UJPH 4 (4) (2015)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU PENCEGAHAN PENYAKIT LEPTOSPIROSIS (Studi Kasus di Kelurahan Tandang Kecamatan Tembalang Kota Semarang) Ayu Nur Illahi , Arulita Ika Fibriana Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima September 2015 Disetujui September 2015 Dipublikasikan Oktober 2015
Leptospirosis merupakan salah satu penyakit infeksi yang berbahaya yang disebabkan oleh bakteri leptospira. Pelaksanaan pencegahan penyakit leptospirosis masih mengalami hambatan. Penelitian ini adalah explanatory research dengan rancangan cross sectional. Sampel berjumlah 80 dengan responden ibu rumah tangga. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa variabel yang berhubungan dengan perilaku pencegahan penyakit leptospirosis adalah pengetahuan (p value=0,023), umur (p value=0,005), pendidikan (p value=0,000), pendapatan keluarga (p value=0,014), sumber informasi (p value=0,001), dan dukungan keluarga (p value=0,017). Variabel yang tidak berhubungan dengan perilaku pencegahan penyakit leptospirosis adalah sikap, pekerjaan, akses pelayanan kesehatan, dan pengalaman.
________________ Keywords: Leptospirosis; Prevention behavior; Leptospirosis disease ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ Leptospirosis is an emerging infectious diseases caused by Leptospira bacteria. Implementation for prevention behavior of Leptospirosis diseases is barrier. This research was an explanatory research with cross sectional design. Samples numbered 80 and the respondents were housewife. Data analysis was performed by univariate and bivariate. Based on the results of this study found that variables related with prevention behavior Leptospirosis diseases were knowledge (p value= 0.023), age (p value= 0.005), education (p value= 0.000), family income (p value= 0.014), information resources (p value= 0.001), and family support (p value= 0.017). Variables that were not related with prevention behavior Leptospirosis diseases were attitude, occupation, health service access, and experience.
© 2015 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail:
[email protected]
ISSN 2252-6528
126
Ayu Nur Illahi dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
PENDAHULUAN
Leptospirosis merupakan salah satu penyakit infeksi akut yang berbahaya yang disebabkan oleh bakteri patogen yaitu leptospira. Leptospira dapat menyerang semua jenis mamalia seperti tikus, anjing, kucing, landak, dan sapi. Dapat ditularkan dari hewan kepada manusia atau disebut dengan zoonosis. L. interrogans adalah spesies yang dapat menginfeksi manusia dan hewan. Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, baik di negara berkembang maupun di negara maju, di daerah pedesaan maupun di perkotaan (Widoyono, 2008). Leptospirosis merupakan penyakit yang dapat menyerang manusia maupun hewan yang paling tersebar luas di dunia. Sebagian besar negara-negara yang terletak di Asia Tenggara merupakan negara endemik leptospirosis (Tilahun et al, 2013). Kasus leptospirosis banyak dijumpai sesudah banjir atau pada musim penghujan. Musim penghujan juga menyebabkan adanya perubahan yang terjadi pada lingkungan seperti banyaknya genangan air, lingkungan yang menjadi becek, berlumpur, serta banyak timbunan sampah, yang menyebabkan mudahnya bakteri leptospira untuk berkembang biak dan mengkontaminasi lingkungan disekitarnya. World Health Organization (WHO) memperkirakan tingkat insiden leptospirosis tahunan di daerah endemik yaitu dari 1 per 100.000 penduduk, meningkat menjadi 100 per 100.000 penduduk selama wabah di daerah iklim tropis, dibandingkan dengan daerah beriklim subtropis dari 0,1-1 per 100.000 penduduk. Insiden tertinggi di dunia terdapat di Karibia dengan tingkat kematian kasus setinggi 23,6% (Keenan et al, 2010) . Leptospirosis terjadi lebih banyak 1000 kali pada negara yang beriklim tropik
dibandingkan dengan negara subtropik yang memiliki risiko penyakit lebih berat. Indonesia termasuk dalam negara yang beriklim tropik dan merupakan salah satu negara berkembang dengan jumlah kepadatan penduduk yang cukup tinggi. Di Indonesia leptospirosis ditemukan antara lain di Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat. Risiko penularan leptospirosis umumnya menyerang para pekerja yang berhubungan dengan hewan liar dan hewan peliharaan seperti peternak, petani, petugas laboratorium hewan, pekerja perkebunan, dan bahkan tentara. Di samping itu tidak sedikit pula para penggemar olahraga renang yang terinfeksi leptospirosis (Widoyono, 2008). International Leptospirosis Society menyatakan bahwa Indonesia sebagai Negara dengan angka kejadian Leptospirosis yang cukup tinggi dan merupakan peringkat mortalitas ketiga di dunia (Djunaedi, 2007). Case Fatality Rate (CFR) atau angka kematian leptospirosis di Indonesia mencapai 2,5-16,45% (Anies et al, 2009). Dari tahun 2005 sampai tahun 2011 jumlah kasus leptospirosis di Indonesia terus mengalami peningkatan (Kementerian Kesehatan RI, 2012). Pada tahun 2012 wilayah kota Semarang yang memiliki jumlah kasus tertinggi adalah Kecamatan Tembalang yaitu sebanyak 14 kasus dan 1 orang meninggal (CFR = 7,1%). Kecamatan Tembalang merupakan wilayah kota Semarang yang mengalami peningkatan jumlah kasus leptospirosis khususnya
127
Ayu Nur Illahi dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu. Pada tahun 2011 di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu terdapat 7 kasus leptospirosis dan 3 orang meninggal (CFR = 42,86%) dan pada tahun 2012 jumlah kasus di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu mengalami peningkatan sebanyak 14 kasus dan 1 orang meninggal (CFR = 7,1%). Kasus Leptospirosis tertinggi di Kecamatan Tembalang terdapat di Kelurahan Tandang yaitu sebanyak 6 kasus dan tidak ada yang meninggal dengan jumlah IR 30,23 per 100.000 penduduk (Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2011). Dengan meningkatnya kasus leptospirosis dari tahun ke tahun maka diperlukan suatu cara untuk menurunkan kejadian leptospirosis. Cara untuk menurunkan angka kesakitan penyakit ini yaitu dengan melakukan upaya-upaya pencegahan (Budisaputro, 2002). Kegiatan pencegahan tersebut dianggap murah, aman, mudah serta memiliki keberhasilan yang tinggi apabila dilakukan secara rutin dan serentak. Namun, dalam pelaksanaan pencegahan penyakit leptospirosis masih mengalami hambatan karena ada beberapa faktor yang mempengaruhi masyarakat dalam melakukan pencegahan penyakit leptospirosis tersebut. Dari hasil studi pendahuluan di Kelurahan Tandang yang telah dilakukan pada bulan Oktober 2013 dengan jumlah responden 50 orang yaitu RT 9/14 sebanyak 7 orang, RT 11/13 8 orang, RT 9/12 7 orang, RT 4/9 7 orang, RT 10/13 7 orang, RT 9/2 7 orang, dan RT 1/9 7 orang. Diketahui bahwa sebesar 57% responden memiliki pengetahuan tentang
leptospirosis yang masih kurang, 75% memiliki sikap kurang mendukung terhadap pencegahan leptospirosis, 56% memiliki pendapatan sedang, 46% memiliki hewan piaraan, dan 48% memiliki perilaku pencegahan leptospirosis yang buruk yaitu perilaku menyimpan makanan, perilaku mengobati dan menutup luka, dan perilaku memakai alas kaki. METODE
Jenis penelitian ini adalah penelitian explanatory research dengan metode observasional serta rancangan penelitian Cross sectional. Jenis metode yang digunakan adalah metode survei. Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan cluster sampling menggunakan (area sampling). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kepala keluarga yang berada di Kelurahan Tandang Kecamatan Tembalang Kota Semarang yaitu sebanyak 6.072 kepala keluarga. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 80 kepala keluarga dengan responden ibu rumah tangga. Pengumpulan data dilakukan dengan cara dengan menyebarkan angket/ kuesioner, check list observasi lingkungan, dan dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis univariat dan analisis bivariat. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian mengenai perilaku pencegahan penyakit leptospirosis dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Hasil Penelitian No.
Variabel
Kategori
Perilaku Pencegahan Penyakit Leptospirosis
128
Total
p-value
Ayu Nur Illahi dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Pengetahuan
Umur
Pendidikan
Sikap
Pekerjaan
Pendapatan Keluarga Sumber Informasi Akses Pelayanan Kesehatan Pengalaman
Dukungan Keluarga
Kurang Cukup + baik Total Dewasa Lansia Total Rendah Tinggi Total Tidak Mendukung Mendukung Total Tidak Bekerja Bekerja Total Rendah Tinggi Total Tidak Ada Ada Total Kurang Baik Total Tidak Ada Ada Total Rendah Tinggi Total
Buruk n 29 17 46 26 18 44 37 16 51 5 52 57 32 11 43 39 14 53 33 20 53 18 39 57 51 6 57 36 13 49
Pengetahuan
Berdasarkan hasil uji statistik Chi square diperoleh nilai p=0,023 (p<0,05), yang berarti bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan perilaku pencegahan penyakit leptospirosis. Dari 41 responden yang memiliki pengetahuan kurang tentang penyakit leptospirosis, 29,3% memiliki perilaku pencegahan penyakit leptospirosis yang baik, sedangkan 39 responden memiliki pengetahuan cukup dan baik tentang penyakit leptospirosis, 56,4%
% 70,7 43,6 57,5 44,8 81,8 55 83,3 42,1 63,8 83,3 70,3 71,3 53,3 55 53,8 76,5 48,3 66,3 84,6 48,8 66,3 69,2 72,2 71,3 72,9 60 71,3 72 43,3 61,3
Baik n 12 22 34 32 4 36 7 22 29 1 22 23 28 9 37 12 15 27 6 21 27 8 15 23 19 4 23 14 17 31
% 29,3 56,4 42,5 55,2 18,2 45 16,7 57,9 36,3 16,7 29,7 28,8 46,7 45 46,3 23,5 51,7 33,8 15,4 51,2 33,8 30,8 27,8 28,8 27,1 40 28,8 28 56,7 38,8
n 41 39 80 58 22 80 42 38 80 6 74 80 60 20 80 51 29 80 39 41 80 26 54 80 70 10 80 50 30 80
% 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
0,023
0,005
0,000
0,667
1,000
0,014
0,001
0,797
0,462
0,017
responden memiliki perilaku pencegahan penyakit leptospirosis yang baik. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Supraptono dkk (2011) bahwa pengetahuan memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian leptospirosis (p=0,00). Hal ini menunjukkan dimana pengetahuan memiliki peran penting untuk seseorang mengetahui penyakit dan cara pencegahannya. Apabila pengetahuan tentang penyakit leptospirosis kurang maka
129
Ayu Nur Illahi dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
berpengaruh pada perilaku pencegahan penyakit leptospirosis. Berdasarkan penelitian di lapangan, sebanyak 65% tidak mengetahui pengertian dari penyakit leptospirosis, 46,2% tidak mengetahui penyebab penyakit leptospirosis, 55,6% tidak mengetahui tanda dan gejala penyakit leptospirosis, 54,7% tidak mengetahui penularan penyakit leptospirosis, dan 94,4% tidak mengetahui pencegahan penyakit leptospirosis. Responden yang memiliki pengetahuan tentang leptospirosis cukup+baik (40%) memiliki perilaku pencegahan penyakit leptospirosis baik dibandingkan dengan responden yang memiliki pengetahuan tentang leptospirosis kurang. Hal ini dikarenakan responden yang memiliki pengetahuan tentang leptospirosis lebih memahami bagaimana cara mencegah penyakit leptospirosis. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Nurjanah (2013) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan perilaku pencegahan leptospirosis. Teori Notoatmodjo (2012) juga mengatakan bahwa pengetahuan atau kognitif berperan penting dalam membentuk perilaku atau tindakan seseorang. Pengetahuan responden dapat diperoleh baik secara internal yaitu pengetahuan yang berasal dari dirinya sendiri berdasarkan pengalaman hidup sehari-hari dan eksternal berdasarkan dari orang lain. Perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Umur
Berdasarkan hasil uji statistik Chi square diperoleh nilai p=0,005 (p<0,05), yang berarti bahwa ada hubungan antara umur dengan perilaku pencegahan penyakit
leptospirosis. Dari 58 responden yang berumur dewasa (26-45 tahun), 55,2% memiliki perilaku pencegahan penyakit leptospirosis yang baik, sedangkan 22 responden yang berumur lansia (46-55 tahun), 18,2% responden memiliki perilaku pencegahan penyakit leptospirosis yang baik. Berdasarkan penelitian di lapangan, sebagian besar responden memiliki kategori umur dewasa yaitu dari 26-45 tahun. Dimana umur dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang khususnya pengetahuan tentang leptospirosis dan pencegahannya. Responden yang memiliki umur sekitar 26-45 tahun lebih banyak mengetahui tentang penyakit leptospirosis dibandingkan dengan responden yang memiliki kategori umur lansia yaitu dari 4655 tahun. Pendidikan
Berdasarkan hasil uji statistik Chi square diperoleh nilai p=0,000 (p<0,05), yang berarti bahwa ada hubungan antara pendidikan dengan perilaku pencegahan penyakit leptospirosis. Dari 42 responden yang memiliki pendidikan rendah, 16,7% memiliki perilaku pencegahan penyakit leptospirosis yang baik, sedangkan 38 responden yang memiliki pendidikan tinggi, 57,9% responden memiliki perilaku pencegahan penyakit leptospirosis yang baik. Berdasarkan penelitian di lapangan, tingkat pendidikan responden sebagian besar adalah memiliki pendidikan rendah yaitu tidak sekolah, SD dan SMP. Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan yang dimiliki responden, khususnya pengetahuan tentang penyakit leptospirosis serta cara pencegahannya. Pendidikan merupakan hal yang penting yang dapat mempengaruhi pola pikir
130
Ayu Nur Illahi dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
seseorang termasuk tindakan seseorang dalam mengambil keputusan untuk melakukan pencegahan penyakit leptospirosis. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka mereka cenderung untuk melakukan pencegahan penyakit leptospirosis. Menurut Notoatmodjo (2012) kelompok masyarakat yang berpendidikan tinggi cenderung lebih mengetahui caracara mencegah suatu penyakit. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin mudah seseorang menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Sikap
Berdasarkan hasil uji statistik Chi square diperoleh nilai p=0,667 (p>0,05), yang berarti bahwa tidak ada hubungan antara sikap dengan perilaku pencegahan penyakit leptospirosis. Hasil penelitian di lapangan, ditemukan bahwa tidak ada perbedaan perilaku pencegahan penyakit leptospirosis antara responden yang bersikap tidak mendukung dengan responden yang bersikap mendukung pencegahan penyakit leptospirosis. Responden dalam penelitian ini sebagian besar memiliki sikap yang mendukung terhadap pencegahan penyakit leptospirosis yaitu sebesar 92,5%. Sebagian besar responden menyatakan sikap mendukung terhadap pencegahan penyakit leptospirosis, namun dari hasil pengamatan atau observasi lingkungan, perilaku responden tidak sesuai dengan sikap yang mendukung pencegahan penyakit leptospirosis. Perilaku pencegahan penyakit leptospirosis tidak hanya dipengaruhi oleh faktor sikap. Setiap individu memiliki cara berfikir, emosi, kecerdasan, motivasi dan persepsi yang berbeda. Sikap yang
mendukung tidak menjamin seseorang untuk berperilaku lebih baik. Menurut Notoatmodjo (2012) mengungkapkan bahwa perilaku tidak sama dengan sikap, sikap hanyalah sebagian dari perilaku. Suatu sikap belum tentu terwujud dalam suatu tindakan, diperlukan faktor pendukung antara lain dukungan dari anggota keluarga untuk melakukan pencegahan penyakit leptospirosis. Pekerjaan
Berdasarkan hasil uji statistik Chi square diperoleh nilai p=1,000 (p>0,05), yang berarti bahwa tidak ada hubungan antara pekerjaan dengan perilaku pencegahan penyakit leptospirosis. Dari 60 responden yang tidak bekerja yang memiliki perilaku pencegahan penyakit leptospirosis baik sebesar 46,7% dan dari 20 responden yang bekerja 45% memiliki perilaku pencegahan penyakit leptospirosis baik. Responden terbanyak adalah yang tidak bekerja yaitu sebagai ibu rumah tangga (IRT) sebanyak 60 responden (75%), yang bekerja sebagai pedagang sebanyak 13 responden (16,3%), pembantu rumah tangga (PRT) sebanyak 4 responden (5%), pegawai negeri sipil (PNS/Guru SD) sebanyak 1 responden (1,3%) dan pegawai swasta sebanyak 2 responden (2,5%). Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Priyanto dkk (2009) yang mengemukakan bahwa ada hubungan pekerjaan dengan kejadian leptospirosis dimana untuk mencegah penyakit leptospirosis dapat dilakukan dengan cara menghindari faktor risiko penularannya. Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa yang melakukan perilaku pencegahan penyakit leptospirosis dengan baik lebih banyak adalah responden yang tidak bekerja dibandingkan dengan responden yang bekerja. Responden yang
131
Ayu Nur Illahi dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
tidak bekerja merupakan ibu rumah tangga yang sebagian besar waktunya berada di rumah. Dimana tugas atau pekerjaan ibu rumah tangga yaitu melakukan aktivitas rumah tangga seperti membersihkan lingkungan rumah. Pendapatan Keluarga
Berdasarkan hasil uji statistik Chi square diperoleh nilai p=0,014 (p<0,05), yang berarti bahwa ada hubungan antara pendapatan keluarga dengan perilaku pencegahan penyakit leptospirosis. Dari 51 responden yang memiliki pendapatan keluarga yang rendah (
umk Kota Semarang), 51,7% responden memiliki perilaku pencegahan penyakit leptospirosis yang baik. Tingkat pendapatan keluarga menjadi pertimbangan responden akan memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan yang dikehendaki. Responden yang memilki pendapatan keluarga yang rendah atau dibawah UMK Kota Semarang yaitu < Rp. 1.423.500,00 apabila mereka mengalami gejala sakit mereka akan mempertimbangkan nilai ekonomis terhadap transportasi dan biaya obat. Berdasarkan penelitian di lapangan, beberapa responden mengungkapkan apabila mengalami sakit hanya membiarkannya dan hanya membeli obatobatan yang dijual di warung. Mereka hanya akan memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan apabila obat warung tidak memberikan efek. Responden beranggapan untuk menghemat biaya pengobatan yaitu dengan membeli obat warung, hal tersebut dilakukan agar tidak mengeluarkan banyak uang untuk
transportasi ke tempat pelayanan kesehatan dan biaya berobat. Sumber Informasi
Berdasarkan hasil uji statistik Chi square diperoleh nilai p=0,001 (p<0,05), yang berarti bahwa ada hubungan antara sumber informasi dengan perilaku pencegahan penyakit leptospirosis. Dari 39 responden yang tidak ada sumber informasi tentang penyakit leptospirosis, 15,4% memiliki perilaku pencegahan penyakit leptospirosis yang baik, sedangkan 41 responden yang ada sumber informasi tentang penyakit leptospirosis, 51,2% responden memiliki perilaku pencegahan penyakit leptospirosis yang baik. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, responden mengetahui informasi tentang penyakit leptospirosis yaitu dari petugas kesehatan yang memberikan penyuluhan tentang leptospirosis atau lebih dikenal dimasyarakat sebagai penyakit kencing tikus. Sebanyak 11,5% mendapatkan informasi mengenai penyakit leptospirosis melalui petugas kesehatan, 10% melalui penyuluhan, melalui arisan atau perkumpulan PKK sebanyak 12,3%, dan melalui tetangga sebanyak 16,3%. Responden yang mendapatkan informasi tentang leptospirosis dari tetangga mereka akan lebih berhati-hati karena mereka sudah pernah melihat langsung dan mengetahui tentang penyakit leptospirosis. Dengan mengetahui penyakit leptospirosis maka perilaku pencegahan penyakit leptospirosis pun seharusnya akan semakin baik karena telah mengetahui akibat dari penyakit leptospirosis apabila tidak dicegah dan tidak mendapat penanganan yang tepat. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Quina et al (2014) yang menyatakan bahwa pencegahan
132
Ayu Nur Illahi dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
leptospirosis akan berjalan dengan baik apabila informasi tentang penyakit dan pencegahan leptospirosis disampaikan oleh anggota keluarga dan teman dekat. Selain itu, penyampaian informasi melalui media massa juga dapat menjadi tambahan pengetahuan tentang leptospirosis serta pencegahannya. Akses Pelayanan Kesehatan
Berdasarkan hasil uji statistik Chi square diperoleh nilai p=0,797(p>0,05), yang berarti bahwa tidak ada hubungan antara akses pelayanan kesehatan dengan perilaku pencegahan penyakit leptospirosis. Dari 26 responden dengan akses pelayanan kesehatan kurang yang memiliki perilaku pencegahan penyakit leptospirosis baik sebesar 30,8% dan dari 54 responden dengan akses pelayanan kesehatan yang baik 27,8% memiliki perilaku pencegahan penyakit leptospirosis baik. Berdasarkan penelitian di lapangan 66,3% mengatakan bahwa Puskesmas merupakan pelayanan kesehatan yang terdapat di daerah tempat tinggal mereka. Di daerah dekat tempat tinggal semua responden tidak terdapat rumah sakit, 71,3% pelayanan kesehatan yang terdapat di daerah tempat tinggal responden adalah puskesmas, 7,5% mengatakan klinik swasta adalah pelayanan kesehatan yang ditempuh dengan jarak yang cukup dekat dan tidak memerlukan waktu lama, dan dapat ditempuh dengan berjalan kaki, 12,5% mengatakan kesulitan menuju ke tempat pelayanan kesehatan, dan 10% mengatakan pelayanan petugas kesehatan yang kurang baik. Hubungan antara akses pelayanan kesehatan dengan perilaku pencegahan penyakit leptospirosis yaitu apabila responden tidak mengetahui tentang penyakit leptospirosis, responden dapat
bertanya atau berkonsultasi ke pelayanan kesehatan terdekat tentang penyakit leptospirosis, pencegahannya serta pengobatan apabila terkena penyakit leptospirosis. Akses pelayanan kesehatan yang baik dapat didukung oleh jarak yang dekat yaitu kurang lebih 3 km, waktu yang ditempuh menuju pelayanan kesehatan tidak lebih dari 15 menit dan tidak ada kesulitan dalam transportasi serta mendapatkan pelayanan yang baik. Pengalaman
Berdasarkan hasil uji statistik Chi square diperoleh nilai p=0,462 (p>0,05), yang berarti bahwa tidak ada hubungan antara pengalaman dengan perilaku pencegahan penyakit leptospirosis. Dari 70 responden yang tidak memiliki atau tidak ada pengalaman tentang penyakit leptospirosis, 27,1% memiliki perilaku pencegahan penyakit leptospirosis yang baik, sedangkan 10 responden yang memiliki atau ada pengalaman tentang penyakit leptospirosis, 40% memiliki perilaku pencegahan penyakit leptospirosis yang baik. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, responden yang tidak ada atau tidak memiliki pengalaman tentang penyakit leptospirosis kurang peduli dengan penyakit leptospirosis. Semua responden tidak pernah menderita penyakit leptospirosis, 17,5% responden memiliki anggota keluarga yang pernah menderita penyakit leptospirosis, dan 30% responden memiliki tetangga yang pernah menderita penyakit leptospirosis. Menurut mereka penyakit leptospirosis bukan penyakit yang berbahaya namun perlu untuk dicegah penyebarannya. Sedangkan pada responden yang memiliki atau pernah ada pengalaman tentang leptospirosis baik anggota keluarga
133
Ayu Nur Illahi dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
maupun berdasarkan pengalaman tetangga yang pernah menderita penyakit leptospirosis, sehingga sebagian besar responden memiliki anggapan bahwa penyakit leptospirosis berbahaya dan dapat menyebabkan kematian apabila tidak ditangani secara tepat. Dukungan Keluarga
Berdasarkan hasil uji statistik Chi square diperoleh nilai p=0,017 (p<0,05), yang berarti bahwa ada hubungan antara dukungan keluarga dengan perilaku pencegahan penyakit leptospirosis. Dari 50 responden yang memiliki dukungan keluarga rendah, 28% memiliki perilaku pencegahan penyakit leptospirosis yang baik, sedangkan 30 responden yang memiliki dukungan keluarga tinggi, 56,7% responden memiliki perilaku pencegahan penyakit leptospirosis yang baik. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, ditemukan bahwa responden yang memiliki dukungan keluarga tinggi cenderung lebih baik dalam melakukan pencegahan penyakit leptospirosis dibandingkan dengan responden yang memiliki dukungan keluarga rendah. Hal tersebut dikarenakan adanya dukungan keluarga akan mempengaruhi perilaku pencegahan penyakit leptospirosis pada responden. Menurut Green dalam Notoatmodjo (2012) menjelaskan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya yaitu faktor penguat yang mendorong atau yang memperkuat terjadinya perilaku dan memperkuat perilaku yang terkait dengan kepatuhan. Dukungan keluarga terdiri dari 4 aspek yaitu dukungan emosional keluarga yang dapat mempengaruhi perasaan dan motivasi seseorang, dukungan penghargaan keluarga merupakan bentuk fungsi afektif
keluarga dalam meningkatkan status psikososial, dukungan informasi merupakan informasi mengenai penyakit yang diderita oleh salah satu keluarga untuk meningkatkan pengetahuan dalam melakukan pencegahan penyakit leptospirosis dan dukungan instrumental merupakan dukungan yang diberikan oleh keluarga meliputi penyediaan fasilitas seperti tenaga, dana dan waktu luang untuk memberikan pengaruh yang berarti dalam pembentukkan perilaku pencegahan penyakit leptospirosis. SIMPULAN
Berdasarkan penelitian tentang faktorfaktor yang berhubungan dengan perilaku pencegahan penyakit leptospirosis (studi kasus di Kelurahan Tandang Kecamatan Tembalan Kota Semarang), dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan antara pengetahuan (p value=0,023), umur (p value=0,005), pendidikan (p value=0,000), pendapatan keluarga (p value=0,014), sumber informasi (p value=0,001), dan dukungan keluarga (p value=0,017) dengan perilaku pencegahan penyakit leptospirosis. Tidak ada hubungan antara sikap (p value=0,667), pekerjaan (p value=1,000), akses pelayanan kesehatan (p value=0,797), dan pengalaman (p value=0,462). UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami tunjukkan kepada Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan, Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II, Kelurahan Tandang Kecamatan Tembalang Kota Semarang, Keluarga, serta teman-teman yang telah memberi bantuan dan motivasi dalam penyelesaian penelitian ini.
134
Ayu Nur Illahi dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
DAFTAR PUSTAKA Anies, Suharyo H, M. Sakundarno, dan Suhartono, 2009, Lingkungan dan Perilaku pada Kejadian Leptospirosis, Volume 43, Nomor 6, halaman 306-311. Budisaputro, B, 2002, Pengantar Pendidikan (Penyuluhan) Kesehatan Masyarakat, Semarang: Universitas Diponegoro. Profil Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2011, Kesehatan Kota Semarang, Semarang: Dinkes Kota Semarang. Djunaedi, D, 2007, Kapita Selekta Penyakit Infeksi, Malang: UMM Press. Keenan J, G. Ervin, M. Aung, G. McGwin Jr, dan P. Jolly, 2010, Risk Factors for Clinical Leptospirosis from Western Jamaica, Am, J, Trop, Med, Hyg,83(3), 2010, pp, 633–636. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2012, Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2012, Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Notoatmodjo, S, 2012, Kesehatan Masyarakat Ilmu Dan Seni, Jakarta: Rineka Cipta.
Nurjanah, S, 2013, Hubungan Antara Pengetahuan Masyarakat Tentang Pencegahan Leptospirosis Dan Perilaku Petugas Kesehatan Puskesmas Kedungmundu Dengan Praktik Pencegahan Leptospirosis Di Kelurahan Tandang Kota Semarang Tahun 2013, Semarang: Universitas Dian Nuswantoro Semarang. Priyanto, A, S. Hadisaputro, L.Santoso, H. Gasem, dan Sakundarno Adi, 2009, Faktor-Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Leptospirosis (Studi Kasus di Kabupaten Demak), Semarang: Universitas Diponegoro. Quina, Charmaine R, Joseph U, Almazan, dan JB. Tagarino, 2014, Knowledge, Attitudes, and Practices of Leptospirosis in Catbalogan City, Samar, Philippines, American Journal of Public Health Research, Vol.2, No.3, 2014, 91-98. Supraptono, B, B. Sumiarto, dan Dibyo Pramono,2011, Interaksi 13 Faktor Risiko Leptospirosis, Berita Kedokteran Masyarakat, Volume 27, No 2, Juni 2011, hlm 55-65. Tilahun, Z, Reta dan K. Simenew, 2013, Global Epidemiological Overview of Leptospirosis, International Journal of Microbiological Research 4 (1): 09-15. Widoyono, 2008, Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasannya, Jakarta: Erlangga.
135
UJPH 4 (4) (2015)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
EVALUASI INPUT SISTEM SURVEILANS PENEMUAN PENDERITA PNEUMONIA BALITA DI PUSKESMAS Safaatul Choiriyah , Dina Nur Anggraini N Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima Januari 2015 Disetujui Januari 2015 Dipublikasikan Oktober 2015
Cakupan penemuan penderita pneumonia balita merupakan indikator utama pengendalian ISPA di Indonesia. Pada tahun 2011 hingga 2013 cakupan penemuan penderita pneumonia balitadi Kota Salatiga tidak bisa mencapai target yang telah ditentukan. Menurut Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, pada tahun 2012 Kota Salatiga mengalami penurunan cakupan sebesar 73,55%. Data cakupan penemuan penderita pneumonia balita diperoleh melalui kegiatan surveilans. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil evaluasi input sistem surveilans penemuan penderita pneumonia balita di Puskesmas. Jenis penelitian ini yaitu kualitatif dengan rancangan studi evaluasi. Infoman utama penelitian berjumlah 6 orang terdiri dari kepala puskesmas dan petugas pemegang program P2 ISPA puskesmas, yang ditentukan dengan teknik purposive sampling. Instrumen yang digunakan yaitu pedoman wawancara terstruktur, lembar observasi dan dokumentasi. Simpulan dari penelitian ini yaitu jumah tenaga P2 ISPA yang tersedia di Puskesmas belum sesuai dengan pedoman yang ada, ketersediaan saranaprasarana (material-machine) sudah sesuai dengan pedoman yang ada, ketersediaan input method dalam pelaksanaan surveilans penemuan penderita pneumonia balita sudah sesuai dengan pedoman dan aturan yang ada, sumber dana puskesmas sudah sesuai dengan pedoman, hanya saja tidak ada alokasi dana untuk program P2 ISPA, ketersediaan market (sasaran informasi) sudah sesuai dengan pedoman hanya saja belum maksimal.
________________ Keywords: Input; Surveillance; Pneumonia ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ Pneumonia sufferers detection coverage is the main indicator of ARI control in Indonesia. By 2011 until 2013 pneumonia sufferer detection coverage in Salatiga city could not reach the target that was specified. According to the health profile of Central Java Province, in 2012 Salatiga has decreased scope of 73,55%. Data coverage of the detection of pneumonia sufferers obtained through surveillance activities. This research aim to know the results of the evaluation input system surveillance of pneumonia sufferer detection at PHC’s. This type of research was qualitative with evaluation study design. There were 6 peoples as the main informan that composed of Heads of PHC’s and the officer who hold programs P2 ISPA at PHC’s, which determined by purposive sampling technique. The instruments used the guidelines structured interviews, observation and documentation sheets. Summary of this research were the number of availability P2 ISPA expert at the PHC’s has not been inaccordance with the existing guidelines, availability of material-machine were appropriate with the existing guidelines, availability of input method in the implementation of surveillance of pneumonia sufferer detection were appropriate with the existing rules and guidelines, health funds was appropriate with the guidelines, but there is no allocation of funds for program P2 ISPA, availability of market was appropriate with the guidelines but hasn't been fullest.
© 2015 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail: [email protected]
ISSN 2252-6528
136
Safaatul Choiriyah dan Dina Nur Anggraini N / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
PENDAHULUAN
Pneumonia adalah infeksi akut yang menyerang jaringan paru-paru (alveoli) yang ditandai dengan adanya gejala batuk, dan atau kesukaran bernafas. Sampai saat ini pneumonia masih menjadi masalah kesehatan masyarakat baik di negara maju maupun di negara berkembang karena pneumonia masih menjadi penyebab utama tingginya angka kematian pada bayi dan balita di dunia (Ditjen P2PL, 2011). Untuk itu diperlukan adanya pengendalian terhadap pneumonia. Pengendalian pneumonia balita merupakan fokus utama kegiatan pengendalian penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) di Indonesia, dimanaindikator utamanya yaitu cakupan penemuan penderita pneumonia balita (Ditjen P2PL, 2011). Cakupan penemuan penderita pneumonia balita merupakan persentase jumlah pneumonia balita baik pneumonia maupun pneumonia berat terhadap jumlah target penemuan pneumonia balita yang ditetapkan (Ditjen P2PL, 2011; Kemenkes, 2013). Untuk menunjang keberhasilan program pengendalian pneumonia balita diperlukan adanya data epidemiologi penyakit pneumonia yang dapat diperoleh melalui kegiatan surveilans epidemiologi pneumonia (Dinkes Prov.Jateng, 2006). Surveilans pneumonia berperan untuk menyediakan data yang valid bagi manajemen kesehatan untuk menentukan tindakan yang tepat dalam penanggulangan dan pengendalian pneumonia balita (Dinkes Prov. Jateng, 2006) dan juga berperan untuk membantu meningkatkan manajemen kasus serta monitoring program P2 ISPA (Ditjen P2PL, 2003). Pada tahun 2006, Indonesia merupakan negara dengan kejadian pneumonia tertinggi ke-6 di seluruh dunia
dan pada tahun 2008 menempati urutan ke8 (IVAC, 2011). Menurut hasil Riskesdas 2007, prevalensi pneumonia balita di Indonesia tahun 2007 sebesar 2,13% (Depkes RI, 2008) dan pada tahun 2013 meningkat menjadi 4,5% (Kemenkes, 2013). Sedangkan CFR (Case Fatality Rate) pneumonia balita di Indonesia pada tahun 2011 hingga 2012 mengalami penurunan 0,02% (Kemenkes, 2013). Angka cakupan penemuan penderita pneumonia balita secara nasional belum pernah mencapai target (Kemenkes, 2013). Dari tahun 2007 hingga tahun 2012 angka cakupan penemuan pneumonia balita hanya berkisar antara 23% - 27,71%. Selain itu, pada tahun 2012 tidak satupun provinsi di Indonesia dapat mencapai target penemuan penderita pneumoniabalita(Kemenkes, 2013). Pada tahun 2011, cakupan penemuan penderita pneumonia balita Provinsi Jawa Tengah menempati urutan ke-2 terendah di Pulau Jawa dengan persentase sebesar 5,72% dan CFR sebesar 0,10% dan pada tahun 2012 mengalami peningkatan menjadi 23,50% dengan CFR sebesar 0,02% (Kemenkes, 2013). Menurut Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah,dalam tiga tahun terakhir Provinsi Jawa Tengah tidak bisa mencapai target penemuan penderita pneumonia balita. Pada tahun 2010 persentase cakupan penemuan dan penanganan penderita pneumonia balita sebesar 40,63%, pada tahun 2011 sebesar 25,5%, dan pada tahun 2012 sebesar 24,74%. Pada tahun 2012, sebagian besar Kabupaten/Kota (91,42% ) yang ada di Provinsi Jawa Tengah tidak bisa mencapai target cakupan penemuan penderita pneumonia balita yang telah ditetapkan. Salah satunya adalah Kota Salatiga (Dinkes Prov. Jateng, 2013).
