UJPH 5 (3) (2016)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
HUBUNGAN KEPARAHAN PENYAKIT, AKTIVITAS, DAN KUALITAS TIDUR TERHADAP KELELAHAN PASIEN SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS Rizky Ayu Fandika Asih , Dyah Mahendrasari Sukendra Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima 30 Mei 2016 Disetujui 22 Juni 2016 Dipublikasikan Juli 2016
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun yang prevalensinya tiap tahun meningkat di dunia maupun di Indonesia. Kelelahan yang parah dapat menyebabkan kekambuhan pada pasien SLE. Kelelahan merupakan gejala yang paling melemahkan dan mengganggu fungsi fisik, sosial dan emosional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kelelahan pada pasien SLE di Yayasan Lupus Indonesia Panggon Kupu Semarang. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik dengan rancangan penelitian cross sectional. Sampel penelitian adalah 30 pasien SLE yang diperoleh dengan menggunakan teknik Total Sampling. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat. Hasil analisis bivariat menunjukan faktor yang berhubungan dengan kelelahan yaitu: tingkat keparahan penyakit (r value = 0,853, sig = 0,00) dan kualitas tidur (r value = 0,796, sig = 0,00), dan faktor yang tidak berhubungan yaitu aktivitas fisik (r value = -0,79). Hasil analisis multivariat menunjukan faktor yang paling dominan yang berhubungan dengan kelelahan yaitu kualitas tidur (p value = 0,043, exp (OR) = 16,500) memiliki probabilitas terhadap terjadinya kelelahan sebesar 61,89%.
________________ Keywords: Fatigue; SLE ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ Systemic Lupus Erythematosus ( SLE ) was an autoimmune disease whose prevalence was increasing every year in the world as well as in Indonesia. Severe fatigue can lead to relapse in patients with SLE. Fatigue was a symptom of the most debilitating and interfere with the functioning of physical, social and emotional. The objective of the study to know factors associated with fatigue in patients SLE at Indonesian Lupus Panggon Kupu Foundation in Semarang City. This research was descriptive analytic research with Cross Sectional design. The samples were 30 patients with SLE were obtained using total sampling technique. Data analysis was performed using univariate and bivariate. Bivariate analysis results showed that factors associated with fatigue were: the severity of disease (r value = 0,853, sig = 0,00) and sleep quality (r value = 0,796, sig = 0,00), while the factors that was not associated were: physical activity (r value = -0,79). Multivariate analysis showed that the most dominant factor associated to the fatigue was the quality of sleep (p value = 0,043, exp (OR) = 16,500) have the probability of the occurrence of fatigue by 61.89 %.
© 2015 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Gedung F5 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail:
[email protected]
ISSN 2252-6781
221
Rizky Ayu Fandika A dan Dyah Mahendrasari S / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
PENDAHULUAN
Menurut Farkhati (2012) SLE merupakan penyakit autoimun yang bersifat sistemik. Selama lebih dari empat dekade angka kejadian SLE meningkat tiga kali lipat yaitu 51 per 100.000 menjadi 122-124 per 100.000 penduduk di dunia. Prevalensi SLE di Amerika Serikat adalah 15-50 per 100.000 populasi. Setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 penderita SLE baru di seluruh dunia. Semua ras dapat menjadi golongan penderita SLE. Wanita AfrikaAmerika mempunyai insidensi tiga kali lebih tinggi dibandingkan kulit putih. Kecenderungan perkembangan SLE terjadi pada usia muda dan dengan komplikasi yang lebih serius (Manson dan Rahman, 2006). Data antara tahun 1988-1990 di Indonesia, insidensi rata-rata penyandang SLE adalah sebesar 37,7 per 10.000 perawatan dan cenderung meningkat dalam dua dekade terakhir. Jumlah penderita SLE di Indonesia cenderung meningkat. Berdasarkan data tahun 2002, Yayasan Lupus Indonesia mencatat 1.700 orang dan pada tahun 2007 berjumlah 8.672 penderita SLE, dengan 90 % wanita (Savitri, 2005). Tahun 2014 yang tercatat menurut Yayasan Lupus Indonesia Panggon Kupu Semarang yaitu 58 orang. Kelelahan pada penderita SLE merupakan hal biasa yang sering dirasakan. Penelitian telah menunjukkan bahwa 5380% pasien SLE mengalami kelelahan sebagai salah satu gejala utama mereka. Pada 30-50% pasien SLE, kelelahan adalah gejala yang paling melemahkan dan mengganggu fungsi fisik, sosial dan emosional (Avina, 2007). Menurut Indonesian Rheumatology Association (2011) penyebab utama morbiditas pada pasien SLE adalah kelelahan, penurunan
kualitas hidup, dan tingkat keparahan SLE dengan beberapa kriteria SLE ringan dan berat. Faktor-faktor yang berkaitan dengan kelelahan pada pasien SLE berupa faktor yang tidak dapat diubah (tingkat keparahan penyakit) dan faktor yang dapat diubah (aktivitas fisik, kualitas tidur) (Grace, 2012). Kematian pasien SLE yang diakibatkan kelelahan juga belum diketahui secara pasti, tetapi kelelahan dapat memicu pasien SLE mengalami kekambuhan. Kekambuhan pada penyakit SLE jika tidak segera ditangani akan mengakibatkan komplikasi pada organ tubuh lainnya. Penyakit SLE tersebut memperlihatkan 2 puncak kejadian kematian, yaitu satu puncak akibat komplikasi yang tidak terkontrol, dan satu puncak lain akibat komplikasi kortikoterapi. Penyebab utama kematian pasien SLE 90% diakibatkan oleh infeksi dan 10% kematian pasien SLE diakibatkan organ yang sudah mengalami komplikasi seperti gagal ginjal dan kerusakan SSP (Urowitz, 2005; Squance et al, 2014). METODE
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik dengan rancangan penelitian cross sectional. Penelitian ini dilakukan di Yayasan Lupus Indonesia Panggon Kupu Semarang. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien SLE di Yayasan Lupus Panggon Kupu. Sampel penelitian berjumlah 30 responden yang memeuhi kriteria inklusi dan eksklusi sampel penelitian dan diperoleh dengan menggunakan teknik Total Sampling. Cara pengambilan sampel diambil dari rekam medik hasil tes Anti nuclear antibodi (ANA), hasil tes double stranded-DNA (Anti DS
222
Rizky Ayu Fandika A dan Dyah Mahendrasari S / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
DNA) dan pasien yang sesuai dengan kriteria American College of Rheumatology (ACR) 1997. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) dokumentasi catatan medik hasil tes Ds-DNA dan ANA, 2) kuesioner penelitian (FSS, MEX-SLEDAI, IPAQ, PSQI). Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis menggunakan rumus statistik uji Rank Spearman dan uji multivariat Regresi Logistik Ganda. Analisis univariat dilakukan untuk melihat distribusi karakteristik responden yang terdiri atas distribusi usia, jenis kelamin dan status pekerjaan, sedangkan analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara tingkat keparahan penyakit, aktivitas fisik dan kualitas tidur dengan kelelahan pada pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di Yayasan Lupus Indonesia Panggon Kupu Semarang tahun 2014.
Analisis Multivariat dilakukan untuk mengetahui variabel bebas (tingkat keparahan penyakit, aktivitas fisik dan kualitas tidur) yang paling dominan mempengaruhi kelelahan pada pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di Yayasan Lupus Indonesia Panggon Kupu Semarang tahun 2014. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden
Hasil analisis univariat bertujuan untuk melihat distribusi karakteristik responden di Yayasan Lupus Indonesia Panggon Kupu Semarang tahun 2014 dan untuk mendeskripsikan variabel penelitian yang disajikan dalam distribusi frekuensi dalam bentuk persentase dari tiap variabel. Hasil analisis univariat dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1. Distribusi Karakteristik Responden No 1. 2. 3. 1. 2. 1. 2.
Karakteristik Responden Usia 16 - 25 Th 26 - 35 Th >36 Th Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Status Pekerjaan Bekerja Tidak Bekerja
Frekuensi N= 30
Persentase (%) F= 100%
19 10 1
63.4% 33.3% 3.33%
0 30
0% 100%
0 30
0% 100%
*hasil Statistic Deskriptive Berdasarkan hasil analisis univariat menggunakan uji Statistic Deskriptive menunjukan bahwa responden yang paling banyak terdapat pada kelompok umur 16 -
25 tahun sebanyak 19 orang (63,4%), responden pada kelompok umur 26 - 35 tahun sebanyak 10 orang (33,3%). Umur
223
Rizky Ayu Fandika A dan Dyah Mahendrasari S / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
yang paling tua yaitu 36 tahun berjumlah 1 orang (3,33%). Jenis kelamin responden dibagi menjadi 2 yaitu laki-laki dan perempuan. Responden dengan jenis kelamin perempuan sebesar 30 orang (100%) dan tidak ada responden dengan jenis kelami laki-laki (0%).
Status pekerjaan responden dalam penelitian ini dibagi menjadi 2 yaitu bekerja dan tidak bekerja. Responden yang tidak memiliki pekerjaan atau tidak bekerja sebanyak 30 orang (100%) dan tidak ada responden yang memiliki pekerjaan atau bekerja (0%).
Tabel 2. Variabel Penelitian No 1. 2. 1. 2. 1. 2. 3. 1. 2.
Variabel Kelelahan Menderita kelelahan Tidak menderita kelelahan Keparahan Penyakit Ringan Berat Aktivitas Fisik Ringan Sedang Berat Kualitas Tidur Baik Buruk
Frekuensi N= 30
Persentase (%) F= 100%
17 13
56.7% 43.4%
13 17
43.4% 56.6%
20 8 2
66.7% 26.6% 6.7%
2 28
6.7% 93.3%
*hasil Statistic Deskriptive Deskripsi Variabel Penelitian
Berdasarkan hasil analisis univariat pada variabel penelitian menunjukkan bahwa frekuensi terbesar responden yang mengalami kelelahan yaitu 17 responden (56.7%), frekuensi terbesar tingkat keparahan penyakit pada responden adalah tingkat keparahan penyakit berat yaitu sejumlah 17 responden (56.6%) dan responden dengan aktivitas fisik ringan yaitu sebesar 59 responden (71.95%). Frekuensi terbesar kualitas tidur adalah 28 responden (93.3%) mengalami kualitas tidur yang buruk.
Hubungan Tingkat Keparahan Penyakit, Aktivitas Fisik dan Kualitas Tidur terhadap Kelelahan pada Pasien SLE
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara tingkat keparahab penyakit, aktivitas fisik dan kualitas tidur terhadap kelelahan pada pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di Yayasan Lupus Indonesia Panggon Kupu Semarang tahun 2014. Hasil dari uji RankSpearman tersebut dapat dilahat pada Tabel 3.
224
Rizky Ayu Fandika A dan Dyah Mahendrasari S / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
Tabel 3. Hubungan Tingkat Keparahan Penyakit, Aktivitas Fisik, Stres, Kecemasan, Depresi dan Kualitas Tidur dengan Kelelahan pada Pasien SLE Variabel 1. 2. 3.
Tingkat Keparahan Penyakit Aktivitas Fisik Kualitas Tidur
Kelelahan r value 0.853* -0.79 0.796*
Sig/p value 0.00** 0.678 0.00**
OR 4.224 1.575 4.541
Keterangan : tanda (*) menunjukkan r-value > r-tabel (0.361) tanda (**) menunjukkan p-value < 0,05 Berdasarkan tabel 3. diketahui bahwa dari 2 variabel yang diteliti menunjukkan adanya hubungan yang signifiksn dengan kelelahan pada pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di Yayasan Lupus Indonesia Panggon Kupu Semarang tahun 2014 yaitu tingkat keparahan penyakit (r value = 0,853, p=0,00, OR=4,224) dan kualitas tidur (r value = 0,796, p=0,00, OR=4,541) dan faktor yang tidak berhubungan yaitu aktivitas fisik (r value = 0,79, p=0,678, OR=1,575). Variabel dikatakan ada hubungan jika nilai p < α (0,05) dan (r value > r tabel).
Faktor yang paling Dominan Berhubungan dengan Kelelahan
yang
Analisis Multivariat dilakukan untuk mengetahui variabel bebas (tingkat keparahan penyakit, aktivitas fisik dan kualitas tidur) yang paling dominan mempengaruhi kelelahan pada pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di Yayasan Lupus Indonesia Panggon Kupu Semarang tahun 2014. Hasil dari uji Regresi Logistik Ganda tersebut dapat dilihat pada Tabel 4 dan 5.
Tabel 4. Hasil Seleksi Kandidat Analisis Multivariat Terhadap Kelelahan p-value
Variabel Bebas Tingkat keparahan penyakit Aktivitas fisik Kualitas tidur
0.00* 0.678 0.00*
Keterangan tanda (*) menunjukkan p-value <0,25 Tabel 5. Hasil Analisis Multivariat Variabel Bebas Tingkat keparahan penyakit Kualitas tidur
B 16.500 1.077
Berdasarkan tabel 5. diketahui bahwa setelah dilakukan regresi logistik ganda terhadap variabel yang memenuhi syarat, menunjukkan hasil bahwa variabel yang dominan yang berhubungan terhadap kelelahan pada pasien Systemic Lupus
p-value 0,043 0,999
95% CI 1.088 – 250.176 0.000 - .
Erythematosus adalah kualitas tidur dengan nilai p atau sig < α (0,05) dan memiliki nilai exp atau OR terbesar yaitu 16,500 yang artinya kualitas tidur yang dirasakan responden mempunyai peluang 17 kali dapat menyebabkan kelelahan. Hasil
225
Rizky Ayu Fandika A dan Dyah Mahendrasari S / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
analisis multivariat menghasilkan model persamaan regresi dengan nilai probabilitas sebesar 61.89%. Hubungan Tingkat Keparahan Penyakit terhadap Kelelahan pada pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa tingkat keparahan penyakit mempunyai hubungan dengan kelelahan pada pasien Systemic Lupus Erythematosus di Yayasan Lupus Indonesia Panggon Kupu Semarang. Hal ini didasarkan pada hasil uji Rank-Spearman yang diperoleh yaitu r value sebesar 0,853 (r value > r tabel) dan nilai p atau sig sebesar 0,00 < 0,05. Nilai Odd Ratio (OR) adalah 4,224 yang berarti responden dengan tingkat keparahan penyakit berat memiliki risiko untuk mengalami kelelahan 4 kali lebih besar daripada responden dengan tingkat keparahan penyakit ringan. Hasil penelitian terhadap karakteristik 30 responden penderita Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di Yayasan Lupus Indonesia Panggon Kupu Semarang berdasarkan tingkat keparahan penyakit menunjukkan bahwa responden dengan tingkat keparahan penyakit berat mendominasi penelitian ini dibandingkan responden dengan tingkat keparahan penyakit ringan. Hal ini terlihat dari hasil penelitian yang menunjukkan responden dengan tingkat keparahan penyakit berat sebanyak 17 orang (56,6%) dan responden dengan tingkat keparahan penyakit ringan sebanyak 13 orang (43,3%). Tingkat keparahan penyakit adalah istilah untuk menggambarkan sejauh mana kerusakan jaringan pada tubuh yang diakibatkan oleh autoimun abnormal pada pasien SLE. Beberapa kriteria tingkat keparahan penyakit pada SLE yaitu SLE ringan, sedang, berat. Hasil penelitian ini
sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tench (2009) pada penelitiannya yang berjudul The Prevalence and associations of fatigue in Systemic Lupus Erythematosus bahwa tingkat keparahan penyakit memiliki korelasi atau hubungan dengan kelelahan pada pasien SLE. Studi lain yang dilakukan Tayer (2001) dan Ian (2004) pada penelitian Factors associated with fatigue in patients with Systemic Lupus Erythematosus menunjukkan bahwa tingkat keparahan penyakit juga berkorelasi dengan gejala kelelahan (Yuen dan Cunningham, 2014; Shah et al, 2014). Hasil dari penelitian ini tingkat keparahan penyakit memiliki hubungan terhadap kelelahan pada pasien Systemic Lupus Erythematosus. Hubungan tingkat keparahan penyakit terhadap kelelahan disebabkan karena responden yang memiliki kriteria tingkat keparahan penyakit berat lebih besar dibandingkan pasien dengan kriteria tingkat keparahan penyakit ringan. Tingkat keparahan penyakit SLE berat, jika SLE sudah mengenai organorgan vital dalam tubuh seperti pada 1) jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis, tamponade jantung, hipertensi maligna, 2) paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru, infark paru, ibrosis interstisial, shrinking lung, 3) ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous, 4) neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi, 5) hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit<1.000/mm3), trombositopenia < 20.000/mm3, purpura trombotik trombositopenia, trombosis vena atau arteri (Wicaksono, 2012). Kriteria tingkat
226
Rizky Ayu Fandika A dan Dyah Mahendrasari S / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
keparahan penyakit SLE menurut Tutuncu (2007), dikatakan SLE ringan jika tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa, fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit. Contoh SLE ringan yaitu SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit (Mckinley et al, 2005; Segal et al, 2012).. Penyakit SLE yang sudah mengenai organ-organ tubuh seperti ginjal, neurologi, hematologi dan jantung menekan fungsi sebagian besar sel imun dan dialisis dapat mengaktivasi efektor imun, seperti komplemen dengan tidak tepat. Pada pasien SLE sering ditemukan defisiensi C3 dan C4. Defisiensi komplemen fisiogenik yang disebabkan oleh serum C3 pada pasien SLE akan menyebabkan kepekaan terhadap infeksi meningkat dan kelelahan yang menjadi faktor predisposisi timbulnya kekambuhan pada pasien SLE, serta kerentanan terhadap infeksi mikroba dan gangguan opsonisasi (Bambang, 2014; Iaboni dan Moldofsky, 2016). Hubungan antara Aktivitas Fisik terhadap Kelelahan pada pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa aktivitas fisik tidak mempunyai hubungan dengan kelelahan pada pasien Systemic Lupus Erythematosus di Yayasan Lupus Indonesia Panggon Kupu Semarang. Hal ini didasarkan pada hasil uji Rank-Spearman yang diperoleh yaitu r value = -0,079 ( r value < r tabel) dan nilai p atau sig sebesar 0,678 > 0,05. Nilai Odd Ratio (OR) adalah 1,575 yang berarti responden dengan aktivitas fisik sedang memiliki risiko untuk mengalami kelelahan 2 kali lebih besar daripada responden dengan aktivitas fisik ringan.
Hasil penelitian terhadap karakteristik 30 responden penderita Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di Yayasan Lupus Indonesia Panggon Kupu Semarang berdasarkan aktivitas fisik menunjukkan bahwa responden dengan aktivitas fisik ringan mendominasi penelitian ini dibandingkan responden dengan aktivitas fisik sedang dan berat. Hal ini terlihat dari hasil penelitian yang menunjukkan responden dengan aktivitas fisik ringan sebanyak 20 orang (66,7%), responden dengan aktivitas fisik sedang sebanyak 8 orang (26,6%) dan responden dengan aktivitas fisik berat sebanyak 2 orang (6,7%). Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Russell (2011) bahwa aktivitas fisik yang berlebihan atau dilakukan melebihi batas kemampuan tubuh dapat berdampak buruk bagi kesehatan. Orang yang berlebihan dalam melakukan aktivitas fisik akan kelelahan, bahkan dapat mengalami cedera dan sakit. Pada pasien SLE, aktivitas fisik yang berlebihan akan menyebabkan kelelahan yang akan dapat memicu terjadinya kekambuhan (Abu et al, 2006; Fonsenca 2014). Studi lain yang tidak sesuai dengan hasil penelitian ini yaitu studi yang dilakukan Grace (2012) pada penelitian yang berjudul Fatigue in Systemic Lupus Erythematosus menunjukkan bahwa aktivitas fisik memiliki hubungan terhadap kelelahan, studi kasus yang dilakukan di klinik dan laboratorium Amerika (The American of Rheumatology's). Penelitian ini aktivitas fisik tidak memiliki hubungan terhadap kelelahan pada pasien Systemic Lupus Erythematosus, hal ini disebabkan karena responden yang memiliki aktivitas fisik ringan lebih besar dibandingkan responden yang memiliki aktivitas fisik
227
Rizky Ayu Fandika A dan Dyah Mahendrasari S / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
berat. Aktivitas fisik pada penderita SLE berbeda dengan aktivitas fisik pada orang normal. Aktivitas fisik pada penderita SLE dihitung dari aktivitas fisik berat (vigorous activity), aktivitas fisik sedang (moderate activity), aktivitas berjalan kaki (walking activity) dan aktivitas duduk (sitting activity) pada seseorang dalam satu minggu terakhir (Stephen et al, 2006; Oates et el, 2013). Aktivitas fisik berat seperti senam, menggali, dan lainnya. Aktivitas fisik sedang yang dilakukan responden seperti bersepeda dan olah raga tenis. Aktivitas ringan seperti berjalan untuk melakukan perjalanan dari tempat ke tempat lain dan waktu yang dihabiskan untuk duduk di rumah atau duduk berbaring untuk menonton televisi (Ader, 2000; Mok dan Lau, 2007). Hubungan antara Kualitas Tidur terhadap Kelelahan pada pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa tingkat stres mempunyai hubungan dengan kelelahan pada pasien Systemic Lupus Erythematosus di Yayasan Lupus Indonesia Panggon Kupu Semarang. Hal ini didasarkan pada hasil uji Rank-Spearman yang diperoleh yaitu r value sebesar 0,796 (r value > r tabel) dan nilai p atau sig sebesar 0,00 < 0,05. Nilai Odd Ratio (OR) adalah 4,541 yang berarti responden dengan kualitas tidur buruk memiliki risiko untuk mengalami kelelahan 5 kali lebih besar daripada responden dengan kualitas tidur baik. Hasil penelitian terhadap karakteristik 30 responden penderita Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di Yayasan Lupus Indonesia Panggon Kupu Semarang berdasarkan kualitas tidur menunjukkan bahwa responden dengan kualitas tidur buruk mendominasi penelitian ini
dibandingkan responden dengan kualitas tidur baik. Hal ini terlihat dari hasil penelitian yang menunjukkan responden dengan kualitas tidur buruk sebanyak 28 orang (93,3%) dan responden dengan kualitas tidur baik sebanyak 2 orang (6,7%). Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Tayer (2001) bahwa frekuensi tidur atau kualitas tidur yang kurang dapat menyebabkan kelelahan. Gangguan tidur yang berhubungan dengan kelelahan biasanya disebabkan oleh faktorfaktor seperti kebisingan, pencahayaan, kebiasaan minum yang berlebihan, dan faktor lainnya. Gangguan tidur juga dapat memperburuk gejala penyakit termasuk kelelahan dan menurunkan kualitas hidup pasien (Mok dan Lau, 2007; Danchenko et al, 2006). Penelitian lain yang dilakukan oleh Costa (2005) pada 100 wanita dengan SLE, menilai kualitas tidur selama 1 bulan. Hasilnya menunjukkan gangguan tidur dalam 56% dari populasi SLE dan didapatkan hasil korelasi yang signifikan antara gangguan tidur terhadap kelelahan pada pasien SLE. Selain itu, penelitian lain yang meneliti tentang hubungan kualitas tidur terhadap kelelahan yaitu Tench (2009) di Connective Tissue Disease Clinic (Rheumatology Department of St Bartholoew’s London) dan Grace (2012) di klinik dan laboratorium Amerika (The American of Rheumatology's) menunjukkan hasil bahwa kualitas tidur memiliki hubungan yang signifikan terhadap kelelahan pada pasien Systemic Lupus Erythematosus (Ader, 2000; Abu et al, 2005; Costa dkk, 2006; Kasitanon, 2012) Berdasarkan studi JAMA Internal Medicine, seseorang yang tidur kurang dari 7 jam per malam bisa 3 kali lebih rentan mengalami rasa dingin dan akan mengalami kegagalan untuk menjaga
228
Rizky Ayu Fandika A dan Dyah Mahendrasari S / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
respon imun atau kekebalan tubuh secara normal setelah menerima suntikan flu. Mereka yang kurang tidur, antibodi yang bekerja setelah dilakukan vaksinasi hanya bisa bertahan paling lama 10 hari. Kondisi tersebut sangat berbahaya. Oleh karena itu, pentingnya kualitas tidur untuk meningkatkan kekebalan tubuh. Jika terlalu sedikit waktu tidur seseorang, sistem kekebalan tubuhnya bisa terganggu (Padgett dan Glaser, 2003; Kasitanon, 2012). Dalam penelitian ini kualitas tidur memiliki hubungan terhadap kelelahan pada pasien Systemic Lupus Erythematosus, hal ini disebabkan karena pasien yang memiliki kualitas tidur buruk lebih besar dibandingkan pasien dengan kualitas tidur baik. Kualitas tidur yang buruk pada responden dapat dilihat dari lamanya responden tidur di malam hari hanya 4-5 jam, masalah-masalah yang sering dirasakan yang mengganggu tidur mereka seperti tidak mampu tertidur selama 30 menit sejak berbaring, terbangun ditengah malam, terbangun untuk ke kamar mandi, kedinginan atau kepanasan dimalam hari, dan mengalami mimpi buruk. Penyakit dengan gejala nyeri atau distress fisik juga dapat menyebabkan gangguan tidur. Individu yang sakit membutuhkan waktu tidur yang lebih banyak dari pada biasanya. Aspek-aspek kualitas tidur yaitu : (1) nyenyak selama tidur, (2) waktu tidur minimal enam jam, (3) tidur lebih awal dan bangun lebih awal, (4) merasa segar setelah bangun tidur, (5) tidak bermimpi (Nashori, 2004; Gaitanis et al, 2005), SIMPULAN
Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-faktor yang
berhubungan dengan kelelahan yaitu: tingkat keparahan penyakit (r value = 0,853, p value = 0,00, OR=4,224) dan kualitas tidur (r value = 0,796, p value = 0,00, OR=4,541), dan faktor yang tidak berhubungan yaitu aktivitas fisik (r value = 0,79, p value=0,678, OR=1,575). Faktor yang paling dominan yang berhubungan dengan kelelahan yaitu kualitas tidur (p value = 0,043, exp (OR) = 16,500) memiliki probabilitas terhadap terjadinya kelelahan sebesar 61,89%. UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan, Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, dosen penguji 1 dan dosen penguji 2, serta seluruh staf Yayasan Lupus Indonesia Panggon Kupu Semarang dan seluruh responden yang terlibat dalam penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Abu-Shakra M, Urowitz MB, Gladman DD, Gough J. 2005. Mortality studies in systemic lupus erythematosus. Results from a single center. I. Causes of death. Journal of Rheumatology. 22(7):1259-1264. Ader
R. 2000. On the Development of psychoneuroimmunology. European Journal of Pharmacology. 405, pp 167-176.
Avina J. Antoni. 2007. The Importance of Fatigue in Lupus. BC Lupus Society Symposium : Arthritis Research Centre of Canada. Costa DD, Bernatsky S, Dritsa M. 2005. Determinants of sleep quality in women with systemic lupus erythematosus. Journal Arthritis Rheumathology. 53(2),272–278. Danchenko N, Satia JA, Anthony MS. 2006. Epidemiology of systemic lupus erythematosus: a comparison of worldwide
229
Rizky Ayu Fandika A dan Dyah Mahendrasari S / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016) disease burden. Journal Lupus. Vol : 15(5):30818. DJ The Pittburgh. 2009. The pittsburgh sleep quality index (PSQI) : A new instrument for psychiatric research and practice. Journal Psychiatry Research, 28 (2), 193-213. Farkhati MY, Sunartini_Hapsara, Satria CD. 2012. Survival and prognostic factors of systemic lupus erythematosus. Proceedings of Congress of Indonesian Pediatrics Society: 236-42. Fonseca R, Bernardes M., Terroso G., de Sousa M., dan Figueiredo-Braga M., 2014. Silent Burdens in Disease: Fatigue and Depression in SLE. Journal Autoimmune Diseases. Volume 2014 (2014), Article ID 790724, 9 pages Gaitanis P., Tooley G., Edwards B., 2005. Physical Activity, Emotional Stress, Sleep Disturbances, and Daily Fluctuations in Chronic Fatigue Symptomatology. Journal of Applied Biobehavioral Research 10 (2):69 - 82 · April. DOI: 10.1111/j.17519861.2005.tb00004.x Grace E Ahn, Rosalind Ramsey-Goldman. 2012. Fatigue in Systemic Lupus Erythematosus. International Journal Clinical Rheumatology. 7(2):217-227. Iaboni A. dan Moldofsky H., 2016. Fatigue in Systemic Lupus Erythematosus. Remedica Journals. CML Rheumatology. Volume 27 Issue 2 Ian N Bruce, Vincent C Mak, David C Hallett, Dafna D Gladman, Murray B Urowitz. 2004. Factors associated with fatigue in patients with systemic lupus erythematosus. Journal Annaal Rheumatology Disease. 58:379–381. Indonesian Rheumatology Association (IRA). 2011. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Perhimpunan Eritematosus Sistemik. Reumatologi Indonesia : Jakarta. Kasitanon N, Louthrenoo W, Sukitawut W, Vichainun R. 2012. Causes of death and prognostic factors in Thai patients with systemic lupus erythematosus. Asian Pacific Journal Allergy Immunology. Vol : 20 (2):85-91.
Manson, J. J. dan Rahman A., 2006 Systemic lupus erythematosus. Orphanet Journal of Rare Diseases. BioMed Central. 20061:6 DOI: 10.1186/1750-1172-1-6 Mckinley P.S, Ouellette S.C., dan Winkel G.H., 2005. The contributions of disease activity, sleep patterns, and depression to fatigue in systemic lupus erythematosus. Journal Arthritis & Rheumatism. Volume 38, Issue 6, pages 826– 834, June. Version of Record online: 9 DEC 2005. DOI: 10.1002/art.1780380617 Mok CC dan Lau CS. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus. Journal Clinical Pathology 2007;56:481-490. Muvarichin, 2015. Hubungan antara shift kerja dengan kelelahan kerja subyektif pada penjaga warnet di kelurahan sekaran. Unnes Journal of Public Health, Vol 4, No 1. Nashori, F. 2004. Peranan Kualitas Tidur yang Baik. Jurnal INSAN. Volume 6 No.3 Desember 2004. Oates J.C., Mashmoushi A.K., Shaftman S.R., Gilkeson G.S., 2013. NADPH oxidase and nitric oxide synthase-dependent superoxide production is increased in proliferative lupus nephritis. Journal Lupus. November 2013 vol. 22 no. 13 1361-1370 Padgett D.R dan Glaser R 2003. How stress influences the immune response. Trends in Immunology. 24 (8) 444-448. Russell R. Pate. 2011. Physical Activity and Public Health — A Recommendation from the Centers for Disease Control and Prevention and the American College of Sports Medicine. Diakses tanggal 8 Oktober 2011. Segal BM, Thomas W, Zhu X, Diebes A, McElvain G, Baechler E, Gross M. 2012. Oxidative stress and fatigue in systemic lupus erythematosus. Journal of Lupus. Aug; 21(9):984-92. doi: 10.1177/0961203312444772. Shah D, Mahajan N, Sah S, Nath S.K, dan Paudyal B., 2014. Oxidative stress and its biomarkers
230
Rizky Ayu Fandika A dan Dyah Mahendrasari S / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016) in systemic lupus erythematosus. Journal of Biomedical Science 2014(21:23). BioMed Central Ltd. 2014DOI: 10.1186/1423-012721-23© Squance M.L, Glenn E. M. Reeves, dan Bridgman H. 2014. The Lived Experience of Lupus Flares: Features, Triggers, and Management in an Australian Female Cohort. International Journal of Chronic Diseases. Volume 2014 (2014), Article ID 816729, 12 pages Tayer WG, Nicassio PM, Weisman MH, Schuman C, Daly J. 2001. Disease status predicts fatigue in systemic lupus Rheumatol.ogy erythematosus. Journal 28(9),1999–2007.
Urowitz MB, Gladman DD. 2005. How to improve morbidity and mortality in systemic lupus Rheumatology erythematosus. Journal (Oxford). 39(3):238-44. Wicaksono U, 2012. Hubungan antara aktivitas penyakit terhadap status kesehatan pada Pasien Lupus Erytheatosus Systemic di Skripsi, RSUP. Kariadi. Universitas Diponegoro, Semarang.
Tench C.M, McCurdie I, White P.D, D’crus D.P. 2009. The Prevalence and associations of fatigue in Systemic Lupus Erythematosus. Oxford Journal Rheumatology. 39:1249-1254.
Stephen A. W, Fiona M. O’P, Derrick J. R, Rick D. P., Andrew J. G., William J. L., Adrian B. D., McGivern R.C., Johnston DG, Finch MB, Bell AL, McVeigh GE. 2006. Microcirculatory Hemodynamics and Endothelial Dysfunction in Systemic Lupus Journal Arteriosclerosis, Erythematosus. Thrombosis, and Vascular Biology. Published online before print July 27, 2006. DOI 2006; 26: 2281-2287
Tutuncu ZN, Kalunian KC. 2007. The Definition and clasification of systemic lupus erythematosus. In: Wallace DJ, Hahn BH, editors. Duboi’s lupus erythematosus. 7th ed. Philadelphia. Lippincott William & Wilkins:16-19.
Yuen HK dan Cunningham MA. 2014. Optimal management of fatigue in patients with systemic lupus erythematosus: a systematic review. Journal of Therapeutics and Clinical Risk Management. Volume 2014:10 Pages 775—786
231
UJPH 5 (3) (2016)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
KEPATUHAN PENGGUNAAN SARUNG TANGAN DENGAN KECELAKAAN KERJA DI PERUSAHAAN PARQUET TEMANGGUNG Yohanes Bahar Aprilliawan , Evi Widowati Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima 7 Maret 2016 Disetujui 13 Juni 2016 Dipublikasikan Juli 2016
Kepatuhan penggunaan sarung tangan dapat mempengaruhi terjadinya kecelakaan kerja. Perilaku sesuai aturan dan konsisten dalam memakai sarung tangan yang wajib digunakan saat bekerja sesuai bahaya dan risiko kerja untuk menjaga keselamatan pekerja dan orang di sekelilingnya. Tujuan penelitian ini yaitu, untuk mengetahui Hubungan antara Kepatuhan Penggunaan Sarung Tangan Terhadap Kecelakaan Kerja pada Pekerja di PT. Tanjung Kreasi Parquet Industry Temanggung. Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik observasional dengan pendekatan cross sectional. Populasi berjumlah 207 pekerja dengan sampel sebanyak 66 pekerja (menggunakan teknik purposive sampling). Instrumen yang digunakan adalah angket. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat (menggunakan uji chi square dengan α=0,05 dengan alternatif yaitu uji fisher). Hasil penelitian ini terdapat hubungan antara kepatuhan penggunaan sarung tangan dengan kecelakaan kerja pada pekerja PT. Tanjung Kreasi Parquet Industry yang menggunakan uji alternatif yaitu uji fisher dengan hasil p value 0,018 (<0,05) dengan OR (Odds Ratio), yaitu sebesar 6,14. Dari data tersebut responden yang tidak patuh menggunakan sarung tangan kain mempunyai kemungkinan 6,14 kali untuk mengalami kecelakaan kerja dibandingkan dengan responden yang patuh menggunakan sarung tangan kain. Saran yang diberikan kepada pekerja yaitu untuk selalu menggunakan sarung tangan kain saat jam kerja berlangsung.
________________ Keywords: Accident; The Using of Gloves ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ The obidience of using gloves could influence the working accident occurance. Obeying the rules and consistently using gloves are compulsory when working according to the working risks in order to keep the workers and the people arround safe. The aim of this research was to find out the correlation between the obidience of using gloves toward working accident of workers at PT. Tanjung Kreasi Parquet Industry Temanggung. This research was observational analytic study using cross sectional design. The population was 207 workers and the sample was 66 workers (using purposive sampling technique). This research used questionnaire as the instrument to collect the data. The data analysis was done using univariat and bivariat (using chi square test, α=0,05 and the alternative was fisher test). The result showed that there was a correlation between the obidience of using gloves toward working accident of PT. Tanjung Kreasi Parquet Industry workers using alternative test that was fisher test with p value 0,018 (<0,05) and OR (Odds Ratio) was 6,14. According to the data, the disobey respondent that did not use gloves had 6.14 times possibility of working accident compared with those who using gloves. The suggestion for the workers was to always use gloves when working.
