UNIVERSITAS INDONESIA
KAJIAN BENTUK, KATEGORI, DAN SUMBER MAKIAN, SERTA ALASAN PENGGUNAAN MAKIAN OLEH MAHASISWA
TESIS
ODIN ROSIDIN NPM. 0706182330
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI ILMU LINGUISTIK DEPOK JULI 2010
Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
UNIVERSITAS INDONESIA
KAJIAN BENTUK, KATEGORI, DAN SUMBER MAKIAN, SERTA ALASAN PENGGUNAAN MAKIAN OLEH MAHASISWA
TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora
ODIN ROSIDIN NPM. 0706182330
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI ILMU LINGUISTIK DEPOK JULI 2010
i Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
KATA PENGANTAR/UCAPAN TERIMA KASIH
Segala puji saya panjatkan kepada Tuhan Yang Mahakuasa atas limpahan nikmat, karunia, dan kecintaan terhadap ilmu yang tiada henti dianugerahkan. Saya bersujud syukur karena segala daya, tenaga, dan waktu yang telah dicurahkan selama ini tidaklah sia-sia. Melalui perjuangan yang panjang dan berliku, akhirnya saya berhasil menyelesaikan penulisan tesis ini. Di lembar ini, saya sepatutnya berucap terima kasih kepada orang-orang yang karena jasa, kebaikan, pengetahuan, dan campur tangannya telah memungkinkan saya menyelesaikan tesis ini sebagai bagian dari tugas akademis untuk meraih gelar Magister Humaniora (M.Hum.) dari Program Studi Ilmu Linguistik, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Dengan rendah hati dan penghargaan yang tinggi, ucapan terima kasih yang tulus dan dalam saya sampaikan kepada: 1. Prof. Dr. Njaju Jenny M. T. Hardjatno, M.A., yang perhatian, ketelitian, dan motivasinya sebagai pembimbing telah menerbitkan elan saya untuk takpatah semangat dan tetap optimis sehingga saya selalu menemukan “hari baru”. 2. M. Umar Muslim, S.S., M.A, Ph.D., Ketua Program Studi Ilmu Linguistik, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia - ilmuwan bahasa yang tangguh, tetapi takangkuh - yang selalu menumbuhkan semangat dan tiada henti mengingatkan saya akan batas studi. 3. Prof. Dr. Muhadjir atas segala kritik, saran, tanggapan, sanggahan, masukan, dan komentar terhadap draft tesis yang penulis susun, serta telah menyadarkan penulis betapa banyak rumpang dan tidak sempurnanya tesis ini. Pertanyaan kritis yang disampaikan ketika menguji penulis dalam seminar tesis dan dalam ujian pratesis menyadarkan penulis untuk lebih mempertajam teori dan analisis. 4. Semua pengajar di Program Studi Ilmu Linguistik, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, yakni Prof. Dr. Harimurti Kridalaksana, Prof. Dr. Benny H. Hoed; Prof. Dr. Rahayu S. Hidayat; Prof. Dr. Multamia RMT
iv Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
5. Mbak Nur, Mbak Rita, dan Mas Nanang yang selalu berbaik hati dan senantiasa memberi bantuan selama saya menjalani studi. 6. Bapak, emak, abah, dan ibu (almarhum), yang penyayang, penyabar, dan tiada surut mengalirkan sungai kasih sehingga saya tak pernah merasa kekeringan cinta. 7. Keluarga besar di Bandung, di Serang, dan di Jakarta, yang senantiasa mendukung, memotivasi, dan menggenapi
dengan segala kasih sayang
sehingga saya merasakan indahnya persaudaraan. 8. Ilmuwan bahasa yang eksplanasi teori-teorinya tentang pelbagai aspek makian telah memungkinkan saya memiliki landasan dan kerangka teoretis untuk meneliti penggunaan makian. 9. Para peneliti lain tentang makian karena melalui penelitian-penelitian mereka, saya beroleh inspirasi, gambaran, dan informasi yang penting untuk menulis tesis ini. 10. Prof. Dr. Yoyo Mulyana, M.Ed., dosen terbaik saya di Universitas Pendidikan Indonesia dan mantan Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) karena telah mengantar jalan bagi saya untuk punya karier di Untirta dan tetap berkecimpung dengan dunia bahasa (linguistik). Tanpa inisiatif Bapak, mustahil saya bisa memperoleh apa yang kini saya miliki. 11. Dekan FKIP Untirta atas izin yang diberikan untuk melanjutkan studi padahal tahun sebelumnya (2006), saya baru saja diizinkan berkelana ke luar negara, yakni menjadi dosen tamu di Deakin University Australia. 12. Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II, dan Pembantu Dekan III FKIP Untirta atas dukungan dan kesempatan yang diberikan kepada saya untuk menjadi ”santri” yang berguru ilmu linguistik di UI.
v Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
13. Sejawat saya di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dan kawan-kawan yang sering menjadi mitra diskusi, saya berterima kasih karena telah menjadi kawan berbalah yang memperkaya saya dengan segala pengetahuan. 14. Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa atas kesediaan menjadi responden penelitian ini. 15. Istriku tercinta, Adah Saadah, S.Pd., atas pengertian dan doa yang senantiasa kautujukan untukku. 16. Anakku terkasih, Deakinanti Sintaktika Latufariq, atas keriangan dan canda yang selama ini tak henti menyemangati untuk bekerja dan berkarya. 17. Teman-teman angkatan 2007 di Program Studi Ilmu Linguistik, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, yakni Siti Aisyah, Ika, Kartika, Sri, Niken, Silva, Eri, Donty, Ronal, Listi, Neneng, Pamela, Wati, Bu Rani, Pak Fauzi, dan Pak Irsan atas segala kenangan indah dan kebersamaan yang sangat berkesan selama berburu ilmu
di Program Studi Ilmu Linguistik,
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. 18. Dadang, Deden Sudrajat, Aan Hendrayana, M.Pd., dan Rahman Hakim, yang kerap mengulurkan tangan untuk membantu menelusuri referensi, memburu tulisan-tulisan penting tentang makian, dan merapikan pengetikan. 19. Bapak Rochanie, M.Pd., Kepala Perpustakaan FKIP Untirta, yang senantiasa memperkenankan saya berlama-lama di perpustakaan untuk menyendiri demi bisa mengerjakan tesis ini dan menghindar sesaat dari kesibukan sebagai ketua program studi.
