UNIVERSITAS INDONESIA
PROSES PENJERNIHAN ASAP KEBAKARAN DAN PENYERAPAN KARBON MONOKSIDA MENGGUNAKAN ADSORBEN
DISERTASI
YULIUSMAN 0806400913
FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA DEPOK JULI 2015
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
UNIVERSITAS INDONESIA
PROSES PENJERNIHAN ASAP KEBAKARAN DAN PENYERAPAN KARBON MONOKSIDA MENGGUNAKAN ADSORBEN
DISERTASI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
YULIUSMAN 0806400913
FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA DEPOK JULI 2015
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas berkah, karunia, dan bimbingan-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan disertasi ini. Disertasi dengan judul “Proses Penjernihan Asap Kebakaran dan Penyerapan Karbon Monoksida Menggunakan Adsorben” ini disusun sebagai salah satu persyaratan akademis untuk meraih gelar Doktor di Departemen Teknik Kimia FTUI. Penulis sepenuhnya menyadari bahwa, tanpa adanya bantuan, dukungan, bimbingan dan doa dari berbagai pihak, perjalanan panjang dalam penyelesaian disertasi ini takkan sampai pada ujungnya. Karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ungkapan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Widodo W. Purwanto, DEA dan Bapak Prof. Ir. Yulianto Sulistyo Nugroho M.Sc., Ph.D selaku Promotor dan Co-Promotor, yang tanpa lelah dan dengan penuh kesabaran menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberi masukan dan pengarahan dalam penelitian dan penyusunan disertasi ini; 2. Para Dewan Penguji: Prof. Dr. Ir. Roekmijati W. Soemantojo, M.Si, Prof. Dr. Ir. Anondho Wijanarko, M.Eng, Prof. Dra. Fatma Lestari, M.Si., Ph.D., Prof. Ir. Sutrasno Kartohardjono MSc, Ph.D., Prof. Ir. Mahmud Sudibandriyo, M.Sc, Ph.D, dan Prof. Dr. Ir. Purwanto, DEA., yang mengawal dan memberi masukan untuk Disertasi ini sejak dari pembuatan proposal penelitian maupun sejak Ujian Penelitian II; 3. Orang tua tercinta: Alm. Abdul Rahman dan Saudah, orang tua sederhana dengan penuh perjuangan memberikan warisan luar biasa bagi anak-anaknya: pendidikan dan nilai-nilai; 4. Istri tercinta, Lita Adriani, S.S., dengan sabar memberikan dukungan selama perjalanan pendidikan doktoral yang panjang ini. Serta belahan jiwa penyenang mata: Yasmin M Julita, yang selalu menjadi pemompa semangat dan menghadirkan keceriaan saat kejenuhan dating. 5. Ibunda Siti Aminah yang selalu memberi dukungan moril selama perjalanan pendidikan doktoral yang panjang ini. iv
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
6. Kakanda Erma, Eda, Wilisna, Sarpin, Oktaf dan Adinda Jon, Indra, Daf beserta keluarga masing-masing yang selalu memberika dukungan moril; 7. Mas Teguh, Triguno beserta keluarga masing-masing; 8. Sahabat-sahabat terbaik yang menyediakan waktu sebagai “team pengawal” selalu siap membantu: Mbak Wulan, Eva, Anti, Nana; 9. Seluruh
dosen
Departemen
Teknik
Kimia-FTUI
atas
bantuan
dan
dukungannya; 10. Kang Jajat, Mang Ijal, Eko, Diki, Reni, Tiwi dan seluruh karyawan Departemen Teknik Kimia yang telah banyak membantu penelitian dari awal hingga akhir; 11. Da Irsyad, Armen, Yasri dan teman-teman lainnya di Ikatan Keluarga Besar Barung-Barung Belantai dan Sekitarnya; 12. Serta semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya dan menjadi pemicu bagi penulis untuk memberi manfaat yang lebih banyak dan lebih luas. Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam penulisan disertasi ini. Oleh karena itu, saran dan kritik sangat penulis harapkan agar perbaikan dapat terus dilakukan untuk mencapai hasil yang lebih baik lagi.
Depok, 03 Juli 2015 Penulis
v
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
ABSTRAK
Nama : Yuliusman Program Studi : Teknik Kimia Judul : Proses Penjernihan Asap Kebakaran dan Penyerapan Karbon Monoksida Menggunakan Adsorben Tingkat kematian karena keracunan asap kebakaran jauh lebih besar dibandingkan dengan kematian karena luka bakar. Penelitian ini bertujuan untuk penjernihan asap dan penyerapan CO mengunakan material berukuran nano. Penelitian ini dibagi tiga tahapan, tahap pertama dilakukan seleksi adsorben dalam menyerap CO dengan metode adsorpsi isotemis. Tahap kedua dilakukan uji pembuatan asap dari tisu. Tahap ketiga dilakukan uji penjernihan asap menggunakan adsorben terpilih di tahap pertama dalam kompartemen tunggal yang dilengkapi alat pendeteksi asap fotoeletrik berbasis micro controller. Variabel penelitian adalah ukuran partikel, massa adsorben dan ketinggian sensor di dalam ruang uji dengan parameter tingkat penjernihan 10% (t10). Hasil penelitian menunjukkan bahwa karbon aktif dan zeolit alam teraktifasi memiliki kemampuan yang baik dalam penyerapan CO. Nilai ngibbs berturut-turut karbon aktif dan zeolit alam teraktifasi, adalah 0,0682 dan 0,0352 mmol/g. Massa tisu 6 gram dapat menghasilkan asap yang pekat. Proses penjernihan asap lebih efektif menggunakan adsoben dibandingkan tanpa adsorben, waktu t10 adsorben dibawah 50% dari t10 tanpa adsorben. Adsorben dengan ukuran partikel 53 μm mempunyai kemampuan paling baik. Kolom bagian atas lebih cepat jernih dibandingkan tengah dan bawah. Urutan kemampuan adsorben dalam menjernihkan asap berturut-turut: Accom> ACZnCl2> zeolit alam. Nilai t10 terbaik dari ACcom untuk bagian atas, tengah dan bawah kolom adalah 4, 4,6 dan 7,7 menit. Kata kunci: Penjernihan asap, adsorpsi, karbon monoksida, karbon aktif, zeolit alam
vii
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
ABSTRACT
Name Studyprogram Title
: Yuliusman : Chemical Engineering : Fire Smoke Clearing and Carbon Monoxide Adsorption Process Using Adsorbent
Mortality level due to fire smoke poisoning larger than caused by burn. The aim of this study is smoke clearing and CO adsorption using nano sized material. This study is conducted in three stages, the first stage is the selection of adsorbent to adsorb CO using isotherm adsorption method. The second stage is smoke production testing from tissue as raw material. The final stage is smoke clearing testing using adsorbent chosen in the first stage, conducted in a single compartment equipped with a photoelectric smoke detector based on micro controller. The variables in this study are particle size, adsorbent mass, and detector height in the compartment test, with degree of clearing called t10 as observed parameter. The results showed that activated carbon and activated natural zeolite has the best ability to adsorb CO. ngibbs value for activated carbon and activated natural zeolite is 0.0682 and 0.0352 mmole/g respectively. 6 grams of tissue can produce high density of smoke. Smoke clearing process using adsorbent more effective than without adsorbent, with t10 using adsorbent less that 50% compared to without adsorbent. Adsorbent with particle size 53μm has the most excellent abilities. Top section of compartment cleared faster than middle and bottom section. The order of adsorbent ability in smoke clearing is as follows: ACcom > ACZnCl2 > natural zeolite. The best parameter of t10 for ACcom at the top, middle, and bottom of compartment is 4, 4.6 and 7.7 minutes respectively. Keywords: Smoke clearing, adsorption, carbon monoxide, activated carbon, natural zeolite.
viii
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
DAFTAR ISI HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii KATA PENGANTAR ........................................................................................... iv HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS .............................................................. vi ABSTRAK ............................................................................................................ vii DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiii DAFTAR TABEL ................................................................................................. xv DAFTAR NOTASI .............................................................................................. xvi BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 1.1
Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2
Rumusan Masalah ......................................................................... 4
1.3
Tujuan Penelitian .......................................................................... 5
1.4
Hipotesis Penelitian....................................................................... 5
1.5
Nilai Keterbaruan (Novelty) .......................................................... 6
1.6
Batasan Masalah............................................................................ 6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 7 2.1
Termodinamika Kimia Pembakaran ............................................. 7
2.2
Produksi dan Sifat Asap ................................................................ 8
2.2.1
Pergerakan Asap ........................................................................... 9
2.2.2
Toksisitas Asap............................................................................ 11
2.2.2.1
Karbon Monoksida (CO) ............................................................. 13
2.2.2.2
Senyawa Lain Dalam Asap ......................................................... 14
2.2.3
Pengukuran Densitas Asap .......................................................... 15
2.2.3.1
Sitem Sensor Tipe Fotoelektrik ................................................... 17
2.3
Adsorpsi ...................................................................................... 20
2.3.1
Adsorpsi Fisika ............................................................................ 21
2.3.2
Adsorpsi Kimia............................................................................ 21
2.3.3
Adsorpsi Isotermis ....................................................................... 22
2.3.3.1
Adsorpsi Isotermis Freundlich .................................................... 23
2.3.3.2
Adsorpsi Isotermis Langmuir ...................................................... 23 ix
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
2.3.3.3
Adsorpsi Isotermis BET .............................................................. 24
2.3.3.4
Model Adsorpsi Isotermis Gibbs ................................................. 25
2.3.3.5
Hubungan Antara Adsorpsi Gibbs dan Adsorpsi Absolut pada Adsoprsi Gas Murni .................................................................... 26
2.3.4
Faktor yang Mempengaruhi Adsorpsi ......................................... 29
2.3.5
Gaya dan Energi Adsorpsi ........................................................... 30
2.4
Adsorben ..................................................................................... 30
2.4.1
Silika Gel ..................................................................................... 32
2.4.2
Zeolit ........................................................................................... 32
2.4.2.1
Struktur Zeolit ............................................................................. 33
2.4.2.2
Sifat Zeolit ................................................................................... 34
2.4.2.3
Zeolit Alam Lampung ................................................................. 35
2.4.2.4
Aktivasi Zeolit ............................................................................. 36
2.4.3
Karbon Aktif................................................................................ 39
2.4.3.1
Karbon Aktif Tempurung Kelapa Sawit ..................................... 40
2.4.3.2
Proses Pembuatan Karbon Aktif ................................................. 41
2.5
State of the Art Penjernihan Asap dan Penyerapan CO .............. 43
2.5.1
Penjernihan Asap ......................................................................... 43
2.5.2
Penyerapan CO ............................................................................ 46
2.5.3
Keterbaruan Riset ........................................................................ 47
BAB 3 METODE PENELITIAN.......................................................................... 55 3.1
Seleksi Adsorben ......................................................................... 55
3.1.1
Preparasi dan Karakterisasi Adsorben ......................................... 55
3.1.2
Uji Adsorpsi ................................................................................ 56
3.1.2.1
Diagram Ali Uji Adsorpsi ........................................................... 56
3.1.2.2
Alat Uji Adsorpsi......................................................................... 57
3.1.2.3
Prosedur Percobaan Uji Adsorpsi................................................ 59
3.1.2.4
Pengolahan Data Uji Adsorpsi .................................................... 63
3.2
Uji Pembuatan Asap .................................................................... 64
3.2.1
Prosedur Pembuatan Asap ........................................................... 64
3.2.2
Pengolahan Data Asap ................................................................. 64
3.3
Uji Penjernihan Asap dan Penyerapan CO ................................. 64
3.3.1
Diagram Alir Uji Penjernihan Asap dan Penyerapan CO ........... 65
3.3.2
Persiapan Adsorben ..................................................................... 65
3.3.2.1
Pembuatan Karbon Aktif ACZnCl2 ............................................. 66 x
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
3.3.2.2
Penghalusan Adsorben ................................................................ 68
3.3.2.3
Karakterisasi Ukuran Partikel (Particle Size Analyzer/PSA) ...... 68
3.3.3
Rancang Bangun Ruang Uji dengan Instrumentasi Photoelectric ..................................................................................................... 68
3.3.3.1
Set-up Alat ................................................................................... 69
3.3.3.2
Kalibrasi Sensor .......................................................................... 71
3.3.4
Pemilihan Alat Dispersi Adsorben dan Teknik Dispersi............. 72
3.3.4.1
Posisi Arah Sprayer Gun ............................................................. 72
3.3.4.2
Nitrogen Bertekanan Mengalir Kontinyu .................................... 73
3.3.4.3
Nitrogen Bertekanan Awal .......................................................... 75
3.3.5
Uji Penjernihan Asap dan Penyerapan CO .................................. 77
3.3.5.1
Bahan dan Alat ............................................................................ 77
3.3.5.2
Skema Prosedur Pengambilan Data Uji Penjernihan Asap dan Penyerapan CO............................................................................ 77
3.3.5.3
Prosedur Percobaan Uji Penjernihan Asap dan Penyerapan CO . 78
3.3.5.4
Variabel Penelitian Penjernihan Asap ......................................... 80
3.3.5.4
Label Adsorben yang Diuji pada Uji Penjernihan Asap ............. 80
3.3.5.5
Pengolahan Data Uji Penjernihan Asap ...................................... 81
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................. 83 4.1
Seleksi Adsorben ......................................................................... 83
4.1.1
Karakterisasi Adsorben ............................................................... 83
4.1.1.1
Rasio Si terhadap Al Zeolit ......................................................... 83
4.1.1.2
Luas Permukaan .......................................................................... 84
4.1.2
Uji Adsorpsi Karbon Monoksida ................................................ 85
4.1.2.1
Adsorpsi Karbon Monoksida Oleh Zeolit Alam Tidak Teraktifasi ..................................................................................................... 85
4.1.2.2
Adsorpsi Karbon Monoksida Oleh Zeolit alam teraktifasi.......... 88
4.1.2.3
Adsorpsi Karbon Monoksida Oleh Karbon Aktif ....................... 92
4.1.2.4
Adsorpsi Karbon Monoksida Oleh TiO2 ..................................... 94
4.1.2.5
Adsorpsi Karbon Monoksida Oleh CuO ..................................... 96
4.1.2.6
Adsorpsi Karbon Monoksida Oleh MgO .................................... 97
4.1.3
Hasil Seleksi Adsorben ............................................................... 98
4.2
Karakteristik Asap dan Hidrodinamika Asap ............................. 99
4.2.1
Karakteristik Asap ....................................................................... 99
4.2.2
Hidrodinamika Asap .................................................................. 102
4.3
Uji Penjernihan Asap dan Penyerapan Karbon Monoksida ...... 105 xi
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
4.3.1
Penjernihan Asap Oleh Karbon Aktif Komersial ...................... 105
4.3.1.1
Pengaruh Ukuran Partikel ......................................................... 106
4.3.1.2
Pengaruh Ketinggian ................................................................. 110
4.3.1.3
Pengaruh Massa ......................................................................... 114
4.3.2
Penjernihan Asap Oleh Karbon Aktif ACZnCl2 ....................... 117
4.3.3
Penjernihan Asap Oleh Zeolit Alam ......................................... 121
4.3.4
Pengaruh Jenis Adsorben terhadap Penjernihan Asap .............. 125
4.3.5
Pengaruh Jenis Adsorben terhadap Penyerapan CO ................. 127
4.4
Evaluasi Penjernihan Asap Keseluruhan .................................. 127
BAB V KESIMPULAN ...................................................................................... 129 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 130
xii
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
DAFTAR GAMBAR Gambar 2. 1 Proses perubahan secara fisik bahan bakar dari fase padat hingga uap ................................................................................................................................. 9 Gambar 2. 2 Produksi dan pergerakan asap .......................................................... 11 Gambar 2. 3 Skema tube furnace untuk menghasilkan produk pembakaran ........ 12 Gambar 2. 4 Gambaran cara kerja beam of light untuk mengukur optical density ............................................................................................................................... 16 Gambar 2. 5 Konfigurasi ATmega 16 ................................................................... 18 Gambar 2. 6 Downloader K125R.......................................................................... 18 Gambar 2. 7 Skematik LM2576 ............................................................................ 19 Gambar 2. 8 Voltage regulator rancangan ............................................................ 19 Gambar 2. 9 Sensor cahaya photodiode ................................................................ 20 Gambar 2. 10 Laser Pointer .................................................................................. 20 Gambar 2. 11 Kurva adsorpsi isotermis Langmuir dan BET ................................ 22 Gambar 2. 12 Ilustrasi keadaan fasa teradsorpsi pada suatu pori adsorben .......... 26 Gambar 2. 13 Profil tipe-tipe kurva isoterm Gibbs ............................................... 28 Gambar 2. 14 Tetrahedral alumina dan silika (TO4) pada struktur zeolit ............. 33 Gambar 2. 15 Proses pelepasan Al dalam rangka menjadi Al diluar rangka ........ 38 Gambar 2. 16 Struktur fisik karbon aktif .............................................................. 39 Gambar 2. 17 Struktur pori karbon aktif ............................................................... 40 Gambar 2. 18 Struktur karbon aktif sebelum dan sesudah aktivasi ...................... 42 Gambar 3. 1 Diagram alir uji adsorpsi .................................................................. 57 Gambar 3. 2 Skema alat uji adsorpsi..................................................................... 58 Gambar 3. 3 Rangkaian peralatan uji adsorpsi...................................................... 60 Gambar 3. 4 Diagram alir penelitian uji penjernihan asap.................................... 65 Gambar 3. 5 Diagram alir pembuatan karbon aktif dari tempurung kelapa sawit 66 Gambar 3. 6 Skema ruang uji dengan instrumentasi photoelectric ...................... 69 Gambar 3. 7 Foto ruang uji penjernihan asap ....................................................... 70 Gambar 3. 8 Rangkaian alat micro controller ....................................................... 70 Gambar 3. 9 Skema mekanisme kerja alat pendeteksi asap .................................. 71 Gambar 3. 10 Kondisi dasar ruang uji setelah adsorben didispresikan................. 73 Gambar 3. 11 Massa padatan yang tertinggal pada sprayer gun ........................... 74 Gambar 3. 12 Persentase massa padatan yang tertinggal pada sprayer gun ......... 75 Gambar 3. 13 Bagan alir prosedur pengambilan data pada uji penjernihan asap 78 Gambar 4. 1 Rasio Si/Al pada setiap tahapan proses preparasi zeolit alam ......... 83 Gambar 4. 2 Pengaruh tekanan CO terhadap kapasitas adsorpsi zeolit alam tidak teraktifasi ....................................................................................... 86 Gambar 4. 3 Tipe asam Lewis pada permukaan pori zeolit dan adsorbat terikat dengan Al3+. ................................................................................... 88 Gambar 4. 4 Adsorbat terikat pada pemukaan pori zeolit ..................................... 88 Gambar 4. 5 Pengaruh tekanan gas CO terhadap kapasitas adsorpsi zeolit alam teraktifasi ....................................................................................... 89 Gambar 4. 6 Hasil karakterisasi EDAX zeolit alam ............................................. 90 Gambar 4. 7 Muatan pada permukaan zeolit ........................................................ 91 xiii
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Gambar 4. 8 Molekul CO terikat secara kimia pada permukaan yang mengandung logam transisi................................................................................. 92 Gambar 4. 9 Pengaruh tekanan gas CO terhadap kapasitas adsorpsi karbon aktif 93 Gambar 4. 10 CO terikat pada permukaan yang mengandung atom carbon ....... 94 Gambar 4. 11 Ilustrasi karbon aktif menyerap adsorbat ....................................... 94 Gambar 4. 12 Pengaruh tekanan gas CO terhadap kapasitas adsorpsi TiO2. ........ 95 Gambar 4. 13 Pengaruh tekanan gas CO terhadap kapasitas adsorpsi CuO ......... 96 Gambar 4. 14 Pengaruh tekanan gas CO terhadap kapasitas adsorpsi MgO ........ 97 Gambar 4. 15 Kemampuan penyerapan air oleh adsorben ................................... 99 Gambar 4. 16 Pengaruh massa tisu terhadap densitas optis ................................ 100 Gambar 4. 17 Lensa kaca kalibrasi dengan densitas optis .................................. 100 Gambar 4. 18 Pengaruh massa tisu terhadap pembentukkan CO ....................... 101 Gambar 4. 19 Densititas optis asap pada awal pembakaran ............................... 103 Gambar 4. 20 Densitas optis asap pada pembakaran maksimum ....................... 104 Gambar 4. 21 Densitas optis asap pada akhir pembakaran ................................. 105 Gambar 4. 22 Pengaruh ukuran partikel karbon aktif ACcom terhadap penjernihan asap .............................................................................................. 107 Gambar 4. 23 Pengaruh ketinggian sensor terhadap penjernihan asap oleh ACcom ..................................................................................................... 111 Gambar 4. 24 Struktur karbon aktif .................................................................... 112 Gambar 4. 25 Kemampuan adsorben menyerap uap air ..................................... 112 Gambar 4. 26 Pengaruh ukuran karbon aktif ACcom terhadap t10 ..................... 114 Gambar 4. 27 Pengaruh massa karbon aktif ACcom terhadap penjernihan asap 116 Gambar 4. 28 Pengaruh massa karbon aktif ACcom terhadap t10 ..................... 117 Gambar 4. 29 Pengaruh ukuran partikel karbon aktif ZnCl2 terhadap penjernihan asap .............................................................................................. 118 Gambar 4. 30 Pengaruh ukuran karbon aktif ACZnCl2 terhadap t10 .................. 119 Gambar 4. 31 Pengaruh ketinggian sensor terhadap penjernihan asap oleh karbon aktif ACZnCl2 .............................................................................. 119 Gambar 4. 32 Pengaruh massa karbon aktif ACZnCl2 terhadap penjernihan asap ..................................................................................................... 120 Gambar 4. 33 Pengaruh massa karbon aktif ACZnCl2 terhadap t10 ................... 121 Gambar 4. 34 Pengaruh ukuran partikel zeolit alam terhadap penjernihan asap 123 Gambar 4. 35 Pengaruh ukuran partikel zeolit alam terhadap t10 ....................... 123 Gambar 4. 36 Pengaruh ketinggian sensor terhadap penjernihan asap oleh zeolit alam ............................................................................................. 123 Gambar 4. 37 Pengaruh massa zeolit alam terhadap penjernihan asap............... 124 Gambar 4. 38 Pengaruh massa zeolit alam terhadap t10 ...................................... 125 Gambar 4. 39 Pengaruh jenis adsorben terhadap t10 ........................................... 126 Gambar 4. 40 Densitas masing-masing adsorben ............................................... 126 Gambar 4. 41 Pengaruh massa terhadap proses penyerapan CO ........................ 127
xiv
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
DAFTAR TABEL Tabel 2. 1 Gas beracun yang terbawa bersama asap pembakaran ........................ 12 Tabel 2. 2 Konsentrasi karbon monoksida dan waktu paparan ............................. 13 Tabel 2. 3 Komposisi kimia zeolit alam Lampung ............................................... 35 Tabel 2. 4 Ukuran pori karbon aktif ...................................................................... 39 Tabel 2. 5 Komposisi tempurung kelapa sawit ..................................................... 41 Tabel 2. 6 Perkembangan penelitian pembuatan karbon aktif .............................. 42 Tabel 2. 7 Perkembangan penelitian tentang pemanfaatan adsorben, penjernihan asap dan adsorpsi CO ........................................................................... 49 Tabel 3. 1 Bacaan tekanan saat uji tekanan sprayer gun ...................................... 76 Tabel 3. 2 Variasi dari tipe, diameter dan massa adsorben ................................... 81 Tabel 4. 1 Luas permukaan adsorben .................................................................... 85 Tabel 4. 2 Adsorpsi CO oleh zeolit alam tidak teraktifasi ................................... 86 Tabel 4. 3 Jari-jari beberapa molekul gas ............................................................. 87 Tabel 4. 4 Adsorpsi gas CO oleh zeolit alam teraktifasi ....................................... 89 Tabel 4. 5 Adsorpsi gas CO oleh karbon aktif ...................................................... 93 Tabel 4. 6 Adsorpsi gas CO oleh TiO2.................................................................. 95 Tabel 4. 7 Adsorpsi gas CO oleh CuO .................................................................. 96 Tabel 4. 8 Adsorpsi gas CO oleh MgO ................................................................. 98 Tabel 4. 9 Nilai nmaks dan b untuk masing-masing adsorben ................................ 98 Tabel 4. 10 Data kandungan CO dengan variasi massa tisu ............................... 101
xv
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
DAFTAR NOTASI =
koefisien nonperfect sticking
=
konstanta adsorpsi Langmuir yang besarnya bergantung pada temperatur
=
parameter adsorpsi isotermis model BET
K
=
koefisien absorpsi
k, n
=
konstanta empiris untuk setiap pasangan adsorbat-adsorben padatemperatur tertentu
kd∞
=
koefisien kecepatan desorpsi pada temperatur tak terhingga
L
=
maksimum kapasitas adsorpsi pada model Langmuir dan Model BET, mmol/g
l
=
jarak atau ketebalan asap (m)
m
=
massa adsorben, g
=
jumlah gas yang teradsorpsi, mmol/g
=
jumlah gas yang tak teradsorpsi, mmol/g
=
jumlah gas yang diinjeksikan ke dalam dozing cylinder
OD
=
Optical density, m-1
P
=
tekanan adsorbat, psia
Ps
=
tekanan jenuh adsorbat gas hingga mencapai kapasitas maksimum adsorpsi
R
=
Konstanta gas ideal
t
=
waktu, detik
x
=
kuantitas adsorben
=
faktor kompresibilitas
𝜌
=
densitas cairan (g/cm3)
=
fraksi luas permukaan yang tertutup oleh lapisan monolayer
=
viskositas pelarut, poise
=
jumlah mol gas teradsorpsi per satuan unit massa adsorbent, mmol/g
B
ω
xvi
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebakaran merupakan salah satu jenis bencana yang masih belum bisa diprediksi terjadinya. Secara nasional, kebakaran menyumbangkan 15% kejadian bencana di Indonesia. Berdasarkan data yang berhasil dihimpun oleh Damkar selama tahun 2014, ditemukan bahwa kebakaran paling sering terjadi di Jakarta yaitu sebanyak 1260 kejadian dan kejadian kebakaran pada tahun 2013, yakni sebanyak 1515 kejadian. Sedangkan berdasarkan data BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) kejadian kebakaran pada pemukiman pada tahun 2014 tercatat 472 kejadian, meningkat dibandingkan pada tahun 2013 sejumlah 399 kejadian. Kejadian kebakaran biasanya menghasilkan asap yang sangat pekat. Asap adalah kumpulan partikel padat, cair dan gas kecil. Meskipun asap dapat mengandung ratusan bahan kimia yang berbeda, asap yang terlihat sebagian besar adalah karbon (jelaga), tar, minyak dan abu. Asap merupakan kumpulan dari partikel-partikel kecil yang tidak terbakar. Setiap partikel asap terlalu kecil untuk dilihat dengan mata, tetapi ketika senyawa asap beraglomerasi bersama-sama, maka akan terlihat sebagai asap. Asap terjadi ketika ada pembakaran tidak sempurna, menghasilkan senyawa-senyawa yang bersifat racun yang dapat menyebabkan kematian (Science Learn, 2015). Tingkat kematian karena keracunan asap kebakaran jauh lebih besar dibandingkan dengan kematian karena luka bakar. 85% kematian pada kasus kebakaran disebabkan oleh asap kebakaran yang tebal dan beracun. Sementara itu Hull, et.al., (2007) melaporkan bahwa tingkat kematian pada kasus kebakaran karena terpapar asap mencapai 80%. Diantara senyawa beracun yang terdapat dalam asap adalah karbon monoksida (CO) yang merupakan penyebab utama kematian pada kasus kebakaran (Nelson, 1998). Paparan CO 1600 ppm selama 20 menit dapat menyebabkan sakit kepala, kontraksi jantung cepat, pusing dan mual, terpapar selama 2 jam dapat menyebabkan kematian. Sedangkan paparan CO 3200 ppm
1 Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
2
selama 5 - 10 menit dapat menyebabkan sakit kepala, pusing, dan mual, terpapar selama 30 menit dapat menyebabkan kematian. Tingkat racun (toxicity) dari keluaran pembakaran merupakan fungsi dari material dan kondisi lingkungan pembakaran seperti zona pembakaran, geometri ruang dan ventilasi (Wang, et.al., 2007). Wang et.al., (2007) telah mengkaji gas yang dihasilkan dari pembakaran kayu blok dan kayu lapis (lining material). Pemilihan lining materil
karena bahan ini termasuk yang banyak digunakan
untuk dinding dan ceiling pada gedung perkantoran dan rumah, bahan ini mudah terbakar. Hasilnya menunjukkan bahwa semakin kecil ventilasi maka semakin banyak gas CO yang dihasilkan. Dari hasil peneliti yang lain menunjukkan bahwa hasil pembakaran bukan hanya mengandung CO tetapi juga mengandung senyawa berbahaya yang lain. Annemarie et.al. (2008) telah menemukan kasus kebakaran hutan di Australia, bahwa asap kebakaran bukan hanya mengandung gas beracun CO, tetapi juga mengandung senyawa organik dan an-organik, seperti senyawa aldehid 60% dan akrolin pada level
80% dari TEL (Term Exposure Limit).
Senyawa aldehid dan akrolin adalah senyawa yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan bagi pekerja pemadam kebakaran (Fabienne et al., 2008). Hasil penelitian Blomqvist, (2004) menunjukkan pembentukan CO disebabkan oleh kondisi pembakaran dari smouldering sampai nyala. Selain beracun, ketebalan asap juga dapat menurunkan tingkat visibilitas seseorang dan tentunya akan berpengaruh dalam kecepatan melakukan evakuasi selama kebakaran. Proses evakuasi dapat terhambat karena jarak pandang terbatas dan gangguan pernafasan. Dari latar belakang di atas terbukti bahwa asap hasil kebakaran menimbulkan risiko yang sangat tinggi terhadap bahaya kematian. Oleh karena itu diperlukan upaya khusus untuk mengurangi tingkat racun dan ketebalan asap (proses penjernihan) pada kasus kebakaran. Pemanfaatan adsorben untuk proses penjernihan asap diharapkan dapat juga menyelesaikan penyerapan CO. Selama ini adsorben yang banyak digunakan untuk penjernihan asap adalah TiO2, MgO, NaHCO3, Ca(OH)2 (Yadav, et.al, 2007), oksida logam dan hiroksida logam dari Mg, Sr, Ba, Ca, Ti, Zr, Fe, V, Mn, Ni, Cu, Al, Si, Zn, Ag, Mo, Sb, dan campurannya Mulukutla dkk, (2007). Kemampuan adsorben logam
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
3
ini mampu menjernihkan asap lebih cepat 10 kali dibandingkan tanpa adsorben. Xu, et. al. (2003) menggunakan zeolit NaY dan ZSM-5 untuk menyerap nitroamine dari asap rokok. Kapasitas penyerapan masing-masing 84% dan 82%. Penggunaan adsorben di atas baru sebatas untuk penjernihan asap, belum dilihat kemampuan mengadsopsi CO. Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan uji kemampuan terhadap TiO2, CuO dan MgO dalam mengadsorpi CO. Karena penggunaan adsorben di atas memiliki harga yang mahal dan keberadaan juga terbatas, maka pemilihan adsorben berbahan baku alam menjadi alternatif yang potensial untuk dikembangkan. Indonesia memiliki banyak sumber zeolit alam dan karbon aktif. Keduanya merupakan bahan alam yang potensial dijadikan adsorben untuk menjernihkan asap dan menyerap CO. Hingga saat ini belum ada penelitian yang meneliti penyerapan CO dari asap menggunakan adsorben zeolit alam dan karbon aktif. Zeolit alam dan karbon aktif yang digunakan perlu mendapatkan perlakuan awal sebelum dijadikan sebagai adsorben. Zeolit alam masih banyak pengotor yang dapat mengurangi luas permukaan, kemampuan menjernihkan asap dan bersifat hydrophilic (suka terhadap uap air). Jika digunakan langsung untuk menjernihkan asap kemampuan zeolit menyerap uap air lebih besar dibandingkan menyerap CO. Oleh karena itu perlu diaktifasi untuk meningkatkan luas permukaan dan lebih bersifat tidak suka terhadap air (hydrophobic). Tempurung kelapa sawit mengandung selulosa sebesar 26,6% dan hemiselulosa 27,7% baik untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku karbon aktif. Rata-rata produksi buah kelapa sawit per tahun adalah sebesar 5,6 juta ton, limbah tempurung yang dihasilkan sekitar 672 ribu ton (Pujianto, 2010). Oleh karena itu karbon aktif perlu dibuat sedemikian rupa sehingga menghasilkan luas permukaan yang besar. Sampai saat ini uji penjernihan asap umumnya menggunakan dua kompartemen (ruang uji). Kompartemen pertama berfungsi sebagai tempat membentuk asap, kompartemen kedua berfungsi sebagai ruang uji penjernihan asap. Adanya dua kompartemen yang terpisah dapat menyebabkan molekul asap semakin sering bertumbukkan karena adanya gaya dari luar untuk mengalirkan. Untuk menghindari hal tersebut pada penelitian ini, peneliti mendisain dan
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
4
menggunakan kompartemen (ruang uji) tunggal dimana proses pembentukkan asap dan uji penjernihan dilakukan dalam satu kompartemen. Pada penelitian ini dilakukan seleksi terhadap zeolit alam, karbon aktif TiO2, CuO dan MgO untuk menyerap CO, kemudian digunakan untuk menjernihkan asap dan mengadsopsi CO. Pada kompartemen tunggal ini dilakukan proses pembentukkan asap dan proses penjernihannya secara in-situ. Berdasarkan penelitian awal ditemukan kesulitan dalam pembuatan asap dengan tingkat kepekatan dan kandungan CO seperti asap kebakaran. Pembentukkan asap dilakukan menggunakan bahan yang mampu menghasilkan asap yang pekat berwarna putih (smoldering) dan kandungan CO tinggi. Setelah asap terbentuk, adsorben dimasukkan dengan cara didispersikan (spray) secara merata ke dalam kompartemen menggunakan gas nitrogen (carrier gas). Pada saat adsorben didispersikan inilah terjadinya proses penjernihan asap dan adsorpsi CO. Untuk mendapatkan proses penjernihan yang optimum maka perlu diperhatikan ukuran diameter adsorben, massa adsorben dan kemampuan penjernihan asap pada ketinggian tertentu di dalam kolom. Ketiga variabel ini menjadi fokus penelitian yang dilakukan. Parameter keberhasilan dari proses penjernihan asap dan penyerapan CO ini diukur dengan waktu untuk mencapai tingkat kejernihan 10% (t10) dan jumlah CO teradsorpsi.
1.2 Rumusan Masalah Studi penggunaan adsorben TiO2, CuO dan MgO dalam proses penjernihan asap selama ini hanya mengkaji tentang kemampuan adsorben dalam menjernihkan asap, belum meneliti tentang kemampuannya dalam menyerap CO. Padahal pada kasus kebakaran tingkat kematian paling tinggi disebabkan oleh kandungan CO yang sangat tinggi dalam asap. Oleh karena itu, sebelum adsorben digunakan dalam proses penjernihan asap, perlu dilakukan seleksi awal terhadap adsorben dengan melihat kemampuan adsorben tersebut dalam menyerap CO. Pada studi seleksi awal ini juga dilakukan studi terhadap zeolit alam dan karbon aktif sebagai adsorben alternatif yang potensial. Kepekatan dan kandungan CO sangat dipengaruhi oleh massa bahan bakar yang dibakar. Oleh karena itu diperlukan studi bagaimana pengaruh massa
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
5
bahan bakar yang dibakar terhadap kepekatan asap dan kandungan CO yang dihasilkan. Dari hasil seleksi kemampuan adsorben dalam menyerap CO di atas, terhadap adsorben terpilih dilakukan uji penjernihan asap dan menyerapan gas CO dari asap hasil pembakaran. Bagaimana meningkatkan kemampuan adsorben terpilih agar dapat meningkatkan kecepatan laju penjernihan asap dan penyerapan CO melalui pengaturan ukuran partikel dan massa adsorben?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan konseptual dari penelitian ini adalah mendapatkan adsorben yang mampu menjernihkan asap dan mengadsorpsi karbon monoksida secara simultan.
Tujuan operasional dari penelitian ini adalah: 1. Melakukan seleksi terhadap adsorben yang mampu menyerap CO dengan metoda adsorpsi isotermis, dimana parameter yang dijadikan untuk mengukur kemampuan adsorpsi adalah konstanta adsorpsi isotermis Langmuir (nmaks dan b). 2. Menentukan massa bahan bakar yang dapat menghasilkan asap jenis smoldering seperti pada asap kebakaran. 3. Melakukan uji penjernihan asap dan penyerapan CO terhadap adsorben hasil seleksi pada uji adsoprsi CO di atas untuk mendapatkan ukuran partikel dan massa dari adsorben yang efektif menjernihkan asap dan menyerap CO. 1.4 Hipotesis Penelitian Zeolit alam dan karbon aktif memiliki kemampuan yang baik dalam menjernihkan asap dan menyerap CO karena memiliki luas permukaan yang besar dan sifat elektrostatik pada permukaan.
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
6
1.5 Nilai Keterbaruan (Novelty) 1 Penelitian ini menggunakan zeolit alam dan karbon aktif untuk penjernihan asap dan penyerapan CO secara simultan, karena sampai saat ini belum pernah dilakukan. 2
Pada penelitian ini menggunakan kompartemen tunggal dimana proses pembuatan asap dan uji penjernihan dilakukan secara simultan dalam 1 (satu) ruang uji sehingga dapat menghindari terjadinya aglomerasi asap sebelum dispersi adsorben.
1.6 Batasan Masalah Batasan masalah pada penelitian ini: 1. Jenis asap smoldering yang berasal dari tisu. 2. Uji adsorpsi CO mengguna metode adsorpsi isotermis Langmuir. 3. Uji penjernihan asap menggunakan kompartemen tunggal. 4. Pendeteksi asap menggunakan sensor tipe fotoelektrik berbasis micro controller.
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Termodinamika Kimia Pembakaran Pembakaran merupakan reaksi kimia antara bahan bakar dengan suatu pengoksidasi yang menghasilkan panas, cahaya, gas, dan asap. Pembakaran dibagi menjadi dua, yaitu pembakaran sempurna dan pembakaran tidak sempurna. Pembakaran sempurna terjadi jika campuran bahan bakar dan oksigen mempunyai perbandingan yang tepat, sebaliknya pembakaran tidak sempurna terjadi jika campuran bahan bakar dan oksigen tidak mempunyai perbandingan yang tepat. Hasil pembakaran sempurna adalah karbon dioksida dan uap air. Jika oksigen terlalu banyak campuran dikatakan lean. Sebaliknya, jika bahan bakar terlalu banyak (atau tidak cukup oksigen), dikatakan campuran rich. Secara umum, rumus kimia untuk stoikiometri pembakaran sempurna hidrokarbon adalah y y CxHy x O2 x CO2 H 2 O 4 2
(2.1)
Berikut ini adalah persamaan reaksi pembakaran sempurna propana dengan oksigen. C3 H 8 5O2 3CO2 4H 2 O
(2.2)
Sedangkan reaksi pembakaran tidak sempurna hidrokarbon dengan oksigen, secara umum dapat dilihat pada Persamaan 2.3 berikut:
x y z. y z CxHy z O2 z.x CO H 2O 2 2 4
(2.3)
Berikut ini adalah persamaan reaksi pembakaran tidak sempurna propana dengan oksigen: 7 C3 H 8 O2 3CO 4 H 2 O 2
(2.4)
Jika pembakaran menggunakan udara kering reaksi pembakaran sempurna dapat dilihat pada Persamaan 2.5 berikut:
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
8
y y y y CxHy x O2 3,76 x N 2 x CO2 H 2 O 3,76 x N 2 (2.5) 4 4 4 2
Persamaan reaksi pembakaran sempuran propana dengan udara dapat dilihat pada persamaan berikut ini: C3 H 8 5O2 18,8N 2 3CO2 4H 2 O 18,8N 2
(2.6)
Sementara itu pembakaran tidak sempurna akan menghasilkan asap dengan komposisi yang sangat beragam. Pada kasus kebakaran reaksi pembakaran yang terjadi adalah pembakaran tidak sempurna, komposisi asapnya sangat beragam.
2.2 Produksi dan Sifat Asap Asap adalah kumpulan partikel padat, cair dan gas kecil. Meskipun asap dapat mengandung ratusan bahan kimia yang berbeda, asap yang terlihat sebagian besar adalah karbon (jelaga), tar, minyak dan abu. Asap terjadi ketika ada pembakaran tidak sempurna (tidak cukup oksigen untuk membakar sempurna bahan bakar). Pada pembakaran sempurna, semuanya bahan dibakar, hanya memproduksi air dan karbon dioksida. Ketika terjadi pembakaran tidak sempurna, tidak semuanya terbakar. Asap adalah kumpulan dari partikel-partikel kecil yang tidak terbakar. Setiap partikel terlalu kecil untuk dilihat dengan mata, tetapi ketika beraglomerasi bersama-sama, maka akan terlihat sebagai asap (Science Learn, 2015). Asap dapat memiliki densitas yang sangat pekat, panas dan mengandung senyawa beracun yang berbahaya terhadap kesehatan. Densitas dan toksisitas asap yang diproduksi bergantung pada bahan bakar dan kondisi pembakaran. Polimer aromatik seperti poli stirena, menghasilkan lebih banyak asap dari pada hidrokarbon dengan ikatan tunggal. Sedangkan volume total asap yang diproduksi bergantung pada ukuran api dan kondisi pembakaran. Umumnya ada tiga jenis kondisi pembakaran yaitu; flaming, pyrolisis, dan smoldering (Mulholland, 2002). Asap Flaming yaitu asap yang dihasilkan dari api yang menyala, seperti pembakaran pada kompor minyak tanah dan pembakaran sampah, asap yang dihasilkan berwarna hitam dan banyak butiran karbon. Asap pyrolisis merupakan
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
9
asap yang dihasilkan dari proses pemanasan radiasi pada permukaan material tanpa adanya pencampuran oksigen yang dapat merubah struktur kimia bahan bakar menjadi volatile, asap yang dihasilkan tidak terlalu hitam.temperatur pada permukaan material padatan antara 600 sampai 700 K, sedangkan temperatur pada permukaan gas antara 1200 sampai 1700 K. Meskipun kebanyakan material dapat dipirolisis hanya beberapa material yang dapat terbakar besar, seperti selulosa (kayu, kertas, cardboard, dll) dan busa poliuretan (Blomqvist, 2004). Asap smoldering, yaitu asap yang dihasilkan dari proses pembakaran yang terjadi karena kenaikan temperatur pada permukaan material dan reaksi antara uap material dan oksigen melalui efek konduksi atau konveksi. Pembakaran secara smoldering juga menghasilkan butiran asap, namun butiran yang dihasilkan berwarna putih. Proses terbakarnya suatu bahan bakar dari mulai padatan menjadi uap diperkirakan seperti pada Gambar 2.1.
Gambar 2. 1 Proses perubahan secara fisik bahan bakar dari fase padat hingga uap
(Drysdale, 2003)
2.2.1 Pergerakan Asap Pergerakkan asap yang cepat dapat mengakibatkan penurunan jarak pandang, menimbulkan kepanikan, dan menjadi lebih berbahaya terhadap pekerja pemadaman kebakaran (Blomqvist, 2004). Secara umum penyebaran atau gerakan asap dalam suatu ruangan dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya:
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
10
1. Gaya apung (buoyancy) yang dihasilkan oleh api. 2. Gaya apung (buoyancy) yang diakibatkan oleh perbedaan temperatur ambient internal ruangan dengan eksternal ruangan. 3. Sistem tata udara dalam ruangan tersebut dan banyaknya ventilasi pada ruangan sehingga berpengaruh pada volume udara yang dapat masuk atau keluar ruangan. Asap merupakan fluida oleh karena itu pergerakan asap mengikuti hukum mekanika fluida. Asap secara alamiah akan bergerak ke atas karena gaya apung dari asap. Gaya apung asap disebabkan karena perbedaan densitas antara fluida asap dengan udara di lingkungan sekitar. Perbedaan densitas ini disebabkan karena perbedaan temperatur asap dengan lingkungan sekitarnya. Asap terbentuk karena proses pembakaran maka temperatur awal asap lebih tinggi dibandingkan temperatur lingkungan sekitar. Seiring dengan waktu temperatur asap mengalami penurunan akibat kontak dengan lingkungan sekitar. Pertukaran panas ini terjadi secara konveksi, udara lingkungan bergerak masuk ke dalam asap yang menyebabkan penurunan temperatur asap dan meningkatkan temperatur lingkungan. Proses ini berlangsung hingga terjadinya titik kesetimbangan antara temperatur asap dengan temperatur lingkungan. Akibat penurunan temperatur asap gaya apung asap akan mengalami penurunan hingga mencapai nilai nol bahkan bernilai negatif. Hal inilah yang membuat asap berhenti bergerak ke atas dan cenderung bergerak turun karena gaya apungnya sudah bernilai negatif. Siklus seperti ini terjadi berulang-ulang sehingga membentuk kepulan asap yang disebut smoke plume. Pergerakan asap juga dipengaruhi oleh viskositas asap dan interaksi gesekan dengan udara lingkungan sekitar. Asap dengan viskositas rendah bergerak lebih cepat dibandingkan dengan yang viskositas lebih tinggi. Akibat interaksi asap dengan lingkungan sekitar dapat mempengaruhi konsentrasi dan ukuran
partikel-partikel
asap
sehingga
mempengaruhi
pergerakan
asap.
