UNIVERSITAS INDONESIA
MEMORI KOLEKTIF KOTA JAKARTA DALAM RESTORAN CINA
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora
EVELYN WIDJAJA NPM 0806435665
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA DEPARTEMEN SUSASTRA PENGKHUSUSAN CULTURAL STUDIES PROGRAM PASCASARJANA DEPOK JUNI 2010
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Evelyn Widjaja
NPM
: 0806435665
Tanda Tangan
:
Tanggal
: 8 Juli 2010
ii Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
KATA PENGANTAR
Topik tesis ini saya pilih berawal dari kegemaran saya akan makananmakanan nikmat dan jalan-jalan mencari tempat makan baru. Lahir dan besar di Jakarta sejak tahun 1980an belum membuat saya bosan dengan tempat-tempat makan yang ada di kota ini. Latar etnis Tionghoa yang membentuk identitas saya turut menggiring saya untuk memasukkan restoran Cina dalam daftar wisata kuliner saya. Berawal dari kegemaran remeh temeh inilah perjalanan penelitian ini dimulai. Mengupas memori-memori kota yang tersimpan melalui restoran Cina sungguh merupakan tantangan bagi saya. Tidak saja memori tersebut sebagian terkait dengan diri saya, namun memori-memori tersebut tidaklah semuanya selezat menu-menu yang saya santap selama penelitian tesis ini. Belum lagi ketiadaan rujukan dan sumber data mengenai restoran Cina di Jakarta selama pengerjaan tesis menambah beban tantangan saya. Namun pengalaman penelitian ini telah menambahkan sesuatu yang baru ke dalam identitas saya dan saya sangat bersyukur karenanya. Terima kasih tak terhingga saya haturkan pertama-tama kepada Tuhan atas berkat dan rahmat yang telah dikaruniakan sehingga akhirnya saya dapat menyelesaikan tulisan sederhana ini. Dengan segala kerendahan hati, saya menyampaikan pula terimakasih yang mendalam kepada: •
Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia, Dr. Bambang Wibawarta.
•
Dr. Lilawati Kurnia, M.A selalu pembimbing akademik dan pembimbing tesis saya. Terima kasih atas inspirasi, arahan, perhatian, dan dorongannya selama saya berkuliah dan mengolah tesis ini.
•
Keluarga tercinta: Papa (Andreas Widjaja), Mama (Lanna Kumala), Edu (Eduard Widjaja) yang senantiasa mendukung dan mendoakan saya.
•
Yuka Dian Narendra yang telah menjadi teman diskusi yang setia dan pemberi semangat yang luar biasa selama perkuliahan dan pengerjaan tesis.
iv
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
•
Dr. Phil. Lily Tjahjandari, M.Hum dan Mursidah, M.Hum yang bersedia membaca dan menguji tesis saya. Terima kasih untuk waktu dan masukkannya.
•
Seluruh pengajar pengkhususan Cultural Studies: Prof. Melani Budianta, Dr. Lilawati Kurnia, Dr. Reni Wijaya, Junaidi, M.A., Dr. Risa Permana Deli, (calon Dr.) Hilmar Farid, Dr. Seno Gumira Ajidarma, Dr. Haryatmoko, Dr. Stephen Donovan (Uppsala University Swedia), Ismiaji, M.A.
•
Oom Uteng, pemilik restoran “Fajar” , Pak Koko, pemilik restoran “Eka Ria”, keluarga pemilik restoran “Abad Baru”, dan Tante Mary selaku informan yang banyak memberi informasi kepada saya.
•
Teman – teman Cultural Studies Universitas Indonesia: Non Salima, Miss Imel, Jeung Esty, Bu Avid, Devie, Uda Edria, Kang Sidik, Mas Taufiq, Neng Rima, Dik Lely, Mas Herwi yang memberi saya persahabatan multikultural dan multiwarna selama dua tahun terakhir.
•
Pihak-pihak yang telah membantu saya yang tidak bisa saya tuliskan satupersatu di sini. Demikian kata pengantar ini dibuat, atas kesadaran bahwa tesis ini tidak
sempurna maka masukan dan kritikan yang tajam dan serius teramat diharapkan.
Jakarta, Juli 2010.
Penulis
v
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademika Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Evelyn Widjaja NPM : 0806435665 Program Studi : Ilmu Susastra Departemen : Ilmu Susastra Fakultas : Ilmu Pengetahuan Budaya Jenis Karya : Tesis demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non-eksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: MEMORI KOLEKTIF KOTA JAKARTA DALAM RESTORAN CINA, beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini, Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengolah dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di: Depok Pada tanggal: 8 Juli 2010 Yang Menyatakan
(Evelyn Widjaja)
vi Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..........................................................................................................ix DAFTAR GAMBAR ................................................................................. ...........x BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ...................................................................................1 1.2 Permasalahan ........................................................................ ...........................9 1.3 Tujuan .............................................................................................................10 1.4 Ruang Lingkup Penelitian................................................................................10 1.5 Metodologi.......................................................................................................10 1.6 Sumber Data.....................................................................................................13 1.7 Sistematika Penyajian …………………………...………..........……............13 BAB 2 KERANGKA BERPIKIR 2.1 Memori Kultural.........................................................................................…..14 2.2 Tipologi Memori dan Memori Kolektif…………...…………………............17 2.3 Tipologi Memori dalam Restoran Cina…………...…………………............20 2.4 Memori Kolektif dan Nostalgia..................................................................….21 2.5 Hegemoni dan Negosiasi.............................................................................….24 BAB 3 ANALISA 3.1 Memori Kolektif VS Nostalgia .......................................................................26 3.2 Urban VS Heritage..................................................................................…….42 3.3 Konteks Kultural-Geografis Restoran Cina dalam Memori Kolektif Jakarta..53 3.4 Konsumsi dan Gaya Hidup dalam Restoran Cina...................................…….65 BAB 4 KESIMPULAN...........................................................................….........69 DAFTAR REFERENSI ..............................................................................…....73 Lampiran 1: Daftar Informan Wawancara..............................................…...........77 Lampiran 2: Daftar Pertanyaan Wawancara...........................................…...........79 Lampiran 3: Transkripsi Wawancara Pemilik dan Pengelola Restoran “Fajar”…80 Lampiran 4: Transkripsi Wawancara Pengunjung restoran “Eka Ria” ..…..........90 Lampiran 5: Transkripsi Wawancara Penghuni Glodok.........................…..........92 Lampiran 6: Milis Budaya Tionghoa yang Membahas Restoran “Jadul” …........95
ix Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Foto Barang-barang yang Dijual di Komunitas “Djadoel” ..............26 Gambar 3.2 Tampilan Halaman “Facebook” dan “Blogspot” dari Komunitas Djadoel” ………………………………………................................27 Gambar 3.3 Interior restoran “Radja Ketjil” …………………….........................29 Gambar 3.4 Tulisan nama restoran “Fajar” di bagian depan bangunan................34 Gambar 3.5 Kartu nama restoran “Fajar” ……………………….........................34 Gambar 3.6 Nasi Hainam………………………………………..........................36 Gambar 3.7 Ayam Goreng Singapore dan Ayam Goreng Cabe Garam................37 Gambar 3.8 Fumak Cah Bawang Putih dan Tahu Cah Aneka Sayur.....................37 Gambar 3.9 Buku menu restoran “Fajar” ……………………….........................37 Gambar 3.10 Plakat di dinding restoran “Eka Ria” ………………......................39 Gambar 3.11 Website restoran “Eka Ria” ………………………........................39 Gambar 3.12 Interior restoran “Fajar” …………………………..........................44 Gambar 3.13 Interior dan eksterior restoran “Eka Ria” …………........................45 Gambar 3.14 Tjoeng Tan ………………………………………..........................46 Gambar 3.15 Tatanan meja makan restoran “Eka Ria” …………………………46 Gambar 3.16 Benda- benda di dalam restoran “Fajar” …………………..……...48 Gambar 3.17 Gaya yang berlawanan dalam interior restoran “Fajar” …………..49 Gambar 3.18 Restoran “Fajar” Surabaya………………………………………...50 Gambar 3.19 Air terjun dalam interior “Fajar”..…………………………………51 Gambar 3.20 Bangunan Ruko Restoran “Fajar”…………………………………56 Gambar 3.21 Restoran “Jit Lok Jun” di Glodok…………………………………59 Gambar 3.22 Restoran “Jit Lok Jun” di Pasar Lindeteves……………………….60 Gambar 3.23. Restoran “Eka Ria Delight” ………………………………..…….63 Gambar 3.24 Interior restoran “Radja Ketjil”……………………………………68
x Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
ABSTRAK
Nama : Evelyn Widjaja Program Studi : Ilmu Susastra Judul : Memori Kolektif Kota Jakarta dalam Restoran Cina
Tesis ini merupakan penelitian mengenai memori kolektif kota Jakarta yang direpresentasikan dalam restoran Cina. Penelitian ini bertujuan mendokumentasikan memori kolektif dari restoran Cina di Jakarta yang mulai berdiri dalam kurun waktu tahun 1930-1950an dan menelaah representasi praktik kultural yang terjadi serta tarik-menarik kepentingan didalamnya. Sumber data adalah pemilik dan pengelola restoran Cina dan restoran Cina. Kerangka berpikir yang melandasi penelitian adalah kajian memori kultural (cultural memory studies). Landasan metodologi adalah pendekatan Cultural Studies, yaitu pendekatan etnografi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa restoran Cina memegang peranan dalam pembentukan memori kolektif kota Jakarta.
Kata kunci: Memori kolektif, kota Jakarta, warga Tionghoa, restoran Cina
vii Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
ABSTRACT
Name : Evelyn Widjaja Study Program: Literature Title : The City Collective Memory of Jakarta in Chinese Restaurant
This thesis is a study on the city’s collective memory represented in a Chinese restaurant in Jakarta. This study aims to documented the collective memory of a Chinese restaurant in Jakarta, which started up in the period of 1930-1950s and analises the representation of cultural practices that occurred as well as attract the interest therein. Data source is the owner and manager of the Chinese restaurants and Chinese restaurants. Framework of thinking that underlies this research is the study of cultural memory. The methodology used is the approach of Cultural Studies, which is ethnographic approach. The results showed that Chinese restaurant plays a role in shaping the collective memory of Jakarta.
Key words: Collective memory, City of Jakarta, Tionghoa citizen, Chinese restaurant
viii Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Ruang kota Jakarta telah mengalami beberapa perubahan signifikan dalam perancangan tata kotanya. Mulai dari berubahnya fungsi kota Batavia menjadi ibukota pemerintah kolonial, Jakarta sebagai kota metropolis modern pada masa Orde Baru, hingga kini menjadi Jakarta Megapolitan. Kejayaan Jakarta sebagai ibukota dimulai sejak Batavia menjadi ibukota pemerintahan kolonial Hindia Belanda di awal abad keduapuluh setelah pembukaan pelabuhan air dalam di Tanjung Priok pada tahun 1886. Sebelumnya, Batavia berperan sebagai pusat perdagangan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) di abad ketujuhbelas dan delapanbelas. Pusat kegiatan perdagangan dan administrasi terutama pada daerah yang sekarang disebut Kota Tua. Perubahan dramatis dalam kebijakan pemerintah kolonial terhadap Batavia membuatnya menjadi kota terbesar dan termodern di Asia Tenggara saat itu. Pembangunan di Batavia di awal abad keduapuluh bertujuan untuk memfasilitasi dominasi budaya kolonial Barat. Area elit seperti Weltevreden (sebelah selatan dari Kota Tua Batavia) dibangun untuk kawasan privat, hunian, dan klub eksklusif dengan konsumen orang-orang Belanda. Saat itu Kota Tua dianggap daerah downtown, Weltevreden merupakan daerah uptown.1 Yang dimaksud dengan daerah Kota adalah mulai dari pelabuhan Sunda Kelapa, pertokoan di sekitar Kali Besar, Stasiun, gedung Museum Sejarah Jakarta, sampai dengan Glodok2. Di luar daerah tersebut masih berupa kebun dan hutan. Baru setelah malaria mewabah di Batavia tahun 1732, pemerintah kolonial membuka area sebelah selatan Kota dan memfasilitasinya dengan infrastruktur yang lebih baik. Daerah Kota ditinggalkan karena memiliki sistem sanitasi yang buruk sehingga dinilai tidak layak untuk ditinggali orang Belanda.
1
Christopher Silver, Planning the Megacity: Jakarta in the Twentieth Century. (2008). Dirangkum dari berbagai sumber , Furnivall (dalam Silver, 2008), Silver (2008), Merrillees (dalam Silver, 2008). 1 Universitas Indonesia
2
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
2
“The suburban area south of old Batavia, commonly referred to as Weltevreden, was developed in the early 1800s by Governor General Herman Willem Daendels on the lands of a vast estate owned by a succession of wealthy predecessors. … One of the motives for building in this area was, for the handful of colonial officials and business elite who could afford it, as an escape from the unhealthy confines of the old city.3” (Silver, 2008) “Kampung Tionghoa di Batavia pada mulanya tidak terletak di Kota, di Glodok, di tempat yang sekarang banyak tinggal orang Tionghoa. Pada waktu orang-orang Belanda dipindahkan ke Weltevreden oleh Daendels, maka orang-orang Tionghoa pindah ke tempat yang dulu dinamakan kampung Belanda.” (Onghokham, 2009) Seiring dengan penghancuran tembok kota yang membatasi tempat tinggal etnis Tionghoa di luar tembok pada tahun 1905, ruang kota Batavia pun mengalami perubahan. Etnis Tionghoa mulai keluar dari ghetto4 dan menempati bangunan-bangunan yang tadinya dihuni oleh orang Belanda. Infrastruktur yang sudah ada dan berkembang di kawasan Kota selanjutnya menjadi ruang baru yang memberi kesempatan untuk diisi oleh etnis Tionghoa di kawasan itu. Hal ini dapat dilihat melalui adanya tulisan-tulisan mengenai modernisasi yang dipublikasikan pada masa itu5, perkembangan media cetak yang pesat, dan perubahan gaya hidup seperti yang dijelaskan oleh Hellwig (2002) sebagai berikut, …the early twentieth century was a time of transition in the Indies. It signified a period of important political and social change, as the modernization process has left its imprint on the economy. Print capitalism, consumerism, and education pushed the colonial society into the modern age. Those living in that society had to adjust to new values, and to new patterns of social relationship. Particularly in the urban areas Indonesians, Chinese, and other Asians, Indos, and peranakans, living side by side with Europeans, made up a multilayered society where social dynamics pulsed and shifted. Pemerintah kolonial memberlakukan politik etnis yang membagi penduduk berdasarkan etnisitasnya. Peraturan perundangan yang membagi warga sesuai 3
Pemenggalan oleh penulis. Bagian dari kota, biasanya daerah yang kumuh, yang dihuni oleh kelompok minoritas. 5 Tulisan-tulisan mengenai perubahan jaman ke arah modernisasi dapat dilihat dalam Chan Faye, Mrs Tjoa Hin Hoeij ; Profile of a Woman Writer in Late Colonial Indonesia (1991); Jamie Mackie, Towkays and Tycoons: The Chinese in Indonesian Economic Life in the 1920s and 1980s (1991); Indonesia, Vol. 51, The Role of the Indonesian Chinese in Shaping Modern Indonesian Life (1991). Universitas Indonesia 4
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
3
etnisitasnya juga mengatur fungsi tiap-tiap etnis dalam kehidupan sehari-hari. Sebelum abad keduapuluh orang Tionghoa dibatasi pemukimannya di kawasan Glodok. Orang Tionghoa yang bermukim di luar Glodok memiliki fungsi praktis dalam masyarakat kota. Orang Tionghoa yang bermukin di area Weltevreden, misalnya, memiliki fungsi sebagai penjahit dan pedagang yang memfasilitasi kebutuhan orang Eropa yang bermukin di area tersebut. Politik etnis, pada akhirnya, menciptakan struktur masyarakat kolonial tertentu yang membagi masyarakat dalam golongan etnis, dengan fungsi ekonomis dan politis tertentu. Bagi penguasa kolonial etnis Tionghoa berfungsi sebagai buffer, penghalang oposisi langsung, alat pemecah-belah masyarakat, dan pelaksana ekonomi pada tingkat bawah (Onghokham, 2003) Pada awal abad keduapuluh, gaya hidup di Batavia berubah setelah diberlakukannya Politik Etis. Setelah orang Tionghoa dapat tinggal di luar tembok kota, mereka dapat masuk ke ranah konsumsi orang Eropa yang ada di Batavia pada saat itu. Dalam bukunya tentang hidupnya di Batavia pada akhir abad kesembilanbelas hingga awal abad keduapuluh6, Tio Tek Hong menuliskan kenangannya sebagai orang Tionghoa. Salah satunya bercerita mengenai toko N.V (Naamloze Vennotschap) Tio Tek Hong yang didirikannya bersama dengan saudaranya. Toko mereka menjual berbagai macam barang dan yang pertama kali menjual barang dengan harga pas yang dicantumkan. Toko Tio Tek Hong juga menjual gramofon impor serta piringan hitam. Kedua barang ini sebelumnya merupakan konsumsi eksklusif bagi bangsa Eropa yang tinggal di Batavia. Memori ini menjadi salah satu penanda gaya hidup modern yang diadopsi oleh orang Tionghoa di Batavia mulai awal abad keduapuluh. Restoran hadir sebagai salah satu praktik kultural modern yang mendapat tempat dalam keseharian masyarakat urban Batavia sejak awal abad keduapuluh. Restoran sebagai ruang praktik ekonomi dan kultural diklaim oleh Perancis pertama kali muncul seiring dengan revolusi Perancis7. Segmentasi pengunjung
6
Tio Tek Hong , Keadaan Jakarta Tempo Doeloe: Sebuah Kenangan 1882-1959, (1959). Mengenai sejarah restoran di Eropa dapat membaca Rebecca Spang, The Invention of the Restaurant Boston: Harvard University Press (1999). Sebagai perbandingan, ada juga sumber yang menyebutkan restoran pertama kali tercatat dalam dokumen sejarah di Hangchow, Cina pada abad ke 13. Baca Jacques Gernet, Daily Life in China on the Eve of the Mongol Invasion 1250-1276 (Stanford: Stanford University Press, 1962). Universitas Indonesia
7
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
4
dan spesialisasi menu menjadi salah satu penanda yang ditawarkan pada masa awal berdirinya restoran-restoran di Paris. Praktik kultural restoran tidak hanya berkembang di Eropa, di Indonesia, pada jaman pemerintahan kolonial awal abad keduapuluh, restoran menjadi salah satu ruang yang hadir dalam keseharian kota Batavia.8 Kini, konsep restoran telah banyak berkembang dan dapat ditemui dalam keseharian masyarakat kota di Jakarta. Keberadaan restoran sudah tidak dapat dipisahkan dari ruang kota Jakarta. Keseharian sebuah restoran diasumsikan mewakili salah satu sisi dari keseharian Jakarta. Keseharian ini juga terkait dengan gaya hidup urban Jakarta. Sejak awal abad keduapuluh, kawasan Glodok telah menjadi salah satu pusat kegiatan ekonomi yang juga dipenuhi dengan restoran-restoran dan kedai makanan. Di awal abad ke-20, restoran elite bertumbuhan di sini, resto Tionghoa yang kebanyakan sudah tak lagi ada tapi namanya tetap lekat di hati warga. Sebut saja Kam Leng, Beng Hiong, Kwetiau Sapi Siaw A Tjiap, Tay Too Lin, dan Chung Hua. Itu jauh sebelum pertokoan Gloria dibangun. Restoran Chung Hua pindah ke Sunter, sedangkan Kwetiau Sapi Siaw A Tjiap masih bertahan di tempat pertama. Letaknya tak jauh dari bekas pertokoan Gloria.9 Hadirnya restoran dan kedai kopi di Glodok tidak hanya memenuhi kebutuhan orang Tionghoa yang tinggal di sekitar kawasan Glodok, namun juga menjadi gaya hidup bagi warga Batavia. Orang Belanda dan Eropa juga menjadi pelanggan dari restoran-restoran tersebut. Sebagai salah satu ruang publik yang hidup di kawasan Glodok, restoran Cina10 memiliki kepentingan untuk diangkat ke dalam penelitian. Berdasarkan data historis di atas, saya bermaksud mendokumentasikan perubahan ruang kota Batavia, terutama praktik kultural di kawasan Glodok dan sekitarnya dalam kurun waktu 1930 hingga 1950an. Dokumentasi praktik kultural etnis Tionghoa dalam kurun waktu 1930-1950an pada restoran Cina belum terwadahi dalam buku-buku sejarah dan ruang publik yang disediakan oleh negara. Sehubungan dengan proyek restorasi Kota, saya juga melihat adanya
8
Dirangkum dari HCC Clockener Brousson, Batavia Awal Abad 20 (2007). Bernostalgia di (bekas) pertokoan Gloria, Kompas.com: Jumat, 21 Agustus 2009 | 10:09 WIB 10 Istilah “Cina” pada penelitian ini mengambil dari penggunaan yang lazim pada praktik seharihari di Jakarta. Walaupun sudah ada konsensus untuk menggunakan istilah “Tionghoa” untuk merujuk kepada identitas etnis, tapi untuk makanan dan restoran tidak lazim menggunakan istilah “restoran Tionghoa atau makanan Tionghoa.” Universitas Indonesia 9
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
5 upaya pembentukan memori kolektif bagi warga kota11. Memori kolektif akan suatu ruang publik tidak terlepas dari memori-memori pribadi dari warga ruang publik tersebut. Berdasarkan itu, memori-memori yang mengisi ruang publik ini juga memiliki kepentingan untuk didokumentasikan. Ruang publik yang dipilih dalam penelitian ini adalah restoran Cina sebagai representasi ruang publik di kawasan Glodok. Selain itu, restoran Cina di kawasan Glodok sebagai ruang publik yang menyimpan memori belum pernah ditelaah dan dimaknai secara kritis dalam sebuah penelitian. Di lain pihak, ada wacana restorasi Kota Tua yang sudah diresmikan sejak masa jabatan Sutiyoso sebagai gubernur Jakarta. “Tujuan utamanya adalah untuk mengubah kawasan Kota menjadi tempat pariwisata budaya yang menampilkan nilai-nilai warisan yang juga memberi ruang untuk kegiatan ekonomi”, menurut Aurora Tambunan, kepala Agensi Kebudayaan dan Museum Jakarta.12 Rencana Revitalisasi Kota Tua 2006-2007 dimulai dengan pemugaran Taman Fatahillah di Kota Tua menjadi area priwisata yang menarik dan mudah diakses. Rencana ini mengadopsi rencana pembangunan taman kota Fatahillah sebagai ruang publik tahun 1923 oleh arsitek Hendrik Petrus Berlage. Kawasan pariwisata Kota Tua direncanakan berpusat di Taman Fatahillah dan membentang di area komersil sepanjang sisi Kali Besar, termasuk Glodok sebagai kawasan Pecinan. Kawasan Glodok seringkali diposisikan sebagai pusat praktik kultural dengan identitas kechinaan yang otentik dan tradisional di Jakarta. Identitas kechinaan yang melekat pada Glodok sering ditampilkan dalam citra tradisional dan erat kaitannya dengan sejarah kolonial13. Label pecinan yang melekat pada Glodok menempatkannya sebagai salah satu produk modernitas yaitu ruang urban. Setelah kerusuhan Mei 1998, kawasan Glodok dan sekitarnya lebih banyak terlupakan dan dikondisikan untuk melupakan kejadian tersebut. Namun, hancurnya fisik bangunan-bangunan tua tidak dapat dipungkiri memberikan bekas 11
Op. cit. Brousson (2007). Penelitian yang menjadi inspirasi, frame of reference, dan titik tolak dari proposal penelitian ini bersumber pada artike-artikel dari Abidin Kusno, Ruang Publik, Identitas, dan Memori Kolektif: Jakarta Pasca Suharto (2009). 13 konteks ini selalu muncul dalam bacaan tentang Batavia dalam masa pemerintahan kolonial. Baca HCC Clockener Brousson, Batavia Awal Abad 20 (2007); Mona Lohanda, Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia (2007); Catherine Salmon dan Denys Lombard, Klenteng-Klenteng dan masyarakat Tionghoa di Jakarta (2003). Universitas Indonesia 12
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
6
yang terlihat pada kawasan Glodok. Usaha untuk melestarikan lingkungan Kota Tua dan Glodok bukanlah hal baru. Kota Tua menjadi obyek untuk menarik kedatangan turis-turis asing dan untuk mendidik anak sekolah mengenai sejarah kota. Kepentingan lain bagi pemerintah kota Jakarta kini untuk merestorasi Kota Tua dan Glodok adalah untuk menunjukkan kemampuan dan legitimasi kekuasaan masa kini melalui penataan kota.14 Restorasi Kota Tua juga dapat dibaca sebagai “pengganti” absennya situs peringatan akan hal-hal yang terjadi di Glodok di masa lalu. Restorasi Kota juga dapat dimaknai sebagai “permintaan maaf” dari pemerintah atas trauma-trauma yang ditimbulkan dari bentrokan-bentrokan sosial di Glodok. Selain itu, sebelum proyek restorasi Kota Tua mewacana, kawasan Kota dan Glodok seolah ditenggelamkan selama era Suharto dengan bangunanbangunan baru yang menghimpit kawasan Kota dan Glodok. Bangunan-bangunan lama banyak yang dihancurkan atau rusak dengan sendirinya karena tidak diperhatikan pemeliharaannya. Seolah hendak menghapus kawasan Kota dan Glodok dari memori kota Jakarta, pembangunan selama era Suharto telah melindas kawasan tersebut dengan membiarkannya usang dan “tua”. Topik penelitian membatasi pada restoran Cina yang mulai berbisnis dalam kurun waktu 1930 hingga 1950an, ketika gaya hidup kolonial masih kental di Batavia. Dalam kurun waktu ini gelombang imigran yang datang ke Batavia dari China setelah revolusi sudah menetap dan memulai bisnisnya. Etnis Tionghoa generasi pertama yang tiba di Batavia ini sedang bertumbuh setelah trauma perang saudara dan revolusi di China tahun 1911-1919. Kurun waktu ini dipilih karena sejauh yang tercatat dalam kurun waktu inilah mulai ada restoran Cina di kawasan Glodok dengan mengadopsi konsep restoran modern ala Eropa. Hal ini juga terkait dengan asumsi yang mendasari penelitian ini yang menempatkan restoran Cina sebagai oposisi dari kebudayaan Eropa yang menguasai Batavia pada masa itu. Dalam prapenelitian, penulis menemukan beberapa restoran yang masuk dalam kriteria pembatasan penelitian. Restoran-restoran tersebut ada di dalam tabel 1.
