UNIVERSITAS INDONESIA
PENDEKATAN PCIT (PARENT-CHILD INTERACTION THERAPY) PADA ANAK USIA SEKOLAH DENGAN MASALAH PERILAKU DISRUPTIVE
(Parent-Child interaction Therapy Approach for a School Aged Boy with Disruptive Behavior Problem)
TESIS
SALFIANA NURITA 1006796595
FAKULTAS PSIKOLOGI PROGRAM STUDI MAGISTER PROFESI PSIKOLOGI KEKHUSUSAN PSIKOLOGI KLINIS ANAK DEPOK, AGUSTUS 2012
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
UNIVERSITAS INDONESIA
PENDEKATAN PCIT (PARENT-CHILD INTERACTION THERAPY) PADA ANAK USIA SEKOLAH DENGAN MASALAH PERILAKU DISRUPTIVE
(Parent-Child interaction Therapy Approach for a School Aged Boy with Disruptive Behavior Problem)
TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi Psikologi
SALFIANA NURITA 1006796595
FAKULTAS PSIKOLOGI PROGRAM STUDI MAGISTER PROFESI PSIKOLOGI KEKHUSUSAN PSIKOLOGI KLINIS ANAK DEPOK, AGUSTUS 2012
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah basil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telab saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Salfiana Nurita
NPM
: 1006796595
Tanda Tangan
Tanggal
~V1
: 6 Agustus 2012
11
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
iii
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas ridho dan rahmat Allah SWT sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penghargaan terbesar penulis haturkan kepada kedua orangtua dan suami (dan putri kecil) dari penulis atas curahan kasih sayang, segala pengorbanan, dan doa yang tiada henti. Penyelesaian tesis ini dapat terwujud atas bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis menghaturkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
Ibu Dra. Dini P. Daengsari, M.Si dan Ibu Dra. Fenny Hartiani, M.Psi, selaku pembimbing yang dengan kesabarannya membimbing, membagi ilmu, dan memberikan semangat untuk penulis.
Ibu Dra. Dini P. Daengsari, M.Si sebagai Ketua Bagian Profesi Klinis Anak, atas luang waktu dan kebaikannya selama penulis menjalani perkuliahan.
Seluruh staf pengajar di bagian Magister Profesi Klinis Anak, terutama kepada Ibu Dra. Ike Anggraika, M.Si, Ibu Dra. Rini Hildayani, M.Si., dan Ibu Luh Surini Yulia Savitri, M.Psi yang telah membagi ilmunya dan dengan tulus membimbing penulis menangani kasus-kasus psikologi anak.
Teman-teman KLA 9 dan 10, atas dukungannya. Terkhusus teman-teman KLA 11, atas bantuan, dorongan semangat, kebersamaan, dan segala perhatian yang tak terlupakan. Teriring doa penulis untuk kesuksesan kalian semua.
Kepada Bapak Gugah S. Bawono, S.Kom, M.Si yang telah membantu dalam pemakaian ruangan lab O/W, kepada Mas Rahmat, S.Kom yang telah membantu penulis memanfaatkan lab. komputer ged. H untuk mencari literatur dan menyelesaikan tugas, serta karyawan bagian perkembangan dan klinik terpadu atas bantuannya selama perkuliahan.
Klien Tesis terutama dan seluruh klien dari penulis selama menangani kasus yang telah memberikan waktu dan kepercayaannya kepada penulis. Teriring doa terbaik penulis untuk klien-klien penulis. Segala jalan keluar yang terbaik semata-mata hanya datang dari-Nya.
Depok, 6 Agustus 2012 Penulis iv
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Salfiana Nurita
: 1006796595
Program Studi : Magister Profesi
Departemen : Program Kekhususan Psikologi Klinis Anak
Fakultas : Psikologi
Jenis karya : Tesis
~~
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Pendekatan PCIT (Parent-Child Interaction Therapy) pada Anak Usia Sekolah dengan Masalah Perilaku Disruptive. beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti mi Universitas Indonesia berhak menyimpan, Noneksklusif . mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan namasaya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta, Dernikian pemyataan ini saya buat dengan sebenamya,
Dibuat di
: Depok
Pada tanggal : 6 Agustus 2012
Yang menyatakan,
(Salfiana Nurita) 1006796595 v Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
ABSTRAK
Penulis : Salfiana Nurita Program Studi : Profesi Psikologi Klinis Anak Judul : Pendekatan PCIT (Parent-Child Interaction Therapy) pada anak laki-laki usia sekolah dengan masalah perilaku disruptive. Studi ini menggunakan pendekatan PCIT untuk menurunkan perilaku disruptive pada anak laki-laki usia 7 tahun. Melalui pendekatan PCIT sebagai intervensi dyadic, orang tua (ibu) mendapatkan pengajaran dan pelatihan guna meningkatkan keterampilan untuk menciptakan interaksi ibu dan anak yang lebih hangat dan mendisiplinkan perilaku anak. Studi ini menggunakan desain penelitian singlesubject design. Guna mengevaluasi efektivitas hasil intervensi, peneliti menggunakan DPICS III untuk melihat perkembangan kualitas interaksi ibu dan anak serta Eyberg Childhood Behavior Inventory (ECBI) untuk mengukur penurunan intensitas perilaku disruptive anak. Hasil program intervensi menunjukkan bahwa terdapat perkembangan kualitas interaksi antara ibu dan anak serta adanya penurunan skor ECBI anak. Hasil yang diperoleh tersebut menunjukkan bahwa penerapan penggunaan pendekatan PCIT efektif untuk menurunkan perilaku disruptive pada anak usia sekolah.
Kata kunci: Parent-Child Interaction Therapy (PCIT), perilaku disruptive, interaksi ibu dan anak
vi
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
ABSTRACT
Name : Salfiana Nurita Major : Master of Clinical Child Psychology Title : A Parent-Child Interaction Therapy Approach for A School Aged Boy with Disruptive Behavior Problems
This study used Parent-Child Interaction Therapy approach to decrease disruptive behavior problems on a school aged boy at the age 7 years old. Throughout this dyadic intervention program, parent was taught and coached some specific skills in order to improve their parenting practices so that parent can build more warmth relationship with her child and discipline her child. This study used single-subject design. Efficacy of this intervention program was examined by DPICS-III that used to observe mother-child interaction and Eyberg Child Behavior Inventory (ECBI) that used to measure the level of disruptive behavior. Result showed improvement in the quality of mother-child interaction and a decrease in child behavior problems. PCIT seems to be an efficacious intervention for school aged boy with disruptive behavior problems. Keywords: Parent-Child Interaction Therapy (PCIT), disruptive behavior, mother-child interaction
vii
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................... HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... KATA PENGANTAR .................................................................................... HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .................................................. ABSTRAK ...................................................................................................... DAFTAR ISI.................................................................................................... DAFTAR TABEL ........................................................................................... DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................
i ii iii iv v vi viii x xi xi
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................. 1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1.2 Alasan Pemilihan Intervensi ..................................................................... 1.3 Masalah Penelitian .................................................................................... 1.4 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 1.5 Manfaat Penelitian .................................................................................... 1.6 Sistematika Penulisan ...............................................................................
1 1 6 7 7 7 7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 2.1 Gangguan Perilaku Disruptive/Disruptive Behavior Disorder (DBD) ..... 2.1.1 Pengertian dan Karakteristik Gangguan Perilaku Disruptive ....... 2.1.2 Etiologi ......................................................................................... 2.2 Parent Child Interaction Therapy ............................................................. 2.2.1 Pengertian dan Sejarah Singkat PCIT............................................ 2.2.2 Tahapan dalam PCIT .................................................................... 2.3 Perkembangan Anak dan Tugas Orang Tua yang Sesuai pada Tahap ...... Usia Kanak-Kanak Tengah/Usia Sekolah (Middle Childhood/School Age) 2.4 Dinamika : Keterkaitan antara Gangguan Perilaku Disruptive dan PCIT pada Anak Usia Sekolah ............................................................................
9 9 9 12 16 16 19 22
BAB 3 RANCANGAN PROGRAM INTERVENSI .................................. 3.1 Tujuan Program Intervensi......................................................................... 3.2 Desain Penelitian........................................................................................ 3.3 Subjek Penelitian........................................................................................ 3.4 Rencana Pelaksanaan Program Intervensi ................................................. 3.4.1 Tempat Pelaksanaan Intervensi ..................................................... 3.4.2 Alat-Alat yang Akan Digunakan Selama Intervensi ..................... 3.4.3 Alat Ukur yang Digunakan............................................................ 3.4.4 Evaluasi Keberhasilan Intervensi .................................................. 3.4.5 Orang-Orang yang Terlibat dalam Intervensi................................
28 28 28 28 29 29 29 29 30 33
viii
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
25
3.5 Rancangan Sesi Intervensi ........................................................................ 3.5.1 Rancangan Sesi Secara Garis Besar .............................................. 3.5.2 Rancangan Sesi Intervensi Secara Rinci........................................ 3.5.2.1 Rancangan Tahap Pre-treatment....................................... 3.5.2.2 Rancangan Tahap Child-Directed Interaction (CDI) ....... 3.5.2.3 Rancangan Tahap Parent-Directed Interaction (PDI) ..... 3.5.2.4 Rancangan Tahap Post-treatment .....................................
33 33 34 34 38 45 53
BAB 4 PELAKSANAAN DAN HASIL ....................................................... 4.1 Pelaksanaan Program Intervensi ............................................................... 4.2 Hasil Pelaksanaan Program Intervensi....................................................... 4.2.1 Pelaksanaan Tahap Pre-treatment ................................................. 4.2.2 Pelaksanaan Tahap CDI................................................................. 4.2.3 Pelaksanaan Tahap PDI ................................................................. 4.2.4 Pelaksanaan Tahap Post-treatment ............................................... 4.3 Rangkuman Penilaian terhadap Keterampilan Ibu .................................... 4.3.1 Keterampilan ‘Do Skill dan Avoid Skill’........................................ 4.3.2 Keterampilan Memberikan Perintah.............................................. 4.3. Pengaruh PCIT terhadap Kualitas Interaksi Ibu-Anak dan Perilaku Anak 4.3.1 Perkembangan Kualitas Interasi Ibu dan I selama Intervensi ....... 4.3.2 Pengaruh PCIT Terhadap Penurunan Perilaku Disruptive I..........
55 55 56 57 63 68 74 75 75 76 77 77 78
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN ..................................... 5.1 Kesimpulan ............................................................................................... 5.2 Diskusi ...................................................................................................... 5.3 Saran .......................................................................................................... 5.3.1 Saran Teoritis................................................................................. 5.3.2 Saran Praktis .................................................................................
81 81 82 86 86 87
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
88
ix
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1.
Kegiatan Intervensi Secara Garis Besar ..............................
33
Tabel 3.2.
Kegiatan Tahap Pre-Treatment ...........................................
35
Tabel 3.3.
Kegiatan Tahap CDI (Sesi ke-2 s.d ke-6) ............................
39
Tabel 3.4.
Kegiatan Tahap PDI (Sesi ke-7 s.d ke-12) ..........................
46
Tabel 3.5.
Kegiatan Tahap Post-Asemen (Sesi ke-13) .........................
54
Tabel 4.1.
Pelaksanaan Program Intervensi PCIT ...............................
56
Tabel 4.2.
Hasil Pelaksanaan Tahap Pre-treatment..............................
58
Tabel 4.3.
Hasil Pelaksanaan Tahap CDI .............................................
64
Tabel 4.4.
Hasil Pelaksanaan Tahap PDI..............................................
69
Tabel 4.5.
Hasil Pelaksanaan Tahap Post-Treatment ...........................
74
Tabel 4.6.
Data Keterampilan Do Skill dan Avoid Skill........................
76
Tabel 4.7.
Data Keterampilan Memberikan Perintah ..........................
76
Tabel 4.8.
Penguasaan Keterampilan CDI ...........................................
77
Tabel 4.9.
Penguasaan Keterampilan PDI ...........................................
77
Tabel 4.10.
Perbedaan Intensitas Perilaku Disruptive I Sebelum dan ...
78
Sesudah Intervensi
x
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
DAFTAR GAMBAR
Grafik 4.
Grafik Penurunan Perilaku Disruptive I Setelah Mengikuti Intervensi Berdasarkan ECBI.............................
78
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.
Gambar Denah Ruang Pelaksanaan Intervensi....................
92
Lampiran 2.
Gambar Mainan ...................................................................
93
Lampiran 3.
Instruksi saat Observasi Tahap Pre-treatment.....................
94
Lampiran 4.
Kegiatan PR Orang Tua.......................................................
95
Lampiran 5.
Hasil ECBI ..........................................................................
96
Lampiran 6.
Alat Ukur dan Berkas yang Digunakan ...............................
97
Lampiran 7.
Materi untuk Orang tua........................................................
98
xi
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama masa perkembangan anak, kerap muncul perilaku ketidakpatuhan dan agresif pada anak (Muro, 2011). Perilaku ketidakpatuhan (noncompliant) dan agresif dapat disebut juga sebagai perilaku disruptive. Secara luas, istilah perilaku disruptive mengandung beragam perilaku, yang meliputi temper tantrum, menangis/merengek berlebihan, meminta perhatian, tidak patuh, berperilaku agresif terhadap diri dan orang lain, mencuri, berbohong, merusak perabotan, dan menunjukkan perilaku nakal/melanggar aturan (Schroeder & Gordon, 2002). Perilaku disruptive merupakan hal yang normal dilakukan oleh anak-anak dan cenderung bersifat sementara apabila terjadi pada tahapan perkembangan tertentu. Misalnya, perilaku temper tantrum pada anak di masa toddler (Schroeder & Gordon, 2002; Muro, 2011) dan perilaku negativistik berupa kecenderungan anak untuk menolak perintah orang dewasa yang terjadi pada masa toddler hingga kanak-kanak awal (Haswell, 1976). Menurut Werba, Eyberg, Boggs, dan Algina, 2006 (dalam Muro, 2011), perilaku ketidakpatuhan dan agresif, serta sejenisnya yang normal terjadi pada masa toddler cenderung akan menurun setelah anak berusia di atas 3 tahun. Menurut Wilmhurst (2009), perilaku agresif puncaknya terjadi pada anak usia 2 tahun dan setelah usia tersebut, akan mengalami penurunan. Levy (dalam Haswell, 1976) juga menyatakan fekuensi kemunculan perilaku negativistik pada masa kanak-kanak awal akan semakin berkurang bahkan menghilang saat anak memasuki usia 5 tahun. Perilaku – perilaku itu cenderung menurun setelah melewati masa toddler karena pada masa kanak-kanak awal, anak-anak memiliki kemampuan verbal yang meningkat, menjadi lebih sadar akan kemampuan dirinya, serta menunjukkan lebih banyak perilaku yang bertujuan dan terarah (Dombrowski, et.al., dalam Muro, 2011). Selain itu, dengan bantuan orang dewasa, anak-anak di usia sekitar 3 tahun telah mampu mengembangkan kemampuan meregulasi diri (Robinson, 2008) dan memasuki usia sekitar lima tahun, melalui pengajaran di sekolah dan bersosialisasi, mereka sudah mulai mengembangkan kemampuan untuk mengontrol impuls dan mengendalikan diri untuk tidak berperilaku disruptive. Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
2
Namun demikian, setelah melewati masa toddler, perilaku disruptive ini tidak begitu saja berkurang. Perilaku disruptive yang normal pada usia tertentu dapat terus berkembang pada tahapan usia anak selanjutnya (Schroeder & Gordon, 2002). Setelah masa toddler, pada masa kanak-kanak awal hingga memasuki kanak-kanak tengah, usia 4 – 8 tahun, kerap dijumpai anak-anak yang masih menunjukkan perilaku disruptive, seperti perilaku menolak untuk mengikuti aturan dan perilaku agresi yang meledak-ledak. Berkembangnya perilaku tersebut, terlebih jika terjadi secara persisten, mengindikasikan perilaku yang abnormal dan perlu mendapat perhatian dari ahli yang dapat menanganinya (Anders & Morrison, dalam Ettinger, 2008; Kalb & Loeber, 2003). Dengan demikian, perilaku disruptive pada anak yang terus berlanjut hingga anak berada pada masa kanak-kanak tengah perlu mendapatkan penanganan segera. Penanganan perlu dilakukan karena berkembangnya perilaku disruptive dapat berdampak secara jangka panjang pada area fungsi kehidupan anak. Anak yang memiliki masalah perilaku di awal, akan berisiko mengalami kegagalan akademis, penolakan peer, penyalahgunaan obat-obatan, dan delinkuensi/ kenakalan (Moffitt; Patterson, Capaldi, & Bank, dalam Reinke, Splett, Robeson, Offutt, 2009; Wilmhurst, 2009). Lebih lanjut, anak-anak yang mengembangkan perilaku agresif saat memasuki awal sekolah juga berisiko mengalami gangguan perilaku, kecemasan, depresi, dan perilaku antisosial (Ialongo et al.; Ialongo, Poduska, Werthamer, & Kellam, dalam dalam Reinke, Splett, Robeson, Offutt, 2009). Dinamika berkembangnya perilaku disruptive melibatkan sejumlah faktor. Menurut Calzada, Eyberg, Rich, dan Querido (2004), perilaku disruptive berkembang dari berbagai faktor, yaitu faktor biologis, lingkungan, dan keluarga. Pada faktor keluarga, orang tua berperan penting dalam berkembangnya perilaku disruptive, meliputi depresi yang dialami orang tua (Querido, Eyberg, & Boggs, 2001; Webster-Stratton & Hammond, 1990), distress pernikahan (Bearss & Eyberg, 1998;Webster- Stratton, 1988), dan stres dalam pengasuhan anak(Eyberg, Boggs, Rodriguez, 1992; Mouton & Tuma, 1988). Faktor pada orang tua tersebut dapat berperan mengembangkan perilaku disruptive pada anak melalui efek dari
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
3 pengasuhan yang mereka terapkan (Patterson, Reid, & Dishion; Tolan, Guerra, & Kendall; McMahon & Eistes, dalam Calzada, Eyberg, Rich, dan Querido 2004) karena dari pengasuhan tersebut akan terlihat kualitas orang tua berinteraksi dengan anak dan kualitas interaksi tersebut mempengaruhi perkembangan perilaku anak (Perez, 2008). Pengasuhan (parenting) dapat didefinisikan sebagai proses membimbing anak agar anak mampu berperilaku dan berperan sesuai dalam masyarakat. Proses tersebut meliputi keterlibatan orang tua dalam mengembangkan anak baik dalam aspek sosial, emosional, fisik, maupun kognitif, termasuk di dalamnya kegiatan pengawasan, kedekatan emosional, pendispilinan, kontrol, interaksi, dan tuntutan (O’Keeffe, 2002). Melalui pengasuhan yang tidak efektif, orang tua bahkan berperan dalam mengembangkan perilaku disruptive menjadi perilaku yang lebih buruk pada tahapan perkembangan anak selanjutnya. Lee (2009) menyatakan bahwa berkembangnya perilaku disruptive sejak masa awal yang diiringi dengan interaksi yang negatif antara orang tua dan anak serta disiplin orang tua yang tidak efektif, mengakibatkan risiko terjadinya perilaku kenakalan dan kriminalitas (Loeber & Dishion, 1983; White, Moffitt, Earls, Robins, & Silva, 1990). Kasus yang diangkat oleh peneliti pada penelitian ini merujuk pada fenomena perilaku disruptive yang telah diuraikan di atas. I adalah anak laki-laki, pertama dari dua bersaudara dan memiliki kecerdasan yang tergolong pada taraf borderline (IQ=73, Stanford Binet). I saat ini berusia 7 tahun dan bersekolah di kelas 1 SD. Perilaku yang ditunjukkan oleh I bermula sejak usia sekitar 3 tahun, yaitu dalam bentuk perilaku yang sulit untuk menuruti permintaan orang lain, misalnya I tidak mau saat I diminta untuk mengambilkan sesuatu oleh nenek. Kemudian, pada usia sekitar 4 tahun perilaku I berkembang menjadi perilaku agresif, seperti memukul dan menendang jika orang lain sedang mengarahkan perilakunya. Perilaku itu semakin terlihat ketika I berusia sekitar 5 tahun hingga saat ini I berusia 7 tahun. Saat ini, I menampilkan perilaku disruptive dalam bentuk perilaku melawan (oppositional) dengan menunjukkan ketidakpatuhan terhadap arahan, mengucapkan kata-kata yang tidak pantas seperti ‘bego!’ serta berperilaku agresif, seperti memukul, menendang, dan menarik-narik pakaian atau bagian
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
4 tubuh orang lain. I melakukan hal itu kepada orang tua, nenek, dan tante, dan lainlain saat mereka mengarahkan perilaku, meminta I melakukan sesuatu, atau saat tidak segera memenuhi keinginan I. Apabila melakukan kesalahan atau perilaku yang tidak pantas, I juga tidak mau mengakui kesalahan atau perilakunya tersebut kepada orang lain, I seringkali mengatakan adiknya yang melakukan.
