UJPH 5 (2) (2016)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PREEKLAMPSIA PADA IBU HAMIL (STUDI KASUS DI RSUD KABUPATEN BREBES TAHUN 2014) Nuning Saraswati , Mardiana Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima Januari 2015 Disetujui Januari 2015 Dipublikasikan April 2016
Kejadian preeklampsia di Kabupaten Brebes meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2011 sebanyak 215 kasus (1.547 persalinan), tahun 2012 sebanyak 170 kasus (1.957 persalinan), tahun 2013 sebanyak 225 kasus (1.811 persalinan) dan tahun 2014 sampai dengan bulan September sebanyak 180 kasus (1.316 persalinan). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil di RSUD Kabupaten Brebes tahun 2014. Jenis penelitian ini adalah survey analitik dengan pendekatan case control. Sampel sejumlah 145 orang untuk masing-masing kelompok kasus dan kontrol yang diambil dengan teknik simple random sampling. Analisis data menggunakan uji chi square dengan derajat kemaknaan (α) = 0,05. Hasil penelitian menunujukan bahwa faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian preeklampsia adalah umur (p value = 0,0001; OR = 15,731), status gravida (p value = 0,009; OR = 2,173), riwayat keturunan (p value = 0,033; OR = 2,618), pemeriksaan antenatal (p value = 0,0001; OR = 17,111), riwayat preeklampsia (p value = 0,0001; OR = 20,529), riwayat hipertensi (p value = 0,0001; OR = 6,026). Variabel yang tidak berhubungan adalah jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, riwayat diabetes mellitus, dan riwayat kehamilan ganda.
________________ Keywords: Risk factors; Preeclampsia; Pregnant women ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ The incidence of preeclampsia in Brebes District was increasing from year to year. In 2011 there were 215 cases (1,547 births), in 2012 there were 170 cases (1,957 births), in 2013 there were 225 cases (1,811 births) and until September 2014 there were 180 cases (2,316 births). The purpose of this research was to determine the risk factors associated with the incidence of preeclampsia in pregnant women from Brebes district hospital in 2014. This research was an analytical survey with case control approach. The total sample was 145 people for each case and control group which was taken with simple random sampling technique. The data was analyzed using chi-square test with α = 0,05. The results of this research showed that the risk factors associated with the incidence of preeclampsia was age (p value = 0,0001; OR = 15,731), gravida status (p value = 0,009; OR = 2,173), heredity profile (p value = 0,033; OR = 2,618), antenatal examination (p value = 0,0001; OR = 17,111), history of preeclampsia (p value = 0,0001; OR = 20,529), history of hypertension (p value = 0,0001; OR = 6,026). The variables that were not related was the type of work, level of education, history of diabetes mellitus, and history of multiple pregnancy.
© 2016 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail:
[email protected]
ISSN 2252-6781
90
Nuning Saraswati dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
PENDAHULUAN
Preeklampsia adalah hipertensi pada kehamilan yang ditandai dengan tekanan darah ≥ 140/90 mmHg setelah umur kehamilan 20 minggu, disertai dengan proteinuria ≥ 300 mg/24 jam (Nugroho, 2012: 1). Pada kondisi berat preeklampsia dapat menjadi eklampsia dengan penambahan gejala kejang-kejang (Angsar, 2009: 532). Preeklampsia merupakan penyebab ke-2 kematian ibu di dunia setelah pendarahan (Saifuddin, 2009: 54). Berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 2008, angka kejadian preeklampsia di seluruh dunia berkisar 0,51%-38,4%. Di negara maju, angka kejadian preeklampsia berkisar 5%–6%, frekuensi preeklampsia untuk tiap negara berbeda-beda karena banyak faktor yang mempengaruhi. Di Indonesia frekuensi kejadian preeklampsia sekitar 3-10%, sedangkan di Amerika Serikat dilaporkan bahwa kejadian preeklampsia sebanyak 5%. Di Indonesia, preeklampsia merupakan penyebab kematian ibu yang tinggi disamping pendarahan dan infeksi, yaitu perdarahan mencapai 28%, preeklampsia sebesar 24%, infeksi sebesar 11%, komplikasi peuperium sebesar 8%, partus lama sebesar 5%, dan abortus sebanyak 5% (Depkes RI, 2012). Prevalensi kasus preeklampsia di Jawa Tengah mengalami peningkatan setiap tahunnya, dari tahun 2008 sebesar 1,87%, tahun 2009 sebesar 2,02%, tahun 2010 sebesar 3,30%, dan pada tahun 2011 sebesar 3,41% (Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah 2012). Di Jawa Tengah preeklampsia merupakan penyebab utama kematian ibu dengan presentase sebesar 23,9% kemudian di ikuti dengan pendarahan sebesar 17,22% dan infeksi sebesar 4,04% (Depkes RI, 2013).
Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes tahun 2013, sebesar 33% preeklampsia merupakan penyebab utama kematian ibu se-kabupaten Brebes. Proporsi kematian ibu berdasarkan sebab kematian tahun 2013 yaitu preeklampsia sebesar 33%, kemudian di ikuti dengan pendarahan sebesar 23%, Decomp Cordis sebesar 19%, meningitis sebesar 7%, oedem paru sebesar 5%, infeksi sebesar 3%, gagal ginjal 3%, kehamilan etopik 3%, dehidrasi (hiperemesis) 2%, asbes hepar 2%, dan lainlain sebesar 2% (Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes, 2013). RSUD kabupaten Brebes merupakan rumah sakit rujukan bagi bidan atau klinik di wilayah kabupaten Brebes sehingga RSUD kabupaten Brebes sebagai pusat rujukan Pelayanan Obstetric Neonatal Emergency Komprehensif (PONEK) di Kabupaten Brebes. Berdasarkan studi pendahuluan di RSUD Kabupaten Brebes kejadian preeklampsia pada tahun 2011 sebanyak 215 kasus (1.547 persalinan), tahun 2012 sebanyak 170 kasus (1.957 persalinan), tahun 2013 sebanyak 225 kasus (1.811 persalinan) dan tahun 2014 sampai dengan bulan September sebanyak 180 kasus (1.316 persalinan). Penyebab pasti preeklampsia masih belum diketahui secara pasti, sehingga preeklampsia disebut sebagai ‘’the disease of theories’’. Menurut Angsar (2009: 532) beberapa faktor risiko terjadinya preeklampsia meliputi: primagravida, primipaternitas, hiperplasentosis (mola hidatidosa, kehamilan multipel, diabetes mellitus, bayi besar), riwayat keluarga pernah preeklampsia/eklampsia, penyakitpenyakit ginjal yang sudah ada sebelum hamil sedangkan menurut Norwitz dan Schorge (2008: 88) meliputi: nuliparitas, ras, 91
Nuning Saraswati dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
riwayat preeklampsia sebelumnya, umur ibu yang ekstrim (<20 atau >35 tahun), riwayat preeklampsia dalam keluarga, kehamilan kembar, hipertensi kronik, penyakit ginjal kronik. Gambaran klinik preeklampsia mulai dengan kenaikan berat badan diikuti edema kaki atau tangan, kenaikan tekanan darah, dan terakhir terjadi proteinuria. Preeklampsia merupakan komplikasi kehamilan yang berkelanjutan dengan penyebab yang sama. Oleh karena itu, pencegahan atau diagnosis dini dapat mengurangi kejadian dan menurunkan angka kesakitan dan kematian. Untuk dapat menegakkan diagnosis dini diperlukan pengawasan hamil yang teratur dengan memperhatikan kenaikan berat badan, kenaikan tekanan darah, dan pemeriksaan urin untuk menentukan proteinuria. Kejadian preeklampsia dapat dicegah dengan memberikan nasehat tentang diet makanan, cukup istirahat dan pengawasan antenatal (Manuaba, 2010). Berdasarkan National Institute for Health and Clinical Excellence (2010) gangguan hipertensi pada kehamilan membawa dampak bagi bayi. Di Inggris dilaporkan kematian perinatal yaitu 1 dari 20 kelahiran bayi mengalami bayi lahir mati tanpa kelainan kongenital yang terjadi pada wanita dengan preeklampsia. Kelahiran prematur juga terjadi pada ibu hamil dengan preeklampsia yaitu 1 dari 250 wanita pada kehamilan pertama mereka akan melahirkan sebelum 34 minggu, dan 14-19 % pada wanita dengan preeklampsia mengalami bayi berat lahir rendah (BBLR). Upaya yang telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes untuk mengurangi angka kejadian preeklampsia yang dapat menyebabkan kematian ibu yaitu dengan pembentukan Maternal and Child Health Crisis Center (MCH CC) atas
keputusan bupati Brebes nomor 440/667 tahun 2013. MCH CC mendorong agar setiap desa memiliki peraturan desa (Perdes) kesehatan ibu dan anak sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat, termasuk penguatan fungsi PKD. Sementara upaya yang telah dilakukan RSUD Kabupaten Brebes untuk mengurangi jumlah kasus preeklampsia yaitu upaya peningkatan fasilitas ruangan dan alat kesehatan di unit maternal risiko tinggi agar dapat meningkatkan pelayanan maternal sehingga dapat mengurangi angka kejadian preeklampsia, rumah sakit juga melayani pemeriksaan antenatal yang dilayani oleh bidan dan dokter spesialis kebidanan dan kandungan, serta pelaksanaan home visite yang dilakukan pada ibu hamil yang tidak datang kontrol sesuai dengan anjuran terutama pada kehamilan risiko tinggi. Berdasarkan latar belakang di atas, menjadikan alasan bagi penulis untuk meneliti faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil di RSUD Kabupaten Brebes. METODE
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian observasional analitik, dengan rancangan penelitian yang digunakan adalah kasus kontrol (case control) yaitu penelitian epidemiologi analitik observasional yang menelah hubungan antara efek (penyakit atau kondisi kesehatan) tertentu dengan faktor risiko tertentu. Desain penelitian kasus kontrol digunakan untuk meneliti berapa besarkah peran faktor risiko dalam penyakit (Sudigdo Sastroasmoro, 2011). Sampel kasus dalam penelitian ini adalah sebagian ibu hamil yang menderita preeklampsia yang tercatat dalam catatan medik di RSUD Kabupaten Brebes periode 92
Nuning Saraswati dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
1 Januari – 30 September 2014 yaitu sebanyak 145 kasus. Sedangkan sampel kontrol dalam penelitian ini adalah sebagian ibu hamil yang tidak menderita preeklampsia yang tercatat dalam data catatan medik di RSUD Kabupaten Brebes periode 1 Januari – 30 September 2014 yaitu sebanyak 145 kontrol. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat dengan uji statistik yang digunakan adalah chi square (α=0,05). Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Simple Random Sampling, dimana setiap sampel dari sejumlah populasi sampel yang mungkin mempunyai kesempatan yang sama untuk terpilih (Lemeshow et al, 1997: 102). Hal ini dimaksudkan agar setiap individu pada populasi kasus maupun populasi kontrol mendapatkan peluang yang sama sebagai sampel penelitian, sehingga hasil yang didapatkan dapat mewakili keseluruhan populasi. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1. Distribusi Faktor-Faktor yang berhubungan dengan Kejadian Preeklampsia pada Ibu hamil No. 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Variabel
Kejadian Preeklampsia Kasus Kontrol
Total
p. value
n
%
n
%
n
%
Umur Berisiko Tidak Berisiko
102 43
84,29 25,44
19 126
15,71 74,56
121 169
100 100
0,0001
Status Gravida Berisiko Tidak Berisiko
39 106
65,00 46,10
21 124
35,00 53.90
60 230
100 100
0,009
70,83 48,12
7 138
29,17 51,88
24 266
100 100
0,033
87.50 29,03
13 132
12,50 70,97
104 186
100 100
0,0001
89,21 28,72
11 134
10,79 71,28
102 188
100 100
0,0001
Riwayat Keturunan Berisiko 17 Tidak Berisiko 128 Pemeriksaan Antenatal Berisiko 91 Tidak Berisiko 54 Riwayat Preeklampsia Berisiko 91 Tidak Berisiko 54 Riwayat Hipertensi Berisiko Tidak Berisiko
105 40
70,47 28,37
44 101
29,53 71,63
149 141
100 100
0,0001
Jenis Pekerjaan Berisiko Tidak Berisiko
86 59
52,77 46,46
77 68
47,23 53,54
163 127
100 100
0,287
57,14 46,36
42 103
42,86 53,64
98 192
100 100
0,082
63,16
7
36,84
19
100
Tingkat Pendidikan Berisiko 56 Tidak Berisiko 89 Riwayat Diabetes Mellitus Berisiko 12
93
0,235
Nuning Saraswati dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
Tidak Berisiko 10
133
Riwayat Kehamilan Ganda Berisiko 8 Tidak Berisiko 137
Hubungan Umur dengan Preeklampsia pada Ibu Hamil
49,07
138
50,93
271
100
57,14 49,64
6 139
42,86 50,36
14 276
100 100
0,584
Kejadian
Hubungan Status Gravida dengan Kejadian Preeklampsia pada Ibu Hamil
Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara umur dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil. Hal ini didasarkan pada hasil analisis dengan uji chi square yang di peroleh p value = 0,0001 dimana nilai p lebih kecil dari 0,05 (0,0001 < 0,05) yang artinya ada hubungan antara umur dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil dan nilai OR = 15,731 artinya bahwa responden yang berumur <20 dan >35 tahun mempunyai risiko 15,731 mengalami kejadian preeklampsia dibandingkan dengan responden yang berumur 20 – 35 tahun. Hasil penelitian ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nuril dkk (2012), yang menyatakan bahwa ada hubungan antara umur dengan kejadian preeklampsia dengan nilai p value = 0,020 (<0,05) dan OR =2,71. Hasil penelitian ini membuktikan teori Norwitz (2008) yang menyatakan bahwa umur merupakan salah satu faktor risiko terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Kehamilan pada umur ibu yang ekstrem (<20 dan >35 tahun) merupakan kehamilan berisiko tinggi yang dapat menyebabkan komplikasi dalam kehamilan. Hasil penelitian ini juga membuktikan teori Nugroho (2012) yang menyatakan bahwa komplikasi utama kehamilan dibawah umur <20 dan >35 tahun ini yakni terjadinya preeklampsia. Ibu mengalami hipertensi disertai kaki bengkak dan ditemukan protein pada air seni.
Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara status gravida dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil. Hal ini didasarkan pada hasil analisis dengan uji chi square yang di peroleh p value = 0,009 dimana nilai p lebih kecil dari 0,05 (0,009 < 0,05) yang artinya ada hubungan antara status gravida dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil dan nilai OR = 2,173 artinya bahwa responden yang primigravida mempunyai risiko 2,173 kali mengalami kejadian preeklampsia dibandingkan dengan responden yang multigravida. Hasil penelitian ini membuktikan teori Angsar (2009) yaitu teori imunologik antara ibu dan janin yang menyatakan bahwa primigravida mempunyai risiko lebih besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan (preeklampsia) jika dibandingkan dengan multigravida. Hasil penelitian ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Gafur dkk (2011), yang menyatakan bahwa ada hubungan antara status gravida dengan kejadian preeklampsia dengan nilai p value = 0,010 (<0,05) dan OR =2,263. Hubungan Riwayat Keturunan dengan Kejadian Preeklampsia pada Ibu Hamil
Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara riwayat keturunan dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil. Hal ini didasarkan pada hasil analisis dengan uji chi square yang diperoleh nilai p value = 0,033 dimana nilai p lebih kecil dari 0,05 (0,033 < 0,05) yang artinya ada hubungan antara
94
Nuning Saraswati dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
riwayat keturunan dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil dan nilai OR = 2,618 artinya bahwa responden yang memiliki riwayat keturunan mempunyai risiko 2,618 kali mengalami kejadian preeklampsia dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki riwayat keturunan. Hasil penelitian ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rozikhan (2007), yang menyatakan bahwa ada hubungan antara keturunan dengan kejadian preeklampsia dengan p value = 0,001 (<0,05) dan OR = 5,8. Hasil penelitian ini membuktikan teori Norwitz (2008) yang menyatakan bahwa preeklampsia merupakan penyakit yang diturunkan, penyakit ini lebih sering ditemukan pada anak wanita dari ibu penderita preeklampsia atau mempunyai riwayat preeklampsia dalam keluarga. Faktor genetik/keturunan merupakan faktor risiko terjadinya preeklampsia.
bahwa ada hubungan pemeriksaan antenatal dengan kejadian preeklampsia dengan p value = 0,01 (<0,05). Departemen Kesehatan RI (2007) menyatakan bahwa melalui pemeriksaan antenatal dapat mencegah perkembangan preeklampsia, karena salah satu tujuan dari pemeriksaan antenatal adalah mengenali secara diri adanya penyulit-penyulit atau komplikasi yang terjadi pada masa kehamilan. Hubungan Riwayat Preeklampsia dengan Kejadian Preeklampsia pada Ibu Hamil
Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara riwayat preeklampsia dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil. Hal ini didasarkan pada analisis dengan uji chi square yang di peroleh p value = 0,0001 dimana nilai p lebih besar dari 0,05 (0,0001 < 0,05) yang artinya ada hubungan antara riwayat preeklampsia dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil dan nilai OR = 20,529 artinya bahwa responden yang memiliki riwayat preeklampsia sebelumnya mempunyai risiko 20,5 kali mengalami kejadian preeklampsia dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki riwayat preeklampsia. Hasil penelitian ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rozikhan (2007), yang menyatakan bahwa ada hubungan antara riwayat preeklampsia dengan kejadian preeklampsia dengan nilai p value = 0,001 (<0,05) dan OR =8,81.
Hubungan Pemeriksaan Antenatal dengan Kejadian Preeklampsia pada Ibu Hamil
Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pemeriksaan antenatal dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil. Hal ini didasarkan pada hasil analisis dengan uji chi square yang diperoleh nilai p value = 0,0001 dimana nilai p lebih kecil dari 0,05 (0,0001 < 0,05) yang artinya ada hubungan antara pemeriksaan antenatal dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil dan nilai OR = 17,111 artinya bahwa responden yang tidak melakukan pemeriksaan antenatal mempunyai risiko 17,111 kali mengalami kejadian preeklampsia dibandingkan dengan responden yang melakukan pemeriksaan antenatal. Hasil penelitian ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nuryani dkk (2013), yang menyatakan
Hubungan Riwayat Hipertensi dengan Kejadian Preeklampsia pada Ibu Hamil
Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara riwayat hipertensi dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil. Hal ini didasarkan pada hasil analisis dengan uji chi square yang diperoleh nilai p value = 0,0001 dimana nilai p lebih kecil dari 0,05 (0,0001 <
95
Nuning Saraswati dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
0,05) yang artinya ada hubungan antara riwayat hipertensi dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil dan nilai OR = 6,026 artinya bahwa responden yang memiliki riwayat hipertensi sebelumnya mempunyai risiko 6,026 kali mengalami kejadian preeklampsia dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki riwayat hipertensi. Hasil penelitian ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nuril dkk (2012) dan penelitian Guerrier et al (2013) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara riwayat hipertensi dengan kejadian preeklampsia dengan nilai p value = 0,001 (<0,05), OR =4,148 dan p value = 0,001 (<0,05), OR =10,5.
antara jenis pekerjaan dengan kejadian preeklampsia Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Kejadian Preeklampsia pada Ibu Hamil
Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil. Hal ini didasarkan pada analisis dengan uji chi square yang diperoleh p value = 0,082 dimana nilai p lebih besar dari 0,05 (0,082 > 0,05) yang artinya tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dilapangan, responden yang menderita preeklampsia yang berpendidikan rendah belum tentu memiliki pengetahuan yang rendah pula, hal ini dikarenakan mereka mendapat pengetahuan dari penyuluhan yang dilakukan oleh bidan desa dalam acara PKK desa atau arisan desa yang biasa dilakukan setiap sebulan sekali sehingga mereka cenderung memperhatikan kesehatannya dengan melakukan pemeriksaan antenatal secara lengkap sehingga tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian preeklampsia. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rozikhan (2007), yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian preeklampsia.
Hubungan Jenis Pekerjaan dengan Kejadian Preeklampsia pada Ibu Hamil
Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis pekerjaan dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil. Hal ini didasarkan pada hasil analisis dengan uji chi squre yang diperoleh nilai p value = 0,287 dimana nilai p lebih besar dari 0,05 (0,287 > 0,05) yang artinya tidak ada hubungan antara jenis pekerjaan dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, responden yang memiliki jenis pekerjaan yang berisiko (Ibu rumah tangga tanpa menggunakan mesin, buruh, petani, dan pedagang) pada kelompok kasus sebanyak 86 responden (59,3%) sementara pada kelompok kontrol responden yang memiliki jenis pekerjaan yang berisiko (Ibu rumah tangga tanpa menggunakan mesin, buruh, petani, dan pedagang) sebanyak 77 responden (53,1%). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rozikhan (2007), yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan
Hubungan Riwayat Diabetes Mellitus dengan Kejadian Preeklampsia pada Ibu Hamil
Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang signifkan antara riwayat diabetes mellitus dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil. Hal ini didasarkan pada hasil analisis dengan uji chi square yang diperoleh nilai p value = 0,235 dimana nilai p lebih besar dari 0,05 (0,235 >
96
Nuning Saraswati dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
0,05) yang artinya tidak ada hubungan antara riwayat diabetes mellitus dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, responden yang memiliki riwayat diabetes mellitus pada kelompok kasus sebanyak 12 responden (8,3%) sementara pada kelompok kontrol responden yang memiliki riwayat diabetes mellitus sebanyak 7 responden (4,8%). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rozikhan (2007), yang menyatakan bahwa tidak Berdasarkan penelitian Hosler et al (2011) menyatakan bahwa ibu hamil yang berumur ≥35 tahun berisiko 4,05 kali untuk menderita diabetes melitus pada kehamilannya dibandingkan dengan umur ibu hamil <35 tahun. Sementara penelitian yang telah saya lakukan dilapangan responden yang berumur <35 tahun sebanyak 187 (64,4%) lebih besar jika dibandingkan responden yang berumur <35 tahun yaitu 103 (35,6%) sehingga tidak ada hubungan antara riwayat diabetes mellitus dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rozikhan (2007), yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara riwayat diabetes mellitus dengan kejadian preeklampsia.
penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rozikhan (2007), yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara riwayat kehamilan ganda dengan kejadian preeclampsia, Hasil penelitian ini bertentangan dengan teori Norwitz (2008) yang menyatakan bahwa kehamilan kembar atau ganda merupakan salah satu penyebab preeklampsia. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dilapangan, responden yang memiliki riwayat kehamilan ganda pada kelompok kasus hanya sebanyak 8 responden (5,5%) sementara pada kelompok kontrol responden yang memiliki riwayat kehamilan ganda sebanyak 6 responden (4,1%), selain itu mereka juga tidak memiliki riwayat keturunan dari keluarga yang pernah mengalami kehamilan ganda sehingga tidak ada hubungan antara riwayat kehamilan ganda dengan kejadian preeklampsia. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rozikhan (2007), yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara riwayat kehamilan ganda dengan kejadian preeklampsia. Kelemahan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kasus kontrol yang ditelusuri secara restropektif, sehingga mempunyai kelemahan recall bias, dimana responden harus mengingat kembali pada kejadian yang telah lalu untuk dapat memberikan jawaban. Dengan memberikan pertanyaan yang terdahulu dengan kata-kata yang mudah dipahami oleh responden diharapkan dapat membantu responden untuk mengingat kembali dengan baik.
Hubungan Riwayat Kehamilan Ganda dengan Kejadian Preeklampsia pada Ibu Hamil
Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa tidak tidak ada hubungan yang signifikan antara riwayat kehamilan ganda dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil. Hal ini didasarkan pada hasil analisis dengan uji chi square yang diperoleh p value = 0,584 dimana nilai p lebih besar dari 0,05 (0,584 > 0,05) yang artinya tidak ada hubungan antara riwayat kehamilan ganda dengan kejadian preeklampsia. Hasil
SIMPULAN
97
Nuning Saraswati dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diperoleh kesimpulan sebagai berikut: Ada hubungan antara faktor (umur p. value 0,0001; status gravida dengan p value 0,009; riwayat keturunan dengan p value 0,033; pemeriksaan antenatal dengan p value 0,0001; riwayat preeklampsia dengan p value 0,0001; riwayat hiperetnsi dengan p value 0,0001) terhadap kejadian preeklampsia pada ibu hamil (studi kasus di RSUD Kabupaten Brebes tahun 2014). Tidak ada hubungan antara faktor (jenis pekerjaan dengan p value 0,287; tingkat pendidikan dengan p value 0,083; riwayat diabetes mellitus dengan p value 0,235; riwayat kehamilan ganda dengan p value 0,584) terhadap kejadian preeklampsia pada ibu hamil (studi kasus di RSUD Kabupaten Brebes tahun 2014.
diakses pada tanggal 1 Mei 2014, (http://ilmukebidananstikeskendedesmalang. blogspot.com/2012/11/laporan-pws-kiakabkota aki-akb.html). Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2013, Profil Kesehatan Indonesia, Jakarta. Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah, 2012, Profil Kesehatan Jawa Tengah. Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes, 2013, Upaya Penurunan Angka Kematian Ibu dan Bayi Kabupaten Brebes, Brebes. Gafur, Abdul dkk, 2011, Hubungan antara Primigravida dengan Preeklampsia yang dilaksanakan di beberapa Rumah Sakit Provinsi Sulawesi Selatan yaitu RSKD Ibu dan Anak Pertiwi Makassar, RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah, RSU Haji Makassar, Skripsi, Universitas Muhammadiyah Makasar. Guerrier, G et al, 2013, Factors Associated with Severe Preeclampsia and Eclampsia in Jahun, Nigeria, (Online), International Journal of Women’s Health 2013:5 , diakses 9 Januari 2014, (http://www.f_IJWH-47056-factorsassociated-with-severe-pre-eclampsia-andeclampsia-081713-17115.pdf).
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami tunjukkan kepada Kepala KesbangPolinmas Kabupaten Brebes, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes, Kepala BAPPEDA Kabupaten Brebes, Direktur RSUD Kabupaten Brebes, serta seluruh responden yang terlibat dalam penelitian ini.
Hosler et al, 2011, Stressful Events, Smoking Exposure and Other Maternal Risk Factors Associated with Gestational Diabetes Mellitus, Journal of Paediatric and Perinatal Epidemiology 2011: 25, hal 566– 574. Lemeshow, Stanley et al, 1997, Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan,Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Manuaba, Ide Ayu Chandranita dkk, 2010, Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan KB untuk Pendidikan Bidan, EGC, Jakarta.
Angsar, MD, 2009, Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007, Pedoman Pelayanan Antenatal, Dirjen Binkesmas Depkes RI, Jakarta.
National Institute for Health and Clinical for Excellence (NHS), 2010, Hypertension in Pregnancy, (Online), hal 1-53, diakses 14 Januari 2014, (www.nice.org.uk/cg107).
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2012, Profil Kesehatan Indonesia, Jakarta.
Norwitz E dan Schorge J, 2008, At a Glance Obstetri dan Ginekologi, Terjemahan oleh Diba Artsiyanti EP, Erlangga, Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2012, Laporan pws kia kab kota, AKI AKB, (Online),
98
Nuning Saraswati dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016) Makassar, (Online), Volume II, No. 2, hal 104112, diakses 23 Mei 2014, (http://450-684-1SM(2).pdf).
Nugroho, Taufan, 2012, Patologi Kebidanan, Nuha Medika, Yogyakarta. Nuril, MA dkk, 2012, Pengaruh Faktor Usia, Paritas, Keturunan, Riwayat Preeklampsia, Riwayat Hipertensi, Status Gizi, Kenaikan Berat Badan selama Hamil, dan ANC terhadap Kejadian Preeklampsia (di RSUD dr. Sayidiman Magetan Tahun 2011), (Online), Volume II, No. 3, hal 117-125, diakses 17 Mei 2014, (http://2trik.webs.com/trik2-3.pdf).
Rozikhan, 2007. Faktor-faktor Risiko Terjadinya Preeklamsia Berat Di Rumah Sakit Dr. H. Soewondo Kendal, Tesis, Universitas Diponegoro Semarang. Saifuddin, AB, 2009, Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta. Sastroasmoro, S, 2011, Dasar-Dasar Metodologi Klinis (Edisi ke-4), CV. Sagung Seto, Jakarta.
Nuryani, Ade dkk, 2013, Hubungan Pola Makan, Sosial Ekonomi, Antenatal Care dan Karakteristik Ibu Hamil dengan Kasus Preeklampsia di Kota
WHO, 2008, World Health Statistic
99
UJPH 5 (2) (2016)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
ANALISIS FAKTOR PENGHAMBAT PEMANFAATAN RUANG MENYUSUI DI TEMPAT KERJA PADA PEKERJA WANITA DI PT. DAYA MANUNGGAL Dwi Mukti Pratiwi , Mardiana Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima Juli 2015 Disetujui Juli 2015 Dipublikasikan April 2016
Berdasarkan data jumlah ibu menyusui di PT. Daya Manunggal hanya 22,6% saja yang menggunakan ruang menyusui.Tujuan penelitian ini untuk menganalisis faktor penghambat pemanfaatan ruang menyusui di tempat kerja pada pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Jenis penelitian ini adalah penelitian explanatory research, dan rancangan penelitiannya adalah cross sectional. Populasi dalam penelitian ini pekerja wanita menyusui di PT. Daya Manunggal berjumlah 84 orang. Sampel berjumlah 33 pekerja wanita menyusui. Teknik pengambilan sampel dengan teknik Random Sampling. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner. Analisis data yang digunakan adalah analisis univariat dan bivariat dengan menggunakan uji Chi Square dengan derajat kemaknaan (a) = 0,05. Hasil Penelitian dan pembahasan, menunjukan ada hubungan antara dukungan keluarga (p=0,042) dan dukungan atasan kerja (p=0,042) dengan pemanfaatan ruang menyusui di PT. Daya Manunggal. Tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan (p=0,212), pengetahuan (p=0,521), kondisi kesehatan (p=0,343), kebijakan perusahaan (p=0,448), ketersediaan fasilitas (p=0,351), dukungan petugas kesehatan di tempat kerja (p=0,675), dukungan rekan kerja (p=0,479) dengan pemanfaatan ruang menyusui di PT.Daya Manunggal
________________ Keywords: Utilization; Female Worker Breastfeed; Breastfeeding Room ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ Based on data of the number female workers which being on breastfeed at PT. Daya Manunggal only 22.6% are using breastfeeding room. The aim of this study is to analyze the inhibiting factor of breastfeeding room utilization usage of female workers at PT. Daya Manunggal.This type of research explanatory research, with cross sectional study design. The population in this study were female workers whose being on breastfeed at PT. Daya Manunggal which amount to 84 worker. The number of sample are 33 female workers. The technique which used in this research was Random Sampling. Instruments used in this study was a questionnaire. Data analysis performed using univariate and bivariate Chi Square test with degrees of significance of 0,05. The result of the research and the discussion show that there is correlation between family support (p = 0.042) and supervisor support (p = 0.042) with the usage of breastfeeding room at PT. Daya Manunggal. There is no relationship between the level of education (p = 0.212), knowledge (p = 0.521), health conditions (p = 0.343), company policies (p = 0.448), the availability of facilities (p = 0.351), support health officer in the workplace (p = 0.675), support co-workers (p = 0.479) with the usage of breastfeeding room at PT.Daya Manungga. Suggestions can be submitted to female workers which being on breastfeed is to improve self-motivated to utilize the breastfeeding room in the workplace in order to support exclusive breastfeeding program. For the Company appealed to the supervisor in each of department to give better support of exclusive breastfeeding programs such as giving a special time to squeeze breast milk so they can utiliz breastfeed room in the workplace. For families provide support and motivation in order to willing to give exclusive so they got motivated to utilize the breastfeeding room in the workplace.
© 2016 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail:
[email protected]
ISSN 2252-6781
100
Dwi Mukti Pratiwi dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
PENDAHULUAN
Golden Standard of Infant Feeding ( Standar Emas Makanan Bayi) berdasarkan rekomendasi dari WHO dan UNICEF yang tercantum dalam Global Strategy for Infant and Young Child Feeding (WHO dan UNICEF, 2003) terdiri atas 4 hal dimana salah satunya adalah Air Susu Ibu (ASI). Air Susu Ibu (ASI) sebagai makanan terbaik untuk bayi merupakan pemberian Tuhan yang tidak dapat ditiru oleh para ahli makanan di manapun. ASI mempunyai komposisi yang selalu berubah sesuai dengan pertumbuhan bayi dari hari ke hari. Hal ini sangat tepat dan ideal bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi selama 4 bulan pertama di kehidupannya. Saat ibu memberi ASI kepada bayi berarti ibu telah memberikan kasih sayang terbesar, imunisasi terbaik, gizi terlengkap, minuman tersehat dan air kehidupan (Johnson – Johnson dalam Utami Roesli, 2000: 36). Di Indonesia, program pemberian ASI khususnya ASI eksklusif dijadikan prioritas utama. Pemberian ASI eksklusif secara nasional pada tahun 2010-2012 hanya 33,635% (Bayu Kurniawan, 2012). Berdasarkan data yang diperoleh dari profil kesehatan kabupaten/kota di Jawa Tengah tahun 2013 menunjukkan cakupan pemberian ASI eksklusif sekitar 52,99%. Berdasarkan Riskesdas tahun 2007 dengan menggunakan desain survei potong lintang (cross sectional) yang besifat deskriptif, didapatkan hasil yaitu ibu yang memberikan ASI eksklusif untuk bayi selama 6 bulan sebanyak 39%. Sedangkan hasil Riskesdas tahun 2010 hanya mencapai 15,5% dan hasil Riskesdas tahun 2013 yaitu sebanyak 30,2% saja ibu yang memberikan ASI eksklusif. Dari data di atas dapat dilihat pemberian ASI eksklusif belum mencapai target MDG’s yaitu sebesar 80% .
Banyak alasan yang menjadi faktor penyebab kenapa ibu tidak memberikan ASI ekslusif kepada bayinya. Alasan pekerjaan menjadi salah satu penyebab yang cukup besar.. Ibu tidak dapat memberikan ASI ekslusif dengan alasan pada umumnya perkantoran tempat ibu bekerja tidak menyediakan tempat untuk menyusui dan tidak menyediakan tempat untuk memompa ASI yang layak dan memenuhi standar kesehatan, sehingga tidak jarang para ibu ini memerah ASInya di dalam toilet yang dikhawatirkan akan banyak tercemar oleh kuman-kuman yang bertebaran di toilet sehingga tidak dapat menyimpan ASI tersebut dalam botol untuk diberikan kepada bayi (Siregar, 2004). Berdasarkan peraturan pemerintah No.33 tahun 2012 tentang pemberian air susu ibu eksklusif khususnya pasal 31 sampai 35 yang mengatur mengenai kewajiban tersedianya ruang khusus menyusui di tempat publik, yakni di tempat kerja dan sarana umum maka di perusahaan yaitu PT. Daya Manunggal menyediakan fasilitas khusus untuk ibu menyusui berupa ruang menyusui. Ruang menyusui di PT. Daya Manunggal ini dibuat pada Juli 2012. PT. Daya Manunggal menyediakan ruang menyusui untuk memfasilitasi para pekerja wanita yang sedang memberikan ASI kepada anaknya sehingga dapat membantu program pemberian ASI eksklusif. Ruang menyusui di PT. Daya Manunggal memiliki ukuran 2,5 x 2 meter dimana di dalamnya terdapat meja, kursi, wastafel, lemari pendingin, poster, pompa ASI, serta alat kelengkapan memerah ASI lainnya. Berdasarkan surat yang diterbitkan oleh Menteri Kesehatan No. 872/menkes/XI/2006 tentang Kriteria dan
101
Dwi Mukti Pratiwi dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
Fasilitas dari Ruang Menyusui yaitu ruang menyusui di PT. Daya Manunggal ini merupakan ruang tipe 4. Berdasarkan data bulan November tahun 2014 jumlah karyawan PT. Daya Manunggal sejumlah 2250 yang terdiri dari 1001 karyawan wanita dan 1249 karyawan laki-laki yang tersebar dalam 16 departemen. Berdasarkan data jumlah ibu menyusui di PT. Daya Manunggal terhitung dari bulan Juli 2012 sampai dengan bulan Oktober 2014 tercatat sebanyak 84 orang yang menyusui. Sedangkan berdasarkan data penggunaan ruang menyusui terhitung dari bulan Juli 2012 sampai dengan Oktober 2014 tercatat sebanyak 19 orang atau hanya 22,6% saja yang menggunakan ruang menyusui. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis faktor penghambat pemanfaatan ruang menyusui di tempat kerja pada pekerja wanita di PT. Daya manunggal.
sectional dengan menggunakan uji statistik (SPSS). Populasi dalam penelitian ini adalah Populasi dalam penelitian ini adalah jumlah ibu yang sedang menyusui di PT. Daya Manunggal dari bulan Juli 2012 sampai Oktober 2014 sebanyak 84 orang dan sampelnya adalah pekerja wanita menyusui sejumlah 33 orang dengan menggunakan teknik Random sampling. Teknik pengambilan data dalam penelitian ini adalah melakukan pengambilan data dengan menggunakan kuesioner. Analisis data yang digunakan adalah analisis univariat untuk mendeskripsikan semua variabel penelitian dalam bentuk tabel. Analisis bivariat dilakukan untuk mencari hubungan variabel bebas dan variabel terikat dengan uji statistik yang disesuaikan dengan skala data yang ada. Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah statistik chi-square. HASIL DAN PEMBAHASAN
METODE
Jenis penelitian rancangan
penelitian ini merupakan explanatory research, dan penelitiannya adalah cross
Berdasarkan hasil penelitian dengan uji chi-square didapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel 1. Tabulasi Silang Faktor Penghambat Pemanfaatan Ruang Menyusui pada Pekerja Wanita di PT. Daya Manunggal Pemanfaatan Ruang Menyusui No.
