UNIVERSITAS INDONESIA
Kemampuan PCR Gen psaA untuk Mendeteksi Inokulum Streptococcus pneumoniae dalam Media Cair
TESIS
dr. Yosepha Dwiyana 1006768572
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS PATOLOGI KLINIK JAKARTA JANUARI 2015
0
UNIVERSITAS INDONESIA
Kemampuan PCR Gen psaA untuk Mendeteksi Inokulum Streptococcus pneumoniae dalam Media Cair
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Spesialis Patologi Klinik
dr. Yosepha Dwiyana 1006768572
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS PATOLOGI KLINIK JAKARTA JANUARI 2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan, Yesus Kristus, dan Bunda Maria karena atas berkat dan karunia-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar Spesialis Patologi Klinik pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Selama menjalani pendidikan, khususnya saat menjalankan penelitian dan penyusunan tesis ini, banyak bimbingan dan dukungan yang telah saya terima. Tanpa itu semua, sangatlah sulit menyelesaikan Pendidikan Spesialis Patologi Klinik ini. Oleh karenanya, saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada: 1. dr. July Kumalawati, DMM, SpPK(K), selaku pembimbing utama penelitian, pembimbing akademik, serta guru dalam berbagai hal yang telah berkenan mencurahkan waktu dan pikirannya untuk membimbing saya hingga tesis ini selesai. 2. Bapak Dodi Safari, SSi, PhD, selaku pembimbing kedua penelitian, yang telah memberikan dukungan sangat berarti selama melaksanakan penelitian
di
Lembaga
Biologi
Molekular
Eijkman,
Jakarta;
memberikan arahan, pemikiran, dan berbagai saran praktis; serta memberikan kesempatan seluas-luasnya dalam menggunakan fasilitas laboratorium di Lembaga Eijkman. 3. Prof. dr. Suzanna Immanuel, SpPK(K); dr. Tonny Loho, DMM, SpPK(K); dan dr. Astuti Giantini, SpPK, selaku penguji, yang telah memberikan waktu dan pemikiran sepanjang menilai makalah ini, serta senantiasa memberikan masukan untuk memperbaiki penelitian ini. 4. Semua guru saya: Prof. dr. Marzuki Suryaatmadja, SpPK(K); Prof. dr. Riadi Wirawan, SpPK(K); Prof. Dr. dr. Rustadi S., DMM, MS, SpPK(K); Prof. dr. Rahajuningsih D. Setiabudy, SpPK(K), DSc; dr. Alida R. Harahap, SpPK(K), PhD; dr. Farida Oesman, SpPK(K); dr. Dalima A.W. Astrawinata, SpPK(K), M.Epid; Dr. dr. Diana Aulia, SpPK(K); Dr. dr. Ina S. Timan, SpPK(K); dr. Ninik Sukartini, DMM, SpPK(K); dr. Fify Henrika, SpPK(K); dr. Yusra, SpPK, PhD; dr. Dewi
iv
Universitas Indonesia
Wulandari, SpPK, MSc; dr. Nuri Dyah Indrasari, SpPK(K) yang telah mengajar, mendidik, dan membantu saya selama masa pendidikan. 5. Rekan-rekan di Lembaga Biologi Molekular Eijkman: Ibu Lia, Majid, serta seluruh staf di Lembaga Eijkman yang telah membantu dan memudahkan saya selama penelitian. 6. Sdri. Farida Nurchaida dan karyawan-karyawan di Laboratorium Mikrobiologi Departemen Patologi Klinik FKUI/RSCM, serta seluruh analis dan karyawan di Laboratorium Patologi Klinik FKUI/RSCM yang telah membantu saya selama masa pendidikan dan penelitian ini. 7. Orangtua dan kakak saya yang selalu mendoakan dan mendukung saya dalam material dan moral untuk menyelesaikan pendidikan ini, terutama di saat-saat saya mengalami kesulitan, kebimbangan, dan kebuntuan. 8. Teman-teman di Patologi Klinik yang tidak dapat disebutkan satupersatu, yang telah membantu dan mendukung saya selama masa pendidikan.
Akhir kata, saya berharap Tuhan berkenan membalas semua kebaikan kepada semua pihak yang telah membantu dan mohon maaf sebesar-besarnya bila ada yang kurang berkenan selama ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Jakarta, 8 Januari 2015 Penulis
v
Universitas Indonesia
ABSTRAK Nama
: Yosepha Dwiyana
Program Studi : Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik Judul
: Kemampuan PCR Gen psaA untuk Mendeteksi Inokulum Streptococcus pneumoniae dalam Media Cair
Deteksi Streptococcus pneumoniae (pneumokokus) dilakukan dengan metode biakan dan PCR. Tujuan penelitian menentukan batas kemampuan tehnik PCR gen psaA mendeteksi inokulum pneumokokus dalam media cair sebelum inkubasi dan setelah inkubasi 24 jam. Penelitian secara eksperimental menggunakan S.pneumoniae ATCC (American Type Culture Collection) 49619 yang ditumbuhkan pada media agar darah domba. Sepuluh mililiter suspensi bakteri dengan densitas 6x107/ml, 6x106/ml, 6x105/ml, 6x104/ml, 6x103/ml, 6x102/ml, 60/ml, 6/ml dimasukkan dalam media cair BD BACTEC™ Plus Aerobic/F Culture Vials. Masing-masing densitas diinokulasikan ke dalam 20 media cair tersebut. Selanjutnya, dari tiap media cair yang telah diinokulasi, sebelum inkubasi maupun setelah inkubasi 24 jam, dilakukan pewarnaan Gram, diinokulasikan pada media agar darah domba, serta uji PCR untuk mendeteksi gen psaA. Bila ditemukan pertumbuhan koloni pneumokokus pada media agar darah, dilanjutkan uji katalase dan sensitivitas optochin. Uji PCR psaA ”positif” bila ditemukan amplikon dengan berat molekul 838 pasang basa. Metode biakan dan PCR dinyatakan “mampu mendeteksi pneumokokus” bila > 60% dari 20 replicate memberikan hasil positif. Dari masing-masing 20 replicate dengan densitas bakteri dalam inokulum awal 6x107/ml, 6x106/ml, 6x105/ml, 6x104/ml, 6x103/ml, 6x102/ml, 60/ml, 6/ml sebelum inkubasi, jumlah replicate yang terdeteksi gen psaA berturut-turut adalah 9/20 replicate (45%), 9/20 (45%), 3/20 (15%), 1/20 (5%), 0/20 (0%), 0/20 (0%), 0/20 (0%), 0/20 (0%). Setelah inkubasi 24 jam berturut-turut adalah 20/20 replicate (100%), 18/20 (90%), 11/20 (55%), 8/20 (40%), 4/20 (20%), 2/20 (10%), 0/20 (0%), 0/20 (0%). Dari data kadar DNA ekstrak terlihat uji PCR psaA penelitian ini membutuhkan kadar DNA ≥ 84 ng/µL. Hasil penelitian menunjukkan diperlukan inkubasi 24 jam agar terdeteksi oleh uji PCR psaA dengan densitas pneumokokus dalam inokulum awal minimal 6x106/ml. Kelemahan penelitian adalah proses ekstraksi DNA tidak optimal sehingga kadar DNA ekstrak sangat bervariasi dan menyebabkan gen psaA tidak terdeteksi sebelum inkubasi.
Kata kunci: ATCC, densitas inokulum awal, kadar DNA, sebelum inkubasi, setelah inkubasi 24 jam
vii
Universitas Indonesia
ABSTRACT Name
: Yosepha Dwiyana
Study Program : Clinical Pathology Title
: The Performance of psaA Gene PCR to Detect Streptococcus pneumoniae in Inoculated Liquid media
Streptococcus pneumoniae (pneumococcal) detection can be done by culture and PCR methods. The purpose of this study was to determine the limits of psaA gene PCR in detecting pneumococcal inoculum prior to incubation and after 24 hours of incubation of liquid media. This experimental study used Streptococcus pneumoniae ATCC (American Type Culture Collection) 49619 which was grown on sheep blood agar. Ten mililiter of bacterial suspensions with initial density of 6x107/ml, 6x106/ml, 6x105/ml, 6x104/ml, 6x103/ml, 6x102/ml, 60/ml and 6/ml were inoculated into liquid media, BD BACTEC™ Plus Aerobic/F Culture Vials. Each bacterial density was inoculated into these 20 liquid medias. From each inoculated BD BACTEC™ Plus Aerobic/F Culture Vial, prior to incubation and after 24 hours of incubation, Gram staining, subculturing on sheep blood agar, and psaA gene PCR were done. When pneumococcal colonies were found on sheep blood agar, the colonies were tested for catalase and optochin sensitivity. PsaA gene were determined as “positive” when amplicons with molecular weight 838 pairs of bases were found. Culture and PCR methods were determined as able to detect pneumococcus when > 60% of 20 replicates yield positive results. The psaA PCR positive result rate of initial bacterial density of 6x107/ml, 6 6x10 /ml, 6x105/ml, 6x104/ml, 6x103/ml, 6x102/ml, 60/ml, and 6/ml prior to incubation were 9/20 replicate (45%), 9/20 (45%), 3/20 (15%), 1/20 (5%), 0/20 (0%), 0/20 (0%), 0/20 (0%), 0/20 (0%), respectively. After 24 hours of incubations were 20/20 replicate (100%), 18/20 (90%), 11/20 (55%), 8/20 (40%), 4/20 (20%), 2/20 (10%), 0/20 (0%), 0/20 (0%), respectively. From the DNA extract data, it could be determined that this PCR method required a DNA concentration of ≥ 84 ng/µL. Results showed a 24-hours incubation was needed in order to detect psaA by PCR and with the initial bacteria density of 6x106 organisms/ml in the inoculum. The weakness of study was DNA extraction process not optimal, shown by the variability of DNA concentration in the extracts which affected the ability of PCR to detect psaA gene prior to incubation.
Keywords: ATCC, initial bacterial density, DNA concentration, prior to incubation, after 24 hours of incubation
viii
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL................................................................................................i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS…………………………………ii LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………………iii KATA PENGANTAR…………………………………………………………....iv LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ……...………….. vi ABSTRAK……………………………………………………………………….vii DAFTAR ISI...........................................................................................................ix DAFTAR TABEL...................................................................................................xi DAFTAR GAMBAR..............................................................................................xi DAFTAR LAMPIRAN..........................................................................................xii DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN.............................................................xii BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1 1.1 Latar belakang..............................................................................................1 1.2 Permasalahan penelitian...............................................................................2 1.3 Tujuan penelitian..........................................................................................2 1.3.1 Tujuan umum...................................................................................2 1.3.2 Tujuan khusus..................................................................................2 1.4 Manfaat penelitian....................................................................................... 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................4 2.1 Streptococcus pneumoniae...........................................................................4 2.1.1 Karakteristik biologis.......................................................................4 2.1.2 Epidemiologi....................................................................................4 2.1.3 Komponen permukaan pneumokokus..............................................5 2.1.4 Faktor virulensi……………………………………………………6 2.1.5 Identifikasi Streptococcus pneumoniae…………………………...7 2.1.5.1 Identifikasi morfologi……………………………………7 2.1.5.2 Identifikasi biokimia……………………………………..9 2.1.5.2.1 Uji katalase…………………………………….9 2.1.5.2.2 Uji sensitivitas terhadap optochin……………..9 2.1.5.2.2 Uji kelarutan dalam garam empedu………….11 2.1.5.3 Identifikasi secara molekular dengan tehnik PCR……...11 2.2 Kerangka teori penelitian...........................................................................14 2.3 Kerangka konsep penelitian.......................................................................15 BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN............................................................16 3.1 Desain penelitian........................................................................................16 3.2 Tempat dan waktu penelitian.....................................................................16 3.3 Bahan penelitian.........................................................................................16 3.4 Batasan operasional....................................................................................16 3.5 Pemeriksaaan laboratorium........................................................................17 3.5.1 Alat………………………………………………………………..17 3.5.2 Bahan……………………………………………………………..17 3.5.2.1 Bakteri kontrol…………………………………………..17 3.5.2.2 Media…………………………………………………....17
ix
Universitas Indonesia
3.5.2.3 Reagen…………………………………………………..18 3.5.2.4 Bahan lainnya…………………………………………...19 3.5.3 Cara kerja………………………………………………………...19 3.5.3.1 Alur kerja penelitian…………………………………….22 3.5.4 Pembuatan media agar darah domba……………………………..22 3.5.5 Persiapan suspensi Streptococccus pneumoniae dengan pengenceran serial………………………………………………..23 3.5.6 Uji katalase…………………………………………………….....23 3.5.7 Uji sensitivitas optochin……………………………………….....24 3.5.8 Biakan pada media biakan (BD BACTEC™ Plus Aerobic/F Medium)…………………………………………………………..25 3.5.8.1 Prinsip…………………………………………………....25 3.5.8.2 Alat………………………………………………………25 3.5.8.3 Bahan………………………………………………….....25 3.5.8.4 Cara kerja………………………………………………...25 3.5.9 Validasi volume DNA template yang dipakai untuk uji PCR psaA……………………………………………………………….26 3.5.9.1 Tujuan……………………………………………………..26 3.5.9.2 Alat…………………………………………………….…..26 3.5.9.3 Bahan……………………………………………………...26 3.5.9.4 Cara kerja………………………………………………….27 3.5.10 Ekstraksi DNA……………………………………………………28 3.5.11 Amplifikasi DNA dengan tehnik PCR…………………………....30 3.5.12 Elektroforesis gel………………………………………………....31 3.6 Pengolahan data.........................................................................................32 BAB 4. HASIL PENELITIAN............................................................................33 4.1 Identifikasi Streptococcus pneumoniae secara mikrobiologik...................33 4.1.1 Pewarnaan Gram………………………………………………….33 4.1.2 Pengamatan makroskopis koloni Streptococcus pneumoniae….....33 4.1.3 Uji katalase…………………………………………………….….34 4.1.4 Uji sensitivitas optochin……………………………………….….34 4.2 Hasil validasi volume DNA template pada uji PCR psaA.........................35 4.3 Hasil biakan dan uji PCR psaA sebelum inkubasi dan setelah inkubasi 24 jam ………………………………................…………………………36 BAB 5. PEMBAHASAN......................................................................................40 5.1 Identifikasi Streptococcus pneumoniae secara mikrobiologik...................40 5.2 Hasil penelitian pada sampel sebelum inkubasi dan setelah inkubasi 24 jam.........................................................................................................40 BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN...............................................................42 6.1 Kesimpulan................................................................................................42 6.2 Saran..........................................................................................................42 DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................43 LAMPIRAN..........................................................................................................45
x
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Pengenceran serial untuk membuat suspensi bakteri dengan densitas bakteri tertentu…..............…………………………………………. 19 Tabel 3.2. Perlakuan yang diberikan pada botol BD BACTEC™ Plus Aerobic/F Culture Vials setelah pengenceran serial….......................20 Tabel 3.3. Tahapan amplifikasi DNA dalam thermocycler…………………… 30 Tabel 4.1. Data mentah hasil penelitian ………………………………………..47 Tabel 4.2. Hasil biakan dan uji PCR psaA yang positif pada sampel sebelum inkubasi…..............…………………………………..……………...37 Tabel 4.3. Hasil biakan dan uji PCR psaA yang positif pada sampel setelah inkubasi 24 jam........................…………………………………..….38
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Gambar 2.2. Gambar 2.3. Gambar 2.4.
