UNIVERSITAS INDONESIA
PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN TINDAKAN PASUNG OLEH KELUARGA TERHADAP KLIEN GANGGUAN JIWA
DISERTASI
NOVY HELENA CATHARINA DAULIMA
0806403272
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM DOKTOR KEPERAWATAN DEPOK
MARET2014
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
UNIVERSITAS INDONESIA PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN TINDAKAN PASUNG OLEH KELUARGA TERHADAP KLIEN GANGGUAN JIWA
DISERTASI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Keperawatan
NOVY HELENA CATHARINA DAULIMA
0806403272
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM DOKTOR KEPERAWATAN DEPOK
MARET2014
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Saya yang bertandatangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa disertasi ini saya susun tanpa tindak:an plagiarisme sesuai peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia.
Jika di kemudian hari temyata saya melakukan tindak:an plagiarisme, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indondesia kepada saya.
Depok, OS Maret 2014
~
N~ena Catharina Daulima
ii
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Disertasi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua somber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Novy Helena Catharina Dau1ima
1{P~
:0806403272
~ .. L .. ~ ~~:US ~aret 2014
TandaTangan: Tanggal
iii
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
LEMBAR PENGESAHAN
Disertasi ini diajukan oleh: Nama : Novy Helena Catharina Daulima NPM : 0806403272 Program Studi : Doktor Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan-Universitas Indonesia Judul Disertasi: Proses Pengambilan Keputusan Tindakan Pasung oleh Keluarga Terhadap Klien Gangguan Jiwa
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Doktor Keperawatan, Fakultas llmu Keperawatan, Universitas Indonesia
DEWAN PENGUJI Promotor
: Prof Achir Yani S. Hamid, DNSc
Ko Promotor : Prof Dr. Budi Anna Keliat, SKp.,MAppSc :Dr. Guritnaningsih A. Santoso TimPenguji Ketua
: Dra. Junaiti Sahar, SKp., M.App.Sc, PhD
Anggota
:Dr. Dr. Fidiansyah, SpKJ :Prof Dr. Ali Nina Liche Seniati, M.Si :Prof Dr. Soekidjo Notoatmodjo, SKM, M.Comm.H : dr Adang Bachtiar, MPH, DSc
Ditetapkan di : Depok Tanggal : 05 Maret 2014
iv
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
...
KATAPENGANTAR
Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, TUHAN semesta alam, berkat kekuatan dan bimbingan-Nya penulis dapat menyelesaikan disertasi yang berjudul "Proses Pengambilan Keputusan Tindakan Pasung oleh Keluarga terhadap Klien Gangguan
Jiwa". Penulisan disertasi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Doktor Keperawatan pada Fakultas llmu Keperawatan Universitas Indonesia.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan, dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak sejak masa perkuliahan sampai pada masa penyusunan disertasi ini, sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan disertasi ini. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada : 1. Dra Junaiti Sahar, SKp., MAppSc, PhD sebagai Dekan Fakultas llmu Keperawatan
Universitas Indonesia. 2. Prof. Dra. Elly Nurachmah, SKp., MAppSc., DNSc., sebagai Ketua Program Doktor Keperawatan Pascasarjana Fakultas llmu Keperawatan Universitas Indonesia. 3. Prof. Achir Yani S. Hamid, MN, DNSc., sebagai promotor disertasi. 4. Prof. Dr. Budi Anna Keliat, SKp., MAppSc., sebagai ko-promotor I disertasi. 5. Dr. Guritnaningsih A. Santoso, sebagai ko-promotor II disertasi. 6. Dr. dr. Fidiansjah, SpKJ, MPH sebagai penguji disertasi. 7. Prof. Dr. Ali Nina Liche Seniati, M.Si, sebagai penguji disertasi. 8. Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo, SKM, M.Comm.H, sebagai penguji disertasi. 9. dr Adang Bachtiar, MPH, DSc sebagai penguji disertasi. 10. Pihak RS Marzoeki Mahdi, RS Soeharto Heerdjan dan Dinas Kesehatan Kota Bogor yang banyak membantu dalam usaha memperoleh data penelitian yang diperlukan. 11. Seluruh keluarga klien, tokoh masyarakat dan petugas kesehatan puskesmas yang bersedia menjadi partisipan dan responden dalam penelitian ini. 12. Orang tuaku tercinta: G.T.J Daulima dan A.Ph Rumeser serta mertuaku tercinta: Christine Pangemanan yang selalu memberi dukungan dan doa. 13. Adik-adikku tercinta: Merci, Paula, Marianus, Chrysant, Nedy dan Margareth Daulima yang selalu mendukung dan memberi semangat. 14. Suamiku: Ir. Mario F. Pangemanan, MM. 15. Anak-anakku terkasih: Kenneth Levi Gabriel Pangemanan dan Kathleen Grace Emerentiana Pangemanan yang menjadi motivatorku melewati tahap demi tahap v
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
penyelesaian disertasi. 16. Tim peneliti pasung: Shinta, Sisca, Hany, Vina, Ulan, Fauziah, Caroline, Chilca dan Ketut yang telah menjadi tim yang kompak dan sangat mendukung selama proses penelitian. 17. Ternan-ternan seperjuangan angkatan I Program Doktor Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 18. Rekan sejawat di Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa FIK-UI. 19. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu-persatu namanya disini, yang telah banyak memberikan bantuan baik moril maupun materiil sehingga disertasi ini dapat terselesaikan. Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga disertasi ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan keperawatan dalam menuntaskan permasalahan di dunia keperawatan dan kesehatan, khususnya kesehatanjiwa.
Depok, 05 Maret 2014 Penulis
vi
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Novy Helena Catharina Daulima
NPM
: 0806403272
Program Studi: Doktor Keperawatan Fakultas
: llmu Keperawatan
Jenis karya
: Disertasi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Tanpa eksklusif (Tanpa-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
Proses Pengambilan Keputusan Tindakan Pasung Oleh Keluarga Klien Gangguan Jiwa beserta perangkat yang ada Gika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Tanpa eksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok Pada tanggal : 05 Maret 2014 Yang menyatakan ?
~
.--
(No~ Catharina Daulima)
vii
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
ABSTRAK Nama Program Studi Judul
: Novy Helena Catharina Daulima : Doktor Keperawatan, Fakultas llmu Keperawatan UI : Proses Pengambilan Keputusan Tindakan Pasung Oleh Keluarga Klien Gangguan Jiwa
Disertasi ini bertujuan untuk merumuskan model proses pengambilan keputusan pasung oleh keluarga, kuesioner keputusan pasung Daulima serta mengetahui pengaruh terapi keputusan perawatan tanpa pasung dan algoritma keputusan perawatan Daulima terhadap tingkat keputusan pasung. Desain penelitian menggunakan mixed methods dengan desain exploratory dengan jumlah sampel 22 orang partisipan dan 82 orang responden. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan adanya tahapan pada proses pengambilan keputusan pasung oleh keluarga, kuesioner keputusan pasung Daulima yang valid dan reliabel serta pengaruh terapi keputusan perawatan tanpa pasung dan algoritma keputusan perawatan Daulima terhadap penurunan tingkat keputusan pasung secara bermakna. Model proses pengambilan keputusan pasung oleh keluarga direkomendasikan sebagai landasan asuhan keperawatan keluarga klien gangguan jiwa yang dipasung. Kuesioner keputusan pasung Daulima direkomendasikan sebagai alat untuk mengukur keputusan pasung pada keluarga klien. Terapi keputusan perawatan tanpa pasung dan algoritma keputusan perawatan Daulima direkomendasikan sebagai intervensi bagi keluarga yang memiliki tingkat keputusan pasung yang tinggi. Kata kunci: gangguan jiwa, keluarga, pasung, proses pengambilan keputusan
ABSTRACT Name Study Program Title
: Novy Helena Catharina Daulima : Doctoral in Nursing, F akultas llmu Keperawatan UI :Family Decision Making Process for Pasung: Physical Restraint and Confinement of Mentally Ill Clients
This dissertation aimed to formulate a model of family decision making proces for pasung, Daulima pasung decision questionnaire and to identity an impact of therapy of nursing care decision without pasung and Daulima nursing care decision algorithm toward pasung decision level. This study used a mixed method with exploratory design using 22 participants and 82 respondents. This study invented stages of family decision making proces for pasung, a valid and reliable Daulima pasung decision questionnaire and impact of therapy on nursing care decision without pasung and Daulima nursing care decision algorithm toward a significant declining of pasung decision level. Model of family decision making proces for pasung was recommended as a nursing care platform for a family who is performing or going to perform pasung for mentally ill patient. Daulima pasung decision questionnaire was advised as a measuring instrument for pasung decision level on family of mentally ill patient. Moreover, therapy of nursing care decision without pasung and Daulima nursing care decision algorithm was suggested as an intervention for a family with a high level decision forpasung. Keywords: mental illness, family, pasung, decision making process viii
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
DAFTARISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................................ . SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ........................................................ ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .............................................................. iii LEMBAR PERSETUWAN .............................................................................................. 1v KATAPENGANTAR ....................................................................................................... v HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ......................................................................................... vii ABSTRAK ........................................................................................................................ viii DAFTARISI ..................................................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................ xi DAFTAR TABEL ........................................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................................... xiv 1. PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1.1 Latar Belakang ...... ... .. ......... .. ... .... .. .. ........ .. ...... ... .. ..... .. ... ...... ........ ... .......... .. ......... .. 1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................. ... 1.3 Tujuan Penelitian .. .... .. ...... .... .... .............. ... ....... ..... .... .... ...... ...... ....... ........ ...... ...... .. 1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................................
1 1 10 11 12
2. TINJAUAN TEORI ................................................................................................... 14 2.1 Pengambilan Keputusan:Siklus dan Konsep Terkait ................................. 14 2.2 Konsep Keluarga . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ....... 23 2.3 Gangguan Jiwa........................................................................ ....... 29 2.4 Stigtna Gangguan Jiwa.......................................................................................... 32 2.5 Pasung Sebagai Metode Menangani Masalah Gangguan Jiwa . . . . . . . . . . . . . . . .......... 33 2.6 Terapi Modalitas Keperawatan Jiwa ..................................................................... 38 2. 7 Model Adaptasi Roy .............................................................................................. 41 2.8 Model Stres Adaptasi Stuart .................................................................................. 45 2.9 Kerangka Pikir Penelitian .................................................................... 47 2.10 Kerangka Teori Penelitian ...................................................................................... 50
3. KERANGKA KONSEP, IDPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL ..••.•••..... 3.1 Kerangka Konsep Penelitian .................................................................................. 3.2 Hipotesis Penelitian ................................................................................................. 3.3 De:finisi Operasional ... ...... ...... .... .. ... ........ .... .. ... ..... .. ... ....... ...... ........... .......... ...........
53 53 54 54
4. METODE PENELITIAN ............................................................................................ 4.1 Tahap 1: Ekps1orasi Proses Pengambilan Keputusan Pasung Oleh Ke1uarga Klien Gangguan Jiwa ......................................................................................... 4.1.1 Rancangan Pene1itian .................................................................................. 4.1.2 Popu1asi dan Sampel ................................................................................... 4.1.3 Tehnik Pengambilan Sampe1 ...................................................................... 4.1.4 Waktu dan Tempat Penelitian ..................................................................... 4.1.5 Alat Pengumpul Data .................................................................................. 4.1.6 Uji Coba Instrumen .....................................................................................
58
ix
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
58 58 63 64 64 65 65
4.1.7 Prosedur Pelaksanaan Penelitian ................................................................. 4.1.8 Pengolahan Data ......................................................................................... 4.1.9 Analisa Data............................................................................................... 4.1.10 Keabsahan (Ver[ficalion) ............................................................................ 4.2 Tahap II: Efektivitas terapi KPTP Terhadap Keputusan Pasung ........................... 4.2.1 Desain Penelitian ....................................................................................... 4.2.2 Populasi dan Sampel ................................................................................. 4.2.3 Tehnik Pengambilan Sampel .................................................................... 4.2.4 Waktu dan Tempat Penelitian .................................................................. 4.2.5 Alat Pengumpul Data ............................................................................... 4.2.6 Uji Coba Instrumen .................................................................................. 4.2.7 Prosedur Pelaksanaan Penelitian ............................................................. 4.2.8 Pengolahan Data...................................................................................... 4.2.9 Analisis Data............................................................................................ 4.3 Etika Penelitian ....................................................................................................
65 67 68 70 72 72 74 75 75 76 77 80 83 84 85
5. HASIL PENELITIAN ................................................................................................ 87 5.1 Tahap Pertama: Eksplorasi Proses Pengambilan Keputusan Pasung Oleh Keluarga Klien Gangguan Jiwa ............................................................................................. 88 5.1.1 Karakteristik Keluarga Klien Pasung ........................................................ 88 5.1.2 Hasil Analisis Kualitatif ............................................................................ 89 5.1.3 Model Proses Pengambilan Keputusan Pasung Oleh Keluarga Klien Gangguan Jiwa .................................... ...... ......... ... ....... ...... ................... .... 103 5.1.4 Kuesioner Keputusan Pasung Daulima ..................................................... 106 5.1.5 Algoritma Keputusan Perawatan Daulima ................................................ I 08 5.1.6 Terapi Keputusan Perawatan Tanpa Pasung ............................................. 109 5.2 Tahap Kedua: Efektivitas Terapi KPTP Terhadap Keputusan Pasung ................. I I 0 5.2.1 Karakteristik Keluarga Klien Gangguan Jiwa ........................................... 110 5.2.2 Efektivitas Terapi KPTP dan AKPD Terhadap Keputusan Pasung .......... 111 6. PEMBAHASAN .......................................................................................................... 121 6.1 Model Proses Pengambilan Keputusan Pasung Oleh Keluarga Klien Gangguan Jiwa ....................................................................................................................... I21 6.2 Kuesioner Keputusan Pasung Daulima (KKPD) ................................................... 131 6.3 Algoritma Keputusan Perawatan Daulima (AKPD) .............................................. 132 6.4 Terapi Keputusan Perawatan Tanpa Pasung .......................................................... 134 6.5 Efektivitas Terapi KPTP terhadap Keputusan Pasung ......................................... I 36 6.6 Keterbatasan Penelitian ............................................. ........................................... I 41 6. 7 lmplikasi Penelitian .............................................................................................. 142 7. SIMPULAN DAN SARAN........................................................................................ 7.1 Simpulan .............................................................................................................. 7.2 Saran.................................................................................................................... DAFTAR REFERENSI
X
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
143 143 I45
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Model Proses Pengambilan Keputusan Maskay dan Juhasz .............................. 24 Gambar 2.2 Model Adaptasi Roy .......................................................................................... 46 Gambar 2.3 Model Stres Adaptasi Stuart .............................................................................. 48 Gambar 2.4 Kerangka Pikir Penelitian .................................................................................. 50 Gambar 2.5 Kerangka Teori Penelitian ................................................................................. 52 Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian .............................................................................. 53 Gambar 4.1 Alur Penelitian ................................................................................................... 60 Gambar 4.2 Rancangan Penelitian ........................................................................................ 73 Gambar 4.3 Proses Tahap Pelaksanaan Penelitian ................................................................. 83 Gambar 5.1 Hasil analisis data proses pengambilan keputusan pasung oleh keluarga terhadap klien gangguan jiwa ............................................................. 92 Gambar 5.2 Kategori 1: pemenuhan rasa aman dalam ketidakberdayaan ............................. 94 Gambar 5.3 Kategori 2: menjaga martabat keluarga ............................................................. 95 Gambar 5.4 Kategori 3: ketidakpuasan terhadap pelayanan kesehatanjiwa ........................ 95 Gambar 5.5 Kategori 4: keterbatasan pengetahuan tentang kesehatanjiwa ......................... 96 Gambar 5.6 Kategori 5: kendala finansial ............................................................................ 97 Gambar 5. 7 Kategori 6: kegagalan tindakan alternatif sebagai upaya penyelesaian masalah pra pemasungan ............................................................... 98 Gambar 5.8 Kategori 7: musyawarah dalam proses pengambilan keputusan pra pemasungan .................................................................................... 99 Gambar 5.9 Kategori 8: keluarga inti sebagai pengusul tindakan pasung .......................... 99 Gambar 5.10 Kategori 9: masyarakat sebagai pengusul tindakan pasung .......................... 100 Gambar 5.11 Kategori 10: keluarga sebagai pengambil keputusan pasung ........................ 100 Gambar 5.12 Kategori 11: pasung dalam perspektif keluarga dan masyarakat ................... 101 Gambar 5.13 Kategori 12: manifestasi ketidakberdayaan paska pasung ............................. 102 xi
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
Gambar 5.14 Kategori 13: kebutuhan duk:ungan kebijakan dan fasilitas pemerintah yang memadai untuk penyelesaian masalah pasung ........... 103 Gambar 5.15 Model Proses Pengambilan Keputusan Pasung Oleh Keluarga Klien Gangguan Jiwa ............................................................................................. 104 Gambar 5.16
Perbedaanjumlah stresor sebelum dan sesudah dilakukan terapi KPTP pada kelompok intervensi dan kontrol...........................................
115
Gambar 5.17
Perbedaan respons terhadap stresor sebelum dan sesudah dilakukan terapi KPTP pada kelompok intervensi dan kontrol .. ... ....... ... ..... ...... .... ... 116
Gambar 5.18
Perbedaan jumlah sumber koping sebelum dan sesudah dilakukan terapi KPTP pada kelompok intervensi dan kontrol ........ .... ... ... .......... ..... 117
Gambar 5.19 Perbedaan keinginan memutuskan pasung sebelum dan sesudah dilakukan terapi KPTP pada kelompok intervensi dan kontrol ... .. ..... ... ..
117
Gambar 5.20 Perbedaan keputusan pasung sebelum dan sesudah dilakukan terapi KPTP pada kelompok intervensi dan kontrol .......... ............ ... ... ... .... ...... .. ... 118
xii
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
DAFTAR TABEL Tabel2.1 Tahapan Pengambilan Keputusan Model Jannis dan Mann ................................ 22 Tabe12.2 Tahapan Pengambilan Keputusan Model Maskay dan Juhasz ........................... 23 Tabel 2.3 Perbandingan Tahapan Pengambilan Keputusan antara Model Maskay dan Juhasz dengan Jannis dan Mann .......................................................................... 25 Tabel2.4 Distribusi Pasien Pasung Di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam .................... 35 Tabel3.1 Defmisi Operasional, Varibel Dependen dan lndependen ................................... 54 Tabel4.1 Tahapan dan Produk Penelitian ............................................................................ 59 Tabel4.2 Distribusi Responden di Puskesmas Tempat Penelitian ...................................... 75 Tabel4.3 Kisi-kisi alat ukur ................................................................................................. 76 Tabe14.4 Analisis karakteristik keluarga (care giver) klien gangguan jiwa ....................... 84 Tabe14.5 Analisis kesetaraan karakteristik keluarga (care giver) klien gangguanjiwa ..... 85 Tabel 4.6 Perubahan keputusan pasung ............................................................................... 85 Tabel 5.1 Relevansi terapi KPTP dan AKPD dengan KKPD ............................................... 88 Tabel5.2 Partisipan Penelitian ............................................................................................. 89 Tabel5.3 Kuesioner Keputusan Pasung Daulima (KKPD) ................................................. 107 Tabel 5.4 Karakteristik Keluarga Klien Gangguan Jiwa Pada Kelompok Intervensi dan Kontrol ....... .. .. ........ ................ ... ... ..... ....... ........... ...... ... ........ .. ....... ... ..... ........ ... .... 111 Tabel5.5 Kesetaraan Karakteristik Keluarga Klien Gangguan Jiwa Pada Kelompok lntervensi dan Kontrol Sebelum Dilakukan Terapi KPTP ................................. 112 Tabel 5.6 Kesetaraan Keputusan Pasung Sebelum Dilakukan Terapi KPTP Pada Kelompoklntervensi dan Kontrol ....................................................................... 113 Tabel 5. 7 Perbedaan Keputusan Pasung Sebelum dan Sesudah Dilakukan Terapi KPTP Pada Kelompok Intervensi dan Kontrol .... ................................................ ........ 115 Tabel 5.8 Perbedaan Perubahan Keputusan Pasung Sebelum dan Sesudah Dilakukan Terapi KPTP Pada Kelompok Intervensi dan Kontrol ....................................... 118 Tabel 5.9 Perbedaan Keputusan Pasung Pada Kelompok Intervensi dan Kontrol .............. 119
xiii
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Instrumen A Lampiran 2. Instrumen B Lampiran 3. Instrumen catatan lapangan Lampiran 4. Deskripsi partisipan Lampiran 5. Jadual kegiatan penelitian Lampiran 6. Surat pemyataan lolos uji etik dari FIK-UI Lampiran 7. Surat persetujuan pelaksanaan penelitian Lampiran 8. Kuesioner keputusan pasung Daulima Lampiran 9. Algoritma keputusan perawatan Daulima Lampiran 10. Modul terapi keputusan perawatan tanpa pasung Lampiran 11. Buku kerja terapi keputusan perawatan tanpa pasung Lampiran 12. Hasil analisis data kualitatif Lampiran 13. Informed consent Lampiran 14. Leaflet cara perawatan klien gangguanjiwa di rumah (halusinasi dan perilaku kekerasan)
xiv
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
BABl PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Etiologi kesakitan dan kematian di seluruh dunia saat ini telah bergeser dari penyakit menular ke penyakit tidak menular, seperti jantung, stroke, dan gangguan jiwa (Riskesdas, 2007). WHO (2007) melaporkan bahwa 31,7% morbiditas adalah karena gangguan jiwa. Ada lima masalah gangguan jiwa yang paling utama menyebabkan morbiditas (Stuart, 2009). Kelima masalah tersebut adalah depresi unipolar (11.8%), penyalahgunaan alkohol (3.3%), skizofrenia (2.8%), depresi bipolar (2.4%), dan demensia (1.6%). Kelima masalah ini dapat ditemukan baik di rumah sakit jiwa maupun masyarakat dan menyebabkan banyak kerugian moril dan material terutama bagi keluarga.
Gangguan jiwa merupakan respons maladaptif terhadap stresor dari dalam atau luar lingkungan yang berhubungan dengan perasaan dan perilaku yang tidak sejalan dengan budayalkebiasaan/norma setempat dan mempengaruhi interaksi sosial individu, kegiatan dan atau fungsi tubuh. Gangguan jiwa juga dide:finisikan sebagai suatu sindrom perubahan fungsi perilaku atau pola psikologis atau perilaku yang penting secara klinis yang tetjadi pada seseorang dan dikaitkan dengan adanya stres atau disabilitas. Tidaklah mudah mende:finisikan gangguan jiwa karena banyak faktor yang dapat dijadikan sebagai tolak ukur untuk menentukan seseorang terkena gangguanjiwa. Namun demikian dapatlah disimpulkan bahwa gangguan jiwa adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik maupun mental yang dianggap tidak sesuai dengan konsep norma yang ada (Stuart, 2009; American Psychiatric Association, 2000, dalam Varcarolis, 2006; Kaplan & Sadock, 2007; Townsend, 2009). Gangguan jiwa ada pada rentang ringan sampai dengan berat. Gangguan jiwa ringan adalah kondisi dimana seseorang mengalami masalah mental emosional, namun tidak sampai mengganggu fungsi kehidupan sehari-hari. Contoh dari gangguan jiwa ringan ini adalah ansietas sedang atau merasa rendah diri pada situasi tertentu. Gangguan mental emosional yang menimbulkan gangguan perilaku yang mengganggu fungsi kehidupan sehari-hari masuk dalam kategori gangguan jiwa berat. Contoh gangguan jiwa berat adalah skizofrenia.
1
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
2
WHO (2001) menyatakan kurang lebih satu dari empat orang d.i dunia mengalami masalah kesehatan jiwa dari ringan sampai berat. WHO juga menemukan bahwa hampir satu per tiga penduduk di wilayah Asia Tenggara pernah mengalami gangguan neuropsikiatri. Sedangkan di Indonesia menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga yang dilak:ukan pada tahun 1995, d.iperkirakan sebesar 186 dari 1000 anggota rumah tangga menderita gangguan jiwa. Sesungguhnya jumlah penderita masalah kesehatan jiwa di Indonesia cukup tinggi dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Menurut data WHO pada tahun 2006, 26.000.000 penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa (Maramis, 2006). Data lain menurut studi yang dilak:ukan oleh Departemen Kesehatan RI pada setiap propinsi di Indonesia (Depkes RI, 2008), prevalensi gangguan mental emosional adalah sebesar 11.6%, dan gangguan jiwa berat adalah 0.46%. Jawa Barat dan DK.I Jakarta merupakan propinsi dengan peringkat pertama dan kedua dalam prevalensi gangguan mental emosional di Indonesia, yaitu sebesar 20% dan 14.1 %. Untuk gangguan jiwa berat, DKI Jakarta merupakan propinsi dengan prevalensi tertinggi di Indonesia, yaitu sebesar 20.3%. Bila diperkirakan jumlah penduduk Indonesia tahun 2007 adalah sejumlah 224.000.000 jiwa (Bappenas, 2008), maka prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia adalah sebesar 1.030.400 jiwa.
Untuk tahun 2008, diperkirakan terjadi peningkatan morbiditas gangguan jiwa sekitar 52.000.000 atau 25 persen dari 220.000.000 penduduk Indonesia yang mengalami gangguan jiwa. Artinya 1 dari 4 penduduk Indonesia mengidap gangguan jiwa (Hawari, 2008 dalam Sari, 2009). Berdasarkan data ini dapat diperkirakan semakin banyak penduduk Indonesia yang mengidap gangguan jiwa, dari tingkat yang paling ringan sampai berat, mulai dari stres, panik, cemas, depresi, hingga psikosis. Angka ini akan terns meningkat pada tahun-tahun mendatang karena berdasarkan penelitian WHO (2007), setelah terjadi bencana, trauma atau kehilangan maka gangguan jiwa di daerah bencana tersebut dapat meningkat hingga 20 persen. Selain itu masalah ekonomi dan iklim politik yang selalu memanas disinyalir juga menjadi penyebab meningkatnya prevalensi gangguan jiwa setiap tahun. Namun demikian tampaknya kesehatan jiwa di Indonesia telah lama terabaikan, padahal penurunan produktivitas akibat gangguan kesehatan jiwa terbukti berdampak nyata pada perekonomian (Setiawan, 2008).
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
3
Masalah kesehatan jiwa pada awalnya kurang mendapat perhatian karena tidak langsung terkait dengan penyebab kematian. Perhatian terhadap kesehatan mental meningkat setelah WHO pada tahun 1993 melakukan penelitian tentang beban yang ditimbulkan akibat penyakit dengan mengukur jumlah tahun dalam kehidupan yang diperlukan untuk menyesuaikan diri dengan ketidakmampuan (Disability Adjusted Life Years/DALY's). Hasil penelitian tersebut menunjukkan ternyata gangguan jiwa mengakibatkan beban cukup besar yaitu 8.1% dari
Global Burden of Disease (GOB). Angka ini melebihi angka yang diakibatkan oleh penyakit tuberculosis dan kanker. Menurut basil studi Bank Dunia (1995) 8,1% hari-hari produktif hilang akibat beban penyakit yang disebabkan oleh masalah kesehatan jiwa. Angka ini lebih besar dibandingkan dengan hilangnya hari-hari produktif akibat tuberculosis (7,2%), kanker (5,8%), penyakit jantung (4,4%), dan malaria (2,6%). Walaupun gangguan jiwa bukanlah penyebab utama kematian namun merupakan penyebab utama dari terhentinya produktifitas
(death ofproductivity) pada kelompok usia paling produktif, yaitu antara usia 15 - 44 tahun (Chandra, 2001). Ini adalah masalah terbesar yang hams dihadapi sebagai akibat dari gangguan jiwa.
Klien gangguan jiwa, khususnya gangguan jiwa berat atau psikosis, mengalami gangguan dalam orientasi realita, perubahan mood, kepribadian, gangguan kebiasaan dan atau menarik diri (Stuart & Laraia, 2005). Gangguan pada kemampuan orientasi realita seringkali memicu perilaku agresif dan berbahaya pada klien, seperti mencederai diri sendiri dan orang lain serta merusak lingkungan. Halusinasi dan waham yang banyak dialami oleh klien psikosis dapat menjadi penyebab dari agresifitas ini. Perilaku agresif klien psikosis memperburuk stigma dan diskriminasi terhadap gangguan jiwa di masyarakat. Stigma terhadap masalah ini tidak hanya menimbulkan konsekuensi negatif bagi penderitanya tetapi juga bagi anggota keluarganya (Corrigan, Watson, & Miller, 2006).
Masalah stigma merupakan masalah sosial dimana lingkungan memberikan label negatif terhadap situasi dan kondisi seseorang. Stigma sosial membuat pembatasan-pembatasan bagi yang terkena stigma untuk berperan dan berfungsi dengan baik ditengah masyarakat. Stigma juga banyak dipengaruhi oleh mitos yang berkembang di masyarakat, antara lain mitos tentang gangguan jiwa sebagai penyakit akibat kutukan Tuhan (Daulima, 1999). Akibat stigma timbul sikap-sikap penolakan, penyangkalan oleh masyarakat yang membuat klien gangguan jiwa dan keluarga disisihkan dan diisolasi. Stigma akhirnya membuat keluarga seringkali merasa hams menyembunyikan anggota keluarganya yang mengalami gangguan Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
4
jiwa, bahkan sampai dengan tindakan memasung. Kondisi yang muncul akibat stigma membuat klien
tidak mampu mengambil
keputusan
dan bekerja dengan
baik.
Ketidakmampuan untuk mengambil keputusan dan bekerja dengan baik akan mempengaruhi k:ualitas hidupnya karena ia tidak dapat produktif lagi. Akibatnya individu yang sehamsnya dapat menghidupi dirinya sendiri dan keluarga hams menjadi beban bagi keluarga, masyarakat dan negara. Kondisi ini dapat diperparah dengan mahalnya biaya perawatan seorang klien gangguan jiwa. Menurut Videbeck (2008), perawatan kasus psikiatri dikatakan mahal karena gangguannya bersifat jangka panjang. Biaya yang harus ditanggung klien tidak hanya meliputi biaya yang langsung berkaitan dengan pelayanan kesehatan seperti harga obat dan jasa konsultasi, tetapi juga biaya spesiflk lainnya seperti biaya transportasi ke rumah sakit dan biaya akomodasi lainnya (Djatmiko, 2007). Sebagaimana yang dipaparkan pada alinea sebelumnya, gangguan jiwa ringan sampai berat sangat berpengaruh pada k:ualitas hidup dan produktivitas klien maupun keluarga. Hal ini terjadi karena dampak yang ditimbulkan menetap seumur hidup, bersifat kronik dengan tingkat kekambuhan yang tinggi dan dapat terjadi setiap saat sehingga pada akhirnya menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat. Behan ini terjadi karena antara lain dampak ekonomi yang ditimbulkan berupa hilangnya hari produktif untuk mencari natkah bagi klien maupun keluarga yang hams merawat, serta tingginya biaya perawatan yang hams ditanggung keluarga. Selain dampak ekonomi, pelayanan kesehatan jiwa yang belum memuaskan juga menyebabkan
bertambahnya
beban
pada
keluarga.
Pemerintah
Indonesia
hanya
mengalokasikan anggaran dibawah 1 persen untuk gangguan jiwa dari total anggaran kesehatan yang tersedia (Irmansyah, 2006). Berdasarkan data dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), saat ini hanya tersedia sekitar 8.500 tempat tidur di rumah sakit jiwa di seluruh Indonesia, padahal jumlah penderita gangguan jiwa berat di Indonesia diperkirakan sekitar 10.000.000 jiwa. Kondisi ini masih ditambah dengan minimnya jumlah tenaga kesehatan yang bergerak di bidang kesehatan jiwa, seperti psikiater dan perawat kesehatan jiwa. Kecilnya anggaran untuk menangani klien gangguan jiwa juga
berdampak pada pelayanan kesehatan di rumah sakit jiwa, sehingga untuk mengatasinya diperlukan adanya perbaikan sistem pelayanan di sektor masyarakat atau komunitas. Hal ini sebenarnya sangatlah bertolak belakang dengan UU no. 36 tahun 2009 tentang kesehatan. Pada pasal 4 disebutkan semua orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
5
kesehatan yang optimal. Namun realisasi dari UU ini masih membutuhkan perjuangan dan kerjasama yang baik antara pemerintah dan masyarakat. Secara intemasional, merujuk kepada pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang digunakan oleh PBB pada tahun 1948, dinyatakan bahwa semua orang bebas dan setara dalam hak dan martabatnya. Dalam hal ini tentunya termasuk orang dengan ketidakmampuan mental dan emosional. Konvensi PBB atas hak orang dengan kecacatan berlaku pada bulan Mei 2008. Instrumen legal intemasional ini melindungi semua hak fundamental seseorang dengan kecacatan fisik dan mental, seperti menunjukkan kapasitas diri, memilih pilihan mereka sendiri, hidup dalam komunitas, menikmati privasi, dilindungi dari tindak diskriminasi, bebas dari penyiksaan, perawatan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan, termasuk eksperimen ilmiah dan medis tanpa ijin (WHO, 2007). Pada kenyataannya hak-hak tersebut tidaklah dapat dipenuhi. Pada fasilitas-fasilitas layanan kesehatan jiwa seringkali ditemukan perlakuan tidak layak atau perawatan yang merendahkan martabat mereka. Seringkali hal ini disebabkan karena kurang memadainya fasilitas yang ada pada layanan tersebut. Namun demikian situasi merendahkan martabat dan memberikan perlakukan yang tidak layak seringkali juga dilakukan oleh keluarga klien dengan gangguan jiwa. Ada beberapa faktor yang menyebabkan keluarga tidak memperhatikan hak-hak klien yang merupakan bagian dari keluarga itu sendiri. Menurut Green (1980, dalam Notoatmodjo, 2003), perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu predisposing factor (meliputi pengetahuan, sikap, sistem nilai, tingkat pendidikan, dan tingkat sosial ekonomi), enabling factor (meliputi ketersediaan sarana dan prasarana serta fasilitas kesehatan), dan reinforcing factor (meliputi sikap dan perilaku tokoh masyarakat dan petugas kesehatan, undang-undang dan peraturan pemerintah). Berdasarkan paparan ini, dapat dilihat bahwa perlakuan keluarga dalam memperhatikan hak-hak klien dipengaruhi oleh ketiga faktor ini. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku ini harus diketahui dan dimengerti oleh keluarga sehingga dapat memenuhi hak klien melalui pemberian asuhan keperawatan yang tepat dan berkualitas. Kurangnya pengetahuan tentang faktor yang mempengaruhi perilaku ini dapat menambah beban yang dialami oleh keluarga.
Berdasarkan basil studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Mei 2010 terhadap keluarga klien gangguan jiwa yang pemah melakukan tindakan pasung, didapatkan data bahwa Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
6
perilaku klien yang mengganggu dan mengancam keluarga dan lingkungan sekitar mengakihatkan hehan secara materiil dan moril hagi keluarga. Behan ini hertamhah herat dengan adanya stigma dan penolakan dari lingkungan. Behan keluarga dan penolakan serta stigma dari lingkungan memhuat keluarga menjadi stres dan akhirnya tidak mampu memenuhi hak-hak klien gangguan jiwa melalui pemherian asuhan keperawatan yang henar. Akihat dari situasi ini, keluarga melakukan tindakan-tindakan untuk mengurangi stres yang seringkali melanggar hak asasi manusia, antara lain dengan mengucilkan klien dari kehidupan sehari-hari keluarga. Tindakan pengucilan ini kerapkali disertai dengan pengekangan dan pengurungan atau yang lehih terkenal dengan istilah pasung untuk mengatasi masalah yang ditimhulkan oleh anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Pasung kehanyakan dilakukan kepada klien gangguan jiwa kronik dengan perilaku agresif atau kekerasan dan halusinasi yang herisiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
Pasung merupakan tindakan pengekangan atau pemhatasan aktivitas secara fisik. Pelaksanaan tindakan pasung sesungguhnya melanggar hak asasi manusia dan hukum. Pada 26 Juni 1987 Perserikatan Bangsa-Bangsa memherlakukan Konvensi 1948 Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam dan Perlakuan Tidak Manusiawi Lainnya. Indonesia meratifikasi konvensi itu pada tahun 1998 (Margiyono, 2007). Walaupun secara fisik jelas menyiksa klien dan melanggar hukum, tindakan ini dipertahankan oleh keluarga dengan alasan hila dilepas perilaku agresifklien dapat menganggu ketentraman masyarakat. Menurut Minas dan Diatri (2008), pasung atau disehut juga hukum pasung merupakan metode yang cukup populer di masyarakat karena dapat dilakukan dimana saja dengan alat yang relatif mudah didapatkan. Alat pasung yang digunakanpun sangat heragam antara satu daerah dengan daerah lain. Umumnya hukuman pasung dilaksanakan sehagai pengganti penjara. Seseorang dihukum pasung karena herhagai sehah, antara lain prostitusi, kriminal hiasa, maupun gangguan jiwa. Klien gangguan jiwa yang dihukum pasung hiasanya disehahkan karena stigma, diskriminasi, pemahaman yang salah, serta helum adanya peraturan yang benar-henar melindungi mereka. Mereka dipasung karena dianggap memhahayakan keluarga, masyarakat,dan lingkungan sekitarnya. Pada studi pendahuluan ditemukan alasan lain keluarga melakukan tindakan pasung karena tidak tahu cara merawat klien di rumah dan juga tidak mengetahui altematif lain untuk menangani klien gangguan jiwa.
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
7
Di Indonesia, kata pasung mengacu kepada pengekangan fisik atau pengurungan terhadap pelaku kejahatan, orang-orang dengan gangguan jiwa, dan yang melakukan tindak kekerasan yang dianggap berbahaya (Broch, 2001 da1am Minas & Diatri, 2008). Pengekangan fisik jelas merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Philippe Pinel dianggap sebagai orang pertama yang berjasa dalam melepaskan para klien gangguan jiwa yang dirantai di Rumah Sakit Bicetre and Salpetriere di Paris pada akhir abad ke-18 (Beech, 2003, dalam Minas & Diatri, 2008). Namun demikian tindakan ini masih terns berlangsung sampai dengan sekarang baik di rumah sakit jiwa, tempat-tempat penyembuhan berbasis agama dan tempat-tempat lain di seluruh dunia. Beberapa jenis alat pengekangan meliputi rantailbelenggu, tali, kayu, kurungan, dan dikunci dalam ruangan tertutup, dilakukan baik terhadap laki-laki maupun perempuan, usia kanak-kanak sampai dengan lansia (The Times, 2007 dalam Sari, 2009). Hak hidup dan kebebasan merupakan hak dasar setiap manusia, bahkan untuk seorang penderita gangguan jiwa. Pasung merupakan salah satu tindakan yang merampas kebebasan dan kesempatan mereka untuk mendapatkan perawatan yang memadai, juga merendahkan martabat mereka sebagai manusia karena seringkali saat dipasung mereka tidak diperlakukan sebagaimana layaknya manusia. Hal yang paling memilukan adalah semua tindakan tidak bermartabat dan manusiawi ini masih banyak ditemukan di masyarakat dan dilakukan oleh keluarga yang pada prinsipnya adalah orang yang terdekat dengan klien gangguan jiwa. Sebagai contoh, di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) melalui program CMHN (Community Mental Health Nursing) teridentifikasi sebanyak 119 kasus pasung yang tersebar di 11 kabupatenlkota (Dinas Kesehatan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2006). Menurut PERSI (Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia) estimasi jumlah orang yang dipasung sampai dengan saat ini di Indonesia adalah sekitar 13.000-24.000 orang. Menurut Kementrian Kesehatan (2013) berdasarkan basil Riskesdas pada tahun 2013 ditemukan bahwa proporsi keluarga yang pemah melakukan pemasungan terhadap anggota keluarga yang mengalami gangguanjiwa sebesar 14,3 persen dan terbanyak dilakukan di wilayah pedesaan. Walaupun keluarga terlihat seperti tidak memiliki perasaan dalam melakukan tindakan pasung, namun sesungguhnya tindakan ini menimbulkan banyak konflik dalam keluarga, khususnya konflik antara keinginan memasung dan melepas klien dari pasung. Pada studi pendahuluan juga ditemukan tindakan pasung dilakukan karena keluarga tidak berdaya terhadap tekanan masyarakat sekitar yang merasa terancam dengan perilaku klien. Pada dasarnya keluarga tidak ingin memasung klien karena merasa sayang kepada anggota Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
8
keluarganya tersebut, namun tekanan secara psikis dari lingkungan sekitar yang sudah antipati dengan perilaku klien memaksa keluarga untuk melakukan tindakan pasung. Kondisi ini menimbulkan konflik berat pada keluarga sebelum tindakan pasung dilakukan. Konflik ini terjadi karena pilihan tindakan memasung atau tidak memiliki konsekuensi yang sama beratnya. Dalam hal ini keputusan yang diambil keluarga sebenarnya tidak mudah dan kerapkali membutuhkan proses yang cukup panjang dengan mempertimbangkan segala konsekuensinya. Pada beberapa kasus, sesungguhnya pasung merupakan tindakan keluarga untuk melindungi anggota keluarganya yang gangguan jiwa dari tindakan anarkis masyarakat sekitamya. Klien gangguan jiwa kronis yang cenderung agresif seringkali melakukan tindakan yang membahayakan orang lain dan lingkungan, seperti memukul, merusak fasilitas umum, dan mengamuk. Tindakan ini dapat memicu tindakan pembalasan dari orang lain atau masyarakat sekitar yang terkena dampak dari perilaku agresif klien. Pada akhimya karena keterbatasan pengetahuan tentang kesehatan jiwa ditambah minimnya fasilitas pelayanan kesehatan jiwa di masyarakat mendorong keluarga untuk mengambil keputusan tindakan pasung. Jumlah penelitian tentang pasung, khususnya di Indonesia masih sangat minim. Salah satunya adalah penelitian berupa studi diskriptif yang dilakukan oleh Minas dan Diatri pada tahun 2008 di pulau Samosir, Sumatera Utara. Penelitian ini menemukan bahwa tindakan pemasungan bukanlah hasil dari ketidakpedulian atau pengabaian oleh keluarga dan masyarakat sekitamya, atau penolakan untuk menerima perawatan kesehatan, tetapi lebih dianggap sebagai bentuk kelalaian pemerintah tentang tanggung jawab mereka untuk menyediakan pelayanan dasar kesehatan jiwa. Penelitian lain yang dilakukan oleh Doloksaribu (2008) lebih memfokuskan pada aspek hukum dan pelanggaran hak asasi korban pasung. Namun demikian sampai dengan saat ini belum ada penelitian yang menelaah secara mendalam masalah yang dihadapi oleh keluarga klien gangguan jiwa yang melakukan tindakan pasung, terlebih lagi motivasi mereka dalam melakukan pemasungan. Penelitianpenelitian sebelumnya lebih memfokuskan klien yang dipasung sebagai unit analisisnya, padahal tindakan pasung bukanlah pilihan klien melainkan pilihan keputusan dari orang lain yang dalam banyak kasus merupakan pilihan dari keluarga. Oleh karena itu, perlu dilakukan eksplorasi lebih lanjut tentang proses dalam pengambilan keputusan pasung oleh keluarga sehingga dapat dilihat alasan yang memotivasi keluarga dan tahapan proses keputusan dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini menjadi penting untuk membantu memutus mata rantai Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
9
tindakan pasung di masyarak:at yang jelas-jelas melanggar hale asasi manusia maupun norma dan nilai kemanusiaan lainnya.
Sejalan dengan program Kemenkes RI yang menargetkan pada tahun 2014 tidak ada lagi pemasungan terhadap orang dengan masalah kejiwaan/ODMK, maka menurut peneliti beberapa hal berikut perlu diperhatikan lebih lanjut. Pertama, untuk memutus tindakan pasung yang tidak berperikemanusiaan ini perlu dilihat faktor-faktor yang berkontribusi dalam proses pengambilan keputusan keluarga untuk tindakan pasung. Selain itu, perlu dikembangkan alat ukur untuk mendeteksi derajat stresor, respons terhadap stresor, ketersediaan sumber koping dan dorongan keinginan yang pada akhirnya memicu keluarga untuk melakukan tindakan pasung, sehingga keputusan pasung oleh keluarga pada kasuskasus klien dengan perilaku yang merusak dan agresif dapat terdeteksi sejak dini.
Selanjutnya bila terdeteksi adanya tingkat keputusan pasung yang tinggi maka diperlukan suatu terapi yang dapat mengedukasi dan memandu keluarga dalam pengambilan keputusan perawatan tanpa pasung pada klien gangguan jiwa khususnya yang kronik dengan perilaku agresif. Terapi ini harus teruji efektivitasnya dalam menurunkan tingkat keputusan pasung oleh keluarga. Berdasarkan kondisi ini peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang proses pengambilan keputusan pasung oleh keluarga terhadap klien gangguan jiwa. Penelitian ini menggunakan mixed method dengan desain exploratory sehingga dilakukan dalam dua tahap.
Tahap pertama dilakukan eksplorasi mendalam tentang proses pengambilan keputusan pasung oleh keluaga dengan pendekatan kualitatif melalui metode grounded theory, yang menghasilkan model pengambilan keputusan tindakan pasung oleh keluarga klien gangguan jiwa, instrumen kuesioner keputusan pasung Daulima (KKPD) dan terapi keputusan perawatan tanpa pasung (KPTP) dengan instrumen algoritma keputusan perawatan Daulima (AKPD) sebagai alat bantu terapi. KKPD bertujuan untuk mengukur tingkat keputusan keluarga dalam melakukan tindakan pasung, sedangkan KPTP dan AKPD diberikan untuk membantu keluarga klien gangguan jiwa kronik mengambil keputusan perawatan yang tepat dan terapeutik tanpa pasung. Pada tahap kedua digunakan pendekatan kuantitatif untuk uji validitas dan reliabilitas terhadap instrumen KKPD dan uji efektivitas AKPD dan terapi KPTP terhadap tingkat keputusan pasung dengan mengggunakan metode quasi experimental:
pre-post test with control group. Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
10
1.2. Rumusan Masalah Penelitian
Keberadaan klien gangguan jiwa di tengah keluarga sering menimbulkan beban bagi keluarga. Behan ini terjadi antara lain karena dampak ekonomi yang ditimbulkan berupa hilangnya hari produktif untuk mencari nafkah bagi klien maupun keluarga yang harus merawat, serta tingginya biaya perawatan yang hams ditanggung keluarga. Selain itu, terbatasnya anggaran pemerintah untuk kesehatan jiwa menyebahkan kualitas dan kuantitas pelayanan kesehatan jiwa hagi masyarakat belum memuaskan. Di sisi lain kurangnya pengetahuan keluarga tentang gangguan jiwa serta kurangnya motivasi untuk memberikan perawatan yang tepat bagi klien membuat kondisi beban yang ditanggung keluarga menjadi lehih kompleks. Hal ini menjadi bertambah parah dengan adanya stigma dan diskriminasi bagi seorang yang mengalami ketidakmampuan mental dan emosional. Stigma ini meliputi sikap-sikap penolakan,
penyangkalan,
disisihkan,
dan
diisolasi.
Behan-behan ini
menimbulkan stres pada keluarga yang sering memicu ketidakberdayaan ditengah keluarga. Untuk mengurangi tekanan akibat stres yang memicu ketidakberdayaan ditambah dengan desakan dari masyarakat yang resah karena perilaku klien, keluarga berusaha melakukan herbagai tindakan. Pada banyak kasus, pilihan tindakan yang seringkali diputuskan oleh keluarga untuk mengurangi stres akibat beban yang dialami adalah pasung. Pengambilan keputusan tindakan pasung sendiri bukanlah hal yang mudah untuk keluarga. Konflik dalam pengambilan keputusan seringkali terjadi karena dihadapkan kepada beberapa altematif tindakan yang sama-sama memiliki konsekuensi yang berat. Membiarkan klien dipasung memiliki konsekuensi perasaan bersalah, sedangkan membiarkan klien bebas memiliki konsekuensi tindakan antipati dan anarkis masyarakat sekitar terhadap klien dan keluarga. Pasung dilakukan oleh keluarga dengan berbagai cara, seperti mengikat anggota gerak (tangan dan kaki), mengisolasi di ruangan khusus dalam rumah, dan mengisolasi di ruangan khusus di luar rumah. Selama dipasung kebutuhan dasar klien seperti makan, minum dan mandi kerap diabaikan. Keluarga yang seharusnya menjadi sistem pendukung utama bagi klien tidak dapat menjalankan peran dan fungsinya dengan baik, padahal tindakan pasung ini jelas-jelas melanggar hak asasi manusia, khususnya hak untuk mendapatkan perlakuan manusiawi dan hidup bebas. Pemasungan juga membuat stigma sosial terhadap gangguan jiwa menjadi semakin kuat. Sejalan dengan program Kemenkes RI yang menargetkan pada tahun 2014 tidak ada lagi pemasungan terhadap orang dengan masalah kejiwaan/ODMK (PERSI, 2010), maka untuk Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
11
memutus tindak:an pasung yang tidak berperik:emanusiaan ini perlu dilihat faktor-faktor yang berkontribusi dalam proses pengambilan keputusan pasung oleh keluarga serta dikembangkan instrumen untuk mengukur tingkat keputusan pasung yang akan dilakukan keluarga, dan terapi serta panduan bagi keluarga untuk membantu pengambilan keputusan perawatan tanpa pasung pada klien gangguan jiwa khususnya yang kronik. Penelitian mixed method dengan desain exploratory ini dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama dilakukan eksplorasi mendalam tentang proses pengambilan keputusan pasung oleh keluarga dengan pendekatan kualitatif melalui metode grounded theory. Hasil dari tahap pertama adalah model proses pengambilan keputusan pasung oleh keluarga, kuesioner keputusan pasung Daulima (KKPD) dan terapi keputusan perawatan tanpa pasung (KPTP) dengan algoritma keputusan perawatan Daulima (AKPD) sebagai alat bantu terapi. Pada tahap kedua dilakukan pendekatan kuantitatif dengan uji validitas dan reliabilitas terhadap instrumen KKPD serta uji efektivitas terhadap AKPD dan terapi KPTP terhadap tingkat keputusan pasung oleh keluarga dengan metode quasi experimental: pre and post test with control group. Dengan demikian pertanyaan untuk penelitian ini adalah: 1.2.1
Bagaimana gambaran proses pengambilan keputusan pasung oleh keluarga terhadap klien gangguanjiwa?
1.2.2 Apakah instrumen KKPD valid dan reliabel untuk mengukur
tingkat keputusan
pasung oleh keluarga? 1.2.3
Apakah AKPD dapat membantu keluarga keluarga mengambil keputusan perawatan tanpa pasung bagi klien gangguanjiwa?
1.2.4 Apakah terapi KPTP dapat membantu keluarga mengambil keputusan perawatan tanpa pasung bagi klien gangguan jiwa?
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini terdiri dari dua tahap sehingga tujuan umum dan khususnya adalah sebagai berikut: 1.3.1. Tujuan Umum Dirumuskan model proses pengambilan keputusan pasung oleh keluarga terhadap klien gangguan jiwa, instrumen KKPD yang mengukur tingkat keputusan pasung, serta diketahuinya hubungan antara terapi KPTP dan AKPD dengan tingkat keputusan pasung oleh keluarga.
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
12
1.3.2. Tujuan Khusus 1.3.2.1. Diidentifikasi karakteristik keluarga klien gangguan jiwa yang dipasung dan yang belum pernah mendapatkan pengobatan atau putus obat. 1.3.2.2. Diperoleh gambaran proses pengambilan keputusan pasung oleh ke1uarga terhadap klien gangguan jiwa. 1.3.2.3. Diperoleh instrumen KKPD yang dapat mengukur tingkat keputusan pasung oleh ke1uarga terhadap klien gangguan jiwa. 1.3.2.4. Diperoleh AKPD sebagai panduan langkah-langkah pengambilan keputusan. 1.3.2.5. Diperoleh terapi KPTP sebagai terapi jangka pendek untuk memberdayakan keluarga dalam pengambilan keputusan perawatan yang tepat dan terapeutik tanpa pasung. 1.3.2.6. Diketahui hubungan antara terapi KPTP dan AKPD dengan tingkat keputusan pasung oleh keluarga terhadap klien gangguan jiwa.
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini memiliki manfaat untuk peningkatan kualitas pelayanan kesehatan, pengembangan keilmuan serta metodologi penelitian kesehatan dan keperawatan jiwa. Manfaat yang diperoleh dari basil penelitian dapat dijabarkan sebagai berikut: 1.4.1.
Manfaat Aplikatif 1.4.1.1. Tersedianya alat ukur KKPD bagi perawat untuk mengukur tingkat keputusan keluarga untuk melakukan tindakan pasung. 1.4.1.2. Tersedianya terapi KPTP dengan AKPD sebagai alat bantu terapi untuk menolong keluarga
dalam mengambil keputusan perawatan yang
paling tepat dan terapeutik bagi klien gangguan jiwa kronik. 1.4.1.3. Kuesioner dan terapi ini diharapkan dapat membantu mencegah dan menurunkan angka kejadian pasung di masyarakat.
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
13
1.4.2.
Manfaat Keilmuan 1.4.2.1. Teridentifikasinya model proses pengambilan keputusan pasung oleh keluarga sebagai panduan yang strategis untuk memutus mata rantai tindak:an pasung bagi klien gangguan jiwa di masyarak:at. 1.4.2.2. Hasil uji coba kuesioner KKPDdan uji efektivitas terapi K.PTP dengan AKPD sebagai alat bantu terapi diharapkan dapat menjadi evidance based bagi pengembangan instrumen dan terapi lebih lanjut untuk mendukung upaya preventif kejadian pasung di masyarak:at.
1.4.3. Manfaat Metodologi 1.4.3.1. Terpapar gambaran bagi penelitian berikutnya untuk dilak:ukan eksplorasi lebih lanjut tentang peran dan fungsi keluarga klien gangguan jiwa yang dipasung. 1.4.3.2. Tersedianya hasil penelitian yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan metode penelitian lain dalam rangka mengoptimalkan peran dan fungsi keluarga untuk memutus mata rantai tindak:an pasung di masyarak:at.
1.4.4.
Manfaat Kebijakan 1.4.4.1. Tersedianya informasi terkait faktor-faktor yang berkontribusi dalam proses pengambilan keputusan tindak:an pasung oleh keluarga terhadap klien gangguan jiwa, sehingga dapat dikembangkan program preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif yang tepat bagi kasus-kasus pasung di masyarak:at melalui pemberdayaan keluarga. 1.4.4.2. Teridentifikasi kontribusi yang dapat diberikan pada program pemerintah Indonesia Bebas Pasung dalam bentuk instrumen KKPD dan terapi KPTP dengan AKPD sebagai alat bantu terapi untuk upaya preventif tindakan pasung di masyarakat.
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
BAB2 TINJAUAN TEORI
Proses pengambilan keputusan keluarga merupakan fokus pada penelitian ini, maka teori dan konsep terkait proses pengambilan keputusan akan dibahas dalam bah ini. Teori dan konsep terkait dengan keluarga meliputi konsep keluarga, peran dan fungsi keluarga serta beban keluarga. Pada konsep gangguan jiwa akan diuraikan jenis gangguan jiwa dan gangguan jiwa kronik, sedangkan pada konsep pasung akan dijelaskan jenis pasung dan alasan pemasungan.
2.1. Pengambilan Keputusan: Siklus dan Konsep T erkait Pengambilan keputusan merupakan suatu proses siklus yang sating berhubungan. Setiap komponen dalam siklus tersebut mempengaruhi komponen lain dalam siklus tersebut. Selanjutnya akan dijelaskan siklus dan konsep yang terkait pengambilan keputusan dalam keluarga yang terdiri dari pengertian pengambilan keputusan, masalah pengambilan keputusan (decision problem), konflik pengambilan keputusan, dan proses pengambilan keputusan.
2.1.1. Pengertian Pengambilan Keputusan Teori terkait pengambilan keputusan (decision making), penyelesaian masalah (problem
solving), dan analisis keputusan klinis dalam ilmu bedah, neurologi, radiologi dan kardiovaskuler yang menggunakan pendekatan model ilmu ekonomi, matematika, dan psikologi (Eraker & Politser, 1982; Fryback & Thornbury, 1978; Kraus, 1972; Siegler, 1982; Weinstein & Fineberg, 1980 dalam Kayser-Jones, 1995) telah banyak dikembangkan. Melalui perhitungan metematika yang kompleks, para ahli teori normatif membuat berbagai model (pohon keputusanldecision tree dan algoritma) untuk memprediksi keputusan terbaik yang dapat diambil dalam suatu situasi tertentu, tujuan mereka adalah prediksi perilaku. Para ahli teori ini mengasumsikan bahwa semua orang bertindak secara rasional sehingga keputusan yang diambil dalam situasi nyata pasti akan sama dengan rencana atau prediksi keputusan yang dibuat.
Asumsi para ahli teori normatif tersebut diatas tidak memperhitungkan peluang untuk pertimbangan nilai, kecemasan, dan pergolakan emosi dalam diri seseorang. Para ahli teori keputusan deskriptif menemukan bahwa secara natural manusia seringkali tidak membuat
14 Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
Universitas Indonesia
15
keputusan seperti yang diprediksi oleh para ahli teori normatif (Bell, et al, 1988 dalam Kayser-Jones,1995; Harte & Koele, 1997). Analisis deskriptifberfokus pada bagaimana dan mengapa manusia berpikir dan berperilaku tertentu, sehingga pengambilan keputusan didefinisikan sebagai suatu proses yang tergantung pada suatu derajat signifikansi gaya kognitif seseorang. Teori lain menyatakan bahwa pengambilan keputusan merupakan suatu proses kognitif yang kompleks yang seringkali didefinisikan sebagai memilih rangkaian tindakan tertentu . Pada penelitian ini akan ditelaah proses pengambilan keputusan tindakan pasung oleh keluarga terhadap anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa.
Beberapa ahli menyatakan bahwa proses pengambilan keputusan tidak berfokus pada membuat pilihan semata, tetapi lebih kepada menemukan argumen untuk mendukung altematif yang menjadi pilihan, untuk menghindari perasaan kecewa dan untuk lebih mampu menghadapi kritik dari orang lain (Shepard, 1967; Slovic, 1975; Montgomery, 1983 dalam Ranyard, Crozier, & Svenson, 1997). Grunig dan Kuhn (2005) menyatakan bahwa suatu masalah pengambilan keputusan (decision problem) hanya muncul hila terdapat beberapa cara yang berbeda dalam menyelesaikan suatu masalah. Jadi pada proses pengambilan keputusan sebelum membuat pilihan keluarga berusaha untuk mencari berbagai altematif penyelesaian masalah dan memberikan argumen untuk setiap altematif tersebut. Pada proses menetapkan argumen untuk setiap altematif inilah kon:flik seringkali tetjadi. Berat ringannya konflik menentukan pilihan keputusan yang akan diambil, sehingga pada sub bab berikut akan dij elaskan tentang masalah pengambilan keputusan (decision problem).
2.1.2. Masalah Pengambilan Keputusan (Decision Problem) Perbedaan antara situasi saat ini dan situasi yang ingin dicapai secara tidak langsung menghasilkan masalah dalam pengambilan keputusan. Suatu masalah pengambilan keputusan hanya muncul hila ada beberapa pilihan tindakan untuk mengatasi perbedaan situasi tadi. Pengambil keputusan kemudian akan menghadapi masalah dalam mengidentiflkasi dan membuat rencana terhadap pilihan tindakan yang berbeda-beda tersebut. Menurut Grunig
dan Kuhn (2005) masalah pengambilan keputusan memiliki karakteristik sebagai berikut: a. Adanya ketidakkonsistenan antara situasi saat ini dan target yang akan dicapai. b. Sedikitnya terdapat dua pilihan tindakan untuk mencapai target.
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
16
Berdasarkan tingkat kesulitannya, masalah pengambilan keputusan dibagi menjadi sederhana dan kompleks. Masalah pengambilan keputusan yang kompleks akan muncul hila satu atau
lebih kondisi dibawah ini terjadi: a. Masalah yang dihadapi memiliki banyak sisi yang harus dipertimbangkan, dan beberapa sisi ini hanya bisa dijelaskan secara kualitatif b. Masalah yang memiliki parameter yang berbeda dan saling tergantung satu sama lain. Hal ini membuat ketidakjelasan dalam struktur masalah.
c. Masalah yang melibatkan lebih dari satu aspek/area. d. Masalah dengan sejumlah besar pilihan penyelesaian masalah. e. Adanya ketidakpastian yang berkembang di lingkungan .
