PEMBERDAYAAN PASIEN DAN KELUARGA GANGGUAN JIWA DI INDONESIA1
M.A. Subandi Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta
Di beberapa negara maju seperti negara-negara di Amerika utara dan Eropa, telah banyak muncul beberapa kelompok mantan pasien gangguan jiwa, yang menyebut diri mereka sebagai Consumer (maksudnya adalah pengguna dari jasa pelayanan kesehatan jiwa yang disediakan oleh rumah sakit). Mereka bahkan telah mencangkan sebuah gerakan (consumer movement) yang ingin memperbaiki kondisi pasien dan mantan pasien gangguan jiwa. Hal ini diikuti oleh gerakan keluarga mereka yang juga ingin memperbaiki bagaimana pemahaman dan penerimaan masyarakat terhadap pasien gangguan jiwa. Dalam paper ini saya akan menyajikan latar belakang dan riwayat munculnya gerakan mantan pasien (consumer movement) dan gerakan keluarga pasien (family movement). Di bagian akhir makalah ini saya akan melihat bagaimana kemungkinan gerakan ini diterapkan di Indonesia dalam kaitannya dengan usaha menurunkan stigma diri keluarga yang memiliki salah satu anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa
1
th
Paper dipresentasikan dalam 6 National Conference on Schizophrenia: Lighting the Hope towards Recovery, Jakarta, 14-16 October 2010
1
Pemberdayaan Pasien
Pandangan bahwa schizophrenia adalah sebuah penyakit yang tidak dapat disembuhkan tidak hanya mendominasi di antara kalangan profesional di bidang kesehatan mental. Pandangan serupa juga telah terbentuk sebagai sikap komunitas terhadap penderita gangguan mental. Hal ini telah membentuk stigma dan konstruk pemahaman sosial mengenai apa yang dimaksud dan makna dari schizophrenia. Sementara itu, pasien sangat termarjinalisasi atau terkucilkan dari sistem (McGorry, 1995). Pandangan pesimistik dan dominan di kalangan psikiater ini telah menstimulasi munculnya reaksi keras pada mantan pasien sepanjang sejarah. Termasuk diantaranya memunculkan isu pemberdayaan pasien. Para mantan pasien tersebut belakangan ini membentuk sebuah gerakan yang disebut sebagai gerakan konsumen (consumer-survivor movement). (Istilah ‗konsumen‘ digunakan untuk mendeskripsikan mereka yang menderita gangguan mental; ini digunakan karena, sebagai ‗konsumen‘ atas berbagai pelayanan kesehatan dan sosial, mereka harus dilibatkan dalam pengembangan dan manajemen pelayanan-pelayanan tersebut, sekaligus juga penelitian-penelitian mengenainya). Sepanjang sejarah psikiatri, telah terdapat para mantan pasien yang mengangkat mengenai hak mereka dan mengenai penanganan individual yang berlawanan dengan pandangan dominant di kalangan profesional di bidang kesehatan mental. Pada pertengahan abad ke-19, Elizabeth Packard, pendiri An-Insane Asylum Society, mempublikasikan sebuah kisah mengenai pemaksaan dirinya untuk menjalani perawatan di rumah sakit yang dilakukan oleh suaminya (Schiff, 2004). Pada 1935, Clifford Beers, mendokumentasikan kisah mengenai penanganan buruk yang diterimanya di rumah sakit jiwa. Hal ini kemudian diikuti
2
oleh publikasi Memoirs of My Nervous Illness oleh Daniel Paul Schreber pada tahun 1955 (Davidson, 2003). Gerakan konsumen (consumer movement) yang ada saat ini dimulai pada tahun 1970an ketika sekelompok kecil mantan pasien, membentuk organisasi di seluruh Amerika Serikat. Beberapa kelompok konsumen yang tercatat antara lain Survivors Speak Out, the National Self-Harm Network, the Hearing Voices Network, Mad Pride, dan Mad Women. Kelompok-kelompok ini terinspirasi oleh gerakan kebebasan kaum kulit hitam, gerakan liberalisasi gay, dan liberalisasi perempuan, sehingga mereka juga ingin ―membebaskan‖ para penderita gangguan mental. Kemunculan berbagai macam kelompok pengguna secara luas telah menjadi salah satu perkembangan yang paling penting dalam pelayanan kesehatan mental selama 15 tahun terakhir. Ada beberapa agenda yang dilakukan oleh kelompok gerakan konsumen ini. Mereka berusaha menghilangkan stigma dengan mengubah pendapat publik mengenai gangguan mental. Hal paling praktis yang mereka lakukan adalah dengan mengubah istilah medis ―pasien‖ menjadi sebuah istilah baru yaitu ―konsumen‖. Schiff (2004) yang juga merupakan salah satu anggota kelompok tersebut mendeskripsikan bagaimana istilah ‗consumer‘ ini muncul. Pada tahun 1970-an ketika orang-orang yang merupakan mantan ―pasien‖ mulai berkumpul bersama dan berbagi pengalaman mereka, mereka menyebut diri mereka sebagai ―experience-patient‖ (pasien berpengalaman)
atau or “former patients (mantan pasien).