Struktur permukaan pneumokokus…………………………………5 Alur identifikasi Streptococcus pneumoniae……………………….7 Pewarnaan Gram pada spesimen sputum…………………………..8 Streptococcus pneumoniae dengan bagian tengah yang cekung pada inkubasi 24-48 jam, sedangkan Streptococcus viridans dengan bagian tengah yang cembung……………………………....8 Gambar 2.5. Koloni pneumokokus dengan zona kehijauan pada hemolisis α…...9 Gambar 2.6. “Draughtman colonies” pada pneumokokus di media agar darah…9 Gambar 2.7. Hasil uji katalase yang positif dan negatif...……………………….9 Gambar 2.8. Uji sensitivitas terhadap optochin………………………………...10 Gambar 2.9. Tahapan dalam siklus PCR……………………………………….12 Gambar 2.10. Kerangka teori penelitian…………………………………………14 Gambar 2.11. Kerangka konsep penelitian………………………………………15 Gambar 3 Alur kerja penelitian………………………………………………22 Gambar 4.1 Hasil pewarnaan Gram……………………………………………33 Gambar 4.2 Koloni Streptococcus pneumoniae yang tumbuh pada media agar darah domba………………………………………………………34 Gambar 4.3 Hasil uji sensitivitas terhadap optochin…………………………...34 Gambar 4.4 Visualisasi dari validaasi volume DNA template pada uji PCR psaA.…………………………………………………….35 Gambar 4.5 Salah satu contoh visualisasi hasil elektroforesis produk PCR gen psaA sebelum inkubasi dan setelah inkubasi 24 jam……………..39
xi
Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Keterangan lolos kaji etik………………………………………..…46 Lampiran 2. Data mentah hasil penelitian……………………………………..…47 Lampiran 3. Komposisi reagen………………………………………………..…55
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN Singkatan/Istilah PCR WHO ply pspA psaA cbpA lytA DNA dsDNA dNTP dTTP pb ATCC NCCLS SPS bufer TBE TSA RSCM
Kepanjangan Polymerase Chain Reaction World Health Organization Pneumolysin pneumococcal surface protein A pneumococcal surface adhesin A choline-binding protein A Autolysin deoxyribonucleic acid Double stranded DNA deoxyribonucleotide triphosphates deoxytimine triphosphates pasang basa American Type Culture Collection National Committee For Clinical Laboratory Standards Sodium Polyanethol Sulfonate bufer tris base boric acid-EDTA tryptone soya agar Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
xii
Universitas Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Streptococcus pneumoniae (pneumokokus) merupakan bakteri patogen pada manusia yang menyebabkan berbagai penyakit infeksi seperti pneumonia, meningitis, otitis media, dan bakteremia pada anak dan dewasa. Sebagian besar studi epidemiologis mengenai penyakit pneumokokus ini telah dilaporkan pada populasi anak, namun data pada orang dewasa (terutama di Asia) masih terbatas. Populasi di Asia merupakan populasi dengan pertumbuhan tercepat di dunia, sehingga penanganan terhadap penyakit pneumokokus ini akan memberi pengaruh yang besar terhadap kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Bakteri ini diperkirakan menyebabkan 1,6 juta kematian tiap tahun. Infeksi pneumokokus merupakan penyebab utama kematian pada anak balita dan juga penyebab penting tingginya morbiditas dan mortalitas pada orang tua.1,2 Streptococcus pneumoniae pertama kali diidentifikasi pada akhir tahun 1800 dan awalnya dikenal sebagai penyebab utama pneumonia. Bakteri ini merupakan positif Gram dengan morfologi diplokokus atau kokus berantai pendek, berbentuk “lancet”, memiliki kapsul, aktivitas hemolisis α pada media agar darah, bersifat anaerob fakultatif, dan tumbuh optimal pada lingkungan dengan kadar CO2 5 %. Identifikasi bakteri ini awalnya dilakukan secara konvensional dengan mengamati morfologi bakteri dan adanya 4 karakteristik utama seperti hemolisis α pada media agar darah, katalase negatif, sensitif terhadap optochin, dan larut dalam garam empedu.2,3 Diagnosis infeksi pneumokokus secara klinis sering menjadi masalah karena manifestasi klinis akibat infeksi pneumokokus tidak khas. Baku emas pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis adalah metode biakan, namun sering memberikan hasil yang negatif, karena pneumokokus merupakan bakteri yang bersifat fastidious.2,4 Deteksi pneumokokus secara molekular dilakukan dengan menggunakan tehnik polymerase chain reaction (PCR). Keuntungan tehnik PCR dibandingkan dengan metode biakan darah adalah dapat mendeteksi asam nukleat dari bakteri
1
Universitas Indonesia
2 pada spesimen dalam jumlah sedikit, hasilnya tidak dipengaruhi
oleh
terapi
antibiotika yang diberikan sebelum pemeriksaan, tidak hanya mendeteksi bakteri yang masih hidup, dan waktu yang dibutuhkan untuk pemeriksaan lebih singkat.2 Penelitian King5 menyatakan bahwa tehnik PCR mampu mendeteksi pneumokokus dari media biakan darah yang pada biakan darah menunjukkan hasil negatif.5 Identifikasi pneumokokus dengan tehnik ini dapat dilakukan dengan mendeteksi gen yang mengkode protein pneumokokus seperti gen pneumolysin (ply), pneumococcal surface protein A (pspA), choline-binding protein A (cbpA), autolysin (lytA), pneumococcal surface adhesin A (psaA). PsaA merupakan protein permukaan yang diekspresikan oleh pneumokokus dan diekspresikan pada semua serotipe (90 serotipe) pneumokokus.6,7 Penelitian Putri8 menyatakan bahwa tehnik PCR yang menggunakan gen psaA mampu mendeteksi 52 (71,2%) isolat Streptococcus pneumoniae dari 73 isolat, yang diperoleh dari swab nasofaring pada anak di Lombok.8
1.2 Permasalahan Penelitian Permasalahan penelitian yang timbul adalah belum diketahuinya kemampuan tehnik PCR untuk gen psaA mendeteksi inokulum S.pneumoniae dalam media cair sebelum inkubasi dan setelah inkubasi 24 jam.
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum Menilai kemampuan tehnik PCR untuk gen psaA mendeteksi inokulum S.pneumoniae dalam media cair sebelum inkubasi dan setelah inkubasi 24 jam.
1.3.2 Tujuan khusus Menentukan batas kemampuan tehnik PCR untuk gen psaA mendeteksi S.pneumoniae yang dinyatakan dalam jumlah awal bakteri dalam inokulum yang dapat dideteksi sebelum inkubasi dan setelah inkubasi 24 jam, sebagai simulasi bila digunakan pada spesimen klinis seperti darah.
Universitas Indonesia
3 1.4 Manfaat Penelitian Menambah pengetahuan mengenai kemampuan tehnik PCR untuk gen psaA mendeteksi inokulum Streptococcus pneumoniae dalam media cair sebelum inkubasi dan setelah inkubasi 24 jam, serta kemungkinan penerapannya dalam biakan darah.
Universitas Indonesia
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Streptococcus pneumoniae 2.1.1 Karakteristik biologis Streptococcus pneumoniae merupakan bakteri kokus positif Gram yang pada pewarnaan Gram tampak berpasangan (diplokokus), terkadang soliter atau tersusun dalam rantai yang pendek, serta berbentuk “lancet”. Streptococcus pneumoniae pertama kali diidentifikasi pada akhir tahun 1800 dan awalnya dikenal sebagai penyebab utama pneumonia. Pada media agar darah bakteri ini memiliki aktivitas hemolisis α, koloninya umumnya berukuran kecil, berwarna keabu-abuan, mukoid, tepi koloni rata, dan bagian tengah koloni tampak cekung. Pneumokokus mempunyai karakteristik berupa katalase negatif, bersifat anaerob fakultatif, tumbuh optimal pada lingkungan atmosfer dengan kadar CO2 5%, sensitif terhadap optochin, dan larut dalam garam empedu. Bakteri ini bersifat fastidious sehingga membutuhkan darah untuk tumbuh.4,9,10 Pneumokokus
memiliki
.
sekitar
90
serotipe
berdasarkan
kapsul
polisakaridanya. Kapsul polisakarida ini merupakan salah satu faktor virulensi pada pneumokokus yang penting. Sebagian besar pneumokokus memiliki kapsul dan biasanya bersifat patogenik pada manusia. Pneumokokus yang tidak memiliki kapsul biasanya bersifat non-patogenik.11,12
2.1.2 Epidemiologi Data epidemiologik mengenai insidens penyakit yang disebabkan oleh pneumokokus di Indonesia saat ini tidak tersedia. World Health Organization (WHO, 2007) memperkirakan sekitar 1 juta anak balita meninggal tiap tahunnya akibat penyakit yang disebabkan pneumokokus dan dilaporkan terdapat 130-597 per 100.000 penduduk di negara berkembang.13 Penelitian Yuliarti dkk13 menemukan 1 isolat pneumokokus dari 205 spesimen darah pada kelompok penderita berusia 28 hari - 60 bulan yang dirawat dengan pneumonia, meningitis, sepsis, dan bakteremia di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta. Pada penelitian tersebut insidens penyakit pneumokokus
4
Universitas Indonesia
5 tersebut tidak dihitung karena rendahnya jumlah kasus yang ditemukan. Penelitian di Bandung dan Surabaya yang serupa juga menemukan 2 kasus yang positif penyakit pneumokokus dari 466 penderita dan 5 kasus yang positif dari 1040 penderita.13 Penelitian di Singapura melaporkan data insidens (1995-2004) sebanyak 4275 kasus pada kelompok penderita berusia < 1 - ≥ 75 tahun (64% diantaranya berusia > 15 tahun) yang dirawat di seluruh rumah sakit di Singapura.1
2.1.3 Komponen permukaan pneumokokus Komponen permukaan pada pneumokokus dibedakan menjadi 3 lapis yaitu membran plasma, dinding sel, dan kapsul (Gambar 2.1). Dinding sel tersusun dari 3 lapisan peptidoglikan yang menjadi tempat melekatnya polisakarida kapsul, polisakarida dinding sel, dan mungkin juga berbagai protein. Kapsul merupakan lapisan paling tebal yang menutupi seluruh struktur bagian dalam dari pneumokokus. Struktur kimia polisakarida pada kapsul bersifat spesifik pada tiap serotipe pneumokokus. Struktur lain yang penting adalah lipoteichoic acid (antigen Forssman) yang mirip dengan struktur polisakarida dinding sel dengan penambahan komponen lipid yang berikatan secara kovalen dengan membran sel. Antigen Forssman merupakan inhibitor yang poten terhadap autolysin. Pneumokokus melepaskan antigen Forssman selama fase stasioner pada pertumbuhan, sehingga menyebabkan terjadinya destruksi dinding sel dan akhirnya terjadi lisis pada bakteri.12
Gambar 2.1. Struktur permukaan pneumokokus. (1) Membran plasma. (2) Lapisan peptidoglikan pada dinding sel. (3) Polisakarida dinding sel dan berbagai protein. (4) Polisakarida dari kapsul. Polisakarida dinding sel terletak pada permukaan bagian luar dan dalam pada dinding sel.12
Universitas Indonesia
6 2.1.4 Faktor virulensi Virulensi dari pneumokokus dihubungkan dengan ketahanannya (resistensi) terhadap proses opsonisasi, fagositosis, dan mekanisme sel fagositik membunuh secara intraselular. Resistensi pneumokokus ini dapat terjadi akibat adanya kapsul polisakarida yang berperan sebagai anti-fagositik. Pneumokokus memiliki sedikitnya 90 serotipe yang dibedakan berdasarkan komposisi polisakarida pada kapsul tersebut. Protein lain yang dihasilkan oleh pneumokokus seperti pneumolysin (ply), pneumococcal surface protein A (pspA), autolysin (lytA), pneumococcal surface adhesin A (psaA) juga turut berperan dalam menentukan virulensi pneumokokus.14 PspA merupakan protein permukaan dengan ukuran molekul yang bervariasi (67-99 kDa) yang terdapat pada dinding sel pneumokokus. PspA berperan sebagai antigen yang bersifat protektif untuk pneumokokus, karena mampu mencegah aktivasi sistem komplemen pada tubuh pejamu (host).6 Pneumolysin (ply) merupakan salah satu faktor virulensi pada pneumokokus yang tidak diekspresikan pada permukaan. Ply adalah enzim sitoplasmik yang dilepaskan akibat kerja dari autolysin pada permukaan pneumokokus. Faktor virulensi dari ply dipengaruhi secara langsung oleh kerja autolysin.6 Autolysin (lytA) merupakan salah satu enzim yang dapat mendegradasikan peptidoglikan dari dinding sel pneumokokus sehingga menyebabkan terjadinya lisis dan kematian sel.6 PsaA merupakan faktor virulensi pneumokokus yang memiliki berat molekul 37 kDa dan terdiri dari 309 residu. PsaA berfungsi dalam transport ion Mn2+ dan Zn2+ ke dalam sitoplasma pneumokokus. PsaA melekat pada membran sel dan komponen lipid pneumokokus melalui ikatan kovalen.6 Penelitian Morrison7 menyatakan bahwa psaA diekspresikan oleh semua serotipe (90 serotipe) pneumokokus dan gen psaA dapat dideteksi pada semua serotipe pneumokokus tersebut dengan menggunakan tehnik PCR. Penelitian Morrison ini dapat menunjukkan bahwa deteksi gen psaA penting dalam mengidentifikasikan pneumokokus secara molekular.6 Penelitian ini menggunakan gen psaA dengan primer berupa [5’CTTTCTGCAATCATTCTTG3’] sebagai forward primer dan
Universitas Indonesia
7 [3’GCCTTCTTTACCTTGTTCTGC5’] sebagai reverse primer dengan tehnik PCR.7
2.1.5 Identifikasi Streptococcus pneumoniae
Gambar 2.2. Alur identifikasi Streptococcus pneumoniae.15
2.1.5.1 Identifikasi morfologi Streptococcus pneumoniae merupakan bakteri kokus positif Gram yang pada pewarnaan Gram (Gambar 2.3) tampak berpasangan (diplokokus), namun dapat juga soliter atau tersusun dalam rantai yang pendek. Adanya terapi antibiotika sebelum pemeriksaan dan juga waktu melakukan tahapan dekolorisasi yang terlalu lama dapat memberikan hasil negatif palsu sehingga tampak sebagai diplokokus negatif Gram.3,14,15 Bakteri ini bersifat fastidious sehingga membutuhkan darah untuk tumbuh. Pneumokokus akan tumbuh optimal pada media agar darah yang diinkubasi pada lingkungan atmosfer dengan kadar CO2 5 % dan suhu 35-370C selama 24-48 jam. Karakteristik koloni yang tumbuh pada media agar darah adalah koloni berukuran kecil, berwarna keabu-abuan, mukoid, tepi koloni rata, dan dikelilingi oleh zona