© 2016 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Gedung F5 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail:
[email protected]
ISSN 2252-6781
232
Yohanes Bahar Aprilliawan, Evi Widowati / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
PENDAHULUAN
Kecelakaan kerja merupakan kecelakaan yang terjadi berhubungan dengan kerja, demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan ke dan dari tempat kerja. Kecelakaan kerja merupakan kejadian tidak terduga dan tidak diinginkan, baik kecelakaan akibat langsung pekerja maupun kecelakaan yang terjadi pada saat pekerjaan sedang dilakukan (Handayani, 2012). Kecelakaan kerja sebagian besar disebabkan oleh human eror karena kesadaran dari pekerja akan keselamatan kerja masih kurang. Tidak patuhnya pekerja dalam memakai alat pelindung diri juga dapat mengakibatkan terjadinya suatu kecelakaan kerja (Respati, 2014). International Labour Menurut Organization (ILO) yaitu organisasi buruh interasional, setiap tahun terjadi sebanyak 337 juta kecelakaan kerja di berbagai negara yang mengakibatkan sekitar 3 juta orang pekerja kehilangan nyawa. Angka kecelakaan kerja di Indonesia termasuk dalam kategori yang tinggi. Menurut data dari jamsostek, angka kecelakaan kerja tahun 2010 mencapai 98.711. pada tahun 2011 lalu mencapai 99.491 kasus. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2012 angka kecelakaan kerja mencapai 103.000 kasus. Tahun 2013 kecelakaan kerja meningkat mencapai 103.285 kasus (Supriyanto, 2015). Menurut data PT. Jamsostek tahun 2010 kejadian kecelakaan kerja di Jawa Tengah sebanyak 86.693 kasus, tahun 2011 kejadian kecelakaan kerja sebanyak 99.491 kasus. Menurut data kecelakaan kerja Disnakertrans pada tahun 2012 tercatat di provinsi Jawa Tengah terjadi kasus kecelakaan kerja sebanyak 14.280 kasus kecelakaan kerja, kemudian pada tahun
2013 sampai triwulan 4 telah terjadi kecelakaan kerja sebanyak 4.601 kasus (Respati, 2014). Kecelakaan kerja akibat tidak menggunakan APD di Indonesia masih cukup tinggi, yaitu: 60% tenaga kerja cedera kepala karena tidak menggunakan topi pengaman, 90% tenaga kerja cedera wajah karena tidak menggunakan alat pelindung wajah, 77% tenaga kerja cedera kaki karena tidak menggunakan sepatu pengaman, dan 66% tenaga kerja cedera tangan karena tidak menggunakan alat pelindung tangan. Pada tahun 2010 kejadian kecelakaan kerja pada perusahaan kayu sebanyak 54.398 kasus, tahun 2011 sebanyak 48.511 kasus. Pada tahun 2012 kecelakaan kerja sebanyak Tahun 2012 sebanyak 53.319 kasus dan Tahun 2013 sebanyak 50.089 kasus (Titilia, 2013). Pada proses produksi dibagi menjadi 3 tahapan yaitu sawmill, middle layer, preparation dan parquet yang pertama yaitu sawmill. Pada proses ini adalah tahap pemotongan kayu menjadi potongan papan yang kemudian di sortir sesuai grade. Potensi bahaya pada proses sawmill adalah terkena mesin potong pada tangan dan tertimpa kayu log. Proses kedua yaitu middle layer, pada proses ini dimulai dengan penghalusan permukaan kayu yang kemudian dibelah dan disusun untuk direkatkan dengan veneer. selanjutnya diproses pada mesin Cold Press untuk direkatkan kembali dan dikeringkan pada mesin Hot Press, kemudian material tersebut dipotong sesuai ukuran dengan menggunakan mesin Multi Rip. Potensi bahaya pada proses middle layer adalah tangan terkena mesin potong Multi Rip, dan mesin Hot Press. Proses terakhir yaitu pada bagian preparation dan parquet, pada tahapan
233
Yohanes Bahar Aprilliawan, Evi Widowati / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
ini Lumber lamella disizing sesuai ukuran melalui tahapan dengan pembelahan dengan mesin X-cut, pemotongan dengan Riping mesin kemudian dilakukan penghalusan permukaan dengan mesin sander. Selanjutnya dilakukan pegabungan antara Top layer dengan Midlle layer pada mesin Hot Prees dengan bantuan lem, dan dilakukan perataan material untuk memeproleh lantai kayu yang halus. Dari uraian diatas potensi bahaya yang tertinggi adalah sub departement preparation. Pada proses preparation potensi bahaya yang ditimbulkan berupa tangan tergores kayu, terkena serpihan kayu pada tangan, terjepit kayu. Untuk menekan potensi bahaya tersebut menjadi kecelakaan kerja, sub department preparation PT. TKPI menyediakan sarung tangan kain. Dari beberapa kecelakaan kerja yang terjadi pada sub department preparation terjadi karena goresan kayu pada tangan. Pada tahun 2014 terjadi 12 kecelakaan dari 207 karyawan, 6 di antaranya adalah luka robek pada tangan karena tidak menggunakan sarung tangan yang sudah di sediakan oleh perusahaan. PT. Tanjung Kreasi Parquet Industry (TKPI) adalah perusahaan yang bergerak dibidang pengolahan kayu. Kecelakaan terbagi dalam kategori kecelakaan ringan yaitu luka ringan atau sakit ringan. Kategori kecelakaan sedang yaitu luka berat atau parah dan sirawat di rumah sakit dan kategori kecelakaan berat yaitu cidera parah, cacat seumur hidup, tidak mampu bekerja (Sompie, 2012). Pada PT. TKPI yang di kategorikan kecelakaan ringan adalah kecelakaan terkena serpihan kayu, luka lecet pada tangan dan masih bisa berikan penanganan oleh poliklinik PT. TKPI. Kategori kecelakaan sedang adalah luka robek yang membutukan jahitan dan membutuhkan waktu penyembuhan sekitar
satu minggu. Untuk kecelakaan kategori berat adalah kecelakaan yang menimbulkan cidera parah seperti patah tulang, dan mengakibatkan kehilangan hari kerja. Pada tahun 2014 terjadi 31 (2,39 %) kecelakaan kerja dari 1295 karyawan. Kategori kecelakaan ringan sebanyak 10 (32,25 %) kecelakaan kerja, kategori sedang sebanyak 17 (54,83 %) kecelakaan kerja, dan kategori berat sebanyak 4 kecelakaan kerja. Pada bulan Januari sampai bulan Maret 2015 terjadi 12 kecelakaan. Pada bulan Januari terjadi 2 (17%) kecelakaan kerja dalam kategori sedang, dan pada bulan Februari 2015 terjadi 6 (50%) kecelakaan kerja, 1 (17%) kecelakaan kerja ringan, dan 5 (83%) kecelakaan kerja sedang. Bulan Maret terjadi 4 (33%) kecelakaan kerja dengan kategori ringan. Upaya yang dilakukan untuk menekan kejadian kecelakaan kerja PT. TKPI menyediakan alat pelindung diri sebagai tindakan proteksi dini terhadap bahaya kecelakaan kerja yang timbul di tempat kerja. Alat pelindung diri yang disediakan terdiri atas masker, sarung tangan kain, sarung tangan karet, sarung tangan kulit, dan ear plug. Untuk masker, dan sarung tangan kain semua pekerja wajib untuk memakai. Pada bagian produksi APD ditambah dengan ear plug khususnya pada pekerjaan diarea mesin planner, karena dibagian ini kebisingan melebihi NAB (94,6 dBA). Sarung tangan karet digunakan pada bagian pengeleman, dan sarung tangan kulit digunakan pada bagian boiler. Berdasarkan data dari PT. TKPI Temanggung Tahun 2014 telah Ear Plug, memberikan APD berupa masker kain, sarung tangan kain, sarung tangan karet, dan sarung tangan kulit. Pada bulan Januari telah dibagikan APD sebanyak 1723 buah, dan bulan Februari mengalami penurunan menjadi 845 buah. Pembagian
234
Yohanes Bahar Aprilliawan, Evi Widowati / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
APD bulan Maret sebanyak 1646 buah, bulan April sebanyak 1931 buah, bulan Mei meningkat menjadi 2233 buah. Bulan Juni telah dibagikan APD sebanyak 1723, bulan Juli sebanyak 1637 buah. Pembagian APD pada bulan Agustus sebanyak 2105 buah, bulan September sebanyak 2510 buah, dan bulan Oktober sebanyak 2001 buah. Bulan November telah dibagikan APD sebanyak 2232 buah, dan mengalami penurunan pada bulan Desember menjadi 1871 buah. Data pembagian APD PT. TKPI Temanggung tahun 2015. Pada bulan Januari telah dibagikan APD sebanyak 1980 buah, bulan Februari sebanyak 1744, bulan Maret sebanyak 1862 buah, dan bulan April sebanyak 1613 buah. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti termotivasi untuk mengetahui hubungan
Populasi
207 Karyawan
antara kepatuan penggunaan sarung tangan dengan kejadian kecelakaan kerja. Sehingga judul dalam penelitian ini adalah Hubungan antara Kepatuhan Penggunaan Sarung Tangan dengan Kejadian Kecelakaan Kerja pada Pekerja di PT. Tanjung Kreasi Parquet Industry Temanggung. METODE
Penelitian ini menggunakan metode penelitian analitik observasional dengan pendekatan cross sectional yang menjelaskan hubungan antara variabel bebas (kepatuhan penggunaan sarung tnagan) dan variabel terikat (kecelakaan kerja) melalui pengujian hipotesis. Alur pengambilan sampel
Kriteria Inklusi eksklusi
Penunjukan oleh manager perusahaan
187 Karyawan
66 Karyawan
Cara pemilihan sampel yaitu dari 207 karyawan Sub Departement Preparation dipilih karyawan dengan kriteria inklusi dan eksklisi yang sudah ditentukan dan terdapat 187 karyawan yang memenuhi kriteria. Kemudian dari 187 karyawan terpilih 66 karyawan dengan penunjukan oleh pihak perusahaan melalui kepala bagian Sub Departement Preparation yang dapat menjadi responden dalam penelitian ini (Notoatmodjo, 2010). Adapun kriteria inklusi adalah sebagai berikut: 1. Karyawan dengan tingkat pendidikan SMP dan SMA.
2. Karyawan dengan usai 20 tahun sampai 45 tahun. Kritetia eksklusi pengambilan sampel: 1. Tidak bersedia menjadi responden. 2. Bukan Sub karyawan bagian Departement Preparation. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan analisis univariat dan analisis bivariat. Uji statistik dalam penelitian ini adalah uji chi square, dengan uji alternatif Fisher’s karena jenis hipotesisnya adalah hipotesis asosiasi yang akan menjawab apakah terdapat hubungan
235
Yohanes Bahar Aprilliawan, Evi Widowati / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
antara dua variabel dengan skala pengukuran variabel kategorik dan data tidak berpasangan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1: Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan No
Tingkat Pendidikan
1. SMP 2. SMA Total
Frekuensi
Prosentase (%)
21 45 66
31,8 68,2 100
Tabel 2: Karakteristik Responden Berdasarkan Usia No
Usia
Frekuensi
Prosentase (%)
1. 2. 3. 4. 5. Total
20 tahun – 24 tahun 25 tahun – 29 tahun 30 tahun – 34 tahun 35 tahun – 39 tahun 40 tahun – 45 tahun
4 5 20 23 14 66
6,1 7,6 30,3 34,8 21,2 100
Tabel 3: Distribusi Kepatuhan Penggunaan Sarung Tangan No
Kategori
1. Patuh 2. Tidak Patuh Total
Frekuensi
Prosentase (%)
20 46 66
30,3 69,7 100
Frekuensi
Prosentase (%)
57 9 66
86,4 13,6 100
Tabel 4: Distribusi Kecelakaan Kerja No
Kategori
1. Kecelakaan Kerja 2. Tidak Kecelakaan Kerja Total
Tabel 5: Tabulasi Silang Penggunaan Sarungan Tangan dengan Kecelakaan Kerja Penggunaan sarung tangan
Tidak Patuh Patuh Total
Kecelakaan Kerja Kecelakaan Kerja Jumlah Prosentase 43 93,5% 14 70% 57
Hasil analisis menggunakan uji alternatif yaitu Fisher’s karena pada tabel silang 2x2 dijumpai nilai harapan (Expacted Count) kurang dari 5, lebih dari 20% jumlah
Tidak Kecelakaan Kerja Jumlah Prosentase 3 6,5% 6 30% 9
Α
ρ
0,05
0,018
sel. Diperoleh nilai p value 0,018 (<0,05) sehingga Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara kepatuhan penggunaan sarung tangan terhadap
236
Yohanes Bahar Aprilliawan, Evi Widowati / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
kejadian kecelakaan kerja di PT. Tanjung Kreasi Parquet Industry Temanggug. Parameter kekuatan hubungan yang dipakai adalah OR (Odds Ratio), yaitu sebesar 6,14. Dari data tersebut responden yang tidak patuh menggunakan sarung tangan kain mempunyai kemungkinan 6,14 kali untuk mengalami kecelakaan kerja dibandingkan dengan responden yang patuh menggunakan sarung tangan kain. Kecelakan yang terjadi pada pekerja yang tidak patuh menggunakan sarung tangan kain pada hari kerja dan saat jam kerja berlangsung berupa tangan tergores kayu, terkena serpihan kayu. APD (Sarung Tangan Kain) merupakan suatu alat yang diperlukan untuk melindungi pekerja dari potensi bahaya fisik yang tidak dapat dihilangkan melalui pengendalian teknik maupun pengendalian administratif (Sugarda, 2014). APD (Sarung Tangan Kain) bukanlah alat yang nyaman apabila dikenakan tetapi fungsi dari alat ini sangatlah besar karena dapat mencegah kecelakaan kerja pada waktu bekerja. Berdasarkan pasal 14 huruf c UU No. 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja, perusahaan wajid menyediakan APD (Sarung Tangan Kain) secara cuma-cuma terhadap tenaga kerja dan orang lain yang memasuki tempat kerja. APD harus bisa memberikan perlindungan dari potensi bahaya ditempat kerja, nyaman dipakai, dan tidak mengganggu pekerjaan (Solichin, 2014). Apabila kewajiban tersebut tidak dipenuhi merupakan suatu pelanggaran undang-undang. Berdasrkan Pasal 12 huruf b, tenaga kerja diwajibkan memakai APD (Sarung Tangan Kain) yang telah disediakan. Dalam menyediankan APD (Sarung Tangan Kain) prioritas pertama perusahaan adalah melindungi pekerjanya secara keseluruhan. Katersediaan APD (Sarung Tangan Kain) harus sesuai dengan
bahaya yang ada diperusahaan, terbuat dari material yang tahan terhadap bahaya tersebut, nyaman dipakai. Dari ketentuan undang-undang diatas masih ditemukan kejadian kecelakaan kerja yang disebabkan oleh beberapa faktor yaitu penggunaan alat pengaman yang tidak sesuai, sikap dan cara kerja yang kurang baik, penggunaan peralatan yang tidak aman, kesadaran tentang keselamatan kurang, tidak adanya sosialisasi keselamatan kerja, dan sikap kerja yang kurang baik (Muliatna, 2014) Sarung tangan berfungsi meilindungi tangan dari benda yang berbahaya yang dapat melukai tangan. Sarung tangan juga sangat membantu pada pekerjaan yang dapat melukai tangan. Sarung tangan juga sangat membantu pada pekerjan yang berkaitan dengan benda kerja yang panas, tajam ataupun lancip (Sugarda, 2014). Sarung tangan yang digunakan untuk melindungi tangan dari kecelakaan kerja terdiri dari beberapa jenis yaitu sarung tangan metal mesh, sarung tangan vinyl dan neoprene, sarung tangan karet, sarung tangan padded cloth, sarung tangan heat resistant, sarung tangan latex disposable, sarung tangan kain (Buntarto, 2015:47). Sarung tangan metal mesh melindungi tangan dari benda tajam dan mencegah terpotong akibat benda tajam. Sarung tangan vinyl dan neoprene berfungsi melindungi tangan dari bahan kimia beracun. Sarung tangan karet berfungsi melindungi saat bekerja disekitar arus listrik. Sarung tangan padded cloth melindung tangan dari ujung yang tajam, pecahan gelas, kotoran dan vibrasi. Sarung tangan heat resistant berfungsi untuk melindungi tangan dari panas. Sarung tangan kain berfungsi melindungi tangan dari goresan benda dengan permukaan kasar.
237
Yohanes Bahar Aprilliawan, Evi Widowati / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
Pada proses preparation terdapat beberapa tahapan. Tahap pertama yaitu Lumber lamella disizing sesuai ukuran melalui tahapan dengan pembelahan dengan mesin X-cut, pada tahap ini jenis sarung tangan yang seharusnya digunakan adalah metal mesh yang berfungsi melindungi tangan dari benda tajam dan mencegah terpotong akibat benda tajam, namun belum disedikan oleh perusahaan. Tahap kedua yaitu pemotongan dengan mesin Riping, pada tahap ini sarung tangan yang seharusnya digunakan adalah metal mesh, namun belum disediakan oleh perusahaan. Tahap selanjutnya dilakukan penghalusan permukaan dengan mesin sander, pada tahap ini sarung tangan yang seharusnya digunakan adalah sarung tangan kain berfungsi melindungi tangan dari goresan benda dengan permukaan kasar, untuk sarungan tangan kain sudah disediakan oleh perusahaan. Tahap terakhir pada Sub Departement Preparation adalah melakukan pegabungan antara Top layer dengan Midlle layer pada mesin Hot Prees dengan bantuan lem, dan dilakukan perataan material untuk memperoleh lantai kayu yang halus. Pada tahap ini sarung tagan yang seharusnya digunakan adalah sarung tangan heat resistant berfungsi untuk melindungi tangan dari panas namun belum disediakan oleh perusahaan. Dari beberapa tahapan pada departement preparation, kecelakaan kerja sering terjadi pada tahap penghalusan permukaan dengan mesin sander. Angka kecelakaan kerja pada tahun 2014 terjadi 12 kecelakaan dari 207 karyawan, 6 di antaranya adalah luka robek pada tangan karena tidak menggunakan sarung tangan. Karyawan yang tidak menggunakan sarung tangan kain ketika sedang bekerja yang mengakibatkan terjadinya kecelakaan kerja berupa tangan tergores kayu, dan terkena
serpihan kayu. Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan pekerja dapat patuh menggunakan sarung tangan kain yang sudah disediakan oleh perusahaan sehingga angka kecelakaan kerja akibat tidak menggunkakna sarung tangan kain saat bekerja dapat berkurang. Penelitian sebelumnya yang dilakukan Egriana Handayani (2012) pada bagian rustic di PT. Borneo Melintang Buanan diketahui bahwa ada hubungan antara kepatuhan penggunaan sarung tangan dengan kecelakaan kerja dengan p value 0,009 (<0,05). Perilaku sesuai aturan dan selalu memakai sarung tangan kain pada hari kerja dan saat jam kerja berlangsung sesuai bahaya dan risiko kerja untuk menjaga keselamatan pekerja (Supriyanto, 2014). Pekerja diwajibkan untuk selalu memakai sarung tangan kain sebagai pelindung dari saat bekerja yang sudah disediakan oleh perusahaan. SIMPULAN
Berdasarkan hasil uji statistik yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara kepatuhan penggunaan sarung tangan kain dengan kecelakaan kerja pada pekerja sub departemen preparation di PT. TKPI Temanggung. Hal ini berdasarkan uji alternatif yaitu uji fisher denagn hasil p value 0,018 (<0,05) dengan OR (Odds Ratio), yaitu sebesar 6,14. Dari data tersebut responden yang tidak patuh menggunakan sarung tangan kain mempunyai kemungkinan 6,14 kali untuk mengalami kecelakaan kerja dibandingkan dengan responden yang patuh menggunakan sarung tangan kain. UCAPAN TERIMA KASIH
238
Yohanes Bahar Aprilliawan, Evi Widowati / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
Terimakasih kami sampaikan kepada Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang, Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Bapak Ibu dosen Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, PT. Tanjung Kreasi Parquet Industry atas ijin dan bantuan yang diberikan dalam pelaksanaan penelitian ini. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dan mendukung dalam proses pelaksanaan penelitian ini.
Muliatna, I Made, 2014, Pengaruh Alat Pelindung Diri Terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja Karyawan dibengkel M.Mischan Kalijudan Surabaya, Volume 3, No 3, Tahun 2014. Handayani, Egriana, 2012, Hubungan antara Penggunaan Alat Pelindung Diri, Umur, dan Masa Kerja dengan Kecelakaan Kerja pada Pekerja Bagian Rustic di PT. Borneo Melintang Buana Eksport Yogyakarta, Volume 4, No 3, September 2012.
DAFTAR PUSTAKA
Titilia, Maria, 2014, Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Pendidikan Pekerja terhadap Penggunaan Alat Pelindung Diri, Volume 4, No 1, Mei 2014.
Sugarda, Asri, 2014, Analisis Pengetahuan Penggunaan Alat Pelindung Diri Terhadap Allowance Proses Kerja Pemotong Kayu PT. PAL Indonesia, Volume 9, No 3, September 2014.
Respati, Rida 2014, Analisis Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Paket Pekerja Pembangunan Jalan Lingkar Luar Kota Palangkaraya, Volume 3, No 1, Desember 2014.
Sompie, Bonny F, 2012, Pengaruh Kesehatan, Pelatihan dan Penggunaan Alat Pelindung Diri Terhadap Kecelakaan Kerja Pada Pekerja Konstruksi di Kota Tomohon, Volume 2, No 4, Novemver 2012.
Supriyanto, Riyanto, 2015, Kepatuhan Pemakaian Alat Pelindung Diri pada Pekerja Las di Indramayu, Volume 1, No 3, Desember 2015.
Buntarto, 2015, Panduan Praktis Keselamatan dan Kesehatan Kerja untuk Industri, Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Notoatmodjo, Soekidjo, 2010, Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta: Reneka Cipta. Solichin, 2014, Penerapan Personal Protective equitment (Alat Pelindung Diri) pada Laboraturium Pengelasan, Volume 1, No 1, April 2014.
239
UJPH 5 (3) (2016)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
GAMBARAN STRES KERJA PEGAWAI BAGIAN REKAM MEDIS RUMAH SAKIT BHAKTI WIRATAMTAMA SEMARANG Dewi Sartika , dan Sugiharto Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima 16 Maret 2016 Disetujui 22 Juli 2016 Dipublikasikan Juli 2016
Faktor penyebab stres kerja adalah lingkungan kerja yang kurang nyaman, konsultasi yang tidak efektif dan konflik antara tuntutan keluarga dan tuntutan instansi. Penelitian kualitatif dilakukan untuk memperoleh gambaran stres kerja pegawai bagian rekam medis rumah sakit Bhakti Wiratamtama Semarang. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif menggunakan teknik snowball sampling. Informan utama berjumlah 15 pegawai dan 2 triangulasi. Hasil yang diperoleh, yaitu informan mengeluhkan mengalami stres kerja akibat rak fililng yang kurang rapi dan pengembalian dokumen rekam medis pasien yang terlambat dan lingkungan kerja yang kurang baik. Adanya pertemuan triwulan dapat mengurangi masalah yang dihadapi oleh pegawai. Saran bagi pegawai yaitu petugas filing melakukan pemilahan dokumen rekam medis antara lembar yang akan diabadikan dan dimusnahkan. Rumah sakit disarankan dalam pembersihan berkas pasien dan penataan ruang lebih ditata dengan rapi agar pegawai nyaman dalam mobilisasi dalam bekerja.
________________ Keywords: Medical-Record Employee; Occupational Stress ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ Factors that cause occupational stress are the inconvenient occupational environment, ineffective consultation and conflict between family agency requirement. The purpose of this qualitative research is to get occupational stress overview of medical record employee in Bhakti Wiratamtama Semarang Hospital. This research method is qualitative research using snowball sampling. The informants consist of 15 key informants and 2 triangulation informants. The informans were complained about untidy shelves and late of medical record returning. Quarterly meeting to reduce this problem. Suggestion to employee was to sorting the medical record document, and to select wich one to be saved. Suggestion to hospital was to clean up patients documents and tidy up the room so the employee can work with comfort.
© 2015 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Gedung F5 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail:
[email protected]
ISSN 2252-6781
186
Dewi Sartika & Sugiharto / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
PENDAHULUAN
Menurut Health Safety Executive, bahwa stres adalah reaksi negatif manusia akibat adanya tekanan yang berlebihan atau jenis tuntutan lainnya (Tarwaka, 2011). Stres kerja dapat diartikan sebagai sumber atau stressor kerja yang menyebabkan reaksi individu berupa reaksi fisiologis, psikologis dan perilaku. Stressor kerja merupakan segala kondisi pekerjaan yang dipersepsikan karyawan sebagai tuntutan dan dapat menimbulkan stres kerja. Tuntutan akan kinerja pegawai yang tinggi memang sudah menjadi bagian dari semua perusahaan. Berdasarkan peringkat indeks kinerja yang telah dilakukan World Investement Report (WIR) tahun 2003, indeks kinerja Indonesia menempati urutan ke-138 dari 140 negara. Peringkat ini dengan memperhatikan indikator tingkat kehadiran, kualitas pekerjaan dan kuantitas pekerjaan pegawai Indonesia tergolong rendah. Kurang berfungsinya peran, merupakan pembangkit stres yaitu meliputi konflik peran (role ambiguity) (Hidayati, 2008). Banyak penelitian yang membahas hubungan antara stres, locus of control dan kepuasan kerja serta kinerja karyawan. Menurut Patern, pengaruh locus of control terhadap kepuasan kerja dan kinerja para auditor internal di Amerika. Locus of control memiliki tingkat locus of control internal yang cukup tinggi sehingga cenderung lebih mudah merasa puas dan mampu menghasilkan kinerja yang baik karena pengendalian yang bagus. Menurut Gaffar (2009) dalam Savira (2011) hubungan stres kerja karyawan Bank Mandiri wilayah X Makasar yang menemukan bahwa stres kerja berpengaruh terhadap kinerja. Menurut Singh dan Ashish (2010) dalam Savira (2011), peranan penting stres kerja
dan locus of control terhadap kepuasan kerja para manajer level menengah di perusahaan swasta di India memberikan temuan yang berbeda. Dari hasil penelitian tersebut, terbukti bahwa tingkat stres kerja dan locus of control berpengaruh negatif terhadap kepuasan kinerja (Savira, 2011). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara stres kerja dengan strategi coping berfokus masalah pada dosen, tidak ada hubungan antara stres kerja dengan strategi coping berfokus emosi pada dosen. Strategi yang efektif dengan segera mengatasi stres, mungkin menjadi tidak efektif dalam membenatu seseorang mengatasi masalahnya begitu juga sebaliknya, hal ini berkenaan dengan tugas dosen yang siap sedia membantu mahasiswa mengatasi masalah yang berhubungan dengan akademiknya, misalnya bimbingan skripsi yang terkadang membutuhkan waktu, tenaga, pikiran yang lebih banyak, sehingga tidak memungkinkan mengatasi stres dengan menghindarinya atau dengan menghindarinya atau dengan perilaku emosional, lagipula dampak yang dihasilkan akan mempengaruhi kredibilitas mereka sebagai seorang tenaga pengajar maupun nama baik instansi yang menaungi (Rustiana dan Cahyati). Aspek tugas merupakan stressor paling dominan yang berpengaruh terhadap stres kerja perawat. Imbalan jasa, lingkungan kerja, pengembangan karir dan tim kerja juga berperngaruh pada stres kerja perawat. Karakteristik organisasi ini merupakan stressor kategori frendah bagi perawat di sebuah RS Medan (Soep, 2012). Rumah sakit merupakan unit pelayanan kesehatan masyarakat, pendidikan serta penelitian. Berdasarkan
187
Dewi Sartika & Sugiharto / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
hasil dari observasi yang dilakukan pada 23 Januari 2015 di ruang Rekam Medis Rumah Sakit Bhakti Wiratamtama yang terletak di Jalan Cokroaminoto nomor 10 Kota Semarang. Jumlah pegawai rekam medis sebanyak 15 pegawai. Dari seluruh pegawai ada enam orang laki-laki dan sembilan orang perempuan. Rata-rata pendidikan terakhir yang ditempuh, untuk lulusan SMA sebanyak delapan orang, D3 sebanyak enam orang dan S1 ada satu orang. Rumah sakit Bhakti Wiratamtam Semarang terdiri atas bagian luar dan bagian dalam. Bagian luar rekam medis meliputi Tempat Pendaftaran Pasien Rawat Jalan (TPPRJ), Unit Rawat Jalan (URJ), Tempat Pendaftran Rawat Inap (TPRI), Unit Rawat Inap (URI), unit Gawat Darurat (UGD), dan Instalasi Pemeriksaan Penunjang (IPP). Sedangkan bagian dalam rekam medis meliputi analising reporting, koding indeksing, dan filling. Dalam pemberian nomor rekam medis masih sering terjadi duplikasi nomor rekam medis karena peran petugas pendaftaran yang kurang menjalankan fungsinya dengan baik, serta tidak adanya buku penggunaan nomor rekam medis, sehingga terjadi nomor rekam medis ganda dan akan menyulitkan petugas filing karena terjadi duplikasi nomor rekam medis. Akibat pemberian nomor rekam medis ganda pelayanan menjadi terhambat karena lamanya dalam pencarian berkas rekam medis pasien, isi rekam medis menjadi tidak berkesinambungan karena terbagi dalam beberapa dokumen rekam medis. Dokumen di rak filing tidak tertata dengan rapi, informasi medis pasien tidak berkesinambungan akibat petugas filing sering tidak tepat dalam pengembalian dokumen rekam medis pasien. Hal tersebut dapat menimbulkan masalah bagi pegawai
rekam medis yang dapat memicu timbulnya stres kerja. Berdasarkan hasil penelitian faktor penyebab keterlambatan dalam pengembalian dokumen rekam medis adalah sikap pegawai yang menganggap pelayanan di Unit rawat inap lebih penting daripada mengembalikan dokumen rekam medis ke Assembling dan sebanyak 75% setuju dengan anggapan itu, serta anggapan jauhnya jarak antara bangsal dengan Unit Rawat Inap yang dirasakan oleh sekitar 70% (Rachmani, 2010). Stres kerja yang dialami oleh pegawai Rekam Medis di Rumah Sakit Bhakti Wiratamtama Semarang dapat terlihat dari gejala yang dirasakan oleh pegawai seperti sering merasakan kulit pucat dan terasa dingin saat bekerja, aliran darah sangat cepat saat bekerja, pernafasan meningkat saat bekerja, otot tegang saat bekerja, merasa cepat marah, merasa tegang saat bekerja, merasa cemas saat bekerja, sukar berkonsentrasi dalam bekerja, sulit tidur setelah bekerja dan cepat merasa letih setelah bekerja. Belum adanya pelayanan pembinaan atau konseling bagi tenaga kerja. Hal tersebut kurang mendukung upaya peningkatan kesehatan psikis karyawan, yang pada akhirnya tanpa disadari berkembang stres kerja pada pegawai. Di lingkungan kerja, juga terjadi stres kerja yaitu ketegangan yang sering dialami oleh pekerja yang dapat mengganggu situasi kerja serta konsentrasi dalam menyelesaikan pekerjaan. Timbulnya ketegangan tersebut pada hakikatnya dipengaruhi oleh lima faktor, yaitu faktor intrinsik dalam pekerjaan, peran dalam organisasi, pengembangan karir, hubungan dalam pekerjaan, serta struktur dan iklim organisasi (Sucipto, 2014). METODE
188
Dewi Sartika & Sugiharto / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
Metode penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pertimbangan waktu, tenaga dan biaya mendasari bentuk riset terpancang atau tunggal, artinya pengumpulan data sudah dirahkan sesuai dengan tujuan dan panduan pertanyaan didalamnya sudah dibatasi lebih dulu aspek-aspek yang dipilihnya. Bentuk penelitian ini akan mampu menangkap berbagai informasi kualitatif tentang gambaran stres kerja pegawai bagian rekam medis Rumah Sakit Bhakti Wiratamtama Semarang. Adapun yang menjadi obyek penelitian ini diantaranya kepala bidang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), Kepala instalasi rekam medis, wakil kepala rekam medis dan 15 pegawai rekam medis di Rumah Sakit Bhakti Wiratamtama Semarang. Pegawai rekam medis sebagai informan utama, kemudian kepala bidang K3, kepala instalasi rekam medis dan wakil kepala instalasi rekam medis sebagai informan pendukungnya. Pemilihan subyek penelitian menggunakan metode snowball sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data, yang pada awalnya jumlahnya sedikit dan lama-lama menjadi besar. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Stres Kerja Pegawai Rekam Medis
Gejala psikologis, meliputi kecemasan, ketegangan, bingung, marah, sensitive, mendendam perasaan, komunikasi tidak efektif, mengurung diri, depsresi, merasa terasing dan mengasingkan diri, kebosanan, ketidakpuasan kerja, lelah mental, menurunnya fungsi intelektual, kehilangan daya konsentrasi, kehilangan spontanitas dan kreativitas, kehilangan semangat hidup,
menurunnya harga diri dan rasa percaya diri. Gejala fisik, meliputi meningkatnya sekresi adrenalin dan nonadrenalin, gangguan gastrointestinal misalnya gangguan lambung, mudah terluka, mudah lelah secara fisik, kematian, gangguan pada kulit, gangguan kardiovaskuler, gangguan pernafasan, lebih sering berkeringan, kepala pusing, migraine kanker, ketegangan otot, problem tidur (sulit tidur, terlalu banyak tidur). Gejala perilaku, meliputi menunda ataupun menghindari pekerjaan, penurunan prestasi dan produktivitas, meningkatnya penggunaan minuman keras dan mabuk, perilaku sabotase, meningkatnya frekuensi absensi, perilaku makan yang tidak normal, kehilangan nafsu makan dan penurunan drastic berat badan, meningkatnya kecenderungan perilaku berisiko tinggi, seperti ngebut, berjudi, meningkatnya agresivitas dan kriminalitas, penurunan kualitas hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman, kecenderungan bunuh diri (Taylor, 2006). Keadaan dan perasaan kelelahan adalah reaksi fungsional dari pusat kesadaran yaitu korteks serebi, yang dipengaruhi oleh dua system antagonistic yaitu system penghambat (inhibisi) dan system penggerak (aktivasi). System penghambat terdapat dalam tahalamus yang mampu menurunkan kemampuan manusia bereaksi dan menyebabkan untuk tidur. Sistem penggerak terdapat dalam formasio retikularis yang dapat merangsang peralatan dalam tubuh kearah bekerja, berkelahi, melarikan diri dan sebagainya. Maka keadaan seseorang pada suatu saat sangat tergantung pada hasil kerja diantara dua sistem antagonis dimaksud. Apabila system lebih kuat seseorang dalam keadaan lelah. Sebaliknya manakala system aktivitas lebih kuat seseorang dalam keadaan segar untuk berkerja. Konsep ini
189
Dewi Sartika & Sugiharto / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
dapat dipakae menjelaskan peristiwa sebelumnya yang tidak jelas. Misalnya peristiwa seseorang dalam keadaan lelah, tiba-tiba kelelahan hilang oleh karena terjadi peristiwa yang tak diduga sebelumnya atau terjadi tegangan emosi. Dalam keadaan ini, system penggerak tiba terangsang dan dapat mengatasi system penghambat. Demikian pula peristiwa dalam monotoni, kelelahan terjadi oleh karena hambatan dari sitem penghambat, walaupun beban kerja tidak begitu berat. Berdasarkan hasil penelitian usia pegawai antara 21-30 Tahun sebanyak 11 pegawai, usia 31-40 Tahun sebanyak 3 pegawai dan usia diatas 40 Tahun ada 1 pegawai. Pada pada bagian filing ada tiga pegawai dengan usia 27 tahun sebanyak dua pegawai dengan masa kerja empat tahun dan satu pegawai dengan usia 49 Tahun dengan masa kerja 32 tahun. Pegawai muda mempunyai fisik yang lebih kuat, dinamis dan kreatif tetapi cepat bosan, kurang bertanya jawab, cenderung absensi dan turnovernya tinggi. Pegawai yang lebih tua kondisi fisiknya kurang, tetapi bekerja ulet, tanggung jawabnya besar, serta absensi dan turnovernya rendah. semakin lama seseorang bertahan dalam instansi, semakin terlihat bahwa dia berkomitmen terhadap instansi tersebut. Tingkat pendidikan dua pegawai lulusan DIII RMK dan satu pegawai lulusan SMP. Pengalaman kerja pegawai hanya satu pegawai yang memiliki pengalaman kerja di bidang rekam medis. Kepatuhan petugas filing kurang, hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya dokumen rekam medis yang menumpuk di rak penyimpanan aktif masih terdapat dokumen rekam medis yang seharusnya sudah dapat dimusnahkan. Keterlambatan pengiriman dokumen rekam medis ke assembling juga sering mengalami
keterlambatan. Dalam pengelolaan dokumen rekam medis, pencatatan data yang secara cermat dan lengkap, data yang dipercaya menurut kenyataan, memilih data yang berkaitan dengan masalah dan mencatat data secara obyektif. Untuk mendukung hal tersebut, maka dokumen rekam medis harus sudah kembali ke bagian penyimpanan dalam waktu 2x24 jam setelah pasien pulang baik dalam keadaan hidup atau mati, dilihat dari permenkes No.269/Menkes/per/III/2008. Berdasarkan aktifitas pegawai yang seperti diatas, dapat menambah beban kerja bagi pegawai yang dapat menimbulkan stres kerja. Lingkungan Kerja
Menurut Muchinksky, kondisi lingkungan kerja fisik berupa suhu yang terlalu panas, terlalu dingin, terlalu sesak, kurang cahaya dan semacamnya. Ruangan yang terlalu panas menyebabkan ketidaknyamanan seseorang dalam menjalankan pekerjaannya, begitu juga ruangan yang terlalu dingin. Panas tidak hanya dalam pengertian temperature udara tetapi juga sirkulasi atau arus udara (Margiati, 2010). Berdasarkan hasil penelitian terkait lingkungan kerja, dapat disimpulkan bahwa kondisi ruang rekam medis yang kurang nyaman bagi pegawai. Penataan ruang yang kurang baik, kurangnya sirkulasi udara, pendingin ruangan yang belum memadai dan masih dalam kondisi renovasi membuat pegawai mengeluh dengan kondisi tersebut. Hal tersebut dibuktikan dari hasil wawancara mendalam dengan seluruh informan yang menyatakan bahwa kondisi ruang rekam medis yang panas, sumpek dan banyak debu. Kondisi ruangan dengan kurangnya sirkulasi udara menyebabkan suhu ruang menjadi
190
Dewi Sartika & Sugiharto / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
meningkat dan oksigen di dalam ruang menjadi berkurang, dengan kondisi seperti itu menyebabkan udara dalam ruangan menjadi panas sehingga tingkat emosi pegawai juga meningakat sehingga dapat menyebabkan stres kerja. Selain itu, kinerja dari pegawai dapat menurun dikarenakan berkurangnya tingkat konsentrasi dari pegawai. Mayoritas dari informan menyatakan bahwa bekerja di ruang rekam medis kurang nyaman karena kurangnya sirkulasi udara yang kurang dan penataan rak yang kurang rapi. Keadaan ruangan dengan kurangnya sirkulasi udara menyebabkan berkurangnya udara yang masuk ke ruangan. Banyaknya rak yang berdebu menyebabkan pegawai mengalami sesak nafas dan mengalami sinusitis. Keadaan panas akibat kurangnya udara yang masuk menyebabkan pegawai merasa panas saat bekerja sehingga pegawai mudah mengalami kelelahan kerja. Kurangnya ruang untuk mobilisasi pegawai juga mempengaruhi kegiatan dari pegawai. Adanya kegiatan renovasi mengakibatkan ruang gerak untuk pegawai semakin berkurang, seperti yang disampaikan oleh informan 2, 3, 4, dan 14 bahwa mereka merasa terganggu dengan adanya kegiatan renovasi pada saat jam kerja. Selain itu, dengan adanya pegawai bangunan yang ada di ruang medis membuat pegawai kurang nyaman dalam mengerjakan tugas mereka. Timbulnya suara yang dari alat bangunan menyebabkan kinerja dari pegawai rekam medis menurun karena konsentrasi dari pegawai rekam medis terganggu. Berdasarkan hasil observasi ruang rekam medis, pada rak penyimpanan berkas tidak rapi. Hal tersebut dapat terlihat banyaknya dokumen rekam medis yang seharusnya sudah dapat dimusnahkan
namun masih ada di rak penyimpanan berkas. Belum dilakukannya kegiatan seperti menyisihkan dokumen rekam medis, penggantian sampul rekam medis yang rusak untuk mencegah rusak atau hilangnya lembar khusus. Kondisi rak penyimpanan yang kurang rapi dapat menyulitkan pegawai untuk mencari dokumen rekam medis pasien dan memakan waktu yang lama untuk menemukan dokumen rekam medis pasien sehingga dapat menimbulkan emosi pada pegawai yang akhirnya akan menyebabkan stres pada pegawai. Rak penyimpanan berkas yang tinggi juga menyulitkan pegawai rekam medis yang mencari dokumen rekam medis pasien. Kecelakaan kerja dapat terjadi saat pengambilan dokumen rekam medis pasien seperti terjatuh saat pengambilan ataupun kejatuhan berkas yang ada diatas pegawai selain itu juga masih terdapat lemari dalam kondisi terbuka yang banyak debu sehingga dapat mengganggu pernafasan pegawai. Rak penyimpanan dokumen rekam medis di ruang UGD dan rekam medis rawat jalan dan inap tidak ada perbedaan. Di ruang UGD masih menggunakan rak rekam medis yang masih terbuka dan jumlahnya sebanyak 3 rak. Konsultasi yang Tidak Efektif
Kelelahan kerja yang dialami pegawai tidak terlalu menganggu pekerjaan. Akibat dari kelelahan kerja tersebut juga tidak terlalu mengaggu kesehatan dari pegawai. Pegawai hanya butuh istirahat kemudian dapat melanjutkan pekerjaan kembali. Jika pegawai merasa mengalami kelelahan kerja biasanya pegawai meminta izin untuk istirahat dan melanjutkan pekerjaan lagi atau biasanya meminta pegawai lain untuk menggantikan tugasnya. Namun hanya beberapa pegawai saja yang melakukan hal tersebut, karena dengan
191
Dewi Sartika & Sugiharto / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
penerapan tingkat disiplin pada pegawai yang tinggi di rumah sakit bhakti wiratamtama Semarang pegawai memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap pekerjaan. Seperti yang dikatakan oleh informan 6, informan 11, informan 12 dan informan 15 yang menyatakan bahwa selama ini belum mengalami kelelahan kerja yang berarti yang menyebabkan terganggunya pekerjaan. Gangguan kesehatan yang dialami pegawai hanya sesak nafas akibat banyaknya debu yang menempel di berkas catatan medis pasien. Dengan adanya pertemuan yang diadakan tiap tiga bulan sekali tersebut dapat membantu pegawai untuk mengungkapkan masalah kesehatan yang dialami oleh pegawai. Pegawai yang mengalami gangguan kesehatan biasanya meminta izin untuk tidak masuk kerja atau biasanya tukeran shift dengan pegawai lainnya. Pegawai yang tidak masuk kerja dapat meminta izin untuk tidak masuk dengan melampirkan surat keterangan dokter untuk istirahat. Namun, untuk keluhan kesehatan yang dialami pegawai tidak tercatat sebagai dokumen di rumah sakit tersebut. Setiap pertemuan yang diadakan dalam tiga bulan sekali tersebut tidak melibatkan kepala bidang Keselamatan dan Kesehatan Kerja rumah sakit sehingga kepala bidang keselamtan dan kesehatan kerja tidak mengetahui masalah yang dialami pegawai rekam medis. Selain itu juga tidak ada bukti laporan hasil hanya dalam bentuk perkataan. Hal tersebut didukung oleh hasil wawancara mendalam dnegan informan utama, bahwa mayoritas pegawai rekam medis meminta izin untuk tidak masuk kerja jika mengalami gangguan kesehatan yang dapat mengganggu kegiatan dalam bekerja atau tukeran shift dengan pegawai lainnya, untuk gangguan kesehatan yang
sering dialami yaitu batuk, pilek dan sesak nafas seperti ISPA. Konflik Antara Tuntutan Keluarga dan Tuntutan Instansi
Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor penyebab stres kerja dari segi beban kerja adalah tututan pekerjaan yang terlalu banyak sehingga pegawai harus bekerja keras dan harus memanfaatkan waktu istirahat untuk menyelesaikan pekerjaan(Samosir dan Syahfitri, 2008). Berdasarkan hasil wawancara mendalam dalam penelitian untuk pegawai yang baru bekerja kurang lebih dua tahun mengalami perbedaan yang terjadi antar pegawai. Perbedaan pemikiran terjadi biasanya karena adanya banyak pendaftar pasien dan belum terbiasa dengan keadaaan diruang rekam medis. Namun perbedaan yang terjadi antar pegawai dapat diselesaikan. Menurut informan 2 dan informan 14, cara menyelesaikan masalah yang dialami pegawai dengan mendatangkan masingmasing pegawai yang sedang mengalami masalah kemudian mempertemukan pegawai tersebut. Masalah yang dialami pegawai diselesaikan secara intern terlebih dahulu, jika masalah tidak dapat diselesaikan secara intern maka masalah tersebut baru dilaporkan ke atasan. Namun, sejauh ini masalah antar pegawai dapat diatasi dengan baik. Jadi, untuk perbedaan yang terjadi antar pegawai ditempat kerja sulit dikombinasikan atau disatukan tidak mempengaruhi kegiatan pegawai rekam medis sehingga tidak menyebabkan stres kerja pada pegawai rekam medis. Pegawai rekam medis dituntut untuk bekerja secara intensif, dikarenakan Rumah Sakit Bhakti Wiratamtama menerapkan kedisiplinan tinggi dalam bekerja. Selain itu rumah sakit Bhakti Wiratamtama Semarang dalam proses akreditasi sehingga
192
Dewi Sartika & Sugiharto / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
rumah sakit dituntut terutama dalam pelayanan pendaftar pasien harus ditingkatkan. Hal tersebut dibuktikan dengan hasil wawancara mendalam pada seluruh informan, seluruh informan menjawab ingin memajukan rumah sakit dengan bekerja secara intensif. Dengan bekerja secara intensif dapat meningkatkan kinerja dari pegawai, namun jika pegawai dalam kondisi sehat baik fisik, mantal maupun psikis. Bagi pegawai yang masih baru, untuk dapat bekerja secara intensif cukup sulit karena mereka harus beradaptasi terlebih dahulu dengan lingkungan kerja. Pegawai baru akan merasa terbebani hal tersebut dapat menyebabkan stres kerja pada pegawai baru. Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan informan utama, sebagian informan merasa istirahat dengan cukup, baik istirahat yang diberikan pihak rumah sakit saat bekerja maupun untuk istirahat tidur malam. Istirahat saat bekerja yang diberikan rumah sakit yaitu satu jam, untuk tidur malam kurang lebih lima sampai enam jam. Sedangkan sebagian dari informan merasa kurang cukup istirahat yang diberikan oleh rumah sakit dengan alasan terlalu banyaknya pendaftar pasien dengan jumlah pegawai yang kurang menyebabkan istirahat dari informan menjadi berkurang baik untuk makan siang maupun untuk sholat. Seluruh informan dituntut untuk bekerja dengan cepat, namun untuk pegawai baru bekerja di rekam medis kadang kurang teliti karena diburu waktu dan dituntut harus cepat dalam melayani pendaftar pasien. Seperti yang diungkapkan oleh informan 10 bahwa kurang nyaman jika kerja diburu-buru menyebabkan hasil tidak maksimal. Bekerja dengan tuntutan tinggi dapat memberikan beban bagi
pegawai sehingga pegawai dapat mengalami tekanan untuk menyelesaikan dengan cepat tanpa mempedulikan hasil. Pegawai mendapat dukungan dan umpan balik yang cukup dari atasan atas pekerjaan yang mereka lakukan. Hal ini dibuktikan dengan hasil wawancara mendalam kepada informan utama yang mayoritas menjawab bahwa atasan memberikan dukungan dan umpan balik yang cukup kepada seluruh pegawai. Atasan selalu memantau pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai. Namun, beberapa pegawai mengaku untuk umpan balik dalam masalah gaji masih kurang. Hal tersebut dikarenakan sistem gaji di rumah sakit Bhakti Wiratamtama Semarang mengabdi sehingga gaji tidak sama dengan rumah sakit lainnya. Menurut APHA telah diakui hak untuk lingkungan kerja yang sehat dan kebutuhuan untuk meningkatkan pencegahan penyakit akibat kerja yaitu mengurangi ketegangan pekerjaan dan memberikan pekerjaan yang sesuai, peningkatan pekerjaan yang berkelanjutan namun sesuai dengan “shoutterm profitability and lean production”, dan peningkatan keselamatan serta biaya kesehatan (Schutte, 2013). Berdasarkan penelitian yang dilakukan, untuk manajemen stres kerja yang paling efektif dilakukan yaitu dengan menggunakan intervensi jenis perilaku kognitif (Klin, Blonk, Schene and Dijk, 2001). SIMPULAN
Berdasarkan penelitian tentang Gambaran Stres Kerja Pegawai bagian Rekam Medis Rumah Sakit Bhakti Wiratamtama Semarang diperoleh simpulan bahwa pegawai yang mengalami stres kerja, pegawai yang bekerja filing dan
193
Dewi Sartika & Sugiharto / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
pendaftaran. Penyebab stres kerja pada pegawai rekam medis meliputi: lingkungan kerja yang kurang nyaman dan konflik antara tuntutan keluarga dan tuntutan instansi yang menimbulkan masalah yaitu kurangnya gaji untuk menutupi kebutuhan pegawai. Konsultasi yang efektif dilakukan oleh seluruh pegawai rekam medis dapat mengurangi masalah yang dialami oleh pegawai rekam medis Rumah sakit Bhakti Wiratamtama Semarang. Saran yang diberikan kepada pegawai yaitu pegawai hendaknya tidak menyimpan masalah dan membicarakannya dibelakang, pegawai yang mengalami masalah keluarga, masalah yang terkait dengan pekerjaan, interaksi dengan atasan maupun pihak pengelola rumah sakit serta masalah yang terjadi disebabkan oleh interaksi dengan rekan kerja atau pendaftar pasien, petugas filing melakukan pemilahan dokumen rekam medis antara lembar yang akan diabadikan dan lembar yang akan dimusnahkan. Kepada rumah sakit pembersihan berkas pasien dan penataan ruang lebih ditata dengan rapi agar pegawai nyaman dalam mobilisasi dan bekerja. UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan Ibu Prof, Dr. Tandiyo Rahayu, M.pd., Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Bapak Irwan Budiono S.KM., M.kes., dosen pembimbing skripsi Bapak Drs. Sugiharto, M.Kes. serta seluruh pegawai rekam medis, kepala ruang rekam medis dan kepala bidang K3 rumah sakit Bhakti Wiratamtama Semarang yang terlibat dalam penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA
Hidayati, Reni dkk. 2008. Kecerdasan Emosi, Stres Kerja dan Kinerja Karyawan. Jurnal Psikologi. 2(1):91-96 Klink, Jac J.L. Van Der, Blonk, Ronald W. B., Schene, Aart H., dan Dijk, Frank J. H. Van. 2001. The Benefits of Interventions for WorkRelated Stres. American Journal of Public Health. 91(2):270-276 Margiati, Lulus. 2010. Stres Kerja: Latar Belakang Penyebab dan Alternatif Pemecahannya. Jurnal Masyarakat, Budaya dan Politik. 12(3):7180 Rahmani, Enny. 2010. Analisa Keterlambatan Penyerahan Dokumen Rekam Medis Rawat Inap di Rumah Sakit Polri dan TNI Semarang. Jurnal Visikes. 9(2):107-117 Rustiana, Eunike R dan Cahyati, Widya Hari. 2012. Stress Kerja dengan Pemilihan Strategi Coping. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 7(1): 149-155 Samosir, Zurni Zahra dan Syahfitri, Iin. 2008. Faktor Penyebab Pustakawan pada Perpustakaan Universitas Sumatera Utara. Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi. 4(2):60-69 Savira, Halida. 2011. Pengaruh Stres Kerja dan Locus of Control terhadap Kepuasan Kerja dan Kinerja Pegawai Bagian Layanan PT Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk. Cabang Malang. Jurnal Aplikasi Manajemen. Schutte, Stefanie. 2013. Public Health Impact of Job Stress. American Journal of Public Health. 91(3):288-294 Soep.