Pergerakkan asap juga sangat dipengaruhi oleh kondisi bangunan, pada bangunan bertingkat asap dapat naik melalui banyak jalur menuju lantai yang lebih tinggi. Secara umum pergerakkan asap dalam bangunan melalui saluran udara penghubung lantai, saluran toilet, dapur, poros lift, tangga, ventilasi, ruang antara
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
11
dinding. Gambar produksi dan pergerakan asap secara visual dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2. 2 Produksi dan pergerakan asap ( Blomqvist, 2004)
2.2.2
Toksisitas Asap Asap yang dihasilkan dari reaksi pembakaran mengandung gas beracun,
terutama reaksi pembakaran tidak sempurna. Pada kasus kebakaran reaksi pembakaran yang terjadi adalah reaksi tidak sempurna. Sebagian besar korban meninggal pada kasus kebakaran disebabkan terpapar asap yang mengandung senyawa beracun yang dapat menyebabkan sesak nafas, pingsan dan disorientasi yang menghambat proses evakuasi. Senyawa beracun yang terdapat dalam asap sangat bergantung pada bahan yang dibakar dan kondisi pembakaran. Lestari, et.al., (2006) telah meneliti tentang bahaya produk hasil pembakaran polimetil metakrilat (PMMA). PMMA metakrilat (PMMA) adalah bahan polimer termo plastik yang banyak digunakan pada interior bangunan dan transportasi umum, pengganti kaca jendela, selimut mandi, pelindung mesin, dan dalam seni dan display makanan. Proses pembakaran (non-flaming) PMMA dilakukan menggunakan tube furnace pada temperatur 350oC dan 420oC dengan mengatur aliran udara primer dan sekunder (Gambar 2.3). Hasilnya menunjukkan bahwa komposisi kimia asap dari dekomposisi termal PMMA pada 350 ° C adalah monomer metil metakrilat, etil akrilat, asam akrilat metil ester dan aseton. Produk pembakaran lain mengandung asam propanoat metil ester, asam isobutrik metil ester, 3-buten-2-one, 2-butanone, asetaldehida dan karbon dioksida hanya dihasilkan pada 420 ° C. Efek terhadap
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
12
kesehatan menunjukkan bahwa produk pembakaran dari PMMA dapat menyebabkan penurunan yang signifikan dalam kelangsungan hidup sel (Lestari, et.al., 2006). Sementara itu Tabel 2.1 menunjukkan gas beracun dari berbagai bahan yang dibakar ( Hilado, 1982).
Gambar 2. 3 Skema tube furnace untuk menghasilkan produk pembakaran (Lestari, et.al., 2006) Tabel 2. 1 Gas beracun yang terbawa bersama asap pembakaran
Gas Beracun
Efek
Potensi Sumber
Sublethal
Acrolein (CH2-CHCHO)
ABS
A
Formaldehyde (HCHO)
POM, polypropylenes
B
Hydrogen cyanide (HCN)
Nitrogen-containing materials, e.g., wool, silk, PAN, ABS
C
Hydrogen chloride (HCl)
PVC and chlorinated additives
B, D
Hydrogen fluoride (HF)
PTFE, other fluorinated compounds and additives
B
Hydrogen bromide (HBr)
Brominated compounds and additives
B, D
Sulfur dioxide (SO2)
Sulfur-containing materials, e.g., wool, vulcanized rubbers,
B
Hydrogen sulfide (H2S)
Sulfur-containing materials
C
Styrene (C8H8)
Polystyrenes, ABS
C
Toluene (C7H8)
Polystyrenes, PVC, polyurethane foams
D
Benzene (C6H6)
Polystyrenes, PVC, polyesters, nylons
C
Sublethal effects: A, dibawah 10−5 fraksi volum; B, 10−5 sampai 10−4 fraksi volum; C, 10−4 sampai 10−3 fraksi volum; D, 10−3 to 10−2 fraksi volum. (C.J. Hilado, 1982)
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
13
2.2.2.1 Karbon Monoksida (CO) Karbon monoksida dapat terbentuk dari salah satu dari tiga proses; (1) pembakaran tidak sempurna terhadap karbon atau komponen yang mengandung karbon, (2) reaksi antara karbon dioksida dengan senyawa yang mengandung karbon pada temperatur tinggi, (3) karbon dioksida terurai menjadi karbon monoksida dan oksigen pada temperatur tinggi. Karbon monoksida dalam darah dapat berikatan dengan hemoglobin (Hb) menjadi karboksi hemoglobin (COHb). Hemoglobin berikatan dengan karbon monoksida 200 kali lebih kuat dibandingkan dengan oksigen. Hal inilah yang menghambat proses pengangkutan oksigen ke seluruh jaringan tubuh. Kekurangan O2 (< 14%) dapat menyebabkan sesak nafas yang mengakibatkan kematian (Wang et.al., 2007). Baku mutu keberadaan karbon monoksida di udara 8 ppm. Konsentrasi CO 30 ppm dalam waktu 8 jam dapat menimbulkan rasa pusing dan mual, 1000 ppm dalam waktu 1 jam akan menyebabkan pusing dan kulit berubah menjadi kemerah-merahan. Konsentarsi CO 1300 ppm dalam waktu 1 jam dapat menyebabkan rasa pusing yang hebat dan kulit langsung berubah menjadi merah tua. Konsentrasi CO 12800 ppm dapat membunuh manusia dalam waktu 3 menit. (Goldstein, 2008). Tabel 2.2 menunjukkan dampak paparan CO terhadap kesehatan manusia. Tabel 2. 2 Konsentrasi karbon monoksida dan waktu paparan (Goldstein, 2008)
Konsentrasi CO
Tingkat COHb
Dampak
35 ppm
< 10%
6 - 8 jam menyebabkan pusing dan kepala sakit
100 ppm
> 10%
2 - 3 jam menyebabkan kepala sakit
200 ppm
20%
2 - 3 jam menyebabkan hilang keseimbangan
400 ppm
25%
1 - 2 jam menyebabkan sakit kepala hebat
800 ppm
30%
1600 ppm
40%
3200 ppm
50%
6400 ppm
60%
45 menit menyebakan pusing dan mual 20 menit menyebabkan pusing, kepala sakit, mual 2 jam menyebabkan meninggal 5 - 10 menit menyebabkan pusing, kepala sakit, mual 30 menit menyebabkan meninggal 1 - 2 menit menyebabkan pusing, kepala sakit 20 menit menyebabkan sesak napas, meninggal
12800 ppm
> 70%
< 3 menit menyebabkan meninggal
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
14
2.2.2.2 Senyawa Lain Dalam Asap Karbon dioksida, beracun terhadap jantung dan menyebabkan menurunnya gaya kontraktil. Pada konsentrasi 3% di udara, CO2 bersifat narkotik ringan, menyebabkan peningkatan tekanan darah dan denyut nadi, dan menyebabkan penurunan daya dengar. Pada konsentrasi 5% menyebabkan stimulasi pusat pernapasan, pusing-pusing, kebingungan, dan kesulitan pernapasan yang diikuti sakit kepala dan sesak napas. Pada konsentrasi 8% menyebabkan sakit kepala, keringatan, penglihatan buram, tremor, dan kehilangan kesadaran setelah paparan selama lima sampai sepuluh menit (Davidson, 2003). Gas NOx, berasal dari gas buangan pembakaran generator pembangkit listrik atau mesin yang menggunakan bahan bakar gas alam. Konsentrasi NO yang tinggi dapat menyebabkan gangguan pada sistem saraf yang mengakibatkan kejang-kejang. Bila keracunan terus berlanjut dapat menyebabkan kelumpuhan. Gas NO akan menjadi lebih berbahaya apabila gas NO teroksidasi menjadi NO2. Paparan NO2 konsentrasi tinggi dapat mengakibatkan kerusakan berat dan cepat pada paru-paru (Yang dan Stanley, 2008). Zat partikulat atau particulate matter (PM), merupakan zat pencemar padat maupun cair yang terdispersi di udara. Partikulat dapat berupa debu, abu, jelaga, asap, uap, kabut, atau aerosol. Beberapa unsur kandungan partikulat adalah karbon dari pembakaran tidak sempurna dan logam timbal dari pembakaran bensin bertimbal. Standar baku mutu yang diperbolehkan adalah 150 ug/Nm3 (Annemarie, 2008). Sulfur dioksida, gas yang tidak berwarna, berbau, dan larut dalam air membentuk asam. Ambang batas SO2 adalah 80 g/m3 rata-rata/tahun dan 365 g/m3 maksimum 24 jam, (Yang, 2008). Efek negatif terpapar gas ini adalah masalah pernafasan, perubahan ketahanan paru-paru, memperburuk penyakit pernafasan dan kardiovaskuler. Hidrogen sianida (HCN), dihasikan dari reaksi pembakaran senyawa hidrokarbon terklorinasi di udara seperti; plastik, kulit karet, sutra, wool, atau kayu. Pada konsentrasi 100 ppm dapat menyebabkan kematian dalam waktu 30 sampai 60 menit. Walau hidrogen sianida jauh lebih beracun dari karbon monoksida tetapi dalam kebakaran jumlahnya sangat kecil.
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
15
Phosgene, dihasilkan pembakaran senyawa hidrokarbon terklorinasi, seperti; karbon tetraklorida, freon, atau etilena diklorida. Konsentrasi 25 ppm dapat mematikan dalam waktu 30 sampai 60 menit.
2.2.3
Pengukuran Densitas Asap Densitas optis dapat dikatakan sebagai tingkat kecerahan asap. Densitas
optis dapat ditentukan dengan melewatkan asap pada sebuah alat opasitimeter. Pada alat tersebut terdapat sebuah transmitter yang mengirimkan cahaya dan ada bagian yang menerima cahaya (receiver) sehingga akan terbentuk sebuah lightbeam. Nilai dari densitas optis asap dapat diketahui ketika asap melewati lightbeam tersebut. Ketika tidak ada asap yang melintas, nilai intensitas cahaya yang diterima receiver akan sama dengan intensitas awal yang dikeluarkan oleh transmitter (I0). Seiring dengan melintasnya asap pada lightbeam tersebut maka nilai intensitasnya akan berkurang menjadi (I). Ada beberapa metode dalam mengukur partikulat asap dari material yang terbakar dan dapat memungkinkan untuk memilih metode sebagai berikut: a) Menyaring asap dan menentukan berat dari material (hanya cocok untuk pengujian skala kecil. b) Mengumpulkan asap pada volume yang sudah diketahui dan menentukan optical density-nya (untuk skala kecil dan menengah). c) Membiarkan asap untuk mengalir sepanjang pipa, dan mengukur optical density-nya dimana penyumbatan aliran sudah ditetapkan dan menyatu dalam satu perangkat tersebut untuk mengukur total partikulat asap. Diantara ketiga metode tersebut, metode yang paling memungkinkan dalam eksperimen ini adalah metode pada poin (b) (Apriano dan Yulianto, 2012). Optical density dapat ditentukan dengan pengukuran melalui beam of light yang melewati asap (Gambar 2.4)
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
16
Gambar 2. 4 Gambaran cara kerja beam of light untuk mengukur optical density (Drysdale, 2003)
Pada Gambar 2.4, beam of light atau sumber cahaya menembakkan cahaya ke foto cell dengan jarak L. Jika pada saat pengaktifan beam of light tidak ada asap yang terukur, intensitas yang diterima oleh recorder akan bernilai Io atau nilai intensitas awal. Pada saat asap melewati sinar dari sumber cahaya, intensitas yang terukur akan bernilai Ix sebagai intensitas yang berkurang dari intensitas awal. Hubungan kedua nilai intensitas ini dijelaskan melalui hukum Bouger (Mulholland, 2002):
Hubungan antara (I0) dan (I) terdapat pada hukum Bouger: (2.7) dimana, K = koevisien absorpsi l = jarak atau ketebalan asap. Sedangkan, untuk nilai densitas optis dapat diperoleh dengan persamaan:
(2.8)
Dari persamaan di atas, dapat dilihat bahwa nilai densitas optis sangat berpengaruh pada ketebalan asap. Semakin tebal asap maka densitas optis asap akan semakin besar. Di sisi lain, light transmission dan opasitas asap dapat ditentukan oleh persamaan berikut: (2.9)
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
17
Di mana T adalah besar nilai transmisi cahaya yang diterima oleh photo cell dengan satuan persentase (%) dan N adalah persentase opasitas yang terukur pada photo cell (%). Sehingga dari hubungan Persamaan (2.7) dan (2.8) dapat disubtstitusikan ke Persamaan (2.9), sehingga didapatkan persamaan baru:
T exp(OD)
(2.10)
Dengan demikian, nilai optical density berhubungan secara linier dengan nilai transmisi melalui persamaan:
Tingkat kecerahan asap dapat juga dinyatakan dalam opasitas yang menunjukkan derajat ketidaktembusan suatu permukaan oleh cahaya. Opasitas dinyatakan dalam persen dengan rentang 0 sampai 100. Sebagai contoh, jika suatu keadaan dikatakan memiliki opasitas 25%, hal ini berarti debu, jelaga, atau asap hanya menahan 25% cahaya yang lewat dan meneruskan 75% sisanya (Jennifer, et al., 2007). Untuk keadaan yang benar-benar gelap opasitas 100 (100%) dan keadaan jernih diberi opasitas 0 (0%).
2.2.3.1 Sitem Sensor Tipe Fotoelektrik
Micro Controller Micro controller adalah salah satu bagian dasar dari suatu sistem
komputer. Meskipun mempunyai bentuk yang jauh lebih kecil dari suatu komputer pribadi, micro controller dibangun dari elemen-elemen dasar yang sama. Micro controller merupakan suatu chip dengan tingat kesulitan yang sangat tinggi, dimana semua bagian yang diperlukan untuk suatu kontroler sudah dikemas dalam satu keping, biasanya terdiri dari CPU (Central Proccesssing Unit), RAM (Random Acess Memory), EEPROM/EPROM/PROM/ROM, I/O, Timer, dan lain sebagainya. Rata-rata micro controller memiliki instruksi manipulasi bit, akses ke I/O secara langsung dan mudah, dan proses interupsi yang cepat dan efisien. Gambar berikut adalah konfirugasi micro controller Atmega 16.
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
18
Gambar 2. 5 Konfigurasi ATmega 16
Downloader K125R Downloader K125R merupakan suatu perangkat elektronik yang
digunakan sebagai penghubung antara personal computer dengan micro controller (Gambar 2.6). Awalnya kode perintah/tugas dibuat di komputer kemudian dimasukkan ke dalam micro controller melalui perantara perangkat ini. Disamping itu, perangkat ini juga digunakan untuk mentransfer data hasil bacaan sensor ke dalam komputer karena perangkat ini juga dilengkapi dengan serial USART.
Gambar 2. 6 Downloader K125R
Voltage Regulator LM276 Tegangan input yang dibutuhkan untuk laser pointer adalah 5volt
sedangkan tegangan baterai yang digunakan adalah 12 volt. Untuk itu diperlukan voltage regulator yang merupakan perangkat elektronik untuk mengubah tegangan input 12 volt (baterai) menjadi 5volt. Device yang digunakan adalah
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
19
LM2576. Gambar di bawah ini menunjukkan skematik rangkaian dan hasil rancangan voltage regulator LM2576.
Gambar 2. 7 Skematik LM2576
Gambar 2. 8 Voltage regulator rancangan
Sensor Cahaya Photodiode Photodiode merupakan piranti semikonduktor dengan struktur sambungan
p-n yang dirancang untuk beroperasi bila dibiaskan dalam keadaan terbalik, untuk mendeteksi cahaya (Pandiangan, 2007). Ketika energi cahaya dengan panjang gelombang yang benar jatuh pada sambungan photodiode, arus mengalir dalam sirkuit eksternal. Komponen ini kemudian akan bekerja sebagai generator arus, yang arusnya sebanding dengan intensitas cahaya itu. Cahaya diserap di daerah penyambungan atau daerah intrinsik menimbulkan pasangan elektron-hole yang mengalami perubahan karakteristik elektris ketika energi cahaya melepaskan pembawa muatan dalam bahan itu, sehingga menyebabkan berubahnya konduktivitas. Hal inilah yang menyebabkan photodiode dapat menghasilkan tegangan/arus listrik jika terkena cahaya. Photodiode digunakan dalam aplikasi– aplikasi yang meliputi kartu bacaan, kontrol cahaya ambient dan layar proyektor.
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
20
Pada photodiode kita mengenal istilah responsivitas yaitu kemampuan dari sebuah photodiode untuk menambah arus bias mundur sebagai hasil dari sebuah penambahan pada cahaya. Gambar 2.9 adalah sensor cahaya photodiode.
Gambar 2. 9 Sensor cahaya photodiode
Sinar Laser
Gambar 2. 10 Laser Pointer
Laser merupakan singkatan dari Light Amplification by Stimulated Emission of Radiation, yang artinya penguatan cahaya dengan rangsangan pancaran radiasi. Sifat yang terjadi akibat kesamaan frekuensi adalah monokromatis dan sifat yang terjadi akibat kesamaan fase adalah koherensi. Jadi, syarat terbentuknya laser adalah sumber cahaya yang monokromatis dan koheren. Laser mempunyai sifat-sifat yang tidak dimiliki oleh sumber cahaya lain. Sifatsifat khas laser antara lain kesearahan, intensitas, monokromatis, dan koherensi (Setyaningsih, 2006).
2.3 Adsorpsi Adsorpsi adalah suatu proses yang terjadi ketika suatu fluida, cairan maupun gas (adsorbat) terikat pada suatu padatan atau cairan (adsorben) hingga akhirnya membentuk lapisan molekular atau atom. Istilah adsorpsi biasa digunakan untuk menggambarkan keberadaan suatu bahan tertentu (cairan atau
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
21
padatan) dengan konsentrasi yang lebih tinggi pada permukaannya dari pada di dalam medium fasa ruahnya. Adsorpsi di kelompok dalam adsorpri fisika dan kimia (Ruthen dan Douglas, 1984).
2.3.1
Adsorpsi Fisika Adsorpsi fisika adalah adsorpsi yang terjadi karena adanya gaya Van Der
Waals (gaya tarik-menarik yang relatif lemah) antara adsorbat dengan permukaan adsorben. Adsorpsi ini terjadi apabila suatu adsorbat dialirkan pada permukaan adsorben yag bersih. Pada adsorpsi fisika, adsorbat tidak terikat kuat pada permukaan adsorben, sehingga adsorbat dapat bergerak dari suatu bagian permukaan ke bagian permukaan lainnya, dan pada permukaan yang ditinggalkan oleh adsorbat yang satu dapat digantikan oleh adsorbat lainnya. Adsorpsi fisika adalah suatu peristiwa yang reversibel, sehingga jika kondisi operasinya diubah akan membentuk kesetimbangan baru. Peristiwa adsorpsi gas terjadi sangat cepat. Proses adsorpsi disertai dengan pengeluaran panas sesuai dengan prinsip Le Chatelier. Panas yang terjadi atau dikeluarkan pada peristiwa adsorpsi disebut panas adsorpsi. Panas adsorpsi fisika umumnya rendah (5 – 10 kkal/gr-mol gas) dan terjadi pada temperatur rendah, yaitu di bawah temperatur didih adsorbat. Hal ini yang menyebabkan kesetimbangan dari proses adsorpsi fisika reversibel dan berlangsung sangat cepat. Proses adsorpsi fisika terjadi tanpa memerlukan energi aktivasi, sehingga pada prosesnya akan membentuk lapisan multilayer pada permukaan adsorben. Ikatan yang terbentuk dalam adsorpsi fisika dapat diputuskan dengan mudah, yaitu dengan cara pemanasan pada temperatur 150 – 200 0C selama 2 – 3 jam.
2.3.2
Adsorpsi Kimia Adsorpsi kimia adalah adsorpsi yang terjadi karena terbentuknya ikatan
kovalen dan ion antara molekul-molekul adsorbat dengan adsorben. Ikatan yang terbentuk merupakan ikatan yang kuat sehingga lapisan yang terbentuk adalah lapisan monolayer. Untuk adsorpsi kimia, yang paling penting adalah spesifikasi dan kepastian pembentukan monolayer. Pendekatannya dengan menentukan kondisi reaksi, sehingga hanya adsorpsi kimia yang terjadi dan hanya terbentuk
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
22
monolayer. Adsorpsi kimia bersifat tidak reversible dan umumnya terjadi pada temperatur tinggi di atas temperatur kritis adsorbat, sehingga panas adsorpsi yang dilepaskan juga tinggi (10 – 100 kkal/g.mol). Sedangkan untuk dapat terjadinya peristiwa desorpsi dibutuhkan energi lebih tinggi untuk memutuskan ikatan yang terjadi antara adsorben dan adsorbat. Energi aktivasi pada adsorpsi kimia berkisar antara 10 – 60 kkal/g.mol. 2.3.3
Adsorpsi Isotermis Adsorpsi isotermis adalah hubungan antara jumlah zat yang diadsorpsi
dengan
kesetimbangan
tekanan
pada
temperatur
tetap.
Brunaeur
mengklasifikasikan adsorpsi isotermis ke dalam lima jenis kurva seperti Gambar 2.11 berikut (Maron dan Lando, 1974).
Gambar 2. 11 Kurva adsorpsi isotermis Langmuir dan BET (Maron dan Lando, 1974)
a. Tipe I Jenis ini disebut Langmuir Isoterm menggambarkan adsorpsi satu lapis (monolayer). Banyaknya adsorbat mendekati harga pembatas saat P/P0 mendekati satu. Jenis ini biasanya diperoleh dari adsorben berpori kecil (mikropori) kurang dari 2 nm dan luas area eksternal yang sangat sedikit. Kurva jenis ini biasanya diperoleh dari adsorben karbon aktif dan zeolit molecular sieve. b. Tipe II Jenis ini adalah bentuk normal isoterm pada adsorben tak berpori (nonpori) atau padatan berpori besar (macropores) dengan ukuran lebih besar dari 50 nm yang menunjukkan adsorpsi monolayer - multilayer. c. Tipe III Jenis ini menunjukkan tipe kuantitas adsorben semakin tinggi saat tekanan relatif bertambah. Sama seperti tipe II, jumlah lapisan pada permukaan adsorben tidak terbatas (multilayer).
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
23
d. Tipe IV Jenis ini hampir sama dengan tipe II pada rentang tekanan relatif rendah sampai menegah. Volume terbesar adsorbat yang teradsorpsi dapat dihitung dari capillary condensation yang telah sempurna mengisi pori. Kurva jenis ini dihasilkan dari padatan adsorben berukuran mesopore (2-50 nm). e. Tipe V Jenis ini hampir sama dengan tipe III, dihasilkan dari interaksi yang rendah antara adsorben dengan adsorbat. Tipe V ini juga ditunjukkan oleh pori dengan ukuran sama seperti tipe IV.
2.3.3.1 Adsorpsi Isotermis Freundlich Persamaan matematika pertama untuk kondisi isotermal diberikan oleh Freundlich dan Küster (1984). Persamaan 2.11 merupakan formula empiris murni untuk adsorbat fasa gas. 1
x kP n m
(2.11)
dengan x = kuantitas adsorben m = massa adsorben P = tekanan adsorbat k dan n = konstanta empiris untuk setiap pasanagn adsorbat-adsorben pada temperatur tertentu 2.3.3.2 Adsorpsi Isotermis Langmuir Model yang paling sederhana untuk adsorpsi monolayer adalah Langmuir. Model Langmuir pertama kali dikembangkan untuk menunjukkan adsorpsi kimia pada kumpulan tempat adsorpsi yang dilokalisasi. Persamaan umum yang digunakan pada Langmuir adalah (Yang, 1987) (2.12)
BP L 1 BP
dengan: ω
= jumlah mol gas teradsorpsi per satuan massa adsorbent
= fraksi luas permukaan yang tertutup oleh lapisan monolayer
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
24
B
= konstanta adsorpsi Langmuir yang besarnya bergantung pada temperatur
P
= tekanan adsorpsi
L
= maksimum kapasitas adsorpsi pada model Langmuir dan Model BET
Pada tekanan rendah, persamaan isoterm dapat disederhanakan menjadi bentuk linier mengikuti hukum Henry’s sebagai berikut :
BP
(2.13)
Parameter B dinamakan konstanta afinitas atau konstanta Langmuir. Parameter B mengukur seberapa besar molekul adsorbat yang terserap ke permukaan. Parameter B ini berhubungan dengan kalor adsorpsi (Q), dengan persamaan sebagai berikut: B
(2mkT)
1/ 2
e Q / RT
(2.14)
dengan: α
= koefisien nonperfect sticking
kd∞
= koefisien kecepatan desorpsi pada temperatur tak terhingga
Persamaan Langmuir diatas didasarkan pada asumsi (Foo dan Hameed, 2010): 1. Adsorben dilapisi satu lapisan molekul gas adsorbat (unimolekular atau monolayer) 2. Molekul teradsorpsi tidak bebas bergerak pada permukaan 3. Tidak ada interaksi lateral di antara molekul-molekul adsorbat 4. Entalpi adsorpsi sama untuk semua molekul
2.3.3.3 Adsorpsi Isotermis BET Brunauer, Emmett, dan Teller (BET) mengembangkan model isotermis sederhana untuk menghitung adsorpsi multilayer dan model ini digunakan untuk mengetahui kapasitas monolayer dan juga luas permukaan spesifik. Konsep teori ini adalah pengembangan dari teori Langmuir yang digunakan untuk adsorpsi molekular monolayer menjadi teori adsorpsi molekular multilayer dengan hipotesis sebagai berikut: molekul gas yang teradsorp secara fisik pada permukaan solid pada banyak lapisan dan tanpa adanya interaksi antar tiap lapisan adsorpsi.
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
25
Model persamaan isotermal dari BET adalah dapat ditulis sebagai berikut (Yang, 1987):
L
CP Ps P 1 C 1 P Ps
(2.15)
dimana: ω
= jumlah mol gas teradsorpsi per satuan unit massa adsorbent
L
= maksimum kapasitas adsorpsi pada model Langmuir dan Model BET
P
= tekanan gas saat teradsorpsi
Ps
= tekanan jenuh adsorbat gas hingga mencapai kapasitas maksimum adsorpsi
C
= parameter adsorpsi isotermis model BET
2.3.3.4 Model Adsorpsi Isotermis Gibbs Adsorpsi isoterm Gibbs (dikenal juga sebagai excess adsorption) merupakan kurva adsorpsi yang diperoleh langsung dari data eksperimen yang didapat. Perbedaan mendasar antara adsorpsi Gibbs dan absolut terletak pada pendekatan perhitungan dari jumlah zat yang tidak teradsorpsi pada suatu adsorben, nunads . Gambar 2.12 mengilustrasikan gas dalam keadaan teradsorpsi serta fasa yang tidak teradsorpsi yang digunakan dalam perhitungan jumlah zat teradsorpsi. Dalam eksperimen, nunads dihitung dengan cara mengabaikan nilai dari volume gas fasa teradsorpsi pada permukaan adsorben (Vadsorp) karena sulitnya mengetahui volum gas dalam fasa teradsorpsi tersebut. Sehingga dalam perhitungannya, adsorpsi Gibbs (eksperimen) menggunakan keseluruhan Vvoid, sementara itu, untuk menghitung jumlah zat teradsorpsi yang sebenarnya (adsorpsi absolut) seharusnya menggunakan Volume bulk gas, Vgas, dalam menghitung jumlah zat yang tidak teradsorpsi.
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
26
Gambar 2. 12 Ilustrasi keadaan fasa teradsorpsi pada suatu pori adsorben
(2.16) (2.17) (2.18)
nsoluble merupakan jumlah zat yang terlarut pada pelarut yang ada pada adsorben, misalnya pada adsorben yang memiliki kandungan air atau zat pelarut lainnya, namun jika adsorben merupakan adsorben kering, maka nsoluble dapat diabaikan. Z merupakan faktor kompresibilitas gas murni yang dihitung berdasarkan kondisi temperatur dan tekanan pada saat diambilnya data.
2.3.3.5 Hubungan Antara Adsorpsi Gibbs dan Adsorpsi Absolut pada Adsoprsi Gas Murni Berdasarkan Gambar 2.12 dimana terdapat dua fasa homogen, yaitu fasa gas dan fasa teradsorpsi, maka total volume sistem adalah penjumlahan dari volume adsorben, gas, dan volume fasa teradsorpsi. Vtotal = Vsolid + Vgas + Vads
(2.19)
Volume kosong (Vvoid) yang dihitung menggunakan kalibrasi Helium berhubungan dengan persamaan: Vvoid = Vgas + Vads = Vtotal – Vsolid
(2.20) (2.21)
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
27
Dalam perhitungan Gibbs, dalam menentukan nunads, mengabaikan volum yang ditempati fasa terkondensasi (teradsorpsi), sehingga dalam perhitungannya menggunakan Vvoid. Persamaan 2.21 menjadi : (2.22) Sedangkan pada adsorpsi absolut, persamaan menjadi : (2.23)
Persamaan 2.21, 2.22 dan 2.23 dikombinasikan untuk menghilangkan variabel ninjection sehingga menghasilkan hubungan : (2.24) (2.25)
ρads
merupakan
desitas
gas
fasa
teradsorpsi.
Persamaan
2.24
dikombinasikan dengan Persamaan 2.25, menjadi (2.26) Maka hubungan adsorpsi Gibbs dengan adsorpsi absolut dan densitas gas didapat dari kombinasi substitusi Persamaan 2.25 terhadap Persamaan 2.26, menjadi, (2.27) Keterangan: Gibbs nadsorp : jumlah gas yang teradsorpsi
ninjection : jumlah gas yang diinjeksikan ke dalam dozing cylinder Gibbs nunadsorp : jumlah gas yang tak teradsopsi
Vvoid
: volum kosong yang terdapat pada adsorption cell
nsolute
: jumlah mol gas yang larut (bila ada)
P T Z R Mr
: tekanan adsorpsi : temperatur adsorpsi/operasi : faktor kompresibilitas : konstanta gas ideal : Molecular weight
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
28
Pada tekanan rendah profil adsorpsi absolut akan hampir identik dengan adsorpsi Gibbs karena densitas gas sangat kecil (jauh lebih kecil dari pada densitas adsorpsi) sehingga
gas bisa dianggap 0 dan nGibbs sama dengan n absolute, ads
sedangkan pada tekanan tinggi, densitas gas akan mendekati densitas gas fasa teradsorpsi/terkondensasi, sehingga nGibbs akan menurun seiring dengan kenaikan tekanan (walaupun harga nabsolut naik) sampai menyentuh sumbu x, dan pada saat itulah proses regresi grafik dapat dilakukan untuk mencari nilai densitas gas dalam fasa teradsorpsi, ρads. Untuk menghitung adsorpsi absolut yang didapatkan dari data adsorpsi Gibbs, maka diperlukan suatu estimasi nilai dari densitas fasa teradsorpsi, ρads. Adsorpsi Gibbs juga terdiri dari 5 tipe (hampir sama sepert tipe adsorpsi Langmuir dan BET). Gambar berikut ini adalah tipe-tipe adsorpsi isotermis Gibbs secara kualitatif (Aranovich dan Donohue, 1999).
Gambar 2. 13 Profil tipe-tipe kurva isoterm Gibbs (Donohue dan Aranovic, 1999)
Pada Gambar 2.13 di atas, tekanan merupakan absis dan jumlah zat yang teradsorpsi merupakan ordinatnya. Pada klasifikasi ini, tipe I menunjukkan adsorpsi isotermis pada adsorben mikropori pada kondisi subkritis, dekat dengan dengan titik kritis, dan super kritis. Pada kondisi superkritis, adsorpsi isotermis tidak monoton. Tipe II dan III menunjukan adsorpsi isotermis pada adsorben makropori dengan afinitas kuat dan lemah. Pada temperatur rendah, tipe II dan tipe III mempunyai step, tetapi dengan temperatur yang lebih tinggi, kurva
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
29
tersebut menjadi monoton (seperti pada tipe II dan tipe III adsorpsi isotermis BET), tetapi didekat temperatur kritis, adsorpsi isotermis tipe II dan III ini berubah secara signifikan menjadi tidak monoton yang menunjukkan adanya titik maksimum yang tajam dan pada temperatur yang lebih tinggi menunjukkan adanya titik maksimum yang smooth. Tipe IV dan V menunjukkan adsorpsi isotermis pada adsorben mesopori dengan afinitas yang kuat dan lemah (Donohue dan Aranovic, 1999)
2.3.4
Faktor yang Mempengaruhi Adsorpsi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi daya adsorpsi (Treybal, 1980 dan Bahl et al., 1997): 1. Sifat adsorben a. Kemurnian adsorben. Adsorben yang lebih murni memiliki daya adsorpsi yang lebih baik. b. Luas permukaan dan jumlah pori adsorben. Semakin besar luas permukaan adsorben, semakin besar jumlah adsorbat yang dapat diserap. 2. Jenis adsorbat a. Kepolaran adsorbat. Apabila berdiameter sama, molekul polar lebih kuat diadsorpsi daripada molekul yang kurang polar. Molekul yang lebih polar dapat menggantikan molekul yang kurang polar yang telah diserap terlebih dahulu. b. Ukuran molekul adsorbat. Molekul yang bisa diadsorpsi adalah molekul yang berdiameter sama atau lebih kecil dari diameter pori adsorben. 3. Temperatur Ketika molekul-molekul adsorbat melekat pada permukaan adsorben terjadi pembebasan sejumah energi (panas). Oleh karena itu, adsorpsi adalah peristiwa eksotermis. Sesuai dengan azas Le Chatelier pada proses fisika, dengan berkurangnya temperatur akan menambah jumlah adsorbat yang teradsorpsi, demikian pula sebaliknya. Adsorpsi fisika yang substansial, biasanya terjadi pada temperatur di bawah titik didih adsorbat terutama 50°C.
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
30
4. Tekanan Peningkatan tekanan adsorbat pada adsorpsi fisika dapat menaikkan jumlah adsorbat yang diadsorpsi. Sebaliknya pada adsorpsi kimia, peningkatan tekanan adsorbat justru mengurangi jumlah yang diadsorpsi. 5. Inti aktif Pada permukaan yang beragam, hanya sebagian permukaan yang mempunyai daya serap. Hal ini disebabkan oleh permukaan yang heterogen, sehingga hanya beberapa jenis zat yang dapat diserap oleh bagian permukaan yang aktif inti aktif (active centre). Laju adsorpsi sangat ditentukan oleh proses difusi adsorbat ke permukaan adsorben. Ada dua jenis proses difusi pada adsorpsi, yaitu: a. Difusi film. Proses difusi pada suatu lapisan tipis cairan di sekeliling partikel adsorben. b. Difusi partikel. Proses difusi dalam partikel adsorben.
Proses difusi ditentukan oleh beberapa faktor yang meliputi: muatan partikel adsorben, besar muatan molekul atau ion adsorbat.
2.3.5
Gaya dan Energi Adsorpsi Gaya yang terlibat dalam adsorpsi fisika termasuk gaya van der Waals
(dispersi-repulsi), dan interaksi elektrostatik yang terdiri dari polarisasi, dipol, dan interaksi kuadrupol. Kontribusi van der Waals selalu hadir, sedangkan kontribusi elektrostatik hanya signifikan pada kasus adsorben yang memiliki struktur ionik, seperti zeolit. Akan tetapi, untuk penyerapan molekul dipolar kecil seperti H2O dan NH3 pada adsorben zeolit, kontribusi elektrostatik akan sangat besar, memberikan kenaikan panas adsorpsi yang tinggi dan tidak wajar (25-30 kkal/mol). Meskipun interaksi dianggap sebagai adsorpsi fisika, namun panas adsorpsi secara umum masuk dalam adsorpsi kimia.
2.4 Adsorben Adsorben adalah zat padat yang dapat menyerap komponen tertentu dari fluida yang umumnya merupakan material berpori. Proses adsorpsi berlangsung
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
31
pada dinding pori atau pada lokasi tertentu dari pori tersebut. Adsorben dapat digolongkan menjadi 2 jenis, yaitu adsorben tidak berpori (non-porous sorbents) dan adsorben berpori (porous sorbents) (Arfan, 2006): a. Adsorben tidak berpori (non-porous sorbents) Adsorben tidak berpori dapat diperoleh dengan cara presipitasi deposit kristalin seperti BaSO4 atau penghalusan padatan kristal. Luas permukaan spesifik sangat kecil (<10 m2/g) umumnya antara 0,1-1 m2/g. Adsorben tidak berpori seperti karet (rubber filters) dan karbon hitam bergrafit (graphitized carbon blacks) adalah jenis adsorben tidak berpori yang telah mengalami perlakuan khusus sehingga luas permukaannya dapat mencapai ratusan m2/g. b. Adsorben berpori (porous sorbents) Luas permukaan spesifik adsorben berpori berkisar antara 100 s/d 1000 m2/g, pada umumnya berbentuk granular. Biasanya digunakan sebagai penyangga katalis, dehidrator, dan penyeleksi komponen..
Adsorben yang umum dipakai pada industri antara lain adalah:
Senyawa yang mengandung oksigen, biasanya bersifat hidrofilik dan polar seperti silika gel dan zeolit.
Senyawa berbasis karbon, biasanya bersifat hidrofobik dan non-polar seperti karbon teraktivasi dan grafit.
Senyawa berbasis polimer, merupakan gugus fungsi polar dan non-polar di dalam matriks polimer.
Kinerja adsorben dapat dilihat dari parameter berikut ini (Deng, et. al., 2008 ): 1. Selektivitas tinggi 2. Kapasitas adsorpsi besar 3. Kinetika adsorpsi cepat 4. Mudah digenerasi 5. Kekuatan mekanik tinggi 6. Murah
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
32
Untuk mencapai kineja di atas adsorben harus memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. Volume pori internal besar 2. Luas permukaan besar 3. Distribusi pori mikro 4. Ikatan adsorbat dan adsorben 5. Stabil secara mekanik 6. Bahan baku murah
2.4.1
Silika Gel Silika Gel dihasilkan dari dehidrasi asam polymer colloidal silicic dengan
kompisisi air yang tinggi, dapat dirumuskan dengan SiO2.nH2O. Komposisi air tersebut terbentuk secara kimia dari lapisan hydroxyl group dengan komposisi berkisar 5%. Metode lain untuk menghasilkan silika gel yaitu hidrolisa logam sodium silikat dengan asam. Kemudian sodium dipisahkan dari sodium silikat dengan metode ion exchange. Pada proses pengeringan akan terbentuk struktural berpori ukuran mikro. Pembentukan ikatan antar partikel terjadi karena proses eliminasi air terhadap senyawa group hydroxil dan membentuk struktur akhir yang kokoh. Kehadiran group hydroxyl memberikan pengaruh derajat polaritas pada permukaan. Silika gel dapat membentuk ikatan hydrogen dengan molekul air, alkohol, phenol, hidrokarbon tidak jenuh dan amina. Silika gel digunakan sebagai adsorben pada proses pemisahan senyawa aromatik dari parafin dan napthena.
2.4.2
Zeolit Zeolit merupakan mineral yang terdiri dari kristal alumino-silikat
terhidrasi yang mengandung kation alkali dan alkali tanah. Menurut ahli geokimia dan mineralogi, zeolit merupakan produk gunung berapi yang membeku menjadi batuan vulkanik, sedimen-sedimen dan batuan metamorfosa yang selanjutnya melalui proses pelapukan akibat pengaruh panas dan dingin yang terjadi di dalam tanah membentuk mineral-mineral zeolit. Zeolit terdapat di beberapa daerah di Indonesia yang diperkirakan mempunyai cadangan sangat besar dan berpotensi untuk dikembangkan, yaitu Jawa Barat dan Lampung.
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
33
2.4.2.1 Struktur Zeolit Secara umum zeolit memiliki formulasi sebagai berikut:
M
= kation alkali atau alkali tanah
n
= valensi logam alkali
x
= jumlah SiO2 per molekul, nilainya berkisar 2-10
y
= jumlah anhidrat per molekul, nilainya berkisar 2-7
Zeolit terdiri dari SiO4 dan AlO4 tetrahedral, dimana tiap tetrahedral tersusun oleh 4 anion oksigen yang menyebar mengelilingi suatu ion silikon dan ion aluminium. Atom oksigen memiliki muatan-2, sedangkan atom silikon memiliki muatan +4 yang akan berikatan membentuk silika tetrahedral yang tidak bermuatan (netral), sedangkan atom aluminium akan membentuk alumina tetrahedral dengan mengikat sisa muatan-1 dari tiap atom oksigen sehingga terjadi keseimbangan ion dan membentuk kristal yang mempunyai pori-pori dimensi molekular. Struktur kristal zeolit dimana semua atom Si dan Al dalam bentuk tetrahedral (TO4) disebut Unit Bangun Primer (PBU), zeolit hanya dapat diidentifikasi berdasarkan Unit Bangun Sekunder (SBU) sebagaimana terlihat pada Gambar 2.14.
Gambar 2. 14 Tetrahedral alumina dan silika (TO4) pada struktur zeolit (Brandani dan Douglas, 2004)
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
34
Rasio Si terhadap Al pada suatu zeolit tidak kurang dari 1. Komposisi adsorben akan mengalami transisi atom-atom aluminium secara sistematis dan kaya akan atom aluminium, sehingga memiliki afinitas tinggi terhadap air dan senyawa polar lainnya, sedangkan struktur mikropori silika seperti silikalit menyebabkan sifat hidrofobik dan menyerap n-parafin terhadap air. Transisi dari hidrofilik menjadi hidrofobik menyebabkan rasio Si terhadap Al memiliki nilai antara 8 hingga 10. Setiap adsorben zeolit memiliki jenis yang berbeda-beda tergantung pada struktur rangka, rasio Si terhadap Al, dan bentuk susunan kation, dengan perbedaan komposisi tersebut menyebabkan adsorben menjadi lebih selektif dalam pemilihan molekul yang akan dipisahkan.
2.4.2.2 Sifat Zeolit Zeolit mempunyai sifat dehidrasi (melepaskan molekul H2O) apabila dipanaskan. Pada umumnya struktur kerangka zeolit akan menyusut tetapi kerangka dasarnya tidak mengalami perubahan secara nyata. Molekul H2O seolaholah mempunyai posisi yang spesifik dan dapat dikeluarkan secara reversibel. Sifat zeolit sebagai adsorben dan penyaring molekul dapat terjadi karena struktur zeolit yang berongga, sehingga zeolit mampu menyerap sejumlah besar molekul yang berukuran lebih kecil atau sesuai dengan ukuran rongganya. Selain itu kristal zeolit yang telah terdehidrasi merupakan adsorben yang selektif dan mempunyai efektivitas adsorpsi yang tinggi. Zeolit juga sering disebut sebagai molecular sieve/molecular mesh (saringan molekular) karena zeolit memiliki pori-pori berukuran molekular sehingga mampu memisahkan molekul dengan ukuran tertentu. Zeolit mempunyai beberapa sifat antara lain : mudah melepas air akibat pemanasan, tetapi juga mudah mengikat kembali molekul air dalam udara lembab. Karena sifatnya tersebut maka zeolit banyak digunakan sebagai bahan pengering. Disamping itu, zeolit juga mudah melepas kation dan diganti dengan kation lainnya, misal zeolit melepas natrium dan digantikan dengan mengikat kalsium atau magnesium. Sifat ini pula yang menyebabkan zeolit dimanfaatkan untuk proses pelunakkan air sadah.
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
35
Kemampuan zeolit sebagai katalis berkaitan dengan tersedianya pusat aktif dalam saluran antar zeolit. Pusat aktif terbentuk karena adanya gugus fungsi asam tipe Bronsted maupun Lewis. Perbandingan kedua jenis asam ini tergantung pada proses aktivasi zeolit dan kondisi reaksi. Pusat aktif yang bersifat asam ini selanjutnya dapat mengikat molekul-molekul basa secara kimiawi. Sedangkan sifat zeolit sebagai penukar ion terjadi karena adanya kation logam alkali dan alkali tanah. Kation tersebut dapat bergerak bebas dalam rongga dan dapat dipertukarkan dengan kation logam lain dengan jumlah yang sama.
