangan dicampur adukkan, sebab masing-masing ini sifatnya berlainan. Adanya perbuatan pidana didasarkan atas asas: Tidak ada perbuatan pidana jika sebelumnya tidak dinyatakan sebagai demikian oleh suatu ketentuan Undangundang, dalam Bahasa latin: Nullum delictum, nulla poenasine praevia lege. Sedangkan penanggung jawab dalam hukm pidana berdasarkan atas asas: Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Adami Chazawi, mengartikan hukum pidana sebagai bagian dari hukum publik yang memuat atau berisi ketentuan-ketentuan tentang:11 a) Aturan umum hukum pidana dan yang berkaitan dengan larangan melakukan perbuatan-perbuatan (aktif/positif maupun pasif/negatif) tertentu yang disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana (straf) bagi yang melanggar larangan tersebut. b) Syarat-syarat tertentu (kapankah) yang harus dipenuhi/harus ada bagi si pelanggar untuk dapat dijatuhkan sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang dilanggarnya. c) Tindakan dan upaya-upaya lain yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alat-alat perlengkapannya (misalnya polisi, jaksa, hakim), terhadap yang tersangka dan terdakwa sebagai pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha menentukan, menjatuhkan dan melaksanakan sanksi pidana terhadap
11
Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana (Cet. 3; Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2015), h. 3.
27
dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang boleh dan harus dilakukan oleh tersangka dan terdakwa pelanggar hukum tersebut dalam usaha melindungi dan mempertahankan hak-haknya dari tindakan negara dalam upaya menegakkan hukum pidana tersebut. B. Macam-macam Tindak Pidana Menurut hukum pidana Islam, Jināyaṯ atau Jarīmah digolongkan menjadi berbagai macam menurut segi peninjauannya.12 1. Dilihat dari Segi Berat Ringannya Pidana Berat ringannya pidana yang dimaksud adalah berat atau ringannya hukuman yang diberikan pada pelaku pidana.Segi berat ringannya pidana tersebut, Jināyaṯ dibagi menjadi tiga golongan yaitu Jināyaṯ Ḥūdūd, Jināyaṯ Qiṣāṣ dan Jināyaṯ Taʹzīr. a. Jināyaṯ Ḥūdūd, adalah jināyaṯ yang diancam hukuman had yaitu hukuman yang telah ditentukan macam dan jumlahnya, serta menjadi hak Tuhan. Dengan demikian, hukum tersebut tidak mempunyai batas terendah atau tinggi. Pengertian hak Tuhan adalah bahwa hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan baik oleh perseorangan (yang menjadi korban Jināyaṯ) maupun oleh masyarkat yang diwakili Negara. b. Jināyaṯ Qiṣāṣ-Diyat adalah perbuatan-perbuatan yang diancam hukuman qisāṣ atau hukuman diyat. Baik qisāṣ maupun diyat adalah hukuman yang ditentukan batasnya, tidak mempunyai batas terendah dan tertinggi.
12
Kurniati, Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Hukum Islam, Suatu Analisis Komparatif antara HAM dalam Islam dengan HAM konsep Barat (Cet.1;Alauddin University Press:2011), h. 8388.
28
c. Jināyaṯ Taʹzīr adalah perbuatan-perbuatan yang diancam dengan satu atau beberapa hukuman taʹzīr. 2. Dilihat dari segi Niat si Pelaku Dilihat dari segi niat si pelaku, jināyaṯ dibedakan menjadi dua, yaitu jināyaṯsengaja dan tidak sengaja.Pada Jarīmah sengaja (jārīmah maqṣūdah) si pembuat dengan sengaja melakukan perbuatannya, sedang ia tahu bahwa perbuatannya itu dilarang (salah). Pada Jarīmah tidak sengaja (jarīmah gairal maqṣūdah,) si pembuat tidak sengaja mengerjakan perbuatan yang dilarang, akan tetapi perbuatan tersebut terjadi akibat kekeliruannya. 13 3. Dilihat dari Segi Sikap si Pelaku Dilihat dari segi ini, jināyaṯ dibagi menjadi dua, yaitu jināyaṯ positif dan jināyaṯ negatif. Jināyaṯ positif terjadi karena mengerjakan suatu perbuatan yang dilarang, seperti mencuri, memukul dll.Jināyaṯ negatif (salabiyah) terjadi karena tidak mengerjakan suatu perbuatan yang diperintahkan, misalnya tidak membayar zakat, jināyaṯ ini disebut juga delict misalnya tidak membayar zakat, jināyaṯini disebut juga delict ommosionis. Jarīmah positif disebut juga ommosionis commusa.14 4. Dilihat dari Segi Orang yang menjadi Korban Dari segi ini, jinayaṯ dibagi menjadi dua, yaitu jināyaṯ masyarakat dan jināyaṯ perseorangan. Jināyaṯ masyarakat adalah suatu jināyaṯ dimana hukuman terhadapnya dijatuhkan untuk menjaga kepentingan masyarakat, baik jināyaṯ tersebut mengenai perseorangan atau mengenai ketentraman
13
Kurniati, Hak Asasi Manusia, h. 89.
14
Kurniati, Hak Asasi Manusia, h. 91.
29
masyarakat dan keamanannya. Jarīmah perseorangan ialah suatu jarīmah dimana hukuman terhadapnya dijatuhkan untuk melindungi kepentingan perseorangan, meskipun sebenarnya apa yang menyinggung perseorangan juga berarti menyinggung masyarakat. 5. Dilihat dari Segi Tabiatnya yang Khusus Ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu; jināyaṯ biasa dan jināyaṯ politik. Pemisahan tersebut didasarkan atas kemaslahatan keamanan dan ketertiban masyarakat. Oleh karena itu, tidak semua jināyaṯ yang dilakukan untuk tinjauan politik tersebut meskipun ada juga jināyaṯ biasa yang dilakukan dalam suasana politik tertentu biasa digolongkan kedalam jināyaṯ politik. Dikalangan fuqaha, jarīmah politik disebut al-Baqhyu dan pembuatpembuatnya disebut al-Bughaat atau al-fiatul baghiyah. Dimaksud dengan bughāt ialah orang-orang yang memberontak kepada iman (penguasa negara) berdasarkan alasan tertentu dan mempunyai kekuatan tertentu. Kalau golongan yang memberontak (melawan) disebut “al-bughat”, maka golongan lain yang dilawan disebut “aqlu aladl”. Adapun syarat-syarat yang terdapat pada golongan yang memberontak disebut bughāt. Pertama, mempunyai tujuan tertentu yaitu kehendak mencopot kepala Negara atau badan eksekutif (pemerintahan), atau tidak hendak tunduk kepadanya. Kedua, alasan yaitu mengemukakan alasan pemberontakannya, serta dalil-dalil kebenaran pendirian mereka, meskipun dalil sendiri itu lemah. Ketiga, susunan pemberontak dan perang. Untuk digolongkan kepada jarīmah politik, maka sesuatu perbuatan harus dilakukan dalam keadaan pemberontakan atau perang
30
saudara yang dikabarkan untuk mewujudkan maksud jarīmah. Kalau perbuatan tersebut tidak dilakukan dalam keadaan pemberontakan atau perang saudara, maka dipandang sebagai jarīmah biasa dan hukumannya juga biasa.15 Suatu kejahatan yang merupakan delik hukum apabila perbuatan itu bertentangan dengan asas-asas hukum yang ada dalam kesadaran hukum dari rakyat, terlepas dari apakah asas-asas hukum tersebut dicantumkan oleh tidak dalam hukumpidana. Rechdelitum adalah perbuatan dan keinsyafan batin manusia yang dirasakan sebagai perbuatan tidak adil menurut undang-undang dan perbuatan tidak adil menurut asas-asas hukum yang tidak dicantumkan secara tegas dalam undangundang pidana. Macam-macam kejahatan dalam KUHP terdapat dalam buku kedua adalah yang berkenaan sebagai berikut:16 1. Kejahatan terhadap keamanan Negara; 2. Kejahatan terhadap martabat presiden dan wakil presiden 3. Kejahatan terhadap Negara sahabat dan terhadap kepala Negara sahabat serta wakilnya 4. Kejahatan terhadap melakukan kewajiban dan hak kenegaraan 5. Kejahatan terhadap ketertiban umum 6. Kejahatan perkelahian tanding 7. Kejahatan yang membahayakan keamanan umum bagi orang atau barang 8. Kejahatan terhadappenguasa umum 9. Kejahatan sumpah palsu dan keterangan palsu 10. Kejahatan pemalsuan mata uang dan uang kertas 15 16
Kurniati. Hak Asasi Manusia, h. 95.
R. soenarto Soerodibroto. KUHP danKUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad (Jakarta: Cet. 15; PT Raja Grafindo Persada, 2011)
31
11. Kejahatan pemalsuan materai dan merek 12. Kejahatan pemalsuan surat 13. Kejahatan terhadap asal-usul perkawinan 14. Kejahatan terhadap kesusilaan 15. Kejahatan meninggalkan orang yang perlu ditolong 16. Kejahatan penghinaan 17. Kejahatan pembuka rahasia 18. Kejahatan terhadap kemerdekaan orang 19. Kejahatan terhadap nyawa 20. Kejahatan penganiayaan 21. Kejahatan menyebabkan mati atau luka luka karena kealpaan 22. Kejahatan pencurian 23. Kejahatan pemerasan dan pengancaman 24. Kejahatan penggelapan 25. Kejahatan perbuatan curang 26. Kejahatan perbuatan merugikan pemihutang atau orang yang mempunyai hak 27. Kejahatan menghancurkan atau merusak barang 28. Kejahatan jabatan 29. Kejahatan pelayaran 30. Kejahatan penadahan penerbitan dan percetakan 31. Kejahatan tentang pengulangan kejahatan yang bersangkutan dengan berbagi bab. Itulah beberapa ketentuan mengenai kejahatan yang dicantumkan dalam KUHP, tetapi masih banyak kejahatan-kejahatan yang diatur diluar KUHP, yang
32
tercantum dalam perundang-undangan lainnya. Seperti undang-undang Tindak Pidana Narkotika, undang-undang Pajak, undang-undang Tindak Pidana Perbankkan, dan lain-lain.17 C. Sebab Timbulnya Tindak Pidana Sebab
musabab
kejahatan
menurut
penggolongan
Paul
Mudikno
Moeliono.18Pertama, golongan salahmu sendiri, Golongan salahmu sendiri adalah golongan yang berpendapat bahwa kejahatan adalah ekspresi (pernyataan) kemauan jahat yang terdapat pada diri petindak sendiri. Jadi, menurut ajaran golongan ini sebab kejahatannya timbul dari kemauan si petindak sendiri. Maka konsekuensinya, masyarakat dan pihak lain sama sekali lepas dari pertanggungjawaban atas timbulnya kejahatan-kejahatan masyarakat yang dilakukan oleh anggotanya. Perlu diketahui bahwa masyarakat dalam timbulnya kejahatan berusaha melepaskan diri (cuci tangan) dari pertanggungjawaban atas timbulnya kejahatan ”pengambinghitaman” terhadap orang-orang tertentu yang dicap sebagai penjahat, yaitu mereka yang menghadapi kelemahan ada kondisi pribadi. Sikap ini merupakan suatu perbuatan yang egoistis yang akan “cuci tangan” melalui kesalahan orang lain, dan orang yang kebetulan melakukan akan ditimbuni beban, baik dosa perbuatannya maupun dosa orang lain yang dilemparkan kepadanya, malahan juga dosa atas kelalaian masyarakat sendiri (karena sebetulnya kejahatan itu timbul dalam masyarakat). Jadi, yang diobyekkan sebagai sasaran adalah posisi yang terlemah dan segala dosa dibebankan kepada yang bersangkutan.
17
Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h.58.
18
Soerdjono Dirdjosisworo, Pengantar Penelitian Kriminologi(Cet.1; Bandung:1984), h. 87.
33
Kedua, golongan tiada orang salah. Golongan ini menyebutkan bahwa, kejahatan adalah ekspresi manusia yang dilakukan tanpa ekspresi. Golongan ini merupakan perlawanan terhadap golongan salahmu sendiri, sebab golongan tiada orang salah, orang itu tidak data dipersalahkan dan tidak dapat dipidana.Golongan tiada orang salah, membebaskan diri dari pertanggungjawaban atas kesalahannya. Ketiga, golongan salah lingkungan. Golongan ini, menyanggah pendapat lambroso dan para pendukungnya. Menurut golongan ini, bukan bakat yang menyebabkan kejahatan tetapi lingkungan. Die welt ist mehr shuld anmir, as ich (Dunia lebih bertanggung jawab terhadap bagaimana saya dari ada diri saya sendiri). Pengertian Die welt adalah lingkungan, maka lingkungan lebih menentukan jadinya seseorang dari pada diri sendiri. Dengan demikian segala persoalan dikembalikan kepada faktor lingkungan, juga sebab musabab kejahatan berasal dari lingkungan pergaulan maupun aspek lingkunga berbeda-beda satu sama lain. Tetapi jelas golongan ini menentang pendapat yang menyatakan bahwa kejahatan adalah diwariskan. Keempat, golongan kombinasi. Golongan ini merupkan kombinasi dari ajaranajaran terdahulu. Dalam penggolongan Bonger dikemukakan golongan kombinasi bio sosiologi atau menurut Noach dalam buku krimonologi adalah golongan bakat dan lingkungan yang merupakan kombinasi, sebab kejahatan bersumber pada diri pribadi (individu) dan faktor lingkungan pergaulan hidupnya. Kecenderungan berbuat jahat ini mungkin diturunkan dari orang tua atau merupakan ekspresi dari sifat-sifat kepribadian dan keadaan sosial maupun prosesproses lain tak usah diperhitungkan dalam menerangkan sebab-sebab kejahatan.
34
Ketiga aliran ini saling berbeda hanya dalam sifat mana yang dianggap perbedaan antara penjahat dan bukan penjahat.19 1. Lambrosian, dikenal sebagai ”Italian School” teori ini diperkenalkan pada umum dalam bentuk pamphlet tahun1876. Dalam awalnya teori ini tegas mengusulkan beberapa pendapat: a. Penjahat sejak lahirnya sudah mempunyai suatu tipe tersendiri b. Tipe ini bisa dikenal dari beberapa tertentu, misalnya tengkorak asimetris, rahang bawah yang panjang, hidung yang pesek rambut janggut jarang, tahan sakit. Kelima tanda ini menggambarkan dengan jelas tipe penjahat, tiga sampai lima meragukan, dibawah tiga adalah mungkin bukan penjahat. c. Tanda-tanda lahiriah ini bukan penyebab kejahatan, mereka merupakan tanda pengenal kepribadian yang cenderung dalam hal kriminal behavior itu sudah merupakan suatu pembawaan sejak lahir, dan sifat-sifat pembawaan ini dapat terjadi dan berbentuk atavisme atau suatu degenarasi terutama epilepsy. d. Karena kepribadian ini, maka mereka tidak dapat terhindar dari kejahatan kecuali bila lingkungan dan kesempatan tidak memungkinkan. e. Beberapa penganut aliran ini mengemukakan bahwa macam-macam penjahat (pencuri, pembunuh, pelanggar seks), saling bisa dapat dibedakan oleh tanda lahirnya/stigmasa tertentu.
19
Ninik Widiyanti dan Yulius Waskita, Kejahatan Dalam Masyarakat dan Pencegahannya (Cet.1; Jakarta: Bina Aksara, 1987), h. 53.
35
2. The Mental Testers, aliran ini berpendapat bahwa feeble mindedness ini menyebabkan kejahatan, dan juga tidak dapat konsekuensi terhadap dirinya dan tidak dapat arti dari hukuman. 3. The Psychiatri School/Aliran Psikhiatri, Inti ajaran ini adalah bahwa suatu susunan tertentu dari kepribadian seseorang berkembang terpisah dari polapola kebudayaan penjahat akan menghasilkan kejahatan, bagaimanapun keadaan lingkungan sosial saat itu. Perbedaan psikiatri ini pada umunya menduduki posisi penting saat ini. Akan tetapi dalam waktu yang tidak lama, aliran ini akan lenyap sebagaimana kedua aliran terdahulu. Hal ini berarti bahwa, psikhopatologi tidak akan ditengahkan sebagai suatu penjelasan umum tentang tingkah laku penjahat. Edwin H. Sutherland, mengenai asas yang berlainan, sebagai penjelasan umum untuk sebab musabab kejahatan. Keadaan yang menyangkut kejahatan, seperti rumah tangga yang berantakan, kelambatan disekolah, ketegangan yang lalai, atau faktor lainnya yang ditekankan dalam teori yang beraneka sebab, terlihat sebagai kejahatan yang menentukan bila keadaan itu mempengaruhi pergaulan perseorangan dengan sikap kelakuan jahat antara jahat yang anti kejahatan. 20 D. Faktor Seseorang Melakukan Tindak Pidana Empat alur penelitian psikologis yang berbeda telah menguji hubungan antara kepribadian dengan kejahatan. Pertama, melihat pada perbedaan-perbedaan antar struktur kepribadian dari penjahat dan bukan penjahat; kedua, memprediksi tingkah laku; ketiga, menguji tingkatan di mana dinamika-dinamika kepribadian normal
20
56.