2012. Stres Kerja Perawat Berdasarkan Karakteristik Organisasi di Rumah Sakit. Jurnal Keperawatan Indonesia. 15(1):67-74
Sucipto, Cecep Dani. 2014. Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Yogyakarta: Gosyen Publishing. Tarwaka. 2014. Ergonomi Industry: Dasar-dasar Pengetahuan Ergonomic dan Aplikasi di Tempat Kerja. Solo: Harapan Taylor, S.E. 2006. Health Psychology. Newyork: McGraw Hill Inc
194
Dewi Sartika & Sugiharto / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
195
UJPH 5 (3) (2016)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
EVALUASI PROGRAM ELIMINASI FILARIASIS DARIASPEK PERILAKU DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN Lailatul Munawwaroh , Eram Tunggul Pawenang Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima Mei 2016 Disetujui Juni 2016 Dipublikasikan Juli 2016
Filariasis merupakan penyakit menular disebabkan cacing filaria dan ditularkan nyamuk. Untuk menekan jumlah kasus filariasis dilakukan Program Eliminasi Filariasis melalui POMP (Pemberian Obat Massal Pencegahan) filariasis. Kelurahan Kuripan Yosorejo RW I-V (Kuripan Lor) merupakan daerah endemis filariasis (Mikrofilaria rate ≥1%)dan menjadi daerah yang diprioritaskan untuk Eliminasi Filariasis.Tujuan penelitian adalahuntuk mengetahui(1) gambaran Program Eliminasi Filariasis di Kelurahan Kuripan Yosorejo tahun 2011-2015,(2) gambaran perubahan perilaku dan lingkungan setelah pelaksanaan Program Eliminasi Filariasis. Jenis penelitian adalah kualitatif.Jumlah informan adalah 14 informan, 2 informan utama dan 12 informan triangulasi. Hasil penelitian adalah (1) pelaksanaan Program Eliminasi Filariasis tahun 2011-2015 di Kelurahan Kuripan Yosorejosesuai peraturan yang berlaku (2)aspek perilaku masyarakat yang berubah adalah perilaku minum obat filariasis sedangkan perilaku praktik pencegahan lainya (perilaku mencegah gigitan nyamuk dan pengelolaan lingkungan) serta aspek lingkungan (kawat kasa, genangan pada got/SPAL, semak-semak,tanaman air) sudah cukup baik tetapi tidak mengalami perubahan.
________________ Keywords: filariasis elimination; environment; behavior ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ Filariasis was an infectious disease caused by the filarial worm and transmitted by mosquitoes. Filariasis Elimination Programthrough MDA (Mass Drug Administration) was used to reduce the number of filariasiscases. Kuripan Yosorejo RW I-V village (Kuripan Lor) was endemic filariasis area (Mikrofilaria rate of≥1%) and became the priority area for Filariasis Elimination Program. The purposes of research were to know(1)the description of Filariasis Elimination Program, especially in Kuripan Yosorejo villagebetween 20112015, (2)the influence of Filariasis Elimination Program on behavioral and environmental aspect. This research usedqualitative method. Theinformants were 14.It consisted of2 keyinformants and 12 triangulation informants. The results of researchwere(1) Filariasis Elimination Program implementation between2011-2015 in the Village Kuripan Yosorejo was appropiate with the regulations,(2) the changing of behavioral aspects in the society were the behavioral of taking medication of filariasis while the behaviorof other prevention practices (prevention of mosquitos bites and environmental management) and the environmental aspects (wire netting, puddles on the waste water pipeline, bushes, water plants) were already good enough but not changed.
© 2015 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Gedung F5 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail:
[email protected]
ISSN 2252-6781
195
Lailatul Munawwaroh dan Eram Tunggul Pawenang / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
PENDAHULUAN
Filariasis (elephenthiasis/kaki gajah) merupakan merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria yang menyerang saluran dan kelenjar getah bening. Terdapat tiga spesies cacing penyebab filariasis yaituWuchereria brancofti; Brugia malayi; Brugia timori (Dirjen P2PL, 2008).Diperkirakan 1/5 penduduk dunia atau 1,1 miliar penduduk di 83 negara berisiko terinfeksi filariasis (Dirjen P2PL, 2008). Dan Profil kesehatan Indonesia tahun 2013 menyebutkan jumlah kasus filariasis di Indonesia sebanyak 12.714 kasus. Sedangkan pada tingkat provinsi, Jawa Tengah menempati peringkat ke-8 dengan jumlah penderita filariasis sebesar 412 penderita serta jumlah kasus mikrofilaria tertinggi berada di Kota Pekalongan (Kemenkes RI, 2014). Adapun usaha untuk menekan jumlah kasus filariasis dengan pelaksanaan Program Eliminasi Filariasis melalui POMP (Pemberian Obat Massal Pencegahan) filariasis yaitu memberikan obat DEC dikombinasikan dengan albendazole setiap tahun sekali 5 tahun berturut – turut.Program Eliminasi Filariasis dilaksanakan di Kota Pekalongan sejak tahun 2006 untuk tingkat kelurahan dan baru pada tahun 2011-2015 berlaku seluruh wilayah di Kota Pekalongan. Berdasarkan data Dinkes Kota Pekalongan tahun 2014, cakupan POMP per Puskesmas se-Kota Pekalongan rata – rata mencapai > 90% dengan jumlah sasaran 257.632 penduduk dari 290.347penduduk. Akan tetapi dalam pelaksanaannya terdapat penduduk yang ditunda minum obat sebesar 25.595 penduduk serta penduduk tidak minum obat sebesar 10.978 peduduk (Dinkes Kota Pekalongan, 2014).
Pemutusan mata rantai filariasis melalui program Eliminasi Filariasis sebaiknya tidak hanya terfokus pada POMP, perlu didukung dengan perilaku praktik pencegahan lainya seperti perilaku mencegah dari gigitan nyamuk dan perilaku pengelolaan lingkungan untuk mengendalikan vektor penularan filariasis yang berpengaruh dengan kejadian filariasis(Dirjen P2PL, 2008).Sebagaimana teori HL.Blum menyatakan bahwa status kesehatan dipengaruhi oleh empat aspek yaitu lingkungan (lingkungan fisik, biologi, ekonomi, sosial dan budaya), perilaku, keturunan dan pelayanan kesehatan (Adnani, 2011).Perilaku praktik pencegahan penularan filariasis oleh Dinkes Kota Pekalongan sudah disertai kegiatan promosi kesehatan yaitu sosialisasi Eliminasi Filariasis di tingkat Kelurahan oleh Puskesmas setahun sekali sebelum dilakukan POMP Filariasis.Teori modifikasi L.Green dan HL.Blum tentang hubungan status kesehatan, perilaku dan promosi kesehatan menyatakan bahwa promosi kesehatan dapat mempengaruhi perilaku kesehatan dan perilaku kesehatan dapat mempengaruhi derajat kesehatan seseorang (Adnani, 2011).Harapanya dengan adanya promosi kesehatan dapat meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat, perorangan atau lembaga kemasayarakatan untuk aktif dalam upaya Eliminasi Filariasis(Dirjen P2PL, 2008). Terdapat beberapa wilayah di Kota Pekalongan yang diprioritaskan dalam program Eliminasi Filariasis dikarenakan termasuk wilayah endemis filariasis (Mf rate /Mikrofilaria rate ≥ 1%) salah satunya Kuripan Lor atau Kelurahan Kuripan Yosorejo RW I-V (Dinkes Kota
196
Lailatul Munawwaroh dan Eram Tunggul Pawenang / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
Pekalongan, 2014). Jika dilihat dari batas wilayah, Kelurahan Kuripan Yosorejo berbatasan langsung dengan dua Kelurahan endemis filariasis (Mf rate tertinggi di Kota Pekalongan pada tahun 2012) bahkan mendapatkan perhatian dari Dinkes Kota Pekalongan dan WHO yaitu Kelurahan Jenggot (Mf rate; 5%) dan Kelurahan Kertoharjo Yosorejo (Mf rate; 2%), yang memiliki risiko terjadi penularan filariasis dan jumlah kasus filariasis tinggi seperti kedua wilayah endemis tersebut. Pada tahun 2015 Kelurahan Kuripan Yosorejo melaksanakan Program Eliminasi Filariasis tahap akhir dan perlu dilakukan evaluasidari aspek perilaku dan perubahan lingkungan atau evaluasi keluaran (outcome) Program Eliminasi Filariasis. Karena evaluasi yang sudah dilakukan hanya meliputi cakupan POMP setiap tahun setelah pengobatan massal, survei cakupan POMP tahun pertama dan evaluasi prevalensi Mf rate sebelum dan sesudah POMP tahun ketiga dan kelima.Dari hasil evaluasi keluaran (outcome) ini dapat dijadikan penilaian apakah program eliminasi filariasis tahun 2011 – 2015 dilaksanakan sesuai rencana, mampu mengubah perilaku praktik pencegahan filariasis meliputi perilaku minum obat, perilaku pencegahan dari gigitan nyamuk dan pengelolaan lingkungan,serta mengubah lingkungan di Kelurahan Kuripan Yosorejo setelah pelaksanaan program Eliminasi Filariasis tahun 20112015. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Fokus dalam penelitian ini adalah evaluasi program eliminasi filariasis dari aspek perilaku meliputi perilaku minum obat filariasis, perilaku
mencegah dari gigitan nyamuk (kebiasaan keluar malam, menggunakan kelambu, menggunakan obat nyamuk, menggantung pakaian, mengenakan baju lengan panjang dan celana panjang) dan pengelolaan lingkungan serta perubahan lingkungan meliputi keberadaan kawat kasa, genangan air (got/SPAL), semak-semak dan tanaman air. Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Kuripan Yosorejo RW I-V atau Kuripan Lor selama 10 hari sejak tanggal 9-19 Juni 2015. Jumlah informan adalah 14 orang terdiri dari informan utama yaitu2 Petugas P2PL Puskesmas Pekalongan Selatan dan triangulasi terdiri dari Kepala Kelurahan Kuripan Yosorejo RW I-V, 2 TPE (Tenaga Pelaksana Eliminasi), 6 warga masyarakat Kelurahan Kuripan Yosorejo RW I-V, 1 Petugas P2P-PL Dinkes Kota Pekalongan, Ketua RT 06 RW 01 dan 1 orang warga RT 06 RW 01. Instrumen penelitian ini adalah peneliti sendiri dibantu dengan alat pengumpul data yaitu panduan wawancara mendalam, panduan FGD (focus group discussion), pandaun observasi, alat perekam (HP), laptop dan kamera. Teknik pengambilan data dilakukan dengan wawancara mendalam, FGD, observasi dan dokumentasi. Analisi data penelitian dilakukan saat pengumpulan data berlangsung dan setelah pengumpulan data, terdiri dari (1) reduksi data yaitu setelah data hasil wawancara mendalam, FGD, observasi dan dokumentasi terkumpulkan, peneliti memilah hal-hal pokok, memfokuskan data, menyederhanakan data untuk kemudian disesuaikan dengan polanya (2) penyajian data yaitu data hasil penelitian disajikan dalam bentuk narasi (kalimat) dilengkapi dengan gambar dan tabel (3) conclusiondrawing atau verification yaitu
197
Lailatul Munawwaroh dan Eram Tunggul Pawenang / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
penarikan kesimpulan oleh peneliti yang disajikan dalam bentuk deskripsi berdasarkan data-data hasil penelitian (wawancara mendalam, FGD, observasi dan dokumentasi) yang mengacu pada pokok permasalahan yang diteliti. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Pelaksanaan Program Eliminasi Filariasis di Kota Pekalongan Khususnya Kelurahan Kuripan Yosorejo Tahun 2011-2015
Kelurahan Kuripan Yosorejo RW I-V termasuk ke dalam wilayah endemis filariasis (Mf rate ≥ 1%) berdasarkan penemuan kasus (1 kasus) pada SDJ Dinkes Kota Pekalongan tahun 2010 dan penemuan kasus (kurang lebih 4 kasus) oleh Dinkes Kota Pekalongan bekerjasama dengan UI tahun 2011-2012,kemudian diakumulasikan dan dihasilkan Mf rate ≥ 1%. Sehingga menjadi salah satu wilayah yang diprioritaskan untuk dilakukan eliminasi filariasismelalui Program Eliminasi Filariasis tahun 2011-2015 serentak satu Kota Pekalongan. Program tersebut berisi kegiatan utama yaitu POMP (Pemberian Obat Massal Pencegahan) setahun sekali 5 tahun berturut-turut disertai penyuluhan. Sedangkan 2 kegiatan pokok lainya yaitu SDJ (Survei Darah Jari) dan penanganan kasus kronis filariasis. Program Eliminasi Filariasis di Kota Pekalongan khususnya Kelurahan Kuripan Yosorejo sudah dilaksanakan tahun 20112014 dan tahun 2015 merupakan tahap akhir. Rangkaian kegiatan pelaksanaan program setiap tahunya hampir sama, yaitu: 1. Pendataan penduduk pra POMP filariasisoleh TPE (Tenaga Pelaksana Eliminasi) bertujuan untuk mengetahui apakah ada penambahan atau pengurangan
jumlah penduduk. Ini berkaitan dengan jumlahobat yang didistribusikan pada warga Kelurahan Kuripan Yosorejo RW IV, sehingga tepat sasaran dan tepat jumlahnya. 2. Koordinasi Puskesmas Pekalongan Selatan kepada Kepala Kelurahan Kuripan Yosorejo terkait pelaksanaan POMP dan sosialisasi Eliminasi Filariasis. 3. Sosialisasi POMP Filariasis kepada masyarakat Kelurahan Kuripan Yosorejo 4. POMP Filariasis yang setiap tahunya dilaksanakan pada bulan Juni namun pada tahun 2015 dilaksanakan pada bulan Mei terkait bulan puasa yang jatuh pada bulan Juni. Pembagian obat filariasis dilaksanakan selama 3 hari oleh TPE didampingi petugas Puskesmas (tidak semua TPE didapingi petugas Puskesmas) secara door to door, minum bersama pada acara yasinan atau minum bersama di sekolah. Berdasarkan hasil penelitian di Kelurahan Kuripan Yosorejo RW I-V, pelaksanaan program Eliminasi Filariasis melalui POMP Filariasis sudah sesuai dengan Kepmenkes No. 1582/Menkese/SK/XI/2005 tentang Pedoman Pengendalian Filariasis. Gambaran Perilaku Masyarakat Kelurahan Kuripan Yosorejo RW I-V Setelah Pelaksanaan Program Eliminais Filariasis Tahun 2011-2015
1) Perilaku minum obat Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan masyarakat Kelurahan Kuripan Yosorejo RW I-V termasuk ke dalam orang-orang yang sudah patuh
198
Lailatul Munawwaroh dan Eram Tunggul Pawenang / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
minum obat. Hal ini berdasarkandata kecakupan pengobatan massal tahun 20112014 diatas target kurang lebih 80% dan tahun 2015 mencapai 91% (tertinggi). Berikut terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku patuh minum obat masyarakat Kelurahan Kuripan Yosorejo RW I-V yaitu : 1. Orang memiliki rasa takut terhadap penyakit kaki gajah, setelah melihat gambar spanduk 2. Orang memiliki kesadaran terhadap kesehatan dirinya dan anggota keluarganya 3. Terdapat anggota keluarga denganbackgroundpendidikan kesehatan (faktor pendidikan) 4. Harus ada kejadian terlebih dahulu sehingga akan patuh minum obat filariasis 5. Peran TPE yang mendukung 6. Sosialisasi TPE 7. Kebijakan Dinkes Kota Pekalongan tahun 2015 (penggabungan program POMP Filariasis dan program Kecacingan), minum obat filariasis dan obat kecacingan bersama tingkat sekolahan PAUD hingga SMA Namun berdasarkan informasi dari petugas P2P-PL Dinkes Kota Pekalongan terdapat perbedaan hasil berdasarkan survei serta cenderung dibawah target yaitu < 65%.Adanya kesenjangan antara data hasil survei dan cakupan POMP Filariasis dari Puskesmas-Puskesmas di Kota Pekalongan ini dimungkinkan berbagai alasan yaitu.anggota keluarga lupa memberikan obat filariasis yang telah dibagikan TPE kepada anggota keluarganya, metode pengambilan data cakupan POMP oleh TPE dengan mencentang pada form cakupan POMP untuk orang yang mendapatkan obat filariasisdikategorikan sebagai orang yang telah meminum obat
filariasis. Meskipun demikian, terdapat usaha TPE membujuk masyarakat agar meminum obat filariasis didepan TPE.Sedangkan pada proses pengambilan data survei cakupan POMP Filariasis untuk mengevaluasi kegiatan POMP filariasis juga memiliki kendala yaitu cara bertanya penyurvei kurang bisa dipahami oleh masyarakat. Harapanya dengan pelaksanaan POMP filariasis yang sudah 5 tahun ini dapat menurunkanMf rate di Kota Pekalongan khususnya di Kuripan Yosorejo RW I-V meskipun berdasarkan keterangan dari Puskesmas Pekalongan Selatan, tidak terdapat laporan adanya kasus filariasis. Hal ini sejalan dengan penelitian Ompungsu, Tuti dan Hasugian (2008), bahwa Kabupaten dan Kota (Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi dan Kota Dumai, Riau) yang sudah melaksanakan MDA (Mass Drug Administration) atau POMP filariasis lebih dari satu kali menunjukkan penurunan Mf ratedan mengurangi penularan filariasis. 2) Perilaku Mencegah Gigitan Nyamuk 1. Kebiasaan Keluar Malam Berdasarkan hasil penelitian,warga masyarakat masih memiliki kebiasaan keluar pada malam hari untuk kegiatan seperti bekerja, kegiatan yasinan, sholat di masjid, pergi ke warung, kumpul untuk rapat yang frekuensinya jarang danbukan untuk kumpul-kumpul yang sifatnya grumungan.Kebiasaan berada di luar rumah sampai larut malam akan memudahkan gigitan nyamuk, dimana vektor nyamuk Culexsppenyebab filariasis di Kota Pekalongan memiliki kebiasaan menggigit pada malam hari (nocturnal) beberapa jam setelah matahari terbenam sampai sebelum matahari terbit dan bersifat
199
Lailatul Munawwaroh dan Eram Tunggul Pawenang / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
eksofilik (menggigit di luar rumah) dan endofilik (menggigit di dalam rumah). Penelitian oleh Ramadhani dan Yunianto (2009), menyatakan bahwa aktivitas menggigit nyamuk Culex sp di Kelurahan Pabean Kota Pekalongan lebih banyak di luar rumah dengan aktivitas puncaknya yaitu pukul 21.00-22.00 WIB, 24.00-01.00 WIB dan 02.00-03.00 WIB. Hal ini sejalan dengan penelitian Windiastuti, Suhartono dan Nurjazuli (2013) yang menunjukkan bahwa responden yang memiliki kebiasaan berada di luar rumah memiliki risiko 9,034 kali lebih besar terkena filariasis dibandingkan dengan responden yang tidak mempunyai kebiasaan berada di luar rumah. 2. Kebiasaan Menggunakan Kelambu Berdasarkan hasil penelitan masyarakat tidak menggunakan kelambu untuk mencegah gigitan nyamuk karena dianggap tidak praktis, menyesuaikan dengan kondisi rumah yang sudah penuh dengan barang-barang rumah tangga dan akanterlihat sesak jika ada kelambu. Padahal pemakaian kelambu efektif dan berguna untuk mencegah kontak dengan nyamuk vektor filariasis yaitu Culex sp ketika tidur baik siang maupun malam hari sehingga mengurangi risiko tertular filariasis.Karena nyamuk Culex sp ini memiliki kebiasaan selain menggigit di luar rumah (eksofilik) juga menggigit di dalam rumah (endofilik) pada malam hari.Puncak menggigit nyamuk adalah pukul 01.0002.00 WIB. Hal ini sejalan dengan penelitian Ardias, Setiani dan Hanani (2012) bahwa orang yang tidak memiliki kebiasaan menggunakan kelambu memiliki risiko 3,75 kali lebih besar tertular filariasis dibandingkan dengan orang yang menggunakan kelambu. Berbeda dengan
penelitian Mardiana, Lestari dan Perwitasari (2011) bahwa pemakaian kelambu tidak memiliki pengaruh yang nyata terhadap kejadian filariasis. Antara responden yang pernah terkena filariasis memakai kelambu dan tidak memakai kelambu, memiliko risiko sama. 3. Kebiasaan Menggunakan Obat Nyamuk Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan sebagian besar informan sudah menggunakan obat nyamuk berbagai jenis (semprot, oles, elektrik dan bakar), adapun yang tidak menggunakan dikarenakan kondisi rumah yang menurutnya sedikit nyamuk.Pemakaian obat nyamuk sebagai pengusir nyamuk dianggap lebih praktis dibandingkan kelambu.Terdapat alternatif lainnya yaitu menggunakan kipas angin dan minyak telon. Penggunaan obat nyamuk dapat meminimalisir risiko tertular filariasis. Hal ini sesuai dengan penelitian dari Windiastuti, Suhartono dan Nurjazuli (2013) menunjukkan responden yang tidak menggunakan obat anti nyamuk mempunyai risiko menderita filariasis 6,167 kali lebih besar daripada yang menggunakan obat anti nyamuk. Berbeda dengan hasil penelitian dari Riftiani dan Soeyoko (2010) bahwa orang yang memiliki perilaku baik (mencegah gigitan nyamuk vektor filariasis dengan menggunakan obat nyamuk dan kelambu) tidak memiliki hubungan dengan kejadian filariasis (p=0,467) meskipun perilaku yang kurang baik juga dapat meningkatkan risiko terinfeksi filariasis 1,425 kali lebih besar dibandingkan orang yang berperilaku baik. 4. Kebiasaan Menggantung Pakaian Hasil penelitian menunjukkan perilaku kebiasaan menggantung pakaian masih dilakukan warga Kelurahan Kuripan
200
Lailatul Munawwaroh dan Eram Tunggul Pawenang / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
Yosorejo RW I-V meskipun sudah mengetahui bahwa pakaian yang digantung dapat menjadi sarang nyamuk.menggantung pakaian meningkatkan risiko untuk terkena gigitan nyamuk penular filariasis.Karena pakaian yang digantung merupakan tempat bersitirahat nyamuk setelah menghisap darah sehingga peluangkontak manusia dengan nyamuk vektor filariasis lebih besar. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Ardias, Setiani dan Hanani (2012) bahwa responden yang disekitar rumahnya terdapat tempat istirahat nyamuk (kandang ternak, semak-semak dan pakaian yang digantung) memiliki risiko menderita filariasis 4,480 kali lebih besar dibandingkan dengan responden yang disekitar rumahnya tidak terdapat tempat istirahat nyamuk. 5. Kebiasaan Mengenakan Baju Lengan Panjang dan Celana Panjang Berdasarkan hasil penelitian didapatkan fakta bahwa perilaku mengenakan pakaian panjang dan celana panjang ketika keluar rumah sudah biasa dilakukan dan menjadi budaya ibu-ibu di Kota Pekalongan jika sudah menikah maka ketika keluar rumah memakai pakaian yang menutup aurat.Dan secara tidak langsung dapat meminimalisir risiko untuk tertular filariasis.Karena mengenakan baju lengan panjang dan celana panjang merupakan perilakuu praktik pencegahan filariasis. Pada penelitian Uloli, Soeyoko dan Sumarni (2008) menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara kejadian filariasis dengan kebiasaan tidak memakai baju lengan panjang. Hal ini juga sesuai dengan penelitian dari Paiting, Setiani dan Sulistyani (2012) menunjukkan orang yang tidak mengenakan pakaian lengkap (baju panjang dan lengan panjang) ketika aktifitas
di luar rumah mempunyai risiko untuk terinfeksi filariasis 7,3 kali lebih besar dibandingkan dengan orang yang memakai pakaian lengkap. 3) Pengelolaan lingkungan Berdasarkan hasil penelitian, pengelolaan lingkungan di Kelurahan Kuripan Yosorejo RW I-V sudah dilakukan sejak dulu sebelum adanya program eliminasi filariasis baik secara individu maupun bersama-sama, baik pada lingkungan fisik rumah maupun di sekeliling rumah.Kegiatan pengelolaan lingkungan yang sudah dilakukan meliputi Jum’at bersih, bersih-bersih area rumah, penimbunan tanah, got/SPAL yang sudah tertutup dan memasang kawat kasa pada ventilasi rumah. Pengelolaan lingkungan merupakan upaya pengendalian vektor nyamuk dengan mengurangi tempat perindukanya, disebutkan dalam penelitian Amelia (2014) bahwa responden yang disekitar rumahnya terdapat tempat perindukan nyamuk mempunyai risiko 8,556 kali menderita filariasis. Sehingga penting kiranya untuk lebih meningkatkan kegiatan meniadakan tempat perindukan nyamuk dengan 3M Plus (Mengubur, Menguras, Mendaur Ulang dan Mencegah gigitan nyamuk). Gambaran Perubahan Lingkungan di Kelurahan Kuripan Yosorejo RW I-V Setelah Pelaksanaan Program Eliminasi Filariasis Tahun 2011-2015
1) Keberadaan kawat kasa Hasil penelitian menunjukkan perilaku pengelolaan lingkungan fisik rumah berupa pemasangan kawat kasa pada ventilasi, hanya dilakukan oleh sedikit warga. Keberadaan kawat kasa pada beberapa informan ini sudah ada sejak dulu sebelum adanya program eliminasi filariasis. Sehingga masyarakat berisiko
201
Lailatul Munawwaroh dan Eram Tunggul Pawenang / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
tertular filariasis karena penggunaan kawat kasa pada ventilasi rumah efektif menghalangi nyamuk untuk masuk ke dalam rumah sehingga terhindar dari gigitan nyamuk. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Juriastuti, Kartika, Djaja dan Susanna (2010), bahwa orang yang tidak memiliki kawat kasa di rumahnya berisiko 7,2 kali lebih besar menderita filariasis dibandingkan dengan yang menggunakan kawat kasa pada ventilasi rumah. Penelitian ini juga didukung penelitian lainya oleh Febrianto, Maharani dan Widiarti (2008) bahwa pemasangan kawat kasa pada ventilasi rumah sebagai proteksi terhadap gigitan nyamuk akan melindungi 7 kali dari risiko tertular filariasis. 2) Genangan air (got/SPAL) Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat genangan air pada got/SPAL di Kelurahan Kuripan Yosorejo RW I-V, sebagian besar got/SPAL tertutup.Adapun got/SPAL terbuka sebagai irigasi air hujan untuk mengantisipasi banjir ketika musim hujan.Genangan air pada got/SPAL digunakan sebagai tempat perkembangbiakan vektor filariasis (Culex sp), vektor ini memiliki kesukaan berkembangbiak pada genangan air kotor.Sehingga penting adanya pengontrolan pada got/SPAL terbuka agar tidak terjadi genangan air karena tersumbat sampah yang menghambat aliranya. Karena keberadaan genangan air pada got/SPAL terbuka di sekitar rumah dapat meningkatkan risiko tertular filariasis. Hasil ini sejalan dengan penelitian Windiastuti, Suhartono dan Nurjazuli (2013) yang menunjukkan bahwa keberadaan habitat nyamuk (genangan air) di sekitar rumah responden memiliki risiko menderita filariasis 8,707 kali lebih besar dibandingkan dengan responden yang
rumahnya tidak memiliki habitat nyamuk (genangan air). Pada penelitian Santoso (2011) juga menunjukkan hal yang sama bahwa keberadaan genangan air (pada penampungan air limbah rumah tangga terbuka, got/SPAL terbuka) di sekitar rumah responden dapat berisiko menularkan filariasis, karena genangan air digunakan nyamuk vektor filariasis sebagai tempat berkembangbiak. 3) Semak-semak Berdasarkan penelitian, sebagian besar semak-semak di Kelurahan Kuripan Yosorejo merupakan semak-semak terurus dan dilakukan pembersihan setiap kegiatan Jum’at bersih atau dilakukan pembersihan mandiri oleh masyarakat jika sudah terlihat lebat.Sehingga dapat mengurangi risiko tertular filariasis karena sudah mengurangi tempat istirahat vektor nyamuk filariasis.Karena vektor filariasis biasanya membutuhkan tempat yang lembab dan basah di luar rumah sebagai tempat istirahat pada siang hari. Penelitian Sipayung, Wahjuni, Devy (2014) menyatakan bahwa orang dengan kondisi lingkungan biologi sekitar rumahnya terdapat semak-semak sebagai tempat resting place nyamuk akan meningkatkan risiko tertular filariasis 5,481 lebih besar dibandingkan yang tidak ada. Penting kiranya untuk dilakukan pembersihan rutin untuk mengurangi kelebatan semak-semak sehingga tidak dijadikan sebagai resting place nyamuk vektor filariasis. 4) Tanaman air Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat tanaman air di sekitar rumah informan. Penemuan ini berbeda dengan hasil observasi pra penelitian, peneliti menemukan kolam air pada salah satu rumah warga Kelurahan Kuripan Yosorejo RW I-V gang 7yang difungsikan sebagai
202
Lailatul Munawwaroh dan Eram Tunggul Pawenang / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
tempat untuk menampung limbah rumah tangga dan terdapat tanaman air. Karena musim kemarau, air yang ada di kolam tersebut hilang dan jika musim hujan akan muncul kembali beserta tanaman eceng gondok.Meskipun demikian, penting kiranya untuk dilakukan pembersihan tanaman air dan pembuatan saluran air limbah ke got/SPAL kelurahan untuk mengurangi perkembangbiakan nyamuk di tempat tersebut. Penelitian Agustiantiningsih (2013) menunjukkan bahwa praktik pencegahan filariasis dapat dilakukan dengan membersihkan tempat – tempat perindukan nyamuk vektor filariasis di sekitar rumah. Salah satunya adalah tanaman air (ganggang dan lumut), sehingga menjadi tempat yang tidak baik untuk perkembangan nyamuk.Ini berbeda dengan penelitian Syuhada, Nurjazuli dan Endah (2012) bahwa tanaman air tidak menjadi salah satu faktor risiko filariasis (p=0,534). Tanaman air digunakan untuk melindungi kehidupan larva dari sinar matahari, serangan predator, tempat perindukan nyamuk vektor Mansonia di daerah rawaCulex rawa, sedangkan vektor quinquefasciatus di perairan tercemar. SIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwapelaksanaan program Eliminasi Filariasis di Kota Pekalongan Tahun 20112015 khususnya di Kelurahan Kuripan Yosorejo sudah baik dan sesuai peraturan yang berlaku. Aspek perilaku praktik pencegahan filariasis pada masyarakat yang berubah adalah perilaku minum obat filariasis, sedangkan perilaku mencegah gigitan nyamuk dan pengelolaan lingkungan menyesuaikan dengan
kebiasaan, kondisi rumah serta anggota keluarga. Aspek lingkungan sudah cukup baik akan tetapi tidak mengalami perubahan dikarenakan masyarakat menyesuaikan kebiasaan, kondisi rumah serta anggota keluarga. UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Dekan Fakultas Ilmu KeolahragaanProf. Dr. Tandiyo Rahayu, M.Pd., Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Irwan Budiono, S.KM, M.Kes.(Epid), dosen pembimbing skripsi Eram Tunggul Pawenang, S.KM,M.Kes., serta Petugas P2P-PL Dinkes Kota Pekalongan, Petugas P2PL Puskesmas Pekalongan Selatan dan seluruh informan yang terlibat dalam penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Adnani, H. 2011. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Nuha Medika Agustiantiningsih, D. 2013. Praktik Pencegahan Filariasis. Unnes Journal of Public Health. 8 (2): 190-197 Amelia, R. 2014. Analisis Faktor Risiko Kejadian Penyakit Filariasis. Unnes Journal of Public Health. 3 (1): 1-12 Ardias, Setiani, O., dan Hanani, Y. 2012. Faktor Lingkungan dan Perilaku Masyarakat yang Berhubungan dengan Kejadian Filariasis di Jurnal Kesehatan Kabupaten Sambas. Lingkungan Indonesia. 11 (2): 199-207 Dinkes Kota Pekalongan. 2014.Buku Saku Kesehatan Kota Pekalongan Tahun 2013. Pekalongan: Dinas Kesehatan Kota Pekalongan Dirjen
203
P2PL.2008.Pedoman Program Eliminasi Filariasis Di Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Lailatul Munawwaroh dan Eram Tunggul Pawenang / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016) Febrianto, B., Maharani, A., dan Widiarti. 2008. Faktor Risiko Filariasis di Desa Samborejo Kecamatan Tirto Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah. Buletin Penelitian Kesehatan. 36 (2): 48-58
Riftiani, N., dan Soeyoko. 2010. Hubungan Sosiodemografi dengan Kejadian Filariasis di Kabupaten Pekalongan. KESMAS. 4 (1): 5966
Juriastuti, P., Kartika, M., Djaja, I.M., dan Susanna, D.2010. Faktor Risiko Kejadian Filariasis Di Kelurahan Jati Sampurna.MEKARA KESEHATAN. 14 (1): 31-36
Santoso. 2011. Hubungan Kondisi Lingkungan dengan Kasus Filariasis di Masyarakat (Analisis Lanjut Hasil Riskesdas 2007). Aspirator. 3 (1): 1-7
Kemenkes RI. 2014.Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013.Jakarta
Sipayung, M., Wahjuni, C.U., dan Devy, S.R.. 2014. Pengaruh Lingkungan Biologi dan Upaya Pelayanan Kesehatan Terhadap Kejadian Filariasis Limfatik di Kabupaten Sarmi. Jurnal Berkala Epidemiologi. 2 (2): 263-273
Mardiana, Lestari, E.W., dan Perwitasari, D. 2011. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Filariasis di Indonesia (Data Riskesdas 2007). Jurnal Ekologi Kesehatan. 10 (2): 83-92 Ompungsu, S.M., Tuti, S. Dan Hasugian, A.R. 2008. Endemisitas Filariasis dengan Lama Majalah Pengobatan Massal Berbeda. Kedokteran Indonesia. 58 (11): 413-420 Paiting,Y.S.,Setiani, O., dan Sulistyani.2012.Faktor Risiko Lingkungan dan Kebiasaan Penduduk Berhubungan Dengan Kejadian Filariasis di Districk Windesi Kepulauan Yapen Provinsi Papua.Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. 11 (1):76-81 Ramadhani, T., dan Yunianto, B. 2009. Aktivitas Menggigit Nyamuk Culex quinquefasciatus di Daerah Endemis Filariasis Limfatik Kelurahan Pabean Kota Pekalongan Provinsi Jawa Tengah. Aspirator. 1 (1): 11-15
Syuhada, Nurjazuli dan Endah, N., 2012. Studi Kondisi Lingkungan Rumah dan Perilaku Masyarakat sebagai Faktor Risiko Kejadian Filariasis di Kecamatan Buaran dan Tirto Kabupaten Pekalongan. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. 11 (1): 95-101 Uloli, R., Soeyoko dan Sumarni. 2008. Analisis Faktor-faktor Risiko Kejadian Filariasis.Berita Kedokteran Masyarakat. 24 (1): 44-50 Windiastuti,I.A., Suhartono dan Nurjazuli. 2013.Hubungan Kondisi Lingkungan Rumah, Sosial Ekonomi dan Perilaku Masyarakat dengan Kejadian Filariasis di Kecamatan Pekalongan Selatan Kota Pekalongan. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. 12(1):51-57
204
UJPH 5 (3) (2016)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
HUBUNGAN STRES KERJA DENGAN MENSTRUASI ABNORMAL PEKERJA KONVEKSI DESA PEGANDON PEKALONGAN M. Rizal Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima 15 Mei 2016 Disetujui 22 Juli 2016 Dipublikasikan Juli 2016
Stres kerja adalah tanggapan-tanggapan tubuh pekerja terhadap stressor yang berada di tempat kerja. Tanggapan tersebut dapat berupa fisik, psikologis, dan perilaku. Pekerja wanita berisiko lebih tinggi mengalami stres kerja daripada pekerja pria. Stres kerja pada pekerja wanita dapat menyebabkan menstruasi abnormal. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara stres kerja dengan menstruasi pada pekerja konveksi di Desa Pegandon Pekalongan. Jenis penelitian ini adalah penelitian explanatory research dengan pendekatan cross sectional. Populasi berjumlah 74 pekerja dengan sampel sebanyak 43 pekerja (menggunakan teknik proportional random sampling). Instrumen yang digunakan adalah pengukuran dan kuesioner. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat (menggunakan uji chi square dengan α=0,05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 60,5% responden tidak mengalami stres kerja dan 39,5% responden mengalami stres kerja. Sementara itu, sebanyak 69,8% responden mempunyai menstruasi yang normal dan sebanyak 30,2% responden mempunyai menstruasi abnormal. Uji chi square didapatkan hasil yaitu nilai ρ adalah 0,02. Hal ini menunjukkan bahwa nilai ρ<0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara stres kerja dengan menstruasi abnormal pada pekerja konveksi di Desa Pegandon Pekalongan.