Beberapa menggunakan ―psychiatric inmate‖ untuk memperjelas ketidakpuasan mereka atas cara penanganan yang mereka peroleh dari para tenaga medis profesional. Di California istilah netral ―client‖ (klien) lebih disenangi. Pada 1980-an istilah ―consumer‖ digunakan oleh tenaga medis profesional dan kelompok keluarga, untuk menghindari pelabelan dan stigma. Istilah ―survivor‖ digunakan oleh ―konsumen‖
berdasarkan pada fakta bahwa 3
konsumen telah ―selamat‖ dari penanganan psikiatris yang dipaksakan dan menganggap diri mereka telah mengalami pemulihan (recovery). Di Inggris istilah ―service user‖ (pengguna layanan) digunakan di kalangan profesi kesehatan mental sebagai kebalikan dari ―service provider‖ (penyedia layanan). Shifft (2004) menyatakan bahwa penggunaan bahasa ini adalah lebih dari sekedar semantik. Hal ini telah terbentuk ke dalam identitas personal dan sosial mereka. Ini juga berarti sebagai penguatan dan masuknya ―konsumen‖ di dalam sistem kesehatan mental. Hal ini sejalan dengan prinsip utama dari gerakan pemberdayaan pasien (empowerment), selfhelp, dan advokasi (Schiff, 2004). Self-help telah menjadi sebuah elemen penting dalam proses pemulihan. Banyak diantaranya telah mampu berpartisipasi dalam kelompokkelompok konsumer Gerakan konsumen ini mengungkapkan sebuah suara baru bagi para konsumen untuk berbicara mengenai pengalaman mereka dan untuk menjadikan pelayanan keehatan mental berpihak pada mereka sehingga mereka dapat membantu para konsumen yang lain. Selain itu mereka juga berusaha untuk mempengaruhi kebijakan struktural dan desain program pelayanan kesehatan (Anthony, 2000). Dikarenakan gerakan konsumen mengangkat mengenai potensi bahaya yang disebabkan oleh profesi kesehatan mental, mereka secara aktif mampu mengubah kegiatan praktis para profesional. Mereka juga memainkan sebuah peran yang sangat berpengaruh dalam pembentukan kebijakan pemerintah mengenai sistem pelayanan kesehatan mental. Menurut Davidson (2003) model advokasi inilah yang membedakan gerakan konsumen masa kini dengan gerakan konsumen sebelumnya. Gerakan konsumen telah menjadi sebuah politik kolektif yang kuat dalam mempengaruhi kebijakan kesehatan mental di Amerika. Moto mereka diadopsi dari gerakan Disability Rights Movement yang lebih besar, yaitu frasa ―Tidak ada hal mengenai Kami tanpa kami‖ 4
(“Nothing about Us without us”). Gerakan ini pada akhirnya mendapatkan pendukung yang cukup. Gerakan ini dimulai dengan memaksa masyarakat untuk mengkaji dan menegosiasi kembali pelayanan kesehatan mental
yang tersedia
pemberdayaan pasien yang digunakan oleh
(Schiff, 2004). Di Inggris, model
para profesional adalah dengan menghargai
mantan pasien sebagai seorang ‗experts in their own experience’ (ahli dalam pengalamannya sendiri) (Roberts, 200), sehingga mereka diberi kesempatan untuk terlibat dalam pelayanan kesehatan mental. Sejumlah konsumen bahkan juga mendapatkan pelatihan profesional sebagai psikolog atau psikiater sebagai bagian dari proses penyembuhan mereka. Para konsumen yang menjadi profesional sebagai ―prosumers‖. Diantara para prosumer yang aktif menulis berbagai artikel maupun berbicara dalam berbagai forum adalah Deegan, Koehler, Fisher adalah di antara para prosumers. Mereka menjadi sumber daya manusia yang paling berharga bagi gerakan dan pemberdayaan pasien (Schiff, 2004). Usaha yang dilakukan oleh kelompok konsumen untuk memodifikasi sistem kesehatan mental terlihat