14
Op. cit. Kusno (2009). Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
7
Tabel daftar restoran Cina yang berdiri sejak kurun waktu 1930 hingga 1950an No 1
Nama restoran 15
Jit Lok Jun
Nama lain
Lokasi restoran
Tahun
Eka Ria
Glodok Lindeteves
1926
Jl. Batu Ceper
1970
Ketapang
1985
BSD City
1987 - sekarang 2009 - sekarang
2
You Iet Tjoen16
17
3
Sin Kie Joen
4
Toeng Kong19
Fajar
Lokasari
1945
Glodok
1978
Harmoni
1986 - sekarang
Abad Baru
Glodok
1930 - 197018
Cahaya Kota
Menteng Raya
1942
Jl. Wahid Haysim
1965 - sekarang Tutup 1970an21
5
Kam Leng20
-
Glodok
6
Chung Hwa22
Chung Hwa
Glodok
7
Siauw A Tjiap
23
Sehati
Sunter
2008 - sekarang
Glodok (Pancoran)
1940an - sekarang
Pintu Besar Selatan Sunrise Greenville Pesanggrahan
2005 - 2009
Pluit 8
Tan Goei24
Miranda
15
Jl. Besuki, Menteng
1950an - sekarang
Baca: jit lok jun Baca: yu it cun 17 Baca: sin ki yun 18 Waktu buka restoran diperkirakan dalam kisaran tahun 1940an dan berhenti berbisnis pada tahun 1970an. Penanggalan tidak dapat diketahui dengan tepat karena keluarga generasi ketiga dari pendiri restoran tidak menyimpan dokumentasi dan kesulitan dalam menceritakan kepada penulis. 19 Baca: tung kong 20 Baca: kam leng 21 Data mengenai restoran “Kam Leng” tidak didapat dengan lengkap karena restoran tersebut sudah tutup dan keberadaan pemiliknya tidak dapat dilacak lagi. Data yang didapat berasal dari memori Mary dan Wawa, penghuni Jl. Pintu Besar Selatan dekat Glodok. Wawancara 18 Desember 2010. 22 Baca: cung hua 23 Baca: siau a ciap 24 Baca: tan gui Universitas Indonesia 16
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
8
Fokus penelitian akan membatasi pada dua restoran Cina yang sempat menempati kawasan Glodok. Restoran Cina yang akan menjadi fokus penelitian ini adalah restoran “Jit Lok Jun” yang kemudian menggunakan nama “Eka Ria” dan restoran “You Iet Tjoen” yang kemudian menggunakan nama “Fajar”. Kedua restoran ini didirikan oleh warga Tionghoa generasi pertama yang tiba di Batavia25. Ada beberapa restoran lain yang juga memenuhi kriteria penelitian, namun pada saat penelitian belum berhasil dibangun rapor yang baik sehingga belum dapat dimasukkan ke dalam penelitian ini. Ada juga restoran yang pada saat penelitian dilakukan sudah tutup sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan pengamatan langsung. Restoran-restoran lain di dalam tabel menjadi informasi pendukung dari kedua restoran yangmenjadi fokus penelitian. Restoran “Jit Lok Jun” didirikan pada tahun 1925 oleh Tjoeng.26 Nama “Jit Lok Jun” diartikan sebagai “sebuah taman ria”27. Nama Eka Ria dipilih oleh generasi kedua sebagai pengganti “Jit Lok Jun” mulai digunakan 11 November 1970 bersamaan dengan kepindahannya ke Pasar Lindeteves lantai 2. Setelah berpindah lokasi dari Glodok, Lindeteves, Batu Ceper, sekarang restoran “Eka Ria” menempati gedung di Jalan K.H. Zaenal Arifin, Jakarta dan pada bulan Desember 2009 membuka restoran yang menawarkan konsep baru di daerah Bumi Serpong Damai dengan nama “Eka Ria Delight”. Pengelolaan restoran sampai saat ini dipegang oleh keluarga dengan generasi pertama dan kedua ikut memasak di dapur. Restoran yang awal berdirinya mengusung nama “You Iet Tjoen”, yang artinya “satu kampung”, pada tahun 1968 berganti nama menjadi “Fajar”. Nama “Fajar” diberikan oleh gubernur Jakarta Ali Sadikin yang merupakan pelanggan tetap restoran itu. Semangat primordial yang dapat dimaknai pada awal pendirian restoran dengan segera luruh saat restoran “You Iet Tjoen” tiba-tiba dibanjiri 25
Oleh beberapa penulis seperti Onghokham dan Leo Suryadinata, golongan ini disebut Cina Totok untuk membedakannya dari Cina Peranakan, yaitu warga Tionghoa yang sudah lebih dari dua generasi di Indonesia. Pada waktu penelitian ini dibuat hampir tidak ada lagi warga Tionghoa yang baru datang ke Indonesia, oleh karena itu penulis memilih untuk tidak menggunakan istilah “totok” atau “peranakan”. 26 Data ini diambil dari website resmi restoran “Eka Ria” dan plakat yang ada dalam restoran “Eka Ria”, Ketapang, Jakarta. 27 Menurut keluarga pemilik, “Jit” artinya “satu”, “Lok” artinya “gembira”, “Jun” artinya “taman”. Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
9 pengunjung setelah pemuatan ulasannya di koran pada tahun 195828. Restoran yang pada awalnya terletak di dalam komplek Lokasari kemudian pindah ke Glodok Plaza pada tahun 1978. Kini, restoran “Fajar” telah menempati bangunan di dalam komplek Harmoni sejak tahun 1986. Generasi kedua “Fajar” telah membuka cabang-cabang restoran di Melawai, Kelapa Gading, dan Tunjungan Plaza-Surabaya. Dengan tulisan “Restoran Internasional Fajar” di bagian depan gedungnya, pengelola memberikan pemaknaan baru bagi konteks restoran Cina di Glodok.
1.2 PERMASALAHAN
Penelitian ini secara umum hendak mendokumentasikan dan memaknai memorimemori yang berkaitan dengan perubahan ruang kota dan gaya hidup di Batavia dalam ruang publik restoran Cina di kawasan Glodok tahun 1930-1950an. Memori-memori yang terkait dengan ruang publik restoran Cina membentuk memori kolektif yang menjadi identitas kota Jakarta sehubungan dengan proyek restorasi Kota Tua. Berdasarkan uraian mengenai restoran dan memori kolektif, maka identifikasi masalah adalah sebagai berikut: 1. Ruang memori apa saja yang mengisi ruang restoran Cina di kawasan Glodok yang mulai berdiri dalam kurun waktu tahun 1930-1950an? Bagaimana tipologi memori kolektif yang terbentuk dari memori-memori ini? 2. Apa yang dapat dimaknai dari tarik-menarik kepentingan dalam tipologi memori kolektif restoran Cina di kawasan Glodok antara hegemoni pemerintah kota Jakarta dengan memori warga kota?
28
Wawancara dengan Uteng, generasi kedua pemilik restoran “Fajar”, 17 Desember 2009. Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
10
1.3 TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan informasi berupa memori seputar restoran Cina di kawasan Glodok yang mulai berdiri dalam kurun waktu tahun 1930-1950an dengan rincian sebagai berikut: 1. Menyusun dokumentasi akan memori kolektif dari restoran Cina di Jakarta yang mulai berdiri dalam kurun waktu tahun 1930-1950an. 2. Memaknai memori-memori yang terkumpul dan menelaah representasi praktik-praktik kultural yang terjadi dalam ruang restoran Cina dan tarikmenarik kepentingan yang terjadi di dalamnya sejak tahun 1930an hingga kini.
1.4 RUANG LINGKUP PENELITIAN
Ruang lingkup penelitian ini adalah memori-memori yang ada dalam restoran Cina di Jakarta yang mulai berdiri dalam kurun waktu tahun 1930-1950an. Fokus penelitian mencakup restoran “Eka Ria” dan “Fajar” sebagai restoran yang memenuhi kriteria penelitian. Analisis akan membaca dan memaknai memori kolektif yang terkumpul dan menelaah tarik-menarik kepentingan yang terjadi dalam ruang memori kolektif.
1.5 METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metodologi kualitatif. Pendekatan kualitatif dipilih untuk memahami suatu situasi sosial, peristiwa, peran, kelompok atau interaksi tertentu (Locke, Spirduso, Silverman, 1978 dalam Lim, 2009). Melalui pendekatan ini, peneliti secara bertahap berusaha memahami fenomena sosial dengan membedakan, membandingkan, meniru, mengategorisasikan dan mengelompokkan objek studi (Miles dan Huberman, 1984 dalam Lim, 2009). Pendekatan kualitatif melihat realitas sebagai sesuatu yang subjektif. Metodologi Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
11
kualitatif dalam penelitian ini akan diwujudkan dalam analisis discourse dengan metode etnografi. Metode etnografi akan dilakukan dengan cara wawancara mendalam dan observasi. Alasan penunjang untuk menggunakan etnografi sebagai metode pengumpulan data karena minimnya kepustakaan yang tersedia mengenai topik penelitian. Wawancara mendalam menjadi sumber data utama penelitian. Daftar data informan dan pertanyaan wawancara ada pada lampiran 1 dan 2. Untuk dapat melakukan wawancara mendalam dengan informan, diperlukan hubungan yang lebih dekat dengan informan dengan membangun rapport. Melalui proses prapenelitian yang dilakukan 6 bulan sebelum penelitian, peneliti berusaha untuk membangun rapport dengan para informan. Observasi dilakukan untuk mengidentifikasi munculnya unsur-unsur dari gejala-gejala di dalam penelitian. Unsur-unsur yang tampak itu disebut data atau informasi yang harus diamati dan dicatat secara benar dan lengkap (Nawawi dan Hadari, 1995 dalam Lim, 2009). Kriteria pemilihan informan: 1. Anggota keluarga pemilik dan pengelola restoran “Eka Ria” (generasi ketiga) 2. Anggota keluarga pemilik dan pengelola restoran “Fajar” (generasi kedua) 3. Anggota keluarga pemilik restoran “Abad Baru” (generasi kedua dan ketiga) 4. Penghuni yang pernah/masih bertempat tinggal di kawasan Glodok setidaknya sejak tahun 1950an. 5. Orang Tionghoa, warga Batavia/Jakarta yang mengalami setidaknya masa remaja pada tahun 1950an, termasuk di dalamnya konsumen restoran Cina yang menjadi objek penelitian. 6. Pengunjung restoran “Eka Ria” dan/atau “Fajar” yang tidak bermukim di kawasan Glodok dan sekitarnya.
Penelitian
kualitatif
menurut
Sadli
dan
Porter
(1999:
3-5)
perlu
mengembangkan mekanisme kontrol. Walaupun memiliki perspektif subyektif, penelitian kualitatif dilakukan untuk mencerminkan sedekat mungkin realitas yang dikaji. Yang termasuk mekanisme kontrol adalah: Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
12
1. Bila sudah mengambil kesimpulan sementara atau telah membuat interpretasi data, maka cobalah untuk membuktikan pada diri sendiri bahwa peneliti telah membuat kesalahan. Dengan kata lain, kita perlu mencari data yang mungkin tidak mendukung kesimpulan yang telah dibuat. 2. Semua tahapan riset harus dibuat secara jelas atau eksplisit. Ini berarti bahwa setiap tahapan harus disampaikan secara tertulis dan dimasukkan dalam laporan akhir. Kesalahan, perubahan-perubahan atau misinterpre tasi yang telah terjadi harus dimasukkan ke dalamnya. Semakin jujur sikap si peneliti, maka semakin mudah bagi pembaca untuk dapat menilai kebenaran dari hasil riset yang disajikan. 3. Semua data perlu diuji berulang kali. Riset berlangsung terus sampai peneliti yakin bahwa semua hal yang dapat dipelajari telah dikaji. 4. Subjek yang diteliti merupakan ahli tentang kehidupannya sendiri. Dari pihak peneliti harus ada permohonan agar subjek mau membagi keahliannya dengan peneliti. Penelitian yang baik adalah penelitian yang dilakukan dengan sikap rendah hati.
Pemaparan analisa penelitian disajikan dengan gaya kilas balik yang menampilkan memori yang muncul pada saat wawancara dan pengamatan. Gaya kilas balik dipilih karena analisa penelitian menggunaan kerangka berpikir memori kolektif untuk membicarakan memori. Pada beberapa bagian, analisa akan bergerak dengan alur maju sedangkan pada bagian lain mengambil alur mundur. Hal ini disebabkan beberapa isu yang muncul membutuhkan memori tertentu dalam kurun waktu yang berlainan sehingga tidak memungkinkan untuk memaparkan analisa secara kronologis. Tipologi memori yang digagas dalam penelitian ini saling terkait, saling membentuk, dan hidup bersama dalam politik pergeseran dan transformasi memori.
Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
13
1.6 SUMBER DATA Sumber data berupa data-data kualitatif yang didapatkan melalui pendekatan etnografi (wawancara dan observasi). Data-data kualitatif tersebut berupa traskripsi wawancara dan data hasil pengamatan penulis. Wawancara mendalam dilakukan dengan beberapa sumber, yaitu: pemilik dan pengelola restoran Cina yang menjadi fokus penelitian, pengunjung restoran, dan orang Tionghoa penghuni Glodok sebagai sumber data utama. Wawancara langsung telah dilaksanakan dengan beberapa orang antara lain: Uteng dan Eileen (generasi kedua dan ketiga dari pendiri dan pengelola restoran “Fajar”), Koko Suharto (generasi ketiga dari pendiri dan pengelola restoran “Eka Ria”), Lanna (pengunjung restoran “Eka Ria” dan “Fajar”), Mary (warga Glodok sejak 1954). Data-data lain seperti transkripsi wawancara dengan keluarga pendiri dan pengelola restoran “Abad Baru”, milis budaya tionghoa, dan ulasan mengenai restoran Cina di Jakarta dalam blog di internet dijadikan data pendukung dalam penelitian ini.
1.7 SISTEMATIKA PENYAJIAN
Penelitian ini direncanakan ditulis dalam empat bab, dengan sistematika sebagai berikut: Bab I, berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, landasan teori, serta metode penelitian. Bab II, berisi pembahasan tentang dokumentasi jaman melalui memori kolektif, dan tipologi memori yang menjadi kerangka pikiran dalam penelitian. Bab III, berisi pembahasan tentang memori kolektif dan representasi yang terbentuk dari tipologi memori dalam restoran Cina pada ruang kota Jakarta. Terakhir, Bab IV, berisi kesimpulan.
Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
BAB 2 KERANGKA BERPIKIR
2.1 MEMORI KULTURAL
Memori merupakan suatu fenomena yang bersifat individual. Dimulai dari aktivitas mengingat-ingat yang terjadi di dalam kepala kita sendiri. Seseorang dapat melakukan aktivitas mengingat-ingat ini ketika sedang menunggu jadwal kereta, berjalan kaki menuju tempat kerja, atau bahkan juga ketika setengah mendengarkan percakapan tentang hal yang sama sekali berbeda. Pemikiran tentang memori telah ada sejak jaman Yunani Kuno, namun perspektif sosial pada memori baru muncul di akhir abad sembilanbelas dan awal abad duapuluh. pertama kali digunakan secara kontemporer oleh Maurice Halbwachs (1925) dan banyak mendapat pengaruh dari filsuf Perancis Henri Bergson dan sosiolog Emile Durkheim. Menurut Halbwachs (1925) memori pertama-tama terbentuk di masa kini seperti juga di masa lalu dan merupakan sebuah variabel yang tidak konstan. Memori adalah bagaimana pikiran bekerja bersama-sama dalam sebuah masyarakat, bagaimana keberlangsungannya tidak hanya termediasi namun juga terstruktur oleh aturan-aturan sosial. “[I]t is in society that people normally acquire their memories. It is also in society that they recall, recognize, and localize their memories”. Halbwachs, (1925). Semua prose mengingat-ingat yang individual mengambil materi sosial, dalam sebuah konteks sosial, dan merespon petanda sosial. Sehingga bahkan ketika kita melakukannya saat sedang sendirian, kita melakukannya sebagai makluk sosial dengan identitas sosial kita sebagai referensi. Berangkat dari pemikiran Halbwachs (1925), Olick (1999) menganalisa memori kolektif dengan memasukkan faktor representasi kolektif (simbol-simbol, makna, narasi, dan ritual yang tersedia bagi publik), struktur kebudayaan (sistem peraturan atau pola yang memproduksi representasi), konstruksi sosial (pola interaksi), dan memori-memori individual yang terbentuk secara kultural dan sosial. 14
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
15
For upon closer examination, collective memory really refers to a wide variety of mnemonic products and practices, often quite different from one another. The former (products) include stories, rituals, books, statues, presentations, speeches, images, pictures, records, historical studies, surveys, etc.; the latter (practices) include reminiscence, recall, representation, commemoration, celebration, regret, renunciation, disavowal, denial, rationalization, excuse, acknowledgment, and many others. Olick (1999). Olick (1999) juga mengemukakan tiga prinsip dalam menganalisa memori29 dan mengolah materi yang ditemukan di dalamnya. Pertama memori kolektif tidak bersifat monolitik. Pengingatan kolektif merupakan proses yang sangat kompleks, melibatkan banyak macam orang, praktik, materi, dan tema. Yang kedua, konsep memori kolektif akan mendorong kita untuk melihat memori sebagai residu otentik akan masa lalu atau sebaliknya sebagai konstruksi yang sifatnya dinamis dalam masa kini. Proses mengingat-ingat yang kompleks selalu merupakan proses negosiasi yang cair antara hasrat di masa kini dan peninggalan dari masa lalu. Ketiga, harus diingat bahwa memori adalah sebuah proses, dan bukan sebuah benda. Memori kolektif adalah sesuatu yang kita lakukan bukan sesuatu yang kita miliki. Oleh karena itu diperlukan perangkat analisis yang sensitif terhadap keberagaman, kontradiksi, dan dinamikanya. Meneliti memori kultural bertolak dari asumsi bahwa memori merupakan situs penting untuk menganalisa pengalaman yang hidup dalam sebuah kurun waktu (Keightley, 2008). Kajian memori kultural terbagi dalam dua tingkatan yang di dalamnya memori dan budaya memiliki porsi irisannya masing-masing (Olick, 2008 dalam Erll, 2008). Tingkatan pertama terkait dengan memori dalam konteks biologis. Tidak ada memori yang sepenuhnya individual karena memori mewarisi bentukan-bentukannya dari konteks kolektif. Dari orang-orang di lingkungan sekitar kita, dari media yang kita konsumsi, kita menggunakannya sebagai skema yang membantu kita untuk mengingat masa lalu dan memahami pengalaman yang baru. Singkatnya, proses mengingat selalu terjadi dalam konteks sosiokultural. Dalam tahapan pertama ini, “memori” dipakai secara literal, sedangkan “kultural” sebagai metonim untuk “konteks sosio-kultural dan 29
Jeffrey Olick, From Collective Memory to the Sociology of Mnemonic Practices and Products (1999). Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
16
pengaruhnya pada memori”. Memori kultural yang termasuk di dalam tingkatan ini dipahami melalui sejarah lisan, psikologi sosial, dan ilmu syaraf. Dalam penelitian ini, sejarah lisan menjadi salah satu aspek yang digunakan untuk membuat tipologi memori. Karena sedikitnya sumber sejarah tertulis mengenai restoran Cina di Indonesia, sejarah lisan yang disampaikan oleh informan dipakai sebagai sumber data dan bahan analisis. Tingkatan kedua dari memori kultural mengacu pada perangkat simbol, media, institusi, dan praktek yang memungkinkan sebuah kelompok sosial mengonstruksi masa lalu bersama. Kata “memori” di sini digunakan sebagai metafor. Masyarakat tidak mengingat secara literal, namun apa yang dilakukan untuk merekonstruksi masa lalu bersama memiliki kesamaan dengan proses memori individual. Pemilihan memori dan perspektif yang digunakan untuk membangun versi masa lalu yang berbeda-beda tergantung dari pengetahuan dan kebutuhan di masa kini. Kedua bentuk memori kultural di atas dapat dipisahkan satu sama lain dalam level analisis, namun dalam prakteknya kedua bentuk kognitif dan sosial/media ini terus-menerus berinteraksi (Erll, 2008). Tidak ada memori kolektif yang terlepas dari individu dan hanya terwujud dalam media dan institusi. Seperti halnya konteks sosio-kultural membentuk memori individual, “memori” yang direpresentasikan oleh media dan institusi lain juga harus dapat diaktualisasikan oleh tiap-tiap individu, anggota komunitas melalui pengingatan yang dapat dipahami sebagai titik temu untuk konsep bersama akan masa lalu. Tanpa aktualisasi seperti ini, monumen ritual, dan buku-buku hanya benda mati yang gagal membawa dampak dalam masyarakat. Memori kultural akan restoran Cina tidak memiliki monumen fisik atau institusi yang menyimpannya. Bangunan fisik restoran yang menjadi “monumen” akan keberadaan mereka di kota Jakarta juga sudah banyak diubah atau dihancurkan demi kepentingan pembangunan kota. Dalam buku yang berisikan kenangannya akan keadaan kota Jakarta pada tahun 1970an, Lubis (2009) menyebutkan bahwa pembangunan besar-besaran pada masa jabatan Ali Sadikin sebagai gubernur Jakarta telah mengubah wajah kota Jakarta dengan drastis.
Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
17 Bangunan-bangunan tua30 dengan gaya arsitektur Belanda banyak yang dihancurkan. Pembangunan gedung-gedung baru yang dianggap lebih modern seperti
ingin
menghapus
memori
akan
pemerintahan
kolonial
dan
mengalihkannya pada citra Jakarta sebagai kota modern di akhir abad keduapuluh.
2.2 TIPOLOGI MEMORI DAN MEMORI KOLEKTIF
Memori-memori yang berusaha ditangkap melalui penelitian ini tentunya sangat beragam konteksnya sehingga perlu ditipologikan bukan dengan maksud membedakan mereka, tapi untuk menunjukkan betapa memori yang akan membentuk memori kolektif31 itu tidak seragam, tidak hidup utuh, dan tidak pernah lengkap dalam dunia sosial (Abidin, 2009). Memori-memori individu tidak sendirinya membentuk memori kolektif. Diperlukan adanya pengikat atau suatu bentuk representasi untuk menggabungkan memori-memori yang ada mengenai suatu topik. Untuk itu sebagai langkah awal untuk memahami memori kolektif diperlukan suatu pemetaan dengan tipologi memori. Tipologi memori kolektif kita sering tergantung pada penggunaannya, oleh siapa, untuk apa, dan dengan akibat apa. Tipologi-tipologi ini hanya membantu kita untuk memahami memori apa yang kita hasilkan, ubah, hancurkan, dan pertahankan, dan bagaimana kita melakukan semua itu. Jelas tipologi-tipologi seperti ini ada bahayanya karena sering mengotakkan, menyederhanakan (dan bahkan mendistorsikan) pemikiran dan pemahaman kita, tapi membentuk tipologi adalah juga suatu langkah awal untuk mencoba memahami keragaman, kedalaman dan keluasan memori kolektif (Kusno, 2009). Dalam penelitiannya tentang memori pascakolonial dalam ruang publik di Jakarta, Kusno (2009) melacaknya dengan menggunakan tipologi yang merajut proses pengingatan dan pelupaan yang melibatkan tatanan lingkungan fisik di ruang publik. Tipologi yang digunakan oleh Kusno (ibid.) dalam tulisannya adalah
30
Kata “tua” di sini dipakai sebagai indikasi bahwa bangunan tersebut merupakan peninggalan arsitektur dari jaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda. 31 Diparafrasekan dari berbagai sumber: Halbwach (1925), Keightley (2008), Kusno (2009), Olick (2008). Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
18
memisahkan memori, mengatasi memori, penaklukan memori, memasarkan memori, dan memori yang tak terwadahi. Dalam memisahkan memori, terjadi usaha untuk seolah membagi-bagi memori dalam era lama dan era baru. Hal ini dapat dimaknai melalui ruang fisik yang dibuat sedemikian rupa sebagai penanda perubahan jaman. Wacana dititikberatkan bukan pada pembentukkan pengingatan terhadap masa lalu, tapi pembentukkan wacana pelupaan, seakan-akan kapasitas memori itu terbatas sehingga perlu dikosongkan untuk diisi memori yang baru (Kusno 2009) Walaupun di balik usaha untuk memisahkan memori ini terdapat usaha untuk melupakan, teknik ini dipakai untuk membentuk memori kolektif di ruang publik. Strategi pemisahan dua waktu di kalangan etnis Tionghoa di Jakarta dapat dilacak mulai dari jaman kolonial Hindia Belanda, orde baru, hingga masa kini. Kusno (ibid.) mengambil peristiwa perobohan monumen proklamasi dan pembangunan Gedung Pameran Pola Pembangunan Nasional Semesta oleh Soekarno sebagai salah satu contoh tipologi yang mengatasi memori. Gedung Pola menjadi sebuah monumen “hari ini” atau ruang publik yang ingin mengingatkan rakyat pada masa baru tanpa dibebani memori masa lalu. Tindakan yang diambil oleh Soekarno merupakan upaya untuk mengatasi memori. Memori kolektif tidak bisa “disimpan” dalam suatu objek, monumen, atau ruang yang stabil. Karena memori Indonesia dipenuhi oleh memori-memori yang saling berlawanan, maka tidak dapat didamaikan hanya melalui pameran artefak masa lalu. Melalui Gedung Pola, Soekarno memperkenalkan tipologi memori yang berorientasi ke depan. Hal ini dianggap sebagai suatu langkah pelupaan agar Indonesia tidak dibekukan oleh peristiwa yang telah berlalu. Penaklukan memori merupakan salah satu tipologi memori yang dibentuk oleh Suharto selama pemerintahan Orde Baru. Dengan mengumpulkan memori akan Soekarno ke dalam “Orde Lama”, Suharto menciptakan ruang untuk menampung memori-meori kolektif yang harus dilupakan atau dihindari masyarakat. Penguasaan ruang publik, terapi kejutan dan teknik tontonan merupakan perangkat untuk menaklukan memori ala Orde Baru. Teknik memasarkan memori banyak dijumpai pada konsep superblok yang menjadi pembahasan dalam tulisan Kusno (2009). Proyek restorasi Kota Tua juga menjadi Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
19
salah satu teknik untuk memasarkan memori yang mengangkat tema kebangsaan. Pengembang
dan
arsitek
dalam
penelitian
Kusno
(ibid.)
berusaha
mempertahankan memori bangsa melalui pelupaan terhadap kenyataan-kenyataan lokal. Kapitalisme global telah membantu penciptaan ruang-ruang publik untuk menghidupkan memori kebangsaan sambil melupakan memori kolektif yang saling bertentangan. Tipologi memori dalam tulisan Kusno (ibid.) juga memasukkan memori yang tak terwadahi. Tipologi memori dalam penelitian ini tidak hanya melihat pada memori-memori yang ditampilkan melalui ruang publik yang tersedia. Memori-memori yang tak terwadahi ini tidak mendapat tempat di ruang publik karena tidak sejalan dengan memori resmi; atau karena terlalu besar sehingga tidak mampu terwadahi oleh siapapun. Walaupun tidak terwadahi dalam suatu ruang publik, ia tetap berkeliaran dan menghantui ruang publik itu. Memori macam ini sering timbul dari pengalaman peristiwa kekerasan buatan manusia. Dalam memori kolektif warga Tionghoa di Jakarta, memori ini tidak mendapat tempat peristirahatan di ruang publik sejak jaman kolonial hingga jaman reformasi sekarang ini (peristiwa pembunuhan massal 1742, Malari, Baperki, kerusuhan Mei 1998). Memori yang tak terwadahi bisa tercipta oleh kesulitan untuk mengenang peristiwa yang terjadi (Abidin, 2009). Peristiwa Malari, Baperki, dan kerusuhan Mei merupakan memori kolektif yang sulit ditampilkan di ruang publik. Beberapa tipologi memori yang dikupas oleh Kusno (ibid.) bisa berkaitan dengan upaya untuk menghadapi masa lalu, tantangan masa kini dan masa kini. Dengan menggunakan tipologi memori yang digagas olek Kusno (2009), penulis bermaksud merajut memori kolektif kota Jakarta dalam ruang memori restoran Cina. Tipologi memori yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah memisahkan memori, mengatasi memori, memasarkan memori, dan memori yang tak terwadahi.
Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
20
2.3 TIPOLOGI MEMORI DALAM RESTORAN CINA
Pada restoran Cina di Jakarta, pemisahan memori dilakukan pertama-tama oleh pemilik sekaligus pendiri restoran pada masa pemerintahan kolonial. Pendiri restoran-restoran ini semuanya merupakan generasi pertama yang datang dari China. Dengan meninggalkan memori akan perang saudara dan revolusi menuju pembentukan negara RRC, mereka menuju tanah Jawa (Batavia) dengan membawa harapan baru akan perubahan nasib dan kehidupan yang lebih baik. Hal ini terlihat misalnya pada restoran “Sin Kie Joen”32. Tjoeng Tjin33, yang datang dari propinsi Guandong, China, mendirikan restoran yang diberi nama “Sin Kie Joen” pada tahun 1930an . Nama “Sin Kie Joen” apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti “Abad Baru”. Dari penggunaan nama ini boleh dikatakan bahwa Tjoeng Tjin dengan sadar memisahkan memorinya dengan memori yang ditinggalkannya di China. Pada saat “Sin Kie Joen” didirikan di awal abad keduapuluh, Batavia telah menjadi ibukota pemerintah kolonial Hindia Belanda dan menjadi salah satu kota yang modern di kawasan Asia Tenggara. Kehadiran restoran “Sin Kie Joen” mendapat pengaruh dari perubahan jaman yang terjadi pada saat itu. Dengan memaknai nama restoran “Sin Kie Joen” sebagai penanda awal yang baru, boleh dikatakan Tjoeng Tjin telah memisahkan memori keluarganya, yang merupakan bagian dari kelompok imigran dari China yang datang ke Batavia pada saat itu, dari memori akan perang saudara dan kesusahan di China. Contoh yang ditampilkan di atas menunjukkan bahwa dalam wacana memori warga Tionghoa di Batavia berkaitan dengan pembentukan memori kolektif. Dalam contoh kasus tersebut strategi yang dipakai adalah pemisahan dua waktu. Memori kolektif terus dirajut dan dibentuk oleh masyarakat dan negara seturut kepentingan tertentu. Bentukan memori kolektif dalam masyarakat juga tidak terlepas dari pelupaan-pelupaan terhadap momen-momen yang tidak cocok untuk diingat. Usaha-usaha untuk menyatukan memori kolektif tidak selalu berhasil dilakukan. Salah satu hal yang mempengaruhi upaya pembentukkan memori kolektif adalah banyak memori pribadi yang bertentangan dengan memori 32 33
Baca: sin ki yun Baca: cung cin Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
21
resmi versi negara. Dalam mengatasi memori yang tidak cocok dengan memori resmi seringkali terjadi tarik-menarik yang dipenuhi dengan kontradiksikontradiksi. Lo Khioe Moy34 memilih tahun yang sama dengan proklamasi kemerdekaan RI untuk mendirikan sebuah rumah makan di Lokasari, yang tidak jauh di luar Glodok. Rumah makan ini diberi nama “You Iet Tjoen”35 yang apabila diterjemahkan secara harafiah berarti “satu kampung lagi”. “Kampung” yang dimaksud oleh Lo Khioe Moy merujuk pada kampung halamannya di propinsi Hainan, China. Dari pemilihan nama dapat dimaknai bahwa ada semangat untuk membentuk memori kolektif para imigran yang berasal dari propinsi Hainan, China. Hal ini dibenarkan oleh Uteng36, anak laki-laki dari Lo Khioe Moy. Menurutnya, rumah makan yang didirikan oleh ibunya ini pertamatama bertujuan untuk menjadi tempat berkumpulnya orang-orang yang berasal dari “kampung” yang sama. setelah rumah makan ini berkambang menjadi restoran yang ramai, suami Loe Khioe Moy, Wang Hsiang Kam ikut membantu pengelolaan restoran sejak tahun 1958. Dari penamaan restoran ini dapat dimaknai ada upaya untuk menyimpan memori kolektif akan kampung halaman warga Tionghoa yang ada di Batavia pada saat itu.
2.4 MEMORI KOLEKTIF DAN NOSTALGIA
Sebelum proyek restorasi Kota Tua Jakarta diresmikan sudah banyak tempat yang menawarkan nostalgia masa lalu sebagai “barang” dagangannya. Hal tersebut terutama banyak dilakukan oleh pemilik restoran. Walaupun restoran tersebut didirikan pada tahun 2000, misalnya, ia dapat memasarkan memori akan Batavia di jaman kolonial. Kini semangat untuk merayakan Jakarta sebagai kota tua dengan sejarah yang panjang dapat terlihat di berbagai kalangan. Pemasaran Jakarta sebgai “kota Joang” sebagaimana yang yang disebutkan oleh Ir. Martono Yuwono, Pelaksana Harian Badan Pengelola Kawasan Wisata Bahari Sunda 34
Baca: lo kiu moi Baca: yu it cun 36 Wawancara 17 Desember 2009 35
Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
22
Kelapa, merupakan memori kebangkitan kesadaran nasional. Dengan membuat konsep “Koridor Kota Joang” berupaya menciptakan memori kolektif bagi warga kota yang tidak terlepas dari jaringan taman rekreasi yang memanfaatkan tema “warisan” untuk membangkitkan ekonomi. Di dalam “Koridor Kota Joang”, Glodok termasuk sebagai salah satu situs yang menyimpan memori bangsa. Menurut Abidin (2009), proyek yang mengangkat tema sejarah ini menunjukkan suatu wacana memori yang berasal dari ambisi untuk membangkitkan kekuatan ekonomi dengan cara memasarkan kisah dari situs masa lalu. Semangat ekonomi ditampilkan dalam semagat kebangsaan. Walaupun motif ekonomi jelas tertuang, namun proyek ini dapat dilihat sebagai upaya untuk menyelaraskan berbagai memori yang ada di jakarta dalam wacana memori kolektif kota. Halbwachs (1938 dalam Erll dan Nünning, 2008) menyatakan bahwa untuk mengetahui apa yang dibutuhkan suatu kelompok masyarakat untuk bertahan, harus dimulai dengan mengembangkan representasi akan kelompok masyarakat tersebut dengan jelas. Dengan cara ini, kelompok tersebut akan mengembangkan
hubungaan
khusus
dengan
bentukan
materi
yang
merepresentasikannya. Keberlangsungan bentuk representasi tersebut memberikan bukti nyata akan keberadaan suatu kelompok dan memberi landasan untuk stabilitasnya. Dalam konstruksinya, bentukan spasial ini memiliki dinamikanya sendiri namun dinamika perubahannya terjadi dengan bertahap dan perlahan sehingga walau individu yang ada di dalamnya lahir dan meninggal, kelompok masyarakat ini tidak menghilang begitu saja. Generasi berganti, namun situs dalam ruang kotanya akan bertahan. Mengenai memori kolektif suatu kelompok masyarakat dan peradaban kota, Halbwach (ibid.) menggambarkannya sebagai bagian dari kehidupan kolektif yang ruwet. Memori diarahkan kedalam lorong-lorong yang membentuk jaringan sirkuler dengan intensitas yang tidak paralel. Hal tersebut menghasilkan percampuran dari representasi mental dan material yang menyebabkan kelompokkelompok sosial lebih terlarut dan membaur di dalamnya. Karena situasinya lebih kompleks, lebih besar kemungkinan bagi individu-individu di dalamnya untuk kehilangan pegangan dan gagal beradaptasi dengan perubahan sosial. As for the collective memory of urban society, it is composed of recollections tied to spatial representations reflecting the way it conceives Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
23
and preserves itself. For example, a nation has borders it attempts to maintain and memories attached to that spatial structure, whence the commemoration of great military victories. Some memories are evacuated as the community enters a new period of its life (Halbwachs, 1950 dalam Erll dan Nünning, 2008). Memori kolektif merupakan masa lalu yang secara aktif membentuk identitas kita. (Halbwach, 1992). Berbicara mengenai memori kolektif suatu bangsa tidak luput dari trauma kolektif. Trauma menjadi komponen penting dalam kanjian mengenai memori kolektif yang berhubungan dengan sejarah nasional. Berbeda dengan memori kolektif, nostalgia tidak mengikutsertakan trauma dalam pembahasannya. Baudrillard (1998) menuliskan bahwa nostalgia hadir sebagai pengganti realitas yang sudah berubah. When the real is no longer what it used to be, nostalgia assumes its full meaning. There is a proliferation of myths of origin and signs of reality; of second-hand truth, objectivity and autenticity. There is an escalation of the true, of th elived experience; a ressurection of the figurative where the object and substance have disappeared. And there is a panic-stricken production of the real and the referential, above and parallel to the panic of material production. This is how simulation appears in the phase that concerns us: a strategy of the real, neo-real and hyperreal, whose universal double is a strategy of detterence (Baudrillard, 1992) Nostalgia mengangkat simulasi akan masa lalu yang indah. Realitas dalam masa lalu ditampilkan dalam bentuk simulasi yang melebih-lebihkannya. Memori kolektif dan nostalgia dalam restoran Cina seperti dua cabang rel kereta yang berangkat dari stasiun yang sama. Berangkat dari memori yang sama, namun memiliki kepentingan yang berbeda dalam perjalanannya. Bagaimana dengan memori kolektif yang dibentuk oleh restoran Cina yang mengalami perubahan kondisi sosial politik ekonomi seperti yang terjadi di Batavia/Jakarta mulai dari tahun 1930 hingga kini? Restoran Cina yang menjadi objek penelitian ini telah melewati beberapa perubahan sosial yang drastis. Peristiwa traumatis seperti sweeping Baperki dan kerusuhan Mei 1998 turut mengisi ruang memori restoran Cina. Hal ini berpengaruh pada keberlangsungan bisnis mereka. Ditambah lagi dengan proses alih generasi dalam pengelolaan restoran. Setelah proses alih generasi, restoran-restoran ini menempuh jalan yang berbeda
menyangkut
keberlangsungannya.
Restoran
Ekaria
masih
Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
24
mempertahankan bisnis restorannya dan bahkan mengembangkan bisnisnya selain menjadi restoran fine dining juga membuka restoran dengan nama yang sama namum mengusung konsep modern casual dining dan lounge. Generasi kedua dari pendiri restoran “Fajar” berusaha mempertahankan bisnis keluarganya dengan membuka beberapa cabang di Jakarta dan Surabaya namun beberapa diantaranya akhirnya ditutup karena merugi. Selain restoran “Fajar” di kompleks Harmoni, cabang yang masih beroperasi ada di Surabaya. Generasi kedua dari restoran “Abad Baru” memutuskan untuk menutup bisnis keluarga tersebut dengan alasan pengunjung yang semakin berkurang di tahun 1970an. Dengan berubahnya konsep, ruang spasial dan lokasi restoran, representasi yang mendasari memori kolektif restoran Cina membentuk lapisan-lapisan yang kompleks.
2.5 HEGEMONI DAN NEGOSIASI
Pembentukkan memori kolektif warga Tionghoa di Batavia/Jakarta selalu bertaut dengan hegemoni, dari luar maupun dari dalam masyarakat Tionghoa. Menurut Gramsci (1992), hegemoni bekerja ketika wacana dominan sudah menjadi kesadaran semu dan diterima sebagai consent. Proses ini berlangsung melalui relasi kuasa yang secara langsung maupun tidak langsung mencanangkan kesadaran semu agar diterima oleh kelas subordinat sebagai sesuatu yang alamiah dan menjadi common sense. Common sense dapat terbentuk melalui pengaruh dari kebudayaan dan tradisi itu sendiri (folkfore, film, sastra, media). Dari intelektual tradisional (sejarawan, ilmuwan, penulis, seniman), dan institusi (pendidikan, agama, ekonomi). Secara kasat mata, hegemoni terlihat melalui bangunan-bangunan dan interior restoran yang mengadopsi gaya-gaya Eropa. Hegemoni tidak berlangsung dengan statis melainkan ada dinamikanya. Hegemoni yang berkuasa akan terus menerus menghadapi ancaman. Hal ini yang dimaksud oleh Gramsci (ibid.) dengan struggle. Dalam tulisannya, Gramsci (ibid.) menekankan bahwa common sense bukanlah sesuatu yang kaku. Common sense terus menerus bertransformasi. Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
25
Untuk itu, agar hegemoni terus berlangsung, consent harus terus menerus dimenangkan kembali dalam pertarungan yang terus terjadi. Each person lives his/her life in a way that is meaningful in the setting in which each person exists, and, to this person, the different parts of society may seem to have little in common with him. Yet taken as a whole, each person’s life also contributes to the larger hegemony of the society. Diversity, variation, and free will seem to exist, since most people see what they believe to be a plethora of different circumstances, but they miss the larger pattern of hegemony created by the coalescing of these circumstances. Through the existence of small and different circumstances, a larger and layered hegemony is maintained yet not fully recognized by many of the people who live within it. (Gramsci, 1992, 238) Negosiasi-negosiasi yang terjadi dalam pertarungan hegemoni dapat terlihat melalui bentuk fisik dan menu yang ditawarkan oleh restoran Cina. Representasi identitas menjadi salah satu isu yang berperan dalam negosiasi. Melalui kerangka tipologi memori, dalam analisa penelitian muncul beberapa isu yang menjadi fokus analisa. Isu nostalgia, memori kolektif, urbanitas, heritage, konteks geografis, konsumsi dan gaya hidup menjadi fokus analisa yang digagas oleh penulis. Negosiasi dalam tarik menarik hegemoni dan kepentingan menjadi salah satu sudut pandang yang digunakan untuk memaknai memori-memori yang tersusun.
Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
BAB 3 ANALISA
3.1 Memori Kolektif VS Nostalgia
Dalam percakapan sehari-hari antar warga kota Jakarta sering terucap istilah kata “jadul”. Apa yang dimaksud dengan “jadul”? “Jadul” adalah akronim dari “jaman dulu”, sebuah istilah yang digunakan dalam bahasa lisan sehari-hari untuk merujuk kepada suatu produk budaya yang berasal dari waktu yang telah lampau. Selain muncul dalam bahasa lisan, “jadul” juga telah memiliki komunitas yang berbasis jaringan. Komunitas “Djadoel”37 merupakan komunitas yang eksis di jejaring
sosial
virtual
seperti
“Facebook”,
“Twitter”,
“Blogspot”,
dan
“Wordpress”. Komunitas ini dipersatukan oleh kegemaran mengoleksi atau “berburu” benda-benda sehari-hari yang “jadul”. Kamera, poster iklan, gelas, sampai jam weker menjadi sebagian dari barang-barang yang ditawarkan.
Gambar 3.1 Foto Barang-barang yang Dijual di Komunitas “Djadoel” Sumber: akun “Facebook” Komunitas “Djadoel” 37
“Komunitas Djadoel” menuliskan kata “jadul” dengan ejaan lama sebagai nama organisasinya. Pada di media cetak maupun elektronik umumnya ditulis “jadul”. 26 Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
27
Komunitas ini dipimpin oleh seorang ketua yang memiliki wewenang untuk memajang foto benda-benda “jadul” dalam jejaring sosial tadi untuk dijual kepada anggota komunitas atau siapapun yang mengunjungi situs jejaringnya.
Gambar 3.2 Tampilan Halaman “Facebook” dan “Blogspot” dari Komunitas Djadoel” Sumber: akum “Facebook” dan “Blogspot” Komunitas “Djadoel”
Daniel Supriyono, pendiri sekaligus moderator “Komunitas Djadoel” memulai kegiatan ini dari kegemarannya mengoleksi benda-benda sehari-hari yang “jadul” tersebut. Pertumbuhan komunitas ini sangat pesat. Walaupun baru saja merayakan ulang tahunnya yang pertama, jumlah anggota komunitas ini telah mencapai 2000 Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
28
orang lebih . Melalui kegiatan dan bisnis jual-belinya dalam komunitas “Djadoel”, Daniel dapat memenuhi kebutuhan keluarganya hingga ia dapat berhenti bekerja sebagai fotografer tabloid. Melalui contoh kasus ini boleh dikatakan bahwa nostalgia menjadi salah satu gaya hidup di Jakarta. Sebelum istilah “jadul” marak digunakan dalam bahasa lisan, ada juga istilah “tempo doeloe”.38 Istilah ini banyak digunakan selama kurun waku 19801990an. Seperti “jadul”, istilah ‘tempo doeloe” juga merujuk pada produk kebudayaan dari waktu yang telah lampau. Cap “jadul” dan “tempo doeloe” tidak selalu diberikan pada setiap produk budaya dari kurun waktu yang lampau. Arca Dewi Durga di dalam Museum Nasional tidak disebut sebagai arca “jadul”. Seterika besi yang mengunakan arang disebut benda “jadul”. Istilah ini lazimnya digunakan untuk mengidentifikasi produk-produk kebudayaan mulai dari kurun waktu pemerintahan kolonial di Hindia Belanda. Istilah “jadul” dan “tempo doeloe” juga lebih banyak melekat pada benda-benda yang ada dalam keseharian orang-orang pada kurun waktu tersebut. Hal ini dapat dilihat melalui benda-benda yang ditawarkan dalam komunitas “Djadoel”. Semua benda yang dipajang dalam galeri virtualnya bersinggungan dengan memori akan keseharian pada kurun waktu yang lampau. Di bawah setiap foto yang ditampilkan di album foto virtual di Facebook, misalnya, terdapat komentar dari para anggota komunitas yang seringkali mengungkapkan memorinya yang berkaitan dengan benda tersebut. Melihat benda-benda “jadul” seolah membangkitkan ingatan akan keseharian mereka. Produk kebudayaan dari jaman kerajaan sebelum pemerintahan kolonial tidak termasuk dalam kriteria”jadul” yang diangkat oleh komunitas “Djadoel” karena tidak berkaitan dengan memori orang-orang yang menjadi anggotanya. Memori para anggota komunitas “Djadoel” membentang hanya sejauh awal abad keduapuluh. Nostalgia yang dicari para anggotanya juga tidak bergeser jauh dari kurun waktu tersebut. Nostalgia dapat dilihat sebagai utopia menurut Baudrillard (1992) Nostalgia was nice in the way it sustained the feeling vis-a-vis things that have taken place and could also branch out to encompass those that could come around again. It was beautiful as a utopia, as an inverted mirror of utopia. Beautiful in the way of never being fully complete, like a utopia 38
Baca: tempo dulu. Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
29
never fulfilled. The sublime reference to origin in nostalgia is just as beautiful as the notion of the end in utopia. On the other hand, things stand quite differently when one is confronted with literal evidence of the end (where dreaming of the end is no longer possible), and with the literal evidence of origin (where the dream of origin can no longer persist). Today we have the means to implement our origin as well as our end. Through archaeology, we excavate and exhume our origin; with genetics, we reshape and custom design our original capital; through science and technology, we are already able to operationalize dreams and utopias of the most idiotic kind. We assuage our nostalgia and our utopias in situ and in vitro. (Baudrillard, 1992) Selain dalam komunitas ”Djadoel”, semangat nostalgia sebagai gaya hidup masa kini juga terdapat dalam restoran dan kafe di Jakarta. Restoran “Radja Ketjil”, “Sagoo”, “Dapoer”, “Mallaca”, “Dapoer Baba”, “Payon”, “Kembang Goela”, “Mera Delima”, “Kedai Tiga Nyonya”, merupakan sebagian dari restoran-restoran yang menjual makanan dan minuman berbumbukan nostalgia.
Gambar 3.3 Interior restoran “Radja Ketjil” Sumber: akun “Wordpress” restoran “Radja Ketjil”
Banyaknya restoran yang mengangkat nostalgia akan masa kolonial mengangkat memori kolonial sebagai bagian dari sejarah identitas Jakarta. Memori akan masa kolonial kini tidak hanya diartikulasikan sebagai masa penjajahan dan penderitaan saja, namun juga merupakan masa lalu yang manis untuk dikenang. Dengan mengonsumsi restoran-restoran tersebut, warga Jakarta seolah telah merangkul masa-masa kolonial sebagai bagian dari dirinya di masa lalu. Memori akan masa Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
30
kolonial yang bersinggungan dengan keseharian pada masa itu menjadi komoditas yang laris dijual pada masa kini. Restoran-restoran yang menjual memori “jadul” masa kolonial banyak terdapat di daerah Menteng dan Kebayoran Baru. Daerah Menteng merupakan bagian dari kota Jakarta yang baru berkembang sejak akhir abad kesembilanbelas. Sedangkan daerah Kebayoran Baru baru dibuka sejak masa pemerintahan presiden Soekarno. Kedua daerah ini dikembangkan sebagai bagian dari bagian uptown dari kota Jakarta. Pada kedua area ini terproyeksikan rencana pembangunan kota Jakarta sebagai kota yang modern bertaraf internasional. Modern dalam isu ini mengacu pada pembangunan yang kontekstual dengan jamannya. Hal ini terlihat dari gaya arsitektural yang digunakan pada bangunanbangunan yang terdapat di kedua area tersebut pada masa pembangunannya. Keduanya berawal sebagai daerah pemukiman yang modern dan kontekstual dengan proyek pembangunan Batavia/Jakarta sebagai ibukota yang maju dan setara dengan kota-kota besar lain di ranah internasional. Pada masa pemerintahan presiden Soekarno, proyeksi Jakarta sebagai kota yang modern dan bertaraf internasional tidak hanya diwujudkan melalui ruang arsitektural, namun juga diterapkan pada kehidupan masyarakat yang dinamis dan cair. Hal ini dapat dimaknai dari penuturan orang Tionghoa warga Jakarta yang mengalami masa remaja di masa pemerintahan Soekarno. “Dulu pas jaman Soekarno, orang Cina bisa kerja di departemen, seperti papi saya yang jadi asistennya menteri”39, ujar Josef. Josef merupakan orang Tionghoa yang bermukim di daerah Weltevreden (kini menjadi jalan Juanda) pada pemerintahan Soekarno. “Waktu tahun 1960an akses jalan kemana-mana mudah, pemukiman juga merata, dulu di daerah sini (Jalan Juanda) pemukiman, makanya kios bakmi keluarga saya juga ramai dikunjungi orang”, lanjutnya.40 Contoh kasus dari keluarga Josef memperlihatkan kedudukan orang Tionghoa yang dianggap 39
Ayah dari Josef, Drs. Thomas Setiadarma (Ng Kin Liong) pernah bekerja di Departemen Dalam Negeri, Departemen Pertambangan, Departemen Industri dan Perdagangan dan asisten ahli dari Ir. Bratanata semasa pemerintahan Soekarno. 40 Ibu dari Josef, Pauline Trieling (orang Belanda) membuka kios bakmi di depan rumahnya di Gang Tibault (Weltevreden) sejak 1955. Nama kios bakmi ini pertama-tama dikenal sebagai Bakmi Tibault, lalu menjadi Bakmi Student ketika pada tahun 1970 ayahnya menjadi juru masak (karena ayah Josef merupakan seorang sarjana), kemudian menjadi Bakmi Nusantara sesuai nama jalan yang ditempatinya. Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
31
“setara” dengan etnis lain di Jakarta pada saat pemerintahan Soekarno. Lubis (2008) juga menuliskan kesehariannya hidup berdampingan dengan keluarga Tionghoa di kawasan Menteng pada tahun 1950an sebagai sesuatu yang wajar. Tolak ukur modernitas untuk kota Jakarta pada masa Soekarno bertitikberat pada menjadikan Jakarta sebagai kota bertaraf Internasional dan warga kota Jakarta sebagai masyarakat urban yang dinamis. Selain restoran yang menjual nostalgia masa kolonial, Jakarta juga memiliki restoran-restoran yang sudah memulai bisnisnya sejak masa kolonial. Beberapa dari restoran tersebut masih menjalankan bisnisnya hingga saat ini. Restoran-restoran yang masih menjalankan bisnisnya sejak masa kolonial di antaranya restoran “Fajar” (d/h “You Iet Tjoen”), “Eka Ria” (d/h “Jit Lok Jun”), “Cahaya Kota” (d/h “Toeng Kong”), dan “Miranda” (d/h “Tan Goei”). Melihat nama-nama restoran itu dulunya menggunakan nama Mandarin, dapat dikatakan bahwa restoran-restoran tersebut didirikan oleh warga Tionghoa dan menjual makanan Cina.41 Restoran Cina yang menjadi topik penelitian ini adalah restoran Cina yang berdiri sejak sebelum tahun 1950. Memori kolektif tidak hanya sekedar sebuah kenangan yang dimiliki bersama-sama oleh sekelompok orang. Memori kolektif memiliki fungsi yang mengikat dengan kelompok masyarakat. Memori kolektif berada dalam tarik menarik yang dinamis antara pengingatan dan pelupaan. Demikian pula dengan memori kolektif warga Tionghoa di Batavia/Jakarta. Pembentukan memori kolektif tidak terlepas dari wacana dan kepentingan yang bermain di dalamnya. Penelitian ini mencoba untuk merekam potongan-potongan memori yang tersimpan pada restoran Cina melalui artefak ruang fisik maupun kenangan akan restoran tersebut. Restoran “You Iet Tjoen” yang didirikan oleh Lo Khioe Moy dan suaminya, Wang Hsiang Kam mengusung nasi Hainam42 sebagai menu andalannya. Restoran ini mengawali kegiatan bisnisnya sebagai rumah makan kecil yang menjual menu nasi Hainam di daerah Lokasari (dulu dikenal dengan 41
kata “Cina” dalam tulisans ini digunakan sebagai terjemahan dari chinese food karena istilah ini yang lazim digunakan untuk menyebut makanan. 42 Walaupun di Indonesia lebih dikenal sebagai nasi “Hainam”, pada saat wawancara pemilik dan pengelola restoran selalu menyebutnya sebagai nasi “Hainan”, yang merupakan tempat kelahiran orang tuanya di China. Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
32
Prinsen Park). Lo Khioe Moy dibantu oleh teman-temannya yang saat itu merupakan pendatang dari Hainan, China membuka rumah makan pada bulan Desember 1945. Suaminya, Wang Hsiang Kam, pada saat itu bekerja sebagai juru masak di sebuah kapal pesiar. Tanpa berbekal pengalaman, Lo Khioe Moy memulai usahanya secara sederhana. Saat itu, semangat yang diusung tertuang dalam nama yang dipilih untuk rumah makannya, “You Iet Tjoen”, yang artinya “satu kampung”. Rumah makan nasi Hainam ini memang banyak mendapat tamu para pendatang dari China walaupun Lo Khioe Moy sendiri tidak berasal dari Hainan. Ia lahir dan dibesarkan di Jakarta43. Wang Hsiang Kam, suaminya, yang lahir dan datang dari Hainan. Rumah makan ini menjadi sangat populer sejak tahun 1958. Saat itu, ada salah seorang pelanggan yang bekerja di surat kabar. Pelanggan ini menawarkan kepada Lo Khioe Moy iklan untuk rumah makannya dimuat dalam surat kabar. Setelah dimuat dalam surat kabar, rumah makan “You Iet Tjoen” menjadi ramai dan berkembang menjadi restoran Cina yang besar pada saat itu. Ketika itulah Wang Hsiang Kam berhenti dari pekerjaannya sebagai juru masak di kapal pesiar dan membantu istrinya mengelola “You Iet Tjoen”. Restoran ini sempat pindah ke Glodok Plaza pada tahun 1978 lalu kemudian pada tahun 1986 pindah ke komplek pertokoan Harmoni hingga sekarang. Ketika dikunjungi pada hari Kamis malam, 17 Desember 2009, restoran yang kini bernama “Fajar” ini terlihat sepi, hanya ada 2 meja yang terisi dari sekitar 30 meja yang tersedia. Uteng44, pemilik sekaligus pengelola restoran ini mengakui bahwa memang sekarang bisnis restorannya menurun dibandingkan dengan tahun 1970-1990an dulu. Pada tahun 1960an ketika masih bertempat di komplek Lokasari (Prinsen Park), restoran “You Iet Tjoen” menjadi restoran Cina yang paling ramai di kawasan itu. setiap hari, siang dan malam restoran selalu dipenuhi pengunjung. “Bahkan sampai menambah meja di jalanan depan restoran pun orang-orang rela makan di jalan”, menurut Uteng yang diberitahu oleh orang tuanya. Selain “You Iet Tjoen” masih
43
Informasi mengenai latar belakang pendiri didapat dari Uteng, anak dari pendiri restoran “You Iet Tjoen”, wawancara 17 Desember 2009. 44 Generasi kedua pemilik sekaligus pengelola restoran “You Iet Tjoen” / “Fajar” ini memiliki nama lengkap Wang Fut Leng, namun ia memilih untuk dipanggil dengan nama panggilannya, Uteng. Uteng lahir pada tahun 1958, bertepatan dengan tahun melesatnya bisnis restoran “You Iet Tjoen”. Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
33
ada beberapa restoran Cina lain di dalam komplek Lokasari, “Fen Xiang”, “Manila”, dan “Angsa” adalah beberapa restoran yang diingat oleh Uteng. Pengunjung restoran didominasi oleh orang asing, terutama orang Belanda dan kemudian di tahun 1978-1986 banyak pengunjung orang Jepang. Uteng merupakan generasi kedua dari pendiri restoran “You Iet Tjoen” yang kini telah berganti nama menjadi “Fajar, Restoran Internasional”. Nama yang kini dipakai oleh restoran “Fajar” tidak semata-mata merupakan inisiatif dari pemilik restoran. Nama ini diberikan oleh Ali Sadikin semasa ia menjabat sebagai gubernur Jakarta. Ketika itu, pada tahun 1968, Ali Sadikin yang merupakan pelanggan restoran “You Iet Tjoen” menyarankan agar restoran ini tidak lagi memakai nama “China” dan menggantinya dengan nama “Indonesia”. Wang Hsiang Kam pun meminta saran dari Ali Sadikin untuk memilihkan nama yang dianggapnya lebih sesuai. Satu minggu kemudian Ali Sadikin datang dan memberi nama “Fajar” pada restoran ini. Sejak saat itu, restoran “You Iet Tjoen” berganti nama menjadi restoran “Fajar”. Tindakan yang dilakukan oleh Ali Sadikin ini dapat dibaca sebagai upaya untuk mengatasi memori dalam wacana pembentukan memori kolektif Jakarta. Tentunya ia sudah mengetahui makna dari nama restoran “You Iet Tjoen” dan dianggap kurang sesuai dengan memori kolektif yang ingin dibentuknya sebagai gubernur Jakarta. Jika tidak, tentunya ia tidak akan memberi nama “Fajar” yang sama sekali lain dari terjemahan “You Iet Tjoen” yang artinya “satu kampung lagi” tersebut. Nama “Fajar” yang diberikan Ali Sadikin dapat dimaknai sebagai sebuah awal yang baru bagi restoran ini. Awal yang baru sebagai salah satu warga kota Jakarta. Awal yang baru sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang modern. Semangat kebangkitan yang dapat dimaknai dari nama “Fajar” memang sejalan dengan agenda pembangunan kota Jakarta menjadi ibukota yang
modern.
