UNIVERSITAS INDONESIA
MEMBANGUN NEGARA YANG KUAT: PEMIKIRAN POLITIK IBNU KHALDUN (1332-1406) DAN NICCOLO MACHIAVELLI (1467-1527)
TESIS
Oleh: ABDUL MUTA’ALI 0806438793 Diajukan sebagai salah satu persyaratan memperoleh Gelar Magister Sains (M.Si) dalam Ilmu Politik
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK PROGRAM PASCASARJANA ILMU POLITIK JAKARTA JULI 2011 Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
Tesis ini dipersembahan teruntuk orang-orang special:
Ummi, Nunung Aslamiyah;
Puluhan tahun bekerja keras sekaligus bertindak sebagai ayah, membanting tulang demi kebahagiaan putranya. Beliaulah orang yang paling berhak disematkan prestasi atas tesis ini dan anugerah Tuhan di suatu hari kelak. Semoga Allah SWT menjamunya berwukuf di Padang Arafah.
Hj. Rinrin Rihayati, S.Sos;
Isteri santun nan salehah, penyejuk hati dengan syair-syair cinta kelembutan, pembela di saat orang lain menyudutkan, pelindung di saat orang lain menjatuhkan, penentram di saat orang lain menghinakan.
Putriku, Rifka Tsarwatul Ghina
Dialah spirit asa menggapai Sidratul Muntaha. Perekat cinta tatkala amarah mendominasi dunia. Senyuman dan candanya, sanggup melupakan sejenak kebengisan tentara Israel terhadap pahlawan kemanusiaan di Jalur Gaza.
Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, Dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk Telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Abdul Muta’ali
NPM
: 0806438793
Tanda Tangan : Tanggal
: Selasa, 5 Juli 2011
ii Muta'Ali,FISIPUI,2011 Membangun negara...,Abdul
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh: Nama : Abdul Muta’ali NPM : 0806438793 Program Studi : Ilmu Politik Judul Tesis : Membangun Negara yang Kuat: Pemikiran Politik Ibnu Khaldun (1332-1406) dan Niccolo Machiavelli (1467-1527)
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Sains (M.Si) pada Program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. DEWAN PENGUJI
Pembimbing : Prof. Ahmad Suhelmi, MA., Ph.D.
( …….………….………….)
Penguji
: Prof. Dr. Maswadi Rauf, MA.
( …………………………...)
Penguji
: Dr. Valina Singka Subekti, M.Si.
( …………………………...)
Penguji
: Nurul Nurhandjati, S.IP., M.Si.
( …………………………...)
Ditetapkan di : Jakarta Tanggal
: 9 Mei 2011
iii Muta'Ali,FISIPUI,2011 Membangun negara...,Abdul
KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah SWT, atas perkenan-Nya tesis ini dapat selesai di saat injury time batas waktu studi Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI. Shalawat dan salam teruntuk Nabi Muhammad saw, nabi akhir zaman. Tak terbayangkan tesis yang membahas tema pemikiran politik dua tokoh besar; Ibnu Khaldun (1332-1406) dan Niccolo Machiavelli (1467-1527) dapat selesai dengan kesimpulan dan hasil akhir akademik –yang menurut saya- sangat luar biasa. Luar biasa bukan karena penulisnya, melainkan bimbingan dan arahan Prof. Ahmad Suhelmi, MA., Ph.D. selaku pembimbing tesis ini dan dorongan do’a ibu tercinta, Nunung Aslamiyah yang berdo’a di setiap tahajudnya agar anaknya menjadi pemimpin besar di Republik ini. Juga isteri setia, Hj. Rinrin Rihayati, S.Sos. yang mendambakan suaminya menjadi seorang pemikir besar, putriku, Rifka Tsarwatul Ghina yang bermimpi dapat tinggal di istana negara, dan do’a-do’a orang tercinta. Prof. Ahmad Suhelmi memiliki tempat khusus dalam tesis ini. Hampir seluruh literature tentang Machiavelli dan Renaissance, saya peroleh dari perpustakaan pribadi beliau. Bahkan buku-buku pemikiran politik klasik seperti Politics and Morals karya Benedodetto Croce, Great Political Thinkers: Plato to the Present karya William Ebenstein, History of Renaissance terbitan tahun 1920 dan buku-buku politik klasik lainnya saya dapatkan dari perpustakaan beliau. Kondisi kesehatannya sama sekali tidak menghalangi dialog-dialog kritis sepanjang penelitian tesis ini. Semoga Prof. Suhelmi, Allah SWT pulihkan ksehatannya sehingga dapat menghasilkan karya-karya politik spektakuler lainnya. Tak lupa ucapan terimakasih dan hormat kepada Prof. Dr. Maswadi Rauf yang meluangkan waktu sebagai pembaca ahli sekaligus penguji.
Dr. Valina Singka
Subekti, M.Si. dan Ibu Nurul Nurhandjati, S.IP., M.Si. ketua dan sekretaris Program Pascasarjana Ilmu Politik UI sekaligus penguji tesis. Saya ucapkan terimakasih juga untuk staff pustakawan Mirim Budiardjo Center FISIP UI dan Perpustakaan Pusat UI atas fasilitas kemudahan yang telah diberikan. Tak kurang dari itu, saya ucapkan beribu terimakasih kepada teman-teman sejawat di Program Studi Arab UI atas dukungan dan motivasinya. Teruntuk Dr.
iv Muta'Ali,FISIPUI,2011 Membangun negara...,Abdul
Muhammad Luthfi Zuhdi –Atase Pendidikan KBRI Riyadh-, Dr. Afdol Tharik Wastono –Ketua Program Studi Arab UI, Juhdi Syarif, M.Hum. Dr. Apipuddin – semoga lekas sembuh-, Pak Minal, Suranta, M.Hum, Dr. Fauzan Muslim, Dr. Maman Lesmana, Dr. Basuni Imamuddin –Kepala Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam UI-, Yon Machmudi, Ph.D, Wiwin Triwinarti, MA, Pak Aselih, Ibu Siti Rohmah S, M.Hum, Letmeros, M.Hum, Ibu Ade Solihat, MA. Tak lupa kepada rekan-rekan seangkatan 2008 di Ilmu Politik UI semoga kalian juga cepat selesai. Tesis ini sudah barang tentu memiliki banyak kelemahan dan kekurangan bahkan tidak menutup kemungkinan adanya kesalahan. Kritik konstruktif sangat diharapkan guna manfaat keilmiahan tesis ini yang lebih besar.
Jakarta, Juni 2011
Abdul Muta’ali
v Muta'Ali,FISIPUI,2011 Membangun negara...,Abdul
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPERLUAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Abdul Muta’ali
NPM
: 0806438793
Program Studi : Ilmu Politik Departemen
: Ilmu Politik
Fakultas
: Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jenis Karya
: Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk menghibahkan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: “Membangun Negara yang Kuat: Pemikiran Politik Ibnu Khaldun (13321406) dan Niccolo Machiavelli (1467-1527)” Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif
ini,
Universitas
Indonesia
berhak
menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di
: Jakarta
Pada tanggal
: 5 Juli 2011
Yang menyatakan
: Abdul Muta’ali
(……………………………)
vi Muta'Ali,FISIPUI,2011 Membangun negara...,Abdul
ABSTRAK Nama : ABDUL MUTA’ALI Program Studi : Ilmu Politik Judul : Membangun Negara yang Kuat: Pemikiran Politik Ibnu Khaldun (1332-1406) dan Niccolo Machiavelli (1467-1527) (Rincian isi Tesis: xi + 144 halaman + 3 tabel + 100 buku) Penelitian ini dilatarbelakangi oleh upaya mencari jawaban mengenai sejarah yang mempengaruhi awal berdirinya sebuah negara dan faktor-faktor apa sajakah yang menjadi pondasi untuk membangun negara yang kuat dalam perspektif Ibnu Khaldun ((1332-1406) dan Niccolo Machiavelli (1467-1527). Sebagai landasan teoritis, penelitian ini menggunakan teori nasionalisme dari Stevan Grosby. Dalam teori ini Grosby mengatakan, bahwa negara akan kuat jika tipologi pemerintahan yang dianut adalah tipologi monarki. Teori Grosby ini digunakan sebagai alat analisa untuk memahami empat faktor utama bangunan negara yang kuat menurut pandangan Ibnu Khaldun dan Niccolo Machiavelli. Ada kecenderungan negara-negara transisi menuju demokrasi sulit meraih keadilan dan kesejahteraan dengan menerapkan sistem Republik. Tidak sedikit kalangan di antaranya Stevan Grosby yang berpandangan bahwa Monarki system yang cocok untuk membangun negara yang kuat. Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah metode kualitatif. Temuan data didapatkan melalui pendekatan studi kepustakaan atau library research dengan membaca, memahami, menganalisa dan menginterpretasi data-data berupa pemikiran politik negara Ibnu Khaldun yang termuat dalam karya-karyanya seperti Muqaddimah, Al-I’bar, Ta’rif bi Ibn Khaldun wa Rihlatuhu Gharban wa Syarqan serta pemikiran politik Niccolo Machiavelli yang termuat dalam The Prince, Discourse, dan The Art of War. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan sejarah awal berdirinya negara dengan pertimbangan Ashabiyah-nya Ibnu Khaldun dan nasionalismenya Niccolo Machiavelli serta menganalisa faktor-faktor utama tentang membangun negara yang kuat dari kedua tokoh tersebut. Hasil penelitian menemukan adanya kesamaan pandangan baik Khaldun maupun Machiavelli mengenai empat faktor tersebut yaitu peran agama, pemimpin yang kuat, angkatan perang sendiri bukan bayaran dan ekspansi militer. Walaupun kesamaan empat faktor ini tidak terlepas dari variasi sudut pandang dan interpretasi yang sedikit berbeda. Implikasi teoritis menunjukkan bahwa pandangan Khaldun dan Machiavelli tentang empat faktor utama negara yang kuat jauh melampaui gagasan nasionalisme Stevan Grosby yang mengatakan bahwa monarki merupakan tipologi utama agar terbangunnya negara yang kuat. Kata kunci: Ashabiyah, , nasionalisme, negara yang kuat, monarki.
viiMuta'Ali,FISIPUI,2011 Membangun negara...,Abdul
ABSTRACT Name
: ABDUL MUTA'ALI
Study Program : Political Science Title
: Building a Strong State: Political Thought of Ibn Khaldun (1332-1406) and Niccolo Machiavelli (1467-1527)
[Details of the contents of the thesis: xi + 144 pages + 3 tables + 100 books] This research aims to seek answers about the history that influences the establishment of a state and what are the factors that serve as a foundation to build a strong country in the perspective of Ibn Khaldun and Niccolo Machiavelli. As a theoretical foundation, this study uses the state-building theory of Francis Fukuyama on the scope and strength (capacity or power). Two theories of Francis Fukuyama are used as a tool of analysis to understand the four main factors of building a strong country in the view of Ibn Khaldun and Niccolo Machiavelli. Another theory used is the theory of nationalism from Stevan Grosby. In this theory Grosby said that the country will be strong if it is adopted the monarchy typology of government. The research method used in this thesis is a qualitative method. The findings of research obtained through library research by reading, understanding, analyzing and interpreting the political thought of Ibn Khaldun about the state contained in his works such as Muqaddimah, Al-I'bar, Ta'rif bi Ibn Khaldun wa Rihlatuhu Gharban wa Syarqan and the political thought of Niccolo Machiavelli contained in his books such as The Prince, Discourse, and The Art of War. The purpose of this study is to describe the early history of the founding of the state by considering the Ibn Khaldun’s concept of Ashabiyah and the nationalism of Niccolo Machiavelli as well as to analyze the main factors in building a strong state according to two great figures. The research finds that there are common views of both Khaldun and Machiavelli on four main factors namely the role of religion, a strong leader, army and military expansion. Nonetheless these four factors can not be separated from different views and interpretation in understanding the concept. The theoretical implication indicates that state-building theory of Francis Fukuyama about the strength (capacity or power) fits with three of the four main factors of a strong country, namely the role of religion, a strong leader, and army offered by Khaldun and Machiavelli. Meanwhile, the second theory, the scope, is likely similar to the theory of two figures on the military expansion. While the theory of nationalism from Stevan Grosby saying that the monarchy is most suitable for establishment of a strong state, appears not to touch the core of Khaldun and Machiavelli's views on four main factors of a strong state. Keywords: Ashabiyah, state-building, nationalism, and strong state
viii Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………... i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ………………………….……… ii HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………………….. iii KATA PENGANTAR ……………………………………………………………. iv HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI …………………... v ABSTRAK ………………………………………………………………...……… vii ABSTRACT …………………………………………………………………….… viii DAFTAR ISI ……………………………………………………………………...... ix DAFTAR TABEL ………………………………………………………………..... xi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah …………………………………………………..……. 1 1.2 Masalah Penelitian ……………………………………………………...…….... 4 1.3 Kajian Literatur ………………………………………………………………… 8 1.4 Tujuan Penelitian …………………………………………………………..…. 14 1.5 Kerangka Teori ……………………………………………………..…………. 14 1.6 Metode Penelitian ………………………………………………...…………… 20 1.6.1 Tipe Penelitian ……………………………………...…………….. 20 1.6.2 Teknik Pengumpulan data ……………...………………………. .. 20 1.6.3 Tahapan Penelitian …………………………….………………….. 21 1.7 Sistematika Penulisan …………………………………..……………………. 22 BAB 2 LATAR BELAKANG SOSIAL, PENDIDIKAN, DAN POLITIK IBNU KHALDUN (1332-1406) DAN NICCOLO MACHIAVELLI (1467-1527) 2.1 LATAR BELAKANG SOSIAL, PENDIDIKAN, DAN POLITIK IBNU KHALDUN (1332-1406) ……………………………...……………………..... 24 2.1.1. Kehancuran Pemerintahan Abbasiyah ...……………………...…….. 24 2.1.2 Riwayat Pendidikan Ibnu Khaldun ……...……………………….. … 29 2.1.3 Situasi Sosial Politik Maroko, Al-Jazair, Tunisia, dan Mesir .............. 34 2.1.4 Ibnu Khaldun Seorang Birokrat, Politikus, dan Penulis ............... ...... 35 2.2 LATAR BELAKANG SOSIAL, PENDIDIKAN, DAN POLITIK NICCOLO MACHIAVELLI (1467-1527) ..……………………………….……………….. 42 2.2.1 Pengaruh Renaisans Italia dan Reformasi Agama di Eropa Terhadap Pemikiran Machiavelli .................................................................................. 42 2.2.2 Riwayat Pendidikan Machiavelli ………………………….………… 46 2.2.3 Kondisi Sosial Politik Italia ................................................................. 47 2.2.4 Machiavelli Seorang Diplomat, Politikus, dan Penulis ....................... 51 BAB 3 PEMIKIRAN IBNU KHALDUN (1332-1406) DAN NICCOLO MACHIAVELLI (1467-1527) TENTANG NEGARA 3.1 Pemikiran Ibnu Khaldun Tentang Negara ……………..……………… 58 3.1.1 Peran Ashabiyah tentang Asal Mula Lahirnya Negara ............ 58 3.1.2 Perkembangan Negara ………………………………………. 73 ix Muta'Ali,FISIPUI,2011 Membangun negara...,Abdul
3.3 Tipologi Negara ……………………………………………….. 3.2 Pemikiran Niccolo Machiavelli Tentang Negara ……………………... 3.2.1 Peran Nasionalisme dalam pembentukan negara …………… 3.2.2 Perkembangan Negara …………………………………........ 3.2.3 Tipologi Negara ……………………………………………. .
76 82 82 88 89
BAB 4 PEMIKIRAN IBNU KHALDUN DAN NICCOLO MACHIAVELLI TENTANG MEMBANGUN NEGARA YANG KUAT 4.1 Peran Agama …………………………………………………...……... 95 4.2 Pemimpin yang Kuat ………………………………………....……… 101 4.3 Angkatan Perang ……………………………………….………...…... 115 4.4 Ekspansi Militer ……………………………………..……………….. 124 BAB 5 PENUTUP 5.1 Kesimpulan ………………………………………...…………...……. 132 5.2 Implikasi Teoritis ………………………………..…………………… 137 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………… 140
x Muta'Ali,FISIPUI,2011 Membangun negara...,Abdul
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Tabel 1: Komparasi Pemikiran Ibnu Khaldun dan Niccolo Machiavelli …..
6
2. Tabel 2: Taksonomi Realisme …………………………….......................... 90 3. Tabel 3: Angkatan Perang pada Masa Rasulullah saw ………………….... 116
xi Muta'Ali,FISIPUI,2011 Membangun negara...,Abdul
1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Tesis ini meneliti pemikiran dua tokoh terkemuka dari dua dunia yang berbeda, yaitu Ibnu Khaldun, pemikir politik dunia Islam dan Niccolo Machiavelli, pemikir politik Barat. Meskipun dari dunia “yang berbeda” dan hidup tidak sezaman, pemikiran-pemikiran diantara keduanya memiliki banyak kesamaan, diantaranya adalah pemikiran keduanya mengenai negara, bagaimana negara tumbuh dan berkembang dan menjadi negara yang kuat. 1 Ibnu Khaldun adalah seorang pemikir sosial dan politik yang hasil observasinya terhadap situasi-situasi social politik di zamannya telah menghasilkan sebuah magnum opus, Muqaddimah. 2 Karya ini adalah karya besar yang berisi gagasan-gagasan original dan jenius yang hingga sekarang masih dirasakan relevan untuk memahami perkembangan social politik dunia modern. Namun sangat disayangkan, karya ini dirasakan belum memperoleh perhatian yang cukup dari kalangan sarjana muslim maupun Barat. 3 Berbeda dengan para pemikir Muslim
1
2
3
Saya agak kecewa ketika nama-nama besar yang paling berpengaruh di dunia yang dituangkan Michael H. Hart dalam Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah tidak dimasukkannya nama Ibnu Khaldun diantara seratus tokoh orang tersebut. Hart hanya memasukkan Niccolo Machiavelli pada urutan ke 88. Padahal kontribusi pemikiran Ibnu Khaldun sangat besar dalam tema-tema sosial politik, ekonomi, dan sejarah. Lihat Michael H. Hart dalam Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah, Terjemahan Mahbub Effendy (Jakarta: Pustaka Jaya, 1997), hal. 443-447. Saya juga agak kecewa ketika nama Ibnu Khaldun dalam Islamic Political Thought tidak termasuk daftar pemikir social politik muslim yang banyak memberikan kontribusi pada peradaban dunia khususnya Arab dan Eropa. Buku tersebut hanya mencantumkan nama Muhammad Iqbal, Jalal al-Din Dawwani, Al-Mawardi, Al-Farabi, Sara’i Laskar Khan, dan Ibnu Sina. Lihat Mohammad Taher (editor) Islamic Political Thought (New Delhi, Anmol Publications, 1998), hal. v-vi. Kalangan sarjana muslim nampaknya lebih tertarik untuk melakukan kajian-kajian fikih daripada meneliti gagasan-gagasan jenius Ibnu Khaldun. Lihat Antony Black, Pemikiran Politik Islam, Terjemahan The History of Islamic Political Thought: From the Prophet to the Present, pent. Abdullah Ali & Mariana Ariestyawati (Jakarta: Serambi, 2006), hal. 307.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
2 lainnya yang sering terjebak pada sektarianisme, Khaldun justru menunjukkan sikapnya yang objektif. Ia tidak terjebak pada Sunni-isme maupun Syiah-isme. 4 Khaldun juga berbeda dengan para pemikir sezamannya yang menggunakan pendekatan-pendekatan normatif dalam memahami realitas sosial politik yang menyebabkan hasil pengamatan mereka juga bersifat normatif. Khaldun mempelopori metode empiris dan rasional dalam metodologi penelitiannya. Metodologinya adalah metodologi yang berpijak pada kenyataan-kenyataan empiris, bukan pada dunia normatif. Ini adalah sumbangan terpenting Khaldun bagi pengembangan ilmu-ilmu sosial. Menurut Abd al-Rahman Badawi dalam hasil risetnya yang dituangkan dalam Mu’allafat Ibn Khaldun, 5 yang diprakarsai oleh Pusat Riset Sosial dan Kriminal Mesir, jumlah kajian tentang Ibnu Khaldun, baik dalam bentuk buku, makalah, maupun disertasi, ada sebanyak 276 kajian. 61 kajian diantaranya berbahasa Arab, sementara yang lainnya dalam berbagai bahasa asing. Ini membuktikan bahwa kajiankajian atau studi tentang Ibnu Khaldun yang dilakukan oleh orang-orang Barat lebih besar dan gencar ketimbang yang dilakukan oleh orang Arab bahkan orang muslim sendiri. Baratlah yang menemukan kembali Ibnu Khaldun pada zaman modern ini. Di sisi lain, Machiavelli sebagai tokoh yang berperan dalam masa Renaisans 6 juga telah menghasilkan magnum opus, The Prince yang menurut para sarjana berisi
4
Menurut Syafi’i Ma’arif, yang membuat nama Ibn Khaldun bersinar terang kembali, antara lain adalah para orientalis di Barat yang membongkar “lumbung” intelektual Islam yang kaya sekali ini. Namun sayang tak seluruhnya disadari oleh kalangan Islam. Franz Rosenthal adalah orientalis pertama yang membuat perhatian terhadap sarjana Islam yang hidup di abad ke-14 ini lewat terjemahannya atas Mukaddimah, sehingga Ibnu Khaldun bangkit kembali. Rintisan Rosenthal diteruskan oleh sarjana Muslim asal Irak yang lama mengajar di Universitas Chicago, kemudian diteruskan di Universitas Harvard, Prof. Muhsin Mahdi, melalui kajiannya atas filsafat sejarah Ibn Khaldun. Prof. Mahdi baru meninggal bulan Juli, 2007 dalam usia 81. Minat Prof. Mahdi atas pemikiran Ibnu Khaldun, antara lain diilhami oleh gurunya di Universitas Chicago, Leo Strauss, seorang filsuf dan sarjana besar Yahudi asal Jerman yang juga dikenal karena penelitiannya atas Al-Farabi. Lihat Ahmad Syafi’i Ma’arif, Ibnu Khaldun Dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hal. 27. 5 Mu’allafat Ibnu Khaldun artinya Karya-karya Ibnu Khaldun. 6 Lord Acton, Renaissance to Revolution (New York: Schocken Books, 1961), hal. 80.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
3 gagasan-gagasan
yang
mengawali
gagasan
pembentukan
negara
modern. 7
Sumbangan Machiavelli dalam pemikiran negara modern adalah bahwa kekuasaan negara harus mengatasi segala kekuasaan yang ada, kekuasaan itu secara moral bersifat netral. Menurut Machiavelli, negara yang memiliki kekuasaan yang besar itu digunakan oleh mereka yang mengendalikan negara untuk mencapai tujuan apa pun yang nampaknya baik bagi mereka. 8 Machiavelli hidup pada abad 15-16 tepatnya pada tahun 1467-1527 dalam lingkungan Italia yang terpecah belah. Italia ketika berada dalam situasi disintegrasi. Di lingkungan dalam negeri, ia berada di tengah masyarakat yang hidup individualis, penuh saling curiga dan konspirasi jahat. Dalam lingkungan internasional, Florence, tempat hidupnya berada dalam ancaman terus menerus diekspansi oleh negara lain terutama dari dua negara besar; Perancis dan Spanyol. 9 Machiavelli merindukan negara Italia yang kuat dan bersatu 10. Dan hal itu hanya dimungkinkan bila Italia memiliki angkatan bersenjata yang kuat dan rakyatnya memiliki rasa nasionalisme yang kokoh. 11 Sedangkan Ibnu Khaldun hidup pada pemerintahan di bawah beberapa pemimpin kecil di Maroko dan Granada. Pemerintahan rapuh di mana beliau hidup menjadikannya sering berpindah-pindah. 12 Ibnu Khaldun memiliki perhatian besar kepada negaranya. Granada, seperti halnya Machiavelli kepada Florence, agar 7
Pandangan di atas, nampak pada tulisannya Chilcote. Namun pandangan Chilcote ini berbeda dengan Sabine. Sabine mengatakan “Karangan-karangan Machiavelli tentang politik kurang dapat digolongkan dalam teori-teori politik, melainkan lebih tepat dimasukkan dalam tulisan-tulisan diplomatik, yang untuk sebagian besarnya dihasilkan oleh pujangga-pujangga Itali seangkatannya (lihat G.H.Sabine, A History of Political Theory; Terjemahan Soewarno Hadiatmodjo (Jakarta: Binacipta, 1981), jilid 2, hal.8). 8 Ronald H. Chilcote, Theories of Comparative Political Economy (Oxford: Westview Press, 1980), hal. 134. 9 Martin van Creveld, The Rise and Decline of The State (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), hal. 164-175. 10 Menurut Machiavelli, para penguasa yang pantas sebagai panutan antara lain adalah Raja Spanyol Ferdinand, Paus Julius II, dan utamanya Cesare Borgia, dan pangeran Valentino (Niccolo Machiavelli, Sekapur Sirih Politik Kekuasaan; Terjemahan Bergambar (Jakarta: KPG, 1997), hal. v. 11 G.H.Sabine, Ibid, hal. 12. 12 Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History (London: Allen & Unwin, 1957), hal. 55.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
4 menjadi negara yang kuat dan bersatu baik di dalam negeri sendiri maupun di antara negara kota Maroko dan Italia. Persatuan antara masyarakat, elite, dan pimpinan pemerintahan, kesejahteraan rakyat, dan keamanan hanya akan tercipta bila negaranya kuat. Faktor-faktor inilah yang mendorong Ibnu Khaldun berfikir tentang bagaimana membangun negara yang kuat.
1.2 MASALAH PENELITIAN Penelitian tentang pemikiran politik Ibnu Khaldun bukan merupakan penelitian yang baru. Karena memang tokoh ini sangat popular dan kaya dengan gagasan politik yang brilian. Bahkan, sejumlah pemikir Barat seperti Gumplowiez, S. Colosio, Vard dan N. Sachmidt menyimpulkan, bahwa sebelum August Comte dan bahkan sebelum Vico yang dinyatakan oleh orang-orang Italia sebagai ilmuan pertama dari Eropa yang telah membangun sosiologi, telah datang seorang Ibnu Khaldun yang telah mempelajari gejala-gejala social dengan akalnya yang cemerlang. Apa yang ditulis itulah kini kita sebut sebagai sosiologi. 13 Ronald H. Chilcote memandang Machiavelli sebagai tokoh yang mengawali pemikiran mengenai negara modern. 14 Sumbangan Machiavelli dalam pemikiran negara modern adalah bahwa kekuasaan negara harus mengatasi segala kekuasaan yang ada, kekuasaan itu secara moral bersifat netral. Menurut Machiavelli, negara yang memiliki kekuasaan yang besar itu digunakan oleh mereka yang mengendalikan negara untuk mencapai tujuan apa pun yang nampaknya baik bagi mereka. 15
13
Dari beberapa referensi, diantaranya Nathele Schmid, Ibnu Khaldun History, Sociologist, and Philosopher (New York, 1939), hal. 9 14 Pandangan Chilcote ini berbeda dengan Sabine. Ia mengatakan “Karangan-karangan Machiavelli tentang politik kurang dapat digolongkan dalam teori-teori politik, melainkan lebih tepat dimasukkan dalam tulisan-tulisan diplomatik, yang untuk sebagian besarnya dihasilkan oleh pujangga-pujangga Itali seangkatannya (lihat G.H.Sabine, A History of Political Thoery; Terjemahan Soewarno Hadiatmodjo (Jakarta: Binacipta, 1981), jilid 2, hal.8). 15 Ronald H. Chilcote, Theories of Comparative Political Economy (Oxford: Westview Press, 1980), hal. 134.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
5 Bila menilik pandangan Machiavelli tentang negara dan kekuasaan yang termuat dalam tulisannya, The Prince nampak banyak ditemukan kesamaan dengan konsep negaranya Ibnu Khaldun yang termuat dalam Muqaddimah. Konsepnya mengenai nasionalisme atau upaya pemersatuan negara kota Italia mirip dengan konsep Ashobiyah-nya Ibnu Khaldun yang mengatakan bahwa negara yang kuat dimulai dari solidaritas kelompok yang kuat pula. Tujuan akhir dari Ashobiyyah adalah kedaulatan. 16 Menurut Machiavelli keberadaan angkatan perang yang kuat sebagai suatu keharusan yang dimiliki negara. Angkatan bersenjata menurutnya merupakan basis penting seorang penguasa negara. Negara yang tidak memiliki tentara sendiri akan mudah goyah dan mudah diruntuhkan. 17 Konsep ini mirip dengan konsepnya Ibnu Khaldun tentang ‘Askar Sya’biyah atau tentara rakyat atau tentara sendiri. 18 Pemikiran politik Machiavelli tentang penguasa yang kuat, mirip dengan konsep syarat pemimpin yang ditawarkan Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah yaitu pemimpin yang kuat walaupun tidak begitu baik, lebih didahulukan daripada pemimpin yang baik tapi lemah. 19 Konsep negara Machiavelli yang lainnya, tentang bentuk negara monarki, juga mirip dengan konsep mamlakah-nya Ibnu Khaldun. 20 Pandangan Ibnu Khaldun mengenai Mamlakah atau negara monarki ini bukan berarti menunjukkan bahwa bentuk negara yang direkomendasikan Islam adalah monarki. Islam tidak secara khusus mengajarkan soal bentuk negara. Masalah keadilan, kejujuran, ikhlas, amanah, dan berbagai nilai lain terletak pada sikap dan sifat pemerintahan, bukan pada bentuk negara. 21 Machiavelli sangat yakin, bahwa
16
Ibnu Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar El-Fikri, 1985), hal. 163. Lihat Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), hal. 135. 18 Lihat Ibid, Ibnu Khaldun, hal. 139-140. 19 Ibid, Ibnu Khaldun, hal. 194. 20 Ibid, hal. 191. 21 Deliar Noer, Islam dan Politik (Jakarta: Yayasan Risalah, 2003), hal. 125. 17
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
6 yang bisa mengatasi masyarakat yang korup adalah adanya sebuah negara dengan sistem kerajaan absolut yang dapat memaksa setiap orang untuk taat kepada hukum. 22 Konsep ekspansi militer Machiavelli pun mirip dengan Ibnu Khaldun. Menurut Ibnu Khaldun, apabila suatu bangsa liar, kedaulatannya akan sangat luas. Karena bangsa yang demikian lebih mampu memperoleh kekuasaan dan mengadakan kontrol secara penuh dalam menaklukan golongan lain. 23 Masih banyak lagi konsepkonsep negara dari kedua tokoh terkemuka ini yang memiliki banyak kesamaan walaupun dalam persamaan ini terdapat sisi-sisi bedanya. Pemikiran dan pandangan yang kontras dari kedua tokoh ini adalah konsep mereka tentang moralitas. Menurut Mavhiavelli, moral akan dijunjung tinggi sejauh hal itu mendukung kekuasaan, namun jika moral tersebut justru akan menghalangi kuatnya kekuasaan negara tak perlu diindahkan. Hal ini berbeda dengan konsepnya Ibnu Khaldun tentang ‘siyasah diniyyah’ atau politik berlandaskan nilai-nilai agama. 24 Tabel 1: Komparasi pemikiran Ibnu Khaldun dan Niccolo Machiavelli secara umum No. Tema Pemikiran Ibnu Khaldun Machiavelli 1 2
Sifat Pemikiran Tujuan Penulisan Karya
Realis-empiris Muqaddimah ditulis agar Khaldun diangkat kembali menjadi hakim kekuasaan Ali Hasan
3
Nasionalisme
Persatuan berakar dari ashabiyah atau solidaritas kelompok 26
4
Peran Agama
Agama sangat penting untuk memperkokoh interpretasi ashabiyah yang lebih luas 27
Realis-empiris The Prince ditulis dengan harapan Machiavelli diangkat kembali oleh Giovanni de Medici menjadi penasehat istana 25 Persatuan negara Italia, bahkan pikiran-pikiran dalam The Prince sebetulnya dalam rangka persatuan negara Agama penting selama memperkokoh kekuasaan 28
22
G.H. Sabine, A History of Political Thoery; Terjemahan Soewarno Hadiatmodjo (Jakarta: Binacipta, 1981), hal. 12. 23 Ibid, hal. 145. 24 Lihat Ibid, Ibnu Khaldun, hal. 191. 25 Pax Benedanto (penyadur), Politik Kekuasaan Menurut Niccolo Machiavelli (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 1997), hal. 30. 26 Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hal.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
7 5
Angkatan Perang
Negara harus memiliki tentara perang sendiri dengan memperhatikan ashabiyah yang dominan dan sesuai dengan karakter perang 29 Pemimpin yang fasiq tapi kuat lebih didahulukan untuk dipilih ketimbang pemimpin saleh namun lemah 31
6
Karakter Penguasa
7
Ekspansi Militer
Bangsa jika ingin besar harus melakukan ekspansi militer 33
8
Moralitas
Menerima idealisme (idealism) dan realisme (realism) 34
Negara harus memiliki tentara rakyat bukan tentara bayaran 30 Negara akan kokoh bila penguasanya kuat. Karena itu penguasa tidak cukup berani dan cerdas, tapi juga harus berwatak seperti Singa dan Rubah 32 Ekspansi militer dilakukan sebagai upaya untuk melindungi dan menjaga wilayah kekuasaan Menolak idealisme demi realisme 35
Berdasarkan paparan latar belakang pemikiran dan gagasan-gagasan kedua pemikir politik di atas, penelitian ini mencoba untuk mengajukan pertanyaanpertanyaan penelitian berikut ini: 1. Bagaimana pandangan Ibnu Khaldun dan Machiavelli tentang awal berdirinya suatu negara, peran semangat ashobiyyah (nasionalisme) dalam proses pembentukan negara? 2. Bagaimana konsep Ibnu Khaldun dan Machiavelli dalam rangka membangun negara yang kuat? Apa yang menjadi syarat-syarat pokok bagi tegaknya negara yang kuat?
27
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hal. 218-220. Ahmad Suhelmi, Ibid, hal. 138. 29 Ibnu Khaldun, Al-’Ibar wa Diwanul Mubtada’ wal Khabar fi Ayyami Al-’Arab wa Al-’Ajam wa Al-Barbar wa Man ’Asharahum min Dzawi Al-Sulthan Al-Akbar (Beirut: Dar Ehya elTurats, 1999), jilid 2, hal. 358-360. 30 Pembahasan angkatan perang dalam The Prince terdapat pada bab XIV 31 Ibnu Khaldun, Ibid, hal 191-192. 32 Pax Benedanto (penyadur), Ibid, hal. 29. 33 Ibnu Khaldun, Ibid, hal. 138 dan 145-148. 34 Ahmad Suhelmi, The Third Heritage: Kontribusi Islam Terhadap Renaisans dan Pemikiran Politik Barat (Jakarta: Indonesia Think Tank Initiative, 2011), hal. 120. 35 Ibid, hal. 120. 28
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
8 1.3 KAJIAN LITERATUR Berbagai studi tentang pemikiran Ibnu Khaldun dan Machiavelli telah dilakukan. Diantara karya-karya itu antara lain ditulis oleh Fuad Baali, “Society, State, and Urbanism: Ibnu Khaldun’s Sosiological Thought”. Ini merupakan salah satu karya terbaik yang menganalisis pemikiran-pemikiran Ibnu Khaldun dari sudut sosiologis. Dalam karya ini Fuad Baali memaparkan sangat baik tema-tema pokok yang ada dalam Muqaddimah, seperti Ilm al-Umran, 36 Ashabiyah (Social Solidarity), 37 The Rise and Decline of The State, 38 Urbanization and Urbanism as a Mode of Life, 39 dan Badawa dan Hadara. 40 Satu-satunya tema yang tidak diangkat oleh Fuad Baali dalam bukunya yang bertebal 175 halaman tersebut adalah pemikiran Ibnu Khaldun tentang ekspansi militer. 41 Sarjana yang lain yang menulis tokoh yang sama adalah Ahmad Syafi’i Ma’arif dengan judul “Ibnu Khaldun Menurut Pandangan Penulis Timur dan Barat”. Karya ini menunjukkan bahwa pemikiran Ibnu Khaldun diterima di dunia intelektual Barat dan Timur. Meskipun Ibnu Khaldun berasal dari kalangan muslim namun pemikiran-pemikirannya yang original dan jenius telah mempengaruhi perkembangan ilmu-ilmu sosial di Barat. Banyak para pemikir Barat yang dipengaruhi dan terinspirasi dari karya-karya Khaldun seperti Agus Comte dan Montesqoui. 42
36
Fuad Baali, Society, State, and Urbanism: Ibnu Khaldun’s Sosiological Thought (New York: State University of New York Press, 1988), hal. 11-25. 37 Fuad Baali, Ibid, hal. 43-51. 38 Fuad Baali, Ibid, hal. 53-67. 39 Fuad Baali, Ibid, hal. 83-93. 40 Badawa dan Hadara adalah istilah untuk penduduk desa sedangakan Hadara penduduk kota. Tema ini dibahas oleh Fuad Baali pada halaman 95-102. 41 Tema ekspansi militer merupakan salah satu faktor yang sangat penting menurut Ibnu Khaldun untuk kuat dan eksistensinya sebuah negera. Khusus mengenai tema ekspansi militer ini Khaldun membuat 2 bahasan khusus pada karyanya Muqaddimah, yaitu pasal 16 dan pasal 21. Lihat Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hal. 138 dan 145. 42 Ahmad Syafi’i Ma’arif, Ibnu Khaldun Menurut Pandangan Penulis Timur dan Barat (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hal. 3-89.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
9 Anthony Black dalam The History of Islamic Political Thought: From the Prophet to the Present, 43 menyimpulkan bahwa tema besar yang diangkat oleh Ibnu Khaldun adalah sosial kemasyarakatan dan negara. Dalam kesimpulannya Black mengatakan negara adalah suatu makhluk hidup yang lahir, mekar menjadi tua dan akhirnya hancur. Negara mempunyai umur seperti makhluk hidup lainnya. 44 Setiap ilmuwan dengan segala konsekwensi temuan dan teorinya, pastilah ada pihak yang pro dan kontra. Anthony Black nampaknya yang kurang simpatik kepada Ibnu Khaldun. Hal itu terlihat dalam pernyataanya: ”Dalam khazanah pemikiran politik Islam, Ibnu Khaldun adalah burung hantu pengetahuan yang berkicau hanya ketika senjata tiba, kemudian lenyap”. 45 Penulis selanjutnya Ali Abdul Wahid Wafi. Dalam karyanya Abdul Rahman Ibnu Khaldun: Hayatuhu wa Atsaruhu wa Modighiru Abqoriytihi, Wafi memaparkan bahwa pemikiran Ibnu Khaldun berangkat dari pengalaman dan pengamatannya yang tajam. Ibnu Khaldun merajut pikiran-pikiran kritis tentang hal-hal yang berkaitan dengan sistem kemasyarakatan dan kenegaraan berikut kritik-kritik inovatif terhadap cakupan sejarah sebagaimana tertuang dalam karya besarnya, Muqaddimah yang
43
Buku yang ditulis oleh Antony Black ini memuat 698 halaman. Terbagi ke dalam lima bagian dan 26 bab. (1) Bagian pertama tentang Rasul dan Hukum (622-1000 M), halaman 33-158. (2) Bagian kedua tentang Agama dan Kekuasaan Negara: Doktrin Sunni dan Negara (1000-1220 M), halaman 159-256. (3) Bagian ketiga tentang Syariat dan Pedang (1220-1500 M), halaman 257-352). (4) Bagian keempat tentang Kerajaan Modern pertama: Wilayah yang sangat dilindungi, halaman 353-500. (5) Bagian Kelima tentang Islam dan Barat, halaman 501-622. Buku ini menyajikan gambaran yang lengkap tentang sejarah pemikiran politik Islam sejak masa awal (622-661) sampai periode fundamentalisme (19222000), serta meliputi sejumlah tema penting, seperti hubungan antara agama dan kekuasaan, fenomena filsafat Arab-Romawi, politik Syi’ah dan Sufi, dan pengaruh pemikiran politik Barat terhadap pemikiran politik Islam modern. Tak hanya menggambarkan, buku inipun menafsirkan berbagai fakta sejarah yang mewarnai kehidupan politik umat Islam. 44 Khaldun sebagaimana dikutip Anthony Black, berpendapat bahwa umur suatu negara adalah tiga generasi, yakni sekitar 120 tahun. Satu generasi dihitung umur yang biasa bagi seseorang yaitu 40 tahun. ketiga generasi tersebut ialah Generasi pertama, hidup dalam keadaan primitive yang keras dan jauh dari kemewahan dan kehidupan kota, masih tinggal di pedesaan dan padang pasir. Generasi kedua, berhasil meraih kekuasaan dan mendirikan negara, sehingga generasi ini beralih dari kehidupan primitive yang keras ke kehidupan kota yang penuh dengan kemewahan. Generasi ketiga, negara mengalami kehancuran, sebab generasi ini tenggelam dalam kemewahan, penakut dan kehilangan makna kehormatan, keperwiraan dan keberanian. Lihat Anthoy Black, Op.Cit, hal. 316-319. 45 Anthoy Black, Op.Cit, hal. 338.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
10 dirampungkannya di kala ia telah berusia empat puluh tiga (43) tahun. Ibnu Khaldun melakukan renovasi terhadap cakupan sejarah yang terfokus sebelumnya pada peristiwa-peristiwa sekitar masalah kerajaan, militer, dan politik. 46 Namun Wafi agak kecewa dengan pernyataan Ibnu Khaldun yang mengatakan bahwa bangsa Arab adalah bangsa primitif yang kaku dengan peradaban dan politik. Lebih kecewa lagi, ketika statemen Khaldun tersebut dijadikan judul salah satu pasal dalam Muqaddimah. 47 Boulshakof seorang peneliti Rusia dengan beberapa peneliti 48 di Center for Middle East and Asia Studies dalam Ocerki Istorii Arabskoj Kul’tury 49 membuat suatu kesimpulan yang sangat menarik tentang Ibnu Khaldun. Menurutnya pemikiran Khaldun mendahului beberapa abad sebelum Freidrich Nietsczhe. Khaldun telah mendeklarasikan bahwa jika suatu bangsa ganas, maka kerajaannya akan lebih luas. Dan Ibnu Khaldun telah mendahului Freidrich Hegel dalam kesimpulannya, "bahwa negara-negara mempunyai usia alami sebagaimana manusia. Juga mendahului Rousseau dalam pernyataannya disebutkan bahwa hubungan antara penguasa dan yang dikuasai berdiri di atas kontrak sosial yang dilakukan dengan bersalaman dan janji untuk loyal. Namun sangat disayangkan teori-teori Ibnu Khaldun yang ada dalam Muqaddimah, hanya satu saja yang dibahas oleh Boulshakof, 50 yaitu Badawa dan Hadarah, Penduduk desa dan kota. Boulshakof menganalisa bahwa dari teori
46
Ali Abdul Wahid Wafi, Abdul Rahman Ibnu Khaldun: Hayatuhu wa Atsaruhu wa Modighiru Abqoriytihi (Cairo: Dar El-Bayan el-’Arabiy, 2007), hal. 54-56. 47 Ibid, hal. 55. Bahkan kekecewaan Wafi ini diamini oleh Yusuf Qardhawi, seorang ulama besar Mesir yang sekarang suaka dan tinggal di Qatar. Lihat Yusuf Qardhawi, Ad-Diin wa Al-Siyasah: Ta’shil wa Raddu Syubuhat, Dar Shorouk, 2007), hal. 54. 48 Seperti Buldarif, Boroghinsky, Ghulusiekana, Darayir, Datakuunuf, Litman, Lookonen, Petrusian, Petrofishky, Soelansgif, Fishman, dan Chilshiev. Lihat Boulshakof and Friend, Dirasaat fi Tarikh El-Tsaqafah El-Arabiyyah: El-Qurun 5-15, terjemahan dari bahasa Rusia, pent. Ayman Abu Sya’r (Moskow: Dar El-Taqaddum, 1982), hal. ii. 49 Judul buku di atas sebetulnya hasil transliterasi ke dalam bahasa latin atas bantuan salah seorang dosen program studi Rusia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, UI, Sari Gumilang, M.Hum. tanggal 19 April 2011. Judul aslinya dalam bahasa Rusia. 50 Boulshakof and Friend, Ibid, hal. 337-363. Walaupun buku ini lahir dari kalangan ilmuan Rusia, yang menarik dan menurut saya luar biasa, buku ini menggunakan 29 referensi berbahasa Arab, bukan terjemahannya. Artinya bahwa semarak bahasa Arab ini sudah kuat di daratan Rusia. Lihat Ibid, pada footnote khusus tema Ibnu Khaldun, hal. 337-363 dan pada halaman daftar pustaka, hal. 408-410.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
11 Badawa dan Hadarah inilah sebetulnya grant theori ashabiyah-nya Khaldun muncul. 51 Saya juga banyak mendapat masukan inspiratif dari The Third Heritage: Kontribusi Islam Terhadap Renaisans dan Pemikiran Politik Barat karya Ahmad Suhelmi. 52 Buku ini mencoba menelusuri aspek-aspek sosial politik dan budaya Islam yang memberikan kontribusi terhadap lahirnya Renaisans Eropa. Ada dua tokoh pemikir sosial, politik, dan filsafat yang diangkat oleh Suhelmi dalam buku tersebut, yaitu Ibnu Rusyd (1126-1198) 53 dan Ibnu Khaldun (1332-1406). 54 Menurut Suhelmi, kontrobusipemikiran Ibnu Khaldun mencakup semua spektrum intelektual yang amat luas. Pemikirannya tidak hanya meletakkan pondasi dasar pembentukan pemikiran politik Barat dalam terminologi yang sempit, melainkan Khaldun juga meletakkan pondasi intelektual filosofis bagi perkembangan ilmu-ilmu sosial lainnya khususnya sosiologi, ilmu sejarah, ilmu ekonomi, psikologi, dan peradaban. 55 Yang menarik, Ahmad Suhelmi seperti yang ia kutip dari Fuad Ba’ali bahwa Rosenthal membandingkan pemikiran Khaldun dan Machiavelli. Khaldun adalah Islamic version of Machiavelli. 56 Kedua pemikir ini sama-sama menggunakan kerangka berpikir realistik dalam menganalisis masalah sosial. Perbedaannya, Machiavelli menolak idealisme (idealism) demi realisme (realism), sedangkan Khaldun menerima keduanya. 57 Adapun penelitian-penelitian yang mengkaji tentang pemikiran Machiavelli diantaranya oleh G.H. Sabine dalam A History of Political Theory Menurutnya ada
51
Ibid, hal. 338-340. Saya sangat bersyukur, kemungkinan saya orang pertama yang menjadikan buku The Third Heritage tersebut sebagai referensi dan masuk dalam daftar Literatur Review dalam tesis ini. Mengingat buku tersebut baru dilaunching pada tanggal 29 April 2011 di Financial Club Gedung Graha Niaga, Sudirman Jakarta. 53 Ahmad Suhelmi, The Third Heritage: Kontribusi Islam Terhadap Renaisans dan Pemikiran Politik Barat (Jakarta: Indonesia Think Tank Initiative, 2011), hal. 102-115. 54 Ahmad Suhelmi, The Third Heritage, hal. 115-136. 55 Ahmad Suhelmi, The Third Heritage, hal. 115. 56 Pernyataan Rosenthal ini mirip dengan pernyataan Yusuf Qardhawi yang mengatakan Khaldun adalah Montesquieu-nya dunia Arab. Lihat Yusuf Qardhawi, Ad-Din wa Siyasah (Cairo: Dar Shorouk, 2007), hal. 54-55. 57 Ahmad Suhelmi, The Third Heritage, hal. 120. 52
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
12 tiga ide pokok dari The Prince adalah (1) Idenya tentang negara atau kerajaan mandiri, (2) Idenya tentang model otonomi kekuasaan, dan (3) Idenya tentang moralitas politik. Sabine juga mengulas komparasi sistem monarki yang muncul dalam The Prince dan sistem Republik yang ada dalam Discourse. 58 Peneliti lain yang mengkaji pemikiran Machiavelli adalah Ahmad Suhelmi. Dalam Pemikiran Politik Barat; Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kuasa Suhelmi menyimpulkan bahwa Machiavelli menyadari manifestasi fisik kekuasaan politik negara tidak lain adalah kekuatan militer yang tangguh. Pandangan inilah yang kemudian menjadi dasar dari pemikiran realisme yang dikembangkan oleh Machiavelli dalam teori-teorinya mengenai negara, kekuasaan dan perang antar negara. Hampir semua ide pokok Machiavelli disentuh oleh Ahmad Suhelmi. Namun ada satu tema yang cukup sentral sebagai salah satu bentuk stratgei mempertahankan kekuasaan bagi seorang penguasa yang tidak sempat dikupas, yaitu pemikiran Machiavelli tentang ekspansi militer. 59 Tidak sedikit penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para ilmuan sosial politik mengenai pemikiran Machiavelli. Geliat semaraknya penelitian tentang pemikiran Machiavelli karena dua alasan: Pertama, Gagasannya telah menjadi sumber inspirasi yang tak pernah kering bagi banyak penguasa sejak awal gagasan itu dipopulerkan sampai abad XX. Banyak negarawan dan penguasa dunia yang secara sembunyi atau terus terang mengakui telah menjadikan buku Machiavelli itu sebagai hand book (buku pegangan) mereka dalam memperoleh dan mempertahankan kekuasaannya. Misalnya Hitler dan Mussolini. Gagasan yang sama telah menjadi basis intelektual bagi pelaksanaan diplomasi kaum realis (realisme). Realisme sebagai suatu aliran penting dalam kajian diplomasi internasional, banyak mendasarkan asumsinya pada pemikiran kekuasaan Machiavelli. 60
58
G.H. Sabine, A History of Political Theory, terj. Teori-teori Politik: Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan (Bandung: Binacipta, 1992), cet. 4, jilid 2, hal. 1-21. 59 Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, hal. 109-141. 60 Ahmad Suhelmi, Ibid, hal. 132. Lihat juga James Bruce Ross and Mary Martin Mclaughlin (Editors), The Portable Renaisan Reader (New York: Penguin Books, 1977), hal. 263-264.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
13 Kedua, dari perspektif sejarah pemikiran politik, gagasannya itu merupakan pemutusan hubungan total masa kini dengan masa lalu. Suatu ciri penting abad Renaisans. Berbeda dengan para pemikir abad Pertengahan seperti Santo Agustinus dan Thomas Aquinas yang mengaitkan kekuasaan dan negara dengan agama dan Tuhan maupun moralitas, Machiavelli justru berpendapat bahwa kekuasaan hendaknya dipisahkan dari semua itu. Tidak ada kaitan atau relevansi antara kekuasaan dengan teologi Kristen, kecuali sejauh agaman atau moral itu memiliki nilai utilitarianisme bagi kekuasaan dan negara. 61 Tidak seperti pemikir Abad Pertengahan, Machiavelli melihat kekuasaan sebagai tujuan itu sendiri. Ia menyangkal asumsi bahwa kekuasaan adalah alat atau instrumen belaka untuk mempertahankan nilai-nilai moralitas, etika atau agama. Bagi Machiavelli segala kebajikan, agama, moralitas justru harus dijadikan alat untuk memperoleh dan memperbesar kekuasaan. Bukan sebaliknya. Jadi kekuasaan haruslah diperoleh, digunakan, dan dipertahankan semata-mata demi kekuasaan itu sendiri. Dengan pandangannya itu, Machiavelli menolak tegas doktrin Aquinas tentang gambaran penguasa yang baik. Aquinas dalam karyanya The Government of Princes berpendapat bahwa penguasa yang baik harus menghindari godaan kejayaan dan kekayaan-kekayaan duniawi agar memperoleh ganjaran syurgawi kelak. Bagi Machiavelli justru terbalik, penguasa yang baik harus berusaha mengejar kekayaan dan kejayaan karena keduanya merupakan nasib mujur yang dimiliki seorang penguasa. 62 Dari uraian kajian litaratur di atas, menunjukkan belum adanya satupun karya atau penelitian yang membandingkan pemikiran Ibnu Khaldun dan Machiavelli khususnya tema negara dan tema mengenai bagaimana membangun negara yang kuat. Sekalipun demikian data-data yang terdapat dalam literatur di atas, sangat bermanfaat dan akan digunakan semaksimal mungkin bagi penulisan tesis ini.
