o
W Yogyakarta
l
MALT'ITYA JN'I ORANG INIX)NESIA Mealmbrng Kembeft Feradeben Baogsa Hak Ciph O 2012, Taman Pustaka lkisten
Di@rbilkan atas. kzrjasama :
IAMAN PUS'XAKA KRISTEN (Anggota IKAPI) Jl. di'. Wahidin Sudimhusodo No. 3SAYogalwb 55222 TelpJTax.: (0274) 5l}4l;gi CDMA: (0274)9223243 E-mail: penerbit@tamanpustakakristencom Web6ite: www.tamanpustakakisten.com dat
.
FAKULTAS THEOLOGIA UNTVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
Jl. dr. Wshidin Sudirohusodo No. 5 -25 Yogya&aa 55224 Tetp. (0274\ 563929; Falcs. (0274) s 13235
Penyunting;/Edior : Asnath N. Natar Robert Setio
Desaln Sampul
&
Isi : Anggie Wrbawanto
CetakrnPedarnr. :
?-Ol2
rsBN 978-979-836 r -99-9
KITA PINGANTAR
Ketika buku ini sedang menjalani proses pengeditan terakhir, masyarakat sedang dibuat geram oleh tindakan aparat kepolisian yang dengan arogannya mendatangi kantor KPK untuk menangkap salah satu penyidik yang dikatakan telah melakukan tindak kriminal. Padahal tindakan yang dituduhkan itu disebutsebut sudah terjadi 8 tahun silam. Masyarakat kontan saja menilai bahwa tindakan polisi itu mengada-ada dan berhubungan dengan pemeriksaan seorangjenderal polisi yang tersangkut kasus korupsi pengadaan alat simulator pembuatan SIM. Konflik antara polisi dan KPK itu memperlihatkan betapa tidak mudahnya memberantas korupsi di negeri ini. Meskipun semua pejabat kelihatannya sepakat untuk memberantas korupsi, namun nyatanya ketika pemberantasan itu mengenai diri mereka sendiri maka mereka akan memakai segala cara untuk menggagalkannya. Bagi masyarakat, KPK adalah simbol dari masih adanya harapan untuk melawan korupsi. Tetapi melihat berfubi-tubinya upaya untuk melemahkan KPK, masyarakat menjadi khawatir bahwa akhirnya harapan mereka yang mungkin sudah tinggal satu-sarunya itu akhimya pupus juga. Koruptor dengan segalajejaring yang menghidupinya merupakan kekuasaan
yang sangat dahsyat dan siap menghabisi siapa saja yang hendak menghadang niatnya.
Reformasi yang berhasil menumbangkan rezim Orde Baru nampaknya beluin membuahkan hasil yang signifikan untuk memperbaiki gambar diri bangsa. Bangsa-bangsa lain, termasuk yang ada di sekitar Indonesia, seringkali melihat Indonesia dengan sebelah mata. Mereka melihat Indonesia sebagai negara yang sekalipun wilayahnya luas, namun orang-orangnya lemah. Orang Indonesia juga seringkali dipermalukan di luar negeri atau kalau tidak, juga merasa malu sendiri. Tetapi ketika kembali ke negeri
lt
sendiri, tingkah lakunya berubah, menjadi seperti orang yang paling hebat. Jadi ini sama dengan jago kandang. Keprihatinan atas kondisi bangsa yang sudah sangat terpuruk ini membuat para penulis buku ini mencoba menuangkan pemikiran-pemikirarnya, entah sebagai upaya untuk membangun kesadaran bersama atau juga sebagai dorongan agar langkahlangkah konkrit untuk bangkit dari keterpurukan segera dilakukan. Para penulis berangkat dari latar belakang mereka masing-masing
yang multi-disiplin. Tetapi mereka menulis dalam suasana akademik yang bebas dan kritis. Para pembaca buku ini akan mendapati tulisan mereka sebagai kritik sangat menggigit, sebagai tulisan ilmiah sangat argumentatif dan sebagai sumber pencerahan sangat inspiratif. Pembicaraan mengenai peradaban bangsa sudah seharusnya
dilala*an secara terbuka dan melibatkan semua pihak yang menjadi bagian dari peradaban itu. Meskipun semangat semacam inr dapat dianggap wajar dan sudah seharusnya demikian, namun dalam kenyataannya keterbukaan dan keterlibatan banyak pihak ihr tidak selalu dipraktikkan. Peradaban dapat muncul setagai ide dari segelintir orang saja yaitu mereka yang memiliki kekuasaan dan mendominasi masyarakat. Sejarah yang sudah dilalui bangsa Indonesia banyak diwamai oleh tafsiran peradaban oleh sementara pihak yang kemudian dimasukkan sebagai peradaban bersama. Oleh karena itu, sudah sejak penentuan akan dibuat seperti apakah pembicaraan mengenai peradaban itu dilakukan, . persoalan mengenai perdaban itu ada. Buku ini ingin menjawab persoalan tersebut dengan memilih jalan keterbukaan dan'keterlibatan dari seluas mungkin pihak.
Editor: Asnath N. Natar Robert Setio
ru
MTTAN$I
Kata Pengantar
Daftar Isi
l.
Lumpur Korupsi dan Integritas Agama.............,.....................-.1 Franz Magnis-Suseno Sl
Korupsi, Nosi Moral, dan Transformasi l-nternal.....,............
l
g
Paulus S. Wiiljaja 3.
Berburu Nalar di Bawah Bayang-bayang 1lasrat................... 36 Karlina Supelli Tergantung dari Bagaimana Membayangkan Hubungan Sains dan dama: Sebuah Tanggapan
Terha&p Karlina Supelli Emanuel Gerrit Singgih 5.
Menunda Pembusukan dengan Tindakan Kecil ................... g2 Butet Kotaredjaso
6.
Tanggapan Terhadap Makalah Butet Kartaredjasa Yahya Wijaya
7.
Korupsi: Puncak Krisis Peradaban Bangsa; Sebuah .Upaya Pembedahan Sosiologis.
--..,.-.-.. g9
Tamin Amal Tomagola Korupsi dalam Peradaban, Pembelajaran dari Indonesia Far sij an a
9.
M ene y - Risako n a
129
Transformasi Politiko-Birokrasi dan peradaban Bangsa Sofian
Efenili
42
lv 10. Impotentia Politisi: Tanggapan Atas Makalah Sofian Efendi....................r
.
l.B. Banauiratma I
l.
Kemanusiaan yang Beradab: Memanusiakan Manusia! Ketidakterlibatan dan Keterlibatan Agama-agama dalam Perwujudan Peradaban Kees de
long
12. Malunya fadi Orang Indonesia: Sebuah Refleksi Sederhana Atas Realitas Bangsa Sendiri___--................,.... 179
Daniel
K Listijabudi
13. Menjalankan Furigsi Kepemimpinan Negara Berwawasan Falsafah Hasta Brata Yusak
r91
Tidannanto
14. Pendidikan Antikorupsi: Supaya Tidak Malu Menjadi
Orang lndonisia Tab it a l{,ar tilca Chr
istiani
15. Perempuan dalam "Pasang-Surutnya Peradaban Bangsa Indnncci;
zL2
Asnath Niwa Natar 16. Sumbangan Pendidikan Kristen Bagi Perlawanan Terhadap Korupsi di Indonesia
Robert Setio
224
SIJiIBA}IGTil
l6 PilDDMN N$IU{ BAfi PM./IWAMI{ ITMAIITP r(lRu?slu[lD0t{Hla' OIeh Robert Setio
(
poverty is the ugly face ofunregulated capitalism, corruption is the ugly face ofunfinished democracy' (Stevan Sullivan)'
Pendahuluan
Juru Bicara KPK, Johan Budi, dalam sebuah diskusi di Jakarta hari Sabtu lalu (1519/2012), mengatakan ada lima tipe korupsi yang mengernuka sejak tahun 2004 yaitu korupsi; 1. Dalam kaitan dengan pengadaan barang dan jasa (60% dari keseluruhan kasus yang ditangani KPK).