Memori yang menyatukan orang-orang yang berasal dari satu kampung halaman yang berasal dari daerah di luar Indonesia dianggap tidak cocok dengan memori kota Jakarta versi pemerintah. Pengelola restoran “Fajar” tidak hanya berhenti pada penggantian nama, mereka juga menambahkan deskripsi “Restoran Internasional” pada nama restorannya. Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
34
Gambar 3.4 Tulisan nama restoran “Fajar” di bagian depan bangunan Sumber: dokumentasi penulis
Foto di atas merupakan tampilan dari tampak depan restoran “Fajar” yang terdapat di dalam kompleks Harmoni pada tahun 2009. Namun, pengelola restoran “Fajar” rupanya tidak serta-merta menghilangkan identitas restorannya yang lama.
Gambar 3.5 Kartu nama restoran “Fajar” Sumber: dokumentasi penulis
Gambar 2 merupakan tampilan dari kartu nama restoran “Fajar” di bawah tulisan “Fajar International Restaurant” dapat kita lihat sederet aksara China yang dapat dibaca “You Iet Tjoen, International Restaurant”. Dilakukan secara sadar ataupun tidak, artefak ini dapat dimaknai sebagai salah satu kebingungan yang terjadi sebagai dampak dari upaya mengatasi memori. Nama “You It Tjoen, International Restaurant” menimbulkan pertanyaan lebih lanjut, bagaimana semangat mengumpulkan orang-orang “sekampung” yang dianggap sebagai nilai esensialis dapat berdampingan dengan konsep “internasional”? Kini, siapakah yang Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
35
dianggap dengan orang-orang “sekampung”? Apakah para pendatang dari Hainan yang sekampung dengan pendiri restoran? Atau semua pelanggan yang makan nasi Hainan di restoran “Fajar” telah menjadi bagian dari “kampung” internasional seperti yang dibayangkan oleh Ali Sadikin saat ia memberi nama tersebut pada restoran ini? Mimpi untuk bersatu dengan orang-orang “sekampung” di ranah internasional bukan hanya milik warga Tionghoa di Jakarta. Impian semacam ini merupakan impian para diaspora di mancanegara. Pada restoran “Fajar” impian diaspora
internasional
harus
berhadapan
dengan
impian
nasionalisme
internasional kota Jakarta. Proyek nasionalisme yang dimaksud di atas adalah pembangunan kota Jakarta menjadi kota bertaraf internasional oleh gubernur Ali Sadikin. Untuk mewujudkannya, memori kota Jakarta yang tidak sejalan dengan konsep nasionalis internasional tersebut harus diatasi terlebih dahulu. Upaya untuk mengatasi memori dalam penyelarasan memori kolektif tidak selalu berhasil. Dalam contoh kasus di atas, memori yang sepertinya berhasil diatasi tidak sepenuhnya berjalan terus seperti yang diinginkan. Hal ini menunjukkan bahwa memori kolektif masyarakat Tionghoa Jakarta tidak stabil dan rentan. Melalui restoran Cina, memori tampaknya dapat disimpan dan diatur melalui relasi kuasa yang terjalin di dalamnya. Namun apabila tidak ada upaya lebih lanjut untuk “menjaga” penyimpanannya, memori tersebut dapat melenceng keluar dari jalur yang telah disediakan. Memori akan Batavia sebagai awal yang baru juga dimiliki oleh pendiri restoran “Sin Kie Joen”. Nama ini dipertahankan hingga beberapa waktu setelah diberlakukan peraturan yang melarang penggunaan nama Tionghoa dan aksara Mandarin. Intepretasi akan kota Batavia/Jakarta sebagai tempat untuk memulai hidup yang baru muncul dari para imigran. Memori ini termasuk memori yang tidak terwadahi dalam ruang memori kolektif kota Jakarta. Kota Batavia sejak akhir abad kesembilanbelas dipersiapkan sebagai pusat pemerintahan dan kegiatan ekonomi. Walau dengan metode yang berbeda, pemerintah kota Jakarta juga melanjutkan misi tersebut. Identitas kota Jakarta tidak dipersiapkan secara kultural, sehingga berbagai intepretasi terhadap Jakarta tumpang tindih dalam memori kolektif kota. Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
36
Menu dalam restoran Cina di Batavia awalnya berkembang dari menu makanan sehari-hari yang dimasak di rumah. Tjoeng Tji Wai45, generasi kedua dari restoran “Abad Baru” menyebutkan bahwa pada masa awal berdirinya restoran pelanggan sudah tahu akan memesan menu apa sehingga tidak dibutuhkan daftar menu yang tercetak. Hal serupa juga dinyatakan oleh Uteng, generasi kedua dari restoran “Fajar”. “Setelah restoran berkembang pesat dan menu makanan bertambah banyak, baru kita minta orang untuk membuatkan buku menu”, kata Uteng.46 Menu-menu baru diciptakan oleh pengelola dan juru masak restoran dengan mengadopsi masakan ala Eropa dan masakan Asia lainnya. Penciptaan variasi menu menjadi salah satu praktik modern yang dilakukan restoran Cina di Jakarta. Pengembangan variasi menu dapat dilihat dalam contoh restoran “Fajar”. Menu utama nasi Hainam (gambar 15) yang menjadi andalan pada tahun 1950an kini didampingi lebih dari 150 macam menu masakan lainnya.
Gambar 3.6 Nasi Hainam Sumber: dokumentasi penulis
“Tiap jenis daging, seperti ayam, sapi, udang bisa dibikin lima atau enam macam masakan di sini. Bahkan yang nggak ada di menu juga bisa kita buatkan. Misalnya kamu mau pesan daging sapi dimasaknya pakai ini dan ditambahin ini, nah itu bisa dimasakin sama koki di sini. Tinggal bilang saja” (Wawancara dengan Uteng, 17 Desember 2009)
45 46
Baca: cung ci wai Wawancara dengan Uteng, 29 Mei 2010 di restoran “Fajar” Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
37
Gambar 3.7 Ayam Goreng Singapore dan Ayam Goreng Cabe Garam Sumber: dokumentasi penulis
Gambar 3.8 Fumak Cah Bawang Putih dan Tahu Cah Aneka Sayur Sumber: dokumentasi penulis
Apropriasi selera juga terjadi dalam pengembangan menu restoran. Melalui pengembangan menu, terdapat negosiasi dengan gaya hidup Jakarta pada abad keduapuluh satu. Restoran-restoran besar berlomba-lomba menawarkan variasi menu sebanyak-banyaknya. Hal tersebut juga disadari oleh pengelola restoran “Fajar”. “Semakin banyaknya pilihan restoran yang ada di Jakarta membuat bisnis restoran sekarang ini menjadi semakin sulit”, demikian menurut Uteng.
Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
38
Gambar 3.9 Buku menu restoran “Fajar” Sumber: dokumentasi penulis
Dalam negosiasi ini konsep identitas yang tadinya melandasi pendirian restoran ini runtuh ke dalam wacana ekonomi praktis. Representasi identitas yang melekat pada menu yang mengingatkan pada kampung halaman telah bernegosiasi dengan menu-menu lain di luar masakan ala Hainan. Gurame asam manis, lumpia udang, ayam kuluyuk, dan kepiting soka merupakan menu andalan yang disebutkan oleh Uteng. Walaupun negosiasi dalam menu saat ini dilakukan oleh Uteng dengan tujuan mengatasi turunnya jumlah pengunjung, dapat dikatakan bahwa negosiasi juga turut membentuk memori kolektif. Negosiasi menu di restoran “Fajar” dibuka seluas-luasnya karena sudah terlapisi dengan berbagai trauma kolektif. Pengembangan variasi menu sebagai metode untk bertahan hidup dapat dimaknai sebagai cara mengatasi trauma yang terbentuk akibat berbagai pembatasan ruang gerak etnis Tionghoa. Nostalgia dan memori dapat dipasarkan sebagai gaya hidup urban. Pada restoran “Eka Ria”, nostalgia sebagai komoditi telah disadari oleh Koko, generasi ketiga dari pendiri. Ia mempublikasikan kilas sejarah restoran “Jit Lok Jun” hingga sekarang menjadi “Eka Ria” melalui website dan plakat yang terpampang pada dinding restorannya. Nostalgia yang diramu menjadi komoditas dalam restoran Cina tidak semata disebabkan oleh dorongan ekonomi. Nostalgia yang diartikulasikan menjadi komoditas dapat dimaknai sebagai cara untuk mengatasi trauma kolektif. Koko mengatakan bahwa dia mencoba segala cara untuk Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
39
mempertahankan bisnis keluarga yang dirintis oleh kakeknya, termasuk memasarkan memorinya. Memori yang dipasarkan dari sejarah perpindahan lokasi restoran memperlihatkan pergeseran konteks geografis akan identitas ketionghoaan. Penulisan nama “Jit Lok Jun” pun kembali muncul pada media website dan menu restoran “Eka Ria”. Setelah pencabutan PP No 14 Tahun 1967 yang berisi larangan atau pembekuan kegiatan warga Tionghoa pada tahun 2000, penggunaan nama-nama dan aksara Mandarin kembali muncul dalam keseharian warga Jakarta.
Gambar 3.10 Plakat di dinding restoran “Eka Ria” Sumber: dokumentasi penulis
Gambar 3.11 Website restoran “Eka Ria” Sumber: www.ekaria-restaurant.com Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
40
Trauma kolektif yang selama tigapuluh tiga tahun gentayangan di ruang kota Jakarta seolah terpanggil dengan adanya Keputusan Presiden No 6/2000 yang memperbolehkan bangsa Tionghoa mengekspresikan kebudayaannya. Keputusan ini dikeluarkan pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. “Eka Ria” memodifikasi memorinya menjadi komoditi untuk kemudian dijual agar bisa terus maju. Nostalgia yang menjadi komoditas ini tidak dapat sepenuhnya mengatasi trauma kolektif yang tersimpan dalam restoran “Eka Ria”. Asumsi ini ditarik dari pengalaman penulis ketika mewawancarai Koko sebagai generasi ketiga pemilik restoran “Eka Ria”. Koko menunjukkan keengganan untuk membagi kenangannya tentang restoran “Eka Ria” di masa lalu. Ketika ditanya mengenai pengunjung restoran di masa lalu, Koko hanya menjawab, “dulu lebih ramai”, dan langsung kembali ke topik kekinian. Topik kekinian yang terus menerus disinggungnya adalah bagaimana sulitnya meneruskan usaha keluarga, sulitnya bersaing denan restoran-restoran baru, dan sulitnya berbisnis pada umumnya. Koko juga tidak bersedia wawancaranya direkam. Ia memilih lokasi wawancara yang hingar bingar sehingga tidak memungkinkan untuk bertanya banyak maupun merekam wawancara. Keengganan untuk menceritakan kenangannya akan restoran keluarganya dapat dimaknai sebagai memori kolektif yang hendak disimpan. Dalam contoh kasus ini, memori kolektif berfungsi sebagai masa lalu yang secara aktif membentuk identitas di masa kini. Karena merasa memori restorannya sebagai identitas dirinya, Koko menjadi sangat berhati-hati dalam tutur katanya. Dalam pembicaraan selama kurang lebih satu jam, tidak sekalipun ia memosisikan dirinya sebagai orang Tionghoa melalui tutur katanya. Dalam pemaparannya mengenai restorannya, ia menceritakan seolah-olah restorannya sama seperti restoran-restoran lainnya. Dari pengalaman wawancara ini dapat diasumsikan bahwa kesadaran akan memori kolektif sebagai pembentuk identitasnya ada di balik kebungkaman Koko. Kehati-hatian Koko dalam membagi kenangannya menyiratkan trauma kolektif yang membayangi ruang memori restoran “Eka Ria”.
Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
41
Restoran “Fajar” memasarkan memorinya dengan cara yang agak berbeda dengan “Eka Ria”. Uteng membekukan memori dan menjadikannya sebagai tonggak asal-usulnya. Restoran “Fajar” dikelola sebagaimana Uteng melihat dan mengingat bagaimana kedua orangtuanya mengelola “You Iet Tjoen”. Dari perbincangan dan wawancara dengan Uteng, saat ini tidak terdeteksi adanya upaya untuk memasarkan memori melalui restoran “Fajar”. Dulu, ketika masih menggunakan nama “You Iet Tjoen”, jelas terlihat memori akan kampung halaman mendasari bisnis restoran ini. Dengan menggunakan ide “satu kampung lagi”, “You Iet Tjoen” berhasil mendatangkan tidak hanya imigran dari Hainan, tapi juga warga asing lainnya. Pemberian nama “Fajar” seolah ingin mengatasi memori semacam itu. Nama “Fajar” dapat dimaknai sebagai awal baru yang menghapus memori lama. Ironisnya, awal yang baru ini tidak selalu lebih baik dari memasarkan memori kolektif akan masa lalu. Pada saat diwawancarai Uteng menyebutkan bahwa keadaan sekarang ini masih tidak stabil dan tidak baik untuk bisnis. Hal ini dapat dimaknai sebagai rasa tidak aman yang masih menghantui warga etnis Tionghoa akibat trauma kolektif yang mengisi tipologi memori mereka. Saat ini restoran “Fajar” sedang berada di tengah kebingungan akan identitas dan representasi dirinya. Tarik menarik antara masa lalu dan masa kini seperti yang terdapat dalam penggunaan elemen interior yang bertabrakan merepresentasikan kebingungan dalam memasarkan memori. Karena kurang terkonsep sebagai strategi pemasaran, nostalgia yang ingin dipasarkan tidak tersampaikan dengan jelas. Jenjang pendidikan yang berbeda antara pengelola restoran-restoran Cina mendorong artikulasi yang beragam akan memori kolektif kota. Perbedaan artikulasi akan masa lalu dari restoran-restoran Cina yang ada di Jakarta juga disebabkan tidak adanya ruang publik atau medium yang tersedia untuk mewadahi memori kolektif warga Tionghoa. Saat ini restoran-restoran Cina yang “jadul” di Jakarta masih dicari47 dan dikunjungi oleh warga kota Jakarta. Restoran yang secara sadar memasarkan memorinya ataupun yang tidak masih dikunjungi oleh keluarga-keluarga Tionghoa. Mengapa restoran-restoran ini masih dicari-cari dan didatangi? Para 47
lihat lampiran 6 mengenai milis yang membahas topik restoran “jadul”. Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
42
pengunjung yang datang ke restoran-restoran Cina dalam penelitian ini sebagian besar sudah pernah datang ke sana di waktu lampau atau mengetahui tentang restoran tersebut dari kerabat yang lebih tua. Kedatangan mereka membawa kerinduan untuk mencecap manisnya masa lalu. Nostalgia yang dicari dalam restoran Cina adalah potongan kenangan akan keseharian warga kota Batavia/Jakarta yang dinamis dan cair. Kondisi yang memosisikan warga Tionghoa setara dengan warga kota Jakarta lainnya. Dalam konteks ini maka makanan Cina yang dipesan merupakan asupan memori, memakannya merupakan bentuk artikulasi dari memori kolektif kota Jakarta.
3.2 Urban VS Heritage
Sejak awal abad keduapuluh, Batavia telah berkembang menjadi kota dengan gaya hidup urban yang modern. Maraknya tempat hiburan di luar rumah menjadi salah satu penanda gaya hidup urban yang modern. Kawasan Glodok merupakan bagian kota Jakarta yang sudah berkembang sejak masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Kawasan Glodok menjadi ghetto bagi warga Tionghoa pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda sampai akhir abad kedelapanbelas. Warga Tionghoa dilarang untuk bermukim di luar batas tembok kota yang ditetapkan pemerintah Hindia Belanda. Hingga sekarang kawasan Glodok masih diidentikkan dengan identitas etnis Tionghoa di Jakarta. Kawasan Glodok menyimpan memori kolektif yang berkaitan dengan perkembangan warga Tionghoa di Jakarta. Restoran Cina sebagai salah satu “warga” kawasan Glodok juga menjadi situs yang menyimpan memori akan kota Batavia/Jakarta. Kawasan Glodok menjadi salah satu bagian dari rancangan proyek restorasi Kota Tua Jakarta. Glodok juga menjadi bagian dari koridor “Joang” yang membentang mulai dari Museum Sejarah Jakarta hingga ke tugu Monas. Glodok dimasukkan ke dalam kawasan Kota Tua karena merupakan daerah yang telah berkembang sejak awal masa kolonial. Walaupun demikian Glodok juga menjadi pusat kegiatan ekonomi yang aktif dan ruang sosial yang urban seiring dengan Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
43
konteks jamannya. Hal tersebut terutama didorong oleh pembangunan dan pencitraan Glodok sebagai pusat elektronik sejak era pemerintahan Presiden Suharto. Pada awal era pemerintahan presiden Suharto, Glodok dibangun sebagai pusat perbelanjaan yang modern. Glodok Plaza dibangun dengan konsep arsitektural “pencakar” langit. Modernitas oleh Suharto dinilai dari pertumbuhan sektor ekonomi, oleh karena itu pembangunan yang diterapkannya adalah untuk memaksimalkan sektor tersebut. Pembangunan kawasan Glodok menghilangkan bangunan
lama
dan
menggantikannya
dengan
gedung
baru.
Dengan
memposisikan kawasan yang diidentikkan sebagai ghetto warga Tionghoa sebagai pusat kegiatan ekonomi, Suharto mengukuhkan warga Tionghoa di Jakarta tidak hanya sebagai makhluk ekonomi, namun lebih jauh lagi sebagai “binatang” ekonomi. Hal ini bukan konsep yang sama sekali baru mengingat anggapan ini sudah ada sejak peraturan apartheid dari pemerintah kolonial Hindia Belanda juga mengistimewakan warga Tionghoa berdasarkan kegiatan ekonominya. Bertolak belakang dengan orientasi modernitas ala Soekarno yang berusaha mewujudkan masyarakat urban yang dinamis, pemerintahan Suharto memosisikan Glodok kembali sebagai ghetto warga Tionghoa. Pemerintahan Suharto juga menerbitkan peraturan perundang-undangan yang memangkas ruang gerak warga Tionghoa. Pelarangan kegiatan yang memperlihatkan ciri kebudayaan Tionghoa yang mencolok, penggunaan nama Tionghoa, penggunaan aksara Mandarin, merupakan beberapa tonggak konstruksi trauma kolektif yang mengisi ruang kota Jakarta terutama Glodok. Tarik menarik antara pengingatan dan pelupaan dalam restoran Cina di Glodok menjadi salah satu situs yang turut menyimpan memori kolektif kota Jakarta. Usaha untuk membentuk memori kolektif kota yang dilakukan oleh pemerintah maupun pihak lain juga tersimpan dalam restoran Cina. Memori kolektif suatu kelompok masyarakat dan peradaban kota dapat digambarkan sebagai bagian dari kehidupan kolektif yang kompleks (Halbwach, 1938 dalam Erll dan Nünning, 2008). Melalui pemisahan memori kedalam lorong-lorong yang membentuk jaringan sirkuler, representasi yang muncul dari kelompok masyarakat tersebut juga menjadi kompleks dan tidak paralel. Upaya Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
44
untuk mengatasi memori yang tidak sesuai dengan memori resmi berdampak pada konstruksi memori kolektif warga Tionghoa di Jakarta. Percampuran representasi mental dan material dalam memori kolektif kota menyebabkan kelompokkelompok sosial yang terlibat lebih terlarut dan membaur di dalamnya. Pendekatan ini dapat digunakan untuk melihat representasi ruang fisik yang terdapat pada restoran Cina di Jakarta. Peraturan yang memangkas ruang gerak warga Tionghoa mendorong terbentuknya trauma kolektif yang tidak mendapat tempat dalam ruang publik. Trauma kolektif ini ditampilkan secara tersirat dalam ruang-ruang yang tidak masuk dalam wacana ruang publik versi pemerintah kota di masa Orde Baru. Melalui ruang fisik restoran Cina, misalnya. Ruang fisik restoran mengadopsi Restoran “Fajar” mengadopsi ornamen-ornamen interior Art Deco sebagai dekorasi Interiornya.
Gambar 3.12 Interior restoran “Fajar” Sumber: dokumentasi penulis
Detail-detail interior yang didesain sejak tahun 1986 masih tersisa sekarang di restoran “Fajar”, Harmoni. Kesan “mewah” yang ingin ditampilkan dengan menggunakan gaya desain Art Deco menjadi apropriasi dari konsep arsitektur “modern”. Adanya usaha untuk mengubah ruang fisik restoran agar selaras dengan konteks jamannya dapat dimaknai sebagai usaha untuk terus membentuk representasi dari kelompoknya. Selain itu, konsep internasional yang diadopsi Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
45
“Fajar” melalui interior restorannya menandai memori akan pertumbuhan ekonomi yang pesat di masa yang telah lampau. Nostalgia akan masa lalu yang indah di Jakarta tertuang dalam interior Art Deco yang banyak digunakan dalam bangunan-bangunan di Jakarta pada tahun 1970-1980an. Selain restoran “Fajar”, bentuk fisik restoran “Fajar” yang dibangun dalam kurun waktu 1980an juga yang mengadopsi gaya arsitektur Art Deco.
