UJPH 5 (4) (2016)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
PROFIL POTENSI PENYAKIT AKIBAT KERJA TAHAPAN PEMBATIKAN Rr. Vita Nur Latif, Ristiawati, Nor Istiqomah Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Pekalongan, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima Agustus 2016 Disetujui September 2016 Dipublikasikan Oktober 2016
Batik diakui UNESCO sebagai budaya milik Indonesia. Pembatikan masih menggunakan bahan baku berbahaya. Salah satu tuntutan AFTA (ASEAN Free Trade Area) 2015 yaitu meningkatkan kualitas dan perlindungan produk dalam negeri (batik) untuk dapat bersaing dengan produk luar negeri, dimana dalam proses produksinya memperhatikan aspek kesehatan dan keselamatan kerjanya. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi gangguan kesehatan yang muncul pada tahapan pembatikan yang nantinya dapat menjadi dasar rekomendasi substitusi bahan dan metode dalam tahapan pembatikan. Penelitian ini berupa survey analitik dengan metode deskriptif analitik. Populasi penelitian ini adalah seluruh pekerja industri batik di Kota Pekalongan pada 634 industri batik. Sampel pada penelitian ini sejumlah 80 responden yang diambil secara random sampling. Ditemukan gangguan kesehatan pada pekerja batik berupa gangguan kapasitas paru 67,5%; penurunan fungsi penglihatan 33,8%; dermatitis ekstrimitas 30%. Sebaran pekerja dengan gangguan kapasitas paru, penurunan fungsi penglihatan, dan dermatitis ekstrimitas terbanyak ditemukan pada tahap pelekatan lilin, berturut-turut 64,8%; 48,1%; dan 66,7%.
________________ Keywords: Batik; Health Disorder; Occupational Illness. ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ Batik is recognized by UNESCO as Indonesian indigenous culture. Batik processing was still using dangerous material. One of AFTA 2015 requirements was to increase quality and protection to domestic product for commpeting with foreign product, whith paying attention to health and safety. This study aimed to identify health disorders in batik processing for being the rasionale for material and method substitution recommandation in batik processing. This was descriptive analitic survey. The population was all workers in all batik industries (634 industries) in Pekalongan City. There were 80 respondents which were choosen ramdomly as sample. It was indentified that the health disorders in batik industries workers were vital lung capacity abnormalities (33.8%), optical degeneration and dermatitis extremities (30%). Health disorders were mostly found in waxing process; they were vital lung capacity abnormalities (64.8%), optical degeneration (48.1%) and dermatitis extremities (66.7%).
© 2016 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Program Studi Kesehatan Masyarakat, Universitas Pekalongan E-mail:
[email protected]
348
ISSN 2252-6781
Rr. Vita Nur Latif, Ristiawati, Nor Istiqomah / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
PENDAHULUAN
AFTA (ASEAN Free Trade Area) merupakan bentuk perdagangan bebas yang menuntut Indonesia untuk lebih unggul dalam hal produk yang mengedepankan tidak hanya kualitas produknya tetapi juga proses yang mengutamakan mutu dan standar. Implementasi AFTA yang direncanakan dilaksanakan pada tahun 2020 diajukan menjadi tahun 2015. Dengan diberlakukannya AFTA yang disepakati bersama oleh semua negara di wilayah Asia Tenggara maka secara otomatis liberalisasi akan terjadi hampir di semua sektor. Ketika AFTA berlaku pada akhir 2015 nanti pasar Indonesia akan membuka diri. Hal ini menuntut kita untuk meningkatkan kualitas dan mutu serta perlindungan produk dalam negeri tidak terkecuali batik untuk dapat bersaing dengan produk luar negeri dengan mengusung produk layak jual, dimana dalam proses produksinya memperhatikan berbagai aspek kesehatan dan keselamatan kerjanya. Batik merupakan produk dalam negeri yang mencirikan kebudayaan dan akan menjadi salah satu produk unggulan Indonesia dalam AFTA. Eksistensi industri kerajinan batik, tidak dapat lepas dari pendapatan daerah dan income per capita wilayah Kota Pekalongan dan menjadi motor penggerak ekonomi mikro maupun makro bagi masyarakatnya. Hal ini membawa konsekuensi positif maupun negatif, diakuinya batik sebagai warisan budaya tak benda berdasarkan pernyataan resmi dari UNESCO (The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) yaitu badan di bawah Perserikatan Bangsa-bangsa yang mengurusi kebudayaan, telah ditetapkan bahwa batik Indonesia merupakan mata budaya tak benda milik bangsa Indonesia berdasarkan rapat yang diselenggarakan pada tanggal 2 Oktober 2009 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (Yuli, 2010). Melekatnya branding Kota Pekalongan sebagai World City of Batik, merupakan konsekuensi positif yang sangat
membanggakan. Akan tetapi, pada sisi lain menjamurnya industri batik membawa konsekuensi negatif berupa dampak gangguan kesehatan pada tenaga kerja, baik yang diakibatkan oleh faktor ergonomi maupun penggunaan bahan baku pendukung proses produksi pada industri ini (Agustin, et. al., 2014). Ditinjau dari segi hiperkes salah satu faktor yang menjadi penyebab gangguan kesehatan pada tenaga kerja pada sektor industri batik ini adalah adanya bahan-bahan utama atau bahan pendukung proses produksi yang dapat membahayakan atau memberikan efek pada kesehatan para pekerjanya. Dewasa ini lebih dari dua milyar orang hidup dalam lingkungan kerja yang dapat mengancam kesehatan para karyawan industri yang terpajan faktor fisis, kimia, toksis, dan sebagainya yang dapat menimbulkan penyakit akibat kerja. Secara umum, proses produksi industri batik, menggunakan bahan baku yang pada pengelolaannya menghasilkan polutan yang dapat mengganggu kesehatan pekerjanya. Salah satunya adalah lilin atau lilin batik yang dipanaskan sehingga keluar asap dari lilin tersebut. Polutan yang terdapat dalam asap tersebut mengandung gas-gas NO2, SO2, CO, CO2, HC, H2S, dan partikel (Fauzia, 2015). Keberadaan polutan tersebut berbahaya bagi pekerja maupun lingkungan (Adi, 2012; Amaliasani, 2013; Nurroisah, 2014; Sasongko, 2010). Hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap 327 orang tenaga kerja yang terpapar asap lilin batik dan gas yang dikeluarkan oleh alat pemanas didapatkan gangguan faal paru sebesar 20.7% dengan perincian obstruksi 11.8%, restriksi 7.8% dan kombinasi 1.1%. polutan tersebut jika dihirup oleh tenaga kerja akan menimbulkan kerusakan akut maupun kronis pada jaringan paru, tergantung dari konsentrasi polutannya, lama paparan, dan kerentanan tubuh. Bila proses ini berlangsung 349
Rr. Vita Nur Latif, Ristiawati, Nor Istiqomah / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
lama, maka dapat menimbulkan penyakit akibat kerja. Gas-gas polutan bersifat iritan terhadap saluran pernapasan terutama gas SO2 dan NOx. Konsentrasi polutan dipengaruhi oleh kadar bahan-bahan tersebut. Jika dihirup maka akan dapat menimbulkan kelainan pada saluran pernapasan yang berupa penurunan kadar VO2max dan keluhan saluran pernapasan (Fauzia, 2015; Lubis, et al., 2002). Polutan lain dapat berupa debu dengan golongan padat (solid) dan berbentuk fumes atau uap karena dihasilkan dari proses produksi suatu bahan tekstil maupun proses pewarnaan serta bakan kimia lain yang mendukung hasil dari produksi batik. Adapun deskripsi dari gangguan kesehatan ini dapat berupa gangguan kapasitas paru, berbagai gejala dermatitis kontak, gangguan tampilan profil anatomis terkait dengan kondisi ergonomis saat bekerja (low back pain) pada kasuistik tertentu, gangguan pajanan debu (fumes) maupun gangguan kesehatan lainnya (Sumardiyono, et al., 2014). Fenomena banyaknya faktor peningkat risiko gangguan kesehatan akibat kerja seperti kenyamanan posisi bekerja, keamanan terhadap bahan pewarna, hingga usaha pencegahan penggunaan alat pelindung diri (APD), selama ini masih tersebar dalam berbagai hasil penelitian, namun belum dilakukan upaya untuk merumuskannya menjadi daftar gangguan kesehatan yang berpotensi terjadi pada kalangan pembatik. Profil kesehatan pekerja batik perlu dipetakan guna peningkatan kinerja dan profesionalitas kerja yang baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi gangguan kesehatan yang muncul pada tahapan pembatikan yang nantinya dapat menjadi dasar penyusunan profil kesehatan pembatik serta rekomendasi substitusi bahan dan metode dalam tahapan pembatikan.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian survey analitik dengan metode penelitian deskriptif analitik untuk menyajikan identifikasi gangguan kesehatan yang muncul pada tahapan proses pembuatan batik. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pekerja industri batik di wilayah Kota Pekalongan yang tersebar pada 634 industri batik. Adapun sampel pada penelitian ini sejumlah 80 responden yang diambil secara random sampling. Pengumpulan data meliputi identitas dan karakteristik responden pekerja, data gangguan kesehatan meliputi gangguan fungsi paru (tampilan kapasitas paru), data gangguan visus, dermatitis, dan gangguan postur akibat sikap kerja. Beberapa alat pengumpulan data menggunakan field notes atau catatan lapangan, pedoman wawancara, Spirometer digital, dan cheklist observasi. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil dari 80 responden pekerja batik selaku sampel terpilih, rata – rata umur 42,78 tahun dengan umur termuda 19 tahun dan umur tertua 78 tahun, jenis kelamin responden terpilih didapatkan laki-laki 36.3% dan perempuan 63.8%, rerata pendidikan responden adalah SD (77.5%), dengan pendidikan terendah tidak sekolah (1.3%), pendidikan tertinggi SMA (11.3%), didapatkan kategori IMT normal (52.5%), underweight (7.5%), kategori overweight (40%). Rata – rata masa kerja adalah 15 tahun, masa kerja terpendek adalah 1 tahun dan masa kerja terlama 33 tahun, sebagian besar pekerja tidak menggunakan masker yaitu sebanyak 91,3% dan yang menggunakan masker adalah 8,8%. Berdasarkan jenis tahapan proses kerja pada hasil penelitian didapatkan dari 80 responden terpilih 60% berada diproses pelekatan lilin, 350
Rr. Vita Nur Latif, Ristiawati, Nor Istiqomah / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
26.3 % di tahap pewarnaan, dan 7.5% pada proses nyanting dan 6.3% pada bagian pelorotan.
yang tampil pada gangguan visus berupa mata lelah, berair, dan pandangan kabur. 2) Tahap Pewarnaan Pada tahapan pewarnaan didapatkan hasil keluhan kesehatan berupa gatal pada permukaan kulit tangan dan kaki, penipisan lapisan epidermis yang disebabkan penggunaan pewarnaan tanpa menggunakan alat pelindung diri yang memadai, seperti : sarung tangan dan sepatu boot, sehingga bahan kimia langsung terpajan pada kulit pekerja. Penggunaan kaporit sebagai bahan pembersih tangan setelah terpajan bahan pewarna menyebabkan penipisan pada kulit tangan maupun kaki pekerja batik. Pada proses pewarnaan manual (tanpa mesin) didapati keluhan low back pain dikarenakan proses kerja posisi membungkuk dan berdiri secara berulang-ulang. 3) Tahap pelepasan lilin Pada tahap pelorotan didapatkan hasil keluhan kesehatan berupa sesak nafas, dan dada berat, mata berair dan didapatkan sebagian sampel pekerja batik pada tahap ini mengalami defek anatomis berupa lordosis dan kifosis. Keluhan sesak nafas dan dada berat disebabkan karena uap pelelehan lilin dan biomassa yang dihasilkan dari proses pembakaran kayu yang digunakan untuk pelelehan lilin. Pajanan secara terus menerus uap pelehan lilin dan biomassa (bagi industri batik yang masih menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar pelorotan) menyebabkan penurunan elastisitas kemampuan paru untuk mengembang sehingga manifestasi kondisi ini berupa sesak nafas, dada berat dan mata berair.
Gangguan kesehatan makro pekerja batik (tulis dan cap)
Berdasarkan penelitian didapatkan kesimpulan dari 80 sampel terpilih didapatkan secara makro pada pekerja di tiap tahapan proses pembatikan mengalami keluhan yang spesifik yang hanya timbul pada proses pembatikan tertentu, secara detail dipaparkan pola keluhan sebagai berikut : 1) Tahap pelekatan lilin Pada tahap pelekatan lilin (nyanting pada batik tulis dan ngecap pada batik cap) keluhan yang dirasakan pekerja batik adalah sesak nafas dan dada berat, dikarenakan pada proses nyanting pekerja batik melakukan proses peniupan canting secara terus menerus, sehingga uap lilin yang memiliki kandungan bahan kimia terinhalasi, hal ini diperberat dengan kondisi para pekerja batik tulis menghadapi uap yang dihasilkan dari proses pelelehan lilin.dua aktifitas ini apabila dilakukan secara terus menerus mengakibatkan penurunan elastisitas kemampuan paru dalam mengembang sehingga manifestasi dari kondisi adalah keluhan sesak nafas dan dada berat. Keluhan lain adalah Low Back Pain pada proses nyanting dan varises pada proses ngecap yang dikarenakan posisi kerja yang kurang ergonomis (karena pada proses pelekatan lilin ini, baik tulis maupun cap posisi kerja monoton kurang lebih 8 jam per harinya, baik posisi kerja duduk pada proses pelekatan lilin batik tulis maupun posisi kerja berdiri pada proses pelekatan lilin batik cap. Keluhan frozen shoulder dan stress neck juga dirasakan pada keduanya. Keluhan yang banyak muncul pada proses nyanting adalah penurunan daya akomodasi
Gangguan kesehatan berdasarkan pengukuran pada pekerja batik
hasil
Beberapa gangguan kesehatan yang ditemukan pada pekerja batik di antaranya seperti Tabel 1.
351
Rr. Vita Nur Latif, Ristiawati, Nor Istiqomah / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
Tabel 1. Distribusi gangguan kesehatan pada pekerja batik Gangguan
Frekuensi (%) Normal
Tidak normal
Kapasitas paru
32,5
67,5
Visus
66,2
33,8
Dermatitis
70
30
Dari 67,5% responden dengan gangguan kapasitas paru dapat dikategorikan seperti Gambar 1. Normal Obstruktif ringan
15 %
Obstruktif sedang
28,8 %
Restriktif berat
21,3 % 2,5 % 2,5 %
Restriktif ringan Restriktif sedang
5%
25 %
Kombinasi
Gambar 1. Kategori gangguan kapasitas paru yang ditemukan Berdasarkan hasil pengukuran visus didapatkan 33.8% responden mengalami penurunan fungsi penglihatan, berupa pandangan mata kabur, minus. Adapun gangguan kesehatan pada daya lihat yang dikeluhkan diantaranya adalah mata lelah, berair yang banyak didapatkan pada pekerja batik pada proses nyanting. Berdasarkan hasil penelitian dermatitis didapatkan 30% responden mengalami kondisi dermatitis baik pada ekstremitas tangan maupun kaki. Hal ini disebabkan pajanan bahan kimia pada proses pewarnaan secara terus menerus tanpa barrier alat pelindung diri (boot dan sarung tangan). Adapun keluhan-keluhan gangguan kesehatan yang dirasakan para pekerja didapatkan sebagai berikut : 1. Pada tahap pelekatan lilin (nyanting pada batik tulis dan ngecap pada batik cap)
keluhan yang dirasakan pekerja batik adalah sesak nafas dan dada berat, dikarenakan pada proses nyanting pekerja batik melakukan proses peniupan canting secara terus menerus, sehingga uap lilin yang memiliki kandungan bahan kimia terinhalasi, hal ini diperberat dengan kondisi para pekerja batik tulis menghadapi uap yang dihasilkan dari proses pelelehan lilin. Dua aktivitas ini apabila dilakukan secara terus menerus mengakibatkan penurunan elastisitas kemampuan paru dalam mengembang sehingga manifestasi dari kondisi adalah keluhan sesak nafas dan dada berat. Keluhan lain adalah Low Back Pain pada proses nyanting dan varises pada proses ngecap yang dikarenakan posisi kerja yang kurang ergonomis (karena pada proses pelekatan lilin ini, baik tulis maupun cap posisi kerja monoton kurang lebih 8 jam 352
Rr. Vita Nur Latif, Ristiawati, Nor Istiqomah / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
per harinya, baik posisi kerja duduk pada proses pelekatan lilin batik tulis maupun posisi kerja berdiri pada proses pelekatan lilin batik cap. Keluhan frozen shoulder dan stress neck juga dirasakan pada keduanya. Keluhan yang banyak muncul pada proses nyanting adalah penurunan daya akomodasi yang tampil pada gangguan visus berupa mata lelah, berair, dan pandangan kabur. 2. Pada tahapan pewarnaan didapatkan hasil keluhan kesehatan berupa gatal pada permukaan kulit tangan dan kaki, penipisan lapisan epidermis yang disebabkan penggunaan pewarnaan tanpa menggunakan alat pelindung diri yang memadai, seperti : sarung tangan dan sepatu boot, sehingga bahan kimia langsung terpajan pada kulit pekerja. Penggunaan kaporit sebagai bahan pembersih tangan setelah terpajan bahan pewarna menyebabkan penipisan pada kulit tangan maupun kaki pekerja batik. Pada proses pewarnaan manual (tanpa mesin) didapati keluhan low back pain) dikarenakan proses kerja posisi membungkuk dan berdiri secara berulang-ulang. 3. Pada tahap pelorotan didapatkan hasil keluhan kesehatan berupa sesak nafas, dan dada berat, mata berair dan didapatkan sebagian sampel pekerja batik pada tahap ini mengalami defek anatomis berupa lordosis dan kifosis. Keluhan sesak nafas dan dada berat disebabkan karena uap pelelehan lilin dan biomassa yang dihasilkan dari proses pembakaran kayu yang digunakan untuk pelelehan lilin. Pajanan secara terus menerus uap pelehan lilin dan biomassa (bagi industry batik yang masih menggunakan kayubakar sebagai bahan bakar pelorotan) menyebabkan penurunan elastisitas kemampuan paru untuk mengembang sehingga manifestasi kondisi ini berupa sesak nafas, dada berat dan mata berair.
Manifestasi gangguan kesehatan yang muncul pada tiap proses pembatikan (pelekatan lilin, pewarnaan dan pelorotan) bersifat spesifik, artinya keluhan dan gangguan kesehatan pada proses pelekatan lilin spesifik hanya diderita oleh pekerja pada bagian itu. Begitu juga pada tahap pewarnaan maupun pelorotan (Sari, et al., 2014). Kondisi gangguan yang muncul sebagai hasil penelitian sesuai dengan teori mengenai kandungan lilin batik seperti Hidrogen peroksida (H2O2) dan paraffin keduanya menyebabkan iritasi paru apabila terinhalasi secara continue dalam jangka waktu yang lama karena bersifat korosif pada jaringan organ paru. Hal ini terbukti pada manifestasi keluhan pekerja pada proses pelekatan lilin (baik itu proses nyanting maupun cap), para pekerja batik memiliki keluhan sesak nafas dan dada terasa berat. Adapun gangguan kesehatan berupa dermatitis baik karena penyebab iritasi terhadap bahan kimia pewarnaan, seperti senyawa Sodium Hidroksida (NaOH) dan Asam Clorida (HCl) serta Sodium Nitrit (NaNO2) dimana ketiga senyawa tersebut bersifat iritatif dengan manifestasi peradangan pada kulit, kondisi ini diperberat dengan kondisi fisik lingkungan kerja yang kurang menjaga hygiene (Munthe, 2014). SIMPULAN
Gangguan kesehatan pada pekerja batik di antaranya gangguan kapasitas paru 67,5%, penurunan fungsi penglihatan 33,8%, dan dermatitis ekstrimitas 30%. Sebaran pekerja dengan gangguan kapasitas paru, penurunan fungsi penglihatan, dan dermatitis ekstrimitas terbanyak ditemukan pada tahap pelekatan lilin, berturut-turut 64,8%; 48,1%; dan 66,7%. DAFTAR PUSTAKA Adi, B.W. 2012. Penyisihan Zat Organik Pada Air Limbah Industri Batik dengan Fotokatalisis TiO2.
353
Rr. Vita Nur Latif, Ristiawati, Nor Istiqomah / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016) Skripsi. Jurusan Teknik Lingkungan FTSP Institut Teknologi Surabaya
Padatan Tersuspensi pada Limbah cair Batik. Unnes Journal of Public Health. 3(4): 56-64
Agustin, C.P.M., Mardiana, Budiono, I. 2014. Hubungan Masa Kerja dan Sikap Kerja dengan Kejadian Sindrom Karpal pada Pembatik CV. Pusaka Beruang Lasem. Unnes Journal of Public Health. 3(4): 74-80
Pratama, D. 2012. Pengolahan Limbah Batik Yang Berwawasan Lingkungan. Jember: Universitas Jember Rizza, R. 2013. Hubungan antara Kondisi Fisik Sumur Gali dengan Kadar Nitrit Air Sumur Gali di Sekitar Sungai Tempat Pembuangan Limbah Cair Batik. Unnes Journal of Public Health. 2(3): 1-10
Amaliasani, R. 2013. Pengolahan Limbah Batik dengan menggunakan metode elektrolisis dengan anoda dan katoda platinum (Pt). Skripsi. Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
Sari, R., Suradi, Yunus, F. 2014. Dampak Pajanan Zat pada Proses Pewarnaan Pembuatan Batik terhadap Kelainan Klinis Pekerja Industri Batik. J. Respir. Indo. 34(2): 77-86
Fauzia, L.P. 2015. Pengaruh Paparan Asap Pembakaran Lilin Batik terhadap Fungsi Paru Pengerajin Batik Tulis. Skripsi. Universitas Diponegoro Semarang
Sasongko, DP dan WP Tresna. 2010. Identifikasi Unsur dan Kadar Logam Berat pada Limbah Pewarna Batik dengan Metode Analisis Pengaktifan Neutron. Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH. 27: 22-27
Lubis, A., A, Kusnindar., Anwar, A., Sukar. 2002. Status Kesehatan Pekerja Wanita di Industri Batik, Penyamakan Kulit, dan Industri Sepatu dan Tas. Jurnal Ekologi Kesehatan. 1(1): 31-36 Munthe, E.L., Suradi, Surjanto, E., Yunus, F. 2014. Dampak Pajanan Asap Lilin Batik terhadap Fungsi Paru dan Asma Kerja pada Pekerja Industri Batik Tradisional. J. Repir. Indo. 34(3): 149-157
Sumardiyono, Probandari, A., Hanim, D., Handayani, S., Susilowati, I.H. 2014. Effectiveness of Ergonomic Chair against Musculoskeletal Disorders in Female Batik Workers of Sragen District. Makara J. Health Res. 18(2): 95-102
Nurroisah, E., Indarjo, S., Wahyuningsih, A.S. 2014. Keefektifan Aerasi Sistem Tray dan Filtrasi sebagai Penurun Chemical Oxygen Demand dan
Yuliati, D. 2010. Mengungkap Sejarah dan Motif Batik Semarangan. Paramita. 20(1): 11-20
354
UJPH 5 (4) (2016)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
HUBUNGAN PAPARAN PESTISIDA SELAMA KEHAMILAN DENGAN KEJADIAN BBLR PADA PETANI SAYUR Miftah Fatmawati , dan Rudatin Windraswara Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima Agustus 2016 Disetujui September 2016 Dipublikasikan Oktober 2016
Berat badan lahir rendah (BBLR) menjadi salah satu penyebab utama mortalitas bayi. Permasalahan yang muncul adalah apakah ada hubungan antara paparan pestisida pada masa kehamilan dengan kejadian BBLR di daerah pertanian. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian BBLR. Penelitian ini merupakanstudi case control. Subjek dibagi menjadi dua kelompok: kelompok kasus sejumlah 25 petani dengan riwayat melahirkan BBLR dan kelompok kontrol yang merupakan tetangga dari subjek kasus tanpa riwayat melahirkan BBLR sejumlah 25 petani. Pengumpulan data penelitian ini menggunakan wawancara dan observasi. Analisis data menggunakan analisis univariat dan bivariat (chi square dan fisher sebagai alternatifnya). Faktor risiko yang terbukti berhubungan dengan kejadian BBLR antara lain: pekerjaan ibu hamil yang berkaitan dengan pestisida (OR = 6,769); kelengkapan alat pelindung diri (APD) saat beraktivitas di ladang (OR= 18,857); dan penyimpanan pestisida (OR= 12,667). Saran yang direkomendasikan adalah menghindari pekerjaan yang berkaitan langsung dengan pestisida selama masa kehamilan, jika memang harus ikut dalam kegiatan pertanian maka ibu hamil sebaiknya menggunakan APD lengkap.
________________ Keywords: Low birth weight; Farmer; Pesticide exposure; Pregnancy. ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ Low birth weight becomes one problem that may cause infant mortality. This study aimed to find the relation between pesticide exposure during pregnancy and low birth weight. This was case control study. The subjects were divided into two groups: 25 farmers with low birth weight infants as case group, and subjects 25 farmers with normal birth weight infants who lived around the case group as control group. Data were collected with interview and observation. Data were analyzed by univariate and bivariate analysis (chi-square test and fisher test). Risk factors during pregnancy that associated with lowbirth weight were activities with pesticide during pregnancy (OR= 6,769); personal protective equipment completeness (OR= 18,857); and storage of pesticide (OR= 12,667). Recommended to pregnant farmer to avoid activity with pesticide during pregnancy. Pregnant farmer should use personal protective equipment completely when agricultural activities could not be avoided.
© 2016 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Gedung F5 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail:
[email protected]
ISSN 2252-6781
306
Miftah Fatmawati, & Rudatin Windraswara / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
PENDAHULUAN
Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) menjadi salah satu faktor utama dalam peningkatan mortalitas, morbiditas, dan disabilitas neonatus, bayi dan anak serta memberikan dampak jangka panjang terhadap kehidupan masa depan. BBLR adalah bayi dengan berat badan lahir kurang dari 2500 gram tanpa memperhatikan lama kandungannya. Prevalensi BBLR diperkirakan sebesar 15% dari seluruh kelahiran di dunia dengan batasan 3,3% – 38% dan lebih sering terjadi di negara-negara berkembang atau sosial ekonomi rendah. Secara statistik menunjukan 90% kejadian BBLR didapatkan di negara berkembang dan angka kematiannya 35 kali lebih tinggi dibandingkan bayi lahir dengan berat badan di atas 2500 gram (Pantiawati, 2010). Secara nasional, kejadian BBLR juga masih menjadi permasalahan di berbagai daerah. Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menyatakan bahwa persentase balita (0-59 bulan) dengan berat badan lahir rendah (BBLR) sebesar 10,2%. Semakin rendah tingkat pendidikan ibu, maka prevalensi BBLR semakin tinggi. Menurut jenis pekerjaan, persentase BBLR tertinggi pada anak balita dengan kepala rumah tangga yang tidak bekerja (11,6%), sedangkan persentase terendah pada keluarga dengan kepala keluarga yang bekerja sebagai pegawai (8,3%). Selain itu persentase kejadian BBLR di daerah pedesaan (11,2%) lebih tinggi dibandingkan di perkotaan (9,4%). Jumlah bayi BBLR di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012 sebanyak 21.573 kasus atau sebesar 3,75% dari total kelahiran hidup. Angka kejadian BBLR tahun 2013 sama dengan tahun 2012 yaitu dengan persentase 3,75%. Tahun 2014 kejadian BBLR di Jateng mengalami peningkatan dengan persentase kejadian sebesar 3,9%. Bayi dengan BBLR mudah sekali mengalami hipotermia dan
kondisi pembentukan organ-organ tubuhnya juga belum sempurna, sehingga berisiko mengalami kematian. Angka kematian bayi (AKB) di Jateng tahun 2014 adalah 10,08/1.000 kelahiran hidup. Kabupaten Magelang merupakan salah satu kabupaten dengan angka kematian bayi (AKB) yang selalu mengalami kenaikan dari tahun 2012 sampai tahun 2014. Pada tahun 2012, AKB di Kabupaten Magelang 6,75/1.000 kelahiran hidup, tahun 2013 meningkat menjadi 7,27/1.000 kelahiran hidup, dan tahun 2014 kembali mengalami peningkatan menjadi 7,98/1.000 kelahiran hidup. Penyebab AKB tertinggi adalah dikarenakan oleh BBLR. Hal tersebut dapat dilihat dari data penyebab AKB di Kabupaten Magelang tahun 2014 yaitu kasus BBLR menduduki peringkat teratas dengan kontribusi sebesar 35,04% dari total AKB. Jumlah kejadian BBLR di Kabupaten Magelang tahun 2012 sebanyak 862 kasus dengan persentase sebesar 5,03% dari total kelahiran hidup. Tahun 2013 jumlah kejadian BBLR di Kabupaten Magelang meningkat dengan total kejadian 911 kasus dengan persentase 4,8%. Sedangkan pada tahun 2014 jumlah kejadian BBLR mengalami sedikit penurunan, yaitu sebanyak 887 kasus dan persentase yang hampir sama dengan tahun sebelumnya, yaitu 4,75%. Persentase kejadian BBLR tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan persentase di Jawa Tengah, yaitu antara 3,75%−3,9%. Kejadian BBLR dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor ibu, faktor janin, dan faktor lingkungan. Faktor yang berasal dari ibu dapat berupa penyakit yang menyertai ibu ketika hamil (penyakit jantung, hipertensi, penyakit paru-paru, penyakit endokrin, dan penyakit infeksi), usia ibu, keadaan sosial, dan sebab lain, seperti perokok, konsumsi alkohol, dan kelainan 307
Miftah Fatmawati, & Rudatin Windraswara / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
kromosom. Penyebab terjadinya BBLR yang berasal dari janin, diantaranya hidramnion, kehamilan ganda, dan kelainan kromosom. Selain faktor ibu dan janin, terdapat faktor lingkungan yang juga dapat mempengaruhi terjadinya BBLR, misalnya tempat tinggal di dataran tinggi, radiasi, dan paparan zat-zat racun (Pantiawati, 2010). Zat-zat racun yang masuk ke dalam tubuh ibu berasal dari berbagai sumber, salah satunya berasal dari kegiatan pertanian yang banyak menggunakan pestisida, sehingga ibu terkena paparan pestisida pada saat melakukan kegiatan pertanian. Sektor pertanian menjadi salah satu lapangan kerja yang paling banyak menyerap tenaga kerja, baik laki-laki maupun perempuan. Peran perempuan di bidang pertanian diantaranya membuang rumput dari tanaman, mencari hama, menyiram tanaman, dan memanen hasil pertanian. Meskipun tidak semua ibu hamil melakukan kegiatan penyemprotan tanaman, namun ibu tetap berisiko terkena paparan pestisida melalui aktivitas pertanian lainnya, seperti menyiapkan perlengkapan menyemprot, mencampur pestisida yang akan digunakan, mencuci pakaian dan peralatan menyemprot, serta berada dalam satu area dengan penyemprot. Kabupaten Magelang sebagian besar wilayahnya adalah pegunungan yang subur, sehingga banyak penduduk yang bekerja di sektor pertanian. Persentase penduduk yang menjadi petani di Kabupaten Magelang tahun 2014 sebesar 38,94% dari seluruh angkatan kerja (usia 15 tahun ke atas) atau sebanyak 361.799 jiwa. Dari jumlah petani tersebut, perempuan juga memiliki peran yang besar dalam pertanian, yaitu sebanyak 176.545 jiwa atau sebesar 37,86% dari jumlah angkatan kerja perempuan di wilayah tersebut Kecamatan Ngablak dan Kecamatan Pakis merupakan wilayah pertanian dengan
produksi sayuran terbesar di Kabupaten Magelang tahun 2014. Mayoritas penduduk di Kecamatan Ngablak bermata pencaharian petani, yaitu sebanyak 26.341 jiwa atau sebesar 87,5% dari jumlah penduduk usia 10 − 64 tahun. Jumlah petani di Kecamatan Pakis sebanyak 32.388 jiwa atau 78,9% dari jumlah penduduk usia 10 − 64 tahun di wilayah tersebut. Pada umumnya, petani perempuan di Kecamatan Ngablak dan Kecamatan pakis memiliki peran yang sama dengan petani lakilaki. Sehingga perempuan memiliki risiko yang sama untuk terpapar pestisida. Pada tahun 2010 Dinkes Kab. Magelang melakukan pengukuran kadar cholinesterase dalam darah pada 200 sampel petani di Kecamatan Ngablak dan Kecamatan Pakis. Hasil pengukuran menunjukan bahwa 0,5% mengalami tingkat paparan pestisida berat, 18,5% sedang, 72,5% ringan, dan 8,5% sampel normal. Berdasarkan studi pendahuluan pada tanggal 14 sampai 16 November 2015 pada 10 petani perempuan yang sebelumnya pernah melahirkan bayi di Kecamatan Ngablak dan Kecamatan Pakis diketahui bahwa 60% bekerja sebagai petani lebih dari 5 tahun, 20% kurang dari 5 tahun, dan 20% bukan petani. Apabila dilihat dari keikutsertaan mereka dalam kegiatan pertanian selama hamil diketahui bahwa 70% ikut dalam kegiatan pertanian, dan 30% tidak terlibat dalam pertanian. Dari 8 responden yang bekerja sebagai petani terdapat 5 responden yang menggunakan pestisida tidak sesuai dosis yang dianjurkan. Bahkan jika penyakit atau serangan hama sulit diberantas, mereka juga mencampur pestisida dengan jenis pestisida yang lain, yaitu terdapat 7 responden yang melakukan pencampuran pestisida. Jenis pestisida yang paling banyak digunakan oleh petani di wilayah tersebut adalah golongan organofosfat dan karbamat, seperti Diazinon, Curacron, Dursban, Lannate, Tamacron, dan lainlain. 308
Miftah Fatmawati, & Rudatin Windraswara / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
Keikutsertaan perempuan dalam bidang pertanian menjadikannya sebagai salah satu populasi yang berisiko terpapar pestisida yang menyebabkan keracunan pestisida. Hasil penelitian Mahmudah dkk. (2012) menyebutkan bahwa ada hubungan antara keikutsertaan istri dalam kegiatan pertanian (p=0,042) dan tingkat risiko paparan (p=0,002) dengan kejadian keracunan pestisida. Penelitian yang dilakukan di Polandia Tengah menyebutkan bahwa bayi yang dilahirkan dari wanita yang terpapar pestisida pada trimester I dan II mempunyai berat badan yang lebih rendah 189 gram dibandingkan bayi yang lahir dari wanita yang tidak terpapar pestisida (Dabrowski, 2003). Selain itu, pada penelitian yang dilakukan di Kecamatan Wanasari, Kabupaten Brebes menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara keterlibatan ibu hamil dalam kegiatan pertanian dengan kejadian BBLR (p=0,019) (Sari dkk., 2015). Patogenesis terjadinya keracunan pestisida pada petani ibu hamil berawal dari masuknya pestisida melalui kulit (kontak), saluran pencernaan (oral), dan sistem pernafasan (inhalasi). Pestisida kemudian masuk ke dalam peredaran darah ibu, placenta, dan masuk ke dalam janin, sehingga menyebabkan terganggunya pertumbuhan janin (Sari dkk.,2013). Pestisida yang masuk ke dalam tubuh dapat menyebabkan gangguan fungsi hormonal pada sistem reproduksi perempuan. Gangguan tersebut dapat terjadi di semua tingkatan yang dimiliki sistem hormonal, meliputi sintesis hormon, pelepasan hormon dan penyimpanan, distribusi hormon, pengenalan hormon dan pengikatan, gangguan kelenjar tiroid, dan gangguan sistem saraf pusat. Hal tersebut terjadi karena pestisida dapat meniru, melawan, atau menghalangi aksi hormonal tubuh (Bretveld, 2006). Selain itu, terdapat penelitian yang menyebutkan bahwa berdasarkan analisis multivariat
deiketahui bahwa ada hubungan paparan pestisida dengan kejadian anemia yang dapat meningkatkan risiko BBLR (Kurniasih, 2013). Ketergantungan para petani sayur terhadap pestisida dan tingginya peran perempuan dalam kegiatan pertanian di Kecamatan Ngablak dan Kecamatan Pakis sangat berpotensi untuk menimbulkan dampak paparan pestisida terhadap kesehatan, terutama kesehatan reproduksi. Menurut data Dinkes Kabupaten Magelang, bayi lahir hidup di Kecamatan Ngablak pada tahun 2014 sebanyak 569 jiwa dan 20 bayi diantaranya mengalami BBLR (3,51%). Kejadian BBLR di kecamatan tersebut meningkat pada tahun 2015, yaitu sebanyak 28 kasus dan tahun 2016 terjadi 12 kasus terhitung sejak bulan Januari sampai Mei. Sedangkan bayi lahir hidup di Kecamatan Pakis tahun 2014 sebanyak 708 dengan 53 diantaranya mengalami BBLR (7,48%). Jumlah kasus BBLR di wilayah kerja Puskesmas Pakis mengalami penurunan pada tahun 2015, yaitu sebanyak 25 kasus. Pada tahun 2016 kejadiannya kembali meningkat, hal tersebut dapat dilihat dari jumlah kejadian BBLR sejak bulan Januari sampai Mei sebanyak 24 kasus. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahuifaktor risiko paparan pestisida pada masa kehamilan yang berhubungan dengan kejadian BBLR di daerah pertanian, yaitu Kecamatan Ngablak dan Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang. METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian survei analitik, yaitu penelitian yang menjelaskan hubungan antar variabel. Metode yang digunakan adalah case control. Populasi kasus dalam penelitian ini yaitu ibu di wilayah kerja Puskesmas Ngablak dan Puskesmas Pakis yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBLR selama satu tahun terakhir, sedangkan populasi kontrol yaitu ibu yang 309
Miftah Fatmawati, & Rudatin Windraswara / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
melahirkan bayi dengan berat lahir lebih dari 2500 gram selama setahun terakhir. Cara pengambilan sampel yaitu simple random sampling dengan memperhatikan kriteria inklusi dan eksklusi. Jumlah sampel yang diambil adalah 25 petani untuk masing-masing kelompok kasus dan kontrol. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara dan observasi menggunakan kuesioner. Uji statistik yang digunakan adalah chi-square dan fisher sebagai uji alternatifnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hubungan antara Pekerjaan Ibu Hamil terkait Pestisida dengan Kejadian BBLR
Hasil penelitian hubungan antara pekerjaan ibu hamil yang berkaitan dengan pestisida dengan kejadian BBLR di Kecamatan Ngablak dan Kecamatan Pakis dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Tabulasi silang pekerjaan ibu hamil terkait pestisida dengan BBLR Pekerjaan ibu hamil terkait pestisida Berisiko Kurang Berisiko Total
Kejadian BBLR BBLR n % 12 48 13 52 25 100
Tidak BBLR N % 3 12 22 88 25 100
Hasil uji chi square diperoleh nilai-p = 0,014 menunjukan bahwa ada hubungan antara pekerjaan ibu hamil yang terkait pestisida dengan kejadian BBLR di wilayah kerja Puskesmas Ngablak dan Puskesmas Pakis. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sari dkk (2012) di Wanasari Kabupaten Brebes yang menyebutkan bahwa keterlibatan ibu hamil dalam kegiatan pertanian dapat meningkatkan risiko melahirkan bayi BBLR dengan nilai pvalue 0,019, RP 3,556, CI 1,183-10,687. Keterlibatan ibu hamil dalam pertanian terdiri dari berbagai jenis pekerjaan dan beberapa diantaranya terlibat langsung dengan pestisida, misalnya ketika ibu menyiapakan dan mencampur pestisida atau menyemprot tanaman di ladang. Keterlibatan ibu hamil tersebut dapat menyebabkan adanya pajanan pestisida yang terakumulasi pada tubuh sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangan janin dalam kandungan dan dapat menyebabkan bayi lahir dengan BBLR.