sukses. Di AS dan UK mereka telah mempengaruhi pembuat kebijakan untuk mendengarkan keinginan mereka. Didukung dengan bukti ilmiah dan pengalaman mereka dalam proses penyembuhan, gerakan konsumen telah mengadvokasikan sebuah perpindahan menuju ke pendekatan orientasi penyembuhan (recovery oriented approach) pada rehabilitasi. Anthony (1993) telah mendeskripsikan bagaimana minat pada ‗pemulihan‘ (recovery) muncul sebagai sebuah pandangan panduan bagi pelayanan kesehatan mental di AS selama tahun 1990an. Di UK, Department of Health memiliki program Expert Patients Programme (Roberts, 2000). Terdapat juga peningkatan konvergensi antara perspektif yang dipengaruhi oleh pengguna (user-led perspective) dan kebijakan kesehatan mental yang juga tercermin dalam panduan klinis untuk schizophrenia yang belakangan ini dipublikasikan oleh National Institute for Clinical Excellence yang ternyata paralel dengan 5
apa yang telah diidentifikasikan oleh pengguna layanan di AS sebagai praktik recoveryoriented yang paling penting. Pandangan mengenai praktik recovery-oriented juga muncul di negara lain seperti New Zealand. Pada sebuah pusat pelayanan yang berorientasi recovery-based, pelatihan staf memfokuskan pada pengalaman nyata. Selama sesi pelatihan, para tenaga kesehatan mental seringkali mengungkapkan pengalaman pribadi mereka selama mereka mengalami gangguan mental. Dengan demikian dalam pelatihan terebut
peserta lebih memfokuskan pada
kehidupan nyata dan tidak terlalu melebih-lebihkan gangguan. Juga ada perubahan pada penggunaan bahasa dan penekanan yang lebih besar pada hal-hal yang penting bagi pasien, yaitu tempat tinggal yang aman dan memuaskan, kecukupan uang, hubungan yang penuh dukungan, serta pekerjaan dan aktivitas yang penuh makna. Gerakan pemberdayaan konsumen tidak hanya bergerak di bidang pratis saja, tetapi juga berusaha untuk merubah teori-teori ilmiah mengenai gangguan mental, terutama pandangan pesimistis bahwa schizophrenia tidak dapat disembuhkan. Didukung oleh beberapa psikiater yang skeptis terhadap pandangan Kraeplin, sejumlah konsumen memulai untuk menuliskan pengalaman pribadi dan mempublikasikan pengalaman langsung dari tangan pertama para konsumen yang telah sembuh (Lieberman & Kopelowics, 2002). Kisahkisah kehidupan pribadi mereka juga telah banyak muncul dalam jurnal-jurnal ilmiah ternama, seperti Schizophrenia Bulletin, Psychiatric Services, Psychiatric Rehabition Journal and Psychiatric Rehabilitation Skill. Bahkan Schizophrenia Bulletin telah menerbitkan satu edisi khusus yang memuat berbagai pengalaman-pengalaman para konsumen ketika mereka menderita gangguan jiwa. Pengalaman-pengalaman tersebut telah menjadi fondasi bagi gerakan pelayanan kesehatan mental yang berorientasi pada kesembuhan (recovery movement) di Amerika (Lieberman & Kopelowics, 2002), memunculkan pentingnya untuk 6
‗keluar dari anggapan umum, pandangan semu dan generalisasi yang sempit…. Dan bergerak menuju kenyataan empiris yang didukung oleh validasi sebuah konsep operasional mengenai kesembuhan‘ (hal. 245). Sementara itu, konsumen juga mengkritisi kriteria medis bahwa kesembuhan merupakan hal yang tidak mungkin; bahwa hal tersebut hanyalah mitos belaka (Whitwell, 1999). Pandangan medis seringkali dikritik sebagai terlalu mefokus diri pada penyakit, menerapkan kriteria reduksi biologis yang kontradiktif dengan model konsumen yaitu person-centered focus (Ralph, dkk., 2002). Robert & Wolfson (2004) membandingkan nilai-nilai dan bahasa pada pandangan-pandangan tersebut, yang menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan diantara keduanya, seperti yang ditunjukkan dalam tabel berikut ini. Tabel 1 Perbedaan konsep, bahasa, dan nilai-nilai antara model medis dan konsumen Model Medis Model Konsumen Psikopatologi Menekankan pada pengalaman Patografi Biografi Anti-penyakit Pro-kesehatan Berbasis pada penanganan Berbasis pada kekuatan Dokter dan pasien Para ahli karena pengalaman Diagnosis Makna personal Pengenalan Pemahaman Bebas nilai Berpusat pada nilai Ilmiah Humanistik Penanganan (tritmen) Perkembangan dan penemuan Kepatuhan Pilihan Berdasarkan hasil meta Bermodelkan para pahlawan analisis (tokoh) Uji coba random terkontrol Dipandu oleh narasi Kembali ke normal Transformasi Dikoordinasi oleh penanganan Manajemen diri ahli di bawah kontrol seseorang Kontrol diri Kewenangan profesional Tanggung jawab personal Dekontekstualisasi Di dalam konteks sosial Sumber: Roberts & Wolfson (2004, hal.40)
7
Belakangan ini, kedua pemahaman yang kontradiktif antara pandangan medis dan pandangan konsumen mengenai kesembuhan tampaknya mulai menunjukkan titik temu. Di kalangan medis, Lieberman & Kopowitz (2002) menyebutkan indikator-indikator kesembuhan subjektif (harapan, kontrol diri, otonomi)—yang banyak digunakan oleh pendukung gerakan konsumen—sebagai pendukung indikator-indikator objektif (reduksi gejala, fungsi sosial). Mereka berusaha untuk mengkombinasikan konsep kesembuhan sebagai ‗hasil akhir‘ yang banyak diterapkan di kalangan medis dan konsep kesembuhan dalam pandangan konsumen, yaitu sebagai suatu ‗proses‘. Atribut-atribut subjektif tersebut dianggap sebagai ‗mediasi proses yang mengarah pada terjadinya kesembuhan‘ (hal. 247). Sejalan dengan hal tersebut, dipihak kelompok konsumen juga berusaha memenuhi tuntutan pandangan medis yaitu untuk memvalidasi konsep-konsep kesembuhan dari sudut pandang subjektif konsumen dengan mengujinya secara empiris (Resnick, dkk., 2004)
Pemberdayaan Keluarga Dalam gerakan pemberdayaan, konsumen ternyata tidak sendirian. Mereka juga didukung oleh anggota keluarga mereka. Ini mengingat bahwa dampak gangguan jiwa tidak hanya dialami oleh penderita saja, tetapi juga anggota keluarga mereka. Beban psikis dan sosial ekonomis keluarga sangat besar. Salah satu diantaranya adalah stigma terhadap keluarga. Oleh karena itu sejumlah anggota keluarga dari para penderita gangguan jiwa mendirikan the National Alliance for Mentally Ill (NAMI). Dalam perkembangan selanjutnya singkatan NAMI diberi kepanjangan sebagai
The National Alliance on Mental Ilness
(NAMI). Organisasi ini bertujuan untuk membantu diri mereka sendiri dan anggota keluarga mereka yang mengalami gangguan mental (http://www.nami.org/)
8
NAMI merupakan sebuah organisasi yang unik. Organisasi ini dimulai ketika sejumlah anggota keluarga pasien berkumpul di Madison, Wisconsin, pada September 1979. Meskipun pada saat itu terdapat sejumlah profesional dari kalangan medis juga hadir dalam pertemuan itu, tetapi para pendiri bersikukuh bahwa NAMI adalah sebuah organisasi yang diatur untuk dan oleh keluarga dan konsumen. Tidak ada campur tangan pihak professional maupun pemerintah dalam pengambilan kebijakan. Para professional dipersilahkan berpartisipasi sebagai simpatisan. Organisasi NAMI berkembang sangat pesat. Ketika berdiri pada tahun 1979 NAMI hanya terdiri dari