I
juga
berperilaku
kasar
terhadap
adik
bahkan
pernah
mengakibatkan luka atau memar pada bagian tubuh adik. Ketika sedang berinteraksi dengan adik, I juga melakukan provokasi dengan meminta adik melakukan perilaku negatif seperti yang ia lakukan. I juga sering berbicara katakata kotor seperti ‘tete’ pada saat kapan saja dan dimana saja. I menunjukkan perilaku disruptive hampir setiap hari dengan frekuensi 3 – 5 kali dan terkadang mengakibatkan kesakitan pada fisik orang lain. Perilakunya tersebut lebih banyak dilakukan kepada keluarga baik di rumah maupun lingkungan luar rumah. Di sekolah, I tidak menunjukkan perilaku disruptive kepada guru. I pernah terlibat perselisihan dengan teman dengan memukul lengan temannya, namun hal itu hanya sesekali ia lakukan. Perkembangan perilaku I yang memburuk kini lebih ditunjukkan terutama kepada ibu. Hal itu disebabkan karena ibu tidak mampu menerapkan interaksi yang efektif terhadap I, terlihat dari kurangnya responsivitas dan kontrol dari ibu untuk membantu I mengelola perilakunya. Ibu tidak menerapkan aturan yang jelas dan konsisten terhadap perilaku I, kurang optimal untuk menanamkan nilai-nilai, serta kurang memberikan I penguatan, seperti pujian jika I menunjukkan perilaku positif. Sejak awal kemunculan masalah perilaku I, ibu terlihat kurang berdaya mengontrol perilaku I dan akhir-akhir ini ibu cenderung melakukan kekerasan fisik dengan cara memukul I jika I berperilaku buruk. Dengan teman-teman di sekolah, ia sangat kurang berinteraksi dan bahkan tampil sebagai seorang anak dengan self-esteem yang rendah. Ia juga terlihat tidak berani untuk mengungkapkan pendapat dan mencoba hal-hal yang baru. Dalam Schroeder dan Gordon (2002), tercatat sejumlah intervensi yang digunakan untuk menangani perilaku disruptive, antara lain intervensi yang berfokus pada anak, seperti pelatihan keterampilan sosial (social skill training) dan pelatihan keterampilan kognitif (cognitive skill training) serta intervensi yang
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
5 menyertakan keterlibatan orang tua, seperti pelatihan perilaku orang tua (behavioral parent training). Pelatihan keterampilan sosial ditujukan bagi anak yang menunjukan perilaku antisosial yang disebabkan oleh pembelajaran anak yang salah.Intervensi ini dapat menghasilkan peningkatan dalam keterampilan sosial, namun tidak ada bukti yang menyatakan bahwa hanya dengan intervensi ini perilaku antisosial dapat tertangani (Taylor, Eddy, & Biglan, dalam Schroeder & Gordon, 2002). Intervensi lainnya adalah pelatihan keterampilan kognitif, dilakukan pada anak-anak yang tidak mampu untuk memecahkan masalah sosial dan tidak menyadari akan konsekuensi dari perilakunya. Pelatihan ini bertujuan untuk memperbaiki kognisi sosialnya tersebut. Sekalipun intervensi ini mampu untuk meningkatkan keterampilan kognitif-sosial, hanya ada sedikit bukti yang menunjukkan intervensi ini dapat menangani perilaku dengan efektif secara jangka panjang (Hudley, et.al., dalam Schroeder & Gordon, 2002). Intervensi lainnya yaitu menyertakan keterlibatan orang tua, disebut juga pelatihan interaksi orang tua-anak. Intervensi tersebut dinilai paling berhasil untuk mengatasi perilaku disruptive anak-anak usia kanak-kanak awal, dan orang tua pun melaporkan kepuasan terhadap program intervensi tersebut (Brestan & Eyberg; Patterson, et.al.; Schuhman, Foote, Eyberg, Boggs, & Algina; WebsterStratton, dalam Schroeder & Gordon, 2002). Dalam intervensi berupa pelatihan interaksi orang tua-anak, PCIT (Parent-Child Interaction Therapy) terbukti dapat secara efektif untuk menangani perilaku disruptive anak-anak usia 2 hingga 8 tahun (Schroeder & Gordon, 2002). PCIT didasarkan oleh teori pola pengasuhan Baumrind yang menyatakan pentingnya memenuhi dua kebutuhan anak, yaitu kebutuhan kasih sayang dan kebutuhan akan batasan dari orang tua (Tempel, 2009). PCIT mengintegrasikan elemen teori attachment yang menekankan pentingnya hubungan anak-orang tua secara positif dalam perkembangan emosi dan perilaku anak yang sehat; elemen teori psikoterapi tradisional anak (play therapy) yang menekankan pada peranan bermain sebagai media anak mengembangkan kemampuan memecahkan masalah, dan teknik perilaku (social learning) yang menekankan pada efektivitas interaksi orang tua – anak sebagai cara memfasilitasi kemampuan orang tua untuk mengajarkan kemampuan
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
6 prososial kepada anak, sehingga meningkatkan perilaku positif serta menurunkan perilaku yang tidak sesuai dan maladaptif (Phillips, Morgan, Cawthorne, & Barnett, 2008; McNeil & Hembree-Kigin, 2010). Meskipun PCIT pada awalnya banyak digunakan untuk menangani perilaku disruptive, dalam perkembangannya, PCIT juga efektif ditujukan bagi anak dengan beragam masalah perilaku, emosional, dan perkembangan, seperti anak-anak yang memiliki self-esteem yang rendah, memiliki masalah atensi, dan over-reactive (McNeil & Hembree-Kigin, 2010). PCIT juga telah diterapkan untuk mengatasi masalah perilaku pada anak-anak yang mengalami gangguan perkembangan dengan keterbatasan kognisi, seperti pada anak-anak yang mengalami mental retardation (McDiarmid & Bargner, 2005; Bagner & Eyberg, 2007). PCIT menyediakan format terapi untuk sesi terapi yang diikuti oleh satu orang tua (ayah atau ibu saja) dan yang diikuti oleh dua orang tua (ayah dan ibu) (McNeil & Hembre-Kiggin, 2010). Dalam sejumlah studi intervensi PCIT, tidak semua studi melaporkan data orang tua yang terlibat dalam intervensi secara spesifik (ayah, ibu, atau keduanya). Dari studi yang melaporkan data tersebut, paling banyak hanya mengikutsertakan ibu dalam intervensi. Gallagher (2003) menyatakan bahwa hanya 59 % persen dari studi yang terdata mencantumkan data orang tua yang terlibat dalam intervensi secara spesifik. Dari studi yang mencantumkan data orang tua tersebut, 70% dari studi hanya melibatkan ibu dalam intervensi sementara 30% melibatkan kedua orang tua, ayah dan ibu.
1.2. Alasan pemilihan intervensi Pada kasus I ini peneliti memilih intervensi PCIT, karena pertama, perilaku I muncul dan berkembang sebagai akibat dari pola pengasuhan orang tua yang kurang tepat kepada I. Melalui PCIT, ibu akan dilatih cara berinteraksi dengan I yang lebih efektif dan hangat serta diajarkan teknik mengelola perilaku disruptive I. Kedua, I diketahui memiliki taraf kecerdasan borderline dan selfesteem yang rendah. PCIT dinilai tepat karena dapat ditujukan bagi individu yang memiliki defisit kognitif, disajikan dalam bentuk aktivitas bermain, dan dapat dimodifikasi sesuai dengan tingkat kecerdasan I. Selain itu, dalam PCIT
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
7 diterapkan teknik pemberian perhatian positif terhadap perilaku anak yang diharapkan dengan itu dapat membangun self-esteem yang lebih baik pada anak. Pada PCIT kali ini, peneliti menggunakan format intervensi satu orang tua dengan hanya melibatkan ibu. Hal itu dilakukan karena ibu merupakan orang tua yang lebih banyak berinteraksi dengan I saat ini. Ayah I bekerja di luar kota dan waktu kepulangannya tidak dapat diprediksi.
1.3. Masalah Penelitian Permasalahan penelitian ini adalah ‘Apakah intervensi PCIT efektif untuk menurunkan perilaku disruptive pada anak usia 7 tahun?
1.4 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas pendekatan ParentChild Interaction Therapy (PCIT) dalam menurunkan perilaku disruptive pada anak usia 7 tahun.
1.5 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1.
Secara teknis, penelitian ini dapat memberikan tambahan referensi dalam teknis pelaksanaan intervensi dengan pendekatan PCIT untuk menurunkan perilaku disruptive pada anak usia sekolah.
2.
Secara praktis, penelitian ini dapat membantu orang tua, khususnya ibu untuk meningkatkan keterampilan pengasuhan yang lebih efektif untuk mengatasi perilaku disruptive I.
1.6 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab 1 : Pendahuluan, berisi latar belakang, alasan pemilihan intervensi, masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab 2 : Tinjauan Kepustakaan, membahas konsep yang terkait dengan Disruptive Behavior Disorders, Parent-Child Interaction Therapy (PCIT), dan perkembangan anak usia kanak-kanak tengah/usia sekolah.
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
8
Bab 3 : Rancangan intervensi Bab 4 : Hasil dan pelaksanaan intervensi, berisi penjelasan pelaksanaan intervensi serta data-data hasil intervensi yang diperoleh. Bab 5 : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran, meliputi jawaban dari masalah penelitian ini, diskusi mengenai program intervensi yang diterapkan dan hasilnya, serta saran-saran bagi penelitian dengan topik yang serupa.
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
9
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Bab tinjauan pustaka ini menguraikan tentang gangguan perilaku disruptive/ Disruptive Behavior Disorders (DBDs), Parent-Child Interaction Therapy (PCIT), dan perkembangan anak di masa kanak-kanak tengah (middle childhood).
2.1
Gangguan Perilaku Disruptive/Disruptive Behavior Disorders (DBDs)
2.1.1
Pengertian dan Karakteristik Gangguan Perilaku Disruptive Sejumlah literatur yang memaparkan penelitian gangguan perilaku
disruptive, tidak mencantumkan definisi perilaku disruptive secara jelas. Salah satu definisi dari Hinshaw (dalam Alatupa, 2011) yang menyatakan bahwa perilaku disruptive merupakan gabungan dari beberapa perilaku externalizing negativistik yang muncul pada masa anak-anak, dan cenderung akan terus berlanjut dari waktu ke waktu. Perilaku externalizing yaitu perilaku yang ditujukan kepada lingkungan (lingkungan sebagai penderita) (Wenar & Kerig, 2000). Masalah perilaku externalizing juga dapat didefinisikan sebagai sekolompok perilaku negatif yang mengarah ke luar dari diri individu (lingkungan eksternal) (Campbell, Shaw, & Gilliom; Eisenberg et al., dalam Liu, 2004). Sementara, negativistik mengacu pada perilaku anak yang cenderung tidak mau mengikuti arahan atau perintah orang dewasa (Wenar & Kerig, 2000). Dari penjelasan tersebut sehingga perilaku disruptive (Hinshaw, dalam Alatupa, 2011) dapat didefinisikan sebagai perilaku negatif anak yang ditujukan kepada lingkungan (orang lain) dengan maksud menentang orang lain tersebut, cenderung dilakukan terus menerus sehingga perilaku tersebut dapat berlanjut berkembang dari waktu ke waktu. Sementara itu, menurut Schroeder dan Gordon (2002), perilaku disruptive mencakup sejumlah perilaku seperti temper tantrum, menangis atau merengek berlebihan, meminta perhatian, tidak patuh, berperilaku menyimpang, berperilaku agresif, mencuri, merusak perabotan, dan menunjukkan delinkuensi (kenakalan). Hal yang dinyatakan oleh Schroder dan Gordon (2002) menggambarkan kesulitan untuk mendefinisikan perilaku disruptive sehingga hanya dapat dijelaskan melalui contoh perilakunya.
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
10
DSM IV-TR (2007 dalam Alatupa, 2011) membagi perilaku disruptive ke dalam elemen sosial dan kognitif. Ditinjau dari elemen sosial, perilaku disruptive ditunjukkan sebagai perilaku agresif, menentang, dan antisosial, sedangkan ditinjau dari elemen kognitif, perilaku disruptive dapat berupa hiperaktivitas, inatensi, dan impulsivitas (Vitaro, Brendeg, Larose, & Tremblay, dalam Alatupa, 2011). Kedua elemen perilaku disruptive tersebut berbeda secara konseptual, namun kejadian perilakunya mungkin saja saling tumpang tindih satu sama lain (Hinshaw; Hinshaw, dalam Alatupa, 2011). Ditinjau dari elemen sosial, gangguan perilaku dikategorikan Oppositional Defiant Disorder (ODD), Conduct Disorder (CD), dan Disruptive Behavior Disorder Not Otherwise Specied (DBD NOS). Berikut ini hanya akan diulas ODD dan DBD NOS. Karakteristik ODD yaitu ditandai dengan adanya pola yang persisten dari perilaku yang mencakup ketidakpatuhan, negativistik, perilaku bermusuhan (hostile), dan perilaku menentang terhadap figur otoritas (Dallal, 2007; Wilmhurst, 2009). Perilaku ini sedikitnya terjadi selama 6 bulan dengan intensitas dan frekuensi yang tidak sesuai dengan usia dan tahapan perkembangan anak. Perilaku tersebut berdampak buruk pada fungsi akademik, sosial, atau pekerjaan individu. Perilaku ODD (DSM-IV-TR, 2000) secara spesifik meliputi : 1. Mudah tersulut emosinya (losing one’s temper), 2. Berdebat dengan orang dewasa (arguing with adults), 3. Secara aktif menolak untuk mematuhi atau menentang terhadap permintaan atau aturan dari orang dewasa (actively refusing to comply with or defying the rules and requests of adults), 4. Sengaja menganggu orang lain (deliberately annoy others), 5. Menyalahkan orang lain atas perilakunya yang tidak pantas atau kesalahannya (blaming others for one’s own misbehavior or mistakes), 6. Mudah tersinggung oleh orang lain (being easily annoyed by others), 7. Mudah marah (being resentful or angry), 8. Merasa iri/dengki (being vindictive or spiteful) Perilaku negativistik yang terkait dengan ODD mencakup ketidakmauan mengikuti arahan, keras kepala, dan ketidakmauan untuk berkompromi dengan teman sebaya dan orang dewasa. Selain itu, juga mencakup perilaku sengaja dan
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
11
terus menerus menguji batas kesabaran orang lain, perilaku mengabaikan aturan, perilaku argumentatif (berdebat), dan ketidakmauan untuk bertanggung jawab atas perilaku tidak pantas yang dilakukan. Sementara itu perilaku bermusuhan/ menentang yang terkait dengan ODD yaitu secara sengaja membuat jengkel orang lain dan dapat juga melalui agresi, yang lebih sering dalam bentuk agresi verbal. Perilaku ODD umumnya muncul pertama kali pada anak sebelum dan hingga anak berusia 8 tahun dan tidak sampai anak mencapai usia remaja (Dallal, 2007; Wilmhurst, 2009). Pada umumnya gejala pertama terlihat muncul saat anak berada di rumah; seiring dengan waktu lalu akan muncul di berbagai situasi, seperti di sekolah dan di lingkungan masyarakat. Hal yang tidak biasa apabila gejala ODD hanya muncul di sekolah atau lingkungan, namun tidak terjadi di rumah. Dalam tingkat keparahan yang rendah, perilaku ODD hanya terjadi rumah (Dallal, 2007; Wenar & Kerig, 2000). Kemudian pada tingkat keparahan yang lebih tinggi, perilaku ODD dapat ditujukan pada pihak otoritas lain selain orang tua, seperti kepala sekolah dan guru. Atau dalam tingkat keparahan yang ringan, perilaku ODD yang muncul dapat berupa perilaku pasif-agresif dan kurang kooperatif di sekolah (Vitillo & Jensen, dalam Dalal 2007). Disruptive Behavior Disorder Not Otherwise Specified (DBD NOS) merupakan kategori DBD pada masa kanak-kanak. Anak yang menampilkan perilaku ODD dan atau CD yang tidak memenuhi kesemua kriteria persyaratan diagnosis dari salah satu nya baik ODD ataupun CD. Berdasarkan uraian di atas, maka perilaku disruptive dapat didefinisikan sebagai perilaku yang ditujukan kepada orang lain dengan maksud menentang orang lain tersebut, dilakukan terus menerus sehingga dapat berlanjut berkembang dari waktu ke waktu; ditampilkan dalam bentuk beragam perilaku, seperti temper tantrum, menangis atau merengek berlebihan, meminta perhatian, tidak patuh, berperilaku menyimpang, berperilaku agresif, mencuri, merusak perabotan, dan menunjukkan delinkuensi (kenakalan). Berkembangnya perilaku disruptive dapat menjadi gangguan perilaku yang diistilahkan gangguan perilaku disruptive/ Disruptive Behavior Disorder (DBD) antara lain dalam bentuk Disruptive Behavior Disorder NOS yang karakteristiknya mencakup perilaku ODD dan atau
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
12
CD, namun tidak memenuhi sepenuhnya kriteria dari keduanya, baik ODD maupun CD.
2.1.2
Etiologi Studi menunjukkan bahwa terdapat beragam penyebab perilaku disruptive,
yaitu meliputi genetik, jenis kelamin (gender), temperamen, disfungsi pola pengasuhan, dan lingkungan (Schroder & Gordon, 2002).
a.
Faktor Genetik Penelitian longitudinal pada anak kembar sebelum anak dilahirkan
memberikan data tentang kontribusi faktor genetik terhadap kemunculan dan berkembangnya gangguan perilaku disruptive. Peneliti menemukan peranan signifikan dari faktor genetik terhadap kemunculan agresi fisik, hiperaktivitas, dan ketidakmauan anak mengikuti aturan, serta gabungan antara gejala ODD dan CD (Peticlerc & Tremblay, 2009). Penelitian menunjukkan bahwa faktor genetik berperan dalam sebagian besar berlanjutnya perilaku hiperaktivitas anak dan ketidakmauan anak mengikuti aturan, sementara faktor genetik yang berinteraksi dengan faktor lingkungan lebih menjelaskan terjadinya gejala ODD dan CD (Peticlerc & Tremblay, 2009).
b.
Faktor Jenis Kelamin (Gender) Data menunjukkan bahwa anak laki-laki memiliki kecenderungan lebih
tinggi melakukan perilaku disruptive dibandingkan anak perempuan (Bor, et.al. 1998). Banyak literatur hanya mengungkapkan temuan adanya perbedaan kecenderungan antara laki-laki dan perempuan tanpa menjelaskan lebih lanjut pengaruh biologis yang mengakibatkan adanya perbedaan tersebut. Satu penjelasan yang dapat dijadikan hipotesis adanya pengaruh gender ini berasal dari penelitian akan morning cortisol level. Cortisol adalah hormon stereoid yang dihasilkan kelenjar tubuh dan terlibat ketika seseorang merasakan tekanan/stres. Hormon ini berkaitan dengan fungsi mekanisme tubuh, seperti tekanan darah atau kadar gula darah. Hasil temuan menyatakan bahwa cortisol level yang rendah pada laki-laki berhubungan dengan tingkat keparahan seorang anak mengalami
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
13
DBD (McBurnett et al.; Vanyukov et al., dalam Van de Wiel, Van Goozen, Matthys, Snoek, & Van Engeland, 2004)
c.
Faktor Temperamen Banyak penelitian menghasilkan temuan bahwa temperamen anak menjadi
perantara genetik yang kuat terhadap berkembangnya perilaku antisosial (Caspi, Henry, McGee, Moffitt, & Silva; Moffitt, dalam Schroder & Gordon, 2002). Temperamen didefinisikan sebagai karakteristik seseorang yang dipengaruhi secara biologis, yang menentukan cara dan reaksi seseorang saat menghadapi orang dan situasi yang baru (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Berdasarkan pola temperamen, Thomas dan Chess (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009) mengkategorikan anak ke dalam tiga kategori, yaitu anak yang ‘mudah’ (easy child), anak yang ‘sulit’ (difficult child), dan anak yang ‘lama untuk bereaksi’ (slow to warm up child). Anak yang ‘mudah’ (easy child) cenderung memiliki mood yang positif dan terlihat bahagia, memiliki pola makan dan tidur yang teratur, serta mudah beradaptasi terhadap perubahan, seperti lingkungan, situasi, atau rutinitas yang baru. Sebaliknya, anak yang ‘sulit’ (difficult child) akan terlihat sering memiliki mood yang negatif dan sering menangis, memiliki pola makan dan tidur yang tidak teratur, serta sulit beradaptasi terhadap hal yang baru. Sementara, anak yang ‘lama untuk bereaksi’ (slow to warm-up child) memiliki intensitas reaksi negatif atau positif yang ringan, memiliki pola makan dan tidur yang lebih teratur dibandingkan anak dengan temperamen sulit, serta membutuhkan waktu dan pengulangan untuk mampu beradaptasi dengan hal yang baru (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Berkaitan dengan perilaku disruptive, anak pada masa usia prasekolah yang tergolong sebagai anak yang ‘sulit’ terlihat menunjukkan kecenderungan yang lebih tinggi untuk menampilkan perilaku disruptive daripada yang memiliki temperamen yang mudah (e.g., Tschann, Kaiser, Chesney, Alkon, & Boyce, dalam Schroeder & Gordon, 2002). Hal itu disebabkan pola temperamen pada anak yang ‘sulit’ berkaitan dengan etiologi perilaku disruptive yaitu regulasi-emosi yang kurang, reaksi yang intens terhadap frustrasi, iritabilitas/mood dan emosi yang negatif, resistensi terhadap kontrol, serta kecenderungan terlibat dalam perilaku berisiko tinggi, seperti perilaku-
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
14
perilaku yang membahayakan atau dapat mengakibatkan cedera fisik (Schroeder & Gordon, 2002).
d. Disfungsi Pola Pengasuhan Banyak faktor terkait dengan keberfungsian keluarga yang terbukti berperan dalam berkembangnya perilaku disruptive, meliputi pengasuhan (cara pendisiplinan anak, kehangatan dalam keluarga, arahan terhadap anak), kondisi psikologis orang tua (seperti, depresi pada ibu, gangguan kepribadian, gangguan penyalahgunaan
obat-obatan,
perilaku
antisosial/kriminal),
disfungsi
pernikahan/pasangan (seperti, perceraian/perpisahan, konflik, kekerasan dari pasangan), dan konflik anak dengan saudara kandung. Berbagai hal tersebut saling memberikan pengaruh satu sama lain dalam keberfungsian sebuah keluarga, misalnya pola pengasuhan yang dipengaruhi oleh kondisi psikologis orang tua dan disfungsi pernikahan/hubungan pasangan (suami-istri). Hal itu juga diperkuat oleh pernyataan bahwa depresi pada ibu, konflik pernikahan, atau stres yang dialami oleh orang tua akan memberikan pengaruhnya terhadap perilaku anak melalui pengasuhan yang mereka terapkan (Belsky, Hetherington, Stanley-Hagan, & Anderson; Snyder, dalam Bor, et.al, 1998; Patterson, Reid, & Dishion; Tolan, Guerra, & Kendall; McMahon & Eistes, dalam Calzada, Eyberg, Rich, & Querido 2004; Perez, 2008). Penerapan pola pengasuhan tertentu menggambarkan kualitas interaksi orang tua-anak, dan hal itu dapat berkontribusi terhadap berkembangnya perilaku disruptive pada anak. Pola pengasuhan merupakan prediktor terpenting berkembangnya perilaku externalizing, karena di dalamnya terjadi interaksi timbal balik antara orang tua dan anak yang dapat mengembangkan hubungan orang tuaanak dari waktu ke waktu. Secara umum, pola pengasuhan yang dihubungkan dengan perilaku agresif pada anak antara lain penerapan disiplin yang inkonsisten, pengawasan dan arahan yang kurang dari orang tua, penolakan orang tua terhadap anak, pemberian hukuman yang keras, adanya contoh/model yang buruk dari orang tua dan arahan yang kurang dari orang tua (Eron, Huesmann, & Zelli; Patterson, DeBaryshe, & Ramsey, dalam Bor, et.al., 1998; Patterson, et.al, dalam Wilmhurst, 2009). Sementara itu interaksi yang buruk antara orang tua dan anak
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
15
dapat mempengaruhi berkembangnya perilaku tidak patuh atau agresif pada anak. Interaksi yang buruk antara orang tua dan anak ditandai dengan tingkat penerimaan orang tua yang rendah terhadap anak, kehangatan atau afeksi dan keterlibatan dari orang tua yang kurang terhadap anak, kualitas attachment dan tingkat perasaan positif terhadap anak yang rendah serta kontrol ibu yang negatif terhadap anak (Loeber & Dishion; Bates and Bayles; Capaldi; East; Pettit & Bates, dalam Stormshak, Bierman, McMahon, & Lengua, 2000; Resnick, et.al, dalam Wilmhurst, 2009). Interaksi orang tua-anak dengan kehangatan dan dukungan yang rendah juga dapat dikaitkan dengan kesulitan regulasi-emosi pada anak. Kesulitan regulasi emosi pada anak tersebut kemudian tampil dalam perilaku anak berupa ketidakpatuhan, keras kepala, dan perilaku lainnya yang berhubungan dengan masalah perilaku menentang (Keenan & Shaw; Pettit, Bates, & Dodge; Zahn-Waxler, Iannotti, Cummings, & Denham, dalam Bor,et.al., 1998). Sementara itu, sebaliknya, interaksi orang tua-anak yang menunjukkan adanya kehangatan, ketegasan, dan pemberian alasan yang jelas terhadap disiplin perilaku anak akan mengembangkan kepatuhan pada anak (Crockenberg and Litman; Kuczynski, Konchanska, Radke-Yarrow and Girnius-Brown, dalam Bor,et.al, 1998).
e.