137
Safaatul Choiriyah dan Dina Nur Anggraini N / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
Menurut Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, pada tahun 2011 persentase cakupan penemuan penderita pneumonia balita di Kota Salatiga sebesar 126,61% (Dinkes Prov. Jateng, 2012) dan pada tahun 2012 cakupan penemuan penderita pneumonia mengalami penurunan sebesar 73,55% menjadi 53,06% (Dinkes Prov. Jateng, 2013). Data yang disampaikan tersebut berbeda dengan data yang ada di DKK Salatiga. Menurut profil kesehatan Kota Salatiga dan data laporan bulanan program P2 ISPA Kota Salatiga Tahun 2013, Pada tahun 2011 persentase cakupan penemuan penderita pneumonia balita sebesar 41,8%, tahun 2012 sebesar 38,19%, dan pada tahun 2013 (per bulan Januari 2014) sebesar 33,84% (Dinkes Kota Salatiga, 2013). Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Pane (1998) di Kotamadya Bogor juga ditemukan beberapa masalah yang berkaitan dengan kegiatan surveilans pneumonia, yaitu pencatatan, pengolahan, dan interprestasi data dan penyebaran informasi yang belum maksimal, sumber daya tenaga, logistik, biaya dan kebijakan secara relatif kurang mendukung terhadap pelaksanaan program P2 ISPA khususnya untuk kategori pneumonia. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Jirapat K et al. (2004) di Provinsi Sa Kaeo, Thailand, ditemukan masalah bahwa jumlah morbiditas dan mortalitas pneumonia terus meningkat, terdapat perbedaan hasil pelaporan antara data surveilans pneumonia dengan data pada sertifikat kematian, dan masih terdapat petugas yang tidak tahu kriteria diagnosis pneumonia. Dalam pelaksanaan kegiatan surveilans pneumonia, selain berperan sebagai unit pelayanan kesehatan terdepan yang dekat dengan masyarakat dan sebagai unit pelaksana teknis dari Dinas Kesehatan
Kota/Kabupaten, Puskesmas juga berperan sebagai penyedia data atau sumber data utama penemuan kasus penderita pneumonia balita bagi Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten. Agar kegiatan surveilans dapat berjalan sesuai dengan harapan maka diperlukan adanya manajemen sistem surveilans yang baik, yang terdiri dari input, proses, dan output. Untuk mengetahui keberhasilan dan juga hambatan yang dialami oleh suatu sistem surveilans, dibutuhkan adanya kegiatan evaluasi. Evaluasi dalam sistem surveilans bertujuan untuk meningkatkan sumber daya yang ada di bidang kesehatan masyarakat secara maksimal melalui pengembangan suatu sistem surveilans yang efektif dan efisien (Ditjen P2PL, 2003). Evaluasi diukur berdasarkan indikator input, proses, dan output. Penelitian ini difokuskan pada input sistem surveilans yang meliputi man, material-machine, method, money, dan market) dalam kegiatan penemuan penderita pneumonia balita di Puskesmas, karena komponen input merupakan sumber daya utama yang memiliki pengaruh cukup besar terhadap proses maupun capaian dari sistem surveilans sehingga lebih diprioritaskan untuk dievaluasi (Notoatmodjo, 2011). Dengan demikian rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana evaluasi input sistem surveilans penemuan penderita pneumonia balita di Puskesmas Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Salatiga? METODE
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan rancangan studi evaluasi (Moleong, 2010; Ghony dan Fauzan, 2012). Rancangan studi evaluasi dilakukan untuk melihat dan menilai pelaksanaan maupun capaian dari kegiatan atau program yang
138
Safaatul Choiriyah dan Dina Nur Anggraini N / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
sedang atau yang sudah dilakukan untuk meningkatkan dan memperbaiki kegiatan atau program tersebut (Notoatmodjo, 2010; CDC, 2011). Informan utama penelitian terdiri dari kepala puskesmas dan petugas pemegang program P2 ISPA puskesmas yang berasal dari 2 puskesmas. Penentuan puskesmas yang menjadi tempat penelitian dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling (Sugiyono, 2008), dengan mempertimbangkan kriteria berikut: kelengkapan laporan bulanan ISPA yang dikumpulkan ≤ 100% di Tahun 2013, ketepatan waktu pengumpulan laporan bulanan ISPA ≥ 80% di tahun 2013, dapat mencapai target penemuan penderita pneumonia balita dan yang belum dapat mencapai target penemuan penderita pneumonia balita tahun 2013. Teknik pengambilan data dilakukan dengan wawancara terstruktur, studi dokumentasi dan observasi dengan menggunakan instrumen berupa panduan wawancara terstruktur, lembar dokumentasi, dan lembar observasi. Dalam penelitian ini evaluasi dilakukan dengan cara membandingkan kenyataan yang ada di lapangan atau membandingkan sumber daya yang dimiliki oleh organisasi (puskesmas) dengan pedoman yang ada. HASIL DAN DISKUSI
Dalam manajemen pelayanan, input berfokus pada kegiatan-kegiatan yang dipersiapkan oleh organisasi untuk memberikan pelayanan bagi masyarakat yang didalamnya termasuk komitmen dan stakeholder, prosedur serta kebijakan, sarana dan prasarana fasilitas dimana pelayanan diberikan. Secara umum, input dalam manajemen terdiri dari man yaitu sumber daya manusia yang dimiliki oleh organisasi, money yaitu pendanaan untuk
keberlangsungan kegiatan, material-machine yang berfungsi untuk mengubah masukan menjadi keluaran, method yaitu peraturan atau prosedur kerja yang berguna untuk memperlancar jalannya pekerjaan, dan market yaitu tempat untuk memasarkan atau menyebarluaskan produk atau hasil kerja suatu organisasi (Satrianegara, 2009). Untuk mengetahui hambatan atau kendala yang dialami oleh input suatu sistem dapat dilakukan dengan cara melakukan evaluasi terhadap input tersebut. Evaluasi dapat dilakukan dengan cara membandingkan kenyataan yang ada di lapangan dengan pedoman yang ada. Evaluasi Input Man (Sumber Daya Manusia Pendukung Pelaksanaan Surveilans Penemuan Penderita Pneumonia Balita)
Sumber daya manusia merupakan unsur atau modal yang paling penting dalam suatu organisasi karena SDM berperan dalam menentukan arah dan tujuan organisasi, kemajuan organisasi dan menentukan keberhasilan organisasi serta berperan pelaksana kegiatan manajemen (Fathoni, 2006; Satrianegara, 2009).Kondisi tenaga puskesmas dapat berpengaruh pada mutu pelayan puskesmas. Kondisi tenaga yang dimiliki oleh puskesmas dapat dilihat dari jumlah tenaga kerja, latar belakang pendidikan, pelatihan yang pernah diikuti, ketrampilan dan keahlian khusus yang dimiliki, masa kerja, beban kerja, dan riwayat jabatan. Pada penelitian ini evaluasi terhadap input SDM pendukung pelaksanaan kegiatan penemuan penderita pneumonia balita difokuskan pada jumlah tenaga P2 ISPA yang dimiliki oleh puskesmas dan ketersediaan tenaga terlatih P2 ISPA di Puskesmas. Hal ini dikarenakan kedua hal tersebut merupakan indikatorpuskesmas telah siap memberikan
139
Safaatul Choiriyah dan Dina Nur Anggraini N / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
pelayanan program P2 ISPA kepada masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa jumlah tenaga P2 ISPA di puskesmas tidak sesuai dengan pedoman yang ada. Jumlah tenaga yang tersedia sebanyak 1 orang tenaga paramedis, sedangkan menurut pedoman tenaga P2 ISPA di puskesmas seharusnya terdiri dari 1 orang tenaga medis dan 2 orang tenaga paramedis. Ketidaksesuaian ini dikarenakan jumlah tenaga puskesmas yang terbatas dan banyaknya program atau upaya kesehatan yang harus dilaksanakan oleh puskesmas sehingga tidak bisa memenuhi standar tersebut. Agar kegiatan penemuan penderita pneumonia balita di puskesmas tetap berjalan maka dalam pelaksanaan harian penemuan penderita pneumonia balita petugas pemegang program P2 ISPA dibantu oleh semua petugas kesehatan yang ada di puskesmas. Sedangkan untuk ketersediaan tenaga puskesmas terlatih manajemen program dan teknis P2 ISPA sudah sesuai dengan pedoman, meskipun jenis pelatihan yang telah didapat belum sesuai dengan yang di pedoman. Karena menurut pedoman pengendalian ISPA pelatihan yang seharusnya diterima oleh tenaga kesehatan di puskesmas berupa pelatihan tatalaksana ISPA, pelatihan manajemen program pengendalian ISPA dan pelatihan autopsi verbal kematian pneumonia balita, namun pada kenyataannya petugas yang sudah dilatih hanya mendapatkan pelatihan tatalaksana ISPA dan manajemen ISPA. Petugas yang telah mendapatkan pelatihan tersebut adalah petugas pemegang program P2 ISPA yang menjabat sebelumnya dan petugas pemegang program P2 ISPA yang saat ini menjabat belum pernah mengikuti pelatihan namun sudah mengikuti workshop
autopsi verbal kematian balita akibat pneumonia. Dalam kegiatan pengendalian ISPA, pelatihan bagi petugas kesehatan merupakan bagian terpenting dari program P2 ISPA dalam meningkatkan kemampuan SDM khususnya dalam penatalaksanaan kasus dan manajemen program (Ditjen P2PL, 2011). Menurut penelitian Handayani dkk (2009), pelatihan akan meningkatkan kinerja mereka secara individu dalam memberikan pelayanan kesehatan di puskesmas dan menurut penelitian Nurhayati (2011) ada hubungan antara pelatihan yang diikuti petugas dengan implementasi program di puskesmas. Dengan demikian dapat diketahui bahwa keberhasilan suatu program kesehatan sangat dipengaruhi oleh kemampuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh petugasnya. Meskipun sudah tersedia tenaga puskesmas yang terlatih manajemen program dan teknis P2 ISPA namun jumlahnya masih kurang. Karena petugas pemegang program P2 ISPA puskesmas hanya berjumlah 1 orang tiap puskesmas. Kondisi ketersediaan tenaga terlatih yang ada di puskesmas tersebut sejalan dengan hasil penelitian evaluasi pelaksanaan MTBS pneumonia di puskesmas Kabupaten Lumajang tahun 2013 yang dilakukan oleh Diah P. dan Lucia Y.H. (2013). Dari penelitian tersebut diketahui bahwa jumlah petugas kesehatan yang sudah dilatih MTBS oleh Dinas Kesehatan jumlahnya masih kurang untuk memberikan pelayanan pemeriksaan balita sakit sehingga pelaksanaan MTBS belum berjalan secara maksimal. Salah satu usaha yang dapat dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota masalah dalam meningkatkan kualitaspetugas pemegang program P2 ISPA dan memecahkan masalah yang dihadapi oleh petugas di
140
Safaatul Choiriyah dan Dina Nur Anggraini N / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
lapangan yaitu dengan melakukan kegiatan pertemuan rutin/lokakarya/refreshing antarpetugas pemegang program P2 ISPA. Hal yang sama bisa juga dilakukan di tingkat puskesmas antarpetugas puskesmas. Dengan demikian hambatan serta masalah yang dihadapi selama pelaksanaan kegiatan penemuan penderita dapat dipecahkan dengan baik sehingga tidak mempengaruhi kualitas pelayanan yang diberikan. Evaluasi Input Material-Machine (Sarana Dan Prasarana Pendukung Pelaksanaan Surveilans Penemuan Penderita Pneumonia Balita)
Bersadarkan hasil penelitian ketersediaan sarana-prasarana pendukung pelaksanaan kegiatan penemuan penderita pneumonia balita, yang terdiri dari ketersediaan ATK, ketersediaan buku pedoman surveilans pneumonia, ketersediaan media KIE pneumonia balita, ketersediaan surveilans kits, ketersediaan formulir pengumpulan data P2 ISPA, dan ketersediaan alat bantu klasifikasi (ARI sound timer), sudah sesuai dengan pedoman yang ada. Meskipun ketersediaannya sudah sesuai namun masih terdapat beberapa masalah, yaitu buku pedoman yang digunakan oleh petugas pemegang program P2 ISPA puskesmas berupa buku pedoman tatalaksana pneumonia, buku pedoman pengendalian ISPA dan buku pedoman MTBS. Sedangkan menurut tataran idealnya, buku pedoman yang digunakan oleh petugas kesehatan untuk melaksanakan surveilans pneumonia terdiri dari buku pedoman pengendalian penyakit ISPA, buku pedoman tatalaksana pneumonia balita, dan buku pedoman surveilans. Formulir yang tersedia dan yang digunakan oleh petugas pemegang program P2 ISPA untuk mengumpulkan data yaitu form mtbs dan form laporan bulanan P2 ISPA sedangkan menurut buku pedoman yang ada
form pelaksanaan kegiatan penemuan penderita pneumonia balita terdiri dari form stempel ISPA, form care seeking, PWS pneumonia, dan form laporan bulanan P2 ISPA. Masa pakai ARI sound timer di tingkat puskesmas tidak sesuai dengan pedoman yang ada. Karena menurut pedoman, masa pakai maksimal alat tersebut adalah 2 tahun atau 10.000 kali pemakaian sedangkan berdasarkan hasil penelitian ARI sound timer yang digunakan akan diganti apabila alat telah digunakan selama 3 tahun atau sudah mengalami kerusakan. Evaluasi Input Method (Metode Pelaksanaan Surveilans Penemuan Penderita Pneumonia Balita)
Method merupakan aturan, kebijakan dan atau prosedur kerja yang mengatur jalannya pelaksanaan kegiatan agar dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Dalam pelaksanaan surveilans penemuan penderita pneumonia balita terdiri dari target penemuan penderita pneumonia balita, petunjuk teknis P2 ISPA dan pengelolaan data program P2 ISPA. Berdasarkan hasil penelitian method dalam pelaksanaan surveilans penemuan penderita pneumonia balita yang terdiri dari ketersediaan target penemuan penderita pneumonia balita, ketersediaan petunjuk teknis, dan pengelolaan data program P2 ISPA telah sesuai dengan pedoman yang ada. Target adalah tolok ukur dalam bentuk angka nominal atau persentase yang harus dicapai pada akhir tahun (Depkes, 2006). Target penemuan penderita pneumonia balita adalah jumlah penderita pneumonia balita yang harus dicapai di suatu wilayah dalam 1 tahun sesuai dengan kebijakan yang berlaku setiap tahun secara nasional (Ditjen P2PL, 2011). Ketersediaan target penemuan penerita pneumonia balita di puskesmas juga merupakan indikator yang menunjukkan
141
Safaatul Choiriyah dan Dina Nur Anggraini N / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
bahwa puskemas telah siap untuk melaksanakan kegiatan penemuan penderita pneumonia balita. Petunjuk teknis adalah pengaturan tentang hal-hal yang berkaitan dengan teknis kegiatan, tidak menyangkut wewenang dan prosedur pelaksanaan. Petunjuk teknis yang digunakan oleh petugas pemegang program P2 ISPA puskesmas dalam menemukan penderita pneumonia balita yaitu bagan MTBS, sesuai anjuran dan kesepakatan bersama antara petugas pemegang program P2 ISPA Puskesmas dengan petugas pemegng program P2 ISPA DKK. Ketersediaan petunjuk teknis P2 ISPA di puskesmas menjadi hal yang penting dalam menjalankan program P2 ISPA terutama untuk penemuan penderita pneumonia balita karena membantu memudahkan petugas untuk mempersiapkan dan melaksanakan kegiatan surveilans penemuan penderita pneumonia balita dengan baik dan benar. Evaluasi Input Money (Dana Pendukung Pelaksanaan Surveilans Penemuan Penderita Pneumonia Balita)
Komponen pendanaan (money) merupakan salah satu unsur yang juga penting untuk menunjang keberlangsungan pelaksanaan program atau kegiatan. Ketersediaan dana dapat berpengaruh terhadap mutu pelayanan kesehatan yang diberikan oleh suatu layanan kesehatan(Azwar, 2008). Berdasarkan hasil penelitian, sumber dana puskesmas untuk menjalankan program-programnya telah sesuai dengan pedoman yang ada, namun alokasi dana untuk program P2 ISPA tidak sesuai dengan pedoman. Tidak adanya alokasi dana untuk pelaksanaan program P2 ISPA khususnya pneumonia dikarenakan kegiatan penemuan penderita pneumonia masih bersifat pasif atau tidak ada kegiatan
pelacakan di lapangan. Tidak tersedianya dana yang dialokasikan khusus untuk program P2 ISPA/Pneumonia di tempat penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian dari Pane (1998) yang menyatakan bahwa biaya dan kebijakan secara relatif dirasakan kurang mendukung terhadap pelaksanaan program P2 ISPA khususnya untuk kategori pneumonia di Kotamadya Bogor, dan pada penelitian Diah P. dan Lucia Y.H. (2013) juga dinyatakan bahwa anggaran khusus pneumonia tidak tersedia untuk pelaksanaan program MTBS Pneumonia. Tidak tersedianya alokasi dana khusus bukan berarti pelaksanaan program tidak bisa berjalan. Menurut penelitian Nurhayati (2011) meskipun ada kegiatan/program di Puskesmas yang tidak memiliki alokasi dana, pelaksanaan kegiatan tersebut masih tetap berjalan walaupun hasilnya kurang maksimal. Agar pelaksanaan program P2 ISPA di puskesmas tempat penelitian tetap berjalan, kepala puskesmas beserta pengelola keuangan telah memiliki strategi khusus untuk mengatasi masalah tersebut yaitu apabila ada kegiatan yang berkaitan dengan program P2 ISPA (pneumonia) yang membutuhkan adanya pendanaan maka kegiatan tersebut akan diikutsertakan dalam kegiatan dari program lain yang memiliki alokasi dana. Evaluasi Input Market (Sasaran Informasi Hasil Pelaksanaan Surveilans Penemuan Penderita Pneumonia Balita)
Market atau sasaran informasi adalah tempat dimana organisasi memasarkan dan menyebarluaskan produknya (informasi) (Handoko, 2001). Tujuan dari adanya market tersebut yaitu untuk menciptakan adanya kemitraan dan jejaring kerja. Menurut buku pedoman surveilans, yang terlibat dalam sistem surveilans pneumonia balita adalah program dan sektor terkait
142
Safaatul Choiriyah dan Dina Nur Anggraini N / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
yang erat hubungannya dengan kesakitan dan kematian balita, seperti: imusisasi, kesling (HS), gizi, KIA, Promkes, penyakitpenyakit lain misal TB paru, diare, malaria, HIV/AIDS; Pemda setempat dengan dinas terkait (Dinas Kesehatan); dan LSM, PKK, Kader Kesehatan, Perguruan Tinggi, dll (Dinkes Prov. Jateng, 2006). Kemitraan dan jejaring merupakan faktor yang penting untuk menunjang keberhasilan program. Kemitraan jejaring kerja dalam program P2 ISPA di arahkan untuk meningkatkan peran serta masyarakat, lintas program, lintas sektor terkait dan pengambil kebijakan termasuk penyandang dana. Peningkatan jejaring kerjadiperlukan untuk meningkatkan koordinasi pelaksanaan pengendalian penyakit ISPA antar berbagai jenjang mulai dari perencanaan hingga evaluasi program.Selain itu peningkatan jejaring kerja juga dapat membantu petugas pemegang program P2 ISPA untuk menentukan intervensi dan tindak lanjut yang tepat sesuai dengan kondisi di lapangan dan faktor risikonya (Ditjen P2PL, 2011). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sasaran informasi hasil pelaksanaan surveilans penemuan penderita pneumonia balita di puskesmas terdiri dari kepala puskesmas, petugas HS puskesmas, pemegang program TB puskesmas, dan Dinas Kesehatan Kota Salatiga. Ketersediaan market hasil pelaksanaan kegiatan surveilans penemuan penderita pnemonia balita telah sesuai dengan pedoman yang ada. Kemitraan dan jejaring kerja yang dibangun oleh petugas pemegang program P2 ISPA dapat dikatakan belum maksimal, karena hanya melibatkan Dinas Kesehatan Kota, kepala puskesmas, HS puskesmas, dan pemegang program TB puskesmas. Sehingga intervensi dan tindak
lanjut pengendalian penyakit ISPA di puskesmas masih tertuju pada penderitanya saja, seperti melakukan kunjungan rumah ke penderita pneumonia balita yang membutuhkan kunjungan rumah, dalam hal ini penderita pneumonia berat dan penderita yang tidak melakukan kunjungan ulang, dan pemeriksaan ulang penderita pneumonia yang ada kecurigaan TB. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa jumah tenaga P2 ISPA yang tersedia di Puskesmas belum sesuai dengan pedoman yang ada, ketersediaan sarana-prasarana (material-machine) untuk pelaksanaan survelans penemuan penderita pneumonia balita sudah sesuai dengan pedoman yang ada meskipun masih ada beberapa yang belum maksimal, ketersediaan input method yang berupa ketersediaan target penemuan penderita pneumonia balita di Puskesmas, ketersediaan petunjuk teknis P2 ISPA di Puskesmas dan pengelolaan data program P2 ISPA sudah sesuai dengan pedoman dan aturan yang ada, sumber dana puskesmas (sumber dana untuk pelaksanaan program di puskesmas) sudah sesuai dengan pedoman, hanya saja tidak ada alokasi dana untuk program P2 ISPA, dan ketersediaan market (sasaran informasi) hasil pelaksanaan surveilans penemuan penderita pneumonia balita sudah sesuai dengan pedoman hanya saja belum maksimal. UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih kami tunjukkan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kota Salatiga, Kepala Puskesmas Mangunsari, Kepala Puskesmas Cebongan, Petugas pemegang program P2ISPA Dinas
143
Safaatul Choiriyah dan Dina Nur Anggraini N / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
Kesehatan Kota Salatiga dan petugas pemegang program P2ISPA Puskesmas serta informan lain yang ikut terlibat dalam penelitian.
Ghony, M.D. dan Fauzan A, 2012, Metodologi Penelitian Kualitatif, Ar-Ruzz Media, Yogyakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Fathoni, Abdurrahmat, 2006, Organisasi dan Manajemen Sumber Daya Manusia, Rineka Cipta, Jakarta.
Azwar, A., 2008, Pengantar Administrasi Kesehatan, Binarupa Aksara, Jakarta. CDC, 2011, Introduction to Program Evaluation for Public Health Program: A Self-Study Guide, CDC, Atlanta. Depkes RI, 2006, Pedoman Penilaian Kinerja Puskesmas, Departemen Kesehatan RI, Jakarta. --------------, 2008, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, Departemen Kesehatan RI,Jakarta. Dinkes Kota Salatiga, 2013, Profil Kesehatan Kota Salatiga 2012, Dinas Kesehatan Kota Salatiga,Salatiga. ----------------------------, 2013, Laporan Bulanan P2 ISPA Tahun 2013, Dinas Kesehatan Kota Salatiga,Salatiga. Diah P. dan Lucia Y. H., 2013, Evaluasi Pelaksanaan MTBS Pneumonia Di Puskesmas Di Kabupaten Lumajang Tahun 2013, Jurnal Berkala Epidemiologi, Volume 1, No. 2, September 2013, hlm. 291-301 Dinkes Prov. Jateng, 2006, Buku Pedoman Surveilans Penyakit, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Semarang. ---------------------------, 2012, Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah 2011, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah,Semarang. ---------------------------, 2013, Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah 2012, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Semarang. Ditjen P2PL, 2003, Surveilans Epidemiologi Penyakit (PEP) Edisi 1, Depkes RI,Jakarta. ----------------, 2011, Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernafasan Akut, Kementerian Kesehatan RI,Jakarta.
Handayani, Lestari, dkk, 2009, Peran Tenaga Kesehatan Sebagai Pelaksana Pelayanan Kesehatan Puskesmas, Laporan Penelitian, Puslitbang Sistem dan Kebijakan Kesehatan, Surabaya. Handoko, T. Hani, 2001, Manajemen Personalia dan Sumberdaya Manusia, Bumi Aksara, Jakarta. IVAC, 2011, Pneumonia Progress Report 2011, IVAC, Baltimore.
Jirapat K., etal., Pneumonia Surveillance In Thailand: Current Practice and Future Needs, Volume 35, No.3, September 2004, hlm. 711-716 Kemenkes RI, 2013, Profil Kesehatan Indonesia 2012, Kementerian Kesehatan RI,Jakarta. Moleong, LJ, 2010, Metodologi Penelitian Kualiatif Edisi Revisi, PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Nurhayati, Agita Maris, 2011, Faktor yang Berhubungan dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Di Puskesmas Di Kota Semarang Tahun 2010, Skripsi, Universitas Negeri Semarang. Notoatmodjo, S., 2010, Metodologi Penelitian kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta Kesehatan ---------------------,2011, Masyarakat: Ilmu dan Seni, Rineka Cipta, Jakarta.
144
Safaatul Choiriyah dan Dina Nur Anggraini N / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
Pane, Masdalina, 1998,Evaluasi Penemuan Dan Pengobatan Penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (Ispa) Pnemonia Pada Balita Melalui Surveilans Epidemiologi Ispa Di Kotamadya Bogor Tahun 1994-1997,Skripsi, Universitas Diponegoro, Semarang.
Satrianegara, M. Fais, 2009, Buku Ajar Ogranisasi dan Manajemen Pelayanan Kesehatanserta Kebidanan, Salemba Medika, Jakarta. Sugiyono, 2008, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Alfabet, Bandung.
145
UJPH 4 (4) (2015)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN HIPERTENSI USIA PRODUKTIF (25-54 TAHUN) Riska Agustina , Bambang Budi Raharjo Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima Januari 2015 Disetujui Januari 2015 Dipublikasikan Oktober 2015
Hipertensi di Puskesmas Kedungmundu meningkat dari tahun ke tahun. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian hipertensi usia produktif (25-54 tahun) di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu tahun 2013. Jenis penelitian ini adalah survey analitik dengan pendekatan case control. Sampel berjumlah 30 orang pada masing-masing kelompok kasus dan kontrol yang diambil dengan teknik accidental sampling. Analisis data menggunakan uji chi square dengan derajat kemaknaan (α) = 0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor risiko yang berhubungan dengan hipertensi usia produktif (25-54 tahun) adalah faktor genetik (p value=0,019, OR=4,125), obesitas (p value=0038, OR=3,5), kebiasaan merokok (p value=0,017, OR=6,0), konsumsi garam (p value=0,004, OR=5,675), penggunaan minyak jelantah (p value=0,009, OR=4,929) dan stress psikis (p value=0,002, OR=6,417). Variabel yang tidak berhubungan adalah aktifitas fisik (p value=0,065), konsumsi alkohol (p value=0,148), jenis pekerjaan (p value=0,333), pendapatan keluarga (p value=0,531) lama kerja (p value=0,588). Saran bagi penderita hipertensi usia produktif (25-54 tahun) di Kedungmundu supaya lebih meningkatkan status kesehatan dengan lebih teratur memeriksakan kesehatannya, khususnya tekanan darah. Bagi Puskesmas untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang hipertensi. Bagi peneliti lain untuk menambah faktor risiko lain yang berhubungan dengan hipertensi usia produktif.
________________ Keywords: Hypertension; productive age (25-54 years); psychological stress ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ Hypertension at Kedungmundu Puskesmas was ascending from year to year. The purpose of this study is to find risk factors which related to the Hypertension productive age (25-54 years) at working area health centers Kedungmundu Year 2013. This is a research of analytical survey with casecontrol approach. Sample of 30 people in each case group and controlgroup who were taken using accidental sampling technique. Data analysis using chi square test with degrees of significance (α) = 0,05. The study results show that the risk factor which related to the Hypertension productive age (25-54 years) genetic factor (p value=0,019, OR=4,125), obesity (p value=0,038, OR=3,5), smooking habit (p value=0,017, OR=6,0), salt consumption (p value=0,004, OR=5,675), use jelantah oil (p value=0,009, OR=4,929) and psychological stress (p value=0,002, OR=6,417). The risk factor which are not related are physical activities (p value=0,065), alcohol consumption (p value=0,148), type of work (p value=0,333), family’s income (p value=0,531) and duration of employment (p value=0,588). The advice to patient hypertension productive age (25-54 tahun) at Kedungmundu to improve their health status by having themselves checked on more regular basis, particularly for their blood pressure. For the public health center to improve knowledge of the hypertension to the public. For the other researcher could find out another risk factors relate to the hypertension.
© 2015 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail: [email protected]
ISSN 2252-6528
146
Riska Agustina dan Bambang Budi Raharjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
PENDAHULUAN
Perubahan pola hidup dan pola makan akibat adanya perbaikan tingkat penghidupan membawa konsekuensi terhadap berkembangnya penyakit degeneratif, diantaranya penyakit hipertensi. Hipertensi atau penyakit darah tinggi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah seseorang adalah ≥140 mmHg (tekanan sistolik) dan atau ≥90 mmHg (tekanan diastolik) (Depkes RI, 2006: 12). Menurut Riskesdas Jateng 2007, prevalensi hipertensi pada usia >15 tahun mencapai 31,7%, tetapi hanya 23,9% saja yang mengetahui dirinya menderita hipertensi dan diterapi. Kematian akibat stroke mencapai 15,4%. Berdasarkan profil Dinas Kesehatan Jawa Tengah tahun 2012, Kota Semarang rangking pertama untuk kejadian hipertensi usia produktif sebanyak 510 pasien merupakan hipertensi usia produktif (Dinkes Kota Semarang, 2013). Berdasarkan penelitian Aris S (2007) yang terbukti sebagai faktor risiko hipertensi adalah umur, riwayat keluarga, konsumsi asin, konsumsi lemak jenuh, penggunaan jelantah, tidak biasa olahraga, obesitas dan penggunaan pil KB selama 12 tahun berturut-turut, sedangkan penelitian H Nasri MD terdapat hubungan antara tingkat stres, lama kerja, kualitas tidur, kebiasaan merokok, konsumsi alkohol dan konsumsi kafein, sedangkan penelitian Nia K (2006) yang merupakan faktor risiko hipertensi adalah keturunan, obesitas, tipe kepribadian, riwayat merokok, riwayat minum alkohol, aktifitas olahraga, asupan garam, dan stress, sedangkan penelitian Nurma H (2010) yang merupakan faktor risiko hipertensi usia muda adalahfaktor keturunan, obesitas,
konsumsi garam dan stres dan hasil penelitian Sulistyowati (2009) yang merupakan faktor risiko hipertensi adalah umur, tingkat pendidikan, konsumsi garam, obesitas, aktifitas fisik, stres dan keturunan. Dari permasalahan tersebut, peneliti ingin mengetahui hubungan antara faktor genetik, obesitas, aktifitas fisik, kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, konsumsi garam, penggunaan minyak jelantah, stress psikis, tingkat pendidikan dengan kejadian hipertensi usia produktif (25-54 tahun) di wilayah kerja puskesmas Kedungmundu pada tahun 2013. METODE
Jenis penelitian ini adalah observasional yang bersifat analitik dengan desain penelitian Case Control (Feinstein, 1977 dalam Bhisma M, 2003: 111). Populasi dalam penelitian ini adalah penderita hipertensi usia produktif di Puskesmas Kedungmundupada tahun 2013 berjumlah 510 penderita. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik accidental sampling. Sampel kasus berjumlah 30 orang dan sampel kontrol berjumlah 30 orang. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah panduan wawancara terstruktur yang telah diuji validitas dan reliabilitas sebelum penelitian dilakukan. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Adapun hasil penelitian ini dapat dilihat pada Tabel1 :
Tabel 1. Hasil Penelitian
147
Riska Agustina dan Bambang Budi Raharjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
Kejadian Produktif No
Variabel
1.
Faktor Genetik
2.
Kejadian Obesitas
3.
Aktifitas Fisik
4.
Kebiasaan Merokok
5.
Konsumsi Alkohol
6.
Konsumsi Garam
7.
Penggunaan Minyak Jelantah
8.
Stres Psikis
9.
Status Pekerjaan
10.
Pendapatan Keluarga
11.
Lama Kerja
Kategori
Ada Tidak ada Jumlah Obesitas Tidak Obesitas Jumlah Tidak Olahraga Rutin Olahraga Rutin Jumlah Merokok Tidak Merokok Jumlah Mengkonsumsi Tidak Mengkonsumsi Jumlah >7 gram ≤ 3 gram Jumlah ≥ 3 kali per minggu < 3 kali per minggu Jumlah Stres Tidak Stres Jumlah Bekerja Tidak Bekerja Jumlah Rendah Tinggi Jumlah >51 jam per minggu ≤ 51 jam per minggu Jumlah
Hipertensi
Usia
n 18 12 30 18 12 30 22
% 60,0 40,0 100,0 60,0 40,0 100,0 73,3
Tidak Hipertensi n % 8 26,7 22 73,3 30 100,0 9 30,0 21 70,0 30 100,0 14 46,7
8 30 12 18 30 7 23
26,7 100,0 40,0 60,0 100,0 23,3 76,7
16 30 3 27 30 2 28
30 19 11 30
100,0 63,3 36,7 100,0
18
Hipertensi
Jumlah n 26 34 60 27 33 60 36
% 45,0 55,0 100,0 45,0 55,0 100,0 60,0
53,3 100,0 10,0 90,0 100,0 6,7 93,3
24 60 15 45 60 9 51
40,0 100,0 25,0 75,0 100,0 15,0 85,0
30 7 23 30
100,0 23,3 76,7 100,0
60 26 34 60
100,0 43,3 56,7 100,0
60,0
7
23,3
25
41,7
12
40,0
23
76,7
35
58,3
30 22 8 30 26 4 30 8 22 30 12
100,0 73,3 26,7 100,0 86,7 13,3 100,0 26,7 73,3 100,0 40,0
30 9 21 30 22 8 30 5 25 30 9
100,0 30,0 70,0 100,0 73,3 26,7 100,0 16,7 83,3 100,0 30,0
60 31 29 60 48 12 60 13 47 60 21
100,0 51,7 48,3 100,0 80,0 20,0 100,0 21,7 78,3 100,0 35,0
18
60,0
21
70,0
39
65,0
30
100,0
30
100,0
60
100,0
148
p value
OR 95%CI
0,019
4,12 1,38-12,27
0,038
3,5 1,20-10,19
0,065
3,14 1,06-9,26
0,017
6,0 1,48-24,29
0,148
4,26 0,80-22,53
0,004
5,67 1,84-17,49
0,009
4,92 1,61-15,07
0,002
6,41 2,08-19,75
0,333
2,36 0,62-8,91
0,531
1,81 0,51-6,38
0,588
1,55 0,53-4,53
Riska Agustina dan Bambang Budi Raharjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
Faktor Genetik
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebagian besar responden tidak memiliki faktor genetik yaitu 34 responden dengan persentase sebesar 55%, sedangkan responden memiliki faktor genetik sebanyak 26 responden dengan persentase 45%. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa ada hubungan antara faktor genetik dengan kejadian hipertensi usia produktif (25-54 tahun) dengan nilai p=0,019 (p <0,05). Responden yang mengalami hipertensi cenderungmemiliki faktor genetik (60%) sedangkan responden yang tidak mengalami hipertensi cenderung tidak memiliki faktor genetik (73,3%). Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR = 4,12 (OR > 1) dengan interval 1,38-12,27 (tidak mencakup angka 1), artinya responden yang memiliki faktor genetik memiliki risiko 4,12 kali mengalami hipertensi usia produktif dibandingkan responden yang tidak memiliki faktor genetik. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian terdahulu oleh Nia Kurniasih (2006) yang menyatakan bahwa ada hubungan bermakna antara faktor genetik dengan kejadian hipertensi (p=0,000). Faktor genetik mempunyai risiko 11,982 kali lebih besar untuk terjadi hipertensi dibandingkan yang tidak memiliki faktor genetik. Berdasarkan hasil penelitian adanya faktor genetik dengan kejadian hipertensi dikarenakan besarnya jumlah penderita hipertensi yang memiliki faktor genetik yaitu sebanyak 18 orang (60%) berbeda jauh dengan yang tidak menderita hipertensi sebanyak yaitu sebanyak 8 orang (26,7%). Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan) juga mempertinggi risiko terkena hipertensi, terutama pada hipertensi primer.tentunya faktor genetik ini juga dihubungkan dengan
faktor-faktor lingkungan lain, yang kemudian menyebabkan seorang menderita hipertensi. Faktor genetik juga berkaitan dengan metabolisme pengaturan garam dan rennin membrane sel. Menurut Davidson bila kedua orang tuanya menderita hipertensi maka sekitar 45% akan turun ke anak – anaknya dan bila sudah satu orang tuanya yang menderita hipertensi maka sekitar 30% akan turun ke anak-anaknya ( Depkes RI, 2006: 13-14). Kejadian Obesitas
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebagian besar responden tidak mengalami obesitas yaitu 33 responden dengan persentase 55%, dan responden yang mengalami obesitas sebanyak 27 responden dengan persentase 45%. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa ada hubungan antara kejadian obesitas dengan hipertensi usia produktif dengan nilai p = 0,038 (p < 0,05). Responden yang mengalami hipertensi usia produktif cenderung mengalami obesitas (60%) dan responden yang tidak mengalami hipertensi usia produktif cenderung tidak mengalami obesitas (70%). Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR = 3,5 (OR > 1) dengan interval 1,20-10,1 (tidak mencakup angka 1), artinya responden yang obesitas memiliki risiko 3,5 kali mengalami hipertensi usia produktif dibandingkan responden yang tidak obesitas. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian terdahulu oleh Nia Kurniasih (2006) yang menyatakan bahwa ada hubungan bermakna antara obesitas dengan kejadian hipertensi (p=0,000).Berdasarkan hasil penelitian adanya hubungan antara obesitas dengan kejadian hipertensi dikarenakan besarnya jumlah penderita hipertensi yang mengalami obesitas atau
149
Riska Agustina dan Bambang Budi Raharjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
hasil penghitungan BMI ≥ 25 yaitu sebanyak 18 orang (60%) berbeda jauh dengan yang tidak menderita hipertensi yaitu sebanyak 9 orang (30%).Secara umum, masyarakat Indonesia cenderung lebih memiliki kelebihan berat badan.Hal ini merupakan hal yang tidak sehat karena berbagai alasan.Berkaitan dengan tekanan darah, secara umum semakin tinggi berat badan kita, maka semakin tinggi pula tekanan darah kita (Anna palmer, 2007).