________________ Keywords: Convection workers; Abnormal menstruation; Occupational stress ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ Occupational stress was responses of our body toward stressors on workplace. Those would be physiological, psychological, and behavioral responses. Female workers could experience occupational stress higher than male workers and might cause abnormal menstruation. This research aimed to look for the relation between occupational stress with abnormal menstruation of convection workers in Pegandon Pekalongan Regency.It was explanatory research with cross sectional approach. The population was 74 workers and 43 among them were choosen as samples by proportional random sampling. Instruments those used in this research were measurement tools and questionaire. Analysis was done univariately and bivariately. Correlation was defined by chi square test (α=0,05). Regarding research results, were known that 60,5% respondents experienced occupational stress and 39,5% experienced occupational stress. Meanwhile, 69,8% respondents had normal menstruation and 30,2% respondents had abnormal menstruation. Chi square test resulted ρ value was 0,02. It showed that ρ value <0,05. Thus, it could be concluded that there was a relation occupational stress and abnormal menstruation of convection workers in Pegandon Village Pekalongan Regency.
© 2015 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Gedung F5 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail:
[email protected]
ISSN 2252-6781
205
M. Rizal / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
PENDAHULUAN
Perjuangan emansipasi telah berhasil menempatkan kedudukan wanita di Indonesia pada posisi yang sama dengan pria (Suma’mur,.2009). Keberhasilan tersebut membuat peran wanita bisa bergeser dari peran tradisional menjadi peran yang lebih moderen.Peran wanita secara tradisonal dibatasi dan ditempatkan dalam posisi yang pasif seperti mengurus rumah tangga, melahirkan dan sebagai pendukung karir suami (Nova dan Ispriyanti, 2012). Wanita zaman sekarang mempunyai peran sosial yang lebih besar dan dapat berkarir pada banyak bidang pekerjaan, baik pada sektor formal maupun informal. Banyak wanita yang saat ini telah menduduki posisi top manager dan direktur eksekutif perusahaan. Pekerja wanita juga mulai bekerja pada profesi yang selama ini tergolong keras dan identik dengan kaum pria seperti operator alat berat, pengemudi angkutan umum dan lain sebagainya (Anoraga, 2009). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia 2014 jumlah pekerja wanita di Indonesia pada tahun 2012 sebanyak 43.323.164 orang (38,40%) pada tahun 2013 sebanyak 43.815.168 orang (38,42%), dan pada tahun 2014 sebanyak 45.629.741 orang (38,61%). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah 2014 jumlah pekerja wanita di provinsi Jawa Tengah pada tahun 2012 sebanyak 6.566.616 orang (40,70%), pada tahun 2013 sebanyak 6.640.033 orang (41,59%) dan pada tahun 2014 sebanyak 6.876.886 orang (41.56%). Jumlah pekerja wanita di Kabupaten Pekalongan pada pada tahun 2012 sebanyak 161.461 orang (39,79%), pada tahun 2013 sebanyak 165.276 orang (41,58%), dan pada tahun
2014 sebanyak 169.979 orang (39.80%). Data tersebut menunjukkan bahwa jumlah pekerja wanita selalu meningkat setiap tahun dan secara persentase, peran pekerja wanita dalam perekonomian nasional maupun daerah sangat besar. Pekerja wanita mempunyai perbedaan dengan pekerja pria. Perbedaan tersebut meliputi perbedaan fisik (ukuran dan kekuatan tubuh), perbedaan biologis (menstruasi, kehamilan, hormon, melahirkan, dan menopause), dan perbedaan sosial kultural, yaitu wanita mempunyai peran ganda sebagai ibu dalam rumah tangga serta sumber daya dalam dunia kerja (Suma’mur, 2009). Perbedaan jenis kelamin berhubungan dengan stres pada pekerja kerja. Menurut Muhonen dan Torkelson (2006) wanita lebih banyak mengalami stres kerja dibandingkan dengan pria. Pekerja wanita mengalami stres kerja yang lebih tinggi daripada pekerja pria, karena wanita mempunyai peran ganda, yaitu bekerja dan mengurus rumah tangga (Nova dan Ispriyanti, 2012). American Pshycological Association menyebutkan bahwa, meskipun angka cedera pada pria lebih tinggi, akan tetapi persentase wanita yang mengalami stres kerja lebih tinggi daripada pria, yaitu 23% untuk wanita dan 16% untuk pria. Stres kerja merupakan ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi seseorang. Ketegangan tersebut membuat pekerja memberikan tanggapan yang melebihi kemampuan penyesuaian terhadap stressor di tempat kerja (Harianto, 2008). Menurut Anoraga (2009) stres kerja merupakan bentuk tanggapan seseorang secara fisik maupun mental terhadap dinamika di lingkungan kerja yang dirasakan mengganggu dan mengakibatkan
206
M. Rizal / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
dirinya terancam. Menurut Losyk (2005) stres kerja terjadi ketika seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan atau tuntutan pekerjaan. Stres kerja disebabkan oleh beberapa aspek dalam pekerjaan. Menurut Smet (1994) stres kerja disebabkan oleh lingkungan fisik (kebisingan, panas, penerangan, dan lainnya), kontrol yang dirasakan kurang, hubungan interpersonal yang kurang dan pengakuan terhadap kemajuan kerja yang kurang. Menurut Atmaningtyas (2010) penyebab stres di tempat kerja yaitu kondisi dan situasi pekerjaan, pekerjaan, job requirement dan hubungan interpersonal. Atmaningtyas (2010) secara spesifik membagi gejala stres kerja menjadi 3 kategori yaitu gejala psikologis (kecemasan, mudah tersinggung, rasa bosan, ketidakpuasan kerja dan lain sebagainya), gejala fisiologis (denyut jantung meningkat, gastrointestinal, kecelakaan kerja, gangguan pernapasan, sakit kepala, insomnia dan lain sebagainya) dan gejala perilaku (menunda pekerjaan, performance kerja turun, absen atau bolos kerja, pola makan dan lain sebagainya). Pengaruh stres kerja bukan hanya merugikan pekerja, melainkan juga pengusaha. Menurut Zhou (2010) stres kerja pada pekerja wanita akan menyebabkan aktivasi aksis pada hipotalamus, pituitari, dan adrenal. Kemudian terjadi peningkatan kadar Corticotrophin Releasing Hormone (CRH) dan Glukokortikoid. Sintesis serta metabolisme Gonadotropin dan estrogen menjadi tertekan, sehigga wanita akan mengalami gangguan menstruasi. Menurut Proverawati (2009) menstruasi dapat dikatakan normal apabila berlangsung setiap 21 sampai dengan 35 hari sekali. Sebuah penelitian yang dilakukan pada pekerja wanita di Tiongkok tahun
2010 menyebutkan bahwa, sebanyak 59,3% karyawan mengalami gangguan menstruasi yang berhunbungan dengan stres kerja (Zhou, 2010). Berdasarkan dataBPPK Depkes RI tahun 2010 pada tahun 2010, sebanyak 13,7% wanita di Indonesia dan 13,1% wanita di Jawa Tengah mempunyai menstruasi yang abnormal. Penelitian yang dilakukan oleh Mulastin pada pekerja wanita di Desa Pelemkerep Kabupaten Jepara menyebutkan bahwa, sebanyak 41,9% responden mempunyai menstruasi yang tidak norma. Menurut Brashers (2008) menstruasi yang pendek (polimenorrhea) berhubungan dengan kejadian menopause dini. Kelainan menstruasi merupakan indikator perubahan pada fungsi ovarium berhubungan dengan peningkatan risiko beberapa penyakit seperti kanker payudara, kanker ovarium, penyakit jantung, dan fraktur. Polimenorrhea juga dapat menyebabkan penurunan kesuburan dan peningkatan risiko keguguran. Menurut Gudmundsdottir, (2011) menstruasi yang lebih panjang (oligomenorrhea) berhubungan dengan anovulasi, ketidaksuburan, dan keguguran Kabupaten Pekalongan merupakan salah satu sentra industri tekstil di Jawa Tengah. Industri batik dan konveksi merupakan jenis industri yang mendominasi di Kabupaten Pekalongan. Jumlah total industri batik sebanyak 12.474 buah dan memperkerjakan 88.655 orang. Industri konveksi berjumlah 3.897 buah dan memperkerjakan 25.640 orang. Kecamatan Buaran dan Kecamatan Kedungwuni adalah dua kecamatan yang menjadi sentra kedua industri tersebut. Lokasi Desa Pegandon berada di antara Kecamatan Buaran dan Kecamatan Kedungwuni. Hal tersebut secara langsung maupun tidak langsung memberikan peran terhadap pekembangan Desa Pegandon sebagai
207
M. Rizal / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
sentra usaha konveksi. Hampir semua konveksi di Desa Pegandon menggunakan kain batik sebagai bahan bakunya. Jenis pakaian yang diproduksi antara lain blouse, longdress, kemeja, rok dan lain sebagainya. Berdasakan survei awal yang dilakukan pada tanggal 11 sampai dengan tanggal 14 September 2014 didapatkan bahwa, di sentra usaha konveksi Desa Pegandon, terdapat sebanyak 50 buah usaha konveksi. Jumlah keseluruhan pekerja sebanyak 368 orang, terdiri dari 178 orang pria dan 190 orang wanita. Pengisian kuesioner oleh pekerja wanita dari 5 tempat usaha konveksi berbeda mendapatkan hasil yaitu, sebanyak 80% responden mengalami tanda dan gejala stres kerja. Semua responden mengatakan bahwa tempat kerja mereka bising, berisik dan berantakan. Sebanyak 40% responden mengatakan bahwa tempat mereka bekerja panas dan pengap. Lingkungan kerja yang demikian dapat memicu terjadinya stres kerja (Anies, 2005). Menurut Anies (2005) dan Atmaningytas (2010) workload atau target kerja yang berlebihan secara kuantitatif atau kualitatif dapat memicu stres kerja. Meskipun tidak ada batasan jumlah pakaian yang harus diselesaikan oleh pekerja, akan tetapi 40% responden melakukan lembur atau membawa bahan pakaian untuk dikerjakan dirumah sendiri untuk menambah jumlah upah yang diterima. Lembur tersebut dimulai dari jam 8 malam sampai dengan jam 10 atau 11 malam.
Menurut Sehnert (1997) skala upah yang rendah merupakan salah satu penyebab stres dalam pekerjaan. Jumlah upah yang diterima oleh pekerja konveksi tergantung dari jumlah pakaian yang dihasilkan. Penghasilan seorang pekerja konveksi dalam kurun waktu satu bulan adalah 720.000 rupiah hingga 800.000 rupiah. Jumlah upah tersebut sangat jauh dari standar Upah Minimum Kabupaten (UMK) Kabupaten Pekalongan sebesar 1.145.000 rupiah. Melakukan pekerjaan yang monoton dan berulang dapat menimbulkan kebosanan yang merupakan salah satu gejala psikologis stres (Atmaningtyas, 2010). Hal ini juga dirasakan oleh pekerja konveksi. Sebanyak 70% responden mengaku ingin beralih pekerjaan, sementara 30% responden belum berpikir untuk mencari pekerjaan lain. Sebanyak 20% responden mempunyai menstruasi kurang dari 21 hari, dan 10% responden mempunyai lebih dari 35 hari. berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “hubungan stres kerja dengan menstruasi abnormal pekerja konveksi Desa Pegandon Pekalongan”. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Univariat
Hasil analisis univariat bertujuan untuk melihat distribusi karakteristik responden dan variabel bebas.
Tabel 1 Mean 21,63
Median 21
Modus 21
Minimum 18
Sumber: Data Primer Penelitian
208
Maximum 31
M. Rizal / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
Berdasarkan Tabel 1 Berdasarkan hasil penelitian usia responden berada pada rentang usia 18 sampai 31 tahun.Usia responden terbanyak adalah 21 tahun yaitu 12 orang (27,91%). Usia termuda adalah 18 tahun dan yang tertua adalah 31 tahun. Rerata usia responden adalah 21,63 tahun. Hal ini dikarenakan usaha konveksi di Desa Pegandon di Kecamatan Kabupaten Pekalongan menyerap pekerja tenaga kerja pemula sehingga sebagian besar merupakan usia Remaja Menurut Grifiin (2002) pekerja muda secara umum mempunyai fisik yang kuat, dinamis, kreatif, akan tetapi cepat bosan, kurang bertanggung jawab, dan cenderung membolos kerja Karyawan lebih tua meskipun mempunyai kondisi fisik yang kurang, akan tetapi lebih ulet dan bertanggung jawab. Akan tetapi, berapa peneliti menyimpulkan bahwa usia tidak
berhubungan dengan stres kerja. Beberapa peneliti tersebut diantaranya adalah Gobel (2013) dan Prabowo (2009). Usia berhubungan dengan menstruasi. Menstruasi tidak teratur terjadi pada usia awal sampai usia 18 tahun atau 2 tahun setelah mengalami menarche dan ketika seorang wanita mengalami masa pra menopausererata 3-6 tahun sebelum menopause. Menopause pada wanita terjadi pada rentang usia 40-50 tahun (Sinsin, 2008). Menurut BPPK Depkes RI (2010) menyebutkan bahwa rerata usiamenarche di Indonesia adalah 13 tahun. Oleh karena itu, dapat dinyatakan rentang usia responden dalam penelitian ini berada pada rentang usia menstruasi yang teratur. Hasil karakteristik usia dalam penelitian penting untuk membantu mengendalikan confounding variable.
Tabel 2 No 1. 2.
Masa Kerja (th) <6 6-10 Jumlah
Frekuensi 36 7 43
Prosentase (%) 83,7 16,3 100
Sumber: Data Primer Penelitian Berdasarkan hasil penelitian masa kerja terbanyak yaitu kurang 6 tahun sebanyak 36 orang (83,7%). Kebanyakan pekerja konveksi wanita merupakan pekerja yang relatif muda. Mereka akan berhenti bekerja di bidang konveksi ketika sudah menikah, atau mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Pekerja wanita yang tetap bertahan dengan pekerjaannya (lebih dari 6 tahun) disebabkan karena tingkat pendidikan mereka yang pada umumnya rendah dan kurang mendukung untuk
mendapatkan pekerjaan yang lain. Mereka menganggap bahwa pekerjaan tersebut sudah mencukupi untuk kebutuhan. Menurut Tulus, (1992) masa kerja berhubungan dengan kinerja pekerja, baik positifmaupun negatif. Positif pada kinerja apabila semakin lamanyamasa kerja seseorang akansemakin berpengalaman dalam melaksanakan tugasnya.Sebaliknya akan memberi pengaruh negatif apabila dengan semakin lamanya masa kerja akan timbul kebiasaan pada tenaga kerja. Hal ini
209
M. Rizal / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
biasanya terkait dengan pekerjaan yang bersifat monoton . Beberapa penelitian terdahulu menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara masa kerja dengan stres kerja antara lain Mohtar (2013) dan Prabowo (2010).
Semakin lama masa kerja maka resiko mengalami stres kerja akan meningkat karena frekuensi interaksi terhadap stressor yang lebih intens. Kemudian secara tidak langsung akan memberikan lebih banyak efek terhadap menstruasi.
Tabel 3 No. 1. 2. Total
Tingkat Pendidikan Pendidikan Dasar Pendidikan Menengah
Jumlah 37 6 43
Prosentase (%) 86 14 100,00
Sumber: Data Primer Penelitian Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tingkat pendidikan responden sebagian besar adalah Pendidikan Dasar yaitu sebanyak 37 orang (86%).Responden dalam penelitian ini bekerja pada usaha konveksi setelah menamatkan pendidikan dasar.Kebanyakan dari responden tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah. Hal ini dapat dilihat dari 37 orang responden yang mempunyai tingkat Pendidikan Dasar, 33 orang (76,7%) diantaranya merupakan lulusan Sekolah Menegah Pertama (SMP). Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan dengan stres kerja (Putri
dan Tualeka, 2014) dan (Prabowo, 2009).Sikap dan perilaku manusia berhubungan dengan beberapa unsur diantaranya adalah pendidikan.Tingkat pendidikan yang rendah membuat wanita cenderung kurang dapat menerima dan mencari informasi mengenai kesehatan.Wanita yang mempunyai pendidikan yang lebih tinggi cenderung memperhatikan kesehatan diri dan keluarganya (Nurrohbika dan Burhan, 2015).Pendidikan responden yang sebagian besar merupakan lulusan Pendidikan Dasar concern menjadi dalam upaya menanggulangi masalah kesehatan yang dihadapi responden.
Tabel 4 No 1. 2.
Stres Kerja Stres Kerja Tidak Stres Kerja Jumlah
Frekuensi 17 26 43
Prosentase (%) 39,5 60,5 100
Sumber: Data Primer Penelitian Berdaasarkan hasil penelitian diketahui bahwa responden yang mengalami stres kerja tinggi yaitu 14 orang
(30,2%). Penelitian ini berlangsung pada pekan terkahir sebelum bulan puasa ketika jumlah order meningkat. Saat tersebut
210
M. Rizal / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
biasanya pekerja konveksi juga melakukan lembur.Tunjangan Hari Raya (THR) yang diberikan tidak berdasarkan satu bulan gaji melainkan bervariasi antara 100.000 sampai 200.000 rupiah.Pekerja kemudian berusaha meningkatkan jumlah pakaian yang dapat diselesaikanguna meningkatkan pendapatan menjelang bulan puasa dan lebaran. Hal tersebut kemngkinan merupakan salah satu penyumbang stressor selain beberapa faktor yang lain. Stres kerja sangat merugikan bagi pekerja dan pengusaha. Konsekuensi yang dapat dialami pekerja antara lain, gairah kerja menurun, kecemasan, frustasi, gangguan tidur, nafsu makan menurun,
kurang konsentrasi, dan lainnya (Atmaningtyas, 2010). Pelelitian yang dilakukan oleh Putri dan Tualeka (2014) menunjukkan bahwa adahubungan antara stres kerja dengantingkat produktivitas kerja. Hal ini sesuaidengan pendapat Anoraga (1998), stres kerja akan berdampak pada produktivitas kerja. Oleh karena itu sebaiknya perusahaan memberikan reward sehingga pekerja akan lebih termotivasi untuk selalu bekerja dengan produktif dan bertanggungjawab. Hal ini dapat meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan perusahaan.
Tabel 5 No 1. 2.
Menstruasi Abnormal Normal Jumlah
Frekuensi 13 30 43
Prosentase (%) 30,2 69,8 100
Sumber: Data Primer Penelitian Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa responden yang mempunyai menstruasi abnormal sebanyak orang 13 (32,6%). Hampir semua responden dengan responden dengan menstruasi abnormal tersebut merupakan remaja usia 18-24 tahun (92,68%). Rentang usia ini seharusnya merupakan rentang usia menstruasi yang normal. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa hal. Beberapa faktor diketahui berhubungan dengan menstruasi. Faktor tersebut antara lain kegemukanSugiharto (2009), kurang gizi (Paath, 2004), usia
(Sinsin, 2008), menyusui (Proverawati, 2009), aktivitas fisik berat (Moosavat, 2013), pengunaan alat kontrasepsi hormonal (Irnawati, 2012), dan tumor atau Kanker pada organ reproduksi (Manuaba, 1999). Akan tetapi, penelitian ini hanya fakus mengenai hubungan stres kerja dengan menstruasi sehingga variabel selain stres kerja dikendalikan. Analisis Bivariat
Analisis bivariat untuk mengetahui hubungan antara stress kerja dengan menstruasi. Uji yang digunakan untuk melihat hubungan ini adalah Uji chi square.
211
M. Rizal / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
Tabel 6 Menstruasi Abnormal
Stres Kerja Stres Kerja Tidak Kerja Total
Stres
α
ρ
Cc
0,05
0,02
0,37
Normal
Jumlah
Prosentase
Jumlah
Prosentase
9
52.9%
8
47.1%
4
15.4%
22
13
30.2%
30
84.6% 69.8%
Sumber: Data Primer Penelitian Prosentase menstruasi abnormal lebih besar pada pekerja dengan stres kerja tinggi yaitu 53%. Sedangkan prosentase menstruasi normal lebih besar pada pekerja dengan stres kerja rendah yaitu 84,5%. Berdasarkan pengolahan data hasil penelitian diperoleh nilai α>ρ (α= 0,05, ρ= 0,02), sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara stress kerja dengan menstruasi. Hal tersebut sesuai dengan beberapa penelitian sebelumnya. Penelttian sebelumnya oleh Mulastin (2011) pada pekerja wanita di Desa Palemkerep Jepara menghasilkan kesimpulan bahwa ada hubungan secara bermaknaantara stress kerja dengan menstruasi (α= 0,05, ρ= 0,00). Zhou (2010) dalam penelitiannya pada pekerja wanita di Tiongkok juga menyimpulkan bahwa ada hubungan antara stres kerja dengan menstruasi (α= 0,05, ρ= 0,01). Mekanisme hubungan antara stres kerja dengan menstruasi yaitu, stres kerja yang dialami oleh pekerja wanita akan direspon oleh pusat otak (korteks). Informasi dturunkan ke limbik (otak emosional). Hipotalamus kemudian melepaskan CRH (Corticotrophin Releasing Hormone) dan glukokortikoid. Metabolisme Gonadotropin dan estrogen tertekan dan
membuat menstruasi menjadi abnormal (Mei Zhou, et.al., 2010). Menstruasi abnormal dapat merupakan indikasi dan faktor risiko beberapa penyakit yang seris seperti infertilitas, kanker, keguguran dan lainnya. Oleh karena itu perbaikan lingkungan kerja, coping terhadap stres kerja, gaya hidup sehat, dan asupan nutrisi yang cukup sangat diperlukan oleh pekerja. SIMPULAN
Berdasarkan penelitian ini maka dapat diperoleh suatu simpulan bahwa ada hubungan antara stres kerja dengan menstruasi abnormal pekerja konveksi Desa Pegandon Kabupaten Pekalongan.Untuk pekerja yang mengalami menstruasi abnormal agar lebih meningkatkan pengetahuan mengenai menstruasi terutama yang berhubungan dengan stres kerja agar bisa menanggulanginya. Adapun saran untuk pemilik usaha konveksi yaitu: (1) Pemilik usaha konveksi agar menciptakan suasana kerja yang nyaman dan menyenangkan untuk pekerja (2) Mengadakan kerja sama dengan Puskesmas atau bidan desa dalam rangka sosialisasi dan penanganan menstruasi yang berhubungan dengan stress kerja.Untuk
212
M. Rizal / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
peneliti selanjutnya hendaknya melakukan penelitian sejenis dengan perluasan scope penelitian, baik sampel penelitian maupun tempat penelitian. UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan Ibu Prof. Dr. Tandiyo Rahayu, M.Pd., Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Bapak Irwan Budiono S.KM., M.Kes., dosen pembimbing skripsi Bapak Drs. Sugiharto, M.Kes. serta semua yang berpartisipasi dalam penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Anies. 2005. Penyakit Akibat Kerja. Jakarta: Elex Media Komputindo Proverawati, A. 2009. Menarche Menstruasi Pertama Penuh Makna. Yogyakarta: Nuha Medika Gudmundsdottir, S.L., Flanders, W.D., & Augestat, L.B. 2011. A Longitudinal Study of Physical Activity and Menstrual Cycle Characteristic in Healthy Norwegian Women. J. Norsk Epidemiologi. 20(2): 163-171 Gobel, R.W., Rattu, J.A.M., & Akili, R.H. 2013. Faktor –faktor yang Berhubungan dengan Stres Kerja pada Perawat di Ruang ICU dan UGD RSUD Datoe Binangkang Kabupaten Bolaang Mongondow. J Kesehatan Masyarakat Unsrat.1(1): 1-7 Harianto, F., Wiguna, A.K, & Rakhmad, D. 2008. Pengaruh Stres Kerja Motivasi Kerja dan Gaya Kepemimpinan terhadap Kinerja Tenaga Kerja pada Proyek Mall Yani Golf di Surabaya. J. Iptek. 11(3): 138-145 Irnawati. 2012. Analisis Faktor-faktor Berhubungan dengan Perubahan
yang Pola
Menstruasi pada Akseptor KB Suntik Depo Medroxy Progesteron Acetat di Puskesmas Batua Kota Makasar. J. Kebidanan. 1(1): 1-8 Moosavat, M., Mohammed, M., & Mirsanjari, O.M. 2013. Exercise on Reproductive Hormones in Female Athletes, J. of Sport and Exercise Science. 1(5): 7-12 Mulastin. 2011. Hubungan Stres dengan Siklus Menstruasi pada Wanita Pekerja di Desa Palemkerep Kecamatan Mayong Kabupatn Jepara. J. Kebidanan Akbid Alhikmah. 1(1): 1-12 Muhonen, T.,& Torkelson, E. 2006. Exploring Stress and Coping at Work: Critical Incidents among Women and Men in Equivalent Positions. J. School of International Migration and Ethnic Relations Malmo University. 1(1): 124 Mochtar, S.D. 2013. Faktor yang Berhubungan dengan Stres Kerja pada Pedagang Tradisional Pasar Daya Kota Makassar Tahun 2013.J. FKM Unhas. 1(1): 1-11 Nova, & Ispriyanti, D.2012. Analisis Tingkat Stres Wanita Karir dalam Peran Gandanya dengan Regresi Logistik Ordinali. J. Media Statistka. 5(1): 37-47 Putri, G.W.Y., & Tualeka, W.R. 2014. Hubungan antara Stres Kerjadengan Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja di CV. X. J. Occupational Safety Health and Environment.1(1): 144-154 Sinsin, I.2008. Masa Kehamilan dan Persalinan. Jakarta: Elex Media Komputindo Sugiharto. 2009. Obesitas dan Kesehatan Reproduksi Wanita. J. Kesehatan Masyarakat. 5(1): 34-39 Zhou,M., Wege, N., Gu, H., & Siegrist, J. 2010. Work and Family Stress is Associated with Menstrual Disorders but not with Fibrocystic Changes: Cross-sectional Findings in Chinese Working Women. J. Occupational Health. 1(52): 361-366
213
M. Rizal / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
214
UJPH 5 (3) (2016)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
PERILAKU PENCEGAHAN HIV DAN AIDS PADA LELAKI SUKA LELAKI (LSL) Indah M.P. Kana, Christina R. Nayoan, dan Ribka Limbu Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Nusa Cendana, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima 17 Juni 2016 Disetujui 24 Juni 2016 Dipublikasikan Juli 2016
Prevalensi HIV pada kelompok Lelaki Suka Lelaki (LSL) di Indonesia meningkat 7% pada tahun 2009 menjadi 12,8% pada 2013. Tingginya prevalensi LSL berhubungan dengan rendahnya perilaku pencegahan, kurangnya informasi, dan rendahnya penggunaan kondom. Tujuan dari penelitian ini untuk mendapatkan informasi tentang perilaku pencegahan HIV dan AIDS pada LSL terkait niat, dukungan sosial, akses informasi, kebebasan pribadi, dan tindakan. Desain penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif. 5 informan dipilih menggunakan teknik purposive sampling dari Komunitas IMOF Kupang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap informan, norma subjektif, dan kontrol perilaku mempengaruhi niat informan untuk melakukan pencegahan HIV dan AIDS. LSL mendapatkan dukungan sosial dari Komunitas LSL dan KPA, dukungan berupa dukungan emosional dan informasi. Informan mendapatkan informasi menganai HIV dan AIDS dari penyuluhan dan media masa (internet). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa informan memiliki niat yang baik, dukungan sosial, tersedianya akses informasi, dan kebebasan pribadi untuk pencegahan HIV dan AIDS.
________________ Keywords: HIV and AIDS Prevention; MSM ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ HIV prevalence among men who have sex with men (MSM) in Indonesia increasing time to time, 7% in 2009 to 12,8% in 2013. The high prevalence of HIV in this population is associated with the low level of prevention, because as lack of information and low condom use. The purpose of this study was to obtained in-depth information about the behavior of HIV and AIDS prevention in MSM assessed the intention, social support, access to information, personal autonomy, and action situation. Design of this study is descriptive used qualitative approach. Five informants were selected by purposive sampling from IMOF Kupang Community for indepth interview. The results showed that informants were attitude, subjective norm, and behavior control the influencing their intention to HIV and AIDS prevention. MSM obtained social support from the MSM community friends and KPA, the support are emotional support and information. Informants get the information about HIV and AIDS from socialiszations and mass media (internet). From this research it can be concluded that informants have a good intention, social support, the availability of information acces, personal autonomy and action situation to prevent HIV and AIDS.
© 2016 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Nusa Cendana, JL. Adisucipto Penfui Kupang E-mail:
[email protected]
ISSN 2252-6781
252
Kana, Nayoan, & Limbu / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
PENDAHULUAN
Kesehatan merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan suatu masyarakat atau bangsa. Paradigma sehat dewasa ini yang dipromosikan menghendaki terjadinya perubahan pola pikir masyarakat dari mengobati penyakit menjadi memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit, oleh sebab itu pemahaman mengenai penyakit dan cara mencegahnya perlu disebarluaskan pada masyarakat. Salah satu aspek kesehatan pada akhir abad ke-20 yang merupakan bencana bagi manusia adalah munculnya infeksi yang disebabkan oleh suatu virus yaitu HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang dapat menyebabkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) (Hardisman 2009). WHO pada tahun 2003 mengestimasikan 37,8 juta orang terinfeksi HIV dan AIDS. Pada akhir tahun 2005, estimasi menjadi 53,6 juta, dan pada tahun 2007 dengan jumlah 33 juta orang terinfeksi, tetapi yang sudah meninggal 23 juta (UNAIDS, 2010). Kasus di Indonesia senantiasa meningkat dari tahun ke tahun, bahkan Indonesia merupakan negara dengan penyebaran HIV dan AIDS tercepat di Asia (Yunanto dalam Ridwan, 2008). Menurut data Ditjen Pengendalian Penyakit dan Pengendalian Lingkungan Departemen Kesehatan (PP & PL Depkes) selama sepuluh tahun terakhir, jumlah penderita AIDS terus meningkat. Secara kumulatif pengidap infeksi HIV dan kasus AIDS sejak tahun 1987 hingga Maret 2014, terdiri dari 134.042 pengidap infeksi HIV dan 54.231 kasus AIDS dengan jumlah kematian 9.615. Peningkatan jumlah ini sangat menonjol pada kelompok umur 20-29 tahun dari 8.187 pada tahun 2008 menjadi 17.941
pada Maret 2014. Selain itu jumlah HIV dan AIDS yang tercatat di kalangan homobiseksual juga meningkat yaitu 609 kasus pada tahun 2008 menjadi 1.291 pada Maret 2014 (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2014). Berdasarkan data Komisi Penanggulangan AIDS Kota Kupang tahun 2014, Nusa Tenggara Timur termasuk provinsi dengan penularan HIV dan AIDS cukup tinggi. Pada Maret 2014, menempati peringkat ke 16 secara nasional dengan 1.590 kasus HIV dan 496 kasus AIDS. Dari 21 Kabupaten/Kota di Nusa Tenggara Timur, jumlah penderita di Kota Kupang dari tahun 2000 hingga Maret 2014 mencapai 589 kasus (437 kasus HIV dan 152 kasus AIDS) dan merupakan tertinggi kedua setelah Kabupaten (KPAKK, 2014). Berdasarkan data Komisi Penanggulangan AIDS Nasional tahun 2013, sekitar 77% penularan HIV dan AIDS terjadi melalui hubungan seks. Hubungan seksual, baik heteroseksual maupun homoseksual adalah model utama penularan HIV (Widiyastuti, 2009). Tidak dapat dipungkiri perilaku seksual di kelompok risiko tinggi, komunitas homoseksual memberikan kontribusi penularan HIV dan AIDS yang signifikan. Penularan HIV melalui seks anal dilaporkan memiliki risiko 10 kali lebih tinggi dari seks vaginal. Menurut Yayasan Riset AIDS Amerika, AMFAR menyimpulkan, kelompok homoseksual ternyata berisiko 19 kali lebih besar tertular penyakit HIV dibanding masyarakat umum (Rabudiarti, 2007 dalam Ridwan, 2010). Di tingkat global, sejauh ini tidak ada data resmi tentang jumlah LSL di dunia. Namun diperkirakan rata-rata 1-3% dari populasi dewasa usia 15-59 tahun mempraktekkan hubungan seks sesama
253
Kana, Nayoan, & Limbu / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
lelaki. Di tingkat regional, prevalensi HIV pada LSL juga beragam. Di Afrika, kisarannya antara 15-42%. Di Amerika Serikat prevalensi HIV di antara LSL pada 2008 mencapai 19%. Di Asia, tingkat prevalensi HIV diantara laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki telah mencapai 18% (UNAIDS, 2010). Berdasarkan data Komisi Penanggulangan AIDS Nasional tahun 2010, di Indonesia diestimasikan terdapat 766.390 LSL. Cakupan upaya pencegahan pada populasi ini dilaporkan masih rendah, yaitu sekitar 10%. Prevalensi HIV pada LSL dari waktu ke waktu terus meningkat. Menurut laporan Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) tahun 2009 dan 2013 menunjukkan ada peningkatan prevalensi HIV pada populasi kunci. Peningkatan mengkhawatirkan terutama pada kalangan LSL yaitu dengan prevalensi sebesar 7% pada 2009 menjadi 12,8% pada 2013. Peningkatan jumlah kasus HIV dan AIDS ini dihubungkan dengan minimnya tingkat pencegahan dari para pelaku seks, misalnya keterbatasan informasi yang didapat seputar tindakan pencegahan HIV dan AIDS (khususnya bagi LSL mengingat stigma yang melekat pada mereka sebagai kelompok yang agak berbeda dari masyarakat pada umumnya) dan rendahnya penggunaan kondom (Muntaen, 2015). Sekitar tahun 1989, yakni pada saat penyebaran virus HIV dan AIDS mulai merajalela tanpa ada yang bisa membendung, Thailand memberikan satu solusi dengan mensosialisasikan penggunaan kondom yang kemudian diimplementasikan di beberapa negara Asia, seperti Kamboja, Vietnam, China, Myanmar, Philipina, Mongolia dan Republik Laos. Program ini dinilai cukup berhasil untuk menekan jumlah kasus HIV dan AIDS (Laksana, 2010).
