UNIVERSITAS INDONESIA
PERTANGGUNGJAWABAN PERENCANA KONSTRUKSI TERHADAP PENGGUNA JASA DALAM KONTRAK KONSTRUKSI TERKAIT KEGAGALAN BANGUNAN
YOSUA YOSAFAT ANDREE 0906520660
FAKULTAS HUKUM PROGRAM KEKHUSUSAN HUBUNGAN SESAMA ANGGOTA MASYARAKAT DEPOK JANUARI 2013 ABSTRAK
Pertanggungjawaban perencana..., Yosua Yosafat Andree, FH UI, 2013
Nama : Yosua Yosafat Andree Program Studi : Ilmu Hukum Judul : Pertanggungjawaban Perencana Konstruksi Terhadap Perencana Konstruksi Dalam Kontrak Konstruksi Terkait Kegagalan Bangunan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami lebih lanjut perihal pertanggungjawaban pertanggungjawaban seorang perencana konstruksi terhadap kegagalan bangunan bila dikaitkan dengan perjanjian konstruksi yang mengikatnya.. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang bersifat yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder, diantaranya peraturan perundang-undangan, dan buku. Dimana dari hasil penelitian ditemukan bahwa pada dasarnya terdapat 3 hubungan hukum yang mungkin terjadi terhadap perencana konstruksi dalam suatu kontrak konstruksi dan dalam ketiga hubungan hukum tersebut tercipta konsekuensi hukum yang berbeda-beda baik dalam kaitannya dengan tanggung jawab kontraktual maupun tanggung jawab menurut Undang-Undang terkait dengan kegagalan bangunan yang terjadi. Kata kunci
: Pertanggungjawaban, Perencana Konstruksi, Kegagalan Bangunan.
BAB 1 PENDAHULUAN
Pertanggungjawaban perencana..., Yosua Yosafat Andree, FH UI, 2013
5.1
Latar Belakang Pada masa ini Indonesia sedang mengalami perkembangan yang pesat
terutama mengenai masalah pembangunan infrastruktur-infrastruktur yang menjadi sarana bagi kelangsungan perkembangan tersebut. Terkait dengan pembangunan infrastruktur, tindakan tersebut tidak dapat dilakukan oleh sembarangan orang tetapi hanya dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang diberikan izin oleh Undang-Undang Jasa Konstruksi untuk melakukan upaya-upaya pembangunan tersebut. Hal ini tentunya bukan tanpa alasan karena di setiap pembangunan infrastruktur, dari proyek yang paling mudah seperti rumah penduduk di kluster Rumah Sangat Sederhana (RSS) sampai kepada proyek yang rumit seperti gedung pencakar langit ataupun jembatan penyeberangan antar pulau, terdapat banyak aspek yang harus diperhatikan selain aspek estetika dari bangunan tersebut dan aspek-aspek lain tersebut adalah aspek ekonomis, aspek sosial, dan aspek keselamatan. Terkait dengan aspek keselamatan, maka kita akan berbicara mengenai kegagalan bangunan, dimana jelas teringat dalam ingatan kita kejadian-kejadian kegagalan konstruksi yang terjadi belakangan ini seperti runtuhnya Pasar Tanah Abang pada tahun 2009 silam 1 serta runtuhnya jembatan yang membelah Sungai Mahakam di daerah Kutai Kartanegara pada 2011 2 serta kejadian-kejadian lainnya yang tentunya menjadi peringatan bagi kita bahwa ada tanggung jawab yang sangat besar bagi setiap pihak yang turut campur tangan dalam kegiatan usaha jasa konstruksi dan tentunya kejadian semacam itu haruslah dimintakan pertanggung jawabannya kepada pihak-pihak yang oleh karena kesalahan atau kelalaiannya mengakibatkan gagalnya suatu bangunan memenuhi tugasnya terkait aspek keamanan. Oleh karena adanya kerumitan yang sangat tinggi dalam suatu kegiatan usaha jasa konstruksi dan hal ini dikombinasikan pula dengan adanya tanggung jawab hukum yang tinggi sebagai konsekuensi dari aspek keselamatan penggunaan suatu bangunan, hanya pihak-pihak tertentu sajalah yang dapat melakukan usaha tersebut, tetapi juga 1
http://radarlampung.co.id/read/nasional/4001-pasar-tanahabang-ambruk-tiga-tewas, diakses pada tanggal 23 Desember 2012 2
http://regional.kompas.com/read/2011/11/26/17021438/Jembatan.Kutai.Kartanegara. Runtuh, diakses pada tanggal 23 Desember 2012
Pertanggungjawaban perencana..., Yosua Yosafat Andree, FH UI, 2013
hal ini menyebabkan munculnya banyak standar-standar operasional, standar-standar nasional konstruksi (SNI bagi konstruksi), dan standar-standar kontrak yang keberlakuannya bahkan diakui oleh dunia internasional seperti contohnya standar kontrak konstruksi FIDIC (Fédération Internationale des Ingénieurs Conseils). Segala kerumitan sebagaimana telah dijelaskan di atas mengakibatkan sebuah kegiatan jasa konstruksi perlu diatur dalam suatu tatanan hukum baik mengingat bahwa memang hakikat dasar dari hukum yang adalah sebuah instrumen yang selalu menemani manusia dalam setiap langkah kehidupan manusia sejak dahulu kala dan dibuat dengan tujuan untuk mengatur pergaulan hidup secara damai, karena hukum menghendaki perdamaian.3 Selain itu hukum juga bertujuan untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. 4 Tidak hanya itu, urgensi pengaturan kegiatan konstruksi melalui sebuah hukum ini juga dilakukan mengingat pada karakteristik dasar hukum yaitu5: 1. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat. 2. Peraturan tersebut diadakan oleh badan-badan resmi yang wajib. 3. Peraturan itu bersifat memaksa. 4. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tesebut adalah tegas.