61 62
Ibid. Thomas Aquinas, The Government of Princes, p. 119.120
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
14
1.4 TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian tesis ini untuk mengetahui dan menjawab dua hal, yang menjadi masalah penelitian ini yaitu: 1. Menjelaskan pemikiran politik Ibnu Khaldun dan Niccolo Machiavelli tentang teori awal berdirinya negara dan peran semangat ashabiyah Ibnu Khaldun serta Nasonalisme Machiavelli dalam pembentukan negara. 2. Menjelaskan bagaimana pemikiran politik Ibnu Khaldun dan Machiavelli dalam rangka membangun negara yang kuat.
1.5 KERANGKA TEORI Menurut Aristoteles (342-335 SM) 63 manusia adalah ”zoon politikon”. Manusia mengandung sifat ganas, 64 yang disebut oleh Thomas Hobbes (1588-1679) 65 sebagai ”Homo Homini Lupus”. Jika manusia dibiarkan bebas mengatur dirinya
63
Aristoteles adalah murid Plato. Beliau adalah salah seorang dari 3 perintis inspirasi peradaban besar dunia. Pernah menjadi guru Iskandar Agung atau biasa yang disebut Alexander The Great di Makedonia. Pemikiran Aristoteles merupakan suatu bentuk pemberontakan dari gagasan gurunya (Platonism). Aristotels menggunakan metode induktif, bertitik tolak dari fakta-fakta nyata atau empiris. Lihat Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat; Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran, Negara, Masyarakat dan Kekuasaan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 43. 64 Menurut Machiavelli kodrat manusia adalah suka sekali menyerang dan sangat tamak. Orang hendak mempertahankan apa yang dimilikinya dan memperoleh lebih daripada itu. Baik mengenai kekuasaan maupun tentang milik pada nafsu manusia tidak ada batasan yang umum. Selaras dengan itu orang selalu dalam keadaan pergulatan dan perlombaan. Dikutip dari G.H.Sabine, Teori-teori politik; terjemahan dari A History of Political Theory (Bandung: Binacipta, 1981), hal. 11-12. Pembahasan lebih lanjut mengenai hal ini dapat dilihat pada bab IV. 65 Thomas Hobbes adalah seorang pemikir dari Inggris. Tokoh yang paling banyak mempengaruhinya adalah Frans Bacon. Hobbes berpendapat bahwa kehidupan manusia selalu akan diwarnai oleh persaingan dan konflik kekuasaan. Karena menurutnya, kekuasaan terbesar bagi manusia adalah Negara atau Leviathan. Lihat Ahmad Suhelmi, Ibid, hal. 167.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
15 masing-masing, sifat ganas itu dapat menciptakan “Bellum Omnum Contra Omnes” (perang atau pergulatan manusia yang satu melawan manusia yang lain). 66 Karena itu, sangat diperlukan adanya sebuah organisasi kemasyarakatan yang dapat mengatur tata kehidupan dan keselarasan berbagai hak dan kepentingan masyarakat yang beraneka ragam. Dan negara merupakan organisasi tertinggi pada tiap-tiap level masyarakat. 67 Belum ada kesepakatan di kalangan ilmuwan sosial mengenai definisi negara. Definisi ini setidaknya mesti memuat tiga unsur. Pertama, negara adalah seperangkat institusi. Kedua, institusi ini ada di pusat suatu teritori, biasanya disebut sebagai society. Negara memandang ke dalam pada masyarakat nasionalnya dan keluar pada masyarakat yang lebih besar; perilakunya di satu area dapat dijelaskan hanya melalui aktivitasnya di area lain. Ketiga, negara memonopoli pembuatan aturan di dalam batas wilayahnya. 68 Negara adalah salah satu konsep pokok ilmu politik. Bahkan beberapa ilmuan politik seperti Miriam Budiardjo dalam Dasar-dasar Ilmu Politik menempatkan negara pada urutan pertama konsep pokok dalam politik. 69
66
T. May Rudy, Pengantar Ilmu Politik; Wawasan Pemikiran dan Kegunaannya (Jakarta: Refika, 2003), hal. 35. 67 Dalam beberapa referensi dikemukakan 8 teori asal-usul Negara: 1. teori perjanjian masyarakat, tokohnya Thomas Hobbes, John Locke, J.J Rosseau 2. teori pengalihan hak, tokohnya Sir Robert Filmer dan Loyseau 3. teori penaklukan, tokohnya Ludwig Gumplowitz, GustavRatzenhover, Franz Oppenheimer, Georg Simmel, dan Lester Frank Ward 4. teori ketuhanan (divine right), tokohnya Thomas Aquinas 5. teori organis, tokohnya Georg Wilhelm Hegel, J.K.Bluntscli, John Salisbury, Marsiglio Padua, Pfufendorf, Hendrich Ahrens, J.W.Scelling, dan F.J.Schitenner 6. teori garis kekeluargaan (patriarkhla, matriarkhal), tokohnya Henry S.Maine, Helbert Spencer, dan Edward Jenks 7. teori metafisis (idealistis), tokohnya Immanuel Kant, dan 8. teori alamiah, tokohnya Aristoteles. 68 Wiliam Outhwaite, Pemikiran Sosial Modern, terj. Tri Wibowo BS (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal. 845. 69 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik; Edisi Revisi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 17. Dalam penelitian ini, saya tidak akan menjelaskan perdebatan panjang antara para sarjana politik mengenai konsep ilmu politik yang terpenting apakah konsep negara atau kekuasaan. Mengingat sebagian ada yang mengatakan bahwa konsep politik terpenting terpusat pada negara. Yang menganut pendapat ini, mereka berargumen karena negara adalah satu-satunya organisasi unggul (par excellence) yang pernah diciptakan manusia. Keunggulan negara dapat dilihat dari berbagai segi; keunikan struktur keanggotaannya, ruang lingkupnya, fungsinya, serta alat-alat yang digunakannya dalam menunaikan tugasnya. Konsep negara membicarakan masalah-masalah negara dan pemerintahan, organisasi atau kelompok, pemerintahan lokal, partai politik, kelompok elite
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
16 Menurut Pudja Pramana dalam Ilmu Negara, asal mula kemunculan negara dan metode penyelidikan yang digunakan orang untuk mempelajarinya, perlulah dilakukan telaah agak mundur, yaitu abad XV yang merupakan awal abad modern. Hal ini dikarenakan negara (lo stato) diidentifikasi untuk kali pertama pada abad itu oleh Niccolo Machiavelli dan pendapatnya mungkin dapat dijadikan petunjuk untuk mengungkap masalahnya. Hingga abad kontemporer ini, para ahli sosial politik belum menemukan istilah negara yang disampaikan orang dari masa yang lebih tua lagi. Dapat disimpulkan bahwa munculnya negara adalah sungguh-sungguh gejala modern. 70 Walaupun demikian, banyak di antara ilmuwan politik yang berusaha mendefinisikan negara dengan pendekatan yang cukup komprehenship. Max Weber mendefinisikan negara sebagai suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah. 71 Robert M. Maclver mengatakan negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang
dan pendapat umum yang mempengaruhi kebijakan negara dan berkontribusi dalam kegiatan negara. Lihat Ibid. Ilmuan politik yang lain berpandangan, konsep kekuasaanlah yang paling penting dan menentukan. Menurut mereka konsep negara memang penting. Akan tetapi kalau ditinjau lebih mendalam ternyata bahwa negara itu pada hakikatnya tidak lebih dari wadah atau kulit luar, dan bukan pokok permasalahan inti sesungguhnya. Justru kekuasaanlah inti konsep politik. Lihat Harold D. Lasswell dan Abraham Kaplan, Power and Society: A Framework for Political Inquiry (New Haven: Yale University Press, 1950), hal. 85. 70 Pudja Pramana KA, Ilmu Negara (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hal. 1-2. Namun demikian, para sarjana politik belumlah puas dalam penelitian tentang negara semata-mata dalam kurun abad modern hingga kontemporer ini, karena istilah dan pengertian hakiki yang senantiasa memiliki korelasi dan tak terpisahkan dari negara seperti manusia, kesejahteraan umum, kekuasaan, hukum dan undang-undang, warga dan penduduk, wilayah, pemerintahan dan masih banyak lagi, telah lama muncul sebelum hadirnya abad modern. Sehingga diskusi tentang negara sesungguhnya telah dibicarakan manusia leih dari 2500 tahun yang lalu, yaitu di Yunani. Hal ini dikuatkan lagi dengan banyaknya istilah yang digunakan dalam diskusi tentang negara memang berasal dari terminologi Yunani seperti politik, republik, aristokrasi, demokrasi, monarki, oligarki, dan tirani. Lihat Ibid, hal.2 71 H.H Gerth and C.Wright Mills, trans., eds and introduction, From Max Weber: Essay in Sociology (New York: Oxford University Press, 1958), hal. 78.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
17 diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa. 72 Harold J. Laski berpandangan bahwa negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih berkuasa daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat. Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang hidup dan bekerja sama untuk memenuhi terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama. Masyarakat merupakan negara, jika cara hidup yang harus ditaati baik oleh individu maupun oleh asosiasi-asosiasi ditentukan oleh suatu wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat. 73 Deliar Noer dalam Pengantar ke Pemikiran Politik berpandangan bahwa Negara merupakan semacam bentuk ikatan atau kumpulan antar manusia yang pada akhirnya dapat mempergunakan paksaan terhadap anggota-anggotanya. Bentuk ikatan ini pada umumnya ada dua macam. Pertama, yang meliputi keseluruhan segi hidup manusia dan kedua, yang meliputi hanya sebagian dari segi-segi hidup itu. 74 Dalam sejarah bernegara kedua macam ikatan itu ada. Dalam negara di mana kekuasaan itu bersifat mutlak dan bulat pada pihak penguasa, maka mungkin segala segi hidup rakyat bersangkutan, dikuasai sepenuhnya oleh penguasa. Sebaliknya dalam negara yang tidak membulatkan kekuasaan pada tangan penguasa, melainkan yang memberikan kebebasan pada warganya, maka hanya beberapa segi kehidupan sosial dari warga tersebut yang dikuasai oleh negara. Negara adalah aktualisasi kehendak dari kesadaran universal, yang ke dalamnya telah bersatu dan menjadi satu, seluruh kehendak masing-masing yang khusus (kesadaran diri partikular) dari seseorang. 75
72
R.M. Maclver, The Modern State (London: Oxford University Press, 1926), hal. 22. Harold J. Laski, The State in Theory and Practise (New York: The Viking Press, 1947), hal. 8-9. 74 Deliar Noer, Pengantar Ke Pemikiran Politik (Jakarta: CV Rajawali, 1983), hal. 62. 75 Marsilam Simanjuntak, Pandangan Negara Integralitas; Sumber, Unsur, dan Riwayatnya dalam Persiapan UUD 1945 (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1994), hal. 168. 73
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
18 Definisi Miriam Budiardjo kiranya dapat menjadi benang merah dari definisidefinisi tentang negara. Menurutnya, negara adalah suatu daerah territorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut ketaatan dari warga
negaranya
pada
peraturan
perundang-undangannya
melalui
kontrol
monopolistis terhadap kekuasaan yang sah. 76 Studi tentang negara sangat penting. Karena negara memonopoli kekuasaan serta alat-alat kekerasan yang erat hubungannya dengan kekuasaan. 77 Negara mempunyai sifat khusus yang merupakan manifestasi dari kedaulatan yang dimilikinya dan yang hanya terdapat pada negara saja dan tidak terdapat pada asosiasi atau organisasi lainnya. 78 Umumnya dianggap bahwa setiap negara mempunyai sifat memaksa, monopoli, dan sikap mencakup semua. Unsur-unsur negara diantaranya wilayah, penduduk, pemerintah, dan kedaulatan, bertujuan menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya (bonum publicum, common good, common wealth). Negara sering kali merupakan aspirasi ketimbang pencapaian aktual. Di satu sisi, kebanyakan negara historis mengontrol warga sipilnya, dan khususnya dalam membangun monopoli cara-cara kekerasan. Di sisi lain, tujuan utama negara, yakni keamanan biasanya tak tercapai secara penuh karena adanya masyarakat yang lebih besar yang tidak bisa dikontrolnya. Ada beberapa teori yang penulis gunakan untuk membantu menjelaskan masalah penelitian ini dan sosio kultur yang memainkan perannya di balik konsep yang diangkat dalam perumusan masalah di atas. Seperti telah dipaparkan di atas, baik Ibnu Khaldun maupun Machiavelli hidup pada kondisi negara dan pemerintahan yang tidak stabil. Pandangan Khaldun mengenai negara yang tertuang dalam Muqaddimah tidak terlepas dari kondisi dimana ia hidup. Begitu pun Machiavelli. The Prince dan Discourses of First Ten Books of Titus Livius juga The Art of War ditulis dalam kerangka semangat membangun negara Italia yang kuat. 76
Lihat Ibid. Miriam Budiardjo, Op.Cit, hal. 49. Gabriel A. Almond, the Return of State (Princeton: Princeton University Press, 1978), p. 87. 78 Bahkan Soehino dalam karyanya Ilmu Negara, mengumpulkan semua tentang sejarah, tokoh, dan teori tentang Negara. 77
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
19 Guna untuk mempermudah dalam membaca dan menganalisa pemikiran mengenai negara dan strong state Ibnu Khaldun dan Machiavelli, penulis menggunakan teori Steven Grosby tentang Nasionalisme. Khaldun dan Machiavelli memiliki kesamaan pandangan tentang sistem pemerintahan yang selayaknya digunakan untuk memperkokoh negara dan kekuasaan, yaitu sistem pemerintahan Mamlakah dalam istilah Khaldun atau kerajaan dalam istilah Machiavelli. Stevan Grosby mengatakan bahwa tidak ada bedanya antara presiden yang populer dipilih oleh rakyat dan seorang raja. Raja seringkali lebih dihormati dan disakralkan. Seorang raja tidak dapat diganggu gugat dan menjadi titik referensi kesadaran kolektif. Bahkan seorang raja atau kaisar bisa sekaligus menjadi dukun penyembuh, seperti yang pernah dilakukan Kaisar Jepang dan raja Perancis. Sebaliknya nasionalisme bisa memporak-porandakan hubungan-hubungan mistis tersebut dan memicu sentiment patriotisme yang pada akhirnya sebagai pemicu kebencian dan nafsu perang. Disadari atau tidak akibat ’ulah’ nasionalisme dalam sistem pemerintah republik tersebut akan melemahkan negara dan kekuasaan. 79 Penelitian ini pula berupaya sebagai antitesis terhadap pernyataan Zainab alKhudairi yang mengatakan bahwa pemikiran Khaldun tidak dapat dibandingkan dengan pemikiran Niccolo Machiavelli. Menurut Zainab al-Khudhairi terdapat perbedaan yang sangat mendalam antara keduanya. Niccolo Machiavelli, filosof Italia tersebut tidak menyusun filsafat sejarah dalam pengertiannya yang luas. Bahkan, dalam karyanya The Prince, ia berupaya menyusun asas-asas pemerintahan dan menguraikan bagaimana cara menegakkan negara dan mengembangkannya. Sehingga pendapat-pendapat ini dapat dijadikan pedoman oleh para penguasa. Prinsip-prinsip yang kemukakan Machiavelli dalam masalah ini sangat keras dan jauh dari prinsipprinsip moral. Bagaimana mungkin The Prince ditulis dengan spirit tujuan-tujuan dan kepentingan praktis, sementara pemikiran Khaldun yang tertuang dalam Muqaddimah 79
Stevan Grosby, Nasionalisme: Makna Bangsa dan Tanah Air di Antara Konflik dan Integrasi, terjemahan dari Nationalism, penj. Freddy Mutiara (Surabaya: Portico Publishing, 2010), hal. 217.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
20 sangat jauh dan bertolak belakang dengan tujuan-tujuan yang disusun Niccolo Machiavelli dalam The Prince-nya. 80
1.6 METODE PENELITIAN 1.6.1 Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang akan digunakan dalam penelitian tesis ini adalah tipe studi kepustakaan atau library research. Sedangkan metode yang akan digunakan adalah metode kualitatif yang bercorak deskriptif analisis. Studi kepustakaan ini dipilih karena kerja penelitian ini membaca, meneliti, dan menganalisa pandangan Ibnu Khaldun yang tertuang dalam Muqaddimah dan Machiavelli dalam karyakaryanya seperti The Prince, The Discourse, dan The Art of War sebagai data primernya. Disamping data-data primer dari karya-karya tersebut, penulis juga menggunakan sumber-sumber dan kepustakaan lainnya yang terkait sebagai data sekunder.
1.6.2. Tehnik Pengumpulan Data Tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui library research atau studi pustaka terhadap karya-karya atau tulisan-tulisan Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah dan Niccolo Machiavelli dalam The Prince, The Discourses of First Ten Books of Titus Livius, dan The Art of War. Karya Ibnu Khaldun, Muqaddimah dan Machiavelli The Prince, The Discourses of First Ten Books of Titus Livius, dan The Art of War dikelompokkan dalam data primer. Sedangkan tulisan-tulisan mengenai Ibnu Khaldun dan Machiavelli dan tulisan-tulisan lain yang berhubungan dengan latar belakang pemikiran kedua tokoh tersebut yang berhubungan langsung dengan tema pokok tesis ini yaitu ‘Membangun Negara yang Kuat’; Perspektif Ibnu Khaldun dan Machiavelli atau tulisan-tulisan yang tidak secara langsung berkaitan dengan tema pokok tersebut, 80
Zainab al-Khudhairi, Falsafah al-Tarikh ‘Inda Ibn Khladun, terjemah Ahmad Rofi Utsmani (Bandung: Penerbit Pustaka, 1987), hal. 5.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
21 namun membahas dan membicarakan kedua tokoh tersebut dimasukkan dalam kategori data sekunder. 1.6.3. Tahapan Penelitian
Agar penelitian ini berjalan secara sistemik, terarah, dan akurat penulis membuat tahapan-tahapan kerja penelitian tesis ini sebagai berikut: pertama, membaca secara intenshif dan mendalam karya-karya dalam kelompok data primer. Kedua, membuat rangkuman dan menarik pokok-pokok pemikiran dari data-data primer tersebut yang berkaitan dengan tema pokok dan permasalahan penelitian yang akan dibahas pada bab II, III, dan IV. Ketiga, menganalisa data-data dari poin 2. Keempat, membaca dan menelaah karya-karya yang masuk dalam data sekunder yang berkaitan langsung dengan pemikiran Ibnu Khaldun dan Niccolo Machiavelli tentang negara. Kelima, poin IV ini dilakukan sebagai upaya konfirmasi data sekaligus alat bantu analisa untuk kebutuhan pembahasan dalam bab III dan IV. Keenam, membaca dan menelaah karya-karya yang masuk dalam data sekunder yang berkaitan dengan latar belakang sosial, pendidikan, dan situasi politik masa Ibnu Khaldun dan Machiavelli. Ketujuh, poin VI ini dilakukan karena kebutuhan pembahasan pada bab II tentang latar belakang sosial, pendidikan, dan politik dari kedua tokoh tersebut, dalam data primer tidak terpenuhi. Kedelapan, setelah proses membaca dan menganalisa data-data primer dan sekunder tersebut, dilakukanlah studi perbandingan mengenai konsep kedua tokoh tersebut yaitu Ibnu Khaldun dan Machiavelli tentang ‘Membangun Negara yang Kuat’. Kesembilan, menganalisa adanya tidaknya pengaruh pemikiran politik dan negara Ibnu Khaldun terhadap pemikiran politik Machiavelli. Kesepuluh, meyimpulkan data-data yang diperoleh baik primer maupun sekunder yang sesuai dengan topik utama yaitu ‘Membangun Negara yang Kuat; Perspektif Ibnu Khaldun dan Machiavelli dalam kerangka sebagai jawaban permasalahan penelitian yang tertuang dalam pembahasan bab-bab.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
22 1.7 SISTEMATIKA PENULISAN Guna mempermudah pembahasan, Saya menyusun sistematika penulisan tesis ini terdiri dari 5 bab: Bab I, pada bab ini penulis menjelaskan latar belakang permasalahan, perumusan permasalahan penelitian, pertanyaan-pertanyaan penelitian, kerangka teori dan operasionalisasi konsep, kajian literature, metode penelitian, tujuan penelitian, dan sistematika penulisan tesis. Bab II, pada bab ini dikubas latar belakang sosial, pendidikan, dan politik Ibnu Khaldun serta Niccolo Machiavelli. Bab II ini akan mendiskusikan latar belakang kehidupan Ibnu Khaldun dan Machiavelli. Secara khusus bab ini menjelaskan bagaimana pendidikan, lingkungan social, dan berbagai peristiwa politik yang terjadi di Tunisia dan Italia berpengaruh terhadap pembentukan karakter pemikir kedua tokoh itu. Bab III, Pemikiran Politik Ibnu Khaldun dan Machiavelli tentang awal berdirinya negara. Pada bab ini penulis mengkaji faktor-faktor apakah yang menentukan bagi terbentuknya negara menurut Ibnu Khaldun dan Machiavelli. Dari berbagai faktor itu semangat solidariras, ashobiyah dalam perspektif Ibnu Khaldun dan Niccolo Machiabvelii sangat penting dalam proses lahir dan berkembangnya suatu negara. Bab IV, konsep Ibnu Khaldun dan Niccolo Machiavelli tentang negara yang kuat. Pada bab ini penulis menganalisa pemikiran politik Ibnu Khaldun dan Niccolo Machiavelli mengenai faktor-faktor yang menentukan terbentuknya negara yang kuat. Diantara faktor-faktor itu adalah peran agama, angkatan bersenjata, militer rakyat sendiri, pemimpin yang kuat, dan ekspansi militer. Bab V, kesimpulan. Pada bab ini akan disimpulkan mengenai konsep Ibnu Khaldun dan Machiavelli tentang membangun negara yang kuat sebagai jawaban atas masalah penelitian yang diuraikan dalam Bab I serta implikasi studi ini terhadap teori-teori yang digunakan dalam tesis ini. Juga akan disampaikan sumbangan teoritis studi ini terhadap ilmu politik.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
24 BAB 2 LATAR BELAKANG SOSIAL, PENDIDIKAN, DAN POLITIK IBNU KHALDUN (1332-1406) DAN NICCOLO MACHIAVELLI (1467-1527)
Pada bab ini, akan dianalisa latar belakang kehidupan Ibnu Khaldun dan Machiavelli. Secara khusus bab ini menganalisa bagaimana pendidikan, lingkungan social, dan berbagai peristiwa politik yang terjadi di Tunisia (termasuk Maroko dan Mesir) dan Italia berpengaruh terhadap pembentukan karakter pemikir kedua tokoh tersebut. Agar lebih sistematis, penulis membagi bab 2 ini menjadi 2 sub pembahasan; pertama, latar belakang social, pendidikan, dan politik Ibnu Khaldun. Kedua, latar belakang social, pendidikan, dan politik Niccolo Machiavelli.
2.1 LATAR BELAKANG SOSIAL, PENDIDIKAN, DAN POLITIK IBNU KHALDUN (1332-1406)
2.1.1 Kehancuran Pemerintahan Abbasiyah Studi tentang pemikiran politik Ibnu Khaldun khususnya tentang negara, tidak bisa dipisahkan dengan kondisi sosial politik dimana Khaldun hidup. Kondisi ini sedikit banyak berpengaruh terhadap pembentukan karakter penulis Muqaddimah ini. Ide-ide besar politik Ibnu Khaldun tidak terlepas dari kondisi sosial yang mengiringi setiap inch kehidupannya. 1
1
Teori mengenai adanya faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan pemikiran dan karakter manusia ataupun bangsa, telah diakui oleh Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya. Ibnu Khaldun mensinyalir bahwa keanekaragaman keadaan fisik, watak, mental, dan perilaku manusia itu dipengaruhi oleh faktor geografis. Masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah yang beriklim ekstrim, sangat panas atau sangat dingin, baik peradaban maupun budayanya tidak akan dapat berkembang secara dinamis. Sebaliknya suatu bangsa akan dapat memberikan kontribusinya kepada sejarah dan kebudayaan dunia manakala terletak di bagian bumi yang beriklim sedang. Lihat Ibnu Khaldun, Muqadddimah, hal. 219 Teori ini Khaldun ini dipergunakan oleh para ahli hukum Islam sebagai salah satu dasar argumentasi bahwa pelaksanaan ajaran Islam dan hukumnya yang universal itu dapat berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lain karena perbedaan lingkungan, kondisi, adat istiadat, dan tradisi.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
25 Menjelajahi pemikiran Ibnu Khaldun, seolah-olah kita diajak menoleh ke belakang, abad 14 M, suatu masa kebudayaan Arab-Islam sedang dilanda kemunduran, di mana filsafat yang mendorong ummat muslim berpikir kritis mengalami stagnansi. Kalaupun ada karya-karya filsafat waktu itu tidak lebih sekedar komentar terhadap karya-karya Ibnu Rusyd (1126-1198) M., Ibnu Sina (980-1037) M., Al-Gazali (1058-1111) M. dan karya-karya yang lain. Krisis ini kemudian melebar ke jaringan-jaringan politik sebagai konsekuensi atas pecahnya emperium Islam menjadi negara-negara kecil yang dikendalikan oleh penguasa lemah dan tidak memiliki wawasan kerakyatan. Jatuhnya kota Baghdad pada tahun 1258 M ke tangan bangsa Mongol bukan saja mengakhiri khilafah Abbasiyah di sana, tetapi juga merupakan awal dari masa kemunduran politik dan peradaban Islam. Karena Baghdad sebagai pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut pula lenyap dibumi hanguskan oleh pasukan Mongol yang dipimpin Hulagu Khan. 2 Khaldun hidup pada masa transisi peralihan kekuasaan Imperium Abbasiyyah terakhir dan awal berdirinya kekuasaan Othoman di Turki. Pada saat itu, sekurangkurangnya ada dua dinasti besar Islam. Pertama adalah dinasti Mamluk di Mesir yang berkuasa antara 1250-1517. Kedua adalah dinasti Usmaniyah yang melanjutkan dinasti Abbasiyah yang runtuh pada 1258. Pada saat Ibn Khaldun hidup, riak-riak pencerahan mulai muncul di Eropa, terutama di Italia. Ibnu Khaldun juga hidup tidak lama sebelum pecahnya reformasi dalam agama Kristen. Pada fase ini, para sejarawan Islam mencatat adanya pemerintahan di bawah kekuasaan Mamluk. Pembahasan mengenai pemerintahan Mamluk ini sangat penting. Karena dari sinilah konsep militer dan angkatan bersenjata Ibnu Khaldun dapat dipahami. 3 2 3
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 111. Ibnu Khaldun hidup pada masa antara 1332-1405 M ketika peradaban Islam dalam proses penurunan dan disintegrasi. Khalifah Abbasiyah di ambang keruntuhan setelah penjarahan, pembakaran, dan penghancuran Baghdad dan wilayah disekitarnya oleh bangsa Mongol pada tahun 1258, sekitar tujuh puluh lima tahun sebelum kelahiran Ibnu Khaldun. Dinasi Mamluk (1250-1517), selama periode kristalisasi gagasan Ibnu Khaldun, hanya berkontribusi pada percepatan penurunan peradaban akibat korupsi dan inefisiensi yang mendera kekhalifahan, kecuali pada masa awal-awal periode pertama yang singkat dari
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
26 Secara etimologi, Mamluk merupakan bentuk singular atau mufrad dari Mamalik yang berarti budak yang dibeli dengan uang. Mereka didatangkan oleh para Sultan pemerintahan Ayyubiyyah dari berbagai negeri, diantaranya yang terpenting adalah Turkistan, Kaukaz, Asia Kecil, dan negeri-negeri di Asia Tengah. Mereka dibeli pada saat mereka masih kecil-kecil dan mereka ditempatkan secara terisolir dari kebanyakan manusia di sebuah benteng khusus. 4 Antara kurun waktu 1250-1517 M/647-923 H, fase sejarah Islam dikenal dengan periode pemerintahan orang-orang Mamluk, walaupun realitasnya mereka tidak memiliki wilayah kekuasaan kecuali Mesir, Syam, dan Hijaz saja. Merekalah yang berhasil mengusir semua orang salib dari negeri Islam di kawasan Timur. 5 Namun harus diakui bahwa kondisi umat Islam ketika itu mengalami kelemahan yang sangat akut akibat perpecahan. 6 Orang-orang Mamluk datang dari daerah-daerah yang berbeda-beda. Oleh sebab itulah sering terjadi sengketa di antara mereka. Dari perselisihan ini sering kali menimbulkan peperangan dan konflik. Orang-orang Mamluk dididik dengan pendidikan militer yang cocok untuk mereka. Mereka dibentuk menjadi pasukan. Banyak di antara mereka yang mendapat posisi dan kedudukan yang sangat terhormat. Mereka memiliki sifat pemberani dan pantang menyerah. Pemerintahan Mamluk dibagi dalam dua fase pemerinatahan. 7 Pertama, pemerintahan Mamluk Bahriyyah (1250-1389 M/646-792 H). Kedua, pemerintahan Barjiyyah (1389-1517 M/792-923 H). Dengan demikian, pemerintahan berlangsung selama 275 tahun. Pengaruh mereka mulai terasa di dunia Islam tatkala mereka berhasil menang atas pasukan Mongolia pada perang ’Ain Jalut tahun 1259 H/ 658 H. sejarah kekhalifahan Mamluk. [Periode pertama Bahri/Turki Mamluk (1250-1382) yang banyak mendapat pujian dalam tarikh, periode kedua adalah Burji Mamluk (1382-1517), yang dikelilingi serangkaian krisis ekonomi yang parah. Lihat Ahmad Raghib, Ishaamat alIslam ‘Alaa Nahdhatil Eropa (Beirut: Dar El-Fikr, 1992), hal. 190. 4 Ahmad al-Usairi, Sejarah Islam; Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX (Jakarta: Penerbit Akbar, 2007), hal. 301. 5 Ibid. 6 Ibid, hal. 302. 7 Sebagaimana kesepakatan para sejarawan. Lihat Philip K.Hitti, The Arabs A Short History, terjemahan Usuludin Hutagulung dan O.D.P Sihombing dalam Dunia Arab Sejarah Ringkas (Bandung: Penerbit Sumur Bandung), hal. 78.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
27 Ketika kondisi Abbasiyah kian melemah, orang-orang Mamaluk yang sudah terlatih dalam ilmu kemiliteran sebetulnya yang mengendalikan Abbasiyah. Pengaruh mereka mulai terasa dalam pemerintahan Abbasiyah, ketika mereka berhasil menang atas pasukan Mongolia pada perang ’Ain Jalut tahun 1259 H/ 658 H. 8 Namun kondisi kepercayaan ini tidak berlangsung lama, karena tidak lama setelah itu imperium Abbasiyah digantikan oleh kekuasaan Othoman atau Turki Utsmani. Menurut hemat penulis, ditariknya orang-orang Mamaluk sebagai angkatan perang militer kerajaan Abbasiyah, telah mengajarkan kepada Ibnu Khaldun di kemudian hari, bahwa seharusnya kerajaan tidak mengambil tentara bayaran dari luar. Ibnu Khaldun menegaskan bahwa Negara harus memiliki tentara perang sendiri bukan tentara bayaran. Tidak terlalu berlebihan, kalau ide militer tentara rakyat Machiavelli yang terinspirasi oleh ’tragedi Vitelli’ patut dipertimbangkan kaitannya dengan ide besar Ibnu Khaldun ini. Secara geopolitik global Ibnu Khaldun juga hidup pada masa penghujung zaman pertengahan dan permulaan zaman Renaissance. Khaldun hidup pada abad ke 14 Masehi atau ke 8 Hijriyah. Perubahan krusial historis menandai abad ini, baik dalam bidang politik maupun pemikiran. Di Eropa, zaman ini merupakan zaman munculnya cikal bakal renaissance. Sedangkan di Timur (Islam) periode ini sedang berlangsung suatu fase kemunduran dan disintegrasi. 9 Pada abad ini kekhilafahan Abbasiyah telah jatuh di tangan pasukan Moghul di bawah pimpinan Timur Lenk. Sementara di Andalusia sendiri pihak Kristen sedang bersiap-siap untuk menaklukan kawasan-kawasan yang masih berada di bawah kekuasaan kaum muslimin. Sebab pusat-pusat kebudayaan Andalusia pada waktu itu, seperti Toledo, Cordova, dan Sevilla telah jatuh ke tangan mereka dan yang tinggal di bawah kekuasaan kaum muslimin hanyalah sebagian kecil kawasan Andalusia Selatan yang hampir terbatas di Granada dan antara Almeria dan Gibraltar. Penguasa kawasan tersebut pada waktu itu
8 9
Ahmad al-Usairi, Ibid, hal. 307. Karen Armstrong, Perang Suci; Dari Perang Salib Hingga Perang Teluk, terjemahan Holy War; The Crusades and Their Impact on Today’s World oleh Hikmat Darmawan (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003), hal. 705-710.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
28 adalah Banu Ahmar. Namun dinasti ini sangat lemah, karena sering terjadi konflik internal demi memperebutkan kekuasaan. 10 Benslem Himmish, pemikir, sastrawan, Menteri Kebudayaan Maroko, menulis novel tentang Ibnu Khaldun. Novel yang diangkat dari perjalanan hidup Ibnu Khaldun itu pun dianugerahi Naquib Mahfouz Award dari Pemerintah Mesir tahun 2002. Novel ini menceritakan tentang aktifitas Ibnu Khaldun yang memutuskan bertempat tinggal di pinggiran Sungai Nil, ditemani Sya'ban, Pembantu setianya, dan kisah tentang cinta keduanya, juga keterlibatannya dalam pemerintahan Dinasti Mamluk serta pertemuannya dengan Timur Lang yang, Jenderal Penakluk dari Tartar, yang fenomenal. Berikutnya buku “An Arab Philosophy of History: Selection from the Prolegomena of Ibn Khaldun of Tunis”, yang dikarang oleh Charles Issawi, mantan Adjunct Professor of Political Science, American University di Beirut. Meskipun hanya merupakan ringkasan dan sekadar ulusan atas karya besar (Magnum Opus) dari Ibnu Khaldun, buku ini memuat kesaksian sejarawan Arnold J. Toynbee, penulis A Study of History, dan Filosof George Sarton, penulis Introduction to the History of Science. George Ritzer dan Douglas J. Goodman, merasa perlu menyisipkan sketsa biografi singkat Ibnu Khaldun dalam buku ajar sosiologi -yang diperpegangi oleh hampir semua universitas di seluruh dunia yang menawarkan jurusan sosiologi, Modern Sociological Sociology, 6th Edition (McGill), dan menyisipkan kalimat, “Tak seorang pun pemikir Abad 17 itu yang menganggap diri mereka sebagai sosiolog, dan sedikit sekali di antara mereka yang kini dianggap sebagai sosiolog. Ibnu Khaldun adalah perkecualian dari dunia pemikiran Arab. Di saat dunia pemikiran Arab mengalami kemandegan, Ibnu Khaldun justru muncul dengan pemikirannya yang cemerlang. Ibnu Khaldun adalah seorang cendekiawan yang cukup unik dan mengagumkan. Ibnu Khaldun sejatinya pemikir dan ulama peletak 10
Zainan al-Khudhairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, terjemahan dari Falsafah al-Tarikh ‘Inda Ibn Khaldun oleh Ahmad Rofi’ Utsmani (Bandung: Penerbit Pustaka, 1987), hal. 9.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
29 dasar ilmu sosiologi dan politik melalui karya magnum opusnya, Muqaddimah. Sebenarnya, dialah yang patut dikatakan sebagai pendiri ilmu sosial. Kontribusi Ibnu Khaldun dalam pengembangan ilmu pengetahuan cukup signifikan, namun sayang beliau lahir pada saat dunia Islam mulai mengalami kemunduran. Kemunduran umat Islam dimulai sejak abad ke 12 ditandai dengan kemerosoatan moralitas, hilangnya dinamika dalam Islam setelah munculnya dogmatisme dan kekakuan berfikir, kemunduran
dalam
aktivitas
intelektual
dan
keilmuan,
pemberontakan-
pemberontakan lokal dan perpecahan di antara umat, peperangan dan serangan dari pihak luar, terciptanya ketidakseimbangan keuangan dan kehilangan rasa aman terhadap kehidupan dan kekayaan, dan faktor-faktor lainnya yang mencapai puncaknya pada abad ke 16 pada masa Dinasti Mamluk Ciscassiyah yang penuh korupsi sehingga mempercepat proses kemunduran tersebut. 2.1.2 Riwayat Pendidikan Ibnu Khaldun Ada tiga periode yang dijalani dalam perjalanan hidup Ibnu Khaldun. 11 Periode pertama, masa dimana Ibnu Khaldun menuntut berbagai bidang ilmu pengetahuan. Yakni, ia belajar Alquran, tafsir, hadits, usul fikih, tauhid, fikih madzhab Maliki, ilmu nahwu dan sharaf, ilmu balaghah, fisika dan matematika. Dalam semua bidang studinya mendapatkan nilai yang sangat memuaskan dari para gurunya. Namun studinya terhenti karena penyakit pes telah melanda selatan Afrika pada tahun 749 H. yang merenggut ribuan nyawa. Ayahnya dan sebagian besar gurunya meninggal dunia. Ia pun berhijrah ke Maroko selanjutnya ke Mesir 12. Periode kedua, ia terjun dalam dunia politik dan sempat menjabat berbagai posisi penting kenegaraan seperti Qadhi al-qudhat (Hakim Tertinggi). Namun, akibat 11
Periodisasi kehidupan Ibnu Khaldun ini yang diklasifikan menjadi 3 periode, banyak ditemukan pada beberapa literature diantaranya Deliar Noer, Pengantar Pemikiran Politik di Negeri Barat (Jakarta: Rajawali Press, 1983), hal. 83. lihat juga Zainab al-Khudhairi, Ibid, hal.10-15. 12 Kemudian, perselisihan politik yang lagi pada zamanya memaksanya pindah ke kairo (1382M), kota ini sangat mengesankan ibnu khaldun: ia melihat mamluk sebagai juru selamat islam kesultanan mereka sebagai “negara islam paling penting” (Ayalon, 1977 VII:327). Disana ia menjadi ahli hukum islam yang terkenal dan dihormati cukup baik sebagai hakim kepala mazhab maliki (1384 M). Pada masa ini ia memperbaiki dan merevisi muqaddimahnya sepanjang hidupnya.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
30 fitnah dari lawan-lawan politiknya, Ibnu Khaldun sempat juga dijebloskan ke dalam penjara. Selain menggemari dunia pengetahuan, Ibnu Khaldun juga terlibat dalam dunia politik. Ia pernah menjabat Shabib al’Allamah (penyimpan tanda tangan) pada pemerintahan Abu Muhammad ibn Tafrakin di Tunis. Ketika ia menduduki jabatan tersebut usianya baru menginjak 20 tahun. 13 Situasi politik yang tidak menentu membuat Ibnu Khaldun berpindah-pindah pekerjaan. Di tengah evolusi situasi politik ini, khaldun pernah terlibat langsung intrik politik dalam pemerintahan. Ia juga pernah menjabat sebagai sekretaris sultan Abu Inan dari Fez dan sebagai perdana menteri di Bougie. Situasi politik tersebut juga mempengaruhi karir hidupnya. Ketika ia menjabat sebagai sekretaris Kesultanan di Fez Maroko, ia menerima tudingan Abu Inan sebagai komplotan politik yang hendak menyerang Sultan. Khaldun akhirnya masuk penjara selama 21 bulan gara-gara tudingan tersebut. 14 Setelah keluar dari penjara, dimulailah periode ketiga kehidupan Ibnu Khaldun, yaitu berkonsentrasi pada bidang penelitian dan penulisan. Setelah khaldun merasa lelah dalam intrik yang dihadapinya, ia memutuskan untuk menjauhi dunia politik dan berkecimpung di dunia keilmuan dan intelektual. Ia pun melengkapi dan merevisi catatan-catatannya yang telah lama dibuatnya. Seperti kitab Al-’Ibar (tujuh jilid) yang telah ia revisi dan ditambahnya bab-bab baru di dalamnya. Nama kitab ini pun menjadi Kitab al-’Ibar wa Diwanul Mubtada’ awil Khabar fi Ayyamil ‘Arab wal ‘Ajam wal Barbar wa Man ‘Asharahum min Dzawis Sulthan al-Akbar. Kitab al-i’bar ini pernah diterjemahkan dan diterbitkan oleh De Slane pada tahun 1863, dengan
13
14
Abdul Wahid Wafi, Ibid, hal. 98. Ibnu Khaldun pernah diadili di tempat yang sekarang disebut Tunisia, Algeria, Maroko, dan di Granada, Spanyol dan telah dua kali dipenjara. Pada 1375 dia diasingkan di dekat Frenda, Algeria, 4 tahun untuk menyelesaikan karya monumentalnya, Mukaddimah. Isi pengantarnya Kitab al-Ibar (Sejarah Universal). Pada 1382, di kota suci Mekkah, dia ditawari oleh Sultan kairo untuk menjadi rektor di universitas Islam terkemuka, Universitas Al Azhar. Dia juga ditunjuk sebagai hakim (qadhi) Syekh Maliki Islam. Pada 1400 dia menemani pengganti sultan ke Damaskus dalam ekspedisi menahan serangan invasi Turki, Tamerlane (Timur Lenk). Ibnu Khaldun menghabiskan beberapa minggu sebagai tamu agung Tamerlene sebelum kembali ke Cairo, di sana ia meninggal pada 17 Maret 1406.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
31 judul Les Prolegomenes d’Ibn Khaldoun. Namun pengaruhnya baru terlihat setelah 27 tahun kemudian. 15 Periode pertama, seperti yang disebutkan di atas tadi adalah periode menuntut berbagai bidang ilmu pengetahuan. Mari kita lihat, sejauh mana pendidikan Khaldun memberikan banyak kontribusi kepada pemikiran politiknya khususnya masalah negara. Ibnu Khaldun lahir di Tunisia, Afrika Utara pada tanggal 27 Mei 1332 M atau bertepatan dengan tanggal 1 Ramadan tahun 732 H. Nama lengkapnya adalah Abdurrahman Abu Zaid Waliuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Abi Bakar Muhammad bin al-Hasan bin Jabir bin Muhammad bin Ibrahim bin Abdurrahman bin Khaldun, 16 yang kemudian masyhur dengan sebutan Ibnu Khaldun. Silsilah keturunannya sampai kepada sahabat Rasulullah saw, bernama Wail bin Hujr dari kabilah Kindah. 17 Ibnu Khaldun banyak memperoleh ide-ide tentang militer dan angkatan bersenjata dari ayahnya. Ayahnya adalah mantan perwira militer. Namanya Mumammad Ibn Muhammad Ibn al-Hasan Ibn Jabir Ibn Muhammad Ibn Ibrahim Ibn Abd al-Rahman Ibn Khaldun. 18 Khaldun yang terlahir dari keluarga Arab-Spanyol sejak kecil sudah dekat dengan kehidupan intelektual dan politik. Khaldun adalah keturunan orang-orang yang pernah menjabat kedudukan penting dalam pemerintahan. Baik di Spanyol maupun setelah pengungsian orang-orang muslim dari Spanyol ke Afrika Utara di Tunisia. 19 Ayahnya, Muhammad Bin Muhammad seorang mantan perwira militer yang gemar mempelajari ilmu hukum, teologi, dan sastra. Seperti tradisi ketika itu, ayahnya adalah guru pertamanya. Kemudian secara terus menerus ia belajar berbagai bidang ilmu seperti bahasa, hadits, fiqh atau yang biasa disebut jurisprudence Islam, 15
Tepatnya pada tahun 1890, yakni saat pendapat-pendapat Ibnu Khaldun dikaji dan diadaptasi oleh sosiolog-sosiolog German dan Austria yang memberikan pencerahan bagi para sosiolog modern. Lihat Ahmad Syafi’i Ma’arif, Ibid, hal. 102. 16 Ibnu Khaldun, al-Ta’rif bi Ibn Khaldun wa Rihlatuhu Gharban wa Syarqan (Kairo: Lajnah Ta’lif wa Tarjamah wa Nasyr, 1951), hal. 1. 17 Muqaddimah, hal. 4. 18 Ibnu Khaldun, At-Ta’rif bi Ibn Khaldun wa Rihlatuhu Gharban wa Syarqan (Beirut: Dar Ehya El-Turats, 1999), hal. 1. Dari ayahnya inilah ide-ide tentang militer dan bagaimana cara mempersiapkan angkatan bersenjata diperoleh oleh Ibnu Khaldun. Penjelasan lebih lanjut mengenai angkatan bersenjata dibahas pada bab IV. 19 Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, hal. 51.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
32 filsafat, teologi, logika, ilmu-ilmu alam, Matematika, dan Astronomi dan interpretasi Al-Qur’an. 20 Khaldun belajar bahasa kepada Abu Abdillah Muhammad bin Arabi Hasyaiyiri dan Abul Abbas Ahmad bin Qushhar serta Abu Abdillah Muhammad bin Bahr. Sedangkan untuk Hadits dia berguru kepada Syamsuddin Abu Abdillah Wadiyasyi. Bidang Fiqh, Khaldun berguru kepada sejumlah guru, hanya yang paling populer di antaranya Abu Abdillah Muhammad al-Jiyani dan Abu Qasim Muhammad al-Qashir. Sedangkan untuk bidang Sains dia banyak belajar dari Abu Abdillah Muhammad bin Ibrahim al-Abili. 21 Bahkan di usia 17 tahun, Khaldun telah menguasai ilmu Islam klasik termasuk ulum, aqliyah (ilmu kefilsafatan, tasawuf, dan metafisika). Tunisia ketika itu merupakan pusat para ulama dan sastrawan yang memungkinkan Ibnu Khaldun muda banyak belajar dari mereka. Ibnu khaldun berasal dari keluarga intelektual, yang sedikit tertarik dengan persoalan politik. 22 Nenek moyangnya berasal dari Hadramaut yang kemudian bermigrasi ke Sevilla (Spanyol) pada abad ke-8, keluarganya menduduki posisi tinggi dalam politik Spanyol, sampai akhirnya hijrah ke Maroko beberapa tahun sebelum Sevilla jatuh ke tangan penguasa Kristen pada tahun 1248 M. Setelah itu mereka menetap di Tunisia, di kota ini mereka dihormati pihak istana dan diberi tanah milik dinasti Hafsiah. Latar belakang keluarga dari kelas atas ini rupanya menjadi salah satu faktor yang kemudian mewarnai karir hidup Ibnu Khaldun dalam politik sebelum terjun sepenuhnya di dunia ke-ilmuan. Khaldun belajar berbagai disiplin ilmu secara formal sampai pada usia 20 tahun. Karena setelah itu Khaldun langsung terjun ke dunia politik praktis. Pada usia muda belia, Khaldun sudah aktif bergabung di arena politik praktis dan meninggalkan studinya. Tahun 749 di negeri Fez, hampir mayoritas penduduk negeri terjangkit wabah sampar. 23 Ibnu Khaldun menghabiskan lebih dari dua pertiga umurnya di kawasan Afrika Barat laut, yang sekarang ini berdiri negara-negara Tunisia, Aljazair dan
20
Ilmu-ilmu inilah yang banyak mempengaruhi pola pikir Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun, al-Ta’rif bi Ibn Khaldun, Ibid, hal. 15-20. 22 Abdul Wahid Wafi, Ibnu Khaldun: Hayatuhu wa Mu’allafatuh.(Cairo: Dar El-Fikri ElArabiy, 1997) h.81. 23 Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hal. 29. 21
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
33 Maroko serta Andalusia yang terletak di ujung selatan Spanyol. Pada zaman ini kawasan tersebut tidak pernah menikmati sebuah stabilitas dan ketenangan politik, sebaliknya merupakan kancah perebutan dan kekuasaan antar dinasti dan juga pemberontakan sehingga kawasan itu atau sebagian darinya sering berpindah tangan dari satu dinasti ke dinasti yang lain. Kenyataan tersebut sangat mewarnai hidup dan karir Ibnu Khaldun. 24 Khaldun seorang pelajar yang gemar merantau. Pindah dari satu tempat pendidikan ke tempat yang lain. Bukan hanya itu, ia juga banyak mengambil satu bidang keilmuan bukan dari satu guru saja. Bahkan ia belajar ilmu logika dari 40 guru. Hal ini ia lakukan agar lebih komprehenshif dan bisa membandingkan dinamisasi pemikiran yang berkembang di kalangan para cendekia. Menurut Deliar Noer, Khaldun merupakan pribadi yang cukup sempurna. Pasalnya pada diri Ibnu Khaldun bercampur pemikiran ia sebagai ilmuan dengan pengalaman sebagai birokrat di pemerintahan. Ia tidak berhenti menelaah ilmu. Khaldun banyak memangku jabatan-jabatan tinggi dalam pemerintahan, baik di Afrika Utara maupun di Spanyol. Pengembaraannya menyampaikannya ke daerah-daerah ini seperti Mesir. Di negeri ini Khaldun beberapa kali menjadi hakim dan di negeri ini pula ia menutup usianya pada tahun 1406. 25 Pendidikan dan pengalaman keilmuan inilah, khususnya ilmu agama yang nampak pengaruhnya pada konsep pemikirannya tentang negara. 26 Dalam salah satu konsepnya, Khaldun menawarkan teori siyasah syar’iyyah atau politik berbasis moral. Berikut petikannya: “Ketahuilah bahwa pendidikan Alquran termasuk syiar agama yang diterima oleh umat Islam di seluruh dunia Islam. Oleh kerena itu pendidikan Alquran 24
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, sejarah dan Pemikiran, (Jakarta :Universitas Indonesia Press, 1990), hlm 90-91 25 Deliar Noer, Ibid, hal. 51 26 Khaldun mendapatkan pendidikan agama konvensional dan mempelajari filsafat secara ekstensif. Khaldun membaca karya-karya Plato, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd. Dari bacaanbacaan tersebut, Khaldun mengenal pemikiran Aristoteles. Khaldun juga mengenal karyakarya Nasiruddin Tusi dan Fakhruddin al-Razi. Menurut Ibnu Khaldun, Metafisika adalah ilmu yang paling mulia. Lihat Muhsin Mahdi, Ibnu Khladun’sPhilosophy of History (London: 1957), hal. 33.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
34 dapat meresap ke dalam hati dan memperkuat iman. Dan pengajaran Alquran pun patut diutamakan sebelum mengembangkan ilmu-ilmu yang lain. Jadi, nilai-nilai spiritual sangat di utamakan sekali dalam kajiannya, disamping mengkaji ilmu-ilmu lainnya. Kehancuran suatu negara, masyarakat, atau pun secara individu dapat disebabkan oleh lemahnya nilai-nilai spiritual. Pendidikan agama sangatlah penting sekali sebagai dasar untuk menjadikan insan yang beriman dan bertakwa untuk kemaslahatan umat. 27 2.1.3 Situasi Sosial Politik Maroko, Al-Jazair, Tunisia, dan Mesir Periode ini merupakan periode kedua dari kehidupan Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun hidup pada situasi sosial politik yang tidak terlalu baik dan pentas pergumulan-pergumulan politik yang berkepanjangan. Pasalnya, pada masa itu pemberontakan, perebutan kekuasaan, dan konflik internal menjadi tontonan yang tidak asing lagi bagi seorang Ibnu Khaldun. Pada akhir abad ke-7 Dinasti Muwahhidun 28 telah runtuh. Pasca keruntuhan dinasti ini timbul negara-negara sparatis yang independen seperti; di Tunisia lahir kerajaan Hafsh (1229-1574 M) dengan ibu kota Tunis. Di Aljazair, berdiri kerajaan Abdul Wadd (633-962 M) dengan ibu kota Tilimsan (Tlemcen). Di Maroko berdiri kerajaan Marin (1269-1465 M) dengan ibu kotanya Fez. Dari ketiga dinasti ini, dinasti
Bani Abdul Wadd
merupakan dinasti yang terlemah. 29 Pecahnya Dinasti Muwahhidun menjadi tiga dinasti yang berasal dari Berber, rupanya berimplikasi kepada munculnya juga kerjaan-kerajaan kecil baik di dalam maupun di luar ketiga dinasti tersebut di bawah kekuasaan sebagian kaum khawarij. Perpecahan yang sangat akut ini mengakibatkan lahirnya pemberontakanpemberontakan dan perebutan kekuasaan. Akibatnya tidak ada dinasti yang mampu bertahan lama. 30 Ironisnya, di tengah kericuhan dan perpecahan politik, para penguasa hidup dengan kemewahan, gaya hidup hura-hura dan selalu mengumpulkan para pemikir
27
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hal. 170 Terletak di Afrika Utara, dinasti ini dan Andalusia ketika itu disebut Maghrib sekarang. 29 .Zainan al-Khudhairi, Ibid, hal. 9. 30 Muhammad Abdullah Enan, Ibnu Khaldun: Hayatuhu wa Turatsuhu al-Fikry (Kairo: Dar el-Fikr el-Araby, 1995), hal. 22-25. 28
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
35 dan sastrawan sebagai suatu kebanggaan dan prestise. Satu dari sekian para pemikir yang sering datang dan diundang ke Istana adalah Ibnu Khaldun. Khaldun seperti yang dilukiskan Zainab al-Khudhari dan Gaston Bouthoul adalah sosok pemikir dan politisi yang tidak bisa jauh dari penguasa. Hari ini ia dengan seorang pangeran dan esok harinya dengan pangeran yang lain. Khaldun selalu bersama dengan penguasa yang paling kuat, walaupun penguasa ini memintanya unutuk memutuskan persahabatan dengan sahabat sejatinya. 31 Gaston Bouthoul dalam Ibn Khaldun sa Philosofia sociale seperti yang dikutip Zainab Khudhairi memberi catatan yang cukup bijak berkenaan dengan sikap Ibnu Khaldun yang nampak seperti ‘penjilat’. Menurutnya “sebaiknya kita tidak menuduh serta-merta Ibnu Khaldun sebagai seorang penjilat, tidak mempunyai pendirian, dan tidak memiliki kesetiaan. Seyogyanya kita memperhatikan kondisi pada masa ketika itu. Dinasti-dinasti Islam ketika itu sedang mengalami kondisi perpecahan yang sangat parah. Pengkhianatan satu-satunya yang tidak bisa dimaafkan hanyalah pengkhianatan kepada agama. Sebab perasaan nasionalisme pada tanah air ketika itu kepada negeri Maghrib belum ada. 32 2.1.5.1 Ibnu Khaldun Seorang Birokrat, Politikus, dan Penulis Pemikiran-pemikiran Ibnu Khaldun yang cemerlang mampu memberikan pengaruh besar bagi cendekiawan-cendekiawan Barat dan Timur, baik Muslim maupun non-Muslim. Dalam perjalanan hidupnya, Ibnu Khaldun dipenuhi dengan berbagai peristiwa, pengembaraan, dan perubahan dengan sejumlah tugas besar serta jabatan politis, ilmiah dan peradilan. Perlawatannya antara Maghrib dan Andalusia, kemudian antara Maghrib dan negara-negara Timur memberikan hikmah yang cukup besar.