Gambar 3.13 Interior dan eksterior restoran “Eka Ria” Sumber: www.ekaria-restaurant.com
Gambar 4 memperlihatkan interior dan eksterior dari restoran “Eka Ria” yang berlokasi di Jalan KH Zaenal Arifin (Ketapang), Jakarta. Restoran ini memulai bisnisnya sejak tahun 1925 dengan nama “Jit Lok Jun”48 di pertokoan Glodok (sekarang Glodok City). Gambar 5 merupakan foto dari Tjoeng Tan49, pendiri sekaligus juru masak pertama restoran ini. Tjoeng Tan merupakan imigran yang
48 49
Baca: jit lok jun Baca: cung tan Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
46
datang dari daerah Guandong, China. Pada interior dan eksterior restoran “Eka Ria” terlihat gaya arsitektur Art Deco juga mendominasi tampilan. Gedung restoran dibangun pada tahun 1986 setelah sebelumnya restoran “Eka Ria” sempat menempati pasar Lindeteves dan Jalan Batu Ceper.
Gambar 3.14 Tjoeng Tan Sumber: www.ekaria-restaurant.com
Walaupun bentuk fisik eksterior dan interior restoran mengadopsi gaya Art Deco, pengelola restoran menambahkan elemen-elemen desain lain pada interior restoran. Patung-patung ala Apollonian dan bunga plastik merupakan elemen dekorasi yang dipertahankan sejak kepindahannya ke Jalan KH Zaenal Arifin. Seperti yang terlihat pada gambar 6, bunga plastik ada di setiap meja di dalam restoran dan juga sebagai dekorasi interior. Pemujaan terhadap benda-benda dari plastik muncul setelah teknologi plastik menciptakan benda-benda yang sebelumnya tidak dapat dibuat dalam pabrik.
Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
47
Gambar 3.15 Tatanan meja makan restoran “Eka Ria” Sumber: www.ekaria-restaurant.com
Bunga plastik digunakan sebagai pengganti bunga segar yang menghiasi meja makan dilakukan karena bunga plastik dianggap lebih efisien dan tahan lama. Efisiensi merupakan bagian dari gaya hidup urban. Bunga plastik yang ada di restoran “Fajar” menjadi salah satu elemen interior yang diingat oleh pengunjung restoran. Dari data yang didapat dengan mewawancarai pengunjung restoran, semua informan menyebutkan bunga plastik sebagai hal yang mereka ingat dari interior
restoran
“Eka
Ria”.
Patung-patung
ala
Apollonian
dianggap
merepresentasikan kemewahan yang hendak ditampilkan dalam restoran “Eka Ria”. Bunga plastik, patung Apollonian, dan interior Art Deco bertabrakan dalam ruang restoran. Resepsi pengunjung restoran terhadap interior restoran berlainan antara profil pengunjung yang tidak memiliki memori akan restoran Cina dalam penelitian ini dengan profil pengunjung yang sudah memiliki memori akan restoran tersebut. Salima, yang baru pertama kalinya mengunjungi restoran “Eka Ria”50, menyebutkan gaya interior Art Deco dan bunga plastik sebagai dua hal yang diingatnya dari restoran tersebut. Lebih lanjut lagi ia mengatakan bahwa ia mengagumi bangunan restoran yang menurutnya sangat besar dan masih mempertahankan dekorasi yang menurutnya sudah “lama”. “Walaupun ada beberapa bagian yang tidak “nyambung” dengan dekorasi yang lain”, tambahnya. Dekorasi yang dimaksud “tidak nyambung” tersebut adalah penggunaan kursi kayu warna abu-abu dengan bantalan warna salem dan penggunaan bunga plastik yang dianggapnya norak. Lanna, yang menjadi pengunjung restoran “Eka Ria” sejak tahun 1977, mengingat restoran “Eka Ria” sebagai restoran dengan interior 50
Wawancara 22 Mei 2010. Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
48
yang mewah dan terawat. “Dari sejak pertama menempati lokasi ini tidak berubah”, kenangnya.51 Perbedaan resepsi dari kedua pengunjung ini disebabkan oleh latar belakang memori yang berbeda. Salima, yang lahir dan dibesarkan di Jakarta Selatan merepresentasikan sudut pandang pengunjung yang tidak memiliki kenangan akan kawasan Glodok dan khususnya restoran Cina dalam penelitian ini. Salima datang ke restoran “Eka Ria” setelah mendapat referensi dari temannya. Karena tidak memiliki kenangan akan restoran “Eka Ria”, tindakan Salima dapat dibaca sebagai bagian dari gaya hidup urban yang meluangkan waktu untuk makan di luar rumah. Salima menganggap bunga plastik sebagai elemen dekorasi yang “norak” karena bunga plastik tidak menyimpan memori apapun untuknya. Lanna, menganggap interior restoran “Eka Ria” sebagai suatu kesatuan yang mewah dan menyimpan kenangan akan masa lalu di Jakarta. Memori yang tersimpan dalam interior restoran dan memori yang dimiliki Lanna akan Jakarta terjalin dalam memori kolektif kota. Oleh karena itu ia tidak menganggap gaya yang berlawanan dalam restoran “Eka Ria” sebagai sesuatu yang “norak” tetapi merupakan heritage. Interior dan dekorasi dengan gaya yang berlawanan juga terdapat dalam restoran Cina lainnya seperti restoran “Fajar”. Interior modern Art Deco dibubuhi dengan ornamen lukisan cat air ala China, jam besar berornamen ukir-ukiran, dan kursi berukiran dari kayu yang memberikan kesan klasik dan antik dan taplak meja putih berlapis plastik bening.
Gambar 3.16 Benda benda di dalam restoran “Fajar” 51
Wawancara 20 Desember 2009. Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
49
Sumber: dokumentasi penulis
Apropriasi-apropriasi ruang fisik juga dapat dimaknai sebagai bentuk negosisasi terhadap wacana dominan dalam estetika modern. Lebih lanjut lagi, apropriasi ini juga berlindung dibalik selera. Apabila melihat tampilan visual yang tidak sesuai dengan konsep estetika yang dipahami, kita seringkali langsung menuduh orang yang membuat visualisasi tersebut memiliki selera yang buruk atau tidak kontekstual dengan jamannya. Rujukan selera berasal dari latar belakang habitus yang dimiliki seseorang. Tanpa rujukan pengetahuan yang baik akan musik klasik, seseorang tidak dapat menikmati musik Mozart, misalnya. Hal ini juga terlihat pada restoran “Fajar”. Visualisasi kemewahan yang tertuang dalam interior restoran “Fajar” di Harmoni mengambil rujukan kemewahan di masa lalu. Dengan jenjang pendidikan terakhir SMA, rujukan visualisasi kemewahan yang dimiliki oleh Uteng hanya berdasarkan memorinya akan masa lalu yang lebih jaya. Ia bergabung dalam pengelolaan restoran sejak tahun 1978, saat restoran “Fajar” bertempat di Glodok Plaza. Ia mengenang masa-masa sebelum waktu itu sebagai masa keemasan restoran “Fajar”. Ketika ia mengelola restorannya sendiri, Uteng memiliki kekuasaan untuk mewujudkan konsep restoran ideal yang ada di benaknya. Caranya menjalankan bisnis restoran mewarisi metode yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Karena konstruksi memori masa lalu Uteng terhadap ruang lingkupnya tidak stabil, konsep estetika yang terbentuk juga tidak mengacu pada rujukan yang satu.
Gambar 3.17 Gaya yang berlawanan dalam interior restoran “Fajar” Sumber: dokumentasi penulis Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
50
Hal tersebut mewujud dalam interior restoran yang tidak masuk ke dalam konsep estetika mainstream manapun seperti yang tampak dalam gambar 8. Elemen desain Art Deco yang menampilkan gaya kota urban yang modern bersanding dengan ukir-ukiran Victorian yang menampilkan gaya klasik. Generasi kedua yang menjadi penerus pengelolaan restoran “Fajar” bukan hanya Uteng seorang. Saudara-saudarinya juga ada yang membuka cabang di berbagai lokasi di Jakarta dan pulau Jawa. Pada awal tahun 1990an restoran “Fajar” telah membuka cabang di daerah Kebun Jeruk, Blok M, Panglima Polim, dan di kota Semarang dan Surabaya. Semua cabang dimiliki dan dikelola oleh keluarga. Representasi ruang fisik yang ditampilkan oleh tiap cabang restoran pun berbeda-beda satu dengan lainnya. Tampilan interior restoran “Fajar” di Surabaya dapat dilihat dalam gambar 9.
Gambar 3.18 Restoran “Fajar” Surabaya Sumber: www.ekaria-restaurant.com
Hampir tidak ada kesamaan konsep interior dari kedua restoran ini. Pada restoran “Fajar” – Harmoni penggunaan ornamen kechinaan sangat minim, bahkan hampir tidak ada. Sedangkan restoran “Fajar” – Surabaya banyak menggunakan ornamen –ornamen yang mendapat pengaruh dari gaya dinasti Qing dan dinasti Ming. Pengaruh dari dinasti Ming tampak pada perabot yang terkesan elegan dan dilapisi pernis dengan motif-motif auspicious (penuh dengan harapan). Pengaruh dari dinasti Ming memperlihatkan kesan mewah, berkilau, dan detail yang sangat teliti (Quinn, 2002). Saat ini, Uteng tengah sedikit demi sedikit mengubah interior dari restoran “Fajar”. Beberapa bagian yang dianggap kuno diganti dengan ornamen arsitektur “modern” lainnya. Pada gambar 10 terlihat ornamen air terjun di tembok yang dulunya merupakan panggung pelaminan pengantin dan panggung karaoke. Uteng Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
51
tidak berani mengalokasikan investasi yang besar untuk renovasi total karena ia menganggap situasi masih tidak stabil dan menghindari resiko asetnya terbuang percuma. Kekuatiran Uteng mengenai situasi politik dan ekonomi dapat dimaknai sebagai bagian dari trauma kolektif akan kondisi yang memberatkan warga Tionghoa.
Gambar 3.19 Air terjun dalam interior “Fajar” Sumber: dokumentasi penulis
Penambahan elemen interior dengan gaya yang berlawanan dengan interior sebelumnya merupakan apropriasi dari konsep estetika yang dimiliki oleh para pengelola restoran Cina. Dalam contoh diatas terlihat ada pertarungan antara keinginan untuk menjadikan ruang fisik restoran kontekstual dengan gaya hidup urban dengan mempertahankan heritage akan kejayaan di masa lalu. Contoh kasus ini merupakan bagian dari fenomena yang menyangkut ruang lingkup masyarakat Tionghoa lainnya di Jakarta sejak 1990an. Bangunan rumah tinggal yang memakai banyak ornamen dari berbagai gaya dapat dibaca sebagai rujukan selera yang mengacu pada kemewahan akibat pertumbuhan ekonomi yang pesat di era 1980an. Naiknya taraf kehidupan ekonomi dari beberapa keluarga pengusaha dari etnis Tionghoa memunculkan ruang lingkup baru dengan gaya hidup urban yang spesifik. Ruang lingkup ini membentuk standar representasi kemewahan dan pertumbuhan ekonomi yang menjadi rujukan selera dari warga Tionghoa lainnya. Representasi pertumbuhan ekonomi salah satunya terlihat melalui ruang fisik seperti arsitektur dan interior. Walaupun demikian perubahan-perubahan yang dilakukan terhadap ruang fisik restoran Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
52
“Fajar” tidak menunjukkan adanya pemisahan memori yang tegas. Seolah menunjukkan betapa kompleksnya memori-memori yang tersimpan di dalamnya, tampilan ruang fisik restoran “Fajar” juga tercampur-campur antara perabot lama dan baru, “kuno” dan “modern”, “modern” dan “modern” yang lain. Seperti perpaduan ornamen Art Deco, kursi berukiran Victorian dan air terjun minimalis yang mengisi restoran “Fajar” dan bunga plastik dan patung Apollonian yang menghiasi bangunan Art Deco restoran “Eka Ria”. Gaya yang berlawanan yang terdapat dalam ruang restoran Cina dapat dibaca sebagai oposisi dari penyeragaman yang terjadi selama masa pemerintahan presiden Suharto. Identitas warga Tionghoa hendak diseragamkan dengan berbagai peraturan yang memangkas ruang gerak dan kegiatan yang melibatkan kelompok masyarakat ini. Pelarangan untuk menampilkan identitas ketionghoaan di ruang publik membuat warga Tionghoa harus memakai “tampilan” lain sebagai identitasnya. ”Tampilan” lain inilah yang mewujud pada ruang fisik restoranrestoran Cina dalam penelitian ini. Negosiasi terhadap penyeragaman akibat pelarangan identitas ketionghoaan melahirkan tampilan ruang fisik dengan konsep estetika yang bertabrakan. Negosiasi yang terjadi di restoran-restoran Cina dalam penelitian ini menjadi penanda adanya trauma kolektif. “Tampilan” gaya yang berlawanan tanpa rujukan konsep estetika yang utuh merupakan ekses yang menjadi oposisi dari hegemoni penyeragaman selama rezim Suharto. Tampilan gaya interior yang berlawanan di kedua restoran “Eka Ria”dan “Fajar” menjadi medium memori kolektif yang bernilai bagi warga Tionghoa khususnya yang pernah tinggal di kawasan Glodok dan sekitarnya. Hal ini dapat dilihat dari penuturan informan yang pernah dan/atau masih menjadi penghuni Glodok. Mary, warga Tionghoa penghuni Glodok sejak 1954, mengingat bahwa restoran “Eka Ria” memiliki umur yang sama dengan ibunya. Ia mengenal restoran tersebut dari kedua orangtuanya yang tinggal di Glodok sejak mereka menikah. Dalam wawancaranya, Mary menyebutkan bahwa pendiri dari restoran “Eka Ria”, Tjoeng Tan, merupakan saudara kandung dari Tjoeng Jin, tetangganya yang mendirikan restoran “Abad Baru”. “Mereka delapan bersaudara banyak yang buka restoran, masakannya paling enak”, kata Mary. Lanna, yang bermukim di daerah Pinangsia dari tahun 1977 hingga 1996 mengenang restoran “Eka Ria” dan Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
53
“Fajar” sebagai restoran tempat mengadakan acara keluarga. Mulai dari ulang tahun neneknya hingga pesta pernikahan adiknya dan keponakannya. Pengelola restoran “Fajar” dan “Eka Ria” menyebutkan bahwa restorannya memang sering dipakai untuk acara resepsi pernikahan. Setidaknya satu kali dalam sebulan restoran mereka disewa sebagai tempat resepsi. Keberadaan kedua restoran ini dalam memori warga Glodok juga diturunkan dalam keluarga. Lanna dan Mary sebagai warga Tionghoa yang pernah tinggal di Glodok tidak mempermasalahkan apakah interior dari restoran Cina dalam penelitian ini mengadopsi gaya yang sama atau tidak. Resepsi bahwa interior semacam ini merupakan peninggalan “kenang-kenangan” dengan nilai heritage mengalahkan sudut pandang estetika. Konsep “jadul” yang ditawarkan oleh restoran Cina yang berasal dari area Glodok dan sekitarnya berbeda dengan restoran-restoran di kawasan Menteng dan Kebayoran Baru yang juga menjual ke”jadul” an mereka. “Jadul“ dalam konteks restoran Cina berlatar belakang trauma kolektif dan upaya untuk memisahkan dan mengatasi memori. Ke”jadul”an restoran Cina seringkali dianggap kurang terkonsep sehingga tidak dapat menjual dirinya seperti restoran dan kedai kopi yang dari awal disiapkan untuk menjual nostalgia. Situs restoran Cina dalam penelitian ini menyimpan memori kolektif akan waktu yang terhenti di masa pemerintahan Suharto. Ruang fisik yang terbatasi peraturan negara menjadi medium penyimpan trauma dan memori kolektif. Apropriasi terhadap ruang fisik yang demikian menjadi negosiasi terhadap hegemoni penyeragaman ala Suharto. Negosiasi dan apropriasi ini kemudian menyisakan makanan sebagai medium yang lebih “aman” dari peraturan negara. Anggapan akan makanan sebagai urusan perut yang tidak boleh diganggu gugat menyelamatkannya dari serangan langsung penyeragaman.
3.3 Konteks Kultural-Geografis Restoran Cina dalam Memori Kolektif Jakarta
Glodok merupakan salah satu penanda geografis dalam identitas ketionghoaan di Jakarta. Selain Glodok ada beberapa situs lain yang diidentikan Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
54
dengan kelompok warga Tionghoa di Jakarta. Beberapa restoran Cina dalam penelitian ini telah berpindah lokasi sehingga kini menempati situs yang berbeda dengan situs awal berdirinya. Perpindahan restoran Cina dapat dilihat sebagai pergerakan warga Tionghoa di Jakarta. Aspek geografis menjadi penting dalam konteks memori kolektif kota Jakarta yang tersimpan pada restoran Cina. Tempat yang dipilih untuk mengembangkan bisnis telah dipertimbangkan oleh pendiri dan pengelola restoran. Selain pertimbangan bisnis, pemilihan lokasi restoran juga didasari oleh konteks kultural-geografis. Perpindahan situs penyimpan memori juga berperan dalam membentuk memori kolektif kota Jakarta. Hal ini dapat dijelaskan melalui analisa perpindahan situs restoran Cina. Konteks lokasi ini dimanfaatkan oleh restoran “You Iet Tjoen” yang pada tahun 1968 telah mengganti namanya dengan restoran “Fajar”. Restoran “Fajar” pindah dari Lokasari (d/h Prinsen Park) ke Glodok Plaza pada tahun 1978. Perpindahan restoran “Fajar” dapat dilihat dalam skema 1.
Skema 3.1 Perpindahan Restoran “Fajar” Prinsen Park merupakan tempat hiburan umum yang sudah ada sejak awal abad keduapuluh. Pada saat restoran “You Iet Tjoen” memulai bisnisnya pada Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
55
tahun 1945, Prinsen Park merupakan salah satu pusat hiburan rakyat yang ramai dan berkembang di kawasan Mangga Besar dan Taman Sari. Pusat hiburan milik pengusaha setempat ini dikelilingi oleh pemukiman umum pada era 1950 – 1970. Area yang terletak tidak jauh dari Glodok ini merupakan area yang baru berkembang pada awal abad keduapuluh setelah warga Tionghoa boleh menetap dan mendirikan tempat tinggal di luar tembok kota. Area ini lalu berkembang menjadi pemukiman warga Tionghoa dari awal hingga pertengahan abad keduapuluh. Nostalgia akan area ini sebagai pemukiman kota yang nyaman masih tertinggal dalam memori keluarga penghuni yang telah menempati kawasan ini sebelum tahun 1970. Restoran “You Iet Tjoen” bukan merupakan satu-satunya restoran Cina yang menjadi “warga” taman hiburan Prinsen Park, ada juga restoran “Manila”, “Angsa”, dan “Fen Xiang” yang juga menyediakan menu makanan Cina. Memori akan Prinsen Park dan kawasan Mangga Besar sebagai pemukiman urban yang nyaman menjadi salah satu representasi akan Batavia/Jakarta “tempo doeloe”. Pada tahun 1970an, pemerintah daerah pada Orde Baru mengambil alih taman hiburan rakyat Prinsen Park dan mengubahnya menjadi taman hiburan rakyat Lokasari. Dengan berubahnya status kepemilikan situs tersebut, arah pengembangannya pun berubah. Taman hiburan rakyat diubah menjadi taman hiburan “dewasa”. Diskotik dan pelacuran mulai mengisi Lokasari. Karena dimiliki oleh salah seorang pejabat pemerintah daerah, kawasan ini seolah aman dari jeratan hukum. Lokasari kemudian menjadi salah satu ikon representasi hiburan kota Jakarta ala Orde Baru. Para penghuni pemukiman di sekitar Lokasari kemudian banyak pindah dari kawasan tersebut karena tidak lagi nyaman untuk ditinggali. Lokasari tumbuh menjadi ghetto baru sejak Orde Baru. Memori akan kawasan ini sebagai pemukiman yang nyaman sudah tergantikan dengan memori baru sebagai tempat hiburan malam. Situasi ini juga disadari oleh pemilik restoran “Fajar” sehingga pada tahun 1978 diputuskan mereka pindah ke Kawasan Glodok Plaza yang sedang berkembang menjadi pusat perbelanjaan mewah saat itu. Keluarga pemilik restoran “Fajar” merasa tidak nyaman lagi untuk berbisnis di lokasi hiburan malam. Saat ini di kawasan Lokasari banyak bermunculan restoran-restoran Cina yang jam buka hingga lewat tengah malam. Restoran Cina Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
56
yang baru memulai bisnisnya mulai tahun 1990an hingga sekarang di Lokasari ini memang mengambil keuntungan dari tamu yang datang pada saat dinihari. Hal ini yang membedakan restoran Cina seperti “Fajar” dengan restoran-restoran Cina yang baru memulai bisnisnya pada tahun 1980 hingga 1990an di Lokasari. Pengelola “Fajar” seolah ingin mempertahankan citranya sebagi restoran “keluarga” hingga akhirnya pindah ke Glodok Plaza. Setelah pindah ke Glodok Plaza dari tahun 1978 hingga 1986, Restoran “Fajar” pindah ke pusat perbelanjaan Golden Truly di komplek pertokoan Harmoni. Restoran ini sempat menempati pusat perbelanjaan Harmoni Plaza, kini restoran “Fajar” menempati sebuah bangunan ruko di komplek pertokoan Harmoni di samping Harmoni Plaza seperti terlihat pada gambar 12.
Gambar 3.20 Bangunan Ruko Restoran “Fajar” Sumber: dokumentasi penulis
Bangunan yang baru ditempati pada tahun 1986 ini menjadi lokasi yang dipilih oleh keluarga Wang sebagai pendiri karena lokasi lamanya di dalam bangunan Harmoni Plaza hendak dipakai untuk sebuah department store. Dari bagunan yang termasuk di dalam kawasan Kota Tua (Glodok), restoran “Fajar” kini menempati lokasi yang dulunya merupakan kawasan uptown (Weltevreden). Penduduk Jakarta yang lahir pada tahun 1930an tentu masih mengingat Social Club Harmonie yang dulunya merupakan salah satu pusat kebudayaan Eropa. Social Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
57
Club Harmonie secara eksklusif menyajikan pertunjukkan musik dan teatrikal ala Eropa. Gaya arsitektural dari bangunan Social Club merepresentasikan modernitas ala Eropa. Social Club yang hanya diperuntukkan eksklusif bagi warga Eropa dan dibangun di luar kawasan Kota Tua menjadi salah satu situs yang mempertontonkan hegemoni Belanda sebagai pemerintah kolonial. Keberadaan restoran “Fajar” di Harmoni dapat dimaknai sebagai upaya untuk menduduki puncak kebudayaan yang pada masa kolonial menghegemoni warga Batavia. “Balas dendam” ini ironisnya tertunda selama tujuh puluh tahun, hingga sekarang komplek Harmoni tampak lebih seperti komplek ruko yang tidak terawat. Namun keberadaan restoran “Fajar” dapat diposisikan sebagai counter hegemon yang berusaha menyusupi hegemoni kebudayaan Eropa di Batavia tahun 1950an walau kepindahannya ke komplek Harmoni terwujud pada tahun 1986. Komplek Harmoni yang dimaksud juga tidak benar-benar menempati situs bekas Social Club Harmonie dulu. Komplek ruko Harmonie berada agak jauh di seberang bangunan bekas Social Club Harmonie dan lebih dekat dengan jalan Cideng. Komplek ini meminjam nostalgia Harmoni sebagai nama dagangnya. Dengan memakai nama “Harmoni”, komplek ini memasarkan memori akan kejayaan Social Club Harmonie pada awal abad keduapuluh. Ruko yang ditempati oleh restoran “Fajar” merupakan bentukan arsitektur “modern”. Ruko yang “modern” pada komplek Harmoni menggantikan konsep modernitas ala Eropa pada Social Club Harmonie. Konsep yang menggabungkan dua fungsi bangunan sebagai rumah dan toko ini bukan merupakan temuan baru abad keduapuluh. Sejak abad ke sembilan belas, kawasan Glodok sudah diiisi oleh deretan ruko bertingkat yang lantai dasarnya digunakan sebagi toko. Namun arsitektur ruko baru menjamur di seluruh wilayah Jakarta pada awal tahun 1990an. Estetika yang ditawarkan oleh ruko meminjam estetika modern. Bentuk bangunan yang minim dekorasi, sesuai dengan fungsi, memanfaatkan ruang dengan efektif dan efisien, merupakan nilai-nilai estetis yang ditawarkan ruko. Walaupun menawarkan efisiensi fungsi rumah dan toko, banyak ruko yang tidak ditinggali sebagai “rumah”. Ia hanya berfungsi sebagai toko saja. Oleh restoran “Fajar”, fungsi dan konteks ruko diperluas lebih jauh lagi. Toko diganti menjadi restoran, rumah yang seharusnya ada di tingkat atas diganti Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
58
menjadi ruang serbaguna yang luas, konsep ruko yang minim lahan diubah dengan menggabungkan tiga ruko sekaligus. Arsitektur “modern” yang semula dirancang dengan semangat pemerataan bagi kelas menengah baru, pada restoran “Fajar” diapropriasikan dengan konteks pertumbuhan ekonomi yang melesat pada tahun 1980an hingga awal 1990an. Ruko yang ditempati oleh restoran “Fajar” diapropriasi menjadi tempat makan bagi kelas menengah ke atas, dengan harga mulai dari Rp. 30.000 hingga Rp. 150.000 per menu makanan. Komplek ruko Harmoni dan Harmoni Plaza sempat menjadi pusat perbelanjaan yang ramai pada masa Orde Baru. Konsep plaza merupakan representasi dari pertumbuhan ekonomi yang menjadi tolak ukur pembangunan kota pada masa Orde Baru hingga akhir 1980an. Pada era ini pula muncul grupgrup konglomerat Tionghoa yang dominan pada perputaran ekonomi Indonesia. Lim Soe Liong dan Prayogo Pangestu menjadi tycoon yang berpengaruh tidak hanya di Indonesia, namun juga di kawasan Asia Tenggara. Kesuksesan mereka turut mengisi ruang memori kolektif warga Tionghoa di Jakarta. Kini, komplek pertokoan Harmoni tidak lagi ramai dikunjungi orang karena perubahan tata kota Jakarta menjadikannya area yang tidak strategis untuk dicapai. Kemacetan di perempatan Harmoni - Jalan Hayam Wuruk - Jalan Juanda - Jalan Majapahit menyebabkan komplek pertokoan Harmoni sulit dicapai. Lingkungan pertokoan yang sepi dan tidak terawat ini memosisikan restoran “Fajar” sekali lagi berada di dalam ghetto. Rumah makan “Jit Lok Jun” pertama kali memulai bisnisnya di komplek pertokoan Glodok sekitar tahun 1925.52 Restoran ini menempati lokasi tersebut hingga November 1970. Gambar 11 memperlihatkan tampak depan dari rumah makan “Jit Lok Jun” pada tahun 1950an di kawasan Glodok.