Lingkungan Sejumlah faktor lingkungan dapat mengakibatkan berkembangnya
masalah perilaku antisosial, antara lain yaitu status sosial ekonomi (sosek) yang rendah/kemiskinan (Schroder & Gordom, 2001; Widom, dalam Wilmhurst, 2009), karena hal itu juga terkait dengan faktor risiko lainnya. Status sosek yang rendah cenderung memunculkan berbagai faktor risiko baik langsung maupun tidak langsung terhadap perilaku anak. Kombinasi faktor yang terkait status sosek, misalnya tingkat stress yang tinggi, orang tua tunggal, isolasi sosial, dan stimulasi lingkungan rumah yang tidak memadai, serta sumber daya dukungan yang kurang dapat berkontribusi terhadap gejala depresi pada ibu, yang kemudian berdampak pada pola pengasuhan yang orang tua terapkan. Lebih lanjut, lingkungan sosek rendah seringkali berbahaya untuk anak karena dari lingkungan mereka mendapat contoh/model yang menunjukkan kekerasan atau penggunaan obat-obatan, dan di
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
16
lingkungan tersebut, mereka bersekolah di sekolah yang berkualitas buruk (Schroeder & Gordon, 2002). Tidak semua anak yang tinggal di lingkungan berrisiko tinggi mengembangkan gangguan perilaku disruptive. Adanya akumulasi berbagai faktor risiko terhadap berkembangnya perilaku disruptive dari lingkungan akan lebih mengakibatkan masalah perilaku pada anak daripada apabila hanya terdapat satu faktor risiko. Dalam studi yang menguji keterkaitan antar faktor risiko terhadap perilaku anak, Webster dan Hammond (dalam Schroeder & Gordon, 2002) menyatakan bahwa orang tua yang memiliki sejumlah faktor risiko akan lebih merasa tertekan/stres daripada yang memiliki sedikit faktor risiko. Oleh karena itu, mereka sepakat bahwa pengaruh rendahnya status sosek memberikan pengaruh terhadap perilaku anak dengan perantara orang tua, khususnya keterampilan orang tua dalam mengasuh anak. Dengan kata lain, pola pengasuhan yang efektif dan positif dari orang tua dapat mengatasi efek negatif dari kemiskinan terhadap perilaku anak mereka.
2.2.
Parent-Child Interaction Therapy (PCIT)
2.2.1
Pengertian dan Sejarah Singkat PCIT Parent-Child Interaction Therapy (PCIT) merupakan program pelatihan
perilaku yang dikembangkan oleh Dr. Sheila Eyberg yang melibatkan kerjasama antara orang tua dan anak (McNeil & Hembree-Kigin, 2010) untuk menangani anak-anak usia 2 – 7 tahun yang menunjukkan masalah perilaku disruptive (McNeil, Bahl, & Herschell, 2006). PCIT telah diterapkan dan diteliti efektivitasnya selama lebih dari 20 tahun (Herschell, Calzada, Eyberg, & McNeil, 2002). Hasil penelitian menunjukkan bahwa PCIT dapat memberikan efek penurunan masalah perilaku pada anak, peningkatan keterampilan orang tua, dan penurunan stres pada orang tua (Gallagher, 2003; Herschell, Calzada, Eyberg, & McNeil, dalam McNeil, Bahl, & Herschell, 2006). PCIT bahkan memiliki efek jangka panjang yang ditunjukkan melalui evaluasi post-treatment dengan jangka waktu 6 tahun setelah pelaksanaan treatment (Eyberg et al.; Hood & Eyberg,; Schumann, Foote, Eyberg, Boggs, & Algina, dalam McNeil, Bahl, & Herschell, 2006).
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
17
PCIT terbukti efektivitasnya terutama dalam penanganan anak usia kanakkanak awal yang memiliki gangguan perilaku disruptive (Disruptive Behavior Disorder/DBD), juga penanganan pada beragam populasi lain, yaitu seperti anakanak yang memiliki keterlambatan dalam perkembangan (developmental delays), mengalami gangguan perkembangan (developmental disorder), anak-anak di panti yang diasuh oleh orang tua angkat, anak-anak yang mengalami kekerasan rumah tangga, dan anak-anak yang memiliki ibu yang mengkonsumsi obat-obatan selama kehamilan (Pearl,et.al., 2012; McNeil, Bahl, & Herschell, 2006). PCIT awalnya ditujukan untuk anak usia kanak-kanak awal (3 – 6 tahun), lalu berkembang dan diterapkan pada anak berusia 7 hingga usia 12 tahun (McNeil & Hembree-Kigin, 2010; Schroder & Gordon, 2002; Chaffin, Silovsky, Funderburk, Valle, Brestan et al., 2004). PCIT berbeda dengan beberapa program pelatihan manajemen orang tua lainnya (Kazdin; Urquiza & McNeil, dalam Pearl,et.al, 2012). PCIT berfokus pada peningkatan kualitas interaksi orang tua-anak melalui terapi bermain antara orang tua dan anak dalam sebuah rangkaian sesi treatment berupa pelatihan secara langsung di saat interaksi orang tua-anak terjadi (Kazdin; Urquiza & McNeil, dalam Pearl,et.al, 2012). Dalam PCIT, terapis melatih orang tua paling sering menggunakan ruang dengan cermin satu arah (one way mirror) dan berkomunikasi dengan orang tua melalui alat komunikasi rahasia yang diselipkan di dalam telinga (bug-in-the-ear). PCIT merupakan intervensi dengan jangka waktu yang pendek, yaitu waktu total sesi sekitar 12 jam. Meskipun jangka pendek, PCIT tidak memiliki batasan waktu. Keefektifan dari sesinya bergantung pada penguasaan orang tua akan keterampilan yang dilatihkan sehingga jumlah dari sesi intervensi beragam antar keluarga yang satu dengan yang lain (McNeil & Hembree-Kigin, 2010). Eyberg (dalam McNeil & Hembree-Kigin, 2010) menyatakan bahwa dasar teoritis utama PCIT adalah dari penelitian Baumrind (1966, 1967) mengenai pola pengasuhan yang menjelaskan bahwa pentingnya orang tua menerapkan pengasuhan yang autoritatif dengan cara memenuhi dua kebutuhan anak yaitu kebutuhan kasih sayang dan batasan perilaku. Untuk mencapai kondisi anak seperti gambaran pengasuhan tersebut, Eyberg lalu berfokus pada bagaimana ia menciptakan interaksi orang tua-anak yang optimal melalui pendekatan teori
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
18
attachment dan pembelajaran sosial (social learning). Kedua pendekatan ini ia gunakan sebagai acuan dua fase terapi yaitu fase CDI (Child-Directed Interaction) dan fase PDI (Parent-Directed Interaction) (McNeil & Hembree-Kigin, 2010). Fase CDI (Child-Directed Interaction) menggunakan konsep pendekatan teori attachment. Ditinjau dari teori attachment, melalui pengasuhan yang sensitif dan responsif, anak akan merasa dirinya direspon oleh orang tua. Oleh karena itu, anak-anak dengan orang tua yang menunjukkan responsivitas dan sensitivitas terhadap perilaku anak, akan mengembangkan hubungan yang secure terhadap orang tua serta memiliki regulasi emosi dan perilaku yang lebih efektif. Sementara itu, konsep fase PDI (Parent-Directed Interaction) menggunakan pendekatan teori social learning, khususnya teori Patterson coercion. Berdasarkan teori tersebut, perilaku disruptive pada anak berkembang dan terus berlanjut melalui penguatan orang tua seperti memberikan atensi negatif dan mengikuti saja kemauan anak yang tidak mau melakukan permintaan orang tua. Pada fase kedua ini, orang tua diajarkan untuk membuat batasan dan memberikan konsekuensi yang konsisten, juga menghindari interaksi yang bersifat koersif terhadap anak. Menurut Eyberg (dalam McNeil & Hembree-Kigin, 2010), kedua fase ini diciptakan olehnya karena dipengaruhi oleh Hanf (1969) yang mengembangkan dua-tahap model operan untuk memodifikasi masalah perilaku anak dengan hendaya kondisi fisik. Hanf sebelumnya membuat model treatment dengan dua tahapan; pada tahapan pertama, orang tua diajarkan untuk memperhatikan perilaku positif anak dan mengabaikan perilaku negatifnya, sedangkan pada tahap kedua, orang tua dibimbing untuk memberikan arahan yang jelas secara konsisten dengan cara memuji dan memberikan konsekuensi timeout jika anak tidak patuh terhadap arahan orang tua. Satu hal yang menarik bagi Eyberg dari treatment Hanf tersebut dan digunakan dalam mengembangkan PCIT yaitu pendekatan kerjasama dengan orang tua melalui pelatihan keterampilan pengasuhan secara langsung di tempat interaksi antara orang tua dan anak itu terjadi (on- the-spot). Dalam PCIT, Eyberg juga menggunakan terapi bermain (play therapy) untuk membangun kehangatan dan hubungan terapeutik yang secure. Terapi bermain dalam PCIT tergolong dalam non-directive play therapy. Selama kegiatan bermain dalam PCIT, terapis PCIT tidak berinteraksi langsung dengan
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
19
anak, terapis berperan untuk mengarahkan keterampilan orang tua selama bermain. Menurut Eyberg (dalam McNeil & Hembre-Kiggin, 2010), situasi dyadic yang diciptakan melalui kegiatan bermain dapat menjadi media perantara bagi anak untuk mengembangkan keterampilan problem-solving yang sesuai dengan tahapan perkembangannya. Tahapan perkembangan perlu diperhatikan karena masalah-masalah yang muncul dalam interaksi anak-orang tua juga dikaitkan dengan tahapan anak mengembangkan autonomi atau ketidaksesuaian harapan orang tua dengan perkembangan anak mereka (McNeil & HembreeKigin, 2010).
2.2.2
Tahapan dalam PCIT Dalam PCIT, orang tua akan dilatih dua keterampilan melalui dua tahap
yaitu tahap CDI (Child-Directed Interaction) dan PDI (Parent Directed Interaction). Pada tahap CDI, orang tua berlatih menggunakan keterampilan untuk meningkatkan hubungan orang tua dan anak mereka melalui kegiatan bermain. Keterampilan yang akan diajarkan yaitu meliputi cara atau teknik memuji (praising),
merefleksi
(reflecting),
mengimitasi
(imitating),
menjelaskan/
mendeskripsi (describing), dan menunjukkan antusiasme (enthusiasm) terhadap perilaku anak. Keterampilan tersebut disebut juga dengan do skill (keterampilan yang harus dilakukan). Selain itu orang tua juga daiajarkan keterampilan untuk menghindari verbalisasi perintah, pertanyaan, dan sarkasme, atau disebut juga dengan avoid skill (keterampilan untuk menghindari). Di samping itu pada tahap ini, orang tua juga diajarkan untuk memberi perhatian secara efektif (strategic attention) dan mengabaikan secara selektif (selective ignoring). Keterampilan memberi perhatian secara efektif yaitu memberi perhatian secara khusus dengan menerapkan keterampilan yang diajarkan (memuji, merefleksi, mendeskripsi) terhadap perilaku positif anak. Keterampilan mengabaikan yaitu mengabaikan perilaku anak yang tergolong menggangguu, namun perilaku tersebut tidak membahayakan, seperti berteriak, berkata tidak pantas, dan melempar-lempar mainan.
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
20
Tahap CDI akan dimulai dengan sesi pengajaran dasar-dasar keterampilan CDI yang dilaksanakan melalui presentasi, diskusi, pemberian contoh, dan bermain peran antara orang tua dan terapis. Setelah sesi pengajaran, akan dilakukan sesi pelatihan keterampilan CDI. Jumlah sesi CDI secara spesifik bergantung dari seberapa cepat orang tua memperoleh keterampilan dan mampu untuk memberikan efek positif terhadap masalah anak. Penguasaan orang tua dalam keterampilan CDI menjadi persyaratan bagi orang tua untuk dapat melanjutkan ke tahap PDI. Dalam fase ini, orang tua diharapkan mampu menunjukkan keterampilan memuji, merefleksi, dan mendeskripsi perilaku sebanyak masing-masing 7 kali. serta menghindari verbalisasi perintah, pertanyaan, dan sarkasme. Pengecualian yang jarang bagi orang tua untuk dapat beralih ke tahap PDI sebelum menguasai keterampilan yang dilatihkan dalam tahap CDI. Akan tetapi, hal yang penting pula adalah memperhatikan keberlangsungan orang tua untuk hadir dalam sesi terapi secara lengkap. Apabila orang tua berisiko untuk tidak mampu menyelesaikan sesinya secara lengkap, untuk kepentingan anak, akan lebih baik apabila orang tua beralih ke tahap PDI, meskipun orang tua belum menguasai keterampilan pada tahap CDI. Bagi anak, hal yang lebih tidak efektif apabila orang tua berhenti di tengah jalan berlangsungnya sesi (hanya sesi CDI) daripada orang tua belum mencapai penguasaan. Dalam kondisi lainnya, orang tua yang belum menguasai keterampilan CDI dengan sempurna juga dapat beralih ke tahap PDI. Hal itu dapat terjadi apabila penguasaan terakhir orang tua sebelum beralih ke tahap CDI mendekati penguasaan yang sempurna, misalnya orang tua melakukan avoid skill sebanyak lima kali (melebihi dua dari yang seharusnya tiga kali) atau menerapkan do skill dengan jumlah kurang sedikit dari jumlah yang diharuskan. Keterampilan CDI orang tua tersebut kemudian akan kembali dilatih dan dinilai selama tahap PDI (McNeil & Hembree-Kigin, 2010). Ada beberapa penyesuaian pelaksanaan tahap CDI yang diterapkan bagi anak usia sekolah. Pertama, pentingnya pemberian pujian unlabeled. Pujian unlabled tersebut merupakan pujian yang tidak perlu disertai dengan perilaku positif yang anak lakukan, seperti perkataan ‘bagus!’ dan ‘hebat!’. Selain itu, orang tua juga dibolehkan untuk mengekspresikan pujian dalam bentuk nonverbal,
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
21
seperti sentuhan halus, acungan jempol, atau kedipan mata. Antusiasme dan imitasi yang diharapkan tampil dari orang tua juga agak berbeda dengan interaksi orang tua-anak usia prasekolah. Orang tua sebaiknya menunjukkan antusiasme secara halus dan dengan sikap yang tulus (genuine) sementara untuk imitasi, orang tua diharapkan tidak mengimitasi (meniru) perilaku anak secara langsung. Kesemua itu ditujukan agar kegiatan bermain yang dilakukan dapat berlangsung lebih alamiah (McNeil & Hembree-Kigin, 2010).. Pada tahap keterampilan PDI, orang tua berlatih untuk meningkatkan kepatuhan anak terhadap arahan mereka dan menurunkan perilaku disruptivenya. Agar anak menunjukkan kepatuhan, orang tua perlu merespon secara berbeda saat anak patuh dan tidak patuh. Untuk itu, orang tua akan diajarkan keterampilan cara memberikan perintah secara efektif, memuji saat anak menunjukkan kepatuhan, menggunakan time-out saat anak menunjukkan ketidakpatuhan, dan membangun aturan. Pemberian perintah yang efektif yaitu orang tua memberikan kalimat perintah secara langsung kepada anak dalam satu kalimat dengan bentuk kalimat yang positif. Misalnya, ‘ambil balok biru’, ‘taruh hewan macan di dekat pohon’. Sementara itu, time-out adalah cara mendisiplinkan anak dengan mengeluarkan anak dari area kegiatan bermain, seperti membawa anak duduk di kursi time-out. Orang tua diharapkan dapat menguasai keterampilan PDI apabila orang tua menunjukkan minimal empat kali perintah, dan 75% dari perintah tersebut merupakan perintah yang efektif dan dipatuhi oleh anak. Dari 75% perintah yang dipatuhi oleh anak, dihaparkan orang tua mampu memberikan pujian terhadap kepatuhan anak tersebut. Tahap PDI ini sama halnya dengan tahap CDI akan diawali dengan sesi pengajaran dan lalu dilanjutkan dengan sesi pelatihan keterampilannya. Pada pelatihan keterampilan PDI, terapis tetap dapat untuk melatih keterampilan CDI dan tetap menilai penguasaan keterampilan CDI pada sesi-sesi tertentu. Pada tahap PDI anak usia sekolah, terdapat sedikit penyesuaian keterampilan PDI. Pertama, pujian yang diberikan terhadap kepatuhan anak dapat disesuaikan, seperti halnya dalam tahap CDI. Pujian yang berlabel (labeled praise) terhadap kepatuhan dapat memberi kesan berulang-ulang secara otomatis (mechanical) dan dibuat-buat/tidak alamiah (disingenuous). Ketika anak
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
22
mendapatkan kesan ini, pujian yang diberikan akan kehilangan nilainya. Orang tua dapat memberikan pujian dengan mengatakan, ‘bagus!’, ‘benar!’, ‘terimakasih banyak’. Selain itu, terkait dengan perubahan fisik anak usia sekolah, guna menghindari konfrontasi secara fisik dalam mendisiplinkan anak, ada penerapan teknik khusus dalam tahap ini. Dalam tahap PDI, terapis dapat menerapkan metode incentive chart (pencatatan hadiah) yaitu terapis mencatat perilaku positif anak dan memberikan hadiah sesuai dengan kesepakatan; juga ada metode suspension of previlege yaitu pemberian hak istimewa setelah anak melakukan perilaku positif. Kedua metode tersebut menuntut pemahaman anak. Cara tersebut dapat diterapkan bagi anak usia sekolah apabila anak telah memahami konsep sebab-akibat, mampu menetapkan pilihan, dan memahami konsekuensi timbalbalik akan perilakunya. Selama intervensi, orang tua diberikan tugas saat di rumah, berupa melakukan kegiatan bermain (special play) bersama anak selama 5 menit. Orang tua diharapkan dapat melatih keterampilan mereka melalui kegiatan bermain tersebut sehingga mendukung kemajuan mereka menguasai keterampilan yang dilatihkan (McNeil & Hembree-Kigin, 2010).
2.3
Perkembangan Anak dan Tugas Orang Tua yang Sesuai pada Tahap
Usia Kanak-Kanak Tengah/Usia Sekolah (Middle Childhood/School age) Tahap kanak-kanak tengah (middle childhood) meliputi usia sekitar 5 atau 6 hingga sekitar usia 11 atau 12 tahun (Shiner, dalam Luoma, 2004; Papalia, Olds, & Feldman, 2009; Huston & Ripke, 2006). Anak yang melewati masa ini dapat juga disebut tergolong pada anak usia sekolah (school age) (Charlesworth, Wood, & Viggiani, 2007). Selama tahap perkembangan ini, perkembangan fisik berlangsung lebih stabil, namun anak-anak dengan usia kronologis yang sama mungkin saja memiliki tinggi dan berat badan serta perkembangan tanda-tanda seksual yang beragam. Pada kebanyakan anak di masa ini, peningkatan pertumbuhan tinggi dan berat badannya tergolong kecil dibandingkan saat anak berada pada tahap sebelumnya (Craig & Baucum, dalam Charlesworth, Wood, & Viggiani, 2007; Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Sementara itu, secara biologis, anak akan mengalami perkembangan kognitif dan emosi yang tergolong pesat.
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
23
Hal ini dikaitkan dengan adanya proses kematangan otak dan loncatan pertumbuhan sel-sel otak yang cepat yang ditunjukkan oleh hasil EEG. Dari hasil EEG, akan terlihat perbedaannya antara anak usia 6 dan 7 tahun, serta anak usia 9, 10, dan 11 tahun (Somsen,et.al, dalam Luoma, 2004). Temuan penelitian brain imaging menunjukkan bahwa adanya peningkatan kapasitas kognitif pada tahap kanak-kanak tengah ini karena sinaps-sinaps perlahan menghilang dan hubungan sinaptik yang tertinggal semakin diperkuat (Casey, et.al., dalam Luoma, 2004). Anak-anak pada masa ini mulai mengembangkan pemahaman konsep secara logis, kemampuan untuk menggunakan konsep-konsep secara simultan, dan metakognisi, seperti mampu untuk menganalisa pikiran dan proses memori untuk membuat rencana ke depan, pemahaman secara eksplisit, dan refleksi diri. Menurut Piaget (dalam Papalia, Olds, & Felman, 2009), perkembangan kognitif anak-anak di tahap ini termasuk dalam tahap ‘operasional konkret’. Piaget (dalam Papalia, Olds, &Felman, 2009) menyatakan bahwa pada usia sekitar 7 tahun, anak mulai memasuki tahap operasional konkret; anak mulai mampu menggunakan operasi mental untuk memecahkan masalah nyata sehari-hari. Anak-anak pada tahap ini dapat berpikir secara lebih logis karena mereka dapat melihat lebih banyak aspek dari sebuah situasi, meskipun mereka masih memahami situasi terbatas pada ‘here n now’ (yang mereka alami saat ini). Menurut Huston dan Ripke (2006), anak pada tahap ini akan mengembangkan kemampuan kognitif yang baru yang memungkinkan mereka untuk berpikir lebih fleksibel dan bertujuan dibandingkan saat berada pada tahap sebelumnya. Proses tersebut tidak semata-mata melibatkan kematangan individual anak secara biologis namun juga melibatkan interaksi anak dengan lingkungan fisik dan sosial termasuk teman sebaya dan orang dewasa di sekitarnya (Rogoff, dalam Huston & Ripke, 2006). Disamping itu, dengan berkembangnya kemampuan kognitifnya, anak dapat merasakan berbagai perasaan, yaitu rasa bersalah, bimbang, iri, rasa memiliki self-esteem yang rendah, serta rasa malu dan rasa bangga. Pada tahap kanak-kanak tengah, anak juga mengembangkan kemandirian dan berusaha mengurangi ketergantungan dari orang tua. Hal itu terkait dengan berkembangnya kemampuan anak untuk meregulasi diri secara lebih kompleks (Shinner, dalam Luoma, 2004) mengambil tanggung jawab, dan melatih kontrol-
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
24
diri; kesemua kemampuan itu penting saat mereka memasuki tahap remaja (Eccles,Wigfield, & Schiefele, dalam Huston & Ripke, 2008). Anak-anak pada tahap ini membentuk identitas, yaitu kesadaran akan siapa diri mereka dan di lingkungan mana mereka berada. Mereka memahami jenis kelamin, ras, etnis, dan budaya setempat, serta agama yang mereka anut. Hal itu tidak hanya dipengaruhi oleh kapasitas kognitif mereka, tetapi juga dipengaruhi oleh konteks lingkungan tempat mereka tinggal (Garcia Coll et al.; Ruble & Martin ; Harter, dalam Huston & Ripke, 2006). Selama tahap ini, anak juga mengembangkan konsep ‘apa yang dapat dengan baik dan tidak baik’ mereka lakukan, misalnya anak menilai diri mereka pintar atau baik dalam bidang olahraga dan populer di lingkungan sekolah (Eccles,et.al, dalam Huston & Ripke, 2006). Hal itu sejalan dengan pernyataan bahwa tugas perkembangan yang menonjol pada tahap ini adalah memperoleh perasaan akan kompetensi diri sendiri (self-competence) (Charlesworth, Wood, & Viggiani, 2007). Para ahli perkembangan pada masa usia sekolah ini menekankan bahwa anak-anak pada tahap ini mencari kesempatan untuk menunjukkan keterampilan personal, kemampuan diri, dan prestasinya. Erik Erikson (dalam Charlesworth, Wood, & Viggiani, 2007) juga mengemukakan bahwa rentang usia pada tahap ini sebagai tahap psikososial ‘industry versus inferiority’. Industry merujuk pada dorongan anak untuk mendapatkan kemampuan baru dan melakukan tugas yang bermakna. Pengalaman yang diperoleh anak terkait hal tersebut akan menguatkan usaha anak untuk meningkatkan penguasaan keterampilan dan membuat anak merasa dirinya mampu menguasai sesuatu (selfefficacy). Pengalaman tersebut lalu berdampak pada self-esteem anak. Papalia. Olds, dan Feldman (2004) menyatakan bahwa self-esteem berkembang pesat pada masa ini dan anak-anak yang mengembangkan self-competence dengan baik akan berdampak positif pada self-esteem mereka. Pemahaman anak akan dirinya dan rasa berkompetensi bergantung pada penilaian lingkungan sekitar. Dukungan keluarga, teman sebaya, dan komunitas akan meningkatkan rasa kompetensi tersebut pada anak; sebaliknya, kurangnya dukungan akan menurunkannya. Oleh karena itu, segala peristiwa yang didapatkan anak atas hasil interaksinya dengan
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
25
orang dewasa dapat berdampak pada peningkatan atau penurunan self-competence mereka. Pada tahap usia ini, orang tua memiliki peran guna mengembangkan anak secara optimal. Pada tahap usia ini, orang tua perlu mengembangkan hubungan yang hangat dan responsif, serta menunjukkan keterlibatan terhadap aktivitas anak (Cox, 2002; Grimes, Klein, & Putallaz, dalam Parke & Buriel, 2008). Orang tua perlu bersikap responsif saat anak memunculkan perilaku yang diinginkan dan orang tua dapat memberikan contoh akan perilaku tersebut (Brooks, 2008). Dalam menunjukkan sikap responsif, orang tua dapat berperan untuk mengatasi frustrasi anak dengan cara mengidentifikasi dan memuji sekecil apapun kemajuan anak serta membantu anak berlatih dan mendorongnya agar mencapai kemajuan yang lebih dari sebelumnya (Charlesworth, Wood, & Viggiani, 2007). Orang tua yang menunjukkan kehangatan, responsivitas, dan keterlibatan terhadap anak akan membentuk hubungan yang positif antara orang tua dan anak serta membantu anak mereka mengembangkan self-esteem secara positif. Dalam tahap usia ini, orang tua juga berperan mengawasi aktivitas anak (Cox, 2002; Brooks, 1999). Efektivitas pengawasan terhadap aktivitas anak bergantung pada kualitas hubungan antara orang tua dan anak. Apabila hubungan yang positif antara orang tua dan anak telah terjalin, orang tua akan lebih mudah mengawasi anak, anak akan dengan sendirinya memberitahu orang tua mereka akan aktivitas yang mereka lakukan (Cox, 2002). Anak pada tahap ini mempersepsikan orang tua sebagai orang dewasa yang dapat diajak berbicara dan berdiskusi. Ketika orang tua berbicara dengan anak mereka, mereka dapat memberi arahan dan mempengaruhi perilaku anak mereka. Sama halnya dengan kegiatan pengawasan, apabila telah tercipta hubungan orang tua dan anak yang hangat, orang tua akan lebih mudah memberi arahan kepada anak dan anak juga akan lebih mudah mengikuti arahan orang tua (Cox, 2002).