vi Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
Akhirnya, kepada semua pihak yang telah berkontribusi, baik langsung maupun tidak langsung untuk tersusunnya tesis ini, yang luput saya sebutkan, bukan berarti saya mengecilkan jasa yang telah diberikan. Saya berucap terima kasih yang tulus dan semoga Tuhan membalas segala kebaikan yang telah diberikan dengan pahala yang berlipat. Karya ini merupakan karya kecil yang jauh dari sempurna. Karena itu, kritik dan saran dari pihak mana pun saya nantikan dengan tangan dan hati yang terbuka, terutama untuk perbaikan dan koreksi. Meskipun kecil dan tidak sempurna, saya tetap berharap karya ini dapat bermanfaat bagi siapa pun.
Serang,
Juli 2010
Odin Rosidin
vii Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN......................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN.............................................................................. iii KATA PENGANTAR DAN UCAPAN TERIMA KASIH ............................... iv HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ........................................... viii ABSTRAK ........................................................................................................... ix DAFTAR ISI ......................................................................................................... x DAFTAR TABEL DAN DIAGRAM ........................................................... xiii BAB 1 PENDAHULUAN .......................................................................... 1.1 Latar Pokok Masalah ............................................................. 1.2 Pokok Bahasan dan Masalah .................................................. 1.3 Tujuan Penelitian .................................................................... 1.4 Cakupan Penelitian ................................................................. 1.5 Kemaknawian Penelitian.......................................................... 1.6 Sistematika Penulisan ..............................................................
1 1 8 11 12 12 12
BAB 2 PENELITIAN TERDAHULU, TINJAUAN KEPUSTAKAAN, DAN KERANGKA TEORI ........................................................... 2.1 Pengantar.................................................................................. 2.2 Penelitian Terdahulu ............................................................... 2.3 Tinjauan Pustaka ..................................................................... 2.3.1 Pengertian dan Ciri Makian ........................................ 2.3.2 Sejarah Makian ........................................................... 2.3.3 Makian dan Tabu ........................................................ 2.3.4 Klasifikasi Makian ....................................................... 2.3.4.1 Klasifikasi Berdasarkan Bentuk.................... 2.3.4.2 Klasifikasi Berdasarkan Sumber .................. 2.3.4.3 Klasifikasi Berdasarkan Fungsi dan Alasan Penggunaan ............................... 2.3.5 Motif Penggunaan Makian .......................................... 2.3.5.1 Motif Psikologis ......................................... 2.3.5.2 Motif Sosial ............................................ 2.3.5.3 Motif Linguistik .......................................... 2.3.6 Makian, Jenis Kelamin, dan Gender ............................ 2.4 Kerangka Teori......................................................................... 2.4.1 Pengertian dan Ciri Makian ........................................ 2.4.2 Klasifikasi Bentuk Makian ........................................ 2.4.3 Klasifikasi Kategori Makian ........................................ 2.4.4 Klasifikasi Sumber Makian ...................................... 2.4.5 Klasifikasi Alasan Penggunaan Makian ....................
47 52 52 53 55 56 67 67 68 70 72 72
BAB 3 METODE DAN TEKNIK PENELITIAN .............................. 3.1 Metode Penelitian ................................................................. 3.2 Teknik Penelitian ................................................................
73 73 74
x Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
15 15 15 25 25 28 30 37 37 43
3.2.1. Teknik Pengumpulan Data ..................................... 3.2.2 Responden Penelitian ................................................ 3.2.3. Kuesioner Penelitian ................................................... 3.3. Teknik Analisis Data.................................................................
74 75 88 89
BAB 4 ANALISIS ..................................................................................... 4.1 Pengantar Analisis .................................................................. 4.2 Analisis Klasifikasi Bentuk Makian ...................................... 4.2.1 Klasifikasi Bentuk Makian Berdasarkan Data Makian yang Digunakan oleh Responden Laki-laki ................................................... 4.2.1.1 Makian Berbentuk Kata ................................. 4.2.1.2 Makian Berbentuk Frasa ................................. 4.2.2 Klasifikasi Bentuk Makian Berdasarkan Data Makian yang Digunakan oleh Responden Perempuan ................................................ 4.2.2.1 Makian Berbentuk Kata ................................... 4.2.2.2 Makian Berbentuk Frasa ................................ 4.3 Analisis Klasifikasi Kategori Makian .................................... 4.3.1 Klasifikasi Kategori Makian Berdasarkan Data Makian yang Digunakan oleh Responden Laki-laki .................................................. 4.3.1.1 Makian Berkategori Nomina dan Frasa Nominal .............................................. 4.3.1.2 Makian Berkategori Verba .......................... 4.3.1.3 Makian Berkategori Ajektiva dan Frasa Ajektival ............................................ 4.3.2 Klasifikasi Kategori Makian Berdasarkan Data makian yang Digunakan oleh Responden Perempuan ................................................. 4.3.2.1 Makian Berkategori Nomina dan Frasa Nominal ............................................ 4.3.2.2 Makian Berkategori Verba dan Frasa Verbal ............................................... 4.3.2.3 Makian Berkategori Ajektiva dan Frasa Ajektival ................................... 4.4 Analisis Klasifikasi Sumber Makian ....................................... 4.4.1 Klasifikasi Sumber Makian Berdasarkan Data Makian yang Digunakan oleh Responden Laki-laki ................................................... 4.4.2 Klasifikasi Sumber Makian Berdasarkan Data Makian yang Digunakan oleh Responden Perempuan ............................................... 4.5 Analisis Klasifikasi Alasan Penggunaan Makian ...................