Kaum homoseksual tersebar di seluruh wilayah Indonesia termasuk Nusa Tenggara Timur. Di Kota Kupang sendiri telah terbentuk satu komunitas homoseksual bernama IMOF (Independent Men of Flobamor) dengan jumlah anggota yang terdaftar 48 orang dan yang telah terdeteksi positif HIV melalui Voluntary Conseling and Testing (VCT) sebanyak sembilan orang. Lelaki Suka Lelaki (LSL) merupakan individu yang memiliki perilaku berisiko terhadap peningkatan jumlah kasus HIV dan AIDS, khusus untuk wilayah Kota Kupang. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk menganalisis lebih lanjut tentang perilaku pencegahan HIV dan AIDS pada Lelaki Suka Lelaki (LSL) di Kota Kupang, Tahun 2014. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tentang gambaran perilaku pencegahan HIV dan AIDS pada Lelaki Suka Lelaki (LSL) di Kota Kupang, Tahun 2014. METODE
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini dilakukan di Kota Kupang pada Komunitas IMOF (Independent Men Of Flobamor). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari-Juni 2014. Informan dalam penelitian ini adalah para LSL yang bergabung dalam komunitas IMOF Kupang. Cara penentuan informan tidak diarahkan pada jumlah tetapi berdasarkan pada asas kesesuaian dan kecukupan sampai mencapai saturasi data (titik jenuh). Informan dipilih dengan cara purposive sampling di mana pengambilan sampel dilakukan dengan pertimbangan tertentu dengan tujuan untuk mendapatkan informasi sesuai dengan yang dibutuhkan/diinginkan (Satori dan
254
Kana, Nayoan, & Limbu / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
Komariah, 2010). Pertimbangannya yaitu bersedia menjadi informan kunci atau bersedia diwawancarai dan telah bergabung di IMOF lebih dari 6 bulan. Dari 48 anggota aktif IMOF yang bersedia menjadi informan kunci sebanyak lima orang. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang didapat dari wawancara mendalam pada informan. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan pada komunitas IMOF yang bertempat di Kota Kupang. Tempat ini merupakan rumah tinggal salah satu anggota IMOF yang sekaligus digunakan sebagai sekretariat IMOF. Namun saat penelitian, beberapa informan meminta untuk dilakukan wawancara bukan di sekretariat IMOF. Informan yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak lima orang yaitu anggota aktif IMOF yang masuk dalam kepengurusan IMOF dan telah bergabung di IMOF selama 2-3 tahun. Usia rata-rata informan adalah 21-30 tahun. Tingkat pendidikan mereka bervariasi, ada yang D3, S1, dan sementara menyelesaikan pendidikan S1. Dengan tingkat pendidikan yang baik, para informan mampu menjawab dan menjelaskan pertanyaanpertanyaan dalam penelitian ini. Peneliti memulai penelusuran tentang awal mula informan menyadari preferensi seksualnya ke sesama jenis dan mulai bergabung ke komunitas IMOF. Jawaban yang diberikan para informan hampir sama yaitu mereka mulai menyadari dirinya memiliki orientasi seks ke sesama jenis sejak kecil. Namun, mereka tidak pernah membicarakan hal ini pada orang-orang terdekat (misalnya keluarga) mereka karena berbagai alasan. Hal ini mengacu pada pandangan individu tentang
identitas pribadinya yang dirasa berbeda dari orang lain. Selain menyadari identitas pribadinya sejak kecil, pengalaman traumatis juga mendorong informan untuk disorientasi seksual (Amaliasari, 2008). Perilaku homoseksual dapat berawal pada masa kanak-kanak karena gangguan perkembangan seksual seseorang (psikoseksual pada masa anak-anak/kerap disodomi) ditambah pengaruh orang tua yang tidak baik. Selain itu, dalam perkembangannya homoseksual bukan lagi dianggap sebagai gangguan kejiwaan yang timbul dari pola asuh orang tua dalam keluarga, namun lebih kepada faktor lingkungan yang mendorong seseorang untuk berperilaku homoseksual. Lima tahun belakangan ini faktor lingkungan sosial lebih mempengaruhi perilaku homoseksual mulai dari karir/pekerjaan, komunitas orang yang bergabung dalam klub-klub tertentu serta dengan diikuti kejadian-kejadian yang membuat seseorang trauma (Paryati dan Raksanagara, 2010). Selanjutnya peneliti memulai penelusuran terkait pengetahuan dengan mengumpulkan data terkait makna dasar HIV dan AIDS menurut informan. Para informan sudah dapat menjelaskan dengan baik tentang pengertian dari HIV dan AIDS serta memberikan sedikit penjelasan tentang perbedaannya. Terkait dengan cara penularan HIV, para informan mengatakan bahwa penularan HIV dapat terjadi karena: 1) hubungan seks tidak aman; 2) penggunaan jarum suntik tidak steril secara bergantian; 3) dari ibu ke bayi melalui ASI. Pada pengetahuan tentang cara pencegahan, informasi yang paling banyak dilontarkan informan adalah 1) 100% menggunakan kondom; 2) setia dengan pasangan. Terkait 100% menggunakan
255
Kana, Nayoan, & Limbu / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
kondom, informan mengatakan setiap berhubungan seks harus selalu pakai kondom dan karena itu mereka harus selalu menyiapkan kondom sendiri setiap kali bepergian atau hendak melakukan hubungan seks. Berdasarkan hasil wawancara dengan kelima informan, dilakukan content analysis secara keseluruhan yang mengacu pada tujuan penelitian dan menghasilkan lima tema utama yang didasarkan pada teori Snehandu B. Kar. Menurut Snehandu B. Kar dalam Notoatmodjo (2010) perilaku itu merupakan fungsi dari niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatannya (behavior intention), adanya dukungan sosial dari masyarakat sekitarnya (social support), ada atau tidaknya informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan (accessibility information), adanya otonomi atau kebebasan pribadi untuk mengambil keputusan (personal autonomy), dan adanya kondisi dan situasi yang memungkinkan untuk bertindak atau tidak bertindak (action situation). Kelima tema utama tersebut merupakan hasil identifikasi dari jawaban atas beberapa item pertanyaan yang menggambarkan keseluruhan esensi fenomena yang diteliti. Tema-tema utama yang teridentifikasi dari hasil wawancara mendalam adalah sebagai berikut. Niat ini menjadi penting karena merupakan refleksi dari sikap, norma subjektif dan kontrol perilaku pada diri seseorang. Untuk melihat langsung keberadaan niat informan, secara spesifik peneliti menanyakan hal yang menguatkan dan rencana informan ke depan untuk selalu melakukan tindakan pencegahan HIV dan AIDS. Jawaban informan kemudian dikelompokkan menjadi jawaban-jawaban yang terkait sikap, norma subjektif, dan persepsi kontrol.
Sikap yang ditunjukkan informan yaitu ketakutan tertular HIV. Hal ini diungkapkan dengan fakta bahwa HIV tidak bisa disembuhkan dan seumur hidup harus mengkonsumsi obat ARV. Juga sudah pernah lihat orang dengan HIV dan AIDS itu bagaimana kehidupannya ketika tidak mendapatkan penanganan serius. Semakin merasa takut, semakin kuat niat informan untuk melakukan tindakan pencegahan HIV dan AIDS (menggunakan kondom). HIV tidak bisa disembuhkan dikaitkan dengan apa yang diketahui oleh informan selama ini bahwa jika seseorang sudah menderita HIV maka seumur hidup akan membawa virus tersebut. Dan fakta lainnya belum ditemukan obat yang bisa menyembuhkan HIV dan AIDS secara total melainkan hanya ada obat untuk menekan laju pertumbuhan virus HIV dalam tubuh. Hal ini menjadi ketakutan informan yang menguatkannya untuk pakai kondom karena tidak ingin tertular virus HIV. Selain itu, pengalaman karena melihat kehidupan OHIDA (orang dengan HIV dan AIDS) juga mendorong dan menguatkan informan untuk melakukan tindakan pencegahan HIV dan AIDS. Tentu saja orang dengan HIV dan AIDS memiliki kehidupan yang kurang produktif. Sebut saja, mereka akan kesulitan secara sosial dan ekonomi; Kehilangan pekerjaan, mendapat diskriminasi dari lingkungan sekitar, seumur hidup harus hidup dengan obat-obatan, dan cepat atau lambat akan segera meninggal (Khalid, 2011). Selain itu, kepercayaan atau keyakinan tentang salah satu pencegahan yang mungkin diambil oleh informan untuk pencegahan HIV dan AIDS yaitu dengan menggunakan kondom. Kondom adalah alat kontrasepsi atau alat untuk mencegah
256
Kana, Nayoan, & Limbu / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
kehamilan atau penularan penyakit kelamin pada saat bersenggama . Efektivitas kondom sebagai alat pencegah HIV menurut beberapa studi mencapai 98,7%. Namun cara penyimpanan yang tidak tepat, kegagalan negosiasi dengan partner seks dan cara penggunaan yang tidak benar dapat mengurangi efektivitas kondom sebagai alat pencegah penularan HIV. Informan mengatakan bahwa kondom merupakan alternatif termurah dan terpercaya serta mudah didapat untuk pencegahan HIV dan AIDS. Dalam penelitian ini, norma subjektif adalah pengaruh teman. Teman satu komunitas dianggap informan mempengaruhi niat karena dengan melihat status informan yang belum terbuka dengan orang lain bahkan keluarga sendiri maka teman satu komunitas dianggap sebagai orang terdekat. Rasa kepedulian antar teman juga menjadi pendorong dan penguat bagi informan untuk terus melakukan upaya pencegahan HIV dan AIDS. Apalagi pengaruh terbesarnya datang dari orang yang dianggap penting dalam komunitas, yaitu ketua komunitas. Seperti diungkapkan oleh informan bahwa selain teman-teman dekat mereka dalam komunitas IMOF, ketua komunitas juga berperan besar dalam upaya pencegahan HIV dan AIDS, di mana beliau selalu mengingatkan teman-teman LSL yang lain untuk selalu menggunakan kondom tiap kali berhubungan seks dan beliau sendiri juga menyiapkan kondom bagi teman-teman LSL (kondom ini didapat langsung dari KPA Kota Kupang). Adanya komitmen untuk saling mengingatkan dan menasihati antar teman sesama komunitas akan menguatkan niat untuk melakukan pencegahan HIV dan AIDS, apalagi bila dipraktekkan secara
umum oleh semua anggota komunitas, maka niat tersebut akan semakin kuat. Kontrol perilaku yang dipersepsikan dalam penelitian ini adalah situasi hubungan seks, apakah anal, oral, atau masturbasi. Informan memberikan perhatian lebih pada anal seks sebagai salah satu perilaku seks yang perlu menggunakan kondom. Sementara pada perilaku seks lainnya (misalnya seks oral), dianggap tidak perlu. Dan juga ketersediaan kondom saat hendak melakukan hubungan seks. Ketersediaan kondom juga mempengaruhi informan untuk memakai kondom atau tidak saat melakukan hubungan seks. Dari hasil wawancara, informan biasanya mendapatkan kondom dari KPA Kota Kupang dan kadang didapat juga dari Ketua IMOF. Kesadaran pribadi untuk menggunakan kondom saat berhubungan seks akan mempengaruhi informan untuk menyediakan kondom atau tidak apalagi ada campur tangan pihak yang dianggap senior dalam hal penyediaan kondom. Seperti yang diutarakan salah satu informan bahwa ia selalu menyiapkan kondom dalam tas apabila bepergian keluar walaupun tidak ada rencana untuk berhubungan seks. Terkait situasi saat berhubungan seks (aktivitas seks yang dipilih) terlihat bahwa informan belum konsisten dalam penggunaan kondom. Informan mengaku hanya menggunakan kondom bila melakukan aktivitas seks anal sedangkan untuk aktivitas seks oral tidak menggunakan kondom. Alasan informan untuk tidak menggunakan kondom saat aktivitas seks oral karena dianggap tidak terlalu berbahaya seperti halnya anal seks sehingga tidak perlu menggunakan kondom. Hal ini terlihat karena informan menganggap bila melakukan anal seks kemungkinan besar akan ada luka lecet
257
Kana, Nayoan, & Limbu / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
yang akan mempermudah penularan infeksi, sedangkan kalau oral seks tidak demikian. Dukungan dari lingkungan sekitar juga mempengaruhi seseorang untuk melakukan tindakan pencegahan HIV dan AIDS. Dukungan sosial adalah pemberian bantuan dalam berbagai bentuk baik verbal maupun non verbal seperti perhatian, kasih sayang, penilaian dan nasihat yang berdampak positif bagi individu. Dukungan sosial didapatkan individu dari hubungan dengan orang lain dalam suatu jaringan sosial yang dapat diandalkannya (Khalid, 2011). Bentuk dukungan sosial yang dapat diberikan seperti dukungan emosi, dukungan instrumental, dukungan persahabatan, dan dukungan informasi. Dukungan-dukungan ini bertujuan untuk menumbuhkan kenyamanan dan rasa percaya pada diri individu bahwa ia dihormati, dicintai dan merasa aman (Smet dalam Khalid, 2011). Diungkapkan semua informan mereka tidak mendapat dukungan dari keluarga dan masyarakat karena mereka sendiri belum membuka diri tentang status mereka sehingga keluarga dan masyarakat belum mengetahui keadaan mereka. Alasannya yaitu belum siap, takut mengecewakan keluarga, akan didiskriminasi apabila statusnya diketahui dan lain-lain. Seperti pengalaman seorang informan yang sudah dicurigai oleh keluarga tentang statusnya sehingga ia dianggap ‘aneh’. Hal-hal seperti ini yang membuat para informan belum bisa membuka pilihan orientasi seksualnya pada orang lain karena akan ada pandangan negatif dari keluarga dan masyarakat sekitar. Menurut para informan walaupun mereka belum terbuka kepada keluarga dan
masyarakat sekitar tentang status mereka, tapi dengan adanya komunitas IMOF mereka bisa saling berbagi dan mendukung. Melihat pada tujuan awal pembentukan IMOF yaitu agar teman-teman LSL memiliki tempat atau wadah untuk saling berbagi dan bertukar pikiran serta tidak menutup kemungkinan untuk juga mendukung dalam pencegahan HIV dan AIDS dalam komunitas mereka sendiri. Komunitas IMOF sendiri sering melakukan kegiatan-kegiatan dengan tujuan mendukung program pencegahan HIV dan AIDS. Kerja sama dengan pemerintah (dalam hal ini KPA Kota Kupang dan KPA Provinsi NTT) juga dilakukan untuk menguatkan teman-teman LSL dalam upaya pencegahan HIV dan AIDS. Berikut kutipan hasil wawancara dengan informan. Selain dari komunitas IMOF sendiri, pemerintah melalui Komisi Penanggulangan AIDS Kota Kupang dan provinsi juga memberikan perhatian lebih pada komunitas ini. KPA Kota Kupang selalu mengadakan kegiatan pemberian informasi tentang Infeksi Menular Seksual serta HIV dan AIDS dan melatih temanteman LSL menjadi pendidik sebaya yang bisa menyebarkan informasi tentang IMS, HIV dan AIDS pada teman-teman LSL yang lain. Dukungan lain yang diberikan yaitu penyediaan kondom bagi temanteman LSL. Informasi merupakan kekuatan seseorang untuk melakukan sesuatu. Tanpa informasi, seseorang akan kebingungan menentukan apa yang sebaiknya dilakukan dalam menghadapi sesuatu. Begitu pula dengan informasi tentang HIV dan AIDS bagi teman-teman LSL (Ridwan, 2010). Informasi tentang HIV dan AIDS diperoleh para informan melalui sosialisasisosialisasi dari KPA Kota Kupang. Sosialisasi-sosialisasi tentang Infeksi
258
Kana, Nayoan, & Limbu / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
Menular Seksual, HIV dan AIDS dari KPA Kota Kupang diungkapkan informan merupakan informasi yang dapat menambah pengetahuan dan pemahaman mereka untuk melakukan pencegahan HIV dan AIDS. Sosialisasi ini bukan hanya dilakukan satu kali saja oleh KPA tetapi berulang-ulang sehingga pemahaman tentang HIV dan AIDS dari informan cukup baik. Selain sosialisasi, KPA juga memberikan leaflet dan poster yang dapat digunakan informan sebagai bahan tambahan informasi tentang HIV dan AIDS. Berdasarkan penuturan salah satu informan karena latar belakang pendidikannya adalah kesehatan maka informasi-informasi tentang HIV dan AIDS sudah sering didapat, namun ketika bergabung di IMOF dan aktif dalam kegiatan yang diadakan KPA, pengetahuannya tentang HIV dan AIDS ini semakin bertambah. Selain sebagai penerima informasi, informan juga mengaku sudah menyebarkan informasi yang mereka dapat kepada teman-teman satu komunitas yang tidak berkesempatan mengikuti kegiatan dari KPA, mereka disebut sebagai pendidik sebaya. Para informan dilatih menjadi pendidik sebaya dengan tujuan membagi pengetahuan yang mereka dapat ke temanteman yang lain sehingga informasi ini tidak hanya diketahui oleh beberapa dari mereka tetapi semua memperoleh informasi yang sama. Dengan kemajuan teknologi ternyata informasi bisa diakses oleh siapa saja. Karena itu tidak ada kesulitan dalam mengakses informasi bagi teman-teman LSL. Seperti yang diungkapkan informan sebelum bergabung di IMOF, ia telah banyak membaca berita seputar gay, Infeksi Menular Seksual, HIV dan AIDS di internet untuk menambah pemahamannya
tentang dunia yang sedang didalaminya. Berikut kutipan hasil wawancara. Menurut para informan, informasi yang mereka peroleh tentang HIV dan AIDS cukup membantu mereka terhindar dari HIV dan AIDS. Alasannya karena mereka sudah tahu bahaya HIV dan AIDS maka mereka berusaha untuk terhindar darinya. Dan akan sia-sia bila sudah punya ilmunya tetapi tidak diterapkan dalam kehidupan nyata. Berikut kutipan hasil wawancara. Kehendak bebas atau otonomi pribadi yaitu kemampuan yang dimiliki setiap individu untuk bertindak sesuai dengan keinginannya tanpa ada paksaan. Kemampuan ini bisa bersifat positif dan dengannya manusia dapat berkembang ke arah yang lebih baik. Kebebasan seseorang dalam mengambil keputusan mempengaruhi tindakannya ke depan. Seperti halnya dalam melakukan tindakan pencegahan HIV dan AIDS pada teman-teman LSL, kebebasan pribadi mereka mempengaruhi tindakan yang dilakukan (Padang, 2012). Dapat terlihat bahwa para informan yang memutuskan sendiri untuk melakukan tindakan pencegahan HIV dan AIDS (dalam hal ini lebih ditekankan pada penggunaan kondom). Beberapa alasan yang mempengaruhi para informan untuk memutuskan sendiri melakukan tindakan pencegahan antara lain 1) berbekal pengetahuan yang dimiliki dan menganggap partner seks kurang punya pengetahuan tentang HIV dan AIDS, informan mengambil keputusan sendiri untuk pakai kondom saat berhubungan; 2) orang yang menjadi partner seks menjadi pertimbangan untuk pengambilan keputusan apakah pakai kondom atau tidak; 3) kondisi diri saat hendak melakukan hubungan seks juga
259
Kana, Nayoan, & Limbu / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
mempengaruhi keputusan untuk pakai kondom atau tidak. Tindakan pencegahan HIV dan AIDS pada LSL juga dipengaruhi oleh kondisi atau situasi yang memungkinkan. Penelusuran terkait kondisi/situasi yang memungkinkan, peneliti menanyakan beberapa hal terkait pelayanan kesehatan dan petugas kesehatan. Pelayanan kesehatan dan petugas kesehatan dalam menentukan kondisi/situasi yang memungkinkan dikaitkan dengan upaya pencegahan sekunder yaitu diagnosis dini dan pengobatan segera. Untuk teman-teman IMOF, sudah memiliki pelayanan kesehatannya sendiri yaitu Pustu Maulafa dan RS Bhayangkara sehingga tidak ada masalah dalam pemilihan pelayanan kesehatan. Dan juga petugas kesehatan yang biasa melayani teman-teman IMOF di dua tempat layanan kesehatan tersebut adalah orang-orang yang sudah mengetahui status teman-teman IMOF. Berdasarkan penuturan informan diketahui beberapa alasan terkait kondisi/situasi yang memungkinkan mereka melakukan tindakan pencegahan HIV dan AIDS, yaitu 1) pelayanan kesehatan dipilih karena adanya kepercayaan pada petugas kesehatan yang sudah mengetahui status informan; 2) adanya kerja sama antara komunitas IMOF dengan pelayanan kesehatan; 3) jarak pelayanan kesehatan yang mudah diakses; 4) ada kedekatan antara informan dengan petugas kesehatan; 5) pilihan tempat layanan kesehatan yang ada sudah cukup banyak. Terkait pelayanan kesehatan yang dipilih karena adanya kepercayaan pada petugas kesehatan yang sudah mengetahui status informan adalah karena melihat status informan yang cukup berbeda dari
masyarakat umumnya sehingga akan sulit bagi mereka bila memeriksakan kesehatan pada pelayanan kesehatan yang belum mengetahui status mereka. Karena itu mereka hanya memilih beberapa pelayanan kesehatan yang ada yang sudah berkomitmen bersama untuk menjaga kerahasiaan mereka. Dan menurut penuturan salah satu informan, IMOF pernah mengadakan workshop untuk mengadvokasi petugas-petugas kesehatan yang dipilih untuk mengetahui status teman-teman IMOF dan berkomitmen menjaga kerahasiaan itu sehingga Ada banyak tempat pelayanan kesehatan yang bisa diakses siapa saja. Untuk IMOF sendiri sudah bekerja sama dengan Pustu Maulafa dan RS Bhayangkara untuk melayani teman-teman IMOF yang hendak melakukan pemeriksaan kesehatan. Hal ini karena jarak fasilitas kesehatan ini mudah diakses oleh semua teman-teman IMOF apalagi Pustu Maulafa yang memang berdekatan dengan sekretariat IMOF sehingga sudah ada kedekatan antara petugas kesehatan dan teman-teman IMOF. Menurut penelitian terhadap minat LSL untuk memeriksakan kesehatan adalah seseorang akan memeriksakan kesehatannya bila ia sedang membutuhkan pelayanan kesehatannya tersebut. Faktor lainnya adalah jarak antara pelayanan kesehatan dengan rumah pasien, pasien lebih cenderung mencari pelayanan kesehatan yang dekat dan dianggap bisa memberikan pelayanan yang terbaik. Adanya kedekatan hubungan antara pasien dan petugas kesehatan juga menjadi pilihan bagi pasien untuk mengakses pelayanan kesehatan. Seperti yang diungkapkan salah satu informan ini, ia memilih pelayanan kesehatan di tiga tempat yang ada di Kota Kupang karena ia sudah
260
Kana, Nayoan, & Limbu / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
memiliki kedekatan dengan petugas kesehatan yang ada sejak lama sehingga sudah mengetahui ciri khas dan sikap dari para petugas kesehatan di tempat pelayanan kesehatan tersebut. Namun di antara para petugas kesehatan tersebut ada juga yang belum mengetahui statusnya dan si informan memang tidak berniat membuka statusnya karena berbagai pertimbangan. Ketika ditanyakan tentang pelayanan kesehatan, informan langsung mengaitkannya dengan layanan VCT. Ini menunjukkan bahwa informan lebih memfokuskan pemeriksaan kesehatan pada layanan VCT walaupun kadang juga memeriksakan kesehatan diri yang lain. Informan juga mengaku bahwa untuk pemeriksaan kesehatan lain (selain VCT), mereka tidak mendapat perlakuan yang berbeda sehingga mereka tidak ragu-ragu untuk memeriksakan diri. Selain itu, ketika ditanyakan seandainya melakukan pemeriksaan kesehatan pada layanan kesehatan/petugas kesehatan yang belum mengetahui status teman-teman LSL, peneliti menemukan jawaban yang berbeda. Ada yang mengatakan mereka tidak didiskriminasi karena statusnya belum diketahui, tetapi berdasarkan pengalaman teman-teman mereka ada yang pernah mendapat perlakuan yang berbeda/didiskriminasi. Namun ada kecenderungan informan mengatakan akan didiskriminasi bila statusnya diketahui. Berdasarkan pernyataan di atas terlihat bahwa ada ketakutan dari informan apabila petugas kesehatan tahu tentang status mereka, apalagi bila itu orang terdekat. Namun, sampai saat ini karena teman-teman LSL masih tertutup dengan statusnya, mereka belum mengalami diskriminasi dari petugas kesehatan. Ada harapan dari teman-teman LSL bagi petugas kesehatan yaitu 1) melayani harus
dengan hati siapapun pasiennya; 2) lebih mengutamakan pasien dibandingkan materi; 3) bisa menjaga kode etik kerahasiaan pasien agar dapat dipercaya. Terkait harapan dari teman-teman LSL terhadap petugas kesehatan ini diungkapkan sebagai petugas kesehatan sudah menjadi tugas dan kewajiban mereka untuk melayani pasien dengan baik tanpa membeda-bedakan status sosial dan ekonomi pasien yang datang berobat. Karena bila petugas kesehatan masih membeda-bedakan pasien maka hanya orang yang memiliki uang yang bisa mendapatkan kesehatan sedangkan orang yang tidak memiliki uang akan mati tanpa berobat. Petugas kesehatan juga diharapkan bisa menjaga kerahasiaan pasien-pasien yang datang berobat, apalagi untuk pasien dengan status seperti informan atau yang HIV. Hal ini tentu menjadi ketakutan pasien bila statusnya sampai diketahui orang lain. Karena itu besar harapan bagi petugas kesehatan untuk benar-benar menjaga kode etik profesinya sehingga pasien yang datang berkunjung merasa aman, nyaman dan percaya terhadap pelayanan kesehatan yang mereka kunjungi. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa para informan mulai menyadari preferensi seksualnya ke sesama jenis sejak kecil. Para informan juga dapat menjelaskan dengan baik tentang pengertian HIV dan AIDS, cara penularan dan cara pencegahan HIV dan AIDS. Adanya sikap, norma subjektif, dan persepsi kontrol yang mempengaruhi niat sehingga informan memiliki niat yang kuat untuk melakukan tindakan pencegahan
261
Kana, Nayoan, & Limbu / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
HIV dan AIDS. Bentuk dukungan sosial yang didapat informan dari komunitas dan pemerintah berupa dukungan emosi dan informasi. Hal ini cukup menguatkan informan untuk melakukan tindakan pencegahan HIV dan AIDS. Informasi yang diperoleh para informan seputar HIV dan AIDS berasal dari komunitas IMOF sendiri dan sosialisasi dari KPA Kota cukup membantu informan dalam melakukan tindakan pencegahan HIV dan AIDS. Selain itu, informan juga secara mandiri memanfaatkan teknologi untuk mencari informasi. Para informan juga diberdayakan menjadi pendidik sebaya dalam penyampaian informasi kepada teman-teman komunitas. Keputusan untuk melakukan tindakan pencegahan (dalam hal ini penggunaan kondom) diputuskan sendiri oleh para informan. Walaupun ada beberapa situasi yang mempengaruhi informan dalam mengambil keputusan memakai kondom saat berhubungan seks. Kondisi/situasi yang memungkinkan dalam hal ini pelayanan kesehatan dan petugas kesehatan. Para informan menganggap pelayanan kesehatan yang nyaman dikunjungi bila petugas kesehatannya bisa dipercaya, memiliki fasilitas kesehatan yang memadai dan jarak pelayanan kesehatannya mudah dijangkau. DAFTAR PUSTAKA Amaliyasari, Y. A. N. P. (2008). Perilaku Seksual Anak Usia Pra Remaja di Sekitar Lokalisasi dan Faktor yang Mempengaruhi. Jurnal Penelitian Dinas Sosial, 56-60 Ditjen PP & PL Kemenkes RI. 2014. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia Dilaporkan s/d Maret 2014. http://www.depkes.org/laporankasushivaids / (13 Agustus 2014, pukul 18.30)
Hardisman (2009). HIV/AIDS di Indonesia: Fenomena Gunung Es dan Peranan Pelayanan Kesehatan Primer. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 3 (5): 236240 Khalid, Idham. 2011. Pengaruh Self Esteem dan Dukungan Sosial Terhadap Optimisme Hidup Penderita HIV/AIDS. http://repository.uinjkt.ac.id (15 Agustus 2014, pukul 19.00) Laksana, Agung. 2010. Faktor-Faktor Risiko Penularan HIV/AIDS pada Laki-laki dengan Orientasi Seks Heteroseksual dan Homoseksual di Purwokerto. Jurnal Mandala of Health. Vol. 4, No. 2, hal 113. Purwokerto: Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan, Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Muntaen, N. et al. (2015). Addressing the Sexual and Reproductive Health Needs People in Ethiopia: An Analysis of the Current Situation. African Journal of Reproductive Health, 19 (3): 87-99 Padang, John Toding. 2012. Persepsi Kaum Homoseksual Terhadap Aktivitas Seksual Yang Berisiko Terjadi HIV-AIDS. http://repository.uinjkt.ac.id (14 Juni 2014, pukul 18.00) Paryati, Tri dan Ardini S. Raksanagara. 2010. Gambaran Gaya Hidup (Life Style) Berisiko di Kalangan Kaum Homoseksual (Gay) di Kota Medan. Jurnal Kesehatan Masyarakat Vol.01, No.02 hal 111. Medan: Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Ridwan, Eka Sari. 2010. Perilaku Waria dalam Upaya Pencegahan HIV/AIDS di Kabupaten Bulukumba. http://id.proposalkualitatifhivaids/index.htm l (22 Desember 2013, pukul 19.00) KPAKK. 2014. Laporan Tahunan KPA Kota Kupang. Kupang: KPAKK UNAIDS. 2010. Deklarasi Komitmen Sidang Umum PBB tentang HIV dan AIDS 25-27 Juni 2010
262
Kana, Nayoan, & Limbu / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016) Widyastuti, E. S. (2009). Personal dan Sosial yang Mempengaruhi Sikap Remaja terhadap Hubungan Seks Pranikah. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia, 75-85.
263
UJPH 5 (3) (2016)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
POLA KONSUMSI FAST FOOD DAN SERAT SEBAGAI FAKTOR GIZI LEBIH PADA REMAJA Vilda Ana Veria Setyawati, Eti Rimawati Prodi Kesehatan Masyarakat, Universitas Dian Nuswantoro, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima 18 Juni 2016 Disetujui 13 Juli 2016 Dipublikasikan Juli 2016
Gizi lebih atau overweight pada saat sekarang merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia, mempengaruhi tidak hanya negara maju tapi juga negara berkembang. Survei obesitas yang dilakukan akhir-akhir ini pada anak remaja siswa/siswi SLTP di Yogyakarta menunjukkan bahwa 7,8% remaja di perkotaan dan 2% remaja di daerah pedesaan mengalami obesitas. Pada tahun 2011 berdasarkan hasil penjaringan peserta didik TA 2011/2012 di Kota Semarang pada remaja usia 16 tahun dari 16.579 anak sebesar 3,71% berstatus gizi lebih. Penelitian ini bertujuan mengetahui apakah ada hubungan antara serat dan fast food dengan gizi lebih. Penelitian ini dilakukan di Kota Semarang pada remaja sejumlah 65 orang. Variabel bebas penelitian ini adalah pola konsumsi fast food dan serat, sedangkan variabel terikatnya adalah status gizi. Analisis data yang digunakan adalah chi square. Hasilnya, 58,5% responden mengalami malnutrisi yang terdiri dari underweight, overweight, obesitas I, dan obesitas II; sementara 41,5% responden berstatus gizi normal. Sehingga bisa dikatakan bahwa remaja bermasalah dengan status gizi. Konsumsi fast food (p=0,21) dan serat (p=0,43) tidak berhubungan dengan overweight. Sebagian besar responden sering mengkonsumsi fast food (95,4%) dan kurang mengkonsumsi serat (84,6%).
________________ Keywords: Overweight; Fast Food Consumption; Fiber Consumption ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ Overweight is a health problem worldwide, affecting not only developed countries but also developing countries. A recent obesity survey in junior high school students in Yogyakarta showed that 7.8% of teenagers in urban areas and 2% of adolescents in rural areas were obese. In 2011, 3.71% from 16,579 adolescents aged 16 in Semarang were over nutrition. This study aimed to determine if fiber and fast food consumption were correlated with over nutrients. This research was conducted in Semarang with 65 adolescent students as respondents. The independent variables were the pattern of fast food and fiber consumption, while the dependent variable is nutritional status. The data were analyzed with chi square test. The result showed that 58.5% of respondents were malnourished, which consists of underweight, overweight, obese I and obese II; while 41.5% of them were normal in nutrition status. It could be said that the teenagers had a problem with nutritional status. Fast food consumption (p = 0.21) and fiber consumption (p = 0.43) were not significantly associated with overweight. Most respondents consume fast food frequently (95.4%) and consume fiber less (84.6%).
© 2016 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Prodi Kesehatan Masyarakat , Universitas Dian Nuswantoro JL. Nakula I No.5-11, Semarang E-mail:
[email protected]
275
ISSN 2252-6781
Vilda Ana Veria Setyawati dan Eti Rimawati/ Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
PENDAHULUAN
Gizi lebih atau overweight pada saat sekarang merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia, mempengaruhi tidak hanya negara maju tapi juga negara berkembang. Dalam era globalisasi sekarang ini arus kebudayaan barat yang masuk di Indonesia terlalu sulit untuk di bendung, berbagai aspek kehidupan dan nilai-nilai ketimuran telah banyak dipengaruhi oleh budaya barat tersebut, tidak terkecuali dalam perubahan pola konsumsi makan. Adanya kecenderungan pola konsumsi makan dari makanan tradisional ke makanan impor (modern) terlihat pada masyarakat perkotaan, khususnya di kalangan remaja (Hadi, 2005). Masa remaja adalah masa yang labil dan mudah terpengaruh dimana mereka mencari jati diri sehingga remaja mudah mengikuti mode dan trend yang sedang berkembang terutama dalam bidang makanan impor/modern. Hasil penelitian Setyaningsih, (2001) menunjukkan ada hubungan antara pengetahuan gizi dengan frekuensi makan fast food di SMU Negeri I Semarang. Dari 46 sampel yang diteliti 80,4% mempunyai pengetahuan gizi baik dan 41,3% diantaranya sering mengkonsumsi fast food dengan frekuensi 3-5 kali dalam satu bulan (Setyaningsih, 2001). Gizi lebih sering dijumpai pada keluarga mampu karena dengan terjadinya peningkatan kemakmuran dan semakin banyaknya makanan fast food yang disajikan, mendorong keluarga berpenghasilan menengah ke atas lebih banyak mengkonsumsi gula dan lemak. Kondisi ini akan menyebabkan meningkatnya gizi lebih pada kelompok masyarakat ini. Dampak lain dari meningkatnya kemakmuran dan perubahan perilaku konsumsi pangan adalah semakin meningkatnya jumlah penduduk yang mempunyai berat badan lebih. Ini tidak hanya terjadi pada golongan dewasa saja melainkan
juga terjadi pada remaja (Semiloka Pra WKPG, 1997). Pada umumnya remaja mempunyai uang saku. Hal ini dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh pemasang iklan khususnya iklan makanan dan minuman yang menggunakan seorang bintang sebagai model yang akan lebih mudah mengikat remaja. Sehingga remaja menjadi penggemar berat tanpa merperhitungkan makanan itu bergizi atau tidak (Khomsan, 2003). Pola konsumsi yang keliru akan merugikan kesehatan apabila tidak diarahkan pada pola konsumsi makanan yang sehat. Kecenderungan masyarakat kota yang menyukai makanan fast food karena anggapan mereka bahwa makanan ini lebih modern, dibandingkan makanan tradisional Indonesia. Mereka menganggap bahwa makanan tradisional Indonesia adalah makanan yang ketinggalan jaman dan kurang mempunyai nilai komersil. Makanan fast food pada umumnya mengandung tinggi protein, tinggi kalori (terutama lemak dan gula sederhana), tinggi garam, bumbu masak, zat pengawet dan pewarna serta rendah serat. Jika hal ini dibiasakan akan mengawali terjadinya penyakit degeneratif (Nurjanah, 1998). Penelitian yang dilakukan oleh Mahdiah (2004) pada remaja SLTP di Yogyakarta, menyatakan bahwa mengkonsumsi fast food > 4 kali/bulan cenderung menyebabkan terjadinya obesitas dibandingkan mengkonsumsi fast food < 4 kali/bulan. Sampai dengan saat ini belum ada data nasional tentang obesitas pada anak sekolah dan remaja. Akan tetapi beberapa survei yang dilakukan secara terpisah dibeberapa kota besar menujukkan bahwa prevalensi obesitas pada anak sekolah dan remaja cukup tinggi. Survei obesitas yang dilakukan akhir-akhir ini pada anak remaja siswa/siswi SLTP di Yogyakarta menunjukkan bahwa 7,8% remaja di 276
Vilda Ana Veria Setyawati dan Eti Rimawati/ Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
perkotaan dan 2% remaja di daerah pedesaan mengalami obesitas (Hadi, 2005). Asupan serat yang rendah dapat menyebabkan gizi lebih, karena mereka cenderung mengkonsumsi makanan tinggi lemak yang lebih mudah dicerna dan dibandingkan serat. Penelitian di salah satu sekolah di Kota Semarang menunjukkan bahwa anak gizi lebih yang mengkonsumsi serat <25 gram per hari (AKG) cenderung mengkonsumsi asupan lemak tinggi. Penelitian lain di Amerika tentang asupan serat menyatakan bahwa asupan serat yang rendah <8,8 gr/ hari meningkatkan C-reactive Protein 4 kali lebih tinggi pada orang dengan dua atau tiga risiko penyakit (gizi lebih, hipertensi, diabetes) dibandingkan dengan orang tanpa risiko penyakit. Asupan serat yang rendah mengakibatkan asam empedu lebih sedikit diekskresi feses, sehingga banya kolesterol yang direabsorbsi dari hasil sisa empedu. Kolesterol akan semakin banyak beredar dalam darah, menumpul di pembuluh darah dan menghambat aliran darah sehingga berdampak pada peningkatan status gizi (King, et al., 2005). Serat sangat diperlukan untuk mengikat kolesterol yang berasal dari fast food agar tidak sampai mengalir melalui pembuluh darah. Seseorang dengan pola makan mengandung serat yang sesuai kebutuhan, jarang ditemui mengalami gizi lebih. Remaja yang gizi lebih membutuhkan lebih banyak makanan yang mengandung serat terutama dari sayur. Serat juga menimbulkan efek kenyang yang lebih lama sehingga tidak cepat timbul lapar. Asupan tinggi serat tidak akan menyumbang energi lebih sehingga dapat membantu mengontrol berat badan (Thasim, et al, 2013). Pada tahun 2011 berdasarkan hasil penjaringan peserta didik TA 2011/2012 di Kota Semarang pada remaja usia 16 tahun dari 16.579 anak sebesar 3,71% berstatus gizi lebih
(Aini, 2012). Padahal, remaja biasanya selalu ingin terlihat sempurna termasuk dari penampilan karena ada motivasi untuk menarik lawan jenis dan agar mudah diterima bergaul di lingkungan manapun. Sehingga idelanya status gizi remaja harus selalu normal. Akan tetapi, melihat tinggi prevalensi gizi lebih dan dampak buruk ke depan, sehingga perlu dikaji mengapa masih banyak remaja gizi lebih dan apakah ada yang salah dengan pola konsumsi gizinya. Pertama adalah tentang pola konsumsi fast food yang akan dikaji adalah jenis, frekuensi, jumlah konsumsi, jumlah energi, dan karbohidrat. Kedua tentang pola konsumsi serat yang meliputi sumber dan jumlah konsumsi per hari. METODE
Model penelitian yang dipilih adalah kuantitatif. Peneliti melakukan observasi pada tiga variabel dengan lokasi penelitian di Kota Semarang pada 65 remaja. Rancangan yang dipilih pada penelitian ini adalah cross sectional, dimana seluruh variabel diobservasi dalam satu waktu. Variabel bebas penelitian ini adalah pola konsumsi fast food dan serat , sedangkan variabel terikatnya adalah status gizi. Pola konsumsi fast food meliputi jenis dan frekuensi mengkonsumsinya. Serat meliputi sumber serat yang dikonsumsi dan frekuensinya. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi klinis dan wawancara. Instrumen penelitian yang digunakan adalah digital scale, microtoa, dan kuesioner. Analisis data dilakukan secara deskriptif untuk masingmasing variabel, sedangkan untuk hubungan bivariat menggunakan chi square. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden
277
Vilda Ana Veria Setyawati dan Eti Rimawati/ Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
Responden yang terlibat dalam penelitian ini adalah remaja dengan usia 15 dan 16 tahun sejumlah 65 orang. Mereka
terdiri dari 44,6 % laki-laki dan 55,4% perempuan.