2. Berupa pungutan liar oleh pejabat atau
penyelenggara
negara.
3. Yang berhubungan dengan perizinan-kemudahan
pem-
berian izin dengan imbalan tertentu.
penyalahgunann anggaran-anggaran negara digunakan untuk kepentingan pribadi
4. Dalam rupa
5. Dalam bentuk suap-menyuap-pengusaha
dengan pejabat'
pemerintah dan dewan perwakilan rakyat2'
'
Bagi Sebagai pilihan fokus dari tema: "lnvestasi Pendidikan Kristen 'Masyarakat Bidang" Segala di Bangsa dan f"*tangttiun -dalam.Rangka pui"asarjana Stratum Tiga (S3), Institut lojil lndonesia' Baru'
wiruJu ?rogr"t
22 September 2012.
225
Korupsi sebenarnya bukan hal yang baru di Indonesia. Sejak zaman kolonial dahulu, bahkan sebelum itu yaitu pada zaman kerajaan, negeri ini sudah mengenal korupsi. Tetapi tingkat korupsi sekarang ini jauh lebih parah, bahkan lebih parah dibandingkan masa Orde Baru. Bila Orde Baru jan:h karena korupsi, seharusnya sesudah ihr kita tidak perlu lagi melihat korupsi. Nyatanya tidak demikian. Kalau di zaman Orde Baru korupsi hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu, sekarang semua orang melakukannya. Keberanian orang untuk melakukan kon:psi semakin bertambah. Kalau di zaman Orde Baru korupsi dilakukan sebagian besar oleh lembaga eksekutif dan yudikatif. Sekarang, Iembaga legislatif juga ikut ramai-ramai melakukan
korupsi. Kepolisian memang sudah dikenal lama
sebagai
lembaga yang korup. Tetapi dengan pembaruan-pembaruan yang mereka lakukan dan semakin ketatnya pengawasan seharusnya
tidak perlu lagi ada korupsi di kepolisian. Apalagi setelah pemisahan TNI dan Polri, seharusnya polisi makin profesional dan makin bertanggungjawab. Sayangnya, kasus seperti penggelembungan alat-alat simulator pembuatan SIM yang baru
saja terkuak masih terus saja te{adi. Kasus itu tidak saja berbicara mengenai korupsi di tubuh Polri yang sudah menjadi rahasia umum, namun korupsi yang dilakukan dengan skala besar dan oleh pejabat penting yang tingkatnya tidak jauh dari Kapolri. Kalau di tingkat seperti itu korupsi masih terjadi, bagaimana dengan tingkat-tingkat yang ada di bawahnya? Korupsi tidak hanya dilal:ukan oleh instansi-instansi yang
menjalankan urusan duniawi. Instansi seperti Kementeriaan Agama yang urusannya lebih ke akherat juga tidak segan-segan melakukan tindakan haram yang dilarang agama. Korupsi dalam pengelolaan dana haji dan bahkan yang seharusnya paling ditabukan yaitu pengadaan kitab suci pun te{adi. Kementeriaan Agama sudah pemah disebut-sebut sebagai departemen yang cukup tinggi tingkat korupsinya. Kalau begitu jangan kita berpikir bahwa yang korupsi di Kementeriaan ini hanya unit
Su0rbangau PcnAiaitan Kris!e n bagi Perlawanan T€rbadaf Korupsi di lndonesia
226
yang sekarang ini para pejabatnya sudah dijadikan tersangka korupsi. Kita patut menduga bahwa korupsi sudah menjadi kebiasaan di Kementerian ini dan semua unit terlibat di dalamnya. Sebagai Ketua Persetia, saya sering mendengar laporan tentang adanya permintaan uang dari unit yang menangani
sekolah teologi yang tidak ada tanda terimanya. Mungkin saja karena jumlahnya tidak sebesar korupsi pengadaan al-Qur'an, orang bisa bilang hal seperti itu tidak perlu diributkan. Tetapi sekecil apapun itr.r, korupsi sudah te{adi di unit ini. Yang penting di sini adalah kantor yang mengurusi agama pun sudah tidak lagi
sebersih yang orang harapkan dari mereka yang mengurusi urusan surga. Kelakar teman-teman di Jakarta tentang suku tertentu yang terkenal banyak yang jadi pencopet mungkin perlu direnungkan. Suku itu kebetulan banyak yang menganut agama Kristen. Ketika mereka mencopet, seorang dari kawanan itu mengenali yang dicopet itu pendeta. Ia berkata kepada temantemannya, "ltu pak pendeta." Temannya menyahut, "Biarin aja, emangnya kenapa? Jangankan pendeta, kalau Yesus lewat pun kucopet dia." Ke mana lagi kita bisa berharap di negeri ini? Kalau mereka yang mengurusi agama juga sudah terlibat korupsi, siapa lagi yang dapat kita percaya? Pendidikan? Ada yang menyebut pendidikan adalah pilar terakhir yang dapat kita harapkan sebagai agen pembaruan. Tetapi korupsi di Kemendikbud juga te4adi. Kongkalikong antata perusahaan Nazaruddin yang sekarang sudah menjadi terpidana korupsi dengan 16 universitas negeri dalam proyek pembangunan gedung dilaporkan oleh BPK.r Sekolah-sekolah penerima bantuan dari Kemcndikbud juga sering mengeluhkan adanya poiongan-potongan terhadap bantuan yang mereka terima. Sulit untuk membuktikan potongan itu karena tidak ada tanda terimanya. Sekolah-sekolah itu hanya bisa pasrah. Daripada tidak terima sama sekali, lebih baik terima tapi tidak penuh. Jumlah yang tertera di tanda terima yang ditandatangani pimpinan sekolah berbeda dengan yang
Rohtrt
Scti,'
227
diterimakan. Akhir-akhir ini, sistem kontrol di Kemendikbud agak lebih baik dengan semakin digunakannya media intemet untuk macam-macam un$an. Tetapi bukan berarti lembaga ini
sudah bersih. Penyelewengan anggamn pendidikan masih terdengar di berbagai daerah.
Sementara itu rakyat masih terus disuguhi sandiwarasandiwara yang mengesankan negera ini sudah jauh dari korupsi. Atau, bahwa yang dituduh koruptor itu temyata bukan koruptor. Sejauh ini rasanya tidak pemah ada koruptor yang dengan Jiwa besar mengakui perbuatar:nya. Semuanya mangkir. Media massa digunakan untuk mencari simpati, sehingga yang semula buronan seperti Nazaruddin yang membuat banyak orang jadi jengkel, setelah ketangkap (tapi bilangnya menyerahkan diri), justru berlagak seperti pahlawan yang mau menyelamatkan uang negara dengan menyiarkan pelaku korupsi lainnya. Rakyat hanya
bisa melihat dan mendengar ocehan orang-orang seperti itu sambil bertanya-tanya, siapa sebenamya koruptomya? Kalau semua tidak mau mengaku, lalu uang yang dikorupsi itu pergi ke mana? Mungkin pula rakyat sudah jenuh dengan kesimpang_ siuran itu dan lamalama jadi apatis. Biar apapun yang terjadi, rakyat sudah tidak peduli lagi. Tapi dengan begitu, korupsi makin menjadi-jadi.
Maka, kita han_rs memompa semangat agar tidak menjadi apatis. Kita mesti berpikir seperti Stevan Sullivan yang katakatanya saya kutip di awal yaitu bahwa korupsi adalah rupa buruk dari demokasi yang tidak tuntas. Berarti, demokr.asi masih harus diperjuangkan lagi. Demokrasi yang salah satu aspek pentingnya adalah kontrol masyarakat, baik sendiri, melalui lembagalembaga masyarakat sipil (LSM dan Gereja ada di sini) atau melalui media massa, harus benar-benar dipraktikkan. Transparansi terutama oleh lembaga-lembaga pemerintah harus dituntut oleh masyarakat sipil. Demikian pula dengan penegakan hukum yang menjadi unsur yang tak kalah pentingnya dalam demokasi. Hukurn harus dijauhkan dari korupsi agar berfungsi
Suurbangau
Pe n11
TcrllJJp
idikan Krillen Korupsi
brcr Pcr lir\!anan dr tnJ,'n..ra
228
sebagaimana mestinya. Aspek lain yang juga sangat menentukan keberadaan demokasi adalah pendidikan. Pendidikan membuat orang jadi sadar akan hak-haknya, sadar akan apa yang terjadi (terutama sadar kalau mereka dikelabui dan ditipu) dan berani
menyuarakan kebenaran karena dalam pendidikan kebenaran merupakan prinsip yang tidak boleh ditawar-tawar atau dikurangkurangi.