2.4.2.3 Zeolit Alam Lampung Di Indonesia, zeolit ditemukan pada tahun 1985 oleh PPPTM Bandung. Zeolit tersebar di beberapa daerah di pulau Sumatera dan Jawa. Namun dari 46 lokasi zeolit, baru beberapa lokasi yang ditambang secara intensif antara lain di Bayah, Banten, Cikalong, Tasikmalaya, Cikembar, Sukabumi, Nanggung, Bogor dan Lampung. Pemanfaatan zeolit masih belum banyak diketahui secara luas, zeolit yang saat ini ada di pasaran masih dalam bentuk alam dan digunakan untuk pemupukan pada bidang pertanian. Zeolit alam Lampung memiliki komposisi 78% klinoptilolit, analsim 14%, dan modernit 8%. Klinoptilolit memiliki rumus molekul (NaK)6(Al6Si30O72).20H2O. Rumus molekul zeolit alam Lampung adalah Na2,94K1,35Ca0,63Mg0,21Al6,25 Si29,74O72.24H2O. Tabel 2. 3 Komposisi kimia zeolit alam Lampung
Senyawa
Persentase (%)
SiO2
72.6
Al2O3
12.4
Fe2O3
1.19
Na2O
0.45
TiO2
0.16
MgO
1.15
K2O
2.17
CaO
3.56
Lain-lain
6.32
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
36
Molekul-molekul dengan diameter tertentu dapat melewati dan menempati pori-pori dan rongga zeolit, molekul yang terlalu besar tidak dapat masuk. Jadi sebagai adsorben, zeolit mempunyai sifat shape selectivity (Matsuoka, 2003). Zeolit juga memiliki kemampuan untuk mengkondensasi gas yang teradorpsi. Kemampuan zeolit menyerap zat organik dan anorganik tergantung pada rasio Si/Al dalam zeolit. Semakin rendah rasio Si/Al maka zeolit akan cenderung memilih molekul-molekul polar (air dan amoniak) untuk diadsorpsi. Sebaliknya jika rasio Si/Al tinggi maka zeolit cenderung mengadsorpsi molekul-molekul non polar (Jansen, et. al., 2004). Hal ini disebabkan karena dengan semakin rendahnya rasio Si/Al dalam zeolit maka zeolit tersebut akan timbul gradien medan elektronik yang makin besar sehingga molekul polar akan berinteraksi lebih kuat dengan medan elektronik itu daripada molekul non polar. Pada umumnya zeolit alam masih mengandung banyak zat pengotor dan masih berbentuk batuan yang dapat mengurangi kegunaan dari zeolit itu. Untuk meningkatkan nilai tambah zeolit dan pemanfaatannya untuk proses adsorpsi, dibutuhkan suatu perlakuan awal dan pengaktifan zeolit alam tersebut. Zeolit alam harus dibuat menjadi butiran-butiran agar luas permukaan serapannya lebih besar kemudian dibersihkan dari senyawa pengotornya. Pada penelitian ini zeolit alam Lampung merupakan salah satu adsorben yang diteliti karena struktur kristalnya berpori, memiliki luas permukaan yang cukup besar, memiliki stabilitas termal yang tinggi, dan harganya murah (Handoko, 2002).
2.4.2.4 Aktivasi Zeolit Proses aktivasi zeolit dilakukan untuk menghasilkan zeolit dengan sifatsifat yang diinginkan sehingga dapat digunakan sebagai katalis. Terdapat beberapa tahap dalam melakukan aktivasi terhadap zeolit. Adapun tahapan tersebut adalah dealuminasi, pertukaran ion, dan kalsinasi (Scott, Kathleen, Prabir, 2003). 1. Dealuminasi Metode ini adalah teknik yang digunakan untuk mengurangi kandungan alumunium zeolit. Teknik ini merupakan kalsinasi bentuk amonium zeolit dalam
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
37
sistem uap air. Proses ini menyebabkan pergeseran tetrahedral alumunium dari posisi rangka ke posisi non rangka tetapi tidak menghilangkan alumunium dari zeolit. Pada proses ini dilakukan pencucian zeolit dengan asam kuat. Larutan asam yang umumnya digunakan adalah asam florida (HF) dan asam klorida (HCl). Florida maupun klorida adalah zat yang sangat sensitif terhadap zeolit, dimana hal tersebut tergantung pada kondisi perlakuannya seperti konsentrasi, lamanya pencucian, kadar air, dan temperatur pencucian. Alumina dan silika dapat bereaksi dengan florida dan klorida pada kondisi yang tidak terlalu pekat dan lingkungan biasa (temperatur kamar). Dealuminasi zeolit dengan florin akan menghasilkan AlFx(OH)y dan dengan klorin akan menghasilkan AlClx(OH)y.
2. Pertukaran Ion Pertukaran ion dalam zeolit adalah proses dimana kation yang ada dalam sistem pori intrakristalin ditutup dengan kation lain yang berasal dari larutan. Larutan zeolit akan mencapai kesetimbangan sesuai dengan persamaan berikut: (2.28)
Keterangan : A dan B
: kation yang dipertukarkan
Za dan Zb
: muatan masing-masing kation
Z dan S
: zeolit dan larutan
Pertukaran ion tersebut tidak akan berlangsung sempurna jika konsentrasi larutan yang digunakan tidak sangat besar atau temperatur sistem dinaikkan sehingga menggeser kesetimbangan. Dalam pertukaran ion tersebut, terdapat dua hal penting yaitu jenis dan konsentrasi dari larutan pertukaran ion yang digunakan (Royae, et. al., 2007).
3. Kalsinasi Kalsinasi adalah perlakuan panas terhadap zeolit pada temperatur yang relatif tinggi dalam furnace. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan zat organik yang dikandung zeolit, juga untuk menguapkan amoniak zeolit sehingga diperoleh H-zeolit. Mekanismenya adalah sebagai berikut:
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
38
K-zeolit + NH4NO3
NH4-zeolit + KNO3
(2.29)
NH4-zeolit
NH3 + H-zeolit
(2.30)
Dimana K adalah kation (umumnya logam alkali). Persamaan (2.30) merupakan hasil dari pertukaran ion, yaitu antara K-zeolit dengan larutan NH4NO3, sedangkan persamaan (2.29) merupakan proses kalsinasi. Pada proses kalsinasi ini terjadi penyusunan kembali alumina silika yang tidak stabil menjadi bentuk yang lebih stabil dan menghasilkan susunan kristal yang lebih baik. Aktivasi zeolit yang dilakukan pada penelitian ini adalah dengan metode dealuminasi, pertukaran ion dan kalsinasi. Prinsip dasar aktivasi zeolit dengan metode dealuminasi adalah dengan mengurangi kadar alumina dalam zeolit, sehingga rasio Si/Al dapat meningkat. Dengan meningkatkan rasio Si/Al, diharapkan kemampuan adsorpsi zeolit semakin meningkat. Dealuminasi akan meningkatkan stabilitas termal terutama pada temperatur tinggi. Proses dealuminasi akan menyebabkan pergeseran alumunium tertrahedral dari posisi rangka ke posisi non-rangka. Perlakuan asam pada zeolit dilakukan dengan merendam zeolit dalam larutan HCl yang relatif pekat dan cukup lama sehingga jumlah Al dalam kerangka menjadi di luar kerangka. Peristiwa ini dapat dilihat pada Gambar 2.15.
Gambar 2. 15 Proses pelepasan Al dalam rangka menjadi Al diluar rangka (Handoko, 2002)
Proses dealuminasi selain mengektraksi Al dalam kerangka, juga mengakibatkan kerangka oksigen tidak stabil. Akibatnya atom Si berpindah ke tempat kosong yang ditinggalkan Al, sehingga ukuran unit sel-nya akan menyusut. Penyusutan tersebut mengakibatkan rasio Si/Al meningkat dan ukuran pori menyecil.
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
39
2.4.3
Karbon Aktif Karbon aktif merupakan salah satu adsorben yang paling sering digunakan
pada proses adsorpsi. Hal ini disebabkan karena karbon aktif mempunyai daya adsorpsi dan luas permukaan yang lebih baik dibandingkan adsorben lainnya (Pujiyanto, 2010). Karbon aktif berbentuk amorf yang terdiri dari pelat-pelat datar di mana atom karbon tersusun dan terikat secara kovalen dalam kisi heksagonal, seperti pada Gambar 2.16.
Gambar 2. 16 Struktur fisik karbon aktif (Pujiyanto, 2010)
Karbon aktif adalah senyawa karbon yang telah ditingkatkan daya adsorpsinya melalui proses aktivasi. Pada proses aktivasi ini terjadi penghilangan hidrogen, gas-gas, dan air dari permukaan karbon sehingga terjadi perubahan fisik pada permukaannya. Aktivasi ini terjadi karena terbentuknya gugus aktif akibat adanya interaksi radikal bebas pada permukaan karbon dengan atom-atom seperti oksigen dan nitrogen. Pada proses aktivasi juga terbentuk pori-pori baru karena adanya pengikisan atom karbon melalui oksidasi ataupun pemanasan. Adapun ukuran pori karbon aktif ditunjukkan pada Tabel 2.4. Tabel 2. 4 Ukuran pori karbon aktif (Ruthven, 1984) Mikropori Mesopori Diameter (Å)
Makropori
< 20
20–500
> 500
Volume pori (cm /g)
0,15–0,5
0,02– 0,1
0,2–0,5
Luas permukaan (cm2/g)
100–1000
10–100
0,5–2
3
3
(Densitas partikel 0,6-0,9 g/cm ; porositas 0,4–0,6)
Karbon aktif terdiri dari 87 – 97 % karbon dan sisanya berupa hidrogen, oksigen, sulfur dan nitrogen serta senyawa-senyawa lain yang terbentuk dari proses pembuatan karbon aktif. Volume pori-pori karbon aktif biasanya lebih
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
40
besar dari 0,2 cm3/gram dan bahkan terkadang melebihi 1 cm3/gram. Luas permukaan internal karbon aktif yang telah diteliti umumnya lebih besar dari 500 m2/gram dan bisa mencapai 1000 m2/gram (Sudibandriyo, 2011). Gambar struktur pori karbon aktif dapat dilihat pada Gambar 2.17.
Gambar 2. 17 Struktur pori karbon aktif (Pujianto, 2010)
Karbon aktif dapat dibuat dari berbagai macam bahan dasar yang mengandung karbon. Ada tiga kriteria bahan dasar yang dapat dibuat sebagai karbon aktif, yaitu:
bahan dasar harus mengandung karbon
pengotor pada bahan dasar harus dijaga seminimal mungkin
bahan dasar harus mempunyai kualitas yang konstan
Tempurung kelapa sawit salah satu limbah industri yang potensial dijadikan sebagai bahan baku karbon aktif.
2.4.3.1 Karbon Aktif Tempurung Kelapa Sawit Pembuatan karbon aktif dapat menggunakan bahan baku berbeda-beda sesuai dengan aplikasi yang diinginkan. Bahan baku konvensional yang paling sering digunakan adalah kayu, batubara, lignit, tempurung kelapa, gambut, dan lain-lain. Tempurung kelapa sawit memiliki beberapa alasan untuk digunakan sebagai bahan dasar karbon aktif antara lain karena kandungan karbonnya yang sangat banyak serta kemudahan bahan tersebut untuk didapatkan secara komersial (Pujiyanto, 2010). Tempurung kelapa sawit merupakan material mengandung lignoselulosa yang berkadar karbon tinggi, hal ini sangat potesial dijadikan
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
41
sebagai bahan baku untuk pembuatan karbon aktif (Mulia, 2007). Komposisi tempurung kelapa sawit disajikan pada Tabel 2.5. Tabel 2. 5 Komposisi tempurung kelapa sawit (Lubis, 2008) Komposisi Kadar (%) Abu
15
Hemiselulosa
24
Selulosa
40
Lignin
21
2.4.3.2 Proses Pembuatan Karbon Aktif Secara garis besar tahapan produksi karbon aktif adalah sebagai berikut (Pujiyanto, 2010) : 1. Dehidrasi Tahap dehidrasi atau pelepasan air adalah proses yang dilakukan untuk menghilangkan kandungan air yang ada pada bahan dasar pembuatan karbon aktif. Hal tersebut, dilakukan dengan cara dijemur diterik matahari atau bahan tersebut dipanaskan di dalam oven dengan temperatur ± 110 °C sampai diperoleh bobot konstan. 2. Karbonisasi Karbonisasi atau pengarangan adalah proses pembakaran yang menyebabkan terdekomposisinya bahan dan mengeluarkan pengotor seperti tar, metanol, aseton, gas hidrogen, CH4 dan dan unsur non karbon yang lain. Penambahan temperatur saat karbonisasi akan membuat pembentukan karbon semakin cepat, namun tidak melebihi 1.000oC karena dapat mengakibatkan banyak terbentuk abu (Prabowo, 2009).
3. Aktivasi Karbon aktif diproduksi dengan aktivasi kimiawi atau aktivasi fisika. Aktivasi kimiawi digunakan untuk bahan dasar yang mengandung selulosa dan menggabungkan antara tahap karbonisasi dan tahap aktivasi fisika. Activating agent yang biasa digunakan untuk menghasilkan karbon aktif dengan luas permukaan yang besar adalah KOH, H3PO4 dan ZnCl2 (Allwar, et al, 2008).
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
42
Pada proses aktivasi kimia, karbon bereaksi dengan oxidizing agent menghasilkan karbon dioksida yang berdifusi pada permukaan karbon. Pada tahap awal amorphous carbon akan teroksidasi, closed pore akan terbuka. Sementara itu aktivasi fisika melibatkan kontak antara bahan pengaktif berfasa gas (steam atau CO2) dengan arang pada temperatur 850 – 1.000oC. Pada proses ini seringkali terjadi reduksi ukuran adsorben karena kelebihan oksidasi eksternal oleh gas pengoksidasi yang berdifusi ke dalam karbon yang tidak teraktivasi (Goodman et al, 2004). Gambar 2.18 menunjukkan struktur karbon aktif sebelum dan sesudah aktifasi. Sementara itu Tabel (2.6) menunjukkan perkembangan pembuatan karbon aktif.
Gambar 2. 18 Struktur karbon aktif sebelum dan sesudah aktivasi (Pujiyanto, 2010) Tabel 2. 6 Perkembangan penelitian pembuatan karbon aktif (Qibthiyah, 2012) No. 1.
2.
3.
Judul Penelitian (Penulis)
Proses Pembuatan
Hasil
Effect of Two-Stage Process on
Precarbonized karbon dengan dicampur
Surface area pada
the Preparation and
250 g yang mengandung 85% berat
temperatur 9000C
Characterization of Porous
H3PO4 pada temperatur 850C selama 4
adalah 438,9 m2/g.
Carbon Composite from Rice
jam. Temperatur yang digunakan adalah
Husk by Phosphoric Acid
dari 700-9000C selama 1 jam lalu
Activation (Kennedy, 2004)
didinginkan.
Pembuatan Karbon Aktif dari
Dikarbonisasi pada temperatur 5000C
Surface area adalah
Tongkol Jagung serta
selama ± 2 jam dengan sedikit oksigen,
406,9 m2/g.
Aplikasinya untuk Adsorpsi Cu,
kemudian diaktivasi menggunakan KOH
Pb dan Amonia (Prabowo, 2009)
pada temperatur 8000C selama 30 menit.
Nano-Tungsten Carbide Prepared
Bahan pengaktif yang digunakan
Surface area terbaik
from Palm Kernel Shell for
divariasikan, yaitu untuk ZnCl2, H3PO4,
(ZnCl2) adalah 1.100
Catalytic Decomposition of
K2CO3, dan melalui proses fisika pada
m2/g.
Hydrazine (Yacob, 2009)
temperatur aktivasi 8000C.
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
43
Dari Tabel 2.6 dapat dilihat bahwa karbon aktif berbahan dasar tempurung kelapa sawit yang memiliki luas permukaan terbesar dihasilkan dari proses aktivasi menggunakan ZnCl2 sebagai bahan pengaktif. Aktivasi kimiawi ini bertujuan untuk membersihkan pori, membuang senyawa penggangu, mengurangi pembentukan pengotor dan menata kembali letak atom yang dapat dipertukarkan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini ZnCl2 digunakan sebagai bahan pengaktif pada temperatur aktivasi 8500C selama 2 jam.
2.5 State of the Art Penjernihan Asap dan Penyerapan CO Secara umum penelitian yang telah dilakukan selama ini terkait dengan penjernihan asap, penyerapan CO dan pemanfaatan adsorben untuk adsorpsi terangkum dalam Tabel 2.7.
2.5.1
Penjernihan Asap Asap terdiri dari partikel-partikel halus, baik padat maupun cair, yang
terbang di udara. Partikel tersebut tersebar dan menyerap gelombang elektromagnetik yang berbeda. Partikel tidak stabil, konsentrasi dan komposisinya berubah terhadap waktu. Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh dari gaya dari luar, baik melalui proses kimia maupun fisika. Proses tersebut yaitu koagulasi, kondensasi, evaporasi, adsorpsi, absorpsi, dan reaksi kimia. Penjernihan asap dapat dicapai dengan salah satu atau kombinasi dari proses di atas. Prinsip penjernihan asap dapat dikategorikan menjadi (Yadav, et. al., 2007):
Meningkatkan koagulasi dengan memakai partikel penyerap, muatan elektrostatis atau gelombang suara
Meningkatkan kondensasi dengan memakai inti higroskopis
Meningkatkan evaporasi melalui pemanasan
Menipiskan asap dengan mencampurnya dengan air
Berikut ini adalah beberapa penelitian tentang penjernihan asap: Xu, Y., et.al. (2003) melakukan penelitian tentang kemampuan material berpori dalam menyerap dan mengkonversikan gas beracun yang keluar dari asap rokok. Material yang digunakan adalah material yang secara umum punya
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
44
kemampuan menyerap senyawa beracun yang terdapat pada asap rokok, khususnya senyawa nitrosamines. Hasilnya menunjukkan bahwa zeolit NaY dan ZSM-5 mempunyai kapasitas yang paling baik, kemampuan penyerapan terhadap senyawa nitrosamines masing-masing 84 dan 82%. Zeolit disamping menyerap senyawa carcinogenic nitrosamines tetapi juga menguraikan secara katalitik senyawa carcinogenic berbahaya menjadi senyawa dengan tingkat carcinogenic lebih rendah pada temperatur tertentu meskipun ada gas N2. Yadav, et al., (2007) melakukan evaluasi potensi partikel nano dalam penjernihan asap di ruang tertutup. Penelitian dilakukan memakai ruangan berukuran 2,4 m x 2,4 m x 3,6 m yang dilengkapi dengan generator asap, filter, dan transmissometer. Sebagai simulasi asap digunakan aerosol glycol. Adsorben yang digunakan ada dua jenis: partikel nano (NA TiO2, NA MgO, NA MgO plus, NA Al2O3, dan NA Al2O3 plus) dan bubuk biasa (NaHCO3, CaCO3, Ca(OH)2, dan TiO2). Mula-mula ruang dipenuhi asap sampai opasitas 100% (transmisi cahaya 0%). Lalu diukur waktu sampai transmisi cahaya sebesar 10% dan 20% tercapai secara alami akibat gaya gravitasi dan evaporasi. Transmisi 10% dan 20% dipakai karena manusia dapat melihat melewati asap pada transmisi cahaya sebesar itu. Hasilnya diperoleh dengan mendispersikan sekitar 60 gram NA MgO plus ke dalam ruang uji menghasilkan transmisi cahaya 10% dan 20% yang dicapai dalam waktu 2.5 dan 4 menit. Asap glikolnya sendiri memerlukan waktu 26 dan 39 menit. Mulukutla dkk, 2007, mengeluarkan paten Amerika penjernihan asap dan pemadaman api. Asap berasal dari bahan bakar: kertas, diesel, jet mill, dan glikol. Logam yang digunakan untuk menyerap asap adalah yang mempunyai ukuran kristal nano, yaitu oksida logam dan hiroksida logam dari Mg, Sr, Ba, Ca, Ti, Zr, Fe, V, Mn, Ni, Cu, Al, Si, Zn, Ag, Mo, Sb, dan campurannya. Penemuan ini juga menguji hidroksida, karbonat, bikarbonat dari sodium, aluminium, magnesium, dan kalsium. Hasilnya menunjukkan bahwa oksida TiO2 dan MgO merupakan diantara yang memberikan kinerja yang lebih baik dibanding yang lain. Penemuan ini juga menunjukkan bahwa semakin kecil ukuran partikel semakin baik kinerja oksida logam sampai pada ukuran tertentu.
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
45
Metode ini dapat menurunkan kekeruhan asap. Hasilnya menunjukkan bahwa jika suatu area dengan kekeruhan 100% ditinggal begitu saja, kekeruhan berkurang menjadi 85% dalam 10 menit, jika menggunakan adsorben pada area yang sama hanya dibutuhkan 8 menit. Sejumlah partikel nanokristalin dilepaskan ke suatu area untuk memperoleh konsentrasi massa paling tidak 0.1 g/m3, lebih disukai antara 0.5-1.0 g/m3, dan paling disukai di antara 1-5 g/m3. Partikel nanokristalin juga harus dibentuk granula dan disimpan dengan benar. Disukai jika granul/butirannya memiliki ukuran sekitar 125-500 μm, lebih disukai jika 140-400 μm, paling disukai jika 180-250 μm. Manghirang dan Razote (2009), melakukan penelitian penjernihan asap oleh padatan dan air menggunakan kompartemen ganda. Ruang uji berukuran 3.8m x 2.3m x 2.3m. Asap berasal dari pembakaran kertas basah dalam smoke generator kemudian dialirkan ke dalam ruang uji penjernihan yang dilengkapi kipas. Dari penelitian ini diperoleh beberapa kesimpulan: (1) charged water dapat meningkatkan penjernihaan secara signifikan. (2) Durasi pendispersian charged water dapat meningkatkan penjernihan asap. (3) Pendispersian partikel padat atau uncharged water juga dapat menjernihkan asap, tetapi harus tetap dikembangkan. Pada durasi dispersi 20 menit, waktu untuk mencapai tingkat kejernihan 10% (t10) oleh charged water dan uncharged water adalah 8 menit dan 38 menit. Sementara
itu
penjernihan
udara
secara
umum
sudah
banyak
dipublikasikan, terutama penggunaan karbon aktif sebagai penjernih udara. Karbon aktif dapat menghilangkan bahan kimia di udara, termasuk alkohol, asam organik, aldehida, hidrokarbon diklorinasi, eter, ester, keton, halogen, sulfur dioksida, asam sulfat, dan fosgen. Karbon aktif dapat juga menghilangkan bau, apakah berasal dari manusia atau hewan. Karbon aktif dapat mengadsorpsi sebanyak 60% dari berat polusi udara. Filter karbon aktif adalah cara paling efektif untuk menghilangkan gas, bahan kimia, asap rokok, dan bau lainnya dari udara. Filter karbon aktif sangat membantu bagi sesorang dengan kondisi pernapasan yang sensitif terhadap bahan kimia di udara (Clean Air Plus , 2015).
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
46
2.5.2
Penyerapan CO Selama ini penelitian penyerapan CO banyak dilakukan menggunakan
logam mulia seperti: ruthenium, iridium, palladium, rhodium, and platinum. Szanyi dan Paffett, (1996) meneliti tentang adsorpsi CO pada H-ZSM-5 dan hydrothermally treated H-ZSM-5. Hasilnya menunjukkan bahwa interaksi asam Bronsted dengan molekul CO akan menggeser frekuensi Si(OH)Al dari 3616 cm-1 ke 3310 cm-1. Panas adsorpsi CO pada H-ZSM-5 sebesar 32,2 kJ/mol Adsorpsi panas dari CO di H-ZSM-5 yang telah diberi perlakuan hidrotermal adalah sebesar 4 kJ/mol, lebih rendah dibanding ketika tidak diberi perlakuan apapun. Mohamad et. al., (2000) meneliti tentang adsorpsi karbon monoksida pada activated carbon-tin ligand. hasilnya menunjukkan bahwa karbon aktif yang telah diimpreknasi dengan 34,57% garam SnCl2.2H2O mempunyai kemampuan tambahan untuk adsorpsi CO karena adanya ion O- di sisi aktifnya. AC – SnO2 terbukti mempunyai kemampuan adsorpsi CO yang lebih baik dibandingkan karbon aktif murni ketika digunakan untuk purifikasi H2 pada sistem PSA. Mohamad juga menemukan bahwa AC–SnO2 mempunyai selektivitas yang tinggi terhadap gas CO, adsorben ini sangat aplikatif untuk masa depan karena CO berperan dalam meningkatkan polusi udara di ekosistem global. Treesukol et. al., (2001) mempelajari adsorpsi NO dan CO oleh Cu-ZSM5. Hasilnya menunjukkan bahwa kerangka zeolit memainkan peran penting dalam mekanisme adsorpsi. Arean, et.al., (2007), meneliti tentang adsorpsi CO menggunakan zeolit rendah silika. Penelitian ini bertujuan mempelajari bagaimana pengaruh kandungan silika dalam zeolit. Hasilnya menunjukkan bahwa zeolit yang mengandung silika tinggi mengikat CO dengan energi yang lebih besar dibandingan zeolit dengan silika rendah. Hideo, et.al., (2004) mempelajari tentang adsorpsi gas CO pada permukaan Pt(211), Ni (211), dan Pd(211) menggunakan metode teori fungsional densitas melalui optimisasi geometri yang menyeluruh. Energi adsorpsi dan struktur CO pada permukaan dipelajari dengan mempertimbangkan tempat yang mungkin untuk terjadinya adsoprsi, dan membandingkan ketiganya melalui data eksperimen pada saat pelapisan yang rendah. Terdapat beberapa perbedaan
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
47
tumbukan pada tempat dan struktur-struktur yang diharapkan terjadi adsorpsi (sudut kemiringan, panjang ikatan C-O, jarak logam-C) diantara ketiga permukaan tersebut. Untuk Pt(211), CO teradsorpsi secara khusus pada daerah tepi. Xu, et.al., (2003)) melakukan penelitian adsorpsi CO pada permukaan MgO (001). Hasil perhitungan mengidentifikasikan bahwa energi adsorpsi CO pada area reguler dari permukaan MgO (001) sangat sesuai dengan data eksperimen. Carbon terikat dibawah pusat kation dari permukaan MgO(001), hasil perhitungan juga mendekati nilai eksperimen. Ditemukan juga bahwa permukaan MgO (001) dengan pengisian oksigen mungkinkan memiliki struktur katalis yang baik untuk adsorpsi-dekomposisi CO. Bulanek dan Koudelkova, (2011) meneliti tentang adsorpsi CO pada NaBEA zeolit dan K-BEA zeolit. Hasilnya menunjukkan bawah interaksi CO dengan susunan kation Na+ dan K+ dari zeolit BEA mempunyai entalpi adsorpsi CO kompleks karbonil di Na- dan K-BEA sebesar 4,2 dan 2,7 kJ/mol secara berturutturut, hasil menunjukkan ini lebih stabil dibandingikatan kompleks Cmonokarbonil. Qiu et. al., ( 2012) meneliti tentang adsorpsi carbon monoksida zeolit Ag(I)-ZSM-5. Hasil penelitian menunjukan bahwa ikatan koordinasi-2 Ag-O lebih dipilih sebelum dan sesudah adsorpsi CO. Panjang ikatan Ag-O berada di rentang 2,2-2,9 Å, dan panjang ikatan Ag-C untuk adsorpsi CO pada zeolit AgZSM-5 adalah 2-2,2 Å. Penelitian ini juga membandingkan panjang ikatan dari Ag-O dan Ag-C untuk adsorpsi CO pada Ag-ZSM-5 lebih panjang dibandingkan adsorpsi CO pada Cu-ZSM-5. Keberadaan 2 atom Al di sisi pertukaran Ag+ akan menurunkan energi adsorpsi CO, sehingga secara umum energi adsorpsi CO pada Ag-ZSM-5 bisa lebih rendah dari Cu-ZSM-5. Peneliti lain yang melakukan adsorpsi CO adalah; Ernst et.al., (2008) mengkaji adsorpsi dan desorpsi gas CO menggunakan logam transisi ruthenium, iridium, palladium, rhodium, dan platinum dan Ranjan et. al., (2007) mempelajari efek elektronik dalam adsorpsi kimia CO pada permukaan Pt-Pb. 2.5.3 Keterbaruan Riset Dari pembahasan terkait penjernihan asap yang telah dilakukan oleh peneliti selama ini, proses penjernihan asap dilakukan menggunakan 2 (dua)
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
48
kompartemen dimana pembuatan asap (smoke generator) dan uji penjernihan asap dilakukan pada ruang yang terpisah. Hasil uji penjernihan selama ini hanya mengkaji kemampuan adsorben dalam penjernihan asap saja dengan melihat nilai t10, belum membahas pengurangan kandungan senyawa beracun (CO) yang teradsorpsi. Selama ini alat untuk mendeteksi kepekatan asap umumnya menggunakan trasmissiometer. Berdasarkan uraian di atas, oleh karena itu pada penelitian ini proses penjernihan asap dilakukan menggunakan 1 (satu) kompartemen, dimana pembuatan asap dan uji penjernihan dilakukan dalam satu ruang uji. Pengukuran penjernihan asap dan karbon monoksida (CO) teradsorpsi dilakukan secara simultan. Pendeteksi kepekatan asap pada penelitian ini menggunakan fotodioda. Sampai saat ini belum ada informasi tentang penggunaan zeolit alam dan karbon aktif untuk penjernihan asap dan penyerapan CO, oleh karena itu pada penelitian ini zeolit alam dan karbon aktif digunakan untuk penjernihan asap dan penyerapan CO.
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
49
Tabel 2. 7 Perkembangan penelitian tentang pemanfaatan adsorben, penjernihan asap dan adsorpsi CO
No
Peneliti
Tujuan
Sumber asap
Adsorben
Kompartemen 2
Detektor kejernihan asap
1
Arean, et. al. 2007
adsorpsi CO
kendaraan
zeolit
2
Arean, C. Oteron. 2007
adsorpsi CO
kendaraan
zeolit protonic
2
IR spektroskopi
3
Bulanek, dan Koudelkova, 2011
adsorpsi CO
bahan bakar fosil
zeolit BEA
2
spektroskopi FTIR
adsorpsi CO dan NO
kendaraan
Ag
2
adsorpsi CO
bahan bakar fosil
Au
bahan organik
-
2
NBS/NIST Smoke Box
bahan bakar fosil
zeolit 13X, zeolit 5A, karbon aktif
2
gas kromatografi
4 5
Carley, et. al. 1998. Gottfried, et. al. 2003
6
Hull dan Keith, 2007
bench-scale assessment of combustion toxicity
7
Jadhav, et. al. 2007.
adsorpsi CO2
2
IR spektroskopi
infrared investigation mass spectrometer
Keterangan ΔH0 CO pada 2164, 2145, 2129/cm-1 = 27,2; -27,1; -22,3 kJ/mol ΔH0 CO dari H-Y, HFER, dan H-ZSM = 25,6; -28,4; -29,4 kJ/mol entalpi adsorpsi CO kompleks karbonil di Na- dan K-BEA = 4,2 dan 2,7 kJ/mol konsentrasi atom N(1S) = 0,3 x 1015 cm-2, ΘCO < 0,5 ML dan 0,5 < ΘCO < 1,0 ML
kapasitas adsorpsi CO2 = 100 ml/g
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
50
Tabel 2.7
(Lanjutan)
Tujuan
Sumber asap
Adsorben
Kompartemen
Detektor kejernihan asap
Keterangan
8
Jadhav P, et. al. 2007.
adsorpsi CO2
bahan bakar fosil
zeolit 13X Monoetanol amina (MEA)
2
quantachrome Autosorb
kapasitas adsorpsi CO2 = 160 ml/g
9
Jungsuttiwon, et. al. 2007.
penyerapan CO
industri
zeolit Ag-ZSM-5
2
Kamarudin, Khairul S. N., et. al. 2006
adsorpsi CO2 dan CH4
bahan bakar fosil
zeolit tipe beta, NaY, ZSM-5
2
11
Li, Gang, et. al. 2008
adsorpsi CO2
bahan bakar fosil
zeolit 13X
2
12
Limtrakul, et. al. 1999
adsorpsi CO
bahan bakar fosil
zeolite H-FAU dan Li-FAU
2
13
Maghirang, R.G. dan E.B. Razote. 2009.
smoke generator
MgO, TiO2 NaHCO3, Ca(OH)3 Water spray
2
No
Peneliti
10
adsorpsi asap
ΔEads dari kompleks Ag+-ZSM-5/CO = 20,136 kcal/mol kapasitas adsorpsi CH4 tertinggi pada ZSM-5 = volumetric 14 cm3/g. Kapasitas sorption analyzer adsorpsi CO2 tertinggi pada NaY = 110 cm3/g. recovery CO2 dan produktivitas turun 18,5% dan 22% ketika CO2 analyzer menggunakan wet flue gas dibanding dry flue gas energi ikatan HIBM SP2 FAU/CO = 3,20 computer kcal/mol, Li-FAU/CO = 25,81 kcal/mol. FTIR
transmissometer
t10(air) = 8 menit
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
51
Tabel 2.7
(Lanjutan) Tujuan
Sumber asap
14
Minot, C., et. al. 2002.
Adsorpsi CO
air dan alkohol
15
Mohamad, et. al. 2000
adsorpsi CO
C.P. grade CO
Mulholland, G. 2005.
pengukuran distribusi ukuran dan sifat – sifat asap
No
Peneliti
16
17
Mulukutla R, et. al. 2007.
18
Parry, A. A., dan Pryde J. A. 1966.
penjernihan asap dan penghilangan zat beracun
adsorpsi N2 dan CO
Adsorben
polyurethane dan kertas
pembakaran kertas + heksana
N2 dan CO murni
oxygen defective rutile TiO2(1 1 0) tin (IV) oxide (SnO2) dalam karbon aktif
Kompartemen
Detektor kejernihan asap
Keterangan
2
computer and program
Eads (CO) = 0,36 eV.
2
gas kromatografi
Reduksi CO dari 1000 ppm jadi 10,4 ppm
-
-
nephelometer
dgm (rata – rata geometric diameter) asap dari polyurethane dan selulosa = 0,8 – 1,8 µm dan 2 – 3 µm
oksida dan hidroksida logam: Mg, Sr, Ba, Ca, Ti, Zr, Fe, V, Mn, Ni, Cu, Al, Si, Zn, Ag, Mo,Sb
2
UV-Vis
t15 < 8 menit
pyrex flashfilament cell
initial sticking probability nitrogen = 0,27 dengan tingkat saturasi = 4,4 x 1014 atom/cm2
molybdenum
2
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
52
Tabel 2.7
(Lanjutan)
No
Peneliti
Tujuan
Sumber asap
Adsorben
Kompartemen
Detektor kejernihan asap
19
Pires J, et. al. 2003
adsopsi air
air
karbon aktif, NaY zeolit, silica-alumina
2
thermogravimetri
adsorpsi CO
bahan bakar fosil
Ag(I)-ZSM-5
2
Dmol3 software package
adsorpsi CO
bahan bakar fosil
Cu
2
FTIR
potensial band IR dari Cu-COL pada 2078 cm1 = 15 cm-1/V kapasitas adsorpsi N2 = 460 ml/g. Kapasitas adsorpsi aseton = 0,78 ml/g
20
21
22
23 24 25
Qiu et. al., 2012 Saltmon, Jumat, dan Maher Kalaji. 2003. Sasaki T, et. al. 2008 Schennach, R., et. al. 2003. Siriwardane R, et. al. 2002. Tehrani dan Salari. 2005. Treesukol, Piti, et. al. 2001.
adsorpsi asap rokok
rokok
karbon aktif
1
GC-FID
adsorpsi CO
metanol
Rh
2
mass spectrometer
adsorpsi CO2, N2, O2
CO2, N2, O2 murni
zeolit alam
2
mass spectrometer
adsorpsi CO
CO murni
natural zeolit (Clinoptilolite)
2
Quantasorb
adsorpsi NO dan CO
kendaraan dan pabrik
ZSM - 5
2
computer and program Gaussian98
Keterangan adsorpsi air terendah pada karbon aktif = 0,01 mmol/m2 energi adsorpsi CO = 11,3 – 18,9 kcal/mol
initial sticking coefficient CO = 0,8 kapasitas adsorpsi CO2 = 2,5-3 mol/kg kapasitas adsorpsi CO = 6,2 cm3/g (STP) energi ikatan CO = 32 kcal/mol, energi ikatan NO = 22 kcal/mol
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
53
Tabel 2.7
(Lanjutan)
No
Peneliti
Tujuan
Sumber asap
Adsorben
Kompartemen
26
Voogt, E. H., et. al. 1997.
adsorpsi CO
bahan bakar fosil
Pd dan Pa
2
27
Xu, Xiaochun, et. al. 2005.
adsorpsi CO2
bahan bakar fosil
MCM-41-PEI
28
Yadav R, et. al. 2007.
penjernihan asap
glikol aerosol
29
Yang Xu, et. al. 2003.
penyerapan asap rokok
rokok
Yijun Xu, et. al. 2002.
penyerapan gas CO dan menghitung energi adsorpsinya
30
NA TiO2, NA MgO, Ca(OH)2, NaHCO3, NA MgO plus zeolit NaY, NaZSM-5, H ZSM-5, zeolit KA, zeolit NaA, materi berpori SBA-15, MCM48, karbon aktif, SiO2
bahan bakar fosil
MgO
Detektor kejernihan asap Auger electron spectroscopy (AES)
ΔHad inisial pada semua sampel = 148 + 5 kJ/mol
2
gas cromatograph
kapasitas adsorpsi CO2 = 129,9 ml/g (STP)
2
transmissometer
t10 = 2,6 menit
1
digital Visible spektrofotometer
kapasitas adsorpsi NO2 = 156,2 µmol/g
2
komputer dengan small finite cluster model dan metode DFT/B3LYP
energi relaksasi permukaan MgO = 0,15 eV, energi adsorpsi CO di sisi kation MgO = 0,06 eV
Keterangan
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
54
Tabel 2.7
(Lanjutan) Tujuan
Sumber asap
31
Szanyi dan Paffett 1996
adsorpsi CO
bahan bakar fosil
zeolit H-ZSM-5
32
Zou Yong, et. al. 2009.
penyerapan gas CO2
bahan bakar fosil
alumina tipe 98AX316 dan 98AA1149
33
Penelitian yang dilakukan
Penjernihan Asap dan penyerapan CO
tisu
ACcom, ACZnCl2 Zeolit alam
No
Peneliti
Adsorben
Kompartemen
Detektor kejernihan asap
Keterangan
2
spektroskopi FTIR
panas adsorpsi CO di H-ZSM-5(perlakuan hidrotermal) = 4 kJ/mol
2
gravimetri yang dilengkapi dengan microbalance
kapasitas adsorpsi CO2 > 30 mmol/g pada kondisi 3000C dan 1 bar
1
Fotoelektrik berbasis micro controller
t10(ACcom) atas = 4 mnt tengah = 4,6 mnt bawah = 7,7 mnt Adsorpsi CO = 108,2 g
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
55
BAB 3 METODE PENELITIAN
Untuk mencapai tujuan penelitian ini, maka penelitian dibagi dalam 3 bagian yaitu: 1. Seleksi adsorben 2. Uji pembuatan asap 3. Uji penjernihan asap dan penyerapan CO
3.1 Seleksi Adsorben Percobaan ini bertujuan untuk menyeleksi adsorben yang akan digunakan pada penyerapan asap kebakaran. Parameter yang dijadikan tolak ukur dalam menyeleksi adsorben adalah kemampuan dalam menyerap karbon monoksida (CO). Penelitian dilakukan di Laboratorium Rekayasa Produk Kimia dan Bahan Alam (RPKA), Laboratorium Dasar Pendidikan Kimia (DPK) dan Laboratorium Energi Berkelanjutan, Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia (DTK-FTUI). Tahapan penelitian ini dibagi dalam 2 bagian yaitu: (1) Preparasi adsorben dan (2) Uji penyerapan CO.
3.1.1
Preparasi dan Karakterisasi Adsorben Adsoben yang diseleksi untuk adsorpsi CO adalah: zeolit teraktivasi, zeolit
tak teraktivasi, karbon aktif, TiO2, MgO, CuO. Karbon aktif, TiO2, MgO, CuO dibeli dari Laboratorium Teknik Kimia, FTUI langsung dilakukan uji adsorpsi CO, sedangkan zeolit alam dilakukan aktifasi sebelum uji adsorpsi CO. Zeolit alam yang digunakan berasal dari Lampung. Tahapan dan prosedur aktifasi zeolit alam adalah sebagai berikut: 1.
Ke dalam beaker glass yang berisi 100 g zeolit ditambahkan 400 ml larutan HF 2%. Campuran diaduk dengan magnetic stirrer selama 10 menit pada temperatur kamar, kemudian dicuci dengan aquadest. Perendaman ini dilakukan
dengan
tujuan
melarutkan
oksida-oksida
pengotor
dan
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
56
mengurangi senyawa organik pengotor yang dapat menurunkan daya adsorbsi zeolit. 2.
Kemudian direndam dalam 400 ml HCl 6 M pada temperatur kamar selama 30 menit. Perendaman ini dilakukan agar aluminium dalam zeolit dapat terekstrak dan aluminium dalam kerangka menjadi aluminium luar kerangka sehingga dapat meningkatkan rasio Si/Al.
4.
Merendam zeolit dalam 400 ml larutan NH4Cl 0,1 M selama 5 hari dan diaduk selama 3 jam per hari. Perendaman ini bertujuan untuk memperkuat struktur baru yang terbentuk karena proses dealuminasi oleh HCl.
5.
Mengkalsinasi zeolit pada temperatur 500 OC selama 5 jam. Kalsinasi zeolit bertujuan untuk menguapkan kandungan air yang terperangkap dalam kristal zeolit.
Karakterisasi karbon aktif dan zeolit alam meliputi karakterisasi komposisi dan marfologi pori adsorben menggunakan SEM type EFI 50 merk EFI. Karakterisasi BET dilakukan untuk mengetahui luas permukaan adsorben, dilakukan untuk semua adsorben, termasuk zeolit alam yang belum dan sudah diaktifasi, menggukan alat BET merk INOVA 2000. Karakterisasi SEM-EDAX dilakukan untuk melihat pengaruh aktifasi terhadap diameter pori zeolit alam pada setiap perlakuan asam dan komposisi unsur penyusun zeolit alam, serta untuk mengetahui rasio Si/Al zeolit alami sampel tersebut. 3.1.2 Uji Adsorpsi 3.1.2.1 Diagram Ali Uji Adsorpsi Uji adsorpsi dilakukan seperti diagram alir proses yang dapat dilihat pada Gambar 3.1 di bawah ini. Untuk langkah-langkah uji adsorpsi yang lebih jelas dan lebih detail dapat dilihat pada bagian prosedur penelitian.
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
57
Persiapan Alat Uji Adsorpsi Karbon Monoksida
Preparasi Adsorben
Cek Kebocoran Peralatan
Penentuan Volume Kosong dengan Gas Helium Uji Adsorbsi CO
Pembuatan Kurva Adsorpsi
Mendapatkan konstanta adsorpsi Langmuir
Gambar 3. 1 Diagram alir uji adsorpsi
3.1.2.2 Alat Uji Adsorpsi Skema rangkaian alat uji adsropsi seperti terlihat pada Gambar 3.2. Rangkaian alat uji adsorpsi CO tersusun sebagai berikut:
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
58
Gambar 3. 2 Skema alat uji adsorpsi (Sudibandriyo, 2011)
Keterangan: 1. Dozing Cylinder Dozing Cylinder dibuat berukuran mini dimana volumenya kira-kira dua kali dari volume tabung penyimpan CO (atau disebut sampling cylinder). Silinder ini terbuat dari pipa stainless steel 0.25 inch dengan panjang 50 cm dan dihubungkan dengan tabung gas bertekanan, pressure transducer dan tabung penyimpan CO melalui pipa stainless steel 1/8 inch. Pada masingmasing sambungan dozing cylinder dengan gas bertekanan dan tabung penyimpan CO dipasang needle valve untuk menutup dan membuka aliran gas yang masuk maupun yang keluar. Dozing cylinder digunakan untuk mengetahui jumlah gas CO yang diinjeksikan atau yang akan dilepaskan ke atau dari dalam sampling cylinder. Setelah rangkaian alat dozing cylinder terpasang, maka selanjutnya dilakukan penentuan volume aktual rangkaian ini dengan cara mengukur volume air yang dibutuhkan untuk memenuhi seluruh ruang dalam rangkaian alat dozing cylinder. 2. Sampling Cylinder Pada percobaan ini, sampling cylinder dibuat berukuran mini untuk kapasitas adsorben sebanyak +/- 2 gram. Bahan silinder ini terbuat dari pipa stainless steel ¼ inch dengan panjang 20 cm. Silinder ini dihubungkan dengan
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
59
dozing cylinder dan pressure transducer pada ujung depan dan selang buangan gas pada ujung belakang. 3. Pressure Transducer Dua buah pressure transducer dihubungkan dengan dozing cylinder dan sampling cylinder melalui pipa stainless steel 1/8 inch untuk mengetahui tekanan gas pada masing-masing silinder. Pressure transducer juga dihubungkan dengan power supply regulator dan data acqusition yang masing-masing terhubung melalui dua buah kabel positif-negatif. Kedua pressure transducer yang digunakan sebelumnya telah dikalibrasi pada interval tekanan 14.7 sampai 1014.7 psia dengan voltase input dari power supply diatur sebesar 10 volt. Hasil kalibrasi ini didapat persamaan garis linier antara tekanan terhadap milivolt yang dihasilkan dari sinyal output pressure transducer. 4. Data Acquisition Alat mirip multi tester ini dihubungkan dengan dua buah pressure transducer dan komputer berturut-turut melalui dua buah kabel positif-negatif dan satu kabel USB. Sinyal listrik keluaran dari pressure transducer dideteksi oleh data acquisition dan nilainya dibaca melalui program Adam View berupa milivolt di komputer. Dengan memasukkan besar milivolt yang dihasilkan ke dalam persamaan garis linier antara tekanan terhadap voltase, maka besar tekanan baik pada dozing cylinder maupun sampling cylinder dapat diketahui nilainya.