Ninik Widiyanti dan Yulius Waskita,Kejahatan Dalam Masyarakat dan Pencegahannya, h.
36
beroperasi dalam diri penjahat; keempat, mencoba menghitung perbedaan-perbedaan individual antara tipe-tipe dan kelompok pelaku kejahatan.21 Dalam bukunya The Criminal Personalty (kepribadian kriminal) Yochelson, sesorang psikiater dan Samenow seorang psikolog, menolak klaim para psikoanalis bahwa kejahatan disebabkan oleh konflik internal.Tetapi yang sebenarnya para penjahat itu sama-sama memiliki pola berpikir yang abnormal yang membawa mereka memutuskan untuk melakukan kejahatan. 22 Yochelson dan Samenow mengidentifikasi sebanyak 52 pola berpikir yang umumnya ada pada penjahat yang mereka teliti. Keduanya berpendapat bahwa para penjahat adalah orang yang “marah” dan merasa sesuatu sense superioritas, menyangka tidak bertanggung jawab atas tindakan yang mereka ambil, dan mempunyai harga diri yang sangat melambung. Tiap dia merasa ada satu serangan terhadap harga dirinya, ia akan memberi reaksi yang sangat kuat, sering berupa kekerasan. Setiap perbuatan yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain atau masyarakat, baik kerugian itu mengenai anggota badan, jiwa, harta benda, keamanan, tata aturan masyarakat, nama baik atau kehormatan, perasaan ataupun hal-hal lain yang harus dipelihara dan dijunjung tinggi keberadaannya. Suatu perbuatan dianggap sebagai perbuatan jahat (jarīmah), karena dampak dari perbuatan itu menimbulkan kerugian bagi pihak lain, baik dalam bentuk anggota badan, jiwa atau harta benda maupun gangguan ketenangan, ketentraman, harga diri, adat istiadat dan sebagainya. Faktor-faktor penyebab terjadinya perbuatan yang dapat merugikan orang lain, diantaranya dorongan tabiat manusia yang cenderung melakukan perbuatan yang 21
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi (Cet. 14; Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2014), h. 49. 22
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, h. 50.
37
menguntungkan dirinya sendiri meskipun perbuatan itu merugikan orang lain. Artinya sikap egoistik seseorang sehingga mendorong melakukan perbuatan yang merugikan orang lain. Keanekaragaman faktor terjadinya kejahatan itu disebabkan karena luasnya ruang gerak manusia yang saling berinteraksi antara satu dengan lainnnya.23 Secara garis besarnya; 1. Faktor yang bersumber dari dalam diri seseorang (internal), 2. Faktor yang bersumber dari luar diri seseorang (eksternal). Pertama, faktor yang bersumber dari dalam diri seseorang adalah keadaan psikologis, oleh Kartini Kartono menyatakan jika salah satu pihak mengembangkan sikap permusuhan, sehingga pihak lain selalu merasa terancam. Hal ini selalu memberikan basis bagi pembentukan skap-sikap menyimpang.Maka semakin seseorang itu merasa tidak aman, maka semakin kecillah keberaniannya untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Bila itu terjadi pada seseorang, maka seseorang akan berusaha untuk keluar dari tekanan itu. Meskipun cara yang dilakukannya itu bertentangan dengan norma hukum, norma masyarakat dan norma agama. Kedua, faktor yang bersumber dari luar diri seseorang. Faktor–faktor ini berpangkal pada lingkungan di luar dari diri manusia, terutama hal-hal yang mempunyai hubungan dengan timbulnya kejahatan. Faktor-faktor itu antara lain faktor ekonomi, erosi pemahaman keagamaan, faktor lingkungan, dan faktor pendidikan. Faktor ekonomi menurut Max Weber dapat menyebabkan kejahatan termasuk didalam selingkuh. Terlepas dari benar tidaknya teori Max Weber, faktor ekonomi
23
Hamzah Hasan, Hukum Pidana Islam 1 (Cet. 1; Alauddin University Press: 2014), 8.
38
memang memiliki pengaruh terhadap timbulnya sebuah perilaku menyeleweng dan menyimpang. Sebagai gambaran perkembangan perekonomian di abad modern ketika timbul persaingan-persaingan bebas, menghidupkan daya minat
konsumtif.
Akibatnya seseorang memiliki keinginan untuk suatu barang atau uang sebanyakbanayaknya, tanpa peduli lagi pada tatanan nilai (haram atau halal) bukan lagi menjadi sebuah ukuran. Apalagi kalau sebuah kemiskinan itu telah menghimpit kehidupan sesorang, maka lambat laun kondisi itu akan memaksa sesorang untuk berbuat asusila. Kemudian, faktor yang menentukan perilaku jahat adalah erosi pemahaman keagamaan. Sebab, agama merupakan faktor utama yang berfungsi untuk menentukan tingkah laku manusia atau tidaknya dengan nilai-nilai keagamaan. Sebaliknya jika agama itu tidak diwujudkan dalam kehidupan nyata, maka agama itu tidak mempunyai arti sama sekali, dalam pengertian lain imannya kosong, maka seseorang akan mudah sekali untuk terkontaminasi dengan hal-hal yang buruk, karena pemahaman keagamaannya kurang. Menurut Ahmad Ali seorang pakar hukum pidana Islam di Indonesia pernah mengomentari bahwa penyebab terjadinya kejahatan adalah karena masyarakat semakin hari semakin menipis pemahaman, penghayatan dan pengamalan nilai-nilai ajaran agamanya. Keadaan ini makin perparah lagi dengan mudahnya orang-orang dikota-kota besar bahkan dipelosok-pelosok desa memperoleh segala macam hal yang berbau seks, seperti laser disk, CD erotik, majalah-majalah cabul dan berbagai tempat yang menyediakan fasilitas kemaksiatan, termasuk poster besar melukiskan adeganadegan erotik yang dipajang di depan bioskop dan tempat-tempat umum lainnya.24
24
Hamzah Hasan, Hukum Pidana Islam 1, h. 9.
39
Kurangnya iman cenderung membuat seseorang terjerumus pada tindakan penyelewengan, tapi seseorang yang pengetahuan, penghayatan dan pengamalan nilai-nilai ajaran agamanya kuat cenderung tidak berbuat jahat, apalagi yang berhubungan dengan pelanggaran moral.Agama memegang peranan penting dalam hidup manusia. Hanya dengan agama seseorang akan dapat menahan diri terhadap setiap bentuk perbuatan yang merugikan diri sendiri, orang lain dan masyarakat. Untuk itu agama merupakan unsure utama dalam kehidupan manusia yang menjadi kebutuhan spiritual. Norma yang terdapat didalamnya merupakan norma ketuhanan yang selalu mengajarkan kebenaran dan kebaikan sesuatu yang telah digariskan agama itu senantiasa baik dan membimbing kearah jalan yang benar. 25 Faktor lingkungan penyebab sesorang melakukan kejahatan. Dapat timbul dari lingkungan dimana ia hidup dan berkediaman. Lingkungan dapat mempengaruhi perkembangan diri seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan suatu kejahatan. Faktor lingkungan merupakan faktor yang dominan untuk menentukan seseorang, melakukan suatu kejahatan, sehingga tidak menjadi jaminan bahwa seseorang yang hidup dilingkungan yang baik, untuk tidak melakukan kejahatan, oleh karena itu harus disesuaikan dengan iptek dan imtak (seimbang), sehingga tidak mudah terpengaruh dengan lingkungan masyarakat tersebut. Faktor pendidikan pertanyaan soal darimana sumber dan munculnya ada terdensi manusia berbuat jahat dan dari mana datangnya kejahatan itu, sudah menjadi suatu perdebatan yang panjang dan rumit adanya. Kejahatan timbul akibat manusia hidup didalam kemiskinan dan kebodohan. Maka menurut mereka, dunia akan menjadi lebih baik jika dua hal ini diperbaiki, yaitu faktor pendidikan dan faktor
25
Hamzah Hasan. Hukum Pidana Islam I, h. 9-10.
40
kesejahteraan hidup diperbaiki. Jika faktor pendidikan diperbaiki, jika orang lebih tinggi edukasinya, jika orang diajarkan hal-hal yang dalam kehidupannya, maka dengan sendirinya meminimalkan segala pelanggaran yang ada di dunia ini. Optimisme kedua adalah kalau orang itu mendapatkan makanan dan kesejahteraan hidup semakin dipelihara baik, kesenjangan antara yang miskin tidak ada lagi, maka dengan sendirinya dunia akan lebih baik, kita akan hidup seperti saudara satu sama lain, dan lama-lama dunia ini tidak lagi memiliki faktor kejahatan. Justru makin tingginya pendidikan, makin kayanya seseorang, makin mudah bagi mereka melakukan kejahatan di dalam dunia ini. Cuma bedanya, yang bodoh gampang ketahuan dan tertangkap, yang pintar bukan saja tidak mengaku dia melakukan kesalahan, yang menangkapnya malah dipersalahkan. Uraian di atas menunjukkan bahwa penyebab terjadinya kasus kejahatan (jarimah, baik dari faktor internal maupun eksternal kesemuanya itu bukanlah berarti kemudian dapat menunjukkan salah satu faktor yang ada sebagai penyebabnya. Artinya timbulnya kejahatan itu tidak hanya semata-mata disebabkan oleh satu faktor saja, tetapi dapat disebabkan oleh banyak faktor. Setiap perbuatan yang dilakukan seseorang selalu berakibat pada dua keadaan, yaitu keadaan menguntungkan dan keadaan merugikan semata.Setiap perbuatan selalu berakibat menguntungkan dan merugikan. Kenyatan-kenyatan tersebut memerlukan kehadiran aturan-aturan atau undang-undang. Akan tetapi kehadiran aturan dan undang-undang itu tidak mempunyai arti apa-apa tanpa adanya dukungan yang dapat memaksa seseorang untuk tunduk dan mematuhi aturan tersebut. Dukungan yang dimaksud itu adalah harus ada sanksi yang tegas. Sanksi sangat dibutuhkan untuk mendukung peraturan
41
dan perundang-undangan yang dikenakan pada suatu perbuatan tindak pidana. Memang ada manusia yang tidak mau melakukan larangan dan tidak mau meninggalkan kewajiban bukan karena takut pada adanya sanksi meninggalkan kewajiban bukan karena takut pada adanya sanksi melainkan semata-mata karena memiliki moral, mereka adalah orang-orang akhlak
yang mulia. Akan tetapi,
kenyataan menunjukkkan bahwa dimanapun dunia ini selalu ada orang-orang yang hanya taat karena adanya sanksi, oleh sebab itu jarimah (kejahatan) dan larangan tanpa sanksi tidak memiliki makna.26 Dengan pengertian dari beberapa faktor tindakan kejahatan atas motivasi kejiwaan cara menangani perilaku kriminalitas yang tidak mungkin bisa hilang dari muka bumi ini. Cara penangananya bisa dikurangi.27Pertama, melalui tindakantindakan pencegahan dengan hukuman yang menjadi sarana utama untuk membuat jera pelaku kriminal. Kedua, penghilang model melalui tayangan media massa ibarat dua sisi mata pisau, ditayangkan nanti penjahat tambah ahli tidak ditayangkan masyarakat tidak siap-siap. Ketiga, membatasi kesempatan seseorang bisa mencegah terjadinya tindakan kriminal dengan membatasi munculnya kesempatan untuk mencuri akan lewat pintu masuk dan kita sudah menguncinya, tentunya cara itu teermasuk mengurangi kesempatan untuk mencuri. Keempat, jaga diri dengan keterampilan bela diri dan beberapa persoalan lain sebelum terjadinya tindak kriminal bisa dilakukan oleh warga masyarakat.
26
Hamzah hasan, Hukum Pidana 1, h. 10-11.
27
Suryanto, Cara Penanganan Perilaku Kriminalitas, Fakultas Psikologi Universitas
Airlangga
42
E. Pengaruh Kejiwaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Ada beberapa teori yang mengupas tentang penyebab terjadinya gangguan jiwa dan penyakit mental.28 Diantaranya adalah: 1. Teori Demonologis, ini disebut teori spiritual karena konsepnya bahwa mental didasarkan atas kepercayaan adanya unsur mistik ghain dan setan-setan jahat. 2. Teori Naturalistik, menyatakan bahwa gangguan mental berkaitan dengan fungsi-fungsi jasmani yang tidak normal, bukan disebabkan oleh gejala spiritual. Hippocrates menyatakan pada sistim homoral (cairan tubuh). Teori naturalistic menentang pendapat spiritual karena dianggap sebagai tidak logis. 3. Teori organis, menyatakan bahwa gangguan mental ialah adanya kerusakan pada jaringan otot jaringan dan gangguan biokemis pada otak. Gejala itu disebabkan oleh kerusakan genetis, infeksi dan tidak berfungsinya endotrin. Wilhelm Griessinger dalam bukunya, The Pathology and Therapy of Mental Illness, berpendap bahwa penyakit mental merupakan penyakit jasmani, khususnya penyakit system organ. Teori ini didasarkan atas teori medis. 4. Teori Psikologis, menyatakan bahwa sebab-sebab gangguan dan penyakit mental adalah kebiasaan belajar yang salah. Tingkah laku abnormal selalu bergantung pola belajar yang keliru. Akibat salah penyesuaian dalam proses belajar, timbullah kesulitan, tenggelam dalam dunia fantasi, sehingga mengembangkan pertahanan diri yang keliru. 5. Teori Intrapsikis, menyatakan bahwa tempat gangguan penyakit dan penyakit mental ada dalam kepribadian sesorang. Tingkah laku yang tidak normal
28
h. 7.
Sattu Attang,Kesehatan Mental dan Terapi Islam (Cet.1; Makassar: IAIN Alauddin, 2001),
43
adalah akibatnya adanya gangguan internal berupa kekuatan-kekuatan yang berkonflik dan beroperasi menggangu mental seseorang. Sebagian besar dari orang-orang yang melakukan tindak pidana dengan tekanan dari dalam diri sendiri, dengan perencanaan, dengan kesengajaan untuk memuaskan diri sendiri dan dengan tidak sengaja melakukan tindak kejahatan. Dari beberapa faktor dengan kurangnya ilmu dan minimnya lapangan kerja yang membuat kejiwaan mereka semakin tinggi emosional untuk melakukan tindak pidana apapun. Dalam psikology kaitannya sangat erat karena mereka tidak menerima kebenaran serta kenyataan hidup. Dalam perkembangannya terdapat perbedaan antara orang yang pikirannya tidak sempurna (mentally deficient) dengan orang yang pikirannya sakit (mentally deranged). Perbedaan ini dimulai oleh ahli penyakit jiwa perancis, Esquirol dan ahli penyakit jiwa Amerika, Isaac Ray. Ray membedakan antara alat-alat mental yang berfungsi secara abnormal setelah berkembang (mania dan dementia) dan alat-alat mental yang tidak pernah berkembang atau cacat perkembangannya (idiot dan imbesil). Pendapat-pendapat tentang alat-alat dari akal istilah psikologis lama telah berubah, namun dasar pembedaan Ray tersebut berlaku sampai sekarang. Istilah yang dipergunakan untuk pembagian Ray tersebut adalah mental deficiency atau cacat mental dan mental disease atau penyakit mental.29 Untuk dapat mengadakan perbandingan yang diteliti diperlukan ukuran yang akurat, karenanya penelitian secara kritis terhadap hubungan antara kejahatan dengan kemampuan mental barulah mungkin setelah dikembangkan yang disebut mental test
29
Tolib Efendi, Dasar-Dasar Kriminologi Press: 2017), 97.