Tabel 1. Deskripsi karakteristik responden Rerata
Minimum
Maximum
19,84±3,7
15,70
34,10
Frekuensi konsumsi serat harian 1,96±2,1
0
10
Frekuensi konsumsi fast food 3,92±4,3 harian
0
19.27
Status Gizi
Rerata status gizi remaja menunjukkan kategori normal (range 18,5-22,9) dengan nilai minimal dan maksimalnya yang sangat ekstrim, dimana minimal sebesar 15,7 (underweight) dan maksimal 34,1 (obesitas II). Akan tetapi hasil yang tidak sesuai muncul pada kategori konsumsi fast food dan serat.
Keduanya menunjukkan rerata yang tidak sesuai dengan kategori normal. Rerata konsumsi harian serat kurang dari 5 kali per hari dan fast food lebih dari 4 kali per bulan. Meskipun demikian, ada remaja yang tidak mengkonsumsi serat dan fast food sama sekali.
Status Gizi
Tabel 2. Distribusi Responden berdasarkan status Gizi Kategori Underweight Normal Overweight Obesitas I Obesitas II
n 30 27 3 3 2
Persentase (%) 46,2 41,5 4,6 4,6 3,2
Berdasarkan tabel 5.2, sebagian besar responden adalah remaja underwight (46,2%) yang memiliki IMT dibawah 18,5 kg/m2. Selain itu juga bisa dikatakan sebagian besar responden mengalami malnutrisi (58,5%) yang terdiri dari underweight, overweight, obesitas I, dan obesitas II. Sementara responden dengan status gizi normal sebanyak 41,5%. Sehingga bisa dikatakan bahwa remaja bermasalah dengan konsumsi makanan. Menurut hukum pertama termodinamika, obesitas terjadi karena ketidakseimbangan antara asupan energi dengan keluaran energi (energi expenditure) sehingga terjadi kelebihan energi yang selanjutnya disimpan dalam bentuk jaringan
lemak. Kelebihan energi tersebut disebabkan oleh asupan energi yang tinggi atau keluaran energi rendah. Asupan energi tinggi disebabkan oleh asupan makan yang berlebihan, sedangkan keluaran energi rendah disebabkan oleh rendahnya metabolisme tubuh, aktifitas fisik dan efek termogenesis makanan. Efek termogenesis makanan di tentukan oleh komposisi makanan. Sumber energi terdiri dari karbohidrat, lemak, dan protein. Energi yang masuk digunakan untuk metabolisme, aktifitas fisik, dan efek termogenesis makanan. Kebutuhan energi setiap orang berbeda-beda tergantung beberapa aspek. Apabila asupan energi lebih dari yang dibutuhkan, makan akan disimpan menjadi 278
Vilda Ana Veria Setyawati dan Eti Rimawati/ Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
lemak tubuh. Meskipun energi yang lebih tersebut bersumber dari karbohidrat. Fast food yang memiliki jumlah karbohidrat lebih dari jumlah seharusnya disetiap porsi makan, akan mengalami nasib serupa, yaitu diubah menjadi lemak dan disimpan dalam tubuh. Selain itu, kolesterol yang ada dalam fast food seharusnya diikat oleh serat. Akan tetapi kecenderungan
untuk sering mengkonsumsi mengakibatkan menumpuknya kolesterol dalam tubuh. Akibatnya adalah kelebihan berat badan (Haines, 2007).
Fast Food
Tabel 3. Distribusi responden berdasarkan konsumsi fast food Kategori Jarang Sering
n 3 62
Persentase (%) 4,6 95,4
Berdasarkan tabel 3, sebagian besar responden sering mengkonsumsi fast food (95,4%). Hasil uji menunjukkan bahwa fast food tidak berhubungan dengan overweight
(p=0,47). Karena sebagian besar remaja mengkonsumsi fast food, baik yang underweight, normal maupun obesitas .
Tabel 4. Tabulasi silang antara konsumsi fast food dan status gizi Kategori status gizi Normal
Under weight
Over weight
Total
kategori konsumsi fast jarang food sering
0
3
1
4
27
27
7
61
Total
27
30
8
65
p = 0,21 Meningkatnya kemakmuran dan semakin banyaknya makanan fast food yang disajikan, mendorong keluarga berpenghasilan menengah ke atas lebih banyak mengkonsumsi gula dan lemak. Kondisi ini akan menyebabkan meningkatnya gizi lebih pada kelompok masyarakat ini. Dampak lain dari meningkatnya kemakmuran dan perubahan perilaku konsumsi pangan adalah semakin meningkatnya jumlah penduduk yang mempunyai berat badan lebih. Ini tidak hanya terjadi pada golongan dewasa saja melainkan juga terjadi pada remaja (Semiloka Pra WKPG, 1997; Kalkan, 2015).
Fast food adalah makanan bergizi tinggi yang dapat menyebabkan kegemukan atau obesitas terhadap anak-anak yang fast food mengkonsumsi makanan siap saji atau selain itu fast food dapat menyebabkan penyakit jantung, penyumbatan pembuluh darah dan sebaginya. Fast food dianggap negativ karenaketidak seimbangannya, hal ini dengan mudah bisa dilihat dari besarnya porsi daging ayam ataubarger yang disajikan (Khomsan, 2004). Anak yang obes cenderung memiliki kebiasaan pola makan berlebih serta mengonsumsi makanan dalam jumlah lebih banyak setiap kalinya. Anak yang obes sangat
279
Vilda Ana Veria Setyawati dan Eti Rimawati/ Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
menyukai aktivitas makan. Anak makan lebih banyak daripada kebutuhan energi sesungguhnya yang mereka butuhkan. Mengunyah makanan dalam jumlah yang sama dalam sehari dapat menyebabkan sistem enzim tubuh untuk menggunakan energi lebih efesien dan akhirnya disimpan menjadi lemak (Alfawaz, 2012). Fast food atau ready-to-eat-food jadi pilihan utama orang tua yang sibuk atau konsumsi ketika menghabiskan waktu bersama keluarga pada masyarakat modern. Hal ini disebabkan karena pengolahannya yang cenderung cepat karena menggunakan tenaga
mesin, terlihat bersih karena penjamahnya adalah mesin, restoran yang mudah ditemukan serta karena pelayanannya yang selalu sedia setiap saat, bagaimanapun cara pemesanannya. Serat
Konsumsi serat harian individu berasal dari sayur dan buah-buahan. Menurut “tumpeng gizi” jumlah minimal yang harus dikonsumsi adalah 5 porsi terdiri dari mengkonsumsi sayur minimal 2 kali dan buah minimal 3 kali. (Gambar 1).
Gambar 1. Tumpeng Gizi Seimbang (Kemenkes RI, 2014) Tabel 5. Distribusi responden berdasarkan konsumsi serat harian Kategori Kurang Cukup
n 55 10
Persentase (%) 84,6 15,4
Berdasarkan tabel 5, sebagian besar responden kurang mengkonsumsi serat dalam menu hariannya. Pola seperti ini tidak tepat dan akan berakibat buruk terhadap tubuh. Pola konsumsi yang keliru akan merugikan kesehatan apabila tidak diarahkan pada pola
konsumsi makanan yang sehat. Kecenderungan masyarakat kota yang menyukai makanan fast food karena anggapan mereka bahwa makanan ini lebih modern, dibandingkan makanan tradisional Indonesia. Mereka menganggap bahwa makanan
280
Vilda Ana Veria Setyawati dan Eti Rimawati/ Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
tradisional Indonesia adalah makanan yang ketinggalan jaman dan kurang mempunyai nilai komersil. Makanan fast food pada umumnya mengandung tinggi protein, tinggi kalori (terutama lemak dan gula sederhana), tinggi garam, bumbu masak, zat pengawet dan pewarna serta rendah serat. Jika hal ini dibiasakan akan mengawali terjadinya penyakit degeneratif (Nurjanah, 1998). Sumber
serat utama tubuh dari buah dan sayur, tetapi penelitian ini menunjukkan bahwa masih banyak remaja yang tidak suka sayur. Dan hal serupa juga dijumpai pada penelitian Hakim (2012) dan Al-Rethaiaa (2010). Untuk mengetahui siapa yang lebih tidak suka sayur, hasil ditunjukkan oleh tabulasi silang di bawah ini
Tabel 6. Tabulasi silang antara jenis kelamin dengan kesukaan terhadap sayur kategori tidak suka sayur Jenis_kelamin
laki-laki perempuan
Total
Jumlah remaja perempuan yang tidak suka sayur lebih banyak (15,4%) dibanding dengan laki-laki (7,7%). Sayur wajib dikonsumsi oleh semua kalangan, termasuk remaja. Akibat remaja yang tidak suka mengkonsumsi sayur adalah kurangnya serat yang masuk ke dalam tubuh. Akibat lainnya adalah tidak terserapnya kolesterol dan remaja akan lebih cepat lapar karena kehilangan fungsi serat yang mengenyangkan lebih lama.
Tidak suka sayur
suka sayur
Total
5
24
29
7.7%
36.9%
44.6%
10
26
36
15.4%
40.0%
55.4%
15
50
65
23.1%
76.9%
100.0%
Selain itu, jangka panjang ke depan remaja putri akan menjadi seorang ibu yang mengatur semua yang dikonsumsi olah anggota keluarga lain. Apabila ibu tidak suka sayur, ditakutkan akan ditiru oleh anak-anaknya dan hal ini menjadi sebuah “siklus tidak suka sayur”. Akan tetapi secara keseluruhan, sebagian besar remaja (76,9%) menyukai konsumsi sayur walaupun ada yang sama sekali tidak mengkonsumsi serat dalam menu hariannya.
Tabel 7. Tabulasi silang antara kecukupan konsumsi serat dengan status gizi Kategori status gizi Normal
Under weight
Over weight
Total
kategori sumber serat kurang harian cukup
21
27
7
55
6
3
1
10
Total
27
30
8
65
p
=
0,43 Rendahnya asupan serat makanan seseorang dipengaruhi oleh tingkat
pengetahuan seseorang tentang “serat makanan dan kesehatan”, ini terutama pada 281
Vilda Ana Veria Setyawati dan Eti Rimawati/ Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
anak, pengetahuan orang tua sangat berpengaruh terhadap konsumsi serat, karena anak cenderung mengikuti pola makan orang tua. Kebiasaan makan sayur dan buah pada orang tua akan diikuti oleh anaknya sehingga pada anak yang yang orang tuanya mengkonsumsi sayur dan buah asupan zat gizi mikro akan terpenuhi dan asupan lemak berkurang. Konsumsi sayuran dan buahbuahan responden dalam penelitian ini dilihat berdasarkan asupan serat. Tubuh membutuhkan serat. Dalam saluran pencernaan, serat larut mengikat asam empedu (produk akhir kolesterol) dan kemudian dikeluarkan bersama tinja dengan demikian makin tinggi konsumsi serat larut (tidak dicerna, namun dikeluarkan bersama feses), akan semakin banyak asam empedu dan lemak yang dikeluarkan oleh tubuh. Dalam hal ini serat membantu mengurangi kadar kolesterol dalam darah. Serat larut air menurunkan kadar kolesterol darah hingga 5% atau lebih. Serat larut terdapat dalam buah-buahan, sayuran, biji-bijian (gandum), dan kacang-kacangan. Pektin (serat larut air dari buah) dapat menurunkan kadar kolesterol LDL (French, 2000; Saputra, 2012). Banyak studi menyebutkan bahwa pentingnya konsumsi sayur dan buah terhadap berbagai penyakit kronis. Konsumsi sayur dan buah dapat mengurangi risiko sindrom metabolik melalui kombinasi dari antioksidan, serat, potassium, magnesium dan photochemical lainnya. Konsumsi sayur dan buah dihubungkan dengan penurunan risiko penyakit jantung koroner. Konsumsi sayur dan buah menurunkan risiko penyakit jantung melalui penurunan konsentrasi CRP yang merupakan marker inflamasi. Dalam penelitian ini pula ditunjukkan bahwa konsumsi dari DASH (Dietary Approaches to Stop Hipertension) diet antara lain diet kaya sayur dan buah, memiliki efek yang menguntungkan pada kejadian sindrom
metabolik. Lipoeto et al menunjukkan bahwa Mediterranien diet yang kaya buah dan sayur, menurunkan marker inflamasi dan disfungsi endotel. Konsumsi ≥ 5 porsi sayur dan buah sehari direkomendasikan untuk mengurangi risiko penyakit kronis (Kemenkes RI, 2014). Gizi lebih adalah istilah yang digunakan untuk kelebihan berat badan (BB). Kelebihan BB adalah keadaan dimana BB seseorang melebihi BB normal atau seharusnya. Kegemukan (obesitas) adalah kelebihan lemak tubuh. Obesitas terjadi karena ketidakseimbangan antara asupan dan pengeluaran energi (French, 2001). Menurut Mitchel (2003), berat badan seseorang mencerminkan keseimbangan jangka panjang antara energi intake dan energi output. Energi intake dipengaruhi oleh banyak faktor. Pilihan makanan dapat memberikan dampak secara keseluruhan pada energi intake. Peningkatan kemakmuran di Indonesia juga diikuti oleh perubahan gaya hidup dan kebiasaan makan. Pola makan, terutama di kota besar, bergeser dari pola makan tradisional ke pola makan barat (terutama dalam bentuk fast food) yang sering mutu gizinya tidak seimbang. Pola makan tersebut merupakan jenis-jenis makanan yang bermanfaat, akan tetapi secara potensial mudah menyebabkan kelebihan masukan kalori. Berbagai makanan yang tergolong fast food tersebut adalah kentang goreng, ayam goreng, hamburger, soft drink, pizza, hotdog, donat, dan lain-lain (Padmiari, 2002; Paeratakul, 2003). Hubungan antara konsumsi fast food dan konsumsi serat terhadap status gizi
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden sering mengkonsumsi fast food (95,4%) dan kurang mengkonsumsi serat (84,6%). Responden yang memiliki status gizi normal sebanyak 41,5%. Responden yang mengalami malnutrisi
282
Vilda Ana Veria Setyawati dan Eti Rimawati/ Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
sebanyak 58,5% yang terdiri atas underweight sebanyak 46,2%, overweight sebanyak 4,6%, obesitas I sebanyak 4,6%, dan obesitas II sebanyak 3,2% Hasil uji menunjukkan bahwa konsumsi fast food (p=0,21) dan serat (p=0,43) tidak berhubungan dengan status gizi. Hal serupa juga terjadi pada hasil penelitian Haines (2007) dan Al-Rethaiaa (2010). Jenis fast food yang dipilih belum dapat dijadikan ukuran mempengaruhi kebiasaan yang dapat mengubah keadaan gizi remaja (Adriani, 2012). Ada banyak faktor yang mempengaruhi status gizi remaja, di antaranya adalah profil intake nutrisi, jenis makanan, aktivitas fisik, kesukaan, malabsorbsi, alergi, intoleransi zat makanan tertentu, tingkat stress/depresi, penyakit kronis yang diderita, proses metabolisme, keturunan, keseimbangan hormon, tingkat ekonomi, tingkat pengetahuan, dan pengaruh lingkungan sekitar berupa pengaruh teman dan jenis tempat penjualan makanan (Coplan et al., 2000; French, 2000; French, 2001; He and Karlberg, 2001; Paeratakul, 2003; Haines, 2007; Fatmah dan Achadi, 2015). Faktorfaktor tersebut dapat memberikan pengaruh sehingga responden yang mayoritas sering mengkonsumsi fast food dan kurang mengkonsumsi serat justru mayoritas memiliki status gizi normal dan underweight. Fenomena yang perlu diwaspadai adalah pola konsumsi makan remaja yang perlu mendapat perhatian. Sebanyak 58,5% reponden memiliki status malnutrisi yaitu underweight, overweight, obesitas I, dan obesitas II. Status malnutrisi di masa tumbuh-kembang dan remaja dapat berpengaruh terhadap kualitas kesehatan di masa yang akan datang (Coplan, 2000; He and Karlberg, 2001; Fatmah and Achadi, 2015; Hakim, 2012)
Sebagian besar responden mengalami malnutrisi (58,5%) yang terdiri dari underweight, overweight, obesitas I, dan obesitas II. Sedangkan responden dengan status gizi normal sebanyak 41,5%. Dapat dikatakan bahwa remaja bermasalah dengan status gizi. Sebagian besar responden sering mengkonsumsi fast food (95,4%) dan kurang mengkonsumsi serat (84,6%). Hasil uji menunjukkan bahwa konsumsi fast food (p=0,21) dan serat (p=0,43) tidak berhubungan dengan overweight. DAFTAR PUSTAKA Adriani, M., & Wirjatmadi, B. (2012). Peranan gizi dalam siklus kehidupan, edisi 1. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Aini, SN., 2013. Faktor risiko yang berhubungan dengan gizi lebih. Unnes Journal of Public Health (UJPH). 2 (1): 1-8. Alfawaz, Hanan A. 2012. The Relationship Between Fast Food Consumption and BMI among University Female Students. Pakistan Journal of Nutrition 11 (5): 406-410 Al-Rethaiaa, A., A.E. Fahmy and N.M. Al-Shwaiyat. 2010. Obesity and eating habits among college students in Saudi Arabia: A cross sectional study. Nutr. J., 9: 39. Coplan, J.D., Wolk, S.I., Goetz, R.R., Ryan, N.D., Dahl, R.E., Mann, J.J., et al. 2000. Nocturnal growth hormone secretion studies in adolescents with or without major depression re-examined: integration of adult clinical follow-up data. Biol Psychiatry. 47(7): 594-604 Fatmah and Achadi, E.A. 2015. Baseline survey on nutritional and health status of underfive children at poor communities in DKI Jakarta, Tangerang, and Bogor. MAKARA Kesehatan. 9 (2): 41-48. French, S.A., Harnack, L., and Jeffery, R.W. 2000. Fast food restaurant use among women in the pound of prevention study: Dietary, behavioral and demographic correlates. Obes. Relat. Metab. Disord., 24: 13531359.
SIMPULAN
283
Vilda Ana Veria Setyawati dan Eti Rimawati/ Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016) Mahdiah. 2004. Prevalensi obesitas dan hubungan konsumsi Fast food dengan kejadian obesitas pada remaja SLTP Kota dan Desa di Daerah Istimewa Yogyakarta. http://etd.ugm.ac.id/index.php? Yogyakarta.mod=penelitian_detail&sub=Peneliti an Detail&act=view&typ=html&buku_id = 24492&obyek_id=4.
French, S.A., Neumark-Sztainer, D., Story, M., Fulkerson, J.A., and Hannan, P. 2001. Fast food restaurant use among adolescents: Associations with nutrient intake, food choices and behavioral and psychosocial variables. Int. J. Obes. Relat. Metab. Disord. 25: 1823-1833. Hadi, Hamam. 2005. ”Beban Ganda Masalah Gizi dan Implikasinya Terhadap Kebijakan Pembangunan Kesehatan Nasional”, dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Mitchel, Marry Kay. 2003. Nutrition Across the Life Span. Philadelphia: Elsevier Saunders. Nurjanah, Nunung. 1998. “Upaya Peningkatan Kesehatan Balita Melalui Pengelolaan Gizi Keluarga”. Bina Diknakes.
Haines, J., Neumark-Sztainer, D., Wall, M. and Story, M. 2007. Personal behavioral and environmental risk and protective factors for adolescent overweight. Obesity (Silver Spring). 15: 2748-2760.
Padmiari. 2002. Prevalensi Obesitas dan Konsumsi Fast Food Sebagai Faktor Resiko Obesitas Pada Anak SD di Kota Denpasar. Jogjakarta. (Online) (http://www.wpp.org/frm _makalah.php&act=edit&id=200, diakses 10 Juni 2009).
Hakim, N.H.Abdull., Muniandy, N.D., and Danish, Ajau. 2012. Nutritional status and eating practices among university students in selected universities in Selangor, Malaysia. Asian Journal of Clinical Nutrition. 4 (3): 77-87.
Paeratakul, S., D.P. Ferdinand, C.M. Champagne, D.H. Ryan and G.A. Bray, 2003. Fast food consumption among U.S adult and children: Dietary and nutrient intake profile. J. Am. Diet. Assoc. 103: 1332-1338
He, Q. and Karlberg, J. 2001. BMI in childhood and its association with height gain, timing of puberty, and final height. Pediatr Res. 49 (2): 244-251.
Saputra, Wiko., Nurrizka, Rahmah Hida. 2012. Faktor Demografi dan Risiko Gizi Buruk Dan Gizi Kurang. MAKARA Kesehatan. 16 (2): 95-101.
Kalkan, I., Türkmen, A., S., & Filiz, E. 2015. Dietary habits of Turkish adolescents in Konya, Turkey. Global Journal on Advances in Pure & Applied Sciences. [Online]. 07: 190-196. Available from: http://www.world-educationcenter.org/index.php/paas.
Semiloka Pra Widya Karya Pangan dan Gizi. 1997. Penanggulangan Masalah Gizi Lebih, Obesitas dan Penyakit Degeneratif. Fakultas Kedokteran, Surabaya.
Kemenkes RI, 2014. Pedoman Gizi Seimbang 2014. Diakses melalui http://gizi.depkes.go.id/pgs-2014-2.
Setyaningsih, Dewi Utami. 2001. “Perbedaan Frekuensi Makan fast food Siswa Kelas I di SMU N 1Semarang dan SMU N 7 Semarang Ditinjau dari Pengetahuan Gizi dan Uang Saku”. Karya Tulis Ilmiah. Akademi Gizi, Depkes RI Semarang.
Khomsan, A., 2003. Pola Makan Kaum Remaja, Pangan, dan Gizi untuk Kesehatan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Thasim, S., et al, 2013. Pengaruh edukasi terhadap perubahan pengetahuan dan asupan zat gizi pada anak gizi lebih di SDN Sudirman I Makkasar Tahun 2013. Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Hasanuddin Makassar.
King, DE., Mainous, AG., Egan, BM., Woolson, RF., Geesey, ME. 2005. Fiber and C Reactive Protein in Diabetes, Hypertension, and Obesity. Diabetes Care. 28 (6).
284
UJPH 5 (3) (2016)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
SERVISITIS PADA WANITA DI LINGKUNGAN KELUARGA PEGAWAI NEGERI SIPIL PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT Abrori1, Andri Dwi Hernawan2, dan Sri Inayati1 1
Peminatan Kesehatan Reproduksi, Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pontianak, Indonesia 2 Peminatan Epidemiologi, Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pontianak, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima 30 Juni 2016 Disetujui 22 Juli 2016 Dipublikasikan Juli 2016
Kejadian servisitis belum mempunyai angka pasti yang menjelaskannya. Ada risiko tinggi bagi wanita terkena penyakit servisitis karena mereka tidak mengetahui faktor-faktor penyebabnya. Secara teoritis, penyakit servisitis disebabkan: kebersihan organ reproduksi, beberapa jenis kuman, robekan serviks, aktivitas seksual, dan vagina douching. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya servisitis pada wanita di lingkungan keluarga PNS Pemprov Kalbar. Jenis penelitian ini adalah observasionalanalitik menggunakan metod ecross sectional. Dari penelitian ini diperoleh hasil: (1) terdapat hubungan yang signifikan antara vagina douching dengan servisitis, nilai p = 0,000; (2) terdapat hubungan signifikan antara kebersihan organ reproduksidengan servisitis, nilai nilai p = 0,000; (3) terdapat hubungan yang signifikan antara kebersihan pakaian dalam dengan servisitis, nilai nilai p = 0,000; (4) terdapat hubungan signifikan antara paritasdengan servisitis, nilai nilai p = 0,000; (5) terdapat hubungan signifikan antara frekuensi hubungan seks dengan servisitis, nilai nilai p = 0,000.
________________ Keywords: Cervicitis; Vagina; Cleanliness; Cervix, Woman; Sexual. ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ The incidence of cervicitis have not the exact figure to explained. There is a high risk for women affected by the servisitis of disease because they do not know the factors. Theoretically, servisitis of disease caused: the cleanliness of the vulva hygien, some kinds of bacteria, cervical laceration, sexual activity, and vaginal douching. The purpose of this study was to determine the factors associated with cervicitis in women’s family environment the Civil Service of West Kalimantan Government.This is a method of observational analytic study using cross sectional. The results of this results are: there is a significant correlation between (1) vaginal douching and cervicitis (p = 0,000); (2) the cleanliness of the reproductive organs and cervicitis, (p = 0,000); (3) the cleanliness of clothing and cervicitis, (p = 0,000); (4) parity and the occurrence of cervicitis, (p = 0,000); (5) frequency of sexual intercourse and cervicitis, (p = 0,000).
© 2016 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pontianak JL. Jenderal Ahmad Yani No.111 Pontianak 78124 E-mail:
[email protected]
ISSN 2252-6781
263
Abrori, Hernawan, & Inayati / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
PENDAHULUAN
Pembangunan kesehatan masyarakat merupakan salah satu prioritas penting bagi Pemerintah Indonesia. Program yang selalu mendapat perhatian hingga saat ini adalah penanganan Infeksi Menular Seksual (IMS) di lingkungan keluarga. Secara lebih spesifik, masalah IMS yang sering tidak disadari oleh penderitanya adalah servisitis. Salah satu masalah ginekologi yang paling umum adalah servisitis kronis (Akmal, 2013) Servisitis pada wanita memiliki banyak fitur yang sama dengan uretritis pada pria dan banyak kasus disebabkan oleh IMS. Gangguan ini mempengaruhi sekitar 60% perempuan karena infeksi bakteri seperti gonore atau infeksi pra dan pascapersalinan. Menurut Duenhoelter (2010), “servisitis adalah suatu proses peradangan yang melibatkan epitel serviks. Ketika terjadi radang dari selaput lendir saluran servikal. Singkatnya, servisitis adalah peradangan dari serviks uterus. Tidak ada data spesifik yang lengkap terkait servisitis di tingkat nasional. Kalimantan Barat (Kalbar) maupun Kota Pontianak. Namun, data IMS di Kalbar tahun 2012 menunjukkan penderita IMS selain Human Immunodeficiency Virus infection (HIV) Acquired Immuno Deficiency dan Syndrome(AIDS) tercatat 6.419 kasus baru. Data tersebut sesungguhnya lebih kecil dari data sebenarnya. Bahkan data tahun 2013 hanya tersedia 4 dari daerah saja, yaitu Kabupaten Pontianak, Kabupaten Sanggau, Kota Singkawang dan Kota Pontianak. Data tersebut menunjukkan jumlah penderita IMS yang diobati sebanyak 6.103 kasus. Dari jumlah penderita IMS tersebut, sebanyak 983 orang (16,11 persen) diantaranya menderita servisitis. Kota Pontianak, jumlah penderita IMS yang diobati sebanyak 3.555 kasus. Dari jumlah penderita IMS tersebut, sebanyak 707 orang (19,89 persen) diantaranya menderita
servisitis. Salah satu sumber data IMS Kota Pontianak tersebut adalah dari Poliklinik Pemerintah Provinsi Kalbar. Hasil observasi selama pre-survey 3 bulan pertama pada tahun 2014 di Poliklinik Pemerintah Provinsi Kalbar ada 83 orang wanita keluarga PNS yang melakukan pemeriksaan IVA. Ternyata 25 orang atau 30,12% menderita servisitis (Dinkesprov Kalbar, 2014). Angka sesungguhnya dari data tersebut pasti lebih besar lagi, karena banyak orang malu untuk memeriksakan diri terkait masalah servisitis. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya servisitis. Dyan (2012), mengungkapkan servisitis disebabkan oleh trikomas vaginalis, kuman-kuman seperti kandrada dan mikoplasma atau mikroorganisme aerob dan anaerob endogen vagina seperti streptococcus, entamoeba coli, dan stapilococus”. Kuman-kuman ini menyebabkan deskuamasi pada epitel gepeng dan perubahan inflamasi komik dalam jaringan serviks yang mengalami trauma (Mallesappha, 2011). Menurut Christiana (2012), faktor lain yang terkait servisitis adalah kebersihan organ kewanitaan atau vulva higiene. Higiene adalah salah satu kegiatan dari tindakan personal higiene. Personal higiene atau kebersihan perseorangan adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan diri seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikisnya. Penelitian Nur Azizah (2011), di Poli Kandungan RSUD Kelas B Dr R Sosodoro Djatikoesoemo menunjukkan bahwa “servisitis disebabkan oleh praktek douching vagina”. Dampak servisitis antara lain; menyebabkan pendarahan saat melakukan hubungan seksual. Dalam penelitian ini, penulis meneliti tentangfaktor yang diduga berhubungan dengan terjadinya servisitis. Faktor-faktor tersebut adalah: (1) faktor vagina douching yang 264
Abrori, Hernawan, & Inayati / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
meliputi intensitas vagina douching yang dilakukan; (2) faktor paritas; (3) faktor aktivitas seksual yang meliputi variabel frekuensi berhubungan seks; (4) faktor kebersihan organ reproduksi; dan (5) faktor kebersihan pakaian dalam.
Tabulasi dan Chi-Square agar dapat diketahui apakah ada hubungan antara satu variabel dengan variabel lain. Analisis bivariat menggunakan uji Chi Square (X²) dengan α = 0,05 dan 95% Confidence Interval (CI). HASIL DAN PEMBAHASAN
METODE
Penelitian ini berlokasi di Poliklinik Pemerintah Provinsi Kalbar yang memiliki wilayah kerja seluruh wilayah Provinsi Kalbar. Letak kantornya di kompleks Kantor Gubernur Kalbar, Jalan Ahmad Yani Pontianak. Sesuai dengan Peraturan Gubernur Nomor 10 Tahun 2009, program pelayanan kesehatan yang diemban oleh Poliklinik Pemerintah Provinsi Kalbar sasarannya hanya PNS dan keluarganya di lingkungan Pemerintah Provinsi Kalbar. Pelayanan kesehatan kerja melayani PNS dan keluarga di lingkungan Pemerintah Provinsi Kalbar di Kantor UPT Poliklinik. Pelayanan yang ada di Seksi Kesehatan Kerja terbagi menjadi: (1) Poli Umum; (2) Poli Gigi; (3) Poli Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dan Keluarga Berencana (KB). Proses penelitian ini mengambil sampel aksidensial dengan mengambil secara acak pasien yang ingin mendapatkan pelayanan dari Poliklinik Pemprov Kalbar khusus pemeriksaan IVA. Selama proses penelitian, terdapat 75 pasien yang datang meminta pelayanan IVA. Namun yang memenuhi kriteria inklusi hanya 72 orang, sisanya sebanyak 3 orang ternyata tidak pernah melahirkan normal. Pengambilan sampel responden dihentikan ketika jumlah pasien yang bersedia menjadi responden dan memenuhi kriteria inklusi maupun eksklusi sudah mencapai 68 orang. Selama penelitian berlangsung, ada 4 orang pasien yang tidak memenuhi kriteria eksklusi karena sedang menstruasi.
Desain penelitian yang digunakan adalah observasion alanalitik. Studi analitik observasional dengan menggunakan metode cross sectional, yaitu melakukan survei terhadap obyek penelitian untuk kemudian dianalisa dengan membuat tabulasi silang antara variabel bebas dengan variabel terikat, yaitu terjadinya servisitis pada wanita keluarga PNS di lingkungan Pemerintah Provinsi Kalbar. Lokasi penelitian ini dilakukan di Poliklinik Pemerintah Provinsi Kalbar. Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh wanita keluarga PNS Pemerintah Provinsi Kalbar yang memiliki Kartu Berobat, sudah menikah dan dating memeriksakan diri ke Poli KIA Poliklinik Pemerintah Provinsi Kalbar selama kurun waktu penelitian, yaitu sebanyak 230 orang wanita.Dengan menggunakan rumus Lemeshow, diperoleh sampel sebanyak 68 orang. Untuk mendapatkan responden sesuai dengan jumlah sampel yang telah ditetapkan, maka penulis melakukannya dengan cara Sampling Insidential, yaitu teknik penentuan sampel secara kebetulan, atau siapa saja pasien yang kebetulan (insidential) datang untuk melakukan pemeriksaan IVA di Poliklinik Pemprov Kalbar selama kurun waktu penelitian. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah observasi dan penyebaran kuesioner. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dansekunder. Teknisanalisis data menggunakan analisis univariat dan bivariate dengan Cross 265
Abrori, Hernawan, & Inayati / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
266
Abrori, Hernawan, & Inayati / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
Tabel 1. Karakteristik Responden Menurut Umur, pendidikan dan status kepegawaian Usia <45 tahun ≥ 45 tahun Pendidikan SLTA DIPLOMA S1 S2 Kepegawaian Istri PNS PNS
Frekuensi 26 42 Frekuensi 24 14 22 8 Frekuensi 13 55
Persentase 32,4 67,6 Persentase 35,3 20,6 32,4 11,8 Persentase 19,1 80,9
Sumber: Pengolahan Data Primer, 2014 Umur responden sebagian di atas 45 orang (67,6%) dan persentase terkecil adalah Kurang dari 45 (32,4%). Karakteristik responden menurut perndidikan S2 8 (11,8 persen). Sementara responden terbesar adalah SLTA sebanyak 24 (35,3%), Jumlah responden dengan tingkat pendidikan terakhir S1 22
(32,35%). Sisanya berpendidikan Diploma 14 (20,6%). Dilihat dari aspek status kepegawaian responden, sebagian besar responden merupakan PNS Pemprov Kalbar, yaitu sebanyak 55 orang (80,9%), Sedangkan sisanya 13 (19,1 persen) merupakan istri dari PNS Pemprov Kalbar.
Tabel 2. Terjadinya Servisitis pada Responden Penelitian Servisitis Negatif
Frekuensi 34
Persentase 50,0
Positif
34
50,0
Kuman Diplococcus + Kandrada + PMN
Frekuensi 10
Persentase 14,7
Kandrada + PMN
25
36,8
PMN
33
48,5
Vagina douching Menggunakan ≥3 kali/minggu
Frekuensi 35
Persentase 51,5
Menggungkan <3 kali/minggu
33
48,5
Kebersihan organ reproduksi Bersih
Frekuensi 35
Persentase 51,5
Kurang bersih
33
48,5
Kebersihan celana dalam Bersih
Frekuensi 33
Persentase 48,5
Kurang bersih
35
51,5
Paritas Rendah (<3 anak)
Frekuensi 48
Persentase 70,6
Tinggi (≥3 anak)
20
29,4
Frekuensi hub sex Normal (<3 kali/minggu)
Frekuensi 36
Persentase 52,9
Tinggi (≥3 kali/minggu)
32
47,1
267
Abrori, Hernawan, & Inayati / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
Sumber: Pengolahan Data Primer, 2014 Dari 68 responden yang diteliti kondisinya, ternyata sebanyak 34 (50,00%) tidak mengalami servisitis atau disebut negatif servisitis. Sedangkan sisanya juga sebanyak 34 (50,00%) mengalami masalah servisitis atau positif terkena penyakit servisitis. Jika ditelusuri lebih lanjut, dari 34 responden yang tidak terkena servisitis tersebut, sebanyak 20 orang di antaranya berusia 45 tahun ke bawah atau relatif muda. Sedangkan dari 34 responden yang positif terkena servisitis, sebagian besar (26 orang) dilakukan oleh wanita yang berusia relatif muda (45 tahun ke bawah). Pada umumnya keberadaan kuman pada serviks responden menunjukkan bahwa selalu ada kuman poly morfo nuclear. Namun keberadaan kuman tersebut secara tunggal hanya ada pada 33 orang responden (48,53%), baik yang terkena servisitis maupun yang tidak. Ada 25 (36,8%) yang diperiksa keberadaan kuman pada serviksnya di Laboratorium Puskesmas Alianyang Pontianak menunjukkan terdapat dua jenis kuman sekaligus yaitu kandradadanpoly morfo nuclear. Sisanya sebanyak 10 (14,7 persen) memiliki tiga jenis kuman sekaligus, yaitu diplococcus, kandrada dan poly morfo nuclear. Apabila dipilah satu persatu, maka semua responden (100%) memiliki kuman poly morfo nuclear pada serviksnya. Ada 35 orang responden (51,57%) yang diperiksa keberadaan kuman pada serviksnya menunjukkan positif ada kumankandrada.Hanya 10 (14,71 persen) yang diperiksa keberadaan kuman pada serviksnya menunjukkan positif ada kuman diplococcus. Dari hasil wawancara terlihat bahwa sebanyak 35 (51,47%) melakukan vagina douching menggunakan bahan kimia yang beredar di pasaran sebanyak 3 kali atau lebih dalam seminggu. Sedangkan sisanya sebanyak
33 (48,53%) melakukan vagina douching menggunakan bahan kimia yang beredar di pasaran kurang dari 3 kali seminggu sesuai dengan aturan pemakaian atau bahkan ada yang jarang melakukan vagina douching. Jika ditelusuri lebih lanjut, dari 35 responden yang melakukanvagina douching secara berlebihan itu, sebanyak 21 di antaranya berusia 45 tahun ke bawah atau relatif muda. Sedangkan dari 33 responden yang melakukan vagina douching secara normal, sebagian besar (25 orang) juga dilakukan oleh wanita yang berusia 45 tahun ke bawah atau relatif muda. Dari hasil pemeriksaan terhadap organ reproduksi responden yang meliputi kebersihan labia mayora, kebersihan labia minora, kebersihan klitoris dan kebersihan serviksterlihat bahwa jumlah responden yang organ reproduksinya bersih dan yang organ reproduksinya tidak bersih ternyata tidak sama banyaknya, yaitu masing-masing 35 (51,5%) bersih dan 33 orang (48,5%) kurang bersih. Variabel kebersihan pakaian dalam responden dilihat dari bau celana dalam, noda pada celana dalam, dan kelembaban celana dalam. Dari hasil pengamatan yang penulis lakukan kepada setiap responden terlihat bahwa sebanyak 35 (51,47%) responden kurang bersih pakaian dalamnya. Sedangkan sisanya sebanyak 33 (48,53%) pakaian dalamnya tergolong kategori bersih. Dari hasil wawancara dengan setiap responden terlihat bahwa sebagian besar responden atau sebanyak 48 (70,59%) tergolong memiliki paritas rendah karena melahirkan anak selamat secara normal kurang dari 3 anak. Sedangkan sisanya sebanyak 20 (29,41%) memiliki paritas relatif tinggi atau lebih dari dua orang. Dari hasil wawancara terlihat bahwa lebih banyak responden yang frekuensi hubungan hubungan seksnya normal, yaitu 268
Abrori, Hernawan, & Inayati / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
kurang dari 3 kali dalam seminggu. Responden dengan frekuensi hubungan hubungan seksnya relatif normal ini sebanyak 36 (52,94%). Sedangkan sisanya sebanyak 32 (47,06%) melakukan hubungan seks dengan frekuensi relatif tinggi, yaitu mereka yang melakukan hubungan seks dari 3 kali atau lebih dalam seminggu. Jika ditelusuri lebih lanjut, dari 36 responden yang frekuensi hubungan seksnya normal, ternyata hanya 11 orang yang melakukan hubungan seks sekali dalam seminggu. Sedangkan sisanya 25 orang responden melakukan hubungan seks dua kali dalam seminggu. Dari kelompok responden yang frekuensi hubungan seksnya relatif tinggi, ternyata hanya 10 orang yang melakukan hubungan seks di atas 3 kali dalam seminggu. Sedangkan sisanya 22 orang responden melakukan hubungan seks tiga kali dalam seminggu. Dari 32 responden yang frekuensi hubungan seksnya tinggi itu, sebanyak 25 orang di antaranya berusia 45 tahun ke bawah atau relatif muda. Salah satu karakteristik responden yang cukup menarik untuk dikaitkan dengan terjadinya servisitis adalah usia responden. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden yang usianya tua (45 tahun atau lebih), lebih banyak yang tidak menderita servisitis yaitu 14 orang (20,6%), sedangkan responden usia muda (di bawah 45 tahun) lebih banyak terkena servisitis yaitu 26 orang (38,2%). Meskipun demikian perlu dukungan teori dan perhitungan statistik untuk membuktikan apakah umur responden berhubungan dengan terjadinya servisitis. Dengan melakukan analisa terhadap tingkat pendidikan terakhir responden danterjadinyaservisitis, dapat dilihat apakah
servisitis berhubungan dengan tingkat pendidikanatautidak. Data hasil perhitungan memperlihatkan inkonsistensi hubungan tingkat pendidikan dengan terjadinya servisitis. Pada level pendidikan S-2, ternyata lebih banyak yang tidak terkena servisitis dibandingkan dengan yang terkena servisitis (5:3 orang). Namun berbeda dengan responden dengan tingkat pendidikan S-1 yang lebih sedikit yang tidak terkena servisitis dibandingkan dengan yang terkena servisitis (9:13 orang). Responden yang pendidikannya Diploma, jumlah dan proporsi yang tidak terkena dan yang terkena servisitis masingmasing 7 orang. Sedangkan responden dengan tingkat pendidikan SLTA, mirip dengan yang berpendidikan S-2, ternyata lebih banyak yang tidak terkena servisitis dibandingkan dengan yang terkena servisitis (13:11 orang).Dengan demikian, bisa dipastikan bahwa terjadinya servisitis pada wanita keluarga PNS di lingkungan Pemprov Kalbar memang tidak ada hubungannya dengan tingkat pendidikan mereka. Karakteristik responden lainnya yang juga dapat dikaitkan dengan servisitis adalah status kepegawaian, dengan maksud dapat dilihat apakah PNS atau istri PNS yang cenderung terkena servisitis. Dari temuan hasil penelitian ini, terlihat bahwa ada kecenderungan bahwa PNS lebih banyak tidak terkena servisitis dibandingkan dengan yang terkena servisitis (28:27 orang). Sebaliknya, istri PNS justru lebih banyak terkena servisitis dibandingkan yang tidak terkena servisitis (7:6 orang). Meskipun demikian, masih tidak dapat dibuktikan bahwa istri PNS lebih rentan terkena servisitis dibandingkan dengan PNS itu sendiri.