92 92 113
113 114 116
117 118 120 125
126 126 128 128
131 131 132 133 136
137
139 168
BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 183 5.1 Simpulan .................................................................................... 183 5.2 Saran ........................................................................................... 190
xi Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
DAFTAR PUSTAKA TESIS ........................................................................ 191 LAMPIRAN TESIS ...................................................................................... 195
xii Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
DAFTAR TABEL DAN DIAGRAM
TABEL Tabel 3.1 Populasi Penelitian........................................................................ Tabel 3.2 Jumlah Responden Laki-laki Berdasarkan Bahasa pertama yang Dikuasai dan Bahasa Sehari-hari .............. Tabel 3.3 Jumlah Responden Perempuan Berdasarkan Bahasa Pertama yang Dikuasai dan Bahasa Sehari-hari ............... Tabel 4.1 Makian yang Digunakan oleh Responden Laki-laki ................... Tabel 4.2 Makian yang Digunakan oleh Responden Perempuan ............... Tabel 4.3 Makian yang Paling Sering Digunakan oleh Responden Laki-laki ............................................................. Tabel 4.4 Makian yang Paling Sering Digunakan oleh Responden Perempuan ........................................................ Tabel 4.5 Bahasa yang Dipilih untuk Memaki oleh Responden Laki-laki Berdasarkan Bahasa Pertama dan Bahasa Sehari-hari ................. Tabel 4.6 Bahasa yang Dipilih untuk Memaki oleh Responden Perempuan Berdasarkan Bahasa Pertama dan Bahasa Sehari-hari ................. Tabel 4.7 Makian Berbentuk Kata Monomorfemis yang Digunakan oleh Responden Laki-laki ............................................................ Tabel 4.8 Makian Berafiks dan Makian Bentuk Majemuk yang Digunakan oleh Responden laki-laki ................................. Tabel 4.9 Makian Berbentuk Frasa yang Digunakan oleh Responden laki-laki ........................................................... Tabel 4.10 Makian Berbentuk Kata Monomorfemis yang Digunakan oleh Responden Perempuan .......................................................... Tabel 4.11 Makian Berafiks dan Bentuk Majemuk yang Digunakan oleh Responden Perempuan ......................................................... Tabel 4.12 Makian Berbentuk Frasa yang Digunakan oleh Responden Perempuan ....................................................... Tabel 4.13 Perbandingan Jumlah Makian Berdasarkan Bentuk .................... Tabel 4.14 Makian Berkategori Nomina dan Frasa Nominal yang Digunakan Responden Laki-laki ........................................ Tabel 4.15 Makian Berkategori Verba yang Digunakan oleh Responden Laki-laki ...................................................................................... Tabel 4.16 Makian Berkategori Ajektiva dan Frasa Ajektival yang Digunakan oleh Responden Laki-laki................................ Tabel 4.17 Makian Berkategori Nomina dan Frasa Nominal yang Digunakan oleh Responden Perempuan.............................. Tabel 4.18 Makian Berkategori Verba dan Frasa Verbal yang Digunakan oleh Responden Perempuan ........................................................ Tabel 4.19 Makian Berkategori Ajektiva dan Frasa Ajektival yang Digunakan oleh Responden Perempuan.............................. Tabel 4.20 Perbandingan Jumlah Makian Berdasarkan Kategori ................. Tabel 4.21 Klasifikasi Sumber Makian yang Disintesiskan dari Pendapat Pakar ......................................................................
xiii Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
75 79 80 92 95 96 97 100 106 114 115 116 118 119 125 125 127 128 130 132 133 133 135 136
Tabel 4.22 Sumber Makian yang Digunakan oleh Responden Laki-laki .................................................................. Tabel 4.23 Sumber Makian yang Digunakan oleh Responden Perempuan ............................................................... Tabel 4.24 Klasifikasi Baru Sumber Makian Berdasarkan Data Makian yang Digunakan oleh Responden Laki-laki ................................ Tabel 4.25 Klasifikasi Baru Sumber Makian Berdasarkan Data Makian yang Digunakan oleh Responden Perempuan ............................. Tabel 4.26 Sumber Makian Baru dan Data Makiannya ............................... Tabel 4.27 Perbandingan Jumlah Makian Berdasarkan Sumber Makian yang Dikemukakan oleh Pakar ...................................... Tabel 4.28 Perbandingan Jumlah Makian Berdasarkan Sumber Makian Baru ................................................................................ Tabel 4.29 Temuan Alasan Lain ................................................................... Tabel 4.30 Alasan Positif Penggunaan Makian Menurut Responden Perempuan ............................................................... Tabel 4.31 Alasan Positif Penggunaan Makian Menurut Responden Laki-laki ..................................................................................... Tabel 4.32 Perbandingan Jumlah Responden atas Pilihan Alasan Penggunaan Makian ........................................................