Ilmu Tentang Sebab-sebab Kejahatan (Setara
44
dan diterapkannya tes ini terhadap masalah degenerasi. Psikologi ekspresi mental terutama memikirkan tentang ovservasi secara sistematis dan mencatat perbedaan individual yang diobservasi. Dalam laboratorium psikologi biasanya diukur perbedaan individual pada waktu memberikan reaksi. Dengan tes mental kemudian dicoba untuk mengukur kelemahan pikiran.Mental test ini dilakukan salah satunya oleh Henry H.Goddardterhadap murid-murid sekolah. Pada tahun 1914, Goddard melakukan tes intelegensi atau tes IQ dan memperoleh hasil, bahwa 25 sampai 50 persen penghuni penjara memiliki kecacatan intelektual yang membuat mereka tidak mampu untuk mengatur perilaku mereka. Goddard berpendat, bahwa lemah pikiran atau lemah jiwa merupakan suatu faktor bakat yang membawa kepada kejahatan, sebab orang-orang yang lemah pikiran tidak mampu memahami akibat-akibat dari perbuatannya, dan tidak sanggup memahami maksud dan makna dari undang-undang. Selain melakukan test terhadap penghuni penjara, Goddard juga melakukan tes terhadap murid sekolah. Hasil penelitiannya adalah, bahwa diantara murid-murid sekolah tidak ada yang berusia mental lebih dari 13 tahun. Berdasarkan itu Goddard menentukan, bahwa usia mental 12 (dengan IQ75) adalah batas teratas dari kelemahan pikiran. Jadi IQ 100 = normal, IQ 74 ke bawah = lemah pikiran.30 F. Pandangan Hukum Islam Dalam Menentukan Pertimbangan Perawatan Bagi Pelaku Tindak Pidana Yang Sedang Sakit Jiwa Hukum Islam merupakan tata aturan, yang memberi ketentuan hukum terhadap semua perbuatan manusia, dalam semua keadaannya, baik dalam urusan
30
Tolib Efendi, Dasar-Dasar KrimonologiIlmu Tentang Sebab-sebab Kejahatan, h. 98-99.
45
pribadinya sendiri atau dalam hubungannya dengan masyarakat dimana ia hidup. Pencakupan hukum Islam tersebut disebabkan karena agama Islam bukan hanya merupakan kepercayaan semata, tetapi juga merupakansuatu Negara dalam pengertian luas.31 Teori klasik mengatakan bahwa jiwa terdiri atas cairan yang sangat encer dan substansi cair yang lembut yang terserap oleh seluruh tubuh. Menurut teori ini, jiwa dianggap sebagai sebuah benda riil meskipun substansi udara dapat meluas dan menyempit. Jiwa dianggap telah ada sebelum adanya kelahiran dan konon terus ada setelah datangnya kematian badan dan boleh jadi Nampak seprti hantu yang berupa lembut. Bahkan selama tubuh hidup, hantu ini dianggap mampu untuk mencabutkan diri dari raga dan mengembara. Aristoteles mengatakan bahwa jiwa tidak hanya sinonim dengan kesadaran atau akal, melainkan juga dengan setiap jenis proses vital hidup-makan, gerak, perasaan dan pikiran. Jiwa dalam tubuh adalah seperti bentuk dari satu status yang ada pada substansi patung.Tetapi meskipun tersusun dari seperti dua benda, sebenarnya jiwa dan raga adalah satu. Plato menambahkan tentang kebakaan jiwa tetapi tidak memberi detail- detail yang jelas mengenai cara kebakaannya. Ia menggangap jiwa sebagai prinsip yang mengerakkan dirinya sendiri dan oleh karenanya juga dapat menggerakkan dirinya sendiri dan oleh karenanya juga dapat menggerakkan badan. Ia mengatakan bahwa sesudah kematian semua jiwa akan diadili, mereka yang hidup dengan baik akan dibawah ke pulau-pulau yang bahagia, sedangkan mereka yang hidup jahat akan menderita siksaan untuk selama-lamanya.32
31
Hamzah Hasan, Hudud Analisis Tindak Pidana Zina di Balik Perkawinan Legal (Cet.1; Alauddin Press: 2011), h.14. 32
AbiyahMedia Dialog Ilmu Keislaman Yang Berlatar Keadaban(Univesitas Islam Negeri Alauddin: 2014, Vo1. 14, no. 1), h. 33.
46
Al-Kindi mengatakan bahwa jiwa adalah jauhar basith (tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam dan lebar), substansinya berasal dari substansi Allah. Hubungan dengan Allah sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Argument tentang bedanya jiwa dengan badan, menurut al-kindi adalah jiwa menentang keinginan hawa nafsu. Menurut al-Farabi jiwa adalah jauhar rohani sebagai form bagi jasad. Kesatuan keduanya adalah merupakan kesatuan secara accident, artinya masing-masing keduanya substansi yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa binasa pada jiwa. Jiwa manusia disebut dengan al-Nafs al-Nathiqah, berasal dari alam ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam al-Khalq, berbentuk, berupa, berkadar dan bergerak. Bagi al-Farabi, jiwa manusia mempunyai daya-daya sebagai berikut:33 a) Daya al-Muḥarrikaṭ (gerak), daya ini mendorong untuk makan, memelihara dan berkembang. b) Daya al-Madrikah (mengetahui, mencapai), daya ini yang mendorong untuk merasa berimajinas c) Daya al-Nāṭiqah (berpikir), daya ini yang mendorong untuk berpikir secara teoritis dan praktis. Tentang bahagia dan sengsaranya jiwa, al-Farabi mengaitkan dengan filsafat negara utamanya. Bagi jiwa yang hidup pada Negara utama, yakni yang kenal dengan Allah dan melaksanakan perintah Allah, maka jiwa itu menurut al-Farabi, akan kembali kea lam nufus (alam kejiwaan) dan abadi dalam kebahagiannya. Jiwa yang hidup dalam negara Fasiqah, yakni jiwa yang dikenal dengan Allah, tetapi tidak melaksanakan segala perintah Allah, ia akan hidup pada Negara jahiliah, yakni jiwa yang tidak dikenal sama sekali dengan Allah dan tidak pula pernah melaksanakan
33
AbiyahMedia Dialog Ilmu Keislaman Yang Berlatar Keadaban, h. 34.
47
perintah Allah, ia lenyap bagaikan jiwa hewan. Ibnu Miskawaih (330H/941M), jiwa adalah jauhar rohani yang tidak hancur sebab dengan kematian jasad. Ia adalah kesatuan yang tidak terbagi-bagi. Ia akan hidup selalu, ia tidak bisa diraba dengan pancaindera karena ia bukan jisim dan bukan bagian jisim.Ibnu Sina (980M), Ia mengatakan kata jiwa dalam al-Qur’an dan hadis diistilahkan dengan al –Nafs atau al- Ruh sebagaimana terekam dalam surat shad: 71-72, al-Isra: 85 dan al-Fajr: 2730.34 Bagi umat Islam, sebenarnya apabila sudah melaksanakan seluruh syariat islam dengan sebaik-baiknya yang disebut dengan istilah ihsan dengan berlandaskan kepada iman dan taqwa, maka kondisi kesehatan jiwa masyarakat akan menjadi kenyataan yaitu terciptanya suatu masyarakat yang adil makmur dan sejahtera, berbahagia dunia dan akhirat. Insya Allah. Sesungguhnya akhlak karimah yang menjadi tujuan yang ingin dicapai didalam pembinaan masyarakat islam sebagaimana hadits Rasulullah yang mengatakan bahwa “Sesungguhnya aku hanyalah diutus demi menyempurakan akhlak yang mulia” maka ini sangat identik dengan kesehatan jiwa islami.35 Gangguan Jiwa Menurut Alqur’anKata jiwa berasal dari bahasa arab ()اﻟﻨﻔﺲ atau nafs’ yang secara harfiah bisa diterjemahkan sebagai diri atau secara lebih sederhana bisa diterjemahkan dengan jiwa.Diberbagai ayat dalam AlQur’an disebut istilah-istilah yang dapat dikatagorikan sebagai gangguan jiwa seperti Qalbu yang sakit
(maradhun),
majnuun,
maftuun
dan
jinnatuun
yang
ketiga-tiganya
diterjemahkan sebagai “gila”, nafs yang kotor disamping nafs yang suci. 34 35
Abiyah Media Dialog Ilmu Keislaman Yang Berlatar Keadaban, h. 35.
Nuryanti, Tafsir Gangguan Jiwa Dalam Al-Qur’an (Makalah oleh mahasiswa untuk mahasiswa, Pekanbaru, Senin 08 Juni 2015, h. 1-2.
48
QS Al-Isrāʹ/17: 82 yang berbunyi:
٨٢ َﺎرا ٗ ﻟﱢﻠۡ ﻤ ُۡﺆ ِﻣﻨِﯿﻦَ و ََﻻ ﯾَﺰِﯾ ُﺪ ٱﻟ ﱠٰﻈﻠِﻤِﯿﻦَ إ ﱠِﻻ َﺧﺴٞ َورَ ۡﺣﻤَﺔَٞوﻧُﻨَ ﱢﺰ ُل ﻣِﻦَ ٱﻟۡ ﻘ ُۡﺮءَا ِن ﻣَﺎ ھُﻮَ ِﺷﻔَﺎٓء Terjemahnya: Dan kami turunkan dari Al-Quran sebagai penawar dan rahmat bagi bagi orangorang yang beriman dan ia tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.36 Kata syifa biasa diartikan kesembuhan atau obat, dan digunakan juga dalam arti keterbebasan dari kekurangan, atau ketiadaan akal dalam memperoleh manfaat. 37 Istilah tahzan yang berarti bersedih hati juga disebut beberapa kali dalam berbagai ayat alqur’an. Disamping itu ada istilah yang merupakan sebagai sifat manusia yang dapat menjadi sumber kegelisahan atau kecemasan seperti manusia bersifat tergesa-gesa, berkeluh-kesah, melampaui batas, ingkar tidak mau bersyukur atau berterima kasih, serta banyak lagi istilah-istilah sebagai akhlak yang buruk.
36
Kementrian Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya (tJakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 396. 37
M. Quraish Shihab, TAFSIR Al-MISHBAH Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran (Cet. 1; Vol. 7, Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 532.
BAB III PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENENTUKAN PERAWATAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA YANG SEDANG SAKIT JIWA
A. Dasar Hukum Dalam Menentukan Pertimbangan Perawatan Bagi Pelaku Tindak Pidana Yang Sedang Sakit Jiwa Penegakan hukum yang bertanggungjawab (akuntabel) dapat diartikan sebagai suatu pelaksanaan penegakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, bangsa, Negara dan yang berkaitan terhadap adanya kepastian hukum dalam sistem hukum yang berlaku, juga berkaitan dengan kemanfaatan hukum dan keadilan bagi masyarakat. Proses penegakan hukum memang tidak dapat dipisahkan dengan sistem hukum itu sendiri. Semua orang mungkin sudah mengetahui atau paling tidak telah pernah mendengar bahwa ”setiap orang sama kedudukannya dihadapan hukum” (The all man are equal undur the law) akan tetapi berapa banyak orang yang telah memahami apa makna dan bagaimana implementasi hal tersebut dalam praktek kehidupan hukum Negara kita pada umumnya dan dunia peradilan pada khususnya.1 Kita ketahui bahwa, dalam hukum pidana positif ada terdapat hukum Penitentiair yang berlaku bagi mereka yang belum dewasa dan sudah dewasa. Di introdusir hukum pokok baru dalam KUHP, ialah hukuman tutupan, seperti dikemukakan oleh Undang-undang No.20 tahun1946 dan diperlakukan sejak tanggal 31 Oktober 1946. Dinyatakan dengan tegas, bahwa hukuman tutupan adalah
1
Ahkam Jayadi, Aspek Religius Penegak Hukum (Makassar: Alauddin University Press, 2012), h. 91.
49
50
hukuman pokok baru, sedangkan hukuman tersebut dapat dijatuhkan oleh hakim dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati.2 Dalam kerangka kebebasan Hakim untuk menentukan berat ringannya hukuman dimana ia dapat bergerak dalam batas-batas maxima hukuman ataupun untuk memilih jenis hukuman, maka dapat ditegaskan alasan tersebut, baik ia dijadikan landasan itu memberatkan hukuman ataupun untuk meringankannya, tidak merupakan arti yang essentieel lagi. Dalam maxima dan minima tersebut, Hakim Pidana bebas dalam mencari hukuman yang dijatuhkan terhadap terdakwa secara tepat. Mengenai hal ini kata Gunter Warda, ia harus memperhitungkan sifat dan seriusnya delik yang dilakukan keadaan yang meliputi perbuatan-perbuatan yang dihadapkan kepadanya. Ia harus melihat kepribadian dari pelaku perbuatan, dengan umurnya, tingkatan pendidikan, apakah ia pria atau wanita. Lingkungannya, sifatnya sebagai bangsa dan hal-hal lain. Oleh karena itupula, maka usul dariMulder, mengenai suatu daftar checking points, yang menunjuk pada point maksimal tentang perbuatan dan pelakunya dan tia-tiap kategori tindak pidana, misalnya, delik-delik harta benda, delik-delik susila dan lain-lain, yang kesemuanya itu harus diperhatikan dan diperhitungkan oleh hakim dalam menjatuhkan hukuman, patut dipertimbangkan3 Scholten mengemukakan pendapatnya bahwa hakim dalam melaksanakan fungsinya tidak saja membentuk hukum (rechtsvorming) tetapi juga mengetemukan hukum (rechtsvinding), maka setiap putusan hakim disebut vonis. Vonis merupakan kata yang menunjukkan hasil yang diperoleh, yaitu dari “de rechter heft het recht
2
Oemar Seno Adji, Hukum Hakim Pidana (Cet. 2; Jakarta Pusat: Erlangga, 1984), h. 6.
3
Oemar Seno Adji, Hukum Hakim Pidana, h. 8.
51
gevonden. Paham inilah yang sampai sekarang berkembang di Indonesia. 4 Keputusan hakim didapat dengan cara menafsirkan ketentuan-ketentuan yang berlaku, serta kemudian menentukan hukumnya, setelah itu barulah hakim menerapkan pasal-pasal yang dilanggar dengan dasar kebebasan yang ada padanya. Kebebasan hakim melaksanakan ketentuan hukum inilah yang merupakan seni dari merealisasikan hukum dan hukum dalam realisasinya.Sebabada faktor-faktor tertentu yang berperanan dalam hal ini, yaitu kekuasaan, hukum dan keadilan. Alasan-alasan yang menghapuskan atau membebaskan hukuman tersebut dalam ilmu hukum pidana disebut Stafuitsluitingsgronden, yakni meskipun perbuatan telah memenuhi semua unsur delik, sifat dapat dihukum lenyap karena terdapat alasan-alasan yang membebaskannya. Adakalanya sifat dapat dihukum itu lenyap karena alasan tertentu, tetapi sifat wederrchtelijk tetap ada. Misalnya pencurian antara suami istri. Si suami atau istri tidak dapat dihukum, tetapi orang yang membantu atau bersama-sama melakukan pencurian tetap sapat dihukum.Satochid Kartanegara memberikan pengertian tentang Stafuitsluitingsgronden, yaitu hal-hal atau keadaankeadaan yang dapat mengakibatkan orang yang telah melakukan sesuatu yang dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang (delik) tidak dapat dihukum. Tidak dapat dihukum dimaksud karena tidak dapat dipertanggungjawabkan. Berbicara tentang seseorang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, tentu tidak dapat terlepas dari seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan. Syarat-syarat sesorang dapat dpertanggungjawabkan menurut G.A van Hammel adalah sebagai berikut:
4
Soejono,Kejahatan dan Penegakan Hukum di Indonesia (Cet.1; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996), h. 41.
52
1. Jiwa orang harus sedemikian rupa sehinga ia mengerti atau menginsafi nilai dari perbatannya 2. Orang yang harus menginsafi bahwa perbuatannya menurut tata cara kemasyarakatan adalag dilarang 3. Orang harus dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatnnya. “Tidak dapat dihukum” juga penghapusan pidana. Dahulu pada saat pembentukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 1881, pembuat Undangundang dalam M.v.T. Mengutarakan dasar penghapusan pidana tersebut mengutarakan dasar penghapusan pidana tersebut yakni: 1) Semua
dasar
penghapusan
pidana
berhubungan
dengan
dapat
dipertanggung jawabkannya perbuatan itu pada si pelaku; 2) Semua dasar penghapusan pidana tersebut satu per satu dalam undangundang.5 Dalam hal ini, alasan si pelaku tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya itu terletak dirinya.Tentang “dapat dipertanggungjawabkan” tersebut dibedakan antara ontoerekeningsvatbaarheid dan ontoerekeningsbaarheid. Ontoereke ningsvatbaarheid adalah orang yang melakukan suatu perbuatan karena suatu hal tidak dapat dipertanggung jawabkan terhadap perbuatannya.Dalam hal ini, tidak dapat dipertanggungjawabkan, dihubungkan dengan “orangnya”. Doktrin menyebut dengan istilah sculduitsluitingsgronden. Misalnya pasal 44 ayat (1) KUHP. Perkembangan selanjutnya dari ilmu hukum pidana tentang dasar penghapusan pidana tidak lagi hanya dapat disebut dalam KUHP, tetapi telah ada beberapa dasar penghapusan
5
Ledeng Merpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana (Cet. 1; Jakarta: Sinar Grafika, 2005),
h. 50.