sebuah kelompok kecil yang terdiri dari 284 orang. Hanya dalam waktu 10 tahun, anggota mereka telah berkembang menjadi lebih dari 80.00 orang di tahun 1989. Saat ini NAMI sudah memiliki cabang hampir di semua negara bagian di Amerika, (lihat http://www.nami.org). Program yang dilaksanakan antara lain memberikan public education and information. Termasuk di sini adalah membantu konsumen dan keluarganya untuk mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan untuk hidup dengan gangguan jiwa. Mereka juga menyelenggarakan support group yang dilaksanakan family-to-family dan peer-to-peer. Program yang lain adalah awareness and stigma di mana mereka melakukan talk show dan rally untuk mengalang dana dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang gangguan jiwa. Mereka juga memberikan respon tentang stigma yang kurang benar tentang gangguan jiwa dengan menulis di berbagai media masa. Sekaligus juga berusaha meningkatkan pemahaman masyarakat sehingga masyarakat dapat menghargai dan menerima orang yang mengalami gangguan jiwa. Selain itu NAMI juga mempunyai program yang diberi nama State and Federal Support, dimana mereka melakukan berba Dalam hal ini NAMI memang telah memperoleh reputasi sebagai sebuah gerakan yang mempunyai kemampuan lobi yang kuat dan efektif di Kongress Amerika berkaitan dengan kebijakan tentang kesehatan mental agar 9
mereka dapat menghilangkan diskriminasi bagi mantan pasien.
NAMI secara aktif juga
bekerja untuk memodifikasi pengetahuan profesional dan teori-teori ilmiah mengenai gangguan mental. Mereka sangat mendorong dilaksanakannya berbagai penelitian
dan
perubahan system pelayanan kesehatan mental yang lebih komprehensif
Pemberdayaan Pasien dan Keluarga di Indonesia
Di Indonesia sejauh ini belum ada sebuah organisasi atau kelompok mantan pasien gangguan jiwa atau keluarganya. Namun indikasi mengarah ke sana sudah mulai tampak. Misalnya telah muncul beberapa buku yang memberikan gambaran tentang pengalaman menjadi pasien gangguan jiwa. Salah satu diantaranya adalah buku yang berjudul Ratu Adil: Memoar Seorang Schizophrenia yang ditulis oleh Isvandiary (2004). Buku ini mirip dengan beberapa artikel atau buku yang ditulis oleh para konsumen di Amerika yang menggambarkan pengalaman-pengalaman ketika mnjadi pasien gangguan jiwa. Bedanya adalah bahwa tulisan para konsumen di Amerika pada umumnya bertujuan untuk merubah atau memperbaiki system kesehatan jiwa, tetapi buku Isvandiary ini lebih banyak merupakan dokumentasi dari pengalaman pribadi penulis yang pernah mendapat diagnosa sebagai penderita schizophrenia. Di situ digambarkan bagaimana prosesnya penulis mengalami gangguan jiwa, yang diawali dengan persoalan keluarga dimana dia mendapat perlakuan yang tidak semestinya dari suaminya, yang berujung pada perceraian. Bagian yang paling banyak dibahas dalam buku tersebut adalah mengenai berbagai pengalaman penulis ketika mengalami schizophrenia. Bagaimana dia merasa dirinya sebagai ratu adil, sebuah mitologi dalam masyarakat Jawa yang mirip dengan ide Mesiahisme, dimana tokoh tersebut yang akan menyelamatkan masyarakat Jawa darai berbgai persoalan. Selanjutnya penulis merasa 10
bertemu dengan malaikat, tokoh-tokoh spiritual seperti Budha atau tokoh film serial TV dari Cina, yaitu Sun Go Kong. Buku ini sama sekali tidak menyentuh isu bagaiaman pelayanan dari dokter yang diberikan ketika dia menjalani perawatan di beberapa Rumah Sakit Jiwa.