Suatu masalah dikatakan well-structured hila dapat diselesaikan dengan menggunakan proses pengambilan keputusan yang analitik, hila sebaliknya maka disebut sebagai ill-structured. Berdasarkan hal ini munculah istilah choice problem dan design problem. Merujuk kepada pendapat Simon (1966 dalam Grunig & Kuhn, 2005), maka choice problem adalah masalah yang pilihan keputusannya telah diketahui sejak awal dan design problem adalah masalah yang tidak dapat diprediksi pilihan keputusannya. Kesimpulan yang dapat diambil adalah masalah pengambilan keputusan yang sederhana hampir selalu merupakan choice problem
dan seringkali pula memenuhi persyaratan masalah pengambilan keputusan yang wellstructured. Masalah yang kompleks biasanya merupakan design problem dan hampir selalu adalah ill-structured. Merujuk kepada kriteria yang telah disebutkan maka masalah pengambilan keputusan pasung termasuk dalam masalah kompleks karena terdapat banyak sisi yang harus dipertimbangkan seperti perasaan keluarga dan kebutuhan rasa aman lingkungan yang bersifat kualitatif. Masalah ini kemudian menjadi masalah yang tidak dapat diprediksi pilihan keputusannya (design problem) dan juga ill structured yang dapat memicu munculnya konflik dalam pengambilan keputusan oleh keluarga.
2.1.3. Konflik Pengambilan Keputusan Ketika harus membuat suatu keputusan penting seseorang seringkali mengalami konflik. Beberapa konflik menjadi berat hila si pengambil keputusan menyadari adanya risiko kehilangan yang serius akibat dari pilihan tindakan yang akan diambil. Menurut Janis dan Mann (1979), konflik pengambilan keputusan terjadi hila perdebatan untuk menerima atau menolak suatu pilihan tindakan terjadi secara terus-menerus dalam diri seseorang. Gejala yang paling sering terjadi dalam diri seseorang yang sedang menghadapi konflik adalah Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
17
keengganan, ketidakpastian, ragu-ragu, dan stres emosional. Gejala ini meningk:at k:hususnya pada saat keputusan yang hams diambil menjadi fokus perhatiannya. Karakteristik utama dari konflik pengambilan keputusan adalah adanya perasaan distres.
Stres psikologis tidak dapat dipisahkan dalam konflik pengamhilan keputusan. Janis dan Mann (1979) menyatakan ada lima asumsi dasar terkait huhungan antara stres psikologis dan konflik pengamhilan keputusan: a. Stres yang dihasilkan oleh konflik pengamhilan keputusan merupakan akihat langsung dari dorongan untuk mencapai tujuan yang tidak diharapkan oleh pengamhil keputusan. Stres yang dialami akan semakin berat hila ada keinginan yang hesar agar keputusan tersebut tidak diambil, namun di sisi lain keputusan tersebut harus diamhil karena akan mempengaruhi pencapaian suatu tujuan yang penting. Sebagai contoh: seorang ihu yang memiliki anak dengan gangguan jiwa tidak ingin anaknya dipasung, namun tuntutan pencapaian tujuan keamanan hagi lingk:ungan sekitar memhuat si ihu mengalami kon:flik dalam pengambilan keputusan. Ibu akan menjadi stres dalam menentukan pilihan memasung anak agar lingk:ungan aman namun sedih melihat anaknya dipasung atau tidak memasung anaknya namun harus herhadapan dengan sikap antipati masyarakat terhadap perilaku anaknya yang mengganggu lingk:ungan. b. Ketika seseorang menghadapi ancaman atau kesempatan untuk memilih tindakan yang baru, stres dalam pengambilan keputusan terjadi ketika ia ingin berkomitmen untuk tetap mempertahankan pilihan tindakannya yang sekarang. Merujuk kepada contoh diatas, hila si ibu mempertahankan sikap untuk tetap tidak memasung anak sedangkan masyarakat meyakini bahwa pasung adalah tindakan yang paling haik untuk lingk:ungan maka keinginan untuk tetap mempertahankan tindakan tidak memasung anaknya akan menimbulkan stres bagi si ibu dalam memutuskan melakukan tindakan pasung atau tidak. c. Ketika konflik pengambilan keputusan menjadi
lebih berat karena setiap altematif
pilihan memiliki risiko yang sama beratnya, maka kondisi putus asa akibat kesulitan menemukan solusi yang lebih haik dengan risiko yang rendah akan membuat seseorang bertindak menghindari risiko dari pilihan tindakan yang hams diambil. Sebagai contoh: saat keluarga tidak lagi menemukan solusi yang lebih baik dari pada pasung padahal hati kecilnya menolak tindakan pasung yang akan dilakukan, maka keluarga dapat saja mengijinkan masyarakat melakukan tindakan pasung bagi anggota keluarganya dengan pemyataan bahwa keluarga tidak bertanggungjawah atas risiko yang mungkin muncul, seperti cedera fisik, serta kemarahan anggota keluarga yang dipasung. Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
18
d. Dalam situasi kon:flik pengambilan keputusan yang berat, level stres dan tingkat kewaspadaan menjadi sangat tinggi ketika ancaman yang ada menjadi bermakna dan pengambil keputusan mengantisipasi adanya keterbatasan waktu dalam menemukan cara yang tepat untuk menghindari kehilangan yang akan terjadi. e. Derajat stres yang berada dalam batas toleransi seseorang akan meningkatkan kewaspadaannya dalam mempelajari altematif pilihan tindakan dan dalam mencari solusi yang baik. Kewaspadaan ini dapat membantu pengambil keputusan untuk menemukan cara yang memuaskan dalam menyelesaikan dilema pengambilan keputusan.
Stres diatas khususnya terjadi pada pengambilan keputusan untuk situasi darurat. Akibatnya ada lima pola koping yang biasanya digunakan pada situasi tersebut. Kelima koping tersebut adalah: unconflicted adherence, unconflicted change, defensive avoidance, hypervigilance, dan vigilance (Jannis & Mann, 1979). Unconflicted adherence adalah kondisi dimana pengambil keputusan tanpa mempedulikan apapun memutuskan untuk melanjutkan yang sedang dilakukan dengan mengabaikan informasi terkait risiko yang akan ditanggungnya.
Unconflicted change merupakan kondisi dimana pengambil keputusan tanpa berpikir panjang mengambil tindakan yang paling relevan atau yang paling direkomendasikan tanpa membuat rencana antisipasi dan persiapan psikologis terhadap hambatan atau masalah yang mungkin dihadapi. Defensive Avoidance adalah kondisi dimana pengambil keputusan menghindari konflik dengan cara menunda tindakan, memindahkan tanggungjawab pengambilan keputusan kepada orang lain, atau membuat rasionalisasi yang diinginkan dengan menekankan pada alternatif yang paling sedikit menimbulkan keberatan, meminimalkan kemungkinan konsekuensi yang tidak diinginkan dan mempertahankan ketidakpedulian terhadap informasi yang bersifat korektif. Hypervigilance adalah situasi dimana pengambil keputusan berada dalam kondisi panik dan secara tergesa-gesa mencari jalan keluar dari dilema, bolak-balik mengganti pilihan altematif
dengan cepat dan secara impulsif
mengambil solusi yang tidak realistis yang sepertinya menjanjikan penyelesaian masalah dengan segera. Vigilance yaitu suatu kondisi dimana pengambil keputusan mencari informasi yang relevan secara teliti dan detail, mengintegrasikan informasi dengan cara yang tidak bias
dan mengkaji altematif secara teliti sebelum membuat pilihan. Berdasarkan definisi-definisi tersebut, hanya vigilance yang merupakan koping adaptif dengan karakeristik mencari informasi secara sistematis, mempertimbangkan semua alternatif yang tersedia secara hatihati dan tidak terburu-buru, membuat keputusan akhir dengan cara yang tidak impulsif.
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
19
Sesungguhnya semua individu memiliki kelima jenis koping tersebut diatas dalam dirinya, pilihan koping akan sangat tergantung pada penilaian individu terhadap masalah yang dihadapinya (de Heredia, Arocena, & Garate, 2004; Buck, 2003). Berdasarkan basil dari studi pendahuluan, dalam memutuskan untuk memasung klien gangguan jiwa keluarga seringkali menggunakan koping hypervigilance dimana keputusan diambil dengan tergesa-gesa dan impulsifkarena tekanan dari lingkungan dan masyarakat sekitar, sehingga tidak sempat untuk mempertimbangkan konsekuensi dari pilihan keputusan yang diambil.
Konflik pengambilan keputusan juga dipengaruhi oleh pihak diluar pengambil keputusan. Pada riset yang dilakukan oleh Abbott, et al (200 1) tentang dukungan psikososial dan area konflik keluarga klien di ICU dalam pengambilan keputusan untuk menghentikan dan mempertahankan life-sustaining treatment, ditemukan bahwa banyak keluarga menghadapi konflik selama diskusi tentang end-of-life treatment di ICU. Konflik berpusat pada cara berkomunikasi dan berperilaku dari petugas kesehatan. Keluarga mengidentifikasi bahwa pelayanan spiritual dan diskusi sebelum pemilihan treatment merupakan sumber dukungan psikososial. Keluarga merasa nyaman hila sebelum mengambil keputusan dapat bertemu atau melakukan kontak terlebih dahulu dengan dokter yang bertugas. Hasil riset ini sejalan dengan riset yang dilakukan oleh Gries, Curtis, Wall, dan Engelberg (2008) tentang kepuasan keluarga dalam pengambilan keputusan untuk mengakhiri kehidupan di ICU. Gries, Curtis, Wall, dan Engelberg menyatakan bahwa peningkatan kepuasan keluarga dalam pengambilan keputusan penghentian
life support dipengaruhi oleh rekomendasi
dokter untuk
menghentikan life support, pemyataan keinginan klien, dan diskusi tentang kebutuhan spiritual keluarga. Berdasarkan basil riset ini terlihat bahwa sikap petugas kesehatan yang terapeutik dan pemenuhan kebutuhan spiritual memegang peranan penting dalam membantu keluarga menghadapi konflik pengambilan keputusan di bidang kesehatan. Disamping itu dapat juga meningkatkan kepuasan keluarga dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu pada riset ini dieksplorasi juga bagaimana peranan petugas kesehatan dalam proses pengambilan keputusan pasung oleh keluarga klien gangguan jiwa.
2.1.4. Proses Pengambilan Keputusan Menurut Kayser-Jones (1995) ada dua faktor yang berperan dalam proses pengambilan keputusan di bidang kesehatan, yaitu faktor ekstemal dan internal. Faktor ekstemal meliputi lingkungan, dukungan layanan kesehatan, dan layanan petugas kesehatan. Sedangkan faktor internal berhubungan dengan nilai, perilaku, keyakinan, tujuan, rencana dan harapan. Faktor Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
20
internal ini digunak:an dalam pendekatan kognitif dimana tujuan dan rencana dilihat sebagai aspek dasar dari proses keputusan yang memberikan panduan yang dibutuhkan dalam membuat keputusan. Dalam penelitiannya tentang pengambilan keputusan menjelang akhir hidup anggota keluarga Jepang Amerika dengan pendekatan grounded theory, Colclough dan Young (2007) menemukan bahwa ada empat dimensi pengertian keluarga yang membantu dalam pengambilan keputusan, yaitu kesadaran ak:an kegawatan kondisi anggota keluarganya, pengambilan keputusan terhadap life-sustaining treatment, kesiapan dalam menghadapi kematian, dan pengalaman dalam menghadapi proses kematian. Berdasarkan hasil studi ini fak:tor internal berperan cukup besar dalam proses pengambilan keputusan. Fak:tor internal ini hams didukung juga oleh fak:tor ekstemal yaitu para petugas kesehatan, khususnya dalam memberikan informasi kesehatan yang ak:urat dan peka budaya.
Ada beberapa fak:tor yang menyebabkan keluarga tidak: dapat mengambil keputusan untuk memperhatikan hak:-hak: klien yang merupak:an bagian dari keluarga itu sendiri. Menurut Green (1980, dalam Notoatmodjo, 2003), perilak:u seseorang termasuk perilak:u dalam pengambilan keputusan
dipengaruhi oleh tiga fak:tor, yaitu predisposing, enabling, dan
reinforcing factor. Predisposing factor meliputi pengetahuan, sikap, sistem nilai, tingkat pendidikan, dan tingkat sosial ekonomi. Enabling factor meliputi ketersediaan sarana dan prasarana serta fasilitas kesehatan. Reinforcing factor meliputi sikap dan perilak:u tokoh masyarakat dan petugas kesehatan, undang-undang dan peraturan pemerintah. Berdasarkan paparan ini, dapat dilihat bahwa sikap dan perilaku keluarga dalam pengambilan keputusan dipengaruhi oleh beberapa faktor-fak:tor tersebut. Fak:tor-fak:tor ini hams dikenali dan dikuasai oleh keluarga sehingga dapat mengambil keputusan untuk memenuhi hak: klien melalui pemberian asuhan keperawatan yang tepat dan berkualitas. Fak:tor predisposing,
enabling, reinforcing terkait yang memotivasi keluarga dalam pengambilan keputusan pasung ak:an dieksplorasi lebih lanjut dalam penelitian ini.
Pengambilan keputusan dapat juga dilak:ukan dengan menggunak:an pendekatan mumi intuisi tanpa refleksi yang teliti tentang masalah. Pengambilan keputusan ini dilak:ukan melalui prosedur rutin yang kerap digunak:an sebelumnya, adopsi saran pak:ar tanpa ditelaah terlebih dahulu, dan pilihan secara acak berdasarkan pikiran rasional yang sistematis serta informasi yang relevan (Paprika, 2006). Berdasarkan hasil studi pendahuluan, pengambilan keputusan tindak:an pasung oleh keluarga seringkali menggunakan pendekatan intuisi tanpa pertimbangan yang cermat. Padahal pendekatan yang diharapkan dapat dilak:ukan keluarga Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
21
dalam menghadapi masalah akibat gangguan jiwa adalah berdasarkan pemikiran rasional yang sistematis yang didukung oleh informasi yang relevan. Pendekatan ini disebut dengan metode deduktif. Metode deduktif meliputi proses yang lebih sistematis dan logis. Adapun tahapan dari metode deduktif terdiri atas identifikasi masalah; identifikasi prinsip yang mendasari keputusan; pertimbangkan jenis-jenis opsi yang akan dipilih; pertimbangkan untuk tidak melakukan apapun; pertimbangkan untuk berpikir berdasarkan konsekuensi; pertimbangkan prinsip-prinsip moral: autonomy, beneficence, nonmaleficence, justice, fidelity, dan veracity; memilih tindakan, mengevaluasi hasil dari tindakan yang dipilih (Doverspike, 2013). Pada tahun 1977 Janis dan Mann mengajukan suatu model proses pengambilan keputusan yang didalamnya diajukan ide bahwa keinginan pembuatan keputusan mencakup konflik yang memicu dapat terjadinya stres yang mengakibatkan seseorang tidak dapat mengambil keputusan dengan baik. Pengambilan keputusan yang tepat tidak dapat dilakukan karena berkaitan dengan pencarian informasi, pengkajian, dan pola pengambilan keputusan yang tidak produktif (de Heredia, Arocena, & Garate, 2004). Stres dapat bersumber dari dua kondisi berikut: kekhawatiran akan kehilangan obyektif dan materi sebagai akibat dari pilihan yang diambil, di lain sisi muncul kekhawatiran kehilangan subyektifyang dapat menurunkan harga diri. Janis (1968a, dalam Janis & Mann, 1979) menyatakan ada lima tahapan dalam suatu pengambilan keputusan. Tahapan ini dibuat berdasarkan penelitian terhadap orang-orang yang pemah mengalami situasi pengambilan keputusan pribadi yang sulit namun pada akhimya dapat dilakukan dengan sukses. Contoh pengambilan keputusan yang berat tersebut antara lain keputusan untuk berhenti merokok dan menurunkan berat badan. Kelima tahapan tersebut dapat dilihat pada tabel2.1. Merujuk kepada tahapan pengambilan keputusan oleh Jannis dan Mann (1979) tersebut, pada pengambilan keputusan pasung oleh keluarga klien gangguan jiwa tantangan yang dihadapi adalah perilaku klien yang membahayakan, penolakan masyarakat terhadap gangguan jiwa dan terbatasnya fasilitas pelayanan kesehatan jiwa secara kuantitatif maupun kualitatif. Tantangan-tantangan ini membatasi keluarga dalam mencari altematif penyelesaian masalah secara konstruktif. Keluarga menjadi cenderung mengambil tindakan cepat untuk mengamankan klien dengan cara mengurung atau memasung klien. Menurut Minas dan Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
22
Diatri (2008), pada hampir semua kasus dalam riset mereka tentang pasung terhadap klien gangguan jiwa, tindakan pasung ini juga mendapat dukungan dari pemuka masyarakat, sehingga keluarga dan pemuka masyarakat berinisiatif untuk melakukan pasung dan bertangung jawab sepenuhnya untuk mempertahankan tindakan tersebut.
Tabel2.1. Tahapan pengambilan keputusan model Jannis dan Mann Tahapan 2. Mensurvei alternatif
3. Mempertimbangkan altematif
4. Merencanakan komitmen 5. Menetapkan/Menyiapkan diri untuk umpan balik negatif
Pertanyaan Kunci Apakah risikonya berat/serius jika saya tidak mengubahnya? a. Apakah alternatif (yang bermakna) ini adalah cara yang dapat diterima untuk menyelesaikan masalah? b. Apakah saya telah cukup melaku.kan mensurvei terhadap altematif-alternatif yang tersedia? a. Alternatif apakah yang terbaik? b. Apakah altematif yang terbaik memenuhi persyaratan yang penting? Apakah saya sedang mengimplementasikan alternatif terbaik dan membiarkan orang lain tabu hal tersebut? a. Apakah risikonya berat/serius hila saya tidak mengubahnya? b. Apakah risikonya berat/serius jika saya mengubahnya?
(Sumber: Jannis dan Mann, 1979).
Tahapan pengambilan keputusan yang lain adalah yang dikembangkan oleh Maskay dan Juhasz (1983) untuk masalah seksual remaja. Dalam panduan ini terdapat enam langkah dalam pengambilan keputusan. Langkah-langkah tersebut dapat dilihat pada tabel 2.2. Sedangkan model konsep dan tahapan pengambilan keputusan Maskay dan Juhasz dapat dilihat pada gambar 2.1. Bila diperhatikan lebih lanjut kedua model pengambilan keputusan diatas memiliki persamaan dalam hal mengidentifikasi masalah, mencari altematif penyelesaian, mengambil keputusan dan mengevaluasi keputusan tersebut. Hal-hal inilah yang akan mendasari dalam pembuatan algoritma pengambilan keputusan tindakan pasung untuk keluarga klien gangguan jiwa.
Tahap pertama dan kedua pada model proses pengambilan keputusan oleh Maskay dan Juhasz (1983), sesuai dengan tahap pertama dari model tahapan pengambilan keputusan oleh Jannis dan Mann (1979). Sedangkan tahap ketiga dari Maskay dan Juhasz sejalan dengan tahap kedua dan ketiga dari Jannis dan Mann. Tahap keempat dan kelima dari Maskay dan Juhasz senada dengan tahap keempat dari Jannis dan Mann, sedangkan tahap keenam dari
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
23
Tabel2.2. Tahapan pengambilan keputusan model Maskay dan Juhasz Tahapan Keterangan secara jelas keputusan yang 1. Fokus kepada karakteristik masalah dan a. Nyatakan dipertimbangkan keputusan yang akan diambil b. Identifikasi dan mengerti alasan 2. Identifikasi dan gunakan infonnasi Carl infonnasi dari berbagai sumber yang telah dikumpulkan Dampak yang akan dihadapi secara langsung, tidak 3. Analisa dan hipotesa langsung, saat ini, yang akan datang, diri sendiri dan orang lain Pertimbangkan aspek fisik, sosial, intelektual, dan 4. Evaluasi dan seleksi emosional Pertimbangkan sumber daya, motivasi, kapabilitas, dan 5. Estimasi dan eliminasi kontrol Berdasafkan pada kemampuan untuk menerima 6. Keputusan dan tindakan tanggung jawab, perasaan nyaman, pertumbuhan dan peningkatan harga diri (Sumber: Maskay dan Juhasz, 1983).
Maskay dan Juhasz sesuai dengan tahap kelima dari Jannis dan Mann. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel2.3.
Menurut Maskay dan Juhasz (1983), pengembangan protokol pengambilan keputusan haruslah mengikuti prinsip berikut: jelas, sederhana, komprehensif dan langsung. Prinsip lain yang mendasari setiap langkah dalam panduan protokol adalah rasional yang mendasari langkah tersebut, metode yang digunakan dalam proses, lingkup masalah, sumber yang diusulkan dan digunakan. Proses pengambilan keputusan dasar yang ditetapkan dalam protokol pengambilan keputusan mencakup: a. Kejadian yang membuat keputusan tersebut menjadi penting. b. Ketersediaan altematif pilihan tindakan. c. Keseluruhan basil positif yang akan didapat hila dipertimbangkan terhadap konsekuensi negatif. d. Pilihan tindakan yang paling diharapkan, paling mungkin diketjakan, dan paling praktis.
2.2. Konsep Keluarga Konsep keluarga merupakan dasar pemahaman tentang keluarga. Pada penelitian ini keluarga yang dimaksudkan adalah keluarga klien gangguan jiwa. Selanjutnya pada sub bah ini akan
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
24
d.ibahas tentang pengertian keluarga, :fungsi keluarga, peran keluarga, beban keluarga dan beban keluarga.
Decision •State clearly the decision to be considered •Identify and understand the reason
I.
FocusDefine & Detennine
Seekinformation from varied sources
2. Collect information Identify & use
Include: direct, indirect, future, self, others
3. Analyze & Hypothesize
Consider: physical, social, intellectual, emotional aspects
4. Evaluate & Select
Determine: resources, motivation, capabilities, control
5. Estimate &Eliminate
Based on ability to: accept responsibility, feel comfortable, grow & enhance self·esteem
6. Decide and act
:41ternative choices for action every available one
Consequences
Most desirable choices
I I l Most practical choices
Conclusion for action Gambar 1. Model proses pengambilan keputusan (Maskay & Juhasz, 1983)
Gambar 2.1. Model Proses Pengambilan Keputusan Maskay dan Juhasz. (Sumber: Maskay dan Juhasz, 1983)
2.2.1. Pengertian Keluarga Menurut beberapa ahli, keluarga merupakan sekelompok orang dalam suatu sistem sosial yang dihubungkan dengan ikatan emosional, darah, atau keduanya dan diantara orang-orang tersebut berkembang pola interaksi dan hubungan (Hanson & Boyd, 1996 dalam Frisch, 2006; Carter & McGoldbrick 1996 dalam Boyd, 2002). Berdasarkan pendapat para ahli ini, keluarga dapat dibedakan menjadi keluarga inti dan keluarga besar. Keluarga inti merupakan sekelompok orang yang dihubungkan dengan ikatan darah, terdiri dari ibu, ayah, dan anak.
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
25
Sedangkan keluarga besar merupakan sekelompok orang yang dihubungkan dengan ikatan darah dan perkawinan, seperti kakek, nenek, paman, bibi, dan keponakan. Pada penelitian ini
Tabel2.3. Perbandingan tahapan pengambilan keputusan antara model Maskay dan Juhasz dengan Jannis dan Mann Jannis dan Mann (1979) 1. Mengkaji tantangan
Maskay dan Juhasz (1983) 1. Fokus kepada karakteristik masalah dan keputusan yang akan diambil 2. Identifikasi dan gunakan infonnasi yang telah
dikumpulkan -'2::-'.-::'M-'::-e.::._ns_:...:::urv~el:....;.a::-:olt.:. ; e.;_7ma;.;..ti'-f-=----:-::------- 3. Analisa dan hipotesa 3. Mempertimbangkan altematif 4. Merencanakan komitmen 4. Evaluasi dan seleksi 5. Menetapkan/Menyiapkan diri untuk umpan balik negatif
5. 6.
Estimasi dan eliminasi Keputusan dan tindakan
(Sumber: Maskay dan Juhasz, 1983; Jannis dan Mann, 1979).
keluarga adalah keluarga inti yang memiliki anggota keluarga dengan gangguan jiwa yang sedang atau pemah dipasung.
Keluarga yang berfungsi dengan baik dapat berhasil menghadapi krisis dengan pola yang positif (Varcarolis, 2006). Krisis dalam keluarga terjadi pada tiap tahapan perkembangan keluarga. Hal ini disebabkan karena setiap tahap membutuhkan peran dan tanggung jawab dalam menyelesaikan masalah dan tantangan didalamnya. Kerjasama antar anggota keluarga dibutuhkan dalam pengambilan keputusan dan penyelesaian masalah hila ada krisis yang menghambat kemampuan keluarga dalam menyelesaikan masalahnya dengan tenang dan konstruktif. Pada keluarga yang memiliki anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa kelelahan fisik dan emosional selama merawat anggota keluarga tersebut sering dialami oleh seluruh anggota keluarga yang lain. Akibatnya keluarga seringkali mengalami masalah kesehatan karena menurunnya daya tahan tubuh dan masalah interpersonal baik didalam maupun diluar lingkungan keluarga karena melemahnya kemampuan untuk bertoleransi terhadap stres. Selanjutnya akan dibahas fungsi-fungsi yang harus dijalankan oleh keluarga.
2.2.2. Fungsi Keluarga V arcolis (2006) menyatakan ada beberapa kategori dan defmisi fungsi yang dilakukan oleh keluarga. Fungsi ini dapat digunakan sebagai bentuk dukungan keluarga pada klien yang
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
26
mengalami gangguan jiwa. Fungsi-fungsi keluarga tersebut adalah fungsi manajemen, fungsi ikatan, fungsi komunikasi, fungsi suportif emosional, dan fungsi sosialisasi. Dalam keluarga klien gangguan jiwa fungsi manajemen tidak dapat berjalan sebagaimana harusnya. Fungsi manajemen dalam keluarga merupakan fungsi untuk melakukan pengaturan yang meliputi pengambilan keputusan dalam keluarga, membuat peraturan, ketetapan pendukung finansial, cara menghadapi lingkungan di luar keluarga dan perencanaan masa depan keluarga (Varcolis, 2006). Akibat stigma dan perilaku agresif anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa maka seringkali keluarga sulit mengambil keputusan dan membuat peraturan dalam keluarga. Pada beberapa kasus bahkan pengambilan keputusan dan pembuatan peraturan tersebut harus melibatkan pihak diluar keluarga yang merasa dirugikan dengan perilaku anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Akibat lain adalah keluarga mengalami masalah dalam mengatur cara menghadapi lingkungan diluar keluarga. Perasaan bersalah, malu, dan bingung mendorong keluarga untuk memilih cara maladaptif, seperti menarik diri ataupun agresif dalam menghadapi lingkungan diluar keluarga.
Fungsi komunikasi juga dapat mengalami masalah. Komunikasi berfungsi untuk menyampaikan dan menerima pesan dalam keluarga sehingga tujuan keluarga dapat tercapai. Namun demikian, beban subyektif dan obyektif yang ditanggung keluarga karena memiliki anggota keluarga dengan gangguan jiwa dapat membuat komunikasi dalam keluarga menjadi tertutup dan tidak terapeutik. Padahal pada fungsi ini seharusnya keluarga membangun pola komunikasi yang jujur dan terbuka, tanpa manipulasi, dan ekspresi yang jelas dalam menanggapi hal positif dan negatif (Varcolis, 2006).
Dukungan emosional yang meliputi rasa hormat antar anggota keluarga, cara menghadapi konflik, penggunaan sumber daya yang ada untuk kepentingan keluarga dan untuk memenuhi tugas perkembangan setiap anggota keluarga merupakan fungsi suportif emosional yang harus dipenuhi oleh keluarga. Fungsi inipun tidak dapat berjalan dengan baik pada keluarga yang memiliki klien gangguan jiwa. Tekanan beban dalam keluarga dan stigma dari lingkungan membuat konflik dalam keluarga memuncak yang seringkali berujung pada perlakuan yang tidak hormat kepada anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Pada studi pendahuluan ditemukan bahwa keluarga seringkali memarahi, membentak bahkan memasung klien gangguanjiwa dengan cara yangjauh dari rasa hormat.
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
27
Ketidak:mampuan
dan
hambatan
dalam
menjalank:an
fungsi-fungsi
diatas
akan
mengakihatkan munculnya keadaan disfungsional pada keluarga. Menurut Varcolis (2006), suatu keadaan patologi pada keluarga muncul sehagai akibat dari perkembangan yang disfungsional. Keluarga merupakan sehuah unit sistem terhuka yang dinamis dan interaktif dimana tiap anggota keluarga memiliki kontribusi yang signifikan dalam memhentuk: budaya, nilai, norma, tradisi sampai dengan model interaksi dalam keluarga tersebut. Setiap keluarga mempunyai mekanisme yang herbeda dalam menangkap dan menyikapi tekanan emosi yang dirasakan haik dari dalam maupun luar lingkungan keluarga. Berdasarkan kondisi ini dapat disimpulkan hahwa disfungsi keluarga merupakan ketidak:mampuan keluarga dalam menjalankan satu atau lehih fungsinya yang kedepan akan sangat berperan dan mempengaruhi hampir semua aspek kehidupan anggotanya. Kehadiran anggota keluarga dengan gangguan jiwa ditengah keluarga akan mempengaruhi fungsi keluarga, khususnya fungsi manajemen, komunikasi dan suportif emosional. Akihatnya hanyak keluarga dengan anggota keluarga yang gangguan jiwa mengalami masalah disfungsi keluarga.
2.2.3. Peran Keluarga Menurut Friedman (2010), peran menunjuk kepada beherapa perilaku yang kurang lehih hersifat homogen, yang dide:finisikan dan diharapkan secara normatif oleh seseorang dalam situasi sosial tertentu. Adapun peran keluarga menggamharkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat, dan kegiatan yang herhuhungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu. Peran individu dalam keluarga didasarkan pada harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok, dan masyarakat. Hal ini mewarnai keputusan-keputusan dan proses penyelesaian masalah yang dilakukan dalam keluarga. Akihatnya seringkali ditemukan bahwa keputusan keluarga diamhil tidak semata berdasarkan pertimhangan harapan dalam keluarga namun lebih hanyak karena pertimhangan harapan dari luar keluarga yaitu kelompok dan masyarakat. Keputusan juga kerapkali diamhil karena keluarga merasakan hehan yang cukup herat dengan memiliki anggota keluarga yang gangguan jiwa.
2.2.4. Behan Keluarga Behan keluarga dapat diartikan sehagai stres atau efek dari adanya klien gangguan jiwa dalam keluarga (Mohr, 2006). Behan keluarga merupakan tingkat pengalaman distres keluarga sehagai efek dari klien gangguan jiwa terhadap keluarganya. Kondisi ini dapat memicu meningkatnya stres dalam keluarga. Menurut WHO (2007), ada dua kategori hehan keluarga dengan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, yaitu: Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
28
a. Behan obyektif Behan obyektif merupakan beban yang berhubungan dengan masalah dan pengalaman anggota keluarga, meliputi gangguan hubungan antar anggota keluarga, terbatasnya hubungan sosial dan aktivitas kerja, kesulitan :finansial, dan dampak negatif terhadap kesehatan fisik anggota keluarga. b. Behan subyektif Behan subyektif merupakan beban yang berhubungan dengan reaksi psikologis anggota keluarga, meliputi perasaan kehilangan, kesedihan, cemas, dan malu dalam situasi sosial, mekanisme koping terhadap stres akibat gangguan perilaku dan frustasi yang disebabkan oleh perubahan hubungan.
Mohr (2006) membagi beban keluarga klien gangguan jiwa menjadi tiga jenis, yaitu: a. Behan obyektif Behan obyektif merupakan beban yang berhubungan dengan pelaksanaan perawatan klien, meliputi tempat tinggal, makanan, transportasi, pengobatan, keuangan dan intervensi krisis. b. Behan suhyektif Behan subyektif merupakan beban yang herhubungan dengan kehilangan, takut, merasa bersalah, marah dan perasaan negatif lainnya yang dialami oleh keluarga sebagai respons terhadap anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. c. Behan iatrogenik Behan iatrogenik merupakan beban yang disebabkan karena tidak berfungsinya sistem pelayanan kesehatan jiwa yang dapat mengakibatkan intervensi dan rehabilitasi tidak herjalan sesuai fungsinya.
Berdasarkan kedua jenis pemhagian hehan diatas dapat disimpulkan hahwa secara umum ada dua jenis beban yang dialami oleh keluarga klien gangguan jiwa, yaitu heban suyektif dan obyektif. Behan obyektif dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat aktual dan dapat diukur. Sedangkan beban suhyektif lebih merupakan distres psikologis yang berkaitan dengan adanya heban obyektif. Keluarga merasa kehilangan dan menjadi herduka untuk klien yang mereka kenai sebelum mengalami gangguan jiwa. Mereka merasa kehilangan harapan, mimpi, dan
cita-~
terhadap klien. Behan-behan ini merupakan stresor yang menimbulkan
stres pada keluarga. Dalam berespons terhadap stres keluarga akan berusaha untuk mempertahankan dirinya tetap homeostasis dengan menggunakan herhagai sumber koping Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
29
yang ada didalam keluarga dan masyarakat. Dukungan sosial merupakan salah satu sumber koping yang dibutuhkan untuk meringankan ketegangan yang dirasakan oleh keluarga. Namun pada kenyataannya keadaan yang te:tjadi seringkali sebaliknya. Dukungan sosial seringkali malah menjadi stresor yang lebih berat untuk keluarga. Stigma tentang gangguan jiwa di masyarakat membuat masyarakat menjauhi bahkan memusuhi keluarga, sehingga akhirnya keluarga seringkali mengurung angota keluarganya yang gangguan jiwa didalam rumah. 2.3. Gangguan Jiwa Gangguan jiwa merupakan kontributor utama untuk masalah beban akibat penyakit, mengalahkan gangguan fisik lainnya. Sebagai contoh, basil penelitian yang dilakukan oleh WHO pada tahun 1993 tentang beban yang ditimbulkan akibat penyakit dengan mengukur jumlah tahun dalam kehidupan yang diperlukan untuk menyesuaikan diri dengan ketidakmampuan (Disability Adjusted Life Years!DALY's) menunjukkan bahwa gangguan jiwa mengakibatkan beban cukup besar yaitu 8.1% dari Global Burden of Disease (GDB). Angka ini melebihi angka yang diakibatkan oleh penyakit tuberculosis dan kanker. Sedangkan menurut basil studi Bank Dunia pada tahun 1995, 8,1% hari-hari produktif hilang akibat beban penyakit yang disebabkan oleh masalah kesehatan jiwa. Angka ini lebih besar dibandingkan dengan hilangnya hari-hari produktif akibat tuberculosis {7,2%), kanker (5,8%), penyakit jantung (4,4%), dan malaria (2,6%). Beberapa gangguan jiwa yang berat seperti skizofrenia menyebabkan masalah yang besar pada klien gangguan jiwa, keluarga, masyarakat serta sistem kesehatan yang lebih luas karena walaupun gangguan jiwa bukanlah penyebab utama kematian namun merupakan penyebab utama dari terhentinya produkti:fitas (death ofproductivity) pada kelompok usia paling produktif, yaitu antara usia 15 - 44 tahun
(Chandra, 2001). Beberapa ahli memprediksikan bahwa sampai dengan tahun 2020, angka gangguan jiwa akan terus mengalami peningkatan sehingga besaran masalah akibat beban dan terhentinya produktivitas perlu terus diantisipasi (Stuart & Laraia, 2005; Mueser &
Gingerich, 2006; Stuart, 2009). Pada sub bah berikut akan dijelaskan tentang de:finisi gangguan jiwa, jenis gangguan jiwa, skizofrenia (gangguan jiwa beratlkronik) dan stigma gangguan jiwa. 2.3.1. De:finisi Gangguan Jiwa American Psychiatric Association mendefmisikan gangguan jiwa sebagai suatu penyakit atau
sindrom dengan manifestasi psikologis atau perilaku dengan atau kerusakan fungsi yang Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
30
berhubungan dengan gangguan sosial, psikologis, genetik, fisiklkimia, atau biologis (Shives, 2005). Gangguan ini tidak dibatasi pada hubungan antara manusia dan sekitamya. Penyakit ini dikarakteristikkan dengan gejala dan atau kerusakan dalam fungsi (American Psychitaric Association, 1994 dalam Shives, 2005). Menurut Stuart (2009), gangguan jiwa secara umum
dapat dibedakan menjadi neurosis dan psikosis. Neurosis memiliki karakteristik sebagai berikut: a. Satu atau sekelompok gejala yang menimbulkan stres dan dirasakan sebagai sesuatu yang aneh dan tidak dapat diterima oleh seorang individu. b. Secara umum uji realita secara masih utuh. c. Perilaku secara umum tidak membahayakan norma sosial (walaupun secara fungsional mengalami kerusakan secara signifikan). d. Gangguan bertahan atau kambuh kembali tanpa treatment dan bukan semata-mata reaksi sementara terhadap stresor. e. Tidak menunjukkan adanya faktor penyebab organik. Psikosis memiliki karakteristik berikut: a. Perilaku regresi. b. Disintegrasi kepribadian. c. Penurunan bermakna pada tingkat kesadaran. d. Sangat kesulitan untuk dapat berfungsi secara adekuat. e. Kerusakan berat pada kemampuan uji realita. Berikut ini akan dijelaskan tentang jenis gangguan jiwa khususnya jenis yang banyak ditemukan pada klien gangguan jiwa yang dipasung. 2.3.2. Jenis Gangguan Jiwa Merujuk kepada penggolongan diagnosa berdasarkan Pedoman Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa (PPDGJ) III, maka ditemukan bermacam jenis gangguan jiwa. Gangguan jiwa yang paling sukar ditangani karena adanya perilaku membahayakan seperti agresif adalah skozifrenia. Perilaku pada gangguan inilah pada banyak kasus akhirnya membuat keluarga memutuskan untuk melakukan tindakan pasung. Skizofrenia merupakan penyakit yang kompleks. Menurut Mueser dan Gingerich (2006), skizofrenia merupakan penyakit spesifik dengan karakteristik masalah pada fungsi sosial, ketrampilan merawat diri dan kesulitan membedakan antara hal yang nyata dan tidak nyata.
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
31
Pada spektrum gangguan skizofrenia terdapat beberapa jenis gangguan yaitu skizofrenia, skizofrenifonn, skizoafektif, kepribadian skizotipal dan sub tipe skizofrenia. PPDGJ ill menyatakan bahwa pada sub tipe skizofrenia terdapat gangguan jenis paranoid, katatonik, disorganized, undifferential dan residual (Mueser & Gingerich, 2006). Berikut ini akan
dijelaskan jenis dari skizofrenia.
2.3 .3. Skizofrenia Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa berat yang perjalanan penyakitnya berlangsung kronis, umumnya ditandai oleh distorsi pikiran dan persepsi yang mendasar dan khas, dan oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted). Menurut lCD 10 semua kategori kriteria diagnostik untuk skizofrenia mencakup semua jenis skizofrenia yang umum, termasuk jenis yang kurang umum dan gangguan-gangguan yang berhubungan.
Kriteria umum untuk skizofrenia paranoid, hebefrenik, katatonik dan undifferentiated: Paling sedikit satu dari sindrom, tanda dan gejala berikut ini harus tampak: a. Tought echo, tought insertion atau menarik diri, atau tought broadcasting b. Waham kontrol, pengaruh, atau pasif, secara jelas merujuk kepada pergerakan tubuh atau ekstremitas atau pikiran, tindakan atau sensasi yang spesifik.
Sedangkan skizofrenia residual merupakan suatu tahapan kronik dalam perkembangan gangguan skizofrenia, dimana ada perkembangan yang jelas dari tahap awal kepada tahap selanjutnya yang dikarakteristikkan sebagai jangka panjang, irreversible, dan memiliki gejala negatif. Untuk dapat memastikan perumusan diagnosa diatas maka beberapa kriteria berikut ini harus dipenuhi oleh klien: a. Menunjukkan gejala-gejala negatif skizofrenia, seperti: psikomotor lambat; kurang aktivitas; afek tumpul; pasif dan kurang inisiatif; miskin dalam isi dan kuantitas pembicaraan; miskin komunikasi tanpa verbal melalui ekspresi wajah, kontak mata, modulasi suara, dan postur; kurang perawatan diri dan penampilan sosial. b. Paling sedikit 1 tahun sebelumnya mengalami satu episode psikotik yang jelas memenuhi kriteria skizofrenia.
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
32
c. Sedikitnya selama periode satu tahun intensitas dan frekuensi gejala seperti halusinasi dan waham menjadi minimal atau secara substansi berkurang, dan disaat yang bersamaan sindrom negatif skizofrenia muncul. d. Tidak adanya demensia atau gangguan otak organik
lainnya, depresi kronik atau
institusionalisme yang dapat menjelaskan kerusakan negatif
Skizofrenia atau gangguan jiwa kronik dapat menimbulkan beban yang berat bagi keluarga karena perilaku yang muncul seringkali membahayakan keluarga dan lingkungan. Sebagai contoh pada kondisi kronik isi halusinasi klien sudah sampai pada tahap mengancam dan menguasai klien, sehingga klien dapat saja bertindak mencederai dirinya sendiri, orang lain dan lingkungan karena perintah dari halusinasinya. Menurut hasil riset Minas dan Diatri (2008) tentang pasung di wilayah Samosir, Indonesia, tiga belas dari lima belas responden dalam penelitian ini didiagnosa menderita skizofrenia.
2.4 Stigma Gangguan Jiwa Stigma merujuk kepada perilaku atau keyakinan negatif masyarakat terhadap individu yang menjadi bagian dari kelompok tertentu, seperti kelompok penderita gangguan jiwa (Muesser & Gingerich, 2006; Link & Phelan, 2001; ). Ketika stigma terjadi, setiap individu yang
terstigma
diasumsikan akan memiliki semua stereotip negatif yang membuat mereka
ditakuti, tidak disukai dan dihindari (Corrigan, 2000).
2.4.1 Dampak Stigma Pada Gangguan Jiwa Stigma terhadap gangguan jiwa memiliki dampak negatif pada hampir seluruh aspek kehidupan orang dengan gangguan jiwa. Orang dengan gangguan jiwa seringkali menjadi korban dalam tindakan-tindakan kriminal, ditolak dalam dunia pekerjaan dan lingkungan rumah. Menurut Corrigan dan Watson (2002) dampak dari stigma terhadap gangguan jiwa terdiri atas dua bagian yaitu stigma publik dan stigma diri. Stigma publik merupakan reaksi umum masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa. Stigma diri merupakan penolakan yang dilakukan oleh orang dengan gangguan jiwa terhadap dirinya sendiri. Secara spesi:fik stigma publik dapat berupa keyakinan negatif terhadap kelompok tertentu; menyetujui keyakinan dan/atau reaksi emasional yang negatif terhadap kelompok tertentu seperti marah, ketakutan dan respons perilaku terhadap penolakan seperti menghindar, menghambat kesempatan kerja. Stigma diri dapat berupa keyakinan negatif terhadap diri dan menyetujui reaksi emosinal negatif yang ditujukan pada dirinya (Muesser & Gingerich, 2006). Pada Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
33
kasus-kasus pasung klien gangguan jiwa, stigma yang terjadi kebanyakan adalah stigma publik dimana masyarakat merasa dibenarkan untuk melakukan tindakan kekerasan dan perampasan hak hidup bebas dari klien karena label gangguan jiwa yang dikenakan pada klien.
2.5. Pasung Sebagai Metode Menangani Masalah Gangguan Jiwa Pada 26 Juni 1987 Perserikatan Bangsa-Bangsa memberlakukan Konvensi 1948 Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam dan Perlakuan Tidak Manusiawi Lainnya. Konvensi ini sudah disahkan sejak 1948, namun selama tiga puluh sembilan tahun tidak diberlakukan. Pada tahun 1992, lima puluh dua negara meratifikasi konvensi tersebut. Indonesia bam meratiflkasi konvensi tersebut pada tahun 1998 (Margiyono, 2007). Pasung merupakan salah satu bentuk penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam dan tidak manusiawi yang telah ditentang dunia sejak tahun 1948 tersebut.
Menurut catatan sejarah ada beberapa alat dan metode yang sering digunakan untuk: menghukum maupun menyiksa para narapidana, pelaku prostitusi sampai dengan penderita gangguan jiwa. Berdasarkan hal ini dapat dilihat bahwa klien gangguan jiwa disejajarkan posisinya dengan para penjahat dan pelaku prostitusi. Menurut Margiyono (2007), beberapa metode dan alat tersebut adalah sebagai berikut:
a. Iron meiden Iron meiden merupakan peti mati terbuat dari baja yang digunakan untuk menyiksa orang. Peti ini menyerupai patung yang mukanya berupa omamen meiden. Pada bagian pintu terdapat benda tajam semacam pisau. Saat pintu ditutup, benda tajam tersebut akan menusuk korbannya, sehingga akan mati pelan-pelan antara 7 sampai 21 hari. Alat ini dapat ditemukan di Nurenberg, Jerman. Alat yang diperkirakan digunakan sejak 1793 ini dihancurkan setelah kejatuhan Hitler pada Perang Dunia II.
b. Garpu algeria Garpu ini dipasang pada leher korban, dengan kalung besi yang ketat. Disebut garpu Algeria karena pertama kali digunakan untuk menyiksa terpidana Gerbang Babazonia, Algeria, 400 tahun yang lalu. Jika si narapidana tertidur maka akan tertusuk garpu yang ujungnya beracun tersebut.
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
34
c. Hukuman bakar Hukuman bakar pertama kali diterapkan oleh Romawi untuk menghukum penyebar ajaran Kristen. Di kemudian hari digunakan oleh penguasa Katholik Roma untuk orang-orang yang melawan ajaran agama. Hukuman ini juga digunakan oleh penguasa Protestan terhadap dukun dan tukang sihir. Hukuman bakar dilakukan dengan cara memasukkan korban ke dalam kurungan besi lalu dibakar dari bawah. Pada jaman modem hukuman bakar masih diterapkan di Afrika dengan cara menyiram korban dengan bensin lalu dibakar hidup-hidup. d. Hukuman pancung Hukuman pancung digunakan di Inggris terhadap para pemberontak Irlandia pada tahun 1798. Hukuman pancung yang lebih modem digunakan pada Revolusi Perancis dengan alat guletin. Sampai dengan saat ini hukuman pancung masih berlaku di negara-negara tertentu seperti Arab Saudi. Pada tahun 2012 Arab Saudi melakukan hukuman pancung terhadap 76 orang dan pada awal tahun 2013 terhadap 28 orang yang melakukan pelanggaran hukum seperti pemerkosaan, pembunuhan, kemurtadan, perampokan bersenjata dan penyelundupan senjata (Hardoko, 2013). e. Cambuk Hukuman cambuk merupakan salah satu hukuman paling tua. Metode ini digunakan sejak tahun 195 SM oleh imperium Romawi untuk menghukum terpidana yang berstatus bukan warga negara. Pada masa perbudakan hukum cambuk juga merupakan hukuman terhadap para budak yang membangkang atau melarikan diri. Di Australia, hukuman cambuk diterapkan untuk narapidana Aborigin sampai abad modem. Sampai saat ini hukum cambuk masih diberlakukan di Malaysia dan Singapura. Di Aceh baru-baru ini hukum cambuk kembali diterapkan dibawah Qonun. f. Pasung
Hukuman pasung atau pilori merupakan metode yang paling popular karena ada dimanamana. Alat pasungpun sangat beragam dari satu tempat ke tempat lain. Umumnya hukuman pasung dilaksanakan di luar ruangan sebagai pengganti penjara. Orang dihukum pasung karena beragam sebab, antara lain prostitusi, kriminal biasa, juga gangguan jiwa. Di Amerika Serikat pasung diterapkan sampai dengan awal abad ke-20, terutama di pedalaman yang tidak memiliki penjara. Di Indonesia, sampai dengan saat ini hukuman pasung masih diberlakukan, khususnya pada klien gangguan jiwa. Menurut data yang ditemukan oleh tim Community Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
35
Mental Health Nursing (CMHN) pada tahun 2005-2007, di Nanggroe Aceh Darussalam terdapat 119 kasus pasung bagi klien gangguan jiwa di 11 Kabupatenlkota (Dinas Kesehatan provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2006). Jumlah kasus terbanyak ditemukan di Pidie dan Biruen, masing-masing 30 dan 24 kasus (lihat tabel 1). Kebanyakan dari klien gangguan jiwa
ini telah dipasung selama berpuluh tahun. Faktor predisposisi dari gangguan jiwa di Pidie dan Biruen kebanyakan adalah akibat konflik politik yang terjadi selama bertahun-tahun karena Pidie dan Bireun dikenal sebagai daerah-daerah pusat konflik di NAD.
Selain di NAD, pada tahun 2006 ditemukan kasus pasung bagi klien gangguan jiwa di Sumatera Utara, Medan (Purba, 2006). Klien tersebut telah dipasung selama 21 tahun. Pada implementasi program CMHN tahun 2005-2008 di Nias juga banyak ditemukan klien gangguan jiwa yang dipasung. Bahkan media masa baik cetak maupun elektronik belakangan
ini banyak menayangkan kasus pasung pada klien gangguan jiwa di berbagai pelosok Indonesia.
Melihat fenomena jumlah kasus pasung diatas maka seharusnyalah tindakan pasung dapat segera dicegah dan ditangani secara tepat sehingga klien gangguan jiwa mendapatkan penanganan yang terbaik dan manusiawi. Melalui penanganan tepat dan manusiawi diharapkan para klien dapat tetap berfungsi, produktif dan diterima di tengah masyarakat.
Tabel 2.4. Distribusi pasien pasung di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam tahun 2006 No.
1.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
10. 11.
Kabupaten/Kota
AcehBesar BandaAceh Aceh Utara Pidie Lhokseumawe Biruen AcehJa}::a AcehBarat Nagan Singki1 Sime1ue
Jumlah .Kiien Dipasung
Jumlah Klien Yang Ditangani Perawat CMHN
1
1
10
10
30 6 24 2
24 4 24 2 13 6 10 6 101
13
6 10 6
TOTAL
119
Jumlah .Kiien Pasung Yang Telah Dile~as
6 2 14 1 12 6 6 6
55
(Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2006)
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
36
2.5.1. De:finisi Pasung Menurut Broch (2001 dalam Minas & Diatri, 2008), istilah pasung di Indonesia merujuk kepada pengekangan fisik (physical restraint) atau pengurungan/pengisolasian (seclusion) terhadap pelaku kriminal, dan individu yang mengalami gangguan jiwa serta agresif dan berbahaya. Pengekangan fisik merupakan semua metoda manual dengan penggunaan materi atau alat mekanik yang dipasang atau ditempelkan pada tubuh klien dan membuatnya tidak dapat bergerak dengan mudah atau yang membatasi kebebasannya dalam menggerakkan tangan, kaki, atau kepala. Termasuk dalam pengekangan adalah penggunaan psikofarmaka untuk mengontrol perilaku maupun membatasi kebebasan gerak klien dan merupakan terapi maupun dosis terapi yang tidak sesuai standar prosedur yang berlaku. (Council for Community Behavioral Healthcare, 2007; Centers for Medikare and Medikaid Services, 2006
dalam Stokowski, 2007). Pengekangan tidak termasuk dalam penggunaan alat untuk keperluan ortopedi, balutan luka atau bandage, helm pelindung atau metoda lain yang bertujuan untuk membantu klien dalam prosedur pemeriksaan fisik atau tes rutin, melakukan aktivitas tanpa risiko yang membahayakan fisik, atau melindungi klien dari jatuh. (Centers for Medikare and Medikaid Services, 2006 dalam Stokowski, 2007)
Pengisolasian adalah tindakan mengurung klien sendirian tanpa persetujuan atau dengan paksa, dalam suatu ruangan atau area yang secara fisik membatasinya untuk dapat keluar atau meninggalkan ruangan atau area tersebut. Termasuk didalamnya tindakan pencegahan secara fisik yang dilakukan staf agar klien tidak keluar ruangan (Council for Community Behavioral Healthcare, 2007; Centers for Medikare and Medikaid Services, 2006 dalam
Stokowski, 2007). Pada penelitian ini pasung merujuk kepada semua tindakan pengekangan fisik maupun pengisolasian dengan cara apapun terhadap penderita gangguan jiwa di masyarakat. 2.5.2 Jenis-jenis Pasung Dalam risetnya dengan pendekatan cross-sectional, Minas dan Diatri (2008) menemukan bahwa jenis pasung yang paling sering digunakan adalah pengisolasian dalam ruangan atau gubuk kecil. Pada salah satu responden, gubuk tersebut dibangun di tengah sawah milik keluarga dan membutuhkan waktu sepuluh menit dengan berjalan kaki dari rumah keluarga ke gubuk tersebut. Jenis yang lain adalah dengan mengikat kaki responden dengan besi atau kayu. Pada studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Mei 2010 terhadap keluarga yang pernah melakukan tindakan pasung, ditemukan tindakan pasung dengan cara mengurung Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
37
klien di luar rumah di dalam kotak kayu berukuran lx0,5x0,5 meter, pada kasus lain ditemukan tindakan mengikat kedua kaki klien dengan rantai. Di Nias ditemukan tindakan pasung dengan cara dikurung di kandang dan diikat pada balok kayu. Lamanya pemasungan berkisar antara dua bulan sampai dua puluh satu tahun. Tindakan diatas bertentangan dengan prinsip pengekangan atau pengisolasian dalam teori keperawatan. Pengekangan atau pengisolasian hanya boleh dilakukan pada situasi darurat dimana semua tindakan keperawatan yang diberikan tidak efektif untuk menyelesaikan masalah. Tujuan tindakan ini hanya untuk mencegah klien mencederai diri sendiri dan orang lain dan harus dilakukan oleh petugas kesehatan yang sudah terlatih untuk melakukan hal ini secara aman dan manusiawi. Pengisolasian tidak boleh digunakan sebagai hukuman, pemaksaan ataupun ancaman. Ditambah lagi dalam 1 jam pertama klien sudah hams diperiksa secara seksama oleh perawat dan dokter, dan hal ini dilakukan terns pada setiap jam berikutnya selama klien difiksasi atau isolasi (Huffme, 1999; Centers for Medikare and
Medikaid Services, 2006 dalam Stokowski, 2007). Merujuk kepada aturan yang dikeluarkan oleh Council for Community Behavioral Healthcare pada tahun 2007 tentang pengekangan
dan pengisolasian, maka pengekangan maupun pengisolasian hams dilakukan sesuai indikasi dan per 24 jam tidak boleh lebih dari: 4 jam untuk dewasa, 2 jam untuk usia 9-17 tahun dan 1 jam untuk usia dibawah 9 tahun.
2.5.3. Alasan Melakukan Pemasungan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Minas dan Diatri (2008) serta hasil studi pendahuluan, alasan utama keluarga melakukan tindakan pasung terhadap klien gangguan jiwa adalah untuk pencegahan terjadinya cedera pada klien dan orang lain, pencegahan agar klien tidak keluyuran dan lari sehingga dapat membahayakan orang lain, pencegahan kemungkinan bunuh diri, dan tidak adanya orang yang merawat klien. Alasan lain adalah tidak adanya biaya untuk mengobati klien terutama biaya perjalanan menuju fasilitas pelayanan kesehatan jiwa karena fasilitas ini tidak ada yang dekat tempat tinggal klien.
K.lien gangguan jiwa seharusnya tidak perlu dipasung hila mendapatkan terapi yang tepat. Salah satu terapi yang dibutuhkan untuk membantu menyelesaikan masalah klien gangguan jiwa adalah terapi keperawatan, khususnya terapi modalitas keperawatan jiwa. Berikut ini akan dijelaskan tentang jenis terapi modalitas keperawatan jiwa dan terapi yang dapat
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
38
diberikan kepada keluarga yang berisiko tinggi untuk memutuskan tindakan pasung bagi klien gangguan jiwa.
2.6. Terapi Modalitas Keperawatan Jiwa Terapi modalitas keperawatan jiwa merupakan metoda tritmen untuk menyelesaikan masalah keperawatan jiwa pada klien (Taylor, 2008). Terapi modalitas keperawatan jiwa terdiri atas terapi individu, keluarga, kelompok, lingkungan, somatik yang dalam implementasi di Indonesia difokuskan pada tiga kelompok terapi yaitu terapi individu, kelompok dan keluarga (Stuart, 2009). Berikut ini akan dijelaskan masing-masing kelompok terapi ini.
2.6.1. Terapi Individu Terapi individu merupakan terapi yang berfokus pada individu dan mencakup aspek kehidupan individu (Stuart, 2009). Jadi terapi ini diberikan kepada individu klien untuk menyelesaikan masalah keperawatan jiwa yang dialami oleh klien. Terapi individu yang sering digunakan didalam asuhan keperawatan jiwa antara lain adalah terapi kognitif, perilaku, kognitif perilaku, latihan ketrampilan sosial, penghentian pikiran, dan relaksasi progresif. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa terapi-terapi ini efektif untuk menyelesaikan masalah keperawatan pada klien.
2.6.2. Terapi Kelompok Terapi kelompok adalah tritmen penyelesaian masalah keperawatan jiwa yang diberikan dalam kelompok yang terdiri dari tiga orang atau lebih yang dilibatkan dalam tugas-tugas tertentu untuk mencapai tujuan (Stuart, 2009). Diberikan dalam kelompok dengan tujuan agar terjadi interaksi positif yang terapeutik antar anggota kelompok. Namun demikian kelompok terapeutik berbeda dengan kelompok sosial karena tujuan dari terapi kelompok adalah untuk membantu individu dalam kelompok memperbaiki pola perilaku dan untuk mengembangkan cara baru yang lebih efektifuntuk menghadapi sttesor kehidupan sehari-hari. Beberapa terapi kelompok ini sering diberikan untuk menyelesaikan masalah keperawatan pada klien dengan kondisi sehat, risiko maupun gangguan jiwa yaitu terapi kelompok swabantu, suportif, dan kelompok terapeutik ibu hamil sampai dengan lansia.
2.6.3. Terapi Keluarga Terapi keluarga diberikan untuk menyelesaikan masalah keperawatan jiwa yang dialami keluarga, berdasarkan kepada keyakinan bahwa orang yang diidentifikasi sebagai sakit Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
39
menunjukkan gejala perilaku yang merupak:an ak:ibat dari masalah yang terjadi dalam sistem keluarga (Stuart, 2009). Terapi keluarga yang sering diberikan kepada keluarga adalah terapi
triangle dan psikoedukasi keluarga. Selain terapi keluarga tersebut adapula terapi keluarga yang dikembangkan dalam penelitian ini, bertujuan membantu pencegahan tindakan pasung oleh keluarga kepada klien gangguan jiwa yang dikenal dengan terapi keputusan perawatan tanpa pasung {KPTP). Berikut ini akan dijelaskan lebih lanjut tentang terapi tersebut.
2.6.3 .1 Terapi Keputusan Perawatan Tanpa Pasung {KPTP) Terapi KPTP merupak:an terapi jangka pendek untuk memberdayak:an keluarga dalam pengambilan keputusan perawatan yang tepat dan terapeutik tanpa pasung. Prinsip terapi ini adalah mengedukasi keluarga tentang masalah orang dengan gangguan jiwa, stres dan respons terhadap stres yang dialami keluarga, altematif penyelesaian stres dalam keluarga, konsekuensi positif dan negatif dari setiap altematif pilihan, mendorong pengambilan keputusan perawatan yang tepat dan terapeutik tanpa pasung. Algoritma Keputusan Perawatan Daulima (AKPD) menjadi alat bantu untuk mencapai tujuan terapi.
Terapi KPTP dilaksanakan dalam 3 sesi pertemuan dengan sistematika pelaksanaan sebagai berikut: Sesi I: Identiftkasi kejadian dan respons terhadap kejadian Tujuan: Keluarga dapat memahami stresor, stres dan respons terhadap stresor yang dialami karena memiliki orang dengan gangguan jiwa di rumah. Tindak:an: a. Menjelaskan tujuan terapi. b. Membuat kontrak pelaksanaan terapi. c. Menjelaskan algoritma. d. Mendiskusikan stresor, stres dan respons terhadap stresor yang dialami keluarga.