2.4
Dinamika Teori: Keterkaitan antara Perilaku Disruptive dan PCIT
pada Anak Usia Sekolah Gangguan perilaku disruptive dapat dialami oleh anak karena interaksi orang tua dan anak yang buruk akibat penerapan pengasuhan dari orang tua yang
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
26
kurang tepat terhadap anak. Penerapan pengasuhan yang kurang tepat tersebut ditandai dengan kehangatan dan keterlibatan dari orang tua terhadap anak yang rendah, batasan dari orang tua kepada anak yang kurang, serta kontrol orang tua yang negatif terhadap perilaku anak. Dengan adanya kontribusi yang signifikan dari pengasuhan orang tua terhadap berkembangnya perilaku disruptive pada anak, penanganan anak dengan gangguan perilaku disruptive harus berfokus pada orang tua dan anak. Salah satu intervensi yang mengikutsertakan orang tua dan anak serta telah terbukti efektivitasnya menangani anak-anak yang memiliki gangguan perilaku disruptive adalah Parent-Child Interaction Therapy (PCIT). PCIT yang digagas oleh Eyberg memiliki dasar teoritis utama dari penelitian Baumrind mengenai pengasuhan yang menjelaskan bahwa pentingnya orang tua menerapkan pengasuhan autoritatif dengan cara memenuhi dua kebutuhan anak yaitu kebutuhan kasih sayang dan batasan perilaku. Untuk mencapai kondisi anak seperti gambaran pengasuhan tersebut, Eyberg lalu menggunakan pendekatan teori attachment dan pembelajaran sosial (social learning) sebagai acuan dua-fase terapi yang ada dalam PCIT, fase CDI (Child-Directed Interaction) dan PDI (Parent-Directed Interaction). Fase CDI menggunakan konsep pendekatan teori attachment. Ditinjau dari teori attachment, melalui pengasuhan yang sensitif dan responsif, anak akan merasa dirinya direspon oleh orang tua, mengembangkan hubungan yang secure terhadap orang tua serta memiliki regulasi emosi dan perilaku yang lebih efektif. Melalui fase ini, orang tua akan diajarkan keterampilan berinteraksi dengan anak sehingga akan tercipta interaksi orang tuaanak yang yang lebih hangat dan positif. Sementara itu, konsep fase PDI menggunakan pendekatan teori social learning, khususnya teori Patterson coercion. Berdasarkan teori tersebut, perilaku disruptive pada anak berkembang dan terus berlanjut melalui penguatan orang tua, seperti memberikan atensi negatif dan mengikuti saja kemauan anak yang tidak mau melakukan permintaan orang tua. Pada fase PDI ini, orang tua diajarkan untuk membuat batasan dan memberikan konsekuensi yang konsisten, juga menghindari interaksi yang bersifat koersif terhadap anak sehingga akan terbentuk kepatuhan anak terhadap orang tua dan adanya penurunan perilaku disruptive pada anak.
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
27
Dari perkembangan anak usia middle childhood, diketahui bahwa selfesteem berkembang pesat pada tahap usia ini. Anak-anak pada tahap usia ini yang mengembangkan self-competence dengan baik akan membentuk self-esteem mereka secara lebih positif. Untuk membantu mengembangkan self-esteem anak secara positif, orang tua memiliki peran untuk menjalin hubungan yang hangat dan responsif. Melalui PCIT, orang tua akan dilatih keterampilan berinteraksi dengan anak yang tujuannya untuk membangun hubungan yang lebih positif dengan anak. Sementara itu, pemahaman anak akan dirinya dan rasa berkompetensi bergantung pada penilaian dari lingkungan sekitar, terutama orang tua. Orang tua dapat dapat berperan menunjukkan responsivitas dengan cara mengidentifikasi dan memuji sekecil apapun kemajuan anak serta membantu anak berlatih dan mendorongnya agar mencapai kemajuan yang lebih dari sebelumnya. Dalam PCIT, penerapan pujian (praising) terhadap perilaku dan kepatuhan anak juga dapat berkontribusi untuk meningkatkan self-esteem pada anak. Dengan demikian, PCIT tidak hanya menurunkan perilaku disruptive pada anak dan mengajarkan keterampilan pada orang tua, tetapi juga dapat berkontribusi secara positif terhadap self-esteem anak. Hubungan orang tua dan anak yang hangat dan positif juga membantu orang tua memberikan arahan terhadap anak. Dalam PCIT, fase CDI dilakukan terlebih dahulu sebelum fase PDI. Hal ini dimaksudkan untuk membangun hubungan yang hangat dengan anak terlebih dahulu sebelum orang tua dilatih untuk memberi aturan kepada anak. Dengan demikian, penerapan PCIT sejalan dengan tugas orang tua dalam tahap anak usia sekolah, yaitu melatih orang tua untuk terampil memberi arahan kepada anak; tugas itu akan lebih mudah terlaksana apabila orang tua membangun hubungan yang hangat dengan anak terbih dahulu.
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
28
BAB 3 RANCANGAN PROGRAM INTERVENSI
Permasalahan dalam penelitian ini adalah: “Apakah implementasi ParentChild Interaction Therapy (PCIT) efektif untuk menurunkan perilaku disruptive pada anak usia 7 tahun?”. Pada bab ini, akan diuraikan rancangan program intervensi PCIT untuk menjawab permasalahan tersebut, meliputi: tujuan program intervensi, desain penelitian, subjek penelitian, rencana pelaksanaan program intervensi, dan rancangan sesi intervensi.
3.1
Tujuan Program Intervensi Program intervensi ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan orang
tua untuk berinteraksi dengan anak secara lebih efektif sehingga perilaku disruptive anak menjadi berkurang. Program intervensi ini terdiri dari dua fase yaitu fase Child-Directed Interaction (CDI) dan fase Parent-Directed Interaction (PDI). Fase CDI dilaksanakan untuk melatih keterampilan orang tua dalam meningkatkan kualitas interaksi orang tua dan anak, sedangkan fase PDI dilaksanakan untuk melatih keterampilan orang tua dalam membangun kepatuhan anak terhadap orang tua.
3.2
Desain Penelitian Desain
penelitian
ini
adalah
single-subject
design
yaitu
hanya
menggunakan jumlah sampel satu subjek (N=1).
3.3
Subjek Penelitian Subjek penelitian ini adalah anak laki-laki, urutan pertama dari dua
bersaudara, dari orang tua yang berpendidikan sarjana. Subjek berusia 7 tahun 2 bulan dan saat ini duduk di kelas I SDN.
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
29
3.4.
Rencana Pelaksanaan Program Intervensi
3.4.1
Tempat Pelaksanaan Intervensi Intervensi akan dilaksanakan di Laboratorium Observasi dan Wawancara
(O/W) di Gedung B lantai 2 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
3.4.2
Alat-Alat yang Akan Digunakan Selama Intervensi Alat-alat yang harus selalu tersedia di dalam ruang pelaksanaan intervensi
selama program intervensi adalah sebagai berikut: 1. Video perekam Video perekam befungsi untuk merekam interaksi orangtua dan anak. Hasil rekaman akan digunakan oleh pelaksana intervensi untuk melakukan kodefikasi (coding) setiap verbalisasi orangtua dan anak. 2. Alat komunikasi berupa telefon genggam dan earphone Alat tersebut digunakan sebagai alat bantu komunikasi antara pelaksana intervensi dan ibu yang berada terpisah di dua ruangan. Pelaksana intervensi berada di ruang observasi, sementara ibu berada di ruangan yang bersebelahan dengan ruang observasi yang dibatasi oleh one way screen/mirror. 3. Mainan Mainan yang digunakan yaitu mainan berupa building blocks atau lego, papan tulis dan kapur berwarna, buku gambar dan krayon, puzzle, serta mainan hewan. 4. Meja dan kursi Meja dan kursi akan digunakan orang tua dan anak untuk bermain.
3.4.3
Alat Ukur yang Digunakan Alat ukur yang digunakan dalam mengevaluasi keberhasilan dari
intervensi yaitu: 1. The Eyberg Child Behavior Inventory (ECBI) ECBI merupakan skala rating untuk mengukur perilaku anak usia 2 – 16 tahun berdasarkan penilaian orang tua. (Eyberg & Pincus; Eyberg & Ross, dalam McNeil & Hembree-Kigin, 2010; McKinney & Morse,
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
30
2012). Alat ukur ini terdiri dari 36 item pernyataan atas masalah perilaku yang spesifik dan frekuensinya. Frekuensi perilaku dinilai dengan skor 1 s.d 7. Skor 1 s.d 7 menggambarkan frekuensi yang berbeda-beda, yaitu tidak pernah dilakukan (skor 1), jarang (skor 2 – skor 3), terkadang (skor 4), sering (skor 5 – skor 6), dan selalu (skor 7). ECBI merupakan alat ukur yang memiliki validitas dan reliabililitas yang baik, diuji pada sampel dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan, berbagai usia, dan beragam kelompok etnis (Whiston & Bouwkamp, dalam McKinney & Morse, 2012). Alat ukur ini sangat penting untuk menentukan rentang perilaku
klinis anak dan
mengidentifikasi perubahan perilaku dari waktu ke waktu. Rentang perilaku klinis ditandai dengan perolehan skor cut-off 131 atau di atasnya (Eyberg & Pincus, dalam McNeil & Hembree-Kigin, 2010).
2. Dyadic Parent-Child Interaction Coding System – Third Edition (DPICS – III) DPICS-III ini merupakan alat ukur formal observasional yang mengukur perilaku orang tua dan anak untuk menilai kualitas interaksi orang tua dan anak. Alat ukur ini digunakan sebagai pre dan posttreatment untuk melihat ada tidaknya perubahan kualitas interaksi orangtua-anak sebagai hasil dari intervensi. Penilaian melalui alat ukur ini dilakukan selama lima menit baik saat menilai keterampilan CDI maupun PDI, yang disebut sebagai coding CDI atau coding PDI. Melalui alat ukur ini, akan dapat dinilai penguasaan keterampilan orang tua dalam berinteraksi dengan anak baik dalam situasi kegiatan bermain yang diarahkan oleh anak maupun kegiatan bermain yang diarahkan oleh orang tua.
3.4.4
Evaluasi Keberhasilan Intervensi Keberhasilan dari intervensi didasarkan pada indikator sebagai berikut: 1. Adanya penurunan level intensitas perilaku disruptive pada anak antara pre dan post-treatment yang diukur dengan menggunakan alat ukur
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
31
ECBI. Skor perilaku yang dianggap normal (tidak tergolong klinis) adalah apabila skornya ≤ 114) ( (McNeil & Hembree-Kigin, 2010) 2. Adanya perubahan pada kualitas interaksi antara ibu dan anak berdasarkan alat ukur DPICS-III. Berdasarkan alat ukur ini, diharapkan orang tua mampu menguasai keterampilan dengan menunjukkan : a. Keterampilan yang dilatihkan pada tahap CDI Penguasaan orang tua dalam menerapkan keterampilan CDI yang terlihat dari meningkatnya responsivitas dan sensitivitas orang tua terhadap perilaku anak. Skor minimal yang diharapkan adalah selama coding
CDI,
orang
tua
mampu
menunjukkan
keterampilan
memberikan verbalisasi pujian, refleksi, dan deskripsi perilaku masing-masing sebanyak 7 kali serta mampu membatasi memberikan verbalisasi perintah, pertanyaan, dan sarkasme paling banyak 3 kali. Selain itu orang tua juga diharapkan mampu menampilkan keterampilan antusiasme dan imitasi yang sesuai. Adapun penjelasan dari masing-masing keterampilan di atas adalah sebagai berikut : -
Pujian adalah mengekspresikan pengakuan terhadap perilaku positif anak. Pujian dapat berupa pujian berlabel, pujian yang disertai dengan penjelasan perilaku positif yang dilakukan oleh anak, contohnya, “bagus, gambar yang kamu buat warnanya cerah, mama suka”. Pujian yang tidak berlabel yang berupa perkataan positif saja tanpa disertai perilaku positif anak, seperti, “ bagus, hebat, yeah!’
-
Refleksi adalah mengulangi atau merangkai kembali kata-kata yang dikatakan oleh anak. Contoh : Anak: “aku mau buat mobil” Orang tua merefleksi dengan mengatakan: “kamu mau buat mobil”
-
Deskripsi perilaku adalah mendeskripsikan yang dilakukan anak. Contoh :
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
32
Anak
sedang
membuat
jalanan
mobil.
Orang
tua
lalu
mendeskripsikan dengan mengatakan:“kamu sedang menggambar jalanan untuk mobil lewat.” -
Perintah adalah pemberitahuan kepada anak apa yang harus dilakukannya baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan cara mengusulkan kepada anak, misalnya, “pakai warna yang merah saja nak” atau “coba, kamu pasang balok yang besar”
-
Pertanyaan adalah kalimat tanya akan sesuatu hal kepada anak sehingga anak perlu menjawab kalimat tersebut, misalnya, kamu mau buat apa?”
-
Sarkasme adalah komentar dari orang tua saat orang tua menganggap anak melakukan kesalahan atau ingin menunjukkan ketidaksetujuan terhadap perilaku anak, “kok kamu ambil warna yang itu, tidak bagus nanti hasilnya.”
-
Antusiasme
merupakan
wujud
ekspresi
orang
tua
yang
menunjukkan perhatian dan kesenangan bermain bersama anak secara tulus. -
Imitasi adalah perilaku orang tua yang mengikuti kegiatan bermain anak, yang disesuaikan dengan perkembangan anak.
b. Keterampilan yang dilatihkan dalam tahap PDI Penguasaan orang tua dalam menerapkan keterampilan PDI yang terlihat dari kemampuan orang tua dalam memberi batasan dan konsekuensi terhadap perilaku anak : Diharapkan orang tua mampu menunjukkan keterampilan PDI dengan dua kriteria sebagai berikut : 1. Minimal ada empat kali perintah yang diberikan orang tua keada anak dengan 75 % dari perintah tersebut merupakan perintah yang efektif dan anak mematuhi perintah tersebut. 2. 75 % dari perilaku kepatuhan anak terhadap perintah orang tua, mendapat pujian dari orang tua. Perintah yang tergolong efektif, memenuhi beberapa syarat, yaitu perintah diberikan secara langsung, terdiri dari satu kalimat perintah
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
33
dan spesifik, dan dalam bentuk kalimat yang positif. Contoh kalimat perintah yang efektif dan tidak efektif yaitu : Perintah efektif : ‘ambil balok warna kuning itu (sambil ditunjuk)’ Perintah tidak efektif : ‘kamu mau tidak mengambilkan mama balok warna kuning itu’ (perintah ini tidak langsung)
3.4.5
Orang-Orang yang Terlibat dalam Intervensi Program intervensi ini melibatkan ibu dan anak. Ayah tidak dapat
diikutsertakan karena ayah bekerja di luar kota dan waktu kepulangannya tidak dapat diprediksi. Saat intervensi, ibu dalam kondisi hamil dengan usia kandungan sekitar 30 minggu. 3.5
Rancangan Sesi Intervensi
3.5.1
Rancangan Sesi Secara Garis Besar Sesi intervensi akan berlangsung sebanyak tiga belas sesi, yang
direncanakan dari tanggal 11 Juni 2012 s.d 23 Juli 2012 dengan menggunakan laboratorium O/W di gedung B F. Psikologi UI. Sesi intervensi dimulai dari sesi pre-treatment hingga diakhiri dengan sesi post-treatment. Berikut ini adalah rancangan sesi intervensi secara garis besar yang disajikan dalam bentuk tabel. Tabel 3.1.Kegiatan Intervensi Secara Garis Besar Sesi ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Kegiatan
Hari
Tanggal
Durasi
Pre-treatment Pengajaran CDI
Senin Jumat Senin Jumat Senin Jumat Senin Jumat Senin Jumat Senin Jumat Senin
11 Juni 2012 15 Juni 2012 18 Juni 2012 22 Juni 2012 25 Juni 2012 29 Juni 2012 02 Juli 2012 06 Juli 2012 09 Juli 2012 13 Juli 2012 16 Juli 2012 20 Juli 2012 23 Juli 2012
120 menit 120 menit 60 menit 60 menit 60 menit 60 menit 120 menit 60 menit 60 menit 60 menit 60 menit 60 menit 120 menit
Pelatihan keterampilan CDI Pengajaran PDI
Pelatihan keterampilan PDI
Post-treatment
Tempat
Laboratorium O/W F. Psikologi UI
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
34
3.5.2
Rancangan Sesi Intervensi Secara Rinci Rancangan sesi terdiri dari tahap pre-treatment, tahap CDI, tahap PDI, dan
tahap post-treatment. Sesi pre-treatment dan post-treatment masing-masing terdiri dari satu sesi, tahap CDI terdiri dari satu sesi pengajaran keterampilan CDI dan empat sesi pelatihan keterampilan CDI keterampilan CDI, serta tahap PDI terdiri dari satu sesi pengajaran keterampilan PDI dan lima sesi pelatihan keterampilan PDI.
3.5.2.1 Rancangan Tahap Pre-Treatment (Sesi ke-1) Tahap pre-treatment merupakan tahap yang dilaksanakan sebelum sesi intervensi yang diawali dengan pengajaran keterampilan CDI dimulai. Tahap ini memiliki arti yang penting terhadap keberlangsungan intervensi. Pada tahap ini, pelaksana intervensi memiliki tujuan utama yaitu menjalin rapport dengan ibu dan anak serta menarik perhatian ibu dan memotivasinya untuk berkomitmen memprioritaskan waktu untuk datang ke setiap sesi intervensi. Tahap Pretreatment ini terdiri dari dua bagian, yaitu pertama, asesmen semi-struktural yang meliputi wawancara semi-struktural dan pengambilan data baseline melalui observasi terstruktur menggunakan DPICS-III; dan kedua, orientasi terapi. Rincian pelaksanaan tahap pre-treatment dapat dlihat pada tabel 3.2.
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
35
Tabel 3.2. Kegiatan Tahap Pre-treatment Bagian dari Sesi ke-1/ Durasi Asesmen Semi –
Tujuan
Kegiatan
Alat/Berkas
1. Mendapatkan informasi
1. Melakukan wawancara terhadap ibu
- Panduan wawancara - Eyberg Child Behavior
Struktural - Wawancara semi-
tentang data perilaku
2. Meminta ibu untuk mengisi ECBI
struktural
disruptive anak.
3. Memberitahukan adanya sesi observasi terstruktur
dengan ibu
2. Mendapatkan data-data yang
kepada ibu.
anak, seperti penerapan pola
1 jam
asuh oleh orang tua di rumah
- Alat tulis - Stopwatch
berkaitan dengan perilaku Durasi :
Inventory (ECBI)
dan dampak perilaku disruptive terhadap area fungsi anak. Observasi
1. Memperoleh data baseline
1. Memberitahu orang tua mengenai observasi
- Dyadic Parent-Child
terstruktur
sebagai acuan untuk menilai
terstruktur yang akan dilaksanakan, meliputi tempat
Interaction System (DPICS)-
menggunakan
efektivitas intervensi.
pelaksanaan, durasi, dan prosedur pelaksanaan
III
2. Menjalin rapport kembali
(sesuai lembar instruksi observasi terstruktur)
DPICS-III
dengan orang tua dan anak
2. Memberikan arahan kepada ibu untuk berinteraksi
Durasi :
dengan anak di ruang bermain sesuai dengan
45 menit
instruksi yang diberikan
- Lembar instruksi observasi terstruktur - Perekam audio berupa kamera dan alat komunikasi
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
36
Bagian dari Sesi ke-1/ Durasi
Tujuan
Kegiatan
Alat/Berkas - Satu buah meja
3. Menilai interaksi ibu dan anak selama 15 menit di ruang observasi 4. Memberi tanda selesai serta mempersilahkan ibu
- Dua buah kursi Kotak mainan besar berisikan mainan lego, building blocks,
dan anak untuk keluar dari ruang bermain dan
miniatur hewan peternakan,
membolehkan mereka beristirahat untuk kemudian
puzzle, buku gambar dan
kembali ke ruangan setelah 30 menit
krayon. - Alat tulis - Stopwatch
Orientasi
-
Terapi/
Durasi :
Menjelaskan gambaran secara umum perilaku
-
perilaku disruptive I kepada ibu.