Tabel 3. Hubungan Servisitis dengan Vagina Douching, Kebersihan Organ Reproduksi, Kebersihan Pakaian Dalam, Paritas dan Frekuensi Hubungan Seks 269
Abrori, Hernawan, & Inayati / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
Variabel Vagina douching ≥ 3 kali/minggu < 3 kali/minggu Kebersihan Organ Reproduksi Kurang Bersih Bersih Kebersihan Pakaian Dalam Kurang Bersih Bersih Paritas Tinggi Rendah Frekuensi Hubungan Seks Tinggi Normal
Servicities Positif ∑ %
Negatif ∑ %
29 5
82,9 15,2
6 28
33 1
100 2,9
33 1
TOTAL
P Value
PR (CI 95%)
∑
%
17,1 84,8
35 33
100
0 34
0,0 97,1
33 35
100
94,3 3,0
2 32
5,7 97,0
35 33
100
31,114 (4,508 – 214,74 )
0,000
17 17
85,0 35,4
3 31
15,0 64,6
20 48
100
2,400 (1,571 – 3,668)
0,000
27 7
84,4 19,4
5 29
15,6 80,6
32 36
100
5,469 ( 2,405 – 12,433) 35,000 (5,071 241,558)
4,339 (2,105 – 8,577)
–
0,000
0,000
0,000
Sumber : Data Primer Penelitian, 2014 Proporsi responden yang melakukan vagina douching menggunakan bahan kimia ≥ 3 kali/minggu cederung lebih banyak menderita servisitis (82,9%) dibandingkan responden yang melakukan vagina douching menggunakan bahan kimia kurang dari 3 kali/minggu. Responden yang melakukan vagina douching secara normal, namun masih terkena servisitis hanya 15,2%. Hasil analisis statistik dengan uji chisquare didapat nilai p = 0,000 yang lebih kecil dari nilai α 0,050 (tingkat kepercayaan 95%) yang berarti Ho ditolak dan Ha diterima, yang menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara vagina douching ≥ 3 kali/minggu dengan kejadian servisitis. Kejadian servisitis ditemukan 5,47 kali lebih besar pada wanita dengan vagina douching berlebih daripada wanita yang vagina douchingnya kurang dari 3 kali/minggu. Sebanyak 35 orang atau sekitar 51,47% vagina douching responden melakukan menggunakan bahan kimia yang beredar di
pasaran secara berlebihan. Sedangkan sisanya sebanyak 33 orang atau sekitar 48,53% vagina douchingmenggunakan melakukan bahan kimia yang beredar di pasaran secara normal sesuai dengan aturan pemakaian. Kondisi ini memang lumrah terjadi karena banyak wanita tertarik untuk melakukan vagina douching menggunakan bahan kimia sesuai dengan daya tarik iklan di berbagai media. Namun jumlah pengguna vagina douching yang ternyata melebihi 50,00% sesungguhnya bukan indikasi yang baik. Berdasarkan hasil analisis bivariat, ditangkap fakta yang menunjukkan bahwa vagina douching yang yang dilakukan ≥ 3 kali/minggu dapat menimbulkan terjadinya servisitis. Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil uji yang memperlihatkan nilai Chi Square Pearson sebesar 31,145 signifikan pada tingkat kepercayaan 95% (p = 0,000). Artinya, terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara faktor vagina douching dengan terjadinya
270
Abrori, Hernawan, & Inayati / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
servisitis pada wanita keluarga PNS di lingkungan Pemprov Kalbar. Temuan penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang lain dilakukan oleh Azizah yang memperlihatkan bahwa servisitis disebabkan juga oleh praktek douching vagina atau mencuci vagina dengan cairan pembersih yang banyak dijual di pasaran. Pendapat yang lain menyatakan bahwa servisitis dapat terjadi akibat penggunaan produk kebersihan kewanitaan atau pertumbuhan bakteri yang berlebihan. Terbuktinya hubungan antara vagina douching dengan servisitis membawa konsekwensi praktekvagina douching yang harus digalakkan adalah “back to nature”, yaitu melakukan vagina douching sebaiknya hanya menggunakan air bersih saja. Wanita tidak perlu termakan oleh rayuan iklan pembersih vagina yang banyak dipublikasikan di media massa. Dari beberapa pasien servisitis yang penulis tangani selama bekerja di Poliklinik Pemprov Kalbar, hampir semuanya berhasil sembuh dari servisitis setelah dilakukan pengobatan dan kembali hanya menggunakan air bersih saja untuk vagina doching. Untuk mengatasi masalah praktek vagina douching yang menggunakan bahan kimia, solusi yang dapat ditawarkan adalah melakukan sosialisasi yang lebih luas dan intensif tentang dampak vagina douching terhadap servisitis. Apabila dipandang perlu, kampanye dan penyuluhan diformat ulang agar wanita lebih baik menggunakan air bersih saja daripada menggunakan bahan kimia di pasaran untuk melakukan vagina douching. Dari 35 orang responden yang organ reproduksinya tergolong bersih, 34 orang tidak terkena servisitis. Sedangkan 33 orang lainnya yang organ reproduksinya tergolong kurang bersih, ternyata semuanya terkena servisitis. Hasil analisis statistik dengan uji chisquare didapat nilai p = 0,000 yang lebih kecil dari nilai α 0,050 (tingkat kepercayaan 95%)
yang berarti Ho ditolak dan Ha diterima, yang menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara kebersihan organ reproduksi dengan kejadian servisitis. Kejadian servisitis ditemukan 35 kali lebih besar pada wanita dengan organ reproduksi kurang bersih daripada wanita yang organ reproduksinya bersih. Hasil analisis bivariatmenunjukkan bahwa kebersihan organ reproduksimemang berhubungan dengan terjadinya servisitis. Hal ini diperkuat dengan hasil uji yang memperlihatkan nilai Chi Square Pearson sebesar 64,114 signifikan pada tingkat kepercayaan 95% (p = 0,000). Artinya, terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara faktor kebersihan organ reproduksidengan terjadinya servisitis pada wanita keluarga PNS di lingkungan Pemprov Kalbar. Dibandingkan dengan variabel bebas lainnya dalam penelitian ini, hubungan kebersihan organ reproduksi dengan terjadinya servisitis adalah yang paling erat. Secara teoritis, (Christiana, dkk, 2012) sudah menegaskan bahwa faktor lain yang terkait servisitis adalah kebersihan organ kewanitaan atau vulva higiene. Vulva Higiene adalah salah satu kegiatan dari tindakan personal higiene. Pada wanita terdapat hubungan dari dunia luar dengan rongga peritoneum melalui vulva, vagina, uterus dan tubafalopii dan masing-masing alat traktus genetalis memiliki risiko untuk terkena infeksi. Infeksi saluran reproduksi seperti servisitis menurut (Widyastuti dkk, 2009) dapat terjadi sebagai akibat dari kurangnya kebersihan alat kelamin. Dengan terbuktinya hubungan antara kebersihan organ reproduksidengan servisitis membawa konsekwensi pentingnya menyadarkan wanita tentang vulva higiene. Karena masalah vulva higiene ini ada hubungannya dengan pengetahuan, kesadaran, sikap dan perilaku, maka solusi praktis yang 271
Abrori, Hernawan, & Inayati / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
dapat direkomendasikan adalah melakukan lebih banyak penyuluhan dan sosialisasi dengan muatan materi mengenai Pola Hidup Bersih dan Sehat, khususnya untuk organ reproduksi wanita. Berdasarkan hasil rekapitulasi dan perhitungan yang dilakukan, terlihat bahwa sebanyak 35 responden kurang bersih pakaian dalamnya. Dari 35 orang yang pakaian dalamnya kurang bersih tersebut, hampir semuanya atau sebanyak 33 orang di antaranya positif terkena servisitis. Hanya dua orang yang kurang bersih pakaian dalamnya tetapi tidak terkena servisitis. Hasil analisis statistik dengan uji chisquare didapat nilai p = 0,000 yang lebih kecil dari nilai α 0,050 (tingkat kepercayaan 95%) yang berarti Ho ditolak dan Ha diterima, yang menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara kebersihan pakaian dalam dengan kejadian servisitis. Kejadian servisitis ditemukan 31,11 kali lebih besar pada wanita dengan pakaian dalamnya kurang bersih daripada wanita yang pakaian dalamnya bersih. Dari hasil pengamatan yang penulis lakukan kepada setiap responden terlihat bahwa sebanyak 35 orang atau sekitar 51,47% responden kurang bersih pakaian dalamnya. Sedangkan sisanya sebanyak 33 orang atau sekitar 48,53% pakaian dalamnya tergolong kategori bersih. Jumlah yang tergolong bersih ini seharusnya lebih banyak. Kasus yang paling banyak terlihat adalah kelembaban celana dalam. Masalah kelembaban celana dalam ini pada umumnya karena responden banyak yang tidak tuntas mengeringkan bulu pada bagian luar vaginanya. Hal ini memang patut disadari, karena tidak ada tiolet umum yang menyediakan tisu maupun handuk untuk mengeringkan alat kelamin setelah melakukan buang air besar atau buang air kecil. Di sisi lain, banyak wanita yang tidak mencukur bulu pada bagian luar vagina, sehingga menjadi
sumber kelembaban ketika tidak ada handuk maupun tisu untuk mengeringkan alat kelamin setelah melakukan buang air besar atau buang air kecil. Berdasarkan hasil analisis bivariat, menunjukkan bahwa kebersihan pakaian dalam yang kurang bersih dapat menimbulkan terjadinya servisitis. Hal ini diperkuat dengan hasil uji yang memperlihatkan nilai Chi Square Pearson sebesar 56,578 signifikan pada tingkat kepercayaan 95% (p = 0,000). Artinya, terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara faktor kebersihan pakaian dalam dengan terjadinya servisitis pada wanita keluarga PNS di lingkungan Pemprov Kalbar. Dibandingkan dengan faktor vagina douching, paritas maupun frekuensi hubungan seks, hubungan kebersihan pakaian dalam dengan terjadinya servisitis tergolong lebih erat. Secara teoritis, masalah kebersihan pakaian dalam ini terkait dengan kebersihan perseorangan dan ikut mempengaruhi terjadinya servisitis. Menurut (Christiana, 2012), personal higiene atau kebersihan perseorangan adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan diri seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikisnya. Kebersihan itu sendiri sangat dipengaruhi oleh nilai individu dan kebiasaan. Hal-hal yang berpengaruh itu di antaranya kebudayaan, sosial, keluarga, pendidikan, persepsi seseorang terhadap kesehatan serta tingkat perkembangan. Terbuktinya hubungan antara kebersihan pakaian dalamdengan servisitis membawa konsekwensi pentingnya menyadarkan wanita tentang kebersihan celana dalam untuk mengurangi risiko terjadinya servisitis. Kebersihan celana dalam dalam konteks ini terutama terkait dengan perlunya mengatasi masalah kelembaban celana dalam. Ada dua saran yang perlu dipertimbangkan sebagai alternatif solusi bagi 272
Abrori, Hernawan, & Inayati / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
wanita yang mengalami masalah kelembaban celana dalam. Pertama, sesuai dengan ajaran Rasulullah Muhammad SAW, setiap orang khususnya umat Islam disunnahkan mencukur bulu pada bagian luar alat kelaminnya. Kedua, seharusnya setiap tiolet umum yang menyediakan tisu maupun handuk untuk mengeringkan alat kelamin setelah melakukan buang air besar atau buang air kecil. Jika tidak, maka setiap pengguna tiolet umum harus membawa tisu untuk mengeringkan alat kelaminnya setelah buang air agar celana dalamnya tidak lembab. Berdasarkan hasil perhitungan, terlihat bahwa hanya 20 orang saja responden yang memiliki paritas tergolong tinggi atau lebih dari lebih dari dua kali. Dari 20 orang dengan paritas tinggi tersebut, sebagian besar atau sebanyak 17 orang di antaranya positif terkena servisitis. Hanya tiga orang yang tidak terkena servisitis. Berdasarkan hasil analisis univariat, terlihat bahwa sebagian besar responden atau sebanyak 48 orang (70,59%) tegolong memiliki paritas rendah karena melahirkan anak selamat secara normal kurang dari 3 anak. Sedangkan sisanya sebanyak 20 orang atau sekitar 29,41% memiliki paritas relatif tinggi atau lebih dari dua orang. Kondisi paritas ini besar kemungkinan karena berhasilnya program Keluarga Berencana di lingkungan PNS. Berdasarkan hasil analisis bivariat, terlihat bahwa paritasyang tinggi juga dapat menimbulkan terjadinya servisitis. Meskipun tidak sekuat hubungannya dengan faktor vagina douching, kebersihan organ reproduksi dan kebersihan pakaian dalam, faktor paritas ternyata juga memperlihatkan adanya hubungan yang positif dan signifikan antara faktor paritasdengan terjadinya servisitis pada wanita keluarga PNS di lingkungan Pemprov Kalbar. Nilai Chi Square Pearson antara paritas dengan servisitis hanya sebesar 13,883 namun
masih signifikan pada tingkat kepercayaan 95% (p = 0,000). Menurut teori, terjadinya servisitis dipermudah oleh adanya robekan serviks, ectropion terutama yang menimbulkan (Widyastuti, 2009). Menurut Fahmi sebagaimana dikutip oleh Katon8, servisitis kronika dijumpai pada sebagian wanita yang pernah melahirkan. Luka-luka kecil atau besar pada servik karena partus atau abortus memudahkan masuknya kuman-kuman endoserviks kedalam serta kelenjar-kelenjar infeksi menahun. Dengan terbuktinya hubungan antara paritas dengan servisitis membawa konsekwensi bahwa setiap pasangan lebih baik memiliki satu atau dua anak saja dari proses melahirkan normal. Sebab, semakin sering seorang wanita melahirkan normal, maka risiko terkena servisitis juga semakin tinggi. Beranjak dari uraian di atas, solusi yang diharapkan dapat ditempuh antara lain adalah merencanakan untuk hanya memiliki maksimal dua anak bagi wanita yang belum memiliki dua anak, dan tidak akan menambah anak bagi wanita yang sudah memiliki dua anak atau lebih. Dengan kata lain, mendukung Program Keluarga Berencana menjadi salah satu alternatif solusinya. Hasil analisis statistik dengan uji chisquare didapat nilai p = 0,000 yang lebih kecil dari nilai α 0,050 (tingkat kepercayaan 95%) yang berarti Ho ditolak dan Ha diterima, yang menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara paritas dengan kejadian servisitis. Kejadian servisitis ditemukan 2,4 kali lebih besar pada wanita dengan paritas tinggi daripada wanita yang paritasnya rendah. Dari 32 orang yang frekuensi hubungan seksnya tergolong tinggi, sebagian besar atau sebanyak 27 orang di antaranya positif terkena servisitis. Sedangkan sisanya 5 orang tidak terkena servisitis meskipun frekuensi hubungan seksnya tergolong tinggi. 273
Abrori, Hernawan, & Inayati / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
Hasil analisis statistik dengan uji chisquare didapat nilai p = 0,000 yang lebih kecil dari nilai α 0,050 (tingkatkepercayaan 95%) yang berarti Ho ditolakdan Ha diterima, yang menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara frekuensi hubungan seks dengan kejadian servisitis. Kejadian servisitis ditemukan 4,34 kali lebih besar pada wanita denganfrekuensi hubungan seks tinggi daripada wanita yang frekuensi hubungan seksnya normal. Berdasarkan hasil analisis bivariat, terlihat bahwa frekuensi hubungan seks yang berlebihan dapat menimbulkan terjadinya servisitis. Hasil uji antara frekuensi hubungan seksual dengan servisitis memperlihatkan nilai Chi Square Pearson sebesar 28,569 signifikan pada tingkat kepercayaan 95% (p = 0,000). Artinya, terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara faktor frekuensi hubungan seks dengan terjadinya servisitis pada wanita keluarga PNS di lingkungan Pemprov Kalbar. Secara teoritis, salah satu faktorr isiko servisitis adalah perilaku seksual (Rosdarni, 2015). Lebih lanjut dijelaskan bahwa penyebab servisitis dapat mencakup cedera pada serviks uterus karena masuknya benda asing ke dalam vagina, sepertiterjadinya reaksi alergi terhadap spermisida (Akmal, 2013) Dengan terbuktinya hubungan antara frekuensi hubungan seksdengan servisitis membawa konsekwensi perlunya setiap pasangan melakukan hubungan seks secara sehat sesuai dengan usia suami dan istri (Muantaen, 2015). Frekuensi hubungan seks sebaiknya tidak dilakukan secara berlebihan. Menurut Uyung dalam Priyo (2012), untuk wanita usia 40 tahun sebaiknya setiap 3 hari dan wanita usia 50 tahun setiap 5 hari. Ketika penelitian ini dilakukan, ada beberapa kasus menarik yang disampaikan oleh responden sebagai bagian dari proses konseling. Kasus pertama, ada wanita penderita servisitis yang menyatakan mengalami trauma
ketika akan melakukan hubungan seksual dengan suaminya, karena selalu merasakan sakit. Kasus kedua, ada wanita yang mengalami sedikit berdarah setiap kali melakukan hubungan seksual, namun tetap dilakukannya demi kepuasan sang suami. Kasus ketiga, ada pula pasien servisitis yang menolak berhubungan dengan suaminya, yang berakibat retaknya hubungan suami-istri. Kasus keempat, ada wanita yang menduga suaminya berselingkuh atau mencari wanita penjaja seks komersial karena sering ditolak istrinya untuk melakukan hubungan seksual ketika istrinya menderita servisitis yang cukup parah. Solusi yang diharapkan dapat ditempuh untuk mengurangi risiko terjadinya servisitis antara lain adalah dengan mengurangi frekuensi hubungan seks, terutama pada wanita yang sedang menderita servisitis. Keterbukaan komunikasi antar suami-istri seputar persoalan hubungan seks dan keluhan masalah-masalah seksual perlu dilakukan secara intensif. Satu hal yang tidak kalah pentingnya adalah suami harus lebih pengertian menghadapi istri yang menderita servisitis agar frekuensi hubungan seksnya tidak memperburuk masalah yang dihadapi. SIMPULAN
Terdapat hubungan yang positifdansignifikan antara faktor vagina douching dengan terjadinya servisitis pada wanita keluarga PNS di lingkungan Pemprov Kalbar, sesuai dengan hasil uji yang memperlihatkan nilai Chi Square Pearson sebesar 31,145 pada tingkat kepercayaan 95% (p = 0,000). Ada hubungan yang positif dan signifikan antara faktor kebersihan organ reproduksidengan terjadinya servisitis pada wanita keluarga PNS di lingkungan Pemprov Kalbar,sesuaidengan nilai Chi Square Pearson sebesar 64,114 pada tingkat kepercayaan 95% 274
Abrori, Hernawan, & Inayati / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
(p = 0,000). Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara faktor kebersihan pakaian dalam dengan terjadinya servisitis pada wanita keluarga PNS di lingkungan Pemprov Kalbar dengan nilai Chi Square Pearson sebesar 56,578 signifikan pada tingkat kepercayaan 95% (p = 0,000). Ada hubungan yang positif dan signifikan antara faktor paritasdengan terjadinya servisitis pada wanita keluarga PNS di lingkungan Pemprov Kalbar, sesuai dengan nilai Chi Square Pearson sebesar 13,883 dan masih signifikan pada tingkat kepercayaan 95% (p = 0,000). Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara faktor frekuensi hubungan seks dengan terjadinya servisitis pada wanita keluarga PNS di lingkungan Pemprov Kalbar, sesuai dengan nilai Chi Square Pearson sebesar 28,469 signifikan pada tingkat kepercayaan 95% (p = 0,000).
Duenhoelter, Johann H., 2010, Ginekologi Greenhill Edisi 12, EGC, Jakarta
DAFTAR PUSTAKA
Rosdarni & Dasuki, D., & Waluyo, S, D. (2015). Pengaruh Faktor Personal terhadap Perilaku Seks Pranikah pada Remaja. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 9 (3): 214-221.
Dyan,
Rizqi. 2012. “Servisitis” http://rizqidyan.wordpress.com/tag/servisitis/ (diunduh tanggal 19 Juni 2016 jam 16.37 WIB)
Malleshappa, K. (2011). Knowledge and attitude about reproductive health among Rural Adolescent Girl in Kuppam Mandal: An Intervention Study. Biomedical Research, 22(3): 305-310 Muntaen, N. et al. (2015). Addressing the Sexual and Reproductive Health Needs People in Ethiopia: An Analysis of the Current Situation. African Journal of Reproductive Health, 19 (3): 87-99 Nur Azizah, 2011, Skripsi: Hubungan Pemakaian Vaginal Douching Dengan Kejadian Servisitis Di Poli Kandungan RSUD Kelas B dr R Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro Tahun 2011, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, http://alumni.unair.ac.id/kumpulanfile/ 59113815561_abs.pdf (diunduh tanggal 2 Pebruari 2014 jam 21.01 WIB)
Akmal, Ramadhan. 2013. “Refrat Servisitis”. http://www.scribd.com/doc/130106538/refratservisitis (diunduh tanggal 19 Juni 2016 jam 16.32 WIB)
Priyo, 2012, Tesis Hubungan Pola Adaptasi Akibat Bencana Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Seksual pada Keluarga di Hunian Sementara Pasca Bencana Merapi Kabupaten Magelang, Fakultas Ilmu Keperawatan Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Kekhususan Keperawatan Komunitas Universitas Indonesia. Jakarta
Christiana, Ari. dkk. 2012. “Hubungan Antara Vulva Hygiene denganKejadianServisitis di DesaSambigedeKecamatanSumberPucungKabup aten Malang” http://www.scribd.com/doc/ 111995066/ Jurnal-Ari-ChristianaServisitis (diunduh tanggal 19 Juni 2016 jam 16.37 WIB)
Widyastuti, E. S. (2009). Personal dan Sosial yang Mempengaruhi Sikap Remaja terhadap Hubungan Seks Pranikah. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia, 75-85
Dinkesprov Kalbar. 2014. Profil Kesehatan Provinsi Kalbar Tahun 2012, Pontianak
275
UJPH 5 (3) (2016)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
KAJIAN STRATEGI PROMOSI KESEHATAN SANITASI TOTAL BERBASIS MASYARAKAT (STBM) KELURAHAN TIRTO KOTA PEKALONGAN Yulis Indriyani, Yuniarti, dan Rr. Vita Nur Latif Prodi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Pekalongan, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima 30 Juni 2016 Disetujui 5 Juli 2016 Dipublikasikan Juli 2016
Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) merupakan pendekatan untuk mengubah perilaku menjadi higienis dan saniter melalui pemberdayaan masyarakat dengan cara pemicuan. Fenomena yang terjadi di Kelurahan Tirto masih terdapat perilaku BABS sebanyak 84 KK, perilaku buang sampah secara sembarangan, dan mengalirkan limbah cair rumah tangga ke sungai. Penelitian ini mengkaji secara mendalam strategi promosi kesehatan STBM di Kelurahan Tirto. Metode yang digunakan adalah studi kasus dengan desain eksploratoris kualitatif. Pencapaian lima pilar STBM di Kelurahan Tirto belum maksimal yaitu pada pilar stop BABS dan pilar pengelolaan limbah cair rumah tangga secara aman. Hambatan yang mempengaruhi diantaranya belum diterapkan tindakan tegas bagi pelaku pembuangan feses ke sungai, belum adanya pelatihan teknis STBM bagi tokoh masyarakat, metode CLTS bersifat terbatas di satu RW, dan masyarakat Kelurahan Tirto belum mengoptimalkan swadaya untuk menambah septic tank dan bak penampungan air limbah.
________________ Keywords: CBTS; Community Empowering; Strategy ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ Community-based total sanitation (CBTS) is an approaching method to mobilise community to improve hygiene and sanitation through triggering collective behaviour change. Tirto Village had 84 households wich still practice open defecation, littering and disposing wastewater into river. This research aimed to study the health promotion strategy of CBTS in Tirto Village, Pekalongan City. It was a case study with qualitative exploratory design. Tirto Village had not reached the five pillars optomally yet. The two pillars which were not optimally reached by Tirto Village were pillar of free open defecation and pillar of proper wastewater treatment. The influenced factors were there was no punishment for open defecation doer, there was no CBTS technical training for community figures yet, CLTS methode was applied to only one community unit and there was no initiation yet from the community to add septic tanks and wastewater disposal facilities.
© 2016 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Prodi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Pekalongan, Gedung D Lantai 1, JL. Sriwijaya No.3 Pekalongan E-mail:
[email protected]
240
ISSN 2252-6781
Indriyani, Yuniarti, & Latif / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
PENDAHULUAN
Sanitasi termasuk kajian penting karena merupakan salah satu aspek mendasar sebagai hak asasi manusia dari masyarakat dan memiliki dampak yang luas ketika pembangunan sanitasi terabaikan. Pencapaian sanitasi di negara kita yang belum tuntas menjadi tantangan besar pada era pasca Millenium Development Goals (MDGs). Terlebih target 100% pencapaian akses universal sanitasi di tahun 2019 mendatang. Strategi secara komprehensif dalam implementasi solusi alternatif permasalahan tersebut sangatlah berarti. Berdasarkan Bappenas (2015) akses sanitasi layak mencapai 62%. Data profil kesehatan (2014) menunjukkan bahwa akses sanitasi layak (jamban sehat) di Jawa Tengah mencapai 63,2%. Ada kesenjangan untuk memenuhi target akses universal sanitasi di tahun 2019, sehingga dibutuhkan kerja keras untuk mencapai angka 100%. Data yang bersumber dari Dinas Kesehatan Kota Pekalongan (2014) menunjukkan bahwa seluruh kelurahan di Kota Pekalongan sudah melaksanakan STBM, namun kelurahan yang berhasil mencapai indikator pilar pertama yaitu kelurahan dengan status Stop Buang Air Besar Sembarangan (SBS)/ Open Defecation Free (ODF) berjumlah 10 kelurahan dari 47 kelurahan di Kota Pekalongan atau 21,27%. Hasil laporan Puskesmas Tirto tahun 2014 menunjukkan bahwa, jumlah penduduk Kelurahan Tirto 10.798, jumlah RW = 8, RW yang ODF ada 6, jumlah Kepala Keluarga (KK) = 2687, jumlah rumah = 2134, jumlah jamban 2050, KK yang sudah ODF = 2603, KK yang masih Buang Air Besar Sembarangan (BABS) = 84. Hal tersebut belum sesui dengan target. Hasil observasi di Kelurahan Tirto menunjukkan bahwa masyarakat masih
membudayakan perilaku buang sampah secara sembarangan seperti buang sampah di sungai, selokan, dan tempat terbuka (lahan rumah). Pengelolaan limbah cair rumah tangga di wilayah Tirto belum tepat karena masyarakat pada umumnya mengalirkan limbah cair rumah tangga (limbah deterjen dan air bekas mandi/cuci pakaian) ke selokan maupun secara langsung menuju sungai. Pembuangan yang tidak aman tersebut dapat menimbulkan penyakit akibat sanitasi yang buruk. Berdasarkan fenomena di atas, maka peneliti bermaksud mengkaji secara mendalam strategi promosi kesehatan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat di Kelurahan Tirto Kecamatan Pekalongan Barat Kota Pekalongan. Secara lebih khusus tujuan penelitian ini antara lain adalah: a. Mengkaji secara mendalam advokasi meliputi kebijakan, komitmen, dana, disposisi publik, dan sarana prasarana Sanitasi Total Berbasis Masyarakat di Kelurahan Tirto Kecamatan Pekalongan Barat Kota Pekalongan. b. Mengkaji secara mendalam bina suasana meliputi koordinasi, sosialisasi program, dan pelatihan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat di Kelurahan Tirto Kecamatan Pekalongan Barat Kota Pekalongan. c. Mengkaji secara mendalam pemberdayaan masyarakat meliputi pemicuan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat di Kelurahan Tirto Kecamatan Pekalongan Barat Kota Pekalongan. d. Menyusun strategi baru pada strategi promosi kesehatan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat di Kelurahan
241
Indriyani, Yuniarti, & Latif / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
Tirto Kecamatan Pekalongan Barat Kota Pekalongan. METODE PENELITIAN
Lokasi penelitian ini adalah Kelurahan Tirto Kecamatan Pekalongan Barat Kota Pekalongan. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Desember 2015 hingga Mei 2016. Output penelitian ini adalah strategi baru pada strategi promosi kesehatan STBM di Kelurahan Tirto. Penelitian ini difokuskan pada pendekatan strategi promosi kesehatan. Pendekatan tersebut meliputi beberapa variabel advokasi, bina suasana, dan pemberdayaan masyarakat. Peneliti mengklasifikasikan masing-masing variabel di atas dengan modifikasi teori implementasi menurut Anderson (1979) yaitu keterlibatan, kepatuhan, administratif, dan dampak. Variabel advokasi meliputi kebijakan, komitmen, dana, disposisi publik, dan sarana prasarana. Variabel bina suasana meliputi koordinasi, sosialisasi program, dan pelatihan. Variabel pemberdayaan masyarakat meliputi pemicuan. Sehingga variabel yang akan diteliti berjumlah sembilan variabel. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan desain eksploratoris kualitatif. Penelitian eksploratoris yaitu penelitian yang berusaha menggali atau mengeksplor lebih dalam elemen/variabel yang diteliti. Rancangan
penelitian ini menggunakan metode studi kasus. Riset dengan metode studi kasus menghendaki suatu kajian yang rinci, mendalam, menyeluruh atas objek tertentu (Susila, dkk, 2013:229). Informan penelitian ini terdiri dari Informan Utama (Pelaksana BKM, Seksi Kesmas & Tokoh Masyarakat, Natural Leader, dan Kader STBM) dan Informan Triangulasi (Warga Kelurahan Tirto dan Sanitarian Puskesmas Tirto). Metode pengumpulan data penelitin ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara mendalam dan observasi. Data sekunder diperoleh dari dokumentasi dan studi kepustakaan. Adapun alat pengumpulan data berupa pedoman wawancara, alat perekam, dan catatan lapangan. HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Kelurahan Tirto
Kelurahan Tirto merupakan wilayah yang terletak di Kecamatan Pekalongan Barat Kota Pekalongan. Luas wilayah Kelurahan Tirto 141,7 Km. Berdasarkan orbitasi potensi sumber daya alam, Kelurahan Tirto termasuk wilayah yang rawan terjadi banjir. Kelurahan Tirto terdiri dari 3 dukuh yaitu meduri, tirto, dan peturen. Kelurahan Tirto terdiri dari 8 RW dan 40 RT. Berdasarkan profil Kelurahan Tirto tahun 2014, Kelurahan Tirto memiliki penduduk sebanyak 10.455 jiwa.
Tabel 1. Distribusi Penduduk dengan Akses terhadap Fasilitas Sanitasi Layak (Jamban Sehat) di Kelurahan Tirto No 1 2 3 4
Jenis Jamban Komunal Leher Angsa Plengsengan Cemplung
Jumlah 12 1420 0 0
242
Indriyani, Yuniarti, & Latif / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
Total
1432
Sumber: Profil Puskesmas Tirto (2014) Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa distribusi penduduk dengan akses terhadap fasilitas sanitasi layak (jamban sehat) di Kelurahan Tirto yaitu jenis jamban komunal sebanyak 12 unit, jenis
jamban leher angsa sebanyak 1420 unit, jenis jamban plengsengan sebanyak 0 unit, dan jenis jamban cemplung sebanyak 0 unit.
Tabel 2. Distribusi Tempat Pengelolaan Makan (TPM) Menurut Status Higiene Sanitasi di Kelurahan Tirto No 1 2 3 4 Total
Tempat Pengelolaan Makan Jasa Boga Rumah Makan/ Restoran Depot Air Minum Makanan Jajanan
Jumlah 1 1 4 20 26
Sumber: Profil Puskesmas Tirto (2014)
Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa distribusi tempat pengelolaan makan menurut status higiene sanitasi di Kelurahan tirto yaitu tempat pengelolaan
makan jasa boga sebanyak 1 unit, rumah makan/ restoran sebanyak 1 unit, depot air minum sebanyak 4 unit, dan makanan jajanan sebanyak 20 unit.
Tabel 3. Prasarana Air Bersih No 1 2 3 4 Total
Prasarana Air Bersih Sumur Sumur gali Hidran umum MCK
Jumlah 245 8 5 258
Sumber: Profil Kelurahan Tirto (2014) Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa prasarana air bersih di Kelurahan Tirto yaitu sumur sebanyak 0 unit, sumur gali sebanyak 245 unit, hidran umum sebanyak 8 unit, dan MCK sebanyak 5 unit. Strategi Promosi Kesehatan STBM
Secara general penerapan strategi promosi kesehatan pada lima pilar STBM
di Kelurahan Tirto dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Advokasi STBM (kebijakan, komitmen, dana, disposisi publik, dan sarana prasarana) di Kelurahan Tirto diantaranya melalui upaya dukungan kebijakan baik tertulis maupun non tertulis. Secara tertulis, pihak kelurahan memprioritaskan sanitasi dalam dokumen perencanaan. Selain itu, kader
243
Indriyani, Yuniarti, & Latif / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
berupaya membina masyarakat untuk mewujudkan kelurahan ODF. Hal tersebut senada dengan komitmen yang diupayakan oleh Kelurahan Tirto yaitu diwujudkan dalam bentuk tertulis dan non tertulis atau tindakan seperti penyuluhan CLTS (Community-Led Total Sanitation). Adapun dana untuk menyelenggarakan STBM berasal dari BOK (Bantuan Operasional Kesehatan) serta swadaya dari masyarakat Kelurahan Tirto. Respon masyarakat terhadap STBM sudah baik. Pada mulanya masyarakat memiliki budaya BAB di sungai, kemudian dilakukan berbagai upaya kesehatan seperti pemicuan STBM sehingga masyarakat tahu akan dampak BAB sembarangan. Hal tersebut memicu masyarakat untuk mau melakukan perubahan perilaku stop BABS melalui upaya pendampingan. Akhirnya sebagian masyarakat Tirto mampu melakukan praktik stop BABS meskipun belum mencapai target 100%. Sarana prasarana pilar 1 STBM yang sudah terwujud di Kelurahan Tirto yaitu WC USRI dan jamban komunal. Selain itu, tempat cuci tangan pakai sabun, TPS (Tempat Pembuangan Sampah) 3 R, dan SPAL (Saluran Pembuangan Air Limbah). b. Bina Suasana STBM (koordinasi, sosialisasi program, dan pelatihan) di Kelurahan Tirto diantaranya melalui koordinasi dengan berbagai pihak seperti puskesmas, kelurahan sendiri, BAPPEDA, kerjasama dengan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan kader. Sosialisasi STBM di Kelurahan Tirto melibatkan tokoh masyarakat. Adapun
pelatihan STBM baik secara administrasi maupun teknis pernah dilakukan di Kelurahan Tirto. Sasaran pelatihan tersebut adalah satuan pelaksana PAMSIMAS. Narasumber berasal dari fasilitator STBM pusat, Dinas Kesehatan, dan BAPPERMAS. c. Pemberdayaan Masyarakat STBM di Kelurahan Tirto diantaranya melalui metode pemicuan. Metode tersebut digunakan untuk menyadarkan masyarakat merubah perilaku BAB sembarangan. Pemicuan yang dilakukan dengan mencontohkan segelas air minum kemudian diberi rambut yang terkontaminasi dengan feses. Cara ini merangsang jijik masyarakat untuk stop BAB sembarangan. Kondisi pilar 1 STBM tentang stop buang air besar di Kelurahan Tirto belum 100% ODF karena masih ada warga yang BAB sembarangan. Pasca pemicuan dilakukan survei rumah untuk memantau perkembangan perubahan perilaku BAB sembarangan. Selain hal tersebut, masyarakat di Kelurahan Tirto sudah secara mandiri melaksanakan perilaku cuci tangan pakai sabun, mengelola makanan dan minuman secara aman, dan mengelola sampah secara aman. Namun, pembuangan limbah cair khususnya rumah tangga belum maksimal dikarenakan masih banyak masyarakat sekitar membuang limbah tersebut ke sungai. Karakteristik Informan
Informan penelitian ini terdiri dari informan utama dan informan triangulasi yaitu sebagai berikut:
Tabel 4. Karakteristik Informan Utama
244
Indriyani, Yuniarti, & Latif / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
No
Jenis Informan
1
Informan utama 1
Jenis Kelamin Laki-laki
2
Informan utama 2
Perempuan
3
Informan utama 3
Laki-laki
4
Informan utama 4
Laki-laki
5
Informan utama 5
Perempuan
Alamat
Pekerjaan
Jl. KH. Ahmad Dahlan Gg.7 No.18 Kelurahan Tirto
Pelaksana BKM Kelurahan Tirto Seksi Kesmas Kelurahan Tirto Pengusaha
Kelurahan 04/04 Kelurahan 03/02 Kelurahan 06/03
Tirto Tirto Tirto
Anggota LPM Kelurahan Tirto Pedagang
Tabel 5. Karakteristik Informan Triangulasi No
Jenis Informan
Alamat
Pekerjaan
Informan triangulasi 1
Jenis Kelamin Laki-laki
1
Pringlangu 04/03
Informan triangulasi 2
Perempuan
Kelurahan 03/02
Sanitarian Puskesmas Tirto Warga
2
Analisis SWOT
Peneliti menggunakan analisis SWOT berdasarkan temuan di lapangan atau hasil penelitian tentang strategi promosi kesehatan pada lima STBM di Kelurahan Tirto. Analisis SWOT tersebut melalui beberapa tahapan-tahapan yaitu Analisis Lingkungan Stratejik (Internal &
Tirto
Eksternal), Kesimpulan Analisis Faktor Internal (KAFI) dan Kesimpulan Analisis Faktor Eksternal (KAFE), Analisis SWOT, Penentuan Urutan Asumsi Stratejik Pilihan (ASAP), Faktor Kunci Keberhasilan (FKK), dan Penyusunan Tujuan, Sasaran, dan Strategi
Tabel 6. Matrik Analisis Lingkungan Stratejik (Internal & Eksternal) Internal Kekuatan Adanya upaya dukungan kebijakan dan komitmen yang baik dari Kelurahan Tirto. Dana STBM berasal dari swadaya masyarakat. Sarana prasarana WC USRI, jamban komunal, tempat cuci tangan, TPS 3 R, dan SPAL sudah tersedia di Kelurahan Tirto. Respon masyarakat yang antusias. Kelemahan Lambannya perubahan perilaku stop buang air besar sembarangan masyarakat Kelurahan Tirto.