Mantan penderita schizophrenia yang lain yang menulis beberapa buku adalah Bachril Hidayat Lubis yang menulis buku Trilogi Gilakah Aku?. Buku pertama berjudul Aku Sadar Aku Gila (Lubis, 2007). Buku ini menggambarkan proses kesembuhan penulis dari gangguan skizofrenik paranoid yang dideritanya. Sebagai seorang yang mendapat pendidikan tinggi di bidang psikologi dan latar belakang agama yang kuat, proses kesembuhan penulis merupakan perjuangan pribadi yang panjang. Dia banyak menerapkan prinsip dan nilai Islami yang dipadu dengan teknik-teknik psikologi. Misalnya semnagat kesembuhannya itu sendiri ia alami setelah dia merenungkan isi Al Qur‘an surah ar-Rahman dalam shalat Jumat di tahun 2004. Memoar keduanya yang berjudul Aku Tahu Aku Gila (Lubis, 2008). Buku ketiga masih dalam proses penyusunan yang berjudul Aku Bersyukur Aku Gila.
Baik Isvandiary maupun Bachril Hidayat berusaha memberikan gambaran mengenai gangguan jiwa schizophrenia yang mereka derita. Kalau Isvandiary lebih banyak terfokus pada pengalaman schizophrenianya yang penuh dengan delusi dan halusinasi yang unik dan menarik, sehingga mirip sebagai sebuah novel. Sementara itu buku Bachril Hidayat lebih merupakan sebuah refleksi dan renungan-renungan penulis dalam proses kesembuh dari gangguan schizophrenia. Kemungkinan perbedaan itu selain karena latar belakang pendidikan yang berbeda, juga sifat gangguan schizophrenia. Isvandiary mengalami gangguan schizophrenia murni karena faktor psikologis sedangkan Bachril Hidayat karena penyalahgunaan zat psikoaktif.