Dalam penelitian ini, ada variabel yang berperan sebagai perancu atau pengganggu yaitu variabel aktifitas fisikyang merancukan hubungan antara obesitas dengan kejadian hipertensi usia produktif (25-54 tahun), sehingga untuk mengendalikan variabel aktifitas fisik dilakukan dengan menggunakan teknik analisis berstrata. Adapun hasil analisis berstrata dapat dilihat pada Tabel 2 :
Tabel 2.Hubungan antara Kejadian Hipertensi Usia Produktif (25-54 tahun) dengan Obesitas Berdasarkan Aktifitas Fisik. Aktifitas Fisik Tidak Olahraga Rutin Olahraga Rutin
Obesitas
Obesitas Tidak Obesitas Jumlah Obesitas Tidak Obesitas Jumlah
Kejadian Hipertensi Usia Produktif (25-54 Tahun) Hipertensi Tidak Hipertensi n % n % 13 59,1 4 28,6 9 40,9 10 71,4 17 100,0 14 100,0 5 62,5 5 31,2 3 37,5 11 68,8 8 100,0 16 100,0
Berdasarkan hasil penelitian, hubungan antara obesitas dengan kejadian hipertensi usia produktif OR = 3,5dengan interval (< 1) dengan interval 1,20-10,19 ( tidak mencakup angka 1) artinya penderita yang mengalami obesitas memiliki risiko 3,5 kali mengalami hipertensi dibandingkan penderita yang tidak obesitas.Setelah dilakukan analisis berstrata untuk mengontrol variabel aktiftas fisik yang tidak olahraga rutin, ternyata responden yang tidak olahraga rutin meningkatkan risikomeningkatkan risiko kejadian hipertensi usia produktif (25-54 tahun) karena OR kasar < OR (1) (3,5 <3,611), maka terdapat kerancuan yang memperkecil hubungan antara kejadian obesitasdengan
Jumlah n 17 19 36 10 14 24
OR 95%CI % 47,2 52,8 100,0 41,7 58,3 100,0
3,611 0,85-15,20 3,667 0,61-21,73
kejadian hipertensi usia produktif (25-54 tahun) yang sesungguhnya. Berdasarkan hasil penelitian, hubungan antara obesitas dengan kejadian hipertensi usia produktif OR = 3,5dengan interval (< 1) dengan interval 1,20-10,19 ( tidak mencakup angka 1) artinya penderita yang mengalami obesitas memiliki risiko 3,5 kali mengalami hipertensi dibandingkan penderita yang tidak obesitas. Setelah dilakukan analisis berstrata untuk mengontrol variabel aktifitas fisik yang olahraga rutin, ternyata responden yang olahraga rutin meningkatkan risiko kejadian hipertensi usia produktif (25-54 tahun) karena< OR (2) (3,5<3,667), maka terdapat kerancuan yang memperkecil hubungan antara obesitas dengan kejadian hipertensi
150
Riska Agustina dan Bambang Budi Raharjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
usia produktif yang sesungguhnya. Sehingga dapat diketahui bahwa aktifitas fisik bukan merupakanvariabel perancu dalam hubungan antara variabel obesitas dengan kejadian hipertensi usia produktif (25-54 tahun) karena pada perhitungan rasio kasar (3,5) tidak mempunyai selisih yang besar dari OR 1 (3,611) dan OR 2 (3,667). Aktifitas Fisik
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebagian besar responden tidak olahraga rutin yaitu 36 responden dengan persentase 60%, sedangkan responden yang olahraga rutin sebanyak 24 responden dengan persentase 40%. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan aktifitas fisik dengan kejadian hipertensi usia produktif (25-54 tahun)dengan nilai p = 0,065 (p > 0,05). Responden yang mengalami hipertensi usia produktif (25-54 tahun) tidak melakukan olahraga rutin (73,3%) dan responden yang tidak hipertensi usia produktif (25-54 tahun) cenderung melakukan olahraga rutin (73,3%). Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR = 3,143 dengan interval 1,069,26(tidak mencakup angka 1), artinya responden yang tidak melakukan olahraga rutin memiliki risiko 3,143 kali mengalamihipertensi usia produktif (25-54 tahun) dibandingan dengan responden yang melakukan olahraga rutin. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian terdahulu oleh Nurma Hajar (2010) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara aktifitas fisik dengan kejadian hipertensi (p=0,209) di wilayah kerja Puskesmas Kragan II Kabupaten Rembang. Berdasarkan hasil penelitian tidak adanya hubungan antara aktifitas fisik dengan hipertensi dikarenakan besarnya jumlah penderita hipertensi yang
tidak rutin melakukan olahraga atau yang tidak melakukan olahraga 3-4 kali per minggu selama 30 menit yaitu sebanyak 22 orang (73,3%) tidak berbeda jauh dengan yang tidak menderita hipertensi yaitu sebanyak 14 orang (46,7%). Hal ini disebabkan karena pengkategorian aktifitas fisik hanya di lihat dari rutin tidak rutinnya responden dalam berolahraga tanpa melihat aktifitas yang biasa dilakukan responden setiap harinya. Hasil penelitian ini juga tidak sesuai dengan teori yang dikemukankan oleh Anna Palmer (2007:40) yang menyatakan bahwa olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan hipertensi, orang dengan gaya hidup yang tidak aktif akan lebih rentan terhadap tekanan darah tinggi. Melakukan olahraga secara teratur tidak hanya menjaga bentuk tubuh dan berat badan, tetapi juga dapat menurunkan tekanan darah.Jika kita menyandang tekanan darah tinggi, latihan aerobik sedang selama 30 menit sehari selama beberapa hari setiap minggu dapat menurunkan tekanan darah.Jenis latihan yang dapat mengontrol tekanan darah adalah berjalan kaki, bersepeda, berenang dan aerobik. Kebiasaan merokok
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebagian besar responden tidak merokok yaitu 45 responden dengan persentase 75%, sedangkan responden yang merokok sebanyak 25responden dengan persentase 25%. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa ada hubungan kebiasaan merokok dengan kejadian hipertensi usia produktif (25-54 tahun) dengan nilai p = 0,017 (p < 0,05). Persentase responden yang mengalami hipertensi usia produktif (25-54 tahun) cenderung tidak merokok sebesar 60% dan
151
Riska Agustina dan Bambang Budi Raharjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
responden yang tidak mengalami hipertensi cenderung tidak merokok (90%). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian terdahulu oleh Nia Kurniasih (2006) yang menyatakan bahwa ada hubungan bermakna antara kebiasaan merokok dengan kejadian hipertensi (p=0,004). Kebiasaan merokok mempunyai risiko 3,087 kali lebih besar untuk terjadi hipertensi dibandingkan yang tidak merokok.Berdasarkan hasil penelitian adanya hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian hipertensi dikarenakan besarnya jumlah penderita hipertensi yang mengkonsumsi rokok atau yang berisiko ringan, sedang dan berat sebanyak 12 orang (40%) berbeda jauh dengan yang tidak menderita hipertensi sebanyak 3 orang (10%).
Zat-zat kimia beracun, seperti nikotin dan karbon monoksida yang diisap melalui rokok, yang masuk kedalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri dan mengakibatkan proses aterosklerosis dan hipertensi (Depkes RI, 2006: 21). Dalam penelitian ini, ada variabel yang berperan sebagai perancu atau pengganggu yaitu variabel stres psikis yang merancukan hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian hipertensi usia produktif (25-54 tahun), sehingga untuk mengendalikan variabel stres psikis dilakukan dengan menggunakan teknik analisis berstrata. Adapun hasil analisis berstrata dapat dilihat pada Tabel3 :
Tabel 3.Hubungan antara Kejadian Hipertensi Usia Produktif (25-54 tahun) dengan kebiasaan merokokBerdasarkan stres psikis.
Stres
Mengalami stres psikis Tidak mengalami stres psikis
Kebiasaan Merokok Merokok Tidak Merokok Jumlah Merokok Tidak Merokok Jumlah
Kejadian Hipertensi Usia Produktif (25-54 Tahun) Hipertensi Tidak Hipertensi N % n % 8 36,4 1 11,1 14 63,6 8 88,9 22 100,0 9 100,0 4 50,0 2 9,5 4 50,0 19 90,5 8 100,0 21 100,0
Berdasarkan hasil penelitian, hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian hipertensi usia produktif OR = 6 (tidak mencakup angka 1) artinya penderita yang merokok memiliki risiko 6 kali mengalami hipertensi dibandingkan penderita yang tidak merokok. Setelah dilakukan analisis berstrata untuk mengontrol variabel stres dengan kategori mengalami stres psikis, ternyata responden
Jumlah n 9 22 31 6 23 29
OR 95%CI % 29,0 71,0 100,0 20,7 79,3 100,0
4,571 0,48-43,50 9,5 1,27-70,96
yang mengalami stres psikis tidakmeningkatkan risiko kejadian hipertensi usia produktif (25-54 tahun) karena karena OR kasar > OR (1) (6,0>4,571), maka terdapat kerancuan yang memperbesar hubungan kebiasaan merokok dengan kejadian hipertensi usia prodiktif (25-54 tahun) yang sesungguhnya. Berdasarkan hasil penelitian, hubungan antara kebiasaan merokok
152
Riska Agustina dan Bambang Budi Raharjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
dengan kejadian hipertensi usia produktif OR = 6 (tidak mencakup angka 1) artinya penderita yang merokok memiliki risiko 6 kali mengalami hipertensi dibandingkan penderita yang tidak merokok. Setelah dilakukan analisis berstrata untuk mengontrol variabel stres psikis dengan kategori tidak mengalami stres psikis, ternyata kebiasaan merokok meningkatkan risiko kejadian hipertensi usia produktif (2554 tahun) karena OR kasar < OR (2) (6,0< 9,5), maka terdapat kerancuan yang memperkecil hubungan kebiasaan merokok dengan kejadian hipertensi usia prodiktif (25-54 tahun) yang sesungguhnya. Sehingga dapat diketahui bahwa stres psikis merupakanvariabel perancu dalam hubungan antara variabel kebiasaan merokok dengan kejadian hipertensi usia produktif (25-54 tahun) karena pada perhitungan rasio kasar (6)mempunyai selisih yang besar dari OR 1 (4,571) dan OR 2 (9,5).
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian terdahulu oleh Nurma Hajar (2010) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara konsumsi alkohol dengan kejadian hipertensi (p=0,148) di wilayah kerja Puskesmas Kragan II Kabupaten Rembang. Dalam penelitian ini konsumsi alkohol tidak berhubungan dengan kejadian hipertensi usia produktif karena besarnya jumlah penderita hipertensi yang mengkonsumsi secara rutin atau yang minum alkohol > 6 gelas per minggu yaitu sebanyak 7 orang (23,3%) tidak berbeda jauh dengan yang tidak menderita hipertensi yaitu sebanyak 2 (6,7%). Menurut Depkes RI, di Negara barat seperti Amerika, konsumsi alkohol yang berlebihan hanya berpengaruh sekitar 10% terhadap terjadinya hipertensi yang biasanya dikonsumsi pada kalangan pria separuh baya, padahal dalam penelitian ini cenderung perempuan (68,3%) yang menjadi responden, sehingga hipertensi dapat disebabkan karena faktor yang lain.
Konsumsi Alkohol
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebagian besar responden tidak mengkonsumsi alkoholyaitu 51 responden dengan persentase 85%, sedangkan responden yang mengkonsumsi alkohol sebanyak 9responden dengan persentase 15%. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara konsumsi alkohol dengan penderita kejadian hipertensi usia produktif (25-54 tahun) dengan nilai p = 0,148(p >0,05). Responden yang mengalami hipertensi usia produktif (25-54 tahun) cenderung tidak mengkonsumsi alkohol(76,7%) dan responden yang tidak mengalami hipertensi usia produktif (25-54 tahun) cenderung tidak mengkonsumsi alkohol (93,3%).
Konsumsi Garam
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebagian besar responden mengkonsumsi garam ≤ 3 gram per hari yaitu 34 responden dengan persentase 56,7% sedangkan responden yang mengkonsumsi garam > 7 gram per minggu sebanyak 26 responden dengan persentase 43,3%. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa ada hubungan konsumsi garam dengan kejadian hipertensi usia produktif (25-54 tahun) dengan nilai p = 0,004 (p < 0,05). Responden yang mengalami hipertensi usia produktif (25-54 tahun) cenderung mengkonsumsi garam > 7 gram per hari (63,3%) dan responden yang tidak mengalami hipertensi usia produktif (25-54 tahun) mengkonsumsi garam ≤ 3 gram per
153
Riska Agustina dan Bambang Budi Raharjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
hari (76,7%).Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR = 5,675 (tidak mencakup angka 1) artinya penderita yang mengkonsumsi garam > 7 gram per memiliki risiko 5,675 kali mengalami hipertensi dibandingkan penderita yang mengkonsumsi garam ≤ 3 gram per hari. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian terdahulu oleh Nurma Hajar (2010) yang menyatakan bahwa ada hubungan bermakna antara kebiasaan mengkonsumsi garam dengan kejadian hipertensi (p=0,001). Kebiasaan mengkonsumsi garam yang lebih dari 7 gram per hari mempunyai risiko4,792 kali lebih besar untuk terjadi hipertensi dibandingkan yang tidak mengkonsumsi garam lebih dari 7 gram per hari. Berdasarkan hasil penelitian adanya hubungan antara konsumsi garam dengan kejadian hipertensi dikarenakan besarnya jumlah penderita hipertensi yang mengkonsumsi garam lebih dari 7 gram perhari yaitu sebanyak 19 orang (63,3%) berbeda jauh dengan yang tidak menderita hipertensi yaitu sebanyak 7 orang (23,3%). Menurut Depkes RI (2006), Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh karena menarik cairan di luar sel agar tidak dikeluarkan, sehingga akan meningkatkan volume dan tekanan darah. Pada sekitar 60% kasus hipertensi primer (esensial) terjadi respons penurunan tekanan darah dengan mengurangi asupan garam. Pada masyarakat yang mengkonsumsi garam 3 gram atau kurang, ditemukan tekanan darah rata-rata rendah, sedangkan pada masyarakat asupan garam sekitar 7-8 gram tekanan darah rata-rata lebih tinggi. Penggunaan Minyak Jelantah
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebagian besar responden menggunakan minyak jelantah < 3 kali per
minggu yaitu 35 responden dengan persentase 58,3%, sedangkan responden yang menggunakan minyak jelantah ≥ 3 kali per minggusebanyak 25 responden dengan persentase 41,7%. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa adahubungan antara penggunaan minyak jelantah dengan kejadian hipertensi usia produktif (25-54 tahun) dengan nilai p = 0,009 (p < 0,05). Responden yang mengalami hipertensi usia produktif (25-54 tahun) cenderung menggunakan minyak jelantah ≥ 3 kali per minggu (60%) sedangkan responden yang tidak mengalami hipertensi usia produktif (25-54 tahun) cenderung menggunakan minyak jelantah < 3 kali per minggu(60%). Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR = 4,929 artinya penderita yang menggunakan minyak jelantah ≥ 3 kali per minggu memiliki risiko 4,929 kali mengalami hipertensi dibandingkan penderita yang tmenggunakan minyak jelantah < 3 kali per minggu. Dianjurkan oleh Ali Komsan, bagi mereka yang tidak menginginkan menderita hiperkolesterolemi dianjurkan untuk membatasi penggunaan minyak goreng terutama jelantah karena akan meningkatkan pembentukan kolesterol yang berlebihan yang dapat menyebabkan aterosklerosis dan hal ini dapat memicu terjadinya penyakit tertentu, seperti penyakit jantung, darah tinggi dan lain-lain. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian terdahulu oleh Aris (2007) yang menyatakan bahwa ada hubungan bermakna antara penggunaan minyak jelantah dengan kejadian hipertensi (p=0,0001). Berdasarkan hasil penelitian adanya hubungan antara penggunaan minyak jelantah dengan kejadian hipertensi dikarenakan besarnya jumlah penderita hipertensi menggunakan minyak jelantah ≥
154
Riska Agustina dan Bambang Budi Raharjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
3 kali perminggu yaitu sebanyak 18 orang (60%) berbeda jauh dengan yang tidak menderita hipertensi yaitu sebanyak 7 orang (23,3%).
adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat. Status Pekerjaan
Stres Psikis
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebagian besar responden mengalami stres psikisyaitu 31 responden dengan persentase 51,7%, sedangkan responden yang tidak mengalami stres psikis sebanyak 29 responden dengan persentase 48,3%. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa ada hubungan antara stres psikis dengan kejadian hipertensi usia produktif (25-54 tahun) dengan nilai p = 0,002 (p < 0,05). Persentase responden yang hipertensi cenderung mengalami stres psikis (73,3%) dan responden yang tidak mengalami hipertensi usia produktif (25-54 tahun) cenderung tidak mengalami stres (70%). Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR = 6, 417 dengan interval 2,084-19,755 (tidak mencakup angka 1) artinya penderita yang mengalami stres psikis memiliki risiko 6,417 kali mengalami hipertensi dibandingkan penderita yang tidak mengalami stres psikis. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian terdahulu oleh sulistyowati (2009) yang menyatakan bahwa ada hubungan bermakna antara penggunaan stres psikis dengan kejadian hipertensi (p=0,000). Berdasarkan hasil penelitian adanya hubungan stres psikis dikarenakan besarnya jumlah responden yang mengalami stres psikis 22 orang (73,3%) berbeda jauh dengan yang tidak menderita hipertensi yaitu sebanyak 9 orang (30%). Menurut Depkes RI (2006), Stres atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, rasa marah, dendam, rasa takut, rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormone
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebagian besar responden bekerja yaitu 48 responden dengan persentase 80%, sedangkan responden yang tidak bekerja sebanyak 12 responden dengan persentase 20%. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa tidakada hubungan antara status pekerjaandengankejadian hipertensi usia produktif (25-54 tahun) dengan nilai p = 0,531 (p >0,05). Persentase responden yang mengalami hipertensi cenderung memiliki pendapatan keluarga dengan kategori tinggi (73,3%)dan responden yang tidak mengalami hipertensi usia produktif (25-54 tahun) cenderung memiliki pendapatan keluarga dengan kategori rendah (26,7%). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian terdahulu oleh Sulistyowati (2009) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara status pekerjaan dengan kejadian hipertensi (p=0,703) di Kampung Botton kelurahan Magelang Kecamatan Magelang Tengah Kota Magelang. Dalam penelitian ini status pekerjaan tidak berhubungan dengan kejadian hipertensi usia produktif karena besarnya jumlah penderita hipertensi yang bekerja (swasta, buruh, PNS) yaitu sebanyak 26 orang (86,7%) tidak berbeda jauh dengan yang tidak menderita hipertensi yaitu sebanyak 22 (73,3%). Kejadian hipertensi usia produktif dapat disebabkan karena faktor lain, misalnya tekanan dari rumah tangga. Pendapatan Keluarga
155
Riska Agustina dan Bambang Budi Raharjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebagian besar responden memiliki pendapatan keluarga dengan kategori tinggiyaitu 47 responden dengan persentase 78,3%, sedangkan responden yang memiliki pendapatan keluarga dengan kategori rendahsebanyak 13 responden dengan persentase 21,7%. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa tidakada hubungan antara status pekerjaandengan kejadian hipertensi usia produktif (25-54 tahun) dengan nilai p = 0,333 (p > 0,05). Persentase responden yang mengalami hipertensi cenderung bekerja (86,7%) dan responden yang tidak mengalami hipertensi usia produktif (25-54 tahun) cenderung bekerja (73,3%). Hasil penelitian ini sesuai dengan teori Sarwono Waspadji (2001) yang di kutip dalam Sulistyowati 2009, yang menyatakan bahwa di negara-negara yang berada pada tahap pasca peralihan perubahan ekonomi dan epidemiologi selalu dapat ditunjukkan bahwa arus tekanan darah dan prevalensi hipertensi yang lebih tinggi terdapat pada golongan sosial ekonomi rendah. Hubungan yang selalu terbalik itu ternyata berkaitan dengan tingkat penghasilan, pendidikan dan pekerjaan. Dalam penelitian ini pendapatan keluarga tidak berhubungan dengan kejadian hipertensi usia produktif karena besarnya jumlah penderita hipertensi yang pendapatan keluarga dengan kategori (< 259.520 per bulan) sebanyak 8 orang (26,7%) tidak berbeda jauh dengan yang tidak menderita hipertensi yaitu sebanyak 5 orang (16,7%).
yaitu 39 responden dengan persentase 65%, sedangkan responden yang memiliki lama kerja > 51 jam per minggu sebanyak 21 responden dengan persentase 35%. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa tidakada hubungan antara lama kerjadengan kejadian hipertensi usia produktif (25-54 tahun) dengan nilai p = 0,588 (p > 0,05). Persentase responden yang mengalami hipertensi cenderung bekerja ≤ 51 jam per minggu (60%) dan responden yang tidak mengalami hipertensi usia produktif (25-54 tahun) cenderung bekerja> 51 jam per minggu (70%). Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian terdahulu oleh H nasri MD (2010) yang menyatakan bahwa ada hubungan bermakna antara lama kerja dengan kejadian hipertensi (p=0,0001). Hasil penelitian H nasri MD ini menunjukkan bahwa lama jam kerja mempengaruhi kejadian hipertensi yang disebabkan stres kerja. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan tempat bekerja, seperti paparan panas, debu, ataupun asap, sehingga jika terpapar dalam waktu yang lama akan dapat mengakibatkan stres kerja, sedangkan stres merupakan salah satu faktor risiko penyakit hipertensi. Dalam penelitian ini lama kerja tidak berhubungan dengan kejadian hipertensi usia produktif karena besarnya jumlah penderita hipertensi yang lama kerjanya ≥ 51 jam per minggu sebanyak 12 orang (40%) tidak berbeda jauh dengan yang tidak menderita hipertensi yaitu sebanyak 9 orang (30%). Hal ini disebabkan karena responden yang di wawancarai cenderung bekerja < 51 jam per minggu (65%).
Lama Kerja
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebagian besar responden memiliki lama kerja ≤ 51 jam per minggu
SIMPULAN
156
Riska Agustina dan Bambang Budi Raharjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
Berdasarkan hasil penelitian mengenai faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian hipertensi usia produktif di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang Tahun 2013, diperoleh simpulan sebagai berikut: (1) Sebagian besar responden mengkonsumsi alkohol ≥ 6 gelas per minggu (85%), bekerja (80%), pendapatan keluarga tinggi (78,3%), tidak merokok (75%), lama kerja ≥ 51 jam per minggu (65%), tidak melakukan 3-4 kali per minggu (60%), menggunakan minyak jelantah < 3 kali per minggu (58,3%), tidak memiliki faktor genetik (56,7%), konsumsi garam ≤ 3 gram per hari (56,7%), tidak mengalami obesitas (55%) dan mengalami stress psikis (51,7%). (2) Tidak ada hubungan antara aktifitas fisik, konsumsi alkohol, status pekerjaan, pendapatan keluarga dan lama kerja dengan kejadian hipertensi usia produktif (25-54 tahun). (3) Ada hubungan antara faktor genetik (p value=0,019, OR=4,125), obesitas (p value=0,038, OR=3,5), kebiasaan merokok (p value=0,017, OR=6,0), konsumsi garam (p value=0,004, OR=5,675), penggunaan minyak jelantah (p value=0,009, OR=4,929) value=0,002, dan stres psikis (p OR=6,417)dengan kejadian hipertensi usia produktif (25-54 tahun).
Anna Palmer dan Bryan Williams, 2007, Tekanan Darah Tinggi, Jakarta: Erlangga Aris Sugiharto, 2007, Faktor-Faktor Risiko Hipertensi Grade II Pada Masyarakat (Studi Kasus di Kabupaten Karanganyar), thesis: Diponegoro University Press. Bhisma Murti, 2003, Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi, Solo: Gadjah Mada Depkes RI, 2006, Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit Hipertensi, diakses tanggal 14 Oktober 2012 (http://perpustakaan.depkes.go.id:8180/bitstr eam/123456789/742/1/pdmnp nmuantthipertensi.pdf) Dinkes Provinsi Jawa Tengah , 2011, Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Semarang. Dinkes Kota Semarang, 2013, Jumlah Kasus Penyakit di Kota Semarang Tahun 2012, Semarang: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. H Nasri MD, 2006, coronary artery disease riskfactors in drivers versus people in other occupations, Journal: ARYA Nia
kurniasih, 2006, Faktor-Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Hipertensi pada Laki-Laki Usia 40 tahun ke atas di Rumah Sakit Umum Daerah Brebes, Skripsi: UNNES
Nurma Hajar, 2010, Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Hipertensi pada Usia Dewasa Muda (15-44 tahun), skripsi: UNNES
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami tunjukkan kepada Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan, Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Dosen Pembimbing, Keluarga, serta Temanteman yang telah memberi bantuan dan motivasi dalam penyelesaian penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA
Riskesdas Jateng, 2008, Riset Kesehatan Dasar 2007 Laporan Provinsi Jawa Tengah, diakses tanggal 28 Oktober 2012, (http://www.dinkesjatengprov.go.id/downlo ad/mi/riskesdas_jateng2007.pdf) Sulistyowati, 2009, Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Hipertensi di Kampung Botton Kelurahan Magelang Kecamatan Magelang Tengah Kota Magelang Tahun 2009, skripsi: UNNES
157
Riska Agustina dan Bambang Budi Raharjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
158
UJPH 4 (4) (2015)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN YODISASI TERHADAP MUTU GARAM PADA INDUSTRI GARAM SKALA KECIL DI KABUPATEN REMBANG Luthfia Zauma , Mardiana Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima Januari 2015 Disetujui Januari 2015 Dipublikasikan Oktober 2015
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mutu garam yang di produksi oleh produsen garam serta menganalisis faktor pendukung dan penghambat implementasi kebijakan tentang yodisasi dan pengadaan garam beryodium di Kecamatan Kaliori Kabupaten Rembang. Jenis penelitian merupakan penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam (indept interview) dengan para informan awal yang di tentukan dengan teknik purposive sampling yaitu dari Kepala Seksi Usaha Industri Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UMKM Kabupaten Rembang, Kepala Bidang Pemerintahan, sosial dan Budaya Bappeda Kabupaten Rembang, Pemilik Perusahaan Garam, dan Petani garam dengan jumlah informan seluruhnya 6 orang. Instrumen penelitian adalah peneliti sendiri dengan alat bantu panduan wawancara dan pengumpulan data melalui wawancara, dokumemntasi. Teknik analisis data penelitian menggunakan model analisis interaktif. Hasil penelitian ini adalah Implementasi kebijakan tentang yodisasi dan pengadaan garam beryodium di Kecamatan Kaliori Kabupaten Rembang belum berjalan maksimal. Faktor yang mendukung dan menghambat implementasi kebijakan tentang yodisasi dan pengadaan garam beryodioum antara lain, komunikasi yang belum berjalan optimal, kurangnya informasi dari petugas mengenai isi kebijakan, perbedaan persepsi antara petugas dan produsen serta tidak tegasnya pengawasan terhadap pelanggaran yang terjadi. Saran yang peneliti rekomendasikan adalah sosialisasi merk dagang garam yang terjamin kualitasnya dan meningkatkan bantuan alat yodisasi.
________________ Keywords: Implementation of policy; Iodization; iodized salt ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ The aim of this research is to study salt quality produced by salt producer and analizes supporting factors and inhibiting factors policy implementation of iodization dan levying iodized salt in Kaliori Subdistrict, Rembang Regency. This type of research is, technical collecting data by in-depth interview, the firs informan were selected by Sampling Purposive Method. They are form Head of Labor Industry Section Trade and Industry Departement of Rembang Regency, Head of Goverment, Social, and Culture Section Planning and Development Committee of Rembang Regency, Salt Producer, Salt Farmer, altogether amout to 6 peoples. The instrument tools used for this research are researcher itself and Interview guide, collecting data from interview result, documentation. The techiques analyze of research data use Interactive model analyzes. The results of this research are the policy implementation of iodization dan levying iodized salt in Kaliori Subdistrict, Rembang Regency not works maximally yet. It can be seen from the orientation of goverment and the realization talked about that were not appropriate with that expected after policy was acceptable. There are many supporting factors and inhibiting factors of policy implementation of iodization dan levying iodized salt, they are communications which not worked optimally yet, Lack of information about a policy from officer, the perception differences between producer and officer and not explicitly controling and monitoring about infraction. The advice can be given is salt brand secured sosialization and improve assist of iodization tools.
© 2015 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail: [email protected]
ISSN 2252-6528
159
Luthfia Zauma dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
PENDAHULUAN
Yodium merupakan mikronutrien yang diperlukan oleh tubuh untuk sintesis hormon tiroid yang berperan penting dalam metabolisme di dalam sel. Kekurangan yodium merupakan masalah yang serius mengingat dampaknya sangat besar terhadap kelangsungan hidup dan kualitas sumber daya manusia (Setyawan H, 2013: 2). Selain berupa pembesaran kelenjar gondok dan hipotiroid, kekurangan yodium pada wanita hamil mempunyai risiko terjadinya abortus, lahir mati, sampai cacat bawaan, sedangkan pada bayi yang lahir akan mengakibatkan gangguan perkembangan syaraf, mental dan fisik yang disebut kretin. Semua gangguan ini dapat berakibat pada rendahnya prestasi belajar anak usia sekolah, rendahnya produktifitas kerja pada orang dewasa serta timbulnya berbagai permasalahan sosial ekonomi masyarakat yang dapat menghambat pembangunan (Departemen Kesehatan RI, 2005 ). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, secara keseluruhan (perkotaan dan pedesaan) rumah tangga yang mengonsumsi garam mengandung cukup yodium mencapai 62,3%, yang mengonsumsi garam kurang mengandung yodium sebesar 23,7% dan yang tidak mengandung yodium sebesar 14,0%. Angka tersebut masih jauh dari pencapaian Universal Salt Iodization (USI) dan Indonesia Sehat, yaitu 90% rumah tangga mengonsumsi garam beryodium dengan kandungan yodium yang cukup secara berkesinambungan. Berkaitan dengan itu Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, mengeluarkan Surat Edaran Nomor : JM.03.03/BV/2195/09 tertanggal 3 Juli 2009, mengenai Percepatan Penanggulangan Gangguan Akibat Kurang
Yodium yang antara lain menginstruksikan kepada seluruh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota agar meningkatkan kerjasama dengan instansi terkait dalam peningkatan garam beryodium dan menghentikan suplementasi kapsul minyak yodium pada sasaran (WUS, ibu hamil, ibu menyusui dan anak SD/MI). Hal ini diperkuat dengan Keputusan Presiden Nomor 69 Tahun 1994 tentang Pengadaan Garam Beryodium sebagai upaya Penanggulangan Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) di Indonesia. Keppres No. 69 Tahun 1994 yang mengatur mengenai pengadaan garam beryodium menyebutkan bahwa dalam rangka untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, dipandang perlu melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan berbagai gangguan terhadap kesehatan manusia akibat dari kekurangan yodium melalui kegiatan Yodisasi garam. Hakekat dari regulasi tersebut adalah bahwa garam yang dapat diperdagangkan untuk keperluan konsumsi manusia, ternak, pengasinan ikan dan bahan penolong industri pangan adalah garam beryodium yang telah memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI). Dalam mempercepat pencapaian konsumsi Garam Beryodium Untuk Semua atau Universal Salt Iodization (USI), pemerintah melakukan pemenuhan garam nasional yang dilakukan melalui program intensifikasi dan ekstensifikasi produksi garam nasional, perbaikan kualitas, perbaikan tata niaga untuk mendukung pencapaian stabilitas dan kesesuaian harga, serta dukungan sarana dan prasarana, dan aspek lain yang menjadi perhatian adalah upaya pemenuhan garam beryodium untuk kebutuhan konsumsi yang sesuai dengan SNI. Garam beryodium yang
160
Luthfia Zauma dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
memenuhi syarat SNI didukung dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 42/MIND/PER/11/2005 tentang Persyaratan teknis pengolahan, pengemasan dan pelabelan garam beryodium. Kabupaten Rembang merupakan salah satu sentra garam yang ada di wilayah Jawa Tengah dengan pesisir yang memiliki luas lahan garam sebanyak 1.515,24 ha dengan jumlah penduduk sebanyak 4.120 orang yang bekerja disektor ini atau sebagai produsen garam. Pada tahun 2013 produksi garam di Rembang mencapai 107.121,09 ton atau sekitar 6,8 persen dari kebutuhan garam nasional (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Rembang, 2013). Hasil penelitian Uji kandungan yodium dalam garam dapur yang beredar oleh Sumandi dari UNNES pada tahun 2007 di Kabupaten Rembang menunjukan bahwa bahwa 13 merek dagang garam rumah tangga yang ada di Rembang tidak mengandung yodium. Hal ini berbeda dari label setiap kemasan yang menuliskan “mengandung KIO3 30-80ppm” atau “beryodium. Dengan adanya permasalahan tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Implementasi Kebijakan Tentang Yodisasi Terhadap Mutu Garam Pada Industri Garam Skala Kecil di Kecamatan Kaliori Kabupaten Rembang”. METODE
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan rancangan deskriptif eksploratif dan hasilnya di analisis serta disajikan secara deskriptif . Dalam penelitian ini terdapat dua macam informan, yaitu informan awal dan informan tambahan. Penetapan informan awal dalam penelitian
ini menggunakan teknik purposive sampling yaitu peneliti menetapkan informan berdasarkan anggapan bahwa informan dapat memberikan informasi yang diinginkan penelitian sesuai dengan permasalahan penelitian sebanyak 5 orang (Sugiyono, 2012; 218). Sebelumnya dilakukan Observasi untuk mengetahui Sosio kultural masyarakat, kemudian kesemua informan utama diwawancarai secara mendalam (indepth interview) untuk mendapatkan informasi yang valid, relevan dan memadai juga dilakukan Focus Group Disscustion (FGD) untuk melengkapi informan yang sudah ada. Selanjutnya dibutuhkan informan tambahan dan diambil dengan menggunakan teknik Snowball Sampling sebanyak 2 orang. Dari informan tambahan tersebut kemudian diputuskan untuk menambyah satu kelompok diskusi yang berjumlah 8 orang yang merupakan Kader PT PKK dan Posyandu di Kabupaten Rembang. Instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri dengan alat bantu pengumpulan data yakni panduan wawancara. Pemeriksaan keabsahan data menggunakan teknik triangulasi yaitu membandingkan hasil wawancara yang merupaka data primer dengan data sekunder berupa data-data yang didapat serta membandingkan dengan kebijakan yang telah ada yaitu kebijakan tentang pengadaan garam beryodium (Sugiyono, 2012; 241). Teknik analisis data dilakukakn dengan menggunakan model analisis Miles dan Huberman yaitu analisi Interaktif (Sugiyono, 2012). HASIL DAN PEMBAHASAN Implementasi Kebijakan Beryodioum Dan Yodisasi
Pengadaan
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan di lokasi penelitian yaitu Informan
161
Luthfia Zauma dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
yangmeru petani garam di Kecamatan Kaliori Kabupaten Rembang, garam yang dihasilkan oleh petani garam Rembang
masih mengandung NaCl di bawah standar SNI. Berikut penuturan dari informan yang merupakan petani garam Kaliori :
“ kalo garam Rembang ini mbak, NaCl nya rata-rata masih 92, belum bisa 94. Masalahnya kan petani garam di Rembang ini masih pakai cara tradisional. Lahannya diratakan, terus kalau airnya sudah tua (25 Be) nanti disiramkan ke lahan garamnya mbak, ya kalau cuacanya panas gitu bisa cepet mbak garamnya... “ Pada penelitian di lapangan proses pengyodisasian garam dilakukan sebagai berikut menurut penuturan dari produsen
garam Kecamatan Rembang :
Kaliori
Kabupaten
“... garam krosok dari petani itu kan warnanya masih kuning, nggak putih, nah itu di cuci dulu, dikeringkan 5-6 hari setelah di cuci baru dihaluskan menggunakan mesin, setelah itu baru di semprot menggunakan yodium, ya kira-kira s1 Kg yodium itu dicampur dengan 30 Liter air dan di semprotkan untuk sekitar 20 ton garam lah baru di kemas untuk garam halus atau briket...” Kemudian penelitian yang dilakukan kepada produsen garam lain di Kecamatan Kaliori Kabupaten Rembang diketahui
melakukan proses yodisasi yang berbeda dengan produsen garam yang lain, berikut petikan wawancaranya :
“... garam krosok dicuci, lalu di tiriskan selama 4-5 hari, kalau sudah kering disemprotkan yodium dan dikeringkan lagi selama 5 hari, baru dihaluskan...” Di lokasi penelitian pengolahan garam masih dilakukan secara tradisional sehingga hanya memperoleh garam dengan kadar NaCl yang rendah dan mengandung Ca dan Mg yang relatif tinggi serta cenderung kotor (impuritas tinggi). Sedangkan garam tua adalah garam yang diperoleh dengan proses pengkristalan yang memadai pada kondisi kepekatan antara 24-25 Be (Be adalah derajat kepekatan suatu larutan yang dapat diukur dengan alat hidrometer atau Baumeter). Secara bertahap sesuai dengan tingkat kepekatan larutan dan proses kristalisasi akan diperoleh : Garam Kualitas I : merupakan hasil proses kristalisasi pada larutan 2429,5 Be dengan kadar NaCl minimal 97,1%
Garam Kualitas II : merupakan sisa kristalisasi di atas pada kondisi kelarutan 29,5-35 Be dengan kadar NaCl minimal 94,7% Garam Kualitas III : merupakan sisa larutan kepekatan di atas pada kondisi >35 Be dengan kadar NaCl <94,7% Pada kondisi lokasi penelitian garam yang dihasilkan merupakan garam kualitas III karena walaupun petani garam mengatakan menggunakan kepekatan air 25 Be namun kadar NaCl garam yang dihasilkan masih kurang dari 94,7%. Hal ini disebabkan karena garam mendapat kadar impuritas yang cukup tinggi sehingga garam menjadi kotor karena unsur-unsur ikutan seperti bromida, magnesium, kalium dan sulfat, pada larutan semakin sulit
162
Luthfia Zauma dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
terpisahkan dari senyawa NaCl. Karena tingkat impuritas yang tinggi pula menghasilkan garam dengan tingkatan warna mulai dari warna putih transparan, putih drop dan putih kecokelatan yang dipengaruhi oleh kadar kotoran dan kadar impuritas itu sendiri. Kotoran pada garam dapat menyebabkan menurunnya mutu garam yaitu rendahnya kadar NaCl, sehingga pada garam yang kotor perlu dilakukan pencucian untuk mendapatkan garam sesuai dengan persyaratan yang ditentukan sebagai bahan baku pembuatan garam beryodium. Faktanya di lapangan juga terlihat bahwa produsen garam masih ada yang mengyodisasi garam dalam keadaan garam krosok. Hal tersebut tentu saja bertentangan dengan SK Menteri Perindustrian nomor 77/M/SK/5/1995 yang mengatakan bahwa dalam pencucian garam dan mengyodisasi garam dilakukan dalam keadaan halus supaya garam yang dicuci lebih bersih secara merata dan yodium yang disemprotkan akan lebih merata pada partikel garam yang lebih kecil. Target Yang Diinginkan Pemerintah Mengenai Realisasi Pengadaan Garam Dan Program Yodisasi
Berdasarkan hasil pemantauan garam di pasaran yang dilakukan oleh tim GAKKUM atau Tim Penegak Hukum Garam Beryodium kabupaten Rembang (Lampiran 1), masih ada beberapa garam konsumsi yang kandungan Yodiumnya kurang dari standar atau malah tidak beryodium. Dari 11 pasar di Kabupaten Rembang yang dilakukan pemantauan, terdapat 33 merk dagang garam yang di test kandungan yodiumnya, dan dari seluruh merk dagang yang yang telah di uji kandungan yodiumnya terdapat 13 merk dagang atau sekitar 40% garam yang beredar
di Kabupaten Rembang yang terdiri dari garam halus dan briket tidak memenuhi standar garam konsumsi atau kandungan yodium pada garam tidak memenuhi standar yang telah di tetapkan. Selain itu fenomena di lapangan menunjukan bahwa produsen garam di Kecamatan Kaliori Kabupaten Rembang masih memproduksi garam krosok dan garam briket meskipun sudah mengetahui hal tersebut bertentangan dengan kebijakan tentang pengadaan garam beryodium dan yodisasi. Hal ini dikarenakan permintaan garam dalam bentuk krosok dan briket masih tinggi sehingga mau tidak mau produsen garam harus mengikuti permintaan pasar. Dari informasi hasil wawancara dengan informan dan penelitian di lapangan maka target dari implementasi kebijakan tentang pengadaan garam beryodium di Kecamatan Kaliori Kabupaten Rembang masih belum bisa memberikan apa yang inginkan oleh pemerintah, begitu juga pasal 5 yang belum terealisasikan dengan maksimal karena tidak semua produsen garam di Kecamatan Kaliori Kabupaten Rembang memiliki laboratorium pengujian mutu garam sendiri. Target yang diinginkan oleh pemerintah dengan adanya kebijakan tentang pengadaan garam beryodium di Kabupaten Rembang ini adalah tercapainya produksi garam dengan kandungan yodium dan garam yang beredar di masyarakat yang sesuai dengan Keppres No 69 tahun 1994 tentang Pengadaan Garam beryodium. Namun pada kenyataannya dari hasil pengujian yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian Kabupaten Rembang kepada produsen garam yang ada di Kecamatan Kaliori Kabupaten Rembang dan juga garam yang beredar di pasaran Rembang di dapatkan sebanyak 7 merk dagang dari 29
163
Luthfia Zauma dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
merk dagang yang di produksi oleh produsen garam di Kecamatan Kaliori Kabupaten Rembang tidak memenuhi syarat. Untuk garam konsumsi yang beredar di pasaran juga diketahui masih ada 13 merk dagang yang tidak memenuhi syarat. Hal tersebut menandakan bahwa target yang diinginkan oleh pemerintah dengan dikeluarkannya kebijakan tentang pengadaan garam beryodium masih belum tercapai secara maksimal.