Pendidikan Kristen yang secara terang-terangan mengenakan atribut "Kristen" memiliki panggilan yang lebih lagi dalam menegaklan moralitas. Tetapi apakah itu sudah benarbenar terjadi? Apakah pendidikan Kristen telah memperlihatkan keterlibatan dirinya dalam pemberantasan korupsi? Mungkin lebih baik jika kita menjawabnya dengan kata "belum" daripada "sudah", meskipun jawaban ini hanya kita berikan secara teoritis saja. Dalam kenyataan di lapangan, bisa jadi kita menemukan sekolah-sekolah Kristen yang mampu menangkal korupsi dan mendidik murid-muridnya sedemikian rupa agar memiliki integritas yang mencegah mereka melakukan korupsi. Tetapi masifnya tingkat korupsi di negeri ini dan luasnya kalangan yang terlibat dalam korupsi membuat pendidikan Kristen tidak dapat membasuh tangannya begitu saja. Mereka pun sedikit banyak terlibat dalam korupsi. Bagaimana mungkin hal itu terjadi? Berikut ini saya mencoba menguraikannya. Karena pendidikan Kristen merupakan bagian dari kehidupan orang Kristen maka ketika kita membicarakan pendidikan Kristen, kita perlu meletakkannya dalam kerangka Kekristenan. Saya akan segera masuk ke soal apa saja yang membuat Kekistenan terlibat dalam korupsi, atau, bila kata "terlibat" terlalu keras, minimal tidak dapat berbuat banyak ketika dihadapkan dengan praktik-praktik korupsi. Kemudian modal apa saja yang dimiliki oleh pendidikan Kristen dalam melawan korupsi. Dan, terakhir refleksi teologis atas posisi orang Kristen.
Rohert
SL'tit
229
Faktor-faktor yang Menumpulkan
Hidup keagamaan di Indonesia dikenal sangat baik. Penganut Islam terbesar di dunia ada di Indonesia. Penganut Kekristenan juga tidak dapat dibilang sedikit di negeri ini. Tambahan lagi jika kita melihat tebaran penduduk, maka ada beberapa wilayah di Indonesia yang penduduknya mayoritas Kristen. Di wilayah-wilayah itu, Gereja memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat termasuk dalam urusan pemerintahan. Karena ketentuan pemerintah Orde Baru yang masih berlaku hingga sekarang, tidak ada seorangpun penduduk Indonesia yang tidak beragama. Indonesia boleh dikatakan rnemiliki rekor daiam soal keberagamaan penduduknya. Tetapi rekor ini tidak diimbangi dengan penegakkan moral dan hukum. Sebenarnya ini gejala yang aneh. Bagaimana mungkin orang beragama tapi tidak bermoral dan tidak taat hukum? Tetapi begitulah kenyataannya. Bangsa kita ini adalah bangsa yang mungkin mengalami kepribadian ganda. Di satu pihak sangat beragama, di pihak lain mudah sekali melakukan tindakan yang bertentangan dengan moral dan hukum. Pastilah agama tidak mengajarkan begitu. Pastilah orang-orangnya! atau, pakai istilah yang biasa digunakan oleh penegak hukum kalau ingin menghindar, oknum-oknumlya saja yang jelek. Agamanya tetap baik. Meskipun dijawab begitu, keheranan masih belum pupus. Mengapa jika agamanya baik dan mengajarkan yang baik-baik, perilaku penganutnya tidak demikian?
Salah satu kemungkinan yang bisa menjadi alasan atas kesenjangan tersebut adalah pemahaman agama yang masih sebatas formalitas dan ritualitas belaka. Dalam hal ini, bangsa kita nyaris tidak ada bedanya satu dengan yang lain. Agama
apapun yang mereka anut nampaknya ada tekanan yang berlebihan terhadap ibnnalitas dan ritualitas yang membuatnya tidak seimbang dengan moralitas. Memakai kebiasaan yang ada dalam Kekistenan, kalau orang sudah rajin pergi ke gereja setiap
hari Minggu atau juga rajin dalam kegiatan-kegiatan gereja,
Suirlbangin Pcndidikan Krist€n bagi Pcrla!vanan Tcrhadap Koropsi di Tndonesia
230
maka orang seperti itu sudah dianggap sebagai orang Kristen yang baik. Maka, dari mimbar seringkali diserukan agar orang rajin ke gereja dan aktif dalam berbagai kegiatan gerejawi. Tentu saja tidak ada yang meragukan bahwa rajin ke gereja itu baik. Tetapi jika berhenti sampai di situ saja dan tidak diikuti dengan
perilaku yang baik dalam kehidupan sehari-hari, katakanlah, kalau dia tetap melakukan korupsi, apakah boleh orang seperti itu dianggap sebagai orang Kristen yang baik? Persoalannya kemudian adalah apakah kita bisa dan boleh
menilai perilaku orang? Menilai kehadiran dan keaktifan di Gereja bisa kita lakukan dan sudah sering kita melakukannya. Penilaian semacam ini agak lebih mudah karena sifatnya kuantitatif dan kasat mata. Begitu masuk ke soal moral, kita harus berhadapan dengan soal yang agak abstrak. Tidak mudah menilai moralitas seseorang. Apalagi kalau kita diingatkan agar jangan menilai orang seperti ahli Taurat dan orang Farisi. Penangkapan seorang perempuan yang berbuat zinah sering digunakan sebagai dasar untuk mengatakan: "Jangan menghakimi orang lain." Kalau tidak boleh menghakimi berarti tidak boleh juga memberi penilaian terhadap moralitas seseorang. Akhirnya, orang enggan untuk membuat penilaian moral. Perkecualian hanya diberikan dalarn kasus perzinahan. Pelanggaran "hukum ke-7" ini paling sering menjadi hot topic di Gereja. Kalau ada yang kepergok melakukan affair dengan WIL
atau PIL, seluruh Gereja heboh. Di beberapa Gereja, kasus seperti ini akan sampai berakibat pada ekskomunikasi atau siasat gerejawi. Tetapi, kalau kasusnya bukan pelanggaran "hukum keseheboh itu. Termasuk kalau kasusnya korupsi. Rasanya selama ini belum pemah ada siasat gerejawi yang dikenakan kepada pelaku korupsi. Padahal dos4 perzinahan
7", reaksi orang tidak
tidak lebih besar daripada dosa korupsi bukan? Bahkan jika dilihat dampaknya, bisa jadi dosa korupsi lebih besar daripada dosa perzinahan. Korupsi jelas merugikan banyak orang. Kalau pelakunya pejabat, yang dirugikan makin banyak. Bukan hanya
Robert
Sctit)
231
rugi tapi miskin. Korelasi antara korupsi dan kemiskinan sudah terbukti. Jadi koruptor adalah penyebab kemiskinan rakyat. Dosanya besar sekali! Mestinya kalau yang zinah saja disiasat, yang korupsi lebihlebih lagi. Sayangnya, kita masih harus menantikan ketegasan Gereja dalam soal ini.
Kehebohan lain selain karena kasus perzinahan adalah dalam hal ajaran. Ketika ada orang yang dianggap mengajarkan
ajaran lain yang dianggap sesat maka hebohlah Gereja. Kehebohannya malah tersebar ke seluruh penjuru dunia. Tentu saja tidak salah untuk mempersoalkan ajaran yang melenceng.