52
Tahun pendirian restoran tidak dapat diketahui secara pasti karena generasi ketiga dari pendiri hanya menapat informasi yang samar-samar mengenai awal pendirian restoran. Tahun 1925 diperoleh berdasarkan perhitungan usia anggota keluarga keturunan dari Tjoeng Tan, pendiri restoran. Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
59
Gambar 3.21 Restoran “Jit Lok Jun” di Glodok Sumber: www.ekaria-restaurant.com
Setelah tahun 1970, di kawasan Glodok dibangun Glodok Plaza dengan konsep arsitektur “pencakar” langit. Konsep plaza menjadi tren pada kurun waktu 1970an hingga 1980an. Muncul pusat-pusat perbelanjaan yang menamai dirinya “Plaza”, seperti “Gajah Mada Plaza”, “Hayam Wuruk Plaza”, “Plaza Indonesia”, dan “Glodok Plaza”. Nama “Plaza” menjadi standar pusat perbelanjaan modern dan mewah dalam gaya hidup urban. Pembangunan era Orde Baru membawa Jakarta menuju globalisai dengan tumbuhnya pusat-pusat perbelanjaan mewah. Pada era 1970an hingga 1980an, Glodok Plaza merupakan salah satu ikon kemewahan itu. Rumah makan “Jit Lok Jun” merupakan restoran Cina yang dikelola turun temurun oleh keluarga. Skema perpindahan restoran “Eka Ria” dapat dilihat pada Skema 2. Restoran ini kemudian pindah ke pusat perbelanjaan Lindeteves yang ada di seberang Glodok Plaza dan mengganti namanya menjadi restoran “Eka Ria” seperti yang terlihat pada gambar 12.
Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
60
Skema 3.2 Perpindahan Restoran “Eka Ria”
Gambar 3.22 Restoran “Jit Lok Jun” di Pasar Lindeteves Sumber: www.ekaria-restaurant.com
Selanjutnya restoran “Eka Ria” sempat menempati bangunan sementara di Jalan Batu Ceper pada tahun 1985 sebelum akhirnya membangun gedung di Jalan KH Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
61
Zaenal Arifin (d/h Ketapang) pada tahun 1987. Sampai sekarang restoran ini masih bisa ditemui di lokasi tersebut. Kepindahan “Eka Ria” dari Glodok bertolak belakang dengan restoran “Fajar” yang baru pindah ke Glodok pada tahun 1978. “Eka Ria” meninggalkan kawasan Glodok yang identik dengan pusat kegiatan ekonomi dan identitas ketionghoaan dan kemudian pindah ke kawasan yang tidak identik dengan identitas manapun. Ketapang merupakan daerah pertokoan dan pemukiman yang jarang disorot sebagai identitas geografis warga Tionghoa di Jakarta. Kawasan ini terletak di belakang Jalan Gajah Mada, di antara Monas dan Glodok. Setelah pemerintah Orde Baru melarang penggunaan nama Tionghoa untuk identitas personal maupun perusahaan, warga Tionghoa dipaksa menegosiasikan identitasnya dengan negara. Peraturan penyeragaman dan serangkaian kerusuhan yang bernuansa anti Tionghoa mulai dari tahun 1965 hingga 1974 meninggalkan trauma yang membekas dalam memori warga Tionghoa. Dimulai sejak penyisiran anggota Baperki, Pemuda Rakyat, CGMI, PPI, IPPI, Perhimi, Chung Hua Tsung Hui, Chiao Chung pada akhir tahun 1965 hingga peristiwa Malari tahun 1974 yang juga menyerang warga Tionghoa. Rangkaian peristiwa ini menciptakan sistem kontrol diri yang melekat dalam keseharian warga Tionghoa. Sistem kontrol diri termasuk menegosiasikan identitasnya dengan kondisi sosial saat itu. Kepindahan restoran “Eka Ria” keluar dari Glodok dapat dibaca sebagai tindakan yang berangkat dari sistem kontrol diri yang terbentuk. “Eka Ria” menjauhi area yang identik dengan identitas ketionghoaan dan memilih untuk menempati area “abu-abu” seperti Ketapang. “Eka Ria” bernegosiasi dengan tidak sepenuhnya menanggalkan identitas geografis ketionghoaannya. Walaupun jarang disorot sebagai area yang identik dengan ketionghoaan, area Ketapang juga dipenuhi dengan kantor, toko, dan pemukiman milik warga Tionghoa. Area Ketapang secara geografis maupun kultural merupakan area periferi dari Glodok. Perpindahan restoran “Eka Ria” ke daerah periferi dari kawasan Glodok tidak hanya berhenti pada gedung restorannya yang terletak di Jalan KH Zaenal Arifin. Setelah membangun memori yang baru di Ketapang, restoran “Eka Ria” membuka cabang di Bumi Serpong Damai (BSD) City pada tahun 2009. Oleh Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
62
Koko Suharto, generasi ketiga dari pendiri dan pengelola restoran “Eka Ria”, pembukaan cabang di tepi luar kota Jakarta bertujuan untuk membuka pangsa pasar baru.53 Kawasan BSD City berkembang dari pemukiman Bumi Serpong Damai yang baru dibuka pada tahun 2003 di daerah Serpong, berbatasan langsung dengan Jakarta Barat. Serpong kini termasuk dalam propinsi Banten. Sebelumnya Serpong merupakan bagian dari kota Tangerang Selatan. Kawasan yang semula merupakan hektaran perkebunan karet milik PTPN ini pertama kali dibangun menjadi komplek pemukiman oleh pengembang “Jaya” sejak tahun 1990. Sebelum ada BSD, Habibie ketika menjabat Menristek memanfaatkan kawasan itu untuk Puspitek atau Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Pada tahun 2003 perumahan Bumi Serpong Damai dan lahan-lahan yang ada di sekitarnya diambil alih oleh grup Sinar Mas. Sejak saat itu komplek pemukiman dikembangkan menjadi kota peri-urban yang bernama BSD City. Saat ini, BSD City telah berkembang hingga dapat disebut sebagai kota satelit dengan infrastruktur kota yang lengkap dan memadai. BSD baru dibangun besar-besaran mulai dari masa akhir Orde Baru. Setelah Orde Baru selesai, pergerakan kota Jakarta mengarah pada globalisasi Indonesia. Oleh grup Sinas Mas yang dipimpin oleh Eka Cipta Widjaja, pengusaha dengan latar belakang etnis Tionghoa,
BSD menjadi komplek
54
pemukiman dengan sistem cluster yang menawarkan berbagai gaya arsitektural. Mulai dari gaya arsitektur negara-negara Eropa, Amerika, Asia Timur hingga Asia Tenggara ditawarkan melalui cluster-cluster perumahan yang ada di BSD City. Selain komplek perumahan, BSD City juga memiliki pusat-pusat perbelanjaan dan tempat-tempat hiburan. Restoran “Eka Ria” membuka cabangnya di BSD City dengan nama “Eka Ria Delight”. Walaupun menawarkan menu makanan Cina seperti di “Eka Ria” Ketapang, “Eka Ria Delight” memiliki tampilan yang berbeda dengan restoran pusatnya.
53 54
Wawancara dengan Koko di restoran Eka Ria Delight, BSD City pada tanggal 12 Maret 2010. Sistem pengelompokan berdasarkan kategori gaya dan tampilan visual Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
63
Gambar 3.23. restoran “Eka Ria Delight” Sumber: www.ekaria-restaurant.com
“Eka Ria Delight” dirancang dengan gaya arsitektur yang “modern minimalis” tanpa menggunakan ornamen-ornamen interior yang sifatnya dekoratif dan klasik. Satu-satunya elemen dekorasi yang masih mengingatkan pada restoran “Eka Ria” adalah penggunaan bunga plastik sebagai penghias meja makan. Lokasi BSD City dipilih oleh Koko selaku generasi ketiga dari pemilik dan pengelola restoran karena kawasan ini masih terbilang baru berkembang.55 “Selera pasarnya belum kelihatan seperti apa”, demikian kata Koko ketika ia menceritakan latar belakang di balik pembukaan cabang barunya. Dari pernyataan Koko, boleh dikatakan bahwa ia menyadari bahwa BSD City merupakan tempat tanpa memori. Karena baru berkembang beberapa tahun terakhir, belum terbentuk memori kolektif kota seperti yang sudah terbentuk di berbagai bagian Jakarta. Koko melihat adanya kesempatan untuk mengembangkan bisnis restorannya di area yang identitasnya belum terbentuk dengan jelas. Koko juga menyebutkan bahwa ia tidak ingin membuka cabang di kawasan yang banyak dihuni oleh warga Tiionghoa di Jakarta seperti Kelapa Gading, Pluit, Muara Karang. Menurutnya kawasan yang sudah mapan dan terbentuk akan menjadi lahan yang sulit digarap. Berkali-kali ia menyebutkan 55
Wawancara dengan Koko di restoran Eka Ria Delight, BSD City pada tanggal 12 Maret 2010. Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
64
bahwa BSD City merupakan tempat yang baru dan memiliki banyak kesempatan untuk mengembangkan bisnis. Lokasi BSD City yang berada di tepi luar kota Jakarta dianggap sebagai nilai lebih oleh Koko. “Jakarta sudah terlalu penuh dan ribet”, kata Koko. Keputusan untuk mengembangkan bisnis restoran Cina di luar pusat kota Jakarta dapat dibaca sebagai keinginan untuk menghindari pusat. Jakarta sudah dipadati dengan memori-memori
yang kompleks dan saling
tumpang tindih. Kepindahan restoran “Eka Ria” ke BSD City hanya merupakan contoh kecil dari pergerakan warga Tionghoa dalam ruang kota. BSD City menjadi kota “baru” yang menawarkan mangkok kosong untuk diisi dengan asupan memori yang baru. Asumsi akan awal baru di tempat yang baru membuka kemungkinan bagi konstruksi identitas ketionghoaan untuk bergerak. Identitas ketionghoaan yang diidentikan dengan konteks geografis sudah ada di Batavia sejak masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Glodok menjadi kawasan ghetto warga Tionghoa sejak abad kedelapanbelas. Selain Glodok, daerah Pasar Baru juga berkembang menjadi kawasan yang diidentikkan dengan regionalisasi warga Tionghoa pada masa kolonial walaupun tidak menjadi ghetto seperti Glodok. Pada masa Orde Baru, sistem kontrol dan pengawasan dengan cara regionalisasi warga Tionghoa kembali diterapkan. Kawasan seperti Pluit, Sunter, dan Kelapa Gading menjadi area regionalisasi warga Tionghoa terbentuk dari sistem kontrol Orde Baru. BSD City merupakan area yang baru berkembang di akhir Orde Baru dan berkembang pesat sejak tahun 2000an. Tempat yang baru memang seolah menawarkan awal yang baru bagi setiap orang, namun setiap orang yang masuk menjadi penghuni tempat tersebut pastinya juga membawa memori-memori dari tempatnya yang terdahulu. Warga BSD City sebagian besar merupakan warga yang pindah dari Jakarta. Optimisme untuk memulai hidup yang baru di lingkungan yang baru ditawarkanbagi warga Tionghoa yang hidup di Jakarta. Optimisme ini juga dibalut dengan keinginan untuk menanggalkan memori-memori yang tidak menyenangkan atau selama ini tak terwadahi. Yang tidak disadari adalah bahwa memori-memori tersebut sudah melekat sebagai trauma dan memori kolektif yang juga menjadi sistem pengawasan dan kontrol diri. Hegemoni Orde Baru dalam mengendalikan Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
65
pergerakan warga Tionghoa tidak dapat ditanggalkan hanya dengan berpindah tempat tinggal. Sistem kontrol diri telah terinternalisasi dalam warga Tionghoa sehingga tanpa sadar membentuk pola pergerakan yang mengikuti konstruksi yang dibuat oleh pemerintah Orde Baru. Regionalisasi warga Tionghoa Jakarta kini dikonstruksi oleh warga Tionghoa sendiri. Dalam upaya untuk mengatasi memori dan trauma kolektifnya, warga Tionghoa bergerak membentuk regionalisasi dengan orang-orang yang memiliki memori yang sama. Tindakan ini semakin membekukan memori dan trauma kolektif warga Tionghoa di Jakarta. Ketiadaan ruang atau tempat untuk mewadahi memori dan trauma kolektif tidak membuatnya menguap seiring dengan berjalannya waktu, melainkan mengkristal dalam memori kolektif kota Jakarta. Setelah kerusuhan Mei 1998 hingga kini, keresahan akan situasi keamanan masih tersimpan dalam memori warga Tionghoa di Jakarta. Regionalisasi warga Tionghoa kini menjadi bagian dari identitas ketionghoaan Jakarta. Warga Tionghoa Pluit, warga Tionghoa Kota, warga Tionghoa Sunter, warga Tionghoa Pademangan, warga Tionghoa Kelapa Gading, menjadi kelompok-kelompok baru yang terhubungkan oleh memori kolektif kota.
3.4 Konsumsi dan Gaya Hidup dalam Restoran Cina
Pada awal abad keduapuluh keberadaan restoran Cina di Batavia memberikan alternatif bagi kebudayaan Eropa yang mendominasi keseharian warga Batavia. Dalam pandangannya Onghokham (2009) menyebutkan bahwa ada kecenderungan di dalam etnis Tionghoa untuk naik ke jenjang masyarakat yang lebih tinggi. Sejak akhir abad kedelapanbelas tidak lagi masuk ke dalam masyarakat Jawa, karena elitenya sudah tidak ada lagi dan bukan lagi merupakan golongan yang memerintah. Maka kemudian mereka ingin masuk ke dalam masyarakat atau golongan Belanda, karena golongan inilah yang merupakan golongan yang memerintah. Untuk masuk ke dalam masyarakat Belanda tidaklah mungkin; yang mungkin hanyalah mengambil tindakan-tindakan yang menuju arah itu. Keinginan untuk mirip dengan golongan yang memerintah juga terdapat Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
66
di bidang lain, misalnya dalam perabotan rumahtangga, dalam jamuanjamuan perayaan dan dalam seluruh proses westernisasi orang-orang Tionghoa. (Onghokham, 2009) Dengan hadirnya restoran-restoran Cina berkonsep modern dan mengadopsi tata cara Eropa, selain keinginan mengikuti golongan yang memerintah, dapat juga dimaknai sebagai budaya alternatif bagi gaya hidup warga kota Batavia. Hal ini tampak pada antusiasme warga Belanda yang menjadi pelanggan dari restoranrestoran Cina tersebut. Hal ini dapat diketahui dari cerita-cerita keluarga pengelola restoran Cina yang ditemui selama penelitian ini. Yuni, generasi ketiga dari pendiri restoran “Abad Baru” selalu mendengar cerita dari ayahnya tentang warga Belanda yang sering makan di restoran keluarganya. Van Mook, yang sempat menjabat sebagai Gubernur Jendral Batavia, menjadi salah satu pelanggan tetap restoran yang dulunya bernama “Sin Kie Joen” ini. Penuturan ini dibenarkan oleh Tjoeng Tji Wai,56 keponakan dari Tjoeng Tjin,57 pendiri restoran “Abad Baru”. Restoran ini terletak di Jalan Pintu Besar Selatan nomor 15, Glodok. Selain restoran “Abad Baru”, kenangan yang sama juga dimiliki oleh pengelola restoran “Fajar”. Ketika Uteng masih kanak-kanak, ia menyaksikan restoran keluarganya dipenuhi tidak hanya oleh warga Tionghoa, namun juga warga Belanda dan Jepang. Rumah makan “Jit Lok Jun” muncul sebagai salah satu alternatif dalam keseharian warga Batavia di tahun 1925. Nama “Jit Lok Jun” apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia memiliki arti “sebuah taman gembira”. Konsep rumah makan yang ditawarkan oleh Tjoeng Tan dapat dimaknai sebagai tempat hiburan alternatif dalam gaya hidup modern di kota Jakarta. Dalam kurun waktu 1920-1950 ada beberapa restoran Cina lain di Jakarta yang menawarkan hal yang serupa. Restoran “Toeng Kong”58 yang berdiri sejak 1942 di Tugu Tani juga menawarkan menu makanan Cina. Nama “Toeng Kong” kemudian diganti menjadi “Tjahaja Kota” dan kemudian sekarang memakai nama “Cahaya Kota” yang memang merupakan terjemahan dari “Toeng Kong”. Nama yang dipilih oleh
56
Baca: cung ci wai. Wawancara dengan Yuni dan Tjoeng Tji Wai pada tanggal 17 Desember 2009 57 Baca: cung cin 58 Baca: tung kong. Restoran ini sekarang sudah pindah ke Jalan Wahid Hasyim. Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
67
restoran-restoran ini merepresentasikan gaya hidup modern kota Jakarta pada abad keduapuluh. Meluangkan waktu untuk makan di luar rumah menjadi salah satu gaya hidup di Batavia sejak awal abad keduapuluh. Keseharian warga Batavia sebagai kota urban yang modern. Gaya hidup semacam ini dibawa oleh warga Eropa yang datang ke Batavia. Kebiasaan untuk meluangkan waktu di luar rumah untuk mencari hiburan merupakan kegiatan yang umum dilakukan di Eropa sejak revolusi industri melahirkan kelas pekerja. Kebiasaan ini dibawa oleh pedagang dan warga Eropa yang datang ke Batavia. Gaya hidup ini tumbuh tidak hanya di kalangan warga Eropa, namun juga ke warga Tionghoa yang ada di Batavia saat itu. Silver (2008) dalam penelitiannya mengenai Jakarta sebagai kota megapolitan di abad keduapuluh menyebutkan bahwa dalam sektor komersil dan ritel, kotakota besar di Asia Tenggara saat ini bergerak menuju pembentukan sentra bisnis. Kecenderungan ini merupakan ekstensi dari pola kota urban pemerintah kolonial. Area konsentrasi perkantoran, hotel, institusi keuangan, restoran, pusat perbelanjaan pada masa pemerintah kolonial seringkali didampingi oleh pertumbuhan yang serupa di area pemukiman pedagang Tionghoa dan India. Konsep ini menurut McGee (1967) merupakan bentuk pusat komersil liyan.59 Glodok dapat dikatakan merupakan salah satu area di sekitar pusat institusi pemerintah kolonial yang berkembang sesuai konsep McGee (1967). Di luar Weltevreden yang menjadi hegemoni kebudayaan Eropa, ada restoran Cina di kawasan Glodok yang menawarkan gaya hidup yang diadopsi dari kebudayaan Eropa. Dalam keseharian warga kota Jakarta kini, kegiatan pergi ke luar rumah untuk makan menjadi salah satu hiburan urban. Bell dan Valentine (1997) menyebutkan bahwa kegiatan makan di restoran sebagai “paket konsumsi menyeluruh”60 yang tidak hanya menjual makanan dan minuman namun juga menawarkan pengalaman dalam ruang restoran tersebut. Kenikmatan yang dihasilkan dari pengalaman tersebut terjadi akibat pemahaman akan perbedaan antara pergi ke luar rumah untuk makan dan makan di rumah. Pergi ke luar rumah untuk makan memberikan selingan dari pola kebiasaan sehari-hari yang 59 60
Alien commercial center. Total consumption package Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
68
cenderung membosankan dan sama. Pergi ke luar rumah untuk makan menjadi “exotic other” dari kegiatan makan bersama di rumah (Warde dan Martens, 2000). Hal ini menjadi paradoks pada restoran yang menawarkan nostalgia di Jakarta. Nostalgia yang ditawarkan oleh restoran seperti “Radja Ketjil”, “Dapoer”, “Meradelima”, dan “Kembang Goela” merupakan keseharian yang dikemas secara khusus.
Gambar 3.24 Interior restoran “Radja Ketjil” Sumber: akun “Wordpress” restoran “Radja Ketjil”
Universitas Indonesia
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
BAB 4 KESIMPULAN
Berbagai bentukan memori seperti memisahkan, mengatasi, dan memasarkan memori telah membangun konstruksi memori kolektif kota Jakarta. Kota Jakarta sejak masa pemerintahan kolonial tidak disiapkan sebagai ibukota dan pusat budaya, melainkan sebagai pusat kegiatan ekonomi. Melalui penelitian ini, telah didapat analisis yang memaparkan bagaimana ruang memori kolektif kota Jakarta yang direpresentasikan melalui memori-memori yang ada dalam restoran Cina. Restoran Cina yang menjadi fokus penelitian ini telah berdiri sejak masa pemerintahan kolonial hingga sehingga telah mengalami perubahan dan perkembangan seiring dengan perubahan ruang kota. Restoran-restoran Cina dalam penelitian ini memberi beragam artikulasi dan mengambil peranan dalam memori kolektif kota. Dibutuhkan suatu tipologi untuk mendokumentasikan memori-memori yang ada dalam restoran Cina. Tipologi ini tidak dimaksudkan untuk
mengkotak-kotakkan
namun
untuk
memberikan
gambaran
akan
kompleksitas dan keragaman memori kolektif. Tipologi memori kolektif yang digagas penulis dalam penelitian ini bersifat tarik menarik dan saling terkait. Analisis mengenai tipologi memori kolektif membuka empat isu: memori kolektif dan nostalgia; urban dan heritage; konteks kultural geografis; dan konsumsi dan gaya hidup. Dalam memori kolektif dan nostalgia, restoran “Eka Ria” dan “Fajar” mengalami pembatasan-pembatasan pada masa Orde Baru. Upaya untuk mengatasi memori dapat dilihat dari pergantian nama restoran setelah dikeluarkannya peraturan pemerintah yang melarang penggunaan bahasa Mandarin dan tampilan yang menonjolkan identitas etnis Tionghoa. Peristiwa G30SPKI, Malari, Baperki, pembatasan yang dimulai sejak Orde Baru hingga kerusuhan Mei 1998 membentuk trauma kolektif yang menjadi bagian dari memori kolektif kota. Trauma ini tidak mendapat tempat dalam ruang publik yang resmi namun tersimpan dalam ruang-ruang yang dianggap non-politis seperti restoran Cina. Dari penuturan pemilik dan pengelola restoran, dapat disimpulkan
69 Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
70
bahwa restoran Cina berusaha merespon pembatasan-pembatasan tersebut dengan menegosiasikan identitas restoran seperti nama restoran. Nostalgia dan memori dapat dipasarkan sebagai gaya hidup urban. Melalui nostalgia, memori dijadikan komoditas karena tarikan ekonomi. Memasarkan memori menjadi cara yang ditempuh oleh pemilik restoran untuk bertahan hidup. Nostalgia yang diartikulasikan menjadi komoditas dapat dimaknai sebagai cara untuk mengatasi trauma kolektif. Nostalgia yang menjadi komoditas ini tidak dapat sepenuhnya mengatasi trauma yang ada dalam memori kolektif. Pada saat penelitian, penulis menemui pemilik restoran yang enggan berbicara mengenai masa lalu restorannya. Dari keengganan untuk bercerita mengenai masa lalu restorannya, dapat diasumsikan bahwa pemilik restoran hendak menyimpan memori kolektif yang menjadi identitas dirinya. Negosiasi juga dapat dilihat melalui pengembangan menu-menu yang terdapat di restoran Cina. Restoran “Fajar” yang semula menjual kekhasan identitasnya sebagai imigran yang datang dari Hainan, China, kini memasrahkan menunya kepada permintaan pengunjung yang datang. Lebih dari 150 menu masakan daging dan sayur ditawarkan oleh “Fajar” dan masih ditambah dengan tawaran untuk memesan masakan sesuai keinginan pengunjung. Dalam negosiasi ini konsep identitas yang tadinya melandasi pendirian restoran ini runtuh ke dalam wacana ekonomi praktis. Negosiasi menu di restoran “Fajar” dibuka seluasluasnya karena sudah terlapisi dengan berbagai trauma kolektif. Pembatasan ruang gerak dalam pembentukan memori kolektif tidak memberi tempat bagi memori yang tidak sesuai dengan memori resmi versi pemerintah. Perbedaan artikulasi akan masa lalu dari restoran-restoran Cina yang ada di Jakarta juga disebabkan tidak adanya ruang publik atau medium yang tersedia untuk mewadahi memori kolektif warga Tionghoa. Nostalgia yang dicari dalam restoran Cina adalah potongan kenangan akan keseharian warga kota Batavia/Jakarta yang dinamis dan cair. Kondisi yang memosisikan warga Tionghoa setara dengan warga kota Jakarta lainnya. Dalam konteks ini maka makanan Cina yang dipesan merupakan asupan memori, memakannya merupakan bentuk artikulasi dari memori kolektif kota Jakarta.
Universitas Indonesia Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
71
Melalui isu urban versus heritage, analisa memaparkan tipologi memori dari sudut pandang pengunjung restoran, orang Tionghoa warga Glodok, dan warga kota Jakarta. Pemerintahan Orde Baru menjadikan kawasan Glodok ghetto dengan membangunnya sebagai pusat perdagangan modern dan melekatkan stigma “makhluk” ekonomi kepada orang Tionghoa. Bentukan memori kolektif dapat terlihat secara tersirat dalam ruang-ruang yang tidak masuk dalam wacana ruang publik versi pemerintah kota di masa Orde Baru seperti ruang fisik restoran Cina. Berbagai bentuk apropriasi dilakukan pada ruang fisik restoran sehingga menghasilkan perpaduan gaya interior yang berlawanan. Gaya yang berlawanan menjadi ekses sekaligus oposisi dari pembatasan yang dibuat oleh pemerintah kota. Melihat tampilan ruang fisik restoran “Eka Ria”dan “Fajar” seolah melihat waktu yang terhenti pada saat awal pemerintahan Orde Baru. Dari sudut pandang pengunjung yang sebelumnya tidak memiliki memori akan restoran Cina dalam penelitian ini, gaya yang berlawanan ini terkesan norak dan tidak “nyambung”. Penggunaan bunga plastik dan taplak meja plastik adalah elemen-elemen dekorasi yang dianggap tidak sesuai oleh pengunjung dengan profil di atas. Lain halnya dengan resepsi yang dipaparkan oleh pengunjung yang sebelumnya sudah memiliki memori akan restoran Cina. Tampilan ruang fisik restoran dianggap sebagai satu kesatuan yang baik dan “indah” karena tidak berubah sejak dulu. Resepsi pengunjung yang tidak memiliki memori akan restoran Cina merupakan isu urbanitas yang merespon memori kolektif kota. Pengunjung yang memiliki memori akan restoran Cina meresepsi ruang fisik sebagai heritage yang menyimpan memori kolektif. Tampilan gaya interior yang berlawanan di kedua restoran “Eka Ria”dan “Fajar” menjadi medium memori kolektif yang memiliki nilai heritage bagi warga Tionghoa khususnya yang pernah tinggal di kawasan Glodok dan sekitarnya. Seolah menunjukkan betapa kompleksnya memori-memori yang tersimpan di dalamnya, tampilan ruang fisik restoran “Fajar” juga tercampur-campur antara perabot lama dan baru, “kuno” dan “modern”, “modern” dan “modern” yang lain. Situs restoran Cina dalam penelitian ini menyimpan memori kolektif akan waktu yang terhenti di masa pemerintahan Orde Baru. Ruang fisik yang terbatasi peraturan negara menjadi medium penyimpan trauma dan memori kolektif.