- Hasil rangkuman asesmen termasuk Eyberg Child
disruptive anak kepada ibu
2. Berdiskusi tentang penyebab perilaku I.
Behavior Inventory (ECBI)
Memberikan pemahaman
3. Menjelaskan pentingnya pengasuhan yang ‘khusus’
yang telah diisi
kepada ibu bahwa anak
untuk I dan orang tua merupakan tumpuan untuk
- Laptop
membutuhkan pengasuhan
menerapkan pengasuhan khusus tersebut.
- Materi presentasi tentang
yang khusus dan hal itu dapat dilatihkan melalui
4. Menjelaskan materi tentang PCIT melalui media power point dengan metode ceramah interaktif. 5. Menegaskan pentingnya komitmen ibu untuk hadir
PCIT -
1. Menjelaskan rangkuman hasil asesmen tentang
Menjelaskan tentang PCIT (gambaran umum, tujuan,
dalam keseluruhan sesi. 6. Memberikan lembar persetujuan kepada ibu.
PCIT - Alat tulis - Lembar handout presentasi tentang PCIT untuk ibu - Lembar PR bermain
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
37
Bagian dari Sesi ke-1/ Durasi
Tujuan
keefektifan penerapannya,
Alat/Berkas
7. Mendiskusikan ada tidaknya hambatan bagi ibu
- Lembar persetujuan (inform
gambaran fase PCIT dan isi
untuk datang dan mencari solusi akan hambatan
sesinya) dan meyakini akan
tersebut.
keefektifan PCIT terhadap masalah anak -
Kegiatan
consent)
8. Menjelaskan tentang PR dan memberikan lembar pengisian PR.
Memberikan pemahaman kepada ibu pentingnya berkomitmen untuk hadir
9. Mempersilakan kesempatan terakhir bagi ibu untuk bertanya pada sesi ini. 10. Menjelaskan kepada I tentang kehadirannya ke klinik UI.
dalam setiap sesi Memberikan kegiatan PR di
11. Memperkenankan ibu dan anak untuk pulang.
rumah yang akan dievaluasi pada sesi ke-2 (pengajaran CDI)
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
38
3.5.2.2 Rancangan Tahap Child-Directed Interaction (CDI) (Sesi ke-2 s.d ke-6) Tahap ini terdiri dari satu sesi pengajaran keterampilan CDI dan empat sesi pelatihan keterampilan CDI. Deskripsi kegiatan dari sesi tahap ini terdapat dalam tabel 3.3.
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
39
Tabel 3.3. Kegiatan Tahap CDI (Sesi ke-2 s.d ke-6) Sesi ke-/ Nama
Tujuan
Kegiatan
Sesi dan durasi
Peralatan, berkas, dan inventory yang disiapkan - Alat perekam audio visual
Sesi ke-2/ Sesi
1. Membahas PR yang dliakukan
1. Mendiskusikan PR yang telah dilakukan oleh
- Mainan
pengajaran
oleh orang tua, meliputi kegiatan,
keterampi-lan
hambatan, dan manfaat yang
- Meja dan kursi
CDI
didapatkan.
- Powerpoint Keterampilan
orang tua
- Notebook
CDI 2. Menjelaskan tahap CDI secara Durasi : 120 menit
keseluruhan 3. Menjelaskan keterampilan yang harus diterapkan selama orang tua berinteraksi dengan anak dalam
2. Menjelaskan tentang tahap CDI dan tujuannya
- Handout Keterampilan CDI
3. Menjelaskan, mencontohkan, dan mendiskusikan
- Alat tulis
keterampilan CDI : - ‘Avoid’ dan ‘do’ skills (hal yang harus dihindari dan harus dilakukan) - Keterampilan pemberian atensi dengan strategi
tahap CDI 4. Melatih keterampilan yang sudah dijelaskan
tertentu (strategic attention) dan pengabaian secara selektif (selective ignoring)
5. Mengetahui pemahaman ibu
4. Bermain peran dengan ibu untuk menerapkan
terhadap keterampilan yang telah
keterampilan yang telah dijelaskan sebelumnya
dipaparkan dan diperankan
menggunakan mainan
6. Menjelaskan PR kegiatan bermain
5. Berdiskusi tentang keterampilan yang telah diajarkan
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
40
Sesi ke-/ Nama
Tujuan
Kegiatan
Sesi dan durasi
Peralatan, berkas, dan inventory yang disiapkan
7. Mengingatkan ibu untuk menjalankan PR di rumah dengan baik
6. Menjelaskan tentang ‘PR’ kegiatan bermain (5 menit setiap hari) 7. Memberitahukan ibu kembali pentingnya tugas PR dan perlu melanjutkan pengisian lembaran pengerjaan PR
Sesi ke-3/
1. Membahas PR yang dilakukan oleh
1. Mendiskusikan PR yang telah dilakukan oleh orang tua
- Alat perekam audio visual - Mainan
pelatihan
orang tua, meliputi kegiatan,
keterampilan
hambatan, dan manfaat yang
- Meja dan kursi
CDI-I
didapatkan oleh orang tua dan anak
- Handout Keterampilan CDI - ECBI
Durasi : 60 menit
2. Mengetahui perkembangan
2. Mengadministrasi ECBI
perilaku anak
- PCIT progress note - Lembar PR CDI
3. Menilai perkembangan penguasaan keterampilan CDI ibu dan kualitas interaksi orang tua-anak 4. Meningkatkan penguasaan keterampilan CDI ibu dan kualitas
3. Mengkode keterampilan CDI ibu selama sekitar 5
- Alat tulis
menit 4. Melatih keterampilan CDI ibu selama 30 menit. 5. Menyampaikan perkembangan penguasaan keterampilan ibu dan mendiskusikannya
ibu-anak
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
41
Sesi ke-/ Nama
Tujuan
Kegiatan
Sesi dan durasi
Peralatan, berkas, dan inventory yang disiapkan
5. Mengingatkan ibu untuk
6. Memberikan lembar PR CDI
mengerjakan PR dan mengisi lembaran PRnya Sesi ke-4/ pelatihan keterampilan CDI-II
Durasi : 60 menit
1. Membahas PR yang dilakukan oleh orang tua, meliputi kegiatan,
1. Mendiskusikan PR yang telah dilakukan oleh orang tua
- Alat perekam audio visual - Mainan
hambatan, dan manfaat yang
- Meja dan kursi
didapatkan oleh orang tua dan anak
- Handout Keterampilan CDI
2. Memberi pengetahuan kepada ibu dengan topik ‘orang tua merupakan model yang baik bagi anak’.
2. Menjelaskan materi kepada ibu mengenai topik - Materi informasi untuk orang ‘orang tua sebagai model yang baik bagi anak’ tua tentang ‘orang tua dengan metode ceramah dan tanya jawab
merupakan model yang baik bagi anak’
3. Menilai perkembangan penguasaan keterampilan CDI ibu dan kualitas interaksi orang tua-anak 4. Meningkatkan penguasaan keterampilan CDI ibu dan kualitas
3. Mengkode keterampilan CDI ibu selama sekitar 5 menit
- PCIT progress note - Alat tulis
4. Melatih keterampilan CDI ibu selama 35 menit 5. Menyampaikan perkembangan penguasaan keterampilan ibu dan mendiskusikannya
interaksi ibu-anak
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
42
Sesi ke-/ Nama
Tujuan
Kegiatan
Sesi dan durasi
inventory yang disiapkan 5. Mengingatkan ibu untuk mengerjakan PR
6. Memberitahukan ibu kembali akan pentingnya kegiatan PR di rumah danpengisian lembar PR - Alat perekam audio visual
Sesi ke-5/ pelatihan keterampilan CDI-III
Durasi : 60 menit
Peralatan, berkas, dan
1. Membahas PR yang diakukan oleh orang tua, meliputi kegiatan,
1. Mendiskusikan PR yang telah dilakukan oleh orang tua
- Mainan - Meja dan kursi
hambatan, dan manfaat yang
- Handout Keterampilan CDI
didapatkan oleh orang tua dan anak
- ECBI
2. Mengetahui perkembangan perilaku
2. Mengadministrasikan ECBI
- PCIT progress note - Bahan materi tentang
anak
‘peranan dukungan bagi 3. Membagi pengetahuan kepada ibu
3. Menjelaskan kepada ibu materi tentang ‘peranan
orang tua’
tentang ‘peranan dukungan sekitar
dukungan sekitar untuk orang tua’ dengan metode
- LembarPRCDI
bagi orang tua’
ceramah dan tanya jawab
- Alat tulis
4. Menilai perkembangan penguasaan keterampilan CDI ibu dan kualitas interaksi orang tua-anak 5. Meningkatkan penguasaan keterampilan CDI ibu dan kualitas
4. Mengkode keterampilan CDI ibu selama sekitar 5 menit 5. Melatih keterampilan CDI ibu selama 35 menit 6. Menyampaikan perkembangan penguasaan keterampilan ibu dan mendiskusikannya
interaksi ibu-anak
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
43
Sesi ke-/ Nama
Tujuan
Kegiatan
Sesi dan durasi
Peralatan, berkas, dan inventory yang disiapkan
6. Mengingatkan ibu
7. Memberikan lembar PR CDI
untukmengerjakan PR dan mengisi lembaran PRnya Sesi
1. Membahas PR yang diakukan oleh
pelatihan
orang tua, meliputi kegiatan,
keterampilan CDI-IV Durasi menit
- Alat perekam audio visual
ke-6/
:
60
1. Mendiskusikan PR yang telah dilakukan oleh orang tua
- Mainan - Meja dan kursi
hambatan, dan manfaat yang
- Handout Keterampilan CDI
didapatkan oleh orang tua dan anak
- PCIT progress note
2. Memberi pengetahuan kepada orang tua dengan topik ‘anak dan stres’.
2. Menjelaskan dengan orang tua mengenai topik ’anak dan stres’ dengan metode ceramah dan tanyajawab
3. Menilai perkembangan penguasaan keterampilan CDI ibu dan kualitas interaksi orang tua-anak 4. Meningkatkan penguasaan keterampilan CDI ibu dan kualitas
- Bahan materi tentang ‘anak dan stres’ - Alat tulis
3. Mengkode keterampilan CDI ibu selama sekitar 5 menit 4. Melatih keterampilan CDI ibu selama 30 menit 5. Menyampaikan perkembangan penguasaan keterampilan ibu dan mendiskusikannya
interaksi orang tua-anak
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
44
5. Mengingatkan ibu untuk mengerjakan PR
6. Memberitahukan ibu kembali akan pentingnya kegiatan PR di rumah dan pengisian lembar PR
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
45
3.5.2.3 Rancangan Tahap Parent-Directed Interaction (PDI) (Sesi ke-7 s.d ke12) Tahap ini terdiri dari satu sesi pengajaran keterampilan PDI dan lima sesi pelatihan keterampilan PDI. Deskripsi kegiatan dari sesi tahap ini diuraikan dalam tabel 3.4.
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
46
Tabel 3.4. Kegiatan Tahap PDI (Sesi ke-7 s.d ke-12) Sesi ke-/ Nama Sesi dan durasi Sesi ke-7/ Sesi pengajaran keterampilan PDI
Durasi : 120 menit
Tujuan
Kegiatan
1. Membahas PR yang diakukan oleh
1. Mendiskusikan PR yang telah dilakukan oleh orang
orang tua, meliputi kegiatan,
tua
Peralatan, berkas, dan inventory yang disiapkan - Alat perekam audio visual - Mainan - Notebook
hambatan, dan manfaat yang
- Meja dan kursi
didapatkan oleh orang tua dan
- Powerpoint Keterampilan
anak.
PDI
2. Mengetahui perkembangan perilaku anak
2. Mengadministrasikan ECBI dan menilai kemajuannya dari administrasi sebelumnya
- Handout Keterampilan PDI - ECBI - Lembar PR CDI - Alat tulis
3. Menjelaskan tahap PDI secara keseluruhan
3. Menjelaskan tentang tahap PDI dan tujuannya 4. Menjelaskan, mencontohkan, dan mendiskusikan
4. Menjelaskan keterampilan yang
keterampilan PDI dan alur diagram time-out :
harus diterapkan selama orang tua
- Pemberian perintah yang efektif
berinteraksi dengan anak dalam
- Pemberian peringatan time-out
tahap PDI
- Pemberian pujian segera setelah anak
5. Melatih keterampilan yang sudah dijelaskan
menunjukkan kepatuhan baik saat tidak menerima peringatan time-out maupun setelah menerima peringatan time-ou
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
47
Sesi ke-/ Nama Sesi dan durasi
Tujuan 6. Mengetahui pemahaman ibu terhadap keterampilan yang telah dipaparkan dan diperankan
Kegiatan
Peralatan, berkas, dan inventory yang disiapkan
- Keterampilan ibu saat anak menerima time-out 5. Bermain peran dengan ibu untuk menerapkan keterampilan yang telah dijelaskan sebelumnya menggunakan mainan 6. Berdiskusi tentang keterampilan yang telah diajarkan
7.Mengingatkan ibu untuk tetap menjalankan PR di rumah dengan baik
6. Memberitahukan ibu kembali pentingnya tugas PR dan perlu melanjutkan pengisian lembaran PR 7. Memberikan lembar PR CDI
Sesi ke-8/ 1. Membahas PR yang dilakukan oleh
pelatihan
orang tua, meliputi kegiatan,
keterampilan PDI-I Durasi menit
:
1. Mendiskusikan PR yang telah dilakukan oleh orang tua
- Alat perekam audio visual - Mainan
hambatan, dan manfaat yang
- Meja dan kursi
didapatkan oleh orang tua dan anak
- Handout Keterampilan CDI
60 2. Memberi pemahaman kepada anak tentang aturan bermain pada tahap PDI 3. Meningkatkan penguasaan keterampilan PDI ibu dan
dan PDI 2. Menyampaikan kepada anak tentang aturan bermain - PCIT progress note pada tahap PDI - Lembar PR PDI 3. Menunjukkan kepada anak area kursi time-out dan - Alat tulis menjelaskan tentang kondisi anak jika ia berada di kursi time-out
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
48
Sesi ke-/ Nama Sesi dan durasi
Tujuan
Kegiatan
Peralatan, berkas, dan inventory yang disiapkan
4. Bermain peran dengan anak dan meminta anak meningkatkan
kepatuhan
anak
terhadap ibu
untuk merasakan berada di kursi time-out 5. Melatih keterampilan PDI ibu selama 30 menit. 6. Menyampaikan perkembangan penguasaan keterampilan ibu dan mendiskusikannya
4. Mengingatkan ibu untuk
6. Memberikan lembar PR CDI dan juga PDI
mengerjakan PR dan mengisi *Lembar PR PDI diberikan apabila ibu terlihat
lembaran PRnya
menguasai keterampilan PDI pada sesi 1 dan anak tidak menerima time-out. Sesi ke-9/ 1. Membahas PR yang dilakukan oleh
pelatihan
orang tua, meliputi kegiatan,
keterampilan PDI-II Durasi menit
:
60
1. Mendiskusikan PR yang telah dilakukan oleh orang - Alat perekam audio visual tua
- Mainan
hambatan, dan manfaat yang
- Meja dan kursi
didapatkan oleh orang tua dan anak
- Handout Keterampilan PDI dan CDI
2. Mengetahui perkembangan perilaku
2. Mengadministrasi ECBI
anak
- PCIT progress note - ECBI - Alat tulis
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
49
Sesi ke-/ Nama Sesi dan durasi
Tujuan
3. Menilai keterampilan CDI dan PDI ibu
Kegiatan
Peralatan, berkas, dan inventory yang disiapkan
3. Mengkode keterampilan CDI selama 5 menit 4. Mengkode keterampilan PDI ibu selama 5 menit 5. Melatih keterampilan PDI ibu selama 20 menit
4. Meningkatkan penguasaan keterampilan PDI ibu
5. Mengingatkan ibu untuk mengerjakan PR Sesi ke-10/
6. Menyampaikan perkembangan penguasaan keterampilan ibu dan mendiskusikannya 7. Memberitahukan ibu kembali akan pentingnya kegiatan PR di rumah dan pengisian lembar PR
1. Membahas PR yang diakukan oleh
1. Mendiskusikan PR yang telah dilakukan oleh orang
- Mainan
pelatihan
orang tua, meliputi kegiatan,
keterampilan
hambatan, dan manfaat yang
- Meja dan kursi
PDI-III
didapatkan oleh orang tua dan anak
- Handout Keterampilan CDI
Durasi menit
:
tua
- Alat perekam audio visual
- PCIT progress note
60 2. Menilai perkembangan keterampilan CDI dan PDI menggunakan petunjuk
2. Mengkode keterampilan CDI selama 5 menit 3. Mengkode keterampilan PDI ibu selama 5 menit
- Bahan materi tentang ‘peranan dukungan bagi
merapihkan mainan
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
50
Sesi ke-/ Nama Sesi dan durasi
Tujuan
Kegiatan
Peralatan, berkas, dan inventory yang disiapkan
3. Meningkatkan keterampilan CDI
4. Melatih keterampilan CDI ibu selama 15 menit
- Lembar PRCDI dan PDI
dan PDI (sekaligus kegiatan
5. Melatih keterampilan PDI ibu selama 15 menit
- Lembar materi aturan publik - Alat tulis
merapihkan mainan 4. Mengetahui aturan rumah dan publik dari anak yang perlu
4. Berdiskusi serta mencatat aturan rumah dan publik dari ibu yang perlu dilatihkan kepada anak
dilatihkan serta memberikan panduan untuk menetapkan aturan tersebut 5. Mengingatkan ibu untuk
4. Memberikan lembar PR CDI dan PDI
mengerjakan PR dan mengisi lembaran PRnya Sesi
ke-11/ 1. Membahas PR yang diakukan oleh
pelatihan
orang tua, meliputi kegiatan,
keterampilan PDI-IV Durasi menit
:
60
1. Mendiskusikan PR yang telah dilakukan oleh orang tua
- Alat perekam audio visual - Mainan
hambatan, dan manfaat yang
- Meja dan kursi
didapatkan oleh orang tua dan anak
- Handout Keterampilan CDI dan PDI
2. Mengetahui perkembangan perilaku
2. Mengadministrasi ECBI
- ECBI
anak
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
51
Sesi ke-/ Nama Sesi dan durasi
Tujuan
3. Meningkatkan keterampilan CDI
Kegiatan
3. Melatih keterampilan CDI dan PDI
Peralatan, berkas, dan inventory yang disiapkan - PCIT progress note - Alat tulis
yang difokuskan pada keterampilan yang belum dikuasai dan keterampilan PDI (sekaligus kegiatan merapihkan mainan) 4. Mengingatkan ibu untuk mengerjakan PR Sesi
1. Membahas PR yang diakukan oleh orang tua, meliputi kegiatan,
keterampilan PDI-V
menit
kegiatan PR di rumah dan pengisian lembar PR
ke-12/
pelatihan
Durasi
4. Memberitahukan ibu kembali akan pentingnya
:
60
1. Mendiskusikan PR yang telah dilakukan oleh orang tua
- Alat perekam audio visual - Mainan
hambatan, dan manfaat yang
- Meja dan kursi
didapatkan oleh orang tua dan anak
- Handout Keterampilan CDI dan PDI
2. Menilai perkembangan
2. Mengkode keterampilan CDI dan PDI
keterampilan CDI dan PDI
- PCIT progress note - Alat tulis
(menggunakan petunjuk merapihkan mainan) 3. Meningkatkan keterampilan CDI
3. Melatih keterampilan CDI dan PDI
dan PDI (sekaligus kegiatan merapihkan mainan)
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
52
4. Mengingatkan ibu untuk mengerjakan PR
4. Memberitahukan ibu kembali akan pentingnya kegiatan PR di rumah dan pengisian lembar PR
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
53
3.5.2.4 Rancangan Tahap Post-treatment (Sesi intervensi ke-13) Tahap ini merupakan tahap terakhir dari sesi intervensi. Deskripsi kegiatan dari sesi tahap ini disajikan dalam tabel 3.5.
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
54
Tabel 3.5. Kegiatan Tahap Post-Treatment (Sesi ke-13) Sesi ke-/ Nama Sesi dan durasi Sesi ke-13
Tujuan
Kegiatan
Peralatan, berkas, dan inventory yang disiapkan
1. Mengkode keterampilan CDI dan PDI
- Alat perekam audio visual
keterampilan CDI dan PDI ibu guna
2. Menjelaskan dan mendiskusikan dengan ibu bahwa
- Mainan
melihat perbandingan interaksi ibu
telah ada perkembangan perilaku I antara sebelum
- Meja dan kursi
dan I antara sebelum dan sesudah
dan sesudah intervensi.
- Handout Keterampilan CDI
1. Mengetahui penguasaan
intervensi.
3. Menjelaskan ulasan keterampilan CDI dan PDI serta
2. Memberikan ibu gambaran perkembangan perilaku I. 3. Meyakinkan ibu untuk tetap mengasah dan menerapkan keterampilan CDI dan PDI terhadap I secara konsisten.
dan PDI
mengguggah komitmen ibu untuk menerapkan
- PCIT progress note
keterampilan secara konsisten.
- Alat tulis
4. Membagi informasi materi tentang teknik mendisiplinkan anak 5. Memberi ucapan selamat dan apresiasi kepada ibu
- Tanda bintang - Handout penerapan teknik mendisiplinkan anak
atas keterlibatannya dalam intervensi dan penguasaan keterampilan yang telah diusahakannya. 6. Memberi ucapan selamat kepada anak atas keterlibatannya dalam intervensi dan kesediaannya untuk kooperatif bekerjasama.
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
55
BAB 4 HASIL PROGRAM INTERVENSI
Program intervensi ini dijalankan dalam dua belas sesi, lebih cepat dari tiga belas sesi yang direncanakan, karena tahap PDI dapat dilaksanakan dalam empat sesi dari lima sesi yang semula direncanakan. Program intervensi terdiri dari tahap pre-treatment, tahap CDI, tahap PDI, dan tahap post-treatment.