Faktor Penghambat Pemanfaatan Ruang menyusui Pendidikan
Pendidikan Tinggi Pendidikan Dasar
f 8 2
% 26,7 66,7
Tidak Memanfaatkan f % 22 73,3 1 33,3
Pengetahuan
Tinggi Rendah Tidak ada Masalah Ada Masalah Ada Dukungan Tidak ada Dukungan
9 1 4 6 7 3
29 50 40 26,1 50 15,8
22 1 6 17 7 16
Kondisi Kesehatan Dukungan Keluarga
Memanfaatkan
Kategori
102
71 50 60 73,9 50 84,2
p
Jumlah f 30 3
% 100 100
31 2 10 23 14 19
100 100 100 100 100 100
0,212 0,521 0,343 0,042
Dwi Mukti Pratiwi dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
Kebijakan Perusahaan Ketersediaan Fasilitas Dukungan Petugas Kesehatan di Tempat Kerja Dukungan Rekan Kerja Dukungan Atasan Kerja
Mendukung Tidak Mendukung Ada Dukungan Tidak ada Dukungan Ada Dukungan Tidak ada Dukungan
6 4 8 2 9 1
33.3 26,7 27,6 50 30 33,3
12 11 21 2 21 2
66,7 73,3 72,4 50 70 66,7
18 15 29 4 30 3
100 100 100 100 100 100
Ada Dukungan Tidak ada Dukungan Ada Dukungan Tidak ada Dukungan
10 0 7 3
32.3 0 50 15,8
21 2 7 16
67,7 100 50 84,2
31 2 14 19
100 100 100 100
. Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Pemanfaatan Ruang Menyusui oleh Pekerja Wanita di PT. Daya Manungga
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan responden dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Hal ini dibuktikan oleh hasil uji fisher dimana didapatkan p value sebesar 0,212 lebih besar dari 0,05 (0,212>0,05) yang artinya tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa pekerja wanita menyusui yang memiliki pendidikan perguruan tinggi dan SMA cenderung lebih banyak yang tidak memanfaatkan ruang menyusui, begitu pula dengan pendidikan SMP dan SD. Hal ini berarti Tingkatan pendidikan tidak mempengaruhi responden untuk memanfaatkan ruang menyusui karena, responden dari masing-masing tingkat pendidikan cenderung tidak memanfaatkan ruang menyusui. Responden dengan pendidikan tinggi seharusnya memiliki tingkat kesadaran untuk memanfaatkan ruang menyusui namun, berdasarkan wawancara singkat diketahui bahwa responden kurang tertarik untuk menggunakan ruang menyusui dikarenakan
kurangnya motivasi serta keinginan dari dalam diri responden sendiri untuk memanfaatkan ruang menyusui. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ambarwati (2004) di Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang menunjukkan bahwa persentase kegagalan pemberian ASI Eksklusif pada ibu yang berpendidikan dasar hampir sama banyaknya dengan ibu yang berpendidikan lanjutan. Pola ini menggambarkan tidak ada hubungan antara pendidikan ibu dengan kegagalan pemberian ASI Eksklusif. Hubungan antara Pengetahuan dengan Pemanfaatan Ruang Menyusui oleh Pekerja Wanita di PT. Daya Manunggal
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan responden dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Hal ini dibuktikan oleh hasil uji fisher dimana didapatkan p value sebesar 0,521 lebih besar dari 0,05 (0,521>0,05) yang artinya tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa responden yang memiliki pengetahuan tinggi dan sedang cenderung lebih banyak yang tidak memanfaatkan
103
0,488 0,351 0,675 0,479 0,042
Dwi Mukti Pratiwi dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
ruang menyusui, begitu pula responden dengan pengetahuan rendah. Hal ini berarti bahwa pengetahuan tidak berpengaruh terhadap pemanfaatan ruang menyusui oleh responden. Berdasarkan keadaan di tempat penelitian terdapat Kegiatan perusahaan untuk mempromosikan ruang menyusui yaitu bahwa perusahaan mengadakan kegiatan khusus untuk ibu hamil dimana di dalamnya, juga menjelaskan mengenai pentingnya pemberian ASI Eksklusif serta penjelasan mengenai ruang menyusui di tempat kerja. Serta di wajibkan bagi pekerja wanita yang sedang mengandung untuk hadir dalam kegiatan tersebut. Sehingga pada dasarnya pengetahuan pekerja wanita menyusui mengenai ASI Eksklusif serta ruang menyusui seharusnya sudah baik namun 77,4% dari pekerja wanita menyusui tidak mempraktikan pengetahuannya. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Elsera Ike .T. (2013) mengenai pemberian ASI eksklusif yaitu tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan pemberian ASI eksklusif yang menyatakan bahwa masyarakat mampu memahami pengertian dan maksut dari adanya program ASI eksklusif. Pada kenyataanya hal ini mungkin bisa terjadi karena tidak semua responden memiliki pengetahuan yang diwujudkan dalam suatu tindakan.
kesehatan dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa baik responden yang memiliki gangguan kesehatan maupun tidak sama-sama cenderung tidak memanfaatkan ruang menyusui. Hal ini menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara kondisi kesehatan responden dengan pemanfaatan ruang menyusui. Responden yang tidak memiliki gangguan kesehatan seharusnya dapat memanfaatkan ruang menyusui namun, berdasarkan hasil wawancara singkat diketahui bahwa tanggapan responden mengenai adanya ruang menyusui dirasa kurang begitu baik meskipun reponden tidak memiliki gangguan kesehatan, responden masih cenderung tidak memanfaatkan ruang menyusui untuk mendukung pemberian ASI eksklusif. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukakan oleh Siti Fatimah dkk (2013) Yang menyatakan subyek setuju ASI tidak diberikan saat ibu sakit /payudara sakit, yang seharusnya tetap saja harus diberikan walaupun ibu dalam kondisi sakit, asalkan tidak sakit berat yang menurut pendapat medis dapat membahayakan kesehatan ibu dan bayinya.
Hubungan antara Kondisi Kesehatan dengan Pemanfaatan Ruang Menyusui oleh Pekerja Wanita di PT. Daya Manunggal
Hubungan antara Dukungan Keluarga dengan Pemanfaatan Ruang Menyusui oleh Pekerja Wanita di PT. Daya Manunggal
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara kondisi kesehatan dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Hal ini dibuktikan oleh hasil uji fisher dimana didapatkan p value sebesar 0,343 lebih besar dari 0,05 (0,343>0,05) yang artinya tidak ada hubungan antara tingkat kondisi
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukan bahwa ada hubungan antara dukungan keluarga dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Hal ini dibuktikan oleh hasil uji fisher dimana didapatkan p value sebesar 0,042 lebih kecil dari 0,05 (0,042<0,05) yang artinya ada hubungan antara dukungan keluarga dengan
104
Dwi Mukti Pratiwi dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Berdasarkan hasil penelitian ini responden dalam hal ini pekerja wanita menyusui yang mendapatkan dukungan keluarga 50%-nya memanfaatkan ruang menyusui dan 50% yang lain tidak memanfaatkan ruang menyusui, sedangkan yang tidak mendapatkan dukungan keluarga lebih banyak yang tidak memanfaatkan ruang menyusui. Sehingga dalam hal ini dukungan keluarga dibutuhkan agar pekerja wanita lebih termotivasi untuk memanfaatkan ruang menyusui. Jadi ada hubungan antara dukungan keluarga dengan pemanfaatan ruang menyusui. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Anggorowati (2011) dalam hasil penelitianya menunjukan adanya hubungan antara dukungan keluarga dengan pemberian ASI eksklusif dimana dalam penelitian ini dukungan keluarga terhadap pemberian ASI eksklusif sebanyak 18 (52,9%) responden dengan kategori baik. Sebagian besar responden memberikan ASI tidak eksklusif sebanyak 25 (73,5%) dimana p value yang di dapatkan sebesar 0,003. Hubungan antara Kebijakan Perusahaan dengan Pemanfaatan Ruang Menyusui oleh Pekerja Wanita di PT. Daya Manunggal
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara kebijakan perusahaan dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Hal ini dibuktikan oleh hasil uji fisher dimana didapatkan p value sebesar 0,488 lebih besar dari 0,05 (0,488>0,05) yang artinya tidak ada hubungan antara kebijakan perusahaan dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui responden yang menyatakan
kebijakan perusahaan mendukung maupun yang menyatakan kebijakan perusahaan tidak mendukung sama-sama lebih banyak yang tidak memanfaatkan ruang menyusui. Perusahaan menerapkan kebijakan berupa pemberian waktu istirahat selama satu jam serta memberikan ijin istirahat pulang bagi pekerja wanita menyusui yang memiliki rumah dekat dengan perusahaan. Dalam hal ini pekerja wanita menyusui diberikan waktu untuk dapat memanfaatkan ruang menyusui oleh perusahaan namun dalam praktiknya pekerja wanita masih tidak memanfaatkan ruang menyusui. Berdasarkan hasil wawancara singkat diketahui hal tersebut terjadi karena kurangnya keinginan dan niat dari dalam diri, selain itu kompensasi pemberian ijin pulang bagi pekerja wanita menyusui juga mempengaruhi keinginan untuk memanfaatkan ruang menyusui dikarenakan mereka lebih memilih pulang dari pada memanfaatkan ruang menyusui di tempat kerja. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Siti Fatimah (2013) yang menunjukkan tidak ada hubungan bermakna dukungan/kebijakan dengan pola pemberian ASI dimana p value sebesar 0,122 (p>0,05). Sesuai hasil indept interview memang tidak ada tempat khusus untuk penitipan anak saat subyek bekerja. Perusahaan memberikan fasilitas layanan kesehatan tidak hanya di tempat bekerja, tetapi juga lokasi pada cabang–cabang perusahaan yang dekat dengan pekerjanya. Waktu istirahat (± 1 jam), hak cuti melahirkan (1 ½ bulan sebelum dan setelah melahirkan) perusahaan sudah menerapkan sesuai undang – undang yang berlaku. Perusahaan juga menyediakan almari pendingin yang dapat digunakan untuk menyimpan hasil pemompaan ASI pekerjanya.
105
Dwi Mukti Pratiwi dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
Hubungan antara Ketersediaan Fasilitas dengan Pemanfaatan Ruang Menyusui oleh Pekerja Wanita di PT. Daya Manunggal
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara ketersediaan fasilitas dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Hal ini dibuktikan oleh hasil uji fisher dimana didapatkan p value sebesar 0,351 lebih besar dari 0,05 (0,351>0,05) yang artinya tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Menurut pendapat Azrul Azwar (1996), yang menyatakan bahwa sarana (alat) merupakan suatu unsur organisasi untuk mencapai tujuan. Sarana termasuk dalam salah satu unsur dalam pelayanan kesehatan yang dibutuhkan untuk mencapai penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, agar pelayanan menjadi bermutu maka persyaratan ketersediaan sarana prasarana harus terpenuhi. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa responden yang menyatakan ada dukungan ketersediaan fasilitas cenderung lebih banyak yang tidak memanfaatkan ruang menyusui, sedangkan responden yang menyatakan tidak ada dukungan ketersediaan fasilitas 50% nya memanfaatkan dan 50% yang lain tidak memanfaatkan ruang menyusui. Perusahaan sudah menyediakan fasilitas ruang menyusui beserta dengan kelengkapanya guna menunjang pemanfaatan ruang meyusui. Perusahaan juga menyediakan fasilitas antar jemput dari tempat pekerja wanita menyusui bekerja menuju ke ruang menyusui namun,, dalam hal ini pemanfaatan ruang menyusui masih belum maksimal. Berdasarkan wawancara singkat diketahui bahwa hal tersebut terjadi
karena pekerja wanita menyusui dirasa kurang memiliki motivasi untuk memanfaatkan ruang menyusui dan lebih mengutamakan pekerjaan. Hasil penelitian ini sejalan dengan Giri Inayah Abdulah (2013) yang menunjukan tidak terdapat hubungan bermakna antara ketersediaan fasilitas di kantor dengan pemberian ASI eksklusif. Berdasarkan penelitian ini, keberadaan pojok ASI ternyata tidak berhubungan dengan pemberianASI eksklusif pada ibu pekerja. Meskipun kantor menyediakan pojok ASI, bekerja lebih memilih memerah ASI saat di rumah. Ketika di kantor, ibu menyusui tidak selalu memerah di pojok ASI, tetapi dapat melakukannya di klinik kantor, di ruang kerja, dan di mushola. Hubungan antara Dukungan Petugas Kesehatan di Tempat Kerja dengan Pemanfaatan Ruang Menyusui oleh Pekerja Wanita di PT. Daya Manunggal
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara dukungan petugas kesehatan di tempat kerja dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Hal ini dibuktikan oleh hasil uji fisher dimana didapatkan p value sebesar 0,675 lebih besar dari 0,05 (0,675>0,05) yang artinya tidak ada hubungan antara dukungan petugas kesehatan di tempat kerja dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa responden dalam hal ini pekerja wanita yang menyatakan ada dukungan maupun tidak ada dukungan petugas kesehatan di tempat kerja cenderung banyak yang tidak memanfaatkan ruang menyusui. Petugas kesehatan yaitu dokter, bidan, perawat serta konsultan laktasi di
106
Dwi Mukti Pratiwi dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
perusahaan sudah mengadakan pelatihanpelatihan kepada pekerja wanita menyusui mengenai cara memerah ASI, cara menyimpan ASI, serta cara memberikan ASI perah. Selain itu petugas kesehatan di tempat kerja juga menginformasikan mengenai ruang menyusui serta bagaimana cara agar tetap dapat memberikan ASI meskipun bekerja. Namun pekerja wanita menyusui masih tetap sedikit yang memanfaatkan ruang menyusui, berdasarkan hasil wawancara singkat hal tersebut terjadi dikarenakan sikap pekerja wanita menyusui yang kurang kooperatif dalam menanggapi dukungan dari petugas kesehatan. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Rahmawati, dkk (2013) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara peran petugas kesehatan dengan pemberian ASI eksklusif serta berkorelasi negatif artinya bahwa semakin tinggi peran petugas kesehatan maka semakin rendah pula pemberian ASI Eksklusif yang dilakukan. Hubungan antara Dukungan Rekan Kerja dengan Pemanfaatan Ruang Menyusui oleh Pekerja Wanita di PT. Daya Manunggal
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara dukungan rekan kerja dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Hal ini dibuktikan oleh hasil uji fisher dimana didapatkan p value sebesar 0,479 lebih besar dari 0,05 (0,479>0,05) yang artinya tidak ada hubungan antara dukungan rekan kerja dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa responden dalam hal ini pekerja wanita menyusui yang menyatakan ada dukungan dari rekan kerja cenderung
lebih banyak yang tidak menggunakan ruang menyusui sedangkan responden yang menyatakan tidak ada dukungan rekan kerja semuanya tidak memanfaatkan ruang menyusui. Berdasarkan hasil wawancara singkat dengan responden diketahui bahwa beberapa responden menyatakan bahwa mereka mendapat informasi mengenai ruang menyusui dari rekan kerja serta terkadang diajak untuk memanfaatkan ruang menyusui namun, responden terkadang merasa malas dan enggan untuk memanfaatkan ruang menyusui karena keadaan fisik yang sudah lelah bekerja.. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Rojjanasrirat (2004) dengan studi kualitatif yang berhasil mengidentifikasi beberapa hal mendukung dan menghambat wanita bekerja dalam pemberian ASI. Beberapa hal yang dapat menfasilitasi pemberian ASI pada wanita bekerja salah satunya adalah dukungan atau sikap rekan kerja yang positif terhadap pemberian ASI. Hubungan antara Dukungan Atasan Kerja dengan Pemanfaatan Ruang Menyusui oleh Pekerja Wanita di PT. Daya Manunggal
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukan bahwa ada hubungan antara dukungan atasan kerja responden dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Hal ini dibuktikan oleh hasil uji fisher dimana didapatkan p value sebesar 0,042 lebih kecil dari 0,05 (0,042<0,05) yang artinya ada hubungan antara dukungan atasan kerja dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa responden wanita yang menyatakan ada dukungan atasan kerja 50% tidak memanfaatkan ruang menyusui
107
Dwi Mukti Pratiwi dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
sedangkan responden yang menyatakan tidak ada dukungan atasan kerja cenderung lebih banyak yang tidak memanfaatkan ruang menyusui. Pada perusahaan atasan kerja di setiap departemen lebih diutamakan untuk berkonsentrasi pada pekerjaan, sedangkan untuk permasalahan seperti pemberian ASI Eksklusif dirasa kurang adanya perhatian serta dukungan. Sehingga para pekerja wanita menyusui cenderung mengutamakan pekerjaanya dan kurang memikirkan pemberian ASI Eksklusif serta tidak menyempatkan diri untuk memanfaatkan ruang menyusui. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian heni handayani (2012) yang menyatakan bahwa ada hubungan atara kebijakan atasan dengan pemberian ASI. Peran kebijakan pejabat/atasan sangat penting untuk mendukung keberhasilan ASI eksklusif. Dirasa penting karena pekerjaan yang dilakukan erat kaitanya dengan kendali pejabat/atasan. Sebagai bentuk dukungan institusi terhadap program menyusui eksklusif, Kementerian Kesehatan sudah menyediakan ruang laktasi. Namun, responden merasakan dukungan yang kurang. Pimpinan masih meminta ibu menyusui eksklusif dan tetap bekerja sesuai jam kerja serta ditugaskan ke luar kota. (2012) yang menyatakan tidak ada hubungan antara dukungan atasan kerja dengan pemberian ASI eksklusif. Dimana p value yang di dapatkan sebesar 0,383 lebih besar dari 0,05. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian analisis faktor penghambat pemanfaatan ruang menyusui di tempat kerja oleh pekerja wanita di PT.Daya Manunggal, maka dapat di simpulkan bahwa ada hubungan antara dukungan keluarga dan dukungan atasan
kerja dengan pemanfaatan ruang menyusui di tempat kerja oleh pekerja wanita di PT.Daya Manunggal . Serta tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan, pengetahuan, kondisi kesehatan, kebijakan perusahaan, ketersediaan fasilitas, dukungan petugas kesehatan di tempat kerja, dan dukungan rekan kerja dengan pemanfaatan ruang menyusui di tempat kerja oleh pekerja wanita di PT.Daya manunggal. UCAPAN TERIMA KASIH
PT.Daya Manunggal memberikan ijin penelitian bidang umum-personalia membantu memperoleh diperlukan.
yang telah dan Kepala yang telah data yang
DAFTAR PUSTAKA Ambarwati, R. 2004. Faktor yang Berhubungan dengan Kegalan Pemberian AIS Eksklusif di Puskesmas Padangsari Kabupaten Ungaran. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro. Semarang Anggorowati.2011. Hubungan antara Dukungan Keluarga dengan Pemberian ASI Eksklusif pada Bayi di Desa Bebengan Kecamatan Boja Kabupaten Kendal. Skripsi Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang Azwar,
Azrul. 1996.Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Sinar Harapan
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2007, Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Bayu Kurniawan, 2013, Determinan Keberhasilan Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif , Skripsi, Universitas Brawijaya.
108
Dwi Mukti Pratiwi dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016) Dinkesprov Jawa Tengah, 2012, Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah 2012, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Semarang.
Bonto Cani Kabupaten Bone. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin. Makassar
Elsera Ike Trisnawati.2013. faktor yang berhubungan dengan pemberian ASI Eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Ngaliyan Semarang. Skripsi Ilmu Keperawatan STIKES. Semarang
Rojjanasrirat ,W .2004. Working women’s breastfeeding experinces’, MCN, Vol. 29, No. 4, 222-227
Giri Inayah Abdullah.2012.Determinan Perilaku Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif pada Ibu Pekerja.Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. Vol. 7, No. 7, Februari 2013 Heni Handayani, 2012, Kendala Pemanfaatan Ruang ASI dalam Penerapan ASI Eksklusif di Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Tahun 2011, Skripsi, Universitas Indonesia. Rahmawati,dkk.2013. Hubungan Antara Karakteristik Ibu, Peran Petugas Kesehatan Dan Dukungan Keluarga Dengan Pemberian Asi Eksklusif Di Wilayah Kerja Puskesmas
Siregar. (2004). Pemberian ASI Eksklusif dan FaktorFaktor yang Mempengaruhinya. diakses tanggal 19 November 2014 jam 09.00 WIB http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456 789/32726/1/fkm-arifin4.pdf Siti Fatimah, dkk. 2013. Faktor pelaksanaan kesehatan reproduksi perusahaan dan dukungan keluarga dalam penentuan pola menyusui oleh pekerja (buruh) wanita di Kabupaten Kudus. Jurnal Gizi Indonesia. Vol. 2, No. 1, Desember 2013: 24-32 Utami Roesli.2000. Pemberian ASI Eksklusif seri 1. Jakarta: TrubusAgriwidya
109
UJPH 5 (2) (2016)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
EFEKTIFITAS PEMBENTUKAN KADER MALARIA DESA UNTUK MENINGKATKAN PARTISIPASI KEPALA KELUARGA DALAM UPAYA PENGENDALIAN MALARIA DI RW I DAN RW III DESA HARGOROJO KABUPATEN PURWOREJO Erni Nur Faizah , Arulita Ika Fibriana Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima November 2015 Disetujui November 2015 Dipublikasikan April 2016
Pengendalian malaria akan berhasil apabila disertai partisipasi dari masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas pembentukan kader malaria untuk meningkatkan partisipasi kepala keluarga dalam upaya pengendalian malaria di RW I dan RW III Desa Hargorojo Kabupaten Purworejo. Jenis penelitian ini menggunakan penelitian eksperimen semu dengan rancangan non equivalent control group design. Populasi penelitian ini adalah kepala keluarga di RW I dan RW III Desa Hargorojo. Pada penelitian ini digunakan purposive sampling. Jumlah sampel kelompok eksperimen adalah 20 dan kelompok kontrol 20. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat (uji Mann Whitney). Dari hasil penelitian, didapatkan perbedaan yang bermakna antara posttest kelompok yang diberi intervensi pembentukan kader malaria dengan kelompok yang diberi intervensi hanya penyuluhan (p=0,000). Hal tersebut menunjukkan bahwa pembentukan kader malaria desa efektif meningkatkan partisipasi kepala keluarga dalam upaya pengendalian malaria. Saran yang diajukan bagi dinas kesehatan Kabupaten Purworejo agar membentuk kader malaria di desa lain yang merupakan daerah endemis malaria.
________________ Keywords: Establishment of village malaria cadre; Family’s Head Participation; Malaria ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ Malaria control will be successful if accompanied by the participation of the community. The purpose of this study was to found the effectiveness of the establishment of village malaria cadre to increase the participation of family’s head in malaria control efforts in RW I and RW III Hargorojo Village Purworejo District. This research used a quasi-experimental research design with non-equivalent control group design. The population of this research included the family’s head in RW I and RW III Hargorojo village. In this study used purposive sampling. The number of samples of the experimental group and the control group were 20 and 20. Data analysis was performed using univariate and bivariate (Mann Whitney test). From the research, found significant differences between the groups were given a posttest intervention the establishment of village malaria cadre with the intervention group given only health education (p = 0.000). This shows that the estabhlisment of a village malaria cadre effectively increase participation in the family's head of malaria control efforts. Suggestions for Purworejo district health department was they should to establishment of a village malaria cadre in another village that was a malaria endemic area.
© 2016 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail:
[email protected]
ISSN 2252-6781
110
Erni Nur Faizah dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
PENDAHULUAN
Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit Plasmodium yang hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah manusia dan secara alami ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina (Depkes RI, 2006). Malaria merupakan salah satu indikator dari target Pembangunan Milinium (MDGs), yaitu untuk menghentikan penyebaran dan mengurangi insiden malaria pada tahun 2015, dilihat dari indikator menurunnya angka kesakitan dan kematian akibat malaria. Annual Parasite Insidence (API) nasional mengalami penurunan dari tahun 2008-2009 dari 2,47 per 1000 penduduk menjadi 1,85 per 1000 penduduk. Hal ini masih harus dilakukan untuk mencapai target Renstra Kemenkes tahun 2010-2011 yaitu API harus diturunkan menjadi 1 per 1000 penduduk pada tahun 2014 (Kemenkes RI, 2011). Di Provinsi Jawa Tengah Penyakit Malaria masih menjadi permasalahan Kesehatan masyarakat. Masih ditemukan High Case Insidence (HCI) sebanyak 31 desa yang tersebar di 5 Kabupaten yaitu Purworejo, Kebumen, Purbalingga, Banyumas dan Jepara (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2011). Kasus Malaria di Kabupaten Purworejo pada tahun 2000 sebanyak 33.543 kasus atau API 43,7‰, hingga tahun 2009 kasus terus menurun jumlah kasus 359 atau API 0.47‰. Mulai tahun 2010 meningkat dengan jumlah kasus 372 atau API 0.49‰, sedangkan pada tahun 2011 terjadi 1.001 kasus malaria atau API 1.34‰ yang mana masih diatas target yaitu sebesar <1‰ (Dinas Kesehatan Kabupaten Purworejo, 2012). Pada tahun 2010 terjadi KLB di wilayah Puskesmas Banyuasin Desa
Kemejing, Kembaran, Separe dan Kaliglagah, sedangkan tahun 2011 terjadi KLB di Kecamatan Bagelen yaitu di Desa Hargorojo, Semono, Durensari, Semagung, dan Sokoagung. Begitu pula di Kecamatan Kaligesing yaitu di desa Somongari, Jatirejo, Kaliharjo dan Donorejo (Dinas Kesehatan Kabupaten Purworejo,2012). Pada tahun 2013 tercatat sebanyak 615 kasus malaria terjadi di Kabupaten Purworejo. Kasus malaria yang mengalami peningkatan pada tahun 2013 adalah Kecamatan Bagelen yaitu sebanyak 197 kasus. Kasus malaria tertinggi berada di Desa Hargorojo yaitu sebanyak 69 kasus (Dinas Kesehatan Kabupaten Purworejo, 2014). Upaya pemberantasan yang dilakukan pemerintah belum mendapatkan hasil yang maksimal dalam menekan angka terjadinya malaria karena selama ini masyarakat hanya menjadi objek dari program tersebut dan masyarakat tidak pernah menyadari bahwa dialah yang seharusnya menjadi subjek dalam program. Partisipasi masyarakat secara aktif sangat penting dalam keberhasilan program pengendalian malaria. Menurut William Rojar, dkk (2011) partisipasi masyarakat dalam pengendalian malaria efektif untuk mencegah terjadinya malaria. Upaya untuk memutus mata rantai penularan antara host, agent dan environment harus dilakukan sendiri oleh masyarakat dalam upaya pengendalian penyakit malaria. Untuk itu masyarakat dalam hal ini kepala keluarga harus mempunyai keyakinan dan ketrampilan dalam melaksanakan pengendalian malaria. Dalam meningkatkan keyakinan dan ketrampilan dalam pengendalian malaria diperlukan kontribusi dari kader malaria
111
Erni Nur Faizah dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
desa dalam melakukan tugasnya. Menurut Yuli Kusumawati dan S Darnoto (2008) model penyadaran masyarakat dapat lebih efektif jika dilakukan oleh kader kesehatan atau tokoh masyarakat karena tokoh panutan ini terlibat langsung dalam kegiatan kemasyarakatan dan lebih dekat dengan masyarakat. Menurut Zega (2007) upaya pemberdayaan masyarakat melalui kader malaria ternyata dapat meningkatkan perubahan perilaku masyarakat dimana masyarakat secara langsung berpartisipasi dalam usaha pengendalian malaria. Hal ini didukung oleh penelitian Ririh dan Hargono (2006) yang dilakukan selama 8 minggu bahwa metode pembentukan dan pendampingan kader yang merupakan key person dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam usaha pengendalian malaria.
sampel minimal masing-masing kelompok yaitu antara 10 sampai dengan 20 sampel. Maka yang digunakan dalam penelitian ini adalah 20 sampel untuk masing-masing kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar checklist partisipasi dalam upaya pengendalian malaria. Teknik analisa data yang digunakan adalah analisis univariat dan analisis bivariat. Analisis univariat digunakan untuk mendapatkan gambaran tiap variabel penelitian dan analisis bivariat menggunakan uji Mann-Whitney untuk mengetahui efektifitas pembentukan kader malaria desa untuk meningkatkan partisipasi dalam upaya pengendalian malaria. HASIL DAN PEMBAHASAN
METODE Gambaran Umum
Jenis penelitian ini menggunakan metode Quasi Experiment dengan jenis rancangan non-equivalent control group design. Peneliti melakukan pretest pada kedua kelompok penelitian dan diikuti intervensi pada kelompok eksperimen. Setelah beberapa waktu kemudian dilakukan post test pada kedua kelompok tersebut. Penelitian dilakukan selama 8 minggu. Pada kelompok eksperimen diberikan intervensi pembentukan kader malaria desa sedangkan pada kelompok kontrol hanya diberikan penyuluhan oleh peneliti. Populasi dalam penelitian ini adalah kepala keluarga di RW I dan RW III Desa Hargorojo berjumlah 156 KK. Berdasakan pendapat Roscoe dalam Sugiyono (2009:74), bahwa untuk penelitian eksperimen yang sederhana, yang menggunakan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, jumlah
Di daerah Kabupaten Purworejo ditemukan beberapa spesies nyamuk An. Anopheles, diantaranya adalah maculatus, An. balabacensis, dan An. vagus. Larva nyamuk tersebut banyak ditemukan dalam sumber air, kobakan air, sungai berbatu yang airnya tergenang dengan lumut dan gulma, dan rumput. Selain itu juga ditemukan di parit yang airnya tergenang (Lestari Enny, 2007). Desa Hargorojo berlokasi di Kecamatan Bagelen Kabupaten Purworejo. Wilayah Desa Hargorojo terdiri dari 5 Dusun yang mencakup 5 RW dan 11 RT antara lain Dusun Sikuning, Dusun Plarangan, Dusun Setoyo, Dusun Curug dan Dusun Ngargo. Luas wilayah Desa Hargorojo adalah 526 Ha. Adapun batasbatas Desa Hargorojo adalah sebelah utara berbatasan dengan Desa Sokoagung, sebelah
112
Erni Nur Faizah dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
timur berbatasan dengan Daerah Istimewa Yogyakarta, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Somorejo, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Krendetan. Desa Hargorojo dikelilingi oleh perbukitan yang menyebabkan curah hujan cukup tinggi dengan tingkat kelembaban yang tinggi pula. Kondisi ini menjadikan lingkungan nyaman untuk kehidupan nyamuk. Sarana pelayanan kesehatan yang ada di Desa Hargorojo adalah 1 unit PUSTU (Puskesmas Pembantu) yang ditempati oleh petugas kesehatan atau bidan desa. Selain itu juga terdapat pelayanan posyandu balita sebanyak 5 kelompok serta posyandu lansia
1 kelompok. Jumlah penduduk Desa Hargorojo adalah sebanyak 1.586 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 808 jiwa dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 778 jiwa. Jumlah Kepala Keluarga di Desa Hargorojo adalah sebanyak 427 KK (Forum Kesehatan Desa Hargorojo, 2013). Analisis Skor Partisipasi Responden Pada Kelompok Eksperimen
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, analisis skor partisipasi responden pada kelompok eksperimen dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Analisis Skor Partisipasi Responden Pada Kelompok Eksperimen Nilai
Mean
Median
Pretest Posttest
4,15 6,9
4,00 7,00
Standar Deviasi 1,225 1,071
Perbedaan nilai pretest dan posttest partisipasi pada kelompok eksperimen dapat diketahui dengan melakukan uji Wilcoxon. Pada uji Wilcoxon dikatakan ada perbedaan yang bermakna antara sebelum dan sesudah diberikan intervensi apabila nilai p<0,05 (Dahlan Sopiyudin, 2008:80). Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa p value adalah 0,000 atau kurang dari 0,05 yang berarti terdapat perbedaan hasil skor partisipasi pada saat pretest dan posttest. Hasil ini selaras dengan penelitian Ririh Y & Hargono (2006) dan Mlozi, dkk (2006) bahwa pendampingan key person atau tokoh masyarakat desa berpengaruh terhadap tindakan masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan malaria. Hasil penelitian senada juga dikemukakan oleh Zega (2007) bahwa upaya pemberdayaan masyarakat melalui kader malaria ternyata dapat meningkatkan perubahan perilaku masyarakat dimana masyarakat secara
Range
Minimum
Maksimum
4 3
2 5
6 8
P value 0,000
langsung berpartisipasi dalam usaha pengendalian malaria. Menurut Yuli Kusumawati dan S Darnoto (2008) model penyadaran atau untuk merubah perilaku masyarakat dapat lebih efektif apabila dilakukan oleh kader kesehatan atau tokoh masyarakat karena kader dan tokoh masyarakat tersebut terlibat langsung dalam kegiatan kemasyarakatan dan lebih dekat dengan masyarakat. Pada penelitian ini dibentuk 3 orang kader yang merupakan tokoh masyarakat di RW I. Kader yang pilih adalah yang aktif dalam kegiatan kemasyarakatn seperti rukun tani, dan ada pula kader yang merupakan ketua RT. Dengan demikian kader dapat melakukan penyuluhan atau memberikan informasi kepada warga mengenai malaria di setiap pertemuan yang diikuti seperti pertemuan pengajian rutin, pertemuan RT ataupun pertemuan selapanan. Selain melakukan penyuluhan, kader yang
113
Erni Nur Faizah dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
merupakan agen pembaharu juga menggerakkan masyarakat untuk melaksanakan pencegahan malaria bersamasama. Hal tersebut dimusyawarahkan setiap kali pertemuan pengajian setiap minggu. Setelah dibentuk kader malaria diketahui pula kader telah berhasil menggerakkan masyarakat untuk melaksanakan kegiatan kerja bakti bersih desa untuk melakukan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) setiap satu minggu sekali yaitu setiap hari Minggu. Pelaksanaan kegiatan PSN merupakan kegiatan yang paling berpengaruh terhadap keberadaan jentik. Jika seseorang melakukan praktik PSN secara benar, maka keberadaan jentik nyamuk dapat berkurang bahkan hilang. Seseorang yang melakukan praktik PSN berarti telah melaksanakan praktik pencegahan (preventif) yang merupakan aspek dari perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintenance) dan pelaksanaan perilaku kesehatan lingkungan (Notoatmodjo Soekidjo, 2003:121). Berdasarkan fase perkembangan nyamuk diketahui bahwa dari telur ke nyamuk dewasa membutuhkan waktu 10-14 hari, sehingga kegiatan kerja bakti rutin tersebut dapat memutuskan perkembangan nyamuk pada fase telur dan jentik/larva sehingga tidak menjadi nyamuk dewasa
(Arsin, 2012). Jika dikaitkan dengan upaya pemberantasan malaria yang dilakukan oleh masyarakat setiap minggu maka dapat mengurangi populasi nyamuk dan kontak nyamuk dengan manusia. Pengendalian malaria perlu melibatkan masyarakat dan pihak terkait dengan lebih memperluas jangkauan bukan hanya di lingkungan permukiman saja, tetapi juga pada tipe-tipe ekosistem tertentu di sekitar permukiman terutama yang dieksploitasi secara rutin oleh masyarakat lokal (Amirullah, 2012). Kegiatan PSN yang telah dilakukan merupakan kegiatan yang positif dalam upaya pengendalian malaria yang didukung dengan penelitian Lengeler (2002), pemberantasan vektor dilakukan dengan cara membunuh nyamuk dewasa, membunuh jentik nyamuk dan menghilangkan atau mengurangi tempat perindukan. Dengan dibunuhnya nyamuk maka pertumbuhan parasit yang ada dalam tubuh akan terhenti, sehingga penyebaran penyakit dapat terputus. Analisis Skor Partisipasi Responden Pada Kelompok Kontrol
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, analisis skor partisipasi responden pada kelompok kontrol dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2. Analisis Skor Partisipasi Responden Pada Kelompok Kontrol Nilai
Mean
Median
Standar Deviasi
Range
Minimum
Maksimum
Pretest Posttest
3,75 4,35
3,5 4,0
1,16 0,933
4 4
2 3
6 7
Perbedaan nilai pretest dan posttest partisipasi pada kelompok control dapat diketahui dengan melakukan uji Wilcoxon. Pada uji Wilcoxon dikatakan ada perbedaan yang bermakna antara sebelum dan sesudah
P value 0,011
diberikan intervensi apabila nilai p<0,05 (Dahlan Sopiyudin, 2008:80). Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa p value adalah 0,011 atau kurang dari 0,005 yang berarti terdapat perubahan hasil
114
Erni Nur Faizah dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
skor partisipasi pada saat pretest dan posttest. Hal tersebut dapat terjadi karena kelompok kontrol diberikan penyuluhan malaria oleh peneliti. Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian Mardiah (2008) yang menemukan bahwa penyuluhan kesehatan memberikan pengaruh signifikan dalam membentuk perilaku pencegahan penyakit malaria. Pasaribu (2005) juga menemukan kenaikan nilai rata-rata komponen pengetahuan, sikap dan praktik terjadi setelah dilakukan penyuluhan kesehatan.
Analisis Skor Posttest Pada Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol
Sebelum mengetahui perbedaan skor postest pasrtisipasi kepala keluarga pada kelompok kontrol dan kelompok eksperimen, maka digunakan analisis uji F terlebih dahulu yang dilakukan untuk mengetahui homogenitas varians data awal pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hasil uji F dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 3. Hasil Uji Homogenitas Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Nilai Pretest
Variabel Kelompok Eksperimen Kelompok Kontrol
N
Mean
SD
p value
20 20
4,15 3,75
1,22 1,16
0,314
Berdasarkan uji F yang telah dilakukan diperoleh hasil nilai p= 0,314. Hal ini menunjukkan bahwa F hitung (0,314) > 0,05 sehingga data awal skor partisipasi kepala keluarga pada kelompok eksperimen dan kontrol adalah homogen.
Setelah mengetahui homogenitas kedua kelompok maka dilakukan uji untuk mengetahui perbedaan skor posttest pada kedua kelompok. Untuk mengetahui perbedaab skor partisipasi posttest pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 4. Analisis Skor Posttest Pada Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Nilai Posttest
Variabel Kelompok Eksperimen Kelompok Kontrol
Untuk mengetahui perbedaan nilai postest pada kelompok eksperimen dan control dapat diketahui dengan menggunakan uji Mann-Whitney. Pada uji Mann-Whitney dikatakan ada perbedaan apabila nilai p < 0,05. Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa perbedaan skor posttest pada kelompok eksperimen dan kontrol mempunyai nilai p value = 0,000 atau p < 0,05. Hal tersebut berarti terdapat perbedaan yang bermakna pada perbedaan skor postest
N
Mean
SD
p value
32 32
6,9 4,35
1,07 0,93
0,000
pada kelompok yang diberikan perlakuan pembentukan kader malaria dan kelompok yang hanya diberikan penyuluhan malaria. Hal ini selaras dengan teori Green yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003) perilaku seseorang dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu faktor pemudah, pendorong dan pendukung. Faktor pendorong perilaku masyarakat mencakup dorongan dari petugas kesehatan, kader maupun tokoh masyarakat. Selain itu menurut Mardikanto (2003) mengemukakan bahwa peran serta
115
Erni Nur Faizah dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
masyarakat salah satunya dipengaruhi oleh faktor tokoh masyarakat dan kader. Jika dalam kegiatan masyarakat digerakkan oleh tokoh masyarakat serta kader dan mereka ikut berperan serta dalam kegiatan tersebut maka masyarakat akan terarik pula untuk berpartisipasi. John M Marshal (2010) juga menyatakan bahwa perspektif masyarakat berpengaruh terhadap pengendalian malaria. Dalam hal ini perspektif kepala keluarga yang baik terhadap pengendalian malaria dibentuk dan dipengaruhi oleh orang yang mereka percayai atau yang menjadi panutan yaitu kader malaria desa. Mac Cormax (1984) juga menyatakan bahwa kebudayaan dan pendidikan kesehatan yang diberikan key person berpengaruh dalam upaya masyarakat dalam pengendalian malaria. Agar diperoleh perubahan perilaku kesehatan diperlukan usaha-usaha yang konkrit dan positif. Salah satu usaha tersebut diantaranya adalah dengan menggunakan kekuatan, kekuasaan atau dorongan. Dalam hal ini misalnya ada tuntutan dari orang yang mempunyai peranan atau kekuasaan di masyarakat yaitu kader dan tokoh masyarakat yang harus dipatuhi. Maka untuk mendorong perubahan perilaku masyarakat, tokoh-tokoh kunci yanga ada pada masyarakat seperti kader kesehatan harus ikut terlibat (Depkes RI, 1999). Pengaruh Pembentukan Kader Terhadap Sampel Penelitian
Malaria
Pengaruh pembentukan kader malaria terhadap responden penelitian antara lain: 1. Meningkatkan partisipasi masyarakat Upaya pengendalian malaria akan mendapatkan hasil yang maksimal apabila disertai dengan partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan
kesehatan terus dipupuk karena kesehatan bukan hanya masalah pihak pemberi pelayanan kesehatan (provider), melainkan juga merupakan masalah masyarakat sendiri (consumer) (Kemenkes RI, 2010). Pembentukan kader malaria mempunyai pengaruh dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengendalian malaria. Kader yang merupakan tokoh masyarakat melakukan penyuluhan atau pemberian informasi mengenai malaria di setiap kegiatan kemasyarakatan sehingga pengetahuan warga masyarakat tentang malaria akan meningkat. Selain itu, kader juga menggerakan masyarakat untuk melakukan kegiatan pengendalian malaria. Hal ini dapat meningkatkan partisipasi masyarakat karena kader yang merupakan tokoh masyarakat masih menjadi panutan bagi masyarakat sehingga hal ini dapat menyebabkan masyarakat mau untuk berpartisipasi apabila ada dorongan dari kader kesehatan. 2. Perubahan perilaku masyarakat Peranan kader dan tokoh masyarakat merupakan faktor pendorong terjadinya perubahan perilaku pada masyarakat. Dalam hal ini peran kader malaria dapat mendorong terjadinya perubahan perilaku masyarakat dalam pengedalian malaria. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa masyarakat yang tidak pernah melakukan kegiatan ketrja bakti bersih desa dan pemberantasan sarang nyamuk setelah ada penggerakan dari kader malaria masyarakat melaksanakan kerja bakti dan PSN setiap satu minggu sekali. Pembentukan kader kesehatan dapat mengubah perilaku masyarakat karena kader merupakan agen pembaharu yang masih menjadi panutan di masyarakat. Dengan adanya penggerakan dari kader yang merupakan tokoh masyarakat, maka akan mengubah perilaku masyarakat untuk
116
Erni Nur Faizah dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
berpartisipasi melakukan pengendalian malaria.
kegiatan
Evaluasi Kinerja Kader Malaria
Evaluasi merupakan hal yang penting dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan suatu program. Evaluasi kinerja adalah suatu metode dan proses penilaian dan pelaksanaan tugas seseorang atau sekelompok orang atau unit-unit kerja dalam satu perusahaan atau organisasi sesuai dengan standar kinerja atau tujuan yang ditetapkan lebih dahulu. Evaluasi kinerja merupakan cara yang paling adil dalam memberikan imbalan atau penghargaan kepada pekerja. Evaluasi kinerja kader dilakukan pada minggu kesembilan penelitian, dimana peneliti memberikan pertanyaan kepada responden tentang peran kader dalam menjalankan tugasnya. Berdasarkan jawaban yang diberikan oleh responden dapat diketahui bahwa kader melakukan tugasnya dengan baik. Kader memberikan penyuluhan tentang malaria dan menggerakkan masyarakat untuk melakukan kerja bakti pembersihan lingkungan dan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) setiap satu minggu sekali.
kepala Desa Hargorojo, pihaknya akan melanjutkan kegiatan pembentukan kader malaria di RW lain yang ada di Desa Hargorojo. SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat diperoleh simpulan bahwa pembentukan kader malaria desa efektif untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya pengendalian malaria di RW I Desa Hargorojo Kabupaten Purworejo (p = 0,000). Saran yang diberikan bagi masyarakat diharapkan dapat lebih berpartisipasi terhadap kegiatan-kegiatan dalam upaya pengendalian malaria. Bagi pemerintah desa diharapkan untuk ikut berperan serta dalam menggerakkan masyarakat agar partisipasi masyarakat dalam pengendalian malaria semakin meningkat. Bagi dinas kesehatan diharapkan dapat membentuk kader-kader kesehatan pada daerah lain yang endemis malaria agar usaha untuk mengendalikan malaria semakin maksimal. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian secara kualitatif terhadap pembentukan kader malaria dalam meningkatkan partisipasi masyarakat.