Universitas Indonesia Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
72
Apropriasi terhadap ruang fisik yang demikian menjadi negosiasi terhadap hegemoni penyeragaman ala Suharto. Memori kolektif kota Jakarta yang terepresentasikan dalam restoran Cina juga memiliki konteks kultural geografis. Analisa perpindahan restoran “Eka Ria” dan “Fajar” dapat dilihat sebagai pergerakan warga Tionghoa di Jakarta. Perpindahannya merepresentasikan pergerakan etnis Tionghoa dalam ruang kota dan perkembangan kota Jakarta. Restoran Cina dalam penelitian ini telah beberapa kali berpindah dan menempati berbagai lokasi dengan konteks kultural geografisnya masing-masing. Dari ghetto ke ghetto, restoran “Fajar” seolah berusaha keluar dari himpitan yang dibebankan padanya sebagai ruang praktik kultural warga Tionghoa di Jakarta. Restoran “Eka Ria” berpindah dari Glodok sebagai pusat kota ke Ketapang yang merupakan daerah periferi “pusat” dan BSD City sebagai periferi kota. Hegemoni Orde Baru dalam mengendalikan pergerakan warga Tionghoa tidak dapat ditanggalkan hanya dengan berpindah tempat tinggal. Sistem kontrol diri telah terinternalisasi dalam warga Tionghoa sehingga tanpa sadar membentuk pola pergerakan yang mengikuti konstruksi yang dibuat oleh pemerintah Orde Baru. Regionalisasi warga Tionghoa Jakarta kini dikonstruksi oleh warga Tionghoa sendiri. Dalam upaya untuk mengatasi memori dan trauma kolektifnya, warga Tionghoa bergerak membentuk regionalisasi dengan orangorang yang memiliki memori yang sama. Tindakan ini semakin membekukan memori dan trauma kolektif warga Tionghoa di Jakarta. Kegiatan makan di luar rumah akan memberikan kenikmatan dari pengalaman yang berbeda dengan keseharian warga kota. Kenikmatan yang dihasilkan dari pengalaman tersebut terjadi akibat pemahaman akan perbedaan antara pergi ke luar rumah untuk makan dan makan di rumah Restoran dengan konsep nostalgia yang hadir untuk memenuhi kebutuhan ini merupakan keseharian yang dikemas secara khusus. Oleh karena itu peran restoran nostalgia sebagai bagian dari konsumsi dan gaya hidup urban di Jakarta merupakan paradoks. Restoran Cina di Jakarta seperti seorang diaspora yang memiliki banyak identitas. Representasi identitas-identitas ini dapat digunakan masing-masing sesuai kepentingan dan konteksnya. Seperti warga Tionghoa yang mengganti
Universitas Indonesia Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
73
nama Tionghoa dengan nama pemberian negara, restoran Cina juga mengganti tampilannya namun tetap menyimpan nama Tionghoanya. Dari pemaparan analisa penelitian dapat terlihat bahwa pembentukan identitas ketionghoaan dan memori kolektif kota Jakarta saat ini didominasi tarik menarik antara memori Soekarno dan memori Suharto. Warga kota yang mengunjungi restoran-restoran Cina dalam penelitian ini merepresentasikan kerinduan akan manisnya memori masa lalu. Bentuk memori masa lalu Jakarta yang lebih baik masih belum ditemukan oleh warga kota Jakarta. Selama ini memori tersebut “dipinjamkan” oleh generasi yang lahir pada tahun 1940an hingga 1960an. Pembatasan ruang gerak yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru telah mengakibatkan kekosongan dalam ruang memori warga kota Jakarta selama kurun waktu 1970 hingga 1998. Pembatasan ruang gerak ini menjadi memori yang “pahit” bagi warga kota Jakarta. Generasi yang tidak mengalaminya masih “lapar“ akan memori yang lebih padat. Pemerintahan Orde Baru telah membuat warga kota “kelaparan” dengan memori-memori yang “pahit”. “Kelaparan” yang dimaksud di sini merupakan metafor dari kurangnya akses terhadap memori kolektif yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk mengenang kembali memori kolektif secara utuh. Berakhirnya Orde Baru dan disambung pemerintahan presiden Abdurahman wahid telah membuka pikiran warga Tionghoa dan menegaskan “kepahitan” yang sudah ditelannya selama tiga puluh dua tahun masa pemerintahan Suharto. Kini warga Tionghoa bersama dengan warga kota Jakarta lainnya masih mencari makanan asupan memori yang disajikan melalui restoran-restoran Cina. Makanan asupan memori yang dicari diharapkan dapat mengenyangkan “kelaparan” dan “kepahitan” mereka.
Universitas Indonesia Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
DAFTAR REFERENSI
Barker, Chris, Cultural studies: Theory and practice, London: Sage, 2000. Baudrillard, Jean, Hystericizing the Millennium, Charles Dudas (terj.), Paris: Galilee, 1992. Baudrillard, Jean, Simulacra and Simulations, Jean Baudrillard, Selected Writings, ed Mark Poster, Stanford University Press, 1998, pp.166-184. Bell, D.; Valentine, G. Consuming Geographies: We are Where We Eat, London: Routledge, 1997. Brousson, HCC Clockener, Batavia Awal Abad 20, Jakarta: Masup Jakarta, 2007. Chan Faye, Mrs Tjoa Hin Hoeij ; Profile of a Woman Writer in Late Colonial Indonesia, Archipel, Volume 42, pp. 23-27, 1991. Erll, Astrid; Nünning, Ansgar, Cultural Memory Studies: an international and interdisciplinary Handbook, Berlin: Walter de Gruyter GmbH & Co., 2008. Finlayson, James G., Habermas: A Very Short Introduction, Oxford: Oxford University Press, 2005. Gernet, Jacques, Daily Life in China on the Eve of the Mongol Invasion 12501276, Stanford: Stanford University Press, 1962. Giddens, A., Modernity and Self-Identity, Cambrige: Polity Press, 1991. ---, The Consequences of Modernity, Cambridge: Polity Press, 1990. Gramsci, Antonio. Prison Notebooks. New York : Columbia University Press, 1992. Habermas, Jurgen, Modernity: An Unfinished Project, Seyla Benhabib (terj.), Massachusetts: The MIT Press, 1997. Halbwachs, Maurice. On Collective Memory. 1925. Ed., Lewis A. Coser (terj.). Chicago: University of Chicago Publishing, 1992. Hellwig, Tineke, Scandals, Homicide, in Batavia and Indo Identity: Literary Representations of IndiesSociety, Archipel, Volume 63, pp. 153-172, 2002. Kusno, Abidin, Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif: Jakarta PascaSuharto, Lilawati Kurnia (terj.), Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2009.
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
74
Lim, Sing Meij. Ruang Sosial Baru Perempuan Tionghoa: Sebuah Kajian Pascakolonial. Jakarta: yayasan Obor Indonesia, 2009. Lohanda, Mona, Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia, Jakarta: Masup Jakarta, 2007. Lubis, Firman. Jakarta 1950-an. Jakarta: Masup Jakarta, 2008. Mackie, Jamie. Towkays and Tycoons: The Chinese in Indonesian Economic Life in the 1920s and 1980s. Indonesia, Vol. 51, The Role of the Indonesian Chinese in Shaping Modern Indonesian Life (1991) McGee, T.G. The Southeast Asian City: A Social Geography of the Primate Cities of Southeast Asia. New York: Frederick A. Praeger, 1967. Onghokham, Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa, Jakarta: Komunitas Bambu, 2009. ---, Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang, Jakarta: PDAT, 2003. Olick, Jeffrey K, From Collective Memory to the Sociology of Mnemonic Practices and Products, dalam Erll, Astrid; Nünning, Ansgar, Cultural Memory Studies: an international and interdisciplinary Handbook, Berlin: Walter de Gruyter GmbH & Co., 2008. Oetomo, Dede. “The Chinese of Indonesia and the Development of the Indonesian Language.” Paper presented at the Symposium on the Role of Indonesian Chinese in Indonesian Life, Cornell University, July 13-15, 1990. Quinn, Bradley. Chinese Style: The Art of Living. China: Octopus Publishing Group, 2002. Rush, James. “Placing the Chinese in Java on the Eve of the Twentieth Century.” Salmon, Catherine; Lombard, Denys, Klenteng Klenteng dan Masyarakat Tionghoa di Jakarta, Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2003. Silver, Christopher, Planning the Megacity: Jakarta in the Twentieth Century, Oxfordshire: Routledge, 2008. Spang, Rebecca , The Invention of the Restaurant, Boston: Harvard University Press, 1999. Tan, Mely G. "The Social and Cultural Dimensions of the Role of Ethnic Chinese in Indonesian Society.” Paper presented at the joint CCSEAS / NWRSEA Conference at the Asian Centre of the University of British Columbia, Vancouver, B.C., Canada, November 3-5, 1989.
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
75
Warde, Alan; Martens, Lydia. Eating Out: Social Differentiation, Consumption and Pleasure. Cambridge: Cambridge University Press, 2003.
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
76
Lampiran 1: Daftar Informan Wawancara
1. Nama : Uteng Usia : 54 tahun Pekerjaan : pemilik dan pengelola restoran “Fajar” Latar belakang : generasi kedua dari pendiri restoran “Fajar” Wawancara I : 17 Desember 2010, 19:30 Wawancara II : 29 Mei 2010, 19:00 2. Nama : Eileen Usia : 24 tahun Pekerjaan : karyawati Latar belakang : generasi ketiga dari pendiri restoran “Fajar” Wawancara II : 12 Desember 2009, 08:30 3. Nama : Mary Usia : 55 tahun Pekerjaan : Ibu rumah tangga Latar belakang : Bertempat tinggal di Jl. Pintu Besar Selatan, Glodok. Pelanggan restoran “Abad Baru” dan “Eka Ria”. Wawancara I : 12 Desember 2009, 08:30 Wawancara II : 15 Desember 2009, 09:00 4. Nama : Yuni (Wawa) Usia : sekitar 40 tahun Pekerjaan : pembuat dan penjual kue bacang di Glodok Latar belakang : Generasi ketiga dari pendiri restoran “Abad Baru” Wawancara : 15 Desember 2009, 09:30 5. Nama : Tjoeng Tji Wai Usia : 58 tahun Pekerjaan : Juru masak restoran “Top Yammie”, Mangga Besar. Latar belakang : Generasi kedua dari pendiri restoran “Abad Baru” Wawancara : 15 Desember 2009, 09:30 6. Nama : Tjoeng Ping Tjoen Usia : 54 tahun Pekerjaan : wiraswasta bidang grafika Latar belakang : Generasi kedua dari pendiri restoran “Abad Baru” Wawancara : 15 Desember 2009, 09:30 7. Nama : Koko Suharto Usia : 43 tahun Pekerjaan : Pemilik dan pengelola restoran “Eka Ria” Latar belakang : Generasi ketiga dari pendiri restoran “Eka Ria” Wawancara : 12 Maret 2010, 20:30
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
77
Lampiran 1: Daftar Informan Wawancara (lanjutan) 8. Nama : Lanna Usia : 54 tahun Pekerjaan : wiraswasta Latar belakang : pengunjung restoran “Eka Ria” dan “Fajar” sejak tahun 1972, pernah menyelenggarakan acara keluarga dan pernikahan di “Eka Ria” dan “Fajar”. Wawancara : 20 Desember 2009, 15:00 9. Nama : Josef Usia : 60 tahun Pekerjaan : pemilik dan juru masak kios bakmi “Nusantara” Latar belakang : orang Tionghoa penghuni Jalan Juanda (Weltevreden) sejak 1950 Wawancara : 10 Februari 2008, 13:30 10. Nama : Salima Usia : 31 tahun Pekerjaan : mahasiswa Latar belakang : pengunjung restoran “Eka Ria” Wawancara : 22 Mei 2010, 18:30
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
78
Lampiran 2: Daftar Pertanyaan Wawancara
PERTANYAAN WAWANCARA UNTUK PEMILIK DAN PENGELOLA RESTORAN 1. Sejak kapan restoran ini mulai buka? 2. Siapa nama pendiri restoran ini? 3. Di mana lokasi pertama? Bagaimana urutan perpindahannya? 4. Kapan masa keemasan restoran ini? 5. Bagaimana penataan interior dilakukan? 6. Apa menu andalan/favorit di sini? Bagaimana pengembangan menu dilakukan? 7. Bagaimana profil kebanyakan pengunjung yang datang ke restoran ini?
PERTANYAAN WAWANCARA UNTUK PENGUNJUNG RESTORAN 1. Apakah anda pernah ke restoran ini sebelumnya? Darimana anda mengetahui tentang keberadaan restoran ini? 2. Bila ya, kapan anda terakhir mengunjungi restoran ini? Apakah anda sudah sering ke sini sebelumnya? Apa yang anda ingat dari restoran ini? 3. Bila tidak, bagaimana kesan pertama anda terhadap restoran ini? 4. Bagaimana kesan anda terhadap makanan dan interior restoran ini? 5. Apakah anda berminat untuk datang ke restoran ini lagi di waktu yang akan datang?
PERTANYAAN WAWANCARA UNTUK PENGHUNI GLODOK 1. Sejak kapan anda tinggal di Glodok? 2. Bagaimana perubahan kawasan Glodok sepanjang ingatan Anda? 3. Apa yang anda ketahui mengenai restoran Cina yang ada di Glodok?
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
79
Lampiran 3: Transkripsi Wawancara Pemilik dan Pengelola Restoran “Fajar” Eve: Iya, saya ini mau bikin skripsi tentang restoran-restoran Cina yang lama. Uteng: Ya, emang sih paling lama “Fajar” paling lama, tapi dulu namanya bukan “Fajar.” Eve: Oh gitu? Namanya apa Uteng: Eee… nama Cina… Tou Iet Tjoen. Ailin: Ya itu yang di kartu nama. Uteng: Seperti yang di kartu nama itu… Tou Iet Tjoen itu artinya kalo orang Cina itu artinya seperti kita satu kampung. Eve: “Iet” itu satu gitu ya? Uteng: Tou Iet Tjoen, ya… Artinya ada… Ailin: Kampung, satu kampung. Uteng: Satu kampung lah gitu, jadi artinya satu kampung. Jadi nama Indonesianya Restoran Satu Kampung, sekampung lah gitu… Eve: Ooo, gitu… Uteng: Nah dulu ‘kan belum ada bahasa Indonesia. Eve: Yang kasih nama? Uteng: Gubernur Ali Sadikin… Eve: Kasih nama apa? Uteng: “Fajar.” Eve: Fajar? Oh gitu… Uteng: Ya, waktu tahun kalau nggak salah, enam delapan atau enam sembilan apa, saya lupa deh, pokoknya saya masih kecil banget. Eve: Oh, itu baru ganti nama Indonesia… Uteng: Ah iya. Jadi dia itu makan di “Fajar” waktu dia menjabat Gubernur DKI, dia bilang sama bapak saya, “Pak, jangan pakai nama Cina. Pakai nama Indonesia.” Bapak saya bilang, “Nama apa?” Dia bilang, “Ntar minggu depan
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
80
Lampiran 3: Transkripsi Wawancara Pemilik dan Pengelola Restoran “Fajar” (lanjutan) saya balik lagi, saya kasih nama.” [Ehm Ehm] Nah dia kasih nama “Fajar,” terus selanjutnya sampai sekarang. [Ehm] Kamu mungkin, Evelyn, belum lahir dulu. Ailin: Belum lah ya, Papi… Eve: Iya… Memudakan diri… Uteng: Saya juga dulu enam delapan baru lahir. Ailin: Nggak dong… lima delapan. Uteng: (Tertawa) Eve: Oom bisa ceritain nggak kenapa pilih namanya itu yang “Orang sekampung”? Uteng: Papa saya yang nyiptain. Artinya Tou Iet Tjoen itu “sekampung.” Sekampung lah sama orang-orang Jawa, gitu… sama orang-orang Medan sekampung [Ehm]. Eve: Sama orang Hainam… Uteng: He ehm (membenarkan) Ailin: Apa kalo orang-orang Hainam itu lebih …… ‘Ci. Kalo di Hainam itu di kotanya satu kampung orang Hainam semua. Jadi itu emang tempatnya tetep aja di perkampungan… Uteng: Nah, jadi sejarahnya “Fajar” dulu dari jaman bapak saya, bapak saya kan pelaut… ya jadi mama saya itu bikin restoran nasi Hainam. Eve: Mamanya juga dari Hainam langsung? Uteng: Nggak, mama saya lokal. Eve: Oh emang dari lahir di Jakarta? Uteng: Aaah (membenarkan). Jadi tahun empat lima bulan duabelas, tanggal duapuluh… duapuluh berapa gue lupa dah. Eve: Oh jadi berdirinya tahun empat lima… Uteng: Ya, Desember… tanggal duapuluhan deh tuh
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
81
Lampiran 3: Transkripsi Wawancara Pemilik dan Pengelola Restoran “Fajar” (lanjutan) Eve: Oh… Setelah merdeka… Ailin: Iya… Uteng: Jadi merdeka ‘kan tujuh belas Agustus… Nah, ini nggak… dulu itu tamunya masih banyak Jepang, masih banyak Belanda… Eve: Oh pas tahun empat lima itu? Uteng: Nah cuma dulu restorannya kecil banget… Eve: Di mana itu Oom? Uteng: Lokasari. Eve: Oh Lokasari. Uteng: Jadi dulu restoran saya kecil banget, segini dah… segede kamar lah. Sekamar tidur lah jaman dulu itu. Eve: Oh pas tahun empat lima itu? Uteng: Ha’ah. Nah terus, dua tahun… tahun lima delapan, baru dibesarin. Eve: Masih di Lokasari juga? Uteng: Lokasari… Jadi dulu ‘kan restoran saya kecil banget gitu… sekamar tidur gitu ‘kan. Dulu itu ‘kan ada orang Hainam datang dari Cina, dia ketemu mama saya. Jadi kalau orang jaman dulu itu kalo memanggil istri orang harus pake nama “Nco,” tahu nggak Nco? Ailin: Iya… Eve: Ah iya… Uteng: Kakak Ipar. Dan dia manggilnya kakak ipar. Jadi kalo orang Cina itu manggilnya Kakak Ipar. Misalnya saya ketemu sama Yuka. Evelyn istrinya Yuka… Saya itu harus manggil Evelyn “Kakak Ipar.” Kalo dulu itu harus begitu, menghormat. Nggak kayak sekarang tuh pakai nama-nama itu nggak sopan ‘kan. Jadi saya harus panggil istri Yuka itu “Nco”… “Nco” itu kakak ipar, gitu… Jadi dia bilang, “Nco, mau nggak Tou Iet Tjoen ini saya bikin rame. Saya masukin koran.” Tahun lima delapan tuh. Terus bapak saya bilang… eh, mama saya bilang, “Gue nggak punya duit, jangan… jangan… jangan, gue nggak punya duit.” Dia bilang, “Gue ini wartawan. Lu masuk koran gratis.” Baru masuk, meledak,
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
82
Lampiran 3: Transkripsi Wawancara Pemilik dan Pengelola Restoran “Fajar” (lanjutan) ramenya kayak setan. Gitu… Jadi dulu begitu… Eve: Jadi karena pasang iklan… Uteng: Gara-gara masuk koran… Eve: Koran apa ya? Uteng: Ya koran Cina. Dulu nggak ada itu koran Pembaruan apa Pos Kota itu nggak ada, ada koran Cina. Karena jaman dulu itu orang Cina bener-bener totok. Tahu nggak apa itu totok? Bener-bener kuno dah. Jadi jaman dulu itu orang malah nggak bisa baca Indonesia, bacanya Cina. Kalo orang Cina bacanya baca Cina. Kalo sekarang mah terbalik, orang Cina bacanya Indonesia kagak bisa baca Cina. Contohnya saya dan Ie Lin (Ailin), kagak mau belajar… Ailin: Enak aja… Uteng: Gitu, nah itu sampe sekarang… kalo sekarang kan sepi karena udah banyak saingan. Agak menurun… saya rasa karena restoran terlampau banyak. Eve: Iya Uteng: Nggak heran lah, gitu… Eve: Kalo dulu waktu buka yang kerja, yang masak… Uteng: Yang masak bapak saya sendiri. Dulu yang masak mah iya, orang-orang temen dia sekampung… Temen-temen kampung dia tuh sama-sama orang Hainam, kayak kita sama-sama orang Jawa, sama-sama orang Sunda, sama orang Batak, sama orang Menado, sama orang Kalimantan… Jadi waktu tahun lima delapan tuh bapak saya kerja kapal. Begitu restoran ramai, dia kerja kapal berhenti. Kerja kapal dia masak. Eve: Sebelumnya mamanya Oom? Waktu tahun empat lima itu yang buka mamanya dulu gitu? Uteng: Ah, iya… Cuman dia masak dulu ada koki. Nah begitu ramai, bapak saya langsung berhenti kerja. Berhenti kerja kapal nggak mau kerja kapal lagi, dia bantuin, karena restoran ramainya bukan main ‘kan. Waktu tahun segitu, di Jakarta mah restoran bisa dihitung pakai tangan. Ya ‘kan? Dulu dikit banget. Sekarang tuh, sekarang mungkin di Jakarta restoran tuh kira-kira ada duapuluh ribu apa tigapuluh ribu… di Kelapa Gading ada duapuluh dua ribu lebih. Eve: Aduh…
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
83
Lampiran 3: Transkripsi Wawancara Pemilik dan Pengelola Restoran “Fajar” (lanjutan) Yuka: Hanya di Kelapa Gading? Uteng: Hanya di Kelapa Gading. Kenapa saya bisa tahu ada dua ribu lebih karena waktu itu kapan ada yang kasih tau, dia kasih list-nya. Termasuk Food Court. Itu semua ada dua ribu lebih… Eve: Oh Food Court dihitung satu-satu kali? Uteng: Ya. Restoran yang gede, yang kecil campur. Yang di ruko-ruko… Ailin: Duapuluh dua ribu? Ya ampun… Uteng: … itu dua ribu lebih nggak termasuk kaki lima ya. Yuka: Wah kalau ditambah itu bisa… Uteng: Nah nggak termasuk kaki lima. Karena saya [aku nggak bisa nangkep ini] dia kasih tahu, Kelapa Gading itu dua ribu lebih. Yang terdaftar. Yang di kaki lima nggak terdaftar. Itu termasuk kayak di Food Court, restoran… gitu. Eve: Kalau karyawan yang kerja sini masih sama? Karyawan lama? Uteng: Aaa… gonta-ganti… kalau koki sih tetap. Koki kebanyakan lama-lama. Kalau waiter-waiter itu udah ganti. Ada yang pindah ke restoran lain, ada yang kawin… udah kawin berhenti karena dia nggak dikasih kerja sama suaminya. Eve: Dulu katanya pernah di Glodok juga? Uteng: Pernah. Glodok tahun tujuhpuluh delapan, bulan duabelas juga tuh aneh. Nah itu ramainya banget-banget. Eve: Cabang atau pindah… Uteng: Pindah. Ailin: Glodok sebelah mana? Uteng: Glodok Plaza. Eve: Oh, Glodok Plaza… Uteng: Aaah (membenarkan). Tahun tujuh delapan bulan duabelas juga tuh. Gitu. Nah terus dari Glodok Plaza buka cabang di Golden Truly sini… itu tahun
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
84
Lampiran 3: Transkripsi Wawancara Pemilik dan Pengelola Restoran “Fajar” (lanjutan) delapan enam bulan tiga tanggal tiga. Nah terus dari situ buka cabang lagi di Kebon Jeruk. Eve: Ya, Ranch Market… Uteng: Ranch Market tuh. Buka lagi di Melawai. Buka lagi di Semarang, Surabaya. Tapi di Semarang orang Jawa pelit-pelit. Eve: Oh gitu (sambil tertawa)? Ailin: (tertawa) Uteng: Nggak cocok… orang Jawa itu simpel… Si Manusia Pelit. Ailin: Panglima Polim itu kayaknya Ailin masih kecil juga ada deh… Uteng: Iya, Panglima Polim juga buka tahun delapan delapan bulan duabelas juga. Aneh deh tuh. Padahal nggak disengaja. Eve: Oh gitu, bukannya emang disengaja… Uteng: Nggak sengaja bener, semua itu nggak disengaja. Gitu… cuma waktu di Panglima Polim juga kita buka tuh berani-berani aja, nekad-nekad aja. Ini buka rahasia aja. Kita nggak punya duit buka restoran berani. Ini udah kecil kita sama sekali nggak punya modal… itu kita berani buka. Pinjem. Kalau nggak salah beli gedungnya tigaratus tujuhpuluh lima, kalau nggak salah tambah modal-modal jadi limaratus. Saya pinjem di Bank Asia Pasifik, tahu nggak? Eve: Sekarang udah nggak ada ya? Yuka: Bank Aspac? Uteng: Aspac, naaah. Jadi saya pinjem di Bank Asia Pacific dikasih tigaratus tujuhpuluh lima, beli (minjem) tiga tujuh lima, dikasih tiga tujuh lima, ‘kan aneh. Harusnya ‘kan separohnya. Karena kita kenal dikasih full. Modal kerja, bikin dapur, bikin apa itu, perabotan apa itu semuanya tuh ngutang. Semua itu utang. Dalam sebulan semua itu selesai. Ya tapi bagusnya semua itu bisa kebayar gitu. Saya juga nggak nyangka. Saya pikir kalau nggak jalan ya lu ambil aja lah itu. Ya kan, gitu ‘kan. Ternyata sih lumayan, bisa ini. Karena dulu itu saya masih muda, nggak punya pikiran. Anak-anak masih pada kecil, nekad berani. Kalau sekarang udah tua jadi takut, gitu lho. Kenapa takut? Takut nggak maju gitu lho. Kalau dulu masih muda ‘kan berani aja gitu lho. Untung-untungan, ya ‘kan? Nggak mikir, gitu.
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
85
Lampiran 3: Transkripsi Wawancara Pemilik dan Pengelola Restoran “Fajar” (lanjutan) Eve: Ini makanannya makanan apa… dulunya… Uteng: Menunya ‘kan Chinese Food, Sea Food juga ada. Campur gitu. Eve: Yang menu khas Hainam-nya? Uteng: Kayak ayam, kayak udang, perut ikan… banyak dah macem-macemnya, variasinya banyak. Kalau makanan itu satu macam semisal ayam gitu bisa dibikin sampe limapuluh macam… bisa. Limapuluh macam variasi gitu, bisa. Tergantung kita maunya diapain. Gitu. Jadi bisa diputer-puter-puter-puter, gitu namanya. Yang nggak ada di menu lu mau makan apa kita bisa bikinin. Kemauan gitu. Bisa dibikinin. Gitu. Jadi variasinya misalnya tamunya minta tambah, oh pakai ini, bisa aja gitu. Eve: Sebelum buka restoran mamanya kerja atau pernah kerja di restoran nggak? Uteng: Oh, nggak. Nggak pernah. Sama sekali nggak pernah. Dari nol itu. Eve: Jadi emang jago masak? Uteng: Nggak. Mama saya nggak demen masak. Jadi manggil koki suruh masak, orang Hainam. Eve: Oh, kokinya juga orang Hainam? Uteng: Ha’ah (mengiyakan)… dulu… Dulu koki cuma satu, pembantu satu. Karena kan sepi. Begitu ramai, kaget ya jadi banyak gitu lho. Eve: Kok tiba-tiba bisa buka restoran? Uteng: Siapa? Yuka: Mamanya Oom, kok bisa tiba-tiba buka restoran? Uteng: Karena nih bapak saya ‘kan kerja kapal, pulangnya setahun sekali. Eve: Oh kerjanya di luar? Uteng: Ah (membenarkan)… dia keliling dunia. Dia masak. Eve: Oh, bapaknya… Yuka: Koki di kapal?