137 139 155 156 156 164 166 173 175 178 180
DIAGRAM Diagram Diagram Diagram Diagram
3.1 3.2 3.3 3.4
Jumlah Responden ................................................................... Responden Berdasarkan Jenis Kelamin .................................. Responden Berdasarkan Kawasan Tempat Tinggal ................ Responden yang Mengetahui dan Responden yang Tidak Mengetahui Kata Makian ............................................... Diagram 3.5 Sumber Pengetahuan Responden atas Makian ......................... Diagram 3.6 Sumber Bahasa Makian yang Diketahui Responden ............... Diagram 3.7 Kebiasaan Menggunakan Kata Makian .................................... Diagram 3.8 Frekuensi Penggunaan Kata Makian ........................................ Diagram 3.9 Tempat Responden Menggunakan Makian .............................. Diagram 3.10 Penggunaan Makian di Kampus .............................................. Diagram 4.1 Makian yang Paling Sering Digunakan oleh Responden Laki-laki ................................................................ Diagram 4.2 Makian yang Paling Sering Digunakan oleh Responden Perempuan ............................................................ Diagram 4.3 Bentuk Makian yang Digunakan oleh Responden Laki-laki ................................................................ Diagram 4.4 Bentuk Makian yang Digunakan oleh Responden Perempuan ........................................................... Diagram 4.5 Kategori Makian yang Digunakan oleh Responden Laki-laki ................................................................ Diagram 4.6 Kategori Makian yang Digunakan Responden Perempuan ................................................................................ Diagram 4.7 Makian Responden Laki-laki dan Responden
xiv Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
77 78 79 82 83 84 85 85 87 88 97 99 117 121 130 135
Perempuan Berdasarkan Klasifikasi Sumbernya .................... Diagram 4.8 Alasan Penggunaan Makian Menurut Responden Laki-laki ............................................................... Diagram 4.9 Alasan Penggunaan Makian Menurut Responden Perempuan ............................................................ Diagram 4.10 Penilaian Responden terhadap Makian ...................................
xv Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
154 168 169 174
ABSTRAK Nama : Program Studi : Judul :
Odin Rosidin Ilmu Linguistik Kajian Bentuk, Kategori, dan Sumber Makian, serta Alasan Penggunaan Makian oleh Mahasiswa
Tesis ini merupakan laporan penelitian tentang klasifikasi dan deskripsi bentuk, kategori, dan sumber makian, serta alasan penggunaan makian oleh responden lakilaki dan oleh responden perempuan. Responden penelitian ini terdiri atas 43 orang laki-laki dan 43 orang perempuan. Melalui kuesioner diperoleh sebanyak 95 buah makian yang digunakan oleh responden laki-laki dan sebanyak 143 buah makian yang digunakan oleh responden perempuan. Analisis data makian dilakukan berdasarkan sudut pandang bentuk, kategori, dan sumber makian, serta alasan penggunaan makian. Temuan penelitian ini menunjukkan (1) tidak terdapat perbedaan klasifikasi bentuk makian antara makian yang digunakan oleh responden laki-laki dan oleh responden perempuan, (2) tidak terdapat perbedaan klasifikasi kategori makian antara makian yang digunakan oleh responden laki-laki dan oleh responden perempuan, (3) tidak terdapat perbedaan klasifikasi sumber makian antara makian yang digunakan oleh responden laki-laki dan oleh responden perempuan, dan (4) tidak terdapat perbedaan klasifikasi alasan penggunaan makian antara alasan responden laki-laki dan alasan responden perempuan. Kata Kunci:
bentuk, kategori, sumber, alasan, makian, mahasiswa
Nama Program Studi Judul
: : :
ABSTRACT Odin Rosidin Linguistics The Study of Forms, Categories, Sources of Swearing and The Reasons of Using Swearing, Performed by The Students
This thesis is a research report on the clasification and description of forms, categories, and sources of swearing, as well as the reason of using swearing performed by the male and female students as the respondents. There are 86 taken as the sample that consist of 43 male and 43 female. Based on the questionnaire, there are 95 kinds of swearing performed by male students and 143 by female. Based on the findings of the research, it shows that: (1) there is no difference between the forms of swearing performed by male and female respondents; (2) there is no difference between the categories of swearing perfomed by male and female respondents; (3) there is no difference between the sources of swearing performed by male and female respondents; and (4) there is also no difference between the reasons of using swearing performed by male and female respondents. Key words: forms, categories, sources, reason, swearing, students
ix Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Pokok Masalah Di dalam kehidupan ini, setiap orang pasti pernah mengalami peristiwa
atau kejadian yang tidak diinginkan, tidak diharapkan, ataupun tidak diduga. Ketika hal itu terjadi, timbul reaksi yang berbeda-beda pada orang yang mengalaminya, misalnya merasa kecewa, jengkel, kesal, terkejut, marah, dan sebagainya. Dalam konteks itu, orang-orang yang tidak dapat menahan emosinya ketika menghadapi kenyataan semacam itu kadang-kadang atau sering kali mengeluarkan kata-kata spontan yang
kurang sopan
dan kasar sebagai
perwujudan kemarahan. Kata-kata itulah yang disebut sebagai makian. Bertaut dengan pernyataan di atas, Montagu (1973:81; dalam Indrawati, 2005:29) menyatakan sebagai berikut: Situasi dan kondisi lingkungan seseorang mampu memicu terjadinya perubahan emosi. Kadang-kadang emosi yang dirasakan oleh seorang penutur diungkapkan secara verbal dengan cara berlebihan sehingga ungkapan verbal yang dilontarkan secara spontan (swearing). Kata makian biasanya digunakan dalam keadaan marah. Jika seseorang sedang marah, akal sehatnya tidak berfungsi lagi sehingga ia akan berbicara dengan menggunakan ungkapan atau kata-kata kasar. Dalam keadaan seperti itu, ungkapan atau kata makian seolah-olah digunakan sebagai
alat pelampiasan
perasaan. Peristiwa itu mengakibatkan terjadinya penyelewengan makna karena makna suatu kata diterapkan pada referen (rujukan) yang tidak sesuai dengan makna kata yang sesungguhnya. Berkenaan dengan kata makian, Sudaryanto, dkk. (1982:146) berpendapat bahwa kata makian merupakan salah satu jenis kata afektif yang keafektifannya dalam rangka titik awal proses komunikasi. Maksudnya, terjadinya makian disebabkan oleh adanya perbuatan seseorang atau peristiwa tertentu. Perbuatan seseorang atau perbuatan itu menimbulkan tangggapan tertentu sehingga tersentuh daya lampiasnya dan terucaplah makian itu.
Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
1
Universitas Indonesia
2
Hughes (1991:3) menyatakan bahwa jika seseorang memaki, lazimnya orang lain akan menganggapnya sebagai orang yang tidak sopan, kasar, dan tidak berpendidikan. Pernyataan itu sejalan dengan pandangan Crystal (2004:173) bahwa banyak orang yang menganggap kata makian sebagai sesuatu yang tidak pantas, tetapi kenyataannya kata makian tetap digunakan dalam pelbagai cara. Makian sering dihubungkan dengan orang yang kurang berpendidikan sehingga makian jarang sekali muncul dalam situasi formal (resmi) ataupun di kalangan orang-orang berkelas sosial tinggi. Penggunaan makian merupakan fakta yang menarik karena bahasa makian berbeda dengan bahasa yang dipergunakan dalam percakapan biasa, yakni dalam hal bentukan kata dan gramatikanya. Kombinasi kata-kata makian dapat berupa konstruksi yang tidak wajar (tidak biasa); tidak masuk akal; mungkin pula tidak seluruhnya dapat dimengerti. Makian umumnya dianggap sebagai penggunaan bahasa yang tidak baik, merupakan fitur linguistik yang tidak penting yang merusak bahasa, terdengar sangat tidak menyenangkan, dan dipakai oleh orang yang tidak berpendidikan, serta sebaiknya tidak digunakan. Namun, banyak orang merasa sulit menghilangkan kebiasan menggunakan kata makian. Oleh sebab itu, makian senantiasa ada (Montagu, 1967:2; Andersson, 1985:110; Andersson dan Trudgill, 1990:8). Dalam kenyataannya, kata-mata makian digunakan secara luas oleh anak remaja hingga orang-orang dewasa. Dalam konteks itu, hasil penelitian yang dilaporkan majalah ”American Demographic Magazines” menunjukkan bahwa 72% dari 60 orang penduduk yang berusia 18—34 tahun menyatakan bahwa mereka suka memaki di depan umum (publik) (Grimm, 2004; dalam Fagersten, 2005:4; Kok, 2007:1). Meskipun belum ada publikasi hasil penelitian semacam itu, tampaknya fenomena maraknya penggunaan makian terjadi pula di Indonesia. Hal itu dapat dibuktikan dengan seringnya kita temukan atau kita simak penggunaan makian dalam kehidupan sehari-hari, yang terjadi dalam pelbagai konteks dan situasi. Andersson dan Trudgill (1990:35) yang dikutip Stentröm (1996:77; dalam Yuwono, 2010:61) menyatakan tidak ada kata yang tidak baik; sebuah kata dipandang tidak baik hanya di mata masyarakat yang menilainya. Sementara itu,
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
3
Jay (1992:55) yang dikutip Stentröm (1996:7; dalam Yuwono, 2010:61) menyatakan bahwa ungkapan serapah yang tidak baik adalah ungkapan serapah (swearing) yang tidak pada tempatnya dilontarkan; yang penting diperhatikan adalah pragmatik pemakaiannya alih-alih kategori etimologis dan susunan gramatikalnya. Sehubungan dengan penggunaan kata makian oleh penutur bahasa, Wijana dan Rohmadi (2007:109) menjelaskan bahwa dalam berkomunikasi, manusia pada umumnya berinteraksi untuk membina kerja sama antarsesamanya dalam rangka membentuk, mengembangkan, dan mewariskan kebudayaannya dalam arti yang seluas-luasnya. Namun, ada kalanya, atau mungkin seringkali manusia berselisih paham dan berbeda pendapat dengan yang lainnya. Dalam situasi itu, para pemakai bahasa memanfaatkan pelbagai kata makian, di samping kata-kata kasar, atau sindiran halus untuk mengekspresikan segala bentuk ketidaksenangan, kebencian, atau ketidakpuasannya terhadap situasi yang tengah dihadapinya. Makian dapat ditemukan dalam pelbagai bahasa dan muncul dalam wujud atau cara yang bermacam-macam. Beberapa bahasa memiliki kemiripan dengan bahasa-bahasa tertentu dan berbeda sangat jauh dari bahasa lainnya (Crystal, 2004:172). Terkait dengan keberadaan makian sebagai bagian dari khazanah bahasa, Montagu (1968:5) mengungkapkan bahwa bahasa sudah setua dan sebaya dengan manusia. Dalam konteks itu, manusia sudah ada setidaknya sejak dua juta tahun lalu atau lebih. Bisa diperkirakan bahasa dimulai pada masa yang sama. Para ahli filologi menyatakan bahasa berasal dari ungkapan yang erat hubungannya dengan makian. Dengan demikian, makian telah ada sejak adanya bahasa yang dipakai manusia. Pernyataan itu senada dengan pendapat Leigh dan Lepine (2005:8), yang menyatakan, “It is a fair guess that swearing has been around as long as human speech” (sebuah dugaan yang tepat bila dikatakan bahwa makian telah seumur dengan bahasa manusia). Penggunaan makian dalam bentuk tindakan memaki merupakan salah satu bentuk kekerasan yang dapat disebut sebagai tindakan agresi verbal. Dalam konteks itu, Infante dan Wigley (1986:61—69) menjelaskan bahwa tindakan memaki dilakukan oleh seseorang kepada pihak lain ataupun dilakukan oleh suatu kelompok kepada pihak/kelompok lain. Agresi verbal didefinisikan sebagai
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
4
serangan terhadap konsep diri dari seseorang atau pendapatnya dengan maksud menyakiti orang lain secara psikologis. Sebutan tidak senonoh dan kata-kata hinaan atau kata yang meremehkan menyebabkan rusaknya konsep diri dalam jangka panjang, dan agresi verbal dapat menjadi alasan yang dapat mengarah pada agresi fisik. Sementara itu, Praptomo (2003:64) mengatakan bahwa