Sesi 2: Identiftkasi altematif dan konsekuensi pilihan perawatan Tujuan: Keluarga memahami altematif dan konsekuensi dari pilihan perawatan untuk mengatasi stres yang dialami karena memiliki orang dengan ganggguan jiwa di rumah.
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
40
Tindakan: a. Mengevaluasi sesi 1 (stresor, stres dan respons terhadap stresor yang dialami keluarga). b. Mendiskusikan altematif pilihan perawatan yang terpikir oleh keluarga. c. Mendiskusikan konsekuensi dari setiap pilihan tersebut.
Sesi 3: Pilihan keputusan perawatan yang tepat dan terapeutik Tujuan: Keluarga dapat mengambil keputusan perawatan yang tepat dan terapeutik tanpa pasung rumah. Tindakan: a. Mengevaluasi sesi 1 dan 2 (stresor, stres dan respons terhadap stresor yang dialami keluarga serta altematif pilihan perawatan beserta konsekuensinya). b. Menanyakan altematif pilihan perawatan yang diputuskan oleh keluarga. c. Mendiskusikan alasan dan konsekuensi pemilihan altematif perawatan tersebut.
2.6.3.2. Algoritma Keputusan Perawatan Daulima (AKPD). Terapi KPTP diberikan kepada keluarga klien gangguanjiwa dengan alat bantu terapi yaitu Algoritma Keputusan Perawatan Daulima (AKPD). Algoritma merupakan urutan langkahlangkah logis penyelesaian masalah yang disusun secara sistematis. Menurut Donald E. Knuth (1975) algoritma memiliki lima ciri penting, yaitu algoritma harus berhenti setelah menge:rjakan sejumlah langkah terbatas, setiap langkah harus didefinisikan secara tepat dan tidak memiliki makna ganda, algoritma memiliki nol atau lebih masukan (input), algoritma memiliki nol atau lebih luaran (output), algoritma harus efektif.
AKPD disusun dengan memperhatikan ciri-ciri diatas. Algoritma ini bertujuan untuk membantu
keluarga
mengambil
keputusan
secara
sistematis
dan
logis
dengan
mempertimbangkan berbagai konsekuensi dari setiap altematif pilihan tindakan yang tersedia. Algoritma disusun dengan langkah-langkah sebagai berikut: identifikasi stresor, identifikasi respons terhadap stres dan identifikasi pilihan keputusan perawatan yang dapat diambil dengan konsekuensinya masing-masing (lihat lampiran 9). Stresor yang dicantumkan pada algoritma terkait dengan perilaku membahayakan: masyarakat, keluarga, pasien serta penolakan masyarakat. Bila stresor tersebut dirasakan oleh keluarga maka dapat memicu stres dan respons terhadap stres yaitu gangguan pola tidur,
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
41 keputusasaan, kelelahan lahir dan batin (bum out), rendah diri, dan terganggunya aktivitas sehari-hari. Stres dan respons terhadap stresor yang dirasakan ini dapat mendorong keluarga untuk mengambil empat pilihan keputusan sebagai mekanisme koping terhadap stres yaitu berohat ke paranormal, penyembuhan spiritual, pelayanan kesehatan jiwa: RS/puskesmas dan melakukan tindakan pasung. Selanjutnya dibuat daftar konsekuensi dari setiap pilihan tersebut yang dilanjutkan dengan pemilihan dan pengambilan keputusan keluarga.
Terapi KPTP dengan AKPD sehagai alat bantu terapi diherikan hila ditemukan adanya tingkat keputusan pasung yang tinggi pada keluarga klien gangguan jiwa. Tingkat keputusan pasung ini diukur menggunakan Kuesioner Keputusan Pasung Daulima (KKPD). Berikut ini akan dijelaskan lebih lanjut tentang kuesioner tersebut.
2.6.3.3 Kuesioner Keputusan Pasung Daulima (KKPD) Kuesioner Keputusan Pasung Daulima (KKPD ) bertujuan untuk mengukur tingkat keputusan pasung pada keluarga klien gangguan jiwa (lihat lampiran 8). Secara keseluruhan KKPD memiliki empat komponen kategori yaitu: stresor, respons terhadap stresor, sumber koping dan keinginan melakukan tindakan pasung. Berdasarkan model adaptasi Roy ( 1984 dalam Roy & Andrews, 1991) dan stres adaptasi Stuart (2009), semakin besar stresor akan mengakibatkan respons terhadap stres yang cenderung negatif. Kondisi ini akan bertamhah huruk hila sumher koping yang tersedia tidak adekuat sehingga keinginan keluarga untuk melakukan pasung sehagai mekanisme koping terhadap stres yang terjadi semakin tinggi. KKPD dapat digunakan untuk mengantisipasi terjadinya tindakan pasung oleh keluarga terhadap klien gangguan jiwa. KKPD dignakan khususnya untuk keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan diagnosa medis skizofrenia kronik dan diagnosa keperawatan risiko perilkau kekerasan dan/atau perubahan sensori persepsi: halusinasi.
2.7. Model Adaptasi Roy Menurut Roy dan Andrew (1984 dalam Roy & Andrews, 1991), dalam asuhan keperawatan, penerima asuhan keperawatan adalah individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat yang dipandang sebagai holistic adaptive system dalam segala aspek yang merupakan satu kesatuan. Sistem merupakan suatu kesatuan yang dihuhungkan untuk beberapa tujuan dan adanya saling ketergantungan dari setiap bagian-bagiannya. Sistem terdiri dari proses, input, kontrol , output dan umpan balik dengan penjelasan sehagai herikut:
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
42
2.7.1.lnput Input didentifikasi sebagai stimulus, merupakan kesatuan informasi, bahan-bahan atau energi dari lingkungan yang dapat menimbulkan respons, dimana dibagi dalam tiga tingkatan yaitu
stimulus fokal, kontekstual dan stimulus residual. a. Stimulus fokal Stimulus fokal merupakan stimulus internal dan eksternal yang langsung mempengaruhi sistem adaptif seseorang. Stimulus fokal dapat meliputi pengetahuan, sikap, sistem nilai, tingkat pendidikan dan tingkat sosial ekonomi seseorang serta aspek biologis, psikologis dan sosiokultural (Green, 1980 dalam Notoatmodjo, 2003); Stuart, 2009). b. Stimulus kontekstual Stimulus kontekstual merupak:an semua stimulus baik internal maupun eksternal yang mempengaruhi situasi dan dapat diobservasi, diukur dan secara subyektif dilaporkan. Stimulus kontekstual mempengaruhi stimulus fokal. Stimulus kontekstual meliputi sarana, prasarana dan fasilitas kesehatan serta aspek sosiokultural (Green, 1980 dalam Notoatmodjo, 2003; Stuart, 2009). c. Stimulus residual Stimulus residual merupak:an stimulus lain yang mempengaruhi perilaku seseorang. Stimulus residual biasanya sukar untuk diobservasi, meliputi kepercayaan, nilai, sikap, sifat seseorang yang berkembang sesuai pengalaman yang lalu yang memberi proses belajar untuk toleransi. Stimulus residual pada penelitian ini teridentifikasi melalui pengkajian faktor predisposisi psikologis dan sosial budaya yang tampak melalui sikap dan perilaku tokoh masyarak:at dan petugas kesehatan serta terkait dengan UU dan PP (Green, 1980 dalam Notoatmodjo, 2003; Stuart, 2009). Selain stimulus fokal, kontekstual dan residual, model adaptasi Roy juga mengidentifikasi faktor-faktor lain yang mempengaruhi stimulus seperti budaya, keluarga, tahapan perkembangan, integritas mode adaptif, tingkatan adaptasi, kognator dan lingkungan.
2. 7 .2. Kontrol Proses kontrol seseorang merupak:an bentuk mekanisme koping yang digunak:an. Mekanisme kontrol ini dibagi atas regulator dan kognator yang merupak:an subsistem. a. Subsistem Regulator Subsistem regulator memiliki komponen: input, proses dan output. Input stimulus berupa internal dan ekstemal. Transmiter regulator sistem adalah kimia, neural dan endokrin. Refleks otonom adalah respons neural, sistem otak: dan spinal cord yang diteruskan sebagai perilaku Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
43
output dari regulator sistem. Banyak proses fisiologis yang dapat dinilai sebagai perilaku regulator subsistem.
b. Subsistem Kognator Stimulus untuk: subsistem kognator dapat berupa stimulus eksternal maupun internal yang berhubungan dengan tiga mode yaitu konsep diri, fungsi peran dan interdependensi. Perilaku
output dari subsistem regulator dapat menjadi stimulus umpan balik untuk: subsistem kognator. Kognator mengontrol proses yang berhubungan dengan fungsi otak dalam memproses informasi, penilaian dan emosi. Persepsi atau proses informasi berhubungan dengan proses internal dalam memilih atensi, mencatat dan mengingat. Belajar berkorelasi dengan proses imitasi, reinforcement dan insight. Penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan adalah proses internal yang berhubungan dengan penilaian atau analisa. Emosi adalah proses pertahanan untuk mencari keringanan, mempergunakan penilaian dan kasih sayang.
2.7.3. Output
Output dari suatu sistem adalah perilaku yang dapat diamati, diukur atau secara subyektif dapat dilaporkan baik berasal dari dalam maupun dari luar. Perilaku ini merupakan umpan balik untuk: sistem. Output sistem dikategorikan sebagai respons yang adaptif atau respons yang maladaptif. Respons yang adaptif dapat meningkatkan integritas seseorang, dapat terlihat hila seseorang tersebut mampu melaksanakan tujuan yang berkenaan dengan kelangsungan hidup, perkembangan, reproduksi dan keunggulan. Sedangkan respons yang maladaptif merupakan perilaku yang tidak mendukung tujuan ini. Bentuk: mekanisme koping telah digunakan untuk: menjelaskan proses kontrol seseorang sebagai sistem adaptif. Beberapa mekanisme koping diwariskan atau diturunkan secara genetik, misal sel darah putih sebagai sistem pertahanan terhadap bakteri yang menyerang tubuh.
Regulator, kognator dan mekanisme koping merupakan bagian dari subsistem adaptasi. Dalam memelihara integritas seseorang, regulator dan kognator subsistem sering bekerjasama. Tingkat adaptasi seseorang sebagai sistem adaptasi dipengaruhi oleh perkembangan individu itu sendiri dan penggunaan mekanisme koping. Penggunaan mekanisme koping yang maksimal mengembangkan tingkat adaptasi seseorang dan meningkatkan rentang stimulus agar dapat berespons secara positif. Untuk: subsistem kognator tidak dibatasi konsep proses kontrol. Proses internal seseorang sebagai sistem Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
44
adaptasi dikembangkan dengan menetapkan sistem efektor, yaitu empat mode adaptasi tneliputi mode fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi.
2.7.4. Mode Fungsi Fisiologis Fungsi fisiologis berhubungan dengan struktur tubuh dan fungsinya. Diidentifikasi sembilan kebutuhan dasar fisiologis yang harus dipenuhi untuk mempertahankan integritas yang dibagi menjadi dua bagian yaitu mode fungsi fisiologis tingkat dasar yang terdiri dari lima kebutuhan dan fungsi fisiologis dengan proses yang kompleks terdiri dari empat bagian yaitu: a. Oksigensisasi, yaitu kebutuhan tubuh terhadap oksigen dan prosesnya b. Nutrisi, yaitu fungsi fisiologis dalam memperbaiki dan memulihkan semua komponenkomponen dari proses ingesti dan asimilasi makanan untuk mempertahankan fungsi, meningkatkan pertumbuhan dan mengganti jaringan yang rusak. c. Eliminasi, yaitu ekskresi hasil dari metabolisme di intestinal dan ginjal. d. Aktivitas dan istirahat, yaitu kebutuhan keseimbangan aktivitas fisik dan istirahat yang digunakan untuk mengoptimalkan semua komponen-komponen tubuh. e. Proteksi/perlindungan, yaitu sebagai dasar pertahanan tubuh termasuk proses imunitas dan struktur integumen (kulit, rambut dan kuku), dimana hal ini penting sebagai fungsi proteksi dari infeksi, trauma dan perubahan suhu.
f.
Panca indera, yaitu penglihatan, pendengaran, pengecapan, perasa dan penghidu yang memungkinkan seseorang berinteraksi dengan lingkungan.
g. Cairan dan elektrolit, yaitu keseimbangan cairan dan elektrolit di dalamnya termasuk air, elektrolit, asam basa dalam seluler, ekstrasel dan fungsi sistemik. lnefektif fungsi sistem fisiologis dapat menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit. h. Fungsi saraf/neurologis, yaitu hubungan-hubungan neurologis yang merupakan bagian integral dari regulator mekanisme koping seseorang yang berfungsi untuk mengendalikan dan mengkoordinasikan pergerakan tubuh, kesadaran dan proses emosi kognitif yang baik untuk mengatur aktivitas organ-organ tubuh. i.
Fungsi endokrin, yaitu pengeluaran hormon sesuai dengan fungsi neurologis, untuk menyatukan dan mengkoordinasi fungsi tubuh. Aktivitas endokrin mempunyai peran yang signifikan dalam respons stres dan merupakan regulator mekanisme koping.
2.7.5. Mode Konsep Diri Mode konsep diri berhubungan dengan psikososial dengan penekanan spesifik pada aspek psikososial dan spiritual manusia. Kebutuhan dari konsep diri ini berhubungan dengan Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
45
psikososial dengan penekanan spesifik pada aspek psikososial dan spiritual manusia. Kebutuhan dari konsep diri ini berhubungan dengan integritas psikis antara lain persepsi, aktivitas mental dan ekspresi perasaan. Konsep diri terdiri atas dua komponen yaitu physical
self dan personal self. Physical self yaitu bagaimana seseorang memandang dirinya berhubungan dengan sensasi dan gambaran tubuhnya. Sedangkan personal self berkaitan dengan konsistensi diri, ideal diri, moral, etik dan spiritual seseorang.
2. 7 .6. Mode Fungsi Peran Mode :fungsi peran mengenal pola-pola interaksi sosial seseorang dalam hubungannya dengan orang lain, yang dicerminkan dalam peran primer, sekunder dan tersier. Fokusnya pada bagaimana seseorang dapat memerankan dirinya di masyarakat sesuai kedudukannya.
2. 7. 7. Mode Interdependensi Mode interdependensi adalah bagian akhir dari mode yang dijabarkan oleh Roy (1984 dalam Roy & Andrews, 1991). Fokusnya adalah interaksi untuk saling memberi dan menerima cinta/kasih sayang, perhatian dan saling menghargai. Interdependensi yaitu keseimbangan antara ketergantungan
dan kemandirian
dalam
menerima sesuatu untuk dirinya.
Ketergantungan ditunjukkan dengan kemampuan untuk afiliasi dengan orang lain. Kemandirian ditunjukkan oleh kemampuan berinisiatif untuk melakukan tindakan bagi dirinya. Interdependensi dapat dilihat dari keseimbangan antar dua nilai ekstrim yaitu memberi dan menerima. Untuk lebih jelasnya model ini dapat dilihat pada gambar 2.2.
2.8. Model Stres Adaptasi Stuart Model stres-adaptasi Stuart (2009) memandang perilaku manusia dari perspektifholistik yang mengintegrasikan aspek perawatan biologis, psikologis dan sosial budaya. Berikut ini akan dijelaskan faktor-faktor dari model stres adaptasi Stuart.
2.8.1. Faktor Predisposisi Faktor predisposisi merupakan faktor risiko yang mempengaruhi baik jenis maupun jumlah sumber yang dapat digunakan seseorang dalam menghadapi stres. Faktor ini terdiri dari biologis, psikologis dan sosial budaya:
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
46
INPUT
PROSESKONTROL
EFEKTOR
OUTPUT
- Fungsi Fisiologis - Konsep Diri - Fungsi Peran - lnterdependen
Stimulus
tever Aaaptisf
Adaptif __..Respons dan Inefektif ----
- - -
-
Gambar 2.2. Model adaptasi Roy (Sumber: Roy, 1984 dalam Tomey dan Alligood, 2014)
a.
Faktor predisposisi biologis meliputi latar balakang genetik, status nutrisi, sensitivitas biologis, kesehatan secara umum dan paparan terhadap toksin
b.
Faktor predisposisi psikologis meliputi intelektual, ketrampilan verbal, moral, kepribadian, pengalaman masa lampau, konsep diri, motivasi, pertahanan psikologis, dan kontrollokus.
c.
Faktor predisposisi sosial budaya meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan, pekerjaan, posisi sosial, latar belakang budaya, keyakinan religi, afiliasi politik, pengalaman sosialisasi, dan level integrasi sosial.
2.8.2. Faktor Presipitasi Faktor presipitasi adalah stimulus yang menantang, mengancam, atau menyulitkan seseorang. Faktor ini membutuhkan banyak energi dan menghasilkan kondisi tegang dan stres. Secara alami faktor ini adalah biologis, psikologis, dan sosial budaya serta bersumber dari lingkungan internal maupun ekstenal. Waktu berbicara tentang faktor kapan stresor terjadi, berapa lama seseorang terpapar stresor dan frekuensinya. Faktor terakhir adalah jumlah stresor yang dialami dalam waktu tertentu. Situasi stresful akan lebih sulit dihadapi hila faktor-faktor ini terjadi bersama-sama sekaligus.
Respons afektif adalah stimulasi perasaan. Dalam penilaian terhadap stresor, respons afektif mayor adalah reaksi ansietas yang nonspesifik atau umum yang menjadi ekspresi emosi. Respons fisiologis merefleksikan interaksi dari beberapa aksis endokrin yang meliputi hormon pertumbuhan, prolaktin, ACTH dan stimulasi folikel. Respons perilaku adalah basil dari respons emosi dan fisiologis termasuk analisis kognitif seseorang terhadap situasi
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
47
stresful. Respons sosial bergantung pada pencarian makna untuk informasi tentang masalah yang dihadapi. Atribusi sosial dilakukan ketika seseorang mencoba untuk mengidentifikasi faktor yang berkontribusi terbadap situasi tertentu, dan melakukan perbandingan sosial, dimana seseorang membandingkan ketrampilan dan kapasitas yang dimilikinya dengan orang lain yang memiliki masalah yang mirip. 2.8.3. Sumber Koping Sumber koping adalab pilihan atau strategi yang menolong untuk memutuskan apa yang akan dilakukan. Sumber koping meliputi aset akonomi, kemampuan dan ketrampilan, tehnik defensif, dukungan sosial dan motivasi. Hubungan antara individu, keluarga, kelompok dan lingkungan sosial sangatlab penting pada aspek ini. Keyakinan spiritual dan kemampuan memandang seseorang secara positif dapat menjadi dasar pengharapan dan keberlangsungan koping seseorang ketika berada dibawah tekanan kesulitan yang dihadapi. Ketrampilan menyelesaikan masalah meliputi kemampuan untuk mencari informasi, identi:fikasi masalab, mempertimbangkan altematif, dan implementasi rencana tindakan. Ketrampilan sosial membantu memfasilitasi penyelesaian masalah yang mencakup orang lain, peningkatan kemampuan bekerjasama dan dukungan dari orang lain. Akhimya, aset material merujuk kepada uang serta benda dan pelayanan yang dapat dibeli oleh uang. Pengetabuan dan intelektual merupakan sumber koping lain yang membantu seseorang dalam melihat cara lain untuk penyelesaian masalah. 2.8.4. Mekanisme Koping Ada tiga jenis mekanime koping yaitu berfokus pada masalab, kognitif dan emosi. Fokus pada masalah meliputi tugas dan usaha langsung untuk menghadapi ancaman yang dirasakan. Fokus kepada kognitif adalab ketika seseorang berusaha untuk mengontrol makna dari masalah dan menetralisimya. Fokus pada emosional berorientasi pada menurunkan distres emosional. Mekanisme koping dapat berbentuk konstruktif atau destruktif. Untuk lebih jelasnya model ini dapat dilihat pada gambar 2.3. 2.9. Kerangka Pikir Penelitan Pendekatan grounded theory yang digunakan dalam penelitian ini akan menghasilkan suatu kerangka konsep tentang pola proses pengambilan keputusan keluarga dalam tindakan pasung terhadap klien gangguan jiwa. Kerangka pikir yang dikembangkan merupakan dasar Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
48 pengembangan studi grounded theory yang akan dilakukan. Memiliki anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa di rumah menimbulkan beberapa stresor dalam kehidupan keluarga. Stresor terberat datang dari stigma tentang gangguan jiwa di masyarakat. Stigma membuat keluarga menjadi terbatas dalam menjalankan fungsi sosialisasinya dengan masyarakat sekitar.
Faktor Predisposisi
..
~----------------~ ---------------··-----------------· ~-----------------Psikologis Biologis Sosisokultural
Stresor Presipitasi
•
•
Asal
Nature
Waktu
Penilaian Stresor
• Kognitif •
t Jumlah
t
f
'f
Afektif
Fisiologis
•
•
Perilaku
Sosial
Sumber Koping
Kemampuan Personal
Dukungan Sosial
AsetMateri
•
Keyakinan Positif
Mekanisme Koping
+
Konstruktif
~
t ~
Destiuktif
~rmt~® ~©rP©~© ~@~~~® Respons Adaptif .....::::::::::::::============-Respons Maladaptif Gambar 2.3. Model stres adaptasi Stuart (Sumber: Stuart, 2009)
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
49
Stresor berikutnya adalah biaya perawatan yang tinggi. Biaya perawatan ini menjadi stresor yang cukup berat karena sebagian besar klien gangguan jiwa di Indonesia datang ke rumah sakit dengan kondisi kronis sehingga butuh perawatan yang lebih lama untuk kondisi yang seperti ini. Stresor selanjutnya adalah hilangnya hari produktif. Hal ini merupakan efek timbal balik dari stigma. Stigma membuat klien gangguan jiwa tidak memiliki tempat di masyarakat, sehingga tidak dapat mencari nafkah untuk menghidupi dirinya. Selain itu keluarga yang merawatpun seringkali tidak dapat mencari nafkah secara optimal karena harus merawat klien di rumah. Kondisi ini bertambah berat dengan kurangnya fasilitas kesehatan jiwa baik dari segi kualitas maupun kuantitas di masyarakat. Kesemua stresor ini menimbulkan stres yang cukup berat untuk keluarga. Stres yang dialami keluarga dapat meningkatkan kemungkinan timbulnya konflik. Stres membuat lapang persepsi keluarga menyempit sehingga tidak dapat mempertimbangkan secara baik altematif pilihan tindakan yang harus diambil, sedangkan pada saat yang bersamaan keluarga harus segera membuat keputusan tindakan untuk klien. Akibatnya konflik berat sering terjadi saat keluarga harus memilih altematif tindakan yang tepat, aman, dan nyaman bagi keluarga dan masyarakat dalam waktu singkat dan dibawah kondisi stres. Pasung akhimya kerapkali menjadi pilihan keputusan dalam mengatasi konflik tersebut. Keterbatasan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa di masyarakat disinyalir menjadi alasan utama untuk keluarga memilih tindakan pasung dalam usahanya menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh masalah gangguanjiwa yang dialami anggota keluarganya. Namun demikian kondisi klien yang terpasung pun dapat menjadi stresor tersendiri bagi keluarga. Ketidak seimbangan emosional akibat rasa sedih, kasihan, menyalahkan diri sendiri dan marah yang berkepanjangan setiap saat melihat kondisi anggota keluarga yang dipasung dapat memicu kembali stres pada keluarga klien. Ketidakseimbangan emosional ini dapat terjadi, khususnya bila tindakan pasung dilakukan karena desakan pihak diluar keluarga. Stres yang dialami keluarga akan memicu kembali konflik dalam keluarga, yaitu konflik antara keinginan untuk melepas atau tetap mempertahankan pasung. Kondisi ini dapat berlangsung secara terus-menerus selama bertahun-tahun dan akan menjadi lingkaran setan yang tidak pemah ada akhimya. Kuesioner Keputusan Pasung Daulima (KKPD) dikembangkan untuk menyelesaikan masalah pada aspek stresor, stres dan mekanisme koping serta mengukur tingkat keputusan pasung oleh keluarga. Terapi Keputusan Perawatan Tanpa Pasung (KPTP) dengan Algortitma Keputusan Perawatan Daulima (AKPD) sebagai alat Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
so bantu terapi dik:embangkan untuk menyelesaikan masalah pada aspek kon:flik dan proses pengambilan keputusan pasung.
I
~-~·-=-~=·~"·~-,~~
Gambar 2.4. Kerangka pikir penelitian
2.1 0. Kerangka Teori Penelitian Merujuk kepada model adaptasi Roy maka terdapat tiga komponen utama yaitu input, proses kontrol dan umpan balik serta output. Input berbentuk stimulus yang terdiri atas stimulus fokal, kontekstual dan residual. Stimulus fokal merupakan stimulusyang langsung terkait dengan stresor utama. Faktor presipitasi pada konsep stres adaptasi Stuart yaitu biologis,
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
51
psikologis dan sosiokultural serta faktor pengetahuan, sikap, sistem nilai, tingkat pendidikan dan sosial ekonomi yang pada teori Green merupakan stimulus fokal yang menyebabkab stres pada keluarga klien gangguan jiwa.
Stimulus kontestual adalah stimulus internal dan ekstemal yang mempengaruhi stimulus fokal, dapat diukur dan dilaporkan secara subyektif. Stimulus kontekstual teridentifik:asi pada faktor predisposisi sosiokultural pada konsep stres adaptasi Stuart dan faktor sarana, prasarana serta fasilitas kesehatan pada teori Green. Stimulus residual yaitu
stimulus
tambahan yang sukar diukur seperti nilai, kepercayaan, sikap dan sifat. Pada kerangka teori ini stimulus residual pada teori Green teridentifikasi pada sikap dan perilaku
tokoh
masyarakat dan petugas kesehatan serta UU dan PP.
Selain stimulus diatas, Roy juga mengidentiflkasi faktor lain yang mempengaruhi stimulus yaitu budaya, keluarga, tahapan perkembangan, integritas mode adaptif, tingkatan adaptasi, kognator dan lingkungan. Stimulus umum yang mempengaruhi adaptasi pada model adaptasi Roy terdapat pada penilaian terhadap stresor, sumber koping dan mekanisme koping pada model stres adaptasi Stuart. Roy menyatakan ada dua bentuk meknisme koping yaitu regulator dan kognator. Regulator merupakan proses flsiologis yang dapat dinilai sebagai perilaku regulator. Regulator berhubungan dengan kimia, neural atau endokrin. Proses kontrol kognator berhubungan dengan fungsi otak dalam memproses informasi, melakukan penilaian dan emosi. Subsistem regulator dan kognator beketjasama dalam rangka memelihara integritas manusia. Pada model stres adaptasi Stuart, kognator berhubungan dengan kemampuan personal dan keyakinan positif. Selanjutnya kognator dan regulator berhubungan dengan mode yaitu fungsi flsiologis, konsep diri, fungsi peran, dan interdependen yang berkontribusi dalam diri seseorang untuk pemilihan cara menghadapi konflik yang dialami.
Selanjutnya konflik yang tetjadi mendorong seseorang untuk mengambil keputusan dalam suatu siklus proses pengambilan keputusan dengan tahapan-tahapannya. Hasil akhir merupakan evaluasi sebagai penilaian efektivitas pengambilan keputusan yang telah dilakukan. Hasil akhir menurut model adaptasi Roy adalah respons adaptif dan respons inefektif sebagai akibat dari keputusan yang telah diambil.
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
52
INPUT
PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN
OUTPUT
Stimulus Stimulus Fokal Green (1980): - Pengetahuan - Sikap - Sistem Nilai - Tingkat pendidikan - Tingkat sosek Stuart (2009): - Biologis - Psikologis - Sosiokultural
Mekanisme Koping r;---
s
---
Regulator Roy (1991): - Fisiologis
f-
Efektor
T
Stimulus Kontekstual Green (1980): - Sarana, prasarana rdan fasilitas kesehatan Stuart (2009): - Sosiokultural Stimulus Residual Green (1980): - Sikap dan perilaku toma danpetugas kesehatan - UUdanPP
,...
R E
s "----
-
Kuesioner keputusan perawatan Daulima
Roy(1991): - Fungsi Fisiologis - Konsep
~
+
Kognator Stuart (2009): Kemampuan I-. personal - Keyakinan positif
Diri - Fungsi Peran - Interdepen den
.
Proses Pengambilan Keputusan (Maskay & Juhasz,l983) KONFLIK - Approach1 4 3 2 5 6 approach Apa& Pilihan Kon Pengam Pilihan Alter - Avoidance- ~ Menga yang sek yang bilan natif avoidance pa diingin uen pilih dapat :neputus dibutu kan dilaksna an si - Approachhkan kan avoidance
I
i
UmpanBalik
Roy, 1984: Respons Adaptif: intensi keputusan, pasung rendah
Respons Inefektif: intensi keputusan pasung tinggi
-------
Terapi keputusan perawatan tanpa pasung + Algoritma keputusan perawatan
Gambar 2.5. Kerangka teori penelitian modiflkasi teori Roy, Stuart, Green dan Maskay Juhasz
Universitas Indonesia Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
BAB3 KERANGKA KONSEP, IDPOTESIS, DAN DEFINISI OPERASIONAL
Penelitian kuantitatif merupakan penelitian tahap kedua yang bertujuan untuk menguji coba hasil dari penelitian kualitatif yang dilakukan pada tahap pertama. Pada tahap pertama telah ditemukan model proses pengambilan keputusan pasung oleh keluarga terhadap klien gangguan jiwa, Kuesioner Keputusan Pasung Daulima (KKPD), Algoritma Keputusan Perawatan Daulima (AKPD), dan terapi Keputusan Perawatan Tanpa Pasung (KPTP). Hasil selengkapnya dari tahap pertama diuraikan di bab 5. Pada tahap kedua dilakukan uji efektivitas terhadap KPTP dan AKPD. Pada bab ini dijelaskan kerangka konsep, hipotesis dan definisi operasional yang menjadi dasar pelaksanaan dan analisis data pada tahap kedua. 3.1 Kerangka Konsep Kerangka konsep berikut ini dikembangkan berdasarkan hasil dari analisis tahap pertama. KPTP dan AKPD merupakan variabel intervensi pada penelitian ini yang bertujuan membantu keluarga mengambil keputusan perawatan yang tepat dan terapeutik. Variabel dependen adalah keputusan pasung oleh keluarga yang terdiri dari sub variabel stresor, respons terhadap stresor, sumber koping dan keinginan memutuskan pasung. Karakteristik keluarga terdiri dari usia, jenis kelamin, pendidikan, status pemikahan, peketjaan, penghasilan dan hubungan keluarga (lihat gambar 3.1)
Variabel Dependen
Variabel Intervensi Terapi Keputusan Perawatan Tanpa Pasung (KPTP) dan Algoritma Keputusan Perawatan Daulima (AK.PD)
L...-------,>..",, /l
"" " ""
Keputusan pasung oleh keluarga terhadap klien gangguanjiwa 1. Stresor 2. Respons terhadap stresor 3. Sumber koping 4. Keinginan memutuskan pasung
Karakteristik Keluarga: I. Usia 2. Jenis kelamin 3. Pendidikan 4. Status pernikahan 5. Pekerjaan 6. Penghasilan 7. Hubungan keluarga
Gambar 3.1. Kerangka konsep penelitian
53
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
54
3 .2.Hipotesis Penelitian Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian (Sugiyono, 2009). Pada penelitian ini hipotesis yang dirumuskan adalah sebagai berikut: 3 .2.1
Ada perbedaan tingkat keputusan pasung pada keluarga yang mendapat terapi KPTP dan AKPD antara sebelum dan sesudah pemberian terapi dan algoritma.
3.2.2
Ada perbedaan tingkat keputusan pasung pada keluarga yang tidak mendapat terapi KPTP dan AKPD antara sebelum dan sesudah pemberian terapi dan algoritma.
3.2.3
Ada perbedaan tingkat keputusan pasung antara keluarga yang mendapat dan tidak mendapat terapi KPTP dan AKPD.
3.3 Defmisi Operasional Defmisi operasional dibuat untuk menjelaskan makna variabel yang diteliti. Jadi de:finisi operasional merupakan petunjuk pelaksanaan cara mengukur suatu variabel
(Sugiyono,
2009). Variabel intervensi pada penelitian ini adalah terapi keputusan perawatan tanpa pasung, sedangkan variabel dependennya adalah keputusan pasung oleh keluarga.
Tabel3.1 Definisi operasional, variabel dependen dan independen Definisi operasional Variabel Karakteristik Keluarl(a
AlatUkur
Cara Ukur
Form data demogra:fi
I
HasllUkur
Skala
Mengisi form data demogra:fi
1. <56 tahun 2. > 55 tahun
Ordinal
1. Usia
Satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan keluarga (care giver), diukur sejak lahir sampai dengan waktu pengambilan data
2. Jenis kelamin
Kategori yang dibentuk berdasarkan fungsi reproduksi seseorang.
Form data demogra:fi
Melingkari salah satu pilihan
1. Laki-laki 2. Perempua
Nominal
3. Pendidikan
Jenjang pembelajaran formal terstruktur yang dilakukan secam sadar dan terencana serta dibuktikan dengan ijazah
Form data demogra:fi
Melingkari salah satu pilihan
1. Pendidika nrendah 2. Pendidika n menengah keatas
Ordinal
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
55
Variabel
Definisi operasional
AlatUirur
Cara Ulrur
HasH Ulrur
Skala
4. Status pernikahan
Ikatan batin atau sosial antar seseorang dengan pasangannya yang disahkan dengan pe.tjanjian hukum dan agama yang membentuk hubungan kekerabatan keluarga
Form data demografi
Melingkari salah satu pilihan
l.Tidak memiliki pasangan 2. Memilik:i pasangan
Nominal
5. Pekerjaan
Suatu tugas yang dilakukan oleh keluarga (care giver) yang menghasilkan sebuah karya bernilai imbalan dalam bentuk uang/upah/gaji
Form data demografi
Mengisi form data demografi
1. Bekerja 2. Tidak beke.tja
Nominal
6. Penghasilan
Jumlah uang dalam bentuk rupiah yang diterima keluarga tiap bulan akibat dari aktivitas yang dilakukan dengan standar upah minimum regional (UMR) kota Bogor sebesar Rp 2.352.350
Form data demografi
Mengisi form data demografi
1. Dibawah
Ordinal
Hubungan asal usul silsilah secara biologis, sosial, maupun budaya antara keluarga (care giver) dengan klien gangguan jiwa
Form data demografi
Mengisi form data demografi
Kuesioner keputusan pasung Daulima (KKPD)
Memilih salah satu dariempat pilihan pernyataan (skala Likert) padano. 154 (54 item pemyataan)
7. Hubungan keluarga
UMR 2. Diatas UMR
1. Keluarga inti 2. Keluarga besar
Nominal
Variabel Dependen Keputusan pasungoleh keluarga
Tindakan keluarga dalam menetapkan pilihan melakukan tindakan pasung atau tidak untuk menyelesaikan masalah perawatan klien gangguan jiwa
Skor 54-216
Interval
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
56 Variabel Sub Variabel
Definisi operasional
1. Stresor
Stimulus dati perilaku klien dan masyarakat yang menimbulkan stres pada keluarga
Kuesioner Keputusan Pasung Daulima (KKPD)
Memilih salah satu dari empat pilihan pernyataan (skala Likert) padano. 114 (14 item pemyataan)
Skor 14-56
Interval
2. Respons terhadap stresor
Pemahaman dan penilaian keluarga terhadap dampak: penyebab stres
Kuesioner Keputusan Pasung Daulima (KKPD)
Memilih salah satu dari empat pilihan pemyataan (skala Iikert) padano. 2126 dan 34 (7 item pemyataan)
Skor 7-28
Interval
3. Sumber koping
Pilihan atau strategi untuk membantu keluarga dalam pengambilan keputusan
Kuesioner Keputusan Pasung Daulima (KKPD)
Memilih salah satu dari empat pilihan pemyataan (skala Iikert) padano. 1520, 28-33,3549 (27 item pemyataan)
Skor27-108
Interval
4. Keinginan pengambilan keputusan pasung
Besaran hasrat keluarga untuk melakukan tindakan pasung bagi klien gangguan jiwa
Kuesioner Keputusan Pasung Daulima (KKPD)
Memilih salah satu dati empat pilihan pemyataan (skala Likert) padano. 27, 50-54 (6 item pemyataan)
Skor 6-24
Interval
AlatUkur
Cara Ukur
Basil Ukur
Skala
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
57
Variabel Def"misi operasional Variabel Intervensi 1. Terapi Intervensi untuk Keputusan membantu keluarga mengambil Perawatan Tanpa Pasung keputusan perawatan dengan tepat dan (KPTP) terapeutik melalui tiga sesi terapi. Sesi pertama bertujuan untuk membantu keluarga memahami stresor, stres dan respons terhadap stresor yang dialami. Sesi kedua bertujuan untuk membantu keluarga memahami altematif dan konsekuensi dari pilihan perawatan untuk mengatasi stres yang dial ami. Sesi ketiga bertujuan membantu untuk keluarga agar dapat mengambil keputusan perawatan yang tepat dan terapeutik tanpa pasung. 2. Algoritma Keputusan Perawatan Daulima (AKPD)
Urutan langkahlangkah logis pengambilan keputusan yang tepat dan terapeutik bagi klien gangguanjiwa untuk penyelesaian masalah perawatan yang disusun secara sistematis
AlatUkur
Cara Ukur
HasH Ukur
Skala
Catatan di bukukerja terapi sebagai dokumentasi setiap kali terapi selesai dilakukan
Mengisi bukukerja terapi
1. Mendapat terapiKPTP 2. Tidak mendapat terapi KPTP
Nominal
Catatan di bukuketja terapi sebagai dokumentasi setiap kali terapi selesai dilakukan
Mengisi bukuketja terapi
1. Mendapat terapi KPTP 2. Tidak mendapat terapi KPTP
Nominal
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
60
Pengumpulan data k:ualitatif
Analisis data k:ualitatif
..
PROSEDUR: PROSEDUR: Wawancara semi 1. Coding, memo terstruktur writing, theoretical sampling, writing the theoretical framework
Hasil data k:ualitatif
PROSEDUR: 1. Mendeskripsikan kategori 2.Mengembangkan konsep
2. Pengembangan
kategori, sub kategori dan kode
Pengembangan Instrumen, Algoritma dan Terapi
Pengumpulan data kuantitatif
PROSEDUR: 1. Mengembangkan kategori menjadi skala 2. Menuliskan item untuk tiap skala 3. Mengembangkan model menjadi tahapan terapi dan algoritma
PROSEDUR: 1. Uji coba KKPD
Analisis data kuantitatif
..
PROSEDUR: 1. Uji Validitas KKPD: face dan
Hasil keseluruhan dan interpretasi
PROSEDUR: Menyimpulkan fenomena
construct validity
2. Uji reliabilitas KKPD: Coefficient alpha
3. Uji efektivitas AKPD dan terapi KKTPdengan metode k:uasi eksperimen pre-post test with control group
PRODUK: 1. Transkrip 2. Catatan lapangan
PRODUK: Kategori, sub kategori dan kode
PRODUK: Model proses pengambilan keputusan pasung oleh keluarga
PRODUK: 1. Kuesioner Keputusan Pasung Daulima
PRODUK: 1.1nstrumen hasil revisi
(KKPD)
2. Terapi Keputusan Perawatan Tanpa Pasung (KKTP) 3. Algoritma Keputusan Perawatan Daulima (AKPD) sebagai alat bantu terapi
PRODUK: 1. Instrumen yang valid dan reliabel 2. Terapi dan algoritma yang efektif terhadap tingkat keputusan pasungoleh keluarga
PRODUK: 1. Deskripsi fenomena 2. Instrumen untuk mengukur fen omena 3. Terapi untuk menyelesaikan fenomena
Gambar 4.1. Alur penelitian
Universitas Indonesia Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
61
naratif.
Pada penelitian ini peneliti berperan sebagai instrumen penelitan dalam
menginterpretasikan data dengan validasi dari partisipan. Selanjutnya berdasarkan data hasil penelitian dan referensi yang relevan pada tahap ini telah dilakukan seminar pakar untuk mengklarifikasi dan mendapatkan justifikasi ilmiah dari para pakar terhadap hasil riset yaitu model proses pengambilan keputusan pasung oleh keluarga klien gangguan jiwa.
Berdasarkan data atau tema yang didapatkan pada tahap pertama, peneliti kemudian melakukan pengembangan instrumen. Instrumen yang dikembangkan adalah: a. Kuesioner Keputusan Pasung Daulima (KKPD). Kuesioner ini dikembangkan untuk mengukur tingkat keputusan tindakan pasung yang akan dilakukan keluarga terhadap anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa. Kuesioner ini dikembangkan berdasarkan variabel stresor, respons terhadap stresor (stres), sumber koping yang tersedia dan keinginan keluarga untuk melakukan tindakan pasung. Variabel-variabel ini didapatkan dari hasil studi grounded theory pada tahap pertama. Semakin besar skor hasil ukur KKPD, maka diasumsikan bahwa tingkat keputusan keluarga untuk melakukan tindakan pasung menjadi semakin tinggi. b. Terapi Keputusan Perawatan Tanpa Pasung (KPTP) dengan Algoritma Keputusan Perawatan Daulima (AKPD) sebagai alat bantu terapi. Berdasarkan data atau kategori yang diperoleh pada tahap pertama penelitian, terapi KPTP dan AKPD dikembangkan untuk membantu keluarga mengambil keputusan secara sistematis dan logis dengan mempertimbangkan berbagai konsekuensi dari setiap altematif pilihan tindakan yang tersedia. Terapi ini diberikan hila hasil pengukuran dari KKPD didapatkan adanya skor yang tinggi. Pada akhimya diharapkan terapi KPTP dan AKPD dapat membantu keluarga untuk memilih keputusan tindakan perawatan tanpa pasung yang tepat dan terapeutik, sehingga terapi dan instrumen ini nantinya dapat digunakan untuk membantu memutus rantai tindakan pasung di masyarakat melalui upaya preventif.
Menurut Cohen dan Swerdlik (2010), ada lima tahap dalam proses pengembangan instrumen: a. Konseptualisasi instrumen Pada tahap ini dilakukan identifikasi tujuan utama penggunaan alat ukur, identifikasi tingkah laku yang mewakili konstruk dan mendefinisikan ranah atau tingkah laku yang diukur. Selain itu, dilakukan juga persiapan rangkaian spesifikasi alat ukur, termasuk proporsi item yang diukur dibuat berkaitan dengan tingkah laku yang diukur dari konstruk. Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
62
Pada penelitian ini tingkah laku yang diukur didapatkan dari kategori-kategori yang teridentifikasi melalui penelitian kualitatif dengan metoda grounded theory. b. Konstruksi instrumen Konstruksi 54 buah item (items pooling) serta review dan revisi item melaluiface validity dilaksanakan pada tahap ini. Hasil dari face validity dapat dilihat di bab 5. c. Uji coba instrumen Pada tahap ini dilakukan uji coba dan revisi item berdasarkan hasil uji keterbatasan. Uji keterbatasan dilakukan kepada 30 responden keluarga klien gangguan jiwa dengan diagnosa keperawatan risiko perilaku kekerasan dan/atau halusinasi di poli rawat jalan RSMM selama 1 minggu. Setelah itu dilakukan pengujian statistik terhadap item-item alat ukur, item-item yang tidak memenuhi kriteria item yang baik kemudian direvisi. Pada uji keterbatasan dilakukan revisi terhadap 18 item pemyataan. Hasil secara lengkap tentang uji coba instrumen dapat dilihat di bab 5. d. Analisis item Pada tahap analisis item telah dilakukan pengambilan data lapangan pada sejumlah sampel representatif dari populasi yang dituju oleh alat ukur. Uji reliabilitas dan validitas bentuk alat ukur fmal dilakukan pada tahap ini. Uji coba instrumen dilakukan setelah uji keterbatasan. Uji coba berlangsung selama 4 minggu di poli rawat jalan RSMM kepada 251 responden keluarga klien gangguanjiwa dengan diagnosa keperawatan risiko perilaku kekerasan danlatau halusinasi. Selanjutnya disusun pedoman administrasi, skoring, dan interpretasi terhadap skor alat ukur. e. Revisi instrumen Revisi instrumen dilakukan setelah intrumen digunakan pada kurun waktu tertentu dan dirasakan perlu untuk dimodifikasi atau direvisi. Revisi instrumen merupakan tahapan untuk pengembangan instrumen bam berdasarkan hasil modifikasi atau revisi dari instrumen yang telah ada. Pada penelitian ini proses pengembangan instrumen hanya dilakukan sampai tahap keempat, tahap kelima akan menjadi tindak lanjut dari penelitian. Adapun tahap pertama dan kedua dari proses pengembangan instrumen diatas dilakukan pada akhir tahap pertama dari rangkaian penelitian ini. Tahap ketiga dan keempat proses tersebut dilaksanakan pada tahap kedua dari penelitian ini.
Dapat disimpulkan bahwa pada penelitian tahap pertama telah dihasilkan empat produk penelitian yaitu: a. Model proses pengambilan keputusan pasung oleh keluarga klien gangguan jiwa. Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
63
b. Instrumen KKPD. c. Terapi KPTP. d. AKPD.
4.1.2. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi merupakan sejumlah besar subyek yang mempunyai karakteristik tertentu, sedangkan sampel adalah bagian (subset) dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu hingga dianggap dapat mewakili populasinya (Sastroasmoro & Ismael, 2008). Menentukan populasi dan sampel adalah langkah untuk menentukan jumlah unit analisis yang akan mewakili untuk diuji dalam suatu penelitian.
Populasi penelitian pada tahap pertama adalah semua keluarga klien gangguan jiwa yang sedang atau pemah melakukan tindakan pasung pada anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Jumlah sampel penelitian adalah 22 orang partisipan. Menurut Creswell (2013), jumlah partisipan pada penelitian grounded theory adalah 20-30 orang. Pada penelitian ini saturasi data dan model dicapai pada partisipan ke 22.
Kriteria partisipan yang diikutsertakan dalam penelitian ini adalah: a. Anggota keluarga inti (ayah/ibu/anak/suami/istri/kakak/adik klien) yang turut serta dalam proses pengambilan keputusan pasung. b. Berusia dewasa atau minimal20 tahun. c. Mampu berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia. d. Sehat fisik dan mental saat dilakukan wawancara. e. Memiliki anggota keluarga dengan gangguan jiwa kronik yang pemah atau saat ini sedang dipasung.
Triangulasi sumber data dilakukan untuk mendapatkan data pendukung bagi kepentingan verifikasi penelitian (Creswell, 2013). Triangulasi dilakukan dengan cara melakukan wawancara pada tokoh masyarakat dan petugas kesehatan yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan tindakan pasung untuk melengkapi dan memvalidasi data yang didapat dari partisipan.
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
64
Kriteria untuk tokoh masyarakat yang diwawancara adalah: a. Tokoh masyarakat yang menduduki jabatan sebagai ketua RT/RW/kader saat tindakan pasung dilakukan terhadap anggota masyarakat dengan gangguan jiwa di wilayahnya. b. Berusia dewasa atau minimal 20 tahun. c. Mampu berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia. d. Sehat fisik dan mental saat dilakukan wawancara. e. Memiliki anggota masyarakat gangguan jiwa kronik yang pemah atau saat ini sedang dipasung.
Kriteria untuk petugas kesehatan yang akan diwawancara adalah: a. Perawat atau dokter puskesmas yang pada daerah binaannya terdapat klien gangguan jiwa yang pemah atau sedang dipasung b. Mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar c. Sehat fisik dan mental saat dilakukan wawancara d. Tidak mengalami masalah dalam kemampuan memori
4.1.3. Tehnik Pengambilan Sampel Tehnik pengambilan sampel merupakan suatu proses menata berbagai tehnik dalam penarikan atau pengambilan sampel penelitian serta merancang tata cara pengambilan sampel agar menjadi sampel yang representatif (Bungin, 2010). Tehnik pengambilan sampel yang digunakan pada tahap pertama penelitian ini adalah purposive sampling. Menurut Notoatmodjo (2010),
purposive sampling merupakan tehnik pengambilan sampel
berdasarkan pertimbangan tertentu yang dibuat peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Pertimbangan yang dibuat peneliti tertuang pada kriteria inklusi diatas.
4.1.4. Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian ini dibagi dalam dua tahap yaitu tahap pertama dan kedua (lihat lampiran 5). Sebelumnya tahap penyusunan prosposal telah dilakukan pada bulan Januari-Desember 2010. Adapun waktu penelitian pada tahap pertama adalah Januari 2011- Februari 2013.
Pada tahap pertama peneliti menetapkan wilayah Jakarta dan Bogor sebagai lokasi pengambilan sampel yaitu di wilayah binaan puskesmas Lubang Buaya, Ciracas, Pasar Minggu, Tegal Parang, Cempaka Baru, Bogor Timur, dan Bogor Utara. Wilayah ini Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
65
ditetapkan berdasarkan data wilayah domisili klien pasung yang peneliti identifikasi pada dokumen rekam medik klien yang ada di RS Marzoeki Mahdi dan Soeharto Heerdjan serta beberapa puskesmas yang menjadi binaan tim Community Mental Health Nursing (CMHN).
4.1.5. Alat Pengumpul Data Alat pengumpul data pada penelitian ini menggunakan instrumen penelitian yang mengacu kepada teori yang diuraikan dalam tinjauan teori di bab 2. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen panduan wawancara yang terdiri atas: a. Data demografi (Instrumen A) Data demografi partisipan meliputi: usia, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, status pernikahan, pendapatan per bulan, dan hubungan keluarga. Sedangkan
data
demografi klien pasung terdiri dari: usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status pernikahan, lama menderita gangguan jiwa, rutinitas berobat, jumlah kekambuhan, lama dipasung dan lama dilepas dari pasung. Partisipan diminta mengisi format yang disediakan peneliti dengan cara mengisi option yang ada.
b. Protokol wawancara (Instrumen B) Protokol wawancara semi terstruktur untuk mengidentifikasi: persepsi partisipan tentang tindakan pasung, alasan/motivasi partisipan melakukan tindakan pasung, proses pengambilan keputusan tindakan pasung dan pengambil keputusan tindakan pasung di keluarga.
4.1.6. Uji Coba Instrumen Uji coba instrumen dilakuk:an untuk menguji kemampuan peneliti sebagai instrumen utama penelitian serta mengukur efektivitas
protokol wawancara dalam menjaring fenomena
penelitian ini. Uji coba dilaksanakan pada 2 keluarga yang memiliki karakteristik hampir sama dengan partisipan. Berdasarkan hasil uji coba maka peneliti mengubah kata pasung dengan mengikat dan atau mengurung klien gangguan jiwa, karena temyata kata pasung sangat sensitif dan direspons negatif oleh para partisipan.
4.1. 7. Prosedur Pelaksanaan Penelitian Prosedur pelaksanaan penelitian pada tahap pertama dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
66
4.1.7.1 Tahap Persiapan Tahap persiapan dimulai dengan melakukan persiapan administratif yaitu mengurus perijinan penelitian ke RS Marzoeki Mahdi dan Soebarto Heerdjan berdasarkan surat pengantar dari fakultas dan melampirkan proposal penelitian. Setelah mendapat persetujuan kemudian dilakukan koordinasi dengan kepala ruangan dan bagian kesebatanjiwa masyarakat di rumah sakit jiwa untuk mendapatkan data klien dengan riwayat pasung.
Data partisipan yang
memenuhi kriteria dicatat dan kemudian dilakukan koordinasi dengan khususnya bagian kesehatan jiwa masyarakat untuk dapat ijin melakukan kunjungan rumah kepada klien dengan riwayat pasung. Untuk di wilayah binaan puskesmas data partisipan dicatat setelah dilakukan koordinasi dengan perawat puskesmas dan kader kesebatan jiwa. Namun demikian ada pula partisipan pada penelitian ini yang didapat oleb peneliti berdasarkan informasi dari partisipan sebelumnya. Hal ini terjadi pada partisipan ke 12 dan 17. Partisipan ke 12 mendorong partisipan ke 17 untuk menghubungi peneliti karena partisipan ke 17 memiliki anggota keluarga yang juga dipasung. Hal ini terjadi karena minimnya dokumen di puskesmas yang mencatat secara jelas tentang jumlah klien gangguan jiwa yang pemah atau sedang dipasung.
Alat bantu pengumpulan data merupakan sarana penting dalam membantu peneliti menghimpun data penelitian (Lofland & Lofland, 1984 dalam Moeloeng, 2006). Pada penelitian ini peneliti menggunakan tape recorder untuk merekam basil wawancara yang dilakukan kepada partisipan dan pedoman wawancara untuk membantu memperoleb data yang dibutuhkan. Selain itu peneliti juga menggunakan field note dan alat tulis. Semua alat bantu ini dicek kelengkapan dan fungsinya sebelum pelaksanaan penelitian dimulai. Peneliti juga menyiapkan batere cadangan untuk tape recorder dan selalu mengganti dengan batere baru sebelum sesi wawancara berikutnya berlangsung.
Peneliti juga mempersiapkan diri dengan latihan wawancara. Seperti disampaikan pada poin 4.1.6, berdasarkan basil uji coba peneliti mendapatkan bahwa istilah pasung sangat sensitif bagi keluarga klien, sehingga dalam wawancara mendalam yang peneliti lakukan dengan partisipan, peneliti mengganti istilah pasung dengan mengikat atau mengurung klien.
4.1.7.2 Tahap Pelaksanaan Peneliti menghubungi langsung keluarga klien sesuai data yang didapatkan dari rumah sakit untuk membuat janji kunjungan rumah. Data yang didapat dari puskesmas, ditindaklanjuti Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
67
dengan menghubungi kader kesehatan jiwa dan
penanggung jawab kesehatan jiwa di
puskesmas untuk membuat janji kunjungan ke rumah partisipan. Setelah mendapatkan persetujuan dari keluarga klien baik secara langsung maupun melalui kader atau penaggungjawab kesehatan jiwa di puskesmas, peneliti kemudian melakukan kunjungan rumah secara langsung atau didampingi oleh kader dan penanggung jawab kesehatan jiwa di puskesmas.
Wawancara dilakukan setelah keluarga menyatakan kesediaannya dengan mengisi formulir persetujuan keikutsertaan dalam penelitian. Pada beberapa partisipan wawancara bam dapat dilakukan setelah kunjungan kedua maupun ketiga karena pada kunjungan sebelumnya rapport antara peneliti dan partisipan belum terbina. Setelah wawancara dengan keluarga,
dilakukan pula wawancara mendalam dengan petugas kesehatan dan/atau tokoh masyarakat. Kepada partisipan peneliti memberikan penjelasan tentang tujuan dan manfaat penelitian ini. Peneliti juga memberikan kesempatan kepada partisipan untuk bertanya. Setelah partisipan paham dan setuju untuk terlibat dalam penelitian, maka peneliti meminta partisipan menandatangani informed consent yang berarti partisipan secara sukarela menyetujui untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.
Wawancara mendalam dilakukan sesuai waktu dan tempat yang dikehendaki partisipan. Seluruh wawancara dilakukan di kediaman partisipan dan berlangsung antara 45-90 menit. Selain wawancara peneliti juga melakukan observasi terhadap situasi dan kondisi keluarga dan klien gangguan jiwa yang sedang atau pemah pasung serta lingkungan sekitamya. Pada saat wawancara seringkali ditemukan ekspresi perasaan sedih, putus asa dan tidak berdaya yang dalam pada partisipan yang berperan sebagai care giver. Partisipan ke 4 dan 22 menceritakan pengalaman beban merawat dan proses memasung klien yang merupakan anak kandung dan adik tiri partisipan sambil berlinang air mata. Ekspresi perasaan berduka yang dalam ketika menceritakan proses pemasungan juga terlihat pada partisipan ke 15 yang adalah ketua R W dan ternan bermain klien sejak kecil. Semua ekspresi perasaan ini masih dapat dikontrol oleh partisipan sehingga proses wawancara tidak perlu sampai dihentikan.
4.1.8
Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan setelah data dikumpulkan (Hastono, 2007). Adapun pengolahan data dilakukan melalui tahapan-tahapan berikut ini:
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
68
a. Editing Pada tahap ini peneliti melakukan pemeriksaan ulang untuk memastikan kelengkapan isian data demografi partisipan. Seluruh data demografi lengkap diisi oleh partisipan.
b. Coding Setelah semua data lengkap kemudian peneliti memberikan kode dengan menggunakan nomor urut satu sampai duapuluh dua untuk semua partisipan sehingga memudahkan pengolahan dan analisis data. c. Processing Seluruh hasil wawancara dibuat transkrip dengan cara menuliskan dengan komputer semua rekaman wawancara yang didengarkan lewat tape recorder. Pada setiap transkrip dibuat catatan tanggal, lokasi dan inisial partisipan. Ditambahkan pula catatan
lapangan
terkait. d. Cleaning Data yang telah dibuat transkrip dicek ulang kembali ketepatannya dengan mendengarkan ulang hasil rekaman wawancara sehingga bebas dari kekeliruan sebelum dilakukan analisa data.
4.1.9 Analisa Data Analisis data pada penelitian dengan metoda grounded theory ini menggunakan tahapan analisis menurut menurut Charmaz (2006). Adapun analisis data menurut Charmaz menggunakan tahapan sebagai berikut: a. Initial coding b. Focused coding
c. Theoretical coding
d. Memo writing e. Theoretical sampling
f.
Writing the theoretical framework
Open coding dilakukan saat peneliti mengidentifikasi data yang diperoleh dalam bentuk transkrip maupun catatan lapangan. Data tersebut dibaca berulang-ulang dengan teliti untuk mendapatkan kata kuncilkode. Kata kunci yang dihasilkan merupakan kata yang sering digunakan oleh informan dan data implisit yang didasarkan pada konsep yang diperoleh dari data (Creswell, 2013; Charmaz, 2006).