Universitas Indonesia
8 kehijauan akibat adanya lisis eritrosit yang parsial (aktivitas hemolisis α, Gambar 2.5). Aktivitas hemolisis α dapat membedakan pneumokokus dengan organisme dari spesies lain, namun sulit dibedakan dengan Streptococcus viridans yang juga mempunyai aktivitas hemolisis α. Bentuk koloni pneumokokus pada media agar darah dengan usia biakan < 24 jam mirip sulit dibedakan dengan dengan Streptococcus viridans karena koloninya memiliki permukaan yang cembung. Koloni pneumokokus yang tumbuh pada agar darah pada usia biakan 24-48 jam akan terlihat permukaannya mendatar dan pada bagian tengah koloni akan terlihat cekung (“draughtsman” colonies, Gambar 2.4 dan 2.6). Identifikasi pneumokokus (Gambar 2.2) dapat dilakukan dengan pewarnaan Gram, uji katalase, dan uji sensitivitas terhadap optochin yang dilaksanakan secara simultan, dengan uji kelarutan dalam garam empedu (bile solubility test) sebagai uji konfirmasi. Uji kepekaan terhadap optochin dan bile solubility test digunakan juga untuk membedakan pneumokokus dengan Streptococcus viridans. Streptococcus viridans menunjukkan resistensi terhadap optochin dan tidak larut dalam garam empedu.4,10,15
S.pneumoniae
S.viridans
Gambar 2.3. Pewarnaan Gram pada spesimen sputum menunjukkan pneumokokus sebagai diplokokus Gram positif.15
Gambar 2.4. Streptococcus pneumoniae dengan bagian tengah yang cekung (panah kuning) pada inkubasi 24-48 jam, sedangkan Streptococcus viridans dengan bagian tengah yang cembung (panah hijau).10
Universitas Indonesia
9
Gambar 2.5. Koloni pneumokokus dengan zona kehijauan pada hemolisis α (panah hitam) pada media agar darah.15
Gambar 2.6. “Draughtman colonies” pada pneumokokus di media agar darah.16
2.1.5.2 Identifikasi biokimia 2.1.5.2.1
Uji katalase
Katalase adalah enzim yang memecah hidrogen peroksida (H2O2) menjadi H2O dan O2. Uji katalase positif ditunjukkan dengan terbentuknya gelembunggelembung gas yang menandakan adanya O2 (Gambar 2.7). Uji katalase dapat digunakan untuk membedakan genus Streptococcus dengan Staphylococcus. Organisme dengan spesies yang termasuk dalam genus Staphylococcus merupakan katalase positif, sedangkan genus Streptococcus merupakan katalase negatif.15
Gambar 2.7. Hasil uji katalase yang positif dan negatif. Tidak terbentuknya gelembung-gelembung gas menandakan uji katalase negatif. Semua genus Streptococcus merupakan katalase negatif.15
2.1.5.2.2
Uji sensitivitas terhadap optochin
Pneumokokus
sensitif
terhadap
optochin
(ethylhydrocupreine
hydrochloride) yang merupakan substansi antimikroba yang digunakan hanya untuk kepentingan identifikasi pneumokokus secara laboratorik, tidak untuk
Universitas Indonesia
10 kepentingan terapeutik. Cakram optochin sering disebut dengan “P disks”. Walaupun pada umumnya pneumokokus sensitif terhadap optochin, dapat ditemukan pula strain pneumokokus yang resisten terhadap optochin. Uji kelarutan dalam garam empedu (bile solubility test) dapat digunakan sebagai pemeriksaan konfirmasi pada isolat pneumokokus yang resisten terhadap optochin. Pemeriksaan ini umumnya menggunakan cakram optochin dengan diameter 6 mm yang berisi 5 µg optochin dan dinilai dengan melihat diameter zona hambatan yang terbentuk di sekeliling cakram optochin pada media agar darah yang diinkubasi pada lingkungan atmosfer dengan kadar CO2 5% dan suhu 35-370C selama 24 jam. Zona inhibisi yang terbentuk (Gambar 2.8) dengan diameter ≥ 14 mm dikatakan sebagai sensitif terhadap optochin dan dapat diidentifikasikan sebagai pneumokokus. Bila zona inhibisi terbentuk dengan diameter < 14 mm ataupun tidak terbentuknya zona hambatan, maka pemeriksaan harus dilanjutkan dengan uji kelarutan dalam garam empedu (bile solubility test) sebagai pemeriksaan konfirmasi. Pada pemeriksaan yang menggunakan cakram optochin dengan diameter 10 mm yang berisi 5 µg optochin, zona inhibisi yang terbentuk dengan diameter ≥ 16 mm dikatakan sebagai sensitif terhadap optochin.2,10,15,16
Gambar 2.8. Uji sensitivitas terhadap optochin. Strain di sebelah kiri resisten terhadap optochin (tidak terbentuk zona inhibisi). Strain di sebelah kanan sensitif terhadap optochin.15
Universitas Indonesia
11 2.1.5.2.3 Uji kelarutan dalam garam empedu (bile solubility test) Pemeriksaan ini akan menguji terjadinya autolisis dari dinding sel bakteri bila berada dalam larutan garam empedu. Tujuan dari pemeriksaan ini adalah membedakan pneumokokus yang bersifat larut dalam garam empedu dengan spesies Streptococcus hemolitik α lainnya (misalnya: Streptococcus viridans) yang tidak larut dalam garam empedu. Pneumokokus memproduksi amidase (autolysin) yang merupakan enzim intraselular yang bersifat autolitik. Penambahan garam empedu (misalnya: sodium deoksikolat) ke dalam suatu media artifisial akan menyebabkan perubahan pada permukaan dari dinding sel pneumokokus sehingga akan mengaktifkan amidase yang akan memecah ikatan antara muramic acid dengan alanin yang terdapat pada komponen peptidoglikan dinding sel pneumokokus.17
2.1.5.3 Identifikasi secara molekular dengan tehnik PCR Tehnik PCR pertama kali ditemukan oleh Kary Mullis pada tahun 1983 dan merupakan tehnik untuk melakukan sintesis dan amplifikasi (memperbanyak) daerah/segmen tertentu dari cetakan (template) DNA dengan bantuan enzim DNA polimerase secara in vitro. Tehnik PCR mampu mendeteksi asam nukleat dari organisme pada spesimen dalam jumlah sedikit, tidak dipengaruhi oleh pemberian antimikroba sebelumnya, tidak bergantung pada viabilitas mikroba target, dan membutuhkan waktu pemeriksaan yang singkat.2,18 Komponen/bahan yang dibutuhkan pada tehnik PCR adalah template DNA, sepasang primer oligonukleotida, deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP), enzim DNA polimerase yang thermostable, ion magnesium (MgCl2), dan bufer. Template DNA berperan sebagai cetakan sekuens target DNA spesifik yang akan diperbanyak. Sekuens target DNA yang digunakan mempunyai panjang 100-1000 pasang basa (base pairs, bp). Primer adalah untai oligonukleotida pendek yang mempunyai panjang 16-20 bp dan akan melekat dengan sekuens template DNA yang komplementer. DNA polimerase adalah enzim yang mengkatalisis sintesis untai DNA. Taq DNA polymerase merupakan enzim DNA polimerase yang sering digunakan. Ion magnesium berfungsi sebagai kofaktor bagi enzim DNA polimerase, karena enzim ini tidak dapat bekerja tanpa ion magnesium. Ion
Universitas Indonesia
12 magnesium ini akan menstimulasi aktivitas enzim DNA polimerase. Kadar magnesium sangat mempengaruhi efisiensi dan spesifisitas dari reaksi PCR. Kadar magnesium yang terlalu rendah akan menghasilkan sedikit atau tidak dihasilkan sama sekali produk PCR, sedangkan kadar magnesium yang terlalu tinggi akan menyebabkan akumulasi produk yang non-spesifik. Bufer merupakan larutan yang mencegah terjadinya perubahan pH sehingga aktivitas enzim DNA polimerase dapat optimal. Deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP) berperan sebagai building blocks atau “batu bata” penyusun DNA yang baru dan terdiri dari dATP, dCTP, dGTP, dan dTTP. Komponen dNTP ini akan melekat pada ujung 3’ dari primer saat terjadi proses elongasi.18-20
Gambar 2.9. Tahapan dalam siklus PCR.18
Universitas Indonesia
13 Target DNA diperbanyak dengan tehnik PCR melalui 3 tahapan (Gambar 2.9), yaitu denaturasi template DNA, annealing (penempelan pasangan primer), dan ekstensi/elongasi/pemanjangan primer. Ketiga tahapan ini sangat dipengaruhi oleh suhu. Satu siklus PCR terdiri dari 3 tahapan ini. Pada tahap awal dilakukan proses denaturasi, yaitu pemisahan dari template DNA untai ganda (double stranded) menjadi untai tunggal (single stranded) pada suhu 92-960C selama 30 detik hingga 5 menit. Tahap selanjutnya dilakukan annealing berupa penempelan primer dengan ujung-ujung segmen target DNA untai tunggal. Pada tahap kedua ini dilakukan proses pendinginan pada suhu 45-720C selama 20-40 detik untuk memberi kesempatan pada primer untuk menempel pada cetakan (template) DNA di tempat yang komplemen dengan sekuen primer. Tahap kedua ini akan menentukan spesifisitas dari PCR. Pada tahap ekstensi/elongasi, enzim DNA polimerase akan teraktivasi dan mulai memperpanjang primer yang sudah bergabung dengan segmen target DNA dengan menambahkan deoksinukleotida trifosfat (dNTP) yang komplemen dengan urutan nukleotida pada template DNA (adenin berpasangan dengan timin, sitosin berpasangan dengan guanin) hingga ke ujung segmen sehingga terbentuk DNA untai ganda kembali. Pada tahap ekstensi dilakukan pemanasan kembali pada suhu 720C, yang merupakan suhu optimal untuk enzim DNA polimerase yang thermostable. Waktu yang dibutuhkan pada tahap ketiga ini bergantung pada panjang DNA yang diamplifikasi, yaitu 1 menit untuk target DNA dengan panjang < 500 bp dan 2-3 menit untuk target DNA dengan panjang ≥ 500 bp. Produk PCR pada tiap akhir siklus dapat berperan sebagai bahan cetakan (template) untuk siklus berikutnya, sehingga fragmen DNA akan diperbanyak secara eksponensial. Pada tiap akhir siklus PCR akan dihasilkan peningkatan jumlah fragmen DNA (amplikon) sebanyak 2 kali lipat. Fragmen DNA dapat diperbanyak 2n kali setelah “n” siklus PCR. Pengulangan ketiga tahapan PCR tersebut umumnya terjadi dalam 25-35 siklus.18,21,22 Produk amplifikasi (amplikon) dari PCR umumnya dianalisis dengan menggunakan elektroforesis gel yang akan memberikan visualisasi dari segmen DNA yang diamplifikasi dan menentukan spesifisitasnya. Elektroforesis adalah teknik untuk memisahkan dan memurnikan ion, protein, dan molekul lain berdasarkan migrasi/pergerakan molekul bermuatan atau ion-ion dalam medan
Universitas Indonesia
14 listrik. Pada proses ini diberi arus listrik yang akan membuat migrasi fragmen DNA/asam nukleat yang bermuatan negatif (katoda) menuju ke kutub bermuatan positif (anoda) melalui media gel. Media gel yang sering digunakan saat ini adalah agarosa dan poliakrilamid yang mempunyai ukuran pori menyerupai ukuran protein dan asam nukleat, sehingga berfungsi sebagai saringan yang dapat memisahkan molekul DNA berdasarkan ukurannya. Gel agarosa memiliki ukuran pori yang yang besar, sehingga dapat digunakan untuk memisahlan asam nukleat dengan ukuran 50-30.000 pb (pasang basa). Gel poliakrilamid memiliki pori yang kecil, sehingga digunakan untuk memisahkan polinukleotida dengan ukuran < 5 basa hingga 2000 pb. Laju migrasi DNA dalam medan listrik berbanding terbalik dengan ukuran/panjang fragmen DNA. Fragmen DNA yang lebih pendek akan bergerak lebih cepat dibandingkan dengan fragmen DNA yang lebih panjang.20,22
2.2
Kerangka Teori Penelitian
Gambar 2.10. Kerangka teori penelitian. Keterangan: PCR= polymerase chain reaction
Universitas Indonesia
15 2.3
Kerangka Konsep Penelitian
Gambar 2.11. Kerangka konsep penelitian. Keterangan: : lingkup penelitian *) Karakterisitik koloni bakteri: kecil, keabu-abuan, mukoid, tepi rata, bagian tengah cekung, aktivitas hemolisis α PCR: polymerase chain reaction
Universitas Indonesia
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain penelitian Penelitian dilakukan secara eksperimental.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Lembaga Biologi Molekular Eijkman, Jakarta. Waktu penelitian adalah bulan November-Desember 2014.
3.3 Bahan Penelitian Bahan penelitian adalah bakteri kontrol Streptococcus pneumoniae ATCC (American Type Culture Collection) 49619 yang direkomendasikan oleh NCCLS (National Committee For Clinical Laboratory Standards).
3.4 Batasan Operasional Identifikasi Streptococcus pneumoniae ditegakkan berdasarkan: •
Pada media agar darah domba yang diinkubasi pada suhu 35-370C dengan kadar CO2 5% selama 24 jam, tumbuh koloni bakteri dengan karakteristik koloni berukuran kecil, berwarna keabu-abuan, mukoid, tepi rata, bagian tengah cekung, dan memiliki aktivitas hemolisis α.
•
Pada pewarnaan Gram tampak sebagai bakteri positif Gram dengan morfologi diplokokus atau kokus berantai pendek.
•
Uji katalase memberikan hasil negatif.
•
Uji sensitivitas terhadap optochin memberikan hasil yang sensitif terhadap optochin, yaitu terbentuk zona inhibisi berdiameter ≥ 14 mm dengan menggunakan cakram optochin berdiameter 6 mm.
Uji PCR untuk gen psaA Streptococcus pneumoniae dinyatakan “positif” bila pada elektroforesis ditemukan amplikon dengan berat molekul 838 pasang basa.8
16
Universitas Indonesia
17 Metode biakan dan PCR dinyatakan “mampu mendeteksi Streptococcus pneumoniae” bila didapatkan > 60% dari 20 replicate yang memberikan hasil positif.