Jumlah N 15 35 50
% 30 70 100
Nilai-p
OR
0,014
6,769
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang dilakukan terdapat responden yang melakukan kegiatan penyemprotan ketika masih hamil muda (<6 bulan). Terdapat 15 responden yang menyatakan bahwa ketika sedang hamil mereka ikut serta membantu membuang rumput atau mencari hama di ladang saat suami atau ayah sedang menyemprot. Selain itu 31 responden mengaku mencuci pakaian yang dipakai sewaktu menyemprot yang memungkinkan ibu hamil terpapar pestisida yang menempel pada pakaian tersebut. Paparan pestisida juga dapat terjadi ketika responden sewaktu hamil ikut membatu dalam kegiatan memanen, karena pestisida meninggalkan residu yang terdapat pada tanaman meskipun hanya sedikit kemungkinannya. Ada beberapa jenis pestisida yang dapat mempengaruhi sistem reproduksi atau bersifat teratogenik menurut MSDs, antara lain pestisida dengan merk Durshban, Demolish, Antracol, Goal, dan Round Up yang merupakan golongan pestisida organofosfat dan karbamat. 310
Miftah Fatmawati, & Rudatin Windraswara / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
Hal tersebut sesuai hasil penelitian di Shenyang, China yang menyebutkan bahwa paparan pestisida jenis organofosfat selama kehamilan mempunyai hubungan yang kuat dengan dampak buruk perkembangan otak bayi baru lahir (Zhang, 2014). Pestisida organofosfat dan karbamat dalam darah akan berikatan dengan enzim kolinesterase yang berakibat enzim tersebut tidak dapat menghidrolisa asetilkolin, sehingga asetilkolin menumpuk pada reseptor. dan mengakibatkan kadar aktif enzim menjadi berkurang (Siwiendrayanti, 2016). Enzim tersebut berfungsi untuk memecah asetilkolin yang memiliki tugas menyampaikan informasi pada organ-organ tubuh, salah satunya adalah
kelenjar tiroid (Sungkawa, 2007). Hal tersebut menyebabkan produksi hormon tiroid menjadi tidak adekuat (hipotiroidisme) yang jika terjadi pada ibu hamil dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan janin di dalam kandungannya. Hasil penelitian oleh Suhartono dkk. (2012) menunjukan bahwa ada hubungan antara riwayat pajanan pestisida dengan kejadian hipotiroidisme pada WUS (pvalue 0,033) dengan proporsi riwayat paparan pestisida pada kelompok kasus 43,2% dan kelompok kontrol 20,0%. Hubungan antara Intensitas Paparan Pestisida dengan Kejadian BBLR
Tabel 2. Tabulasi silang intensitas paparan pestisida dengan BBLR Intensitas paparan pestisida Tinggi (> 2 jam sehari) Rendah (≤ 2 jam sehari) Total
Kejadian BBLR BBLR N % 8 32 17 68 25 100
Tidak BBLR N % 2 8 23 92 25 100
Hasil uji chi square diperoleh nilai-p value = 0,077 menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan antara intensitas paparan pestisida dengan kejadian BBLR di Kecamatan Ngablak dan Kecamatan Pakis. Hal tersebut disebabkan karena pada penelitian ini 40 responden dari 50 sampel memiliki tingkat paparan pestisida yang rendah. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, diketahui bahwa selama hamil ibu mengurangi aktivitasnya yang berat dan melelahkan. Meskipun ada beberapa responden yang masih ikut serta dalam kegiatan pertanian selama hamil, tetapi frekuensi mereka pergi ke ladang sangat jarang atau kurang dari 4 kali dalam seminggu. Sejumlah 8 responden mengaku bahwa ketika mereka berada di lahan pertanian dengan petani lain yang menyemprot, waktu
Jumlah N 10 40 50
Nilai-p % 20 80 100
0,077
paparannya tidak lebih dari 2 jam sehingga masih tergolong baik. Hal tersebut menjadi penyebab tidak adanya hubungan yang signifikan antara intensitas paparan pestisida di wilayah Kerja Puskesmas Ngablak dan Puskesmas Pakis, meskipun jika dilihat dari hasil analisis SPSS menunjukan bahwa nilai odds ratio cukup tinggi yaitu 5,412. Penelitian Setyobudi (2012) menyebutkan bahwa ibu hamil yang terpapar pestisida >2 jam per hari dapat meningkatkan risiko melahirkan bayi dengan BBLR. Intensitas paparan pestisida atau lamanya responden dalam melakukan kontak dengan pestisida ketika hamil dapat meningkatkan faktor risiko untuk terjadinya keracunan.
311
Miftah Fatmawati, & Rudatin Windraswara / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
di Kecamatan Ngablak dan Kecamatan Pakis dapat dilihat pada tabel berikut.
Hubungan antara Pencampuran Pestisida dengan Kejadian BBLR
Hasil penelitian hubungan antara pencampuran pestisida dengan kejadian BBLR Tabel 3. Tabulasi Silang Pencampuran Pestisida dengan Kejadian BBLR Pencampuran pestisida Buruk Baik Total
Kejadian BBLR BBLR N % 2 8 23 92 25 100
Jumlah
Tidak BBLR N % 0 0 25 100 25 100
Pada hasil tabulasi silang terdapat nilai expected count kurang dari 5 lebih dari 20%, sehingga tidak memenuhi syarat uji chi square, maka digunakan uji alternatif yaitu uji fisher. Hasil dari uji fisher diperoleh nilai-p >0,05 yaitu 0,490 menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara pencampuran pestisida dengan kejadian BBLR di Kecamatan Ngablak dan Kecamatan Pakis. Hal ini dikarenakan
N 2 48 50
Nilai-p % 4 96 100
0,490
jumlah responden yang melakukan pencampuran pestisida sangat sedikit jika dibandingkan responden yang tidak melakukan pencampuran pestisida. Selain itu, pencampuran pestisida biasanya dilakukan suami atau ayah secara langsung di ladang sebelum mereka menyemprot, sehingga tidak terdapat paparan pestisida pada ibu hamil yang berasal dari proses pencampuran pestisida.
Hubungan antara Kelengkapan APD dengan Kejadian BBLR
Tabel 4. Tabulasi Silang Kelengkapan APD dengan Kejadian BBLR Kelengkapan APD Tidak lengkap Lengkap Total
Kejadian BBLR BBLR N % 24 96 1 4 25 100
Tidak BBLR n % 14 56 11 44 25 100
Jumlah N 38 12 50
% 76 24 100
Nilai-p
OR
0,003
18,857
(CI 95% = 2.195 - 161.985) Hasil uji chi square diperoleh nilai-p value = 0,003 menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kelengkapan APD dengan kejadian BBLR di wilayah kerja Puskesmas Ngablak dan Puskesmas Pakis. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dikemukakan oleh Budiawan dkk. (2013) yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pemakaian alat pelindung diri dengan kadar kolinesterase petani bawang di Nggurensiti, Pati (p=0,047). Pemakaian APD yang tidak lengkap dapat
memungkinkan pestisida masuk ke dalam tubuh melalui kulit, saluran pernafasan, mata, dan mulut (Kartika, 2012 dan Mahyuni, 2015). Pada penelitian ini responden dengan bayi BBLR cenderung tidak menggunakan APD lengkap ketika berada di lahan, yaitu tidak memakai masker dan sarung tangan. Pestisida yang disemprotkan akan menyebar di udara dalam bentuk aerosol. Ringannya aerosol dapat memungkinkan untuk masuk ke saluran pernafasan (Siwiendrayanti, 2011). Kondisi tersebut diperparah dengan kebiasaan 312
Miftah Fatmawati, & Rudatin Windraswara / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
responden yang tidak mengenakan masker saat melakukan kegiatan pertanian, yaitu terdapat 35 responden. Berdasarkan hasil wawancara terdapat 25 responden tidak memakai sarung tangan ketika beraktivitas di ladang, sehingga sangat berisiko terkena paparan pestisida. Beberapa pestisida memiliki efek racun kontak, salah satunya golongan piretroid yang memiliki efek kontak yang sangat kuat, meskipun memiliki efek sebagai racun perut (Djojosumarto, 2008). Selain itu beberapa jenis pestisida golongan lain juga dapat masuk melalui kulit, seperti diazinon dan mancozeb. Sedangkan pestisida yang dapat masuk melalui inhalasi adalah jenis
klorpirifos yang termasuk golongan organofosfat. Berdasarkan hasil wawancara kepada responden yang mengaku tidak pernah menggunakan masker karena merasa terganggu (sumpek) ketika bekerja. Mereka hanya memakai masker ketika menyemprot jenis tanaman yang tinggi, seperti cabai dan tomat. Hubungan antara Penanganan Peralatan Penyemprotan dengan Kejadian BBLR
Berikut hasil tabel silang hubungan antara penanganan peralatan penyemprotan dengan kejadian BBLR di Kecamatan Ngablak dan Kecamatan Pakis.
Tabel 5. Tabulasi Silang Penanganan Peralatan Penyemprotan dengan BBLR Penanganan penyemprotan Buruk Baik Total
peralatan
Kejadian BBLR BBLR N % 5 20 20 80 25 100
Tidak BBLR n % 5 20 20 80 25 100
Hasil uji chi square diperoleh nilai-p value = 1,00 menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan antara penanganan peralatan penyemprotan dengan kejadian BBLR di wilayah kerja Puskesmas Ngablak dan Puskesmas Pakis. Hal tersebut disebabkan karena jumlah responden yang ada pada penelitian ini terbatas hanya 50 sampel, sehingga memungkinkan terjadi kesalahan analisis statistik. Penelitian oleh Prijanto (2009) menyebutkan bahwa petani yang mempunyai kebiasaan buruk dalam penanganan pestisida seperti membersihkan pakaian, peralatan aplikasi, dan APD di dalam rumah, tidak menggunakan wadah khusus, dekat dengan sumber air bersih, dicampur dengan pakaian
Jumlah N 10 40 50
Nilai-p % 20 80 100
1,00
anggota keluarga lain berisiko 2,44 kali terhadap kejadian keracunan pada istri petani hortikultura di Desa Sumberejo, Kecamatan Ngablak. Pada penelitian ini, penanganan peralatan penyemprotan pada responden, seperti tanki sering dilakukan oleh petani di saluran irigasi dekat ladang setelah mereka selesai menyemprot. Oleh karena itu, petani tidak membawa sisa pestisida yang dapat mencemari lingkungan rumah. Selain itu, pencucian APD atau pakaian yang dipakai menyemprot dipisah dengan pakaian seharihari, sehingga penanganan peralatan penyemprotan pada keluarga responden sudah cukup baik.
313
Miftah Fatmawati, & Rudatin Windraswara / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
Hubungan antara Penyimpanan Pestisida dengan Kejadian BBLR
Tabel 6. Tabulasi Silang Penyimpanan Pestisida dengan Kejadian BBLR Penyimpanan pestisida Di dalam rumah Di luar rumah Total
Kejadian BBLR BBLR N % 19 76 6 24 25 100
Tidak BBLR n % 5 20 20 80 25 100
Jumlah n 24 26 50
% 48 52 100
Nilai-p
OR
0,001
12,667
(CI 95% = 3.308 - 48.504) Hasil uji chi square menunjukan bahwa terdapat hubungan antara penyimpanan pestisida dengan kejadian BBLR di wilayah kerja Puskesmas Ngablak dan Puskesmas Pakis dengan nilai-p 0,001. Hal tersebut sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Sari dkk. (2012) yang menyebutkan bahwa ada hubungan antara keberadaan pestisida dalam rumah dengan kejadian BBLR dengan nilai pvalue 0,044. Paparan pestisida yang disimpan di dalam rumah dapat terjadi jika terdapat makanan yang tercemar pestisida karena penyimpanannya dekat dengan dapur dan adanya kecelakaan khusus seperti pestisida diletakkan di kemasan bekas minuman tanpa ada tanda peringatan. Dalam penelitian ini penyimpanan pestisida cukup bervariasi, namun sebagian besar responden menyimpan pestisida di sekitar rumah bahkan di dalam rumah, seperti dapur, ruang tamu, gudang makanan, gudang terpisah, kandang, dan ada pula yang menyimpannya di gubug ladang. Pada saat penelitian ditemukan 8 responden yang meletakkan tanki penyemprot di ruang tamu dan di dapur dekat dengan penyimpanan makanan. Manyoritas petani hanya menyimpan pestisida tersebut di sebuah ember kemudian diletakkan di kolong meja dekat dapur yang sangat berisiko mengkontaminasi makanan yang ada di dapur. Bahkan ada 4 responden yang menyimpan pestisida di ruang tamu dan di atas lemari televisi. Hal tersebut tentu sangat berisiko terjadinya paparan
pestisida pada orang yang tinggal di dalam rumah. Terlebih lagi jika pestisida yang disimpan berbentuk bubuk memungkinkan butiran halus tersebut terbawa angin dan dapat terhirup oleh orang yang ada di dalam rumah. Pada saat observasi di salah satu rumah responden terlihat bahwa kondisi rumah tersebut sangat berdekatan dengan lokasi pembibitan tanaman. Setiap 2 hari sekali pembibitan tersebut disemprot menggunakan pestisida, sehingga responden tersebut berisiko tinggi terkena paparan ketika berada di area tersebut meskipun masih berada di lingkungan rumah. Berdasarkan hasil observasi juga diketahui bahwa tempat pembibitan tersebut dijadikan sebagai tempat menyimpan pestisida maupun tanki, selain itu digunakan juga untuk menjemur pakaian sewaktu petani melakukan kegiatan penyemprotan. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis statistik serta pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor risiko yang terbukti mempunyai hubungan dengan kejadian BBLR di wilayah kerja Puskesmas Ngablak dan Puskesmas Pakis antara lain pekerjaan ibu hamil yang berkaitan dengan pestisida, kelengkapan alat pelindung diri (APD) saat beraktivitas di ladang, dan penyimpanan pestisida.
314
Miftah Fatmawati, & Rudatin Windraswara / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016) Kesehatan pada Petani Di Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo 2014. Kesehatan Masyarakat. 9 (1) : 79-89.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih disampaikan kepada Puskesmas Ngablak dan Puskesmas Pakis beserta staf jajarannya atas izin dan kesediaannya bagi peneliti untuk mengadakan penelitian di wilayah tersebut serta seluruh responden yang ikut berkontribusi pada penelitian ini.
Pantiawati, Ika. 2010. Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). Yogyakarta: Mulia Medika Prijanto, Teguh Budi. 2009. Analisis Faktor Risiko Keracunan Pestisida Organofosfat pada Keluarga Petani Hortikultura di Kecamatan Ngablak Kab. Magelang. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. 8 (2) : 73-78.
DAFTAR PUSTAKA
Sari, Noni Kartika dkk. 2013. Hubungan riwayat pajanan pestisida pada ibu hamil dengan kejadian berat badan lahir rendah (BBLR) di wilayah kerja Puskesmas Wanasari Kabupaten Brebes. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2 (2) :1-11.
Bretveld, Reini W. 2006. Pesticide Exposure: The Hormonal Function of The Female Reproductive System Distrubted?. Biomed Central Ltd. 4 (30):114
Setyobudi, Bambang. 2012. Pengaruh Paparan Pestisida pada Masa Kehamilan terhadap Kejadian BBLR di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. 12 (1) : 2633.
Budiawan, Agung Rosyid. 2013. Faktor Risiko Cholinesterase Rendah Pada Petani Bawang Merah. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 8 (2) : 198206 Dabrowski, Slawomir dkk. 2003. Pesticide Exposure and Birthweight: An Epidemiological Study in Central Poland. International Journal of Occupational Medicine and Environmental Health. 16 (1) : 31-39.
Siwiendrayanti, Arum. 2011. Keterlibatan dalam Aktivitas Pertanian dan Keluhan Kesehatan Wanita Usia Subur. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 7 (1) : 73-82.
Djojosumarto, Panut. 2008. Pestisida dan Aplikasinya. Agromedia Pustaka: Jakarta.
Siwiendrayanti, A., Pawenang, E.T., Widowati, E. 2016. Buku Ajar Toksikologi Kesehatan Masyarakat. Semarang: Cipta Prima Nusantara.
Kartika, Yuyun. 2012. Faktor Risiko yang Berkaitan dengan Kejadian Keracunan Pestisida pada Petani Penyemprot Tanaman Bawang Merah di Desa Sengon Kecamatan Tanjung Kabupaten Brebes. Unnes Journal of Public Health. 1 (2) : 52-60.
Suhartono, Djokomoeljanto, S., Hadisaputro, S., Subagio, H.W., Kartini, A., Suratman. 2012. Pajanan Pestisida sebagai Faktor Risiko Hipotiroidisme pada Wanita Usia Subur di Daerah Pertanian. Media Medika Indonesiana. 46 (2) : 91-99.
Kurniasih, Siti Aisyah dkk. 2013. Faktor-Faktor yang Terkait Paparan Pestisida dan Hubungannya dengan Kejadian Anemia pada Petani Horttikultura di Desa Gombong Belik Kabupaten Pemalang Jawa Tengah. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. 12 (2) : 132-137.
Sungkawa, Hendra Budi. 2007. Hubungan Riwayat Paparan Pestisida dengan Kejadian Goiter pada Petani Hortikultura di Kecamatan Ngablak Jurnal Kesehatan Kabupaten Magelang. Lingkungan Indonesia. 6 (2) : 41-46.
Mahmudah, Muamilatul dkk. 2012. Kejadian Keracunan Pestisida pada Istri Petani Bawang Merah di Desa Kedunguter Kecamatan Brebes Kabupaten Brebes. Media Kesehatan Masyarakat Indonesia. 11 (1) : 65-70.
Zhang,
Mahyuni, Eka lestari. 2015. Faktor Risiko dalam Penggunaan Pestisida Terhadap Keluhan
315
Ying dkk. 2014. Prenatal Exposure to Organophosphate Pesticides and Neurobehavioral Development of Neonates: A Birth Cohort Study in Shenyang, China. The Public Library of Science. 9 (2) : 1-10
UJPH 5 (4) (2016)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
UJI DAYA BUNUH GRANUL EKSTRAK LIMBAH TEMBAKAU (NICOTIANAE TABACUM L.) TERHADAP LARVA AEDES AEGYPTI Rizki Khalalia Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima Agustus 2016 Disetujui September 2016 Dipublikasikan Oktober 2016
Pengendalian penyakit DBD bergantung pada pengendalian larva Aedes aegypti. Penggunaan insektisida nabati perlu dikembangkan untuk mengurangi dampak negatif insektisida kimia. Limbah tembakau di Indonesia sangat melimpah dengan jumlah 55.776,24 ton per tahun. Limbah tembakau mengandung zat alkaloid, minyak atsiri, nikotin dan flavonoid yang berfungsi sebagai insektisida. Penelitian ini untuk mengetahui uji daya bunuh granul ekstrak limbah tembakau terhadap larva Aedes aegypti. Jenis penelitian ini adalah eksperimen murni, dengan rancangan post test only with control group design dengan tiga variasi konsentrasi sebesar 10%, 15%, dan 20%, dengan empat kali pengulangan tahun 2016. Hasil uji menunjukkan terdapat hubungan antara ekstrak limbah tembakau dalam bentuk granul dengan kematian larva (p=0,001). Analisis probit didapatkan LC 50 granul ekstrak limbah tembakau adalah 23,965% dan LC90 adalah 40,957%. LT50 pada konsentrasi 20% adalah 362.625 jam, sedangkan LT90 adalah 544.488 jam. Simpulan dalam penelitian ini yaitu granul ekstrak limbah tembakau memiliki efek larvasida terhadap larva nyamuk Aedes aegypti.
________________ Keywords: Aedes Aegypti; Tobacco Waste Extract; Granule. ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ The efforted to control dengue fever depended on control of the Aedes aegypti larvae. The used of natural insecticides should be developed as easily biodegradable in nature. Tobacco waste in Indonesia is very abundant amount of 55776.24 tonnes per year. Tobacco waste contains alkaloid, essential oil, nicotine and flavonoid which its function as insecticides. This research was conducted to know the effectiveness granule extract tobacco waste (Nicotiana tabacum L.) to kill Aedes aegypti larvae. This research was true experimental research, with the design of post test only with control group with three variations of the extract concentration 10%, 15%, dan 20% with four times repetitions.This research was conducted in 2016. The result showed that there was corelation between Nicotiana tabacum L.extract in granul with larvae mortality (p=0.001). From probit analysis test, LC 50 was found in 23,965% and LC90 in 4 0,957%. LT50 of 20% was 362.625 hours, while LT90 was 544.488 hours. The conclusion of this study is granule extracts of tobacco waste has larvicidal effect on Aedes aegypti larvae.
© 2016 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Negeri Semarang E-mail:
[email protected]
366
ISSN 2252-6781
Rizki Khalalia / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
PENDAHULUAN
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan virus Dengue dan ditularkan oleh vektor nyamuk Aedes aegypti. Menurut WHO , angka insidensi penyakit DBD meningkat 30 kali lipat dan setiap tahun terjadi sekitar 50-100 juta kasus dengan tingkat kematian sekitar 2,5% (Wai, 2012). Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara (Kemenkes, 2010). Di Indonesia, kejadian DBD masih tinggi dan masih banyak daerah yang tercatat sebagai daerah yang mengalami Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD (Sukowinarsih, 2010). Hal ini dibuktikan dengan pernyataan Kemenkes bahwa pada tahun 2014, sampai pertengahan bulan Desember tercatat penderita DBD di 34 provinsi sebesar 71.668 orang, 641 diantaranya meninggal dunia. Tercatat ada 7 kabupaten/kota yang melaporkan terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD pada tahun 2014 (Kemenkes, 2014). Salah satu indikator upaya pengendalian penyakit DBD yaitu Angka Bebas Jentik (ABJ) dengan target sebesar ≥95%. ABJ di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 80,09% (Kemenkes RI, 2014: 151). Sementara itu, data ABJ Provinsi Jawa Tengah sampai bulan Juni 2014 sebesar 84,72% (Dinkes Provinsi Jateng, 2014). Data terbaru ABJ Kota Semarang tahun 2014 yang dilakukan oleh Petugas Pemantau Jentik (PPJ) mencapai 85% (Dinkes Kota Semarang, 2014). Hal ini menunjukkan ABJ di semua wilayah masih belum sesuai dengan target yang dicanangkan. Secara universal belum ditemukan adanya vaksin sebagai alat pencegahan
penyakit DBD (Kemenkes, 2010) sehingga perlu dilakukan pengendalian populasi vektor Aedes aegypti. DBD yaitu nyamuk Pengendalian populasi vektor nyamuk pada tahap larva lebih mudah dilakukan dibandingkan tahap lain dari fase hidup nyamuk. Pemberantasan larva Aedes aegypti telah dilakukan dengan berbagai cara dan pengendalian yang paling banyak digunakan saat ini adalah pengendalian secara kimiawi. Namun hal ini mempunyai dampak negatif antara lain pencemaran lingkungan, kematian predator, menyebabkan penyakit yang berbahaya bagi manusia, dan menyebabkan resistensi serangga sasaran dan keturunannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Aedes aegypti resisten terhadap cara penggunaan temephos 1% dan penggunaan melathion (Susanto, 2010). Variasi insektisida seperti penggunaan insektisida nabati dapat berfungsi sebagai upaya pencegahan timbulnya resistensi pada organisme sasaran. Pestisida nabati memiliki kelebihan antara lain yaitu memiliki risiko kecil dalam hal gangguan kesehatan dan lingkungan hidup, efektivitas pestisida nabati tergolong tinggi dengan resistensi relatif rendah dan zat dapat terurai secara cepat menjadi zatzat yang tidak berbahaya bagi manusia (Purnama, 2012). Senyawa yang berpotensi sebagai insektisida antara lain golongan sianida, saponin, tanin, flavonoid, minyak atsiri, nikotin, dan steroid. Tanaman tembakau (Nicotiana tabacum L ) mengandung alkaloid, flavonoid, minyak atsiri, dan nikotin. (Zaidi et al., 2004; Susanto dkk, 2010; Susanti, 2012) sehingga tanaman tembakau dapat berpotensi sebagai insektisida. Indonesia meruapakan Negara dengan perkebunan tembakau terluas di dunia. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perkebunan, pada tahun 2014 panen 367
Rizki Khalalia / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
tembakau di Indonesia mencapai 166,262 Ton. Hal ini menyebabkan potensi limbah batang dan akar tembakau di Indonesia sangat melimpah, dengan jumlah 55.776,24 ton per tahun atau 152,81 ton per hari (Banarjee, 2015). Insektisida nabati menggunakan limbah tembakau tidak meninggalkan residu yang berbahaya pada tanaman maupun lingkungan (Tuti et al, 2014). Berdasarkan berbagai informasi tersebut, maka diperlukan penelitian mengenai uji daya bunuh granul ekstrak limbah tembakau (Nicotiana tabacum L ) terhadap larva Aedes aegypti. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui daya bunuh granul ekstrak limbah tembakau (Nicotiana tabacum L) terhadap kematian larva Aedes aegypti.
kelompok dengan pengulangan 4 kali. Kelompok perlakuan dibagi menjadi 6 kelompok antara lain 2 kelompok sebagai kelompok kontrol, 4 kelompok sebagai kelompok eksperimen dengan berbagai konsentrasi perlakuan. Jumlah seluruh sampel yaitu 480 sampel. Alat untuk pembuatan ekstrak limbah tembakau: blender, erlenmeyer, labu takar, kain penyaring, termometer, arloji, timbangan digital, gelas ukur, rotary evaporator. Bahan untuk pembuatan ekstrak: limbah tembakau ± 4 kg, Ethanol 95% sebagai larutan penyaring (pelarut), dextrin, Aquades untuk pengenceran konsentrasi ekstrak limbah tembakau. Alat untuk perlakuan: thermometer, kertas pH, paper cup, gelas plastik kecil 250 ml, gelas ukur, sendok, lidi, timbangan digital, stopwatch, hand counter, lembar observasi, alat tulis. Bahan untuk perlakuan: larva Aedes aegypti instar III, aquades, ekstrak limbah tembakau dalam bentuk granul. Perlakuan pemberian ekstrak limbah tembakau dalam bentuk granul (Nicotiana tabacum L.) dimulai dengan melakukan persiapan larva Aedes aegypti dan aquadest sebanyak 800 ml. Granul ekstrak limbah tembakau ditimbang sesuai dengan konsentrasi yang dibutuhkan (10%, 15%, 20%), lalu dimasukkan ke dalam gelas plastik kecil 250 ml. Ditambahkan air sebanyak 100 ml dengan gelas ukur 100 ml ke dalam wadah. Pada masingmasing wadah dimasukkan 20 ekor larva Aedes aegypti. Catat jumlah larva yang mati pada lembar observasi sesuai periode waktu yang telah ditentukan. Setiap kelompok perlakuan dilakukan 4 kali pengulangan. Hasil pemeriksaan dari masing-masing konsentrasi dibuat dalam suatu garis regresi untuk menentukan LC50 dan LC90. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik yang digunakan yaitu uji probit, uji normalitas data dengan menggunakan saphiro wilk, uji homogenitas varians dengan uji levene,
METODE
Desain yang digunakan dalam penelitian adalah post test only control group design, dimana objek penelitian ini dibagi menjadi dua kelompok perlakuan. Kelompok pertama disebut sebagai kelompok perlakuan, yaitu kelompok yang diberi ekstrak limbah tembakau dalam bentuk granul dengan dosis yang berbeda. Kelompok yang kedua disebut sebagai kelompok kontrol, yaitu kelompok yang tidak diberi ekstrak limbah tembakau dalam bentuk granul. Perlakuan menggunakan ekstrak limbah tembakau dalam bentuk granul hanya diberikan pada kelompok eksperimen, pada kelompok kontrol negatif diberi perlakuan menggunakan air, sedangkan pada kelompok kontrol positif diberi perlakuan menggunakan abate dan dextrin. Pengukuran pada ketiga kelompok sampel tidak dilakukan pada awal perlakuan, tetapi dilakukan 24 jam setelah perlakuan dengan menghitung jumlah larva yang mati. Besar sampel pada penelitian ini adalah 20 ekor larva Aedes aegypti instar III untuk tiap 368
Rizki Khalalia / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
kemudian uji kruskal wallis dilanjutkan dengan analisis post hoc. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil uji probit menunjukkan bahwa nilai LC50 granul ekstrak limbah tembakau adalah 23.965% yang berarti bahwa granul ekstrak limbah tembakau dapat mematikan 50% larva Aedes aegypti pada konsentrasi 23.965%. LC90 granul ekstrak limbah tembakau adalah 40.957% yang berarti bahwa granul ekstrak limbah tembakau dapat mematikan 90% larva Aedes aegypti pada konsentrasi 40.957%. Sedangkan LT50 granul
ekstrak limbah tembakau yaitu 362.625 jam yang berarti bahwa granul ekstrak limbah tembakau dapat mematikan 50% larva Aedes aegypti selama 362.625 jam. LT90 granul ekstrak limbah tembakau adalah 544.488 jam yang berarti bahwa granul ekstrak limbah tembakau dapat mematikan 90% larva Aedes aegypti selama 544.488 jam. Konsentrasi 20% dipilih karena memiliki angka kematian tertinggi yaitu 31,25%.
Tabel 1. Hasil Uji Probit Probability LC50 LC90
Estimate 23,965 40,957
Lower bound 18.494 28.963
Upper bound 55.227 123.349
LT50 LT90
362.625 544.488
226.098 320.667
29652.598 50431.466
Jadi, berdasarkan penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi dan semakin lama waktu perlakuan dapat menambah jumlah kematian larva nyamuk Aedes aegypti.
Berikut ini adalah hasil pengamatan kematian larva Aedes aegypti pada penelitian selama 24 jam.
Tabel 2. Hasil Pengamatan Kematian Larva Aedes aegypti Setelah Kontak dengan Granul Ekstrak Limbah Tembakau Selama 24 Jam Kelompok Perlakuan Granul 10% Granul 15% Granul 20% Dextrin 10% Air 100 ml Abate 0,01 mg/ 100 ml
Ulangan 1 2 6 6 6 4 7 7 0 0 0 0 20 20
3 1 5 6 1 0 20
4 0 7 5 0 0 20
Kematian larva Aedes aegypti terdapat pada semua kelompok perlakuan, hal ini membuktikan bahwa kematian pada kelompok perlakuan disebabkan oleh granul ekstrak
Jumlah
Rata-rata
13 23 25 1 0 80
4,33 (16,25%) 5,75 (28,75%) 6,25 (31,25%) 0,25 (1,25%) 0 (0%) 20 (100%)
limbah tembakau (Nicotiana tabacum L), bukan karena faktor lingkungan (suhu, pH, dll). Kematian larva Aedes aegypti disebabkan oleh senyawa aktif yang terkandung dalam granul 369
Rizki Khalalia / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
limbah tembakau yaitu alkaoid, minyak atsiri, nikotin dan flavonoid. Saponin dapat menurunkan tegangan permukaan selaput mukosa traktus digestivus larva, sehingga dinding traktus digestivus menjadi korosif. Senyawa atau unsur yang bersifat toksik atau racun, apabila masuk ke dalam tubuh dapat menyebabkan kematian pada larva. Hasil pengamatan, larva Aedes aegypti yang telah diberikan konsentrasi ekstrak limbah tembakau dalam bentuk granul akan mengalami perubahan tingkah laku dimana gerakan yang
sebelumnya aktif akan menjadi lamban, dan akhirnya akan mati. Larva Aedes aegypti dikatakan mati apabila larva tersebut sudah tidak bergerak bila disentuh dan berada di dasar air, serta tidak muncul lagi ke permukaan air. Larva yang mati nampak kelihatan putih pucat (Alvira, 2009). Persentase kematian larva (%) Aedes aegypti pada berbagai pemberian berat granul ekstrak limbah tembakau bisa dilihat pada grafik berikut.
