LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL
KAJIAN IDENTITAS KOTA DALAM HUBUNGAN DENGAN TINGKAT KEBUTUHAN DAN KUALITAS LINGKUNGAN Tahun ke 1 dari rencana 2 tahun
DR. A M A R, ST., MT. NIDN. 0014076808 AZIZ BUDIANTA., S.Si., MT. NIDN 0003047002
UNIVERSITAS TADULAKO November 2015
2
3
RINGKASAN
Identitas kota terbentuk dari pemahaman dan pemaknaan image tentang sesuatu yang ada atau pernah ada/melekat pada kota atau pengenalan obyek-obyek fisik maupun obyek non fisik yang terbentuk dari waktu ke waktu. Identitas sebuah kota adalah salah satu tujuan yang esensial untuk memperbaiki kondisi lingkungan pada masa akan datang. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan identitas Kota Donggala berdasarkan aspek-aspek pembentuk identitas kota yang terintegrasi sebagai gambaran keuninkan dan ciri khas yang dimilikinya, serta melihat hubungannya dengan pningkatan kualitas lingkungan. Studi ini menekankan pada desain penelitian deskriptif dan ekplanatif (descriptive and explanative research) melalui pendekatan kualitatif dan kuantitatif yang dilaksanakan dengan menggunakan metode studi kasus (case study) yakni memberikan gambaran secara menyeluruh tentang latar belakang, sifat-sifat, serta karakter-karakter yang khas dari kasus untuk dijadikan suatu hal yang bersifat umum. Penelitian dilaksanakan di kota Donggala dengan unit analisis adalah warga kota Donggala yang memiliki pemahaman dan pengetahuan yang baik tentang kota Donggala, terutama warga yang telah lama atau turun temurun berdomisili di kota tersebut. Rencana penelitian terbagi atas dua tahap kegiatan, yaitu rencana kegiatan penelitian tahun pertama dan tahun kedua dengan uraian sebagai berikut : Rencana Kegiatan Penelitian Tahun Pertama; melakukan kajian terhadap kronologis perkembangan Kota Donggala sebagai gambaran komprehensif dan pencerminan yang melatarbelakangi pengungkapan jati diri atau identitasnya sebagai dasar orientasi terhadap perencanaan dan pengembangannya melalui pendekatan analisis deskriptif. Serta mengemukakan aspek-aspek pembentuk identitas kota yang terintegrasi sebagai gambaran keunikan dan ciri khas yang dimiliki dalam pengembangan dasar teori pembentukan identitas suatu kota. Rencana Kegiatan Penelitian Tahun Kedua; melakukan kajian tentang identitas kota Donggala dalam hubungannya dengan tingkat kebutuhan dan kualitas lingkungan perkotaan melalui pendekatan analisis korelasi untuk melihat gambaran keterkaitan dan signifikansi variable-variabel tersebut dalam mendukung arah pengembangan kota Donggala yang lebih kondusif, berkearifan lokal, lestari dan berkelanjutan.
4
PRAKATA
Puji syukur senantiasa dikhaturkan keharibaan Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayat-Nya sehingga penulisan laporan penelitian yang berjudul : Kajian Identitas Kota Dalam Hubungannya Dengan Tingkat Kebutuhan dan Kualitas Lingkungan ini dapat tersusun dan terselesaikan dengan baik. Secara akademik penelitian ini merupakan tanggung jawab penuh tim peneliti. Namun tim peneliti menyadari bahwa penulisan laporan ini dapat tersusun berkat dukungan dan keterlibatan banyak pihak. Mereka memberikan bantuan, baik berupa moril maupun bantuan materiil yang tidak bisa terhitung nilainya. Oleh karena itu, tim peneliti menyampaikan ucapan terima kasih sedalam-dalamnya dan penghargaan yang setinggitingginya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan sumbangsih pemikiran.Semoga partisipasi dan sumbangsih semua pihak ini menjadi amal baik yang mendapatkan ganjaran dari Allah SWT. Selain itu, tim peneliti menyadari pula bahwasanya penelitian ini tidak luput dari kekhilafan dan masih jauh dari kesempurnaan, olehnya tim peneliti mengaharapkan masukan dan saran-saran yang konstruktif demi penyempurnaan penelitian ini.
Palu, 10 November 2015
Tim Peneliti
5
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN SAMPUL HALAMAN PENGESAHAN RINGKASAN PRAKATA DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN BAB I.
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Rumusan Masalah 1.3. Urgensi Penelitian
1 2 3 4 5 7 8 9 10 10 11 14
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemaknaan Identitas Kota 2.2. Kota dan Pembentukan Identitasnya 2.3. Kebutuhan Warga Kota 2.4. Kualitas Linkungan Kota
16 16 18 21 25
BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 3.1. Tujuan Penelitian 3.2. Manfaat Penelitian
32 32 32
BAB IV. METODE PENELITIAN 4.1. Jenis dan Desain Penelitian 4.2. Lingkup dan Lokasi Penelitian 4.3. Populasi dan Sampel 4.4. Jenis dan Sumber Data 4.5. Teknik Pengumpulan Data 4.6. Hipotesis Penelitian 4.7. Validitas dan Realibilitas Data 4.8. Teknik Analisis Data 4.9. Bagan Alir Penelitian
34 34 34 35 35 36 37 37 38 42
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kronologis Perkembangan Kota Donggala 5.2. Deskriptif Profil Responden 5.3. Uji Validitas dan Realibilitas Instrumen Kuesioner 5.4. Analisis Deskriptif Pengungkapan Identitas Kota Donggala
44 44 61 66 68
6
BAB VI. PENUTUP 6.1. Kesimpulan 6.2. Saran dan Rekomendasi
82 82 84
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN Lembar Kuesioner Penelitian Foto-Foto Kondisi Eksisiting Kota Donggala Dengan Berbagai Potensi dan Keunikan yang Dimilikinya
85 89 89 94
7
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1
Profil Usia Responden di Kota Donggala
62
2
Profil Pendidikan Responden di Kota Donggala
63
3
Profil Pekerjaan Responden di Kota Donggala
64
4
Profil Status Domisili dan Asal Responden di Kota Donggala
65
5
Uji Validitas Kuesioner Pengungkapan Identitas Kota
67
6
Reliability Statistic Kuesioner Pengungkapan Identitas Kota
67
7
Tanggapan Responden Terhadap Gambaran Aspek Geografis Dalam Pengungkapan Identitas Kota Donggala
71
Tanggapan Responden Terhadap Gambaran Aspek Historis Dalam Pengungkapan Identitas Kota Donggala
73
Tanggapan Responden Terhadap Gambaran Aspek Aksesoris Dalam Pengungkapan Identitas Kota Donggala
76
Tanggapan Responden Terhadap Gambaran Aspek Humanis Dalam Pengungkapan Identitas Kota Donggala
78
Tanggapan Responden Terhadap Gambaran Aspek Strategis Dalam Pengungkapan Identitas Kota Donggala
80
8
9
10
11
8
DAFTAR GAMBAR
Nomor 1
2
Halaman Piramida Hirarki Kebutuhan Manusia Menurut Teori Maslow
23
Bagan Alir Kegiatan Penelitian Tahun Pertama dan Kedua
43
9
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1
Lembar Kuesioner Penelitian
89
2
Foto-Foto Kondisi Eksisting Kota Donggala Dengan Berbagai Potensi dan Keunikan Yang Dimilikinya
94
10
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Setiap kota memiliki jati diri atau cirinya masing-masing antara masyarakat dan
lingkungan (fisik) kotanya. Kebudayaan masyarakatnyalah yang menjadi jiwa dan karakter kota itu, serta aspek lingkungan (fisik) akan menjadi raganya. Keduanya bagaikan sekeping mata uang dengan dua sisinya. Apabila karakter sebuah kota kuat, maka masyarakat pendatang biasanya akan lebur dalam jati diri kota yang dituju. Pengaruh dari luar akan sulit masuk, bahkan kota akan mempengaruhi daerah sekitarnya. Kemampuan kota mempertahankan karakter dan identitasnya, bahkan mempengaruhi daerah dan kota sekitarnya disebut memiliki local genius. Oleh karena itu, membangun kota (city) pada dasarnya membangun (jiwa) masyarakatnya. Apabila jiwa masyarakatnya rapuh maka kota itu lambat laun akan rapuh pula dan demikian pula sebaliknya (Hariyono, 2007). Perkembangan suatu kota tidak akan pernah lepas dari identitasnya, untuk itu amatlah penting sebagai paradigma kota itu sendiri. Tentunya jika berkunjung kesuatu tempat atau kota pastinya akan mencari apa yang menjadi ciri khas dari tempat yang dikunjungi. Kota harus bisa memberikan kenyamanan bagi yang ingin tinggal ataupun yang datang dengan tujuan mencari nafkah atau sekedar berwisata. Kota harus bisa memberikan apa yang dibutuhkan oleh warganya (citizen) dan juga dapat memberikan keramahan bagi siapapun, termasuk lingkungannya (Dany, 2007). Pembahasan tentang identitas kota telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya, namun penelitian-penelitian tersebut pada dasarnya lebih banyak menitiberatkan pada pengungkapan obyek-obyek atau elemen-elemen fisik kota yang memiliki nilai-nilai historis dan keunikan secara plural, seperti bangunan-bangunan, monumen-monumen atau tempat-tempat, yang dijadikan simbol atau landmark dari kota tersebut sebagai identitasnya. Sebut saja Monas, Istana Merdeka, Mesjid Istiqlal, Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dan beberapa obyek fisik lainnya dikenal sebagai identitas kota Jakarta; Gedung Sate, Gedung Konfrensi Asia Afrika dan Kawasan Braga sebagai identitas kota Bandung; Keraton, Pura Pakualaman, Kawasan Malioboro, dan Kota Gede
11
sebagai identitas kota Yogyakarta atau Lapangan Karebosi, Benteng Rotterdam dan Pantai Losari sebagai identitas kota Makassar (Tjahyoko, 2008). Fenomena seperti ini mungkin ada benarnya, namun dengan demikian di suatu kota nantinya akan ditemukan banyak identitas yang melekat padanya yang sesungguhnya hanyalah penanda tempat kota tersebut. Selain itu, kecenderungan pengungkapan identitas kota yang lebih menekankan pada elemen-elemen fisik dikhawatirkan hanya memberikan pencitraan (image) terhadap simbolisasi dan visualisasi wajah kota, namun belum dapat memberikan nilai manfaat secara positif kepada kehidupan warga kota, terutama terkait dengan pemenuhan kebutuhan maupun perbaikan kualitas lingkungannya, sehingga lambat laun kehidupan kotanya akan semakin rapuh dan terdegredasi. Untuk mengantisipasi agar kecenderungan pengungkapan fenomena identitas kota seperti itu tidak berlanjut, perlu kiranya dipelajari dan ditelusuri pemaknaan identitas suatu kota berdasarkan tatanan dan fungsi kehidupan kota secara lebih terintegrasi yang di dalamnya merupakan akumulasi dari nilai-nilai sosio-kultural warga kota sebagai ruh dan jati diri kota, serta elemen-elemen fisik lingkungan sebagai wadahnya. Hal ini bertujuan agar identitas suatu kota benar-benar dapat dijiwai dan dirasakan manfaatnya oleh warga kota maupun warga pendatang secara arif dan berkelanjutan, serta menjadikannya sebagai suatu kebanggaan dan rasa memiliki terhadap kota tersebut (sanse of place). 1.2.
Perumusan Masalah Kota-kota pada dasarnya mampu menciptakan keunikan atau ciri khas seperti
pusat bisnis, budaya, seni, ataupun ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), yang diolah berdasar karakter atau identitas menonjol yang sejak semula telah dimiliki. Banyak kota akhirnya menjadi masyhur, karena memang memiliki jati diri dan identitas khusus yang dimilikinya, yang dibangun dari rangkaian sejarah yang lama, dan bukan karena sekedar akibat merek tempelan yang asal dilekatkan saja di belakang nama kota sebagai semacam sebuah slogan kosong belaka, dimana bahkan untuk itu tak terdapat partisipasi warga kotanya (Abiyoso, 2007). Perkembangan kota-kota di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir justru mempunyai kecenderungan menghilangkan ciri “identitas”-nya, sehingga kota-kota tersebut kehilangan karakter spesifiknya yang memunculkan “ketunggalrupaan” bentuk
12
dan arsitektur kota (Budiharjo,1997). Senada dengan pendapat Budiarjo, Wikantioyoso (2007) juga menyatakan bahwa kota-kota di Indonesia saat ini telah kehilangan jatidiri atau identitas aslinya dikarenakan semakin menjamurnya design instan sebagai dampak globalisasi, sehingga bentuk arsitektur bangunan atau tata kawasan terasa ada kemiripan antara kota yang satu dan lainnya. Akibatnya masyarakat kehilangan pegangan untuk mengenali lingkungannya (Raksadjaja, 1999). Donggala sebagai salah satu kota tertua di Propinsi Sulawesi Tengah merupakan kota yang berkembang dari cikal bakal kota kerajaan dan kolonial Belanda memiliki nilainilai historis, nilai-nilai sosial budaya dan bentukan-bentukan fisik arsitektur (tata lingkungan dan bangunan) yang dapat menjadi bukti pernah populer suatu bentuk tatanan dan fungsi kehidupan kota dengan mahzab tertentu yang dapat diangkat sebagai identitas spesifik Kota Donggala. Secara umum dapat dikemukakan beberapa fenomena yang terkait dengan kondisi faktual terhadap fungsi dan tatanan kehidupan kota Donggala sebagai suatu keunikan dan karakteristik dalam pembentuk identitasnya yang menjadi fokus penelitian, antara lain : 1.
Kota Donggala sebagai kota kerajaan dan kolonial Belanda yang sekaligus berperan sebagai kota pelabuhan tertua dan tersohor di dunia pelayaran, mempunyai perkembangan yang sangat penting dalam perjalanan dan eksistensinya, serta memberikan nuansa tersendiri terhadap tatanan ruang dan visualisasi wajah kota;
2.
Kota Donggala memiliki karakter fisik yang spesifik dengan bentang alam berupa topografi pegunungan dan garis pantai yang berada disekitar Kota Donggala, serta aliran Sungai Donggala yang membelah Kota Donggala. Kondisi fisik ini turut berperan dalam proses pembentukan kota (city form) dan lingkungannya;
3.
Keberadaan Pelabuhan Donggala dan aktivitasnya memberikan corak tersendiri terhadap pola kehidupan warga kota sebagai salah satu potensi dan keunikan dalam pembentuk identitas kota Donggala;
4.
Kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat yang beragam juga turut memberikan nilai-nilai dan norma-norma tersendiri terhadap apresiasi dan aspirasi warga kota dalam pelaksanaan pembangunan di Kota Donggala. Meskipun terjadi banyak perubahan di Kota Donggala, namun jejak-jejak
perkembangan masa lalunya masih bisa dijumpai. Tatanan kehidupan, bentuk dan struktur kota di kawasan pusat kota, banyak dipengaruhi oleh konsep kota pemerintahan
13
kerajaan Banawa dan kolonial Belanda yang sudah mulai muncul sejak pembentukan awal kota pada pertengahan abad ke-17. Kondisi dualistis wajah kota (kerajaan-kolonial) dan terbentuknya sektor formal dan informal, merupakan transformasi dari masa lalu yang berakar dialektika antara penetrasi kolonial dan resistensi pribumi. Selain itu, sistem sosial budaya dan politik sangat berpengaruh, seperti organisasi sosial dan kultur masyarkat yang berlandaskan pada Hukum Adat Kota Pitunggota di daerah pedalaman, dalam memberikan khazanah perkembangan kehidupan kota Donggala, meskipun telah mengalami modifikasi di daerah pesisir setelah berkembangnya pelabuhan (Junarti, 2001). Fenomena ini semakin menarik untuk dikaji dengan melihat untaian sejarah perkembangan Donggala sebagai kota pemerintahan Kerajaan Banawa dan kolonial Belanda yang sekaligus berperan sebagai Kota Pelabuhan yang pernah tersohor di dalam peta dunia pelayaran. Akumulasi dari transformasi jalinan spasial masa lalu sampai sekarang tersebutlah yang membentuk dan memberikan karakter yang khas terhadap fungsi kehidupan kota Donggala dalam proses pemaknaan identitasnya. Dalam kaitannya dengan pemaknaan identitas suatu kota, tuntutan terhadap pemenuhan tingkat kebutuhan warga kota dan peningkatan kualitas lingkungannya akan menjadi salah satu faktor penentu yang perlu untuk dipertimbangkan. Hal ini dikarenakan tingkat kebutuhan dan kualitas lingkungan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari nilai-nilai kearifan lokal setempat sebagai cerminan jiwa dan raga suatu kota yang dapat dilihat dari proses perkembangan kehidupan kota tersebut. Atau dengan kata lain, proses perkembangan kehidupan suatu kota dapat dipandang sebagai sekumpulan data yang dapat dimanfaatkan sebagai titik awal dari setiap langkah pemaknaan identitas kota. Gambaran proses perkembangan kehidupan kota yang tepat akan membawa kepada konsep pemaknaan identitas kota yang dapat diterima masyarakat dan lingkungannya, sementara dalam penyusunan konsep pengembangan tersebut partisipasi masyarakat akan lebih intensif. Bertitik tolak dari pokok-pokok pikiran latar belakang dan permasalahan yang telah dikemukakan, maka studi ini diarakan untuk menjawab dan mengungkapkan pemaknaan identitas kota Donggala sesuai keunikan dan karakteristik kehidupan kotanya berdasarkan kondisi faktual terhadap integrasi elemen-elemen identitas kota yang
14
dirumuskan pada kerangka konseptual, serta melihat bagaimana hubungannya dengan pemenuhan tingkat kebutuhan warga dan kualitas lingkungan kota tersebut. Untuk lebih mengarahkan penelitian yang akan dilaksanakan, maka latar belakang dan permasalahan yang telah dikemukakan sebelumnya akan dirumuskan dalam bentuk pertanyaan penelitian yang menjadi panduan (guideline) dan dasar kajian dalam penelitian ini, yaitu : a.
Bagaimana kronologis perkembangan kota Donggala sebagai gambaran komprehensif
dan
pencerminan
yang
melatarbelakangi
pengungkapan
identitasnya ? b.
Bagaimana pengungkapan identitas kota Donggala berdasarkan aspek-aspek pembentuk identitas kota yang terintegrasi sebagai gambaran keunikan dan ciri khas yang dimilikinya ?
c.
Bagaimana hubungan tingkat kebutuhan warga kota dengan pengungkapan identitas kota Donggala ?
d.
Bagaimana hubungan kualitas lingkungan kota dengan pengungkapan identitas kota Donggala ?
e.
Bagaimana hubungan tingkat kebutuhan warga kota dan kualitas lingkungannya secara bersama-sama dengan pengungkapan identitas kota Donggala ?
1.3.
Urgensi Penelitian Penelitian tentang pemaknaan identitas kota merupakan salah satu cara untuk
melihat fenomena sebuah kota, yang dapat dijelaskan melalui perkembangan fungsi kehidupan kota sejak awal terbentuknya sampai sekarang dalam mengungkapkan watak, karakter dan jati dirinya. Penelitian ini penting dilakukan, karena melalui perkembangan setiap tahapan fungsi kehidupan kota, maka gambaran faktual suatu kota beserta keunikan dan karakteristik yang dimilikinya dapat dijelaskan secara lebih terstruktur sesuai nilainilai historis dan sosio-kultural masyarakat berdasarkan kebutuhan hidup warga kota dan lingkungannya. Dengan demikian, nantinya dapat diungkapkan pemaknaan identitas kota yang lebih mengakar pada budaya masyarakatnya dan bukan hanya identitas yang bersifat artefak dan simbolik belaka. Melalui penelitian ini juga akan ditelusuri konsep identitas suatu kota secara terintergrasi sesuai keunikan dan karakteristik kehidupan fungsi kotanya berdasarkan pertimbangan kondisi faktual dan nilai-nilai lokal setempat serta memadukannya dengan
15
teori dan penelitian terkait sebelumnya. Dengan demikian konsep tersebut dapat dirumuskan sebagai suatu bentuk kerangka konseptual dalam mengungkapkan dan menjelaskan identitas kota secara komprehensif.
16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Pemaknaan Identitas Kota Akar kata identitas yaitu ident berasal dari bahasa latin idem yang bermakna
“sama” atau “identik”. Identitas yang dalam bahasa inggerisnya identity sering disandingkan dengan nama atau karakter yang penting untuk menidentifikasi seseorang atau sesuatu. Identitas juga dapat diartikan sebagai karakteristik tertentu dari seseorang yang dikenal sebagai keunikan yang dimilikinya (Encarta Dictionary, 2007). Dalam beberapa kamus, baik kamus berbahasa asing maupun kamus besar Bahasa Indonesia, kata identitas diartikan dengan ciri-ciri, tanda-tanda, atau jati diri. Menurut Tjahyoko (2008) identitas adalah ciri-ciri, tanda-tanda, jati diri yang melekat pada seseorang atau sesuatu yang bisa membedakan dengan yang lain. Trisutomo (2004) memberi batasan tentang identitas sebagai berikut “Identity in general term means something that specific or unique. The synonyms of identity are distinctiveness, individual, personality or character” (Identitas secara terminologi umum dapat diartikan sebagai sesuatu yang spesifik dan unik. Padanan kata identitas adalah sesuatu yang memiliki perbedaan yang bersifat individu, pribadi atau karakter). Pemahaman lain tentang identitas dikemukakan oleh Charles Correa (dalam Budihardjo, 1997) bahwa : “Identity is a process, not a found object which can be fabricated”. Pendapat Correa dalam tulisannya “Quest for Identity” ini lebih menitiberatkan kepada bentuk identitas yang terkait dengan bidang perancangan arsitektur, dimana setiap upaya pintas untuk memproduksi suatu bentuk identitas tertentu dalam arsitektur akan berdampak negatif bagi perkembangan arsitektur dan bila identitas itu dibakukan dalam wujud fisik yang kaku maka akan hilanglah status arsitektur sebagai suatu disiplin ilmu dan hanya layak menyandang predikat sebagai sekolah tukang. Senada dengan pendapat Correa tersebut, Budihardjo (1997) juga menjelaskan bahwa seorang pakar mengatakan “identity is a moving target”, identitas adalah target yang selalu berubah sejalan dengan perubahan waktu dan masyarakatnya, sebagai suatu proses yang tidak dapat difabrikasi. Identitas pada masyarakat tradisional lebih mewujud sebagai cerminan kemampuan kreatif masyarakat dalam mengejawantahkan perilaku
17
budayanya, dan bukan sekedar kekhasan produk atau artefak budaya yang identik sepanjang waktu. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, maka dapatlah dijelaskan bahwa pemahaman dan pengertian identitas sangatlah tergantung terhadap objek dan subjek yang akan diamati berdasarkan ciri-ciri, tanda-tanda atau jati diri yang dimiliki sebagai suatu karakter dan keunikan yang bisa membedakan dengan yang lain. Selain itu, identitas juga dapat berubah maupun permanen (berkelanjutan) bentuknya sesuai dengan perkembangan waktu, tempat, tujuan dan kebutuhannya. Selanjutnya, dalam memberikan batasan mengenai pengertian kota para ahli perkotaan memberikan definisi yang berbeda-beda (Daljoeni 1998). Perbedaan ini dapat dilihat dari masing-masing negara atas fungsi dan peranan suatu wilayah yang didasarkan pada kondisi masa lampau yang dilihat dari sudut pandang sejarah. Munculnya kota dalam suatu negara (state) dan bangsa (nation) dapat dilihat juga dari perbedaan antara city dan town. Di Benua Amerika pengertian tersebut punya makna yang berbeda. City merupakan kota sebagai pusat pemerintahan, ekonomi, organisasi sosial, dan pusat hubungan komunikasi sebagai kelompok masyarakat yang berlainan suku, agama, dan ras. Town diartikan sebagai kota kecil yang di dalamnya terdapat kegiatan terbatas sebagai pusat keagamaan yang telah berakar di desa sebagai tempat asal pendatang (Masri, 2003). Kota, menurut AS Hornby (1987) dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, dapat didefinisikan sebagai kumpulan tempat tinggal dan lainnya dengan ukuran lebih besar dibandingkan desa. Kota mengandung empat hal utama (Freeman, 1974), yaitu : (a) menyediakan fasilitas perdagangan bagi penduduk; (b) menyediakan lahan usaha bagi penduduk; (c) membuka kemungkinan munculnya usaha jasa, dan (d) mempunyai kegiatan industri. Masih banyak lagi batasan-batasan pengertian tentang kota yang telah dikemukakan oleh peneliti dan pakar-pakar perkotaan, namun pengertian kota yang saat ini di gunakan, khusunya di Indonesia, lebih mengacu pada Undang-Undang Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007 (UUPR, 2007) yang mendefinisikan bahwa kota adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Berdasarkan beberapa pengertian tentang identitas dan kota di atas, maka dapat
18
disimpulkan bahwa pengertian identitas kota adalah gambaran keunikan suatu kota sebagai pusat distribusi pelayanan jasa pemerintahan, sosial dan ekonomi yang mampu menampilkan watak, ciri khas, jati diri, dan karakteristik kebudayaan, sehingga mudah dikenal serta dapat menumbuhkan rasa cinta dan memperkuat rasa kebanggaan terhadap kota yang ditinggali dan ditempati, baik dalam bentuk yang berkelanjutan (sustainable) maupun yang dapat berubah sesuai perkembangan waktu, tempat, tujuan dan kebutuhannya. 2.2.