Keberlanjutan Program
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian intervensi pembentukan kader memberikan dampak positif yaitu meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengendalian malaria. Pembentukan kader dilakukan di RW I sehingga dengan adanya peningkatan partisipasi kepala keluarga maka RW I Desa Hargorojo Kabupaten Purworejo dijadikan RW atau Dusun percontohan di Desa Hargorojo. Hasil penelitian ini dilaporkan kepada pihak pemerintah Desa Hargorojo. Berdasarkan keterangan dari bidan desa dan
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami tunjukkan kepada Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan, Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Dosen Pembimbing, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Purworejo beserta jajarannya, Kepala Desa Hargorojo beserta jajarannya, masyarakat Desa Hargorojo, Keluarga, serta Teman-teman yang telah memberi bantuan dan motivasi dalam penyelesaian penelitian ini.
117
Erni Nur Faizah dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016) Epidemiologi Malaria, 2011, Kementerian Republik Indonesia, Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA Arsin, 2002, Malaria di Indonesia, Tinjauan Aspek Epidemiologi, Masegna Press, Makassar. Amirullah, 2012, Bioecological Study of Anopheles spp. as a Basic for Developing of Malaria Vector Control Strategies in the South Halmahera District, Nort Maluku, Disertasi, Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor. Dahlan, Sopiyudin, 2008, Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan, Salemba Medika, Jakarta. Dinas Kesehatan Kabupaten Purworejo, 2012, Profil Kesehatan Kabupaten Purworejo Tahun 2011, Informasi Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Dinas Kabupaten Purworejo, Purworejo. -----------------------------------------------------, 2014, Laporan Bulanan Penemuan dan Pengobatan Malaria Dinas Kabupaten Purworejo 2013, Purworejo. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2011, Profil Kesehatan Jawa Tengah Tahun 2010, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1999, Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010, Jakarta. -------------------------------------------------------------, 2006, Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia, Direktorat Jenderal P2MPL, Jakarta. Forum Kesehatan Desa Hargorojo, 2014, Profil Desa Hargorojo Tahun 2013, Purworejo : Desa Hargorojo John M Marshall, dkk, 2010, Perspectives of People in Mali Toward Genetically Modified Mosquitoes for Malaria Control, Malaria Journal, diakses di http://malariajournal.com pada tanggal 20 September 2014. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010, Rencana Operasional Promosi Kesehatan Untuk Eliminasi Malaria, 2010, Kementerian Republik Indonesia, Jakarta ------------------------------------------------------, 2011, Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan
Lengeler, 2002, Insecticide-Treated Bednets an Curtains for Preventing Malaria (Cohrane Review), in the Cohrane Libtary, Oxford. Lestari Enny, 2007, Vektor Malaria di daerah Purworejo, Jawa Tengah, Media Litbang Kesehatan XVII Nomor 1 Tahun 2007. Mac Comax, 1984, Human Ecology and Behaviour in Malaria Control in Tropical Africa, Bulletin of the WHO, vol. 62 page 81-87. Mardiah, 2008, Hubungan Penyuluhan dengan Perilaku Pencegahan Malaria Pada Masyarakat di Wilayah Kerja Puskesmas Lateuba Kecamatan Selimun Aceh Besar, http://usu.ac.id (diakses pada tanggal 10 Oktober 2014). Mardikanto, 2003, Redefinisi Pnyuluhan, Jakarta : Puspa. Mlozi, dkk, Participatory Involvement of Farming Communities and Public Sectors in Determining Malaria Control Strategies in Momero District Tanzania, Tanzania Health Research Bulletin Vol. 8 No 3, Tanzania. Notoatmodjo, Soekidjo, 2003, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta. Pasaribu, Hotber_ER, 2005, Perbandingan Penyuluhan Kesehatan Metode Ceramah Tanya Jawab Dengan Penyuluhan Kesehatan Menggunakan Buku Kecacingan Dalam Mencegah Reinfeksi Ascaris lumbricoides Pada Anak Sekolah Dasar, Tesis, Universitas Diponegoro, Semarang. Ririh, Y dan Hargono, R, 2006, Pengendalian Malaria Di Daerah Endemis Dengan Pendampingan Key Person, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol 3, No 1, Juli 2005 : 77-86. Sugiyono, 2009, Statistik Untuk Penelitian, Alfabeta Bandung, Jakarta. William Rojar, dkk, 2011, An Integrated Malaria Control Program With Community Participation On The Pacific Coast of
118
Erni Nur Faizah dan Arulita Ika Fibriana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016) Colombia, Cad Saude Public Vol. 17, January 2011.
Serengan Surakarta, Warta, Volume 11 No 2, September 2008, halaman 159-169, Surakarta.
Yuli dan Darnoto, 2008, Pelatihan Peningkatan Kemampuan Kader Posyandu dalam Penanggulangan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kelurahan Joyotakan Kecamatan
Zega. A., 2007, Hubungan Kejadian Malaria Dengan Penghasilan, Pendidikan, Perilaku Pencegahan dan Pengobatan Masyarakat di Kabupaten Kulon Progo, Tesis, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
119
UJPH 5 (2) (2016)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
EVALUASI INPUT SISTEM SURVEILANS PENEMUAN SUSPEK TUBERKULOSIS (TB) DI PUSKESMAS WILAYAH KERJA DINAS KESEHATAN KABUPATEN MAGELANG Fenila Novanty , Dina Nur Anggraini Ningrum Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima Januari 2015 Disetujui Januari 2015 Dipublikasikan April 2016
CDR (Case Detection Rate) merupakan salah satu indikator penanggulangan TB Nasional dengan target penemuan sebesar 70%. Tahun 2009 hingga 2013 capaian CDR TB Kabupaten Magelang masih jauh dari target. Capaian CDR TB Kabupaten Magelang tahun 2013 sebesar 22,98%. Data CDR TB diperoleh melalui kegiatan surveilans. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil evaluasi input sistem surveilans penemuan suspek TB di puskesmas wilayah kerja Dinkes Kabupaten Magelang. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan rancangan studi evaluasi. Informan dalam penelitian ini terdiri dari 6 informan utama dan 5 informan triangulasi yang ditentukan dengan teknik purposive sampling. Teknik pengambilan data dengan wawancara terstruktur, observasi, dan studi dokumentasi. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk narasi. Hasil penelitian menunjukkan masih terdapat masalah dalam input man, material, dan method dalam program P2TB puskesmas di wilayah kerja Dinkes Kabupaten Magelang. Saran yang peneliti rekomendasikan adalah meningkatkan keterampilan dan kompetensi input man, melengkapi input material, dan memperbaiki input method guna mensukseskan program P2TB puskesmas.
________________ Keywords: Evaluation; P2TB; Public Health Centers ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ CDR (Case Detection Rate) is one of the indicators of the national TB prevention with target of detection is 70%. From 2009 to 2013 achievement of TB CDR in Magelang are still far from the target. Magelang’s TB CDR has reached 22,98% in 2013. TB CDR data obtained through surveillance activities. This research aim to know the results of the evaluation input system surveillance detection of TB suspect at Public Health Centers (PHC) district reach of Magelang’s Health Department. This type of research was qualitative research with the design of the evaluation studies. Informants in this study consists of 6 main informant and the informant 5 prescribed triangulation with purposive sampling technique. Data collection techniques with structured interviews, observed, and documentation. Data analysis was carried out and presented in the form of descriptive narrative. The results showed there was still a problem in input man, material, and method in the P2TB program PHC in Magelang Health Office work areas. The advice which recommended by researcher is improve to skills and competence of input systems, such as man, material, and method of P2TB program at PHC.
© 2016 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail:
[email protected]
ISSN 2252-6781
120
Fenila Novanty dan Dina Nur Anggraini Ningrum / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
PENDAHULUAN
Tuberkulosis menjadi salah satu penyakit yang penanggulangannya menjadi komitmen global dalam MDGs. Penanggulangan TB di Indonesia menggunakan strategi DOTS sejak tahun 1995 yang bertujuan untuk memutuskan penularan dan menurunkan insidensi TB di masyarakat (Depkes, 2006; Kemenkes, 2011a). Untuk menilai kemajuan atau keberhasilan program penanggulangan TB maka digunakan beberapa indikator. Indikator yang digunakan dalam penanggulangan TB nasional adalah Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate= CDR) dan Angka Keberhasilan Pengobatan (Success Rate= SR) (Dinkes Prov. Jateng, 2006; Depkes, 2009). Target capaian minimal CDR nasional yaitu 70% dan target capaian minimal SR nasional adalah 85% (Dinkes Prov. Jateng, 2006; Depkes, 2009; Kemenkes, 2011a). Untuk menunjang keberhasilan program penanggulangan TB diperlukan adanya data epidemiologi penyakit TB. Data tersebut dapat diperoleh melalui kegiatan surveilans epidemiologi TB (Dinkes Prov. Jateng, 2006). Surveilans TB berperan untuk menyediakan data yang valid bagi manajemen kesehatan untuk menentukan tindakan yang tepat dalam penanggulangan dan pengendalian TB (Dinkes Prov. Jateng, 2006) dan juga berperan untuk membantu meningkatkan manajemen kasus serta monitoring program P2TB (Depkes, 2003). Puskesmas merupakan unit pelayanan kesehatan terdepan yang dekat dengan masyarakat dan juga berperan menyediakan data utama mengenai masalah kesehatan masyarakat bagi manajemen kesehatan. Salah satunya adalah program P2TB yang langsung di bawah komando Dinkes (Nizar, 2010). Untuk mendukung pelaksanaan
program P2TB puskesmas diperlukan sebuah input yang akan melakukan pengumpulan data TB sampai penyebaran informasi (proses) sehingga akan dihasilkan sebuah output (Depkes, 2003). Dinkes Kab. Magelang membawahi 29 puskesmas dan dua dari 29 puskesmas tersebut menjadi informan utama dalam evaluasi input sistem surveilans penemuan suspek di puskesmas wilayah kerja Dinkes Kab. Magelang dikarenakan puskesmas tersebut memiliki capaian CDR tertinggi dan terendah. CDR merupakan output dari Program P2TB yang tentunya dipengaruhi oleh input program. Kabupaten Magelang merupakan kabupaten dengan capaian CDR TB terendah di Provinsi Jawa Tengah untuk tahun 2011 dan 2012 (Dinkes Prov. Jateng, 2012). Berdasarkan Profil Kesehatan Kab. Magelang tahun 2010 sampai tahun 2012, capaian CDR TB Kab. Magelang tahun 2009 masih jauh dari target nasional yaitu hanya sebesar 18%, tahun 2010 yaitu hanya mencapai 16,9% dan tahun 2011 mengalami kenaikan yaitu sebesar 18,52%. Untuk tahun 2012 menunjukkan adanya peningkatan capaian CDR TB dari tahun-tahun sebelumnya yaitu sebesar 21,83% (Dinkes Kab. Magelang, 2013). Capaian CDR TB untuk tahun 2013 yaitu sebesar 22,98% (Dinkes Kab. Magelang, 2014). Kabupaten Magelang merupakan kabupaten yang berada di Prov. Jateng. Selama lima tahun terakhir capaian CDR TB Provinsi Jateng belum bisa mencapai target nasional. Untuk capaian CDR tahun 2008 yaitu hanya sebesar 47,97%. Pada tahun 2009 mencapai 48,15%, tahun 2010 sebesar 55,38%, tahun 2011 mencapai 59,52%, dan mengalami penurunan di tahun 2012 dengan capaian sebesar 58,45% (Dinkes Prov. Jateng, 2011; Dinkes Prov.
121
Fenila Novanty dan Dina Nur Anggraini Ningrum / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
Jateng, 2012). Jateng menjadi salah satu provinsi di Indonesia dan Pulau Jawa dengan capaian CDR terendah dan kurang dari target nasional (Kemenkes, 2011b; Kemenkes, 2012c). Capaian CDR Indonesia pada tahun 2011 menunjukkan angka 82,20% dan pada tahun 2012 sebesar 82,30% dan hal ini menunjukkan bahwa capaian CDR secara nasional sudah mencapai target yang ditentukan WHO yaitu sebesar 70% (Kemenkes, 2013). TB menyebabkan 10% kematian dari total mortalitas di Indonesia. Hal tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara dengan beban TB tertinggi kelima dunia. TB merupakan penyakit infeksi terbesar nomor dua penyumbang angka mortalitas dewasa yang menyebabkan sekitar 1,7 juta kematian di dunia (WHO, 2011). Tahun 2010 ditemukan 8,8 juta kasus baru TB dan 1,45 juta kematian penduduk dunia diakibatkan oleh TB (WHO, 2012). Masalah pada surveilans jika dilihat dari hasil penelitian sebelumnya dan teori yang ada meliputi ketepatan waktu, manajemen program surveilans (inputproses-output), umpan balik yang dihasilkan, dan data tidak dianalisis. Permasalahan ketepatan waktu sudah pernah diteliti oleh Hutahean (2010) di BP4 Surabaya dan Saeed KM, et al (2013) di Afghanistan. Permasalahan input, proses, dan output pernah diteliti oleh Sugiarsi (2005) di Dinkes Kabupaten Sukoharjo, Arsyam (2013) di Kabupaten Barru, dan Sulistya (2006) di Dinkes Kabupaten Sleman. Hasil dari penelitian tersebut yaitu terdapat masalah input man, material, dan money. Serta penelitian yang telah dilakukan oleh Duhri (2013) di Kab. Wajo terdapat masalah pada input man dan method. Masalah pada input sebagian besar pada man, material, method, dan money. Sedangkan untuk umpan balik yang dihasilkan dan data tidak dianalisis
yang tercantum dalam buku Pedoman Surveilans Epidemiologi Penyakit (Depkes, 2003). Supaya kegiatan surveilans dapat berjalan sesuai dengan harapan maka diperlukan adanya manajemen sistem surveilans yang baik, yang terdiri dari input, proses, dan output. Untuk mengetahui keberhasilan dan juga hambatan yang dialami oleh suatu sistem surveilans, dibutuhkan adanya kegiatan evaluasi. Evaluasi dalam sistem surveilans secara umum bertujuan untuk meningkatkan sumber daya yang ada di bidang kesehatan masyarakat secara maksimal melalui pengembangan suatu sistem surveilans yang efektif dan efisien (Depkes, 2003). Menurut KMK RI No. 1116/MENKES/SK/VIII/2003 tentang pedoman penyelenggaraan sistem surveilans epidemiologi kesehatan, evaluasi diukur berdasarkan indikator input, proses, dan output. Fokus dalam penelitian ini yaitu evaluasi input sistem surveilans program TB di puskesmas wilayah kerja Dinkes Kabupaten Magelang yang meliputi input man, money, material, dan method. Proses dan output tidak menjadi prioritas utama dalam penelitian ini karena input lebih diprioritaskan untuk dievaluasi karena input memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap proses dan output (Notoatmodjo, 2011). Untuk input market (sasaran) tidak dijadikan sebagai fokus penelitian dikarenakan berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan di Dinkes Kabupaten Magelang bahwa informasi dari hasil pengolahan data sudah digunakan atau disebarkan luaskan kepada Bidang Perencanaan Dinkes Kabupaten Magelang, PIMK (Pusat Informasi Manajemen Kesehatan), PEMDA-KESRA, Bapermas, dan PKK.
122
Fenila Novanty dan Dina Nur Anggraini Ningrum / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
METODE
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan rancangan studi evaluasi (Moleong, 2002; Ghony dan Fauzan, 2012). Rancangan studi evaluasi dilakukan untuk melihat dan menilai pelaksanaan maupun capaian dari kegiatan atau program yang sedang atau yang sudah dilakukan untuk meningkatkan dan memperbaiki kegiatan atau program tersebut (CDC, 2011). Penelitian ini dilakukan di puskesmas wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang. Informan utama dalam penelitian ini adalah kepala puskesmas, petugas P2TB, dan petugas laboratorium di kedua puskesmas. Sedangkan untuk informan triangulasi dalam penelitian ini antara lain Kasie. P2 Dinkes Kab. Magelang, Kepala TU beserta staf di kedua puskesmas. Penentuan puskesmas yang menjadi sumber informasi dilakukan dengan purposive sampling (Sugiyono, 2008), dengan mempertimbangkan kriteria capaian CDR TB tertinggi dan terendah tahun 2013. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara terstruktur, observasi, dan dokumentasi terhadap input yang meliputi ketersediaan man, material, method, dan money pada suatu puskesmas. Instrumen yang digunakan dalam pengambilan data adalah pedoman wawancara terstruktur, lembar observasi, dan lembar dokumentasi. Uji keabsahan data dilakukan dengan teknik triangulasi yaitu membandingkan hasil wawancara antara informan utama dengan informan triangulasi (Moleong, 2002). Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan model Miles dan Huberman yaitu mengumpulkan, mereduksi, menyajikan data, mengevaluasi, menarik kesimpulan dan verifikasi (Ghony dan Fauzan, 2012). Dalam penelitian ini
evaluasi dilakukan dengan cara membandingkan kenyataan yang ada di lapangan atau sumber daya yang dimiliki oleh puskesmas dengan pedoman yang ada. HASIL DAN PEMBAHASAN
Input menurut Depkes (2003) dan Wijono (2000) merupakan unsur-unsur program yang diperlukan yang terdiri dari 5M (Man, Material, Method, Money, and Market). Untuk mengetahui hambatan atau kendala yang dialami oleh input suatu sistem dapat dilakukan dengan cara melakukan evaluasi terhadap input tersebut. Evaluasi dapat dilakukan dengan cara membandingkan kenyataan yang ada di lapangan dengan pedoman yang ada. Evaluasi Input Man (Sumber Daya Manusia) Pendukung Pelaksanaan Surveilans Penemuan Suspek Tuberkulosis (TB)
Sumber daya manusia (SDM) adalah unsur yang paling penting dalam suatu organisasi karena SDM berperan dalam menentukan arah, kemajuan organisasi dan menentukan keberhasilan upaya dan manajemen kesehatan (Wijono, 2000). Menurut Wijono (2000) mutu pelayanan kesehatan dapat dilihat salah satunya dari kondisi tenaga yang ada di fasilitas layanan kesehatan. Kondisi tenaga di puskesmas dapat dilihat dari jumlah, latar belakang pendidikan, dan pelatihan yang pernah diikuti. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa masih terjadi masalah pada ketersediaan tenaga P2TB puskesmas. Petugas P2TB di salah satu puskesmas penelitian merupakan bidan Jumlah tenaga P2TB puskesmas yang tersedia sebanyak 1 orang perawat. Hal ini belum sesuai dengan Pedoman Nasional Pengendalian TB karena seharusnya terdiri dari 1 dokter dan 1
123
Fenila Novanty dan Dina Nur Anggraini Ningrum / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
perawat. Peran dokter dalam hal ini yaitu sebagai bahan pertimbangan atau untuk memastikan diagnosis apakah seseorang dikatakan TB positif atau negatif. Ketersediaan tenaga P2TB puskesmas yang terlatih sudah sesuai dengan Kepmenkes RI No. 364/MENKES/SK/2009 tetapi pelatihan yang diikuti belum lengkap. Petugas P2TB puskesmas hanya mendapat pelatihan refreshing program TB. Sedangkan menurut Kepmenkes RI No. 364/MENKES/SK/2009 pelatihan yang harus diikuti meliputi pelatihan awal dan pelatihan selama bertugas yang meliputi aspek klinis dan manajemen program TB (penuh, ulangan, refreshing, on the job training, dan lanjutan). Ketersediaan tenaga laboratorium puskesmas dan tenaga laboratorium terlatih masih belum sesuai dengan Pedoman Nasional Penanggulangan TB. Sedianya petugas laboratorium untuk puskesmas terdiri dari 1 tenaga teknis dan 1 tenaga non teknis (Kemenkes, 2012a). Namun, berdasarkan penelitian hanya tersedia 1 tenaga teknis. Petugas laboratorium di salah satu puskesmas penelitian belum mendapat pelatihan pemeriksaan mikroskopis TB. Namun, dalam tiga tahun terakhir Dinkes Kabupaten Magelang memberikan on the job training (OJT) kepada petugas laboratorium puskesmas di wilayah Dinkes Kabupaten Magelang. Petugas laboratorium di salah satu puskesmas telah mendapat pelatihan refreshing program TB, tetapi pelatihan yang diikuti belum lengkap. Menurut Kemenkes (2012a), pelatihan untuk tenaga laboratorium setelah bertugas meliputi pelatihan awal (initial), refreshing, dan OJT. Pemberian pelatihan terhadap petugas bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan petugas dalam rangka meningkatkan mutu dan kinerja petugas serta meningkatkan
kepercayaan diri petugas dalam menjalankan tugasnya (Depkes, 2009; Azwar, 2008). Pemberian pelatihan terhadap petugas P2TB merupakan salah satu upaya pengembangan SDM Program TB dan menyediakan tenaga yang kompeten dan profesional dalam penanggulangan TB (Depkes, 2009). Ketersediaan tenaga P2TB puskesmas yang terlatih merupakan salah satu indikator yang menentukan kualitas puskesmas dalam melakukan kegiatan pelayanan dan penanggulangan TB (Dinkes Prov. Jateng, 2006). Evaluasi Input Material (Sarana Prasarana) Pendukung Pelaksanaan Surveilans Penemuan Suspek Tuberkulosis (TB)
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa ketersediaan sarana prasarana pendukung pelaksaaan program P2TB puskesmas, beberapa sudah sesuai dengan pedoman yang ada. Ketersediaan ATK puskesmas dan ketersediaan perangkat surveilans TB puskesmas sudah sesuai dengan pedoman Surveilans Epidemiologi Penyakit. Ketersediaan laboratorium, ketersediaan buku pedoman penaggulangan TB, dan ketersediaan formulir TB sudah sesuai dengan Pedoman Pengendalian TB Nasional. Ketersediaan buku petunjuk pemeriksaan mikroskopis TB tidak tersedia. Buku tersebut seharusnya dimiliki oleh pemegang program P2TB dan petugas laboratorium puskesmas yang sudah mendapat pelatihan manajemen TB (Kemenkes, 2012d). Keberadaan ATK sangat penting dalam kegiatan surveilans TB. Tanpa adanya ATK, kegiatan operasional program P2TB puskesmas akan terganggu, terbengkalai atau bahkan tidak terselesaikan. Berdasarkan hasil penelitian, ketersediaan ATK di sarana kesehatan yang menjadi tempat penelitian tidak mengalami masalah,
124
Fenila Novanty dan Dina Nur Anggraini Ningrum / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
karena ATK di sarana kesehatan tersebut selalu tersedia dalam jumlah yang mencukupi. ATK yang tersedia berupa pen, pensil, penggaris, kertas prin/hvs, printer beserta tinta, stempel beserta tinta, penjepit kertas, sesuai dengan yang tertera dalam buku Pedoman Surveilans Penyakit. Laboratorium kesehatan merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari pelaksanaan upaya kesehatan puskesmas dikarenakan penyelenggaraan laboratorium di puskesmas merupakan upaya kesehatan wajib (Kemenkes, 2007; Kemenkes, 2012b). Dalam program P2TB diperlukan laboratorium TB. Laboratorium TB merupakan bagian dari pelayanan laboratorium kesehatan mempunyai peran penting dalam Penanggulangan TB yang berkaitan dengan kegiatan deteksi pasien TB paru, pemantauan keberhasilan pengobatan serta menetapkan hasil akhir pengobatan. Laboratorium TB merupakan penunjang utama dalam tata laksana pasien TB. Dengan adanya laboratorium yang melayani pemeriksaan dahak diharapkan angka CDR TB di puskesmas tersebut akan meningkat. Berdasarkan hasil penelitian, kedua puskesmas tempat penelitian sudah tersedia laboratorium dan laboratorium tersebut melayani pemeriksaan mikroskopis TB. Definisi pedoman menurut Azwar (2008) adalah pernyataan tertulis yang disusun secara sistematis dan dipakai sebagai panduan oleh para pelaksana dalam mengambil keputusan dan dalam melaksanakan kegiatan. Berdasarkan hasil penelitian, 100% puskesmas sasaran penelitian sudah memiliki pedoman untuk pelaksanaan program penanggulangan TB. Pedoman yang digunakan oleh pemegang program P2TB puskesmas adalah Buku Pedoman Nasional Penanggulangan TB. Buku tersebut berjumlah 1 buah dan dalam kondisi yang masih layak pakai. Buku
tersebut merupakan edisi 2 cetakan kedua tahun 2008. Namun, buku tersebut masih relevan dengan kondisi saat ini dikarenakan sampai saat ini belum ada buku pedoman keluaran terbaru. Buku pedoman pengendalian TB berguna untuk menunjang jalannya program P2TB. Standar Prosedur Operasional (SPO) merupakan bagian dari komponen mutu laboratorium yang disusun sebagai acuan bagi petugas laboratorium dalam melakukan pemeriksaan mikroskopis TB di berbagai tingkat pelayanan, sehingga diharapkan kualitas pemeriksaan laboratorium TB terjamin. Kegiatan mikroskopis TB dimulai dari penjaringan suspek TB, pengumpulan contoh uji dahak, pemeriksaan mikroskopis, pencatatan pelaporan, dan pemantapan mutu yang harus dilakukan oleh semua komponen yang terlibat sesuai dengan prosedur standar. Menurut Kemenkes (2012d) Buku Pedoman Pemeriksaan Mikroskopis TB harus dimiliki oleh dokter program TB dan pemegang program TB yang telah mengikuti pelatihan program DOTS, serta petugas laboratorium. Berdasarkan hasil penelitian, 100% informan tidak memiliki buku tersebut. Pemegang program TB di kedua puskesmas tidak memiliki buku tersebut. Petugas laboratorium di salah satu puskesmas menyatakan pernah memiliki buku tersebut ketika mengikuti pelatihan refreshing Program TB pada tahun 2003 tetapi buku tersebut sudah hilang. Buku yang sekarang dipakai yaitu Buku Pedoman Nasional Penanggulangan TB, milik pemegang program TB serta materi yang didapat saat mengikuti OJT. Petugas laboratorium juga tidak memiliki buku pedoman tersebut dikarenakan belum mendapatkan pelatihan laboratorium mikroskopis TB. Beliau juga hanya berbekal materi yang di dapat saat
125
Fenila Novanty dan Dina Nur Anggraini Ningrum / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
mengikuti OJT yang diadakan oleh Dinkes Kabupaten Magelang. Instrumen yang digunakan dalam program P2TB berupa formulir yang terdiri dari 13 formulir yang harus diisi oleh semua wasor di tingkat kabupaten/kota (Dinkes Prov. Jateng, 2006; Depkes, 2009). Formulir TB yang dipegang oleh pemegang program TB tingkat puskesmas meliputi formulir TB01, TB02, TB03, TB04, TB05, TB06, TB09, dan TB10. Berdasarkan hasil penelitian, 100% puskesmas tempat penelitian selalu tersedia formulir TB dalam jumlah yang cukup. Perangkat surveilans merupakan sekumpulan atau beberapa perlengkapan/alat yang digunakan sebagai penunjang kegiatan surveilans epidemiologi kesehatan di tingkat puskesmas. Berdasarkan hasil penelitian 100% puskesmas tempat penelitian sudah memiliki perangkat surveilans untuk pelaksanaan kegiatan surveilans program P2TB. Perangkat surveilans yang tersedia berupa seperangkat komputer lengkap dengan program Ms. Excell dan SIMPUS, alat komunikasi berupa telepon atau hand phone (HP) serta layanan internet yang disediakan oleh puskesmas masing-masing. Evaluasi Input Method (Metode) Pendukung Pelaksanaan Surveilans Penemuan Suspek Tuberkulosis (TB)
Method merupakan aturan, kebijakan dan atau prosedur kerja yang mengatur jalannya pelaksanaan kegiatan agar dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Evaluasi input metode dalam pelaksanaan sistem surveilans penemuan suspek TB di puskesmas wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang meliputi pelatihan petugas P2TB puskesmas dan target capaian penemuan suspek TB puskesmas. Target adalah tolok ukur dalam bentuk angka
nominal atau persentase yang harus dicapai pada akhir tahun (Depkes, 2006). Ketersediaan target penemuan kasus baru pasien TB di puskesmas merupakan salah satu indikator bahwa puskesmas tersebut siap melaksanakan program penanggulangan TB. Berdasarkan hasil penelitian 100% puskesmas tempat penelitian di wilayah kerja Dinkes Kabupaten Magelang telah memiliki target penemuan suspek TB yang harus dicapai untuk tiap tahunnya. Target yang digunakan oleh puskesmas mengikuti target nasional yaitu sebesar 70% dari jumlah penduduk yang berisiko di wilayah tersebut. Dalam program penanggulangan TB dengan strategi DOTS, supaya program dapat berjalan maksimal maka SDM yang terampil dan mempunyai kompetensi yang standar sangat dibutuhkan. Seorang tenaga kesehatan dapat dikatakan berkualitas dapat dilihat dari kompetensi yang dimiliki (Kemenkes, 2012a). Berdasarkan hasil penelitian, 100% pemegang program P2TB puskesmas sasaran penelitian telah mendapatkan pelatihan manajemen TB. Sedangkan untuk petugas laboratoriumnya 50% sudah mendapatkan pelatihan dan 50% belum mendapat pelatihan. Pelatihan yang diikuti oleh petugas P2TB puskesmas belum sesuai dengan pedoman penanggulangan TB nasional dikarenakan pelatihan yang diikuti tidak lengkap dan petugas laboratorium di salah satu puskesmas belum mendapat pelatihan manajemen TB. Evaluasi Input Money (Dana) Pendukung Pelaksanaan Surveilans Penemuan Suspek Tuberkulosis (TB)
Komponen pendanaan (money) merupakan salah satu unsur penting untuk menunjang keberlangsungan pelaksanaan program atau kegiatan. Ketersediaan dana dapat berpengaruh terhadap mutu
126
Fenila Novanty dan Dina Nur Anggraini Ningrum / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
pelayanan kesehatan yang diberikan oleh suatu layanan kesehatan (Azwar, 2008). Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa sumber dana untuk program TB di puskesmas berasal dari dana BOK dan Global Fund (LSM yang bergerak di bidang TB) dan terdapat alokasi dana untuk program P2TB puskesmas. Hal tersebut sudah sesuai dengan Pedoman Surveilans Epidemiologi Penyakit dan petunjuk teknis penggunaan dana BOK (Bantuan Operasional Kesehatan). Karena TB merupakan salah satu upaya kesehatan prioritas atau upaya pelayanan kesehatan promotif dan preventif yang memiliki daya ungkit tinggi yang dilakukan dalam rangka pencapaian MDGs (Kemenkes, 2014).
puskesmas beserta jajaran staf Puskesmas Sawangan II. DAFTAR PUSTAKA Arsyam, Ar Muhammad, 2013, Evaluasi Penerapan Sistem Informasi Surveilans Berbasis EWARS dalam Upaya Deteksi Dini Kejadian Luar Biasa di Kabupaten Barru, Tesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Azwar,
Azrul, 2008, Pengantar Administrasi Kesehatan, Jakarta: Bina Aksara.
CDC, 2011, Introduction to Program Evaluation for Public Health Programs: A Self Study Guide, U.S.A.: U.S. Department of Health and Human Service, Centers for Disease Control and Prevention, (http://www.cdc.gov/eval/). Depkes, 2003, Surveilans Epidemiologi Penyakit (PEP) Edisi I, Jakarta: Ditjend P2PL Depkes RI.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian masih terdapat masalah pada input man yang meliputi ketersediaan tenaga P2TB puskesmas, ketersediaan tenaga P2TB puskesmas terlatih, dan ketersediaan tenaga laboratorium puskesmas terlatih. Terdapat masalah pada material terutama pada ketersediaan buku petunjuk prosedur pemeriksaan dahak TB. Selain itu juga masih terdapat masalah pada input method terutama pada pelatihan terhadap petugas P2TB dan petugas laboratorium puskesmas. UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami tunjukkan kepada Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan Dr. H. Harry Pramono, M. Si, Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Dr. dr. Oktia Woro K.H., M.Kes, Dosen Pembimbing I Dina Nur A.N, S.KM, M.Kes, Kepala puskesmas beserta jajaran staf Puskesmas Salaman II, dan Kepala
--------, 2006, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi II, Jakarta: Depkes RI. --------, 2009, Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 364/MENKES/SK/V/2009 tentang Pedoman Penanggulangan TB, Jakarta: Depkes RI. Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang, 2013, Profil Kesehatan Kabupaten Magelang 2012, Magelang: Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang. ----------------------------------------------, 2014, Profil Kesehatan Kabupaten Magelang 2013, Magelang: Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang. Dinkes Prov. Jateng, 2006, Pedoman Surveilans Penyakit, Semarang: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. -------------------------, 2011, Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah 2010, Semarang: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah.
127
Fenila Novanty dan Dina Nur Anggraini Ningrum / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016) -------------------------, 2012, Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah 2011, Semarang: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Duhri, Asti Pratiwi, 2013, Kinerja Petugas Puskesmas Dalam Penemuan Penderita TB Paru di Puskesmas Kabupaten Wajo, Skripsi, Universitas Hassanudin, Makassar, Diakses tanggal 17 Juni 2014, (http://repository.unhas.ac.id/bitstream/han dle/123456789/4237/Asti%20Pratiwi_K1110 9374.pdf?sequence=1). Ghony, Djunaidi dan Fauzan Almanshur, 2012, Penelitian Kualitatif, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
------------, 2012d, Standar Prosedur Operasional Pemeriksaan Mikroskopis TB, Jakarta: Kemenkes RI. ------------, 2013, Profil Kesehatan Indonesia 2012, Jakarta: Kemenkes RI. ------------, 2014, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Kesehatan, Jakarta: Kemenkes RI. Moleong, Lexy J., 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Nizar,
Hutahean, Esrawati, 2010. Evaluasi Sistem Surveilans Tuberkulosis Berdasarkan Komponen dan Atribut Sistem Surveilans di BP4 Surabaya, Tesis, Universitas Airlangga, Surabaya.
Muhammad, 2010, Pemberantasan dan Penanggulangan Tuberkulosis, Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Notoatmodjo, S., 2011, Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni, Jakarta: Rineka Cipta.
Kemenkes, 2003, Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1116/MENKES/SK/VIII/2003 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan, Evaluasi, Jakarta: Kemenkes RI.
Saeed, KM, et al., 2013. Evaluation of The National Tuberculosis Surveillance System in Afghanistan, EMHJ,Vol. 9, No. 2, 2013, hlm. 200-207.
------------, 2007, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 370/MENKES/SK/III/2007 Tentang Standar Profesi Ahli Teknologi Laboratorium Kesehatan, Jakarta: Kemenkes RI.
Sugiarsi, Sri, 2005, Pengembangan Sistem Informasi Surveilans TB untuk Mendukung Evaluasi Hasil Kegiatan P2TB di Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo, Tesis, Universitas Diponegoro, Semarang.
------------, 2011a, Pedoman Nasional Pengendalian Tuberculosis, Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Sulistya, Sulistya, 2006, Evaluasi Kegiatan Pelaksanaan Surveilans Malaria di Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman Tahun 2005, Tesis, Universitas Diponegoro, Semarang.
------------, 2011b, Strategi Nasional Pengendalian TB 2010–2014, Jakarta: Kemenkes RI. ------------, 2012a, Modul Pelatihan Pemeriksaan Mikroskopis TB, Jakarta: Kemenkes RI. ------------, 2012b, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 037 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Laboratorium Pusat Kesehatan Masyarakat, Jakarta: Kemenkes RI.
Sugiyono, 2008, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Alfabet, Bandung. WHO, 2011, The Global Plan Stop TB 2011-2015, Geneva, Switzerland: WHO. ------, 2012, Global Tuberculosis Report 2012, Geneva, Switzerland: WHO. Wijono, Djoko, 2000, Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan, Surabaya: Airlangga University Press.
------------, 2012c, Profil Kesehatan Indonesia 2011, Jakarta: Kemenkes RI.
128
Fenila Novanty dan Dina Nur Anggraini Ningrum / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
129
UJPH 5 (2) (2016)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
ANALISIS FAKTOR PENGHAMBAT PEMANFAATAN RUANG MENYUSUI DI TEMPAT KERJA PADA PEKERJA WANITA DI PT. DAYA MANUNGGAL Dwi Mukti Pratiwi Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima Juli 2015 Disetujui Juli 2015 Dipublikasikan April 2016
Berdasarkan data jumlah ibu menyusui di PT. Daya Manunggal hanya 22,6% saja yang menggunakan ruang menyusui.Tujuan penelitian ini untuk menganalisis faktor penghambat pemanfaatan ruang menyusui di tempat kerja pada pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Jenis penelitian ini adalah penelitian explanatory research, dan rancangan penelitiannya adalah cross sectional. Populasi dalam penelitian ini pekerja wanita menyusui di PT. Daya Manunggal berjumlah 84 orang. Sampel berjumlah 33 pekerja wanita menyusui. Teknik pengambilan sampel dengan teknik Random Sampling. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner. Analisis data yang digunakan adalah analisis univariat dan bivariat dengan menggunakan uji Chi Square dengan derajat kemaknaan (a) = 0,05. Hasil Penelitian dan pembahasan, menunjukan ada hubungan antara dukungan keluarga (p=0,042) dan dukungan atasan kerja (p=0,042) dengan pemanfaatan ruang menyusui di PT. Daya Manunggal. Tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan (p=0,212), pengetahuan (p=0,521), kondisi kesehatan (p=0,343), kebijakan perusahaan (p=0,448), ketersediaan fasilitas (p=0,351), dukungan petugas kesehatan di tempat kerja (p=0,675), dukungan rekan kerja (p=0,479) dengan pemanfaatan ruang menyusui di PT.Daya Manunggal
________________ Keywords: Utilization; Female Worker Breastfeed; Breastfeeding Room ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ Based on data of the number female workers which being on breastfeed at PT. Daya Manunggal only 22.6% are using breastfeeding room. The aim of this study is to analyze the inhibiting factor of breastfeeding room utilization usage of female workers at PT. Daya Manunggal.This type of research explanatory research, with cross sectional study design. The population in this study were female workers whose being on breastfeed at PT. Daya Manunggal which amount to 84 worker. The number of sample are 33 female workers. The technique which used in this research was Random Sampling. Instruments used in this study was a questionnaire. Data analysis performed using univariate and bivariate Chi Square test with degrees of significance of 0,05. The result of the research and the discussion show that there is correlation between family support (p = 0.042) and supervisor support (p = 0.042) with the usage of breastfeeding room at PT. Daya Manunggal. There is no relationship between the level of education (p = 0.212), knowledge (p = 0.521), health conditions (p = 0.343), company policies (p = 0.448), the availability of facilities (p = 0.351), support health officer in the workplace (p = 0.675), support co-workers (p = 0.479) with the usage of breastfeeding room at PT.Daya Manungga. Suggestions can be submitted to female workers which being on breastfeed is to improve self-motivated to utilize the breastfeeding room in the workplace in order to support exclusive breastfeeding program. For the Company appealed to the supervisor in each of department to give better support of exclusive breastfeeding programs such as giving a special time to squeeze breast milk so they can utiliz breastfeed room in the workplace. For families provide support and motivation in order to willing to give exclusive so they got motivated to utilize the breastfeeding room in the workplace.