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
86
Lampiran 3: Transkripsi Wawancara Pemilik dan Pengelola Restoran “Fajar” (lanjutan) Eve: Oh, kapal pesiar gitu? Uteng: Ah (membenarkan)… benar-benar kapal pesiar lho. Orang-orang kaya yang naik jaman dulu … […] … kayak Titanic gitu. Kayak Titanic jaman dulu tahun tigapuluhan empatpuluhan… dari dia masih muda gitu kerja kapal… dari umur belasan deh. Kalau boleh dibilang mah dulu kerja kapal syaratnya gampang. Asal mau kerja, gitu lho. Nggak kayak sekarang ‘kan, prosedurnya macammacam. Lulusan apa, ya ‘kan. Mesti orang pinter… Papa saya itu keliling dunia, lho. Dia ke mana bisa tahu. Akung lebih hebat dari Ilin lho. Akung itu keliling dunia, lho. Papi aja belum keliling dunia. Eve: Udah punya anak waktu buka? Uteng: Udah, udah lah… udah punya anak berapa ya? Satu… dua (sambil menghitung)… dua kalau nggak salah. Nah itu maju deh tuh… Maju banget. Karena ‘kan dulu saingan sedikit sekali ya, Evelyn. Nggak kayak sekarang ‘kan restoran di setiap pelosok mana ada ‘kan. Ya ‘kan? Eve: Ini di Lokasari restoran lain nggak? Uteng: Ha? Saya bagi satu ya? Yuka: Ya, ya silakan Oom… Eve: Di Lokasari ada restoran lain nggak? Uteng: Oh, ada. Kayak Angsa, Mamila… eh… Pen Xiang… Cuma dia orang sepi. Nggak ada tamunya. Eve: Di deket Lokasari juga atau satu kompleks? Uteng: Satu kompleks… Jadi yang gede-gede itu, ya waktu tahun enampuluhan ya… Fajar, Pen Xiang, Mamila… satu lagi apa ya? Tadi Papa bilang apa, Lin? Uteng: Nggak… Ailin: Ya itu doang… Yuka: Angsa? Uteng: Angsa! Cuma dia orang tuh sepi. Yang rame tuh mama saya. Ramai banget dah pokoknya, bener-bener ramai banget dah. Pokoknya tuh orang mau makan mesti nungguin. ‘Kan orang lain udah penuh nih, sampai Papi taro meja orang makan juga mau. Serius nggak bohong. Itu saya masih inget itu. Waktu itu
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
87
Lampiran 3: Transkripsi Wawancara Pemilik dan Pengelola Restoran “Fajar” (lanjutan) saya masih TK kalau nggak salah. Atau belum sekolah? Orang pada pesen di pinggir jalan ditaro meja orang mau. Serius nggak bohong. Eve: Berapa meja Oom? Yang di dalam… Uteng: Kalau nggak salah di dalam itu limapuluh, ya. Eve: Limapuluh meja? Ailin: Limapuluh? Uteng: Iya, limapuluh meja, gede-kecil. Eve: Wuah, gede banget ya… Uteng: Sampai penuh tuh orang makan di jalanan pada mau. Sampai bapak saya itu bikin meja terus ditaro bangku orang mau makan di situ, di jalan. Karena dulu […] memang kurang. Eve: Tiap hari ramainya? Uteng: Ya, tiap hari tanpa Sabtu Minggu siang malam. Cuma kalau siang nggak sampai keluar. Cuma malam, malam itu sampai keluar. Kalau malam doang keluar. Eve: Yang makan keluarga atau? Uteng: Keluarga, Orang Asing jaman dulu… […] Pokoknya orang bule, orang Jepang itu banyak. Yang saya ingat orang Eropa itu banyak, pada kerja di sini. […] Dulu siang tamu kita di sini ramai… Orang Korea, Singapore… banyak ncek-ncek, boss-boss gitu… kalau sekarang abis di tahun sembilantujuh… […] Apalagi di Glodok Plaza, itu kalo siang tamunya Jepang semua. Eve: Oh gitu? Tahun… Uteng: Itu tahun tujuhdelapan sampai delapanpuluh… […] Uteng: Orang Jepang itu ‘kan pada kerja di Indonesia dulu. Dulu saya inget banyak yang dari Bank Dunia, bank apa lagi ya? Banyak deh kantor-kantor di Sudirman tuh sampai ke Glodok. Dari Daiwa, Sumitomo… […] pokoknya banyak deh…
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
88
Lampiran 3: Transkripsi Wawancara Pemilik dan Pengelola Restoran “Fajar” (lanjutan) […] Uteng: Apa lagi? Eve: Ini keluarga semuanya? Uteng: Ya keluarga lah… maksudnya saya sama kakak saya gitu. Dia bagian belanja, saya bagian awas-awasin… […] Eve: Dekornya udah berapa lama… Uteng: Makanya itu, dekor ini udah terlalu lama. Saya kalau punya duit mau dekor lagi. Yuka: Memang ini tahun berapa dibuatnya? Uteng: Tahun… sembilan tiga. Eve: Belum terlalu lama dong. Uteng: Dulu ‘kan sebelum sembilan tiga di Golden Truly. Golden Truly kita dulu ngontrak. Kontraknya habis, gedungnya mau dipake Dept Store, jadi kita keluar. Pokoknya cari duit enakan dulu, lah. Kalau sekarang, orang udah terlalu banyak…
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
89
Lampiran 4: Transkripsi Wawancara Pengunjung restoran “Eka Ria”
Salima Apakah anda pernah ke restoran ini sebelumnya? Darimana anda mengetahui tentang keberadaan restoran ini? Kunjungan pertama, dengar dari teman yang sudah pernah ke sini. Bila tidak, bagaimana kesan pertama anda terhadap restoran ini? Saya merasa takjub melihat ruangan restoran yang sangat besar dan dekorasi yang sangat penuh di bagian tengah. Bagaimana kesan anda terhadap makanan dan interior restoran ini? Detail interior ruangan mengingatkan akan restoran milik keluarga saya di Surabaya, besar dan banyak bunga plastik. Karena sudah ada referensi restoran macam ini, jadi bisa mengidentifikasi Eka Ria sebagai restoran Cina. Interior cukup bagus karena masih mempertahankan interior lama, walaupun ada beberapa bagian yang tidak nyambung dengan dekorasi yang lain. Misalnya kursi kayu dengan bantalan warna salem dengan garis abu-abu. Saya secara pribadi tidak suka bunga plastik karena itu bunga palsu dan warna-warnanya norak. Menu makanannya seru! Variasi menu jarang ditemui di restoran lain. Lo Han Cai dengan biji teratai dan dessert spesial nasi manis yang harus dimasak selama 30 menit menurut saya sangat unik. Apakah anda berminat untuk datang ke restoran ini lagi di waktu yang akan datang? Tentunya
Lanna Apakah anda pernah ke restoran ini sebelumnya? Darimana anda mengetahui tentang keberadaan restoran ini? Sudah pernah, dulu sering ke Eka Ria terutama di tahun 1980an hingga 1990an bersama keluarga besar. Saya tahu restoran ini dari tante saya yang sejak dulu lahir dan besar di Jakarta. Keluarga saya sering mengadakan acara di Eka Ria, biasanya acara ulang tahun atau menjamu tamu, karena restoran ini termasuk restoran yang mewah maka cocok untuk acara keluarga yang spesial. Pernah juga ada sepupu saya yang menikah di sini. Saya sempat beberapa kali mendapat undangan pernikahan yang bertempat di Eka Ria. Bila ya, kapan anda terakhir mengunjungi restoran ini? Apakah anda sudah sering ke sini sebelumnya? Apa yang anda ingat dari restoran ini?
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
90
Terakhir ke Eka Ria saat ada undangan pernikahan dari relasi 2 tahun yang lalu. Yang diingat menu makanannya yang spesial dan dijamin enak. Burung dara goreng dan masakan haisom merupakan menunya yang terkenal. Terakhir ke restoran Fajar di Kebon Jeruk saat merayakan ulang tahun ayah saya 10 tahun yang lalu. Yang saya ingat menu spesialnya nasi hainam dengan kuah labu air, ayam rebus, dan lumpia udangnya. Bagaimana kesan anda terhadap makanan dan interior restoran ini? Interior ruangan Eka Ria cukup bagus dan terawat. Dari dulu sejak pindah ke sini ga berubah. Interior Fajar tidak ingat, rasanya biasa-biasa saja, agak gelap restorannya. Restoran Fajar juga menjadi salah satu pilihan keluarga untuk mengadakan acara. Adik saya mengadakan resepsi pernikahannya di restoran Fajar, Harmoni. Menunya cocok dengan selera keluarga. Sayang di beberapa cabang rasa dan kualitas makanannya tidak sama sehingga kini kami tidak lagi menjadi pelanggan restoran Fajar. Apakah anda berminat untuk datang ke restoran ini lagi di waktu yang akan datang? Ke Eka Ria mau, kalo Fajar mau asal udah tau bahwa makanannya masih seenak dulu, karena beberapa teman bilang sekarang makanannya sudah kurang enak. Lagipula tempatnya sulit dicapai karena macet (Harmoni).
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
91
Lampiran 5: Transkripsi Wawancara Penghuni Glodok Mary Eve: Saya tau tante Mary tinggal di Glodok tapi gatau sejak kapan dan di sebelah mananya, hari ini saya datang mau ngobrol-ngobrol sama tante soal Glodok. Mary: Saya tinggal di Glodok mulai dari lahir hingga sekarang umur 54, sebelumnya papa mama saya juga sudah tinggal di sini. Jadi saya cukup tau situasi Glodok, kalo kalian mau tanya apa kalo bisa saya kasi tau tentang Glodok. Eve: Papa mamanya tante tinggal di sini sejak kapan? Mary: Dari sejak menikah sudah 55 tahun. Dulu di sini sistem kontrak “Thiap” yang berlaku untuk berpuluh-puluh tahun. Dulu tidak seramai sekarang, tapi bentuk rumah saya tidak berubah. Dulu masih sepi, belum ada mikrolet. Papa saya lahir di Tiongkok, lalu merantau ke Jakarta. Ketemu mama saya di tempat kerja, dulu kerjaan gampang kan. Eve: Tante dulu sekolah di sini juga? Mary: Dulu sekolah di Pancoran, sebelumnya sekolah mandarin di Blandongan. Karena dulu saya WNA, jadi sekolah di sekolah Tionghoa. Trus pas kelas 5 SD jaman pak Harto ada PKI kan trus pindah ke sekolah negeri. Setelah naturalisasi jadi WNI. Tapi orang tua masih ngajarin diam-diam bahasa mandarin bisa baca tulis. Sekolahan saya sekarang udah jadi hotel Pancoran, dibeli sama orang Medan yang punya Bintang Semesta. Daerah sini banyak yang dibeli sama dia. Gang di sebelah, gang tiga, udah kena gusur. Untung di sini, gang empat belum kena gusur. Dulu pas mau digusur ganti rugi tidak sesuai, trus ada sepuluh penghuni yang protes, tapi karena geng mereka lebih besar jadi kalah juga. Pas hari terakhir setelah ada peringatan resmi rumah langsung digembok dan tidak bisa ditinggalin lagi. Sedih liatnya. Kayak waktu lagi kerusuhan. Kasian deh mereka udah habis uang banyak untuk nuntut, bayar pengacara trus kalah. Untung mereka udah sempat beli rumah di tempat lain, ada yang pindah ke Muara Karang, ke Puri (Indah). Lima enam tahun terakhir baru dibangun kamar hotel, sebelumnya disewakan sebagai tempat judi. Mereka backingannya kuat juga ada tentaratentara gitu. Daerah sini banyak yang dibeli sama dia. Terus terang saya lahir dan tinggal di sini keluar masuk 24 jam ga ada yang ganggu. Mungkin karena ini lokasi saya juga ya. Pulang jam 12malam, jam 4 pagi gapapa. Tapi kalo bukan lokasi saya, saya ga berani. Jangan kata gitu ga jauh-jauh deh ke Pasar baru juga saya ga berani. Daerah sini sih aman. Ini semua penghuni di gang ini penghuni lama 20 rumah. Tetangga dari kecil sampai gede, sampai anak cucu beli rumah di tempat lain. Kebanyakan buka toko obat di Glodok, Pancoran. Eve: Kalo yang restoran-restoran lama itu di sini yang mana? Mary: Restoran lama ya…kamu tau Eka Ria? Eve: Tau. Mary: Eka Ria punya saudara itu tetangga saya, Sin Kie Joen. Itu terkenal, boleh dibikin skripsi. Ada juga Tay Loo Thien, itu tetangga nih di sebelah. Itu kalo jaman Sukarno, kompor, kuali dibawa semua nih Sin Kie Joen. Namanya Abad Baru. Sebelum dibongkar nih.
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
92
Lampiran 5: Transkripsi Wawancara Penghuni Glodok (lanjutan)
Eve: Sekarang udah ga ada? Mary: Sekarang udah digusur gitu. Tay Loo Thien sama Sin Kie Joen jadi seberang-seberangan. Orang Konghu, masakannya enak. Itu dia punya saudara Eka Ria sama Fairy Garden. Nah mereka itu bersaudara, ada 8 atau 9 saudara. Fairy Garden sebelum di Mangga Besar itu di Pinangsia 1, namanya Ruby. Itu sekarang namanya Fairy Garden, nah itu makanannya paling enak, dia punya Sop Hisit Asparagus. Mereka ga pake koki, turun temurun masak sendiri. Tadi sempet buka di Pecenongan, rame tapi pernah ditodong jadi mereka udah cape. Kalo ada order besar mereka masih mau, sekarang sehari-hari bikin Bakcang dan Siomay. Boleh pesen kalo Kristen boleh makan ya. Ada satu lagi restoran sekarang jadi hotel Fortuna, namanya restoran Kam Leng. Kalo mau tau tentang Kam Leng harus tanya pemilik hotel Fortuna, Ncek Lie Kie Tong. Dulu sih makanannya enak juga, kalo orang pesta di Kam Leng. Kalo ga salah Kam Leng dulu es krimnya juga enak. Papa saya dulu suka bilang kalo saya sekolahnya pinter nanti dibeliin es krim di Kam Leng. Nanti kamu bisa kalo ke Eka Ria bilang kenal dari Sin Kie Joen. Eve: Kalo Siauw A Tjiap yang di dekat sini? Mary: Siauw A Tjiap juga ada dari saya masih kecil, di Pancoran nih. Siauw A Tjiap juga terkenal lho. Masakan dia dulu enak, sekarang udah kurang. Cah Wong San (masakan belut) enak. Dulu papa mama saya langganan waktu saya masih kecil. Kalo ngajak makan, yuk ke Siauw A Tjiap atau Prinsen Park yah waktu kita masih kecil. Sekarang yang pegang udah cucunya. Siauw A Tjiap itu duu nama engkongnya. Dulu pernah ganti nama “Sehati”. Pakai nama “Sehati” mungkin orang ga gitu tahu, jadi sekarang ganti lagi jadi “Siauw A Tjiap”. Dulu orang kalo pesta kawin paling deket di Kam Leng. Kalo ga di Lokasari. Wah dulu itu Lokasari restoran semua. Bioskop juga banyak, murah-murah waktu kita kecil. Itu semua sejarah saya tinggal di sini, semua orang lama. Udah pada married punya anak cucu masih ngenalin dan saling negor. Orang dulu sama-sama datang dari Tiongkok, masih saling kenal semua. Mama saya sama nenek saya suka cerita si ini dan si itu hubungannya gmana, mereka masih kenal. Kalo diomongin kenal, bukan ngaku-ngaku. Restoran Eka Ria udah lama juga, umurnya sama seperti mama saya. Sekitar 83 tahun. Mama saya yang cerita. Masih bertahan dia. Kalo ini Abad Baru udah kena gusur. Yang masih bertahan Eka Ria sama Fairy Garden. Mereka saudara kandung pendirinya sama Abad Baru juga. Eka Ria juga nanganin sendiri lho mungkin dia pakai koki sekarang. Itu asli sejarahnya dari Pancoran. Eve: Kalo Eka Ria masakannya masakan Canton juga? Mary: Masakan chinese biasa. Cuma dia memang orang Canton. Sup Hisitnya enak. Ayam gorengnya enak. Masakannya masakan chinese. Kalo yang terkenal itu yang saya bilang Abad baru, Sin Kie Joen, waktu jaman Soekarno itu 17 Agustus, semua kuali panci dan pembantunya dibawa ke situ tuh, presiden. Eve: Ke istana?
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
93
Lampiran 5: Transkripsi Wawancara Penghuni Glodok (lanjutan)
Mary: Iya. Tapi masakan dia terkenal. Rumahnya di seberang nih. Soekarno itu kalo pidato pinter yah ga kalah sama pendeta. Saya juga demen. Saya udah ngalamin berapa jaman ya. Dulu pas PKI orang tua saya kuatir saya pulang sekolah harus langsung pulang, jaman RPKAD. Tau-tau di depan sini udah ada panser. Kerusuhan 10 tahun lalu juga saya ga bisa pulang. Saya ga bisa pulang, harus ngungsi karena ga tahan asapnya. Saya jalan kaki pulang pakai topi dan celana panjang. Mulai dari hari itu kita kalo ke kantor jadi pakai celana panjang, takut diperkosa. Orang-orang pada teriak bakar bakar, pada gotong TV. Gelap banget, kita malam-malam ga berani putar radio dan TV. Takut. Setelah 98 penghuni masih pada tetap tinggal di sini, tapi memang pas habis kerusuhan kita pada ngungsi karena ga tahan asap dan debunya. Setelah itu anak saya married pas jaman Gus Dur, itupun ga berani mencolok. Tapi pas jaman Gus Dur bahasa mandarin jadi boleh lagi. Dulu pas jaman Pak Harto ga boleh lho. Ngeles aja diam-diam. Saya demennya jaman Soekarno deh. Waktu saya masih kecil papa saya juga seneng Soekarno. Eve: Apakah ada perubahan di daerah sini setelah 1998? Apakah makin sepi? Mary: Kemarin kan Gloria terbakar. Itu anak-anak parkir bilang yang punya Gloria itu si TW mau bikin mal. Kita penghuni di sini juga kuatir mungkin bisa kena gusur. Setelah 98 pemda bikin pengumuman toko harus tutup sebelum jam 6.
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
94
Lampiran 6: Milis Budaya Tionghoa yang Membahas Restoran “Jadul”
MILIS BUDAYA TIONGHOA http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/36931 diakses 2 Mei 2010, 3:19
Re: [budaya_tionghua] Resto Jadul Masih Bertahan. (Was: Tahu Makannya Doang, Jeh!) Kalau di Menteng, jaman dulu Tan Goei bukan apa-apa dibanding Jit Lok Joen. Tapi JLJ ini betul-betul ekslusif, belum tentu setahun sekali bisa makan di sana. Kalau yang tendaan, dulu tentu orang bicara tentang Pecenongan. Tenda yang ada si A Yuk favorit saya dan teman-teman, bukan karena enaknya, walau sebetulnya memang enak juga, tetapi karena cantik dan jinak-jinak merpatinya dia itu, he he he... Sekarang barangkali masih cantik, tetapi setelah 30 tahun kemudian, yaaahh... Wasalam.
----- Original Message ----From: Ophoeng To:
[email protected] Sent: Tuesday, September 30, 2008 12:51 AM Subject: [budaya_tionghua] Resto Jadul Masih Bertahan. (Was: Tahu Makannya Doang, Jeh!)
Bung ABS, Bung Fy Zhou dan TTM semuah, Hai, apakabar? Sudah makan (buka)? Terima kasih atas respon anda berdua, terutama Bung Fy Zhou yang bilang bukan minatnya terhadap makanan, tapi tetap mau urun rembug ungkapkan ttg resto jadul di Godila - Gondangdia Lama ini. Saya sangat menghargai respon anda ini, sebab walau ndak minat tapi tetep ikut bicara. Kalau boleh saya ikutan nimbrung lagi nih ya...
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
95
Saya baru tahu kalau dulu-dulunya Toeng Kwong atawa Tjahaja Kota itu berlokasi di deket bunderan Patung Tani, dan namanya dulu Kramat Bunder. Memang asyik kalau baca cerita jaman dulu, serasa kita masuk ke lorong dimensi waktu dan ruang dan tempat lama. Walau sesudahnya, saya suka merasa pusing ketika balik ke masa sekarang, tapi tetep sajah asyik sekali mengarungi waktu flash back gitu, jeh!
Trio memang enak-enak makanan-nya, menunya ya itu-itu saja. Saking seringnya anda makan di situ, bisa hapal semua menu yang 'kuno' dan khasnya. Katanya dulu Trio didirikan oleh tiga orang sahabat, saya pernah baca entah di mana. Lalu 2 orang sahabatnya menyerahkan ke yang sekarang, untuk terus dikelolanya. Tapi juga ndak jelas kenapa yang 2 tidak lagi berminat meneruskan kongsinya.
Huzaren sla dan ayam nanking, juga gohiong Trio-nya enak sekali.
Yang unik lagi, waktu seolah berhenti berputar di Trio. background musiknya masih lagu-lagu lama jaman Patty Sisters, itu kira-kira tahun 1960-an akhir ya?
Resto Trio dan Tjahaja Kota (d/h Toeng Kwong) dua-duanya bisa terima catering di tempat anda, lengkap peralatan dan orang yang melayaninya. Dengan order minimal sejumlah tertentu. Waktu saya masih ngantor di Cikini, suka pesen mereka untuk makan rame-2 di kantor bersama teman-teman termasuk para bule expat-nya.
Resto di sebelahnya yang 'bersaudara', mungkin yang Bung ABS maksud adalah Paramount ya? Agak jauh sekarang lokasinya. Menunya memang agak-agak mirip, tapi saya tetap lebih suka makan di Trio, walau panas tanpa AC, dan dikerubungi tukang ngamen dan tukang semir dan tukang majalah. Paramount banyak yang sewa untuk pes-
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
96
ta pernikahan. Tempatnya memang luas dan bertingkat plus AC.
Resto Toeng Kwong benar menunya hampir sama-sama jadul, tapi lebih ke arah Chinese food condongnya, sementara Trio lebih banyak condong ke menu 'peranakan'(?) yang ada pengaruh Belanda-nya. Harga masih lebih murah di Trio, walau sekarang Trio tidak bisa digolongkan sebagai resto dengan harga murah lagi.
Yang jadul juga, mungkin bisa disebut Tan Goei di Menteng. Atau kalau mau bergaya sederhana mirip Trio, ada satu di kawasan Senen. Masuk jalan kecil, namanya A-nam (atau Paknam, lupa lagi). Kuno banget dan menunya tidak banyak. Spesial mereka adalah pangsit masak (lupa nama persisnya). Patut dicoba punya, sebab tidak ada resto yang menyediakan menu begitu.
Siauw A Tjiap juga mungkin bisa digolongkan jadul. Spesialnya tentu saja belut cah fumak. Yang otentik kayaknya yang di Pintu Besar Selatan. Pernah buka di BSD tapi pas BSD belum berkembang, jadi sudah tutup lagi digantikan Resto Padang. Padahal sekarang BSD (sori, nyambung BSD lagi ya) banyak dikepung resto-resto di mana-mana.
Waktu Glodok Plaza belum dibangun, dulu di kawasan Pinangsia situ, yang sekarang jadi Plaza Pinangsia(?) pusat komputer itu, ada satu kedai soto ayam Kadipiro atau apa. Lokasinya di rumah-rumah gemeente yang kayaknya dulu merupakan perumahan eks Belanda (sipir?). Dekat situ tentu kudu mampir juga ke Resto Panggang Ayam Malang (mana ada ayam dipanggang merasa 'bahagia' ya?), termasuk jadul juga.
Jangan lupa Eka Ria dan Angke, juga di Kebayuran Lama ada Nico, katanya Eka Ria dan Nico itu favorit Oom Liem ya. Satu lagi di Gunungsahari, deket showroom Volvo, ada yang jual spesial sekba, kuno juga. Bagaimana Nasi Tim Baharu di Mangga Besar?
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
97
Kalau yang tendaan, saya suka kagum dengan Pinokio, masih bertahan sampai sekarang, tetap setia menjajakan ayam bakar. Sekarang mereka mangkalnya di Samanhudi, malam saja, di depan Resto Bakmi Permata. Juga di sekitar situ ada Nasi Uduk Kota Intan, Soto Kudus, dan sate + sup kambing bening (sebelah Pinokio) yang sudah ada sejak tahun 70an, bertahan terus sampai sekarang mungkin sudah generasi ke-3?
Itu saja yang saya masih ingat, barangkali ada yang bisa dan mau menambahkan? Silakan saja. Eh, barangkali ada yang tahu, kenapa Blue Ocean (BO) tutup ya? Padahal itu resto dulu kayaknya laris tuh?
Halah, kalau sudah bicara resto, saya selalu senang melanjut-lanjut, sampai suka ndak ingat ada yang ndak suka ya. Sorry, kalau ternyata tidak berkenan di hati anda ya.
Begitu ajah sih ya. Sila koreksi kalau ada yang salah, dan tolong tambahkan kalau kurang.
Salam makan enak dan sehat, Ophoeng BSD City, Tangerang --- In
[email protected], "Akhmad Bukhari Saleh"
wrote:
Restoran Trio ini, langganan saya dari kecil, unik. Sebetulnya dia sudah meningkat jadi suatu restoran mewah, yaitu yang disebelahnya. Tetapi untuk yang masih kepingin makan di resto tanpa AC dengan debu jalanan ikut masuk piring, he he he... resto yang lama masih tetap dibuka.
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
98
Menunya agak sedikit beda, tapi dua-duanya enak. Saingan Trio ini, saingan dalam arti jenis menu mirip, adalah Toeng Kong di bundaran Kramat Bunder yang sekarang tempat Patung Pak Tani. Waktu Bung Karno memasang patung tersebut di bundaran itu, resto ini pindah beberapa ratus meter ke arah Barat dan berganti nama jadi Tjahaja Kota (mempertahankan inisial "TK"-nya).
Wasalam.
Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010
99