31
Lihat Zainab El-Khudhari, Ibid, hal. 19 dan Gasthon Bouthoul, Ibn Khaldun sa Philosofia sociale, hal. 79-80. 32 Zainab El-Khudhari, Ibid, hal. 10.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
36 Dia dikenal sebagai sejarawan 33 dan bapak sosiologi Islam yang hafal Alquran sejak usia dini. Sebagai ahli politik Islam, ia pun dikenal sebagai bapak Ekonomi Islam, karena pemikiran-pemikirannya tentang teori ekonomi yang logis dan realistis jauh telah dikemukakannya sebelum Adam Smith (1723-1790) dan David Ricardo (1772-1823) mengemukakan teori-teori ekonominya. 34 Bahkan ketika memasuki usia remaja, tulisan-tulisannya sudah menyebar ke mana-mana. Tulisan-tulisan dan pemikiran Ibnu Khaldun terlahir karena studinya yang sangat dalam, pengamatan terhadap berbagai masyarakat yang dikenalnya dengan ilmu dan pengetahuan yang luas, serta ia hidup di tengah-tengah mereka dalam pengembaraannya yang luas pula.
33
Pemikiran Khaldun tentang sejarah merupakan satu pemikiran yang melandasi pemikiran modern orang Eropa tentang sejarah pada periode selanjutnya. Bagaimanapun Jean Bodin (1530-1596), Jean Mabilon (1632-1707), Betrhold Georg Niebur (1776-1831), hingga Leopald van Ranke (1795-1886), membaca atau tidak al-Muqadimmah, pemikirannya sejalan dengan Ibnu Khladun. Dari sini kita bisa tahu bahwa Ibnu Khaldun adalah perkecualian. Ia bukan saja pemikir yang selalu berpikir tentang hal-hal yang abstrak melainkan pemikirannya berasal dari tanah tempat di mana dia berpijak. Memahami pemikiran Ibnu Khaldun sama halnya memahami pemikiran seorang Islam yang berani mengkritik bangsanya. Lihat Ahmad Syafii Maarif, Ibn Khaldun Dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hal. 19. 34 Selama abad pertengahan (abad 5- 15) ahli injil mendominasi pemikiran Eropa. Para pemikir Eropa masih berkutat pada pencarian hakikat manusia, yakni sekitar pertanyaan asal manusia dan perkembangan kultural. Mereka menjawab pertanyaan ini dengan jawaban masalah kepercayaan religius dan mengajukan ide bahwa keberadaan manusia dan semua perbedaan manusia adalah ciptaan Tuhan. Jawaban tersebut sangat teologis meskipun sudah ada keterbukaan berpikkir dibandingkan dengan masa gelap Eropa. Sebagaimana diketahui pemikiran teologi Gereja mendominasi Eropa abad gelap. Sisi lain yang mempengaruhi pemikiran Eropa adalah buah eksplorasi mereka ke dunia Timur. Mulai akhi abad 14, penjelajah Eropa mencari kekayaan di tanah baru yang memberikan gambaran gambling tentang kebudayaan eksotis yang mereka temui pada perjalanan mereka di Asia, Afrika, dan tanah yang kita sebut sebagai Amerika. Tetapi penjelajahpenjelajah ini tidak memahami bahasa-bahasa di mana mereka datang dan mereka membuat penelitian singkat dan sistematis. Pada abad 14 Ibnu Khaldun menulis sejarah universal yang mengungkapkan secara luar biasa luas mengenai kemampuan pembelajaran dan kemampuan yang tidak biasa dari Ibn Khaldun yang menyusun teori umum untuk perhitungan perkembangan politik dan social sosial selama berabad-abad. Dia adalah seorang sejarawan muslim satu-satunya yang menyarankan alasan sosial dan ekonomi bagi perubahan sejarah, meskipun dibaca dan dikopi pekerjaannya, tetap tak mengahasilkan pengaruh yang efektif hingga mendorong pemikiran Barat yang baru diperkenalkan pada abad 19. lihat Antoni Black, Pemikiran Politik Islam; Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini. Terjemahan The History of Islamic Political Thought: From: the Prophet to the Present oleh Abdullah Ali dan Mariana Ariestyawati (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), hal. 323. Hampir semua kerangka konsep pemikiran Ibnu Khaldun tertuang dalam Muqadddimah.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
37 Ibnu Khaldun meniti kariernya di bidang Pemerintahan dan politik di kawasan Afrika Barat dan Andalusia selama hampir seperempat abad. Dalam kurun waktu itu lebih dari sepuluh kali dia berpindah jabatan dan seringkali bergeser loyalitas dari satu dinasti ke dinasti yang lain dan dari satu pengusaha ke pengusaha yang lain pada dinasti yang sama. Khaldun pernah menduduki jabatan penting di Fes, Granada, dan Afrika Utara serta pernah menjadi guru besar di Universitas al-Azhar, Kairo yang dibangun oleh dinasti Fathimiyyah. Dari sinilah ia melahirkan karya-karya yang monumental hingga saat ini. Nama dan karyanya harum dan dikenal di berbagai penjuru dunia. Ibnu khaldun ialah salah satu pemikir Islam yang cemerlang, ia tidak hanya membuktikan dirinya pada tataran teoritis saja, tapi ia juga berkecimpung dalam tataran politik praktis. Dari pengalaman politiknya ini, ia memperoleh pengetahuan yang cukup luas baik itu sebagai seorang diplomat maupun sebagai seorang perdana menteri atau sekretaris. 35 Dalam tatanan praktis, ia banyak terlibat dengan intrik-intrik politik ketika itu. Pada usia 21 tahun (751 H/ 1350 M), ia diangkat sebagai sekretaris Sultan al-Fadl dari Dinasti Hafs, tetapi ia kemudian berhenti karena penguasa ini kalah perang (753 H/1352 M), dan Ibnu Khaldun pun terdampar di kota Baskara, Maghribi Tengah (Aljazair). Di sini ia berusaha bertemu dengan Abu Anan dari Bani Marin, dan pada tahun 755 H/ 1354 ia diangkat menjadi anggota majelis Ilmu pengetahuan, dan kemudian menjadi sekretaris sultan. Jabatan ini di pegangnya sampai tahun 763 H/1361 M dengan dua kali sempat dipenjara sampai saat Wazir Usman bin Abdullah marah kepadanya dan memerintahkannya untuk meninggalkan Tunisia. 36 Ia pin pergi
35
Warul Walidin, Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibnu Khaldun. (Yogyakarta: Suluh Press, 2005), hal.50.. 36 Ibnu Khaldun sebenarnya politikus yang oportunistik. Ketika Mansur bin Sulaiman salah seorang putra Ya’qub bin Abdilhaq, pendiri dinasti Bani Marin di Maghrib jauh, menggulingkan menteri Hasan bin Umar dan merebut kedudukan Sultan, Ibnu Khaldun berbalik turut serta menggulingkan menteri tersebut dan melupakan jasa-jasa terdahulu serta melakukan pendekatan pragmatik kepada sultan yang baru dengan tujuan jabatan. Lihat Ali Abdul Wahid Wafi, Ibnu Khaldun, hal. 25.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
38 ke Granada pada tahun 764 H/ 1363 M tempat sultan Bani Ahmar memerintah. 37 Ketika hubungannya dengan Sultan mengalami keretakan, ia berpindah haluan kepada Abu Abdillah Muhammad, pemimpin Bani Hafs yang kemudian mengangkatnya sebagai Perdana Menteri merangkap khatib negara, sampai Bijayah jatuh tangan Sultan Abu al-Abbas Ahmad. 38 Pada masa ini, Ibnu Khaldun di angkat lagi sebagai perdana menteri, sampai ia pergi ke Baskarah. Di Baskarah ini ia berkirim surat untuk memberikan dukungan kepada Sultan Tilmisan dari Bani Abdil Wad, Abu Hammu. Sultan memberikan jabatan penting di dalam kesultanannya, tetapi ditolak oleh Ibnu Khaldun. Dan mengusulkan kakaknya yang bernama Yahya untuk menjadi pengganti posisinya. Namun demikian, Ibnu Khaldun tetap membantunya mengumpulkan beberapa suku untuk memihak kepada Abu Hammu melawan Abu Abbas. 39 Setelah mengabdi kepada pemerintah yang satu dengan yang lain, Ibnu Khaldun merasa lelah dalam petualangan politiknya. Ketika Abu Hamu memintanya untuk mencari dukungan politik dari para suku lebih banyak, dia memanfaatkan kesempatan ini untuk meninggalkan politik. 40 Sekalipun usahanya tidak pernah lelah namun dia gagal membawa perdamaian diantara negara-negara kecil di Afrika dan memutuskan untuk mengasingkan diri di Oran, pinggiran kota Tunisia, disinilah selama empat tahun dia mencurahkan dirinya untuk meneliti sejarah dan menulis Muqaddimah. 41 Pada tahun 780 H/1378 M, Ibnu Khaldun kembali ke tanah airnya, Tunisia. Disana ia merevisi kitab al-Ibar–nya. Kemudian pada tahun 784 H/1382 M ia berangkat ke Iskandariyah, Mesir, untuk menghindari kekacauan politik di Maghribi, kemudian ia pergi ke Kairo. Di Kairo Ibnu Khaldun mengambil jalur di dunia
37
Rahman Zainuddin, Ilmu Sejarah, Sosial dan Politik, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Edisi II (Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002) h. 274 38 Ibid, hal. 274. 39 Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pemikiran Islam, alih bahasa, Ahmad Thaha, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1989). hlm.22 40 Hakimul Ikhwan Afandi, Akar Konflik Sepanjang Zaman : Elaborasi Pemikiran Ibnu Khaldun, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004.), hlm 31 41 Osman Raliby, Ibnu Khaldun Tentang Masyarakat dan Negara, Cet. IV. (Jakarta: Bulan Bintang,1978). hlm 25
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
39 pendidikan, selain sebagai seorang hakim di pengadilan. Disini ia sangat disukai karena penjelasannya yang mengesankan mengenai berbagai fenomena sosial. Hidupnya tidak hanya dihabiskan dalam intrik politik ini, tapi dihabiskan di dunia intelektual. Sehingga, keputasannya untuk berhenti dalam politik praktis telah membuka jalan baginya untuk menuliskan sebuah karya besar yakni Muqaddimah (pendahuluan atas kitab al-’Ibar yang bercorak sosiologis-historis, dan filosofis). 42 Muqaddimah ini selesai ditulis oleh khaldun dalam waktu selama lima bulan, dan berakhir pada pertengahan 779 H/ November 1377 M. hal ini ia ungkapkan dalam penutupan muqaddimah-nya: ”Saya selesaikan komposisi dan naskah dari pasal yang pertama ini, sebelum revisi dan koreksi, selama lima bulan, berakhir pada pertengahan tahun 779 (November 1377). Lalu, saya merevisi dan mengoreksi buku ini, dan saya tambahkan kepadanya sejarah berbagai macam bangsa, sebagaimana telah saya sebutkan dan saya niatkan untuk melakukannya pada permulaan karya itu. 43 Menurut Antony Black, Muqaddimah memadukan berbagai segi dari seluruh gentre pemikiran politik Islam. Argumentasinya yang sistematis berdasarkan rasio dan bukti-bukti menjadikannya sebagai karya filsafat yang paling menonjol. Karya ini merupakan sebuah buku nasehat berskala besar, tentang bagaimana menghadapi kemerosotan, terutama pembahasannya mengenai kebutuhan akan sentimen kelompok atau dalam istilah Khaldun, ashabiyah, jika kita ingin melakukan pembaruan sosial. 44 Dalam Muqaddimah, Ibnu Khaldun menyusun sebuah teori umum untuk menjelaskan perubahan sosial dan politik dengan menggunakan sejumlah besar data historis dan kontemporer dari dunia Islam. Teori sejarahnya tidak bersifat siklus atau evolusioner, melainkan seperti gelombang
pasang surutnya
dinasti terjadi dengan sendirinya secara berulang-ulang, didorong oleh kekuatan dasar yang sama. 45
42
Dalam muqaddimah ini, khaldun membuktikan bahwa ia seorang pemikir yang memiliki pengetahuan yang luas. Tidak hanya itu, ia juga kritis terhadap para sejarawan sebelumnya, karena sikap kritis inilah salah satu yang melatarbelakangi ia menulis muqaddimah ini, disamping latar belakang sosio-politik. 43 Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hal. 588. 44 Antony Black, Ibid, hal. 337. 45
Ibid, hal. 336-337. Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
40 Karya Khaldun kedua yang populer berjudul Kitabul ‘ibar wa di- wa nul mubtada’ wal khabar, fil ayya-mil ‘arab wal ‘ajam wal barbar, wa man aa-sharahum min dzawi sulthaan al-akbar, atau dikenal dengan kitab alam semesta. Karya-karya lain Ibnu Khaldun yang bernilai sangat tinggi diantaranya, at-Ta’riif bi Ibn Khaldun (sebuah kitab autobiografi, catatan dari kitab sejarahnya); Lubab al-Muhassal fi Ushul ad-Diin (sebuah kitab tentang permasalahan dan pendapat-pendapat teologi, yang merupakan ringkasan dari kitab Muhassal Afkaar al-Mutaqaddimiin wa alMuta’akh-khiriin karya Imam Fakhruddin ar-Razi). Ada beberapa catatan penting dari sini yang dapat kita ambil bahan pelajaran. Bahwa Ibnu Khaldun menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan tidak meremehkan akan sebuah sejarah. Ia adalah seorang peneliti yang tak kenal lelah dengan dasar ilmu dan pengetahuan yang luas. Ia selalu memperhatikan akan komunitas-komunitas masyarakat. Selain seorang pejabat penting, ia pun seorang penulis yang produktif. Ia menghargai akan tulisan-tulisannya yang telah ia buat. Bahkan ketidaksempurnaan dalam tulisannya ia lengkapi dan perbaharui dengan memerlukan waktu dan kesabaran. Sehingga karyanya benar-benar berkualitas, yang di adaptasi oleh situasi dan kondisi. Karena pemikiran-pemikirannya yang briliyan Ibnu Khaldun dipandang sebagai peletak dasar ilmu-ilmu sosial dan politik Islam. Dasar pendidikan Alquran yang diterapkan oleh ayahnya menjadikan Ibnu Khaldun mengerti tentang Islam, dan giat mencari ilmu selain ilmu-ilmu keislaman. Itulah kunci keberhasilan Ibnu Khaldun. Ia wafat di Kairo, Mesir pada saat bulan suci Ramadan tepatnya pada tanggal 25 Ramadan 808 H./19 Maret 1406 M pada usia 74 tahun. Kematiannya cukup mendadak Hingga saat ini belum diketahui secara pasti, dimana Ibnu khaldun di makamkan. 46 Namun menurut Zainab Khudairi, Ibnu Khaldun dimakamkan di makam para sufi di luar Bab Nashr, Kairo. 47 Gibb menyatakan, Khaldun adalah tokoh yang unik. Pasalnya, pemikirannya yang orisinal dan karena ia banyak dilupakan orang. Pada abad ke-18, lingkungan birokrasi Turki 46
Lihat Tamim Ansary, Dari Puncak Bagdad Sejarah Dunia Versi Islam, terjemahan Destiny Disrupted: A History of the World Through Islamic Eyes, terjemahan Yuliani Liputo (Jakarta: Penerbit Zaman, 2009), hal. 219. 47 Zainab Khudairi, Ibid, hal. 19.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
41 tertarik pada alasan-alasan praktis yang ia tawarkan ketika menjelaskan teori sebabsebab kemunduran. Itulah Ibnu Khaldun, sosiologi harus direka-ulang di Eropa pada abad ke-18. Mengkaji pemikiran Khaldun merupakan sebuah kehormatan untuk menjelajahi dunia yang sama seperti ia jelajahi. 48
48
H.A.R Gibb, Studies on the Civilization of Islam (Princeton: Princeton University Press, 1962), hal. 127.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
42 2.2 LATAR BELAKANG SOSIAL, PENDIDIKAN, DAN POLITIK NICCOLO MACHIAVELLI (1467-1527)
2.2.1
Pengaruh Renaisans Italia dan Reformasi Agama di Eropa Terhadap Pemikiran Machiavelli Ada tiga tokoh filosofi yang lahir pada zaman Renaissance; 49 Leonardo da
Vinci, Michael Angelo Buonarroti dan Niccolo Machiavelli. Renaisannce walaupun tidak melahirkan filosof teoritis penting, namun melahirkan salah satu manusia besar dalam kancah filsafat politik, yaitu Niccolo Machiavelli. Machiavelli adalah anak zaman Renaisans. 50 Berbicara mengenai pemikiran Machiavelli tidak bisa dilepaskan dari diskusi tentang Renaisans. 51 Bangsa Eropa, saat detik-detik lahirnya gerakan Renaisans mulai meninggalkan nilai-nilai tradisi yang mengikat serta melepaskan dari ikatan doktrin gereja yang ketat. Pada masa ini, gereja tidak lagi menjadi sentral kekuasaan teologi dan politik peranan ini diambil alih oleh spirit kebebasan dan reformasi agama. 52 Dalam bahasa yang agak kasar, modernisme yang diusung oleh Barat merupakan pemberontakan radikal melawan agama Kristen (Katholik) serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Gerakan inilah yang muaranya melahirkan Renaisans dan Kristen Protestan di Eropa serta hidupnya kembali filsafat-filsafat Yunani Kuno
49
Kata Renaisans berasal dari bahasa Perancis. Secara etimologis ’Renaisans’berasal dari kata ’Re, yang artinya kembali dan ’Naitre yang artinya lahir, kelahiran kembali. Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat; Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007) hal.109. 50 Ahmad Suhelmi, Ibid. hal.125-126. 51 Banyak literatur yang memulai pembahasan mengenai pemikiran politik Machiavelli dimulai dengan pembahasan mengenai Renaisans diantaranya G.H. Sabine dalam A History of Political Theory 2, hal. 1-21, Deliar Noer dalam Pemikiran Politik di Negeri Barat, hal. 63-65, Ahmad Suhelmi dalam Pemikiran Politik Barat, hal. 109-117, dan beberapa literatur politik lainnya. 52 Jika kita melihat sejarah pemikiran politik secara linear semenjak 400 SM, masa Yunani Kuno hingga hari ini, terdapat beberapa fase pemikiran dan kekuasaan politik yang menghegemoni sosial politik. Fase 400 SM-1 M Masa Yunani Kuno, fase 1 M–500 M Masa Kekuasaan Romawi, fase 500 M – 1517 M Masa Pertengahan atau Dark of Age bagi Eropa. Tahun 1517 M Reformasi Agama. Fase 1517 M – 2000 M Masa Modern.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
43 serta turunannya, termasuk di antaranya filsafat politik Machiavelli. Pada masa inilah seorang Niccolo Machiavelli hidup. Apa yang dilakukan Machiaveli yang kemudian disebut sebagai “politik modern” tentu saja tak lepas dari arus besar renaissance masyarakat Eropa, yang selama hampir 1.000 tahun hidup di bawah sistem politik teokrasi (kekuasaan Tuhan). Tuhan melalui wakilnya di bumi mendominasi segala aspek kehidupan, termasuk politik. Pemerintahan dianggap tidak sah, jika tidak disahkan oleh wakil Tuhan. 53 Kasus ini menunjukkan keefektifan kekuasaan Paus atas pemerintah. Institusi kepausan, meskipun tanpa tentara, mampu melakukan pengucilan terhadap Raja yang sangat besar kekuasaannya di Eropa. Dominasi kekuasaan kaum agamawan dalam politik kemudian menyulut berbagai protes. Tahun 1887, Lord Acton seperti menyindir hegemoni kekuasaan agama dan menulis surat kepada Bishop Mandell Creighton. Isinya antara lain “All power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely.” 54 Berbagai penyimpangan system teokrasi kemudian melahirkan semangat pemberontakan terhadap agama. Revolusi Perancis tahun 1789 yang mengusung jargon “Liberty, Egality, Fraternity”, secara terbuka menyingkirkan bukan hanya system monarkhi tetapi juga dominasi kaum agamawan dalam politik. Sebelumnya, para agamawan (clergy) di Perancis menempati kelas istimewa bersama para bangsawan. Mereka mendapatkan berbagai hak istimewa, termasuk pembebasan 53
Contoh yang menarik terjadi pada konflik antara Paus Gregory VII dan Raja Henry IV pada paruh abad ke-11. Konflik bermula ketika Gregory melarang keterlibatan Raja dalam pengangkatan pejabat gereja. Paus berargumen, bahwa konsep Gereja sebagai monarkhi berasal dari tradisi Imperium Romawi. Paus sendiri yang berhak mengangkat dan memberhentikan para uskup, mengadakan suatu Sidang Umum dan mengeluarkan peraturan moral dan keagamaan. Jika Paus mengucilkan seorang penguasa, maka penguasa itu berarti telah berdiri di luar tubuh Kekristenan, dan karena itu ia tidak dapat menjadi penguasa di wilayah Kristen (Christendom). Raja Henry IV menolak klaim Paus tersebut, dan menyatakan bahwa kekuasaan raja juga datang langsung dari Tuhan. Menghadapi tentangan itu, Paus menyerukan kepatuhan pasif terhadap Henry IV. Pada akhir pertarungan, Henry IV takluk dan dipaksa menemui Gregory di Canossa pada 1077. Paus kemudian meringankan hukuman atas Henry tetapi tidak memulihkan kekuasaannya. 54 Lord Acton, Vicars of Christ: The Dark Side of the Papacy (London: Bantam Press, 1991) hal. 98.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
44 pajak. Padahal, jumlah mereka sangat kecil, yakni hanya sekitar 500.000 dari 26 juta rakyat Perancis. Kekeliruan sebagian tokoh agama dalam politik yang menindas rakyat akhirnya memunculkan trauma masyarakat Barat terhadap peran agama dalam politik. Bahkan, kemudian muncul fenomena “anti-clericalism” di Eropa pada abad ke-18. 55 Trauma pada dominasi dan hegemoni kekuasaan agama itulah yang memunculkan paham sekularisme dalam politik, yakni memisahkan antara agama dengan politik. Mereka selalu beralasan, bahwa jika agama dicampur dengan politik, maka akan terjadi ‘politisasi agama’. Agama haruslah dipisahkan dari negara. Agama dianggap sebagai wilayah pribadi dan politik (negara) adalah wilayah public. Agama adalah hal yang suci sedangkan politik adalah hal yang kotor dan profan. Di Eropa, trauma sistem teokrasi kemudian memunculkan tradisi politik sekular-liberal. Pengalaman sejarah dan trauma Barat terhadap hegemoni sistem teokrasi mengharuskan dilakukannya sekularisasi di Barat. Renaisans adalah starting point untuk memahami perkembangan dan sejarah peradaban Eropa modern. Setidaknya karena enam alasan. 56 Pertama, merupakan puncak masa keemasan dalam bidang sosial, politik, sains, dan budaya. Kedua, melahirkan kembali spirit kemajuan berpikir. Ketiga, hadirnya kembali rangsangan budaya berfilsafat Yunani dan Romawi kuno. Keempat, peralihan orientasi teosentrik menjadi antroposentris. Kelima, hilangnya kepercayaan kepada institusi gereja. Dan Keenam, munculnya pemikiran baru tentang posisi agama dan negara dalam pandangan moralitas. Menurut Deliar Noer, perubahan Eropa ini antara lain disebabkan oleh pengaruh-pengaruh yang disebarkan oleh Islam dan kaum muslimin, terutama 55
Sebuah ungkapan populer ketika itu: “Berhati-hatilah, jika anda berada di depan wanita, hatilah-hatilah anda jika berada di belakang keledai, dan berhati-hatilah jika berada di depan atau di belakang pendeta.” (Beware of a women if you are in front of her, a mule if you are behind it, and a priest wether you are in front or behind).” Lihat Owen Chadwick, The Secularization of the European Mind in the Nineteenth Century, (New York: Cambridge University Press, 1975) hal. 79. 56 Ahmad Suhelmi, Ibid, hal. 110.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
45 universitas-universitas muslim di Andalusia. Di samping itu perang salib secara tidak langsung telah membuka mata Eropa terhadap perkembangan-perkembangan di negeri orang lain, yang diantaranya pelepasan diri dari kepicikan. Tambahnya, perubahan-perubahan di Eropa yang menjadi landasan kemajuan Eropa, tidak termasuk di dalamnya masalah ’moralitas’. Sebaliknya moral tidak mendapat perhatian khusus. Pengkhianatan dalam berkawan, nafsu untuk menggapai kekuasaan tanpa memperhatikan segi-segi kewajaran sudah sangat akut. Masa Renaisans menumbuhkan kecurigaan-kecurigaan di kalangan sesama kawan. Sampai-sampai pada penobatan seorang paus, kardinal-kardinal yang hadir membawa minumannya masing-masing. Karena adanya kecurigaan minuman yang disediakan mungkin mengandung racun.
57
Point keenam inilah, yang sangat kentara pengaruhnya
terhadap paradigma berpikir Machiavelli. Di zaman inilah Machiavelli lahir. Kebanyakan orang menganggap Machiavelli sebagai ’biang penyebar moral tujuan menghalalkan segala cara’ (the end justifies the means). Pemikiran Machiavelli dapat dianggap sebagai ‘antitesis’ terhadap gagasan kenegaraan Santo Augustinus dan Thomas Aquinas yang melihat agama Kristen dari sudut pandang teologi atau filsafat, sedangkan Machiavelli melihat agama dari sudut pragmatisme dan kepentingan politik praktis. Agama memiliki makna jika berguna bagi kepentingan politik kekuasaan. Bagi Machiavelli, tidak penting apakah ajaran doktrin agama itu benar atau salah. Dalam hal ini Machiavelli masuk sebagai kategori penganut utilitarianisme dan pragmatisme. 58 Renaisans sendiri sebetulnya bukan gerakan popular. Renaisans merupakan gerakan civitas sarjana dan artis yang didukung oleh kaum patron liberal, khususnya keluarga Medici dan para Paus Humanis. Petrarch 59 adalah tokoh penggeraknya. Ia berhasil menjadikan filsafat Stoa dan sejarah Roma relevan untuk orang segenerasinya. Pada abad XV pandangannya berpengaruh di seluruh Eropa.
60
Benih-
57
Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat (Jakarta: CV Rajawali Press, 1982), hal. 64. Ahmad Suhelmi, Ibid, hal. 139. 59 Penyair dan humanis abad 14. 60 Rapar, Filsafat Politik Machiavelli (Jakarta: Rajawali Press, 1991), hal. 9. lihat juga Ahmad Suhelmi, Ibid, hal. 115. 58
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
46 benih lahirnya Renaisans sebetulnya telah terdapat pada akhir zaman pertengahan bagian yang kedua, akhir zaman pertengahan sesudah perang salib. Diperkirakan zaman renaisans ini dimulai pada kira-kira pertengahan abad pertengahan paruh kedua sampai pada akhir abad ke XVI. 61 2.2.2. Riwayat Pendidikan Machiavelli Niccollo Machiavelli lahir pada tanggal 3 Mei 1467 di Florence, Italia. Pemikiran politik Machiavelli tentang Negara dan kekuasaan telah menghantarkannya sebagai pencetus pemikir negara modern. 62 Kehebatan Machiavelli seperti ini tidak lepas dari didikan dan sentuhan ayahnya, Bernardo Machiavelli. Ayahnya seorang ahli hukum (pengacara) dari keluarga bangsawan yang mempunyai reputasi tinggi. Ibunya bernama Bartolomea. Machiavelli adalah anak kedua dari pasangan Bernardo dan Bartolomea. Pasangan ini dikarunia 4 anak; 2 laki-laki dan 2 perempuan. Machiavelli memperoleh pendidikan yang cukup bagus. Ayahnya Machiavelli adalah seorang pengagum sejarah klasik Yunani dan Romawi. Ia menekuni karya klasik dari Cicero yakni Philippus on Moral Obligation dan The making of an Orator serta History of Livius. Bernardo sangat mengagumi karya Livius. Karya inilah 40 tahun kemudian menjadi kerangka dasar pemikiran Machiavelli yang ia tuangkan dalam The Prince. 63 Masa muda Machiavelli tidak banyak terungkap. Latar belakang kehidupan pribadinya sangat sedikit diketahui. 64 Tetapi dari jabatan, kecakapan, dan keterampilan serta buku-bukunya bisa disimpulkan bahwa dia mempunyai latar belakang pendidikan yang terbaik di masa itu. Bernardo menginginkan Niccolo 61
Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty, 1986), hal. 68. Soehino, Ibid, hal.74. 63 Ibid, hal. 126. 64 Kehidupan Machiavelli kurang bahagia yang mungkin disebabkan kesibukan politik Machiavelli. Dalam kaitannya kehidupan Machiavelli dengan wanita, dalam salah satu surat kepada temannya, Fransesco Vettori, Machiavelli melukiskan pertemuannya dengan seorang pelacur. Menurut Vettori, penampilan Machiavelli di masa muda adalah seorang yang bertubuh langsing, mata berkilat-kilat, rambut hitam, hidung mancung, mulut selalu terkatup rapat. Hal ini mengesankan sosok Machiavelli sebagai pengamat dan pemikir yang tajam, tetapi tak bisa memberi pengaruh kepada orang lain. 62
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
47 Machiavelli kelak menjadi pemikir terkemuka. Guna mewujudkan cita-citanya itu Bernardo mendidik Machiavelli untuk mempelajari ilmu-ilmu kemanusiaan. 65 Machiavelli pada usia 6 tahun telah mempelajari bahasa Latin. Karena itu buku-buku yang berisi ilmu-ilmu kemanusian yang ditulis dalam bahasa Latin, tidak terlalu sulit dipahaminya karena Machiavelli telah belajar bahasa Latin sejak usia 6 tahun. Pada usia 12 tahun, Machiavelli berguru kepada Paulo Ronsiglione untuk mempelajari ilmu-ilmu kemanusiaan dengan menggunakan bahasa latin. Dalam catatan harian Bernardo pada tahun 1481 disebutkan bahwa Machiavelli pada usia 14 tahun telah mampu menulis karangan dalam bahasa Latin yang sangat baik. Pendidikan Machiavelli selanjutnya dilanjutkan di universitas Florence di bawah bimbingan Marcello Virgilio, fokus pada studi-studi tentang budaya manusia seperti sejarah dan menguasai karya-karya Latin dan Italia kuno serta kajian klasik. 66 Ia diketahui pada tahun 1502 menikahi Mrietta Corsini yang kelak melahirkan 6 anak baginya. 67 2.2.3 Kondisi Sosial Politik Italia Machiavelli lahir seiring dengan kondisi negaranya yang kacau. Italia yang saat itu sedang berkecamuk menjadi pelajaran bagi Machiavelli. Beberapa kali dia menyaksikan setiap episode yang berbeda, antara Negara republic dan Negara absolute. Kehidupan sosio-politiknyalah yang membentuk pemikirannya itu. Seorang pecinta tanah air yang kuat, politikus, dan demokrat yang yakin serta penyidik tanpa perasaan dan sinis. Machiavelli dilihat secara utuh, dalam konteks sejarah dimana dia hidup, sebenarnya adalah Republik Roma Kuno, yang memiliki keutamaan serta mampu 65
Skinner, Machiavelli Dilema Kekuasaan dan Moralitas. Terjemahan Burgan Wirasubrata (Jakarta: Grafti, 1994), hal. 6. 66 Ibid. 67 Perjalanan hidup Machiavelli sendiri cukup menyedihkan. Ia pernah ditahan dan disiksa. Ia dituduh melawan pemerintah Italia sekitar tahun 1495. Ia menulis The Prince pada umur 44 tahun, dan baru dipublikasikan tahun 1532, lima tahun setelah kematiannya.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
48 menjadi pusat kekuasaan dunia. Dengan demikian, mindset etika politik ala Machiavelli pun tidak terlepas dari bangunan kekuasaan dan ketatanegaraan Roma saat itu. Akan tetapi, siapapun Machiavelli, ia merupakan sosok manusia super, yang berani melangkah lebih maju pada zamannya. Kekuasaan yang menghalalkan segala cara telah mengilhami negara-negara modern, dan meyakinkan para penguasa bahwa legitimasi negara ditentukan oleh tujuan dan cara. Selama masa hidup Machiavelli – pada saat puncak-puncaknya Renaissance Italia– Italia terbagi-bagi dalam negaranegara kecil, berbeda dengan negeri yang bersatu seperti Perancis, Spanyol atau Inggris. Karena itu tidaklah mengherankan bahwa dalam masanya Italia lemah secara militer. Florence pada permulaan abad XVI merupakan sebuah kota yang dilukiskan oleh Francesco Guicciardini tahun 1509 sebagai kota yang aman, damai dan sejahtera. Warga kotanya bersatu. Ketika itu Florence dikuasai oleh dinasti Medici yang meskipun memerintah dengan otoriter, sukses membangun Italia menjadi sebuah Negara yang kuat. 68 Di kala Machiavelli muda, Florence diperintah oleh penguasa Medici yang masyhur, Lorenzo yang terpuji. 69 Tetapi Lorenzo meninggal dunia tahun 1492, dan beberapa tahun kemudian penguasa Medici diusir dari Florence; Florence menjadi republik (Republik Florentine) pada tahun 1498. Pada usia 25 tahun Machiavelli menyaksikan perjuangan Girolamo Savonarola. Dia adaah seorang politikus moralis yang membela kaum miskin dan melawan orang-orang kaya. Guicciardini menggambarkan sosoknya sebagai orang alim yang memiliki reputasi dan otoritas cemerlang serta menguasai berbagai disiplin
68
Selama masa hidup Machiavelli -pada saat puncak-puncaknya Renaissance Italia-Italia terbagi-bagi dalam negara-negara kecil, berbeda dengan negeri yang bersatu seperti Perancis, Spanyol atau Inggris. Karena itu tidaklah mengherankan bahwa dalam masanya Italia lemah secara militer padahal brilian di segi kultur. 69 Ketika berusia 25 tahun, kemampuannya menarik perhatian Gorfalonier Piero Soderini, pimpinan pemerintahan Firenze (1498-1512). Machiavelli dianggap menjadi orang kepercayaan Soderini, sampai-sampai para musuh Soderini menyebut dia “kacung Soderini”. Ia pun masuk dalam kelompok kaselir yang terdiri atas 10 orang yang memiliki sejumlah kekuasaan diplomasi, perang dan lain-lain, selama 14 tahun meraih sukses termasuk ketika berhasil merebut Pisa dan mengembalikannya ke dalam kekuasaan Republik Florence tahun 1508.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
49 ilmu khususnya filsafat. Tidak mengherankan bila savinarole demikian kharismatis di hadapan pengikut-pengikutnya. Machiavelli juga terpakau dengan Fanatisisme dan ketegaran sikap politik Savonarala meghadapi penguasa tiran Italia. Tetapi sayang perjuangan Savonarala mengalami kegagalan. Machiavelli menyaksikan kegagalan perjuangan Savonarala. Kegagalan perjuangan Savonarala memurnikan moralitas karena tidak memiliki kekuatan politik dan kekuatan militer. Peristiwa itu mempengaruhi Machiavelli dan menyadarkannya bahwa mereka yang bersenjata akan dapat menaklukan mereka yang tidak bersenjata. 70 Pada bulan Agustus 1499, ketika Machiavelli berusia 28 tahun, terjadi peristiwa Vitelli. Vitelli adalah nama seorang pemimpin tentara bayaran (condottire). Ia disewa pemerintah Florence untuk merebut Pisa, tetapi karena orang-orang Pisa memberikan bayaran lebih besar dari pemerintah Florence, mereka menghentikan serangan terhadap Pisa. Ini merupakan peristiwa memalukan bagi rakyat dan negara Italia. Bagi Machiavelli sendiri peristiwa ini memberikan pelajaran berharga bahwa suatu negara seperti Italia harus memiliki tentara sendiri. Tentara bayaran itu sehebat apapun tidak bisa dipercaya karena mudah berkhianat. Maka menurut Machiavelli, Italia harus membentuk angkatan perang sendiri yang tangguh, loyal dan mampu berjuang mati-matian demi negara Italia. Hanya dengan memiliki angkatan perang yang tangguh, Italia disegani oleh negara-negara lawannya. Dalam sejarah agama kuno, menurut machiavelli, hanya nabi-nabi bersenjata (the armed prophets) dan memiliki kekuatan militer yang berhasil memperjuangkan misi kenabiannya. Sedangkan para nabi yang tidak bersenjata, betapa baik dan sakralnya misi yang mereka bawa, akan mengalami kekalahan karena tidak memiliki kekuatan militer. Atas dasar asumsi itu machiavelli menilai keberadaan angkatan perang yang kuat sebagai suatu keharusan yang dimiliki negara. Machiavelli menyadari benar akan pentingnya angkatan bersenjata bagi seorang penguasa negara.