Grafik 1. Grafik Kematian Larva Aedes aegypti dengan Pemberian Granul Ekstrak Limbah tembakau.
Grafik Hasil Pengamatan Kematian Larva
Jumlah Kematian Larva
25 20 15
Replikasi 1 Replikasi 2
10
Replikasi 3 5
Replikasi 4
0 air
Dekstrin
Granul 10%
Granul 15%
Granul 20%
Berdasarkan grafik di atas, didapatkan kenaikan berat granul ekstrak limbah tembakau yang diikuti kenaikan kematian larva. Berikut ini adalah hasil pengamatan kematian larva nyamuk Aedes aegypti pada pengujian larvasida selama 24 jam berdasarkan periode waktu. Kematian tertinggi pada semua kelompok uji ekstrak limbah tembakau dalam bentuk granul terjadi pada menit ke-1.440. Pada menit ke-1.440 merupakan waktu puncak
Abate 10 mg/ 100 ml
dalam kematian larva. Penelitian Oktavia dkk (2012) yang membuktikan angka kematian tertinggi terjadi pada menit ke-1.440 karena senyawa metabolit sekunder seperti tanin, saponin, flavonoid, dan eugenol sebagian besar dapat larut setelah 24 jam. Jadi besarnya konsentrasi dan lama paparan ekstrak limbah tembakau dalam bentuk granul sangat menentukan besarnya jumlah dan kecepatan kematian larva nyamuk Aedes aegypti.
370
Rizki Khalalia / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
Tabel 3. Hasil Pengamatan Kematian Larva Berdasarkan Periode Waktu Konsentrasi
Waktu 5’
10’
15’
30’
45’
60’
120’
180’
1.440’
Air
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Granul 10%
0
0
0
0
0
0
0
0
13
Granul 15%
0
0
0
0
0
0
1
1
21
Granul 20%
0
0
0
0
0
1
2
1
21
Abate
0
0
0
31
17
26
5
0
0
Dekstrin
0
0
0
0
0
0
0
1
0
Variabel yang diuji secara univariat adalah % kematian larva pada setiap konsentrasi yang diuji setelah kontak dengan granul ekstrak limbah tembakau pada setiap konsentrasi. Berikut adalah hasil analisis univariat % kematian larva setelah kontak dengan granul ekstrak limbah tembakau pada setiap konsentrasi. Hasil pengamatan yang dilakukan selama 24 jam pada penelitian, didapatkan hasil bahwa granul limbah tembakau konsentrasi
10% rata-rata pada 4 replikasi dapat membunuh 16,25%% larva, konsentrasi 15% dapat membunuh 28,75% larva, konsentrasi 20% dapat membunuh 31,25% larva. Pada kelompok kontrol, didapatkan hasil 0% ratarata kematian larva pada konsentrasi 0 % granul ekstrak limbah tembakau (air), kematian larva 100% pada pemberian abate 10 mg/ 100 ml, serta kematian larva 1,25% pada pemberian dextrin 10%.
Tabel 4. Hasil Uji Normalitas Konsentrasi Granul 10% Granul 15% Granul 20% Dekstrin Abate Air (0 mg/100 ml)
Nilai Signifikansi 0,100 0,972 0,272 0,001 -
Keterangan Terdistribusi Normal Terdistribusi Normal Terdistribusi Normal Terdistribusi Tidak Normal -
Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa nilai signifikansi granul limbah tembakau konsentrasi 10% adalah p=0,100, berarti data terdistribusi normal. Nilai signifikansi granul limbah tembakau konsentrasi 15% adalah p= 0,972, berarti data terdistribusi normal. Nilai signifikansi granul limbah tembakau konsentrasi 20% adalah p=0,272, berarti data terdistribusi normal. Nilai signifikansi pada konsentrasi dextrin 10% adalah p=0,001, berarti data terdistribusi tidak normal.
Uji homogenitas varian yang digunakan untuk mengetahui data persen kematian larva memiliki varian data yang sama sebagai salah satu syarat dalam pengujian Anova. Uji homogenitas varian menggunakan uji Levene. Hasil dari uji homogenitas yang didapat adalah p=0,001, berarti data tidak homogen. Uji beda menggunakan uji alternatif yaitu Kruskal Wallis dikarenakan salah syarat dari uji Anova tidak terpenuhi, yaitu data tidak terdistribusi normal dan varians data tidak
371
Rizki Khalalia / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
homogen. Hasil dari uji Kruskal Wallis adalah p= 0,001, berarti ada perbedaan rata-rata jumlah kematian larva maka dilanjutkan uji Mann-Whitney untuk mengetahui pasangan nilai mean yang berbeda secara signifikan. Hasil analisis Post Hoc dengan MannWhitney menunjukkan bahwa adanya perbedaan pasangan rata-rata jumlah kematian larva Aedes aegypti secara signifikan (p < 0,05). Nilai konsentrasi yang tidak berbeda yaitu konsentrasi granul 10% dengan granul 15%, granul 20%, dan dextrin 10%, konsentrasi granul 15% dengan granul 20%, dan konsentrasi dextrin 10% dengan air. Kematian larva dikarenakan adanya kontak dengan granul ekstrak limbah tembakau. Hal ini sesuai dengan pendapat Nopianti (2008) yang menyatakan bahwa semakin tinggi dosis larvasida yang diberikan maka semakin tinggi pula rata-rata kematian larva nyamuk Aedes aegypti. Dapat dikatakan bahwa kematian pada larva uji dikarenakan kandungan senyawa kimia yang berada di dalam granul ekstrak limbah tembakau (Nicotiana tabacum L.). Pengaplikasikan ekstrak limbah tembakau (Nicotiana tabacum L.) dalam bentuk granul bertujuan agar mudah diaplikasikan ke masyarakat. Selain itu, ekstraksi dalam bentuk sediaan granul bisa bertahan lama (awet) selama 1 tahun dibandingkan dengan ekstraksi dalam bentuk infusa maupun maserasi (ekstrak kental) yang hanya bertahan dalam waktu 1 bulan. Pada proses pembuatan ekstrak, menggunakan metode maserasi dengan pelarut etanol 95%. Etanol merupakan pelarut yang bertujuan untuk membantu penguapan. Setelah didapatkan ekstrak kental, kemudian ditambahkan dextrin dengan perbandingan 1:1 agar dapat mengubah ekstrak kental menjadi granul. Kandungan senyawa kimia yang ada di dalam limbah tembakau yaitu alkaloid (Zaidi et al., 2004), flavonoid dan minyak atsiri
(Machado et al., 2010; Palic et al., 2002) dan nikotin (Susanti, 2012). Senyawa alkaloid yang terdapat pada tanaman tembakau berfungsi sebagai racun perut, dan flavonoid berfungsi sebagai racun saraf (Susanto dkk, 2010). Alkaloid bertindak sebagai racun perut dimana semua alkaloid mengandung satu atau dua atom hidrogen yang bersifat basa (Nuryanti, 2013). Alkaloid juga memiliki aktivitas hipoglikemi atau penurunan kadar glukosa darah. Flavonoid berfungsi sebagai racun saraf yang masuk kedalam permukaan tubuh serangga melalui sistem pernafasan berupa spirakel dan akibatnya menimbulkan kelayuan pada sistem saraf, lama – kelamaan tidak bisa bernafas dan akhirnya mati. Berdasarkan penelitian Susanti (2012), Kandungan nikotinnya yang tinggi juga mampu mengusir serangga. Dalam cara kerjanya, nikotin akan mempengaruhi ganglia dari sistem saraf pusat serangga. Pada kadar yang rendah, nikotin akan menyebabkan konduksi transinaptis, sedang pada kadar yang tinggi akan menyebabkan penghambatan konduksi (blocking conduction) karena terjadinya peresapan ion nikotin ke dalam benang saraf yang kemudian akan mematikan serangga. Kelebihan granul ekstrak limbah tembakau antara lain yaitu Limbah tembakau (Nicotiana tabacum L.) merupakan substrat yang sangat potensial, keberadaannya sangat melimpah di alam, sangat murah karena berupa limbah, dan mudah didapat. Produksi granul ekstrak limbah tembakau dapat turut serta mengatasi masalah limbah karena Indonesia merupakan Negara dengan perkebunan tembakau terluas di dunia sehingga hal ini menyebabkan potensi limbah batang dan akar tembakau di Indonesia sangat melimpah, dengan jumlah 55.776,24 ton per tahun atau 152,81 ton per hari (Prasetya, 2015). Selama ini pengolahan limbah tembakau dilakukan secara konvensional yaitu pembakaran. Pembakaran limbah tembakau dapat mencemari lingkungan 372
Rizki Khalalia / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
serta membahayakan bagi kesehatan karena asap yang dihasilkan sehingga perlu dilakukan pengolahan dan pemanfaatan limbah tembakau. Kelebihan lainnya yaitu aman dan tidak menimbulkan resisten. Variasi insektisida seperti penggunaan insektisida nabati dapat berfungsi sebagai upaya pencegahan timbulnya resistensi pada organisme sasaran. Limbah tembakau (Nicotiana tabacum L.) dapat digunakan sebagai insektisida yang ramah lingkungan karena mudah diurai di alam. Berdasarkan Tuti (2014), Insektisida nabati menggunakan limbah tembakau tidak meninggalkan residu yang berbahaya pada tanaman maupun lingkungan. Kelebihan granul ekstrak limbah tembakau selanjutnya yaitu produk tahan lama dan mudah dibasahi pelarut. Ekstrak menjadi granul tidak memilik dampak negatif, tidak menimbulkan resisten, dan lebih tahan lama dalam penyimpanan. Granul biasanya lebih tahan terhadap udara, lebih mudah dibasahi oleh pelarut. Formulasi ekstrak dalam bentuk granul merupakan formulasi yang paling tahan lama dibanding formulasi yang lain. Formulasi dalam bentuk granul dapat bertahan selama 1 tahun sedangkan ekstraksi dalam bentuk infusa maupun maserasi (ekstrak kental) hanya bertahan dalam waktu 1 bulan. Selain itu, formulasi dalam bentuk granul lebih mudah larut dalam air dibandingkan dalam bentuk serbuk. Berdasarkan penelitian Pratiwi (2014), larvasida dalam bentuk serbuk sulit larut dalam air. Kelebihan granul ekstrak limbah tembakau selanjutnya yaitu tidak merubah bau, rasa, dan warna jika diaplikasikan dalam jumlah sedikit. Berikut ini merupakan gambar produk granul ekstrak limbah tembakau.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan tentang “Uji Daya Bunuh Granul Ekstrak Limbah Tembakau (Nicotianae tabacum L.) terhadap Larva Aedes aegypti”, dapat diambil simpulan bahwa ekstrak limbah tembakau (Nicotiana tabacum L.) dalam bentuk granul memiliki efek larvasida terhadap nyamuk Aedes aegypti karena dapat mematikan 31,25% larva. UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan, Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, dosen pembimbing skripsi, seluruh staff LPPTUGM dan Laboratorium Biologi FMIPA UNNES atas ijin yang diberikan dalam pelaksanaan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Alvira, N., Satoto, T.B.T., and Murtiningsih, B. 2009. Differences of Risk Factor that Affect The Existence of The Larvae Dengue Vector (Aedes aegypti and Aedes albopictus) Between The Endemic and Sporadic Villages in Banguntapan Sub Distric Bantul District. Medika Respati. Jurnal Ilmiah Kesehatan, 4 (4) :69-87 Kemenkes RI. 2010. Demam Berdarah Dengue. Buletin Jendela Epidemiologi, 2 (1): 5. Kemenkes RI. 2014. Waspada DBD di Musim Pancaroba. Pusat Komunikasi Publik Kementrian Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta. Machado, P. A., Fu H., Kratochivl R. J., Yuan Y., Hahm T. S., Sabliov C. M.,Wei C. I. & lo Y. M. 2010. Recovery of Solanesol from Tobacco as a Value Added product for Alternative Applications. J Bioresources Technology, 101: 1091 – 1096 Nopianti, S., Dwi Astuti., Darnoto. 2008. Efektivitas Ekstrak Buah Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.) terhadap Kematian Larva Nyamuk Anopheles aconitus Instar III. Jurnal Kesehatan, 1 (2) : 103-114.
SIMPULAN
373
Rizki Khalalia / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016) Nuryanti, E. 2013. Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk di Masyarakat, Jurnal Kesehatan Masyarakat : 9 (1) 15-23
Susanti L, Boesri H,. 2012. Toksisitas Biolarvasida Ekstrak Tembakau Dibandingkan dengan Ekstrak Zodia terhadap Jentik Vektor Demam Berdarah Dengue (Aedes Aegypti). Bulletin Penelitian Kesehatan, 40 (2) : 75 – 84
Oktavia, A., Suwondo, Febrita E,. 2012. Efektivitas Ekstrak Buah Belimbing Wuluh (Averrhoa Bilimbi L.) terhadap Mortalitas Larva Nyamuk Aedes aegypti. Jurnal Sagu Universitas Riau, 1 (1) : 1-8.
Susanto D., Rahmad A., 2010 Daya racun Ekstrak Daun Sirih (Piper aduncum L) terhadap Larva nyamuk Aedes aegypti, Skripsi, Universitas Mulawarman, Samarinda.
Palic, R., Stojanovic G., Alagic S., Nikolic M. & Lepojevic Z. 2002. Chemical Composition and Antimicrobial Activity of The Essential Oil and CO2 Extracts of Semi-orientl Tobacco, Prilep. Flavour Fragr J., 17: 323 - 326.
Tuti Harina K., Wijayanti R., Supriyanto., 2014. Efektivitas Limbah Tembakau Terhadap Wereng Coklat dan Pengaruhnya Terhadap Laba-Laba Predator. Jurnal Ilmu Ilmu Pertanian, 29 (1) :18
Pratiwi, Ameliana. 2014. Studi Deskriptif Penerimaan Masyarakat terhadap Larvasida Alami. Unnes Journal of Public Health, 3 (2) : 1-10
Wai, K.T., Htun, P.T., Oo, T., Myint, H., Lin, Z., Kroeger,A., Sommerfeld, J., and Petzold, M. 2012. Community-centred Eco-bio-social Approach to Control Dengue Vectors: an Intervention Study from Myanmar. Pathogens and Global Health, 106 (8): 461-468
Purnama, S..G. and Satoto, T.B.T. 2012. Maya Index dan Kepadatan Larva Aedes aegypti terhadap Infeksi Dengue. Makara Kesehatan, 16 (2): 57-64 Sukowinarsih, T.E., and Cahyati, W.H. 2010. Hubungan Sanitasi Rumah Tangga dengan Angka Bebas Jentik Aedes aegypti. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 6 (1) :30-35
Zaidi, M. I., Gul, A. & Khattak, R. A. 2004. Antibacterial Activity of Nicotine and It’s Mercury Complex. Sarhad J. Agric, 20 (4): 619 - 622
374
UJPH 5 (4) (2016)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
HUBUNGAN KEBISINGAN MESIN TROMOL PENGOLAHAN EMAS DENGAN STRES PEKERJA Reni Hiola , dan Atris K. Sidiki Jurusan Kesehatan Masyarakat, Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Universitas Negeri Gorontalo, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima Agustus 2016 Disetujui September 2016 Dipublikasikan Oktober 2016
Pemakaian mesin sebagai alat kerja dan mekanisasi dalam industri dapat menimbulkan kebisingan ditempat kerja. Kebisingan dapat mempengaruhi pekerja. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kebisingan mesin pengolahan emas (tromol) terhadap stres kerja pada pekerja di pertambangan emas di Desa Dunggilata Kecamatan Bulawa Kabupaten Bone Bolango. Penelitian ini merupakan penelitian survei analitik dengan pendekatan cross-sectional. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji statistik korelasi Pearson Product Moment. Hasil penelitian menunjukkan, ada hubungan antara kebisingan pada mesin pengolahan emas tromol terhadap stres kerja pada pekerja (p = 0,01).
________________ Keywords: drum-machine; goldprocessing; noise; occupational stress. ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ The use of the machine in industries may cause noise in workplace which could affect workers. The purpose of this study was to determine the effect of gold-processing drum-machine noise to occupational stress on gold mining workers in the Dunggilata Village, Bulawa Sub-district, Bone Bolango Regency. This was analytic survey with cross-sectional approach. The data were analyzed using Pearson Product Moment Test. The results showed that there was a correlation between noise of gold-processing drum-machine and occupational stress on workers (p=0.01).
© 2016 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Jurusan Kesehatan Masyarakat, Fakultas Olahraga dan Kesehatan Jalan Prof. Dr. Jhon Ario Katili No. 44 Universitas Negeri Gorontalo E-mail:
[email protected]
285
ISSN 2252-6781
Reni Hiola & Atris K. Sidiki / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
PENDAHULUAN
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan kemudahan bagi tenaga kerja dalam melakukan tugasnya, sehingga lebih ringan melakukan kerja fisik, proses produksi lebih cepat dan mutu barang atau hasil produksi lebih berkualitas. Di sisi lain, pembangunan industri dengan penerapan teknologi tinggi dapat memiliki potensi risiko bahaya dan penyakit akibat kerja yang tinggi manakala tidak di dukung oleh peralatan kerja atau mesin yang sesuai dengan prinsip-prinsip keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dan dioperasikan oleh tenaga kerja yang memahami K3 itu sendiri. Pada kawasan industri pertambangan, berbagai permasalahan penyebab stres kerap menjadi perhatian publik dan warga sekitar mengingat industri pertambangan merupakan sektor perekonomian yang area kerjanya berada diluar ruangan dengan menggunakan berbagai peralatan mekanis pendukung yang menimbulkan suara bising (Febriana, 2013). Pertambangan emas memiliki berbagai macam metode pengolahan emas mulai dari amalgamasi hingga bioleaching. Aktivitas penambangan juga mulai menggunakan pemisahan emas dengan menggunakan metode gravitasi melalui pendulangan (panning) dan gelundung (trommel) dan masih banyak yang lainnya. Pengolahan batuan emas yang saat ini banyak digunakan adalah dengan menggunakan mesin tromol, teknik pengolahan batuan emas ini adalah yang paling sederhana dan termurah serta biasanya digunakan oleh para penambang dalam skala kecil. Mesin tromol berfungsi sebagai penghancur dan penangkap emas dari bahan batuan emas. Survei awal yang telah dilakukan bahwa pertambangan emas yang ada di Desa Dunggilata dimulai sejak tahun 1992 dan sampai saat ini merupakan pertambangan emas tanpa izin (PETI). Jumlah keseluruhan
tempat pengolahan emas yang ada kurang lebih 112 unit yang aktif dan masing-masing unit mempunyai tenaga kerja 2 orang. Oleh karena pertambangan emas ini tidak memiliki izin maka tenaga kerja yang ada di dalamnya tidak memiliki jaminan kesehatan akibat kecelakaan kerja. Minimnya pengetahuan tenaga kerja mengenai kesehatan dan keselamatan kerja mengakibatkan tenaga kerja mengabaikan pentingnya penggunaan alat pelindung diri seperti penggunaan earphone/headset sebagai alat untuk mengurangi kebisingan. Pemakaian mesin sebagai alat kerja dan mekanisasi dalam industri dapat menimbulkan kebisingan ditempat kerja. Dimana proses industri dipercepat untuk mendapatkan produksi semaksimal mungkin, dengan begitu dampak akibat bising juga meningkat.yang dapat mengganggu daya dengar pekerja. Masa kerja yang biasanya diiringi dengan pengalaman kerja yang meningkat juga dapat mempengaruhi stres yang dirasakan pekerja terhadap pekerjaannya. Kecakapan merupakan salah satu faktor intrinsik pemicu stres yang diperoleh pekerja melalui pengalaman dalam pekerjaannya (Budiyanto dan Yanti, 2010.) Tingkat kebisingan adalah jumlah getaran/gelombang bunyi atau suara yang masuk di telinga tenaga kerja yang diukur dengan desibel. Dengan kriteria kebisingan < 85 dB = Memenuhi syarat dan >85 dB = Tidak memenuhi syarat. Bell (2001) berpendapat bahwa bising yang berlebih (sekitar 80 desibel) yang berulang kali didengar, untuk jangka waktu yang lama, dapat menimbulkan stress. Banyaknya akibat negatif dari bising sebagaimana diuraikan diatas menimbulkan anggapan bahwa bising juga akan mempengaruhi stabilitas emosi karyawan. Pemerintah menetapkan batas ambang baku kebisingan pada area kerja sesuai 286
Reni Hiola & Atris K. Sidiki / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP.55/MEN/1999, bahwa nilai ambang batas kebisingan di area kerja maksimal 85 dBA dengan waktu pemajanan 8 jam. Menurut Ikron (2005) dalam Hidayat (2012), nilai tingkat kebisingan antara 55-65 dB berpengaruh terhadap gangguan psikologis antara lain gangguan kenyamanan pribadi, gangguan komunikasi, gangguan psikologis seperti stress dan tindakan demonstrasi, gangguan pada konsentrasi belajar, gangguan istirahat, gangguan pada aktivitas sholat/ibadah, gangguan tidur dan gangguan lainnya, sedangkan keluhan somatik, tuli sementara dan tuli permanen merupakan dampak yang banyak dipertimbangkan dari kebisingan dilingkungan kerja/ industri. Stres dapat diartikan sebagai suatu kondisi yang terjadi bila transaksi antara individu dengan lingkungan. Adapun gejala stres meliputi tanda seperti sakit kepala, urat bahu dan leher terasa tegang, gangguan pencernaan, nyeri punggung dan leher, keluar keringat berlebihan, merasa lelah, sulit tidur, cemas dan tegang saat menghadapi masalah, sulit berkonsentrasi, mudah marah dan tersinggung. Bagi perusahaan, stres dilihat dalam konteks makna jumlah kemangkiran, kehilangan produktivitas, kinerja yang buruk, kecelakaan, penurunan kreatifitas, dan kurang inovasi (Loocker dan Gregson (2005) dalam Pradana (2013)). Hasil observasi di Desa Dunggilata didapatkan hasil pengukuran tingkat kebisingan pada tempat pengolahan emas (Tromol) dengan nilai tingkat kebisingan 89,1 dB dan hasil wawancara yang telah dilakukan terdapat gambaran psikologis yang mewakili para pekerja bahwa ditemukan gejala stres kerja pada tenaga kerja seperti gangguan pada pendengaran, gangguan fisik, dan hilangnya konsentrasi kerja yang seringkali menyebabkan kecelakaan kerja.Berdasarkan penjelasan diatas peneliti memiliki tujuan untuk
mengetahui hubungan kebisingan mesin pengolahan emas (tromol) terhadap stress kerja pada pekerja di pertambangan emas Desa Dunggilata Kecamatan Bulawa Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo. METODE
Penelitian ini merupakan penelitian survey analitik dengan menggunakan metode penelitian cross-sectional. Variabel independent dalam penelitian yaitu tingkat kebisingan dan variabel dependent adalah tingkat stres. Populasi penelitian adalah 242 orang yang tersebar pada 112 tromol. Sampel penelitian sejumlah 42 orang yang tersebar pada 20 tromol, diambil menggunakan teknik purposive sampling dengan metode restriksi. Data diperoleh secara langsung dengan mengukur tingkat kebisingan dengan sound level meter dan mengukur stress kerja dengan melakukan wawancara terhadap tenaga kerja pada bagian pengolahan emas di Desa Dunggilata Kecamatan Bulawa Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo. Data yang diperoleh diolah melalui proses tabulasi dan coding serta dianalisis dengan menggunakan uji statistik korelasi Pearson Product Moment. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan di penambangan emas Desa Dunggilata Kecamatan Bulawa Kabupaten Bone Bolango, dimana terdapat Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI). Telah diketahui ada sekitar 112 tromol dan 6 tong yang aktif dalam pengolahan tiap hari. Setiap pengolahan akan memproduksi hasil samping berupa limbah padat maupun cair. Hasil wawancara dengan penambang menunjukkan bahwa kegiatan PETI telah dimulai sejak tahun 1992 terutama di tepian sungai Bulawa. Sebagian besar penambang 287
Reni Hiola & Atris K. Sidiki / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
menggunakan aliran air sungai untuk memutar tromol sekaligus menjadi tempat pembuangan limbah. Pengolahan emas dengan menggunakan tromol dilakukan setiap hari di
hampir semua populasi penelitian, hal ini menunjukkan bahwa tingkat paparan kebisingan yang diterima pekerja cukup tinggi.
Tabel 1. Distribusi tingkat stres berdasarkan umur Umur
Tingkat stress Ringan
Sedang
Berat
16-20
2
3
3
21-25
2
15
8
26-30
0
3
2
31-35
0
1
2
36-40
1
0
0
Tabel 1 menunjukkan bahwa pada kelompok umur 21-25 terdapat persentase yang paling banyak yakni sebesar 25 orang dengan tingkat stres yang berbeda (stres ringan, stres sedang dan stres berat) sedangkan persentase yang paling rendah yakni pada kelompok umur 36-40 sebesar 1 orang (stres ringan). Pekerja dengan usia lebih muda lebih banyak mengalami stres kerja dikarenakan pada rentang umur tersebut masa kerjanya masih rendah sehingga keterampilan dan pengalamannya dalam menangani pekerjaannya masih kurang. Selain itu usia muda masih banyak menyimpan harapanharapan yang tinggi atas pekerjaannya. Sedangkan tenaga kerja dengan usia lebih tua telah lebih berpengalaman atas pekerjaannya sehingga tantangan pekerjaan dapat dihadapi dengan lebih mudah. Selain itu usia yang lebih tua telah lebih matang atau dewasa sehingga mampu berpikir lebih realistis dalam
mengelola kesenjangan atara harapan dengan kenyataan dalam pekerjaannya (Gatot dan Adisasmito, 2005). Stres kerja pada pekerja penambangan emas Desa Dunggilata Kecamatan Bulawa Kabupaten Bone Bolango paling banyak terjadi pada kelompok umur 21-25 yakni sebanyak 25 orang dengan tingkat stres yang berbeda-beda (stres ringan, stres sedang dan stres berat). Hal ini dipengaruhi oleh masa kerja pada individu tersebut dimana pada umur 21-25 ini sudah bekerja sejak mereka putus sekolah sehingga tingkat terpaparnya kebisingan sudah sangat lama. Hal ini didukung oleh pendapat dari Pradana (2013) yang menyatakan bahwa tenaga kerja kurang dari 40 tahun paling berisiko terhadap gangguan yang berhubungan dengan stress. Hal ini disebabkan karena pekerja berumur muda dipengaruhi oleh harapan yang tidak realistis jika dibanding dengan yang lebih tua.
288
Reni Hiola & Atris K. Sidiki / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
Tabel 2. Distribusi jumlah responden per lokasi tromol Unit Tromol
Jumlah Responden
1
3 orang
2
2 orang
3
2 orang
4
2 orang
5
2 orang
6
2 orang
7
2 orang
8 9
2 orang 2 orang
10
2 orang
11
2 orang
12
2 orang
13
2 orang
14
2 orang
15
2 orang
16
2 orang
17
2 orang
18
2 orang
19
2 orang
20
3 orang
Dari tabel 2 dijelaskan bahwa penelitian ini diambil 2 orang pada setiap unit tromol sedangkan pada 2 unit tromol di ambil 3 orang jadi jumlah responden per tromol ada 42 orang responden. Pengukuran tingkat kebisingan pada pengolahan emas (tromol) dimaksudkan untuk mengetahui apakah tingkat kebisingan pengolahan emas tersebut memenuhi syarat atau tidak. Hasil tingkat kebisingan pengolahan emas (Tromol) di Desa Dunggilata Kecamatan Bulawa Kabupaten Bone Bolango dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 menunjukkan bahwa tingkat kebisingan di semua tromol dalam penelitian ini tidak memenuhi syarat karena hasil pengukuran tingkat kebisingan ini melebihi dari 85 desibel dimana standar kebisingan yakni <85 dB.
Pengukuran tingkat kebisingan dilakukan dengan alat pengukur kebisingan yakni sound level meter sedangkan alat untuk mengukur stres dengan menggunakan kuesioner H-RSA (Hamilton Rating Scale Anxiety). Dari hasil pengukuran kebisingan diketahui bahwa dari 20 tromol di Desa Dunggilata dinyatakan bahwa keduapuluh tromol tersebut menghasilkan kebisingan melampaui nilai ambang batas yakni 8694,>85 dB (Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 13/MEN/X/2011). Untuk tingkat stres dari 42 orang pekerja tromol di Desa Dunggilata ditemukan bahwa orang yang mengalami stres ringan yakni sebanyak 4 orang (9,76%), yang mengalami stres sedang yakni sebanyak 24 orang (58,54%), dan yang mengalami stres berat yakni sebanyak 34 orang (34,15%).
289
Reni Hiola & Atris K. Sidiki / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
Tabel 3. Tingkat Kebisingan Pengolahan Emas (Tromol) di Desa Dunggilata Kecamatan Bulawa Kabupaten Bone Bolango Tingkat No Unit tromol Kategori kebisingan 1 Tromol 1 88.18 2 Tromol 2 92.71 3 Tromol 3 89.05 4 Tromol 4 87.93 5 Tromol 5 87.05 6 Tromol 6 86.05 7 Tromol 7 87.53 8 Tromol 8 94.153 9 Tromol 9 88.66 10 Tromol 10 86.73 Tidak memenuhi syarat 11 Tromol 11 86.10 12 Tromol 12 89.86 13 Tromol 13 89.23 14 Tromol 14 87.81 15 Tromol 15 90.15 16 Tromol 16 88.18 17 Tromol 17 87.16 18 Tromol 18 88.76 19 Tromol 19 87.58 20 Tromol 20 91.35 Tabel 4. Tingkat Stres Pekerja Tromol Tingkat Stres Jumlah Responden % Tidak ada stres
0
0
Stres ringan Stres sedang Stres berat Stres berat sekali
4 24 14 0
9,76 58,54 34,15 0
Dari tabel 4 dijelaskan bahwa dari 42 pekerja pada pengolahan (tromol) diperoleh hasil yakni orang yang mengalami stres ringan yakni sebesar 4 orang (9,76%), stres sedang
yakni sebesar 24 orang (58,54%) dan yang mengalami stres berat yakni 14 orang (34,15%).
290
Reni Hiola & Atris K. Sidiki / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
Tabel 5 Hubungan Tingkat Kebisingan dengan Tingkat Stress Tromol
Tingkat Kebisingan
Tingkat Stres
Unit 1
88,18
Sedang dan berat
Unit 2
89,05
Sedang
Unit 3
87,93
Sedang
Unit 4
87,05
Sedang
Unit 5
86,05
Sedang
Unit 6
87,53
Sedang
Unit 7
94,15
Berat
Unit 8
88,66
Sedang
Unit 9
86,73
Sedang dan berat
Unit 10
86,1
Sedang
Unit 11
89,86
Berat
Unit 12
89,23
Berat
Unit 13
87,81
Sedang dan berat
Unit 14 Unit 15
90,15 88,18
Berat Ringan
Unit 16
87,16
Sedang dan ringan
Unit 17
88,76
Ringan dan sedang
Unit 18
87,58
Sedang
Unit 19
91,35
Sedang
Unit 20
92,71
Berat
Tabel 5 menunjukkan bahwa dari 20 unit tromol terlihat bahwa ada hubungan tingkat kebisingan terhadap tingkat stres kerja.
Nilai p
0,010
Tingkat stres yang dialami pekerja bervariasi mulai dari ringan, sedang, dan berat di setiap unit tromol.
Tabel 6 Hubungan tingkat kebisingan dengan tingkat stress Tingkat kebisingan
Tingkat stress Ringan
Sedang
Berat
86-88 dB
0
4
20
3
Stres Sekali 0
89-91 dB
0
0
2
6
0
8
92-94 dB
0
0
2
5
0
7
Total
0
4
24
14
0
42
Tabel 6 menunjukkan bahwa pada tingkat kebisingan 86-88 dB terdapat 27 orang mengalami stress kerja dimana terdiri atas stres ringan 4 orang, stres sedang 20 orang, dan berat 3 orang. Terdapat 8 orang yang mengalami stres kerja pada tingkat kebisingan 89-91 dB yang terdiri atas stres sedang
Berat
Total
Tidak stres
Nilai p
27 0,010
sebanyak 2 orang dan stres berat sebanyak 6 orang. Terdapat 7 orang mengalami stress kerja pada tingkat kebisingan 92-95 dB dengan rincian stres sedang 2 orang dan stres berat 5 orang. Salah satu faktor yang menyebabkan tingkat kebisingan dan stress yang sangat 291
Reni Hiola & Atris K. Sidiki / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
signifikan bagi pekerja adalah adanya teknik pengolahan batuan emas yang paling sederhana dan termurah yaitu mesin tromol. Selain itu, dampak akibat bising adalah minimnya pengetahuan tenaga kerja mengenai kesehatan dan keselamatan kerja sehingga mengabaikan alat pelindung pendengaran untuk mengurangi kebisingan padahal alat pelindung diri untuk telinga yang bersifat personal mampu menurunkan efek bising dan sebagai alat proteksi yang lebih baik. Tingkat kebisingan di 20 sampel penelitian tidak memenuhi syarat karena hasil pengukuran tingkat kebisingan ini melebihi dari 85 desibel dimana standar kebisingan < 85 dB. Hal ini menujukan bahwa tromol dapat menghasilkan kebisingan yang melebihi nilai ambang batas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa > 50 % tenaga kerja mengalami stres sedang. Stres kerja dapat diartikan sebagai sumber atau stressor kerja yang menyebabkan reaksi individu berupa reaksi fisiologis, psikologis dan prilaku. Lingkungan pekerjaan berpotensi sebagai stressor kerja. Dari hasil uji statistik korelasi pearson product moment menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara tingkat kebisingan dengan stres kerja. Hal ini ditunjukan dengan nilai signifikansi p = 0,010 atau p ≤ 0,05. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suksmono (2013) dimana hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa ada hubungan antara tingkat kebisingan dengan tingkat stres. Kebisingan dapat menjadi stressor bagi pekerja dan menjadi tekanan tambahan dalam melaksanakan pekaerjaan. Tubuh yang menerima stresssor akan bereaksi secara emosi dan fisik agar dapat mempertahankan kondisi fisik yang normal, reaksi tersebut disebut General Adaptation Syndrome (GAS). Reaksi GAS terdiri atas 3 fase yaitu fase waspada/alarm reaction, fase pertahanan/the
stage of resistance dan fase kelelahan (Suksmono, 2013). Pekerja tromol pengolahan emas semuanya terpapar kebisingan karena tak satupun yang mengenakan alat pelindung diri untuk telinga. Selain tidak adanya penyediaan alat pelindung diri untuk telinga, pengetahuan dan kesadaran pekerja tentang kesehatan dan keselamatan kerja memang belum memadai. Endroyo (2010) menyampaikan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi sikap keselamatan dan kesehatan kerja di industri antara lain adalah pendidikan, pengalaman, dan komitmen dari pihak pemberi kerja. Industri pengolahan emas di Desa Dunggilata Kecamatan Bulawa Kabupaten Bone Bolango merupakan penambangan emas tanpa ijin (PETI) sehingga tidak ada komitmen dari pemberi kerja dalam hal menyediaan alat pelindung diri maupun jaminan kesehatan. Pendidikan dan pengalaman masih dapat ditingkatkan dengan berbagai upaya. Puskesmas dan Dinas Kesehatan setempat dapat mengoptimalkan edukasi dalam pembinaan kesehatan dan keselamatan kerja sektor informal yang mengarah kepada pelaku penambangan emas tanpa ijin dengan tujuan melindungi kesehatan dan keselamatan masyarakatnya. Penelitian Endroyo, et al (2015) menyampaikan bahwa dari hasil eksperimen menunjukkan bahwa kelompok pekerja industri yang diberikan edukasi dan pelatihan yang memadai mengenai kesehatan dan keselamatan kerja menunjukkan sikap dan perilaku yang lebih baik tentang kesehatan dan keselamatan kerja. SIMPULAN
Terdapat hubungan antara kebisingan pada mesin pengolahan emas (tromol) terhadap stres kerja pada tenaga kerja (p =0,010). Intensitas kebisingan pengolahan emas di Desa Dunggilata Kecamatan Bulawa 292
Reni Hiola & Atris K. Sidiki / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
Kabupaten Bone Bolango telah melebihi nilai ambang batas karena lebih dari 85 dB. Penilaian dari 42 pekerja pada pengolahan (tromol) diperoleh hasil yakni orang yang mengalami stres ringan yakni sebesar 4 orang (9,76%) , stres sedang yakni sebesar 24 orang (58,54%) dan yang mengalami stres berat yakni 14 orang (34,15%).