© 2016 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail:
[email protected]
ISSN 2252-6781
100
Dwi Mukti Pratiwi / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
PENDAHULUAN
Golden Standard of Infant Feeding ( Standar Emas Makanan Bayi) berdasarkan rekomendasi dari WHO dan UNICEF yang tercantum dalam Global Strategy for Infant and Young Child Feeding (WHO dan UNICEF, 2003) terdiri atas 4 hal dimana salah satunya adalah Air Susu Ibu (ASI). Air Susu Ibu (ASI) sebagai makanan terbaik untuk bayi merupakan pemberian Tuhan yang tidak dapat ditiru oleh para ahli makanan di manapun. ASI mempunyai komposisi yang selalu berubah sesuai dengan pertumbuhan bayi dari hari ke hari. Hal ini sangat tepat dan ideal bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi selama 4 bulan pertama di kehidupannya. Saat ibu memberi ASI kepada bayi berarti ibu telah memberikan kasih sayang terbesar, imunisasi terbaik, gizi terlengkap, minuman tersehat dan air kehidupan (Johnson – Johnson dalam Utami Roesli, 2000: 36). Di Indonesia, program pemberian ASI khususnya ASI eksklusif dijadikan prioritas utama. Pemberian ASI eksklusif secara nasional pada tahun 2010-2012 hanya 33,635% (Bayu Kurniawan, 2012). Berdasarkan data yang diperoleh dari profil kesehatan kabupaten/kota di Jawa Tengah tahun 2013 menunjukkan cakupan pemberian ASI eksklusif sekitar 52,99%. Berdasarkan Riskesdas tahun 2007 dengan menggunakan desain survei potong lintang (cross sectional) yang besifat deskriptif, didapatkan hasil yaitu ibu yang memberikan ASI eksklusif untuk bayi selama 6 bulan sebanyak 39%. Sedangkan hasil Riskesdas tahun 2010 hanya mencapai 15,5% dan hasil Riskesdas tahun 2013 yaitu sebanyak 30,2% saja ibu yang memberikan ASI eksklusif. Dari data di atas dapat dilihat pemberian ASI eksklusif belum mencapai target MDG’s yaitu sebesar 80% .
Banyak alasan yang menjadi faktor penyebab kenapa ibu tidak memberikan ASI ekslusif kepada bayinya. Alasan pekerjaan menjadi salah satu penyebab yang cukup besar.. Ibu tidak dapat memberikan ASI ekslusif dengan alasan pada umumnya perkantoran tempat ibu bekerja tidak menyediakan tempat untuk menyusui dan tidak menyediakan tempat untuk memompa ASI yang layak dan memenuhi standar kesehatan, sehingga tidak jarang para ibu ini memerah ASInya di dalam toilet yang dikhawatirkan akan banyak tercemar oleh kuman-kuman yang bertebaran di toilet sehingga tidak dapat menyimpan ASI tersebut dalam botol untuk diberikan kepada bayi (Siregar, 2004). Berdasarkan peraturan pemerintah No.33 tahun 2012 tentang pemberian air susu ibu eksklusif khususnya pasal 31 sampai 35 yang mengatur mengenai kewajiban tersedianya ruang khusus menyusui di tempat publik, yakni di tempat kerja dan sarana umum maka di perusahaan yaitu PT. Daya Manunggal menyediakan fasilitas khusus untuk ibu menyusui berupa ruang menyusui. Ruang menyusui di PT. Daya Manunggal ini dibuat pada Juli 2012. PT. Daya Manunggal menyediakan ruang menyusui untuk memfasilitasi para pekerja wanita yang sedang memberikan ASI kepada anaknya sehingga dapat membantu program pemberian ASI eksklusif. Ruang menyusui di PT. Daya Manunggal memiliki ukuran 2,5 x 2 meter dimana di dalamnya terdapat meja, kursi, wastafel, lemari pendingin, poster, pompa ASI, serta alat kelengkapan memerah ASI lainnya. Berdasarkan surat yang diterbitkan oleh Menteri Kesehatan No. 872/menkes/XI/2006 tentang Kriteria dan
101
Dwi Mukti Pratiwi / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
Fasilitas dari Ruang Menyusui yaitu ruang menyusui di PT. Daya Manunggal ini merupakan ruang tipe 4. Berdasarkan data bulan November tahun 2014 jumlah karyawan PT. Daya Manunggal sejumlah 2250 yang terdiri dari 1001 karyawan wanita dan 1249 karyawan laki-laki yang tersebar dalam 16 departemen. Berdasarkan data jumlah ibu menyusui di PT. Daya Manunggal terhitung dari bulan Juli 2012 sampai dengan bulan Oktober 2014 tercatat sebanyak 84 orang yang menyusui. Sedangkan berdasarkan data penggunaan ruang menyusui terhitung dari bulan Juli 2012 sampai dengan Oktober 2014 tercatat sebanyak 19 orang atau hanya 22,6% saja yang menggunakan ruang menyusui. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis faktor penghambat pemanfaatan ruang menyusui di tempat kerja pada pekerja wanita di PT. Daya manunggal.
sectional dengan menggunakan uji statistik (SPSS). Populasi dalam penelitian ini adalah Populasi dalam penelitian ini adalah jumlah ibu yang sedang menyusui di PT. Daya Manunggal dari bulan Juli 2012 sampai Oktober 2014 sebanyak 84 orang dan sampelnya adalah pekerja wanita menyusui sejumlah 33 orang dengan menggunakan teknik Random sampling. Teknik pengambilan data dalam penelitian ini adalah melakukan pengambilan data dengan menggunakan kuesioner. Analisis data yang digunakan adalah analisis univariat untuk mendeskripsikan semua variabel penelitian dalam bentuk tabel. Analisis bivariat dilakukan untuk mencari hubungan variabel bebas dan variabel terikat dengan uji statistik yang disesuaikan dengan skala data yang ada. Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah statistik chi-square. HASIL DAN PEMBAHASAN
METODE
Jenis penelitian rancangan
penelitian ini merupakan explanatory research, dan penelitiannya adalah cross
Berdasarkan hasil penelitian dengan uji chi-square didapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel 1. Tabulasi Silang Faktor Penghambat Pemanfaatan Ruang Menyusui pada Pekerja Wanita di PT. Daya Manunggal Pemanfaatan Ruang Menyusui No.
Faktor Penghambat Pemanfaatan Ruang menyusui Pendidikan
Pendidikan Tinggi Pendidikan Dasar
f 8 2
% 26,7 66,7
Tidak Memanfaatkan f % 22 73,3 1 33,3
Pengetahuan
Tinggi Rendah Tidak ada Masalah Ada Masalah Ada Dukungan Tidak ada Dukungan
9 1 4 6 7 3
29 50 40 26,1 50 15,8
22 1 6 17 7 16
Kondisi Kesehatan Dukungan Keluarga
Memanfaatkan
Kategori
102
71 50 60 73,9 50 84,2
p
Jumlah f 30 3
% 100 100
31 2 10 23 14 19
100 100 100 100 100 100
0,212 0,521 0,343 0,042
Dwi Mukti Pratiwi / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
Kebijakan Perusahaan Ketersediaan Fasilitas Dukungan Petugas Kesehatan di Tempat Kerja Dukungan Rekan Kerja Dukungan Atasan Kerja
Mendukung Tidak Mendukung Ada Dukungan Tidak ada Dukungan Ada Dukungan Tidak ada Dukungan
6 4 8 2 9 1
33.3 26,7 27,6 50 30 33,3
12 11 21 2 21 2
66,7 73,3 72,4 50 70 66,7
18 15 29 4 30 3
100 100 100 100 100 100
Ada Dukungan Tidak ada Dukungan Ada Dukungan Tidak ada Dukungan
10 0 7 3
32.3 0 50 15,8
21 2 7 16
67,7 100 50 84,2
31 2 14 19
100 100 100 100
. Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Pemanfaatan Ruang Menyusui oleh Pekerja Wanita di PT. Daya Manungga
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan responden dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Hal ini dibuktikan oleh hasil uji fisher dimana didapatkan p value sebesar 0,212 lebih besar dari 0,05 (0,212>0,05) yang artinya tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa pekerja wanita menyusui yang memiliki pendidikan perguruan tinggi dan SMA cenderung lebih banyak yang tidak memanfaatkan ruang menyusui, begitu pula dengan pendidikan SMP dan SD. Hal ini berarti Tingkatan pendidikan tidak mempengaruhi responden untuk memanfaatkan ruang menyusui karena, responden dari masing-masing tingkat pendidikan cenderung tidak memanfaatkan ruang menyusui. Responden dengan pendidikan tinggi seharusnya memiliki tingkat kesadaran untuk memanfaatkan ruang menyusui namun, berdasarkan wawancara singkat diketahui bahwa responden kurang tertarik untuk menggunakan ruang menyusui dikarenakan
kurangnya motivasi serta keinginan dari dalam diri responden sendiri untuk memanfaatkan ruang menyusui. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ambarwati (2004) di Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang menunjukkan bahwa persentase kegagalan pemberian ASI Eksklusif pada ibu yang berpendidikan dasar hampir sama banyaknya dengan ibu yang berpendidikan lanjutan. Pola ini menggambarkan tidak ada hubungan antara pendidikan ibu dengan kegagalan pemberian ASI Eksklusif. Hubungan antara Pengetahuan dengan Pemanfaatan Ruang Menyusui oleh Pekerja Wanita di PT. Daya Manunggal
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan responden dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Hal ini dibuktikan oleh hasil uji fisher dimana didapatkan p value sebesar 0,521 lebih besar dari 0,05 (0,521>0,05) yang artinya tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa responden yang memiliki pengetahuan tinggi dan sedang cenderung lebih banyak yang tidak memanfaatkan
103
0,488 0,351 0,675 0,479 0,042
Dwi Mukti Pratiwi / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
ruang menyusui, begitu pula responden dengan pengetahuan rendah. Hal ini berarti bahwa pengetahuan tidak berpengaruh terhadap pemanfaatan ruang menyusui oleh responden. Berdasarkan keadaan di tempat penelitian terdapat Kegiatan perusahaan untuk mempromosikan ruang menyusui yaitu bahwa perusahaan mengadakan kegiatan khusus untuk ibu hamil dimana di dalamnya, juga menjelaskan mengenai pentingnya pemberian ASI Eksklusif serta penjelasan mengenai ruang menyusui di tempat kerja. Serta di wajibkan bagi pekerja wanita yang sedang mengandung untuk hadir dalam kegiatan tersebut. Sehingga pada dasarnya pengetahuan pekerja wanita menyusui mengenai ASI Eksklusif serta ruang menyusui seharusnya sudah baik namun 77,4% dari pekerja wanita menyusui tidak mempraktikan pengetahuannya. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Elsera Ike .T. (2013) mengenai pemberian ASI eksklusif yaitu tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan pemberian ASI eksklusif yang menyatakan bahwa masyarakat mampu memahami pengertian dan maksut dari adanya program ASI eksklusif. Pada kenyataanya hal ini mungkin bisa terjadi karena tidak semua responden memiliki pengetahuan yang diwujudkan dalam suatu tindakan.
kesehatan dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa baik responden yang memiliki gangguan kesehatan maupun tidak sama-sama cenderung tidak memanfaatkan ruang menyusui. Hal ini menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara kondisi kesehatan responden dengan pemanfaatan ruang menyusui. Responden yang tidak memiliki gangguan kesehatan seharusnya dapat memanfaatkan ruang menyusui namun, berdasarkan hasil wawancara singkat diketahui bahwa tanggapan responden mengenai adanya ruang menyusui dirasa kurang begitu baik meskipun reponden tidak memiliki gangguan kesehatan, responden masih cenderung tidak memanfaatkan ruang menyusui untuk mendukung pemberian ASI eksklusif. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukakan oleh Siti Fatimah dkk (2013) Yang menyatakan subyek setuju ASI tidak diberikan saat ibu sakit /payudara sakit, yang seharusnya tetap saja harus diberikan walaupun ibu dalam kondisi sakit, asalkan tidak sakit berat yang menurut pendapat medis dapat membahayakan kesehatan ibu dan bayinya.
Hubungan antara Kondisi Kesehatan dengan Pemanfaatan Ruang Menyusui oleh Pekerja Wanita di PT. Daya Manunggal
Hubungan antara Dukungan Keluarga dengan Pemanfaatan Ruang Menyusui oleh Pekerja Wanita di PT. Daya Manunggal
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara kondisi kesehatan dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Hal ini dibuktikan oleh hasil uji fisher dimana didapatkan p value sebesar 0,343 lebih besar dari 0,05 (0,343>0,05) yang artinya tidak ada hubungan antara tingkat kondisi
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukan bahwa ada hubungan antara dukungan keluarga dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Hal ini dibuktikan oleh hasil uji fisher dimana didapatkan p value sebesar 0,042 lebih kecil dari 0,05 (0,042<0,05) yang artinya ada hubungan antara dukungan keluarga dengan
104
Dwi Mukti Pratiwi / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Berdasarkan hasil penelitian ini responden dalam hal ini pekerja wanita menyusui yang mendapatkan dukungan keluarga 50%-nya memanfaatkan ruang menyusui dan 50% yang lain tidak memanfaatkan ruang menyusui, sedangkan yang tidak mendapatkan dukungan keluarga lebih banyak yang tidak memanfaatkan ruang menyusui. Sehingga dalam hal ini dukungan keluarga dibutuhkan agar pekerja wanita lebih termotivasi untuk memanfaatkan ruang menyusui. Jadi ada hubungan antara dukungan keluarga dengan pemanfaatan ruang menyusui. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Anggorowati (2011) dalam hasil penelitianya menunjukan adanya hubungan antara dukungan keluarga dengan pemberian ASI eksklusif dimana dalam penelitian ini dukungan keluarga terhadap pemberian ASI eksklusif sebanyak 18 (52,9%) responden dengan kategori baik. Sebagian besar responden memberikan ASI tidak eksklusif sebanyak 25 (73,5%) dimana p value yang di dapatkan sebesar 0,003. Hubungan antara Kebijakan Perusahaan dengan Pemanfaatan Ruang Menyusui oleh Pekerja Wanita di PT. Daya Manunggal
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara kebijakan perusahaan dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Hal ini dibuktikan oleh hasil uji fisher dimana didapatkan p value sebesar 0,488 lebih besar dari 0,05 (0,488>0,05) yang artinya tidak ada hubungan antara kebijakan perusahaan dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui responden yang menyatakan
kebijakan perusahaan mendukung maupun yang menyatakan kebijakan perusahaan tidak mendukung sama-sama lebih banyak yang tidak memanfaatkan ruang menyusui. Perusahaan menerapkan kebijakan berupa pemberian waktu istirahat selama satu jam serta memberikan ijin istirahat pulang bagi pekerja wanita menyusui yang memiliki rumah dekat dengan perusahaan. Dalam hal ini pekerja wanita menyusui diberikan waktu untuk dapat memanfaatkan ruang menyusui oleh perusahaan namun dalam praktiknya pekerja wanita masih tidak memanfaatkan ruang menyusui. Berdasarkan hasil wawancara singkat diketahui hal tersebut terjadi karena kurangnya keinginan dan niat dari dalam diri, selain itu kompensasi pemberian ijin pulang bagi pekerja wanita menyusui juga mempengaruhi keinginan untuk memanfaatkan ruang menyusui dikarenakan mereka lebih memilih pulang dari pada memanfaatkan ruang menyusui di tempat kerja. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Siti Fatimah (2013) yang menunjukkan tidak ada hubungan bermakna dukungan/kebijakan dengan pola pemberian ASI dimana p value sebesar 0,122 (p>0,05). Sesuai hasil indept interview memang tidak ada tempat khusus untuk penitipan anak saat subyek bekerja. Perusahaan memberikan fasilitas layanan kesehatan tidak hanya di tempat bekerja, tetapi juga lokasi pada cabang–cabang perusahaan yang dekat dengan pekerjanya. Waktu istirahat (± 1 jam), hak cuti melahirkan (1 ½ bulan sebelum dan setelah melahirkan) perusahaan sudah menerapkan sesuai undang – undang yang berlaku. Perusahaan juga menyediakan almari pendingin yang dapat digunakan untuk menyimpan hasil pemompaan ASI pekerjanya.
105
Dwi Mukti Pratiwi / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
Hubungan antara Ketersediaan Fasilitas dengan Pemanfaatan Ruang Menyusui oleh Pekerja Wanita di PT. Daya Manunggal
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara ketersediaan fasilitas dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Hal ini dibuktikan oleh hasil uji fisher dimana didapatkan p value sebesar 0,351 lebih besar dari 0,05 (0,351>0,05) yang artinya tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Menurut pendapat Azrul Azwar (1996), yang menyatakan bahwa sarana (alat) merupakan suatu unsur organisasi untuk mencapai tujuan. Sarana termasuk dalam salah satu unsur dalam pelayanan kesehatan yang dibutuhkan untuk mencapai penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, agar pelayanan menjadi bermutu maka persyaratan ketersediaan sarana prasarana harus terpenuhi. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa responden yang menyatakan ada dukungan ketersediaan fasilitas cenderung lebih banyak yang tidak memanfaatkan ruang menyusui, sedangkan responden yang menyatakan tidak ada dukungan ketersediaan fasilitas 50% nya memanfaatkan dan 50% yang lain tidak memanfaatkan ruang menyusui. Perusahaan sudah menyediakan fasilitas ruang menyusui beserta dengan kelengkapanya guna menunjang pemanfaatan ruang meyusui. Perusahaan juga menyediakan fasilitas antar jemput dari tempat pekerja wanita menyusui bekerja menuju ke ruang menyusui namun,, dalam hal ini pemanfaatan ruang menyusui masih belum maksimal. Berdasarkan wawancara singkat diketahui bahwa hal tersebut terjadi
karena pekerja wanita menyusui dirasa kurang memiliki motivasi untuk memanfaatkan ruang menyusui dan lebih mengutamakan pekerjaan. Hasil penelitian ini sejalan dengan Giri Inayah Abdulah (2013) yang menunjukan tidak terdapat hubungan bermakna antara ketersediaan fasilitas di kantor dengan pemberian ASI eksklusif. Berdasarkan penelitian ini, keberadaan pojok ASI ternyata tidak berhubungan dengan pemberianASI eksklusif pada ibu pekerja. Meskipun kantor menyediakan pojok ASI, bekerja lebih memilih memerah ASI saat di rumah. Ketika di kantor, ibu menyusui tidak selalu memerah di pojok ASI, tetapi dapat melakukannya di klinik kantor, di ruang kerja, dan di mushola. Hubungan antara Dukungan Petugas Kesehatan di Tempat Kerja dengan Pemanfaatan Ruang Menyusui oleh Pekerja Wanita di PT. Daya Manunggal
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara dukungan petugas kesehatan di tempat kerja dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Hal ini dibuktikan oleh hasil uji fisher dimana didapatkan p value sebesar 0,675 lebih besar dari 0,05 (0,675>0,05) yang artinya tidak ada hubungan antara dukungan petugas kesehatan di tempat kerja dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa responden dalam hal ini pekerja wanita yang menyatakan ada dukungan maupun tidak ada dukungan petugas kesehatan di tempat kerja cenderung banyak yang tidak memanfaatkan ruang menyusui. Petugas kesehatan yaitu dokter, bidan, perawat serta konsultan laktasi di
106
Dwi Mukti Pratiwi / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
perusahaan sudah mengadakan pelatihanpelatihan kepada pekerja wanita menyusui mengenai cara memerah ASI, cara menyimpan ASI, serta cara memberikan ASI perah. Selain itu petugas kesehatan di tempat kerja juga menginformasikan mengenai ruang menyusui serta bagaimana cara agar tetap dapat memberikan ASI meskipun bekerja. Namun pekerja wanita menyusui masih tetap sedikit yang memanfaatkan ruang menyusui, berdasarkan hasil wawancara singkat hal tersebut terjadi dikarenakan sikap pekerja wanita menyusui yang kurang kooperatif dalam menanggapi dukungan dari petugas kesehatan. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Rahmawati, dkk (2013) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara peran petugas kesehatan dengan pemberian ASI eksklusif serta berkorelasi negatif artinya bahwa semakin tinggi peran petugas kesehatan maka semakin rendah pula pemberian ASI Eksklusif yang dilakukan. Hubungan antara Dukungan Rekan Kerja dengan Pemanfaatan Ruang Menyusui oleh Pekerja Wanita di PT. Daya Manunggal
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara dukungan rekan kerja dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Hal ini dibuktikan oleh hasil uji fisher dimana didapatkan p value sebesar 0,479 lebih besar dari 0,05 (0,479>0,05) yang artinya tidak ada hubungan antara dukungan rekan kerja dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa responden dalam hal ini pekerja wanita menyusui yang menyatakan ada dukungan dari rekan kerja cenderung
lebih banyak yang tidak menggunakan ruang menyusui sedangkan responden yang menyatakan tidak ada dukungan rekan kerja semuanya tidak memanfaatkan ruang menyusui. Berdasarkan hasil wawancara singkat dengan responden diketahui bahwa beberapa responden menyatakan bahwa mereka mendapat informasi mengenai ruang menyusui dari rekan kerja serta terkadang diajak untuk memanfaatkan ruang menyusui namun, responden terkadang merasa malas dan enggan untuk memanfaatkan ruang menyusui karena keadaan fisik yang sudah lelah bekerja.. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Rojjanasrirat (2004) dengan studi kualitatif yang berhasil mengidentifikasi beberapa hal mendukung dan menghambat wanita bekerja dalam pemberian ASI. Beberapa hal yang dapat menfasilitasi pemberian ASI pada wanita bekerja salah satunya adalah dukungan atau sikap rekan kerja yang positif terhadap pemberian ASI. Hubungan antara Dukungan Atasan Kerja dengan Pemanfaatan Ruang Menyusui oleh Pekerja Wanita di PT. Daya Manunggal
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukan bahwa ada hubungan antara dukungan atasan kerja responden dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Hal ini dibuktikan oleh hasil uji fisher dimana didapatkan p value sebesar 0,042 lebih kecil dari 0,05 (0,042<0,05) yang artinya ada hubungan antara dukungan atasan kerja dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa responden wanita yang menyatakan ada dukungan atasan kerja 50% tidak memanfaatkan ruang menyusui
107
Dwi Mukti Pratiwi / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
sedangkan responden yang menyatakan tidak ada dukungan atasan kerja cenderung lebih banyak yang tidak memanfaatkan ruang menyusui. Pada perusahaan atasan kerja di setiap departemen lebih diutamakan untuk berkonsentrasi pada pekerjaan, sedangkan untuk permasalahan seperti pemberian ASI Eksklusif dirasa kurang adanya perhatian serta dukungan. Sehingga para pekerja wanita menyusui cenderung mengutamakan pekerjaanya dan kurang memikirkan pemberian ASI Eksklusif serta tidak menyempatkan diri untuk memanfaatkan ruang menyusui. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian heni handayani (2012) yang menyatakan bahwa ada hubungan atara kebijakan atasan dengan pemberian ASI. Peran kebijakan pejabat/atasan sangat penting untuk mendukung keberhasilan ASI eksklusif. Dirasa penting karena pekerjaan yang dilakukan erat kaitanya dengan kendali pejabat/atasan. Sebagai bentuk dukungan institusi terhadap program menyusui eksklusif, Kementerian Kesehatan sudah menyediakan ruang laktasi. Namun, responden merasakan dukungan yang kurang. Pimpinan masih meminta ibu menyusui eksklusif dan tetap bekerja sesuai jam kerja serta ditugaskan ke luar kota. (2012) yang menyatakan tidak ada hubungan antara dukungan atasan kerja dengan pemberian ASI eksklusif. Dimana p value yang di dapatkan sebesar 0,383 lebih besar dari 0,05. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian analisis faktor penghambat pemanfaatan ruang menyusui di tempat kerja oleh pekerja wanita di PT.Daya Manunggal, maka dapat di simpulkan bahwa ada hubungan antara dukungan keluarga dan dukungan atasan
kerja dengan pemanfaatan ruang menyusui di tempat kerja oleh pekerja wanita di PT.Daya Manunggal . Serta tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan, pengetahuan, kondisi kesehatan, kebijakan perusahaan, ketersediaan fasilitas, dukungan petugas kesehatan di tempat kerja, dan dukungan rekan kerja dengan pemanfaatan ruang menyusui di tempat kerja oleh pekerja wanita di PT.Daya manunggal. UCAPAN TERIMA KASIH
PT.Daya Manunggal memberikan ijin penelitian bidang umum-personalia membantu memperoleh diperlukan.
yang telah dan Kepala yang telah data yang
DAFTAR PUSTAKA Ambarwati, R. 2004. Faktor yang Berhubungan dengan Kegalan Pemberian AIS Eksklusif di Puskesmas Padangsari Kabupaten Ungaran. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro. Semarang Anggorowati.2011. Hubungan antara Dukungan Keluarga dengan Pemberian ASI Eksklusif pada Bayi di Desa Bebengan Kecamatan Boja Kabupaten Kendal. Skripsi Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang Azwar,
Azrul. 1996.Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Sinar Harapan
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2007, Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Bayu Kurniawan, 2013, Determinan Keberhasilan Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif , Skripsi, Universitas Brawijaya.
108
Dwi Mukti Pratiwi / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016) Dinkesprov Jawa Tengah, 2012, Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah 2012, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Semarang.
Bonto Cani Kabupaten Bone. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin. Makassar
Elsera Ike Trisnawati.2013. faktor yang berhubungan dengan pemberian ASI Eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Ngaliyan Semarang. Skripsi Ilmu Keperawatan STIKES. Semarang
Rojjanasrirat ,W .2004. Working women’s breastfeeding experinces’, MCN, Vol. 29, No. 4, 222-227
Giri Inayah Abdullah.2012.Determinan Perilaku Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif pada Ibu Pekerja.Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. Vol. 7, No. 7, Februari 2013 Heni Handayani, 2012, Kendala Pemanfaatan Ruang ASI dalam Penerapan ASI Eksklusif di Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Tahun 2011, Skripsi, Universitas Indonesia. Rahmawati,dkk.2013. Hubungan Antara Karakteristik Ibu, Peran Petugas Kesehatan Dan Dukungan Keluarga Dengan Pemberian Asi Eksklusif Di Wilayah Kerja Puskesmas
Siregar. (2004). Pemberian ASI Eksklusif dan FaktorFaktor yang Mempengaruhinya. diakses tanggal 19 November 2014 jam 09.00 WIB http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456 789/32726/1/fkm-arifin4.pdf Siti Fatimah, dkk. 2013. Faktor pelaksanaan kesehatan reproduksi perusahaan dan dukungan keluarga dalam penentuan pola menyusui oleh pekerja (buruh) wanita di Kabupaten Kudus. Jurnal Gizi Indonesia. Vol. 2, No. 1, Desember 2013: 24-32 Utami Roesli.2000. Pemberian ASI Eksklusif seri 1. Jakarta: TrubusAgriwidya
109
UJPH 5 (2) (2016)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DERAJAT MIOPIA PADA REMAJA (STUDI DI SMA NEGERI 2 TEMANGGUNG KABUPATEN TEMANGGUNG) Anisa Sofiani , Yunita Dyah Puspita Santik Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima Juli 2015 Disetujui Juli 2015 Dipublikasikan April 2016
Miopia sebagai kelainan refraksi menjadi penyebab terbanyak gangguan penglihatan di dunia hingga diestimasikan separuh dari penduduk dunia menderita miopia pada tahun 2020. Segala golongan usia dapat mengalami miopia, terutama pada remaja. Jawa tengah menduduki peringkat ke 6 untuk masalah miopia, dan remaja yang menderita miopia di kabupaten Temanggung khususnya SMA N 2 Temanggung diperkirakan meningkat tiap tahunnya. Penelitian ini termasuk dalam penelitian explanatory research dengan pendekatan cross sectional. Populasi berjumlah 720 siswa, sampel 92 siswa SMA N 2 Temanggung. Hasil penelitian ini adalah terdapat hubungan antara jarak baca (p=0,042), intensitas gadget (p=0,049), intensitas jalan kaki outdoor (0,004), dan intensitas olahraga outdoor (p=0,017) dengan derajat miopia remaja. Dan tidak ada hubungan dengan jenis kelamin, asupan vitamin A, lama membaca, penerangan, posisi membaca, penggunaan gadget /hari, pekerjaan, pendapatan orang tua, keturunan, intensitas rekreasi dan hobi. Faktor terkuat adalah olahraga outdoor (p=0,005 dan OR=17,468). Anjuran untuk penelitian selanjutnya adalah dalam penghitungan asupan Vitamin A apakah mempengaruhi peningkatan dioptri miopia agar memperhatikan cara pengolahan makanan. Kategori untuk variabel penggunaan gadget juga perlu ditambahkan.
________________ Keywords: Myopia; factors of myopia; myopia adolescents. ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ Myopia as refractive error will be the most common cause of visual impairment over the world until half of the world's populations are suffer from myopia in 2020. All of age groups can get it, especially in adolescents. Central Java’s ranked is sixth for the problems of myopia, and adolescents who suffer the myopia in Temanggung regency in particular SMA N 2 Temanggung is expected to increase each year. This study was explanatory research with cross sectional approach. The population were 720 students, with 92 samples students of SMA N 2 Temanggung. The Results, there were a relationship between reading distance (p=0.042), the intensity of the gadget (p=0.049), the intensity of outdoor walking (p=0.004), and the intensity of outdoor sports (p=0.017) with degrees of adolescents myopia. And no association with gender, intake of vitamin A, time reading, lighting, reading position, the use of gadgets/day, occupation and income parents, genetik, intensity recreation and hobbies. The strongest factor is the outdoor sports (p=0.005 and OR=17.468). Suggestions for another research is in calculating the intake of Vitamin A does affect the increase diopters of myopia to more pay attention in how the food processing. Categories for variable of using the gadgets also need to be added.
© 2016 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail:
[email protected]
ISSN 2252-6781
176
Anisa Sofiani dan Yunita Dyah Puspita Santik / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
PENDAHULUAN
Miopia atau rabun jauh merupakan suatu kondisi dimana cahaya yang memasuki mata terfokus di depan retina sehingga membuat objek yang jauh terlihat kabur (James, 2006). Menurut derajat beratnya, miopia dibagi dalm tiga kriteria yaitu ringan, sedang, dan berat (Ilyas, 2009). Menurut Desvianita cit Adler 1997, dalam hal ini gejala miopia yaitu kelainan pada jarak pandang, dan untuk penderita dengan miopia ringan dapat diketahui dengan pemeriksaan visus mata (Israr, 2010). Miopia bersifat progresif pada masa anak-anak dan cenderung stabil ketika mereka mencapai usia 20 tahun atau akhir remaja (Hartanto, 2010). Data WHO memperkirakan bahwa 246 juta orang di seluruh dunia memiliki ganguan penglihatan ametropia (miopia, yang meliputi hipemetropia atau astigmatisme) sebesar 43 %, katarak 33 %, glaukoma 2 % (WHO, 2014). Kejadian miopia semakin meningkat dan diestimasikan bahwa separuh dari penduduk dunia menderita miopia pada tahun 2020 (WHO, 2007). WHO memperkirakan bahwa ada 45 juta penderita kebutaan di dunia, sepertiganya berada di Asia Tenggara. Sedangkan di Indonesia 1 orang buta tiap menitnya. Prevalensi kebutaan dan gangguan penglihatan pada kelompok usia 5-15 tahun adalah 0,96%. Penelitian WHO mengenai miopia pada remaja paling sering terjadi pada anak perempuan daripada anak laki-laki, dengan perbandingan perempuan terhadap laki-laki 1,4 : 1. Proporsi menurut jenis kelamin, jenis kelamin laki- laki yang memakai kacamata/ lensa kontak di Indonesia sebesar 4,3% dan perempuan sebesar 5,0%. Rentang usia 1524 tahun, 2,9% telah memakai alat bantu seperti kacamata/ lensa kontak. Provinsi
Jawa Tengah menduduki peringkat ke 6 (0,5%) untuk kebutaan pada responden umur ≥6 tahun. Sedangkan prevalensi untuk kemampuan penglihatan rendah pada usia produktif (15-54 tahun) sebesar 1,49% dan prevalensi kebutaan sebesar 0,5% (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013). Berbagai faktor dapat mempengaruhi progresivitas miopia pada usia sekolah. Faktor genetik dan kebiasaan atau perilaku membaca dekat disertai penerangan yang kurang menjadi faktor utama terjadinya miopia. Faktor gaya hidup mendukung tingginya akses anak terhadap media visual yang ada. Kurangnya outdoor activity juga mempengaruhi pertumbuhan miopia. Vitamin D yang didapat ketika melakukan aktivitas luar ruangan memiliki peran dalam pembentukan kolagen dimana merupakan komponen utama sklera (Riordan, 2007). Intensitas cahaya yang tinggi juga dapat mempengaruhi tingkat keparahan myopia karena mempengaruhi bekerjanya pupil dan lensa mata (Karouta, 2015). Data tiap Kabupaten di Jawa Tengah belum tercatat dengan pasti karena belum semua instansi mencatatat kejadian miopia pada masyarakat. Data penunjang dari penelitian ini adalah data miopia Kelas X SMA Negeri 2 Temanggung 2014 yang tercatat pada Puskesmas Dharma Rini. Siswa kelas X SMA Negeri 2 Temanggung yang menderita miopia adalah 45 (17,44%) siswa. Dengan rincian jumlah siswa lakilaki 16 (14,68%) orang dan perempuan 29 (19,46%) orang. Tercatat yang berkacamata hanya 17 (6,59%) orang, sedang sisanya belum menggunakan kacamata. Di kabupaten Temanggung belum terdapat penelitian mengenai faktor yang mempengaruhi derajat miopia pada remaja.