3.5 Pemeriksaan Laboratorium 3.5.1 Alat Alat yang digunakan adalah kaca sediaan, sengkelit steril, bunsen, spuit disposable (ukuran 3 ml dan 10 ml), mikroskop, cawan petri disposable (ukuran 90 x 15 mm), inkubator, candle jar, pinset steril, tabung reaksi (ukuran 12 ml), alat densicheck yang dikalibrasi dengan densicheckTM calibration standard dari BioMerieux, alat BD BACTECTM 9050, tabung mikrosentrifus (ukuran 1,5 ml), sentrifus, freezer (suhu -200C dan -800C), pipet semiotomatik (ukuran 0,5-10 µL, 2-20 µL, 10-100 µL, 100-1000 µL) dengan tip pipet (steril) yang sesuai, jangka sorong, rak tabung, water bath, vortex mixer, thermoblock (suhu 40C), safety cabinet (NuAire® biological safety cabinet), laminar flow cabinet (ESCO® laminar flow cabinet), Applied Biosystems PCR GeneAmp® PCR Systems 9700 thermocycler, cetakan gel agarosa, labu Erlenmeyer (ukuran 250 ml), microwave, Thermo Scientific NanoDrop™ ND-1000 Spectrophotometer, tangki elektroforesis (Bio Rad® Wide Mini Sub (R) Cell GT), power supply, imaging gel documentation (Bio Rad® Gel Doc XR System), dan tabung PCR (ukuran 0,2 ml).
3.5.2 Bahan 3.5.2.1 Bakteri kontrol Penelitian ini menggunakan bakteri kontrol Streptococcus pneumoniae ATCC (American Type Culture Collection) 49619 yang direkomendasikan oleh NCCLS (National Committee For Clinical Laboratory Standards).
3.5.2.2 Media •
Tryptone soya agar (TSA, Oxoid®, katalog nomor CM0131, masa kadaluarsa: Mei 2019) yang ditambahkan dengan 5% darah domba.
•
BD BACTECTM Plus Aerobic/F Culture Vials (katalog nomor 442192, masa kadaluarsa: April 2015), berisi 30 ml larutan yang mengandung
Universitas Indonesia
18 soybean-casein digest broth 3%, yeast extract 0,25%, animal tissue digest, amino acids 0,05%, sugar, sodium citrate, sodium polyanetholsulfonate (SPS) 0,05%, vitamins 0,025%, antioxidants/reductants 0,005%, nonionic adsorbing resin 16%, dan cationic exchange resin 1%.
3.5.2.3 Reagen •
NaCl 0,9% steril
•
Gram-color staining kit (Merck®, terdiri dari: larutan kristal violet, lugol, alkohol 70%, dan safranin)
•
Larutan H2O2 30% (Merck®)
•
Cakram optochin (Oxoid®, katalog nomor DD0001, masa kadaluarsa: April 2015) dengan diameter 6 mm, yang berisi 5 µg optochin
•
Phosphate buffered saline (PBS) 1x
•
Lysozyme (10 mg/ml dalam 10 mM Tris-HCl, pH 8)
•
Isopropanol absolut
•
Etanol absolut
•
High Pure PCR Template Preparation Kit (Roche®, katalog nomor 11 796 828 001, masa kadaluarsa: Oktober 2015)
•
GoTaq® Green Master Mix (Promega®, katalog nomor M7122, masa kadaluarsa: 29 April 2017)
•
Primer (konsentrasi 40 µM) untuk deteksi gen psaA, yang terdiri dari primer psaA forward [5’CTTTCTGCAATCATTCTTG3’] dan primer psaA reverse [3’GCCTTCTTTACCTTGTTCTGC5’] serta kontrol positif berupa DNA bakteri yang terbukti memiliki gen psaA melalui tehnik PCR.
•
Nuclease-free water (ddH2O)
•
Bubuk agarosa (Vivantis®, katalog nomor PC0701-100G, masa kadaluarsa: Februari 2016)
•
1x TBE (Tris-borate-EDTA) buffer
•
GelRed™ Nucleic Acid Gel Stain 0,5 ml (Biotium™)
•
VC 100 bp Plus DNA ladder 50 µg (Vivantis®, katalog nomor NL1407)
Universitas Indonesia
19 3.5.2.4 Bahan lainnya Bahan lain yang dipakai adalah sarung tangan nitril, masker, alcohol swab, paper towel, parafilm, spiritus, dan minyak imersi.
3.5.3 Cara kerja Bakteri kontrol Streptococcus pneumoniae ATCC 49619 ditumbuhkan media agar darah domba yang diinkubasi pada suhu 35-370C dengan kadar CO2 5% selama 24 jam. Karakteristik koloni yang tumbuh pada media tersebut adalah kecil, berwarna keabu-abuan, mukoid, tepi rata, bagian tengah cekung, dan memiliki aktivitas hemolisis α. Langkah
selanjutnya
adalah
membuat
suspensi
bakteri
dengan
mencampurkan 10 ml NaCl 0,9% steril dengan koloni bakteri Streptococcus pneumoniae yang diambil dengan sengkelit steril pada bagian puncak koloni kuman. Kekeruhan suspensi bakteri ini diatur hingga sesuai dengan standar kekeruhan 4 McFarland yang ekuivalen dengan densitas bakteri sebanyak 12 x 108 organisme/ml. Kekeruhan suspensi bakteri 4 McFarland ini diukur dengan menggunakan alat densicheck yang dikalibrasi dengan densicheckTM calibration standard dari BioMerieux. Alat ini mampu mengukur kekeruhan suspensi bakteri 0-4 McFarland. Tabung yang berisi suspensi bakteri 4 McFarland dinamakan tabung 1. Selanjutnya dari suspensi bakteri 4 McFarland ini dilakukan pengenceran serial dengan ketentuan yang dapat dilihat pada Tabel 3.1. Tabel 3.1. Pengenceran serial untuk membuat suspensi bakteri dengan densitas bakteri tertentu. Nomor Tabung 1
Densitas Bakteri (organisme/ml) 12 x 108
Pengenceran (suspensi bakteri / NaCl 0,9%)
2
12 x 107
1 ml (tabung 1) / 9 ml
3
12 x 106
1 ml (tabung 2) / 9 ml
4
12 x 10
5
1 ml (tabung 3) / 9 ml
5
12 x 104
1 ml (tabung 4) / 9 ml
6
12 x 103
1 ml (tabung 5) / 9 ml
7
12 x 102
1 ml (tabung 6) / 9 ml
8
1
1 ml (tabung 7) / 9 ml
12 x 10
Universitas Indonesia
20 Setelah dilakukan pengenceran serial, dari tiap tabung tersebut (tabung 1-8) diambil 0,5 ml suspensi bakteri yang selanjutnya bersama dengan 9,5 ml NaCl 0,9%, dimasukkan ke dalam botol BD BACTECTM Plus Aerobic/F Culture Vials, lalu dihomogenkan. Dengan demikian, dinamakan botol 1-8 sesuai suspensi bakteri dari tabung 1-8 yang dimasukkan ke dalam botol BD BACTECTM Plus Aerobic/F Culture Vials (Tabel 3.2). Tabel 3.2. Perlakuan yang diberikan pada botol BD BACTECTM Plus Aerobic/F Culture Vials setelah pengenceran serial. Densitas Bakteri (organisme/ml) 12 x 108 7
12 x 10
12 x 106 12 x 105 12 x 104 12 x 103 12 x 102 12 x 101
Perlakuan
0,5 ml suspensi bakteri dari tiap tabung + 9,5 ml NaCl 0,9% + 30 ml (botol BD BACTECTM Plus Aerobic/F Culture Vials)
1
Densitas Awal Bakteri dalam Inokulum (organisme/ml) 6 x 107
2
6 x 106
3
6 x 105
4
6 x 104
5
6 x 103
6
6 x 102
7
60
8
6
Nomor Botol
Selanjutnya, pada tiap botol (botol 1-8) diberi perlakuan seperti terlihat pada alur kerja penelitian (Gambar 3). Botol BD BACTECTM Plus Aerobic/F Culture Vials diinkubasi dengan menggunakan alat BD BACTECTM 9050 selama 24 jam. Pada Gambar 3 terlihat bahwa pada tiap botol BD BACTECTM Plus Aerobic/F Culture Vials, saat sebelum inkubasi dan pasca-inkubasi 24 jam, diberi perlakuan berupa pewarnaan Gram; diinokulasikan pada media agar darah domba yang diinkubasi pada suhu 35-370C dengan kadar CO2 5% selama 24 jam untuk diamati ada atau tidak adanya pertumbuhan bakteri dengan karakteristik koloni kecil, berwarna keabu-abuan, mukoid, tepi rata, bagian tengah cekung, dan memiliki aktivitas hemolisis α; serta diambil 1 ml suspensi dari tiap botol sebagai bahan PCR menggunakan primer psaA. Bila dijumpai pertumbuhan bakteri pada media agar darah domba dengan karakteristik koloni bakteri seperti yang disebutkan di atas,
Universitas Indonesia
21 maka dilanjutkan dengan uji katalase. Pada uji katalase dengan hasil negatif dilanjutkan dengan uji sensitivitas terhadap optochin. Identifikasi Streptococcus pneumoniae ditegakkan berdasarkan hasil pewarnaan Gram berupa bakteri positif Gram dengan morfologi diplokokus atau kokus berantai pendek, disertai dengan adanya pertumbuhan bakteri pada media agar darah domba yang diinkubasi pada suhu 35-370C dengan kadar CO2 5% selama 24 jam dengan karakteristik koloni kecil, berwarna keabu-abuan, mukoid, tepi rata, bagian tengah cekung, dan memiliki aktivitas hemolisis α; uji katalase negatif; sensitif terhadap optochin. Uji PCR untuk keseluruhan sampel sebelum inkubasi maupun setelah inkubasi 24 jam dilakukan masing-masing sebanyak 1 kali. Uji PCR untuk gen psaA Streptococcus pneumoniae dinyatakan “positif” bila pada elektroforesis ditemukan amplikon dengan berat molekul 838 pasang basa.8 Baik untuk biakan maupun PCR dinyatakan “mampu mendeteksi Streptococcus pneumoniae” bila didapatkan > 60% dari 20 replicate yang memberikan hasil positif. Hasil yang diperoleh akan digunakan untuk menentukan batas kemampuan tehnik PCR gen psaA mendeteksi Streptococcus pneumoniae yang dinyatakan dalam jumlah awal bakteri dalam inokulum yang dapat dideteksi sebelum inkubasi dan setelah inkubasi 24 jam.
Universitas Indonesia
22 3.5.3.1 Alur kerja penelitian
Gambar 3. Alur kerja penelitian. Keterangan: *) Bila tidak segera dilakukan PCR, bahan pemeriksaan ini dapat disimpan di freezer dengan suhu -200C atau -800C. **) Karakterisitik koloni bakteri: kecil, keabu-abuan, mukoid, tepi rata, bagian tengah cekung, aktivitas hemolisis α PCR: polymerase chain reaction
3.5.4 Pembuatan media agar darah domba Media agar darah domba dibuat dengan mencampurkan 10 ml bubuk Tryptone Soya Agar (TSA, Oxoid®, katalog nomor CM0131) ke dalam 250 ml air destilasi dalam labu Erlenmeyer (ukuran 250 ml). Suspensi ini dipanaskan dalam
Universitas Indonesia
23 microwave hingga larut sempurna. Suspensi yang sudah larut ini kemudian dilakukan autoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit. Setelah proses autoklaf selesai, labu Erlenmeyer ini didinginkan di dalam water bath pada suhu 560C hingga suhu water bath konstan. Larutan kemudian dicampurkan dengan 5% darah domba (12,5 ml darah domba) dan dihomogenkan. Larutan ini siap dituangkan ke dalam cawan petri (steril). Media yang sudah berada di dalam cawan petri ini dibiarkan di dalam laminar flow cabinet hingga mengeras, lalu dapat disimpan di dalam refrigerator.
3.5.5 Persiapan suspensi Streptococcus pneumoniae dengan pengenceran serial Suspensi bakteri dibuat dengan mencampurkan 10 ml NaCl 0,9% steril dengan koloni bakteri Streptococcus pneumoniae yang diambil dengan sengkelit steril pada bagian puncak koloni bakteri. Kekeruhan suspensi bakteri ini diatur hingga sesuai dengan standar kekeruhan 4 McFarland yang ekuivalen dengan densitas bakteri sebanyak 12 x 108 organisme/ml. Kekeruhan suspensi bakteri 4 McFarland ini diukur dengan menggunakan alat densicheck yang sudah dikalibrasi dengan densicheckTM calibration standard dari BioMerieux. Alat ini mampu mengukur kekeruhan suspensi bakteri 0-4 McFarland. Tabung yang berisi suspensi bakteri 4 McFarland dinamakan tabung 1. Selanjutnya dari suspensi bakteri 4 McFarland ini dilakukan pengenceran serial dengan ketentuan yang dapat dilihat pada Tabel 1. Pada persiapan ini diperlukan alat berupa tabung steril (ukuran 12 ml), sengkelit steril, spuit steril (ukuran 10 ml), alat densicheck. Bahan yang diperlukan adalah NaCl 0,9% steril, bakteri kontrol Streptococcus pneumoniae ATCC 49619 yang ditumbuhkan media agar darah domba yang diinkubasi pada suhu 35-370C dengan kadar CO2 5% selama 24 jam.