3.1.2.3 Prosedur Percobaan Uji Adsorpsi Prosedur percobaan ini terdiri dari beberapa tahap yaitu persiapan alat uji adsorpsi CO, persiapan bahan uji, cek kebocoran alat, prosedur pengujian dan permodelan adsorpsi CO serta dinamikanya
Persiapan alat uji adsorpsi Alat uji adsorpsi yang digunakan dalam penelitian ini terlihat seperti
Gambar 3.3. Secara garis besar, alat uji ini terbagi dalam dua area yang terpisah, yaitu area dozing dan area sampling. Kedua area ini sama-sama diletakan dalam
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
60
sebuah kotak kayu agar temperaturnya dapat dikontrol dengan mudah sehingga kondisi isotermis dapat dicapai. Di antara kedua area ini diletakkan satu buah termokopel untuk membaca temperatur ruang dalam kotak yang juga merupakan temperatur adsorpsi.
Gambar 3. 3 Rangkaian peralatan uji adsorpsi
Volume area dozing sangat ditentukan oleh volume dozing cylinder. Volume dozing cylynder yang digunakan pada alat uji kira-kira dua kali lebih besar dari volume sampling cylinder. Hal ini dimaksudkan agar perubahan tekanan pada area dozing setelah injeksi ke sampling cylinder tidak terlalu kecil atau terlalu besar. Bila perubahan terlalu kecil, maka kesalahan pembacaan tekanan yang kecil menghasilkan error yang besar sehingga akurasi hasil uji rendah. Sedangkan bila terlalu besar, maka dibutuhkan tekanan awal area dozing yang jauh lebih tinggi untuk injeksi ke sampling cylinder. Hasil pengukuran dengan menggunakan air didapat volume area dozing sebesar 23 ml. Volume ini digunakan dalam menentukan jumlah mol gas yang terdapat dalam area dozing.
Persiapan adsorben Adsorben ditimbang kira-kira 2 gram, lalu masing-masing dimasukkan ke
silinder penguji untuk kemudian diuji kemampuan adsorpsi terhadap gas karbon monoksida serta diamati perilaku dinamis adsorpsinya. Sebelum bahan-bahan tersebut diuji, dipanaskan terlebih dahulu pada temperatur 50°C dan kondisi
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
61
vakum selama 3 jam untuk menghilangkan uap air kesetimbangan yang mungkin terperangkap dalam bahan.
Cek kebocoran peralatan Setelah semua rangkaian alat uji penyimpan CO tersusun dengan benar
dan zeolit telah siap dipreparasi, maka selanjutnya dilakukan uji kebocoran peralatan untuk mengetahui kesiapan dan kualitas alat uji dalam pengujian adsorpsi yang akan dilakukan. Pada uji ini, gas helium diinjeksikan ke dalam rangkaian alat uji penyimpan CO sampai tekanan kira-kira 620 psia. Lalu diamati kestabilan tekanan pada dozing cylinder dan sampling cylinder.
Pengambilan data uji adsorpsi karbon monoksida Prosedur pengambilan data terbagi dalam 2 tahap yaitu: 1) kalibrasi
volume void dan 2) adsorpsi CO. Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut : 1. Kalibrasi volume void sampling cylinder Pada sampling cylinder dimasukkan adsorben dengan massa sekitar 2 gram. Volume void dari sampling cylinder adalah volume total dari ruang kosong yang terdapat pada sampling cylinder. Vvoid = VSC – Vruang yang terisi zeoilt + Vpori-pori zeolit
3.1
Prosedur pencarian volume void dari sampling cylinder adalah sebagai berikut : Mengisi dozing cylinder dengan gas He sampai penuh dengan cara membuka valve V-1 dan mengalirkan gas He ke dalam alat tersebut. Sementara itu, valve V-2 dalam keadaan tertutup dan semua pompa vakum dalam keadaan mati. Valve V-1 ditutup ketika dozing cylinder terisi penuh. Setelah itu, mancatat temperatur (Ti) dan tekanan (Pi) CO di dozing cylinder. Dengan data ini, maka kita bisa mengetahui jumlah mol He yang terdapat pada dozing cylinder menurut persamaan berikut ini : 3.2
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
62
Pada prosedur ini Vdozing cylinder = VHe
Membuka valve V-2 dan mengalirkan gas He tersebut ke dalam sampling cylinder. Ketika semua gas He telah masuk ke dalam sampling cylinder, valve V-2 ditutup serta mencatat temperatur (Tf) dan tekanan (Pf) dari dozing cylinder. Dengan data ini, maka kita akan dapat mengetahui jumlah mol (ni) dari gas He yang dimasukkan ke sampling cylinder dengan persamaan : 3.3
Mencari volume void dari sampling cylinder. Data yang sudah diketahui adalah temperatur sampling cylinder (Tf), tekanan sampling cylinder (Pf) 3.4
Mengeluarkan gas He dari sampling cylinder dengan menyalakan pompa vakum 2. Adsorpsi CO
Mengisi dozing cylinder dengan gas CO dengan membuka valve V-1 dan mengalirkannya ke dozing cylinder sampai tekanan yang diinginkan. Setelah tekanan tercapai, valve V-1 ditutup dan mencatat temperatur (Ti) dan tekanan (Pi) CO di dozing cylinder.
Mengalirkan gas CO ke sampling cylinder dengan membuka valve V-2. Ketika semua gas CO telah masuk ke dalam sampling cylinder, menutup valve V-2 dengan cepat serta mencatat temperatur (Tf) dan takanan (Pf) CO pada sampling cylinder setelah mencapai kesetimbangan.
Mencari jumlah mol zat yang teradsorpsi dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : 3.5
3.6
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
63
Prosedur di atas dilakukan untuk masing-masing adsorben sampai diperoleh kurva adsorpsi isotermal dengan tekanan 0-350 psia. 3.1.2.4 Pengolahan Data Uji Adsorpsi Pengolahan data pada uji adsorpsi adalah dengan membuat kurva adsorpsi CO oleh adsorben. Dari jumlah mol yang teradsorpsi dibuat model adsorpsi Langmuir menggunakan Persamaan 3.7. Dengan bantuan program Solver Microsoft Excel, konstanta adsorpsi model Langmuir b dan kapasitas adsorpsi maksimum (nmaks) akan didapat. Nilai b dan nmaks dapat diterima jika nilai % AAD (absolute average deviation) < 10%. % AAD adalah deviasi rata mutlak dari jumlah mol adsorpsi Gibbs eksperimen (neksp) terhadap jumlah mol adsorpsi Gibbs model (nmodel), perhitungannya seperti pada Persamaan 3.8. 3.7
3.8
Setelah uji adsorpsi adsorben terhadap CO, maka dipilih adsorben yang mempunyai kemampuan menyerap CO paling besar dengan melihat konstanta b dan nmaks yang paling besar. Dari hasil uji adsorpsi ini maka dipilih karbon aktif dan zeolit alam teraktifasi untuk penelitian selanjutnya yaitu uji penjernihan asap.
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
64
3.2 Uji Pembuatan Asap Bahan bakar untuk pembuatan asap ini adalah kertas tisu. Kertas tisu ditimbang masing-masing seberat 2, 4, dan 6 gram kemudian dibakar dalam wadah pembakaran. Tisu dibakar menggunakan solder elektrik sehingga terbentuk asap, jenis pembakaran yang terjadi adalah smoldering. Pengujian ini dilakukan untuk mendapatkan berat tisu yang dapat menghasilkan karakteristik asap yang diinginkan. Karakteristik asap yang diinginkan adalah asap yang dapat menghasilkan bacaan I maksimum pada sensor mendekati nilai 1000 (nilai densitas optis 2) dan kadar CO tinggi (> 4000 ppm).
3.2.1
Prosedur Pembuatan Asap Menyiapkan bahan bakar (menggulung tisu pada solder dengan
menggunakan kawat). Memasukkan bahan yang akan dibakar ke dalam wadah pembakaran. Menutup rapat ruang pembakaran menggunakan lakban dan plastisin sehingga tidak terjadi kebocoran asap. Menyalakan solder untuk proses smoldering tisu. Mencatat bacaan intensitas cahaya (I) pada setiap sensor asap dan kadar CO setiap menit sampai menit ke-30. Mengulangi prosedur untuk berat tisu 2, 4, 6 dan 8 gram.
3.2.2
Pengolahan Data Asap Dari data yang diambil data diolah menggunakan persamaan yang didapat
dari hasil kalibrasi (pada sub BAB 3.3.5.5). Hasilnya menunjukkan bahwa asap dari 6 gram kertas tissue yang dibakar di dalam ruang uji menggunakan solder. Pemilihan massa 6 gram tissue, karena massa 6 gram dapat menghasilkan kepekatan asap sempurna dengan intensitas cahaya (I) mendekati 1000 (nilai densitas optis > 2), kandungan CO sekitar 4500 ppm dan tisu habis terbakar. Oleh karena itu pada uji penjernihan asap, massa tisu yang dibakar adalah 6 gram.
3.3 Uji Penjernihan Asap dan Penyerapan CO Uji penjernihan asap merupakan penelitian lanjutan dari penelitian sebelumnya screening adsorben. Dari uji seleksi adsorben menunjukkan bahwa karbon aktif dan zeolit alam teraktifasi mempunyai kemampuan adsorpsi terhadap
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
65
CO lebih baik dibandingan yang lain. Oleh karena itu pada uji penjernihan asap adsorben yang diuji adalah karbon aktif dan zeolit alam teraktifasi. Karbon aktif yang digunakan adalah karbon aktif komersial merek Jacobi (ACcom), zeolit alam teraktifasi. Merujuk pada hasil uji adsorpi CO karbon aktif menunjukkan kemampuan menyerap CO yang besar, oleh karena itu pada penelitian uji penjernihan asap dilakukan juga terhadap karbon aktif yang disintesa dari tempurung kelapa sawit dengan agen pengaktif ZnCl2 (ACZnCl2). 3.3.1
Diagram Alir Uji Penjernihan Asap dan Penyerapan CO Skema di bawah ini menjelaskan alur proses percobaan yang dilakukan
dalam uji penjernihan asap dan penyerapan CO. Persiapan adsorben
Pemilihan perancangan ruang uji dan peralatan Pemilihan Teknik pembuatan asap
Perancangan ruang uji dan alat fotoelektrik
Pembuatan asap dari tisu
Kalibrasi alat fotoelektrik
Pemilihan Teknik dispersi adsorben
Uji kepekatan asap dan kandungan CO
Uji penjernihan asap
Uji alat dispersi sprayer gun
Pengolahan, analisis dan pembahasan data
Data karakterisasi dan analisis
Gambar 3. 4 Diagram alir penelitian uji penjernihan asap
3.3.2
Persiapan Adsorben Adsorben yang digunakan pada uji penjernihan asap adalah adsorben
kabon aktif komersial (AC com), karbon aktif teraktifasi ZnCl2 (AC ZnCl2), dan Zeolit alam (NZ). ACcom yang digunakan merek Jacobi, sedangkan zeolit alam
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
66
yang digunakan adalah hasil aktifasi pada Penelitian 1. Pada tahap persiapan adsorben yang dilakukan adalah pembuatan kabon aktif yang diaktifasi dengan larutan ZnCl2 (ACZnCl2) dan penghalusan adsoben menjadi ukuran 0,6-1 µm, 1-2 µm, 53-106 µm dan 106-212 µm. 3.3.2.1 Pembuatan Karbon Aktif ACZnCl2
Diagram Alir Pembuatan Karbon Aktif Tempurung Kelapa Sawit Pada penelitian ini, akan dibuat karbon aktif berbahan dasar tempurung
kelapa sawit dengan bahan pengaktif ZnCl2 25 % dan temperatur aktivasi 850 oC untuk menghasilkan karbon aktif dengan luas permukaan yang lebih tinggi. Diagram alir pembuatan karbon aktif berbahan dasar tempurung kelapa sawit ditunjukkan pada Gambar 3.5. Persiapan alat dan bahan
Pengarangan menggunakan furnace pada temperatur 400°C selama 2 jam Dihancurkan dan diayak hingga ukuran 10 mesh
Pencampuran dengan bahan pengaktif (ZnCl2) 25 % dengan arang tempurung kelapa sawit (4:1)
Pengadukan pada 100 rpm pada temperatur 85 °C selama 2 jam
Pengeringan slurry pada temperatur 100 °C selama 24 jam
AKTIVASI Aktivasi pada temperatur 850 °C selama 2 jam
Pendinginan
Gas N2, 1 jam pertama Gas CO2, 1 jam berikutnya Laju alir 100 mL / menit
Gas CO2, Laju alir 100 mL / menit
Pencucian dengan menggunakan aquades hingga pH mencapai 6.5 – 7.5
Pengeringan produk karbon aktif dalam oven pada temperatur 100°C selama 24 jam Karakterisasi dan uji adsorpsi
Gambar 3. 5 Diagram alir pembuatan karbon aktif dari tempurung kelapa sawit
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
67
Prosedur Pembuatan karbon aktif ACZnCl2
Prosedur pembuatan karbon aktif dilakukan sebagai berikut : 1. Tempurung kelapa sawit dicuci dengan air untuk menghilangkan pengotor, kemudian dihancurkan hingga menjadi bagian kecil-kecil dan dikeringkan dalam oven pada temperatur 110oC hingga mencapai bobot konstan. 2. Tempurung kelapa sawit diarangkan menggunakan furnace pada temperatur 400oC selama 2 jam. Arang tempurung kelapa sawit dihancurkan dan diayak menggunakan penyaring mesh hingga mencapai ukuran 10 mesh. 3. Aktivasi kimia, sebanyak 100 gram arang yang didapatkan dari proses karbonisasi dicampur dengan activating berupa larutan ZnCl2 25% (persen massa) dengan perbandingan 1:4. Campuran tersebut diaduk menggunakan magnetic stirrer pada 100 rpm temperatur 85oC selama 2 jam. Slurry dikeringan menggunakan oven pada temperatur 100oC selama 24 jam. 4. Aktivasi fisika, campuran dimasukan ke dalam reaktor dan ditutup hingga rapat. Reaktor dialirkan gas N2 dengan laju alir 100 mL/menit selama 5 menit untuk memastikan bahwa oksigen telah dikeluarkan dari reaktor tersebut. Reaktor dipanaskan secara bertahap sehingga tercapai temperatur 850 °C selama 1 jam. Aliran gas N2 diganti dengan gas CO2 dan dialirkan selama 1 jam.Suhu reaktor diturunkan hingga mencapai 30°C dengan tetap dialirkan gas. Pendinginan, setelah proses aktivasi dilakukan, temperatur reaktor diturunkan hingga mencapai 30°C dengan tetap dialirkan gas CO2. Setelah didinginkan, sampel dicuci dengan menggunakan air distilasi hingga pH mencapai 6.5 – 7.5. Nilai pH diketahui dengan cara mengukur pH filtrat menggunakan pH meter yang telah dikalibrasi.Setelah melalui proses di atas, sampel dikeringkan dalam oven pada temperatur 100 oC selama 24 jam. Sampel karbon aktif yang didapatkan kemudian disimpan di dalam desikator untuk menjaga agar karbon aktif tetap kering. Karakterisasi karbon aktif Karakterisasi yang dilakukan adalah perolehan rendemen karbon, uji karakteristik karbon aktif berdasarkan Standar Industri Indonesia dan uji adsorbsi gas CO.
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
68
Rendemen Karbon yang diperoleh dibersihkan. Timbang karbon yang diperoleh. Hitung perolehan rendemen dari karbon yang didapat. Kadar Air Timbang 1 gram karbon aktif di atas kaca arloji. Keringkan karbon aktif di dalam oven pada temperatur 100°C. Catat berat karbon aktif setiap 60 menit sekali sampai mencapai bobot konstan. Dinginkan karbon aktif di dalam deksikator.Timbang perolehan karbon aktif yang didapat Kadar Abu total Timbang 1 gram karbon aktif diatas cawan penguapan. Panaskan karbon aktif di dalam furnace pada temperatur 650°C selama 2 jam sampai seluruh karbon menjadi abu.Didinginkan karbon aktif di dalam deksikator. Timbang perolehan karbon aktif yang didapat.
3.3.2.2 Penghalusan Adsorben Sampel karbon aktif yang telah diaktivasi kemudian dihaluskan dengan menggunakan mortar. Selanjutnya karbon aktif diayak dengan menggunakan ayakan berukuran 53 mikron, 106 mikron, dan 212 mikron yang disusun bertingkat untuk mendapatkan karbon aktif dengan ukuran 53-106 mikron dan 106-212 mikron. Penghalusan adsorben sampai pada ukuran 106 dan 53 mikron dilakukan secara manual dan untuk mencapai ukuran nano meter penghalusan dilakukan menggunakan planetary ballmill type n4, merk Noah.
3.3.2.3 Karakterisasi Ukuran Partikel (Particle Size Analyzer/PSA) PSA adalah karakterisasi yang dilakukan untuk mengetahui ukuran partikel yang sangat kecil (berukuran nano). Karakterisasi PSA dilakukan di Laboratorium Nanotech Indonesia, PUSPITEK, Serpong, menggunakan alat Particle Size Analyzer type C merk Backman Coulter.
3.3.3
Rancang Bangun Ruang Uji dengan Instrumentasi Photoelectric Rancang bangun ruang uji ini merupakan perbaikan dari rancang bangun
sebelumnya (rancang bangun sebelumnya terlampir). Perbaikan yang dilakukan
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
69
antara lain alat ini dilengkapi oleh pendeteksi asap tipe photoelectric berbasis micro controller, alat pendispersi adsorben menggunakan Sprayer gun, COLO800, Powder Coating Equipment, teknik pembuatan asap dan alat deteksi CO. Ruang uji dilengkapi; 3 buah rangkaian sensor cahaya (photodiode) pada ketinggian: 30 cm, 60 cm dan 90 cm, 3 buah rangkaian sinar laser pada ketinggian: 30 cm, 60 cm dan 90 cm, 1 buah micro controller dan downloader, 1 buah komputer dan kaca untuk kalibrasi dengan nilai OD tertentu (0,1; 0,3; 0,4; 0,8 dan 2). 3.3.3.1 Set-up Alat Skema set up alat eksperimen terlihat pada Gambar 3.6. Foto ruang uji terlihat pada Gambar 3.7. Rangkaian alat micro controller terlihat pada Gambar 3.8. Ruang uji berbentuk kotak dengan ukuran 40 cm x 40 cmx 120 cm yang terbuat dari bahan akrilik. Pada bagian depan ruang uji ada pintu yang bisa dibuka untuk membersihkan dinding dan dasar akrilik dari sisa adsorben yang didispersikan ke dalam ruang uji. Bagian bawah ruang uji terdapat lubang untuk mendispersikan adsorben ke dalam ruang uji. Ruang uji dilengkapi dengan alat pendeteksi asap tipe photoelektiric berbasis micro controller, deteksi CO menggunakan Portable Combustion Gas Analyser type 400 merk E Instruments dan deteksi kelembapan menggunakan Humidity meter. 7
1
4 Keterangan gambar: 1,2,3 Laser
5
2 8
4,5,6 Sensor 7. Humidity meter 8. Flue gas analyzer
3
6
9. adsorben dispersion 10. micro controller and K 125R 11. Personal computer
9 10 11
Gambar 3. 6 Skema ruang uji dengan instrumentasi photoelectric Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
70
Gambar 3. 7 Foto ruang uji penjernihan asap
Micro Controller
Downloader K125R Baterai
Port Sensor Port Laser Power
Gambar 3. 8 Rangkaian alat micro controller
Alat pendeteksi asap terdiri dari sumber cahara (laser), sensor cahaya, micro controller dan Personal Computer. Sumber cahaya berasal dari sinar laser pointer dengan tegangan 5 volt. System control oleh micro controller tipe
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
71
ATmega16. Micro controller adalah alat yang mengerjakan instruksi-instruksi yang diberikan kepadanya. Sensor cahaya yang digunakan adalah sensor cahaya photodioda. Untuk mentrasfer data menggunakan perangkat lunak downloader K125R. Downloader K125R merupakan suatu perangkat elektronik yang digunakan sebagai penghubung antara personal computer dengan micro controller. Awalnya kode perintah/tugas dibuat di komputer kemudian dimasukkan ke dalam micro controller melalui perantara perangkat ini. Disamping itu, perangkat ini juga digunakan untuk mentransfer data hasil bacaan sensor ke dalam komputer karena perangkat ini juga dilengkapi dengan serial USART. Alat ini dilengkapi juga dengan voltage regulator LM 276, yang mengatur tegangan input baterai 12 volt menjadi 5 volt sesuai dengan tegangan laser pointer. Bacaan yang terbaca pada alat pendeteksi asap ini adalah nilai I antara 0 – 1000. Nilai 0 berarti jernih, tidak ada asap sementara nilai 1000 berarti gelap sempurna. Alat pendeteksi asap ini dikalibrasi menggunakan kaca yang sudah diketahui nilai densitas optik yaitu 0,1; 0,3; 0,5; 0,8 dan 2 m-1. Gambar 3.9 adalah skema mekanisme kerja alat pendeteksi asap berbasis micro controller.
Computer
K125R
Laser Sensor
Micro Controller
Gambar 3. 9 Skema mekanisme kerja alat pendeteksi asap
3.3.3.2 Kalibrasi Sensor Prosedur Kalibrasi Dalam merangkai micro controller untuk mengukur kepekatan asap, metode yang digunakan berdasarkan penelitian yang dilakukan Tito Apriano pada tahun 2012. Adapun alat-alat utama rangkaian seperti sensor cahaya (photodioda), sinar laser, micro controller, dan downloader telah lebih dahulu dirangkaikan pada ruang uji. Pengujian kalibrasi dilakukan di dalam sebuah ruang uji akrilik berukuran 40 cm x 40 cm x 120 cm. Sensor cahaya dan sinar laser ditempelkan pada ruang uji. Dalam ruang uji terdapat tiga titik sensor dan sumber cahaya laser yaitu: (1) laser atas berjarak 90 cm dari dasar ruang uji, (2) laser tengah berjarak 60 cm dari dasar ruang uji, dan (3) laser bawah berjarak 30 cm dari dasar ruang
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
72
uji. Adapun tahapan dalam uji kalibrasi rangkaian micro controller yang dilakukan antara lain: 1. Mengukur intensitas cahaya awal yang masuk ke dalam sensor cahaya (I0). Intensitas ini dianggap sebagai intensitas tanpa adanya asap. 2. Meletakkan kaca dengan nilai density tertentu didepan sensor cahaya (photodiode). Hal ini dilakukan agar tidak ada cahaya lain yang masuk ke sensor selain cahaya laser yang melewati kaca. 3. Mengukur intensitas cahaya (I) yang masuk ke dalam sensor cahaya saat sensor cahaya terhalang oleh kaca. 4. Mengulangi percobaan dengan menggunakan variasi kaca yang memiliki optical density berbeda (0,1; 0,3; 0,5; 0,8 dan 2). Hal ini dilakukan untuk mendapatkan hasil bacaan sensor yang valid sehingga didapatkan persamaan matematika yang akan digunakan dalam menentukan optical density pada asap.
3.3.4
Pemilihan Alat Dispersi Adsorben dan Teknik Dispersi Salah satu permasalahan dalam penelitian ini adalah pemilihan teknik
mendispersikan adsorben. Syarat pendispersian adsorben adalah mampu mendispersikan adsorben secara merata dalam ruang uji. Pertama kali dipilih balon yang diisi gas nitrogen sebagai media untuk mendispersikan. Setelah dilakukan uji coba, balon yang berisi adsorben dan nitrogen ketika diledakkan tidak dapat mendispersikan adsorben dengan merata. Permasalahan lain menggunakan balon adalah kelenturan tiap balon berbeda-beda, sehingga mengalami kesulitan mengontrol tekanan dan jumlah nitrogen yang dimasukkan. Oleh karena itu Sprayer gun khusus untuk padatan dipilih sebagai alat untuk mendispersikan adsorben.
3.3.4.1 Posisi Arah Sprayer Gun Pada dasarnya, arah pendispersian alat ini adalah horizontal, maka perlu modifikasi posisi tabung sampel pada sprayer gun, sehingga arah pendispersian bisa dilakukan secara vertikal. Posisi pendispersian dapat dilakukan dari atas atau bawah ruang uji. Posisi pendispersian dari atas dapat menyebabkan padatan lebih cepat jatuh ke dasar ruang uji, sehingga waktu kontak dengan partikel asap di
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
73
dalam ruang uji menjadi singkat. Posisi pendispersian padatan dari bawah dapat meningkatkan waktu kontak padatan dengan partikel asap di dalam ruang uji. Pada penelitian ini dipilih posisi pendispersian dari bawah ruang uji. Gambar 3.10 menunjukkan kondisi dasar ruang uji setelah adsorben didispersikan, terlihat adsorben merata pada dasar ruang uji.
Gambar 3. 10 Kondisi dasar ruang uji setelah adsorben didispresikan
3.3.4.2 Nitrogen Bertekanan Mengalir Kontinyu Gas nitrogen digunakan sebagai gas pembawa adsorben mengalir secara kontinyu selama 3 detik. Takanan nitrogen yang digunakan harus optimal, agar adsorben yang didispersikan dapat mencapai ketinggian yang diinginkan. Jika tekanan terlalu tinggi dapat menyebabkan efek signifikan pada karakteristik asap di dalam ruang uji. Tetapi tekanan nitrogen terlalu kecil, dapat menyebabkan adsorben tidak mencapai ketinggian yang diinginkan dan masih banyak adsorben tidak terdispersikan, tertinggal dalam alat sprayer gun. Sebelum dilakukan uji penjernihan asap, uji tekanan nitrogen harus dilakukan. Uji tekanan nitrogen dilakukan menggunakan padatan tepung beras merek Rose Brand. Tekanan nitrogen 42 psia mampu mendispersikan padatan sampai ketinggian ruang uji (120 cm). Lama
waktu
pendispersian
menjadi
parameter
yang
harus
dipertimbangkan. Waktu pendispersian terlalu lama, jumlah nitrogen yang banyak dapat mempengaruhi komposisi gas di dalam ruang uji. Waktu pendispersian yang terlalu singkat menyebabkan padatan masih banyak tertinggal di dalam alat
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
74
sprayer gun. Hasil uji waktu pendispersian menunjukkan bahwa waktu 3 detik dapat mendispersikan padatan 5 gr secara maksimum. Pada proses pendispersian, tidak semua padatan di dalam alat dispersi dapat didispersikan, masih ada yang tertinggal pada alat dispersi. Untuk mengetahui jumlah padatan yang masih tertinggal pada alat dispersi, diperoleh dengan mendispersikan pada kertas saring basah yang sudah diketahui berat keringnya. Kemudian kertas saring dikeringkan dalam oven sampai berat konstan. Perbedaan berat awal dan akhir kertas saring menunjukkan jumlah padatan yang masih tertinggal pada alat dispersi. Pengujian dilakukan dengan tekanan nitrogen 40 psia mengalir selama 3 detik. Hampir semua padatan dapat didispersikan dan mencapai ketinggian ruang uji. Massa padatan yang didispersikan 1, 2, 3, 4, dan 5 gram. Setelah pendispersian, padatan yang tersisa dikumpulkan pada kertas saring basah. Setelah dikeringkan kemudian ditimbang, maka massa padatan yang tidak terdispersikan dapat diketahui. Hasilnya seperti pada Gambar 3.11 dan 3.12 berikut ini. Terlihat untuk pengujian 2-5 gr massa padatan yang tidak terdispersikan kurang dari 3%.
Gambar 3. 11 Massa padatan yang tertinggal pada sprayer gun
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
75
Gambar 3. 12 Persentase massa padatan yang tertinggal pada sprayer gun
Walaupun
dengan
sistem
pendispersian
seperti
di
atas
dapat
mendispersikan padatan > 98%, tetapi sistem pendispersian seperti ini mengalami kesulitan dalam mengatur waktu 3 detik. Akhirnya pada penelitian ini menggunakan gas N2 dengan tekanan awal yang dapat mendispersikan padatan jumlah tertentu sampai pada bagian atas ruang uji.
3.3.4.3 Nitrogen Bertekanan Awal Dispersi adsorben dengan nitrogen tidak kontinyu dilakukan pada tekanan awal nitrogen yang cukup mendispersikan semua adsorben. Oleh karena itu dilakukan uji tekanan awal N2 yang bertujuan untuk mengetahui tekanan optimum pada saat pendispersian adsorben sehingga seluruh adsorben tersebar merata pada saat pendispersian. Mula-mula sprayer gun dihubungkan dengan pressure gauge yang ada pada tabung N2 bertekanan. Kemudian katup tabung gas N2 dibuka sehingga gas bertekanan mengalir ke sprayer gun dan memungkinkan sprayer gun mendispersikan adsorben secara optimal ke dalam ruang uji sampai ke bagian atas ruang uji. Pengukuran tekanan dilakukan pada 3 tempat yaitu pada tabung gas N2, pressure gauge, dan COLO Machine. Tekanan gas tabung N2 110 psia, tekanan pressure gauge 73 psia. Ketika pendispersian tekanan awal pada selang, tekanan
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
76
keluar COLO Machine hanya 50 psia, kemudian tekanan menurun sampai sisa gas nitrogen habis dalam waktu 2 detik. Selama pendispersian padatan tidak mencapai puncak ruang uji dan sisa padatan yang tidak terdispersikan masih banyak, hampir 15%. Hal ini disebabkan karena jumlah gas yang ada pada selang tidak cukup untuk mendispersikan adsorben yang ada. Dengan menambah panjang selang dari 8 m menjadi 14 m, adsoben dapat didispersikan secara sempurna. Pada saat tekanan pada sprayer gun mencapai 50 psia, sampel karbon aktif yang didispersikan dari bawah ruang uji hanya mencapai bagian tengah ruang uji. Pada tekanan sprayer gun mencapai 61 psia, hanya sebagian kecil sampel yang sampai ke bagian atas ruang uji dan sebagian besar hanya mencapai ¾ bagian ruang uji. Baru setelah tekanan N2 dinaikkan sampai tekanan sprayer gun 67 psia, sebagian besar karbon aktif mencapai bagian atas ruang uji. Oleh karena kondisi optimum itu, pada penelitian ini tekanan yang digunakan dalam proses pendispersian adsorben adalah 67 psia pada sprayer gun. Tabel 3.1 berikut adalah bacaan tekanan pada uji tekanan dispersi. Tabel 3. 1 Bacaan tekanan saat uji tekanan sprayer gun
Tekanan pada Tabung N2 (psia)
Tekanan pada pressure gauge (psia)
Tekanan pada sprayer gun (psia)
80
90
50
100
98
61
110
98
67
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
77
3.3.5
Uji Penjernihan Asap dan Penyerapan CO Setelah alat dikalibrasi dan didapatkan berat bahan bakar untuk
menghasilkan asap yang optimal, uji penjernihan asap dan adsorpsi gas CO dilakukan. Pada uji penjernihan asap ini ada 3 rangkaian penelitian dilakukan, yaitu: 1. Penjernihan asap dengan adsorben yang dibawa oleh nitrogen. 2. Penjernihan asap tanpa adsorben hanya mengalirkan nitrogen saja. 3. Pendispersian adsorben tanpa asap. 3.3.5.1 Bahan dan Alat Bahan - Kertas tisu merk Nice sebanyak 6 gram - Adsorben kabon aktif komersial (AC com), karbon aktif teraktifasi ZnCl2 (AC ZnCl2), dan Zeolit alam (NZ) dengan ukuran 0,6-1 µm, 1-2 µm, 53106 µm dan 106-212 µm. - Gas N2 dalam tabung Alat - Rangkaian
alat
pengukur
asap
(micro
controller tipe ATmega16)
- Stopwatch - Neraca digital
- Ruang uji adsorpsi
- Kawat sepanjang 1 m
- Solder
- Kertas saring
- Gas analyzer type 400 merk E Instruments
- Plester solatip
- Sprayer gun powder coating equipment type
- Cawan keramik
C-800 merk
- Oven
3.3.5.2 Skema Prosedur Pengambilan Data Uji Penjernihan Asap dan Penyerapan CO Skema prosedur pengambilan data uji penjernihan asap dapat dilihat pada Gambar 3.13 berikut ini.
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
78
Mulai
Persiapan alat
Pembuatan asap
Tidak Memenuhi Karakteristik (bacaan I ± 1000, CO > 4000 ppm YA Dispersi adsoben
Tidak Merata (sampai ke bagian atas ruang uji)
YA Pengambilan data
Selesai
Gambar 3. 13 Bagan alir prosedur pengambilan data pada uji penjernihan asap
3.3.5.3 Prosedur Percobaan Uji Penjernihan Asap dan Penyerapan CO Dengan Adsorben Prosedur pada uji penjernihan asap adalah sebagai berikut: 1. Menyiapkan bahan bakar (menggulung tisu pada solder diikat pakai kawat).
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
79
2. Memasukkan bahan yang akan dibakar ke dalam ruang uji yang diletakkan di atas cawan. 3. Memasang alat CO analyzer, kemudian menutup rapat ruang uji 4. Menyalakan komputer untuk menyiapkan alat micro controller 5. Setelah semua siap, solder dinyalakan untuk proses pembakaran smoldering tisu. 6. Adsorben yang sudah dipanaskan dalam oven dimasukkan ke dalam alat dispersi. 7. Pada menit ke-10, bacaan intensitas cahaya maksimum sekitar 1000, adsorben didispersikan ke dalam ruang uji. Jika bacaan intensitas tidak memenuhi, prosedur diulang dari no 1. 8. Dispersi adsorben, jika merata sampai puncak ruang uji, pengambilan data dapat dilanjutkan sampai menit ke-30. Jika dispersi adsorben tidak sampai puncak maka prosedur diulang dari no. 1. 9. Setelah selesai, sisa asap dikeluarkan dari ruang uji, dan ruang uji dibersihkan. Bacaan intensitas cahaya tercatat secara online pada komputer dari awal sampai menit ke-30, sedangkan kadar CO dicatat setiap menit sampai menit ke30. Setelah selesai, sisa asap dikeluarkan dari ruang uji, dan ruang uji dibersihkan. Pengambilan data pada penjernihan asap oleh adsorben dilakukan untuk jenis adsorben ACCom, ACZnCl2, Zeolit alam, masing dengan variasi ukuran 0,61 µm 1 – 2 µm, 53-106 µm dan 106-212 µm dan variasi massa 1 g,3 g dan 5g. Tanpa Adsorben Prosedur pada uji penjernihan asap tanpa adsorben sama dengan prosedur penjernihan asap dengan adsorben dari poin 1 – 6. Pada menit ke-10 hanya mengalirkan gas nitrogen (N2) ke dalam ruang uji menggunakan alat dispersi.
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
80
Dispersi Adsorben tanpa Asap Ruang uji dan alat micro controller disiapkan tanpa solder. Adsorben didispersikan, kemudian dilakukan pengamatan dan pengambilan data sampai menit ke-20.
3.3.5.4 Variabel Penelitian Penjernihan Asap 1.
Variabel Tetap Suhu dan waktu pemanasan adsorben dalam preparasi bahan
2.
Massa kertas tisu yang dibakar
3.
Waktu pembakaran tisu
4.
Tekanan N2 sebagai gas pembawa Variabel Bebas
1.
Jenis adsorben: Adsorben kabon aktif komersial (AC com), karbon aktif terkatifasi ZnCl2 (ACZnCl2), dan zeolit alam terkatifasi (NZ).
2.
Ukuran adsorben: 0,6-1 µm 1 – 2 µm, 53-106 µm dan 106-212 µm.
3.
Massa adsorben: 1, 3 dan 5 gram. Variabel Terikat
1.
Kepekatan asap yang terbentuk
2.
Konsentrasi CO
3.
Kemampuan adsorpsi CO
4.
Kemampuan penjernihan asap kebakaran dari adsorben.
3.3.5.4 Label Adsorben yang Diuji pada Uji Penjernihan Asap Label sampel yang diuji pada penjernihan asap adalah sebagai berikut:
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
81
Tabel 3. 2 Variasi dari tipe, diameter dan massa adsorben
Adsorbent type Commercial activated carbon
ZnCl2 activated carbon
Activated natural zeolite
Diameter (µm) 0.6-1.0 1.0-2.0 53-106 106-212 0.6-1.0 1.0-2.0 53-106 106-212 0.6-1.0 1.0-2.0 53-106 106-212
Mass (g) 1, 3, 5 1, 3, 5 1, 3, 5 1, 3, 5 1, 3, 5 1, 3, 5 1, 3, 5 1, 3, 5 1, 3, 5 1, 3, 5 1, 3, 5 1, 3, 5
Notation ACcom 0.6 ACcom 1 ACcom 53 ACcom 106 AC ZnCl20.6 AC ZnCl21 AC ZnCl253 AC ZnCl2106 NZ 0.6 NZ 1 NZ 53 NZ 106
3.3.5.5 Pengolahan Data Uji Penjernihan Asap Persamaan Kalibrasi Data kalibrasi dapat diolah menggunakan software origin, sehingga didapatkan konstanta-konstanta persamaan kalibarasi sebagai berikut:
(3.9)
(3.10) Dimana: x
= OD (Optical Density)
y
= I0/I
yo, A dan Ro = konstanta persamaan kalibrasi
Data Penyerapan CO Optical Density asap dalam ruang uji dapat dihitung menggunakan persamaan kalibrasi yang diperoleh. Banyaknya gas CO yang teradsorpsi dapat dihitung berdasarkan selisih konsentrasi gas CO awal dengan konsentrasi gas CO pada menit 30. Kapasitas adsorpsi ini merupakan fungsi dari waktu dan ketinggian ruangan.
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
82
(3.11)
COmax = konsentrasi CO maksimum CO30 = konsentrasi CO pada menit ke 30
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan tujuan penelitian seperti yang telah dituliskan pada Bab 1, terdapat 3 (tahap) tahap penelitian yaitu: seleksi adsorben, uji pembuatan asap dan uji penjernihan asap dan penyerapan CO. Hasil dan pembahasan yang didapat dari penelitian ini dijelaskan dalam paragraf-paragraf berikut ini.
4.1 Seleksi Adsorben 4.1.1 Karakterisasi Adsorben 4.1.1.1 Rasio Si terhadap Al Zeolit Rasio Si/Al yang terkandung dalam zeolit alam berpengaruh daya adsorpi zeolit. Makin besar rasio Si/Al secara umum zeolit akan bersifat lebih hydrophobic, lebih suka terhadap senyawa non polar. Sebaliknya semakin kecil rasio Si/Al, maka zeolit akan bersifat hydrophylic, berarti lebih suka terhadap air atau senyawa polar. Oleh karena itu, perlunya mengetahui komposisi kimiawi silika dan aluminium dalam zeolit alam. Gambar 4.1 menunjukkan pengaruh tiap tahapan perlakuan aktifasi pada zeolit alam terhadap rasio Si/Al.
Gambar 4. 1 Rasio Si/Al pada setiap tahapan proses preparasi zeolit alam
Berdasarkan Gambar 4.1 rasio Si terhadap Al pada tiap tahapan proses aktifasi zeolit alam menunjukan bahwa pada langkah perendaman dengan HF 2% tidak terjadi perubahan siknifikan rasio Si/Al, yaitu 7,55% (wt) menjadi 7,52 (wt) dan komposisi aluminium terjadi peningkatan dari 9,245 % (wt) menjadi 9,715 %
83 Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
84
(wt). Hal ini dapat terjadi karena larutan HF 2 % yang berfungsi melarutkan oksida pengotor tetapi bukan sebagai pelarutan oksida aluminium. Pada tahapan proses dealuminasi menggunakan larutan HCl 6 M terjadi peningkatan rasio Si/Al dari 7,52 menjadi 8,51 dan terjadi penurunan aluminium dari 9,715 %(wt) menjadi 8,707 % (wt). Pada saat proses pelarutan menggunakan larutan HCl 6 M berfungsi melarutkan oksida Aluminium (AlO4)5- dengan membuka pori-pori zeolit menjadi berukuran pori lebih besar sehingga oksida aluminium dari kerangka dalam kristal akan keluar kerangka kristal dan mendorong oksida aluminium keluar dari struktur zeolit dan terlarut dalam larutan HCl 6 M. Tahapan proses perlakuan menggunakan larutan NH4Cl 0,1 M terjadi peningkatan rasio Si/Al dari 8,51 menjadi 12,81 dan penurunan aluminium dari 8,707 %(wt) menjadi 6,578 %(wt). Pada proses pertukaran ion ini menghasilkan penurunan aluminium yang paling besar dikarenakan pada saat proses dealuminasi masih banyak oksida aluminium yang tertinggal diluar rangka kristal yang sulit terdorong keluar dari struktur zeolit. Sehingga proses perlakuan garam ini sangat berperan penting setelah dilakukannya proses dealuminasi. Tahapan proses kalsinasi pada temperatur 500oC terjadi kembali penurunan rasio Si/Al dari 12,81 menjadi 9,43. Hal ini dapat terjadi karena pada saat proses kalsinasi pada temperatur 500oC oksida-oksida silika (SiO2) mengendap pada bagian bawah dan melekat pada wadah cawan sehingga pada saat analisa komposisi oksida silika menurun.
4.1.1.2 Luas Permukaan Hasil pengukuran luas permukaan dengan metode BET ditunjukkan pada oleh Tabel 4.1. Terlihat bahwa karbon aktif merupakan adsorben yang memiliki luas permukaan paling besar. Zeolit alam yang sudah diaktifasi mengalami peningkatan luas permukaan dari 45,4 menjadi 83,1 m2/gr, terjadi peningkatan luas permukaan sebesar 83% dari luas permukaan zeolit alam tanpa aktifasi. Sementara itu TiO2 dan CuO mempunyai luas permukaan yang sangat kecil, dapat disimpulkan adsorben TiO2 dan CuO tidak memiliki pori.
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
85
Tabel 4. 1 Luas permukaan adsorben
Adsorben Zeolit alam tidak terkatifasi Zeolit alam teraktifasi Karbon aktif ACcom Karbon aktif ZnCl2 TiO2 CuO MgO
Luas permukaan (m2/gr) 45,4 83,1 1201 167 7,36 2,02 35,6
Diameter pori rata-rata (oA) 73,14 106,8 77,5 78,3 110,9 88,3 11,4
Luas permukaan zeolit yang telah diaktifasi meningkat dari 45,4 m2/gram menjadi 83,14 m2/gram. Setiap tahapan memungkinkan terjadinya penghilangan pengotor yang terdapat di dalam zeolit, baik dengan HF, HCl. Penambahan larutan NH4Cl adalah tahapan terakhir yang melarutkan senyawa pengotor yang masih terdapat dalam zeolit, atau membersihkan pengotor pada permukaan zeolit karena adanya proses dealuminasi. Jadi dapat dikatakan bahwa NH4Cl dapat lebih membuka pori zeolit. Proses kalsinasi pada temperatur 500oC yang menguapkan molekul-molekul air dan senyawa organik, sehingga proses kalsinasi dapat membuka pori yang tertutup oleh zenyawa organik, sehingga dapat meningkatkan luas permukaan. Disamping itu tujuan utama proses kalsinasi adalah untuk mendapatkan struktur yang kokoh dari zeolit.
4.1.2
Uji Adsorpsi Karbon Monoksida
4.1.2.1 Adsorpsi Karbon Monoksida Oleh Zeolit Alam Tidak Teraktifasi Jumlah CO yang teradsorpsi pada zeolit alam tidak teraktifasi direpresentasikan dalam bentuk mol adsorpsi Gibbs. Proses pengambilan data dengan memvariasikan tekanan. Pembacaan data dilakukan setelah tercapai kesetimbangan adsorpsi yang ditandai dengan tekanan sudah konstan. Rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kesetimbangan adsorpsi sekitar 30 menit. Pengaruh tekanan terhadap jumlah CO yang teradsorpsi dapat dilihat pada Gambar 4.2 dan Tabel 4.2. Data perhitungan pengujian adsorpsi oleh zeolit alam dan adsorben lain secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran.