Sebagaimana telah dijelaskan pada paragraf di atas, sebuah proyek konstruksi perlu diatur secara tegas. Pengaturan tersebut sejauh ini dilakukan selain melalui peraturan-peraturan umum (publik) terkait konstruksi baik Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah namun juga untuk mengatur hubungan antara para pihak serta mengikat pihak-pihak tersebut dalam suatu hubungan keperdataan dalam suatu proyek konstruksi, dibuatlah juga sebuah kontrak konstruksi. Kehadiran kontrak konstruksi menjadi sangat penting karena hanya dalam kontrak tersebutlah, hubungan keperdataan dalam suatu proyek konstruksi dapat kita telaah dan kita cermati satu demi satu. Tidak hanya itu, bila kita kembali pada pembahasan bahwa aspek keselamatan merupakan salah satu aspek penting yang ingin dilindungi kepentingannya oleh hukum, maka kontrak konstruksi yang di dalamnya disepakati hak dan kewajiban akan bersifat sebagai petunjuk besar dalam 3
L.J. van Apeldoorn. Pengantar Ilmu Hukum. (Jakarta: Pradnya Paramita, 1982) hal.22
4
C.S.T. Kansil, S.H. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1989) hal.40-41 5
Ibid , hal. 39
Pertanggungjawaban perencana..., Yosua Yosafat Andree, FH UI, 2013
menentukan siapakah yang akan bertanggung jawab bilamana terjadi sebuah kegagalan bangunan yang disebabkan oleh gagal berfungsinya sebagian atau seluruh bagian dari suatu bangunan yang merupakan produksi dari suatu usaha jasa konstruksi. Akan menjadi tidak adil bagi pihak yang tidak bersalah untuk dipersalahkan atas runtuhnya suatu bangunan, padahal runtuhnya bangunan tersebut bukan diakibatkan oleh pekerjaan yang menjadi bagiannya. Kontrak konstruksi, sebagaimana kontrak-kontrak lainnya, didasarkan pengaturannya pada ketentuan hukum perikatan dan perjanjian yang dapat ditemukan pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPER) dengan ketentuan dasar bahwa sebuah kontrak hanya dapat sah berlaku apabila dibuat dengan tunduk pada syarat sahnya perjanjian sebagaimana terdapat dalam Pasal 1320 KUHPER sebagai berikut6: 1. Adanya kesepakatan diantara mereka yang mengikatkan dirinya. 2. Adanya kecakapan dari para pihak untuk membuat suatu perikatan. 3. Menyangkut suatu hal tertentu. 4. Suatu sebab yang halal.
Perjanjian berakhir dalam hal terjadinya atau dilakukannya tindakan dan kondisi yang terdapat dalam pasal 1381 KUHPER yang beberapa diantaranya adalah7: 1. Karena pembayaran. 2. Karena pembaharuan utang. 3. Karena perjumpaan utang atau kompensasi. 4. Karena musnahnya barang. 5. Karena kebatalan atau pembatalan. 6. Karena berlakunya syarat batal. 7. Karena lewatnya waktu yang ditentukan dalam perjanjian.
Yang menjadi permasalahan disini adalah, pada dasarnya kontrak konstruksi bukanlah merupakan jenis perjanjian yang secara tegas disebutkan pengaturannya dalam KUHPER sehingga hal ini menimbulkan banyak kerancuan dalam prakteknya, terutama terkait dengan risiko dalam suatu perjanjian bila kita kaitkan dengan aspek 6
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosidibio, cet. 31, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2001), ps. 1320. 7 Ibid., ps. 1381
Pertanggungjawaban perencana..., Yosua Yosafat Andree, FH UI, 2013
keselamatan (dalam hal ini peristiwa kegagalan bangunan). Risiko sendiri adalah kewajiban untuk menanggung kerugian. Menurut pasal 1237 KUHPER, terhadap pemberian suatu barang, sejak lahirnya perjanjian itu barang tersebut sudah menjadi tanggungan orang yang berhak menagih penyerahannya namun bila si berhutang lalai dalam kewajibannya, maka sejak saat itu risiko berpindah di atas pundaknya. Hal ini menjadi sangat penting pada saat pelaksanaan perjanjian karena bila terjadi sesuatu pada objek perjanjian tersebut dan hal itu mengakibatkan kerugian yang besar pada salah satu pihak, maka yang menjadi pertanyaannya kemudian adalah siapakah yang berhak untuk menanggung kerugian tersebut. Sebagai salah satu dari bentuk kegagalan dalam pelaksanaan suatu prestasi, kegagalan bangunan pun masuk kedalam kejadian yang patut diperhitungkan pula sebagai risiko yang harus ditanggung. Walaupun telah diatur secara tegas oleh KUHPER, dalam pelaksanaannya, ajaran mengenai risiko ini masih sering tidak dilaksanakan karena adanya asas kebebasan berkontrak. Oleh karena, adanya permasalahan di atas dimana dapat kita lihat bahwa suatu bidang dengan tanggung jawab hukum yang besar, masih memiliki ketentuan yang dapat menimbulkan kerancuan karena pengaturannya terdapat pada ketentuan yang terpencar dalam Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, serta KUHPER dimana pelaksanaannya sangat bergantung pada teori-teori keperdataan yang belum tentu diketahui oleh semua orang, penulis merasa terpanggil untuk meluruskan segala kerancuan tersebut melalui penulisan ini. Pada penulisan ini penulis akan membahas aspek pertanggung jawaban dalam suatu proyek konstruksi terkait dengan masalah yang paling terkait erat dengan aspek keselamatan yaitu peristiwa kegagalan bangunan dengan didasarkan pada hukum positif yang berlaku beserta dengan teoriteori perjanjian hukum perdata dengan tentunya mempertimbangkan standar-standar kontrak yang berlaku secara internasional seperti standar kontrak konstruksi FIDIC. Untuk mempersempit lahan penelitian, penulis disini membatasi dengan hanya membahas pertanggung jawaban dari pihak yang dapat dikatakan sebagai salah satu pihak sentral dari suatu kegiatan konstruksi yaitu pihak perencana konstruksi dengan suatu pertanyaan utama apakah pihak tersebut dapat dimintakan pertanggung jawaban atau tidak sama sekali dalam hal terjadinya suatu kegagalan bangunan8. 8
Perlu untuk diketahui bahwa kegiatan jasa konstruksi terbagi atas 3 jenis kegiatan yang terdiri atas: 1. Perencanaan Konstruksi.