Tetapi ketika soal semacam
ini
ditanggapi dengan serius,
mestinya soal moralitas juga. Lagi-lagi kalau memakai penilaian
terhadap dampak dari perbuatan yang salah itu, perbuatan korupsi lebih terasa dan jelas. Jadi perbuatan korupsi seharusnya dilihat setara dengan ajaran sesat bahkan kalau bisa lebih besar lagi tingkat kesesatan yang dikenakan kepadanya. Mengapa hal ini tidak atau belum terjadi? Mungkin seperti yang sering dikatakan, Kekistenan di Indonesia masih lebih mementingkan urusan surga ketimbang dunia. Ajaran dikaitkan dengan surga, sedang korupsi dengan dunia. Maka, urusan ajaran lebih penting daripada urusan korupsi. Padahal Gereja bertanggungjawab atas keberadaannya sebagai pembawa damai sejahtera Allah di dunia ini. Doa Bapa Kami juga berisi permohonan agar kehendak Tuhan terjadi di bumi ini seperti di dalam surga. Gereja di Indonesia berada dalarn lingkungan sosial yang membuat keberadaannya ditentukan oleh aksi-reaksi dengan kelompok masyarakat lainnya. Memahami Gereja di Indonesia tidak bisa tidak rnesti memahami kontek sosial di mana Gereja berada. Dalam hal ini Kekistenan yang seringkali ditempatkan sebagai kelompok minoritas mempunyai andil yang cukup besar. Sudah sejak zaman awal kemerdekaan R[, ketegangan antara keminoritasan orang Kristen dan haknya sebagai warga negara yang setara dengan warga negara lainnya, selalu mewamai hubungan antara orang Kristen dengan orang Islam sebagai
Sunrhrngnn I'c!r(tidtkan Kristen bi'gi I,cIIu{anan Tcrhrdaf Korunsi di lndoncsia
232
agama mayoritas. Ketegangan tersebut terkadang membuat orang
Kristen merasa terjepit, tetapi terkadang pula
hidup pertama, tentram. Kondisi berdampingan dengan aman yaitu terjepit, lebih sering dirasakan ketimbang yang terakhir. Maka, banyak orang Kristen di Indonesia yang merasa tidak aman hidup di negeri sendiri. Salah satu siasat untuk menghadapi masalah ini adalah mencari keamanan di balik mereka yang mempunyai kekuatan untuk melindungi. Bila di zaman Orde Baru, Gereja cenderung berlindung di balik kekuatan pemerintah dan militer, di zaman Reformasi ini, Gereja masih terkadang bersikap sama, vaitu mencari perlindungan pada pemerintah, terkadang pula berlindung di balik ormas-onnas yang dipandang lebih punya kekuatan atau wibawa dibanding pemerintah. Keamanan seringkali menjadi faktor yang diprioritaskan oleh orang Kristen di lndonesia sehingga demi mendapatkannya seakan-akan cara apapun bersedia ditempuh. Pembangunan gedung gereja yang banyak menghadapi rintangan, terutama akhir-akhir ini dan di kota-kota besar, disikapi dengan memakai cara-cara tertentu semata-mata agar diperoleh kemudahan untuk melaksanakannya. Kalau kita merunut ke sejarah masa lampau, sikap Gereja yang menggantungkan diri kepada penguasa sebenamya sudah nampak sejak zaman kolonial. Kala itu bukan hanya Gereja yang membutuhkan penguasa, penguasa kolonial pun membutuhkan Gereja. Keberadaan Gereja memberi keuntungan bagi pemerintah kolonial. Hubungan simbiose mutualistis ini te{alin sedemikian rupa hingga akibatnya Gereja seringkali dipandang sebagai bagian dari kolonialisme. Terlepas dari benar atau tidaknya pandangan ini, bagi Gereja kedekatan dengan penguasa itu mernberikan nilai lebih yang tidak akan dibiarkan lepas begitu saja. Rupanya sampai sekarang pun sikap yang sama masih terus dipertahankan oleh Gereja.
Dalam ajaran Calvinis, Gereja ditempatkan sebagai mitra pemerintah Quxtaposilior). Posisi sebagai mitra itu berarti Gereja tidak berada di bawah ataupun di atas pemerintah. Gereja berdiri
Robet t Sttio
233
sejajar dengan pemerintah. Kedua lembaga ini sama-sama bernrgas unruk menghadirkan Kerajaan Ailah di tengah dunia. Meskipun masing-masing memiliki fungsinya sendiri. Fungsi Gereja adalah mengurusi kerohanian, sedang pemerintah mengurusi keduniawian. Tetapi keduanya tetap melayani orangorang yang sama. Warga Gereja adalah iuga warga negara.
Mereka memiliki kebutuhan yang sifatnya rohaniah, yang dilayani oleh Gereja dan kebutuhan lainnya yang duniawi yang dipercayakan kepada pemerintah untuk mengurusinya. Gereja dan pemerintah berada dalam posisi saling melengkapi. Pengertian melengkapi ini bukan berarti jalan sendiri-sendiri melainkan kerjasama. Dalam kerangka kerjasama itulah, jika terjadi salah satu pihak tidak menjalankan fungsinya, yang lain wajib mengingatkan. Tetapi mengingatkan tidak sama dengan ikut campur atau ambil alih. Gereja dan pemerintah tidak boleh dicampuraduk dan juga tidak boleh saling intervensi. Yang boleh adalah saling mengingatkan saja agar keduanya benar-benar menjalankan fungsinya. Bila ajaran tersebut hendak diterapkan di masa kini, maka perlu ada kitik atau koreksi terhadap apa yang tedadi. Kalau
Gereja melihat pemerintah hanya sebagai pelindung dirinya maka itu sama halnya dengan menempatkan Gereja di bawah pemerintah. Gereja seakan tak berdaya di hadapan pemerintah. Lebih buruk lagi adalah jika Gereja hanya menjadi pendukung buta pemerintah. Apapun yang te{adi pada pemerintah, Gereja tetap memberikan dukungannya. Supaya dengan begitu dia mendapatkan keamanan. Dengan begitu, Gereja sudah bersikap pragmatis dan mengabaikan prinsip bahwa dirinya dan pemerintah sama-sama bemlgas untuk menghadirkan Kerajaan Allah di tengah dunia ini. Ajaran lain dalam Kekistenan (Protestan) yang nampaknya terabaikan adalah Wah1u. Di tengah perjalanan sejarah manusia dengan aneka macam masalah dan kiat-kiat untuk mengatasi masalah-masalah ihi (budaya, peradaban), Wahyu sangat
Sulnbangan Pendidikan Kristen bigi Pcrlawanan Tcrhadap Korupsi di Indonesia
234
diperlukan. Wahlu datangnya dari Allah sendiri. Wahlu tidak sama dan tidak boleh dipersamakan dengan apa saja yang
dihasilkan oleh manusia. Karena silatnya yang ilahi dan interventif ihr, Wahyu seharusnya memberikan warna yang lain bagi kehidupan manusia. Ia seperti sinar yang masuk menghujam dan mengubah. Kehidupan manusia yang dirasuki oleh Wahyu Allah akan berubah.
Ketika ajaran itu kita kenakan kepada budaya manusia, maka semestinya budaya manusia itu akan mengalami perubahan jika disentuh oleh Wahytr. Sentuhan yang mengubah ini terulama
diperlukan untuk membuat budaya manusia selaras dengan kehendak Tuhan. Nyatanya, kita banyak melihat yang sebaliknya, budaya justru lebih dominan daripada Wahyrl, Atau, lebih tepatnya orang lebih menggubris budaya ketimbang Wahyu. Contoh yang paling relevan dalam pembicaraan ini adalah budaya feodal yang menurut Sofian Effendi, mantan Rektor UGM, belum juga memudar dari kehidupan masyarakat kita hingga sekarang. Ia menyebutnya dengan gejala neofeodalisme. Feodalisme atau neo-feodalisme sudah ditengarai sebagai penyebab sulitnya memberantas korupsi di Indonesia. Karena feodalisme, jika ada penguasa melakukan korupsi maka rakyat yang menganggap dirinya lebih rendah daripada penguasa
itu merasa tidak pantas untuk meuegur, mempersalahkannya.
apalagi
Malah ada kesan penguasa
diberi
untuk melakukan tindakan-tindakan yang menguntungkan diri sendiri. Apalagi jika tindakan-tindakan keleluasaan
seperti korupsi itu akhirnya menetes ke bawah juga. Orang-orang
yang berada
di
bawahnya ikut kecipratan "rejeki". Lalu,
korupsinya tidak dipermasalahkan lagi. Bant kalau ada penguasa yang sangat kikir, korupsinya dinikmati sendirian saja, orang menjadi heboh. Jadi, korupsi boleh-boleh saja sejauh dinikmati ramai-ramai. Tentu saia ramai-ramainya dibuat proporsional: yang pangkatnya tinggi dapatnya lebih, yang rendah dapatnya kurang, sesuai dengan porsinya, sesuai dengan kodratnya.