Pemahaman Masyarakat Terhadap Kebijakan Pengadaan Garam Beryodium Dan Yodisasi
Produsen garam di Kecamatan Kaliori belum sepenuhnya paham dan mengetahui isi dari Keppres Nomor 69/1994 tentang pengadaan garam, apa yang disampaikan oleh Informan yang juga merupakan produsen garam Rembang kepada peneliti pada wawancara :
“...Ya saya nggak tau apa isi peraturan-peraturan itu, yang saya tau ada peraturan apa Perda gitu yang jelas isinya tentang garam. Garam konsumsi harus beryodium, kalau jelasnya apa isi peraturan itu saya kurang paham mbak...” Selain itu petugas yang mengimplementasikan peraturan ini pun belum tahu adanya peraturan tersebut. Seperti yang di ungkapkan oleh informan
yaitu Ketua Koordinasi Tim Penegak Hukum (GAKKUM) Kabupaten Rembang yang juga merupakan Kepala Bidang Pemsosbud Bappeda Kabupaten Rembang :
“Wah, itu peraturan apa ya? Saya kurang tau e mbak kalo peraturan-peraturan itu jelasnya seperti apa. Kalau peraturan itu saya baru dengar. Mungkin kalau pihak Indakop tau peraturan itu, kan dasar kerjanya mereka dari situ. Kalau kami tau perdanya saja...” Hakikat utama implementasi kebijakan adalah memahami apa yang seharusnya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan. Pemahaman tersebut mencakup usahausaha untuk mengadministrasikannya dan menimbulkan dampak nyata pada masyarakat atau kejadian. Idelanya isi suatu kebijakan dapat dipahami oleh pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan dan juga sasaran dari kebijakan tersebut. Tetapi paham saja belum cukup, karena unsurunsur dari kebijakan tersebut harus mengerti maksud dari isi kebijakan tersebut, sehingga dapat tercapai dari adanya kebijakan tersebut. Fakta yang ditemukan di lokasi penelitian adalah pemahaman masyarakat sasaran dalam hal ini produsen dan konsumen yang mengetahui tentang
pentingnya mengonsumsi garam beryodium bagi kesehatan tubuh manusia namun nasih saja memproduksi dan mengonsumsi garam yang mengandung yodium kurang. Penyebab dari ketimpangan tersebut adalah kurang tegasnya pemerintah dalam menangani masalah tersebut, dan juga karena budaya masyarakat yang lebih menyukai mengonsumsi garam krosok yaitu garam yang tidak mengandung yodium karena selain lebih murah beberapa mengatakan rasanya berbeda dengan garam halus yang sudah di yodisasi. Upaya Pemerintah Garam Beryodium
Dalam
Meningkatkan
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah setempat untuk meningkatkan garam beryodium di Kabupaten Rembang
164
Luthfia Zauma dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
sudah banyak. Diantaranya adalah dengan dibentuknnya GAKKUM (Penegak Hukum) yang dibentuk untuk melakukan pengawasan garam beryodium yang beredar dan di produksi di Kabupaten Rembang. Tim GAKKUM sendiri merupakan gabungan dari beberapa Instansi yang berwenang dalam melakukan pengawasan garam beryodium seperti Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UMKM, Bappeda, Dinas Kesehatan, Satpol PP, dan beberapa instansi lainnya. Selain dengan dibentuknya Gakkum sebagai salah satu upaya dalam mengimplementasikan kebijakan tentang pengadaan garam beryodium, pemerintah setempat juga mengadakan sosialisasi dan pembinaan terhadap masyarakat khususnya Produsen garam dan petani garam mengenai garam beryodium. GAKKUM (Penegak Hukum) dibentuk untuk melakukan pengawasan garam beryodium yang beredar dan di produksi di Kabupaten Rembang. Tim GAKKUM sendiri merupakan gabungan dari beberapa Instansi yang berwenang dalam melakukan pengawasan garam beryodium seperti Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UMKM, Bappeda, Dinas Kesehatan, Satpol PP, PKK dan beberapa instansi lainnya. Meter dan Horn mendefinisikan implementasi sebagai tindakan yang dilakukan pemerintah maupun swasta baik secara individu maupun kelompok, yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan sebagaimana dirumuskan dalam suatu
kebijakan (Subarsono, 2013). Sama dengan yang dilakukan oleh pemerintah setempat untuk menangani masalah garam beryodium dengan membentuk Tim Gakkum yang memberikan pengarahanpengarahan dan penjelasan kepada para produsen garam dan petani garam di Kecamtan Kaliori Kabupaten Rembang ketika bertemu dilapangan. Bimbingan itu berusaha untuk menjelaskan yang sebenarnya tentang apa dan bagaimana isi dari Kebijakan tentang Pengadaan Garam Beryodium tersebut. Dari keseluruhan uraian di atas mengenai ukuran yang menjadi tolok ukur implementasi dapat disimpulkan bahwa dampak dari suatu penyimpangan kebijakan publik berimplikasi terhadap berbagai hal antara lain gagalnya upaya mencapai sasaran maupun tujuan kebijakan, yang dalam konteks ini adalah kurang tercapainya tujuan dari pengadaan garam beryodium. Dengan demikian penyimpangan di dalam implementasi kebijakan terjadi hanya sebatas kesenjangan antara produsen garam dan pihak pemerintah daerah. Faktor-Faktor Pendorong Dan Penghambat Impelemntasi Kebijakan Tentang Pengadaan Garam Beryodium Dan Yodisasi
1) Komunikasi Ketika peneliti bertanya tentang adanya Keppres Nomor 69/1994 tentang pengadaan garam:, informan dari Bappeda Kabupaten Rembang menjawab sebagai berikut :
“... wah saya malah belum tau itu mbak, itu peraturan nya seperti apa ya? Itu isinya ngomongin soal apa? Coba nanti tanya ke Indakop mbak, mungkin itu ada di tupoksinya mereka, kalau kami kan taunya secara umum saja...” Jika pemerintah menginginkan suatu kebijakan diimplementasikan dengan benar dan sebagaimana mestinya, maka petunjuk-
petunjuk dari pelaksanaan kebijakan tersebut harus dipahami, tidak hanya dipahami saja tetapi juga harus jelas agar
165
Luthfia Zauma dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
sasaran paham maksud, tujuan dan isi dari kebijakan tersebut. Sebelum kebijakan tersebut disampaikan dan dijelaskan kepada sasaran, tentu saja implementor atau pelaksana harus mengerti dan paham akan maksud dari isi kebijakan tersebut, agar nantinya dapat menjelaskan sejelas-jelasnya kepada sasaran. Dalam hal ini kebijakan tentang pengadaan garam beryodium tidak disampaikan dengan jelas karena dari pelaksana sendiri tidak begitu mengetahui apa isi dari kebijakan tentang pengadaan garam beryodium tersebut. Sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah setempat tersesan hanya itu-itu saja atau monoton dengan materi yang terus memfokuskan pada garam harus lebih dari standar minimal yang ditentukan. Hal ini dapat dilihat dari fakta bahwa masih ada produsen garam yang memproduksi dan memperjual belikan garam tidak beryodium.
2) Sumberdaya Pada kenyataannya selama ini sebagian besar petugas yang mengimplementasikan kebijakan tentang pengadaan garam beryodium yang ada di Kabupaten Rembang hanya mengetahui istilah Standar pembuatan garam beryodium yang boleh di konsumsi oleh manusia saja tanpa berdasarkan pada Kepppres No. 69 tahun 1994 tentang pengadaan garam beryodium yang sebenarnya isi dari kebijakan tersebut tidak terbatas hanya pada standarisasi garam beryodium untuk konsumsi manusia saja. Keterbatasan petugas sendiri dalam mengetahui isi kebijakan tentang pengadaan garam beryodium, berakibat pada kurangnya pengarahan yang diberikan kepada Produsen garam tentang pokok isi kebijakan tentang garam beryodium itu sendiri.
Tabel 1.1 Komposisi Pegawai Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Rembang Menurut Pendidikan Formal Tahun 2010 No. 1. 2. 3. 4. 5.
Tingkat Pendidikan S2 S1 SLTA SLTP SD Jumlah
Jumlah 8 17 48 2 1 76
Presentase (%) 10,5 22,4 63,2 2,6 1,3 100
Sumber : Dinas Perindustrian Kabupaten Rembang Dari data tersebut terlihat bahwa kondisi pendidikan formal yang dimiliki Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Rembang sebagian besar berpendidikan SLTA (63,2%) sehingga kemampuan petugas dalam memberikan pengarahan mengenai implementasi kebijakan pengadaan garam beryodium dan yodisasi masih kurang maksimal. Menurut George Edward III tahun 1990 menyatakan bahwa : “sumber daya
bisa menjadi faktor kritis di dalam mengimplementasikan kebijakan publik. Sumberdaya penting meliputi staf dengan jumlah yang cukup, dan dengan keterampilan untuk melakukan tugasnya serta informasinya, otoritas dan fasilitas yang perlu untu menerjemahkan proposal pada makalah ke dalam pemberian pelayanan publik. Akibat tidak tersedianya sumber daya yang tidak memadai, maka
166
Luthfia Zauma dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
akan mendatangkan rintangan terhadap implementasi kebijakan” (Subarsono, 2013). Berdasarkan teori yang ada dapat dirumuskan kemampuan yang dimaksud adalah kecakapan, keterampilan, dan pengetahuan yang dimiliki oleh pegawai pelaksana kebijakan. Sedangkan yang dimaksud dengan kemampuan dalam penelitian ini adalah semua potensi berupa pengetahuan, keterampilan, pengalaman dan pendidikan yang dimiliki oleh petugas Dinas Perindag Kabupaten Rembang dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya. Dalam kajian ini kemampuan
petugas dalam memberikan pengarahan mengenai implementasi kebijakan pengadaan garam beryodium dilihat berdasarkan tingkat pendidikan pegawai dengan asumsi yang dibangun adalah bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan yang dimiliki organisasi, maka kinerja organisasi tersebut akan berhasil. 3) Disposisi Pernyataan tersebut berbeda dengan yang disampaikan oleh informan dari Bappeda Kabupaten Rembang yang menyatakan bahwa :
“ya untuk produsen garam yang ketawan tidak memenuhi standar itu nanti akan kita sita, kita ambil sebagai barang bukti, kan itu ada dua polisi ya yang mengawasi, sama reskrim dan bimasnya, bimbingan masyarakat, iya kayaknya itu istilahnya bimas. Kalo bimas itu dalam takalan nanti ada panggilan ke pengusahanya. Selama ini masih dalam ranah pembinaan sih...” Dari kedua pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa sikap antar petugas dalam menangani Kebijakan tentang pengadaan garam beryodium ini masih belum sejalan. Di satu sisi ada petugas yang berusaha untuk tegas dalam pengambilan keputusan atau tindakan, namun disisi lain petugas lain menginginkan cara yang lebih memasyarakat atau bermusyawarah dalam menangani pelanggaran tersebut. Ketegasan dalam mengimplentasikan suatu kebijaka harusnya ditunjukan oleh petugas sebagai bentuk konsistensi dalam menjalankan kebijakan. Jika petugas dinilai tidak tegas dalam menangani masalah yang terjadi terkait dengan kebijakan yang dijalankan, maka petugas akan di nilai tidak serius dalam menjalankan kebijakan tersebut. 4) Keadaan Lingkungan Keadaan sosial dan budaya dari lokasi sasaran kebijakan berpengaruh terhadap penyampaian suatu isi kebijakan. Masyarakat yang sudah terbuka dan terdidik akan relatif mudah menerima program-
program pembaharuan dibanding dengan masyarakat yang masih tertutup dan tradisional. Demikian juga dengan kemajuan teknologi akan membantu dalam proses keberhasilan implementasi program, karena program-program dapat disosialisasikan dan diimplementasikan dengan baik dengan bantuan teknologi. Di lokasi penelitian ini masyarakat sudah cenderung terbuka dan modern, mereka menerima dengan baik adanya kebijakan tentang pengadaan garam beryodium dan juga mendukung adanya kebijakan ini. Mereka sudah paham dengan pentingnya garam beryodium untuk manusia dan kesehatan. 5) Faktor Lainnya Faktor lain yang penting dalam mendukung keberhasilan implementasi program pengadaan garam beryodium menurut informan adalah komitmen. Hal tersebut diungkapkan oleh petugas pengimplementasi kebijakan yaitu informan dari Bappeda :
167
Luthfia Zauma dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
“... dari pengambil kebijakan, komintmen bersama dari perda, perbu, kalo mau menjalankan git kalo komitmennya nggak kuat susah lho mba, kaya ini kepala bappeda juga sebenernya kan ngomong ngapa lho masalah garam aja kok dipikirin nemen-nemen, tapi kan akhirnya di paham dan dia tau, makanya anggaran bisa turun ...” Pendapat tersebut senada dengan yang disampaikan oleh informan dari Perindakop
Kabupaten Rembang yang menuturkan bahwa :
“... komponen masyarakat, tidak hanya petani garam, tidak hanya produsen garam, tidak hanya instansi pemerintah, ini kan semua tergabung dalam satu kelompok diibaratkan membentuk satu kelmbagaan yang mereka percaya bahwa ini lho garam yang beredar di masyarakat, kalau nggak ada komitmen dari semua institusi itu, nggak mungkin program itu akan berjalan... “ Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di lokasi penelitian maka faktor yang mendukung keberhasilan implementasi kebijakan tentang pengadaan garam beryodium adalah Komitmen. Komitmen dari pelaksana kebijakan menjadi faktor yang sangat mendukung keberhasilan kebijakan tersebut, karena dengan adanya komitmen antar pelaksana kebijakan, maka kebijakan tersebut dapat bejalan. Apapun tantangan yang ada di depan, jika para pelaksana kebijakan saling berkomitmen untuk menjalankan kebijakan tersebut dengan baik, maka mereka akan selalu berusaha menemukan jalan untuk mengatasi halang rintang dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan makan simpulan dalam penelitian ini adalah (1) Garam konsumsi yang di produksi oleh produsen Rembang masih belum memenuhi target pemerintah yang menginginkan hanya garam beryodium sesuai syarat SNI beredar di masyarakat. Masih ada produsen garam yang memproduksi garam yang tidak memenuhi syarat garam konsumsi dan juga
memproduksi garam krosok yang pada dasarnya adalah garam yang tidak beryodium. (2) Faktor yang mendukung dan menghambat implementasi kebijakan tentang pengadaan garam beyodium dan yodisasi di Kecamatan Kaliori Kabupaten Rembang adalah dilihat dari unsur Komunikasi (Kejelasan Informasi seputar garam beryodium, Kecukupan informasi yang disampaikan, Ketepatan dalam menyampaikan infomasi), Sumberdaya (Kemampuan petugas memberi pengarahan, Kemampuan petugas berkomunikasi, jumlah personil), Disposisi (Sikap pemerintah terkait pelanggaran, Persepsi produsen terhadap kebijakan), dan Keadaan Lingkungan (Sumberdaya pelaksana dan sasaran, Sosio kultural lokasi penelitian, Infrastruktur fisik). UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih kepada Bapak Dr. H. Harry Pramono, M. Kes Selaku Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan, Ibu Dr.dr. Oktia Woro Selaku Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Dosen Penguji I, Bapak Drs. Bambang Wahyono, M.Kes selaku Penguji II dan Ibu Mardiana, S.KM, M.Si selaku Dosen Pembimbing, serta tak
168
Luthfia Zauma dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
lupa untuk Ayahanda (Zaenuri Abha) dan Ibunda (Umi Marhamah), adik-adikku dan teman-temanku yang selalu memberikan motivasi dan dukungan untuk menyelesaikan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Departemen Kesehatan RI, 2005, Akibat Kekurangan Yodium, Jakarta : Departemen Kesehatan, 2005 Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Rembang, 2013, Produksi Garam di Rembang. Dinas Prindustrian Perdagangan, Koperasi dan UMKM Kabupaten Rembang, 2010, Komposisi Pegawai Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Rembang Menurut Pendidikan Formal. Juklis
Pemantauan Garam Beryodium, diakses tanggal 7 Februari 2014, 10:35 (http://www.scribd.com/doc/91303778/Jukl is-Pemantauan-Garam-Beryodium)
Keputusan Menteri Perindustrian Republik Indonesia, 2005, Nomor 42/M-IND/PER/11/2005 Tentang Pengelolahan, Pengemasan dan Pelabelan Garam Beryodium.
Keputusan Menteri Perindustrian, 1995, Nomor 77/M/SK/5/1995 Tanggal 4 Mei 1995 Tentang Persyaratan Teknis Pengelolahan, Pengemasan, dan Pelabelan Garam Beryodium. Keputusan Presiden Republik Indonesia, 1994, Nomor 69 Tahun 1994 Tentang Pengadaan Garam Beryodium. Riskerdas. 2007. Laporan Nasional 2007. Badan Peneliti dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI. Setyawan H, 2013, Analisis Implementasi Kebijakan Pemerintah Dalam Penghentian Suplementasi Kapsul Iodium di Kabupaten Magelang, Kemas, Volume II, No. 1, Tahun 2013, Hlm 41-51 Subarsono, AG, 2005, Analisis Kebijakan Publik: Teori dan Aplikasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar Sugiyono, 2008, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung : Alfabeta Sumandi, Sri Ngabekti, 2007, Uji Kandungan Yodium Dalam Kandungan Garam Dapur yang Beredar di Kab. Rembang, Universitas Negeri Semarang.
169
UJPH 4 (4) (2015)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
GAMBARAN SANITASI LINGKUNGAN DAN HIGIENE PERORANGAN PEDAGANG JUS BUAH DI SEKARAN GUNUNGPATI SEMARANG Tri Khuswataningrum , Eram Tunggul Pawenang Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima Januari 2015 Disetujui Januari 2015 Dipublikasikan Oktober 2015
Jus buah merupakan salah satu minuman yang digemari masyarakat dan mahasiswa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran sanitasi lingkungan dan higiene perorangan pedagang jus buah di Sekaran Gunungpati Semarang. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2014. Jenis dan rancangan penelitian ini deskriptif kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian ini seluruh pedagang jus buah di wilayah Kelurahan Sekaran Gunungpati Semarang. Sampel sebanyak 15 pedagang. Instrumen menggunakan lembar check list dan kuesioner. Analisis data dilakukan secara univariat. Hasil penelitian ini adalah menggambarkan sanitasi lingkungan, kondisi sanitasi air 53,3% buruk dan 46,7% baik, kondisi sanitasi peralatan 40% buruk dan 60% baik, kondisi tempat sampah 33,3% buruk dan 66,7% baik, kondisi tempat penampungan limbah 46,7% buruk dan 53,3% baik, ketersediaan bahan pembersih 53,3% buruk dan 46,7% baik. Gambaran higiene perorangan, kebiasaan praktik mencuci tangan 46,7% buruk dan 53,3% baik, dan kebersihan dan kesehatan diri 73,3% buruk dan 26,7% baik. Saran untuk pedagang adalah hindari penggunaan air bersamaan dan cucilah tangan.
________________ Keywords: Hygiene; Sanitation; Seller ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ Fruit juice is a kind of drinks that liked by people and students. The purpose of this research were to know the description of environment sanitation and personal hygiene of fruit juice sellers in Sekaran Gunungpati Semarang. This research worked on April 2014. This type and design of research was quantitative descriptive with cross sectional. The population in this research were all fruit juice sellers in the area of Sekaran Gunungpati Semarang. Samples of the research were 15 sellers. The instrument used a check list and questionnaire. Data analysis was performed univariate. The result of this research were to describe of environmental sanitation, 53,3% had bad and 46,7% had good water sanitation condition, 40% had bad and 60% had good sanitation equipment condition, 33,3% had bad and 66,7% had good rubbish place condition, 46,7% had bad and 53,3% had good waste handling place condition 53,3% had bad and 46,7% had good cleaning substance. In description of personal hygiene, when they washed their hand 46,7% had bad 53,3% had good habit, and 73,3% had bad habit and 26,7% had good habit in personal cleanness and health. The suggestions for sellers is to avoid the use of water together and washing hands.
© 2015 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail: [email protected]
ISSN 2252-6528
170
Tri Khuswataningrum dan Eram Tunggul Pawenang / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
PENDAHULUAN
Makanan merupakan kebutuhan pokok manusia, namun makanan yang tidak dikelola dengan baik akan menjadi media yang sangat efektif didalam penularan penyakit pada saluran pencernaan. Sumber kontaminasi makanan yang paling utama berasal dari pekerja, peralatan, sampah, serangga, tikus, dan faktor lingkungan seperti udara dan air. Dari sumber kontaminasi makanan tersebut pekerja adalah paling besar pengaruh kontaminasinya (Agustina T, 2005:2). Banyak kejadian keracunan makanan atau minuman yang disebabkan oleh penjamah makanan yang tidak bersih. Bakteri penyebab penyakit yang ditularkan oleh makanan atau minuman dapat bersarang pada bagian tubuh manusia misalnya tangan, kuku, hidung, mulut, dan rambut. Disamping itu, pakaian yang tidak bersih juga berpotensi menjadi sarang bakteri dan menjadi tempat berpindahnya bakteri ke makanan oleh tangan penjamah makanan (Depkes RI, 2004:21). Peralatan harus segera dibersihkan dan didesinfeksi untuk mencegah kontaminasi silang pada makanan, baik pada tahap persiapan, pengolahan, penyimpanan sementara, maupun penyajian. Peralatan seperti pisau, talenan, dan alat saji merupakan sumber kontaminan potensial bagi makanan (Purnawijayanti HA, 2001:33). Peralatan lain seperti blender serta peralatan yang bermulut lebar dan terbuka harus dilindungi dari kemungkinan kontaminasi, terutama selama digunakan untuk mengolah makanan (BPOM RI, 2007:30). Berdasarkan penelitian Agustina F, dkk, (2009:6) pada pedagang makanan jajanan tradisional di lingkungan Sekolah Dasar Palembang menyimpulkan bahwa
65,2% responden memiliki sanitasi peralatan yang tidak baik. Dilihat dari higiene perorangan, tidak ada pedagang yang menggunakan celemek selama menjamah makanan, terdapat 86,9% responden tidak mencuci tangan saat menjamah makanan, 69,6% responden menjamah makanan dengan tangan tanpa alas atau perlengkapan lain, dan responden laki-laki melakukan kebiasaan merokok saat menunggu pembeli. Penelitian Agustin TE dan Adriyani R (2007:75) pada nasi tempe penyet pedagang kaki lima Surabaya menyimpukan bahwa dari 12 responden terdapat 100% responden memiliki tempat sampah terbuka dengan menggunakan kantong plastik. Namun responden tidak memeriksa kantong plastik berlubang atau tidak, sehingga sampah atau air lindi tercecer keluar menimbulkan bau tidak sedap dan mengundang datangnya serangga, terdapat 75% responden tidak memakai pakaian kerja, 92% tidak memakai celemek, dan 67% tidak memakai penutup kepala. Wilayah kerja Puskesmas Sekaran meliputi Sekaran, Kalisegoro, Ngijo, Patemon, dan Sukorejo. Menurut laporan bidang kesehatan lingkungan dan epidemiologi pada tahun 2012, angka kesakitan diare di Sekaran sebanyak 266 kasus. Angka tersebut merupakan peringkat pertama di Sekaran. Sekaran merupakan wilayah yang tergolong banyak penduduk dan ramai. Banyak pendatang bertempat tinggal di Sekaran untuk melanjutkan studinya di Semarang sebagai mahasiswa. Kenyataan tersebut dapat dijadikan sebagai peluang usaha bagi penduduk setempat untuk mendirikan usaha berbagai macam minuman. Salah satu jenis minuman yang dijual dan mudah dijumpai yaitu jus buah yang banyak digemari masyarakat dan
171
Tri Khuswataningrum dan Eram Tunggul Pawenang / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
mahasiswa Universitas Negeri Semarang karena harga yang murah, praktis, dan kaya kandungan vitamin, mineral dan enzim yang sangat diperlukan tubuh. Proses pembuatan jus buah dimulai dari pemilihan buah matang dan segar dicampur sukrosa yang dalam kehidupan sehari-hari disebut gula pasir, susu sebagai pelengkap, es batu serta sedikit air minum. Dari hasil observasi awal yang dilaksanakan pada tanggal 25 April 2013 pada 10 pedagang jus buah di wilayah Kelurahan Sekaran diketahui buah yang dijadikan jus bermacam-macam yaitu buah naga, jeruk, jambu, strawberri, anggur, melon, alpukat, tomat, wortel, dan sebagainya. Setelah observasi pada 10 pedagang jus buah diketahui bahwa sebanyak 8 pedagang (80%) berjenis kelamin perempuan dan sebanyak 2 pedagang (20%) berjenis kelamin laki-laki. Dari 10 pedagang jus buah terdapat 100% pedagang memiliki tempat penampungan sampah yang masih terbuka, 60% pedagang memiliki tempat pembuangan air limbah yang ditampung pada ember dan 80% pedagang memiliki tempat pencucian alat, tangan, dan buah yang digunakan bersamaan pada ember pencucian. Keadaan demikian dapat menimbulkan bau yang tidak sedap dari air limbah, sampah, dan tempat pencucian sehingga mengundang datangnya lalat. Higiene perorangan pedagang jus buah diketahui belum memenuhi syarat sesuai Kepmenkes RI Nomor 942/Menkes/SK/VII/2003 mengenai higiene sanitasi makanan jajanan. Hal ini diketahui dari hasil observasi awal pada 10 pedagang bahwa terdapat kebiasaan pedagang yang tidak memakai celemek sebanyak 80%, tidak memakai penutup
kepala sebanyak 90%, tidak menggunakan sarung tangan dan tidak mencuci tangan setelah memegang uang sebanyak 100%, sebanyak 30% pedagang memakai cincin dan tidak melepas cincin saat membuat jus buah. Saat akan diblender, buah hanya dicelupkan pada air dalam ember pencucian yang disediakan pedagang. Air diganti apabila terlihat sangat kotor. Selain itu, dalam pembuatan jus buah 60% pedagang menggunakan air isi ulang (galon) dan langsung dicampurkan dalam proses pembuatan jus buah, tanpa direbus terlebih dahulu. Berdasarkan latar belakang di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul “Gambaran Sanitasi Lingkungan dan Higiene Perorangan Pedagang Jus Buah di Sekaran Gunungpati Semarang”. METODE
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2014. Jenis dan rancangan penelitian adalah penelitian deskriptif kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Sampel penelitian ini seluruh total populasi pedagang jus buah di wilayah Kelurahan Sekaran Gunungpati Semarang yang tersebar di Sekaran dan Banaran sebanyak 15 pedagang. Instrumen penelitian ini adalah lembar check list dan kuesioner. Analisis data dilakukan secara univariat untuk menggambarkan sanitasi lingkungan dan higiene perorangan pedagang jus buah di Sekaran Gunungpati Semarang. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden
Tabel 1 Distribusi Responden menurut Jenis Kelamin dan Pendidikan
172
Tri Khuswataningrum dan Eram Tunggul Pawenang / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
No. 1.
Karakteristik Responden Jenis Kelamin
2.
Pendidikan
Kategori Laki-laki Perempuan Jumlah Pendidikan Dasar Pendidikan Menengah Pendidikan Tinggi Jumlah
Pada Tabel 1 distribusi responden menurut jenis kelamin diketahui bahwa sebanyak 3 responden (20%) berjenis kelamin laki-laki dan 12 responden (80%) berjenis kelamin perempuan. Jenis kelamin responden paling banyak yaitu responden perempuan sebanyak 12 responden (80%) dan distribusi responden menurut pendidikan diketahui bahwa pendidikan
Jumlah 3 12 15 8 6 1 15
Prosentase (%) 20 80 100 53,3 40 6,7 100
dasar responden sebanyak 8 responden (53,3%), pendidikan menengah responden sebanyak 6 responden (40%) dan pendidikan tinggi responden sebanyak 1 responden (6,7%). Pendidikan responden paling banyak yaitu pendidikan dasar sebanyak 8 responden (53,3%) berbentuk SD (Sekolah Dasar) dan SMP (Sekolah Menengah Pertama).
Tabel 2 Distribusi Responden menurut Umur dan Lama Kerja No. 1. 2.
Karakteristik Responden Umur Lama Kerja
Mean 32 3
Median 32 3
Pada Tabel 2 distribusi responden menurut umur diketahui bahwa rata-rata umur responden yaitu 32 tahun, nilai tengah umur responden yaitu 32 tahun, dan umur responden paling banyak yaitu 35 tahun dan distribusi responden menurut lama kerja diketahui bahwa rata-rata lama kerja
Modus 35 3
responden yaitu 3 tahun, nilai tengah lama kerja responden yaitu 3 tahun, dan lama kerja responden paling banyak yaitu 3 tahun. Gambaran Sanitasi Lingkungan dan Higiene Perorangan
Tabel 3 Distribusi Sanitasi Lingkungan dan Higiene Perorangan No. 1.
Variabel Kondisi Sanitasi Air
Kategori Buruk Baik Jumlah
Jumlah 8 7 15
Prosentase (%) 53,3 46,7 100
2.
Kondisi Sanitasi Peralatan
Buruk Baik Jumlah
6 9 15
40,0 60,0 100
3.
Kondisi Tempat Sampah
Buruk Baik Jumlah
5 10 15
33,3 66,7 100
173
Tri Khuswataningrum dan Eram Tunggul Pawenang / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
4.
Kondisi Tempat Penampungan Limbah
Buruk Baik Jumlah
7 8 15
46,7 53,3 100
5.
Ketersediaan Bahan Pembersih
Buruk Baik Jumlah
8 7 15
53,3 46,7 100
6.
Praktik Mencuci Tangan
Baruk Baik Jumlah
7 8 15
46,7 53,3 100
7.
Kebersihan dan Kesehatan Diri
Buruk Baik Jumlah
11 4 15
73,3 26,7 100
Kondisi Sanitasi Air
Kondisi Sanitasi Peralatan
Berdasarkan Tabel 3 distribusi kondisi sanitasi air pada pedagang jus buah di Sekaran Gunungpati Semarang diketahui bahwa sebanyak 8 responden (53,3%) mempunyai kondisi sanitasi air yang buruk dan 7 responden (46,7%) mempunyai kondisi sanitasi air yang baik. Hasil pengamatan diketahui bahwa pada proses pembuatan jus buah terdapat 12 responden (80%) menggunakan air isi ulang (galon) dan 3 responden (20%) tidak menggunakan air isi ulang (galon). Selain itu, 8 responden (53,3%) menggunakan air sumur dan 7 responden (46,7%) tidak menggunakan air sumur. Responden merebus air sumur hingga mendidih untuk membuat jus buah sebanyak 3 responden (20%) dan sebanyak 12 responden (80%) tanpa direbus terlebih dahulu. Persediaan air cukup sebanyak 9 responden (60%) dan air tidak cukup sebanyak 6 responden (40%) untuk proses pembuatan jus buah. Air berperan pada tahapan proses pengolahan makanan, dari merendam, membersihkan bahan makanan, penghantar panas selama proses pemasakan, komponen masakan seperti kuah, sirup, dan media pembersih peralatan, ruangan, dan pekerja (Fathonah S, 2005:71).
Berdasarkan Tabel 3 distribusi kondisi sanitasi peralatan pada pedagang jus buah di Sekaran Gunungpati Semarang diketahui bahwa sebanyak 6 responden (40,0%) mempunyai kondisi sanitasi peralatan yang buruk dan 9 responden (60,0%) mempunyai kondisi sanitasi peralatan yang baik. Hasil pengamatan diketahui bahwa 12 responden (80%) mudah dalam membersihkan peralatan dan sesudah digunakan peralatan dibersihkan dan 3 responden (20%) tidak mudah dalam membersihkan peralatan dan sesudah digunakan peralatan tidak segera dibersihkan. Dari 15 responden terdapat 5 responden (33,3%) membilas peralatan menggunakan air mengalir dan 10 responden (66,7%) tidak menggunakan air mengalir. Peralatan untuk pembuatan jus buah dikeringkan dengan lap atau kain kering sebanyak 8 responden (53,3%) dan 7 responden (46,7%) tidak mengeringkan peralatan. Penelitian ini sesuai hasil penelitian Agustina F, dkk, (2009:7) bahwa responden mengeringkan peralatan menggunakan lap untuk berbagai keperluan, misalnya untuk membersihkan sarana yang kotor, mengeringkan peralatan basah, bahkan untuk menyeka keringat di dahi.