Pertanggungjawaban perencana..., Yosua Yosafat Andree, FH UI, 2013
5.2
Pokok Permasalahan Dengan melihat uraian-uraian yang telah dikemukakan di atas, maka beberapa
permasalahan yang menjadi inti dari pembahasan ini adalah: 1. Apa saja bentuk-bentuk hubungan hukum yang ada dalam sebuah kontrak konstruksi dan kaitannya dengan perencana konstruksi? 2. Apakah yang dimaksud dengan kegagalan bangunan baik menurut peraturan perundang-undangan Indonesia maupun menurut doktrin? 3. Apakah
seorang
perencana
konstruksi
dapat
dimintakan
pertanggungjawaban dalam hal terjadinya kerugian akibat kegagalan bangunan ?
5.3
Tujuan Penulisan Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan di atas, maka penulisan
skiripsi ini memiliki tujuan yang ingin dicapai.
1.3.1
Tujuan Umum Adapun yang menjadi tujuan umum adalah untuk mengetahui dan memahami
lebih lanjut perihal pertanggungjawaban pertanggungjawaban seorang perencana konstruksi terhadap kegagalan bangunan bila dikaitkan dengan perjanjian konstruksi yang mengikatnya.
1.3.2
Tujuan Khusus
Sedangkan yang menjadi tujuan khusus dari penulisan ini adalah hal-hal berikut ini : 1. Untuk mengetahui keberadaan dan pelaksanaan kontrak konstruksi dalam hukum perikatan Indonesia. 2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk hubungan hukum yang ada dalam sebuah kontrak konstruksi dan kaitannya dengan perencana konstruksi. 3. Untuk mengetahui tentang kegagalan bangunan baik menurut peraturan perundang-undangan Indonesia maupun menurut doktrin.
5.4
Metodologi Penelitian 2. 3.
Pelaksanaan Konstruksi. Pengawasan Konstruksi.
Pertanggungjawaban perencana..., Yosua Yosafat Andree, FH UI, 2013
Sebagai sebuah kegiatan ilmiah, penelitian memiliki metode-metode serta teknik-teknik yang berguna untuk membantu peneliti untuk memaksimalkan baik kemampuan maupun penggunaan data agar hasil penelitian dapat disajikan secara tepat dan lengkap. Sifat dari penelitian yang dilakukan oleh penulis ini adalah normatif, normatif disini maksudnya adalah bahwa penelitian hukum tersebut dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka, nama lain dari penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum kepustakaan.9 Penelitian di dalam makalah ilmiah ini termasuk dalam kelompok penelitian normatif dikarenakan yang menjadi obyek penelitian ini adalah mengenai konsep hukum perikatan perdata terhadap permasalahan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan kontrak konstruksi dengan mengacu pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUHPER, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Dalam penelitian ini, data yang akan digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer sebagai berikut10: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPER);
9
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Pustaka.(Jakarta: Rajawali Press,1993) hal.13-14. 10
Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dari: Norma (dasar) atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945; Peraturan Dasar: a. Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945; b. Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawarakatan Rakyat. 6. Peraturan perundang-undangan: a. Undang-Undang dan peraturan yang setaraf; b. Peraturan Pemerintah dan peraturan setaraf; c. Keputusan Presiden dan peratuean setaraf; d. Keputusan Menteri dan peraturan setaraf; e. Peraturan-peraturan Daerah. 7. Bahan Hukum yang tidak dikodifikasikan, seperti hukum adat; 8. Yurisprudensi; 9. Traktat; 10. Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku seperti: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (yang merupakan terjemahan yang secara yuridis formal bersifat tidak resmi dari Wetboek van Strafrecht) (Dikutip dalam Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Pustaka.(Jakarta:Rajawali Press,1993) hal.13). 4. 5.