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
69
Setelah serangkaian kata kunci/kode didapatkan, selanjutnya peneliti mengidentifikasi sub kategori dan mulai mengeksplorasi hubungan antar kategori yang disebut sebagai tahap focused coding. Focused coding merupakan kondisi
penyebab yang mempengaruhi
fenomena sentral, strategi untuk mencapai fenomena, konteks dan kondisi yang membentuk strategi dan konsekuensi dari strategi tersebut. Untuk menghindari penyimpangan makna, peneliti membaca berulang-ulang makna kalimat yang didapatkan dari informasi partisipan. Selanjutnya peneliti mengidentifikasi kategori sebagai fenomena sentral yang disebut sebagai tahap theoretical coding dan 13 kategori dirumuskan pada tahap ini. Langkah selanjutnya peneliti kemudian membuat coding paradigm atau model teoritis yang memvisualisasikan hubungan antar kategori dan mulai membangun kerangka teori proses pengambilan keputusan pasung oleh keluarga terhadap klien gangguan. Kategori-kategori yang berhubungan dengan proses pengambilan keputusan pasung oleh keluarga dibuat hubungan timbal baliknya. Kategori-kategori yang berhubungan dengan pembentukan teori ini khususnya adalah kategori ke 1-10 dan 12. Hipotesis yang dirumuskan berdasarkan coding paradigm ini adalah: a. Proses pengambilan keputusan keluarga dipengaruhi oleh beban yang dirasakan karena stres akibat perilaku anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. b. Stigma memperberat beban yang dirasakan oleh keluarga dan memiliki daya ungkit yang besar dalam proses keputusan pasung yang dilakukan keluarga. c. Desakan dan usulan dari masyarakat mendorong keluarga melakukan musyawarah untuk memutuskan tindakan pasung bagi klien gangguan jiwa. d. Konflik terjadi setelah tindakan pasung dilaksanakan. e. Konflik yang berkepanjangan membuat keluarga menjadi tidak berdaya. f. Ketidakberdayaan memperberat stres yang dirasakan oleh keluarga. g. Stres akibat ketidakberdayaan mendorong keluarga untuk berproses kembali dalam pengambilan keputusan untuk mempertahankan atau melepas pasung. Pada saat yang bersamaan memo writing dilakukan terhadap kategori-kategori sentral dan theoretical sampling dilaksanakan untuk memperjelas fenomena dari teori yang sedang dikembangkan. Theoretical sampling pada penelitian ini dilakukan pada partisipan ke 18 dan 20 untuk memperjelas fenomena keputusan pasung oleh keluarga. Setelah itu dilakukan fmalisasi perumusan kerangka teori proses pengambilan keputusan pasung oleh keluarga terhadap klien gangguan jiwa yang termasuk dalam tahap writing the theoretical framework. Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
70
4.1.10. Keabsahan (Verification) Menurut Creswell (1998) keabsahan dalam penelitian grounded theory merupakan bagian aktif dari proses penelitian itu sendiri dan menjadi bagian dari standar uji kualitas penelitian. Strauss dan Corbin (1990, dalam Creswell, 1998) mengidentifikasi tujuh kriteria dalam proses keabsahan penelitian grounded theory, yaitu: a. Kriteria 1: Bagaimana cara menseleksi partisipan? Apa yang mendasari proses seleksi? Pada penelitian ini partisipan diseleksi berdasarkan informasi yang diperoleh pada rekam medik klien di rumah sakit jiwa dan puskesmas. Proses seleksi dilakuk:an berdasarkan kriteria partisipan yang telah ditetapkan dengan kriteria utama adalah partisipan merupakan keluarga (care giver) yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan pasung terhadap anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa. Kriteria yang sama juga diterapkan kepada partisipan dari kelompok tokoh masyarakat dan petugas kesehatan. b. Kriteria 2: Kategori utama apakah yang muncul? Kategori utama yang muncul adalah pemenuhan rasa aman dalam ketidakberdayaan. Kategori ini memperlihatkan fenomena sentral yang mendorong keluarga melakukan tindakan pasung. Pasung dipersepsikan keluarga sebagai cara terbaik untuk memenuhi rasa aman bagi klien, keluarga dan masyarakat walaupun sebenarnya cara tersebut tidak sepenuhnya dikehendaki oleh keluarga. Ketidakberdayaan dalam mencari altematif lain yang lebih baik membuat keluarga akhimya harus memutuskan pasung untuk penyelesaian masalah yang ditimbulkan akibat perilaku anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa. c. Kriteria 3: Kejadian, insiden,tindakan, dan indikator lain apakah yang merujuk kepada kategori utama?. Kegagalan pelayanan kesehatan jiwa dalam membantu keluarga menangani masalah klien gangguan jiwa. Kegagalan ini membuat keluarga menjadi tidak percaya kepada institusi pelayanan kesehatan dan akhimya lebih memilih altematif pasung sebagai penyelesaian masalah yang dialami. d. Kriteria 4: Apakah kategori yang mendasari pembuatan theoretical sampling? Bagaimana panduan pengumpulan data yang digunakan (protokol wawancara, catatan lapangan)?. Apakah panduan ini merepresentatifkan kategori yang dibuat?. Kategori yang mendasari theoretical sampling adalah kategori ke 7-1 0 terkait proses pengambilan keputusan pasung dari perspektif keluarga dan masyarakat. Dua orang partisipan terlibat dalam proses theoretical sampling ini. Kedua partisipan ini adalah adik kandung klien dan ibu RT. Panduan wawancara menggunakan panduan yang telah ada Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
71
namun berfokus pada pertanyaan-pertanyaan terkait proses pengambilan keputusan. Pertanyaan berkembang sesuai respons yang diberikan oleh partisipan. Kategori terkait proses pengambilan keputusan dipilih untuk dilakukari theoretical sampling karena merupakan topik yang paling sensitif dalam pengumpulan data. Beberapa partisipan tampak jengah dan tidak nyaman dalam mendiskusikan proses ini. Panduan yang digunakan cukup membantu untuk mengeksplorasi proses yang terjadi namun hams dibantu juga dengan berusaha membuat partisipan merasa senyaman mungkin dengan keberadaan peneliti. Cara yang dilakukan agar klien merasa nyaman selama proses wawancara adalah dengan menggunakan tehnik empati dan melakukan wawancara di tempat yang dipilih pastisipan yang dirasakan aman dan nyaman untuk dirinya. e. Kriteria 5: Apakah hipotesis yang dibuat (berdasarkan hasil analisa antar kategori) merujuk kepada konsep yang terkait dan apakah yang mendasari proses perumusan dan pengujian hipotesa?. Hipotesis yang dibuat merujuk kepada kosep model adaptasi Roy dan stres-adaptasi Stuart. Perumusan dan pengujian hipotesa dibuat berdasarkan keterkaitan yang ditemukan antar 13 kategori yang dirumuskan. f. Kriteria 6: Apakah dapat ditemukan contoh dimana hipotesis tidak sesuai dengan
kenyataan yang ada? Bagaimana ketidakkonsistenan ini dapat terjadi?. Pada penelitian ini tidak ditemukan hipotesis yang tidak sesuai dengan kenyataan. g. Kriteria 7: Bagaimana dan mengapa kategori inti diseleksi (secara tiba-tiba, perlahanlahan, sulit, mudah)? Berdasarkan apakah penseleksian dilakukan? Kategori inti diseleksi berdasarkan hasil analisis kode dari 22 partisipan secara perlahanlahan dengan tingkat kesulitan sedang. Seleksi pemilihan kategori inti dilakukan berdasarkan hasil analisis terhadap kategori, sub kategori dan kode yang paling sering ditemukan pada seluruh partisipan. Selanjutnya Strauss dan Corbin menambahkan lagi enam kriteria lain yaitu: a. Kriteria 1: Apakah ada konsep-konsep yang dihasilkan? Konsep yang dihasilkan pada penelitian ini adalah konsep terkait stresor, respons terhadap stresor, mekanisme koping dan konflik. b. Kriteria 2:
Apakah konsep-konsep tersebut saling berhubungan secara sistematis?
Konsep-konsep pada kriteria 1 sating berhubungan secara sistematis membentuk model proses pengambilan keputusan pasung oleh keluarga seperti yang terlihat pada gambar 5.2.
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
72
c. Kriteria 3: Apakah ada banyak hubungan konsepsual dan apak:ah kategori-kategori yang ada dikembangkan dengan baik? Ada empat hubungan konsepsual dengan kategori-kategori yang dikembangkan yaitu stresor, respons terhadap stresor, mekanisme koping dan konflik yang membentuk model proses pengambilan keputusan pasung oleh keluarga. d. Kriteria 4:
Apakah terdapat banyak variasi yang dibangun dalam teori tersebut?
Hanya ada satu variasi yang dibangun dalam model proses pengambilan keputusan pasung oleh keluarga. e. Kriteria 5:
Apakah kondisi yang lebih luas dijelaskan?
Kondisi yang lebih luas terkait dengan ketidakberdayaan akibat konflik yang berkepanjangan dijelaskan pada model ini. f. Kriteria 6:
Apakah proses (perubahan atau perpindahan) dapat dimengerti?
Proses terkait perubahan atau perpindahan divisualisasikan dalam bentuk skema dengan garis-garis hubungan yangjelas sehingga proses menjadi lebih mudah dipahami.
Dengan demikian dapat dilihat bahwa ketiga belas kriteria dalam proses keabsahan penelitian
grounded theory dilakukan pada penelitian ini, sehingga model proses pengambilan keputusan pasung oleh keluarga telah diverifikasi sesuai standar uji kualitas penelitian dengan metode grounded theory.
4.2.
Tahap Kedua: Pengaruh Terapi Keputusan Perawatan Tanpa Pasung dan Algoritma Keputusan Perawatan Daulima Terhadap Keputusan Pasung.
4.2.1 Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan pada tahap ini adalah pendekatan kuantitatif dengan metode kuasi eksperimen: pre-post test with control group (Creswell, 2003). Melalui metode ini diuji coba suatu intervensi pada sekelompok subyek penelitian dengan kelompok pembanding. Intervensi yang akan diujicobakan adalah terapi Keputusan Perawatan Tanpa Pasung (KPTP) dan Algoritma Keputusan Perawatan Daulima (AKPD). Desain penelitian ini dapat dilihat pada skema berikut:
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
73
~-o-1--~----~~x--~----~~j o2
~-o-3___;------------------~~l
04
Gambar 4.2 Rancangan penelitian
Keterangan X
: Terapi KPTP dan AKPD
01
: Keputusan pasung oleh keluarga sebelum diberikan terapi KPTP dan AKPD pada kelompok intervensi.
02
: Keputusan pasung oleh keluarga setelah diberikan terapi KPTP dan AKPD pada kelompok intervensi. : Keputusan pasung oleh keluarga sebelum diberikan terapi KPTP dan AKPD
03
pada kelompok kontrol. : Keputusan pasung oleh keluarga setelah diberikan terapi KPTP dan AKPD
04
pada kelompok kontrol. 02-01
: Perbedaan tingkat keputusan pasung oleh keluarga pada kelompok intervensi sebelum dan sesudah diberikan terapi KPTP dan AKPD.
04-03
: Perbedaan tingkat keputusan pasung oleh keluarga pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah diberikan terapi KPTP dan AKPD.
02-04
: Perbandingan tingkat keputusan pasung antara keluarga yang mendapat dan tidak mendapat terapi KPTP dan AKPD.
4.2.2. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi penelitian tahap kedua ini adalah semua keluarga yang memiliki anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa.
Sampel pada tahap kedua merupakan keluarga yang memiliki anggota keluarga gangguan jiwa dengan kriteria inklusi: a. Berusia dewasa atau minimal 20 tahun. b. Memiliki anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa dengan diagnosa keperawatan perilaku kekerasan atau halusinasi atau keduanya yang belum pemah mendapatkan psikofarmaka atau yang mengalami putus obat.
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
74
c. Memiliki anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa dengan diagnosa medis skizofrenia. d. Mampu berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia. e. Sehat fisik dan mental saat dilakukan wawancara.
Sampel pada uji ini ditentukan
dengan menggunakan rumus menurut Sastroasmoro dan
Ismael (2008) sebagai berikut: 2
n1=n2=
~a .V2PQ+ zJ3
.VP1Q1+P2Q2]
(Pl-P2) 2 2
[ 1.96 .V2(0,5.0,3) + 0.842 .V(0,5.0,3) + (0,3.0,5)] (0,5-0,3) 2 = 38.53 responden Keterangan Za = kesalahan tipe 1 (5%)
zp = kesalahan tipe 2 (20%) P = Y2 (Pl+P2)
Untuk antisipasi drop out dalam proses pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan rumus berikut (Sastroasmoro & Ismael, 2008): n
n
=--
(1-t)
38.53 =
(1-0.1) = 40.56 = 41 responden Jadi jumlah sampel pada tahap kedua adalah 82 responden yang terbagi atas 41 responden
untuk kelompok kontrol dan 41 responden untuk kelompok intervensi.
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
75
4.2.3 Tehnik Pengambilan Sampel Tehnik pengambilan sampel yang digunakan pada tahap kedua sama dengan tahap pertama yaitu purposive sampling yang merupakan tehnik pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan tertentu yang dibuat peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Notoatmodjo, 2003).
4.2.4. Waktu dan Tempat Penelitian W aktu penelitian pada tahap kedua dilaksanakan setelah tahap pertama selesai yaitu pada bulan Maret- Desember 2013. Wilayah Bogor yang belum pemah mendapatkan intervensi kesehatan jiwa ditetapkan sebagai tempat pengambilan sampel pada tahap kedua. Setelah berdiskusi dengan pihak dinas kesehatan kota Bogor, dipilihlah wilayah yang belum pemah mendapatkan intervensi kesehatan jiwa untuk menghindari bias terhadap intervensi yang diberikan dalam penelitian ini. Ditetapkan 5 wilayah sebagai lokasi pengambilan sampel yaitu wilayah binaan puskemas Mekarwangi, Pancasan, Pasir Mulya, Tanah Sareal dan Cimahpar. Wilayah binaan puskesmas Mekarwangi yang meliputi tiga kelurahan yaitu Mekarwangi, Sukadamai dan Sukaresmi ditetapkan sebagai lokasi untuk kelompok intervensi. Wilayah ini dipilih untuk kelompok intervensi karena berdasarkan hasil kajian peneliti dari kelima puskesmas tersebut puskesmas inilah yang paling banyak kasus gangguan jiwanya dan karena terlokalisir di satu wilayah membuat proses pemberian terapi menjadi lebih efektif dan e:fisien. Lokasi untuk kelompok kontrol berada di wilayah binaan puskesmas Pancasan, Pasir Mulya, Tanah Sareal dan Cimahpar (lihat tabel4.2). Jarak lokasi penelitian antara kelompok intervensi dan kontrol berjauhan sehingga kecil kemungkinan terjadi interaksi antara kedua kelompok ini.
Tabe14.2 Distribusi responden di masing-masing puskesmas No 1 2 3 4 5
Puskesmas Mekarwangi Pancasan PasirMulya Cimahpar Tanah Sarea1 Total
Intervensi (orang)
Kontrol (orang)
Jumlah (orang)
Persentase
41 0 0 0 0 41
0 20
41 20
50 24
11
11
8 2 41
8 2 82
13 11
(%)
2 100
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
76
4.2.4 A1at Pengumpu1 Data Alat pengumpul data dalam penelitian ini menggunakan instrumen Kuesioner Keputusan Pasung Daulima (KKPD) untuk mengukur tingkat keputusan pasung oleh keluarga yang terdiri dari: 4.2.4.1 Data demografi (Instrumen A) Data demografi digunakan untuk mendapatkan gambaran karakteristik responden yang meliputi: usia, jenis kelamin, pendidikan, status pemikahan, peke:rjaan, pendapatan per bulan, dan hubungan keluarga. Responden mengisi format yang disediakan peneliti dengan cara mengisi pilihan yang ada.
4.2.4.2 Kuesioner Keputusan Pasung Daulima (Instrumen B) KKPD merupakan kuesioner dengan skala Iikert untuk mengukur keputusan ke1uarga dalam melakukan tindakan pasung (lihat lampiran 8). Instrumen ini dikembangkan merujuk kepada hasil analisis data kualitatif pada tahap pertama berupa kategori, sub kategori dan kode terkait stresor, respons terhadap stresor, sumber koping dan keinginan keluarga untuk melakukan tindakan pasung. Adapun kategori, sub kategori dan kode yang menjadi rujukan untuk pengembangan instrumen pengkajian tersebut adalah kategori nomor 1 sampai 6 beserta sub kategori dan kode yang terkait.
Selanjutnya peneliti mengembangkan konstruk, dimensi, indikator dan pemyataan favorable dan unfavorable yang menjadi dasar untuk penyusunan instrumen (lihat tabel 4.3). Instrumen KKPD terdiri dari 54 nomor pemyataan, dimana 42 nomor merupakan pemyataanfavorable dan 12 nomor merupakan pemyataan unfavorable, yaitu pada nomor 15, 16, 17, 19, 26, 27,
29, 30, 33, 52, 53, 54. Instrumen ini menggunakan skala Likert skor 1-4 dengan rentang nilai skor 54-216. Pemyataan nomor 1-14 menggunakan pilihan tidak pemah, kadang-kadang, sering, selalu; nomor 15-49 menggunakan pilihan sangat setuju, setuju, tidak setuju, tidak setuju; dan nomor 50-54 menggunakan pilihan sangat tidak ingin, tidak ingin, ingin, sangat ingin.
Pemyataan variabel keputusan pasung dengan jumlah 54 item terdapat pada nomor 1-54 dengan skor 54-216. Variabel keputusan pasung dikategorikan menjadi rendah dengan skor 54-108, sedang dengan skor 109-162 dan tinggi dengan skor 163-216. Variabel keputusan pasung terdiri atas empat sub variabel sebagai berikut:
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
77
a. Stresor terdiri atas 14 item pemyataan pada nomor 1-14 dengan skor 14-56. Sub variabel stresor dikategorikan menjadi kurang dengan skor 14-28, sedang dengan skor 29-42, dan besar dengan skor 43-56. b. Respons terhadap stresor terdiri atas 7 item pemyataan pada nomor 21-26 dan 34 dengan skor 7-28. Sub variabel respons terhadap stresor dikategorikan menjadi respons positif dengan skor 7-14, respons kurang positif dengan skor 15-21, dan respons negatif dengan skor 22-28. c. Sumber koping terdiri atas 27 item pemyataan pada nomor 15-20, 28-33,35-49 dengan skor 27-108. Sub variabel sumber koping dikategorikan menjadi adekuat dengan skor 2754, kurang adekuat dengan skor 55-81, dan tidak adekuat dengan skor 82-108. d. Keinginan melakukan tindakan pasung terdiri atas 6 item pemyataan pada nomor 27, 5054 dengan skor 6-24. Sub variabel keinginan melakukan tindakan pasung dikategorikan menjadi rendah dengan skor 6-12, sedang dengan skor 13-18, dan tinggi dengan skor 1924.
Tabel4.3 Kisi-kisi alat ukur Konstruk
Dimensi Perilaku agresif
Stresor Stigma Afektif Respons terhadap stresor
Perilaku Kemampuan }!ersonal Asetmateri
Sumber koping
Keyakinan
Keinginan
Tindakan }!asung Tindakan bukan pasung
Indikator Nomoritem I, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, Membahayakan. merusak, mengganggu 11, 12 Label negatif, perilaku 9, 10, 13, 14 ne atif Putus asa, bum out, 21,22,23,24,34 malu Perubahan pola tidur, 25,26 gangguan rutinitas 15, 16, 17, 18, Pengetahuan, ketram}!ilan merawat Dukungan finansial 19,20,28,33 pengobatao, perawatan dan trans}!Ortasi Pengobatan alternatif, 29, 30, 31, 32, 35, pengobatan medis, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, tindakan pasung 46,47,48,49 Mengikat, mengurung 50,51 Pengobatan spiritual, 27,52,53,54 }!araDOrmal,medis
Skor
43-56
22-28
82-108
19-24
4.2.5 Uji Coba Instrumen Uji validitas KKPD dilakukan dengan menggunakanface validity serta construct validity.
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
78
Menurut Cohen dan Swerdlik (2010),
face validity adalah derajat keputusan terkait
kelayakan suatu instrumen atau alat ukur lainnya berdasarkan tampilan semata bukan kriteria objektif. Sedangkan construct validity merupakan derajat keputusan yang di[peroleh dari basil pengoperasian instrumen pengukuran berdasarkan konstruk teori yang mendasarinya.
Uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan Cronbach's coefficient alpha. Cronbach's
coefficient alpha adalah uji statistik yang digunakan untuk memperoleh estimasi reliabilitas konsistensi
internal.
Konsistensi
internal
merupakan
uji
yang
diperoleh
tanpa
mengembangkan bentuk alternatif uji dan tanpa harus melakukan dua kali uji pada orang yang sama (Cohen & Swerdlik, 2010). Rumus dari coefficient alpha adalah:
Keterangan:
ra =
coefficient alpha
k = jumlah item cr2 j= varians dari 1 item
I = jumlah varians dari tiap item cr2 = varians dari total skor instrumen
Jika nilai koefisien ra mendekati 1, maka instrumen tersebut dapat dipercaya atau reliabel (Hastono, 2007), sedangkan menurut Sugiyono (2009) standar nilai koefisien ra adalah 0,7. Bila nilai koefisien ra
diatas 0, 7 maka reliabilitas instrumen tersebut dikatakan baik.
Coefficient alpha sangat tepat digunakan untuk instrumen yang memiliki nondikotomus item (Cohen & Swerdlik, 2010).
Rumus besar sampel yang akan dilakukan peneliti untuk uji validitas adalah dengan analisis
corrected item-total item correlation (Dahlan, 2009). Adapun rumus besar sampelnya adalah:
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
79 2
(Za + Z(3)
n= {
} +3
O,Sln [(l+r)/(1-r)] 2
n=
(1,64 + 1,28)
{
1+ 3
0,5In [(1+0.3)/(1-0.3)JJ =
92orang
Keterangan : n = besar sampel untuk uji validitas
a= kesalahan tipe I (5%) (3 = kesalahan tipe II ( 10%) r = koefisien korelasi minimal yang dianggap valid (0,3)
Sedangkan menurut Tinsley dan Tinsley (1987) uji coba instrumen dilakukan dalam kisaran 5-10 responden per variabel. Selain itu, Comrey dan Lee ( 1992) menyatakan bahwa uji coba instrumen pada kurang dari 100 responden masuk dalam kategori kurang baik, 200 responden cukup baik, 300 responden baik, 400 responden sangat baik dan 1000 responden memuaskan.
Berdasarkan perhitungan dan pertimbangan diatas, maka pada penelitian ini uji coba dilakukan pada 251 orang responden di Unit Rawat Jalan RS Marzoeki Mahdi selama 4 minggu. Sebelumnya dilakukan uji keterbatasan terhadap 30 responden dengan kriteria inklusi yang sama. Responden untuk uji coba ini memenuhi kriteria inklusi sebagai berikut: a. Anggota keluarga (care giver) yang merawat klien gangguan jiwa dengan diagnosa medik skizofrenia dengan gejala positif: halusinasi dan atau perilaku kekerasan b. Berusia dewasa atau minimal 20 tahun c. Mampu berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia d. Sehat fisik dan mental saat dilakukan wawancara
Tahap persiapan dimulai dengan melakukan persiapan adminstratif yaitu mengurus kembali perijinan penelitian ke RS Marzoeki Mahdi untuk uji coba instrumen. Permohonan ijin melakukan penelitian dilakukan kembali karena diminta oleh pihak Diklat RS Marzoeki Mahdi. Setelah mendapat persetujuan dari RS Marzoeki Mahdi kemudian dilakukan
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
80
koordinasi dengan kepala ruangan dan bagian unit rawat jalan RS Marzoeki Mahdi untuk uji coba instrumen. Uji face validity dilakukan sebelum uji keterbatasan dan uji coba instrumen. Uji face validity dilaksanakan selama 3 hari di RS Marzoeki Mahdi. Uji keterbatasan instrumen dilakukan selama 1 minggu dan uji coba instrumen selama 4 minggu. Uji keterbatasan dan uji coba instrumen dilaksanakan di unit rawat jalan psikiatri RS Marzoeki Mahdi dalam sekuens waktu yang berbeda. Uji keterbatasan dilakukan terlebih dahulu. Uji coba instrumen dilaksanakan setelah dilakukan revisi berdasarkan basil dari uji keterbatasan. Responden diambil sesuai kriteria inklusi penelitian ini. Setelah menjelaskan tujuan penelitian kemudian responden yang setuju terlibat dalam penelitian diminta untuk mengisi informed consent, dilanjutkan dengan pengisian data demografi dan KKPD. Proses ini dilakukan sementara responden menunggu giliran anggota keluarganya diperiksa oleh psikiater dan perawat. Seluruh responden sebanyak 251 orang didampingi oleh peneliti dalam pengisian data demogra:fi dan KKPD, sehingga setiap pertanyaan karena ketidakjelasan dan ketidakpahaman dalam pengisian instrumen penelitian langsung diklari:fikasi oleh peneliti. Responden yang telah diikutsertakan pada penelitian ini diberikan tanda stiker berwarna oranye yang ditempelkan pada rekam medik klien. Tindakan ini penempelan stiker oranye pada rekam medik dilakukan supaya responden tidak diambil dua kali, mengingat waktu kontrol ke poli rawat jalan psikiatri tiap klien berkisar antara satu sampai empat minggu sedangkan waktu uji coba berlangsung selama empat minggu. Setelah data terkumpul selanjutnya dilakukan uji validitas dan reliabilitas terhadap instrumen KKPD. 4.2.6 Prosedur Pelaksanaan penelitian Prosedur pelaksanaan penelitian pada tahap kedua dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 4.2.6.1. Tahap Persiapan Tahap persiapan dimulai dengan melakukan persiapan administratif yaitu mengurus perijinan ke Dinas Kesehatan Kota Bogor serta puskesmas Mekarwangi, Pancasan, Pasir Mulya, Cimahpar dan Tanah Sareal terkait untuk penelitian tahap kedua berdasarkan surat pengantar dari fakultas dan melampirkan proposal penelitian (lihat lampiran 7). Setelah ijin didapatkan, selanjutnya dilakukan pertemuan dengan lurah di wilayah binaan puskesmas terkait untuk menjelaskan tujuan penelitian.
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
81
Tahap persiapan selanjutnya adalah koordinasi dengan penanggung jawab kesehatan jiwa dan kader di puskesmas terkait untuk mendapatkan daftar nama responden yang sesuai kriteria inklusi. Setelah data responden yang memenuhi kriteria dicatat kemudian dibagi menjadi kelompok intervensi dan kontrol. Pada penelitian ini kelompok intervensi berada di wilayah binaan puskesmas Mekarwangi, sedangkan kelompok kontrol berada di puskesmas Pancasan, Pasir Mulya, Cimahpar dan Tanah Sareal. Selanjutnya dilakukan briefmg dengan tim peneliti untuk pemahaman isi dari instrumen KKPD dan cara pengisiannya, pembagian wilayah kerja penelitian serta jadual pengambilan data pre-post dan terapi KPTP.
Kontrak kunjungan ke rumah responden dilakukan bekerjasama dengan kader di wilayah terkait. Saat kunjungan rumah dijelaskan tujuan dan manfaat penelitian, apabila bersedia menjadi responden keluarga diminta untuk menandatangani informed consent. Tim peneliti juga memberikan kesempatan kepada responden untuk bertanya. Bila responden telah paham dan setuju untuk terlibat dalam penelitian, maka peneliti meminta responden untuk menandatangani informed consent yang berarti responden secara sukarela menyetujui untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.
4.2.6.2. Tahap Pelaksanaan Selanjutnya dilakukan pre test kepada responden di kelompok intervensi dan kontrol. Pre test dilakukan dengan cara meminta responden mengisi instrumen terkait data demografi dan KKPD untuk mengukur tingkat keputusan keluarga dalam melakukan tindakan pasung. Bagi responden yang kesulitan untuk menulis, tim peneliti membantu responden dengan membacakan dan mengisi kuesioner sesuai pilihan responden. Semua responden didampingi oleh peneliti dalam pengisian data demografi dan kuesioner.
Setelah dilakukan pre test tim peneliti membuat kontrak untuk pertemuan pelaksanaan terapi keputusan perawatan tanpa pasung (KPTP) sebanyak 3 sesi dan post test untuk kelompok intervensi, sedangkan untuk kelompok kontrol hanya dilakukan kontrak untuk post test. Kontrak post test untuk kelompok intervensi dilakukan setelah sesi pemberian terapi berakhir. Pada saat kunjungan rumah ketika ditemukan kasus lain di sekitar rumah responden yang memenuhi kriteria inklusi, maka setelah mendapat persetujuan keluarga tersebut diambil juga sebagai responden dalam penelitian ini. Hal ini dilakukan karena tidak ada dokumen yang tertulis secara jelas di puskesmas tentang jumlah klien gangguan jiwa yang belum pernah
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
82
berobat. Pengumpulan data pre dan post test dilakuk:an oleh tim peneliti, sedangkan pemberian terapi di kelompok intervensi dilakuk:an oleh peneliti sendiri. Terapi pada kelompok intervensi dimulai setelah pre test dilakukan oleh tim peneliti. Terapi KPTP dilakuk:an dengan peserta terapi terdiri dari responden (care giver), anggota keluarga yang serumah dengan klien gangguan jiwa, serta kader di wilayah kediaman responden. Terapi KPTP merupakan terapi jangka pendek untuk memberdayakan keluarga dalam pengambilan keputusan perawatan yang tepat tanpa pasung. Adapun prinsip terapi KPTP adalah mengedukasi keluarga tentang: masalah klien gangguan jiwa (stresor), stres dan respons terhadap stresor yang dialami keluarga, altematif penyelesaian stres dalam keluarga serta konsekuensi dari setiap altematif pilihan, dan pada akhimya mendorong keluarga untuk pengambilan keputusan perawatan yang tepat dan terapeutik tanpa pasung. Terapi KPTP dilaksanakan dengan menggunakan algoritma keputusan perawatan sebagai alat bantu terapi (lihat lampiran 9). Modul pelaksanaan terapi juga telah disusun sebagai panduan peneliti dalam memberikan terapi (lihat lampiran 10). Terapi dilaksanakan sebanyak 3 (tiga) sesi dengan jeda 2 hari antar sesi. Jeda diberikan agar responden memiliki waktu untuk intemalisasi dan melatih kemampuan yang telah diajarkan peneliti. Sesi pertama bertujuan untuk membantu keluarga memahami stresor, stres dan respons terhadap stresor yang dialami keluarga karena memiliki klien gangguan jiwa di rumah. Sesi kedua bertujuan untuk membantu keluarga memahami altematif dan konsekuensi dari pilihan perawatan untuk mengatasi stres yang dialami karena memiliki klien ganggguan jiwa di rumah. Sesi ketiga bertujuan untuk membantu keluarga mengambil keputusan perawatan yang tepat dan terapeutik tanpa pasung. Setiap kali sesi selesai dilakuk:an responden diminta mengisi buku keija untuk mencatat pencapaian kemampuan responden dan sebagai alat evaluasi sebelum dimulainya sesi berikut (lihat lampiran 11 ). Pelaksanaan seluruh proses terapi di kelompok intervensi berlangsung selama 23 hari, setiap harinya terapi diberikan kepada 2-15 orang responden. Pelaksanaan terapi tidak banyak menghadapi kendala karena sebagian besar responden berperan aktif sesuai kesepakatan. Rata-rata responden dapat menyelesaikan semua sesi terapi, hanya beberapa responden yang agak memanjang waktu jeda antar sesi karena ada keperluan keluarga yang mendadak harus diselesaikan.
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
83
Post test dilakukan pada hari ke 10 baik di kelompok intervensi maupun kelompok kontrol. Setelah post test responden pada kelompok kontrol diberikan pendidikan kesehatan jiwa tentang cara merawat klien gangguan jiwa di rumah sehingga tindakan pasung dapat dicegah. Materi pendidikan kesehatan jiwa untuk responden dapat dilihat pada lampiran 12. Selanjutnya dilakukan terminasi pada kelompok intervensi dan kontrol. Proses pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada gambar 4.3.
Hari ke 2-9
Hari ke I
Hari ke 10
.--------.
Intervensi
Pretest
Post test
TerapiKPTP
Kelompok Intervensl
Sesi 1: Identifikasi kejadian dan respons terbadap kejadian
c:::>
Sesi 2: Identifikasi altematif dan konsekuensi piliban
q
Kelompok Intervensi
Sesi 3: Pilihan keputusan perawatan yang tepat dan terapeutik
Kelompok Kontrol
c:::>
Tidak diberikan terapi KPTP
q
Kelompok Kontrol
Gambar 4.3 Proses tahap pelaksanaan penelitian
4.2.7. Pengolahan Data Pengolahan data dilakukan setelah data dikumpulkan (Hastono, 2007). Adapun pengolahan data dilakukan melalui tahapan-tahapan berikut ini: a. Editing Pada tahap ini peneliti melakukan pemeriksaan ulang terhadap kelengkapan pengisian data demografi dan kuesioner yang diisi oleh responden. b. Coding Setelah semua data lengkap kemudian peneliti memberikan kode untuk semua partisipan untuk memudahkan pengolahan
dan analisis data. Responden di kelompok intervesi
diberikan kode 1 dan di kelompok kontrol diberikan kode 2. c. Processing Kuesioner yang telah diedit dan diberikan kode kemudian dimasukkan ke dalam program komputer untuk dianalisis lebih lanjut.
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
84
d. Cleaning Data yang telah dimasukkan kemudian dibersihkan sebelum dilakukan analisa data agar tidak terjadi kesalahan.
4.2.8. Analisis Data Pada analisis data tahap kedua dilakukan anal isis univariat dan bivariat sebagai berikut: 4.2.8.l.Analisis Univariat Analisis univariat digunakan untuk menganalisis karakteristik keluarga secara deskriptif dengan menghitung distribusi frekuensi dan proporsi untuk data kategorik dan tendensi sentral untuk data numerik. Pada penelitian ini semua data adalah kategorik sehingga dilakukan penghitungan distribusi frekuensi dan proporsi untuk semua data demografi responden. Penyajian data masing-masing variabel dibuat dalam bentuk tabel dan dinterpretasikan sesuai basil yang diperoleh (lihat tabel 4.3). 4.2.9.l.Analisis Bivariat Analisis bivariat dilakukan untuk menguji hubungan antara dua variabel. Pada penelitian ini variabel keputusan pasung diuji pada kelompok intervensi dan kontrol sebelum, sebelum dan sesudah serta sesudah pemberian terapi KPTP (lihat tabel4.4. dan 4.5). Uji statistik pada kelompok intervensi dan kontrol sebelum pemberian terapi KPTP dilakukan untuk melihat kesetaraan atau homogenitas karakteristik keluarga dan tingkat keputusan pasung pada kedua kelompok tersebut. Tabel4.4 Anal isis karakteristik keluarga (care giver) klien gangguan jiwa No Karakteristik Cara Analisis 1 Usia (data kategorik) 2 Jenis kelamin (data kategorik) __3_ _P_en_d_i_di_k_an__,._(d_a_ta_ka_t__,eg""-o_r_ik-'-)_ _ _ _ _ _ _ _ _ Distribusi frekuensi __4_ _S_ta_tu_s__.p'-e_rn_i_k_ah_a_n_;(,_d_at_a_k_a_te_...g'-o_ri~k)'--------- dan proporsi 5 Pekerjaan (data kategorik) 6 Pendapatan per bulan (data kategorik) 7 Hubungan keluarga (data kategorik)
Tabel4.5 Analisis kesetaraan karakteristik keluarga (care giver) dan keputusan pasung oleh keluarga No 1. 2. 3.
Ke~ompok Intervensi Usia (data kategorik) Jenis kelamin (data kategorik) Pendidikan (data kategorik)
Kelompok Kontrol Usia (data kategorik) Jenis kelamin (data kategorik) Pendidikan (data kategorik)
Cara Analisis Kai kuadrat
Fisha-' s exact teEt
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
85 No
Kelompok Intervensi
Kelompok Kontrol
Cara Analisis
4. 5. 6.
Status pernikahan (data kategorik) Status pernikahan (data kategorik) Fisher's exact test Pekerjaan (data kategorik) Pekerjaan (data kategorik) Kai kuadrat Pendapatan per bulan (data Pendapatan per bulan (data kategorik) kategorik) --=7:-.---=H-=-u--=b_u_n_g-an---=-k-e=-1u-a-rg_a_(:-d:-a-ta:-k:-a-te_g_o_r:-::-ik-,-)---c:H:-::-ub=-u-n_g_a_n--:-k-e.,...lu-a-rg_a_(.,...d=-a-ta:-k:-a-te_g_o_r.,.,-ik~) Fisher 's exact test
8.
Keputusan pasung (data numerik)
Keputusan pasung (data numerik)
Regresi korelasi
Tabel4.6 Perubahan keputusan pasung
Kelompok lntervensi
Kelompok lntervensi
Keputusan pasung sebelum pemberian terapi KPTP: a. stresor b. respons terhadap stresor c. sumber koping d. keinginan memutuskan tindakan pasung (data numerik)
Keputusan pasung sesudah pemberian terapi KPTP: a. stresor, b. respons terhadap stresor, c. sumber koping, d. keinginan memutuskan tindakan pasung (data numerik)
Kelompok Kontrol
Kelompok Kontrol
Keputusan pasung sebelum pemberian terapi KPTP: a. stresor b. respons terhadap stresor c. sumber koping d. keinginan memutuskan tindakan pasung (data numerik)
Keputusan pasung sesudah pemberian terapi KPTP: a. stresor b. respons terhadap stresor c. sumber koping d. keinginan memutuskan tindakan pasung (data numerik)
Kelompok Intervensi
Kelompok Kontrol
Keputusan pasung sesudah pemberian terapi KPTP: a. stresor b. respons terhadap stresor c. sumber koping d. keinginan memutuskan tindakan pasung (data numerik)
Keputusan pasung sesudah pemberian terapi KPTP: a. stresor b. respons terhadap stresor c. sumber koping d. keinginan memutuskan tindakan pasung (data numerik)
Cara Analisis Anova repeated measure
Cara Analisis Anova repeated measure
Cara Analisis Independen t-test
4.2.9. Etika Penelitian Penelitian dilaksanakan setelah dilakukan uji
etik oleh komite etik Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia dan dinyatakan lolos (lihat lampiran 6). Pada penelitian ini peneliti menerapkan prinsip-prinsip etik berikut untuk melindungi hak-hak responden penelitian:
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
86
a. Autonomy Setelah diberikan penjelasan tentang tujuan, manfaat, dan risiko yang mungkin terjadi pada pelaksanaan penelitian, maka partisipan diberikan kebebasan untuk menentukan apakah bersedia atau tidak mengikuti penelitian ini secara sukarela. Kesediaan mengikuti ditandai dengan menandatangani lembar informed concent yang diberikan (lihat lampiran 14). Partisipan juga diberikan kebebasan untuk mengundurkan diri setelah mendapat penjelasan dari peneliti atau selama proses penelitian bila ada dampak negatif yang dirasakan oleh partisipan. Peneliti menghormati apapun keputusan partisipan dalam proses penelitian ini. b. Anonymity Kerahasiaan identitas partisipan dijaga dengan tidak menuliskan nama sebenamya pada dokumen penelitian. Sebagai gantinya setiap partisipan diberikan kode untuk identitasnya, sehingga partisipan merasa aman dan tenang dan privasinya tetap terjaga. c. Confidentially Kerahasiaan identitas dan informasi yang diberikan oleh responden selalu dijaga oleh peneliti. Untuk menjaga kerahasiaan data ini, maka semua data disimpan di tempat tertutup dan akses kepada data hanya ada pada peneliti. Data akan dimusnahkan segera setelah penelitian selesai. d. Non maleficence Selama proses pengambilan data baik wawancara mendalam maupun pengisian kuesioner dan selama pemberian terapi sebagai intervensi dalam penelitian ini, peneliti mengusahakan agar partisipan bebas dari rasa tidak nyaman baik secara fisik maupun psikologis. Peneliti menjelaskan tujuan dan manfaat penelitian dengan bahasa yang sederhana agar dapat dipahami oleh partisipan dan responden. Selain itu peneliti juga selalu membuat kontrak waktu dan tempat yang sesuai dengan keinginan dan kesediaan partisipan dan responden. Penelitian bermanfaat untuk membantu keluarga mengetahui cara pengambilan keputusan perawatan yang tepat dan terapueutik bagi klien gangguan jiwa, sehingga tindakan pasung dapat dicegah.
e. Justice Peneliti tidak melakukan diskriminasi saat melakukan seleksi partisipan dan responden. Semua partisipan dan responden diseleksi berdasarkan alasan yang berhubungan langsung dengan masalah penelitian. Semua partisipan dan responden mendapat perlakuan yang sama selama proses penelitian. Setelah post test responden pada kelompok kontrol diberikan edukasi terkait cara merawat klien gangguan jiwa di rumah dengan menggunakan leaflet (lihat lampiran 14), sehingga klien gangguanjiwa tidak perlu dipasung.
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
BAB5 HASIL PENELITIAN
Bah ini menj elaskan basil penelitian yang terbagi atas tahap pertama dan tahap kedua. Pada tahap pertama dihasilkan karakteristik keluarga klien gangguan jiwa yang sedang atau pemah dipasung; kategori, sub kategori dan kode; model proses pengambilan keputusan tindakan pasung oleh keluarga; Kuesioner Keputusan Pasung Daulima (KKPD), Algortima Keputusan Perawatan Daulima (AKPD) serta terapi Keputusan Perawatan Tanpa Pasung (KPTP). Pada tahap kedua diperoleh hasil karakteristik keluarga dari klien gangguan jiwa yang belum pemah berobat atau putus obat, karakteristik klien gangguan jiwa serta hasil uji hubungan antara tingkat keputusan pasung oleh keluarga dengan kemampuan keluarga dalam pengambilan keputusan perawatan tanpa pasung. Penelitian tahap pertama menghasilkan kategori, sub kategori dan kode yang menjadi dasar untuk perumusan model proses pengambilan keputusan tindakan pasung oleh keluarga. Model ini kemudian menjadi platform untuk mengembangkan Kuesioner Keputusan Pasung Daulima (KKPD), Algoritma Keputusan Perawatan Daulima (AKPD), dan terapi Keputusan Perawatan Tanpa Pasung (KPTP). Terapi KPTP dan AKPD bertujuan untuk memberdayakan keluarga dalam pengambilan keputusan perawatan yang tepat dan terapeutik tanpa pasung melalui tahapan identiftkasi stresor, stres dan respons terhadap stresor yang dialami keluarga, identiftkasi pemahaman keluarga terhadap altematif dan konsekuensi dari pilihan perawatan untuk mengatasi stres yang dialami dan pengambilan keputusan perawatan yang tepat dan terapeutik tanpa pasung. Tingkat keputusan keluarga untuk melakukan tindakan pasung diukur oleh KKPD. Semakin tinggi skor KKPD berarti semakin tinggi tingkat keputusan keluarga untuk melakukan tindakan pasung dan sebaliknya semakin rendah skor KKPD berarti semakin rendah tingkat keputusan keluarga untuk melakukan tindakan pasung. Indikator keberhasilan terapi KPTP dan AKPD dapat diukur melalui skor KKPD dan kemampuan keluarga untuk mengambil keputusan bukan pasung yang tergambar dalam buku ketja terapi yang diisi oleh keluarga (lihat tabel 5.1). Selanjutnya akan dijelaskan hasil penelitian yang telah diperoleh:
87
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
Universitas Indonesia
88
Tabel5.l Relevansi terapi KPTP dan AKPD dengan KKPD Komponen Terapi KPTP dan AKPD 1. Identifikasi stresor danrespons terhadap stresor yang dialami keluarga
Perubahan Yang Diharapkan 1. Keluarga dapat memahami stresor dan respons terhadap stresor yang dialami dapat memutuskan tindakan perawatan non pasung untuk
Indikator
Komponen KKPD
1. Turunnya skor KKPD
Mengukur:
---:---:-::-:---:------.:.:kl=ie.:..:n~goz;:an=gguan!i<.::.:..:=...~.j.:..:iw.:..:a;:___________ 1. Stresor yang
2. Identifikasi pemahaman keluarga terhadap alternatif dan konsekuensi dari pilihan perawatan untuk mengatasi stres yang dialami 3. Pengambilan keputusan perawatan yang tepat dan terapeutik tanpa pasung.
2. Keluarga dapat memahami alternatif pilihan perawatan beserta konsekuensinya
3. Keluarga dapat memutuskan pilihan tindakan perawatan yang tepat dan terapeutik bagi klien gangguanjiwa
2. Keluarga memutuskan tindakan perawatan yang tepat dan terapeutik tanpa pasung
dihadapi keluarga 2. Respons keluarga terhadap stresor 3. Sumber koping yang dimiliki keluarga 4. Keinginan keluarga untuk memutuskan pasung
5.1 Tahap pertama: Eksplorasi Proses Pengambilan Keputusan Tindakan Pasung Oleh Keluarga. Pada tahap pertama dipaparkan hasil sebagai berikut: karakteristik keluarga klien gangguan jiwa yang pemah atau sedang dipasung sebagai partisipan penelitian; kategori, sub kategori dan kode hasil penelitian grounded theory; model proses pengambilan keputusan tindakan pasung oleh keluarga; Kuesioner Keputusan Pasung Daulima (KKPD); Algoritma Keputusan Perawatan (AKPD) serta terapi Keputusan Perawatan Tanpa Pasung (KPTP).
5.1.1 Karakteristik Keluarga Klien Pasung
Penelitian ini melibatkan keluarga (care giver) dari 9 orang klien gangguanjiwa yang sedang atau pemah dipasung. Keluarga yang terlibat betjumlah 10 orang yang terdiri dari 3 orang ayah kandung, 2 orang ibu kandung, 1 orang kakak kandung, 1 orang adik kandung, 2 orang kakak tiri/angkat, 1 orang kakak ipar. Selain itu dilibatkan pula partisipan dari pihak tokoh masyarakat dan petugas kesehatan dengan rincian 6 orang partisipan dari pihak tokoh masyarakat yang terdiri dari 3 orang ketua RT, 1 orang ibu RT dan 2 orang ketua RW serta 6 orang partisipan dari pihak petugas kesehatan yang terdiri dari 3 orang perawat kesehatan
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
89
jiwa puskesmas, 1 orang dokter puskesmas, 2 orang kader kesehatan jiwa (lihat tabel 5.2). Deskripsi klien dan keluarga klien pasung secara lengkap dapat dilihat pada lampiran 4.
Tabel5.2 Partisipan penelitian tahap I Klien Pasung
Perempuan: 2 orang Laki-laki : 7 orang
Total: 9 orang
Keluarga (Care giver) Ayah kandung : 3 orang
Ibu kandung : 2 orang Kakak kandung : 1 orang Kakak tirilangkat: 2 orang Kakak ipar : 1 orang Total: 9 orang
Toma
Petugas Kesehatan
K.a RT : 3 orang Perawat keswa: 3 orang Ibu RT : 1 orang Dokter : 1 orang K.aRW :2 orang Kader keswa : 2 orang Total : 6 orang
Total : 6 orang
5.1.2. Hasil Analisis Kualitatif Berikut ini dijelaskan basil keseluruhan kategori, sub kategori dan kode berdasarkan wawancara mendalam dengan para partisipan. Berdasarkan analisis didapatkan 13 kategori, 28 sub kategori dan 68 kode (lihat gambar 5.1).
Kategori yang ditemukan adalah:
pemenuhan rasa aman dalam ketidakberdayaan, menjaga martabat keluarga, ketidakpuasan terhadap pelayanan kesehatan jiwa, keterbatasan pengetahuan tentang kesehatan jiwa, kendala finansial, kegagalan tindakan altematif sebagai upaya penyelesaian masalah pra pemasungan, musyawarah dalam proses pengambilan keputusan pra pemasungan, keluarga inti sebagai pengusul tindakan pasung, masyarakat sebagai pengusul tindakan pasung, keluarga sebagai pengambil keputusan pasung, pasung dalam perspektif keluarga dan masyarakat, ketidakpuasan terhadap pelayanan kesehatan jiwa, konflik: manifestasi ketidakberdayaan paska pemasungan,
kebutuhan dukungan kebijakan dan fasilitas
pemerintah untuk penyelesaian masalah pasung.
Sub kategori yang dirumuskan adalah: menjaga keamanan masyarakat, memberikan rasa aman dan nyaman kepada keluarga, menjaga keamanan dan kenyamanan klien, perilaku memalukan, stigma gangguan jiwa, kurang terpenuhinya rasa aman keluarga, kurangnya rasa percaya keluarga terhadap kualitas pelayanan kesehatan jiwa, keterbatasan pengertian, keterbatasan keterampilan merawat, kesulitan biaya pengobatan dan perawatan, kesulitan biaya transportasi ke pelayanan kesehatan jiwa, memanfaatkan fasilitas layanan kesehatan, mengakses layanan pengobatan altematif, membatasi akses sosial, musyawarah kelompok kecil pra pemasungan, musyawarah kelompok besar pra pemasungan, saudara kandung
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
90
1. Menjaga keamanan masyarakat
r-
1. Membahayakan orang lain
f-
2. Merusak lingkungan
y
3. Mengganggu di luar rumah 4. Mengalami perubahan pola tidur
rl
1. Pemenuhan rasa aman dalam ketidakberdayaan
5. Mengalami dampak agresMtas fisik klien
~
2. Memberikan rasa aman dan nyaman kepada keluarga
6. Mengalami dampak agresivitas verbal klien
f-
7. Merasa putus asa 8.Bumout 9. Mengganggu aktivitas keluarga
,...., 10. Keluyuran 3. Menjaga keamanan dan kenyamanan klien
rl 1--
4. Perilaku memalukan
Proses pengambilan 1keputusan pasung
rl
3. Kelidakpuasan terhadap pelayanan kesehatan jiwa
6. Kurang terpenuhinya rasa aman keluaraa
12. Mengamankan klien
}{ }[ }[
1-[
8. Keterbatasan pengertian
}[
4. Keterbatasan pengetahuan tentang kesehatan jiwa
y
9. Keterbatasan keterampilan merawat
~
'-
7. Kurangnya rasa percaya keluarga terhadap kualitas pelayanan kesehatan jiwa
rl I--
11. Risiko tindak kekerasan dari warga yang terganggu
2. Menjaga martabat keluarga 5. Stigma gangguan jiwa
-
f-
5. Kendala finansial
~
~
10. Kesulitan biaya pengobatan dan perawatan
y
11. Kesulitan biaya transportasi ke pelayanan kesehatan jiwa
J-0
13. Keluar rumah tanpa busana 14. Malu 15. Merasa dilabel negatif oleh orang lain 16. Merasa tidak nyaman dengan label negatif gangguan jiwa 17. Kondisi pelayanan keswa yang tidak memuaskan 18. Rasa tidak aman keluarga terhadap pelayanan kesehatan jiwa 19. Keraguan keluarga terhadap kualitas pelayanan kesehatan jiwa 20. Kekambuhan berulang 21. Tidak memahami tentang gangguan jiwa 22. Tidak memahami peran dan fungsi pelayanan kesehatan jiwa 23. Tidak memahami cara merawat klien gangguanjiwa 24. Tidak memahami altematif cara merawat klien !IBO!I!IUan iiwa 25. Ketidakmampuan membiayai pengobatan
H
26. Ketidakmampuan membiayai perawatan rumah sakit 27. Ketidakmampuan membiayai transportasi
r-c
DetBwatan ke rumah sakit
28. Ketidakmampuan membiayai transportasi untuk pengobatan
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
91
~
12. Memanfaatkan fasilitas layanan kesehatan
6.Kegaga~ntindakan
r-
13. Mengakses layanan pengobatan aHematif
altematif sebagai upaya penye\esaian masalah pra pemasungan
14. Membatasi akses sosial
15. Musyawarah kelompok kecil
Proses pengambilan keputusan pasung
7. Musyawarah dalam proses pengambilan keputusan pra pemasungan
pra pemasungan
16. Musyawarah kelompok besar pra pemasungan
17. Saudara kandung sebagai pengusul tindakan pasung
8. Keluarga inti sebagai pengusul tindakan pasung
18. Orang tua sebagai pengusul tindakan pasung
9. Masyarakat sebagai pengusul tindakan pasung
r-
memasung
J--[
keputusan pasung
y
20. Saudara sebagai pengambil keputusan pasung
rl
21. Pasung dalam perspektif keluaroa
I
~
}-[ ~
22. Pasung dalam perspektif masvarakat
-i
12. Konflik: manifestasi
..._ ketidakberdayaan paska pasung
~
...........
36. Meminta pendapat orang tua
38. Meminta pendapat tokoh masyarakat
40. Memasung diusulkan oleh adik 41. Memasung diusulkan oleh ayah 42. Memasung diusulkan oleh ibu 43. Memasung diusulkan oleh tetangga 44. Memasung diusulkan oleh toma
H J-[ ~~ ~
I
39. Memasung diusulkan oleh kakak
47. Keputusan pasung diambil oleh kakak
J-[j
I
37. Meminta pendapat keluarga inti
H=
r-
23. Konflik emosi
34. Menikahkan klien sebelum memasung
45. Keputusan pasung diambil oleh ayah
1-
y
33. Menutup akses ke\uar rumah sebelum memasung
~,.--
r
10. Keluarga sebagai pengambU keputusan pasung
11. Pasung dalam perspektif keluarga dan masyarakat
~ "·"""'"""' """""'""''"""""""
L ,.... 19. Orang tua sebagai pengambil
r-
30. Berobat ke rumah sakit jiwa sebe\um memasung
32. Berobat ke paranormal sebelum memasung
Li
f-
29. Berobat ke petugas kesehatan sebelum memasung
46. Keputusan pasung diambil o\eh ibu
48. Keputusan pasung diambil oleh adik 49. Memasung sebagai jalan keluar terbaik 50. Memasung sebagai satu-satunya altematif 51. Memasung sebagai akibat kurangnya perhatian pemerintah 52. Memasung merupakan hak keluarga 53. Merasa sedih paska pemasungan 54. Merasa tidak nyaman paska pemasungan 55. Ketenangan semu paska pemasungan 56. Mengalami dilema antara mempertahankan dan melepas pasun!l
-----
..._ 57. Merasa kehilangan klien yang pemah dikenal
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
92
12. Konllik: manifestasi kelidakberdayaan paska pemasungan
Proses pengambilan keputusan pasung
-------
~
58. Menjadi lebih gelisah paska pemasungan
~-
59. Menjadi lebih repot mengurus kebutuhan perawatan diri ldien paska pemasungan
-
-i
24. Konflik situasi
-
60. Toma: mengalami kesulitan menghentikan pemasungan
r-
~ r-
'--
13. Kebutuhan dukungan kebijakan dan fasilitas pemerintah yang memadai utnuk penyelesaian masalah pasung
25. Kontrlbusi pemerintah dalam masalah pasung
26. Dukungan kajian penyelesiaan masalah
27. Dukungan fasilitas kesahatan jiwa
-
28. Dukungan pemberdayaan masyarakat
61. Kurangnya dari sosialisasi dari pemerintah
r-{ 62. Kurangnya penanganan masalah yang cepat dari pemerintah
~
63.T...,., .., _ 64. Perhatian dari pemerintah
~ "·""""""'-""'"'" 66. Kunjungan rumah
67. Dukungan masyarakat
K
68. Dukungan ke~asama dengan berbagai sektor dan program terkait
Gambar 5 .1. Hasil analisis data proses pengambilan keputu.san pasung oleh keluarga terhadap klien gangguan jiwa sebagai pengusul tindakan pasung, orang tua sebagai pengusul tindakan pasung, orang tua sebagai pengambil keputusan pasung, saudara sebagai pengambil keputusan pasung, pasung dalam perspektif keluarga, pasung dalam perspektif masyarakat, konflik emosi, konflik situasi, kontribusi pemerintah dalam masalah pasung,
dukungan kajian penyelesaian
masalah, dukungan fasilitas kesehatan jiwa, dan dukungan pemberdayaan masyarakat.
Kode yang didapatkan adalah: membahayakan orang lain, merusak lingkungan, mengganggu di luar rumah, mengalami perubahan pola tidur, mengalami dampak agresivitas fisik klien,
mengalami dampak agresivitas verbal klien, merasa putus asa, burn out, aktivitas keluarga,
keluyuran, risiko tindak kekerasan dari
mengganggu
warga yang terganggu,
mengamankan klien, keluar rumah tanpa busana, malu, merasa dilabel negatif oleh orang lain, merasa tidak nyaman dengan label negatif gangguan jiwa, kondisi pelayanan kesehatan jiwa yang tidak memuaskan, rasa tidak aman keluarga terhadap pelayanan kesehatan jiwa, keraguan keluarga terhadap kualitas pelayanan kesehatan jiwa, kekambuhan berulang, tidak
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
93
memahami tentang gangguan jiwa, tidak memahami peran dan fungsi pelayanan kesehatan jiwa, tidak memahami cara merawat klien gangguan jiwa, tidak memahami alternatif cara merawat klien gangguan jiwa, ketidakmampuan membiayai pengobatan, ketidakmampuan membiayai perawatan rumah sakit, ketidakmampuan membiayai transportasi perawatan ke rumah sakit, ketidakmampuan membiayai transportasi untuk pengobatan, berobat ke petugas kesehatan sebelum memasung, berobat ke rumah sakit jiwa sebelum memasung, melakukan pengobatan spiritual sebelum memasung, berobat ke paranormal sebelum memasung, menutup akses keluar rumah sebelum memasung, menikahkan klien sebelum memasung, meminta pendapat saudara kandung, meminta pendapat orang tua, meminta pendapat keluarga inti, meminta pendapat tokoh masyarakat, memasung diusulkan oleh kakak, memasung diusulkan oleh adik, memasung diusulkan oleh ayah, memasung diusulkan oleh ibu, memasung diusulkan oleh tetangga, memasung diusulkan oleh toma, keputusan pasung diambil oleh ayah, keputusan pasung diambil oleh ibu, keputusan pasung diambil oleh kakak, keputusan pasung diambil oleh adik, memasung sebagai jalan keluar terbaik, memasung sebagai satu-satunya alternatif, memasung sebagai akibat kurangnya perhatian pemerintah, memasung merupakan hak keluarga, merasa sedih paska pemasungan, merasa tidak nyaman paska pemasungan, ketenangan semu paska pemasungan, mengalami dilema antara mempertahankan dan melepas pasung, merasa kehilangan klien yang pernah dikenal, menjadi lebih gelisah paska pemasungan, menjadi lebih repot mengurus kebutuhan perawatan diri klien paska pemasungan, toma: mengalami kesulitan menghentikan pemasungan, kurangnya dari sosialisasi dari pemerintah, kurangnya penanganan masalah yang cepat dari pemerintah, tinjauan akar permasalahan, perhatian dari pemerintah, dukungan penyediaan obat, kunjungan rumah, dukungan masyarakat, serta dukungan keijasama dengan berbagai sektor dan program terkait. Analisis selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 12.
5.1.2.1 K.ategori 1: Pemenuhan Rasa Aman Dalam Ketidakberdayaan Pemenuhan rasa aman dalam ketidakberdayaan menggambarkan bahwa pasung merupakan alternatif yang dipilih karena rasa tidak berdaya menghadapi perilaku klien yang sangat menganggu ketenangan seperti membahayakan orang lain, merusak lingkungan dan menganggu di luar rumah. Tindakan pasung yang dilakukan oleh keluarga tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan rasa aman didalam rumah seperti terpenuhinya kebutuhan istirahat keluarga, berkurangnya dampak agresivitas fisik dan verbal serta bum out yang dialami keluarga, tetapi juga rasa aman masyarakat sekitar yang berada di luar rumah dan ternyata juga rasa aman untuk klien. Tindakan pasung dimaksudkan untuk melindungi klien dari Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
94
tindak:an anarkis masyarakat sekitar akibat perilaku agresif klien serta mencegah klien agar tidak keluyuran (lihat gambar 5.2). Beberapa partisipan berikut mengungkapkan hal ini: "Agar dia enggak mengganggu, enggak meresahkan keluarga dan masyarakat aja. Biar masyarakat enggak terganggu". (Pl ). " ... kenapa diiket? Biar enggak pergi pakde". (P2). "Entar kalo enggak diiket kabur nanti enggak bisa nge/again, ngerusak barang orang gimana..". (P7).
, r-
1. Menjaga keamanan masyarakat
1. Membahayakan orang lain
r-t- 2. Merusak lingkungan ,_
3. Mengganggu di luar rumah 4. Mengalami perubahan pola tidur
1
1. Pemenuhan rasa aman dalam ketidakberdayaan
r-t-
5. Mengalami dampak agresivitas fisik klien
2. Memberikan rasa aman dan nyaman kepada keluarga
6. Mengalami dampak agresivitas verbal klien
~--------------~
...__
3. Menjaga keamanan dan kenyamanan klien
7. Merasa putus asa r-
B.Bumout
'--
9. Mengganggu aktivitas keluarga
r-
10. Keluyuran
1-- t-
"-j
11. Risiko lindak kekerasan dari warga yang terganggu 12. Mengamankan klien
Gambar 5.2 Kategori 1: pemenuhan rasa aman dalam ketidakberdayaan
5.1.2.2 Kategori 2: Menjaga Martabat Keluarga Memasung klien gangguan jiwa tidak: hanya semata karena perilaku yang agresif saja. Beberapa perilaku memalukan klien seperti keluyuran tanpa busana membuat keluarga akhirnya harus memutuskan tindakan pasung (lihat gambar 5.3). Tindakan pasung dilakukan karena keluarga ingin menjaga nama baik dan martabat keluarga seperti yang disampaikan oleh beberapa partisipan berikut: " ...mungkin dari keluarga tub faktor malujuga bu yah ...". (P15). " ... ya mungkin aib ya buat mereka ya...jadi malu kaliya mungkin seperti itu". (P16).