di samping
kekerasan fisik, ada pula satu jenis kekerasan yang disebut kekerasan simbolik (symbolic violence), yaitu kekerasan yang bersifat simbolik. Kekerasan simbolik dapat dibedakan menjadi dua simbol
jenis, yaitu (1) kekerasan yang menggunakan
nonverbal (nonverbal symbolic violence) atau disebut pula sebagai
kekerasan simbolik nonverbal dan (2) kekerasan yang menggunakan simbol verbal (bahasa) atau disebut pula sebagai kekerasan simbol verbal atau kekerasan verbal (verbal violence). Kekerasan verbal terwujud dalam tindakan tutur, seperti memaki, membentak, mengancam, menghujat, mengejek, melecehkan, menjelekjelekkan, mengusir, memfitnah, menyudutkan, mendiskriminasi, mengintimidasi, menakut-nakuti, memaksa, menghasut, membuat orang lain malu, dan menghina. Berdasarkan penjelasan itu, penggunaan makian merupakan bagian dari kekerasan yang bersifat verbal karena menggunakan simbol-simbol bahasa untuk melakukan tindak kekerasan pada orang atau pihak lain dalam pelbagai manifestasi. Sejalan dengan pendapat di atas, Pastika (2008:2) menyatakan bahwa bahasa kasar adalah bentuk ungkapan yang menistakan orang lain dengan menggunakan kata-kata yang tidak senonoh, misalnya caci-maki, umpatan, penghinaan, dan lain-lain. Bahasa kasar dapat digolongkan sebagai tindak kekerasan verbal karena ungkapan yang digunakan dapat melukai perasaan orang lain. Selanjutnya,
dalam
pandangan
Poerwandari,
kekerasan
yang
menggunakan peranti simbol-simbol bahasa dapat disebut sebagai bagian dari kekerasan psikologis atau mental. Dalam konteks itu, Poerwandari (2004:11—12) menyatakan sebagai berikut: Intervensi psikologis nyata menunjukkan bahwa ucapan dapat sangat menyakitkan dan menimbulkan luka berkepanjangan, entah tampil dalam bentuk perendahan, ketidakpedulian, penolakan, makian kasar, atau ancaman-ancaman. Kekerasan semacam ini sering diberi istilah sebagai kekerasan psikologis atau kekerasan mental. Kekerasan psikologis
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
5
merupakan penyerangan harga diri, penghancuran motivasi, perendahan, kegiatan mempermalukan, upaya membuat takut, dan teror dalam banyak manifestasinya. Misalnya, makian kata-kata kasar, ancaman, penguntitan, penghinaan, dan banyak bentuk kekerasan fisik/seksual yang berdampak psikologis. Makian yang seringkali digunakan untuk mengekspresikan kemarahan merupakan ekspresi verbal yang digunakan penutur bahasa sebagai siasat agar tidak terus-menerus dalam keadaan tertekan. Bagi orang yang terkena, ucapan makian yang ditujukan pihak lain kepada dirinya mungkin dirasakan menyerang dan menyakiti perasaan, tetapi bagi yang mengucapkannya, ekspresi dengan makian adalah pembebasan dari segala bentuk dan situasi yang tidak mengenakkan. Berkenaan dengan hal itu, Estrich dan Sperber (1952:28) menyatakan bahwa kepuasan seseorang yang sedang marah terletak pada kemampuannya melontarkan kata makian. Dalam masyarakat Indonesia terdapat banyak bentuk makian. Makian itu biasa dilontarkan oleh orang yang tidak dapat mengendalikan diri. Semuanya tidak sama, tetapi sesuai dengan tingkat emosi seseorang. Makin gamblang makna makian itu dipahami seseorang, makin tinggi tingkat makiannya. Sebaliknya, makin jarang dipakai dan makin samar makian itu, tentu makin rendah pula tingkat emosi yang ditimbulkannya (Ruskhan, 2008). Makian atau kata-kata kotor digunakan untuk mencaci-maki, mengatangatai, menjelek-jelekkan, menghujat, dan sebagainya. Meskipun demikian, di sebagian kebudayaan, penggunaan kata makian seringkali difungsikan untuk mengungkapkan pujian, keheranan, dan menciptakan suasana pembicaraan yang akrab (Allan, 1986:17; Tannen, 2002:184; Wijana dan Rohmadi, 2007:110). Dengan perkataan lain, selain berfungsi sebagai sarana pengungkapan rasa marah,
rasa kesal,
rasa kecewa, penyesalan, keheranan, dan penghinaan,
makian juga dapat digunakan dalam nuansa keakraban. Dengan demikian, pada konteks semacam itu, makian dipakai untuk menciptakan atau menunjukkan keakraban dan keintiman. Mengenai fungi makian yang bukan semata berorientasi negatif, Crystal (1995:173) menyatakan bahwa makian dapat digunakan
untuk menunjukkan
identitas dalam suatu kelompok, untuk mengageti-ngageti, menakut-nakuti,
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
6
menghina, menunjukkan keakraban, menciptakan jarak, atau untuk menjalin solidaritas sosial. Fungsi penting lain dari makian adalah menandai jarak sosial, tetapi makian dapat juga menunjukkan hubungan solidaritas, misalnya ketika ada suatu kelompok yang identik dengan kebiasaan memaki. Kenyataanya, memaki bersifat universal karena siapa pun orangnya pasti pernah memaki, baik sedikit (jarang) maupun
banyak (sering) dan dengan pelbagai cara. Sebagian orang