Pertanggungjawaban perencana..., Yosua Yosafat Andree, FH UI, 2013
2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3587); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3956); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi (Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 95; 5. Standar kontrak konstruksi FIDIC. Bahan hukum sekunder yang terdiri atas bahan-bahan berikut ini11: 1. Buku-buku yang berkaitan dengan Hukum Perikatan, Hukum Perjanjian, dan Hukum Konstruksi; 2. Artikel hukum yang berkaitan dengan permasalahan Hukum Konstruksi, tanggapan terhadap doktrin Hukum Konstruksi serta Kegagalan Bangunan. Serta bahan hukum tersier berupa12: 1. Kamus-kamus yang menjelaskan istilah-istilah dalam ilmu hukum; 2. Ensiklopedia mengenai hukum konstruksi. Pada penelitian ini, data dikumpulkan melalui studi literatur dan melakukan wawancara dengan informan atau narasumber yang terkait dengan masalah yang diteliti serta data diteliti dengan analisis secara kualitatif, bukan dalam bentuk angkaangka. Adapun data-data dalam penelitian ini diolah dengan menggunakan metode kualitatif karena memfokuskan pada pemahaman suatu objek secara mendalam dan tuntas yang dalam hal ini yang menjadi objek adalah hubungan pertanggung jawabasan secara hukum seorang perencana konstruksi dalam suatu kegagalan bangunan.
11
Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti Rancangan Undang-Undang, hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya. (Dikutip dalam Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Pustaka.(Jakarta:Rajawali Press,1993) hal.13). 12
Bahan Hukum Tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya. (Dikutip dalam Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Pustaka.(Jakarta:Rajawali Press,1993) hal.13).
Pertanggungjawaban perencana..., Yosua Yosafat Andree, FH UI, 2013
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1
Kontrak Konstruksi Kontrak konstruksi atau yang disebut dengan Kontrak Jasa Konstruksi oleh
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi adalah keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa konstruksi dengan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi dengan pengertian dari pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lainnya 13. Kontrak konstruksi sebenarnya tidak diatur secara jelas dalam KUHPER, tetapi walaupun begitu bukan berarti sama sekali tidak diatur. Bila kita kembalikan pada Unsur Esensialia dari perjanjian sebagaimana yang telah dipaparkan pada bagian 13
Indonesia, Undang-Undang nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, Pasal 1
Pertanggungjawaban perencana..., Yosua Yosafat Andree, FH UI, 2013
sebelumnya, maka dapat kita temui bahwa yang menjadi esensi dari Kontrak Konstruksi adalah penyelenggaraan konstruksi atau dengan kata lain sebuah perbuatan mengerjakan suatu pekerjaan yang berkaitan dengan perwujudan suatu bangunan atau bentuk fisik lainnya. Dalam KUHPER, ternyata ada sebuah jenis perjanjian yang memiliki karakteristik yang serupa yaitu Perjanjian Pemborongan. Berdasarkan ketentuan pada Pasal 1601 KUHPER, Perjanjian Pemborongan atau Pemborongan Pekerjaan merupakan suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu, si pemborong mengikatkan diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan14. Definisi lain yang dapat digunakan terkait Perjanjian Pemborongan adalah Persetujuan dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan, sedangkan pihak yang lain, yang memborong, mengikatkan diri untuk membayar suatu harga yang ditentukan15. Dalam melihat hubungan hukum dari suatu kontrak konstruksi, maka yang penting untuk diperhatikan disini adalah terkait dengan metode dari suatu kontrak konstruksi yang terdiri atas : 1. General Contract Method Merupakan bentuk klasik dari sebuah kontrak konstruksi dimana kontrak dibuat diantara yang memborongkan dengan pemborong kontraktor16. Dalam hal ini pemborong melakukan segala sesuatu sesuai dengan kapasitas yang diberikan kepadanya. Namun terkait dengan perencanaan dari bangunan atau tahap design, hal ini masih diserahkan oleh pihak yang memborongkan kepada perusahaan jasa konstruksi yang bergerak dibidang perencanaan dalam suatu kontrak yang berbeda. 2. Separate Contracts Method 14
Dalam KUHPER kata “si pemborong” dan “pihak yang memborongkan” ditulis dengan istilah “si buruh” dan “si majikan”; Menurut Djumaldji, S.H. istilah tersebut kurang tepat untuk digunakan mengingat pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut disebut dengan “pemborong” dan “pihak” yang memborongkan, bukan buruh dengan majikan. Hal ini menjadi penting karena pada pada pelaksanaannya karena hubungan yang ada disini bukanlah hubungan perburuhan sebagaimana terdapat pada ketentuan terkait perjanjian perburuhan sebagaimana terdapat pada Pasal 1601d. 15
Djumaldji, S.H., Hukum Bangunan: Dasar-Dasar Hukum Dalam Proyek dan Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT.Rineka Cipta, 1996. Hal: 4 16 Jimmy Hinze, Construction Contract, New York: McGraw-Hill, 2011, hal. 17
Pertanggungjawaban perencana..., Yosua Yosafat Andree, FH UI, 2013
Seringkali dikenal juga dengan istilah Multiple Prime Contract Method, adalah kontrak konstruksi dengan ketentuan bahwa dalam suatu kontrak, pihak yang memborongkan membagi prestasi-prestasi dalam kontrak tersebut kepada beberapa pemborong sekaligus17. Dalam kontrak ini, pihak yang memborongkan menjadi sentral dari setiap prestasi dan masingmasing pemborong dalam kontrak tersebut bertanggung jawab secara terpisah-pisah pada pihak yang memborongkan. 3. Design-Build Method Dalam metode ini, pihak yang memborongkan membuat suatu kontrak kepada seorang pemborong yang akan mengerjakan baik desain maupun pembangunan18.