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
95
"Iya bu dia suka telanjang, suka.. ee .. malu di depan pintu orang, mengganggu jadi makanya ibu itu dipasung". (P21)
~
13. Keluar rumah tanpa busana 4. Perilaku memalukan 14.Malu
2. Menjaga martabat keluarga
f-
y
5. Stigma gangguan jiwa
Ki
15. Merasa dilabel negatif oleh orang lain
I
16. Merasa tidak nyaman dengan label negatif gangguan jiwa
Gambar 5.3 Kategori 2: menjaga martabat keluarga
5.1.2.3 Kategori 3: Ketidakpuasan Terhadap Pelayanan Kesehatan Jiwa Pemasungan pada akhirnya dilakukan karena ketidakpuasan terhadap fasilitas dan pelayanan kesehatan jiwa yang ada (lihat gambar 5.4). Kekambuhan berulang, minimnya fasilitas serta rendahnya kualitas pelayanan kesehatan jiwa menjadi beberapa alasan yang mendorong keluarga untuk memasung klien seperti yang diungkapkan oleh beberapa partisipan berikut: " .. .lebih baik keluarga bu. Soalnya keluarga, mungkin karena keluarga sendiri jadinya lebih telaten untuk ngurus dibanding petugas kesehatan". (Pl ). "Pemah kita kirim bu ke .. Panti Laras .. nah disana dapet kira-kira dua bulan ya.. dua bulan kita liat kesana ternyata badannya koreng semua bu..". (P9). "Rumah sakitjiwa, disitujadi terus ... apa...terus sembuhlah begitu sembuhlah, begitu terus dibawa pulang ...waktu pulang itu ehjadi ... apa ya, kambuh lagi ... terus berobat...sembuh, kambuh lagi". (Pl2). " ... dibawa dimasukin ke rumah sakit jiwa..lari.. dia loncat keluar". (P14).
6. Kurang terpenuhinya rasa aman keluaraa 3. Ketidakpuasan terhadap pelayanan kesehatan jiwa 7. Kurangnya rasa percaya keluarga terhadap kualitas pelayanan kesehatan jiwa
17. Kondisi pelayanan keswa yang tidak memuaskan 18. Rasa tidak aman keluarga terhadap pelayanan kesehatan jiwa 19. Keraguan keluarga terhadap kualitas pelayanan kesehatan jiwa 20. Kekambuhan berulang
Gambar 5.4 Kategori 3: ketidakpuasan terhadap pelayanan kesehatanjiwa
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
96
5.1.2.4 Kategori 4: Keterbatasan Pengetahuan Tentang Kesehatan Jiwa Kurangnya pengetahuan tentang gangguan jiwa dan peran fungsi pelayanan kesehatan jiwa serta cara merawat yang tepat membuat keluarga berpikir bahwa melakukan tindakan pasung adalah keputusan terbaik dalam merawat klien (lihat gambar 5.5). Beberapa partisipan mengungkapkan keterbatasan ini: "lya.. pikiran saya kan.. ah enggak mungkin nih kalo rumah sakit (untuk merawat) sakit begitu mah, ini penyakitnya bocah begini sih bu ...".(P4). " ...yang dipasung itu sebetulnya .. ee.. karena.. ee.. ketidakmengertian keluarga itu sendiri". (P6).
rl 4. Keterbatasan pengetahuan tentang kesehatan jiwa
B. Keterbatasan pengertian
J{
21. Tldak memahami tentang gangguan jiwa 22. TKiak rnemahami peran dan fungsi pelayanan kesehatan jiwa
1-
y
9. Kelerbatasan keterampilan merawat
23. Tidak memahami cara merawat ldien gangguan jiwa 24. Tidak memahami altematif cara merawat ldien !ISn!I!IUan iiwa
Gambar 5.5 Kategori 4: keterbatasan pengetahuan tentang kesehatanjiwa 5.1.2.5 Kategori 5: Kendala Finansial Keinginan untuk membawa klien gangguan jiwa ke layanan kesehatan jiwa baik untuk rawat jalan maupun rawat inap seringkali terbentur dengan masalah finansial. Masalah finansial ini tidak hanya berkaitan dengan biaya rawat jalan dan inap saja tetapi juga dengan biaya transportasi ke institusi pelayanan kesehatan jiwa. Kurangnya sumber pendapatan membuat keluarga akhirnya melakukan tindakan pasung di rumah yang menurut keluarga biayanya jauh lebih ekonomis dibandingkan membawa ke layanan kesehatan (lihat gambar 5.6): "Karena waktu itu kan ingin bawa ke rumah sakit jiwa juga kan perlu biaya juga. Jadinya ya itu dulu lah yang terbaik". (Pl). "Saya sudah menganjurkan bahwa itu harus dibawa ke rumah sakit, tapi beliau kan namanya keluarganya keluarga kurang mampu". (P3). " lya.. enggak mampu ama dananya saya udah enggak... enggak kepikir akal dana dari mana.. ya udah dikurung aja dab, gitu". (P4).
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
97
"Sebelum dirantai saya pikir.. kalo misalkan dibawa ke rumah sakit saya enggak mampu begini duit dari mana.. gitu". (PlO).
25. Kelidakmampuan membiayai pengobatan rl1 0. Kesulilan biaya pengobatan dan perawatan 5. Kendala finansial
1_,11. Kesulilan biaya transportasi ke pelayanan kesehatan jiwa
}[
Jt
26. Kelidakmampuan membiayai perawatan rumah saki! 27. Kelidakmampuan membiayai transportasi perawatan ke rumah saki! 28. Kelidakmampuan membiayai transportasi untuk pengobatan
Gambar 5.6 Kategori 5: kendala finansial
5.1.2.6 Kategori 6: Kegagalan Tindakan Alternatif Sebagai Upaya Penyelesaian Masalah Pra Pemasungan Pemasungan layaknya teriakan minta tolong setelah segala upaya telah dilakukan untuk menyelesaikan masalah klien gangguan jiwa menemui jalan buntu. Tindakan seperti memanfaatkan fasilitas layanan kesehatan dan layanan pengobatan altematif seringkali menjadi pilihan keluarga untuk menangani penyakit klien gangguanjiwa, namun banyakjuga yang mengalami kegagalan dengan tindakan ini. Upaya altematiflain adalah dengan berusaha membatasi akses sosial dengan menutup akses keluar rumah seperti menggembok pintu dan jendela. Namun demikian kembali lagi upaya inipun kerap kali gagal membatasi klien keluar rumah. Kegagalan berulang inilah yang pada akhirnya mendorong keluarga untuk melakukan tindakan pasung (lihat gambar 5. 7): " ... saya bawa ke tabib bu. Tabib katanya kemasukan jin apa.. kata habib ya.. dirawat di habib tub.. ada kali tub tiga hari yak di habib yak..". (P4). " ... saya beli gerendel empat, saya bikin konci dua, di atas bawah satu, yang satu gembok, sama juga atas sama dua kayak gini juga, nab saya konci dua, ... saya pikir aman, enggak taunya apa, nih kaca nako nih, ... prak pecahin tub, ininya dia tarik nih besinya .. sret.. dia keluar...". (Pl 0). " ...terus berobat lagi ke pak Haji K Cibeureum, lalu sembuh, terus dimasukkan ke pesantren oleh Haji K ... eh...kambuh lagi di pesantren gitu .. .lalu diobatin lagi sama pak K, terusnya nggak... nggak bisa sembuh ... dia itu me.nyerah, pak Haji K". (P12).
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
98
~
6. Kegagalan tindakan altematif sebagai upaya penyelesaian masalah pra pemasungan
29. Berobat ke petugas kesehatan sebelum memasung
12. Memanfaatkan fasilitas layanan kesehatan
13. Mengakses layanan pengobatan altematif
.....
y
H
30. Berobat ke rumah sakit jiwa sebelum memasung
{
I
31. Melakukan pengobatan spiritual sebelum memasung 32. Berobat ke paranonnal sebelum memasung 33. Menutup akses keluar rumah sebelum memasung
14. Membatasi akses sosial
J-C
34. Menikahkan ldien sebelum memasung
Gambar 5. 7 Kategori 6: kegagalan tindakan altematif sebagai upaya penyelesaian masalah pra pemasungan
5.1.2. 7 Kategori 7: Musyawarah Dalam Proses Pengambilan Keputusan Pra Pemasungan Musyawarah merupakan salah satu bagian dalam proses pengambilan keputusan pasung. Keluarga berusaha melakukan musyawarah untuk mendapatkan masukan baik dari keluarga inti, keluarga besar maupun masyarakat sekitar sebelum akhimya memutuskan untuk memasung klien (lihat gambar 5.8). Berikut adalah beberapa pemyataan partisipan terkait musyawarah tersebut: " ..Iya manggil kakak juga yang di Bekasi sama yang di Bantatjati, terus kita ngerembuk, akhirnya ya udah untuk kebaikan semua ... diiket". (PI). " .. ya kan saya bilang gitu kan.. kita rante aja kakinya satu.. terus kata istri saya.. entar saya nanya orang tua saya dulu.. kan dia punya ibu kan disono, terus nanya ama enyak:nye, kata enyak:nye .. terserah.. nah udah gitu kata saya.. udah saya beliin rante di material sono ..". (PlO). "He eh.. ya kan dia bilang kan ama istrinya, sama enyak:nya sama dia sendiri, bertiga aja gitujadi ama yang laen enggak.. ". (Pll) "Ee.. kita berunding ama para ketua sini .. warga sini.. Ee .. para sepuh sini bu mantan pak RW ..para tua-tua sini lah yang dianggap lebih ini ... , udah lah kita ambil kebijaksanaan kita isolasi dulu lah katanye yang penting.. ". (P22).
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
99
7. Musyawarah dalam proses pengambilan keputusan pra pemasungan
15. Musyawarah kelompok kecil pra pemasungan I'-
16. Musyawarah kelompok besar pra pemasungan
35. Meminla pendapat saudara kandung
rc
36. Meminta pendapat orang tua
~ 37........" ' - -.... 38. Meminta pendapat tokoh masyarakat
Gambar 5.8 Kategori 7: musyawarah dalam proses pengambilan keputusan pra pemasungan
5.1.2.8 Kategori 8: Keluarga Inti Sebagai Pengusul Tindakan Pasung Dalam proses pengambilan keputusan pasung inisiatif untuk memasung seringkali datang dari keluarga yang inti yang tinggal serumah dengan klien. Hal ini terjadi karena keluarga inti adalah pihak yang paling merasakan dampak negatif dan merugikan dari perilaku klien gangguanjiwa (lihat gambar 5.9): "Bapak yang memimpin rembukan, terns Kak J (kakak klien) yang ito ... mengusulkan". (Pl). " ... yang mengusulkan untuk dikurung ... Saya sendiri (adik klien) .. saya sendiri sama ibu..". (Pl8). "Kan udah mentok semua, akhirnya M (adik ipar klien): 'Gimana kalo dipintuin teralis, kalo kebakaran ketauan, asap keluar' .. , akhirnya dibikinin teralis sebelum romadhon itu dibikinin teralis, ya udah sampe sekarang ito..". (P14).
~ 8. Keluarga inti sebagai pengusul tindakan pasung
17. Saudara kandung sebagai pengusul tindakan pasung
18. Orang tua sebagai pengusul tindakan pasung
}[
39. Memasung diusulkan oleh kakak 40. Memasung diusulkan oleh adik
~ 41. ............... ""'""' 42. Memasung diusulkan oleh ibu
Gambar 5.9 Kategori 8: keluarga inti sebagai pengusul tindakan pasung
5.1.2.9 Kategori 9: Masyarakat Sebagai Pengusul Tindakan Pasung Selain keluarga inisiatif untuk tindakan pasung juga datang dari masyarakat di sekitar rumah klien. Masyarakat yang merasa resah dan terganggu mengusulkan kepada keluarga untuk memasung klien seperti yang disampaikan oleh beberapa partisipan berikut ini (lihat gambar 5.10): " ... justru emang tetangga nyaraninjuga gitu ... diikat .. Justru ada yang bilang dipasung bu". (Pl).
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
100
"Ada yang ngasih tau sebaiknya dikurung ... tetangga-tetangga aja". (P17). " ... kita berunding ama para ketua.. warga sini .. ". (P22).
L_rl
9. Masyarakat sebagai pengusul tindakan pasung .__ _ _ _ _ _...I
14
I I
43. Memasung diusulkan oleh tetangga 44. Memasung diusulkan oleh lorna
Gambar 5.10 Kategori 9: masyarakat sebagai pengusul tindakan pasung 5.1.2.10 Kategori 10: Keluarga Sebagai Pengambil Keputusan Pasung Tahap akhir dari proses keputusan pasung adalah pengambilan keputusan. Pada tahap ini, keputusan melakukan pasung terhadap klien gangguan jiwa atau tidak pada akhimya diambil oleh keluarga, khususnya keluarga inti. Pengambil keputusan dari keluarga terdiri dari orang tua yaitu ayah dan ibu serta saudara (sibling) yaitu kakak dan adik (lihat gambar 5.11): "Jadi saat itu diputuskan ..ya .. ya oleh saya (ayah klien) .. ya... ". (P5). " ...karena orang tuanyapun (berkata) ya sudah iket aja.. iket tangannya kakinya sudah .. dia kan enggak bisa bergerak akhirnya kan .. ". (P9). "Dikamarkan, jadi waktu itu bapak yang memutuskan ...". (P12). " Ya akhirnya udah mungkin bu, ngasih keputusan pasung dari keluarga bukan dari warga bu...bukan gitu ... ". (PIS).
n 10. Keluarga sebagai pengambil keputusan pasung
19. Orang tua sebagai pengambil keputusan pasung
20. Saudara sebagai pengambil keputusan pasung
}jj "-'""'"""""'""".,... 46. Keputusan pasung diambil oleh ibu
~
47. Keputusan pasung diambil oleh kakak 48. Keputusan pasung diambil oleh adik
Gambar 5.11 Kategori 10: keluarga sebagai pengambil keputusan pasung
5.1.2.11 Kategori 11: Pasung Dalam Perspektif Keluarga Dan Masyarakat Masyarakat memandang bahwa tindakan pasung merupakan hak keluarga karena yang dipasung adalah anggota keluarganya sendiri. Sedangkan keluarga memandang pasung
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
101
sebagai jalan keluar terbaik ditengah segala keterbatasan yang dimiliki olehnya (lihat gambar 5.12): "Biar.. ya yang terbaik buat S, maksudnya biar enggak ganggu keluarga, enggak ganggu masyarakat, itu aja". (Pl). "Ya kalo gini... kalo menurut pendapat saya... itu sebenernya ya (pemasungan) ... sah-sah aja bagi keluarga". (P2) . .. ...ini adalah kelemahan dari suatu pemerintah yang tidak pernah bersosialisasi kepada masyarakat...". (P2).
"Enggak tega.... kayak... gimana sib.. pokoknya enggak tega dab, tapi gimana itu jalan satu satunya yang terbaik buat.. buat dia, buat keluarganya juga". (P14).
11. Pasung dalam perspektif keluarga dan masyarakat
.--
-
'-
21. Pasung dalam perspektif keluarga
22. Pasung dalam perspektif masyarakat
ri
-w -
49. Memasung sebagai jalan keluar terbaik 50. Memasung sebagai satu-satunya altematif 51. Memasung sebagai akibat kurangnya perhatian pemerintah 52. Memasung merupakan hak keluarga
Gambar 5.12 Kategori 11 : pasung dalam perspektif keluarga dan masyarakat
5.1.2.12 Kategori 12: Konflik: Manifestasi Ketidakberdayaan Paska Pemasungan Keluarga memandang pasung sebagai jalan keluar terbaik, namun kenyataannya setelah tindakan pasung dilakukan keluarga kemudian mengalami konflik. Konflik yang ditemukan terdiri atas konflik emosi dan situasi. Konflik emosi terdiri dari perasaan sedih, tidak nyaman, dilema, merasa kehilangan sosok yang pemah dikenal. Kontlik situasi terdiri dari perilaku klien yang menjadi lebih gelisah paska pemasungan, keluarga menjadi lebih repot mengurus klien yang dipasung, dan tokoh masyarakat mengeluh sulit untuk menghentikan pemasungan. Konflik emosi dan situasi yang terjadi dapat menjadi berkepanjangan selama klien masih dipasung (lihat gambar 5.13): "Sedih juga ya ... soalnya...tapi mau gimana lagi soalnya itu yang terbaik juga gitu". (Pl). " .. (habis dipasung) enggak ngerespon.. masih teriak-teriak aja.(Pl) "Ya kalo kita.. bagi saya pribadi enggak tega bu". (P3).
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
102 "Timbullah di hati saya sedih lagi .. aduh nih anak malang banget ya.. tapi saya enggak langsung rante, enggak, saya diemin dulu (sementara dibuka) .. ". (PIO). " ...liat teh tadinya apalagi tadinya suka.. hehe.. itu maen sama ternan kitu teman-temannya kesana-kesini liat temannya, saya teh ingeet (perilaku klien sebelum sakit) gitu kasian gitu ... ". (P17).
''Mmmm... boro-boro uwak bisa ngaji, uwak mah.. ee .. lebih-lebih dari punya bayi .. Ngurusin itu si I, pipisnya, e'enya, kalo mo makan telat sedikit marah, kaca juga katanya mau didaborin, pantur udah digebug-gebugin". (P20).
53. Merasa sedih paska pemasungan 54. Merasa lidak nyaman paska pemasungan
r-
. 23. Konflik emosi
55. Ketenangan semu paska pemasungan 1-
12. Konflik: manifestasi ketidakberdayaan paska pasung
.....
57. Merasa kehilangan ldien yang pemah dikenal
.....
58. Menjadi lebih gelisah paska pemasungan
r--
59. Menjadi lebih repot mengurus kebutuhan perawalan diri ldien paska pemasungan
-
24. Konflik situasi
56. Mengalami dilema antara mempertahankan dan melepas pasull!l
-
60. Toma: mengalami kesulilan menghentikan pemasungan
Gambar 5.13 Kategori 12 konflik: manifestasi ketidakberdayaan paska pasung
5.1.2.13 Kategori 13: Kebutuhan Dukungan Kebijakan Dan Fasilitas Pemerintah Untuk Penyelesaian Masalah Pasung. Masalah pasung tidak dapat diselesaikan oleh keluarga dan masyarakat saja. Dibutuhkan kerjasama lintas sektor dan departemen untuk menyelesaikannya. Kerjasama ini sangat butuh dukungan kebijak:an dan fasilitas dari pemerintah. Berikut beberapa pemyataan partisipan terkait dukungan pemerintah ini (lihat gambar 5.14): "Nab kalo sebenernya gini, ini adalah kelemahan dari suatu pemerintah yang tidak pernah bersosialisasi kepada masyarakat". (P2) "Kalau saya selak:u warga ya bu ya, selak:u kader kesehatan jiwa mengharapkan bahwa hal ini pemerintah supaya cepat menangani hal-hal yang demikian, sebab mungkin pada suatu hari nanti akan bermunculan yang model-model demikian bu ya .. " . (P13). " ...harapan saya dipecahkan gitu.. , diurutlah akar permasalahannya itu ternyata apa gitu kan". (P16).
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
103 " ... saya pikir harus ada.... kunjungan rutin terhadap .... terutama kunjungan rumah ya .. terhadap ... e .. terhadap keluarga atau komunikasi terhadap keluarga... ". (P16).
~ r-
13. Kebutuhan dukungan kebijakan dan fasilitas pemerintah yang memadai untuk penye!esaian masalah pasung
1-
25. Konbibusi pemerintah dalam masalah pasung
26. Dukungan kajian penyelesiaan masalah
r-
62. Kurangnya penanganan masalah yang cepat dari pemerintah
4
61. Kurangnya dari sosialisasi dari pemerintah
~Q
63.r•.,.,,.,, _ _ 64. Perhatian dari pemerintah
rr-
'-
27. Dukungan fasilitas kesehatan jiwa
28. Dukungan pemberdayaan masyarakat
~
65. Dukungan penyediaan obat 66. Kunjungan rumah
r-
67. Dukungan masyarakat
'-
68. Dukungan ke~asama dengan berbagai sektor dan program terkalt
-
Gambar 5.14 Kategori 13: kebutuhan dukungan kebijakan dan fasilitas pemerintah yang memadai untuk penyelesaian masalah pasung
5.1.3
Model Proses Pengambilan Keputusan Pasung Oleh Keluarga Klien Gangguan Jiwa
Merujuk kepada hasil analisis data diatas, dikembangkanlah model proses pengambilan keputusan pasung oleh keluarga seperti terlihat pada gambar 5.15. Pengambilan keputusan pasung merupakan salah satu mekanisme koping yang dikembangkan oleh keluarga dalam menghadapi stresor masalah gangguan jiwa dari salah satu anggota keluarga tersebut. Pada model ini terlihat bahwa stresor yang dialami keluarga berasal dari: perilaku maladaptif klien yang membahayakan masyarakat, keluarga dan klien sendiri; pengetahuan tentang masalah dan cara merawat klien; ketidakpuasan terhadap pelayanan kesehatan jiwa yang ada. Semua stresor tersebut menimbulkan stres yang muncul sebagai rasa tidak aman dan nyaman pada keluarga dan masyarakat. Stigma terhadap gangguan jiwa memperberat stresor yang ada dan juga stres yang dialami oleh keluarga. Stres yang muncul sebagai rasa tidak aman dan nyaman pada keluarga dan masyarakat dimanifestasikan dengan gangguan pola tidur, gangguan aktivitas sehari-hari dan ketakutan yang dialami oleh keluarga.
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
104
/ Perilaku maladaptif klien
/
/.---~~----......
Kendala finansial
.,,,,
\
Kegagalan tindakan aHematif
s t r
e s <> r
J:S
:n.t
ir
1e
--------------------------
~~ a.r
-------------------------------,-------------------_:1:1M
e k i~j~ a n•
Pemenuhan rasa aman: klien, keluarga, masyarakat
' - - - --- ------------- ----u··------ --
~ Musyawarah keluarga
:l -r_jm
Emosi )4+. Situasi
-...~. .J
,(). ~0
Ketidakberdayaan
-p•
1
n
g
Gambar 5.15. Model proses pengambilan keputusan pasung oleh keluarga klien gangguan jiwa
Stres yang dialami mendorong keluarga untuk melakukan tindakan yang merupakan bagian dari mekanisme koping agar kebutuhan rasa aman bagi masyarakat, keluarga bahk:an klien
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
105
sendiri dapat terpenuhi. Setelah mengalami kegagalan dalam melakukan tindakan pengamanan bagi klien maka atas usulan atau desakan secara langsung maupun tidak langsung dari masyarakat, keluarga kemudian memutuskan untuk melakukan tindakan pasung untuk mengamankan semua pihak yang terkait. Dalam proses pengambilan keputusan ini pendekatan musyawarah dilakukan. Musyawarah dilakukan di kelompok kecil yaitu
dengan keluarga maupun di kelompok besar yaitu dengan masyarakat. Pada musyawarah inilah kemudian keputusan pasung diambil oleh keluarga. Pengambil keputusan pasung berasal dari anggota keluarga inti, baik orang tua, kakak ataupun adik klien. Setelah tindakan pemasungan dilakukan masalah terselesaikan sementara. Masalah yang terselesaikan sementara antara lain terpenuhinya rasa aman bagi masyarakat, keluarga maupun klien sendiri. Namun demikian masalah sebenamya belumlah selesai, ada cukup banyak konflik yang muncul paska pemasungan yang terbagi menjadi konflik emosi dan situasi. Konflik emosi muncul tatkala keluarga merasa iba melihat kondisi klien setelah dipasung. Kondisi terkurung sendirian, gelisah, menangis, tidak dapat merawat diri sendiri sampai dengan sikap pasif dengan pandangan mata kosong membuat keluarga merasa galau dan tidak nyaman setiap kali melihat klien. Selain itu keluargapun merasa tersiksa dengan perasaan kehilangan klien yang pemah dikenal sebelumnya. Bagi keluarga secara fisik klien tetap ada, tetapi mereka kehilangan kepribadian klien yang dahulu mereka kenai. Konflik situasi terjadi ketika keluarga mendapatkan kenyataan bahwa klien menjadi lebih gelisah, khususnya pada minggu-minggu pertama pemasungan sehingga situasi tenang yang diharapkan diperoleh setelah pemasungan temyata tidak tercapai. Konflik yang lain adalah terjadinya keterbatasan dalam melakukan aktivitas di luar rumah maupun bersosialisasi karena sejak dipasung klien menjadi tergantung sepenuhnya kepada keluarga. Seluruh kebutuhan perawatan diri klien seperti mandi, huang air, keramas dan sikat gigi harus dibantu oleh keluarga. Termasuk makan dan minumpun harus dilayani oleh keluarga karena klien tidak dapat keluar ruangan isolasi maupun berjalan karena diikat dan dikurung. Situasi ketergantungan dan kegelisahan klien serta duka melihat keadaan klien memicu kondisi dilematis yang membuat keluarga terjebak dalam konflik berkepanjangan antara pilihan keputusan untuk melepas atau tetap mempertahankan pasung. Konflik yang berkepanjangan tersebut diatas membuat keluarga terjebak dalam ketidakberdayaan. Keluarga ingin menyelesaikan masalah klien dengan lebih baik tetapi tidak Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
106
memiliki cukup sumber daya dan support system untuk menyelesaikannya. Keadaan ketidakberdayaan ini membuat keluarga menjadi lebih stres yang kemudian mendorong keluarga untuk kembali berproses dalam pengambilan keputusan antara melepas atau mempertahankan pasung untuk menyelesaikan masalah. Akhirnya situasi ini menjadi lingkaran yang terns berputar tidak pemah selesai dan membuat keluarga semakin terpuruk dalam ketidakberdayaan yang dapat membuat keluarga menjadi tidak berfungsi dan tidak produktif. 5.1.4 Kuesioner Keputusan Pasung Daulima (KKPD) Selain model proses pengambilan keputusan pasung oleh keluarga klien gangguan jiwa, berdasarkan hasil penelitian tahap pertama juga dikembangkan kuesioner keputusan pasung Daulima!KKPD (lihat lampiran 8) yang bertujuan untuk mengukur tingkat keputusan pasung pada keluarga klien gangguan jiwa. Instrumen ini dikembangkan merujuk kepada kategori, sub kategori dan kode terkait stresor yang dialami keluarga sebelum melakukan tindakan pasung. Adapun kategori, sub kategori dan kode yang menjadi rujukan untuk pengembangan instrumen pangkajian tersebut adalah kategori nomor 1 sampai 6 beserta sub kategori dan kode yang terkait. Secara keseluruhan KKPD memiliki empat komponen yaitu: stresor, respons terhadap stresor, sumber koping
dan keinginan melakukan tindakan pasung.
Berdasarkan model adaptasi Roy (Roy & Andrews, 1991) dan stres adaptasi Stuart (2009) semakin besar stresor akan mempengaruhi respons terhadap stres yg cenderung negatif. Kondisi ini akan bertambah buruk bila sumber koping yang tersedia tidak adekuat sehingga keinginan keluarga untuk melakukan pasung sebagai mekanisme koping terhadap stres yang terjadi semakin tinggi.
Selanjutnya peneliti mengembangkan dimensi, indikator dan pemyataan favorable dan unfavorable yang menjadi dasar untuk penyusunan instrumen. Instrumen KKPD terdiri dari
54 nomor pemyataan, dimana 42 nomor merupakan pemyataan favorable dan 12 nomor merupakan pemyataan unfavorable, yaitu pada nomor 15, 16, 17, 19, 26, 27, 29, 30, 33, 52, 53, 54. Instrumen ini menggunakan skala Likert menggunakan skor 1-4 dengan rentang nilai skor 54-216. Pemyataan nomor 1-14 menggunakan pilihan tidak pemah, kadang-kadang, sering, selalu; nomor 15-49 menggunakan pilihan sangat tidak setuju, tidak setuju, setuju, sangat setuju; dan nomor 50-54 menggunakan pilihan sangat tidak ingin, tidak ingin, ingin, sangat ingin.
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
107
Pemyataan komponen stresor terdiri atas 14 item pemyataan pada nomor 1-14 dengan skor 14-56, komponen respons terhactap stresor terdiri atas 7 item pemyataan pada nomor 21-26 dan 34 dengan skor 7-28, komponen sumber koping terdiri atas 27 item pemyataan pada nomor 15-20, 28-33,35-49
dengan skor 27-108 dan komponen keinginan keluarga
melakukan tindakan pasung terdiri atas 6 item pemyataan pacta nomor 27, 50-54 dengan skor 6-24. Peneliti kemudian mengkategorikan sebagai berikut (lihat tabel5.3): a. Keputusan pasung dikategorikan menjadi rendah pacta skor 54-1 08, sedang pada skor 109-162, tinggi pacta skor 163-216. b. Komponen stresor dikategorikan menjadi ringan pada skor 14-28, sedang pacta skor 2942, berat pada skor 43-56. c. Komponen respons terhadap stresor menjadi respons positif pacta skor 7-14, respons kurang positifpada skor 15-21, respons negatifpada skor 22-28. d. Komponen sumber koping menjadi adekuat pada skor 27-54, kurang adekuat pacta skor 55-81, tidak adekuat pada skor 82-108. e. Komponen keinginan melakukan tindakan pasung menjadi rendah: skor 6-12, sedang: skor 13-18, tinggi: skor 19-24.
Tabel 5.3 Kuesioner Keputusan Pasung Daulima (KKPD) Variabel
Jumlahitem
Nomor pemyataan
Skor Rendah: 54-108 Sedang: 109-162 Tinggi : 163-216 Ringan: 14-28 Sedang: 29-42 43-56 Berat Respons positif 7-14 Respons kurang positif: 15-21 :22-28 Res2ons negatif :27-54 Adekuat Kurang adekuat: 55-81 Tidak adekuat : 82-108 Rendah: 6-12 Sedang :13-18 Tinggi :19-24
Qern:yataan Keputusan pasung:
54
1-54
1. Stresor
14
1-14
7
21-26 dan 34
4. Sumber koping
27
15-20, 28-33,35-49
5. Keinginan
6
27,50-54
2. Respons
terhadap
stresor
melakukan pasung
Uji face validity instrumen ini dilakukan terhactap 4 orang responden yang memiliki pengalaman merawat klien gangguan jiwa. Berdasarkan basil uji face validity dilakukan perbaikan kalimat pada pemyataan nomor 50 dan 51. Selanjutnya dilakukan uji keterbatasan
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
108
terhadap 30 orang responden dengan basil uji validitas berada pada rentang nilai: 0,17-0,805 dan uji realibilitas dengan nilai Alpha= 0,917. Berdasarkan nilai r tabel tersebut terdapat 18 item pemyataan yang tidak valid (r basil< r tabel) yaitu pada item nomor 1, 3, 10, 12, 15, 16, 17, 20, 21, 22, 27, 28, 29, 30, 32, 33, 36, 49. Kemudian dilakukan perubahan konteks kalimat pada nomor-nomor tersebut. Pada instrumen ini penggunaan kata-kata pasung diganti dengan kata pengikatan dan pengurungan karena menyangkut isu yang sensitif yaitu pelanggaran hak asasi manusia, sehingga kata pasung tersebut disampaikan dengan cara lebih halus namun tetap lugas dan langsung untuk menghindari ambigu (Murti, 2011).
Setelah perubahan konteks kalimat dilakukan, instrumen ini diuji coba terhadap 251 responden. Hasil dari uji validitas adalah r basil > r tabel dengan nilai: 0.176-0.761, sedangkan dari uji reliabilitas ditemukan bahwa nilai Alpha= 0.935, lebih besar dari nilai standar 0.7. Berdasarkan kedua uji ini dapat disimpulkan bahwa KKPD valid untuk mengukur konstruk stresor, respons terhadap stresor, sumber koping, keinginan memutuskan pasung dan keputusan pasung secara internal. KKPD juga reliabel yang berarti item dalam instrumen atau alat ukur ini konsisten dan dapat dipercaya sebagai suatu kesatuan untuk mengukur tingkat keputusan pasung oleh keluarga klien gangguan jiwa.
5.1.5 Algoritma Keputusan Perawatan Daulima (AKPD) Instrumen lain yang juga dikembangkan adalah algoritma keputusan perawatan Daulima (lihat lampiran 9). Algoritma ini menjadi alat bantu dalam pemberian terapi keputusan perawatan tanpa pasung (KPTP) dan bertujuan untuk membantu keluarga mengambil keputusan secara sistematis dan logis dengan mempertimbangkan berbagai konsekuensi dari setiap altematif pilihan tindakan yang tersedia. Algoritma disusun dengan merujuk kategori, sub kategori dan kode dari basil penelitian tahap pertama dengan langkah-langkah sebagai berikut: identifikasi stresor, identifikasi respons terhadap stres dan identiftkasi pilihan keputusan perawatan yang dapat diambil dengan konsekuensinya masing-masing yang dilanjutkan dengan pemilihan dan pengambilan keputusan keluarga. Stresor yang dicantumkan pada algoritma terkait dengan perilaku yang membahayakan masyarakat, keluarga, pasien serta penolakan masyarakat. Bila stresor tersebut dirasakan oleh keluarga maka dapat memicu stres dan respons terhadap stres yaitu gangguan pola tidur, keputusasaan, kelelahan lahir dan batin (burn out), rendah diri, dan terganggunya aktivitas sehari-hari. Stres dan respons terhadap stresor yang dirasakan ini dapat mendorong keluarga
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
109
untuk mengambil empat pilihan keputusan sebagai mekanisme koping terhadap stres yaitu berobat ke paranormal, penyembuhan spiritual, pelayanan kesehatan jiwa: RS/puskesmas dan melakukan tindakan pasung. Selanjutnya dibuat daftar konsekuensi dari setiap pilihan tersebut sehingga keluarga dapat mempertimbangkan konsekuensi yang akan diterima sebelum keputusan diambil.
5.1.6. Terapi Keputusan Perawatan Tanpa Pasung (KPTP) Terapi ini juga dikembangkan berdasarkan basil dari penelitian tahap pertama. Terapi KPTP merupakan terapi jangka pendek untuk memberdayakan keluarga dalam pengambilan keputusan perawatan yang tepat dan terapeutik tanpa pasung. Prinsip terapi ini adalah mengedukasi keluarga tentang: masalah orang dengan gangguan jiwa, stres dan respons terhadap stres yang dialami keluarga, altematif penyelesaian stres dalam keluarga, konsekuensi dari setiap altematif pilihan, mendorong pengambilan keputusan perawatan yang tepat dan terapeutik tanpa pasung. Algoritma keputusan perawatan menjadi alat bantu untuk mencapai tujuan terapi. Terapi KPTP dilaksanakan dalam 3 sesi pertemuan dengan sistematika pelaksanaan sebagai berikut: 5.1.6.1 Sesi 1: Identifikasi kejadian dan respons terhadap kejadian Tujuan: Keluarga dapat memahami stresor, stres dan respons terhadap stresor yang dialami karena memiliki orang dengan gangguan jiwa di rumah. Tindakan: a. Menjelaskan tujuan terapi b. Membuat kontrak pelaksanaan terapi c. Menjelaskan algoritma d. Mendiskusikan stresor, stres dan respons terhadap stresor yang dialami keluarga
5.1.6.2 Sesi 2: Identifikasi altematif dan konsekuensi pilihan perawatan Tujuan: Keluarga memahami altematif dan konsekuensi dari pilihan perawatan untuk mengatasi stres yang dialami karena memiliki orang dengan ganggguan jiwa di rumah. Tindakan: a. Mengevaluasi sesi 1 (stresor, stres dan respons terhadap stresor yang dialami keluarga) Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
110
b. Mendiskusikan altematif pilihan perawatan yang terpikir oleh keluarga c. Mendiskusikan konsekuensi dari setiap pilihan tersebut
5.1.6.3 Sesi 3: Pilihan keputusan perawatan yang tepat dan terapeutik Tujuan: Keluarga dapat mengambil keputusan perawatan yang tepat dan terapeutik tanpa pasung rumah. Tindakan: a. Mengevaluasi sesi 1 dan 2 (stresor, stres dan respons terhadap stresor yang dialami keluarga serta altematif pilihan perawatan beserta konsekuensinya) b. Menanyakan altematif pilihan perawatan yang ditetapkan oleh keluarga c. Mendiskusikan alasan dan konsekuensi pemilihan altematif perawatan tersebut
5.2 Tahap Kedua: Pengaruh Terapi Keputusan Perawatan Tanpa Pasung Terhadap Keputusan Pasung Pada tahap ini dipaparkan karakteristik keluarga klien gangguan jiwa yang belum pemah berobat atau mengalami putus obat serta hasil uji hubungan antara terapi KPTP dengan keputusan keluarga dalam melakukan tindakan pasung terhadap klien gangguan jiwa.
5.2.1 Karakteristik Keluarga Klien Gangguan Jiwa Karakteristik keluarga klien gangguan jiwa yang belum pemah berobat atau putus obat yang menjadi responden pada tahap kedua ini meliputi: usia, jenis kelamin, pendidikan, status pemikahan, pekerjaan, pendapatan per bulan, dan hubungan keluarga. Semua karakteristik diatas merupakan data kategorik sehingga dianalisis dengan menggunakan distribusi frekuesi dan proporsi seperti terlihat pada tabel5.4.
Berdasarkan uraian hasil analisis karakteristik pada tabel 5.4 diperoleh data bahwa distribusi responden dengan usia dewasa tengah kebawah (<56 tahun) paling banyak yaitu 51 orang (62,2%) dan perempuan lebih banyak daripada laki-laki yaitu 69 orang (84,2%). Distribusi pendidikan menyatakan bahwa lebih banyak yang berpendidikan rendah (tidak lulus dan lulus SD) yaitu 55 orang (67,1%) dan pada status penikahan menyatakan bahwa lebih banyak yang memiliki pasangan yaitu 68 orang (82,9%). Pada distribusi pekerjaan terlihat bahwa sebagian besar tidak bekerja (termasuk didalamnya pensiunan dan ibu rumah tangga) yaitu sebanyak 51 orang (62,2%) dan memiliki pendapatan dibawah UMR kota Bogor (kurang dari Rp. Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
111 Tabel5.4 Karakteristik keluarga klien gangguanjiwa pada kelompok intervensi dan kontrol (n=82) Karakteristik
Kelompok Intervensi {n=41} n %
Kelompok Kontrol {n=41} n %
Jumlah {n=82} n
%
Usia: 1. < 56tahun 2. >55 tahun Jenis kelamin: 1. Laki-laki 2. Peremeuan Pendidikan: 1. Rendah 2. Tinggi Status pemikahan: 1. Tidak memiliki pasangan 2. Memiliki easangan Pekerjaan: 1. Bekerja 2. Tidak bekezja Pendapatan per bulan (UMR kota Bogor: Rp. 2.352.350) 1. Dibawah UMR 2. Diatas UMR Hubungan keluarga: 1. Keluarga inti 2. Keluarga besar
28 13
68,3 31,7
23 18
56,1 43,9
51 31
62,2 37,8
5 36
12,2 87,8
8 33
19,5 80,5
13
69
15,9 84,2
37 4
90,2 9,8
18 23
43,9 56,1
55 27
67,1 32,9
5 36
12,2 87,8
9 32
22,0 78,0
14 68
17,1 82,9
19 22
46,3 53,7
12 29
29,3 70,7
31 51
37,8 62,2
39 2
95,1 5,9
39 2
95,1 5,9
78 4
95,1 5,9
33 8
80,5 19,5
33 8
80,5 19,5
66 16
80,5 19,5
2.352.350) sebanyak 78 orang (95.1%). Sedangkan untuk hubungan keluarga, kebanyakan adalah keluarga inti (ibu, bapak, anak, kakak, adik, suami, istri) yaitu 66 orang (80.5%).
5.2.2.Efektivitas Terapi Keputusan Perawatan Tanpa Pasung dan Algoritrna Keputusan Perawatan Daulima Terhadap Keputusan Pasung Pengukuran efektivitas Terapi KPTP dan AKPD dilakukan melalui dengan beberapa tahapan yaitu: uji kesetaraan terhadap karakteristik dan keputusan pasung sebelum terapi KPTP dan AKPD diberikan, analisis keputusan pasung sebelum dan sesudah terapi KPTP dan AKPD, analisis keputusan pasung sesudah terapi KPTP dan AKPD diberikan.
5.2.2.l.Uji Kesetaraan Uji kesetaraan dilakukan kepada karakteristik keluarga untuk mengetahui homogenitas responden di kelompok intervensi dan kontrol. Bila kedua kelompok setara atau homogen maka dapat disimpulkan bahwa tingkat keputusan pasung oleh keluarga murni dipengaruhi
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
112
hanya oleh terapi .KPTP dan AKPD. Sebaliknya hila tidak homogen malca kemungkinan tingkat keputusan pasung tidak hanya dipengaruhi oleh terapi .KPTP dan AKPD tetapi juga oleh karakteristik keluarga. Uji kesetaraan dilakukan dengan menggunakan uji kai kuadrat dan Fisher's exact karena semua data pada karakteristik keluarga adalah data kategorik (lihat tabel5.5). Berikut ini adalah hasil dari uji kesetaraan yang telah dilakukan:
Tabel5.5 Kesetaraan karakteristik keluarga pada kelompok intervensi dan kontrol sebelum dilakukan terapi KPTP dan AKPD (n=82) Karakteristik Usia: 1. <56 tahun 2. >55 tahun Jenis kelamin: 1. Laki-laki 2. Perempuan Pendidikan: 1. Rendah 2. Tinggi Status pernikahan: 1. Tidak memiliki pasangan 2. Memiliki pasangan Peketjaan: 1. Beketja 2. Tidak beketja Pendapatan per bulan: 1. Dibawah UMR 2. Diatas UMR Hubungan keluarga: 1. Keluarga inti 2. Keluarga besar
Kelompok Intervensi (n=41)
Kelompok Kontrol (n=41)
Jumlah (n=82)
x2
28 13
23 18
51 31
0,287
0,592
5 36
8 33
69
0,000
1,000
37 4
18 23
27
0,074
0,618
5 36
9 32
14 68
13
p value
55
0,568 0,475
19 22
12 29
31 51
1,781
0,182
39 2
39 2
78 4
0,000
1,000
33 8
33 8
66 16
0,000
0,642
Berdasarkan hasil uji statistik pada tabel 55; ditemukan tidak ada perbedaan bermakna pada usia, jenis kelamin, pendidikan, status pernikahan, pekerjaan, pendapatan per bulan dan hubungan keluarga antara kelompok intervensi dan kontrol dengan p
value~
0.05. Dapat
disimpulkan bahwa karakteristik keluarga pada kedua kelompok adalah homogen.
5.2.2.2.Kesetaraan Keputusan Pasung Uji kesetaraan tingkat keputusan pasung oleh keluarga terhadap klien gangguan jiwa bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat keputusan pasung pada kelompok intervensi
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
113
dan kontrol sebelum diberikan terapi KPTP dan AKPD. Bila tidak terdapat perbedaan yang bennakna berarti tingkat keputusan pasung pada kelompok intervensi dan kontrol adalah homogen, sehingga dapat disimpulkan bahwa basil tingkat keputusan pasung keluarga setelah pemberian terapi KPTP dan AKPD hanya dipengaruhi oleh terapi tsb saja. Sebaliknya, bila terdapat perbedaan yang bermakna dapat disimpulkan bahwa kemungkinan hasil tingkat keputusan pasung setelah pemberian terapi KPTP dan AKPD dipengaruhi oleh perbedaan tingkat keputusan pasung sebelum pemberian terapi. Uji kesetaraan dilakukan dengan menggunakan uji t independen. Hasil uji kesetaraan tingkat keputusan pasung sebelum pemberian terapi KPTP dapat dilihat pada tabel5.6.
Tabel5.6 Kesetaraan keputusan pasung sebelum dilakukan terapi KPTP dan AKPD pada kelompok intervensi dan kontrol (n=82) Kelompok
Variabel Stresor Respons terhadap stresor
Sumber koping Keinginan memutuskan pasung
Keputusan pasung
Berdasarkan hasil
UJI
Intervensi Kontrol Total Intervensi Kontrol Total Intervensi Kontrol Total Intervensi Kontrol Total Intervensi Kontrol Total
n
Mean
SD
SE
t
41 41 82 41 41 82 41 41 82 41 41 82 41 41 82
20,95 21,46 18,40 16,61 16,51 16,13 63,46 60,98 60,12 13,15 13,61 12,89 114,17 112,56 107,55
5,24 3,02 4,96 1,81 0,67 1,72 4,83 4,74 5,90 1,67 1,58 1,63 9,75 11,88 10,79
0,82 0,47 0,55 0,28 0,11 0,19 0,75 0,74 0,65 0,26 0,25 0,18 1,52 1,85 1'19
7,150 3,372
p value 0,656
6,645 1,970
0,826
5,768 0,889
0,097
1,520 -1,636
0,216
8,470 3,120
0.504
statistik dengan menggunakan uji t independen pada tabel 5.6
ditemukan tidak ada perbedaan bermakna pada tingkat keputusan pasung yang terdiri dari tingkat stresor, kondisi respons terhadap stresor, penggunaan sumber koping, dan tingkat keinginan memutuskan pasung antara kelompok intervensi dan kontrol dengan p value
~
0.05. Dapat disimpulkan bahwa tingkat keputusan pasung kedua kelompok adalah homogen.
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
114
5.2.2.3.Keputusan Pasung Oleh Keluarga Sebelum dan Sesudah Dilakukan Terapi KPTP dan AKPD Hasil analisis dilakukan pada perubahan dan perbedaan perubahan keputusan pasung oleh keluarga sebelum dan sesudah dilakukan terapi KPTP dan AKPD pada kelompok intervensi dan kontrol. Nilai skor rata-rata sub variabel stresor berkisar antara 14-56, semakin tinggi nilai skor rata-rata berarti jumlah stresor yang dialami keluarga semakin besar. Nilai skor rata-rata sub variabel stresor dikategorikan menjadi kecil dengan skor 14-28, sedang dengan skor 29-42, dan besar dengan skor 43-56.
Nilai skor rata-rata sub variabel respons terhadap stresor berkisar antara 7-28, semakin besar nilai skor rata-rata berarti semakin negatif respons keluarga terhadap stresor. Nilai skor ratarata sub variabel respons terhadap stresor dikategorikan menjadi respons positif dengan skor 7-14, respons kurang positif dengan skor 15-21, dan respons negatif dengan skor 22-28.
Nilai skor rata-rata sub variabel sumber koping berkisar antara 27-108, semakin besar nilai skor rata-rata berarti semakin tidak adekuat penggunaan sumber koping yang tersedia. Nilai skor rata-rata sub variabel sumber koping dikategorikan menjadi adekuat dengan skor 27-54, kurang adekuat dengan skor 55-81, dan tidak adekuat dengan skor 82-108.
Nilai skor rata-rata sub variabel keinginan memutuskan pasung berkisar antara 6-24, semakin besar ni1ai skor rata-rata berarti semakin semakin tinggi hasrat keluarga untuk memasung klien. Nilai skor rata-rata sub variabel keinginan memutuskan pasung dikategorikan menjadi rendah dengan skor 6-12, sedang dengan skor 13-18, dan tinggi dengan skor 19-24.
Nilai skor rata-rata sub variabel keputusan pasung berkisar antara 54-216, semakin besar nilai skor rata-rata berarti semakin tinggi tingkat pengambilan keputusan pasung yang akan dilakukan oleh keluarga terhadap klien. Nilai skor rata-rata variabel keputusan pasung dikategorikan menjadi rendah dengan skor 54-108, sedang dengan skor 109-162 dan tinggi dengan skor 163-216.
Analisis perubahan keputusan pasung sebelum dan sesudah terapi KPTP dan AKPD dilakukan dcngan mcnggunakan uji anova repeated measure. Hasil analisis pcmbahan keputusan pasung sebelum dan sesudah terapi KPTP dan AKPD dapat dilihat pada tabel 5.6. Analisis perbedaan perubahan keputusan pasung antara kelompok intervensi dan kontrol Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
115
dilakukan dengan menggunakan uji t independen. Hasil perbedaan pembahan keputusan pasung antara kelompok intervensi dan kontrol dapat dilihat pada tabel 5.7.
Tabel 5.7 Perbedaan keputusan pasung sebelum dan sesudah dilakukan terapi KPTP dan AKPD pada kelompok intervensi dan kontrol (n=82) Keputusan Pasung Stresor Respons terhadap stresor Sumber koping Keinginan memutuskan pasung Keputusan pasung
Kelompok Jntervensi Kontrol Intervensi Kontrol Jntervensi Kontrol Intervensi Kontrol Intervensi Kontrol
Mean Sebelum
Mean Sesudah
Mean Selisih
p value
20,95 21,46 16,61 16,51 63,46 60,98 13,15 13,61 114,17 112,56
15;35 18,80 14,56 15,76 57,88 60,00 12,63 14,05 100,93 108,61
5, I 2,66 2,05 0,75 5,58 0,98 0,52 -0,44 13,24 3,95
0,001 0,002 0,001 0,208 0,001 0,311 0,136 0,110 0,001 0,003
Berdasarkan hasil pada tabel 5.7 ditemukan rata-rata skor stresor pada kelompok intervensi sebelum pemberian terapi KPTP dan AKPD adalah 20,95 dan sesudah terapi KPTP dan AKPD adalah 15,85 dengan mean selisih 5,1 dan p value 0,001. Rata-rata skor stresor pada kelompok kontrol sebelum pemberian terapi KPTP dan AKPD di kelompok intervensi adalah 16,61 dan sesudah adalah 14,56 dengan mean selisih 2,66 dan p value 0,002. Dapat disimpulkan terjadi penurunan jumlah stresor secara be1makna pada kelompok yang mendapat dan tidak mendapatkan terapi KPTP dan AKPD (lihat gambar 5.16).
Estimated Marginal Means e>f pasung Kelompok responden ··· intervensi ············· kontrol
stresor
Gambar 5.16 Perbedaanjumlah stresor sebelum dan sesudah dilakukan terapi KPTP dan AKPD pada kelompok intervensi dan kontrol
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
116
Rata-rata skor respons terhadap stresor sebelum pemberian terapi KPTP dan AKPD pada kelompok intervensi adalah 16,61 dan sesudah adalah 14,56 dengan mean selisih adalah 2,05 dan p value 0,00 1. Rata-rata skor res pons terhadap stresor pada kelompok kontrol sebelum pemberian terapi KPTP dan AKPD di kelompok intervensi adalah I6,51 dan sesudah adalah 15,76 dengan mean selisih adalah 0,75 dengan p value 0,208. Disimpulkan terjadi penurunan kondisi respons terhadap stresor secara betmakna pada kelompok yang mendapat terapi KPTP dan AKPD dan penurunan secara tidak bermakna pada kelompok yang tidak mendapat terapi KPTP dan AKPD (lihat gambar 5.17).
Estimated l\llarginal M e a n s CJof p a s u n g
Kelompok responden -
'17.00
intervensi kontrol
res pons
Gambar 5.17 Perbedaan respons terhadap stresor sebelum dan sesudah dilakukan terapi KPTP dan AKPD pada kelompok intervensi dan kontrol Rata-rata skor sumber koping sebelum terapi KPTP dan AKPD pada kelompok intervensi adalah 63,46 dan sesudah adalah 57,88 dengan mean selisih adalah 5,58 dan p value 0,000. Rata-rata skor sumber koping sesudah terapi KPTP dan AKPD pada kelompok kontroi adalah 60,98 dan sesudah adalah 60,00
dengan mean
selisih 0,98 dan p value 0,311. Dapat
disimpulkan bahwa terjadi penurunan penggunaan sumber koping secara bermakna pada kelompok yang mendapat terapi KPTP dan AKPD serta penurunan penggunaan sumber koping secara tidak bermakna pada kelompok yang tidak mendapat terapi KPTP dan AKPD (lihat gambar 5.18).
Rata-rata
skor
keinginan memutuskan pasung sebelum terapi KPTP dan AKPD pada
kelompok intervensi adalah 13,15 dan sesudah adalah 12,63 dengan mean selisih adalah 0,52 dan p value 0,136 . Rata-rata skor keinginan memutuskan pasung sebelum terapi KPTP dan AKPD pada kelompok kontrol adalah 13,61 dan sesudah adalah 14,05 dengan mean selisih -0,44 dan p value 0, II 0. Dapat disimpulkan bahwa terjadi penurunan secara tidak
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
117
bermakna pada kelompok yang mendapat dan peningkatan secara tidak bennakna pada kelompok yang tidak mendapat terapi KPTP dan AKPD (lihat gambar 5.19).
Estirna.tecl Marginal Means o f pasung
Kelon,pok r-e.sponden
64-00-
·············· intervensi ·············· kontrol
sa.oo-
2
Gam bar 5.18 Perbedaan jumlah sumber koping sebelum dan sesudah dilakukan terapi KPTP dan AKPD pada kelompok intervensi dan kontrol Rata-rata skor keputusan pasung sebelum terapi KPTP dan AKPD pada kelompok intervensi adalah 114,17 dan sesudah adalah 108,61 dengan mean selisih kelompok kontrol adalah 3,95 dan dengan p value 0,00 1. Rata-rata skor keputusan pasung sebelum pemberian terapi KPTP dan AKPD pada kelompok kontrol adalah 112,56 dan sesudah adalah 108,61 dengan mean selisih 3,95 dan p value 0.003 .
Estirnatecl Marginal Means o'f' pa:sung
Kelompok responden
"14.SQ-
-·--······· lntervensl --·····-kontrol
~
"'14.0Q-
-=~
"13.SQ-
~ ~
"13.0Q-
= n;
'<--......... ·--.. ··---------
..,2.50L __ _ _ _ _ _ _ _ _ _~----------------~----------~
ingin
Gambar 5.19 Perbedaan keinginan memutuskan pasung sebelum dan sesudah dilakukan terapi KPTP dan AKPD pada kelompok intervensi dan kontrol Dapat disimpulkan bahwa terjadi penurunan tingkat keputusan pasung secara bermakna pada kelompok yang mendapat dan tidak mendapat terapi KPTP dan AKPD (lihat gambar 5.20).
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
118
E s t i r n a t e c l J\llargina.l IVIeans O>f p a s u n g
io •tu• '-'~~· " · ' kc>~-.trc.l
~
112_QQ
:E
110.00
:g
-~ 108.0
~
-g
~
~ LU
106.0
104.00
102.00
keputusa.n
Gambar 5.20 Perbedaan keputusan pasung sebelum dan sesudah dilakukan terapi KPTP dan AKPD pada kelompok intervensi dan kontrol Berdasarkan basil uji statistik pada tabel 5.7 ditemukan penurunan jumlah stresor dan tingkat keputusan
pasung secara bermakna antara kelompok yang mendapat dan tidak
mendapat terapi KPTP dan AKPD. Selain itu ditemukan penurunan tingkat keinginan memutuskan pasung secara tidak bermakna pada kelompok yang mendapat terapi KPTP dan AKPD serta peningkatan secara tidak bennakna pada kelompok yang tidak mendapat terapi. Oleh karena itu selanjutnya dilakukan uji selisih untuk melihat ada tidaknya perbedaan pembahan yang bermakna antara rata-rata selisih khususnya pada sub variabel stresor, keputusan pasung dan keinginan memutuskan pasung. Hasil uji perbedaan pembahan dapat dilihat pada tabel 5.8.
Tabel5.8 Perbedaan pembahan keputusan pasung sebelum dan sesudah dilakukan terapi KPTP dan AKPD pada kelompok intervensi dan kontrol (n=82) Keputusan Pasung Stresor Keinginan memutuskan pasung Keputusan pasung
Ke1ompok Tntervensi Kontro1 Intervensi Kontro1 Tntervensi Kontrol
Mean Selisih 5,10 2,66 0,52 -0,44 13,24 3,95
p value 0,024
0,030 0,001
Rata-rata skor selisih stresor pad a kelompok intervensi adalah 5,10 dan pada kelompok kontrol adalah 2,66. Berdasarkan basil uji statistik dengan menggunakan uji t independen didapatkan p value 0,024, berarti pada alpha 5% ditemukan bahwa perubahan penumnan jumlah stresor pada kelompok yang mendapat terapi KPTP dan AKPD lebih besar secara
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
119
Rata-rata skor selisih keinginan memutuskan pasung pada kelompok intervensi adalah 0,52 dan pada kelompok kontrol adalah -0,44. Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan p value 0,030, berarti pada alpha 5% ditemukan bahwa perubahan penurunan tingkat keinginan memutuskan pasung pada kelompok yang mendapat terapi KPTP dan AKPD lebih besar secara bermakna dibandingkan dengan perubahan penurunan tingkat keinginan memutuskan pasung pada kelompok yang tidak mendapat terapi KPTP dan AKPD.
Rata-rata skor selisih keputusan pasung pada kelompok intervensi adalah 13,24 dan pada kelompok kontrol adalah 3,95. Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan p value 0,000, berarti pada alpha 5% ditemukan bahwa perubahan penurunan tingkat keputusan pasung pada kelompok yang mendapat terapi KPTP dan AKPD lebih besar secara bermakna dibandingkan dengan perubahan penurunan tingkat keinginan memutuskan pasung pada kelompok yang tidak mendapat terapi.
5.2.2.4. Perbedaan Keputusan Pasung Antara Keluarga Yang Telah dan Tidak Mendapat Terapi KPTP dan AKPD. dan AKPD Perbedaan tingkat keputusan pasung oleh keluarga terhadap klien gangguan jiwa antara kelompok yang telah dan tidak mendapat terapi KPTP dan AKPD dilakukan dengan menggunakan uji t independen. Hasil analisis dapat dilihat pada tabel 5.9. Tabel5.9 Perbedaan keputusan pasung pada kelompok intervensi dan kontrol (n=82) Variabe1 Stresor
n 4I 4I 4I 4I 4I 4I 41 4I
Mean
I5,85 I8,80 I4,56 I5,76 57,88 60,00 12,63 I4,05
SD 5,13 5,07 2,I8 2,35 8,I5 9,42 I,70 I,83
SE 0,80 0,79 0,34 0,37 I,27 I,47 0,27 0,29
t -3,204
Keinginan memutuskan
Ke1ompok Intervensi Kontro1 Intervensi Kontro1 Intervensi Kontro1 Intervensi Kontro1 Intervensi Kontro1
4I 4I
I00,93 I08,61
7,13 14,01
I, II 2,20
-3, II4
pasung
Res pons terhadap stresor Sumber koping
p value 0,002
-3,I26 O,OOI -2,I24 0,037 -3,750 O,OOI 0,003
Berdasarkan hasil pada tabel 5.9 ditemukan rata-rata skor stresor pada kelompok intervensi set~lah
pemberian terapi KPTP dan AKPD adalah 15,85 dan pada kelompok kontrol adalah
18,80 Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan p value 0,002, berarti pada alpha 5% ditemukan bahwa sesudah pemberian terapi KPTP dan AKPD jumlah stresor pada kelompok
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
118
EstirTJa.tecl IVIarginal l \ l l e a n s e>'f' p a . s u n g
K~lon-.pok
:g
u:a
112.00-
::iii
110.oo-
responden
lnterVUJlSO
114.00-
kontn::>l
1jl -~
10B.OO-
:::l1ll -g ~
106.00-
:n
104.Q0-
102.00-
100.00-
~--------~------------------~----------~
ke
p~~..atusan
Gambar 5.20 Perbedaan keputusan pasung sebelum dan sesudah dilakukan terapi KPTP dan AKPD pada kelompok intervensi dan kontrol Berdasarkan hasil uji statistik pada tabel 5.7 ditemukan penurunan jumlah stresor dan tingkat keputusan
pasung secara bermakna antara kelompok yang mendapat dan tidak
mendapat terapi KPTP dan AKPD. Selain itu ditemukan penurunan tingkat keinginan memutuskan pasung secara tidak bermakna pada kelompok yang mendapat terapi KPTP dan AKPD serta peningkatan secara tidak bermakna pada kelompok yang tidak mendapat terapi. Oleh karena itu selanjutnya dilakukan uji selisih untuk melihat ada tidaknya perbedaan perubahan yang bermakna antara rata-rata selisih khususnya pada sub variabel stresor, keputusan pasung dan keinginan memutuskan pasung. Hasil uji perbedaan perubahan dapat dilihat pada tabel 5.8. Tabel 5.8 Perbedaan perubahan keputusan pasung sebelum dan sesudah dilakukan terapi KPTP dan AKPD pada kelompok intervensi dan kontrol (n=82) Keputusan Pasung Stresor Keinginan memutuskan pasung Keputusan pasung
Kelompok Intervensi Kontrol Intervensi Kontrol Intervensi Kontrol
Mean Selisih 5,10 2,66 0,52 -0,44 13,24 3,95
p value 0,024
0,030 0,001
Rata-rata skor selisih stresor pada kelompok intervensi adalah 5,10 dan pada kelompok kontrol adalah 2,66. Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji t independen didapatkan p value 0,024, berarti pada alpha 5% ditemukan bahwa perubahan penurunan jumlah stresor pada kelompok yang mendapat terapi KPTP dan AKPD lebih besar secara bermakna dibandingkan dengan perubahan penurunan stresor pada kelompok yang tidak mendapat terapi KPTP dan AKPD.
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
120
yang mendapatkan terapi lebih rendah secara bermakna dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapat terapi.