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
86
Model
Gambar 4. 2 Pengaruh tekanan CO terhadap kapasitas adsorpsi zeolit alam tidak teraktifasi
Semakin tinggi tekanan di fasa ruah gas maka semakin banyak CO yang berdifusi mendekat ke permukaan dan masuk ke pori zeolit untuk berinteraksi dengan atom-atom pada permurkaan zeolit, sehingga jumlah CO yang teradsorpsi akan semakin besar. Pada tekanan paling tinggi 125,5 psia, jumlah CO yang teradsorpsi mencapai 0,04 mmol/g zeolit alam. Dapat disimpulkan bahwa zeolit alam tidak teraktifasi mempunyai kemampuan mengadsorpsi CO, karena dengan struktur yang berpori dan sifat permukaan yang dimiliki menyebabkan zeolit alam tidak teraktifasi mampu mengasorpsi gas CO. Dari Tabel 4.2 terlihat bahwa ratarata deviasi (% AAD)data eksperimen dibandingkan model 7,21%, dapat dikatakan bahwa proses adsorpsi CO oleh zeolit alam tidak teraktifasi mengikuti model adsorpsi isotermis Langmuir. Rata-rata deviasi < 10% pada eksperimen ini masih dapat diterima (Sudibandriyo, 2011). Tabel 4. 2 Adsorpsi CO oleh zeolit alam tidak teraktifasi
ngibs (mmol/gr sample) 0,000 0,016 0,023 0,026 0,040
P (psia) 0,0 48,3 75,4 101,0 125,5
nmodel (mmol/gr sample) 0,000 0,016 0,023 0,030 0,036
%AAD
deviasi 0,0000 0,0000 0,0290 0,1577 0,1019 7,21%
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
87
Meskipun
demikian,
jumlah
CO
yang
teradsorpsi
relatif
kecil
dibandingkan kapasitas adsorpsi CO oleh adsorben yang lain. Hal ini ditunjukkan oleh konstanta kesetimbangan adsorpsi nmaks dan nilai b masing-masing adsorben (Tabel 4.10). Nilai konstanta nmaks dan nilai b yang dimiliki zeolit alam tidak teraktifasi lebih kecil dibandingkan zeolit alam teraktifasi dan karbon aktif. Zeolit alam tidak teraktifasi masih banyak terdapat pengotor di dalam pori, baik pengotor organik maupun an organik. Pengotor-pengotor ini dapat menutupi bidang aktif sehingga menghalangi interaksi CO dengan bidang aktif zeolit alam yang dapat mengurangi kapasitas adsorpsi. Pengotor juga dapat menutupi pori dapat mengurangi luas permukaan zeolit alam, sehingga kapasitas adsorpsi berkurang. Hasil karakterisasi BET menunjukkan luas pemukaan zeolit alam yang belum diaktifasi masih rendah, yaitu 45,4 m2/gr. Jika ditinjau dari diameter molekul CO termasuk ke dalam golongan gas dengan diameter molekul yang relatif kecil (7,180oA). Sementara itu diameter pori zeolit alam yang belum diaktifasi jauh lebih besar (33,93oA). Dapat dikatakan bahwa ukuran pori zeolit alam tidak berpengaruh siknifikan terhadap adsorpsi CO, tetapi diameter molekul CO yang bepengaruh terhadap kapasitas adsorpsi. Molekul gas dengan diameter molekul kecil akan lebih sulit teradsorpsi dibandingkan gas dengan diameter molekul lebih besar. Tabel 4.3 berikut ini menunjukkan beberapa gas dengan diameter molekulnya:
Tabel 4. 3 Jari-jari beberapa molekul gas
Gas
Jari-jari molekul (oA)
CO
7,180
N2
7,362
CO2
7,992
CH4
7,644 (Birb, 2005)
Zeolit dikenal dengan adsorben yang mempunyai bidang asam Lewis. Bidang asam Lewis terbentuk karena keberadaan Al3+ dalam struktur zeolit. Banyak kemungkinan tipe asam Lewis yang terdapat pada struktur zeolit.
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
88
Diantara tipe tersebut CO akan teradsorpsi oleh zeolit membentuk ikatan komplek koordinasi-3, koordinasi-4 dan dan koordinasi-5 dengan Al3+, (Milov et. al, 1997). Gambar berikut ini adalah beberapa tipe asam Lewis yang terdapat dalam struktur zeolit. Gambar 4.3 menunjukkan adsobat teradsorpsi pada permukaan pori zeolit. Sedangkan Gambar 4.4 menunjukkan adsorbat terikat pada permukaan di dalam pori zeolit.
(a)
(b) Gambar 4. 3 Tipe asam Lewis pada permukaan pori zeolit dan adsorbat terikat dengan Al 3+. (a) koordinasi 3 dan 5 (b) koordinasi 4 (Milov, et. al., 1997)
Gambar 4. 4 Adsorbat terikat pada pemukaan pori zeolit (Milov, et. al., 1997)
4.1.2.2 Adsorpsi Karbon Monoksida Oleh Zeolit alam teraktifasi Fenomena adsorpsi CO oleh zeolit alam terkatifasi mirip dengan zeolit alam tidak teraktifasi. Akan tetapi kapasitas adsorpsi pada zeolit alam teraktifasi jauh lebih besar dibandingkan dengan zeolit alam yang tidak teraktifasi. Hal ini ditunjukkan oleh konstanta nmaks yang dimiliki oleh zeolit alam teraktifasi 2 kali
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
89
lebih besar dibandingkan zeolit alam tidak teraktifasi. Pengaruh tekanan terhadap kapasitas adsorpsi zeolit alam teraktifasi dapat dilihat pada Gambar 4.5 dan Tabel 4.4. Semakin tinggi tekanan, jumlah CO yang teradsorpsi semakin banyak. Gambar menunjukkan bahwa profil kurva adsorpsi eksperimen mendekati kurva adsopsi model. Dari Tabel 4.2 terlihat bahwa rata-rata deviasi data eksperimen dibandingkan model 3,76%, dapat dikatakan bahwa proses adsorpsi CO oleh zeolit alam teraktifasi mengikuti model adsorpsi isotermis Langmuir.
Gambar 4. 5 Pengaruh tekanan gas CO terhadap kapasitas adsorpsi zeolit alam teraktifasi Tabel 4. 4 Adsorpsi gas CO oleh zeolit alam teraktifasi
ngibs (mmol/gr sample) 0,000 0,166 0,182 0,230 0,253 0,276 0,279
P (psia) 0,0 79,5 131,6 190,2 230,8 281,2 331,5
nmodel (mmol/gr sample) 0,000 0,161 0,206 0,238 0,253 0,268 0,279
%AAD
deviasi
0,0000 0,0305 0,1307 0,0342 0,0000 0,0299 0,0000 3,76%
Peningkatan kapasitas adsorpsi zeolit alam teraktifasi terhadap CO dimungkinkan karena hilangnya pengotor pada pori zeolit, sehingga bidang aktif zeolit menjadi terbuka dan meningkatkan luas permukaan. Zeolit alam banyak mengandung pengotor an organik (mineral) dan organik. Pengotor mineral bisa berupa senyawa logam, logam yang terikat dalam struktur zeolit, ataupun senyawa
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
90
SiO2 dan Al2O3 yang tidak dalam bentuk struktur kristalin (amorf). Keberadaan senyawa-senyawa ini akan menutupi pori zeolit. Sementara itu pengotor organik bisa dalam berbagai bentuk senyawa, termasuk organik yang mengandung unsur nitrogen. Proses aktifasi kimia dengan asam kuat seperti HF dan H2SO4 dapat melarutkan pengotor mineral. Sementara itu aktifasi fisika secara termal pada temperatur tinggi (> 300oC) dapat menguraikan senyawa organik yang terpadat dalam zeolit. Jadi proses aktifasi kimia dan fisika dapat membuka pori zeolit sehingga permukaan zeolit menjadi lebih aktif dan luas permukaan zeolit meningkat. Dengan meningkatnya permukaan aktif dan luas permukaan zeolit maka molekul CO yang teradsorpsi akan semakin meningkat. Hasil karakterisasi EDAX menunjukkan bahwa zeolit alam yang belum diaktifasi masih terdapat pengotor mineral seperti ion K dan Ca (Gambar 4.6). Sementara zeolit yang sudah diaktifasi terlihat peaknya lebih bersih. Karakterisasi BET menunjukkan luas permukaan zeolit alam teraktifasi meningkat dari 45,4 m2/gr menjadi 83,1 m2/gr.
Gambar 4. 6 Hasil karakterisasi EDAX zeolit alam a) sebelum aktifasi, b) setelah aktifasi Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
91
Peningkatan kapasitas adsorpsi zeolit alam terhadap CO dapat juga disebabkan meningkatnya rasio Si/Al. Zeolit dikenal sebagai adsorben yang bersifat polar, suka terhadap senyawa polar, seperti air. Perbandingan Si/Al meningkat dapat menyebabkan permukaan zeolit alam lebih bersifat hydrophobic. Zeolit akan selektif terhadap air dan suka terhadap molekul non polar (Sabina, 1998). Molekul CO lebih bersifat non polar dibandingan air maka akan lebih mudah teradsorpi pada zeolit yang mempunyai rasio Si/Al lebih tinggi. Molekul CO pada permukaan zeolit terikat dengan Al yang berikatan koordinasi-3 dengan atom oksigen (Rakic, 2003). Adsorpsi CO pada permukaan zeolit yang mengandung ion logam dapat terjadi secara fisika dan kimia (Zheng, 1998). Keberadaan ion logam pada permukaan dapat menyebabkan permukaan zeolit bermuatan positif. Fenomena molekul gas teradsorpsi pada permukaan zeolit yang bermuatan positif dapat dilihat pada Gambar 4.7.
Gambar 4. 7 Muatan pada permukaan zeolit (Jungsuttiwong, 2001)
Jika pada struktur zeolit terdapat ion logam transisi maka molekul CO akan teradsorpsi secara kimiawi. Ion logam transisi akan berikatan dengan atom C dari gas CO, seperti yang terlihat pada Gambar 4.8.
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
92
Gambar 4. 8 Molekul CO terikat secara kimia pada permukaan yang mengandung logam transisi (Jungsuttiwong, 2001)
4.1.2.3 Adsorpsi Karbon Monoksida Oleh Karbon Aktif Fenomena adsorpsi gas CO oleh karbon aktif ditunjukkan oleh Gambar 4.9. Gambar tersebut menunjukkan profil kurva adsorpsi model dan eksperimen mirip, hal ini menunjukkan data yang diperoleh relatif valid dan dipertegas oleh nilai deviasi rata-rata 1,73%. Jika dilihat dari konstanta nmaks, 5 kali lebih besar jika dibandingkan dengan nmaks zeolit alam teraktifasi (Tabel 4.10), dapat disimpulkan bahwa karbon aktif merupakan adsorben yang mempunyai kapasistas adsorpsi yang paling besar diantara semua adsorben yang diuji. Karbon aktif dikenal sebagai adsorben yang mempunyai luas permukaan yang besar, dengan permukaan bersifat hydrophobic, tidak suka terhadap air, banyak digunakan untuk adsorpsi gas-gas yang bersifat hydrophobic seperti gas metana, N2 dan gas CO2 (Sudibandriyo, 2011). Pada penelitian ini karbon aktif mempunyai luas permukaan yang paling besar jika dibanding semua adsorben yang diuji, yaitu 1201 m2/gr, sehingga kapasitas adsorpsi karbon aktif juga paling besar. Pengaruh tekanan terhadap kapasitas adsorpsi karbon aktif terlihat pada Gambar 4.9. Gambar 4.9 juga menunjukkan bahwa profil kurva adsorpi eksperimen mendekati kurva adsopsi model. Jumlah gas CO yang teradsorpsi pada tekanan tertentu terlihat pada Tabel 4.5.
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
93
Model
Gambar 4. 9 Pengaruh tekanan gas CO terhadap kapasitas adsorpsi karbon aktif
Espinal (2004) melaporkan bahwa adsorben yang berbahan dasar karbon mempunyai kemapuan mengadsorpsi melekul CO. Kekuatan adsorpsi CO pada permukaan yang mengandung karbon sangat ditentukan oleh bentuk susunan ion carbon pada molekul adsorben. Keberadaan oksigen kompleks pada permukaan senyawa karbon mengurangi kapasitas adsorpsi dari adsorben. Berikut ini adalah gambar yang menunjukkan berbagai kemungkinan molekul CO terikat pada permukaan yang mengandung karbon. Gambar 4.10 menunjukkan ikatan CO dengan adsorben berbahan karbon. Gambar 4.11 menunjukkan ilustrasi karbon aktif bekerja menyerap adsorbat pada porinya.
Tabel 4. 5 Adsorpsi gas CO oleh karbon aktif
ngibs (mmol/gr sample) 0,000 0,192 0,348 0,428 0,471 0,524 0,563 0,614
P (psia) 0,0 73,1 92,0 112,0 134,9 161,5 184,6 206,2
nmodel (mmol/gr sample) 0,000 0,290 0,348 0,405 0,463 0,524 0,572 0,613
%AAD
deviasi
0,0000 0,5064 0,0000 0,0542 0,0166 0,0000 0,0158 0,0012 1,73%
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
94
Gambar 4. 10 CO terikat pada permukaan yang mengandung atom carbon (Espinal, 2004)
Gambar 4. 11 Ilustrasi karbon aktif menyerap adsorbat (Sushrut Chemicals, Juni 2015)
4.1.2.4 Adsorpsi Karbon Monoksida Oleh TiO2 Oksida logam TiO2 adalah salah satu oksida logam yang biasa digunakan sebagai sensor untuk gas CO, yang bertujuan untuk menteksi gas CO pada ruangan tertentu (Batzill, 2005). Fenomena adsorpsi gas CO oleh TiO2 ditunjukkan oleh Gambar 4.12. Terlihat bahwa profil kurva adsorpsi model dan eksperimen mirip, hal ini menunjukkan data yang diperoleh cukup valid dan dipertegas oleh nilai deviasi absolut rata-rata 3,04%. Akan tetapi jika dilihat dari konstanta nmaks 0,155 mmol/g, berarti kapasitas adsorpsi TiO2 terhadap molekul CO termasuk kecil, masih dibawah zeolit alam tidak teraktifasi. Kecilnya daya
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
95
adsorpsi TiO2 tehadap molekul CO lebih disebabkan kecilnya luas permukaan TiO2 hanya 7,36 m2/gr. Molekul CO akan teradsorpsi secara kimia pada permukaan TiO2. Pengaruh tekanan terhadap kapasitas adsorpsi karbon aktif terlihat pada Gambar 4.12. Gambar 4.12 juga menunjukkan bahwa profil kurva adsorpi eksperimen mendekati kurva adsopsi model. . Jumlah gas CO yang teradsorpsi oleh TiO2 pada tekanan tertentu terlihat pada Tabel 4.6.
Model
Gambar 4. 12 Pengaruh tekanan gas CO terhadap kapasitas adsorpsi TiO2. Tabel 4. 6 Adsorpsi gas CO oleh TiO2
ngibs (mmol/gr sample) 0,000 0,038 0,040 0,044 0,054 0,060 0,068
P (psia) 0,0 40,7 65,6 90,1 114,8 140,5 165,0 %AAD
nmodel (mmol/gr sample) 0,000 0,025 0,037 0,046 0,054 0,061 0,067
deviasi 0,0000 0,3581 0,0900 0,0418 0,000 0,0154 0,0054 3,05%
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
96
4.1.2.5 Adsorpsi Karbon Monoksida Oleh CuO Fenomena adsorpsi gas CO oleh CuO ditunjukkan oleh Gambar.16. Terlihat bahwa profil kurva adsorpsi model dan eksperimen mirip. Kapasitas adsorpsi gas CO oleh CuO termasuk kecil jika dibandingkan dengan adsorben yang lain, hal ini dapat dilihat kecilnya nilai konstanta nmaks, yaitu 0,043 mmol/gr sampel, (Tabel 4.10). Ikatan molekul CO pada ion Cu merupakan ikatan kimia (Zheng, 1998), jadi jumlah molekul gas CO yang teradsorpsi sangat bergantung kepada jumlah ion Cu, tidak banyak bergantung pada luas permukaan CuO, karena dari analisa BET luas permukaan CuO hanya 2,02 m2/gr. Pengaruh tekanan terhadap kapasitas adsorpsi CuO aktif terlihat pada Gambar 4.13. Gambar 4.13. Juga menunjukkan bahwa profil kurva adsorpi eksperimen mendekati kurva adsopsi model. Jumlah gas CO yang teradsorpsi pada tekanan tertentu terlihat pada Tabel 4.7.
Model
Gambar 4. 13 Pengaruh tekanan gas CO terhadap kapasitas adsorpsi CuO Tabel 4. 7 Adsorpsi gas CO oleh CuO
ngibs (mmol/gr sample) 0,000 0,033 0,034 0,037 0,037 0,037
P (psia) 0,0 63,9 80,3 100,3 120,5 140,7
nmodel (mmol/gr sample) 0,000 0,033 0,034 0,036 0,037 0,037
%AAD
deviasi
0,0000 0,0000 0,0015 0,0341 0,0134 0,0195 1,37%
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
97
4.1.2.6 Adsorpsi Karbon Monoksida Oleh MgO MgO sebagai adsorben gas CO sudah dilaporkan oleh peneliti sebelumnya. Salah satunya adalah Stultz and Goodman (2002), yang meneliti pemanfaatan MgO untuk probe mendeteksi gas CO. Hasilnya menunjukkan bahwa molekul gas CO akan teradsorpsi pada kristal MgO (100). Mathias (2005), mengatakan bahwa MgO salah satu oksida logam yang mempunyasi sensitifitas tinggi terhadap gas termasuk gas CO. Fenomena adsorpsi gas CO oleh MgO ditunjukkan oleh Gambar 14. Terlihat bahwa profil kurva adsorpsi model dan eksperimen mirip, hal ini menunjukkan data yang diperoleh relative valid dengan nilai deviasi rata-rata 4,39%. Jika dilihat dari konstanta nmaks, adalah 0,350 mmol/gr, sedikit di bawah nmaks zeolit alam teraktifasi. Jika dibandingakan luas permukaan MgO setengahnya zeolit alam teraktifasi, tetapi kapasitas adsorpsi hanya sedikit di bawah zeolit alam teraktifasi, menunjukkan MgO mempunyai kemampuan mengadosrpsi gas CO. Pengaruh tekanan terhadap kapasitas adsorpsi karbon aktif terlihat pada Gambar 4.14. Gambar 4.14 juga menunjukkan bahwa profil kurva adsorpi eksperimen mendekati kurva adsopsi model. Jumlah gas CO yang teradsorpsi pada tekanan tertentu terlihat pada Tabel 4.8.
Model
Gambar 4. 14 Pengaruh tekanan gas CO terhadap kapasitas adsorpsi MgO
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
98
Tabel 4. 8 Adsorpsi gas CO oleh MgO
ngibs (mmol/gr sample) 0,000 0,139 0,171 0,187 0,202 0,253 0,258 0,260
P (psia) 0,0 66,4 125,2 175,3 226,5 276,1 326,6 377,7
nmodel (mmol/gr sample) 0,000 0,118 0,171 0,200 0,221 0,237 0,249 0,260
deviasi
0,0000 0,1558 0,0027 0,0670 0,0983 0,0637 0,0318 0,0000 4,39%
%AAD
4.1.3
Hasil Seleksi Adsorben Dari Tabel 4.9 yang menunjukkan kapasitas adsorpsi masing-masing
adsorben terhadap gas CO, terlihat bahwa adsorben dengan nilai nmaks menunjukkan kapasitas adsorpsi besar. Terlihat bahwa karbon aktif memiliki kapasitas adsorpsi paling besar diantara adsorben yang diuji, kemudian zeolit alam teraktifasi. Terlihat juga untuk zeolit alam teraktifasi perubahan ukuran partikel tidak berpengaruh terhadap kapasitas adsorpsi zeolit alam teraktifasi untuk ukuran 37-50 mikronmeter dan 400 nm.
Tabel 4. 9 Nilai nmaks dan b untuk masing-masing adsorben Adsorben Zeolit alam tidak teraktifasi Zeolit alam teraktifasi Karbon aktif TiO2 CuO MgO
nmaks (mmol/gr sampel) 0.185 0.363 1.588 0.155 0.043 0.350
b
% AAD
0.0019 0.0100 0.0031 0.0047 0.0503 0.0076
7.21 3.75 1.73 3.05 1.73 4.39
Dari hasil uji adsorpi adsorben terhadap CO dipilih karbon aktif dan zeolit alam teraktifasi dipilih sebagai adsorben untuk uji penjernihan asap. Karena pada proses penjernihan asap banyak mengandung uap air, maka pemilihan adsorben ini juga didukung dengan data kemampuan karbon aktif dan zeolit alam dalam menyerap uap air paling bagus jika dibandingkan dengan adsorben yang lain.
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
99
Hasil penyerapan uap air oleh karbon aktif ACcom, ACZnCl2 dan zeolit alam berturut-turut adalah, 0,151 g/g, 0,122 dan 0,052 g/g. Gambar 4.14 menunjukkan kemampuan adsorben dalam menyerap uap air.
Kandungan air (g/g)
0.16
0.151
0.122
0.12
0.08 0.052 0.04
0.00
0.032
ZN tanpa ZN aktifasi teraktifasi
0.031
ACcom
ACZnCl2
0.012
0.011
TiO2
CuO
MgO
Gambar 4. 15 Kemampuan penyerapan air oleh adsorben
4.2 4.2.1
Karakteristik Asap dan Hidrodinamika Asap Karakteristik Asap Asap dihasilkan dari pembakaran kertas tisu secara smoldering
menggunakan solder listrik. Karakteristik asap yang optimum jika asap yang dihasilkan memiliki tingkat ketebalan asap maksimum dengan bacaan I > 9800 pada sensor atas, tengah, dan bawah dan kandungan CO maksimum (> 4000 ppm). Massa tisu divariasikan 2, 4, 6 dan 8 gram. Gambar 4.16 menunjukkan pengaruh massa tisu terhadap densitas optis (OD) asap yang dihasilkan. Massa tisu 2 dan 4 gram tidak menghasilkan tingkat ketebalan yang maksimum. Semakin besar nilai densitas optis, tingkat ketebalan asap makin besar, ruang uji semakin gelap. Tisu 2 gram menghasilkan ketebalan asap yang sangat tipis dengan nilai OD < 1,0, dengan nilai bacaan I < 100 untuk setiap sensor, dapat dikatakan tidak memberikan efek yang berarti terhadap kegelapan ruang uji. Tisu 4 gram menghasilkan asap yang lebih tebal dengan nilai OD ~ 2,0, tetapi nilai bacaan I masih < 400 untuk semua sensor. Sementara itu
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
100
tisu 6 gram dapat memberikan asap dengan tingkat ketebalan asap maksimum OD > 2,0 dan bacaan I antara 900–1000. Tingkat ketebalan maksimum asap dicapai dalam waktu pembakaran 10 menit, hal ini ditandai juga semua tisu sudah habis terbakar. Setelah menit ke–10, terlihat nilai OD perlahan mulai menurun, artinya ruang uji perlahan mulai jernih. Sedangkan tisu dengan massa 8 gram tidak bisa terbakar. Gambar 4.17 adalah lensa kaca untuk kalibrasi dengan beberapa OD, terlihat semakin besar OD semakin gelap warna lensa. Proses pembakaran tisu secara smoldering hampir semua massa tisu terbakar, abu yang tersisa < 1%. Laser Atas 2 g Laser Tengah 2 g Laser Bawah 2 g Laser Atas 4 g Laser Tengah 4 g Laser Bawah 4 g Laser Atas 6 g Laser Tengah 6 g Laser Bawah 6 g
2.0
-1
OD (m )
1.5
1.0
0.5
0.0
-0.5 0
5
10
15
20
25
30
t (min)
Gambar 4. 16 Pengaruh massa tisu terhadap densitas optis
Gambar 4. 17 Lensa kaca kalibrasi dengan densitas optis
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
101
Pembakaran tisu secara smoldering sangat efektif menghasilkan asap dengan konsentrasi CO tinggi. Konsentrasi CO yang dihasilkan sangat bergantung kepada massa tisu yang dibakar. Semakin banyak tisu yang dibakar semakin tinggi kandungan CO. Tabel 4.10 menunjukkan pengaruh massa tisu terhadap kandungan CO pada asap. Tisu 2 gram dapat menghasilkan konstrasi CO < 1700 ppm, sementara itu pembakaran 4 gram tisu menghasilakn konsentrasi CO < 3000 ppm. Tisu 6 gram dapat menghasilkan kadar CO dengan konsentrasi yang cukup tinggi di atas 4000 ppm. Pada Tabel 4.10 juga menunjukkan bahwa pembakaran secara smoldering tisu 2, 4 dan 6 gram menghasilkan humidity 100 %, hal ini menunjukkan asap yang terbentuk banyak mengandung uap air. Berdasarkan data karakteristik asap maka pada uji penjernihan asap massa tisu yang digunakan adalah 6 gram dan waktu pembakaran 10 menit. Tabel 4. 10 Data kandungan CO dengan variasi massa tisu
Berat Tisu
Kandungan Gas
Humidity
(gram)
CO (ppm)
%
2
1518
100
4
2848
100
6
4216
100
Tisu 2 gram Tisu 4 gram Tisu 6 gram
4000
CO (ppm)
3000
2000
1000
0 0
5
10
15
20
25
30
t (min)
Gambar 4. 18 Pengaruh massa tisu terhadap pembentukkan CO
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
102
Pengaruh massa tisu terhadap pembentukkan CO selama dalam selang waktu 30 menit dapat dilihat pada Gambar 4.18. Dari gambar tersebut terlihat juga bahwa untuk masing-masing massa tisu, konsentrasi maksimum CO dicapai pada waktu yang berbeda. Pada pembakaran tisu dengan massa lebih kecil, konsentrasi maksimum CO dicapai dalam waktu lebih cepat. Hal ini disebabkan karena massa tisu lebih kecil lebih cepat habis terbakar dibandingkan massa tisu yang besar. 4.2.2
Hidrodinamika Asap Asap merupakan fluida, oleh karena itu berbagai pergerakan asap akan
mengikuti hukum mekanika fluida. Asap secara alamiah akan bergerak ke atas. Hal ini disebabkan oleh gaya apung dari asap. Gaya apung asap disebabkan perbedaan densitas antara fluida asap dengan udara di sekitarnya karena adanya perbedaan temperatur fluida asap dengan lingkungan sekitarnya. Temperatur awal asap lebih tinggi dibandingkan temperatur lingkungan sekitarnya, karena asap dihasilkan dari proses pembakaran. Densitas asap lebih kecil dibandingkan udara di sekitarnya, sehingga asap akan bergerak ke atas. Selama pergerakkan asap ke atas terjadi kontak asap dengan udara lingkungan. Pertukaran panas terjadi secara konveksi, udara lingkungan bergerak masuk ke asap menyebabkan penurunan temperatur asap dan meningkatnya temperatur lingkungan. Proses ini berlangsung hingga tercapai titik kesetimbangan antara temperatur asap dengan temperatur lingkungan. Akibat penurunan temperatur asap, gaya apung asap tersebut akan mengalami penurunan hingga mencapai nilai nol, atau bahkan bernilai negatif. Hal ini lah yang membuat asap berhenti bergerak ke atas dan cenderung bergerak ke bawah karena gaya apung sudah bernilai negatif. Siklus seperti ini yang terjadi berulang-ulang menyebabkan terbentuk kepulan asap atau smoke plume. Bentuk dari plume sangat dipengaruhi oleh interaksi antara plume dengan fluida sekitar. Pergerakan asap juga dipengaruhi oleh viskositas asap, semakin viskos asap maka pergerakkan ke atas semakin lambat. Pergerakkan asap dan interaksi dengan udara sekitar akan mempengaruhi konsentrasi dan distribusi ukuran partikel asap. Konsentrasi dan distribusi ukuran
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
103
partikel asap sangat berpengaruh pada deteksi asap, visibilitas asap, serta redupnya cahaya lingkungan akibat asap (Mulloland, 2002) . Pada penelitian ini ditemukan pergerakkan asap sesuai dengan teori mekanika fluida. Gambar 4.19 pengaruh waktu terhadap densitas optis asap pada awal pembakaran. Asap mulai terbentuk secara perlahan pada menit ke-3 (detik ke-180), asap bergerak dari bawah ke atas. Mula-mula asap terbentuk sedikit (sangat tipis) karena massa tisu yang terbakar masih sedikit. Pada posisi di bawah asap bergerak seperti garis tebal yang menyatu. Akibat interaksi dengan udara sekitar pergerakkan asap bagian luar (pinggir) lebih lambat dibandingan dengan pergerakkan asap bagian tengah. Semakin ke atas pergerakkan asap semakin melebar, sehingga terlihat semakin tipis. Asap yang sangat tipis yang bergerak cepat ke atas belum mempengaruhi bacaan sensor baik bawah, tengah maupun atas. Pada menit ke-4 (detik ke-240) pembentukkan asap mulai banyak dan cepat. Pergerakkan asap juga semakin cepat menuju bagian atas ruang uji menyebabkan konsentrasi asap pada bagian atas ruang uji lebih besar dibandingkan bagian tengah dan bawah. Pada menit ke-4 asap yang terbentuk semakin tebal. Densitas optis asap pada bagian atas sudah mulai berubah sementara itu pada bagian tengah dan bawah belum banyak berubah. Atas Tengah Bawah 0.6
Densitas Optis (m-1)
0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 0
50
100
150
200
250
300
350
400
Waktu (detik)
Gambar 4. 19 Densititas optis asap pada awal pembakaran
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
104
Seiring waktu laju pembakaran tisu semakin cepat. Asap yang terbentuk semakin banyak dan tebal, sehingga ruang uji menjadi gelap. Secara teori densitas optis asap pada sensor tengah lebih besar dibandingkan pada sensor bawah. Tetapi pada kasus ini perubahan densitas optis pada sensor tengah dan bawah terjadi pada waktu yang sama. Hal ini bisa terjadi karena laju pembentukkan asap sama dengan kecepatan gerak asap ke atas, sehingga densitas optis asap pada sensor tengah sama dengan sensor bawah. Setelah detik ke 300 tingkat ketebalan asap semakin ke atas semakin tebal ditunjukkan dengan semakin besarnya nilai densitas optis asap. Pada Gambar 4.20 terlihat pada detik ke-430 terjadi hal yang sama, bahkan densitas optis sensor bawah lebih besar dibandingkan sensor tengah. Hal ini terjadi karena pada waktu tersebut laju pembentukkan asap paling cepat, melebihi kecepatan bergerak asap ke atas, sehingga asap sementara waktu menumpuk di bagian bawah. Seiring waktu massa tisu yang terbakar semakin sedikit, sementara asap terus bergerak ke atas secara alamiah. Pada akhirnya densitas optis asap pada sensor tengah lebih besar dibandingkan sensor bawah, seperti terlihat pada Gambar 4.21. Kondisi tisu habis terbakar dan densitas optis asap maksimum untuk semua sensor dicapai pada meni ke-10 (detik ke-600). Atas Tengah Bawah
Densitas Optis (m-1)
2.0
1.5
1.0
0.5
0.0 0
100
200
300
400
500
600
Waktu (detik)
Gambar 4. 20 Densitas optis asap pada pembakaran maksimum
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
105
Atas Tengah Bawah
Densitas Optis (m-1)
2.1
2.0
1.9
1.8
660
670
680
690
700
710
720
Waktu (detik)
Gambar 4. 21 Densitas optis asap pada akhir pembakaran
4.3 Uji Penjernihan Asap dan Penyerapan Karbon Monoksida Sub Bab ini membahas tentang uji penjernihan asap dan penyerapan CO oleh karbon aktif komersial (ACcom), karbon aktif teraktifasi ZnCl2 (AC ZnCl2) dan zeolit alam teraktifasi (NZ).
4.3.1
Penjernihan Asap Oleh Karbon Aktif Komersial Uji penjernihan asap dilakukan bertujuan untuk mengetahui kemampuan
adsorben dalam penjernihan asap dan mengadsorpsi CO. Pada pengujian ini dilakukan terhadap 3 (tiga) jenis adsorben yaitu, karbon aktif komersila (ACcom), karbon aktif teraktifasi ZnCl2 (AC ZnCl2) dan zeolit alam teraktifasi (NZ). Parameter yang divasiasikan adalah ukuran partikel, massa adsorben dan ketinggian kolom. Variasi untuk ukuran adsorben adalah 0,6-1 μm, 1-2 μm, 53106 μm dan 106-212 μm. Variasi massa diambil 1 gram, 3 gram, dan 5 gram. Pengaruh ketinggian dilihat pada jarak 30, 60 dan 90 cm dari bagian bawah ruang uji. Sedangkan konsentrasi CO diambil pada ketinggian 60 cm. Pengamatan dan pengambilan data dilakukan selama 30 menit sejak solder dinyalakan. Nilai intensitas I dicatat pada komputer secara online dan pengambilan konsetrasi CO secara insitu dicatat secara manual. Pendispersian adsorben dilakukan pada saat kepekatan asap maksimal, dengan bacaan intensitas
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
106
I antara 900-1000. Kondisi kepekatan asap maksimum dicapai pada menit ke-10, pada saat semua tisu abis terbakar. Efektifitas penjernihan dilihat dari Optical Density (OD) asap dan waktu yang diperlukan untuk mencapai penjernihan 10% (t10). Semakin besar nilai OD kepekatan asap makin tinggi (gelap), sebaliknya semakin kecil nilai OD berarti asap semakin jernih. Semakin kecil nilai t10 berarti waktu untuk mencapai penjernihan 10% semakin cepat. Kemudian efektifitas penjernihan asap oleh adsorben dibandingkan dengan penjernihan asap tanpa dispersi adsorben. Pembahasan pada sub BAB ini dimulai dengan penjernihan asap menggunakan karbon aktif komesial (ACcom). Oleh karena fenomena penjernihan asap oleh 3 (tiga) adsorben hampir sama, oleh karena itu pembahasan penjernihan asap oleh karbon aktif ACcom dibahas lebih detail.
4.3.1.1 Pengaruh Ukuran Partikel Analisis pengaruh ukuran ACcom terhadap penjernihan asap bertujuan untuk mendapatkan ukuran optimum partikel ACcom dalam menjernihkan asap. Massa ACcom yang didispersikan pada percobaan ini adalah 3 gram. Waktu penjernihan dimulai setelah ACcom didispersikan yaitu pada menit ke-11. Gambar 4.22 menunjukkan pengaruh ukuran partikel ACcom terhadap proses penjernihan asap pada sensor atas, tengah dan bawah. Pada gambar juga menunjukkan bahwa pendispersian karbon aktif dapat mempercepat penjernihan asap dibandingkan tanpa karbon aktif. Penjernihan asap dengan karbon aktif dapat terjadi karena 4 faktor yaitu; (1) penyerapan molekul asap oleh karbon aktif, (2) kontak karbon aktif dan
nitrogen dengan molekul asap, (3) pembentukkan
molekul asap yang lebih besar (aglomerasi) dan (4) penurunan temperatur asap.
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
107
ACcom 106 ACcom 53 ACcom 1 ACcom 0.6 NA Baseline
2.5
Densitas Optis (m-1)
2.0
(a)
1.5
1.0
0.5
0.0 0
500
1000
1500
2000
Waktu (detik) ACcom 106 ACcom 53 ACcom 1 ACcom 0.6 NA Baseline
2.5
Densitas Optis (m-1)
2.0
(b)
1.5
1.0
0.5
0.0 0
500
1000
1500
2000
Waktu (detik)
ACcom 106 ACcom 53 ACcom 1 ACcom 0.6 NA Baseline
2.5
Densitas Optis (m-1)
2.0
1.5
(c)
1.0
0.5
0.0 0
500
1000
1500
2000
Waktu (detik)
Gambar 4. 22 Pengaruh ukuran partikel karbon aktif ACcom terhadap penjernihan asap; (a) atas (b) tengah (c) bawah. Massa karbon aktif ACcom 3 gram
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
108
Karbon aktif yang didispersikan akan mengalami kontak dengan molekul asap, sehingga sebagian molekul asap akan terserap pada permukaan partikel karbon aktif, akan mempercepat proses penjernihan. Asap yang terbentuk dari pembakaran tisu banyak mengandung uap air, ketika kontak dengan karbon aktif uap air akan terserap. Setelah terjadi kontak dengan asap partikel karbon aktif akan bergerak ke bawah, maka konsentrasi asap akan berkurang maka asap menjadi lebih jernih. Proses penjernihan juga dimungkinkan karena karbon aktif dan nitrogen masuk ruang uji pada temperatur kamar, sementara temperatur asap dalam ruang uji 42oC. Ketika terjadi kontak antara karbon aktif dan nitrogen dengan asap, dapat menurunkan temperatur molekul asap. Penurunan temperatur molekul asap akan merubah orientasi pergerakkan asap dari atas ke bawah. Semakin banyak penurunan temperatur, pergerakkan asap ke bawah akan semakin cepat, maka semakin cepat penjernihan asap. Hal lain yang mempercepat penjernihan asap karena pendispersian karbon aktif dapat menyebabkan tumbukan sesama molekul asap, sehingga sesama molekul asap akan membentuk molekul yang lebih besar (beraglomerasi). Molekul asap yang lebih besar memiliki massa lebih berat sehingga akan mempercepat perubahan arah pergerakkan asap ke arah bawah. Semakin banyak pembentukkan molekul asap yang lebih besar semakin cepat proses penjerihan. Dari Gambar 4.22 menunjukkan juga bahwa karbon aktif ACcom dengan ukuran partikel 53-106 µm mempunyai kemampuan penjernihan asap lebih baik dibandingkan ukuran yang lain. Secara teori semakin kecil partikel karbon aktif akan semakin banyak jumlah partikel. Semakin banyak jumlah partikel berarti semakin banyak kemungkinan tumbukkan antara partikel karbon aktif dengan molekul asap sehingga proses penjernihan asap akan lebih cepat. Partikel ACcom yang lebih kecil memiliki jumlah partikel yang lebih banyak dan memiliki massa yang lebih ringan, sehingga luas permukaan kontak semakin besar dan waktu tinggal akan lebih lama. Luas permukaan kontak yang lebih besar dan waktu kontak lebih lama dapat menghasilkan proses penjernihan lebih cepat. Partikel yang lebih kecil juga
dapat mempercepat menurunkan
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
109
temperatur asap, sehingga mempercepat perubahan orientasi pergerakkan asap dari bergerak ke atas menjadi bergerak ke bawah. Tetapi hal ini terjadi hanya sampai ukuran partikel karbon aktif ACcom 53-106 µm, untuk ukuran ACcom lebih kecil menyebabkan proses penjernihan menjadi tidak efektif. Hal ini disebabkan oleh dua kemungkinan yaitu; waktu tinggal yang sangat lama (kecepatan terminal sangat kecil) dan aglomerasi partikel ACcom. Partikel yang sangat kecil akan sangat ringan, memiliki waktu terminal sangat kecil. Partikel yang sangat kecil akan bergerak ke bawah dalam waktu lama, cenderung melayang dalam ruang uji dapat menyebabkan proses penjernihan menjadi lebih lambat. Garis baseline pada Gambar 4.22 menunjukkan bahwa partikel karbon aktif yang sangat kecil ketika didispersikan akan memiliki waktu tinggal lama, cenderung melayang dalam ruang uji. Jika bergabung dengan asap dalam ruang uji, maka waktu tinggal akan lebih lama lagi. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Malukutla (1997). Faktor
kedua
yang
menyebabkan
penjernihan
menjadi
lambat
menggunakan partikel ACcom yang lebih kecil adalah peristiwa aglomerasi partikel ACcom. Aglomerasi adalah peristiwa bergabungnya beberapa molekul yang sangat kecil menjadi gumpalan yang lebih besar. Peristiwa aglomerasi menyebabkan luas permukaan menjadi berkurang dan lebih berat, sehingga kontak partikel karbon aktif dengan asap menjadi berkurang, maka proses penjernihan asap tidak optimal. Hal ini terjadi pada partikel ACcom berukuran 0,6 µm dan 1 µm, proses penjernihan asap lebih lambat dibandingkan dengan partikel ACcom berukuran lebih besar. Peristiwa aglomerasi dapat juga menyebabkan proses pendispersian tidak optimum, karena aglomerasi dapat menyebabkan pendispersian ACcom tidak sampai pada bagian atas ruang uji secara sempurna. Hal ini menyebabkan proses penjernihan asap jadi tidak efektif. Pada pengambilan data, beberapa kali peristiwa aglomerasi membentuk gumpalan besar sehingga partikel ACcom tidak bisa didispersikan, maka pengambilan data harus diulang. Banyak peneliti mengalami peristiwa aglomerasi pada pembuatan katalis berukuran nano meter. Proses penjernihan asap dengan partikel yang lebih besar dari 53-106 μm kurang efektif. Ukuran partikel ACcom yang lebih besar mempunyai jumlah
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
110
partikel lebih sedikit (untuk massa yang sama), sehingga luas permukaan berkurang, maka proses penjernihan akan semakin lambat. Parameter lain yang sangat penting adalah waktu tinggal. Semakin besar partikel semakin besar massanya, sehingga waktu tinggal semakin kecil. Waktu tinggal yang kecil menyebabkan kontak partikel dengan molekul asap berkurang, sehingga proses penjernihan menjadi lambat. Ukuran partikel Acom yang lebih besar juga menyebabkan efek terhadap penurunan temperatur asap tidak optimal, sehingga perubahan orientasi pergerakkan asap ke arah bawah menjadi lebih lama, maka proses penjernihan lebih lama. Namun demikian jika dibandingkan dengan asap yang hanya dialirkan gas N2 (Non Adsorben/NA), karbon aktif untuk semua ukuran mempunyai kemampuan menjernihan asap.
4.3.1.2 Pengaruh Ketinggian Dari Gambar 4.23 menunjukkan pengaruh ketinggian terhadap proses penjernihan asap. Walaupun OD asap pada bagian atas ruang uji lebih besar (asap lebih pekat) dibandingkan bagian tengah dan bawah, tetapi proses penjernihan asap pada sensor bagian atas lebih cepat dibandingkan sensor tengah dan bawah. Hal ini bisa terjadi karena ketika karbon aktif didispersikan akan mengalami kontak maksimal dengan asap di bagian atas, kontak terjadi lebih awal. Kemudian karbon aktif bergerak dari atas ke bawah, semakin ke bawah kemampuan karbon aktif menyerap molekul asap semakin berkurang. Sehingga penjernihan di bagian atas lebih cepat dibandingkan bagian bawah. Hal lain yang menyebabkan proses penjenihan asap pada bagian atas lebih cepat dibandingkan bagian tengah dan bawah adalah temperatur asap di bagian atas lebih rendah dibandingkan bagian bawah. Proses pendispersian karbon aktif dapat menyebabkan temperatur asap pada bagian atas lebih cepat turun, sehingga cepat merubah orientasi pergerakkan asap menjadi ke arah bawah.
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
111
Atas Tengah Bawah
2.5
Densitas Optis (m-1)
2.0
1.5
1.0
0.5
0.0 0
500
1000
1500
2000
Waktu (detik)
Gambar 4. 23 Pengaruh ketinggian sensor terhadap penjernihan asap oleh ACcom
Penjernihan asap pada bagian bawah lebih lambat dibandingan bagian atas. Hal ini disebabkan karena karbon aktif sudah tidak efektif lagi menyerap asap pada bagian bawah. Hal lain yang menyebabkan penjernihan asap pada bagian bawah lebih lambat adalah perubahan temperatur asap. Seiring waktu, temperatur asap akan turun, maka orientasi pergerakkan asap berubah ke arah bawah. Asap pada bagian atas akan bergerak ke bawah lebih dulu karena temperaturnya lebih rendah. Semakin ke bawah pergerakkan asap ke arah bawah semakin lambat karena temperaturnya relatif lebih tinggi. Hal ini akan menyebabkan asap terakumulasi di bagian bawah sehingga proses penjernihan asap semakin lambat pada bagian bawah. Karbon aktif dikenal sebagai adsorben yang mempunyai luas permukaan yang besar dan permukaan bersifat hyrophobic, tidak suka terhadap air, banyak digunakan untuk adsorpsi gas-gas yang bersifat hydrophobic seperti gas metana, N2 dan gas CO2 (Sudibandryo, 2011). Meskipun dikategorikan sabagai adsorben yang bersifat hydrophobic, dengan adanya beberapa gugus fungsi dalam struktur karbon aktif, gugus-gugus fungsi tersebut dapat menyerap senyawa-senyawa yang terdapat dalam asap termasuk uap air. Gambar 4.24 adalah struktur karbon aktif yang mengikat gas CO.
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
112
Gambar 4. 24 Struktur karbon aktif
Dari hasil uji kemampuan penyerapan uap air oleh adsoben, hasilnya menunjukkan bahwa karbon aktif ACcom mempunyai kemampuan menyerap uap air yang paling besar. Gambar 4.25 berikut menunjukkan kemampuan karbon aktif ACcom dalam menyerap uap air.
Kandungan air, g/g sampel
0.16
0.151 0.122
0.12
0.08
0.052 0.04
0.00
ACcom
ACZnCl2
NZ
Gambar 4. 25 Kemampuan adsorben menyerap uap air
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
113
Efektifitas proses penjernihan asap sering di tampilkan dalam parameter waktu t10. Waktu t10 adalah waktu yang diperlukan untuk mencapai tingkat penjernihan 10%. Makin kecil nilai t10 berarti waktu untuk mencapai penjernihan 10% makin cepat, begitu sebaliknya semakin besar nilai t10 berarti waktu untuk mencapai penjernihan 10% makin lambat. Gambar 4.26 memperlihatkan pengaruh ukuran karbon aktif terhadap nilai t10 untuk masing-masing sensor. Dari gambar tersebut menunjukkan bahwa karbon aktif dengan ukuran 53-105 µm memiliki nilai t10 yang lebih kecil dibandingkan ukuran yang lain. Artinya partikel ukuran 53-106 µm dapat menjernihan asap lebih cepat dibandingkan partikel ukuran lain. Akan tetapi ketika ukuran lebih kecil dari 53-106 µm, nilai t10 lebih besar, artinya waktu yang diperlukan untuk menjernihkan asap lebih lama. Dari Gambar 4.26 juga terlihat pengaruh ketinggian terhadap proses penjernihan. Jarak makin tinggi, maka nilai t10 makin kecil, berarti waktu yang diperlukan untuk mencapai penjernihan 10% lebih cepat. Proses penjernihan asap dapat dicapai jika asap dikontakkan dengan adsorben, partikel asap saling bertumbukkan, sehingga partikel akan kehilangan energi akan bergerak ke bawah. Ketika bertumbukkan partikel asap dapat juga beraglomerasi, membentuk partikel yang lebih besar, sehingga akan bergerak ke bawah. Maka terlihat bahwa proses penjernihan pada sensor di atas lebih cepat dibandingkan sensor tengah dan bawah. Untuk ukuran 53-106 µm, nilai t10 pada sensor atas, tengah dan bawah adalah 4,1 , 5 dan 9,1 menit. Dibandingkan penjernihan asap tanpa dispersi adsorben nilai t10 pada sensor atas, tengah dan bawah adalah 10,9, 12,8 dan 16,5 menit.