4. Engineering Procurement Contrsuction (EPC) Dalam metode ini seluruh tindakan yang perlu dilakukan agar terbentuknya suatu bangunan atau objek konstruksi dari tahap pendesainan sampai kepada tahap pemeriksaan dan penyerahan dilakukan oleh seorang pemborong kontraktor yang biasa disebut EPC contractor19. Adapun prestasi yang harus dilakukan oleh seorang EPC contractor dalam hal ini adalah menyelesaikan segala pekerjaannya dalam waktu dan budget yang telah ditentukan sebelumnya dalam kontrak EPC tersebut sehingga biasanya pembayaran dilakukan dengan konsep Lump Sum sementara perpindahan tanggung jawab dilakukan dengan sistem Turnkey20.
17
Ibid., Hal.20
18
Ibid., Hal. 22
19
Tanpa Nama, EPC- Engineering-Procurement-Construction, dalam http://www.epcengineer.com/definition/132/epc-engineering-procurement-construction, diakses pada tanggal 18 Desember 2012 20
Dalam prakteknya sistem pembayaran dan penyerahan semacam ini disebut dengan Lump Sum Turnkey atau LSTK dimana dari awal sebuah harga ditetapkan untuk pelaksanaan dari suatu proyek sedangkan perpindahan objek proyek dilakukan pada saat bangunan tersebut telah dilakukan ketika objek telah dinyatakan siap beroperasi. Berdasarkan diskusi penulis dengan Timur Sukirno dalam perkuliahan aspek hukum transaksi keuangan, LSTK ini menjadi sangat penting untuk dijelaskan dalam kontrak karena ada keterkaitan dengan kesediaan bank untuk pencairan dana dimana bank biasanya menetapkan syarat-syarat tertentu terkait status siap beroperasi tersebut.
Pertanggungjawaban perencana..., Yosua Yosafat Andree, FH UI, 2013
Berdasarkan metode-metode tersebut maka dapat kita lihat bahwa hubungan hukum yang terbentuk adalah sebagai berikut: 1.
Perencana Konstruksi sebagai Perusahaan Jasa Konstruksi yang terikat pada kontrak konstruksi atau kontrak jasa konstruksi tersendiri Hal ini dapat kita lihat pada General Contract Method dan Separate Contract Method dimana dalam metode tersebut Perencana Konstruksi tidak ikut masuk kedalam kontrak konstruksi antara pihak yang memborongkan dengan kontraktor utama.
2.
Perencana Konstruksi sebagai bagian dari Perusahaan Konstruksi; Hal ini dapat kita lihat pada Design-Build Method dimana didalam suatu kontrak, yang menjadi perstasi dari suatu perusahaan jasa konstruksi adalah pendesainan dan pembangunan suatu proyek dimana perencana konstruksi bekerja bagi sang kontraktor utama.
3.
Perencana Konstruksi sebagai subkontraktor dari kontraktor utama. Hal ini dapat kita lihat pada kontrak metode EPC dimana EPC kontraktor biasanya mensubkontrakkan perihal desain kepada perencana konstruksi.
2.2
Kegagalan Bangunan Definisi kegagalan bangunan dapat dilihat dari sisi peraturan perundang-
undangan dan sisi teoritis konstruksi. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud disini adalah ketentuan yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 18 tahun 1999 tentang Usaha Jasa Konstruksi dan Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 2000 tentang Penyelenggaraaan Jasa Konstruksi. Dalam Pasal 1 ayat 6 Undang-Undang Nomor 18 tahun 1999 dinyatakan bahwa Kegagalan Bangunan adalah21: “Keadaan bangunan yang setelah diserahterimakan oleh penyedia jasa kepada pengguna jasa kepada pengguna jasa, menjadi tidak berfungsi baik secara keseluruhan maupun sebagian dan/atau tidak sesuai dengan ketentuan yang
21
Indonesia, Undang-Undang nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, Pasal 1 ayat (6)
Pertanggungjawaban perencana..., Yosua Yosafat Andree, FH UI, 2013
tercantum kontrak kerja konstruksi atau pemanfaatannya yang menyimpang sebagai akibat kesalahan penyedia jasa dan/atau pengguna jasa.” Sedangkan pada Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 2000 dinyatakan bahwa Kegagalan Bangunan adalah22:
“Keadaan bangunan yang tidak berfungsi, baik secara keseluruhan maupun sebagian dari segi teknis, manfaat, keselamatan dan kesehatan kerja, dan atau keselamatan umum sebagai akibat kesalahan Penyedia Jasa dan atau Pengguna Jasa setelah penyerahan akhir pekerjaan konstruksi.” Menjadi menarik disini bahwa kedua peraturan perundang-undangan tersebut memiliki definisi yang berbeda terkait dengan kegagalan bangunan dimana dalam Undang-Undang, ketepatan dengan kontrak pun juga dimasukkan kedalam salah satu unsur kegagalan bangunan sedangkan unsur tersebut kemudian menghilang ketika dituangkan kedalam Peraturan Pemerintah dan sebagai gantinya, dalam Pasal 31 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 2000 unsur tersebut didefinisikan sebagai Kegagalan Pekerjaan Konstruksi dengan pengaturan sebagai berikut23: “Keadaan hasil pekerjaan konstruksi yang tidak sesuai dengan spesifikasi pekerjaan sebagaimana disepakati dalam kontrak kerja konstruksi baik sebagian maupun keseluruhan sebagai akibat kesalahan pengguna jasa atau penyedia jasa.” Perbedaan sebagaimana disampaikan di atas menunjukkan adanya ketidakpastian terhadap definisi kegagalan bangunan. Bukan hanya itu, dalam teori perundangundangan dinyatakan bahwa pada dasarnya norma hukum suatu negara adalah norma hukum yang berjenjang dan berlapis dimana suatu norma hukum bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya sehingga sebagai konsekuensinya norma yang berada lebih bawah (lebih rendah) tidak boleh bertentangan dengan norma yang berada diatasnya (lebih tinggi) dan dalam hal ini adalah norma sebuah UndangUndang sebagai norma yang lebih tinggi dan norma Peraturan Pemerintah sebagai yang lebih rendah.24