4.1
Pelaksanaan Program Intervensi Secara umum, program intervensi dapat dilaksanakan sesuai dengan
jadwal yang telah ditentukan, meskipun terdapat beberapa perubahan dari perencanaan semula. Beberapa perubahan yaitu sebagai berikut : - Sesi ke-1 terbagi menjadi dua dalam dua hari yang berbeda. Ada bagian dari sesi ke-1, wawancara semi-struktural, yang dilaksanakan di tempat terapi remedial I, di Klinik SK, Sementara itu observasi terstruktur dan orientasi terapi tetap dilaksanakan di Laboratorium O/W Gedung B F.Psikologi UI. Selain itu, pada sesi ke-1, ayah dari I ingin hadir bersama ibu dan I sehingga pelaksana intervensi mengikutsertakan ayah dalam sesi ke-1. - Pada sesi ke-2 (pengajaran keterampilan CDI), sesi ke-7 (pengajaran keterampilan PDI), dan sesi post-treatment terdapat perubahan tempat pelaksanaan, yaitu untuk sesi ke-2 dan ke-7 yang semula di Laboratorium O/W menjadi di Klinik Terpadu F. Psikologi UI. Pelaksanaan sesi pengajaran CDI (sesi ke-2) bersamaan dengan hari libur Fakultas Psikologi sehingga laboratorium O/W tidak dapat digunakan. Selain itu, pada sesi pengajaran (sesi ke-2 dan ke-7) tidak membutuhkan ruang one-way mirror. Sementara, untuk sesi terakhir, dilaksanakan di rumah karena kondisi ibu yang sudah memasuki kehamilan minggu ke 36 dan merasa kelelahan untuk datang ke Fakultas Psikologi UI. - Pada beberapa sesi intervensi, orang tua juga menyampaikan hal tentang kondisi anaknya selain yang berkaitan dengan perilaku disruptivenya, misalnya
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
56
tentang kondisi keluarga dengan suami (ayah I) yang lebih banyak bekerja di luar kota dan hal yang terkait dengan akademis I. - Sesi ke-10 tidak dapat dilaksanakan sesuai jadwal karena ibu dari I sakit. Sesi ke-10 dilaksanakan pada hari yang semula dijadwalkan untuk sesi ke-11.
Pelaksanaan secara umum dari program intervensi yang terdiri dari dua belas sesi, ditampilkan melalui tabel berikut: Tabel 4.1. Pelaksanaan program intervensi PCIT Sesi
Kegiatan
Hari
Tanggal
Waktu
Tempat
ke1
2 3 4 5 6
7 8 9 10 11 12
4.2
Pre-treatment a. Asesmen SemiStruktural - Wawancara Semi-Struktural - Observasi terstruktur menggunakan DPICS-III b. Orientasi Terapi Tahap CDI Pengajaran keterampilan CDI Pelatihan keterampilan CDI Tahap PDI Pengajaran keterampilan PDI Pelatihan keterampilan PDI Post-treatment
Sabtu
9 Juni 2012
12.30 – 14.00
Senin
11 Juni 2012
14.30 – 15.10
Senin
11 Juni 2012
15.10 – 16.10
Jumat
15 Juni 2012
14.10 – 16.00
Senin Jumat Senin Jumat
18 Juni 2012 22 Juni 2012 25 Juni 2012 29 Juni 2012
14.00 – 15.00 12.30 – 13.30 12.30 – 13.30 12.45 – 14.10
Senin
02 Juli 2012
14.15 – 16.00
Jumat Senin Senin Jumat Senin
06 Juli 2012 09 Juli 2012 16 Juli 2012 20 Juli 2012 23 Juli 2012
10.30 – 11.30 11.00 – 12.00 13.00 – 14.00 13.30 – 14.30 17.00 – 19.00
Tempat Terapi I (Klinik SK) Laboratorium O/W Ged.B F. Psikologi UI
Klinik Terpadu F.Psikologi UI Laboratorium O/W Ged.B F. Psikologi UI
Klinik Terpadu F.Psikologi UI Laboratorium O/W Ged.B F. Psikologi UI Rumah I
Hasil Pelaksanaan Program Intervensi Hasil pelaksanaan program intervensi terbagi menjadi empat, tahap pre-
treatment, tahap CDI, tahap PDI, dan tahap post-treatment. Dalam uraian hasil pelaksanaan ini juga disajikan data penurunan perilaku disruptive I berdasarkan Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
57
ECBI serta peningkatan kualitas interaksi ibu dan I antara pre-treatment dan posttreatment. Untuk data penilaian rinci kualitas interaksi ibu dan I menggunakan DPICS-III dari awal hingga akhir sesi, disajikan dalam bentuk tabel yang terpisah. 4.2.1
Pelaksanaan Tahap Pre-treatment Pelaksanaan dari tahap pre-treatment (sesi ke-1) dapat dilihat pada Tabel
4.2.
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
58
Tabel 4.2. Hasil pelaksanaan tahap pre-treatment Bagian sesi/
Hasil
Analisis Singkat
Kegiatan
1. Mewawancara ayah dan ibu. 2. Mengadminis-
1. Secara garis besar, masalah perilaku I yaitu :
- I menampilkan perilaku disruptive
- Tidak mematuhi aturan rumah dari ibu, terutama aturan untuk belajar
dalam bentuk ketidakpatuhan I
- Tidak mematuhi arahan perilaku dari ibu dan merespon arahan
terhadap figur otoritas dan
trasi pengisian
tersebut dengan menunjukkan perilaku tidak pantas, memukul dan
agresivitas dengan cara memukul
lembar ECBI.
menendang ibu, serta mengatakan kata-kata yang tidak pantas, seperti
atau menendang.
3. Mencatat
‘bego dan tete’.
-
I juga menunjukkan perilaku DBD
informasi yang
- Mudah marah jika keinginannya tidak segera dipenuhi.
(yang ada dalam kriteria ODD) yaitu
penting.
- Tidak mau untuk membantu ibu untuk melakukan tugas rumah tangga
mudah marah apabila diberikan
yang mampu I lakukan. - Tidak mau bertanggung jawab jika berbuat perilaku yang tidak pantas
arahan, yang ditampilkan dalam bentuk perilaku memukul,
atau kesalahan dan seringkali menyebutkan adiknya yang berbuat hal
menendang, dan mengatakan kata-
tersebut.
kata yang tidak pantas; tidak mau
- I juga menunjukkan respon negatif terhadap arahan nenek, kakek, dan
mengikuti aturan dan berperilaku
tente di rumah. Terhadap ayah, I menampilkan perilaku negative
menentang; serta tidak mau
dengan frekuensi yang lebih sedikit dari ibu dan bentuk perilaku yang
bertanggung jawab atas
terlihat berbeda. I mengatakan kata yang tidak pantas kepada ayah,
perbuatan/perilakunya yang tidak
namun dengan volume suara yang pelan dan tidak menatap mata ayah.
baik dengan mengatakan orang lain
Hal itu diperkirakan karena I merasa takut terhadap ayah.
yang melakukan hal tersebut.
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
59
Bagian sesi/
Hasil
Analisis Singkat
Kegiatan 2. ECBI yang diadministrasikan kepada orang tua I menunjukkan skor 167.
- Skor ECBI dari I mengindikasikan perilaku I tergolong rentang perilaku
3. Sejak I bayi, ibu lebih banyak bekerja dan ayah berada di luar kota. Mereka jarang menghubungi orang tua di rumah yang menjaga I dan
klinis (skor di atas 131) sehingga I perlu mendapat penanganan.
kurang memantau kegiatan belajar I. Orang tua juga kurang menerapkan batasan perilaku yang efektif bagi I. Ibu kurang mampu
- Pengasuhan I tergolong kurang
menerapkan disiplin yang konsisten sejak dini kepada I. Dari sejak I
adekuat dan berpengaruh terhadap
berusia 3 tahun, ibu cenderung membiarkan I berperilaku negatif.
berkembangnya perilaku disruptive
Namun, akhir-akhir ini sejak I berusia hampir 7 tahun, ibu beberapa
I.
kali memukul I apabila I menampilkan perilaku yang tidak pantas terhadap ibu. Sementara ayah, saat ayah berada di rumah, ayah lebih sering untuk memarahi I dan beberapa kali memukul I menggunakan benda apabila I menunjukkan perilaku yang tidak baik. Observasi terstruktur menggunakan DPICS-III/ 1.Mengarahkan orang tua secara
1. Ayah dan ibu melakukan kegiatan di ruang bermain sesuai dengan prosedur yang diinstruksikan.
bergantian untuk
- Orang tua memahami instruksi dan kooperatif terhadap pelaksana interven
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
60
Bagian sesi/
Hasil
Analisis Singkat
Kegiatan berinteraksi
2. Selama bermain, ayah beberapa kali melihat jam untuk memantau
- Ibu terlihat lebih mampu untuk
dengan anak di
lamanya sesi observasi, sementara ibu terlihat lebih fokus terhadap
berusaha bersikap rileks selama
ruang bermain
kegiatan bermaian yang ia dan I lakukan.
bermain dengan I dibandingkan
sesuai dengan instruksi. Ibu
dengan ayah. 3. Dari lembar coding DPICS III, hasil menunjukkan bahwa :
mendapat giliran
Pada saat anak memimpin kegiatan bermain, dalam interaksi ibu dan I,
yang pertama,
- Ibu tidak mengeluarkan verbalisasi pujian dan refleksi, serta
baru kemudian
hanya satu kali memberikan deskripsi. Ibu memberikan ungkapan
ayah masuk ke
negatif berupa perintah, sebanyak 5 kali, sarkasme sebanyak 3
ruang bermain
kali, dan pertanyaan sebanyak 5 kali.
setelah ibu keluar
- Ibu lebih banyak melihat anak bermain sambil memberikan
- Ibu belum mampu menunjukkan keterampilan untuk berinteraksi dengan anak secara efektif.
- I menunjukkan ketidakpatuhan
dari ruangan
perintah, sarkasme, atau pertanyaan kepada anak. Ada beberapa
dan kepatuhan terhadap ibu
tersebut.
pembicaraan netral kepada anak untuk memberitahu anak tentang
dengan jumlah yang relatif sama.
2. Pelaksana
jenis mainan yang dimainkan anak saat bermain. Akan tetapi, hal
intervensi menilai interaksi orang
itu kurang mendapat respon timbal-balik yang baik dari anak. Pada saat ibu memimpin permainan :
tua dan I dengan
- I menunjukkan kepatuhan sebanyak dan ketidak patuhan sebanyak
menggunakan
- Ibu tidak memberikan pujian akan kepatuhan I
lembar coding
Pada saat ibu meminta I membereskan mainan, I mau mengikuti
DPICS-III
permintaan ibu tersebut.
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
61
Bagian sesi/
Hasil
Analisis Singkat
Kegiatan Orientasi terapi 1. Pelaksana intervensi menyampaikan materi tentang PCIT melalui media power
1. Ayah dan ibu mendapatkan penjelasan materi tentang PCIT. Ayah
- Ayah dan ibu menyimak materi
mengajukan lebih dari lima pertanyaan, sementara ibu hanya satu
tentang PCIT dan mengerti inti
pertanyaan. Pertanyaan ayah antara lain berkaitan dengan tipe
dari materi tersebut serta
pengasuhan dan refleksi diri tentang pengasuhan yang ayah
relevansinya terhadap perilaku I
terapkan; efek ketergantungan terhadap ibu terkait dengan intervensi yang melibatkan ibu.
point dan mengajak keterlibatan orang tua untuk bertanya tentang materi tersebut. 2.Pelaksana intervensi
3. Ayah juga bertanya dan berbagi tentang hal lain di luar materi
- Ayah terlihat berminat
namun masih berkaitan dengan topik materi. Ayah menceritakan
mengetahui lebih banyak tentang
tentang interaksi ayah dan I di rumah, seperti ayah banyak
pengasuhan anak
memberikan I doktrin sebab-akibat dari perilaku I, tanpa mempertimbangkan apakah I memahami atau tidak apa yang ayah sampaikan. Ayah juga menyatakan bahwa ia lebih sering menunjukkan ekspresi marah agar ada sosok yang ditakuti oleh I.
menyampaikan pentingnya komitmen ibu u hadir dalam sesi
4. Ayah terlihat menyadari bahwa ia menunjukkan kehangatan yang
- Ayah menyadari pengasuhan
rendah terhadap I. Ayah menjelaskan bahwa ia merasa terbatas
yang ia terapkan kurang adekuat.
untuk memberikan kehangatan karena waktunya lebih banyak di lua
Kesadaran ini bermanfaat untuk
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
62
Bagian sesi/
Hasil
Analisis Singkat
Kegiatan kota. Ketika pulang, ayah tidak memanfaatkan waktu untuk menjalin 3. Pelaksana intervensi memberikan
- mengubah pengasuhan ayah.
hubungan yang dekat dengan I. Sementara untuk batasan perilaku, ayah menyatakan ia dan ibu I tidak mengetahui cara penerapan batasan tersebut.
lembar persetujuan untuk ditandatangani oleh orang tua
5. Ibu mengatakan bahwa ia akan berusaha untuk hadir di setiap sesi.
- I bu menunjukkan komitmen
Kesulitan yang mungkin dialami ibu adalah bagaimana menitipkan
untuk hadir dalam intervensi.
adik I selama ibu datang ke fakultas.
- Ayah dan ibu menyepakati 6. Ayah dan ibu menandatangani inform consent.
intervansi yang akan ibu dan I jalani.
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
63
4.2.2
Pelaksanaan Tahap CDI Tahap CDI berlangsung sesuai jadwal perencanaan. Ibu dan I hadir di
seluruh sesinya. Pelaksanaan tahap CDI ini diuraikan dalam tabel 4.3.
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
64
Tabel 4.3. Hasil Pelaksanaan Tahap CDI Sesi ke-
Kegiatan
Hasil
Analisis Singkat
/Tahap Sesi ke-2/Tahap Membahas hasil PR
Ibu ingin melaksanakan PR namun belum berhasil
Ibu belum menunjukkan komitmen
Pengajaran
melakukannya karena berbagai hambatan.
untuk mengerjakan PR. Pelaksana
keterampilan
intervensi perlu merancang strategi
CDI
untuk ibu agar mengerjakan PR. Mempresentasikan tentang tahap CDI sambil
Ibu menyimpulkan bahwa CDI itu berisikan
Ibu mulai mengerti inti dari tahap
kegiatan berupa anak memimpin permainan dan
CDI
tujuannya untuk meningkatkan kualitas interaksi orangtua-anak. Menjelaskan, mencontohkan, dan mendiskusikan
Ibu menyimak dengan baik penjelasan materi dan cukup aktif bertanya. Ibu menyatakan bahwa materi ini merupakan
keterampilan CDI : - ‘Avoid’ dan ‘do’ skills (hal yang harus dihindari dan harus dilakukan) - Keterampilan pemberian
hal yang baru baginya. Dalam do skill, hal yang paling sering bahkan
Perlu dipahami bahwa materi keterampilan CDI merupakan materi baru bagi ibu. Ibu belum pernah menerapkannya kepada I. Ibu lebih sering menerapkan
selalu ia lakukan apabila ia bermain dengan I
kepada I hal yang termasuk harus
adalah memberikan pertanyaan.
dihindari.
Sementara, dalam avoid skill, ia merasa bahwa
atensi dengan strategi tertentu (strategic
seringkali masih tersulut emosi oleh perilaku
attention) dan pengabaian
anaknya sehingga ibu merespon perilaku anak
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
65
secara selektif (selective
dengan memberikan nasehat, arahan atau
ignoring)
larangan.
Bermain peran antara
Ibu terlihat masih agak kesulitan untuk
pelaksana intervensi dan ibu
mencontohkan penerapan secara spontan Ibu mampu memberikan contoh penerapan
Sesi ke-3/ Tahap CDI -I
1.Ibu dan anak berinteraksi
Ibu memahami secara teoritis namun masih kesulitan untuk melakukannya. Ibu membutuhkan
dengan tepat apabila pelaksana intervensi
latihan lebih banyak di rumah
memberikan clue.
untuk semua keterampilan do skill.
1. Ibu sama sekali tidak menunjukkan pujian,
Ibu belum menguasai keterampilan
dalam kegiatan bermain di
refleksi, dan deskripsi terhadap perilaku I. Ibu
do skill dan belum menunjukkan
ruang bermain
lebih banyak diam dan terlihat ragu-ragu.
antusiasme dalam berinteraksi. Ibu mengalami peningkatan yang
2. Anak memilih permainan building blocks,
2. Ibu hanya menunjukkan verbalisasi perintah sebanyak 1 kali.
besar dalam menerapkan perilaku avoid skills. Ibu membutuhkan latihan untuk
memainkannya dengan cara merangkaikan mainan
3. Dalam sesi pelatihan keterampilan, ibu tampak
menjadi bentuk mobil.
masih kesulitan untuk menerapkan ‘do skills’
menguasai keterampilan.
dan pemberian atensi secara selektif. 3. Pelaksana intervensi mengobservasi interaksi ibu dan I dan melatih penguasaan keterampilannya
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
66
Sesi ke-4/ Tahap CDI -II
1.Ibu dan anak berinteraksi
1.Ibu menunjukkan keterampilan memuji
Ibu mengalami peningkatan
dalam kegiatan bermain di
sebanyak 4 kali, merefleksi sebanyak 13 kali,
dalam refleksi karena permainan
ruang bermain
dan mendeskripsi perilaku sebanyak 4 kali.
hewan menstimulasi interaksi ibu
2. Ibu memberikan pengatahuan kepada I tentang 2. Anak memilih permainan miniatur hewan peternakan
nama hewan yang ia belum ketahui, seperti bison. 3. Ibu menampilkan verbalisasi perintah sbanyak
3. Pelaksana intervensi mengobservasi interaksi ibu dan I
dan I. I banyak menyebutkan nama hewan dan memainkannya. Pada sesi ini, Ibu tidak mencapai keberhasilan dalam membatasi
1 kali, sarkasme sebanyak 3 kali, dan
avoid skill. Ibu menunjukkan
pertanyaan sebanyak 2 kali.
total avoid skill sebanyak lebih
4. Ibu menunjukkan antusiasme yang ditandai dengan kontak mata, sentuhan fisik (badan ibu
dari 3 kali. Ibu menunjukkan peningkatan
berdekatan dengan badan ibu) serta imitasi
dalam antusiasme dan
dengan ikut memainkan mainan hewan.
keterampilan imitasi
5. Dalam sesi pelatihan keterampilan, ibu masih membutuhkan latihan terutama dalam memuji
Ibu perlu latihan dalam keterampilan memuji dan mendeskripsi
Sesi ke-5/ Tahap CDI -III
1.Ibu dan anak berinteraksi
1. Ibu menunjukkan keterampilan memuji
Ibu mengalami peningkatan Ibu
dalam kegiatan bermain di
sebanyak 2 kali, mereffleksi sebanyak 1 kali,
mengalami peningkatan dalam
ruang bermain
dan mendeskripsi sebanyak 5 kali.
menerapkan perilaku do skills,
2. Ibu menunjukkan verbalisasi perintah sebanyak 2. Anak memilih permainan building blocks,
untuk keterampilan deskripsi.
1 kali, sarkasme sebanyak 2 kali, dan
Untuk keterampilan pujian dan
pertanyaan sebanyak 1 kali.
refleksi, ibu mengalami
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
67
memainkannya dengan cara
3. Selama bermain, saat I membentuk balok
penurunan. Dalam keterampilan ‘avoid skill’.
merangkaikan mainan
menjadi pedang, I lebih banyak diam dan ibu
menjadi bentuk pedang power
kurang mendapat kesempatan untuk
Ibu mengurangi verbalisasi
rangers.
memberikan refleksi. Ibu lebih banyak
sarkasme dan pertanyaan.
mengamati I membuat pedang. 3. Pelaksana intervensi
Antusiasme ibu maaih kurang
4.I terlihat senang saat mendengar ibu menyebut
(butuh latihan). Meskipujn
mengobservasi interaksi ibu
bentuk yang ia buat dengan benar. I tampak
demikian, I tetap fokus bermain
dan I
merasa bahwa ia diperhatikan oleh ibu.
dan menunjukkan ekspresi
5. Pelatihan keterampilan berfokus pada
senang ketika ia mendengar ibu
keterampilan memuji dan merefleksi yang mengalami penurunan pada sesi ini.
menyebut nama benda buatannya. Ibu harus tetap berlatih untuk semua keterampilan.
Sesi ke-6/ Tahap CDI -IV
1.Ibu dan anak berinteraksi
1. Ibu menunjukkan keterampilan memuji
dalam kegiatan bermain di
sebanyak 8 kali, mereffleksi sebanyak 1 kali,
ruang bermain.
dan mendeskripsi sebanyak 5 kali. 2. Ibu menunjukkan verbalisasi perintah sebanyak
2. Anak memilih permainan puzzle bergambar tokoh kartun ‘Dora’
besar dalam menerapkan pujian.
Ibu terlihat tidak berkesempatan untuk memberikan refleksi
1 kali dan pertanyaan sebanyak 1 kali, serta
karena selama menyusun puzzle, I
tidak menunjukkan sarkasme.
sangat minim dalam berbicara. I
3. Pelatihan keterampilan berfokus pada keterampilan merefleksi.
3. Pelaksana intervensi
Ibu mengalami peningkatan yang
mengobservasi interaksi ibu dan I
terlihat fokus untuk menyusun kepingan puzzle. Kegiatan bermain membantu I untuk fokus mengerjakan sesuatu
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
68
4.2.3
Pelaksanaan Parent-Directed Interaction (PDI) Tahap PDI berlangsung selama 4 sesi, dari 5 sesi yang direncanakan. Hal
itu karena I telah menunjukkan kepatuhan terhadap perintah ibu, walaupun ibu masih membutuhkan latihan untuk memberikan pujian terhadap kepatuhan I. I juga menunjukkan perubahan perilaku sesuai dengan kriteria keberhasilan yang ditetapkan yang didasarkan atas skor ECBI. Selain itu menjelang sesi PDI-III, ibu menyampaikan kondisi fisiknya yang mulai menurun seiring usia kehamilannya yang semakin besar dan akan segera melahirkan. Selama sesi PDI ini, pelaksana intervensi berada di ruang yang sama dengan ibu untuk meminimalisasi perpindahan pelaksana intervensivasi dari ruang observasi ke ruang bermain guna mengatur alat perekam. Penjelasan pelaksanaan PDI disajikan dalam bentuk tabel 4.4.
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
69
Tabel 4.4. Hasil Pelaksanaan Tahap PDI Sesi ke-
Kegiatan
Hasil
Analisis Singkat
/Tahap Sesi ke-7/Tahap Mendiskusikan hasil PR
Ibu mengerjakan PR dengan jenis permainan yang
Ibu belum konsisten untuk
Pengajaran
alat permainannya ada di rumah.
melaksanakan PR.
Ibu masih mengingat inti dari tujuan tahap PDI
Ibu memahami inti dari tahap PDI
keterampilan PDI
Mempresentasikan tentang tahap PDI sambil mengaitkan
yaitu untuk mendisiplinkan anak. Ibu memahami
dengan informasi yang telah
bahwa pada tahap ini, arah kegiatan bermain akan
dijelaskan pada sesi pre-
ditentukan oleh ibu.
treatment. Menjelaskan, mencontohkan,
Ibu menyimak dengan baik penjelasan materi,
Perlu dipahami bahwa materi PDI
dan mendiskusikan
ditandai dengan keaktifan ibu bertanya dan
merupakan materi yang baru bagi
keterampilan PDI :
mencontohkan, baik yang berkaitan dengan
ibu.
- Pemberian perintah yang
materi maupun pengalaman ibu dengan I.
Dalam penerapan sehari-hari, ibu
Sama seperti materi CDI, ibu menyatakan
menerapkan perintah yang kurang
efektif - Pemberian peringatan timeout
bahwa materi ini merupakan hal yang baru
efektif.
baginya.