Kota dan Pembentukan Identitasnya Kota bukanlah lingkungan binaan yang dibangun dalam waktu singkat, tetapi
dibentuk dalam waktu yang panjang dan merupakan akumulasi setiap tahap perkembangan sebelumnya. Setiap lapis tahapan tersebut merupakan keputusan banyak pihak dan dipengaruhi oleh berbagai macam faktor (Alvares, 2002). Seperti yang dikatakan oleh Rossi (1982), bahwa kota adalah bentukan fisik buatan manusia (urban artefact) yang kolektif dan dibangun dalam waktu lama dan melalui prosesnya yang mengakar dalam budaya masyarakatnya. Sebuah kota terbentuk dan berkembang secara bertahap sesuai dengan peningkatan kegiatan manusia di dalamnya, dimana manusia sebagai pelaku kegiatan saling berinteraksi, baik sesama maupun dengan lingkungan alam, yang akan mempengaruhi pada tingkah laku manusia dalam menjalani kehidupannya. Kota terbentuk sebagai fungsi dari aktifitas manusia (fungsi inhabitasi) yang luas, kompleks dan terakumulasi dari waktu ke waktu. Jadi, kota tidak tumbuh dalam bentuk fisik saja, tapi tumbuh bersamaan dengan masyarakatnya (Spreiregen, 1965). Kota secara umum dapat diartikan sebagai tempat bagi kehidupan perkotaan, yaitu kehidupan dimana lingkungan alam didominasi oleh lingkungan buatan manusia. Fisik kota merupakan hasil aksi dinamika dan kekuatan yang lahir akibat kebutuhan dan tuntutan sesaat kehidupan perkotaan. Totalitas fisik kota adalah bentuk kolektif yang merupakan akumulasi komponen selama periode tertentu, yang terdiri : jalan, bangunan, sistem komunikasi, utilitas, tempat kerja, rekreasi dan berbagai kegiatan lainnya (Spreiregen, 1965). Kota secara fisik merupakan sistem yang terdiri dari daerah kegiatan, ruang, massa dan sistem komunikasi yang dari waktu ke waktu cenderung selalu berubah. Kota dapat berupa konsentrasi elemen-elemen fisik spasial yang intensitas kegiatan dan pembangunan fisik kota tumbuh dan berkembang dari bagian pusat kota
19
(sebagai bagian kota yang tertua) ke bagian pinggiran. Hal ini menunjukkan bahwa semakin ke arah bagian pusat kota semakin tinggi intensitasnya dan semakin beragam pula fungsi-fungsi kegiatannya. Karakter bentuk fisik kota dapat pula dikenali melalui elemen dasar lingkungan, bentuk ruang dan kualitas nilai suatu tempat. Pemahaman makna tentang nilai-nilai kultural, keunikan-keunikan, dan karakteristik suatu tempat akan membentuk suatu identity. Identitas akan memberikan "arti" sebagai pembentukan image suatu tempat (place). (Lynch,1960). Semua kota mempunyai identitas yang berbeda, baik yang positif maupun negatif. Identitas sebuah kota adalah keunikan kondisi dan karakteristik yang membedakannya dengan kota lainnya. Identitas kota adalah sebuah konsep yang kuat terhadap penciptaan citra (image) dalam pikiran seseorang yang sebelumnya tidak pernah dipahami (Fasli, 2003). Identitas kota sebenarnya tidak dapat dibangun tetapi terbentuk dengan sendirinya. Identitas kota terbentuk dari pemahaman dan pemaknaan “image” tentang sesuatu yang ada atau pernah ada/melekat pada kota atau pengenalan obyek-obyek fisik (bangunan dan elemen fisik lain) maupun obyek non fisik (aktifitas sosial) yang yang terbentuk dari waktu ke waktu. Aspek historis dan pengenalan “image” yang diitangkap oleh warga kota menjadi penting dalam pemaknaan identitas kota atau citra kawasan (Wikantiyoso, 2006). Kajian mengenai identitas kota ibarat membuka puluhan lembar halaman kisah lalu yang kemudian diperjuangkan untuk menemukan jati diri atau keunikan dan kekhasan lokal. Memang kajiannya akan membawa pada suatu masa yang sangat sederhana mengenai apa yang dimiliki oleh warga atau masyarakat lokal tersebut, namun itulah kekayaan yang sangat besar yang tidak dipunyai oleh kota lainnya (Eroldtan, 2008). Identitas suatu kota dapat berupa identitas fisik maupun identitas psikis. Identitas fisik adalah identitas kota yang dapat dilihat secara nyata (tangible) dalam bentuk fisik infrastruktur kota itu sendiri, baik berupa bangunan, lapangan, alun–laun, taman, terminal, pasar, rumah sakit, kawasan hunian, heritage, monumen dan berbagai bentuk sarana fisik lainnya yang dapat mewakili keberadaan dari kota itu sendiri. Sedangkan Identitas psikis kota dapat berarti identitas kehidupan masyarakat kota secara psikis (intangible) yang mempengaruhi wajah kota tersebut, baik berupa ritme kehidupan
20
masyarakatnya, spirit yang dimiliki masyarakat atau budaya yang hidup dalam keselarasan kota yang menjadi simbol dan corak terhadap suatu fungsi kehidupan kota, sehingga memberikan identitas tersendiri bagi kota tersebut (Tjahyoko, 2008). Bila dibandingkan kedua bentuk identitas tersebut, kiranya identitas psikis merupakan bentuk identitas yang sebenarnya lebih realistik dan aplikatif untuk dipertimbangkan dan dikedepankan sebagai wacana identitas suatu kota karena lebih mengakar pada nilai budaya, fungsi dan tatanan kehidupan masyarakat, tanpa harus mengabaikan elemen-elemen kondisi fisik lingkungan kota secara terintegrasi dan saling melengkapi. Kecenderungan pengungkapan betuk identitas suatu kota berdasarkan elemenelemen fisik (tangible) kota lebih dilandasi pada hasil penilitian dan teori yang telah dikemukakan oleh Kevin Lynch (1960) dalam karyanya “The image of the city”. Lynch telah melakukan sebuah studi terhadap apa yang diserap secara mental oleh orang-orang dan realitas fisik sebuah kota. Dalam risetnya, Lynch menemukan betapa pentingnya citra mental itu karena citra yang jelas akan memberikan banyak hal yang sangat penting bagi masyarakatnya, seperti kemampuan untuk berorientasi dengan mudah dan cepat disertai perasaan nyaman karena tidak merasa tersesat, identitas yang kuat terhadap suatu tempat, dan keselarasan hubungan dengan tempat-tempat yang lain. Selanjutnya, dalam beberapa tahun terakhir ini sebuah lembaga konsultasi dan pembuat ranking kota-kota dunia, Anholt-City Brands Index (2007), telah menyusun pedoman 6-“P” sebagai parameter untuk mengukur keunikan sebuah kota melalui beberapa gambaran dalam kota, yakni : a.
Gambaran tentang keberadaan sebuah kota (presence), adalah gambaran keunikan sebuah kota berdasarkan persepsi terhadap nilai-nilai historis kota dan kontribusi kota dalam konstelasi regional, nasional & internasional;
b.
Lokasi sebuah kota (place), adalah gambaran keunikan sebuah kota berdasarkan persepsi terhadap aspek fisik kota, letak dan posisi geografis sebuah kota, serta kondisi iklim dan atribut kota;
c.
Keunggulan sebuah kota (potentiality), adalah gambaran keunikan sebuah kota yang memiliki peluang dan keunggulan ekonomi yang dapat ditawarkan sebagai kontribusi nilai-nilai lokal setempat yang spesifik;
d.
Kemenarikan sebuah kota (pulse), adalah gambaran keunikan sebuah kota
21
berdasarkan spirit dan gaya hidup warga kota, berbagai kegiatan atau atraksi yang tersedia, serta aktivitas perekonomian yang menonjol yang didukung keberadaan infrastruktur kota; e.
Sifat penduduk atau masyarakatnya (people), adalah gambaran keunikan sebuah kota berdasarkan apresiasi dan inspirasi warga kota, nilai-nilai sosial ekonomil dan budaya warga kota, serta keramahan dan kehangatan warga kota terhadap orang luar;
f.
Kondisi dasar kualitas hidup kota yang bersangkutan (prerequisites), adalah gambaran keunikan sebuah kota berdasarkan ketersediaan dan akses pelayanan prasarana dan sarana kota, fasilitas akomodasi dan pendukungannya yang memadai, serta kejelasan peraturan dan kebijakan pemerintah setempat. Meskipun penjelasan tersebut tidak secara eksplisit menguraikan tentang cara
menentukan gambaran keunikan sebuah kota sebagai bentuk pemaknaan identitasnya, namun parameter yang disusun oleh oleh Anholt-City Brands Index kiranya menjadi suatu landasan yang sangat baik digunakan untuk mengukur gambaran keunikan sebuah kota dalam menentukan karakteristik identitas kota yang akan dikembangkan dan dapat memberikan pengayaan terhadap upaya pengungkapan identitas sebuah kota dengan menampilkan salah satu keunikannya. Walaupun demikian, parameter ini kiranya perlu disesuaikan dengan kondisi daerah penelitian. Oleh karena itu, parameter ini dapat dijadikan salah satu dasar pertimbangan dan landasan berpikir dalam merumuskan konsep identitas kota Donggala yang lebih terintegrasi sesuai fungsi kehidupan kotanya. 2.3.
Kebutuhan Warga Kota Kota merupakan tempat hidup dan memberikan kehidupan bagi warga kota,
karenanya suatu kota selain dituntut dapat memberikan peluang lapangan pekerjaan dan menawarkan bermacam keuntungan lebih untuk kehidupan warga kota, juga harus dapat menyediakan berbagai kebutuhan bagi kelangsungan hidup warga kota dan lingkungannya, baik menyangkut gaya hidup maupun kemudahan-kemudahan dalam penyediaan kebutuhan fasilitas pelayanan kota. Untuk menciptakan kebutuhan fasilitas kota yang tepat bagi warga penghuninya, perlu dikaji terlebih dahulu kebutuhan dasar apa yang diinginkan dan diperlukan oleh penghuni kota itu sendiri. Kebutuhan warga kota pada prinsipnya merupakan penjabaran dari hirarki kebutuhan dasar manusia sebagaimana yang telah dikemukakan oleh
22
Abraham Maslow dalam teorinya yang terkenal yaitu “teori hirarki kebutuhan Maslow” Menurut Maslow dalam As’ad (2000) bahwa ada lima tingkatan kebutuhan dasar (basic needs) manusia, yaitu : a.
Kebutuhan yang bersifat fisiologis (physiological needs); kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang amat primer karena kebutuhan ini merupakan pertahanan untuk kelangsungan hidup seseorang;
b.
Kebutuhan akan rasa aman dan tentram (safety & security needs); Kebutuhan level kedua, yakni kebutuhan akan rasa aman dan kepastian (safety and security needs) muncul dan memainkan peranan dalam bentuk mencari tempat perlindungan, membangun
kebebasan
individu
(privacy
individual),
mengusahakan
keterjaminan finansial melalui asuransi atau dana pensiun, dan sebagainya. c.
Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi (bilongingness/love needs); Manusia membutuhkan rasa diperhatikan dan dicintai, di mana seseorang mencari dan menginginkan sebuah persahabatan, menjadi bagian dari sebuah kelompok, dan yang lebih bersifat pribadi seperti mencari kekasih atau memiliki anak, hal ini adalah pengaruh setelah kebutuhan dasar dan rasa aman terpenuhi;
d.
Kebutuhan harga diri secara penuh (esteem needs); Level keempat dalam hirarki adalah kebutuhan akan penghargaan atau pengakuan. Maslow membagi level ini lebih lanjut menjadi dua tipe, yakni tipe bawah dan tipe atas. Tipe bawah meliputi kebutuhan akan penghargaan dari orang lain, status, perhatian, reputasi, kebanggaan diri, dan kemashyuran. Tipe atas terdiri atas penghargaan oleh diri sendiri, kebebasan, kecakapan, keterampilan, dan kemampuan khusus (spesialisasi). Apa yang membedakan kedua tipe adalah sumber dari rasa harga diri yang diperoleh. Pada self esteem tipe bawah, rasa harga diri dan pengakuan diberikan oleh orang lain. Akibatnya rasa harga diri hanya muncul selama orang lain
mengatakan
demikian,
dan
hilang
saat
orang
mengabaikannya.
Situasi tersebut tidak akan terjadi pada self esteem tipe atas. Pada tingkat ini perasaan berharga diperoleh secara mandiri dan tidak tergantung kepada penilaian orang lain. Dengan lain kata, sekali anda bisa menghargai diri anda sendiri sebagai apa adanya, anda akan tetap berdiri tegak, bahkan ketika orang lain mencampakkan anda; e.
Kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization needs). Ketika kebutuhan akan
23
harga diri telah terpenuhi, maka kebutuhan lainya yang sekarang menduduki tingkat teratas adalah aktualisasi diri. Inilah puncak sekaligus fokus perhatian Maslow dalam mengamati hirarki kebutuhan, di mana manusia membutuhkan pengembangan diri dan menyalurkan kapasitas kemampuannya. Terdapat beberapa istilah untuk menggambarkan level ini, antara lain growth motivation, being needs, dan self actualization. Maslow mengemukakan bahwa setiap individu memiliki kebutuhan-kebutuhan yang tersusun secara hirarki dari tingkat yang paling mendasar sampai pada tingkat yang paling tinggi. Setiap kali kebutuhan pada tingkatan paling bawah terpenuhi maka akan muncul kebutuhan lain yang lebih tinggi. Pada tingkatan paling bawah, dicantumkan berbagai kebutuhan fisiologis (physiological needs). Kemudian pada tingkatan lebih tinggi dicantumkan kebutuhan akan rasa aman dan kepastian (safety and security needs). Lalu pada tingkatan berikutnya adalah berbagai kebutuhan akan cinta dan hubungan antar manusia (love and belonging needs). Kemudian kebutuhan akan penghargaan dan pengakuan (esteem needs), serta pada tingkatan yang paling tinggi dicantumkan kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri (self actualization needs).
Gambar 1. Piramida Hirarki Kebutuhan Manusia Menurut Teori Maslow Maslow sendiri dalam tahun-tahun terakhirnya merevisi teorinya tersebut (Stephen R.Covey dalam bukunya First Things First). Katanya, Maslow mengakui bahwa aktualisasi diri bukanlah kebutuhan tertinggi namun masih ada lagi yang lebih tinggi yaitu self transcendence yaitu hidup itu mempunyai suatu tujuan yang lebih tinggi dari dirinya. Mungkin yang dimaksud Maslow adalah kebutuhan mencapai tujuan hidup beragama, atau saat ini lebih dikenal sebagai kebutuhan spiritual (spiritual need). Selanjutnya, Hildebrand Frey (1999) dalam karyanya “Designing The City, Toward a more sustainable Urban Form”, mengaitkan kebutuhan fasilitas kota dengan
24
kebutuhan dasar manusia dari hirarki Maslow, sebagai berikut : a.
Pada tingkat dasar (basic level), fasilitas kota yang disediakan adalah semua kebutuhan fisik masyarakat antara lain : tempat tinggal dan tempat kerja, pendapatan
yang
memadai,
pendidikan
dan
kursus,
transportasi
dan
memungkinkan untuk mengadakan komunikasi dengan fasilitas-fasilitas dan pelayanan-pelayanan kota; b.
Pada tingkatan kedua, hal-hal yang harus diperhatikan oleh kota adalah keselamatan (safety), keamanan (security) dan perlindungan (protection), unsur visual, fungsi, susunan dan kontrol terhadap lingkungan yang harus bebas dari polusi, kebisingan, kecelakaan, dan krimonologi;
c.
Tingkatan yang ketiga adalah menciptakan lingkungan sosial yang kondusif. Suatu tempat yang penghuninya mempunyai pertumbuhan yang baik, anak-anak mereka bisa saling mengadakan sosialisasi, mereka merasa sebagai bagian dari komunitas dan merasa memiliki terhadap lingkungannya;
d.
Tingkatan yang keempat, bahwa fasilitas kota harus memberikan kesan yang cocok (appropriate image), reputasi yang baik serta gengsi yang dapat menggambarkan penghuninya. Disamping dapat memberikan rasa percaya diri yang kuat, status dan martabat yang tinggi bagi mereka;
e.
Pada tingkat di atasanya (kelima), fasilitas kota harus dapat memberi kesempatan penghuninya untuk berkreasi sendiri, membentuk ruang pribadi yang mengekspresikan pribadi mereka. Disamping itu secara bersama mereka juga dapat menciptakan daerah dan lingkungannya sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi mereka sendiri;
f.
Tingkat yang terakhir, bahwa fasilitas kota harus berupa karya desain yang baik, sebagai tempat yang estetis, secara fisik dapat memberi kesan yang mendalam, merupakan suatu tempat budaya dan karya seni yang bermutu. Dalam sejarah perkembangan kota menunjukkan bahwa kebutuhan fasilitas kota
tersebut tidak pernah terpenuhi secara menyeluruh. Tuntutan kebutuhan kualitas hidup manusia senantiasa meningkat seiring dengan perubahan tingkat sosialnya. Semakin meningkat taraf hidup manusia semakin tinggi tuntutan kebutuhan kualitas hidupnya. Sementara itu, tingkat sosial dan taraf hidup manusia sangat ditentukan oleh eksistensi dan stabilitas aktivitas perekonominya yang dapat diperoleh melalui penciptaan peluang-
25
peluang lapangan kerja di suatu wilayah yang didasarkan pada kemampuan wilayah tersebut untuk menggali dan mengangkat ketertarikan dan keunggulan (potensi) yang dimiliki dalam orientasi pembangunannya. Berdasarkan uraian tingkatan kebutuhan dasar tersebut, maka dapatlah dirumuskan tingkatan kebutuhan warga kota sebagai bentuk kelompok variabel-variabel yang menjadi dasar pertimbangan dalam pelaksanaan penelitian ini, dengan tingkatan sebagai berikut : 1.
Kebutuhan Dasar Utama (Primer), adalah tingkat kebutuhan paling dasar bagi warga kota untuk pertahanan dan kelangsungan hidupnya dengan rasa aman, nyaman, serta mendapat jaminan kesalamatan dan perlindungan, yaitu: kebutuhan akan sandang pangan, tempat tinggal, tempat bekerja, pendidikan, dan pendapatan yang memadai, serta fasilitas-fasilitas pelayanan kota seperti transportasi, kesehatan, komunikasi dan bebas dari ancaman atau gangguan kriminal;
2.
Kebutuhan Dasar Pendukung (Sekunder), adalah bentuk kebutuhan warga kota untuk mendapatkan fasilitas kota yang memberikan kesan cocok, reputasi yang baik dan bergengsi, sehingga warga kota merasa di perhatikan, dicintai dan dihargai, serta memberi kesempatan bagi warga kota hidup bersosialisasi dengan baik dan merasa sebagai bagian dari komunitas yang memiliki kepedulian terhadap lingkungannya; Kebutuhan Dasar Pelengkap (Tersier), adalah bentuk kebutuhan warga kota untuk
mendapatkan fasilitas kota yang memberikan rasa percaya diri yang kuat dalam upaya mengembangkan diri, berkarya, dan menyalurkan kapasitas kemampuan sesuai status, martabat dan pengalaman spiritual (peak experience) yang dimiliki. 2.4.
Kualitas Lingkungan Kota Kota merupakan pusat kreativitas, budaya, dan perjuangan keras manusia. Kota,
selain merefleksikan vitalitas dan berbagai peluang umat manusia, juga melambangkan kemajuan sosial ekonomi. Kota juga merupakan tempat pemusatan atau cabang kekuatan politik dan ekonomi serta menjadi motor pembangunan dan pertumbuhan ekonomi (Inoguchi, et.al., 2003). Pembangunan yang pesat di kota-kota yang sedang berkembang sering mengacu pada kota-kota besar di negara maju, serta tunduk pada kekuasaan ekonomi kuat. Sebagian besar masyarakat umum, penghuni kota, menjadi pelengkap penyerta yang
26
terbawa arus pembangunan. Perubahan akibat pembangunan cenderung membentuk lingkungan kota yang seragam dan tidak memiliki identitas khas. Akibatnya masyarakat kehilangan pegangan untuk mengenali lingkungan. Pengenalan lingkungan yang terbatas mengakibatkan keterbatasan dalam memanfaatkan lingkungan kota (Raksadjaja, 1999). Kota yang sedang berkembang pada umumnya berusaha untuk mengembangkan dirinya dari suatu keadaan dan sifat masyarakat tradisional dengan keadaan ekonomi terbelakang, menuju ke arah keadaan yang lebih baik. Dalam hal ekonomi, ditujukan untuk mendapatkan kesejahteraan dan tingkat ekonomi yang lebih baik. Akan tetapi perhatian terhadap pembangunan ekonomi saja tidak akan memberikan jaminan untuk suatu proses pembangunan yang stabil dan berkelanjutan apabila mengabaikan aspek lain seperti lingkungan (Tjokroamidjojo, 1995). Selain itu, perkembangan kota di negara kita juga dicirikan oleh semakin berperannya masyarakat dan dunia usaha dalam mengarahkan kegiatan pembangunan perkotaan. Hal ini merupakan salah satu penyebab di samping pengaruh globalisasi, mengapa dinamika perubahan pembangunan perkotaan begitu cepat, sehingga prasarana, sarana dan pelayanan kota yang ada tidak dapat memenuhi kebutuhan. Demikian juga pemanfaatan sumber daya alam seperti air, lahan dan energi cenderung dilakukan tanpa rencana yang menyeluruh dan kurang efisien sehingga dapat mengancam kelestarian lingkuangan dan keberlanjutan pembangunan (Budihardjo, 1997). Tujuan yang ingin dicapai dengan pembangunan berkelanjutan adalah menggeser titik berat pembangunan dari hanya pembangunan ekonomi menjadi juga mencakup pembangunan sosial-budaya dan lingkungan (Keraf, 2002). Dalam konsep dasar pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan ada dua aspek penting yang menjadi perhatian utama yaitu lingkungan dan pembangunan. Oleh karena itu, pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan berarti pembangunan yang baik dari titik pandang ekologi atau lingkungan. Berwawasan lingkungan juga berarti adanya keharmonisan dalam hubungan manusia dan alam atau lebih spesifik antara manusia dan lingkungan fisiknya (Yakin, 1997). Kota memang terbentuk dari perangkat keras lingkungan fisik seperti bangunan, jalan dan infrastruktur, tetapi yang menghidupkan kota itu sendiri adalah manusia dengan segenap perilakunya. Ada hubungan erat antara kota (city) dan warga kota (citizen) yang
27
sering kali terlupakan dalam proses perkembangan kota dan peningkatan kualitas lingkungannya (Budihardjo, 1993). Pertumbuhan kota – kota berlangsung pesat karena pembangunan sarana dan prasarana di berbagai bidang serta fasilitas kota dilakukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Di satu sisi, pertumbuhan ini cukup membanggakan jika keberhasilan pembangunan diukur dari segi fisik kota, namun hal ini diharapkan juga akan membawa dampak positif bagi kualitas lingkungan kota dan masyarakat kota itu sendiri, terutama dari aspek psikisnya. Pemahaman tentang kualitas lingkungan dapat diartikan sebagai keadaan lingkungan yang dapat memberikan daya dukung yang optimal bagi kelangsungan hidup manusia di suatu wilayah. Kualitas lingkungan itu dicirikan antara lain dari suasana yang membuat orang betah/kerasan tinggal ditempatnya sendiri. Berbagai keperluan hidup terpenuhi dari kebutuhan dasar/fisik seperti makan minum, perumahan sampai kebutuhan rohani/spiritual seperti pendidikan, rasa aman, ibadah dan sebagainya (Pustekkom, 2005). Keberadaan suatu kota tidak dapat dilepaskan dari masalah-masalah lingkungan seperti keterbatasan lahan, polusi air, udara dan suara, sistem sanitasi yang buruk, dan kondisi perumahan yang tidak memadai serta masalah transportasi. Lebih lanjut, persoalan lingkungan kota juga mempunyai implikasi yang kompleks, terutama berkaitan dengan persoalan sosial ekonomi masyarakat kota. Lingkungan kota yang kurang baik dan sehat memicu berkembangnya berbagai persoalan sosial kota, baik menyangkut kriminalitas kota, persoalan psikologis penduduk kota, kemiskinan, serta konflik-konflik sosial lainnya. Selain itu, pertumbuhan kegiatan ekonomi dan pembangunan yang terpusat pada daerah perkotaan, juga memacu arus urbanisasi sehingga berpengaruh terhadap penyebaran penduduk. Dengan meningkatnya jumlah penduduk dan luas lahan yang terbatas akan berakibat terhadap menurunnya kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Permasalahan lain yang timbul akibat adanya pertambahan jumlah penduduk diantaranya adalah terjadinya penurunan kualitas lingkungan yang diakibatkan dengan terjadinya penurunan kualitas udara oleh adanya kegiatan industri dan transportasi. Bertambahnya tingkat pertumbuhan penduduk juga merupakan dampak dari suatu perubahan kota yang menunjukkan banyaknya aktivitas yang terjadi di dalam kota
28
tersebut yang pada akhirnya membutuhkan lahan yang banyak untuk pemukiman. Perkembangan kota juga akan mengakibatkan konversi terhadap lahan-lahan hijau, sehingga peran lahan hijau tersebut menjadi prioritas yang terakhir dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah kota. Ketiga kelompok tersebut yaitu kegiatan industri, perdagangan dan jasa berpengaruh terhadap perekonomian, pemukiman serta konversi lahan-lahan hijau akan menimbulkan dampak-dampak perubahan yang negatif dari keadaan sebelumnya terhadap lingkungan, hal ini tentu akan menimbulkan masalahmasalah baru terhadap lingkungan yang akan berpengaruh terhadap kualitas lingkungan. Penilaian terhadap kualitas lingkungan kota dapat dilihat dari beberapa pertimbangan berdasarkan perumusan terhadap Pedoman Umum Penyusunan Status Lingkungan Hidup (SLH) yang difokuskan pada aspek fisik lingkungan permukiman kota (2008), antara lain : a.