174
Tri Khuswataningrum dan Eram Tunggul Pawenang / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
Tempat penyimpanan peralatan sebanyak 7 responden (46,7%) terlihat tertutup dan sebanyak 8 responden (53,3%) terlihat terbuka. Peralatan diletakkan di rak khusus sebanyak 8 responden (53,3%) dan peralatan tidak diletakkan di rak khusus sebanyak 7 responden (46,7%), responden meletakkan peralatan bersamaan dengan buah. Kenyataan demikian memungkinkan datangnya lalat yang dapat mengkontaminasi minuman dan membawa penyakit khususnya pada saluran pencernaan yaitu diare. Kontruksi sarana penjaja harus dapat melindungi makanan dari pencemaran atau debu, sesuai yang ditetapkan Kepmenkes RI Nomor 942/Menkes/SK/VII/2003 bahwa kontruksi sarana penjaja harus mudah dibersihkan, tersedia tempat air bersih, tempat penyimpanan bahan makanan, tempat penyimpanan makanan siap disajikan, tempat penyimpanan peralatan, tempat cuci alat, tangan dan bahan makanan, dan tempat sampah. Lokasi jualan harus jauh dari sumber pencemar, seperti pembuangan sampah terbuka, tempat pengolahan limbah, dan jalan yang ramai dengan arus kecepatan tinggi. Menurut Kepmenkes RI Nomor 942/Menkes/SK/VII/2003 mengenai higiene sanitasi makanan jajanan menyatakan bahwa peralatan untuk mengolah dan menyajikan makanan harus sesuai kegunaan dan memenuhi syarat, yaitu peralatan yang sudah dipakai dicuci dengan air bersih dan menggunakan sabun, peralatan dikeringkan dengan alat pengering atau lap bersih, kemudian peralatan disimpan di tempat yang bebas dari pencemaran. Kondisi Tempat Sampah
Berdasarkan Tabel 3 distribusi kondisi tempat sampah pada pedagang jus buah di
Sekaran Gunungpati Semarang diketahui bahwa sebanyak 5 responden (33,3%) mempunyai kondisi tempat sampah yang buruk dan 10 responden (66,7%) mempunyai kondisi tempat sampah yang baik. Hasil pengamatan diketahui bahwa 12 responden (80%) menyediakan tempat sampah dan 3 responden (20%) tidak menyediakan tempat sampah. Tempat sampah yang disediakan responden tidak semua memenuhi syarat karena masih terdapat tempat sampah yang kontruksinya tidak kuat sebanyak 5 responden (33,3%) dan terdapat 10 responden (66,7%) yang menyediakan tempat sampah kontruksinya kuat. Selain itu, terdapat tempat sampah yang tidak mudah bocor sebanyak 9 responden (60%) dan tempat sampah yang mudah bocor sebanyak 6 responden (40%). Tempat sampah yang tahan terhadap hama sebanyak 9 responden (60%) dan tidak tahan hama sebanyak 6 responden (40%). Tempat sampah yang tertutup dengan tutup yang mudah dibuka dan dibersihkan sebanyak 9 responden (60%) dan tempat sampah yang terbuka sebanyak 6 responden (40%). Tempat sampah yang disediakan responden dapat diangkut satu orang sebanyak 12 responden (80%) dan tidak dapat diangkut satu orang sebanyak 3 responden (20%). Pada pedagang sampah yang dihasilkan 11 responden (73,3%) dihinggapi lalat dan 4 responden (26,7%) tidak dihinggapi lalat. Lalat merupakan serangga yang paling berkaitan dengan area pengolahan makanan dan area yang tercemar seperti toilet dan timbunan sampah. Sampah yang tidak dikelola dapat menimbulkan penyakit, terutama yang ditularkan melalui tikus, lalat, dan nyamuk, tidak sedap dipandang mata, menyebabkan polusi udara atau bau tidak enak. Lalat, semut, kecoa dan hama serangga lainnya
175
Tri Khuswataningrum dan Eram Tunggul Pawenang / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
memindahkan organisme patogen ke makanan. Lalat memiliki kebiasaan makan yang buruk yaitu memuntahkan kembali makanan sebelumnya ke dalam makanannya untuk membantu melembekkan. Untuk itu perlu adanya pengelolaan sampah yang tepat yaitu dengan menyediakan tempat sampah yang memenuhi syarat antara lain: kontruksi kuat, tidak mudah bocor, tahan terhadap hama, tertutup dengan tutup yang mudah dibuka dan dibersihkan dan dapat diangkut satu orang (Fathonah S, 2005:37). Kondisi Tempat Penampungan Limbah
Berdasarkan Tabel 3 distribusi kondisi tempat penampungan limbah pada pedagang jus buah di Sekaran Gunungpati Semarang diketahui bahwa sebanyak 7 responden (46,7%) mempunyai kondisi tempat penampungan limbah yang buruk dan 8 responden (53,3%) mempunyai kondisi tempat penampungan limbah yang baik. Hasil pengamatan diketahui bahwa saat dilakukan penelitian 11 responden (73,3%) menghasilkan jenis limbah padat dan 4 responden (26,7%) belum menghasilkan limbah padat. Jenis limbah cair dihasilkan oleh 9 responden (60%) dan 6 responden (40%) belum menghasilkan limbah cair. Tempat penampungan limbah padat yang disediakan pedagang sebanyak 11 responden (73,3%) dan yang tidak disediakan sebanyak 4 responden (26,7%). Responden menampung limbah padat pada ember bekas atau kantong plastik. Sedangkan tempat penampungan limbah cair yang disediakan pedagang sebanyak 9 responden (60%) dan yang tidak disediakan sebanyak 6 responden (40%). Responden membuang limbah cair di tanah dekat gerobag jualannya, sehingga menimbulkan lalat.
Limbah yang dihasilkan dari proses pengolahan makanan dapat berupa limbah padat dan limbah cair. Limbah padat dan cair yang dihasilkan selama proses pengolahan makanan umumnya mengandung bahan organik yang dimanfaatkan oleh mikroorganisme seperti bakteri, jamur, parasit, serangga dan hewan pengerat (Purnawijayanti HA, 2001:14). Ketersediaan Bahan Pembersih
Berdasarkan Tabel 3 distribusi ketersediaan bahan pembersih pada pedagang jus buah di Sekaran Gunungpati Semarang diketahui bahwa sebanyak 8 responden (53,3%) mempunyai ketersediaan bahan pembersih yang buruk dan 7 responden (46,7%) mempunyai ketersediaan bahan pembersih yang baik. Hasil pengamatan diketahui bahwa 12 responden (80%) menggunakan sabun atau bahan pembersih untuk mencuci peralatan dan 3 responden (20%) tidak menggunakan sabun atau bahan pembersih. Jenis bahan pembersih yang digunakan pedagang untuk mencuci peralatan berupa sabun cair, sabun colek, dan deterjen. Jenis bahan pembersih berupa sabun cair yang digunakan responden untuk mencuci peralatan sebanyak 9 responden (60%) dan sabun cair yang tidak digunakan responden sebanyak 6 responden (40%). Jenis bahan pembersih berupa sabun colek yang digunakan responden sebanyak 11 responden (73,3%) dan yang tidak digunakan responden sebanyak 4 responden (26,7%). Sedangkan Jenis bahan pembersih berupa deterjen yang digunakan sebanyak 3 responden (20%) dan yang tidak digunakan responden sebanyak 12 responden (80%). Proses pembersihan dilakukan untuk menghilangkan sisa makanan, zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan mikroorganisme dan dapat menghilangkan
176
Tri Khuswataningrum dan Eram Tunggul Pawenang / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
populasi mikroorganisme melalui kerja fisik dari pencucian dan pembilasan (Fathonah S, 2005:60). Praktik Mencuci Tangan
Berdasarkan Tabel 9 distribusi praktik mencuci tangan pada pedagang jus buah di Sekaran Gunungpati Semarang diketahui bahwa sebanyak 7 responden (46,7%) mempunyai kebiasaan buruk dalam praktik mencuci tangan dan 8 responden (53,3%) mempunyai kebiasaan baik dalam praktik mencuci tangan. Hasil wawancara diketahui bahwa 12 responden (80%) mencuci tangan setelah dari toilet dan 3 responden (20%) tidak mencuci tangan. Dalam penggunaan sabun, 11 responden (73,3%) menggunakan sabun saat mencuci tangan dan 4 responden (26,7%) tidak menggunakan sabun. Saat mencuci tangan, 4 responden (26,7%) menggunakan air mengalir dan 11 responden (73,3%) tidak menggunakan air mengalir, hanya menggunakan air yang sudah ditampung pada ember untuk mencuci tangan. Saat mencuci tangan, 4 responden (26,7%) menggosok bagian punggung tangan dan 11 responden (73,3%) tidak menggosok bagian punggung tangan. Pada bagian telapak tangan, terdapat 12 responden (80%) menggosok bagian telapak tangan dan 3 responden (20%) tidak menggosok bagian telapak tangan. Selain itu, 6 responden (40%) menggosok secara teliti pada sela jari dan 9 responden (60%) tidak menggosok secara teliti pada sela jari. Pada bagian di bawah kuku, 6 responden (40%) menggosok bagian di bawah kuku dan 9 responden (60%) tidak menggosok bagian di bawah kuku. Setelah mencuci tangan, 10 responden (66,7%) mengeringkan tangan dengan tissue atau kain kering yang bersih dan 5 responden (33,3%) tidak
mengeringkan tangan dengan tissue atau kain kering yang bersih. Tangan kotor dapat memindahkan bakteri dan virus patogen dari tubuh, feses, atau sumber lain ke makanan. Mencuci tangan dengan sabun, sebagai pembersih, penggosokan, dan pembilasan dengan air mengalir akan menghanyutkan partikel kotoran yang banyak mengandung mikroorganisme (Fathonah S, 2005:12). Sabun yang digunakan berupa sabun cair yang lebih terjamin kebersihannya, karena tempat sabun padat berisi genangan air sabun yang bisa menjadi tempat pertumbuhan mikroorganisme (Depkes RI, 2004:22). Kuku jari tangan pada 8 responden (53,3%) dipotong pendek dan 7 responden (46,7%) tidak dipotong pendek. Kuku jari responden menggunakan pewarna kuku sebanyak 5 responden (33,3%) dan tidak menggunakan pewarna kuku sebanyak 10 responden (66,7%). Saat membuat jus buah, 5 responden (33,3%) memakai cincin tetapi saat akan berjualan 4 responden (26,7%) melepas cincin dan 10 responden (66,7%) tidak memakai cincin. Perhiasan yang dipakai menjadi sarang kotoran dari debu ataupun keringat sehingga tidak perlu dipakai sewaktu mengolah makanan. Tangan yang dilengkapi perhiasan akan sulit dicuci hingga bersih karena lekukan perhiasan dan permukaan kulit disekitar perhiasan tidak akan sempurna pembersihannya. Kosmetik seperti pewarna kuku, akan menjadi sumber pencemar karena kosmetik merupakan bahan racun yang mudah luntur apabila terkena keringat sehingga berbahaya jika masuk ke dalam makanan (Depkes RI, 2006:209). Kebersihan dan Kesehatan Diri
177
Tri Khuswataningrum dan Eram Tunggul Pawenang / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
Berdasarkan Tabel 10 distribusi kebersihan dan kesehatan diri pada pedagang jus buah di Sekaran Gunungpati Semarang diketahui bahwa sebanyak 11 responden (73,3%) mempunyai kebiasaan buruk pada kebersihan dan kesehatan diri dan 4 responden (26,7%) mempunyai kiasaan baik pada kebersihan dan kesehatan diri. Hasil wawancara diketahui bahwa 4 responden (26,7%) memakai celemek dan 11 responden (73,3%) tidak memakai celemek. Responden secara rutin keramas 2 hari sekali sebanyak 7 responden (46,7%) dan 8 responden (53,3%) tidak keramas 2 hari sekali. Responden memakai penutup kepala sebanyak 6 responden (40%) dan 9 responden (60%) tidak memakai penutup kepala. Celemek harus bersih dan tidak digunakan sebagai lap makanan. Celemek dilepaskan jika penjamah meninggalkan tempat pengolahan makanan (Purnawijayanti HA, 2001:47). Saat bekerja, penjamah makanan harus memakai penutup kepala (hair cap) dan jala rambut (hair net) untuk membantu mencegah masuknya rambut ke dalam makanan, membantu menyerap keringat di dahi, mencegah kontaminasi bakteri Staphilococci, dan menjaga rambut bebas dari kotoran. Rambut yang kotor akan menimbulkan rasa gatal pada kulit kepala sehingga mendorong untuk menggaruknya dan dapat mengakibatkan kotoran, ketombe, dan rambut jatuh ke dalam makanan serta kuku menjadi kotor. Untuk itu, keramas harus dilaksanakan teratur (Fathonah S, 2005:17). Saat wawancara, 2 responden (13,3%) sedang sakit perut atau diare dan 13 responden (86,7%) tidak sedang sakit perut atau diare. Penelitian ini sesuai Kepmenkes RI Nomor 942/Menkes/SK/VII/2003 mengenai higiene sanitasi makanan jajanan yang menyatakan bahwa penjamah dalam
menangani makanan harus memenuhi persyaratan yaitu tidak menderita penyakit menular seperti, batuk, pilek, influenza, sakit perut atau diare. Luka pada tangan pernah terjadi pada 7 responden (46,7%) dan 8 responden (53,3%) tidak pernah. Luka biasanya disebabkan oleh pisau untuk memotong buah dan luka ditutup dengan plester. Penjamah jika luka tidak diperkenankan bekerja dan tidak boleh menyentuh bahan makanan atau peralatan yang kontak dengan makanan (Agustina T, 2005:3). SIMPULAN
Berdasarkan penelitian tentang sanitasi lingkungan pedagang jus buah di Sekaran Gunungpati Semarang diperoleh simpulan bahwa kondisi sanitasi air 53,3% buruk dan 46,7% baik, kondisi sanitasi peralatan 40% buruk dan 60% baik, kondisi tempat sampah 33,3% buruk dan 66,7% baik, kondisi tempat penampungan limbah 46,7% buruk 53,3% baik, ketersediaan bahan pembersih 53,3% buruk dan 46,7% baik. Sedangkan penelitian tentang higiene perorangan pedagang jus buah di Sekaran Gunungpati Semarang diperoleh simpulan bahwa kebiasaan praktik mencuci tangan 46,7% buruk dan 53,3% baik, dan kebersihan dan kesehatan diri 73,3% mempunyai kebiasaan buruk dan 26,7% mempunyai kebiasaan baik. UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami tunjukkan kepada Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan Bapak Dr. H. Harry Pramono, M.Si, Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Ibu Dr. dr. Hj. Oktia Woro KH, M.Kes, Dosen Pembimbing Bapak Drs. Sugiharto, M.Kes dan Bapak Eram Tunggul Pawenang,
178
Tri Khuswataningrum dan Eram Tunggul Pawenang / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
S.KM., M.Kes, Kepala Bagian Tata Usaha Puskesmas Sekaran, Kepala Kelurahan Sekaran, Perangkat Kelurahan Sekaran, Responden penelitian, Bapak dan Ibu serta Keluarga, dan Teman-teman atas motivasinya dalam penyelesaian penelitian ini.
BPOM RI, 2007, Sanitasi dan Higiene, Bogor: Institut Pertanian Bogor. Depkes RI, 2004, Pedoman bagi Petugas dalam Penyusunan Peraturan Daerah tentang Higiene Sanitasi Makanan dan Minuman, Jakarta: Direktorat Penyehatan Air dan Sanitasi, Ditjen PPM & PL.
DAFTAR PUSTAKA Agustin, TE dan Adriyani, R, 2007, Higiene dan Sanitasi Nasi Tempe Penyet Pedagang Kaki Lima Jalan Karangmenjangan Surabaya, (http://eprints.unsri.ac .id/64/3/Abstrak8.pdf), diakses tanggal 20 November 2012. Agustina, F, dkk, Higiene dan Sanitasi pada Pedagang Makanan Jajanan Tradisional di Lingkungan Sekolah Dasar di Kelurahan Demang Lebar Daun Palembang Tahun 2009, (http://eprints.unsri.ac.id/64/3/Abstrak8.pdf ), diakses tanggal 20 November 2012. Agustina, T, 2005, Pentingnya Higiene Penjamah Makanan Tradisional, Proceeding Seminar Nasional Memebangun Citra Pangan Tradisonal tanggal 15 April 2005. Semarang: Jurusan Teknologi Jasa dan Produksi Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang.
, 2006, Higiene Perorangan, Jakarta: Direktorat Penyehatan Lingkungan, Direktorat Jenderal PP & PL. Fathonah, S, 2005, Higiene dan Sanitasi Makanan, Semarang: Universitas Negeri Semarang Press. Kepmenkes RI, 2003, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 942/Menkes/SK/VII/2003 tentang Pedoman Persyaratan Higiene Sanitasi Makanan Jajanan,(http://buk.depkes.go.id/index.php? option=com_docman&task=doc_download& gid=214&Itemid=112), diakses tanggal 15 Agustus 2012. Purnawijayanti, HA, 2001, Sanitasi Higiene dan Keselamatan Kerja dalam Pengolahan Makanan, Yogyakarta: Kanisius.
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Pengarang Agustin, TE dan Adriyani, R Agustina, F, dkk Agustina, T BPOM RI Depkes RI Depkes RI Fathonah, S
Tahun 2007 2009 2005 2007 2004 2006 2005
8. 9.
Kepmenkes RI Purnawijayanti, HA
2003 2001
179
UJPH 4 (4) (2015)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN KEMATIAN AKIBAT DEMAM BERDARAH DENGUE Mamluatul Hikmah , Oktia Woro Kasmini H Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima Januari 2015 Disetujui Januari 2015 Dipublikasikan Oktober 2015
Kematian akibat Demam Berdarah Dengue (DBD) di RSUD Tugurejo Semarang meningkat dari tahun 2012-2014. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan kejadian kematian akibat demam berdarah dengue (DBD). Jenis penelitian ini adalah survei analitik dengan pendekatan case control. Sampel berjumlah 62 orang, 31 kelompok kasus dan 31 kelompok kontrol yang diambil dengan teknik simple random sampling. Analisis data menggunakan uji chi square dengan derajat kemaknaan (α) = 0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang berhubungan dengan kejadian kematian akibat demam berdarah dengue (DBD) adalah umur penderita (p value=0,022, OR=3,8), pendapatan (p value=0,022, OR=3,8), akses pelayanan kesehatan (p value=0,019), riwayat penyakit penyerta (p value=0,021, OR=3,9), keterlambatan pengobatan DBD (p value=0,042, OR=3,3) dan derajat beratnya penyakit (p value=0,021, OR=3,9). Variabel yang tidak berhubungan adalah jenis kelamin penderita (p value=0,611) dan riwayat pernah menderita DBD (p value=0,668). Saran bagi peneliti lain untuk menambah sampel penelitian dan menambah variabel lain yang ada kaitannya dengan faktor yang berhubungan dengan kematian akibat DBD.
________________ Keywords: Dengue Haemorhaege Fever; the mortality; Affliction DHF ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ The mortality caused by Dengue Haemorhaege Fever (DHF) in RSUD Tugurejo Semarang incresed from 2012 to 2014. The objective of this study to find out factors of mortality that are caused by dengue. The research method of this study was analitic survey by case control. In this research, the sample was 62 people where 31 people were included in cases and the others were in controls. The sample was randomly taken by simple random sampling technique. The data analysis used chi-square with the level of independence (α) = 0,05. The result of this research showed that factors of mortality which were caused by dengue was age of patients (p value=0,022, OR=3,8), income (p value=0,022), access of health care (p value=0,019), case history (p value=0,021, medical tardiness of DHF (p value=0,042, OR=3,3) and degree of disease (p value=0,021, OR=3,9). The variables which were not related to factors of mortality were sex of patients (p value=0,611) and case history of DHF (p value=0,668). Some suggestions for other researchers, they may develop the similar research in different dimensions such as adding the sample and variable which are related to factors of mortality that are caused by dengue.
© 2015 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail: [email protected]
ISSN 2252-6528
180
Mamluatul Hikmah dan Oktia Woro Kasmini H / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
PENDAHULUAN
Penyakit Dengue maupun penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang sering berjangkit di daerah tropis sehingga termasuk dalam penyakit Infeksi Tropis (Tropic Infection). Demam Dengue (DD) atau Dengue Fever (DF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang disebarkan oleh nyamuk Aedes aegypti, sedangkan DBD atau Dengue Haemorhaege Fever (DHF) juga penyakit yang disebabkan virus dengue dan disebarkan oleh nyamuk Aedes aegypti yang disertai manifestasi perdarahan dan cenderung shock menimbulkan dan kematian (Misnadiarly, 2009). Menurut data Dinas Kesehatan Kota Semarang, jumlah penderita DBD pada tahun 2010 yaitu 5.556 kasus dan 47 meninggal. Jumlah penderita yang meninggal pada tahun 2011 sebanyak 10 orang dengan Case Fatality Rate (CFR) DBD 0,77 %, sedangkan pada tahun 2012 jumlah penderita DBD yang mengalami kematian sebanyak 22 orang dengan CFR 1,76% dan pada bulan Januari 2012 mengalami Kejadian Luar Biasa (KLB) (DKK Semarang, 2012). Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tugurejo merupakan salah satu rumah sakit yang berada di Kota Semarang yang terdapat kasus kematian karena DBD setiap tahunnya. Pada tahun 2010-2014 RSUD Tugurejo masuk ke dalam 3 besar jumlah kematian karena DBD di
Kota Semarang dengan total kasus 1.082 terdapat 38 kematian. Pada tahun 2012 terdapat 8 kematian dan pada tahun 2013 meningkat menjadi 12 kematian, sedangkan data sampai bulan Juli 2014 kematian karena DBD di RSUD Tugurejo tetap tinggi sebanyak 11 kematian. Menurut Penelitian Sarwanto (1999) dalam Anggy Pangaribuan (2012) dan Ramaningrum G (1998) bahwa umur, jenis kelamin dan beratnya penyakit merupakan faktor terjadinya kematian pada penderita DBD. Peneliti lain seperti Soegijanto S (2001), berpendapat bahwa ada hubungan antara beratnya penyakit, adanya renjatan pada saat dibawa ke Rumah Sakit dan adanya perdarahan pada konsultasi awal sebelum dikirim ke rumah sakit dengan kematian karena DBD. Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diketahui rasio angka kematian akibat DBD di RSUD Tugurejo tahun 2012-2014. METODE
Jenis penelitian ini menggunakan metode Survei Analitik dengan pendekatan atau desain studi kasus kontrol (case control study). Populasi dalam penelitian ini adalah penderita DBD yang mengalami kematian di RSUD Tugurejo Semarang pada tahun 2012-2014 berjumlah 38 orang. Besar sampel dihitung dengan rumus (Dahlan S, 2009) : 2
𝑍𝛼√2PQ + 𝑍𝛽√𝑃₁𝑄₁ + 𝑃₂𝑄₂ 𝑁1 = 𝑁2 = [ ] (𝑃₁ − 𝑃₂)² Dari rumus diatas diperoleh besar sampel 31 orang, dengan Sampel kasus berjumlah 31 orang dan sampel kontrol berjumlah 31 orang. Pengambilan sampel
dilakukan dengan menggunakan teknik simple random sampling agar setiap individu pada setiap populasi kasus dan kontrol mendapatkan peluang yang sama sebagai
181
Mamluatul Hikmah dan Oktia Woro Kasmini H / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
sampel penelitian, sehingga hasil yang didapatkan dapat mewakili keseluruhan populasi penelitian. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah panduan wawancara terstruktur yang telah diuji validitas dan
reliabilitas sebelum penelitian dilakukan dan data rekam medik. HASIL DAN PEMBAHASAN
Adapun hasil penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1 :
Tabel 1. Hasil Penelitian Status Responden No
1.
Variabel
Umur Penderita
2.
Jenis Kelamin Penderita
3.
Pendapatan
4.
Akses Pelayanan Kesehatan
5.
Riwayat pernah DBD
6.
Riwayat Penyakit Penyerta
7.
Keterlambatan Pengobatan
8.
Derajat Beratnya Penyakit
Kategori Anak-anak Remaja+Dew asa Jumlah Laki-laki Perempuan Jumlah Rendah Tinggi Jumlah Mudah Susah Jumlah Pernah Tidak pernah Jumlah Ada Tidak ada Jumlah Ya Tidak Jumlah Ringan Berat Jumlah
Jumlah
Meninggal
Hidup
n 22 9
% 71 29
n 12 19
% 38,7 61,3
n 40 22
% 64,5 35,5
31 14 17 31 21 10 31 14 17 31 4 27 31 18 13 31 21 10
100,0 45,2 54,8 100,0 67,7 32,3 100,0 45,2 54,8 100,0 12,9 87,1 100,0 58,1 41,9 100,0 67,7 32,3
31 17 14 31 11 20 31 24 7 31 2 29 31 8 23 31 12 19
100,0 54,8 45,2 100,0 35,5 64,5 100,0 77,4 22,6 100,0 6,5 93,5 100,0 25,8 74,2 100,0 38,7 61,3
62 31 31 62 32 30 62 38 24 62 6 56 62 26 36 62 33 29
100,0 50 50 100,0 51,6 48,4 100,0 61,3 38,7 100,0 9,7 90,3 100,0 41,9 58,1 100,0 53,2 46,8
31 18 13 31
100,0 58,1 41,9 100,0
31 8 23 31
100,0 25,8 74,2 100,0
62 26 36 62
100,0 41,9 58,1 100,0
Umur Penderita
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebagian besar responden dengan kategori anak-anak yaitu 40 responden dengan persentase sebesar 64,5%, sedangkan responden dengan kategori remaja+dewasa
P value
OR 95%CI
0,022
3,87 1,34-11,17
0.611
0,67 0,24-1,84
0,022
3,8 1,33-10,94
0,019
0,24 0,08-0,72
0,668
2,14 0,36-12,69
0,021
3,98 1,35-11,66
0,042
3,32 1,17-9,44
0,021
3,98 1,35-11,66
sebanyak 22 responden dengan persentase sebesar 35,5%. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa ada hubungan antara umur penderita dengan Kejadian Kematian Akibat DBD
182
Mamluatul Hikmah dan Oktia Woro Kasmini H / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
dengan nilai p = 0,022 (p < 0,05). Responden yang mengalami kematian cenderung memiliki umur dengan kategori anak-anak (71%) sedangkan responden yang hidup cenderung memiliki umur dengan kategori Remaja+Dewasa (61,3%). Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR = 3,870 (OR > 1) dengan interval 1,341-11,172 (tidak mencakup angka 1), artinya penderita dengan kategori anak-anak memiliki risiko 3,8 kali mengalami kejadian kematian akibat DBD dibandingkan dengan penderita dengan kategori remaja+dewasa. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sarwanto (1999) dalam Anggy Pangaribuan (2012) dan Ramaningrum G (1998) bahwa umur merupakan faktor terjadinya kematian pada penderita DBD. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Gamble dkk, (2000:215) bahwa umur merupakan faktor risiko terjadinya dengue berat dan kematian. Anak mempunyai faktor risiko yang lebih tinggi untuk mengalami DBD dibandingkan dengan orang dewasa. Hal ini dimungkinkan karena pembuluh darah bayi dan anak-anak lebih permeable (berpori) dibandingkan dengan dewasa. Menurut Maria Guzman dkk, (2002) untuk infeksi sekunder, terdapat hubungan yang erat antara umur dengan kematian, dimana anak umur 3-4 tahun berisiko 3 kali dibanding umur 5-9 tahun, dan berisiko 5 kali dibanding dengan umur 10-14 tahun. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, ditemukan bahwa ada perbedaan antara kejadian kematian akibat DBD antara responden yang masih berumur anak-anak dengan remaja dan dengan yang sudah dewasa. Responden yang meninggal pada kategori anak-anak lebih banyak daripada responden yang meninggal pada kategori remaja+dewasa.
Upaya kejadian kematian akibat DBD juga dipengaruhi oleh kondisi rumah responden yang jauh dari kategori sehat banyak genangan air disekitar rumah tersebut. Jenis Kelamin Penderita
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, jumlah responden dengan jenis kelamin laki-laki yaitu 31 responden dengan persentase 50%, dan responden dengan jenis kelamin perempuan juga sebanyak 31 responden dengan persentase 50%. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin penderita dengan Kejadian Kematian Akibat DBD dengan nilai p = 0,611 (p > 0,05). Responden yang mengalami kematian cenderung memiliki jenis kelamin perempuan (54,8%) sedangkan responden yang hidup cenderung memiliki jenis kelamin laki-laki (54,8%). Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sarwanto (1999) dalam Anggy Pangaribuan (2012) dan Ramaningrum G (1998) bahwa jenis kelamin merupakan faktor terjadinya kematian pada penderita DBD dan menurut Kouri dkk, (1981) Penelitian di Kuba DBD pada orang dewasa lebih banyak terjadi pada perempuan baik itu kasusnya ataupun kejadian kematiannya. Penelitian ini sesuai dengan penelitian Rampengan, (2007) tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin penderita demam berdarah dengue tetapi kematian lebih banyak ditemukan pada anak perempuan daripada anak laki-laki, sedangkan menurut Huang et al, (2001) penyakit infektius yang berakibat kematian banyak terjadi pada laki-laki daripada perempuan. Berdasarkan penelitian ini, terdapat 14 responden meninggal yang memiliki jenis kelamin laki-laki sebagian besar dalam
183
Mamluatul Hikmah dan Oktia Woro Kasmini H / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
kategori anak-anak dan 17 responden meninggal yang memiliki jenis kelamin perempuan sebagian besar dalam kategori anak-anak. Pendapatan
Standar pendapatan yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan UMK (Upah Minimum Kota) Semarang sebesar Rp. 1.209.100 per bulan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebagian besar responden memiliki pendapatan rendah UMK yaitu sebanyak 30 responden dengan persentase 48,4%. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa ada hubungan antara pendapatan dengan Kejadian Kematian Akibat DBD dengan nilai p = 0,022 (p < 0,05). Responden yang mengalami kematian cenderung memiliki pendapatan rendah yaitu UMK (64,5%). Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR = 3,818 (OR > 1) dengan interval 1,332-10,942 (tidak mencakup angka 1), artinya penderita yang memiliki pendapatan rendah yaitu UMK. Responden dalam penelitian ini sebagian besar menggunakan asuransi kesehatan berupa Jamkesda, Jamkesmas dan BPJS. Menurut Soemirat J, (2000:109) Kebiasaan, kualitas lingkungan, pengetahuan keberadaan sumber daya materi sehingga efek agent terhadap status sosial ekonomi akan berbeda pula. Berdasarkan hasil penelitian, pendapatan keluarga yang dimiliki oleh responden kelompok kasus dan kelompok
kontrol berbeda. Pendapatan kelompok kasus rata-rata rendah UMK. Responden yang memiliki pendapatan rendah sebagian besar tinggal di pedesaan dengan status ekonomi yang rendah. Mereka mendapatkan uang dengan mengandalkan pekerjaannya sebagai buruh, ada yang buruh bangunan, tukang rongsok dan supir, sehingga pendapatan yang mereka terima pun hasilnya relatif kecil dan tidak menentu, dalam penelitian ini juga responden yang diteliti sebagian besar kurang mengetahui gejala DBD dan menganggap panas itu biasa hingga mereka akhirnya memeriksakan keluarganya setelah beberapa hari dan sudah terlambat. Akses Pelayanan Kesehatan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebagian besar responden memiliki akses pelayanan kesehatan mudah yaitu 38 responden dengan persentase 61,3%, dan responden dengan akses pelayanan kesehatan susah yaitu sebanyak 24 responden dengan persentase 38,7%. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa ada hubungan antara akses pelayanan kesehatan dengan Kejadian Kematian Akibat DBD dengan nilai p = 0,019 (p < 0,05). Responden yang mengalami kematian cenderung memiliki akses pelayanan kesehatan dengan susah (54,8%) sedangkan responden yang hidup cenderung memiliki akses pelayanan kesehatan dengan mudah (77,4%). Penelitian ini sesuai dengan Notoatmodjo S, (2010:108) kemudahan penderita DBD untuk menjangkau pelayanan kesehatan dari tempat tinggalnya, baik dari segi transportasi, jarak dan lama waktu tempuh. Pasien keluarga miskin ternyata tak mudah mengakses pelayanan
184
Mamluatul Hikmah dan Oktia Woro Kasmini H / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
jaminan kesehatan yang disediakan bagi mereka. Akses ke pelayanan kesehatan disini lebih dikaitkan dengan individu anggota masyarakat yang mengalami masalah kesehatan atau sakit dalam upaya mencari atau menggunakan pelayanan kesehatan yang tersedia di masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, 54,8% responden yang meninggal memiliki jarak rumah yang jauh dengan pelayanan kesehatan. Jarak rumah yang jauh ke tempat pelayanan kesehatan juga dipengaruhi dengan tidak adanya alat transportasi atau yang dimiliki oleh responden, ada yang jalan kaki serta lamanya waktu tempuh untuk menuju puskesmas atau tempat pelayanan kesehatan, dengan kata lain akses responden dari rumah menuju tempat pelayanan kesehatan masih susah. Riwayat pernah DBD
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebagian besar responden tidak memiliki riwayat pernah DBD yaitu 56 responden dengan persentase 90,3%, dan responden yang memiliki riwayat pernah DBD yaitu sebanyak 6 responden dengan persentase 9,7%. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara riwayat pernah DBD dengan Kejadian Kematian Akibat DBD dengan nilai p = 0,668 (p > 0,05). Responden yang mengalami kematian cenderung tidak memiliki riwayat pernah DBD (87,1%) sedangkan responden yang hidup juga cenderung tidak memiliki riwayat pernah DBD (93,5%). Penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian di Thailand yang menunjukan bahwa faktor host mempengaruhi berat ringannya penyakit. DBD hanya terjadi apabila seseorang memiliki virus dengue
sebelum terinfeksi oleh dengue serotipe lain dalam jarak waktu tertentu, dan infeksi yang kedua oleh serotipe DEN-2. Teori ini disebut sebagai The Secondary Heterologus Infection Hypothesis. Menurut Halstead (1980) atau teori infeksi sekunder menunjukkan DEN-3 merupakan serotipe virus yang dominan dan yang menyebabkan kasus berat. Sebagai contoh adanya infeksi sekunder yakni seseorang dapat menderita DBD bila mendapat infeksi ulangan tipe virus yang berbeda. Misalnya infeksi pertama oleh virus DEN-1 menyebabkan terbentuknya antibodi DEN-1. Apabila kemudian terkena infeksi berikutnya oleh virus DEN-2 dalam waktu 6 bulan sampai 5 tahun pada sebagian yang mendapat infeksi ke-2 itu dapat terjadi suatu reaksi imunologis antara virus DEN-2 sebagai antigen dengan antibodi DEN-1 yang dapat mengakibatkan gejala DBD. Dari 62 responden, sebagian besar responden tidak pernah mengalami penyakit DBD. Riwayat Penyakit Penyerta
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebagian besar responden tidak memiliki riwayat penyakit penyerta yaitu 36 responden dengan persentase 58,1%, dan responden yang memiliki riwayat penyakit penyerta yaitu sebanyak 26 responden dengan persentase 41,9%. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa ada hubungan antara riwayat penyakit penyerta dengan Kejadian Kematian Akibat DBD dengan nilai p = 0,021 (p < 0,05). Responden yang mengalami kematian cenderung memiliki riwayat penyakit penyerta (58,1%) sedangkan responden yang hidup cenderung tidak memiliki riwayat penyakit penyerta (74,2%). Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR = 3,981 (OR > 1) dengan interval 1,358-11,666 (tidak
185
Mamluatul Hikmah dan Oktia Woro Kasmini H / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
mencakup angka 1), artinya responden yang memiliki riwayat penyakit penyerta memiliki risiko 3,9 kali mengalami kejadian kematian akibat DBD dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki riwayat penyakit penyerta. Penelitian ini sesuai dengan penelitian Kouri dkk (1981:377), di Kuba telah menggambarkan suatu peningkatan hubungan antara kematian dengan riwayat penyakit kronik seperti asma bronchial, sickle cell anemia, dan kemungkinan diabetes mellitus. Pada anak yang mengalami asma bronchial berisiko 2 kali untuk mengalami kematian, namun pada orang dewasa tidak menggambarkan hubungan yang signifikan. Sickle cell anemia pada anak tidak berhubungan dan pada orang dewasa memiliki hubungan yang signifikan dengan nilai p<0,01. Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Chuansumrit dan Tangnararatchakit (2005) dalam Anggy Pangaribuan (2012), Faktor penyakit penyerta seperti thalassemia, defisiensi enzim G6PD, penyakit jantung merupakan risiko tinggi untuk terjadinya kematian karena DBD. Berdasarkan penelitian, sebagian besar penyakit penyerta DBD yang diderita kelompok kasus adalah Diare yang dialami pada responden dengan kategori anak-anak, Demam thypoid dialami pada anak-anak, gastritis pada anak-anak dan dewasa, TBC pada anak-anak, diabetes melitus dan penyakit jantung koroner pada responden dewasa. Sedangkan penyakit penyerta yang diderita pada responden kelompok kontrol yaitu diare pada anak-anak dan remaja, gastritis pada remaja, diabetes mellitus pada
responden dewasa dan demam thypoid pada anak-anak. Keterlambatan Pengobatan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebagian besar responden mengalami keterlambatan pengobatan yaitu 33 responden dengan persentase 53,2%, dan responden yang tidak mengalami keterlambatan pengobatan yaitu sebanyak 29 responden dengan persentase 46,8%. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa ada hubungan antara keterlambatan pengobatan dengan Kejadian Kematian Akibat DBD dengan nilai p = 0,042 (p < 0,05). Responden yang mengalami kematian cenderung mengalami keterlambatan pengobatan (67,7%) sedangkan responden yang hidup cenderung tidak mengalami keterlambatan pengobatan (61,3%). Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR = 3,325 (OR > 1) dengan interval 1,171-9,442 (tidak mencakup angka 1), artinya responden yang mengalami keterlambatan pengobatan memiliki risiko 3,3 kali mengalami kejadian kematian akibat DBD dibandingkan dengan responden yang tidak mengalami keterlambatan pengobatan. Dalam penelitian ini, ada variabel yang berperan sebagai perancu atau pengganggu yaitu variabel derajat beratnya penyakit yang merancukan hubungan antara keterlambatan pengobatan dengan kejadian kematian akibat DBD, sehingga untuk mengendalikan variabel derajat beratnya penyakit dilakukan dengan menggunakan teknik analisis berstrata. Adapun hasil analisis berstrata dapat dilihat pada Tabel 2 :
Tabel 2. Crosstab Hubungan antara Kejadian Kematian Akibat DBD dengan Keterlambatan Pengobatan DBD Berdasarkan Derajat Beratnya Penyakit
186
Mamluatul Hikmah dan Oktia Woro Kasmini H / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
Derajat Beratnya Penyakit Ringan
Berat
Status Responden Meninggal Hidup Jumlah Meninggal Hidup Jumlah
Keterlambatan DBD Ya N % 16 64 9 36 25 100,0 5 62,5 3 37,5 8 100,0
Berdasarkan hasil analisis berstrata mengenai hubungan antara kejadian kematian akibat DBD dengan keterlambatan pengobatan DBD berdasarkan derajat beratnya penyakit, diperoleh nilai OR (1) = 3,7 yang artinya responden yang mengalami keterlambatan pengobatan DBD dan mengalami penyakit ringan memiliki risiko 3,7 kali mengalami kematian akibat DBD dibandingkan dengan responden yang tidak mengalami keterlambatan pengobatan DBD dan mengalami penyakit berat. Setelah mengontrol hubungan derajat beratnya penyakit, ternyata mengalami keterlambatan pengobatan DBD meningkatkan risiko kejadian kematian akibat DBD karena OR kasar < OR (1) (3,3 < 3,7), maka terdapat kerancuan yang memperkecil hubungan keterlambatan pengobatan DBD dengan kematian akibat DBD yang sesungguhnya. Hasil analisis berstrata juga menghasilkan OR (2) = 1,6 yang artinya responden yang mengalami keterlambatan pengobatan DBD dan mengalami penyakit berat memiliki risiko 1,6 kali mengalami kejadian kematian akibat DBD dibandingkan dengan responden yang tidak mengalami keterlambatan pengobatan DBD dan mengalami penyakit berat. Setelah mengontrol hubungan beratnya penyakit, ternyata mengalami keterlambatan pengobatan DBD tidak meningkatkan risiko
Pengobatan Jumlah Tidak N 8 17 25 2 2 4
% 32 68 100,0 50 50 100,0
N 24 26 50 7 5 12
OR 95%CI % 48 52 100,0 58,3 41,7 100,0
3,778 1,170-12,194 1,667 0,147-18,874
kejadian kematian akibat DBD karena OR kasar > OR (2) (3,3 > 1,6), maka terdapat kerancuan yang memperbesar hubungan keterlambatan pengobatan DBD dengan kejadian kematian akibat DBD yang sesungguhnya. Responden dikatakan terlambat apabila ketika masuk ke pelayanan kesehatan sudah dalam keadaan syok hipotensif (tekanan darah rendah) bahkan sampai mengalami pendarahan. Para orangtua menganggap panas itu biasa hingga mereka akhirnya memeriksakan keluarganya setelah beberapa hari dan sudah terlambat yang menyebabkan kematian. Berdasarkan penelitian, sebagian besar responden mengalami keterlambatan dalam pengobatan DBD ke pelayanan kesehatan. Pada kelompok kasus ketika dibawa ke rumah sakit dalam keadaan lemah, tekanan darah rendah bahkan ada yang sudah terjadi pendarahan seperti mimisan dan muntah darah. Selain itu, dari responden kasus 14 diantaranya mengalami meninggal < 48 jam dan rata-rata dirawat < 3 hari bahkan ada responden yang dirawat hanya 1 hari dan akhirnya meninggal, kemudian 17 responden diantaranya mengalami meninggal > 48 jam dan dirawat > 3 hari. Derajat Beratnya penyakit
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebagian besar responden
187
Mamluatul Hikmah dan Oktia Woro Kasmini H / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
mengalami penyakit berat (Derajat 3 dan 4) yaitu 36 responden dengan persentase 58,1%, dan responden yang mengalami penyakit ringan (Derajat 1 dan 2) yaitu sebanyak 26 responden dengan persentase 41,9%. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa ada hubungan antara derajat beratnya penyakit dengan Kejadian Kematian Akibat DBD dengan nilai p = 0,021 (p < 0,05). Responden yang mengalami kematian cenderung mengalami penyakit ringan (Derajat 1 dan 2) (58,1%) sedangkan responden yang hidup cenderung mengalami penyakit berat (Derajat 3 dan 4) (74,2%). Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR = 3,981 (OR > 1) dengan interval 1,358-11,666, artinya responden yang mengalami penyakit berat memiliki risiko 3,9 kali meninggal dibandingkan responden yang mengalami penyakit ringan. Penelitian ini sesuai dengan penelitian Sarwanto (1999) dalam Anggy Pangaribuan (2012) dan Soegijanto S (2001) yang menunjukan bahwa beratnya penyakit merupakan faktor terjadinya kematian pada penderita DBD. Setelah dilakukan analisis berstrata, terbukti bahwa derajat beratnya penyakit merancukan keterlambatan pengobatan DBD. Berdasarkan penelitian, pada responden yang meninggal terdapat 18 responden yang mengalami penyakit ringan (Derajat 1 dan 2), dari data rekam medik responden pada derajat 1 dan 2 memiliki gejala panas berlangsung 2-7 hari, badan terasa sakit, nyeri otot serta kejang-kejang pada anak. Sedangkan pada derajat 3 dan 4 memiliki gejala pendarahan seperti mimisan dan muntah darah, tekanan nadi cepat dan lemah, ada juga responden yang nadinya tidak teraba bahkan tekanan darah tidak dapat diukur serta gagal napas.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian mengenai faktor yang berhubungan dengan kejadian kematian akibat DBD di RSUD Tugurejo Semarang, diperoleh simpulan sebagai berikut: (1) Sebagian besar responden memiliki kategori umur anak-anak (64,5%), jenis kelamin laki-laki (50%) dan jenis kelamin perempuan (50%), pendapatan rendah
Ucapan terima kasih kami tunjukkan kepada Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan, Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Dosen Pembimbing, Keluarga, serta Temanteman yang telah memberi bantuan dan motivasi dalam penyelesaian penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Dahlan S, 2009, Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan, Jakarta : Salemba Medika. Dinkes Kota Semarang. 2012. Rekapitulasi Penderita DBD Kota Semarang Tahun 2012.