177
Anisa Sofiani dan Yunita Dyah Puspita Santik / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
METODE
Penelitian ini termasuk dalam penelitian explanatory research, dengan cross sectional. pendekatan Teknik pengambilan sampel yang digunakan dengan menggunakan metode purposive sampling. Sumber data yang digunakan yaitu sumber data primer dan sekunder dengan pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan instrumen kuesioner dan
tabel FFQ, dokumentasi, dan kepustakaan. Analisis dilakukan secara univariat, bivariat dengan uji Chi Square maupun dengan alternatif uji Fisher, dan Multivariat dengan uji Regresi Logistik Biner. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berikut adalah hasil analisis bivariat hubungan antara variabel bebas dengan derajat miopia remaja :
Tabel 1 Hasil Uji Chi Square Hubungan antara Faktor dengan Derajat Miopia Remaja Faktor- Faktor
Kategori
Jenis Kelamin
Pekerjaan orang tua
-Laki- laki -Perempuan -Kurang (<700 µg) -Cukup (≥ 700 µg) -Dekat (<30 cm) -Cukup (±30 cm) -Baik (≤ 30 menit) -Buruk (>30 menit) -Baik -Buruk -Satu posisi -Kombinasi -Baik (≤4 jam) -Buruk(>4 jam) -Baik (<8 jam/hari) -Buruk (>8 jam/hari) -Formal -Non formal
Faktor- Faktor
Kategori
Asupan vit. A Perilaku Membaca
Jarak membaca Lama membaca dalam 1x baca Kondisi penerangan Posisi membaca
Penggunaan gadget
Lama menggunakan gadget 1x Lama penggunaan gaget / hari
Status Ekonomi Keturunan
Pendapatan Tua
Orang
Outdoor activity
Intensitas jalan kaki
< 1.178.000 > 1.178.000 -Ya -Tidak -jarang (<20 menit/hari) -sering (>20 menit/hari)
178
Derajat Miopia Ringan Sedang-Berat f % f % 21 21,5 5 4,5 55 54,5 11 11,5 52 50,4 9 10,6 24 25,6 7 5,4 43 47,1 14 9,9 33 28,9 2 6,1 46 46,3 10 9,7 30 29,7 6 6,3 57 55,3 10 11,7 19 20,7 6 4,3 28 24,8 2 5,2 48 51,2 14 10,8 47 43,0 5 9,0 29 33,0 11 7,0 63 61,1 11 12,9 13 14,9 5 3,1 37 37,2 8 7,8 39 38,8 8 8,2
p value
Derajat Miopia Ringan Sedang-Berat f % f % 21 22,3 6 4,7 55 53,7 10 11,3 26 23,1 2 4,9 50 52,9 14 11,1
p value
11 65
15,7 60,3
8 8
3,3 12,7
0,767 0,519 0,042 1,000 0,358 0,111 0,049 0,295 1,000
0,547 0,134 0,004
Anisa Sofiani dan Yunita Dyah Puspita Santik / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
Iintensitas rekreasi Intensitas olahraga Intensitas hobby
-jarang (≤2x/ minggu) -sering (>2x/minggu) -jarang (≤2x/ minggu) -sering (>2x/minggu) -jarang (≤2x/ bulan) -sering (>2x/bulan)
Hasil penelitian yang mengikut sertakan 92 responden menurut jenis kelamin, sebagian besar responden yang menderita miopia merupakan siswa perempuan sebesar 66 siswa (71,7%). Sedangkan pada responden siswa laki- laki sebesar 26 siswa (28,3%). Asupan vitamin A sehari- hari yang dikonsumsi responden yang tergolong kurang dari 700 µg adalah sebesar 31 siswa (33,7%). Asupan yang tergolong cukup atau antara 700-2400 µg adalah sebesar 50 siswa (54,3%) dan asupan yang tergolong tinggi atau lebih dari 2400 µg adalah 11 siswa (12,0%). Sehingga sebagian besar siswa sudah mencukupi asupan vitamin A sehari-harinya. Variabel perilaku membaca, menurut jarak membaca antara mata dengan buku atau media lain adalah sebesar 57 siswa membaca dengan jarak dekat atau <30 cm (62%). Untuk jarak cukup atau (±30 cm) sebanyak 35 siswa (38%). Sehingga lebih dari 50% mempunyai kebiasaan buruk dalam jarak membaca. Menurut lama membaca buku dalam sekali baca secara terus menerus didominasi dengan skala baik (<30 menit) yaitu sebesar 56 siswa (60,9%). Sedangkan 36 siswa (39,1%) mempunyai kebiasaan lama membaca tidak baik atau >30 menit. Pada perilaku membaca responden menurut kondisi cahaya penerangan saat membaca sebanyak 13 siswa (14,1%) membaca ditempat yang redup dengan sinar lampu kuning, 67 siswa (72,8%) membaca di bawah sinar lampu sedang atau dengan sinar lampu putih, dan 12 siswa (13,0%) membaca di bawah sinar
42 34 39 37 46 30
44,6 31,4 43,8 32,2 44,6 31,4
12 4 14 2 8 8
9,4 6,6 9,2 6,8 9,4 6,6
yang sangat terang atau silau. Distribusi perilaku membaca responden menurut posisi saat membaca didominasi oleh kombinasi dimana membaca dengan berbagai posisi yaitu sebanyak 62 siswa (67,4%). Sebanyak 8 siswa (8,7%) membaca dengan posisi duduk dengan meja. Posisi tengkurap terdapat 3 siswa (3,3%), terlentang 8 siswa (8,7%), dan duduk tanpa meja terdapat 11 siswa (12,0%). Penggunaan gadget intensitas dalam sekali pemakaian sebanyak 25 siswa (27,2%) termasuk dalam kategori ringan (<2 jam secara terus menerus). Sedangkan dalam kategori sedang (2-4 jam secara terus menerus) terdapat 27 anak (29,3%). Pada kategori tinggi (> 4 jam secara terus menerus) sebanyak 40 anak (43,5%). Jika menurut total penggunaan gadget dalam 1 hari didominasi oleh kategori sedang (4-8 jam dalam 1 hari) sebanyak 46 siswa (50,0%). Pada kategori ringan (1-3 jam dalam 1 hari) sebanyak 28 siswa (30,4%), dan pada kategori Tinggi (9-16 jam dalam 1 hari) sebanyak 18 siswa (19,6%). Gambaran status ekonomi dapat diketahui dari distribusi status ekonomi menurut jenis pekerjaan orang tua. Diperoleh hasil bahwa sebesar 45 siswa (48,9%) mempunyai orang tua dengan pekerjaan formal (PNS, guru, polisi, dll). Dan 47 siswa (51,1%) mempunyai orang tua yang bekerja nonformal (wiraswasta). Selain itu, menurut pendapatan orang tua yang dikategorikan sesuai UMR Kabupaten Temanggung/sebagian besar orang tua siswa mempunyai pendapatan > Rp
179
0,293 0,017 0,619
Anisa Sofiani dan Yunita Dyah Puspita Santik / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
1.178.000,00 sebanyak 65 siswa (70,7%). Orang tua dari 27 siswa (29,3%) mempunyai pendapatan < Rp 1.178.000,00. Distribusi keturunan atau status parental sebanyak 27 siswa (29,3%) tidak mempunyai anggota keluarga yang menderita miopia. Siswa yang salah satu orangtua yang menderita miopia sebanyak 42 siswa (45,7%) dan siswa yang kedua orang tuanya menderita miopia sebanyak 23 siswa (25,0%). Aktivitas luar ruangan atau outdoor activity digambarkan dengan 4 kategori. Kategori pertama adalah menurut waktu berjalan kaki. Ssebanyak 19 siswa (20,7%) berjalan kaki outdoor <10 menit tiap harinya. Sedangakan 21 siswa (22,8%) berjalan kaki selama 10-20 menit per hari. Sebanyak 40 siswa (43,5%) berjalan kaki selama 20-30 menit, dan 12 siswa (13,0%) >30 menit berjalan kaki outdoor per hari. Yang ke dua, menurut intensitas rekreasi di luar ruangan. Sebanyak 8 siswa (8,7%) tidak pernah melakukan rekreasi outdoor. Melakukan rekreasi 1-2 kali seminggu sebanyak 46 siswa (50,0%), intensitas 3-4 kali seminggu sebanyak 27 siswa (29,3%), intensitas 5-6 kali seminggu sebanyak 9 siswa (9,8%),dan 7 kali seminggu atau setiap hari sebanyak 2 siswa (2,2%). Distribusi responden menurut intensitas olahraga outdoor sebanyak 2 siswa (2,2%) tidak pernah berolahraga dalam seminggu. Responden sebagian besar berolahraga 1-2 kali seminggu, sebanyak 51 siswa (55,4%). Dalam seminggu, 3-4 kali berolahraga sebanyak 15 siswa (16,3%), 5-6 kali sebanyak 21 siswa (22,8%), dan 7 kali atau setiap hari sebanyak 3 siswa (3,3%). Dan yang keempat adalah distribusi responden menurut intensitas melakukan hobi di luar ruangan./Sebanyak 7 siswa (7,6%) tidak pernah melakukan hobi outdoor dalam 1 bulan. Sebanyak 21 siswa (22,8%) melakukan hobi 1 kali sebulan, 26 siswa
(28,3%) melakukan hobi 2 kali sebulan, 14 siswa (15,2%) melakukan hobi 3 kali sebulan, 13 siswa (14,1%) melakukan hobi 4 kali sebulan, 11 siswa (12,0%) melakukan hobi melakukan hobi lebih dari 4 kali sebulan. Analisis bivariat dilakukan setelah melakukan penggabungan sel untuk kemudian diujikan dengan uji Chi Square. Hubungan antara jenis kelamin dengan derajat miopia remaja diperoleh nilai p=0,767 (Tabel 1). Sehingga Ho diterima atau tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan derajat miopia remaja. Hal ini mengacu pada teori menurut Duke Elder S berhubungan dengan keadaan umum seseorang, dan sesuai dengan teori penelitian oleh Dedy Fachrian, dkk (2009:270). Dikarenakan pada populasi jumlah siswa laki- laki < siswa perempuan. Berdasarkan hasil analisis data penelitian mengenai hubungan antara asupan vitamin A dengan derajat miopia remaja, nilai p=0,519 (Tabel 1). Karena p(0,519) > α(0,05) maka Ho diterima. Kesimpulannya adalah tidak ada hubungan antara asupan vitamin A dengan derajat miopia remaja. Hasi ini tidak sesuai dengan hasil penelitian dari Rushood, et al (2013) karena penghitungan dalam penelitian ini hanya menurut kandungan vitamin A pada bahan mentah. Hubungan antara jarak membaca dengan derajat miopia remaja diperoleh nilai p=0,042 (Tabel 1). Karena p(0,042) < ada α(0,05) maka Ho ditolak. Maka hubungan antara jarak membaca dengan derajat miopia remaja. Menurut nilai OR, jika membaca dekat maka akan 0,18 kali meningkatkan dioptri miopia remaja dibandingkan yang membaca dengan jarak cukup (≥30 cm). Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian M. Ihsan Sasraningrat (2011), Yin Yang Lee, et al (2013) dan
180
Anisa Sofiani dan Yunita Dyah Puspita Santik / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
Amanda N. French (2013). Dan tidak sesuai dengan hasil penelitian Bei Lu, et al (2009), karena perbedaan jumlah sampel yang cukup besar. Hasil analisis data penelitian mengenai hubungan antara lama membaca dalam sekali baca dengan derajat miopia remaja, diperoleh nilai p=1,000 (Tabel 1). Karena p(1,000) > α(0,05) maka Ho diterima. Kesimpulannya adalah tidak ada hubungan antara lama membaca dalam sekali baca dengan derajat miopia remaja. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Muhammad Zamaa Sahlan (2007). Tetapi sesuai dengan hasil penelitian Bei Lu, et al (2009). Karena sebagian besar responden mengaku tidak menyukai kegiatan membaca. Untuk hubungan antara kondisi penerangan dengan derajat miopia remaja, diperoleh nilai p=0,358 (Tabel 1). Karena p(0,358) > α(0,05) maka Ho diterima atau tidak ada hubungan antara kondisi penerangan dengan derajat miopia remaja. Hasil ini tidak sesuai dengan hasil penelitian oleh Karouta (2015). Responden cenderung menjawab pada option pencahayaan sedang, karena responden sudah terbiasa dengan tingkat pencahayaan tersebut. Analisis untuk mengetahui hubungan antara posisi membaca dengan derajat miopia remaja diperoleh nilai p=0,111 (Tabel 1). Karena p(0,111) > α(0,05) maka Ho diterima. Kesimpulannya adalah tidak ada hubungan antara posisi membaca dengan derajat miopia remaja. Hasil ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Muhammad Ihsan Sasraningrat (2011). Hubungan antara intensitas penggunaan gadget dalam sekali pemakaian dengan derajat miopia remaja diperoleh nilai p=0,049 (Tabel 1). Karena p(0,049) < α(0,05) maka Ho ditolak atau ada hubungan antara penggunaan gadget dalam sekali pemakaian dengan derajat miopia remaja.
Menurut nilai OR remaja yang menggunakan gadget <4 jam (baik) beresiko mengalami peningkatan dioptri miopia 3,57 kali. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian oleh Karouta (2015). Dan tidak sesuai dengan penelitian Anisa Suangga, dkk, karena usia responden berbeda. Hasil analisis data penelitian mengenai hubungan antara total waktu penggunaan gadget dalam 1 hari dengan derajat miopia remaja, diperoleh nilai p=0,295 (Tabel 1). Karena p(0,295) > α(0,05) maka Ho diterima. Kesimpulannya adalah tidak ada hubungan antara total waktu penggunaan gadget dalam 1 hari dengan derajat miopia remaja. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian oleh Karouta (2015). Tetapi sesuai dengan penelitian Anisa Suangga, dkk. Karena responden cenderung menjawab dengan jawaban yang baik. Penjelasan mengenai hubungan status ekonomi, analisis data penelitian mengenai hubungan antara pekerjaan orang tua dengan derajat miopia remaja diperoleh nilai p=1,000 (Tabel 1). Karena p(1,000) > α(0,05) maka Ho diterima atau tidak ada hubungan antara pekerjaan orang tua dengan derajat miopia remaja. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Amanda N. French (2013). Tetapi tidak sesuai dengan hasil penelitian dari Aluisha Saboe (2009). Berdasarkan hasil analisis data penelitian mengenai hubungan antara pendapatan orang tua dengan derajat miopia remaja, diperoleh nilai p=0,547 (Tabel 1). Karena p(0,547) > α(0,05) maka Ho diterima. Kesimpulannya adalah tidak ada hubungan antara pendapatan orang tua dengan derajat miopia remaja. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian oleh Amanda N. French (2013) dan tidak sesuai dengan penelitian dari Aluisha Saboe (2009). Setiap keluarga mempunyai kebiasaan dan aturan
181
Anisa Sofiani dan Yunita Dyah Puspita Santik / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
masingmasing dalam memenuhi kebutuhannya. Mengenai hubungan antara status parenatal atau keturunan dengan derajat miopia remaja, diperoleh nilai p=0,134 (Tabel 1). Karena p(0,134) > α(0,05) maka Ho diterima. Kesimpulannya adalah tidak ada hubungan antara status parenatal atau keturunan dengan derajat miopia remaja. Hal ini tidak sesuai dengan teori biologi oleh Vogt yang menyatakan adanya peran genetik (Widodo,2007). Selain itu tidak sesuai dengan penelitian Yin Yang Lee, et al (2013) dan Amanda N. French, et al (2013). Penelitian yang hasil nya sesuai adalah penelitian oleh Dedy Fachrian (2009). Adanya perbedaan derajat miopia pada remaja diakibatkan karenan faktor perilaku dan lingkungan dibandingan keturunan. Faktor keturunan hanya menurunkan kelemahan individu terhadap faktor lingkungan tertentu. Untuk mengetahui pengaruh outdoor activity, berdasarkan hasil analisis data penelitian mengenai hubungan antara total waktu berjalan kaki dengan derajat miopia remaja. Diperoleh nilai p=0,004 (Tabel 1). Karena p(0,004) < α(0,05) maka Ho ditolak atau ada hubungan antara total waktu berjalan kaki dengan derajat miopia remaja. Menurut nilai OR, remaja yang kurang menyempatkan diri untuk berjalan kaki outdoor akan mengalami peningkatan dioptri miopia sebesar 0,17 kali. Hasil ini sesuai dengan penelitian Amanda N. French, et al (2013) tetapi tidak sesuai dengan penelitian Bei Lu, et al (2009) karena adanya perbedaan ras dan wilayah pada penelitian Bei lu dan penelitian ini. Analisis utnuk mengetahui hubungan antara intensitas rekreasi dengan derajat miopia remaja, diperoleh nilai p=0,293 (Tabel 1). Karena p(0,293) > α(0,05) maka Ho diterima. Maka tidak ada hubungan
antara intensitas rekreasi dengan derajat miopia remaja. Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian oleh Amanda N. French, et al (2013) tetapi sesuai dengan penelitian Bei Lu,et al (2009). Sebagian responden mengakui belum tentu berekreasi karena kesibukan responden sebagai pelajar. Sedangkan hubungan antara intensitas olah raga dengan derajat miopia remaja, diperoleh nilai p=0,017 (Tabel 1). Karena p(0,017) < α(0,05) maka Ho ditolak. Sehingga ada hubungan antara intensitas olah raga dengan derajat miopia remaja. Remaja yang jarang menyempatkan diri untuk berolahraga outdoor akan mengalami peningkatan dioptri miopia 0,15 kali. Hasil ini sesuai dengan penelitian Amanda N. French, et al (2013) tetapi tidak sesuai dengan penelitian Bei Lu, et al (2009), karena pada penelitian Bei Lu tidak menyebutkan jenis aktivitas outdoor yang diteliti. Hubungan antara intensitas melakukan kegiatan hobi outdoor dengan derajat miopia remaja diperoleh nilai p=0,619 (Tabel 1). Karena p(0,619) > α(0,05) maka Ho diterima. Sehingga tidak ada hubungan antara intensitas melakukan kegiatan hobi outdoor dengan derajat miopia remaja. Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian sebelumnya yaitu penelitian oleh Amanda N. French, et al (2013) tetapi sesuai dengan penelitian Bei Lu,et al (2009). Pengakuandari responden bahwa tidak semua responden mempunyai hobi outdoor dan mempunyai waktu cukup untuk melakukan hobi outdoor. Analisis multivariat dilakukan dengan tujuan agar semakin jelas faktor apa yang paling berpengaruh pada derajat miopia pada remaja saat ini. Analisis yang digunakan adalah Regresi logistik dengan tujuan dapat memprediksi ada atau tidak adanya karakteristik maupun variabel yang
182
Anisa Sofiani dan Yunita Dyah Puspita Santik / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
paling kuat hubungannya. Regresi logistik dipilih karena skala variabel dalam penelitian ini adalah kategorik. Berdasarkan hasil uji bivariat, maka variabel yang dapat diuji ke dalam regresi logistik biner adalah variabel yang mempunyai nilai p < 0,25 (Dahlan, 2011). Sehingga variabel yang dapat diujikan adalah jarak membaca, posisi
membaca, lama penggunaan gadget dalam sekali pakai, keturunan, intensitas jalan kaki, dan intensitas olah raga. Analisis ini menggunakan regresi logistik biner dengan metode backward LR. Dimana analisis yang dilakukan secara bertahap dengan mengeliminasi variabel yang tidak sesuai ketentuan secara otomatis.
Tabel 2 Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik 95,0% C.I.for EXP(B) Langkah 1
Langkah 2
Langkah 3
Koefisien Sig.
Exp(B)
Lower
Upper
Perilaku membaca jarak
2,483
0,017
11,972
1,559
91,908
Posisi membaca
-1,418
0,146
0,242
0,036
1,639
Intensitas gadget
-0,913
0,210
0,401
0,096
1,671
Parenatal/keturunan
-1,323
0,178
0,266
0,039
1,825
Jalan kaki
2,236
0,012
9,356
1,650
53,054
Olah raga
2,823
0,006
16,827
2,274
124,536
Constant
-5,116
0,002
0,006
Perilaku membaca jarak
2,648
0,012
14,119
1,788
111,526
Posisi membaca
-1,527
0,107
0,217
0,034
1,390
Parenatal
-1,350
0,160
0,259
0,040
1,701
Jalan kaki
2,457
0,005
11,670
2,103
64,765
Olah raga
2,920
0,005
18,545
2,452
140,256
Constant
-5,816
0,000
0,003
Perilaku membaca jarak
2,577
0,013
13,164
1,729
100,205
Posisi membaca
-1,423
0,119
0,241
0,040
1,439
Jalan kaki
2,475
0,004
11,883
2,192
64,426
Olah raga
2,860
0,005
17,468
2,423
125,948
Constant
-6,015
0,000
0,002
Menurut analisis hasil penelitian menggunakan analisis multivariat regresi logistik biner menempuh 3 langkah. Dan hasil yang didapat (Tabel 2) adalah variabel yang mempengaruhi derajat miopia remaja merupakan variabel yang mempunyai nilai p<0,05 yang tertulis pada langkah 3 Tabel 2. Variabel Perilaku jarak membaca (p=0,013) dengan nilai OR=13,164, Posisi membaca (p=0,119) dengan nilai OR=0,241,
intensitas berjalan kaki (p=0,004) dengan nilai OR=11,883, dan intensitas olah raga (p=0,005) dengan nilai OR=17,468. Nilai OR terbesar terdapat pada intensitas berolahraga sebesar 17,468. Sehingga berdasarkan hasil penelitian ini kurangnya intensitas berolahraga mempunyai peluang mempercepat peningkatan derajat miopia remaja sebanyak 17,5 kali (dengan
183
Anisa Sofiani dan Yunita Dyah Puspita Santik / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
pembulatan) dibandingkan dengan remaja yang rajin berolahraga outdoor. Hal ini sesuai dengan penelitian bivariat oleh Amanda N. French, et al (2013). Dan sesuai dengan teori David A. Goss yang mengatakan faktor utama miopia adalah peningkatan panjang aksial bola mata akibat penurunan kuantitas dan perubahan karakteristik anatomi jaringan kolagen sklera. Hal ini dikarenakan kurangnya nutrisi maupun vitamin pembangun jaringan yang merupakan dopamin ketika distimulasi oleh cahaya terang di luar ruangan dapat menginhibisi pertumbuhan aksial bola mata (Mutti, 2013). Selain itu Vitamin D yang didapat dari sinar matahari ketika melakukan aktivitas luar ruangan memiliki peran dalam pembentukan kolagen dimana merupakan komponen utama sklera (Riordan, 2007). Vitamin D diduga memiliki peran anti hipertrofi pada otot siliaris. Sinar matahari dapat membantu sintetis vitamin D dari pro vitamin D yang ada dalam tubuh manusia (Mutti, 2013). Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian oleh Bei Lu,et al (2009) yang menyatakan tidak ada hubungan antara outdoor activity dengan miopia. Hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan ras responden dimana pada penelitian ini responden termasuk dalam ras Jawa. Sedangkan pada penelitian Bei Lu, et al responden termasuk dalam ras Chinese karena penelitian bertempat di China. Karena perbedaan wilayah juga dapat mempengaruhi intensitas aktivitas outdoor. Di china mempunyai 4 musim dengan intensitas sinar matahari lebih sedikit daripada di Indonesia per tahunnya. SIMPULAN
Dari hasil penelitian tentang faktorfaktor yang berhubungan dengan derajat miopia pada remaja (studi kasus di SMA N 2 Temanggung Kabupaten Temanggung) tahun 2015 dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin, asupan vitamin A, status ekonomi, keturunan atau status parental dengan derajat miopia remaja. Untuk kategori perilaku membaca, terdapat hubungan antara perilaku membaca jarak mata ke media dengan derajat miopia remaja, tetapi tidak ada hubungan antara lama membaca, penerangan, dan posisi membaca dengan derajat miopia remaja. Terdapat hubungan antara intensitas penggunaan gadget dalam sekali pakai dan outdoor activity yang meliputi intensitas jalan kaki dan olah raga dengan derajat miopia remaja. Untuk hasil analisis multivariat, variabel terkuat adalah berolahraga outdoor dengan peluang 17,5 kali menghambat peningkatan derajat miopia remaja dibandingkan dengan yang tidak berolahraga outdoor. UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kami sampaikan kepada Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang, Dr. H. Harry Pramono, M.Si dan pembantu dekan bidang akademik Drs. Tri Rustiadi, M.Kes, Kepala Sekolah SMA Negeri 2 Temanggung Drs. Supriyanto, M.Pd., Ibu dan alm. Bapak atas curahan do’a dan kasih sayang kepada penulis. DAFTAR PUSTAKA Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Diterima dari Kementerian Kesehatan RI : Jakarta.
184
Anisa Sofiani dan Yunita Dyah Puspita Santik / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016) Dahlan, M. Sopiyudin. (2011). Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta : Salemba Medika. Fachrian, Dedy, Arlia, B.R. dkk. (2009). Prevalensi Kelainan Tajam Penglihatan pada Pelajar SD “x” Jatinegara Jakarta Timur. Majalah Kedokteran Indonesia Vol:59 No.6 Juni 2009. French, Amanda N., et al. (2013). Risk Factors for Incident Myopia in Australian School Children: The Sydney Adolescent Vascular and Eye Study. American Academy of Ophtalmology. Elsevier Hartanto W, Inakawati S. (2010). Kelainan Refraksi Tak Terkoreksi Penuh di RSUP Dr. Kariadi Semarang periode 1 Januari 2002-31 Desember 2003. Media Medika Muda. 4: 26-7. Israr, Yayan A. (2010). Kelainan Refraksi Mata – Miopia (Rabun Jauh). diakses pada 16 Oktober 2014. Dari website https://yayankhyar.wordpress.com/2010/07 /21/kelainak-refraksi-mata-miopia-rabunjauh/ James, Bruce, Chris Chew, Anthony Bron. (2006). Lecture Notes : Oftalmologi Edisi ke Sembilan. Jakarta : Erlangga. Karouta, Ashby RS. (2015). Correlation between light levels and the development of deprivation myopia. IOVS. 56(1); 229-309. Lee, Yin-Yang, Chung-Ting Lo, Shwu-Jiuan Sheu, Julia L. Lin. (2013). What Factors are Associated with Myopia in Young Adults? A
Survey Study in Taiwan Military Conscripts. IOVS Vol 54. No. 2. Lu, Bei, et al. (2009). Associations Between Near Work. Outdoor Activity. and Myopia Among Adolescent Students in Rural China. Arch Ophthalmol. 2009. hlm. 769-775. Mutti, DO. (2013). Time Outdoors and Myopia: a Case for Vitamin D. Optometry Times. July 23. Riordan-Eva P. (2007). Whitcher Jp. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta : EGC. Sasraningrat, Muhammad Ihsan. (2011). Gambaran Tingkat Pengetahuan dan Sikap Siswa SD Islam Ruhama Cireundeu Kelas 5 dan 6 Terhadap Miopia dan Faktor Yang Mempengaruhinya Tahun 2011 (skripsi). UIN. Jakarta. Suangga, Anisa. Hubungan Aktivitas Bermain Video Game dengan School Myopia pada Siswa-siswi SD Asy Syifa 1 Bandung (Skripsi). Fakultas Ilmu Keperawatan. Universitas Padjaaran : Bandung. WHO. (2007). Vision 2020 The Right to Sight. World Health Organization Publication Data. Diakses pada 3 Desember 2014. Dari website www.who.int/.../Vision2020_report/ _____. (2014). Visual Impaiement ad Blindness. diakses pada 16 Maret 2014. Dari website http://www.who.int/mediacentre/factsheets /fs282/en/ Widodo, Agung, Prillia T. (2007). Miopia Patologi. Jurnal Oftalmologi Indonesia. Vol. 5. No. 1. April 2007. Hlm. 19-26.
185
UJPH 5 (2) (2016)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
HUBUNGAN STATUS VAKSINASI BCG, RIWAYAT KONTAK DAN PERSONAL HYGIENE DENGAN KUSTA DI KOTA PEKALONGAN Kurnia Ningrum Susanti, Mahalul Azam Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima Agustus 2014 Disetujui Agustus 2014 Dipublikasikan April 2016
Kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara umumnya negara berkembang, termasuk Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara status vaksinasi BCG, riwayat kontak dan personal hygiene dengan kejadian kusta. Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan pendekatan kasus kontrol secara retrospektif. Pada penelitian ini menggunakan total sampling pada kelompok kasus dan accidental sampling pada kelompok kontrol, dengan jumlah masing-masing 64 orang. Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat dan berstrata dengan uji chi square (α=0,05) dan menghitung nilai Odds Ratio (OR). Dari hasil penelitian didapatkan bahwa faktor yang berhubungan dengan kejadian kusta adalah status vaksinasi BCG (p=0,000;OR=3,621), riwayat kontak (p=0,000;OR=5,800) dan lama kontak (p=0,000; OR=15,815). Sedangkan personal hygiene (p=0,077) tidak berhubungan dengan kejadian kusta. Variabel umur, tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi tidak terbukti sebagai variabel perancu dalam hubungan antara status vaksinasi BCG. Akan tetapi pendidikan merupakan variabel perancu dalam hubungan antara personal hygiene dengan kejadian kusta. Saran bagi petugas bagian P2PL adalah meningkatkan kegiatan surveilans epidemiologi penyakit kusta. Bagi kepala puskesmas diharapkan untuk meningkatkan penemuan penderita secara aktif, meningkatkan penyuluhan kepada masyarakat tentang penyakit kusta dan meningkatkan cakupan vaksinasi BCG. Bagi peneliti selanjutnya untuk menghindari bias recall dan bias seleksi.
________________ Keywords: BCG Vaccination; Contact with Patient; Duration of Contact; Leprosy; Personal Hygiene ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ Leprosy remains a public health problem in many developing countries, including Indonesia. The purpose of this study was to determine the relation between BCG vaccination status, contact with patient, and personal hygiene and leprosy. This study was an observational analytic study with approach case control restropectively. This study used total sampling in case group and accidental sampling in control group, in total 64 peoples each group. Data analysis used univariate, bivariate and stratified by chi square test (α = 0,05) and calculated the odd ratio (OR). The result showed that the factors related with the leprosy were BCG vaccination status (p=0,000;OR=3,621), contact with patient (p=0,000;OR=5,800) and duration of contact (p=0,000; OR=15,815). While personal hygiene was not associated with the leprosy (p=0,077). Variables of age, education and socioeconomic status did not proven as a confounding variable in relation between BCG vaccination status and leprosy. But education was confounding variable in relation between personal hygiene and leprosy. Recommendation for P2PL officer is to improve epidemiological surveillance of leprosy. For the head of the health center is expected to increase active case detection, improving counseling to society about leprosy defect and increasing the coverage of BCG vaccination. For the other researchers to avoid recall bias and selection bias.
© 2016 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail:
[email protected]
ISSN 2252-6781
130
Kurnia Ningrum Susanti dan Mahalul Azam/ Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
PENDAHULUAN
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang masih menimbulkan masalah di berbagai negara, umumnya di negara-negara berkembang (Hernawati, 2012). Kusta adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit kusta menjadi salah satu penyakit penting diantara penyakit menular karena dapat menyebabkan cacat yang progresif dan permanen (Amiruddin, 2012). Berdasarkan data dari Annual Report ILEP (2013), jumlah penderita kusta di dunia tahun 2012 adalah 232.857 penderita. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya yakni sebanyak 226.626 penderita. Dari 16 negara dengan jumlah kasus >1.000, tiga negara teratas dengan jumlah kasus kusta terbanyak adalah India (134.752), Brazil (33.303), dan Indonesia (18.994) (ILEP, 2013). Sampai saat ini, kusta masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, meskipun Indonesia telah mencapai eliminasi pada pertengahan tahun 2000 (Depkes RI, 2007; Hernawati, 2012). Berrdasarkan data yang dilaporkan jumlah penderita baru sampai saat ini tidak menunjukkan adanya penurunan yang bermakna (Depkes RI, 2007). Hal ini dapat terlihat dari angka penemuan kasus baru kusta yang berkisar antara 7 hingga 8 per 100.000 penduduk per tahunnya. Begitu juga halnya dengan angka prevalensi kusta yang berkisar antara 8 hingga 10 per 100.000 penduduk (Dirjen P2PL, 2013). Indonesia mempunyai jumlah kasus baru kusta tahun 2011 sebanyak 19.371 orang dengan Case Detection Rate (CDR) sebesar 8,3 per 100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2012). Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi dengan
beban kusta yang tinggi (high endemic). Provinsi ditetapkan sebagai provinsi dengan high endemic jika NCDR (New Case Detection Rate) > 10 per 100.000 penduduk atau jumlah kasus baru lebih dari 1.000 (Kemenkes RI, 2013). Angka CDR Jawa Tengah sebesar 3,33 per 100.000 dengan jumlah kasus baru sebanyak 1.118 penduduk di tahun 2013 (Dinkesprov Jawa Tengah, 2013). Sedangkan angka prevalensi (PR) di tahun 2013 yakni 0,70 per 10.000 penduduk. Berbagai faktor yang berhubungan dengan timbulnya kejadian kusta, di antaranya adalah status vaksinasi BCG (Bacillus Calmette Guerin), riwayat kontak, lama kontak, personal hygiene, umur, pendidikan, status sosial ekonomi, kepadatan hunian, dan jenis kelamin. Vaksinasi BCG adalah vaksin yang menyebabkan peningkatan kekebalan tubuh terhadap TBC tetapi menunjukkan adanya perlindungan yang besar terhadap kusta (Meima A et al, 2004). Vaksinasi BCG pada kontak serumah merupakan salah satu upaya pengendalian atau pemutusan rantai penularan kusta. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Malawi, vaksinasi BCG satu dosis dapat memberikan perlindungan sebesar 50% terhadap kusta, dan dua dosis dapat memberikan perlindungan terhadap kusta hingga 80%. Akan tetapi, penemuan ini belum menjadi kebijakan program di Indonesia dan masih memerlukan penelitian yang lebih lanjut (Depkes RI, 2007). Adanya riwayat kontak dengan penderita, terutama tipe MB juga merupakan faktor berisiko terjadinya penyakit kusta (WHO, 2012). Penularan di dalam rumah tangga dan kontak/hubungan dekat dalam waktu yang lama tampaknya
131
Kurnia Ningrum Susanti dan Mahalul Azam/ Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
sangat berperan dalam penularan (Chin J, 2000). Kusta hanya ditularkan melalui kontak erat dalam waktu lama dengan penderita kusta yang berada dalam stadium reaktif. Kuman kusta mempunyai masa inkubasi selama 2-5 tahun, akan tetapi dapat juga bertahun-tahun (Depkes RI, 2007). Memperbaiki personal hygiene juga dapat mengurangi terjadinya penularan dan penyebaran kusta (Soedarto, 2009). Kota Pekalongan merupakan wilayah dengan CDR dan prevalensi tertinggi kedua di Jawa Tengah tahun 2013. Meskipun demikian, Kota Pekalongan merupakan wilayah yang selalu menjadi daerah dengan beban kusta tinggi. Hal ini dibuktikan dengan jumlah penemuan kasus yang tidak pernah turun secara signifikan dari tahun ke tahun (Dinkesprov Jawa Tengah, 2009; Sub Dit Kusta & Frambusia, 2012; Sub Dit Kusta & Frambusia, 2013). Kota Pekalongan merupakan daerah endemik tinggi dengan PR sebesar 3,11 per 10.000 di tahun 2013 (Sub Dit Kusta & Frambusia, 2013). Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah adakah hubungan antara status vaksinasi BCG, riwayat kontak, lama kontak dan personal hygiene dengan kejadian kusta, dengan mempertimbangkan variabel umur, status sosial ekonomi dan pendidikan sebagai variabel perancu. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara status vaksinasi BCG, riwayat kontak, lama kontak dan personal hygiene dengan kejadian kusta di Kota Pekalongan.
Jenis penelitian ini adalah observasional yang bersifat analitik dengan desain penelitian Case Control yang bersifat retrospektif (Murti B, 1993). Kelompok kasus adalah semua penderita kusta yang terdaftar dan tercatat di puskesmas Kota Pekalongan tahun 2013. Sedangkan kelompok kontrol adalah pasien yang tercatat dalam rekam medik puskesmas Kota Pekalongan tahun 2013 bukan penderita kusta. Jumlah sampel sebesar 128 yang terdiri dari 64 kasus dan 64 kontrol. Teknik pengambilan sampel kasus dalam penelitian ini dilakukan dengan total sampling yang memenuhi kriteria sampling. Sedangkan pengambilan sampel kontrol dilakukan dengan cara accidental sampling. Analisis data menggunkan program SPSS 19, yang terdiri dari analisis univariat, bivariat (chi square) dan berstrata (chi square mantel haenszel). Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah panduan wawancara terstruktur yang telah diuji validitas dan reliabilitas sebelum penelitian dilakukan. Sumber data yaitu data primer yang diperoleh langsung dari responden dengan menggunakan kuesioner. Data sekunder diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Pekalongan, Puskesmas Bendan, Tirto, Noyontaan, Tondano, Klego, Sokorejo, Kusuma Bangsa, Dukuh, Jenggot dan Pekalongan Selatan HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
METODOLOGI PENELITIAN Adapun hasil penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1 sebagai berikut Tabel 1. Hasil Penelitian No
Variabel
Kategori
Kejadian Kusta
132
Jumlah
P value
OR 95%CI
Kurnia Ningrum Susanti dan Mahalul Azam/ Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
Tidak Kusta
Kusta
1.
Status Vaksinasi BCG
2.
Riwayat Kontak
3.
4.
Lama Kontak
Personal Hygiene
Tidak Ya Jumlah Ya Tidak Jumlah >2 Tahun ≤ 2 Tahun Jumlah Buruk Baik Jumlah
n 48 16 64 29 35 64 28 36 64 37 27 64
% 75,0 25,0 100,0 45,3 54,7 100,0 43,8 56,2 100,0 57,8 42,2 100,0
Status Vaksinasi BCG
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, ada 48 orang (75,0%) tidak mendapatkan vaksinasi BCG dan 16 orang (25,0%) mendapatkan vaksinasi BCG. Sedangkan dari 64 orang yang bukan penderita kusta, terdapat 35 orang (54,7%) yang mendapatkan vaksinasi BCG dan 29 orang (45,3%) orang lainnya tidak mendapatkan vaksinasi BCG. Responden yang menderita kusta cenderung tidak mendapatkan vaksinasi BCG sedangkan responden yang tidak menderita kusta cenderung mendapatkan vaksinasi BCG. Dari hasil uji chi square diperoleh nilai p sebesar 0,001 (0,001<0,05), yang artinya bahwa ada hubungan antara status vaksinasi BCG dengan kejadian kusta. Dari
N 29 35 64 8 56 64 3 61 64 26 38 64
% 45,3 54,7 100,0 12,5 87,5 100,0 4,7 95,3 100,0 40,6 59,4 100,0
n 77 51 128 37 91 128 31 97 128 63 65 128
% 60,2 39,8 100,0 28,9 71,1 100,0 24,2 75,8 100,0 49,2 50,8 100,0
0,001
3,621 1,710-7,664
0,000
5,800 2,38314,115
0,000
15,815 4,48655,749
0,077
2,003 0,991-4,047
hasil analisis diperoleh pula nilai OR = 3,621 (OR>1) dengan interval 1,710-7,664 (tidak mencakup angka 1) artinya bahwa orang yang tidak divaksinasi BCG berisiko 3,621 kali menderita kusta dibandingkan dengan orang yang divaksinasi BCG. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Baker et al (1993) bahwa status vaksinasi BCG berhubungan dengan kejadian kusta semua tipe. Selain itu hasil penelitian di Malawi tahun 1996 dan meta analisis yang dilakukan oleh Maninder Setia et al (2006) menyebutkan kesimpulan yang sama dengan hasil penelitian ini, bahwa pemberian vaksinasi BCG dapat memberikan perlindungan terhadap kusta.
Tabel 2. Hubungan antara Status Vaksinasi BCG dengan Kejadian Kusta di Kota Pekalongan
Variabel Perancu
Variabel Bebas (Status Vaksinasi BCG)
Umur
Tidak Ya Jumlah
Berisiko
Kejadian Kusta Kasus (Kusta)
Kontrol (Tidak Kusta)
Jumlah
n 22 8 30
N 3 4 7
N 25 12 37
% 73,3 26,7 100,0
133
% 42,9 57,1 100,0
OR 95%CI % 67,6 32,4 100,0
3,667 0,66920,104
p value
0,002
Kurnia Ningrum Susanti dan Mahalul Azam/ Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
Tidak Berisiko
Tidak Ya Jumlah
Jumlah Status Sosial Ekonomi
Rendah Tinggi
Pendidika n
Jumlah Rendah
Tinggi
Jumlah
Tidak Ya Jumlah Tidak Ya Jumlah Tidak Ya Jumlah Tidak Ya Jumlah
26 8 34 64 15 4 19 33 12 45 64 31 8 39 17 8 25 64
76,5 23,5 100,0 100,0 78,9 21,1 100,0 73,3 26,7 100,0 100,0 79,5 20,5 100,0 68,0 32,0 100,0 100,0
Dalam penelitian ini, variabel yang berperan sebagai perancu yaitu variabel umur, pendidikan dan status sosial ekonomi yang merancukan hubungan antara status vaksinasi BCG dengan kejadian penyakit kusta, sehingga untuk mengendalikan variabel umur, pendidikan dan status sosial ekonomi dilakukan dengan menggunakan teknik analisis berstrata. Adapun hasil analisis berstrata dapat dilihat pada Tabel 2. Dari hasil uji tersebut, diperoleh nilai p sebesar 0,002 dalam analisis hubungan antara status vaksinasi BCG dengan kejadian kusta berdasarkan umur pada Tabel 2, dimana nilai tersebut kurang dari 0,05 (0,002 < 0,05), yang berarti bahwa umur bukanlah variabel perancu dalam hubungan antara status vaksinasi BCG dengan kejadian kusta. Dari hasil uji juga diperoleh nilai OR sebesar 3,829 dengan interval 1,671-8,775 (tidak mencakup angka 1). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara status vaksinasi BCG dengan kejadian kusta setelah mengontrol variabel umur.