Terjadinya alih fungsi lahan dan Ruang Terbuka Hijau (RTH);
b.
Pola pertumbuhan dan penyebaran permukiman yang tidak teratur (sprawl), kumuh (slums settlements) dan liar (squatter settlements);
c.
Akses penduduk terhadap infrastruktur permukiman (air, energi/ listrik, prasarana sanitasi seperti MCK, dan lain sebagainya.);
d.
Timbulan sampah, persoalan produksi limbah B3, serta pencemaran dan kerusakan lingkungan. Fenomena tersebut dapat menjelaskan bahwasanya saat ini kualitas lingkungan
kota cenderung menurun akibat pembangunan yang tidak terencana dengan baik serta tidak memperhatikan keberlangsungan lingkungan hidup. Selain itu, pembinaan kesadaran masyarakat akan pentingnya lingkungan masih sangat kurang, sehingga berpengaruh pada perilaku mereka terhadap lingkungan di sekitarnya. Sebagian masyarakat cenderung terlena dan dimanjakan oleh penyediaan fasilitas dan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Namun mereka tidak mempunyai rasa memiliki dan tanggung jawab (sanse of belongin & responsibility) terhadap lingkungan, sehingga tidak perduli untuk menjaga, memelihara dan merawat lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya untuk menanggulangi kerusakan lingkungan akibat dari permasalahan-permasalahan lingkungan yang ditimbulkan. Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi kerusakan lingkungan perkotaan adalah dengan meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dan segenap stakeholders
29
selaku warga kota yang tinggal dan hidup di kota tersebut. Dengan demikian, membangun kota tidak hanya dilakukan secara fisik, tapi juga membangun mental warganya untuk peduli pada kualitas lingkungan, minimal pada lingkungan di sekitar tempat tinggalnya atau tempatnya beraktivitas sehari-hari. Tingkat kesadaran dan partisipasi warga kota akan sangat tergantung kepada seberapa besar kemampuan warga untuk dapat mengenal keberadaan suatu kota dalam memenuhi kebutuhan mereka secara laik dan berkelanjutan. Kemampuan ini sangat terkait dengan upaya pengungkapan identitas kota berdasarkan fungsi dan tatanan kehidupannya untuk memberikan peluang dan kemudahan kepada warganya dalam mengakses informasi dan inovasi lapangan kerja, serta meningkatkan ketersediaan pelayanan prasarana dan sarana kota secara merata agar dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Selain pertimbangan berdasarkan perumusan terhadap Pedoman Umum Penyusunan Status Lingkungan Hidup (SLH) tersebut, penilaian kualitas lingkungan suatu kota dapat pula dilihat dari aspek pembentukan lingkungan binaannya. Hal ini dikarenakan pembentukan lingkungan binaan akan sangat terkait dengan aktivitas warga kota dalam melakukan pengaturan terhadap lingkungan sesuai dengan pemahaman dan kebutuhannya. Noberg-Schulz (1980) dalam bukunya Genius Loci mengemukakan bahwa ada tiga langkah utama yang dilakukan manusia untuk membentuk lingkungan binaannya, yaitu : a.
Pertama manusia ingin mewujudkan atau mengatur lingkungannya sesuai dengan pemahamannya terhadap lingkungan sekitarnya;
b.
Kedua manusia terdorong untuk menyempurnakan bagian yang dianggap kurang sempurna, sehingga mencapai taraf yang memuaskan atau yang dianggapnya “sesuai”;
c.
Ketiga manusia cenderung melakukan “simbolisasi” untuk mengangkat pemahamannya ke level yang lebih umum, melalui sarana (medium) yang baru. Melalui ketiga langkah inilah, makna suatu tempat itu tercipta. Jadi tujuan utama
manusia dalam mengendalikan lingkungan binaannya adalah mengubah suatu lahan menjadi suatu tempat. “Tempat” semacam itulah yang melahirkan jatidiri atau mempunyai ciri tempat, atau tempat yang memiliki “roh”.
30
Pernyataan Noberg-Schulz tersebut memang menunjukkan suatu situasi yang ideal sekali. Tapi dalam kenyataannya tidak semua “tempat” di belahan bumi ini masyaraktnya bisa mengatur lingkungan sesuai dengan pemahamannya terhadap lingkungan sekitarnya. Sebab di sebagian besar kota-kota di Asia Tenggara pada umumnya dan Indonesia khususnya yang pernah mengalami masa penjajahan oleh bangsa Eropa (abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-20) mewujudkan lingkungannya pada masa penjajahan yang sesuai dengan pemahamannya, merupakan sesuatu yang mustahil. Donggala adalah salah satu contoh kota pelabuhan, dimana untuk monopoli kepentingan ekonomi, penjajah memakai cara politik dan militer untuk memaksakan kehendaknya. Sebagai akibatnya maka bentuk dan wajah kotanya sampai sekarang masih sangat dipengaruhi oleh kebijakan perencanaan dimasa lalu tersebut. Oleh karena itu, untuk memahami identitas suatu kota dalam konteks peningkatan kualitas lingkungan kota perlu kiranya diketahui terlebih dahulu karakter yang melahirkan jatidiri atau mempunyai ciri tempat, atau tempat yang memiliki “roh” bagi kota tersebut. Karakter kota yang dimaksud disini adalah tampilan lingkungan binaan yang membedakan atau memberi ciri khas pada wujud “nuansa” lingkungan kotanya, yang dipengaruhi oleh faktor kondisi alami, budaya, sosial, ekonomi dan pengaturan elemen-elemen atribut kota, serta merupakan akumulasi produk-produk dari pengambilan keputusan banyak pihak dalam kurun waktu tertentu. Karakter suatu kota dalam perancangan kota sebelumnya telah dijelaskan oleh Trancik (1986) dalam place theory bahwa pemahaman tentang kultur dan karakter suatu daerah yang ada dan telah menjadi ciri khas untuk dipakai sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam menciptakan lingkungan, agar penghuni tidak merasa asing. Karakter suatu kota diperlukan untuk memberikan pemahaman tentang identitas suatu kota, sesuai dengan potensi yang ada. Dalam hal ini, karakter merupakan jiwa, perwujudan watak baik secara fisik maupun non-fisik, yang memberikan suatu citra dan identitas suatu kota. (Budiharjo, 1991). Atau pertimbangan tentang locus solus oleh Norberg-Schulz (1980), bahwa untuk menghindarkan ketunggalrupaan, maka faktor lingkungan (milleu) dan sense of place suatu daerah harus dipertahankan. Berdasarkan uraian tersebut dapat dijelaskan bahwasanya faktor lingkungan (milleu) kota merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perkembangan identitas kota dan perilaku warga kota dalam menjalani aktivitas dan kelangsungan hidupnya. Untuk
31
memenuhi dan menjaga kelangsungan hidup manusia dan kualitas lingkungannya, maka upaya pelestarian dan pemanfaatan lingkungan, baik lingkungan alami, maupun lingkungan binaan, secara berkelanjutan menjadi mutlak adanya.
32
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1.
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka dapatlah dikemukakan tujuan
penelitian sebagai berikut : a.
Mendeskripsikan kronologis perkembangan kota Donggala sebagai gambaran komprehensif
dan
pencerminan
yang
melatarbelakangi
pengungkapan
identitasnya; b.
Mendeskripsikan pengungkapan identitas kota Donggala berdasarkan aspekaspek pembentuk identitas kota yang terintegrasi sebagai gambaran keunikan dan ciri khas yang dimilikinya;
c.
Mengetahui hubungan tingkat kebutuhan warga kota dengan pengungkapan identitas kota Donggala;
d.
Mengetahui hubungan kualitas lingkungan kota dengan pengungkapan identitas kota Donggala;
e.
Mengetahui hubungan tingkat kebutuhan warga kota dan kualitas lingkungannya secara bersama-sama dengan pengungkapan identitas kota Donggala.
3.2.
Manfaatn Penelitian Seiring dengan tujuan yang ingin dicapai, maka manfaat yang diharapkan dari
penelitian ini mencakup dalam dua aspek yaitu : 3.2.1. Aspek Akademis Secara akademis penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan dapat dijadikan sumber acuan (referensi), khususnya yang terkait dengan bidang arsitektur dan perencanaan kota. Selain itu, penelitian ini diharapkan juga dapat bermanfaat karena merupakan salah satu contoh pengembangan penelitian perkotaan dengan pendekatan gambaran tatanan kehidupan kota dalam pemaknaan elemen-elemen identitas kota, serta merupakan sebuah upaya penulisan proses perkembangan daerah perkotaan di Indonesia, sehingga dapat lebih memperkaya khazanah ilmu pengetahuan di bidangnya.
33
3.2.2. Aspek Praktis Sebagai masukan bagi pemerintah daerah setempat dalam upaya memahami orientasi perencanaan, pembangunan dan pengembangan kota Donggala berdasarkan pengungkapan dan pemaknaan identitas kota sesuai dengan gambaran keunikan dan karakterisitik tatanan kehidupan kota yang dimilikinya secara terintegrasi. Selain itu, penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi praktisi dan peneliti dalam upaya pengungkapan dan pemaknaan identitas kota dengan karakterisik wilayah yang berbeda.
34
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1.
Jenis dan Desain Penelitian Sesuai dengan permasalahan dan tujuan akhir penelitiannya, maka jenis studi ini
lebih menekankan pada desain “penelitian deskriptif dan ekplanatif” yang lebih bersifat mengkaji, menjelaskan dan mengungkapkan fenomena (descriptive and explanative research) yang dilaksanakan dengan menggunakan metode studi kasus (case study) yakni memberikan gambaran secara menyeluruh tentang latar belakang, sifat-sifat, serta karakter-karakter yang khas dari kasus untuk dijadikan suatu hal yang bersifat umum. Unit analisis adalah warga kota Donggala yang memiliki pemahaman dan pengetahuan yang baik tentang kota Donggala, terutama warga yang telah lama atau turun temurun berdomisili di kota tersebut. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. 4.2.
Lingkup dan Lokasi Penelitian Penelitian ini lebih menitiberatkan pada pengkajian dan penjelasan fenomena
(explanative research) untuk mendapatkan gambaran tentang bagaimana tanggapan dan pendapat responden di daerah penelitian dalam pengungkapan identitas kota Donggala berdasarkan gambaran ciri khas dan keunikan aspek-aspek yang membentuknya secara lebih terintegrasi, serta menjelaskan pula bagaimana hubungan tingkat kebutuhan warga kota dan kualitas lingkungannya dengan identitas kota Donggala yang terbentuk tersebut. Dengan demikian, lingkup penelitian ini mencakup identifikasi tanggapan dan pendapat responden secara internal melalui bantuan lembar kuesioner tentang beberapa hal yang berkaitan dengan tingkat kebutuhan warga, kualitas lingkungan dan pemaknaan identitas kota yang dijadikan sebagai landasan variabel dan indikator bagi pembahasan dan analisis penelitian. Wilayah penelitian dibatasi pada daerah Kota Donggala Tua meliputi 6 (enam) kelurahan yaitu : Kelurahan Boya, Kelurahan Maleni, Kelurahan Ganti, Kelurahan Labuan Bajo, Kelurahan Gunung Bale, dan Kelurahan Tanjung Batu, yang merupakan bagian dari daerah Kecamatan Banawa. Dipilihnya 6 (enam) kelurahan ini dikarenakan
35
eksistensi ruangnya mempunyai keterkaitan erat dengan perkembangan pembentukan Kota Donggala, terutama pada masa pemerintahan Kerajaan Banawa dan Kolonial Belanda, serta keberadaan Pelabuhan Donggala sebagai simpul dan pemicu perkembangan Kota Donggala. 4.3.
Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini adalah seluruh masyarakat yang berdomisili di Kota
Donggala meliputi enam kelurahan yang berjumlah ±18.380 jiwa berdasarkan data Kecamatan Banawa Dalam Angka Tahun 2013. Memperhatikan penyataan Arikunto tersebut, karena jumlah populasi di lokasi penelitian lebih dari 100 orang, maka penarikan sampel dalam penelitian ini menggunakan sampel acak (random sampling) yang didasarkan oleh pertimbangan dan kriteria unit analisis tertentu (purposive) sesuai dengan tujuan penelitian. Sedangkan teknik pengambilan sampel mengunakan rumus dari Taro Yamane atau Slovin (dalam Ridwan, 2007) sebagai berikut :
𝐧= Keterangan :
𝐧 𝐍 𝒅𝟐
𝐍 𝐍. 𝒅𝟐 − 𝟏
= Jumlah Sampel = Jumlah Populasi = 18.380 = Presisi (ditetapkan 10% dengan tingkat kepercayaan 95%) Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus tersebut diperoleh jumlah
sampel sebagai berikut :
𝟏𝟖.𝟑𝟖𝟎
𝐧 = (𝟏𝟖.𝟑𝟖𝟎).𝟎,𝟏𝟐 − 𝟏
=
𝟏𝟖.𝟑𝟖𝟎 𝟏𝟖𝟐,𝟖
= 100,54 ≈ 101 responden
Perhitungan selanjutnya yaitu membagi responden secara proporsional ke enam kawasan penelitian, yaitu Kelurahan Boya = 20 responden, Kelurahan Maleni = 14 responden, Kelurahan Ganti = 21 responden, Kelurahan Labuan Bajo = 14 responden, Kelurahan Gunung Bale = 16 responden, dan Kelurahan Tanjung Batu = 16 responden. 4.4.
Jenis dan Sumber Data Jenis data penelitian yang dikumpulkan dapat dikelompokkan menjadi dua
bentuk, yaitu data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif adalah data yang berbentuk kalimat, kata atau gambar (peta, foto, dan visualisasi lainnya). Sedangkan data
36
kuantitatif adalah data yang berbentuk angka, atau data kualitatif yang diangkakan (skoring) (Sugiyono, 2004). Sesuai dengan desain dan analisis data penelitian yang telah dikemukan di atas, maka jenis data yang akan dikumpulkan dalam pelaksanaan penelitian ini terdiri atas data kuantitatif berupa data yang dihasilkan dari penyebaran kuesioner dengan menggunakan pengukuran skala likert, dan data kualitatif berupa informasi dari masyarakat, tokohtokoh kunci, instansi-instansi, dokumen-dokumen perencanaan dan peta-peta, gambargambar atau foto, serta didukung pula oleh literatur-literatur yang terkait dengan lingkup penelitian. Selanjutnya, berdasarkan sumber datanya, pengumpulan data penelitian dapat dibedakan menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer (primary data) merupakan sumber data penelitian yang diperoleh secara langsung dari lapangan dengan alat bantu berupa lembar kuesioner. Sedangkan Data sekunder (secondary data) merupakan sumber data penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara, meliputi semua data yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti, yang telah ditulis dan telah dikumpulkan oleh para peneliti atau penulis dan instansi-instansi, baik secara langsung maupun tidak langsung (Indriantoro, 2002). 4.5.
Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti dalam pelaksanaan penelitian ini
akan menggunakan beberapa teknik atau metoda, yaitu : pengamatan langsung (observation), wawancara (interview), kuesioner dan teknik dokumentasi. Secara lebih rinci teknik-teknik pengumpulan data ini dapat dijelaskan sebagai berikut : a.
Pengamatan Langsung (Observation), ialah suatu teknik pengumpulan data dimana peneliti mengadakan pengamatan secara langsung terhadap obyek penelitian yang merupakan sumber data, sehingga data yang diperoleh benarbenar bersifat obyektif (Nazir, 1988). Selain itu, observasi lapangan ini juga untuk memperoleh tingkat akurasi dan validitas terhadap data-data hasil survey instansional. Obsevasi langsung ke lapangan untuk melakukan pengecekan, pengontrolan, pengalokasian, penghitungan maupun pengukuran, guna memperoleh data yang lebih akurat.
b.
Wawancara (Interview), merupakan suatu teknik pengumpulan data dimana
37
peneliti melakukan wawancara langsung dengan obyek yang diteliti. Wawancara dilakukan untuk mendapat berbagai informasi menyangkut masalah yang diajukan dalam penelitian. Wawancara dilakukan kepada informan yang dianggap menguasai masalah (key person). c.
Kuesioner (Questionnaire), merupakan suatu teknik pengumpulan data secara tidak langsung (peneliti tidak langsung bertanya jawab dengan responden). Instrumen atau alat pengumpulan datanya juga disebut “angket” berisi sejumlah pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab atau direspon oleh responden. Responden mempunyai kebebasan untuk memberikan jawaban atau respon sesuai dengan presepsinya.
d.
Studi Dokumenter (documentary study), ialah suatu teknik pengumpulan data dengan mempergunakan data-data yang ada dalam dokumen instansi. Peneliti akan mengumpulkan data dengan cara dan mempelajari dokumen serta arsip ataupun catatan penting lainnya yang berkaitan erat dengan obyek penelitian.
4.6.
Hipotesis Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan dan kerangka pikir yang dikembangkan
dalam penelitian ini, maka dapatlah dikemukakan hipotesis penelitian dengan dugaan : a.
Terdapat hubungan yang signifikan antara pemenuhan tingkat kebutuhan warga kota dengan pengungkapan identitas kota;
b.
Terdapat hubungan yang signifikan antara kualitas lingkungan kota dengan pengungkapan identitas kota;
c.
Terdapat hubungan yang signifikan antara pemenuhan tingkat kebutuhan warga kota dan kualitas lingkungannya secara bersama-sama dengan pengungkapan identitas kota.
4.7.
Validitas dan Reliabilitas Data Dalam penelitian, keampuhan instrumen penelitian (valid dan reliabel)
merupakan hal yang penting dalam pengumpulan data. Karena data yang benar sangat menentukan bermutu tidaknya hasil penelitian. Sedangkan benar tidaknya data tergantung dari benar tidaknya instrumen pengumpulan data (Riduwan, 2007). Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kesahihan suatu instrumen. Suatu instrumen yang benar mempunyai validitas tinggi dan sebaliknya bila
38
tingkat validitasnya rendah maka instrumen tersebut kurang benar. Sebuah instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang hendak diukur/diinginkan. Sebuah instrumen dikatakan valid apabila dapat mengungkap data dari variabel yang diteliti. Sedangkan reliabilitas menunjuk pada suatu pengertian bahwa sesuatu instrumen dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah dianggap baik. Instrumen yang baik tidak bersifat tendensius mengarahkan responden untuk memilih jawaban-jawaban tertentu. Reliabel artinya dapat dipercaya juga dapat diandalkan. Uji validitas dan reliabilitas alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner tentang pengungkapan identitas kota, tingkat kebutuhan warga kota dan kualitas lingkungan kota. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrumen kuesioner, dan untuk memperoleh data yang valid dan reliabel dilakukan uji validitas dan reliabilitas terhadap instrumen tersebut dengan bantuan program SPSS versi 15 for Windows. Untuk mengetahui tingkat validitas dapat dilihat angka Correted Item-Total Correlation pada kotak Reliability Analysis dalam program SPSS versi 15 for Windows, yang merupakan korelasi antar skor item dengan skor total item (nilai r
hitung)
di
bandingkan dengan nilai r tabel. Jika nilai r hitung lebih besar dari nilai r tabel (r hitung > r tabel), maka item tersebut adalah valid. Sementara untuk pengujian realibilitas kita lihat dari nilai korelasi Gutman SplitHalf Coefficient yang dibandingkan dengan nilai r
tabel.
Bila nilai Gutman Split-Half
Coefficient lebih besar dari r tabel, maka dapat disimpulkan bahwa angket atau kuesioner tersebut reliabel. 4.8.
Teknik Analisis Data Dalam uraian analisis data ini akan dikemukakan langkah-langkah dan beberapa
teknik analisis yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang telah dirumuskan. Secara lebih rinci langkah-langkah dan teknik analisis yang dilakukan dapat diuraikan sebagai berikut : a.
Analisis Deskriptif Analisis deskriptif (descriptive analysis) digunakan untuk menjawab pertanyaan
penelitian pada perumusan masalah penelitian point a dan b. Analisis deskriptif adalah analisis yang menggambarkan suatu data yang akan
39
dibuat baik sendiri maupun kelompok. Analisis deskriptif bertujuan untuk membuat gambaran secara sistematis data yang faktual dan akurat mengenai fakta-fakta serta hubungan antar fenomena yang diselidiki atau diteliti. Selain itu, analisis deskriptif juga menjelaskan obyek yang diteliti melalui data sampel atau populasi sebagaimana adanya dengan menggunakan teknik penyajian data sesuai kaidah-kaidah pada statistik deskriptif. Selain itu, teknik analisis deskriptif dalam penelitian ini digunakan pula untuk menjelaskan
kronologis
perkembangan
kota
sebagai
suatu
landasan
yang
melatarbelakangi pencerminan identitas kota berdasarkan keunikan dan ciri khas yang dimilikinya. Sedangkan untuk mendapatkan hasil analisis deskripsi yang lebih baik diperlukan bahan-bahan dari studi literatur dan dokumenter yang nantinya dapat melengkapi datadata yang diperoleh dari data lapangan. b.
Analisis Korelasi Analisis korelasi (correlation analysis) digunakan untuk menjawab pertanyaan
penelitian pada perumusan masalah point c, d, dan e serta hipotesis penelitian point a, b, dan c. Analisis korelasi bertujuan untuk menjelaskan ada tidaknya atau signifikansi hubungan antara variabel kuantitatif X dan Y, dan bukan untuk menaksir atau meramalkan nilai Y dari pengetahuan mengenai variabel bebas X seperti yang dilakukan pada analisis regresi (Tiro, 2002). Atau dengan kata lain, pada analisis korelasi tidak mengenal istilah variabel bebas (independent variable) dan variabel terikat (dependent variabel). Analisis korelasi digunakan untuk mendeteksi sejauh mana variasi-variasi suatu faktor berkaitan dengan variasi-variasi faktor lain berdasarkan pada koefisien korelasinya. Dengan analisis ini maka akan dihasilkan antara lain : 1) identifikasi hubungan antara faktor satu dengan lainnya; 2) tinggi rendahnya saling keterkaitan hubungan tersebut, dan 3) menguji dan mengembangkan koefisien korelasi. Teknik korelasi yang digunakan adalah analisis Korelasi Pearson Product Moment dan korelasi ganda (multiple correlation) yang mempunyai persyaratan yaitu : 1) sampel dipilih secara random; 2) mempunyai pasangan yang sama; 3) data berdistribusi normal; dan 4) data berpola linier. Terkait pula dengan penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui tingkat signifikansi hubungan, maka analisis korelasi ini akan
40
digunakan untuk menguji besarnya hubungan variabel tingkat kebutuhan warga kota (X 1) dan kualitas lingkungan kota (X2) dengan Identitas Kota (Y) di Kota Donggala, baik secar bersama-sama maupun secara individu. Persamaan matematika untuk analisis korelasi Pearson Product Moment (PPM) sebagai koefisein korelasi (r) adalah :
𝒓𝒙𝒚 =
𝒏(∑ 𝑿𝒊 𝒀𝒊 ) − (∑ 𝑿𝒊 ) . (∑ 𝒀𝒊 ) √{𝒏. ∑ 𝑿𝟐𝒊 − (∑ 𝑿𝒊 )𝟐 } { 𝒏. ∑ 𝒀𝟐𝒊 – (∑ 𝒀𝒊 )𝟐 }
Dimana :
𝒓𝒙𝒚 𝑿𝒊 𝒀𝒊 𝒏
= Koefisien korelasi antara variabel X dan Y = Jumlah skor item = Jumlah skor total (seluruh item) = jumlah responden Korelasi PPM dilambangkan “r” dengan ketentuan nilai r tidak lebih dari harga (-
1 ≤ r ≤ +1). Apabila nilai r = -1 artinya korelasinya negatif sempurna; r = 0 artinya tidak ada korelasi; dan r =1 berarti korelasi sangat kuat. Sedangkan arti harga r akan dikonsultasikan dengan Tabel Interpretasi Nilai r sebagai berikut : Interpretasi Koefisien Korelasi Nilai r Interval Koefisien 0,80 – 1,000 0,60 – 0,799 0,40 – 0,599 0,20 – 0,399 0,00 – 0,199
Tingkat Hubungan Sangat Kuat/Tinggi Kuat/Tinggi Sedang/Cukup Rendah Sangat Rendah
Sumber : Sugiyono, 2002
Setelah nilai r diketahui, maka tahap selanjutnya adalah melakukan pengujian terhadap signifikansi koefisien korelasi. Pengujian ini selain dapat dilakukan dengan menggunakan tabel, juga dapat dihitung dengan uji “t” dengan persamaan sebagai berikut :
𝒕= Dimana : 𝒕 = Nilai t hitung 𝒓 = Koefisien korelasi hasir r hitung
𝒓 √𝒏 − 𝟐 √𝟏 − 𝒓𝟐
41
𝒏
= jumlah responden/sampel Selanjutnya, untuk mengetahui hubungan atau pengaruh secara bersama-sama
variabel tingkat kebutuhan warga kota (X1) dan kualitas lingkungan kota (X2) dengan Identitas Kota (Y) di Kota Donggala, digunakan persamaan korelasi ganda yang dilambangkan dengan “R”. Persamaan korelasi ganda ini juga merupakan persamaan pada analisis regresi ganda. Atau dengan kata lain, persamaan yang ada pada regresi ganda dapat dimanfaatkan untuk menghitung korelasi ganda lebih dari dua variabel secara bersama-sama. Persamaan korelasi ganda dua variabel dapat dirumuskan sebagai berikut :
𝑹𝒚.𝒙𝟏𝒙𝟐
𝒓𝟐 𝒚.𝒙𝟏 + 𝒓𝟐 𝒚.𝒙𝟐 − 𝟐𝒓𝒚𝒙𝟏 𝒓𝒚𝒙𝟐 𝒓𝒙𝟏𝒙𝟐 = √ 𝟏 − 𝒓 𝟐 𝒙𝟏 𝒙𝟐
Dimana :
𝑹𝒚.𝒙𝟏𝒙𝟐 𝒓𝒚𝒙𝟏 𝒓𝒚𝒙𝟐 𝒓 𝒙 𝟏 𝒙𝟐
= Korelasi antara variabel X1 dengan X2 secara bersama-sama dengan variabel Y. = Korelasi Product Moment antara X1 dengan Y. = Korelasi Product Moment antara X2 dengan Y. = Korelasi Product Moment antara X1 dengan X2.