Rohett
Setio
235
Pandangan hidup yang melihat setiap orang sudah ada bagiarurya
sendiri semakin menambah lumpuhnya kitik terhadap korupsi. Budaya seperti ini seakan membuat hidup tidak bisa dan tidak perlu bergerak. Sangat deterministik. Terhadap budaya yang seperti ini seharusnya Wahyu dapat berperan untuk mengubahnya. Tetapi jika orang tidak bersedia mempersilakan Wahyu masuk ke dalam hidupnya, maka pewahyuan seperti tidak ada artinya. Suara Tuhan tenggelam di tengah hiruk pikuknya perilaku tidak bermoral. Pendidikan Kristen Melawan Korupsi
Kalau boleh, saya ingin menggambarkan perjalanan pendidikan Kristen di Indonesia ke dalam tahap+ahap seperti ini:
l.
Tahap Penginjihn-Serba Sukarela
Pendidikan Kristen pada mulanya merupakan bagian dari penginjitan oleh Gereja dan badan penginjilan. Sulit untuk dibantah bahwa tujuan pendidikan Kristen kala itu adalah untuk penginjilan, baik dalam arti khusus yaitu memenangkan jiwajiwa baru maupun dalam arti umum yaitu melepaskan orang dari belenggu kebodohan yang seringkali lekat dengan tahyultahprl. Model pendidikan untuk penginjilan ini masih terasa hingga sekarang meskipun dalam taraf yang semakin menipis. Pada masa kolonial dahulu, pendirian sekolah-sekolah Kristen dirasa sangat membantu masyarakat. Sekolah-sekolah itu diajar oleh guru-guru dengan semangat sukarela yang besar. Pengurbanan lembagalembaga pendiri juga sangat besar disertai dengan dukungan biaya dari hasil persembahan orang-orang Kristen di Eropa. Sehingga sekolah-sekolah itu hampir tidak lagi membutuhkan dukungan dana dari orangtua murid. Anak-anak orang-orang miskin dapat pergi ke sekolah tanpa bayar. Mereka dapat belajar dengan tenang tanpa terganggu dengan urusan biaya. Kita jarang mendengar keluhan orangtua dalam kaitan
S-uint
biigi Perla\\anan ongau Penaitikou f,i.t"n Terhadill KorLrpsi di Indonesia
236
itu. Palingpaling persoalannya adalah tidak tersedianya makanan yang bergizi, juga sepatu dan pakaian yang tidak layak pakai, terkadang ada pula masalah jarak sekolah yang jauh dari rumah sehingga anak harus berjalan be{am-jam untuk sampai di sekolah. Tetapi tidak ada masalah uang sekolah yang mahal, harga buku dan alat tulis yang tidak mampu dibeli seperti di zaman sekarang ini. dengan membayar uang sekolah anak pada zaman
2.
Tahap Semi
Mandiri
Ketika memasuki zaman kemederdekaan, masih banyak sekolah yang mendapat dukungan dari Gereja atau lembaga pendiri di Eropa. Sehingga keadaan belum banyak berubah. Persoalan mulai terasa ketika bantuan-bantuan dari Eropa mulai berkurang seiring dengan semakin renggangnya hubungan antara Indonesia dan Eropa. Tetapi pada saat yang sama sekolahsekolah Kristen juga mulai belajar untuk mengelola dirinya secara swadaya. Mereka mencari dukungan dari anggota Gereja yang terdekat. Uang sekolah juga mulai diadakan, tetapi masih murah. Pada tahun 60an, beberapa sekolah baru didirikan oleh Gereja atau anggota-anggota Gereja yang mendirikan yayasan pendidikan. Sekolah-sekolah ini murni hasil dari gereja-gereja di Indonesia sendiri. Bantuan dari Eropa tetap masih berjalan pada masa ini, terutama untuk sekolah-sekolah di desa-desa atau yang didukung oleh gereja-gereja yang kurang mampu untuk membiayai secara penuh. Sekolah-sekolah Kristen di masa ini
masih diajar oleh guru-guru yang semangatnya mirip dengan guru-gum di masa sebelumnya. Bedanya, mereka ini adalah orang-orang Indonesia sendiri. Kebanyakan mereka adalah lulusan sekolah guru yang di masa sebelumnya sudah berdiri dengan sangat mapan. Lembagalembaga pendidikan Kristen di masa kolonial sudah sadar akan tibanya masa dimana guru-guru lokal akan dibutuhkan. Pendirian sekolah guru di zaman kolonial itu temyata berdampak besar bagi pendidikan Kristen di masa-
Rohttt
Setio
23'7
masa kemudian. Para guru jebolan sekolah guru zaman kolonial dikenal sangat mumpuni. Mereka pandai mengajar dan berdedikasi tinggi. Mutu yang semacam ini akan terasa semakin berkurang pada waktu-wakru selanj utnya.
3.
Tahap Kemandirian Penuh
Era 80an merupakan masa yang sulit bagi sekolah-sekolah yang masih sangat bergantung pada bantuan Eropa. Pemerintah mulai membatasi bantuan (keagamaan) asing yang berdampak pada seretnya bantuan luar masuk ke Indonesia. Di pihak lain, biaya pengelolaan sekolah juga semakin mahal. Bantuan dari pemerintah Indonesia sendiri nyaris tidak ada. Sebagai sekolah swasta, sekolah-sekolah Kristen harus benar-benar mandiri dalam mencukupi kebutuhannya. Sementara itu, sekolah-sekolah negeri juga semakin banyak dan masuk ke pelosok-pelosok. Masyarakat dapat menyekolahkan anak-anaknya ke sekolahsekolah negeri secara gratis. Keberadaan sekolah-sekolah Kristen tidak lagi dibutuhkan sebesar masa sebelumnya. Apalagi kalau untuk menyekolahkan anak di sekolah Kristen, orangtua harus membayar. Belum lagi jika uang sekolahnya dirasa mahal. Maka,
bersekolah
di
sekolah negeri adalah pilihan yang lebih baik.
Sekolah-sekolah Kristen harus menghadapi berkurangnya murid yang bersekolah di sekolahnya. Juga harus menghadapi tuntutan agar uang sekolah dibuat semurah mungkin. Mereka yang masuk ke sekolah-sekolah Kristen pada umurnnya memiliki motivasi keagamaan. Mereka ingin agar anak-anaknya memperoleh pendidikan yang bemuansa Kristen. Pelajaran agama menjadi faktor yang ikut menentukan pilihan orangtua atas sekolah Kristen. Tetapi faktor lain yang tidak kalah pentingnya bagi
orangtua adalah kedisplinan. Kalau sekarang kita mungkin menyebutnya dengan pendidikan karakter. Kesan tentang sekolah negeri sebagai sekolah yang kurang disiplin tertanam kuat di kalangan orangtua yang akhimya memilih sekolah Kristen untuk putra-putri mereka. Di kota-kota besar, orang-orang Kristen lebih
Surrbangarr Pe lrdirl ikan titi.r"n bagi Perla*anan Terhadap Korunsi di lndonesia
238
condong memilih sekolah Kdsten untuk anak_anak mereka. Di samping alasan disiplin, mereka juga punya alasan pergaulan. Mereka ingin agar anak-anaknya bergaul i"nguo t"rnurit".un yang baik, tidak nakal, sopan dan tidak jarang juga, pandai.