53
pidana yang tidak di atur dalam KUHP. Hal ini telah disebut Prof. Mr. J.M. Bemmelen, yakni:6 a. Hak mendidik dari orang tua dan sebagainya b. Hak jabatan dari dokter dan sebagainya c. Mewaikili urusan lain d. Tidak adanya melawan hukum materiil e. Tidak adanya kesalahan sama sekali f. Dasar penghapusan pidana putatif. B. Tata Cara Hakim Dalam Menentukan Pertimbangan Perawatan Dalam menentukan keadaan jiwa seseorang yang tidak sehat diperlukan keterangan dari seorang dokter ahli sakit jiwa. Kewajiban untuk menentukan keadaan jiwa yang tidak sehat melalui dokter ahli kedokteran jiwa tersebut pernah dituangkan dalam konsep rumusan RUU-KUHP tahun 1968, tetapi kemudian rumusan tersebut dihapuskan.7 Mengenai keterangan ahli baik secara tertulis atau lisan untuk kepentingan peradilan dahulu didasarkan pada pasal 306 HIR yang letaknya menyisip diantara ketentuan pasal-pasal tentang surat bukti, adapun kewajiban ahli atau dokter untuk membantu petugas hukum yang berwenang diatur dalam pasal 70 HIR. Sedangkan pasal-pasal HIR yang lainnya mengatur bantuan hukum ahliKeterangan dalam HIR tersebut sekarang sudah tidak berlaku secara formal, oleh karena itu ketentuan baru didalam Undang-Undang No.8 tahun 1991 tentang KUHP yang diharapkan untuk menjadi dasar bantuan ahli kedokteran jiwa. Peraturan bantuan ahli didalam KUHP 6 7
Ledeng Merpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, h. 51.
Bambang Poernomo, Operasi Pemberantasan Kejahatan dan Kemanfaatan ahli Kedokteran Jiwa (Cet.1; Yogyakarta: Bina Aksara, 1984), h. 24.
54
yang menyangkut peranan ahli kedokteran jiwa tidak begitu jelas pasal-pasalnya, karena ungkapan dan istilah yang tercantum…”ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya”… masih meragukan untuk ditafsirkan termasuk bantuan ahli kedokteran jiwa mengingat makna rumusan pasal dan susunan kronologis pasal yang bersangkutan dengan bantuan ahli tersebut. Dahulu menurut “Reglement Der Karazinningngenwezen tahun 1887” diatur mengenai cara-cara atau syarat-syarat untuk memasukkan penderita penyakit jiwa kerumah sakit jiwa, cara-cara meminta Psychiatry Attest, dan siaa saja yang berhak menerimanya serta keada siapa harus memintanya. Dan menurut Reglement hanya Jaksa atau Hakim (ketua) yang berhak mengirimkan seseorang yang tertuduh yang disangka terganggu jiwanya untuk di observasi di fasilitas Pscyhiatry. Hasil pemeriksaan kedokteran jiwa bagi seseorang yang menjadi obyek pemeriksaan atau keluarganya mempunyai nilai yang sangat pribadi untuk nama baik dan dapat menyangkut hak asasi manusia. Adakalanya norma hukum publik mengandung
aturan
yang
bersifat
perintah/keharusan
dengan
akibat
mengurangi/menghilangkan hak pribadi seseorang demi untuk penegakan hukum (paradoksal ”Rechtsguterschutz durch Rechtsguterverletzung”) yang mungkin sekali membebankan kewajiaban hukum yang menurut kelaziman tugas dokter ada pertentangan.
Oleh karena
itu perlu diperhatikan hubungan
antara
etika
kedokteranjiwa dengan tanggung jawab yuridis seseorang dokter jiwa agar terwujud keseimbangan.8
8
Bambang Poernomo, Operasi Pemberantasan Kejahatan dan Kemanfaatan Ahli Kedokteran Jiwa, h. 29.
55
Pada dasarnya pengadaan visum et repertum psychiatricum diuntukkan sebagai rangkaian hukum pembuktian tentang kualitas tersangka pada waktu melakukan perbuatan pidana dan penentuan kemampuan bertanggung jawab bagi tersangka.Kebutuhan bantuan kedokteran jiwa dalam kenyataannya berkembang bukan sebagai rangkaian hukum pembuktian, akan tetapi untuk kepentingan kesehatan tersangka dalam rangka penyelesaian proses pemeriksaan perkara pidana. Bantuan kesehatan jiwa bagi tersangka ini sangat diperlukan selain menyangkut perlindungan hak asasi manusia juga menghindari hal-hal yang tidak diinginkan bagi jiwa dan raga manusia.9 Sebagai salah satu pilar untuk menegakkan hukum dan keadilan, hakim mempunyai peranan sekaligus kedudukannya dijamin undang-undang. Dengan demikian, diharapkan tidak adanya campur tangan dari pihak manapun ketika para hakim sedang menangani perkara. Sebaliknya dilain sisi, begitu pula untuk para hakim dalam penanganan perkara hendaklah dapat bertindak arif dan bijaksana, ketangguhan mentalitas, menjunjung tinggi nilai keadilan, dan kebenaran materil, bersifat aktif dan dinamis, berlandaskan kepada hukum positif, melakukan penalaran logis sesuai dan selaras dengan teori dan raktek sehingga kesemuanya itu bermuara keada putusan yang dijatuhkan harus dapat dipertanggungjwabkan dari aspek ilmu hukum itu sendiri, hak asasi terdakwa, masyarakat dan Negara, diri sendiri, serta demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
9
Bambang Poernomo, Operasi Pemberantasan Kejahatan dan Kemanfaatan Ahli Kedokteran Jiwa, h. 30.
56
C. Hal-hal Yang Mempengaruhi Pertimbangan Hakim Hakim merupakan salah satu anggota dari Catur Wangsa Penegak Hukum di Indonesia.sebagai penegak hukum, hakim mempunyai tugas pokok dibidang judicial, yaitu menerima, memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dengan tugas seperti itu, maka dapat dikatakan bahwa hakim merupakan pelaksana inti yang secara fungsional melaksanakan kekuasaan kehakiman.Oleh karena itu, keberadaannya sangat penting dan determinan dalam menegakkan hukum dan keadilan melalui putusan-putusannya.10 Memang tidak mudah bagi Hakim untuk membuat putusan karena idealnya putusan harus memuat idée des recht, yang meliputi 3 unsur yaitu keadilan (Gerectigkeit),
kepastian
hukum
(Rechtsicherheit)
dan
kemanfaatan
(Zwechtmassigkeit). Ketiga unsur tersebut semestinya Hakim harus pertimbangkan dan terapkan secara proporsional, sehingga pada gilirannya dapat dihasilnya putusan yang berkualitas dan memenuhi harapan para pencari keadilan. 11 Salah satu tujuan hukum diantaranya sebagai sarana pengendalian sosial. Aktualisasi dari tujuan hukum ini dapat diciptakan oleh para hakim dengan putusan hukum. Putusan hukum yang maksimal akan memberikan dampak terhadap para pelaku kejahatan menjadi jera untuk melakukan kejahatan. Sebaliknya, apabila putusan ini kurang efektif dalam penjeraan pelaku kejahatan, maka tugas polisi tidak akan pernah berhenti mengatasi penjahat-penjahat kambuhan maupun penjahat pemula. Disinilah letak hubungan resiprositas antara hakim dan polisi melalui sarana
10
Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan (Cet.4; Yogyakarta: UUI Press, 2015), h. 6. 11
Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, h. 7.
57
hukum yang mempunyai efektivitas dalam pengendalian sosial dan secara tidak langsung dapat menjaga kewibawaan hukum.12 Mochtar Kusumaatmadja. mengemukakan bahwa, hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, bebas dari tangan masyarakat, eksekutif maupun legislatif. Dengan yang demikian, diharapkan hakim dapat mengambil keputusan berdasarkan hukum yang berlaku dan juga berdasarkan keyakinan yang seadil-adilnya serta memberikan manfaat bagi masyarakat. Dengan demikian makna hukum dan badanbadan pengadilan akan dapat berfungsi sebagai penggerak masyarakat dalam pembangunan hukum dan pembinaan tertib hukum.13 Seorang hakim dalam sistem kehidupan masyarakat dewasa ini berkedudukan sebagai penyelesaian setiap konflik yang timbul sepanjang konflik itu diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Melalui
hakim,
kehidupan
manusia
yang
bermasyarakat hendak dibangun di atas nilai-nilai kemanusian. Oleh sebab itu, dalam melakukan tugasnya seorang hakim tidak boleh berpihak kecuali kepada kebenaran dan keadilan, serta nilai-nilai kemanusian. Praktik peradilan pidana pada putusan hakim sebelum pertimbangan-pertimbangan yuridis dibuktikan, maka hakim terlebih dahulu akan menarik fakta-fakta dalam persidangan yang timbul dan merupakan konklusi komulatif dari keterangan para saksi, keterangan terdakwa, dan barang bukti yang diajukan dan diperiksa di persidangan.
Sistem yaang dianut di Indonesia,
pemeriksaan di sidang pengadilan yang dipimpin oleh hakim, hakim itu harus aktif bertanya dan memberi kesempatan kepada pihak terdakwa yang diwakili oleh
12
Siswanto Sunarso, Viktomologi Dalam Sistem Peradilan Pidana (Cet.1; Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 19. 13
Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, h. 8.
58
penasihat hukumnya untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula kepada penuntut umum.Semua itu dengan maksud menemukan kebenaran materiil. Hakimlah yang bertanggung jawab atas segala yang diputuskannya. Pihak pengadilan dalam rangka penegak hukum pidana, hakim dapat menjatuhkan pidana tidak boleh terlepas dari serangkaian politik kriminal dalam arti keseluruhannya, yaitu perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Pidana yang dijatuhkan oleh hakim mempunyai dua tujuan yaitu pertama untuk menakut-nakuti orang lain, agar supaya mereka tidak melakukan kejahatan, dan kedua untuk memberikan
pelajaran kepada si terhukum agar tidakmelakukan
kejahatan lagi.14 Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakkan Hukum, Penegak hukum sebagai suatu proses pada hakikatnya merupakan penerapan diksresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat oleh kaidah hukum, tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi. Bahwa penegakkan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun didalam kenyataan kecenderugannya demikian. Secara konsepsional, maka inti dalam arti penegakkan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang dijabarkan didalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Masalah pokok penegakkan hukum sebenarnya terletak pada faktorfaktor yang mempengaruhinya.
14
Adnan Alit Suprayogi, “Pertimbangan Hakim dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika”, Skripsi (Bandar Lampung: Fak. Hukum Universitas Lampung, 2016), h. 23.
59
Faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada sisi faktor-faktor tersebut, adalah sebagai berikut:15 1. Faktor hukumannya sendiri, yang di dalam tulisannya ini akan dibatasi pada Undang-undang saja 2. Faktor penegak Hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukuman 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakkan hukum 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum berlaku atau diterapkan 5. Faktor kebudayaan, sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup. Kelima faktor tersebut saling berkaitan erat, oleh karena itu merupakan esensi dari penegakkan hukum, juga merupakan tolak ukur dari pada efektivitas penegakkan hukum. Dasar pertimbangan hukum, Hakim melihat dan menjelaskan bahwasanya seorang yang melakukan tindak pidana atas motivasi kejiwaan mendapat keringanan hukuman atau penghapusan hukuman, karena ketidakmampuan bertanggungjawab. Ketidakmampuan bertanggungjawab (Ontoerekeningsvatbaarheid) Pasal 44 Kitab Undang-undang
Hukum
Pidana
menyatakan,
bahwa
orang
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan dalam dua hal, yaitu jiwanya cacat dalam pertumbuhan dan terganggu karena penyakit. Ketidakmampuan bertanggung jawab meniadakan kesalahan, dalam arti luas termasuk pemaaf.
15
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h. 5-8.
(Cet. 6;
60
Menurut Hazawinkel-Sulriga bahwa hakim dan penuntut umum karena jabatannya wajib memperhatikan, sekalipun terdakwa atau penasihat hukumnya tidak mengemukakannya. Jadi ketidakmampuan bertanggung jawab merupakan penyakit yang disebabkan gangguan kejiwaan, juga syarat adanya hubungan kausal antara penyakit jiwa dan perbuatan.16 Tentang bagaimana cara sebaiknya Majelis Hakim dalam menyelediki untuk memperoleh keyakinan yang obyektif, artinya sesuai antara keyakinan yang terbentuk dengan kebenaran materil tentang keadaan jiwa si pembuat itu, diserahkan pada masing-masing hakim. Apabila ada keraguan tentang keadaan jiwa si pembuat, sebagai ahli hukum POMPE mengatakan bahwa hakim tetap menjatuhkan pidana, alasannya karena hal kemampuan bertanggungjawab pidana, tetapi tidak mampu bertanggung jawab itu merupakan dasar peniadaan pidana. Menurut Pompe pertanggung jawaban pidana seseorang mempunyai unsurunsur sebagai berikut:17 1.
Kemampuan berpikir (psychisch) pembuat yang memungkinkan menguasai pikirannya, yang memungkinkan ia menentukan perbuatannya.
2.
Dan oleh sebab itu ia dapat memahami makna dan perbuatannya
3.
Dan oleh sebab itu pula ia dapat menentukan kehendaknya sesuai pendapatnya. Bahwa pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan oleh sesorang
adalah untuk menentukan kesalahan dari tindak pidana yang ia lakukan.
16 17
Zainal Abidin, Hukum Pidana Islam I (Cet ke-2; Jakarta: Sinar Grafika, 2007)
Shanti Destiyani, “Faktor Kejiwaan Sebagai Pendorong Pelaku Tindak Pidana dan Kaitannya dengan Penjatuhan vonis Pidana”, Skripsi (Jakarta: Fak. Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, 2011), h. 62.
61
Pertanggungjawaban dalam hukum pidana atau juga disebut criminal responsibility artinya: “Orang yang telah melakukan suatu tindak pidana disitu belum berarti ia harus dipidana, ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya yang telah dilakukan.”
Mempertanggungjawabkan
atas
suatu
perbuatan
berarti
untuk
menentukan pelaku salah atau tidak. Jadi samping orang telah melakukan tindak pidana masih diperlukan kesalahan padanya. Asas pertanggungjawaban pidana berbunyi: “Tiada pidana tanpa keesalahan” asas ini oleh masyarakat Indonesia dijunjung tinggi dan akan dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan jika ada orang tidak bersalah dijatuhi pidana.18 Dengan kata lain, orang dapat melakukan tindak pidana tanpa mempunyai kesalahan, tetapi sebaliknya orang tidak mungkin mempunyai kesalahan jika tidak melakukan perbuatan yang bersifat melawan hukum. Arti kesalahan, pertama-tama dasar kesalahan dicari hubungan batin orang yang melakukan perbuatan itu sendiri dengan perbuatan yang dilakukan. Oleh karena itu kesalahan merupakan suatu “pengertian psychologish” dengan demikian orang beranggapan bahwa kesalahan dalam hukum pidana adalah sama dengan kesengajaan dan kealpaan, yang berarti hubungan batin antara orang yang melakukan perbuatan dengan perbuatannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pelaku itu menentukan hal yang menyebabkan dirinya sendiri dengan memperhatikan tujuan yang telah ditetapkan yang akan menimbulkan akibat dari perbuatan yang dilakukan. Ada beberapa rumusan tindak pidana dimana “sengaja” dimasukkan dalam perbuatan, di sini kata “sengaja” dipandang sebagai suatu pengertian yang tidak
18
Suharto, Hukum Pidana Materiil (Cet.2; Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2002), h. 106.
62
berwarna,
sebab
perbuatan
sengaja
masih
belum
berarti
salah.