3.5.6 Uji katalase Katalase adalah enzim yang memecah hidrogen peroksida (H2O2) menjadi H2O dan O2. Uji katalase positif ditunjukkan dengan terbentuknya gelembunggelembung gas yang menandakan adanya O2. Uji katalase dapat digunakan untuk membedakan genus Streptococcus dengan Staphylococcus. Organisme dengan
Universitas Indonesia
24 spesies yang termasuk dalam genus Staphylococcus merupakan katalase positif, sedangkan genus Streptococcus dan Enterococcus merupakan katalase negatif.14 Uji katalase yang sering dilakukan adalah dengan slide method. Pada uji ini diambil bagian tengah dari satu koloni murni bakteri berusia 24 jam yang tumbuh di media agar darah domba dengan ujung dari swab stick yang sudah dipotong menjadi lebih pendek dan diletakkan di atas kaca objek yang bersih. Larutan H2O2 30% kemudian diteteskan 1 tetes di atas kaca objek tersebut. Hasil dari uji katalase dapat terlihat setelah beberapa saat. Uji katalase dikatakan positif bila terbentuk gelembung-gelembung gas setelah beberapa saat tersebut. Jika tidak terbentuk gelembung, maka uji katalase dikatakan negatif.16
3.5.7 Uji sensitivitas optochin Pemeriksaan ini dapat membedakan pneumokokus dengan spesies Streptococcus lainnya yang juga mempunyai aktivitas hemolisis α (misalnya: Streptococcus viridans), karena pneumokokus umumnya sensitif terhadap optochin (ethylhydrocupreine hydrochloride). Cakram optochin sering disebut dengan “P disks”.15,16 Bahan pemeriksaan ini adalah satu koloni murni bakteri berusia 24 jam yang tumbuh di media agar darah domba, media agar darah domba, dan cakram optochin (Oxoid®, katalog nomor DD0001) berdiameter 6 mm yang berisi 5 µg optochin. Satu koloni murni diinokulasikan pada media agar darah domba, lalu cakram optochin diletakkan di bagian tengah media atau daerah dengan inokulum padat, menggunakan pinset steril. Media tersebut selanjutnya diinkubasi pada suhu 35370C selama 24 jam, dengan kadar CO2 5%. Diameter zona inhibisi yang terbentuk di sekitar cakram setelah inkubasi 24 jam diukur dengan jangka sorong. Zona inhibisi yang terbentuk dengan diameter ≥ 14 mm dikatakan sebagai sensitif terhadap optochin dan dapat diidentifikasikan sebagai pneumokokus. Zona inhibisi yang terbentuk dengan diameter < 14 mm dikatakan sebagai resisten terhadap optochin, yang dieksklusi pada penelitian ini.15,16
Universitas Indonesia
25 3.5.8 Biakan pada media biakan (BD BACTECTM Plus Aerobic/F Medium) 3.5.8.1 Prinsip Bila mikroorganisme terdapat dalam bahan pemeriksaan yang diinokulasi dalam botol/vial BD BACTECTM Plus Aerobic/F Medium, maka CO2 akan dihasilkan saat terjadi metabolisme substrat yang ada di vial oleh organisme tersebut. CO2 akan bereaksi dengan substansi kimia yang bersifat fluoresens dan merupakan sensor pada vial. Peningkatan fuoresensi yang disebabkan oleh tingginya jumlah CO2, akan terdeteksi oleh fotodetektor pada alat. Sinyal ini kemudian akan dikirimkan ke komputer pada alat, sehingga akan dianalisis sebagai hasil positif. Hasil positif ini akan terlihat berupa lampu indikator pada tempat vial berada akan menyala dan juga adanya bunyi alarm.
3.5.8.2 Alat Alat yang dipakai adalah spuit steril (ukuran 10 ml), alcohol swab, alat BD BACTECTM 9050, botol/vial BD BACTECTM Plus Aerobic/F Medium.
3.5.8.3 Bahan Bahan yang digunakan adalah suspensi bakteri Streptococcus pneumoniae dengan standar kekeruhan 4 McFarland yang ekuivalen dengan densitas bakteri sebanyak 12 x 108 organisme/ml. Kekeruhan suspensi bakteri 4 McFarland ini diukur dengan menggunakan alat densicheck yang dikalibrasi dengan densicheckTM calibration standard dari Biomerieux. Selanjutnya dari suspensi bakteri 4 McFarland ini dilakukan pengenceran secara serial sesuai ketentuan yang dapat dilihat pada Tabel 3.1.
3.5.8.4 Cara kerja Setelah dilakukan pengenceran serial, dari tiap tabung tersebut (tabung 1-8) diambil 0,5 ml suspensi bakteri yang selanjutnya bersama dengan 9,5 ml NaCl 0,9%, dimasukkan ke dalam botol media biakan (BD BACTECTM Plus Aerobic/F Medium) yang berisi 30 ml larutan di dalamnya lalu dihomogenkan. Dengan demikian, dinamakan botol 1-8 sesuai suspensi bakteri dari tabung 1-8 yang dimasukkan ke dalam botol BD BACTECTM Plus Aerobic/F Medium (Tabel 3.2).
Universitas Indonesia
26 Botol BD BACTECTM Plus Aerobic/F Medium diinkubasikan pada alat BD BACTECTM 9050 selama 24 jam. Pada tiap botol BD BACTECTM Plus Aerobic/F Culture Vials, saat sebelum inkubasi dan pasca-inkubasi 24 jam, diberi perlakuan berupa pewarnaan Gram; diinokulasikan pada media agar darah domba yang diinkubasi pada suhu 35-370C dengan kadar CO2 5% selama 24 jam untuk diamati ada atau tidak adanya pertumbuhan bakteri dengan karakteristik koloni kecil, berwarna keabu-abuan, mukoid, tepi rata, bagian tengah cekung, dan memiliki aktivitas hemolisis α; serta diambil 1 ml suspensi dari tiap botol sebagai bahan PCR menggunakan primer psaA.
3.5.9 Validasi volume DNA template yang dipakai untuk uji PCR psaA 3.5.9.1 Tujuan Validasi ini bertujuan untuk menentukan volume DNA template yang optimal untuk digunakan dalam campuran PCR sebagai reagen PCR, agar visualisasi dari produk amplifikasi PCR dengan elektroforesis gel (berupa pita DNA spesifik yang telah diamplifikasi) menjadi lebih jelas.
3.5.9.2 Alat Alat yang dipakai adalah tabung mikrosentrifus (ukuran 1,5 ml), sentrifus, freezer (suhu -200C), pipet semiotomatik (ukuran 0,5-10 µL, 2-20 µL, 10-100 µL, 100-1000 µL) dengan tip pipet (steril) yang sesuai, vortex mixer, thermoblock (suhu 40C), laminar flow cabinet (ESCO® laminar flow cabinet), Applied Biosystems PCR GeneAmp PCR Systems 9700 thermocycler, cetakan gel agarosa, labu Erlenmeyer (ukuran 250 ml), microwave, tangki elektroforesis (Bio Rad® Wide Mini Sub (R) Cell GT), power supply, imaging gel documentation (Bio Rad® Gel Doc XR System), dan tabung PCR (ukuran 0,2 ml).
3.5.9.3 Bahan Bahan yang digunakan dalam campuran PCR sebagai reagen PCR adalah hasil ekstraksi DNA (sebagai DNA template), GoTaq® Green Master Mix (Promega®), primer psaA (primer psaA forward dan reverse) dengan konsentrasi
Universitas Indonesia
27 40 µM, nuclease-free water (ddH2O), bubuk agarosa (Vivantis®), bufer TBE 1x, GelRed™ Nucleic Acid Gel Stain 0,5 ml (Biotium™), dan VC 100 bp Plus DNA ladder 50 µg (Vivantis®).
3.5.9.4 Cara kerja Hasil ekstraksi DNA diamplifikasi dengan tehnik PCR konvensional menggunakan primer psaA (forward primer dan reverse primer). Campuran PCR (master mix 1x) terdiri dari GoTaq® Green Master Mix, primer psaA (forward primer dan reverse primer), ddH2O, dan DNA template. Volume campuran PCR yang digunakan adalah 25 µl. Proses pembuatan master mix PCR dilakukan dengan menggunakan thermoblock (suhu 40C). Pada awalnya digunakan volume DNA template 2 µl pada campuran PCR. Komposisi campuran PCR yang digunakan adalah GoTaq® Green Master Mix 10 µL, forward primer psaA 0,25 µL, reverse primer psaA 0,25 µL, ddH2O 12,5 ml, dan DNA template 2 µl. Pada tabung kontrol positif dimasukkan 2 µl DNA template dari bakteri kontrol S.pneumoniae ATCC 49619, sedangkan pada tabung kontrol negatif dimasukkan 2 µl ddH2O. Campuran PCR tersebut kemudian dilakukan sentrifugasi (spin down) untuk homogenisasi campuran PCR. Amplifikasi DNA dilakukan dengan menggunakan alat Applied Biosystems PCR GeneAmp® PCR Systems 9700 thermocycler untuk 30 siklus. Alat ini dijalankan dengan program seperti tertera pada Tabel 3.3. Produk amplifikasi (amplikon) DNA selanjutnya dianalisis dengan elektroforesis gel, dengan hasil berupa pita DNA yang spesifik divisualisasikan dengan gel documentation system. Pada uji PCR gen psaA ini dikatakan “positif” bila pada elektroforesis ditemukan amplikon dengan berat molekul 838 pasang basa. Pada visualisasi hasil elektroforesis produk PCR dengan menggunakan volume DNA template 2 µL, dilihat apakah pita DNA yang menunjukkan amplikon dengan berat molekul 838 pasang basa, terlihat cukup jelas. Bila pita DNA tersebut terlihat kurang jelas, dicoba dengan menggunakan volume DNA template 5 µL pada campuran PCR. Bila menggunakan volume DNA template 5 µL, komposisi campuran PCR yang digunakan adalah GoTaq® Green Master Mix 10 µL, forward primer psaA 0,25 µL, reverse primer psaA 0,25 µL, ddH2O 9,5 ml, dan DNA template 5 µl. Pada
Universitas Indonesia
28 tabung kontrol positif dimasukkan 5 µl DNA template dari bakteri kontrol S.pneumoniae ATCC 49619, sedangkan pada tabung kontrol negatif dimasukkan 5 µl ddH2O. Proses selanjutnya yang dilakukan adalah sama seperti di atas. Bila dengan menggunakan volume DNA template 5 µL pada campuran PCR, visualisasi hasil elektroforesis produk PCR tampak lebih jelas dibandingkan dengan menggunakan volume DNA template 2 µL, maka untuk selanjutnya volume DNA template 5 µL ini divalidasi untuk uji PCR psaA pada sampel lainnya.
3.5.10 Ekstraksi DNA Prosedur ekstraksi DNA dilakukan dengan menggunakan High Pure PCR Template Preparation Kit dari Roche®. Elution buffer dihangatkan hingga suhu 700C sebelum prosedur dimulai. Proteinase K dilarutkan dalam 4,5 ml nucleasefree water (ddH2O), lalu dibuat beberapa aliquot sesuai kebutuhan pemakaian. Aliquot larutan proteinase K yang belum dipakai disimpan dalam freezer dengan suhu (-15)-(-25)0C. Inhibitor removal buffer, sebelum digunakan, ditambahkan dengan 20 ml etanol absolut, lalu diberi label dan tanggal penambahan etanol absolut pada botol tersebut. Wash buffer, sebelum digunakan, ditambahkan 80 ml etanol absolut, lalu diberi label dan tanggal penambahan etanol absolut pada botol tersebut. Inhibitor removal buffer dan wash buffer yang sudah ditambahkan dengan etanol absolut dapat disimpan pada suhu 15-250C.23 Sampel sebanyak 1 ml dalam tabung mikrosentrifus steril (ukuran 1,5 ml) disentrifugasi dengan kecepatan 13000 g selama 5 menit. Supernatan dibuang. Endapan disuspensikan dalam 1 ml PBS, lalu disentrifugasi dengan kecepatan 13000 g selama 5 menit. Supernatan dibuang, lalu endapan disuspensikan dalam 200 µL PBS. Suspensi ini ditambahkan 5 µL lysozyme (10 mg/ml dalam 10 mM Tris-HCl, pH 8) dan diinkubasi dalam penangas air selama 15 menit pada suhu 370C. Selanjutnya, suspensi sampel tersebut ditambahkan 200 µL binding buffer dan 40 µL proteinase K, lalu dicampur segera dan diinkubasi selama 10 menit pada suhu 700C. Suspensi sampel kemudian ditambahkan 100 µL isopropanol dan dihomogenkan. Satu high pure filter tube dipasang pada 1 tabung pengumpul. Pipetkan suspensi sampel ke dalam bagian atas buffer reservoir dari filter tube.
Universitas Indonesia
29 High pure filter tube dimasukkan ke dalam sentrifus, lalu disentrifugasi dengan kecepatan 8000 g selama 1 menit.23 Filter tube setelah disentrifugasi dipisahkan dari tabung pengumpul. Flow through kemudian dibuang bersama dengan tabung pengumpul tersebut. Selanjutnya, filter tube dipasang dengan tabung pengumpul yang baru, lalu 500 µL inhibitor removal buffer ditambahkan ke bagian atas reservoir dari filter tube dan disentrifugasi dengan kecepatan 8000 g selama 1 menit. Filter tube dipisahkan dari tabung pengumpul. Flow through kemudian dibuang bersama dengan tabung pengumpul tersebut.23 Selanjutnya, filter tube dipasang dengan tabung pengumpul yang baru, lalu 500 µL wash buffer ditambahkan ke bagian atas reservoir dari filter tube dan disentrifugasi dengan kecepatan 8000 g selama 1 menit. Filter tube dipisahkan dari tabung pengumpul. Flow through kemudian dibuang bersama dengan tabung pengumpul tersebut.23 Selanjutnya, filter tube dipasang dengan tabung pengumpul yang baru, lalu 500 µL wash buffer ditambahkan ke bagian atas reservoir dari filter tube dan disentrifugasi dengan kecepatan 8000 g selama 1 menit. Flow through kemudian dibuang.23 Selanjutnya, High Pure disentrifugasi dengan kecepatan 13000 g selama 10 detik. Tabung pengumpul kemudian dibuang. Filter tube dimasukkan ke dalam tabung mikrosentrifus steril baru berukuran 1,5 ml, lalu ditambahkan 200 µL elution buffer yang sudah dihangatkan (suhu 700C) sebelumnya ke bagian atas reservoir dari filter tube. Tabung tersebut kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 8000 g selama 1 menit. Tabung yang sudah disentrifugasi ini akan berisi DNA yang sudah dielusi. Bila DNA yang sudah dielusi ini tidak segera digunakan untuk pemeriksaan, maka dapat disimpan pada suhu 2-80C atau -150C hingga 250C.23 Penelitian ini menggunakan alat Thermo Scientific NanoDrop™ ND-1000 Spectrophotometer untuk mengukur kadar DNA hasil ekstraksi. Alat ini mempunyai kemampuan batas deteksi 2 - 3700 ng/µL untuk double-stranded DNA (dsDNA). Perhitungan konsentrasi/kadar asam nukleat pada alat ini menggunakan modifikasi hukum Beer-Lambert dengan persamaan sebagai berikut: c = (A * ε)/b;
Universitas Indonesia
30 dengan c adalah konsentrasi/kadar asam nukleat (ng/µL), A adalah absorbansi (AU), ε adalah wavelength-dependent extinction coefficient (ng-cm/µL), dan b adalah path length (cm). Nilai ε untuk dsDNA pada alat ini digunakan 50 ng-cm/µL. Nilai b yang digunakan adalah 1 mm (0,1 cm). Nilai A diperoleh dari hasil pengukuran absorbansi pada panjang gelombang 260 nm.24,25
3.5.11 Amplifikasi DNA dengan tehnik PCR Hasil ekstraksi DNA diamplifikasi dengan tehnik PCR konvensional menggunakan primer psaA. Sekuens primer yang digunakan untuk memperbanyak psaA adalah [5’CTTTCTGCAATCATTCTTG3’] sebagai forward primer dan [3’GCCTTCTTTACCTTGTTCTGC5’] sebagai reverse primer. Campuran PCR (master mix 1x) terdiri dari GoTaq® Green Master Mix, primer psaA (forward primer dan reverse primer), ddH2O, dan DNA template. Volume campuran PCR yang digunakan adalah 25 µL. Volume DNA template yang digunakan pada campuran PCR sesuai dengan hasil validasi volume DNA template pada uji PCR psaA. GoTaq® Green Master Mix mempunyai komposisi berupa Taq DNA polymerase, dATP, dGTP, dCTP, dTTP, MgCl2, dan bufer. Proses pembuatan master mix PCR dilakukan dengan menggunakan thermoblock (suhu 40C). Amplifikasi DNA dilakukan dengan menggunakan alat Applied Biosystems PCR GeneAmp® PCR Systems 9700 thermocycler untuk 30 siklus. Alat ini dijalankan dengan program seperti tertera pada Tabel 3.3. Tabel 3.3. Tahapan amplifikasi DNA dalam thermocycler.7 Tahapan dalam 1 siklus
Waktu
Suhu
Tahap 1
5 menit
950C
Tahap 2
30 detik
940C
30 detik
520C
2 menit
720C
8 menit
720C
Tahap 3
Hold (dibiarkan tanpa batas waktu)
250C
Universitas Indonesia
31 Bila proses PCR sudah selesai, maka tabung PCR yang sudah berisi amplikon PCR dapat diangkat dari alat thermocycler. Uji PCR untuk keseluruhan sampel sebelum inkubasi maupun setelah inkubasi 24 jam dilakukan masingmasing sebanyak 1 kali pada penelitian ini. Proses selanjutnya adalah elektroforesis gel. Bila proses elektroforesis gel ini ditunda, maka amplikon PCR ini dapat disimpan pada suhu 40C.