188
Mamluatul Hikmah dan Oktia Woro Kasmini H / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
Gamble, J, et al. 2000. Age – related Changes in Microvascullar Permeability : a Significant Factors in the Suscepbility of Children to Shock, Clinical Science. Vol:98. hal 211-216. diakses pada 25 Mei 2014 (http://www-05.allportland.net/cs/098/0211/0980211.pdf). Guzman, Maria, et al. 2004. Dengue diagnosis, advances and challenges, International Journal of Infectious Diseases. Vol:8. hal 69-80. diakses pada 3 maret 2014 (http://www.ijidonline.com/article/S12019712%2802%2990072-X/abstract). Halstead SB. 2001. Haiti: Absence of Dengue Hemorrhagic Fever Despite Hyperendemic Dengue Virus Transmission, Am.J.Trop.Med.Hyg. Vol:3, hal 180-183. diakses pada 25 Mei 2014 (http://biosurveillance.typepad.com/files/hy perendemic-dengue-in-haiti.pdf). Huang YH, et al. 2001. Activation of Coagulation and Fibrinolysis During Dengue Virus Infection. Journal of Medical Virology. Vol:63. hal 247251. diakses pada 3 maret 2014 (http://140.116.203.51/site2/ocwCoursePPT /61JBS20018377.pdf).
Cuban Epidemic, WHO Bulletin OMS. Vol:67. hal 375-380. diakses pada 25 Mei 2014 (www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2805215). Misnadiarly. 2009. Demam Berdarah Dengue (DBD) : Ekstrak Daun Jambu Biji Bisa untuk Mengatasi DBD. Jakarta: Pustaka Populer Obor. Notoatmodjo S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta Pangaribuan A. 2012. Faktor Prognosis Kematian pada Dengue Shock Syndrome pada Anak. Tesis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Ramaningrum G. 1998. faktor hematologi yang mempengaruhi kematian pada penderita DSS. Tesis. UNDIP. Rampengan TH. 2007. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. Jakarta: EGC Soegijanto S. 2001. Faktor-faktor resiko yang mempengaruhi kematian pada penderita demam berdarah dengue. Tesis. Universitas Airlangga, Surabaya. Soemirat J. 2000. Epidemiologi Lingkungan. Bandung: Gajah Mada University Press.
Kouri, GP, et al. 1981. Dengue Hemorrhagic Fever / Dengue Shock Syndrome : Lessons from the
189
UJPH 4 (4) (2015)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
GAMBARAN KECEMASAN TERHADAP KEMAMPUAN SEKS PADA AKSEPTOR KONTRASEPSI MANTAP PRIA/VASEKTOMI (Studi di Kecamatan Gunung Pati Kota Semarang) Ahmad Dzakia Faris , Sofwan Indarjo Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima Januari 2015 Disetujui Januari 2015 Dipublikasikan Oktober 2015
Vasektomi merupakan metode kontrasepsi dengan jumlah akseptor terkecil secara umum. Vasektomi dapat mengurangi kecemasan akan terjadinya kehamilan, namun diikuti dengan kecemasan lain yang dapat muncul yaitu kecemasan terhadap potensi seksual dan kecemasan akan kemampuan fungsi sebagai pria akan terganggu pasca kontrasepsi mantap. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik pengambilan informan purposive sampling. Informan utama berjumlah 4 orang dan informan triangulasi berjumlah 4 orang. Teknik pengambilan data menggunakan teknik wawancara mendalam, dan studi dokumentasi. Hasil penelitian ini adalah : Pertama, Kecemasan terhadap potensi seks yang dialami oleh akseptor Vasektomi di Kecamatan Gunung Pati masih berada dalam fase adaptif. Kedua, Kecemasan terhadap menurunnya potensi seksual tidak berdampak signifikan pada kehidupan seksual akseptor vasektomi karena hal tersebut tidak terbukti terjadi secara langsung pada akseptor vasektomi. Bagi masyarakat disarankan agar lebih aktif untuk menggali informasi-informasi dengan mengikuti penyuluhan-penyuluhan, menambah sumber bacaan agar tidak mudah terpengaruh oleh mitos-mitos yang salah.
________________ Keywords: Anxiety; Secure contraceptive; Sex; Vasectomy ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ Vasectomy is a method of contraception with the lowest number of acceptors. Vasectomy can reduce the anxiety of pregnancy but followed with other anxiety which can appear such as anxiety against sexual potency and anxiety against decreasing function as men after secure contraceptive. This type of research was applied qualitative study method with receipt of the informants used purposive sampling method. The informants in this research consist of 4 vasectomy acceptors, 4 vasectomy acceptors wife as informants triangulation. The information collection technique used an in-depth interviews, and study documentation. The result of this research were: the first, anxiety about the potential sex experienced by vasectomy acceptors gunungpati district still in adaptive phase. Second, anxiety against the decline in sexual potency sexual life had no significant impact on vasectomy acceptors because it was not proved happened directly at vasectomy acceptors. It was recommended for people to be more active to search information by following the counseling, increase source of reading to be unaffected by wrong myth.
© 2015 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail: [email protected]
ISSN 2252-6528
86
Ahmad Dzakia Faris dan Sofwan Indarjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
PENDAHULUAN
Program Keluarga Berencana nasional merupakan program pembangunan sosial dasar yang sangat penting artinya bagi pembangunan nasional dan kemajuan bangsa. Program Keluarga Berencana (KB) adalah upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga serta peningkatan kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera. Gerakan Keluarga Berencana Nasional selama ini telah berhasil mendorong peningkatan peran serta masyarakat dalam membangun keluarga kecil yang semakin mandiri. Keberhasilan ini mutlak harus diperhatikan bahkan terus ditingkatkan karena pencapaian tersebut belum merata (Hartanto H, 2004). Akseptor Keluarga Berencana adalah pasangan usia subur yang sedang menggunakan salah satu metode atau alat kontrasepsi. Pria maupun wanita dapat berperan sebagai akseptor KB, tetapi sejauh ini peranan pria sebagai akseptor KB masih sangat rendah hal ini terbukti dengan adanya prevelensi KB menurut alat atau cara ber-KB berdasarkan data dari RISKESDAS 2013 menunjukan bahwa proporsi pengguna KB di Indonesia adalah 59,7%. Diantaranya akseptor pria hanya sebanyak (6,15%). Dalam penggunaan kontrasepsi kebanyakan orang berfikir dan menyerahkan tanggung jawab hanya untuk wanita saja, sehingga perencanaan keluarga menjadi pincang (Manuaba I.A.C, dkk, 2009). Metode kontrasepsi pria yang ada dalam program KB di Indonesia antara lain metode kontrasepsi sederhana seperti kondom dan kontrasepsi mantap
pria/vasektomi (Handayani, 2010). Berdasarkan data yang diperoleh dari SDKI tahun 2012 akseptor MOP sebanyak 0,3% sedangkan akseptor kondom sebanyak 3,1%. Pada tahun 2013 akseptor MOP sebanyak 0,25% sedangkan akseptor kondom sebanyak 5,95 %. Sedangkan untuk wilayah Jawa Tengah pada tahun 2012 akseptor MOP sebanyak 0,2% dan akseptor kondom sebanyak 5,1% (BPS, 2013). Pada tahun 2013 akseptor MOP sebanyak 0,30% sedangkan akseptor kondom sebanyak 6,17%. Data ini menunjukkan bahwa peranan pria dalam mengikuti kontrasepsi masih sangat kecil jika dibandingkan dengan peranan wanita dalam keikutsertaan dalam KB (BALITBANGKES KEMENKES RI, 2013). Akseptor KB aktif MOP untuk kecamatan Gunungpati pada tahun 2013 adalah sebanyak 47 orang sedangkan untuk peserta KB baru pada tahun 2013 adalah sebanyak 5 orang dan berdasarkan angka tersebut kecamatan Gunungpati merupakan kecamatan dengan CPR (Contraceptive Prevalence Rate) terkecil (0,31%) untuk wilayah Kota Semarang. Berdasarkan laporan pelaksanaan program kependudukan dan keluarga berencana dari BAPERMASPER & KB Kecamatan Gunungpati tahun 2013 peserta KB aktif kecamatan Gunungpati untuk akseptor IUD 727 jiwa (6.31%), akseptor kondom sebanyak 354 jiwa (3.07%), akseptor Pil KB sebanyak 1.600 jiwa (13.88%), akseptor Implant sebanyak 736 jiwa (6.39%), akseptor Suntik sebanyak 7.578 jiwa (65.74%) sedangkan untuk akseptor KB MOP sebanyak 47 jiwa atau (0.4%) dan akseptor KB MOW sebanyak 385 jiwa atau (3.34%) dari jumlah semua 87
Ahmad Dzakia Faris dan Sofwan Indarjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
akseptor KB sebanyak 11.527 jiwa. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa jumlah pengguna kontrasepsi mantap khususnya MOP atau disebut juga Vasektomi menjadi yang paling kecil diantara jumlah pengguna alat kontrasepsi lain. Salah satu penyebab pengguna kontrasepsi mantap masih sangat sedikit adalah karena sebagian masyarakat masih merasa takut untuk melakukan metode operatif, terutama yang berada di desa (Hartanto H, 2004). Kontrasepsi mantap merupakan salah satu jenis dari kontrasepsi pada umumnya, sehingga berbagai aspek psikologi yang dapat mempengaruhi pengguna kontrasepsi pada umumnya juga akan berlaku pada kontrasepsi mantap. Perbedaan yang mencolok adalah akibat penggunaan metode tersebut maka kemungkinan kehamilan akan tercegah sangat tinggi. Oleh karena itu kecemasan untuk terjadinya kehamilan akan berkurang, namun bukan berarti tanpa disertai kecemasan lain. Salah satu kecemasan lain yang menyertai adalah kecemasan terhadap menurunnya kemampuan seksual dan kecemasan akan kemampuan fungsi sebagai pria akan terganggu secara pemanen pasca kontrasepsi mantap (Everett S, 2008: 75). Gejala kecemasan merupakan komponen utama bagi hampir semua gangguan kejiwaan. Kecemasan merupakan suatu perasaan yang menyakitkan, seperti kegelisahan, kebingungan, dan sebagainya, yang berhubungan dengan aspek subyektif emosi. Kecemasan tidak sama dengan rasa takut meskipun saling berkaitan satu sama lain. Kecemasan merupakan respon terhadap bahaya yang memperingatkan dalam bentuk naluri bahwa ada bahaya dan dapat menyebabkan seorang individu kehilangan kendali atas situasi yang dialaminya (Ramaiah S, 2007).
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan pada pria usia subur yang telah menikah di Kecamatan Gunungpati di dapatkan hasil bahwa 8 dari 10 pria tersebut tidak bisa mendeskripsikan perbedaan antara vasektomi dan kebiri. Kesalahpahaman yang bersumber dari ketidaktahuan akan perbedaan antara vasektomi dan kebiri itulah yang menimbulkan anggapan bahwa dengan melakukan vasektomi maka dapat menghilangkan nafsu kelamin atau seksualitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah gambaran kecemasan terhadap kemampuan seks pada akseptor kontrasepsi mantap pria/vasektomi di Kecamatan Gunungpati Kota Semarang. METODE
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Teknik pengambilan purposive sampling. informan secara Informan dalam penelitian ini berjumlah 8 orang yang terdiri dari 4 orang informan utama yang merupakan akseptor vasektomi dan 4 orang istri dari akseptor vasektomi sebagai informan triangulasi. Kriteria yang ditentukan peneliti untuk informan utama adalah akseptor yang telah mendapatkan tindakan vasektomi dengan pertimbangan menjalankan program KB bukan karena alasan lain seperti; penyakit atau kelainan tertentu, usia < 50 tahun, masih berdomisili di daerah Kecamatan Gunung Pati, bersedia menjadi informan. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam. Alat bantu yang digunakan dalam pengumpulan data adalah panduan wawancara mendalam dan alat perekam. Uji keabsahan data dilakukan dengan teknik triangulasi sumber, yaitu 88
Ahmad Dzakia Faris dan Sofwan Indarjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
dengan cara membandingkan hasil wawancara antara akseptor vasektomi dengan hasil wawancara dengan istri akseptor vasektomi untuk mengecek kebenaran jawaban yang diberikan oleh akseptor vasektomi. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis data model Miles dan Huberman, yaitu analisis data secara induktif. Analisis
dimulai dari pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan verifikasi data (Sugiyono, 2010:337). HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik akseptor vasektomi dapat disajikan dalam tabel 1 berikut ini:
Tabel 1 Karakteristik akseptor vasektomi No
Informan
Umur
1 2 3 4
Informan 1 Informan 2 Informan 3 Informan 4
39 38 46 35
Pendidikan Terakhir SMA SMP SMA SI
Berdasarkan tabel 1, diketahui bahwa informan berusia 35-46 tahun pada tahun 2014. Pendidikan terakhir informan beragam diantaranya tamat SMP, tamat SMA dan Sarjana SI. Usia pernikahan masing-masing informan juga beragam mulai dari telah menikah selama 12 tahun, 14 tahun hingga 21 tahun. Keempat informan juga memiliki jumlah anak yang berbeda yaitu ada 2, 3 dan 4.
Usia Pernikahan
Jumlah Anak
14 tahun 12 tahun 21 tahun 12 tahun
3 3 4 2
perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih lama dari pada yang tidak didasari pengetahuan. Berdasarkan hasil wawancara mengenai pengetahuan dasar tentang vasektomi didapatkan hasil bahwa seluruh informan telah mampu mendeskripsikan tentaang vasektomi walaupun terdapat keberagaman informasi yang disampaikan yang menggambarkan keberagaman tingkat pengetahuan dari seluruh informan. Para informan juga diminta untuk menjelaskan keuntungan dalam penggunaan vasektomi namun dari pernyataan yang diungkapkan oleh para informan tentang keuntungan vasektomi dapat diketahui bahwa sebagian besar informan belum menyadari sepenuhnya manfaat dan keuntungan dari menggunakan vasektomi yang sangat beragam. Selain keuntungan vasektomi para informan juga memberikan pernyataaan mereka mengenai kelemahan atau kerugian saat menggunakan vasektomi namun sebagian besar informan menyatakan tidak
Pengetahuan Tentang Vasektomi
Bloom dan Skinner dalam Indrayani (2014) mendefinisikan bahwa pengetahuan adalah kemampuan seseorang untuk mengungkapkan kembali apa yang diketahuinya dalam bentuk bukti atau jawaban, baik lisan maupun tulisan. Bukti atau jawaban tersebut merupakan reaksi suatu stimulus yang dapat berupa pertanyaan lisan maupun tulisan. Pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang karena dari pengalaman dan penelitian ternyata 89
Ahmad Dzakia Faris dan Sofwan Indarjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
mengalami kerugian apapun ketika menggunakan metode vasektomi. Hal ini tidak sejalan dengan yang dinyatakan oleh BKKBN Jatim mengenai kelemahan vasektomi sebagai berikut: 1. Harus dilakukan pembedahan. 2. Masih dimungkinkan untuk terjadinya komplikasi ringan. 3. Tidak seperti sterilisasi wanita yang langsung menghasilkan steril permanen, pada vasektomi masih harus menunggu beberapa hari, minggu atau bulanan sampai sel mani menjadi negatif. 4. Tidak dapat dilakukan pada orang yang masih ingin mempunyai anak lagi. 5. Perlindungan hanya untuk laki-laki (perempuan pasangannya tetap beresiko untuk hamil). 6. Kurangnya perlindungan dari penyakit menular seksual dan infeksi. Latar Belakang Vasektomi
Peserta
menyatakan bahwa ada alasan lain yaitu faktor jumlah anak. Jumlah anak hidup yang dimiliki pasangan suami istri (PUS) juga menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan untuk menggunakan vasektomi (Wibowo, 2013). PUS yang mempunyai jumlah anak hidup yang lebih sedikit, mempunyai kecenderungan untuk menggunakan jenis kontrasepsi dengan efektivitas rendah, keputusan pilihan tersebut disebabkan adanya keinginan untuk menambah anak lagi. Pada pasangan dengan jumlah anak hidup yang banyak, terdapat kecenderungan untuk menggunakan kontrasepsi dengan efektivitas tinggi. Pilihan ini disebabkan rendahnya keinginan atau tidak adanya keinginan atau tidak adanya keinginan untuk menambah anak lagi. Sebagian besar informan memiliki anak lebih dari dua orang. Dengan alasan informan yang sudah merasa cukup dengan jumlah anak yang telah dimiliki sekarang sehingga tidak ingin menambah jumlah anak lagi menjadi salah satu latar belakang pria memutuskan untuk menggunakan vasektomi.
Menggunakan
Ada banyak faktor yang mempengaruhi seseorang dalam berperilaku, tidak terkecuali dalam menentukan jenis/metode kontrasepsi yang akan digunakan. Berdasarkan pernyataan dari para informan mengenai alasan menggunakan vasektomi dapat dilihat bahwa faktor pasangan sangat dominan sebagai alasan utama pria memutuskan untuk menggunakan vasektomi atau kontrasepsi mantap. Dimana para suami lebih mengalah untuk menggunakan vasektomi dikarenakan kondisi istri yang tidak cocok dalam penggunaan kontrasepsi baik itu pil, IUD, maupun spiral dengan alasan mengalami efek samping seperti tumbuhnya jerawat bertambahnya berat badan, dan lain-lain. Selain faktor pasangan yang sangat dominan sebagai alasan pria menggunakan vasektomi sebagian informan juga
Gejala-Gejala Kecemasan
Kecemasan juga memiliki karakteristik berupa munculnya perasaan takut dan kehati-hatian atau kewaspadaan yang tidak jelas dantidak menyenangkan. Gejala-gejala kecemasan yang muncul dapat berbeda pada masing-masing orang. 1. Gangguan Psikologis Berdasarkan dari pernyataan yang diungkapkan oleh para informan mengenai gangguan psikologis yang mungkin dialami oleh para informan dapat ditarik kesimpulan bahwa para informan yang telah diwawancarai tidak merasakan dan tidak menyadari adanya gejala psikologis terhadap kecemasan pasca tindakan vasektomi yang telah dilakukan, Namun 90
Ahmad Dzakia Faris dan Sofwan Indarjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
hal ini tidak serta merta membuktikan bahwa para informan tidak memiliki kecemasan karena gejala-gejala psikologis merupakan gejala yang sulit dideteksi karena hanya dirasakan oleh individu dan akan sulit diketahui jika tidak diungkapkan oleh individu tersebut. Hal ini bisa saja terjadi karena banyak gejala yang terjadi namun tidak menimbulkan derita yang cukup untuk memakasa individu untuk mencari bantuan penanganan (Davidson, 2006). 2. Gangguan Fisik Gejala fisik yang menyertai kecemasan dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Ketika tubuh mengalami gejala fisik tersebut maka hal ini menandakan bahwa tubuh berada dalam fase reaksi peringatan, maka tubuh mempersiapkan diri untuk berjuang. Pada fase ini tubuh merasakan tidak enak sebagai akibat dari peningkatan sekresi hormon adrenalin dan non adrenalin. Berdasarkan dari pengalaman yang diungkapkan oleh para informan, maka dapat diungkapkan bahwa sebagian besar informan telah mengalami gejalagejala fisik yang dimaksud yang menyertai kecemasan namun para informan sendiri masih ragu-ragu dan tidak yakin tentang hal tersebut.
Berdasarakan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa para informan pernah mengalami kecemasan akan menurunnya kemampuan seksual namun hal ini terjadi pada masa awal setelah tindakan vasektomi, hal ini mungkin disebabkan karena para informan masih termakan oleh mitos-mitos yang ada dan menyebar di masyarakat. Namun, setelah melakukan hubungan suami-istri beberapa kali akhirnya informan mulai menyadari dan merasakan bahwa tidak adanya penurunan kemampuan seksual yang terjadi pasca tindakan vasektomi. Respon Terhadap Kecemasan
Ada faktor-faktor yang dapat menyebabkan individu mengalami kecemasan. Faktor-faktor tersebut adalah keadaan biologis, kemampuan beradaptasi/mempertahankan diri terhadap lingkungan yang diperoleh dari perkembangan dan pengalaman, serta adaptasi terhadap rangsangan, situasi atau stressor yang dihadapi. Sumber stressor/situasi yang dapat menyebabkan kecemasan didapatkan dari lingkungan sosial. Lingkungan sosial mempunyai aturan-aturan, kebiasaan, hukum-hukum yang berlaku di daerah tertentu. Hal inilah yang menyebabkan individu harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial yang ada. Individu yang tidak dapat menyesuikan diri dengan norma/aturan dalam masyarakat akan menyebabkan ketidakseimbangan dalam diri dan sosialnya, sehingga dapat menimbulkan kecemasan. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa kecemasan yang dialami oleh informan hanya dialami dalam jangka waktu yang tidak lama dan para informan hanya membiarkan kecemasan tersebut tanpa melakukan treatment tertentu untuk menghilangkan kecemasan yang
Kecemasan Terhadap Kemampuan Seksual
Hubungan seksual adalah salah satu kebutuhan individu yang dalam pemenuhannya harus melalui transaksi dengan objek-objek dunia luar atau lingkungan. Dalam berhubungan seksual individu memerlukan individu lain untuk dijadikan pasangan seksnya. Masingmasing individu berusaha memuaskan diri dan pasangan seksnya agar tercapai suatu keslarasan dan keharmonisan baik secara psikis maupun fisik.
91
Ahmad Dzakia Faris dan Sofwan Indarjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
mereka alami namun kecemasan tersebut hilang dengan sendirinya seiring berjalannya waktu dan kekhawatiran mulai dilupakan. Hal ini sangat mungkin terjadi karena kecemasan yang dialami oleh informan selaku akseptor vasektomi masih dalam fase yang adaptif, dalam artian informan masih bisa mengatasi sendiri dan beradaptasi dengan kecemasan yang dialaminya karena gangguan yang dirasakan tidak terlalu kuat sehingga tidak bisa memaksa dirinya untuk mencari dan berusaha memperoleh bantuan dalam mengatasi kecemasan tersebut. Pada dasarnya, kecemasan merupakan hal wajar yang pernah dialami oleh setiap manusia. Kecemasan sudah dianggap sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Kecemasan adalah suatu perasaan yang sifatnya umum, dimana seseorang merasa ketakutan atau kehilangan kepercayaan diri yang tidak jelas asal maupun wujudnya.
merasakan terjadinya gejala-gejala yang bersifat psikologis seperti depresi, minder dan sedih yang berkaitan dengan tindakan vasektomi. Kecemasan terhadap menurunnya potensi seksual tidak menimbulkan gangguan dan efek yang nyata pada kehidupan seksual akseptor vasektomi karena hal tersebut tidak terbukti terjadi secara langsung pada akseptor vasektomi. Untuk mengatasi gejala-gejala kecemasan yang dialaminya akseptor vasektomi di Kecamatan Gunungpati tidak melakukan treatment atau tindakan khusus melainkan hanya dibiarkan saja hingga kecemasan yang dialaminya hilang dan dilupakan dengan sendirinya. UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami tunjukkan kepada Kepala KesbangPolinmas Kota Semarang, Kepala UPT BAPERMASPER & KB Kecamatan Gunungpati, Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan Dr. H. Harry Pramono, M.Si, Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Dr. dr. Oktia Woro KH. M.Kes, dosen pembimbing Sofwan Indarjo, S.KM. M.Kes. dan akseptor vasektomi serta seluruh keluarga informan yang terlibat dalam penelitian ini.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian mengenai Gambaran Kecemasan Terhadap Kemampuan Seks Pada Akseptor Kontrasepsi Mantap Pria/Vasektomi (Studi Di Kecamatan Gunung Pati Kota Semarang), maka dapat disimpulkan bahwa kecemasan terhadap potensi seks yang dialami oleh akseptor vasektomi di Kecamatan Gunung Pati masih berada dalam fase adaptif dalam artian bahwa para informan berhasil mengatasi kecemasan yang dialaminya. Gejala-gejala yang menyertai kecemasan terhadap potensi seksual yang terjadi pada akseptor vasektomi di Kecamatan Gunung Pati meliputi gejala fisik seperti gangguan tidur dan jantung berdebar-debar. Akseptor vasektomi di Kecamatan Gunung Pati tidak
DAFTAR PUSTAKA Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 2013, Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013, Jakarta. Badan Pusat Statistik, 2013, Survei Demograsi dan Kesehatan Indonesia 2012, Jakarta. Davison, Gerald C, Neale, John M, Kring, Ann M. 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
92
Ahmad Dzakia Faris dan Sofwan Indarjo / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015) Everett, S, 2008, Kontrasepsi & Kesehatan Seksual Reproduktif, Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta.
Miles, Matthew B, Huberman AM, 1992, Analisis Data Kualitatif, UI-Press, Jakarta.
Handayani, Sri. 2010. Buku Ajar Pelayanan Keluarga Berencana. Yogyakarta: Pustaka Rihama.
Ramaiah, S, 2007, All You Want To Know About Anxiety, Sterling Publisher Pvt. Ltd, New Delhi.
Hartanto, H, 2004, Keluarga Berencana dan Kontrasepsi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Sugiyono, 2008, Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R&D, Alfabeta, Bandung.
Indrayani, 2014, VASEKTOMI: Tindakan Sederhana dan Menguntungkan Bagi Pria Untuk Tenaga Kesehatan, Trans Info Media, Jakarta.
Wibowo, Johari Adi, 2013, Proses Implementasi Program Akseptor Pria Vasektomi di Kecamatan Sukadana Kabupaten Kayong Utara, Jurnal S1 Ilmu Pemerintahan, Volume. 2, No. 2, Agustus 2013, hlm. 1-7.
Manuaba I.A.C, Manuaba I.G.F, 2009, Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita, EGC, Jakarta.
93
Tegar Bramasto dan Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015) UJPH 4 (4) (2015)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
PENGGUNAAN JOB SAFETY ANALYSIS DALAM IDENTIFIKASI RISIKO KECELAKAAN KERJA DI BAGIAN WORKSHOP PT. TOTAL DWI DAYA KOTA SEMARANG Tegar Bramasto , Intan Zainafree Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima September 2015 Disetujui September 2015 Dipublikasikan Oktober 2015
Setiap tempat kerja selalu mempunyai risiko kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Sebagai upaya pengendalian risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja, perlu diidentifikasi sumber bahaya yang ada di tempat kerja dan dievaluasi tingkat risikonya serta dilakukan pengendalian yang memadai. Insiden kecelakaan dan cedera di tempat kerja dapat dikurangi dengan penggunaan Job Safety Analysis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi bahaya serta pengendalian yang tepat pada bagian workshop PT. Total Dwi Daya. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan observasional. Data yang digunakan dalam penelitian adalah data primer hasil observasi pada proses kerja dan wawancara kepada supervisor, serta data sekunder yang digunakan yaitu instruksi kerja dan data kecelakaan kerja. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa risiko kecelakaan kerja yang terdapat pada bagian workshop yaitu: kejang otot, terkena plat jatuh, terkilir, terpeleset, terjepit plat, terjepit mesin, tersengat listrik, terbentur mesin, tersayat plat, tersambar plat, terkena permukaan panas, terkena api, menghirup asap, tersandung kabel, terkena gerinda, terkena percikan api, tersambar pipa, terkena mata bor, tertimpa, terkena steelwool, terkena paku, tersandung plat, terkena pisau dan tergores. Saran untuk PT. Total Dwi Daya yaitu peningkatan pengawasan terhadap pekerja serta pelatihan pembuatan Job Safety Analysis.
________________ Keywords: Accident Risk; Hazard Identification; Job Safety Analysis. ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ Every workplace always have risk and possibility of accidents and occupational diseases. In an effort to control the risk of accidents and occupational diseases, sources of hazards that exist in the workplace need to be identified, evaluated its level of risk and proper control. The incident of accident and injury at work can be reduced by using Job Safety Analysis. The purpose of this research was to understand the potential of danger and right control of it in workshop division Total Dwi Daya Corporation. This study was using qualitative descriptive research with observational approach. Primary data used in this research were observation in working process and interview with supervisor. Secondary data were work instruction and accident data. Conclusion of this research, potential dangers found in workshop division were: muscle spasms, hit by fallen plate, sprains, slips, squished by plate, squished by machine, electric shock, collide, cut by plate, strucked by plate, exposed to hot surfaces, exposed to fire, smoke inhalation, tripping over wires, grinding exposed, exposed to sparks, struck pipe, drill hit, exposed nails and scraped. Suggestions for Total Dwi Daya Corporation are raising a control of workers and training Job Safety Analysis training.
© 2015 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail: [email protected]
ISSN 2252-6528
94
Tegar Bramasto dan Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
PENDAHULUAN
Kecelakaan tidak terjadi kebetulan, melainkan ada sebabnya. Oleh karena itu kecelakaan dapat dicegah, asal kita cukup kemauan untuk pencegahannya. Oleh karena itu pula sebab-sebab kecelakaan harus diteliti dan ditemukan, agar untuk selanjutnya dengan usaha-usaha koreksi yang ditujukan kepada sebab itu kecelakaan dapat dicegah dan tidak berulang kembali (Suma’mur, 2009:405). Sebagai upaya pengendalian risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja, perlu diidentifikasi sumber bahaya yang ada di tempat kerja dan dievaluasi tingkat risikonya serta dilakukan pengendalian yang memadai (Syukri, 1997:102). Identifikasi bahaya merupakan landasan dari program pencegahan kecelakaan atau pengendalian risiko. Tanpa mengenal bahaya, maka risiko tidak dapat ditentukan, sehingga upaya pencegahan dan pengendalian risiko tidak dapat dijalankan (Soehatman, 2010:54). Sasaran penilaian risiko adalah identifikasi bahaya sehingga tindakan dapat diambil untuk menghilangkan, mengurangi, atau mengendalikannya sebelum terjadi kecelakaan yang dapat menyebabkan cedera atau kerusakan (John, 2008:46). Banyak teknik analisis untuk evaluasi risiko bahaya yang ada di tempat kerja, baik sebelum mesin, instalasi atau peralatan digunakan, maupun setelah dioperasikan. Teknik analisis ini sangat bermanfaat untuk penekanan tingkat risiko tersebut sehingga tingkat kecelakaan dan penyakit akibat kerja terkurangi. Salah satu teknik analisis yang dilakukan oleh perusahaan adalah yang disebut analisis keselamatan pekerjaan atau Job Safety Analysis (JSA). Teknik ini relatif tidak sulit dilakukan,
terutama ditujukan pada pekerjaan manual dengan penggunaan metode observasi yang disebut studi gerak atau Motion Studies (Syukri, 1997:103). PT. Total Dwi Daya, berdiri sejak 1995, adalah perusahaan yang memproduksi alat dan mesin-mesin food processing. Alat-alat yang pernah dibuat seperti Alat pengolahan ikan menjadi surimi, otak-otak, nugget, serta alat untuk proses industri makanan seperti sosis, bakso ikan, bandeng presto, kerupuk udang, kekian dan lain-lain. PT. Total Dwi Daya memiliki 30 orang karyawan. Bahan baku berupa plat baja yang berat, serta banyaknya proses kerja baik manual maupun menggunakan mesin, menimbulkan risiko kecelakaan kerja. Beberapa risiko kecelakaan kerja yang mungkin terjadi pada bagian workshop, diantaranya adalah terpeleset, tersandung material, keram otot, terjepit mesin dan terpotong mesin. Sepanjang tahun 2013 terjadi 17 kali kecelakaan kerja. Kecelakaan kerja yang terjadi berupa 15 kejadian tergores plat baja, 1 kejadian sakit pinggang dan 1 kejadian terjepit mesin bending. Observasi awal yang dilaksanakan tanggal 17 April 2014, ada beberapa tindakan tidak aman (unsafe act) yang dilakukan pekerja, misalnya tidak menggunakan alat pelindung diri dengan benar dan tidak mengembalikan peralatan kerja ke tempat semula setelah dipakai. Juga terdapat kondisi tidak aman (unsafe condition) seperti bahan baku yang menumpuk dan sisa material yang berserakan. PT. Total Dwi Daya belum memiliki ahli K3 dan tidak ada program khusus tentang K3 serta disini belum pernah dilakukan job safety analysis. Oleh 95
Tegar Bramasto dan Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
karena itu, terdapat potensi bahaya dan layak untuk dilakukan penelitian. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui risiko kecelakaan kerja apa saja yang mungkin terjadi di PT. Total Dwi Daya dan tindakan apa yang dapat dilakukan untuk meminimalkan risiko kecelakaan kerja tersebut menggunakan job safety analysis.
secara sistematik dan akurat. Populasi yang menjadi objek dalam penelitian ini yaitu seluruh pekerja di bagian workshop PT. Total Dwi Daya yang berjumlah 24 pekerja. Sedangkan sampel penelitiannya diambil dengan menggunakan teknik snowball sampling. Instrumen yang digunakan yaitu panduan wawancara, digunakan untuk mengetahui proses kerja, material yang digunakan pada proses kerja dan cara mengoperasikan mesin. Lembar observasi digunakan untuk panduan dalam melakukan observasi. Pemeriksaan keabsahan data menggunakan teknik triangulasi dan analisis data menggunakan model Miles dan Huberman.
METODE
Penelitian ini dilaksanakan di PT. Total Dwi Daya Kota Semarang pada bulan Juli sampai Agustus 2014. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan observasional karena fakta dan karakteristik mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu digambarkan
Tabel 1 Daftar Identifikasi Bahaya Proses Making. No. 1.