Untuk
adanyakesalahan dapat dipikirkan dua hal disamping melakukan tindak pidana. 19 a. Adanya keadaan psycisch (batin) b. Adanya hubungan yang tertentu antara keadaan batin tersebut dengan perbuatan yang dilakukan sehingga menimbulkan celaan. Sungguhpun antara yang pertama dan kedua ada hubungan yang erat, bahkan adanya yang pertama merupakan dasar bagi adanya yang kedua atau tergantung dari yang pertama. Disini yang pertama harus diajukan adalah bahwa didalam KUHP negara-negara lain ada ditentukan bahwa di bawah umur yang tertentu, misalnya 10 tahun, tidak dapat diajuka tuntutan pidana. Contoh KUHP Swiss 6 tahun-14 ada aturan tersendiri; jerman 14 tahun. Dalam KUHP anehnya ketentuan yang demikian tidak ada dalam Swb. Nederland dahulu 1885 ada pasal 38, yang menentukan bahwa anak-anak dibawah 10 tahun tidak dapat dikenai pidana. Tetapi pasal ini dalam tahun 1905 dihapus. Maksudnya ialah dengan demikian terhadap anak-anak dibawah 10 tahun dimungkinkan penuntutatan, tidak supaya dipidana, tetapi diadakan tindakan (maatregelen). Akibat daripada perbaikannya adalah sebagai berikut: Pertama, dengan hilangnya batas umur tersebut, tidaklah berarti bahwa anak-anak dibawah umur tersebut, sekalipun belum dapat membedakan antara perbuatan yang baik dengan yang buruk (zonder oordeel des ondersheid) harus dipidana. Sebab pertamanya Pasal 37 (44 KUHP) juga berlaku bagi anak-anak, sehingga terhadap anak-anak yang tidak dapat dipertanggungjawabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit harus dikecualikan dan pertanggungan
19
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana (Cet. 8; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2009), h. 171
63
jawab. Tetapi pasal tersebut tidak dapat digunakan atas dasar umur yang masih sangat muda. Kedua, terhadap anak-anak itu tentunya lebih cepat dianggap tidak ada kesengajaan/kealpaan daripada orang dewasa. Ketiga, kalau memang anak tersebut (belum cukup) mempunyai penginsafan tentang makna perbuatannya, maka atas dasar tidak dipidana jika tidak ada kesalahan dia dapat dikecualikan (van Hattum 34 dan seterusnya). Jadi, tidak dapat dipidananya anak demikian itu tidak didasarkan atas suatu pasal dalam wet, melainkan atas hukum yang tidak tertulis. Meskipun demikian, hemat saya lebih jelas kalua diadakan batas umur dalam KUHP. Mengenai masalah keadaan batin orang melakukan perbuatan sebagai hal yang kedua adalah apa yang dalam teori merupakan masalah kemampuan bertanggung jawab, (toerekeningsvarbaarheid). Ini adalah dasar yang penting untuk adanya kesalahan, sebab bagaimanapun juga, keadaan jiwa terdakwa harus demikian rupa hingga dapat dikatan sehat /normal. Hanya terhadap orang-orang yang keadaan jiwanya normal sajalah, dapat kita harapkan akan mengatur tingkah lakunya sesesuai dengan pola yang telah dianggap baik dalam masyarakat. Sebab kalau keadaan jiwanya normal, tentu fungsinya pun normal.Sebaliknya, kalau jiwanya tidak normal, fungsinya juga tidak baik, sehingga ukuran-ukuran yang berlaku dalam masyarakat tidak sesuai baginya. Bagi mereka tidak ada guna diadakan pertanggungjawaban. Mereka harus dirawat atau dididik dengan cara yang tepat, bahwa mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan.20
20
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, h. 173.
64
Tidak
dapat
dipertanggungjawabkan
karena
jiwa
cacat
dalam
pertumbuhannya, dan jiwa terganggu karena penyakit.21 Pasal 44 merumuskan: a. Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat pertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana. b. Jika ternyata perbuatan itu tidak daat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwa cacat, atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan kerumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan. c. Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri. Dari norma yang dirumuskan pada ayat (1) jelas ada dua penyebab tidak dipidananya berhubung dengan tidak mampunya bertanggung jawab. Di dalam MvT ada keterangan mengenai ketidakmampuan bertanggung jawab ialah: a) Apabila si pembuat tidak ada kebebasan untuk memilih antara berbuat dan tidak berbuat mengenai apa yang dilarang atau diperintahkan oleh Undangundang; dan b) Apabila si pembuat berada dalam suatu keadaan yang demikian rupa, sehingga dia tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan hukum dan tidak dapat menentukan akibat perbuatannya. Pasal 44 ayat (1) tidak merumuskan arti tidak mampu bertanggung jawab, melainkan sekedar menyebut tentang dua macam keadaan jiwa orang yang tidak
21
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2 Penafsiran Hukum Pidana Dasar Peniadaan, Pemberatan dan Peringanan Pidana Kejahatan AduanPerbarengan dan Ajaran Kausalitas(Cet. 1; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 20.
65
mampu bertanggung jawab terhadap perbuatan yang dilakukannya. Sedangkan bilamana keadaan orang yang mampu bertanggung jawab tidak dijelaskan. Berpikir sebaliknya dari ketentuan pasal 44 ayat (1), dapat disimpulkan bahwa orang mampu bertanggung jawab atas perbuatannya, ialah bilamana dalam berbuat itu tidak terdapat dua keadaan sebagaimana diterangkan dalam pasal 44 ayat (1) tersebut.Tentang mengapa UU merumuskan mengenai pertanggungan jawab itu secara negatif, artinya merumuskan tentang keadaan jiwa yang tidak mampu bertanggung jawab dan bukan mengenai mampu bertanggung jawab, tidak lepas dari sikap pembentuk UU yang menganggap bahwa setiap orang itu mampu bertanggung jawab. Dengan berpijak pada prinsip itu, dalam rangka mencapai keadilan dan vonis hakim, maka dalam hal kemampuan bertanggung jawab ini dirumuskan secara negatif, menentukan keadaan tertentu mengenai jiwa dipidana karena melakukan perbuatan.22 Dalam praktikum hukum, sepanjang si pembuat tidak memperlihatkan gejalagejala kejiwaan abnormal, maka keadaan jiwa tidak dipermasalahkan. Sebaliknya jika tampak gejala-gejala abnormal, maka gejala-gejala itu akan diselidiki apakah gejala yang tampak itu sungguh-sungguh benar dan merupakan alasan pemaaf sebagaimana dimaksud pasal 44 (1). Penyelidikan ini penting, dalam rangka mencapai keadilan dari suatu vonis hakim. Tidak patut dan oleh karenanya tidak adil mempidana si pembuat yang sebenarnya dia mengidap sesuatu kelainan jiwa sebagaimana yang dimaksud oleh pasal 44 (1) tersebut. Dengan kata lain keadaan jiwa disitu berlaku untuk segala macam bentuk perbuatan. Oleh karena itu sifatnya umum. Disamping itu ada pula keadaan jiwa yang orangnya tidak mampu bertanggungjawab atas perbuatannya yang sifatnya khusus artinya hanya berlaku untuk perbuatan tertentu
22
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, h. 21.
66
saja. Sedangkan pada perbuatannya yang lain ia tetap dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian keadaan jiwa yang tidak mamp bertanggungjawab yang sifatnya khusus itu, berkaitan erat dengan perbuatannya itu sendiri serta keadaan-keadaan obyektif dan subyektif tertentu ketika seseorang itu berbuat. Orang yang tidak mampu bertanggung jawab secara khusus ini, ialah:23 (a) Apabila keadaan jiwanya sedemikian yang tidak mampu bertanggungjawab untuk menentukan kehendaknya terhadap perbuatan apa yang dia lakukan. (b) Apabila keadaan jiwanya sedemikian rupa sehingga ia tidak mengerti, tidak menginsyafi atas suatu perbuatan yang dilakukannya itu sebagai perbuatan yang tercela. Pompe mengatakan bahwa jiwa cacat dalam pertumbuhannya dan terganggu jiwa karena penyakit adalah bukan pengertian dari sudut kedokteran, tetapi pengertian hukum. Jonkers menyetujui pendapat ini, karena yang pokok disini bukan sematamata pada keadaan jiwa si pembuat, tetapi tentang bagaimana hubungan jiwa si pembuat itu dengan perbuatan yang dilakukan. Apakah ada hubungan yang sedemikian rupa eratnya, sehingga si pembuat tidak mampu bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya. Untuk menetapkan ada atau tidaknya hubungan keadaan jiwa dengan perbuatannya itu adalah wewenang hakim, dan bukan ahli jiwa. Keterangan ahli oleh dokter ahli jiwa (psychiater) di sidang Pengadilan tentang keadaan jiwa si pembuat tidaklah wajib diikuti oleh Majelis Hakim. Dengan berbagai pertimbangan terhadap fakta-fakta yang ada dan terungkap dipersidangan baik mengenai orang itu sendiri maupun perbuatnnya beserta hal-hal lain sekitar perbuatan. Majelis Hakim berhak berhak menggunakan pendapatnya sendiri tanpa
23
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, h. 22.
67
memakai ahli oleh seorang ahli jiwa dalam memutus tentang ada tidaknya kecacatan jiwa dan penyakit jiwa yang menggangu akalnya. Akan tetapi oleh adanya alasan bahwa hakim pada umumnya bukan ahli dibidang kejiwaan, maka sewajarnya pendapat ahli jiwa itu dipertimbangkan untuk memperkuat pendapatnya atau menjadi dasar pendapatnya. Ada tiga cara yang dapat digunakan dalam rangka menyelidiki keadaan jiwa si pembuat untuk menentukan apakah si pembuat berada dalam keadaan tidak mampu bertanggung jawab, yaitu:24 Pertama,dengan metode biologis, artinya dengan menyelidiki gejala-gejala atau keadaan yang abnormal yang kemudian dihubungkan dengan ketidakmampuan bertanggung jawab. Kedua, dengan metode psychologis dengan menyelidiki ciri-ciri psychologis itu dinilai untuk menarik kesimpulan apakah orang itu mampu bertanggung jawab atau tidak. Ketiga, dengan metode gabungan ialah kedua cara tersebut diatas digunakan secara bersama-sama. Disamping menyelidiki tentang gejala-gejala abnormal juga dengan meneliti ciri-ciri psychologis orang itu, untuk menarik kesimpulan apakah dia mampu bertanggung jawab atau tidak. Tentang bagaimana cara sebaiknya bagi Majelis Hakim dalam menyelidiki untuk memperoleh keyakinan yang obyektif, artinya sesuainya antara keyakinan yang berbentuk dengan kebenaran materiil (sesungguhnya) tentang keadaan jiwa si pembuat itu, diserahkan pada masing- masing Hakim. Apabila terdapat keraguankeraguan tentang keadaan jiwa si pembuat, sebagian ahli hukum misalnya JONKERS berpendapat bahwa Hakim tidak diperkenakan menjatuhkan pidana.
24
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, h. 24.
68
Tetapi ada juga yang berpendapat lain, misalnya POMPE, hakim tetap menjatuhkan pidana alasan karena hal kemampuan bertanggung jawab pidana bukanlah merupakan bagian inti (bestanddeel) dari tindak pidana, tetapi tidak mampu bertanggung jawab itu merupakan dasar peniadaan pidana. Penulis lebih condong pada pendapat Jonkers, oleh karena apabila ada ada keraguan-keraguan mengenai beberapa hal yang menyangkut kesalahan terdakwa, maka keadaan keraguan itu harus menguntungkan terdakwa, dan tidak boleh tidak boleh merugikan terdakwa. Hal ini bersesuaian dengan hukum acara pidana. Dalam hukum acara pidana, pembuktian oleh Jaksa Penuntut Umum disidang Pengadilan diarahkan, selain pada unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan juga untuk membentuk keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa. Atas keyakinan yang dibentuk berdasarkan alat bukti (dalam pasal 183 KUHP sekurang-kurangnya dua alat bukti) barulah pidana dijatuhkan. Pidana dijatuhkan atas dasar minimal dua alat bukti dan keyakinan tentang kesalahan terdakwa, jadi jika ragu-ragu, yang artinya tidak terbentuk keyakinan dari bukti-bukti yang ada, maka Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana. Ketentuan ini merupakan asas minimal pembuktian, yang tidak boleh dilanggar oleh Hakim. Asas ini merupakan ciri dari system pembuktian dalam hukum acara pidana kita menganut teori negatif, yang juga terdapat pada hukum acara pidana yang lama HIR pada pasal 294 ayat (1). Ini menyatakan bahwa”tiada seorangpun dikenakan hukuman, kecuali jika hakim dengan alat-alat bukti yang sah mendapatkan keyakinan, bahwa suatu tindak pidana sunguh sudah dilakukan, dan bahwa tertuduhlah yang bersalah tentang hal itu”.25
25
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, h. 25.
69
Jiwanya cacat dalam pertumbuhannya adalah suatu cacat jiwa (abnormal) yang melekat pada seseorang sejal kelahirannya, misalnya ambiciil, idiot, bisu tuli sejak lahir dan lain sebagainya. Sedangkan pada terganggu jiwanya karena penyakit, keadaan jiwa yang abnormal itu dideritannya bukan sejak lahir, melainkan setelah lahir, misalnya gila, epelipsie. Gangguan jiwa ini baik fisik maupun psikis, missal dalam Arrest Hoge Raad menyatakan tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam kecelakaan mobil Karena serangan diabetes mendadak atau Karen akibat terlambat dari obat tidur yang tidak terduga. Orang dalam dibawah pengaruh hypnose dan dalam keadaan mabuk tidur atau tidur sambal berjalan termasuk pula tidak dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya dan karenanya tidak dapat dipidana. Bagaimana orang dalam keadaan mabuk karena minuman keras, JONKERS mengatakan bahwa apabila dalam keadaan mabuk itu sedemikian rupa, dan ia kehilangan kesadaran sama sekali, sehingga tidak memiliki kesengajaan maupun kelalaian, maka ia tidak dapat dipertanggungjawabkan dan karenanya tidak dapat dipidana. Akan tetapi semula dengan sengaja membuat dirinya menjadi keadaan mabuk dengan maksud melakukan tindak pidana, maka tidak masuk dalam pengertian tidak mampu bertanggung jawab, Karen disni ada kesengajaan berbuat mabuk untuk melakukan tindak pidana. Dalam hal terdapatnya keadaan jiwa yang cacat dalam pertumbuhannya atau keadaan jiwa yang terganggu karena penyakit, Hakim dapat memutus dengan menjatuhkan tindakan (maatregel) dengan memerintahkan si pembuat untuk di masukkan kedalam Rumah Sakit Jiwa paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan, sebagaimana ketentuan pasal 44 ayat (2). Tindakan bukanlah suatu pidana walaupun dapat dirasakan sebagai pengekangan kebebasan bergerak seperti pada
70
pidana
penjara
atau
pidana
kurungan.Pembolehan
menjatuhkan
tindakan
dimaksudkan selain untuk menolong kesembuhannya juga didalamnya ada sifat preventif atas kemungkinan bahaya-bahaya yang ditimbulkannya terhadap terhadap masyarakat.26 Berdasarkan
ketentuan
tersebut,
hal
ini
memiliki
kelemahan
dan
penerapannya. Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum pidana ini melahirkan dua perbedaan didunia akar hukum Indonesia, bahwa pasal ini ditujukan kepada orang yang tidak mampu bertanggungjawab dan dalam kondisi yang sakit dalam kondisi yang sakit secara kejiwaan atau tidak sempurna akalnya, sehingga menurut mereka “kelainan jiwa” pun termasuk didalamnya, sehingga alasan peniadaan pidana pun layak untuk dijatuhkan terhadap mereka. Konsekuensi logisnya yaitu lepas dari segala tuntutan jika memang tersangka berada dalam kondisi yang diurai diatas, serta pasal ini kurang jelas dalam memberikan uraian mengenai batasan kemampuan bertanggungjawab sesorang. Prakteknya didalam proses penyedikan seringkali ditemukan fakta bahwa tersangka masih dalam keadaan normal dan prima secara fisik, namun secara mental dan kejiwaan bermasalah, sehingga pelaku melakukan kejahatan. Inilah yang dimaksud dengan kelainan jiwa jelasnya dalam tahap pemikiran ini gangguan jiwa ini terbagi menjadi “sakit jiwa” dan “kelainan jiwa”. Seseorang yang diserang penyakit jiwa (psychose), kepribadiannya terganggu, dan selanjutnya menyebabkan kurang mampu menyesuaikan diri dengan wajar, dan tidak sanggup memahami problemnya. Seringkali orang yang sakit jiwa, tidak merasa bahwa ia
26
Adami Chawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, h. 27.