22
Indonesia, Peraturan Pemerintah nomor 29 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Jasa Konstruksi, Pasal 34 23 Ibid., Pasal 31 24
Maria Farida Indriati, Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Yogyakarta:Kanisius, 2007, Hal 41-42
Pertanggungjawaban perencana..., Yosua Yosafat Andree, FH UI, 2013
Secara teoritis, menurut Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia (HAKI), kegagalan bangunan dapat dibagi dalam 2 pengertian sebagai berikut25: 1. Definisi Umum Suatu bangunan baik sebagian maupun keseluruhan dinyatakan mengalami kegagalan bila tidak mencapai atau melampaui nilai-nilai kinerja tertentu (persyaratan minumum, maksimum dan toleransi) yang ditentukan oleh Peraturan, Standar dan Spesifikasi yang berlaku saat itu sehingga bangunan tidak berfungsi dengan baik. 2. Definisi Kegagalan Bangunan Akibat Struktur Suatu bagunan baik sebagian maupun keseluruhan dinyatakan mengalami kegagalan struktur bila tidak mencapai atau melampaui nilai-nilai kinerja tertentu (persyaratan minumum, maksimum dan toleransi) yang ditentukan oleh Peraturan, Standar dan Spesifikasi yang berlaku saat itu sehingga mengakibatkan struktur bangunan tidak memenuhi unsur-unsur kekuatan, stabilitas, dan kenyamanan laik pakai yang disyaratkan.
2.3
Pertanggungjawaban Secara Umum Hubungan pertanggungjawaban secara umum dalam kegagalan bangunan
dapat kita lihat baik dalam peraturan perundang-undangan maupun dalam panduan dasar kontrak (yang dalam penulisan ini akan didasarkan pada kontrak konstruksi FIDIC). Dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, ketentuan mengenai pertanggungjawaban secara umum terhadap kegagalan bangunan dapat dilihat pada peraturan-peraturan berikut: 1. Undang-Undang No. 18 tahun 1999 tentang Usaha Jasa Konstruksi Dalam Undang-Undang ini, ketentuan mengenai pertanggungjawaban secara umum terhadap kegagalan bangunan dapat dilihat pada Bab VI tentang kegagalan bangunan. Dalam Pasal 25 ketentuan ini, terdapat 3 pengaturan yang harus diperhatikan sebagai berikut: a. Pengguna maupun penyedia jasa konstruksi wajib bertanggung jawab atas kegagalan bangunan (Pasal 25 ayat 1).
25
Ibid.,
Pertanggungjawaban perencana..., Yosua Yosafat Andree, FH UI, 2013
b. Pertanggungjawaban oleh penyedia jasa ditentukan terhitung sejak penyerahan akhir pekerjaan konstruksi dan paling lama 10 tahun (Pasal 25 ayat 2). c. Kegagalan bangunan oleh penyedia jasa ditetapkan oleh pihak ketiga selaku penilai ahli (Pasal 25 ayat 3). Terkait
dengan
bahasan
penulisan
ini
yang
merupakan
pertanggungjawaban perencana konstruksi, Pasal 26 ayat (1) UndangUndang ini dinyatakan jika kegagalan disebabkan kesalahan perencana atau pengawas konstruksi maka pertanggungjawaban yang harus dilakukan oleh mereka selain adanya kewajiban pembayaran ganti rugi, ada pula pertanggungjawaban secara keprofesian yang dalam hal ini dapat diartikan pertanggungjawaban berdasarkan kode etik profesi.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 2000 tentang Penyelenggaraaan Jasa Konstruksi Dalam Peraturan Pemerintah ini, ketentuan mengenai pertanggungjawaban secara umum terhadap kegagalan bangunan dapat dilihat pada Bab V tentang kegagalan bangunan dimana terdapat beberapa pengaturan penting yang harus diperhatikan sebagai berikut: a. Jangka waktu pertanggungjawaban atas kegagalan bangunan harus diatur secara tegas dalam kontrak konstruksi dengan jangka waktu maksimal 10 tahun (Pasal 35). b. Penilai ahli yang bertugas untuk menentukan kegagalan bangunan dipilih dan disepakati bersama oleh penyedia dan pengguna jasa (Pasal 36 ayat 2 dan 3). c. Apabila terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan oleh kesalahan perencana konstruksi, maka perencana konstruksi hanya bertanggung jawab atas ganti rugi sebatas hasil perencanaannya yang belum atau tidak diubah (Pasal 40 ayat 2). Dalam standar kontrak konstruksi internasional dimana dalam penulisan ini akan digunakan standar kontrak FIDIC, pertanggungjawaban secara umum dapat dilihat pada bagian Resiko dan Tanggung Jawab.