Setelah nilai R diketahui, maka tahap selanjutnya adalah melakukan pengujian terhadap signifikansi koefisien korelasi Ganda. Pengujian ini selain dapat dilakukan dengan menggunakan tabel, juga dapat dihitung dengan uji “F” dengan persamaan sebagai berikut :
𝑹𝟐 𝒌 𝑭= (𝟏 − 𝑹𝟐 ) 𝒏−𝒌−𝟏 Dimana : 𝑭 = Nilai F hitung 𝑹 = Koefisien Korelasi Gandahasir 𝒌 = Jumlah Variabel 𝒏 = jumlah responden/sampel Dalam pelaksanaannya, pengolahan data dilakukan melalui bantuan komputer dengan program SPSS (Statistical Product and Service Solution) versi 15 for Windows.
42
4.9.
Bagan Alir Penelitian Secara lebih jelasnya bagan alir penelitian dan pentahapannya berdasarkan
kegiatan penelitian tahun pertama dan kedua dapat digambarkan secara skematik sebagaimana terlihat pada gambar 2 berikut ini.
43
Perubahan ruang-ruang kota secara sistematis dan pragmatis
Generalisasi dan keseragaman pembangunan & pengembangan kota
Pembangunan kota lebih dititiberatkan pada aspek ekonomi dan aspek fisik
Perubahan ruang-ruang kota secara sistematis dan pragmatis
Generalisasi dan keseragaman pembangunan Kota semakin asing &bagi pengembangan kota warganya dalam mengenali potensi jatidiri dan karakter
Pembangunan kota lebih dititiberatkan pada aspek ekonomi dan aspek fisik
Kronologis Perkembangan Kota Donggala
Kota semakin asing bagi warganya dalam Gambaran Ciri Khas & mengenali potensi Keunikan Donggala jatidiri Kota dan karakter
Yang Terintegrasi
Gambaran Ciri Khas & Keunikan Kota Donggala Gambaran Gambaran Gambaran Aspek Yang Aksesoris Terintegrasi Aspek Humanis Aspek Historis
Gambaran Aspek Geografis
Gambaran Aspek Gambaran Analisis Deskriptif Geografis Aspek Historis
Analisis Deskriptif
Tingkat Kebutuhan Warga Kota (X1) : Kebutuhan Dasar Utama (X1,1) Kebutuhan Dasar Pendukung (X1,2) Kebutuhan Dasar Penunjang (X1,3)
Tingkat Kebutuhan Warga Kota (X1) : Kebutuhan Dasar Utama (X1,1) Kebutuhan Dasar Pendukung (X1,2) Kebutuhan Dasar Penunjang (X1,3)
Gambaran Aspek Aksesoris
Pengungkapan Identitas Kota Donggala (Y) Pengungkapan Identitas Kota Donggala (Y) Hipotesis : Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara pemenuhan tingkat kebutuhan warga dan kualitas lingkungan dengan pengungkapan identitas kota
Gambaran Analisis Deskriptif Gambaran Aspek Humanis Aspek Strategis
Analisis Deskriptif
Kualitas Lingkungan Kota (X2) :
Hipotesis : Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara pemenuhan tingkat kebutuhan Analisis Korelasi : warga dan kualitas lingkungan dengan pengungkapan Hubungan Pemenuhan identitas kota
Tingkat Kebutuhan Warga dan Kualitas Lingkungan Dengan Pengungkapan Identitas Kota Donggala
Gambaran Aspek Strategis
Alih Fungsi Lahan (X2,1) Pola Pertumbuhan dan Penyebaran Permukiman (X2,2) Akses Terhadap Infrastruktur (X2,3) Persampahan, pencemaran dan kerusakan lingkungan (X2,4) Suasana Lingkungan Kota (X2,5)
Kualitas Lingkungan Kota (X2) :
Alih Fungsi Lahan (X2,1) Pola Pertumbuhan dan Penyebaran Permukiman (X2,2) Akses Terhadap Infrastruktur (X2,3) Persampahan, pencemaran dan kerusakan lingkungan (X2,4) Suasana Lingkungan Kota (X2,5)
KEGIATAN PENELITIAN TAHUN II (KEDUA)
Kronologis Perkembangan Kota Donggala
Analisis Korelasi : Hubungan Pemenuhan Tingkat Kebutuhan Wargayang terjadi Kecenderungan (trend) hubungan dan Kualitas Lingkungan antara pemenuhan tingkat kebutuhan warga dan Dengan Pengungkapan kualitas lingkungan dengan pengungkapan Identitas Kota Donggala
identitas kota Donggala
Gambar 2.
KEGIATAN PENELITIAN TAHUN I (PERTAMA)
Obyek Penelitian Kota Donggala
Kecenderungan (trend) hubungan yang terjadi antara pemenuhan tingkat kebutuhan warga dan Bagan Alir Kegiatan Penelitian Tahun Pertama dan kualitas lingkungan dengan pengungkapan identitas kota Donggala
Kedua
44
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.
Kronologis Perkembangan Kota Donggala Perubahan paradigma pembangunan nasional yang lebih memperhatikan
tumbuhnya aspirasi dari tingkat bawah memberikan kesempatan bagi kota-kota Indonesia tumbuh dengan bentuk yang bervariasi sesuai dengan latar belakang budaya serta elemenelemen lokal yang dimiliki masing-masing daerah. Demikian pula, perkembangan paradigma perencanaan dan perancangan kota perlu menyesuaikan diri dengan perkembangan tersebut (Pekik, 2003). Dalam proses penyesuaian tersebut, pemahaman terhadap sejarah perkembangan kota merupakan jalan untuk memahamai perkembangan identitas masing-masing kota. Tidak terbatas hanya pada pemahaman sejarah, para arsitek, perencana serta perancang kota perlu bersikap kritis dalam mengakomodasikan nilai-nilai lokal yang terus berkembang dalam kaitannya dengan perkembangan identitas suatu kota (Pekik, 2003). Uraian tentang perkembangan kota Donggala dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara terstruktur mengenai asal mula terbentuknya Donggala sebagai sebuah kota, sehingga dapat dengan mudah dipahami kronologis perkembangannya. Selain itu, melalui uraian ini pula akan dapat dideskripsikan ciri khas dan keunikan perkembangan kota Donggala dalam pengungkapan jati diri, watak dan karakter sebagai pencerminan identitas kota dari berbagai aspek yang melatarbelakangi pembentukannya . Gambaran kronologis perkembangan kota Donggala ini lebih menekankan pada informasi pertumbuhan dan pembangunan yang mempunyai keterkaitan erat dengan aspek-aspek keruangan (spatial aspects) sebagai pembentuk kota, tanpa mengabaikan aspek-aspek non-spatial lainnya. Oleh karena itu, melalui pembahasan ini diharapkan akan dapat memberikan gambaran secara komprehensif mengenai kota Donggala dari waktu ke waktu sesuai tahapan perkembangannya. Dalam memberikan gambaran perkembangan Kota Donggala peneliti mencoba membagi dalam tiga kelompok kondisional yaitu : perkembangan kota Donggala pada masa prakolonial, masa kolonial dan masa pascakolonial, yang sumber pembahasannya
45
diperoleh dari hasil wawancara dan hasil-hasil penulisan ilmiah yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti terhadap kota Donggala.
5.1.1. Perkembangan Kota Masa Prakolonial Donggala adalah daerah wilayah kekuasaan Kerajaan Banawa salah satu kerajaan tertua di Sulawesi Tengah (merupakan embrio dari kerajaan tua Pudjananti) yang di perintah oleh raja-raja keturunan raja-raja dari Sulawesi Selatan. Secara formal raja merupakan seorang penguasa tertingi dan para pemangku pemerintah lansung bertanggung jawab kepadanya, namun dalam menjalankan pemerintahan maupun kebijaksanaan, raja tidak dapat berbuat sekehandak hatinya. Hal ini dikarenakan raja dikelilingi oleh berbagai pembantu dan penasehat yang juga berperan cukup besar di bawah kedudukan raja, terutama para pelaksana harian kerajaan. Demikian pula daerah-daerah kekuasaannya tidaklah bebas berdiri sendiri untuk menjalankan keinginannya karena pada hakekatnya mereka juga diikat oleh struktur pemerintahan dari pusat kerajaan. Hubungan timbal balik antara pemangku dan pelaksana pemerintahan dengan raja selalu ditengahi oleh sebuah Dewan Adat yang merupakan badan yang mewakili kelompok-kelompok lapian sosial dalam masyarakat dan rakyat biasa. a.
Periode Tahun 1485 – 1552 Periode tahun 1485 – 1552 merupakan awal pemerintahan Raja Banawa pertama
yang bernama I (i) Badan Tassa Batari Banawa dengan Ibukota pemerintahan kerajaan Banawa terletak di Pujananti. Sistem pemerintahannya feodalistis yang otoriter dengan sistem sosialnya menganut faham pelapisan masyarakat pada pembagian tingkat-tingkat dimana masyarakat belum mengenal satu ajaran agama, mereka masih menganut kepercayaan animisme. Dalam periode ini sebuah Kapal Dagang Portugis menemukan sebuah pantai di wilayah Kerajaan Banawa yang bagus dijadikan persinggahan kapal-kapal yang hilir mudik di jalur perairan Selat Makassar. Kapten kapalnya bernama Don ’Nggolo pergi menemui raja untuk membuat kesepakatan agar pantai itu dijadikan pelabuhan persinggahan bagi kapal-kapal dagang yang akan mengisi air tawar, selanjutnya melalui keputusan “dewan adat” pantai itu dikukuhkan sesuai nama Kapten Kapal Portugis yang menemukannya dan dengan dialek penduduk setempat menjadi Donggala.
46
Pada awal pemerintahan Raja Banawa Pertama Pelabuhan Donggala tumbuh dari pelabuhan kecil menjadi pelabuhan tempat bongkar muat perahu yang berisi hasil-hasil hutan, pertanian, perkebunan, peternakan dan hasil laut yang diperdagangkan antar daerah-daerah sepanjang pantai barat Sulawesi Tengah. Pelabuhan Donggala sudah menjadi pelabuhan pantai yang mulai berhubungan dan menerima pengaruh-pengaruh dari luar. Keberadaan Pelabuhan Donggala telah membuka lapangan kerja yang mengundang penduduk dari daerah-daerah lain datang dan tinggal di Kota Pelabuhan Donggala merupakan faktor utama terjadinya perpindahan penduduk, baik dari daerah pedalaman maupun dari daerah-daerah sepanjang pesisir Pantai Barat Sulawesi. Selanjutnya datang pula para pedagang Cina, Arab, Bugis serta Mandar untuk berdagang dan kemudian tinggal menetap menjadi anggota masyarakat Kerajaan Banawa. Mereka juga menyebar sampai ke pelosok-pelosok pedalaman, tertama pedagang Cina, di sana mereka membuka toko kecil-kecil untuk barang kebutuhan masyarakat yang kemudian ditukar dengan kopra, rotan, damar, kayu, kemiri dan teripang. Akibatnya terjadi kontak budaya, akulturasi yang apik diantara suku-suku pendatang dan penduduk asli yang mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda, namun dengan mudah mereka bisa bergabung serta membentuk suatu sintesa kebudayaan baru karena terjadinya hubungan perkawinan diantara mereka, hubungan perdagangan disertai perjanjian politik. Kelompok yang berbeda-beda suku, bahasa dan budaya itu bergabung menciptakan suatu bahasa baru yang disebut bahasa “Bugis Donggala”. Bahasa Bugis Donggala ini disamping bahasa Melayu dipakai sebagai alat komunikasi di Pelabuhan Donggala dan di seluruh wilayah kekuasaan Kerajaan Banawa. b.
Periode Tahun 1552 – 1650 Adalah periode pemerintahan Raja Banawa kedua yang bernama I (i) Tassa
Banawa. Ia meninggalkan karya yang sangat berharga yaitu memperkenalkan untuk pertama kalinya kehidupan politik yang demokratis melalui wadah “Dewan Adat Kota Pitunggota” yang disusun dan diatur dengan berpedoman pada Sure-Sure Lontara Galigo dan budaya dasar nenek moyang para pendiri kerajaan yang bersemboyankan sifat : Nanoa = Jujur, Napande = Cerdas, dan Nabia = Berani.
47
Dewan Adat Kota Pitunggota mencerminkan struktur pemerintahan oleh pelapisan sosial resmi yang berlaku di Kerajaan Banawa yang terdiri dari : Aroeng (Raja)1, Magau2, Madika Matua3, Madika Malolo4, Bandahara5, Pabicara6, Totua Ngapa7, Tadulako8 dan Batua9. Dewan Adat Kota Pitunggota merupakan Dewan Legislatif yang beranggotakan para Totua-Totua Ngapa yang dipilih melalui usulan dari tujuh buah kota inti yang diresmikan oleh adat masyarakat. Pemilihan anggota-anggota Dewan Adat Kota Pitunggota dilaksanakan dalam waktu tujuh tahun sekali pemilihan. Meskipun terlihat pada pelapisan sosial mencerminkan dominasi golongan bangsawan tetapi prinsip hukum adat dari Dewan Adat Kota Pitunggota bersifat mendamaikan, bukan mengalahkan atau memenangkan pihak yang bersengketa. Sistem sosial yang timbul di dalam kehidupan masyarakat Donggala cepat berkembang dari pengalaman hidup masyarakat, akibatnya dari waktu ke waktu Pelabuhan Donggala semakin berkembang sehubungan dengan berbagai suku bangsa yang telah mendiami wilayah tersebut. c.
Periode Tahun 1650 – 1698 Pada pemerintahan Raja Banawa ketiga yang bernama I (i) Toraya (1650 – 1698)
agama Islam sudah masuk dan berkembang di wilayah kerajaan. Beliau adalah Raja Banawa yang pertama-tama memeluk agama Islam, sehingga nilai adat yang sudah berkembang di masyarakat diperkaya dengan nilai-nilai agama Islam menciptakan
1
Areong (Raja) adalah bangsawan murni yang diakui baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu, diangkat dan dilantik sebagai penguasa tertinggi dan memiliki daerah kekuasaan yang luas. 2 Magau adalah keturunan bangsawan murni yang diakui baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu, ia mempunyai wilayah kekuasaan yang diberikan dan ditentukan oleh Raja. Di dalam melaksanakan tugasnya Magau bertanggung jawab kepada Raja dan bertindak sebagai wakil Raja. 3 Madika Matua adalah saudara-saudara Raja yang diberikan satu perkampungan yang diatur dan dikuasainya dalam wilayah keamanan. Madika Matua sewaktu-waktu dapat diangkat sebagai pelaksana harian Pemerintahan Kerajaan di samping mengatur dana pengeluaran dari usaha ekonomi Kerajaan. 4 Madika Malolo adalah saudara-saudara Raja yang bertindak sebagai penghubung antara Raja dengan Magau dan dengan Dewan Adat. Ia menerima perintah serta mengusahakan agar perintah tersebut dilaksanakan oleh semua pihak yang bersangkutan. 5 Bendahara adalah bangsawan atau hartawan yang diangkat oleh Raja sebagai pemegang Kas Kerajaan berdasarkan usulan para Magau-Magau dan Madika Matua, dilantik dan disahkan oleh Dewan Adat. 6 Pabicara adalah Anggota Dewan Adat dari tokoh terkemuka dengan tugas menyelesaikan perbedaan pendapat serta mempersiapkan dan mengatur segala persoalan yang berhubungan dengan masalah pemerintahan ke dalam dan ke luar dan bertindak sebagai protokoler Kerajaan. 7 Totua Ngapa adalah golongan hartawan yang berpengaruh dan berwibawa, diberi dan dipilih oleh masyarakat sebagai anggota Dewan Adat untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat. 8 Tadulako adalah Pemimpin Gerakan apa saja yang mempunyai moralitas tinggi yang dipercayakan untuk memimpin pasukan perang atau pasukan Kerajaan. 9 Batua adalah golongan rendah atau budak.
48
kebersamaan dan gotong royong. Masyarakat pun mulai belajar membaca huruf Al’quran atau tulisan arab melalui pembelajaran “mengaji” dari guru-guru orang Bugis. Periode ini tercipta suatu pemerintahan yang stabil, dimana masing-masing orang dalam mencapai tujuannya diakui dan dihormati keberadaannya sejara jelas dengan berlandaskan Hukum Adat Kota Pitunggota. Berbagai sarana dibangun untuk keperluan yang terkait dengan kegiatan pemrintahan dan masyarakat yaitu berupa : Rumah Raja (Katabanmputih), Rumah Adat untuk upacara adat perkawinan, kehamilan dan kelahiran (Katabantua), Rumah tempat Dewan Adat Kota Pitunggota bersidang dan bermusyawarah (Bakuku). d.
Periode Tahun 1698 – 1758 Pada jaman pemerintahan Raja Banawa keempat yakni La Bugia Pue Uva (1698
– 1758) Pelabuhan Donggala mulai dikenal sebagai pintu gerbang niaga (pelabuhan dagang) serta pelabuhan transit di wilayah Sulawesi Tengah, mulai dimasuki Kapal Portugis yang bukan cuma mengurusi perdagangan tetapi juga membawa misi Agama Nasrani, yang menimbulkan kegusaran penduduk. Hal ini dikarenakan Pemerintah Kerajaan Banawa telah menetapkan agama Islam sebagai agama Kerajaan yang telah dianut lebih dari 60 tahun, sehingga raja beserta seluruh rakyatnya bersatu untuk menolak ajaran agama baru tersebut. Sejak itu, Kerajaan Banawa Donggala dikenal sebagai salah satu Kerajaan Islam Maritim di Pantai Barat Sulawesi Tengah. Dengan dikenalnya Pelabuhan Donggala sebagai pintu gerbang niaga dan pelabuhan transit, maka secara otomatis membuka berbagai lapangan kerja sehingga mengundang penduduk sepanjang Pantai Barat dan Selatan serta dari daerah pedalaman datang ke Donggala untuk mengadu untung, baik sebagai pedagang maupun sebagai buruh di pelabuhan. Selain itu, pada saat bersamaan pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan dengan terciptanya berbagai lapangan kerja oleh masyarakat pedalaman dan penduduk pegunungan yang berusaha untuk berlomba-lomba memperoleh hasil untuk diperjual belikan ke Pelabuhan Donggala. Kondisi ini memberikan peluang bagi pedagangpedagang yang datang ke Pelabuhan Donggala dengan membuka aneka kegiatan ekonomi dan jasa-jasa pelayanan yang memberikan dampak yang nyata terhadap perubahan sosial ekonomi masyarakat.
49
e.
Periode Tahun 1758 – 1800 Merupakan periode pemerintahan Raja Banawa kelima (raja wanita) yang
bernama I (i) Sabadia. Ia banyak mengadakan hubungan politik dan hubungan perdagangangan dengan raja-raja dari Pulau Jawa, Kalimantan dan raja-raja dari Sulawesi Selatan. Selain itu, hubungan dagang antara pemerintah kerajaan Banawa dengan pedagang-pedagang asing yang datang ke Pelabuhan Donggala juga semakin di tingkatkan. Terjalin persahabatan melalui perjanjian dagang dengan saudagar-saudagar Muslim Gujarat, Bangsa Arap, Parsi dan saudagar-saudagar Cina yang membawa perhiasan emas, permata, baju-baju sutera dan benang-benang sutera asli dari Cina. Para pedagang Cina, Arab dan Gujarat kemudian mulai menetap di Kota Pelabuhan Donggala dan sekitarnya. Tahun 1767 pedagang Muslim Gujarat mengajarkan ilmu menenun kepada puteriputeri raja dan puteri-puteri bangsawan Kerajaan Banawa yang kemudian dikenal dengan Sarung Sutera Donggala. Dengan semakin pesatnya perdagangan di Pelabuhan Donggala, maka Raja I (i) Sabadia menjalin hubungan kerja dengan keluarga-keluarga Arab sebagai pemilik modal. Selanjutnya usaha tenun ini berkembang menjadi usaha puteri-puteri bangsawan kerajaan sebagai industri rumah yang mempunyai motief khas kerajaan seperti : daun keladi, bunga mawar, bunga trompet, bunga melati, gambar burung merak, motif domba, dan lain-lain. Hasil tenunan kain sarung sutera asli Donggala bentuknya lebar dan panjang yang bahan bakunya didatangkan oleh pedagang-pedagang dari Cina, sehingga pada abad ke17 Donggala merupakan salah satu pelabuhan laut yang dilalui oleh Jalur Sutera. Tahun 1800 sarung sutera Donggala sudah menjadi salah satu barang yang resmi di perdagangkan di Pelabuhan Donggala dan dapat ditukar dengan bermacam-macam keperluan wanita dan keperluan rumah tangga, di samping menjadi hadiah bagi raja-raja seberang dan tamu-tamu bangsa asing. f.
Periode Tahun 1800 – 1888 Dalam periode tahun 1800 – 1888 ada dua Raja Banawa yang memerintah
Kerajaan Banawa, yaitu I (i) Sandudoqie (1800 – 1845) sebagai Raja Banawa yang keenam dan La Sabanawa (1845 – 1888) sebagai Raja Banawa yang ketujuh. Kedua penguasa ini melakukan politik ekspansi dengan gencarnya untuk memperluas wilayah
50
Kerajaan Banawa dan hasilnya mereka memperoleh sukses luar biasa, sehingga orangorang tidak lagi menyebut para penguasa dari kerajaan itu dengan sebutan Raja Banawa, tetapi dengan sebutan baru yaitu Raja Donggala. Pada masa ini Pelabuhan Donggala juga mengalami masa kejayaan karena sukses yang dicapai oleh kedua raja tersebut dirasakan secara merata dikalangan masyarakat negerinya. Hal ini dapat dilihat dengan meningkatnya ekonomi pemerintah kerajaan dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat sebab dikuasainya kantong-kantong daerah penghasil kopra yang membawa Pelabuhan Donggala menjadi salah satu pelabuhan yang menekspor kopra ke Manca Negara dengan jumlah besar. Kota Donggala menjadi amat ramai saat kapal-kapal dagang asing melaksanakan pemuatan kopra di pelabuhan yang memakan waktu selama tiga sampai tujuh hari kerja. Situasi tersebut membuat penduduk Pelabuhan Donggala sangat cepat menerima budayabudaya yang di bawah para pedagang asing selama mereka bergaul dan berkomunikasi dengan tetap menjaga nilai-nilai budaya yang sudah ada, agar tidak terjadi pertentangan dengan Tokoh Adat. Sejak tahun 1850 Donggala sudah menjadi pusat lalu lintas niaga di Pantai Barat Sulawesi Tengah yang mengalami masa kejayaan sebagai tempat penimbunan kopra terbesar di Sulawesi dan sebagai penghasil produksi kopra nomor dua dari minahasa, serta menjadi tempat hilir mudik kapal-kapal dagang asing yang mencari rempah-rempah ke Maluku, termasuk Kapal Dagang Belanda Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Lahirnya Kontrak yang dinamai “Perjanjian Donggala” yang ditandatangani secara paksa oleh Raja Banawa ketujuh La Sabanawa dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Duymaer Van Twist pada tanggal 10 Juli 1854 sebanyak 21 artikel yang intinya memaksa Raja Banawa dan Hadat Negara untuk tunduk kepada pemerintah Hindia Belanda, termasuk penyerahan tanah, dan ini merupakan awal malapetaka di Kota Donggala. Namun oleh La Sabanawa secara terang-terangan tidak mematuhi Perjanjian Donggala tersebut. Tahun 1867 datang Gubernur Kroesen dari Makassar dengan membawa Kontrak Baru untuk ditandatangani oleh La Sabanawa dengan maksud memperbaharui kontrak lama dengan tambahan perdagangan di Pelabuhan Donggala akan dikuasai oleh Pemerintah Belanda, lagi-lagi tidak diterima oleh La Sabanawa karena kehidupan kerajaan ditunjang oleh perputaran ekonomi di Pelabuhan Donggala.
51
Tanggal 2 Mei 1888 dengan jalan kekerasan pemerintah Belanda dari Batavia dengan sebuah kapal perangnya membawa 100 koloni tentara Belanda memasuki Pelabuhan Donggala untuk memaksa La Sabanawa menyediakan lokasi untuk rencana perkantoran pemerintah Belanda di Kota Donggala. Namun kedatangan mereka belum berhasil menemui La Sabanawa karena beliau melakukan perjalanan ke daerah-daerah yang baru ditaklukkannya. Pada periode raja ini tidak satupun kontrak berhasil dilaksanakan oleh Belanda. Seperti kota-kota lain di Indonesia pada umumnya, kota Donggala sama sekali tidak mewarisi data mengenai bentuk fisik dan struktur ruang kota pada jaman prakolonial. Tidak mungkin rasanya untuk membayangkan bentuk kota Donggala pada jaman prakolonial secara nyata, selama data-datanya tidak tersedia. Oleh sebab itu di sini telah diusahakan untuk mencari gambaran prinsip-prinsip tata ruang kota Donggala pada jaman prakolonial, tidak dengan menganalisis bentuk geometrisnya secara konkrit, tetapi dengan mencari konsepsi tata ruang kotanya.