- Pemberian pujian segera
Ibu menyatakan bahwa hal yang paling sering
setelah anak menunjukkan
ibu lakukan di rumah adalah memberikan
kepatuhan baik saat tidak
perintah dalam bentuk kalimat negatif,
menerima peringatan time-
misalnya jangan ‘lari-larian’, jangan ‘makan
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
70
out maupun setelah
banyak-banyak’.
menerima peringatan timeout
Ibu pernah menerapkan hal yang menurut ibu serupa dengan konsep time out namun tidak
- Keterampilan ibu saat anak
konsisten
menerima time-out Bermain peran antara
Ibu cukup mampu memberikan contoh
pelaksana intervensi dan ibu
Ibu mulai terlihat mulai mampu
penerapan pemberian perintah dalam kalimat
menunjukkan keterampilan PDI
langsung dan mengandung satu jenis kalimat
dan membutuhkan latihan agar
perintah secara spesifik.
keterampilan tersebut dapat
Ibu masih membutuhkan latihan untuk mampu
diterapkan.
menerapkan keterampilan yang diajarkan dengan lebih baik. Sesi ke-8/ Tahap PDI -I
1.Pelaksana intervensi
1. I memahami tentang aturan baru di sesi ini.
menyampaikan kepada I
I memahami keberadaan kursi
2. Setelah melihat kursi time-out dan merasakan
time-out dan tujuannya. Ibu menguasai keterampilan PDI
tentang aturan bermain pada
berada di kursi tersebut, meskipun sambil
tahap PDI
tersenyum, I menunjukkan ekspresi keengganan
untuk memberikan perintah
untuk berada di kursi timeout. Saat itu tampak
danperintah tersebut dipatuhi oleh
bahwa I tidak mau berada di kursi tersebut.
I.
2. Menunjukkan kepada I area kursi time-out dan menjelaskan tentang kondisi
3. Ibu terlihat memiliki sikap yang rileks saat
anak jika ia berada di kursi
bermain. Ibu dengan cukup lancar memberikan
time-out
perintah secara langsung kepada I untuk
3. Bermain peran antara PI
memasang balok walaupun tetap ada perintah
Untuk memberikan pujian, ibu membutuhkan latihan
I menunjukkan kepatuhan terhadap perintah ibu.. Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
71
dengan anak dan meminta
yang tidak spesifik dan perintah dalam bentuk
anak untuk merasakan
kalimat negatif.
berada di kursi time-out 4. Ibu dan I bermain building blocks membentuk truk pengangkut bola.
4 Semua perintah yang diberikan oleh ibu dipatuhi oleh I. 5. Ibu masih membutuhkan latihan untuk memberikan pujian segera setelah I melakukan
5. Pelaksana intervensi
perintah ibu. Ibu seringkali lupa untuk
mengobservasi interaksi ibu
memberikan I pujian.
dan I menerapkan ketarampilan PDI Sesi ke-9/ Tahap PDI -II
1.Ibu dan anak berinteraksi
1.Ibu menunjukkan inisiatif untuk membawa
Pada sesi ini, Ibu mengalami
dalam kegiatan bermain di
mainan dan menanyakan kesesuaiannya untuk
penurunan dalam keterampilan
ruang bermain
dimainkan kepada pelaksana intervensi
refleksi dan deskripsi. Selama
2. Ibu menunjukkan keterampilan CDI, pujian 2. Ibu dan I bermain lego
menyusun rel kereta, I lebih
sebanyak 7 kali, deskripsi sebanyak 2 kali,
banyak diam. Dan terlihat fokus
berbentuk rel kereta
refleksi sebanyak 2 kali. Sementara
memasang bagian-bagian rel.
(Thomas) yang dibawanya
keterampilan avoid skill , pertanyaan sebanyak 1
dari rumah
kali. 3. Selama kegiatan bermain, I minim dalam
3. Pelaksana intervensi mengobservasi interaksi ibu
Ibu mencapai keberhasilan dalam memberikan perintah langsung
berbicara dan terlihat mengalami kesulitan
yang dipatuhi oleh I. Akan tetapi,
untuk menyusun rel kereta api.
ibu belum menguasai untuk
dan I dalam keterampilan CDI 4. Pada sesi ini, Ibu mencapai keberhasilan dalam
memberikan pujian setelah I
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
72
dan PDI.
memberikan perintah langsung yang dipatuhi
melakukan perintah ibu
oleh I 100%. Pemberian pujian ibu baru 4. Pelaksana intervensi melatih keterampilan PDI ibu
mencapai persentase 33% dari 75% yang ditargetkan. 4. Dalam sesi pelatihan, ibu terlihat mudah untuk memberikan perintah. Ibu masih membutuhkan latihan untuk memberikan pujian terhadap kepatuhan I.
Sesi ke-10/ Tahap PDI -III
1. Ibu dan anak berinteraksi dalam kegiatan bermain di
1.Ibu belum menguasai sepenuhnya keterampilan CDI, yatu pada keterampilan refleksi.
ruang bermain. Selama
Ibu belum sempurna menguasai keterampilan CDI, terutama untuk keterampilan merefleksi karena I
bermain, I mengenakan
2.Ibu dengan baik memberikan perintah dan dapat
masker karena sedang sakit
dipatuhi oleh I sebesar 100%. Pemberiam pujian
batuk dan pilek.
sebesar 54% dari kepatuhan I
sedang sakit dan sedikit berbicara. Pada sesi ini, Ibu mencapai keberhasilan untuk memberikan perintah yang dapat dipatuhi oleh I.
2. Ibu dan I bermain puzzle dora
balok dan memasangnya sesuai keinginan ibu.
pada kegiatan CDI dan bermain building blocks membentuk pesawat pada kegiatan PDI
3.Ibu terlihat asyik untuk meminta I mengambil
Ibu tidak otiomatis memberikan pujian terhadap
Ibu tetap membutuhkan latihan untuk memberikan pujian setelah I melakukan perintah ibu.
kepatuhan I, namun melanjutkan untuk meminta I melakukan perintah lainnya.
4.Ibu mulai mampu untuk memberikan pujian
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
73
3. Pelaksana intervensi
akan kepatuhan I terhadap perintah ibu.
mengobservasi interaksi ibu dan I dalam keterampilan CDI dan PDI.
Sesi ke-11/ Tahap PDI -IV
1.Ibu dan anak berinteraksi
1. Ibu menunjukkan keterampilan CDI, memuji
dalam kegiatan bermain di
sebanyak 12 kali, refleksi 3 kali, dan deskripsi
ruang bermain
sebanyak 5 kali. 2.Terlihat ibu dan I saling tersenyum dan tertawa
2.Ibu dan I bermain puzzle dora pada kegiatan CDI dan
saat menyusun puzzle 3. Setelah I melakukan perilaku positif, I
. Ibu tetap memberikan pujian sekalipun I mengatakan kata ‘tidak’ terhadap pujian ibu. Ibu mampu menerapkan keterampilan PDI dengan
menggambar lapangan bola
memberikan pujian. I beberapa kali mengatakan
memberikan perintah efektif dan
menggunakan buku gambar
‘tidak’, ‘nggak’ terhadap pujian ibu
membutuhkan latihan untuk
dan krayon pada kegiatan PDI
3.Pada sesi sebelumnya, ibu tidak berkesempatan merefleksi I karena I minim dalam membuat
memberikan pujian setelah I melakukan perintah ibu.
pernyataan. Di sesi ini, , I mengucapkan kata tanya ‘dimaa ni’, ni dimana.’, dan menanyakan jam berapa?. Kata Tanya itu sulit untuk direfleksikan oleh ibu. 4.Ibu mampu menerapkan perintah efektif 100% dan pemberian pujian 53% dari kepatuhan I
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
74
4.2.4
Pelaksanaan Tahap Post-Treatment (Sesi terakhir/sesi ke-12) Pada tahap ini, ibu mengeluhkan fisiknya sudah cukup lelah untuk datang
ke F.Psikologi UI sehingga ibu meminta pelaksana intervensi datang ke rumah. Ibu juga tidak dapat menitipkan adik I sehingga adik I tetap berada di rumah dan melihat berlangsungnya sesi ini. Pelaksana intervensi mengalami kesulitan untuk mengatur adik I yang berjalan kesana-kemari di area tempat bermain I dan ibu.
Tabel 4.5 Hasil Pelaksanaan post-treatment Sesi ke-/ Nama Sesi dan durasi Sesi ke-12
Kegiatan
1. Pelaksana intervensi
Hasil
1. Ibu memperoleh penguasaan
Mengkode keterampilan
keterampilan CDI (seperti pada
CDI dan PDI
tabel 4.5) dan keterampilan PDI
2. Ibu dan I bermain building blocks
(tabel 4.6) 2. I terlihat menikmati bermain
membentuk beragam
dengan ibu dan berfoto dengan
bentuk
mainan yang berhasil dibuatnya
3. Bersama ibu,
bersama ibu. I juga menanyakan
mendiskusikan
waktu ia akan kembali ke klinik
perkembangan perilaku I
UI
antara sebelum dan sesudah intervensi. 3. Menjelaskan ulasan
3.I terlihat lebih mampu mengatasi kesulitan karena beberapa kali mainan yang dibentuknya hancur.
keterampilan CDI dan
Sekalipun sempat mengatakan
PDI serta mengguggah
kekecewaan, I tetap terus bermain
komitmen ibu untuk
bersama ibu.
menerapkan
4. Ibu mengakui bahwa ada
keterampilan secara
beberapa perubahan perilaku I,
konsisten.
terutama dari kepatuhannya
4. Membagi informasi
terhadap ibu dan berharap dapat
materi tentang teknik mendisiplinkan anak Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
75
Sesi ke-/ Nama Sesi dan durasi
Kegiatan
Hasil
5. Memberi ucapan
terus menerapkan keterampilan di
selamat dan apresiasi
rumah.
kepada ibu dan I atas
6. Ibu masih membutuhkan latihan
keterlibatannya dalam
untuk merancang kegiatan
intervensi
pendisiplinan secara lebih kreatif dan sesuai untuk I bertambah usianya. Hal itu juga ia butuhkan untuk mampu mengasuh dengan baik I dan adiknya
4.3
Rangkuman Penilaian terhadap Keterampilan Ibu
4.3.1
Keterampilan ‘Do Skill dan Avoid Skill’
Tabel 4.6 Data Keterampilan Do Skill dan Avoid Skill Kategori
Sesi
Sesi
Sesi
Sesi
Sesi
Sesi
Sesi
Sesi
Sesi
ke-1
ke-3
ke-4
ke-5
ke-6
ke-9
ke-10
ke-11
ke-12
Pujian
0
0
4
2
8
7
13
12
10
Refleksi
0
0
13
1
1
2
1
3
7
Deskripsi
1
0
4
5
5
2
7
5
9
Perintah
5
1
1
1
1
0
0
0
2
Sarkasme
3
0
3
2
0
0
1
1
1
Pertanyaan
5
0
2
1
1
1
1
4
0
Netral talk
6
5
7
5
5
6
6
9
6
Do Skill
Avoid skill
- Antara sesi ke-1 (pre-treatment) dan sesi ke-3, tidak terdapat perubahan yang signifikan dalam penguasaan keterampilan ‘do skill’. Sementara, untuk keterampilan avoid skill, ibu mengalami peningkatan. Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
76
- Dalam keterampilan avoid skill, dari sesi ke si relatif stabil dikuasi. Total avoid skill yang melebihi 3 hanya pada sesi ke-3 dan sesi ke-11, namun jumlahnya tidak melebihi 6 kali. - Dalam keterampilan do skill, keterampilan memuji yang tampil lebih banyak dari pada keterampilan merefleksi dan mendeskripsi. Ibu belum mencapai penguasaan keterampilan memuji pada sesi ke-3 s.d ke-5. - Keterampilan merefleksi tampak mengalami penurunan setelah mengalami peningkatan pada sesi ke-3. Akan tetapi, ketika sesi ke-13, ibu menunjukkan keberhasilan menerapkan keterampilan ini. - Keterampilan mendeskripsi relatif stabil pada kisaran berjumlah 5 kali. Pada sesi ke-13, ibu baru mencapai 9 kali. - Dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan positif penguasaan keterampilan do skill pada sesi pre dan post-treatment, meskipun selama sesinya ada keterampilan do skill yang relatif tidak stabil dikuasai. Sementara untuk keterampilan avoid skill, keterampilan ini relatif stabil dikuasai oleh ibu. 4.3.2
Data Keterampilan Memberikan Perintah
Tabel 4.7. Data Keterampilan Memberikan Perintah Sesi ke-
Sesi ke-1 Sesi ke-8 Sesi ke-9 Sesi ke-10 Sesi ke-11 Sesi ke-12
Keterampilan memberikan perintah dan memuji kepatuhan Jumlah perintah Jumlah Jumlah perintah yang langsung yang perintah yang mendapat pujianj efektif dipatuhi 12 7 (58,3%) 0 8 dari 10 8 3 (37.5) 6 dari 9 9 3 (33%) 11 11 6 (54%) 13 13 7 (53%) 15 15 (100%) 9 (60%)
- Jumlah perintah langsung dari ibu yang dipatuhi oleh I pada kesemua sesi memenuhi kriteria penguasaan. - Untuk pemberian pujian terhadap kepatuhan I pada sesi terakhir, ibu belum sempurna mencapai penguasaan. - Dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan pre dan post-treatment, meskipun untuk kriteria pemberian pujian terhadap kepatuhan I pada sesi terakhir belum sempurna.
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
77
4.4.
Pengaruh PCIT terhadap Kualitas Interaksi Ibu-Anak dan Perilaku
Anak 4.4.1 Perkembangan Kualitas Interasi Ibu dan I dilihat Dari Pre dan PostTreatment Tabel 4.8. Penguasaan Keterampilan CDI Kategori
Sesi ke-1 (pre-treatment)
Sesi ke-12 (Post treatment)
Pujian Refleksi Deskripsi Perintah Sarkasme Pertanyaan Netral talk Antusiasme Imitasi Mengabaikan tingkah laku disruptive
0 0 1 5 3 5 6 Butuh latihan Butuh latihan Tidak dapat dilakukan
7 7 9 2 1 0 6 Memuaskan Memuaskan Memuaskan
Tabel 4.9. Penguasaan Keterampilan PDI dalam Memberikan Perintah Sesi pre-treatment ke-1 Jumlah
Sesi post-treatment/ terakhir
Dipatuhi/ Persentase Jumlah Dipatuhi/ Persentase
Perintah Tidak
Tidak
dipatuhi 12
Dipatuhi
dipatuhi 58, 3 %
:7 Tidak
15
Dipatuhi
100%
: 15 41,7 %
Tidak
dipatuhi : 5
dipatuhi :
5
--
Pujian : 0 0%
Pujian :
60%
6 perintah
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
78
4.3.2
Pengaruh PCIT Terhadap Penurunan Perilaku Disruptive I Grafik di bawah ini menunjukkan bahwa adanya penurunan perilaku
disruptive I. Skor ECBI dari I mengalami penurunan dari skor >131 (rentang klinis) menjadi skor nya < 114 (rentang normal).
Penurunan Perilaku Disruptive berdasarkan ECBI 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 Sesi pre-asesmen
Sesi post-asesmen
Penurunan perilaku disruptive berdasarkan ECBI
Gambar 4. Grafik penurunan perilaku disruptive I setelah mengikuti intervensi Tabel 4.10. Perbedaan intensitas perilaku disruptive I sebelum dan sesudah intervensi Perilaku
1. 2. 3. 4. 5. 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Membuang-buang waktu saat berpakaian Membuang-buang waktu saat makan Menunjukkan sikap makan yang tidak tertib Menolak makan makanan yang disediakan Menolak mengerjakan tugas rumah tangga yang mampu ia lakukan ketika orang tua meminta Membutuhkan waktu lama untuk pergi ke tempat tidur Menolak untuk tidur tepat waktu Tidak mematuhi aturan di rumah Menolak mematuhi aturan di rumah sampai diberi ancaman hukuman terlebih dahulu Berperilaku berlawanan ketika diberitahukan untuk melakukan sesuatu Berdebat tentang aturan yang diberikan orang tua Mudah marah jika terjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya Menunjukkan temper tantrum Berbicara kurang sopan terhadap orang dewasa Mengeluh terhadap berbagai hal Mudah menangis
Skor Pretreatment 3 3 3 4 6
Skor Post treatment 1 1 1 1 1
1 1 6 6
1 1 1 2
6
2
4 6
1 3
4 6 2 4
1 3 2 4
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
79
17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Berteriak Memukul orang tua Merusak mainan atau benda lain Ceroboh terhadap mainan dan objek lain Mencuri Berbohong Menertawakan atau memprovokasi anak lain Beradu mulut atau berkata kasar terhadap teman sebayanya Beradu mulut atau berkata kasar terhadap saudara kandung Berkelahi secara fisik dengan teman sendiri Berkelahi secara fisik dengan saudara kandung Terlihat mencari perhatian orang lain secara konsisten Memotong pembicaraan orang lain Mudah terdistraksi Memiliki rentang atensi yang pendek Tidak menyelesaikan tugas dengan tuntas Sulit untuk menghibur diri sendiri Sulit memfokuskan konsentrasi terhadap satu hal Terlihat aktif berlebihan/sulit duduk tenang Mengompol di kasur Skor Total
6 6 1 4 1 6 5 6
4 3 1 4 1 4 3 2
6
3
3 6 6 4 6 6 6 6 6 6 6 167
2 3 4 2 4 4 3 5 5 5 5 93
Keterangan tabel : 1 : tidak pernah 2–3 : jarang 4 : terkadang 5–6 : sering 7 : selalu
: fokus perilaku disruptive yang mengalami penurunan frekuensi
Berdasarkan pengisian item ECBI, menunjukkan bahwa adanya perubahan perilaku I antara sebelum dan sesudah diterapkan intervensi. Sebelum diberikan intervensi, I menunjukkan beberapa perilaku disruptive yang menjadi fokus pelaksana intervensi yaitu berperilaku tidak patuh terhadap aturan di rumah, mudah tersulut emosi dengan memukul orang tua dan berkata kata yang tidak pantas, berbohong, berperilaku berkata kasar dan berkelahi dengan adik, serta memprovokasi orang lain untuk berperilaku tidak baik kepada orang lain. Sebelum I mendapatkan intervensi, kesemua perilaku itu ditampilkan oleh I dengan frekuensi sering. Sementara, setelah intervensi, kesemua perilaku tersebut mengalami penurunan frekuensi, menjadi terkadang, jarang, atau bahkan ada yang Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
80
menjadi tidak pernah. Misalnya, pada perilaku mengerjakan tugas rumah tangga. Sebelum mendapatkan intervensi, I tidak mau membantu ibu untuk menaruh pakaian di tempat pakaian kotor dan menyiram tanaman. Setelah menerima intervensi, I mau untuk melakukan hal tersebut, bahkan I beberapa kali menunjukkan inisiatif untuk membantu ibu saat ibu sedang mengerjakan tugas rumah tangga.
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
81
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
Bab ini menjelaskan kesimpulan penelitian, diskusi, dan saran. Bagian diskusi membahas hal-hal yang mendukung, menghambat, dan keterbatasan dalam pelaksanaan intervensi. Bagian saran menjelaskan saran praktis dan teoritis yang dapat digunakan pada penelitian selanjutnya yang menggunakan pendekatan Parent-Child Interaction Therapy (PCIT). 5.1 Kesimpulan Berdasarkan studi dari penerapan intervensi yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pendekatan Parent-Child Interaction Therapy (PCIT) efektif untuk menurunkan perilaku disruptive pada I. Item-item ECBI menunjukkan adanya perubahan pada beberapa perilaku I, antara lain, I menunjukkan kepatuhan yang meningkat terhadap arahan ibu, seperti dalam melakukan rutinitas aktivitas keseharian. I juga bahkan mau membantu ibu untuk mengerjakan tugas rumah tangga. Seiring bertambahnya kepatuhan I terhadap ibu, I juga terlihat lebih jarang mengatakan kata-kata yang tidak pantas dan melakukan agresi fisik terhadap ibu. Hal yang menurut ibu belum optimal adalah ketika I berinteraksi dengan adik. Meskipun intensitasnya sudah berkurang dan tergolong jarang, I masih suka menampilkan paksaan saat bermain dengan adik, seperti meminta adik bermain bola yang tendangannya mengenai badan adik dan meminta adik bersama dirinya bergaya seperti tokoh kartun power rangers. Menurut ibu, ibu masih kesulitan untuk membuat I bemain dengan adik secara lebih tenang. Adanya penurunan skor intensitas perilaku disruptive I dapat terjadi karena seiring meningkatnya kualitas interaksi ibu dan I. Peningkatan kualitas interaksi ibu dan I tersebut dilihat dari penguasaan keterampilan yang dikuasai ibu dalam keterampilan memuji, mendeskripsi, dan merefleksi perilaku I serta menunjukkan antusiasme dan melakukan kegiatan bermain bersama. Sementara, untuk keterampilan memberikan perintah, ibu berhasil memberikan perintah secara langsung dan dipatuhi oleh I, hanya saja ibu masih membutuhkan latihan untuk segera memberikan pujian atas perilaku I yang telah melakukan perintah ibu. Untuk penerapan aturan rumah sendiri, ibu telah berhasil menerapkan jadwal
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
82
belajar dan kegiatan keseharian, meskipun jadwal tersebut belum secara tertulis dibuat. Aturan rumah yang membutuhkan perhatian lebih dari ibu adalah aturan ketika I berinteraksi dengan adik. Untuk menegakkan aturan tersebut, ibu dituntut untuk lebih kreatif menggunakan teknik disiplin perilaku. Sedangkan untuk aturan publik, ibu mengalami peningkatan untuk menerapkan teknik mengabaikan perilaku I yang kerap berteriak jika keinginannya tidak dipenuhi saat I berada di luar rumah. Ibu berhasil mengabaikan perilaku I dengan meninggalkan I sehingga I menghentikan teriakannya, mengikuti arah ibu berjalan, dan mengikuti arahan ibu. Dengan demikian, pendekatan PCIT mampu untuk meningkatkan keterampilan ibu untuk mengembangkan hubungan ibu dan I yang lebih hangat serta mengelola perilaku I. Seiring dengan hal itu intensitas perilaku disruptive I kemudian juga mengalami penurunan. Dapat disimpulkan bahwa PCIT terbukti efektif untuk mengurangi perilaku disruptive pada I.