26 31 57 64 11 21 32 18 14 32 64 20 22 42 9 13 22 64
45,6 54,4 100,0 100,0 34,4 65,6 100,0 56,2 43,8 100,0 100,0 47,6 52,4 100,0 40,9 59,1 100,0 100,0
52 39 91 128 26 25 51 51 26 77 128 51 30 81 26 21 47 128
57,1 42,9 100,0 100,0 51,0 49,0 100,0 66,2 33,8 100,0 100,0 63,0 37,0 100,0 55,3 44,7 100,0 100,0
3,875 1,50110,004 7,159 1,90826,863 2,139 0,8185,594 4,262 1,59111,417 3,069 0,92910,142
Selain itu juga didapatkan hasil dari analisis hubungan antara status vaksinasi BCG dengan kejadian kusta berdasarkan status sosial ekonomi pada Tabel 2 bahwa nilai p sebesar 0,003 dimana nilai tersebut kurang dari 0,05 (0,003 < 0,05), yang artinya bahwa status sosial ekonomi bukanlah variabel perancu dalam hubungan antara status vaksinasi BCG dengan kejadian kusta. Dari hasil uji juga diperoleh nilai OR sebesar 3,320 dengan interval 1,556-7,085 (tidak mencakup angka 1) yang artinya terdapat hubungan antara status vaksinasi BCG dengan kejadian kusta setelah mengontrol variabel status sosial ekonomi. Dari hasil analisis hubungan antara status vaksinasi BCG dengan kejadian kusta berdasarkan pendidikan pada Tabel 2, diperoleh nilai p sebesar 0,001 dimana nilai tersebut kurang dari 0,05 (0,001 < 0,05), yang berarti bahwa pendidikan bukanlah variabel perancu dalam hubungan antara status vaksinasi BCG dengan kejadian kusta. Selain itu, diperoleh juga nilai OR sebesar 3,741 dengan interval 1,752-7,988
134
0,003
0,001
Kurnia Ningrum Susanti dan Mahalul Azam/ Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
(tidak mencakup angka 1) yang artinya terdapat hubungan antara status vaksinasi BCG dengan kejadian kusta setelah mengontrol variabel pendidikan. Dari hasil tiga analisis berstrata, diketahui bahwa umur, status sosial ekonomi dan pendidikan bukan merupakan variabel perancu dalam hubungan antara status vaksinasi BCG dengan kejadian kusta. Riwayat Kontak
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh bahwa 64 orang yang menderita kusta, terdapat 35 orang (54,7%) yang tidak mempunyai riwayat kontak dan 29 orang lainnya (45,3%) mempunyai riwayat kontak dengan penderita kusta. Sedangkan dari 64 orang yang tidak menderita kusta, ada 56 orang (87,5%) yang tidak memiliki riwayat kontak dan 8 orang (12,5%) yang memiliki riwayat kontak dengan penderita kusta. Responden yang menderita kusta cenderung memiliki riwayat kontak dengan penderita kusta sedangkan responden yang tidak menderita kusta cenderung tidak memiliki riwayat kontak dengan penderita kusta. Berdasarkan hasil uji statistik chi square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa hubungan antara riwayat kontak dengan kejadian kusta di Kota Pekalongan tahun 2013 dengan nilai p = 0,000 (p < 0,05). Dari hasil analisis juga diperoleh nilai OR sebesar 5,800 (OR>1) dengan interval 2,383-14,115 (tidak mencakup angka 1) artinya bahwa orang yang memiliki riwayat kontak dengan penderita kusta berisiko 5,800 kali menderita kusta dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki riwayat kontak dengan penderita kusta. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Norlatifah dkk (2010) yang menyebutkan
bahwa terdapat hubungan antara riwayat kontak dengan kejadian kusta. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Chin (2000) yang menyebutkan bahwa penularan di dalam rumah tangga dan kontak/hubungan dekat dalam waktu yang lama sangat berperan dalam penularan. Responden dalam penelitian ini sebagian besar cenderung belum menpunyai pengetahuan yang benar akan kusta. Adanya ketidaktahuan dan stigma tentang kusta dari lingkungan sekitar responden membuat responden kasus menutup diri dan membuat pengobatan menjadi tidak lancar. Kontak dengan penderita kusta memugkinkan terjadinya penularan M. leprae dari orang yang sakit kepada orang yang sehat. Bakteri penderita yang tidak diobati atau tidak teratur berobat merupakan sumber penularan yang utama, sehingga penting adanya pemahaman dan pengetahuan masyarakat akan kusta yang diharapkan akan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berobat serta patuh terhadap instruksi tenaga kesehatan. Di samping itu, sangat penting adanya case holding dengan tertib pada penderita kusta untuk menghindari adanya kasus mangkir berobat yang pada akhirnya akan meningkatkan jumlah penularan kusta. Berdasarkan hasil penelitian, penderita kusta di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Pekalongan cenderung mempunyai riwayat kontak sebelumnya (45,3%). Penderita kusta sebelum menderita kusta cenderung mempunyai riwayat kontak baik dengan orang serumah maupun orang yang tidak tinggal serumah seperti teman, tetangga atau rekan kerja. Responden kesulitan dalam mengetahui adanya riwayat kontak dengan penderita sebelumnya karena harus mengingat kejadian yang telah lalu, terutama untuk
135
Kurnia Ningrum Susanti dan Mahalul Azam/ Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
kontak dengan penderita kusta dari tempat kerja. Lama Kontak
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh bahwa dari 64 orang yang menderita kusta, terdapat 36 orang (56,2%) yang memiliki lama kontak ≤ 2 tahun dengan penderita kusta dan 28 orang (43,8%) yang memiliki lama kontak >2 tahun dengan penderita kusta. Sedangkan dari 64 orang yang tidak menderita kusta, terdapat 61 orang (95,3%) yang memiliki lama kontak ≤ 2 tahun dengan penderita kusta dan 3 orang (4,7 %) yang memiliki lama kontak > 2 tahun dengan penderita kusta. Baik responden yang menderita kusta maupun yang tidak menderita kusta cenderung memiliki lama kontak ≤ 2 tahun dengan penderita kusta. Berdasarkan hasil uji statistik chi square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa ada hubungan antara lama riwayat kontak dengan kejadian penyakit kusta di Kota Pekalongan Tahun 2013 dengan nilai p = 0,000 (p < 0,05). Dari hasil analisis diperoleh pula OR sebesar 15,815 (OR >1) dengan interval 4,486-55,749 (tidak mencakup angka 1) yang artinya adalah orang yang mempunyai riwayat kontak dengan lama > 2 tahun lebih berisiko 15,815 kali menderita kusta dibandingkan dengan orang yang lama kontaknya ≤ 2 tahun. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Arpana dkk (2012) yang menyebutkan bahwa lamanya waktu interval rata-rata semua penderita dari waktu adanya kontak dengan penderita kusta hingga muncul kasus kusta adalah 2,2 tahun. Selain itu, hasil penelitian ini juga sesuai dengan teori yang disebutkan oleh Depkes RI (2007) bahwa penyakit kusta
menular melalui kontak yang lama (2-5 tahun) dengan penderita kusta. Kusta hanya akan menular melalui kontak erat yang lama dengan penderita kusta. Dalam penelitian ini, responden yang mempunyai riwayat kontak, sebagian besar kontak dengan penderita kusta yang merupakan anggota keluarga atau tetangga. Kontak dengan anggota keluarga atau tetangga merupakan kontak yang erat dan lama sehingga memungkinkan adanya penularan kusta. Hal ini sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Soedarto (2009), bahwa penularan biasa terjadi di lingkungan keluarga, misalnya ibu penderita dengan anak atau suaminya. Personal Hygiene
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh bahwa dari 64 orang yang menderita kusta, terdapat 37 orang (57,8 %) yang mempunyai personal hygiene buruk dan 27 orang (42,2 %) yang mempunyai personal hygiene baik. Sedangkan dari 64 orang yang tidak menderita kusta, ada 38 orang (59,4 %) yang mempunyai personal hygiene baik dan 26 orang (40,6 %) yang mempunyai personal hygiene buruk. Responden yang menderita kusta cenderung memiliki personal hygiene yang buruk sedangkan responden yang tidak menderita kusta cenderung memiliki personal hygiene yang baik. Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 1 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara personal hygiene dengan kejadian kusta. Hasil ini didasarkan pada uji chi square yang diperoleh p = 0,077. Didapatkan pula hasil OR dari uji tersebut yaitu 2,003 dengan interval 0,991-4,047 (mencakup nilai 1) yang artinya bahwa personal hygiene bukan merupakan faktor resiko kusta.
136
Kurnia Ningrum Susanti dan Mahalul Azam/ Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Muharry (2014), yang menyebutkan bahwa personal hygiene atau kebersihan perorangan merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian kusta (p=0,000). Variabel kebersihan perorangan dalam penelitian yang dilakukan oleh Muharry (2014) terdiri dari pertanyaan tentang kebiasaan mandi menggunakan sabun, frekuensi mandi setiap harinya, kebiasaan mengganti pakaian setiap hari, kebiasaan menyetrika pakaian sebelum dipakai, kebiasaan mencuci tangan setelah
kontak dengan penderita kusta dan kebiasaan mengganti seprai lebih dari dua minggu. Hasil penelitian ini juga tidak sesuai dengan teori oleh Soedarto (2009) bahwa dengan memelihara personal hygiene atau kebersihan pribadi dapat mengurangi terjadinya penularan dan penyebaran penyakit kusta. Variabel yang berperan sebagai perancu yaitu pendidikan yang merancukan hubungan antara personal hygiene dengan kejadian penyakit kusta. Adapun hasil analisis berstrata dapat dilihat pada Tabel 3 sebagai berikut.
Tabel 3. Hubungan antara Personal Hygiene dengan Kejadian Kusta Berdasarkan Pendidikan di Kota Pekalongan Kejadian Kusta Pendidikan
Rendah
Tinggi Jumlah
Personal Hygiene
Buruk Baik Jumlah Buruk Baik Jumlah
Kasus (Kusta)
Kontrol (Tidak Kusta)
Jumlah
N
N
N
% 24 15 39 13 12 25 64
61,5 38,5 100 52,0 48,0 100 100,0
% 19 23 42 7 15 22 64
Dari hasil uji pada Tabel 3 tersebut, diperoleh nilai p sebesar 0,069 dimana nilai tersebut lebih dari 0,05 (0,069 > 0,05), sehingga Ho diterima dan Ha ditolak. Hal ini berarti bahwa pendidikan adalah variabel perancu dalam hubungan antara personal hygiene dengan kejadian kusta. Tidak adanya hubungan yang bermakna antara personal hygiene dengan kejadian kusta di Kota Pekalongan, disebabkan karena ada kesetaraan proporsi antar kelompok kasus dan kelompok kontrol. Meskipun personal hygiene tidak berhubungan dengan kejadian kusta secara
OR 95%CI
45,2 54,8 100 31,8 68,2 22 100,0
p value
% 43 38 81 20 27 47 128
53,1 46,9 100 42,6 57,4 100 100,0
1,937 0,7894,699 2,321 0,7057,645
0,069
signifikan, akan tetapi orang yang mempunyai personal hygiene buruk pada kasus (37 orang) lebih banyak daripada orang dengan personal hygiene buruk pada kontrol (26 orang). Begitu sebaliknya, orang dengan personal hygiene yang baik pada kontrol (38 orang) lebih banyak daripada orang yang mempunyai personal hygiene pada kasus (27 orang). SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini, diperoleh simpulan sebagai berikut: (1) Ada
137
Kurnia Ningrum Susanti dan Mahalul Azam/ Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
hubungan antara status vaksinasi BCG, riwayat kontak dan lama kontak dengan kejadian penyakit kusta di Kota Pekalongan tahun 2013. Variabel umur, status sosial ekonomi dan pendidikan tidak terbukti sebagai variabel perancu dalam hubungan antara status vaksinasi BCG dengan kejadian kusta. (2) Tidak ada hubungan antara personal hygiene dengan kejadian penyakit kusta di Kota Pekalongan tahun 2013. Variabel pendidikan merupakan variabel perancu dalam hubungan antara personal hygiene dengan kejadian kusta. UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami tunjukkan kepada Petugas P2 Kusta Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Petugas P2PL Dinas Kesehatan Kota Pekalongan dan Petugas kusta Puskesmas di Kota Pekalongan.
Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. ------------------------------------, 2013, Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2012, Kementerian Kesehatan, Jakarta. Hernawati, Heni, 2012, Pengawasan Program Pengendalian Penyakit Kusta di Indonesia, Inforwas, Edisi III, Januari 2012, hlm.26-30. International Federation of Anti Leprosy Association (ILEP), 2013, Annual Report 2012-2013, Weekly Epidemiological Record, diakses 29 Januari 2014,(http://www.ilep.org.uk/fileadmin/upl oads/Documents/Annual_Reports/annrep13. pdf) Kemenkes RI, 2012, Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2011, Kementerian Kesehatan Indonesia Republik Indonesia, Jakarta. ------------------, 2013, Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2012, Kementerian Kesehatan Indonesia Republik Indonesia, Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA Amiruddin, MD, 2012, Penyakit Kusta Sebuah Pendekatan Klinis, Brilian Internasional, Surabaya. Arpana, Rijal, Agrawal S, Bhattarai S, Do Contacts have a Role in the Transmissionof Leprosy?, NJDVL, Volume 10, No 1, 2012, hlm. 16-19. Baker, DM, JS Nguyen Van Tam, SJ Smith,1993, Protective Efficacy of BCG Vaccine Against Leprosy in Southern Malawi, Epidemiol Infect, Volume 111, February 1993, hlm. 2125. Chin, James, 2000, Manual Pemberantasan Penyakit Menular, Terjemahan oleh I Nyoman Kandun, Jakarta. Dinkesprov Jateng, 2009, Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Semarang. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2007, Buku
Meima, Abraham, W. Cairns S, Smith, Gerrit J. van Oortmassen, Jan H.Richardus, J. Dik F. Habbema, 2004, The Future Incidence of Leprosy: a Scenario Analysis, Bulletin of the World Health Organization, Volume 82 No 5, hlm. 373-380. Muharry, Andy, 2014, Faktor Risiko Kejadian Kusta, Kemas, Volume IX, No 2, Januari 2014, hlm. 174-182. Murti, Bisma, 1997, Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi, UGM Press, Yogyakarta. Norlatifah, Adi Heru S, Solikhah, 2010, Hubungan Kondisi Fisik Rumah, Sarana Air Bersih dan Karakteristik Masyarakat dengan Kejadian Kusta di Kabupaten Tapin Kalimantan Selatan, Kesmas, Volume V, No 3, hlm. 144239. Seksi Pengendalian Penyakit, 2012, Analisa Situasi Program Pemberantasan Penyakit Kusta, Dinas Kesehatan Kota Pekalongan,
138
Kurnia Ningrum Susanti dan Mahalul Azam/ Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016) Pekalongan. ------------------------------------, 2013, Analisa Situasi Program Pemberantasan Penyakit Kusta, Dinas Kesehatan Kota Pekalongan, Pekalongan. Setia, Singh Maninder, Craig S, Christine S Ho, George WR, 2006, The Role of BCG in Prevention of Leprosy: A Meta Analysis, Lancet Infect Dis, Vol. 6, hlm. 162-170. Soedarto, 2009, Penyakit Menular di Indonesia, Sagung Seto, Jakarta. Sub. Dit Kusta & Frambusia, 2012, Laporan Tahunan Kusta Tahun 2012, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Semarang -------------------------------------, 2013, Laporan Tahunan Kusta Tahun 2013, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Semarang. WHO Technical Report Series, 2012, WHO Expert Committee on Leprosy: Eight report, World Health Organization, Geneva, Switzerland.
139
UJPH 5 (2) (2016)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA PEKERJA YANG TERPAPAR BISING DI UNIT SPINNING I PT. SINAR PANTJA DJAJA SEMARANG Pristi Rahayu, Eram Tunggul Pawenang Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima Februari 2015 Disetujui Februari 2015 Dipublikasikan April 2016
Penggunaan mesin dalam kegiatan produksi dapat menimbulkan masalah kebisingan yang mempunyai pengaruh luas pada gangguan indera pendengaran, gangguan komunikasi, gangguan tidur, gangguan pelaksanaan tugas, perasaan tidak senang, dan gangguan faal tubuh. Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain studi cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah pekerja shift 2 unit spinning 1 yang berjumlah 75 pekerja. Sampel ditentukan dengan proportional sampling didapat jumlah 44 sampel. Pengambilan data dilakukan dengan cara pengisian kuesioner, pengukuran intensitas kebisingan, dan pengukuran audiometri. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat menggunakan uji Fisher Exact (α=0,005). Hasil penelitian ini menunjukkan ada hubungan antara usia (p =0,001 telinga kanan dan p=0,003 telinga kiri), penempatan kerja (p=0,036 pada kedua telinga), intensitas kebisingan (p=0,036 pada kedua telinga), lama paparan (p=0,001 pada kedua telinga) dengan gangguan pendengaran. Dan tidak ada hubungan antara penggunaan APT dengan gangguan pendengaran (p=0,282 pada telinga kanan dan p=0,722 pada telinga kiri). Saran yang peneliti rekomendasikan bagi pekerja adalah mentaati kebijakan yang berhubungan dengan pengendalian kebisingan, saling mengingatkan untuk menggunakan APT selama bekerja. Bagi perusahaan diharapkan dapat memasang noise barrier dan membuat kebijakan yang berhubungan dengan pengendalian kebisingan.
________________ Keywords: Risk factor for Hearing Loss; Textile factory; Workers ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ Using machines in production activities can cause noise problems that have a large effect on the sense of hearing disorders, communication disorders, sleep disorders, disorders of task execution, displeasure, and disorders of the body physiology. This research was an analytical study with cross sectional design. Population in this study were the second shift workers spinning unit 1, amounting 75 workers. Sample was determined by proportional sampling obtained number 44 samples. Data were collected by means of questionnaires, noise intensity measurements, and audiometric measurements. Data were analyzed using univariate and bivariate Fisher Exact test (α = 0.005). Results of this study showed relationship between age (p=0.001 right ear and p=0.003 left ear), work placement (p =0.036 in both ears), noise intensity (p=0.036 in both ears), duration of exposure (p = 0.001 on both ears) with hearing loss. And there is no relationship between using APT with hearing loss (p=0.282 in the right ear and p=0.722 in the left ear). Suggestions researchers recommend for workers are to obey the policy relating to the control of noise, remind each other to use APT for work. For companies are expected to install noise barriers and create policies relating to noise control.
© 2016 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail:
[email protected]
ISSN 2252-6781
140
Pristi Rahayu dan Eram Tunggul Pawenang/ Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
PENDAHULUAN
Sejalan dengan pertumbuhan teknologi dan kebutuhan masyarakat saat ini, bidang industri mengalami kemajuan yang pesat. Penggunaan peralatan dan mesin-mesin canggih memang terbukti dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi kerja yang hasil akhirnya adalah meningkatnya produktivitas kerja dan hasil usaha. Di samping menghasilkan dampak positif, penggunaan peralatan dan mesinmesin canggih juga menimbulkan dampak negatif. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh teknologi modern adalah timbulnya masalah kebisingan yang mempunyai pengaruh luas pada gangguan indera pendengaran, gangguan komunikasi, gangguan tidur, gangguan pelaksanaan tugas, perasaan tidak senang, dan gangguan faal tubuh yang menyerang sistem keseimbangan dan sistem kardiovaskular (Tambunan, 2005). Bising di industri sudah lama merupakan masalah yang sampai sekarang belum bisa ditanggulangi secara baik sehingga dapat menjadi ancaman serius bagi pendengaran para pekerja, karena dapat menyebabkan kehilangan pendengaran yang sifatnya permanen. Sedangkan bagi pihak industri, bising dapat menyebabkan kerugian ekonomi karena biaya ganti rugi (Bashirudin, 2009). Bising lingkungan kerja merupakan masalah utama pada kesehatan kerja di berbagai negara. Sedikitnya 7 juta orang (35% dari total populasi industri di Amerika dan Eropa ) terpajan bising 85 dB atau lebih. Ketulian yang terjadi dalam industri menempati urutan pertama dalam daftar penyakit akibat kerja di Amerika dan Eropa. Di Amerika lebih dari 5,1 juta pekerja terpajan bising dengan intensitas lebih dari 85 dB. Barrs melaporkan pada
246 orang tenaga kerja yang memeriksakan telinga untuk keperluan ganti rugi asuransi, ditemukan 85% menderita tuli saraf, dan dari jumlah tersebut 37% didapatkan gambaran takik pada frekuensi 4000 Hz dan 6000 Hz. (Damayanti Soetjipto, 2007). Pengaruh utama kebisingan kepada kesehatan adalah kerusakan kepada indera pendengar, yaitu menyebabkan trauma akustik, ketulian sementara dan tuli permanen. Gangguan pendengaran akibat bising merupakan salah satu dari empat penyebab utama masalah ketulian yang terjadi di Indonesia selain otitis media supuratif kronik, tuli kongenital dan tuli pada usia lanjut/presbikusis (Kepmenkes RI 879/Menkes/SK/XI/2006). Patogenesis gangguan pendengaran adalah organ corti di cochlea terutama selsel rambut. Daerah yang pertama terkena adalah sel-sel rambut luar yang menunjukkan adanya degenerasi yang meningkat sesuai dengan intensitas dan lama paparan. Stereosilia pada sel-sel rambut luar menjadi kurang kaku sehingga mengurangi respon terhadap stimulasi. Dengan bertambahnya intensitas dan durasi paparan akan dijumpai lebih banyak kerusakan seperti hilangnya stereosilia. Daerah yang pertama kali terkena adalah daerah basal. Dengan hilangnya stereosilia, sel-sel rambut mati dan digantikan oleh jaringan parut. Semakin tinggi intensitas paparan bunyi, sel-sel rambut dalam dan sel-sel penunjang juga rusak. Dengan semakin luasnya kerusakan pada sel-sel rambut, dapat timbul degenerasi pada saraf yang juga dapat dijumpai di nukleus pendengaran pada batang otak (Rambe, 2003).
141
Pristi Rahayu dan Eram Tunggul Pawenang/ Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
PT. Sinar Pantja Djaja merupakan salah pabrik benang yang keseluruhan proses produksinya dilakukan dengan bantuan mesin, diantaranya mesin Blowing, Carding, Drawing, Flyer, Ring Spinning, Winding. Perusahaan ini memiliki lima unit spinning, salah satunya adalah Unit spinning 1. Unit ini merupakan unit yang pertama kali didirikan dan paling lama beroperasi. Mesin-mesin yang digunakan pada unit ini juga terhitung cukup tua buatan tahun 1988 dengan kapasitas 3600 spindle. Unit ini memproduksi benang polyster. Menurut hasi penyebaran kuesioner terdapat keluhan subjektif pada pekerja PT. Sinar Pantja Djaja berupa sebanyak 26 responden (52%) dari 50 responden mengaku telinganya sering berdengung. 18 responden (36%) mengaku merasa sering pusing, 30 responden (60%) mengaku sering diprotes orang lain karena volume suara TV atau radio terlalu keras, 7 responden (14%) mengaku merasa nyeri pada satu atau kedua telinga, dan 19 responden (38%) mengaku lawan bicaranya harus berteriak saat harus berkomunikasi. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, masalah yang dapat dikaji adalah apa saja faktor-faktor yang berhubungan dengan Gangguan Pendengaran pada pekerja yang terpapar bising di unit spinning I PT. Sinar Pantja
Djaja Semarang, Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan Gangguan Pendengaran pada pekerja yang terpapar bising di unit spinning I PT. Sinar Pantja Djaja Semarang. METODE
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian observasional analitik, dengan rancangan penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh karyawan unit spinning 1, shift 2 sejumlah 75 orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah simple random sampling, didapat 43 sampel. Setelah itu dilakukan proportional sampling pada penentuan jumlah sampel tiap kelompok penempatan kerja. Teknik pengambilan data yang digunakan adalah pembagian kuesioner, pengukuran intensitas kebisngan menggunakan sound level meter, dan pengukukuran audiometri menggunakan audiometer. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat dengan uji chi square (α=0,05). HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Univariat
Tabel 1. Distribusi Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Pendengaran No . 1.
2.
Distribusi Frekuensi
Total
N
%
N
%
24 20
54,54 45,45
44
100
33 11
75 25
44
100
Variabel Usia Beresiko (≥40 tahun) Tidak Beresiko (<40 tahun) Pemakaian APT Tidak Memakai Memakai
142
Pristi Rahayu dan Eram Tunggul Pawenang/ Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
3.
4.
5.
Penempatan Kerja Blowing-carding Winding Drawing-flyer Ring spinning Intensitas Bising Tidak sesuai NAB Sesuai NAB Masa Kerja Beresiko (>5 tahun) Tidak Beresiko (≤5 tahun)
7 12 7 18
15,91 27,27 15,91 40,91
37 7 34 10
Dari tabel 1 dapat diketahuai untuk faktor usia sebanyak 24 responden (54,54%) memiliki umur yang beresiko (≥40 tahun), sedangkan responden yang memiliki umur yang tidak beresiko sebanyak 20 orang (45,45%). Untuk faktor pemakaian APT, sebagian besar responden tidak menggunakan Alat Pelindung Telinga (APT), yaitu sebanyak 33 orang (75%) dan responden yang tidak menggunakan APT sebanyak 11 orang (25%). Untuk faktor penempatan kerja, 7 responden (15,91%) bekerja di bagian blowing-carding, 7 responden bekerja di bagian drawing-flyer (15,91%), 18 responden (40,91%) bekerja di bagian ring
44
100
84,09 15,91
44
100
77,3 22,7
44
100
spinning, dan 12 responden (27,27%) bekerja di bagian winding. Untuk faktor intensitas bising, sebagian besar responden bekerja di lingkungan yang kebisingannya tidak sesuai NAB, yaitu sebanyak 37 orang (84,09%) dan responden yang bekerja di lingkungan yang kebisingannya sesuai NAB sebanyak 7 orang (15,91%). Untuk faktor masa kerja, sebagian responden sebagian besar responden telah bekerja selama ≤5 tahun, yaitu sebanyak 34 responden (77,3%), sedangkan 10 responden (22,7%) memiliki lama paparan >5 tahun. Analisis Bivariat
Tabel 2. Distribusi Faktor-faktor yang berhubungandengan Gangguan Pendengaran pada Telinga Kanan Gangguan Pendengaran Normal
N
%
N
%
N
%
Beresiko (≥40 tahun)
22
50
2
4,55
24
100
Tidak Beresiko (<40 tahun)
7
15,91
13
29,54
20
100
0,001
20 9
45,5 20,5
13 2
29,5 4,5
33 11
100 100
0,282
Variabel
1.
Usia
2.
3.
Total
Gangguan Ringan
No.
Pemakaian APT Tidak memakai Memakai Penempatan Kerja
143
P.Value
Pristi Rahayu dan Eram Tunggul Pawenang/ Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
4.
5.
Tempat kerja >NAB Tempat kerja ≤NAB Intensitas Bising Tidak sesuai NAB Sesuai NAB Masa Kerja Bersiko (>5 tahun) Tidak Beresiko (≤5 tahun)
27 2
61,4 4,5
10 5
22,6 11,4
37 7
100 100
0,036
27 2
61,4 4,5
10 5
22,6 11,4
37 7
100 100
0,036
28 1
63,6 2,3
6 9
13,6 20,5
34 10
100 100
0,001
Tabel 3. Distribusi Faktor-faktor yang berhubungan dengan Gangguan Pendengaran pada Telinga Kiri Gangguan Pendengaran No.
1.
2.
3.
4.
5.
Total
Gangguan Ringan
Normal
N
%
N
%
N
%
Beresiko (≥40 tahun)
21
47,7
3
6,8
24
100
Tidak Beresiko tahun)
8
18,2
12
27,3
20
100
0,003
21 8
47,7 18,2
12 3
27,3 6,8
33 11
100 100
0,722
27 2
61,4 4,5
10 5
22,6 11,4
37 7
100 100
0,036
27 2
61,4 4,5
10 5
22,6 11,4
37 7
100 100
0,036
28 1
63,6 2,3
6 9
13,6 20,5
34 10
100 100
Variabel
P.Value
Usia (<40
Pemakaian APT Tidak memakai Memakai Penempatan Kerja Tempat kerja >NAB Tempat kerja ≤NAB Intensitas Bising Tidak sesuai NAB Sesuai NAB Masa Kerja Bersiko (>5 tahun) Tidak Beresiko (≤5 tahun)
Dari tabel 2 dan tabel 3 dapat diketahui hasil analisis faktor yang berhubungan dengan gangguan pendengaran adalah faktor usia, penempatan kerja, intensitas bising dan masa kerja, sedangkan faktor pemakaian APT terbukti tidak berhubungan dengan gangguan pendengaran. Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa terdapat hubungan antara faktor usia
0,001
dengan gangguan pendengaran dengan nilai p value 0,001 (<0,05) pada telinga kanan dan diperoleh p value 0,003 (<0,05) pada telinga kiri. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Amira Primadona (2012) tentang Analisis Faktor Resiko yang Berhubungan dengan Penurunan Pendengaran pada Pekerja di PT. Pertamina Geothermal Energy Area
144
Pristi Rahayu dan Eram Tunggul Pawenang/ Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
Kamojang Tahun 2012 menunjukkan bahwa variabel yang memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian gangguan pendengaran adalah variabel usia pekerja. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan pernyataan Djojodibroto (1999) yang menyebutkan bahwa mulai dari usia 40 tahun terjadi kenaikan ambang dengar sebesar 0,5 dB tiap tahunnya yang disebabkan oleh degenarasi pada organ telinga (presbikusis). Degenarasi pada organ telinga luar yaitu berkurangnya elastisitas jaringan daun telinga dan liang telinga dikarenakan kelenjar-kelenjar sebasea dan seruminosa mengalami gangguan fungsi sehingga produksinya berkurang, selain itu juga terjadi penyusutan jaringan lemak yang harusnya berperan sebagai bantalan disekitar liang telinga. Pada bagian telinga tengah perubahan yang terjadi yaitu membran timpani menipis dan menjadi lebih kaku, arthritis sendi pada persendian antar tulang-tulang pendengaran, atrofi dan degenarasi serabut-serabut otot pendengaran, proses penulangan dan pengkapuran pada tulang rawan disekitar Tuba Eustachius. Pada telinga bagian dalam, proses degenarasi yang terjadi pada sel-sel rambut luar di bagian basal koklea sangat besar pengaruhnya pada penurunan ambang pendengaran (Bashiruddin, 2007). Oleh karena itu untuk mencegah terjadinya gangguan pendengaran sebaiknya pekerja yang telah berumur ≥40 tahun tidak ditempatkan di bagian yang intensitas bisingnya di atas NAB atau dilakukan rotasi kerja secara berkala. Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan antara faktor penggunaan APT dengan gangguan pendengaran dengan nilai p value 0,282 (>0,05) pada telinga kanan dan diperoleh p value 0,722 (>0,05) pada telinga kiri. Salah
satu yang menjadi penyebab tidak adanya hubungan antara gangguan pendengaran dengan penggunaan APT pada penelitian ini antara lain adalah karena perusahaan baru menyediakan APT berupa earplug bagi para pekerjanya tahun 2013. Sebelum dibagikan earplug, pekerja juga tidak pernah menggunakan alat sumbat telinga lain ataupun menyumbat telinganya dengan kapas. APT yang disediakan oleh perusahaan yaitu jenis premolded dengan tiga flens umumnya memiliki daya reduksi (NRR) sebesar 25-27 dB. Bila dilihat dari intensitas kebisingan yang terjadi di unit spinning 1 yang paling tinggi adalah 96,67 dB maka APT yang disediakan sudah efektif dalam mereduksi bising yang masuk pekerja menjadi dibawah 85 dB untuk jam kerja 8 jam perhari. Namun pada kenyataan di lapangan masih banyak pekerja yang belum menggunakan APT selama bekerja karena mereka merasa tidak nyaman. Oleh karena itu perusahaan sebaiknya mengganti model APT yang disediakan, misalnya mengganti APT dengan jenis formable earplug (foam earplug) agar pekerja dapat dengan nyaman menggunakan earplug selama bekerja. Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa terdapat hubungan antara faktor penempatan kerja dengan gangguan pendengaran dengan nilai p value 0,036 (<0,05) pada telinga kanan dan telinga kiri. Penempatan kerja yang diatur perusahaan dapat mempengaruhi lingkungan kerja pekerja tersebut. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Paul AT Kawatu, Joy AM dan Yosua (2012) tentang Perbedaan Nilai Ambang Dengar Antara Tenaga Kerja Ground Handling Dengan Pegawai Administrasi Di Bandar Udara Sam Ratulangi Manado menunjukkan adanya
145
Pristi Rahayu dan Eram Tunggul Pawenang/ Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
tuli ringan pada pegawai ground handling dengan presentase 53,3% pada telinga kanan dan 30% pada telinga kiri, sedangkan pada pegawai administrasi sebesar 10% pada telinga kanan dan kiri. Pada penelitian ini, gangguan pendengaran paling banyak terjadi di bagian ring spinning, hal ini disebabkan karena intensitas yang terjadi disana paling tinggi. Bising yang masuk ke telinga dapat menimbulkan kerusakan di telinga dalam menyebabkan lesi disosiasi organ Corti, ruptur membran, perubahan strereosilia dan organel seluler, bising juga menimbulkan efek pada sel ganglion, saraf, membran tektoria, pembuluh darah dan stria vaskularis. Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa terdapat hubungan antara faktor intensitas kebisingan dengan gangguan pendengaran pada telinga kanan dan telinga kiri pekerja dengan nilai p value 0,036 (<0,05) pada telinga kanan dan telinga kiri. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ardanariswani dkk (2013) tentang Analisis Intensitas Kebisingan Terhadap Perubahan Nilai Ambang dengar Pekerja Sebelum dan Setelah Terpapar kebisingan di Unit Ring Frame Spinning 5 PT. APAC INTI CORPORA Bawen, Semarang tahun 2013 menyebutkan bahwa terdapat perbedaan nilai ambang dengar pekerja sebelum dan setelah terpapar bising di Unit Ring Frame Spinning 5 yang intensitasnya melebihi NAB. Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.13/MEN/X/2011 (2011:3) menyebutkan bahwa nilai ambang batas (NAB) kebisingan selama 8 jam/hari atau 40 jam/minggu adalah 85 dBA. Apabila melebihi NAB maka akan berpotensi menimbulkan gangguan pada pendengaran maupun non pendengaran.
Terdapatnya hubungan antara kebisingan dengan gangguan pendengaran yang dialami pekerja disebabkan karena kondisi lingkungan kerja yang sumber kebisingan belum dikendalikan secara maksimal. Bising tersebut dapat mengakibatkan kerusakan pada silia di selsel rambut luar menjadi kurang kaku sehingga mengurangi respon terhadap stimulasi apabila kerusakan yang terjadi semakin luas dapat menimbulkan degenerasi pada saraf pendengaran. Untuk mengatasi hal ini perlu dilakukan pengendalian sumber bising yang sesuai dengan teknik engineering control seperti memberi sekat-sekat yang sifatnya menghalangi kebisingan (sound barrier), menyerap kebisingan (noise absorber), dan meredam kebisingan (noise damper). Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa terdapat hubungan antara faktor antara masa kerja dengan gangguan pendengaran pada telinga kanan dan telinga kiri pekerja dengan nilai p value 0,001 (<0,05) pada telinga kanan dan telinga kiri. Hal ini sejalan dengan teori yang disampaikan Bashirudin tentang semakin lama seseorang terpapar bising maka orang itu semakin rentan terkena gangguan pendengaran. Pekerja yang pernah atau sedang bekerja di lingkungan bising dalam jangka waktu yang cukup lama yaitu lima tahun atau lebih. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Olivia Tantana, 2014 tentang Hubungan Antara Jenis Kelamin, Intensitas Bising dan Masa Paparan dengan Resiko Terjadinya Gangguan Pendengaran Akibat Bising Gamelan Bali pada Mahasiswa Fakultas Seni Pertunjukan menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh secara signifikan adalah masa paparan.
146
Pristi Rahayu dan Eram Tunggul Pawenang/ Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
Adanya hubungan antara masa kerja dan gangguan pendengaran dikarenakan telinga terpapar kebisingan maka mulamula telinga akan merasa terganggu dengan kebisingan tersebut. Terjadi kenaikan ambang pendengaran sementara yang akan kembali seperti semua (Temporary Threshold Shift). Tetapi lama-kelamaan telinga tidak lagi merasa terganggu karena suara tidak terasa begitu bising seperti awal pemaparan. Saat itu sudah terjadi kenaikan nilai ambang dengar yang merupakan akumulasi sisa ketulian dari TTS yang kemudian berubah sifat menjadi permanen. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diperoleh kesimpulan bahwa ada hubungan antara faktor (usia dengan p=0,001 telinga kanan dan p=0,003 telinga kiri; penempatan kerja dengan p=0,036 pada kedua telinga; intensitas kebisingan dengan p=0,036 pada kedua telinga; masa kerja dengan p=0,001 pada kedua telinga terhadap kejadian gangguan pendengaran pada pekerja yang terpapar bising di unit spinning I PT. Sinar Pantja Djaja Semarang. Tidak ada hubungan antara penggunaan APT dengan p=0,282 pada telinga kanan dan p=0,722 pada telinga kiri terhadap kejadian gangguan pendengaran pada pekerja yang terpapar bising di unit spinning I PT. Sinar Pantja Djaja Semarang. UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami tunjukkan kepada Kepala KesbangPolinmas Kabupaten Rembang, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Rembang, Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan Dr. H. Harry Pramono,
M.Si, Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Irwan Budiono, S.KM., M.Kes, dosen pembimbing Eram Tunggul Pawenang, S.KM., M.Kes. serta seluruh responden bidan desa yang terlibat dalam penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Ardaniswari, 2013, Analisis Intensitas Kebisingan Terhadap Perubahan Nilai Ambang Dengar Pekerja Sebelum dan Setelah Terpapar Kebisngan di Unit Ring Frame, Spinning 5 PT APAC INTI CORPORA BawenSemarang, Laporan Penelitian, Universitas Diponegoro. Bashirudin, J, 2009. Program Konservasi Pendengaran pada pekerja yang Terpajan Bising Indstri, Majalah kedokteran Indonesia, Volume:59, No 1, Januari 2009, hlm. 14-19. ---------------, 2007, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher, Jakarta, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Djojodibroto, Darmanto, 1999, Kesehatan Kerja di Perusahaan, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.13/MEN/X/2011, Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Lingkungan Kerja, Jakarta, Departemen Litbang. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 879/Menkea//SK/XI/2006, Rencana Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian Untuk Mencapai Sound Hearing 2030, Jakarta, Departemen Litbang. Paul AT, Joy AM, Yosua, 2012, Perbedaan Nilai Ambang Dengar Antara Tenaga Kerja Ground Handling Dengan Pegawai Administrasi Di Bandar Udara Sam Ratulangi Manado, Laporan Penelitian, Universitas Sam Ratulangi Manado.
147
Pristi Rahayu dan Eram Tunggul Pawenang/ Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016) Primadona, Amira, 2012, Analisis Faktor Resiko yang Berhubungan dengan Penurunan Pendengaran pada Pekerja di PT. Pertamina Geothermal Energy Area Kamojang Tahun 2012, Skripsi, Universitas Indonesia. Rambe, AYM, 2003, Gangguan Pendengaran Akibat Bising, Medan, Universitas Sumatera Utara Digital Library. Soetjipto, Damayanti, 2007, Gangguan Pendengaran Akibat Bising, (online), diakses 11 April 2014, (http://ketulian.com/v1/web/index.php?to= article&id=15). Tambunan, STB, 2005, Kebisingan di Tempat Kerja, Yogyakarta, Andi. Tantana, Olivia, 2014, Hubungan Antara Jenis Kelamin, Intensitas Bising, Dan Masa Paparan Dengan Resiko Terjadinya Gangguan Pendengaran Akibat Bising Gamelan Bali Paada Mahasiswa Fakultas Seni Pertunjukan, Tesis, Universitas Udayana Denpasar.
148
UJPH 5 (2) (2016)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
FAKTOR KONSUMSI YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN GANGGUAN AKIBAT KEKURANGAN YODIUM PADA ANAK SEKOLAH DASAR (Studi Kasus di MI Depokharjo Parakan Kabupaten Temanggung) Septa Tiara Kusuma, Irwan Budiono Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima Desember 2014 Disetujui Desember 2014 Dipublikasikan April 2016
Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) merupakan salah satu dari empat masalah gizi utama di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara konsumsi makanan tinggi yodium, makanan yang mengandung zat goitrogenik, protein, dan pengunaan garam beryodium dengan kejadian GAKY di MI Depokharjo Parakan Kabupaten Temanggung. Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasinya adalah seluruh siswa di MI Depokharjo sejumlah 66 siswa. Sampel penelitian sejumlah 40 orang dengan teknik two stage simple cluster sampling dan purposive sampling. Instrumen yang digunakan adalah formulir recall konsumsi 2x24 jam, food frequency questioner dan checklist. Data yang diperoleh diolah menggunakan uji statistik chi square. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor konsumsi yang berhubungan dengan kejadian GAKY adalah konsumsi makanan yang mengandung zat goitrogenik (p value = 0,000), konsumsi protein (p value = 0,006), penggunaan garam beryodium (p value = 0,003). Variabel yang tidak berhubungan adalah konsumsi makanan tinggi yodium (p value = 1,000). Saran yang diajukan adalah bagi instansi terkait agar mengadakan penyuluhan tentang zat goitrogenik dan untuk masyarakat agar mengurangi konsumsi zat goitrogenik.
________________ Keywords: IDD; Children; Consumstion ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ Iodium Deficiency Disorder (IDD) was one of four main problems of nutrition in Indonesia. The purpose of this research was to know the relationship between consumption of food high in iodine, food containing goitrogenik substance, protein, and use iodized salt with IDD in MI Depokharjo Parakan Regency Temanggung. Kind of research was analytic observational with cross sectional approach. The population in this research was all elementary student at MI Depokharjo many as 66 students. The sample in this research were 40 students with two stage simple cluster sampling and purposive sampling. The instruments in this research was recall consumption 2x24 jam form, food frequency questioner, and checklist. The data process used the statistic chi square. The results showed the consumption factors related with IDD was consumstion of food containing a substance goitrogenik (p value=0,000), consumtion of protein (0,006), iodized salt used (p value=0,003). And then consumtion of food high in iodine was not related with IDD (p value=1,000).Asked for aduice related to hold information abou goitrogrnik substance and to thr public to reduce consumption of food conaining goirogenik substance.