Kesehatan Kerja (K3) Para Pelaku Jasa Konstruksi Di Semarang. Jurnal Teknik Sipil dan Perencanaan. 12 (2): 111-120 Endroyo, B., Yuwono, B.E., Mardapi, D. 2015. Model of Learning/Training of Occupational Safety & Health (OSH) Based on Industry in the Construction Industry. Procedia Engineering. 125: 83-88 Febriana, S.K.T. 2013. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Stres Kerja. Jurnal ECOPSY (Jurnal Ilmu Psikologi). 1 (1)
UCAPAN TERIMA KASIH
Gatot, D.B. dan Adisasmito, W. 2005. Hubungan Karakteristik Perawat, Isi Pekerjaan dan Lingkungan Pekerjaan terhadap Kepuasan Kerja Perawat di Instalasi Rawat Inap Gunungjati Cirebon. MAKARA KESEHATAN. 9 (1): 1-8
Ucapan terima kasih kami tunjukkan kepada Kepala Dinas Kehutanan, Pertambangan dan Energi Kabupaten Bone Bolango, serta seluruh responden yang terlibat dalam penelitian ini.
Hidayat, S., Purwanto, Hardiman, G. 2012. Kajian Kebisingan Dan Persepsi Ketergangguan Masyarakat Akibat Penambangan Batu Andesit. Jurnal Ilmu Lingkungan. 10 (2): 95-99
DAFTAR PUSTAKA Bell, T.A, Grenn, T.C, Fisher, J.D, Baum, A. 2001. Environment Psychology. New York : Harcourt College Publishers.
Keputusan Menteri Tenaga Nilai KEP.55/MEN/1999 Kebisingan Di Area Kerja.
Budiyanto, T. dan Pratiwi, E.Y. 2010. Hubungan Kebisingan Dan Massa Kerja Terhadap Terjadinya Stres Kerja Pada Pekerja Di Bagian Tenun ”Agung Saputra Tex” Piyungan Bantul Yogyakarta. Jurnal Penelitian dan Kajian Ilmiah Kesehatan Masyarakat. 4 (2): 126-135
kerja Nomor Ambang Batas
Pradana, A. 2013. Hubungan Antara Kebisingan Dengan Stres Kerja Pada Pekerja Bagian Gravity. Unnes Journal of Public Health. 2 (3): 10-18 Suksmono. 2013. Hubungan Intensitas Kebisingan dan Iklim Kerja dengan Stres Kerja pada Pekerja Produksi PT. NBI. Unnes Journal of Public Health 2 (2)
Endroyo, B. 2010. Faktor-Faktor Yang Berperan Terhadap Peningkatan Sikap Keselamatan Dan
293
UJPH 5 (4) (2016)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
ANALISIS KEBUTUHAN DAN PERANCANGAN “RONDA JENTIK” SEBAGAI MODEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PEMBERANTASAN SARANG NYAMUK Mahalul Azam, Muhammad Azinar, dan Arulita Ika Fibriana Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima Agustus 2016 Disetujui September 2016 Dipublikasikan Oktober 2016
Demam Berdarah Dengue (DBD) sering menimbulkan wabah dan kematian. Kasus DBD di Kabupaten Demak selalu meningkat dan 75% wilayah di Demak endemis DBD. Demak Kota adalah salah satu kecamatan endemis DBD dengan CFR tertinggi. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya, namun belum optimal. Pemberdayaan masyarakat dengan mengaktifkan kembali potensi dan kearifan lokal masyarakat “Ronda Jentik” adalah bentuk inovasi pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan DBD. Jenis penelitian ini adalah penelitian pengembangan dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Populasi seluruh rumah di RW 04 Kelurahan Mangunjiwan Kecamatan Demak sejumlah 126 rumah. Responden penelitian adalah ibu rumah tangga yang ditentukan dengan teknik cluster sampling. Hasil menunjukkan model “Ronda Jentik” relevan dengan permasalahan DBD, dapat menumbuhkan kebersamaan dalam pemberantasan sarang nyamuk, mudah, sesuai dengan budaya lokal, tidak membutuhkan banyak biaya, serta semua anggota masyarakat terlibat sebagai subjek pemantauan dan pemberantasan jentik. Hasil uji coba, model “Ronda Jentik” dapat meningkatkan praktik PSN dan meningkatkan jumlah rumah bebas jentik.
________________ Keywords: Dengue; mosquito eradication; ronda jentik. ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is a disease that often causes epidemic and death. Dengue cases in the Demak Regency always increases and 75% of Demak areas are endemic. Demak Kota is one of endemic subdistricts with the highest CFR. The government has made various efforts, but did not work well. Empowerment by reactivating potential and local wisdom, “Ronda Jentik” is a form of innovation community empowerment in dengue prevention. This is a development research with quantitative and qualitative approach. The population was all houses (146 houses) in RW 04 in Mangunjiwan Village. The respondents were housewives which were taken by cluster sampling. The study states that the "Ronda Jentik" model was relevant to dengue problem, able to foster togetherness in mosquito eradication, easy, similiar to the local cultural, and does not require a lot of costs, and all community members could involve as the subject of larvae monitoring and eradication. "Ronda Jentik" model could improve practices of mosquito eradication and increase the amount of no-larvae houses.
© 2016 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Gedung F5 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail:
[email protected]
ISSN 2252-6781
294
Mahalul Azam, M Azinar, & Arulita Ika F / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
PENDAHULUAN
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang sering menimbulkan wabah dan menyebabkan kematian. DBD adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh virus Dengue. Penyakit ini ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan dapat menyerang seluruh golongan umur. Penyakit DBD ini masih menjadi salah satu masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia karena angka kematian penderitanya cenderung meningkat dari tahun ke tahun (Kemenkes, 2010). Di Indonesia, penyakit DBD masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang belum dapat ditanggulangi. Penyakit DBD bahkan endemis hampir di seluruh propinsi. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir jumlah kasus dan daerah terjangkit terus meningkat dan menyebar luas serta sering menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB). Diperkirakan setiap tahunnya ada 3.000.000 kasus di Indonesia, dan 500.000 kasus DBD memerlukan perawatan di rumah sakit dan minimal 12.000 di antaranya meninggal dunia, terutama anak-anak (Kemenkes, 2010). Kabupaten Demak merupakan wilayah yang beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan kasus DBD dan 75% wilayahnya endemis DBD. Tahun 2012 terjadi 483 penderita DBD dengan 6 kematian. Tahun 2013 terjadi peningkatan kasus DBD menjadi 610 penderita dan 13 kematian. Pada tahun 2014 terjadi 427 penderita dengan 11 kematian. Pada 2015 penderita DBD mencapai 1.009 orang dengan 25 orang diantaranya meninggal dunia. Data terakhir menyebutkan dalam kurun Januari-Februari 2016 telah terdapat 108 kasus DBD, satu kasus di antaranya meninggal dunia. Dari jumlah kasus tersebut, 60% penderitanya adalah anak usia 5 hingga 14 tahun. Kecamatan Demak Kota adalah
salah satu wilayah endemis DBD dengan Case Fatality Rate (CFR DBD) tertinggi di antara 14 kecamatan yang ada di kabupaten Demak. Dalam satu tahun terakhir, di wilayah ini terdapat 74 kasus DBD, 3 kasus di antaranya meninggal karena kasus tersebut (CFR 0,07). Dari fakta di atas, pada awal tahun 2016 ini kecamatan Demak Kota dinyatakan KLB DBD. Salah satu wilayah endemis dengan insiden rate DBD tertinggi di kecamatan Demak Kota adalah kelurahan Mangunjiwan. Penyebaran kasus DBD di wilayah ini tergolong tinggi karena wilayah ini termasuk wilayah padat penduduk. Sebaran kasus DBD memiliki keterkaitan secara spasial dengan kepadatan penduduk (Kusuma et al, 2016). Untuk mengatasi dan menanggulangi KLB DBD tersebut, pemerintah melalui Dinas Kesehatan kabupaten Demak telah melakukan berbagai upaya, antara lain melalui penyediaan dan peningkatan sarana-sarana pelayanan kesehatan, melakukan pengasapan dan menggalakkan gerakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) melalui 3 M (menguras bak mandi, menutup tandon air dan mengubur barang bekas yang dapat menampung air hujan). Namun kegiatan-kegiatan tersebut belum optimal dalam menurunkan kasus DBD di masyarakat. Sampai saat ini respon masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pencegahan penyakit DBD sesuai himbauan dan ajakan pemerintah masih rendah. Pemerintah juga memiliki ketidakmampuan untuk mengatasi persoalan penyakit DBD secara tuntas dan berkelanjutan. Fakta di masyarakat menunjukkan sampai saat ini masyarakat masih memiliki keterbatasan pengetahuan dan informasi tentang cara pencegahan penyakit DBD. Rendahnya kesadaran dan tanggung jawab kolektif untuk berperilaku hidup bersih dan sehat serta banyaknya masyarakat yang merasa lebih percaya pada metode 295
Mahalul Azam, M Azinar, & Arulita Ika F / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
pemberantasan nyamuk dengan bahan kimia dibandingkan melakukan PSN secara mandiri menyebabkan sulitnya membuat masyarakat peduli dan mau berusaha menjaga kebersihan lingkungan untuk pencegahan penyakit DBD (Cahyo, 2006). Pemberdayaan masyarakat dengan mengaktifkan kembali potensi-potensi yang ada di masyarakat perlu dilakukan secara intensif. Revitalisasi konsep pemberdayaan masyarakat harus dilakukan secara komprehensif. Salah satu bentuknya adalah dengan mengangkat budaya dan kearifan lokal masyarakat sebagai kekuatan dalam pemberdayaan. Ronda Jentik merupakan bentuk inovasi pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan kasus DBD di masyarakat. Inovasi ini diadopsi dari kegiatan Siskamling (Sistem Keamanan Lingkungan) yang selama ini selalu dilaksanakan setiap malam untuk menjaga keamanan lingkungan tempat tinggal mereka dengan membentuk kelompokkelompok Jaga (Ronda). Bagi masyarakat Jawa khususnya, Jaga (Ronda) ini telah menjadi budaya dan kearifan lokal masyarakat. Di kabupaten Demak, sebagian besar wilayah masih melaksanakan kegiatan tersebut. Metode ini diprediksi akan dapat membentuk perilaku hidup bersih dan sehat serta meningkatkan kewaspadaan dan pencegahan dini terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD.
nyamuk melalui intervensi pemberdayaan masyarakat. Tahapan penelitian ini meliputi : diagnosis epidemiologi, diagnosis perilaku dan lingkungan, diagnosis pendidikan dan organisasi, serta diagonosis administrasi dan kebijakan. Tahapan tersebut merupakan tahapan awal dalam pengembangan model pemberdayaan masyarakat khususnya yang berkaitan dengan praktik pemberantasan sarang nyamuk (PSN). Diagnosis epidemologi dilakukan untuk menggambarkan kondisi kepadatan jentik di masing-masing rumah, diagnosis perilaku dan lingkungan digunakan untuk mengetahui kondisi praktik PSN DBD oleh masyarakat yang sudah berjalan selama ini, sedangkan diagnosis pendidikan dan organisasi bertujuan untuk mengetahui faktorfaktor yang mempengaruhi praktik pemberantasan sarang nyamuk, dan menganalisis kebutuhan masyarakat terhadap program penanggulangan Demam Berdarah. Instrumen penelitian ini terdiri dari kartu pemeriksaan jentik, kuesioner pengetahuan, sikap, praktik PSN dan kuesioner need assessment program penanggulangan DBD. Data kuantitatif tentang angka bebas jentik dan kebutuhan masyarakat dalam program penanggulangan DBD dianalisis secara deskriptif, sedangkan praktik dan determinan praktik PSN dianalisis secara statitistik menggunakan uji korelasional. Populasi penelitian ini adalah seluruh rumah di RW 04 kelurahan Mangunjiwan kecamatan Demak kabupaten Demak yang berjumlah 126 rumah yang termasuk wilayah endemis DBD yang dalam satu tahun terakhir memiliki insiden rate tertinggi dan terjadi kasus kematian akibat DBD. Penelitian ini menggunakan cluster sampling. Responden penelitian ini adalah ibu rumah tangga di wilayah tersebut.
METODE
Jenis penelitian ini adalah penelitian pengembangan (research and development) menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Penelitian ini dikembangkan dari PRECEDE-PROCEEDE model yaitu dengan mengembangkan model “Ronda Jentik” sebagai upaya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemberantasan sarang 296
Mahalul Azam, M Azinar, & Arulita Ika F / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
Berikut skema tahapan penelitian dan
pengembangan model “Ronda Jentik”:
Tahapan PRECEDE model
Diagnosis epidemiologi, Diagnosis perilaku dan lingkungan Diagnosis pendidikan dan organisasi
Tahapan awal PROCEEDE model (Diagonosis administrasi dan kebijakan)
Pengembangan Draft Model “Ronda Jentik”
Perancangan Model “Ronda Jentik”
Evaluasi Hasil
Uji Coba Lapangan Kecil
Tahapan setelah PRECEDE model selesai, selanjutnya perancangan model, pengembangan draft model, validasi model, revisi, ujicoba dan evaluasi. Berikut ini model “Ronda Jentik” yang dirancang dan dikembangkan dalam penelitian ini : (1) Ronda Jentik dikembangkan sebagai metode edukasi dan pemberdayaan masyarakat untuk mengoptimalkan praktik PSN. (2) Ronda Jentik dilaksanakan oleh ibu-ibu di masing-masing wilayah RT dengan membentuk kelompok-kelompok kecil (masing-masing kelompok 10 orang). (3) Pelaksanaan kegiatan Ronda Jentik ini adalah setiap hari minggu, jam dan jadwal pelaksanaan menyesuaikan dengan kondisi wilayah. (4) Tugas setiap kelompok yang mendapatkan jadwal Ronda Jentik adalah: - Melaksanakan pemeriksaan jentik di rumah-rumah, dengan sasaran pemeriksaan (tempat penampungan air untuk keperluan sehari-hari, dan tempat penampungan air alamiah). - Kelompok Ronda Jentik memonitoring dan mengevaluasi pelaksanakan PSNDBD di masing-masing rumah
-
-
-
Validasi Ahli
Revisi
(indikatornya pelaksanaan 3M-Plus). Jika ditemukan rumah yang tidak melaksanakan 3M-Plus, maka kelompok Ronda Jentik berkewajiban memberikan penyuluhan, menggerakkan dan atau membantu pemilik rumah melaksanakan 3M-Plus. Mencatat kegiatan pemeriksaan jentik dicatat di buku Raport dan Kartu Hasil Ronda Jentik dan ditempel di rumah bagian depan. Ketua kelompok melaporkan kepada penanggungjawab program di tingkat RT dan RW. Penanggungjawab RT/RW program merekap dan melaporkan ke tingkat kelurahan.
Sebelum diuji cobakan di lapangan, model “Ronda Jentik” ini terlebih dahulu akan diuji validitasnya oleh para oleh para pakar dan praktisi terkait, yaitu Kepala Kelurahan, Petugas DBD Puskesmas, Praktisi Bidang Pemberatasan Penyakit Dinas Kesehatan, Praktisi Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Dinas Kesehatan, Pakar Epidemiologi, dan Pakar Promosi Kesehatan dari Akademisi Perguruan Tinggi. Instrumen yang dipakai dalam uji validitas ini 297
Mahalul Azam, M Azinar, & Arulita Ika F / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
adalah panduan diskusi kelompok terarah (focus group discussion) dan lembar penilaian oleh para pakar.
Pemeriksaan jentik yang dilakukan pada tahap epidemilogical diagnosis di wilayah RW 04 kelurahan Mangunjiwan kecamatan Demak kabupaten Demak, diketahui hasil bahwa dari 126 rumah yang diperiksa, 69 rumah (54,8%) masih ditemukan jentik nyamuk di penampungan airnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN Epidemilogical Diagnosis untuk Mengetahui Angka Bebas Jentik di Lokasi Penelitian
Tabel 1. Hasil pemeriksaan jentik di masing-masing rumah Hasil Pemeriksaan Jentik
f
%
Ditemukan jentik nyamuk
69
54,8
Tidak ditemukan
57
45,2
Total
126
100,0
Sebagian besar jentik nyamuk tersebut ditemukan bak kamar mandi, dispenser, gentong dan tandon air lainnya.
behavioral and environmental diagnosis untuk mengetahui sejauhmana praktik PSN yang selama ini dilakukan oleh masyarakat. Berdasarkan hasil pengumpulan data, diketahui dari 126 KK yang diteliti, masih banyak warga yang belum melaksanakan praktik Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan baik.
Behavioral and Environmental Diagnosis untuk Mengetahui Praktik PSN oleh Masyarakat
masing
Setelah pemeriksaan jentik di masingrumah, selanjutnya dilakukan
Tabel 2. Praktik pemberantasan sarang nyamuk yang dilakukan oleh masyarakat Praktik PSN yang dilakukan oleh Masyarakat
f
%
Kurang baik
59
46,8
Baik
67
53,2
Total
126
100,0
Dari tabel di atas diketahui, sebanyak 59 keluarga (46,8%) belum melaksanakan praktik Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan baik. Hal ini ditunjukkan dengan masih jarang masyarakat yang melakukan pengurasan dan penyikatan tempat-tempat penampungan air, seperti bak mandi/WC setiap seminggu sekali. Masyarakat lebih memilih pengasapan (fogging) sebagai cara pemberantasan nyamuk. Penelitian ini selaras dengan Cahyo (2006), yang menyatakan bahwa masih banyak masyarakat yang merasa lebih percaya pada
metode pemberantasan nyamuk dengan bahan kimia dibandingkan melakukan PSN secara mandiri. Hal ini menunjukkan masih rendahnya kepedulian dan kesadaran masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan untuk pencegahan penyakit DBD. Educational and Organizational Diagnosis untuk menganalisis pengetahuan sikap masyarakat serta kebutuhan masyarakat terhadap program penanggulangan Demam Berdarah
Tahap educational and organizational diagnosis pada penelitian ini dilakukan untuk 298
Mahalul Azam, M Azinar, & Arulita Ika F / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
mengetahui pengetahuan masyarakat tentang Penyakit DBD dan Pemberantasan Sarang Nyamuk, serta sikap masyarakat dalam Pemberantasan Sarang Nyamuk. Hasil pengumpulan data diketahui, dari 126 KK
yang diteliti, diketahui masih banyak keluarga yang memiliki pengetahuan yang kurang mengenai penyakit Demam Berdarah Dengue, penyebabnya, penularannya, dan praktik pemberantasan sarang nyamuk (PSN).
Tabel 3. Pengetahuan dan Sikap Masyarakat serta Praktik PSN oleh Masyarakat
Pengetahuan tentang DBD dan PSN Kurang Baik Baik Jumlah Sikap terhadap PSN Negatif Positif Jumlah
Praktik PSN Kurang Baik
Baik
Jumlah
52 (91,2%) 7 (10,1%) 59
5 (8,8%) 62 (89,9%) 67
57 69 126
0,0005
58 (89,2%) 1 (1,6%) 59
7 (10,8%) 60 (98,4%) 67
65 61 126
0,0007
Dari tabel 3 di atas diketahui, sebanyak 57 keluarga (45,2%) memiliki pengetahuan yang kurang mengenai penyakit Demam Berdarah Dengue, penyebabnya, penularannya, serta bagaimana praktik pemberantasan sarang nyamuk (PSN) yang benar. Responden yang pengetahuannya baik memiliki proporsi lebih besar (89,9%) untuk melakukan praktik PSN dengan baik dibandingkan dengan responden yang pengetahuannya kurang (8,8%). Berdasarkan uji Chi square diketahui p value = 0,0005 (<0,05). Hal ini berarti ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan praktik PSN. Sedangkan dilihat dari sikapnya, dari 126 KK yang diteliti, diketahui masih banyak keluarga yang masih memiliki sikap negatif terhadap pemberantasan sarang nyamuk (PSN). Dari tabel 3 di atas diketahui, sebanyak 65 keluarga (51,6%) masih memiliki sikap negatif terhadap pemberantasan sarang nyamuk (PSN). Hal ini ditunjukkan dengan masih banyaknya yang berpendapat bahwa keberhasilan program penanggulangan penyakit demam berdarah menjadi tanggung jawab pemerintah. Selain itu, mereka juga
p value
tidak setuju jika bak mandi harus dikuras paling kurang 2 minggu sekali, karena perkembangan dari telur menjadi nyamuk dewasa memerlukan waktu 15-20 hari. Mereka cenderung akan menguras bak mandi bila airnya sudah terlihat kotor. Mereka merasa air sangat sulit didapat, sehingga air tidak boleh dibuang. Demikian halnya sikap terhadap PSN. Responden yang sikap terhadap PSN positif memiliki proporsi lebih besar (98,4%) untuk melakukan praktik PSN dengan baik dibandingkan dengan responden yang sikapnya negative (10,8%). Berdasarkan uji Chi square diketahui p value = 0,0005 (<0,05). Hal ini berarti ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan praktik PSN. Hasil ini sesuai dengan teori Lawrence Green, yang menyatakan bahwa pengetahuan dan sikap merupakan faktor predisposisi yang dapat membentuk perilaku seseorang. Dengan kata lain, perilaku dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap seseorang terhadap suatu hal. Semakin baik pengetahuan dan sikap seseorang, maka semakin baik pula perilaku seseorang.
299
Mahalul Azam, M Azinar, & Arulita Ika F / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
Penelitian yang lain oleh Nuryanti (2013), menyebutkan bahwa perilaku pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue dipengaruhi oleh faktor pengetahuan, sikap, ketersediaan informasi, dan peran petugas kesehatan. Hal lain yang menyakatan bahwa peningkatan pengetahuan dan sikap dapat dilakukan dengan pendidikan secara rutin dan berkelanjutan. Hal ini penting untuk pencegahan demam berdarah (Sokrin Khun et al, 2007). Selain itu, dilihat dari kebutuhan masyarakat terhadap program penanggulangan DBD diperoleh hasil bahwa dari 126 KK yang diwawancarai, 64 KK (50,8%) menyatakan bahwa perlu adanya intensifikasi praktik PSN oleh seluruh masyarakat untuk menciptakan lingkungan bebas DBD. Meskipun demikian, sebagian besar mereka mengakui bahwa PSN 3M plus masih jarang dilakukan oleh masyarakat setiap minggunya. Kondisi ini diyakini oleh mereka akan menyebabkan penyebaran kasus DBD meningkat. Hasil penelitian ini sesuai dengan Kemenkes (2010), yang menyatakan bahwa hingga saat ini peran serta masyarakat dalam pelaksanaan PSN belum optimal, masih banyak masyarakat yang belum melakukan PSN secara rutin. Faktor yang menjadi penyebab rendahnya peran masyarakat dalam PSN, di antaranya adalah kampanye dan edukasi PSN kepada masyarakat secara umum masih rendah. Berdasarkan hasil wawancara dengan pemuka masyarakat yaitu 2 orang ketua RT, 2 orang ketua RW, 2 orang Kader Kesehatan, serta 1 orang Kepala Kelurahan diperoleh kesimpulan masalah DBD di kelurahan Mangunjiwan kecamatan Demak kabupaten Demak menjadi masalah yang besar dan membutuhkan penanganan yang serius oleh seluruh masyarakat. Peran aktif masyarakat menentukan kebeerhasilan upaya penanggulangan DBD di masyarakat.
Hasil penelitian ini sesuai dengan Kemenkes (2010), peran serta masyarakat merupakan komponen utama dalam pengendalian DBD, mengingat vektor DBD nyamuk Aedes aegypti jentiknya ada di sekitar permukiman dan tempat istirahat nyamuk dewasa sebagian besar ada di dalam rumah. Peran serta masyarakat dalam hal ini adalah peran serta dalam pelaksanaan PSN secara rutin seminggu sekali. PSN secara rutin dapat membantu menurunkan kepadatan vektor, berdampak pada menurunnya kontak antara manusia dengan vektor, akhirnya terjadinya penurunan kasus DBD. Hasil penelitian ini juga menyebutkan bahwa sebagian besar dari mereka berpendapat bahwa beberapa upaya yang menurut mereka harus dilakukan masyarakat untuk mengoptimalkan praktik PSN adalah: 1) PSN harus menjadi komitmen dan kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap masyarakat, 2) PSN harus dilaksanakan setiap minggu sekali oleh setiap warga, 3) Pelaksanaan PSN perlu diawasi dan dipantau agar mencapai hasil yang maksimal, 4) Diperlukan edukasi yang intensif untuk meningkatkan peran masyarakat dalam PSN, 5) Pemantauan jentik harus dilakukan secara rutin, 6) Dalam keluarga, ibu rumah tangga merupakan kelompok yang memiliki potensi menjadi juru pemantau jentik (Jumantik) keluarga, 7) Kegiatan-kegiatan kemasyarakatan dapat menjadi sarana pemberdayaan PSN, serta 8) Diperlukan instrumen kegiatan pemantauan jentik. Hasil penelitian ini sesuai dengan Kemenkes (2010), PSN 3M merupakan kegiatan terencana secara terus menerus dan berkesinambungan. Gerakan ini merupakan kegiatan yang paling efektif untuk mencegah terjadinya penyakit DBD serta mewujudkan kebersihan lingkungan dan perilaku hidup sehat. Kegiatan pemantauan jentik merupakan bagian penting dalam PSN, hal ini untuk mengetahui keberadaan jentik. Pemantauan 300
Mahalul Azam, M Azinar, & Arulita Ika F / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
jentik ini dilakukan secara rutin setiap minggu sekali.
Keberadaan dan kepadatan jentik nyamuk adalah sebagai indikator keberhasilan praktek PSN khususnya melalui gerakan 3M plus. Berikut ini korelasi antara praktik PSN dengan keberadaan jentik nyamuk di rumah.
Hubungan Praktik PSN dengan Keberadaan Jentik Nyamuk
Tabel 4. Praktik PSN oleh masyarakat dan keberadaan jentik nyamuk di rumah
Praktik PSN Kurang Baik Baik Jumlah
Keberadaan Jentik Tidak Ditemukan ditemukan
Jumlah
p value
59 (100,0%) 10 (14,9%) 69
59 67 126
0,0005
Dari tabel 4 tersebut diketahui, responden yang praktik PSN nya kurang baik memiliki proporsi lebih besar (100,0%) ditemukan jentik nyamuk rumahnya. Sebaliknya, responden yang praktik PSN nya baik memiliki proporsi lebih besar (85,1%) di rumahnya tidak ditemukan jentik nyamuk. Berdasarkan uji Chi square diketahui p value = 0,0005 (<0,05). Hal ini berarti ada hubungan yang signifikan antara praktik PSN oleh masyarakat dengan keberadaan jentik nyamuk di rumahnya. Hasil penelitian ini selaras dengan Widagdo (2008), yang menyatakan bahwa keberhasilan kegiatan PSN yang dilakukan oleh masyarakat dapat diukur dengan meningkatnya angka bebas jentik (ABJ). Penelitian Chadijah (2011) yang menyatakan PSN-DBD memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan Angka Bebas Jentik (ABJ) dan penurunan House Index (HI).
0 (0,0%) 57 (85,1%) 57
Administrative and policy diagnosis untuk validasi model “Ronda Jentik”
Desain model “Ronda Jentik” yang telah dibuat divalidasi oleh 6 orang validator, yaitu terdiri dari : Kepala Kelurahan, Petugas DBD Puskesmas, Praktisi Bidang Pemberatasan Penyakit Dinas Kesehatan, Praktisi Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Dinas Kesehatan, Pakar Epidemiologi, dan Pakar Promosi Kesehatan dari Akademisi Perguruan Tinggi. Penilian validitas model ini terdiri dari aspek kesesuaian model dengan permasalahan DBD, substansi model, inovasi model, kemampuan masyarakat dalam menjalankan model serta potensi keberlanjutan model. Berikut ini hasil uji validasi akhir model “Ronda Jentik” sebagai metode edukasi dan pemberdayaan masyarakat untuk optimalisasi praktik PSN di masyarakat :
301
Mahalul Azam, M Azinar, & Arulita Ika F / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
Tabel 5. Hasil uji validitas model No. 1.
Aspek Penilaian kesesuaian model dengan permasalahan
2.
substansi model
3.
inovasi model
4.
kemampuan masyarakat dalam menjalankan model
5.
potensi keberlanjutannya
Hasil Model “Ronda Jentik” sangat relevan dengan permasalahan penyakit DBD yang saat ini masih menjadi masalah serius. Alasan : upaya pencegahan penularan DBD yang utama adalah dengan memutus rantai perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dengan cara PSN 3M plus. bagian penting dalam PSN adalah pemantauan jentik untuk mengetahui keberadaan jentik dilakukan pemantauan jentik secara rutin salah satu penyebab utama penyebaran virus Dengue adalah faktor perilaku manusia yang kurang memperhatikan kebersihan lingkungan Model “Ronda Jentik” akan menumbuhkan kebersamaan masyarakat dalam penanggulangan penyakit DBD Pelaksanaan model “Ronda Jentik” secara rutin akan memudahkan pemantauan jentik dan pemberantasan sarang nyamuk di masing-masing rumah tangga Model “Ronda Jentik” sebagai inovasi baru yang mudah dilakukan oleh masyarakat karena mengadopsi sistem jaga siskamling yang sampai saat ini masih dijalankan oleh masyarakat Media dan instrumen “Ronda Jentik” sederhana, jelas dan mudah dipahami oleh semua kalangan masyarakat Model “Ronda Jentik” mudah dilakukan oleh masyarakat Pelaksanaan model “Ronda Jentik” tidak membutuhkan banyak biaya karena kegiatan ini dilakukan secara bergilir oleh semua warga masyarakat Pemantauan terhadap kegiatan “Ronda Jentik” mudah dilakukan Evaluasi dampak pelaksanaan “Ronda Jentik” dapat dilakukan secara mudah dengan menganalisis formulir dan rekapitulasi hasil pemantauan jentik Adanya komitmen dari pemerintah kelurahan yang akan mengatur legalisasi pelaksanaan model “Ronda Jentik” dalam rangka mencegah kejadian kasus DBD di wilayahnya
Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa model “Ronda Jentik” memiliki relevansi dengan permasalahan DBD yang sampai saat ini masih dihadapi oleh masyarakat. Selain itu, model ini dinilai sebagai model penggerakan dan pemberdayaan masyarakat karena dapat menubuhkan kebersamaan dalam pemberantasan sarang nyamuk. Pelaksanaan
model ini mudah karena mengadopsi sistem jaga siskamling yang sampai saat ini masih menjadi budaya lokal yang telah mengakar di masyarakat. Selain itu, pelaksanaan model ini juga tidak membutuhkan banyak biaya karena kegiatan ini dilakukan secara bergilir oleh semua warga masyarakat. Semua anggota masyarakat terlibat sebagai subjek pemantauan dan pemberantasan jentik. 302
Mahalul Azam, M Azinar, & Arulita Ika F / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
Mengacu pada penelitian Therawiwat et al (2005) dan Kreuter et al (2003), budaya lokal dan nilai‐nilai kebijakan lokal dipandang sebagai kekuatan sosial yang mempengaruhi keefektifan pengendalian penyakit di masyarakat. Kebudayaan masyarakat Indonesia, khususnya kebudayaan Jawa, mengenal budaya gotong royong. Konsep dasar gotong royong adalah rasa kebersamaan di dalam masyarakat, rasa yang menyatukan anggota masyarakat untuk menyelesaikan suatu pekerjaan besar bersama‐sama (Purwadi dan Dwiyanto, 2007). Penelitian ini juga menekankan pentingnya promosi PSN sebagai upaya yang efektif dalam penanggulangan DBD. Hal ini sesuai dengan Suroso et al (2007), yang menyatakan promosi PSN DBD perlu digencarkan karena lebih efektif dibandingan metode pemberantasan dengan bahan kimia dan dapat dilakukan oleh masyarakat setempat yang tinggal di seluruh wilayah yang terjangkit, di wilayah sekitarnya, dan yang merupakan satu kesatuan epidemiologis. Kegiatan PSN DBD dapat diusahakan dengan sumber daya yang berasal dari masyarakat sendiri. Kegiatannya cukup sederhana yaitu dengan melakukan “3 M Plus”.