5.1.2. Perkembangan Kota Masa Kolonial Perkembangan kota masa kolonial pada prinsipnya merupakan lanjutan perkembangan kota masa prakolonial, hanya saja pada periode ini pemerintahan kerajaan secara perlahan-lahan mulai diambil alih oleh pemerintahan kolonial Belanda yang menjadikannya sebagai wilayah kekuasaan dan jajahan. a.
Periode Tahun 1888 – 1902 Periode ini Kerajaan Banawa dibawah pemerintahan Raja Banawa kedelapan
yang bernama La Makagili setelah peralihan tahta kerajaan dari Raja Banawa ketujuh La Sabanawa. Awal periode ini, tepatnya Tanggal 19 Mei 1890 pemerintah Belanda mulai menancapkan kekuasaannya dengan memaksa Raja La Makagili untuk menandatangani sebuah kontrak tentang pajak yang dipungut dari rakyat dan barang-barang yang masuk keluar melalui Pelabuhan Donggala yang dimasukkan ke kas pemerintah Belanda. Bulan Agustus tahun 1891 dengan Surat Keputusan Gubernur Hindia Belanda diterbitkan lagi Kontrak Ringkas yang harus ditanda tangani oleh Raja Banawa, Magau Sigi dan Magau Dolo tentang penegasan kembali dari ketiga kerajaan itu mengakui kekuasaan pemerintah Belanda di wilayahnya. Kontrak ini disahkan pada tanggal 3 Juli
52
1892. Kemudian pada tahun 1893 ditempatkanlah seorang Posthouder berkebangsaan Belanda di Kota Donggala untuk mengawasi kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah yang telah mengakui kekuasaan pemerintahan Belanda. Untuk menginbangi kekuasaan pemerintah Belanda pada tahun 1893 itu juga Raja La Makagili memindahkan Ibukota pemerintahan Kerajaan Banawa dari Pujananti ke Kota Pelabuhan Donggala dalam rangka mempertahankan eksistensi kerajaan Banawa sebagai Kerajaan Maritim yang menguasai perekonomian di Sulawesi Tengah dari campur tangan Belanda yang mulai terang-terangan melaksanakan politik monopoli dan politik adu domba. Selanjutnya Raja La Makagili mengajak raja-raja daerah lainnya yang telah menandatangani kontrak tersebut untuk bersama-sama tidak mematuhi dan melakukan perlawanan dengan berbagai aksi pemberontakan. Perlawanan yang dilakukan Raja La Makagili, Raja Karanjalembah (Magau Sigi) dan Tombolotutu (Raja Moutong) sempat membuat pemerintah Belanda kewalahan. Namun pada akhir walaupun betapa gigihnya rara-raja tersebut melawan Belanda, mereka dapat ditaklukkan karena Belanda mempunyai persenjataan yang sudah canggih. Secara berturut-turut mereka dikalahkan dengan waktu yang berbeda-beda yaitu : pertama tahun 1901 Tombolotutu berhasil disergap dan wafat di Toribulu, kedua tahun 1902 Raja La Magakili ditangkap dan dibuang ke Makassar dan pada tahun 1903 wafat di Gowa, serta yang ketiga Raja Karanjalembah yang tertangkap pada tahun 1905 di Watunonju Biromaru dan dibuang ke Sukabumi dan wafat di sana pada tahun 1917. b.
Periode Tahun 1902 – 1930 Sepeninggalnya Raja La Magakili tampuk pemerintahan kerajaan berpindah
tangan ke Raja Banawa kesembilan yaitu La Marauna yang memerintah pada periode tahun 1902 – 1930. Pada awal abad XX (Tahun 1903 – 1918) situasi pemerintahan semakin dikuasasi oleh pemerintah Belanda dengan membagi Pulau Sulawesi menjadi dua bagian yaitu : Gubernuran Makassar dan Karesidenan Manado (terdiri dua Afdeeling Manado dan Donggala). Dalam sistuasi yang semakin dikuasai oleh pemerintah Belanda, maka pada tanggal 7 Mei 1903 dengan S.K. No. 16 La Marauna menandatangi kontrak penyediaan
53
lokasi bangunan Gubernemen dan perumahan Asisten Residen yang berlokasi di Gunung Bale Donggala. Selanjutnya, pada tanggal 28 Agustus 1903 dibentuklah “Midden Celebes” dan kerajaan-kerajaan lokal di Sulawesi Tengah disatukan dibawah pemerintahan Residen dengan nama Afdeeling Donggala yang dipimpin oleh Asisten Residen yang akan berkedudukan di Kota Pelabuhan Donggala. Istilah Lanschap atau Kerajaan dirubah menjadi Swapraja. Pada periode ini Pelabuhan Donggala merupakan pelabuhan besar nomor 3 (tiga) sesudah Makassar dan Manado dan merupakan pelabuhan antar pulau yang juga berorientasi eksport ke Manca Negara dan terutama ke negara-negara Eropah Barat. Komoditi eksportnya adalah kopra, damar, rotan, kayu hitam, teripang, dan domba serta sapi Donggala. Semakin ramainya Pelabuhan Donggala maka dibangun sebuah hotel bernama “Hotel Himalaya” untuk bertama kalinya di Pelabuhan Donggala pada tahun 1905 oleh seorang saudagar Cina terkaya di Sulawesi Tengah bernama “Ban Soen” dengan ijin dari Raja La Marauna. Dihotel ini tamu-tamu Kerajaan Banawa yaitu tamu asing dari Manca Negara menginap. Pada tahun 1919 seluruh wilayah Sulawesi Tengah dimasukkan kedalam pemerintahan Karesidenan Manado dan dimekarkan menjadi dua Afdeeling yaitu Afdeeling Donggala dan Afdeeling Poso. Kedua afdeeling ini merupakan embrio pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Donggala dan Kabupaten Daerah Tingkat II Poso. Kemudian pada tahun 1919, tepatnya tanggal 19 Juli 1919 saat pembagian kedua wilayah tersebut, telah dibuka Kantor Doane di Pelabuhan Donggala yang secara otomatis di bawah penguasaan pemerintah Belanda, sehingga perputaran perdagangan di pelabuhan juga telah beralih ke tangan penguasa Belanda.
Dan untuk kelancaran
hubungan antar wilayah, pemerintah Belanda merencanakan membuat proyek jalan raya. Rakyat dipaksa kerja rodi membuat jalan-jalan penghubung antara daerah kerajaan satu dengan daerah kerajaan lainnya. Melihat perkembangan hasil penimbunan kopra di Pelabuhan Donggala semakin meningkat dengan pesat, pemerintah Belanda memberi usul kepada Raja Banawa untuk
54
membangun “Gedung Kopra” di atas tanah watas Kerajaan Banawa. Realisasi pembangunan Gedung Kopra dilaksanakan tahun1934. Tahun 1926 – 1934 pemerintahan swapraja Banawa dalam keadaan “chaos” dengan merajalelanya kekuasaan yang berubah-ubah visi dari pelaksana pemerintah kolonial Belanda yang selalu menang sendiri. c.
Periode Tahun 1930 – 1932 Keadaan yang “chaos” memaksa Dewan Adat Kota Pitunggota mengangkat
Lagaga sebagai Raja Banawa Kesepuluh yang merupakan keponakan Raja La Marauna untuk mengisi kekosongan tahta kerajaan menunggu para putera mahkota kerajaan yang masih mengikuti pendidikan di Makassar dan di Manado. Pada periode ini timbul berbagai permasalahan sosial dengan meningkatnya pertambahan penduduk di Kota Donggala dari kalangan guru-guru, pegawai-pegawai pada kantor pemerintahan Belanda, dimana Belanda mulai pula menyusupkan pendidikan dan budaya-budaya Belanda yang tidak sesuai dengan masyarakat pendukung adat dan tidak sesuai dengan ajaran serta aturan agama yang mereka yakini, seperti : perjudian, pencurian, perkelahian dan pengangguran. Akhirnya pemerintahan diambil alih oleh pemerintah Belanda dengan mengangkat Kepala-Kepala Distrik sebagai kepanjangan tangan pemerintah ke daerahdaerah untuk mengatur pemerintahan, penduduk dan hukum-hukum yang dijalankan sesuai hukum Kolonial Belanda. d.
Periode Tahun 1935 – 1947 Tahun 1932 – 1934 Raja Banawa keduabelas, sebagai pelaksana harian Negeri
Banawa, telah mendirikan sekolah-sekolah rakyat sampai ke desa-desa dan dengan bantuan K.J. Rorimpandey didatangkan guru-guru dari Manado (Minahasa), Sangir Talaud dan dari Ambon. Awal tahun 1934 di tanda tangani persetujuan pembangunan Gedung Kopra oleh La Parenrengi Lamarauna (L. Lamarauna) mewakili pemerintah Kerjaan Banawa dan K. J. Roriempanday mewakili pemerintah Belanda. Juni 1934 Gedung Kopra sebanyak 3 (tuga) buah gedung berkapasitas 2.500 ton/gudang telah mulai di bangun dengan mengerahkan 120 orang rakyat Banawa dengan di pimpin oleh seorang ahli bangunan bernama Ir. Diapri dari Sumatera dan seorang ahli bangunan dari Belanda bernama Ir. Binkorf. Gedung Kopra ini diberi nama Het Koprafonds.
55
Selanjutnya pada tahun 1935 diangkatlah La Ruhana Lamarauna sebagai Raja Banawa kesebelas menggantikan Raja Banawa Kesepuluh. Sebelum menduduki tahta kerajaan, tahun 1916 La Ruhana Lamarauna diangkat sebagai Ketua Syarikat Dagang Islam Indonesia untuk Sulawesi Tengah, dikukuhkan oleh Umar Said Tjokroaminoto saat kedatangannya ke Pelabuhan Donggala. Tahun 1939 pecah Perang Dunia Ke-II, Donggala sebagai pusat perdagangan turut di bom oleh Sekutu yang menghancurkan hampir setengah dari bangunan toko-toko dan rumah-rumah serta gudang-gudang barang para pedagang. Akibat pemboman di Pelabuhan Donggala, maka untuk sementara kegiatan bongkar muat bagi kapal-kapal dagang dipindahkan ke Kabonga Besar selama kurang lebih delapan bulan. Pada Tahun 1942 saat Jepang sudah menduduki Donggala, Raja Banawa La Ruhana Lamarauna membentuk organisasi perjuangan bernama Lasykar Pemuda Indonesia Merdeka (PIM) yang dipimpinnya sendiri sebagai wadah perjuangan para pemuda di wilayah Kerajaan Banawa Donggala secara sembunyi-sembunyi. Pada Tahun 1943 Kota Pelabuhan Donggala dan sekitarnya kembali di bom oleh pesawat sekutu akibat salah satu pesawatnya jatuh di Towale kira-kira 15 Km dari Kota Donggala. Akibat pemboman itu rakyat setahun hidup dalam pelarian dan pengunsian, bangunan-bangunan rumah adat serta gedung-gedung perkantoran Belanda, rumah Asisten Residen menjadi hancur dan rumah-rumah penduduk di pelabuhan rata dengan tanah. Pelabuhan Donggala kembali hancur total, kota menjadi kosong dan penduduk menyingkir keluar kota membuat lubang-lubang perlindungan. Pada Tahun 1945 Pelabuhan Donggala ikut mendapat buangan bom oleh tentara sekutu yang menuju Morotai dan kembali dari Morotai, sehingga Kota Pelabuhan Donggala yang baru selesai di bangun sejak kerusakan pada Perang Dunia Ke-II kembali hancur.
5.1.3. Perkembangan Kota Pasca Kolonial Memasuki awal kemerdekaan pemerintahan di Kota Donggala masih berada di bawah pemerintahan swapraja yang dipimpin oleh Raja Banawa Donggala keduabelas “La Parenrengi Lamarauna” sebagai pelanjut tahta Raja Banawa kesebelas “La Ruhana Lamarauna”. Perkembangan Kota Donggala pasca kemerdekaan dapat dibedakan menjadi tiga periode perkembangan seperti yang diuraikan berikut ini.
56
a.
Periode Tahun 1947 – 1959 Tanggal 9 September 1947 La Parenrengi Lamarauna (L. Lamarauna) dilantik
sebagai Raja Banawa Donggala keduabelas dan merupakan raja terakhir sejalan dengan dihapuskannya pemerintahan Swapraja di seluruh Indonesia. Dan pada tahun 1947 keadaan Kota Pelabuhan Donggala dan seluruh wilayah kerajaan dalam pergolakan untuk turut serta memepertahankan kemerdekaan. Melalui formulir Pemerintah Republik Indonesia yang dikirim dari Jakarta tertanggal 6 Mei 1950 kerajaan Banawa dan kerajaan Tavaeli menandatangani Surat Pernyataan Kedaulatan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan melepaskan diri dari Negara Indonesia Timur (NIT) yang bertempat di Gedung Gezagheiber Palu atau “Gedung Juang” sekarang. Dimulailah era baru dimana pelaksanaan pemerintahan di Kerajaan Banawa yang berpusat di Kota Pelabuhan Donggala di bawah kebijakan Pemerintah RI Pusat. Kehidupan masyarakat pedagang dan buruh pelabuhan menjadi makmur, ini dapat dilihat dari bangunan-bangunan rumah yang tadinya berdinding papan sekarang rumah batu yang permanen dan semi permanen. Dari tahun ke tahun kegiatan di Pelabuhan Donggala semakin meningkat selain kopra sebagai primadona, juga menjadi tempat penimbunan barang-barang textil, sembako, bahan-bahan bangunan, bahan-bahan elektronik, keperluan rumah tangga, dan bahan-bahan keperluan pendidikan yang didatangkan dari Pulau Jawa. Pada tahun 1950 berdasarkan pertimbangan dari segi strategi ekonomi terjadinya peningkatan kegiatan perdagangan di Pelabuhan Donggala maka dibukalah Bank Negara Indonesia (BNI) 46 untuk pertama kalinya di Sulawesi Tengah, kemudian menyusul dibuka Bank Dagang Negara (BDN). Tahun 1951 – 1952 dibentuk Dewan Pemerintahan Daerah (DPD) Tingkat II di Donggala dan Kantor kegiatan pemerintahan untuk wilayah Donggala yaitu “Kepala Pemerintahan Negeri” (KPN) dan L. Lamarauna diangkat sebagai kepala Pemerintahan yang pertama pada tahun 1951 berkedudukan di Donggala. Peristiwa pembakaran Sekolah Menengah Pertama (SMP) Palu oleh aksi PKR pada Tahun 1951 mengakibatkan seluruh guru-gurunya lari ke Donggala. Selanjutnya oleh pemerintah Kerajaan Banawa diberikan gedung Sositeit sebagai tempat sementara
57
untuk SMP Donggala. Setelah itu melalui anggaran kas pemerintah Kerajaan Banawa di bangun gedung SMP Negeri di Gunung Bale sebanyak 4 kelas dan rumah-rumah guru semi permanen sebanyak 4 buah di Boya dan pada Tanggal 1 Maret 1951SMP Donggala diresmikan menjadi SMP Negeri pertama di Sulawesi Tengah. Dari tahun ke tahun arus murid yang datang ke Kota Donggala semakin bertambah dan ada kegiatan baru masyarakat yaitu usaha menyewakan kamar atau rumah (kost) bagi pelajar-pelajar yang datang dari luar kota yang mengikuti pendidikan di Kota Donggala. Akhir tahun 1951 dibangun Sekolah Guru Bawah (SGB) dan Sekolah Guru Atas (SGA) Negeri Donggala dan pada Tahun 1952 resmi dibuka kedua sekolah tersebut. Keadaan Kota Pelabuhan Donggala pada periode ini ramai dengan para orang tua murid yang datang dan pergi silih berganti membawa anak-anak untuk bersekolah di Donggala, sambil berbelanja memborong barang-barang yang belum ada dijual dikampungnya. Awal tahun1952 terjadi pemberontakan Kahar Muzakar di Makassar. Gerakan Permesta ini merambat sampai ke Donggala dan Palu. Namun gerakan ini tidak mendapat respon dari Pemerintahan Kerjaan Banawa Donggala. Kurun waktu tahun 1953 – 1954 dibangun lagi beberapa gedung sekolah dan fasilitas kesehatan, seperti : Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP), Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) Negeri, Rumah Bersalin dan Rumah-Rumah tempat tinggal bidan-bidan di Tanjung Batu, SMP dan SMA Muhammadiyah, SMP Islam Mualimin dan menyusul SMP Alkairaat Donggala. Jadi Kota Donggala resmi sebagai Kota Pelajar sejak periode Raja Banawa III sampai pada tahun 1961, dimana tamatan Sekolah Rakyat (SR) pada waktu itu tujuan dan cita-cita mereka adalah ke Kota Donggala untuk melanjutkan pendidikan. Pada Tanggal 28 April 1958 pesawat Permesta dengan mendapat dukungan kekuatan asing dengan seorang penerbangnya berkebangsaan Amerika bernama Allan Lawrence Pope menyerang Pelabuhan Donggala dengan menjatuhkan bom berkali-kali sehingga menenggelamkan 4 (empat) buah kapal yang sedang berlabuh yaitu : Kapal Giliraja, Kapal Nuburi, Kapal Moro dan Kapal Mutiara. Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri maka dihapuskanlah seluruh daerah Swapraja (Daerah Kerajaan) dengan Undang-Undang No. 29 tahun 1959, maka berakhirlah monarchi di wilayah ini.
58
b.
Periode Tahun 1959 – 1978 Aktivitas Pemerintahan Daerah Tingkat II Kabupaten Donggala di pusatkan di
Palu yang pada waktu itu Kota Palu masih merupakan bagian dari Daerah Tingkat II Kabupaten Donggala. Jadi Ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Donggala berada di Palu. Kota Donggala sebagai Kota Pelabuhan semakin ramai dikunjungi oleh kapalkapal barang maupun kapal penumpang dan menjadikannya satu-satunya pelabuhan laut yang melayani pengangkutan penumpang dan barang antar pulau untuk memasuki wilayah Sulawesi Tengah, khususnya Daerah Tingkat II Kabupaten Donggala dengan Kota Palu sebagai Ibukotanya. Konsekuensi dari perkembangannya aktivitas pelabuhan ini maka berkembang pulalah pembangunan diberbagai sektor, antara lain : sektor perdagagan dan jasa yang ditandai dengan terbangunnya bangunan-bangunan pertokoan, pergudangan, dan perkantoran perbankan, sektor perhubungan yang terlihat dari terbuka jaringan-jaringan jalan baru dari dan ke Kota Donggala serta berdirinya jasa-jasa pelayaran untuk pengangkutan barang dan penumpang, sektor permukiman yang terlihat dari semakin banyaknya pembangunan perumahan di sekitar kawasan Pelabuhan Donggala diserta fasilitas-fasilitas pendukungnya. Kehidupan sosial ekonomi masyarakat semakin membaik dengan maraknya aktivitas Pelabuhan Donggala, terutama para buruh-buruh dan kuli-kuli pengangkut barang, serta kegiatan-kegiatan perekonomian yang terkait dengan aktivitas Pelabuhan Donggala. Tahun 1978 sebagai awal pemindahan Pelabuhan Donggala ke Pantoloan. Peristiwa itu merupakan salah satu faktor pertama ketidakpuasan masyarakat Kota Donggala karena banyak anggota masyarakat kehilangan pekerjaan, sehingga perkembangan Kota Pelabuhan Donggala secara umum menjadi lebih lambat dan membuat masyarakat Donggala menjadi apatis. c.
Periode Tahun 1979 – 2000-an Walaupun Pelabuhan Donggala masih tetap berfungsi setelah pemidahan
pelabuhan ke Pantoloan, namun jenis dan bobot kapal yang berlabuh relatif terbatas termasuk kapal penumpang yang akan ke Makassar, Manado dan Pulau Jawa.
59
Masyarakat Pelabuhan Donggala yang memang energik bangkit kembali dengan perlahan-lahan, pengusaha-pengusaha dan pedagang-pedagang Donggala mulai membuat Perahu Layar Motor (PLM) yang membawa barang-barang hasil bumi, hasil hutan dan ternak ke Surabaya, Balikpapan Unjung Pandang, dan Pare-Pare, serta kembali dengan membawa barang dagangan Sembako dan barang-barang bangunan. Dari volume bongkar muat barang ternyata walaupun ada pelabuhan Pantoloan namun kegiatan di Pelabuhan Donggala masih berada pada peringkat teratas. Setelah berfungsinya Pelabuhan Pantoloan dibawah manajemen PT. Pelindo, maka Pelabuhan Donggala ditetapkan sebagai pelabuhan interinsuler yang melayani pelayaran antar pulau, sementara Pelabuhan Pantoloan dijadikan sebagai pelabuhan samudra yang melayani kegiatan ekspor import dan kapal-kapal penumpang. Pada akhir tahun 1993 di Jakarta diadakan seminar ”Prospek dan Potensi Sulawesi Tengah”, dimana Menristek/Keta BPPT pada waktu itu Prof. Dr. Ir. B.J. Habibie telah memberikan gagasan pada seminar tersebut bahwa Kota Pelabuhan Donggala bisa dijadikan ”Proyek Batam” kedua di Indonesia. Sebagai daerah hinterland Kawasan Timur Indonesia, salah satu pertimbangannya karena letak Donggala yang cukup strategis dalam jalur pelayaran internasional karena berada di Selat Makassar satu jalur pelayaran Nasional yang bakal jadi alternatif pelayaran internasional untuk Asia Pasifik. Gagasan ini bukan sekedar pernyataan basa basi, diunkapkan berdasarkan kajian dan prospek beberapa daerah di Kawasan Timur Indonesia (KATIMIN) yang dimuat pada koran harian Kompas Edisi, 25 Juni 1996. Kegiatan Kota Donggala juga didukung oleh keberadaan kawasan wisata Tanjung Karang yang sudah dikenal oleh dunia luar sejak Pelabuhan Donggala menjadi pintu gerbang niaga dan pada jaman Pemerintahan Belanda yang menjadikanya sebagai tempat rekreasi bagi keluarga-keluarga Belanda dan tamu-tamu asing. Kawasan Tanjung Karang saat ini berkembang sebagai obyek wisata bahari. Awal tahun 2000 Pemerintahan Kabupaten Donggala kembali dipindahkan ke Kota Donggala, setelah Palu juga sudah berdiri sendiri menjadi Kota dan berstatus sebagai Ibukota Propinsi Sulawesi Tengah yang dipimpin oleh seorang Walikota. Dengan kembalinya Ibukota Kabupaten Donggala ke Kota Donggala lebih mempertegas status Kota Donggala sebagai Kota Pemerintahan sekaligus berfungsi sebagai Kota Pelabuhan karena aktivitas Pelabuhan Donggala tidak pernah mati
60
walaupun pernah mengalami pasang surut setelah di pindahkannya pelabuhan ke Pelabuhan Pantoloan. Kota Donggala pada saat ini masih meninggalkan beberapa bangunan masa pemerintahan kolonial. Bangunan tersebut masih ada sampai sekarang, diantaranya : gedung kopra, kantor bea dan cukai, penjara dan beberapa fasilitas lain yang merupakan peninggalan Belanda. Diduga
bangunan ini telah ada setelah masa pemerintahan
kolonial. Di sisi lain, Kerajaan Banawa merupakan salah satu kerajaan terbesar yang membawahi beberapa kerajaan di wilayah pantai Barat Sulawesi Tengah. Kota Donggala sebagai pusat perdagangan masa pemerintahan kolonial memiliki arti penting dan strategis, khususnya pada komoditas ekspor berupa hasil bumi. Berdasarkan uraian tentang perkembangan kota Donggala tersebut terlihat bagaimana arti penting Kota Donggala yang bergeser dari kota kerajaan menuju kota kolonial yang menjadi pusat pemerintahan Belanda di wilayah Sulawesi Tengah, hingga menjadi ibukota pemerintah daerah Kabupaten Donggala pada saat ini dijelaskan secara komprehensif, baik dari aspek fisik pembangunan maupun aspek sosial, budaya, ekonomi, dan politiknya. Secara garis besar dapatlah digambarkan peranan penting kota Donggala yang dapat dikelompokkan dalam empat fungsi utama kota, yaitu: 1) Donggala sebagai Pintu Gerbang Niaga; 2) Donggala sebagai Kota Pemerintahan; 3) Donggala sebagai Kota Perjuangan; dan 4) Donggala sebagai Kota Pelajar. Gambaran peranan dan fungsi utama kota Donggala ini akan memberikan suatu ciri khas dan keunikan tersendiri bagi kota Donggala untuk dapat mengungkapkan jati diri atau karakternya sebagai suatu identitas kota yang berbasis pada nilai-nilai kearifan lokal (local genius) dari berbagai aspek kajian, baik dilihat dari aspek geografis, historis, aksesoris, humanis maupun aspek strategisnya. Selain itu, gambaran tentang perkembangan kota ini juga akan memberikan arahan (guideline) dan informasi penting terhadap pemaknaan elemen-elemen fisik maupun non-fisik di kota Donggala dari waktu kewaktu dalam relevansi dengan pengungkapan identitas kotanya secara lebih terintegrasi.
61
5.2.