3.5.12 Elektroforesis gel Produk amplifikasi (amplikon) dari PCR dianalisis dengan menggunakan elektroforesis gel yang akan memberikan visualisasi dari segmen DNA yang diamplifikasi dan menentukan spesifisitasnya. Elektroforesis adalah tehnik untuk memisahkan dan memurnikan ion, protein, dan molekul lain berdasarkan migrasi/pergerakan molekul bermuatan atau ion-ion dalam medan listrik. Pada proses ini diberi arus listrik yang akan membuat migrasi fragmen DNA/asam nukleat yang bermuatan negatif (katoda) menuju ke kutub bermuatan positif (anoda) melalui media gel. Media gel digunakan pada penelitian ini adalah agarosa, yang berfungsi sebagai saringan yang dapat memisahkan molekul DNA berdasarkan ukurannya.19,21 Larutan gel agarosa 1,5% dibuat dengan mencampurkan 1,5 g bubuk agarosa dengan 100 ml bufer TBE (tris base boric acid-EDTA) 1x. Larutan ini kemudian dipanaskan dalam microwave hingga larut. Larutan ini selanjutnya dibiarkan sehingga terjadi pendinginan pada suhu 40-500C. Larutan gel agarosa ini kemudian dituangkan ke dalam cetakan gel agarosa yang sudah dipasang gel comb, dan dibiarkan selama 30 menit hingga mengeras. Gel yang sudah mengeras ini dipindahkan ke dalam tangki elektroforesis, lalu dituangkan bufer TBE 1 x ke dalam tangki sehingga menutupi seluruh gel. Pada sumur pertama agarosa dituangkan campuran 5 µL VC 100 bp Plus DNA ladder dengan 2 µL GelRed™ Nucleic Acid Gel Stain dengan pipet, lalu pada sumur lainnya dituangkan campuran 5 µL produk (amplikon) PCR dengan 2 µL GelRed™ Nucleic Acid Gel Stain dengan pipet. Hal yang sama juga berlaku untuk kontrol positif dan negatif pada sumur terakhir. Tangki elektroforesis ditutup. Mesin elektroforesis dijalankan dengan menggunakan sumber listrik bertegangan
Universitas Indonesia
32 90 Volt selama 30 menit. Hasil elektroforesis berupa pita DNA yang spesifik divisualisasikan dengan gel documentation system.
3.6 Pengolahan Data Metode biakan dan PCR dinyatakan “mampu mendeteksi Streptococcus pneumoniae” bila didapatkan > 60% dari 20 replicate yang memberikan hasil positif. Hasil digunakan untuk menentukan batas kemampuan tehnik PCR gen psaA mendeteksi Streptococcus pneumoniae yang dinyatakan dalam jumlah awal bakteri dalam inokulum yang dapat dideteksi sebelum inkubasi dan setelah inkubasi 24 jam.
Universitas Indonesia
BAB 4 HASIL PENELITIAN
4.1 Identifikasi Streptococcus pneumoniae secara Mikrobiologik 4.1.1 Pewarnaan Gram Pewarnaan Gram yang dilakukan pada sampel menunjukkan gambaran mikroskopis berupa bakteri kokus positif Gram yang tersusun berpasangan (diplokokus), namun ada juga yang soliter ataupun kokus berantai pendek. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.1. Sampel berasal dari bakteri kontrol Streptococcus pneumoniae ATCC 49619 dalam media cair BD BACTECTM Plus Aerobic/F Culture Vials.
Gambar 4.1. Hasil pewarnaan Gram. [Sumber: dokumentasi pribadi]
4.1.2 Pengamatan makroskopis koloni Streptococcus pneumoniae Koloni Streptococcus pneumoniae yang tumbuh pada media agar darah domba yang diinkubasi pada suhu 35-370C dengan kadar CO2 5% selama 24 jam mempunyai karakteristik berupa koloni berukuran kecil, berwarna keabu-abuan, mukoid, tepi rata, bagian tengah cekung, dan memiliki aktivitas hemolisis α. Hal ini terlihat pada Gambar 4.2.
33
Universitas Indonesia
34
Gambar 4.2. Koloni Streptococcus pneumoniae yang tumbuh pada media agar darah domba. [Sumber: dokumentasi pribadi]
4.1.3 Uji katalase Semua sampel yang menunjukkan pertumbuhan koloni Streptococcus pneumoniae pada media agar darah domba dilakukan uji katalase, yang menunjukkan hasil negatif. Hasil negatif ditunjukkan dengan tidak terbentuknya gelembung-gelembung gas setelah diteteskannya larutan H2O2 30% di atas kaca objek yang sudah diberi satu koloni murni bakteri berusia 24 jam yang tumbuh di media agar darah domba.
4.1.4 Uji sensitivitas optochin Semua sampel yang menunjukkan uji katalase negatif dilanjutkan dengan uji sensitivitas optochin, yang menunjukkan hasil sensitif terhadap optochin. Sensitivitas terhadap optochin ditunjukkan dengan terbentuknya zona inhibisi di sekitar cakram optochin dengan diameter ≥ 14 mm. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.3. Sensitivitas terhadap optochin ini sesuai dengan identifikasi pada Streptococcus pneumoniae.
Gambar 4.3. Hasil uji sensitivitas terhadap optochin. Hasil keduanya pada gambar di atas menunjukkan sensitif terhadap optochin, berupa terbentuknya zona inhibisi di sekitar cakram optochin dengan diameter ≥ 14 mm. [Sumber: dokumentasi pribadi]
Universitas Indonesia
35 4.2 Hasil Validasi Volume DNA Template pada Uji PCR psaA Uji PCR psaA menggunakan volume DNA template 2 µL pada campuran PCR menunjukkan visualisasi pita DNA dari hasil elektroforesis tidak jelas. Amplifikasi gen psaA ditandai dengan terbentuknya pita DNA berukuran 838 pasang basa (pb).8 Visualisasi dari validasi volume DNA template yang dipakai pada uji PCR psaA terlihat pada Gambar 4.4. Uji PCR psaA dilanjutkan dengan menggunakan volume DNA template 5 µL pada campuran PCR, karena visualisasi pita DNA dari hasil elektroforesis dengan menggunakan volume DNA template 2 µL pada campuran PCR tidak jelas, yang dapat disebabkan oleh kadar DNA rendah sehingga dibutuhkan volume DNA template lebih banyak dalam campuran PCR agar visualisasi lebih optimal. Visualisasi hasil elektroforesis produk PCR dengan menggunakan volume DNA template 5 µL ini terlihat lebih jelas dibandingkan dengan volume DNA template 2 µL (Gambar 4.4), sehingga untuk selanjutnya volume DNA template 5 µL divalidasi untuk digunakan dalam campuran PCR untuk uji PCR psaA pada sampel lainnya.
Gambar 4.4. Visualisasi dari validasi volume DNA template pada uji PCR psaA. Amplifikasi gen psaA ditandai dengan adanya pita DNA berukuran 838 pb (pasang basa). Kolom 1. DNA ladder (VC 100 bp Plus DNA ladder, Vivantis®) Kolom 2. Sampel 1.1, sebelum inkubasi (volume DNA template 2 µL) Kolom 3. Kontrol positif (volume DNA template 2 µL) Kolom 4. Kontrol negatif Kolom 5. Sampel 1.1, sebelum inkubasi (volume DNA template 5 µL) Kolom 6. Kontrol positif (volume DNA template 5 µL) Kolom 7. Kontrol negatif [Sumber: dokumentasi pribadi]
Universitas Indonesia
36 4.3 Hasil Biakan dan Uji PCR psaA Sebelum Inkubasi dan Setelah Inkubasi 24 Jam Data mentah hasil penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2 (Tabel 4.1). Hasil biakan dan uji PCR psaA pada sampel sebelum inkubasi dapat dilihat pada Tabel 4.2. Hasil pada inokulum dengan densitas awal bakteri 6 x 107 organisme/ml sebelum inkubasi adalah terdeteksi 20 dari 20 replicate (100%) yang tumbuh dengan metode biakan, dan terdeteksi 9 dari 20 replicate (45%) uji PCR psaA yang positif. Hasil pada inokulum dengan densitas awal bakteri 6 x 106 organisme/ml sebelum inkubasi adalah terdeteksi 20 dari 20 replicate (100%) yang tumbuh dengan metode biakan, dan terdeteksi 9 dari 20 replicate (45%) uji PCR psaA yang positif. Hasil pada inokulum dengan densitas awal bakteri 6 x 105 organisme/ml sebelum inkubasi adalah terdeteksi 20 dari 20 replicate (100%) yang tumbuh dengan metode biakan, dan terdeteksi 3 dari 20 replicate (15%) uji PCR yang positif. Hasil pada inokulum dengan densitas awal bakteri 6 x 104 organisme/ml sebelum inkubasi adalah tidak terdeteksi sama sekali dari 20 replicate (0%) yang tumbuh dengan metode biakan, dan terdeteksi 1 dari 20 replicate (5%) uji PCR psaA yang positif. Hasil pada inokulum dengan densitas awal bakteri 6 x 103 organisme/ml sebelum inkubasi adalah tidak terdeteksi sama sekali dari 20 replicate (0%) yang tumbuh dengan metode biakan, maupun dengan uji PCR psaA yang positif. Hasil pada inokulum dengan densitas awal bakteri 6 x 102 organisme/ml, 6 x 101 organisme/ml, dan juga 6 organisme/ml sebelum inkubasi serupa dengan hasil pada inokulum dengan densitas awal bakteri 6 x 103 organisme/ml sebelum inkubasi, yaitu tidak terdeteksi sama sekali dari 20 replicate (0%) yang tumbuh dengan metode biakan, maupun dengan uji PCR psaA yang positif. Korelasi antara kadar DNA dan hasil uji PCR psaA positif sebelum inkubasi terlihat pada Lampiran 2 (Tabel 4.1), yang menunjukkan bahwa sampel dengan hasil uji PCR psaA positif mempunyai kadar DNA berkisar antara 85,4 ng/µL (densitas awal bakteri 6 x 105 organisme/ml dalam inokulum) hingga 130,7 ng/µL (densitas awal bakteri 6 x 107 organisme/ml dalam inokulum).
Universitas Indonesia
37 Tabel 4.2. Hasil biakan dan uji PCR psaA yang positif pada sampel sebelum inkubasi.
Eksperimen
Densitas Awal Bakteri dalam Inokulum (organisme/ml)
Metode Biakan (Sebelum Inkubasi)
Uji PCR psaA (Sebelum Inkubasi)
1
6 x 107
20 / 20 replicate (100%)
9 / 20 replicate (45%)
2
6 x 106
20 / 20 replicate (100%)
9 / 20 replicate (45%)
3
6 x 105
20 / 20 replicate (100%)
3 / 20 replicate (15%)
4
6 x 104
0 / 20 replicate (0%)
1 / 20 replicate (5%)
5
6 x 10
3
0 / 20 replicate (0%)
0 / 20 replicate (0%)
6
6 x 102
0 / 20 replicate (0%)
0 / 20 replicate (0%)
7
6 x 101
0 / 20 replicate (0%)
0 / 20 replicate (0%)
8
6
0 / 20 replicate (0%) [Sumber: dokumentasi pribadi]
0 / 20 replicate (0%)
Hasil biakan dan uji PCR psaA pada sampel setelah inkubasi selama 24 jam dapat dilihat pada Tabel 4.3. Hasil pada inokulum dengan densitas awal bakteri 6 x 107 organisme/ml setelah inkubasi selama 24 jam adalah terdeteksi 20 dari 20 replicate (100%) yang tumbuh dengan metode biakan, maupun dengan uji PCR psaA yang positif. Hasil pada inokulum dengan densitas awal bakteri 6 x 106 organisme/ml setelah inkubasi selama 24 jam adalah terdeteksi 20 dari 20 replicate (100%) yang tumbuh dengan metode biakan, dan terdeteksi 18 dari 20 replicate (90%) uji PCR psaA yang positif. Hasil pada inokulum dengan densitas awal bakteri 6 x 105 organisme/ml setelah inkubasi selama 24 jam adalah terdeteksi 20 dari 20 replicate (100%) yang tumbuh dengan metode biakan, dan terdeteksi 11 dari 20 replicate (55%) uji PCR psaA yang positif. Hasil pada inokulum dengan densitas awal bakteri 6 x 104 organisme/ml setelah inkubasi selama 24 jam adalah terdeteksi 20 dari 20 replicate (100%) yang tumbuh dengan metode biakan, dan terdeteksi 8 dari 20 replicate (40%) uji PCR psaA yang positif. Hasil pada inokulum dengan densitas awal bakteri 6 x 103 organisme/ml setelah inkubasi selama 24 jam adalah terdeteksi 20 dari 20 replicate (100%) yang tumbuh dengan metode biakan, dan terdeteksi 4 dari 20 replicate (20%) uji PCR psaA yang positif. Hasil pada inokulum dengan densitas awal bakteri 6 x 102 organisme/ml setelah inkubasi selama 24 jam adalah terdeteksi 20 dari 20 replicate (100%) yang tumbuh dengan metode biakan, dan terdeteksi 2 dari 20 replicate (10%) uji PCR psaA yang positif. Hasil pada
Universitas Indonesia
38 inokulum dengan densitas awal bakteri 6 x 101 organisme/ml dan juga 6 organisme/ml setelah inkubasi selama 24 jam adalah tidak terdeteksi sama sekali dari 20 replicate (0%) yang tumbuh dengan metode biakan, maupun dengan uji PCR psaA yang positif. Korelasi antara kadar DNA dan hasil uji PCR psaA positif setelah inkubasi selama 24 jam terlihat pada Lampiran 2 (Tabel 4.1), yang menunjukkan bahwa sampel dengan hasil uji PCR psaA positif mempunyai kadar DNA berkisar antara 84,3 ng/µL (densitas awal bakteri 6 x 102 organisme/ml dalam inokulum) hingga 179,6 ng/µL (densitas awal bakteri 6 x 107 organisme/ml dalam inokulum). Tabel 4.3. Hasil biakan dan uji PCR psaA yang positif pada sampel setelah inkubasi 24 jam.