Eksternal Peluang Fasilitator STBM yaitu sanitarian Puskesmas Tirto pro-aktif dalam kegiatan STBM. Adanya Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) pusat untuk mendukung STBM. Koordinasi lintas sektor terkait lima pilar STBM. Ancaman Output dari program PAMSIMAS kecenderungan berupa bantuan fisik dapat memanjakan masyarakat di
245
Indriyani, Yuniarti, & Latif / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
Model CLTS walaupun kelompok tetapi terbatas satu RW saja. Belum maksimalnya bak penampungan limbah cair rumah tangga di Kelurahan Tirto. Tokoh masyarakat belum mendapatkan pelatihan STBM. Paradigma masyarakat Kelurahan Tirto yang menuntut bantuan fisik untuk sanitasi.
Kelurahan Tirto. Kelurahan Tirto menjadi muara pembuangan limbah cair rumah tangga dari Kabupaten Pekalongan menuju ke Kota Pekalongan.
Stop Buang Air Besar Sembarangan
Stop BAB secara sembarangan atau ODF (Open Defecation Free) merupakan pilar 1 STBM. Saat ini capaian ODF di Kelurahan Tirto belum maksimal. Ada peningkatan perubahan perilaku masyarakat untuk Stop BAB secara sembarangan di Kelurahan Tirto, namun belum 100% ODF. Perubahan yang demikian dapat dikatakan lamban. Upaya bantuan fisik berupa jamban dari pemerintah kepada masyarakat tidak cukup untuk meningkatkan capaian ODF. Selain itu, pelatihan yang telah diselenggarakan baik secara administratif maupun teknis pun belum dapat berkontribusi pada ODF pencapaian secara signifikan. Penerapan model CLTS oleh fasilitator STBM dari Puskesmas Tirto untuk pilar 1 STBM juga belum dapat menerobos angka 0% Stop BAB sembarangan. Terdapat hambatan-hambatan terhadap permasalahan di Kelurahan Tirto yang masih menitikberatkan pada pencapaian pilar ODF. Dilihat dari strategi advokasi yang telah dilakukan Kelurahan Tirto terdapat poin yang belum maksimal yaitu komitmen yang konsisten sebagaimana hasil riset terdahulu oleh Sidjabat (2012). Konsistensi komitmen ODF Kelurahan Tirto dapat dipertegas dengan kebijakan yang dituangkan melalui punisment penetapan pada perilaku masyarakat buang air besar sembarangan. Hal itu dapat menjadi peluang tercapainya
kelurahan ODF. Punisment ini dapat dilakukan melalui cara denda/ membayar atas tindakan membuang feses ke sungai sebagai upaya peringatan tegas untuk merubah perilaku tersebut. Hasil denda tersebut yang terkumpul nantinya dapat digunakan untuk membantu masyarakat yang tidak mempunyai sarana septic tank. Sehingga secara mandiri masyarakat Kelurahan Tirto dapat menyediakan akses pembuangan feses berupa septic tank dan tidak membuang feses ke sungai. Hal tersebut dapat menjadi peluang besar untuk pencapaiaan kelurahan ODF jika dilakukan secara maksimal. Sesuai sudut pandang sasaran program STBM pilar 1 (masyarakat), selain strategi-strategi diatas yang belum maksimal kesadaran masyarakat yang rendah (masyarakat yang mengalirkan pembuangan feses ke sungai karena tidak memiliki septic tank) menjadi faktor pencetus terhambatnya capaian status ODF. Mereka belum sepenuhnya memahami dampak ataupun resiko yang akan tampak, sungai yang terkontaminasi feses dapat menularkan berbagai penyakit berbasis lingkungan (diare) serta menjadi tempat berkembang biaknya (habitat) virus atau bakteri (Wandansari, 2014). Sehingga, perlu upaya untuk dapat menyentuh nurani masyarakat. Hal ini erat kaintannya dengan peran tokoh masyarakat yang telah diberikan pelatihan STBM untuk mendampingi mereka dalam upaya menuju
246
Indriyani, Yuniarti, & Latif / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
stop BABS (Yimam, et al., 2014). Jika kesadaran masyarakat Kelurahan Tirto tinggi, maka bisa mendongkrak komitmen untuk mencapai kelurahan ODF. Rasa berkebutuhan yang sama akan membentuk komitmen bersama yang kuat untuk meningkatkan sanitasi komunitas (Windraswara, 2009). Cuci Tangan Pakai Sabun
Cuci tangan pakai sabun merupakan pilar 2 STBM. Praktek mencuci tangan sangat penting untuk menghindarkan individu dari infeksi. Hal tersebut dibuktikan dalam penelitian Trikora dan Siwiendrayanti (2015) dimana praktek mencuci tangan berhubungan dengan kejadian diare. Penelitian Peltzer dan Pengpid (2014) juga menunjukkan bahwa kebersihan tangan menjadi faktor pencegah berbagai risiko kesehatan pada siswa remaja di empat negara ASEAN. Pencapaian budaya cuci tangan pakai sabun di Kelurahan Tirto sulit untuk diukur karena praktiknya berada didalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Namun, sudah ada komitmen masyarakat untuk andil dalam membudayakan perilaku CTPS ini. Fasilitator STBM telah membantu untuk mendukung pilar tersebut melalui penyelenggaraan pengadaan sarana tempat cuci tangan di sekolah-sekolah wilayah Kelurahan Tirto. Pengadaan sarana seperti tempat cuci tangan merupakan fasilitasi pengembangan penyelenggaraan STBM oleh pemerintah daerah sebagaimana dikutip dalam Peraturan Menteri Kesehatan (2014). Sosialisasi langkah-langkah CTPS sering dilaksanakan pada pertemuanpertemuan seperti pertemuan pihak sekolah dengan wali murid, PKK, posyandu, maupun pertemuan FKSS. Selain itu, praktik bersama CTPS sering dilakukan di
tingkat sekolah sekolah dasar.
baik
PAUD
maupun
Pengelolaan Makanan dan Minuman Rumah Tangga
Pengelolaan makanan dan minuman rumah tangga secara aman merupakan pilar 3 STBM. Capaian pilar 3 STBM di Kelurahan Tirto cukup baik. Indikatornya antara lain masyarakat membudayakan perilaku mencuci bahan makanan sebelum dimasak atau diolah, menggunakan air bersih untuk keperluan minum sehari-hari serta merebusnya, membudayakan perilaku selektif dalam memilih bahan makanan (daging yang tidak berformalin, mie yang tidak berformalin, dan bakso yang tidak mengandung boraks), serta membudayakan perilaku menyimpan makanan di tempat tertutup atau menggunakan tudung saji. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Kelurahan Tirto telah memiliki pengetahuan yang memadai tentang sanitasi makanan dan minuman. Pengetahuan yang memadai tentang sanitasi makanan dan minuman akan sangat mempengaruhi higiene pengolah makanan, keamanan proses pengolahannya, serta kualitas makanan yang dihasilkan (Ningsih, 2014) . Pengamanan Sampah Rumah Tangga
Pengamanan sampah rumah tangga merupakan pilar 4 STBM. Permasalahan sampah rumah tangga memang menjadi budaya masyarakat Kelurahan Tirto. Mereka memilih lahan pekarangannya (lahan kosong) untuk dijadikan tempat pembuangan sampah kemudian dibakar. Selain itu, sampah juga dibuang ke sungai. Namun, seiring berjalannya waktu dan teknologi yang semakin moderen pemerintah Kelurahan Tirto mengambil
247
Indriyani, Yuniarti, & Latif / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
kebijakan untuk memasang peringatan larangan membuang sampah secara sembarangan. Hal tersebut tidak sematamata hanya sebuah kebijakan dan komitmen saja di Kelurahan Tirto. Pihak Kelurahan Tirto menyediakan sebuah tempat untuk mengelola sampah secara aman yang disebut dengan TPS 3R reduce, (melakukan pengurangan/ penggunaan kembali/reuse, dan pengolahan kembali/ recycle). Komitmen yang cukup kuat untuk mencapai hasil maksimal pada pilar 4 STBM ini menggugah para pembuat kebijakan di Kelurahan tersebut untuk segera mengoperasikan TPS 3R dan armada tossa sebagai pengangkut sampah rumah tangga. Teknis yang dipilih mereka adalah mengumpulkan sampah rumah tangga disuatu tempat (lahan kosong) kemudian seminggu 2-3 kali diangkut oleh armada tersebut untuk dibawa ke TPS 3R (tempat mengolah sampah, memilah sampah, dan mendaur ulang sampah). Penyelenggaraan ini akan digerakan oleh KSM di wilayah Tirto bersama LPM. Kondisi serupa juga terjadi di Kampung Rajawali dan dilaporkan dalam penelitian Puspawarti dan Besral (2008). Kesadaran dan komitmen masyarakat dalam penanganan sampah harus diimbangi dengan penyediaan fasilitas sanitasi yang memadai (Nyakaana, 2010; Nkwachukwu, et al., 2010). Pengamanan Limbah Cair Rumah Tangga
Pengamanan limbah cair rumah tangga merupakan pilar 5 STBM. Terdapat beberapa hal yang menghambat capaian pilar tersebut. Pertama, sebagian kecil masyarakat saja yang memiliki bak penampung limbah cair rumah tangga sebagai filter limbah secara tradisional sebelum dialirkan ke sungai. Masyarakat lainnya tidak memiliki bak penampung.
Artinya, penyediaan sarana prasarana bak penampung milik pribadi sangat minim. Para pemilik bak penampung limbah cair rumah tangga pun minim pengetahuan tentang tata letak antara saluran pembuangan/bak limbah cair dengan sumur resapan harus berjauhan. Sebab jika hal tersebut tidak dilakukan dapat menjadi tempat perindukan virus penyebab penyakit bahkan air sumur dapat tercemar. Secara teritorial, sungai di Kelurahan Tirto berada di antara Kota Pekalongan dengan Kabupaten Pekalongan. Sungai tersebut menjadi muara pembuangan limbah cair rumah tangga. Muara limbah tersebut berasal dari Kabupaten Pekalongan. Tetapi, mengalirnya menuju Kota Pekalongan. Sehingga penyelesaian masalah limbah cair rumah tangga harus ada koordinasi antara Pemerintah Kabupaten Pekalongan dengan Kota Pekalongan. Strategi pemberdayaan masyarakat dengan mengumpulkan dana yang berasal dari swadaya masyarakat Kelurahan Tirto untuk mewujudkan penambahan bak penampungan besar limbah cair rumah tangga. Pada intinya, strategi-strategi diatas dapat terealisasi dengan baik manakala kesadaran masyarakat terbuka (open minded). Dengan kata lain, kesadaran masyarakat yang masih minim akan pengelolaan limbah cair rumah tangga secara aman menjadi titik masalah dari capaian pilar 5 STBM saat ini. Masyarakat Kelurahan Tirto belum memahami betul akan dampak jika mengalirkan limbah tersebut secara sembarangan (dapat mencemari sungai dan menimbulkan penyakit) dan kesadaran untuk memelihara Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL) juga masih minim. Kesadaran dan komitmen masyarakat dalam penanganan air limbah harus dibangun atas dasar
248
Indriyani, Yuniarti, & Latif / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
pemahaman yang benar tentang pentingnya pengelolaan air limbah (Ling, 2012). Strategi Baru
Berdasarkan uraian pada masingmasing pilar STBM di atas, maka diperlukan strategi-strategi baru untuk membenahi implementasi pilar-pilar STBM di Kelurahan Tirto. Sebagaimana dikutip dalam Nawawi (2012), manajemen strategik diwujudkan dalam bentuk perencanaan berskala besar dalam arti mencakup seluruh komponen di lingkungan sebuah organisasi yang dituangkan dalam bentuk rencana strategik (renstra) yang dijabarkan menjadi bentuk perencanaan operasional (renop), yang kemudian dijabarkan pula dalam bentuk program kerja atau proyek tahunan. Adapun strategi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Upaya menerapkan punishment dari Kelurahan Tirto untuk mencapai Kelurahan ODF bagi pelaku yang mengalirkan pembuangan feses ke sungai. b. Upaya menjalin koordinasi antara Pemerintah Kota Pekalongan dengan Pemerintah Kabupaten Pekalongan untuk bersama-sama mengelola limbah cair rumah tangga secara aman.. c. Upaya pelatihan teknis STBM bagi tokoh masyarakat untuk mencapai perilaku buang air besar secara sehat di Kelurahan Tirto. d. Upaya penambahan bak penampungan limbah cair rumah tangga melalui swadaya masyarakat atau iuran masyarakat. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kelurahan Tirto Kecamatan Pekalongan Barat Kota Pekalongan tentang
strategi promosi kesehatan STBM, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Strategi advokasi lima pilar STBM yang diupayakan oleh Kelurahan Tirto belum menuai capaian secara maksimal pada pilar stop BABS dan pilar pengelolaan limbah cair rumah tangga secara aman. Konsistensi komitmen yang tegas belum diterapkan bagi pelaku yang mengalirkan pembuangan feses ke sungai. Selain itu, penyediaan sarana bak penampungan di Kelurahan Tirto tidak mencukupi total limbah cair rumah tangga yang dihasilkan. 2. Strategi bina suasana lima pilar STBM yang diupayakan oleh Kelurahan Tirto belum menuai capaian secara maksimal pada pilar stop BABS atau ODF. Belum adanya pelatihan teknis STBM bagi tokoh masyarakat menjadi faktor penghambat saat penyuluhan CLTS (pemicuan). Metode CLTS bersifat terbatas di satu RW. Sehingga, CLTS yang dilakukan tidak dapat menjangkau di 8 RW Kelurahan Tirto. 3. Strategi pemberdayaan masyarakat lima pilar STBM yang diupayakan oleh Kelurahan Tirto belum menuai capaian secara maksimal pada pilar stop BABS dan pengelolaan limbah cair rumah tangga secara aman. Pemberdayaan masyarakat melalui pemicuan saja tidak cukup. Masyarakat Kelurahan Tirto belum mengoptimalkan swadaya atau iuran secara kolektif untuk menyediakan penambahan sarana sanitasi berupa septic tank dan bak penampungan. 4. Pengkajian strategi promosi kesehatan pada lima pilar STBM di Kelurahan Tirto melalui analisis SWOT menghasilkan strategi baru untuk menghadapi akses universal sanitasi maupun mendukung program 100-0-
249
Indriyani, Yuniarti, & Latif / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
100 pada tahun 2019 mendatang antara lain (1) upaya menerapkan punishment dari Kelurahan Tirto untuk mencapai Kelurahan ODF bagi pelaku yang mengalirkan pembuangan feses ke sungai, (2) upaya menjalin koordinasi antara Pemerintah Kota Pekalongan dan Pemerintah Kabupaten Pekalongan untuk bersama-sama mengelola limbah cair rumah tangga secara aman, (3) upaya pelatihan teknis STBM bagi tokoh masyarakat untuk mencapai perilaku buang air besar secara sehat di Kelurahan Tirto, dan (4) upaya penambahan bak penampungan limbah cair rumah tangga melalui swadaya masyarakat atau iuran masyarakat. UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan Terimakasih disampaikan kepada Kepala Kelurahan Tirto Kecamatan Pekalongan Barat Kota Pekalongan beserta jajarannya dan Kepala Puskesmas Tirto beserta jajarannya. DAFTAR PUSTAKA Anderson. 1979. Public Policy Making. New York: Holt Rinehart and Winston Direktur Perumahan dan Pemukiman Bappenas. 2015. Arah Kebijakan Program PPSP 20152019. Jakarta: Bappenas Kemenkes RI. 2014. Data dan Informasi Tahun 2014 (Profil Kesehatan). Jakarta: Kemenkes RI Ling, T.Y., Dana, M.J., Bostam, S., and Nyanti, L. 2012. Domestic Wastewater Quality and Pollutant Loadings from Urban Housing Areas. Iranica Journal of Energy & Environment. 3 (2): 129-133 Nawawi, Hadari. 2012. Manajemen Strategik Organisasi Non Profit Bidang Pemerintahan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Ningsih, Riyan. 2014. Penyuluhan Hygiene Sanitasi Makanan dan Minuman, Serta Kualitas Makanan yang Dijajakan Pedagang di Lingkungan SDN Kota Samarinda. Jurnal Kesehatan Masyarakat (KEMAS). 10 (1): 6472 Nkwachukwu, Onwughara Innocent., Chidi, Nnorom Innocent., and Charles, Kanno Okechukwu. 2010. Issues of Roadside Disposal Habit of Municipal Solid Waste, Environmental Impacts and Implementation of Sound Management Practices in Developing Country “Nigeria”. International Journal of Environmental Science and Development. 1 (5): 409-418 Nyakaana, Jockey B. 2010. Solid waste management in urban centers: The case of Kampala CityUganda. East African Geographical Review. 19 (1): 33-43 Peltzer, Karl and Pengpid, Supa. 2014. Oral and hand hygiene behaviour and risk factors among inschool adolescents in four Southeast Asian countries. International Journal of Environmental Research and Public Health. 11 (3): 2780-2792 Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat. Profil Kelurahan Daftar Isian Potensi dan Perkembangan Tahun 2014, Kelurahan Tirto, Kecamatan Pekalongan Barat, Kota Pekalongan. Puspawati, Catur dan Besral. 2008. Pengelolaan sampah berbasis masyarakat di Kampung Rajawali Jakarta Selatan. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional (Kesmas). 3 (1):9-15 Rekapitulasi Data Kelurahan STBM dan Kelurahan ODF Dinas Kota Pekalongan Tahun 2014. Sidjabat, Erickson. 2012. Partisipasi Masyarakat Desa dalam Implementasi Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat di Kabupaten Grobogan. Tesis. Jakarta: Universitas Indonesia. Susila, Siswanto dan Suyanto. 2013. Metodologi Penelitian Kesehatan dan Kedokteran. Yogyakarta: Bursa Ilmu
250
Indriyani, Yuniarti, & Latif / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
Trikora, Endang dan Siwiendrayanti, Arum. 2015. Hubungan Praktik Cuci Tangan, Kriteria Pemilihan Warung Makan Langganan dan Sanitasi Warung dengan Kejadian Diare pada Mahasiswa Universitas Negeri Semarang. Unnes Journal of Public Health. 4 (1): 48 Wandansari, Arry Pamusthi. 2014. Hubungan antara Kualitas Sumber Air Minum dan Pemanfaatan Jamban Keluarga dengan Kejadian Diare di Desa Karangmangu Kecamatan Sarang Kabupaten Rembang. Unnes Journal of Public Health. 3 (3): 1-8
Windraswara, Rudatin. 2009. Keterlibatan Komunitas dalam Perencanaan Sanitasi pada Daerah Rawan Bencana. Jurnal Kesehatan Masyarakat (KEMAS). 5 (1): 58-63 Yimam, Yimam Tadesse., Gelaye, Kassahun Alemu., and Chercos, Daniel Haile. 2014. Latrine utilization and associated factors among people living in rural areas of Denbia district, Northwest Ethiopia, 2013, a cross-sectional study. The Pan African Medical Journal.18:334
251
UJPH 5 (3) (2016)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
HUBUNGAN KELEMBABAN RUMAH DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI KECAMATAN TULIS KABUPATEN BATANG Novita Indriyani1 , Nor Istiqomah1, M.Choiroel Anwar2 1
Prodi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Pekalongan, Indonesia Akademi Kesehatan Lingkungan Purwokerto, Indonesia
2
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima 1 Juli 2016 Disetujui 2 Juli 2016 Dipublikasikan Juli 2016
Salah satu penyakit menular yang menjadi perhatian dan masalah kesehatan masyarakat di wilayah Kecamatan Tulis adalah TB paru yang meningkat setiap tahunnya, dengan angka prevalensi tahun 2014 sebesar 83,4/100.000 penduduk. Salah satu faktor yang mempengaruhi adanya agen bakteri tuberkulosis yaitu lingkungan rumah tinggal. Tujuan penelitian mengetahui hubungan tingkat kelembaban rumah tinggal dengan kejadian TB paru di wilayah kecamatan Tulis. Desain penelitian case control, variabel bebas yang diteliti yaitu tingkat kelembaban, dan variabel confounding adalah luas ventilasi, keberadaan jendela, pencahayaan, dan suhu. Sampel penelitian 70 responden, terdiri dari 35 kasus dan 35 kontrol. Hasil analisis bivariat uji chi square bahwa ada hubungan antara tingkat kelembaban (p=0,004 OR=4,792) dan pencahayaan (p=0,031 OR=3,273) dengan TB paru. Analisis multivariat yang terbukti sebagai faktor resiko adalah tingkat kelembaban (OR=3,801) dikontrol pencahayaan (OR=1,456).
________________ Keywords: Pulnomary tuberculosis; indoor humidity; Tulis regency ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ Pulmonary tuberculosis disease is one of infectious disease that becomes major health problem in districts Tulis wich was increasing every year with prevalence rate 83.4 / 100,000 in 2014. One factor that affect the existance of bacterial agent of tuberculosis is environment, including indoor humudity. This research aimed to determine relationship between indoor humidity with pulmonary tuberculosis. This was a case control study. The confounding variables in this study were total vent area, window number, illuminance and temperature. Bivariate analysis showed that pulmonary tuberculosis insidence correlated to both humidity (p=0,004 OR=4,792) and illuminance (p = 0,031 OR = 3.273). Multivariat analysis showed that incidence of pulmonary tuberculosis was correlated with humidity (OR = 3.801) and controlled by illuminance (OR = 1.456).
© 2015 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Prodi Kesehatan Masyarakat , Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Pekalongan, Gedung D Lantai 1 JL. Sriwijaya No.3 Pekalongan E-mail:
[email protected]
214
ISSN 2252-6781
Indriyani, Istiqomah, dan Anwar / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
PENDAHULUAN
TB paru merupakan penyakit kedua setelah HIV AIDS sebagai pembunuh terbesar diseluruh dunia. Pada tahun 2009, terdapat sekitar 9,4 juta insiden kasus TB paru secara global prevalensinya di dunia mencapai 14 juta kasus atau sama dengan 200 kasus per 100.000 penduduk (Depkes RI, 2011). Di Kabupaten Batang berdasarkan Indikator Evaluasi Program Pemberantasan dan Pengendalian TB paru tahun 2014 sebesar 665 kasus. Angka prevalensinya 92 per 100.000 penduduk (Dinkes Batang, 2014). Peningkatan kasus terjadi di beberapa Puskesmas, salah satunya Puskesmas Tulis. Dari tahun 2012 ada 25 kasus, tahun 2013 tercatat 28 kasus dan meningkat tahun 2014 menjadi 36 kasus. Angka cakupan penemuan kasus TB paru BTA positif (CDR) tahun 2013 sebesar 37,1% dan tahun 2014 sebesar 71,6%. Hal ini menunjukkan bahwa di Kecamatan Tulis kasus TB paru masih tinggi. Data penderita TB paru tidak masuk dalam register penderita HIV/AIDS (Profil Puskesmas Tulis, 2014). Sementara kondisi rumah tinggal di Kecamatan Tulis tahun 2014 dari 9.572 rumah, terdapat 5.902 rumah permanen dan 3.673 rumah tidak permanen. Kondisi rumah yang memenuhi syarat kesehatan baru mencapai 23,4%, berarti masih dibawah 80% penduduk dalam rumah sehat (BPS Batang, 2014). Survei pendahuluan yang telah dilakukan pada 15 rumah mendapatkan hasil antara lain 2 rumah sehat, 8 rumah jarang membuka jendela kamar dan 5 rumah tidak memiliki jendela. TB paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobaclerium tuberculosis yang dapat ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat seorang pasien
tuberkulosis batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri terhirup oleh orang lain saat bernapas. Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA positif (Tiwari et al, 2012; Wankhade et al, 2012; Widoyono, 2008). Lingkungan yang tidak sehat (kumuh) merupakan tempat yang baik dalam menularkan penyakit seperti tuberkulosis. Lingkungan rumah yang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis yaitu tingginya kelembaban yang dipengaruhi oleh kurangnya ventilasi, keberadaan jendela yang tidak berfungsi, kurangnya pencahayaan dan suhu yang rendah (Lienhardt et al, 2001; Kizito et al, 2010). Berdasarkan teori konsep penyebab penyakit, TB paru termasuk salah satu penyakit dengan konsep web of causation yaitu dengan banyak penyebab. Jenis penyebab utama (necessary factor) yaitu agen yang harus ada agar terjadi suatu penyakit yaitu Mycobacterium tuberculosis. Jenis penyebab kedua atau sufficient factor yaitu faktor pendukung agent yang menyebabkan terjadinya penyakit seperti kelembaban lingkungan rumah. Sedangkan kelembaban dipengaruhi oleh ventilasi, jendela, pencahayaan dan suhu yang merupakan Faktor yang berkontribusi pada tingkat kelembaban (Contributory factor) (Bartram et al, 2010; Sarwani et al, 2012; Fitriani, 2013). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan tingkat kelembaban rumah tinggal dengan kejadian TB paru dengan dikontrol variabel luas ventilasi, keberadaan jendela, pencahayaan dan suhu. METODE
215
Indriyani, Istiqomah, dan Anwar / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
Jenis penelitian analitik observasional dengan menggunakan metode case control yaitu membandingkan antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol berdasarkan status penyakitnya. Populasi Kasus adalah penderita yang dinyatakan TB paru tercatat di UPK Puskesmas Tulis dari bulan Agustus 2014 sampai Mei 2015. Populasi kontrol dari data registrasi pengunjung rawat jalan di Puskesmas Tulis yang tidak menderita TB paru, ISPA, Asma maupun penyakit yang dicurigai tuberkulosis lainnya. Sampel penelitian menggunakan seluruh kasus TB paru dengan jumlah 35 orang dan kontrol 35 orang. Semua responden tinggal pada rumah yang tidak mengalami perubahan fisik sejak tahun 2010. Data yang digunakan data primer (register TB paru UPK Puskesmas Tulis) dan sekunder dengan cara pengukuran dan observasional menggunakan cheklist. Pengukuran tingkat kelembaban (hygrometer), luas ventilasi (rollmeter), pencahayaan (luxmeter), suhu (thermometer).
Observasi pengamatan pada jendela rumah yang jarang dibuka (jendela rusak/tidak dapat difungsikan). Analisis data antara lain Univariat mendeskripsikan TB paru, tingkat kelembaban rumah tinggal dan variabel yang mempengaruhi keduanya (luas ventilasi, keberadaan jendela, tingkat pencahayaan dan suhu). Bivariat melihat hubungan kelembaban dengan TB paru, chi-square menggunakan uji dengan menggunakan power sebesar 80%, dan tingkat kemaknaan (α = 0,05). Multivariat untuk mengetahui peran variabel confounding yang mempengaruhi variabel bebas dan variabel terikat, menggunakan uji regresi logistik. HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis univariat mendeskripsikan hasil pengukuran dan observasi tingkat kelembaban, ventilasi, jendela, tingkat pencahayaan dan suhu.
Tabel 1. Hasil analisis Univariat Variabel Tingkat Kelembaban > 70% Antara 40-70% Luas Ventilasi < 10% Luas Lantai ≥ 10% Luas Lantai Keberadaan Jendela Tidak (tertutup) Ya (Terbuka) Tingkat Pencahayaan < 60 Lux ≥ 60 Lux Suhu < 20º C
Responden Kasus N %
Total Kontrol N %
N
%
Nilai Mea n
23 12
65,7 34,3
10 25
28,6 71,4
33 37
47,1 52,9
69,2 4
4,936
18 17
51,4 48,6
16 19
45,7 54,3
34 36
48,6 51,4
8,83
3,738
22 13
62,8 37,2
16 19
45,7 54,3
38 32
54,3 45,7
-
-
24 11
68,6 31,4
14 21
40,0 60,0
38 32
54,3 45,7
57,8 3
13,385
0
0
0
0
0
0
28,4
0,999
216
Std Deviasi
Indriyani, Istiqomah, dan Anwar / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
20º C -30º C
35
100
35
Dari tabel 1 hasil pengukuran suhu pada seluruh responden berkisar antara 20ºC sampai 30ºC dengan kategori memenuhi syarat. Tingkat kelembaban lebih dari 70% paling banyak pada kelompok kasus. Pada luas ventilasi 48,6% rumah responden memiliki luas < 10% dari luas lantai dengan rata-rata 8,83%. Dari 70 responden 54,3% rumah dengan kondisi
100
70
100
0
jendela tertutup/tidak ada jendela dan tingkat pencahayaan < 60 Lux. Rata-rata tingkat pencahayaan rumah tinggal responden yaitu 57,8 Lux tidak memenuhi syarat. Analisis bivariat untuk mengetahui hubungan antar variabel bebas dengan variabel terikat dan variabel counfounding, chi square. menggumakan uji
Tabel 2. Hubungan antara tingkat kelembaban dengan kejadian TB paru Tingkat Kelembaban > 70% Antara 40-70% OR = 4,792
Kasus Kontrol N % N % 23 65,7% 10 28,6% 12 34,3% 25 71,4% CI 95% = 1,741
Jumlah N % 33 47,1% 37 52,9% nilai ρ = 0,004
Tabel 3. Analisis hubungan ventilasi (counfounding) dengan TB paru Luas Ventilasi < 10% dari luas lantai ≥ 10% dari luas lantai OR = 1,257
Kasus N % 18 51,4 17 38,6 CI 95% = 0,492
Kontrol N % 16 45,7 19 54,3
Jumlah N % 34 48,6 36 51,4 nilai ρ = 0,811
Tabel 4. Analisis hubungan jendela (counfounding) dengan TB paru Keberadaan Jendela Tidak (Tertutup) Ya (Terbuka) OR = 2,010
Kasus
Kontrol Jumlah N % N % N % 22 62,8 16 45,7 38 54,3 13 37,2 19 54,3 32 45,7 CI 95% = 0,773
Tabel 5. Analisis hubungan pencahayaan (confounding) dengan TB paru Tingkat Pencahayaan < 60 Lux ≥ 60 Lux OR = 3,273
Kasus N % 24 68,6% 11 31,4% CI 95% = 1,224
Kelembaban rumah yaitu banyaknya uap air yang terkandung dalam ruangan. Kelembaban lebih dari 70% merupakan sarana yang baik untuk pertumbuhan
N 14 21
Kontrol Jumlah % N % 40,0% 38 54,3% 60,0% 32 45,7% nilai ρ = 0,031
mikroorganisme terutama Mycobacterium tuberculosis, karena di tempat tersebut bakteri ini berkembang biak dengan baik (Depkes RI, 2007).
217
Indriyani, Istiqomah, dan Anwar / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
Dari hasil uji chi square diperoleh p value tingkat kelembaban 0,004 artinya ada hubungan bermakna kelembaban rumah dengan kejadian TB paru. Hasil OR = 4,792 rumah dengan kelembaban tinggi akan mempengaruhi penghuninya untuk terkena TB paru sebanyak 4,792 kali dibanding dengan rumah tingkat kelembaban rendah. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Fatimah tahun 2008 yang membuktikan bahwa seseorang yang tinggal dengan kelembaban tinggi beresiko terkena penyakit TB paru 2,571 dibandingkan dengan seseorang yang rumah tinggalnya dengan kelembaban rendah. Pencahayaan sinar matahari dapat dimanfaatkan untuk pencegahan penyakit TB paru dengan cara mengusahakan masuknya sinar matahari ke dalam rumah. Bakteri TB paru dapat hidup bertahuntahun lamanya dan akan mati bila terkena sinar matahari (Depkes RI, 2008; MalecheObimbo et al, 2015). Cahaya matahari untuk membunuh bakteri tersebut minimal 60 Lux dengan syarat tidak menyilaukan. Dari hasil uji chi square diperoleh p value sebesar 0,031 sehingga ada hubungan pencahayaan dengan kejadian TB paru, diketahui OR = 3,273 dengan demikian dapat dinyatakan bahwa seseorang yang memiliki pencahayaan rumah < 60 Lux beresiko terkena penyakit TB paru 3,273 kali lebih besar dibandingkan seseorang yang tinggal dengan tingkat pencahayaan ≥ 60 Lux. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Ruswanto tahun 2010, berdasarkan OR yang diperoleh 3,333 ada hubungan antara pencahayaan alami dengan kejadian TB paru di Kabupaten Pekalongan. Akan tetapi berbeda dengan hasil penelitian Iqbal Daroja tahun 2010, dengan nilai p = 0,13 yang artinya tingkat pencahayaan bukan merupakan faktor
resiko kejadian TB paru di Kecamatan Peterongan Jombang. Tingkat pencahayaan dalam suatu ruangan dipengaruhi oleh keberadaan jendela/ ada tidaknya jendela karena dapat membantu sinar matahari yang masuk ke dalam rumah. Ventilasi mempengaruhi proses dilusi udara, dengan kata lain dapat mengencerkan konsentrasi bakteri tuberkulosis serta bakteri lain terbawa keluar dan mati karena sinar matahari (Ahmadi, 2010; Wulandari, 2012). Dari hasil uji chi square diperoleh p value sebesar 0,811 berarti luas ventilasi tidak ada hubungan dengan kejadian TB paru, OR = 1,257 kemungkinan penghuni dengan ventilasi < 10% dari luas lantai beresiko 1 kali lebih besar dari rumah yang memiliki ventilasi ≥ 10%. Hal ini sesuai dengan penelitian Mareta tahun 2014 didapatkan nilai p sebesar 0,569 yang berarti tidak ada hubungan luas ventilasi dengan TB paru di Puskesmas Kedungmundu Semarang. Rumah yang tidak memiliki ventilasi akan mengakibatkan terhalangnya proses pertukaran aliran udara dan sinar matahari yang masuk ke dalam rumah. Keberadaan jendela terbuka pada siang hari merupakan salah satu syarat untuk menentukan kualitas udara di dalam ruangan dari pencemaran mikroorganisme salah satunya adalah Mycobacterium tuberculosis (Wulandari, 2012; Suharyo, 2013) Dari hasil uji chi square, diperoleh p value sebesar 0,230 artinya tidak ada hubungan yang bermakna keberadaan jendela dengan TB paru. OR = 2,010 kemungkinan rumah dengan jendela tertutup beresiko bagi penghuninya terkena TB paru 2 kali lebih besar dari rumah yang jendelanya terbuka pada siang hari. Penelitian ini sama dengan penelitian
218
Indriyani, Istiqomah, dan Anwar / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
Ruswanto tahun 2010 diperoleh p value 0,162 dan OR = 1,636 artinya tidak ada hubungan keberadaan jendela dengan TB paru di Kabupaten Pekalongan.
Analisis Multivariat untuk mengetahui peran variabel pengganggu atau confounding menggunakan uji regresi logistik.
Tabel 6. Hasil analisis variabel confounding dari hubungan tingkat kelembaban Rumah Tinggal dengan TB paru Variabel
p
Exp (B)
CI 95%
Tingkat Kelembaban Tingkat Pencahayaan
0,039 0,562
3,801 1,456
1,069
Hasil uji regresi logistik model faktor resiko, variabel tingkat kelembaban nilai p = 0,039 yang artinya tingkat kelembaban rumah tinggal sangat berpengaruh dengan kejadian tuberkulosis paru, dan OR = 3,801 dengan demikian rumah tinggal dengan kelembaban tinggi beresiko 3,8 kali bagi penghuninya terkena TB paru. Uji confounding pencahayaan didapatkan nilai p = 0,562 dan OR = 1,456 ditetapkan bahwa tingkat pencahayaan sebagai variabel confounding dari tingkat kelembaban dan tuberkulosis paru. SIMPULAN
Ada hubungan antara kelembaban, pencahayaan dengan TB paru di wilayah Kecamatan Tulis. Tidak ada hubungan antara suhu, ventilasi dan jendela dengan TB paru di wilayah Kecamatan Tulis. Ada hubungan tingkat kelembaban dengan TB paru setelah dikontrol dengan tingkat pencahayaan. UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Batang dan Puskesmas Tulis dengan segenap jajarannya atas dukungan moril maupun
materiil sehingga penelitian dilaksanakan dengan baik.
ini
dapat
DAFTAR PUSTAKA Achmadi, 2012. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah, Rajawali Pers, Jakarta, Edisi revisi cetakan pertama Bartram, Jamie. and Cairncross, Sandy. 2010. Hygiene, Sanitation, and Water: Forgotten Foundations of Health. PLoS Med 7(11): e1000367. doi:10.1371/journal.pmed.1000367 BPS Kabupaten Batang, 2015. Data monografi Kecamatan Tulis dalam angka 2014, Kabupaten Batang. http://Batangkab.bps.go.id Diakses 2 Juli 2015 Chakaya, Jeremiah., Kirenga, Bruce. & Getahun, Haileyesus. 2016. Long term complications after completion of pulmonary tuberculosis treatment: A quest for a public health approach. Journal of Clinical Tuberculosis and Other Mycobacterial Diseases. 3 (2016): 10–12 Daroja, I, 2012. Pengaruh Jenis lantai, dinding, ventilasi, pencahayaan, kelembaban, serta pengetahuan terhadap kejadian tuberkulosis paru di Kecamatan Peterongan Kabupaten Jombang. Diakses 13 Maret 2015 Depkes RI, 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Jakarta: Depkes, Edisi dua catatan pertama.
219
Indriyani, Istiqomah, dan Anwar / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016) Depkes RI, 2011. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Jakarta: Depkes, Edisi Kedua Fatimah S, 2008. Faktor kesehatan lingkungan rumah yang berhubungan dengan kejadian TB paru di Kabupaten Cilacap , Universitas Diponegoro, Semarang. Diakses tanggal 13 Maret 2015 Fitriani, Eka. 2013. Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru (Studi Kasus di Puskesmas Ketanggungan Kabupaten Brebes Tahun 2012). Unnes Journal of Public Health. 2 (1): 1-7 Kizito, Kibango Walter., Dunkleya, Sophie., Kingori, Magdalene. and Reidc, Tony. 2010. Lost to follow up from tuberculosis treatment in an urban informal settlement (Kibera), Nairobi, Kenya: what are the rates and determinants?. Transactions of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene. 105 (2011): 52–57 Lienhardt, Christian. 2001. From Exposure to Disease: The Role of Environmental Factors in Susceptibility to and Development of Tuberculosis. Epidemiologic Reviews. 23 (2): 288-301 Maleche-Obimbo, E., Wanjau, W. and Kathure, I. 2015. The journey to improve the prevention and management of childhood tuberculosis: the Kenyan experience. International Journal Of Tuberculosis and Lung Disease. 19(12):539–542 Mareta, A, 2013. Hubungan antara kondisi fisik rumah dengan kejadian tuberkulosis paru, Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Negeri Semarang. Diakses tanggal 10 Maret 2015
R, Dwi Sarwani S., Nurlaela, Sri. & A, Isnaini Zahrotul. 2012. Faktor Risiko Multidrug Resistant Tuberculosis (MDR-TB). Jurnal Kesehatan Masyarakat (KEMAS). 8 (1): 60-66 Ruswanto B, 2010. Analisis Spasial sebaran kasus tuberkulosis paru ditinjau dari faktor lingkungan dalam dan luar rumah di Kabupaten Pekalongan, Universitas Diponegoro Semarang. Diakses 20 Juni 2014 Suharyo. 2013. Determinasi Penyakit Tuberkulosis di Daerah Pedesaan. Jurnal Kesehatan Masyarakat (KEMAS). 9 (1): 85-91 Tiwari, Simmi., Kumar, Amod. and Kapoor, S.K. 2012. Relationship between sputum smear grading and smear conversion rate and treatment outcome in the patients of pulmonary tuberculosis undergoing DOTS- A prospective cohort study. Indian Journal of Tuberculosis. 59 (3): 135140 Wankhade, Gauri., Hutke, Vinita., Waghmare, Pranita J., Misra, Arup Kr., Varma, Sushil Kumar., and Harinath, B.C. 2012. Inhibitory effect of isoniazid and orlistat combination on mycobacterial ES-31 serine protease in vitro and on the growth of M.tb bacilli in axenic culture. Indian Journal of Tuberculosis. 59 (3): 156-161 Widoyono, 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasan, Penerbit Erlangga, Jakarta Wulandari, Susiani. 2012. Hubungan Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru. Unnes Journal of Public Health. 1 (1): 42-44
220