Deskriptif Profil Responden Sebelum masuk ketahapan uraian hasil analisis dan pembahasan hasil penelitian,
maka perlu kiranya diuraikan profil respoden yang bertujuan untuk memberikan gambaran secara umum tentang karakteristik responden selaku unit analisis dalam penelitian ini berdasarkan usia responden, pendidikan, pekerjaan, serta karakteristik domisili responden yang terkait dengan waktu, status dan asal responden, agar dapat dijadikan dasar dan tolok ukur dalam pengungkapan hasil penelitian sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa responden yang dijadikan sebagai unit analisis penelitian ini adalah warga kota Donggala yang memiliki pemahaman dan pengetahuan yang baik tentang kota Donggala, terutama warga yang memiliki pendidikan dan telah lama atau turun temurun berdomisili di kota tersebut. Responden dalam penelitian ini berjumlah 101 orang sesuai dengan rencana penelitian yang telah dijelaskan pada bagian populasi dan sampel. Data yang berhasil dikumpulkan juga sebesar 101 orang yang terdistribusi ke enam wilayah kelurahan sebagai lokasi penelitian. Secara lebih jelasnya, uraian tentang profil responden dapat digambarkan sebagai berikut :
5.2.1. Usia Responden Setelah melakukan pengelompokkan dan pengolahan data kuesioner, maka gambaran profil usia responden dalam penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kategori, yaitu : kelompok usia 19 – 29 tahun, 30 – 59 tahun, dan kelompok usia 60 tahun ke atas. Pengelompokkan usia responden ini lebih didasari pada tingkat kematangan berpikir dan pengalaman hidup responden selama berdomisili di kota Donggala dengan asumsi bahwa semakin tinggi usia seseorang maka semakin banyak pula pengalaman hidupnya sehingga membuatnya memiliki kematangan berpikir yang lebih baik berdasarkan pengalaman yang telah dilaluinya tersebut. Selian itu, kematangan usia responden merupakan refleksi dari pengalaman hidup dalam pengambilan keputusan dan sikap terhadap berbagai pilihan yang ditawarkan. Berdasarkan uraian profil usia responden sebagaimana yang diperlihatkan pada Tabel 1, maka dapatlah dikemukakan bahwa usia responden yang ikut ambil bagian dalam
62
pengisian lembar kuesioner lebih didominasi pada interval 30 – 59 tahun dengan persentase sebesar 77,23%, selanjutnya diikuti oleh interval usia 19 – 29 tahun sebesar 14,85% dan usia 60 tahun ke atas sebesar 7,92%. Tabel 1. Profil Usia Responden di Kota Donggala No. 1. 2. 3.
Usia Responden Frekuensi Persentase (%) 19 – 29 Tahun 15 14,85 30 – 59 Tahun 78 77,23 60 Tahun ke atas 8 7,92 Jumlah 101 100,00 Sumber : Hasil Analisis Penelitian, Diolah dari data primer, 2015 Hal ini menunjukkan bahwa dominan usia responden berada pada interval usia 30 – 60 tahun ke atas (85,15%). Hal ini merefleksikan bahwa responden telah memiliki usia yang sudah matang dan berpengalaman untuk memberikan tanggapannya terhadap upaya pengungkapan identitas kota Donggala, sekaligus dapat melihat bagaimana hubunganya dengan tingkat kebutuhan dan perbaikan kualitas lingkungan kota apabila identitas kota tersebut dapat terwujud. Disamping itu, kisaran usia 30 – 60 tahun ke atas juga mencerminkan usia yang penuh tanggung jawab. Tanggung jawab untuk berpikir dan bertindak dalam pengambilan keputusan yang berorientasi pada kepedulian bersama sebagai bagian dari komunitas hidupnya. Adanya sekitar 14,85% responden berusia antara 19 – 29 tahun bukan berarti tidak memberikan kontribusi dalam penelitian ini, justru kehadiran responden berusia relatif muda akan memberikan nuansa tersendiri bagi pengungkapan identitas kota Donggala ke depan sesuai harapan dan kreatifitas yang dimilikinya.
5.2.2. Pendidikan Responden Bila dilihat dari segi pendidikan yang pernah ditempuh responden ternyata 48,51% responden yang pendidikannya tamat pada jenjang pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), sementara sisanya yakni 51,49% merupakan responden yang pernah mengeyam pendidikan pada jenjang perguruan tinggi, mulai dari tingkat pendidikan diploma sampai dengan tingkat pendidikan Strata-2 (S2) atau program magister (lihat Tabel 2).
63
Tabel 2. Profil Pendidikan Responden di Kota Donggala No. 1. 2. 3. 4. 5.
Pendidikan Responden Frekuensi Persentase (%) SLTP 4 3,96 SLTA 45 44,55 Diploma II dan III 9 8,91 Strata-1 (S1) 42 41,58 Strata-2 (S2) 1 0,99 Jumlah 101 100,00 Sumber : Hasil Analisis Penelitian, Diolah dari data primer, 2015 Secara lebih rinci tabel di atas menggambarkan bahwa responden yang berpendidikan SLTP sebanyak 4 orang (3,96%), berpendidikan SLTA sebanyak 45 orang (44,55%), jenjang pendidikan Diploma II dan III sebanyak 9 orang (8,91%), berpendidikan sarjana atau Strata-1 (S1) sebanyak 42 orang (41,58%), dan yang berpendidikan magister atau Strata-2 sebanyak 1 orang (0,99%). Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat pendidikan responden memberikan kontribusi yang besar dalam pengambilan keputusan terhadap pengungkapan identitas kota Donggala dan hubungannya dengan tingkat kebutuhan warga dan kualitas lingkungan kota tersebut. Selain itu, dengan jenjang pendidikan tersebut juga merefleksikan sejauh mana tingkat pemahaman responden terhadap instrumen penelitian yang sajikan, sehingga jawaban pilihan yang diberikan responden dapat diyakini keabsahan dan tingkat kepercayaannya, karena responden dengan modal pendidikan yang dimilikinya akan memberikan tanggapan sesuai tingkat pemahaman terhadap pernyataan yang kemukakan pada kuesioner.
5.2.3. Pekerjaan Responden Gambaran profil pekerjaan atau mata pencaharian responden dalam penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi 7 (tujuh) kategori, yaitu : Guru sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), PNS yang bukan guru dan tenaga honorer, Pensiunan PNS, Wiraswasta, LSM dan Pekerja Sosial lainnya, Wartawan, dan Pekerjaan lain-lain, seperti sopir, petani, pegawai bank, mahasiswa dan pekerja seni, yang kesemuanya terekam pada kuesioner penelitian sebagaimana terlihat pada Tabel 3 berikut ini.
64
Tabel 3. Profil Pekerjaan Responden di Kota Donggala No.
Pekerjaan Responden
Frekuensi
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Guru/PNS 26 PNS/Honorer 32 Pensiunan PNS 6 Wiraswasta 16 LSM/Pekerja Sosial 8 Wartawan 4 Lain-lain (Sopir, Tani, Pekerja Seni, Pegawai Bank, dan 9 Mahasiswa) Jumlah 101 Sumber : Hasil Analisis Penelitian, Diolah dari data primer, 2015
Persentase (%) 26,00 31,68 5,94 15,84 7,92 3,96 8,91 100,00
Bila dilihat dari segi profil pekerjaan atau mata pencaharian yang digeluti responden ternyata 57,68% responden bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), baik sebagai Guru maupun Staf dan Tenaga Honorer pada suatu instansi/departemen, sementara sisanya yakni 42,32% merupakan responden yang bekerja bukan sebagai PNS, termasuk pensiunan PNS. Walaupun pekerjaan sebagai PNS cukup mendominasi jenis mata pencaharian responden, namun secara umum dapat dikemukakan bahwa sebaran pekerjaan sangat bervariasi, sehingga diharapkan tanggapan responden pun akan sangat beragam dalam upaya pengungkapan identitas kota Donggala. Atau dengan kata lain, responden dalam memberikan pilihan jawabannya diharapkan tidak hanya terkoptasi atau terpengaruh oleh latar belakang pekerjaan yang sedang digelutinya, akan tetapi responden lebih melihatnya secara lebih luas dan menyeluruh berdasarkan potensi dan karakteristik yang dimiliki kota Donggala saat ini dan manfaatnya untuk masa depan.
5.2.4. Domisili dan Kependudukan Responden Gambaran profil domisili dan kependudukan responden dalam penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kategori, yaitu : Rentang waktu berdomisili yang menggambarkan sejak kapan resonden berdomisili di kota Donggala, Status berdomisili yang menggambarkan bentuk domisili responden di kota Donggala, dan Status kependudukan responden yang menunjukkan dari mana asal responden sebelumnya. Berdasarkan uraian pada Tabel 4 terlihat bahwa untuk rentang waktu berdomisili responden di kota Donggala terdapat 69,31% responden yang berdomisili sejak lahir dan
65
30,69% responden yang berdomisili tidak sejak lahir, ada responden yang sejak kecil berdomisili tapi tidak sejak lahir, dan ada pula yang berdomisili pada rentang waktu 1 – 5 tahun lalu. Kondisi ini memperlihatkan bahwa sebagian besar responden adalah warga kota yang memiliki pengalaman dan sebagai pelaku hidup yang turut merasakan tahapan kehidupan dan pembangunan di kota Donggala. Hal ini merupakan modal utama untuk menggali informasi dari warga kota dalam upaya pengungkapan identitas kota berdasarkan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal setempat (genius loci) secara lebih terintegrasi. Tabel 4. Profil Status Domisili dan Asal Responden di Kota Donggala No. Distribusi Frekuensi Persentase (%) 1. Berdomisili Sejak Lahir 70 69,31 2. Berdomisili Tidak Sejak Lahir 31 30,69 Jumlah 101 100,00 1. Status Domisili Menetap 98 97,03 2. Status Domisi Sementara 3 3,97 Jumlah 101 100,00 1. Berasal dari Kota Donggala 76 75,25 2. Berasal dari Luar Kota Donggala 25 24,75 Jumlah 101 100,00 Sumber : Hasil Analisis Penelitian, Diolah dari data primer, 2015 Selain itu, dapat pula digambarkan tentang status domisili responden, di mana terdapat 97,03% responden yang berdomisili menetap di kota Donggala dan hanya 3,97% responden yang berdomisili sementara. Hal ini juga tentunya sangat mendukung upaya pengungkapan identitas kota Donggala serta melihat hubungannya dengan tingkat kebutuhan warga dan kualitas lingkungan kota, karena responden adalah pelaku hidup yang turut merasakan suasana kebatinan di kota Donggala dan secara aktif berperan dalam pergaulan dan norma-norma kehidupan. Selanjutnya, bila dilihat dari status kependudukan responden yang menunjukkan dari mana asal responden, ternyata 75,25% responden berasal dari kota Donggala sendiri dan 24,75% responden berasal dari luar kota Donggala, seperti Kota Palu, Kota Luwuk, Toli-Toli, Sulawesi Selatan (Bugis, Soppeng, Bone, dan Toraja), Manado (Sulawesi Utara), Surabaya, dan beberapa desa di Kabupaten Donggala (Sirenja, Kaleke, dan Limboro). Hal ini memberikan gambaran bahwa kota Donggala memiliki kehidupan
66
interaksi sosial budaya yang majemuk, sehingga dalam memberikan tanggapannya responden mempunyai wawasan yang relatif luas.
5.3.
Uji Validitas dan Realibilitas Instrumen Kuesioner Data yang dikumpulkan dengan menggunakan instrumen penelitian berupa
kuesioner merupakan data-data kualitatif yang dikuantitatifkan, oleh karena itu sebelum melakukan analisis maka terlebih dahulu melakukan uji validitas dan reliabilitas terhadap instrumen kuesioner yang digunakan untuk melihat keabsahan dan tingkat kepercayaan instrumen penelitian tersebut. Berdasarkan hasil uji validitas yang dilakukan dengan menggunakan bantuan program SPSS versi 18 for Windows, maka kuesioner tentang Pengungkapan Identitas Kota yang terdiri dari 22 item pernyataan dinyatakan valid. Untuk mengetahui tingkat validitas perhatikan angka pada kolom r
hitung
yang merupakan korelasi antar skor item
dengan skor total item (dalam lampiran program SPSS disebut dengan Corrected ItemTotal Correlation) di bandingkan dengan nilai r tabel. Jika nilai r hitung lebih besar dari nilai r
tabel
(r
hitung
>r
tabel),
maka item tersebut adalah valid, sebagaimana yang diperlihatkan
pada Tabel 5. Uji reliabilitas, seperti yang terlihat pada Tabel 6, berorientasi pada satu pengertian bahwa kuisioner yang digunakan dalam penelitian ini dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data. Uji reliabilitas dengan menggunakan koefisien Cronbach Alpha dengan alat bantu SPSS. Suatu kuesioner dikatakan reliabel jika nilai r hitung
yang dihasilkan adalah positif dan lebih besar dari r tabel (alpha). Pengujian reliabilitas dapat dilihat pada nilai korelasi Gutman Split-Half
Coefficien = 0,813, korelasi berada pada kategori sangat kuat. Bila dibandingkan dengan r tabel (0,256) maka r hitung lebih besar dari r tabel. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa kuesioner tersebut reliabel.
67
Tabel 5. Uji Validitas Kuesioner Pengungkapan Identitas Kota Item No.1 No.2 No.3 No.4 No.5 No.6 No.7 No.8 No.9 No.10 No.11 No.12 No.13 No.14 No.15 No.16 No.17 No.18 No.19 No.20 No.21 No.22
r hitung (Corrected Item-Total Correlation) 0,544 0,439 0,457 0,495 0,477 0,431 0,456 0,456 0,673 0,360 0,556 0,653 0,653 0,646 0,623 0,639 0,644 0,587 0,572 0,528 0,408 0,512
r tabel a = 0,01 ; n = 101 > 0,256 > 0,256 > 0,256 > 0,256 > 0,256 > 0,256 > 0,256 > 0,256 > 0,256 > 0,256 > 0,256 > 0,256 > 0,256 > 0,256 > 0,256 > 0,256 > 0,256 > 0,256 > 0,256 > 0,256 > 0,256 > 0,256
Keputusan Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid
Sumber : Hasil Analisis Peneliti
Tabel 6. Reliability Statistics Kuesioner Pengungkapan Identitas Kota Cronbach's Alpha Part 1 Value N of Items Part 2 Value N of Items Total N of Items Correlation Between Forms Spearman-Brown Coefficient Equal Length Unequal Length Guttman Split-Half Coefficient Sumber : Hasil Analisis Peneliti
0,817 11 0,886 11 22 0,695 0,820 0,820 0,813
68
5.4.
Analisis Deskriptif Pengungkapan Identitas Kota Donggala Analisis deskriptif pengungkapan identitas kota Donggala yang bertujuan untuk
menggambarkan keunikan dan ciri khas dari berbagai dimensi dan indikator sehingga dapat menjelaskan pengungkapan identitas kota Donggala menurut pandangan atau pernyataan responden dari hasil penyebaran lembar kuesioner yang telah disebar di lokasi penelitian. Lembar kuesioner yang disebarkan dilengkapi dengan 5 (lima) pilihan atau alternatif jawaban yang menggunakan skala Likert sebagaimana yang telah dijelaskan pada definisi variabel penelitian dan skala pengukuran sebelumnya. Hal terpenting dalam penelitian ini adalah menerjamahkan hasil jawaban responden yang berbentuk skala Likert tersebut menjadi nilai-nilai kuantitatif dalam bentuk skoring agar dapat diinterpretasikan secara deskriptif untuk mengetahui peranan masing-masing dimensi dalam menjelaskan pengungkapan identitas kota. Sebelum membahas dan menguraikan peranan dan kontribusi masing-masing dimensi dalam menjelaskan pengungkapan identitas kota tersebut, maka secara statistikal perlu dijelaskan tahapan atau tata cara penilaian skor penelitian terhadap hasil alternatif jawaban responden pada lembar kuesioner agar diperoleh persepsi dan interpretasi skor yang jelas sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan, sehingga hasil jawaban responden tersebut dapat dideskripsikan secara baik dan benar berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah. Terkait dengan hubungan teknik pengumpulan data kuesioner dalam penelitian ini, instrumen tersebut disebarkan kepada 101 responden kemudian direkapitulasi. Dari data 101 responden, misalnya diambil contoh pernyataan item No. 2 pada Tabel 7 tentang Tanggapan Responden Terhadap Gambaran Aspek Geografis Dalam Menjelaskan Pengungkapan Identitas Kota Donggala, diperoleh pilihan jawaban sebagai berikut : Menjawab skala (5) Menjawab skala (4) Menjawab skala (3) Menjawab skala (2) Menjawab skala (1)
= = = = =
32 55 9 2 1
orang orang orang orang orang
Cara menghitung skor dalam penelitian adalah : Jumlah skor untuk 32 orang menjawab skala (5) Jumlah skor untuk 55 orang menjawab skala (4) Jumlah skor untuk 9 orang menjawab skala (3)
: 32 x 5 : 55 x 4 : 9x3
= = =
160 220 27
69
Jumlah skor untuk 2 orang menjawab skala (2) Jumlah skor untuk 3 orang menjawab skala (1) Jumlah skor total Jumlah skor ideal untuk item No. 2 (tertinggi) Jumlah skor terendah
: 2x2 : 3x1
: 5 x 101 : 1 x 101
= = =
4 3 414
= 505 (SS) = 101 (STS)
Berdasarkan data (contoh item No. 2; Tabel 7) yang diperoleh dari 101 responden, maka tanggapan responden terhadap letak Kota Donggala diantara dua wilayah yaitu Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat memberikan peluang kotanya untuk dapat berkembang lebih cepat sebagai gambaran aspek geografis dalam menjelaskan pengungkapan identitas kota Donggala terletak pada daerah sangat kuat. Secara kontinum dapat dilihat seperti : 0
101
202
303
404
STS
TS
RR
S
414
505
SS
Jadi, berdasarkan data (contoh item No. 2; Tabel 7) yang diperoleh dari 101 responden, maka tanggapan responden terhadap letak Kota Donggala diantara dua wilayah yaitu Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat memberikan peluang kotanya untuk dapat berkembang lebih cepat sebagai gambaran aspek geografis dalam menjelaskan pengungkapan identitas kota Donggala, yaitu : 414/505 x 100% = 81,98% tergolong sangat kuat mendasari pengungkapan identitas kota Donggala. Persentase kelompok responden untuk contoh item No. 2 pada Tabel 7 dapat digambarkan : 0
20%
40%
Sangat Lemah
Lemah
60%
Cukup
80%
Kuat
Keterangan Kriteria Interpretasi Skor (Riduwan, 2007) : Angka Angka Angka Angka Angka
0% 21% 41% 61% 81%
-
20% 40% 60% 80% 100%
= = = = =
Sangat Lemah Lemah Cukup Kuat Sangat Kuat
81,98%
Sangat Kuat
100%
70
Perlu dikemukakan bahwa hanya skor yang memiliki angka 81% - 100% atau dengan interpretasi skor sangat kuatlah yang dapat dipakai untuk menjelaskan pengungkapan identitas suatu kota dari masing-masing dimensi yang ada. Selanjutnya, dapatlah diuraikan gambaran masing-masing dimensi, indikator dan item-item pernyataan yang dapat menjelaskan pengungkapan identitas kota Donggala sesuai hasil penghitungan skor penelitian sebagaimana yang telah dicontohkan di atas seperti berikut ini.
5.3.1. Gambaran Aspek Geografis Gambaran keunikan dan ciri khas kota Donggala dari aspek geografis dalam menjelaskan pengungkapan identitas kota tampaknya lebih didominasi atau didasari oleh letak dan karakterisitik bentang alam serta kondisi fisik wilayah yang memiliki perpaduan secara alami, berupa pesisir pantai, pengunungan dan sungai dengan iklim khatulistiwa yang spesifik. Berdasarkan jawaban responden pada Tabel 7 terlihat bahwa ada 4 (empat) item pernyataan yang dipilih oleh kelompok responden yang memiliki skor lebih besar (>) dari 81% atau secara interpretasi skor ke empat item pernyataan tersebut diyakini mempunyai kategori sangat kuat dalam menjelaskan pengungkapan identitas kota Donggala, yaitu : (item No. 1) Letak Kota Donggala berhadapan langsung dengan Selat Makassar dan Teluk Palu sebagai jalur pelayaran transpotasi laut memberikan kemudahan pencapaian dan pergerakan orang, barang dan jasa dengan skor sebesar 86,14%; (item No. 2) Letak Kota Donggala diantara dua wilayah yaitu Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat memberikan peluang kotanya untuk dapat berkembang lebih cepat dengan skor sebesar 81,98%; item No. 3) Kota Donggala memiliki perpaduan kondisi alam berupa pesisir pantai, pegunungan dan sungai yang membelah kota dengan pemandangan alam yang indah dan menarik memberi peluang untuk dapat ditata secara baik dalam pembentukan wajah dan nuansa kota dengan skor sebesar 86,73%; dan (item No. 4) Kota Donggala yang dilalui oleh garis khatulistiwa memiliki cuaca yang cerah dan nyaman, serta mendukung aktivitas warga setempat dengan skor sebesar 81,58%. Pilihan jawaban responden ini lebih disebabkan pada kondisi riil kota Donggala yang memiliki keunikan dan ciri khas dengan keunggulan letak geografis dan potensi sumber daya alam, berupa bentang alam pegunungan, sungai yang membelah kota
71
sebagai sumber kehidupan, serta garis pantai dan panorama bawah laut yang eksotik, terpadu menjadi satu kesatuan dalam kota Donggala. Namun, fenomena ini belum sepenuhnya mendapat sentuhan yang berarti dan seolah terlupakan, setelah sebelumnya pernah dipopulerkan di masa pemerintahan kolonial Belanda yang ditandai dengan keberadaan Pelabuhan Donggala sebagai pintu gerbang niaga dikarenakan letak geografis kota Donggala yang sangat strategis bagi dunia pelayaran, dan keberadaan kawasan wisata Tanjung Karang sebagai tempat rekreasi bagi keluarga-keluarga Belanda dan tamu-tamu asing sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya. Tabel 7. Tanggapan Responden Terhadap Gambaran Aspek Geografis Dalam Pengungkapan Identitas Kota Donggala Banyaknya Responden No.
Pernyataan
1.
Letak Kota Donggala berhadapan langsung dengan Selat Makassar dan Teluk Palu sebagai jalur pelayaran transpotasi laut memberikan kemudahan pencapaian dan pergerakan orang, barang dan jasa Letak Kota Donggala diantara dua wilayah yaitu Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat memberikan peluang kotanya untuk dapat berkembang lebih cepat Kota Donggala memiliki perpaduan kondisi alam berupa pesisir pantai, pegunungan dan sungai yang membelah kota dengan pemandangan alam yang indah dan menarik memberi peluang untuk dapat ditata secara baik dalam pembentukan wajah dan nuansa kota Kota Donggala yang dilalui oleh garis khatulistiwa memiliki cuaca yang cerah dan nyaman, serta mendukung aktivitas warga setempat Kota Donggala memiliki potensi lahan yang subur dan hasil laut yang melimpah Kota Donggala memiliki kondisi tanah dengan kandungan mineral yang potensial untuk dijadikan sebagai bahan tambang dan galian
2.
3.
4.
5. 6.
STS
TS
RR
S
SS
Persentase Skor Kelompok Responden (%)
Interpretasi Skor
3
0
3
52
43
86,14
Sangat kuat
3
2
9
55
32
81,98
Sangat kuat
3
0
3
49
46
86,73
Sangat kuat
2
1
11
60
27
81,58
Sangat kuat
3
3
15
55
25
79,01
Kuat
8
9
21
49
14
70,10
Kuat
Sumber : Diolah dari Data Primer, 2009 SS = Sangat Setuju, S = Setuju, RR = Ragu-Ragu, TS = Tidak Setuju, STS = Sangat Tidak Setuju
Sementara 2 (dua) item pernyataan lainnya yakni : (item No. 5) Kota Donggala memiliki potensi lahan yang subur dan hasil laut yang melimpah; dan (item No. 6) Kota Donggala memiliki kondisi tanah dengan kandungan mineral yang potensial untuk dijadikan sebagai bahan tambang dan galian, hanya memiliki skor lebih besar (>) dari 61% dan lebih kecil (<) dari 80% atau secara interpretasi skor ke dua item pernyataan tersebut oleh responden diyakini hanya tergolong kuat dalam menjelaskan pengungkapan identitas kota Donggala, namun tidak sekuat ke empat item pernyataan sebelumnya. Walapun ke dua pernyataan ini belum dapat dijadikan dasar dalam menjelaskan pengungkapan identitas kota Donggala, namun potensi ini perlu mendapat perhatian untuk dikembangkan dalam mendukung pemaknaan identitas kota ke depan.
72
Setelah mengemukakan beberapa pernyataan tentang gambaran aspek geogrfais dalam menjelaskan pengungkapan identitas kota Donggala, responden juga ditanyakan pendapatnya mengenai beberapa pilihan yang paling tepat untuk mewakili bentuk identitas kota Donggala berdasarkan gambaran aspek geografis tersebut. Jawaban yang diberikan responden cukup bervariasi, namun yang paling tepat mewakili identitas kota Donggala berdasarkan gambaran keunikan dan ciri khas dari aspek geografis menurut responden dapat dirangking sebagai berikut : Kota Donggala sebagai Kota Wisata dipilih oleh 76 responden (75,25%), Kota Donggala sebagai Kota Pantai/Pesisir dipilih oleh 12 responden (11,88%), Kota Donggal sebagai Kota Pelabuhan dipilih oleh 8 responden (7,92%), dan Kota Donggala sebagai Kota Perdagangan dan Jasa dipilih oleh 5 responden (4,95%). Identitas Kota Donggala sebagai Kota Wisata lebih dominan dipilih oleh responden dikarenakan beberapa alasan, antara lain : Kota Donggala sekarang lebih identik dengan kawasan wisata bahari Tanjung Karang serta beberapa kawasan wisata di sekitarnya, adanya pembangunan jalan lingkar pantai dengan berbagai prasarana dan sarana rekreasi yang turut mendukung aktivitas wisata di Kota Donggala, keberadaan Kota Tua dan Pelabuhan Donggala, serta bangunan-bangunan atau situs-situs peninggalan sejarah lain yang masih ada, walaupun dengan kondisi yang cukup memprihatinkan, merupakan daya tarik tersediri bagi Kota Donggala untuk bernostalgia ke masa lalu, serta keberadaan Sarung Tenun Sutra Donggala yang sangat terkenal sejak adanya Jalur Pelayaran Sutra Cina ke Pelabuhan Donggala sebagai cenderamata khas Kota Donggala.