mungkin akan memilih untuk mengatakan shoot daripada shit, tetapi tetap termasuk makian jika diucapkan dengan cara dan maksud yang sama. Tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas, Hughes (1991:32) menyatakan
makian dapat pula digunakan
untuk menunjukkan keakraban,
persahabatan, atau identitas di antara suatu komunitas. Pendapat di atas didukung pula oleh pernyataan Ljung (2006:96; dalam Pham, 2007:6) yang mengungkapkan bahwa tidak semua makian memiliki maksud negatif. Penggunaan makian mungkin saja menunjukkan persahabatan, keintiman, kemesraan, dan kasih sayang. Meskipun demikian, Dewaele (2004:204) mengingatkan
bahwa
penggunaan kata makian atau kata tabu yang tidak tepat dapat memungkinan terjadinya
keretakan atau kehancuran hubungan
sosial. Oleh karena itu,
penggunaan makian bergantung pada motivasi dan konteks penggunaannya. Makian yang digunakan dalam masyarakat tumbuh dan berkembang sesuai dengan budaya masyarakat penuturnya. Konsep makian sama dalam setiap bahasa, tetapi ekspresi verbalnya berbeda (Indrawati, 2005:29). Pernyataan itu sejalan dengan pendapat Wilson (2005), yang menyatakan sebenarnya setiap bahasa yang ada di dalam setiap kebudayaan di dunia ini memiliki kata-kata makian yang khas. Bahkan, dialek-dialek dari bahasa yang sama pun mungkin memiliki ungkapan makian yang berbeda-beda. Makian sebagai ekspresi kebahasaan yang digunakan dalam tindakan memaki dengan pelbagai alasan lazim dipakai oleh penutur laki-laki ataupun perempuan. Jika hal tersebut dikaitkan dengan penggunaan makian di lingkungan kampus, dapat diajukan beberapa masalah yang penting dan menarik untuk diteliti, yaitu sebagai berikut.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
7
(1) Apakah klasifikasi bentuk makian yang digunakan oleh mahasiswa? (2) Apakah klasifikasi kategori makian yang digunakan oleh mahasiswa? (3) Apakah klasifikasi sumber makian yang digunakan oleh mahasiswa? (4) Apakah klasifikasi alasan penggunaan makian yang dikemukakan oleh mahasiswa?
Untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, peneliti ini melakukan penelitian yang bertujuan menjelaskan bentuk makian, kategori makian, sumber makian, dan alasan memaki yang dikemukakan oleh responden mahasiswa laki-laki dan oleh responden mahasiswa perempuan. Pilihan mahasiswa sebagai responden penelitian ini didasari oleh beberapa alasan, antara lain (1) penelitian terdahulu yang dilakukan oleh para peneliti lain menunjukkan penggunaan makian oleh mahasiswa frekuensinya sangat tinggi; dalam hal ini mahasiswa merupakan salah satu tipe masyarakat tutur yang juga memiliki kebiasaan memaki. Oleh karena itu, penggunaan makian oleh mahasiswa menjadi masalah yang menarik untuk ditelaah dan (2) belum ada penelitian yang melaporkan bentuk makian, kategori makian, sumber makian, dan alasan memaki yang dikemukakan oleh mahasiswa laki-laki dan oleh mahasiswa perempuan. Adapun pemilihan mahasiswa
Progam Sudi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) sebagai responden penelitian ini didasari oleh beberapa alasan. Pertama, alasan keberagaman latar belakang bahasa yang dimiliki mahasiswa. Jika diperhatikan dari latar belakang bahasa pertama yang dikuasai, mahasiswa Untirta pada umumnya ada yang berlatar belakang bahasa Sunda, bahasa Jawa Dialek Banten, bahasa Indonesia, dan bahasa lain. Hal itu sesuai dengan profil sosiolinguistik Provinsi Banten, yang ditandai oleh terdapatnya bahasa Sunda dan bahasa Jawa Dialek Banten sebagai bahasa daerah, yang dipakai oleh komunitas penutur pribumi di wilayahnya masing-masing. Selain itu, terdapat pula bahasa-bahasa daerah lain, yang dikuasai oleh penduduk yang merupakan pendatang dari pelbagai daerah dan akhirnya menetap di wilayah Banten. Kedua, karena peneliti ini bekerja sebagai pengajar (dosen) di program
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
8
studi tersebut sehingga tidak ada hambatan emosional dan psikologis antara peneliti ini dan subjek yang diteliti. Dengan demikian, data yang diperoleh diharapkan merupakan data alamiah (natural), akurat, konkret, dan bukan hasil rekayasa karena mahasiswa yang dipilih sebagai responden terbebas dari perasaan malu, takut, curiga, atau tertekan. Atau, dengan perkataan lain, antara peneliti ini dan responden saling memercayai karena sudah saling mengenal. Dengan keadaan seperti itu, peneliti ini mendapatkan kemudahan untuk melakukan pengecekan, konfirmasi, dan penggalian data secara lebih memadai agar beroleh data yang diharapkan. Ketiga, responden dapat dikondisikan untuk bersedia mengisi kuesioner secara utuh, jujur, terbuka, dan sesuai dengan kenyataan. Hal itu turut dipertimbangkan mengingat kesediaan responden untuk mengisi kuesioner secara utuh dan lengkap sangat dibutuhkan dalam penjaringan data. Oleh karena itu, dengan pertimbangan ada hubungan emosional yang baik antara peneliti ini dan responden, diharapkan responden bersedia membantu atau berpartisipasi dalam penelitian dengan cara menjawab seluruh pertanyaan kuesioner.