Anak-anak dari keluarga Knsten Tionghoa - lebln tanvut. disekolahkan di sekolah Kristen karena kekhawatiran diskiminasi rasial yang banyak terjadi sekolah-sekolah negeri. Saya adalah salah seorang dari anak-anak ini. Bagi saya dan 6agi orangtua saya, sekolah Kristen lebih dapat menerima say:a sebagai orang Tionghoa dan tentu saja Kristen. Teman_teman saya kebanyakan Tionghoa, meskipun waktu saya di SMA (awal S0an) banyak diantara mereka yang beragama Budha atau Kong Hu Cu. Mungkin kalau sekolah Tionghoa diijinkan olei p€merintah, teman-teman saya yang Budha atau Kong Hu Cu ihl akan memilih sekolah di sana. Tetapi karena sekolah Tionghoa dilarang pemerintah maka pilihan terdekat adalah ke sek'olah Kristen. Mengenai guru-guru, saya mulai merasakan perubahan faf\a Ci SMA. Guru-guru SMA saya mulai campuran dari segi kedisplinan dan kesukarelaan. Nampaknya mulai ada hitun!_ hitungan materi. Motivasi mereka, boleh dikatakan, mulii mencari uang. Padahal gaji guru tidak besar. Jalan keluamya adalah memberi lesJesan kepada murid-muridnva sendiri. Murid-muridnya juga senang les dengan gurunya. dengan maksud yang sudah jelas: tahu soal yang akan keluar waktu ulangan. Seingat saya, waktu itu pimpinan sekolah tidak melarang guru memberi les muridnya sendiri. Mungkin sistem kolusi masih baru saja dimulai sehingga belum teilalu terasa
akibatnya.
4.
Tahap komersialisasi pendidikan
Sekarang ini keadaan sudah banyak berubah, apalagi jika dibandingkan dengan masa koloniat dahulu. Sekolah-sikolah Kristen sudah banyak yang tutup akibat tidak mampu membiayai dirinya sendiri. Murid mereka semakin sedikit dan tidak mungkin
not.it sit;,,
239
dengan bayaran uang sekolah dari mereka, sekolah mampu untuk menutup semua pengeluaran. Sementara bantuan luar negeri sudah nyaris nol seiring dengan semakin kecilnya persembahan Gereja. Jangankan membantu orang lain, membiayai keperluan sendiri saja gereja-gereja di Eropa sudah hampir tidak bisa.
Gedung-gedung Gereja di Eropa banyak yang terpaksa dijual karena tidak ada lagi umatnya dan tidak mungkin membiayai operasional gedung-gedung itu. Nasibnya mirip dengan banyak sekolah Kristen di Indonesia. Bertumbuhnya sekolah-sekolah Islam di daerah-daerah membuat anak-anak Muslim memilih
Di kota-kota, menjamumya sekolah-sekolah yang didirikan oleh Gereja maupun perorangan, baik yang Kristen maupun yang tidak berkiblat ke agama tertentu dan dikelola dengan cara-cara yang sesuai dengan selera modern pergi ke sekolah-sekolah itu.
(full-day school, memakai Bahasa Inggris, Mandarin dan menyediakan fasilitas yang canggih, berAC, ada lapangan olahraga yang bagus, dsb.) membuat orang berpikir dua kali jika hendak memasukkan anak-anaknya di sekolah-sekolah Kristen yang sudah tua usianya. Sekolah-sekolah Kristen zaman dulu yang mau survived harus ikut menyesuaikan diri dengan trend masa kini alias ikut menyediakan fasilitas modern yang canggih dan lengkap itu. Hanya dengan cara itu mereka mampu menarik perhatian calon murid. Dari sisi guru-gurunya, guru model Omar Bakie sudah tidak nampak lagi. Yang ada adalah guru-guru yang penampilannya gaul banget. Salah seorang guru anak saya punya hobi mobil o1l-vssd yang sekali latihan habisnya kalau tidak salah sekitar 3 juta. Entah dari mana dia mendapat uang untuk membiayai hobinya yang mahal itu. Tetapi muridmuridnya senang dengan gurunya itu. Kalau di zaman sekarang masih ada guru yang belum melek intemet, pasti akan menjadi bahan ledekan murid-muridnya. Bahan ajar mereka juga perlu dikemas dalam format Power Point yang canggih agar menarik perhatian murid-muridnya, meskipun murid-muridnya tetap lebih jago dalam soal-soal seperti itu. Bagi pihak pengelola sekolah,
b.gi P,:rla\onnn Suurbansan Pcn(lrd jkiln K.'sten Koruf si di lndoncsia Tcrhadrn
240
sudah jelas bahwa untuk menyesuaikan diri dengan trend masa kini, mereka harus menyediakan biaya yang besar. Uang sekolah menjadi tinggi. Kalaupun mau memberi beasiswa untuk murid kurang mampu, jumlahnya tidak mungkin besar dan harus merupakan subsidi silang dengan murid yang mampu. Tidak ada sumber dana lain yang bisa diharapkan selain dari orangtua murid. Sementara, para orangtua murid semakin merasa berat untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Punya anak di zaman sekarang jauh lebih berat daripada di zaman dulu karena kebutuhannya jauh lebih besar termasuk kebutuhan untuk sekolah. Keluhan seperti ini sudah terlalu sering kita dengar. Kita sudah memasuki zaman ekonomi liberal yang sangat liberal dan jauh lebih berbahaya daripada liberal secara agama. Tetapi nampaknya semua orang tenang-tenang saja. Tidak ada perlawanan terhadap trend yang menghancurkan ini. Rupanya orang sudah terlanjur senang dengan penampilan mewah dan kurang menghargai kesederhanaan. Gaya hidup sekarang membuat pendidikan Kristen kehilangan baik makna
pendidikannya maupun makna Kristennya. Tetapi kita tidak boleh menyerah. Pe{uangan masih harus kita lakukan bermodalkan aspek-aspek keutamaan dari pendidikan Kristen. Beberapa diantaranya adalah:
a. Integritas Pendidikan Kristen perlu mendudukan dirinya pada posisi
pendidikan yang sejati. Kalau sekarang pendidikan sudah diarahkan oleh bisnis yang membuat sekolah hanya menjadi batu loncatan untuk bekerja dan mendapatkan uang sebesar-besamya,
pendidikan Kisten ditantang untuk mempertahankan dan mengembalikan cita-cita pendidikan yang sebenarnya yaitu menjadikan manusia sebagai makhluk yang utuh. Utuh pertamatama berarti tidak diarahkan hanya oleh keinginan materi belaka. Potensi kemanusiaan seseorang ada banyak dan itu harus
dikembangkan secara seimbang.
Rohet t S(tio
Untuk iru,
seseorang
241
membutuhkan integritas agar ia tidak ikut-iL-utan yang lain. Melawan korupsi tidak bisa tidak harus didasari oleh integritas yang membuat orang tidak tergoda oleh hasutan orang lain dan godaan uang yang sangat menggiurkan itu. Dengan integritas pula, ketika seseorang menemui penyimpangan, ia akan dengan
berani membongkamya demi meluruskan yang bengkok. Integritas juga tidak membuat orang bersikap mendua: bila kawan sendiri dibiarkan, bila orang lain disalahkan. Atau, kalau yang salah sesama orang Kristen, dimaklumi saja, tapi kalau yang salah orang yang beragama lain, langsung digembargemborkan. Minoritas juga tidak boleh dijadikan alasan untuk
menutupi kesalahan. Biarpun minoritas, kalau memang salah harus dikatakan salah. Orang yang memiliki integritas tidak akan membeda-bedakan orang secara primordial.