70
Dapat dibaca pada banyak literature, G.H. Sabine, Teori-teori Politik; terj. Soewarno Hadiatmodjo (Bandung: Binacipta, 1981), hal. 17-19, Ahmad Suhelmi, Ibid. Dan beberapa referensi yang lain.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
50 Angkatan bersenjata menurut Machiavelli merupakan basis penting seorang penguasa negara. Ia merupakan manifestasi nyata kekuasaan negara. 71 Penguasa yang tidak memiliki tentara sendiri akan mudah goyah dan diruntuhkan kekuasaannya. Menurut Machiavelli sungguh berbahaya menggunakan tentara sewaan. Kalau seorang penguasa mengandalkan tentara sewaan, ketenangan dan keamanan negara tidak bisa dijamin. Negara mudah goyah. Machiavelli menyebutkan alasan-alasan mengapa demikian. Tentara sewaan katanya tidak bisa disatukan, haus akan kekuasaan, tidak berdisiplin, tidak setia kepada penguasa (yang menyewa mereka), tidak memiliki rasa takut kepada Tuhan, tidak memiliki tanggung jawab, tidak setia terhadap sesama rekan mereka, dan menghindarkan diri dari peperangan. Kehancuran Italia pada masa hidup Machiavelli adalah karena negaranya mengandalkan tentara sewaan itu selama bertahun-tahun dan tidak memiliki tentara sendiri. Pengalaman sejarah membuktikan hanya para penguasa dan negara republik yang memiliki tentara kuat berhasil baik, dan penggunaan tentara bayaran hanya mendatangkan kekalahan. Sejarah Romawi dan Sparta menunjukkan kebenaran pendapat itu. Kedua negara itu mampu bertahan karena memiliki tentara sendiri, sedangkan negara Chartago dikalahkan karena tidak memiliki tentara sendiri dan mengandalkan tentara bayaran. 72 Begitu pentingnya militer bagi suatu negara dan usaha mempertahankan kekuasaan, maka penguasa harus menjadikan keahlian kemiliteran sebagai barang miliknya yang paling berharga. Ia juga harus senantiasa belajar ilmu perang dan bertempur. Oleh karena itu seorang penguasa tidak boleh lengah untuk selalu memikirkan dan melatih dirinya dalam latihan perang dan kemiliteran (exercise of war). Intensitasnya melakukan latihan perang di masa damai harus lebih besar
71
72
Machiavelli, The Prince, hal. 27. Gagasan Machiavelli ini, menurut hemat saya merupakan refleksi pengalaman pribadinya menyaksikan ‘pengkhianatan’ pemimpin tentara bayaran Vitelli terhadap negaranya.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
51 daripada di masa perang. Saat-saat damai hendaknya dijadikan persiapan untuk menghadapi perang. Tidak ada perdamaian tanpa persiapan matang untuk perang. 73 Machiavelli pun kemudian menyadari bahwa manifestasi fisik kekuasaan politik negara tidak lain adalah kekuatan militer yang tangguh. Pandangan inilah yang kemudian menjadi dasar dari pemikiran realisme yang dikembangkan oleh Machiavelli dalam teori-teorinya mengenai negara, kekuasaan dan perang antar negara. 2.2.4 Machiavelli Seorang Diplomat, Politikus, dan Penulis Machiavelli adalah seorang diplomat dan politikus Italia yang juga seorang filosof. Sebagai ahli teori, Machiavelli adalah figur utama dalam realitas teori politik, ia sangat disegani di Eropa pada masa Renaisans. Michael H. Hart dalam Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, meletakkan Machiavelli sebagai tokoh ke 88 yang paling berpengaruh dalam sejarah. 74 Dalam filosofi, ia terlalu praktis untuk menjadi seorang peneliti. Namun, dalam politik ia memiliki pengetahuan dan pemahaman yang sangat luas mengenai arah-arah umum perkembangan Eropa saat itu. Yang jelas ia hanya menulis dan berfikir tentang politik, seni memerintah, dan cara-cara berperang terhadap masalah masyarakat secara mendalam. Dalam karier politiknya Machiavelli pernah menjadi diplomat, suatu jabatan politik yang memberikannya pengalaman kenegaraan yang kaya. Ia dikirim ke berbagai negara tetangga untuk melaksanakan misi diplomatik. Karena kecerdasan, kesungguhan dan kepiawaiannya dalam berdiplomasi ia dinilai berhasil mengemban tugasnya. Kariernya di bidang diplomatik diakuinya memberikan pengalaman politik yang kaya. Rapat menggambarkan keberhasilan Machiavelli itu terlihat dalam laporan-laporan tugas yang dibuatnya untuk penguasa Italia. Laporan itu menunjukan kecerdasan, kecermatan, dan kejeliannya sebagai pengamat politik dan diplomat 73 74
Machiavelli, The Art of War, hal. 79. Michael H. Hart, Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, Terjemahan H. Mahbub Djunaidi (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1982), hal. 129.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
52 ulung. Machiavelli juga mampu menilai secara tepat dan cepat menentukan pusat kekuatan dan kelemahan lawan maupun corp diplomatiknya dalam setiap situasi. Hubungan baik antara Machiavelli dan ayahnya dengan Adriani telah memungkinkan Machiavelli menduduki jabatan sekretaris di negaranya di kemudian hari. Karier Machiavelli sebagai politikus dan diplomat berakhir ketika ia diberhentikan dari jabatannya oleh penguasa Italia, meskipun secara pribadi tokoh renaissans ini masih berkeinginan berkecimpung dalam dunia politik kenegaraan. 75 Selama 14 tahun sesudah itu dia mengabdi kepada Republik Florentine dan terlibat dalam pelbagai missi diplomatik atas namanya, melakukan perjalanan ke Perancis, Jerman, dan di dalam negeri Italia. 76 Tahun 1512, Republik Florentine digulingkan dan penguasa Medici kembali pegang tampuk kekuasaan, Machiavelli dipecat dari posisinya, dan di tahun berikutnya dia ditahan atas tuduhan terlibat dalam komplotan melawan penguasa Medici. Dia disiksa tetapi tetap bertahan menyatakan tidak bersalah dan akhirnya dibebaskan pada tahun itu juga. Sesudah itu dia pensiun dan berdiam di sebuah perkebunan kecil di San Casciano tidak jauh dari Florence. 77 Setelah diberhentikan dari jabatan politik oleh penguasa Lorenzo de Medici, Machiavelli memulai hidupnya sebagai seorang pemikir, menarik diri dari percaturan politik nasional Itilia. Ia memencilkan diri selama bertahun-tahun. Dalam suasana ini, Machiavelli menghabiskan waktunya untuk membaca karya-karya klasik, berefleksi dan menulis. Ia merefleksikan semua pengalaman politiknya dan akumulasi pengetahuan kemanusiannya itu dalam karya-karya intelektual. Ketika itu Machiavelli merasa “memasuki istana purba dari orang-orang purbakala untuk berbincang-bincang dengan mereka dan menanyakan alasan tindakan-tindakan
75
Ahmad Suhelmi, Ibid, hal. 98-100. Michael H. Hart, Ibid, hal. 129. 77 Nisrina Lubis, Para Diktator dan Konspirator; Kisah-kisah Nyata Orang-orang yang Gila Kekuasaan (Yogyakarta: Buku Biru, 2010), hal. 129 76
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
53 mereka”. Ia berdialog dengan masa lampau dan menyerap pengalaman sejarah masa purbakala menjadi bagian kekayaan intelektualnya. Selama empat belas tahun sesudah itu, dia menulis beberapa buku, dua diantaranya yang paling masyhur adalah The Prince, (Sang Pangeran) ditulis tahun 1513, dan The Discourses upon the First Ten Books of Titus Livius (Pembicaraan terhadap sepuluh buku pertama Titus Livius). Diantara karya-karya lainnya adalah The art of war (seni berperang), A History of Florence (sejarah Florence) dan La Mandragola (suatu drama yang bagus, kadang-kadan.g masih dipanggungkan orang). Tetapi, karya pokoknya yang terkenal adalah The Prince (Sang Pangeran), mungkin yang paling brilian yang pernah ditulisnya dan memang paling mudah dibaca dari semua tulisan filosofis. Tidak sedikit tokoh yang mencela Machiavelli dan karya-karyanya. Diantaranya seperti yang dilontarkan oleh Paus Julius II 78 yang mengatakan ”Machiavelli adalah sekutu setan dalam kejahatan”. Bertrand Russel (1872-1970) mengecam Machiavelli dengan mengatakan ”Politik kekuasaan hanya layak dibaca oleh para gangster”. 79 Leo Strauss mengatakan ”Ajaran yang tidak bermoral, Machiavelli memang seorang pemikir titisan setan”. 80 Pemahaman tentang The Prince semakin menyudutkan Machiavelli, terutama karena buku itu terlanjur dianggap sebagai buku pegangan setengah resmi para diktator terkemuka dunia. Seperti banyak orang percaya bahwa Hitler tidak pernah lupa membolak-balikkan The Prince di ranjangnya menjelang tidur, seperti juga Napoleon (1769-1821) selalu menyimpan buku itu di bawah bantalnya. Stalin dan Lenin mempelajarinya secara khusus di sebuah universitas di Rusia. Mussolini malah 78
Berkuasa tahun 1503-1513, lihat Pengantar dalam Politik Kekuasaan (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 1997), hal. 4. 79 Ibid. 80 Pada tahun 1559, 32 tahun setelah Machiavelli wafat, pembesar gereja memasukkan The Prince dalam daftar buku terlarang yang dikenal sebagai Trindentine Index. Karya itu bergabung dengan buku-buku lain seperti Decameron karya Boccacio; Bibel Geneva karya Calvin; Enchiridion Militis Christian, Morida Enconisum, Colloquies, De Libero Arbtrio karya-karya Desiderius Erasmus; dan Resolutiones, De Servo Arbitrio, Deutsche Messe karya-karya Martin Luther. Lihat Ibid, hal. 3..
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
54 terang-terangan mengaku sebagai pengikut setia ajaran Machiavelli dan kerap mengutip dalam pidato-pidatonya. Meskipun demikian, tidak sedikit orang yang membela Machiavelli. Mereka mengatakan bahwa Machiavelli sering disalahpahami karena bukunya yang banyak dibaca orang hanyalah The Prince, sedikit sekali yang membaca buku-bukunya yang lain, misalnya Discorsi Sopra la Prima Deca di Tito Livio. Akibatnya, penilaian orang terhadap Machiavelli tidaklah utuh. Menurut para pembelanya, apabila kita telah cukup mengenal Machiavelli, kita akan tahu bahwa sebenarnya dia adalah orang yang religius dan bermoral. Mereka juga mengatakan bahwa untuk memahami The Prince, kita harus mempertimbangkan keadaan Italia saat buku itu ditulis. Pada saat itu, Italia dalam keadaan terpecah belah dan sangat rentan terhadap serangan asing. Machiavelli ingin menyelamatkan Italia dengan cara menulis The Prince. 81 Dari sedikit tokoh moderat yang memahami substansi pemikiran politik Machiavelli adalah Francis Bacon (1561-1626) 82 dan Leopold Van Ranke (1795-1886). 83 Namun, semua pembelaan terhadap Machiavelli ini sesungguhnya dapat dipatahkan karena pada 1810 telah ditemukan sebuah surat yang ditulis oleh Machiavelli yang di dalamnya dia mengakui bahwa dia menulis The Prince agar mendapat kedudukan dalam pemerintahan Keluarga Medici di Florence (sebelum Keluarga Medici berkuasa, Machiavelli adalah seorang pejabat pemerintah). Untuk 81
Kondisi Italia yang kritis itu membuat Machiavelli tidak lagi memandang perlu pembicaraan tentang etika. Dia tidak berbicara mengenai negara dari sudut pandang etis, tetapi dari sudut pandang medis. Machiavelli yakin bahwa Italia sedang mengidap penyakit gawat. Alih-alih mendekati masalah itu dari sudut pandang etika, Machiavelli berkonsentrasi menyembuhkan negara untuk membuatnya lebih kuat. Contoh pemakaian terminologi medis dalam The Prince adalah ketika Machiavelli berbicara tentang para penghasut, “para penghasut harus diamputasi sebelum mereka menginfeksi seluruh negara.” 82 Francis Bacon dalam sebuah pernyataannya mengatakan “memang Machiavelli mengemukakan tanpa tedeng aling-aling apa yang benar-benar dilakukan oleh para penguasa, bukan yang seharusnya mereka lakukan. Hal itu hanya mungkin dilakukan jika para penguasa memahami hakikat kejahatan serta mampu memajukan kecerdikan ular dan ketulusan merpati. Tanpa paduan tersebut, keutamaan (virtue) hanyalah akan membuka kebohongan, tetapi tak mampu memberikan perlindungan. 83 Leopold Van Ranke dalam pernyataannya mengatakan ”Setelah membaca bab terakhir The Prince, barulah kita tahu apa yang Machiavelli anjuran dalam buku tersebut didorong oleh tekad mencapai persatuan Italia daripada sekedar mengabaikan nilai-nilai moral.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
55 membebaskan Italia dari kekuatan asing, Machiavelli menekankan perlunya pemerintahan pribumi yang kuat, meskipun itu adalah pemerintahan yang absolut. Betapa pun kontroversial, The Prince adalah sebuah buku yang populer dan berpengaruh. Buku ini masuk ke dalam daftar Books that Changed the World, yang dirumuskan oleh Robert Downs, bersama-sama Wealth of Nations (Adam Smith), Essay on the Principle of Population (Thomas Malthus), Das Kapital (Karl Marx), Mein Kampf (Adolf Hitler), Principia Mathematica (Sir Issac Newton), Origin of Species (Charles Darwin), dan buku-buku hebat lainnya. 84 Machiavelli adalah seorang tokoh liberal terbaik yang dikenal dengan pendapatnya, The Prince. Dia adalah pendiri realis filosofi politis yang mendukung pemerintahan republik, angkatan perang negara, divisi kekuasaan, perlindungan milik perorangan, dan pengekangan pembelanjaan pemerintah sebagai kebebasan suatu republik. Ia menulis secara ekstensif pada kebutuhan individu sebagai suatu karakteristik yang penting sebagai kepemerintahan yang stabil. Ia berargumentasi bahwa sebaik-baiknya kebebasan individu masih perlu dilindungi oleh pemerintah. Dan bahwa orang-orang yang bisa memimpin hukum dengan benar hanyalah orangorang yang segala ambisi dan keegoisannya bisa dihilangkan dalam memelihara kebebasannya tersendiri. Dia berpendapat bahwa realisme adalah pusat gagasan dalam pelajaran politis dan mengutamakan kebebasan republik (individu) di bawah prinsip. Machiavelli merupakan pertanda zaman peralihan cara berfikir, dari politik idealis ke politik realis. Setelah peralihan itu, orang berpolitik tidak perlu idealis. Ia 84
Bagi sebagian kalangan, pemikir dan penulis drama dari Florence ini adalah seorang amoralis, penganjur metode berpolitik tanpa pertimbangan etika. Buat kalangan yang lain lagi, ia adalah seorang nasionalis yang meletakkan dasar konsepsi negara beserta alasan kehadirannya, raison d'etat. Tulisan menarik dari Frans Magnis-Suseno di Kompas beberapa saat lalu (15/9/1997), dalam beberapa hal, mengikuti penafsiran dari kalangan seperti ini. Bagi sebagian kalangan yang lainnya lagi, Machiavelli bukanlah seorang pemikir yang dapat dipandang secara sederhana. Dalam satu hal, menurut kalangan ini, Machiavelli memang dapat dianggap sebagai pemikir besar serta seorang genius yang mendahului jamannya. Tapi dalam hal lain lagi, ia bisa pula dikritik sebagai intelektual tukangnya fasisme dan korporatisme, gurunya para tiran, atau setidaknya pemikir tanggung yang membingungkan.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
56 harus realis. Itulah semangat zaman baru di zaman Machiavelli. Namun demikian, orang masih berdebat apa makna tulisan-tulisan Machiavelli itu. Sebagian menyatakan bahwa tulisannya itu merupakan hasil penglihatannya terhadap fenomena politik yang terjadi. Kekuasaan hanya bisa tegak dengan kekuatan, dan tindakan amoral bisa menghasilkan kebajikan. Tujuan menghalalkan segala cara. Tetapi, menurut pendapat ini, tulisan-tulisannya tidak menunjukkan bahwa Machiavelli menganjurkan cara-cara amoral dalam mencapai tujuan. Machiavelli hanya melihat dan tidak mengajarkan. Sebagian lain berpendapat bahwa memang Machiavelli menganjurkan, setidak-tidaknya menyetujui, dipergunakannya cara apa saja untuk mencapai tujuan yang baik. Penguasa boleh korup asal tujuannya baik. Pemerintah boleh menipu asal bertujuan untuk kesejahteraan rakyat. Bohong dan suap boleh saja asal bertujuan untuk memenangkan pemilihan umum karena kemenangan itu berarti kesempatan untuk beramal dan memberi manfaat yang sebesar-besarnya.. Setelah menikmati sebagai seorang pemikir, Machiavelli meninggal pada tanggal 22 Juni tahun 1527 pada usia 58 tahun. Menurut Deliar Noer, Machiavelli meninggal dengan membawa kekecewaan karena tiada dapat memasuki arena politik kembali. 85
85
Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, hal. 88.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
58 BAB 3 PEMIKIRAN IBNU KHALDUN (1332-1406) DAN NICCOLO MACHIAVELLI (1467-1527) TENTANG AWAL BERDIRINYA NEGARA
3.1 PEMIKIRAN IBNU KHALDUN TENTANG AWAL BERDIRINYA NEGARA
3.1.1 Peran Ashabiyah dalam Pembentukan Asal Mula Lahirnya Negara
Dalam menganalisa asal mula lahirnya negara, penulis menjadikan teori ashabiyah (solidaritas kelompok) sebagai dasar pertimbangan dalam membaca pandangan Ibnu Khaldun tentang bagaimana negara itu lahir dan berkembang. Politik dalam pengertian modern dapat dihubungkan dengan pelaksanaan kekuasaan dalam masyarakat atau negara. Politik bagi Ibnu Khaldun adalah suatu aspek yang paling mulia dari kegiatan manusia. Karena menurutnya hanya manusialah yang berpolitik dalam alam semesta ini. Karena itu kewajiban adalah menangani politik ini dengan aspek teragung dari eksistensinya, yaitu sesuai dengan kaidah moral dan agama. 1 Politik menurut Ibnu Khaldun, menuntut sesuatu yang lain. Seorang yang bekerja di sektor politik harus membaca dengan jeli setiap gejala secara spesifik. Seorang “politisi” 2 dituntut untuk memperhatikan segala sesuatu yang berkembang di dalam dunia empirik berikut segala hal yang menjadi akibatnya. 3
1
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hal. 190. berikut petikan dalam bahasa aslinya:
ﳌﺎ ﻛﺎﻧﺖ ﺣﻘﻴﻘﺔ اﻟﺴﻴﺎﺳﺔ ﻫﻲ ﻃﺒﻴﻌﻲ ﻟﻼﺟﺘﻤﺎﻋﻲ اﻹﻧﺴﺎﱐ وﻣﻘﺘﻀﺎﻩ اﻟﺘﻐﻠﺐ واﻟﻘﻬﺮ اﻟﻠﺬان ﳘﺎ ﻣﻦ آﺛﺎر اﻟﻐﻀﺐ ﻓﻤﺎ ﻛﺎن ﻣﻨﻪ ﲟﻘﺘﻀﻰ اﻟﻘﻬﺮ واﻟﺘﻐﻠﺐ وإﳘﺎل,واﳊﻴﻮاﻧﻴﺔ ﻓﺄﺟﺮأﺗﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﻨﻬﺎج اﻟﺪﻳﻦ ﻟﻴﻜﻮن اﻟﻜﻞ ﳏﻮﻃﺎ ﺑﻨﻈﺮ اﻟﺸﺎرع .اﻟﻘﻮة اﻟﻌﺼﺒﻴﺔ ﰲ ﻣﺮﻋﺎﻫﺎ ﻓﺠﻮر وﻋﺪوان وﻣﺬﻣﻮم ﻋﻨﺪﻩ ﻛﻤﺎ ﻫﻮ ﲟﻘﺘﻀﻰ اﳊﻜﻤﺔ اﻟﺴﻴﺎﺳﺔ وأﺣﻜﺎﻣﻬﺎ ﻓﻤﺬﻣﻮم أﻳﻀﺎ 2
Istilah ini saya pakai untuk menerjemahkan istilah Ibnu Khaldun, “shahib al-siyasah". Hal. 543 Muqaddimah. 3 Ibnu Khaldun mengistilahkan hal ini dengan ungkapannya “mura’at ma fi al-kharij wa ma yalhaquha min al-ahwal wa yatba’uha”. Lihat halaman 542.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
59 karena itu, “qiyas” atau “analogi fikih”, cenderung kurang tepat dipakai dalam menangani perkara-perkara politik. 4 Salah satu observasi Ibnu Khaldun yang menarik adalah mengenai hubungan antara ulama dan politik. Menurut Ibnu Khaldun, ulama (baca: intelektual, cendekiawan) cenderung jauh, atau menjauhi politik karena watak mereka yang lebih cenderung tenggelam atau menenggelamkan diri dalam dunia ide, dan refleksi intelektual. 5 Mereka cenderung melakukan abstraksi, dalam pengertian mencari polapola umum dari data-data empirik yang terserak. Minat mereka bukan pada faktafakta empirik yang bersifat sporadis dan carut marut, tetapi mencari pola-pola umum, atau apa yang disebut oleh Ibnu Khaldun sebagai ”umur kulliyyah ‘ammah”. 6 Kerja ulama, dalam pandangan Ibn Khaldun, adalah persis seperti yang ia kerjakan sendiri, yakni melihat sejarah sebagai suatu arena tempat bekerjanya pola-pola besar. Bagi seorang sejarawan, suatu data sejarah kecil di sebuah tempat dan berkenaan dengan masyarakat tertentu, tidaklah terlalu menarik. Sebab, yang penting bagi dia adalah sebuah pola atau hukum yang bersifat umum. Dengan kata lain, abstraksi pemikiran adalah watak yang melekat pada kerja seorang ulama. Sementara itu, Seorang ulama atau intelektual yang biasa bekerja dengan “qiyas”, pola-pola umum, teori, biasanya cenderung gagal dalam sektor politik, karena mereka mengira bahwa suatu pola bisa diterapkan di mana-mana. Selain “qiyas”, Ibn Khaldun juga memakai istilah “muhakah” (harfiah: meniru) yang dalam pemakaian modern bisa kita terjemahkan sebagaimenarik “ekstrapolasi”, atau memproyeksikan hukum yang berlaku pada dalam suatu Yang adalah bahwa dalam pandangansuatu Ibn Khaldun, setiap peristiwa kasus ke kasus-kasus ulama perlakuan biasanya bertumpu pada qiyas dunia politik adalah lain. unik,Kerja dan intelektual karena itu para menuntut yang khusus. Oleh dan muhakah. Politik tidak bisa diperlakukan dengan cara demikian. Saya kutip kalimat Ibnu Khaldun yang menarik: 4
Dikotomi Ibnu Khaldun yang membedakan metodologi pengambilan hukum yang biasa digunakan para ulama ketika itu (pada abad ke 14 dan 15) dengan metodologi analisis politik, dan dengan terang-terangannya Khaldun mengatakan bahwa ’terlalu sederhana menggunakan metodologi fiqh dan ushul fiqh sebagai kerangka analisa politik empirik, menjadikan ’kurang disenangi’ oleh ulama pada masanya. 5 Dalam istilah Ibnu Khaldun “mu’tadun al-nazar al-fikri wa al-ghaus ‘ala al-ma’ani”, Ibid. 6 Hal. 542 Muqaddimah.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
60 “Suatu keadaan yang berkaitan dengan peradaban tertentu tak bisa dianalogikan dengan keadaan (peradaban) lain, sebab, meskipun boleh jadi mengandung kesamaan dalam satu hal, dua keadaan itu juga mengandung perbedaan dalam segi-segi yang lain. Itulah sebabnya, seorang ulama yang biasa melakukan generalisasi atas suatu hukum dan menganalogikan suatu gejala dengan gejala yang lain, saat mereka menganalisa politik, cenderung menumpahkan gejala-gejala politik itu ke dalam bejana teoritik (qalab andzarihim) dan sejumlah deduksi mereka yang lain. Karena itu, mereka seringkali melakukan kesalahan.” 7
Analisis Ibnu Khaldun ini sangat cemerlang karena menangkap perbedaan yang mendasar antara “dunia intelektual” dan “dunia politik”. Pembaca modern akan dengan mudah diingatkan melalui analisis dari abad ke-14 ini kepada analisa serupa dari Julien Benda. 8 Meskipun Ibn Khaldun sama sekali tidak mengatakan bahwa seorang ulama/intelektual yang masuk ke dunia politik sedang melakukan “la trahison des clercs” atau pengkhianatan kaum “klerk” alias ulama. Pengamatan Ibnu Khaldun ini juga menarik karena sama sekali meninggalkan tradisi al-Farabi yang justru melihat politik sebagai wilayah kerja “raja-filosof” seperti dalam kerangka pemikiran Plato. Wawasan Ibn Khaldun jelas lebih empirik. 9 Ibnu Khaldun memakai istilah “‘umran” yang dalam kesarjanaan modern diterjemahkan sebagai “peradaban”. Saya lebih cenderung mengartikan istilah ini sebagai “urbanisme” atau gejala meng-kota. Sebab, apa yang disebut sebagai ‘umran oleh Ibnu Khaldun selalu dikaitkan dengan fenomena kota (al-hadhar) sebagai lawan dari gejala masyarakat badui yang cenderung nomaden. Pengamatan Ibn Khaldun ini jelas bukan berasal dari fantasi yang berasal dari “awan”, tetapi berdasarkan pengamatan langsung dia pada “up” dan “down” dari peradaban Islam sendiri. 7
Muqaddimah hal. 542, baris 14-17. Yang mengejutkan adalah pengamatan Ibnu Khaldun berikut ini. “Orang-orang awam yang tak terbiasa dengan “qiyas”, “muhakah”, abstraksi, teori-teori besar memiliki kemungkinan besar untuk sukses dalam politik justru karena mereka bisa memberi perhatian yang cukup pada setiap gejala, dan memperlakukannya sebagai sesuatu yang “einmalig” atau unik. Mereka, orang-orang awam itu, lebih mudah terhindar dari kecenderungan “meng-qiyas-kan” satu gejala dengan gejala yang lain”.7 Sikap “intelektual” kaum awam, kata Ibn Khaldun, adalah seperti seorang perenang di samudera yang selalu awas dan menjaga diri terus dekat dengan pantai, dan tidak keasyikan “lepas” ke tengah lautan sehingga akhirnya tenggelam. 8 Julien Benda adalah seorang penulis dan filsuf Perancis. Ia menerbitkan ‘La Trahicon des Clercs’ pada tahun 1927 tentang “cendekiawan dalam dimensi moral absolute; Pengkhianatan kaum intelektual. 9 Dalam fasal ke-17, Ibnu Khaldun mengulas suatu gejala menarik yang muncul dalam setiap peradaban yang telah mencapai suatu taraf kematangan (Muqaddimah, hal. 580).
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
61 Berdiri pada abad ke-14, Ibnu Khaldun memiliki keuntungan dan kemewahan untuk bisa melihat, menganalisis dan menjelaskan jatuh-bangunnya peradaban Islam, dalam cara serupa yang belakangan, dalam era modern, dilakukan oleh sejarawan-sejarawan besar seperti Arnold Toynbee atau yang lebih populer, Will Durant. Yang menarik adalah bahwa Ibn Khaldun tidak semata-mata mengembalikan proses jatuhbangunnya peradaban Islam ini kepada “kehendak Tuhan”, tetapi, dengan teliti dan cermat, dia mencoba mencari proses sosial-historis yang bekerja dalam masyarakat. Ia melihat bahwa perkembangan peradaban tunduk pada suatu hukum atau pola tertentu. Pola ini bekerja pada masyarakat manapun, baik Muslim atau non-Muslim. Marilah kita ikuti sejumlah detil-detil pengamatan Ibn Khaldun yang mencerminkan sejumlah perkembangan yang ada pada abad ke-14 Masehi. Sementara itu, kita perlu mengetahui, walau secara selintas, semacam “state of the art” dari peradaban Islam pada saat Ibn Khaldun hidup. Tema kekuasaan negara menjadi topik yang sangat eksplisit dalam pandangan para pemikir politik Islam. 10 Ada beberapa sarjana yang berpandangan bahwa apa yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah pada dasarnya dapat disimpulkan dalam sebuah ayat Al-Quran saja. 11 Ayat itu adalah ayat yang 10
Sebagaimana hal itu ditegaskan jelas dalam Al-Quran surat Ali Imran ayat 26. Pokok ayat tersebut menyatakan bahwa kekuasaan itu serta kemegahan (‘Izz) pada intinya adalah milik Allah SWT. Allah-lah yang memberikan kekuasaan kepada orang yang Ia kehendaki dan mencabutnya dari orang tersebut. Akan tetapi, jatuh bangunnya kekuasaan itu bukan suatu peristiwa tanpa makna, karena dalam perguliran kekuasaan itu, Allah SWT ingin memperlihatkan apa yang terbaik bagi umat manusia. Ada filosofi yang tinggi di balik naik turunnya kekuasaan itu dan jatuh bangunnya orang yang berkuasa. Artinya semuanya itu, terdapat kebaikan yang berada di tangan Tuhan atau dalam istilah Al-Quran Bi Yadika alkhair. 11 Ayat itu adalah ayat 16-17 surat Al-Isra. Ide-ide yang ditawarkan oleh Khaldun dalam Muqaddimah setelah penulis baca, sebetulnya bukan hanya sekedar ‘juru bicara’ atau kepanjangan tangan dari Al-Quran, namun Muqaddimah berupaya untuk menginterpretasi bahkan membuat ’kebijakan politik baru’ yang disesuaikan dengan sejarah suatu bangsa dan kebudayaannya secara lebih general. Ini yang membedakan Khaldun dengan beberapa para pemikir Islam lainnya seperti Al-Mawardi penulis Al-Ahkam As-Sulthaniyyah (Hukum Tata Negara) yang berpendapat bahwa dasar politik itu agama (Lihat Al-Mawardi AlAhkam As-Sulthaniyyah, hal: 79). Alangkah banyaknya negara besar yang sama sekali tidak mendasarkan dirinya pada agama. Khaldun berpendapat bahwa dengan agama, keberhasilan yang diperoleh akan menghasilkan dampak positif dunia dan akhirat. Sedangkan negara yang berdasarkan perumusan ideologis manusia saja, nilai positifnya hanya di dunia saja.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
62 mengatakan bahwa kejatuhan suatu bangsa disebabkan oleh karena kaum elite yang bermewah-mewahan sehingga menghancurkan masyarakatnya. 12 Pendapat Ibnu Khaldun tentang hal ini memang ada dalam Muqaddimah. Ia membuat bab khusus tentang hal ini dengan judul ”Anna min Thabi’ati al-Malik al-Taraffu” (Bermewahmewahan Karakter Para Penguasa). 13 Namun Muqaddimah bukan hanya berbicara tentang karakter para penguasa yang senang bermewah-mewahan saja. Muqaddimah berbicara luas dan panjang lebar lebih dari hal itu. Nama Ibnu Khaldun tidak bisa dipisahkan dengan karyanya, Muqaddimah. Pada mulanya Muqaddimah ini merupakan pengantar untuk Al-I’bar. Namun memandang pentingnya karya ini, Khaldun pun memisahkannya dari karya induknya. Muqaddimah inilah yang mengantarkan Ibnu Khaldun menjadi tokoh besar yang masih terus dibicarakan hingga dewasa ini. Muqaddimah memuat asas-asas teoritisinovatif tentang filsafat sejarah. Bab III ini, penulis akan membahas tentang awal berdirinya negara menurut Ibnu Khaldun dan Machivaelli. Tema tentang konsep awal berdirinya negara menurut Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah tertuang pada sebagian besar diuraikan dalam bab kedua dan ketiga buku tersebut. 14 Pada bab ini dijelaskan mengenai negara-negara umum, kerajaan, khilafah dan level-level kekuasaan. Pada bab ini juga dijelaskan mengenai sebab-sebab yang melahirkan sumber-sumber kekuasaan, strategi mempertahankan
kekuasaan
dan
negara
serta
faktor-faktor
keruntuhannya.
Sebetulnya Ibnu Khaldun sendiri dalam Muqaddimah tidak mengemukakan defenisi yang jelas tentang negara. Karena menurutnya negara merupakan masalah yang jelas dan semua orang mengetahuinya sebagai kerajaan yang paripurna. 15
12
Lihat Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Pemikiran dan Peradaban (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), hal. 265.
13
Lihat Muqaddimah, hal. 167-174. Dalam Muqaddimah tema bab 2 dan 3 ini sesuai dengan cetakan dan terbitan yang penulis gunakan terdapat pada halaman; bab 2 hal. 120-153 dan bab 3 hal. 154-341. 15 Zainab Khudhairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun; Terjemahan dari Falsafah al-Tarikh ‘Inda Ibn Khaldun (Bandung: Pustaka, 1987), hal.166. Berbeda dengan Khaldun, Abd Raziq Makki. Ia mengatakan bahwa Negara memiliki pemahaman yang lebih luas 14
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
63 Antony Black dalam The History of Islamic Political Though mengatakan bahwa gagasan fundamental Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah adalah asosiasi manusia (al-ijtima’ al-Insani) atau peradaban (al-umran). Peradaban merupakan suatu keniscayaan, karena manusia adalah makhluk politik. Artinya ia tidak dapat hidup tanpa organisasi sosial, yang disebut oleh para filsuf dengan istilah teknis ”kota” (polis: negara). Ibnu Khaldun mengatakan hal ini tidak jauh beda dengan para sarjana politik Islam sebelumnya. Menurutnya manusia sebagai individu saling memiliki ketergantungan dengan sesamanya, tidak dapat hidup sendirian dalam penghidupan mereka. Karena itu menuntut adanya pembagian kerja. Secara alamiah untuk memenuhi kebutuhan kolektif itu juga diperlukan persahabatan (shuhbah) dan ’kekuatan yang dapat mengendalikan’ 16 dinamisasi proses pemenuhan kebutuhan tersebut, yaitu kerajaan atau pemerintahan. 17 Menurut Ibnu Khaldun manusia diciptakan sebagai makhluk politik atau sosial, yaitu makhluk yang selalu membutuhkan orang lain dalam mempertahankan kehidupannya, sehingga kehidupannya dengan masyarakat dan organisasi sosial merupakan sebuah keharusan. 18 Manusia hanya mungkin bertahan untuk hidup dengan bantuan makanan. Sedangkan untuk memenuhi makanan yang sedikit dalam waktu satu hari saja memerlukan banyak pekerjaan. Sebagai contoh dari butir-butir gandum untuk menjadi potongan roti memerlukan proses yang panjang. Butir-butir gandum tersebut harus ditumbuk dulu, untuk kemudian dibakar sebelum siap untuk dimakan. Untuk semuanya itu dibutuhkan alat-alat yang untuk mengadakannya membutuhkan kerjasama dengan pandai kayu atau besi. Begitu juga gandum-gandum yang ada, tidak serta merta ada, tetapi dibutuhkan seorang petani. Artinya, manusia
ketimbang kerajaan. Karena suatu negara terkadang terdiri dari beberapa suku dan raja-raja. Lihat Muhammad Abdullah Enan, Ibn Khaldun: Hayatuh wa Turatsuh al-Fikri (Kairo: t.p., 1953), hal. 22-25. 16 Dalam istilah Ibnu Khaldun ‘Kekuatan yang mengendalikan’ atau ’alat kendali internal’ diistilahkan dengan ‘Wazi’. 17 Antony Black, Pemikiran Politik Islam, Terjemahan The History of Islamic Political Thought: From the Prophet to the Present, pent. Abdullah Ali & Mariana Ariestyawati (Jakarta: Serambi, 2006), hal. 320. 18 Muqaddimah, hal. 41
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
64 dalam mempertahankan hidupnya dengan makanan membutuhkan manusia yang lain. 19 Berikut pernyataan Ibnu Khaldun tentang penjelasan di atas: 18F
20 19F
Selain kebutuhan makanan untuk mempertahankan hidup, menurut Ibnu Khaldun manusia juga memerlukan bantuan dalam hal pembelaan diri dari ancaman bahaya. Hal ini karena Tuhan ketika menciptakan alam semesta telah membagi-bagi kekuatan antara makhluk-makhluk hidup, bahkan banyak hewan-hewan yang mempunyai kekuatan lebih dari yang dimiliki oleh manusia. Dan watak agresif adalah sesuatu yang alami bagi setiap makhluk. Oleh karenanya Tuhan memberikan kepada masing-masing makhluk hidup suatu anggota badan yang khusus untuk membela diri. Sedang manusia diberikan akal atau kemampuan berfikir dan dua buah tangan oleh Tuhan untuk memegang. Dengan akal dan tangan ini manusia bisa mempertahankan hidup dengan berladang, ataupun melakukan kegiatan untuk mempertahankan hidup lainya. Tetapi sekali lagi untuk mempertahankan hidup tersebut manusia tetap saling membutuhkan bantuan dari yang lainnya, sehingga organisasi kemasyarakatn merupakan sebuah keharusan. Tanpa organisasi tersebut eksistensi manusia tidak akan lengkap, dan kehendak Tuhan untuk mengisi dunia ini dengan umat manusia
19 20
Muqaddimah, hal. 42 Muqaddimah, hal. 42-43. berikut petikannya dalam bahasa aslinya:
أن اﻻﺟﺘﻤﺎع اﻹﻧﺴﺎﱐ ﺿﺮوري وﻳﻌﱪ اﳊﻜﻤﺎء ﻋﻦ ﻫﺬا ﺑﻘﻮﳍﻢ اﻹﻧﺴﺎن ﻣﺪﱐ ﺑﺎﻟﻄﺒﻊ أي ﻻﺑﺪ ﻟﻪ ﻣﻦ اﻻﺟﺘﻤﺎع اﻟﺬي ﻫﻮ ﳌﺪﻳﻨﺔ ﰲ اﺻﻄﻼﺣﻬﻢ وﻫﻮ ﻣﻌﲎ اﻟﻌﻤﺮان وﺑﻴﺎﻧﻪ أن اﷲ ﺧﻠﻖ اﻹﻧﺴﺎن ورﻛﺒﻪ ﻋﻠﻰ ﺻﻮرة ﻻ ﻳﺼﺢ ﺣﻴﺎﻬﺗﺎ وﺑﻘﺎؤﻫﺎ إﻻ ﺑﺎﻟﻐﺬاء وﻫﺪاﻩ إﱃ اﻟﺘﻤﺎﺳﻪ ﺑﻔﻄﺮﺗﻪ وﲟﺎ رﻛﺐ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ اﻟﻘﺪرة ﻋﻠﻰ ﲢﺼﻴﻠﻪ إﻻ أن ﻗﺪرة اﻟﻮاﺣﺪ ﻣﻦ اﻟﺒﺸﺮ ﻗﺎﺻﺮة ﻋﻦ ﲢﺼﻴﻞ ﺣﺎﺟﺘﻪ ﻣﻦ ذﻟﻚ اﻟﻐﺬاء ﻏﲑ ﻣﻮﻓﻴﺔ ﻟﻪ ﲟﺎدة ﺣﻴﺎﺗﻪ ﻣﻨﻪ وﻟﻮﻓﺮﺿﻨﺎﻩ ﻣﻨﻪ أﻗﻞ ﻣﺎ ﳝﻜﻦ ﻓﺮﺿﻪ وﻫﻮ ﻗﻮت ﻳﻮم ﻣﻦ اﳊﻨﻄﺔ ﻣﺜﻼ ﻓﻼ ﳛﺼﻞ إﻻ ﺑﻌﻼج ﻛﺜﲑ ﻣﻦ اﻟﻄﺤﻦ واﻟﻌﺠﻦ واﻟﻄﺒﺦ وﻛﻞ واﺣﺪ ﻣﻦ اﻷﻋﻤﺎل اﻟﺜﻼﺛﺔ ﳛﺘﺎج إﱃ ﻣﻮاﻋﲔ وآﻻت ﻻ ﺗﺘﻢ إﻻ ﺑﺼﻨﺎﻋﺎت ﻣﺘﻌﺪدة ﻣﻦ ﺣﺪاد وﳒﺎر وﻓﺎﺧﻮري وﻫﺐ أﻧﻪ ﻳﺄﻛﻠﻪ ﺣﺒﺎ ﻣﻦ ﻏﲑ ﻋﻼج ﻓﻬﻮ أﻳﻀﺎ ﳛﺘﺎج ﰲ ﲢﺼﻴﻠﻪ إﱃ أﻋﻤﺎل أﺧﺮى أﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ اﻟﺰراﻋﺔ واﳊﺼﺎد واﻟﺪراس اﻟﺬي ﳜﺮج اﳊﺐ ﻣﻦ ﻏﻼف اﻟﺴﻨﺒﻞ وﳛﺘﺎج ﻛﻞ واﺣﺪ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ آﻻت ﻣﺘﻌﺪدة وﺻﻨﺎﺋﻊ ﻛﺜﲑة أﻛﺜﺮ ﻣﻦ اﻷوﱃ ﺑﻜﺜﲑ وﻳﺴﺘﺤﻴﻞ أن ﺗﻔﻲ ﺑﺬﻟﻚ ﻛﻠﻪ أو ﺑﺒﻌﻀﻪ ﻗﺪرة اﻟﻮاﺣﺪ ﻓﻼ ﺑﺪ ﻣﻦ اﺟﺘﻤﺎع اﻟﻘﺪرة اﻟﻜﺜﲑة ﻣﻦ أﺑﻨﺎء ﺟﻨﺴﻪ ﻟﻴﺤﺼﻞ اﻟﻘﻮت ﻟﻪ وﳍﻢ ﻓﻴﺤﺼﻞ ﺑﺎﻟﺘﻌﺎون ﻗﺪر اﻟﻜﻔﺎﻳﺔ ﻣﻦ اﳊﺎﺟﺔ ﻷﻛﺜﺮ .ﻣﻨﻬﻢ ﺑﺄﺿﻌﺎف Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
65 dan membiarkannya berkembang biak sebagai khalifah tidak akan terlaksana. 21 20F
22 21F
Berikut pernyataan Ibnu Khaldun:
Setelah organisasi masyarakat terbentuk, selanjutnya masyarakat memerlukan seseorang yang dengan pengaruhnya dapat bertindak sebagai penengah dan pemisah antara anggota masyarakat. Ini karena manusia mempunyai watak agresif dan tidak adil, sehingga dengan akal dan tangan yang diberikan Tuhan padanya tidak memungkinkan untuk mempertahankan diri dari serangan manusia yang lain karena setiap manusia mempunyai akal dan tangan pula. Untuk itulah diperlukan sesuatu yang lain untuk menangkal watak agresif manusia terhadap lainnya. Ia adalah seseorang dari masyarakat itu sendiri, seorang yang berpengaruh kuat atas anggota masyarakat, mempunyai otoritas dan kekuasaan atas mereka sebagai pengendali atau 24 23F
wazi’. 23 Berikut pernyataan Ibnu Khaldun: 2F
Muqaddimah, hal. 43 Muqaddimah, hal. 42-43. Berikut pernyataan Ibnu Khaldun dalam bahasa aslinya:
21
وﻛﺬﻟﻚ ﳛﺘﺎج ﻛﻞ واﺣﺪ ﻣﻨﻬﻢ أﻳﻀﺎ ﰲ اﻟﺪﻓﺎع ﻋﻦ ﻧﻔﺴﻪ إﱃ اﻻﺳﺘﻌﺎﻧﺔ ﺑﺄﺑﻨﺎء ﺟﻨﺴﻪ ﻷن اﷲ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ وﺗﻌﺎﱃ ﳌﺎ رﻛﺐ اﻟﻄﺒﺎع ﰲ اﳊﻴﻮاﻧﺎت ﻛﻠﻬﺎ وﻗﺴﻢ اﻟﻘﺪر ﺑﻴﻨﻬﺎ ﺟﻌﻞ ﺣﻈﻮظ ﻛﺜﲑ ﻣﻦ اﳊﻴﻮﻧﺎت اﻟﻌﺠﻢ ﻣﻦ اﻟﻘﺪرة أﻛﻤﻞ ﻣﻦ ﺣﻆ اﻹﻧﺴﺎن .ﻓﻘﺪرة اﻟﻔﺮس ﻣﺜﻼ أﻋﻈﻢ ﺑﻜﺜﲑ ﻣﻦ ﻗﺪرة اﻹﻧﺴﺎن وﻛﺬا ﻗﺪرة اﳊﻤﺎر واﻟﺜﻮر وﻗﺪرة اﻷﺳﺪ واﻟﻔﻴﻞ أﺿﻌﺎف ﻣﻦ ﻗﺪرﺗﻪ .وﳌﺎ ﻛﺎن اﻟﻌﺪوان ﻃﺒﻴﻌﻴﺎ ﰲ اﳊﻴﻮان ﺟﻌﻞ ﻟﻜﻞ واﺣﺪ ﻣﻨﻬﺎ ﻋﻀﻮا ﳜﺘﺺ ﲟﺪاﻓﻌﺘﻪ ﻣﺎ ﻳﺼﻞ إﻟﻴﻪ ﻣﻦ ﻋﺎدﻳﺔ ﻏﲑﻩ وﺟﻌﻞ ﻟﻺﻧﺴﺎن ﻋﻮﺿﺎ ﻣﻦ ذﻟﻚ ﻛﻠﻪ اﻟﻔﻜﺮ واﻟﻴﺪ ﻓﺎﻟﻴﺪ ﻣﻬﻴﺌﺔ ﻟﻠﺼﻨﺎﺋﻊ ﲞﺪﻣﺔ اﻟﻔﻜﺮ واﻟﺼﻨﺎﺋﻊ ﲢﺼﻞ ﻟﻪ اﻵﻻت اﻟﱵ ﺗﻨﻮب ﻟﻪ ﻋﻦ اﳉﻮارح اﳌﻌﺪة ﰲ ﺳﺎﺋﺮ اﳊﻴﻮﻧﺎت ﻟﻠﺪﻓﺎع ﻣﺜﻞ اﻟﺮﻣﺎح اﻟﱵ ﺗﻨﻮب ﻋﻦ اﻟﻘﺮون اﻟﻨﺎﻃﺤﺔ واﻟﺴﻴﻮف اﻟﻨﺎﺋﺒﺔ ﻋﻦ اﳌﺨﺎﻟﺐ اﳉﺎرﺣﺔ واﻟﱰاس اﻟﻨﺎﺋﺒﺔ ﻋﻦ اﻟﺒﺸﺮات اﳉﺎﺳﻴﺔ إﱃ ﻏﲑ ذﻟﻚ وﻏﲑﻩ ﳑﺎ ذﻛﺮﻩ ﺟﺎﻟﻴﻨﻮس ﰲ ﻛﺘﺎب ﻣﻨﺎﻓﻊ اﻷﻋﻀﺎء ﻓﺎﻟﻮاﺣﺪ ﻣﻦ اﻟﺒﺸﺮ ﻻ ﺗﻘﺎوم ﻗﺪرﺗﻪ ﻗﺪرة واﺣﺪ ﻣﻦ اﳊﻴﻮﻧﺎت اﻟﻌﺠﻢ ﺳﻴﻤﺎ اﳌﻔﱰﺳﺔ ﻓﻬﻮ ﻋﺎﺟﺰ ﻋﻦ ﻣﺪاﻓﻌﺘﻬﺎ وﺣﺪﻩ ﺑﺎﳉﻤﻠﺔ وﻻ ﺗﻔﻲ ﻗﺪرﺗﻪ أﻳﻀﺎ ﺑﺎﺳﺘﻌﻤﺎل اﻵﻻت اﳌﻌﺪة ﳍﺎ ﻓﻼ ﺑﺪ ﰲ ذﻟﻚ ﻛﻠﻪ ﻣﻦ اﻟﺘﻌﺎون ﻋﻠﻴﻪ ﺑﺄﺑﻨﺎء ﺟﻨﺴﻪ وﻣﺎ ﱂ ﻳﻜﻦ ﻫﺬا اﻟﺘﻌﺎون ﻓﻼ ﳛﺼﻞ ﻟﻪ ﻗﻮت وﻻ ﻏﺬاء وﻻ ﺗﺘﻢ ﺣﻴﺎﺗﻪ ﳌﺎ رﻛﺒﻪ اﷲ ﺗﻌﺎﱃ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﻦ اﳊﺎﺟﺔ إﱃ اﻟﻐﺬاء ﰲ ﺣﻴﺎﺗﻪ وﻻ ﳛﺼﻞ ﻟﻪ أﻳﻀﺎ دﻓﺎع ﻋﻦ ﻧﻔﺴﻪ ﻟﻔﻘﺪان اﻟﺴﻼح ﻓﻴﻜﻮن ﻓﺮﻳﺴﺔ ﻟﻠﺤﻴﻮﻧﺎت وﻳﻌﺎﳉﻪ اﳍﻼك ﻋﻦ ﻣﺪى ﺣﻴﺎﺗﻪ وﻳﺒﻄﻞ ﻧﻮع اﻟﺒﺸﺮ وإذا ﻛﺎن اﻟﺘﻌﺎون ﺣﺼﻞ ﻟﻪ اﻟﻘﻮت ﻟﻠﻐﺬاء واﻟﺴﻼح ﻟﻠﻤﺪاﻓﻌﺔ وﲤﺖ ﺣﻜﻤﺔ اﷲ ﰲ ﺑﻘﺎﺋﻪ وﺣﻔﻆ ﻧﻮﻋﻪ ،ﻓﺈذن ﻫﺬا اﻻﺟﺘﻤﺎع ﺿﺮوري ﻟﻠﻨﻮع اﻹﻧﺴﺎﱐ. Ibid, hal. 43. Ibid. Berikut pernyataan Ibnu Khaldun dalam bahasa aslinya:
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
22
23 24
66 Penggunaan istilah Wazi menjadi penting, karena selain kerajaan, agama juga dapat bertindak sebagai Wazi. Menurut Ibnu Khaldun, Wazi yang diperankan oleh agama, lebih kondusif untuk menumbuhkan keberanian rakyat ketimbang kerajaan. Para pemikir di Eropa, pada waktu yang bersamaan menjadikan nilai-nilai Republik dan etika mengisi ruang ’kekuatan internal yang mengendalikan’ ini. 25 Dengan demikian tidak akan ada anggota masyarakat yang menyerang sesama anggota masyarakat lain. Kebutuhan akan adanya seseorang yang mempunyai otoritas dan bisa mengendalikan ini kemudian meningkat. Didukung dengan rasa kebersamaan yang terbentuk bahwa seorang pemimpin dalam mengatur dan menjadi penengah tidak dapat bekerja sendiri sehingga membutuhkan tentara yang kuat dan loyal, perdana Menteri, serta pembantu-pembantu yang lain hingga terbentuklah sebuah Dinasti (daulah) atau kerajaan (mulk). 26 Pemikiran Ibnu Khaldun dalam hal ini agaknya mirip dengan yang dikemukakan oleh Aristoteles, Farabi, Ibn Abi Rabi’, Al-Mawardi. 27
إن ﻫﺬا اﻻﺟﺘﻤﺎع إذا ﺣﺼﻞ ﻟﻠﺒﺸﺮ ﻛﻤﺎ ﻗﺮرﻧﺎﻩ وﰎ ﻋﻤﺮان اﻟﻌﺎﱂ ﻬﺑﻢ ﻓﻼ ﺑﺪ ﻣﻦ وازع ﻳﺪﻓﻊ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻋﻦ ﺑﻌﺾ ﳌﺎ ﰲ ﻃﺒﺎﻋﻬﻢ اﳊﻴﻮاﻧﻴﺔ ﻣﻦ اﻟﻌﺪوان واﻟﻈﻠﻢ وﻟﻴﺴﺖ اﻟﺴﻼح اﻟﱵ ﺟﻌﻠﺖ داﻓﻌﺔ ﻟﻌﺪوان اﳊﻴﻮاﻧﺎت اﻟﻌﺠﻢ ﻋﻨﻬﻢ ﻛﺎﻓﻴﺔ ﰲ دﻓﻊ اﻟﻌﺪوان ﻋﻨﻬﻢ ﻷ�ﺎ ﻣﻮﺟﻮدة ﳉﻤﻴﻌﻬﻢ ﻓﻼ ﺑﺪ ﻣﻦ ﺷﻲء آﺧﺮ ﻳﺪﻓﻊ ﻋﺪوان ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻋﻦ ﺑﻌﺾ وﻻ ﻳﻜﻮن ﻣﻦ ﻏﲑﻫﻢ ﻘﺼﻮر ﲨﻴﻊ اﳊﻴﻮاﻧﺎت ﻋﻦ ﻣﺪارﻛﻬﻢ وإﳍﺎﻣﺎﻬﺗﻢ ﻓﻴﻜﻮن ذﻟﻚ اﻟﻮازع واﺣﺪا ﻣﻨﻬﻢ ﻳﻜﻮن ﻟﻪ ﻋﻠﻴﻬﻢ اﻟﻐﻠﺒﺔ واﻟﺴﻠﻄﺎن واﻟﻴﺪ .اﻟﻘﺎﻫﺮة ﺣﱴ ﻻ ﻳﺼﻞ أﺣﺪ إﱃ ﻏﲑﻩ ﺑﻌﺪوان وﻫﺬا ﻫﻮ اﳌﻌﲎ اﳌﻠﻚ 25
Antony Black, Ibid, hal. 320 Muqaddimah, hal. 139. 27 Berdasarkan informasi dari Antony Black, Pemikiran Politik Islam (Jakarta: Serambi, 2006) Hal. 308. 26
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
67 Ibnu Khaldun berpendapat bahwa adanya organisasi kemasyarakatan merupakan suatu keharusan bagi kehidupan manusia. Hal ini sesuai dengan pendapat yang telah banyak dikemukakan oleh para ahli sosiologi, bahwa manusia adalah makhluk politik (zoon politicon) atau makhluk sosial. Manusia akan merasa kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya jika ia hidup sendirian tanpa adanya institusi yang mengorganisasikannya. Kebutuhan utama manusia adalah makanan dan keamanan. Dua kebutuhan tersebut tidak dapat tercapai seorang diri, maka secara otomatis manusia memerlukan kerjasama antar sesamanya. Hal inilah yang menyebabkan
manusia
terbentuknya
organisasi
membutuhkan kemasyarakatan
organisasi dan
kemasyarakatan.