Eksperimen
Densitas Awal Bakteri dalam Inokulum (organisme/ml)
Metode Biakan (Setelah Inkubasi 24 Jam)
Uji PCR psaA (Setelah Inkubasi 24 Jam)
1
6 x 107
20 / 20 replicate (100%)
20 / 20 replicate (100%)
2
6 x 106
20 / 20 replicate (100%)
18 / 20 replicate (90%)
3
6 x 105
20 / 20 replicate (100%)
11 / 20 replicate (55%)
4
6 x 104
20 / 20 replicate (100%)
8 / 20 replicate (40%)
5
6 x 103
20 / 20 replicate (100%)
4 / 20 replicate (20%)
6
6 x 10
2
20 / 20 replicate (100%)
2 / 20 replicate (10%)
7
6 x 101
0 / 20 replicate (0%)
0 / 20 replicate (0%)
8
6
0 / 20 replicate (0%) [Sumber: dokumentasi pribadi]
0 / 20 replicate (0%)
Gambar 4.5 menunjukkan salah satu contoh visualisasi hasil elektroforesis produk PCR pada replicate 1, sebelum inkubasi dan setelah inkubasi 24 jam.
Universitas Indonesia
39
Gambar 4.5. Salah satu contoh visualisasi hasil elektroforesis produk PCR gen psaA sebelum inkubasi dan setelah inkubasi 24 jam. Amplifikasi gen psaA ditandai dengan adanya pita DNA berukuran 838 pb (pasang basa). Kolom 1. DNA ladder (VC 100 bp Plus DNA ladder, Vivantis®) Kolom 2. Sampel 1.1 (sebelum inkubasi), psaA (+) Kolom 3. Sampel 1.1 (setelah inkubasi 24 jam), psaA (+) Kolom 4. Sampel 1.2 (sebelum inkubasi), psaA (+) Kolom 5. Sampel 1.2 (setelah inkubasi 24 jam), psaA (+) Kolom 6. Sampel 1.3 (sebelum inkubasi), psaA (-) Kolom 7. Sampel 1.3 (setelah inkubasi 24 jam), psaA (+) Kolom 8. Sampel 1.4 (sebelum inkubasi), psaA (-) Kolom 9. Sampel 1.4 (setelah inkubasi 24 jam), psaA (+) Kolom 10. Sampel 1.5 (sebelum inkubasi), psaA (-) Kolom 11. Sampel 1.5 (setelah inkubasi 24 jam), psaA (-) Kolom 12. Sampel 1.6 (sebelum inkubasi), psaA (-) Kolom 13. Sampel 1.6 (setelah inkubasi 24 jam), psaA (-) Kolom 14. Sampel 1.7 (sebelum inkubasi), psaA (-) Kolom 15. Sampel 1.7 (setelah inkubasi 24 jam), psaA (-) Kolom 16. Sampel 1.8 (sebelum inkubasi), psaA (-) Kolom 17. Sampel 1.8 (setelah inkubasi 24 jam), psaA (-) Kolom 18. Kontrol positif Kolom 19. Kontrol negatif [Sumber: dokumentasi pribadi]
Universitas Indonesia
BAB 5 PEMBAHASAN
5.1 Identifikasi Streptococcus pneumoniae secara Mikrobiologik Hasil pewarnaan Gram, pengamatan makroskopis koloni yang tumbuh pada media agar darah domba, uji katalase, dan uji sensitivitas terhadap optochin menunjukkan identifikasi Streptococcus pneumoniae, yang sesuai dengan sampel yang berasal dari bakteri kontrol Streptococcus pneumoniae ATCC 49619.
5.2 Hasil Penelitian pada Sampel Sebelum Inkubasi dan Setelah Inkubasi 24 Jam Metode biakan dan PCR dinyatakan “mampu mendeteksi Streptococcus pneumoniae” bila didapatkan > 60% dari 20 replicate yang memberikan hasil positif. Tabel 4.2 menunjukkan hasil biakan dan uji PCR psaA positif dari 20 replicate sebelum inkubasi. Biakan sebelum inkubasi menunjukkan pertumbuhan koloni Streptococcus pneumoniae pada media agar darah domba, yang dikonfirmasi dengan uji katalase negatif dan sensitivitas terhadap optochin, mulai pada inokulum dengan densitas awal bakteri 6 x 105 organisme/ml. Hasil uji PCR psaA sebelum inkubasi tidak ada yang memenuhi kriteria “mampu mendeteksi Streptococcus pneumoniae”, sehingga diperlukan inkubasi 24 jam agar dapat memenuhi kriteria tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar DNA yang dibutuhkan agar dapat terdeteksi dengan uji PCR psaA adalah ≥ 84 ng/µL. Hal ini terlihat pada hasil uji PCR psaA positif sebelum inkubasi yang tidak dapat memenuhi kriteria “mampu mendeteksi Streptococcus pneumoniae”, misalnya pada inokulum dengan densitas awal bakteri 6 x 107 organisme/ml, 6 x 106 organisme/ml, 6 x 105 organisme/ml hanya tedeteksi 9 (45%), 9 (45%), 3 (15%) dari 20 replicate. Kemungkinan penyebab dapat berupa proses ekstraksi DNA yang tidak optimal sehingga akhirnya kadar DNA yang diekstraksi sangat bervariasi, ada yang rendah, sehingga mempengaruhi hasil uji PCR pada penelitian. Hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jumlah/volume sampel yang dilakukan ekstraksi DNA, konsentrasi proteinase K dan lama inkubasinya, serta volume elution buffer. Optimasi tehnik ekstraksi DNA dapat dilakukan pada beberapa faktor tersebut,
40
Universitas Indonesia
41 seperti meningkatkan jumlah/volume sampel, meningkatkan konsentrasi proteinase K dan lama inkubasinya, serta optimasi pada volume elution buffer. Proteinase K merupakan enzim yang termasuk dalam kelompok protease serin dan digunakan pada prosedur ekstraksi DNA untuk mendenaturasi protein, serta menginaktivasi nuklease yang dapat mendegradasi/merusak DNA selama proses ekstraksi. Proteinase K juga berperan pada lisis sel (bakteri) sehingga melepaskan DNA dari sel (bakteri).26 Tabel 4.3 menunjukkan hasil biakan dan uji PCR psaA positif dari 20 replicate pada sampel setelah inkubasi selama 24 jam. Biakan setelah inkubasi selama 24 jam menunjukkan pertumbuhan koloni Streptococcus pneumoniae pada media agar darah domba mulai pada inokulum dengan densitas awal bakteri 6 x 102 organisme/ml. Hasil uji PCR psaA pada sampel setelah inkubasi selama 24 jam dapat memenuhi kriteria “mampu mendeteksi Streptococcus pneumoniae” mulai pada inokulum dengan densitas awal bakteri 6 x 106 organisme/ml. Hasil uji PCR psaA sampel setelah inkubasi 24 jam dapat memenuhi kriteria karena jumlah/densitas bakterinya sudah lebih banyak setelah diinkubasi selama 24 jam sehingga bisa lebih banyak terdeteksi dengan uji PCR psaA. Namun, penelitian ini tidak bertujuan untuk menentukan jumlah/densitas bakteri setelah diinkubasi selama 24 jam, melainkan jumlah/densitas awal bakteri dalam inokulum.
Universitas Indonesia
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Pada penelitian ini telah dilakukan uji PCR menggunakan gen psaA Streptococccus pneumoniae dari spesimen berupa inokulum bakteri kontrol Streptococccus pneumoniae dengan densitas bakteri tertentu dalam media cair. Bila hasil penelitian ini diaplikasikan pada spesimen klinis (misalnya: darah), sebelum inkubasi tidak dapat mendeteksi S.pneumoniae, tetapi setelah inkubasi 24 jam, bila inokulum awal sebesar ≥ 6 x 106 organisme/ml dalam spesimen, mulai dapat terdeteksi dengan uji PCR psaA. Berdasarkan data kadar DNA hasil ekstraksi dan hasil uji PCR psaA sebelum inkubasi dan setelah inkubasi 24 jam, ternyata diperlukan kadar DNA ≥ 84 ng/µL untuk memberikan hasil uji PCR psaA yang positif. Kelemahan pada penelitian ini adalah proses ekstraksi DNA yang tidak optimal sehingga kadar DNA yang diekstraksi sangat bervariasi dan menyebabkan gen psaA tidak terdeteksi sebelum inkubasi, serta baru dapat mendeteksi S.pneumoniae dengan jumlah ≥ 6 x 106 organisme/ml setelah inkubasi 24 jam.
6.2 Saran Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan dengan optimasi pada tehnik ekstraksi DNA.
42
Universitas Indonesia
43 DAFTAR PUSTAKA
1. Hung IFN, Tantawichien T, Tsai YH, Patil S, Zotomayor R. Regional epidemiology of invasive pneumococcal disease in Asian adults: epidemiology, disease burden, serotype distribution, and antimicrobial resistance patterns and prevention. Int J Infect Dis. 2013; 17:e364-73. 2. Bandettini R, Melioli G. Laboratory diagnosis of Streptococcus pneumoniae infections: past and future. J Prev Med Hyg. 2012; 53:85-8. 3. Blaschke AJ. Interpreting assays for the detection of Streptococcus pneumoniae. Clin Infect Dis. 2011; 52(Suppl 4):S331-7. 4. Todar K. Streptococcus pneumoniae [Internet]. 2012 [cited 2014 Oct 13]. Available from: http://textbookofbacteriology.net/S.pneumoniae.html. 5. King MH, Baldeh I, Secka O, Falade A, Greenwood B. Detection of Streptococcus pneumoniae DNA in blood cultures by PCR. J Clin Microbiol. 1994; 32(7):1721-4. 6. Jedrzejas MJ. Pneumococcal virulence factors: structure and function. Microbiol Mol Biol Rev. 2001; 65(2):187-207. 7. Morrison KE, Lake D, Crook J, Carlone GM, Ades E, Facklam R, et al. Confirmation of psaA in all 90 serotypes of Streptococcus pneumoniae by PCR and potential of this assay for identification and diagnosis. J Clin Microbiol. 2000; 38(1):434-7. 8. Putri RRH. Identifikasi bakteri untypeable Streptococcus pneumoniae menggunakan gen psaA, lytA, cpsA, dan recA [Internet]. 2013 [cited 2014 November 5]. Available from: http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20347654S47317-Rengganis%20RHP.pdf. 9. Kaijalainen T. The identification of Streptococcus pneumoniae. 1st ed. Helsinki: National Public Health Institute; 2006. 10. Perilla MJ, Ajello G, Bopp C, Elliott J, Facklam R, Knapp JS, et al. Manual for the laboratory identification and antimicrobial susceptibility testing of bacterial pathogens of public health importance in the developing world. 1st ed. Switzerland: World Health Organization; 2003. 11. Catterall JR. Streptococcus pneumoniae. Thorax. 1999; 54:929-37. 12. Velasco EA, Verheul AF, Verhoef J, Snippe H. Streptococcus pneumoniae: virulence factors, pathogenesis, and vaccines. Microbiol Rev. 1995; 59(4):591603. 13. Yuliarti K, Hadinegoro SR, Supriyatno B, Karuniawati A. Invasive pneumococcal disease among hospitalized children aged 28 days to 60 months in Jakarta. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 2012; 43(1):136-44. 14. Winn WC, Koneman EW, Allen SD, Procop GW, Schreckenberger PC, Janda WM, et al. Koneman’s color atlas and textbook of diagnostic microbiology. 6th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p. 672-764. 15. Castillo D, Harcourt B, Hatcher C, Jackson M, Katz L, Mair R, et al. Laboratory methods for the diagnosis of meningitis caused by Neisseria meningitidis, Streptococcus pneumoniae, and Haemophilus influenzae. WHO manual. 2nd ed. Geneva: World Health Organization; 2011. p. 73-86. 16. Werno AM, Murdoch DR. Laboratory diagnosis of invasive pneumococcal disease. Clin Infect Dis. 2008; 46:926-32.
Universitas Indonesia
44 17. MacFaddin JF. Biochemical tests for identification of medical bacteria. 3rd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2000. 18. McPherson MJ, Moller SG. PCR. 2nd ed. New York: Taylor & Francis Group; 2006. 19. Rustam YH. Mengenal PCR (polymerase chain reaction) [Internet]. 2009 [cited 2014 Sept 21]. Available from: http://sciencebiotech.net/mengenal-pcrpolymerase-chain-reaction/.
20. Stephenson FH, Abilock MC. Optimizing the polymerase chain reaction [Internet]. 2012 [cited 2014 Sept 21]. Available from: http://www.babec.org/files/PCR_2012/PCR_Optimization_Student_Guide_2012.pdf
21. Pelt-Verkuil E, Belkum A, Hays JP. Principles and technical aspects of PCR amplification. 1st ed. Netherland: Springer; 2008. 22. Amersham Biosciences. PCR product analysis: a guide to using semidry flatbed gel electrophoresis [Internet]. [cited 2014 Sept 21]. Available from: http://www.gelifesciences.com/gehcls_images/GELS/Related%20Content/Files/131 4729545976/litdoc80643796_20140706224920.pdf.
23. Roche. High pure PCR template preparation kit [Internet]. 2012 [cited 2014 Oct 30]. Available from: http://www.roche-applied-science.com. 24. Thermo Fisher Scientific. Nucleic acid. Thermo Scientific NanoDrop spectrophotometers [Internet]. 2010 [cited 2015 Jan 10]. Available from: http://www.nanodrop.com/ND1/files/nanodrop_nucleicacid_olv_rev_3_11_r.pdf.
25. Thermo Fisher Scientific. NanoDrop 1000 spectrophotometer user's manual [Internet]. 2008 [cited 2015 Jan 10]. Available from: http://www.nanodrop.com/library/nd-1000-v3.7-users-manual-8.5x11.pdf. 26. Kim J. 10 questions you want to ask about proteinase K [Internet]. 2013 [cited 2015 Jan 10]. Available from: http://info.agscientific.com/blog/bid/158711/10Questions-you-want-to-ask-about-PROTEINASE-K.