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
114
ACcom ACcom ACcom ACcom NA
Waktu mencapai transmisi, t10 (menit)
18
106 53 1 0.6
16 14 12 10 8 6 4 2 0
Atas
Tengah
Bawah
Posisi Sensor
Gambar 4. 26 Pengaruh ukuran karbon aktif ACcom terhadap t10
4.3.1.3 Pengaruh Massa Pengaruh massa karbon aktif ACcom yang didispersikan terhadap kemampuan penjernihan asap bertujuan mendapatkan nilai massa karbon aktif ACcom yang optimal dalam penjernihan asap. Uji pengaruh massa terhadap penjernihan asap dilakukan untuk ACcom ukuran 53-106 µm. Adapun variasi massa yang digunakan pada penelitian ini adalah 1,3, dan 5 gram. Gambar 4.27 berikut ini adalah hasil yang didapat dari hasil uji pengaruh variasi massa karbon aktif ACcom terhadap kemampuan penjernihan asap. Massa 5 gram merupakan massa karbon aktif ACcom yang paling baik dalam menjernihkan asap. Hal ini disebabkan, karena semakin banyak karbon aktif yang didispersikan maka semakin banyak kemungkinan partikel asap kontak dengan karbon aktif, sehingga proses penjernihan asap akan semakin cepat. Selain itu semakin banyak massa ACcom yang didispersikan semakin banyak partikel ACcom yang akan mempengaruhi temperatur asap, sehingga akan mempercepat perubahan orientasi pergerakkan asap ke arah bawah, maka proses penjernihan akan semakin cepat. Dari Gambar 4.27 terlihat juga bahwa pengaruh massa karbon aktif terhadap penjernihan asap pada bagian atas tidak berbeda jauh, tetapi pada bagian tangah dan bawah proses penjernihan asap berbeda cukup siknifikan. Hal ini bisa terjadi karena ketika karbon aktif didispersikan, maka untuk massa 1 gram hampir semua mencapai bagian atas ruang uji. Sehingga karbon aktif mengalami kontak maksimum dengan partikel asap pada bagian atas ruang uji, dan proses
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
115
penyerapan senyawa asap maksimum pada bagian atas. Kemudian karbon aktif bergerak ke bawah, ketika kontak dengan asap di bagian bawah karbon aktif sudah tidak punya kemampuan menyerap asap. Jadi kemampuan penjernihan asap pada bagian bawah semakin berkurang. Begitu juga dengan massa karbon aktif 3 gram. ACcom 53 1 g ACcom 53 3 g ACcom 53 5 g NA
2.5
Densitas Optis (m-1)
2.0
(a) 1.5
1.0
0.5
0.0 0
500
1000
1500
2000
Waktu (detik) ACcom 53 1 g ACcom 53 3 g ACcom 53 5 g NA
2.5
Densitas Optis (m-1)
2.0
(b) 1.5
1.0
0.5
0.0 0
500
1000
1500
2000
Waktu (detik)
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
116
ACcom 53 1 g ACcom 53 3 g ACcom 53 5 g NA
2.5
Densitas Optis (m-1)
2.0
(c)
1.5
1.0
0.5
0.0 0
500
1000
1500
2000
Waktu (detik)
Gambar 4. 27 Pengaruh massa karbon aktif ACcom terhadap penjernihan asap (a) atas (b) tengah (c) bawah
Sementara itu massa karbon aktif 5 gram, ketika didispersikan penyerabarannya akan semakin merata di bagian atas, tengah dan bawah ruang uji, sehingga proses penjernihan asap pada sensor tengah dan bawah jauh lebih cepat dibandingkan massa karbon aktif 3 gram dan 1 gram. Selain itu semakin banyak massa karbon aktif yang didisperikan akan semakin banyak partikel karbon aktif menyerap panas asap, sehingga penurunan temperatur asap terjadi lebih cepat baik di bagian atas, tengah dan bawah. Penurunan temparatur yang lebih cepat dapat merubah orientasi pergerakkan asap ke arah bawah lebih cepat, maka proses penjernihan akan lebih cepat. Efektifitas penjernihan asap karena pengaruh massa karbon aktif ACcom dapat dilihat dari nilai t10, seperti diperlihatkan pada Gambar 4.28. Efektifitas penjernihan asap terbaik diperoleh dengan mendispersikan ACcom 5 gram. Nilai t10 untuk massa ACcom 5 gram pada sensor atas, tengah dan bawah adalah 4,0 , 4,6 dan 7,7 menit.
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
117
ACcom 53 1 g ACcom 53 3 g ACcom 53 5 g NA
Waktu mencapai transmisi, t10 (menit)
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
Atas
Tengah
Bawah
Posisi Sensor
Gambar 4. 28 Pengaruh massa karbon aktif ACcom terhadap t10
4.3.2
Penjernihan Asap Oleh Karbon Aktif ACZnCl2 Fenomena penjernihan asap menggunakan karbon aktif yang diaktifasi
dengan ZnCl2 (ACZnCl2) hampir sama dengan penjernihan asap oleh karbon aktif ACcom. Secara umum ACZnCl2 dengan ukuran 53-106 µm mempunyai kemampuan lebih baik dalam menjernihkan asap (nilai t10) dibandingkan ukuran yang lain. Untuk ukuran 53-106 µm (massa ACZnCl2 yang didispersikan 3 gram), nilai t10 pada sensor atas, tengah dan bawah adalah 5,15 , 5,25 dan 11,11 menit. Sedangkan pengaruh massa, semakin banyak massa karbon aktif
yang
didispersikan proses penjernihan lebih cepat. Efektifitas penjernihan asap terbaik diperoleh dengan mendispersikan ACZnCl2 5 gram. Nilai t10 untuk massa ACZnCl2 5 gram pada sensor atas, tengah dan bawah adalah 4,62 , 4,9 dan 9,28 menit. Gambar-gambar berikut ini menunjukkan pengaruh ukuran dan massa karbon aktif ACZnCl2 terhadap penjernihan asap.
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
118
ACZnCl2 ACZnCl2 ACZnCl2 ACZnCl2 NA Baseline
2.5
106 53 1 0.6
Densitas Optis (m-1)
2.0
(a)
1.5
1.0
0.5
0.0 0
500
1000
1500
2000
Waktu (detik)
ACZnCl2 ACZnCl2 ACZnCl2 ACZnCl2 NA Baseline
2.5
106 53 1 0.6
Densitas Optis (m-1)
2.0
(b)
1.5
1.0
0.5
0.0 0
500
1000
1500
2000
Waktu (detik) ACZnCl2 ACZnCl2 ACZnCl2 ACZnCl2 NA Baseline
2.5
106 53 1 0.6
Densitas Optis (m-1)
2.0
1.5
(c)
1.0
0.5
0.0 0
500
1000
1500
2000
Waktu (detik)
Gambar 4. 29 Pengaruh ukuran partikel karbon aktif ZnCl2 terhadap penjernihan asap; (a) atas (b) tengah (c) bawah. Massa karbon aktif ZnCl2 3 gram
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Waktu mencapai transmisi, t10 (menit)
119
ACZnCl2 ACZnCl2 ACZnCl2 ACZnCl2 NA
18
106 53 1 0.6
16 14 12 10 8 6 4 2 0
Atas
Tengah
Bawah
Posisi Sensor
Gambar 4. 30 Pengaruh ukuran karbon aktif ACZnCl2 terhadap t10
Atas Tengah Bawah
2.5
Densitas Optis (m-1)
2.0
1.5
1.0
0.5
0.0 0
500
1000
1500
2000
Waktu (detik)
Gambar 4. 31 Pengaruh ketinggian sensor terhadap penjernihan asap oleh karbon aktif ACZnCl2
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
120
ACZnCl2 53 1 g ACZnCl2 53 3 g ACZnCl2 53 5 g NA
2.5
Densitas Optis (m-1)
2.0
(a)
1.5
1.0
0.5
0.0 0
500
1000
1500
2000
Waktu (detik)
ACZnCl2 53 1 g ACZnCl2 53 3 g ACZnCl2 53 5 g NA
2.5
Densitas Optis (m-1)
2.0
(b)
1.5
1.0
0.5
0.0 0
500
1000
1500
2000
Waktu (detik) ACZnCl2 53 1 g ACZnCl2 53 3 g ACZnCl2 53 5 g NA
2.5
Densitas Optis (m-1)
2.0
(c)
1.5
1.0
0.5
0.0 0
500
1000
1500
2000
Waktu (detik)
Gambar 4. 32 Pengaruh massa karbon aktif ACZnCl2 terhadap penjernihan asap; (a) atas (b) tengah (c) bawah. Ukurana karbon aktif ACZnCl2 53-106 µm
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
121
ACZnCl2 1g ACZnCl2 3g ACZnCl2 5g NA
Waktu mencapai transmisi, t10 (menit)
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
Atas
Tengah
Bawah
Posisi Sensor
Gambar 4. 33 Pengaruh massa karbon aktif ACZnCl2 terhadap t10
4.3.3
Penjernihan Asap Oleh Zeolit Alam Penjernihan asap oleh zeolit alam (NZ) mempunyai kecenderungan yang
hampir sama dengan penjernihan asap oleh karbon aktif ACcom. Partikel zeolit alam dapat menjernihan asap lebih cepat dibandingan penjernihan asap tanpa adsorben (NA). Pada dasarnya zeolit alam adalah adsorben yang bersifat polar dan hydropholic, suka terhadap uap air. Sifat kepolaran sangat bergantung pada rasio Si/Al. Semakin tinggi rasio Si/Al maka semakin tidak polar, ketika digunakan untuk menjernihakan asap, disamping menyerap uap air zeolit diharapkan dapat menyerap senyawa asap yang lain termasuk CO. Pengaruh ukuran partikel zeolit alam menunjukkan bahwa ukuran 53-106 dapat menjernihan asap lebih cepat dibandingkan ukuran yang lain. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.34. Untuk ukuran 53-106 µm (massa NZ yang didispersikan 3 gram), nilai t10 pada sensor atas, tengah dan bawah adalah 5,12, 5,21 dan 11,45 menit. Pengaruh ketinggian menunjukkan penjernihan pada bagian atas lebih cepat jernih dibandingkan bagian tengah dan bawah (Gambar 4.36). Sementara itu pengaruh massa menunjukkan bahwa massa 5 gram dapat menjernihkan asap lebih cepat dibandingkan dengan massa 1 gram dan 3 gram ditunjukkan oleh Gambar 4.37. Nilai t10 untuk massa ACZnCl2 5 gram pada sensor atas, tengah dan bawah adalah 4,31, 4,6 dan 11,1 menit. Efektifitas penjernihan dapat juga ditunjukkan oleh waktu yang dibutuhkan untuk mencapai
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
122
tingkat penjernihan 10% (t10) seperti dipresentasikan pada Gambar 4.35 dan Gambar 4.38.
NZ 106 NZ 53 NZ 1 NZ 0.6 NA Baseline
2.5
Densitas Optis (m-1)
2.0
(a) 1.5
1.0
0.5
0.0 0
500
1000
1500
2000
Waktu (detik)
NZ 106 NZ 53 NZ 1 NZ 0.6 NA Baseline
2.5
Densitas Optis (m-1)
2.0
(b)
1.5
1.0
0.5
0.0 0
500
1000
1500
2000
Waktu (detik)
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
123
NZ 106 NZ 53 NZ 1 NZ 0.6 NA Baseline
2.5
Densitas Optis (m-1)
2.0
(c)
1.5
1.0
0.5
0.0 0
500
1000
1500
2000
Waktu (detik)
Gambar 4. 34 Pengaruh ukuran partikel zeolit alam terhadap penjernihan asap
NZ 106 NZ 53 NZ 1 NZ 0.6 NA
Waktu mencapai transmisi, t10 (menit)
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
Atas
Tengah
Bawah
Posisi Sensor
Gambar 4. 35 Pengaruh ukuran partikel zeolit alam terhadap t10 Atas Tengah Bawah
2.5
Densitas Optis (m-1)
2.0
1.5
1.0
0.5
0.0 0
500
1000
1500
2000
Waktu (detik)
Gambar 4. 36 Pengaruh ketinggian sensor terhadap penjernihan asap oleh zeolit alam
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
124
NZ 53 1 g NZ 53 3 g NZ 53 5 g NA
2.5
Densitas Optis (m-1)
2.0
(a)
1.5
1.0
0.5
0.0 0
500
1000
1500
2000
Waktu (detik)
NZ 53 1 g NZ 53 3 g NZ 53 5 g NA
2.5
Densitas Optis (m-1)
2.0
(b) 1.5
1.0
0.5
0.0 0
500
1000
1500
2000
Waktu (detik)
NZ 53 1 g NZ 53 3 g NZ 53 5 g NA
2.5
Densitas Optis (m-1)
2.0
(c)
1.5
1.0
0.5
0.0 0
500
1000
1500
2000
Waktu (detik)
Gambar 4. 37 Pengaruh massa zeolit alam terhadap penjernihan asap
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
125
NZ 1g NZ 3g NZ 5g NA
Waktu mencapai transmisi, t10 (menit)
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
Atas
Tengah
Bawah
Posisi Sensor
Gambar 4. 38 Pengaruh massa zeolit alam terhadap t10
4.3.4
Pengaruh Jenis Adsorben terhadap Penjernihan Asap Semua jenis adsorben mempunyai kemampuan dalam menjernihankan
asap dibandingan tanpa adsorben. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karbon aktif ACcom relatif lebih baik dibandingkan karbon aktif ACZnCl2 dan zeolit alam baik untuk penjernihan asap. Ukuran 53-106 µm dengan massa 5 gram menunjukkan hasil yang paling baik. Hasil yang diperoleh ini sesuai dengan Penelitian 1 yang menunjukkan bahwa diantara adsorben yang di screening karbon aktif dan zeolit alam mempunyai kemampuan dalam menyerap uap air dan mempunyai konstanta adsorpsi Langmuir terhadap gas CO lebih besar. Jika dibandingkan antara karbon aktif dan zeolit alam, karbon aktif mempunyai kemampuan menyerap air dan konstanta Langmuir lebih besar. Kemampuan menjernihkan asap oleh adsorben terlihat pada nilai t10, seperti pada Gambar 4.39. Karbon aktif ACcom memiliki nilai t10 yang lebih kecil, artinya lebih mampu menjernihkan dibandingkan adsorben lain, dengan alasan yang sudah didiskusikan di atas. Kalau ditinjau dari aspek densitas (Gambar 4.40), karbon aktif ACcom mempunyai densitas yang lebih kecil, sehingga lebih ringan dan waktu kontaknya akan lebih lama. Dengan mengguankan massa adsorben 5 gram, nilai t10 terbaik yang diperoleh oleh karbon aktif ACcom untuk sensor atas, tengah dan bawah adalah 4, 4,6 dan 7,7 menit. Nilai t10 terbaik yang diperoleh oleh adsorben karbon aktif ACZnCl2 untuk sensor atas, tengah dan bawah adalah 4,6, 4,9 dan 9,8 menit. Nilai t10 terbaik yang
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
126
diperoleh oleh adsorben zeolit alam (NZ) untuk sensor atas, tengah dan bawah adalah 4,4, 4,6 dan 11,1 menit. Nilai t10 jika tanpa menggunakan adsorben untuk bagian atas, tengah dan bawah adalah 10,9, 12,8, dan 16,5 menit. Dari nilai t10 terlihat bahwa pada sensor bagian atas dan tengah kemampuan adsorben dalam menjernihkan asap relatif sama. Perbedaan siknifikan proses penjernihan asap terlihat pada sensor bagian bawah. Jika dibandingkan penjernihan asap oleh adsorben dibandingkan dengan penjernihan asap tanpa adsorben, untuk sensor atas dan tengah waktu yang diperlukan untuk mencapai t10 dibawah 50% dari waktu penjernihan tanpa adsorben, sedangkan pada sensor bawah untuk ACcom, ACZnCl2 dan NZ berturut-turut adalah 47%, 57% dan 67%. ACcom ACZnCl2 NZ NA
Waktu mencapai transmisi, t10 (menit)
18 16.5
16 14
12.7
12
11.1
10.9
10
9.3 7.7
8 6 4
4
4.6 4.3
4.6 4.9 4.6
2 0
Atas
Tengah
Bawah
Posisi Sensor
Gambar 4. 39 Pengaruh jenis adsorben terhadap t10, ukuran adsorben 53-106 µm, massa adsorben 5 gram
2.0
1.883
Densitas (kg/l)
1.5
1.0
0.767
0.833
0.5
0.0
ACcom
ACZnCl2
NZ
Gambar 4. 40 Densitas masing-masing adsorben
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
127
4.3.5
Pengaruh Jenis Adsorben terhadap Penyerapan CO Analisis pengaruh jenis adsorben terhadap kemampuan mengadsorpsi CO
dilakukan dengan memvariasika massa adsorben. Tujuan dari analisis ini adalah untuk mendapatkan nilai massa adsorben yang optimal mengadsorpsi CO. Indikator yang digunakan untuk mengetahui kemampuan adsorpsi CO adalah konsentrasi CO yang terdapat pada asap tersebut. Semakin rendah konsentrasi CO pada asap, berarti kemampuan mengadsorpsi CO oleh adsorben semakin baik. Adapun variasi massa yang digunakan pada penelitian ini adalah 1, 3, dan 5 gram. Gambar 4.41 menunjukkan pengaruh massa terhadap adsorpsi CO oleh masing-masing adsorben; ACcom, ACZnCl2 dan zeolit alam. Tabel 4.10 menunjukkan konstanta adsorpsi Langmuir karbon aktif yang menunjukkan karbon aktif mempunyai kemampuan menyerap CO yang paling besar. Tetapi jumlah CO yang diserap oleh adsorben baru mencapai < 20% dari konsentrasi awal. Pembahasan mengenai kemampuan karbon aktif dan zeolit alam dalam mengadsorpsi CO sudah dibahas pada Sub Bab 4.1 Seleksi Adsorben.
1g 3g 5g
120
CO teradsorpsi, g
100
80
60
40
20
0
ACcom
ACZnCl2
NZ
Adsorben
Gambar 4. 41 Pengaruh massa terhadap proses penyerapan CO
4.4 Evaluasi Penjernihan Asap Keseluruhan Dari pembahasan sebelumnya, seleksi kemampuan adsorben mengadsorpsi CO dengan metoda adsorpsi isotermis, menunjukkan bahwa semua adsorben yang
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
128
diuji mempunyai kemampuan mengadsorpsi CO. Zeolit alam dan karbon aktif mempunyai kemampuan mengadsorpsi CO yang paling baik. Hal ini dikarenakan luas permukaan karbon aktif dan zeolit alam mempunyai luas permukaan lebih besar dibanding adsorben lain. Hasil uji pembuatan asap menunjukkan bahwa pembakaran kertas tisu menggunakan solder elektrik dapat menghasilkan asap dengan tingkat kepekatan dan kandungan CO yang tinggi. Massa tisu 6 gram dapat menghasilkan asap dengan bacaan intensitas I antara 900 -1000 (nilai OD sekitar 2), dan kandungan CO diatas 4000 ppm. Uji penjernihan asap dan penyerapan CO oleh adsorben, pengaruh ukuran partikel terhadap penjernihan asap menunjukkan bahwa secara umum semakin kecil partikel proses penjernihan asap semakin cepat, tetapi jika partikel terlalu kecil proses penjernihan asap menjadi lambat. Hal ini disebabkan ukuran partikel yang sangat kecil memiliki waktu tinggal yang lama, bersama asap berada di dalam ruang uji sehingga memperlambat proses penjernihan. Ukuran partikel adsorben yang paling efektif menjernihkan asap adalah 53 µm. Dari pembahasan di atas juga menunjukkan bahwa penjernihan asap pada posisi atas ruang uji lebih cepat dibandingkan posisi bawah. Hal ini disebabkan setelah adsorben didispersikan, disamping adsorben dapat menyerap asap pendisperdispersian adsorben dapat juga menyebabkan perubahan sifat dan karakteristik asap. Asap akan beraglomerasi, terkondensasi, terjadi perubahan temperatur dan densitas asap, sehingga asap akan bergerak ke bawah. Semakin ke bawah pergerakkan asap semakin lambat sehingga terakumulasi pada bagian bawah ruang uji, penjernihan bagian bawah lebih lambat dibandingkan bagian atas. Pengaruh massa adsorben terhadap penjernihan menunjukkan semakin banyak adsorben yang didispersikan semakin banyak kontak dengan asap sehingga proses penjernihan makin cepat. Untuk adsorben ukuran 53 µm, massa adsoben yang paling efektif menjernihkan asap adalah 5 gram. Sementara itu jenis
karbon aktif ACcom mempunyai kemampuan
menjernihkan asap dan menyerap CO lebih baik dibandingkan karbon aktif ACZnCl2 dan zeolit alam teraktifasi (NZ). Hal ini disebabkan karena karbon aktif ACcom mempunyai luas permukaan lebih besar dibandingkan adsorben yang lain.
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
129
BAB V KESIMPULAN Hasil penelitian pemilihan adsorben dan penjernihan asap kebakaran, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa; 1. Dari hasil seleksi adsorben didapat bahwa karbon aktif dan zeolit alam teraktifasi memiliki kemampuan yang baik dalam penyerapan CO dengan nilai nmaks masing-masing 1.58827 dan 0.36310 mmol/gr sampel, nilai b masing-masing 0.00305 dan 0.00997. Nilai ngibbs berturut-turut karbon aktif dan zeolit alam teraktifasi, adalah 0,0682 dan 0,0352 mmol/g. 2. Untuk mendapatkan asap jenis smoldering dengan tingkat kepekatan maksimum memerlukan massa tisu 6 gram untuk volume ruang uji 0,192 m3 3. Urutan kemampuan menjernihkan asap lebih efektif ACcom> ACZnCl2> zeolit alam. nilai. Waktu yang diperlukan untuk mencapai tingkat penjernihan 10% (t10) dari ACcom untuk bagian atas, tengah dan bawah adalah 4, 4,6 dan 7,7 menit, jika tanpa menggunakan adsorben untuk bagian atas, tengah dan bawah adalah 10,9, 12,8, dan 16,5 menit. Semua adsorben mampu menyerap CO, ACcom mempuyai kemampuan yang paling baik. Pengaruh ukuran, massa dan ketinggian asap pada kolom terhadap proses penjernihan asap diperoleh: a. Adsorben dengan ukuran partikel 53 μm mempunyai kemampuan menjernihkan asap paling baik. b. Pengaruh massa adsorben terhadap penjernihan asap terlihat siknifikan pada bagian bawah. Massa adsorben optimum dalam penjernihan asap diperoleh 5 gram. c. Asap pada bagian atas kolom lebih cepat jernih dibandingkan dengan tengah dan bawah.
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
130
DAFTAR PUSTAKA Andrew. 2004. Non-Tech High Tech Litters the Landscape. [Online] Tersedia dalam
[Diakses 3 Juli 2014]. Anonim. 2007. CO2 Emission and Its Mitigation by Adsorption on Zeolites and Activated Carbon. Current Science, Volume 92 (6). Anonim. Properties of Activated Carbon [Online] CPL Caron Link [Diakses 5 Feburari 2008]. Annemarie, J.B., F. Reisen, A. Cook, B. Devine, P. Weinstein. (2008). Respiratory Irritants in Australian Bushfire Smoke: Air Toxics Sampling in a Smoke Chamber and During Prescribed Burns. Springer Science Business Media. Aranovich, G. L., Donohue, M. D., 2000. Vapor Adsorption on Micro-porous Adsorbents, Carbon, Volume 38, 701. Arean, C., and Oteron. 2007. Carbon Monoxide Adsorption on Low-Silica zeolites – from Single to Dual and to Multiple Cation Sites. Physical Chemistry, Volume 9, pp. 4657-4661. Arean, C., Oteron. 2007. Dinitrogen and Carbon Monoxide Hydrogen Bonding in Protonic Zeolites: Studies from Variable-Temperature Infra Red Spectroscopy. Journal of Molecular Structure, Volume 880, pp. 31-37. Babrauskas, V. 1996. Toxicity for the Primary Gases Found in Fires. [Online] Tersedia dalam [Diakses 3 Juli 2014]. Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2014. Data Kasus Kebakaran Tahun 2014. BNPB: Jakarta. Berlie, K., and F. Marc. 1997. Adsorption of CO2 on Microporous Materials. 1. On Activated Carbon and Silica Gel. Industrial & Engineering Chemistry Data, Volume 42, pp. 533-537. Blomqvist, Per., L. Rosell, M. Simonson. 2004. Emissions from Fires Part I: Fire Retarded and Non-Fire Retarded TV-Sets. Fire Technology, Volume 40, 39–58, Blomqvist, Per., L. Rosell, M. Simonson. 2004. Emission from Fires Part II: Simulation Room Fires. Fire Technology (2004) Volume 40, pp. 59 – 7. Brandani, F., and M.R. Douglas. 2004. The Effect of Water on the Adsorption of CO2 and C3H8 on Type X Zeolites. Industrial & Engineering Chemistry, Volume 43, pp. 8339-8344. Bulanek, R., and E. Koudelkova. 2011. Carbon Monoxide Adsorption on AlkaliMetal Exchange BEA Zeolite: IR and Thermodynamics Study. Microporous and Mesoporous Materials Volume 151, pp. 149 – 156. Carley, A.F., P.R. Davies, M.W. Roberts, A.K. Santra, K.K. Thomas. 1998. Coadsorption of Carbon Monoxide and Nitric Oxide at Ag(111): Evidence for a CO-NO Surface Complex. Surface Science Volume 406, pp. 1587-1591. Chue, K.T., J.N. Kim, Y.J. Yoo, S.H. Cho, R.T. Yang. 1995. Comparison of Activated Carbon and Zeolite 13X for CO2 Recovery from Flue Gas by
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
131
Pressure Swing Adsorption. Industrial & Engineering Chemistry, Volume 34 (2), pp. 591–598. Clean Air Plus. (2015). Benefits of Activated Carbon Filters in Air Purifiers. [Online] Tersedia dalam [Diakses 25 Juni 2015] Deroche, I., L. Gaberova, G. Maurin, P. Llewellyn, M. Castro, P. Wright. 2008. Adsorption of carbon dioxide in SAPO STA-7 and AlPO-18: Grand Canonical Monte Carlo Simulations and Microcalorimetry Measurements. Adsorption, Volume 14, pp. 207 – 213. Dı´az, E., M. Emilio, V. Aurelio, O. Salvador. 2008. Enhancement of the CO2 Retention Capacity of Y Zeolites by Na and Cs Treatments: Effect of Adsorption Temperature and Water Treatment. Industrial & Engineering Chemistry, Volume 47, pp. 412-418. Dinas Pemadam Kebakaran. 2014. Data Kasus Kebakaran Tahun 2014. Damkar: Jakarta. Drysdale, D. 2003. An Introduction to Fire Dynamics, 2nd Edition, John Wiley & Sons. Eddleston, M., E. Juszczak, N.A. Buckley. 2008. Multiple-dose Activated Charcoal in Acute Self-poisoning: A Randomised Controlled Rrial. The Lancet, Volume 371 (9612) : 579 – 87. Elliott, C., T. Colby, T. Kelly, H. Hicks. 1989. Charcoal lung. Bronchiolitis Obliterans After Aspiration of Activated Charcoal. Chest Journal, Volume 96 (3) : 672 - 4. Environmental Health and Safety, 2007. Silica Gel. Espinal J. F., A. Montoya, F. Mondrago´n, T.N. Truong. 2004. A DFT Study of Interaction of Carbon Monoxide with Carbonaceous Materials. The Journal of Physical Chemistry B, Volume 108 (3), pp. 1003 – 1008. Fisher Scientific, 1997. Silica Gel Desicant. German ,E.D., S. Moshe. 2008. Comparative Theoretical Study of CO Adsorption and Desorption Kinetics on (111) Surfaces of Transition Metals. The Journal of Physical Chemistry C, Volume 112 (37), pp. 14377–14384. Gottfried J.M., K.J. Schmidt, S.L.M. Schroeder, K. Christmann. 2003. Adsorption of Carbon Monoxide on Au (1 1 0)-(1 x 2). Surface Science, Volume 536, pp. 206224. Greenwood, N.N., A. Earnshaw. 1997. Chemistry of the Elements , 2nd edition. Hadjiivanova, K., T. Venkov, H. Knözinger. 2001. FTIR spectroscopic study of CO adsorption on Cu/SiO2: Formation of New Types of Copper Carbonyls. Catalysis Letters, Volume 75 ( 1–2). Huang, L., L. Zhang, Q. Shao, L. Lu, X. Lu, S. Jiang, W. Shen. 2007. Simulations of Binary Mixture Adsorption of Carbon Dioxide and Methane in Carbon Nanotubes: Temperature, Pressure, and Pore Size Effects. The Journal of Physical Chemistry C, Volume 111 (32), pp. 11912–11920. Hull, T. R., K.T. Paul. 2007. Bench-Scale Assessment of Combustion Toxicity – A Critical Analysis of Current Protocols. Fire Safety Journal, Volume 42 (5), pp. 340–365.
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
132
International Zeolite Association. (2007). Database of Zeolite Structures [Online] Tersedia dalam <www.iza-structure.org/databases/> [Diakses 3 Juli 2014]. Jadhav, P.D., S.S. Rayalu, R.B. Biniwale, S. Devotta. 2007. CO2 Emission and Its Mitigation by Adsorption on Zeolites and Activated Carbon. Current Science, Volume 92, pp. 724-725. Jadhav, P.D., R.V. Chatti, R.B. Biniwale, N.K. Labhsetwar, S. Devotta, S.S. Rayalu. 2007. Monoethanol Amine Modified Zeolite 13X for CO2 Adsorption at Different Temperatures. Energy Fuels, Volume 21 (6), pp. 3555–3559. Jana, D. 2007. Clinoptilolite – A Promising Pozzolan in Concrete. [Online] Tersedia dalam <www.zeocat.es/docs/constructionconcrete.pdf> [Diakses 3 Juli 2014]. Jiang, J. and S.I.S. 2005. Separation of CO2 and N2 by Adsorption in C168 Schwarzite:A Combination of Quantum Mechanics and Molecular Simulation Study. Journal of the American Chemical Society, Volume 127 (34), pp. 11989– 11997. Jungsuttiwong, S., P. Khongpracha, T.N. Truong, J. Limtrakul. A Theoretical Study of Adsorption of Carbon Monoxide on Ag-ZSM-5 Zeolite. Laboratory for Computational & Applied Chemistry, Chemistry Department, Kasetsart University, Thailand. Kamarudin, K.S.N., Halimaton Hamdan and Hanapi Mat. 2006. Equilibrium Model of Gas Adsorption on Zeolite. Zeolite and Porous Material Group, Ibnu Sina Institute for Fundamental Science Studies, Universiti Teknologi Malaysia, Johor. Kim, Y.D., J. Stultz, D.W. Goodman 2002. Characterization of MgO(1 0 0) Thin Film Growth on Mo(1 0 0). Surface Science, Volume 506, pp. 228 – 234. Lestari Fatma, Boban Markovic, Anthony R. Green, Gautam Chattopadhyay and Amanda J. Hayes. 2006. Comparative assessment of three in vitro exposure methods for combustion toxicity. Journal of Applied Toxicology, Volume 26, pp: 99–114. Li, G., P. Xiao, P. Webley, J. Zhang, R. Singh, M. Marshall. 2008. Capture of CO2 from High Humidity Flue Gas by Vacuum Swing Adsorption with Zeolite 13X. Adsorption, Volume 14, pp. 415-422. Limtrakul, J., S. Jungsuttiwong, P. Khongpracha. 1999. Adsorption of Carbon Monoxide on H-FAU and Li-FAU Zeolites: An Embedded Cluster Approach. Journal of Molecular Structure. Volume 525, pp. 153-162. Limtrakul, J., P. Khongpracha, S. Jungsuttiwong, T.N. Truong. 1999. Adsorption of Carbon Monoxide in H-ZSM-5 and Li-ZSM-5 Zeolites: An Embedded ab Initio Cluster Study. Journal of Molecular Catalysis A: Chemical Volume 153, pp. 155 – 163. Li, P., G. Bingqing, Z. Sujuan, C. Shuixia, Z. Qikun, Z. Yongning. (2008). CO2 Capture by Polyethylenimine-Modified Fibrous Adsorbent. Langmuir, Volume 24 (13), pp. 6567–6574. Maghirang, R.G., dan E.B. Razote. 2009. Smoke Dissipation by Solid Particles and Charged Water Spray in Enclosed Spaces. Fire Safety Journal 44, pp. 668-671.
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
133
Matranga, C., B. Bockrath. 2004. Permanent Trapping of CO2 in Single-Walled Carbon Nanotubes Synthesized by the HiPco Process. The Journal of Physical Chemistry B, Volume 108 (20), pp. 6170–6174. Merel, J., M. Clausse, F. Meunier. 2008. Experimental Investigation on CO2 Post−Combustion Capture by Indirect Thermal Swing Adsorption Using 13X and 5A Zeolites. Ind. Eng. Chem. Res, Volume 47 (1), pp. 209–215. Michael, M., M. Brittain, J. Nagai, R. Feld, D. Hedley, A. Oza, L. Siu, M.J. Moore. (2004). Phase II Study of Activated Charcoal to Prevent Irinotecan-Induced Diarrhea. Journal of Clinical Oncology, Volume 22 (21) : 4410-7. Minot, C., M. Menetrey, A. Markovits. 2002. Reactivity of a Reduced Metal Oxide Surface: Hydrogen, Water and Carbon Monoxide Adsorption on Oxygen Defective Rutile TiO2 (1 1 0). Surface Science,Volume 524, pp. 49-62. Mohamad A.B., S.E. Iyuke, W.R.M. Daud, A.A.H. Kadhum, Z. Fisal, M.F. AlKhatib, A.M. Shariff. 2000. Adsorption of Carbon Monoxide on Activated Carbon-Tin Ligand. Journal of Molecular Structure, Volume 550-551, pp. 511 – 519. Mulholland, G.W.(2002). Smoke Production and Properties. SFPE Handbook of Fire Protection Engineering, 2nd Edition. Mulukutla R.S., P.S. Malchesky, R. Maghirang, J.S. Klabunde, K.J. Klabunde, O. Kopper. 2007. Metal Oxide Nanoparticles for Smoke Clearing and Fire Suppression. United States Patent no: US 7,276,640 B2. Natesakhawat, S., T.C. Jeffrey, M. Christopher, B. Bradley. Adsorption Properties of Hydrogen and Carbon Dioxide in Prussian Blue Analogues Co3[Co(CN)6]2 and [Zn3 Co(CN)6]2. The Journal of Physical Chemistry, Volume 111, pp. 10551060. Neophytou, M.K.A., R.E. Britter. 2005. A Simple Model for the Movement of Fire Smoke in a Confined Tunnel. Pure and Applied Geophysics, Volume 162, pp. 1941–1954. Neviaser, J.L., G.G. Richard. 2004. Evaluation of Toxic Potency Values for Smoke from Products and Materials. Fire Technology, Volume 40 (2), pp. 177-199. Othman, M.R., O.E. Lee., W.J.N. Fernando. 2006. Gas Adsorption and Surface Diffusion on 5Å Microporous Adsorbent in Transition and Tubulent Flow Region. IIUM Engineering Journal, Volume 7 (1). Ottiger, S.R.P., S. Giuseppe, M. Marco. 2008. Measuring and Modeling the Competitive Adsorption of CO2, CH4,and N2 on a Dry Coal. Langmuir, Volume 24 (17), pp. 9531–9540. Pandiangan, Johannes. 2007. Perancangan dan Penggunaan Photodioda Sebagai Sensor Penghindar Dinding pada Robot Forklift, Universitas Sumatera Utara. Parry, A.A., dan J.A. Pryde. 1966. Adsorption of Nitrogen and Carbon Monoxide on Molybdenum. British Journal of Applied Physics, Volume 18, pp. 329-334. Pires, J., Moisés L. Pinto, Ana Carvalho, M.B. de Carvalho. 2003. Assessment of Hydrophobic-Hydrophilic Properties of Microporous Materials from Water Adsorption Isotherms. Adsorption, Volume 9, pp. 303-309.
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
134
Pu, S., and Z. Sisi. Evacuation Route Calculation of Inner Buildings. Delft University of Technology, OTB Research Institute for Housing, Urban and Mobility Studies, Jaffalaan. Netherlands. Pujiyanto. (2010). Pembuatan Karbon Aktif Super dari Batubara dan Tempurung Kelapa. Tesis, Departemen Teknik Kimia. Depok, Universitas Indonesia. Rajumon, M.K., M.S. Hegde, C.N.R. Rao. 1988. Adsorption of Carbon Monoxide on Ni/Ti and Ni/TiO2, Surfaces Prepared Insitu in The Electron Spectometer : A Combined UPS-XPS Study. Catalysis Letters, Volume 1 (11), pp. 351-359. Ranjan, C., R. Hoffmann, F.J. DiSalvo, H.D. Abruna. 2007. Electronic Effects in CO Chemisorption on Pt−Pb Intermetallic Surfaces: A Theoretical Study. The Journal of Physical Chemistry C, Volume 111 (46), pp 17357–17369. Ranjani, S., M. Shen, E. Fisher, J. Poston, A. Shamsi. 2001 Adsorption and Desortion of CO on Solid Sorbents. Journal of Energy & Environmental Research, Volume 1 (1). Ravikovitch, P., B.W. Bogan, A.V. Neimark. 2005. Nitrogen and Carbon Dioxide Adsorption by Soils. Journal of Environmental Science Technology, Volume 39 (13), pp. 4990–4995. Salimon, J. and M. Kalaji. 2003. Carbon Monoxide Adsorption at Polycrystalline Copper in Aqueous Phosphate Buffered Solution: Linearly-Adsorbed CO. Malaysian Journal of Chemistry, Volume 5, pp. 001-007. Sasaki, T., A. Matsumoto, Y. Yamashita. 2008 The Effect of the Pore Size and Volume of Activated Carbon on Adsorption Efficiency of Vapor Phase Pompounds in Cigarette Smoke. Colloids and Surfaces A: Physicochemical and Engineering Aspects, Volume 325, pp. 166-172. Schennach, R., G. Krenn, B. Klotzer, K.D. Rendulic. 2003. Adsorption of Hydrogen and Carbon Monoxide on Rh (1 1 1)/V Surface Alloys. Surface Science ,Volume 540, pp. 237-245. Science Learn. 2015. Definitioof Smoke, [Online] Tersedia dalam . [Diakses 26 Juni 2015]. Setyaningsih, Agustina. 2006. Penentuan Nilai Panjang Koherensi Laser Menggunakan Interferometer Michelson, Universitas Diponegoro. Siriwardane, R.V., M.S. Shen, E.P. Fisher. 2002. Adsorption of CO2, N2, O2 on Natural Zeolites. Energy and Fuels, Volume 17, pp. 571-576. Sudibandriyo, M. 2011. High Pressure Adsorption of Methane and Hydrogen at 25oC on Activated Carbons Prepared from Coal and Coconut Shell. International Journal of Engineering & Technology IJET-IJENS Volume 11(02). Szanyi, J., dan M. Paffett. 1996. The Adsorption of Carbon Monoxide on H-ZSM-5 and Hydrothermally Treated H-ZSM-5. Microporous Materials, Volume 7: 201 – 218. Tehrani and Salari. 2005. The Study of Dehumidifying of Carbon Monoxide and Ammonia Adsorption by Iranian Natural Clinoptilolite Zeolite. Applied Surface Science, Volume 252, pp. 866-870.
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
135
Apriano, Tito, Yulianto S. Nugroho. 2012. Pengembangan Sistem Pengukuran Densitas Optik Asap Kebakaran. Proceeding Seminar Nasional Tahunan Teknik Mesin dan Thermofluid IV, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta Treesukol, P., J. Limtrakul, T.N. Truong. 2001. Adsorption of Nitrogen Monoxide and Carbon Monoxide on Copper-Exchanged ZSM-5: A Cluster and Embedded Cluster Study. The Journal of Physical Chemistry B, Volume 105, pp. 24212428. Trisunaryanti, W., E. Triwahyuni, S. Sudiono. 2005. Preparasi, Modifikasi dan Karakterisasi Ni-Mo/Zeolit Alam dan Mo-Ni/Zeolit Alam. Teknoin, Volume 10 (4), pp. 269-282. Voogt, E.H., L. Coulier, O.L.J. Gijzeman, J.W. Geus. 1997. Adsorption of Carbon Monoxide on Pd(111) and Palladium Model Catalysts. Journal of Catalysis, Volume 169, pp. 359-364. Wang, W., Z.H. Ping, W.Y. Tian. 2007. Experiimental study on CO2/CO of Typical lining Materials in Full-Scale Fire Test. Chinese Science Bulletin, Volume 52, Issue 9, pp. 1282-1286. WeaverLindell, K., K. Deru. 2007. Carbon Monoxide Poisoning at Motels, Hotels, and Resorts. American Journal of Preventive Medicine, Volume 33 (1) : 23-7. Wei-Heng, S., R. Mutharasan, Q. Zhao, N. Wang. 2001. Development of Mesoporous Membrane Materials for CO2 Separation. Drexel University, Philadelphia. Wu, S.F., H.L. Qing, N.K. Jong, B.Y. Kwang. 2008. Properties of a Nano CaO/Al2O3 CO2 Sorbent. Industrial & Engineering Chemistry, Volume 47 (1), pp. 180– 184. Xu, X., S. Chunshan, G.M. Bruce, W.S. Alan. 2005. Influence of Moisture on CO2 Separation from Gas Mixture by a Nanoporous Adsorbent Based on Polyethylenimine-Modified Molecular Sieve MCM-41. Industrial & Engineering Chemistry Research. Volume 44 (21), pp. 8113–8119. Xu, Y., J. Li, Y. Zhang, W. Chen. 2002. CO Adsorption on MgO (001) Surface with Oxygen Vacancy and Its Low-Coordinated Surface Sites: Embedded Cluster Model Density Functional Study Employing Charge Self-Consistent Technique. Surface Science, Volume 525, pp. 13-23. Xu, Y., H.Z. Jian, M.L. Li, J. An, L.W. Yi, Y.S. Xi. 2003. Removing Nitrosamines from Mainstream Smoke of Cigarettes by Zeolites. Microporous and Mesoporous Materials, Volume 60(1-3), pp. 125–138. Yadav, R., R.G. Maghirang, L.E. Erickson, B. Kakumanu, S.G. Castro. 2007. Laboratory Evaluation of the Effectiveness of Nanostructured and Conventional Particles in Clearing Smoke in Enclosed Space. Fire Safety Journal, Volume 43, Issue 1, pp. 36–41. Ying, H.Z., Q.F. Liu, Y.G. Li, W.L. Li, X.C. Xiong. 2008. Selection of Adsorbent for Insitu Coupling Technology and Adsorptive Desulfurization and biedesulfurization. Science in China Press. Yong, Z., M. Vera, dan E.R. Alı´rio. 2000. Adsorption of Carbon Dioxide on Basic Alumina at High Temperatures. Journal of Chemical Engineering Data, Volume 45 (6), pp. 1093–1095.
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
136
Yuliusman, W.W. Purwanto, Y.S. Nugroho. 2013. Adsorbent Selection for CO Adsorption using Langmuir Isothermic Adsorption Model. Reaktor, Volume 14 (3), pp. 225-233. Zaki, M.I., K. Helmut, T. Bernd, A.H.M. Gamal, J.B. Hans. Chemical and Morphological Consequences of Acidification of Pure, Phosphated, and Phosphonated CaO: Influence of CO2 Adsorption. Langmuir, Volume 24 (13), pp. 6745-53. Zhao, X.X., L.X. Xiao, B.S. Lin, L.Z. Li, Q.L. Xiao. 2009. Adsorption Behavior of Carbon Dioxide and Methane on AlPO4-14: A Neutral Molecular Sieve. Energy Fuels, Volume 23 (3), pp. 1534–1538. Zheng, Y., G. Tingyue. 1998. Modified van der Waals Equation for the Prediction of Multicomponent Isotherms. Journal of Colloid and Interface Science, Volume 206 (2), pp. 457-463. Zhen-Zhen, Q., Y.X. Yu, J.G. Mi. 2012. Adsorption of carbon monoxide on Ag(I)ZSM-5 zeolite: An ab initio density functional theory study. Applied Surface Science, Volueme 258, pp. 9629 – 9635.
Universitas Indonesia Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
10. 11.