© 2016 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail:
[email protected]
ISSN 2252-6781
149
Septa Tiara Kusuma dan Irwan Budiono/ Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
PENDAHULUAN
Empat masalah gizi tersebut adalah Kekurangan Energi Protein (KKP), Kekurangan Vitamin A (KVA), Anemia Gizi Besi (AGB), Gangguan Akibat Kekuranan Yodium (GAKY) ( Arisman, 2004: 91). Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) merupakan spektrum luas dari gangguan pertumbuhan dan perkembangan fisik maupun mental dengan gambaran yang sangat bervariasi sesuai dengan tingkat tumbuh kembang manusia akibat kekurangan yodium. Yodium adalah unsur gizi mikro yang berfungsi untuk pembentukan hormon tiroid, tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3), yang berguna dalam proses pengembangan susunan saraf pusat dan proses tumbuh kembang manusia (Julianti, 2002). GAKY diketahui mempunyai kaitan eratdengan gangguan perkembangan mental dan kecerdasan. Oleh karena itu, semakin besar angka prevalensi GAKY di Indonesia maka akan menghambat pembangunan SDM di Indonesia (Multalazimah, 2009). Evaluasi GAKY yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah yang bekerjasama dengan Balai Litbang GAKY Borobudur Magelang pada daerah endemis GAKY pada tahun 2004 dengan jumlah sampel yang dikembangkan hingga ditingkat kecamatan menunjukan angka prevalensi GAKY Jawa Tengah adalah 9,68%, mengalami kenaikan dari prevalensi tahun 2003 yaitu 6,58%. Terdapat 11 Kabupaten di Jawa Tengah yang merupakan daerah endemis GAKY. Temanggung merupakan Temanggung merupakan 1 dari 11 kabupaten di Jawa Tengah yang endemis GAKY (Dinkes Provinsi Jateng, 2008:92). Berdasarkan rekap laporan penanggulangan
GAKY melalui pendataan Total Goitre Rate (TGR) Kabupaten Temanggung tahun 2012 menunjukan presentase sebesar 4,91%, namun ada 1 wilayah yang masih endemis yaitu Parakan. Parakan mengalami kenaikan status endemisitas, pada tahun 2010 endemis ringan dengan presentase TGR sebesar 18,06% dan tahun 2012 naik menjadi endemis ringan dengan presentase TGR sebesar 20,30% (Dinkes Kab Temanggung, 2012). Hasil pemeriksaan TGR Puskesmas Parakan bulan September 2013, dari 9 SD di Parakan, jumlah TGR terbesar di MI Depokharjo yaitu sebesar 17% (Puskesmas Parakan, 2013). Salah satu faktor penyebab terjadinya kejadian GAKY adalah faktor konsumsi. Dalam penelitian Luhur dkk meneliti konsumsi bahan makanan sumber protein dengan kejadian gondok. Berdasarkan data tingkat konsumsi protein rumah tangga, di Kabupaten Temanggung sebesar 33,3% masih <70% dari AKG (Dinkes Kab. Temanggung, 2010). Hasil penelitia Luhur menjelaskan bahwa manakan tinggi yodium berpengaruh terhadap kejadian GAKY. Hasil penelitian Widagdo (2009) menjelaskan penggunaan garam beryodium dan konsumsi makanan yang mengandung zat gotirogenik berpengaruh terhadap kejadian GAKY. Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya masih terjadi inkonsisten hasil penelitian. Oleh karena itu peneliti bermaksud untuk meneliti “Faktor Konsumsi yang Berhubungan dengan Kejadian Gangguan Akibat Kekurangan Yodium Pada Anak Sekolah Dasar (Studi Kasus di MI Depokharjo Parakan Kabupaten Temanggung)”. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka rumusan masalah dalam
150
Septa Tiara Kusuma dan Irwan Budiono/ Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
penelitian ini adalah adakah hubungan konsumsi makanan tinggi yodium, konsumsi makanan yang mengandung zat goitrogenik, konsumsi protein, dan penggunaan garam beryodium dengan kejadian GAKY pada anak MI Depokharjo Parakan Kabupaten Temanggung. METODE
Jenis penelitian ini adalah observasional yang bersifat analitik dengan menggunakan desain penelitian Cross Sectional. Dimana variabel bebas dan terikat diukur dalam satu waktu. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa MI Depokharjo sejumlah 66 siswa. Jumlah sampel dalam penelitian ini sejumlah 40 siswa. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik two stage simple cluster sampling. Sampel diambil dari kelas 4, 5, 6 dengan teknik purposive sampling (Budiarto, 2002: 27). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah konsumsi maknan tinggi yodium,
konsumsi makanan yang mengandung zat goitrogenik, konsums protein, dan penggunaan garam beryodium. Variabel terikat dalam penelitian ini kejadian GAKY yang diukur dengan UIE. Vareabel terikat dalam Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah recall konsumsi 2x24 jam, Food Frequency Questioner (FFQ), dan checklist. Sumber data yaitu data primer yang diperoleh langsung dari responden berupa data recall konsumsi 2x24 jam, data Food Frequency Questioner (FFQ), data tentang penggunaan garam beryodium. Data sekunder diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Temanggung tentang prevalensi TGR dan data konsumsi protein di Kabupaten Temanggung, Puskesmas Parakan tentang hasil pemeriksaan TGR pada anak SD di Parakan. HASIL DAN PEMBAHASAN
Adapun hasil penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1 sebagai berikut: Tabel 1. Hasil Penelitian Kejadian Hepatitis B Kronik No
1.
2.
P value
Kategori
Positif
Konsumsi Makanan Tinggi Yodium Konsumsi Makanan yang Mengandung Zat Goitrogenik
Jarang Sedang Jumlah Sedang Jarang Jumlah
n 12 2 14 12 2 14
% 85,7 14,3 100,0 85,7 14,3 100,0
N 21 5 26 2 24 26
% 80,8 19,2 100,0 7,7 92,3 100,0
N 33 7 40 14 26 40
% 82,5 17,5 100,0 35,0 65,0 100,0
10 4 14 5
71,4 28,6 0 100,0 35,7
6 12 8 26 -
23,1 46,1 30,8 100,0 0
16 16 8 40 5
40,0 40,0 20,0 100,0 12,5
3.
Konsumsi Protein
4.
Penggunaan Garam Beryodium
Kurang Cukup Baik Jumlah Tidak Memenuhi
Negatif
Jumlah
Variabel
1,000
0,000
0,006
0,003
151
Septa Tiara Kusuma dan Irwan Budiono/ Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
Standar Memenuhi Standar Jumlah
9
64,3
14
100,0
26
100,0
35
87,5
100,0
40
100,0
26 Konsumsi Makanan Tinggi Yodium
Berdasarkan hasil uji statistik Fisher pada Tabel 1, dimana nilai p sebesar 1,000 lebih besar dari 0,05 (1,000 > 0,05) yang artinya tidak ada hubungan antara konsumsi makanan tinggi yodium dengan kejadian GAKY. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Siti Zulakiha (2010) yang menyatakan tidak ada hubungan antara konsumsi makanan tinggi yodium dengan kejadian GAKY pada anak sekolah dasar di MI Depokharjo. Karena dari hasil uji statistik menunujukkan dari 26 responden yang tidak mengalami GAKY atau normal sebanyak 21 responden jarang mengkonsumsi makanan tinggi yodium. Namun tidak sesuai dengan penelitian Triyono (2004) yang menyatakan bahwa kurangnya konsumsi makanan sumber yodium merupakan salah satu penyebab terjadinya pembesaran gondok. Hal ini bisa disebabkan oleh sebagian besar dari responden sudah menggunaan garam beryodium yang sudah memenuhi standar. Sebagian besar dari responden jarang mengkonsumsi makanan tinggi yodium karena kebanyakan dari mereka mengkonsumsi sayur-sayuran hasil dari kebun mereka. Sedangkan daerah Depokharjo berada di dataran tinggi yang jauh dari pantai sehingga tanah di daerah tersebut miskin akan yodium (Arisman, 2004). Makanan tinggi yodium seperti kerang dan ikan laut jarang dikonsumsi responden, bahkan ada yang belum pernah mengkonsumsi kerang. Hal ini disebabkan
ketersediaannya yang sulit. Selain itu juga karena harga makanan tesebut relatif mahal. Konsumsi Makanan yang Mengandung Zat Goitrogenik
Berdasarkan hasil uji statistik Fisher pada Tabel 1, dimana nilai p sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05 (0,000 < 0,05) yang artinya ada hubungan konsumsi makanan yang mengandung zat goitrogenik dengan kejadian GAKY. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Hariyanti (2013) menyatakan adanya hubungan antara konsumsi makanan yang mengandung zat goitrogenik dengan kejadian GAKY. Desa Depokharjo yang berada di dataran tinggi sebagian besar tanahnya berupa persawahan dan kebun. Sebagian besar dari penduduk di sana bermata pencaharian sebagai petani. Mereka menanam padi, tembakau, dan sayursayuran. Sayur-sayuran yang ditanam berupa kol, buncis, kangkung, sawi, dll yang termasuk dalam kelompok bahan makanan yang mengandung zat goitrogenik. Sedangkan sebagian besar dari mereka mengkonsumsi hasil tanaman kebun sendiri, jadi makanan yang mereka konsumsi sehari-hari banyak yang mengandung zat goitrogenik. Bahan makanan yang banyak dikonsumsi responden seperti kol, sawi, dan singkong, responden mengkonsumsi bahan makanan tersbut 4-6x dalam seminggu. Responden mengkonsumsi sayuran ini disebabkan ketersediaannya yang banyak dan mudah didapatkan. Makanan
152
Septa Tiara Kusuma dan Irwan Budiono/ Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
yang mengandung zat goitrogenik juga sering dikonsumsi responden saat disekolah, karena kantin yang ada di sekolah banyak menjual gorengan seperti bakwan dan tahu isi. Selain itu makanan yang mengandung zat goitrogenik cukup murah. Menurut Djokomoeldjanto (2002) dalam Hariyanti (2013) mengatakan bahwa zat goitrogenik dalam bahan makanan yang dimakan satiap hari akan menyebabkan zat yodium dalam tubuh tidak berguna, karena zat goitrogenik tersebut mengahambat absorbsi dan metabolisme mineral yodium yang telah masuk ke dalam tubuh. Goitrogenik menghasilkan substansi yang bersaing dengan kelenjar tiroid dalam mengambil yodium yaitu senyawa glikosida sianogenik yang terdapat dalam ketela, ubi jalar, jagung, dan rebung. Selain itu goitrogenik juga menghasilkan substansi yang mencegah pengambilan yodium oleh kelenjar tiroid yaitu goitrin. Goitrin banyak dihasilkan oleh tanaman kubis (Gibney, 2009:270). Konsumsi Protein
Berdasarkan hasil uji statistik Chi square pada Tabel 1, dimana nilai p sebesar 0,006 lebih kecil dari 0,05 (0,006 < 0,05) yang artinya ada hubungan antara konsumsi protein dengan kejadian GAKY. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Luhur (2012) menjelaskan bahwa rendahnya unsur protein dalam tubuh akan menghambat proses transportasi hormon dari kelenjar tioid untuk merangsang prodksi TSH. Namun tidak sesuai dengan penelitian Siti Zulaikha (2010) yang menyatakan tidak ada hubungan antara konsumsi protein dengan fungsi tiroid. Dalam penelitian ini, dari 40 responden hanya 8 responden yang tingkat konsusmsi proteinnya baik. Hasil recall
konsumsi 2x24 jam menunjukan sebagian besar responden asupan protein diperoleh dari sumber protein nabati seperti tahu dan tempe, sedangkan sumber protein hewani kebanyakan diperoleh dari telur. Penggunaan Garam Beryodium
Berdasarkan hasil uji statistik Fisher pada Tabel 1, dimana nilai p sebesar 0,003 lebih kecil dari 0,05 (0,003 < 0,05) yang artinya ada hubungan antara penggunaan garam beryodium dengan kejadian GAKY. Dari hasil uji statistika dari 26 responden yang tidak mengalami GAKY, semuanya sudah menggunakan garam beryodium yang memenuhi standar. Dan dari 14 responden yang mengalami GAKY hanya 9 responden sudah menggunakan garam beryodium yang memenuhi standar. Hal ini juga yang menyebabkan walaupun sebagian besar responden jarang mengkonsumsi makanan tinggi yodium namun mereka tidak mengalami GAKY. Karena dalam penelitian Triyono (2004) yang menyatakan bahwa Garam beryodium merupakan alternatif dari sumber yodium yang tinggi. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Rizalia (2011) yang mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara uji kualitas garam dengan kejadian GAKY. Di desa depokharjo terdapat 3 merk garam yang digunakan warga setempat dan dijual di warung-warung, yaitu garam halus dengan merk gajah dan ibu bijak, serta garam bata dengan merk pesawat terbang. Dari 3 merk garam tersebut hanya 1 yang tidak memenuhi standar yaitu garam bata merk pesawat terbang yang hanya mengandung yodium 0,0144 ppm. Sedangkan garam dengan merk gajah dan ibu bijak sudah memnuhi syarat yaitu sebesar 48,012 ppm dan 52,102 ppm.
153
Septa Tiara Kusuma dan Irwan Budiono/ Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
Sebagian besar dari responden sudah menggunakan garam beryodium yang memenuhi standar. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini, diperoleh simpulan sebagai berikut: (1) Ada hubungan antara konsumsi makanan yang zat goitrogenik, konsumsi protein, penggunaan garam beryodium dengan kejadian GAKY di MI Depokharjo Parakan Kabupaten Temanggung (2) Tidak ada hubungan antara konsumsi makanan tinggi yodium dengan kejadian GAKY di MI Depokharjo Parakan Kabupaten Temanggung. UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami tunjukkan kepada MI Depokharjo Parakan Kabupaten Temanggung, Puskesmas Parakan, Dinas Kesehatan Kabupaten Temanggung. DAFTAR PUSTAKA Arisman, 2004, Gizi Daur Kehidupan, Jakarta: EGC. Budiarto, Eko, 2002, Biostatistika Untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat, Jakarta: EGC.
Gibney, J, et al, 209, Gizi Kesehatan Masyarakat, Jakarta: EGC. Hariyanti, Wahyu, 2013, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian GAKY pada Anak Sekolah Dasar di Kecamatan Kendal Kabupaten Ngawi, e Journal boga, Volume 2, No 1, Februari 2013, hlm 150-158. Julianti, HP, 2002, Faktor Risiko Kekurangan Yodium pada Wanita Hamil di Daerah Gondok Endemik, Jurnal GAKY Indonesia (Indonesia Journal of IDD). Luhur, Fitria,2012, Hubungan Konsumsi Maknan dan Pembesaran Kelenjar Gondok Pada Anak Sekolah Dasar di Kecamatan Kejajar Kabupaten Wonosobo, Jurnal GAKY Indonesia (Indonesia Journal of IDD), Volume 1, No 1, Januari-Juni 2012, hlm6-15. Multalazimah, 2009, Status Yodium dan Fungsi Kognitif Anak Sekolah Dasar di SD N Kiyaran I Kecamatan Cangkiran Kabupaten Sleman, Jurnal Penelitian Sains dan Teknologi, Volume 10, No 1, 2009. Puskesamas Parakan, 2013, Hasil Pemeriksaan TGR (Total Goiter Rate) Puskesmas Parakan Bulan September tahun 2013, Puskesmas Parakan, Kabupaten Temanggung. Rizalia, H, 2011, Hubungan Pola Konsumsi Pangan Terhadap Kejadian GAKY pada Anak SD N 09 Korong Gadang Kecamtan Kuranji Padang, Skripsi, Universitas Andalas.
Dinas Kesehatan Kabupaten Temanggung, 2012, Rekap Laporan Penanggulangan GAKY Melalui Pendataan TGR Kabupaten Temanggung tahun 2013, Dinas Kesehatan Kabupaten Temanggung, Temanggug.
Triyono, 2003, Identifikasi Faktor yang diduga Berhubungan dengan Kejadian Gondok pada Anak SD di Daerah Dataran Rendah, Jurnal GAKY Indonesia (Indonesia Journal of GAKY), Volume 3, Nomor 1, AgustusSeptember, 2004.
_________________________________, 2010, Konsumsi Energi, Protein dan Skor Pola Pangan Harapan Tingkat Kabupaten Temanggung, Dinas Kesehatan Kabupaten Temanggung, Temanggung.
Widagdo D, 2009, Faktor yang Berhubungan dengan Ekskresi Yodium dalam Urin di Kabupaten Grobogan Jawa Tengah, Media Peneliti dan Pengembngan Kesehatan, Volume XIX, 2009, hlm 534-542.
Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah, 2008, Profil Kesehatan Jawa Tengah Tahun 2008. Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah, Semarang.
Zulaekah, Siti, Hubungan Tingkat Konsumsi Zat Gizi dengan Status Yodium pada Wanita Usia Subur di Daerah Endemik GAKI, Junal
154
Septa Tiara Kusuma dan Irwan Budiono/ Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016) Kesehatan ISSN 1979-7621, Nomor 1, Juni 2010: 66-77.
Volume
3,
155
UJPH 5 (2) (2016)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
EVALUASI INPUT SISTEM SURVEILANS DEMAM BERDARAH DENGUE DI DINAS KESEHATAN KAB. TEGAL
Maulana Mufidz, Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima Januari 2015 Disetujui Januari 2015 Dipublikasikan April 2016
Surveilans DBD merupakan salah satu kegiatan dalam pencegahan dan pengendalian kasus DBD. Tujuan penelitian untuk mengetahui input sistem surveilans Demam Berdarah Dengue di Dinas Kesehatan Kab. Tegal. Jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif dan desain fenomenologi. Infoman dalam penelitian ini terdiri dari 3 informan utama dan 4 informan triangulasi yang ditentukan dengan teknik purposive sampling. Teknik pengambilan data berupa wawancara mendalam. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk narasi. Hasil penelitian menunjukkan tenaga (man) surveilans DBD belum sesuai pedoman. Sarana dan prasarana (material-machine) yang meliputi ketersediaan perangkat komputer/laptop, dan ketersediaan perangkat surveilans lain belum sesuai pedoman. Sedangkan sarana dan prasarana (materialmachine) yang meliputi ketersediaan formulir surveilans DBD, ketersediaan alat tulis kantor, dan ketersediaan alat komunikasi sudah sesuai pedoman. Sasaran (market) informasi hasil surveilans sudah sesuai pedoman. Kebutuhan informasi hasil surveilans DBD sesuai dengan kebutuhan pengguna informasi. Pendanaan (money) surveilans DBD sudah sesuai pedoman. Metode (method) surveilans DBD yang terdiri dari ketersediaan pedoman evaluasi surveilans DBD dan ketersediaan SOP surveilans DBD sudah sesuai pedoman. Saran yang peneliti rekomendasikan adalah meningkatkan kemampuan dan jumlah tenaga surveilans DBD, dan meningkatkan jumlah sarana dan prasarana penunjang kegiatan surveilans DBD di Dinas Kesehatan Kab. Tegal.
________________ Keywords: DHF; District Health Office; evaluation; surveillance ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ DHF (Dengue Haemorrhagic Fever) surveillance is one of the activities in the prevention and control of dengue cases. Purpose of the research was to determine the input of Dengue Haemorrhagic Fever surveillance system in Tegal District Health Office. The research was a descriptive one with a qualitative approach and phenomenology design. Informants in this research consist of 3 main informants and 4 triangulation informants determined by purposive sampling technique. Data collection technique was in shape of deep interviews. Data analysis was done descriptively and presented in narrative form. The results showed that power resource (men) of DHF surveillance was not appropriate yet with guidelines. Facilities and infrastructure (materialmachine) that includes the availability of a computer / laptop, and the availability of other surveillance device were not appropriate with guidelines. While the facilities and infrastructure (material-machine) which includes the availability of dengue surveillance forms, availability ATK (office stationery), and the availability of means of communication was appropriate with guidelines. Information Target (market) of the surveillance results is appropriate with guidelines. Information need of DHF surveillance results was in accordance with the needs of information users. Funding (money) of DHF surveillance is appropriate with guidelines. Method of dengue surveillance which consists of the availability of DHF surveillance guidelines and the availability of DHF surveillance SOP is appropriate with the guidelines. Suggestions that the researcher recommends is to increase the skill and the number of dengue surveillance personnel, and to increase the number of supporting infrastructures of dengue surveillance activities in Tegal District Health Office.
© 2016 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail:
[email protected]
ISSN 2252-6781
156
Maulana Mufidz / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
PENDAHULUAN
Data DBD dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya (Natalia, S, 2012). Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, WHO mencatat Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara (Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kemenkes RI, 2010). Penyakit DBD mulai dikenal di Indonesia sejak tahun 1968 di Surabaya dan Jakarta, dan setelah itu jumlah kasus DBD terus bertambah seiring dengan meluasnya daerah endemis DBD (Lasut, D, 2009; Chadijah, S, 2011). Penyakit ini sering menimbulkan KLB 3 di beberapa daerah endemis (Widiarti, dkk, 2009; Sukowinarsih, ET, 2010). Kasus DBD terbanyak dilaporkan di daerah yang tingkat kepadatan penduduknya tinggi seperti provinsi di Jawa, Bali dan Sumatera. Jumlah kasus DBD yang dilaporkan pada tahun 2012 sebanyak 90.245 kasus dengan jumlah kematian 816 orang (IR/Angka kesakitan= 37,11 per 100.000 penduduk dan CFR= 0,90%). Tahun 2011 Propinsi Jawa Tengah menempati peringkat kedua tertinggi di Indonesia dengan jumlah 2.345 kasus. Pada tahun 2012 jumlah kasus Demam Berdarah Jawa Tengah 7.088 kasus dan 108 kematian (CFR=1,5%) (Ditjen PP dan PL Kemenkes RI, 2013). Dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah sudah pernah terjangkit penyakit Demam Berdarah Dengue. Angka kesakitan/IR DBD di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2012 sebesar 19,29/100.000 penduduk, meningkat bila dibandingkan tahun 2011 (15,27/100.000 penduduk). Angka kematian/CFR DBD di
Jawa Tengah tahun 2012 sebesar 1,5% lebih tinggi dibanding tahun 2011 (0.93%), dan masih lebih tinggi dibandingkan dengan target nasional (<1%) (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2014). Pada tahun 2012 kota/kab di Jawa Tengah dengan CFR DBD tertinggi adalah Kab. Wonogiri dengan CFR sebesar 23,08% diikuti Kab. Tegal dengan CFR sebesar 4,5%. Pada tahun 2012 di Kab. Tegal ditemukan kasus DBD sebesar 202 kasus, dan 8 penderita di antaranya meninggal dunia (CFR = 3,96%), sehingga belum memenuhi target Indonesia Sehat 2011 (CFR kurang dari 1%) (Dinas Kesehatan Kab. Tegal 2012). Sedangkan pada tahun 2013 kasus Deman Berdarah Dengue (DBD) di Kab. Tegal sebanyak 243 kasus, dan 11 penderita diantaranya meninggal dunia (CFR = 4,5%), sehingga belum memenuhi target Indonesia Sehat 2011 (CFR kurang dari 1% ) (Dinas Kesehatan Kab. Tegal, 2013). Untuk itu, perlu diadakan kegiatan surveilans epidemiologi. Surveilans epidemiologi merupakan suatu kegiatan yang sangat penting dalam mendukung pengendalian dan penanggulangan penyakit menular, tidak terkecuali pada kegiatan pengendalian dan penanggulangan penyakit DBD (Wuryanto, MA, 2008). Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan peneliti, masalah surveilans Demam Berdarah Dengue (DBD) di Dinas Kesehatan Kab. Tegal adalah ketepatan waktu dan kelengkapan Laporan Puskesmas (DP-DBD, K-DBD, PJB-R) yang diterima Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal belum mencapai indikator kinerja baik dari Depkes tahun 2011 yaitu 80%. Persentase ketepatan waktu laporan (DP-
157
Maulana Mufidz / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
DBD, K-DBD, PJB-R) yang diterima Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal dari bulan Januari sampai Desember tahun 2013 sebesar 60 % sehingga memiliki selisih 40% dari target Dinas Kesehatan Kab. Tegal dan 20 % dari indikator kinerja baik dari Depkes. Persentase kelengkapan laporan Data Dasar Personal DBD pada tahun 2013 sebesar 72% sehingga belum mencapai indikator kinerja baik dari Depkes sebesar 80%. Pada input, ketersediaan tenaga surveilans di Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal sudah ada, ketersediaan data sudah ada yaitu Laporan KD-DBD/KD-RS dari rumah sakit, Laporan Mingguan dari puskesmas, serta laporan hasil surveilans aktif oleh DKK. Sarana surveilans yang tersedia di Dinas Kesehatan Kab. Tegal adalah form laporan untuk puskesmas KDRS, SMS EWARS dan form laporan yang belum tersedia adalah K-DBD dan form DP-DBD. Dana surveilans sudah cukup untuk keperluan operasional surveilans. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, terdapat masalah surveilans DBD di Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal antara lain CFR DBD di Kabupaten Tegal belum mencapai target <1%, persentase ketepatan waktu laporan (DP-DBD, K-DBD, PJB-R) yang diterima Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal belum mencapai target Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal dan persentase kelengkapan DP-DBD pada tahun 2013 sebesar 72% sehingga belum mencapai indikator kinerja baik dari Depkes sebesar 80%, masalah kompetensi sumber daya manusia dan sarana prasarana yang rendah. Hal ini didukung dengan penelitian sebelumnya oleh Laras (2010) bahwa terdapat masalah surveilans berupa kualitas SDM dan sarana prasarana masih rendah. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh
Sulistya (2006) bahwa terdapat masalah kualitas SDM yang rendah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi input sistem surveilans DBD di Dinas Kesehatan Kab. Tegal. METODE
Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan rancangan penelitian studi evaluasi. Pemilihan desain studi kualitatif dikarenakan hasil penelitian tidak untuk digeneralisasikan data yang akan dihasilkan hanya berupa data kuantitatif dan data kualitatif. Selain itu, dengan penelitian kualitatif, peneliti dapat ikut berpartisipasi di tempat penelitian, mencatat dan melakukan analisis mengenai sistem surveilans Demam Berdarah Dengue di Dinas Kesehatan Tegal tahun 2013 secara mendetail (Sugiyono, 2008). Studi evaluasi dilakukan untuk menilai pelaksanaan maupun capaian dari kegiatan atau program yang sedang atau yang sudah dilakukan untuk meningkatkan dan memperbaiki kegiatan atau program tersebut (Notoadmodjo, 2010). Teknik pengambilan informan secara purposive sampling. Kriteria yang ditentukan peneliti untuk informan yaitu pegawai Bidang P2P DKK Tegal tahun 2014, petugas yang terlibat langsung pada teknis dan pengambilan keputusan program P2DBD di DKK Tegal tahun 2014. Informan utama penelitian ini yaitu Kabid P2P, Kasie P2 dan Pengelola Program P2DBD di DKK Tegal tahun 2014. Informan triangulasi yaitu 2 staf Subbagian Perencanaan dan Keuangan, Kasubbag Umum, dan Kasubbag Kepegawaian DKK Tegal tahun 2014. Pengambilan data dilakukan dengan cara wawancara terstruktur dan studi dokumentasi. Alat bantu yang digunakan dalam pengumpulan
158
Maulana Mufidz / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
data adalah panduan wawancara terstruktur, alat perekam dan lembar observasi. Uji keabsahan data dilakukan dengan teknik triangulasi sumber, yaitu dengan cara membandingkan hasil wawancara antara informan utama dan informan triangulasi. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis data model Miles dan Huberman. Analisis dimulai dari pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, evaluasi data dan penarikan kesimpulan (Sugiyono, 2008). HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian dilakukan terhadap 7 informan yang bertugas di Dinas Kesehatan Kab. Tegal yang terdiri dari 3 informan utama dan 4 informan triangulasi. Berdasarkan hasil wawancara terstruktrur terhadap masing-masing informan diperoleh hasil penelitian sebagai berikut:
Karakteristik Informan
Informan utama (100%) berjenis kelamin perempuan. 33 % (1 orang) informan berada dalam kelompok usia 3039 tahun. 67% (2 orang) informan berada dalam kelompok usia 40-49 tahun. Untuk pendidikan terakhir, 1 orang informan S1 Dokter Umum keperawatan, 1 orang S2 Manajemen Kesehatan dan 1 orang S1 Kesehatan Masyarakat. Sedangkan untuk lama bertugas informan, 1 orang informan telah bertugas selama 1 tahun, 1 orang bertugas selama 2 tahun dan 1 orang bertugas selama 7 bulan. Evaluasi Input Sumber Daya Manusia (Man) Surveilans DBD di DKK Tegal
Tabel 1. Perbandingan antara Input Man Kenyataan di Tempat Penelitian dan Tataran Ideal
Kriteria
Pedoman/Diskripsi
Kenyataan
Kesesuaian
Jumlah tenaga surveilans DBD
Tenaga Surveilans Epidemiologi di tingkat Dinas Kesehatan Kab./ Kota terdiri dari: 1 tenaga epidemiologi ahli (S2), 2 tenaga epidemiologi ahli (S1) atau terampil dan 1 tenaga dokter umum.
Tenaga surveilans DBD di DKK Tegal berjumlah 2 orang yang berlatarbelakang pendidikan S1 Kesehatan Masyarakat (Epidemiologi) dan 1 orang lainnya berlatarbelakang pendidikan S2 Manajemen Kesehatan.
Belum sesuai
Ketersediaan Tenaga Terlatih dalam Manajemen Program dan Teknis P2DBD
Pelatihan adalah proses pembelajaran dalam rangka meningkatkan kinerja, profesionalisme dan atau menunjang pengembangan karier tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
Tidak ada tenaga yang mendapatkan pelatihan manajemen pengendalian DBD. Masalah ini diperkuat lagi dengan tidak ditemukannya sertifikat pelatihan manajemen pengendalian DBD.
Belum sesuai
159
Maulana Mufidz / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa jumlah tenaga surveilans DBD di DKK Tegal belum sesuai pedoman. Hal itu sesuai dengan penelitian yang dilakukan Siyam (2010) bahwa jumlah tenaga untuk surveilans belum memadai, padahal faktor tenaga juga mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan pelaporan surveilans DBD. Hal senada juga disampaikan oleh Rahayu (2012) bahwa untuk dapat menjalankan pelayanan kesehatan yang bermutu dibutuhkan jenis, jumlah dan kualifikasi dari tenaga kesehatan. Jumlah tenaga yang tidak memadai menyebabkan pelaksanaaan kegiatan program P2DBD tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Pendidikan akan mempengaruhi terbentuknya perilaku secara tidak langsung, karena semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi tingkat pengetahuannya dan tingkat pengetahuan merupakan salah satu domain dalam pembentukkan perilaku (Natalia, A, 2012). Pembagian tugas di program P2DBD, 1 orang bertugas sebagai pemegang program dan pelaksana program P2DBD dan 1 orang lainnya bertugas sebagai pemegang anggaran P2DBD dalam manajemen program P2DBD. Di samping itu, 1 orang tenaga surveilans DBD juga merangkap sebagai pemegang program penyakit lain dan 1 orang tenaga lainnya merangkap sebagai kepala seksi pemberantasan penyakit di Dinas Kesehatan Kab. Tegal. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Frans (2010) bahwa petugas mengerjakan tugas rangkap, hal ini membuat kegiatan surveilans tidak sesuai dengan semestinya dan menyebabkan waktu mereka menjadi terbagi sehingga menyebabkan pelaksanaan semua komponen dari sistem surveilans mejadi kurang optimal.
Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa ketersediaan tenaga terlatih dalam Manajemen dan Teknis P2DBD yang dibandingkan dengan tataran ideal, belum sesuai. Tetapi untuk mengatasi permasalahan kurangnya pengetahuan dan keterampilan mengenai pengendalian DBD, pihak Dinas Kesehatan Kab. Tegal menugaskan petugas P2DBD untuk mengikuti rapat-rapat koordinasi, seminar, maupun workshop program-program baru pengendalian DBD. Evaluasi Input Sarana-prasarana (Materialmachine) Surveilans DBD di DKK Tegal
Evaluasi terhadap input sarana dan prasarana (material-machine) dalam pelaksanaan surveilans DBD di Dinas Kesehatan Kab. Tegal meliputi: evaluasi terhadap ketersediaan formulir surveilans DBD, evaluasi terhadap ketersediaan alat tulis kantor (ATK), evaluasi terhadap ketersediaan perangkat komputer/laptop, evaluasi terhadap ketersediaan alat komunikasi, dan evaluasi terhadap perangkat surveilans lain. Formulir surveilans DBD merupakan instrumen penting dalam pelaporan DBD. Tidak ditemukan formulir W1 di program P2DBD karena yang mencetak dan menggunakan form W1 adalah tim surveilans umum dan khusus dari seksi Imunisasi. Jumlah formulir yang tersedia dan yang digunakan sudah mencukupi. Berdasarkan Tabel 2 dapat disimpulkan bahwa ketersediaan formulir surveilans DBD di Dinas Kesehatan Kab. Tegal sudah sesuai dengan tataran ideal. Tabel 2. Perbandingan antara Input Material-machines di Tempat Penelitian dan Tataran Ideal
160
Maulana Mufidz / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
Kriteria
Pedoman/Diskripsi
Kenyataan
Kesesuaian
Ketersediaan formulir surveilans DBD
Menurut Ditjen PP dan PL Kemenkes RI tahun 2011, formulir pelaporan surveilans DBD di Dinas Kesehatan Kab./Kota terdiri dari DP-DBD, form KDRS, form K-DBD, form W1 dan form W2. Jumlah formulir disesuaikan dengan kebutuhan setiap kondisi.
Formulir yang tersedia dan digunakan oleh petugas pemegang program P2DBD dalam melaksanakan surveilans DBD terdiri dari: form DP-DBD, KDRS, dan K-DBD serta W2. Formulir PSN dan PE sebagai tambahan.
Sudah sesuai
Ketersediaan ATK
Menurut Ditjen PPM dan PL (2003) bahwa yang termasuk ATK pada surveilans DBD sekurang-kurangnya meliputi: pensil, bolpoin, penggaris, kertas hvs, stempel beserta tinta dan penjepit kertas.
Sudah sesuai
Ketersediaan Perangkat Komputer/ laptop
Menurut Ditjen PPM dan PL (2003), perangkat komputer untuk program surveilans terdiri dari: perangkat komputer/laptop, printer, kertas HVS, program Ms. Office dan Epi map/ Epi info. Menurut KMK RI No. 1116/ Menkes/SK/VIII/2003, salah satu sarana yang harus ada pada sistem surveilans epidemiologi kesehatan di tingkat dinas kesehatan kabupaten adalah 1 paket alat komunikasi yang meliputi: telepon, faksimil, SSB, dan telekomunikasi lainnya. Menurut Ditjen PPM dan PL (2003) perangkat surveilans lain terdiri dari: kalkulator dan kertas grafik.
Alat tulis kantor yang digunakan terdiri dari bolpoin, pensil, penggaris, kertas hvs/prin, stempel beserta tinta dan penjepit kertas. Jumlah ATK mencukupi dan dalam kondisi baik. Perangkat komputer yang digunakan terdiri dari 1 seperangkat komputer, 1 unit laptop, kertas Hvs, 1 unit printer, program Ms. office di komputer dan laptop dan 2 flasdisk. Jenis alat komunikasi yang digunakan terdiri dari telepon, HP, faksimil, jaringan internet, SMS gateway. 3 alat komunikasi dalam kondisi baik berjumlah 3 dan 2 dalam kondisi rusak Perangkat surveilans lain yang tersedia adalah kalkulator dalam jumlah yang mencukupi.
Belum sesuai
Ketersediaan Alat Komunikasi
Ketersediaan Perangkat Surveilans Lain
Ketersediaan Perangkat Surveilans Lain Menurut Ditjen PPM dan PL (2003) perangkat surveilans lain terdiri dari: kalkulator dan kertas grafik. Perangkat surveilans lain yang tersedia adalah
Belum sesuai
Sudah sesuai
kalkulator dalam jumlah yang mencukupi. Belum sesuai ATK (Alat tulis kantor) adalah peralatan habis pakai yang digunakan untuk membantu pelaksanaan kegiatan rutin di program P2DBD. Berdasarkan
161
Maulana Mufidz / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
Tabel 2 diketahui bahwa ketersediaan ATK di program P2DBD sudah sesuai dengan tataran ideal. Untuk menunjang pelaksanaan surveilans DBD dalam hal pengolahan data dibutuhkan perangkat komputer/laptop sehingga akan dihasilkan keluaran yang dapat dibaca, dipahami dan digunakan oleh petugas surveilans DBD. Pengadaan perangkat komputer yang digunakan dalam pelaksanaan surveilans DBD berasal dari Subbagian Umum Dinas Kesehatan Kab. Tegal. Perangkat komputer yang ada digunakan bergantian dengan program penyakit lain. Untuk mengatasi keterbatasan perangkat komputer pada pengelolaan program P2DBD maka digunakan laptop dari program penyakit lain. Berdasarkan ketersediaan perangkat komputer/laptop pada Tabel 2 dapat disimpulkan bahwa perangkat komputer yang digunakan oleh pemegang program P2DBD Dinas Kesehatan Kab. Tegal belum sesuai. Hal itu dikarenakan perangkat komputer belum memiliki perangkat lunak Epi Info dan Epi Maps. Ditambah dengan laptop yang rusak. Alat komunikasi digunakan pada saat pelaporan atau penyebaran informasi hasil surveilans DBD antar bidang maupun instansi. Pengadaan alat komunikasi dilakukan oleh Subbagian Umum kecuali HP yang pengadaannya secara pribadi. Berdasarkan Tabel 2, dapat disimpulkan bahwa ketersediaan alat komunikasi di tempat penelitian sudah sesuai. Kriteria
Perangkat surveilans lain adalah perangkat surveilans diluar perangkat surveilans seperti alat komunikasi, dan perangkat komputer. Walaupun hanya bersifat sebagai pendukung, tetapi perangkat surveilans lain juga memegang peranan penting dalam kelancaran pelaksanaan surveilans DBD. Berdasarkan Tabel 2 ketersediaan perangkat surveilans lain belum sesuai dengan tataran ideal. Evaluasi Input Sasaran (Market) Surveilans DBD di DKK Tegal
Evaluasi terhadap sasaran informasi dalam pelaksanaan surveilans DBD di Dinas Kesehatan Kab. Tegal meliputi: evaluasi pengguna informasi dan evaluasi informasi hasil surveilans DBD. Salah satu komponen dari surveilans epidemiologi adalah penyebarluasan informasi (Ditjen PPM dan PL, 2003). Berdasarkan Tabel 3, pengguna informasi hasil surveilans DBD di tempat penelitian sudah sesuai dengan tataran ideal. Informasi hasil surveilans yang diberikan harus disesuaikan dengan pengguna informasi surveilans. Berdasarkan Tabel 3, kebutuhan informasi hasil surveilans yang didistribusikan oleh pemegang program P2DBD seksi Pemberantasan sudah sesuai dengan tataran ideal. Tabel 3. Perbandingan antara Input Market di Tempat Penelitian dan Tataran Ideal
Pedoman/Diskripsi
Kenyataan
162
Kesesuaian
Maulana Mufidz / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
Pengguna Informasi Hasil Surveilans DBD
Menurut Ditjen PPM dan PL (2003), salah satu kegiatan dalam surveilans epidemiologi adalah instansi surveilans epidemiologi memiliki sasaran dalam kegiatan penyebarluasan informasi hasil pelaksanaan surveilans.
Kebutuhan Informasi Hasil Surveilans DBD
Menurut Ditjen PP dan PL Kemenkes (2011), informasi yang didistribusikan ke sasaran informasi surveilans DBD minimal meliputi: data endemisitas dan distribusi kasus DBD per kecamatan (tabel, grafik dan mapping) dan data kecenderungan penyakit DBD.
Pengguna informasi internal meliputi: Subbag Perencanaan dan Keuangan, Bidang Promkes dan Penyehatan Lingkungan dan UPTD DKK Tegal. Sedangkan pengguna informasi eksternal meliputi: BAPPEDA Kab. Tegal, Komisi IV DPRD Kab. Tegal, Dinkes Provinsi Jateng, dan Wartawan. Data yang dibutuhkan oleh pengguna data/informasi hasil surveilans DBD baik di Dinas Kesehatan Kab. Tegal maupun lembaga/instansi di luar Dinas Kesehatan Kab. Tegal meliputi data jumlah kasus DBD dan wilayah terkena DBD.
Sudah sesuai
Sudah sesuai
Evaluasi Input Pendanaan (Money) Surveilans DBD di DKK Tegal
bisa menjalankan program-program yang sudah direncanakan.