Universitas Indonesia
45
LAMPIRAN
Universitas Indonesia
46 Lampiran 1. Keterangan lolos kaji etik
Universitas Indonesia
47 Lampiran 2. Tabel 4.1. Data mentah hasil penelitian. Eksperimen
Densitas awal bakteri dalam inokulum (organisme/ml)
Pewarnaan Gram
Biakan
[DNA] ng/µL Sebelum Inkubasi Inkubasi 24 Jam
Sebelum Inkubasi
Inkubasi 24 Jam
Sebelum Inkubasi
Inkubasi 24 Jam
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
127,7
2.1
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
3.1
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
4.1
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
5.1
Terdeteksi
Terdeteksi
6.1
Terdeteksi
Terdeteksi
7.1
Terdeteksi
8.1 9.1
Uji PCR psaA Sebelum Inkubasi
Inkubasi 24 Jam
170,7
(+)
(+)
130,7
166,4
(+)
(+)
37,6
176,3
(-)
(+)
Tumbuh
27,4
179,6
(-)
(+)
Tumbuh
Tumbuh
20,6
172,7
(-)
(+)
Tumbuh
Tumbuh
36,3
168,4
(-)
(+)
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
102,4
173,1
(+)
(+)
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
17,1
170,2
(-)
(+)
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
100,7
148,3
(+)
(+)
10.1
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
19,8
130,7
(-)
(+)
11.1
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
29,6
174,6
(-)
(+)
12.1
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
31,3
165,9
(-)
(+)
13.1
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
33,7
167,7
(-)
(+)
14.1
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
30,8
138,6
(-)
(+)
15.1
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
101
171,8
(+)
(+)
16.1
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
102,9
111,6
(+)
(+)
17.1
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
104,3
166,8
(+)
(+)
18.1
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
101,8
170,4
(+)
(+)
19.1
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
120,6
163,6
(+)
(+)
20.1
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
34,7
160,1
(-)
(+)
1.1
6 x 107
Universitas Indonesia
48 Tabel 4.1. Data mentah hasil penelitian (lanjutan).
Eksperimen
Densitas awal bakteri dalam inokulum (organisme/ml)
Pewarnaan Gram
[DNA] ng/µL
Biakan
Uji PCR psaA
Sebelum Inkubasi
Inkubasi 24 Jam
Sebelum Inkubasi
Inkubasi 24 Jam
Sebelum Inkubasi
Inkubasi 24 Jam
Sebelum Inkubasi
Inkubasi 24 Jam
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
110,3
154,8
(+)
(+)
2.2
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
109,7
160,6
(+)
(+)
3.2
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
36,4
109,2
(-)
(+)
4.2
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
28,6
170,3
(-)
(+)
5.2
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
33,2
152,1
(-)
(+)
6.2
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
30,6
164,8
(-)
(+)
7.2
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
100,4
166,6
(+)
(+)
8.2
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
24,6
20,3
(-)
(-)
9.2
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
39,3
100,2
(-)
(+)
10.2
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
90,7
101,6
(+)
(+)
11.2
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
20,7
151,5
(-)
(+)
12.2
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
23,6
103,7
(-)
(+)
13.2
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
26,1
156,8
(-)
(+)
14.2
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
86,4
120,4
(+)
(+)
15.2
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
100,3
155,7
(+)
(+)
16.2
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
101,1
108,9
(+)
(+)
17.2
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
100,8
153,7
(+)
(+)
18.2
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
29,4
24,1
(-)
(-)
19.2
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
101,6
112,1
(+)
(+)
20.2
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
32,7
152,4
(-)
(+)
1.2
6 x 106
Universitas Indonesia
49 Tabel 4.1. Data mentah hasil penelitian (lanjutan).
Eksperimen
Densitas awal bakteri dalam inokulum (organisme/ml)
Pewarnaan Gram
[DNA] ng/µL
Biakan
Uji PCR psaA
Sebelum Inkubasi
Inkubasi 24 Jam
Sebelum Inkubasi
Inkubasi 24 Jam
Sebelum Inkubasi
Inkubasi 24 Jam
Sebelum Inkubasi
Inkubasi 24 Jam
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
25,8
148,2
(-)
(+)
2.3
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
37,7
151,6
(-)
(+)
3.3
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
30,6
92,3
(-)
(+)
4.3
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
21,7
162,2
(-)
(+)
5.3
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
26,4
147,4
(-)
(+)
6.3
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
22,6
153,7
(-)
(+)
7.3
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
92,4
33,8
(+)
(-)
8.3
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
27,7
154,2
(-)
(+)
9.3
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
20,1
39,1
(-)
(-)
10.3
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
34,8
42,4
(-)
(-)
11.3
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
29,7
33,6
(-)
(-)
12.3
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
30,3
100,7
(-)
(+)
13.3
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
26,2
36,4
(-)
(-)
14.3
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
24,1
32,3
(-)
(-)
15.3
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
86,8
142,1
(+)
(+)
16.3
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
25,1
30,6
(-)
(-)
17.3
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
85,4
27,3
(+)
(-)
18.3
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
22,6
151,4
(-)
(+)
19.3
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
20,3
33,6
(-)
(-)
20.3
Terdeteksi
Terdeteksi
Tumbuh
Tumbuh
23,7
147,6
(-)
(+)
1.3
6 x 105
Universitas Indonesia
50 Tabel 4.1. Data mentah hasil penelitian (lanjutan).
Eksperimen
Densitas awal bakteri dalam inokulum (organisme/ml)
Pewarnaan Gram
[DNA] ng/µL
Biakan
Uji PCR psaA
Sebelum Inkubasi
Inkubasi 24 Jam
Sebelum Inkubasi
Inkubasi 24 Jam
Sebelum Inkubasi
Inkubasi 24 Jam
Sebelum Inkubasi
Inkubasi 24 Jam
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
21,6
124,7
(-)
(+)
2.4
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
33,4
127,2
(-)
(+)
3.4
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
24,3
37,9
(-)
(-)
4.4
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
26,2
136,3
(-)
(+)
5.4
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
32,1
34,4
(-)
(-)
6.4
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
21,3
100,2
(-)
(+)
7.4
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
87,9
28,3
(+)
(-)
8.4
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
19,4
122,6
(-)
(+)
9.4
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
21,7
30,1
(-)
(-)
10.4
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
27,3
32,4
(-)
(-)
11.4
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
33,4
27,3
(-)
(-)
12.4
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
29,1
33,8
(-)
(-)
13.4
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
27,2
34,6
(-)
(-)
14.4
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
26
113,2
(-)
(+)
15.4
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
24,1
120,3
(-)
(+)
16.4
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
20,3
26,2
(-)
(-)
17.4
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
31,2
37,8
(-)
(-)
18.4
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
33,6
116,3
(-)
(+)
19.4
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
32,1
39,1
(-)
(-)
20.4
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
21,8
30,2
(-)
(-)
1.4
6 x 104
Universitas Indonesia
51 Tabel 4.1. Data mentah hasil penelitian (lanjutan).
Eksperimen
Densitas awal bakteri dalam inokulum (organisme/ml)
Pewarnaan Gram
[DNA] ng/µL
Biakan
Uji PCR psaA
Sebelum Inkubasi
Inkubasi 24 Jam
Sebelum Inkubasi
Inkubasi 24 Jam
Sebelum Inkubasi
Inkubasi 24 Jam
Sebelum Inkubasi
Inkubasi 24 Jam
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
20,6
33,6
(-)
(-)
2.5
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
24,3
28,6
(-)
(-)
3.5
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
20,1
30,3
(-)
(-)
4.5
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
19,4
111,7
(-)
(+)
5.5
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
21,6
37,4
(-)
(-)
6.5
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
22,2
30,7
(-)
(-)
7.5
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
30,6
39,1
(-)
(-)
8.5
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
26,1
100,4
(-)
(+)
9.5
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
22,3
28,2
(-)
(-)
10.5
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
20,7
29,1
(-)
(-)
11.5
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
21,4
32,8
(-)
(-)
12.5
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
23,9
29,6
(-)
(-)
13.5
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
27,3
38,2
(-)
(-)
14.5
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
33,7
40,1
(-)
(-)
15.5
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
31,4
34,4
(-)
(-)
16.5
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
36,6
37,2
(-)
(-)
17.5
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
22,9
27,7
(-)
(-)
18.5
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
34,2
98,3
(-)
(+)
19.5
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
20,4
26,4
(-)
(-)
20.5
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
23,1
123,2
(-)
(+)
1.5
6 x 103
Universitas Indonesia
52 Tabel 4.1. Data mentah hasil penelitian (lanjutan).
Eksperimen
Densitas awal bakteri dalam inokulum (organisme/ml)
Pewarnaan Gram
[DNA] ng/µL
Biakan
Uji PCR psaA
Sebelum Inkubasi
Inkubasi 24 Jam
Sebelum Inkubasi
Inkubasi 24 Jam
Sebelum Inkubasi
Inkubasi 24 Jam
Sebelum Inkubasi
Inkubasi 24 Jam
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
19,3
27,8
(-)
(-)
2.6
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
20,9
18,3
(-)
(-)
3.6
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
19,1
17,9
(-)
(-)
4.6
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
20
18,8
(-)
(-)
5.6
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
19,7
21,6
(-)
(-)
6.6
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
20,2
33,7
(-)
(-)
7.6
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
23,6
29,2
(-)
(-)
8.6
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
25,1
20,3
(-)
(-)
9.6
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
22,6
19,2
(-)
(-)
10.6
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
21,2
18,6
(-)
(-)
11.6
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
19.6
20,3
(-)
(-)
12.6
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
27,3
33,2
(-)
(-)
13.6
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
23,2
27,4
(-)
(-)
14.6
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
20,6
84,3
(-)
(+)
15.6
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
21,3
26,8
(-)
(-)
16.6
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
24,7
18,3
(-)
(-)
17.6
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
19.,3
20,6
(-)
(-)
18.6
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
27,1
22,3
(-)
(-)
19.6
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
22,4
30,2
(-)
(-)
20.6
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tumbuh
21,1
100,1
(-)
(+)
1.6
6 x 102
Universitas Indonesia
53 Tabel 4.1. Data mentah hasil penelitian (lanjutan).
Eksperimen
Densitas awal bakteri dalam inokulum (organisme/ml)
Pewarnaan Gram
[DNA] ng/µL
Biakan
Uji PCR psaA
Sebelum Inkubasi
Inkubasi 24 Jam
Sebelum Inkubasi
Inkubasi 24 Jam
Sebelum Inkubasi
Inkubasi 24 Jam
Sebelum Inkubasi
Inkubasi 24 Jam
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tidak Tumbuh
18,1
32,3
(-)
(-)
2.7
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tidak Tumbuh
19,3
29,6
(-)
(-)
3.7
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tidak Tumbuh
19
40,1
(-)
(-)
4.7
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tidak Tumbuh
18,6
32,4
(-)
(-)
5.7
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tidak Tumbuh
20,1
33,2
(-)
(-)
6.7
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tidak Tumbuh
19,8
24,7
(-)
(-)
7.7
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tidak Tumbuh
21,7
36,6
(-)
(-)
8.7
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tidak Tumbuh
23,6
20,3
(-)
(-)
9.7
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tidak Tumbuh
19,2
28,4
(-)
(-)
10.7
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tidak Tumbuh
20,4
36,3
(-)
(-)
11.7
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tidak Tumbuh
21,6
23,2
(-)
(-)
12.7
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tidak Tumbuh
18,6
26,4
(-)
(-)
13.7
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tidak Tumbuh
19,3
30,7
(-)
(-)
14.7
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tidak Tumbuh
24,8
23,4
(-)
(-)
15.7
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tidak Tumbuh
23,1
39,6
(-)
(-)
16.7
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tidak Tumbuh
27,2
28,5
(-)
(-)
17.7
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tidak Tumbuh
22,1
30,4
(-)
(-)
18.7
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tidak Tumbuh
20,8
32,3
(-)
(-)
19.7
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tidak Tumbuh
21,3
20,4
(-)
(-)
20.7
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tidak Tumbuh
19,7
27,9
(-)
(-)
1.7
6 x 101
Universitas Indonesia
54 Tabel 4.1. Data mentah hasil penelitian (lanjutan).
Eksperimen
Densitas awal bakteri dalam inokulum (organisme/ml)
Pewarnaan Gram
[DNA] ng/µL
Biakan
Uji PCR psaA
Sebelum Inkubasi
Inkubasi 24 Jam
Sebelum Inkubasi
Inkubasi 24 Jam
Sebelum Inkubasi
Inkubasi 24 Jam
Sebelum Inkubasi
Inkubasi 24 Jam
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tidak Tumbuh
17,3
33,6
(-)
(-)
2.8
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tidak Tumbuh
19,6
23,1
(-)
(-)
3.8
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tidak Tumbuh
18,2
27,9
(-)
(-)
4.8
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tidak Tumbuh
17,6
40,4
(-)
(-)
5.8
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tidak Tumbuh
19,1
28,6
(-)
(-)
6.8
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tidak Tumbuh
18,7
20,7
(-)
(-)
7.8
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tidak Tumbuh
19,3
24,3
(-)
(-)
8.8
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tidak Tumbuh
21,4
26,7
(-)
(-)
9.8
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tidak Tumbuh
24,7
33,4
(-)
(-)
10.8
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tidak Tumbuh
20,3
27,9
(-)
(-)
11.8
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tidak Tumbuh
18,7
28,8
(-)
(-)
12.8
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tidak Tumbuh
19,2
31,6
(-)
(-)
13.8
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tidak Tumbuh
22,4
39,3
(-)
(-)
14.8
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tidak Tumbuh
21,6
33,8
(-)
(-)
15.8
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tidak Tumbuh
20,3
27,3
(-)
(-)
16.8
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tidak Tumbuh
23,1
34,2
(-)
(-)
17.8
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tidak Tumbuh
19,3
23,1
(-)
(-)
18.8
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tidak Tumbuh
17,6
26,8
(-)
(-)
19.8
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tidak Tumbuh
18,4
19,4
(-)
(-)
20.8
Terdeteksi
Terdeteksi
Tidak Tumbuh
Tidak Tumbuh
20,9
30,7
(-)
(-)
1.8
6
Universitas Indonesia
55 Lampiran 3. Komposisi reagen Bufer TBE (Tris-borate-EDTA) 5x Tris
54
g
Asam borat
27,5
g
0,5 M EDTA
20
ml
ddH2O hingga
1000
ml
Bufer TBE 1x Bufer TBE 5x diencerkan (pengenceran 5x) dengan ddH2O, dengan perbandingan 1:4
Universitas Indonesia