71
sakit, sebaliknya ia menganggap dirinya norma saja, bahkan lebih baik, lebih unggul dan lebih penting dari lain. Sakit jiwa itu ada dua macam, yaitu:27 Pertama, yang disebabkan oleh adanya kerusakan pada anggota tubuh, misalnya otak, sentral saraf, atau hilangnya kemampuan berbagai kelenjar, saraf-saraf atau anggota fisik lainnya untuk menjalankan tugasnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena itu keracunan akibat minuman keras, obat-obat perangsang atau narkotika, akibat penyakit kotor dan sebagainya. Kedua, disebabkan oleh gangguan-gangguan jiwa yang telah berlarut-larut sehingga mencapai puncaknya tanpa suatu penyelesaian secara wajar. Atau dengan kata lain perkataan disebabkan hilangnya keseimbangan mental secara menyeluruh, akibat suasana lingkungan yang sangat menekan, ketegangan batin, dan sebagainya. Berdasarkan hal tersebut diatas, kelainan jiwa tergolong menjadi sebuah kondisi dimana orang mengalaminya harus dilepas dari segala tuntutan hukum jika memang terbukti adanya kelainan jiwa dalam diri tersangka, dengan kata lain pendapat ini tidak membedakan antara “sakit” dan “kelainan jiwa”. Dalam hal ini perlu diperhatikan kemantapan kemampuan pembuktian hasil pemeriksaan klinis.Tidak banyak pemeriksaan klinis yang dapat memberikan hasil pembuktian penuh, seorang ahli dalam kasus kasus psikiatri sering suatu gejala ada suatu saat ditemukan yang pasti, tetapi dilain saat gejala tersebut dalam periksaan klinis tidak ditemukan. Dapat disimpulkan, walaupun terdapat fakta-fakta dalam pemeriksaan klinis, tidak dapat diingkari bahwa interprestasi dan pemeriksa masih mempengaruhi kesaksian ahli. Walaupun hukum di Pengadilan menuntut secara langsung terhadap suatu pembuktian, tuntutan ini dapat dipenuhi oleh ilmu
27
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental (Cet. 16; Jakarta: PT. Inti Idayu Press, 1990), h. 56.
72
kedokteran
yang memberikan peluang terhadap kemungkinan-kemungkinan,
sehingga tidak dapat memberikan jawaban yang pasti yang bersifat menghakimi atau memastikan suatu putusan. Pertimbangan hakim yang lain, adalah apabila terdapat keadaan yang istimewa yang menyebabkan terdakwa tidak bisa dihukum yaitu adanya alasan pembenar dan pemaaf. Adapun tidak dipidananya si pembuat karena alasan pemaaf (fait d’excuse), ialah bahwa perbuatannya itu walaupun terbukti melanggar UU, yang artinya ialah pada perbuatannya itu tetap bersifat melawan hukum, namun berhubung hilang atau hapusnya kesalahan pada diri si pembuat, maka perbuatannya itu tidak dapat
dipertanggung
jawabkan
(ontoerekeningsvatbaarheid)
kepadanya
dia
dimaafkan atas perbuatannya itu. Contohnya orang gila memukul orang lain sampai luka berat. Berlainan dengan alasan pembenar. tidak dipidananya si pembuat atas dasar pembenar, karena perbuatan tersebut kehilangan sifat melawan hukumnya perbuatannya. Walaupun dalam kenyataannya perbuatan si pembuat telah memenuhi unsur tindak pidana, tetapi karena hapusnya sifat melawan hukum pada perbuatan itu, maka si perbuatannya tidak dapat dipidana. Contohnya si petinju yang bertanding diatas ring memukul lawannya hingga luka-luka, bahkan hingga mati.28
28
Adami Chawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, h. 19.
BAB IV ANALISIS KOMPARATIF ANTARA HUKUM PIDANA ISLAM DENGAN HUKUM PIDANA NASIONAL TENTANG PELAKU TINDAK PIDANA YANG SEDANG SAKIT JIWA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Dasar Hukum Pidana Islam Tentang Pelaku Tindak Pidana Yang Sakit Jiwa Gangguan jiwa merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan utama dinegara-negara maju, modern dan industri. Meskipun gangguan jiwa tersebut tidak dianggap sebagai gangguan yang menyebabkan kematian secara langsung, namun beratnya gangguan tersebut dalam arti ketidakmampuan serta invaliditas baik secara individu maupun kelompok akan menghambat pembangunan, karena mereka tidak produktif dan tidak efisien.1 Menurut paham kesehatan jiwa seseorang dikatakan sakit apabila ia tidak mampu
berfungsi
secara
wajar
dalam
kehidupan
sehari-hari,
dirumah,
disekolah/dikampus, ditempat kerja dan dilingkungan sosial lainnya. Seseorang yang mengalami gangguan jiwa akan mengalami ketidakmampuan berfungsi secara optimal dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu faktor yang menyebabkan seseorang yang mengalami gangguan jiwa adalah adanya stresor psikososial. Stresor Psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan sesorang anak, remaja atau dewasa sehingga orang itu terpaksa mengadakan adaptasi (penyusuaian diri) untuk menanggulangi stresor (tekanan) yang timbul. Namun tidak semua orang mampu mengadakan adaptasi dan mampu
1
Dadang Hawari, Al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa (Cet. XI; Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2004), h. 560.
73
74
menanggulanginya, sehingga timbullah keluhan-keluhan di bidang kejiwaan berupa gangguan jiwa dari yang ringan hingga yang berat. Data statistik yang dikemukakan oleh WHO menyebutkan bahwa setiap saat 1% dari penduduk dunia berada dalam keadaan membutuhkan pertolongan serta pengobatan untuk suatu gangguan jiwa. Sementara itu 10% dari penduduk memerlukan pertolongan kedokteran jiwa pada suatu waktu dalam hidupnya. 2 Salah satu bentuk gangguan jiwa yang terdapat diseluruh dunia adalah gangguan jiwa Skizofrenia. Skzofrenia berasal dari dua kata “Skizo” yang artinyaretak atau pecah (split), dan “frenia” yang artinya jiwa. Dengan demikian seseorang yang menderita gangguan jiwa Skizofrenia adalah orang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan pribadi (spliting of personality). Secara umum gangguan jiwa dibagi dalam dua golongan besar yaitu Psikosa dan Non-Psikosa. Golongan psikosa ditandai dengan dua gejala utama yaitu tidak adanya pemahaman diri dan ketidakmampuan menilai realitas. Sedangkan golongan Non Psikosa kedua gejala utama tersebut masih baik.
Golongan psikosa itu dibagi dalam dua sub
golongan, yaitu Psikosa Fungsional dan Psikosa Organik. Yang dimaksud dengan psikosa fungsional adalah gangguan jiwa yang disebabkan karena terganggunya fungsi sistem transmisi sinyal penghantar saraf (neurotranmitter) sel-sel saraf dalam susunan saraf pusat (otak), tidak terdapat kelainan struktural pada sel-sel saraf otak tersebut. Sedangkan Psikosa Organik adalah gangguan jiwa yang disebabkan karena adanya kelainan pada struktur susunan saraf otak yang disebabkan misalnya terdapatnya tumor di otak, kelainan pembuluh darah di otak, infeksi di otak dll.
2
Dadang Hawari, Al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, h. 561.
75
1. Pertanggungjawaban Pidana orang sakit Jiwa dalam Hukum Pidana Islam Dalam hal ini islam mempunyai beberapa kaidah pokok, pertama kaidah yang menyatakan bahwa “tidak dianggap sebagai suatu tidak pidana bagi orang yang melakukan perbuatan atau meninggalkan perbuatan selama tidak ada nash dengan jelas. Oleh sebab itu tidaklah dapat dipertanggungjawabkan orang yang melakukan perbuatan tadi. Terdapat berapa persyaratan bagi seseorang untuk dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu, diantaranya adalah: a. Hendaknya orang itu mampu memahami dalil taklifi. Ia harus mampu memahami nash syari’at yang menunjukkan hukum karena orang yang tidak dapat memahami hukumtidaklah mungkin dapat mentaati apa yang dibebankan terhadapnya itu. b. Hendaknya orang itu dapa dipertanggung jawabkan perbuatannya dan dapat dikenakan hukuman atasnya. 1. Unsur-unsur Tindak Pidana Perintah dan larangan merupakan beban syari”at. Karena itu taklifi hanya dibebankan kepada setiap orang yang berakal sehat dan memahami taklifi. Taklifi adalah panggilan atau suatu yang yang dikemukakan (khiṭāb). Berkomunikasi dengan orang yang tidak berakal dan tidak mampu memahami seperti berkomunikasi dengan benda matidan binatang, adalah suatu hal yang mustahil. Orang mampu memahami panggilan (aṣl khiṭāb) tetapi tidak memahami perinciannya, apakah itu ada larangan atau perintah, mendatangkan pahala atau hukuman, maka orang tersebut seperti orang gila dan anak-anak yang belum mumayyiiz (belum dapat membedakan hal-hal apa saja yang baik dan buruk) ini sama saja dengan benda mati dan bintang yang tidak mampu memahami aṣl khiṭāb. Karena itu mereka tidak layak diberi taklifi
76
sebagaimana tidak bisa memahami pokok pembicaraan, meski juga tidak memahami kelanjutannya. Setiap tindak pidana mempunyai unsur-unsur umum yang harus dipenuhi ini ada tiga, yaitu sebagai berikut: a. Harus ada nas yang melarangperbuatan tindak pidana dan mengancamkan hukuman terhadapnya. b. Melakukan perbuatan yang membentuk tindak pidana, bak perbuatan maupun sikap tidak berbuat. c. Pelaku harus orang yang mukallaf, artinya dia bertanggung jawab atas tindak pidana 2. Tingkatan-tingkatan Pertanggungjawaban Pidana Dapat dilihat bahwa pertanggungjawaban pidana tergantung pada adanya pelanggaran dan perbuatan melawan hukum. Maka dari itu, sangat wajar jika tingkatan
pertanggungjawaban
pidana
dapat
bertingkat
menurut
tingkatan
perlawanannya terhadap hukum. Tingkat perlawanannya dapat diklasifikasikan sebagai berikut:3 a. Disengaja, Arti umum “disengaja” adalah si pelaku berniat melakukan suatu perbuatan yaang dilarang tersebut b. Menyerupai disengaja c. Hukum Islam tidak mengenal “mirip disengaja” kecuali pada kasus pembunuhan dan tindak pidana penganiayaan fisik yang tidak sampai menyebabkan kematian seperti memukul, melukai, dan memotong anggota tubuh.
3
Abdul Qadir Audah, At-Tasyrī’ al-Jinā’i al-Islāmiy Muqāraan bil Qānūll Waḍ´iy, Jilid II (Bogor: PT. Kharisma Ilmu), h. 79.
77
d. Tersalah (Tidak Disengaja), misalnya seseorang hendak menembak yang diyakini prajurit musuh karena orang itu berada dalam barisan dan mengenakan pakaian mereka, ternyata orang itu adalah prajurit pasukannya sendiri. e. Yang Dianggap Tersalah Dalam konteks ini volume pembunuhan tersalah lebih besar daripada pembunuhan yang dianggap tersalah karena pelaku pembunnuhan tersalah melakukan perbuatan dengan sengaja sehingga menimbulkan akibat yang dilarang karena kelalaian dan ketidak hati-hatiannya. Adapun pada kasus yang dianggap tersalah si pelaku tidak sengaja melakukan perbuatan itu namun perbuatan itu terjadi akibat kesalahan dan disebabkan olehnya. 3. Hal-hal Yang mempengaruhi Pertanggungjawaban Pidana Dalam hukum pidana terdapat hal-hal yang dapat mempengaruhi seseorang dalam pertanggungjawaban pidana yaitu sebagai berikut:4 a. Pengaruh tidak tahu terhadap pertanggungjawaban pidana Salah satu aturan pokok dalam hukum Islam bahwa pelaku tindak pidana tidak dihukum k arena melakukan suatu perbuatan yang dilarang kecuali bila ia benar-benar mengetahui pelanggaran perbuatan tersebut. Jika tidak mengetahui pelanggarannya pertanggungjawaban pidana terhapus darinya. b. Pengaruh tersalah terhadap pertanggungjawaban pidana Tersalah adalah terjadinya suatu hal bukan atas kehendak pelaku. Pelaku tidak pidana tersalah tidak melakukan perbuatannya dengan sengaja dan tidak menghendakinya
4
Abdul Qadir Audah, At-Tasyrī’ al-Jinā’i al-Islāmiy Muqāraan bil Qānūll Waḍ´iy, h. 100.
78
c. Pengaruh lupa terhadap pertanggungjawaban pidana Lupa adalah tidak tersiapnyasesuatu pada saat dibutuhkan. Dalam hukum Islam, lupa dihubungkan dengan tersalah, seperti firman Allah Swt QS AlBaqarah/2: 286 berbunyi:
َرﺑﱠﻨَﺎ َﻻ ﺗُﺆَا ِﺧﺬۡ ﻧَﺎٓ إِن ﻧﱠﺴِﯿﻨَﺎٓ أ َۡو أ َۡﺧﻄَ ۡﺄﻧَ ۚﺎ Terjemahnya: Ya Allah Tuhan kami, janganlah engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan.5 Para fuqaha berbeda pendapat mengenai lupa. Sebagian berpendapat bahwa lupa merupakan unsur yang umum dalam ibadah dan ´uqubāt (hukuman-hukuman tindak pidana). Kaidah umum Islam menetapkan bahwa orang yang melakukan perbuatan yang dilarang karena lupa maka tidak ada dosa dan hukum diatasnya. d. Pengaruh rela atas tindak pidana terhadap pertanggungjawaban pidana Pada dasarnya telah ditetapkan dalam hukum Islam bahwa kerelaan dan persetujuan korban atas pidana yang menimpanya (rela menjadi pbyek pidana) tidak
membuat
pidana
tersebut
boleh
dan
tidak
mempengaruhi
pertanggungjawaban pidana kecuali bila kerelaan dan persetujuan tersebut menghapuskan salah satu unsur asasi tindak pidana 4. Hapusnya pertanggungjawaban pidana Pertanggungjawaban pidana dapat terhapus karena hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan atau karena hal-hal yang berkaitan dengan keadaan pelaku. Keadaan yang pertama perbuatan yang dilakukan adalah mubah (tidak dilarang),
5
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 59.
79
sedangkan dalam kondisi yang kedua perbuatan yang dilakukan tetap dilarang, tetapi pelakunya tidak dijatuhi hukuman.6 Syariat Islam memandang seseorang sebagai orang mukallaf yang dapat dibebani pertanggungjawaban pidana, apabila ia memiliki kemampuan berpikir dan memilih (idrak dan ikhtiar). Apabila salah satu dari kedua perkara ini tidak ada maka pertanggungjawaban
menjadi
terhapus.
Sebab-sebab
terhapusnya
pertanggungjawaban pidana adalah:7 a. Mabuk b. Paksaan c. Dibawah umur, secaara alamiah terdapat tiga masa yang dialami oleh setiap orang sejak ia dilahirkan sampai ia dewasa, yaitu: a) Masa tidak adanya kemampuan berfikir (idrak) b) Masa kemampuan berfikir yang lemah c) Masa kemaampuan berfikir yang penuh d. Gila, yaitu sebuah jenis penyakit kejiwaan yang sifatnya menghilangkan idrak (kemampuan berfikir). Gila dapat terjadi karena akibat suatu keadaan tertentu atau sejak dilahirkan. Pengaruh gila terhadap pertanggungjawaban pidana tidak sama. Tergantung apakah gilanya itu menyertai Jarīmah atau sesudahnya. Maka dalam hukum Pidana Islam dibagi menjadi dua aspek untuk menentukan hukum gila, yaitu: a) Hukum gila yang menyertai Jarīmah
6
Hamzah Hasan, Hukum Pidana Islam I (Cet. 1; Alauddin University Press: 2014), h. 179.
7
Abdul Qadir Audah, At-Tasyrī’ al-Jinā’i al-Islāmiy Muqāraan bil Qānūll Waḍ´iy, h. 472.
80
Apabila gila menyertai perbuatan Jarīmah, maka pelakunya dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana karena pada saat melakukan jarīmah ia tidak mempunyai kekuatan berfikir. Keadaan gila ini tidak menjadikan suatu jarīmah dibolehkan, melainkan hanya menghapuskan hukuman dari pelakunya.8Akan tetapi pembebasan orang gila dari hukuman, tidak berarti ia dibebaskan juga dari pertanggungjawaban perdata, sebab harta benda dan jiwa orang lain dijamin keselamatanya oleh syara’ dan alasan-alasan yang sah tidak dapat menghilangkan jaminan tersebut. Sebagaimana orang gila
masih
memilki
harta
benda,
ia
juga
dapat
dibebani
pertanggungjawaban perdata yaitu pertanggungjawaban yang berkaitan dengan harta.9 b) Hukum gila yang datang kemudian Gila yang timbul setelah dilakukannya jarīmah adakalanya sebelum ada putusan hakim dan adakalanya sesudahnya Kata pidana dalam hukum Islam disepadankan dengan jināyaṯ (Jarīmah). Sedangkan kata Jināyaṯ berasal dari bahasa Arab (memetik) memperoleh buah dari pohonnya. Pengertian yang dimaksud adalah bahwa seseorang akan memetik dan memperoleh imbalan atau ganjaran dari hasil perbuatan seseorang. Dalam syariat Islam Jināyaṯ bermakna segala tindakan yang dilarang oleh syariat untuk melakukannya. Perbuatan yang dilarang adalah setiap perbuatan yang dilarang syariat
8
Rahman Hakim, Hukum Pidana Islam Fiqh Jinayah, h. 129.