b. Kritis Senior saya, Prof. E.G. Singgih, menilai adanya pengaruh Kekistenan bagi proses modemisasi di Indonesia. Alasannya adalah melalui Kekistenan masyarakat diperkenalkan dengan kehidupan modem yang ditandai dengan cara berpikir kritis dan mandiri. Ketika para penginjil datang, mereka banyak mengubah cara pandang masyarakat yang masih sangat percaya kepada tahyul-tah),u1. Kepercayaan kepada tahyul bermasalah bukan pada jenis-jenis tahyulnya, namun pada cara berpikir orangorang yang mempercayainya. Mereka yang percaya tahyul, mudah sekali menerima penjelasan yang sederhana namun sebenamya bohong belaka. Kalau ada sesuatu yang tidak benar
kemudian dijelaskan sebagai akibat dari suatu kekuatan supranatural tertentu ihr merupakan tahyul. Kalau orang mempercayainya, ya, persoalan itu selesai sarrpai di situ. Jawaban sudah ditemukan. Tetapi jawaban itu, kan, sebenarnya menipu. Harusnya orang didorong untuk meneliti lebih jauh apa yang sebenamya tefadi. Penelitian adalah ciri khas ilmuwan, ciri klus pendidikan juga. Jika orang sudah terbiasa meneliti sebuah
Suolbangan Pcndidikan Kristen bagi Perla!vanan Tcrhadap Korupsi di lndonesia
242
persoalan, maka dia tidak akan gegabah untuk menerima penjelasan tahyul. Orang itu juga akan lebih mantap dalam mengambil kesimpulan sehingga tidak mudah terbawa oleh pikiran yang aneh-aneh. Selubung tahyul harus dibuka, bukannya diperteguh. Pendidikan memiliki potensi ke arah itu. c. Egalitarianisme Pendidikan Kristen dibangun atas dasar pandangan bahwa di hadapan Tuhan. Tuhan adalah pencipta seluruh umat manusia. Perbedaan bangsa, bahasa dan budaya, bukan menjadi alasan unhrk meninggikan orang tertentu dan merendahkan yang lain. Atas dasar pemahaman itu, kesempatan yang sama harus diberikan kepada semua orang untuk semua manusia sama
memperoleh berkatberkat Tuhan. Tidak ada orang yang berkatnya lebih banyak daripada yang lain, jika memang semua orang sama di depan Tuhan. Perbedaan tingkat berkat harus dikatakan sebagai tanda ketidakadilan yang sumbemya adalah nafsu manusia belaka. Justru ketidakadilan itulah yang menghalangi damai sejahtera Tuhan. Kedatangan Tuhan ke dalam dunia adalah dalam rangka memastikan adanya damai sejahtera itu. Tuhan Yesus selama hidupNya di dunia seringkali melawan para penguasa yang hanya mencari keuntungan bagi dirinya sendiri. Para reformator tidak dapat berdiam diri melihat korupsi yang dilakukan oleh para petinggi Gereja yang karena posisinya yang lebih tinggi memperoleh kesempatan untuk melakukan korupsi tanpa dapat dikontrol. Gereja Protestan ada untuk menjamin egalitarianisme (I Petrus 2.9). d. Pietisme-lnjili
injili mendorong banyak orang dunia untuk mengabarkan kabar gembira mengenai tindakan penyelamatan Allah melalui Yesus Kristus. Banyak sudah penjelasan yang diberikan mengenai gerakan penginjilan oleh orang-orang Eropa tersebut. Tetapi tidak banyak yang mengaitkan gerakan tersebut dengan situasi Pada abad ke-19, semangat
pergi ke berbagai tempat
di
Rohttt
S.tib
243
masyarakat Eropa barat wakhr itu. Keberhasilan kolonialisme oleh bangsa-bangsa Eropa seperti Inggris, Belanda, Perancis, dst., membuat Eropa kaira raya. Hidup dalam kelimpahan membuat banyak orang beranggapan inrlah puncak pencapaian peradaban manusia. Segala yang terbaik telah mampu
didapatkan. Ironisnya, tidak sedikit juga yang merasakan kehilangan pegangan hidup. Mereka berlimpah dengan harta, namun merasa kering mengenai arti hidup. Hedonisme yang menjadi gaya hidup masyarakat dianggap tidak membawa orang pada kedalaman makna hidup. Pietisme yang sudah terlebih dahulu teiadi di abad-abad sebelumnya berhasil memberikan harapan. Mereka yang terpanggil untuk melakoni hidup dalam kesalehan menyediakan diri untuk melayani sebagai pekabarpekabar injil. Mereka dapat Cikatakan melawan hedonisme dengan cara mereka sendiri yaitu dengan pergi ke tempat-tempat yang jauh dengan bekal seadanya unhlk mengikuti jejak Yesus dari Nazaret. Yesus yang sederhana dan berkeliling ke satu dan lain tempat, tanpa peduli dengan rumah dan kemapanan. Metode yang dipratikkan Yesus dalam mengabarkan Injil, diikuti oleh para pekabar injil pietis itu. Sekarang roh Pietisme sudah nyaris menghilang. Gerejagereja sudah sibuk dengan urusan dirinya sendiri yang seringkali beradi memperbesar "kerajaannya" sendiri. Gedung-gedung Gereja yang megah bermunculan di mana-mana tanpa merasa risih dengan lingkungan sekitamya yang terdiri dari rumahrumah sederhana dan gubuk-gubuk reyot. Kalaupun Pietisme masih tersisa, bentukrya sudah tidak lagi sama dengan yang kita lihat ada pada diri Yesus yang sederhana dan dengan sengaja menolak segala bentuk kemewahan materi yangjika Ia mau akan dengan mudah diperoleh-Nya. Dunia masa kini membutuhkan Pietisme, terutama Pietisme sosial yaitu Pietisme yang mengikutsertakan seluruh masyarakat dan tidak berlelah-lelah untuk mengajak masyarakat menjalani Pietisme itu. Masyarakat kita membutuhkan penginjilan yang membawa orang pada Yesus
Surrbangan Pcndidikan Krislen Uagi ec.torijonon Terhadap Korupsi di lndooesia
244
sebagaimana dipersaksikan oleh kitab-kitab
Injil dan
ditegaskan
kebenarannya oleh para rasul serta para bapa Gereja yang sekalipun memiliki kekayaan namun bersedia meninggalkannya demi pelayanan bagi sesama.
e. Panutan Masyarakat kita sekarang ini membutuhkan panutan yang dapat membawa mereka pada harapan untuk bisa keluar dari hedonisme penyebab korupsi. Tanpa adanya panutan itu, mereka akan semakin tenggelam dalam keputusasaan dan apatisme. Pendidikan Kristen pada dirinya sendiri dapat menjadi panutan, terutama ketika ia berhasil menjalankan suatu pendidikan yang sebenamya dan roh Kekristenan yang berpusat pada Yesus dari Nazaret. Masyarakat kita tidak terlalu memedulikan soal agama atau etnis atau identitas apapun jika mereka melihat adanya panutan yang sejati. Sekolah-sekolah Kristen, guru-guru Kristen, murid-murid Kristen, Gereja dan siapa saja yang terlibat dalam pendidikan Kristen perlu introspeksi dan bila perlu melakukan reposisi agar mereka dapat menjadi panutan bagi masyarakat luas. Dalam pendidikan, panutan memegang peranan penting. Guru yang bisa menjadi panutan bagi para muridnya akan lebih berpengaruh dalam perubahan hidup para muridnya. Sekolah yang memberi inspirasi bagi masyarakatnya akan mendorong te{adinya sebuah perubahan. Perubahan untuk menjadi lebih baik. Perubahan untuk membebaskan diri dari korupsi yang merusak dan mematikan itu.
Refleksi Teologis Pengalaman pahit bangsa Israel
di
pembuangan membuat
mereka berefleksi atas keadaan hidup mereka dan tiba pada kesimpulan bahwa sekalipun mereka adalah bangsa terpilih, namun bukan berarti mereka tidak dapat mengalami nasib buruk. Pembuangan telah mengajar Israel untuk tidak melihat status umat pilihan sebagai jaminan keamanan yang abadi sifatnya.