(34,8%) praktik PSN nya masih kategori kurang baik. Mereka jarang melakukan PSN 3M plus setiap minggunya. Sebagian besar beralasan di wilayahnya air sangat berharga sehingga tidak mau menguras tiap minggunya. Penampungan-penampungan air akan dikuras manakala air sudah terlihat sangat keruh. Selain itu, di wilayah ini juga masih banyak ditemukan barang-barang bekas yang tidak ditampung pada tempat yang benar, sehingga ini menjadi tempat perindukan nyamuk. Demikian halnya hasil pemantauan jentik, dari 46 rumah yang di observasi, 20 rumah di antaranya (43,5%) masih ditemukan masih ditemukan jentik nyamuk di penampunganpenampungan air seperti bak mandi, gentong, tendon air, kolam, dan dispenser. Setelah dinyatakan valid oleh ahli, model “Ronda Jentik” ini diuji cobakan dalam lingkup yang lebih kecil yaitu di wilayah RT 02 RW 04 dengan jumlah 46 KK. Selama satu bulan, setiap minggu ibu-ibu yang mendapat jadwal piket “Ronda” melakukan pemeriksaan jentik di sepuluh rumah sesuai dengan wilayahnya secara bergiliran. Hasil menunjukkan bahwa sebulan pasca uji coba model “Ronda Jentik” ini telah terjadi peningkatan rumah yang dinyatakan bebas jentik dan terjadi peningkatan praktik PSN oleh warga masyarakat. Berikut gambaran perbandingan praktik PSN dan hasil pemeriksaan jentik antara sebelum dan sesudah penerapan model “Ronda Jentik”:
Uji coba lapangan kecil dan evaluasi
Berdasarkan data awal dari tahapan diagnosis epidemiologi dan diagnosis perilaku, diketahui bahwa dari 46 rumah di RT 02 RW 04 yang di survei, 16 rumah di antaranya
303
Mahalul Azam, M Azinar, & Arulita Ika F / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
Tabel 6. Perbandingan praktik PSN dan hasil pemeriksaan jentik antara sebelum dan sesudah penerapan model “Ronda Jentik” Praktik PSN yang dilakukan oleh Masyarakat Sebelum Kurang Baik Baik Jumlah Hasil Pemeriksaan Jentik Sebelum
Ditemukan jentik nyamuk Tidak ditemukan Total
Sesudah Kurang Baik 8 0 8 Ditemukan jentik nyamuk
Baik 8 30 38 Tidak ditemukan
Jumlah 16 30 46
6
14
20
1 7
25 39
26 46
Tabel 6 di atas menunjukkan telah terjadi peningkatan jumlah rumah yang telah melaksanakan PSN dengan baik, sebelum penerapan model “Ronda Jentik” 30 rumah dinyatakan sudah melaksanakan PSN dengan baik, dan setelah penerapan model “Ronda Jentik” jumlah rumah yang telah melaksanakan PSN dengan baik meningkat menjadi 38 rumah. Berdasarkan uji Mc Nemar, diketahui p value 0,008(<0,05). Hal ini menunjukkan terjadi peningkatan yang signifikan pada praktik PSN yang dilakukan oleh masyarakat pasca penerapan model “Ronda Jentik”. Demikian halnya dengan hasil pemeriksaaan jentik, juga terjadi peningkatan jumlah rumah yang dinyatakan bebas jentik. Sebelum penerapan model, terdapat 26 rumah dinyatakan bebas jentik. Setelah model diterapkan selama satu bulan, jumlah rumah yang dinyatakan bebas jentik meningkat menjadi 39 rumah. Berdasarkan uji Mc Nemar, diketahui p value 0,001 (<0,05). Hal ini menunjukkan terjadi peningkatan yang signifikan jumlah rumah yang dinyatakan bebas jentik pasca penerapan model “Ronda Jentik”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gerakan pemberdayaan (empowerment) merupakan cara untuk menumbuhkan dan mengembangkan norma yang membuat
Jumlah
p value 0,008
p value 0,001
masyarakat mampu untuk pengendalian DBD secara mandiri. Strategi ini tepatnya ditujukan pada sasaran primer agar berperan serta secara aktif dalam pengendalian DBD. Hasil penelitian ini selaras dengan hasil Paramita (2008), yang menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat dengan dukungan sosial masyarakat (social support) mempunyai daya dukung yang cukup kuat, agar proses pemberdayaan betul-betul berdasarkan kondisi dan permasalahan setempat. SIMPULAN
Hasil penelitian menyatakan bahwa model “Ronda Jentik” relevan dengan permasalahan DBD, model ini dapat menumbuhkan kebersamaan dalam pemberantasan sarang nyamuk, pelaksanaan model ini mudah, karena sesuai dengan budaya lokal masyarakat dan tidak membutuhkan banyak biaya, serta semua anggota masyarakat terlibat sebagai subjek pemantauan dan pemberantasan jentik. Hasil uji coba model menyatakan bahwa model “Ronda Jentik” dapat meningkatkan praktik PSN dan meningkatkan jumlah rumah bebas jentik.
304
Mahalul Azam, M Azinar, & Arulita Ika F / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
UCAPAN TERIMAKASIH Kusuma, A.P., dan Sukendra, D.M. 2016. Analisis Spasial Kejadian Demam Berdarah Dengue Berdasarkan Kepadatan Penduduk. Unnes Journal of Public Health. 5(1): 48-56.
Ucapan terimakasih disampaikan kepada warga masyarakat RW 04 Kelurahan Mangunjiwan kecamatan Demak atas partisipasinya sebagai responden penelitian. Kepala Kelurahan Mangunjiwan, Petugas DBD Puskesmas Demak III, Bidang Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) serta Bidang Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Dinas Kesehatan Kabupaten Demak, Pakar Epidemiologi dan Pakar Promosi Kesehatan dari Universitas Negeri Semarang atas partisipasinya dalam uji validitas model pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan DBD.
Nuryanti, Erni. 2013. Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk di Masyarakat. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 9(1). Paramita A, Lestari W. Pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan di era otonomi daerah. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. Oktober 2008; 11(4): 318-24. Purwadi dan Dwiyanto, D. 2007. Filsafat Jawa: Ajaran Hidup yang Berdasarkan Nilai Kebijakan Tradisional. Yogyakarta: Panji Pustaka. Sokrin Khun and Lenore Manderson. 2007. Community and School-Based Health Education for Dengue Control in Rural Cambodia: A Process Evaluation. PLoS Negl Trop Dis. Dec; 1(3): e143.
DAFTAR PUSTAKA
Suroso, T., Kusriastuti, R., Winarno, Sofyan, RA., Wandra, T., Djohor, D., Sukowati, S., Sutomo, S., & Supeno, E. 2007. Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD) oleh Juru Pemantau Jentik (Jumantik). Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Cahyo, K. 2006. Kajian faktor‐faktor perilaku dalam keluarga yang mempengaruhi pencegahan penyakit demam berdarah dengue (DBD) di kelurahan Meteseh kota Semarang. Media Litbang Kesehatan XVI (4): 32‐41.
Therawiwat, M., Fungladda, W., Kaewkungwal, J., Imamee, N., & Steckler, A. 2005. Commnity‐ based approach for prevention and control of dengue hemorrhagic fever in Kanchanaburi Province, Thailand. The Southeast Asian Journal Tropical Medicine and Public Health, 36 (5): 1439‐ 1449.
Chadijah, Sitti, Rosmini, Halimuddin. 2011. Peningkatan Peran Serta Masyarakat dalam Pelaksanaan Pemberantasan Sarang nyamuk DBD (PSNDBD) di Dua Kelurahan di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Media Litbang Kesehatan. 21(4). Kemenkes. 2010. Demam Berdarah Dengue. Buletin Jendela Epidemiologi. Vol 2. Agustus 2010.
Widagdo, L., Husodo, B.T. & Bhinuri. 2008. Kepadatan Jentik Nyamuk Aedes Aegypti Sebagai Indikator Keberhasilan Praktek PSN (3M Plus) Studi di Kelurahan Srondol Wetan Semarang. Makara, (seri Kesehatan). 12(1) : 13-19.
Kreuter, M. W., Lukwago, S. N., Bucholtz, D. C., Clark, E. M., & Sanders‐ Thompson, V. 2003. Achieving cultural apropriatness in health promotion programs: targeted and tailored approaches. Health Education & Behavior. 30(2): 133‐146.
305
UJPH 5 (4) (2016)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
PENGETAHUAN, SIKAP DAN MOTIVASI DENGAN PERILAKU PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI PADA PEKERJA Indra Gunawan Ahmad A. Mudayana Fakultas Kesehatan Masyarakat , Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima Agustus 2016 Disetujui September 2016 Dipublikasikan Oktober 2016
Permasalahan pada PT. Katingan Indah Utama adalah pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja. Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan, sikap dan motivasi dengan perilaku penggunaan alat pelindung diri (APD) pada pekerja bagian produksi. Jenis penelitian ini observasional analitik dengan pendekatan cross sectional dengan sampel 70 pekerja. Berdasarkan hasil penelitian menunjukan ada hubungan antara pengetahuan (p=0,004) dengan perilaku penggunaan APD, ada hubungan antara sikap (p=0,031) dengan perilaku penggunaan APD dan ada hubungan antara motivasi (p=0,022) dengan perilaku penggunaan APD. Hasil analisis multivariat menunjukkan variabel pengetahuan merupakan variabel dominan berhubungan dengan perilaku penggunaan APD pada pekerja dengan p value (0,002). Kesimpulannya ada hubungan hubungan antara pengetahuan, sikap dan motivasi dengan perilaku penggunaan APD pada pekerja bagian produksi dan variabel pengetahuan merupakan variabel dominan berhubungan dengan perilaku penggunaan alat pelindung diri pada pekerja bagian produksi PT. Katingan Indah Utama.
________________ Keywords: Knowledge; Attitude; Motivation; Behavior; Personal Protective Equipment. ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ Problems on PT. Katingan Indah Utama was the implementation of occupational safety and health. This study aimed at identifying the relationship between knowledge, attitude and motivation with the behavior of using personal protective equipment at production workers. This was an observational analytic study with cross sectional approach with 70 worker as samples. The results of the study showed no correlation between knowledge (p = 0.004) and the behavior of the use of personal protective equipment, there was a relationship between attitudes (p = 0.031) and the behavior of the use of personal protective equipment and there was a relationship between motivation (p = 0.022) and the behavior of using personal protective equipment. Multivariate analysis showed that variable of knowledge was the dominant variable related to the behavior of of personal protective equipment at the production workers of PT . Katingan Indah Utama with p value (0.002). There was a correlation between knowledge, attitude and motivation with the behavior of using personal protective equipment and variable of knowledge was the dominant variable related to the behavior of of personal protective equipment at the production workers of PT . Katingan Indah Utama.
© 2016 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Fakultas Kesehatan Masyarakat , Universitas Ahmad Dahlan E-mail:
[email protected]
336
ISSN 2252-6781
Indra Gunawan, Ahmad A. Mudayana / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
PENDAHULUAN
Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani maupun rohani. Dengan keselamatan dan kesehatan kerja maka para pihak diharapkan dapat melakukan pekerjaan dengan aman dan nyaman. Pekerjaan dikatakan aman jika apapun yang dilakukan oleh pekerja tersebut, risiko yang mungkin akan muncul dapat dihindari (Sumekar, 2015). Pekerja dapat dikatakan nyaman jika para pekerja yng bersangkutan dapat melakukan pekerjaan dengan merasa nyaman dan betah, sehingga tidak mudah lelah (Titilia, 2014). Setiap tahun di dunia terjadi 270 juta kecelakaan kerja, dimana sekitar 160 juta pekerja menderita penyakit akibat kerja, dan menyebabkan kematian sebanyak 2,2 juta serta kerugian finansial sekitar 1,25 trilliun USD. Di Indonesia angka kecelakaan kerja cukup tinggi (Tarwaka, 2014). Menurut data Jamsostek, angka kecelakaan kerja tahun 2011 lalu mencapai 99.491 kasus. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2007, tercatat 83.714 kasus, tahun 2008 sebanyak 94.736 kasus, tahun 2009 sebanyak 96.314 kasus, dan tahun 2010 sebanyak 98.711 kasus. Perlindungan tenaga kerja melalui usaha-usaha teknis pengamanan tempat, peralatan, dan lingkungan kerja adalah sangat perlu diutamakan, sehingga pihak manajemen mengambil kebijakan untuk melindungi pakerja dengan berbagai cara yaitu mengurangi sumber bahaya ataupun menggunakan Alat Pelindung Diri (Stuari, 2016). Berdasarkan Pasal 14 huruf c UU No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, pengusaha/pengurus perusahaan wajib menyediakan Alat Pelindung Diri (APD) secara cuma-cuma terhadap tenaga kerja dan orang lain yang memasuki tempat kerja. Berdasarkan Pasal 12 huruf b, tenaga kerja
diwajibkan memakai APD yang telah disediakan (Respati, 2014). Alat Pelindung Diri (APD) berperan penting terhadap kesehatan dan keselamatan kerja. Terjadinya kecelakaan kerja dapat mengakibatkan korban jiwa, cacat, kerusakan peralatan, menurunnya mutu dan hasil produksi, terhentinya proses produksi, kerusakan lingkungan, dan akhirnya akan merugikan semua pihak serta berdampak kepada perekonomian nasional (Solichin, 2014). PT Katingan Indah Utama merupakan perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang bergerak di bidang usaha perkebunan dan pengelolaan sawit, secara administratif lokasi kegiatan perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit seluas 22.126,16 (23.626.16) hektar. PT Katingan Indah Utama terletak di Kecamatan Parenggan dan Kecamatan Mentaya, Kabupaten Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah. PT Katingan Indah Utama memiliki pabrik berkapasitas 90 ton/jam dengan unit produksi buah sawit antara lain: (1) stasiun loading ramp, (2) stasiun rebusan, (3) stasiun thresher, (4) stasiun klarifikasi, (5) stasiun press, (6) stasiun bunch press, (7) stasiun boiler, (8) stasiun kamar mesin, (9) stasiun kernel. Berdasarkan hasil observasi pada tanggal 08 dan 09 April 2016 diketahui permasalahan pada PT Katingan Indah Utama adalah pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja pada dasarnya sudah dilaksanakan dengan baik tetapi belum maksimal khususnya dalam penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada pekerja di bagian produksi. Pekerja di bagian produksi PT Katingan Indah Utama pada dasarnya telah mengetahui bahaya apa saja yang dapat terjadi di lingkungan kerja mereka, mulai dari tertimpa, terbentur, gangguan pendengaran, luka bakar, terjatuh dan kecelakaan lainnya. Sehingga tujuan 337
Indra Gunawan, Ahmad A. Mudayana / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan, sikap dan motivasi dengan perilaku penggunaan alat pelindung diri (APD) pada pekerja bagian produksi.
perhitungan disebut distribusi frekuensi. Analisis bivariat yaitu uji hipotesis antara dua variabel, yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Analisis bivariat di lakukan pada masing-masing variabel untuk mengetahui hubungan antara variabel yang terikat. Uji statistik yang digunakan adalah uji Chi-Square (X2). Uji Chi-Square digunakan karena tujuan dari penelitian ini adala untuk mencari hubungan, dengan skala data nominal. Syarat uji Chi-Square yaitu menggunakan tabel 2x2 dan jenis data katagorik. Apabila syarat-syarat ChiSquare tidak terpenuhi maka alternative yang digunakan adalah uji Fisher. Analisis multivariat yang digunakan yaitu regresi logistik (Dahlan, 2014).
METODE
Jenis penelitian ini menggunakan observasional analitik dengan pendekatan cross sectional (Susiliani, 2015). Sampel penelitian ini adalah seluruh pekerja bagian produksi PT. Katingan Indah Utama sebanyak 70 orang. Instrumen penelitian berupa kuesioner dan check list yang dibuat oleh peneliti dengan hasil uji validitas dan reliabilitas yang di uji pada 30 pekerja bagian produksi PT. Intiga Prabhakara Kahuripan, variabel pengetahuan nilai alpha cronbach’s 0,804, variabel sikap nilai alpha cronbach’s 0,809, variabel motivasi nilai alpha cronbach’s 0,754. Analisis data dilakukan dengan dua cara yaitu dengan analisis univariat dan analisis bivariat. Analisis univariat yaitu cara analisis data untuk menganalisis variable tunggal dalam sebuah populasi dengan hasil
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini, karakteristik responden yang dilihat meliputi umur, jenis kelamin dan pendidikan dengan jumlah sampel 70 pekerja bagian produksi PT Katingan Indah Utama, didapatkan karakteristik pada tabel 1:
Tabel 1. Karakteristik Pekerja Bagian Produksi PT Katingan Indah Utama NO
Karakteristik Responden
1
Kategori Umur 17-25 (Remaja) 26-45 (Dewasa) 46-65 (Lansia) Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Pendidikan SD SMP SMA S1
2
3
Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa berdasarkan umur, proporsi umur responden tertinggi pada kategori umur 26-45
Jumlah (N)
Persentase (%)
13 54 3
18,6 77,1 4,3
70 0
100 0
0 0 64 6
0 0 91,4 8,4
(dewasa) sebesar 54 (77,1%). Sebesar 70 responden (100%) yang bekerja di bagian produksi berjenis kelamin laki-laki.
338
Indra Gunawan, Ahmad A. Mudayana / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
Berdasarkan pendidikan, proporsi pendidikan yang paling banyak tamat SMA yaitu sebesar 64 (91,4%). Pada bagian produksi sangatlah dibutuhkan tenaga laki-laki sehingga perekrutan bagi pekerja wanita tidak ada. Berdasarkan pada tabel 2 menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan dari 70 responden yang di teliti, responden dengan tingkat pengetahuan baik sebesar 34 responden (48,6%), sedangkan responden dengan tingkat pengetahuan tidak baik sebesar 36 responden (51,4%). Berdasarkan pada tabel 2 menunjukkan bahwa sikap Pekerja dari 70 responden yang di teliti, responden dengan Sikap positif sebesar 43 responden (61,4%), sedangkan responden dengan sikap negatif sebesar 27 responden (38,6%). Berdasarkan pada tabel 2 menunjukkan bahwa motivasi dari 70 responden yang di teliti,
responden dengan motivasi baik sebesar 37 responden (52,9%), sedangkan responden dengan motivasi tidak baik sebesar 33 responden (47,1%). Berdasarkan pada tabel 2 menunjukkan bahwa perilaku penggunaan alat pelindung diri dari 70 responden yang di teliti, responden dengan perilaku penggunaan alat pelindung diri baik sebesar 26 responden (37,1%), sedangkan responden dengan perilaku penggunaan alat pelindung diri tidak baik sebesar 44 responden (62,9%). Analisis bivariate dilakukan dengan menggunakan uji Chi-square dengan tingkat kemaknaan P Value<0,05. Selain itu untuk menghitung kemungkinan timbulnya suatu efek dari variabel tertentu menggunakan perhitungan Ratio Prevalence (RP) dengan melihat tingkat kemaknaan dari Confident Interval (CI) 95%.
Tabel 2. Pengetahuan Pekerja Tentang Penggunaan Alat Pelindung Diri pada Pekerja Bagian Produksi PT Katingan Indah Utama. NO
Responden
Variabel
N
%
36 34 70
51,4 48,6 100
Klasifikasi Pengetahuan 1 2
Tidak baik Baik Jumlah
Klasifikasi Sikap 1 2
Negatif Positif Jumlah
27 43 70
38,6 61,4 100
Klasifikasi motivasi 1 2
Tidak Baik Baik Jumlah
33 37 70
47,1 52,9 100
44 26 70
62,9 37,1 100
Klasifikasi perilaku penggunaan alat pelindung diri 1 2
Tidak Baik Baik Jumlah
339
Indra Gunawan, Ahmad A. Mudayana / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
Tabel 3. Hubungan antara Pengetahuan dengan Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri pada Pekerja Bagian Produksi PT Katingan Indah Utama. Pengetahuan Tidak baik baik Total
Perilaku Penggunaan APD Tidak baik Baik N % N % 28 40 8 11,4 14 20 20 28,6 42 60 28 40
Berdasarkan tabel 3 menunjukkan tabel silang antara pengetahuan dengan perilaku penggunaan APD menunjukkan bahwa dari 36 responden dengan pengetahuan tidak baik, terdapat 8 responden (11,4%) dengan perilaku penggunaan APD baik, sedangkan dari 34 responden yang pengetahuan baik, terdapat 20 responden (28,6%) dengan perilaku penggunaan APD baik. Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh nilai P Value (0,004), dinyatakan ada kemaknaan secara statistik antara pengetahuan dengan perilaku
Total N 36 34 70
% 51,4 48,6 100
P Velue
CI 95%
RP
0,004
1,9272,927
1,889
penggunaan APD dan nilai CI 95%: 1,9272,927 yang berarti Ho ditolak dan Ha diterima dengan interpretasi ada hubungan antara pengetahuan dengan perilaku penggunaan alat pelindung diri pada pekerja bagian produksi PT Katingan Indah Utama. Sementara nilai RP= 1,889 menunjukan bahwa responden dengan pengetahuan tidak baik memiliki peluang 1,889 kali lebih tinggi mempunyai perilaku penggunaan APD tidak baik dibandingkan dengan responden dengan pengetahuan baik.
Tabel 4. Hubungan antara Sikap dengan Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri pada Pekerja Bagian Produksi PT Katingan Indah Utama.
Sikap Negatif Positif Total
Perilaku Penggunaan APD Tidak baik Baik N % N % 21 30 6 8,6 21 30, 22 31,4 42 60 28 40
Berdasarkan tabel 4 menunjukkan tabel silang antara sikap dengan perilaku penggunaan APD menunjukkan bahwa dari 27 responden dengan sikap negatif, terdapat 6 responden (8,6%) dengan perilaku penggunaan APD baik, sedangkan dari 43 responden dengan sikap positif, terdapat 22 responden (31,4%) dengan perilaku penggunaan APD baik. Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh nilai P Value (0,031), dinyatakan ada kemaknaan secara statistik antara sikap dengan
Total N 27 43 70
% 38,6 61,4 100
P Velue
CI 95%
RP
0,031
1,1042,297
1,593
perilaku penggunaan APD dan nilai CI 95%: 1,104-2,297 yang berarti Ho ditolak dan Ha diterima dengan interpretasi ada hubungan antara sikap dengan perilaku penggunaan alat pelindung diri pada pekerja bagian produksi PT Katingan Indah Utama. Sementara nilai RP= 1,593 menunjukan bahwa responden dengan sikap negatif memiliki peluang 1,593 kali lebih tinggi mempunyai perilaku penggunaan APD tidak baik dibandingkan dengan responden dengan sikap positif.
340
Indra Gunawan, Ahmad A. Mudayana / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
Tabel 5. Hubungan antara Motivasi dengan Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri pada Pekerja Bagian Produksi PT Katingan Indah Utama. Motivasi Tidak baik Baik Total
Perilaku Penggunaan APD Tidak baik Baik N % N % 25 35,7 8 11,4 17 24,3 20 28,6 42 60 28 40
Berdasarkan tabel 5 menunjukkan tabel silang antara motivasi dengan perilaku penggunaan APD menunjukkan bahwa dari 33 responden dengan motivasi tidak baik, terdapat 8 responden (11,4%) dengan perilaku penggunaan APD baik, sedangkan dari 37 responden dengan motivasi baik, terdapat 20 responden (28,6%) dengan perilaku penggunaan APD baik. Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh nilai P Value (0,022), dinyatakan ada kemaknaan secara statistik antara motivasi dengan perilaku penggunaan APD dan nilai CI 95%: 1,106-2,458 yang berarti Ho ditolak dan Ha diterima dengan interpretasi ada hubungan antara motivasi dengan perilaku
Total N 33 37 70
% 47,1 52,9 100
P Velue
CI 95%
RP
0,022
1,1062,458
1,649
penggunaan alat pelindung diri pada pekerja bagian produksi PT Katingan Indah Utama Sementara nilai RP= 1,649 menunjukan bahwa responden dengan motivasi tidak baik memiliki peluang 1,649 kali lebih tinggi mempunyai perilaku penggunaan APD tidak baik dibandingkan dengan responden dengan motivasi baik. Analisis Multivariat Regresi Logistik Hubungan antara Pengetahuan, Sikap dan Motivasi dengan Perilaku Penggunaan APD pada Pekerja Bagian Produksi PT Katingan Indah Utama.
Tabel 6. Analisis Multivariat Regresi Logistik Hubungan antara Pengetahuan, Sikap dan Motivasi dengan Perilaku Penggunaan APD pada Pekerja Bagian Produksi PT Katingan Indah Utama.
Step 3a
Variabel
B
S.E.
Wald
Df
Sig
OR
Pengetahuan Konstanta
-1,609 0,357
0,531 0,348
9,181 1,048
1 1
0,002 0,306
0,200 1,429
Berdasarkan hasil analisis multivariat pada Tabel 6 di atas diketahui bahwa variabel pengetahuan berpengaruh terhadap perilaku penggunaan APD, Berdasarkan hasil uji regresi logistik pengaruh pengetahuan terhadap tindakan penggunaan APD diperoleh nilai P Value (0,002), maka variabel tersebut adalah variabel yang paling dominan berhubungan dengan variabel terikat. Berdasarkan hasil pemelitian yang dilakukan pada bulan Juni 2016 di PT. Katingan Indah Utama, Kabupaten
CI 95% Min Mak 0,071 0,566
Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah, dengan menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner dan check list kepada 70 pekerja bagian produksi PT Katingan Indah Utama. Dimana Pekerja bagian produksi mempunyai karakteristik responden yang dilihat meliputi umur, jenis kelamin dan pendidikan. Berdasarkan umur, proporsi umur responden tertinggi pada kategoriumur dewasa sebesar 54 (77,1%). Sebesar 70 responden (100%) yang bekerja di bagian produksi berjenis kelamin laki-laki. Berdasarkan pendidikan, 341
Indra Gunawan, Ahmad A. Mudayana / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
proporsi pendidikan yang paling banyak tamat SMA yaitu sebesar 64 (91,4%). Pada bagian produksi sangatlah dibutuhkan tenaga laki-laki sehingga perekrutan bagi pekerja wanita tidak ada. Berdasarkan hasil analisis univariat terlihat bahwa responden pada penelitian ini yang mepunyai tingkat pengetahuan tinggi sebesar 34 responden (48,6%), sedangkan responden dengan tingkat pengetahuan rendah sebesar 36 responden (51,4%). Responden dengan Sikap positif sebesar 43 responden (61,4%), sedangkan responden dengan sikap negatif sebesar 27 responden (38,6%). Responden dengan motivasi baik sebesar 37 responden (52,9%), sedangkan responden dengan motivasi tidak baik sebesar 33 responden (47,1%). Responden dengan perilaku penggunaan alat pelindung diri baik sebesar 26 responden (37,1%), sedangkan responden dengan perilaku penggunaan alat pelindung diri tidak baik sebesar 44 responden (62,9%). Hasil penelitian menunjukan bahwa dari 70 responden yang mempunyai pengetahuan tinggi lebih kecil dibandingkan dengan responden yang mempunyai pengetahuan rendah. Responden dengan sikap positif lebih banyak dibandingkan responden yang mempunyai sikap negatif. Responden dengan motivasi baik lebih banyak dibandingkan dengan responden yang mempunyai motivasi tidak baik. Sedangkan responden dengan perilaku penggunaan APD baik lebih kecil dari pada responden yang mempunyai perilaku penggunaan APD tidak baik. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa pekerja bagian produksi yang memiliki pengetahuan baik dan perilaku penggunaan APD baik sebesar 20 responden (28,6%), sedangkan yang mempunyai pengetahuan baik dan perilaku penggunaan APD tidak baik sebesar 14 responden (20%). Responden yang mempunyai
pengetahuan tidak baik dan perilaku penggunaan APD baik sebesar 8 responden (11,4%), sedangkan responden yang mempunyai pengetahuan tidak baik dan perilaku penggunaan APD tidak baik sebesar 28 responden (40%). Hasil uji chi square diperoleh nilai P Value (0,004) < α (0,05), maka dinyatakan ada kemaknaan secara statistik antara pengetahuan dengan perilaku penggunaan APD dan nilai CI 95%: 1,927-2,927 yang berarti Ho ditolak dan Ha diterima dengan interpretasi ada hubungan antara pengetahuan dengan perilaku penggunaan alat pelindung diri pada pekerja bagian produksi PT Katingan Indah Utama. Sementara nilai RP= 1,593 menunjukan bahwa responden dengan pengetahuan tidak baik memiliki peluang 1,593 kali lebih tinggi mempunyai perilaku penggunaan APD rendah dibandingkan dengan responden dengan pengetahuan baik dengan perilaku penggunaan APD tidak baik pada pekerja di bagian produksi. Berdasarkan karakteristik umur pekerja dimana pekerja pada kelompok umur dewasa paling banyak sebesar 54 (77,1%). Umur tersebut masuk dalam umur produktif untuk melakukan pekerjaan khususnya dibagian produksi. Umur pekerja dapat berpengaruh terhadap perilaku penggunaan APD, dimana umur menggambarkan aspek psikologis atau mental tarap berpikir seseorang. Pekerja bagian produksi seluruhnya adalah jenis kelamin lakilaki sebesar 70 (100%), dikarenakan pekerja pada bagian produksi diperlukan mental dan tenaga yang besar untuk menjalankan proses produksi. Jenis kelamin laki-laki cenderung berperilaku atau bertindak atas pertimbangan rasional. Pengetahuan pekerja di golongkan menjadi dua yaitu pengetahuan baik dan pengetahuan tidak baik. Pengetahuan pekerja pada bagian produksi rata-rata mempunyai pengetahuan tidak baik mengenai pengetahuan 342
Indra Gunawan, Ahmad A. Mudayana / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
tentang alat pelindung diri, dimana pekerja sebagian besar merupakan lulusan SMA sebesar 64 (91,4%). Pendidikan lulus SMA tergolong jenjang pendidikan menengah, dimana sudah baik bekerja pada bagian produksi, akan tetapi tidak semua pekerja mengetahui tentang alat pelindung diri. Pekerja bagian produksi beberapa sudah mengetahui kelengkapan alat pelindung diri yang harus digunakan pada saat bekerja. Beberap pekerja bagian produksi mengetahui bahaya yang ada ditempat kerja seperti terjatuh, tertimpa, terbentur dan bahaya debu-debu diudara. Selain itu Sebagian pekerja mengetahui bahwa risiko atau dampak apabila tidak menggunakan APD secara optimal yang diperoleh dari pelatihan internal yang diadakan oleh perusahaan. Namun masih banyak pekerja yang tidak mengenakan alat pelindung diri pada saat bekerja. Hasil penelitian pada variabel pengetahuan, dimana pengetahuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengetahuan pekerja tentang syarat alat pelindung diri, fungsi alat pelindung diri, dan jenis alat pelindung diri. Dari 70 responden didapatkan bahwa responden dengan tingkat pengetahuan baik lebih banyak menggunakan APD secara baik sebesar 20 (28,6%) dibandingkan responden dengan pengetahuan tidak baik sebesar 8 (11,4%). Dapat ditarik kesimpulan, bahwa seseorang yang pengetahuannya rendah cenderung untuk berperilaku tidak baik terutama dalam menjaga kesehatan dan keselamatan diri dalam bekerja, begitu pula sebaliknya, orang yang pengetahuannya tinggi cenderung untuk berperilaku baik dalam menjaga kesehatan dan keselamatan diri dalam bekerja. Pengadopsian perilaku yang didasari pengetahuan, kesadaran yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (ling lasting) namun sebaliknya jika perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran,
maka perilaku tersebut besifat sementara atau tidak akan berlangsung lama. Penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya, didapatkan nilai P Value 0,037 < α (0,05) yang berarti terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan perilaku menggunakan APD pada pengrajin perak di Industri perak “X” di Yogyakarta9. Penelitian ini sebanding dengan penelitian sebelumnya, didapatkan P Value (0,036) < α (0,05), maka ada hubungan antara pengetahuan pekerja dengan kepatuhan penggunaan APD pada pekerja kerangka bangunan (Saputri, 2014). Pihak perusahaan perlu meningkatkan pengetahuan pekerja dimana banyak pekerja yang masih banyak belum mengetahui tentang alat pelindung diri terutama pentingnya penggunaan APD saat bekerja sehingga resiko terjadinya cedera dan kecelakaan kerja dapat diminimalis atau bahkan meniadakan kecelakaan kerja dan meningkatkan pengetahuan pekerja tentang keselamatan kerja. Selain itu perusahaan dapat melakukan berbagai cara dalam mengingatkan kembali para karyawannya dengan cara menempelkan poster-poster ataupun arahan-arahan mengenai penggunaan APD. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa pekerja bagian produksi dari 27 responden dengan sikap negatif, terdapat 6 responden (8,6%) dengan perilaku penggunaan APD baik, sedangkan dari 43 responden dengan sikap positif, terdapat 22 responden (31,4%) dengan perilaku penggunaan APD baik. Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh nilai P Value (0,031) < α (0,05), maka dinyatakan ada kemaknaan secara statistik antara sikap dengan perilaku penggunaan APD dan nilai CI 95%: 1,104-2,297 yang berarti Ho ditolak dan Ha diterima dengan interpretasi ada hubungan antara sikap dengan perilaku penggunaan alat pelindung diri pada pekerja bagian produksi PT Katingan Indah Utama. Sementara nilai RP= 343
Indra Gunawan, Ahmad A. Mudayana / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
1,593 menunjukan bahwa responden dengan sikap negatif memiliki peluang 1,593 kali lebih besar mempunyai perilaku penggunaan APD tidak baik dibandingkan dengan responden dengan sikap positif. Berdasarkan karakteristik umur pekerja dimana pekerja pada kelompok umur dewasa paling banyak sebesar 54 (77,1%). Pekerja bagian produksi seluruhnya adalah jenis kelamin laki-laki sebesar 70 (100%), dikarenakan pekerja pada bagian produksi diperlukan mental dan tenaga yang besar untuk menjalankan proses produksi. Jenis kelamin laki-laki cenderung tahan bekerja dalam tekanan dan berperilaku atau bertindak atas pertimbangan rasional Hasil penelitian pada variabel sikap, dimana Sikap yang dimaksud dalam penelitian ini adalah respon pekerja tentang pentingnya menggunakan alat pelindung diri pada saat bekerja. Dari 70 responden didapatkan bahwa responden dengan sikap positif lebih banyak menggunakan APD secara baik sebesar 22 (31,4%) dibandingkan responden dengan sikap negatif sebesar 6 (8,6%). Pekerja bagian produksi rata-rata mempunyai sikap positif tentang penggunaan APD sebesar 43 (61,4%). Namun masih ada pekerja yang tidak menggunakan APD saat bekerja. Sikap penggunaan alat pelindung diri yang tidak baik pada pekerja bagian produksi disebabkan oleh faktor seperti tingkat pengetahuan pekerja rendah, dimana pengetahuan rendah dapat mempengaruhi dalam mengambil suatu keputusan. Dapat ditarik kesimpulan bahwa seseorang yang sikap positif cenderung untuk berperilaku baik terutama dalam menjaga kesehatan dan keselamatan diri dalam bekerja, begitu pula sebaliknya, orang yang sikap negatif cenderung untuk berperilaku buruk dalam menjaga kesehatan dan keselamatan diri dalam bekerja. Penelitian dini sesuai dengan pendapat Ajzen dan Fishbein, tentang teori tindakan beralasan
yang mengatakan bahwa sikap mempengaruhi perilaku lewat suatu proses pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan, dan dampaknya terbatas. Penelitian sebanding dengan penelitian sebelumnya, didapatkan nilai P Value (0,01) < α (0,05), maka adanya hubungan antara sikap dengan perilaku pekerja terhadap penggunaan alat pelindung diri di departemen engineering PT Kertas Trimitra Mandiri (Trisiani, 2012). Hasil penelitian masih konsisten dengan penelitian sebelumnya, didapatkan nilai P Value (0,001) < α (0,05), maka menyatakan ada antara sikap dengan tingkat kepatuhan Terhadap Penggunaan alat pelindung diri di area pertambangan minyak dan gas bumi di PT Petro China International (Bermuda) Ltd. Kabupaten Sorong, Papua Barat (Kurniati, 2015). Upaya yang dapat dilakukan untuk mengubah sikap para pekerja yaitu dengan meningkatkan pengetahuan mereka mengenai penggunaan alat pelindung diri sehingga mereka dapat memahami pentingnya penggunaan alat pelindung diri. Programprogram yang dapat dilakukan yaitu soaialisasi mengenai keselamatan kerja, publikasi data kecelakaan kerja. untuk terwujudnya sikap menjadi suatu tindakan nyata maka diperlukan faktor pendorong antara lain pemberiaan penghargaan kepada pekerja yang disiplin menggunakan APD saat bekerja. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa pekerja bagian produksi dari 33 responden dengan motivasi tidak baik, terdapat 8 responden (11,4%) dengan perilaku penggunaan APD baik, sedangkan dari 37 responden dengan motivasi baik, terdapat 20 responden (28,6%) dengan perilaku penggunaan APD baik. Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh nilai P value (0,022) < α (0,05), maka dinyatakan ada kemaknaan secara statistik antara motivasi dengan perilaku penggunaan APD dan nilai CI 344
Indra Gunawan, Ahmad A. Mudayana / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
95%: 1,106-2,458 yang berarti Ho ditolak dan Ha diterima dengan interpretasi ada hubungan antara motivasi dengan perilaku penggunaan alat pelindung diri pada pekerja bagian produksi PT Katingan Indah Utama. Sementara nilai RP= 1,649 menunjukan bahwa responden dengan motivasi tidak baik memiliki peluang 1,649 kali lebih tinggi mempunyai perilaku penggunaan APD tidak baik dibandingkan dengan responden dengan motivasi baik. Berdasarkan karakteristik umur pekerja dimana pekerja pada kelompok umur dewasa paling banyak sebesar 54 (77,1%). Umur tersebut masuk dalam umur produktif untuk melakukan pekerjaan khususnya dibagian produksi. Umur pekerja dapat berpengaruh terhadap perilaku penggunaan APD, dimana penerimaan motivasi orang berusia lanjut lebih sulit dibandingkan orang berusia muda. Pekerja bagian produksi seluruhnya adalah jenis kelamin laki-laki sebesar 70 (100%). Jenis kelamin laki-laki cenderung berperilaku atau bertindak atas pertimbangan rasional dibandingkan jenis kelamin perempuan dimana dalam bertindak berdasarkan perasaan. Hasil penelitian pada variabel motivasi, dimana motivasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dorongan untuk menggerakan pekerja untuk menggunakan alat pelindung diri baik dari keluarga, rekan kerja, suasana kerja, penghargaan dan peraturan perusahaan. Dari 70 responden didapatkan bahwa responden dengan motivasi baik lebih banyak menggunakan APD secara baik sebesar 20 (28,6%) dibandingkan responden dengan dengan motivasi tidak baik sebesar 8 (11,4%). Pekerja bagian produksi rata-rata mempunyai motivasi baik tentang penggunaan APD sebesar 37 (52,9%). Namun masih ada pekerja yang tidak menggunakan APD saat bekerja. Motivasi penggunaan alat pelindung diri yang tidak baik dapat disebabkan oleh beberapa faktor lain seperti kurang tegasnya
penegakan peraturan, apabila sanksi tentang alat pelindung diri tidak dilakukan secara tegas oleh manajemen perusahaan dapat berpengaruh terhadap perubahan perilaku, penghargaan bagi pekerja yang disiplin dalam menggunkan alat pelindung diri juga menjadi sangat penting dalam mendorong keinginan pekerja dalam menggunakan alat pelindung diri pada pekerja. Motivasi yang baik dapat mendorong pekerja untuk selalu menggunakan alat pelindung diri saat bekerja, sehingga dapat mengurangi dampak kecelakaan kerja. Hasil penelitiaan ini sependapat dengan Stooner, yang menyatakan motivasi adalah suatu hal yang menyebabkan dan yang mendukung tindakan atau perilaku seseorang. Penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya, didapatkan nilai P Value (0,000) < (0,05), maka menyatakan adanya α peningkatan motivasi menggunakan alat pelindung diri pada kelompok perlakuan setelah diberikan perlakuan (Situari, 2016). Penelitian ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh sebelumnya, didapatkan nilai P Value (0,002) < α (0,05), maka ada hubungan motivasi perawat dengan kepatuhan perawat dalam menggunakan alat pelindung diri dasar di RS Grha Husada Gresik (Pratiko, 2011). Seseorang yang mempunyai motivasi tidak baik cenderung untuk berperilaku tidak baik terutama dalam menjaga kesehatan dan keselamatan diri dalam bekerja, begitu pula sebaliknya, orang yang motivasi baik cenderung untuk berperilaku baik dalam menjaga kesehatan dan keselamatan diri dalam bekerja. Pihak perusahaan perlu mengawasi pekerja dan memberikan sanksi tegas dimana masih ada pekerja yang tidak menggunakan APD saat bekerja dan lain pemberiaan penghargaan kepada pekerja yang disiplin menggunakan APD saat bekerja. Analisis multivariat (regresi logistic) menunjukan bahwa dari ketiga variabel bebas yang diteliti ada tiga variabel yang hasi analisis 345
Indra Gunawan, Ahmad A. Mudayana / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
bivariat menunjukkan secara statistic bermakna. Variabel tersebut pengetahuan dengan nilai P Value (0,004), sikap dengan nilai P Value (0,031) dan motivasi dengan nilai P Value (0,022). Dari hasil multivariat menunjukan bahwa variabel pengetahuan merupakan variabel dominan berhubungan dengan perilaku penggunaan alat pelindung diri pada pekerja bagian produksi PT. Katingan Indah Utama dengan nilai P Value (0,002). Hal ini dapat diterima karena pengetahuan sangat berpengaruh terhadap perilaku seseorang khususnya perilaku penggunaan alat pelindung diri.