9
Abdul Qadir Audah, At-Tasyrī’ al-Jinā’i al-Islāmiy Muqāraan bil Qānūll Waḍ´iy, h. 383
81
dan harus dihindari. Oleh karena ia akan menimbulkan bahaya terhadap agama, jiwa, akal, harga diri dan harta benda.10 Hukum Islam mencegah kerusakan dari dunia manusia dan mendatangkan kemaslahatan kepada mereka, mengendalikan dunia dengan kebenaran, keadilan dan kebajikan serta menerangkan tanda-tanda jalan yang harus dilalui daihadapan akal manusia.Tujuan Hukum Islam dilihat dari segi pembuat hukum ada tiga.Terutama tujuan hukum taklifi, yaitu hukum yang berupa keharusan melakukan, memilih antara melakukan atau tidak melakukannya, dan hukum melakukan atau tidak melakukan perbuatan karena ada atau tidak adanya sesuatu yang mengharuskan keberadaan hukum tersebut.11 Secara teoritis, bahwa ajaran Islam itu untuk seluruh dunia.Akan tetapi secara praktis sesuai dengan kenyataan-kenyataan yang ada, tidaklah demikian. Para ulama membagi negara ini menjadi tiga klasifikasi: a. Negara-negara Islam b. Negara non-muslim c. Negara-negara yang mengadakan perjanjian damai dengan negara Islam. Ada tiga teori yang berkenaan dengan hal ini; pertama teori yang dikemukakan oleh imam Abu Hanifah yang menyatakan bahwa aturan pidana Islam itu hanya berlaku secara penuh dalam wilayah-wilayah negeri muslim. Untuk wilayah luar negeri aturan itu tidak berlaku, kecuali untuk kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan hak perseorangan (haqq al-adamiy), teori ini mirip dengan teori teritorial.
10
Kurniati, Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Hukum Pidana Islam Suatu Analisis Komparatif antara HAM dalam Islam dengan HAM Konsep Barat (Cet 1, Alauddin University Press: 2011), h.79. 11
Kurniati, Hak Asasi Manusia, h. 58.
82
Kedua, menurut Imam Abu Yusuf sekalipun diluar wilayah negara non muslim aturan itu tidak berlaku. Akan tetapi menurutnya setiap yang dilarang tetap haram dilakukan, sekalipun tidak dapat dijatuhi hukuman.Teori ini mirip dengan teori nasionalitas. Ketiga, teori yang dikemukakan oleh Imam Malik, Syafi’I dan Ahmad aturan-aturan pidana Islam tidak terikat oleh wilayah melainkan terikat oleh subyek Hukum. Jadi seseorang muslim tidak boleh melakukan hal-hal yang dilarang dana tau meninggalkan
hal-hal
yang
diwajibkan.
Teori
ini
mirip
dengan
teori
internasionalitas.12 Pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana Islam ialah pembebanan seseorang dengan akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan yang dikerjakan dengan kemauan sendiri, dimana orang tersebut mengetahui maksud dan akibat dari perbuatannya itu.13 Pertanggungjawaban pidana ditegaskan dalam tiga hal, yaitu: 1. Adanya perbuatan yang dilarang 2. Dikerjakan dengan kemauan sendiri 3. Pelakunya mengetahui akibat perbuatan tersebut Apabila terdapat pertanggungjawaban
tiga
pidana,
keadaan apabila
tersebut
tidak
terapat,
maka maka
terdapat tidak
ada
pula pula
pertanggungjawaban pidana.Karena itu orang gila, anak dibawah umur atau orang yang dipaksa dan terpaksa tidak dibebani pertanggungjawaban pidana, sebab dasar pertanggungjawaban
pada
kelompok
tersebut
itu
tidak
ada.
Pembebasan
pertanggungjawaban terhadap merek ini didasarkan kepada hadist Nabi dan AlQur’an. Hadis Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Tirmidzi 1343 disebutkan:
12
Hamzah Hasan, Hukum Pidana Islam I (Cet. 1; Alauddin University Press: 2014), h. 43.
13
Hamzah Hasan, Hukum Pidana Islam I, h. 171.
83
ي ﺼ ِﺮ ﱢ ْ َي َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ﺑِ ْﺸ ُﺮ ﺑْ ُﻦ ﻋُ َﻤَﺮ َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ﳘَﱠﺎ ٌم َﻋ ْﻦ ﻗَـﺘَﺎ َد َة َﻋ ْﻦ اﳊَْ َﺴ ِﻦ اﻟْﺒ ﺼ ِﺮ ﱡ ْ ََْﲕ اﻟْ ُﻘﻄَﻌِ ﱡﻲ اﻟْﺒ َ َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ﳏَُ ﱠﻤ ُﺪ ﺑْ ُﻦ ﳛ ﱠﱯ ﻆ َو َﻋ ْﻦ اﻟﺼِ ﱢ َ َﱴ ﻳَ ْﺴﺘَـْﻴ ِﻘ َﺎل ُرﻓِ َﻊ اﻟْ َﻘﻠَ ُﻢ َﻋ ْﻦ ﺛ ََﻼﺛٍَﺔ َﻋ ْﻦ اﻟﻨﱠﺎﺋِ ِﻢ ﺣ ﱠ َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ َ ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ َ َﻋ ْﻦ َﻋﻠِﻴﱟﺄَ ﱠن َرﺳ ﺚ ٌ ِﻳﺚ َﻋﻠِ ﱟﻲ َﺣﺪِﻳ ُ َﺎل أَﺑُﻮ ﻋِﻴﺴَﻰ َﺣﺪ َ َﺎل وَِﰲ اﻟْﺒَﺎب َﻋ ْﻦ ﻋَﺎﺋِ َﺸﺔَ ﻗ َ َﱴ ﻳـَ ْﻌ ِﻘﻠَﻘ ﺐ َو َﻋ ْﻦ اﻟْ َﻤ ْﻌﺘُﻮِﻩ ﺣ ﱠ َﺸ ﱠ ِ َﱴ ﻳ ﺣﱠ Artinya: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya Al Qutha'i Al Bashri, telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Umar, telah menceritakan kepada kami Hammam dari Qatadah dari Al Hasan Al Bashri dari Ali bahwa Rasulullahshallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Diangkatlah pena dari tiga golongan; Orang yang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia remaja (baligh), dan orang gila hingga ia berakal (sembuh).14 TIRMIDZI1343. Ini menjelaskan bahwa seseorang yang mengalami gangguan mental akan terlepas dari beban hukum dalam artian, perbuatannya tak dicatat sebagai dosa sebab apa yang ia perbuat itu dalam keadaan tak sadar. Karena di dalam Islam, suatu perbuatan yang dilakukan dalam keadaan sadar maka akan mendapatkan balasan sinkron dengan jenis amalannya. Seperti dalam Al-Qur’an QS Al-Mudaṡṡir/74: 38 mengatakan:
٣٨ ٌﺲ ﺑِﻤَﺎ َﻛ َﺴﺒ َۡﺖ َرھِﯿﻨَﺔ ِ ۢ ۡﻛُﻞﱡ ﻧَﻔ Terjemahnya: Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya. 15 Ayat diatas merupakan pernyataan kepada manusia seluruhnya dalam kaitan dengan kebebasan memilih yang telah ditegaskan pada ayat sebelumnya. Seakan-
14
Al-Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, Dalam Kitab 9 Imam (database, Lidwa Pustaka i-Software. t.t.,), diakses pada 11 Juli 2017. 15
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia,2012), h. 851.
84
akan Allah swt. Menyatakan: hai manusia kamu sekalian bebas untuk memilih jalan, maju atau mundur, arah kanan atau kiri.16 Dan Allah berfirman QS Al-Anʹām /6: 164 mengatakan:
ﺲ إ ﱠِﻻ َﻋﻠَﯿۡ ﮭَ ۚﺎ و ََﻻ ﺗَ ِﺰ ُر ٍ ۡأَﺑۡ ﻐِ ﻲ رَ ّٗﺑﺎ وَ ھُ َﻮ رَبﱡ ُﻛ ﱢﻞ ﺷ َۡﻲ ٖۚء وَ َﻻ ﺗَﻜۡ ﺴِﺐُ ﻛُﻞﱡ ﻧَﻔ ﻗ ُۡﻞ أَﻏَﯿۡ َﺮ ١٦٤ َ و ِۡز َر أ ُۡﺧ َﺮ ٰۚى ﺛُ ﱠﻢ إِﻟ َٰﻰ رَ ﺑﱢﻜُﻢ ﻣ ۡﱠﺮ ِﺟ ُﻌﻜُﻢۡ ﻓَﯿُﻨَﺒﱢﺌُﻜُﻢ ﺑِﻤَﺎ ﻛُﻨﺘُﻢۡ ﻓِﯿ ِﮫ ﺗ َۡﺨﺘَﻠِﻔُﻮنَٞوا ِز َرة Terjemahnya: katakanlah (Muhammad),”Apakah (patut) aku mencari tuhan selain Allah, padahal Dialah Tuhan bagi segala sesuatu. Setiap perbuatan dosa seseorang, dirinya yang bertanggungjawab. Dan seseorang tidak akan memikul beban dosa oranglain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitahukan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu persilisihkan.17 Jika demikian itu halnya,setiap orang hendaknya berhati-hati karena semua akan mati. Kemudian setelah berlalu waktu yang relative lama, kepada Tuhan kamulah yang selama ini membimbing dan memelihara kamu seluruh manusia kamu akan kembali betapun lamanya kamu hidup didunia, lalu dia akan memberitakan kepada kamu apa yang tadinya kamu perselisihkan. Baik perselisihan yang menyangkut agama dan kepercayaan maupun perselisihan-perselisihan lainnya.18 Dari ayat-ayat dan hadis tersebut dijelaskan, bahwa yang dapat dipertanggung jawabkan atas sesuatu tindak pidana adalah orang hidup, sudah dewasa dan tidak dalam keadaan tidak sadar, seperti sedang tidur, mabuk atau gila, pendek kata tidak dalam keadaan yang tidak disadarkan diri. Terhadap orang yang sudah mati tidak dapat lagi dipertanggung jawabkan suatu tindak pidana atasnya. Seseorang yang pada waktu masih hidupnya melakukan tindak pidana dan kemudian mati, gugurlah 16
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran (Cet. 1; Vol. 14, Jakarta: Lentera Hati, 2009), h. 507. 17
kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 202.
18
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, h. 766.
85
ancaman hukum pidana darinya. Adapun terhadap anak-anak yang masih belum dewasa, juga tidak dapat dipertanggung jawabkan sesuatu tindak pidana yang sama sebagaimana dilakukan oleh orang-orang dewasa. Tetapi untuk menentukan batas umur anak yang dianggap sudah dewasa dan menentukan ancaman-ancaman hukumannya, terserah sepenuhnya kepada penyelidikan para ahli hukum. 19 B. Dasar Hukum Pidana Nasional Tentang Pelaku Tindak Pidana Yang Sakit Jiwa Ahli-ahli psikologi kognitif dalam penelitiannya, mempercayai bahwa kejiwaan dan tingkah laku manusia banyak dipengaruhi oleh faktor kognitif yang merupakan pusat berpikir, selanjutnya menjadi motor penggerak jiwa dan tingkah laku manusia. Permasalahan hidup dikendalikan oleh otak manusia, maka kemudian muncullah berbagai teori tentang kognitif. Dari teori kemudian menghasilkan program atau rancangan untuk mengatasi persoalan hidup.20 1. Pertanggungjawaban Tindak Pidana Hukum pidana nasional pada masa-masa sebelum revolusi prancis, setiap orang bagaimanapun keadaannya bisa dibebani pertanggungjawaban pidana, tanpa membedakan apakah orang tersebut mempunyai kemampuan sendiri atau tindak, sudah dewasa atau belum. Bahkan binatang dan benda mati bisa dibebani pertanggungjawaban pidana, apabila menimbulkan kerugian pada pihak lain. Kematian juga tidak bisa menghindari seseorang dari pemeriksaan pengadilan dan
19
Anwar Harjono, Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya (Cet. 2; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1987), h. 154. 20
Mohamad Harjum, Taxonomi Bloom Dalam Al-Qur’an (Cet. 1; Alauddin University Press, 2014), h. 179.
86
hukuman. Demikian juga seseorang harus mempertanggungjawabkan perbuatan orang lain, meskipun orang tersebut tidak tahu dan tidak ikut serta mengerjakannya. Baru setelah revolusi perancis itu setelah didahului oleh timbulnya aliran tradisionalisme
dan
aliran-aliran
lainnya,
pertanggungjawaban
pidana
itu
hanyadibebankan kepada seseorang yang masih hidup yang memiliki pengetahuan pilihan.21 Penjelasan KUHP mengenai pasal 7 ayat(1) huruf j adalah sama dengan penjelasan Pasal 5 ayat 1 huruf a angka 4, yang dimkasud dengan tindakan lain adalah tindakan dari penyedik untuk kepentingan penyedikan dengan syarat: a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum b. Selaras dengan kejiwaan hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan c. Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya d. Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa e. Menghormati hak asasi manusia. 2. Unsur-unsur Tindak Pidana Simon mengemukakan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut: a. Perbuatan manusia b. Diancam dengan pidana c. Melawan hukum d. Dilakukan dengan kesalahan e. Oleh orang yang mampu bertanggungjawab
21
Hamzah Hasan, Hukum Pidana Islam I. h. 172.
87
Unsur-unsur tersebut dibedakan antara objektif dan subjektif. Yang termasuk objektif adalah perbuatan orang yang akibat kelihatan dari perbuatan itu, dan kemungkinan adanya keadaan tertentu yang menyertai. Yang termasuk unsur subjektif adalahorang yang mampu dan adanya kesalahan. 3. Kemampuan bertanggungjawab Dalam KUHP kita ada, ketentuan tentag arti kemampuan bertanggung jawab. Yang berhubungan dengan itu ialah Pasal 44: “Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit. Kalau tidak dapat dipertanggung jawabkan itu disebabkan karena hal lain, misalnya jiwanya yang tidak normal karena masih sangat muda atau lain-lain, pasal tersebut tidak dapat dipakai. Dan ucapan para sarjana kiranya dapat diambil kesimpulan, bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada:22 a. Kemampuann untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan hukum b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. Yang pertama merupakan faktor akal (intelektual Factor) yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Yang kedua adalah faktor perasaan atau kehendak (volitional factor), yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak. Sebagai konsekuensi maka tentunya orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi, dia tidak
22
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 178.
88
mempunyai kesalahan dan kalau melakukan pidana. Orang yang demikian itu dapat dipertanggung jawabkan. Menurut Pasal 44 KUHP ketidakmampuan tersebut harus disebabkan karena alat-alat batinnyasakit atau cacat dalam tubuhnya. Dalam merumuskan KUHP ketidakmampuan bertanggungjawab sebagai hal yang menghapuskan pidana, orang dapat menempuh 3 jalan, yaitu: a) Ditentukan sebab-sebab yang menghapuskan pemidanaan b) Menyebutkan akibatnya saja, penyakitnya sendiri tidak ditentukan c) Gabungan 1 dan 2, yaitu menyebabkan sebab-sebabnya penyakit jika penyakit itu harus sedemikian rupa akibatnya hingga dianggap tidak dapat dipertanggung jawabkan padanya (deskriptif normatif). Untuk menentukan bahwa terdakwa tidak mampu bertanggung jawab tidak cukup ditentukan oleh tabib atau hakim itu sendiri, tetapi harus ada kerja sama antara tabib dan hakim. Yang pertama menentukan adanya adanya penyakit, yang kedua menilai bahwa penyakit yang ada itu sedemikian besarnya, hingga perbuatan tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya. Dalam hal Pasal 44, tabib menentukan adanya pertumbuhan yang cacat ataau adanya gangguan karena penyakit, sedangkan hakim menilai bahwa karena hal-hal tersebut perbuatan terdakwa tidak dapat dipertanggung jawabkan padanya.23 Dengan adanya aturan yang berhubungan dengan kemampuan bertanggung jawab seperti dirumuskan dalam Pasal 44 KUHP, yang hanya mengenai ketidakmampuan bertanggungjawab karena jiwa yang cacat dalam tubuhnya atau terganggu karena penyakit, maka akibatnya kalau tidak mampu bertanggung jawab
23
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, h. 180.