5.3.2. Gambaran Aspek Historis Gambaran keunikan dan ciri khas kota Donggala dari aspek historis tampaknya belum masuk kategori yang sangat kuat dalam menjelaskan pengungkapan identitas kota Donggala menurut piliha responden. Hal ini dapat dilihat berdasarkan hasil presentase skor kelompok responden pada Tabel 6 menunjukkan pada angka lebih kecil dari (<) 80% dan lebih besar dari (>) 60% untuk semua item pernyataan (item No. 7, 8, 9, dan 10) yang terkait dengan gambaran dimensi aspek historis. Artinya semua item pernyataan yang mengambarkan keunikan dan ciri khas aspek historis berdasarkan interpretasi skor hanya
73
tergolong kuat dan tidak satu pun masuk pada kategori yang sangat kuat atau dominan dalam menjelaskan pengungkapan identitas kota Donggala. Bila memperhatikan uraian tentang perkembangan kota Donggala mulai pada masa prakolonial atau masa Kerajaan Banawa sampai dengan masa pasca kolonial Belanda terlihat bahwa kota Donggala mempunyai sejarah perkembangan kota yang sangat menarik sepertihalnya kota-kota lain di Indonesia. Berdasarkan untaian sejarah tersebut tentunya kota Donggala memiliki banyak kenangan atau situs-situs peninggalan sejarah, baik berupa benda-benda atau bangunan-bangunan maupun tata cara adat istiadat atau cerita-cerita rakyat, yang terkenal dan bernilai tinggi sesuai dengan kriteria bendabenda sejarah dan purbakala yang dipersyaratkan oleh peraturan pemerintah. Tabel 8. Tanggapan Responden Terhadap Gambaran Aspek Historis Dalam Pengungkapan Identitas Kota Donggala Banyaknya Responden No.
Pernyataan
7.
Kota Donggala memiliki benda dan bangunan peninggalan sejarah Kerajaan Banawa yang masih terpelihara dengan baik dan bernilai tinggi Kota Donggala memiliki benda dan bangunan peninggalan kolonial Belanda yang masih terpelihara dengan baik dan bernilai tinggi Kota Donggala memiliki adat istiadat yang masih dipakai dan sering diselengggarakan dalam tatanan kehidupan masyarakat kota Kota Donggala memiliki cerita-cerita rakyat terkenal
8.
9.
10.
STS
TS
RR
S
Persentase Skor Kelompok Responden (%)
SS
Interpretasi Skor
0
15
51
29
6
64,95
Kuat
1
17
47
27
9
65,15
Kuat
2
7
40
38
14
70,89
Kuat
66,34
Kuat
2 17 39 28 15 Sumber : Diolah dari Data Primer, 2009 SS = Sangat Setuju, S = Setuju, RR = Ragu-Ragu, TS = Tidak Setuju, STS = Sangat Tidak Setuju
Bentuk bangungan-bangunan atau kawasan bersejarah peninggalan masa Kerajaan Banawa dan Kolonial Belanda yang masih tersisa antara lain : Kawasan Pelabuhan Donggala dengan berbagai bangunan pelengkapnya seperti Kantor Bea dan Cukai, Gudang Kopra (Het Koprafonds), Mercusuar, serta sarana perkantoran seperti rumah dinas asisten residen (sekarang rumah dinas kabupaten), dan bangunan tangsi militer yang terdapat di Desa Ganti juga masih berfungsi (sekarang Lembaga Pemasyarakatan Kabupaten Donggala). Selain itu juga terdapat sekolah Cina (sebelumnya dimanfaatakn sebagai Kantor Bupati Donggala sementara), Sekolah Rakyat (Volkschool) atau Sekolah Dasar Pribumi (sekarang SD, SLTP, dan Universitas Muhammadiyah Cabang Donggala). Sekolah Lanjutan (Vervolgschool) (sekarang kompleks SLTP Negeri 1 Donggala). Dari ruang sudut kota Donggala, masih terdapat beberapa bangunan yang masih mengikuti bentuk bangunan peninggalan kolonial. Bentuk ini masih banyak dijumpai
74
disekitar Pelabuhan Donggala (sekarang sebagai gudang penyimpanan kopra pedagang Cina). Bentuk bangunan tersebut menyerupai bangunan kota Batavia pada masa kolonial. Rancangan dan ornamen yang digunakan sama dengan bangunan masa kolonial. Keberadaan situs-situs sejarah ini secara fisik dapat dijadikan elemen identitas kota sebagai tanda atau simbol sebagaimana halnya identitas-identitas yang dimiliki oleh kota-kota lain yang menjadikannya lebih terkenal. Namun sangat disesalkan situs-situs penting ini seakan dibiarkan dan tidak mendapat sentuhan maupun perawatan yang intensif dan berkelanjutan, sehingga situs-situs ini ada yang lambat laun hilang dan hancur ditelan kemajuan zaman ataupun tergantinkan dengan bangunan-bangunan modern. Demikian pula halnya dengan tata cara adat istiadat dan cerita-cerita rakyat yang dimiliki semakin termarjinalkan disebabkan oleh pergaulan modern dan arus globalisasi. Demikianlah beberapa alasan yang menyebabkan responden merasa tidak terlalu yakin untuk menjadikan keunikan dan ciri khas aspek historis sebagai dasar untuk menjelaskan pengungkapan identitas kota Donggala. Walaupun demikian, keberadaan situs-situs peninggalan sejarah ini dapat dijadikan salah satu daya tarik yang spesifik untuk dapat mengenalkan kota Donggala secara lebih baik dan berkesinambungan. Sepertihalnya pada gambaran aspek geografis, pada gambaran aspek historis dalam menjelaskan pengungkapan identitas kota Donggala, responden juga ditanyakan pendapatnya mengenai beberapa pilihan yang paling tepat untuk mewakili bentuk identitas kota Donggala berdasarkan gambaran aspek historis tersebut. Jawaban yang diberikan responden juga cukup bervariasi, namun yang paling tepat mewakili identitas kota Donggala berdasarkan gambaran keunikan dan ciri khas dari aspek historis menurut responden dapat dirangking sebagai berikut : Kota Donggala sebagai Kota Wisata dipilih oleh 53 responden (52,48%), Kota Donggala sebagai Kota Pelabuhan dipilih oleh 30 responden (29,70%), Kota Donggala sebagai Kota Pemerintahan dipilih oleh 8 responden (7,92%), Kota Donggal sebagai Kota Pendidikan dipilih oleh 7 responden (6,93%) dan Kota Donggala sebagai Kota Perjuangan dipilih 3 responden (2,97%). Identitas Kota Donggala sebagai Kota Wisata lebih dominan dipilih oleh responden juga dikarenakan beberapa alasan sebagaimana yang telah dikemukakan pada gambaran aspek geografis di atas. Hal yang juga cukup menarik adalah dipilihnya identitas kota Donggala sebagai Kota Pelabuhan oleh sekitar 29,70% responden yang
75
masih mengharapkan agar fungsi Pelabuhan Donggala kembali digairahkan, karena secara historis keberadaan Pelabuhan Donggala sudah sangat terkenal, bahkan di beberapa daerah nama Pelabuhan Donggala diabadikan dengan nama sebuah jalan. Selain itu, Pelabuhan Donggala juga merupakan salah satu pelabuhan yang pernah dilalui oleh Jalur Pelayaran Sutra Cina yang sangat terkenal dalam dunia pelayaran. Dikenalnya Kota Donggala sebagai Kota Pelabuhan menurut beberapa responden dapat merupakan identitas kota yang sulit untuk dilupakan secara historis, walaupun keberadaan aktivitas pelabuhannya saat ini mengalami penurunan yang cukup drastis sehingga tidak lagi dapat diandalkan untuk mendukung kehidupan warga setempat.
5.3.3. Gambaran Aspek Aksesoris Sebagaimana yang telah dijelaskan pada definisi operasional variabel bahwa gambaran aspek aksesoris kota dalam menjelaskan pengungkapan identitas kota Donggala lebih menekankan kepada keunggulan yang dimiliki suatu kota, baik hal-hal yang terkait dengan keberadaan prasarana, sarana atau atribut kota maupun komoditas alam atau komoditas buatan yang mempunyai keunikan dan ciri khas dibanding dengan daerah-daerah lain. Berdasarkan beberapa item pernyataan tentang gambaran keunggulan aspek askesoris kota Donggala sebagaimana yang tertuang pada Tabel 9 (item No. 14), nampaknya lebih didasarkan pada keunikan dan ciri khas Kota Donggala yang terkenal memiliki kerajinan khas Sarung Tenun Sutra Donggala yang mempunyai corak dan kualitas yang lebih unggul dibandingkan dengan produk kerajinan sarung tenun lainnya di Indonesia maupun di manca negara dengan skor sebesar 81,58%. Atau dengan kata lain, item pernyataan ini mempunyai dasar yang sangat kuat dalam pengungkapan identitas kota Donggala. Sarung Tenun Sutra Donggala atau yang lebih dikenal dengan sebuatan Sarung Donggala merupakan kerajinan khas Kota Donggala yang secara turun temurun masih dilakoni oleh sebagian kecil masyarakat Kota Donggala, terutama yang berdomisili di sekitar kota tersebut. Cara pengerjaannya dilakukan dengan menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) atau Alat Tenun Tradisional, sehingga komoditi Sarung Donggala ini masih merupakan hasil kerajinan tangan (handycraft) yang khas dan asli (original) dari Kota Donggala. Keberadaan komoditi ini dapat dijadikan sebagai simbolisasi
76
identitas kota Donggala yang unik dan spesifik, serta mampu memberikan nilai tambah bagi tatanan kehidupan masyarakatnya. Tabel 9. Tanggapan Responden Terhadap Gambaran Aspek Aksesoris Dalam Pengungkapan Identitas Kota Donggala Banyaknya Responden No.
Pernyataan
11.
Kota Donggala memiliki prasarana infrastruktur kota (seperti jalan, jembatan, terminal, pelabuhan, dsb) yang mempunyai bentuk dan teknologi yang lebih canggih dan indah dibandingkan dengan wilayah lain Kota Donggala memiliki sarana dan atribut kota (seperti kawasan perkantoran, pasar, rumah sakit, pertokoan, dsb) yang mempunyai fungsi dan tampilan yang lebih menarik dibandingkan dengan wilayah lain Kota Donggala memiliki komoditas alam berupa kopra dan sapi Donggala yang mempunyai ciri khas dan keunggulan lebih dibandingkan dengan wilayah lain Kota Donggala memiliki kerajinan khas Sarung Tenun Sutra Donggala yang mempunyai corak dan kualitas yang lebih unggul dibandingkan dengan produk kerajinan sarung tenun lainnya di Indonesia Kota Donggala memiliki makanan khas Kaledo (kaki lembu donggala) yang mempunyai cita rasa yang tinggi dibandingkan dengan makanan khas lainnya di Indonesia
12.
13.
14.
15.
STS
TS
RR
S
SS
Persentase Skor Kelompok Responden (%)
Interpretasi Skor
5
24
29
31
12
64,16
Kuat
4
18
18
39
22
71,29
Kuat
1
11
24
47
18
73,86
Kuat
2
5
15
40
39
81,58
Sangat kuat
2
7
7
56
29
80,40
Kuat
Sumber : Diolah dari Data Primer, 2009 SS = Sangat Setuju, S = Setuju, RR = Ragu-Ragu, TS = Tidak Setuju, STS = Sangat Tidak Setuju
Selain memiliki komoditi kerajinan khas Sarung Donggala, kota Donggala juga mempunyai serangkaian prasarana, sarana dan atribut kota berupa pelabuhan laut, pasar, terminal, rumah sakit, kawasan perkantoran dan kawasan pertokoan, serta komoditi sumber daya alam seperti kopra dan sapi atau lembu Donggala yang juga dijadikan sebagai makanan khas yang dikenal dengan nama “KALEDO” (Kaki Lembu Donggala). Namun, menurut responden keberadaan aksesoris kota ini belum dapat diunggulkan dalam menjelaskan pengungkapan identitas kota Donggala, karena daya tarik dan nilai jualnya masih belum sebanding dengan keberadaan aksesoris kota di wilayah lain dan sekitarnya, walaupun secara lokal keberdaan aksesoris kota ini sangat mendukung aktivitas masyarakat setempat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pejaringan opini dan pendapat masyarakat tentang pilihan yang paling tepat untuk mewakili bentuk identitas kota Donggala terhadap gambaran aspek aksesoris dalam menjelaskan pengungkapan identitasnya juga ditanyakan pada segenap responden. Jawaban yang diberikan responden juga cukup bervariasi, namun yang paling tepat mewakili identitas kota Donggala berdasarkan gambaran keunikan dan ciri khas dari aspek aksesoris dapat diuarikan sebagai berikut : Kota Donggala sebagai Kota Wisata dipilih oleh 58 responden (57,43%), Kota Donggala sebagai Kota Kerajinan dipilih oleh
77
16 responden (15,84%), Kota Donggala sebagai Kota Pemerintahan dipilih oleh 11 responden (10,89%), Kota Donggala sebagai Kota Pelabuhan dipilih oleh 10 responden (9,90%) dan Kota Donggala sebagai Kota Perdagangan dan Jasa dipilih oleh 6 responden (5,94%). Seperti halnya dengan dua aspek sebelumnya, pada gambaran aspek aksesoris yang paling dominan dipilih oleh responden untuk mewakili identitas Kota Donggala adalah Kota Donggala sebagai Kota Wisata dengan beberapa keunggulan komoditas wisata, seperti hasil kerajinan Sarung Donggala dan potensi panorama alam, serta situssitus dan bangunan-bangunan bersejarah, sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya. Walaupun diyakini oleh responden bahwa pengungkapan identitas kota Donggala sebagai Kota Wisata untuk saat ini belum sepenuhnya dapat mengangkat citra kota Donggala, namun ke depan bila potensi dan karakteristik ini terus dikembangkan dan dijadikan prioritas pembagunan kota, maka kota Donggala akan kembali dilirik oleh wisatawan nusantara maupun manca negara sebagai salah satu daerah tujuan wisata dengan berbagai keunikan dan ciri khas yang dimilikinya.
5.3.4. Gambaran Aspek Humanis Dimensi gambaran aspek humanis dalam menjelaskan pengungkapan identitas kota Donggala dijabarkan dan dioperasinalkan menjadi 4 (empat) item pernyataan kuesioner penelitian sebagaimana yang diuraikan pada Tabel 10. Berdasarkan tanggapan responden terhadap gambaran aspek humanis dalam menjelaskan pengungkapan identitas kota Donggala pada Tabel 8 tersebut, terlihat bahwa semua item pernyataan kuesioner pada dimensi gambaran aspek humanis hanya berada pada kisaran angka persentase skor kelompok responden antara 61% - 80%. Meskipun hasil interpretasi skor menyatakan aspek ini hanya berada pada kategori kuat untuk menjelaskan pengungkapan identitas kota Donggala, namun hasil ini belum dapat dipakai untuk menjelaskan pengungkapan identitas kota sebagaimana yang dipersyaratkan bahwa hanya dengan kriteria angka persentase antara 81% - 100% atau hasil interpretasi skor yang sangat kuat sajalah yang dapat digunakan sebagai dasar pengungkapan identitas kota tersebut.
78
Tabel 10. Tanggapan Responden Terhadap Gambaran Aspek Humanis Dalam Pengungkapan Identitas Kota Donggala Banyaknya Responden No.
Pernyataan
16.
Kehidupan sosial budaya dan politik warga Kota Donggala memiliki norma-norma atau hukum adat setempat (seperti Hukum Adat Kota Pitunggota) yang masih dipegang teguh dalam menyikapi tatanan kehidupan masyarakat modern saat ini Warga Kota Donggala memiliki gaya dan pola hidup yang masih dilandasi oleh semangat gotong royong dan saling membantu dalam komunitas sebagai bentuk kehidupan sosial dan budaya lokal setempat yang terpelihara hingga saat ini Warga Kota Donggala memiliki kepribadian yang santun, saling menghargai, sikap yang tegas dan memegang prinsip yang teguh dalam menyikapi pergaulan hidup sehari-hari Warga Kota Donggala memiliki atraksi-atraksi budaya lokal setempat, seperti seni tari/gerak dan bela diri, yang masih sering ditampilkan sebagai bentuk pelestarian seni dan budaya
17.
18.
19.
STS
TS
RR
S
Persentase Skor Kelompok Responden (%)
SS
Interpretasi Skor
2
13
41
32
13
68,12
Kuat
3
2
18
49
29
79,60
Kuat
1
3
25
48
24
78,02
Kuat
2
12
40
38
9
67,92
Kuat
Sumber : Diolah dari Data Primer, 2009 SS = Sangat Setuju, S = Setuju, RR = Ragu-Ragu, TS = Tidak Setuju, STS = Sangat Tidak Setuju
Hasil wawancara dengan responden terhadap kondisi aspek humanis di kota Donggala, terkait dengan nilai-nilai sosial politik, nilai-nilai kepribadian, gaya dan pola hidup, serta nilai-nilai seni dan budaya lokal masyarakat setempat, diperoleh gambaran bahwasanya sebagian besar nilai-nilai aspek humanis tersebut mulai pudar dan terjadi pergeseran nilai karena derasnya arus globalisasi yang terjadi saat ini. Oleh karena itu, jejak-jejak nilai humanis ini perlu terus dipupuk dan dikembangkan agar tetap dapat memberikan corak dan warna tersendiri bagi tatanan kehidupan masyarakat kota Donggala dalam memaknai identitasnya. Jadi, walaupun kondisi nilai-nilai aspek humanis tersebut belum masuk pada kategori yang sangat kuat dalam menjelaskan pengungkapan identitas kota Donggala, namun tidak berarti gambaran aspek humanis ini harus diabaikan dalam memaknai identitas kota Donggala. Justru kehadiran nilai-nilai aspek humanis ini dapat menjadi pendukung dan motivasi dalam pengungkapan identitas kota Donggala yang terkait dengan sikap dan prilaku sebagai bagian dari kebudayaan masyarakatnya yang menjadi jiwa dan karakter kota tersebut, serta lingkungan fisik kota yang menjadi raganya seperti yang telah dikemukakan oleh Hariyono (2007). Selanjutnya, dilakukan pula pejaringan opini dan pendapat responden tentang pilihan yang paling tepat untuk mewakili bentuk identitas kota Donggala terhadap gambaran aspek humanis dalam menjelaskan pengungkapan identitasnya. Jawaban yang diberikan responden juga cukup bervariasi, namun yang paling tepat mewakili identitas
79
kota Donggala berdasarkan gambaran keunikan dan ciri khas dari aspek humanis dapat diuarikan sebagai berikut : Kota Donggala sebagai Kota Wisata dipilih oleh 68 responden (67,32%), Kota Donggala sebagai Kota Kerajinan dipilih oleh 17 responden (16,83%), Kota Donggala sebagai Kota Pelabuhan dipilih oleh 11 responden (10,89%) dan Kota Donggala sebagai Kota Pendidikan/ Budaya dipilih oleh 5 responden (4,95%). Seperti halnya dengan beberapa aspek sebelumnya, pilihan Kota Donggala sebagai Kota Wisata pada gambaran aspek humanis juga paling dominan dipilih oleh responden untuk mewakili identitas Kota Donggala. Responden meyakini bahwa dengan identitas ini citra kota Donggala yang selama ini seakan pudar diharapkan akan dapat kembali terangkat dan terkenal. Selain itu, melalui identitas kota wisata ini kota Donggala akan didatangi oleh para wisatawan dengan berbagai kebutuhannya, sehingga dengan sendirinya akan merangkul sektor-sektor lain yang potensial serta sekaligus dapat mendukung aktivitas perekonomian warga kota dan wilayah sekitarnya.
5.3.5. Gambaran Aspek Strategis Gambaran aspek strategis yang dimintai tanggapannya kepada responden dalam penelitian ini lebih menyoroti tentang ketersediaan dokumen perencanaan dan perangkat aturan/kebijakan yang dapat menjadi pedoman pembangunan, serta perangkat dewan kota yang dapat memberikan pertimbangan kepada pemerintah kota setempat dalam merumuskan langkah-langkah penataan dan pembangunan kota saat ini dan masa mendatang sesuai tuntutan kebutuhan masyarakatnya. Selain itu, juga dimintai tanggapan responden terhadap ketersediaan program-program kerjasama yang mantap antara masyarakat, swasta dan pemerintah dalam mendukung potensi dan keunikan kota yang dimiliki sebagai tanggapan terhadap tuntutan perkembangan kotanya. Tanggapan responden terhadap gambaran aspek strategis dalam menjelaskan pengungkapan identitas kota Donggala sebagaimana yang terlihat pada Tabel 11 tersebut juga berada pada kisaran angka persentase skor kelompok responden antara 61% - 80% atau secara interpretasi skor gambaran aspek strategis ini hanya berada pada kategori kuat, sehingga belum dapat dipakai sebagai dasar dalam menjelaskan pengungkapan identitas kota sebagaimana kriteria angka persentase yang dipersyaratkan sebelumnya.
80
Tabel 11. Tanggapan Responden Terhadap Gambaran Aspek Strategis Dalam Pengungkapan Identitas Kota Donggala Banyaknya Responden No.
Pernyataan
20.
Kota Donggala telah memiliki dokumen perencanaan dan perangkat aturan/kebijakan yang jelas, terstruktur dan berkelanjutan dalam menyikapi arah pembangunan kota ke depan Kota Donggala mempunyai perangkat dewan kota yang memberikan pertimbangan kepada pemerintah daerah dalam merumuskan langkah-langkah penataan kota Pemerintah daerah mempunyai program-program kerjasama yang mantap antara masyarakat, swasta dan pemerintah dalam mendukung potensi dan keunikan kota yang dimiliki sebagai tanggapan terhadap tuntutan perkembangan kotanya
21.
22.
STS
TS
RR
S
Persentase Skor Kelompok Responden (%)
SS
Interpretasi Skor
4
1
39
41
16
72,67
Kuat
2
4
49
37
9
68,71
Kuat
3
6
43
38
11
69,70
Kuat
Sumber : Diolah dari Data Primer, 2009 SS = Sangat Setuju, S = Setuju, RR = Ragu-Ragu, TS = Tidak Setuju, STS = Sangat Tidak Setuju
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa responden mengenai tanggapan terhadap gambaran aspek strategis ini, diperoleh masukan bahwa saat ini kota Donggala belum memiliki dokumen perencanaan dan perangkat aturan/kebijakan yang jelas dalam menata dan mengarahkan pola pembangunan di kota Donggala sebagai kota tua yang memiliki berbagai potensi dan karakteristik lingkungan kota yang eksotik, serta situssitus peninggalan sejarah yang bernilai tinggi, akibatnya penataan lingkungan dan tampilan wajah kotanya semakin tidak menentu orientasinya. Responden mengharapkan kota donggala hendaknya memiliki dokumen perencanaan kota yang lebih spesifik dan jelas orintasinya untuk mengantisipasi terjadinya degradasi kualitas lingkungan dan proses dehumaninasi kota yang dapat mengakibatkan kehilangan identitas dan semakin asing bagi kehidupan warganya sebagaimana yang dikhawatirkan oleh Trancik sebelumnya. Oleh karena itu, dengan semakin jelasnya keberadaan dokumen perencanaan dengan berbagai perangkat aturan dan program-program aplikasinya akan menjadikan landasan berpijak yang kuat dan terstruktur dalam pengungkapan identitas kota yang berkelanjutan. Sepertihalnya pada beberapa gambaran aspek sebelumnya, pada gambaran aspek strategis juga dilakukan pejaringan opini dan pendapat responden tentang pilihan yang paling tepat untuk mewakili bentuk identitas kota Donggala. Jawaban yang diberikan responden juga cukup bervariasi, namun yang paling tepat mewakili identitas kota Donggala berdasarkan gambaran keunikan dan ciri khas dari aspek humanis dapat diuarikan sebagai berikut : Kota Donggala sebagai Kota Wisata dipilih oleh 72 responden
81
(71,29%), Kota Donggala sebagai Kota Pelabuhan dipilih oleh 19 responden (18,81%) dan Kota Donggala sebagai Kota Pemerintahan dipilih oleh 10 responden (9,90%). Pilihan Kota Donggala sebagai Kota Wisata pada gambaran aspek strategis juga masih paling dominan dipilih oleh responden untuk mewakili identitas Kota Donggala. besarnya animo responden untuk menjadikan identitas kota Donggala sebagai Kota Wisata cukup beralasan, karena sebagian besar mereka mengharapkan bahwa dengan identitas ini akan memberikan orientasi yang jelas terhadap perencanaan dan penataan kota Donggala ke depan, terutama perlunya memberikan perlakukan penataan khusus kepada eksistensi kota Donggala sebagai Kota Tua yang memiliki bangunan-bangunan dan kawasan bersejarah yang patut untuk dilestarikan sebagai warisan peninggalan masa lalu. Setelah melihat berbagai gambaran aspek yang berperan dalam menjelaskan pengungkapan identitas kota Donggala di atas, dapatlah dikemukakan bahwa gambaran aspek-aspek pembantuk identitas kota pada studi kasus di kota Donggala ini hendaknya dilihat sebagai satu kesatuan dimensi atau aspek yang komprehensif dan terintegrasi, walaupun dalam pengungkapan identitasnya ada aspek yang menonjol bukan berarti gambaran aspek lainnya lantas diabaikan peranannya sebagai dasar pengungkapan identitas kota Donggala. Hal ini dikarenakan semua dimensi pembentuk identitas kota tersebut mempunyai hubungan yang saling mendukung satu sama lainnya dan yang membedakannya hanyalah persepsi responden dalam memahami keunikan dan ciri khas yang dimiliki oleh kota Donggala sebagai lokasi penelitian.