Kurniati, P. D., Srysantyorini, T. 2015. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Terhadap Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) di Area Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Di PT Petro China International (Bermuda) Ltd. Kabupaten Sorong, Papua Barat Tahun 2013’. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, 11 (2) : 182-193. Pratiko, M. G., Rahmawati, R., Chrysmadani, E. P. 2011. Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Perawat dalam Penggunaan Alat Pelindung Diri Dasar (Handscoon dan Masker) di Rumah Sakit Grha Husada Gresik. Journal of Nurse Community, 3 (5) Respati, Rida. 2014. Analisis Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Paket Pekerja Pembangunan Jalan Lingkar Luar Kota Palangkaraya, 3 (1)
SIMPULAN
Saputri, A. K. D., Paskarini, I. 2014. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Penggunaan APD pada Pekerja Kerangka Bangunan (Proyek Hotel Mercure Grand Mirama Extention di PT. Jagat Konstruksi Abdipersada). Journal of Occupational Safety Health and Environment, 1 (1): 120-131
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut : Ada hubungan antara pengetahuan dengan perilaku penggunaan alat pelindung diri pada pekerja bagian produksi PT Katingan Indah Utama, Kabupaten Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah. Ada hubungan antara sikap dengan perilaku penggunaan alat pelindung diri pada pekerja bagian produksi PT Katingan Indah Utama, Kabupaten Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah. Ada hubungan antara motivasi dengan perilaku penggunaan alat pelindung diri pada pekerja bagian produksi PT Katingan Indah Utama, Kabupaten Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah. Variabel pengetahuan merupakan variabel dominan berhubungan dengan perilaku penggunaan alat pelindung diri pada pekerja bagian produksi PT. Katingan Indah Utama
Solichin. 2014. Penerapan Personal Protective Equitment (Alat Pelindung Diri) pada Laboraturium Pengelasan, 1 (1) Stuari, S., Wantiyah., Rasni, H. 2016. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Metode Demonstrasi Terhadap Tingkat Pengetahuan dan Motivasi penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada Petani Desa Wringin Telu, Kecamatan Puger, Kabupaten Jember. E-Jurnal Pustaka Kesehatan. 4 (1) : 95-101 Sumekar, A. 2015. Analisis Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri (Apd) Pada Perajin Perak di Industri Perak “X” Yogyakarta. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 8 (1) : 374-381
DAFTAR PUSTAKA
Tarwaka. 2014. Keselamatan dan Kesehatan Kerja Manajemen dan Implementasi K3 di Tempat Kerja, Edisi Kedua, Cetakan Pertama. Surakarta: Harapan Press. Hal. 3.
Dahlan, S., 2014. Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan, Edisi Keenam. Cetakan Kesebelas. Jakarta : Sagung Seto.
Titilia, Maria,. 2014. Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Pendidikan Pekerja terhadap Penggunaan Alat Pelindung Diri, 4 (1)
346
Indra Gunawan, Ahmad A. Mudayana / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016) Trisiani, D., Nurhasanah, R., Sugiharti, A. A. 2012. Hubungan Pengetahuan dan Sikap dengan Perilaku Pekerja Terhadap Penggunaan Alat Pelindung Diri Di Departemen Engineering PT. Kertas Trimitra Mandiri Bojongsoang Kabupaten Bandung Tahun 2012. Jurnal Bhakti Kencana Medika, 2 (6): 264-267.
347
UJPH 5 (4) (2016)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
FAKTOR RISIKO LINGKUNGAN FISIK RUMAH DENGAN KEJADIAN ISPA BALITA DI KELURAHAN TAKATIDUNG POLEWALI MANDAR Patmawati Dongky , dan Kadrianti Universitas Al Asyariah Mandar, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima Agustus 2016 Disetujui September 2016 Dipublikasikan Oktober 2016
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan penyakit yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran nafas mulai hidung sampai alveoli termasuk adneksanya (sinus, rongga telinga tengah, pleura). Aktivitas bakteri patogen penyebab ISPA berkaitan dengan kondisi lingkungan tempat tinggal penderita. Jumlah kasus ISPA di Kabupaten Polewali tercatat IR dengan tinggi pada anak usia diatas 5 tahun. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kualitas lingkungan fisik rumah dengan kejadian ISPA balita di wilayah Polewali Mandar. Penelitian dilakukan secara analitik dengan desain cross sectional. Lokasi penelitian di Kelurahan Takatidung Kecamatan Polewali, dengan 317 sampel balita secara purposive sampling. Hasil pengukuran diperoleh terdapat hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada balita. Kesimpulan penelitian ini adalah kepadatan hunian dalam rumah memberikan kontribusi terhadap kejadian ISPA pada balita di Kabupaten Polewali Mandar.
________________ Keywords: acute respiratory-tract infection; environment risk factor; Polewali-Mandar. ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ The Acute Respiratory-Tract Infection (ARTI) was a disease which attack one of chute breath from nose to alveoli, including the adnexals (sinus, middle ear cavity, pleura). Some bacteria that cause ARTI were from genus streptococcus, stafilococus, hemofilus, Bordetella and Corinebakterium. In Polewali Mandar Regency, there were 49,998 ARTI cases in 2014. The total number of patients were 21,409 cases of 0-4 ages and there were 28,579 patients above 5 ages. The aim of this research was to know the correlation between house physical environment quality toward ARTI disease on toddler. This research was analytic research with cross sectional design at Takatidung, Polewali Mandar Regency. The samples of this research consisted 317 toddlers. The measurement result found that inhabitants density correlated to ARTI disease on toddler. The conclusion of this research was inhabitants density correlated to ARTI disease on toddler at Polewali Mandar Regency.
© 2016 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Universitas Al Asyariah Mandar E-mail:
[email protected]
ISSN 2252-6781
324
Patmawati Dongky & Kadrianti / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
PENDAHULUAN
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak. WHO memperkirakan insiden ISPA di negara berkembang dengan angka kematian balita diatas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15-20% pertahun pada golongan usia balita. Menurut WHO kurang lebih 13 juta anak balita di dunia meninggal setiap tahun dan sebagian besar kematian tersebut terdapat di negara berkembang, dimana ISPA merupakan salah satu penyebab utama kematian dengan membunuh ± 4 juta anak balita setiap tahun (Rudianto, 2013). Kasus ISPA terbanyak terjadi di India 43 juta, China 21 juta, Pakistan 10 jutadan Bangladesh, Indonesia, masing-masing 6 juta episode. Dari semua kasus yang terjadi di masyarakat, 7-13% kasus berat dan memerlukan perawatan rumah sakit. ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di Puskesmas (40%-60%) dan rumah sakit (15%-30%) (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2PL, 2011). Di Indonesia kasus ISPA selalu menempati urutan pertama penyebab kematian bayi. Sebanyak 36,4% kematian bayi pada tahun 2008 (32,1%) pada tahun 2009 (18,2%) pada tahun 2010 dan38,8%pada tahun 2011 disebabkan karena ISPA. Selain itu, ISPA sering berada pada daftar sepuluh penyakit terbanyak penderitanya di rumah sakit. Berdasarkan data dari P2 program ISPA tahun 2009, cakupan penderita ISPA melampaui target 13,4%, hasil yang diperoleh 18.749 penderita. Survei mortalitas yang dilakukan Subdit ISPA tahun 2010 menempatkan ISPA sebagai penyebab terbesar kematian bayi di Indonesia dengan persentase 22,30% dari seluruh kematian balita (Depkes RI, 2012). Dari hasil survei yang dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Semarang pada 37
Puskesmas, diketahui jumlah penderita ISPA usia 0-4 tahun sebanyak 5.881 anak pada tahun 2002. Dari hasil penelitian yang dilakukan bahwa salah satu penyebab terjadinya ISPA pada balita bukan hanya faktor lingkungan fisik rumah akan tetapi diperoleh fakta bahwa rata-rata lama pemberian ASI secara ekslusif terdapat hubungan yang yang signifikan Antara lama pemberian ASI secara ekslusif dengan frekuensi kejadian ISPA dalam 1 bulan (p<0,05). Arah hubungan adalah negativ yang berarti semakin lama pemberian ASI secara ekslusif maka frekuensi kejadian ISPA dalam 1 bulan terakhir akan semakin kecil (Prameswari, 2009). Hasil peneltiain lain dikatakan bahwa tersebut terlihat bahwa penderita ISPA terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (Erlien, 2013). Riskesdas 2013 prevalensi nasional ISPA adalah 25,0%. Sebanyak lima provinsi dengan prevalensi ISPA tertinggi, yaitu Nusa Tenggara Timur 41,7%, Papua 31,1%, Aceh 30,0%, Nusa Tenggara Barat 28,3%, dan Jawa Timur 28,3%. Penduduk dengan ISPA yang tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun 25,8%. Sedangkan Prevalensi ISPA di provinsi Sulawesi Barat sebesar 20,9%. Kasus ISPA tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun Balita sebesar 35%. (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013). Prevalensi ISPA Sulawesi Barat perkabupaten menurut Riskesdas Sulawesi Barat 2013 adalah Kabupaten Polewali Mandar 29,3% dan merupakan persentase yang paling besar diantara kabupaten lainnya di Sulbar diantaranya Kabupaten Mamasa 25,3%, Kabupaten Mamuju Utara 24,9%, Kabupaten Majene 19,9%, dan Kabupaten Mamuju 8,4%. Data Dinas Kesehatan Kabupaten Polewali Mandar menunjukkan jumlah kasus ISPA tahun 2013 sebanyak 59.594 dengan 325
Patmawati Dongky & Kadrianti / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
umur 0-4 tahun sebanyak 25.535 kasus dan umur diatas 5 tahun sebanyak 34.059 kasus. Kemudian pada tahun 2014 jumlah kasus ISPA sebanyak 49.988 dengan umur 0-4 tahun sebanyak 21.409 kasus dan umur diatas 5 tahun sebanyak 28.579 kasus. Jadi, kasus penyakit ISPA semua kelompok umur dari tahun 2013 ke tahun 2014 mengalami penurunan 16,12%. Penyakit ISPA menempati urutan pertama dari 10 penyakit terbanyak di Puskesmas Pekkabata. Hasil pencatatan ISPA di Puskesmas Pekkabata pada tahun 2013 sebanyak 1.576 penderita ISPA dimana 1.386 (87,94%) penderitanya terjadi pada umur 0-4 tahun dan 190 (12,05%) penderita pada umur di atas 5 tahun,. sedangkan pada tahun 2014 diperoleh 1.556 penderita ISPA dimana 1.370 (88,04%) penderitanya merupakan umur 0-4 tahun dan 186 (11, 95%) adalah kelompok umur di atas 5 tahun. Jadi, data kunjungan pasien ISPA Puskesmas Pekkabata pada tahun 2014 perkelurahan yaitu Kelurahan Pekkabata 244 orang dengan umur 0-4 tahun sebanyak 215 orang dan umur di atas 5 tahun sebanyak 29 orang, Kelurahan Madatte jumlah penderita 356 orang dengan umur 0-4 tahun sebanyak 321 orang dan umur di atas 5 tahun sebanyak 35 orang, Kelurahan Manding jumlah penderita 180 orang dengan umur 0-4 tahun sebanyak 144 orang dan umur di atas 5 tahun sebanyak 36 orang, Kelurahan Darma jumlah penderita 411 orang dengan umur 0-4 tahun sebanyak 361 orang dan umur di atas 5 tahun sebanyak 50 orang, Kelurahan Takatidung jumlah penderita 351 orang dengan umur 0-4 tahun sebanyak 317 dan umur di atas 5 tahun sebanyak 34 orang, serta luar wilayah kerja puskesmas Pekkabata sebanyak 14 orang dengan umur 0-4 tahun sebanyak 12 dan umur di atas 5 tahun sebanyak 2 orang. Dari lima kelurahan tersebut yang masuk wilayah kerja Puskesmas Pekkabata,
Kelurahan Takatidung merupakan kelurahan dengan kasus ISPA terbanyak dibandingkan dengan kelurahan yang lain dilihat dari per seribu penduduk sehingga mendorong penulis untuk melakukan penelitian dengan judul Hubungan Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada Balita di Kelurahan Takatidung Kabupaten Polewali Mandar Tahun 2015. METODE
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain studi cross sectional untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dan variabel dependen. Populasi dalam penelitian ini adalah semua balita umur 0-4 tahun yang ada di Kelurahan Takatidung yaitu sebanyak 317 balita. Sampel dalam penelitian ini adalah balita umur 0-4 tahun di kelurahan Takatidung. Sedangkan respondennya adalah ibu balita. Besar sampel sebanyak 60. Pengambilan sampel yang digunakan adalah bersifat purposive sampling. Purposive sampling adalah tehnik penentuan sampel berdasarkan kriteria tertentu. Kriteria inklusi sampel yaitu balita yang berdomisili di Kelurahan Takatidung Kabupaten Polewali Mandar, dengan umur 0-4 tahun sedangkan kriteria eksklusi sampel yaitu apabila alamat yang diberikan kurang lengkap atau salah (tidak sesuai), setelah dilakukan kunjungan ternyata sudah pindah dan tidak bersedia diteliti. Data dikumpulkan peneliti diperoleh secara langsung dari responden ibu balita dengan melakukan wawancara, observasi, kuesioner dan pengukuran. Data sekunder bersumber dari instansi tertentu yaitu Puskesmas Pekkabata dan Dinas Kesehatan Kabupaten Polewali Mandar.
326
Patmawati Dongky & Kadrianti / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
Data dianalisis secara univariat, dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian yang menghasilkan distribusi dan presentasi dari tiap variabel. Analisis univariat bermanfaat untuk melihat apakah data sudah layak untuk dilakukan analisis dengan melihat gambaran data yang dikumpulkan dan apakah data sudah optimal, Analisis bivariat dilakukan dengan uji Chi Square.
dkk (2012) pada balita di Desa Bontongan Kabupaten Enrekang yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Bontongan Kabupaten Enrekang dengan nilai p=0,826 (p>0,05). Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah infeksi akut yang menyerang salah satu alveoli. Pada penelitian ini, balita dikatakan ISPA berdasarkan pada tanda dan gejala seperti gejala pilek, batuk dan demam dalam kurun waktu 2 minggu yang diketahui melalui orang tua/pengasuhnya (Oktaviani dkk., 2010). Kabupaten Polewali Mandar memiliki jumlah curah hujan sepanjang tahun 2013 adalah 1.338,5 mm atau sebanyak 99 hari dan jumlah curah hujan sepanjang tahun 2014 tercatat sebanyak 2061,2 mm atau sebanyak 136 hari. Penyinaran matahari dengan intensitas tertinggi terjadi pada bulan oktober sekitar 89,6% sedangkan intensitas terendah terjadi pada bulan januari hingga februari sekitar 63,1%. Rata-rata penyinaran matahari selama setahun sekitar 75,21%. (data stasiun meterologi klimatologi dan geofisika) Sedangkan kejadian ISPA yang berkaitan dengan variabel berupa kepadatan hunian, setelah dilakukan uji statistik diperoleh nilai p=0,017 (p>0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan bermakna antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada balita. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rudianto (2013) pada balita di 5 posyandu Desa Tamansari Kecamatan Pangkalan Karawang yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada balita di 5 posyandu Desa Tamansari Kecamatan Pangkalan Karawang dengan nilai p=0,032 (p<0,05). Winardi, dkk (2015) pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Sario Kecamatan Sario Kota
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini telah dilaksanakan di Kelurahan Takatidung Kabupaten Polewali Mandar pada tanggal 04 Januari sampai dengan 05 Februari 2016. Kelompok umur balita yang paling sedikit dalam penelitian ini adalah kelompok umur 1 tahun sebanyak 8 orang (13,3%) dan kelompok umur balita yang paling banyak adalah umur 4 tahun sebanyak 16 orang (26,7%). jumlah persentase balita yang mengalami ISPA sebesar 38 balita (63,3%) dan sebanyak 22 balita (36,7%) yang tidak mengalami ISPA. Faktor kepadatan penghuni, ventilasi, suhu dan pencahayaan ikut berpengaruh pada kejadian penyakit ISPA dalam suatu keluarga. Faktor lingkungan fisik yang diteliti dalam penelitian ini adalah mengenai kondisi ventilasi dan kepadatan hunian (Suryani I dkk, 2015). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa di Kelurahan Takatidung lebih banyak balita yang mengalami ISPA. Kejadian Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di Kelurahan Takatidung Kabupaten Polewali Mandar berkaitan dengan faktor lingkungan fisik rumah penderita, dengan variabel ventilasi setelah dilakukan analisis data diperoleh nilai p = 0,112 (p > 0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Marhamah, 327
Patmawati Dongky & Kadrianti / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
Manado yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p= 0,0001 (p<0,05). Sejalan pula dengan Yusup (2005) dimana terdapat hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada balita (p=0,005) di Kelurahan Penjaringan Sari Kota Surabaya. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa responden memiliki rumah dengan kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat yaitu 44 (73,3%). Kondisi kepadatan hunian rumah penduduk di lokasi peneltiian sebagain besar masih dihuni 3-5 kepala keluarga yang masing-masing terdiri dari 4-5 orang anggota keluarga, menempati ruang tidur yang sama kurang dari 9 m2. Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen.
Prameswari, G.N. 2009. Hubungan Lama Pemberian Asi Secara Ekslusif Dengan Frekuensi Kejadian ISPA. Universitas Negeri Semarang, Indonesia. Jurnal Kesehatan Masyarakat 5(1): 30. Juniartha S.K., Hadi H.M.C., Notes N., 2014. Hubungan antara luas dan posisi ventilasi rumah dengan kejadian ISPA penghuni rumah di wilayah Puskesmas Bangli Utara Tahun 2012. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 4 (2): 169-174 Marhamah., Arsin, A., & Wahiduddin. 2012. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA pada Anak Balita di Desa Bontongan Kabupaten Enrekang. Makasar : Skripsi FKM Universitas Hasanuddin. Maryani, D.R., 2012. Hubungan Antara Kondisi Lingkungan Rumah Dan Kebiasaan Merokok Anggota Keluarga Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang Tahun 2012. Skripsi FIK Universitas Negeri Semarang. Oktaviani, V.A. 2009. Hubungan Antara Sanitasi Rumah Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada Balita Di Desa Cepogo Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali. Skripsi. FIK Universitas Muhammadiyah Surakarta.
SIMPULAN
Kepadatan hunian berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Takatidung Kabupaten Polewali Mandar tahun 2016. Faktor risikolain berupa keberadaan ventilasi tidak berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita.
Oktaviani D, Fajar, Purba IG. 2010. Hubungan kondisi fisik rumah dan perilaku keluarga terhadap kejadian ISPA pada anak balita di kelurahan Cambai Kota Prambulih Tahun 2010. Jurnal Pembangunan Manusia. 4 (12) Rudianto. 2013. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Gejala Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di 5 Posyandu Desa Tamansari Kecamatan Pangkalan Karawang Tahun 2013. Skripsi. FKIK Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
DAFTAR USTAKA Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Dinas Kesehatan Kabupaten Polewali Mandar. 2014. Laporan Bulanan Program P2 ISPA Dinas Kesehatan Kabupaten Polewali Mandar. Polewali: Dinkes Polewali Mandar
Winardi, W., Umboh, J., & Rattu, A.J. 2015. Hubungan antara Kondisi Lingkungan Rumah dengan Kejadian Penyakit ISPA pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sario Kecamatan Sario Kota Manado. Skripsi. Universitas Sam Ratulangi
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL)., 2011. Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran pernapasan Akut. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.
Suryani I., Edison, Naza J. 2015. Hubungan Lingkungan Fisik dan Tindakan Penduduk dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk Buaya. Jurnal Kesehatan Andalas. 4 (1)
328
Patmawati Dongky & Kadrianti / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016) Yusup, A.N., Sulistyorini, L. 2005. Hubungan Sanitasi Rumah secara Fisik dengan Kejadian ISPA pada
Balita. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 1(2): 110119
329
UJPH 5 (4) (2016)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
PERAN DUKUNGAN ORANG TUA FAKTOR YANG PALING BERPENGARUH TERHADAP PEMBERIAN ASI EKSLUSIF Neng Ayu Rosita Jurusan Kebidanan, Poltekkes Kemenkes Pangkalpinang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima Agustus 2016 Disetujui September 2016 Dipublikasikan Oktober 2016
Menurut SDKI 2002 cakupan ASI eklusif 55%, di Jawa Barat 49%, di Kabupaten Tasikmalaya pada tahun 2009 sebesar 70,76%. Jenis penelitian kuantitatif dengan pendekatan yang dilakukan secara cross sectional dan menggunakan analisis univariate, Bivariate, dan Multivariate. Tujuan penelitian untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap pemberian ASI eklusif di wilayah kerja Puskesmas Sukahening dan Puskesmas Salawu Kabupaten Tasikmalaya. Hasil penelitian yang dilakukan di Kecamatan Sukahening tahun 2010 77% ibu memberikan ASI ekslusif sedangkan di Kecamatan Salawu 63,4% , Setelah di lakukan uji bivariat variabel yang bermakna adalah status pekerjaan ibu, penyuluhan tentang ASI, dukungan orang tua, dukungan tenaga kesehatan dan dukungan suami, dan faktor yang paling dominan dalam perilaku pemberian ASI eklusif adalah dukungan orang tua. Perlunya memberikan penyuluhan tentang ASI eklusif, dan terkait kebijakan memfasilitasi tersedianya pojok ASI di saranan kesehatan dan prasarana umum sehingga ibu menyusui masih dapat menyusui secara ekslusif walupun berada di prasarana umum.
________________ Keywords: Behavior; Exclusive Breast Feeding. ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ According to IDHS 2002 the coverage of exclusive breastfeeding was 55%, 49% in West Java, in Tasikmalaya district during 2009 amounted to 70.76%. This type of research was of quantitative research. The approaches taken were in cross-sectional and using univariate, bivariate, and multivariate analysis. The research aimed to know about the factor related to ekslusife breastfeeding in Kukahening and Sukalawu Health Centers. Tesults of the research conducted in the district of Sukahening in 2010 showed that 77% mothers exclusively breastfeeding practices their babies while in Salawu district it was 63.4%. After bivariate test, significant variables were mother's employment status, counseling regarding breastfeeding, parental, health personnel and husband support, and the most dominant factor in the behavior of exclusive breastfeeding was that of parents. Therefore, the researchers suggest the need to provide counseling regarding exclusive breastfeeding, , and related to policies in facilitating the availability of breastfeeding corner in health facilities and public infrastructures so that mothers can still exclusively breastfeeding even if they are in public infrastructure.
© 2016 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Jurusan Kebidanan, Poltekkes Kemenkes Pangkalpinang E-mail:
[email protected]
355
ISSN 2252-6781
Neng Ayu Rosita / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
PENDAHULUAN
UNICEF menyimpulkan bahwa cakupan ASI Eklusif di Indonesia masih jauh dari ratarata dunia, hanya 38% ibu yang memberikan ASI ekslusif dan menurut SDKI 2002 cakupan ASI ekslusif di Indonesia baru mencapai 55%, sedangkan di Jawa Barat pemberian ASI ekslusif pada bayi di bawah umur 4 bulan mencapai 49% (Raharjo, 2014). Hal ini menunjukkan bahwa bayi di Indonesia masih kurang mendapatkan ASI eksklusif. Selain itu,kajian WHO pada tahun 1999 menyatakan bahwa lebih dari 3000 penelitian menunjukkan pemberian ASI selama 6 bulan adalah jangka waktu yang paling optimal untuk pemberian ASI eksklusif (Akerstro’m, 2007). Memperpanjang pemberian ASI eksklusif sampai usia bayi 6 bulan memberi berbagai manfaat bagi bayi, antara lain (1) menurunkan risiko gizi berlebih, (2) meningkatkan kesehatan di masa kanak-kanak, (3) meningkatkan kekebalan tubuh, (4) menekan risiko alergi, bercak kulit, diare, infeksi saluran napas, (5) tidak membuat berat badan bayi turun (Shaker, 2004; Vaidya, 2005). Pengetahuan kognitif merupakan faktor yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan yang didasari dengan pemahaman yang tepat akan menumbuhkan perilaku baru yang diharapkan, khususnya kemandirian pemberian ASI eksklusif (Dall’Oglio, 2007; Kusnodiharjo, 2009). Menurut Leung (2000), paritas adalah pengalaman pemberian ASI eksklusif, menyusui pada kelahiran anak sebelumnya, kebiasaan menyusui dalam keluarga serta pengetahuan tentang manfaat ASI berpengaruh pada keputusan ibu untuk menyusui atau tidak. Dukungan dokter, bidan/petugas kesehatan lainnya atau kerabat dekat sangat dibutuhkan terutama untuk primigrapida. Seorang primigarida pengetahuan terhadap pemberian ASI eksklusif belum berpengalaman
dibandingkan dengan ibu yang sudah berpengalaman menyusui anak sebelumnya (Kervin, 2010). Pekerjaan ibu juga diperkirakan dapat mempengaruhi pengetahuan dan kesempatan ibu dalam memberikan ASI eksklusif. Pengetahuan responden yang bekerja lebih baik bila dibandingkan dengan pengetahuan responden yang tidak bekerja. Semua ini disebabkan karena ibu yang bekerja di luar rumah (sektor formal) memiliki akses yang lebih baik terhadap berbagai informasi, termasuk mendapatkan informasi tentang pemberian ASI eksklusif (Arkestro’m, 2010). Hasil penelitian Sriningsih (2010) mengungkapkan kemungkinan seorang ibu menyusui bayinya secara eksklusif hingga usia 6 bulan dan diteruskan hingga usia 2 tahun, rata-rata 38% jika ibu bekerja dan angka tersebut naik menjadi 91% jika ibu tidak bekerja. Tingkat pendidikan ibu yang rendah mengakibatkan kurangnya pengetahuan ibu dalarn menghadapi masalah, terutama dalam pemberian ASI eksklusif (Fikawati, 2003). Pengetahuan ini diperoleh baik secara formal maupun informal. Ibu-ibu yang mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi, umumnya terbuka menerima perubahan atau hal-hal baru guna pemeliharaan kesehatannya (Fikawati, 2009). Pendidikan juga akan membuat seseorang terdorong untuk ingin tahu, mencari pengalaman sehingga informasi yang diterima akan menjadi pengetahuan (Nurafifah, 2010). Semakin banyak ibu tidak memberikan ASI pada bayinya semakin menurun angka pemberian ASI terutama ASI eksklusif. Data dari Profil Kesehatan Indonesia tahun 2004 menunjukan bahwa rata–rata nasional, yaitu hanya 28,97%. Pemberian ASI Eklusif di Kabupaten Tasikmalaya tahun 2005 sebesar 58,06% dan meningkat menjadi 73,99% pada tahun 2006 dan pada tahun 2009 menjadi 356
Neng Ayu Rosita / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
70,76%, yaitu kembali menurun. Data pemberian ASI Eklusif di wilayah Puskesmas Sukahening pada tahun 2008 juga masih rendah yaitu 64%, berdeda dengan cakupan ASI Eklusif diwilayah Puskesmas Salawu pada tahun yang sama yaitu 25,6 % yang jauh lebih rendah dari puskesmas Sukahening. dan data cakupan ASI pada tahun 2009 untuk wilayah puskesmas Salawu 25,93%, dan di Wilayah kerja Puskesmas Sukahening, yaitu 63,2%. Berdasarkan paparan diatas, tujuan penelitian untuk mengetahui faktor – faktor apa saja yang berpengaruh terhadap pemberian ASI eklusif di wilayah kerja Puskesmas Sukahening dan Puskesmas Salawu Kabupaten Tasikmalaya.
Kecamatan Salawu dapat dilihat pada tabel 1 dan 2. Berdasarkan hasil penelitian, yang dilakukan di Kecamatan Sukahening didapatkan variabel yang berhubungan dengan pemberian ASI ekslusif yaitu faktor pekerjaan ibu berhubungan dengan pemberian ASI ekslusif dengan nilai p value 0,007, faktor dukungan tenaga kesehatan dengan nilai p value 0,003, faktor dukungan orang tua dengan nilai p value 0,001, faktor dukungan suami dengan nilai p value 0,027, dan faktor penyuluhan dengan nilai p value 0,007. Analisis multivariat dilakukan untuk melihat efek dari masing–masing variabel independen dengan perilaku pemberian ASI serta efek gabungan dari beberapa variabel secara bersamaan. Berdasarkan data hasil analisi multivariate di Kecamatan Sukahening ada empat variabel yang p value < 0,25 yaitu pekerjaan, Dukungan Tenaga Kesehatan, Dukungan Orang tua, dan penyuluhan, dengan demikian variabel yang masuk ke dalam model multivariate adalah pekerjaan, Dukungan Tenaga Kesehatan, Dukungan Orang tua, dan penyuluhan. Pemilihan Faktor dominan dan variabel dominan melihat OR yang terbesar nilai OR terbesar adalah dukungan orang tua yaitu 9.742 sehingga variabel yang dominan adalah dukungan orang tua. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kecamatan Salawu di dapatkan hasil variabel yang berhubungan dengan pemberian ASI ekslusif, yaitu : faktor pekerjaan ibu berhubungan dengan pemberian ASI ekslusif dengan nilai p value 0,023, faktor sikap ibu dengan nilai p value 0,026, faktor dukungan orang tua dengan nilai p value 0,000, faktor dukungan suami dengan nila p value 0,028, dan faktor penyuluhan dengan nilai p value 0,002.