Pendanaan atau biaya merupakan komponen penting dari sebuah organisasi. Tanpa adanya pendanaan, organisasi tidak
Tabel 4. Perbandingan antara Input Money di tempat penelitian dan tataran ideal
Kriteria
Pedoman/Diskripsi
Kenyataan
Kesesuaian
Pendanaan Program surveilans DBD
Sumber biaya penyelenggaraan sistem surveilans epidemiologi kesehatan terdiri sumber dana APBN, APBD Kab./Kota, APBD Propinsi, Bantuan Luar Negeri, Bantuan Nasional dan Daerah, dan swadaya masyarakat.
Jumlah dana untuk program DBD sebesar Rp 200.000.000,00 untuk program P2DBD yang meliputi kegiatan penyemprotan sarang nyamuk, dan surveilans DBD yang bersumber dari APBD kab.
Sudah sesuai
Jumlah tersebut dapat berubah-ubah setiap waktu sesuai perubahan kondisi program setiap tahunnya. Jumlah tersebut sudah mencukupi untuk surveilans DBD. Hal itu sejalan dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Frans (2010) bahwa dana APBD kabupaten yang dialokasikan dari tahun ke tahun fluktuatif, dana tersebut juga lebih banyak diprioritaskan kepada hal-hal teknis berupa alat operasional tetapi
163
Maulana Mufidz / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
kurang kepada pengembangan kemampuan petugas berupa pelatihanpelatihan. Hal senada juga disampaikan oleh Rahayu (2012) bahwa jika belum tersedianya dana yang cukup dapat menyebabkan tidak maksimalnya pelaksanaan kegiatan. Berdasarkan Tabel 4, pendanaan surveilans DBD sudah sesuai dengan tataran ideal.
Evaluasi Input Metode (Method) Surveilans DBD di DKK Tegal
Evaluasi metode dalam pelaksanaan surveilans DBD meliputi evaluasi terhadap ketersediaan pedoman evaluasi surveilans DBD dan evaluasi terhadap ketersediaan SOP surveilans DBD. Tabel 4. Perbandingan antara Input Money di tempat penelitian dan tataran ideal
Kriteria
Pedoman/Diskripsi
Kenyataan
Kesesuaian
Ketersediaan Pedoman Evaluasi Surveilans DBD
Pedoman dalam evaluasi surveilans dibagi dalam 2 bentuk yaitu dalam bentuk pedoman dan peraturan.
Sudah sesuai
Ketersediaan SOP Surveilans DBD
Pedoman yang bersifat teknis di lapangan diwujudkan dalam bentuk SOP yang disusun berdasarkan peraturan dan pedoman.
Pedoman yang digunakan adalah Modul Pengendalian DBD tahun 2011. Evaluasi juga dilakukan malalui rapatrapat koordinasi SOP yang digunakan terdiri dari: Modul Pengendalian DBD tahun 2011 dan SPO Program P2DBD No. kode 440 terbitan 2014 oleh Dinas Kesehatan Kab. Tegal
Evaluasi program kesehatan merupakan serangkaian prosedur untuk menilai suatu program kesehatan dan memperoleh informasi tentang keberhasilan pencapaian tujuan. SOP adalah suatu pernyataan tertulis yang disusun secara sistematis dan dapat dipakai sebagai pedoman oleh para pelaksana dalam pengambilan keputusan. SOP dapat dipakai sebagai pedoman oleh para pelaksana dalam pengambilan keputusan (Rahayu, 2012). Berdasarkan Tabel 4, pedoman evaluasi surveilans DBD dan ketersediaan SOP surveilans DBD sudah sesuai dengan tataran ideal. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian mengenai evaluasi input sistem surveilans
Sudah sesuai
Demam Berdarah Dengue di Dinas Kesehatan Kab. Tegal, dapat disimpulkan bahwa: Tenaga (man) surveilans DBD program P2DBD Dinas Kesehatan Kab. Tegal belum sesuai dengan tataran ideal. Sarana dan prasarana (material-machine) pelaksanaan surveilans DBD program P2DBD Dinas Kesehatan Kab. Tegal yang sudah sesuai dengan pedoman adalah ketersediaan formulir surveilans DBD, ketersediaan ATK, ketersediaan alat komunikasi. Sedangkan sarana dan prasarana yang belum sesuai dengan pedoman meliputi ketersediaan perangkat komputer/laptop, dan ketersediaan perangkat lain. Sasaran (market) informasi dalam pelaksanaan surveilans DBD sudah sesuai pedoman karena informasi hasil surveilans DBD sudah memiliki dan
164
Maulana Mufidz / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
menyebarluaskannya kepada sasaran/pengguna informasi hasil surveilans DBD. Demikian pula dengan kebutuhan informasi hasil surveilans DBD yang sudah memberikan informasi sesuai dengan kebutuhan pengguna informasi hasil surveilans DBD. Pendanaan (money) dalam pelaksanaan surveilans DBD di Dinas Kesehatan Kab. Tegal sudah sesuai dengan tataran ideal. Metode (method) dalam pelaksanaan surveilans DBD di Dinas Kesehatan Kab. Tegal yang terdiri dari ketersediaan pedoman evaluasi surveilans DBD dan ketersediaan SOP surveilans DBD sudah sesuai.
Ditjen PP dan PL Kemenkes RI, 2011, Modul Pengendalian Demam Berdarah Dengue, Kemenkes RI, Jakarta.
UCAPAN TERIMA KASIH
Lasut, D, dkk, 2009, Karakteristik Dan Pergerakan Sebaran Penderita DBD Berdasarkan Geographic Information System Sebagai Bagian Sistem Informasi Surveilans di Kecamatan Karawang Barat Kabupaten Karawang Provinsi Jawa Barat, Aspirator, Vol. 1, No. 1, Tahun 2009, Hal. 41-45.
Ucapan terima kasih kami tunjukkan kepada Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan, Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Dosen Pembimbing, Kepala Dinas Kesehatan Kab. Tegal, dan Informan yang terlibat dalam penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Chadijah, S, dkk. 2011. Peningkatan Peranserta Masyarakat dalam Pelaksanaan Pemberantasan Sarang Nyamuk DBD (PSNDBD) di Dua Kelurahan di Kota Palu Sulawesi Tengah, Media Litbang Kesehatan, Vol. 21, No. 4 Tahun 2011, Hal. 183-190. Dinas Kesehatan Kab. Tegal, 2013, Profil Kesehatan Kab. Tegal 2012, Dinas Kesehatan Kab. Tegal, Tegal. Dinas Kesehatan Jawa Tengah, 2014, Buku Saku Kesehatan Triwulan 3 Tahun 2013, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Semarang. Ditjen PPM dan PL Depkes RI, 2003, Surveilans Epidemiologi Penyakit (PEP) Edisi 1, Depkes RI, Jakarta.
Ditjen PP dan PL Kemenkes RI, 2013, Profil Pengendalian dan Penyehatan Lingkungan tahun 2012, Kemenkes RI, Jakarta. Frans, YS, Antonius S, Dibyo, P, 2010, Evaluasi dan Implementasi Sistem Surveilans Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Singkawang-Kalimantan Barat tahun 2010, BALABA, Vol. 8, No. 1, Tahun 2011, Hal. 510. Laras, P, 2010, Evaluasi Sistem Surveilans DBD Berdasarkan Komponen dan Atribut Surveilans di DKK Trenggalek, Thesis, Unair, Surabaya.
Natalia, A, 2012, Gambaran Pelaksanaan Surveilans Epidemiologi Penyakit Demam Berdarah Dengue Ditinjau Dari Aspek Petugas Di Tingkat Puskesmas Kota Semarang Tahun 2011, Jurnal Kesehatan Masyarakat, Vol. 1, No. 2, Tahun 2012, Hal. 262 – 271. Notoatmodjo, S, 2010, Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta. Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kemenkes RI, 2010, Buletin Jendela Epidemiologi: Demam Berdarah Dengue, Kemenkes RI, Jakarta. Rahayu, T, 2012, Evaluasi Pelaksanaan Program Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kerja Puskesmas Ketapang 2 (Studi di Kecamatan Mentawa Baru Ketapang Kabupaten Kotawaringin Timur Propinsi Kalimantan Tengah), Jurnal Kesehatan Masyarakat, Vol. 1, No. 2, Tahun 2012, Hal. 479 – 492.
165
Maulana Mufidz / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016) Siyam, N, 2010, Fasilitasi Pelaporan KD-RS dan W2 DBD Untuk Meningkatkan Pelaporan Surveilans DBD. KEMAS, Vol. 8, No. 2, Tahun 2013, Hal. 113-120. Sugiyono, 2008, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Penerbit AlfaBeta, Bandung. Sulistya, 2006, Evaluasi Kegiatan Pelaksanaan Surveilans Malaria Di Dinas Kesehatan Kab.Sleman Tahun 2005, Thesis, Undip, Semarang. Sukowinarsih, ET, 2010, Hubungan Sanitasi Rumah dengan Angka Bebas Jentik Aedes Aegypti, KEMAS, Vol. 6, No. 1, Tahun 2010, Hal. 3035. Widiarti, dkk, 2009, Deteksi Antigen Virus Dengue pada Progenl Vektor Demam Berdarah dengan Metode Imunohistokimia, Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 37, No. 3, Tahun 2009, Hal. 126-136. Wuryanto, MA, 2008, Surveilans Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Permasahannya Di Kota Semarang Tahun 2008, Disajikan pada Seminar Nasional Mewujudkan Kemandirian Kesehatan Masyarakat Berbasis Preventif dan Promotif, 13 Maret 2010, Semarang.
166
UJPH 5 (2) (2016)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
DIARY TERATAS (TERAPI ANAK OBESITAS) DALAM PERUBAHAN PERILAKU GIZI SISWA SEKOLAH DASAR Destya Sekar Ayu, Oktia Woro Kasmini Handayani Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima Juni 2015 Disetujui Juni 2015 Dipublikasikan April 2016
Obesitas merupakan suatu keadaan yang melebihi dari berat badan relatif seseorang sebagai akibat penumpukan zat gizi terutama karbohidrat, lemak dan protein. Obesitas pada anak sekolah merupakan masalah serius karena akan berlanjut hingga usia dewasa serta merupakan faktor risiko terjadinya penyakit metabolik dan degeneratif. Upaya pencegahan dan terapi obesitas pada anak dapat dilakukan dengan cara pengaturan diet, peningkatan aktifitas fisik dan mengubah pola hidup atau perilaku. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh penggunaan media Diary TERATAS (Terapi Anak Obesitas) yang berisi pedoman dan rekam jejak diet terhadap perubahan perilaku gizi pada siswa sekolah dasar. Jenis penelitian ini adalah penelitian pra eksperimen dengan rancangan one group pre-test post-test design. Populasi penelitian ini adalah semua siswa kelas 5 SD Islam Al Azhar 14 Kota Semarang yang masuk dalam kategori obesitas. Pada penelitian ini digunakan total sampling. Jumlah responden adalah 32 siswa. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat (wilcoxon). Dari hasil penelitian didapatkan hasil signifikansi antara nilai pre-test dan post-test adalah 0,000. Nilai p (0,000) < 0,05, maka pemberian media Diary TERATAS (Terapi Anak Obesitas) mampu mengubah perilaku gizi siswa di SD Islam Al Azhar 14 Kota Semarang.
________________ Keywords: Diary TERATAS; Nutritional Behaviour; Islamic Elementary School of Al Azhar 14 Semarang ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ Obesity was a condition when the body weight of a person was more than the relative body weight as the result of the accumulation of nutrients especially carbohydrate, fat and protein. Obesity in school children was a serious problem since it would continue until they were adult and it was also the factor of metabolic and degenerative disease. The prevention and control of obesity in school children could be done by putting them on diet, increasing their physical activities, and changing their life styles or their behaviors. This study aimed to determine the effect of the use of “Diary TERATAS” (Terapi Anak Obesitas) which contained the guidance and track records of diet in changing nutritional behavior of elementary students. This research was preexperiment research with one group pre-test post-test design. The population was 5th graders of Islamic Elementary School of Al Azhar 14 Semarang with obese category. It used total sampling with 32 students as respondents. Data analysis used univariate and bivariate (Wilcoxon). From the research, it showed significance between the pre-test and post-test was 0.000. P-value (0.000) <0.05, therefore “Diary TERATAS” (Terapi Anak Obesitas) provision capable in changing nutritional behavior of Islamic Elementary School of Al Azhar 14 Semarang students.
© 2016 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail:
[email protected]
ISSN 2252-6781
167
Destya Sekar Ayu dan Oktia Woro Kasmini Handayani / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
PENDAHULUAN
Permasalahan gizi pada balita dan anak merupakan masalah ganda, yaitu masih ditemukannya masalah gizi kurang dan ditambah dengan ditemukannya masalah kelebihan zat gizi, seperti energi, lemak, dan garam (Sulistyoningsih Hariyani, 2011). Obesitas saat ini merupakan permasalahan yang mendunia. Penelitian di Jepang menunjukkan sekitar 5-10% kasus kegemukan terjadi pada anak berusia 6-14 tahun, sedang Inggris 15,5% kasus menimpa anak umur 14 tahun (Ch M Udiani, 2000). Berdasarkan hasil Riskesdas (2010) menunjukkan prevalensi kegemukan dan obesitas pada anak (6-12 tahun) sebesar 9,2%. Secara nasional masalah gemuk pada anak (5-12tahun) masih tinggi yaitu 18,8 persen, terdiri dari gemuk 10,8 persen dan obesitas 8,0 persen (Kemenkes, 2013). Prevalensi gizi lebih di Jawa Tengah meningkat secara terus-menerus pada tahun 2002 sebesar 1,75% menjadi 2,12% pada tahun 2003 dan 2,54% pada tahun 2004 (Dinkes, 2004). Prevalensi obesitas pada anak sekolah dasar di Kota Semarang menduduki peringkat kedua dari sepuluh kota besar di Indonesia pada periode 20022005 (Syarif, 2005 dalam Budiyati, 2011). Survei yang dilakukan oleh Budiyati (2011) di SD Islam Al Azhar 14 Kota Semarang dari 741 orang didapatkan 200 siswa (26,9%) yang masuk dalam kriteria obesitas. Budiyati menemukan bahwa faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kejadian obesitas adalah faktor genetik, pola makan, kurangnya aktivitas fisik, dan tingkat sosial ekonomi keluarga. Pada anak sekolah, kejadian kegemukan dan obesitas merupakan masalah serius karena akan berlanjut hingga usia dewasa serta merupakan faktor
risiko terjadinya berbagai penyakit metabolik dan degeneratif seperti penyakit kardiovaskuler, diabetes mellitus, kanker, osteoartritis, gangguan pertumbuhan tungkai kaki, gangguan tidur, sleep apnea dan gangguan pernafasan lain (Kemenkes, 2012). Obesitas adalah suatu keadaan yang melebihi dari berat badan relatif seseorang sebagai akibat penumpukan zat gizi terutama karbohidrat, lemak dan protein (Krisno, 2002 dalam Thasim, 2013). Menurut Kemenkes (2012) kegemukan dan obesitas terjadi akibat asupan energi dan lemak lebih tinggi daripada energi yang dikeluarkan (kurangnya aktivitas fisik dan sedentary life style). Faktor risiko yang paling berhubungan dengan obesitas pada anak usia 5-15 tahun adalah tingkat pendidikan anak (Sartika R.A.D, 2011). Untuk itu perlu dilakukan upaya pencegahan dan penanggulangan faktor risiko obesitas dengan menanamkan pendidikan kesehatan pada anak sejak usia dini, melalui peningkatan KIE seperti gerakan cinta serat serta membudayakan aktivitas fisik. Upaya tersebut efektif menurunkan obesitas pada anak SD dan dengan mengintegrasikannya ke dalam kurikulum pembelajaran maupun dalam kegiatan ekstrakulikuler (Krolner, 2012; Fung, 2012; Donelly, 2012). WHO (2012a) telah menetapkan pencegahan obesitas berbasis masyarakat dengan upaya pembatasan penjualan makanan tak sehat dan minuman beralkohol kepada anak, pemberian label pada makanan, subsidi dan pajak makanan, kebijakan aktivitas fisik, dan kampanye pemasaran sosial. Sedangkan Australia telah melaksanakan upaya mengaktifkan akses ke makanan sehat, mengurangi promosi makanan tidak sehat, dan
168
Destya Sekar Ayu dan Oktia Woro Kasmini Handayani / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
mendukung aktivitas fisik sebagai gaya hidup pilihan (ACYS, 2012). Berdasarkan Kemenkes (2012), upaya yang telah dilakukan pemerintah adalah melakukan pemantauan berat badan anak sekolah, promosi kesehatan, serta penemuan dan tata laksana kasus. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Thasim (2013) edukasi gizi memberikan perubahan pengetahuan dan asupan protein serta asupan lemak pada anak gizi lebih di SD. Tatalaksana obesitas dalam rangka pencegahan dan terapi pada anak dilakukan dengan cara pengaturan diet, peningkatan aktivitas fisik, mengubah pola hidup/perilaku (Daley, 2006 dalam Anam MS, 2010). Perilaku adalah tindakan atau aktifitas yang merupakan respon atau reaksi seorang individu terhadap stimulasi yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya (Notoatmodjo S, 2003). Perubahan perilaku tidak dapat dicapai secara langsung, sehingga dibutuhkan upaya pendidikan untuk mempengaruhi seseorang dalam mengubah perilakunya. Pendidikan merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kualitas SDM dan menghasilkan perubahan pada diri manusia, karena melalui pendidikan manusia akan dapat mengetahui segala sesuatu yang tidak atau belum diketahui sebelumnya (Bastian I, 2006). Pendidikan gizi adalah kegiatan intervensi yang dilakukan dengan cara memberikan informasi, ajakan, persuasi, bujukan dan kesadaran untuk menghasilkan perilaku memelihara, mempertahankan, ataupun meningkatkan keadaan gizi yang baik (Sulistyoningsih Hariyani, 2011). Agar diperoleh hasil yang efektif diperlukan alat bantu atau media pendidikan. Fungsi media dalam pendidikan adalah sebagai alat peraga untuk menyampaikan informasi atau pesan-pesan tentang kesehatan
(Notoatmodjo S, 2007). Sehingga pemilihan media harus disesuaikan dengan karakteristik siswa. Anak usia sekolah merupakan masa penuh imajinasi, kreatifitas dan suka bercerita. Maka sangat penting untuk melatih keterampilan bercerita dan menulis. Mengingat hal itu, buku harian atau diary dirasa cocok untuk dijadikan sebagai media pendidikan dalam upaya perubahan perilaku. Karena dalam buku harian terdapat unsur kegembiraan yang merupakan faktor penting untuk memberikan motivasi belajar siswa. Siswa akan mencatat pola makan dan aktifitas ke dalam buku harian untuk merekam jejak jenis, jumlah makanan dan olahraga serta lokasi dan waktu kegiatan tersebut dilakukan. Buku harian ini berguna untuk menentukan wilayah dari masalah dalam perilaku makan dan olahraga anak. Selfmonitoring ini dapat memberdayakan anak menjadikannya lebih sadar pada pola makan dan pola aktifitasnya (Hidayati Antina Nevi, 2009). SD Islam Al Azhar 14 Semarang berada di Jalan Klentengsari No.1A, Kelurahan Pedalangan, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang. Tepatnya di kawasan pemukiman warga serta bedekatan dengan KB, TK dan SMPIslam Al Azhar 14. Berdasarkan hasil observasi awal yang telah dilakukan pada tanggal 15 Januari 2015 menunjukkan bahwa dari 265 siswa, ditemukan 77 siswa yang tergolong obesitas (29,06%), 30 siswa yang tergolong gemuk (11,32%), 1 siswa yang tergolong kurus (0,38%) dan 157 siswa yang tergolong normal (59,24%). METODE
Jenis Penelitian ini adalah pra eksperimen dengan rancangan one group
169
Destya Sekar Ayu dan Oktia Woro Kasmini Handayani / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
pretest-posttest design. Penelitian dilaksanakan di SD Islam Al-Azhar 14 Semarang. Sampel penelitian ini adalah siswa-siswi kelas 5 (5A, 5B, 5C, 5D) SD Islam Al-Azhar 14 Kota Semarang yang masuk dalam kategori obesitas yaitu berjumlah 32 anak. Pengkategorian obesitas diukur berdasarkan nilai Z-Score IMT/U, dikatakan obesitas jika nilai Z-Score >2 SD. Pengambilan sampel dilakukan secara Total Sampling. Diary TERATAS (Terapi Anak Obesitas) yang digunakan sebagai media dalam penelitian ini merupakan suatu inovasi pendidikan gizi bagi siswa sekolah dasar untuk mengubah perilaku gizi menjadi lebih baik dalam mengatasi masalah obesitas. Diary TERATAS ini berupa buku harian yang di dalamnya terdapat informasi gizi seputar obesitas dan merupakan tempat untuk mencatat pola konsumsi serta aktifitas fisik responden. Diary ini diberikan dan diisi setiap hari selama 30 hari (responden mengisi daftar pola konsumsi dan aktifitas fisik dalam diary setiap harinya). Sebelumnya, dilakukan uji media terhadap Diary TERATAS dengan metode FGD (focus group discussion) yang diikuti oleh 3 ahli media dan isi yaitu dosen Ilmu Kesehatan Masyarakat, 3 guru serta 15 sampel tercoba/siswa SD Islam Al Azhar 14 Semarang pada waktu yang berbeda. Uji media dilakukan untuk mengetahui pendapat peserta FGD tentang media yang telah disusun, yang kemudian akan memberikan keputusan apakah media Diary TERATAS dapat digunakan tanpa perbaikan atau dengan perbaikan. Diary TERATAS diberikan kepada semua responden penelitian. Sebelum dilakukan intervensi pemberian media, dilakukan pretest untuk mengetahui perilaku gizi awal yaitu mengenai konsumsi
energi dan aktivitas fisik siswa kelas 5 SD Islam Al-Azhar 14 Kota Semarang. Pre-test dilakukan 2 kali, yaitu pada hari libur dan hari masuk sekolah dengan metode recall konsumsi gizi dan aktifitas fisik. Intervensi atau perlakuan yang diberikan pada kelompok eksperimen berupa pemberian media Diary TERATAS. Tahapan intervensi tersebut sebagai berikut: 1. Pengenalan media dan penjelasan mengenai isi dan cara menggunakan Diary TERATAS. Kegiatan ini dilakukan selama 45 menit. 2. Memantau sampel dalam pengisian Diary TERATAS Media Diary TERATAS diberikan dan diisi oleh responden setiap hari selama 30 hari. Dalam kegiatan pengisian diary ini, responden melakukan metode recall konsumsi gizi dan aktifitas fisik dengan mencatat atau menceritakan jenis dan jumlah bahan makanan minuman serta jenis dan lamanya aktivitas fisik yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Recall dimulai sejak ia bangun pagi kemarin hingga istirahat tidur malam harinya. Untuk memudahkan responden dalam mengkonversikan data, dilakukan upaya mengatasinya dengan cara peneliti memberi contoh pengisian diary dan membawa contoh pilihan alat-alat makan yang digunakan dengan berbagai ukuran. Proses pemantauan dan evaluasi dalam pengisian media Diary TERATAS dilakukan setiap hari di sekolah oleh peneliti. Pelaksanaan kegiatan ini berlangsung setiap waktu istirahat, secara berkelompok (per kelas) dan bergantian. Selain memantau pengisian diary, peneliti juga memantau pola konsumsi dan aktifitas yang dilakukan responden di sekolah. Sedangkan, pemantauan secara langsung di rumah dilakukan tanpa sepengetahuan responden Kegiatan pemantauan secara
170
Destya Sekar Ayu dan Oktia Woro Kasmini Handayani / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
langsung ini berupa wawancara terhadap anggota keluarga dan asisten rumah tangga responden, serta menyaksikan secara langsung aktifitas fisik dan pola konsumsi responden. Pemantauan secara langsung terkait kegiatan responden juga dilakukan di luar kegiatan belajar mengajar di sekolah (les dan kegiatan ekstrakulikuler). Hal ini bertujuan agar peneliti dapat melihat perkembangan dan perubahan perilaku dalam mengatasi obesitas serta mencegah kemungkinan adanya pemalsuan data. Sedangkan postest dilakukan untuk mengetahui perubahan perilaku gizi akhir siswa SD Islam Al-Azhar 14 Kota Semarang berkaitan dengan obesitas setelah dilakukan intervensi pemberian media Diary TERATAS. Post-test ini dilakukan berdasarkan hasil recall konsumsi energi dan aktifitas fisik yang sudah ditulis dalam media diary. Selama intervensi, penghitungan recall dilakukan 2 kali seminggu dalam kurun waktu 1 bulan (30 hari). Analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 16 untuk mengetahui apakah ada perbedaan antara nilai pre-test dan post-test pada kelompok penelitian. Selain itu, analisis yang utama adalah untuk mengetahui apakah media Diary TERATAS berpengaruh dalam perubahan perilaku gizi siswa SD Islam AlAzhar 14 Kota Semarang. Setelah dilakukan uji normalitas data menggunakan Shapiro wilk karena jumlah sampel <50, diketahui bahwa p value hasil pre-test adalah 0,124 dan p value hasil post-test adalah 0,017. Dikarenakan salah satu data tidak terdistribusi normal (p <0,05), maka uji yang digunakan untuk analis berikutnya adalah Wilcoxon. Keputusan pengujian hipotesis penelitian didasarkan pada tingkat kepercayaan 95% dan derajat kemaknaan α=0,05.
HASIL DAN PEMBAHASAN
SD Islam Al Azhar 14 Semarang merupakan bentuk kerjasama di bawah bimbingan YPI (Yayasan Pesantren Islam) Al Azhar dengan Yayasan BIMATAMA (Bina Manusia Utama) Semarang. SD Islam Al Azhar 14 Kota Semarang yang terletak di Jalan Klentengsari No.1A, Kelurahan Pedalangan, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang. Tepatnya di kawasan pemukiman warga serta bedekatan dengan KB, TK dan SMP Islam Al Azhar 14. Pola pendidikan yang digunakan oleh SD Islam Al Azhar 14 Semarang yaitu memadukan kurikulum Depdiknas dan kurikulum Al Azhar, yang dikenal dengan “Kurikulum Pengembangan Pribadi Muslim”. Media pendidikan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Diary TERATAS (Terapi Anak Obesitas). Diary TERATAS berisi informasi mengenai pengertian obesitas, bahaya obesitas, faktor risiko obesitas, hal-hal yang dianjurkan dan hal-hal yang harus dibatasi untuk mengatasi obesitas. Selain itu, juga berisi tabel daftar makanan dan minuman yang telah dikonsumsi serta aktifitas fisik yang telah dilakukan. Diary TERATAS dikemas dalam bentuk yang menarik disertai gambar-gambar edukatif sehingga anak akan tertarik untuk selalu membuka dan membaca diary tersebut. Dari hasil uji media, media Diary TERATAS dapat digunakan sebagai media penyuluhan dengan perbaikan. Tahap revisi uji media buletin meliputi: mengubah warna dan gambar pada baground cover diary, penambahan gambar-gambar yang sesuai pada bagian materi bahaya obesitas, menyebutkan bahaya klinis, mental dan sosial dari obesitas, memperbaiki kata-kata
171
Destya Sekar Ayu dan Oktia Woro Kasmini Handayani / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
yang kurang tepat atau istilah medis yang awam dengan istilah yang mudah dipahami, penambahan isi materi, memperbesar ukuran tulisan, penyamaan ukuran spasi serta lembar kolom konsumsi makanan dan aktifitas fisik dijadikan bersebelahan agar mudah membandingkan. Responden adalah siswa kelas 5 dengan rentang usia 10-11 tahun. Jumlah responden berjenis kelamin laki-laki lebih banyak (87,5%) dari pada responden yang berjenis kelamin perempuan (12,5%). Data distribusi responden berdasarkan berat badan berdasarkan mean, median, minimum, dan maksimum, didapatkan
nilai mean (rata-rata) berat badan dari responden adalah 47,8 kg dan nilai median (nilai tengah) berat badan dari responden adalah 44,5 kg, sedangkan nilai minimum pada responden adalah 35 kg, dan nilai maksimum pada responden adalah 70 kg. Data distribusi responden berdasarkan tinggi badan, didapatkan nilai mean (ratarata) tinggi badan dari responden adalah 143,4 cm dan nilai median (nilai tengah) tinggi badan dari responden adalah 141,7 cm, sedangkan nilai minimum pada responden adalah 130 cm, dan nilai maksimum pada responden adalah 163 cm.
Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin No
Jenis Kelamin
Jumlah Responden N
(%)
1
Laki-laki
28
87,5
2
Perempuan
4
12,5
Jumlah
32
100
Tabel 2. Hasil Analisis Selisih Antara Jumlah Asupan Energi Dengan Jumlah Pengeluaran Energi Nilai
Mean
Median
Standar Deviasi
Range
Minimum
Maksimum
Pre-test
309,439
299,800
126,21
481,8
121,3
603,1
Post-test
113,656
109,300
63,6345
287,9
27,5
315,4
Berdasarkan hasil Analisis Selisih Antara Jumlah Asupan Energi Dengan Jumlah Pengeluaran Energi, dapat diketahui bahwa mean selisih antara jumlah asupan energi dengan jumlah pengeluaran energi yang diperoleh sebelum pemberian media Diary TERATAS adalah 309,439 kkal dengan median 299,800 kkal, sedangkan selisih terendah siswa obesitas
sebelum pemberian media Diary TERATAS adalah 121,3 kkal dan yang tertinggi adalah 603,1 kkal. Selain itu dapat diketahui juga bahwa mean selisih antara jumlah asupan energi dengan jumlah pengeluaran energi yang diperoleh sesudah pemberian media Diary TERATAS adalah 113,656 kkal dengan median 109,300 kkal, sedangkan selisih
172
Destya Sekar Ayu dan Oktia Woro Kasmini Handayani / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
terendah siswa obesitas sesudah pemberian media Diary TERATAS adalah 27,5 kkal dan yang tertinggi adalah 315,4 kkal. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa seluruh responden yaitu siswa kelas 5 SD Islam al Azhar 14 Kota Semarang yang masuk dalam kategori obesitas mengalami perubahan perilaku konsumsi gizi dan aktifitas fisik sesudah pemberian media Diary TERATAS (Terapi Anak Obesitas) secara bermakna, yang dilihat dari penurunan selisih antara jumlah asupan energi dengan jumlah pengeluaran energi. terjadi perubahan perilaku maka dapat disimpulkan bahwa diperoleh bahwa Dari nilai mean pre-test 309,439 kkal menjadi 113,656 kkal pada mean post-test. Uji hipotesis dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh perubahan perilaku gizi dalam mengatasi obesitas pada siswa sekolah dasar dengan media Diary TERATAS (Terapi Anak Obesitas) melalui perbedaan pada hasil selisih antara jumlah asupan energi dengan jumlah pengeluaran energi yang diperoleh sebelum dan sesudah pemberian media. Berdasarkan hasil uji wilcoxon dalam penelitian ini diperoleh rerata (mean rank) pretest sebesar 0,00 dan posttest sebesar 16,50, maka hasil signifikansi antara nilai pre-test dan post-test pada kelompok eksperimen adalah 0,000. Karena nilai signifikansi (0,000) lebih kecil dari 0,05, maka hipotesis nol (H0) ditolak dan hipotesis alternatif (Ha) diterima. Artinya bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara selisih nilai pre-test dan post-test sehingga media Diary TERATAS (Terapi Anak Obesitas) berpengaruh dalam mengubah perilaku gizi siswa sekolah dasar di SD Islam Al Azhar 14 Kota Semarang. Hasil yang bermakna ini menunjukkan bahwa kelompok eksperimen melakukan perubahan perilaku yang positif
dalam mengatasi obesitas sesuai dengan arahan dalam Diary TERATAS. Hal ini dikarenakan responden secara berkala membaca materi dan memahaminya serta melakukan self monitoring dengan mengisi media Diary TERATAS setiap hari selama 30 hari. Hal ini senada dengan pedoman dalam pemilihan metode promosi kesehatan yaitu (1) apabila saya dengar, saya akan lupa; (2) apabila saya lihat, saya akan ingat; (3) apabila saya kerjakan, saya akan tahu (Machfoedz Ircham, 2005: 73). Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Thasim (2013) bahwa edukasi gizi memberikan perubahan pengetahuan dan asupan protein serta asupan lemak pada anak gizi lebih di SD. Notoatmodjo, S (2005: 366) mengatakan bahwa pendidikan kesehatan dalam hal ini adalah pendidikan gizi, kepada anak sekolah dasar utamanya untuk menanamkan kebiasaan hidup sehat agar anak dapat bertanggung jawab terhadap kesehatan diri sendiri dan lingkungannya serta ikut aktif dalam usaha-usaha kesehatan. Menurut Machfoedz dan Eko Suryani (2009: 25) proses pembentukan perilaku selain dapat ditempuh dengan pemberian pengertian juga bisa dilakukan dengan kondisioning atau kebiasaan dengan cara membiasakan diri untuk berperilaku seperti yang diharapkan. Penelitian ini juga berdasarkan pada tatalaksana obesitas dalam rangka pencegahan dan terapi pada anak dilakukan dengan cara pengaturan diet, peningkatan aktivitas fisik, mengubah pola hidup/perilaku (Daley, 2006 dalam Anam MS, 2010). Diary TERATAS (Terapi Anak Obesitas) memiliki berbagai kelebihan sebagai media pendidikan gizi sisiwa sekolah dasar. Adapun kelebihan-kelebihan
173
Destya Sekar Ayu dan Oktia Woro Kasmini Handayani / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
dari Diary TERATAS adalah sebagai berikut: (1) Informasi seputar obesitas yang disampaikan singkat dan jelas serta bahasa yang digunakan mudah dipahami oleh sasaran; (2) Tampilan diary disertai dengan gambar-gambar yang akan memperjelas informasi yang disampaikan; (3) Ukuran diary dibuat lebih kecil sehingga lebih mudah dibawa; (4) Informasi yang tertulis pada diary tersebut dapat sewaktu-waktu dibaca dan dipelajari kembali; (4) Berisi daftar makanan dan minuman yang dikonsumsi serta aktifitas fisik yang dilakukan, sehingga siswa dapat membaca kembali dan mengontrol perilaku yang telah dilakukan; (5) Memberdayakan siswa dan menjadikannya lebih sadar pada pola makan dan pola aktifitasnya; (6) Melatih anak untuk aktif dalam mengupayakan status kesehatan yang lebih baik secara mandiri; (7) Menjalin kerjasama antara anak dan orang tua. Berdasarkan kelebihan-kelebihan tersebut, penggunaan media Diary TERATAS yang digunakan selama 30 hari mampu mengubah perilaku konsumsi energi dan aktifitas fisik. Hal ini dapat dilihat berdasarkan selisih antara jumlah asupan energi dengan jumlah pengeluaran energi yang menurun, dari nilai pre-test ke nilai post-test. Jangka waktu pengisian Diary TERATAS selama 30 hari ini akan menjadi sebuah kebiasaan dan akhirnya berubah menjadi perilaku yang sesuai dengan arahan dari Diary TERATAS yaitu terbentuk perilaku penanganan obesitas. Menurut penelitian Lally P (2009) dimana lama waktu yang digunakan dalam merubah perilaku manusia adalah 18-254 hari. Dalam penelitian ini, waktu yang digunakan dalam melihat peningkatan perilaku gizi adalah 30 hari. Sehingga lama waktu yang digunakan dalam penelitian ini sudah sesuai dengan penelitian Lally P
karena di antara 18-254 hari. Perubahan perilaku ini diwujudkan dengan upaya menyeimbangkan antara jumlah energi yang masuk dan energi yang keluar. SIMPULAN DAN SARAN
Terdapat perubahan perilaku gizi antara sebelum penelitian (pretest) dengan setelah penelitian (posttest) yang ditandai dengan penurunan mean (rata-rata) selisih antara jumlah asupan energi dengan jumlah pengeluaran energi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian media Diary TERATAS (Terapi Anak Obesitas) berpengaruh dalam perubahan perilaku gizi siswa sekolah dasar. Sehingga media Diary TERATAS dapat digunakan sebagai upaya pendidikan gizi dalam mencegah dan mengatasi obesitas pada siswa sekolah dasar. UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami tunjukkan kepada Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan, Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Dosen Pembimbing. Atas terlaksananya kegiatan penelitian dengan lancar, maka peneliti mengucapkan terima kasih kepada kepala sekolah, guru dan karyawan di SD Islam Al-Azhar 14 Semarang, atas dukungan dan kerjasamanya. Terimakasih juga peneliti sampaikan kepada siswa yang bersedia berpartisipasi sebagai subjek penelitian dan pihak-pihak lain yang telah membantu jalannya penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA ACYS. (2012). Youth Obesity and Overweight in Australia. Retrieved from http://www.acys.info/facts/obesity/FTF_Ob esity_briefing.pdf>
174
Destya Sekar Ayu dan Oktia Woro Kasmini Handayani / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
Anam, MS. (2010). Pengaruh Intervensi Diet dan Olahraga terhadap Indeks Massa Tubuh, Kesegaran Jasmani, hsCRP dan Profil Lipid pada Anak Obesitas. Semarang: Universitas Diponegoro Semarang. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (2010). Riset Kesehatan Dasar 2010. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI. ------------------. (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI. Bastian, I. (2006). Akuntansi Pendidikan. Jakarta: Erlangga. Budiyati. (2011). Analisis Faktor Penyebab Obesitas Pada Anak Usia Sekolah di SD Islam AlAzhar 14 Kota Semarang. Jakarta: Universitas Indonesia. Ch, M. Udiani. (2000). Hidup Sehat dengan Akal Sehat. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. Dinkes. (2004). Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2004. Semarang: Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Donnelly, J. E., Greene, J. L., Sullivan, D. K., Washburn, Schmelzle, Ryan, J.J., Gibson, C. A., DuBose, K., Smith, B. K., Matthew S, M., Jacobsen, D. J., A., R., H., K. & Williams, S. L. (2009) Physical Activity Across the Curriculum (PAAC): a randomized controlled trial to promote physical activity and diminish overweight and obesity in elementary school children. Preventive Medicine, 49 (4), 336341. Fung, C., Stefan Kuhle, Connie Lu, Megan Purcell, Marg Schwartz, Kate Storey & Veugelers, P. J. (2012) From “best practice” to “next practice” : the effectiveness of school-based health promotion in improving healthy eating and physical activity and preventing childhood obesity. International Journal of Behavioral Nutrition and Physical Activity 2012, 9, 27.
Kementerian Kesehatan RI. (2012). Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kegemukan dan Obesitas pada Anak Sekolah. Jakarta: Kemenkes RI. Krolner, R., Jorgensen, T. S., Aarestrup, A. K., Christiansen, A. H., Christiansen, A. M. & Due, P. (2012) The Boost study: design of a school- and community-based randomized trial to promote fruit and vegetable consumption among teenagers. BMC Public Health 12 , 191, 1-25. Lally P et al. (2009). How are habits formed: Modelling habit formation in the real world. European Journal of Social Psychology, 40, 998-1009. Machfoedz Ircham, Eko Suryani. (2009). Pendidikan Kesehatan Bagian dari Promosi Kesehatan, Yogyakarta: Fitramaya. Notoatmodjo, S. (2003). Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. ------------------. (2005). Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta. ------------------. (2007). Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta. Sartika, R.A.D. (2011). Faktor Risiko Obesitas Pada Anak 5-15 Tahun Di Indonesia, MAKARA KESEHATAN, 15, 37-43. Sulistyoningsih, Hariyani. (2011). Gizi untuk Kesehatan Ibu dan Anak. Yogyakarta: Graha Ilmu. Thasim, S., Syam, A. & Najamuddin, U. (2013). Pengaruh Edukasi Gizi terhadap Perubahan Pengetahuan dan Asupan Zat Gizi Pada Anak Gizi Lebih Di SDN Sudirman I Makassar Tahun 2013. Makassar: FKM UNHAS. WHO. (2012). Population-based Approaches to Childhood Obesity Prevention. Retrieved from http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/80 147/1/9789241503273_eng.pdf.
Hidayati, Antina. Nevi. (2009). Obesitas pada Anak, Pentingnya Penanganan Secara Multifaktorial. Retrieved from http://doktersenyum.blogspot.com.
175