peradaban,
maka
Setelah
masyarakat
membutuhkan seseorang yang dengan pengaruhnya dapat bertindak sebagai penengah dan pelaksana keadilan di antara mereka. Manusia selain membutuhkan rasa keadilan juga memiliki rasa agresif dan watak tidak adil, maka keberadaan seseorang yang mampu mengayomi dan melindungi hak-haknya dari serangan dan kelaliman sesamanya sangat dibutuhkan. Fenomena riil inilah yang akhirnya mengilhami Ibnu Sehingga Khaldun untuk memikirkan tentang asal mula negara dan menjadi embrio konsep pemikirannya dalam hal ini bukan hal baru, meskipun ia sendiri mengatakan bahwa negara menurut Ibnu Khaldun. Karena negara dalam skala makro menempati posisi teorinya ini adalah yang baru. Tetapi yang membedakannya bahwa penelitian yang organisasi kemasyarakatan yang dapat memenuhi kebutuhan kodrati manusia. dilakukan Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya bukan sekadar kajian filososif, Gagasan ini juga serupa dengan yang telah diungkapkan terlebih dahulu oleh Plato. melainkan kajian yang berdasarkan pada pengamatan Inderawi dan analisis perbandingan data-data yang obyektif, sebagai upaya untuk memahami manusia pada Gagasan Ibnu Khaldun menyatakan bahwa asal mula suatu negara masa lampau dan kini untuk memprediksi masa depan dengan berbagai ditimbulkan karena kodrat manusia yang tidak hanya sebagai makhluk individu tetapi kecenderungannya. juga sebagai makhluk sosial (zoon politicon) dan yang memiliki kepentingan dan kebutuhan masing-masing. Untuk memenuhi kebutuhan itu, manusia membutuhkan kerjasama yang terakomodasi dalam bentuk organisasi yang di dalamnya terdapat aturan yang disepakati. Dalam konteks ini, maka negara sangat berperan. Bagi Ibnu Khaldun sendiri tidak terlalu mempersoalkan apakah negara itu harus mengikuti sistem pemerintahan Islam seperti pada masa Rasulullah dan para sahabatnya. Yang
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
68 paling esensi baginya adalah bahwa tujuan diadakannya negara untuk melindungi rakyat dan menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran tercapai. 28 Selain apa yang telah dipaparkan di atas, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa ada faktor lain pembentuk negara atau daulah, yaitu ‘ashabiyah. Teorinya tentang ‘ashabiyah inilah yang melambungkan namanya di mata para pemikir modern, teori yang membedakannya dari pemikir muslim lainnya. ‘Ashabiyah mengandung makna group feeling, solidaritas kelompok, fanatisme kesukuan, nasionalisme, atau sentimen sosial. Yaitu cinta dan kasih sayang seorang manusia kepada saudara atau tetangganya ketika salah satu darinya diperlakukan tidak adil atau disakiti. 29 Ibnu Khaldun dalam hal ini memunculkan dua kategori sosial fundamental yaitu Badawah 30 dan Hadharah 31. Keduanya merupakan fenomena yang alamiah dan pasti terjadi adanya. 32 Penduduk kota menurutnya banyak berurusan dengan hidup enak. Mereka terbiasa hidup mewah dan banyak mengikuti hawa nafsu. Jiwa mereka telah dikotori oleh berbagai macam akhlak tercela. Sedangkan orang-orang Badui, meskipun juga berurusan dengan dunia, namun masih dalam batas kebutuhan, dan bukan dalam kemewahan, hawa nafsu dan kesenangan. 33 Daerah yang subur berpengaruh terhadap persoalan agama. Orang-orang desa yang hidup sederhana dalam keterbatasan ekonomi baik sandang, pangan, dan papan dibanding orang-orang kota lebih baik dalam beragama dibandingkan dengan orang yang hidup mewah dan berlebih. Orang-orang yang taat beragama sedikit sekali yang tinggal di kota-kota karena kota telah dipenuhi kekerasan dan masa bodoh. Oleh 28
Namun
walaupun demikian Khaldun tetap mengapresiasi dan mengakomodasi nilai-nilai universal Islam yang diturunkan Allah melalui Rasul-Nya. Itu semua memiliki tujuan agar ajaran Islam yang komprehensif, universal dan berjiwa rahmatan li al-‘ālamīn tidak mengalami kejumudan (stagnancy) jika didialogkan dengan kondisi nyata sosio-kultur masyarakat pada saat ini. 29 Muqaddimah, hal. 44. Teks pernyataan Ibnu Khaldun tentang hal ini: و ﺑﺎﻟﻌﺼﺒﻴﺔ اﻟﱵ ﺑﻘﺘﺪر ﻬﺑﺎ
ﻋﻠﻰ ﻗﻬﺮﻫﻢ وﲪﻠﻬﻢ ﻋﻠﻰ ﺟﺎدﺗﻪ 30
Badawah adalah komunitas pedalaman, masyarakat primitif, atau daerah gurun. Hadharah adalah komunitas kehidupan kota, masyarakat beradab. 32 Dalam istilah Khaldun ’dharuri’. Lihat Muqaddimah, hal. 120. 33 Muqaddimah, hal. 123. 31
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
69 karena itu, sebagian orang yang hidup di padang pasir adalah orang zuhud. Orang Badui lebih berani daripada penduduk kota. Karena penduduk kota malas dan suka yang mudah-mudah. Mereka larut dalam kenikmatan dan kemewahan. Mereka mempercayakan urusan keamanan diri dan harta kepada penguasa. Sedangkan orang desa hidup memencilkan diri dari masyarakat. Mereka hidup liar di tempat-tempat jauh di luar kota dan tak pernah mendapatkan pengawasan tentara. Karena itu, mereka sendiri yang mempertahankan diri mereka sendiri dan tidak minta bantuan pada orang lain. 34 Untuk bertahan hidup masyarakat pedalaman harus memiliki sentimen kelompok (‘ashabiyyah) yang merupakan kekuatan pendorong dalam perjalanan sejarah manusia, pembangkit suatu klan. Klan yang memiliki ‘ashabiyyah kuat tersebut dapat berkembang menjadi sebuah negeri. 35 Sifat kepemimpinan selalu dimiliki orang yang memiliki solidaritas sosial. Setiap suku biasanya terikat pada keturunan yang bersifat khusus (khas) atau umum (‘aam). Solidaritas pada keturunan yang bersifat khusus ini lebih mendarah-daging daripada solidaritas dari keturunan yang bersifat umum. Oleh karena itu, memimpin hanya dapat dilaksanakan dengan kekuasaan. Maka solidaritas sosial yang dimiliki oleh pemimpin harus lebih kuat daripada solidaritas lain yang ada, sehingga dia memperoleh kekuasaan dan sanggup memimpin rakyatnya dengan sempurna. Solidaritas sosial menjadi syarat kekuasaan. 36 Menurut Ibnu Khaldun, di dalam memimpin kaum, harus ada satu solidaritas sosial yang berada di atas solidaritas sosial masing-masing individu. Sebab, apabila solidaritas masing-masing individu mengakui keunggulan solidaritas sosial sang pemimpin, maka akan siap untuk tunduk dan patuh mengikutinya. 37
34
Muqaddimah, hal. 125. Ibid, hal. 120. 36 Ibid, hal. 131. 37 Ibid, hal. 132. 35
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
70 Bangsa-bangsa liar lebih mampu memiliki kekuasaan daripada bangsa lainnya. Kehidupan padang pasir merupakan sumber keberanian. Tak ayal lagi, suku liar lebih berani dibanding yang lainnya. Oleh karena itulah, mereka lebih mampu memiliki kekuasaan dan merampas segala sesuatu yang berada dalam genggaman bangsa lain. Sebabnya, adalah karena kekuasaan dimiliki melalui keberanian dan kekerasan. Apabila di antara golongan ini ada yang lebih hebat terbiasa hidup di padang pasir dan lebih liar, dia akan lebih mudah memiliki kekuasaan daripada golongan lain. 38 Pendapat Ibnu khaldun dalam hal ini tidak mengherankan, karena beliau melakukan penelitian pada masyarakat ‘Arab dan Barbar khususnya yang memang menjalani kehidupan sukar dipadang pasir. Tujuan terakhir solidaritas adalah kedaulatan.
Karena
solidaritas
sosial
itulah
yang
mempersatukan
tujuan;
mempertahankan diri dan mengalahkan musuh. Begitu solidaritas sosial memperoleh kedaulatan atas golongannya, maka ia akan mencari solidaritas golongan lain yang tak ada hubungan dengannya. Jika solidaritas sosial itu setara, maka orang-orang yang berada di bawahnya akan sebanding. Jika solidaritas sosial dapat menaklukan solidaritas lain, keduanya akan bercampur yang secara bersama-sama menuntun tujuan yang lebih tinggi dari kedaulatan. Akhirnya, apabila suatu negara sudah tua umurnya dan para pembesarnya yang terdiri dari solidaritas sosial sudah tidak lagi mendukungnya, maka solidaritas sosial yang baru akan merebut kedaulatan negara. Bisa juga ketika negara sudah berumur tua, maka butuh solidaritas lain. Dalam situasi demikian, negara akan memasukkan para pengikut solidaritas sosial yang kuat ke dalam kedaulatannya dan dijadikan sebagai alat untuk mendukung negara. Inilah yang terjadi pada orang-orang Turki yang masuk ke kedaulatan Bani Abbas. 39 Ada satu hal yang sangat menarik yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun, “hambatan jalan mencapai kedaulatan adalah kemewahan. Semakin besar kemewahan dan kenikmatan mereka semakin dekat mereka dari kehancuran, bukan tambah memperoleh kedaulatan. Kemewahan telah menghancurkan dan melenyapkan 38 39
Ibid, hal. 138. Ibid, hal. 139-140.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
71 solidaritas sosial. Jika suatu negara sudah hancur, maka ia akan digantikan oleh orang yang memiliki solidaritas yang campur di dalam solidaritas social”. 40 Menurut Ibnu Khaldun apabila suatu bangsa itu liar, kedaulatannya akan sangat luas. Karena bangsa yang demikian lebih mampu memperoleh kekuasaan dan mengadakan kontrol secara penuh dalam menaklukan golongan lain. 41 Tujuan akhir dari solidaritas sosial (‘ashabiyyah) adalah kedaulatan. ‘Ashabiyyah tersebut terdapat pada watak manusia yang dasarnya bisa bermacam-macam; ikatan darah atau persamaan ke-Tuhanan, tempat tinggal berdekatan atau bertetangga, persekutuan atau aliansi, dan hubungan antara pelindung dan yang dilindungi. Khusus bangsa Arab menurut Ibnu Khaldun, persamaan Ketuhananlah yang membuat mereka berhasil mendirikan Dinasti. Sebab menurutnya, Bangsa Arab adalah Bangsa yang paling tidak mau tunduk satu sama lain, kasar, angkuh, ambisius dan masing-masing ingin menjadi pemimpin. ‘Ashabiyyah yang ada hanya ‘ashabiyyah kesukuan/qabilah yang tidak memungkinkan mendirikan sebuah dinasti karena sifat mereka. Hanya karena Agama yang dibawa oleh Nabi mereka akhirnya bisa dipersatukan dan dikendalikan. 42 Tetapi menurutnya pula, bahwa motivasi Agama saja tidak cukup sehingga tetap dibutuhkan solidaritas kelompok (‘ashabiyyah). Agama dapat memperkokoh solidaritas kelompok tersebut dan menambah keampuhannya, tetapi tetap ia membutuhkan motivasi-mativasi lain yang bertumpu pada hal-hal diluar Agama. 43 Homogenitas juga berpengaruh dalam pembentukan sebuah Dinasti yang besar. Adalah jarang sebuah Dinasti dapat berdiri di kawasan yang mempunyai beragam aneka suku, sebab dalam keadaan demikian masing-masing suku mempunyai kepentingan, aspirasi, dan pandangan yang berbeda-beda sehingga kemungkinan untuk membentuk sebuah Dinasti yang besar merupakan hal yang sulit. Hanya
40
Ibid, hal. 140. Ibid, hal. 145. 42 Ibid, hal. 151. 43 Ibid, hal. 159. 41
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
72 dengan hegemonitas akan menimbulkan solidaritas yang kuat sehingga tercipta sebuah Dinasti yang besar. 44 Menurut Ibnu Khaldun ‘kehidupan raja adalah suatu kedudukan yang sesuai dengan watak manusia. Menurut Khaldun manusia hanya dapat hidup bilamana ia bersama kelompok saling membantu dalam mencari bahan makanan dan kebutuhan hidup. Akan tetapi itu saja tidak cukup, karena masih mungkin terjadi celaj kekacauan. Dan manusia tidak mungkin bisa hidup dalam keadaan kacau. Oleh sebab itu diperlukan adanya ketentuan yang dapat mencegah mereka dari kekacauan baik itu kejahatan atau serang menyerang. Ketentuan ini diperbolehkan untuk dipaksakan oleh seseorang yang memerintah, yang karena kodrat pembawaan manusia itu sendiri merupakan seorang raja yang kuat dan bijaksana. 45 Mustahil setiap orang dapat melakukan semua pekerjaan pemenuhan kebutuhan dan keamanan. Karena itu merupakan keharusan baginya untuk untuk menyatukan upayanya dengan upaya orang lain. Sehingga dengan tindakan saling bantu-membantu dapat dihasilkan cukup bahan makanan untuk waktu yang lebih lama dan jumlah orang yang lebih banyak. Begitupun manusia harus bahu-membahu dalam masalah keamanan. Masyarakat seperti yang telah dijelaskan di atas jika telah ada dan merata di segenap penjuru dunia, maka akan timbul kebutuhan akan kekuatan untuk menjaga manusia yang satu dengan yang lainnya. Hal ini dilakukan mengingat watak kehewanannya yang suka menyerang dan menindas yang lain. Adapun alat-alat persenjataan yang dipergunakan untuk mempertahankan diri dari serangan binatang buasa tidak bisa dijadikan sebagai kekuatan penjaga, mengingat bahwa setiap orang juga bisa mempergunakan alat-alat tersebut. Penjagaan keamanan dari serangan musuh juga tidak bisa dilakukan selain dari kalangan manusia. Karena hewan tidak memiliki alat berpikir sebagai sumber sarana membangun strategi. Penjagaan haruslah diberikan oleh seseorang yang memegang kekuasaan dan mempunyai
44 45
Ibid, hal. 163. Gaston Bouthoul, Ibnu Khaldun sa Philosophie Sociale (Paris: P.Geuthner, 1930), hal. 7980. atau seperti yang dikutip Zainab Khudairi, Ibid, hal. 167.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
73 kewibawaan dengan tangan yang kuat, sehingga dapat mencegah segala bentuk serangan dari luar, yaitu dengan kekuasaan. 46 Penjelasan teks di atas, memberikan gambaran kepada kita bahwa Ibnu Khaldun menyatakan kebutuhan manusia akan sandang dan papan serta pertahanan dirilah yang mendorongnya untuk bergabung dengan masyarakat. Karena kebutuhan tersebut membutuhkan banyak pekerjaan yang tidak mungkin dilakukan sendirian, tanpa ada bantuan orang lain. Juga ada bahaya yang setiap saat akan datang menghampirinya. Hal itu, mau tidak mau menuntut adanya organisasi yang dapat mengendalikan keamanan. Muhsin Mahdi mengatakan bisa saja manusia ada sebelum terbentuknya negara, namun keberadaannya ini bercorak hewaniah. 47 Dalam kaitannya tentang ‘ashabiyyah, Ibnu Khaldun menilai bahwa seorang Raja haruslah berasal dari solidaritas kelompok yang paling dominan. Sebab dalam mengendalikan sebuah negara, menjaga ketertiban, serta melindungi negara dari ancaman musuh baik dari luar maupun dalam dia membutuhkan dukungan, loyalitas yang besar dari rakyatnya. Dan hal ini hanya bisa terjadi jika ia berasal dari kelompok yang dominan. 48
3.2 Perkembangan Negara Negara menurut Ibnu Khaldun, layaknya seperti makhluk-makhluk hidup lainnya. Ia mempunyai batas umur tertentu, mulai lahir, tumbuh, mekar, tua dan akhirnya hancur. Ibnu Khaldun berpendapat umur suatu negara adalah tiga generasi, sekitar 160 tahun. Namun walaupun demikian, uumur Negara juga dapat berbedabeda menurut perjalanan masa astronomisnya. Khaldun berpendapat langka umur
46
Ibnu Khaldun, al-Ta’rif bi Ibn Khaldun wa Rihlatuh Gharban wa Syarqan (Kairo: Lajnah Ta’lif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, 1951), hal. 15. 47 Muhsin Mahdi, Filosofi Sejarah Ibnu Khaldun; terjemahan Ibn Khaldun’s Philosophy of History – A Study in the Philosophie Foundations of the Science of Culture (London: Georges Allen and Unwin Ltd., 1957), hal. 66. 48
Muqaddimah, hal. 233. Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
74 suatu negara melampaui tiga generasi. Usia satu generasi sama dengan usia manusia biasa, yaitu sekitar 40 tahun. Berikut pernyataan Ibnu Khaldun tentang hal ini: 49 ”Adapun usia bangsa-bangsa pun walaupun berbeda secara masanya, kebanyakan tidak melampaui usia tidak generasi. Usia satu generasi sama dengan batas usia seseorang, berkisar antara 40-an. Usia tersebut adalah puncak usia perkembangan dan pertumbuhan.....” 50 Berkenaan dengan tahapan-tahapan perkembangan ketiga generasi tersebut, nampaknya unsur ashabiyah menjadi starting point lahir dan kokohnya negara. Berdasarkan teorinya ‘ashabiyyah, Ibnu Khaldun membuat teori tentang tahapan timbul tenggelamnya suatu Negara atau sebuah peradaban menjadi lima tahap. 51 Pertama, tahap sukses atau tahap konsolidasi, dimana otoritas negara didukung oleh masyarakat (`ashabiyyah) yang berhasil menggulingkan kedaulatan dari dinasti sebelumnya. Kedua, tahap tirani, tahap dimana penguasa berbuat sekehendaknya pada rakyatnya. Pada tahap ini, orang yang memimpin negara senang mengumpulkan dan memperbanyak pengikut. Penguasa menutup pintu bagi mereka yang ingin turut serta dalam pemerintahannya. Maka segala perhatiannya ditujukan untuk kepentingan mempertahankan dan memenangkan keluarganya. Ketiga, tahap sejahtera, ketika kedaulatan telah dinikmati. Segala perhatian penguasa tercurah pada usaha membangun negara. Keempat, tahap kepuasan hati, tentram dan damai. Pada tahap ini, penguasa merasa puas dengan segala sesuatu yang telah dibangun para pendahulunya. Kelima, Tahap hidup boros dan berlebihan. Pada tahap ini, penguasa menjadi perusak warisan pendahulunya, pemuas hawa nafsu dan kesenangan. Pada tahap ini, negara tinggal menunggu kehancurannya. Tahapan-tahapan itu menurut Ibnu Khaldun memunculkan tiga generasi: Generasi Pertama: Menurut Ibnu Khaldun generasi pertama ini adalah generasi pembangun yang dengan segala kesederhanaan dan solidaritas yang tulus tunduk di bawah otoritas kekuasaan yang didukungnya. Generasi ini masih hidup dalam keadaan primitive
49
Petikan dalam bahasa aslinya Muqaddimah, hal. 170. 51 Ibid, hal. 175. 50
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
75 yang keras dan jauh dari kemewahan dan kehidupan kota, masih tinggal di pedesaan dan padang pasir atau yang diistilahkan oleh Ibnu Khaldun dngan kaum Badui. 52 Generasi ini masih nomadik berpindah-pindah tempat, belum menemukan tempat yang permanen. Generasi ini masih didominasi oleh semangat ashabiyah yang kuat. Generasi ini menurut Ibnu Khaldun belum disebut negara. Ibnu Khaldun telah membedakan antara masyarkat dan Negara. Menurut pemikiran Yunani Kuno bahwa Negara dan masyarakat adalah identik. Adapun Khaldun, ia berpendapat bahwa berhubung dengan tabiat dan fitrah kejadiannya, manusia itu memerlukan masyarakat, artinya bahwa manusia itu memerlukan kerjasama antara sesamanya untuk dapat hidup; baik untuk memperoleh makanan maupun mempertahankan diri. Sungguhpun ada perbedaan antara Negara dan masyarakat, namun antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Negara dihubungkan dengan pemegang kekuasaan yang dalam zamannnya disebut daulah yang merupakan bentuk masyarakat. Sebagaimana bentuk suatu benda tidak dapat dipisahkan dari isi, maka demikian pulalah keadaannya dengan Negara dan masyarakat. Masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat yang menetap, yang telah membentuk peradaban, bukan yang masih berpindah-pindah mengembara seperti kehidupan nomaden di padang pasir dan pedesaan yang dialami generasi pertama ini. Menurut Khaldun, kehidupan Badui itu belumlah disebut Negara. Negara mengandung peradaban dan ini hanya mungkin tercapai dengan kehidupan menetap. Negara pun harus mengandung kekuasaan, kehidupan menetap mendorong kemauan untuk berkuasa dan kekuasaan inilah dasar pembedaan Negara dan masyarakat.
52
Ibnu Manzhur dalam Kamus Lisan al-Arab mengatakan bahwa kata ’Badui’ berasal dari kata bud’un yang secara etimologi bermakna permulaan hidup (lihat Ibnu Manzhur, Lisan Al-Arab (Beirut: Dar el-Fikri, 1998), jilid 2, hal. 89). Dalam Muqaddimah, pada beberapa bab Ibnu Khaldun selalu mengatakan bahwa permulaan kehidupan biasanya dimulai di padang pasir dan pedesaan. Kemudian masyarakat itu melakukan urbanisasi ke kota sehingga akhirnya menjadi masyarakat kota atau Hadhariy. Banyak para penulis yang mengatakan bahwa kata ’Badui’ yang dimaksud Ibnu Khaldun adalah orang-orang yang hidup di padang pasir saja. Jelas pendapat ini tidak sesuai dengan arti kebahasaan dan maksud Ibnu Khaldun itu sendiri yaitu mereka yang hidup di padang pasir dan pedesaan. (lihat perbedaan pandangan ini dalam Zainab Hudhairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun; terjemahan Falsafat al-Tarikh ’Inda Ibn Khaldun oleh Ahmad Rofi Utsmani (Bandung: Pustaka, 1987), hal.169).
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
76 Generasi Kedua: Generasi ini berhasil meraih kekuasaan dan mendirikan Negara, sehingga generasi ini beralih dari kehidupan primitive yang keras ke kehidupan kota yang penuh dengan kemewahan. Menurut Ibnu Khaldun generasi kedua adalah generasi penikmat, yakni mereka yang karena diuntungkan secara ekonomi dan politik dalam sistem kekuasaan, menjadi tidak peka lagi terhadap kepentingan bangsa dan negara. Generasi Ketiga Generasi ketiga ini menurut Ibnu Khaldun tidak lagi memiliki hubungan emosionil dengan negara. Mereka dapat melakukan apa saja yang mereka sukai tanpa mempedulikan nasib negara. Jika suatu bangsa sudah sampai pada generasi ketiga ini, maka keruntuhan negara sebagai sunnatullah sudah di ambang pintu, dan menurut Ibnu Khaldun proses ini berlangsung sekitar satu abad. Ibnu Khaldun juga menuturkan bahwa sebuah Peradaban besar dimulai dari masyarakat yang telah ditempa dengan kehidupan keras, kemiskinan dan penuh perjuangan. Keinginan hidup dengan makmur dan terbebas dari kesusahan hidup ditambah dengan ‘Ashabiyyah diantara mereka membuat mereka berusaha keras untuk mewujudkan cita-cita mereka dengan perjuangan yang keras. Impian yang tercapai kemudian memunculkan sebuah peradaban baru. Dan kemunculan peradaban baru ini pula biasanya diikuti dengan kemunduran suatu peradaban lain. 53 Tahapan-tahapan di atas kemudian terulang lagi, dan begitulah seterusnya hingga teori ini dikenal dengan ’teori siklus’.
3.3 TIPOLOGI NEGARA Ibnu Khaldun menawarkan suatu tipologi negara dengan tolok ukur kekuasaan. 54 53 54
Muqaddimah, hal. 172. Khaldun mengistilahkannya dengan al-Mulk. Berikut petikannya dalam Muqaddimah hal.
إﻋﻠﻢ أن اﳌﻠﻚ ﻏﺎﻳﺔ ﻃﺒﻴﻌﻴﺔ ﻟﻠﻌﺼﺒﻴﺔ ﻟﻴﺲ وﻗﻮﻋﻪ ﻋﻨﻬﺎ ﺑﺎﺧﺘﻴﺎر إﳕﺎ ﻫﻮ ﺑﻀﺮورة اﻟﻮﺟﻮد ( ﳌﻠﻚ ﻣﻨﺼﺐ ﻃﺒﻴﻌﻲ ﻟﻺﻧﺴﺎن ﻷﻧﺎ ﻗﺪ ﺑﻴّﻨﺎ أن اﻟﺒﺸﺮ ﻻﳝﻜﻦ ﺣﻴﺎﻬﺗﻢ ووﺟﻮدﻫﻢ إﻻ202 وﺗﺮﺗﻴﺒﻪ )ص (187 )ص... ﺟﺘﻤﺎﻋﻬﻢ وﺗﻌﺎو�ﻢ ﻋﻠﻰ ﲢﺼﻴﻞ ﻗﻮﻬﺗﻢ وﺿﺮورﻳﺎﻬﺗﻢ 202 dan 187.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
77 negara dengan ciri kekuasaan alamiah (mulk tabi'i) atau negara tradisional. Kedua, negara dengan ciri kekuasaan politik (mulk siyasi) atau negara modern. Ketiga, negara dengan ciri kekuasaan yang membawa semua orang untuk berpikir sesuai dengan jalan agama atau siyasah diniyyah. 55 Tipe negara alamiah ditandai oleh kekuasaan yang sewenang-wenang dan otoriter atau despotisme dan cenderung kepada hukum rimba. Di sini keunggulan dan kekuatan sangat berperan. Hukum hanya dipakai untuk menjerat rakyat yang tertindas. Sementara elit penguasa bebas melakukan dosa dan maksiat sesukanya dan prinsip keadilan diabaikan. Baik keadilan ekonomi maupun keadilan sosial-politik. Khaldun menyebut negara alamiah seperti ini sebagai negara yang tidak berperadaban atau uncivilized state. Kedaulatan natural ini lahir dari sentimen kelompok atau ashabiyah. Kedaulatan natural adalah suatu pemerintahan yang membawa masyarakatnya sejalan dengan tujuan hawa nafsu.Artinya, seorang raja dalam memimpin kerajaan atau mulk lebih mengikuti kehendak dan hawa nafsunya sendiri dan tidak memperhatikan kepentingan rakyat. Lambton mengatakan bahwa kedaulatan natural ini rakyat selaras dengan ambisi pribadi dan hasrat-hasrat pemimpin yang tidak terkendali. 56 Kedaulatan semacam ini adalah sebuah negara yang terorganisasi secara rasional bertujuan untuk menyelamatkan kepentingan pemimpin. Sedangkan kesejahteraan umum hanyalah tujuan sekunder saja. Menurut Ibnu Khaldun, rezim seperti ini dapat menjadi tiran, zalim, dan tak bertahan lama. Karena rakyat enggan mentaati penguasa tersebut akibat timbulnya terror, penindasan, dan anarki. Menurut penulis, pemerintahan jenis ini di zaman sekarang menyerupai pemerintahan otoriter, individualis, otokrasi, atau inkonstitusional. Kedua, Pemerintahan yang berdasarkan nalar atau dalam istilah Khaldun Khaldun membagi tipologi negara menjadi tiga kelompok. Pertama, siyasah ‘aqliyah, yaitu pemerintahan yang membawa rakyatnya sejalan dengan rasio dalam mencapai kemaslahatan duniawi dan mencegah kekacauan. Pemerintahan yang berasaskan undang-undang yang dibuat oleh para cendekiawan dan orang pandai. 55
56
Ann K.S Lambton, State and Government in Medieval Islam: An Introdustion to the Studi of Islamic Political Thought: The Jurists; terjemahan dalam Negara dan Pemerintahan Islam (Oxforf: Oxbford University Press, 1981), hal. 166
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
78 Negara dengan bentuk kedaulatan seperti ini diterapkan atas dan diterima oleh rakyat yang tujuan utamanya adalah mewujudkan kesejahteraan rakyat. Namun sangat disayangkan dalam pandangan Khaldun, karena tipologinya hanya didasarkan atas rasio saja, maka orientasinya hanya ’memburu’ kepentingan materi saja. Oleh karenanya menurut Khaldun patut disalahkan. 57 Bentuk Pemerintahan seperti ini dipuji di satu sisi tetapi dicela di satu sisi. Menurut hemat penulis, pemerintahan jenis ini di zaman sekarang serupa dengan pemerintahan Republik, atau kerajaan insitusional yang dapat mewujudkan keadilan sampai batas tertentu. Sementara itu, tipologi negara modern yang berdasarkan kekuasaan politik dibaginya menjadi tiga macam yaitu (1) negara hukum atau nomokrasi Islam (siyasah diniyah), (2) negara hukum sekuler (siyasah 'aqliyah), dan (3) negara "Republik" ala Plato (siyasah madaniyah). Negara Madani yang disebutkan terakhir adalah sebentuk negara sekuler yang dipertahankan oleh orang-orang Islam yang bekerja sama bahumembahu dengan orang-orang kafir dalam membentuk suatu "negara musyrik". Negara hukum dalam tipe yang pertama adalah suatu negara yang menjadikan syari'ah (hukum Islam) sebagai fondasinya. Malcolm H. Kerr, sebagaimana dikutip oleh Thahir Azhary, menamakannya dengan istilah nomokrasi Islam (Islamic nomocracy). Karakteristik siyasah diniyah atau negara hukum berdasarkan Islam menurut Ibnu Khaldun adalah negara yang berdasarkan al- Qur'an dan Sunnah, serta akal manusia yang turut juga berperan dan berfungsi dalam kehidupan negara. Akal manusia yang dimaksudkan adalah ijma' ulama dan qiyas. Sehingga negara nomokrasi Islam atau negara Islam adalah negara ulama. 58 Ketiga, Pemerintahan yang berlandaskan moral atau dalam istilah Khaldun ‘siyasah diniyyah’, yaitu pemerintahan yang membawa semua rakyatnya sejalan dengan tuntunan agama, baik yang bersifat keduniawian maupun spiritualisme. 57
58
Ann K.S Lambton, Ibid, hal. 165. Waqar Ahmad Husaini mencatat, nomokrasi Islam bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat universal, baik di dunia maupun di akhirat (al-masalih al-kaffah). Husaini bahkan menggunakan istilah "Negara Syari'ah" untuk siyasah diniyah atau nomokrasi Islam. Hal ini karena hukum di dalam Islam dikenal secara yurisprudensi sebagai syari'ah.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
79 Negara semacam ini dibentuk demi kebaikan sejati manusia dan merupakan rezimnya para nabi dan para pengganti mereka, atau yang biasa disebut para khalifah. Menurut Ibnu Khaldun model pemerintahan seperti inilah yang terbaik, karena dengan hukum yang bersumber dari ajaran agama akan terjamin tidak saja keamanan dan kesejahteraan di dunia tetapi juga di akhirat. Dan karena yang dipakai sebagai asas kebijaksanaan pemerintahan itu adalah ajaran agama, khususnya Islam, maka kepala negara disebut khalifah dan imam. Khalifah, oleh karena ia adalah pengganti nabi dalam memelihara kelestarian agama dan kesejahteraan duniawi rakyatnya. Imam, karena sebagai pemimpin dia ibarat imam shalat yang harus diikuti oleh rakyatnya sebagai makmum. 59 Inilah tema yang sering muncul dan terulang dalam Muqaddimah. Menurut Ibnu Khaldun tipe negara yang paling baik dan ideal di antara siyasah diniyah, siyasah 'aqliyah, dan siyasah madaniyah ialah siyasah diniyah atau nomokrasi Islam. Siyasah 'aqliyah hanya mendasarkan pada hukum sebagai hasil rasio manusia tanpa mengindahkan hukum yang bersumber dari wahyu. Sedangkan archetype negara Islam adalah konsep siyasah diniyah. 60 Dari ketiga tipe negara yang termasuk ke dalam bentuk mulk siyasi itu, maka secara teoritis Ibnu Khaldun lebih menyukai bentuk nomokrasi Islam atau dalam istilahnya siyasah diniyah sebagai satu-satunya bentuk tata politik dan kultural yang permanen. Klasifikasi Ibnu Khaldun mengenai tipologi negara sangat menarik. Karena pendekatannya menggunakan kekuasaan sebagai a generic term dan pembagian kekuasaan itu menurut kriteria untuk menentukan tipe kelompok apa dari suatu kekuasaan politik. Di sini bisa dipahami tampaknya Ibnu Khaldun berpegang pada suatu hipotesis makin tinggi tingkat peradaban manusia, makin baik tipe negaranya. Akan tetapi menurutnya ciri ideal suatu negara adalah kombinasi antara syariat dengan kaidah-kaidah hukum yang diterapkan manusia berdasarkan atas akalnya.
59
60
Muqaddimah, hal. 191. Yang pernah didirikan dan diproklamasikan oleh S.M. Kartosoewirjo adalah nomokrasi Islam berdasarkan konsepsi siyasah diniyah ini.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
80 Penggunaan akal tersebut tetap merujuk pada syariat. Jadi suatu tingkat peradaban tinggi semata-mata bukan berarti ideal. Stevan Grosby dalam Nationalism mengatakan bahwa tidak ada bedanya antara presiden yang populer dipilih oleh rakyat dan seorang raja. Raja seringkali lebih dihormati dan disakralkan. Seorang raja tidak dapat diganggu gugat dan menjadi titik referensi kesadaran kolektif. Bahkan seorang raja atau kaisar bisa sekaligus menjadi dukun penyembuh, seperti yang pernah dilakukan Kaisar Jepang dan raja Perancis. Sebaliknya Nasionalisme bisa memporak-porandakan hubungan-hubungan mistis tersebut dan memicu sentimen patriotisme yang pada akhirnya sebagai pemicu kebencian dan nafsu perang. Disadari atau tidak, akibat ulah nasionalisme dalam sistem pemerintahan republik tersebut akan melemahkan negara dan kekuasaan. 61 Tipologi negara menurut Ibnu Khaldun memiliki peran yang sangat besar dalam memberikan kontribusi kuatnya suatu tatanan kenegaraan. Menurut Ibnu Khaldun, ada tiga macam bentuk kedaulatan atau rezim yang muncul di tengah komunitas manusia sepanjang sejarah. Pertama, kedaulatan yang natural atau dalam istilah Khaldun ”siyasah thabi’iyyah. Dalam Muqaddimah Khaldun menggunakan dua istilah untuk sistem pemerintahan, yaitu al-mulk dan dawlah. Kata, al-mulk digunakan oleh Khaldun ketika menjelaskan sistem pemerintahan Imperium Umayyah dan Abbasiyya, yang notabene menganut sistem monarki. Sedangkan kata Dawlah, digunakan ketika Khaludn menjelaskan Khulafa’urrasyidin. 62 Jika demikian, dalam hal ini dawlah dapat diterjemahkan sebagai state yang menggunakan sistem pemrintahan ’republik’. Sebetulnya yang menarik bukan dua istilah tersebut. Yang menarik adalah pernyataan Khaldun yang mengatakan Annahuma Laisataa Fikratai al-asaasiyyah (kedua sistem tersebut; mulk dan dawlah (monarki dan republik) bukanlah sesuatu yang pokok
61
Stevan Grosby, Nasionalisme: Makna Bangsa dan Tanah Air di Antara Konflik dan Integrasi, terjemahan dari Nationalism, penj. Freddy Mutiara (Surabaya: Portico Publishing, 2010), hal. 217. 62 Ibnu Khaldun, Muqaadimah, 240-250.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
81 dalam pembentukan negara kuat). 63 Dari pernyataan Ibnu Khaldun ini, nampaknya teori Stevan Grosby tidak mennyentuh ide utama pandangan negara kuatnya Ibnu Khaldun. Dari pembagian pemerintahan di atas, nampak bahwa Ibnu Khaldun menempuh jalur baru dibanding Al-Farabi dan Ibn Abi Rabi’ dalam pengklasifikasian pemerintahan. Ia tidak memandang pada sisi personalnya, juga pada jabatan imam itu sendiri, melainkan pada makna fungsional keimamahan itu sendiri. Sehingga menurutnya substansi setiap pemerintahan adalah undang-undang yang menjelaskan karakter suatu sistem pemerintahan.
63
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, 250.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
82 3.2 PEMIKIRAN NICCOLO MACHIAVELLI TENTANG NEGARA 3.2.1 Peran Nasionalisme tentang Pembentukan Negara Pada tema subbab ini, dasar yang penulis gunakan untuk menganalisa pemikiran Niccolo Machiavelli tentang pembentukan negara adalah semangat nasionalisme. Pemahaman eksplisitas terhadap gagasan-gagasan Machiavelli yang cenderung ’menghalalkan segala cara’ 64 demi mempertahankan kekuasaan, sebetulnya dalam rangka memperkokoh posisi negara. Dan untuk mencapai hal itu, mesti dibangun semangat nasionalisme, dalam hal ini Italia yang tercabik-cabik, korup, dan tidak memiliki solidaritas kelompok, semuanya individualis. Walaupun sebetulnya nasionalisme Machiavelli dalam tema pembentukan negara ini, berbeda dengan pembentukan negara Khaldun. Nasionalisme Machiavelli dibangun dalam rangka memperkokoh negara-negara taklukan atau negara-negara baru yang diperoleh dengan peperangan. Tujuannya agar negara-negara tersebut menjadi benteng sekaligus pagar betis wilayah inti Italia. 65 Benedodetto Croce dalam Politics and Morals meyimpulkan bahwa inti dari gagasan negara dan kekuasaan Machiavelli tidak lain hanyalah nasionalisme. 66 Pendapat Benedetto ini diamini oleh William Ebenstein. Dalam bukunya, Great Political Thinkers dengan yakin Ebenstein mengatakan bahwa pemahaman yang utuh akan gagasan Niccolo Machiavelli adalah upayanya dalam membangun nasionalisme dan persatuan Italia. Karena itu sejatinya nasionalisme harus menjadi pertimbangan utama dalam memahami gagasan Machiavelli tentang pembentukan negara. 67
64
Semasa Machiavelli hidup, buku The Prince dilarang beredar oleh Sri Paus karena dianggap amoral. Tetapi setelah Machiavelli meninggal, buku tersebut menjadi sangat dan banyak dipelajari oleh orang-orang serta dijadikan pedoman oleh banyak kalangan politisi dan para kalangan elite politik.