Pertanggungjawaban perencana..., Yosua Yosafat Andree, FH UI, 2013
2.4
Pertanggungjawaban Perencana Dikaitkan dengan Hubungan Hukum 1. Pertanggungjawaban Perencana Sebagai Usaha Jasa Konstruksi Perencana konstruksi dinyatakan sebagai sebuah usaha jasa konstruksi apabila dalam suatu kontrak dirinya terikat secara langsung dengan pengguna jasa sehingga timbul hubungan timbal balik diantara kedua pihak tersebut sebagai pengguna dan penyedia jasa sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan. Oleh karena itu bila dapat dibuktikan bahwa suatu kegagalan bangunan terjadi karena adanya wanprestasi ataupun perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perencana kosntruksi, maka jelas bahwa perencana konstruksi tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban penuh oleh pengguna jasa terhadap kontrak yang mengikatnya maupun terhadap perbuatan melawan hukum yang dilakukannya sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPER dengan pembatasan tanggung jawab sebagaimana dinyatakan pada Pasal 40 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 2000 dimana perencana konstruksi hanya bertanggungjawab atas ganti rugi sebatas hasil perencanaannya yang belum atau tidak diubah. 2. Pertanggungjawaban Perencana Sebagai Karyawan Usaha Jasa Konstruksi Kondisi ini terjadi apabila seorang perencana konstruksi bekerja dalam sebuah usaha jasa konstruksi yang terikat pada suatu kontrak konstruksi dengan pengguna jasa. Ketentuan mengenai hubungan pertanggungjawaban majikan dapat kita lihat pada Pasal 1367 KUHPER dimana dapat kita lihat bahwa seorang majikan harus bertanggung jawab atas segala tindakan yang dilakukan oleh orang yang dipekerjakannya atau dengan kata lain karyawan yang berada di bawahnya. Oleh karena itu, dalam hal seorang perencana konstruksi merupakan karyawan dari suatu usaha jasa konstruksi, maka dalam hal terjadinya kegagalan bangunan akibat perbuatan melawan hukum perencana konstruksi, maka yang dapat diminta oleh pengguna jasa untuk bertanggung jawab adalah perencana konstruksi sebagai pihak yang secara nyata harus bertanggung jawab beserta dengan usaha jasa konstruksi tersebut selaku majikan yang mempekerjakan perencana konstruksi tersebut. Tidak jauh berbeda dengan pertanggung jawaban dalam perbuatan melawan hukum, dalam wanprestasi pun usaha jasa konstruksi sebagai majikan dapat
Pertanggungjawaban perencana..., Yosua Yosafat Andree, FH UI, 2013
dimintakan pertanggung jawaban, namun yang berbeda disini adalah perencana konstruksi sebagai karyawan tidak dapat dimintakan pertanggung jawaban oleh pengguna jasa karena pihaknya sama sekali tidak memiliki hubungan kontraktual apapun baik secara langsung maupun secara tidak langsung dengan pengguna jasa. Hal ini tidak lain dan tidak bukan merupakan konsekuensi dari wanprestasi yang didasarkan pada kegagalan pelaksanaan kontrak antara para pihak. 3. Pertanggungjawaban Perencana Sebagai Subkontraktor Terkait dengan masalah pertanggung jawaban terhadap pengguna jasa dalam hal kegagalan bangunan terjadi karena adanya wanprestasi dari perencana konstruksi, secara hubungan keperdataan yang ada dalam kontrak konstruksi tersebut maka dapat kita lihat bahwa dalam hal terjadinya suatu kegagalan bangunan, pengguna jasa tidak dapat memintakan pertanggung jawaban secara langsung kepada perencana konstruksi sebab tidak ada hubungan kontraktual secara langsung diantara kedua pihak tersebut walaupun dalam pemilihan subkontraktor harus dengan adanya persetujuan dari pengguna jasa. Terkait dengan pertanggung jawaban perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kegagalan bangunan, baik KUHPER maupun peraturan perundang-undangan lain terkait dengan kegagalan bangunan tidak mengatur secara lebih lanjut sehingga dalam hal terjadinya kegagalan bangunan karena perbuatan melawan hukum, segala ketentuan masih digantungkan pada Pasal 1367 KUHPER dan ketentuan pada Pasal 43 Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 2000 sehingga bentuk pertanggung jawaban yang timbul tidak jauh berbeda dengan hubungan pertanggung jawaban majikan dan anak buah namun dalam hal ini karena tidak adanya hubungan langsung seperti dalam hubungan antara majikan dan anak buah, maka yang diharuskan untuk bertanggung jawab adalah EPC Contractor selaku kontraktor yang utama dan yang diharapkan prestasinya.
Pertanggungjawaban perencana..., Yosua Yosafat Andree, FH UI, 2013
BAB 3 PENUTUP
3.1
Kesimpulan 1. Pada dasarnya terdapat berbagai macam jenis dan metode suatu kontrak konstruksi, namun yang terpenting untuk menentukan hubungan hukum dalam suatu kontrak konstruksi adalah melalui penentuan metode kontrak konstruksi yang secara umum terbagi sebagai berikut: a. General Contract Method b. Separate Contracts Method c. Design-Build Method d. Engineering Procurement Contrsuction (EPC) Adapun berdasarkan metode-metode tersebut dapat dilihat bahwa pada dasarnya hubungan hukum yang dimaksud diatas dapat dibagi dalam 3 kelompok hubungan hukum sebagai berikut:
Pertanggungjawaban perencana..., Yosua Yosafat Andree, FH UI, 2013
a. Perencana Konstruksi sebagai Perusahaan Jasa Konstruksi yang terikat pada kontrak konstruksi atau kontrak jasa konstruksi tersendiri. b. Perencana Konstruksi sebagai bagian dari Perusahaan Konstruksi c. Perencana Konstruksi sebagai subkontraktor dari kontraktor utama.