Rata-rata skor respons terhadap stresor pada kelompok intervensi setelah pemberian terapi KPTP adalah 14,56 dan pada kelompok kontrol adalah 15, 76. Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan p value 0,001, berarti pada alpha 5% ditemukan bahwa setelah pemberian terapi KPTP kondisi respons terhadap stresor pada kelompok yang mendapatkan terapi lebih rendah secara bermakna dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapat terapi. Artinya setelah pemberian terapi kondisi respons terhadap stresor pada kelompok yang mendapat terapi lebih positif dibandingkan kelompok yang tidak mendapat terapi.
Rata-rata skor sumber koping pada kelompok intervensi setelah pemberian terapi KPTP dan AKPD adalah 57,88 dan pada kelompok kontrol adalah 60,00. Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan p value 0,037, berarti pada alpha 5% ditemukan bahwa setelah pemberian terapi KPTP dan AKPD sumber koping pada kelompok yang mendapat terapi lebih rendah secara bermakna dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapat terapi. Artinya
setelah
pemberian terapi jumlah sumber koping pada kelompok yang mendapat terapi lebih adekuat dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapat terapi.
Rata-rata skor keinginan memutuskan pasung pada kelompok intervensi setelah pemberian terapi KPTP dan AKPD adalah 12,63 dan pada kelompok kontrol adalah 14,05. Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan p value 0,001, berarti pada alpha 5% ditemukan bahwa setelah pemberian terapi KPTP dan AKPD tingkat keinginan keputusan pasung pada kelompok yang mendapat terapi lebih rendah secara bermakna dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapat terapi.
Rata-rata skor keputusan pasung pada kelompok intervensi setelah pemberian terapi KPTP dan AKPD adalah 100,93 dan pada kelompok kontrol adalah 108,61. Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan p value 0,003, berarti pada alpha 5% ditemukan bahwa setelah pemberian terapi KPTP dan AKPD tingkat keputusan pasung pada kelompok yang mendapat terapi lebih rendah secara bermakna dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapat terapi.
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
BAB6 PEMBAHASAN
Bab ini akan membahas hasil penelitian yang telah diperoleh yaitu model proses pengambilan keputusan pasung oleh keluarga terhadap klien gangguan jiwa dan efektivitas terapi KPTP serta AKPD terhadap keputusan pasung serta keterbatasan dan implikasi hasil penelitian terhadap pelayanan, keilmuan dan penelitian keperawatan pada umumnya dan khususnya keperawatan jiwa.
6.1. Model Proses Pengambilan Keputusan Pasung Oleh Keluarga Klien Gangguan Jiwa Model Proses Pengambilan Keputusan Pasung Oleh Keluarga Klien Gangguan Jiwa terdiri atas tahapan: identifikasi stresor dalam keluarga klien gangguan jiwa, penilaian terhadap stresor oleh keluarga dan mekanisme koping keluarga. Berikut ini tahapan-tahapan tersebut akan dibahas lebih lanjut.
6.1.1. Identifikasi Stresor Dalam Keluarga Klien Gangguan Jiwa Pada penelitian ini didapatkan data bahwa stresor yang mendorong keluarga untuk kemudian mengambil keputusan untuk memasung klien adalah perilaku maladaptif klien, kendala finansial, kegagalan tindakan altematif, keterbatasan pengetahuan, stigma dan ketidakpuasan terhadap pelayanan kesehatan jiwa. Berikut akan dibahas masing-masing stresor tersebut.
6.1.1.1.Perilaku Maladaptif Klien Memiliki anggota keluarga dengan gangguan jiwa bukanlah hal yang mudah. Sukar bagi keluarga untuk menghadapi pikiran-pikiran aneh, perilaku bizar dan tidak dapat diprediksi dari klien. Marsh (1992 dalam Saunders, 2003) menyatakan bahwa beberapa masalah yang sangat membuat keluarga distres adalah hidup dengan gejala positif dan negatif gangguan jiwa berat. Gejala positifmencakup delusi, halusinasi, dan perilaku bizar atau agitasi. Gejalagejala ini berhubungan dengan onset akut, riwayat kambuh dan gejala sisa serta respons terhadap medikasi antipsikotik. Gejala negatif mencakup afek tumpul, rr.iskin pembicaraan dan isi pikir, apatis, anhedonia serta fungsi sosial yang buruk. Pada penelitmn ini stresor yang diambil keluarga semuanya berasal dari gejala positif, khususnya halusinasi dan agitasi atau perilaku kekerasan. Dapat dibayangkan bila situasi sepetii ini harus dihadapi oleh keluarga klien gangguan jiwa setiap hari selama bertahun-tahun. Kebingungan, kctakutan dan 121
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
122
kelelahan akan terus dialami oleh keluarga. Walaupun klien sudah ditangani dengan psikofarmaka namun sikap apatis dan kurangnya motivasi dapat membuat keluarga menjadi fmstrasi.
Keluarga merasa kesulitan untuk memahami semua keterbatasan akibat gangguan jiwa yang ada pada klien. Keluarga menjadi marah dan frustrasi ketika mereka tidak dapat lagi melakukan kegiatan sehari-hari seperti yang biasa dilakukan ketika klien belum sakit. Lebih mudah bagi keluarga untuk meyakini bahwa segala sesuatunya akan kembali seperti dulu sebelum klien sakit, dari pada berfokus kepada perubahanan-perubahan dan penyesuaianpenyesuaian yang harus dilakukan oleh keluarga dan klien. Situasi ini seringkali membuat keluarga mengalami krisis demi krisis tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Keluarga menjadi semakin frustrasi dan bingung karena perilaku klien dan juga ketidakmampuan keluarga dalam mengontrol perilaku klien dan memahami apa yang sedang terjadi. Keluarga juga merasa tidak dapat bertahan lebih lama lagi terhadap perilaku memsak, mengancam, ketakutan yang konstan, pembicaraan tentang bunuh diri secara tems menems, seperti yang disampaikan oleh partisipan 1, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 12, 14, 16, 17, 18, 19, 20, 22.
6.1.1.2. Kendala Finansial Merujuk kepada beban keluarga, kesulitan finanasial merupakan salah satu beban obyektif yang dialami keluarga klien gangguan jiwa (WHO, 2007; Mohr, 2006). Pengobatan dan perawatan yang terus menerus yang kemungkinan besar harus dilakukan sepanjang kehidupan klien telah menguras sumber-sumber finansial keluarga khususnya mereka yang berada di level ekonomi menengah ke bawah. Menurut Hobbs (1997 dalam Saunders, 2003) stresor pada keluarga klien gangguan jiwa terdiri dari 3 variabel yaitu beban perawatan, kesulitan finansial dan kejadian hidup yang tidak diharapkan serta satu variabel fisik yaitu kesehatan fisik yang buruk. Berdasarkan hasil penelitian ini tampak bahwa kesulitan finansial menjadi salah satu masalah dalam perawatan klien gangguanjiwa.
Masalah finansial ini sejalan dengan kondisi di United States dimana agregat biaya tahunan untuk gangguan jiwa adalah sekitar 2.5 persen dari gross national product. Pada tahun 2010 biaya untuk skizofrenia di United States diperkirakan sekitar $ 62,7 juta, dengan $ 22,7 juta untuk biaya perawatan langsung ($ 7,0 juta untuk rawat jalan, $ 5,0 juta untuk obat/psikofarmaka, $ 2,8 juta untuk rawat inap dan, $ 8,0 juta untuk perawatan jangka panjang). Total biaya perawatan non kesehatan, temasuk biaya hidup klien gangguan jiwa
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
123
diperkirakan sekitar $ 7,6 juta, sehingga total biaya tidak langsung adalah sekitar $ 32,4 juta (Rice et al, 1990; Birnbaum, 2002 dalam Florida Council for Community Mental Health, 2007). Demikan pula Long (20 11) menyatakan bahwa pada tahun 2010 biaya perawatan langsung untuk gangguanjiwa di US adalah sekitar $ 175,7.
Indonesia berusaha mengatasi kenda1a finansia1 biaya pengobatan dan perawatan kesehatan, termasuk kesehatan jiwa didalamnya, melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). BPJS dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial di Indonesia menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011. Sesuai Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, BPJS merupakan badan hukum nirlaba (BPJS Kesehatan, 2013). Berdasarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011, BPJS akan menggantikan sejumlah lembagajaminan sosial yang ada di Indonesia yaitu lembaga asuransi jaminan kesehatan PT. Askes Indonesia menjadi BPJS Kesehatan dan lembaga jaminan sosial ketenaga kerjaan PT. Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan. Perubahan PT Askes dan PT Jamsostek menjadi BPJS akan dilakukan secara bertahap (BPJS Kesehatan, 2013; BPJS Ketenagakerjaan, 2014).
Sesuai pasal 14 UU BPJS, setiap warga negara Indonesia dan warga asmg yang sudah berdiam di Indonesia selama minimal enam bulan wajib menjadi anggota BPJS. Setiap perusahaan wajib mendaftarkan pekerjanya sebagai anggota BPJS. Sedangkan orang atau keluarga yang tidak bekerja pada perusahaan wajib mendaftarkan diri dan anggota keluarganya pada BPJS. Setiap peserta BPJS akan ditarik iuran yang besamya ditentukan kemudian. Sedangkan bagi warga miskin, iuran BPJS ditanggung pemerintah melalui program Bantuan luran. Dengan adanya kebijakan ini diharapkan kendala finansial tidak lagi menjadi stresor bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan gangguan jiwa, sehingga tindakan pasung dapat diminimalisir bahkan ditiadakan.
6.1.1.3. Kegagalan Tindakan Altematif Sering kali keluarga menjadi kelelahan dan depresi ketika menghadapi anggota keluarga dengan gangguan jiwa. Seringnya menemukan ja1an buntu dalam usaha mencari bantuan untuk anggota keluarganya membuat keluarga enggan mencari cara lain karena takut menghadapi kegagalan lagi. Mereka mulai merasa tidak mampu untuk menghadapi kehidupan bersama klien yang memerlukan perawatan konstan. Bila mereka dapat membagi beban perawatan dengan anggota keluarga yang lain maka keadaan akan sedikit tertolong. Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
124
Tapi seringkali mereka merasa te1jebak dan kelelahan dengan stres dari perjuangan seharihari merawat klien, khususnyajika hanya ada satu anggota keluarga yang dapat merawat.
Keluarga menjadi tidak dapat mengontrol diri lagi karena tidak dapat memprediksi apa yang akan terjadi dari hari ke hari. Pada situasi ini keluarga sangat membutuhkan bantuan orang yang dianggap lebih ahli dalam menangani masalah gangguan jiwa. Sayangnya pada usahausaha awal keluarga tidak langsung mencari bantuan ke pelayanan kesehatan jiwa. Semua partisipan dalam penelitian ini menyatakan kalau mereka pergi ke paranormal dan pengobatan spiritual dalam rangka mencari pertolongan terhadap situasi yang semakin tidak terkendali. Hal ini sejalan dengan temuan World Health Organization (2001 dalam Florida
Council for Community Mental Health, 2007) dimana walaupun tritmen yang ada sudah berhasil membantu menyelesaikan masalah gangguan jiwa, namun hampir dua per tiga klien ganguan jiwa tidak pemah meminta bantuan dari seorang petugas kesehatan yang profesional. Selain itu menurut SAMHSA (2003 dalam Florida Council for Community Mental Health, 2007) stigma merupakan penghalang yang mencegah keluarga dan klien dalam mencari pertolongan ke petugas kesehatan. Dalam upaya mencari pertolongan ke pengobatan altematifbeberapa klien mengalami perubahan yang positif. Namun demikian perubahan ini hanyalah sementara, setelah itu klien akan menjadi lebih agresif sehingga hams dibawa berobat kembali ke pengobatan altematif tersebut. Hal ini terjadi berulang kali sehingga keluarga merasa makin tidak dapat mengontrol diri dan tidak berdaya lagi seperti yang diungkapkan oleh partisipan ke 4, 12, 14, 17, dan 18.
6.1.1.4. Keterbatasan Pengetahuan Keterbatasan pengetahuan juga menjadi salah satu beban obyektif keluarga (WHO, 2007). Dalam sebuah survei yang dilakukan terhadap 2.000 orang dewasa di United Kingdom ditemukan bahwa hanya 18 persen responden yang mengatakan mereka merasa cukup mengetahui tentang psikosis dan 46 persen mengetahui tentang gangguan obsesif kompulsif. Sebaliknya responden mengatakan mereka lebih mengetahui tentang penyakit fisik yang umum seperti flu, migren, dan asma, dengan 79 persen dari responden mengatakan mereka memiliki pengetahuan tentang flu (Rethink, 2013).
Survei ini juga menyatakan bahwa orang dewasa di United Kingdom merasa lebih mudah berhadapan dengan kedaruratan masalah fisik daripada krisis kesehatan jiwa. Hampir 74 persen responden mengindikasikan bahwa mereka tabu bagaimana memulihkan kondisi fisik Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
125
orang sakit, namun hanya 56 persen yang mengindikasikan bahwa mereka tahu apa yang harus dilakukan jika seseorang mengalami serangan panik (Rethink, 2013). Banyak anggota masyarakat tidak dapat mengenali dan memahami istilah psikiatri secat·a tepat. Sebagai contoh ketika responden pada penelitian di Australia diperlihatkan vinyet tentang seseorang yang menderita depresi mayor atau skizofrenia, hanya 39 persen
responden yang dapat
mengidentifikasi depresi secara tepat dan skizofrenia hanya 27 persen responden (Jorm et al, 1997a dalam Jorm, 2000). Selain itu hasil dari penelitian di Vietnam menyatakan bahwa sebagian besar orang tidak dapat secara spontan menyebut nama dari jenis gangguan jiwa dan menggunakan kata gila dan sinting untuk mendeskripsikan kondisi ini. Terminologi ini umum digunakan di Vietnam dalam konteks gangguan jiwa. Gangguan jiwa yang paling umum dikenali oleh para responden hanyalah skizofrenia. Dalam survei di Australia responden lebih sering mengenali gangguan jiwa sebagai skizofrenia, responden memberikan rangking kepada skizofrenia sebagai kondisi yang paling berat, sementara depresi dan ansietas dinyatakan sebagai kurang berat. Hasil survei yang mirip ditemukan di Ethiopia dimana ditemukan bahwa responden hanya mengenali kondisi psikotik yang berat sebagai gangguan jiwa. Hasil ini sejalan dengan temuan penelitian di Afrika dimana responden menyatakan bahwa hanya perilaku psikotik yang terlihat langsung dan menarik perhatian publik serta menganggu dalam lingkungan sosial yang dihubungkan dengan gangguan jiwa (Jorm et al, 1997; Kabir et al, 2004 dalam Vander Ham, Wright, & Broerse, 2011)
6.1.1.5. Stigma Stigma merupakan suatu tanda yang memalukan dan tidak berharga yang digunakan untuk mengidentifikasi dan memisahkan seseorang yang oleh lingkungan sosialnya dipandang sebagai abnormal, berdosa, atau berbahaya (Stuart, 2009). Untuk klien gangguan jiwa, stigma adalah barier yang memisahkan klien dari lingkungan sosial, memisahkannya dari orang lain. Stigma membuat orang lain menghindar untuk hidup, bersosialisasi, atau bekerja atau menyewakan atau mempekerjakan klien gangguan jiwa (Penn & Martin, 1998; Corrigan & Penn, 1999 dalam Florida Council for Community Mental Health, 2007). Efek dari stigma tidak hanya pada klien gangguan jiwa tapi juga keluarganya. Mayoritas keluarga klien gangguan jiwa mengalami masalah psikologis terkait dengan stigma. Delapan belas persen keluarga pemah berpikir bahwa adalah lebih baik bila klien meninggal saja dan 10 persen dari keluarga pemah memiliki ide untuk bunuh diri (Ostman & Kjellin, 2002).
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
126
Walaupun semua anggota keluarga memiliki pengetahuan tentang bagaimana menghadapi masalah gangguan jiwa, keluarga seringkali enggan untuk mendiskusikan anggota keluarganya yang gangguan jiwa dengan orang lain karena tidak yakin bagaimana reaksi orang lain terhadap kondisi anggota keluarganya tersebut. Mitos dan miskonsepsi tentang gangguan jiwa sukar dimengerti oleh kehanyakan orang. Keluarga menjadi enggan mengundang orang lain untuk herkunjung ke rumah karena perilaku klien gangguan jiwa tidak dapat diprediksi atau klien menjadi gelisah dan terstimulus dengan kedatangan hanyak orang di mmah (Corrigan & Watson, 2002). Keluarga juga cemas hila meninggalkan klien sendirian di rumah. Mereka takut sesuatu yang tidak diinginkan teJ.jadi. Akibatnya anggota keluarga akan pergi secara hergantian agar ada yang menemani klien atau tidak pergi sama sekali.
Stigma pada hanyak area kehidupan sehari-hari memhuat keluarga menjadi lehih dan lehih menarik diri lagi. Ketika orang lain tidak dapat menerima kenyataan dari gangguan jiwa, keluarga hanya memiliki pilihan untuk menerimanya tapi dengan cara menarik diri dari huhungan sosial yang telah terhentuk sehelumnya untuk melindungi diri sendiri dan klien. Keluarga tidak ingin mengamhil risiko untuk lehih terluka dan ditolak. Semuanya situasi dan kondisi ini dapat mengakihatkan keluarga menarik diri juga dari lingkungan spiritualnya dan mengalami distres spiritual.
6.1.1.6. Ketidakpuasan Terhadap Pelayanan Kesehatan Behan iatrogenik mempakan hehan yang disehahkan karena tidak herfungsinya sistem pelayanan kesehatan jiwa yang dapat mengakihatkan intervensi dan rehahilitasi tidak herjalan sesuai fungsinya sehingga muncullah ketidakpuasan keluarga terhadap pelayanan kesehatan jiwa (Mohr, 2006). Diperkirakan 22 sampai 23 persen populasi di United States mengalami gangguan jiwa setiap tahunnya, namun hampir sepamh dari populasi ini tidak pernah berobat ke layanan kesehatan jiwa (U.S. Department of Health and Human Services, 2002; U.S. Surgeon General, 2001 dalam Florida Council for Community Mental Health, 2007). Tritmen terhadap
gejala
gangguan jiwa
dapat
menghasilkan
efek
samping,
seperti
efek
ekstrapiramidal, yang akan menjadi penanda hahwa orang tersehut menderita gangguan jiwa. Ditamhah lagi pemerintah seringkali mendu1.'1mg penggunaan psikofarmaka yang lehih murah dengan efek samping yang lehih mengganggu dan menyakitkan (Sartorius, 2002).
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
127
Semua situasi diatas mengakibatkan keluarga merasa bahwa pelayanan kesehatan tidak memberikan jalan keluar bagi masalah gangguan jiwa yang dialami oleh klien. Mereka seringkali menemukan anggota keluarganya bemlang kali kambuh dan mengalami gejala efek samping obat yang menakutkan dan membingungkan, seperti: lidah kaku dan tangan tremor. Vander Ham, Wright, dan Broerse (2011) menemukan bahwa hanya untuk empat masalah gangguan jiwa yang paling berat saja responden mencari bantuan di mmah sakit atau institusi pelayanan kesehatan jiwa. Kelihatannya keluarga lebih memilih untuk merawat sendiri anggotanya keluarganya yang gangguan jiwa dan hanya akan dibawa ke mmah sakit jiwa jika kondisinya sudah sangat berat (Wagner, 2006 dalam Vander Ham, Wright & Broerse, 2011), situasi ini sesuai dengan pemyataan dari partisipan ke 1, 9 dan 14.
Kenyataan bahwa keluarga jarang menyebutkan pilihan ttitmen lain selain perawatan oleh keluarga mengindikasikan bahwa masyarakat sepertinya kurang suka menggunakan fasilitas Iayanan kesehatan jiwa untuk mengatasi masalah gannguan jiwa yang dialami oleh anggota keluarganya. Situasi ini dapat merefleksikan persepsi bahwa pelayanan kesehatan tidak tersedia atau tidak terjangkau atau tidak dapat diterima keberadaannya khususnya untuk masalah gangguan jiwa ringan. Di Australia dan United Kingdom, ketika anggota masyarakat ditanyakan jenis pertolongan yang disukai untuk mengatasi masalah gangguan jiwa maka tindakan menolong diri sendiri, termasuk mencari bantuan dari keluarga dan sahabat berada di umtan teratas jawaban. Sedangkan perilaku mencari bantuan masyarakat Vietnam sepertinya dipengamhi oleh kurangnya pengetahuan dan perilaku serta keyakinan terhadap pelayanan kesehatan jiwa. Hubungan yang kuat antara perilaku mencari bantuan kesehatan, persepsi populasi lokal dan penggunaan pelayanan kesehatan jiwa ditemukan pula pada studi yang dilakukan di India dan Pakistan. Stigma sosial terhadap gangguan jiwa kerapkali juga memainkan peranan dalam penurunan jumlah keluarga yang ingin mencari tritmen untuk masalah gangguan jiwa. Di Inggris mayoritas masyarakat melaporkan bahwa mereka merasa malu untuk melakukan konsultasi dengan seorang dokter untuk masalah depresi (Jorm, 2000; Corrigan 2004; Priest et al. 1996 dalam Vander Ham, Wright & Broerse, 2011).
6.1.2 Penilaian Keluarga Terhadap Stresor Stresor yang dialami akan mendorong keluarga untuk melakukan penilaian terhadap stresor tersebut. Menurut Stuart (2009) penilaian terhadap stresor 1neliputi pembentukan pengertian dan pemahaman terhadap dampak dari suatu situasi yang stresful. Penilaian ini mencakup respons kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan sosial. Penilaian merupakan suatu evaluasi Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
128
dari makna suatu kejadian dalam hubugannya dengan kesejahteraan seseorang. Bila stresor dipersepsikan sebagai negatif maka stres akan dial ami oleh keluarga.
Stres yang berlangsung secara konstan dapat menstimulus masalah yang serius bagi keluarga. Kehidupan keluarga menjadi tidak stabil dan tidak dapat diprediksi. Kegiatan di luar rumah bersama anggota keluarga dan teman menjadi hal yang sulit dilakukan oleh keluarga, tennasuk membuat pertemuan di dalam rumah seperti arisan dan pengajian.
Kebutuhan
perawatan klien gangguan jiwa sangatlah besar, sementara anggota keluarga yang lain juga butuh dirawat untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Untuk saudara klien yang lain, kakak maupun adik, situasi ini dapat menjadi lebih menyakitkan lagi. Pemenuhan kebutuhan dan waktu untuk mereka dapat menjadi terbaikan karena tersita untuk merawat saudaranya yang mengalami gangguan jiwa. Pasangan, suami atau istri, kerapkali juga merasa terabaikan karena besamya perhatian yang dibutuhkan untuk mengurus klien gangguan jiwa. Situasi yang sangat sulit ini dapat mengakibatkan rusaknya hubungan dalam keluarga yang tidak dapat diperbaiki lagi.
6.1.3 Mekanisme Koping Keluarga Ketika stres meningkat dalam kehidupan sehari-hari akibat ketegangan dan ketidakberdayaan dalam merawat klien gangguan jiwa, ditambah dengan kegagalan demi kegagalan dari tindakan altematif yang dilakukan, maka keluarga akan berupaya untuk mempertahankan homeostasis dalam kehidupan keluarganya. Upaya mempetiahankan kondisi homeostatsis ini mendorong keluarga masuk dalam proses pengambilan keputusan tindakan terbaik untuk menurunkan semua ketegangan dan kelelahan yang dirasakan selama ini.
Janis dan Mann (1979) mengajukan suatu model proses pengambilan keputusan yang didalamnya diajukan ide bahwa keinginan membuat keputusan mencakup konflik yang dapat memicu terjadinya stres yang mengakibatkan seseorang tidak dapat mengambil keputusan dengan baik. Janis (1968a, dalam Janis & Mann, 1979) menyatakan ada lima tahapan dalam suatu pengambilan keputusan. Pada model proses pengambilan keputusan pasung oleh keluarga ditemukan bahwa tahap ketiga dari model proses pengambilan keputusan J annis dan Mann, yaitu mempertimbangkan altematif, hampir tidak pemah dilakukan oleh keluarga. Pada kerangka pikir awal penelitian ini peneliti memprediksi sesuai teori pengambilan keputusan bahwa konflik akan terjadi sebelum proses pengambilan keputusan dilakukan oleh keluarga. Konflik diprediksi teljadi ketika keluarga memilih altematif penanganan masalah Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
129
yang tepat untuk klien. Namun demikian berdasarkan hasil analisis data kualitatif ditemukan bahwa konflik justru terjadi setelah keputusan pasung dilakukan karena sebelum melkaukan tindakan pasung keluarga tidak memiliki cukup keleluasaan waktu untuk melakukan tahapan pemilihan alternatif penyelesaian masalah. Desakan dan tekanan secm·a langsung maupun tidak langsung dari masyarakat sebagai ciri khas budaya kolektif Indonesia mendorong keluarga untuk mengambil keputusan pasung secara cepat tanpa pertimbangan yang cukup. Kondisi ini menjadi sedikit berbeda bila dibandingkan dengan teori pengambilan keputusan yang berkembang di budaya Barat. Budaya individualisme membuat keputusan diambil oleh keluarga di Barat tanpa banyak dipengamhi oleh masukan dan intervensi dari pihak di luar keluarga. Akibatnya keluarga menjadi lebih tenang dan leluasa dalam memutuskan pilihan penyelesaian masalah yang dianggap tepat untuk keluarga.
Kondisi tidak melewati tahap mempertimbangkan altematif dalam proses pengambilan keputusan berakibat keluarga menjadi kurang mempersiapkan diri dalam melewati tahap kelima, yaitu menetapkan atau menyiapkan diri untuk umpan balik negatif. Dampak yang terjadi adalah keluarga bam menyadari umpan balik negatif dari keputusannya dan kemudian mulai mempertimbangkan keputusan yang telah diambil justm setelah pengambilan keputusan dilakukan.
Sayangnya pertimbangan ini akhirnya menjadi konfik yang tidak ada putusnya yang memicu kondisi dilematis karena kurangnya informasi tentang altematif jalan keluar yang tepat dan sistem pendukung yang adekuat. Dapat dilihat bahwa pada pengambilan keputusan pasung di keluarga Indonesia, konflik terjadi justm setelah pengambilan keputusan, bukan sebelum pengambilan keputusan. Kondisi ini seringkali mendorong keluarga klien mengalami keadaan ketidakberdayaan,
dimana
mereka mengerti
bahwa
tindakan
yang
diambil
tidak
menyelesaikan masalah yang sebenarnya, tapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan dengan tepat. Akibat dari ketidakmampuan menyelesaikan masalah dengan tepat membuat keluarga kembali lagi mempertimbangkan pilihan keputusan yang telah diambil dan bemsaha membuat keputusan lain yang lebih tepat. Pada akhirnya keluarga te1jebak dalam lingkaran proses pengambilan keputusan yang tidak pemah selesai yang semakin lama semakin memperberat stres yang dialami keluarga.
Model proses pengambilan keputusan pasung oleh keluarga terhadap klien gangguan jiwa mempakan model konsep yang menjelaskan tentang proses pengambilan keputusan pasung Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
130
yang tetjadi dalam keluarga Indonesia. Pada model ini digambarkan tiga tahapan yang dialami oleh keluarga dalam proses pengambilan keputusan pasung yaitu tahap terpapar stresor, penilaian terhadap stresor dan mekanisme koping yang dilakukan dalam usaha menyelesaikan stres akibat stresor yang dialami. Stresor yang paling sering dialami oleh keluarga klien gangguan jiwa di Indonesia dengan masalah perilaku kekerasan dan/atau halusinasi adalah stresor psikologis yang terdiri dari perilaku maladaptif klien, kendala finansial, kegagalan tindakan altematif, keterbatasan pengetahuan dan ketidakpuasan terhadap pelayanan kesehatan. Stresor ini diperberat dengan adanya stigma terhadap gangguan jiwa di masyarakat. Dalam usaha mempertahankan homeostasis psikologis maka keluarga menggunakan mekanisme pertahanan diri dalam bentuk pengambilan keputusan untuk penyelesaian stres yang dirasakan.
Tahap mekanisme koping dimulai dengan adanya desakan usulan dari masyarakat untuk mengamankan klien dengan melakukan tindakan pasung. Desakan ini mendorong keluarga melakukan musyawarah pengambilan keputusan untuk memenuhi rasa aman baik bagi klien sendiri, keluarga dan masyarakat. Setelah keputusan pasung diambil, barulah terjadi konflik pada keluarga. Konflik yang terjadi terdiri dari konflik emosi dan situasi. Konflik emosi terkait dengan perasaan tidak tega dan bersalah karena sudah memasung klien. Konflik situasi tetjadi akibat keterbatasan keluarga dalam melakukan rutinitas yang biasa dilakukan sebelum klien dipasung. Kegiatan rutin menjadi terbatas dilakukan oleh keluarga karena sebagian besar waktunya dihabiskan untuk merawat klien yang dipasung yang menjadi tergantung kepada keluarga dalam melakukan aktivitas perawatan diri. Konflik berkelanjutan ini dapat memicu perasaan tidak berdaya dan dapat menjadi stresor baru yang menimbulkan stres dan pada akhimya mendorong keluarga untuk berproses dalam pengambilan keputusan kembali. Model ini bermanfaat sebagai dasar bagi para peneliti, pendidik dan praktisi kesehatan jiwa untuk memahami proses pengambilan keputusan pasung dalam keluarga. Pemahaman terhadap model ini mendasari kajian-kajian lebih lanjut terhadap proses pengambilan keputusan pasung oleh keluarga serta pengembangan konsep, teori dan protokol-protokol intervensi keperawatan jiwa yang tepat untuk keluarga klien yang sedang maupun berisiko untuk mengambil keputusan pasung.
Berdasarkan model proses
pengambilan keputusan tindakan pasung oleh keluarga dikembangkanlah instrumen KKPD, AKPD dan terapi KPTP.
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
131
6.2 Kuesioner Keputusan Pasung Daulima (KKPD) KKPD sebagai instrumen untuk mengukur tingkat keputusan pasung telah teruji validitas dan reliabilitasnya dengan basil yang baik. Validitas yang dilakukan terhadap alat ukur ini adalah validitas wajah (face validity) dan validitas konstruk (construct validity). Suatu instrumen dikatakan valid jika instrumen yang digunakan dapat mengukur apa yang hendak diukur (Cohen & Swerdlik, 201 0), sehingga dapat dikatakan bahwa validitas mempakan derajat yang menunjukkan bahwa suatu instmmen dapat mengukur apa yang hendak diukur.
Validitas wajah mempakan derajat kesesuaian antara penampilan luar alat ukur dan atributatribut variabel yang ingin diukur (Murti, 2011). Prinsipnya, item-item pertanyaan dalam instmmen disusun dengan kalimat yang baik, jelas, tidak membingungkan, tidak ambigu, tidak terlalu panjang. Setiap item pertanyaan hanya menanyakan sebuah pertanyaan, bukan sejumlah pertanyaan, sehingga dapat dipahami oleh subjek penelitian dengan benar, tidak menimbulkan multi tafsir. Pertanyaan yang baik membuat respons yang diperoleh dari subjek penelitian mencetminkan jawaban yang sesungguhnya, bukan jawaban akibat salah tafsir atas pertanyaan tersebut. Prinsipnya, untuk memastikan validitas wajah, instrumen hendaknya menggunakan bahasa yang baik, benar, tepat, tidak multi interpretatif, sehingga dengan kuesioner tersebut dapat diperoleh jawaban yang benar, jujur, seadanya dari responden, tanpa merendahkan, memojokkan, mempennalukan, maupun mengarahkan responden. Kecocokan wajah bermanfaat untuk meningkatkan minat untuk menanggapi pertanyaan pada alat ukur.
Pada penelitian ini, validitas wajah dilakukan terhadap empat orang responden yang memiliki pengalaman dalam merawat klien gangguan jiwa. Berdasarkan uji validitas wajah kemudian dilakukan perbaikan dalam bentuk penyederhanaan kalimat pada kalimat no 50 dan 51, sehingga kalimat yang digunakan pada instmmen KKPD adalah kalimat yang jelas, baik, tidak ambigu dan tidak terlalu panjang. Pada instrumen ini penggunaan kata-kata pasung diganti dengan kata pengikatan dan pengumngan karena menyangkut isu yang sensitif yaitu pelanggaran hak asasi manusia. Selanjutnya, kata pasung tersebut disampaikan dengan cara lebih halus namun tetap lugas dan langsung untuk menghindari ambigu.
Validitas konstruk memjuk kepada kesesuaian antara basil pengukuran alat ukur dengan konsep (konstruk) teoritis tentang variabel yang diteliti yang mempakan konstruk sementara (hypotetical construct) (Murti, 2011).
Konstruk adalah suatu ide atau keyakinan yang
dibentuk oleh sejumlah bukti-bukti yang belum tentu benar, sehingga variabel konstruk Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
132
adalah variabel yang abstrak basil konstruksi para pakar, misalnya sikap, motivasi, minat, kecemasan, kegelisahan, dan frustrasi (Sukardi, 20 13). Validitas konstruk menunjukkan seberapa tepat pengukuran variabel terhadap maksud sesungguhnya dari variabel itu. Berdasarkan uji validitas terlihat bahwa instrumen KKPD valid untuk mengukur konstruk stresor, respons terhadap stresor, sumber koping, keinginan memutuskan pasung dan keputusan pasung secara internal. Sedangkan validitas isi terhadap instrumen KKPD tidak dilakukan dalam penelitian ini.
Uji reliabilitas pada instrumen KKPD dilakukan terhadap reliabilitas item dengan menggunaan Koefisien Alpha. Tujuan uji reliabilitas item adalah untuk melihat keandalan atau kemantapan antar item instrumen (alat ukur), sehingga dapat dilihat apakah terhadap obyek ukur yang sama basil ukur item yang satu tidak kontradiksi atau menunjukkan basil ukur yang sama dengan item yang lain. Jika terhadap bagian obyek ukur yang sama, basil ukur item yang satu kontradiksi atau tidak konsisten dengan hasil ukur item yang lain maka pengukuran dengan instrumen (alat ukur) sebagai suatu kesatuan itu tidak dapat dipercaya. Dengan kata lain instrumen tersebut tidak reliabel dan tidak dapat digunakan untuk mengungkap ciri atau keadaan yang sesungguhnya dari obyek ukur. Pada penelitian ini KKPD memiliki nilai Alpha yang sangat baik, sehingga dapat disimpulkan bahwa item pada instrumen atau alat ukur ini merupakan suatu kesatuan yang dapat dipercaya
6.3. Agoritma Keputusan Perawatan Daulima (AKPD) Algoritma merupakan urutan langkah-langkah logis penyelesaian masalah yang disusun secara sistematis. Algoritma keputusan perawatan Daulima disusun untuk memandu keluarga mengambil keputusan perawatan yang tepat dan terapeutik dengan urutan langkah-langkah logis penyelesaian masalah yang disusun secara sistematis. Urutan langkah-langkah tersebut dimulai dengan mengidentifikasi stresor akibat memiliki anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa di rumah. Dilanjutkan dengan mengidentifikasi stres atau respons terhadap stresor tersebut. Kemudian mengidentifikasi konsekuensi dari empat pilihan perawatan yang tersedia untuk menyelesaikan stres akibat memiliki anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Langkah berikutnya adalah memilih keputusan yang akan diambil dan akhirnya memutuskan pilihan tersebut sebagai alternatif penyelesaian masalah stres dalam keluarga. Dapat disimpulkan bahwa AKPD bertujuan untuk membantu keluarga mengambil keputusan secara sistematis dan logis dengan mempertimbangkan berbagai konsekuensi dari setiap alternatif pilihan tindakan yang tersedia. Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
133
Merujuk kepada basil penelitian tahap pertama yaitu tahap eksplorasi proses, keputusan pasung oleh keluarga terhadap klien gangguan jiwa yang dijelaskan pada poin 6.1.3, ditemukan bahwa tahap ketiga dari model proses pengambilan keputusan oleh Jannis dan Mann yaitu mempertimbangkan altematif, hampir tidak pemah dilakukan oleh keluarga. Kondisi tidak ditemukannya semua tahap dari model proses pengambilan keputusan oleh J armis dan Mann juga ditemukan pada penelitian terkait pengambilan keputusan menikah pada wanita dewasa muda yang orang tuanya bercerai yang dilakukan oleh Damayanti (2002). Pada penelitian yang dilakukan oleh Damayanti juga ditemukan bahwa partisipan cenderung tidak mempertimbangkan altematif sebelum mengambil keputusan menikah, tetapi lebih mengikuti masukan dari pihak lain. Temuan pada kedua penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang pola pengambilan keputusan orang Indonesia yang memiliki budaya kolektif dan tipe extended family
sangat dipengaruhi oleh pihak luar, sehingga
pengambil keputusan tidak terlalu banyak mempertimbangkan altematif tetapi cenderung langsung mengikuti masukan dari pihak luar.
Akibat dari tidak adanya pertimbangan altematif sebelum keputusan pasung diambil oleh keluarga, maka konflik pada keluarga tidak te1jadi sebelum pengambilan keputusan, namun setelah keputusan pasung diambil. AKPD dikembangkan untuk menjawab temuan fenomena keputusan pasung oleh keluarga dimana konflik terjadi justru setelah pengambilan keputusan. AKPD diberikan sebagai media edukasi untuk keluarga mengerti bagaimana cara pengambilan keputusan perawatan yang tepat dan terapeutik dalam menyelesaikan masalah yang ditimbulkan karena memiliki anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Diharapkan dengan bekal pengetahuan tentang pengambilan keputusan perawatan yang tepat dan terapeutik, keluarga dapat segera mengambil keputusan yang benar ketika situasi darurat terjadi. Bila keputusan perawatan yang tepat dan terapeutik dapat diambil dengan cepat maka konflik setelah pengambilan keputusan dapat diminimalisir. Dapat disimpulkan bahwa AKPD merupakan intervensi untuk mengisi gap yang terjadi pada tahap ketiga dari model proses keputusan Jannis dan Mann yang pada akhimya dapat membantu keluarga menghindari adanya konflik berkepanjangan setelah pengambilan keputusan pasung terhadap klien gangguan JlWa.
AKPD harus dijelaskan kepada keluarga secara sistematis dan bertahap untuk mendapatkan hasil yang optimal. Dengan demikian dibutuhkan suatu pendekatan untuk membuat AKPD dapat dijelaskan secara sistematis. Pendekatan yang dikembangkan untuk menjelaskan AKPD
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
134
dalam penelitian
m1
adalah pendekatan melalui terapi keputusan perawatan tanpa pasung
(KPTP).
6.4. Terapi Keputusan Perawatan Tanpa Pasung (KPTP) Terapi KPTP merupakan terapi jangka pendek untuk memberdayakan keluarga dalam pengambilan keputusan perawatan yang tepat dan terapeutik tanpa pasung. Prinsip terapi ini adalah mengedukasi keluarga tentang masalah orang dengan gangguan j iwa, stres dan respons terhadap stres yang dialami keluarga, alternatif penyelesaian stres dalam keluarga, konsekuensi positif dan negatif dari setiap altematif pilihan, mendorong pengambilan keputusan perawatan yang tepat dan terapeutik tanpa pasung. Algoritma keputusan perawatan Daulima menjadi alat bantu untuk mencapai tujuan terapi. Terapi KPTP dilaksanakan dalam 3 sesi pertemuan untuk membantu keluarga memahami cara pengambilan keputusan perawatan yang tepat dan terapeutik secara bertahap. Sesi pertama adalah sesi mengidentifikasi kejadian dan respons terhadap kejadian. Tujuan dari sesi pertama adalah keluarga dapat memahami stresor, stres dan respons terhadap stresor yang dialami karena memiliki orang dengan gangguan jiwa di rumah. Tindakan yang dilakukan pada sesi pertama adalah menjelaskan tujuan terapi, membuat kontrak pelaksanaan terapi, menjelaskan algoritma, mendiskusikan stresor, stres dan respons terhadap stresor yang dialami keluarga. Pada sesi kedua dilakukan identifikasi altematif dan konsekuensi pilihan perawatan, sehingga sesi kedua bertujuan untuk membantu keluarga memahami altematif dan konsekuensi dari pilihan perawatan untuk mengatasi stres yang dialami karena memiliki orang dengan ganggguan jiwa di rumah. Fokus tindakan yang dilakukan pada sesi kedua adalah mendiskusikan altematif pilihan perawatan yang terpikir oleh keluarga dan mendiskusikan konsekuensi dari setiap pilihan tersebut. Sesi ketiga merupakan sesi terakhir dimana fokus dari sesi ini adalah membantu keluarga membuat pilihan keputusan perawatan yang tepat dan terapeutik. Tujuan dari sesi ketiga adalah
keluarga dapat mengambil keputusan perawatan yang tepat dan terapeutik tanpa
pasung. Tindakan yang dilakukan pada sesi ketiga adalah menanyakan altematif pilihan perawatan yang diputuskan oleh keluarga dan mendiskusikan alasan dan konsekuensi pemilihan alternatif perawatan terse but.
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
135
Perubahan perilaku dapat dilakukan melalui tiga pendekatan yaitu menggunakan kekuatan atau kekuasaan atau dorongan, pemberian informasi dan diskusi (Notoatmodjo, 2003). Perubahan kognitif memegang peranan penting dalam perubahan perilaku, sehingga terapi KPTP dengan prinsip pemberian edukasi pengambilan keputusan kepada keluarga dapat digunakan untuk mengubah perilaku keluarga dalam hal ini adalah perilaku memasung klien gangguan jiwa. Psikoedukasi mempakan program yang menawarkan kombinasi antara informasi, praktek dan dukungan emosional, pengembangan ketrampilan keluarga dalam penyelesaian masalah serta manajemen krisis. Menumt Sari (2009) psikoedukasi keluarga dapat menumnkan beban keluarga serta meningkatkan kemampuan kognitif dan psikomotor keluarga dalam merawat klien pasung secara bermakna. Program psikoedukasi ini dapat diberikan kepada keluarga secara individu
maupun
berkelompok.
Disamping
itu
memungkinkan juga untuk dilakukan di mmah, klinik maupun lokasi lain. Waktu dan durasi pelaksanaan psikoedukasi bisa sangat bervariasi untuk setiap sesi serta dapat melibatkan klien ataupun tidak dalam pelaksanaannya (Dixon et al, 2000).
Pada penelitian ini terapi KPTP diberikan kepada individu keluarga. Semua sesi dilakukan di kediaman keluarga dalam durasi 20 sampai dengan 30 menit per sesi. Klien tidak dilibatkan dalam terapi ini karena tujuan terapi adalah memberdayakan keluarga untuk mampu mengambil keputusan perawatan yang tepat dan terapeutik bagi klien. Pada pelaksanaannya terapi KPTP diberikan dalam 3 sesi kepada semua keluarga yang menjadi responden penelitian. Berdasarkan pengalaman mengimplementasikan terapi ini, peneliti menemukan bahwa sesi pertama dan kedua dapat digabungkan. Jadi pada sesi pertama dapat dilakukan identifikasi kejadian dan respons terhadap kejadian sekaligus altematif dan konsekuensi pilihan perawatan. Dengan demikian terapi ini dapat dilakukan dalam 2 sesi saja sehingga lebih efisien dari segi pembiayaan dan waktu
hila terapi ini ingin dilakukan oleh para
petugas kesehatan. Terapi KPTP dapat dilaksanakan di tatanan masyarakat sebagai program preventif dan promotif bagi keluarga yang belum melakukan pasung, kuratif bagi keluarga yang sedang memasung serta rehabilitatif sebagai upaya pencegahan relaps pasung. Terapi KPTP juga dapat dilaksanakan di tatanan institusi pelayanan kesehatan jiwa sebagai program preventif relaps pasung karena cukup banyak klien gangguan jiwa yang dirawat di mmah sakit jiwa memiliki riwayat pasung.
Pada pelaksanaan di tatanan masyarakat terapi KPTP dapat diaplikasikan dibawah program perkesmas plus jiwa yang ada pada sistem puskesmas. Dengan demikian terapi ini dapat Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
136
dilakukan oleh petugas kesehatan khususnya para peraYvat.Selain itu terapi ini juga dapat masuk kedalam sistem program community mental health nursing (CMHN) yang telah diimplementasikan di bampir semua propinsi di Indonesia. Kunjungan rumah yang dilakukan oleb perawat dalam program CMHN terbukti memberikan dampak positif bagi klien dan keluarga, kbususnya kepada kemandirian klien (Fitri, 2007). Dengan demikian terapi KPTP dapat menjadi salab satu terapi yang diberikan pada saat kunjungan rumab untuk membantu kemandirian keluarga dalam pengambilan keputusan perawatan yang tepat dan terapeutik.
6.5 Efektivitas Terapi KPTP dan AKPD Terbadap Keputusan Pasung Efektivitas terapi KPTP terbadap keputusan pasung dilibat dari penurunan skor rata-rata pada komponen stresor, penilaian terhadap stresor, sumber koping, dan keinginan untuk melakukan tindakan pasung.
6.5.1 Efektivitas Terapi KPTP dan AKPD Terhadap Stresor Jumlab stresor yang dialami keluarga sebelum pemberian terapi KPTP berada pada tingkat yang rendab. Artinya sebelum pemberian terapi, keluarga berada pada kondisi tidak mengalami banyak stresor dari anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Berdasarkan basil uji statistik, jumlab stresor sebelum pemberian terapi pada keluarga yang mendapat dan tidak mendapat terapi adalab setara atau bomogen, dengan demikian jumlab stresor tidak mempengarubi basil dari pemberian terapi KPTP. Jumlab stresor pada kelompok yang mendapat dan tidak mendapat terapi KPTP sama-sama mengalami penmunan secara bermakna, sebingga kemudian dilakukan uji selisib. Berdasarkan basil uji selisib ditemukan babwa perubaban penurunan jumlab stresor pada kelompok yang mendapat terapi KPTP lebib besar secara bennakna dibandingkan dengan perubaban penurunan stresor pada kelompok yang tidak mendapat terapi KPTP. Sesudab pemberian terapi KPTP jumlab stresor pada kelompok yang mendapatkan terapi lebib rendab secara bermakna dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapat terapi. Ditemukannya perbedaan yang sama-sama bennakna antara tingkat stresor sebelurn dan sesudab terapi KPTP pada kelompok yang mendapat dan tidak mendapat terapi dapat terjadi karena tim peneliti pada kelompok kontrol yang melakukan pengukuran pada sebelum dan sesudab pemberian terapi adalab para perawat yang bekerja di rumab sakit jiwa. Kemampuan tim penelitian untuk melakukan bubungan saling percaya dan berk01uunikasi secara terapeutik dapat menjadi penyebab turunnya tingkat stresor secara bermakna pada kelompok kontrol.
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
137
Stresor pada keluarga klien gangguan jiwa berdasarkan kajian kualitatif pada tahap pertama terdiri dari stresor perilaku klien yang mengganggu dan membahayakan lingkungan dan orang lain, strcsor sikap
masyarakat yang merasa terganggu dengan perilaku klien dan
stresor stigma sosial terhadap gangguan jiwa di masyarakat. Jumlah stresor yang dialami keluarga klien gangguan pada penelitian ini sebelum dan setelah pemberian terapi KPTP berada pada kategori sedikit, namun demikian jumlah stresor ini cukup mampu mendorong keluarga untuk mengambil keputusan pasung dengan tingkat sedang. Jumlah stresor yang sedikit tidak boleh diabaikan karena faktor intensitas mempengamhi beratnya stresor (Stuart, 2009). Keluarga yang terpapar secara terus menems dengan stresor yang ada akan cenderung menjadi lebih stres dan mendorong untuk pengambilan keputusan pasung.
Me Cubbin dan Figley (1983 dalam Saunders, 2003) mendeskripsikan dua kategori stresor dalam menghadapi gangguan jiwa. Kedua stresor tersebut adalah stresor normatif dan katastrospik. Stresor normatif mempakan stresor yang terdapat dalam siklus kehidupan seperti perubahan hubungan keluarga, petiumbuhan dan perkembangan anggota keluarga. Sedangkan stresor katastropik menghantam keluarga secara tiba-tiba dan seringkali melampaui kemampuan mereka untuk menghadapinya. Gangguan j iwa berat merupakan salah satu contoh dari stresor katastropik untuk keluarga. Dibutuhkan pengetahuan tentang pengambilan keputusan perawatan yang tepat dalam menghadapi stresor katastropik ini. Keputusan yang tepat dan terapeutik dalam perawatan klien gangguan jiwa akan membantu klien untuk berperilaku lebih konstruktif. Keputusan membawa klien ke pelayanan kesehatan jiwa dapat membuat klien ditangani secara tepat oleh tenaga kesehatan yang ada. Dampak yang terjadi adalah klien menjadi lebih tenang dan kooperatif dalam melakukan kegiatan sehari-hari sehinggga stresor yang dirasakan keluarga menjadi berkurang secara betmakna. Terapi KPTP dalam hal ini terbukti dapat menurunkan jumlah stresor yang dialami keluarga yang dapat dilihat dari hasil uji statistik dimana sesudah pemberian terapi KPTP jumlah stresor pada kelompok yang mendapatkan terapi lebih rendah secara bermakna dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapat terapi.
6.5.2 Efektivitas Terapi KPTP dan AKPD Terhadap Respons Terhadap Stresor Kondisi respons keluarga terhadap stresor berada di tingkat kurang positif. Artinya keluarga kurang dapat berespons secara positif terhadap stresor dari anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Berdasarkan hasil uji statistik, kondisi respons terhadap stresor sebelum pemberian terapi pada keluarga yang mendapat dan tidak mendapat terapi KPTP adalah Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
138
setara atau homogen, dengan demikian kondisi respons terhadap stresor tidak mempengaruhi basil dari pemberian terapi KPTP. Kondisi respons terhadap stresor pada kelompok yang mendapat terapi mengalami penurunan secm·a bermakna dan tetap berada di tingkat kurang positif, sedangkan pada kelompok yang tidak mendapat terapi mengalami penurunan secara tidak bermakna dan juga tetap berada di tingkat kurang positif. Namun demikian, berdasarkan basil uji statistik ditemukan bahwa sesudah pemberian terapi KPTP kondisi respons terhadap stresor pada kelompok yang mendapatkan terapi lebih rendah secara berrnakna dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapat terapi. Attinya respons terhadap stresor pada kelompok yang mendapat terapi menjadi lebih positif secara berrnakna dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapat terapi.
Respons terhadap stresor pada penelitian ini terdiri atas aspek afektif, fisiologis dan sosial. Pada penelitian ini respons keluarga terhadap stresor tetap berada di tingkat kurang positif karena mengubah penilaian yang telah terbentuk selama bertahun-tahun membutuhkan waktu yang cukup lama (Stuart, 2009) dan membutuhkan pengetahuan dan kemampuan untuk menyelesaikan masalahnya sehingga penilaiannya terhadap stresor menjadi lebih positif. Seseorang yang gaga! menyelesaikan masalahnya memiliki lebih banyak gejala masalah psikologis; dengan kata lain ansietas, depresi, dan gangguan psikosomatik akan meningkat ketika seseorang berhadapan dengan situasi stres yang tidak terselesaikan (Thoist, 1994). Pengambilan keputusan perawatan yang tepat dan terapeutik membuat kondisi klien menjadi lebih terkendali, hal ini membuat respons keluarga terhadap stresor menjadi lebih positif. Keluarga menjadi lebih tenang karena stresor menjadi jauh berkurang.
6.5.3. Efektivitas Terapi KPTP dan AKPD Terhadap Sumber Koping Jumlah sumber koping yang dimiliki keluarga berada di tingkat kurang adekuat. Artinya jumlah sumber koping yang dimiliki oleh keluarga untuk menghadapi stres akibat memiliki anggota keluarga dengan gangguan jiwa kurang memadai. Berdasarkan basil uji statistik, sumber koping sebelum pemberian terapi KPTP pada keluarga yang mendapat dan tidak mendapat terapi adalah setara atau homogen, dengan demikian sumber koping tidak mempengaruhi basil dari pemberian terapi KPTP. Penggunaan sumber koping · pada kelompok yang mendapat terapi mengalami penmunan secara bennakna dan tetap benida di tingkat kurang adekuat, sedangkan pada kelompok yang tidak mendapat terapi mengalami penurunan secara tidak berrnakna dan juga tetap berada di tingkat kurang adekuat. N amun demikian, berdasarkan basil uji statistik ditemukan bahwa sesudah pemberian terapi KPTP Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
139
sumber koping pada kelompok yang mendapatkan terapi lebih rendah secm·a bem1akna dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapat terapi, artinya jumlah sumber koping yang dimiliki oleh kelompok yang mendapat terapi lebih adekuat secara bermalma dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapat terapi.
Surnber koping pada penelitian ini terdiri dari pengetahuan dan kemampuan keluarga merawat (kemampuan personal), keyakinan keluarga (belief) dan kemampuan finansial (aset materi). Berdasarkan hasil analisis diatas dapat diihat bahwa terapi KPTP dapat membantu keluarga dalam meningkatkan jumlah sumber koping. Kemampuan ini dapat tercapai karena setelah memahami konsekuensi dari setiap pilihan perawatan dan mampu mengambil keputusan yang tepat dan terapeutik keluarga menjadi terkondisi untuk melihat dan menggunakan sumber koping lain sebagai alternatif untuk membantu penyelesaian masalah yaitu perawatan tanpa pasung.
Keluarga akan mengalami beban yang lebih berat kalau
mereka tidak memiliki sumber koping yang adekuat dan kurangnya dukungan sosial (Saunders, 2003)
6.5.4 Efektivitas Terapi KPTP dan AKPD Terhadap Keinginan Memutuskan Pasung Keinginan keluarga untuk memutuskan tindakan pasung sebelum pemberian terapi KPTP berada pada tingkat sedang. Berdasarkan hasil uji statistik, tingkat keinginan memutuskan pasung sebelum pemberian terapi pada keluarga yang mendapat dan tidak mendapat terapi adalah setara atau homogen, dengan demikian tingkat keinginan memutuskan pasung tidak mempengaruhi hasil dari pemberian terapi KPTP. Tingkat keinginan memutuskan pasung pada kelompok yang mendapat terapi mengalami penurunan secara tidak bermakna dan pada kelompok yang tidak mendapat terapi mengalami peningkatan secara tidak be1makna, sehingga kemudian dilakukan uji selisih. Berdasarkan hasil uji selisih ditemukan bahwa perubahan penurunan tingkat keinginan memutuskan pasung pada kelompok yang mendapat terapi KPTP lebih besar secara bermakna dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapat terapi. Sesudah pemberian terapi KPTP ditemukan bahwa tingkat keinginan memutuskan pasung pada kelompok yang mendapatkan terapi lebih rendah secara bermakna dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapat terapi dan tetap berada pada tingkat sedang.
Berdasarkan hasil analisis diatas dapat disimpulkan bahwa terapi KPTP dapat menurunkan keinginan untuk memutuskan tindakan pasung terhadap klien gangguan jiwa. Menurut Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
140
Cherry (2013), seseorang berkeinginan untuk melakukan tindakan tertentu bila ada kebutuhan yang harus dipenuhi. Dorongan keinginan untuk melakukan tindakan ditentukan oleh seberapa banyak informasi alternatif pilihan yang dipcroleh sebelum tindakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut dilakukan. Pada penelitian ini, setelah mengerti konsekuensi dari setiap pilihan perawatan semua keluarga pada akhirnya menyatakan tidak ingin melakukan tindakan pasung terhadap klien dan lebih memilih untuk membawa klien ke pelayanan kesehatanjiwa yaitu puskesmas atau rumah sakit.
6.5.5 Efektivitas Terapi KPTP dan AKPD Terhadap Keputusan Pasung Keputusan pasung terdiri dari sub variabel stresor, respons terhadap stresor, sumber koping dan keinginan memutuskan pasung. Keputusan keluarga untuk melakukan tindakan pasung sebelum pemberian terapi KPTP berada pada tingkat sedang. Berdasarkan hasil uji statistik, tingkat keputusan pasung sebelum pemberian terapi pada keluarga yang mendapat dan tidak mendapat terapi adalah setara atau homogen. Tingkat keputusan pasung pada kelompok yang mendapat dan tidak mendapat terapi sama-sama mengalami penmunan secara bermakna, sehingga kemudian dilakukan uji selisih. Berdasarkan hasil uji selisih ditemukan bahwa perubahan penurunan tingkat keputusan pasung pada kelompok yang mendapat terapi KPTP lebih besar secara bermakna dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapat terapi. Sesudah pemberian terapi KPTP ditemukan bahwa tingkat keputusan pasung pada kelompok yang mendapatkan terapi lebih rendah secara bermakna dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapat terapi.
Sejalan dengan temuan diatas, Hatfield (1981 dalam Saunders, 2003) dalam studi eksplorasi terhadap care giver klien gangguan jiwa menemukan bahwa semakin tinggi pengetahuan keluarga maka semakin efektif koping yang digunakan. Menu rut WHO (20 10), seseorang dapat mengambil keputusan yang tepat hanya jika mereka memiliki informasi yang cukup untuk mempertimbangkan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin dari beragam pilihan keputusan yang tersedia. Keluarga yang terlibat dalam penelitian ini pada akhirnya mampu mengambil keputusan perawatan yang tepat dan terapeutik yaitu membawa klien ke unit pelayanan kesehatan jiwa untuk ditangani lebih lanjut setelah diberikan pengetahuan dan kemampuan untuk mengambil keputusan perawatan melalui terapi KPTP. Beberapa keluarga belum membawa klien ke unit pelayanan kesehatan jiwa namun sudah memutuskan bila membutuhkan atau berada dalam keadaan darurat maka klien akan dibawa ke unit pelayanan kesehatan jiwa. Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
141
Terapi KPTP dan AKPD terbukti dapat membantu menurunkan tingkat stresor, respons terhadap strcsor, meningkatkan penggunaan sumber koping, menumnkan tingkat keinginan memutuskan tindakan pasung yang pada akhimya menurunkan tingkat keputusan keluarga dalam melakukan tindakan pasung terhadap anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa. T erapi KPTP dan AKPD akan lebih dapat menumnkan tingkat keputusan pasung oleh keluarga bila waktu pelaksanaan antara sesi dua dan tiga dibuat lebih panjang sehingga intemalisasi pengetahuan keluarga terkait pengambilan keputusan dapat lebih baik. Waktu pengukuran keputusan pasung dengan KKPD setelah pemberian terapi KPTP dan AKPD juga dapat dilakukan beberapa kali dalam sehingga perubahan perilaku keluarga terkait kemampuan dalam pengambilan keputusan tanpa pasung dapat lebih temkur. Menumt Lally et al (20 10), waktu untuk mengubah suatu kebiasaan tergantung tingkat kompleksitas atau kesulitan perilaku atau kondisi yang diinginkan. Pada penelitian ini ditemukan bahwa secara rata-rata dibutuhkan waktu 66 hari atau sekitar 2 bulan agar suatu kebiasaan dapat dilakukan secara otomatis. Selain itu kebiasaan akan terbentuk bila dilakukan repetisi secm·a konsisten. Dengan demikian untuk dapat mengubah kebiasaan pengambilan keputusan pasung dalam menyelesaikan masalah, terapi KPTP dapat diberikan selama kurang lebih dua bulan dengan program monitoring evaluasi secm·a berkala setelah sesi ketiga, sehingga kebiasaan pengambilan keputusan pasung dapat diubah.