82
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
Identitas adalah kebutuhan yang tidak dapat dipisahkan, baik secara individual maupun pada sebuah komunitas, kota ataupun negara. Karena tanpa identitas eksistensi individu, sebuah kota atau bangsa akan sulit dikenal dan diakui. Memang bukan persoalan mudah untuk merumuskan atau mengungkapkan sebuah identitas yang tunggal dikarenakan begitu banyaknya elemen-elemen atau faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan identitas tersebut. Setiap kota memiliki ciri-ciri, tanda-tanda atau jati diri sebagai suatu identitas yang membedakannya dengan kota lainnya. Identitas kota dapat diketahui melalui pengungkapan
dan
pemahaman
terhadap
elemen-elemen
atau
aspek-aspek
pembentukannya, baik yang bersifat fisik maupun psikis, berdasarkan gambaran perkembangan kota dan tatanan kehidupannya sebagai panduan dalam pengungkapan identitas suatu kota. Dalam pengungkapan identitas suatu kota perlu kiranya melibatkan segenap stakeholder yakni masyarakat warga kota, pemerintah, swasta, dan lembaga nonpemerintah, baik secara internal maupun eksternal suatu kota, untuk dimintai pendapat dan pandangannya, agar nantinya identitas kota tersebut bukan hanya menjadi sekedar simbolisasi semata, namun benar-benar lahir dari kebutuhan dan tatanan hidup masyarakatdan lingkungannya, serta dapat bermanfaat bagi kelangsungan hidup warga kota secara berkelanjutan.
6.1.
Kesimpulan Pada bab hasil dan pembahasan telah dilakukan kajian dan analisis terhadap
dimensi-dimensi dan indikator-indikator yang mendasari pengungkapan identitas kota Donggala, serta dilakukan pula pengujian terhadap validitas dan realibilitas instrument kuesioner yang digunakan dalam pengungkapan identitasnya. Dari hasil analisis tersebut merumuskan simpulan sebagai berikut :
83
a.
Berdasarkan kronologis perkembangan kota Donggala dapatlah digambarkan peranan penting kota Donggala yang dikelompokkan dalam empat fungsi utama kota, yaitu: 1) Donggala sebagai Pintu Gerbang Niaga; 2) Donggala sebagai Kota Pemerintahan; 3) Donggala sebagai Kota Perjuangan; dan 4) Donggala sebagai Kota Pelajar. Gambaran peranan dan fungsi utama kota Donggala ini akan memberikan suatu ciri khas dan keunikan tersendiri bagi kota Donggala untuk dapat mengungkapkan jati diri atau karakternya sebagai suatu identitas kota yang berbasis pada nilai-nilai kearifan lokal (local genius);
b.
Bahwa dari 5 (lima) dimensi yang mendasari pengungkapan identitas kota secara komprehensif dan terintegrasi dengan studi kasus pada Kota Donggala, ternyata hanya 2 (dua) dimensi yang berperan sangat kuat, yaitu : 1) gambaran aspek geografis dan 2) gambaran aspek aksesoris. Sedangkan 3 (tiga) dimensi lainnya yaitu : gambaran aspek historis, gambaran aspek humanis, dan gambaran aspek strategis berdasarkan hasil penilaian angka skor kelompok responden belum dapat dipakai sebagai dasar pengungkapan identitas kota sebagaimana kriteria angka persentase yang dipersyaratkan;
c.
Tanggapan responden terhadap bentuk identitas kota yang paling tepat mewakili identitas kota Donggala berdasarkan gambaran 5 (lima) dimensi tersebut, lebih didominasi oleh pengungkapan identitas kota Donggala sebagai Kota Wisata. Identitas kota Donggala sebagai kota wisata lebih ditekankan pada bentuk wisata bahari dan wisata sejarah (costal and historical tourism) yang dapat dinikmati secara simultan oleh para wisatawan, karena selain memiliki panorama pantai dan bawah laut yang eksotik, Kota Donggala juga memiliki situs-situs atau bangunanbangunan dan artefak warisan sejarah dan budaya pada masa kerajaan Banawa dan kolonial Belanda yang bernilai tinggi, termasuk keberadaan Pelabuhan Donggala itu sendiri sebagai pelabuhan tertua di Propinsi Sulawesi Tengah dan sangat terkenal dalam dunia pelayaran, serta memiliki hasil kerajinan Sarung Donggala yang sangat spesifik dan hanya ada di kota Donggala sebagai keunikan dan ciri khas yang dimilikinya. Walaupun masih ada yang berpendapat bahwa identitas kota Donggala sebagai kota pelabuhan perlu dipertahankan secara aspek historis, namun hal itu sudah tidak dapat lagi diandalkan untuk memberikan peluang terbukanya lapangan kerja dikarenakan aktivitas pelabuhannya sudah relatif kecil dan secara
84
aspek aksesoris yakni keunggulan kelengkapan dan teknologi infrastrukturnya juga sudah tidak memadai lagi dibandingkan pelabuhan-pelabuhan yang berada disekitarnya, terutama pelabuhan Pantoloan.
6.2.
Saran dan Rekomendasi Berdasarkan segenap uraian yang telah dikemukakan berkenaan dengan penelitian
ini, maka ada beberapa saran yang kiranya penting dikemukakan, sebagai berikut : 1.
Bahwa berbagai elemen atau aspek penggambaran ciri khas dan keunikan kota yang ditujukan untuk pengungkapan identitas suatu kota kiranya lebih diarahkan kepada hal yang lebih komprehensif dan terintegrasi, seperti penggambaran aspek geografis, historis, aksesoris, humanis dan strategis, agar segenap stakeholder dapat memahami pengungkapan identitas kotanya secara utuh dan menyeluruh.
2.
Bahwa dalam konteks merumuskan arah pembangunan perkotaan, maka pendekatan yang sebaiknya dilakukan adalah memperjelas eksistensi suatu kota melalui pengungkapan identitas kotanya, agar lebih mudah untuk dikenal dan diakui sebagai sebuah kota yang memiliki jati diri, watak dan karakter, sehingga dapat memberikan kebanggaan tersendiri, sekaligus menarik perhatian untuk dikunjungi.
85
DAFTAR PUSTAKA Abiyoso, Hengky, (2007), Seni Menjual Kota dan Wilayah, http://www.mailarchive.com/
[email protected]/msg00044.html, diakses Juni 2008. Alvares, Eko., (2002), Morfologi Kota Padang, Disertasi Doktor Program Studi Ilmu Teknik pada Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, tidak diterbitkan. Amar, (2000), Studi Peningkatan Fungsi Pelabuhan Donggala Dalam Mendukung Pengembangan Wilayah Di Kabupaten Donggala, Thesis Magister Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota pada Program Pascasarja Institut Teknologi Bandung, Bandung, tidak diterbitkan. Amar, (2009), Identitas Kota, Fenomena dan Permasalahannya, Jurnal Arsitektur “RUANG”, Vol. 1, No. 1 : 54-58, Palu. Anholt-City Brands Index, (2007), How The www.simonanholt.com. Diakses Pebruari 2009.
Word
View
Its
Cities,
Anonim, (2007), Undang Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. As’ad, Moh., (2000), Psikologi Industri, Liberty, Yogyakarta. Budihardjo, Eko dan Sujarto, Djoko, (1999), Kota Berkelanjutan, Alumni, Bandung. Budihardjo, Eko, (1997), Tata Ruang Perkotaan, Penerbit Alumni, Bandung. ----------------------, (1997), Arsitektur Pembangunan dan Konservasi, Penerbit Djambatan, Jakarta. ----------------------, (1997), Lingkungan Binaan dan Tata Ruang Kota, Penerbit ANDI, Yogyakarta. ----------------------, (1997), Jatidiri Arsitektur Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung. Budihardjo, Eko dan Hardjohubojo, Sudanti, (1993), Kota Berwawasan Lingkungan, Penerbit Alumni, Bandung. Daldjoeni, N., (1997), Geografi Baru : Organisasi Keruangan Dalam Teori dan Praktek, Penerbit Alumni, Bandung. -----------------., (1998), Geografi Kota dan Desa, Penerbit Alumni, Bandung. Dany, (2007), Kota dan Identitas, http://www.kotakita.net/2007/09/12/kota-danidentitas/, diakses Juni 2008.
86
Djoko Soekiman, (2000), Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Penduduknya di Jawa Abad XVIII – XX, Penerbit Bentang Budaya, Yogyakarta. Encarta Dictionary, (2007), (online dictionary), http://www.encarta.com/, diakses Juni 2008. Eng, Teo Siew., (1996), Character and Identity in Singapore New Towns: Planner and Resisent Perspectives, Habitat International Vol. 20 No. 2 pp. 279-294. Pergamon, London, dalam Trisutomo, Slamet., (2004), Efforts to Sustain Urban Identities: Experiences from Johor Bahru and Fukuoka, LIPI, Jakarta. Eroldtan, (2008), Identitas Kota, http://eroldtan.multiply.com/journal/item/4, diakses Juni 2008. Fasli, Mukaddes, (2003), A Model for Sustaining City Identity, Case Study: Lefkoşa (Nicosia) in North Cyprus, Ph.D. Disertation in Architecture, Institute of Graduate Studies and Reserch. http://grad.emu.edu.tr Frey, Hildebrand, (1999), Designing The City, Toward a more sustainable Urban Form, E & FN SPON. Gill, Ronald, (1991), Het Studie Morphologie op Java en Madoera, Disertasi, University of Delft, tidak diterbitkan. Hadinoto, (1996), Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya 1870 – 1940, Diterbitkan Atas Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Kristen Petra Surabaya dan Penerbit ANDI Yogyakarta. Hadinoto dan Soehargo P.H., (1996), Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Malang, Diterbitkan Atas Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Kristen Petra Surabaya dan Penerbit ANDI Yogyakarta Hariyono, Paulus, (2007), Sosioologi Kota Untuk Arsitek, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta. Hasan, (2000), Produksi Perdagangan Kopra Di Donggala 1850-1937, Thesis Magister, Program Studi Sejarah pada Program Pascasarjana Universitas Gajahmada, Yogyakarta, tidak diterbitkan. Hornby, A.S., (1987), Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Oxford University Press, London. Indriantoro dan Supomo, (2002), Metodologi Penelitian Bisnis, BPFE, UGM,Yogyakarta. Inoguchi, Takashi; Newman, Edward & Paoletto, Glen, (2003), Kota dan Lingkungan; Pendekatan Baru Masyarakat Berwawasan Ekologi, Penerbit Pustaka LP3ES
87
Indonesia, Jakarta. Junarti, (2001), Elite dan Konflik Politik di Kerajaan Banawa Sulawesi Tengah Periode 1888-1942, Tesis Magister Program Studi Sejarah pada Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, tidak diterbitkan. Julia Winfield-Pfefferkorn, (2005), The Branding of Cities : Exploring CityBranding and Importance of Brandi Image, Master Thesis, The Graduate School of Syracuse University. Keraf, A.S., (2002), Etika Lingkungan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Lynch, Kevin, (1960), The Image of The City, The M.I.T. Press, Cambridge. Masri, Amiruddin, (2003), Perkembangan Kota Donggala : Kajian Sejarah Sosial Ekonomi 1902-1942, Tesis Magister Program Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta, Yogtakarta, tidak diterbitkan. Nazir M., (1988), Metode Penelitian, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta. Noberg-Schulz, Christian., (1980), Genius Loci, London Academy Editions. Pedoman Umum Penyusunan Status Lingkungan Hidup Provinsi dan Kabupaten/Kota, (2008), Asisten Deputi Urusan Data dan Informasi Lingkungan, Deputi MENLH Bidang Pembinaan Sarana Teknis dan Peningkatan Kapasitas, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Jakarta. http://www.menlh.go.id, Diakses Januari 2009. Pustekkom, (2005), Sumber : http://www.e-dukasi.net, Diakses Januari 2009. Raksadjaja, Rini, (1999), Konsep Bentuk Kota Dalam Kognisi Spasial Masyarakat Kota Bandung, Disertasi Doktor Program Studi Ilmu Teknik Planologi pada Program Pascasarjana Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung, tidak diterbitkan. Rapoport, Amos, (1969), House Form and Culture, Engelwood Cliffs, Prentice Hall Inc., New York. Riduwan, (2009), Metode dan Teknik Menyusun Proposal Penelitian, Penerbit Alfabeta, Bandung. Riduwan dan Sunarto, (2007), Pengantar Statistika Untuk Penelitian Pendidikan, Sosial, Ekonomi, Komunikasi dan Bisnis, Penerbit Alfabeta, Bandung. Rossi, Aldo, (1982), The Architecture of The City, The MIT Press, Cambridge. Spreiregen, Paul D, AIA, (1965), Urban Design : The Architecture of Towns and Cities, Mc. Graw Hill Book Company, New York. Sugiyono, (2004), Statistika Untuk Penelitian, Penerbit Alfabeta, Bandung.
88
Sulaiman Mamar, (1984), Sejarah Sosial Daerah Sulawesi Tengah (Wajah Kota Donggala dan Palu), Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai-Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Jakarta. Tjahyoko, Rudi., (2008), Identitas Kota di Kabupaten Bone Bolango, http://www.mailarchive.com/gorontalomaju2020. Tiro, M. A., (2002), Analisis Korelasi dan Regresi, Badan Penerbit Universitas Negersi Makassar, Makassar. Tjokroamidjojo, B, (1995), Pengantar Administrasi Pembangunan, Penerbit PT. Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta. Trancik, Roger, (1986), Finding Lost Space, Theories of Urban Design, Van Nostrand Reinhold Co, New York. Trisutomo, Slamet., (2004), Efforts to Sustain Urban Identities: Experiences from Johor Bahru and Fukuoka, LIPI, Jakarta. Wikantiyoso, Respati, (2007), Kota-Kota di Indonesia Kehilangan Jatidiri, Antara News, Sumber : http://www.antaranews.com, diakses Juni 2008. Wikantiyoso, Respati, (2006), Citra Kajoetangan Doeloe dan Sekarang, Sumber : http://respati.blogspot.com/2006_08_01_archive.html, diakses Mei 2008. Wikantiyoso, Respati, (2000), Perencanaan dan Perancangan Kota Malang : Kajian Historis Kota Malang, Arsitektur Indis, Sumber : http://www.mintakat.unmer.ac.id/edisi/4/4_1.html, diakses Pebruari 2008 Yakin, A., (1997), Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan Berkelanjutan, Penerbit Akademika Presindo, Jakarta. Yunus, Hadi Sabari, (1991), Perkembangan Kota dan Faktor-Faktornya, Fakultas Geografi Universitas Gajah Mada, Yogyakarya. Yunus, Hadi Sabari, (2000), Struktur Tata Ruang Kota, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Zahnd, Markus, (1999), Perancangan Kota Secara Terpadu : Teori Perancangan Kota dan Penerapannya, Penerbit Kanisius Yogyakarta.
89
KUESIONER PENELITIAN Nomor Lokasi Surveyor Hari/Tgl/Bln/Thn
: ...................................................................... : Kelurahan ..................................................... : ...................................................................... : ......................................................................
A. Petunjuk Pengisian 1. Bapak/ibu yang kami hormati, mohon kiranya Saudara berkenan untuk mengisi kuesioner di bawah ini sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Kuesioner ini disebarkan dalam rangka untuk menyelesaikan disertasi kami yang berjudul : “Kajian Identitas Kota Dalam Hubungannya Dengan Tingkat Kebutuhan Dan Kualitas Lingkungan”. 2.
Berilah tanda contreng () pada pilihan jawaban yang telah tersedia sesuai dengan keadaan sebenarmya.
B. Data Responden 1 Nama 2 Tempat Lahir 3 Jenis Kelamin 4 Usia/Umur 5 Tempat Tinggal 6 Berdomisili Sejak 7 Status Domisili 8 Asal 9 Pendidikan 10 Status Pernikahan 11 Pekerjaan Utama 12 Jabatan 13 Tempat Kerja 14 Pekerjaan Sampingan 15 Jabatan 16 Tempat Kerja
: : : Laki-laki / Perempuan : .................... Tahun : : : Menetap/Sementara : : : Belum Nikah / Nikah / Janda / Duda : : : : : :
90
C. Identitas Kota Alternatif Jawaban Responden 5 = Sangat Setuju 4 = Setuju 3 = Ragu-Ragu 2 = Tidak Setuju 1 = Sangat Tidak Setuju Manakah menurut anda gambaran ciri khas dan keunikan kota Donggala yang sesuai dengan kondisi kotanya saat ini : No.
PERNYATAAN 1
I 1
2
3
4
5 6
II. 7
8
9
10
Gambaran Ciri Khas dan Keunikan Geografis Letak Kota Donggala berhadapan langsung dengan Selat Makassar dan Teluk Palu sebagai jalur pelayaran transpotasi laut memberikan kemudahan pencapaian dan pergerakan orang, barang dan jasa; Letak Kota Donggala diantara dua wilayah yaitu Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat memberikan peluang kotanya untuk dapat berkembang lebih cepat; Kota Donggala memiliki perpaduan kondisi alam berupa pesisir pantai, pegunungan dan sungai yang membelah kota dengan pemandangan alam yang indah dan menarik memberi peluang untuk dapat ditata secara baik dalam pembentukan wajah dan nuansa kota; Kota Donggala yang dilalui oleh garis khatulistiwa memiliki cuaca yang cerah dan nyaman, serta mendukung aktivitas warga setempat; Kota Donggala memiliki potensi lahan yang subur dan hasil laut yang melimpah; Kota Donggala memiliki kondisi tanah dengan kandungan mineral yang potensial untuk dijadikan sebagai bahan tambang dan galian; Gambaran Ciri Khas dan Keunikan Historis Kota Donggala memiliki benda dan bangunan peninggalan sejarah Kerajaan Banawa yang masih terpelihara dengan baik dan bernilai tinggi Kota Donggala memiliki benda dan bangunan peninggalan kolonial Belanda yang masih terpelihara dengan baik dan bernilai tinggi; Kota Donggala memiliki adat istiadat yang masih dipakai dan sering diselengggarakan dalam tatanan kehidupan masyarakat kota; Kota Donggala memiliki cerita-cerita rakyat terkenal;
Alternatif Jawaban 2 3 4
5
91
III. 11
12
13
14
15
IV. 16
17
18
19
V. 20
21
Gambaran Ciri Khas dan Keunikan Aksesoris Kota Donggala memiliki prasarana infrastruktur kota (seperti jalan, jembatan, terminal, pelabuhan, dsb) yang mempunyai bentuk dan teknologi yang lebih canggih dan indah dibandingkan dengan wilayah lain; Kota Donggala memiliki sarana dan atribut kota (seperti kawasan perkantoran, pasar, rumah sakit, pertokoan, dsb) yang mempunyai fungsi dan tampilan yang lebih menarik dibandingkan dengan wilayah lain; Kota Donggala memiliki komoditas alam berupa kopra dan sapi Donggala yang mempunyai ciri khas dan keunggulan lebih dibandingkan dengan wilayah lain; Kota Donggala memiliki kerajinan khas Sarung Tenun Sutra Donggala yang mempunyai corak dan kualitas yang lebih unggul dibandingkan dengan produk kerajinan sarung tenun lainnya di Indonesia; Kota Donggala memiliki makanan khas Kaledo (kaki lembu donggala) yang mempunyai cita rasa yang tinggi dibandingkan dengan makanan khas lainnya di Indonesia; Gambaran Ciri Khas dan Keunikan Humanis Kehidupan sosial budaya dan politik warga Kota Donggala memiliki norma-norma atau hukum adat setempat (seperti Hukum Adat Kota Pitunggota) yang masih dipegang teguh dalam menyikapi tatanan kehidupan masyarakat modern saat ini; Warga Kota Donggala memiliki gaya dan pola hidup yang masih dilandasi oleh semangat gotong royong dan saling membantu dalam komunitas sebagai bentuk kehidupan sosial dan budaya lokal setempat yang terpelihara hingga saat ini; Warga Kota Donggala memiliki kepribadian yang santun, saling menghargai, sikap yang tegas dan memegang prinsip yang teguh dalam menyikapi pergaulan hidup sehari-hari; Warga Kota Donggala memiliki atraksi-atraksi budaya lokal setempat, seperti seni tari/gerak dan bela diri, yang masih sering ditampilkan sebagai bentuk pelestarian seni dan budaya; Gambaran Ciri Khas dan Keunikan Strategis Kota Donggala telah memiliki dokumen perencanaan dan perangkat aturan/kebijakan yang jelas, terstruktur dan berkelanjutan dalam menyikapi arah pembangunan kota ke depan; Kota Donggala mempunyai perangkat dewan kota yang memberikan pertimbangan kepada pemerintah
92
22
daerah dalam merumuskan langkah-langkah penataan kota Pemerintah daerah mempunyai program-program kerjasama yang mantap antara masyarakat, swasta dan pemerintah dalam mendukung potensi dan keunikan kota yang dimiliki sebagai tanggapan terhadap tuntutan perkembangan kotanya.
D. Pengungkapan Identitas Kota 23. Berdasarkan gambaran ciri khas dan keunikan geografis kota Donggala di atas, kondisi manakah yang paling tepat mewakili identitas kota Donggala : a) Kota Donggala sebagai Kota Pelabuhan; b) Kota Donggala sebagai Kota Kerajinan; c) Kota Donggala sebagai Kota Wisata; d) Kota Donggala sebagai Kota Pemerintahan; e) Kota Donggala sebagai Kota Perjuangan; f) Kota Donggala sebagai Kota Pendidikan; g) Kota Donggala sebagai Kota Pantai/Pesisir h) Kota Donggala sebagai Kota Perdagangan dan Jasa; i) Lainnya sebutkan ................................................... 24. Berdasarkan gambaran ciri khas dan keunikan historis kota Donggala di atas, kondisi manakah yang paling tepat mewakili identitas kota Donggala : a) Kota Donggala sebagai Kota Pelabuhan; b) Kota Donggala sebagai Kota Kerajinan; c) Kota Donggala sebagai Kota Wisata; d) Kota Donggala sebagai Kota Pemerintahan; e) Kota Donggala sebagai Kota Perjuangan; f) Kota Donggala sebagai Kota Pendidikan; g) Kota Donggala sebagai Kota Pantai/Pesisir h) Kota Donggala sebagai Kota Perdagangan dan Jasa; i) Lainnya sebutkan ................................................... 25. Berdasarkan gambaran ciri khas dan keunikan aksesoris kota Donggala di atas, kondisi manakah yang paling tepat mewakili identitas kota Donggala : a) Kota Donggala sebagai Kota Pelabuhan; b) Kota Donggala sebagai Kota Kerajinan; c) Kota Donggala sebagai Kota Wisata; d) Kota Donggala sebagai Kota Pemerintahan; e) Kota Donggala sebagai Kota Perjuangan; f) Kota Donggala sebagai Kota Pendidikan; g) Kota Donggala sebagai Kota Pantai/Pesisir h) Kota Donggala sebagai Kota Perdagangan dan Jasa; i) Lainnya sebutkan ................................................... 26. Berdasarkan gambaran ciri khas dan keunikan humanis kota Donggala di atas, kondisi manakah yang paling tepat mewakili identitas kota Donggala : a) Kota Donggala sebagai Kota Pelabuhan;
93
b) c) d) e) f) g) h) i)
Kota Donggala sebagai Kota Kerajinan; Kota Donggala sebagai Kota Wisata; Kota Donggala sebagai Kota Pemerintahan; Kota Donggala sebagai Kota Perjuangan; Kota Donggala sebagai Kota Pendidikan; Kota Donggala sebagai Kota Pantai/Pesisir Kota Donggala sebagai Kota Perdagangan dan Jasa; Lainnya sebutkan ...................................................
27. Berdasarkan gambaran ciri khas dan keunikan strategis kota Donggala di atas, kondisi manakah yang paling tepat mewakili identitas kota Donggala : a) Kota Donggala sebagai Kota Pelabuhan; b) Kota Donggala sebagai Kota Kerajinan; c) Kota Donggala sebagai Kota Wisata; d) Kota Donggala sebagai Kota Pemerintahan; e) Kota Donggala sebagai Kota Perjuangan; f) Kota Donggala sebagai Kota Pendidikan; g) Kota Donggala sebagai Kota Pantai/Pesisir h) Kota Donggala sebagai Kota Perdagangan dan Jasa; i) Lainnya sebutkan ...................................................
94
FOTO-FOTO KONDISI EKSISTING KOTA DONGGALA DENGAN BERBAGAI POTENSI DAN KEUNIKAN YANG DIMILIKINYA
Berbagai artefak bangunan bersejarah peninggalan kerajaan dan kolonial Belanda berupa: mercusuar beserta fasilitas rumah jaganya, bangunan tradisional, rumah raja, rumah pejabat residen, sekolah Cina, serta gedung kantor dan gudang HET Koprafonds (Sumber : Amar, 2015).
Kondisi bentang alan Kota Donggala perpadun alam pegunungan, pantai pasir putih dan sungai dalam satu kota (Sumber : Amar, 2015)
95
FOTO-FOTO KONDISI EKSISTING KOTA DONGGALA DENGAN BERBAGAI POTENSI DAN KEUNIKAN YANG DIMILIKINYA
Kondisi pelabuhan Donggala dengan berbagai fasilitas dan artefak bangunan berupa gedung doane (bea cukai), gudang pelabuhan dan dermaga peninggalan kolonial belanda, serta wajah kota Donggala Tua di sekitar pelabuhan (Sumber : Amar, 2015).
Kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat Kota Donggala yang cenderung berbasis pada kegiatan penunjang wisata, antara lain : pembuatan kain tenun sutra Donggala dengan menggunakan alat tenun bukan mesin, nelayan tradisional, dan penyediaan fasilitas wisata bahari berupa resort dan diving (Sumber : Amar, 2015).