65
Analisa penulis ini didasarkan bahwa materi inti dari The Prince adalah upaya nasionalisme dan persatuan Italia. 66 Benedodetto Croce, Politics and Morals (New York, Philosophical Library, 1945), p. 62. 67 William Ebenstein, Great Political Thinkers: Plato to the Present (Princeton University Press, 1960), Third Edition, p. 279.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
83 Jika Ibnu Khaldun memiliki konsep tentang awal berdirinya negara, Niccolo Machiavelli lebih fokus bagaimana kekuasaan itu diraih dan dipertahankan. 68 Artinya konsep awal berdirinya negara menurut Machiavelli jika dikomparasikan dengan pemikiran Khaldun tentang awal berdirinya negara, pemikiran Machiavelli berangkat dari generasi keduanya konsep negara yang ditawarkan oleh Ibnu Khaldun. Dalam hal ini negara berfungsi sebagai raison d’etre. Dengan demikian pembicaraan mengenai negara dalam pandangan politik Machiavelli, ketika kondisi negara sudah terbentuk. Berbeda dengan Ibnu Khaldun, bahwa pada generasi ini masyarakat masih didominasi oleh ‘peran ashabiyah’ 69 dan warga pedesaan yang masih berpindahpindah. Sedangkan negara baru dikatakan ada, jika masyarakatnya sudah menetap. 70 Ibnu Khaldun memberikan pondasi dasar mengenai awal berdirinya negara, yaitu ‘kebutuhan sosial untuk pemenuhan kebutuhan sandang pangan dan ‘kebutuhan keamanan’. 71 Viotti Kauppi dalam International Relation Theory: Realism, Pluralism, Globalism, menyatakan bahwa Machiavelli menempatkan keamanan nasional sebagai inti dari pemikirannya. Baginya kemampuan survival dari sebuah negara merupakan hal pokok yang harus diperhatikan oleh seorang penguasa. Pandangannya ini melahirkan pendapatnya yang dipandang kontroversial yaitu, keamanan nasional merupakan sesuatu yang sangat penting sehingga seorang penguasa dapat bertindak apapun atas nama keamanan nasional sekalipun itu bertentangan dengan moralitas. Karena, dalam bahasanya kaum realis, yang dibutuhkan bukanlah etika moral melainkan etika tanggungjawab yaitu, the careful weighing up of consequences; the
68
Konsep dari ajaran Machiavelli sendiri membicarakan mengenai kekuasaan. Machiavelli di dalam bukunya The Pince tersebut membicarakan bagaimana sikap seorang pemimpin semestinya dalam mencari, memperbesar serta mempertahankan kekuasaan. Machiavelli mengajarkan untuk berbuat picik guna mencapai tujuan dari kekuasaan itu sendiri. Bahkan, segala carapun ia halalkan. 69 Ibnu Khaldun, Muqaddimah,m hal. 127. 70 Dalam istilah Khaldun Ahl hadarah (menetap). Lihat Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hal. 125 71 Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hal. 41-43.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
84 realization that individual acts of an immoral kind might have to be taken for a greater good. 72 Wawasan nasional suatu bangsa dibentuk dan dijiwai oleh paham kekuasaan dan geopolitik yang dianutnya. Perumusan wawasan nasional lahir berdasarkan pertimbangan dan pemikiran mengenai sejauh mana konsep operasionalnya dapat diwujudkan dan dipertanggungjawabkan. Menurut Machiavelli kehidupan individu berada di dua alam (nature) yaitu: Necessary properties atau first nature Contingent properties atau second nature. Yang pertama adalah kondisi di mana kehidupan manusia lebih ditentukan oleh kepentingan pribadinya yang berlandaskan pada hasrat, ambisi, pikiran dan “humors”. Humors didefinisikan sebagai temperaments received at birth from the current constellation of heavenly bodies. Di dalam tulisannya Markus Fisher menjelaskan bahwa bagi Machiavelli, di dalam kondisi first nature, humors seorang pembesar (the great) berusaha untuk mendominasi individu-individu lainnya. Di mana pada saat bersamaan “masyarakat” menginginkan kebebasan dari penindasan. Bagi
Machiavelli
kondisi
tersebut
memperlihatkan
bahwa
di
saat
“masyarakat” memperoleh kebebasan pada saat itu pula hasrat atau ambisi untuk mencapai dominasi muncul. First nature oleh Machiavelli dipandang sebagai sebuah kondisi yang tidak bermoral. Menurut Machiavelli, first nature tampak pada state of licence dimana tidak ada satu otoritas pun yang dapat mengatur individu-individu. Pada kondisi demikian ambisi dan fear of preservation mendominasi tindakan individu. Ambisi dan fear of preservation pada akhirnya mengakibatkan konflik antar individu. Sementara yang kedua adalah kondisi dimana sejumlah individu menyusun kebiasaan-kebiasaan (habits) yang membuat mereka dapat bekerjasama secara
72
Paul R. Viotti & Mark V. Kauppi, International Relations Theory: realism, Pluralism, Globalism, (New York: Macmillan Publishing Company, 1987), hal. 83
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
85 strategis, membangun kebaikan bersama untuk mencapai tujuan individual (individual ends). “At best, such individuals may acquire a second nature which consist of habits that allow them to cooperate strategically, to act for common good which is means to individual ends”. First nature dapat berubah menjadi second nature lewat pemaksaan otokratik (autocratic constrain). Pertama-tama, individu-individu terlibat di dalam kehidupan bersama karena ingenuity (kecerdikan atau akal) mereka memilih untuk tunduk pada aturan sebagai cara terbaik untuk menghindari siksaan atau kematian di tangan penguasa. Kemudian seiring peningkatan pelaksanaannya yang dibawah tekanan, kehidupan bersama ini secara perlahan-lahan terserap ke dalam alam bawah sadar. Dan jika sudah benar-benar terinternalisasi individu-individu tidak lagi membutuhkan paksaan untuk menjalankan kehidupan bersama. Lewat secondary nature inilah political order dapat dicapai. Political order inilah yang nantinya dapat membawa individu mencapai kejayaan, kekayaan dan kekuasaan. “to satisfy the passion in enduring fashion, ingenuity suggest individuals that they should bring others under their rule. For then they will have subjects to dominate and despoil, as well as armed retainers to make wars that bring glory, empire and riches. The ensuing struggle for domination is won by those with the most virtu, the ability to use force and fraud in prudent fashion. These “new prince” create the first political order, suppressing the state of licence within its boundaries. Tapi pelaksanaan kehidupan bersama tersebut tidak akan bertahan lama karena begitu tekanan atau paksaan tadi hilang kondisi akan berbalik pada situasi first nature dan menghancurkan kehidupan bersama yang telah terbentuk. Karena pada saat terjadi perubahan kondisi dengan menghilangnya tekanan atau paksaan individu akan kembali berpikir untuk memuaskan hasrat dan menemukan cara terbaik untuk mengeksploitasi yang lainnya dibandingkan untuk bekerjasama. Bagi Machiavelli sistem internasional serupa dengan state of licence yang tidak memiliki satu otoritas tertentu pun yang mampu mengaturnya. Di dalam sistem
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
86 ini ambisi dan fear of preservation merupakan dua hal pokok yang mendasari tingkah laku negara-negara yang akhirnya melahirkan peperangan. “war is made on a republic for two causes: one, to become master of it; the other, for fear lest it seize you 73. Menurut Machiavelli ambisi untuk mendominasi dari setiap negara mengakibatkan lahirnya upaya pengamanan diri dari setiap negara untuk mempersenjatai diri. Upaya ini pun akhirnya mendatangkan masalah karena memunculkan fear of preservation dari setiap negara yang berpotensi mendatangkan perang. Untuk mencegah terjadinya peperangan ia mengusulkan negara-negara cukup mempersenjatai
diri
untuk
mencapai
posisi
deterrence,
jangan
sampai
mempersenjatai diri hingga membuat negara-negara lain merasa terancam. Namun Machiavelli sendiri ragu pada idenya ini karena pada akhirnya ia berpendapat bahwa ini adalah mustahil dijalani. 74 Pada akhirnya ia mengusulkan bahwa untuk selamat di dunia dimana perang merupakan sesuatu yang tak dapat dicegah, yang harus dilakukan adalah meraih dominasi dan wilayah kekuasaan yang besar (empire). Dengan meraih dominasi maka keamanan internasional dapat dicapai. Tidak berbeda dengan konsep awalnya tentang secondary nature di dalam lingkup domestik, Machiavelli melihat bahwa ketertiban internasional hanya dapat tercapai jika ada sebuah negara yang mampu menaklukkan seluruh negara di dunia dan kemudian memaksakan aturan bersama sebagai norma di dalam sistem internasional. Pemikirannya ini dilandaskan pada ketidakpercayaannya pada aliansi yang dipandangnya cacat dan menghasilkan bandwagoning. Kekaisaran dunia (empire) ini hanya bisa dilakukan oleh negara yang memiliki virtu superior dibandingkan yang lain.
73
74
Dscourses 1.6.4 Markus Fisher, “Machiavelli’s Theory of Foreign Politics”, di dalam Benjamin Frankle (ed.), Roots of Realism, London & Portland: Frank Cass Co. Ltd, 1996, hal. 93.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
87 Untuk membangun virtu yang kuat tersebut dibutuhkan kemampuan yang kuat dari negara untuk mengorganisasikan kekuatan domestiknya. Dalam membangun kekuatan domestik tersebut Machiavelli lebih menekankan pada pembangunan kekuatan militer dibandingkan kekuatan ekonomi seprti ditulisnya, “not gold, as the common opinions proclaims, bur good soldiers are the sinew of war; for gold is not sufficient to find good soldier, but good soldiers are quite sufficient to find gold.” Namun, virtu tersebut tidak pernah bertahan pada satu negara saja melainkan dapat berpindah-pindah. Karena seiring dengan munculnya aturan bersama, menurun pula kemampuan virtu dari negara terkuat tersebut. Yang terjadi selanjutnya adalah munculnya negara baru yang memiliki virtu terkuat untuk menguasai dunia. Begitu seterusnya. Hilangnya virtu ini disebabkan akibat hilangnya war-like competition. Dalam bahasa Machiavelli, “men become excellent and show their virtu accordingly as they are employed and brought forward by their prince or republic… hence it follows that where authorities are many, many capable men arise, where they are few, few.” Dengan hanya munculnya satu kekuasaan tunggal maka satu-satunya jalan untuk mencapai virtu hanyalah lewat kekuasaan tunggal tersebut, Machiavelli menjelaskan bahwa ketika Roma menaklukan wilayah-wilayah di Eropa dan Afrika serta juga Asia, satu-satunya jalan untuk mendapatkan virtu hanyalah melalui Roma, yang itu berarti semakin berkurangnya jumlah orang-orang memiliki virtu. Selain itu, virtu juga menurun disebabkan oleh hilangnya peperangan yang mengakibatkan masyarakat lebih banyak menghabiskan waktu untuk bersenang-senang daripada memberdayakan dirinya. Namun pada akhirnya, setelah kejatuhan virtu, leisure yang dalam perjalanannya melahirkan beragam konflik kembali memunculkan virtu yang kuat pada masyarakat atau negara bersangkutan.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
88 “virtu makes region tranquil; and from traquility then result leisure; and leisure burns countries and towns. Then, when a province has for a time been in a state of disorder, virtu often return to live there another time.” Dari penjelasan ini sebenarnya tampak bahwa Machiavelli sebenarnya bukanlah seseorang tak bermoral karena justifikasi yang dia berikan untuk bertindak bebas bagi sang penguasa didasari pada upaya bagi pencapaian kebaikan bersama. Selain itu ia juga berpendapat bahwa jika tidak dibutuhkan betul kekerasan sebaiknya tidak perlu dilakukan karena hal tersebut justru akan berdampak sebaliknya bagi aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh penguasa. Dari sini terlihat bahwa Machiavelli memisahkan antara etika (moralitas) dan politik karena, seperti tertulis di penjelasannya, seringkali untuk mencapai kebaikan dibutuhkan tindakan-tindakan yang tidak bermoral.
3.2.2 Perkembangan Negara
Menurut Machiavelli satu hal yang perlu diperhatikan oleh seorang penguasa dalam menjaga kelangsungan negaranya adalah kemampuan sang penguasa tersebut membaca kondisi internal dan eksternal negaranya. Karena jika ia salah memperhitungkan situasi kelangsungan negaranya dapat terancam. 75 Machiavelli memberikan pesan tentang cara membentuk kekuatan politik yang besar agar sebuah negara dapat berdiri dengan kokoh. Di dalamnya terkandung beberapa postulat dan cara pandang tentang bagaimana memelihara kekuasaan politik. Menurut Machiavelli, sebuah negara akan bertahan apabila menerapkan dalildalil berikut: pertama, segala cara dihalalkan dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan. Kedua, untuk menjaga kekuasaan rezim, politik adu domba (divide et impera) adalah sah; dan ketiga, dalam dunia politik (yang disamakan dengan kehidupan binatang buas), yang kuat pasti dapat bertahan dan menang.
75
Machiavelli, The Prince, hal. 45.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
89
3.2.3 Tipologi Negara Jika kita analisa, sistem pemerintahan yang dibangun Machiavelli dalam The Rince adalah sistem monarki. Mengingat ketika itu kondisi negara membutuhkan seorang yang kuat. Dan hal itu sangat dimungkinkan jika sistem pemerintahan adalah monarki. Namun jika kita membaca The Discourse justru Machiavelli menawarkan sistem republik. Jika diperhatikan secara seksama, Machiavelli sangat memperhatikan posisi penguasa dalam pemikiran-pemikirannya. Ini disebabkan oleh pendapat machiavelli tentang tiga level strata sosial yaitu, “the many”, “the few” dan “the fewest”. Menurutnya, “the many” atau rakyat kebanyakan tidak memiliki kemampuan yang baik dalam memahami kenyataan dan sangat tidak punya kemampuan dalam aktivitas bersama (collective action). Sementara “the few” atau kelas menengah, memiliki cukup kemampuan untuk menjadi penguasa dan suka meniru tindak tanduk penguasa. Dan “the fewest” atau penguasa, kelompok yang paling mampu memahami realitas dan paling mampu menciptakan ketertiban di tengah masyarakat. Dari penjelasan di atas tampak sekali bahwa pemikiran Machiavelli sangat realistis. Hal tersebut merupakan kekuatan sekaligus juga kelemahan yang dimiliki Machiavelli. Dengan pemikirannya yang realistis Machiavelli dapat memahami dunia sosial secara lebih membumi dibandingkan teori lain yang seringkali memberikan ide yang mengawang-awang. Ide-ide Machiavelli sangat mudah untuk diimplementasikan di dalam praktek sosial-politik sehari-hari. Tapi sisi kerealistisannya tersebut Machiavelli akhirnya menjadi naïf dengan menolak norma-norma moralitas yang sebenarnya diperlukan dalam praktek sosial sehari-hari. Dengan menjustifikasi penguasa untuk bertindak sebebasnya tanpa ada guidance yang bersumber dari norma-norma moralitas, sama saja dengan memberikan sebuah detonator bom kepada seorang teroris. Karena dengan kekuasaannya yang besar tersebut penguasa dapat bertindak apapun tanpa ada yang mengaturnya. Akhirnya apa yang diharapkan oleh Machiavelli bahwa pemberian justifikasi tersebut bertujuan untuk menciptakan
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
90 kebaikan bersama tidak akan mungkin terwujud. Lord Acton pernah berujar, “power tends to corrupt”. Sementara masalah kedua yang layak menjadi catatan adalah mengenai pandangan Machiavelli yang terlalu fokus pada kekuatan militer sebagai tulang punggung kekuatan nasional. Perubahan jaman telah menjadikan faktor ekonomi sebagai sebuah kekuatan yang menentukan dalam percaturan politik internasional. Fakta kontemporer menunjukan bahwa negara-negara yang memiliki kemampuan ekonomi yang besar dapat mempengaruhi arah dinamika politik internasional. Persoalan yang ketiga adalah, pandangan Machiavelli bahwa harus ada sebuah negara superior yang mengatur sistem internasional sangat sulit untuk diterima. Karena hal ini justru akan memunculkan kediktatoran internasional dari negara superior tersebut. Dari penjelasan MF di atas kesimpulan yang dapat ditarik adalah perspektif realis (machiavellian) di dalam HI sangat memfokuskan kajiannya pada negara dan penguasa. Hal ini tampak pada pandangan Machiavelli, yang pertama, menempatkan negara sebagai aktor utama dalam politik global. Ini terlihat dari pendapatnya yang menempatkan isu keamanan nasional sebagai isu sentral. Kedua, penguasa sebagai penentu
dari
dinamika
politik
internal
maupun
eksternal
(internasional).
Pandangannya yang demikian sangat sulit untuk diterima oleh masyarakat masa sekarang. Di dalam spektrum perspektif realis, John Baylis dan Steve Smith (BS) 76 menempatkan Machiavelli ke dalam ”kotak” historical-realism bersama-sama dengan E.H. Carr. Berikut adalah tabelnya. Tabel 2: Taxonomy of Realism 77 Type of realism Key thinkers Structural realism Thucydides I (human nature) Morgenthau
Key texts The Peloponnesian war Politics among nations
‘Big idea’ International politics driven by an endless struggle for power which has its roots in human nature. Justice, laws and
76
John Baylish & Steve Smith, The Globalization of World Politics, New York: Oxford University Press, 1997. 77 Sumber: Baylis-Smith, 1997.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
91
Historical or practical realism
Machiavelli Carr
The prince The twenty years crisis 1919-1939
Structural realism II (international system)
Rousseau Waltz
The state of war Theory of international politics
Liberal realism
Hobbes Bull
Leviathan The anarchical society
society have either no place or circumscribed. Political realism recognizes that principles are subordinated to policies; the ultimate skill of the state leader is accept, and adapt to, changing power political configuration in world politics It is not human nature, but the anarchical system which fosters fear, jealousy, suspicious and insecurity, conflict can emerge even if the actors have benign intent towards each other. The international anarchy can be cushioned by state who have the capability to deter other states from aggression, who are able to construct elementary rules for their coexistence.
Namun dengan berubahnya jaman, seperti telah dijelaskan di atas, terjadi pula perubahan di dalam dinamika internasional. Dengan munculnya beragam aktor nonnegara yang bahkan lebih berpengaruh dibandingkan negara. Validitas asumsi-asumsi dasar realisme mulai dipertanyakan. Selain itu penempatan penguasa sebagai penentu utama dinamika politik juga melahirkan bias demokrasi karena pemberian kekuasaan yang
sangat
besar
pada
otoritarianisme/totaliterianisme
baik
penguasa di
dalam
justru
akan
melahirkan
lingkup
domestik
maupun
internasional. Dalam berbagai kasus, negara-negara yang pemimpinnya memiliki Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
92 kekuasaan hampir mutlak selalu melahirkan berbagai pelanggaraan HAM terhadap warga negaranya sendiri maupun terhadap masyarakat internasional. Di dalam konsepsinya mengenai kekuasaan, ada beberapa hal yang disinggung oleh Machiavelli, antara lain mengenai hubungan antara negara dengan agama, hubungan antara politik dengan moralitas dan tentara negara yang kuat. Hubungan antara negara dengan agama. Seorang penguasa seharusnya menjadikan agama sebagai alat atau instrumen kekuasaan. Bagi Machiavelli, agama memiliki nilai pragmatis dan kepentingan politik praktis untuk mengintegrasikan negara, membina loyalitas, kepatuhan serta ketundukan rakyat terhadap otoritas penguasa. Hal ini ia contohkan pada bangsa Romawi dengan agamanya pada saat itu adalah agama Romawi Kuno. Agama
juga
dapat
membantu
dalam
hal
mengendalikan
negara,
menumbuhkan harapan dan semangat rakyat, menghasilkan orang-orang baik dan memalukan orang-orang jahat, dan sebagainya. Oleh karena itu, di mana ada agama, maka akan mudah mengajarkan kepada rakyat mengenai senjata. Akan tetapi, apabila tanpa adanya agama, maka akan sulit untuk memperkenalkan senjata kepada rakyat. Machiavelli juga beranggapan bahwa agama hanyalah sebuah pranata dalam kehidupan bermasyarakat yang bisa difungsikan. Dalam hal ini, gagasannya mengenai agama bersifat sekuler. Karena agama sebagai salah satu instrumen penting dalam mendapatkan, memperbesar serta mempertahankan kekuasaan, oleh sebab itu, sudah semestinya negara harus bisa mengintervensi agama. Dari pandangan Machiavelli mengenai agama ini dapat kita kategorikan Machiavelli sebagai penganut utilitarianisme dan pragmatisme. 78 78
Dari pandangannya mengenai bagaimana peranan penting sebuah agama sebagai salah satu instrumen dalam mengumpulkan serta mengolah kekuasaan, mengindikasi bahwa wibawa penguasa negara tanpa agama tidak cukup menjamin lestarinya persatuan dan kekuasaan. Pandangan keagamaan Machiavelli ini menarik, karena agama sebagai sebuah institusi sakral tetap perlu terlibat dalam proses-proses politik. Ini artinya agama tidak bisa dipisahkan begitu saja sekadar karena alasan bahwa agama urusan pribadi manusia dengan Tuhannya sebagaimana diyakini kaum sekularis pada umumnya. Peran agama dalam sebuah negara seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, Thomas Hobbes juga sependapat
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
93 Kaitannya dengan moralitas, menurut Machiavelli dalam hal moralitas seorang pemimpin, ia mengasumsikan bahwa seorang penguasa sudah seharusnya bisa membentuk opini umum yang bisa mengendalikan tingkah-laku warganya. Oleh karena itu, untuk memperkokoh ke-kuasaan, penguasa harus dapat memobilisasi segala nafsu rendah mereka yang ingin dikuasainya demi mencapai tujuannya tersebut. Dalam hal ini, ia mengibaratkan seorang pemimpin bermain/berwatakkan sebagai manusia maupun binatang buas. Untuk mencapai tujuannya, seorang penguasa tidak harus pertimbangan-pertimbangan moral. Di satu sisi, seorang penguasa harus bisa bertindak sangat bermoralistis, seperti bersikap jujur, berendah hati, tetapi hal tersebut difungsikan pada saat ingin memperoleh tujuannya tersebut. Namun, apabila kondisi mendesak guna menjaga stabilitas hegemoninya, seorang penguasa bersikap sebaliknya, yaitu amoral. Machiavelli bependapat bahwa tujuan negara tidak lain adalah kekuasaan sebagai alat untuk mencapai tujuan negara yang sebenarnya, yaitu kebesaran dan kehormatan. Oleh sebab itu, ia menyangkal asumsi bahwa kekuasaan adalah alat atau instrumen belaka untuk mempertahankan nilai-nilai moralitas, etika atau agama. Bagi machiavelli segala kebajikan, agama serta moralitaslah yang harus dijadikan
alat
untuk
memperoleh
memperbesar
serta
mempertahankan
kekuasaan.Untuk memperoleh kehormatan dan kebesaran itu, seorang penguasa (raja) tidak harus menaati norma kesucian maupun agama. Bahkan kalau perlu juga berbuat licik dan tidak perlu harus menepati janji. Sebaiknya seorang penguasa berperan sebagai bintang yang merupakan perpaduan dari kancil dan singa.
dengan apa yang dikemukakan oleh Machiavelli bahwa agam harus diintervensi sedemikian rupa sehingga dapat menjaga stabilitas kekuasaan seorang pemimpin.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
95 BAB 4 PEMIKIRAN IBNU KHALDUN DAN NICCOLO MACHIAVELLI TENTANG MEMBANGUN NEGARA YANG KUAT
Pada bab ini, dibahas pemikiran Ibnu Khaldun dan Niccolo Machiavelli mengenai negara yang kuat. Apa saja syarat-syarat untuk tegaknya sebuah negara yang kuat. Dari konsep-konsep politik Ibnu Khaldun maupun Niccolo Machiavelli yang tersebar dalam Muqaddimah dan The Prince terdapat beberapa konsep pokok untuk tegaknya sebuah negara yang kuat, diantaranya peran agama, pemimpin yang kuat, angkatan perang, dan ekspansi militer.
4.1 PERAN AGAMA Agama memiliki peran yang sangat signifikan sebagai salah satu factor bagi tegak dan kuatnya negara dalam pandangan Ibnu Khaldun dan Niccolo Machiavelli. Sepintas memang akan tampak bahwa Ibnu Khaldun berbeda cukup jauh dengan Machiavelli dalam pandangannya mengenai agama. Jika Ibnu Khaldun menganggap agama memiliki peran vital dalam mempertahankan dawlah, hubungannya dengan solidaritas, maka Machiavelli justru cenderung curiga pada agama. Sebagian ajaran agama, menurut Machiavelli, justru adalah penghambat kekuasaan politik. 1
1
Max Weber dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism seperti dikutip Donald Eugene Smith menyimpulkan adanya pengaruh nilai-nilai keagamaan pada budaya politik khususnya pada perkembangan kapitalisme modern. Dia menjelaskan bahwa kapitaslime modern kuat berkembang di Eropa Barat dan Amerika. Menurut Weber, sangatlah wajar kapitalisme modern berkembang di kawasan-kawasan tersebut. Mengingat dikawasan inilah lahirnya reformasi keagamaan protestan yang dimotori oleh Martin Luther. Karena biasanya pergolakan ideologis basicly telah melahirkan nilai dan produk-produk baru seperti diantaranya kapitalisme. Lihat Donald Eugene Smith, Agama di Tengah Sekularisasi Politik, terjemahan Religion and Political Development; pent. Azyumardi Azra dan Hari Zamharir (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), hal. 181. lihat juga misalkan pandangannya Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Al-Mutsaqqafuna fi al-Hadharah al-Arabiyyah: Mihnah Ibn Hanbal wa Naqbah Ibn Rusyd, terj. Tragedi Intelektual: Perselingkuhan Politik dan Agama; terjemahan Zamzam Afandi Abdillah (Yogyakarta: Pustaka Alief, 2003), hal. 269.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
96 Agama menurut Ibnu Khaldun diperlukan agar penguasa tidak menjadi otoriter. Kekuasaan akan bisa diselamatkan dari tangan penguasa yang otoriter jika negara itu bersandar kepada hukum agama. Harus diketahui bahwa agama pada masa itu sesungguhnya adalah peradaban dan budaya yang berkembang di dalam masyarakat. Menyandarkan diri pada hukum Islam artinya adalah berpedoman kepada tata nilai yang tumbuh di masyarakat itu sendiri. Hal itu tidak berbeda dari sistem hukum yang berlaku di Inggris yang mendasari apa yang Friedrich August Hayek (1899 – 1992) sebut liberalisme evolusionis empirisis Inggris. Para pemikir Yunani hampir sepakat bahwa kekuasaan politik (negara) tidak berdasar kepada otoritas orang per orang, melainkan kepada apa yang disebut isonomia. Konsep isonomia inilah yang di zaman modern disebut sebagai rule of law (hukum). Inggris modern adalah contoh terbaik di mana negara berdiri di atas rule of law. 2 Menurut Ibnu Khaldun, ada empat tipe kekuasaan yang mungkin muncul. Pertama, siyaasah thaabi’iyyah, kedaulatan alami yang muncul dalam komunitas. Kedua, siyaasah ‘aqliyyah, kekuasaan yang dirancang oleh para cerdik pandai. Ketiga, madiinah al-fadlilah, negara utopis ala Plato dan al-Farabi. Dan Keempat, siyaasah diniyyah, negara yang berdasarkan kepada hukum agama. Jika logika Ibnu Khaldun ini terus ditelusuri secara konsisten, maka sesungguhnya dia mengidealkan sebuah tata pemerintahan minimal state. Negara harus berdasar kepada hukum. Dan hukum adalah apa yang berkembang di masyarakat. Dengan demikian, masyarakat atau rakyat memiliki posisi yang sangat vital dalam teori negara Ibnu Khaldun. Negara tidak berpusat pada otoritas kekuasaan melainkan pada rakyat. Menurut Ibnu Khaldun, agama memiliki peranan yang sangat signifikan dalam mendirikan negara yang besar. Setiap negara yang luas daerah kekuasaannya 2
Nazib Ayubi menganalisa mengenai peran agama dan sentralisasi hukum serta interpretasi budaya yang berkembang di masyarakat. Hukum menurutnya mutlak diperlukan bagi keberlangsungan berbangsa dan bernegara. Lalu bagaimana proses untuk mengakomodir budaya yang berkembang di masyarakat dengan agama yang dianut masyarakat bangsa tersebut. Menurutnya ada proses negosiasi dan tawar menawar ‘budaya’ dan ‘agama’. Lebih lanjut menurutnya akan terjadi bom waktu yang siap meledak jika proses negosiasi ini tidak dilakukan. Lihat Nazib Ayubi, Political Islam: Religion and Politics in the Arab World (London: Routledge, 1991), hal. 1-15, 48-50.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
97 pasti didasari oleh agama baik yang disiarkan oleh seorang nabi atau penyeru. Peranan agama dalam menciptakan persatuan di kalangan masyarakat tidak dapat ditandingi oleh faktor apapun. Persatuan bukanlah hasil usaha manusia akan tetapi karena hidayah dan perkenan Allah swt. Kekuasaan negara itu hanya dapat diperoleh dengan perantaraan dominasi. Dominasi itu hanya dapat diraih dengan adanya solidaritas dan persatuan tekad untuk berjuang. Persatuan seperti ini hanya dapat dicapai dengan perantaraan agama saja. Agama memiliki peranan yang penting dalam memupuk persatuan, dengan jalan menghilangkan persaingan dan perasaan saling iri serta dengki yang biasa ada dalam kelompok solidaritas. Dengan adanya unsur agama maka perhatian tertuju pada kebenaran saja. Dengan adanya faktor agama ini tidak ditemukan sesuatupun yang mampu menghambat kemajuan mereka, dengan dimasukkannya agama dalam politik maka tujuan menjadi satu dan tidak terpecah-pecah. Hal ini dibuktikan pada permulaan sejarah Islam, bahwa tentara yang sangat sedikit jumlahnya mampu mengalahkan Persia yang memilik ibalatentara jauh lebih besar dan dilengkapi persenjataan yang modern. 3 Apabila peranan faktor agama telah menurun atau hilang sama sekali maka perimbangan kekuatan itu akan kembali pada keadaanya semula, yaitu kemenangan akan ditentukan oleh jumlah pendukung solidaritas itu saja. 4 Dalam pandangan Machiavelli kekejaman, terror dan kekerasan adalah institusi sah dalam mempertahankan kekuasaan. Sejenak kita melihat pendapatnya, “Jika situasi menjamin, penguasa dapat melanggar perjanjian dengan negara lain, dan melakukan kekejaman dan terror. Dalam The Prince, Niccolo Machiavelli mengatakan: “It is necessary for a prince, who wishes to maintain himself, to learn how not to be good, and to use this knowledge or not use it, according to the necessity of the case.” 5 Yang terpenting dari pemikiran Machiavelli, adalah ia telah mengangkat persoalan politik dari aspek moral dan ketuhanan.
3
A. Rahman Zainuddin, Kekuasaan, hal. 166 Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hal. 322 5 Niccolo Machiavelli, The Prince, hal. 25 4
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
98 Mengangkat aspek moral dan ketuhanan dalam persoalan politik adalah sebuah reaksi yang diberikan oleh para cendekiawan Eropa-Kristen Abad Pertengahan terhadap institusi kekuasaan paling dominan pada saat itu yaitu institusi Kepausan yang memerintah Eropa dengan konsepsi Christendom (Kekaisaran Kristen di bawah Kepausan). Dominasi kekuasaan kaum agamawan dalam politik kemudian menyulut berbagai protes. Tahun 1887, Lord Acton seperti menyindir hegemoni kekuasaan agama dan menulis surat kepada Bishop Mandell Creighton. Isinya antara lain: “All power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely.” 6 Salah satu konsep sekularisasi yang berkembang dalam peradaban Eropa, diantaranya adalah, “mengatakan bahwa sekularisasi bermula dari pergolakan pikiran dan pertarungan gagasan antara (battles of minds and ideas), seperti tercermin dalam kasus Copernicus, Galileo, Darwin dan para saintis lain yang menentang doktrin Gereja. Begitu juga di bidang teologi, muncul tokoh-tokoh seperti Eichorn dan Strauss yang menerapkan berbagai metode historis-kritis dalam kajian Bibel.” 7 Penulis menilai dalam kacamata inilah pemikiran Machiavelli dibingkai. Bagaimana konsepsi pemisahan antara agama dan ruang publik terjadi. Karena Barat memandang dominasi agama akan mengantarkan mereka pada masa kegelapan masa lampau (The Dark Ages) ketika Gereja berkuasa. Ahmad Suhelmi menyimpulkan alasan orang-orang…..apa, bahwa jika agama dicampur dengan politik, maka akan terjadi “politisasi agama”; agama haruslah dipisahkan dari negara. Agama dianggap sebagai wilayah pribadi dan politik (negara) adalah wilayah publik; agama adalah hal yang suci sedangkan politik adalah hal yang kotor dan profan.” 8 Seorang penguasa seharusnya menjadikan agama sebagai alat atau instrumen kekuasaan. Bagi Machiavelli, agama memiliki nilai pragmatis dan kepentingan politik praktis untuk mengintegrasikan negara, membina loyalitas, kepatuhan serta ketundukan rakyat terhadap otoritas penguasa. Hal ini ia contohkan pada bangsa Romawi dengan 6
Peter de Rosa, Vicars of Christ: The Dark Side of the Papacy, (London: Bantam Press, 1991), hal. 91 7 Syamsuddin Arif, “Kemordernan, Sekularisasi dan Agama”, Jurnal Islamia Vol. III No 2 Januari-Maret 2007), Hal 35 8 Ahmad Suhelmi, The Third Heritage; Kontribusi Islam Terhadap Renaisans dan Pemikiran Politik Barat (Jakarta: Indonesia Think Tank Initiative, 2011) hal. 55-60
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
99 agamanya pada saat itu adalah agama Romawi Kuno. Agama juga dapat membantu dalam hal mengendalikan negara, menumbuhkan harapan dan semangat rakyat, menghasilkan orang-orang baik dan memalukan orang-orang jahat, dan sebagainya. Oleh karena itu, di mana ada agama, maka akan mudah mengajarkan kepada rakyat mengenai senjata. Akan tetapi, apabila tanpa adanya agama, maka akan sulit untuk memperkenalkan senjata kepada rakyat. Machiavelli beranggapan bahwa agama hanyalah sebuah pranata dalam kehidupan bermasyarakat yang bisa difungsikan. Dalam hal ini, gagasannya mengenai agama bersifat sekuler. Karena agama sebagai salah satu instrumen penting dalam mendapatkan, memperbesar serta mempertahankan kekuasaan, oleh sebab itu, sudah semestinya negara harus bisa mengintervensi agama. Dari pandangan Machiavelli mengenai agama ini dapat kita kategorikan Machiavelli sebagai penganut utilitarianisme dan pragmatisme. Dari pandangannya mengenai bagaimana peranan penting sebuah agama sebagai salah satu instrumen dalam mengumpulkan serta mengolah kekuasaan, mengindikasi bahwa wibawa penguasa negara tanpa agama tidak cukup menjamin lestarinya persatuan dan kekuasaan. Pandangan keagamaan Machiavelli ini menarik, karena agama sebagai sebuah institusi sakral tetap perlu terlibat dalam proses-proses politik. Ini artinya agama tidak bisa dipisahkan begitu saja sekadar karena alasan bahwa agama urusan pribadi manusia dengan Tuhannya sebagaimana diyakini kaum sekularis pada umumnya. Peran agama dalam sebuah negara seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, Thomas Hobbes juga sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh Machiavelli bahwa agam harus diintervensi sedemikian rupa sehingga dapat menjaga stabilitas kekuasaan seorang pemimpin.
Sejarawan Marvin Perry dalam Western Civilization: A Brief History mengatakan bahwa nilai penting dari pemikiran Machiaveli adalah usahanya melepaskan pemikiran politik dari kerangka agama dan meletakkan politik sematamata urusan ilmuwan politik. “In secularizing and rationalizing political philosophy,
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
100 he initiated a trend of thought that we recognized as distinctly modern.”
9
Sumbangan terbesar Machiavelli adalah menghilangkan faktor agama dalam politik, dengan memandang masalah politik dan negara, semata-mata sebagai faktor saintifik yang rasional. Inilah yang dipandang sebagai politik modern. Nampak baik Ibnu Khaldun maupun Niccolo Machiavelli kedua tokoh ini memiliki kesamaan pandangan tentang posisi agama terkait dengan jatuh bangunnya suatu negara. Dalam suatu negara, agama menempati posisi teramat penting. Beberapa pemikiran mereka tampak sama meskipun mereka hidup dalam situasi dan kondisi kehidupan yang berbeda. Menurut keduanya, bahwa kebaikan moral individu dan kolektif merupakan kondisi penting untuk menghasilkan dan atau merangsang timbulnya kekuatan politik kreatif dasar yang membuahkan solidaritas dan kesatuan.dan persatuan. Dalam pandangan mereka bahwa agama berperan sebagai daya pemersatu dan merupakan sumber kekuatan politik serta sebagai jaminan perkuat, sumber kepatuhan warga negara, moralitas kolektif dan kebajikan. Karena itu, agama memberi kekuatan pada bangsa yang masih muda dan para pemimpin pertamanya untuk membangun dan memelihara agama. Dari pemikiran kedua tokoh itu, tampak adanya semangat modernitas yang menggunakan sejarah manusia dan masyarakat seperti keadaan yang sesungguhnya dengan mempelajari kondisi aktualnya secara sekuler, realistis dan praktis. Disamping itu keduanya sama-sama terbiasa memperhitungkan situasi politik tidak hanya dalam kerangka konflik individual, tetapi juga berkenaan dengan sumber pendorongnya. Lagi pula, bahwa mereka sama-sama memuaskan pemikirannya pada masalah-masalah kemanusiaan dan kondisi yang ada pada diri mereka. 9
Marvin Perry, Western Civilization: A Brief History (New York: Houghton Mifflin Company, 1997), p. 75. Menurut hemat penulis, pemikiran sebagian pemikir dan filsuf seperti Machiaveli (w.1527 M) dan Michael Mountaigne (w. 1592 M) yang mengingkari keberadaan Tuhan atau menolak hegemoni agama dan gereja Katolik. Jalan tengah dari keduanya ialah, agama tetap diakui, tapi tidak boleh turut campur dalam pengaturan urusan masyarakat. Jadi, agama tetap diakui eksistensinya, tidak dinafikan, hanya saja perannya dibatasi pada urusan privat saja, yakni interaksi antara manusia dan Tuhannya (seperti aqidah, ibadah ritual, dan akhlak). Tapi agama tidak mengatur urusan publik, yakni interaksi antara manusia dengan manusia lainnya, seperti politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
101 Sementara itu, terdapat juga perbedaan-perbedaan pandangan antara keduanya dalam melihat peran dan fungsi agama dalam perkembangan politik. Ibnu Khaldun menggunakan konsep ashabiyah dalam memahami realitas sosial, sementara Machiavelli menggunakan konsep virtue (kebaikan). Menurut Ibnu Khaldun bahwa nasib manusia dan masyarakat ditentukan oleh pilihan kolektif apakah mau tunduk pada aturan agama ataukah hendak mengabaikannya. Sedangkan bagi Machiavelli bahwa pemerintahan merupakan suatu aktivitas keduniaan yang otonom, tidak terikat agama yang mengambil legitimasinya dari sumber-sumber lain dan ia dapat membuat moralitasnya sendiri. 4.2 PEMIMPIN YANG KUAT
Faktor selanjutnya yang menjadi dasar kuat dan kokohnya negara dalam pandangan Khaldun dan Machiavelli adalah faktor pemimpinnya. Menurut keduanya, Jika sebuah negara ingin maju dan kuat maka harus memiliki pemimpin kuat dan berani. Sesungguhnya dunia Islam tidak terlalu banyak mengenal konsep tentang negara. Ibnu Khaldun adalah satu pengecualian. Ibnu Khaldun mencoba menganalisis proses pembentukan negara dari solidaritas sosial. Menurut Ibnu Khaldun, puncak dari ashabiyyah adalah terbentuknya otoritas politik (dawlah). Dari penjelasan ini, ditemukan bahwa Ibnu Khaldun sesungguhnya mengeksplisitkan sesuatu yang selalu ingin dilampaui oleh negara modern, namun dalam praktiknya masih tampak penting, yaitu sentimen primordial. Sentimen primordial bahkan semakin menemukan signifikansinya dalam realitas gerakan sosial dan politik belakangan ini. Menurut Ibnu Khaldun, bertahan tidaknya sebuah negara tergantung kepada sejauh mana solidaritas primordial itu tetap terjaga. Pembentukan dawlah justru menjadi pintu masuk kepada rusaknya sentimen primordial. Karena pembentukan dawlah berarti mengakhiri masa-masa sulit dan dimulainya hidup menetap di kota. Itu artinya kemewahan menjadi realitas yang dinikmati.Ibnu Khaldun menemukan bahwa semua otoritas politik memiliki karakter
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
102 utama yang sama, yakni keinginan untuk mempertahankan kekuasaan selamalamanya. Itulah sebabnya, ketika kekuasaan politik diraih, maka yang terjadi adalah kecenderungan memusatkan kekuasaan pada satu orang. Seorang penguasa tidak ingin membagi kekuasaannya sedikitpun kepada orang lain. Pada mulanya, sang penguasa akan mengambil orang-orang terdekat yang memiliki sentimen primordial yang sama untuk dijadikan teman dan pembantu utama. Tapi rasa curiga yang muncul kemudian akan mengalihkan perhatian penguasa kepada orang-orang luar. Pada akhirnya, sentimen primordial semakin merenggang dan akan membuka pintu masuk orang-orang luar untuk mengambil kekuasaan. Hasrat untuk mempertahankan kekuasaan ala Ibnu Khaldun itu mengingatkan kita kepada nasihat-nasihat politik Niccolo Machiavelli (1469-1527) dalam The Prince. Pencarian sosok seorang pemimpin yang tepat memang tak akan pernah ada habisnya. Berbagai ahli didatangkan, dari pengamat ekonomi, sosial politik, dan termasuk ahli psikologi. Namun untuk mampu menjawab pertanyaan tersebut, perlu diketahui ramuan dasar dari sosok pemimpin yang ideal, yaitu dasar analisis ketika para ahli mencoba meramalkan keberhasilan para calon pemimpin. Menurut beberapa pakar ilmu politik, keberhasilan seorang calon presiden akan bergantung dengan bagaimana kecocokan kepribadian serta visi dan misinya terhadap situasi negara saat itu. Perbedaan situasi pada dua masa tersebut ternyata menghasilkan dua pemimpin yang sangat berbeda kepribadiaannya. Kondisi ini dikenal dengan pandangan situasionalis. 10 Pandangan situasionalis menekankan bahwa pemimpin terpilih tidak lebih dari sebuah refleksi budaya dan nilai dalam masyarakat pada masa itu. Situasi pada masyarakat yang sedang menggembar-gemborkan demokrasi misalnya, menghasilkan sosok seorang pemimpin yang berani berbicara dan tidak konservatif. Namun hal ini dapat dimaknai sebaliknya, seorang pemimpin yang berani berbicara dan tidak konservatif akan terpilih dan sukses pada situasi di mana demokrasi sedang
10
Lihat House, Spangler, & Woycke, Personality and Charisma in the U.S. Presidency: A Psychological Theory of Leader Effectiveness. Administrative Science Quarterly (1991), p. 364-396.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
103 didengungkan. Pada titik ini, penulis belum menemukan penelitian yang menemukan variabel mana yang mempengaruhi variabel lainnya. Hubungan antara kepribadian pemimpin dengan situasinya disebut juga sebagai leader-situational match, yang menyebutkan bahwa the leader’s appeal dan kesuksesannya tergantung pada situasi, sehingga karakteristik kepribadian yang dibutuhkan oleh seorang calon pemimpin akan bervariasi tergantung situasi 11. Selain itu, begitu situasi negara berubah, maka pemimpin dengan kepribadian yang tidak cocok dengan kondisi negara tidak akan bertahan lama. 12 Namun pandangan situasionalis tidak mampu menjelaskan secara menyeluruh mengenai para pemimpin yang berhasil. Apakah mereka hanyalah sekedar the right man on the right place in the right time. Menurut House, Spangler, & Woycke pada pertengahan 1970-an, teori-teori baru mulai muncul mengenai kepemimpinan yang tidak lagi menekankan pada pengaruh situasional, melainkan pada kepribadian pemimpin tersebut. Mulailah dikenal istilah kepemimpinan yang kharismatik, dimana pemimpin tersebut dapat merubah kebutuhan, nilai, preferensi, dan aspirasi dari pemilih melalui tingkah laku, kepercayaan, dan contoh personal dari dirinya sendiri. Seorang pemimpin yang kharismatik adalah seseorang yang mampu menumbuhkan kepercayaan masyarakat, memiliki kedekatan secara emosional dengan pengikutnya, dan mampu membuat pengikutnya berjuang bukan hanya karena berdasarkan self-interest semata sehingga mereka memiliki motivasi kolektif. Hasilnya, muncul motivasi untuk mencapai tujuan bersama pada masyarakat dan terbentuklah masyarakat yang kuat. Teori ini mencoba mematahkan pandangan bahwa situasilah yang menentukan tipe pemimpin seperti apa yang akan terpilih atau berhasil nantinya. 13 11
D. G. Winter, Leader Appeal, Leader Performance, and the Motive Profiles of Leaders and Followers: A Study of American Presidents and Elections, Journal of Personality and Social Psychology, (1987). 52, (1), p. 196-202.