6.6 Keterbatasan Penelitian Dalam proses pelaksanaan penelitian beberapa kendala dihadapi oleh peneliti yaitu: 6.3.1. Kebutuhan waktu yang lebih panjang untuk membangun rapport dengan keluarga klien gangguan jiwa mengingat gangguan jiwa dan pasung masih menjadi stigma yang cukup kuat di masyarakat Indonesia. Kebutuhan ini membuat waktu penelitian pada tahap pertama menjadi lebih panjang dari jadual yang telah direncanakan. Peneliti melibatkan kader kesehatan untuk menjembatani rapport antara peneliti dan keluarga sehingga waktu yang dibutuhkan untuk membangun rapport menjadi tidak terlalu lama. 6.3.2.Pelaksanaan terapi di mmah keluarga beberapa kali tidak sesuai jadual karena keluarga klien ada umsan mendadak yang tidak dapat dihindari. Tindakan yang dilakukan peneliti untuk mengatasi hal ini adalah dengan langsung membuat kontrak waktu yang bam yang diusahakan tidak terlalu jauh dengan jadual yang telah disepakati
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
142
sebelumnya. Pada akhimya semua sesi terapi dapat dilasanakan pada seluruh keluarga pada kelompok intervensi yang menjadi responden pada penelitian ini. 6.3.3. Pelaksanaan terapi di rumah keluarga juga seringkali terdistraksi dengan kegiatan dan urusan keluarga sehari-hari seperti anak responden yang menangis minta jajan dan tetangga yang ingin ikut mendengarkan terapi yang dilakukan. Sehingga waktu pelaksanaan terapi kadangkala memanjang dari kontrak yang telah disepakati dan keluarga kurang konsentrasi dalam mengikuti terapi. Peneliti berusaha untuk membuat janji terapi sesuai dengan keputusan keluarga dan keluarga diminta mencari waktu dimana keluarga tidak sedang repot. Peneliti memberikan ijin kepada tetangga yang ingin ikut mendengarkan terapi dengan catatan keluarga tidak keberatan dan perjanjian tetangga tidak
menganggu proses terapi.
Ijin
diberikan
dengan
pertimbangan masyarakat juga perlu tahu keputusan perawatan yang tepat dan terapeutik untuk klien gangguan jiwa sehingga dapat membantu keluarga mengambil keputusan hila situasi darurat terjadi.
6. 7. Irnplikasi Hasil Penelitian Hasil penelitian proses pengambilan keputusan pasung oleh keluarga menunjukkan bahwa ada beberapa tahapan dalam pengambilan keputusan pasung dan berdasarkan uji efektivitas terapi KPTP terhadap intensi keputusan pasung didapatkan basil bahwa terapi ini efektif dalam menurunkan intensi pengambilan keputusan pasung, sehingga basil penelitian ini dapat memberikan implikasi kepada bidang-bidang sebagai berikut:
6.4.1 Pelayanan Keperawatan Model proses pengambilan keputusan pasung oleh keluarga berdampak pada peningkatan pemahaman para praktisi terkait stresor, respons terhadap stres dan mekanisme koping yang dilakukan keluarga sebelum akhirnya mengambil keputusan pasung. Sedangkan KKPD berdampak pada pengukuran kemampuan keluarga dalam pengambilan keputusan perawatan yang tepat dan terapeutik untuk klien dan kemampuan petugas kesehatan, khususnya perawat, dalam mengukur keputusan keluarga untuk melakukan tindakan pasung. Terapi KPTP serta AKPD berdampak pada kemampuan keluarga dalam mengambil keputusan perawatan bukan pasung. Dengan demikian terapi KPTP dan AKPD dapat membantu mencegah terjadinya tindakan pasung oleh keluarga di masyarakat. Terapi dan algoritma ini juga memberikan dampak terhadap penurunan stresor yang dirasakan keluarga dalam merawat klien gangguna jiwa, membuat respons keluarga terhadap stresor menjadi lebih adaptif, membantu keluarga Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
143
menggunakan sumber-sumber koping secara lebih adekuat, dan menurunkan keinginan keputusan pasung.
6.4.2 Keilmuan Keperawatan Model proses pengambilan keputusan pasung oleh keluarga dapat menambah kekayaan ilmu kesehatan jiwa dan keperawatan jiwa khususnya dalam memahami faktor predisposisi dan presipitasi tindakan pasung yang dilakukan oleh keluarga terhadap klien gangguan jiwa. Terapi KPTP dapat menambah kapasitas jumlah intervensi keperawatan terhadap klien gangguanjiwa dan keluarganya
6.4.3 Penelitian Keperawatan Model proses pengambilan keputusan pasung oleh keluarga dapat menjadi langkah awal untuk kajian lebih lanjut terhadap masalah pasung di Indonesia. Terapi KPTP dan AKPD berdampak pada penambahan materi kajian terkait intervensi keperawatan jiwa bagi keluarga klien.
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
BAB7
SIMPULAN DAN SARAN
7 .1. Simpulan Keluarga yang menjadi partisipan penelitian pada tahap epkslorasi proses pengambilan keputusan pasung oleh keluarga berjumlah 10 orang yang terdiri dari 3 orang ayah kandung, 2 orang ibu kandung, 1 orang kakak kandung, 1 orang adik kandung, 2 orang kakak tiri/angkat, 1 orang kakak ipar. Selain itu dilibatkan pula partisipan dari pihak tokoh masyarakat dan petugas kesehatan dengan rincian 6 orang partisipan dari pihak tokoh masyarakat yang terdiri dari 3 orang ketua RT, 1 orang ibu RT dan 2 orang ketua RW serta 6 orang partisipan dari pihak petugas kesehatan yang terdiri dari 3 orang perawat kesehatan jiwa puskesmas, 1 orang dokter puskesmas, 2 orang kader kesehatan jiwa.
Pada tahap
penelitian efektivitas terapi KPTP dan AKPD terhadap keputusan pasung 82 orang keluarga (care giver) terlibat sebagai responden. Keluarga dengan karakteristik usia dewasa tengah
kebawah (<56 tahun) paling banyak dan perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Distribusi pendidikan menyatakan bahwa lebih banyak yang berpendidikan rendah (tidak lulus dan lulus SD) dan pada status penikahan terlihat lebih banyak yang memiliki pasangan. Pada distribusi pekerjaan terlihat bahwa sebagian besar tidak bekerja (termasuk didalamnya pensiunan dan ibu rumah tangga) dan memiliki pendapatan dibawah UMR kota Bogor (kurang dari Rp. 2.352.350). Sedangkan untuk hubungan keluarga, kebanyakan adalah keluarga inti (ibu, bapak, anak, kakak, adik, suami, istri). Berdasarkan distribusi karateristik dapat dilihat bahwa
sebagian besar keluarga (care giver) klien pasung ada pada usia
produktif dan berjenis kelamin perempuan. Hal ini sejalan dengan temuan pada distribusi pekerjaan dimana tampak bahwa sebagian besar responden adalah ibu rumah tangga dan merupakan keluarga inti dari klien. Selain itu kebanyakan keluarga klien pasung berada pada kondisi pra sejahtera dengan penghasilan per bulan dibawah UMR
Model proses pengambilan keputusan tindakan pasung oleh keluarga didapatkan beberapa tahapan yaitu identifikasi stresor, penilaian terhadap stresor dan mekanisme koping dalam bentuk pengambilan keputusan oleh keluarga. Pada tahap identifikasi stresor terdapat komponen perilaku maladaptif klien, kendala finansial, kegagalan tindakan altematif, keterbatasan pengetahuan, stigma dan ketidakpuasan terhadap pelayanan kesehatan jiwa. Pada tahap penilaian terhadap stresor terdapat kondisi stres yang dialami oleh keluarga. 144 Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
145
Sedangkan pada tahap mekanisme koping terdapat komponen pemenuhan rasa aman klien, keluarga dan masyarakat; usulan pasung dari masyarakat, musyawarah keluarga, keputusan pasung oleh keluarga, konflik emosi dan situasi dan ketidakberdayaan keluarga. Semua tahapan dan komponen ini saling berhubungan dan mempengaruhi dalam pengambilan keputusan pasung oleh keluarga terhadap klien gangguan jiwa. Tahapan proses pengambilan keputusan tindakan pasung oleh keluarga berbeda dengan tahapan proses pengambilan keputusan Jannis dan Mann, dimana pada model proses yang ditemukan dalam penelitian ini tidak didapatkan tahapan pertimbangan altematif sebelum pengambilan keputusan yang merupakan tahapan ketiga pada tahapan proses Jannis dan Mann. Akibatnya konflik pada model proses keputusan pasung terjadi justru setelah pengambilan keputusan bukan sebelum seperti yang terdapat pada model proses J annis dan Mann.
Kuesioner keputusan pasung Daulima (KKPD) yang dikembangkan berdasarkan hasil penelitian tahap pertama telah diuji validitas konstruk dan reliabilitasnya dengan hasil validitas dan reliabilitas yang baik. Dapat disimpulkan KKPD merupakan instrumen yang valid untuk mengukur konstruk stresor, respons terhadap stresor, sumber koping, keinginan memutuskan pasung dan keputusan pasung secara internal. Selain itu KKPD juga reliabel yang berarti item dalam instrumen atau alat ukur ini konsisten dan dapat dipercaya sebagai suatu kesatuan untuk mengukur tingkat keputusan pasung oleh keluarga klien gangguanjiwa.
Hasil uji efektivitas terapi KPTP dan AKPD terhadap keputusan pasung ditemukan bahwa stresor keluarga, respons keluarga tehadap stresor, sumber koping, keinginan keluarga untuk memutuskan pasung dan keputusan pasung oleh keluarga mengalami penurunan secara bermakna. Dapat disimpulkan bahwa terapi KPTP dan AKPD dapat digunakan untuk menurunkan tingkat keputusan keluarga dalam melakukan tindakan pasung bagi klien gangguanJIWa.
Penelitian ini menghasilkan empat produk penelitian yaitu model proses pengambilan keputusan tindakan pasung oleh keluarga, kuesioner keputusan pasung Daulima (KKPD), algoritma keputusan perawatan Daulima (AKPD) dan terapi keputusan perawatan tanpa pasung (KPTP). Model proses pengambilan keputusan tindakan pasung oleh keluarga menjadi dasar untuk pengembangan KKPD, AKPD dan terapi KPTP. KKPD telah diuji validitas dan reliabiltas dengan hasil yang baik sehingga dapat dipakai untuk mengukur tingkat keputusan keluarga untuk melakukan tindakan pasung terhadap klien gangguan jiwa. Universitas Indonesia Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
146
Terapi KPTP dan AKPD telah teruji dapat membantu menurunkan tingkat keputusan keluarga untuk melakukan tindakan pasung bagi klien gangguanjiwa.
7.2 Saran Beberapa saran terkait dengan hasil penelitian ini diberikan kepada pihak-pihak sebagai berikut: 7 .2.1 Institusi Pendidikan Keperawatan 7.2.1.1 Mengajarkan model proses pengambilan keputusan pasung oleh keluarga sebagai bagian dari intervensi keperawatan bagi keluarga klien gangguan jiwa yang sedang dipasung maupun yang berisiko untuk dipasung. 7 .2.1.2 Mengajarkan tentang tahapan pengambilan keputusan pasung oleh keluarga. 7 .2.1.3 Mengembangkan psikoedukasi yang tepat untuk keluarga klien pasung dengan menggunakan informasi yang ada pada model proses pengambilan keputusan pasung. 7.2.1.4 Mengembangkan kuesioner keputusan pasung Daulima sebagai alat untuk mengukur keputusan keluarga dalam melakukan tindakan pasung 7.2.1.5 Mengembangkan terapi keputusan perawatan tanpa pasung dengan algoritma keputusan perawatan sebagai alat bantu terapi menjadi salah satu terapi modalitas keparawatanjiwa.
7 .2.2
Institusi Pelayanan Keperawatan 7.2.2.1 Menggunakan model proses pengambilan keputusan pasung oleh keluarga sebagai landasan pemberian asuhan keperawatan untuk keluarga klien gangguanjiwa yang sedang atau pemah dipasung. 7 .2.2.2 Menggunakan KKPD sebagai alat untuk mengukur keputusan keluarga untuk melakukan tindakan pasung, khususnya untuk keluarga dengan klien gangguan jiwa yang memiliki diagnosa keperawatan perilaku kekerasan dan atau halusinasi di masyarakat. 7.2.2.3 Menggunakan terapi KPTP dan AKPD sebagai salah satu terapi modalitas keperawatanjiwa bagi keluarga klien gangguanjiwa dengan diagnosa keperawatan perilaku kekerasan dan atau halusinasi untuk upaya preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif tindakan pasung di masyarakat dengan standar prosedur yang jelas 7.2.2.4 Menggunakan terapi KPTP dan AKPD sebagai salah satu terapi modalitas Universitas Indonesia Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
147
untuk upaya preventifrelaps pasung pada klien gangguanjiwa yang di rawat di layanan kesehatan jiwa 7.2.2.4 Mengintegrasikan KKPD, terapi KPTP dan AKPD dalam implementasi program CMHN atau CHN yang dilakukan oleh perawat sebagai upaya preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif tindakan pasung oleh keluarga, khususnya melalui program kunjungan rumah. 7.2.2.5 Mengintegrasikan KKPD, terapi KPTP dan AKPD dalam implementasi program perkesmas plus jiwa sehingga dapat digunakan oleh para petugas kesehatan di puskesmas untuk upaya preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif tindakan pasung oleh keluarga.
7 .2.3
Penelitian Keperawatan 7 .2.3 .1 Melakukan kaj ian lebih lanjut terhadap model proses pengambilan keputusan pasung oleh keluarga khususnya dalam siklus pengambilan keputusan dalam keluarga dan faktor-faktor yang mendorong keluarga melakukan tindakan pasung. 7.2.3.2 Melakukan beberapa kali pengukuran dengan menggunakan KKPD setelah terapi KPTP dan AKPD diberikan selama kurang lebih dua bulan agar perubahan perilaku keluarga terkait kemampuan dalam pengambilan keputusan tanpa pasung dapat lebih terukur.
7 .2.4
Keilmuan Keperawatan 7 .2.4.1 Mengajukan model proses pengambilan keputusan tindakan pasung oleh keluarga sebagai Hak Atas Kekayaan Intelektual dan menggunakannya dalam pengembangan ilmu keperawatan jiwa dan keluarga. 7.2.4.2 Mengajukan kuesioner keputusan pasung Daulima (KKPD) sebagai Hak Atas Kekayaan Intelektual dan menggunakannya dalam implementasi ilmu keperawatan jiwa dan keluarga. 7.2.4.3
Mengajukan algoritma keputusan perawatan Daulima (AKPD) sebagai Hak Atas Kekayaan Intelektual dan menggunakannya dalam implementasi ilmu keperawatan jiwa dan lreluarga.
7.2.4.4
Mengajukan terapi keputusan perawatan tanpa pasung (KPTP) sebagai Hak Atas Kekayaan Intelektual dan menggunakannya dalam implementasi ilmu keperawatan jiwa dan keluarga. Universitas Indonesia Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
DAFTAR REFERENSI
Abbott, K.H., et al. (200 1) Families looking back: one year after discussion of withdrawal or withholding of life-sustaining support. Critical Care Medikal, Jan, 29 (1 ), p. 197-201. Diambil tanggal 07 Maret 20 10 dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ ll176185?1og$=activity Badan Pembangunan Nasional. (2008) Jumlah penduduk. Diambil pada tanggal 23 Oktober 2009 dari http://www.bappenas.go.id. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (2013) Masyarakat harus dapat informasi tentang BPJS. Diambil pada tanggal 24 Januari 2014 dari: http://www.bpjskesehatan.go.id/berita-113-masyarakat-harus-dapat-infonnasi-tentang-bpjs.html Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (2014) BPJS Kesehatan tetap layani Diambil pada tanggal 24 Januari 2014 dari: anggota jamsostek. http://www.jamsostek.co.id/content/news.php?id=5019 Boyd, M.A. & Nihart, M.A. (2002) Psychiatric nursing contemporary practice. USA: Lippincott Raven Publisher. Buck, G. (2003) The role of psychological factors in the management of crisis situations. Diambil pada tanggal 16 Januari 2014 dari: www.continuitycentral.com/crisispaper.pdf Bungin, B. (20 I 0) Metodologi penelitian kuantitatif. Jakarta: Kencana Chandra, L. (2001) Pelayanan kesehatanjiwa. Diambil pada 12 Desember 2009 dari http://idionline.org/infoidi-isi.php?news id=766. Charmaz, K. (2009) Constructing grounded theory: a practical guide through qualitative analysis. London: SAGE. Cherry, K. (2013) Theories of motivation: a closer look at some important theories of motivation. Diambil pada 3 Februari 2014 dari: http://psychology.about.com/od/psychologytopics/tp/theories-of-motivation.htm. Cohen, R.J. & Swerdlik, M.E. (2010) Psychological testing and assessment: an introduction to tests and measurement. (ih ed). Boston: McGraw-Hill Higher Education. Colclough, Y.Y. & Young H.M. (2007) Decision making at end of life among japanese american families. Journal Family Nursing, 13 (2), p. 201-225. Diambil pada tanggal 13 April2010 dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/174526073?itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed. Pubmed_ ResultsPanel.Pubmed_ RVDocSum&ordinalpos= I 0 I. Comrey, A.L & Lee, H.B. (1992). Afirst course in factor analysis. Hillsdale: Erlbaum Corrigan, P.W. (2000) Mental health stigma as social attribution implication for research methods and attitudechange. Clinical Psychology Science and Practice, 7 (1), p. 48-67. Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
Corrigan, P.W. & Watson, A.C. (2002) Understanding the impact of stigma on people with mental illness. World P.~ychiatry, I (1), p. 16-20. Corrigan, P.W., Watson, A.C., dan Miller, F.E. (2006) Blame, shame, and contamination: the impact of mental illness and drug dependence stigma on family members. Journal of Family Psychology, 20 (2), p. 239-246. Council for Community Behavioral Healthcare (2007) Policy resources: restraints and seclusion- rules chart. Diambil pad a tanggal 24 Mei 201 0 dari http://www.thenationalcouncil.org/cs/public policy/restraints seclusion rules chart Creswell, J .W. (1998) Qualitative inquiry and research design: choosing among five traditions. London: SAGE Publications. Creswell, J.W. (2003). Research design: qualitative, quantitative and mixed methods approaches. London: SAGE Publications. Creswell, J.W. & Clark, V.L.P. (2007) Designing and conducting mixed methods research. London: SAGE Publications. Creswell, J. W. (20 13) Qualitative inquiry and research design: choosing among five approaches. (3rd ed). London: SAGE. Dahlan, M.S. (2009) Statistik untuk kedokteran dan kesehatan: deskriptif, bivariat dan multivariat. Jakarta: Salemba Medika. Damayanti, M. (2002) Pengambilan keputusan menikah pada wanita dewasa muda yang orang tuanya bercerai. Skripsi. Depok: tidak dipublikasikan. Daulima, N.H.C. (1999) Mental illness in perspective of Indonesian family. Tesis. Glasgow: tidak dipublikasikan. de Heredia, R.A.S., Arocena, F.L. & Garate, J.V. (2004) Decison-making patterns, conflict styles, self esteem. Psichotema, 16 (1), p. 110-116. Diambil tanggal 04 Maret 2010 dari http://www.psichotema.com. Depkes RI: Pusat Penelitian dan Perkembangan. (2008) Riset kesehatan dasar 2007. Diambil pada 26 Februari 2009 dari http://www.litbang.go.id. Dinas Kesehatan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. (2006) Monitoring dan evaluasi: program kesehatan keluarga dan gizi paska tsunami tahun 20005-2006. Nanggroe Aceh Darussalam: tidak dipublikasikan. Djatmiko. (2007) Berbagai indikator taraf kesehatan jiwa masyarakat. Diambil pada tanggal 20 Oktober 2009 dari http://www.pdskjijaya.com. Do!vksaribu, E.I. (2008) Pasung cases: is there a regulation or law of it?. Diambil pada tanggal 20 tanggal Oktober 2009 dari Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
http://stigma. iop.kc l.ac. uk/Plenary. %20poster%20and%20ora1%20presentati on%20abstracts%20(AZ).pdf.
Doverspike, W.F. (2013) Holt' to make good decisions. Atlanta: Georgia Psychological Association. Diambil pada tanggal 16 Januari 2014 dari http://www.gapsychology.org/displavcommon.cfm?an= I &subarticlenbr=24 7.
Fitri, L.D.N. (2007). Hubungan pelayanan community mental health nursing (CMHN) dengan tingkat kemandirian pasien gangguan jiwa di kabupaten Bireuen Aceh. Tesis. Depok: tidak dipublikasikan. Florida Council for Community Mental Health (2007) Mental Illness and Stigma: Diambil pada tanggal 26 Desember 2013 A Fact Sheet. http://www.fccmh.org/resources/docs/MentaiillnessandStigma.pdf.
dari
Friedman, M. (2010) Family nursing reserach, theory, practice. New Jersey: Pearson Education. Frisch, N.C. & Frisch, L.E. (2006) Psychitaric mental health nursing. (3rd ed). Canada: Thomson Delmar Learning. Gries C.J., Curtis J.R., Wall R.J., & Engelberg R.A. (2008) Family member satisfaction with end-of-life decision making in the ICU. Chest, Mar, 133, 3, 704-12. Diambil tanggal 03 Maret 2010 dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18198256?log$=activity. Grunig, R & Kuhn, R. (2005) Successful decision-making (Anthony Clark dan Claire 0' Dea, Penerjemah). Germany: Springer. Hardoko, E. (2013) Terpidana yaman dipancung dan disalib di Arab Saudi. Diambil tanggal 04 Januari 2014 dari http://internasional.kompas.com/read/20 13/03/27118021438/Terpidana. Yaman.Dipancung.da n.Disalib.di.Arab.Saudi. Harte, J .M. & Koele, P. ( 1997) Psychometric and methodological aspects of process tracing research. Dalam R. Ranyard, W.R. Crozier, & 0. Svenson (Ed). Decision making: cognitive models and explanations (h. 21-39). London: ROUTLEDGE, Taylor and Francis Group. Hastono, S.P. (2007) Analisis data kesehatan. Depok: Tidak dipublikasikan. Irmansyah. (2006) Alokasi dana untuk penyakit jiwa hanya 1%. Diambil pada tanggal 22 Oktober 2009 dari http://www.depkes.go.id. Janis, I. and Mann, L. (1979). Decision making: a psychological analysis of conflict, choice, and commitment. New York:, The Free Press-Macmillan Inc. Jorm, A.F. (2000) Mental health literacy: public knowledge and beliefs about mental disorder. The British Journal ofPsychiatry, 177:396-401 diambil pada tanggal26 Desember 2013 dari: http://bjp.rcpsych.org/content/177/5/396.full.pdf.
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
Kaplan & Sadock. (2007) Sinopsis psikiatri: ilmu pengetahuan psikiatri klinis. Uilid I). Jakarta: Bina Rupa Aksara. Kayser-Jones, J. (1995) Decision making in the treatment of acute illness in nursing homes: framing the decision problem, treatment plan and outcome, Medikal Anthropology Quarterly, 9(2), 236-256. Kementerian Kesehatan RI (2013) Riset kesehatan dasar 2013. Diambil pada tanggal 15 April 20I4 dari: http://www.litbang.depkes.go.id/sites/download/rkd20 13/Laporan Riskesdas20 13 .PDF. Knuth, D.£.(1975) Fundamental Algorithms. Addison-Esley. Lally, P et a! (20I 0) How habits formed; modelling habit formation in the real world. European Journal of Social Psychology, 40 (6), p. 998-1009. Diambil pada tanggal 11 Agustus 20 I4 dari: http://onlinelibrary.wiley.com/doi/1 0.1 002/ejsp.674/abstract,. Link, B.G & Phelan, J.C. (2001) Conceptualizing stigma. Annual Reviews Sociology. 27, p. 363-385. Long, T.D. (20 II) The Burden of Mental Illness: a report on La Crosse and the surrounding region. Diambil pada tanggal 26 Desember 2013 dari http://www.lacrosseconsortium.org/uploads/content files/Burden of Mental Illness. pdf. Maramis, W.F. (2006) Catalan ilmu kedokteranjiwa. Surabaya: Airlangga University Press. Margiyono (2007) Dari iron meiden sampai hukum cambuk. Diambil pada tanggai8 Juli 2007 dari http://www.vhrmedia.com/vhrcorner/mtikeletail.php? .g=corner&.s=artikel&.e=21. Maskay, M.H. & Juhasz, A.M. (1983) The decision-making process model: design and use for adolescent sexual decisions. Family Relations, 32, I, III-II6. Minas, H & Diatri, H. (2008) Pasung: pshysical restraint and confinement ofthe mentally ill in the community. International Journal of Mental Health Systems. Diambil pada tanggal 30 Januari 2009 dari http://www.ijmhs.com/content/2/118. Mohr,W.K. (2006) Psychiatric mental health nursing. (6th ed). Philadelphia: Lippincott. Moloeng, L.J. (2004) Metodologi penelitian kualitatif. Bndung: P.T Remaja Putra Karya. Mueser, K.T. & Gingerich, S. (2006) The complete family guide to skizofrenia. London: The Guilford Press. Mullen, P.O., & Reynold, R. (I978) The potential of grounded theory for health education research: linking theory and practice. Health Education Monographs, 6 (3), 280-294. Murti, B. (20II). Validitas dan reliabilitas pengukuran. Semarang: Universitas Sebelas Maret.
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
Notoadmojo, S. (2003) Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakm1a: Rineka Cipta.
Ostman, M & Kjellin, L. (2002) Stigma of families of the metally ill. Journal ofP.~ychiatry, 181:494. Paprika, Z.Z. (2006) Analysis and intuition strategic decision making the case of california. Budapest: Budapesti Corvin us Egyetem. Diambi1 pad a tanggal 16 Januari 2014 dari: http://edok.lib.uni-corvinus.hu/1 11/1/Zoltayn%C3%A973.pdf?origin=publication detail. Purba, S. (2006) Wah, masih ada orang dipasung di Samosir-sejak 21 tahun. Diambil pada tanggal 18 Juli 2008 dari http://sarmedipurba.blogspot.com/2006/ 12/wah-masih-ada-orangdipasung-di.html. Ranyard, R, Crozier, W.R., & Svenson, 0. (1997) Decision making: cognitive models and explanations. New York: Routledge. Rethink. (2013) Rethink mental illness: Brits lack mental health knowledge. Diambil pada tanggal 26 Desember 2013 dari http://www.politics.eo.uk/opinionformers/rethinklarticle/rethink-mental-illness-brits-lack-mental-health-knowledge. Roy, S.C. & Andrews, H.A. (1991) The roy adaptation model: the definitive statement. California: Appleton & Lance. Sari, H. (2009) Pengaruhfamily psychoeducation therapy terhadap beban dan kemampuan keluarga dalam merawat klien pasung di kabupaten Bireuen Nanggroe Aceh Darussalam. Tesis. Depok: tidak dipublikasikan. Sartorius, N. (2002) Iatrogenic stigma of mental illness: begins with behaviour and attitudes of medical professionals, especially psychiatrists. British Medical Journal, 324 (7352): 1470-1471 Diambil pada tanggal26 Desember 2013 dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC 1123430/. Sastroasmoro, S & Ismael, S. (2008) Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. (Ed ke 3). Jakarta: CV Sagung Seto. Saunders, J.C. (2003) Families living with severe mental illness: a literature review. Issues in Mental Health Nursing, 24:175-198. Diambil pada tanggal 26 Desember 2013 dari http://www. psychodyssey. net/wp-content/up loads/20 12/0 5/Fami Iies-Living-with-Severe-MentalIllness.pdf. Setiawan, P. (2008) S:iatnya 'care' pada penderita gangguan jiwa. Diambil pada tanggal 22 Oktober 2009 dari http://www.lampungpost.com. Shives, L.R. (2005) Basic concepts of psychiatric-mental health nursing.(61h ed). Philadelphia: Lippincott Williams& Wilkins. Stokowski, L. (2007) Alternatives to restraint .md seclusion in mental health settings: questions and answers from psychiatric nurse experts. Diambil pada 24 Mei 2010 dari http://www.medscape.com/viewarticle/555686. Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
StuaJ1, G. W. & Laraia (2005) Principles and practice of psychiatric nursing. (8th ed). Missouri: Elsevier Mosby. Stuart, G.W. (2009) Principles and practice of psychiatric nursing. (9th ed). Missouri: Elsevier Mosby. Streubert Speziale, H.J. & Carpenter, D.R. (2003). Qualitative research in nursing: advancing the humanistic imperative. (3rct ed). Philadelphia: Lippincot William Wilkins Sugiyono. (2009) Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Sukardi (2013). Metodologi Penelitian Pendidikan. Diambil pada 25 Februari 2014 dari: http://www .onlinesyariah .com/20 12/12/val iditas-isi-konstruk-instrumen.htm I. Taylor, C.M. (2008) Introduction to psychiatric-mental health nursing. Diambil pada tanggal 16 Januari 2014 dari: http://www.jblearning.com/samples/0763744344/44344 chOI 001 020.pdf. Thoits, P.A. (1994) Stressors and problem-solving: the individual as psychological activist. Journal ofHealth and Social Behavior, 1994, 35 (2) : 143-60. Thompson, P. (1986) The use of seclusion in psychiatric hospitals in the Newcastle area. The British Journal ofPsychiatTy, 149,471-474. Tinsley, H.E.A & Tinsley, D.J. (1987) Uses of factor analysis in counseling psychology research. J Couns Psycho!, 34, 414-424. Tomey, A.M. & Alligood, M.R. (2006) Nursing theorists and their work. Philadelphia: Mosby-Elsevier. Townsend, M.C. (2009) Psychiatric mental health nursing: concept of care in evidence based practice. Philadelphia: Davis Company. Van der Ham, L., Pamela, W., & Broerse, J.E.W. (2011) Perceptions of mental health and help-seeking behaviour in an urban community in vietnam: an explorative study. Community Mental Health Journal, 2011, 47 (5): 574-582, diambil pada tanggal 26 Desember 2013 dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3185226/. Varcarolis, E.M. (2006) Psychiatric nursing clinical guide: assessment tools and diagnosis. Philadelphia: W.B Saunders Co. Videbeck, S.L. (2008) Buku ajar keperawatanjiwa. Jakarta: EGC. WHO (2001) The world health report 2001-mental health: new undt:rstanding, new hope. Diambil pada tanggal 23 Oktober 2009 dari: http://www. who. int/whr/200 1I en/whrO 1 en.pdf?ua= 1. WHO (2007) The lancet. London: Elseiver Properties SA. Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
WHO (20 10) User empowerment in mental health: a statement by the WHO Regional Office for Europe. Diambil pada tanggal 26 Desember 2013 dari: http://www.euro.who.int/ _ dataiassets/pd(file/0020!!13834iE93430.pdf.
Universitas Indonesia
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
Lampiran 1
INSTRUMENA DATA DEMOGRAFI Nomor Partisipan:
Judul Disertasi
CD
: Pola Proses Pengambilan Keputusan Keluarga dalam Tindakan Pasung terhadap Klien Gangguan Jiwa
Tanggal Tern pat
Data Demografi Pengambil Keputusan
ic
t
1.
Usia
: ............ tahun
2.
Jenis kelamin
: PIW*)
3.
Agama
: Islam/Kristen!Katholik!Hindu/Budha!Konghucu*)
4.
Pendidikan
: Lulus SD/SMP/SMU/PT*)
5.
Status pemikahan
: Tidak menikah/Menikah/Janda!Duda
6.
Pekerjaan
7.
Pendapatan per bulan
8.
Hubungan keluarga
9.
Alamat
10.
Nomor telepon yang dapat dihubungi: .............................. .
: Rp.......................................... .
.. ................................................
Keterangan: *): Lingkari pilihan yang sesuai
,.
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
(lanjutan)
Data Demografi Klien Pasung 1. Usia
: ........ tahun
2. Jenis kelamin
: P/W *)
3. Pendidikan
: Lulus SD/SMp/SMUIPT *)
4. Pekerjaan
.. ............................ ....................
5. Status pemikahan
: Tidak menikah!Menikah/Janda/Duda
6. Lama menderita gangguanjiwa
: ......... tahun
7. Rutinitas berobat
: ........... kalilbulan
8. Jumlah kekambuhan
: ........... kali
9. Lama dipasung
: ........... bulan
10. Lama dilepas dari pasung
: ..........• bulan
Keterangan:
*): Lingkari pilihan yang sesuai
p
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
Lampiran2
INSTRUMENB WAWANCARASEMITERSTRUKTUR Nomor Partisipan:
Judul Disertasi
[I]
: Pola Pengambilan Keputusan Keluarga dalam Tindakan Pasung terhadap Klien Gangguan Jiwa
1. Waktu wawancara
: pk.......... - ...........
2. Tanggal 3. Tempat 4. Pewawancara
PROTOKOL WAWANCARA UNTUK PENGAMBIL KEPUTUSAN I.
Dapatkah saudara jelaskan alasan saudara melakukan tindakan pasung kepada anggota keluarga!masyarakat saudara?
2.
Dapatkah
saudara jelaskan tujuan
dari
tindakan
pasung kepada
anggota
keluarga/masyarakat saudara? 3.
Bagaimana proses pengambilan keputusan tersebut diambil? a. Tantangan/masalah/situasi apakah yang membuat saudara melakukan tindakan pasung terhadap anggota keluarga/masyarakat saudara? b. Bagaimana usaha saudara dalam mencari altematiftindakan lain selain pasung? c. Dapatkah saudara jelaskan cara saudara mencari informasi yang adekuat sebelum membuat keputusan pasung?, informasi apakah yang saudara carl? d. Dapatkah saudara jelaskan apayang saudara pikirkan tentang konsekuensi yang akan saudara hadapi secara langsung, tidak langsung, saat ini, yang akan datang, terhadap diri sendiri dan orang lain bila melakukan dan tidak melakukan tindakan
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
(laqjutan) pasung?, bagaimana saudara mempertimbangkan konsekuensi ini? e. Dapatkah saudara jelaskan apa yang saudara rasakan secara fisik, sosial, intelektual, atau emosional saat proses pengambilan keputusan pasung?.
f. Bagaimana pertimbangan yang saudara lakukan sebelum melakukan tindakan pasung terkait sumber daya yang tersedia, motivasi, dan kapabilitas yang saudara miliki?, g. Bagaimana perasaan saudara tentang keputusan pasung yang diambil? h. Bagaimana konflik yang terjadi pada keluarga inti, besar dan masyarakat sebelum tindakan pasung diputuskan? i. Dapatkah saudara jelaskan urn pan balik/masukan/respons yang diberikan oleh keluarga intilkeluarga besar/masyarakat sebelum tindakan pasung? j. Bagaimana saudara menilai umpan balik tersebut? 11. Bagaimana hambatan yang saudara alami saat melakukan tindakan pasung?: 12. Bagaimana perasaan keluargalmasyarakat setelah melihat klien dipasung? a.
Apakah kemudian ada keinginan untuk melepas klien dari pasung?
b.
Apakah tindakan yang kemudian dilakukan oleh keluargalmasyarakat?
c. Apakah yang membuat keluarga mempertahankan pemasungan terhadap klien? 13. Bagaimana pendapat keluarga terhadap pelayanan kesehatanjiwa yang ada di lingkungan sekitamya? Apakah keluarga percaya bahwa pelayanan keswa dapat menangani alasan pemasungan?
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
Lampiran 3
ffiSTRUMENCATATANLAPANGAN J~dul
Disertasi
Pola
Proses
Pengambilan
Keputusan ·
Keluarga
dalam Tindakan Pasung terhadap Klien Gangguan Jiwa
Pewawancara Tanggal Ternpat Deskripsi lingkungan: .................................... .
.. .....................................
Partisipan Posisi partisipan Waktu
.. .....................................
Catatan Komunikasi tanpa Verbal
(Komunikasi tanpa verbal yang sesuai maupun berlawanan dengan komunikasi verbal yang disampaikan o/eh partisipan, yang mendukung fenomena yang akan ditelitz)
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
Kode
Lampi ran 4 DESKRIPSI PARTISIPAN No Kode Partisipan I
Status
Deskripsi Partisipan
PI
Kakak klien
Ibu I, kakak Nn S, ibu rumah langga, tinggal serumah dengan klien
P2
KeluaRT
Bp. S, menjabal sebagai kelua RT saal lindakan pasung pada Nn S dilakukan.
P3
KetuaRW
BpS, menjabal sebagai RW setelah Tn A dipasung
P4
lbu klien
lbu A, ibu kandung Tn A, ibu rumah langga, linggal serumah dengan klien
P5
lbu klien
lbu S, ibu kandung Tn R, bekerja sebagai pembantu rumah langga paruh waktu. Tinggal serumah dengan klien
2
Deskripsi klien Nn. S. 16 Klicn 1: tahun. anak bungsu. di pasung dengan cara di ikat tangannya dan diletakkan di ruang tamu selama I minggu. Alasan pemasungan karena sering melakukan lindakan kekerasan kepada masyarakal sekilar dan keluyuran. Pemasungan dilakukan alas inisialifkeluarga (kakak) didorong oleh saran masyarakal sekilar.
3
4
5
6 P6
Ketua RT
Bp W, menjabal sebagai kelua RT saat pemasung terhadap Tn R dilakukan
P7
Dokler PKM
drY, dokler penanggungjawab kesehalan jiwa di wilayah lempal linggal Tn R
7
No Kode Partisipan 8
P8
Status
Deskripsi Partisipan
Tn K, bapak kandung klien, wiraswasla Ayah klien toko kelontong, tinggal bersebelahan dengan klien
9 P9
Perawat PKM
lbu U, perawal penanggungjawab kesehalanjiwa di wilayah tempal linggal TnK
PIO
Ayah klien
Bpk. J, ayah kandung klien, wiraswasla, linggal serumah dengan klien
PII
Kader
Kader kesehalanjiwa di wilayah tempal linggal klien, ibu rumah tangga
Pl2
Ayah klien
PI3
Kader
Pl4
Kakak klien
Ibu 0, kakak kandung klien, wiraswasla, tinggal di depan rumah klien, yang mengurus klien sehari-hari
PIS
KeluaRW
Ibu M, ketua RW 01, wiraswasla, mengenal klien sejak kecil
10
II
TnA, 28 Klien 2: lahun, anak sulung dari 4 orang bersaudara, dipasung dengan cara diikal langannya ke lempal lidur selama I bulan dan dikurung di kamar selama I 0 1ahun. Alasan pemasungan karena sering marah-marah dan kabur. Pemasungan dilakukan alas inisialifkeluarga (orang tua) sendiri.
TnR, 25 Klien 3: tahun, dipasung sejak I 0 tahun yang lalu dengan cara diikal Iangan dan kaki di lempal tidur. Alasan pemasungan karena sering ngamuk, merusak lingkungan dan kabur. Pemasung dilakukan selama 3-4 jam sehari selama ibu klien bekerja sebagai pembanlu rumah langga. Kepulusan pasung diambil berdasarkan masukan dari keluarga besar dan kelua RT
Deskripsi klien
Tn K, 27 Klien4: lahun, dipasung sejak 8 lahun yang lalu dengan cara dikurung di kamar. Alasan pemasungan karena sering kabur. Kepulusan pasung diambil oleh ayah klien sebagai kepala rumah langga.
An. J, 15 Klien 5: lahun, dipasung selama I lahun dengan cara diranlai di lembok dalam kamar. Alasan pemasungan karena sering keluyuran, membakar rumah dan menganggu lingkungan. Keputusan pasung diambil oleh ayah klien
12
13
14
15
Bp Hj. R., ayah kandung klien, wiraswasla, Klien 6: Tn. Y,40 tinggal serumah dengan klien lahun, dipasung sejak Ia hun 1993 ( 18 lahun) dengan cara dikurung di sebuah ruangan di belakang rumah. Alasan pemasungan karena menganggu lingkungan dan merusak rumah. Kepulusan pasung Bp. I, kader kesehalanjiwa di wilayah diambil oleh ayah klien lempal tinggal klien, wiraswasla Tn. A,42 Klien 7: tahun, dipasung selama I tahun dengan cara dikurung dalam kamar yang diberi teralis dan terletak didalam rumah. Alasan pemasungan karena keluyuran, merusak rumah dan menganggu lingkungan. Kepulusan pasung diambil oleh kakak kandung klien selelah melakukan rapal keluarga.
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
No Kode Partisipan 16
Status
Deskripsi Parrisipan
Deskripsi klien
Pl6
Perawat PKM
Tn. A, 42 Klien 7: tahun, dipasung selama I tahun dengan cara dikurung dalam kamar Perawat penanggung _im,·ab kesehatan jiwa yang diberi teralis dan terletak didalam rumah. Alasan pemasungan puskesmas di wilayah tempat tinggal klien karena keluyuran. merusak rumah dan menganggu lingkungan. Keputusan pasung diambil oleh kakak kandung klien setelah melakukan rapat keluarga.
17
Pl7
Kakak klien
lbu A, kakak tiri klien. guru, tinggal bersebalahan dengan rumah klien
18
PIS
Adik klien
Bpk. M, adik kandung klien, wiraswasta, tinggal di dekat rumah klien
19
Pl9
Bpk. C, Ketua RT 03, petani, tinggal agak KetuaRT jauh dari rumah klien, masih termasuk keluarga besar klien.
P20
!buRT
P21
Perawat PKM
P22
Kakak ipar klien
Tn. A, 35 Klien 8: tahun, dipasung selama 7 tahun dengan cara dikurung dalam ruangan yang terletak didalam rumah. Alasan pemasungan karena memukul tetangga. Keputusan pasung diambil oleh ayah klien (aim) setelah melakukan rapat keluarga. Keluarga klien merupakan tokoh agama di lingkungan tempat tinggalnya.
20
21 22
Jbu M, ibu RT Ds Cibeduk Pabuaran, Bogor Utara, suaminya menjabat sebagai ketua RT ketika klien dipasung
Perawat penanggungjawab kesehatan jiwa Klien9: lbuN,41 puskesmas di wilayah tempat tinggal klien tahun, dipasung selama 6 bulan dengan cara dikurung disamping rumah tanpa atap, sehingga klien kehujanan dan kepanasan. Alasan pemasungan karena klien sering keluyuran dan menganggu Bp. S, kakak ipar tiri klien, pensiunan, lingkungan. Keputusan pasung diambil oleh kakak ipar tiri klien tinggal serumah dengan klien setelah rapat dengan tokoh masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
Lampiran 5
JADUAL PELAKSANAAN PENELITIAN PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN TINDAKAN PASUNG OLEH KEU!ARGA TERHADAP KLIEN GANGGllAN JIWA Waktu Penelitian No
I
Kegiatan
2010 2011 2012 Jan
Penyusunan dan ujian proposal disertasi
2014
2013
Mar Apr Mei Jun Jut Ags Sept Okt Nov Des Jan Feb
Feb
; 1··..·
2 Perbaikan dan uji etik 3 Pengurusan ijin penelitian
I: .
4 Pengumpulan dan anal isis data tahap I
l;i~~?~ 1}1~.·:. l't···;il ... ;;, :'·'
5 Pengumpulan data tahap II
. ·::
.
'
':
:
6 Penyusunan Iaporan akhir
--"
{
})~f
7 Seminar hasil disertasi
8 Promosi doktor 9 Perbaikan hasil disertasi
10 Pengumpulan disertasi
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
··~
Lamp iran
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN Kampus Ul Oepok Telp. (021)78849120, 78849121 Faks. 7864124 Email : humasfik.ui.edu Web Site : www.fikui.ac.id
KETERANGAN LOLOS KAJI ETIK Komite Etik Penelitian Keperawatan, Fakultas llmu Keperawatan Universitas Indonesia dalam upaya melindungi hak azasi dan kesejahteraan subyek penelitian keperawatan, telah mengkaji dengan teliti proposal berjudul :
Proses Pengambilan Keputusan Pasung oleh Keluarga Terhadap Klien Gangguan Jiwa di Wilayah J abodetabek. Nama peneliti utama : Novy Helena Catharina Daulima Nama institusi
: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
..............
'··
Dan telah menyetujui proposal tersebut.
Jakarta,
23 Agustus 201 I
Ketua,
Ye~i
NIP. 19520601197411 2 001
Rustina, PhD
NIP. 19550207 198003 2 001
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
~~'In"'
Lampiran I
,,_...
.
.'
KEMENTERIAN KESEHATAN llEPUBLIK INDONESIA YA. . 1.--~'f'Af.l.' Jl. Or.
·~t.~~-:a # · M.tz
Nomor Lampi ran Peri hal
J~'bl!A'P-lllltJtilart f'···:~A'
Yth Dekan
FakuJtas Ihnu Keperawatan . .
.~
.. ..
J\
Universll;iiJ.In~\lJ'!~.Ia
:;l)f·
..
·:~~-:t•
.
y.;r.t~~·~
t\>~.:::.!·::~j ..~;_ ··. .
Tempat ··.
.
(:
,.
·-
.--
'
_:·:___:__~
.-·\·~t~ ...-_
Nama NIM Judul
N0~\1. :w.~~-;€!a~i~mla..
~--1
.• -.
Daullmal.·
:;:~~~~a:~~~~~=-7~t8J:~t."e=~~
oleh Keluarga Terhadap
Kli~n •
Dengan lnl kaml sampalkan persetujuan bagl Mahaslswa Saudara untuk melakukan keglatan tersebutdt- BLU Ruman ·5akltrilllr~.H~,,f!tt:a~ee~t·M$hdt:SGgor. . ·;·~~v/i~~~4~ k~'!lf·.Atas•:PE:!t.il:~ttan
Demikian penyampaian dart .
• .
.
$audara diuca
.. ·, . • . '. -: ··.·: ·!. : · . ··-:
·:'!'
.._.,.:. . ,-:
·:;.
:.::..-.., .
. . · . ...... · ·,·-,-.. .~,·h>'<:c},r-:;,~;:~t·;
._
..:~~:/';
;i-
{:::.r·.
.: ...;~
.
..-~- ·.
-
-;
----~.--·- ---~
··--~
Xt' ·,
-·
-.... _
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
;.
•·
PEMERINTAH KOTA B0G0R.
! .
DINAS KESERATAN JJALAN KESEHATANNO. 3 BOGOR TELP. ( 0251) 331 753 BOGeR.· 16161
Nomor Lampiran Perihal
DJV I
I~
/Umum.
Bogor,
12
Juni
/tin Penelitian
Kepada: Yth. Dekan Fakultas llmu Keperawatan Universitas Indonesia Di DEPOK
Menindak: lanjuti surat Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Nomor: 2807/H2.F12.D/PPM.OO.Ol/2013 tanggal27 Mei 2013 perihal Pennohonan ljin Penelitian atas nama : r
=
Nama Peneliti
NOVY HELENA C.D,SKP.M.Sc.
Judul Penelitian
Proses Pengambilan Keputusan Pasung Oleh Keluarga terhadap Klien Gangguan Jiwa di Wilayah Jakarta dan Bogor.
Sehubungan hal tersebut pihak kami tidak berkeberatan dan dapat memberikan ijin di Puskesmas Tanah Sareal danb Puskesmas Mekarwangi Kecamatan Tanah Saeal, setelah selesai harap membuat laporan kepada Kepala Dinas kesehatan..~ Penelitian
. Demikian atas perhatiannya kami ucapk:an terima kasih.
A.N. KEPALADINAS KESEHATAN KOTA BOQOJl.
Sekretaris
~&·· Drg. DEDE RUKASA,M.Kes.
Pembina TK.I NIP.: 19591010 199102 1 001 Tembusan: Yth. 1. Kepala Dinas Kesehatan Kota Bogor ( sebagallaporan) 2.Kepala Puskesmas Tanah Sareal/ Melcarwangt.
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR DtREKTORAT SUMBER DAYA MANUSIA DAN PENDIDIKAN BAGIAN PENDIDIKAN DAN PENELITIAN Jl. Dr. Sumeru No.114 Bogor 16111
Nomor
Lampiran Perihal
Telp. (0251) 8324026 Fax : 8324025
: DL 01.03.165 : 1 {satu) lembar : Penelitlan Disertasi
24Juli 2013
Kepada Yth. Ka. Poli Rawat Jalan Pslldatri pada RS Dr. H. Marzoeld Mahcll Bogor Di Tempat
Dengan honnat, Sehubungan dengan adanya penelitian disertasi Sdr. Novy Helena ro, SKp,MSc tentang Proses Pengambllan Keputusan Pasung oleh Keluarga terhadap Klien Gg. Jiwa di Wilayah Jakarta dan Bogar dalam prosesnya akan dilaksanakan pengambllan data di Poli Pslkiatri Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogar berupa penyebaran instrumen survey pada:
r
Waktu Tempat Responden Jumlah
: Juli - Agustus 2013 : Poll Rawat Jalan : Keluarga Pasien berobatjalan {280 responden) :280
Petugas Pengambllan Data : 1. Fauziah, M.Kep, Sp. Jlwa 2. I Ketut Sudiatmika, M.Kep, Sp. Jiwa 3. Slnta {Mahasiswa 51 FIK - UI) 4. Slsca {Mahaslswa 51 FIK- UI) 5. Hanl {Mahaslswa 51 FIK - UI) 6. carolln, M.Kep, Sp. Jiwa {Penellti) 7. T]Cihjanti Kristianl, M.Kep, 5p. Jiwa {Penelitl) 8. Novy Helena ro, SKp, MSc (Peneliti) Kami mohon Saudara dapat memfasilitasl pengambilan data tersebut. Demlkian penyampalan kaml. Atas perhatian dan kerjasamanya nii ucapkan terima kaslh.
Tembusan: 1. Direktur Pelayanan Medik 2. Kabid Pelayanan Medik 3. Kabid Perawatan 4. Kabld Rawat Jalan 5. Ka. Instalasi Rawat Jalan 6. Ka. Instalasi Rekam Medik 7. Arsip. Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
, ·e
RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR DIREKTORAT SUMBER DAYA MANUSIA DAN PENDIDIKAN BAGIAN PENDIDIKAN DAN PENELITIAN
Jl. Dr. Sumeru No. 114 Bogar 16111
Telp. (0251) 8324026 Fax : 8324025
Jadwal Petugas Pengambil Data Collector
Senin
Sinta, Sisca, Hani, I Ketut Sudiatmlka, Navy
Selasa
Sinta, Sisca, Hanl, caroline
"Rabu
Sfnta, Sisca, Hanl, Fauziah, Novy
Kamis
Sinta, Sisca, Hanl, Novy
Jum'at
Sinta, Sisca, Hani, caroline, Novy
catt. : 1. Responden : Keluarga pasien berobat jalan, jumlah : 280 keluarga
2. Untuk mencegah duplikasi responden, status paslen yang keluarganya menjadi responden akan diberi tanda kertas post ltwama orange dengan lnlsial RP z
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
Lampiran 8 No. Responden:
INSTRUMENB
PENGKAJIAN KEPUTUSAN PASUNG
Petunjuk pengisian: 1. Bacalah setiap pernyataan dengan teliti 2. Beri tanda (v) pada kolom 1 bila anda tidak pernah/sangat tidak setuju/kurang berniat dengan pernyataan tersebut 3. Beri tanda (v) pada kolom 2 bila anda kadang/kadang/tidak setuju/berniat dengan pernyataan tersebut 4. Beri tanda (v) pada kolom 3 bila anda sering/setuju/sangat berniat dengan pernyataan tersebut 5. Beri tanda (v) pada kolom 4 bila anda selalu/sangat setuju/amat sangat berniat dengan pernyataan tersebut
No
Pernyataan
1
2
Tidak pernah
Kadangkadang
1
Saya melihat pasien menggigit orang lain
2
Saya melihat pasien memukul orang lain
3
Saya melihat pasien memeluk erat-erat orang lain
4
Saya melihat pasien merusak perabotan milik tetangga
5
Saya melihat pasien merusak perabotan rumah tangga
6
Saya melihat pasien memecahkan barang pecah belah, seperti: kaca jendela dan cermin
7
Saya mendengar pasien berteriak-teriak
8
Saya mendengar masyarakat mengeluh merasa terganggu dengan perilaku pasien
9
Saya disalahkan oleh masyarakat karena perilaku pasien yang tidak baik
10
Saya melihat pasien naik ke atas tempat tinggi yang berbahaya, seperti: bubungan rumah, pohon
11
Saya melihat pasien keluyuran dan tidak dapat kembali ke rumah
12 Saya melihat pasien keluar rumah tanpa busana 13
Saya melihat pasien diejek oleh masyarakat sekitar
14
Saya melihat masyarakat sekitar ketakutan terhadap pasien
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
3
4
Sering
Selalu
No. Responden:
No
Pernyataan
1
2
3
4
Sangat
Tidak setuju
Setuju
Sangat
tidak setuju
15 Saya mengerti penyebab perilaku pasien 16 17 18
Saya mengerti bahwa pasien dapat disembuhkan bila dirawat di rumah sa kit jiwa Saya mengerti bagaimana cara merawat pasien di rumah Saya mengerti bahwa mengurung atau mengikat adalah satu-satunya cara untuk mengatasi masalah
19
Saya memiliki uang yang cukup untuk biaya pengobatan pasien
20
Saya memiliki cukup uang untuk biaya transportasi mengantar pasien berobat ke rumah sa kit jiwa
21
Saya merasa patah semangat dalam menghadapi kondisi pasien yang tidak juga membaik
22
Saya merasa putus asa sejak kondisi pasien tidak membaik lagi
23
Saya merasa Ieiah lahir batin dalam menghadapi perilaku pasien yang tidak juga membaik Saya membatasi diri untuk keluar luar rumah sejak
24 kondisi pasien semakin parah karena malu bertemu dengan orang lain
25
Saya mengalami kesulitan untuk tidur lelap karena perilaku pasien yang semakin mengganggu ketenangan
26
Saya dapat melakukan aktivitas sehari-hari dengan baik walaupun perilaku pasien semakin mengkhawatirkan
27
Saya ingin pasien dirawat di rumah sa kit jiwa supaya kondisinya menjadi lebih baik
28
Saya rasa membawa pasien berobat ke rumah sakit jiwa hanya membuang-buang uang saja
29
Saya yakin pengobatan spiritual dapat menyembuhkan penyakit pasien
30
Saya melihat ada perubahan yang lebih baik sejak pasien berobat ke pemuka agama
31 Saya yakin paranormal dapat menyembuhkan pasien 32
Saya melihat pasien semakin parah kondisinya sejak berobat ke paranormal
33
Saya punya cukup uang untuk membiayai persyaratan yang diminta oleh paranormal
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
setuju
No. Responden:
No
Pernyataan
1
2
3
4
Sangat
Tidak setuju
Setuju
San gat
tidak setuju
34
Saya sudah bosan membawa pasien berobat ke paranormal karena tidak ada hasilnya
35
Saya yakin keputusan untuk mengikat pasien adalah jalan keluar yang terbaik
36
Saya yakin keputusan untuk mengurung pasien adalah pili han yang terbaik
37 Saya yakin pasien akan lebih aman bila diikat di rumah 38
Saya yakin pasien akan lebih aman bila dikurung di rumah
39
Saya yakin anggota keluarga yang lain akan setuju bila pasien dikurung
40
Saya yakin seluruh keluarga akan lebih tenang bila pasien diikat
41
Saya yakin kehidupan sehari-hari keluarga akan lebih baik bila pasien dikurung
42
Saya yakin pasien tidak akan mencederai masyarakat lagi bila diikat
43
Saya yakin masyarakat tidak akan resah lagi bila pasien dikurung
44
Saya yakin masyarakat akan menjadi lebih tenang bila pasien diikat
45
Saya yakin masyarakat akan setuju dengan keputusan keluarga untuk mengurung pasien
46
Saya yakin pasien akan lebih baik diikat daripada dikurung
47
Saya yakin pasien akan lebih baik dikurung daripada diikat
48 Saya yakin pasien tidak akan keberatan bila diikat 49 Saya yakin pasien tidak akan keberatan bila dikurung
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
setuju
No. Responden:
No
Pernyataan
1
2
3
4
Sangat tidak
Tidak ingin
lngin
Sangat ingin
in gin
50 51 52 53
54
Saya ingin mengikat pasien agar tidak menganggu keluarga dan masyarakat Saya ingin mengurung pasien agar tidak menganggu keluarga dan masyarakat Saya ingin membawa pasien ke paranormal agar tidak menganggu keluarga dan masyarakat Saya ingin membawa pasien ke pengobatan spiritual agar tidak menganggu keluarga dan masyarakat Saya ingin membawa pasien ke rumah sa kit jiwa agar tidak menganggu keluarga dan masyarakat
..................... , ............................ 201 .. . Data Cbllector : .................................. .
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
Lampi ran 9
- Penlakumemballayakan masyarakalkeluarga.pas1en • Penolakanmasyarakal
Gangguanbdur
Putusasa
• Tindakan pengobalan serl'lgkalilidaknyaman • Kambuhberulang - Kondisi bertambah
'"''
lelahlahir&batm
RendahdJl
Tidak
Akbvrtassehali-hariterganggu
-Biayapengobatandapalrnenggunakan lunjangan kesehalan pememlah • Tersedianyalli'MIIinapdanrawatjalan • Tindakanpengobatanminimalrasa
tidak nyaman
......
- Kelelahan mengurus kebutuhanpasiensehali-hari - KondiSi pasien bertambah
'""''
- Sed1h dan merasa setba salah
• KambuhtifakterjadibilaOOatdimilum
- Pasien dapal mandii dan produktif
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
Lampiran 11
BUKU KERJA KELUARGA Digunakan dalam Pelaksanaan Terapi Keputusan Perawatan Tanpa Pasung(KPTP)
Nama Keluarga
.. ................................. .
Buku Kerja
I 7etra{d 1::~ P~ 7~ f'~('J::P'7PJ
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
LATIHAN SESI 1: Identifikasi Masalah
Petunjuk Pengisian: I. Pada kolom pertama cantumkan hariltanggal pengisian buku kerja. 2. Pada kolom kedua tuliskan masalah yang dialami saat merawat pasien gangguanjiwa di rumah. 3. Pada kolom ketiga tuliskan perasaan yang muncul akibat masalah yang dihadapi yang dicantumkan pada kolom kedua. 4. Tuliskan sampai tuntas semua masalah dan perasaan yang muncul selama merawat pasien gangguan jiwa di rumah. Jangan lupa cantumkan hari dan tanggal ketika menambahkan masalah dan perasaan yang muncul.
Hari/Tgl
Masalah yang dihadapi
Buku Kerja
Perasaan yang muncul
I 7eulfd 'A~ 'P~ 741tft4 'Pa4««9(7::P7'PJ
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
LATIHAN SESI 2: ldentifikasi respons terhadap stres Petunjuk Pengisian: I. Pada kolom pertama cantumkan hari/tanggal pengisian buku ke1ja. 2. Pada kolom kedua tuliskan kondisi yang te1jadi akibat perasaan yang dialami yang dituliskan pada kolom ketiga sesi I. 3. Pada kolom ketiga tuliskan perasaan yang muncul akibat kondisi yang terjadi pada kolom kedua. 4. Tuliskan sampai tuntas semua kondisi dan perasaan yang muncul selama merawat pasien gangguanjiwa di rumah. Jangan lupa cantumkan hari dan tanggal ketika menambahkan masalah dan perasaan yang muncul.
Hari/Tgl
Kondisi yang terjadi akibat perasaan yang dialami
Perasaan yang muncul
Buku Kerja I 7C'I4fd ~eft«t«4M P~ 7a.efu!- P~('J:P'?PJ
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
LATIHAN SESI 3 A: Pengambilan Keputusan Petunjuk Pengisian: I. Pada kolom pertama cantumkan hari/tanggal pengisian buku ke1ja. 2. Pada kolom kedua tuliskan alternatifkeputusan yang dipilih dari algoritma keputusan perawatan. 3. Pada kolom ketiga tuliskan keuntungan dari pilihan yang dicantumkan pada kolom kedua. 4. Pada kolom keempat tuliskan kerugian dari pilihan yang dicantumkan pada kolom kedua. 5. Tuliskan sampai tuntas semua pilihan keputusan beserta keuntungan dan kerugiannya.
Hari/Tgl
Pilihan Keputusan
Buku Kerja
Keuntungan
Kerugian
I 7e-zatU 'J::~ P~ 7M{J4 P~('KP'JPJ
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
LATIHAN SESI 3B: Pengambilan Keputusan I. Pada kolom pertama tuliskan keputusan akhir yang dipilih dari daftar pilihan keputusan pada Jatihan sesi 3a. 2. Pada kolom kedua tuliskan keuntungan dari pilihan yang dicantumkan pada kolom pertama. 3. Pada kolom ketiga tuliskan kerugian dari pilihan yang dicantumkan pada kolom pertama. 4. Tuliskan sampai tuntas semua keuntungan dan kerugian dari keputusan yang dipilih.