Nama Lengkap : Ir. Yuliusman, MEng NIP : 196607201995011001 Pangkat dan Golongan Ruang : Penata Tingkat I /III/d Tanggal lahir/Umur : 20 Juli 1966/49 Tempat lahir : Pesisir Selatan Jenis kelamin : Laki-laki Agama : Islam Status pernikahan : Menikah Alamat kantor : Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik univeristas Indonesia, Kampus Baru UI, Depok 16424 No telepon/Fax : 021-1863516/021-7863515 E-mail : [email protected]
RIWAYAT PENDIDIKAN 1. 2. 3. 4. 5.
SD Negeri 1 Barung-Barung Belantai SMP Negeri Barung-Barung Belantai SMA Negeri 2 Padang Teknik Gasa dan Petrokimia Fakultas Teknik Universitas Indonesia Master Program of Chemical Engineering Fakulty of Chemical and Natural Resources Engineering Universiti Teknologi Malaysia
Lulus 1980 Lulus 1983 Lulus 1986 Lulus 1993
Lulus 2001
PUBLIKASI Jurnal Internasional Yuliusman, Widodo WP., Yulianto NS. (2015). Smoke Clearing Methode Using Activated Carbon and Natural Zeolite, International Journal of Technology, (Accepted).
Jurnal Nasional Yuliusman, Widodo WP, dan Yulianto S.N, (2013). Pemilihan Adsroben untuk Penyerapan Karbon monoksida Menggunakan Model Adsropsi Isotermis Langmuir, Jurnal Reaktor, vol.14 no.3, pp. 225-233.
Seminar Internasionl 1. Yuliusman dan Diana A, 2013, Adsorption of Carbon Monoxide (CO) Gas And Clearing Fire Smoke Using Activated Carbon From Coconut, The 13 th
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
International Conference on QIR, Quality in Research, Faculty of Engineering, University of Indonesia, pp. 496-503. 2. Yuliusman, Widodo WP, Yulianto S.N, dan Rany A. (2014). Preparation of Activated Carbon from Oil Shell by Activating ZnCl2 as Carbon Monoxide Adsorbent, The 9th Joint Conference on Chemitry, pp. 130-134.
Seminar Nasional 1. Yuliusman, Widodo, Yulianto dan Yuda, (21010). Preparasi zeolit alam Lampung dengan larutan HF, HCl, dan kalsinasi untuk adsorpsi gas CO”. Seminar Rekayasa Kimia dan Proses, Universitas Diponegoro Semarang. 2. Yuliusman, Widodo WP, Yulianto S.N, M. Gondang A.K, (2011). Uji kapasitas adsorpsi Zeolit alam Lampung Termodifikasi TiO2 terhadap kapasitas adsorpsi gas Karbon monoksida, Seminar Nasional Fundamental dan Aplikasi Teknik Kimia, ITS Surabaya,. 3. Yuliusman, Widodo WP, Yulianto S.N, M. Reza S.,(2012). Pengaruh Aktifasi Zeolit Alam Lampung terhadap Adsorpsi Gas Karbon Monoksida dan Penjernihan Asap Kebakaran, Seminar Nasional Teknik Kimia Kejuangan, UPN, Yogyakarta. 4. Yuliusman, Andry P, (2012). Degradasi Gas NO2 Menggunakan Zeolit Alam Lampung Teraktifasi yang Diintegrasikan dengan TiO2 untuk Aplikasi Masker Kesehatan. Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia-Aptekindo, Universitas Indonesia. 5. Yuliusman, Mariatul Qibthiyah, Luthfi R (20140. Pembuatan Karbon Aktif Berbahan Dasar Tempurung Kelapa Sawit Terimpregnasi TiO2 sebagai Adsorben Gas Karbon Monoksida dari Asap Pembakaran, Seminar Rekayasa Kimia dan Proses, UNDIP Semarang.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
LAMPIRAN
LAMPIRAN A: Rancangan Bangun Ruang Uji I dan II
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Pemilihan Rancangan Bangun Ruang Uji, Teknik Pembuatan Asap, Teknik Dispersi Adsorben 1. Rancang bangun pertama Skema rancang bangun ruang uji yang pertama seperti pada Gambar 3.8.
1 7
3
4
2
6 5
Gambar 1 Skema ruang uji (rancangan pertama)
Keterangan gambar: 1. Alat mendispersikan adsorben 2. Sumber cahaya 3. Sensor menangkap cahaya 4. Pengambilan sampel menggunakan shirring. 5. Pembakaran bahan bakar
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
6. Saluran mengalirkan udara dengan kompresor untuk membersihan ruang uji dari asap setelah pengambilan data. Saluran ini dilengkapi dengan katup yang selalu tertutup hanya dibuka pada waktu pembersihan saja. 7. Saluran asap keluar pada waktu proses pemberihan ruangan. Saluran ini dilengkapi dengan katup yang tertutup hanya dibuka pada waktu pembersihan saja. Dimensi ruang : 0,5 m x 0,5m x 2 m Bahan
: akrilik
Titik sampel : 5 titik (ketinggian 20 cm, 60 cm, 100 cm, 140cm, 180cm) Jarak sampel : 40 cm Lampu sorot : untuk memberikan cahaya pada ruang, sehingga pergerakan asap bisa diamati dengan jelas secara visual pada waktu ruang ada asap Kamera
: Untuk merekam secara visual pergerakan asap.
Salah satu sisi yang sebelah kanan fleksibel, bisa dibuka untuk tujuan pembersihan dinding akrilik jika dinding ruang sudah kotor. Bahan bakar: bahan bakar (kayu, kayu blok dan kayu lapis, kertas, kabel, karpet,pelapis sket sel. Bahan bakar ignisi adalah minyak tanah.
Permasalahan Pada Rancang Bangun Pertama
Permasalahan yang dialami pada rancangan yang pertama ini adalah ruang uji terlalu tinggi, sehingga dalam pelaksanaan penelitian menyulitkan pada proses dispersi adsroben. Kendala lain adalah proses pembakaran berada di bawah ruang uji. Asap yang terbentuk tidak maksimal masuk ruang uji karena asap bergerak secara alamiah menuju ruang uji. Oleh karena itu pada perancangan ruang uji yang kedua dimensi ruang uji disesuaikan dan teknik pembakaran terpisah dengan ruang uji. 2. Rancang Bangun Kedua Skema rancang bangun ruang uji yang kedua terlihat pada Gambar 3.9. Bahan yang digunakan untuk membuat ruang uji adalah akrilik. Sisi bagian tengah pada samping kiri ruang uji terdapat pintu yang bisa dibuka untuk tujuan pembersihan dinding akrilik setiap selesai pengambilan data. Sisi bagian atas
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
terdapat lubang untuk keluar asap dan lubang untuk menyemprotkan adsorben masuk ke dalam ruang uji. Pada bagian bawah terdapat lubang untuk membuang zeolit yang telah dipakai. Pada bagian tengah pintu dipasang satu alat CO analyzer. Tiga titik pengambilan nilai kejernihan asap diambil menggunakan opasity meter. Asap masuk pada bagian belakang tengah ruang uji dialirkan dari wadah pembakaran melalui selang. Ruang uji dibuat kedap udara agar tidak ada asap yang keluar.
Gambar 2 Skema ruang uji (rancangan kedua)
Bahan bakar: Kayu, kertas, kabel dan minyak tanah. Massa bahan bakar yang dibakar masing-masing 20 gr dan minyak tanah 10 ml Prosedur Pembuatan Asap dan Pengambilan Data Masukkan bahan bakar dengan jumlah tertentu ke dalam wadah pembakaran (Gambar 3). Bakar selama 2 menit lalu tutup wadah pembakaran. Pompakan asap ke ruang uji dengan memakai selang sampai ruang uji gelap (nilai opasitas nol). Kemudian dispersikan adsorben dari atas ruang uji menggunakan pompa.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Pembacaan opasitas pada tiap titik samplig dilakukan setiap menit. Alat opasity meter dan alat kontrolnya dapat dilihat pada Gambar 4 dan Gambar 5.
Selang asap ke ruang uji
Lubang masuk selang dari pompa
Gambar 3 Wadah pembakaran
B A Gambar 4 Light Source dan Light-MeasuringDevice
Gambar 4 bagian A adalah light source dan B adalah light measuring device. Cara menggunakan opasitimeter ini sangat sederhana, hanya meletakkan tangan sensor diantara asap seperti yang terlihat pada Gambar 6. Pengambilan data dilakukan seperti pada gambar tersebut karena pengambilan data dilakukan pada 3 titik. Nilai kejernihan ruang uji akan ditampilkan pada control unit (Gambar 5).
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Gambar 5 Control Unit dan Stopwatch
Gambar 6 Pengambilan data
Permasalahan Pada Rancang Bangu Kedua
Ada beberapa permasalahan yang ditemukan pada tahap ini antara lain adalah: 1. Pada awalnya sensor cayaha dipasang dalam ruang uji. Kemudian dikalibrasi dengan alat opacity meter. Sensor sangat sensitif dengan asap yang mengandung uap air, sehingga ketika dilakukan uji kepekatan asap sensor mengalami kerusakkan. 2. Teknik pembuatan asap dengan bahan bakar dicampur minyak tanah dengan cukup oksigen akan menimbulkan nyala, terjadi pembakaran secara
flaming.
Pembakaran
yang
menimbulkan
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
nyala
tidak
menghasilkan asap yang pekat. Sehingga tidak bisa dilakukan uji penjernihan asap. 3. Kemudian dilakukan modifikasi pada ruang bakar dengan membuat ventilasi yang sedikit, sehingga jumlah oksigen sangat terbatas pada ruang bakar. Pembakran yang terjadi dapat menghasilkan asap yang lebih banyak dan pekat. Permasalahan yang terjadi adalah setiap dilakukan pembuatan asap, asap yang dihasilkan tidak mempunyai karakteristik yang mirip, baik tingkat kegelapan maupun konsentrasi CO. 4. Kesulitan lain adalah asap harus dipompakan ke dalam ruang uji. Proses pemompaan asap akan merubah karakteristik asap, karena molekul asap akan saling bertumbukkan menjadi lebih berat dan ketika bersentuhan dengan dinding saluran masuk dan dinding ruang uji uap air akan terkondensasi. 5. Teknik pemompaan yang tidak sama setiap kali pembuatan asap dapat mengakibatkan karakteristik asap akan sangat berbeda setiap kali pembuatan asap. 6. Ada kendala pada teknik pengambilan data menggunakan opacity meter pada 3 titik yang berbeda. 7. Dispersi adsorben menggunakan pompa dari atas menyebabkan waktu kontak asap dengan adsorben sangat cepat. Berdasarkan permasalahan yang ditemukan terkait dengan sensor cahaya dan pembuatan asap maka dilakukan perbaikan dengan menggunakan alat berbasis micro controller dan asap dibuat dari tisu yang dibakar menggunakan solder.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
LAMPIRAN B: TES KEBOCORAN DAN VOID VOLUME ADSORPSI ISOTERMIS
Universitas Indonesia
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Hasil Tes Kebocoran Alat Uji Tes kebocoran alat uji sanagt penting dilakukan untuk melihat kesiapan alat uji. Hal ini disebabkan karena uji adsorpsi dilakukan pada tekanan tinggi yang rawan terhadap kebocoran. Disamping itu uji adsorpsi menggunakan karbon monoksida, jika ada kebocoran bisa membahayakan kesehatan. Gas yang digunakan untuk tes kebocoran adalah gas helium yang merupakan gas inert yang tidak berbahaya. Tes kebocoran dilakukan dengan memonitor tekanan baik pada area dozing maupun sampling selama 3 jam pada tekanan tertinggi sesuai tekanan uji adsorpsi sekitar 630 psia. Lama waktu tes kebocoran 3 jam, karena pengambilan data uji adsorpsi sekitar 3 jam. Sementara itu tekanan diambil sekitar 630 psia, karena pada proses adsorpsi gas CO dimasukkan ke dalam dozing pada tekanan sekitar 600 psia. Tes kebocoran awal dapat dideteksi dengan menggunakan busa sabun pada titik sambungan rangkaian alat sehingga dapat kebocoran dapat segera diketahui dan diatasi. Jika ada kebocoran yang lebih kecil, kadang kala tidak terdeteksi kalau menggunakan busa sabun saja. Tes kebocoran dilanjutkan menggunakan air, dengan merendam titik yang diprediksi rawan kebocoran kecil seperti titik pada sampling. Setelah tidak ditemukan kebocoran dengan menggunakan air, proses tes kebocoran dilanjutkan dengan memantau penurunan tekanan pada dozing dan sampling selama 3 jam. Jika penurunan tekanan selama 3 jam tidak lebih dari 3 psia, maka alat dapat digunakan untuk proses uji adsorpsi. Tes kebocoran dilakukan setiap akan melakukan uji adsorpsi untuk masing-masing adsorben. Gambar berikut adalah salah satu contoh kurva penurunan tekanan pada saat tes kebocoran, terlihat tekanan pada dozing dan sampling stabil selama 3 jam..
Universitas Indonesia
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
700
Tekanan, psia
600 500 Tekanan dozzing, psia 400
Tekanan sampling, psia
300 200 100 0 0
50
100
150
200
waktu, menit Gambar Tes kebocoran alat uji adsorpsi pada tekanan tinggi
Hasil Kalibrasi Void Volume Area Sampling Void volume pada area sampling merupakan volume ruah yang ditempati gas di dalam area sampling termasuk volume kosong dari pori adsorben. Void volume
ditentukan dengan menggunakan gas Helium. Helium
bersifat inert
sehingga tidak berinteraksi dengan atom-atom pada permukaan adsorben. Helium memiliki diameter molekul yang kecil sehingga dapat mengisi ruang kosong dari pori adsorben sampai ukuran mikropori. Jumlah adsorben yang digunakan dapat mempengaruhi besarnya void volume. Semakin besar jumlah adsorben dalam sampling storage menyebabkan void volume semakin kecil. Pengukuran helium void volume dilakukan pada range tekanan dari uji adsorpsi, yaitu 0-300 psia. Dari hasil pengukuran pada beberapa tekanan, didapat rata-rata helium void volume. Helium void volume mewakili volume gas yang tidak teradsorpsi pada proses uji adsorpsi. Hasil perhitungan void volume tiap adsorben ditampilkan pada Tabel berikut. Perbedaan nilai void volume pada beberapa tekanan sampling relatif kecil, begitu juga oleh nilai standar deviasi, sehingga void volume rata-rata yang diperoleh cukup mewakili untuk dipakai dalam perhitungan banyaknya gas yang tidak teradsorpsi pada uji adsorpsi.
Universitas Indonesia
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Tabel Hasil Perhitungan Helium Void Volume
Zeolit alam tidak teraktifasi Tekanan, psia
149.8
174.89
199.79
257.15
He Void volume, ml
13.65
13.86
14.06
14.30
He Void volume rata-rata
13.97
Standar deviasi
0.27695
Zeolit alam teraktifasi Tekanan, psia
104.26
157.21
202.53
259.8
300.26
He Void volume, ml
14.24
14.14
14.10
14.12
14.15
He Void volume rata-rata
14.13
Standar deviasi
0.02797
Zeolit alam teraktifasi (400 nm) Tekanan, psia
163.17
185
237.33
258.32
274.87
He Void volume, ml
14.43
14.40
14.49
14.45
14.41
He Void volume rata-rata, ml
14.44
Standar deviasi
0.03625
Karbon aktif Tekanan, psia
163.17
185
237.33
258.32
274.87
He Void volume, ml
14.43
14.40
14.49
14.45
14.41
He Void volume rata-rata
14.44
Standar deviasi
0.03625
TiO2 Tekanan, psia
101.9
125.05
150.01
175.9
He Void volume, ml
14.83
14.81
14.83
14.86
He Void volume rata-rata
14.83
Standar deviasi
0.02002
Universitas Indonesia
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
LAMPIRAN C: KALIBRASI SENSOR
Universitas Indonesia
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Kalibrasi Rangkaian Micro Controller Pengukur Kepekatan Asap Proses kalibrasi dilakukan dengan tiga buah laser pointer dan tiga buah sensor cahaya yang telah ditempelkan pada dinding ruang uji berbahan akrilik. Proses kalibrasi diperlukan untuk mengetahui karakteristik daya tembus sinar dari laser pointer yang digunakan. Dengan begitu, nilai kepekatan asap atau opacity density (OD) dapat dicari dengan menggunakan variabel yang bersesuaian. Hal yang harus diperhatikan adalah posisi jatuhnya sinar laser pada sensor cahaya photodioda. Perbedaan letak jatuhnya sinar mempengaruhi hasil bacaan oleh sensor cahaya photodioda sehinggalaser pointerharus diatur dengan sangat berhati-hati, karena perubahan posisi selama proses pengambilan data akan mempengaruhi kualitas dari data yang dihasilkan. Adapun data yang terbaca pada komputer sudah dikonversi ke dalam data digital dengan bantuan micro controller yang digunakan, sehingga data yang dihasilkan bisa digunakan untuk menghitung nilai OD pada pengujian asap. Sesuai dengan persamaan (pada BAB 2), dalam menentukan nilai dari OD, dibutuhkan data perbandingan antara I/I0. Intensitas yang masuk ke sensor cahaya photodioda tanpa adanya penghalang (dalam hal ini yaitu kaca dengan nilai OD berbeda) dianggap sebagai I0 dan intensitas cahya yang masuk ke sensor cahaya photodioda dengan menggunakan penghalang dianggap sebagai I. Nilai I0 dan I didapat dari hasil kalibrasi. Sedangkan nilai OD didapat dari referensi kaca yang digunakan. Kemudian, dengan memplot nilai I/I0 dengan nilai OD dari kaca ke dalam software OriginPro8 bisa didapatkan persamaan matematika yang berupa persamaan eksponensial persamaan (1). Persamaan inilah yang akan digunakan untuk menjadi standar penggunaan alat saat mengukur OD dari asap.
y y0 A exp R0 x
(1)
Sensor Cahaya dan Sinar Laser Atas Untuk sensor cahaya dan sinar laser pada bagian atas, data digital yang
didapatkan adalah:
Universitas Indonesia
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
I0 14 13 13 13 14 14 14 14 13 14
Data I untuk Kaca dengan Nilai OD Berbeda 0.1 0.3 0.5 0.8 2 15 17 20 25 533 15 17 20 26 528 15 17 21 25 527 14 17 21 25 534 15 17 20 25 541 15 17 20 26 536 14 17 20 25 531 15 17 20 25 528 15 17 21 26 531 14 17 20 25 537
I dan I0 dirata-ratakan dari data di atas, sehingga didapatkan nilai I0/I untuk masing-masing OD yang berbeda. I0 13.6 I0/I
0.1 14.7 0.92517
Average 0.3 0.5 0.8 17 20.3 25.3 0.8 0.669951 0.537549
2 532.6 0.025535
Kemudian nilai I0/I diplot dengan nilai OD dari kaca ke dalam software OriginPro8 sehingga didapatkan nilai parameter persamaan (D.1). Adapun grafiknya bisa dilihat dari Gambar 1 di bawah ini:
Universitas Indonesia
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Gambar 1 Kurva kalibrasi sensor cahaya dan sinar laser atas
Dari kurva kalibrasi di atas, nilai y0, A, dan R0 didapatkan, sehingga rumus untuk mencari nilai OD adalah: x (ln y y0 / A / R0
(2)
dengan x adalah OD dan y adalah I0/I, maka Persamaan 4.2 menjadi: I OD (ln 0 1.033 / 2.01808 / 0.32214 I
(3)
Persamaan 3 hanya berlaku untuk perhitungan OD pada sensor cahaya dan sinar laser bagian atas.
Sensor Cahaya dan Sinar Laser Tengah Untuk sensor cahaya dan sinar laser pada bagian atas, data digital yang
didapatkan adalah: I0 14 14 15 14 14 15 14 14 14 14
Data I untuk Kaca dengan Nilai OD Berbeda 0.1 0.3 0.5 0.8 2 15 18 21 25 536 16 18 21 25 536 15 18 21 25 536 15 18 21 25 536 15 19 21 25 536 15 18 21 25 537 15 19 21 25 537 16 18 21 25 536 15 18 21 25 534 16 18 21 25 533
I dan I0 dirata-ratakan dari data di atas, sehingga didapatkan nilai I0/I untuk masing-masing OD yang berbeda. I0 14.2 I0/I
0.1 15.3 0.928105
Average 0.3 0.5 18.2 21 0.78022 0.67619
0.8 25 0.568
2 535.7 0.026507
Kemudian nilai I0/I diplot dengan nilai OD dari kaca ke dalam software OriginPro8 sehingga didapatkan nilai parameter Persamaan 1. Adapun grafiknya bisa dilihat dari Gambar 2 di bawah ini:
Universitas Indonesia
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Gambar 2 Kurva kalibrasi sensor cahaya dan sinar laser atas
Dari kurva kalibrasi di atas, nilai y0, A, dan R0 didapatkan, maka Persamaan 2 menjadi: I OD (ln 0 1.85497 / 2.82097 / 0.2019 I
(4)
Persamaan D.4 hanya berlaku untuk perhitungan OD pada sensor cahaya dan sinar laser bagian tengah.
Sensor Cahaya dan Sinar Laser Bawah Untuk sensor cahaya dan sinar laser pada bagian atas, data digital yang
didapatkan adalah:
Universitas Indonesia
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
I0 17 17 17 18 17 17 17 18 17 17
Data I untuk Kaca dengan Nilai OD Berbeda 0.1 0.3 0.5 0.8 2 19 22 25 31 747 19 22 24 32 747 19 21 25 32 724 19 22 25 32 719 19 22 24 32 733 19 22 25 32 752 19 22 25 32 736 19 21 24 32 721 19 21 24 32 721 19 21 25 32 737
I dan I0 dirata-ratakan dari data di atas, sehingga didapatkan nilai I0/I untuk masing-masing OD yang berbeda. I0 17.2 I0/I
0.1 19 0.905263
Average 0.3 0.5 0.8 21.6 24.6 31.9 0.796296 0.699187 0.539185
2 733.7 0.023443
Kemudian nilai I0/I diplot dengan nilai OD dari kaca ke dalam software OriginPro8 sehingga didapatkan nilai parameter Persamaan 1. Adapun grafiknya bisa dilihat dari Gambar 3 di bawah ini:
Gambar 3 Kurva kalibrasi sensor cahaya dan sinar laser atas
Universitas Indonesia
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Dari kurva kalibrasi di atas, nilai y0, A, dan R0 didapatkan, maka Persamaan 2 menjadi: I OD (ln 0 1.99716 / 2.95954 / 0.1909 I
(5)
Persamaan 5 hanya berlaku untuk perhitungan OD pada sensor cahaya dan sinar laser bagian bawah.
Universitas Indonesia
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
LAMPIRAN D: KARAKTERISASI BET
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
ACcom
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
ACZnCl2
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Zeolit Alam tidak teraktifasi
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Zeolit Alam teraktifasi
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
LAMPIRAN E: KARAKTERISASI SEM/EDAX
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
ACcom
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
ACZnCl2
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Zeolit Alam tidak teraktifasi
Zeolit Alam teraktifasi
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
LAMPIRAN E: HASIL ANALISA PSA
Universitas Indonesia
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
ACcom
Universitas Indonesia
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
AC ZnCl2
Universitas Indonesia
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Zeolit Alam
Universitas Indonesia
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
LAMPIRAN G: PUBLIKASI
Universitas Indonesia
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
ISSN 0852 - 0798
Terakreditasi: SK No.: 66b/DIKTI/KepI2011
Volume 14 Nomor 3 April 2013
Reaktor
Vol. 14
No.3
Hal. 173 - 254
Semarang April 2013
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
ISSN 0852-0798
ISSN 0852-0798
Terakreditasi: SK No.: 66b1DIKTIIKep/201 r
Volume 14 Nomor 3 April 2013
DAFTARISI Paddy Drying in Mixed Adsorption Dryer with Zeolite: Drying Rate and Time Estimation Mohamad Djaeni, Dewi Ayuningtyas, NuruJ Asiah, Hargono, Ratnawati, Wiratno, and Jumali
173-178
Performa Oksidasi Metao pada Reaktor Kontinyu dengan Peningkatan Ketebalan Lapisan Biocover Landfill Cpy Kurniasari, Tri Padmi, Edwan Kardena, dan Enri Damanhuri
179-186
Aktivitas Inulinase oleh Pichia Manshurica dan Fusan F4 pada Fermentasi Batch dengan Umbi Dahlia (Dahlia Sp) Sebagai Substrat Wijanarka, Endang Sutariningsih Soetarto, Kumata Dewi, dan Ari Indrianto
187-192
Upaya Peningkatan Mutu dan Efisiensi Proses Pengeringan Jagung Ddengan Mixed-Adsorption Dryer
193-198
Luqman Buchori, Mohamad Djaeni, dan Laeli Kurniasari
Friction Analysis on Scratch Deformation Modes of Visco·Elastic-Plastic Materials Budi Setiyana, Imam Syafaat, Jamari, and DikJoe Schipper
199-203
Penerapan Elektroosmosis Untuk Pengeringan Sludge dari Pengolaban Limbah Cair Darmawan, Dyah Tjahyandari Suryaningtyas, dan Juniska Muria Sariningpuri
204-210
Pengaruh Jenis Anoda pada Proses Pemulihan Logam Nikel dari Tiruan Air Limbah Electroplating Menggunakan SellElektrodeposisi Djaenudin, Mindriany Syafila, Edwan Kardena, dan Isdiriayani Nurdin
211-217
Penyerapan Gas CO Hasll Pembakaran Sampah Menggunakan Modifikasi Sorbent dalam Reaktor Fixed Bed Mariana. Farid Mulana, dan Purwana Satriyo
218-224
Pemilihan Adsorben Untuk Penyerapan Karbon Monoksida Menggunakan Model Adsorpsi lsotermis Langmuir Yuliusman, Widodo Wahyu Purwanto, dan Yulianto Sulistyo NUgboro
225-233
;
Pengaruh Katalis Co dan Fe Terhadap Karakteristik Carbon Nanotubes dari Gas Asetilena dengan Menggunakan Proses Catalytic Chemical Vapour Deposition (CCVD) Tutuk Djoko Kusworo, Desmile Yusufina, dan Atyaforsa
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
234-241
Reaktor, Vol. 14 No. 3, April 2013, Hal. 225-233
PEMILIHAN ADSORBEN UNTUK PENJERAPAN KARBON MONOKSIDA MENGGUNAKAN MODEL ADSORPSI ISOTERMIS LANGMUIR Yuliusman1), Widodo Wahyu Purwanto2), dan Yulianto Sulistyo Nughoro3) 1,2) 3)
Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Indonesia Departemen Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Indonesia Kampus UI Depok, Depok 16424 Telepon: 021-7863516, Fax: 021-7863515 *) Penulis korepondensi: [email protected]
Abstract ADSORBENT SELECTION FOR CO ADSORPTION USING LANGMUIR ISOTHERMIC ADSORPTION MODEL. The objective of this research is to choose the adsorbent that can be applied to decrease toxicity level and to purify fire smoke. In case of fire, toxicity level is high due to carbon monoxide. Adsorbent is chosen based on its ability to adsorb carbon monoxide using volumetric method in constant temperature. Materials to be tested are natural zeolite, active carbon, TiO2, CuO, MgO. Due to existence of organic and mineral polluters, natural zeolite needs to be activated prior to adsorption test using fluoride acid (HF), chloride acid (HCl), ammonium chloride (NH4Cl) and followed by calcination process. Result shows that activation of natural zeolite can increase Si/Al ratio and surface area. According to Langmuir adsorption model obtained, adsorption capacity of active carbon and natural zeolite are the highest. At 1 atmospheric pressure, adsorption capacity are 0.0682 mmol/g for active carbon, 0.0464 for activated natural zeolite with particle size of 400 nm, and 0.0265 mmol/g for activated natural zeolite with particle size of (37-50) μm. Keywords: activation; adsorbent; adsorption; carbon monoxide; natural zeolite
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk memilih adsorben yang dapat diaplikasikan untuk menurunkan tingkat racun dan menjernihkan asap kebakaran. Pada kasus kebakaran tingkat racun asap disebabkan tingginya kandungan karbon monoksida. Proses pemilihan adsorben dilihat pada kemampuan adsorben mengadsorpsi karbon monoksida, yang dilakukan dengan metode volumetrik pada temperatur konstan. Material yang diuji adalah zeolit alam, karbon aktif, TiO2, CuO, MgO. Zeolit alam banyak terdapat pengotor baik organik maupun mineral, oleh karena itu sebelum dilakukan uji adsorpsi, zeolit alam terlebih dahulu diaktifasi menggunakan larutan asam florida (HF), asam khlorida (HCl) dan larutan amonium khlorida (NH4Cl), dilanjutkan dengan proses kalsinasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktifasi zeolit alam dapat meningkatkan rasio Si/Al dan luas permukaan. Semua adsorben yang diuji mempunyai kemampuan mengadsorpsi karbon monoksida. Berdasarkan model adsorpsi Langmuir yang diperoleh, karbon aktif dan zeolit alam mempunyai kapasitas adsorpsi yang paling besar. Dengan menggunakan kondisi tekanan 1 atmosfir, kapasitas adsorpsi adalah 0,0682 mmol/g untuk karbon aktif, 0,0464 mmol/g untuk zeolit alam teraktifasi dengan ukuran partikel 400 nm dan 0,0265 mmol/g untuk zeolit alam teraktifasi dengan ukuran partikel (37-50) μm. Kata kunci: aktifasi; adsorben; adsorpsi; karbon monoksida, zeolit alam
PENDAHULUAN Kebakaran merupakan peristiwa terbakarnya material baik itu padat, cair atau gas dalam skala besar yang disertai terbentuknya asap, penyebaran nyala api yang tidak terkendali dan terprediksi.
Semakin banyak material yang terbakar maka akan semakin besar pula kemungkinan terjadinya pembentukkan asap dan penyebaran nyala api. Asap kebakaran mengandung senyawa yang berbahaya bagi kesehatan, diantaranya karbon monoksida (CO). 225
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Pemilihan Adsorben untuk Penjerapan ... Karbon monoksida adalah polutan yang sangat berbahaya karena karakteristiknya yang tidak berwarna, tidak berbau dan tidak berasa. Konsentrasi karbon monoksida 1600 ppm dalam waktu 20 menit dapat menyebabkan sakit kepala, kontraksi jantung cepat, pusing dan mual, dalam waktu 2 jam dapat menyebabkan kematian (Hull, 2007). Pada kasus kebakaran banyak korban meninggal karena terhirup dan terinfeksi oleh karbon monoksida (Wang dkk., 2007). Usaha pencegahan timbulnya kebakaran dan mengurangi resiko keracunan asap kebakaran sangat diperlukan. Salah satu usaha untuk menguragi resiko keracunan asap kebakaran adalah mengadsorpsi karbon monoksida. Proses adsorpsi adalah peristiwa tertariknya suatu molekul tertentu dari fluida (cair atau gas) pada permukaan zat padat (adsorben). Ada 2 jenis adsorpsi yaitu adsopsi fisika dan kimia. Adsorpsi fisika terjadi karena adanya gaya Van der Waals antara adsorbat dengan permukaan adsorben. Adsorpsi fisika ikatannya relatif lemah, bersifat reversibel dan dapat membentuk lapisan multilayer. Adsorpsi kimia terjadi karena terbentuk ikatan kovalen atau ion antara adsorbat dengan adsorben. Adsorpsi kimia ikatannya kuat, tidak reversibel dan membentuk lapisan monolayer (Maron dan Lando, 1988). Adsorpsi bisa terjadi pada suhu tetap disebut adsorpsi isotermis. Persamaan matematika pertama untuk kondisi isotermis diberikan oleh Freundlich dan Küster, dapat dilihat pada persamaan berikut ini, 𝑥𝑥
𝑚𝑚
1
= 𝑘𝑘𝑘𝑘 𝑛𝑛
(1)
Model adsorpsi isotermis yang paling sederhana untuk adsorpsi monolayer adalah model Langmuir. Model Langmuir pertama kali dikembangkan untuk menunjukkan adsorpsi kimia. Persamaan umum yang digunakan pada model Langmuir adalah sebagai berikut (Yang, 1987), 𝜃𝜃 =
𝑛𝑛 𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔 𝑛𝑛 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚
=
𝑛𝑛𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔 = 𝑛𝑛𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚
𝑏𝑏𝑏𝑏
(2)
1+𝑏𝑏𝑏𝑏
𝑏𝑏𝑏𝑏
1+𝑏𝑏𝑏𝑏
(3)
Pada tekanan rendah, persamaan 3 dapat disederhanakan menjadi bentuk linier mengikuti hukum Henry’s sebagai berikut,
(Yuliusman dkk.) 𝜃𝜃 = 𝑏𝑏𝑏𝑏 (4) Proses adsorpsi fluida terjadi pada permukaan adsorben. Zeolit dan oksida logam merupakan adsorben yang potensial untuk mengadsorpsi karbon monoksida. Pemanfaatan zeolit sebagai adsorben sudah banyak digunakan pada industri, pertanian, dan lingkungan. Tabel 1 menunjukkan selektivitas adsorbat terhadap beberapa jenis zeolit. Dari Tabel 1 terlihat bahwa zeolit jenis mordenite dan clinoptilolite dapat digunakan untuk mengadsorpsi karbon monoksida. Jenis zeolit alam Indonesia umumnya jenis mordenite dan clinoptilolite (Trisunaryanti dkk., 2005). Kemampuan zeolit mengadsorpsi karbon monoksida sangat bergantung pada rasio Si/Al. Rasio Si/Al rendah, zeolit bersifat hydrophilic mempunyai afinitas tinggi terhadap air dan senyawa polar lainnya. Sebaliknya jika rasio Si/Al tinggi, maka zeolit bersifat hydrophobic dan mengadsorpsi senyawa non-polar. Kepolaran karbon monoksida relatif kecil dibandingkan uap air. Agar zeolit efektif mengadsorpsi karbon monoksida dibandingkan uap air, zeolit harus bersifat hydrophobic. Transisi dari sifat hydrophilic menjadi hydrophobic pada rasio Si/Al antara 8 hingga 10. Penelitian adsorpsi karbon monoksida belum banyak dilakukan. German dan Moshe (2008) meneliti secara teori kinetika adsopsi dan desorpsi CO pada bidang (111) logam transisi ruthenium, iridium, palladium, rhodium, dan platinum. Pada dasarnya penelitian ini melihat fungsi logam sebagai katalis. Hasilnya menunjukkan bahwa energi adsorpsi CO oleh rhodium dan iridium relatif lebih besar dibandingkan logam yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa logam rhodium dan iridium mempunyai kemampuan mengadsorpsi CO lebih besar dibanding logam lain. Ranjan dkk. (2007) mempelajari efek elektronik adsorpsi kimia CO pada permukaan Pt-Pb. Hasilnya menunjukkan bahwa donasi elektron dari atom Pb ke atom Pt memainkan peran penting dalam membedakan kemisorpsi pada permukaan tersebut. Semakin tinggi energi ikatan permukaan Pt-Pb relatif terhadap permukaan Pt (111), menyebabkan interaksi Pt-adsorbat menjadi lemah.
Tabel 1. Selektivitas Adsorbat terhadap Jenis Zeolit (Ackley dkk., 2003) Jenis Zeolit Chabazite Clinoptilolite Erionite Ferrierite Mordenite Phillipsite
Aplikasi Prapurifikasi udara Prapurifikiasi udara Separasi udara Purifikasi gas alam, batubara, biogas Purifikasi gas Purifikasi gas alam, batubara, biogas
Gas Sedikit Diadsorpsi Udara (N2 dan O2) Udara (N2 dan O2) O2 CH4, C2’s, C3’s
Gas Banyak Diadsorpsi CO2 CO2, CO, NO N2 NH3
H2, He, Ne, Kr, Xe
H2O, CO, CO2, CH4
CH4, C2’s, C3’s
NH3
226 Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Peneliti Tomoki (1988) Tezel (1995) Honan (1974) Hayhurst (1978) Nishizawa (1984) Kirov (1992)
Reaktor, Vol. 14 No. 3, April 2013, Hal. 225-233 Mulukutla dkk. (2007) menguji oksida dan hiroksida logam Mg, Sr, Ba, Ca, Ti, Zr, Fe, V, Mn, Ni, Cu, Al, Si, Zn, Ag, Mo, Sb, karbonat/bikarbonat logam Na, Al, Mg dan Ca. Asap yang diuji dibuat dari bahan yang dibakar seperti: kertas, minyak diesel, jet mill, dan glikol. TiO2, MgO dan Al2O3 mempunyai kemampuan mengadsorpsi asap lebih baik dibandingkan adsorben yang lain. Yadav dkk. (2007) melakukan penelitian penjerapan asap glikol. Adsorben yang diuji adalah TiO2, MgO, MgO plus, NaHCO3, Ca(OH)2. TiO2 dan MgO mempunyai kemampuan penjerapan asap lebih baik dibandingkan yang lain. Semakin kecil ukuran partikel sampai pada ukuran tertentu semakin baik kinerja oksida logam. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan adsorben yang mempunyai kemampuan mengadsorpsi karbon monoksida. Adsorben dengan kapasitas adsorpsi paling besar akan digunakan untuk mengadsorpsi karbon monoksida dan penjernihan asap. METODE PENELITIAN Bahan Bahan yang digunakan sebagai adsorben adalah zeolit alam, MgO (Merck), CuO (Merck) dan TiO2 (Merck). Bahan untuk aktifasi zeolit alam adalah HF 2% (Merck), HCl 6 M (Merck), NH4Cl 0,1 M (Merck) dan demineralized water. Adsorbat yang digunakan untuk uji adsorpsi adalah karbon monoksida (99,99%). Uji kebocoran dan volume void menggunakan Helium (99,99%). Aktifasi Zeolit Alam Aktifasi hanya dilakukan pada zeolit alam, sedangkan adsorben lain langsung dilakukan uji adsorpsi. Aktifasi yang dilakukan adalah merendam zeolit dalam larutan HF 2% selama 10 menit disertai pengadukan menggunakan pengaduk magnetik. Kemudian merendam zeolit dalam larutan HCl 6 M dan diaduk selama 30 menit. Selanjutnya merendam zeolit dalam larutan NH4Cl 0,1 M selama 5 hari dan diaduk tiap 3 jam. Kemudian zeolit dikalsinasi dalam furnace pada suhu 500°C selama 5 jam. Kemudian
zeolit dihaluskan untuk mendapatkan ukuran partikel (37-50) μm. Penghalusan untuk mendapatkan ukuran 400 nm menggunakan alat ball mil, dilakukan di Nanotech Indonesia Inspection & Laboratorium Testing, BPPT Puspitek, Serpong-Tangerang. Karakterisasi Karakterisasi zeolit alam meliputi penentuan komposisi kimiawi menggunakan XRF (X-Ray Flouressence). Pengukuran luas luas permukaan dilakukan untuk semua adsorben menggunakan metode BET (Autosorb-6 Quantacrome). Uji Adsorpsi Skema alat Skema alat uji adsorpsi dapat dilihat pada Gambar 1. Sebelum dimasukkan ke sampling cylinder, adsorben dikeringkan di dalam oven pada suhu 1200C selama 1 jam. Uji adsorpsi dimulai dengan memasukkan adsorben seberat 2 gram ke dalam sampling cylinder. Alat dipanaskan pada suhu 50oC untuk menghilangkan kandungan uap air yang masih terdapat dalam adsorben, dibantu dengan pompa vakum. Kemudian dilanjutkan dengan uji kebocoran, menentukan volume kekosongan (volume void) dan adsorpsi CO. Uji kebocoran Uji kebocoran dilakukan dengan memasukkan helium (He) ke dalam alat adsorpsi sampai tekanan 630 psi, kemudian diamati perubahan tekanan selama 3 jam. Jika tidak ada perubahan tekanan maka proses pengukuran volume void dan uji adsorpsi dapat dilakukan. Volume void Volume void pada sampling cylinder diperoleh dengan cara mengalirkan helium ke dozing cylinder dicatat temperatur (Ti) dan tekanan (Pi). Jumlah mol He awal (n) pada dozing cylinder dihitung berdasarkan persamaan 5. Kemudian helium dialirkan dari dozing cylinder ke sampling cylinder, dicatat temperatur (Tf) dan tekanan (Pf).
Gambar 1. Skema alat uji adsorpsi 227 Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Pemilihan Adsorben untuk Penjerapan ...
𝑛𝑛𝑖𝑖 = �
𝑛𝑛 =
𝑃𝑃 𝑖𝑖
𝑧𝑧 𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻 𝑅𝑅𝑇𝑇𝑖𝑖
𝑃𝑃 𝑖𝑖 𝑉𝑉 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐 𝑍𝑍𝐻𝐻𝐻𝐻 i 𝑅𝑅𝑇𝑇𝑖𝑖
−
𝑃𝑃 𝑓𝑓
𝑧𝑧 𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻 𝑅𝑅𝑇𝑇𝑓𝑓
𝑉𝑉𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣 =
(5)
� 𝑉𝑉𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑
𝑛𝑛 𝑖𝑖 𝑧𝑧 𝐻𝐻𝐻𝐻 𝑅𝑅𝑇𝑇𝑓𝑓
𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐
𝑃𝑃 𝑠𝑠𝑠𝑠
(6)
𝑠𝑠𝑠𝑠
=�
𝑃𝑃 𝑖𝑖
𝑧𝑧 𝐶𝐶𝐶𝐶 ,𝑖𝑖 𝑅𝑅𝑇𝑇𝑖𝑖
−�
𝑃𝑃 𝑖𝑖
𝑧𝑧 𝐶𝐶𝐶𝐶 ,𝑖𝑖 𝑅𝑅𝑇𝑇𝑖𝑖
𝑃𝑃 𝑓𝑓 𝑉𝑉 𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣
𝑧𝑧 𝐶𝐶𝐶𝐶 ,𝑓𝑓 𝑅𝑅𝑇𝑇𝑓𝑓
�
10
12.81 7.55
7.52
8.51
9.43
5 0
𝑃𝑃 𝑓𝑓
−
𝑧𝑧 𝐶𝐶𝐶𝐶 ,𝑓𝑓 𝑅𝑅𝑇𝑇𝑓𝑓
� 𝑉𝑉𝑑𝑑𝑑𝑑
−
𝑧𝑧 𝐶𝐶𝐶𝐶 ,𝑓𝑓 𝑅𝑅𝑇𝑇𝑓𝑓
(8)
Jumlah mol CO yang teradsorpsi oleh adsorben pada sampling cylinder dihitung berdasarkan jumlah mol CO yang masuk sampling cylinder dikurang dengan mol CO yang tidak teradsorpsi (persamaan 10). 𝑛𝑛𝐶𝐶𝐶𝐶 𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 = 𝑛𝑛𝐶𝐶𝐶𝐶 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑠𝑠𝑠𝑠 − 𝑛𝑛𝐶𝐶𝐶𝐶 𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 (9) 𝑛𝑛𝐶𝐶𝐶𝐶 𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 = ��
15
(7)
Adsorpsi karbon monoksida Proses adsorpsi dilakukan dengan mengalirkan CO ke dalam dozing cylinder sampai tekanan yang diinginkan, mencatat temperatur (Ti) dan tekanan (Pi) CO di dozing cylinder. Kemudian mengalirkan CO ke sampling cylinder secara bertahap dengan interval tekanan sekitar 50 psi, sampai tekanan pada sampling cylinder sekitar 350 psi. Setiap tahap dicatat temperatur (Tf) dan tekanan (Pf) pada dozing cylinder, tekanan akhir sampling cylinder (Psf) dicatat setelah 30 menit gas masuk sampling cylinder. Jumlah mol CO yang masuk sampling cylinder (sc) dihitung dari pengurangan mol CO pada dozing cylinder (dc) menggunakan persamaan 8. 𝑛𝑛𝐶𝐶𝐶𝐶 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚
2% berfungsi melarutkan oksida pengotor bukan sebagai pelarutan oksida aluminium.
Rasio, Si/Al
Jumlah mol He yang masuk pada sampling cylinder (ni) merupakan pengurangan mol He pada dozing cylinder (persamaan 6). Volume void pada sampling cylinder dapat dihitung dengan persamaan 7. Volume pada persamaan 5, 6 dan 7 sudah termasuk volume pipa penghubung.
(Yuliusman dkk.)