5.2 Diskusi Pendekatan intervensi dengan melibatkan orang tua, PCIT, yang dipilih dalam mengatasi perilaku disruptive I telah efektif mengurangi perilaku disruptive I. Hal ini sejalan dengan pernyataan bahwa faktor parenting berperan dalam berkembangnya perilaku disruptive pada anak, sehingga intervensi yang melibatkan orang tua yang dianggap mampu untuk mengatasi perilaku anak (Schroeder & Gordon, 2002). Orang tua melalui penerapan pola asuh yang kurang adekuat berkontribusi terhadap perilaku anak, yaitu ditandai dengan responsivitas dan sensitivitas orang tua yang rendah, batasan dari orang tua yang kurang, serta kontrol orang tua yang negatif. Dengan adanya keterampilan yang didapatkan oleh orang tua dalam tahap CDI, orang tua mampu mengembangkan kemampuannya untuk membangun interaksi yang lebih hangat dengan anak. Sementara dengan keterampilan PDI, orang tua diberdayakan kemampuannya untuk mampu memberikan batasan kepada anak dengan menggunakan cara yang efektif dan menghindari kontrol yang bersifat koersif bagi anak (McNeil & Hembree-Kigin, 2010). Kedua tahap dalam PCIT ini terlihat mampu memberdayakan keterampilan
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
83
ibu I dalam membangun interaksi yang hangat dengan I juga meningkatkan kepatuhan I terhadap ibu. Penelitian ini menggunakan waktu dua kali sesi dalam satu minggu. Sejumlah penelitian PCIT lebih banyak menerapkan waktu satu kali sesi setiap minggunya (McNeil & Hembre-Kiggin, 2010). Dengan pertemuan satu kali satu minggu, orang tua memiliki waktu lebih banyak untuk melatih keterampilan mereka dengan anak di rumah. Kesempatan orang tua melatih keterampilannya di rumah dapat mempengaruhi keberhasilan intervensi. Walaupun demikian, ada salah satu penelitian PCIT untuk menangani perilaku disruptive pada anak yang mengalami autism dengan waktu dua kali sesi dalam satu minggu dan hasil penelitian tersebut tetap menunjukkan efektivitas terhadap perubahan perilaku anak (Jamison, 2007). Dengan pertemuan dua kali dalam satu minggu, terapis dapat meningkatkan intensitas pertemuan dengan orang tua dan anak serta meningkatkan kesempatan orang tua untuk berlatih dengan terapis dan mendapatkan umpan balik dari terapis. Dengan waktu sesi dua kali dalam seminggu, intervensi ini juga tetap terbukti efektif. Hal yang membuat intervensi ini berhasil adalah komitmen ibu untuk menghadiri sesi sekalipun ibu dalam kondisi hamil besar dan bertempat tinggal yang cukup jauh dari lokasi klinik. Ayah I meskipun tidak berada di Jakarta, juga turut mendukung kehadian ibu ke klinik. Kondisi ini dapat tercipta karena adanya rapport yang terbentuk cukup baik antara pelaksana intervensi dengan orang tua yang terlihat pada tahap pre-treatment. Menurut McNeil dan Hembre-Kiggin (2010), tahap pertama (pre-treatment) merupakan tahap yang sangat penting guna membuat orang tua termotivasi hadir dalam keseluruhan sesi intervensi. Apabila sesi ini tidak berjalan dengan baik, maka hal yang sulit untuk mengharapkan keluarga akan datang kembali pada sesi intervensi selanjutnya. I juga terlihat kooperatif selama intervensi. Sekalipun I beberapa kali hadir dengan mood yang kurang baik, I mengatakan bahwa ia suka melakukan kegiatan bermain dengan ibu. Saat sesi terakhir, I pun juga menanyakan kesempatan ia untuk datang ke klinik. Kehadiran orang tua dan anak dalam intervensi PCIT sangat mendukung berjalannya proses intervensi (McNeil & Hembree-Kigin, 2010).
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
84
Faktor
yang
mendukung
lainnya
adalah
pelaksana
intervensi
mempertimbangkan latar keluarga dari ibu. Hal itu digunakan sebagai bahan pertimbangan pelaksana intervensi dalam melatih keterampilan ibu secara lebih sensitif. Pelaksana intervensi mengetahui bahwa ibu dan suami tidak terbiasa dalam memberikan pujian kepada anak dan belum pernah menerapkan keterampilan yang dilatihkan, sehingga pelaksana intervensi melatih ibu dari keterampilan yang paling mudah terlebih dahulu. Menurut McNeil dan HembreeKigin (2010), terapis perlu memiliki kepekaan terhadap kebutuhan keluarga untuk menyesuaikan intervensi dengan budaya dari keluarga. Dengan mengetahui kondisi ibu yang tidak mudah untuk menerapkan keterampilan yang dilatihkan, pelaksana intervensi mengulang materi di setiap awal sesi secara lisan dengan singkat dan meyakinkan ibu bahwa ia mampu untuk menerapkan keterampilan. McNeil dan Hembree-Kigin (2010) menyatakan bahwa orang tua seringkali tidak percaya diri untuk menggunakan keterampilan baru serta membutuhkan dorongan dan dukungan dari terapis. Sikap ibu yang terbuka terhadap masukan dari pelaksana intervensi juga mendukung keberhasilan dari intervensi ini. Keterampilan yang dilatihkan dalam PCIT merupakan hal baru bagi ibu dan tergolong tidak mudah dikuasai olehnya. Meskipun
demikian,
ibu
menunjukkan
kemauan
dan
motivasi
untuk
meningkatkan kemampuannya berinteraksi dengan I. Sikap ibu tersebut merupakan faktor pendukung yang signifikan dalam keberhasilan intervensi. Fernandez dan Eyberg (2009) menyatakan bahwa sikap ibu terhadap anak menentukan kehadiran ibu pada sesi treatment. Keterampilan berkomunikasi secara verbal yang dilatihkan dalam intervensi sesungguhnya merupakan hal baru yang mungkin saja bertolak belakang dengan sikap orang tua terhadap anak, atau dengan kata lain ada keengganan orang tua untuk menerapkan keterampilan tersebut. Pada ibu, meskipun sulit bagi ibu untuk menerapkan pujian dan mengabaikan perilaku disruptive I, dengan sikap terbuka dari ibu, ibu masih menunjukkan usaha untuk meningkatkan kemampuannya. Sekalipun ada kemajuan dalam penguasaan keterampilan antara sebelum dan sesudah intervensi, tidak semua keterampilan terlihat stabil dikuasai oleh ibu selama sesi intervensi. Salah satu hal yang dapat mempengaruhi hal tersebut
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
85
adalah jenis kegiatan bermain dan atensi yang ditunjukkan I selama bermain. Pada beberapa sesi, I terlihat fokus untuk merangkai mainan dan minim dalam berbicara sehingga ibu memiliki kesempatan yang sedikit dalam merefleksi perkataan I. Menurut McNeil dan Hembree-Kigin (2010), anak usia sekolah memiliki rentang atensi yang tergolong lebih lama dari anak usia prasekolah. Mereka dapat terlihat lebih fokus untuk bermain. Hal lainnya yang menjadi penyebab kurang stabilnya penguasaan keterampilan ibu adalah ibu kurang optimal dalam menjalankan PR di rumah. Padahal, keberhasilan bergantung pada usaha dari orang tua. Proses berlangsung intervensi PCIT menuntut waktu dan usaha orang tua untuk melatih kemampuannya (Fernandez & Eyberg, 2009). Selain itu, pelaksana intervensi belum berhasil mendorong orang tua mengerjakan PR secara optimal dengan mainan yang sesuai secara konsisten. Ibu sempat tidak mengerjakan PR beberapa hari di antara sesi. Selain itu, ibu juga tidak memanfaatkan benda atau mainan yang sesuai dengan kriteria dalam bermain.. McNeil dan Hembree-Kigin (2010) menyatakan PR sangat penting untuk keberhasilan intervensi. Sebagai terapis seharusnya mampu untuk mendorong orang tua mengerjakan PR dengan baik dan memberi peringatan dengan tegas apabila orang tua tidak mengerjakan PR secara konsisten. Keterbatasan dalam intervensi ini yaitu intervensi ini hanya melibatkan satu orang tua yaitu ibu. Hal ini sebenarnya sudah sesuai dengan pelaksanaan PCIT pada umumnya. McNeil dan Hembree-Kigin (2010) menyatakan bahwa penerapan PCIT pada awalnya lebih sering meneliti adanya hubungan antara orang tua dan perubahan perilaku anak setelah dilakukan penanganan terhadap interaksi antara ibu dan anak (mother-child dyad), yang hasilnya konsisten dengan metode pelatihan orang tua pada umumnya. Penelitian juga membuktikan tidak adanya perbedaan hasil post-treatment terhadap perubahan perilaku anak antara anak dengan ayah yang terlibat, ayah yang tidak terlibat dan yang tidak memiliki ayah. Namun demikian, McNeil dan Hembre Kiggin (2010) menjelaskan adanya kebutuhan untuk menyertakan ayah dalam intervensi klinis. Menurut Bagner dan Eyberg, 2003 (dalam McNeil & Hembre-Kiggin, 2010), meskipun dalam penelitiannya tidak ada perbedaan hasil post-treatment antara anak yang ayahnya terlibat dan tidak terlibat, anak dengan ayah yang ikut serta dalam intervensi,
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
86
menunjukkan keberlangsungan efek intervensi setelah intervensi berakhir yang lebih tinggi. Hal itu mengindikasikan pentingnya melibatkan ayah dalam intervensi (McNeil & Hembree-Kigin, 2010). Keterbatasan berikutnya dari studi ini yaitu bersumber pada setting ruangan dan minimnya alat di klinik yang menunjang pelaksanaan intervensi dalam setting klinik. Menurut McNeil dan Hembree-Kigin (2010), pelaksanaan PCIT yang tipikal di klinik membutuhkan sejumlah peralatan yang berteknologi. McNeil dan Hembree-Kigin (2010) menyatakan bahwa ada peluang untuk mengembangkan PCIT dengan menggunakan peralatan yang lebih minim dari yang tipikal, namun secara ilmiah efektivitas intervensi dengan kondisi tersebut belum banyak ditelaah lebih lanjut. Selain itu sebagai pelaksana intervensi juga memiliki kehandalan yang terbatas dalam melatih keterampilan ibu karena belum mendapatkan pelatihan sebagai terapis. Apabila dibekali dengan training sebagai terapis, mungkin saja keterampilan ibu lebih meningkat dan kemajuannya lebih pesat. McNeil dan Hembree-Kigin (2010) menyatakan bahwa training bagi terapis PCIT amat penting guna menjamin keefektifan berlangsungnya intervensi. Selain itu, dalam studi ini juga tidak dilakukan follow-up yang dapat melihat keefektifan intervensi dalam jangka waktu tertentu setelah intervensi berakhir. Untuk itu, setelah intervensi ini berakhir, pelaksana intervensi merencanakan sesi booster dan jadwal follow-up untuk I dan ibu. Sesi booster ini biasanya dijadwalkan tiga bulan setelah intervensi berakhir, namun sesi ini dapat dijadwalkan lebih awal apabila terapis ingin mengantisipasi keberlangsungan efek dari intervensi (McNeil & Hembree-Kigin, 2010).
5.3. Saran 5.3.1`Saran Teoritis Berikut ini adalah beberapa saran teoritis yang dapat diberikan berkaitan dengan penerapan program intervensi: 1. Program intervensi diharapkan dapat dilaksanakan dengan menggunakan tempat dan peralatan yang memadai seperti yang ditentukan oleh standar PCIT agar sesi intervensi dapat berjalan lebih sesuai dengan protokolnya dan memberikan manfaat yang lebih optimal.
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
87
2. Program intervensi ini sebaiknya dapat diikuti oleh kedua orang tua, ayah dan ibu, terutama apabila interaksi keduanya tergolong kurang baik terhadap anak dan dapat berperan dalam perkembangan perilaku anak. Selain itu, dengan keterlibatan ayah dan ibu, sebagai pasangan, mereka dapat memberikan masukan satu sama lain akan keterampilan yang dilatihkan. Hal itu dapat mendukung penguasaan keterampilan orang tua dan kekonsistenan penerapan setelah berakhirnya intervensi. 3. Pelaksanaan sesi intervensi sebaiknya dijadwalkan satu kali dalam satu minggu agar orangtua memiliki waktu lebih banyak untuk melatih keterampilan yang didapatkan dalam sesi intervensi di rumah. Untuk menjaga kelangsungan pelaksanaan sesi hingga tuntas, dengan jadwal satu kali per minggu, pelaksana intervensi perlu memperhatikan komitmen orang tua hadir di setiap sesi. Hal itu karena jarak waktu bertemu dengan terapis akan lebih panjang, dibandingkan dengan pertemuan yang dilakukan dua kali seminggu. 4. Sebagai pelaksana intervensi (terapis) diharapkan dapat memperoleh pelatihan sebagai terapis, meskipun dengan pelatihan yang minim. Antara lain misalnya, melalui diskusi yang intensif dengan para ahli psikolog klinis yang mendalami topik yang sesuai dengan pendekatan intervensi ini. 5. Sebaiknya setelah program intervensi berakhir, dapat dilakukan follow-up untuk melihat seberapa bertahan efek dari intervensi terhadap perilaku anak. 5.3.2
Saran Praktis
1. Ibu disarankan untuk menerapkan kegiatan ‘special play’ dengan mainan yang sesuai dan seluruh keterampilan yang telah dilatihkan di rumah. 2. Ibu diharapkan dapat membagi pengetahuan dan keterampilan, terutama kepada ayah dan anggota keluarga yang terlibat dalam pengasuhan I. Ayah I diharapkan secara aktif mau mempelajari keterampilan dan menerapkannya saat berinteraksi dengan I. 3. Untuk aturan rumah, ibu diharapkan dapat menerapkan teknik disiplin sesuai dengan kondisi anak dan perilaku anak yang ingin didisiplinkan. Ibu perlu menerapkan beberapa teknik disiplin, misalnya ibu dapat secara tertulis menerapkan pemberian token menggunakan chart apabila ibu melihat I mulai mampu mengerti aturan penerapan teknik tersebut. Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
88
Daftar Pustaka Alatupa, S., dkk. (2011). Childhood disruptive behavior and school performance across comprehensive school: A prospective cohort study. Psychology Science Research. 2(6), 542-551. doi:10.4236/psych.2011.26084. American Psychiatric Assosication. (2000). Quick reference to the diagnostic criteria from DSM-IV-TR. Arlington : American Psychiatric Association Bagner, D.M., & Eyberg, S.M. (2007). Parent-child interaction therapy for disruptive behavior in children with mental retardation: A randomized controlled trial. Journal of Clinical Child and Adolescent Psychology, 36, 418-429. Bor,W., Anstey, K, Najman, J.M., O’Callaghan, M., ….. & Anderson, M. (1998). From childhood aggression to delinquency: Causal pathway. Criminology Reasearch Paper. Brooks, J. (2008). The process of parenting seventh edition. New York: McGraw Hill. Calzada, E.J., Eyberg, M.S., Rich, B., & Querido J.G. (2004). Parenting disruptive preschoolers: Experiences of mothers and fathers. Journal of Abnormal Child Psychology, 32(2), 203–213. Chaffin, M., Silovsky, J., Funderburk, B., Valle, L. A., Brestan, E. V., Balachova, T., . . . Bonner, B. L. (2004). Parent– child interaction therapy with physically abusive parents: Efficacy for reducing future abuse reports. Journal of Consulting and Clinical Psychology (72), 500–510. doi:10.1037/0022-006X.72.3.500. Charlesworth, L., Wood, J., & Viggiani, P. (2007). Middle childhood. Di dalam E.D. Hutchison (Ed), Dimensions of human behavior: The changing life course (3rd edn.) (hal 175 – 225). Los Angeles: Sage Publications, Inc. Cox, M.J. (2002). Parent-child relationships. Di dalam Salkind, N.J. (Ed), Child development: The MacMillan psychology reference series (hal 291 – 294). New York: MacMillan. Dallal, S.M. (2007). Disruptive behavior disorders and emotional intelligence: A correlational study. Disertasi Doktoral. New York: The City University of New York. (UMI Number: 3283202).
Universitas Indonesia
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
89
Ettinger, T. (2008). Early intervention for childhood behaviors: A literature review. Thesis. Lethbridge: University College of the Cariboo. Fernandez, M.A. & Eyberg, S.M. (2009). Predicting treatment and follow-up attrition in parent–child interaction therapy. Journal Abnormal Child Psychology, 37, 431–441. doi 10.1007/s10802-008-9281-1. Gallagher. (2003). Effects of parent-child interaction therapy on young children with disruptive behavior disorders. Bridges Practice-Based Research Syntheses 1(4). Haswell, K.L. (1976). The expression of negativism in three year old students. Thesis. Ohio: Ohio State University. Herschell, A. D., Calzada, E. J., Eyberg, S. M., & McNeil, C. B. (2002). Parentchild interaction therapy: New directions in research. Cognitive and Behavioral Practice, 9, 9–16. Huston, A.C. & Ripke, M.N. (2006). Middle childhood : Contexts of development. Di dalam A.C. Huston & M.N. Ripke (Eds.). Developmental contexts in middle childhood: Bridges to adolescence and adulthood (hal 1 – 22). New York : Cambridge University Press. Jamison, T.R. (2007). The effects of parent-child interaction therapy on problem behaviors in three children with autistic disorder. Disertasi Doktoral. Kansas: University of Kansas. (UMI Number : 3274489). Kalb, LM. & Loeber, R. (2003). Child disobedience and noncompliance: A review. Pediatrics, 111, 641- 652. Lee. E.L. (2009). Using parent-child interaction therapy to develop a pre-parent education module. Disertasi Doktoral. Alabama: Auburn University. (UMI Number: 3386208). Liu, J. (2004). Childhood externalizing behavior: theory and implications. Journal Child Adolesc Psychiatr Nurse, 17(3), 93–103. Luona, I. Pregnancy to middle childhood: What predicts a child’s socio-emotional well being?. Disertasi Akademik. Tampere : University of Tampere. McDiarmid, M.D. & Bagner, D.M. (2005). Parent-child interaction therapy for children with disruptive behavior and developmental disabilities. Education & Treatment of Children 28(2), 130 – 141. Universitas Indonesia Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
90
McKinney, C. & Morse, M. (2012). Assessment of disruptive behavior disorders: tools and recommendations. Professional Psychology: Research and Practice. doi: 10.1037/a0027324 McNeil, C.B. & Hembree-Kigin, T.L. (2010). Parent-child interaction therapy: Second edition. NewYork: Springer. McNeil, C.B., Bahl, A.B., & Herschell, A.D. (2006). Involving and empowering parents in short term play therapy for disruptive children. Di dalam H.G.Kaduson & S. Charles (Eds). Short-term play therapy for children (hal. 169 – 201). New York: Guilford Press. Muro, M. (2011). Parent-child interaction therapy: A dyadic intervention for children and their caregivers. Thesis. California: California University. (UMI Number: 1493156). O’Keeffe, A.T. (2002). Parenting. Di dalam Salkind, N.J. (Ed), Child development: The MacMillan psychology reference series (hal 295 – 300). New York: MacMillan. Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2009). Human development (11th edn.). NewYork: McGraw Hill. Parker, R.D. & Buriel, R. (2008). Socialization in the family : Ethnic and ecological perspectives. Di dalam W. Damon & Richard, M.L. (Eds), Child and adolescent development: An advanced course (hal 95 – 128). New Jersey: John Wiley & Sons Inc. Pearl,E., Thieken, L., Olafson, E., Boat, B., Connely, L.,… Putnam, F.(2012). Effectiveness of community dissemination of parent–child interaction therapy. Psychological Trauma: Theory, Research, Practice, and Policy, 4(2), 204–213. doi: 10.1037/a0022948 Perez, J.C. (2008). Predictors of patterns of change in child disruptive behavior and parenting stress during parent-child interaction therapy and its relation to treatment outcome. Dissertation. University of Florida. Petitclerc, A. & Tremblay, R.E. (2009). Childhood disruptive behaviour disorders: Review of their origin, development, and prevention. Canadian Journal of Psychiatry, 54(4), 222 – 231.
Universitas Indonesia Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
91
Phillips, J., Morgan, S., Cawthorne, K., & Barnett, B. (2008). Pilot evaluation of parent-child interaction therapy delivered in an Australian community early childhood clinic setting. The Royal Australian and New Zealand College of Psychiatrist. Reinke, W.M., Splett, J.D., Robeson, E.N., & Offutt, C.A. (2009). Combining school and family interventions for the prevention and early intervention of disruptive behavior problems in children: A public health perspective. Psychology in the Schools, 46(1). doi : 10.1002/pits.20352. Robinson, M. (2008). Child development 0-8: A journey through early years. Newyork: McGraw Hill. Schroeder, C.S. & Gordon, B.N. (2002). Assessment & treatment of childhood problems second edition : A clinical’s guide. New York : Guilford Press. Stormshak, E.A., Bierman, K.L., McMahon, R.J., Lengua, L. (2000). Parenting practices and child disruptive behavior problems in early elementary school. Journal Clinical Child Psychology, 29(1), 17–29. Tempel, A.B. (2009). Parent-child interaction therapy: The effects of parental attention components on children’s verbalizations and attending-to-task behaviors. Thesis. Morgantown: West Virginia University. (UMI Number: 1478782). Van de Wiel, N.M.H., Van Goozen, S.H.M., Matthys, W., Snoek, H., & Van Engeland, H. (2004). Cortisol and treatment effect in children with disruptive behavior disorders: A preliminary study. Journal of the American Academy of Child and Adolescent Psychiatry. Wenar, C. & Kerig, P. (2000). Developmental psychopathology: From infancy through adolescence. New York: McGraw Hill. Wilmhurst, L. (2009). Abnormal child psychology: A developmental perspective. New York: Taylor & Francis Group.
Universitas Indonesia Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
92
Lampiran 1. Gambar Denah Ruang Pelaksanaan Intervensi
Ruang 1
Ruang 2
: Pintu
: Cermin satu arah
: Meja
: Kursi
: Pembatas area kursi time out
: Kotak mainan
Ruang 1 : Ruang pelaksana intervensi Ruang 2 : Ruang bermain ibu dan anak
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
93
Lampiran 2. Mainan yang digunakan 1. Puzzle
2. Building blocks
3. Lego KeretaApi
3. Hewan-hewan
5. Bukugambardankrayon
6. Papantulisdankapurberwarna
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
94
Lampiran 3. Instruksi untuk Orang tua saat Observasi pada Tahap Pre-treatment Lembar Instruksi observasi terstruktur menggunakan DPICS-III untuk Ibu” 1)
Pada lima menit pertama, katakan kepada I “ia boleh bermain apa saja yang ia pilih”. Biarkan I melakukan aktivitas bermain yang ia inginkan. Ibu hanya mengikuti aktivitas I dan bermain bersama dengannya.
(setelah 5 menit) 2)
Mainannya tidak perlu dibereskan. Ibu beralih pada situasi kedua. Katakan kepada I bahwa sekarang giliran ibu yang memilih permainan. Ibu dapat memilih aktivitas apapun. Biarkan I bermain dengan dengan mengikuti aturan yang ibu berikan.
(setelah 5 menit) 3)
Sekarang katakan kepada I bahwa sudah saatnya meninggalkan ruang bermain dan mainan harus dibereskan. Pastikan bahwa I yang membereskan mainannya sendiri. Biarkan I menaruh semua mainan ke dalam kotak penyimpanan yang ada di samping meja.
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
95
Lampiran 4. Kegiatan PR Orang Tua
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
96
Lampiran 5. Hasil ECBI
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
97
Lampiran 6. Alat Ukur dan Berkas yang Digunakan
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.
98
Lampiran 7. Materi untuk Orang tua
Keterangan ; Untuk lampiran 4. s.d lampiran 7, tidak disertakan dalam thesis ini. Apabila ada yang membutuhkan, dapat menghubungi penulis melalui alamat e-mail berikut :
[email protected]
Pendekatan PCIT..., Salfiana Nurita, FPsi UI, 2012.