12
Contohlah Soeharto sebagai sosok yang memiliki kontrol yang kuat terhadap dirinya maupun orang di sekitarnya akhirnya lengser dari tampuk kekuasaan tertinggi di Indonesia setelah tuntutan akan demokrasi semakin tinggi. 13 House, Spangler, & Woycke, Ibid.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
104 Kekuasaan memang menggiurkan banyak orang. Banyak orang berupaya sekuat tenaga dengan mengerahkan berbagai daya upaya untuk menjadi penguasa. Tetapi, kekuasaan, sebagaimana dikatakan Ibnu Khaldun, mempunyai watak otoriter dengan kecenderungan untuk menjadi penguasa tunggal. Di samping itu, watak kekuasaan juga cenderung menimbulkan kemewahan. 14 Karena adanya berbagai bahaya itulah, maka menurut Ibnu Khaldun dalam memilih penguasa haruslah diutamakan seorang yang betul-betul terbaik dan paling kuat. 15 Dalam dunia politik modern, seorang pemimpin, khususnya kepala negara, dipilih oleh sebuah kegiatan pemilihan umum atau pemilu. Namun dalam kasus kepala negara, ada juga beberapa negara modern yang tetap menggunakan sistem monarki, seperti Inggris, Belanda, Belgia, Spanyol, Arab Saudi, Malaysia, dan lainlain. Dengan demikian, pemilihan kepala negara bukan berdasarkan pemilihan umum oleh rakyat, tapi berdasarkan dinasti. Pada kasus negara yang berbentuk monarki tersebut, kepala negara dibedakan dengan kepala pemerintahan yang sering disebut dengan jabatan perdana menteri. Jabatan itulah yang kemudian diperoleh dengan cara pemilihan umum yang melibatkan rakyat banyak. Di berbagai negara, konstitusi yang dimiliki pun berbeda-beda. Persyaratan sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan itu diatur dalam konstitusi masing-masing. Menurut Ibnu Khaldun, Islam sebagai sebuah agama yang tidak mengenal distingsi antara yang profan (duniawi) dan yang transendental (ukhrawi), Islam pun mengatur masalah politik dan kekuasaan. 16
14
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hal. 83, berikut petikan pernyataan Ibnu Khaldun:
إﻋﻠﻢ أن
. ﻟﺬا أن ﻳﻜﻮن اﺧﺘﻴﺎر اﻟﺮﺋﺎﺳﺔ ﻣﻦ أﻣﺜﺎل اﻟﺮﺟﺎل.اﻟﺮﺋﺎﺳﺔ ﺗﺆدي إﱃ اﻷﻧﺎﻧﻴﺔ واﻻﺳﺘﺒﺪاد 15 16
Ibid. Substansi kepemimpinan politik dalam perspektif Islam merupakan sebuah amanat yang harus diberikan kepada orang yang benar-benar “ahli”, berkualitas dan memiliki tanggung jawab, adil, jujur dan bermoral baik. Islam tawarkan dalam memilih seorang pemimpin agar dapat membawa umat kepada kehidupan yang lebih baik, harmonis, dinamis, makmur, sejahtera dan tenteram. Lihat Al-Mawardi, Al-Ahkam Sulthaniyyah (Beirut: Dar el-Fikr, 1997), hal. 45.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
105 tentang jabatan kepala negara. 17 Terkait dengan jabatan kepala negara itu pula, Ibnu Taimiyyah bahkan menyatakan bahwa menegakkan kekuasaan adalah salah satu kewajiban agama yang penting. Hal itu karena agama juga bisa tegak dengan adanya kekuasaan. Di samping itu, kepentingan umum masyarakat tidak akan terwujud sempurna tanpa adanya sebuah organisasi yang mengaturnya. Dan sebuah organisasi itu tentu memerlukan seorang pemimpin. 18 Ibnu Khaldun mengatakan dalam muqaddimahnya pasal 25 bahwa hakikat kerajaan biasanya cendrung mengarah kepada kediktatoran. Biasanya raja dipilih berdasarkan kekuatan dan kemampuannya. Untuk itulah seorang raja biasanya diktator, otoriter dan memaksakan kehendak kepada para bawahannya. Seorang raja biasanya berbuat dzalim kepada orang yang dipimpinnya dan memberikan beban berat yang sulit dipikul para rakyatnya. Untuk itulah diperlukan sebuah kepemimpinan yang ada aturan mainnya secara bijaksana sehingga tidak ada kudeta di dalamnya. Kalau secara logika saja perlu aturan main dalam berpolitik. Khilafah menurut Ibnu Khaldun adalah pemerintahan yang berlandaskan agama yang memerintahkan rakyatnya sesuai dengan petunjuk Agama baik dalam hal keduniawian atau akhirat. Maka pemerintahan yang dilandaskan pada Agama disebut dengan Khilafah, Imamah atau Sulthananh. Sedang pemimpinnya disebut Khalifah, Imam atau Sulthan. Khilafah adalah pengganti Nabi Muhammad dengan tugas mempertahankan agama dan menjalankan kepemimpinan dunia. Lembaga imamah Harun Nasution pada adalah wajib menurut hukum agama, yang dibuktikan denganmengatakan dibai’atnyabahwa Abu Bakar perjalanan sejarahnya, teori yang berpendapat, pertama kali imamah muncul dalam sebagai khalifah. Tetapi adapolitik juga yang wajib Islam karenaadalah akal/ perlunya manusia terhadap organisasi sosial. Namun hukum wajibnya adalah fardhu kifayah. 19
17
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 2001), vol. 1, hal. 97. 18 Ahmad bin Abd al-Halim bin Taimiyyah al-Harani, as-Siyasah asy-Syar’iyyah, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt), hal. 217. 19 Muqaddimah, hal. 191-193.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
106 Dalam Muqadimmah, Ibnu Khaldun menyatakan runtuh atau kokohnya suatu kekuasaan sangat tergantung pada ashabiyah (solidaritas sosial). Konsep ashabiyah ini, menyiratkan perlunya ruang bagi konflik kepentingan antar-penguasa dan yang dikuasai sehingga kedua belah pihak saling memiliki posisi tawar menawar untuk mencapai kepentingan yang saling menguntungkan. Konflik kepentingan yang bersifat internal atau eksternal selalu berakibat kepada perubahan dan perkembangan masyarakat, sehingga solidaritas social harus merupakan alat perjuangan dan alat penyelesaian persoalan tanpa kekerasan. Kuat lemahnya kekuasaan suatu pemerintahan pun akan sangat tergantung kepada ikatan solidaritas sosial. Tetapi apabila, solidaritas sosial ini, dikerdilkan atau bersifat monopolitik, dimana hanya segelintir orang atau kelompok tertentu (hanya sebatas hubungan keluarga atau kekerabatan maupun kelompoknya) yang dekat kekuasaan sajalah yang mendapatkan kue-kue kekuasaan, hal ini, menurut Ibnu Khaldun menjadi embrio bagi keruntuhan suatu kekuasaan. Karena hal tersebut, menjadikan penguasa lupa terhadap kewajibannya menjalankan amanat rakyat. Dalam pasal ke 26, bab tentang perbedaan umat dalam hukum menegakkan kepemimpinan dan syarat-syaratnya, Ibnu Khaldun mengemukakan syarat-syarat seorang pemimpin. 20 Menurut Ibn Khaldun, ada lima syarat yang harus dimiliki seorang kepala negara. Sebetulnya mengenai persyaratan pemimpin ini Khaldun menyebutnya hanya 4 yang disepakati. Sedangkan persyaratan yang kelima merupakan syarat yang masihg pro-kontra dan tidak ada kesepakatan mengenai syarat tersebut. Kelima syarat itu: 21 -
Pertama, ia harus berpengetahuan dan memiliki kesanggupan untuk mengambil keputusan sesuai dengan hukum.
-
Kedua, ia harus memiliki sikap dan perilaku jujur, berpegang teguh kepada keadilan, sifat-sifat moral yang baik sehingga perkataan dan tindakannya dapat dipercaya.
20 21
Muqaddimah, Ibid, hal. 191-196. Muqaddimah, hal. 180-187
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
107 -
Ketiga, bahwa ia mempunyai kesanggupan dalam menjalankan tugas-tugas yang diamanatkan kepadanya sebagai kepala negara termasuk melaksanakan hukum yang diputuskan secara konsekwen. Menurut Ibnu Khaldun seorang pemimpin mesti bersedia melaksanakan hukum yang ditetapkan oleh undangundang. Ia juga berani berperang, mengerti cara berperang, sanggup memobilisasi rakyat untuk berperang. Ia sanggup menggalang solidaritas sosial (ashabiyyah) dan mampu berdiplomasi. Kesanggupan itu diperlukan agar fungsinya untuk melindungi agama, berjihad melawan musuh, menegakkan hukum dan mengatur kepentingan umum tercapai dengan baik.
-
Keempat, ia secara fisik dan mental harus bebas dari cacat yang tidak memungkinkan ia menjalankan tugas sebagai kepala negara dengan baik. Panca indra dan anggota badan harus bebas dari cacat. Hal ini karena kesehatan jasmani dan rohani yang kurang akan berpengaruh pada kebebasan seorang pemimpin untuk bertindak. Ketidakbebasan seorang pemimpin tidak hanya karena faktor pada dirinya an sich. Namun hal itu juga bisa terjadi karena ditawan atau dipenjarakan oleh musuh yang berupaya merebut kekuasaannya. Jika hal tersebut terjadi, maka kepemimpinan beralih kepada pihak yang melakukan kudeta. Jika pihak yang melakukan kudeta bertindak adil dan sesuai dengan hukum dan aturan Islam, maka ia pun diakui sebagai pemimpin (imam) baru.
-
kelima, seorang pemimpin harus lemah lembut dan sopan santun terhadap pengikutnya, dan harus mengutamakan kepentingan pengikut serta harus membela mereka sehingga ia tidak mencari-cari kesalahan rakyat. Masyarakat beragama itu bukan saja memerlukan rasa solidaritas sosial atau ’ashabiyah’ dalam istilah Ibnu Khaldun untuk menghadapi lawan, tetapi Ibn Khaldun tidak membenarkan bila rasa solidaritas sosial (ashabiyah) itu dipergunakan untuk tujuan-tujuan hidup yang berlainan daripada yang dikehendaki agama, misalnya untuk kemegahan, untuk menikmati kemenangan yang diperoleh tanpa memperhitungkan batas-batas yang harus dipegang, ini baginya berlawanan dengan yang diingatkan Nabi.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
108 -
Kelima, kepala negara harus dipilih dari bangsa sendiri. 22 Ibnu Khaldun sendiri menggunakan istilah ’Quraisy’. Persyaratan ini memang tampak rasialis dan menjadi sulit diterima oleh masyarakat modern. Karena itulah, sebagian ulama menolaknya, di antaranya Abu Bakar al-Baqillani. Meski demikian, Ibnu Khaldun tetap membelanya. Bagi Ibnu Khaldun, maksud dan tujuan pemimipin diambil dari kalangan quraisy adalah untuk melenyapkan perpecahan di tengah rakyat dengan adanya solidaritas dan superioritas kaum Quraisy. Menurut Ibnu Khaldun, orang Quraisy termasuk golongan suku Mudhar yang dianggap paling perkasa dan berwibawa serta merupakan cikal bakal dari suku-suku lain. Berdasarkan teori ‘ashabiyah, Ibnu Khaldun berpendapat sama dengan Pemikir Muslim sebelumnya tentang keutamaan keturunan Quraisy. Ia mengemukakan bahwa orang-orang Quraisy adalah pemimpin-pemimpin terkemuka, original dan tampil dari bani Mudhar. Dengan jumlahnya yang banyak dan solidaritas kelompoknya yang kuat, dan dengan keanggunannya suku Quraisy memiliki wibawa yang tinggi. Maka tidak heran jika kepemimpinan Islam dipercayakan kepada mereka, sebab seluruh bangsa Arab mengakui kenyataan akan kewibawaannya, serta mereka hormat pada keunggulan suku Quraisy. Dan jika kepemimpinan dipegang oleh suku lain, maka yang terjadi adalah pembangkangan serta berujung pada kehancuran. persaudaraan.
Padahal
nabi
menginginkan
persatuan,
solidaritas,
dan
23
22
Kata “Quraisy” diterjemahkan dengan “bangsa sendiri” adalah interpretasi penulis. Mengingat jika diterjemahkan secara harfiyah nampak tidak sejalan dengan spirit modernisasi. 23 Muqaddimah, hal. 194. Tetapi menurut Ibnu Khaldun hal ini jangan diartikan bahwa kepemimpinan itu dimonopoli oleh suku Quraisy, atau syarat keturunan Quraisy didahulukan daripada kemampuan. Ini hanya didasarkan pada kewibawaan dan solidaritas yang tinggi pada suku Quraisy pada saat itu, hingga ketika suku Quraisy telah dalam keadaan tidak berwibawa, atau ada suku lain yang mempunyai ‘ashabiyyah yang tinggi dan kebibawaan yang tinggi, dan juga kepemimpinan dari suku Quraisy sudah tidak dapat lagi diharapkan, maka kepemimpinan dapat berpindah ke suku atau kelompok lain yang mempunyai kewibawaan, solidaritas, dan kemampuan yang lebih. Pemikiran Ibnu Khaldun dalam hal ini mirip dengan pemikiran Al-Mawardi ataupun Ghazali, bahwa khalifah haruslah dari golongan Quraisy. Tetapi Ibnu Khaldun merealisasikannya dengan teori ‘ashabiyyah seperti dijelaskan di atas.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
109 Menurut Ibnu khaldun, penguasa tidak mesti adalah yang paling cerdas dan pintar, bahkan sebaiknya tidak terlalu pintar dan cerdas. Penguasa yang terlalu pintar dan cerdas cenderung akan melakukan kekangan terhadap kebebasan masyarakat, sebab dia mendaku mengetahui semua hal. Sementara pemimpin yang kurang cerdas akan cenderung membuka ruang bagi masyarakat untuk berkreasi dan menentukan nasibnya sendiri. Pemimpin yang terlalu cerdas akan mendesakkan bentuk negara di mana satu orang bisa mendesain segala hal. Dan itu ujungnya adalah otoritarianisme. Sementara negara dengan pemimpin yang kurang cerdas akan memungkinkan tumbuhnya spontanious order. 24 Spontanious order mengandaikan sebuah bentuk kedaulatan politik yang tidak berpusat pada satu tangan. Sebab tidak ada manusia yang bisa menentukan baik buruknya masa depan manusia yang lain. Dengan demikian, ruang kebebasan yang seluas-luasnya menjadi sangat penting dalam pembangunan peradaban. Angan-angan Ibnu Khaldun itu tampak mulai muncul dalam bentuk negara modern yang meminimalkan peran penguasa dan memberi kekuasaan yang luas kepada rakyat. Machiavelli di dalam bukunya The Prince membahas mengenai bagaimana seorang pemimpin selayaknya memimpin sebuah negara. Di dalam buku tersebut dibahas beberapa cara yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin untuk mendapatkan, memperbesar serta mempertahankan kekuasaan. Menurut Machiavelli, seorang raja sudah seharusnya dan selayaknya berwatak bagaikan Chiron, yaitu bisa menggunakan sifat manusia dan sifat binatang. Sifat manusia dan binatang tersebut harus digunakan berbarengan. Menggunakan salah satu cara berkuasa tanpa cara lainnya tidak akan berhasil. Hal tersebut direfleksikan dengan sikap dan tingkah laku seorang penguasa seperti menyingkirkan orang-orang yang berpotensial menjadi saingannya, tidak perlu mematuhi segala perjanjian dan peraturan yang ada karena dianggap sebagai faktor penghalang, dan sebagainya. Menurut Machiavelli penguasa yang baik harus mampu memadukan watak singa dan rubah. Seorang pemimpin harus tegas dan bengis sekuat singa. Kuat saja tidak cukup, karena itu seorang pemimpin
24
Penulis meminjam istilah Friedrich Hayek dalam The Constitution of Liberty, 1961, hal. 3
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
110 juga harus berwatak licik seperti rubah. Singa disegani karena garang, kuat, dan menakutkan. Namun walaupun singa kuat, sering tidak waspada bila menghadapi perangkap tapi tidak dapat membela diri bila diserang serigala. Idealnya kedua sifat dasar tersebut dimiliki penguasa. Jika keadaan tidak memungkinakan dan harus memilih salah satu dari kedua sifat dasar tersebut, seorang penguasa lebih baik mengambil sifat dan karakter rubah. Kenapa dalam kondisi seperti itu, penguasa anjurkan meniru sifat rubah? 25 Sejarah membuktikan penguasa yang semata-mata mengandalkan kekuatan, akan mudah runtuh oleh tipu daya dan kelicikan. Sebaliknya bagi penguasa yang pandai bertipu daya, peluang untuk menang sangat memungkinkan. Penguasa yang berwatak seperti rubah pandai melakukan drama. Ia akan berlagak takluk pada penguasa yang punya kekuatan lebih besar daripada kekuasaannya. Hal itu dia lakukan sebagai siasat saja sambil menyusun sebuah rencana. Di saat yang tepat, justru ia akan berbalik menyerang sekaligus menghancurkannya. Anjuran Niccolo Machiavelli ini sebetulnya terinspirasi oleh PAUS Alexander VI ketika megusir pasukan Prancis dari Italia. 26 Ajaran tentang penguasa ideal tersebut sebetulnya bersumber dari kisah Achilles. Dia adalah seorang pahlawan dalam legenda Yunani Kuno. Dalam kisah itu diceritakan bagaimana Achilles menjadi raja yang digdaya setelah berguru ilmu perang kepada Chiron seorang makhluk setengah manusia setengah kuda. 27 Seorang penguasa juga harus patuh pada hukum dan moral dianggap sebagai suatu keharusan dan cara yang paling terpuji bagi seorang penguasa. Namun cara ini, terbukti kerap tidak menyelesaikan kesulitan. Oleh sebab itu, penguasa yang ingin sukses harus melengkapi diri dengan cara licik dan kejam yang biasa dipakai binatang dalam mempertahankan hidupnya dan sanggup menerapkan cara-cara tersebut dengan
25
Negara akan aman, kuat, kokoh, dan bertahan lama, bila penguasanya kuat. Berani dan gagah perkasa saja tidak cukup. Seorang penguasa harus lihai dan pandai menggunakan kesempatan. 26 Pax Benedanto, Politik Kekuasaan Menurut Niccolo Machiavelli (Jakarta: KPG, 1997), hal. 33. 27 Ibid, hal. 34
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
111 tepat. 28 Penguasa boleh menggunakan dan memakai cara-cara licik dan kejam jika diperlukan. Ajaran Machiavelli tersebut sesuai dengan pandangan umum Renaissance bahwa manusia dapat menentukan nasibnya sendiri. Seseorang bisa berhasil dalam hidupnya bilamana mengandalkan virtue (keutamaan) dan tidak lagi berpegang dan berharap pada fortune (kemujuran). Keunggulan virtue atas fortune tersebut, dilambangkan oleh Machiavelli sebagai pria perkasa yang mampu memikat bahkan menundukkan seorang wanita. 29 Virtue dalam The Prince dapat diartikan sebagai sikap aktif penguasa demi efisiensi politik. Faktor penentu bagi tegak dan kokohnya kekuasaan adalah kemampuan dan ketrampilan penguasa. Penguasa yang baik, harus mampu
mengelola kemujuran dan menganggap kemujuran tidak lebih dari kesempatan. Penguasa yang mengandalkan virtue-lah yang akan membangkitkan kembali masa kejayaan Romawi yang pernah berkuasa di seluruh wilayah Italia. Inilah cita-cita pokok seorang Niccolo Machiavelli yang tertuang dalam bab XXVI, bab terakhir dari The Prince. 30 Dalam The Prince, Niccolo Machiavelli mencoba membagi beberapa karakter penguasa yaitu: pertama, Penguasa tidak perlu melakukan kemurahan hati. Machiavelli menulis, ”Seorang pangeran harus mau memiliki reputasi sebagai seorang yang kikir, apabila dia berharap dapat mengindari merampok bawahannya sendiri, apabila dia berharap dia dapat mempertahankan kekuasaannya, menghindari menjadi miskin dan hina, tidak terpaksa menjadi tamak, kekikiran ini adalah salah satu cara yang dapat memungkinkannya berkuasa.” 31 Dia mempertegas, “Oleh karena itu lebih bijak untuk menyandang nama seseorang yang kikir, yang menyebabkan seseorang dihina tanpa dibenci, daripada menyebabkan dirinya disebut sebagai orang yang tamak, yang menyebabkan dirinya dihina dan dibenci.” 32
28
The Prince, hal. 19 Lihat Ibid 30 Judul bab terakhir tersebut adalah saran untuk ”Membebaskan Bangsa Italia dari Tangan Bangsa Barbar”. 31 Niccolo Machiavelli, Op. Cit. hal. 115 32 Ibid, hal. 116 29
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
112 Kedua, Penguasa lebih baik ditakuti daripada dicintai. Machiavelli menulis, “Apakah lebih baik sang pangeran dicintai ataukah ditakuti, ataukah dia harus ditakuti lebih daripada dicintai. Jawabannya adalah ini, bahwa di harus dicintai dan juda ditakuti, namun karena kedua hal ini sulit berjalan berdampingan, maka lebih aman apabila sang raja lebih ditakuti daripada dicintai, apabila satu dari kedua hal ini harus dimiliki.” 33 Kemudian dia melanjutkan, “Karena seringkali manusia secara umum disebut tidak tahu berterima kasih, munafik, tamak, takut akan bahaya; selama Anda memberikan keuntungan kepada mereka, mereka adalah milik Anda sepenuhnya; mereka akan memberikan darah mereka, harta mereka, hidup mereka, dan anak-anak mereka, dan seperti yang saya katakan sebelumnya, ketika tekanan dan bahaya mendekat, mereka memberontak.” 34 Machiavelli kembali menegaskan, “Manusia tidak segan-segan membela dia yang mereka takuti daripada mereka cintai karena rasa cinta diikat dengan rantai kewajiban, karena manusia pada dasarnya egois, maka pada saat mereka telah mendapatkan apa yang mereka inginkan, rantai tersebut akan putus; namun rasa takut dipertahankan oleh hukuman-hukuman yang menakutkan yang tidak pernah gagal. Akan tetapi, sang pangeran haruslah menjadikan dirinya ditakuti dengan cara di mana apabila dia tidak dicintai maka dia tidak boleh dibenci; karena rasa takut dan kebencian dapat berjalan bersamaan.” 35 Menurut Machiavelli, politik adalah tentang satu hal, yaitu meraih dan mempertahankan kekuasaan. Hal-hal lain seperti agama, moralitas, dan sebagainya yang dikaitkan dengan politik, tidak ada korelasinya dengan aspek fundamental politik. Machiavelli mengungkapkan bahwa seorang penguasa tidak terikat oleh norma etika tradisional. Dalam pandangannya, seorang penguasa semestinya hanya berorientasi pada kekuasaan dan hanya mematuhi aturan yang akan membawa kesuksesan politik. Penguasa harus kikir dan kejam dalam menghukum, tanpa belas
33
Ibid, hal. 119 Ibid, hal. 119 35 Ibid, hal. 119 34
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
113 kasihan. Lebih baik menjadi penguasa yang ditakuti daripada dicintai. Bahkan menurut Machiavelli, kebaikan bisa mengakibatkan kejatuhan. 36 Ketiga, Penguasa wajib bertindak seperti rubah dan harimau. Machiavelli menulis, “Oleh karena itu seseorang harus menjadi seekor rubah untuk mengenali perangkap-perangkap, dan menjadi seekor harimau untuk menakuti rubah. Mereka yang berharap untuk menjadi harimau saja tidak akan mengerti akan hal ini.” 37 Dilanjutkan dengan, “Dan oleh karenanya dia harus memiliki pikiran yang fleksibel yang dapat berubah seperti angin, dan seperti yang ditunjukkan oleh variasi-variasi keberuntungan, dan seperti yang saya katakan sebelumnya, tidak menyimpang dari apa yang baik, apabila mungkin, namun dapat melakukan kejahatan apabila diharuskan.” 38 Menurut hemat penulis sebetulnya Machiavelli menerima bahwa baik dan jahat merupakan sifat-sifat yang dimiliki semua orang. Bagi Machiavelli, politik adalah seni dari kemungkinan. 39 David E. Apter memberikan analisa yang sangat cerdas mengapa Machiavelli bisa berpendapat bahwa seorang penguasa itu harus bersifat seperti 36
Sejarawan Marvin Perry, mencatat dalam bukunya, Western Civilization: A Brief History, (New York: Houghton Mifflin Company, 1997), bahwa nilai penting dari pemikiran Machiaveli adalah usahanya melepaskan pemikiran politik dari kerangka agama dan meletakkan politik semata-mata urusan ilmuwan politik. “In secularizing and rationalizing political philosophy, he initiated a trend of thought that we recognized as distinctly modern,” tulis Perry. Jadi, sumbangan terbesar Machiavelli adalah menghilangkan faktor agama dalam politik, dengan memandang masalah politik dan negara, semata-mata sebagai faktor saintifik yang rasional. Inilah yang dipandang sebagai politik modern.
37
Ibid, hal. 124
38
Ibid, hal. 126. lihat juga pembahasan mengenai Machiavelli dalam Sheldon S. Wolin, Politics and Vision (Boston: Little, Brown, and Co., 1960), hal.203-204. 39 Mengenai sifat dan karakter penguasa, Machiavelli mengungkapkan tragedi Oliverotto yang memperoleh kekuasaan dengan cara licik. Suatu ketika Oliverotto mengadakan jamuan makan malam dan mengundang banyak para pembesar negeri Fermo, termasuk pamannya sendiri, yaitu Giovanni Figlioni. Masing-masing para pembesar diberi kesempatan berbicara. Ketika tiba giliran Oliverotto yang akan berbicara, ia ternyata mengajak para pemimpin dan bangsawan untuk pindah ruangan. setibanya mereka di ruangan yang sudah dipersiapkan, ternyata pasukan Oliverotto sudah menunggu di sana. Langsung saja para pembesar Fermo tersebut dibunuh semuanya setelah para pembesar itu tewas, akhirnya Oliverotto berkuasa penuh atas negeri Fermo. Lihat Henry J. Schmandt, Filsafat Politik: Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno Sampai Zaman Modern, terjemahan dari A History of Political Philosophy (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 250. Lihat juga Pax Bediodonto, Ibid, hal. 70.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
114 singa dan rubah. Menurut Apter, sangat wajar Machiavelli berpendapat demikian. Karena dia hidup rentang kurun 1469 hingga tahun 1527 dalam dunia dimana politik sama tidak pastinya seperti alam semesta yang berisi dewa-dewa Yunani sinting. Hakim-hakim selamat karena tipu muslihat. Manipulasi, keahlian, dan kelihaian dalam penggunaan kekuasaan merupakan syarat-syarat untuk berkuasa. Bagi Machiavelli dan para penguasa tertingginya, dunia terdiri dari manusia, bukan dewa yang keinginannya tidak pernah puas dan kemampuannya untuk merusak tidak terbatas. 40 Keempat, dalam pandangan Machiavelli moralitas bukanlah sesuatu yang penting, moralitas hanyalah sekadar pencitraan politik (political imaging) yang dibutuhkan kadang-kadang saja oleh penguasa, tergambar dalam pendapatnya, “…Dia harus tampak penuh dengan maaf, iman, integritas, kebaikan, dan agama. Dan tidak ada yang lebih penting daripada kelihatan memiliki kualitas yang terakhir karena manusia umumnya dinilai dari apa apa yang dilihat oleh mata daripada apa yang dirasakan tangan. Karena semua orang dapat melihat namun hanya sedikit orang yang dapat merasakannya.” 41 Machiavelli pun berpikir hasil adalah jauh lebih penting daripada cara mencapainya, bagaimanapun caranya. Adagium “Tujuan Menghalalkan Cara” dapat ditelusuri dari cara pandang Machiavelli ini. Melihat dalam konteks logika kebutuhan (necessity) dimana cara digunakan untuk mencapai tujuan (means and ends logic). Kesimpulan yang didapatkan adalah kita tidak membutuhkan justifikasi moral dalam kehidupan. Mengapa manusia tidak berperilaku berdasarkan moral karena manusia melihat kehidupan berdasarkan cara pandang kebutuhan. Machiavelli menegaskan dalam tulisannya, “…Dan dalam tindakantindakan manusia dan khususnya tindakan-tindakan para pangeran, yang tidak memiliki pertimbangan, hasil terakhir adalah segalanya”. 42
40
David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, terjemahan dari Introduction to Political Analysis (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1996), cet. IV, hal 77. 41 Ibid, hal. 127 42 Niccolo Machiavelli, hal. 27.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
115 The Prince tercipta karena Machiavelli merindukan negara Italia yang bersatu, seperti ketika masa kejayaan Kekaisaran Roma. Memang saat itu, sekitar abad XVI, Italia terpecah belah. Menurut dia, persatuan itu bisa tercapai bila muncul penguasa kuat dan berani bertindak dengan cara apapun demi mencapai tujuan itu. Para penguasa yang layak dijadikan panutan dalam kaca mata Mchiavelli antara lain adalah Raja Spanyol Ferdinand, Paus Julius II, dan khususnya Cesaro Borgia, dan Pangeran Valentiono.
4.3 ANGKATAN PERANG
Angkatan perang adalah faktor berikutnya yang akan mengokohkan kuatnya negara dalam pandangan Khaldun dan Machiavelli. Benar agama memiliki peran yang sangat vital dalam membangun negara yang kuat, sama halnya seperti negara harus dipimpin oleh penguasa yang kuat. Namun, kedua faktor ini baik menurut Khaldun dan Machiavelli tidak bisa dimanifestasikan tanpa adanya dukungan keberadaan angkatan perang mandiri yang tangguh. Ibnu Khaldun hidup pada masa transisi peralihan kekuasaan Imperium Abbasiyyah terakhir dan awal berdirinya kekuasaan Utsmaniyyah di Turki. Pada fase ini, para sejarawan Islam mencatat adanya pemerintahan di bawah kekuasaan Mamluk. Pembahasan mengenai pemerintahan Mamluk ini sangat penting. Karena dari sinilah konsep militer dan angkatan bersenjata Ibnu Khaldun dapat terbaca. Antara kurun waktu 1250-1517 M/647-923 H, fase sejarah Islam dikenal dengan periode pemerintahan orang-orang Mamluk, walaupun realitasnya mereka tidak memiliki wilayah kekuasaan kecuali Mesir, Syam, dan Hijaz saja. Merekalah yang berhasil mengusir semua orang salib dari negeri Isbelam di kawasan Timur. Namun harus diakui bahwa kondisi umat Islam ketika itu mengalami kelemahan yang sangat akut akibat perpecahan. Orang-orang Mamluk datang dari daerah-daerah yang berbeda-beda. Oleh sebab itulah sering terjadi sengketa di antara mereka. Dari perselisihan ini sering kali menimbulkan peperangan dan konflik. Orang-orang Mamluk dididik dengan pendidikan militer yang cocok untuk mereka. Mereka dibentuk menjadi pasukan. Banyak di antara mereka yang mendapat posisi dan Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
116 kedudukan yang saat terhormat. Mereka memiliki sifat pemberani dan pantang menyerah. Ketika kondisi Abbasiyah kian melemah, orang-orang Mamaluk yang sudah terlatih dalam ilmu kemiliteran sebetulnya yang mengendalikan Abbasiyah. 43 Pengaruh mereka mulai terasa dalam pemerintahan Abbasiyah, ketika mereka berhasil menang atas pasukan Mongolia pada perang ’Ain Jalut tahun 1259 H/ 658 H. Namun kondisi kepercayaan ini tidak berlangsung lama, karena tidak lama setelah itu imperium Abbasiyah digantikan oleh kekuasaan Othoman atau Turki Utsmani. Hal ini hampir mirip dengan konsepnya Machiavelli tentang angkatan perang sendiri. Machiavelli menegaskan bahwa negara harus memiliki tentara perang sendiri bukan tentara bayaran. Pengalaman pribadi Machiavelli yang menyaksikan pengkhiatanan pemimpin tentara bayaran Vitelli terhadap negaranya. Sejarah Romawi dan Sparta menunjukkan bahwa negara tersebut mampu bertahan karena memiliki tentang tentara sendiri. 44 Berikut penulis gambarkan dalam sebuah tabel angkatan perang yang disebutkan Ibnu Khaldun dalam Al-’Ibar wa Diwanul Mubtada’ wal Khabar fi Ayyami Al-’Arab wa Al-’Ajam wa Al-Barbar wa Man ’Asharahum min Dzawi AlSulthan Al-Akbar 45 Tabel 3: Angkatan perang pada masa Rasulullah saw 46 No. 1 2 3
Nama Perang Perang Abwa Perang Buwat Perang Asyirah
Jumlah Tentara 200 100 150 47
Komandan Hamzah bin Abdul Muthalib Sa’ad bin Mu’adz Rasulullah sendiri 48
43
Abdul Hamid Abu Sulayman, Azmah Al-‘Aql Al-Muslim (Cairo: Maktabah Khanjy, 1988), hal.29. 44 Lihat Ibnu Khaldun, Tarikh Ibn Khaldun (Beirut: Dar Ehya el-Turats, 1999), jilid 3, hal. 89. lihat juga Ahmad al-Usairi, Sejarah Islam; Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX (Jakarta: Penerbit Akbar, 2007), hal. 301. Lihat juga 45 Al-‘Ibar ini terdiri dari 7 Jilid. Jilid pertama inilah yang kemudian melambungkan nama Ibnu Khaldun dalam belantika pemikiran social politik. Yaitu Muqaddimah. 46 Ibnu Khaldun, Al-’Ibar wa Diwanul Mubtada’ wal Khabar fi Ayyami Al-’Arab wa Al-’Ajam wa Al-Barbar wa Man ’Asharahum min Dzawi Al-Sulthan Al-Akbar (Beirut: Dar Ehya elTurats, 1999), jilid 2, hal. 348-384.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
117 4
Perang Badar 1
170
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Perang Badar II 50 Perang Kudr Perang Suwaiq Perang Dzi Amr Perang Najran Perang Bani Qainuqa Perang Qardah Perang Uhud 56 Perang Hamra Asad Perang Bi’r Ma’unah Perang Ijla Bani Nadhir Perang Dzatu Riqaa
313 60 51 70 52 50 70 75 80 1000 100 70 50 75
Hamzah bin Abdul Muthalib, Ubaidah bin Harits 49 Rasulullah sendiri Ghalib bin Abdillah el-Laitsi Rasulullah sendiri Rasulullah sendiri 53 Rasulullah sendiri 54 Rasulullah sendiri 55 Zaid bin Haritsah Rasulullah saw sendiri 57 Rasulullah saw sendiri Al-Mundzir bin Amr 58 Rasulullah saw sendiri 59 Rasulullah saw sendiri 60
47
Tidak ada kesepakatan diantara para ahli sejarah mengenai berapa pastinya jumlah pasukan pada perang Asyirah ini. Ibnu Khaldun sendiri masih meragukan jumlah 150 ini. Lihat Ibnu Khaldun, Ibid, jilid 2, hal. 349. 48 Ketiika itu untuk sementara waktu, negara Madinah dikuasakans sementara kepada Abu Salamah bin Abdil Asad. Lihat Ibid. 49 Perang Badar 1 ini terjadi hanya berselang 10 malam setelah pasukan kaum muslimin tiba dari perang Buwat. 30 pasukan di pimpin langsung oleh Hamzah bin Abdul Muthalib, 60 pasukan berkuda dikomandani oleh Ubaidah bin Harits, dan sisanya 80 pasukan berasal dari kalangan Muhajirin. Lihat Ibid. 50 Perang Badar II ini biasa disebut juga dengan Great Badar atau Badar Uzhma wa Kubra. Lihat Ibid, hal. 351. 51 Khaldun masih meragukan sebetulnya berapa jumlah yang pasti tentara Rasulullah pada perang Kudr ini. Lihat, Ibid. hal. 354 52 Khaldun juga masih meragukan jumlah yang pasti tentara Rasulullah pada Suwaiq. Tampuk kepemimpinan negara Madinah untuk sementara waktu diserahkan kepada Abu Lubabah bin Abdul Mundzir. Lihat Ibid. 53 Tampuk kepemimpinan negara Madinah untuk sementara waktu diserahkan kepada Utsman bin Affan. Lihat Ibid. 54 Negara Madinah untuk sementara waktu dikuasakan kepada Ibnu Ummi Maktum. Lihat Ibid, hal. 354-355. 55 Tampuk kepemimpinan negara Madinah untuk sementara waktu diserahkan kepada Basyir bin Abdul Mundzir. Menurut informasi lain dikuasakan kepada Abu Lubabah bin Abdul Mundzir. Lihat Ibid, hal. 356. 56 Penjelasan lebih rinci mengenai perang Uhud dapat dibaca dalam Sirah Ibnu Hisyam, jilid 2, hal. 65-106; Maghazhi al-Waqidi, jilid 1, hal. 197; Thabaqat Ibn sa’ad, jilid 2, hal. 36; Tarikh Thabari, jilid 3, hal. 9; Al-Bidayah wa An-Nihayah, jilid 4, hal. 9; Uyunul Atsar, jilid 2, hal. 5; Shahih Bukhari, jilid 5, hal. 93; Shahih Muslim Syarah Imam Nawawi, jilid 12, hal. 147. 57 Pemerintahan Madinah untuk sementara waktu dipimpin oleh Ibnu Ummi Maktum. Lihat Ibid, hal. 357 58 Al-Mundzir bin Amr berasal dari Bani Sa’idah. Lihat Ibid, hal 361. 59 Tampuk kepemimpinan negara Madinah untuk sementara waktu diserahkan kepada Ibnu Ummi Maktum, lihat Ibid, hal. 362.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
118 17 18 19 20 21 22 23 24
Perang Badar kecil Perang Dumatil Jandal Perang Khandak Perang Bani Quraizhah Perang Hutan wa Dzi Qarad Perang Bani Mushtaliq Perang Hudaibiyyah 67 Perang Khaibar
25
Perang Wadi al-Qura
26 27 28 29
Perang Mu’tah 70 Fathu Mekah Perang Hunain Pengepungan Thaif
80 100 3000 63 100 65 120
Rasulullah saw sendiri 61 Rasulullah saw sendiri 62 Rasulullah saw sendiri 64 Ali bin Abi Thalib Sa’ad bin Zaid
210 1300 68 1400 prajurit dan 200 kavaleri Tidak disebutkan 3000 10.000 12.000 72 Tidak
Rasulullah saw sendiri 66 Rasulullah saw sendiri Rasulullah, Ali bin Abi Thalib sebagai pemegang bendera 69 Rasulullah saw Zaid bin Haritsah Rasulullah saw sendiri 71 Rasulullah saw sendiri Tidak disebutkan secara jelas
60
Tampuk kepemimpinan negara Madinah untuk sementara waktu diserahkan kepada Abu Dzar al-Ghifari. Menurut riwayat lain Utsman bin ‘Affan. Lihat Ibid, hal. 362. 61 Tampuk kepemimpinan negara Madinah untuk sementara waktu diserahkan kepada Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul. Lihat Ibid, hal. 362. 62 Pemerintahan Madinah untuk sementara waktu dipimpin oleh Sabba’ bin ‘Arfathah alGhifari. Lihat Ibid, hal. 363. 63 Sumber lain mengatakan 900 tentara. Sedangkan pasukan musuh yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb membawa pasukan sebanyak 10 ribu tentara. Disebut perang Khandak, karena pada perang ini Rasulullah saw atas masukan dari Salman Al-Farisi agar membuat parit. Dalam kamus Arab ‘Khandak’ artinya parit. Lihat Ibid, hal. 363. 64 Pemerintahan Madinah untuk sementara waktu dipimpin oleh Ibnu Ummi Maktum. Lihat Ibid, hal. 363. 65 Pasukan berkuda pada perang tersebut berjumlah 36 orang. Lihat Ibid, hal. 366. 66 Pada perang ini komandan pasukan musuh adalah Harits bin Abi Dharar. Beliau adalah ayahnya Juwairiyyah yang nantinya akan menjadi salah satu isteri Rasulullah saw. Ketika pasukan musuh kalah, maka seluruh pasukannya menjadi tawanan kaum muslimin. Namun, ketika putrinya Harits bin Abi Dharar menikah dengan nabi, secara otomatis Harits dan pasukannya dibebaskan. Yang menjadi pejabat sementara negara Madinah ketika itu adalah Abu Dzar Al-Ghifari. Lihat Ibid, hal. 367. 67 Sebetulnya yang lebih tepat bukan perang. Karena ketika Rasulullah dengan kaum muslimin hendak melaksanakan umrah. Walaupun dalam perjalanan mendapat halanganhalangan militeristik. 68 Menurut sumber lain 1500 sahabat. Lihat Ibid, hal. 368. 69 Roda pemerintahan untuk sementara waktu dipegang oleh Namilah bin Abdullah El-Laitsi. Lihat Ibid, hal. 372. 70 Atau biasa juga disebut dengan dengan perang Jaisy Umara. Lihat Ibid, hal. 374. 71 Negara Madinah untuk sementara waktu dikuasakan kepada Abu Ruhm Al-Ghifari. Lihat Ibid, hal. 377. 72 Jumlah 12.000 ini terdiri dari 10.000 orang muslimin Madinah dan 2.000 dari muslim mekah. Lihat Ibid, hal. 380. daerah Mekah yang sudah dikuasai untuk sementara waktu dipimpin oleh ‘Itab bin Usaid bin Abil ‘ish bin Umayyah. Lihat, ibid, hal. 380.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
119
30
Perang Tabuk
disebutkab 9000
Khalid bin Walid
Dalam Al-’Ibar wa Diwanul Mubtada’ wal Khabar fi Ayyami Al-’Arab wa Al’Ajam wa Al-Barbar wa Man ’Asharahum min Dzawi Al-Sulthan Al-Akbar Ibnu Khaldun menyebutkan lebih dari 30 peperangan 73 yang dilakukan nabi Muhammad semuanya menggunakan angkatan militer kalangan sahabat, bukan tentara bayaran. Ada dua istilah peperangan yang digunakan pada masa nabi Muhammad saw; Ghazwah dan Sariyyah. Ghazwah adalah peperangan dimana rasulullah langsung yang memimpin. Sedangkan Sariyyah adalah peperangan yang terjadi pada masa Rasulullah saw dan beliau tidak ikut langsung dalam peperangan tersebut. 74 Terlihat dari data di atas, jumlah pasukan nabi Muhammad saw paling sedikit berjumlah 50 orang dan terbanyak 12.000 orang. Perang yang paling sedikit kuantitas pasukannya terjadi pada perang Dzi Amr dan perang Ijla Bani Nadhir. Sedangkan perang terbanyak pasukannya terjadi pada perang Hunain dengan 12.000 kekuatan pasukan. Ada hal yang sangat menarik dari data di atas, yaitu bahwa setiap kali peperangan jumlah pasukan nabi Muhammad saw tidak pernah lebih banyak dari pasukan musuh atau minimal sebanding. Selalu lebih sedikit bahkan jumlah pasukan nabi tidak pernah melewati sepertiga dari jumlah pasukan musuh. Namun yang menarik dari 30 peperangan yang terjadi pada masa tersebut selalu menang, kecuali pada perang Uhud. Padahal dilihat dari prosentase jumlah pasukan kaum muslimin pada perang Uhud hampir sebanding. Kenapa bisa kalah? Khaldun menganalisa kekalahan pasukan kaum muslimin pada perang Uhud ini dengan sangat cemerlengan dan brilian. Seperti diketahui bahwa yang melambungkan nama Ibnu Khaldun menjadi seorang social and political thinker adalah teorinya tentang ashobiyah atau solidaritas kelompok.
73
Ibnu menggunakan istilah ‘Ghazwah’ sebagai padanasi untuk perang-perang yang diikuti oleh nabi Muhammad saw. Lihat Ibnu Khaldun, Tarikh Ibnu Khaldun (Beirut: Dar Ehya elTurats el-‘Arabiy, 1999), jilid II, hal. 533. 74 Peperangan yang langsung dipimpin oleh nabi Muhammad saw diantaranya perang Abwa, perang Buwat, perang Asyirah, Badar dan lain sebagainya. Lihat Ibid, hal. 348-349.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
120 Menurut Ibnu Khaldun, di luar ketidak-taatan pasukan pemanah yang sudah diinstruksikan oleh nabi agar tidak meninggalkan tempat apupun yang terjadi selama berlangsungnya perang, menurut Khaldun ada kebijakan nabi yang baru diterapkan pada perang Uhud ini. Sudah barang tentu rekrutmen pasukan nabi diambil dari kalangan sahabat yang memiliki kesamaan teologi, yaitu Islam. Namun, perangperang sebelumnya biasanya nabi mengambil pasukan militernya dari kalangan Anshar-Muhajirin yang berasal dari suku Quraisy, Khazraj, Aus, dan Bani Tamim. Pada perang ini rasul mengikut sertakan Abu Dujanah Samak bin Kharsyah sebagai salah satu komandan perang yang berasal dari bani Sa’idah. 75 Sebetulnya Rasul dalam hal ini tidak menunjuk langsung Abu Dujanah. Munculnya nama Abu Dujanah sendiri sebetulnya atas inisiatif dari dia sendiri karena tawaran umum dari rasulullah saw. Hal ini bisa kita telusuri dari pernyataan nabi: ”Rasulullah saw berkata: ”siapa diantara kalian yang akan mengambil pedangku ini dengan haknya?. Abu Dujanah, salah seorang sahabat bertanya: ”Apakah hak pedang ini wahai Rasulallah?. Rasul menjawab: ”hak pedangku ini adalah meminum darah musuh Allah sampai hilang nyawanya”. ”Aku yang akan mengambil pedangmu wahai Rasulallah dengan haknya”, ucap Abu Dujanah. 76 Dilihat dari kacamata teori ashabiyah Ibnu Khaldun, jelas munculnya Abu Dujanah memunculkan komunitas baru dalam angkatan perang rasulallah. Sudah barang tentu akan melahirkan permasalahan sosial internal di kalangan pasukan, bahkan bisa menjadi mengurangi kekompakan internal pasukan. Sejarah mencatat pada perang Uhud pasukan kaum muslimin mengalami kekalahan. Menurut hemat penulis, apa yang terjadi pada perang Uhud dengan sudut pandang teori ashabiyah-nya Khaldun kaitannya
bahwa negara harus memiliki
angkatan perang rakyat yang tangguh bukan tentara asing, sangat mirip dengan apa
75
Ibnu Khaldun, Al-’Ibar wa Diwanul Mubtada’ wal Khabar fi Ayyami Al-’Arab wa Al-’Ajam wa Al-Barbar wa Man ’Asharahum min Dzawi Al-Sulthan Al-Akbar (Beirut: Dar Ehya elTurats, 1999), jilid 2, hal. 358. 76 Dikutip Ibnu Khaldun dari Sirah Ibnu Hisyam, jilid 2, hal. 66. sumber ini dimuat Ibnu Khaldun dalam Al-’Ibar, jilid, 2, hal. 358.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
121 yang dikemukakan Niccolo Machiavelli tentang kalahnya pasukan infanteri Prancis yang tangguh diakibatkan menggunakan pasukan berkuda bayaran dari Swiss. 77 Dalam The Prince bab 13 dikisahkan bahwa ketika menyerbu Italia pada tahun 1494, pasukan infanteri Prancis yang dipimpin raja Charles VII, selalu memenangkan peperangan dengan mudah. Pasukan Prancis yang terdiri dari tentara rakyat terlalu tangguh bagi tentara bayaran Italia. Pasukan Italia hancur, karena begitu solid dan kuatnya internal pasukan infanteri Prancis. Hubungan komunitas terjalin baik antara pasukan Prancis, karena memang saling mengenal satu sama lain. Namun sangat disayangkan, pasukan infanteri Prancis yang tangguh itu, akhirnya dibubarkan oleh Louis XII, putra Charles VII. Kemudian Louis XII menggantikan pasukannya itu dengan pasukan berkuda bayaran dari Swiss. Menurut Machiavelli, itulah salah satu kesalahan terbesar yang dilakukan Louis XII. Semangat tempur pasukan Prancis langsung down, karena harus berperang bersama pasukan asing yang belum mereka kenal. Tak lama kemudian Prancis pun berhasil diusir oleh Julius II dari wilayah Italia. 78 Apa yang dikemukakan Ibnu Khaldun di atas, sama halnya dengan Niccolo Machiavelli. Angkatan bersenjata merupakan faktor yang sangat menentukan kuat dan lemahnya sebuah negara. Menurut Machiavelli, seorang pangeran harus memiliki sebuah fondasi yang kuat. Apabila tidak, maka dia pasti akan dapat dihancurkan. Fondasi yang paling utama dari semua negara, baik negara yang baru, lama, atau campuran, adalah undang-undang dan pasukan yang bagus. Karena undang-undang yang bagus tidak akan terbentuk apabila tidak terdapat pasukan yang kuat, dan di mana terdapat pasukan yang kuat maka akan ada undang-undang yang bagus. Tambahnya lagi, pasukan yang dimilikinya tersebut haruslah pasukan sendiri. 79 Roma dan Sparta berdiri kokoh selama bertahun-tahun karena memiliki militer dan angkatan perang sendiri. Machiavelli juga kagum terhadap bangsa Swiss yang memiliki angkatan perang sendiri dan cukup merdeka. 80 77
Niccolo Machiavelli, The Prince, hal 115-117. Ibid, hal. 116. 79 Ibid, hal. 103 80 Ibid, hal. 106. 78
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
122 Machiavelli beranggapan pasukan bayaran maupun pasukan asing (bayaran) tidak akan gunanya apabila digunakan. Ada dua alasan kenapa Machiavelli tidak menganjurkan keterlibatan tentara bayaran dalam mempertahankan dan menjaga negara. -
Alasan pertama, problema karakter tentara bayaran itu sendiri. Tentara bayaran sangat berbahaya. Jika seorang penguasa menggunakan tentara bayaran keamanan negara akan rapuh. Kenapa demikian? Karena karakter yang melekat pada tentara jenis ini memiliki sifat khianat, tidak setia, bahkan dia justru akan berbalik menyerang jika ada negara yang menggunakan dia dengan bayaran lebih. 81
-
Alasan kedua, pengalaman sejarah. Dalam hal ini, Machiavelli mengambil contoh seperti apa yang pernah di praktekkan oleh kerajaan Florence. Pada saat itu Florence menyewa tentara sewaan pimpinan Vitelli untuk merebut Pisa. Berhubung bayaran yang di dapat oleh Vitelli dari Pisa lebih besar dari yang diberikan oleh Florence, maka Vitelli pun mengurungkan niatnya untuk menyerang kota Pisa. 82 Mengenai tentara bayaran kuno juga Machiavelli mencontohkan kisah bangsa Carthage yang ditindas oleh tentara bayaran mereka sendiri setelah perang pertama mereka dengan orang-orangRomawi, meskipun orang Carthage punya warganya sendiri sebagai komandan. Setelah kematian Epaminondas, Philip dari Macedonia diangkat menjadi komandan
81
Dalam pernyataan Machiavelli: “tentara bayaran dan pasukan tambahan amat berbahaya. Jika seorang penguasa dalam menjaga negaranya menggunakan tentara bayaran, dia akan menghadapi kemungkinan negaranya tidak kokoh dan tidak aman. Karena sifatnya terpecah-belah, ambisius, tanpa disiplin, tak setia, berani jika yang dilawan teman sendiri dan pengecut di hadapan musuh. Mereka tidak takut pada Tuhan dan tidak setia pada orang. Kehancuran yang tertunda sifatnya selama berlangsungnya serangan. Mengingat dalam masa damai saja, orang bias dirampok oleh tentara bayaran ini dan di masa perang oleh musuh. Mereka tidak tertarik apapun punya alasan lain untuk mau menjaga sebidang tanah selain daya tarik upahnya, yang mungkin jumlahnya tidak mencukupi untuk mereka bersedia mati untuk anda. Jika perang bergejolak, mereka lebih memilih pergi atau kabur dari musuh.” Lihat Niccolo Machiavelli, The Prince, terjemahan Noviatri (Jakarta: Elex Media Komputindo, Kompas Gramedia, 2010) hal. 104. 82 Mengenai hal ini, Machiavelli mengulasnya pada bab XII dari The Prince Noviatri (Jakarta: Elex Media Komputindo, Kompas Gramedia, 2010) hal. 103-105.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
123 mereka oleh orang-orang Thebes, dan setelah menang direbutnya kebebasan mereka. 83 Mengenai hubungan seorang penguasa dan tentara, Machiavelli menjelaskan dengan sangat menarik. Menurutnya seorang penguasa yang baik dan kuat ialah mereka yang mempunyai tentara yang kuat dan uang yang banyak. Seorang penguasa harus mampu membuat sistem pertahanan yang kuat dan benteng yang kokoh yang kesemuanya itu terdapat dalam koridor dukungan rakyat. Hal inilah yang terjadi pada imperium Roma dan Sparta yang dapat kokoh dan bertahan lama sebagai negara tangguh yang disegani karena memiliki tentara sendiri yang sangat solid. 84 Artinya dengan penjelasan singkat ini, akan menuju pada suatu kesimpulan bahwa menurut Machiavelli, penguasa yang kuat adalah yang memiliki tentara yang kuat dan pada saat yang bersamaan juga tetap dicintai oleh rakyatnya. 85 Menurut Machiavelli: Hanya “nabi” yang bersenjata lengkap yang berhasil menaklukan. Sedangkan “nabi” yang berjuang tanpa senjata akan memperoleh kekecewaan dan kematian”. 86
Machiavelli berdasarkan pengalaman dan pengamatannya pada zamannya tentang betapa bahayanya apabila seorang penguasa menggunakan jasa tentara bayaran dan atau tentara asing dari negeri lain. Bagi Machiavelli tentara bayaran adalah tentara yang tidak berdisiplin, sulit diatur, ambisius, dan tidak setia. Kesetiaannya tentu sangat bergantung pada basar-kecilnya bayaran yang mereka terima. Oleh karena itu Machiavelli menganjurkan agar sang penguasa tidak menggunakan dan mengandalkan tentara bayaran dalam menjalankan kekuasaannya. Lebih baik menggunakan militer sendiri dari rakyat sendiri daripada menggunakan tentara bayaran dan atau tentara asing yang kuat namun kesetiaannya tentu masih
83
Ibid, hal. 106 W.T. Jones, Master of Political Thought; Machiavelli to Bentham (London: Harrap London, 1975), vol. II, hal. 45. 85 Ibid, hal. 104 86 Niccolo Machiavelli, Politik Kekuasaan, Saduran Pax Benedanto (Jakarta: KPG, 61), hal. 61. dalam bahasa Ahmad Suhelmi, “hanya the Armed prophets dan memiliki kekuatan militer yang berhasil memperjuangkan misi kenabiannya. Sedangkan para nabi yang tidak bersenjata, betapa baik dan sakralnya misi yang mereka bawa, akan mengalami kekalahan karena tidak memiliki kekuatan militer”. Lihat Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian sejarah perkembangan pemikiran Negara, masyarakat dan kekuasaan (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2007), cet. III, hal. 134 84
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
124 dipertanyakan. Hal ini jelas ketika ditawari dengan harga yang lebih tinggi oleh musuh, maka tentara ini akan berbalik membahayakan negeri yang dipimpin oleh sang penguasa yang terlanjur menggunakan jasanya. Memiliki angkatan perang yang kuat adalah suatu keharusan yang dimiliki sebuah negara, menurut Machiavelli. Angkatan bersenjata merupakan basis penting bagi seorang penguasa Negara. Angkatan perang merupakan manifestasi nyata kekuasaan negara. Penguasa yang tidak memiliki angkatan bersenjata sendiri akan mudah goyah dan diruntuhkan kekuasaannya. 87 Menggunakan tentara sendiri akan jauh lebih bermanfaat dibandingkan dengan tentara sewaan. Beberapa alasan mengapa suatu penguasa tidak boleh menggunakan tentara sewaan adalah karena tentara sewaan tidak bisa disatukan, haus akan kekuasaan, tidak berdisiplin, tidak memiliki rasa takut kepada Tuhan, tidak setia kepada penguasa (yang menyewa mereka), tidak setia sesamanya, serta tidak bertanggung jawab, menghindar dari peperangan dan bersifat oportunis. 88 Tiga factor yang dikemukakan Ibnu Khaldun dan Niccolo Machiavelli yaitu peran agama, penguasa yang kuat, dan angkatan perang sendiri dan bukan tentara asing atau bayaran relevan dengan apa yang diungkapkan oleh Francis Fukuyama tentang strength (kekuatan negara) dalam membangun negara yang kuat.