Pilihan Keputusan
Keuntungan
Buku Kerja
Kerugjan
I 7etr4{d 'A~ 'P~ ?444 'P~("J::P7'PJ
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
Lampiran 12 ANALISA DATA PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN PASUNG OLEH KELUARGA PASIEN GANGGUAN JIWA Kategori
Sub Kategori
I
Kode
I. Mcmbahayakan orang bin scbagai alasan pcndukung tindakan pasung I. Mcnjaga kcamanan masyarakat scbagai alasan pcndukung 2. Mcmsak lingkungan scbagai alasan tindakan pasung pcndukung tindakan pasung
PI
P2 P3 P4 PS P6 P7 P8 P9 PIO Pll Pl2 P13 P14 PIS P16 P17 PIS Pl9 P20 P21 P22
v
v
v
v
v
,.
v
v
v
3. f\.h:ngganggu di luar rumah scbagai al.:tsan pcndukung tindakan pasung 4. Mcngalami pcmbahan pola tidur scbagai alasan pcndukung tindakan pasung 5. M~ngalami dampak agrcsivitas fisik pasicn scbagai alasan pcndukung tindakan pasung I. Pemenuhan rasa aman dalam kctidakberdayaan
6. Mcngalan1i dampak agresivitas verbal 2. Memberikan rasa aman dan pasien scbagai alasan pendukung nyaman kcpada kcluarga scbagai tindakan pasung alasan pcndukung tindakan pasung 7. Me rasa putus asa scbagai alasan pcndukung tindakan pasung
v
v
v
v
v
v
8. Burn Dill scbagai alasan pcndukung tindak.an pasung 9. Mcngganggu aktivitas kcluarga sebagai alasan pcndukung tindakan pasung
10. Kcluyuran sebagai alasan pendukung tindakan pasung 3. Mcnjaga keamanan dan kenyamanan pasien sebagai alasan II. Kcluhan warga yang terganggu pcndukung tindakan pasung scbagai alasan pcndukung tindakan pasung
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
Lampiran 12 Kategori I . Pcmcnuhan rasa aman dalam kctidakbcrdayaan
Sub Kategori
Kode
3. Mcnjaga kcamanan dan 12. Mcngamankan pasicn scbagai alasan kcnyamanan pasicn scbagai alasan pcndukung tindakan pasung pcndukung tindakan pasung
PI
P2 P3 P4 PS P6 P7 P8 P9 PIO Pll P12 Pl3 P14 PIS Pt6 Pl7 PIS Pl9 P20 P21 P22
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
13. Kcluar rumah tanpa busana
v
v
v
v
v
4. Perilaku mcmalukan
v
14. Malu
2. Mcnjaga martabat kcluarga scbagai alasan pendukung tindakan pasung
v
15. Mcrasadilabcl ncgatifolchorang
v
lain
v v
5. Stigma gangguanjiwa 16. Mcrasa tidak nyaman dcngan label ncgatifgangguan jiwa
6. Kurang tcrpcnuhinya rasa aman kcluarga terhadap pclayanan kcschatan j iwa 3. Kctidakpuasan tcrhadap pelayanan keschatan jiwa 7. Kurangnya rasa pcrcaya kcluarga tcrhadap J...-ualitas pclayanan kcschatan jiwa
I 7, Kondisi pclayanan kcswa yang tidak mcmuaskan
v
v
v
18. Rasa tidak aman keluarga tcrhadap pclayanan kcschatanjiwa
19. Kcraguan kcluarga tcrhadap kualitas pclayanan kcschatan j iwa
v
v
v
v
20. Kekambuhan bcrulang 21. Tidak mcmahami tcntang gangguan "iwa
v
v
v
v
v
v
8. Kctcrbatasan pengcrtian
4. Kcterbatasan pcngctahuan tcntang keschatanjiwa
22. Tidak mcmahami pcran dan fungsi pclayanan kcschatanjiwa 9. Ketcrbatasan keterampilan merawat
23. Tidak mcmahami cara mcrawat pasicn gangguanjiwa
v
v
v
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
v
v
Lampiran 12 Kategori
Sub Kategori
4. Kctcrbatasan pcngctahuan tcntang kcschatan jh\ a
9. Kctcrbatasan
Kode
kctcmmpil.:~n
merawat
10. Kcsulitan bia~a pcngobatan dan pcr.m::nan scb.:~g.:~i alasan pcndukung tind.:~bn pasung
5. Kcndala finansia1
PI
PZ P3 P4 P5 P6 P7 PS P9 PIO Pll Pl2 Pl3 P14 PIS Pl6 P17 PIS P19 PZO P21 P22
24. Tidak mcmahami .:~ltcmatifcara mcrawat pasicn gangguan ji\\3.
25. Kctidakmampuan
mcmbia~a1
pcngobatan 26. Kctidakmampuan m.:mbia~ai pcr.mat;m rumah sakit
27. K.:tidal-.mampuan ckonomi
II. K~sulitnn hi.:~~ a tr.msportasi 1-c ji\\a
2~. Kct1dakmampunn mcmbiayai transportasi untuk pcngobatan
12. Mc1akukan tindakan altcmatif scbelum mcmasung: mcmanfaatkan fasilitas 1ayanan kcschatan
2l). Bcrobat kc J}l!tugas kcschatan scbdum mcmasung
6. Kcgaga1an tindakan altcmatif scbaga.i upaya pcnyclcsaian masa1ah pra pasung
l------------+--t--t-+-t--1--t-tf--t--t--t--t-+-tf--t--t--t--t--l--t-+-t---J
pda~ anan k~schatan
13. Tindakan altcmatifscbc1um mcmasung: mcngakscs layanan pcngobatan altcmatif
v
30. Bcrobat kc rumah sakit jiwa
scbclum mcmasung
31. Mclakukan pcngobatan spiritual sebclum mcmasung 32. Berobat kc paranom1al sebdum mcmasung
33. Mcnutup akscs kcluar rumah 14. Tindakanaltcmatifscbdum 1-s-ob_o_lu_m_,_nc_·m_a_su_n_:s_ _ _ _ _ _+--t--t-+-t--l--t-tf--t--t--t--t-+-tf--t--t--t--t--l--t-+-t---l mcmasung: mcmbatasi akscs sosial 34. Menikahkan pasicn scbclum memasung
15. Melakukan musyawarah kclompok kecil sebc1um mengambil kcputusan pasung 7. MuS)'llwarah dalam
35. Mcminta pcndapat saudara kandung
v
36. Meminta pendapat orang tua
prose~ pe~gambilan
k!.!putusan pra pasung
16. Melakukan musyawarah kelompok besar scbclum mcngambil kcputusan pasung
v
37. Meminta pcndapat kcluaiga inti
v
38. Mcminta peodapat tokoh masyarakat
Lampiran 12 Kategori
Sub .Kalegori
8. Kcluarga inti scbagai pcngusul tindakan pasung
Kode
17. Saudara kandung scbagai pcngusul tindakan pasung
39. Mcmasung diusulkan olch kakak
Pl
P2
P3 P4 PS P6 P7 PS P9 PIO PII P12 P13 Pl4 PIS Pl6 PI? PIS P19 PZO P21 P22
v
v
40. Mcmasung diusu1kan o1ch adik 18. Orang tua scbagai pcngusu1 tindakan pasung
9. Masyarakat scbagai pcngusul tindakan pasung
v
v
v
41. Mcmasung diusulkan olch ibu
42. Mcmasung diusulkan olch
v
v
masyarakat
43. Kcputusan pasung diambil olch ayah
v
44. Keputusan pasung diambil olt:h ibu
v
v
v
v
v
19. Orang tua sebagai pcngambil kcputusan pasung
v
v
I0. Kcluarga scbagai pengambil kcputusan pasung
45. Keputusan pasung diambil olch
20. Saudara sebagai pcngambil
v
v
kakak
kcputusan pasung
:''
47. Mernasung scbagai jalan keluar lerbaik
II, Pasung da1am perSpc:ktif kelua~ga dait inasyarokat
v
v
46. Kcputusan JXlSung diambil olch adik
v
v
4'8. Me=ng mcrupakan ha'k kcluarga
v v
v
,'
49. Me rasa sedih paska pemasungan 12. Konflik: manifestasi
ketidakbcrdayaan paska pasung
2 L Konflik emosi
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
50. Mcrasa tidak nyantan paska
v
pcmasungan 51. Ketcnangan semu paska pemasungan
v
v
v
v
v
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
v
v
v
v
v
Lampiran 12 Kateg01·i
Kode
Sub Kategori
PI
P2 P3 P4 PS P6 P7 PS P9 PIO Pll Pl2 P13 Pl4 PIS P16 P17 PIS P19 P20 P21 P22
52. Mcngabmi dilcma ant.:u~ mcmpt:I1ahankan
dan mclcpas pasung
21. Konflik cmosi .:;:.;_ ivkras:J kd11bng:m pasicn J>Lrnah
12. Konilik: manit\::stasi k..::tid:-tkb..::rdayxm p:-tsb p:-tSLin£
~ang
diJ..ctKtl
5-I. r-.h:nj~u.h kbih gcllsah pasJ..a p..:lll3Sllll,!;:"lll
55. J\·h:ttiadl kbih n:pot m.:ngurus kcbutuhan pcra\\al~m diri pasicn paska
22. Kontlik situasi
pcmasungan
56. Toma: mcngala.mi kcsulitan mcnghcntikan pcmasungan
57. Kurangnya dari sosialisasi dari pemerintah 23. Kontribusi pemerintah dalam masalah pasung
v
58. Kurangnya pcnanganan masalah
v
yang ccpat dari pemerintah 13. Kebutuhan dukungan kcbijakan dan fasilitas pemerintah yang memadai utnuk penyelesaian masalah pasung
v
24. Dukungan kajian pcnyclcsiaan 59. Tinjauan akar pcnnasalahan
m~~
r---~----~--------~r--r--r-,_-r~--t-,_-r-t--t--r~--+--+--+--+--+--t--t--r~--i
25. Dukungan fasilitas kesehatan 'iwa
~--------------+-~~~~4-4-+-+-~+-+-+-+-+-~~-+-+_,_,_,--i
60. Pcrhatian dari pcmcrintah
v
61. Dukungan pcnycdiaan obat 62. Kunjungan rumah
v
63. Dukungan masyarakat
v v
26. Dukungan pcmbcrdayaan masyarakat
64. Dukungan kcrjasama dc.mgan bcrbagai sektor dan program tcrkait
v
Lampiran 12
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
Lampiran 14
Halusinasi merupakan suatu keadaan di mana seseorang mengalami mendengar, melihat, mencium, meraba dan mengecap sesuatu yang seolah-olah ada/nyata tetapi sebenarnya tidak ada/nyata. Kondisi yang dapat menyebabkan seseorang mengalami halusinasi diantaranya panik, menarik diri/tidak mau bergaul dengan orang lain, dan stres berat sehingga merasa terancam. Jenis-Jenis Halusinasi Pendengaran Penglihatan Penghidu/penciuman
*
Data subjektif
Defenisi Halusinasi Halusinasi pendengaran Klien mendengar suara atau bunyi yang tidak nyata dan orang lain tidak mendengarnya. Halusinasi penglihatan
*
*
Tanda dan gejala
Pengecapan Perabaan
*
*
Klien melihat gambaran yang jelas atau samar-samar yang tidak nyata dan orang lain tidak melihatnya. Halusinasi penghidu/penciuman Klien mencium bau yang muncul dari sumber tertentu yang tidak nyata dan orang lain tidak menciumnya. Halusinasi pengecapan Klien merasa makan sesuatu yang tidak nyata. Biasanya merasakan rasa makanan yang tidak enak. Halusinasi perabaan Klien merasakan sesuatu pada kulitnya yang tidak nyata.
a. Klien mengatakan sering mendengar suara-suara yang mengejek dan menyinggung perasaannya dan membuatnya kesal b. Klien mengatakan dirinya sering mendengar suara-suara yang menyuruhnya untuk memukul dan mencekik adiknya c. Klien mengatakan sering mendengar suara-suara yang menyuruhnya bunuh diri
Data objektif a. Klien tampak berbicara dan tertawa sendiri b. Klien tampak gelisah c. Klien tampak ketakutan d. Ansietas e. Apatis f. Klien bersikap seperti mendengarkan sesuatu (memiringkan kepala ke satu sisi seperti jika seseorang sedang mendengarkan sesuatu) g. Klien sering berhenti berbicara ditengah-tengah kalimat untuk mendengarkan sesuatu h. Disorientasi waktu/tempat/orang i. Konsentrasi rendah j. Respons tidak sesuai k. Kekacauan alur pikir I. Pikiran cepat berubah
Lampiran 14
FAKULTAS ILMU KE.PERAWATAN UNIVERsiTAS INDONESIA
2013
,
MERAWAT KLIEN DENGAN
FB
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
Lampiran 14
Perilaku kekerasan merupakan tindakan yang dilakukan sebagai salah satu respon terhadap kemarahan yang dirasakan oleh seseorang. Respon ini dapat menimbulkan kerugian baik kepada diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan Faktor Predisposisi 1. Masalah fisik 2. Masalah psikologis/perasaan 3. Perilaku yang negatif 4. Sosial Budaya Faktor Penyebab Amuk 1. Klien a. Sosial budaya b. Gangguan mental c. Putus asa dan ketidakberdayaan d. Penyakit fisik e. Usia dan jenis kelamin 2. Lingkungan a. Ribut b. Padat c. Banyak waktu luang d. Staf yang bermusuhan
Emosi
3. Interaksi a. Provokasi b. Antisipasi c. Konflik Faktor Presipitasi Semua faktor ancaman 1. internal a. kelemahan b. rasa percaya yang kurang c. takut sakit d. hilang kontrol 2. eksternal a. penganiayaan fisik b. kehilangan orang yang dicintai/ penting c. kritik Gejala/ tanda marah
Fisik • • • • • •
muka merah pandangan tajam napas pendek keringat tekanan darah meningkat berdebar-debar
• • • • •
tidak adekuat tidak aman rasa terganggu marah (dendam) jengkel
Intelektua/ • • • •
Mondominasi Bowel Berdebat Meremahkan orang lain
Sosial • • • • • •
Menarik diri Pengasingan Penolakan Kekerasan Ejekan Humor
Spiritual • • • • •
Merasa berkuasa Membenarkan diri sendiri Keraguan Kebejatan Kreativitas terhambat
Lampiran 14 UNI\(ERSITAS INDONESIA
2ooa
MERAWAT KLIEN DENGAN
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
Lampiran 10
MODUL TERAPI KEPUTUSAN PERAWATAN TANPA PASUNG PADA KELUARGA KLIEN GANGGUAN JIWA
Oleh: Novy H.C. Daulima, S.Kp, M.Sc Prof. Achir Yani S. Hamid, D.N.Sc Prof. Dr. Budi Anna Keliat, M.App.Sc Dr. Guritnaningsih, A. Santoso
PROGRAM DOKTOR KEPERA WATAN FAKULTAS ILMU KEPERA V·.'ATAN UNIVERSITAS INDONESIA 2013
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat kekuatan dan bimbinganNya penulis dapat menyelesaikan modul terapi Pengambilan Keputusan Perawatan Tanpa Pasung. Modul ini disusun sebagai panduan pelaksanaan terapi untuk menyelesaikan masalah pengambilan keputusan perawatan yang tepat oleh keluarga bagi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Adapun terapi Pengambilan Keputusan Perawatan Tanpa Pasung dikembangkan berdasarkan temuan fenomena pengambilan keputusan pasung oleh keluarga terhadap klien gangguan jiwa melalui kajian kualitatif. Algortima keputusan perawatan digunakan sebagai alat bantu bagi keluarga dalam terapi ini.
Modul ini menguraikan tahap-tahap dalam terapi Pengambilan Keputusan Perawatan Tanpa Pasung yang terdiri dari 3 (tiga) sesi. Sesi pertama adalah identifikasi masalah keluarga yang bertujuan membantu keluarga untuk mengenali masalah yang dihadapi selama merawat klien gangguan jiwa di rumah. Sesi kedua identifikasi respons terhadap stress yang bertujuan untuj membantu keluarga memahami respon yang muncul akibat stres dalam merawat klien gangguan jiwa yang kemudian mendorong keluarga untuk mengambil keputusan perawatan bagi klien. Sesi tiga adalah identifikasi alternatif keputusan dan pengambilan keputusan yang bertujuan untuk membantu keluarga menemukan alternatif-alternatif perawatan bagi klien dan memutuskan pilihan alternatifyang paling tepat.
Menyadari bahwa modul ini jauh dari sempurna, maka masukan dari berbagai pihak sangat dibutuhkan untuk penyempumaan modul ini. Semoga modul ini dapat memberikan manfaat bagi peningkatan kualitas pelayanan kesehatan jiwa secara umum dan keperawatan jiwa pada khususnya.
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
BABl PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Etiologi kesakitan dan kematian di seluruh dunia saat ini telah bergeser dari penyakit menular ke penyakit tidak menular, seperti jantung, stroke, dan gangguan jiwa. WHO (2007) melaporkan bahwa 31,7% morbiditas adalah karena gangguan j iwa. Stuart (2009) menyatakan ada lima masalah gangguan jiwa yang paling utama menyebabkan morbiditas.
Kelima
masalah
tersebut
adalah
depresi
unipolar
(11.8%),
penyalahgunaan alkohol (3.3%), skizofrenia (2.8%), depresi bipolar (2.4%), dan demensia (1.6%). Kelima masalah ini dapat ditemukan baik di rumah sakit jiwa maupun masyarakat dan menyebabkan banyak kerugian moril dan material terutama bagi keluarga.
Gangguan jiwa merupakan respons maladaptif terhadap stresor dari dalam atau luar lingkungan yang berhubungan dengan perasaan dan perilaku yang tidak sejalan dengan budaya/kebiasaan/norma setempat dan mempengaruhi interaksi sosial individu, kegiatan dan atau fungsi tubuh. Gangguan jiwa juga didefinisikan sebagai suatu sindrom perubahan fungsi perilaku atau pola psikologis atau perilaku yang penting secara klinis yang terjadi pada seseorang dan dikaitkan dengan adanya stres atau disabilitas. Tidaklah mudah mendefinisikan gangguan jiwa karena banyak faktor yang dapat dijadikan sebagai tolok ukur untuk menentukan seseorang terkena gangguan jiwa. Namun demikian dapatlah disimpulkan bahwa gangguan jiwa adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik maupun mental yang dianggap tidak sesuai dengan konsep norma yang ada (Stuart,
2009; American Psychiatric Association, 2000, dalam Varcarolis, 2006;
Kaplan & Sadock, 2007; Townsend, 2009). Gangguan jiwa ada pada rentang ringan sampai dengan berat. Gangguan jiwa ringan adalah kondisi dimana seseorang mengalami masalah mental emosional, namun tidak sampai mengganggu fungsi kehidupan sehari-hari. Contoh dari gangguan jiwa ringan ini adalah ansietas sedang atau merasa rendah diri pada situasi tertentu. Gangguan mental emosional yang menimbulkan gangguan perilaku yang mengganggu fungsi kehidupan sehari-hari
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
masuk dalam kategori gangguan jiwa berat. Contoh gangguan jiwa berat adalah skizofrenia.
WHO (2001) menyatakan kurang lebih satu dari empat orang di dunia mengalami masalah kesehatan jiwa dari ringan sampai berat. WHO juga menemukan bahwa hampir satu per tiga penduduk di wilayah Asia Tenggara pernah mengalami gangguan neuropsikiatri. Sedangkan di Indonesia menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga yang dilakukan pada tahun 1995, diperkirakan sebesar 186 dari 1000 anggota rumah tangga menderita gangguan jiwa. Sesungguhnya jumlah penderita masalah kesehatan jiwa di Indonesia cukup tinggi dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Menurut data WHO pada tahun 2006, 26.000.000 penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa (Maramis, 2006). Data lain menurut studi yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan RI pada setiap propinsi di Indonesia (Depkes RI, 2008), prevalensi gangguan mental emosional adalah sebesar 11.6%, dan gangguan j iwa berat adalah 0.46%.
Jawa Barat dan DKI Jakarta merupakan propinsi dengan
peringkat pertama dan kedua dalam prevalensi gangguan mental emosional di Indonesia, yaitu sebesar 20% dan 14.1 %. Untuk gangguan jiwa berat, DKI Jakarta merupakan propinsi dengan prevalensi tertinggi di Indonesia, yaitu sebesar 20.3%. Bila diperkirakan jumlah penduduk Indonesia tahun 2007 adalah sejumlah 224.000.000 jiwa (Bappenas, 2008), maka prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia adalah sebesar 1.030.400 jiwa.
Untuk tahun 2008, diperkirakan terjadi peningkatan morbiditas gangguan jiwa sekitar 52.000.000 atau 25 persen dari 220.000.000 penduduk Indonesia yang mengalami gangguan jiwa. Artinya 1 dari 4 penduduk Indonesia mengidap gangguan jiwa (Hawari, 2008 dalam Sari, 2009). Berdasarkan data ini dapat diperkirakan semakin banyak penduduk Indonesia yang mengidap gangguan jiwa, dari tingkat yang paling ringan sampai berat, mulai dari stres, panik, cemas, depresi, hingga psikosis. Angka ini akan terus meningkat pada tahun-tahun mendatang karena berdasarkan penelitian WHO (2006), setelah terjadi bencana, trauma atau kehilangan maka gangguan jiwa di daerah bencana tersebut dapat meningkat hingga 20 persen.
Selain itu masalah
ekonomi dan iklim politik yang selalu memanas disinyalir juga menjadi penyebab meningkatnya prevalensi gangguan jiwa setiap tahun. Namun demikian tampaknya
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
kesehatan jiwa di Indonesia telah lama terabaikan, padahal penurunan produktivitas akibat gangguan kesehatan jiwa terbukti berdampak nyata pada perekonomian (Setiawan, 2008).
Masalah kesehatan jiwa pada awalnya kurang mendapat perhatian karena tidak langsung terkait dengan penyebab kematian. Perhatian terhadap kesehatan mental meningkat setelah WHO pada tahun 1993 melakukan penelitian tentang beban yang ditimbulkan akibat penyakit dengan mengukur jumlah tahun dalam kehidupan yang diperlukan untuk menyesuaikan diri dengan ketidakmampuan (Disability Adjusted
Life Years/DALY's). Hasil penelitian tersebut menunjukkan ternyata gangguan jiwa mengakibatkan beban cukup besar yaitu 8.1% dari Global Burden of Disease (GOB). Angka ini melebihi angka yang diakibatkan oleh penyakit tuberculosis dan kanker. Menurut hasil studi Bank Dunia (1995) 8,1% hari-hari produktif (Disability Adjusted
Life Years/DALY's) hi lang akibat beban penyakit yang disebabkan oleh masalah kesehatan jiwa. Angka ini lebih besar dibandingkan dengan hilangnya hari-hari produktif akibat tuberculosis (7,2%), kanker (5,8%), penyakit jantung (4,4%), dan malaria (2,6%). Walaupun gangguan jiwa bukanlah penyebab utama kematian namun merupakan penyebab utama dari terhentinya produktifitas (death ofproductivity) pada kelompok usia paling produktif, yaitu an tara usia 15 - 44 tahun (Chandra, 2001 ). Ini adalah masalah terbesar yang harus dihadapi sebagai akibat dari gangguan jiwa.
Klien gangguan jiwa, khususnya gangguan jiwa berat atau psikosis, mengalami gangguan dalam orientasi realita, perubahan mood, kepribadian, gangguan kebiasaan dan atau menarik diri (Stuart & Laraia, 2005). Gangguan pada kemampuan orientasi realita seringkali memicu perilaku agresif dan berbahaya pada klien, seperti mencederai diri sendiri dan orang lain serta merusak lingkungan. Halusinasi dan waham yang banyak dialami oleh klien psikosis dapat menjadi penyebab dari agresifitas ini.
Perilaku agresif klien psikosis memperburuk stigma dan diskriminasi terhadap gangguan jiwa di masyarakat Stigma terhadap masalah ini tidak hanya menimbulkan konsekuensi negatif bagi penderitanya tetapi
juJ!~
bagi anggota keluarganya
(Corrigan, Watson, & Miller, 2006). Stigma ini meliputi sikap-sikap penolakan, penyangkalan, disisihkan, dan diisolasi. Stigma akhirnya membuat keluarga seringkali
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
merasa harus menyembunyikan anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa, bahkan sampai dengan tindakan memasung.
Akibat dari kondisi diatas klien tidak mampu mengambil keputusan dan beke1ja baik. Ketidakmampuan untuk mengambil keputusan dan bekerja dengan baik akan mempengaruhi kualitas hidupnya karena ia tidak dapat produktif lagi. Akibatnya individu yang seharusnya dapat menghidupi dirinya sendiri dan keluarga harus menjadi beban bagi keluarga, masyarakat dan negara. Kondisi ini dapat diperparah dengan mahalnya biaya perawatan seorang klien gangguanjiwa.
Menurut Videbeck (2008), perawatan kasus psikiatri dikatakan mahal karena gangguannya bersifat jangka panjang. Biaya yang harus ditanggung klien tidak hanya meliputi biaya yang langsung berkaitan dengan pelayanan kesehatan sepe11i harga obat dan jasa konsultasi, tetapi juga biaya spesifik lainnya seperti biaya transportasi ke rumah sakit dan biaya akomodasi lainnya (Djatmiko, 2007). Sebagaimana yang dipaparkan pada paragraf sebelumnya gangguan jiwa ringan sampai berat sangat berpengaruh pada kualitas hidup dan produktivitas klien maupun keluarga. Hal ini terjadi karena dampak yang ditimbulkan menetap seumur hidup, bersifat kronik dengan tingkat kekambuhan yang tinggi dan dapat terjadi setiap saat sehingga pada akhirnya menjadi beban bagi keluarga dan masayarakat. Behan ini terjadi karena antara lain dampak ekonomi yang ditimbulkan berupa hilangnya hari produktif untuk mencari nafkah bagi klien maupun keluarga yang harus merawat, se11a tingginya biaya perawatan yang harus ditanggung keluarga.
Selain dampak ekonomi, pelayanan kesehatan jiwa yang belum memuaskan juga menyebabkan bertambahnya beban pada keluarga. Pemerintah Indonesia hanya mengalokasikan anggaran dibawah I persen untuk gangguan jiwa dari total anggaran kesehatan yang tersedia (Irmansyah, 2006). Berdasarkan data dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), saat ini hanya tersedia sekitar 8.500 tempat tidur di rumah sakitjiwa di seluruh Indonesia, padahal jumlah penderita gangguan jiwa berat di Indonesia diperkirakan sekitar I 0.000.000 jiwa. Kondisi ini masih ditambah dengan minimnya jumlah tenaga kesehatan yang bergerak di bidang kesehatanjiwa, seperti psikiater dan perawat kesehatanjiwa. Kecilnya anggaran untuk menangani klien gangguan jiwa juga berdampak pada pelayanan kesehatan di rumah
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
sakit jiwa, sehingga untuk mengatasinya diperlukan adanya perbaikan sistem pelayanan
di sektor masyarakat atau komunitas. Hal ini sebenarnya sangatlah
bertolak belakang dengan UU no. 36 tahun 2009 tentang kesehatan. Pada pasal 4 disebutkan semua orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal. Namun
realisasi dari UU ini masih membutuhkan
perjuangan dan kerjasama yang baik antara pemerintah dan masyarakat.
Secara internasional, merujuk kepada pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang digunakan oleh PBB pada tahun 1948, dinyatakan bahwa semua orang bebas dan setara dalam hak dan martabatnya. Dalam hal ini tentunya termasuk orang dengan ketidakmampuan mental dan emosional. Konvensi PBB atas hak orang dengan kecacatan berlaku pada bulan Mei 2008. lnstrumen legal internasional ini melindungi semua hak fundamental seseorang dengan kecacatan fisik dan mental, seperti menunjukkan kapasitas diri, memilih pilihan mereka sendiri, hidup dalam komunitas, menikmati privasi, dilindungi dari tindak diskriminasi, bebas dari penyiksaan, perawatan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan, termasuk eksperimen ilmiah dan medis tanpa ijin (WHO, 2007). Pada kenyataannya hak-hak tersebut tidaklah dapat dipenuhi. Pada fasilitas-fasilitas layanan kesehatan jiwa seringkali ditemukan perlakuan tidak layak atau perawatan yang merendahkan martabat mereka. Seringkali hal ini disebabkan karena kurang memadainya fasilitas yang ada pada layanan tersebut. Namun demikian situasi merendahkan martabat dan memberikan perlakukan yang tidak layak seringkali juga dilakukan oleh keluarga klien dengan cacat mental.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan keluarga tidak memperhatikan hak-hak klien yang merupakan bagian dari keluarga itu sendiri. Menurut Green (1980, dalam Notoatmodjo, 2003), perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu predisposing factor (meliputi pengetahuan, sikap, sistem nilai, tingkat pendidikan, dan tingkat sosial ekonomi), enabling factor (meliputi ketersediaan sarana dan prasarana serta fasilitas kesehatan), dan reinforcing factor (meliputi sikap dan perilaku tokoh masyarakat dan petugas kesehatan, undang-undang dan peraturan pemerintah). Berdasarkan paparan ini, dapat dilihat bahwa perlakuan keluarga dalam memperhatikan hak-hak klien dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor ini harus diketahui dan dikuasai oleh
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
keluarga sehingga dapat memenuhi hak klien melalui pemberian asuhan keperawatan yang tepat dan berkualitas.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Mei 20 I 0 terhadap keluarga klien gangguan jiwa yang pernah melakukan tindakan pasung, didapatkan data bahwa perilaku klien yang mengganggu dan mengancam keluarga dan lingkungan sekitar mengakibatkan beban secara materi dan moril bagi keluarga. Beban ini bertambah berat dengan adanya stigma dan penolakan dari lingkungan. Beban keluarga dan penolakan serta stigma dari lingkungan membuat keluarga menjadi stres dan akhirnya tidak mampu memenuhi hak-hak klien gangguan jiwa melalui pemberian asuhan keperawatan yang benar. Akibat dari situasi ini adalah dilakukannya tindakan-tindakan untuk mengurangi stres yang seringkali melanggar hak asasi manusia, antara lain dengan mengucilkan klien dari kehidupan sehari-hari keluarga. Tindakan pengucilan ini kerapkali disertai dengan pengekangan atau yang lebih terkenal dengan istilah "pasung" untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Pasung kebanyakan dilakukan kepada klien gangguan jiwa kronik dengan perilaku agresif atau kekerasan.
Pasung merupakan tindakan pengekangan atau pembatasan aktivitas secara fisik. Pelaksanaan tindakan pasung sesungguhnya melanggar hak asasi manusia dan hukum. Pada 26 Juni 1987 Perserikatan Bangsa-Bangsa memberlakukan Konvensi 1948 Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam dan Perlakuan Tidak Manusiawi Lainnya. Indonesia meratifikasi konvensi itu pada tahun 1998 (Margiyono, 2007). Walaupun secara fisik jelas menyiksa klien dan melanggar hukum, tindakan ini dipertahankan oleh keluarga dengan alasan bila dilepas perilaku agresif klien dapat menganggu ketentraman masyarakat.
Menurut Minas dan Diatri (2008), pasung atau disebut juga hukum pasung merupakan metoda yang cukup populer di masyarakat karena dapat dilakukan dimana saja dengan alat yang relatif mudah didapatkan. Alat pasung yang digunakan pun sangat beragam antara satu daerah dengan daerah lain. Umumnya hukuman pasung dilaksanakan sebagai pengganti penjara. Seseorang dihukum pasung karena berbagai sebab, antara lain prostitusi, kriminal biasa, maupun gangguan jiwa. Klien gangguan jiwa yang dihukum pasung biasanya disebabkan karena stigma, diskriminasi,
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
pemahaman yang salah, serta belum adanya peraturan yang benar-benar melindungi mereka. Mereka dipasung karena dianggap membahayakan keluarga. masyarakat.dan lingkungan sekitarnya. Pada studi pendahuluan ditemukan alasan lain keluarga melakukan tindakan pasung karena tidak tabu cara merawat klien di rumah dan juga tidak mengetahui alternatif lain untuk menangani klien gangguan jiwa.
Di Indonesia, kata pasung mengacu kepada pengekangan fisik atau pengurungan terhadap pelaku kejahatan, orang-orang dengan gangguan jiwa, dan yang melakukan tindak kekerasan yang dianggap berbahaya (Broch, 200 I dalam Minas & Diatri, 2008). Pengekangan fisik jelas merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Philippe Pinel dianggap sebagai orang pertama yang berjasa dalam melepaskan para klien gangguan jiwa yang dirantai di Rumah Sakit Bicetre and Salpetriere di Paris pada akhir abad ke-I8 (Beech, 2003, dalam Minas & Diatri, 2008). Namun demikian tindakan ini masih terus berlangsung sampai dengan sekarang baik di rumah sakit jiwa, tempat-tempat penyembuhan berbasis agama dan tempat-tempat lain di seluruh dunia. Beberapa jenis alat pengekangan meliputi rantai/belenggu, tali, kayu, kurungan, dan dikunci dalam ruangan tertutup, dilakukan baik terhadap laki-laki maupun perempuan, usia kanak-kanak sampai dengan lansia (The Times, 2007 dalam Sari, 2009).
Hak hidup dan kebebasan merupakan hak dasar setiap manusia, bahkan untuk seorang penderita gangguan jiwa. Pasung merupakan salah satu tindakan yang merampas kebebasan dan kesempatan mereka untuk mendapatkan perawatan yang memadai, juga merendahkan martabat mereka sebagai manusia karena seringkali saat dipasung mereka tidak diperlakukan sebagaimana layaknya manusia. Hal yang paling memilukan adalah semua tindakan tidak bermartabat dan manusiawi ini masih banyak ditemukan di masyarakat dan dilakukan oleh keluarga yang pada prinsipnya adalah orang yang terdekat dengan klien gangguan jiwa. Sebagai contoh, di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) melalui program CMHN (Community Mental Health Nursing) teridentifikasi sebanyak II9 kasus pasung yang tersebar di II kabupaten/kota (Dinas Kesehatan
Propinsi
Nanggroe
Aceh
Darussalam,
2006).
Menurut
PERSI
(Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia) estimasi jumlah orang yang dipasung sampai dengan saat ini di Indonesia adalah sekitar I3.000-24.000 orang. Menurut Kementrian Kesehatan (2013) berdasarkan hasil Riskesdas pada tahun 20I3
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
ditemukan bahwa proporsi keluarga yang pernah melakukan pemasungan terhadap anggota keluarga yang mengalam i gangguan j i\va sebesar 14,3 persen dan terbanyak dilakukan di wilayah pedesaan
Walaupun keluarga terlihat sebagai tidak memiliki perasaan dalam melakukan tindakan pasung, namun sesungguhnya tindakan ini menimbulkan banyak konflik dalam keluarga, khususnya konflik antara keinginan memasung dan melepas klien dari pasung. Pada studi pendahuluan juga ditemukan tindakan pasung dilakukan karena keluarga tidak berdaya terhadap tekanan masyarakat sekitar yang merasa terancam dengan perilaku klien. Pada dasarnya keluarga tidak ingin memasung klien karena merasa sayang kepada anggota keluarganya tersebut, namun tekanan secara psikis dari lingkungan sekitar yang sudah antipati dengan perilaku klien memaksa keluarga untuk melakukan tindakan pasung. Kondisi ini menimbulkan konflik berat pada keluarga sebelum tindakan pasung dilakukan. Konflik ini terjadi karena pilihan tindakan memasung atau tidak memiliki konsekuensi yang sama beratnya. Dalam hal ini keputusan yang diambil keluarga sebenarnya tidak mudah dan tentunya membutuhkan
proses
yang
cukup
lama
dengan
mempertimbangkan
segala
konsekuensinya.
Pada beberapa kasus, sesungguhnya pasung merupakan tindakan keluarga untuk melindungi anggota keluarganya yang gangguan jiwa dari tindakan anarkis masyarakat sekitarnya. Klien gangguan jiwa kronis yang cenderung agresif seringkali melakukan tindakan yang membahayakan orang lain dan lingkungan, seperti memukul, merusak fasilitas umum, dan marah. Tindakan ini dapat memicu tindakan pembalasan dari orang lain atau masyarakat sekitar yang terkena dampak. Pada akhirnya karena keterbatasan pengetahuan tentang kesehatan jiwa ditambah lagi minimnya fasilitas pelayanan kesehatan jiwa di masyarakat mendorong keluarga untuk mengambil keputusan tindakan pasung. Melalui penerapan terapi Keputusan Perawatan Tanpa Pasung (KPTP), maka diharapkan keluarga memiliki panduan dalam pengambilan keputusan perawatan untuk menyelesaikan masalah klien secara tepat.
Terapi KPTP berfokus kepada membantu keluarga mengidentifikasi dan memutuskan pilihan alternatif penyelesaian masalah perawatan yang tepat sehingga klien dapat
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
pulih dan produktif kembali. Pilihan perawatan yang diharapkan disini adalah perawatan tanpa pasung yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmu kesehatan.
1.1.2 Tujuan Tujuan Umum Setelah mempelajari modul ini perawat diharapkan mampu memberikan terapi KPTP kepada keluarga pasien gangguan jiwa untuk mencegah tindakan pasung oleh keluarga akibat stresor dan stres dalam merawat klien gangguan jiwa.
Tujuan Khusus Setelah mempelajarai modul ini perawat diharapkan mampu: 1.1.2.1. Memahami konsep yang mendasari pelaksanaan terapi KPTP pada keluarga klien gangguan j iwa. 1.1.2.2. Mengaplikasikan terapi KPTP sebagai upaya untuk mencegah tindakan pasung oleh keluarga pada klien gangguan jiwa.
1.1.3. Manfaat Terapi Pengambilan Keputusan Perawatan
Terapi KPTP merupakan terapi jangka pendek yang ditujukan kepada keluarga atau pelaku rawat yang merawat pasien gangguan jiwa di rumah. Terapi ini merupakan salah satu bentuk psikoterapi yang didasarkan pada teori stres adaptasi Roy dan pengambilan keputusan (Fitzpatrick & Whall, 1989; Jannis & Mann, 1979). Stres yang dialami keluarga dengan klien gangguan jiwa khususnya disebabkan karena stresor dari perilaku klien yang mengganggu Iingkungan, seperti: mengamuk dan merusak perabotan. Stres akan mendorong keluarga untuk mengambil keputusan yang seringkali tidak tepat. Teori pengambilan
keputusan
menyatakan bahwa dalam pengambilan keputusan ada Iangkah-Iangkah yang harus dilakukan. Untuk dapat melakukan Iangkah-langkah ini keluarga perlu dibantu dengan panduan Iangkah-Iangkah pengambilan keputusan yang dalam terapi ini berbentuk algoritma. Adapun Iangkah-Iangkah tersebut meliputi: pengenalan masalah, mengidentifikasi alternatif penyelesaian . masalah, mempertimbangkan konsekuensi setiap alternatif penyelesaian masalah dan mengambil keputusan dari alternatif yang ada (Maskay & Juhasz, 1983; Jannis & Mann, 1979). Setelah pengambilan keputusan dapat diambil diharapkan stres yang dialami
keluarga dapat menurun secara signifikan.
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
Terapi KPTP diharapkan dapat membantu keluarga dalam mengidentifikasi alternatif pilihan keputusan dan konsekuensi dari tiap alternatif tersebut sehingga dapat mengambil keputusan perawatan yang tepat. Pada akhirnya diharapkan panduan langkah-langkah pengambilan keputusan dapat memampukan keluarga dalam mengambil keputusan tanpa pasung yang dapat menyelesaikan masalah klien secara tepat. Dampak yang diharapkan setelah keluarga mampu mengambil keputusan yang tepat adalah te1jadi penurunan stres yang membuat keluarga dapat lebih tenang dan fokus dalam merawat keluarganya yang mengalami gangguan j iwa.
1.1.4
Proses pelaksanaan terapi
Terapi KPTP terdiri atas 3 sesi. Setiap sesi akan dilaksanakan selama 30-45 menit. Proses pelaksanaan terapi adalah sebagai berikut: 1.1.4.1 Sesi I: ldentifikasi Masalah Keluarga Memahami tujuan terapi dan algoritma sebagai alat bantu terapi, mengidentifikasi stresor yang dialami dalam merawat klien gangguan jiwa dan stres yang dirasakan akibat stresor tersebut. 1.1.4.2 Sesi 2: Identifikasi respons keluarga terhadap stres Mengidentifikasi respons terhadap stres yang te1jadi akibat stres yang dirasakan selama merawat klien gangguan jiwa. 1.1.4.3 Sesi 3: Pengambilan keputusan Memahami altematif pilihan keputusan perawatan bagi klien gangguan jiwa yang terdapat pada algortima, memahami konsekuensi dari setiap pilihan altematif yang ada, mendorong pengambilan keputusan perawatan tanpa pasung dari alternatif pilihan yang ada
1.1.5 Peran terapis 1.1.5.1 Menjelaskan tujuan terapi dan algoritma sebagai alat bantu terapi, membantu keluarga mengidentifikasi stresor yang dialami dalam merawat klien gangguan jiwa 1.1.5.2 Membantu keluarga mengidentifikasi respons trehadap stres yang dialami akibat stresor selama merawat klien gangguan jiwa 1.1.5.3 Membantu keluarga memahami alternatif pilihan keputusan perawatan bagi
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
klien gangguan jiwa yang terdapat pada algortima, memahami konsekuensi dari setiap pilihan alternatif yang ada, mendorong pengambilan keputusan perawatan tanpa pasung dari alternatif pi! ihan yang ada.
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
BAB2
IMPLEMENTASIPELAKSANAANTERAPIKEPUTUSAN PERAWATAN TANPA PASUNG
2.1. Pengertian Terapi keputusan perawatan tanpa pasung (KPTP) merupakan suatu intervensi yang dilakukan pada keluarga untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam pengambilan keputusan perawatan oleh keluarga bagi klien gangguan jiwa. Terapi ini akan membantu keluarga dalam tahap-tahap pengambilan keputusan sehingga keputusan untuk memberikan perawatan yang tepat dan tanpa pasung dapat menjadi pilihan keluarga dalam menyelesaikan masalah gangguan jiwa yang dialami oleh anggota keluarganya. Terapi ini terdiri dari tiga (3) sesi. Tiap sesinya berlangsung sekitar 30-45 menit.
2.2. Sesi 1: Identifikasi Masalah Keluarga Pada sesi ini terapis membantu keluarga dan representatif masyarakat (kader) untuk mengenali dan mengidentifikasi stresor selama merawat klien gangguan jiwa. Pengenalan masalah membantu keluarga untuk memahami situasi dan kondisi yang sedang dialaminya.
2.2.1 Strategi Pelaksanaan Kegiatan Sesi 1 Tujuan: 1. Keluarga dapat menyebutkan tujuan dari penggunaan algoritma keputusan perawatan Daulima (AKPD) sebagai alat bantu terapi pengambilan keputusan perawatan. 2. Keluarga dapat mengenali masalah/stresor yang dialami selama merawat klien gangguan jiwa di rumah. 3. Keluarga dapat mengidentifikasi masalah/stresor yang dialami selama merawat klien gangguan jiwa di rumah.
Tatanan: 1. Pertemuan dilakukan di salah satu ruangan di rumah keluarga. 2.
Ruangan diusahakan tenang dan tidak panas.
3. Keluarga (pelaku rawat) dan representatif masyarakat (kader) duduk berhadapan dengan terapis.
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
AI at I. Algoritma keputusan perawatan Daulima (AKPD). 2. Format evaluasi proses terapi. 3. Format dokumentasi. 4. Buku kerja keluarga. 5. Alat tulis.
Metode
1. Diskusi. 2. Tanyajawab.
Langkah-Iangkah Kegiatan I. Persiapan a. Membuat kontrak dengan keluarga terkait pelaksanaan terapi: terdiri dari 3 sesi, tiap sesi akan berlangsung selama 30 menit. Keluarga dapat melanjutkan ke sesi berikutnya bila dapat menyelesaikan sesi sebelumnya sesuai kriteria yang telah ditetapkan. b. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan. 2. Orientasi a. Salam teraputik I) Salam dari terapis. 2) Memperkenalkan nama dan nama panggilan terapis. 3) Menanyakan nama dan nama panggilan keluarga. b. Evaluasi/validasi Menanyakan perasaan keluarga saat ini terkait pengalaman merawat klien gangguan jiwa di rumah. c. Kontrak I) Menyepakati pertemuan sesi I. 2) Menjelaskan kontak terapi: a) Lama terapi 30 menit. b) Dilakukan di ruangan yang telah ditetapkan. c) Tujuan topik pertemuan sesi 2: (I) Membantu keluarga memahami tujuan dari terapi pengambilan keputusan perawatan dengan AKPD sebagai alat panduan pengambilan keputusan.
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
(2) Membantu keluarga mengenali stresor yang dialami selama merawat klien dengan gangguan jiwa. (3) Membantu keluarga
mengidentifikasi stresor yang dialami
selama
merawat kl ien dengan gangguan j iwa. 3. Kerja a. Menjelaskan tentang AKPD yang menjadi alat bantu terapi. b. Mendiskusikan bersama keluarga tentang masalah atau stresor yang dialami selama merawat klien gangguan jiwa di rumah. c. Membantu keluarga mengidentifikasi masalah atau stresor yang sering dihadapi selama merawat klien. d. Mendiskusikan bersama keluarga perasaan yang muncul akibat masalah yang dihadapi.
4. Terminasi a. Evaluasi I) Menanyakan perasaan keluarga setelah selesai berdiskusi. 2) Mengevaluasi kemampuan keluarga dalam: a) Memahami AKPD. b) Mengenali masalah atau stresor dalam merawat klien gangguan jiwa di rumah. 3) Memberikan umpan balik positif atas kemampuan keluarga. b. Tindak lanjut Mencatat pada buku kerja masalah atau stresor dan perasaan Iainnya yang belum disebutkan selama sesi I berlangsung. c. Kontrak yang akan datang I) Menyepakati topik percakapan sesi 2 yaitu keluarga mampu mengidentifikasi. respons terhadap stres yang dialaminya selama merawat klien gangguan jiwa di rumah. 2) Menyepakati waktu dan tempat untuk pertemuan sesi 2.
Evaluasi dan Dokumentasi Evaluasi dilakukan selama proses terapi
berlangsung, khususnya pada fase kerja.
Dokumentasi dilakukan segera setelah sesi terapi selesai dilaksanakan.
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
Format Evaluasi Proses Sesi 1: ldentifikasi masalah keluarga No.
Skor
Aspek Yang Dinilai
I.
Kemampuan menjelaskan fungsi algoritma.
2.
Kemampuan mengenali masalah/stresor yang dihadapi.
3.
Kemampuan mengidentifikasi masalah/stresor yang sering dialami.
4.
Kemampuan mengenali perasaan yang muncul akibat masalah/stresor yang dialami. Total
Petunjuk Penilaian: I. Beri skor 0 bila: aspek tersebut diatas tidak dilakukan. 2. Beri skor I bila: aspek tersebut diatas dilakukan.
Catatan: I. Bila total skor <:: 3: kel uarga d~at mel anj utkan ke sesi beri kutnya.
2. Bilatotal skor ::;2: keluargamengulangsesi 1.
2.3 Sesi 2: Identifikasi respons keluarga terhadap stres Setelah keluarga memahami stresor yang sering dialami selama merawat klien gangguan jiwa, pada sesi ini keluarga dibantu untuk memahami respons terhadap stres yang dirasakan akibat stresor yang dialami. Pemahaman respons adalah Jangkah awal untuk membantu kelurga untuk mengambil keputusan.
2.3.I Strategi Pelaksanaan Kegiatan Sesi 2 Tujuan: I. Keluarga dapat mengenali respons terhadap stres yang dialami akibat stresor selama merawat klien gangguanjiwa di rumah. 2. Keluarga dapat mengidentifikasi respons terhadap stres yang dialami akibat stresor selama merawat klien gangguanjiwa di rumah.
Tatanan: I. Pertemuan dilakukan di salah satu ruangan di rumah keluarga.
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
2. Ruangan diusahakan tenang dan tidak panas. 3. Keluarga (pelaku rawat) dan representatif masyarakat (kader) duduk berhadapan dengan terapis.
AI at
I. AKPD. 2. Format evaluasi proses terapi. 3. Format dokumentasi. 4. Buku kerja keluarga. 5. Alat tulis.
Metode I. Diskusi.
2. Tanyajawab.
Langkah-langkah Kegiatan I. Persiapan a. Mengingatkan kontrak yang telah dibuat pada sesi sebelumnya. b. Mempersiapkan alat dan tempat penemuan. 2. Orientasi a. Salam teraputik I) Salam dari terapis. 2) Mengingatkan nama dan nama panggilan terapis. b. Evaluasi/validasi I) Menanyakan masalah/stresor dan perasaan lain yang teridentifikasi yang belum didiskusikan pada sesi I. 2) Memeriksa buku kerja. c. Kontrak I) Menyepakati pertemuan sesi 2. 2) Menjelaskan kontak terapi: a) Lama terapi 30 menit. b) Dilakukan di rwmgan yang telah ditetapkan. c) Tujuan topik pertemuan sesi 2:
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
(I)
Membantu keluarga mengenali respons terhadap stres yang dialami keluarga akibat stresor selama merawat klien gangguanjiwa di rumah.
(2)
Membantu keluarga mengidentifikasi respons terhadap stres yang yang dialami keluarga akibat stresor selama merawat klien gangguan jiwa di rumah.
3. Kerja a. Mendiskusikan bersama keluarga tentang respons terhadap stres yang yang muncul atau dirasakan akibat stresor selama merawat klien gangguan jiwa di rumah. b. Membantu keluarga mengidentifikasi respons yang sering muncul atau dirasakan. c. Mendiskusikan perasaan yang muncul akibat respons terhadap stres yang dialami.
4. Terminasi a. Evaluasi 1)
Menanyakan perasaan keluarga setelah selesai berdiskusi.
2)
Mengevaluasi kemampuan keluarga dalam: a) Mengenali respons yang dialami akibat stres selama merawat klien gangguan jiwa di rumah. b) Mengidentifikasi respons yang sering dialami akibat stres selama merawat klien gangguanjiwa di rumah. c) Mengenali perasaan yang muncul akibat respons terhadap stres yang dialami keluarga. d) Memberikan umpan balik positifatas kemampuan keluarga.
b. Tindak lanjut Mencatat pada buku kerja respons terhadap stres dan perasaan lainnya yang belum disebutkan selama sesi 2 berlangsung. c. Kontrak yang akan datang I) Menyepakati topik percakapan sesi 3 yaitu keluarga mampu mengambil keputusan perawatan tanpa pasung yang tepat bagi klien gangguan jiwa. 2) Menyepakati waktu dan tempat untuk pertemuan sesi 3.
Evaluasi dan Dokumentasi Evaluasi dilakukan selama proses terapi berlangsung, khususnya pada fase kerja. Dokumentasi dilakukan segera setelah sesi terapi selesai dilaksanakan.
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
Format Evaluasi Proses Sesi 2: ldentifikasi respons keluarga terhadap stres Skor
No.
Aspek Yang Dinilai
I.
Kemampuan mengenali respons yang dialami akibat stres selama merawat klien.
2.
Kemampuan mengidentifikasi respons terhadap stres yang sering dialami.
3.
Kemampuan mengenali perasaan yang muncul akibat respons terhadap stres yang dialami. Total
Petunjuk Penilaian: 1. Beri skor 0 bila: aspek tersebut diatas tidak dilakukan. 2. Beri skor 1 bila: aspek tersebut diatas dilakukan.
Catalan: 1. B iIa total skor ;: :; 2: kel uarga dGl)at mel anj utkan ke sasi beri kutnya.
2. Bi Ia total skor :::; 1: kel uarga mengul ang sesi 1.
2.4 Sesi 3: Pengambilan keputusan Setelah keluarga memahami stresor yang sering dialami selama merawat klien gangguan jiwa dan respons terhadap stres yang muncul stresor tersebut, pada sesi ini keluarga dibantu untuk mengambil keputusan. Pengambilan keputusan didorong setelah keluarga dibantu untuk memahami alternatifpilihan keputusan beserta konsekuensinya.
2.4.1 Strategi Pelaksanaan Kegiatan Sesi 3 Tujuan: 1. Keluarga dapat memahami alternatif perawatan yang ada pada algoritma. 2. Keluarga dapat memahami konsekuensi dari setiap alternatifyang ada. 3. Keluarga
dapat
memutuskan
pilihan
alternatif perawatan
tanpa
menyelesaikan masalah perawatan klien gangguanjiwa.
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
pasung
untuk
Tatanan: I. Pertemuan dilakukan di salah satu ruangan di rumah keluarga.
2. Ruangan diusahakan tenang dan tidak panas. 3. Keluarga (pelaku rawat) dan representatif masyarakat (kader) duduk berhadapan dengan terapis.
AI at
1. AKPD. 2. Format evaluasi proses terapi. 3. Format dokumentasi. 4. Buku kerja keluarga. 5. Alat tulis.
Metode 1. Diskusi. 2. Tanya jawab.
Langkah-langkah Kegiatan 1. Persiapan a. Mengingatkan kontrak yang telah dibuat pada sesi sebelumnya. b. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan. 2. Orientasi a. Salam teraputik I)
Salam dari terapis.
b. Evaluasi/validasi I)
Menanyakan masalah/stresor dan perasaan lain yang teridentifikasi yang belum didiskusikan pada sesi 2.
2)
Menanyakan respons terhadap stres dan perasaan lain yang teridentifikasi yang belum didiskusikan pada sesi 2.
3) Memeriksa buku kerja. c. Kontrak I)
Menyepakati pertemuan sesi 3.
2)
Menjelaskan kontak terapi: a) Lama terapi 30 menit.
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
b) Dilakukan di ruangan yang telah ditetapkan. c) Tujuan topik pe11emuan sesi 3: (I) Keluarga dapat memahami alternatil'perawatan yang ada pada AKPD.
(2) Keluarga dapat memahami konsekuensi dari setiap alternatifyang ada. (3) Keluarga dapat memutuskan pilihan alternatif perawatan tanpa pasung untuk menyelesaikan masalah perawatan klien gangguan j iwa.
3. Kerja a. Mendiskusikan bersama keluarga alternatif perawatan yang ada pada AKPD. b. Mendiskusikan bersama keluarga konsekuensi dari setiap alternatifyang ada. c. Membantu keluarga mengambil keputusan alternatif perawatan tanpa pasung yang tepat dari pilihan yang ada. d. Mendiskusikan perasaan yang muncul setelah mampu mengambil
keputusan
perawatan tanpa pasung yang tepat.
4. Terminasi a. Evaluasi 1) Menanyakan perasaan keluarga setelah selesai berdiskusi
2) Mengevaluasi kemampuan keluarga dalam: a) Mengenali memahami alternatifperawatan yang ada pada AKPD. b) Memahami konsekuensi dari setiap alternatif perawatan yang ada. c) Mengambil keputusan perawatan tanpa pasung yang tepat. d) Mengenali perasaan yang muncul setelah mampu mengambil keputusan perawatan tanpa pasung yang tepat. e) Memberikan umpan balik positifatas kemampuan keluarga. b. Tindak lanjut Mencatat pada buku kerja konsekuensi lainnya yang belum disebutkan selama sesi 3 berlangsung. c.
Kontrak yang akan datang 1) Mengakhiri pertemuan terapi KPTP.
Evaluasi dan Dokumentasi Evaluasi dilakukan selama proses terapi berlangsung, khususnya pada fase kerja. Dokumentasi dilakukan segera setelah sesi terapi selesai dilaksanakan.
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
Format Evaluasi Proses Sesi 3: Pengambilan Keputusan No.
Skor
Aspek Yang Dinilai
I.
Kemampuan memahami alternatifpilihan perawatan
2.
Kemampuan mmemahami konsekuensi dari pilihan perawatan
3.
Kemampuan mengambil keputusan pilihan perawatan tanpa pasung yang tepat
4.
Kemampuan mengenali perasaan yang muncul setelah pengambilan keputusan perawatan tanpa pasung yang tepat
Total
Petunjuk Penilaian: I. Beri skor 0 bila: aspek tersebut diatas tidak dilakukan 2. Beri skor I bila: aspek tersebut diatas dilakukan
Catalan: I. Bila total skor 2:: 3: kel uarga dcpat mel anj utkan ke sesi beri kutnya
2. Bi Ia total skor ::; 2: kel uarga mengul ang sesi 1
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
BAB3
PENUTUP Stres akibat merawat klien gangguan jiwa akan mendorong keluarga untuk mengambilan keputusan untuk mengatasi stresnya. Dibutuhkan panduan yang tepat agar keluarga dapat memutuskan perawatan yang tepat yang dapat menyelesaikan masalah kesehatan j iwa klien.
Terapi KPTP adalah terapi jangka pendek yang membekali keluarga dengan pemahaman terhadap stresor yang dihadapi, respons terhadap stres yang dirasakan dan alternatif penyelesaian masalah dalam menghadapi stres dan membantu dalam pengambilan keputusan perawatan tanpa pasung yang tepat sebagai upaya penyelsaian masalah kesehatan jiwa klien.
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
DAFTAR PUST AKA Badan Pembangunan Nasional. (2008) .Jwnlah penduduk. Diambil pada tanggal 23 Oktober 2009 dari http://www.bappenas.go.id. Chandra, L. (2000) Pelayanan kesehatanjiwa. Diambil pada 12 Desember 2009 dari http://idionline.org/infoidi-isi.php?news id=766. Corrigan, P.W., Watson, A.C., dan Miller, F.E. (2006) Blame, shame, and contamination: the impact of mental illness and drug dependence stigma on family members. Journal of Family Psychology, 20 (2), 239-246. Depkes RI: Pusat Penelitian dan Perkembangan. (2008) Riset kesehatan dasar 2007. Diambil pada 26 Februari 2009 dari http://www.litbang.go.id. Dinas Kesehatan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. (2006) Monitoring dan evaluasi: program kesehatan keluarga dan gizi paska tsunami tahun 20005-2006. Nanggroe Aceh Darussalam: tidak dipublikasikan. Djatmiko. (2007) Berbagai indikator taraf kesehatan jiwa masyarakat. Diambil pada tanggal 20 Oktober 2009 dari http://www.pdskjijaya.com. Fitzpatrick, J .J dan Whall, A.L. (1989) Conceptual models of nursing: analysis and application. 2nd ed. California: Appleton & Lange. Irmansyah. (2006) Alokasi dana untuk penyakit jiwa hanya 1%. Diambil pada tanggal 22 Oktober 2009 dari http://www.depkes.go.id. Janis, I. and Mann, L. (1979). Decision making: a psychological analysis of conflict, choice, and commitment. New York:, The Free Press-Macmillan Inc. Kaplan & Sadock. (2007) Sinopsis psikiatri: ilmu pengetahuan psikiatri klinis. Gilid 1). Jakarta: Bina Rupa Aksara. Maramis, W.F. (2006) Catalan ilmu kedokteranjiwa. Surabaya: Airlangga University Press Margiyono (2007) Dari iron meiden sampai hukum cambuk. Diambil pada tangga18 Juli 2007 dari http://www.vhrmedia.com/vhrcorner/mtikeletail.php? .g=corner&.s=artikel&.e=21. Maskay, M.H. & Juhasz, A.M. (1983) The decision-making process model: design and use for adolescent sexual decisions. Family Relations, 32, 1, 111-116. Minas, H & Diatri, H. (2008) Pasung: pshysical restraint and confinement of the mentally ill in the community. International Journal of Mental Health Systems Diambil pada tanggal 30 Januari 2009 dari http://www.ijmhs.com/content/2/1/8. Notoatmodjo, S. (2003) Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta: Rir.:.ka Cipta.
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.
Setiawan, P. (2008) S3atnya 'care' pada penderita gangguan jiwa. Diambil pada tanggal 22 Oktober 2009 dari http://wwv-i.lampunt>.post.eom. Stumt, G.W. & Laraia (2005) Principles and practice Missouri: Elsevier Mosby.
ol p.\ychiatric nursing. (8th ed).
Stuart, G.W. (2009) Principles and practice of psychiatric nursing. (9th ed). Missouri: Elsevier Mosby. Townsend, M.C. (2009) Psychiatric mental health nursing: concept of care in evidence based practice. Philadelphia: Davis Company. Varcarolis, E.M. (2006) Psychiatric nursing clinical guide: assessment tools and diagnosis. Philadelphia: W.B Saunders Co Videbeck, S.L. (2008) Buku ajar keperawatanjiwa. Jakarta: EGC. WHO (2001) The world health report 2001-mental health: new understanding, new hope. Diambil pada tanggal 23 Oktober 2009 dari: http://www.who.int/whr/2001/en/whr01 en.pdf?ua=J. WHO. (2007) The lancet. London: Elseiver Properties SA
Proses pengambilan...., Novy Helena Catharina Daulima, FIK UI, 2014.