Langkah Pekerjaan Mengangkat plat stainless dan meletakkannya pada meja drawing.
2.
Menggambar pola pada plat stainless.
Potensi Bahaya Kejang otot Terkena plat jatuh Terkilir Terpeleset Tergores sisi plat Tersandung plat
L C D C C C D
C 1 2 2 2 1 1
RR L L M M L L
L C D C C E E C D B D E B
C 1 2 2 2 3 3 1 1 2 2 3 1
RR L L M M M M L L H L M M
Tabel 2 Daftar Identifikasi Bahaya Proses Cutting. No. 1.
Langkah Pekerjaan Mengangkat plat stainless dan meletakkannya pada mesin cutting.
2.
Memotong plat menggunakan mesin cutting.
3.
Memindahkan plat ke mesin potong sudut. Memotong plat menggunakan mesin notcher. Memotong plat secara manual menggunakan tang
4. 5.
Potensi Bahaya Kejang otot Terkena plat jatuh Terkilir Terpeleset Terjepit mesin cutting Tersengat listrik Terbentur mesin Kejang otot Tersayat plat Terjepit mesin Tersengat listrik Tersambar sisa potongan terpental
96
yang
Tegar Bramasto dan Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
6.
Memindahkan plat ke mesin bending.
Kejang otot Tersayat plat
D B
1 2
L H
7.
Membersihkan sisa potongan plat.
Kejang otot Tersayat plat Terkilir Tersengat listrik
C B C D
1 2 2 3
L H M M
Tabel 3 Daftar Identifikasi Bahaya Proses Bending. No. 1.
2.
3.
Langkah Pekerjaan Mengangkat plat stainless dan meletakkannya pada mesin bending. Melipat plat menggunakan mesin bending.
Potensi Bahaya Kejang otot Terkena plat jatuh Tersayat plat Terjepit mesin bending Terjepit plat Tersengat listrik
L D C B D C E
C 1 2 2 3 2 3
RR L M H M M M
Memindahkan plat ke proses WA.
Kejang otot Terpeleset
D C
1 2
L M
L B D C A A A B B A C
C 2 3 3 2 1 3 1 1 1 3
RR H M H H H E M M H H
Potensi Bahaya Terkena gerinda Terkena debu potong Terkena percikan api Terkena putaran steelwool Tersandung kabel Terkilir Tertimpa produk
L C A A C A C C
C 3 1 1 2 1 1 2
RR H H H M H L M
Kejang otot Terkena paku Terpeleset
C C B
1 2 1
L M M
Tabel 4 Daftar Identifikasi Bahaya Proses Welding and Assembling. No. 1.
Langkah Pekerjaan Mengelas plat menjadi satu
2.
Memotong pipa besi
3.
Melubangi plat
Potensi Bahaya Terkena plat yang panas Terkena api las Tersengat listrik Menghirup asap las Tersandung selang dan kabel Terkena gerinda Terkena percikan api Tersambar pipa yang terpental Tersandung kabel Terkena mata bor
Tabel 5 Daftar Identifikasi Bahaya Proses Finishing and Packing. No. 1.
Langkah Pekerjaan Menggerinda bekas menggunakan gerinda.
2.
Mengamplas produk menggunakan steelwool.
3.
Membungkus produk menggunakan plastik pembungkus. Memasukkan produk ke dalam kotak kayu.
4.
las
97
Tegar Bramasto dan Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
5.
Mengikat produk.
Terkilir
C
2
M
Terkena pisau saat memotong tali
D
2
L
Keterangan: L = Likehood (tingkat kekerapan, berdasarkan standar AS/NZS 4360)
C = Consequncy (estimasi tingkat keparahan, standar AS/NZS 4360) RR = Risk Rate (skala prioritas risiko, standar AS/NZS 4360)
Berdasarkan tabel 1-5 diatas, diketaui risiko kecelakaan kerja yang terdapat pada bagian workshop yaitu: kejang otot, terkena plat jatuh, terkilir, terpeleset, terjepit plat, terjepit mesin, tersengat listrik, terbentur mesin, tersayat plat, tersambar plat, terkena permukaan panas, terkena api, menghirup asap, tersandung kabel, terkena gerinda, terkena percikan api, tersambar pipa, terkena mata bor, tertimpa, terkena steelwool, terkena paku, tersandung plat, terkena pisau dan tergores. Pada bagian workshop PT. Total Dwi Daya terdapat beberapa aktivitas berulang yaitu pada saat mengangkat dan memindahkan bahan baku. Beberapa pekerja juga tidak melakukan teknik mengangkat beban dengan benar. Mereka memindahkan plat baja dengan membawanya diatas kepala. workshop Bagian menggunakan beberapa mesin dengan tenaga listrik. Salah satunya adalah mesin las listrik. Mesin yang digunakan yaitu Titan TIG 160 dengan arus output 10-160 A. Kondisi mesin cukup baik, namun bila tidak hati-hati saat mengoperasikannya maka pekerja berisiko tersengat listrik. Risiko tersengat listrik juga
dapat terjadi dikarenakan kabel-kabel listrik yang tidak tertata rapi. Apabila pekerja tersandung kabel dan kabel putus dapat mengakibatkan tersengat listrik. Penyebab tersandung pada bagian workshop adalah kabel-kabel yang tertata dan material yang diletakkan di lantai. Menurut Work Cover NSW (2007), mengubah desain tempat kerja dapat mengurangi risiko tersandung maupun terpeleset. Selain digunakan untuk memotong bahan baku, gerinda juga digunakan untuk menghaluskan permukaan setelah bahan di las. Menggerinda banyak dilakukan pada saat proses welding and assembling dan finisihing. Pada saat menggerinda, banyak pekerja yang tidak menggunakan alat pelindung diri. Juga pada saat berhenti sejenak, pekerja tidak mematikan alat gerinda. Setelah risiko kecelakaan kerja diketahui dan didapatkan alternatif pengendalian masalah kemudian data dituangkan dalam lembar job safety analysis seperti pada tabel 6-10.
98
Tegar Bramasto dan Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
Tabel 6 Job Safety Analysis pada proses making Halaman: dari 1
Nama Pekerjaan: Making Peralatan: Meja, spidol, pensil Bagian: Workshop
penggaris,
1
JSA No.
Tanggal: 14 Juli 2014
Baru / Revisi : Baru
Supervisor: Imam Analisis oleh: Tegar Bramasto Disetujui Oleh:
APD yang diperlukan: Safety shoes. Langkah Kerja
Potensi Bahaya
Pengendalian
Mengangkat plat stainless dan meletakkannya pada meja drawing.
1a. Kejang otot 1b. Terkena plat yang jatuh 1c. Terkilir 1d. Terpeleset
Menggambar pola pada stainless.
2a. Tergores sisi plat 2b. Tersandung plat
1a. Mengangkat plat dengan dibantu beberapa orang pekerja. 1b.1. Membuat SOP mengangkat plat stainless. 1b.2. Menggunakan safety shoes. 1c.1. Berhati hati dalam melangkah 1c.2. Membuat SOP mengangkat plat stainless. 1d.1. Lantai dibuat agar bergerigi. 1d.2. Membersihkan lantai dari debu 1d.3. Mengenakan safety shoes dengan bahan sole polyurethane.
plat
2a. Jaga jarak dengan plat saat berpindah posisi. 2b.1. Menata plat agar tidak berserakan. 2b.2. Tidak meletakkan plat di lantai. 2b.3. Menggunakan safety shoes.
Tabel 7 Job Safety Analysis pada proses cutting. Nama Pekerjaan: Cutting Peralatan: Mesin cutting, mesin notcher, guillotine Bagian: Workshop
Halaman: 1 JSA No. dari 2 Supervisor: Imam
Tanggal: 14 Juli 2014
Analisis oleh: Tegar Bramasto Disetujui Oleh:
APD yang diperlukan: Sarung tangan, safety shoes, face shield. Langkah Kerja
Baru / Revisi : Baru
Potensi Bahaya
99
Pengendalian
Tegar Bramasto dan Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
Mengangkat plat stainless dan meletakkannya pada mesin cutting.
Memotong plat menggunakan mesin cutting.
1a. Kejang otot 1b. Terkena plat yang jatuh 1c. Terkilir 1d. Terpeleset
2a. Terjepit mesin cutting 2b. Tersengat listrik 2c. Terbentur mesin
1a. Mengangkat plat dengan dibantu beberapa orang pekerja. 1b.1. Membuat SOP mengangkat plat stainless. 1b.2. Menggunakan safety shoes. 1c.1. Berhati hati dalam melangkah 1c.2. Membuat SOP mengangkat plat stainless. 1d.1. Lantai dibuat agar bergerigi. 1d.2. Membersihkan lantai dari debu 1d.3. Mengenakan safety shoes dengan bahan sole polyurethane. 2a1. Membuat SOP dalam mengoperasikan mesin cutting. 2a3. Membuat tulisan peringatan yang terlihat jelas di depan mesin. 2b.1 Membuat SOP dalam menyalakan mesin. 2c. Mengecat bagian mesin dengan warna yang mudah terlihat
Nama Pekerjaan: Cutting Peralatan: Mesin cutting, mesin notcher, guillotine Bagian: Workshop
Halaman: dari 2
2
JSA No.
Tanggal: 14 Juli 2014
Supervisor: Imam Analisis oleh: Tegar Bramasto Disetujui Oleh:
APD yang diperlukan: Sarung tangan, safety shoes, face shield Langkah Kerja
Baru / Revisi : Baru
Potensi Bahaya
100
Pengendalian
Tegar Bramasto dan Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
Memindahkan plat ke mesin potong sudut.
Memotong plat menggunakan mesin notcher.
3a. Tersayat plat 3b. Kejang otot
4a. Terjepit mesin 4b. Tersengat listrik
5a. Terkena potongan plat yang terpental Memotong plat secara manual menggunakan tang potong. 6a. Tersayat plat Memindahkan plat ke mesin bending. Membersihkan sisa potongan plat.
7a. Kejang otot 7b. Tersayat plat 7c. Terkilir 7d. Tersengat listrik
3a.1. Mengangkat pada sisi yang tidak tajam. 3a.2. Menggunakan safety gloves 3b. Mengangkat plat dengan dibantu beberapa orang pekerja 4a.1. Memperhatikan posisi tangan sebelum mengoperasikan mesin. 4a.2. Membuat SOP menggunakan mesin notcher. 4b.1. Menggunakan alat penurun tegangan otomatis. 4b.2. Menggunakan sarung tangan berisolator. 5a.1. Menggunakan tang yang tajam. 5a.2. Menggunakan face shield 6a.1. Mengangkat pada sisi yang tidak tajam. 6a.2. Menggunakan sarung tangan. 7a.1. Memindahkan plat sisa menggunakan gerobak. 7a.2. Menggunakan sarung tangan dan safety shoes. 7b. Menggunakan sarung tangan. 7c. Memindahkan plat sisa menggunakan gerobak. 7d.1. Merapihkan kabel di belakang mesin. 7d.2. Menggunakan alat penurun tegangan otomatis.
Tabel 8 Job Safety Analysis pada proses bending. Nama Pekerjaan: Bending Peralatan: Mesin bending Bagian: Workshop
Halaman: 1 JSA No. dari 1 Supervisor: Imam Disetujui Oleh:
Tanggal: 14 Juli 2014
Analisis oleh: Tegar Bramasto
APD yang diperlukan: Safety shoes, sarung tangan Langkah Kerja
Potensi Bahaya
101
Baru / Revisi : Baru
Pengendalian
Tegar Bramasto dan Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
Mengangkat plat stainless dan meletakkannya pada mesin bending.
1a. Kejang otot 1b. Terkena plat yang jatuh 1c. Tersayat plat
Menekuk plat menggunakan mesin bending
2a. Terjepit mesin bending 2b. Terjepit plat 2c. Tersengat listrik
Memindahkan plat ke proses WA
3a. Kejang otot 3b. Terpeleset
1a. Mengangkat plat dengan dibantu beberapa orang pekerja. 1b.1. Membuat SOP mengangkat plat stainless. 1b.2. Menggunakan safety shoes 1c.1. Memegang pada sisi yang tidak tajam. 1c.2. Menggunakan sarung tangan. 2a.1. Memperhatikan posisi tangan sebelum mengoperasikan mesin. 2a.2. Membuat SOP dalam menggunakan mesin bending. 2a.3. Membuat tulisan peringatan yang terlihat jelas di depan mesin. 2a.4. Menggunakan sarung tangan. 2b. Menggunakan sarung tangan. 2c. Menggunakan alat penurun tegangan otomatis. 3a. Mengangkat plat dengan dibantu beberapa orang pekerja. 3b.1. Lantai dibuat agar bergerigi. 3b.2. Membersihkan lantai dari debu 3b.3. Mengenakan safety shoes dengan bahan sole polyurethane
Tabel 9 Job Safety Analysis pada proses welding and assembling. Nama Pekerjaan: Welding and Assembling
Halaman: dari 2
Peralatan: Las, gerinda, duduk Bagian: Workshop
Supervisor: Imam
bor
1
JSA No.
Tanggal: 14 Juli 2014
Analisis oleh: Tegar Bramasto Disetujui Oleh:
APD yang diperlukan: Safety shoes, sarung tangan, topeng las, safety googles. Langkah Kerja
Baru Revisi Baru
Potensi Bahaya
102
Pengendalian
/ :
Tegar Bramasto dan Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
Merangkai dan mengelas plat
1a. Terkena plat panas 1b. Terkena api las 1c. Tersengat listrik 1d. Menghirup asap las 1e. Tersandung selang dan kabel
Nama Pekerjaan: Welding and Assembling
Halaman: dari 2
2
Peralatan: Las, gerinda, bor duduk
Supervisor: Imam
Bagian: Workshop
Disetujui Oleh:
JSA No.
1a.1. Memakai safety gloves. 1a.2. Memakai pakaian lengan panjang 1b. Memakai safety gloves berbahan dasar kulit 1c.1. Menggunakan mesin dengan tegangan rendah 1c.2. Menggunakan alat penurun tegangan otomatis. 1d.1. Memberikan ventilasi yang cukup pada ruangan las. 1d.2. Menggunakan respirator. 1e. Membuat jalur khusus untuk kabel dan selang
Tanggal: 14 Juli 2014
Baru / Revisi : Baru
Analisis oleh: Tegar Bramasto
APD yang diperlukan: Safety shoes, sarung tangan, topeng las, safety googles. Langkah Kerja
Potensi Bahaya
Pengendalian
Memotong pipa besi
2a. Terkena gerinda 2b. Terkena percikan api 2c. Terkena potongan pipa yang terpental
2a.1. Periksa roda gerinda dari keretakan. 2a.2. Matikan gerinda bila tidak digunakan 2b. Menggunakan safety googles. 2c.1. Membuat tempat khusus untuk pipa. 2c.2. Kencangkan pipa sebelum digerinda. 2c.3. Memakai face shield.
Melubangi plat 3a. Tersandung kabel 3b. Terkena mata bor
3a. Membuat jalur khusus kabel. 3b. Mematikan bor saat tidak digunakan.
103
Tegar Bramasto dan Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
Tabel 10 Job Safety Analysis pada proses finishing and packing. Nama Pekerjaan: Finishing and Packing Peralatan: Gerinda, amplas, steelwool¸ plastic pembungkus, selotip, tali, pisau, paku, palu. Bagian: Workshop
Halaman: 1 JSA No. dari 2 Supervisor: Imam
Tanggal: 14 Juli 2014
Baru / Revisi : Baru
Analisis oleh: Tegar Bramasto
Disetujui Oleh:
APD yang diperlukan: Safety shoes, sarung tangan, safety googles, face shield. Langkah Kerja
Potensi Bahaya
Pengendalian
Menggerinda bekas las
1a. Terkena gerinda 1b. Terkena percikan api 1c. Terkena debu potong
Mengamplas produk menggunakan steelwool
2a. Terkena putaran steelwool. 2b. Tersandung kabel 2c. Terkilir
1a.1. Periksa roda gerinda dari keretakan. 1a.2. Matikan gerinda bila tidak digunakan 1b. Menggunakan safety googles. 1c. Menggunakan masker penyaring debu.
Membungkus menggunakan pembungkus
produk plastik
2a.1. Menggunakan steelwool yang lebih halus 2a.2. Menggunakan safety gloves. 2b. Membuat jalur khusus untuk kabel. 2c. Menggunakan mesin steelwool yang lebih ringan.
3a. Tertimpa produk
3a.1. Melakukan dibantu pekerja lain. Nama Pekerjaan: Finishing and Packing
Halaman: 2 dari 2
JSA No.
Tanggal: 14 Juli 2014
pekerjaan
Baru / Revisi : Baru
Peralatan: Gerinda, amplas, Supervisor: Imam steelwool¸ plastic pembungkus, Analisis oleh: Tegar Bramasto selotip, tali, pisau, paku, palu. Bagian: Workshop Disetujui Oleh: APD yang diperlukan: Safety shoes, sarung tangan, safety googles, face shield. Langkah Kerja
Potensi Bahaya
104
Pengendalian
Tegar Bramasto dan Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
Memasukkan produk ke dalam kotak kayu
Mengikat produk
4a. Kejang otot 4b. Terkena paku 4c. Terpeleset 4d. Terkilir
5a. Terkena memotong tali.
pisau
saat
4a. Mengangkat produk dengan dibantu beberapa pekerja. 4b. Mengenakan pakaian lengan panjang atau wearpack 4c.1. Melakukan packing di luar ruangan 4c.2. Lantai dibuat agar bergerigi. 4c.3. Membersihkan lantai dari debu 4c.4. Mengenakan safety shoes dengan bahan sole polyurethane 4d. Mengangkat produk dengan dibantu beberapa pekerja. 5a.1. Memegang pisau pada sisi yang tidak tajam. 5a.2. Mengenakan safety gloves.
SIMPULAN
Risiko kecelakaan kerja yang terdapat pada bagian workshop yaitu: kejang otot, terkena plat jatuh, terkilir, terpeleset, terjepit plat, terjepit mesin, tersengat listrik, terbentur mesin, tersayat plat, tersambar plat, terkena permukaan panas, terkena api, menghirup asap, tersandung kabel, terkena gerinda, terkena percikan api, tersambar pipa, terkena mata bor, tertimpa, terkena steelwool, terkena paku, tersandung plat, terkena pisau, tergores. Pengendalian yang diperlukan menjalankan instruksi kerja sesuai dengan jenis pekerjaannya dengan baik dan benar, menjaga jarak antara posisi mesin dengan bagian tubuh, tidak membawa beban terlalu banyak dan berat, pergunakan alat bantu dan alat pelindung diri yang tepat. UCAPAN TERIMA KASIH
Semarang, Dr. H. Harry Pramono, M.Si, dosen pembimbing I Bapak Eram Tunggul Pawenang, SKM, M.Kes dan dosen pembimbing II Ibu dr. Intan Zainafree, M.H.Kes atas arahan serta bimbingannya, Ketua Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang Dr. dr. Oktia Woro KH, M.Kes, Direktur PT. Total Dwi Daya, atas ijin penelitian serta seluruh pekerja bagian Workshop PT. Total Dwi Daya, atas bantuan serta partisipasi dalam pelaksanaan penelitian. DAFTAR PUSTAKA Suma’mur P.K., 2009, Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja, Jakarta: CV. Sagung Seto. Sahab, Syukri. 1997, Teknik Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: PT. Bina Sumber Daya Manusia. Ramli,
Terima kasih yang sebesar-besarnya saya ucapkan kepada Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri
Soehatman. 2010, Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS 18001. Jakarta: PT. Dian Rakyat.
Ridley, John. Channing, John. 2008, Safety at Work Seventh Edition. Inggris: Elsevier.
105
Tegar Bramasto dan Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
Work Cover New South Wales, 2007, Preventing Slips, Trips and Falls. New South Wales: New South Wales Government.
106
UJPH 4 (4) (2015)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
EFEKTIVITAS METODE SIMULASI PERMAINAN “MONOPOLI HIV” TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN KOMPREHENSIF HIV/AIDS PADA REMAJA DI KOTA SEMARANG (studi kasus di SMA Kesatrian 1 Semarang) Indramala Yulmi Saputri , Mahalul Azam Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima September 2015 Disetujui September 2015 Dipublikasikan Oktober 2015
Di Indonesia jumlah kasus HIV/AIDS meningkat pada kelompok umur 20-29 tahun. Upaya pencegahan dapat dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan komprehensif HIV/AIDS pada remaja melalui pendidikan kesehatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas metode simulasi permainan terhadap pengetahuan komprehensif HIV/AIDS pada remaja dikota Semarang (studi kasus di SMA Kesatrian 1 Semarang). Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen semu dengan rancangan penelitian pretest-posttest with control group. Sampel dalam penelitian berjumlah 25 pada masing-masing kelompok kontrol dan eksperimen. Pengambilan data berupa pretest dan posttes dengan selang waktu 16 hari. Analisis menggunakan Uji McNemar dan chi square. Hasil penelitian menunjukan ada perbedaan pengetahuan komprehensif HIV/AIDS yang bermakna antara sebelum dan setelah intervensi pendidikan kesehatan dengan metode simulasi permainan (p value = 0,000). Maka dapat disimpulkan bahwa metode simulasi permainan efektif dalam meningkatkan pengetahuan komprehensif HIV/AIDS pada remaja di SMA Kesatrian 1 Semarang.
________________ Keywords: Comprehensive Knowledge; HIV/AIDS; monopoli game ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ In Indonesia, cases of HIV / AIDS increased in the age group 20-29 years. Prevention efforts can be made to improve the comprehensive knowledge of HIV / AIDS among adolescents through health education. The purpose of this study was to determine the effectiveness of the simulation game method to comprehensive knowledge of HIV / AIDS among adolescents in the city of Semarang (case study in Kesatrian 1 Semarang senior high school). This study was a quasi-experimental research with pretest-posttest study design with control group. The total sample were 25 on each of the control and experimental groups. Collecting data in the form of pretest and posttes with an interval of 16 days. Analysis used the McNemar test and chi-square. The results showed there was significantly difference in the comprehensive knowledge of HIV / AIDS between before and after the intervention of health education with game simulation method (p value = 0.000). It could be concluded that the simulation game method was effective in improving the comprehensive knowledge of HIV / AIDS among adolescents in Kesatrian 1 Semarang senior high school.
© 2015 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail: [email protected]
ISSN 2252-6528
107
Indramala Yulmi Saputri dan Mahalul Azam / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
PENDAHULUAN
Menurut WHO pada tahun 2013, pada akhir tahun 2012, secara global terdapat 35,3 juta orang hidup dengan HIV. Pada tahun yang sama, sekitar 75 juta orang terinfeksi HIV, dan 1,6 juta orang meninggal karena AIDS. Kasus HIV di Asia Tenggara menduduki peringkat keempat tertinggi di dunia, terhitung hampir 3,4 juta orang mengidap HIV/AIDS, dan 200.000 meninggal karena HIV/AIDS (WHO, 2013). Bedasarkan data Ditjen PP &PL Kemenkes, perkembangan HIV/AIDS di Indonesia tahun 2013 terdapat penambahan kasus 1.983 kasus. Dengan demikian, jumlah komulatif AIDS dari tahun 1987 sampai dengan bulan September 2013 sebanyak 45.650 orang (Ditjen PP & PL Kemenkes, 2013). Berdasarkan data dari profil Kesehatan provinsi Jawa Tengah kasus AIDS tahun 2012 mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yaitu dari 755 kasus menjadi 797 kasus. Kematian karena AIDS dari 89 kasus menjadi 149 kasus (Dinkes Provinsi Jateng, 2012). Di Kota Semarang sendiri menurut laporan Dinas Kesehatan Kota Semarang kasus HIV tahun 2012 untuk Kota Semarang saja sebanyak 176 orang dengan kondisi 104 orang sudah pada stadium AIDS ( Dinkes Kota Semarang, 2012). Secara kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 20-29 tahun (34,5%), diikuti kelompok umur 30-39 tahun (28,7%), kelompok umur 40-49 tahun (10,6%), kelompok umur 15-19 tahun (3,2%), dan 50-59 tahun (3,2%) (Ditjen PP & PL, 2013). Menurut Komisi Penanggulangan AIDS pemahaman remaja tentang HIV/AIDS masih sangat minim, padahal remaja termasuk kelompok usia yang
rentan dengan perilaku berisiko (KPA, 2011). Data Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) 2011 menunjukan hanya 22,3% remaja memiliki pengetahuan komprehensif HIV/AIDS (Kemenkes RI, 2011). Data dari Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan tahun 2013 berdasarkan survey cepat (Rapid Survey) yang dilakukan tahun 2012 menunjukan remaja usia 15-24 tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif mengenai HIV dan AIDS hanya 21,25% saja, sedangkan tahun 2014 target remaja yang memiliki pengetahuan komprehensif HIV/AIDS harus mencapai 95% (Ditjen PP & PL, 2013). Berdasarkan observasi awal yang dilakukan pada empat SMA yang berada di sekitar lokalisai kecamatan Semarang Barat, siswa SMA Kesatrian 1 Semarang mempunyai pengetahuan komprehensif HIV/AIDS sebesar 20%. Data tersebut lebih rendah dari ketiga SMA yang lain yaitu SMA Negeri 7 Semarang sebesar 21,6%, SMA Setia Budi sebesar 20,6% dan SMA Purmana 3 sebesar 21,1%. Oleh karena itu, perlu upaya pemberian informasi kesehatan reproduksi terutama masalah tentang HIV/AIDS pada remaja khususnya siswa SMA dalam upaya peningkatan pengetahuan Komprehensif HIV/AIDS. Promosi kesehatan dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai metode dan media yang disesuaikan dengan sasaran. Media permainan sebagai alat belajar dan mengajar dapat dipakai dalam promosi kesehatan. Permainan sebagai media promosi kesehatan karena merupakan media belajar yang menyenangkan dan kembali pada manfaat permainan, permainan mampu menghadirkan sesuatu
108
Indramala Yulmi Saputri dan Mahalul Azam / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
kegembiraan dalam belajar bagi siswa dan tanpa sadar menstimulus otak, dan dapat meningkatkan IQ, serta meningkatkan rasa percaya diri. Suasana yang tercipta dapat mengakrabkan hubungan antara peneliti dan siswa. Dan nilai penting dari setiap permainan, apa yang diperlukan untuk mempersiapkannya (alat, bahan, dan bentuk peran serta peneliti) serta bagaimana permainan itu dilakukan yang kemudian diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan untuk pemecahan suatu masalah, dan akhirnya peserta memberikan penilaian terhadap apa yang disampaikan dan dilihatnya (Prasojo, 2010). Penggunaan media permainan tidak untuk setiap pembelajaran, perlu dirancang pada waktu-waktu tertentu dan topik dan sub pokok bahasan tertentu. Media bisa mengadopsi dari berbagai jenis permainan yang sudah dikenal oleh siswa, namun materi dan pertanyaan-pertanyaan bias disesuaikan dengan indikator pembelajaran. Misalnya permainan monopoli (Rahmawati, 2009). Permainan-permainan sederhana dapat menjadi sumber inspirasi dalam merancang sebuah media pembelajaran. Kita mengetahui bahwa permainan monopoli adalah salah satu jenis permainan papan yang terkenal di dunia. Permainan ini tidak hanya berlaku di Negara kita saja, tetapi juga di berbagai negara lain di dunia (Rifkisajid, 2013). Maka dari itu perlu adanya inovasi dari permainan monopoli sebagai media pendidikan kesehatan khususnya pada pengetahuan tentang HIV/AIDS pada remaja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas metode simulasi permainan “monopoli HIV” terhadap peningkatan penhethauan komprehensif HIV/AIDS pada remaja di SMA Kesatrian 1 Semarang.
METODE
Jenis dan rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah ekperimen semu atau Quasi Eksperiment dengan menggunakan pendekatan rancangan pretest-posttest with control group. Populasi pada penelitian ini yaitu seluruh siswa kelas XII SMA Kesatrian 1 Semarang yang berjumlah 289 siswa. Besar sampel pada penelitian ini sebanyak 25 responden pada setiap kelompok, karena pada penelitian ini terdapat dua kelompok yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, jadi jumlah keseluruhan sampel berjumlah 50. Pada penelitian ini kelompok eksperimen yaitu kelompok yang mendapatkan pendidikan kesehatan dengan metode simulasi permainan. Akan pretest, melaksanakan mendapatkan intervensi dan posttest sesuai dengan jadwal. Pretest dan posttest dilaksanakan selama 15 menit dengan jarak 16 hari. Dan intervensi yaitu berupa permainan monopoli HIV yang akan dilaksanakan selama 50 menit. Sedangkan pada kelompok kontrol adalah kelompok pembanding. Akan melaksanakan pretest, mendapat intervensi dan posttest sesuai jadwal. Pretest dan posttest dilaksanalam selama 15 menit dengan jarak 16 hari. Dan intervensi yaitu pendidikan kesehatan tentang HIV berupa penyululuhan atau ceramah yang akan dilaksanakan selama 20 menit. Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis univariat dan analisis bivariat dengan menggunakan uji statistik McNemar karena data yang digunakan berskala ordinal dengan dua sampel yang berpasangan dengan tabel 2x2 dan uji statistic Chi Square karena data yang digunakan berskala ordinal dengan 2
109
Indramala Yulmi Saputri dan Mahalul Azam / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
sampel yang tidak berpasangan dengan tabel 2x2. Variabel penelitian yang digunakan terdiri dari variabel terikat yaitu: pengetahuan komprehensif HIV/AIDS pada remaja, sedangkan variabel bebasnya adalah pendidikan kesehatan tentang HIV/AIDS dengan metode simulasi permainan. Tabel 1.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik responden
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin dan usia yang dapat dilihat pada tabel 1 berikut:
Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Usia
Karakteristik Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Usia 16 Tahun 17 Tahun 18 Tahun Total
Berdasarkan tabel distribusi responden menurut jenis kelamin di atas dapat diketahui bahwa jumlah responden perempuan pada kelompok eksperimen lebih banyak dari pada responden laki-laki yaitu sebanyak 17 responden (68,00%). Sedangkan pada kelompok kontrol jumlah responden laki-laki lebih banyak dari pada responden perempuan, yaitu sebanyak 13 responden (52,00%). Sedangkan distribusi responden menurut usia tersebut, diketahui bahwa pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yang terbanyak adalah pada usia 17 tahun, yaitu pada kelompok eksperiemen sebanyak 22 responden
Eksperimen n
%
Kontrol n
%
8 17
32,0 68,0
13 12
52,0 48,0
2 22 1 25
8,0 88,0 4,0 100
4 20 1 25
16,0 80,0 4,0 100
(88,00%) dan pada kelompok kontrol sebanyak 20 responden (80,00%). Perbedaan pengetahuan komprehensif HIV/AIDS antara pretest dan posttest
Pengukuran pengetahuan komprehensif HIV/AIDS dilakukan terhadap 50 responden pada kelompok kepsrimen dan kelompok kontrol yang dilakukan sebelum dan sesudah intervensi. Adapun hasil dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Perbedaan pengetahuan komprehensif HIV/AIDS antara pretest dan posttest Kelompok
Eksperimen
Pretest Posttest Jumlah
Pengetahuan HIV/AIDS Tidak Komprehensif Komprehensif n % n % 18 72,0 7 28,0 4 16,0 21 84,0
P Value 0,000 50
110
Indramala Yulmi Saputri dan Mahalul Azam / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
Kontrol
Pretest Posttest Jumlah
17 12
68,0 48,0
8 13
32,0 52,0
0,063 50
Berdasarkan tabel 2, hasil uji statistik dengan McNemar menunjukan adanya perbedaan tingkat pengetahuan komprehensif HIV/AIDS sebelum dan sesudah simulasi permainan diperoleh nilai p value = 0,000 yang berarti < 0,05. Artinya, terdapat perbedaan bermakna antara pengetahuan sebelum dan sesudah dilakukannya simulais permainan. Sedangkan pada kelompok kontrol diperoleh nilai p value = 0,063 yang berarti > 0,05, yang artinya, tidak terdapat perbedaan bermakna antara pengetahuan sebelum dan sesudah dilakukannya intervensi berupa penyuluhan. Berdasarkan analisis, diperoleh hasil bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara pretest dan posttest pada kelompok kontrol. Hal ini disebabkan karena pada kelompok tersebut tidak diberikan intervensi berupa pendidikan kesehatan HIV/AIDS dengan menggunakan metode simulasi permainan. Lain halnya pada kelompok eksperimen. Kondisi yang demikian tidak memberikan perubahan yang positif terhadap peningkatan pengetahuan komprehensif HIV/AIDS pada remaja dibanding kelompok eksperimen. Menurut Machfoedz, Ircham dan Eko Suryani (2008) bahwa metode pendidikan kesehatan berupa penyuluhan mempunyai kelemahan-kelemahan yaitu kurang adanya umpan balik antara
penyuluh dengan peserta yang disuluhnya, kemudian hasil dari penyuluhan sulit untuk dinilai hasilnya (Ircham, Machfoedz dan Eko Suryani, 2008). Dibanding pendidikan kesehatan dengan menggunakan metode simulasi permainan yang mempunyai berbagai keunggulan yang dapat memungkinkan kemudahan dalam proses belajar, keungggulan-keunggulan dari metode simulasi permainan antara lain meningkatkan partisipasi aktif peserta didik, memungkinkan adanya umpan balik yang menjadikan proses belajar lebih efektif, meningkatkan kemampuan untuk menyampaikan pendapat dalam diskusi kelompok (Sadiman, Arief dkk, 2009). Hal ini menyebabkan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara penegtahuan komprehensif HIV/AIDS sebelum intervensi penyuluhan dan setelah intervensi penyuluhan. Perbedaan posttest pada Eksperimen dan kelompok control
kelompok
Pengukuran pengetahuan komprehensif HIV/AIDS dilakukan pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol sebelum dilakukan intervensi yang berbeda pada setiap kelompoknya. Adapun hasil pengukuran pengetahuan komprehensif HIV/AIDS dapat dilihat pada tabel berikut ini ini.
Tabel 3. Perbedaan posttsest pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol Pengetahuan Tidak komprehensif Komprehensif Total
Kelompok Kontrol % 12 48,0 13 52,0 25 50,0
111
Eksperimen 4 21 25
% 16,0 84,0 50,0
Total
P value
16 34 50
0,034
Indramala Yulmi Saputri dan Mahalul Azam / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
Sedangkan pada tabel 3, hasil dari uji statistik dengan Chi-Square tidak berpasangan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, dengan nilai p value (0,034) < 0,05 dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan pengetahuan komprehensif HIV/AIDS yang signifikan antara post-test kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Artinya bahwa metode simulasi permainan efektif dalam meningkatkan pengetahuan komprehensif HIV/AIDS pada remaja SMA Kesatrian 1 Semarang tahun ajaran 2014-2015. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nanda Aditya yang menyatakan bahwa Metode Simulasi Game (SIG) lebih berpengaruh dibanding dengan metode Focus Group Discussion (FGD). Hal ini dikarenakan metode Simulation Game (SIG) dalam fasilitator memungkinkan penyuluh atau fasilitator lebih mudah dalam menyampaikan materi, peningkatan minat siswa saat penyuluhan karena penyampaian materi dengan metode ini menggunakan media permainan, motivasi siswa menjadi meningkat karena terdapat unsur kompetisi pada metode ini, adanya umpan balik secara langsung (Rizki, Nanda A, 2012). Metode simulasi permainan merupakan sebuah metode pendidikan kesehatan dengan menggunakan permainan monopoli efektif dalam meningkatkan pengetahuan komprehensif HIV/AIDS pada remaja, dikarenakan metode simulasi permainan dengan menggunakan permainan monopoli telah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga bisa menyesuaikan karakteristik sasaran penyuluhan yaitu remaja SMA. Menurut Muhamad Ali dan Muhamad Asrori (2008:60), karakteristik remaja yang salah satunya yaitu suka bergaul dan
berkelompok. Oleh karena ini dalam simulasi permainan ini dipilih dengan menggunakan permainan yang dilakukan secara mengelompok yaitu salah satunya dengan permainan monopoli. Menurut Ircham, Machfoedz dan Eko Suryani (2008), bila fasilitas untuk belajar dan materi cukup, tentu proses akan berhasil maka malalui metode permainan berupa monopoli memungkinkan terjadinya hal-hal sebagai berikut : 1. Meningkatkan pertisipasi aktif Permainan memungkinkan adanya partisipasi aktif untuk belajar. Seperti kita ketahui, belajar yang baik adalah belajar yang aktif. Permainan monopoli mempunyai kemampuan untuk melibatkan peserta didik dalam proses belajar secara aktif untuk menggali informasi mengenai pengetahuan HIV/AIDS. Dalam penyuluhan tentang HIV/AIDS pada remaja dengan metode simulasi permainan, peran penyuluh disini dapat benar-benar berperan sebagai fasilitator. Permainan monopoli menjadi menarik karena didalamnya terdapat unsur kompetisi. Partisipasi aktif juga meningkat karena adanya unsur kompetisi dalam permainan ini. Adanya unsure kompetisi ini akan menimbulkan suasana keragu-raguan karena tidak tahu sebelumnya siapa yang bakal menimbulkan suasana keragu-raguan siapa yang menang dan kalah (Sadiman, Arief dkk, 2009). 2. Memungkinkan adanya umpan balik langsung Umpan balik yang secepatnya atas apa yang dilakukan akan memungkinkan proses belajar menjadi lebih efektif (Sadiman, Arief, dkk, 2009). 3. Meningkatkan kemampuan untuk menyampaikan pendapat dalam diskusi kemlompok.