METODE
Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis kuantitatif. dengan menggunakan rancangan penelitian potong lintang (cross sectional) dan analisis pada penelitian ini adalah multivariate dengan menggunakan uji statistik regresi logistik ganda.Variabel bebas dalam dalam penelitian ini adalah, pengetahuan ibu tentang ASI eklusif,Sikap ibu tentang ASI eklusif, Usia, Pendidikan, Paritas, penyuluhan tentang ASI eklusif, dukungan petugas kesehatan, dukungan suami dan dukungan orang tua dan Variabel terikat yaitu Pemberian ASI eklusif. Penelitian dilakukan di dua tempat yang berbeda yaitu di Wilayah kerja Puskesmas Sukahening dan Puskesmas Salawu. Hal ini bertujuan untuk melihat perbedaan faktor pemberian ASI eklusif di kedua tempat yang berbeda. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian yang dilakukan di dua kecamatan yaitu Kecamatan Sukahening dan
357
Neng Ayu Rosita / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
Tabel 1. Faktor –faktor yang berhubungan dengan pemberian ASI di Kecamatan Sukahening Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2010 Pola Pemberian ASI Variabel Pendidikan Tinggi Rendah Pekerjaan Bekerja Tdk Bekerja Paritas 1 -2 ≥3 Pendapatan ≥750.000 < 750.000 Sikap Negatip Positip Dukungan Nakes Tdk Mendukung Mendukung Dukungan Orang tua Tdk Mendukung Mendukung Dukungan Suami Tdk Mendukung Mendukung Penyuluhan Tdk Penyuluhan Penyuluhan Promosi Susu Formula Promosi Tdk Promosi Usia < 20 ≥20
Pengetahuan Ibu Baik Kurang
Jml
Tdk Eklusif n %
Eklusif N
%
7 16
29.2 21.1
17 60
70.8 78.9
24 76
5 18
71.4 19.4
2 75
28.6 80.6
7 93
20 3
25.3 14.3
59 18
74.7 85.7
79 21
4 19
44.4 20.9
5 72
79.1 55.6
9 91
8 15
20.3 30.8
18 59
69.2 79.7
26 74
12 11
11 12
15.3 42.9
50 15.4
16 61
11 66
57.1 57.1
50 84.6
OR
95% CI
0,415
1.544
0,546-4.363
0,007
0,371
0,017 -0,535
0,388
0,492
0,131-1.847
0,205
3.032
0,741-12.400
0,274
1.748
0,638 -4.787
0,003
4.159
1.551-11.150
0,001
5.500
1.949-15.525
0,028
3.573
(1.207-10.578)
0,007
3.652
1.386 – 9.627
0,079
0,260
0,060 -1.138
0,380
0,463
0,102-2.106
0,802
0,883
(0,333 – 2.338)
28 72
22 78
8 15
44.4 18.3
10 67
55.6 81.7
18 82
14 9
37.8 14.3
23 54
62.2 85.7
37 63
4 19
50 20.7
4 73
50 79.3
8 92
4 58
6.5 93.5
1 19
5 95
5 77
15 8
23.8 21.6
48 29
76.2 78.4
63 37
358
Nilai P
Neng Ayu Rosita / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
Analisis multivariat dilakukan untuk melihat efek dari masing–masing variabel independen dengan perilaku pemberian ASI serta efek gabungan dari beberapa variabel secara bersamaan. Berdasarkan data hasil analisi multivariate di Kecamatan Salawu ada empat variabel yang p value < 0,25 yaitu pekerjaan, Dukungan Orang tua, dan penyuluhan, dan promosi dengan demikian
variabel yang masuk ke dalam model multivariate adalah pekerjaan, Promosi Susu Formula, Dukungan Orang tua, dan penyuluhan. Pemilihan Faktor dominan dan variabel dominan melihat OR yang terbesar nilai OR terbesar adalah dukungan orang tua, yaitu 9.742 sehingga variabel yang dominan adalah dukungan orang tua.
Tabel 2. Faktor –faktor yang berhubungan dengan pemberian ASI di Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2010 Variabel
Pendidikan Rendah Tinggi Pekerjaan Bekerja Tdk Bekerja Paritas 1 -2 ≥3 Pendapatan ≥750.000 < 750.000 Sikap Negatip Positip Dukungan Nakes Tdk Mendukung Mendukung Dukungan Ortu Tdk Mendukung Mendukung D Suami Tdk Mendukung Mendukung Penyuluhan Tdk Penyuluhan Penyuluhan Promosi Formula Promosi Tdk Promosi Usia < 20 ≥20 Pengetahuan Ibu Kurang Baik
Pola Pemberian ASI
Jml
Tidak Eklusif n %
Eklusif N %
12 18
37.5 36.0
20 32
62.5 64
24 32
12 18
57.1 29.5
9 43
42.9 70.5
21 61
18 12
34 14.4
35 17
66 58.6
53 29
11 19
35.8 37.9
18 62.1
34 64.2
29 53
18 12
50 26.1
18 34
73.9 50
36 46
14 16
53.8 28.6
12 40
46.2 71.4
26 56
15 15
71.4 24.6
6 46
28.6 75.4
21 61
15 15
86.2 25
7 45
31.8 75.0
22 60
14 16
63.6 26.7
8 44
36.4 73.3
22 44
4 26
57.1 34.7
3 49
42.9 65.3
7 75
3 20
37.5 21.7
5 72
62.5 78.3
8 74
18 12
37.5 35.3
30 22
62.5 64.7
48 34
359
Nilai P
OR
95% CI
0,891
0.938
0,374 -2.352
0,023
0,314
0,113-0,875
0,505
1.373
0,540-3.487
0,852
1.094
0,428 -2.791
0,026
2.833
1.121-7.162
0,027
2.917
1.112-7.653
0,000
7.667
2.522-23.304
0,028
3.573
(1.207 -10.578)
0,0002
4.813
1.701-13.618
0,0238
0,398
0,083-1.914
0,380
0,463
0,102-2.106
0,838
1.100
0,441 – 2.745
Neng Ayu Rosita / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di wilayah Sukahening didapatkan hasil bahwa ada hubungan antara pekerjaan ibu dengan prilaku menyusui dengan hasil p = 0,007 yang menunjukan bahwa ibu yang tidak bekerja memiliki peluang 0,96 kali untuk menyusui secara eklusif dibanding yang bekerja. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di wilayah Sukahening didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara paritas ibu dengan perilaku menyusui dengan hasil p = 0,388. Berdasarkan hasil penelitian dan wawancara yang mendalam bahwa pada umumnya paritas ≥ 2 memberikan memiliki prilaku memberikan ASI eklusif hal ini disebabkan karena adanya penyuluhan yang dilakukan di posyandu secara berkala dengan salah satu materi tentang ASI Eklusif Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di wilayah Sukahening didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara pendapatan keluarga ibu dengan perilaku menyusui dengan hasil p = 0,205. Berdasarkan hasil penelitian dan wawancara yang mendalam sebagian besar ibu menyusui memiliki penghasilan keluarga di bawah UMR Kabupaten Tasikmalaya hal ini disebabkan karena sukahening merupakan daerah pedesaan di Kabupaten Tasikmalaya, namun dengan pendapatan kelaurga sebagaian besar di bawah UMR Kabupaten Tasikmalaya tiga perempat ibu menyusui secara eklusif karena untuk menyususi secara eklusif tidak diperlukan biaya dan dengan menyususi secara eklusif dapat menghemat pengeluaran keluarga karena tidak perlu ada pengeluaran untuk membeli PASI. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di wilayah Sukahening didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan ibu ibu dengan prilaku menyusui dengan hasil p = 0,802. Proporsi ibu yang memiliki pengetahuan baik 50%, enam kali
lebih banyak dibanding dengan proporsi ibu yang memiliki pengetahuan kurang 8,3% dengan nilai p=0,000 dan menunjukan bahwa ibu yang berpengatahuan baik memiliki peluang 11,0 kali lebih besar memberikan ASI eklusif dibanding yang memiliki pengetahuan kurang. Berdasarkan hasil penelitian dan wawancara yang mendalam diperoleh hasil bahwa tiga per emapt ibu memiliki pengetahuan yang baik untuk menyusui secara eklusif dan berdampak pada prilaku ibu untuk menyusui secara eklusif yaitu 1 berbanding 3 yaitu satu orang ibu tidak mmenyusui secara eklusif dari 3 orang ibu yang menyusui secara eklusif hal ini disebabkan karena adanya penyuluhan yang dilakukan secara berkala di posyandu sehingga tiga peremapt ibu memiliki pengetahuan baik tetang ASI eklusif. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di wilayah Sukahening didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara sikap ibu dengan prilaku menyusui dengan hasil p = 0,274. Berdarakan hasil penelitian tiga perempat ibu menyusui memiliki sikap positip terhadap ASI eklusif hal ini disebabkan karena pengathuan ibu yang baik yang berdampak pada sikap positip ibu terhadap menyusui Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di wilayah Sukahening didapatkan hasil bahwa ada hubungan antara dukungan tenaga kesehatan ibu dengan prilaku menyusui dengan hasil p = 0,003 yang menunjukan bahwa ibu yang mendapat dukungan dari tenaga kesehatan memiliki peluang 4.159 kali untuk menyusui secara eklusif dibanding yang tidak mendapat dukungan dari petugas kesehatan. Bidan sebagai petugas kesehatan mempunyai peranan yang istimewa dalam menunjang pemberian ASI eklusif. Dengan adanya peran dari petugas kesehatan terutama bidan dapat berupa bimbingan dan konsultasi tentang permasalahan menyusui pada bayi. Dan membantu meyakinkan ibu untuk dapat menyusui bayinya sendiri dan dukungan 360
Neng Ayu Rosita / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
petugas kesehatan dapat berupa pemberian informasi tentang manfaat ASI eklusif dan dapat mempengaruhi prilaku ibu untuk memberikan ASI eklusif.pengatahuan ibu tentang ASI eklusif. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di wilayah Sukahening didapatkan hasil bahwa ada hubungan antara dukungan orang tua dengan prilaku menyusui dengan hasil p = 0,001 yang menunjukan bahwa ibu yang mendapat dukungan dari orang tua memiliki peluang 5.500 kali untuk menyusui secara eklusif dibanding yang tidak mendapat dukungan dari orang tua. Berdasarkan Studi Seaman di Pansylvania bahawa hanya sekitar 44% ibu – ibu yang menyusui bayinya saat di Rumah Sakit, dan enam bulan kemudian menjadi 13 %. Dari mereka meberikan susu formula 36% karena suami merasa kurang nyaman dan 24,3% kareana pengaruh nenekkakek anggota kelauarga lain istrinya memberikan ASI secara eklusif. Menurut Utami Roseli dukungan suami dapat berupa uapay suami untuk memberikan informasi tentang ASI eklusif, meningatkan istri untuk memberikan ASI eklusif. Dan memberi kesempatan kepada istri untuk menyusui secara eklusif sehingga istri termotivasi untuk memberikan ASI eklusif Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di wilayah Sukahening didapatkan hasil bahwa ada hubungan antara dukungan sauami dengan prilaku menyusui dengan hasil p = 0,028 yang menunjukan bahwa ibu yang mendapat dukungan dari suami memiliki peluang 3.573 kali untuk menyusui secara eklusif dibanding yang tidak mendapat dukungan dari suami. Menurut Utami Roseli dukungan suami dapat berupa upaya suami untuk memberikan informasi tentang ASI eklusif, meningatkan istri untuk memberikan ASI eklusif. Dan memberi kesempatan kepada istri untuk menyusui secara eklusif sehingga istri termotivasi untuk memberikan ASI eklusif
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di wilayah Sukahening didapatkan hasil bahwa ada hubungan antara penyuluhan dengan prilaku menyusui dengan hasil p = 0,007 yang menunjukan bahwa ibu yang mendapat penyuluhan tentang ASI eklusif memiliki peluang 3.652 kali untuk menyusui secara eklusif dibanding yang tidak mendapat penyuluhan. Dengan adanya pemberian penyuluhan secara berkala yang dilakukan di posyandu tentang ASI eklusif yang dilakukan oleh petugas kesehatan pada ibu hamil, ibu nifas dan ibu yang memiliki balita dan ibu menyusui sehingga ibu memiliki informasi tentang ASI Eklusif sehingga pada ibu hamil memiliki rencana untuk menyusui banyinya, dan ibu nipas dapat memberikan ASI eklusif secara eklusif dan pada ibu balita dapat memberikan ASI secara eklusif dan memberikan ASI sampai anak berusia 2 tahun. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di wilayah Sukahening didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara ibu dengan prilaku menyusui dengan hasil p = 0,27. Berdasarkan hasil penelitian hanya sebagaian kecil responden yang mendapat promosi susu formula hal ini disebabkan karena sukahening merupakan daerah pedesaan dan dengan kondisi tersebut memberikan keuntungan dengan kurangnya promosi susu formula sehingga ibu menyusui tidak terpengaruh dengan promosi susu formula Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di wilayah Sukahening didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara ibu dengan prilaku menyusui dengan hasil p = 0,27.. Keadaan ini disebabkan karena usia reproduksi sehat yaitu usia 20 sd.35 tahun sehingga sebagaian besar responden berusia lebih dari 20 tahun. Usia 20 tahun merupakan usia reproduksi seorang wanita. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di wilayah Salawu didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan 361
Neng Ayu Rosita / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
ibu dengan prilaku menyusui dengan hasil p = 0,891. Pendidikan tinggi yaitu pendidikan SMU dan PT menunjukan bahwa memiliki kecenderungan 6,790 kali lebih besar memiliki peluang untuk memberikan ASI secara eklusif. Keadaan ini dimungkinkan karena variasi data penelitian sangat kecil Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di wilayah Salawu didapatkan hasil bahwa ada hubungan antara pekerjaan ibu dengan prilaku menyusui dengan hasil p = 0,023 yang menunjukan bahwa ibu yang tidak bekerja memiliki peluang 314 kali untuk menyusui secara eklusif dibanding yang bekerja. Berdasarkan hasil penelitian dan hasil dari wawancara yang mendalam terdapat keterkaitan antara pendidikan ibu dengan status pekerjaan ibu, yaitu ibu dengan pendidikan tinggi cenderung untuk bekerja, dan ibu dengan pendidikan rendah menjadi ibu rumah tangga. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di wilayah Salawu didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara paritas ibu dengan prilaku menyusui dengan hasil p = 0,505. Keadaan ini dimungkinkan karena variasi data penelitian sangat kecil, yaitu proporsi ibu yang memiliki paritas 1-2 yaitu 64.6%, dan yang memiliki paritas ≥ 3 yaitu 35,4%, berdasarkan hasil penelitian dan wawancara yang mendalam ibu dengan paritas 1-2 berjumlah 64,6 %, dan tidak ada perbedaan paritas dalam memberikan ASI eklusif . Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di wilayah Salawu didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara pendapatan keluarga ibu dengan prilaku menyusui dengan hasil p = 0,852.Keadaan ini dimungkinkan karena variasi data penelitian sangat kecil, yaitu proporsi ibu yang memiliki pendapatan keluarga ≥ 750.000 ( di atas UMR) yaitu 35.4%, dan ibu dengan pendapatan keluarga < 750.000 ( di bawah UMR) yaitu 64.6%. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di wilayah Salawu didapatkan hasil
bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan ibu ibu dengan prilaku menyusui dengan hasil p = 0,838 Keadaan ini dimungkinkan karena variasi data penelitian sangat kecil, yaitu proporsi ibu yang memiliki pengetahuan baik 41.5% dan yang memiliki pengetahuan kurang yaitu 58.5%., antara pengetahuan dan pendidikan dan pekerjaan sangat berkaitan erat di wilayah salawu 41.5 % ibu berpengatahuan baik karena pendidikan ibu menyusui tinggi dan tidak dapat menyusui secara eklusif. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di wilayah Sikap didapatkan hasil bahwa ada hubungan antara sikap ibu dengan prilaku menyusui dengan hasil p = 0,026..Data menunjukan bahwa sebagian besar ibu memiliki sikap positip terhadap pemberian ASI hal ini disebabkan karena di Slawu petugas kesehatan memberikan penyuluhan tentang ASI eklusif yang dilakukan di posyandu sehingga memberikan kontribusi yang positip pada sikap ibu. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di wilayah Sukahening didapatkan hasil bahwa ada hubungan antara dukungan tenaga kesehatan ibu dengan prilaku menyusui dengan hasil p = 0,027 yang menunjukan bahwa ibu yang mendapat dukungan dari tenaga kesehatan memiliki peluang 2.917 kali untuk menyusui secara eklusif dibanding yang tidak mendapat dukungan dari petugas kesehatan. Bidan sebagai petugas kesehatan mempunyai peranan yang istimewa dalam menunjang pemberian ASI eklusif. Dengan adanya peran dari petugas kesehatan terutama bidan dapat berupa bimbingan dan konsultasi tentang permasalahan menyusui pada bayi. Dan membantu meyakinkan ibu untuk dapat menyusui bayinya sendiri dan dukungan petugas kesehatan dapat berupa pemberian informasi tentang manfaat ASI eklusif dan dapat mempengaruhi prilaku ibu untuk memberikan ASI eklusif.pengatahuan ibu tentang ASI eklusif. Berdasarkan data hasil 362
Neng Ayu Rosita / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
penelitian responden mengatakan bahwa petugas kesehatan memberikan dukungan dalam memberikan ASI eklusif dengan cara membantu ibu untuk menyusui bayi baru lahir pada saat menolong peralinan. Dan adanya kunjungan rumah secara berkala yang dilakukan oleh bidan pada masa nifas, sehingga ibu mendapatkan dukungan dari petugas kesehatan dan berdampak pada prilaku ibu untuk memberikan ASI secara eklusif. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di wilayah Salawu didapatkan hasil bahwa ada hubungan antara dukungan orang tua dengan prilaku menyusui dengan hasil p = 0,000 yang menunjukan bahwa ibu yang mendapat dukungan dari orang tua memiliki peluang 7.667 kali untuk menyusui secara eklusif dibanding yang tidak mendapat dukungan dari orang tuaMenurut Utami Roseli dukungan suami dapat berupa uapaya suami untuk memberikan informasi tentang ASI eklusif, meningatkan istri untuk memberikan ASI eklusif. Dan memberi kesempatan kepada istri untuk menyusui secara eklusif sehingga istri termotivasi untuk memberikan ASI eklusif, di wilayah salawu berdasarkan hasil penelitian orang tua mendukung anaknya untuk memberikan ASI eklusif karena pendidikan anak lebih tinggi dari orang tua, dan karena pengetahuan anak lebih tinggi dari orang tua sehingga orang tua mengikuti apa yang terbaik menurut anknya dalam hal menyusui secara eklusif. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di wilayah Salawu didapatkan hasil bahwa ada hubungan antara dukungan sauami dengan prilaku menyusui dengan hasil p = 0,000 yang menunjukan bahwa ibu yang mendapat dukungan dari suami memiliki peluang 6.429 kali untuk menyusui secara eklusif dibanding yang tidak mendapat dukungan dari suami. Menurut Utami Roseli dukungan suami dapat berupa uapay suami untuk memberikan informasi tentang ASI
eklusif, meningatkan istri untuk memberikan ASI eklusif. Dan memberi kesempatan kepada istri untuk menyusui secara eklusif sehingga istri termotivasi untuk memberikan ASI eklusif Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di wilayah Salawu didapatkan hasil bahwa ada hubungan antara penyuluhan dengan prilaku menyusui dengan hasil p = 0,002 yang menunjukan bahwa ibu yang mendapat penyuluhan tentang ASI eklusif memiliki peluang 4.813 kali untuk menyusui secara eklusif dibanding yang tidak mendapat penyuluhan. Dengan adanya pemberian penyuluhan tentang ASI eklusif yang dapat dilakukann oleh petugas kesehatan baik dilakukan mulai dari masa kehamilan sehingga ibu dapat informasi tentang manfaat menyusui secara eklusif mulai pada masa kehamilan sehingga ibu mulai dapat mernecanakan untuk adapt menyusui secara eklusif sejak masa kehamilan. Berdasarkan data penyuluhan yang dilakukan secara berkala oleh bidan pada saat posyandu bulanan sehingga hal tersebut berdampak pada prilaku ibu untuk menyusui secara eklusif Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di wilayah Sukahening didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara ibu dengan prilaku menyusui dengan hasil p = 0,238 Keadaan ini dimungkinkan karena slawu merupakan daerah pedesaan dengan akses ke kota terbatas sehingga promosi susu formula di salawu proporsinya sedikit, salawu merupakan daerah lintasan perbatasan antara tasikmalaya dengan garut, sehingga akses menuju kota tasikmalaya jauh, dan akses menuju kota garut pun jauh, hal ini menjadi menguntungkan karena berdampak pada terbatasnya promosi susu formula,sehingga ibu menyusui tidak termotivasi untuk memberikan susu formula karena promosi . Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di wilayah Salawu didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara usia ibu 363
Neng Ayu Rosita / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
dengan prilaku menyusui dengan hasil p = 0,090 Keadaan ini dimungkinkan karena baik ibu dengan usia < 20 tahun ataupun, > 20 tahun mendapatkan penyuluhan tentang ASI eklusif yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di posyandu secara berkala, sehingga ibu sejak dalam masa kehamilan sudah mendapat informasi tentang keuntungan ASI eklusif dan ibu sudah mulai merencanakan untuk memberikan ASI eklusif sejak masa kehamilan, dan kondisi tersebut berperan positip dalam prilaku ibu untuk memberikan ASI secara eklusif. Faktor Dominan dalam yang berhubungan dengan pemberian ASI yaitu pada dua tempat yang berbeda yaitu sukahening dan salawu menunjukan variabel yang sama yaitu status pekerjaan ibu, penyuluhan,dukungan orang tua dan dukungan suami dan di wilayah sukahening dukungan orang tua, selain dari status pekerjaan dan penyuluhan pada ibu dan dukungan suami. Hasil penelitian menunjukan bahwa pekerjaan merupakan salah satu faktor dominan karena sebagian besar ibu tidak bekerja dan bagi ibu yang bekerja tidak tersedianya fasilitas pojok ASI baik di sarana pelayan kesehatan maupun di temapat kerja sehingga ibu yang bekerja menitipkan bayinya pada orang tua, dan kurangnya pengatahuan ibu yang bekerja tenatang cara penyimpanan ASI dan memerah ASI sehingga ibu yang bekerja tidak memberikan ASI secara eklusif pada bayi. Variabel penyuluhan merupakan salah satu variabel yang dominan dalam prilaku pemberian ASI di Sukahening dan Salawu hal ini disebabakan karena berdarkan hasil penelitian bidan sebagai petugas kesehatan memberikan penyuluhan secara berkala di Posyandu dan pada saat posyandu selain ibu menyusui juga terdapat ibu hamil yang memerikasakan kehamilan, sehingga ibu hamil sudah mendapatkan informasi Tentang ASI
eklusif dan berencana untuk memberikan ASI eklusif pada bayi Variabel yang paling dominan di wilayah Salawu yaitu Dukungan orang tua berdarkan hasil penelitian orang tua memebrikan dukungan yang positip pada anaknya untuk memberikan ASI secara eklusif, hal ini disebabkan karena pengetahuan responden yang baik tenatang menyusui secara eklusif sehingga memberikan dampak prilaku menyusui secara eklusif pada bayi, adapun peran orang tua menyerahkan sepenuhnya pada anaknya terkiat dengan pemberian ASI secara eklusif karena orang tua merasa kurang pengetahuan tentang pemberian ASI eklusif sehingga orang tua tidak banyak memberikan intervensi dalam prilaku memberikan ASI eklusif. Variabel yang paling dominan untuk wilayah sukahening yaitu dukungan orang tua, karena sukahening merupakan daerah perkampungan sehingga orang tua masih berpikiran tradisional untuk dapat menyusui sampai dengan anak berusia 2 tahun, dan dukungan orang tua untuk memberikan ASI eklusif karena kondisi pendapatan keluarga di bawah UMR, sehingga untuk dapat menghemat pengeluaran kelurga lebih memilih memberikan ASI secara eklusif. SIMPULAN
Simpulan hasil dari hasil penelitian ini yaitu faktor yang berhubungan dengan pemberian ASI ekluif di wilayah sukahening yaitu faktor pekerjaan ibu, dukungan tenaga kesehatan, dukungan orang tua, dukungan suami, penyuluhan tentang ASI eklusif. Faktor yang berhubungan dengan pemberian ASI ekluif di wilayah salawu yaitu faktor pekerjaan ibu dukungan tenaga kesehatan, dukungan orang tua, dukungan suami, penyuluhan tentang ASI eklusif, dan sikap ibu. Faktor yang paling dominan yang mempengaruhi 364
Neng Ayu Rosita / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016) on Mothers’ Behaviours. Journal of Paediatrics and Child Health, 46: 85–91
pemberian ASI ekluif di wilayah salawu kabupaten Tasikmalaya yaitu dukungan orang tua. Faktor yang paling dominan yang mempengaruhi pemberian ASI eklusif di wilayah sukahening yaitu status pekerjaan ibu, penyuluhan tentang ASI eklusif dan dukungan orang tua.
Kasnodiharjo, Riyadi S, Waluyo I, Zalbawi S, Media Y, Budiarso RL dkk. 2009. Faktor determinan pemberian air susu ibu tidak eksklusif. Buletin Penelitian Kesehatan, 24: 65-76.
DAFTAR PUSTAKA
Leung, TF,dkk. 2000. Sociodemografic and Atropik factor Afecting Bresfeeding intension in Chinese mother. Journal pediatric child health, 39 : 460-464
Akerstro’m, S., Asplund, I. and Norman, M. 2007. Successful Breastfeeding After Discharge of Preterm and Sick Newborn Infants. Acta Pædiatrica, 96: 1450– 1454.
Nurafifah D. 2007. Faktor-faktor yang Berperan dalam kegagalan Praktik Pemberian ASI Eksklusif. Tesis Magister Ilmu Gizi masyarakat Universitas Diponegoro. Semarang;.78-116.
Dall’Oglio, I., Salvatori1, G., Bonci, E., Nantini, B., D’Agostino, G. and Dotta1, A. 2007. Breastfeeding Promotion in Neonatal Intensive Care Unit: Impact of a New Program Toward a BFHI for High-Risk Infants. Acta Pædiatrica, 96: 1626–1631
Raharjo,B.B. 2014. Profil Ibu dan Peran Bidan dalam Praktik Inisiasi Menyusu Dini dan ASI Eksklusif. Program Doktor Studi Pembangunan Univeritas Kristen Satya Wacana Salatiga. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 10 (2)
Fikawati S, Syafiq A. 2003. Hubungan antara Immediate Breastfeeding dan ASI eksklusif 4 bulan. Jurnal Kedokteran Trisakti, 22(2): 47-55.
Shaker L, Scott J.A & Reid M. 2004. Infant Feeding Attitudes of Expectant Parents: Breastfeeding and Formula Feeding. Journal of Advanced Nursing, 45 (3) : 260-268.
Fikawati S, Syafiq A. 2009. Praktik pemberian ASI eksklusif, penyebab-penyebab keberhasilan dan kegagalannya. Jurnal Kesmas Nasional, 4(3):120131.
Sriningsih, I. 2010. Faktor Demografi, Pengetahuan Ibu tentang Air Susu Ibu dan Pemberian ASI Eksklusif. Keperawatan Semarang Poltekkes Kemenkes Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 9 (2)
Kervin, B.E., Kemp, L. and Pulver, L.J. 2010. Types and Timing of Breastfeeding Support and Its Impact
Vaidya K, Sharma A, Dhungel S. 2005. Effect of early mother-baby close contact. Nepal Medical College, 7(2): 138-140
365
UJPH 5 (4) (2016)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
EFEKTIVITAS AROMATERAPI BITTER ORANGE TERHADAP NYERI POST PARTUM SECTIO CAESAREA Sri Utami Prodi Ilmu Keperawatan, Universitas Riau, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima Agustus 2016 Disetujui September 2016 Dipublikasikan Oktober 2016
Operasi dapat menyebabkan beragam respon psikologi yang terasa menyakitkan. Rasa sakit yang ditimbulkan setara dengan rasa sakit saat melahirkan sectio caesarea. Alternatif menurunkan rasa sakit dengan menggunakan aromaterapi bitter orange, dapat memberikan efek menurunkan tensi dan stres tubuh. Penelitian ini untuk mengetahui efek aromaterapi bitter orange untuk mengurangi sakit pasca kelahiran sectio caesarea. Metode penelitian menggunakan desain quasi eksperimental, pre-test and post-test with control group. Instrumen numeric rating scale untuk menghitung intensitas sakit. Teknik sampel purposive sampling, sampel 34 responden dan terbagi 2 grup. Analisis univariat menunjukkan distribusi rasa sakit dan analisis bivariat Wilcoxon dan Mann Whitney. Hasil penelitian menunjukkan kelompok intervensi nampak ada penurunan rasa sakit 3,44 (rasa sakit rendah) dengan nilai penurunan rasa sakit 1,47, dan nilai mean 4,82 pada kelompok kontrol (rasa sakit cukup) dengan nilai reduksi 0. Nilai p value (0,000)< 0,05. Sehingga aromaterapi bitter orange dapat direkomendasikan sebagai intervensi untuk perawatan pasca kelahiran sectio caesarea.
________________ Keywords: Bitter Orange Aroma Therapy; Pain; Section caesarea ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ Surgery causes severe pain physiological response as a normal delivery (sectio caesarea/SC). The alternative to reduce pain with bitter orange aroma therapy. Bitter orange aroma therapy is to give the effect of reducing the muscle tensions and stress the body. This research to explore the effectiveness of bitter orange aroma therapy for reduction pain in post partum sectio caesarea. Research design quasi experimental with pretest and post test with control group. Used numeric rating scale to measure pain intensity. The sampling technique used purposive sampling, sample 34 respondents divided into 2 groups. The univariant analysis to show pain distribution, bivariate analysis using Wilcoxon and Mann Whitney. The result : mean of intervention group at 3,44 (low pain) reduction : 1,47; and mean of control group 4,82 (moderate pain) reduction : 0. P value (0,000)< 0,05. Result is bitter orange aroma therapy can recommend as nursing intervention of post partum SC.
© 2016 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Prodi Ilmu Keperawatan, Universitas Riau E-mail:
[email protected]
ISSN 2252-6781
316
Sri Utami / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
PENDAHULUAN
Persalinan merupakan suatu hal yang dinanti oleh ibu hamil untuk dapat merasakan kebahagiaan. Persalinan yang dialami oleh seorang calon ibu berupa pengeluaran hasil konsepsi yang hidup didalam uterus melalui vagina ke dunia luar. Namun bagi beberapa wanita, persalinan kadang diliputi oleh rasa takut dan cemas terhadap rasa nyeri saat persalinan (Arwani dkk, 2012; Rasjidi, 2009; Abasi, 2015). Persalinan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu persalinan secara normal atau spontan (lahir melalui vagina) dan persalinan abnormal atau persalinan dengan bantuan suatu prosedur seperti sectio caesarea (SC). Pada proses SC dilakukan tindakan pembedahan, berupa irisan di perut ibu (laparatomi) dan rahim (histerektomi) untuk mengeluarkan bayi (Batubara dkk, 2008; Abasi, 2015). Baik direncanakan (dijadwalkan) atau tidak (darurat), kehilangan pengalaman melahirkan anak secara tradisional dapat memberikan efek negatif pada konsep diri wanita. Suatu upaya dilakukan untuk mempertahankan fokus pada kelahiran seorang anak lebih utama daripada prosedur operasi. Yaitu ibu melahirkan melalui abdomen, bukan pervaginam (Arwani, 2012; Batubara dkk, 2008; Manurung, S. 2013). Data Word Health Organitation (WHO) tahun 2015 selama hampir 30 tahun tingkat persalinan dengan SC menjadi 10% sampai 15% dari semua proses persalinan di Negaranegara berkembang. Berdasarkan hasil data RISKESDAS tahun 2013, angka ibu melahirkan dengan SC di Indonesia 9,8% dengan proporsi tertinggi di DKI Jakarta 19,9% dan terendah di Sulawesi Tenggara 3,3%. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Riau terjadi peningkatan persalinan dengan SC dari tahun 2013 sekitar 422 kasus menjadi 3.949 kasus pada tahun 2014. Berdasarkan laporan register di Camar 1
RSUD Arifin Achmad Pekanbaru (2015) terdapat 1387 kasus pada tahun 2013, 692 kasus pada tahun 2014, dan pada bulan Januari sampai Oktober 2015 sebanyak 492 kasus. Persalinan SC memberikan dampak positif dan juga negatif pada ibu. Dampak positif tindakan SC dapat membantu persalinan ibu, apabila ibu tidak dapat melakukan persalinan secara pervaginam. Tetapi tindakan operasi SC mempunyai efek negatif pada ibu baik secara fisik maupun psikologis (Arwani dkk, 2012; Batubara, 2008; Manurung, 2013). Secara fisik tindakan SC menyebabkan nyeri pada abdomen. Nyeri yang berasal dari luka operasi (Arwani dkk, 2012; Gondo, 2011). Persalinan SC memiliki nyeri lebih tinggi sekitar 27,3% dibandingkan dengan persalinan normal yang hanya sekitar 9%. Umumnya, nyeri yang dirasakan selama beberapa hari. Rasa nyeri meningkat pada hari pertama post operasi SC. Secara psikologis tindakan SC berdampak terhadap rasa takut dan cemas terhadap nyeri yang dirasakan setelah analgetik hilang. Selain itu, juga memberikan dampak negatif terhadap konsep diri ibu. Karena Ibu kehilangan pengalaman melahirkan secara normal serta kehilangan harga diri yang terkait dengan perubahan citra tubuh akibat tindakan operasi (Akbar dkk, 2014; Manurung, 2013; Pratiwi, 2013). Nyeri dapat diatasi dengan penatalaksanaan nyeri. Hal ini bertujuan untuk meringankan atau mengurangi rasa nyeri sampai tingkat kenyamanan yang dirasakan oleh klien. Adapun dua cara penatalaksanaan nyeri yaitu dengan cara farmakologis dan nonfarmakologis. Secara farmakologis dapat diatasi dengan menggunakan obat-obatan analgetik misalnya, morphine sublimaze, stadol, demerol dan lain lain (Akhlagi dkk, 2011; Abasi, 2015). Kelebihan dari 317
Sri Utami / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
penanganan farmakologis yaitu rasa nyeri dapat diatasi dengan cepat namun pemberian obat-obatan kimia dalam jangka waktu lama. Tetapi dapat menimbulkan efek samping yang membahayakan pemakainya seperti gangguan pada ginjal (Gondo dkk, 2011; Batubara dkk, 2008). Nyeri dapat diatasi dengan penatalaksanaan terapi farmakologis dan nonfarmakologis. Beberapa terapi farmakologi yang digunakan sebagai manajemen nyeri seperti analgesia sistemik, senyawa analgesik narkotik, agen pembangkit efek analgesik. Efek samping dari terapi tersebut mual, muntah, pusing. Sedangkan terapi non farmakologis yang sering diterapkan antara lain teknik audionalgesia, akupuntur, pernafasan, transcutaneus electric nerve stimulations (TENS), kompres dengan suhu dingin panas, sentuhan pijatan dan aromaterapi (Gondo dkk, 2011). Salah satu upaya untuk mengurangi nyeri pada ibu post sectio caesarea yaitu dengan aromaterapi. Penggunaan aromaterapi secara inhalasi dapat merangsang pengeluaran endorphin sehingga dapat mengurangi nyeri (Akbar dkk, 2011; Sharipifour, 2015). Aromaterapi bitter orange (Citrus Aurantium) merupakan sebuah terapi non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri pada ibu melahirkan kala 1 (Wiji dkk, 2015). Penelitian lain yang dilakukan oleh Namazi dkk (2014) membuktikan bahwa aromaterapi dengan menggunakan minyak essensial bunga citrus aurantium dapat mengurangi kecemasan pada kala 1 persalinan. Bitter orange dalam sediaan minyak biasa digunakan sebagau aromaterapi. Minyak bitter orange memiliki efek menjadi resif, antiseptik, anti-spasmodik, dan obat penenang ringan. Limonele adalah salah satu komponen dari bitter orange dapat mengurangi rasa sakit (Astuti dkk, 2015; Suza, 2007). Maka perlu dikembangkan menjadi terapi menggunakan aromaterapi bitter orange untuk mengurangi nyeri post sectio caesarea. Pemilihan bitter orange
karena tidak mempunyai efek samping serta mudah digunakan untuk ibu post sectio caesarea. Penelitian mengenai penggunaan aromaterapi bitter orange postpartum SC di wilayah Pekanbaru belum pernah dilakukan. Untuk itu uji coba penggunaan aromaterapi perlu dilakukan, mengingat perbedaan karakteristik reponden apabila dilihat dari sisi budaya pada suku yang berbeda dan dapat berpengaruh pada penerimaan terapi dengan bitter orange. Berdasarkan studi pendahuluan peneliti di ruang Camar I RSUD Arifin Achmad Pekanbaru, pada tanggal 21 Desember 2015. Peneliti menemukan lima dari tujuh orang ibu post operasi SC, mengeluhkan nyeri pada hari pertama dan kedua. Tiga orang ibu mengalami nyeri berat dengan skala nyeri tujuh, dua orang lainnya mengalami nyeri sedang dengan skala nyeri enam. Nyeri yang dirasakan mengakibatkan malas untuk bergerak dan serta malas menyusui bayi. Terapi yang diberikan untuk mengurangi nyeri adalah analgetik. Analgesik diberikan pada hari pertama, bila nyeri bertambah maka dilanjutkan pemberian pada hari berikutnya. Secara non farmakologis, tindakan yang diberikan terhadap pasien belum optimal hanya sebatas teknik nafas dalam. Tindakan pemberian aromaterapi bitter orange (Citrus Aurantium) merupakan sebuah terapi non farmakologis yang merupakan salah satu alternatif teknik non farmakologis, yang dapat diberikan pada pasien untuk mengurangi nyeri. Untuk itu perlu diketahui pengaruh aromaterapi bitter orange pada pasca partum dengan sectio-caesarea, sehingga dapat menurunkan nyeri post sectio caesarea”. METODE
Desain penelitian menggunakan Quasy Eksperimen dengan rancangan penelitian NonEquivalent Control Group yang melibatkan dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan 318
Sri Utami / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
kelompok kontrol. Sampel pada penelitian ini adalah 34 responden yang mengalami nyeri post partum sectio caesarea di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling. Analisa data melalui dua tahap yaitu dengan menggunakan analisa univariat dan bivariat menggunakan Wilcoxon dan Mann Whitney.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data penelitian yang telah diperoleh, dilakukan analisis univariat, yaitu menengai karakteristik responden. Hasil univariat pada penelitian nampak pada Tabel I.