2. Definisi kegagalan bangunan dapat dari sisi peraturan perundang-undangan dan dari sisi teoritis konstruksi. Dalam peraturan perundang-undangan, definisi tersebut dapat dilihat pada Pasal 1 ayat 6 Undang-Undang Nomor 18 tahun 1999 dan Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 2000. Sayang, terdapat inkonsistensi terhadap definisi dalam Undang-Undang dan Perturan Pemerintah. Secara teoritis konstruksi, kegagalan bangunan dijelaskan melalui pendapat Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia mencoba mendefinisikan kegagalan bangunan secara teoritis dengan tetap dengan tetap menghormati ketentuan yang terdapat pada Undang-Undang Jasa Konstruksi dengan membagi definisi kegagalan bangunan menjadi 2 sebagai berikut: a.
Definisi Umum
b.
Definisi Kegagalan Bangunan Akibat Struktur
3. Penentuan pertanggung jawaban seorang perencana jasa konstruksi terhadap suatu kegagalan yang terjadi akibat kesalahannya haruslah didasarkan pada hubungan hukum yang terbentuk dalam kontrak konstruksi yang mengikat perencana konstruksi tersebut.
3.2
Saran 1. Revisi peraturan-peraturan terkait hukum konstruksi oleh pemerintah sehingga pelaksanaan hukum tersebut tidak saling bertentangan. 2. Penegasan
definisi-definisi
yang
dianggap
penting
dalam
peraturan
kedepannya atau revisi peraturan terkait hukum konstruksi. 3. Penetapan guidelines yang tegas dari pemerintah terkait dengan tanggung jawab dari masing-masing profesi jasa konstruksi.
Pertanggungjawaban perencana..., Yosua Yosafat Andree, FH UI, 2013
DAFTAR PUSTAKA
Buku Agustina, Rosa . Perbuatan Melawan Hukum . Depok . Universitas Indonesia . 2003
Djumaldji . Hukum Bangunan: Dasar-Dasar Hukum Dalam Proyek dan Sumber Daya Manusia . Jakarta . PT Rineka Cipta . 1996 .
FIDIC . Persyaratan Kontrak Untuk Pelaksanaan Konstruksi . Geneva . FIDIC . 2006 . . Persyaratan Kontrak Untuk Proyek EPC/Turn Key . Geneva . FIDIC . 2010 .
Fuady, Munir . Kontrak Pembangunan Mega Proyek . Bandung . Citra Aditya Bakti . 1998
Hinze, Jimmy . Construction Contract . New York . McGraw-Hill . 2011
Indriati, Maria Farida . Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan . Yogyakarta . Kanisius . 2007
Pertanggungjawaban perencana..., Yosua Yosafat Andree, FH UI, 2013
Kaminetzky, Dov . Design and Construction Failures – Lessons From Forensic . New York . McGraw-Hill Inc . 1991
Prodjodikoro, Wirjono . Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu . Bandung . sumur Batu . 1991
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji . Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Pustaka . Jakarta. Rajawali Press. 1993 Tumilar, Steffie . Latar Belakang dan Kriteria Dalam Menentukan Tolok Ukur Kegagalan Bangunan . Jakarta . HAKI . 2006
Uff, John . Construction Law . London . Sweet & Maxwell . 1981
Wardhana, Kumalasari., Dkk . Study of Recent Building Failures in the United States, dalam Journal of Performance of Constructed Facilities . Reston . ASCE . 2003 Peraturan Perundang-undangan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. cet. 31. Jakarta. Pradnya Paramita. 2001. Indonesia. Undang-undang tentang Jasa Konstruksi. UU No. 18 Tahun 1999. LN No. 54 Tahun 1999. TLN No. 3587.
Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 18 tahun 1999 tentang Pelaksanaan Jasa Konstruksi. PP No. 29 tahun 2000. LN No. 64 tahun 2000. TLN No. 3956.
Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 18 tahun 1999 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruiksi. PP No. 28 tahun 2000. LN No. 28 tahun 2000. TLN No. 3955
Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 18 tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. PP No. 59 tahun 2010. LN No. 95 tahun 2010.
Pertanggungjawaban perencana..., Yosua Yosafat Andree, FH UI, 2013
Indonesia. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 4/PRT/M/2011 tentang Pedoman Persyaratan Pemberian Izin Usaha Jasa Konstruksi Nasional. Internet “EPC- Engineering – Procurement – Construction” . http://www.epcengineer.com/definition/132/epc-engineering-procurementconstruction . diakses pada tanggal 18 Desember 2012
dalam
“Konsep Dasar Dalam Pengembangan Rencana Konstruksi”. http://www.gbaconsultant.co.id/konsep-perencanaan-konstruksi . 23 Maret 2011 . diakses pada tanggal 18 Desember 2012
Pertanggungjawaban perencana..., Yosua Yosafat Andree, FH UI, 2013