𝑃𝑃 𝑓𝑓
� 𝑉𝑉𝑑𝑑𝑑𝑑 �
(10)
𝑠𝑠𝑠𝑠
Pengolahan data membuat kurva adsorpsi CO oleh adsorben, dengan cara menghubungkan jumlah mol CO yang teradsorpsi per gram adsorben terhadap tekanan sampling cylinder. Dari jumlah mol yang teradsorpsi dibuat model adsorpsi Langmuir menggunakan persamaan 2. Dengan bantuan program Solver Microsoft Excel, konstanta adsorpsi model Langmuir b dan kapasitas adsorpsi maksimum (nmaks) akan didapat. Nilai b dan nmaks dapat diterima jika nilai % AAD (absolute average deviation) < 10%. %. AAD adalah deviasi rata mutlak dari jumlah mol adsorpsi Gibbs eksperimen (neksp) terhadap jumlah mol adsorpsi Gibbs model (nmodel). HASIL DAN PEMBAHASAN Rasio Si/Al Pengaruh aktifasi terhadap rasio Si/Al pada zeolit dilihat pada Gambar 2. Perlakuan perendaman zeolit dengan HF 2% tidak menyebabkan perubahan rasio Si/Al. Hal ini dapat terjadi karena larutan HF
Gambar 2. Pengaruh perlakuan aktifasi terhadap rasio Si/Al Proses aktifasi menggunakan larutan HCl 6 M, dapat meningkatkan rasio Si/Al dari 7,52 menjadi 8,51. Larutan HCl 6 M dapat melarutkan oksida aluminium (AlO4)5- dengan membuka pori-pori zeolit menjadi berukuran pori lebih besar sehingga oksida aluminium akan keluar dari struktur zeolit. Proses aktifasi menggunakan larutan NH4Cl 0,1 M terjadi peningkatan rasio Si/Al sangat besar dari 8,51 menjadi 12,81. Hal ini dimungkinkan pada saat proses dealuminasi menggunakan HCl masih banyak oksida aluminium sudah lepas dari struktur Kristal tetapi masih tertinggal dalam pori zeolit. Perendaman dengan NH4Cl selama 5 hari dan diaduk dapat mendorong alumina keluar dari pori zeolit. Proses kalsinasi pada temperatur 500oC terjadi kembali penurunan rasio Si/Al dari 12,81 menjadi 9,43. Proses kalsinasi dapat juga merusak struktur yang bukan kristal (amorf) sehingga rasio Si/Al menurun. Komposisi Unsur Lain Unsur lain yang terdapat dalam zeolit alam adalah Cl, K, Ca, Ti, Fe, Ni, Zn, Pb dan Sr. Unsur tersebut bersifat pengotor yang dapat menutupi pori sehingga menurunkan kapasitas adsorpsi zeolit. Komposisi unsur tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini. Secara umum, setiap tahap aktifasi dapat menurunkan unsur pengotor dalam hal ini oksida logam. Tidak semua oksida logam dapat dilarutkan pada proses aktifasi, yang dapat dilarutkan kalium 45%, kalsium 63% dan besi 45%. Perendaman dengan NH4Cl selama 5 hari dan diaduk sangat membantu membersihkan pori zeolit dari pengotor. Pengotor lain yang terdapat pada zeolit alam adalah oksida Ni, Zn dan Pb. Ketiga oksida logam ini dapat langsung terlarut pada proses perendaman dengan larutan HF 2%.
228 Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Reaktor, Vol. 14 No. 3, April 2013, Hal. 225-233 Tabel 2. Kandungan logam pada zeolit pada berbagai perlakuan aktifasi Persen Berat (%) Cl 0 0 4,208 0 0
Zeolit alam asli Zeolit HF 2% Zeolit HCl 6M Zeolit NH4Cl Zeolit kalsinasi
K 7,113 6,413 4,465 3,89 3,89
Luas permukaan, m2/g
Luas Permukaan dan Diameter Rata-Rata Pori Gambar 3 menunjukkan luas permukaan adsorben yang diuji pada penelitian ini. Dari Gambar 3 terlihat bahwa karbon aktif mempunyai luas permukaan yang paling besar 141 m2/g, MgO 35 m2/g, TiO dan CuO mempunyai luas permukaan sangat kecil, dapat dikatakan tidak berpori. Luas permukaan adsorben oksida logam sangat bervariasi dari 20-600 m2/g (Mulukutla dkk., 2007) dan permukaan karbon aktif bisa mencapai > 3000 m2/g (Yang, 1987). Luas permukaan adsorben sangat dipegaruhi oleh proses pembuatan dan aktifisi. Pada penelitian ini oksida logam yang digunakan tidak melalui aktifasi, sehingga luas permukaannya masih sangat kecil. 150 120 90 60 30 0
141.2 70.95 46.13
Ca 6,243 5,123 3,708 1,989 2,332
Ti 0,667 0,347 0,323 0,357 0,305
Fe 5,522 4,235 3,739 2,809 3,038
Ni, Zn dan Pb 1,389 0 0 0 0
Proses adsorpsi juga bergantung pada diameter rata-rata pori adsorben. Diameter rata-rata pori adsorben ditunjukkan pada Gambar 4. Pada Gambar 4 terlihat bahwa diameter rata-rata pori adsorben jauh lebih besar dibandingkan dengan diameter CO (3,590oA). Artinya bahwa pori adsorben bisa dilewati oleh CO. 120 100 80 60 40 20 0
Diameter pori (oA)
Zeolit
110.9
106.8 73.14
77.5
88.3
11.4
35.6 7.36 2.02
Gambar 4. Diameter rata-rata pori adsorben
Gambar 3. Luas permukaan adsorben Gambar 3 juga menunjukkan bahwa luas permukaan zeolit yang telah diaktifasi meningkat dari 46,13 m2/g menjadi 70,95 m2/g. Setiap tahapan aktifasi memungkinkan terjadinya penghilangan pengotor yang terdapat dalam pori zeolit, sehingga dapat meningkatkan luas permukaan. Penambahan larutan NH4Cl pada proses aktifasi dapat melarutkan senyawa pengotor yang masih terdapat dalam zeolit dan membersihkan pengotor pada permukaan zeolit yang terbentuk selama proses dealuminasi. Proses kalsinasi pada temperatur 500oC dapat memperbaiki struktur kristal zeolit, menguapkan molekul air dan senyawa organik yang terikat pada struktur zeolit, sehingga dapat membuka pori dan meningkatkan luas permukaan. Proses aktifasi zeolit alam pada penelitian ini belum meningkatkan luas permukaan secara signifikan. Hal ini dimungkinkan karena tidak semua oksida logam dapat dilarutkan, sehingga dapat dapat menutup pori dan menurunkan luas permukaan.
Adsorpsi Karbon Monoksida oleh Zeolit Alam Molekul CO pada permukaan zeolit terikat dengan Al yang berikatan koordinasi-3 dengan atom oksigen. Banyaknya CO yang teradsorpsi pada zeolit direpresentasikan dalam bentuk mol adsorpsi Gibbs (ngibbs). Gambar 5 menunjukkan pengaruh tekanan terhadap jumlah CO teradsorpi oleh zeolit alam yang belum teraktifasi, zeolit alam teraktifasi dan zeolit alam teraktifasi dengan ukuran partikel 400 nm. Semakin tinggi tekanan gas maka semakin banyak CO yang berdifusi masuk ke dalam pori zeolit untuk berinteraksi dengan atom permukaan zeolit, sehingga jumlah CO yang teradsorpsi akan semakin besar. Dengan struktur yang berpori dan sifat permukaannya menyebabkan zeolit alam mampu mengasorpsi gas CO. Pada zeolit alam yang belum terakstifasi, jumlah CO yang teradsorpsi relatif kecil dibandingkan kapasitas adsorpsi CO oleh zeolit alam teraktifasi dan zeolit alam teraktifasi ukuran partikel 400 nm. Hal ini ditunjukkan juga oleh Tabel 3, zeolit alam yang belum diaktifasi mempunyai nilai konstanta adsorpsi model Langmuir nmax dan nilai b paling kecil. Kemampuan adsorpsi yang kecil ini disebabkan zeolit alam yang belum diaktifasi masih banyak pengotor yang menutupi permukaan aktif dan pori sehingga mengurangi luas (Gambar 3). 229
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Pemilihan Adsorben untuk Penjerapan ...
(Yuliusman dkk.)
0.5 Zeolit alam Zeolit alam model Zeolit alam teraktifasi Zeolit alam teraktifasi model Zeolit alam teraktifasi ukuran 400 nm
n gibs, mmol/g
0.4 0.3 0.2 0.1 0 0
50
100
150
200
250
300
350
tekanan, psi Gambar 5. Pengaruh tekanan CO terhadap kapasitas adsorpsi zeolit alam Gambar 5 juga memperlihatkan profil kurva adsorpsi eksperimen mendekati kurva adsopsi model. Hal ini menunjukkan bahwa data eksperimen dapat diterima, dipertegas oleh nilai deviasi rata-rata yang kecil pada Tabel 3. Tabel 3. Nilai nmaks dan b zeolit alam Adsorben Zeolit alam Zeolit alam teraktifasi Zeolit alam teraktifasi (400 nm)
nmaks (mmol/g) 0,09371 0,36648 0,36310
b
% AAD
0,03613 0,00531 0,00997
2,93 4,44 3,75
Kapasitas adsorpsi pada zeolit alam teraktifasi jauh lebih besar dibandingkan dengan zeolit alam yang belum teraktifasi. Hal ini ditunjukkan oleh konstanta nmax yang dimiliki oleh zeolit alam teraktifasi 4 kali lebih besar dibandingkan zeolit alam tidak teraktifasi. Proses adsorpsi adalah suatu proses penjerapan suatu fasa (gas atau cair) pada permukaan adsorben yang berupa padatan. Hal ini terjadi karena adanya ketidakseimbangan gaya-gaya molekul pada zat padat, yang cenderung menarik molekul lain yang bersentuhan pada permukaannya. Jumlah berpori dan luas permukaan meningkat dapat menyebabkan ketidakseimbangan gaya-gaya molekul pada adsorben dan meningkatkan kemampuan adsorpsi. Peningkatan kapasitas adsorpsi zeolit alam teraktifasi, dimungkinkan karena meningkatnya luas permukaan. Proses aktifasi dapat membersihkan pengotor, baik pengotor organik maupun mineral, sehingga meningkatkan luas permukaan, maka molekul CO yang teradsorpsi akan semakin meningkat. Luas permukaan zeolit alam teraktifasi meningkat dari 46,13 m2/g menjadi 70,95 m2/g. Peningkatan kapasitas adsorpsi zeolit alam teraktifasi dapat juga disebabkan karena meningkatnya rasio Si/Al. Rasio Si/Al meningkat maka zeolit lebih bersifat hydrophobic, lebih suka terhadap molekul non polar seperti CO. Sifat hydrophobic zeolit dapat juga meningkat karena terjadi pertukaran kation selama
proses aktifasi. Aktifasi dengan larutan NH4Cl menyebabkan pertukaran kation logam dengan H+. Zeolit dengan kation H+ lebih bersifat hydrophopic dibandingkan kation logam, sehingga dapat meningkatkan adsorpsi terhadap CO. Gambar 5 juga menunjukkan pengaruh ukuran partikel zeolit terhadap kapasitas adsorpsi. Perubahan ukuran partikel zeolit dari (37-50) μm menjadi 400 nm, belum memberikan peningkatan secara signifikan terhadap kapasitas adsorpsi CO. Pengaruh ukuran partikel terhadap kapasitas adsorpsi akan terlihat jika adsorben ditaburkan, karena ada aspek gravitasi. Semakin kecil partikel maka kontak adsorben dan adsorbat akan semakin lama, sehingga kapasitas adsorpsi akan meningkat. Adsorpsi Karbon Monoksida oleh Karbon Aktif, TiO2, CuO dan MgO Adsorpsi CO oleh carbon aktif, TiO2, CuO dan MgO dapat dilihat pada Gambar 6. Pada Gambar 6 terlihat juga bahwa profil kurva adsorpi eksperimen mendekati kurva adsopsi model dengan nilai %AAD < 5%. Kurva adsorpsi karbon aktif jauh di atas TiO2, CuO dan MgO, dapat dikatakan bahwa karbon aktif mempunyai kapasitas adsorpsi (ngibbs) paling besar. Jika dibandingkan konstanta adsorpsi Langmuir nilai nmax karbon aktif > MgO > TiO2 > CuO. Nilai nmax karbon aktif 10 kali dibandingkan nilai nmax MgO. Jika dibandingkan dengan zeolit alam teraktifasi, nilai nmax karbon aktif 5 kali lebih besar dibandingkan dengan nmax zeolit alam teraktifasi. Nilai nonstanta adsorpsi Langmuir dapat dilihat pada Tabel 4. Kapasitas adsorpsi karbon aktif yang tinggi disebabkan karena karbon aktif mempunyai luas permukaan yang paling besar, yaitu 141,2 m2/g. Sementara itu luas permukaan MgO, TiO2 dan CuO berturut-turut 35,6, 7,36 dan 2,02 m2/g. CO adalah salah satu gas yang bersifat hydrophobic, maka akan lebih mudah diadsorpsi oleh permukaan hydrophobic. Kapasitas adsorpsi karbon aktif dapat juga disebabkan permukaan karbon aktif bersifat hyrophobic.
230 Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Reaktor, Vol. 14 No. 3, April 2013, Hal. 225-233 1 Karbon aktif TiO2 CuO MgO
n gibbs, mmol/g
0.8
Karbon aktif model TiO2 model CuO model MgO model
0.6 0.4 0.2 0 0
50
100
150 200 250 300 tekanan, psi Gambar 6. Pengaruh tekanan CO terhadap kapasitas adsorpsi karbon aktif dan oksida logam Luas permukaan MgO pada penelitian ini 35,6 m2/g, sangat kecil dibandingkan dengan peneliti terdahulu 600 m2/g (Mulukutla, 2007). Hal ini menunjukkan adanya struktur yang rusak pada MgO yang digunakan. Fenomena yang sama ditemukan pada adsorben TiO2 dan CuO. Kapasitas adsorpsi kedua adsorben tersebut sangat rendah karena luas permukaan rendah. Hal ini dimungkinkan karena terdapat kerusakan pada struktur dan pengotor.
Tabel 4. Nilai nmaks dan b karbon aktif dan oksida logam Adsorben Karbon aktif TiO2 CuO MgO
nmaks (mmol/g) 1,58827 0,15451 0,04269 0,34968
b
% AAD
0,00305 0,00467 0,05033 0,00762
1,73 3,04 3,24 4,39
Pada fenomena adsorpsi CO oleh MgO, jika dibandingakan luas permukaan MgO setengahnya zeolit alam teraktifasi, tetapi kapasitas adsorpsi hanya sedikit di bawah zeolit alam teraktifasi. Karbon monoksida (CO) teradsorpsi pada permukaan MgO (001) adalah adsorpsi fisika (Xu dkk., 2003). Kemampuan adsorpi MgO sangat bergantung pada struktur MgO dan pengotor. Kerusakan struktur dan pengotor pada MgO dapat mengubah interaksi antara MgO (001) dan CO secara signifikan. Hal ini dapat menurunkan luas permukaan dan menurunkan kemampuan adsorpsi MgO. Proses mempersiapkan permukaan MgO (001) yang bebas kerusakan struktur dan pengotor adalah proses yang sangat sulit.
Pemilihan Adsorben Pemilihan adsorben yang akan digunakan untuk adsorpsi CO dan penjernihan asap pada kasus kebakaran berdasarkan pada kapasitas adsorpsi masing-masing adsorben. Diantara adsorben yang diuji, karbon aktif memiliki kapasitas adsorpsi paling besar, kemudian diikuti zeolit alam teraktifasi. Karena pada kasus kebakaran proses adsorpsi terjadi pada tekanan 1 atm, maka kapasitas adsorpsi dihitung menggunakan model adsorpsi Langmuir dengan memasukan tekanan 1 atm.
4. Karbon aktif 5. TiO2 6. CuO 7. MgO
0.0681
ngibbs, mmol/g
0.07 0.06
0.0464
0.05
0.0352
0.04
0.0265
0.03
0.0182
0.02 0.01
0.0099
0.0047
0.00 1
2
3
4
5
6
7
Gambar 7. Kapasitas adsorpsi adsorben berdasarkan persamaan model Langmuir dan tekanan atmosfir 231 Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Pemilihan Adsorben untuk Penjerapan ... Gambar 7 menunjukkan bahwa karbon aktif memiliki kapasitas adsorpsi yang paling besar diikuti oleh zeolit alam teraktifasi 400 nm dan zeolit alam teraktifasi (37-50 μm) dengan kapasitas adsorpsi masing-masing 0,0682, 0,0464, 0,00265 mmol/g sampel. Adsorben yang dipilih untuk adsorpsi CO dan penjernihan asap pada kasus kebakaran adalah karbon aktif dan zeolit alam teraktifasi. KESIMPULAN Dari penelitian yang dilakukan dan data yang diperoleh dapat ditarik kesimpulan bahwa preparasi zeolit alam dapat meningkatkan luas permukaan dari 46,13 m2/g menjadi 70,95 m2/g dan meningkatkan perbandingan Si/Al dari 7,55 menjadi 9,43. Luas permukaan berturut-turut karbon aktif, TiO2, CuO dan MgO adalah 141,2 m2/g, 7,36 m2/g, 2,02 m2/g dan 35,6 m2/g. Proses aktifasi zeolit alam dapat meningkatkan kapasitas adsorpsi zeolit alam tehadap molekul CO pada kondisi atmosfir sebesar 0,0047 mmol/g sampel menjadi 0,0265 mmol/g sampel. Nilai (ngibbs) berturut-turut karbon aktif, zeolit alam 400nm, MgO, zeolit alam teraktifasi, CuO, TiO2 dan zeolit alam tanpa aktifasi adalah 0,0682, 0,0464, 0,0352, 0,0265, 0,0182, 0,0099 dan 0,0047 mmol/g. Karbon aktif dan zeolit alam teraktifasi dipilih karena mempunyai ngibbs yang besar. DAFTAR NOTASI b konstanta adsorpsi Langmuir dc dozing cylinder f keadaan akhir i keadaan awal k konstanta persamaan Freundlich m massa adsorben (g) n mol adsorbat konstanta empiris pada persamaan Freundlich 𝑛𝑛𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔 mol adsorbat teradsorpsi per satuan massa adsorben (mol/g) 𝑛𝑛𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 maksimum gas teradsopsi per satuan massa adsorben (mol/g) P tekanan (psi) R konstanta gas 669,954 (psi cm3)/(mol.˚R) sc sampling cylinder sf keadaan akhir sampling cylinder T temperatur (˚R) V volume silinder (ml) Vvoid volume kekosongan (ml) x mol adsorbat Z kompresibilitas gas θ fraksi luas permukaan yang tertutup oleh lapisan monolayer DAFTAR PUSTAKA Ackley, M.W., Rege, S.U., and Himanshu, S., (2003), Application of Natural Zeolites in the purification and Separation of Gases, Microporous and Mesoporous Materials Journal, 61, pp. 25-42.
(Yuliusman dkk.) Galabova, I.M., Sheppard, R.A., and Haralampiev, G.A., (1997), Natural Zeolites, in Kirov, G., Filizova, L., and Petrov, O., (Ed.), Proceedings of the Sofia Zeolite Meeting 95, Pensoft, Sofia, pp. 153-160. German, E.D. and Moshe, S., (2008), Comparative Theoretical Study of CO Adsorption and Desorption Kinetics on (111) Surfaces of Transition Metals, Phys. Chem. 112, pp. 14377-14384. Hayhurst, D.T., (1978), The Potential Use of Natural Zeolites for Ammonia Removal During CoalGasification, in L.B. Sand, F.A. Mumpton (Ed.), Natural Zeolites: Occurrence, Properties, Use, Pergamon Press, Oxford, pp. 503-508. Hull, T.R. and Keith, T.P., (2007), Bench-Scale Assessment of Combustion Toxicity - A Critical Analysis of Current Protocols, Fire Safety Journal, 42, pp. 340-365. Kim, Y.D., Stultz, J., and Goodman, D.W., (2002), Characterization of MgO(100) Thin Film Growth on Mo(100), Surface Science, Elsevier, 506, pp. 228234. Maron, S.H. and Lando, J., (1988), Fundamentals of Physical Chemistry, Macmillan Publishing Co. Inc, New York. Mulukutla, R.S., Paul, S.M., Ronaldo, M., John, S.K., Kennet, J.K., and Olga, K., (2007), Metal Oxide Nanoparticles for Smoke Clearing and Fire Suppression, U.S. Patent No. 7,276,640. Nishizawa, J., Suzuki, R., and Aizawa, K., (1984), Adsorption by Zeolite Composition, U.S. Patent 4,425,143. Ranjan, C., Roald, H., Francis, J.D., and Hector, D.A., (2007), Electronic Effects in CO Chemisorption on Pt−Pb Intermetallic Surfaces: A Theoretical Study. J. Phys. Chem., 111 (46), pp. 17357-17369. Tomoki, I., Okugawa, Y., and Yasuda, M., (1988), Relationship between properties of Various Zeolites and Their Carbon Dioxide Adsorption Behaviors in Pressure Swing Adsorption Operation, Industrial and Engineering Chemistry Research, 27, pp. 1103-1109. Triebe, R.W. and Tezel, F.H., (1995), Adsorption of Nitrogen, Carbon Monoxide, Carbon Dioxide and Nitric Oxide on Molecular Sieves, Gas Separation Purification, 9, pp. 223-230. Trisunaryanti, W., Endang, T., dan Sri, S., (2005), Preparasi, Modifikasi dan Karakterisasi Ni-Mo/Zeolit Alam dan Mo-Ni/Zeolit Alam. Jurnal Teknoin, 4, hal. 269-282.
232 Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Reaktor, Vol. 14 No. 3, April 2013, Hal. 225-233 Tsitsishvili, G.V., Andronikashvili, T.G., Kirov, G.N., and Filizova, L.D., (1992), Natural Zeolites, Chichester, Ellis Horwood, New York. Wang, W., Zhang, H., Ping, and Wan, Y.T., ( 2007), Experimental Study on CO2/CO of Typical Lining Materials in Full-Sclae Fire Test, Chinese Science Bulletin, 52, pp. 1282-1286. Xu, Y., Li, J., Yongfan, Z., and Wenkai, C., (2003), CO Adsorption on MgO (001) Surface with Oxygen Vacancy and Its Low-Coordinated Surface Sites: Embedded Cluster Model Density Functional Study
Employing Charge Self-Consistent Surface Science, 525, pp. 13-23.
Technique,
Yadav, R., Maghirang, R.G., Erickson, L.E., Kakumanu, B., and Castro, S.G., (2008), Laboratory Evaluation of the Effectiveness of Nanostructured and Conventional Particles in Clearing Smoke in Enclosed Spaces, Fire Safety Journal, 43, pp. 36-41. Yang, T.R., (1987), Gas Separation by Adsorption Processes, Series on Chemical Engineering, Imperrial College Press, London, 1, pp. 9-39.
233 Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
International Journal of Technology (2015) 3: 385-396 ISSN 2086-9614
© IJTech 2015
SMOKE CLEARING METHOD USING ACTIVATED CARBON AND NATURAL ZEOLITE Yuliusman1, Widodo Wahyu Purwanto 1*, Yulianto Sulistyo Nugroho 2 1
Department of Chemical Engineering, Faculty of Engineering, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok, Depok 16424, Indonesia 2 Department of Mechanical Engineering, Faculty of Engineering, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok, Depok 16424, Indonesia (Received: May 2015 / Revised: June 2015 / Accepted: July 2015)
ABSTRACT The purpose of this research is to study the effectiveness of smoke clearing with adsorbents measured in situ using the photoelectric type smoke detection system. The influence of the type, size and the mass of the adsorbents was evaluated against the smoke clearing process. Adsorbent types studied were commercial activated carbon, ZnCl2-activated carbon, and activated natural zeolite, with the size of 0.61.0 μm, 1.0 to 2.0 μm, 53106 μm, and 106212 μm, and the mass of 1, 3, and 5g. The smoke was generated by burning tissue paper using an electrical soldering apparatus. The adsorbent was dispersed using a pressurized nitrogen system. The results showed that in comparison with no adsorbent, the activated carbon and natural zeolite were more effective for clearing the smoke. The order of clearing effectiveness was best achieved by commercial activated carbon, ZnCl2-activated carbon and activated natural zeolite, respectively. Particle size of 53 micron provided the most effective performance. The more mass of adsorbent dispersed, the faster the clearing process. Clearing process at the top of the column was faster than that at the bottom. The best t10 value obtained for the top, middle and bottom column were 4, 4.6, and 7.7 minutes, respectively. In addition, the average adsorption of carbon monoxide was less than 15%. Keywords: Activated carbon; Natural zeolite; Photoelectric; Smoke clearing 1.
INTRODUCTION
Fire is a phenomena of burning material either solid, liquid or gas on a large scale that is accompanied by the formation of smoke and spread of uncontrolled flame. Dense smoke concentration (cloud) is very dangerous because of toxic characteristics and it hinders visibility. Cloud formation occurs due to the moisture, tar and soot (carbon) content. Whereas the toxicity effect comes from the carbon monoxide (CO) fraction of the smoke. According to Hull (2007), exposure to 1600 ppm of carbon monoxide for 20 minutes can cause headaches, rapid heart beat, dizziness and nausea, and being exposed for 2 hours can cause death. While exposure to 3200 ppm of carbon monoxide for 510 minutes can cause headaches, dizziness, and nausea, and the exposure for 30 minutes can cause death. The death rate in cases of fire due to smoke exposure reaches 80%. The thick and toxic fire smoke is also very dangerous for firefighters during the fire event. Therefore, smoke clearing attempts are crucial in order to make an evacuation process easier and faster. Thus, it can reduce the concentration of carbon *
Corresponding author’s email: [email protected], Tel. +62-21-7863516 Fax. +62-21-7863515 Permalink/DOI: http://dx.doi.org/10.14716/ijtech.v6i3.1125
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
386
Smoke Clearing Method using Activated Carbon and Natural Zeolite
monoxide, so as to reduce the risk of death in case of fire. The smoke clearing can be done by coagulation of smoke particles, electrostatic charges, sound waves, condensation by a hygroscopic substance, and smoke dilution with air mixture (Yadav, et al., 2008). The most recent research in smoke clearing utilizes relatively high surface area nanocrystalline particles for reducing the levels of various compounds and materials produced by fires and for suppression of the fire itself. A quantity of nanocrystalline particles are dispersed into the smoke affected area for adsorbing at least a portion of the smoke, particularly the carbonaceous smoke particulates which tend to obscure visibility. Metal oxides and metal hydroxides of Mg, Sr, Ba, Ca, Ti, Zr, Fe, V, Mn, Ni, Cu, Al, Si, Zn, Ag, Mo, Sb, and mixtures thereof are the most preferable nanocrystalline materials (Mulukutla et al., 2007). Yadav et al. (2008) examined the influence of nano crystalline adsorbent on the glycol smoke clearing and compare it with clearing without adsorbent. They used five types of nanostructured particles (NanoActive TiO2, NanoActive MgO, NanoActive MgO plus, NanoActive Al2O3, NanoActive Al2O3 plus) and five conventional powders (NaHCO3, CaCO3, Ca(OH)2, MgO, TiO2). The result showed that spraying particles into the smoke-filled chamber enhanced the rate of smoke dissipation or clearing and improved visibility in the chamber and nanostructured material. (i.e., NanoActive MgO plus) was the best smoke-clearing agent. Maghirang and Razote (2009) investigated the effectiveness of various particles in clearing smoke in enclosed spaces. Three types of metal oxide nanostructured particles (NanoActive TiO2, NanoActive MgO, and NanoActive MgOplus), conventional particles (i.e., calcium hydroxide, sodium bicarbonate), or water (electrostatically charged or uncharged) were sprayed into an enclosed experimental chamber filled with combustion smoke. Charged water spray was generated using a commercially available electrostatic spraying system. The results showed that spraying metal oxide nanostructured particles or water were effective in clearing smoke and improving visibility in the chamber, and charged water gave the best result. In this study, the smoke was created by a smoke generator that was separated from the test chamber. Smoke was poured into the test room using a fan. This can cause collision of smoke particles and condensation of moisture from the smoke when they are in contact with the wall, thereby affecting the composition and density of smoke. Activated carbon and natural zeolite are potential materials for smoke clearing. They both have the ability to absorb water vapor and carbon monoxide. Yuliusman et al. (2013) examined several types of adsorbents to decrease the toxicity level. Adsorbent materials used were natural zeolites, activated carbon, TiO2, CuO, MgO. The results showed that the activation of natural zeolites can increase the Si/Al ratio and surface area. All of the adsorbent used have the ability to adsorb carbon monoxide. Based on the Langmuir adsorption models, activated carbon and zeolite have the highest adsorption capacity. This study aims to examine the smoke clearing in line with the carbon monoxide adsorption using activated carbon and natural zeolite with in situ photoelectric smoke obscuration measurements. The influence of the weight and diameter of adsorbent and height of the column were also investigated. 2.
METHODOLOGY
This study consisted of several steps, these are: adsorbent preparation, adsorbent characterization, and test of smoke clearing and CO adsorption. The smoke was generated by burning tissue paper inside the test chamber to avoid condensation on the walls. 2.1. Adsornents Adsorbents used were commercially activated carbon “Jacobi” (ACcom), carbon activated by ZnCl2 (ACZnCl2), and natural zeolite (NZ) which was synthesized by HCl and NH 4Cl solutions
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Purwanto et al.
387
(Yuliusman et al., 2013). Adsorbent grinding for size of 106 and 53 microns was conducted manually while for nano-sized adsorbent was conducted using a planetary ball mill Type n4 (Noah™). There were three sets of experiments, namely smoke clearing without adsorbent which was carried out by only flowing N2 gas (Non Adsorbent = NA); smoke clearing with adsorbent (ACcom, ACZnCl2, NZ); and smokeless adsorption (baseline). Smoke clearing without adsorbent was conducted as a comparison of the effectiveness of smoke clearing by adsorbent. Adsorbent size was varied; 0.61.0 μm, 1.0 to 2.0 μm, 53106 μm, and 106212 μm. While adsorbent mass was varied; 1, 3 and 5g. Table 1 lists the variation of the adsorbent type used in the experiment. Tabel 1 Variation of the adsorbent type, diameter, and mass Adsorbent type Commercial activated carbon
ZnCl2 activated carbon
Activated natural zeolite
Diameter (µm) 0.6-1.0 1.0-2.0 53-106 106-212 0.6-1.0 1.0-2.0 53-106 106-212 0.6-1.0 1.0-2.0 53-106 106-212
Mass (g) 1, 3, 5 1, 3, 5 1, 3, 5 1, 3, 5 1, 3, 5 1, 3, 5 1, 3, 5 1, 3, 5 1, 3, 5 1, 3, 5 1, 3, 5 1, 3, 5
Notation ACcom 0.6 ACcom 1 ACcom 53 ACcom 106 AC ZnCl20.6 AC ZnCl21 AC ZnCl253 AC ZnCl2106 NZ 0.6 NZ 1 NZ 53 NZ 106
The dispersion of the adsorbent was carried out using a COLO sprayer gun powder coating equipment Type C-800. Nitrogen with a pressure of 67 psi was used as a carrier gas. Before being dispersed, the adsorbent was heated in an oven to remove moisture content in the adsorbent. The adsorbents’ characterization includes compositions and pore morphological characterization using SEM EFI. Particle size characterization was conducted by Backman Coulter Particle Size Analyzer type C. Density was measured by a picnometer. 2.2. Smoke Clearing The experimental chamber was an enclosed box measuring 40 cm 40 cm 120 cm, made of acrylic material.The chamber was equipped with a photoelectric type smoke detector which was operated online and a Portable Combustion Gas Analyser Type 400 Brand E Instruments, as can be seen in Figure 1.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
388
Smoke Clearing Method using Activated Carbon and Natural Zeolite
7
1
4
Legend: Keterangan gambar: 1,2,3 Laser
5
2 8
4,5,6 Sensor 7. Humidity meter 8. Flue gas analyzer
3
6
9. adsorben dispersion 10. micro controller and K 125R 11. Personal computer
9 10 11
Figure 1 Schematic diagram of the experimental setup
The smoke detector consisted of a light source (laser), light sensor, a micro controller and a computer. The light source came from the laser pointer beam with a voltage of 5 volts. The light sensor used was a photodiode light sensor. This device was also equipped with a serial USART to be used to transfer data from sensor readings into the computer. The reading on the smoke detector was in the term of Intensity (I) which has a value between 01000. A value of 0 means clear (no smoke), while the value of 1000 means perfect darkness. The smoke detector was calibrated by using glass with known optical density. Smoke was generated from 6g of tissue paper that was burned in the chamber. This quantity gave a perfect smoke density with I readings of approximately 1000, and CO content of 4500 ppm. The amount of adsorbed CO was calculated based on the difference between the initial concentration of CO and its concentration after 20 minutes, expressed by Equation 1. (1) where CO0 is the initial concentration of CO, CO20 is the concentration of CO after 20 minutes. The effectiveness of the adsorbent in the smoke clearing is represented by the value of the t 10 ratio. The ratio is the time required to be able to reach the opacity ten times clearer than the initial conditions (minutes of zero). The ratio is obtained by comparing t 10 value of the smoke clearing with and without adsorbent. 3. RESULTS AND DISCUSSION 3.1. Characteristics of the Adsorbent Results of the surface area characterization by BET showed that ACcom has the largest surface area, as shown in Table 2.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Purwanto et al.
389
Table 2 Surface area of adsorbent BET surface area, m2/g
Density kg/L
ACcom
1,201
0.767
ACZnCl2
167.0
0.833
NZ NZ without activation
83.1 45.4
1.883 1.985
Adsorbent
(a)
(b)
(c)
Figure 2 SEM images with magnification of 10,000 of: a) ACZnCl 2; b) NZ; c) NZ without activation
Figure 2 shows SEM images of the adsorbent. The synthesized version of activated carbon using ZnCl2 followed by physical activation was able to generate porous activated carbon. While chemical and physical activation of zeolite was able to clean and open the pores. However, the opening of the pores was not satisfactory. This is consistent with the results of the BET characterization shown in Table 2. 3.2. Effect of Particle Size to Smoke Clearing Smoke clearing occurs due to contact of the adsorbent particles to smoke particles. Once this happens, the particles will be moving downwards, then the concentration of smoke will be reduced and the room becomes clearer. Dispersing of adsorbent with pressurized nitrogen can lead to collisions among the molecules of smoke to form larger particles. Larger smoke particles have a greater mass, will move downward faster, and will accelerate the clearing process. The influence of ACcom particle size to the smoke clearing process is shown in Figure 3. The smoke clearing is more effective with the ACcom reduced particle size. The smaller the ACcom particle size the greater the Accom surface area that will provide more spaces to collide with smoke particles. In addition, smaller adsorbent particles have longer residence time than large particles. These particles make the clearing process becomes faster. However, a very small particle can lead to a less effective clearing process. This can be explained as follows. First, a very small particle is very buoyant, has a small terminal velocity or long residence time. Once dispersed, it will move down very slowly although it has contacted with the smoke particle. After the collison, the particle is floating in the chamber so that the clearing of smoke becomes slower. According to Mulukutla (2007), if the settling velocity of the particle is too low, the particle may tend to remain suspended in the air and actually contributes to obscuration of the chamber. Second, very small particles can cause agglomeration. Agglomeration is a phenomenon of the fusion of some very small particles into larger clumps. This agglomeration can reduce the contact surface area and the residence time. This agglomeration leads to less effective dispersion. Agglomeration occurs on particle sizes ranging from 1 μm to 0.6 μm, thus the smoke clearing was less effective than that with a particle size of 53 μm.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
390
Smoke Clearing Method using Activated Carbon and Natural Zeolite
(a)
(b)
(c)
Figure 3 The influence of ACcom particle size to the smoke clearing process: a) Top; b) Middle; c) Bottom
The smoke clearing was most effective at ACcom particle of 53 μm. Smoke clearing with ACcom particles larger than 53 μm is less effective. This may occur because of the larger particles have smaller surface area, heavier mass, larger terminal velocity and smaller residence time. Shorter residence time reduces contact with smoke particles, so that the clearing process becomes less effective.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Purwanto et al.
391
The effectiveness of the smoke clearing can also be evaluated by the t 10 value. The smaller the t10 value, the more effective the smoke clearing process. The influence of particle size and height of the column to ACcom t 10 values are shown in Figure 4a. An Accom particle with a particle size of 53 μm have a smaller t 10 value than the other ACcom particle sizes. The same phenomenon occurs with ACZnCl2 and NZ (Figures 4b and 4c). ACcom ACcom ACcom ACcom NA
Time to reach 10% transmission, t 10
18
106 53 1 0.6
16 14 12 10
(a)
8 6 4 2 0
Top
Midle
Bottom
Laser Position ACZnCl2 ACZnCl2 ACZnCl2 ACZnCl2 NA
Time to reach 10% transmission, t 10
18
106 53 1 0.6
16 14
(b)
12 10 8 6 4 2 0
Top
Midle
Bottom
Laser Position NZ 106 NZ 53 NZ 1 NZ 0.6 NA
Time to reach 10% transmission, t 10
18 16 14 12
(c)
10 8 6 4 2 0
Top
Midle
Bottom
Laser Position
Figure 4 The influence of particle size to 10% clearing time (t10): a) Accom; b) ACZnCl2; c) NZ
3.3. Effect of Elevation on the Smoke Clearing The smoke that was formed from the tissue paper, will naturally move upward to the top of the column. Up to 10 minutes of burning, the smoke density at the top of the column was relatively larger, followed by the middle and bottom of the column. Shortly after the ACcom particles
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
392
Smoke Clearing Method using Activated Carbon and Natural Zeolite
were dispersed, the concentration of smoke at the top was still larger. After several seconds, the ACcom particles moved downward and absorbed the smoke particles, thus the smoke clearing at the top was more effective. The greater the distance from the top, the Accom particle’s ability to absorb smoke is decline, so the smoke clearing is less effective. The effect of elevation on the ACcom smoke clearing is shown in Figure 5.
Figure 5 The effect of elevation on the smoke clearing by ACcom
The smoke clearing at the top was faster than of the lower part of the column also due to the movement of smoke from top to bottom. Dispersing ACcom with pressurized nitrogen can change the composition, environmental conditions and the nature of the smoke, which makes the smoke move down. The smoke was concentrated on the bottom, so that the velocity of the smoke at the bottom was slower than the top. This leads to slower smoke clearing at the bottom. The t10 values for the ACcom particles of 53 μm at the top, middle and bottom were 4, 5, and 9 minutes, respectively. While the t 10 value of the smoke without adsorbent at the top, middle and bottom were 10.9, 12.8, and 16.5 minutes, respectively. 3.4. The Influence of Adsorbent Mass on Smoke Clearing The influence of the adsorbent mass on the smoke clearing at the top of the column was less significant than at the bottom of the column. When 1g of ACcom was dispersed, almost all of the particles reached the top and middle of the experimental chamber, then they moved downward. Most smoke clearing occurred at the top. The particles’ ability to clear smoke diminished with the larger distance downward. The same thing happened to the ACcom mass of 3g. Meanwhile, when 5g of ACcom was dispersed, the ACcom particles were dispersed more evenly and filled more space of the chamber, either at the top, middle, and bottom. Thus, the clearing process at the top, middle and bottom of the chamber is more effective than that of the mass of 1 and 3g. The value of t 10 for each ACcom mass is presented in Figure 6. The more adsorbent mass dispersed, the more contact of activated carbon with the smoke particles, the faster the smoke clearing. Figure 7 shows the influence of the adsorbent mass to the smoke clearing process. The adsorbent mass of 5g is the most effective mass to clear the smoke.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Purwanto et al.
393
(a)
(b)
(c)
Figure 6 The influence of adsorbent mass to smoke clearing: a) Top; b) Middle; c) Bottom
3.5. The Influence of Adsorbent Type on Smoke Clearing The smoke clearing phenomenon by ACZnCl2 and NZ and their resemblance to ACcom, where the size of 53 μm and mass of 5g gives the best result. All types of adsorbent have the ability to clear the smoke compared to smoke without adsorbent (NA). Smoke clearing by ACcom is relatively more effective than that of ACZnCl2 and NZ. These results are consistent with previous studies showing that the active carbon and natural zeolite have the ability to absorb moisture and have a relatively higher Langmuir adsorption constants for CO gas (Yuliusman et al., 2013). Activated carbon has the ability to absorb water and has greater Langmuir constants than natural zeolite.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
394
Smoke Clearing Method using Activated Carbon and Natural Zeolite ACcom 53 1 g ACcom 53 3 g ACcom 53 5 g NA
Time to reach 10% transmission, t 10
18 16 14 12
(a)
10 8 6 4 2 0
Top
Midle
Bottom
Laser Position ACZnCl2 1g ACZnCl2 3g ACZnCl2 5g NA
Time to reach 10% transmission, t 10
18 16 14 12
(b)
10 8 6 4 2 0
Top
Midle
Bottom
Laser Position NZ 1g NZ 3g NZ 5g NA
Time to reach 10% transmission, t 10
18 16 14 12
(c)
10 8 6 4 2 0
Top
Midle
Bottom
Laser Position
Figure 7 The influence of adsorbent mass to 10% clearing time (t10): a) Accom; b) ACZnCl2; c) NZ
ACcom has a smaller density than ACZnCl2 and NZ. With a lighter mass of particles, when dispersed to the chamber, ACcom have a longer contact time with smoke particles so that the smoke clearing is more effective. In addition, for the same adsorbent mass, ACcom has more particles, thereby increasing the surface area in contact with smoke particles. The effect of density and contact surface area on the effectiveness of smoke clearing is clearly noticeable at the bottom of the column. The density ACcom, AC ZnCl2 and NZ is 0.767, 0.833, and 1.883 kg/L, respectively. The values of t10 for each adsorbent is presented in Figure 8. This result indicates that commercially activated carbon (ACcom) has a smaller t 10 value, which means it is more
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
Purwanto et al.
395
effective in clearing the smoke compared to other adsorbents. The best t10 value of ACcom for the top, middle and bottom are 4, 4.6, and 7.7 minutes respectively. ACCom AcZnCl2 NZ NA
Time to reach 10% transmission, t 10
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
Top
Midle
Bottom
Laser Position
Figure 8 The influence of adsorbent type to 10% clearing time(t10)
3.6. Effect of Adsorbent Type on the Absorption of CO Influence of the types and mass of the adsorbent on the absorption of CO is shown in Figure 9. ACcom has a better ability to adsorb CO than ACZnCl2 and NZ. This result is consistent with previous studies. Pure CO adsorption tests with activated carbon and natural zeolite showed that activated carbon has a higher Langmuir adsorption constant than natural zeolite (Yuliusman et al., 2013). The higher ability of activated carbon is due to the larger contact surface area and lesser density than natural zeolite, as can be seen in Table 2. 1 g 3 g 5 g
120
Adsorbed CO, g
100
80
60
40
20
0
ACcom
ACZnCl2
NZ
Adsorbent
Figure 9 The effect of type and mass of adsorbent on the absorption of CO
4.
CONCLUSION
These experiments showed that the process of smoke clearing was more effective with adsobent than without adsorbent. The ability to clear smoke increased with increasing surface area and decreasing density of the adsorbent; from all the adsorbents used, a particle size of 53 μm showed the highest effectiveness to clear the smoke. The top of column was cleared faster than the middle and the bottom. The effect of adsorbent mass was clearly noticeable at the bottom of the column and the order of the smoke clearing ability was ACcom > ACZnCl2 > NZ. The best t10 value of ACcom for the top, middle and bottom were 4, 4.6, and 7.7 minutes respectively.
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.
396
Smoke Clearing Method using Activated Carbon and Natural Zeolite
All types of adsorbent are capable of absorbing carbon monoxide. ACcom has the best effectiveness to adsorb CO. 5.
REFERENCES
Ackley, M.W., Rege, S.U., Himanshu, S., 2003. Application of Natural Zeolites in the Purification and Separation of Gases. Microporous and Mesoporous Materials, Volume 61, pp. 2542 Azizi, K., Hashemianzadeh, S.M., Bahramifar, Sh., 2015. Adsorption of Carbon Monoxide, Carbon Dioxide and Methane on Outside of the Armchair Single-walled Carbon Nanotubes. Current Applied Physics, Volume 7, pp. 776782 German, E.D., Moshe, S., 2008. Comparative Theoretical Study of CO Adsorption and Desorption Kinetics on (111) Surfaces of Transition Metals. The Journal of Physical Chemistry, Volume 112, pp. 14377–14384 Hagen, Bjarne C., Frette, V., Kleppe, G., Arntzen, B.J., 2015. Transition from Smoldering to Flaming Fire in Short Cotton Samples with Asymmetrical Boundary Conditions. Fire Safety Journal, Volume 71, pp. 6978 Hull, T.R., Keith, T.P., 2007. Bench-scale Assessment of Combustion Toxicity A Critical Analysis of Current Protocols. Fire Safety Journal, Volume 42(5), pp. 340365 Maghirang, R.G., Razote, E.B., 2009. Smoke Dissipation by Solid Particles and Charged Water Spray in Enclosed Spaces. Fire Safety Journal, Volume 44, pp. 668–671 Mulukutla, R.S., Paul, S.M., Ronaldo, M., John, S.K., Kennet, J.K., Olga, K, 2007. Metal Oxide Nanoparticles for Smoke Clearing and Fire Suppression, U.S. Patent No. 7,276,640 Wang, W., Zhang, H., Ping, Wan, Y.T., 2007. Experimental Study on CO2/CO of Typical Lining Materials in Full-Scale Fire Test. Chinese Science Bulletin, Volume 52(9), pp. 12821286 Yadav, R., Maghirang, R.G., Erickson, L.E., Kakumanu, B., Castro, S.G., 2008. Laboratory Evaluation of the Effectiveness of Nanostructured and Conventional Particles in Clearing Smoke in Enclosed Spaces. Fire Safety Journal, Volume 43, pp. 3641 Yuliusman, Purwanto, W.W., Nugroho, Y.S., 2013. Selection of the Adsorbent for Carbon Monoxide Adsorption using Adsorption Isotherm Model of Langmuir. Reactor, Volume 14(3), pp. 225233
Proses penjernihan..., Yuliusman, FT UI, 2015.