89
yang perbuatan karena jiwa yang masih muda, pasal tersebut tidak dapat dipakai, sehingga harus memakai dasar yang lebih luas yaitu asas yang tidak tertulis. Kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur (eleman) kesalahan. Karenanya mestinya untuk membuktikan adanya kesalahan, unsur tadi harus dibuktikan. Oleh sebab itu, pada umumnya orang-orang adalah normal batinnya, dan mampu bertanggung jawab, maka unsur ini dianggap diam-diam selalu ada, kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak normal. Dalam hal ini, Hakim memerintahkan pemeriksaan yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya memang jiwanya tidak normal, maka menurut Pasal 44 KUHP, pidana tidak dapat dijatuhka. Jika hasil pemeriksaan masih meragukan bagi hakim, itu berarti ba jika tidak bahwa adanya kemampuan bertanggung jawab tidak terbukti, sehingga kesalahan tidak ada, dan pidana tidak dapat dijatuhkan, berdasar atas asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Kemampuan bertanggung jawab ini dapat disamakan dengan upakan unsur sifat melawan hukum. Sebab dua-duanya merupakan syarat mutlak, yang satu abgi dilarangnya perbuatan (adanya sifat melawan hukum), dan yang lain adanya kesalahan. Berhubunh dengan keduanya dalam KUHP ada alasan penghapusan pidana yaitu dalam Pasal 49, 50, dan 51 (alasan pembenar) dan Pasal 44 (tidak mampu bertanggung jawab).24 4.
Ketidakmampuan Bertanggungjawab Menurut Hamel Hasenwinkel Suriga, ketidakmampuan bertanggungjawab
memerlukan selain perkembangan jiwa yang tidak normal dan penyakit yang
24
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, h. 182.
90
disebabkan gangguan kejiwaan, juga syaratnya adalah hubungan kausal antara penyakit jiwa dan perbuatannya. 5.
Adanya Kesalahan Asas dalam hukum pidana adalah “tidak pidana tanpa kesalahan”, berdasarkan
asas hukum tersebut untuk dapat menjatuhkan pidana kepada seseorang, maka hakim wajib memiliki keyakinan bahwa terdakwa telah terbukti berbuat kesalahan. Apakah yang dimaksud dengan kesalahan tersebut, ilmu hukum memang tidak memberikan definisi yang pasti. Namun dari pedapat beberapa pakar hukum pidana, dapat diinyatakan bahwa kesalahan adalah perbuatan yang mengandung unsur pencelaan terhadap sesorang yang telah melakukan tindak pidana. 6.
Tidak Adanya Kesalahan atau Tidak Adanya Alasan Pemaaf Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan adalah tentang adanya suatu
keadaan pada diri si pelaku (inwending) yang menyebabkan adanya alasan yang memghapus kesalahan, atau berada diluar diri pelaku (uitwending) yang menyebabkan timbulnya alasan pemaaf utuk dijatuhkan pidana kepadanya. 7.
Alasan Penghapusan Pidana Tidak Mampu Bertanggung Jawab Pasal 44 ayat (1) KUHP berbunyi: “barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan
yang tidak dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya karena sakit berubah akal, tidak boleh dihukum.” a. Kurang sempurna akalnya. Yang dimaksud dengan perkataan akal disini ialah kekuatan pikiran, daya pikiran, kecerdasan pikiran. Orang semacam ini sebenarnya tidak sakit, akan tetapi karena cacatnya mulai lahir sehingga pikirannya tetap seperti sebagai anak-anak.
91
b. Sakit berubah akalnya “Ziekelijke Storing der verstandelij vermogens”. Yang dapat masuk pengertian ini misalnya: sakit jiwa, hysteric, epilepsic, dan berbagai macam jiwa lainnya.25 Menurut Hukum Pidana Indonesia yang ditulis oleh Drs. P.A.F. Lamitang, dan C. Djisman Samosir. Tidak dapat dihukum barangsiapa melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat diperrtanggungjawabkan padanya, karena pertumbuhan akal sehatnya yang tidak sempurna atau sakit jiwanya. 26 1. Menurut Psychopathenwet diitentukan bahwa dimana menurut suatu peraturan perundang-undangan dipakai perkataan “versandelijke vermogens” atau kemampuan jiwa. 2. Hal dapat dihukumnya sesorang tersangka itu merupakan suatu pertimbangan dan keputusan yang diberikan secara tersendiri, disamping pernyataan tentang terbuktinya suatu perbuatan, walaupun seandainya benar bahwa disitu ditunjukkan adanya dasar meniadakan hukuman. 3. Toerekeningsvatbaarheid itu bukanlah merupakan suatu unsur dari suatu perbuatan
yang
dapat
dihukum,
yang
harus
dibuktikan.
Tiadanya
Toerekeningsvatbaarheid tersebut merupakan dasar yang meniadakan hukuman. 4. Ontoerekenbaarheid atau hal tidak dapat dipertanggungjawabkan suatu perbuatan pada diri si pembuat, seperti yang dirumuskan didalam pasal 44 KUHP merupakan suatu Strafuitsluitngsgrond, atau dasar untuk meniadakan hukuman.
25
Susilo. R, Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP (Bogor: Politecia, 1988), h. 61.
26
Lamintang-Samosir, Hukum Pidana Indonesia (Bandung: PT. Sinar Baru, 1979), h. 36.
92
5. Sesorang dikatakan toerekeningsvatbaar, jika ia bertindak secara sadar, dapat bebas bertindak secara lain dan mampu untuk menentukan kehendaknya. Dari ketentuan Pasal 44 ayat (1) dapat disimpulka bahwa orang yamg mampu bertanggungjawab atas perbuatnnya, ialah bilamana dalam berbuat itu tidak terdapat dua keadaan sebagaimana diterangkan dalam pasal 44 ayat (1) KUHP.27
27
20.
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari uraian diatas maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Dasar pertimbangan Hakim melihat dan menjelaskan bahwasanya seorang yang melakukan tindak pidana atas alasan kejiwaan mendapat keringanan hukuman
atau
penghapusan
hukuman,
karena
ketidakmampuan
bertanggungjawab, dalam hal ini Pasal 44 KUHP. Pertimbangan hakim yang lain, adalah apabila terdapat keadaan yang istimewa yang menyebabkan terdakwa tidak bisa dihukum yaitu adanya alasan pembenar dan pemaaf. 2. a. Dasar Hukum Pidana Islam Tentang Pelaku Tindak Pidana Yang Sakit Jiwa Dalam hal ini tidak dianggap sebagai suatu tidak pidana bagi orang yang melakukan perbuatan atau meninggalkan perbuatan selama tidak ada nash dengan jelas. Oleh sebab itu tidaklah dapat dipertanggungjawabkan orang yang melakukan perbuatan tersebut. b. Dasar Hukum Pidana Nasonal Tentang Pelaku Tindak Pidana Yang Sakit Jiwa
setiap
orang
bagaimanapun
keadaannya
bisa
dibebani
pertanggungjawaban pidana, tanpa membedakan apakah orang tersebut mempunyai kemampuan sendiri atau tidak, sudah dewasa atau belum. Bahkan binatang dan benda mati bisa dibebani pertanggungjawaban pidana, apabila menimbulkan kerugian pada pihak lain. Kematian juga tidak bisa menghindari seseorang dari pemeriksaan pengadilan dan hukuman. Demikian juga seseorang harus mempertanggungjawabkan
93
94
perbuatan orang lain, meskipun orang tersebut tidak tahu dan tidak ikut serta mengerjakannya. B. Saran Mengingat pentingnya upaya hakim dalam menentukan pertimbangan perawatan bagi pelaku tindak pidana yang sedang sakit jiwa dalam system peradilan pidana yang terdiri dari polisi, jaksa, hakim, dan lembaga pemasyarakatan. Pada dasarnya bukanlah semata-mata menjatuhkan hukuman semaunya saja, melainkan harus sesuai dengan KUHP bila perlu sesuai dengan hukum islam. Karena keduanya ada yang memberatkan dan ada yang meringankan. Oleh karena itu harus di pertimbangkan terlebih dahulu, yang tidak lain penetapan hukumannya sesuai dengan tindak pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan. Untuk itulah sebagai bahan pertimbangan berikutnya adalah: 1. Dapat memberikan informasi bahwa perbuatan pidana itu tetap ada, tetapi karena adanya aturan yang mengikat bahwa tiada pidana tanpa adanya kesalahan, maka perbuatan tersebut dapat dihapuskan 2. Pentingnya untuk memahami seberapa sebab yang timbul akibat dari kejiwaan sehingga sesorang tersebut tidak melakukan tindak pidana baik tindak pidana umum maupun khusus. 3. Usaha keras yang dilakukan dari para ahli baik dalam hukum pidana nasional maupun pakar pidana Islam dan para ahli psikology tentang upaya hakim dalam menentukan pertimbangan perawatan bagi pelaku tindak pidana yang sedang sakit jiwa. 4. Diharapkan bagi setiap orang yang berkecimpung di dunia hukum, terkhusus bagi para pakar hukum agar selalu menyumbangkan penelitian terbaru.
95
Karena hukum akan terus berubah seiring waktu dan tempat serta diharapkan pula bagi para peneliti hukum bagi yang beragama Islam agar meneliti setiap peraturan perundang-undangan Indonesia telah sesuai atau belum sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk menjadikan peraturan perundang-undangan Indonesia mengandung nilai-nilai Islam, walaupun bukan negara yang bersistem hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA Abidin, Zainal. HukumPidana Islam I. Cet. 2; Jakarta: Sinar Grafika, 2007. Adji, OemarSeno. Hukum Hakim Pidana Cet. 2; Jakarta Pusat: Erlangga, 1984. Affandi, Wahyu. Hakim dan Penegakan Hukum. Bandung: Alumni,1981. Ahira, Anne. Pembentuk Kepribadian Seseorang. PT. Raja Grafindo Persada. Bandung: 2010. Akhyar. Implementasi Kekuasaan Dalam Era Reformasi, Himpunan Karya Tulis Bidang Hukum. Jakarta: 1999. Audah, Abdul Qadir. At-Tasyrī’ al-Jinā’i al-Islāmiy Muqāraman bil Qānūll Waḍ´iy, Bogor: PT. Kharisma Ilmu Jilid II. Alang, Sattu. Kesehatan Mental dan Terapi Islam. Cet. I; Makassar: IAIN Alauddin, 2001. Ali, Mahrus. Dasar-dasar Hukum Pidana. Cet. 3; Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2015. Ali, Zainuddin. Hukum Pidana Islam. Cet. 1; Jakarta: Sinar Grafika, 2007. Abiyah, Media Dialog Ilmu Keislaman Yang Berlatar Keadaban. Vol.1; Universitas Islam Negeri Makassar, 2014. Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana 2 Penafsiran Hukum Pidana Dasar Peniadaan, Pemberatan dan Peringanan Pidana Kejahatan Aduan Perbarengan dan Ajaran Kausalitas.Cet. 1; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002. Daradjat, Zakiah. Kesehatan Mental. Cet. 16; Jakarta: PT. Inti Idayu Press, 1990. Destiyani, Shanti. Faktor-faktor Kejiwaan Sebagai Pelaku Tindak Pidana dan Kaitannya dengan Penjatuhan Vonis. Skripsi. Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2011. Dirdjosisworo, Soerdjono. Pengantar Penelitian Kriminologi. Cet.1; Bandung: 1984. Efendi, Tolib. Dasar-Dasar Kriminolog Ilmu Tentang Sebab-sebab Kejahatan. Setara Press: 2017. Harjono, Anwar. Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya. Cet. 2; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1987. Hasan, Bisri Cik, Peradilan Agama Di Inonesia. Cet. 2; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1998. Hamzah, Andi. Pengantar Hukum Acara Pidana. Cet 3; Jakarta: Ghalia, 2002. Hasan, Hamzah. Hūdūd Analisis Tindak Pidana Zina di Balik Perkawinan Legal.Cet.1; Alauddin Press: 2011. ------- .Hukum Pidana Islam I.Cet.1; Alauddin University Press: 2014. -------. Hukum Pidana dan Kumpulan Karangan Ilmiah. Cet. 1; Jakarta: Bina,1982.
96
97
Harjum, Mohamad. Taxonomi Bloom Dalam Al-Qur’an. Cet. 1; Alauddin University Press, 20014. Hawari, Dadang. Al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Cet. XI; Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 2014. Jayadi, Ahkam. Aspek Religius Penegak Hukum. Makassar: Alauddin University Press, 2012. Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012. Kurniati. Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Hukum Islam Suatu Analisis Komparatif antara HAM dalam Islam dengan HAM konsep Barat.Cet. 1; Alauddin University Press: 2011. Lamintang-Samosir. Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT. Sinar Baru, 1979. Lubis, Didi Bachtiar. Peralihan Dalam Konsep Tanggung Jawab Kriminil. Djiwa Madjalah Psikiatri, Tahun III No.1, Januari 1970. Maslim, Rusdi. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. PPDGJ-III, Panduan Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa. Merpaung, Ledeng. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana.Cet. 1; Jakarta: Sinar Grafika, 2005. Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana. Cet. 8; Jakarta: Rineka Cipta, 2009. ------- -Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Jakarta: Bumi Akasara, 2008. Nuryanti. Tafsir Gangguan Jiwa Dalam Al-Qur’an. Makalah oleh mahasiswa untuk mahasiswa, Pekan baru 2015. Poernomo, Bambang. Operasi Pemberantasan Kejahatan dan Kemanfaatan ahli Kedokteran Jiwa.Cet.1; Yogyakarta: Bina Aksara, 1984. Prodjokiro, Wirjono. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Jakarta: PT. Rafika Aditama, 2003. Rizki, Gerry Muhammad. KUHP Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan KUHAP Kitab undang-Hukum Acara Pidana. Permata Press; 2007. Saleh, Roeslan. Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggung Jawab Pidana. Cet 1; Jakarta: Ghalia Indonesia,1963. Siswanto, Kesehatan Mental. Konsep Cakupan dan Perkembangnnya. Sambutan Direktur Jenderal Bina KesehatanMasyarakat, Buku Pedoman Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan R.I. Jakarta: 2002. Santoso, Topo. dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi. Cet. 14; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014. Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran. Cet. 1; Jakarta: Lentera Hati, 2009. Soejono. Kejahatan dan Penegakan Hukum di Indonesia.Cet.1; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996.
98
Soekanto, Soerjono. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum. Cet.6; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005. Soerodibroto, R. soenarto. KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Road. Cet. 15; PT. Raja Grafindo Persada, 2011. Sunarso, Siswanto. Viktomologi Dalam Sistem Peradilan Pidana. Cet.1; Jakarta: Sinar Grafika, 2012. Suprayogi, Adnan Alit.“Pertimbangan Hakim dalam Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika.” Skripsi Bandar Lampung: Fak. Hukum Universitas Lampung, 2016. Suratman dan Philps Dillah. Metode Penelitian Hukum Bandung: Alfabeta, 2015. Susilo, R.Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP. Bogor: Politecia, 1988. Sutiyoso, Bambang. Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan. Cet.4; Yogyakarta: UUI Press, 2015. Syarifin, Pipin. Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Pustaka Setia, 2000. al-Amidi, Saifuddin Abi al-Hasan. Al-ahkam fi Usūhil Aḥkām, Jild. 1 AL-Tirmidzi, Dalam Kitab 9 Imam, Sunan, nomor:1343. Database Online, Lidya Pustaka i-Software: t.t., t.th. Diakseskan pada 11 Juli, http: localhost: 500/. Widiyanti, Ninik. Dan Yulius Waskita, Kejahatan Dalam Masyarakat dan Pencegahannya. Cet.1; Jakarta: Bina Aksara, 1987.
RIWAYAT HIDUP MEGAWATI, Lahir di Dusun Teteaka Desa Tambangan Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba, pada tanggal 05 Oktober 1994, merupakan anak pertama dari pasangan Sappewali dan Bondeng. Mulai memasuki jenjang pendidikan formal tahun 2001 hingga 2007 di SD Negeri 252 Sapiri Kec. Kajang, Kab. Bulukumba. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan pada tahun 2007 hingga 2010 di SMP Negeri 2 Kalimporo. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan pada tahun 2010 ke sekolah SMA Negeri 5 Bulukumba dan tamat pada tahun 2013. Saat penulis duduk dibangku SMA organisasi yang telah diikuti adalah: Palang Merah Indonesia (PMR) , dan Pramuka. Setelah menamatkan pendidikan di SMA, penulis melanjutkan kejenjang perguruan tinggi di Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar atas keinginan sendiri dan dengan dukungan dari orangtua, dan mengambil Jurusan Hukum Pidana dan Ketatanegaraan pada Fakultas Syari’ah dan Hukum pada tahun 2013. Alhamdulillah penulis mampu menjalani, semua itu perjuangan yang tahap akhir dalam proses meraih gelar sarjana yaitu menyelesaikan skripsi ini. Penulis sangat berterima kasih kepada semua pihak yang membantu selama penulis menjalani kehidupan di Makassar sampai menyelesaikan tugas akhir ini.
99