112
Indramala Yulmi Saputri dan Mahalul Azam / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
Pendidikan kesehatan tentang HIV/AIDS melalui metode simulasi permainan dengan permainan monopoli menerapkan metode diskusi. Adanya diskusi kelompok dalam sebuah permainan akan memperluas wawasan karena saling tukar pendapat diantara anggota kelompok. Diskusi dalam pendidikan tentang HIV/AIDS dengan metode permainan monopoli dilakukan ketika pemain mendapat pertanyaan dari pemandu permainan ataupun harus menjawab pertanyaan yang ada di dalam papan permainan, setelah menjawab pertanyaan maka pemain yang lain menilai apakah jawaban tersebut benar atau tidak secara berdiskusi satu sama lain. Perubahan pengetahuan remaja tentang pengetahuan komprehensif HIV/AIDS merupakan salah satu effect dari input (metode simulasi permainan). Hal ini sesuai dengan penelitian yang diadakan pada remaja SMA Kesatrian 1 Semarang yang mempunyai pengetahuan komprehensif HIV/AIDS sebelum dilakukan pendidikan kesehatan dengan menggunkan metode simulasi permainan sebanyak 28% saja, setelah dilakukan pendidikan kesehatan khususnya tentang HIV/AIDS dengan menggunkan metode simulasi permainan siswa yang mempunyai pengetahuan komprehensif HIV/AIDS sebanyak 84%, yang berarti terjadi peningkatan jumlah siswa yang mempunyai pengetahuan komprehensif HIV/AIDS sebanyak 56%.
SMA Kesatrian 1 Semarang. Meskipun belum meningkat sesuai target MDGs yaitu 95%, namun dari perbandingan sebelum dan sesudah terdapat peningkatan dari 28% menjadi 84%, hal tersebut menunjukan peningkatan sebesar 56%. UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami tujukan kepada Kepala Sekolah SMA Kesatrian 1 Semarang atas kerjasama dan ijin melakukan penelitian di sekolah tersebut. Terimakasih juga disampaikan kepada siswa kelas XII SMA Kesatrian 1 Semarang, khususnya yang terlibat pada penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2012, Profil Kesehatan Kota Semarang 2012, Dinas Kesehatan Kota Semarang, Semarang. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2012, Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Semarang. Ditjen PP & PL Kementerian Kesehatan, 2013, Laporan Perkembangan HIV-AIDS di Indonesia Triwulan III Tahun 2013, Kementerian Kesehatan RI, Jakarta. -----------------------------------------------------, 2013, Profil Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2012, Kementerian Kesehatan RI, Jakarta. Ircham, Machfoedz dan Eko Suryani, 2008, Pendidikan Kesehatan Bagian Dari Promosi Kesehatan, Yogyakarta: Fitramaya.
SIMPULAN
Setelah dilakukan analisis, maka dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan metode simulasi permainan efektif dalam meningkatkan pengetahuan komprehensif HIV/AIDS pada remaja di
Kementerian Kesehatan RI, 2011, Laporan STBP 2011 Lembar Fakta Remaja, Kementerian Kesehatan RI, Jakarta. Komisi Penanggulangan AIDS, 2011, Lembar Fakta Orang Muda dan HIV di Indonesia, Jakarta.
113
Indramala Yulmi Saputri dan Mahalul Azam / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015) Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, 2008, Psikologi Remaja Perkembangan Persera Didik, Jakarta: Bumi Aksara. Prasojo, S, 2010, Super Brain Game, Penerbit Gelar Semesta Aksara, Yogyakarta. Rahmawati, Indah, Media Permainan Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa, 9 Februari 2009, diakses tanggal 20 Agustus 2014, (http/suaraguru.wordpress.com/2009/02/09/ media-permainan-meningkatkan-motivasibelajar-siswa/) Rifkisajid, Manfaat Dari Bermain Monopoli, 27 Maret 2013, diakses pada tanggal 20 Agustus 2014, (http/m.kaskus.co.id/thread/51530e114f6ea1
c267000005/manfaat-dari-bermainmonopoli.) Rizki, Nanda A, 2012, Metode Focus Group Discussion Dan Simulation Game Terhadap Peningkatan Pengetahuan Kesehetan Reproduksi, KEMAS, Volume 8, No 1, Juli 2012, hlm. 23-29. Sadiman, Arief S, dkk, 2009, Media Pendidikan Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatan. Jakarta: Raja Grafinda Persada. World Health Organization, 2013, Data on the size of the HIV/AIDS epidemic: Data by WHO region Data by WHO region [ homepage on the internet ]. Diakses pada 25 Maret 2014. http://apps.who.int/gho/data/node.main.61 9?lang=en.
114
UJPH 4 (4) (2015)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
FAKTOR PELAYANAN KESEHATAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEBERHASILAN PENGOBATAN (SUCCESS RATE) TB PARU DI KABUPATEN SRAGEN Desi Rahmawati , Irwan Budiono Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima September 2015 Disetujui September 2015 Dipublikasikan Oktober 2015
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Success Rate merupakan salah satu indikator untuk menilai kemajuan penanggulangan TB. Capaian Success Rate di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah tahun 2011 sebesar 90,2% kemudian tahun 2012 meningkat menjadi sebesar 90,6%, namun pada tahun 2013 mengalami penurunan menjadi 86,7%. Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik (explanatory research), menggunakan metode survei dengan rancangan cross sectional. Populasi sebanyak 25 puskesmas, pengambilan sampel menggunakan teknik total sampling. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat (menggunakan uji chi square dengan α=0,05) dengan uji alternatif yakni uji fisher. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor pengetahuan petugas (p=0,010), sikap petugas (p=0,037), motivasi kerja petugas (p=0,010), ketersediaan logistik (p=0,027) dan pelaksanaan supervisi oleh Dinas Kesehatan (p=0,041) berhubungan dengan keberhasilan pengobatan (Success Rate) TB Paru di Kabupaten Sragen, sedangkan faktor keikutsertaan petugas dalam pelatihan (p=1,000), persepsi petugas terhadap kepemimpinan kepala puskesmas (p=0,360) dan sistem pencatatan dan pelaporan (p=0,200) tidak berhubungan dengan keberhasilan pengobatan (Success Rate) TB Paru di Kabupaten Sragen. Saran kepada kepala puskesmas dan petugas P2TB yaitu meningkatkan penjaringan suspek secara aktif dan kreatif serta meningkatkan capaian Success Rate dengan pendekatan khusus pada pasien yang rawan putus berobat.
________________ Keywords: Success Rate; Health service; Pulmonary TB ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ Tuberculosis was an infectious disease caused by Mycobacterium tuberculosis. Success Rate was one indicators used to assess the progress of TB reduction. The achievement of success rate in Sragen regency, Central Java in 2011 was 90.2% then in 2012 increased to 90.6% but in 2013 fell to 86.7%. This research was an analytical study (explanatory research), used a cross sectional survey. The population was about 25 health center in Sragen Regency. Sampling used total sampling technique. Data analysis were performed by univariate and bivariate (used chi square test with α=0.05) and alternative test used fisher test. The results of this study showed that the factors of officer’s knowledge (p=0.010), officer’s attitude (p=0.037), officer’s work motivation (p=0.010), the availability of logistics (p=0.027) and the implementation of supervision by the regional health agency (p=0.041) were related to the Success Rate of pulmonary TB in Sragen Regency, while the factors of the officer’s participation in training (p=1.000), officer’s perception of the health center head’s leadership (p=0.360) and the system of recording and reporting (p=0.200) were not related to the treatment success (Success Rate) of pulmonary TB in Sragen Regency. Advice to the head of health center and the officer are to increase suspect finding actively and creatively and also improve the achievement of success rate with special approach in patients who susceptible to drop out during the medical treatment.
© 2015 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail: [email protected]
ISSN 2252-6528
115
Desi Rahmawati dan Irwan Budiono / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
PENDAHULUAN
Tuberkulosis atau sering disebut dengan TB adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri yang bernama Mycobacterium tuberculosis (WHO, 2013). TB merupakan masalah kesehatan global yang menyebabkan jutaan orang menderita penyakit ini dan menjadi penyakit yang meyebabkan kematian terbesar kedua setelah HIV (Human Immunodeficiency Virus). Menurut WHO (2013) dalam Global Tuberculosis Report 2013, pada tahun 2012 terdapat 8.600.000 kasus TB baru dan 1.300.000 meninggal akibat TB. Untuk mengatasi kegawatan ini, WHO sejak pertengahan tahun 1990 menerapkan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) (WHO, 2013). Indonesia menempati peringkat keempat dengan insidensi sebesar 0,4-0,5 juta (WHO, 2013). Untuk menanggulangi keadaan tersebut Indonesia juga telah menerapkan strategi DOTS yang dicanangkan oleh WHO. Dalam program DOTS terdapat dua indikator untuk menilai kemajuan atau keberhasilan penanggulangan TB yaitu Angka Penemuan Pasien baru TB BTA positif (Case Detection Rate = CDR) dan Angka Keberhasilan Pengobatan (Success Rate = SR). CDR adalah prosentase jumlah pasien baru BTA positif yang ditemukan dan diobati dibanding jumlah pasien baru BTA positif yang diperkirakan ada dalam wilayah tersebut. Target CDR Program Penanggulangan TB Nasional minimal 70% (Kemenkes, 2009: 66). Sedangkan SR adalah prosentase pasien baru TB paru BTA positif yang menyelesaikan pengobatan (baik yang sembuh maupun pengobatan lengkap) di antara pasien baru TB paru BTA positif yang tercatat. Target SR Program Penanggulangan TB Nasional
minimal 90% (Dinkesprov Jateng, 2013: 45). Treatment Success Rate penderita TB Paru BTA (+) di Indonesia pada tahun 2011 telah mencapai 86,7% (Kemenkes RI, 2012). Capaian ini belum memenuhi target yang diharapkan yaitu sebesar 90% atau dapat disimpulkan bahwa usaha penanggulangan TB di Indonesia belum mencapai keberhasilan. Berdasarkan Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah tahun 2012, prevalensi tuberkulosis di Jawa Tengah pada tahun 2012 yaitu sebesar 106,42 per 100.000 penduduk (Dinkesprov Jateng, 2012), sedangkan menurut Buku Saku Kesehatan Triwulan 3 Tahun 2013 yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, penemuan kasus TB Paru (Case Detection Rate) di Jawa Tengah pada tahun 2012 adalah sebesar 58,45%, belum mencapai target nasional yakni 70%. Angka Kesembuhan TB Paru (Cure Rate) pada tahun yang sama telah mencapai 81,46%, namun masih di bawah target sebesar 85%, sedangkan capaian Success Rate sebesar 87,72%, belum mencapai target sebesar 90% (Dinkesprov Jateng, 2012; Depkes, 2006). Kabupaten Sragen merupakan salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Tengah. Data tahun 2011, 2012 dan 2013 yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sragen menyebutkan bahwa indikator CDR (Case Detection Rate) belum mencapai target yang ditentukan yaitu sebesar 70%. Pada tahun 2011 pencapaian CDR hanya sebesar 55,1% kemudian pada tahun 2012 mengalami kenaikan menjadi sebesar 56,0% akan tetapi pada tahun 2013 terjadi penurunan pada capaian CDR menjadi sebesar 52,4%. Selain itu, indikator CR (Cure Rate) pada tahun 2013 juga
116
Desi Rahmawati dan Irwan Budiono / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
mengalami penurunan dimana target dari indikator ini adalah sebesar 85%. Pada tahun 2011 indikator CR telah mencapai 88,1% kemudian pada tahun 2012 meningkat menjadi 89,2% namun pada tahun 2013 terjadi penurunan menjadi 84,3%. Indikator lain yaitu SR (Success Rate) pada tahun 2013 juga tidak luput dari penurunan. Pada tahun 2011 indikator SR telah mencapai 90,2% kemudian pada tahun 2012 meningkat menjadi 90,6% namun pada tahun 2013 terjadi penurunan menjadi 86,7% padahal target dari indikator ini adalah sebesar 90% (DKK Sragen, 2014). Dari hasil observasi pada bulan Maret tahun 2014 di Kabupaten Sragen, dari tahun ke tahun terjadi peningkatan jumlah pasien yang diobati oleh Puskesmas. Hal ini tidak lepas dari usaha DKK Kabupaten Sragen yang giat melaksanakan penyuluhan di berbagai daerah. Sehingga terjadi peningkatan kesadaran masyarakat untuk membawa seseorang dengan gejalagejala TB ke fasilitas pelayanan kesehatan namun tidak diikuti dengan peningkatan pada angka keberhasilan pengobatan (Success Rate) TB Paru. Angka Keberhasilan Pengobatan (SR) sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor baik faktor dari penderita maupun faktor pelayanan kesehatan. Penelitian Bertin Tanggap Tirtana (2011) variabel bebasnya adalah berupa faktor penderita yang meliputi keteraturan berobat, lama pengobatan, tingkat pendapatan, jenis pekerjaan, kebiasaan merokok, jarak tempat tinggal pasien hingga tempat pengobatan dan status gizi. Hasil dari penelitian tersebut adalah terdapat pengaruh antara keteraturan berobat dan lama pengobatan terhadap keberhasilan pengobatan, sedangkan untuk faktor pelayanan kesehatan belum dilakukan penelitian.
Sehingga dalam penelitian kali ini penulis tertarik untuk meneliti faktor pelayanan kesehatan. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah adakah hubungan antara tingkat pengetahuan petugas P2TB, sikap petugas P2TB, motivasi petugas P2TB, keikutserttaan petugas P2TB dalam pelatihan, persepsi petugas P2TB terhadap kepemimpinan kepala puskesmas, ketersediaan logistik, ketersediaan dana, pelaksanaan rapat koordinasi tingkat puskesmas, sistem pencatatan dan pelaporan, pelaksanaan supervisi oleh dinas kesehatan dan pelaksanaan evaluasi oleh Kepala Puskesmas dengan keberhasilan pengobatan di Kabupaten Sragen. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara faktor-faktor tersebut dengan keberhasilan pengobatan di Kabupaten Sragen. METODE
Penelitian ini bersifat “explanatory research” (penelitian penjelasan) yaitu menjelaskan hubungan antara variabel pengaruh dengan variabel terpengaruh melalui pengujian hipotesis. Dengan demikian maka penelitian rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode potong lintang (cross sectional). Dimana variabel bebas dan terikat diukur dalam satu waktu. Dalam penelitian ini data Success Rate yang digunakan adalah data Success Rate pada tahun 2013 sedangkan penelitian dilakukan pada tahun 2014. Hal ini dapat dimaklumi karena kondisi pada tahun 2014 tidak jauh berbeda dengan kondisi tahun 2013 mulai dari petugas P2TB Puskesmas masih sama hingga pendanaan yang tidak jauh berbeda. Beberapa keuntungan menggunakan
117
Desi Rahmawati dan Irwan Budiono / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
pendekatan cross sectional ini adalah dapat menekan biaya penelitian, waktu yang dibutuhkan relatif singkat dan efisiensi kerja (Murti, 2003: 220). Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner dan lembar checklist yang telah diuji validitas dan reliabilitas sebelum penelitian dilakukan. Sumber data yaitu data primer yang diperoleh langsung dari responden dengan menggunakan kuesioner dan lembar checklist. Data sekunder dalam penelitian ini berupa data tentang penyakit tuberkulosis
dari WHO, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Selain itu juga digunakan data Success Rate dalam evaluasi P2TB Sragen yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sragen serta formulir-formulir pencatatan TB di Puskesmas. HASIL DAN PEMBAHASAN
Adapun hasil penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1 sebagai berikut
Tabel 1. Hasil Penelitian
No.
Variabel
1.
2.
Sikap Petugas
3.
Motivasi Petugas
5.
Kurang N 3 6 9 6 3 9 3 6 9 7 2 9 8 1
Jumlah
16
64,0
Lengkap Tidak Lengkap Jumlah Ada Tidak Ada Jumlah Ada Tidak Ada
7 9 16 16 0 16 16 0
Jumlah
16
Kategori
Pengetahuan Petugas
4.
Baik Kurang Jumlah Baik Kurang Jumlah Baik Kurang Jumlah Pernah Belum Pernah Jumlah Baik Kurang
Keberhasilan (Success Rate) Baik n % 14 56,0 2 8,0 16 64,0 16 64,0 0 0,0 16 14 56,0 2 8,0 16 64,0 11 44,0 5 20,0 16 64,0 16 64,0 0 0,0
Kerja
Keikutsertaan Petugas dalam Pelatihan Persepsi Petugas terhadap Kepemimpinan Kepala Puskesmas
6.
Ketersediaan Logistik
7.
Ketersediaan Dana
8.
Pelaksanaan Rapat Koordinasi Tingkat Puskesmas
118
Pengobatan Jumlah % 12,0 24,0 36,0 24,0 12,0
p value
12,0 24,0 36,0 28,0 8,0 36,0 32,0 4,0
n 17 8 25 22 3 25 17 8 25 18 7 25 24 1
% 68,0 32,0 100,0 88,0 12,0 100,0 68,0 32,0 100,0 72,0 28,0 100,0 96,0 4,0
9
36,0
25
100,0
28,0 36,0 64,0 64,0 0,0 64,0 64,0 0,0
0 9 9 9 0 9 9 0
0,0 36,0 36,0 36,0 0,0 36,0 36,0 0,0
7 18 25 25 0 25 25 0
28,0 72,0 100,0 100,0 0,0 100,0 100,0 0,0
64,0
9
36,0
25
100,0
0,010
0,037
0,010
1,000
0,360
0,027
-
-
Desi Rahmawati dan Irwan Budiono / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
9.
Sistem Pencatatan dan Pelaporan
10.
Pelaksanaan Supervisi oleh Dinas Kesehatan
11.
Pelaksanaan Evaluasi oleh Kepala Puskesmas
Terisi Lengkap Terisi Tidak Lengkap Jumlah Rutin Tidak Rutin Jumlah Ada Tidak Ada Jumlah
4
16,0
5
20,0
9
36,0
12
48,0
4
16,0
16
64,0
16 11 5 16 16 0 16
64,0 44,0 20,0 64,0 64,0 0,0 64,0
9 2 7 9 9 0 9
36,0 8,0 28,0 36,0 36,0 0,0 36,0
25 13 12 25 25 0 25
100,0 52,0 48,0 100,0 100,0 0,0 100,0
Pengetahuan Petugas
Berdasarkan hasil uji statistik Fisher pada Tabel 1, dimana nilai p value sebesar 0,010 lebih kecil dari 0,05 (0,010 < 0,05) yang artinya faktor pengetahuan petugas berhubungan dengan capaian Success Rate TB Paru di Kabupaten Sragen. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian dari Widjanarko (2006) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan responden (Petugas P2 TB Puskesmas) dengan praktik penemuan suspek TB paru. Ilyas dalam Maryun (2007) berpendapat bahwa pengetahuan merupakan faktor dominan yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau kuesioner yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau responden. Penelitian Abbas (2012) yang melakukan wawancara mendalam terhadap respondennya menyimpulkan bahwa pengetahuan baik menunjukkan kinerja baik petugas P2 TB. Oleh karena itu, pengetahuan yang baik terkait pengobatan TB perlu lebih ditingkatkan agar dapat menunjang pencapaian angka Success Rate TB Paru. Sikap Petugas
0,200
0,041
-
Berdasarkan hasil uji statistik Fisher pada Tabel 1, dimana nilai p value sebesar 0,037 lebih kecil dari 0,05 (0,037 > 0,05) yang artinya faktor sikap petugas berhubungan dengan capaian Success Rate TB Paru di Kabupaten Sragen. Hasil dari penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian dari Nurmala (2002) yang menyatakan bahwa ada pengaruh antara sikap petugas dengan keberhasilan program penanggulangan TB Paru di Puskesmas Helvetia tahun 2002 dengan p value 0,002. Target kerja seorang petugas P2 TB telah ditentukan secara nasional, namun tidak ada peraturan khusus tentang bagaimana cara mencapai target tersebut. Sehingga petugas P2TB dapat melakukan inovasi dalam melaksanakan tugasnya guna mencapai target yang telah ditetapkan tersebut. Dalam penelitian ini juga ditemui salah seorang pertugas P2 TB yang cukup inovatif dalam menjalankan tugasnya. Cara unik yang digunakan adalah dengan membagikan stiker yang bertuliskan gejalagejala penyakit TB pada penjual sayur keliling. Pertimbangan yang dipakai oleh petugas P2 TB ini adalah bahwa ketika ibuibu sedang ramai berbelanja pasti akan dilakukan sambil mengobrol ringan satu sama lain, disinilah peran pedagang sayur keliling, yakni untuk menyampaikan pesan yang ada pada stiker tersebut. Dengan
119
Desi Rahmawati dan Irwan Budiono / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
demikian dari obrolan ringan yang dilakukan diharapkan masyarakat dapat mengenali gejala TB untuk kemudian apabila mereka menemui kasus semacam itu dapat segera dibawa ke pelayanan kesehatan untuk mendapat penanganan medis. Motivasi Kerja Petugas
Berdasarkan hasil uji statistik Chi square pada Tabel 1, dimana nilai p value sebesar 0,010 lebih kecil dari 0,05 (0,010 < 0,05) yang artinya faktor motivasi kerja petugas berhubungan dengan capaian Success Rate TB Paru di Kabupaten Sragen. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Gibson et al dalam Maryun (2007) yang menyatakan bahwa kinerja seseorang yang dinilai tidak memuaskan sering disebabkan oleh motivasi yang rendah. Menurut pendapat Budioro (2002) motivasi adalah upaya penggerakan dengan cara menghidupkan kekuatan pendorong yang sebenarnya sudah ada dalam diri tiap orang. Dalam menjalankan tugas, apabila terdapat pasien yang tidak datang mengambil obat pada hari yang telah ditentukan maka petugas P2 TB akan melakukan tindakan minimal dengan menelepon pasien untuk mengingatkannya. Apabila pasien belum juga datang, maka petugas akan melakukan kunjungan rumah dengan membawa obat untuk pasien tersebut. Hal ini menunjukkan motivasi yang baik dari petugas P2 TB dalam pencapaian angka Success Rate TB Paru. Pada petugas dengan motivasi yang kurang sebagian mengeluhkan tentang risiko tertular sebagaimana diketahui TB merupakan penyakit yang mudah menular. Kekhawatiran pada petugas P2 TB ini tetap muncul meski telah mendapatkan informasi tentang keamanan kerja agar petugas tidak
tertular TB dari pasien yang sedang ditanganinya. Keikutsertaan Petugas dalam Pelatihan
Berdasarkan hasil uji statistik Chi square pada Tabel 1, dimana nilai p value sebesar 1,000 lebih besar dari 0,05 (1,000 > 0,05) yang artinya faktor keikutsertaan petugas dalam pelatihan tidak berhubungan dengan capaian Success Rate TB Paru di Kabupaten Sragen. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian dari Maryun (2007) yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang sedang antara pelatihan dengan kinerja petugas pengelola program TB puskesmas terhadap cakupan penemuan kasus baru BTA (+). Akan tetapi penelitian dari Duhri (2013) menunjukkan hasil yang sesuai dengan penelitian ini yakni keterampilan petugas P2TB tidak menggambarkan kinerja yang baik. Artinya dalam penelitian tersebut, petugas P2TB yang terampil atau tidak terampil memiliki peluang yang sama untuk menemukan penderita TB Paru. Pelatihan bagi para petugas P2TB di Kabupaten Sragen bukan merupakan acara yang sering ataupun rutin dilaksanakan. Sehingga upaya peningkatan kemampuan petugas P2 TB tidak bisa hanya mengandalkan kegiatan pelatihan. Menyikapi hal ini, DKK Kabupaten Sragen lantas mengadakan pertemuan rutin setiap tiga bulan sekali yang diikuti oleh seluruh petugas P2TB Kabupaten Sragen. Pertemuan ini dimanfaatkan secara maksimal oleh para petugas untuk berbagi informasi terbaru tentang penanggulangan TB. Hal ini diduga dapat menggantikan peran pelatihan yang tidak rutin dilaksanakan. Selain itu, petugas P2TB juga melaksanakan tugasnya berdasarkan pengalaman yang telah mereka miliki selama mengemban tugas dan disesuaikan
120
Desi Rahmawati dan Irwan Budiono / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
pula dengan instruksi yang diberikan oleh wasor TB. Persepsi Petugas terhadap Kepemimpinan Kepala Puskesmas
Berdasarkan hasil uji statistik Chi square pada Tabel 1, dimana nilai p value sebesar 0,360 lebih besar dari 0,05 (0,360 > 0,05) yang artinya faktor persepsi petugas terhadap kepemimpinan Kepala Puskesmas tidak berhubungan dengan capaian Success Rate TB Paru di Kabupaten Sragen. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Maryun (2007) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang kuat antara persepsi terhadap kepemimpinan dengan kinerja petugas pengelola program TB puskesmas terhadap cakupan penemuan kasus baru BTA (+). Menurut pendapat Budioro (2002), kepala puskesmas harus berperan sebagai tokoh dan pembina bagi semua kegiatan yang berkaitan dengan bidang kesehatan dalam wilayah puskesmasnya. Penelitian Yarman (2006) menunjukkan hasil yang sesuai dengan penelitian ini, yakni tidak didapatkan hubungan antara kepemimpinan dengan faktor-faktor kedisiplinan pegawai puskesmas. Pada kenyataannya, kepala puskesmas adalah seseorang yang memimpin sebuah puskesmas namun tidak berarti kepala puskesmas selalu ada di puskesmas yang ia pimpin untuk mengawasi jalannya pelayanan karena memang banyak hal lain yang harus diurus oleh seorang kepala puskesmas. Dengan demikian kesadaran petugas untuk melaksanakan tugasnya dengan maksimal tanpa harus menunggu perintah kepala puskesmas sangat diperlukan dalam usaha penanggulangan TB. Ketersediaan Logistik
Berdasarkan hasil uji statistik Chi square pada Tabel 1, dimana didapatkan p value sebesar 0,027 (0,027 < 0,05) yang artinya faktor ketersediaan logistik berhubungan dengan capaian Success Rate TB Paru di Kabupaten Sragen. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Maryun (2007) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang kuat antara persepsi terhadap sarana dengan kinerja petugas pengelola program TB Puskesmas terhadap cakupan penemuan kasus baru BTA (+). Seharusnya semakin lengkap logistik P2TB maka akan semakin baik pula Success Rate yang dicapai. Akan tetapi, dalam penelitian ini menunjukkan hasil yang terbalik yakni semakin tidak lengkap logistik maka Success Rate yang dicapai justru semakin baik. Temuan ini menuntut adanya analisis yang lebih mendalam tentang mengapa hal tersebut dapat terjadi. Setelah dilihat kembali ternyata logistik yang tidak tersedia di puskesmas merupakan logistik yang memang jarang digunakan dalam upaya penanggulangan TB. Sebagai contoh adalah formulir TB 09 dan formulir TB 10. TB 09 merupakan formulir rujukan/pindahan sedangkan TB 10 merupakan formulir hasil akhir pengobatan dari pasien TB pindahan. Formulir ini jarang digunakan karena memang puskesmas sangat jarang menerima maupun melakukan rujukan/pindah pasien. Hal yang sama juga terjadi pada OAT selain kategori 1 karena OAT selain kategori 1 akan tersedia apabila memang terdapat pasien yang membutuhkan kategori tersebut. Selama kegiatan penelitian juga diketahui bahwa terdapat dua puskesmas, yakni Puskesmas Jenar dan Puskesmas Gemolong, tidak memiliki tenaga analis laboratorium. Posisi analis laboratorium di dua puskesmas tersebut dipegang oleh
121
Desi Rahmawati dan Irwan Budiono / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
perawat yang pernah mengikuti pelatihan. Kekhawatiran yang muncul akibat masalah ini adalah terjadinya kesalahan saat pembacaan sediaan dahak karena keterampilan pembacaan seorang analis laboratorium akan berbeda dengan seorang perawat yang dilatih. Hal ini dianggap oleh petugas TB puskesmas sebagai hambatan dalam proses diagnosa dan penemuan suspek. Ketersediaan Dana
Berdasarkan Tabel 1, dapat diketahui bahwa untuk variabel ketersediaan dana ini tidak dapat dilanjutkan ke uji korelasi ChiSquare karena seluruh puskesmas atau 100% telah menyediakan dana untuk program P2 TB. Sehingga tidak terdapat hubungan antara ketersediaan dana dengan Success Rate TB Paru di Kabupaten Sragen. Pada dasarnya pengobatan TB di puskesmas adalah gratis. Namun terdapat bantuan baik dari pemerintah maupun dari luar negeri yang dapat digunakan untuk penjaringan suspek TB. Bantuan tersebut berasal dari Global Fund dan BOK (Bantuan Operasional Kesehatan). Global Fund adalah sebuah mekanisme yang dibentuk oleh PBB untuk memerangi tiga penyakit yaitu HIV/AIDS, Malaria dan TB. Sedangkan BOK merupakan bantuan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk percepatan pencapaian MDGs bidang kesehatan melalui peningkatan kinerja Puskesmas dan jaringannya serta Poskesdes/Polindes, Posyandu dan UKBM lainnya dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bersifat promotif dan preventif. Pelaksanaan Puskesmas
Rapat
Koordinasi
Tingkat
Berdasarkan Tabel 1, dapat diketahui bahwa untuk variabel pelaksanaan rapat
koordinasi tingkat puskesmas ini tidak dapat dilanjutkan ke uji korelasi Chi-Square karena seluruh puskesmas atau 100% telah melaksanakan rapat koordinasi tingkat puskesmas secara rutin. Sehingga tidak terdapat hubungan antara pelaksanaan rapat koordinasi tingkat puskesmas dengan Success Rate TB Paru di Kabupaten Sragen. Rapat koordinasi tingkat puskesmas atau yang sering disebut sebagai minilokakarya telah dilaksanakan di seluruh puskesmas di Kabupaten Sragen. Rapat ini dilaksanakan setiap satu bulan sekali sesuai jadwal yang telah ditentukan dan diikuti oleh kepala puskesmas dan seluruh petugas puskesmas dari semua bidang. Dalam rapat ini dibahas tentang pencapaian yang telah diraih dalam sebulan terakhir oleh para pemegang program. Serta akan dipaparkan berbagai hambatan yang dihadapi untuk dipecahkan secara bersamasama. Sistem Pencatatan dan Pelaporan
Berdasarkan hasil uji statistik Chi square pada Tabel 1, dimana nilai p value sebesar 0,200 lebih besar dari 0,05 (0,200 > 0,05) yang artinya faktor sistem pencatatan dan pelaporan tidak berhubungan dengan capaian Success Rate TB Paru di Kabupaten Sragen. Dalam Pedoman Nasional Penaggulangan TB telah dijelaskan bahwa salah satu komponen penting dari surveilans adalah pencatatan dan pelaporan. Semua unit pelaksana program penanggulangan TB harus melaksanakan suatu sistem pencatatan dan pelaporan yang baku. Sistem pencatatan dan pelaporan ini sangat berguna dalam proses evaluasi program TB. Selain itu juga dapat digunakan sebagai langkah antisipasi jika terdapat pasien yang mangkir. Data pasien yang mangkir tersebut dapat dilihat dalam formulir
122
Desi Rahmawati dan Irwan Budiono / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
pencatatan untuk kemudian dilakukan pelacakan. Hal ini sangat membantu untuk mengurangi angka drop out pada pasien TB. Akan tetapi apabila dihubungkan dengan capaian Success Rate faktor pencatatan dan pelaporan ini menjadi tidak berhubungan. Hal ini terjadi karena sistem pencatatan dan pelaporan tidak dapat secara langsung mempengaruhi capaian Success Rate. Sistem pencatatan dan pelaporan ini hanya bersifat membantu dalam pelaksanaan surveilans dan evaluasi TB Paru. Pelaksanaan Supervisi oleh Dinas Kesehatan
Berdasarkan hasil uji statistik Fisher pada Tabel 1, dimana didapatkan p value sebesar 0,041 (0,041 > 0,05) yang artinya faktor supervisi oleh Dinas Kesehatan berhubungan dengan capaian Success Rate TB Paru di Kabupaten Sragen. Penelitian Gari (2009) juga menunjukkan hasil yang sejalan dengan penelitian ini, yakni supervisi berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja petugas TB Paru. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori Green dimana faktor penguat (reinforcing factor) yaitu faktor-faktor yang menguatkan termasuk supervisi Wasor berpengaruh langsung terhadap perilaku seseorang. Pendapat Anwar dalam Maryun (2007) menyebutkan bahwa kepemimpinan merupakan inti manajemen karena kepemimpinan adalah motor penggerak dari sumber daya manusia dan sumber daya lainnya. Teori Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa keberhasilan kinerja pelaksanaan suatu kegiatan juga sangat ditentukan ada tidaknya bimbingan dan supervisi yang baik dari atasan kepada bawahannya yang menanyakan permasalahan serta kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan agar dapat diberikan solusi dari permasalahan tersebut.
Pelaksanaan Evaluasi oleh Kepala Puskesmas
Berdasarkan Tabel 1, dapat diketahui bahwa untuk variabel evaluasi oleh kepala puskesmas ini tidak dapat dilanjutkan ke uji Chi-Square korelasi karena seluruh puskesmas atau 100% telah melaksanakan rapat koordinasi tingkat puskesmas secara rutin. Sehingga tidak terdapat hubungan antara pelaksanaan evaluasi oleh Kepala Puskesmas dengan Success Rate TB Paru di Kabupaten Sragen. Evaluasi oleh kepala puskesmas dilakukan pada saat kegiatan minilokakarya yang diadakan setiap satu bulan sekali. Dalam minilokakarya tersebut masing-masing pemegang program melaporkan hasil kegiatan selama sebulan terakhir. Dengan demikian kepala puskesmas dapat mengevaluasi jalannya berbagai program yang ada di puskesmasnya, termasuk program pemberantasan TB. Dari evaluasi ini akan muncul saran-saran yang bertujuan untuk memperbaiki jalannya suatu program. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh simpulan sebagai berikut: (1) Terdapat hubungan antara pengetahuan petugas, sikap petugas, motivasi kerja petugas, ketersediaan logistik dan pelaksanaan supervisi oleh dinas kesehatan dengan keberhasilan pengobatan (Success Rate) TB Paru di Kabupaten Sragen. (2) Tidak terdapat hubungan antara keikutsertaan petugas dalam pelatihan, persepsi petugas terhadap kepemimpinan kepala puskesmas serta sistem pencatatan dan pelaporan dengan keberhasilan pengobatan (Success Rate) TB Paru di Kabupaten Sragen. (3) Tidak diketahui hubungan antara ketersediaan dana, pelaksanaan rapat koordinasi tingkat
123
Desi Rahmawati dan Irwan Budiono / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015)
puskesmas dan pelaksanaan evaluasi oleh kepala puskesmas dengan keberhasilan pengobatan (Success Rate) TB Paru di Kabupaten Sragen. UCAPAN TERIMA KASIH
H.S,
Ucapan terima kasih kami tujukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Sragen, seluruh Kepala Puskesmas di Kabupaten Sragen serta seluruh petugas P2TB puskesmas Kabupaten Sragen atas segala bantuan, kerja sama dan partisipasi yang telah diberikan. DAFTAR PUSTAKA Abbas, Akhmadi, 2012, Kinerja Petugas TB dalam Pencapaian Angka Kesembuhan TB Paru di Puskesmas Kabupaten Sidrap Tahun 2012, Universitas Hasanudin, Makassar B, Budioro, 2002, Pengantar Administrasi Kesehatan Masyarakat, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2012, Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah tahun 2012, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Semarang ____________, 2013, Buku Saku Kesehatan Triwulan 3 tahun 2013, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Semarang Dinas Kesehatan Kabupaten Sragen, 2014, Evaluasi P2 TBC Sragen 2011, 2012 dan 2013, Dinas Kesehatan Kabupaten Sragen, Sragen Duhri,
Gari, N.N, 2009, Pengaruh Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Petugas TB Paru Puskesmas dalam Penemuan Penderita TB Paru Pada Program Pemberantasan Penyakit (P2P) TB Paru di Kota Medan Tahun 2009, Skripsi, Universitas Sumatera Utara
Asti Pratiwi, 2013, Kinerja Petugas Puskesmas dalam Penemuan Penderita TB Paru di Puskesmas Kabupaten Wajo, Skripsi, Universitas Hasanuddin
Nurmala, 2002, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Program Penanggulangan Tuberkulosis (TB) Paru di Puskesmas Medan Helvetia Tahun 2002, Skripsi, Universitas Sumatera Utara
Maryun, Yuyun, 2007, Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Kinerja Petugas Program TB Paru Terhadap Cakupan Penemuan Kasus Baru BTA (+) di Kota Tasikmalaya Tahun 2006, Tesis, Universitas Diponegoro Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2009, KMK Nomor 364/MENKES/SK/V/2009, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta Murti, Bhisma, 2003, Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Notoatmodjo, Soekidjo, 2003, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta Tirtana, BT, 2011, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Pengobatan pada Pasien Tuberkulosis Paru dengan Resistensi Obat Tuberkulosis di Wilayah Jawa Tengah, Artikel Ilmiah, Universitas Diponegoro, Semarang Widjanarko, Bagoes, 2006, Pengaruh Karakteristik, Pengetahuan dan Sikap Petugas Pemegang Program Tuberkulosis Paru Puskesmas Terhadap Penemuan Suspek TB Paru di Kabupaten Blora, Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia, Volume 1, No 1, Januari 2006, hlm 41-52 World Health Organization (WHO), 2013, Global Tuberculosis Report 2013, WHO, Perancis Yarman, Indra Prasetya, 2006, Pengaruh Kepemimpinas terhadap Faktor-faktor Kedisiplinan Pegawai Puskesmas Garuda
124
Desi Rahmawati dan Irwan Budiono / Unnes Journal of Public Health 4 (4) (2015) yang Berhubungan dengan Keberhasilan Pelayanan Puskesmas, Tesis, Universitas
125
Kristen Maranatha