Rohert
S(tio
245
Keamanan bisa suatu kali dicabut dari dalam hidup mereka. Babel adalah negeri yang penuh bahaya bagi Israel. Keadaan buruk yang terus menerus menimpa negeri kita menjadi tanda bagi kita untuk memikirkan apa yang pemah dipikirkan oleh Israel tadi. Hidup kita sekarang tidak lebih baik daripada Israel di tanah pembuangan. Kekristenan kita temyata bukan jaminan bahwa kita akan terus menerus mengalami kesejahteraan. Jika kita melakukan kesalahan, maka konsekuensinya adalah hukuman. Hukuman yang sedang menimpa bangsa kita adalah cambuk pelajaran. Pelajaran agar kita tidak berdiam diri dengan semua penyimpangan yang te{adi. Bahkan di saat menjalani hukuman inipun masih banyak orang yang tidak menyadarinya dan terus menerus hidup dalam gelimang dosa korupsi. Kita agaknya jauh lebih buruk daripada Israel yang lebih tahu bagaimana caranya dan kapan saatnya bertobat. Sedang bangsa ini, jangankan mau bertobat, sadar akan kesalahannya pun masih belum.
Bagi orang Kristen, hukuman tidak dapat dilepaskan dari anugerah keselamatan. Percaya kepada Yesus membuat kita diijinkan untuk menikmati anugerah keselamatan itu. Tetapi peringatan dari surat Yakobus: "iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong" (Yakobus 2:20), patut kita camkan. Yakobus berkata begitu oleh karena ia mendapati orang-orang yang menyalahgunakan anugerah Tuhan yang Mahabaik. Rahmat Allah dimengerti sebagai tindakan yang murahan dan tidak membutuhkan respon manusia. Padahal manusia tetap harus
bertanggungjawab atas hidupnya. Anugerah dari Allah memberikan kelegaan bagi manusia, namun bukan kelegaan untuk hidup dalam gelimang dosa. Karena jika kelegaan itu sej ati, seharusnya tidak ada dosa di sana. Kelegaan yang disertai dosa hanya membuat kelegaan iru terasa semu dan penuh dengan
anugerah
Kita tidak dapat secara total hidup dalam Allah andaikata masih rnenyimpan perbuatan-
perbuatan
tidak bermoral seperti korupsi. Anugerah Allah
kepura-puraan.
Sumbangrr Pend'dikan fti.,." L"-ei p"rIa\\.anan Terhadan Korupsi di lndonesia
246
seharusnya menjadi "air dingin" yang membangunkan kita dari
tidur panjang yaitu kesan bahwa hidup yang salah
seperti
sekarang ini adalah hidup yang normal-normal saja.
Kritik
pedas para nabi seperti Amos terhadap perasaan
aman yang palsu dari mereka yang hidup berkelimpahan adalah
suatu cara lain dari Allah dalam menyadarkan
manusia.
Keamanan yang semu juga terjadi di Indonesia sekarang ini. Tiap kali ada kitik dan bukti bahwa rakyat makin sengsara, kita selalu disuguhi dengan data dan retorika yang sebaliknya yaitu bahwa indonesia sudah semakin baik secara ekonomi, sudah semakin
demokatis dan semakin aman. Tetapi itu sungguh suatu rasa tentram yang palsu jika dipercaya. Karena keadaan yang sebenamya adalah masih amburadulnya kepengurusan negara, bahkan gagalnya negara dalam mengorganisir perangkatnya sebagai akibat dari lemahnya kepemimpinan Kepala Negara. Kegagalan negara ihr dapat dibuktikan dengan semakin merajalelanya kelompok-kelompok garis keras yang dengan arogannya menindas kelompok-kelompok kecil yang tidak memiliki kekuatan yang seimbang dengan mereka. Polisi hanya menjadi penonton saja atas kesewenang-wenangan itu dan setelah semuanya porak poranda, polisi justru menyalahkan korban yang lagi-lagi karena tak punya kekuatan hanya bisa terdiam mendengar analisa asal-asalan dari polisi itu. Orang Kristen tidak sehanrsnya mendiamkan itu semua. Kecenderungan untuk hanya melontarkan protes bila yang jadi sasaran adalah dirinya sendiri, seharusnya diubah menjadi protes ketika siapapun jadi bulan-bulanan kelompok-kelompok yang suka main hakim sendiri. Juga protes ketika polisi hanya marnpu menunjukkan wibawanya di depan mereka yang lemah dan justru menciut ketika menghadapi arogansi kelompok yang kuat. Keberanian para nabi dalam membongkar ketidakbenaran dan ketidakadilan adalah cermin keterlibatan Allah dalam sejarah manusia. Ketika manusia berjalan di jalan yang salah, Allah memberikan teguran lewat para nabi. Gereja di masa sekarang
RoberI
SeIio
247
tidak dapat mengabaikan tugas kenabian ini. Suara kenabian masih harus diperdengarkan dengan lantang dan jangan dibuat melempem karena kepentingan-kepentingan sesaat. Kuasa Roh Kudus harus dinyatakan oleh Gereja sebagai perwujudan dari
kehadiran Allah. Kuasa Roh Kudus adalah kuasa yang meluruskan yang bengkok sebagaimana Yohanes Pembaptis berseru-seru di padang gurun. Kuasa Roh Kudus adalah kuasa yang menurunkan para pejabat yang lalim dan menaikkan orangorang miskin dan teraniaya sebagaimana Nyanyian Maria dalam
lnjil
Lukas. Muara dari semua itu adalah keadilan ditegakkan. Risiko selalu ada jika Gereja bersedia menjalankan rugas
panggilannya. Tetapi risiko yang lebih besar sudah ditanggung oleh Tuhan Yesus sendiri di atas kayu salib. Maka, seharusnya
tidak ada lagi penderitaan dan kematian yang seberat Yesus. Gereja "hanya" perlu menanggung sekian persennya saja dari via
dolorosa- Tetapi seberapapun beratnya risiko yang harus ditanggung Gereja, tidak seharusnya Gereja menjadi takut dan gemetar. Gereja hanya takut dan gemetar di hadapan Tuhan saja, tidak di hadapan pemerintah atau penguasa dunia. Gereja yang masih menyimpan ketakutan terhadap kekuatan manusia tidak mungkin mampu menjalankan tugas panggilanNya. Misi Allah tidak mungkin ditanggunkan atas Gereja yang demikian. Dan, akhimya identitas Gereja rnenjadi hilang. Mungkin tidak secara formal dan ritual, namun, ya, secara esensial. Penutup Investasi yang sudah dibuat oleh pendidikan Kristen bagi pembangunan masyarakat sudah cukup terbukti, namun bila diukur dari sejak zaman kolonial maka yang terlihat adalah garis menurun yang stabil dan mungkin sekarang ini menukik ke bawah dengan tajam. Sungguh sebuah ironi bahwa ketika pendidikan Kristen masih sangat kolonial, orang-orang yang manjalankannya memiliki dedikasi yang sangat tinggi. Sekarang, ketika sudah lepas dari kolonialisme, justru semakin jarang
SLr
rrhrn;
il PcI.ir,l rk.rn Krr.rcn bxgr Pcrl.r$on:n Terhadap Koruf si di IndoDesia
248
didapati adanya oftmg-orang yang berdedikasi tinggi, berjiwa guru sejati, rela berkurban tanpa pamrih dan hanya beke{a demi kebaikan para murid fuelayanan total). Tetapi tidak perlu kita meratapi keadaan terus menerus. Yang kita perlukan sekarang ini adalah mengumpulkan sisa-sisa semangat dan energi untuk membangun suatu pendidikan Kristen
yang sejati yaitu suatu pendidikan Kristen yang
dapat
menghasilkan lulusan yang benci terhadap korupsi dan hitis terhadap para pelaku korupsi. Para lulusan yang bersedia melayani bangsa dan negara secara total seperti Yesus dalam pelayananNya kapada siapa saja yang ditemuiNya, bahkan
kepada seluruh umat manusia tanpa membeda-bedakan. Semuanya hendaknya ditujukan untuk kemuliaan Allah semata.
rstevan Sullivan, Man
lor A
Postcorrrmunitt
Era, On Poterty,
Corruption, and Banolity (London-New York Routledge, 2002), hlm, 95.
'I
oikutip dari kompas.corq Minggu, l6 September 2012, 12:52. Merdeka.com,29 Agustus 2012,
Robert
ll:30.
Setio