Tabel 1. Distribusi responden berdasarkan karakteristik umur, suku, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan paritas. Karakteristik
20-34 tahun >34 tahun Jumlah Melayu Minang Jawa Batak Jumlah Primigravida Multigravida Grandemultip ara Jumlah
Bekerja Tidak bekerja Jumlah SD SMP SMA Perguruan tinggi Jumlah
Eksperimen
kontrol
N
%
N
%
Ju ml ah N
13
76,5
10
58,8
23
4 17 4 5 3 5 17 2
23,5
41,2
11
29,4 17,6 35,3 17,6
9 8 9 8
11,8
7 17 5 3 6 3 17 5
29,4
7
9
52,3
10
58,8
19
6
32,3
2
11,8
8
17 2
11,8
17 5
29,4
7
70,6
27
11,8 17,6 41,2 29,4
6 8 10 10
15 17 4 5 3 5
23,5 29,4 17,6 29,4
88,2 23,5 29,4 17,6 29,4
17
12 17 2 3 7 5 17
Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa dari 34 orang responden yang diteliti, mayoritas responden berada pada rentang usia 20-34 (67,64%), suku melayu (26,47%), dan
batak (26,47%). Multigravida (55,88%), tidak bekerja (79,41%), pendidikan terakhir SMAdan perguruan tinggi (29,41%).
319
Sri Utami / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
Tabel 2. Rata-rata skala nyeri post partum SC sebelum dan sesudah diberikan intervensi pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol Kelompok Eksperimen Kontrol
Mean 4,91 3,44 4,82 4,82
Pretest Posttest Pretest Posttest
Berdasarkan Tabel 2. dapat dilihat nilai rata-rata skala nyeri post partum SC sebelum diberikan intervensi aromaterapi bitter orange yaitu 4,91 pada kelompok eksperimen dan 4,82 pada kelompok kontrol. Standar deviasi pada kelompok eksperimen yaitu 0,690 dan 0,660 pada kelompok kontrol. Sedangkan nilai ratarata skala nyeri post partum SC sesudah
diberikan intervensi aromaterapi bitter orange yaitu 3,44 pada kelompok eksperimen dan 4,82 pada kelompok kontrol. Standar deviasi pada kelompok eksperimen yaitu 0,768 dan 0,660 pada kelompok kontrol. Hasil pengolahan data penelitian untuk analisis Bivariat, dapat dilihat di Tabel 3.
Tabel 3. Perbandingan intensitas nyeri post partum SC pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol sebelum dan sesudah pemberian aromaterapi bitter orange. kelompok
N
Eksperime n Pre test Post test Kontrol Pre test Post test
17
Mean
P value
4,91 3,44
0,000
17
1,000 4,82 4,82
Berdasarkan Tabel 3. dari uji statistik Wilcoxon karena uji T-dependent tidak memenuhi syarat terdistribusi normal. Didapatkan nilai rata-rata intensitas nyeri postpartum SC pada kelompok eksperimen hasil. Analisis diperoleh p value (0,000)< α (0,05), dapat disimpulkan pada kelompok eksperimen ada penurunan yang signifikan
antara mean intensitas nyeri SC post partum sebelum dan setelah pemberian aromaterapi bitter orange. Sedangkan mean intensitas nyeri kelompok kontrol tanpa diberikan aromaterapi bitter orange tidak terdapat perbedaan intensitas nyeripost partum SC sebelum dan setelah tanpa diberikan aromaterapi bitter orange. Analisa P value = 1,000 > α (0,05).
320
Sri Utami / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
Tabel 4. Perbandingan intensitas nyeri post partum SC pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol sesudah pemberian aromaterapi bitter orange. Variabel
N
Kelompok eksperimen Kelompok kontrol
17
MannWhitney 0,000
p value 0,000
17
Berdasarkan Tabel 4 diatas, dari uji statistik Mann Whitney didapatkan nilai ratarata intensitas nyeri post partum SC pada kelompok eksperimen. Hasil analisis diperoleh p value (0,000) < α (0,05), maka dapat disimpulkan bahwa pemberian aromaterapi bitter orange efektif dalam mengurangi nyeri post partum SC. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada ibu post partum di Ruang Camar I RSUD Arifin Achmad Pekanbaru didapat bahwa responden terbanyak berumur 20-34 tahun sebanyak 13 orang (67,64%). Rentang umur 20-34 tahun merupakan rentang umur wanita usia subur (Manurung, S. 2013; Pratiwi 2013). Variabel umur merupakan hal penting dalam mempengaruhi reaksi maupun ekspresi responden terhadap nyeri yang dirasakannya, semakin meningkat umur maka semakin tinggi reaksi maupun respon nyeri yang dirasakan (Rasjidi, 2009; Sharifipour, 2015). Salah satu faktor yang mempengaruhi respon terhadap nyeri adalah umur. Umur yang berbeda akan mempengaruhi respon seseorang terhadap nyeri. Anak-anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sedangkan orang dewasa akan memberitahukan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi dan lansia cenderung memendam nyeri karena menganggap nyeri adalah hal alamiah (Isti dkk, 2011, Arwani, 2012, Akhalagi, 2011). Responden berasal dari beberapa suku yaitu, Melayu, Minang, Batak, dan Jawa dengan suku terbanyak adalah Melayu dan Batak sebanyak 9 orang (26,47%). Faktor suku
juga sangat berperan penting terhadap respon seseorang terhadap nyeri. Hal ini sejalan dengan teori yang menyebutkan bahwa setiap orang mempunyai respon yang berbeda terhadap nyeri yang dialaminya, sesuai dengan suku dan kultur dimana ia berasal, karena kultur akan mengajarkan orang tersebut dalam merespon nyeri (Akbar dkk, 2014; Pratiwi, 2013; Wiji dkk., 2015). Faktor suku berperan penting terhadap respon seseorang terhadap nyeri. Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individual mengatasi nyeri. Individual mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaannya. Ada perbedaan yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaannya. Ada perbedaan makna dan sikap yang dikaitkan dengan nyeri di berbagai kelompok budaya (Akbar dkk, 2014; Sharifipour, 2015). Berdasarkan tingkat pendidikan didapatkan bahwa status pendidikan responden terbanyak adalah SMA dan Perguruan Tinggi yang berjumlah 10 orang responden (29,41%). Pendidikan seseorang sangat berpengaruh terhadap pengetahuan dan kesiapan seorang ibu dalam menjalani kehamilan dan persalinan. Tingkat pendidikan mempengaruhi perilaku dan menghasilkan banyak perubahan, khususnya pengetahuan dibidang kesehatan. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin mudah pula menerima informasi dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Tingkat pendidikan seseorang mempengaruhi kemampuan seseorang dalam menerima 321
Sri Utami / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
informasi dan mengolahnya sebelum menjadi perilaku yang baik maupun buruk sehingga berdampak pada status kesehatannya (Winarsih, 2013; Fadla, 2014). Berdasarkan pekerjaan responden dalam penelitian ini didapatkan bahwa yang terbanyak adalah tidak bekerja yaitu sebanyak 27 orang (79,41%) sedangkan responden yang bekerja sebanyak 7 orang (20,58%). Tidak ada kaitan antara pekerjaan sebagai ibu rumah tangga terhadap kejadian SC dan nyeri. Namun pekerjaan memiliki peran penting dalam tingkat kesehatan seseorang. Beban berat yang dilakukan oleh seseorang sesuai dengan pekerjaannya dapat menyebabkan timbulnya berbagai penyakit (Patasik dkk, 2013). Berdasarkan paritas, responden terbanyak adalah multipara yaitu dengan 19 responden (55,88%). Sampai saat ini belum dinyatakan bahwa kejadian SC lebih banyak pada jumlah paritas, sehingga karakteristik tersebut tidak berperan dalam kejadian ibu yang menjalani SC. Nyeri yang dirasakan juga tidak berpengaruh terhadap jumlah paritas yang telah dialami baik primipara, multipara ataupun grandemultipara. Hal ini didukung oleh penyataan Sukarti (2013) salah satu faktor yang mempengaruhi nyeri adalah pengalaman sebelumnya, setiap individu belajar dari pengalaman nyeri. Pengalaman nyeri sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu akan menerima nyeri dengan lebih mudah pada masa mendatang.
aromaterapi bitter orange efektif terhadap penurunan nyeri post partum SC. Hal ini sesuai dengan pernyataan Namazi dkk (2014) membuktikan bahwa aromaterapi dengan menggunakan minyak citrus aurantium dapat esensial bunga mengurangi kecemasan pada kala 1 persalinan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Akbar dkk, 2014; Abasi, 2015) bahwa penggunaan aromaterapi secara inhalasi dapat merangsang pengeluaran endorphin efektif menurunkan nyeri ibu post partum dengan p value 0,000 < α 0,05. Peneliti menunjukkan ada pengaruh yang signifikan pada terapi yang menggunakan aromaterapi berupa bitter orange terhadap nyeri ibu post partum. Pasien yang diberikan terapi menggunakan aromaterapi bitter orange merangsang tubuh untuk melepaskan senyawa endorphin sehingga merangsang otot-otot pada bagian tubuh. Tubuh menjadi rileks, yang merupakan pereda nyeri dengan seolah-olah seperti beristirahat beberapa jam. Bitter orange sediaan minyak biasa digunakan dalam aromaterapi. Minyak ini memiliki efek menjadi resive, antiseptik, antispasmodik dan obat penenang ringan. Limonele adalah salah satu komponen dari bitter orange dapat mengurangi rasa sakit (Astuti, Heni & Kartika, 2015; Fadla dkk, 2015). Sistem sirkulasi yang baik penyaluran zat asam dan bahan makanan ke sel-sel diperbesar dan pembuangan dari zat-zat yang tidak terpakai akan diperbaiki. Jadi akan timbul proses pertukaran yang lebih baik, aktivitas sel yang meningkat dapat mengurangi rasa sakit lokal (Arwani dkk, 2012, Batubara dkk, 2008, Akbar dkk, 2014).
Efektivitas aromaterapi bitter orange terhadap nyeri post partum SC.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan uji Mann Whitney diperoleh hasil p value (0,000) < α (0,05), hal ini berarti terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata intensitas nyeri Post partum SC kelompok eksperimen sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian
SIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik responden terbanyak berusia 2034 tahun, suku terbanyak adalah melayu dan 322
Sri Utami / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
batak, dengan tingkat pendidikan terbanyak SMA dan Perguruan Tinggi, mayoritas adalah ibu rumah tangga, dan paritas terbanyak adalah multipara. Penerapan aromaterapi untuk mengurangi rasa nyeri post partum SC dapat diterapkan melalui teknik kneading serta berpengaruh positif terhadap penurunan nyeri ibu post partum SC.
Gondo H.K. 2011. Pendekatan nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri saat persalinan. Jurnal Cermin Dunia Kedokteran. 38 (4) : 185. Isti M., Azam M., dan Dina N.A.N. 2011. Faktor tindakan persalinan operasi sectio caesarea. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 7 (1). Manurung S. 2013. Pengaruh pemberian kompres hangat terhadap perubahan skala nyeri persalinan pada klien primigravida. Jurnal Health Quality. 4 (1).
DAFTAR PUSTAKA Namazi M., Akbari S.A.A., Mojab F., Talebi A., Alavimajd H., and Jannesari, S. 2014. Effects of citrus aurantium (bitter orange) on the severityof first-stage labor pain. Iranian Journal of Pharmaceutical Research. 13 (3) 1011-1018.
Akbar A., Siti R., Desy A. 2014. Hubungan antara tingkat kecemasan pre-operasi dengan derajat nyeri pada pasien post sectio caesarea di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang tahun 2014. Jurnal Keperawatan Sriwijaya. 2 (1).
Pratiwi R. 2012. Penurunan intensitas nyeri akibat luka post sectio caesrea setelah dilakukan latihan teknik relaksasi pernapasan menggunakan aromaterapi lavender di Rumah Sakit Al Islam. Student e-journal. 1 (1).
Abasi M. 2015. A comparative study on the concept of convulsion in traditional Iranian medicine and classic medicine. Avicenna Journal of Phytomedicine. 5 (1)
Rasjidi I. 2009. Manual section cesarea & laparatomi kelainan adneksia. Jakarta : CV Sagung Seto.
Akhlaghi M., Shabanian G., Rafieian-Kopael M., Parvin N., Saadat M., Akhlaghi M. 2011. Citrus Aurantium blossom and preoperative anxiety. Journal Revista Brasileira Anestesiology. 61 (6): 702-712.
Sharifipour F., Baigi S.S., and Mirmohammadali M. 2015. The aromatic effect of citrus arantium on pain and vital signs after cesarean section. International Journal of Biology, Pharmacy, and Allied Sciencies. 4 (7): 5063-5072
Arwani S. I. dan Hartono R. 2012. Pengaruh pemberian aromaterapi terhadap tingkat kecemasan pasien sebelum operasi dengan anestesi spinal di RS Tugu Semarang. Jurnal Riset Kesehatan. 2 (2).
Suza D.E 2007. Pain experience and pain management in postoperative patients. Universitas Sumatera Utara: Majalah kedokteran Nusantara. 40.
Batubara S.O., Hermayanti Y., dan Trisyani M. 2008. Hubungan pengetahuan, nyeri pembedahan sectio caesarea dan bentuk puting dengan pemberian air susu ibu pertama kali pada ibu post partum. Jurnal Keperawatan Soedirman. 3 (2).
Wiji A., Heni S.E., dan Kartika W., 2015, pengaruh aromaterapi bitter orange terhadap nyeri dan kecemasan fase aktif kala1. The 2nd University Research Coloquium 2015.
Fadhla P., Siti R., dan Febriana S. 2014. Efektifitas terapi aroma lemon terhadap penurunan skala nyeri pada pasien post laparotomi. Jurnal Online Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Riau. 1 (1).
Winarsih K. 2013. Pelaksanaan mobilisasi dini pada klien paska seksio sesarea. Jurnal Keperawatan. 1 (1): 78-89.
323
UJPH 5 (4) (2016)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
PENURUNAN CONTAINER INDEX (CI) MELALUI PENERAPAN OVITRAP DI SEKOLAH DASAR KOTA SEMARANG W.H. Cahyati, D.M. Sukendra, Yunita D.P. Santik Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima Agustus 2016 Disetujui September 2016 Dipublikasikan Oktober 2016
Penggunaan ovitrap terbuat dari botol plastik bekas dan diisi atraktan merupakan salah satu upaya sederhana serta mampu menurunkan populasi nyamuk. Angka Bebas Jentik (ABJ) merupakan salah satu indikator untuk mengetahui tingginya atau rendahnya populasi nyamuk pada suatu lingkungan. ABJ Kota Semarang tahun 2015 yaitu 59%, masih di bawah target (<95%). Tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui kemampuan penerapan ovitrap berbasis sekolah dalam menurunkan container index (CI). Jenis penelitian yaitu eksperimen semu, dengan populasi seluruh sekolah dasar di Kota Semarang dan sampelnya yaitu 4 sekolah dasar : SDN Sekaran 01, SDN Pedurungan Tengah 02, SDN Petompon 01, dan SD Tugurejo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan ovitrap mampu menurunkan CI. CI sebelum dan setelah penerapan ovitrap di sekolah menunjukkan penurunan sebesar 40% untuk SDN Sekaran 01, 43% untuk SD Pedurungan Tengah, 57% untuk SDN Petompon 01, dan 25% untuk SDN Tugurejo. Simpulan dalam penelitian ini penerapan ovitrap berbasis sekolah mampu menurunkan CI.
________________ Keywords: Ovitrap; Container Index; School. ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ Aplication of ovitrap made from plastic bottle and filled attractan is one of the ways to reduce mosquitoes population. LFI Semarang in 2015 is 59 %, still under the target (<95%). The purpose of research to determine the effectiveness of implementation of school-based ovitrap to reduce the population of Aedes. Design research was a quasi experiment, and the population are elementary schools in Semarang City also the sample are SDN Sekaran 01, SDN Pedurungan Tengah 02, SDN Petompon 01, and SDN Tugurejo. The results showed that the application of ovitrap effective to reduce the container index (CI). Before and after the application of ovitrap in schools, the CI showed a decrease : 40% in SDN Sekaran 01, 43% in SD Central Pedurungan, 57% in SDN Petompon 01, and 25% in SDN Tugurejo. The conclusion in this study is ovitrap school-based application is capable to reduce the CI.
© 2016 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Jurusan Ilmu Kesehatan Masyaraka, Universitas Negeri Semarang E-mail:
[email protected]
330
ISSN 2252-6781
W.H. Cahyati, D.M. Sukendra, Yunita D.P. Santik / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
PENDAHULUAN
Penggunaan ovitrap yang terbuat dari botol plastik bekas yang diisi atraktan merupakan salah satu upaya sederhana yang mampu menurunkan populasi nyamuk. Angka Bebas Jentik (ABJ) merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui tingginya atau rendahnya populasi nyamuk pada suatu lingkungan. ABJ Kota Semarang tahun 2015 yaitu 59%, masih dibawah target (<95%). Data ABJ di Kota Semarang dari tahun ke tahun selalu mengalami perubahan, di tahun 2013 ABJ Kota Semarang sebesar 68,75%, sedangkan di tahun 2015 sampai bulan September mengalami penurunan menjadi 59%, hal ini menunjukkan bahwa ABJ Kota Semarang belum mencapai target yaitu <95% (Dinkes, 2015). Kelompok umur <12 tahun beresiko 10 kali lipat terkena DBD dibanding kelompok umur >45 tahun (Paramita, 2012). Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Semarang tahun 2015, jumlah penderita DBD paling banyak pada kelompok usia<12 tahun yaitu sebanya 507 kasus (Dinkes, 2015). Kelompok umur tersebut atau lebih tepatnya adalah anak-anak, lebih rentan terkena DBD karena faktor daya tahan tubuh yang masih rendah, dan aktivitas rutin sehari-hari yang rata-rata berada di dalam gedung atau ruang sekolah, mobilitas tinggi dan banyak bertemu dengan orang lain atau teman lain di sekolah atau tempat bermain. Kelompok umur < 12 tahun memiliki daya tahan tubuh yang masih rendah dibandingkan kelompok umur yang lebih tua, sedangkan aktivitasnya sering bermain di luar selama beberapa jam atau bahkan hampir seharian berada di dalam kondisi dan waktu yang meningkatkan risiko terkena gigitan nyamuk penular DBD (WHO, 2009). Upaya penanggulangan dan pencegahan penyakit DBD sudah diatur dalam Perda No 5 Tahun 2010 tentang Pengendalian Penyakit DBD, upaya tersebut lebih difokuskan pada
pengendalian vektornya yaitu pengendalian nyamuk Aedes aegypti. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB), dan Pemeriksaan Jentik Rutin (PJR) merupakan upaya pencegahan DBD, sedangkan upaya penanggulangannya yaitu dengan dilakukannya fogging, surveilans epidemiologi dan Penyelidikan Epidemiologi (PE) (Depkes RI, 2010). Upaya pemberantasan sarang nyamuk di sekolah sering dilakukan dan merupakan tanggung jawab seluruh warga sekolah. Upaya pencegahan yang dilakukan di sekolah di antaranya berupa penyediaan dan penampungan tempat air bersih, penyediaan dan penampungan pembuangan sampah, pengadaan dan pemeliharaan air limbah, pemeliharaan kamar mandi. Pemberdayaan siswa sekolah dasar sebagai pemantau jentik berhasil menurunkan populasi nyamuk, siswa dilatih untuk memahami pentingnya kegiatan 3M dan dapat mengaplikasikannya dilingkungan sekolah dan tempat tinggalnya, dengan harapan dapat menurunkan populasi nyamuk penyebab DBD (Fachrizal, 2006, Trapsilowati, 2015). Berbagai metode dapat dilakukan untuk mendeteksi keberadaan populasi nyamuk Aedes aegypti, diantaranya yaitu survei larva, survei pupa, survei nyamuk dewasa, dan survei telur. Survei telur terbukti cukup efektif untuk mendeteksi keberadaan populasi nyamuk Aedes aegypti, biasanya dengan menggunakan ovitrap atau perangkap telur, penggunaan ovitrap terbukti berhasil menurunkan populasi nyamuk dibeberapa negara, salah satunya di Singapura yaitu dengan memasang 2000 ovitrap didaerah yang endemis DBD.Alat ini dapat digunakan untuk membunuh 45 – 100 persen nyamuk dengan memasang ovistrip berinsektisida (Scott dkk, 2008; Craig dkk, 2007). Ovitrap dirancang untuk menarik nyamuk betina meletakkan telurnya kemudian dihitung dan diidentifikasi 331
W.H. Cahyati, D.M. Sukendra, Yunita D.P. Santik / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
(Astuti, 2011). Model serupa dibuat dengan memasang kassa nyamuk di permukaan air ovitrap sehingga imago yang muncup dari pupa tertahan di dalam ovitrap dan mati tenggelam dalam air, alat ini disebut autolarval trap. Replikasi auto-larval trap yang dipasang sekitar tempat penampung air bersih dapat menekan HI, CI, dan BI 61,49%, 50,91%, dan 53,62% (William ett al, 2007; Craig dkk, 2007, Taviv, 2010). Peningkatan produktivitas telur yang terperangkap dalam ovitrap juga dilakukan dengan menggunakan atraktan air rendaman jerami 10%. Rerata telur Aedes aegypti delapan kali lebih banyak (Reiter, 2007; Scott dkk, 2008). Bentuk atraktan lain adalah air rendaman kerang karpet (Paphia undulata) dan udang windu. Atraktan ini meningkatkan daya tarik Aedes aegypti betina gravid untuk bertelur di dalamnya. Hal ini terbukti baik dalam penelitian laboratorium maupun lapangan. Berbagai jenis atraktan tersebut memproduksi CO2, ammonia, dan octenol. Senyawasenyawa tersebut menarik penciuman nyamuk (Craig dkk, 2007, William dkk, 2007). Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti ingin mengetahui efektifitas penerapan ovitrap dalam menurunkan populasi nyamuk Aedes aegypti di lingkungan sekolah.
ada di sekolah kemudian mencatat hasilnya di lembar observasi. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian dengan kegiatan awal yaitu melakukan pemeriksaan jentik sebelum memasang ovitrap untuk mengetahui indeks jentik Aedes aegypti. Pemeriksaan dilakukan dengan menghitung jumlah kontainer yang terdapat di dalam maupun luar ruangan bangunan sekolah serta mengamati keberadaan jentik di kontainer tersebut. Kemudian, memasang ovitrap di sekitar kontainer di sekolah selama satu bulan. Dalam satu bulan tersebut, dilakukan pemeriksaan jentik secara rutin setiap minggu sehingga didapatkan 4 kali hasil pemantauan. SDN Pedurungan Tengah 02 berada di Jalan Soekarno-Hatta No. 5, Kecamatan Pedurungan, Kota Semarang, berada di dataran rendah, masyarakat di sekitar SD ini merupakan masyarakat campuran antara rural dan urban. SDN Sekaran 01 berada di Jalan Taman Siswa, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang. SD Sekaran berada di kawasan kampus yang memiliki lingkungan padat penduduk dan mobilitas pendatang yang tinggi. Sedangkan SDN Petompon 01 berada di Jalan Kelud Raya No. 01 Kecamatan Gajahmungkur, Kota Semarang. SDN Petompon 01 berada di tengah kota, dengan penduduk yang sangat padat. SDN Tugurejo 01 berada di Kecamatan Tugurejo, di pinggir jalan besar yang menghubungkan Kabupaten Kendal dan Kota Semarang. Ovitrap merupakan alat yang digunakan untuk memerangkap telur nyamuk yang digunakan pada kegiatan surveilans vektor Aedes aegypti pada populasi yang rendah. Ovitrap dikembangkan pertama kali oleh Fay dan Eliason (1996) dan disebarluaskan oleh CDC. Ovitrap standar berupa gelas plastik 350 mililiter, tinggi 91 milimeter, dan diameter 75
METODE
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen semu. Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh sekolah dasar yang ada di Kota Semarang, sedangkan sampelnya yaitu sekolah yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai model antara lain, SDN Sekaran 01, SDN Pedurungan Tengah 02, dan SDN Petompon 01, penelitian dilaksanakan selama 1 tahun. Instrumen yang digunakan yaitu informed consent, ovitrap, lembar observasi. Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan cara memeriksa jentik di setiap kontainer yang 332
W.H. Cahyati, D.M. Sukendra, Yunita D.P. Santik / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
milimeter dicat hitam bagian luarnya, diisi air hingga tiga per empat bagian, dan diberi lapisan kertas, bilah kayi, atau bamboo sebagai tempat bertelur (Williams dkk, 2007; Scott dkk, 2008; Reiter, 2007). CI (%) 1 merupakan container index sebelum penggunaan ovitrap, sementara CI (%) 2, CI (%) 3, dan CI (%) 4 merupakan hasil
container index pemeriksaan setelah menggunakan ovitrap. CI sebelum perlakuan pada 3 sampel sekolah yaitu berkisar antara 40-57%, sedangkan setelah dilakukan pemasangan ovitrap CI menurun menjadi 0% di setiap sekolah (Grafik 1).
Grafik 1. Container Index Sebelum dan Sesudah menggunakan ovitrap di Sekolah 60 50 SD Sekaran 40 SD Pedurungan Tengah
30
SD Petompon 20 SD Tugurejo 10 0 CI (%) 1
CI (%) 2
CI (%) 3
CI (%) 4
Berdasarkan Grafik 1. dapat disimpulkan bahwa penerapan ovitrap efektif dalam menurunkan populasi nyamuk Aedes aegypti di SDN Petompon, SDN Pedurungan Tengah 02, SDN Sekaran 01, dan SDN Tugurejo. Hal ini dapat dilihat dari pemantauan jentik dari minggu pertama sampai minggu keempat, dimana jumlah penemuan jentik di kontainer berkurang disetiap minggunya.
Penggunaan ovitrap terbukti dapat menurunkan populasi nyamuk Aedes aegypti, hal ini karena nyamuk Aedes aegypti betina akan bertelur didalam ovitrap kemudian imago yang muncul akan terbunuh dan regenerasi terhambat, sehingga populasi Aedes di rumah seperti ini cepat berkurang. (Sayono, 2011).
Tabel 1. Rata-rata Container Index saat Sebelum dan Sesudah Menggunakan Ovitrap Rata-Rata CI Sekolah
Penurunan CI (%)
Prettest
Posttest
SD Sekaran
0,33
0,00
40%
SD Pedurungan
1,00
0,17
43%
SD Petompon
0,67
0,00
57%
SD Tugurejo
0,25
0,00
25%
333
W.H. Cahyati, D.M. Sukendra, Yunita D.P. Santik / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016)
Rerata CI di sekolah pada saat sebelum menggunakan ovitrap lebih tinggi dibandingkan saat setelah menggunakan ovitrap. Penurunan CI di SD Sekaran yaitu sebesar 40%, SD Pedurungan sebesar 43%, SD Petompon sebesar 57%, dan SD Tugurejo sebesar 25% (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan ovitrap dilingkungan sekolah berdampat terhadap jumlah kontainer yang positif jentik. Beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku Aedes Sp. meletakkan telurnya antara lain jenis dan warna penampungan air, airnya sendiri, suhu kelembaban dan kondisi lingkungan setempat. Dalam penelitian Sayono (2008) menyatakan bahwa faktor air sangat mempengaruhi banyaknya telur yang terperangkap hasil penelitiannya menunjukan bahwa air rendaman udang menghasilkan 3-4 kali lebih banyak dari air rendaman jerami maupun air hujan saja. Atraktan adalah sesuatu yang memiliki daya tarik terhadap serangga (nyamuk) baik secara kimiawi maupun visual (fisik). Atraktan dari bahan kimia dapat berupa senyawa ammonia, CO2, asam laktat, octenol, dan asam lemak. Zat atau senyawa tersebut berasal dari bahan organik atau merupakan hasil proses metabolisme mahluk hidup, termasuk manusia. Atraktan fisika dapat berupa getaran suara dan warna, baik warna tempat atau cahaya. Atraktan dapat digunakan untuk mempengaruhi perilaku, memonitor atau menurunkan populasi nyamuk secara langsung, tanpa menyebabkan cedera bagi binatang lain dan manusia, dan tidak meninggalkan residu pada makanan atau bahan pangan (Gama dkk, 2007; Rapley dkk, 2009; Ritchie dkk, 2009). Efektifitas penggunaannya membutuhkan pengetahuan prinsip-prinsip dasar biologi serangga. Serangga menggunakan petanda kimia (semiochemicals) yang berbeda untuk mengirim pesan. Sistem reseptor yang
mengabaikan atau menyaring pesan-pesan kimia yang tidak relevan disisi lain dapat mendeteksi pembawa zat dalam konsentrasi yang sangat rendah. Deteksi suatu pesan kimia merangsang perilaku-perilaku tak teramati yang sangat spesifik atau proses perkembangan. SIMPULAN
Ovitrap dari botol plastik yang diisi atraktan memberi dampak positif dalam container index. Hal menurunkan ini menunjukkan bahwa program penggunaan ovitrap di lingkungan sekolah dapat dikembangkan sebagai upaya pengendalian DBD yang efektif di lingkungan sekolah. UCAPAN TERIMA KASIH
Peneliti mengucapkan terimakasih kepada SDN Sekaran 01, SDN Pedurungan Tengah, SDN Tugurejo 01, dan SDN Petompon 01, serta semua pihak yang telah membantu dalam penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Astuti, EP., Riyadhi A, & Ahmadi, NR. 2011. Efektivitas Minyak Jarak Pagar sebagai Larvasida, AntiOviposisi, dan Ovisida terhadap Larva Nyamuk Aedes albopictus. Buletin Littro. 22: 44-53. Craig R, Williams, Scott A, Ritchie, Sharron A, Long Nigel Dennison, Richard C Russell. 2007. Impact of a Bifenthrin-Treated Lethal Ovitrap on Aedes aegypti Oviposition and Mortality in North Queensland. Australia. Journal of Medical Entomology. 44 (2): 256 – 262. Depkes RI. 2010. Pemberantasan Nyamuk Penular Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Dinkes Semarang. 2015. Profil Kesehatan Kota Semarang 2015. Semarang: Dinkes Semarang.
334
W.H. Cahyati, D.M. Sukendra, Yunita D.P. Santik / Unnes Journal of Public Health 5 (4) (2016) Fachrizal, Ahmad. 2006. Pemberdayaan Siswa Pemantau Jentik (Wamantik) sebagai Upaya Pencegahan Kejadian Luar Biasa (KLB) Demam Berdarah Dengue. PKMM: Universitas Airlangga.
Palembang. Buletin Penelitian. Kesehatan. 38 (4) : 215 – 224. Trapsilowati, Wiwik, Sugeng Juwono Mardihusodo, Yayi Suryo Prabandari, Totok Mardikanto. 2015. Pengembangan Metode Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengendalian Vektor Demam Berdarah Dengue Di Kota Semarang Provinsi Jawa Tengah. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. 18 (1) : 95–103.
Gama RA, Eiras AE, Resende MC. 2007. Effect of lethal ovitrap on the longevity of females of Aedes aegypti (Diptera: Culicidae). Revista da Sociedade Brasileira. Medical Tropical. 40 (6). Paramita, A. 2015. Faktor Risiko Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunungkidul Provinsi DIY Tahun 2015. Skripsi. UNSOED.
WHO. 2009. Dengue Bulletin. Community Based Assessment of dengue – Related Knowledge among Caregivers. India: WHO.
Rapley LP, Johnson PH, Williams CR, Silcocok RM, Larkman M, Long SA, Russell RC, Titchie SA. 2009. A lethal ovitrap-based mass trapping scheme for dengue control in Australia: II. Impact on populations of the mosquito Aedes aegypti. Medical and Veterinary Entomology. 23 (4): 303316.
Williams CR, SA Ritchie, SA Long, N Dennison, & RC Russell. 2007. Impact of a bifenthrin-treated lethal ovitrap on Aedes aegypti oviposition and mortality in North Queensland Australia. Journal Medical Entomologi. 44 (2) : 256–262.
Ritchie SA, Rapley LP, Williams C, Johnson PH, Larkman M, Silcock RM, Long SA, Russel RC. 2009. A lethal ovitrap-based mass trapping scheme for dengue control in Australia: I. Public acceptability and performance of lethal ovitraps. Medical and Veterinary Entomology. 23 (4) : 295302. Reiter, P. 2007. Oviposition, dispersal, and survival in Aedes aegypti: implications for the efficacy of control strategies. Vector Borne Zoonotic Disease. 7:261–73. Sayono. 2008. Pengaruh Modifikasi Ovitrap terhadap Jumlah Nyamuk Aedes yang Terperangkap. Universitas Muhammadiyah Semarang. __________. 2011. Efek Aplikasi Kaleng Perangkap Nyamuk terhadap Densitas Aedes. Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia. 7 (1). Scott A, Ritchie, Sharron A, Long, Nick McCaffrey, Christopher Key, Greg Lonergan, and Craig R. Williams. 2008. A Biodegradable Lethal Ovitrap for Control of Container-Breeding Aedes. Journal of the American Mosquito Control Association. 24 (1):47-53. Taviv, Y. 2010. Pengendalian DBD melalui Pemanfaatan Pemantau Jentik dan Ikan Cupang di Kota
335