11
Selain penerbitan buku di atas, indikasi mulai munculnya gerakan pemberdayaan pasien dan keluarga gangguan jiwa adalah adanya keterlibatan keluarga dalam proses terapi yang diberikan pihak rumah sakit. Beberapa RSJ telah menerapkan kegiatan family gathering dimana keluarga diberi psikoedukasi mengenai gangguan jiwa, penyebab dan terapinya. Dalam kesempatan ini keluarga juga mendapatkan kesempatan untuk berbagi pengalaman. Bahkan di Indonesia telah muncul sebuah organisasi yang diberi nama Yayasan Skizofrenia Indonesia (YSI) yang berdiri sejak tahun 2000 (http://yayasan-skizofrenia.grouply.com/) . Dengan moto 'Wadah untuk Memberdayakan dan Berkomunikasi Penderita Skizofrenia dengan Masyarakat' . yayasan ini memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:
Memberdayakan penderita skizofrenia agar dapat memperoleh perhatian, perawatan, dan pengobatan yang layak serta perlindungan hukum melalui kepedulian masyarakat dan pemerintah terhadap hasil karya penderita skizofrenia. Menjadi wadah komunikasi serta saling dukung antar penderita maupun keluarga. Mengurangi stigma yang selama ini ini diberikan oleh masyarakat kepada penderita skizofrenia dengan cara melakukan penyebaran informasi mengenai skizofrenia. Menjembatani komunikasi antar keluarga penderiat dengan dokter atau psikiater. Menjadi sumber informasi bagi siapa saja yang memerlukan informasi mengenai skizofrenia. (http://cybermed.cbn.net.id)
KESIMPULAN Persoalan kesehtan mental merupakan masalah yang komplek, tidak hanya berkaitan dengan para profesional kesehatan jiwa, pasien dan keluarga saja, tetapi juga menyangkut masalah masyarakat yang lebih luas. Terutama masalah stigma dan perlindungan terhadap harkat dan martabat mereka. Di Barat, sejak awal abad 20 beberapa mantan pasien yang pernah dirawat di rumah sakit karena mengalami gangguan jiwa menuliskan berbagai pengalaman mereka. Bahkan di akhir abad 20 mereka telah membentuk lembaga yang terorganisir yang memiliki kemampuan negosiasi yang kuat untuk memperbaiki pelayanan dan kebijakan kesehatan jiwa. Di Indoneisa, hadirnya Yayasan Skisofrenia 12
IndonesiaI memang bertujuan untuk pemberdayaan pasien dan keluarga. Namun organisasi ini dibentuk dan dikelola oleh para profesional kesehatan mental. Akan lebih baik lagi kalau ada sebuah organisasi yang dibentuk sendiri oleh mantan pasien atau kelurga, seperti yang dilakukan oleh NAMI, sebuah organisasi yang diatur untuk dan oleh keluarga konsumen.
DAFTAR PUSTAKA
Anthony, W. A. (1993). Recovery from mental illness: The guiding vision of the mental health service system in the 1990s. Psychosocial Rehabilitation Journal, 16(4), 11-23. Davidson, L. (2003). Living Outside Mental Illness. New York: New York University Press http://www.nami.org/ diakses pada tanggal 5 Oktober 2010 http://yayasan-skizofrenia.grouply.com/ diakses pada tanggal 5 Oktober 2010 http://cybermed.cbn.net.id/cbprtl/common/ptofriend.aspx?x=Health+News&y=cybermed|0|0| 5|49. YSI, Wadah untuk Penderita. Skizofrenia. Diakses pada tanggal 5 Oktober 2010 Isvandiary. (2004). Ratu Adil, Memoar Seorang Skizopren. Yogyakarta: Tinta Liberman, R. P., & Kopelowicz, A. (2002). Recovery from schizophrenia: A challenge for 21 century. International Review of Psychiatry, 14(4), 245-255. Lubis, B.H. (2007) Aku Sadar Aku Gila.Jakarta: Zikrul Hakim Lubis, B.H. (2007) Aku Tahu Aku Gila. Yogyakarta: Pustaka Fahima McGorry, P. D. (1995) Psychoeducation in first-episode psychosis: a therapeutic process. Psychiatry, 58, 313–328 Ralph, R. O., Lambert, D. & Kidder, K.A. (2002). The Recovery Perspective and EvidenceBased Practice for People with Serious Mental Illness: A Guideline Developed for The Behavioural Health Recovery Management Project. http://bhrm.org/guidelines/Ralph%20Recovery.pdf Diakses pada tanggal 3 February 2005 Roberts, G. A. (2000) Narrative and severe mental illness: what place do stories have in an evidence-based world? Advances in Psychiatric Treatment, 6, 432–441
13
Roberts, G. , & Wolfson, P. (2004). The rediscovery of recovery. Advances in Psychiatric Treatment, 10, 37-49. Resnick, S. G., Rosenheck, R. A., & Lehman, A. F. (2004). An exploratory analysis of correlates of recovery. Psychiatric Services, 55(5), 540-547. Whitwell, D. (1999). The myth of recovery from mental illness. Psychiatric Bulletin, 23, 621622.
14