IV.D. EKSPANSI MILITER Ibnu Khaldun dan Machiavelli memandang bahwa ekspansi militer juga menempati posisi vital selain tiga faktor di atas. Ada pepatah yang mengatakan 87 88
Ahmad Suhelmi, Ibid, hal. 135. Di mata Machiavelli, nasib tragis bangsa Italia setelah dikuasai Prancis dan terlalu percaya dengan jalan diplomasi. Angkatan perang di sebagian besar negara bagian di Italia adalah pasukan bayaran. Walaupun terkenal tangguh namun tidak loyal. Para penguasa Italia lebih percaya pada diplomat mereka. Kepercayaan yang berlebihan ini sampai-sampai mereka sangat yakin bahwa para diplomatnya bisa membujuk Prancis dan Spanyol yang terkenal ganas dan penuh pengalaman perang tersebut, tiba-tiba tanpa diduga melakukan serangan mendadak. Italia sangat kaget dan hancur lebur. Semenjak itulah tertanam dalam benak Machiavelli, bahwa upaya terbaik guna mempertahankan kekuasaan dan mengokohkan negara dengan membentuk angkatan perang sendiri. Lihat Ahmad Suhelmi, Ibid, hal. 135. lihat juga, Pax Benedanto, Politik Kekuasaan Menurut Niccolo Machiavelli, hal. 23
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
125 bahwa “pertahanan terbaik adalah menyerang.” Tema di atas sebetulnya adalah judul salah satu pasal dalam Muqaddimah. 89 Judul tersebut adalah “Idza Kaanat alUmmatu Wahsyah Kaana Malakuha Awsa’ (Jika suatu bangsa Liar, kedaulatannya akan sangat luas). Dalam pasal tersebut Khaldun memberikan pernyataan yang sangat penting tentang ekspansi militer guna membangun tata negara yang kuat dan kokoh. Dalam Muqaddimah ada 2 pasal yang berbicara khusus mengenai ekspansi militer, pasal ke 16 dan pasal 21. Berikut pernyataannya pada pasal 21: “Apabila suatu bangsa liar dan selalu melakukan ekspansi, kedaulatannya pasti
akan lebih luas. Karena bangsa yang demikian lebih mampu memperoleh kekuasaan dan mengadakan control secara penuh dan menaklukan golongan lain. Anggota-anggota dari bangsa tersebut mempunyai kekuatan untuk memerangi bangsa lain, dan mereka memandang bangsa lain sebagai binatang buas. Mereka misalnya orang-orang Badui, Zenatah, Kurdi, bangsa Turkoman, dan orang-orang Sinhajah yang terselebung. Bangsa yang suka melakukan ekspansi tidak memiliki tanah air yang dapat mereka jadikan sebagai tempat penghidupan(sebagai lapang rumput), juga tidak memiliki tempat untuk didatangi kembali. Semua daerah dan semua tempat sama bagi mereka. Oleh karena itu, mereka tidak hanya menguasai daerah mereka sendiri dan sekitarnya, dan tidak pula hanya berhenti pada batas daerah pinggiran mereka, tetapi terus melangkah memasuki daerah (iklim) yang jauh dan terus menerus menaklukan serta menguasai bangsa-bangsa yang jauh. 90 Argumen normatif yang dijadikan dasar oleh Ibnu Khaldun mengenai ekspansi ini adalah cerita tentang Khalifah Umar r.a, berikut petikannya: “Saksikanlah cerita tentang Khalifah Umar r.a. ketika beliau dibaiat dan kemudian
mengirimkan tentaranya ke Irak. Lalu Umar berpidato kepada mereka: “di Hejaz kalian tidak memiliki rumah selain lapangan rumput. Mana pembaca-pembaca yang lari dari janji Allah? Berjalanlah kalian di tanah yang Allah janjikan untuk kalian di dalam Al-Kitab, pasti kalian akan dapat memilikinya .” Umar menegaskan: “untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” Demikianlah sejarah bangsa-bangsa liar. Oleh karena itulah kedaulatan mereka amat luas dan daerah kekuasaannya sangat jauh dari
89
Ahmadie Thoha, penerjemah Muqaddimah dalam sistematika hasil terjemahannya menggolongkan tema di atas pada Bab 2, yaitu “Peradaban Badui, bangsa-bangsa dan kabilah-kabilah liar, serta kondisi-kondisi kehidupan mereka, ditambah beberapa keterangan dasar dan kata pengantar”. Lihat Ibnu Khaldun, Muqaddimah; terjemahan Ahmadie Thoha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), cet. IV, hal. 175. 90 Lihat Ibnu Khaldun, Muqaddimah; terjemahan Ahmadie Thoha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), cet. IV, hal. 175.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
126 pusatnya. Dan Allah menetapkan malam dan siang. Dialah satu-satunya yang maha kuasa, tidak ada sekutu baginya.” 91 Sebelumnya pada pasal 16, Ibnu Khaldun dalam tema yang sama menekankan pentingnya ekspansi militer. Berikut petikannya: “Bangsa-bangsa liar lebih mampu memiliki kekuasaan daripada bangsa lainnya.
Kehidupan di padang pasir merupakan sumber keberanian. Tak ayal lagi golongan-golongan liar lebih berani dibanding golongan lainnya. Oleh karena itulah, mereka lebih mampu memiliki kekuasaan dan merampas segala sesuatu yang berada dalam genggaman bangsa lain. Bahkan situasi dan kondisi satu golongan berbeda-beda dalam hal ini sesuai dengan perubahan dan perbedaan waktu. Begitu mereka tinggal di daerah-daerah yang ditumbuhi tanamantanaman subur dan berubah dari hidup melarat kepada hidup mewah, keberanian meraka pun berkurang sesuai dengan berkurangnya kadar keliaran dan kebuasan mereka. 92 Khaldun menganalogikan negara-negara yang tidak melakukan ekspansi seperti binatang-binatang jinak. Binatang-binatang tersebut jinak karena tidak liar lagi dan akibat pergaulannya dengan manusia dan melimpah ruahnya kenikmatan. Berikut pernyataan Ibnu Khaldun: “Bandingkanlah dengan binatang seperti kijang, banteng, dan keledai. Semuanya jinak karena tidak liar lagi dan pergaulannya dengan manusia serta hidup mewah dan melimpah ruah.karena itulah keliarannya dan kebuasannya berubah. Ini nampak pada langkah dan kehalusan bulunya. Hal yang demikian juga terjadi pada manusia-manusia liar yang kemudian menjadi suka bergaul dan berteman. Sebabnya ialah karena kebiasaan hidup akrab merupakan tabiat dan watak manusia. Kekuasaan dimiliki melalui keberanian dan kekerasan. Apabila diantara golongan ini ada yang lebih hebat terbiasa hidup di padang pasir dan lebih liar, dia akan lebih mudah memiliki kekuasaan dari pada golongan lain, meskipun jumlah kedua golongan tersebut hampir sama dan sama-sama memiliki kekuasaan dan solidaritas social yang seimbang”. 93 Pernyataan Ibnu Khaldun tentang pentingnya ekspansi militer ini, rupanya berdasarkan sejarah bangsa-bangsa terdahulu. Khaldun mengambil pelajaran dari komunitas Mudhar, Himyar, dan Kahlan. Berikut petikannya:
91
Mengutip terjemahan Ahmadie Thoha dengan sedikit perubahan. Ibid, hal. 175 Ibid, hal. 165. 93 Ibid. 92
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
127 “Sehubungan dengan ini, seseorang dapat membandingkan antara golongan
Mudhar dengan Himyar dan Kahlan yang sebelumnya berkuasa dan hidup mewah, dan juga dengan Rabi’ah yang tinggal di daerah subur Irak. Mudhar tetap hidup dengan kebiasaan padang pasir sedang golongan lainnya hidup mewah dan melimpah ruah. Secara efektif kehidupan padang pasir mempersiapkan komunitas Mudhar untuk memperoleh kekuasaan (kemenangan). Mudhar mengalahkan banyak suku-suku dan kabilah-kabilah sekaligus merampas segala sesuatu yang dimiliki dan berharga dalam genggaman tangan golongan lainnya.” 94 Khaldun juga mengambil pelajaran dari ekspansi militer yang sering digalakkan oleh Harun al-Rasyid. Mengenai cerita ekspansi Harun Ar-Rasyid ini sebetulnya Khaldun mengutip dari Thabari dalam karyanya Tarikh Thabari. 95 Seperti ini ceritanya. “Harun ar-Rasyid, khalifah Abbasiyyah yang memerintah sejak tahun 170-193 H. Selain kecintaannya kepada ulama dan ilmu, beliau juga dikenal sebagai khalifah yang sangat tegas, pemberani, dan rajin melakukan ekspansi militer. Khalifah yang satu ini memang dikenal rajin berperang. Beliau membagi waktu satu tahun untuk berperang, dan tahun berikutnya untuk berhaji. Pada tahun 186 H, Harun ar-Rasyid menyerang Shaifah dengan panglimanya, Qasim bin ar-Rasyid. Pada tahun yang sama, dia juga mengutus Ibn Ja'far bin al-Asy'ats ke sana, dan berhasil mengepung benteng Sinan. Terjadilah perjanjian damai antara pemerintah Abbasiyah dengan Romawi, yang kala itu masih dipimpin oleh Ratu Rini. Dia pun digulingkan, dan hanya memerintah selama 5 bulan. Setelah itu, Romawi jatuh ke tangan Nakfur. Bagi Nakfur, Ratu Rini adalah Ratu yang lemah, sehingga dia tunduk dan mau membayar pajak kepada pemerintah Abbasiyah, dalam hal ini Khalifah Harun arRasyid. Begitu dilantik menjadi raja, Nakfur pun menulis surat kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, untuk meminta kembali harta yang pernah dibayarkan oleh Ratu Rini, setelah keduanya sepakat melakukan perjanjian damai. Maka, Harun ar-Rasyid pun membalas surat Nakfur, bukan dengan kertas atau kulit lain, tetapi dengan kertas atau kulit yang dipakai Nakfur, yaitu ditulis di belakangnya: “Dari Harun ar-Rasyid, Amirul Mukminin, kepada Nakfur, Anjing Romawi. Jawabannya seperti yang kamu 94 95
Ibid, hal. 165 Ibnu Jarir at-Thabari, Tarikh Thabari (Kairo: Dar Fikr El-Arabiy, 1995), jilid 5, hal. 298.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
128 lihat, bukan seperti yang kamu dengar.” Surat itu pun dikirim bersama dengan pasukan pemrintah Abbasiyah. Pada saat itu, Harun ar-Rasyid sendiri memimpin pasukannya hingga sampai di kota Heraklius, sehingga terjadilah peperangan yang sangat terkenal dan menjadi momentum penaklukan yang sangat nyata. Emperium Romawi itu pun tak kuasa membendung gempuran dan ekspansi pasukan Abbasiyah, Akhirnya Nakfur pun meminta diadakannya perundingan dan bersedia membayar pajak tiap tahun, sebagaimana yang pernah dibayar oleh Ratu Rini. Raja Harun arRasyid pun bersedia mengabulkan keinginannya. Tetapi, Nakfur berkhianat dan mengingkari perjanjian tersebut. Karena peristiwa ini, Raja Harun ar-Rasyid pun mengirim 135.000 tentaranya ke bumi Romawi, akhirnya pada tahun 196 H kemenangan diraih pasukan Abbasiyah. Harun singgah di kota Heraklius. Kota itu pun dikepung dan diakukan ekspansi militer selama 30 hari, dan kota itu akhirnya jatuh ke tangan pasukan Abbasiyah. Penduduknya dijadikan sebagai sabaya (baca: tawanan) dan harta kekayaan yang ada di sana dijadikan ghanimah 96 bagi mereka. Dalam peperangan tersebut, menurut Ibn Khaldun, tentara Nakfur yang terbunuh sebanyak 40.000 orang. Sementara pasukan muslimin Abbasiyah yang lain di bawah pimpinan Syarahbil bin Ma'an bin Zaidah berhasil menaklukkan benteng Shaqalibah dan Disah. Sementara pasukan Yazid bin Mukhlid berhasil menaklukkan benteng Shafshaf dan Quniah. Ini diikuti dengan pengiriman armada maritim di sepanjang pantai Syam, Mesir hingga Cyprus, perbatasan laut Turki dengan Yunani. Pasukan Romawi di sepanjang wilayah itu pun kalah, sehingga 17.000 penduduk di sana berhasil dijadikan sebagai sabaya (baca: pasukan perang) oleh pasukan kaum muslimin. Di dalamnya termasuk Uskup Cyprus, yang akhirnya dibebaskan dengan membayar tebusan sebesar 2.000 Dinar (Rp. 2,5 milyar). 97
96
Dalam istilah politik dan militer Islam Ghanimah biasa diterjemahkan dengan harta rampasan perang.
97
Ibnu Khaldun, Tarikh Ibn Khaldun (Beirut: Dar Ehya Turats El-Arabiy,1999), jilid 6, hal. 405-410. Cerita ini juga dapat diunduh di Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
129 Tidak jauh berbeda dengan pandangan Ibnu khaldun, Machiavelli pun mengemukakan bahwa ekspansi militer factor yang sangat penting dalam usaha membangun negara yang kuat. Menurut Machiavelli, ekspansi merupakan faktor yang sangat penting dalam membangun negara yang kuat. Alexander Agung (356-323 SM), raja Macedonia harus bersusah payah melakukan ekspansi militer terhadap kerajaan Persia dalam usahanya menguasai Asia. Selama 10 tahun lebih, tanpa mengenal lelah Alexander menyerbu benteng bangsa Persia. Walaupun ekspansi ini baru menemukan keberhasilannya sekitar tahun 334 SM dengan ditaklukkannya kerajaan Persia. Ketika itu Persia dipimpin oleh Darius yang naik tahta tahun 336 SM. 98 Ekspansi sebetulnya bukan hanya dengan mengutus dan mengirim pasukan saja. Hal itu sebagaimana Machiavelli mengambil pelajaran dari Republik Romawi. Ekspansi jenis ini dilakukan dengan tipu muslihat dan tipuan terhadap negara-negara jiran. Adapun ekspansi militer dilakukan sebagai jalan terakhir jika dengan cara tipu muslihat tidak terselesaikan. Dan ekpansi militer ini dilakukan jika ada serangan dari luar atau jika diindikasikan negara-negara taklukan hendak berontak. 99 Dalam salah satu pernyataannya, Machiavelli mengatakan: “Harus diingat bahwa manusia harus dicintai atau dihancurkan, mereka akan menuntut balas dendam atas luka ringan mereka, namun mereka tidak akan dapat melakukan hal serupa apabila mereka terluka parah. Oleh karena itu, luka yang kita sebabkan haruslah sebesar-besarnya sehingga kita tidak harus takut akan balasan mereka. Dan ekspansi merupakan jalan terbaik untuk hal itu.” 100 Di halaman lain dia kembali menulis: “Sebenarnya, tidak ada metode yang paling pasti dalam mempertahankan sebuah daerah kecuali dengan menghancurkan daerah tersebut. Dan siapapun yang menjadi penguasa dari sebuah kota yang bebas dan tidak menghancurkan kota tersebut, hanya dapat berharap akan kehancuran mereka sendiri karena penduduk kota tersebut akan selalu dapat menemukan sebuah motif untuk memberontak. 101
website:http://www.mediaumat.com/cermin/2187-44-harun-ar-rasyid-dan tentara romawi-.html. Diunduh pada tanggal 10 April 2011 pukul 15:26 WIB 98
Lihat Pax Benedanto, Op.cit, hal. 46. James Bruce Ross and Mary Martin Mclaughlin (Editors), The Portable Renaissance Reader (New York: Penguin Books, 1977), hal. 263-267. 100 Niccolo Machiavelli, The Prince, terjemahan Noviatri (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2010) bab VII. hal. 65 101 Ibid, hal. 43 99
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
130 Machiavelli menilai seperti inilah konsepsi mengenai rakyat yang ditaklukkan, dimana loyalitas terhadap seorang pemimpin atau raja penakluk hanya memiliki dua pilihan yaitu dicintai atau dihancurkan. Rakyat yang ditaklukkan akan melakukan perlawanan kepada penguasa apabila mereka tidak ditaklukkan dan dihancurkan secara total. Seakan-akan rakyat hanya menjadi obyek dari kekuasaan dan menjadi alat politik (political tools) bagi penguasa, dicintai apabila dibutuhkan dan dihancurkan apabila mereka melakukan perlawanan. Faktor yang keempat ini atau faktor yang terakhir dari empat faktor utama untuk membangun negara yang kuat relevan dengan teori keduanya Francis Fukuyama yaitu teorinya tentang scope. Bahkan negara jika ingin kuat dan kokoh harus memperluas kapasitas dan scope-nya, baik dengan eskpansi militer atau dengan ekspansi budaya, ekonomi atau bahkan teologi.
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
132
BAB 5 PENUTUP 5.1 Kesimpulan Ibnu Khaldun dan Niccolo Machiavelli adalah dua pemikir politik yang terkemuka.
Keduanya
memiliki
magnum
opus,
Ibnu
Khaldun
memiliki
Muqaddimah dan Niccolo Machiavelli memiliki The Prince. Meskipun keduanya hidup dalam “dunia yang berbeda” namun sebenarnya pemikiran-pemikiran mereka tentang politik dan negara banyak memiliki kesamaan. Ibnu Khaldun dan Machiavelli hidup dalam suasana politik yang tidak stabil. Khaldun hidup di wilayah Afrika Timur Tengah, Maroko, Tunisia, dan Mesir yang bergejolak, perpecahan dan marak praktek korupsi. Secara geopolitik Khaldun hidup pada masa transisi peralihan kekuasaan dari imperium Abbasiyah kepada masa imperium Otoman. Khaldun hidup di sebuah negara yang rapuh, hidup dalam ketakutan bayang-bayang bangsa Barbar yang selalu mengancam. Kondisi sosial politik Machiavelli nampaknya tidak jauh berbeda dengan penulis Al-I’bar ini. Penulis The Prince ini hidup di lingkungan Italia yang terpecah belah bahkan dalam situasi disintegrasi, dan selalu dalam ancaman bangsa Prancis dan Spanyol. Perenungan keduanya terhadap kondisi negara yang lemah tersebut membuat mereka rindu memimpikan hadirnya negara yang kokoh, penguasa yang kuat, ekonomi yang mensejahterakan, dan tentara yang sanggup mengamankan wilayah negara. Berdasarkan pengalaman empirik tersebut lahirlah Muqaddimah hasil dari buah pena Ibnu Khaldun dan The Prince sebuah maha karya Niccolo Machiavelli, walaupun sebetulnya kehadiran dua karya tersebut tidak lepas dari political interest pragmatisme keduanya. Pasalnya, baik Khaldun maupun Machiavelli sangat berharap dengan Muqaddimah dan The Prince-nya tersebut dapat diangkat kembali menjadi hakim dan penasehat raja. Pemikiran politik Ibnu Khaldun dan Niccolo Machiavelli memiliki semangat bagaimana membangun negara yang kuat. Kehadiran negara mutlak diperlukan.
Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011 Universitas Indonesia
133 Lahirnya sebuah negara menurut Ibnu Khaldun tidak lepas dari sifat manusia itu sendiri, yaitu sebagai makhluk politik dan sosial, makhluk yang selalu membutuhkan orang lain dalam mempertahankan kehidupannya, sehingga kehidupannya dengan masyarakat dan organisasi sosial merupakan sebuah keharusan. Kebutuhan akan adanya seseorang yang mempunyai otoritas dan bisa mengendalikan ini kemudian meningkat. Didukung dengan rasa kebersamaan yang terbentuk bahwa seorang pemimpin dalam mengatur dan menjadi penengah tidak dapat bekerja sendiri sehingga membutuhkan tentara yang kuat dan loyal serta pembantu-pembantu yang lain hingga terbentuklah sebuah negara atau kerajaan. Khaldun menganalisa awal berdirinya negara, bagaimana negara itu berkembang, tumbuh dan menjadi negara besar sampai akhirnya hancur. Menurutnya negara hanya berumur empat generasi. Usia pertumbuhan periodesasi negara sama dengan usia produktif manusia, yaitu 40 tahun. Jadi usia satu negara sekitar 160 tahun. Menurut Khaldun, berdirinya sebuah negara tidak lepas dari adanya amunisi penggerak yaitu teorinya tentang Ashabiyah, negara ada karena persamaan perasaan solidaritas kelompok. Ashabiyah inilah yang menjadi dasar pertimbangan untuk membaca faktor-faktor pembangun negara yang kuat. Jika Khaldun berbicara tentang awal berdirinya negara sampai negara itu hancur, sedikit berbeda dengan pemikiran Niccolo Machiavelli. Pandangannya tentang negara dimulai dari negara itu sendiri, tidak dimulai dari filsafat naturalisme manusia yang selalu membutuhkan satu dengan yang lain. Menurutnya negara harus kuat, karena rakyat dan negara pesaingnya terdiri dari manusia-manusia jahat dan condong pada ketamakan. Manusia dalam pandangan Machiavelli tidak tahu terimakasih, pembohong, dengki dengan hasil yang diperoleh orang lain. Pandangan Machiavelli ini bukan tidak beralasan, pasalnya ia hidup dalam situasi sosial politik yang sangat korup dan anarkis. Kata Machiavelli, kejahatan manusia akan terus seperti itu sepanjang sejarah, karena sifat manusia hanya mengulangi para pendahulunya saja. Untuk mengatasi kejahatan manusia diperlukan negara yang kuat yang tidak boleh kalah.
Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011 Universitas Indonesia
134 Pendekatan Khaldun dan Machiavelli terhadap permasalahan negara sangat realis-empiris, karena pemikiran mereka dibangun di atas pengamatan dan pengalaman empirik, bukan hanya sebagai pengamat tapi sekaligus sebagai pelaku. Sangatlah wajar, jika ide-ide mereka tentang faktor-faktor utama untuk tegaknya sebuah negara yang kuat sangat realistik sekali. Dari hasil analisa penulis terhadap sebaran pemikiran politik Ibnu Khaldun dan Niccolo Machiavelli ada empat faktor utama yang menjadikan negara kuat dan kokoh; peran agama, penguasa yang kuat, angkatan perang dan ekspansi militer. Pertama, agama miliki peran yang sangat penting bagi kuat dan tegaknya negara. Ibnu Khaldun dan Niccolo Machiavelli memiliki kesamaan pandangan tentang posisi agama. Baik Khaldun maupun Machiavelli berpandangan bahwa kebaikan moral individu dan kolektif sangat penting guna menghasilkan atau merangsang timbulnya kekuatan politik kreatif dasar yang membuahkan solidaritas dan persatuan kesatuan. Menurut mereka agama berperan sebagai daya pemersatu dan sumber kekuatan politik serta sebagai jaminan perkuat, sumber kepatuhan warga negara, moralitas kolektif dan kebajikan. Karena itu agama memberi kekuatan pada bangsa baru dan pemimpin pertamanya untuk membangun dan memelihara agama. Dari pemikiran dua tokoh tersebut nampak adanya semangat modernitas yang menggunakan sejarah manusia dan masyarakat sesungguhnya dengan mempelajari kondisi aktualnya secara realistis dan praktis. Sementara itu, terdapat juga perbedaan-perbedaan pandangan antara keduanya dalam melihat peran dan fungsi agama dalam perkembangan politik. Ibnu Khaldun menggunakan konsep ashabiyah dalam memahami realitas social, sedangkan Machiavelli menggunakan konsep virtue (kebaikan). Nasib manusia dan masyarakat menurut Ibnu Khaldun ditentukan oleh pilihan kolektif apakah hendak tunduk pada aturan agama atau mengabaikannya. Sementara Machiavelli berpandangan bahwa negara merupakan aktifitas keduniaan yang otonom, tidak terikat agama yang mengambil legitimasinya dari sumber-sumber lain dan ia dapat membuat moralitasnya sendiri.
Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011 Universitas Indonesia
135 Kedua, pemimpin yang kuat. Khaldun dan Machiavelli memiliki persamaan paradigma sikap yang harus dimiliki oleh seorang penguasa yaitu bahwa penguasa harus menguasai setiap kebijakan negara dan tidak boleh kalah. Bahkan menurut Khaldun jika dalam satu kondisi harus memilih diantara calon pemimpin yang saleh tapi tidak memiliki kekuatan dengan seorang yang fasiq tapi kuat dan sanggup memobilisasi kekuatan negara, maka lebih baik dipilih yang terakhir. Namun perbedaan Khaldun dan Machiavelli tentang pemimpin yang kuat ini, akan nampak sekali dalam beberapa hal. Diantaranya Khaldun berbicara dimulai dari calon pemimpin, ketika memimpin dan bagaimana mempertahankan dan memperluas kekuasaan. Sedangkan Machiavelli berbicara hanya sikap pemimpin ketika berkuasa dan bagaimana mempertahankannya dan memperluas kekuasaannya. Selanjutnya perbedaan pandangan Khaldun dan Machiavelli tentang dasar ketaatan rakyat kepada seorang penguasa. Menurut Khaldun, ketaatan rakyat kepada seorang penguasa didasarkan atas kecintaan. Sebaliknya menurut Machiavelli, ketaatan rakyat kepada pemimpinnya didasarkan atas ketakutan. Perbedaan pandangan ini sangat wajar, karena Khaldun menggunakan sudut pandang siyasah syar’iyyah (politik agama). Sedangkan Machiavelli berargumen, jika seorang pemimpin lebih dicintai ketimbang ditakuti, maka biasanya sifat orang yang dicintai itu boros. Dia akan royal dan akan memberikan apapun agar dia terlihat selalu dicintai. Implikasinya keuangan negara akan tersedot dan habis karena kampanye ‘pencitraan baik’ tersebut. Satu-satunya cara untuk menutupi keuangan negara yaitu dengan menaikan pajak. Hal ini jelas paradoks dengan statementnya sendiri ‘pemimpin boleh kejam, namun rakyat harus tetap sejahtera. Menaikan pajak jelas bukan hanya tidak mensejahterakan tapi justru menyengsarakan. Ketiga, angkatan perang. Ibnu Khaldun dan Niccolo Machiavelli memiliki kesamaan bahwa negara atau dawlah harus memiliki angkatan perang sendiri bukan pasukan asing atau bayaran. Karena pasukan bayaran biasanya tidak setia, pengkhianat, tidak solid sulit dipegang janjinya, karena biasanya mereka dibayar sesuai dengan kesepakatan bayaran, jika ada pihak lain yang menawarkan lebih besar, serta merta pergi meninggalkan kesepakatan.
Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011 Universitas Indonesia
136 Nyaris dalam faktor ketiga ini tidak ditemukan perbedaan antara Khaldun dan Machiavelli. Bahkan menurut Khaldun salah satu alasan kenapa dalam perang Uhud pasukan nabi Muhammad kalah perang. Itu diakibatkan karena diikut sertakannya Abu Dujanah Samak bin Kharsyah sebagai salah satu komandan perang yang berasal dari bani Sa’idah, yang merupakan kabilah baru dalam belantika peperangan Rasulullah saw. Dilihat dari kacamata teori ashabiyah Ibnu Khaldun, jelas munculnya Abu Dujanah memunculkan komunitas baru dalam angkatan perang rasulallah. Sudah barang tentu akan melahirkan permasalahan sosial internal di kalangan pasukan, bahkan bisa jadi mengurangi kesolidan. Sehingga sejarah mencatat bahwa dalam perang Uhud pasukan nabi Muhammad mengalami kekalahan. Hal ini mirip dengan apa yang dikemukakan Niccolo Machiavelli tentang kalahnya pasukan infanteri Prancis yang dipimpin oleh Louis XII, putra Charles VII yang terkenal tangguh diakibatkan menggunakan pasukan berkuda bayaran dari Swiss. Louis XII menggantikan pasukannya itu dengan pasukan berkuda bayaran dari Swiss. Menurut Machiavelli, itulah salah satu kesalahan terbesar yang dilakukan Louis XII. Semangat tempur pasukan Prancis langsung down, karena harus berperang bersama pasukan asing yang belum mereka kenal. Keempat, ekspansi militer. Ada kemiripan pandangan antara Khaldun dan Machiavelli, bahwa negara akan besar dan kuat jika melakukan ekspansi militer. Namun hal yang menarik dan ini yang menjadi titik perbedaan antara Khaldun dan Machiavelli. Ekspansi militer dilakukan dalam pandangan Khaldun bukan sekedar memperluas kekuasaan tapi juga dilakukan untuk penyebaran ideologi. Implikasinya dari pikiran Khaldun ini adalah bahwa ekspansi militer dilakukan bukan hanya pada kondisi negara tidak aman, tidak ada gangguan atau sinyal-sinyal hendak ada penyerangan dari bangsa lain. Ekspansi militer juga dilakukan dalam pandangannya ketika kondisi negara aman. Karena penyebaran ideologi (dakwah) harus dilakukan kapanpun. Berbeda dengan Machiavelli, ekspansi militer dilakukan kalau ada penyerangan dari bangsa lain saja. Dalam hal ini, pandangan Khaldun terlihat lebih berani ketimbang Machiavelli.
Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011 Universitas Indonesia
137
5.2 Implikasi Teoritis Dalam tesis ini penulis menggunakan teori Steven Grosby tentang nasionalisme untuk menganalisa permasalahan penelitian, kaitannya dengan tema membangun negara yang kuat menurut perspektif pemikiran politik Ibnu Khaldun dan Niccolo Machiavelli. Stevan Grosby mengatakan bahwa untuk membangun negara yang kuat, sistem yang sangat memungkin adalah kerajaan. Raja seringkali lebih dihormati dan disakralkan. Seorang raja tidak dapat diganggu gugat dan menjadi titik referensi kesadaran kolektif. Sebaliknya nasionalisme bisa memporak-porandakan hubunganhubungan mistis tersebut dan memicu sentiment patriotisme yang pada akhirnya sebagai pemicu kebencian dan nafsu perang. Disadari atau tidak akibat ’ulah’ nasionalisme dalam sistem pemerintah republik tersebut akan melemahkan negara dan kekuasaan. Bangsa-bangsa yang digambarkan oleh Khaldun dalam Al-I’bar tidak seluruhnya menganut sistem pemerintahan monarki. Jika dirunut dari awal negara Madinah sampai dinasti Fatimiyyah tidak seluruhnya menganut sistem kerajaan, walaupun dominasinya adalah sistem monarki. Sebut saja pemerintahan Khulafa’urrasyidin, peralihan pucuk pimpinan bukan berdasarkan putra mahkota. Abu Bakar terpilih menjadi khalifah pertama berdasarkan musyawarah dan aklamasi di Bani Saqifah. Umar memang dipilih langsung atas wasiat Abu Bakar. Utsman terpilih oleh dewan formatur dan Ali terpilih menjadi khalifah ke 4 karena dibait oleh kaum muslimin. Baru setelah itu, imperium Umayyah, Abbasiyyah, dan Otoman menggunakan sistem monarki. Penekanan pemikiran politik Ibnu Khaldun tentang negara yang kuat bukan terletak pada poin sistem pemerintahannya, seperti yang ditawarkan Steven Grosby. Penekannya justru pada empat faktor di atas, peran agama, penguasa yang kuat, angkatan perang sendiri, dan ekspansi militer. Bukankah rekrutmen kaum Mamaluk sebagai tentara bayaran hingga hancurnya imperium Abbasiyah yang kala itu menganut sistem monarki.
Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011 Universitas Indonesia
138 Sama halnya dengan Machiavelli. Sistem monarki akan sangat nampak, namun suasana pemikiran Machiavelli agak berbeda ketika membaca Discourse, nuansanya sangat republik. Permasalahan membangun negara yang kuat dalam pandangan Machiavelli bukan terletak pada sistem monarki, tapi dari empat faktor seperti yang telah dijelaskan di atas. Italia pada masa Machiavelli hidup, merupakan sebuah negara hancur, tidak memiliki angkatan perang sendiri dan lemahnya seorang penguasa. Padahal ketika itu Italia menganut sistem monarki.
Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011 Universitas Indonesia
140 DAFTAR PUSTAKA Abu Sulayman, Abdul Hamid. Azmah Al-‘Aql Al-Muslim (Cairo: Maktabah Khanjy, 1988) Acton, Lord. Renaissance to Revolution (New York: Schocken Books, 1961) Acton, Lord. Vicars of Christ: The Dark Side of the Papacy (London: Bantam Press, 1991) Afandi, Hakimul Ikhwan. Akar Konflik Sepanjang Zaman : Elaborasi Pemikiran Ibnu Khaldun, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004) Al-Harani, Ahmad bin Abd al-Halim bin Taimiyyah. as-Siyasah asy-Syar’iyyah, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt) Al-Jabiri, Muhammad ‘Abid. Al-Mutsaqqafuna fi al-Hadharah al-Arabiyyah: Mihnah Ibn Hanbal wa Naqbah Ibn Rusyd, terj. Tragedi Intelektual: Perselingkuhan Politik dan Agama; terjemahan Zamzam Afandi Abdillah (Yogyakarta: Pustaka Alief, 2003) Al-Khudhairi, Zainan. Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, terjemahan dari Falsafah alTarikh ‘Inda Ibn Khaldun oleh Ahmad Rofi’ Utsmani (Bandung: Penerbit Pustaka, 1987 Al-Mawardi, Al-Ahkam Sulthaniyyah (Beirut: Dar el-Fikr, 1997) Almond, Gabriel A. the Return of State (Princeton: Princeton University Press, 1978) Al-Usairi, Ahmad. Sejarah Islam; Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX (Jakarta: Penerbit Akbar, 2007) Ansary, Tamim. Dari Puncak Bagdad Sejarah Dunia Versi Islam, terjemahan Destiny Disrupted: A History of the World Through Islamic Eyes, terjemahan Yuliani Liputo (Jakarta: Penerbit Zaman, 2009) Apter, David E. Pengantar Analisa Politik, terjemahan dari Introduction to Political Analysis (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1996) Arif, Syamsuddin. Kemordernan, Sekularisasi dan Agama, Jurnal Islamia Vol. III No 2 Januari-Maret 2007} Armstrong, Karen. Perang Suci; Dari Perang Salib Hingga Perang Teluk, terjemahan Holy War; The Crusades and Their Impact on Today’s World oleh Hikmat Darmawan (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003) At-Thabari, Ibnu Jarir. Tarikh Thabari (Kairo: Dar Fikr El-Arabiy, 1995), jilid 5
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
141 Ayubi, Nazih. Political Islam: Religion and Politics in the Arab World (London: Routledge, 1991) Baali, Fuad. Society, State, and Urbanism: Ibnu Khaldun’s Sosiological Thought (New York: State University of New York Press, 1988) Benedanto, Pax. (penyadur), Politik Kekuasaan Menurut Niccolo Machiavelli (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 1997) Black, Antony. Pemikiran Politik Islam, Terjemahan The History of Islamic Political Thought: From the Prophet to the Present, pent. Abdullah Ali & Mariana Ariestyawati (Jakarta: Serambi, 2006) Boulshakof and Friend, Dirasaat fi Tarikh El-Tsaqafah El-Arabiyyah: El-Qurun 515, terjemahan dari bahasa Rusia, pent. Ayman Abu Sya’r (Moskow: Dar ElTaqaddum, 1982) Bouthoul, Gaston. Ibnu Khaldun sa Philosophie Sociale (Paris: P.Geuthner, 1930) Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik; Edisi Revisi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008) Chadwick, Owen. The Secularization of the European Mind in the Nineteenth Century, (New York: Cambridge University Press, 1975) Chilcote, Ronald H. Theories of Comparative Political Economy (Oxford: Westview Press, 1980) Creveld, Martin van. The Rise and Decline of The State (Cambridge: Cambridge University Press, 1999) Enan, Muhammad Abdullah. Ibnu Khaldun: Hayatuhu wa Turatsuhu al-Fikry (Kairo: Dar el-Fikr el-Araby, 1995) Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Pemikiran dan Peradaban (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005) Fukuyama, Francis. Memperkuat Negara; Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21; Terjemahan dari State Building; Governance and World Order in the 21st Century (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004) Gibb, H.A.R. Studies on the Civilization of Islam (Princeton: Princeton University Press, 1962) Grosby, Stevan. Nasionalisme: Makna Bangsa dan Tanah Air di Antara Konflik dan Integrasi, terjemahan dari Nationalism, penj. Freddy Mutiara (Surabaya: Portico Publishing, 2010)
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
142 Hart, Michael H. dalam Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah, Terjemahan Mahbub Effendy (Jakarta: Pustaka Jaya, 1997) Hitti, Philip K. The Arabs A Short History, terjemahan Usuludin Hutagulung dan O.D.P Sihombing dalam Dunia Arab Sejarah Ringkas (Bandung: Penerbit Sumur Bandung) Ibnu Khaldun, Al-’Ibar wa Diwanul Mubtada’ wal Khabar fi Ayyami Al-’Arab wa Al’Ajam wa Al-Barbar wa Man ’Asharahum min Dzawi Al-Sulthan Al-Akbar (Beirut: Dar Ehya el-Turats, 1999) Jones, W.T. Master of Political Thought; Machiavelli to Bentham (London: Harrap London, 1975) Kaplan, Harold D. Lasswell dan Abraham. Power and Society: A Framework for Political Inquiry (New Haven: Yale University Press, 1950) Khaldun, Ibnu. At-Ta’rif bi Ibn Khaldun wa Rihlatuhu Gharban wa Syarqan (Beirut: Dar Ehya El-Turats, 1999) Khaldun, Ibnu. Muqaddimah (Beirut: Dar El-Fikri, 1985) Khaldun, Ibnu. Muqaddimah; terjemahan Ahmadie Thoha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003) Khaldun, Ibnu. Tarikh Ibn Khaldun (Beirut: Dar Ehya el-Turats, 1999), jilid 1-7. Lambton, Ann K.S. State and Government in Medieval Islam: An Introdustion to the Studi of Islamic Political Thought: The Jurists; terjemahan dalam Negara dan Pemerintahan Islam (Oxforf: Oxbford University Press, 1981) Laski, Harold J. The State in Theory and Practise (New York: The Viking Press, 1947) Lubis, Nisrina. Para Diktator dan Konspirator; Kisah-kisah Nyata Orang-orang yang Gila Kekuasaan (Yogyakarta: Buku Biru, 2010) Ma’arif, Ahmad Syafi’i. Ibnu Khaldun Dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur (Jakarta: Gema Insani Press, 1996) Machiavelli, Niccolo. Sekapur Sirih Politik Kekuasaan; Terjemahan Bergambar (Jakarta: KPG, 1997) Machiavelli, Niccolo. The Prince, pent. Noviatri (Jakarta: Elex Media Komputindo, Kompas Gramedia, 2010). Maclver, R.M. The Modern State (London: Oxford University Press, 1926)
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
143 Mahdi, Muhsin. Ibn Khaldun’s Philosophy of History (London: Allen & Unwin, 1957) Manzhur, Ibnu. Lisan Al-Arab (Beirut: Dar el-Fikri, 1998), jilid 2 Mclaughlin, James Bruce Ross and Mary Martin. (Editors), The Portable Renaisan Reader (New York: Penguin Books, 1977) Mills, H.H Gerth and C.Wright. trans., eds and introduction, From Max Weber: Essay in Sociology (New York: Oxford University Press, 1958) Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 2001) Noer, Deliar. Islam dan Politik (Jakarta: Yayasan Risalah, 2003) Noer, Deliar. Pengantar Ke Pemikiran Politik (Jakarta: CV Rajawali, 1983) Noer, Deliar. Pengantar Pemikiran Politik di Negeri Barat (Jakarta: Rajawali Press, 1982) Outhwaite, Wiliam. Pemikiran Sosial Modern, terj. Tri Wibowo BS (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008) Perry, Marvin. Western Civilization: A Brief History (New York: Houghton Mifflin Company, 1997) Pramana KA, Pudja. Ilmu Negara (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009) Qardhawi, Yusuf. Ad-Diin wa Al-Siyasah: Ta’shil wa Raddu Syubuhat, Dar Shorouk, 2007) Raghib, Ahmad. Ishaamat al-Islam ‘Alaa Nahdhatil Eropa (Beirut: Dar El-Fikr, 1992) Raliby, Osman. Ibnu Khaldun Tentang Masyarakat dan Negara, Cet. IV. (Jakarta: Bulan Bintang,1978) Rapar, Filsafat Politik Machiavelli (Jakarta: Rajawali Press, 1991) Rosa, Peter de. Vicars of Christ: The Dark Side of the Papacy, (London: Bantam Press, 1991) Rudy, T. May. Pengantar Ilmu Politik; Wawasan Pemikiran dan Kegunaannya (Jakarta: Refika, 2003) Sabine, G.H. A History of Political Theory, terj. Teori-teori Politik: Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan (Bandung: Binacipta, 1992), cet. 4, jilid 2, hal. 1-21
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011
144 Sabine, G.H. A History of Political Theory; Terjemahan Soewarno Hadiatmodjo (Jakarta: Binacipta, 1981) Schmandt, Henry J. Filsafat Politik: Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno Sampai Zaman Modern, terjemahan dari A History of Political Philosophy (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009) Schmid, Nathele. Ibnu Khaldun History, Sociologist, and Philosopher (New York, 1939) Simanjuntak, Marsilam. Pandangan Negara Integralitas; Sumber, Unsur, dan Riwayatnya dalam Persiapan UUD 1945 (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1994) Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1990) Skinner, Machiavelli Dilema Kekuasaan dan Moralitas. Terjemahan Burgan Wirasubrata (Jakarta: Grafti, 1994) Smith, Donald Eugene. Agama di Tengah Sekularisasi Politik, terjemahan Religion and Political Development; pent. Azyumardi Azra dan Hari Zamharir (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985) Smith, John Baylish & Steve. The Globalization of World Politics, New York: Oxford University Press, 1997) Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty, 1986) Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007) Suhelmi, Ahmad. The Third Heritage; Kontribusi Islam Terhadap Renaisans dan Pemikiran Politik Barat (Jakarta: Indonesia Think Tank Initiative, 2011) Wafi, Ali Abdul Wahid. Abdul Rahman Ibnu Khaldun: Hayatuhu wa Atsaruhu wa Modighiru Abqoriytihi (Cairo: Dar El-Bayan el-’Arabiy, 2007) Walidin, Warul. Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibnu Khaldun. (Yogyakarta: Suluh Press, 2005) Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005) Zainuddin, Rahman. Ilmu Sejarah, Sosial dan Politik, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Edisi II (Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002)
Universitas Indonesia Membangun negara...,Abdul Muta'Ali,FISIPUI,2011