1.2
Pokok Bahasan dan Masalah Pokok bahasan makian yang dikaji dalam penelitian ini diarahkan pada
aspek bentuk, kategori, dan sumber makian, serta alasan penggunaan makian oleh responden laki-laki dan oleh responden perempuan.
a.
Aspek Klasifikasi Bentuk Makian Dipandang dari aspek klasifikasi bentuk, penelitian ini mengklasifikasikan
dan mendeskripsikan bentuk makian yang digunakan oleh responden mahasiswa laki-laki dan oleh responden mahasiswa perempuan. Bentuk makian yang diikuti dalam penelitian ini merujuk pada bentuk makian yang dikemukakan oleh Wijana dan Rohmadi (2007:115—130). Dalam konteks itu, Wijana dan Rohmadi (2007:115—130) menyatakan bahwa makian dapat dikelompokkan berdasarkan aspek formal dan referensinya. Makian secara formal dibedakan menjadi tiga jenis, yakni (a) makian berbentuk kata, (b) makian berbentuk frasa (kelompok kata), dan (c) makian berbentuk klausa. Namun, dalam penelitian ini tidak digunakan istilah formal, melainkan istilah bentuk. Dalam konteks itu, bentuk
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
9
diartikan (1) penampakan atau rupa satuan bahasa; (2) penampakan atau rupa satuan gramatikal
atau leksikal dipandang secara fonis atau grafemis
(Kridalaksana, 2008:32). Dengan demikian, istilah bentuk dalam penelitian ini merujuk pada rupa satuan gramatikal. Bentuk makian merujuk pada makian berwujud kata, makian berwujud frasa, dan makian berwujud klausa. Bentuk makian berdasarkan referensinya sebagaimana yang dikemukakan Wijana dan Rohmadi (2007:115— 130) di atas tidak digunakan dalam penelitian ini. Dengan demikian, pengelompokan bentuk makian hanya dihubungkan dengan perwujudan satuan gramatikal berupa kata, frasa, dan klausa, sedangkan referensi tidak dihubungkan dengan bentuk, melainkan dengan medan makna atau sumber makian.
b. Aspek Kategori Makian Dipandang dari aspek
kategori, penelitian ini mengklasifikasikan dan
mendeskripsikan kategori makian yang digunakan oleh responden mahasiswa laki-laki dan oleh responden mahasiswa perempuan. Kategori dalam penelitian ini mengacu pada kelas kata. Berkenaan dengan kelas kata, Kridalaksana (2008:116) menyatakan bahwa kelas kata adalah golongan kata yang mempunyai kesamaan dalam perilaku formalnya. Menurut Wijana dan Rohmadi (2007:117—118), secara kategorial, makian dapat digolongkan menjadi beberapa jenis, yakni (1) makian yang berkategori nomina atau frasa nominal, seperti bandot, tai, matamu, iblis, sundal, dan sebagainya; (2) makian berkategori verba (khususnya verba statif), seperti mati; (3) makian berkategori interjeksi, seperti buset; (4) makian berkategori ajektiva, seperti goblok, dungu, gila, dan sebagainya. Berdasarkan pernyatan tersebut, kategori dalam penelitian ini merujuk pada kelas kata nomina (N), frasa nominal (FN), verba (V), ajektiva (A), dan frasa adjektival (FA).
c. Aspek Sumber Makian Dipandang dari aspek sumber makian, penelitian ini mengklasifikasikan dan mendeskripsikan sumber makian yang digunakan oleh responden mahasiswa
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
10
laki-laki dan oleh responden mahasiswa perempuan. Teori yang digunakan untuk melakukan pengklasifikasian sumber makian dalam penelitian ini disintesiskan dari pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh Rothwell (1973:108), Trudgill (1983); Wardhaugh (1986:230); Hughes (1991:208); Battaglia et al. (2009). Berdasarkan sintesis dari pendapat-pendapat pakar di atas, sumber makian dapat diklasifikasikan menjadi sebagai berikut: (a) makian yang berhubungan dengan kotoran, (b) makian yang berhubungan dengan kelamin, (c) makian yang berhubungan dengan binatang, (d) makian yang berhubungan dengan agama, (e) makian yang berhubungan dengan keterbelakangan mental/kebodohan, (f) makian yang berhubungan dengan perbuatan pengecut, (g) makian yang berhubungan dengan makhluk halus/gaib, (h) makian yang berhubungan dengan kematian, (i) makian yang berhubungan dengan aktivitas seks. Makian yang tidak dapat diklasifikasikan seturut klasifikasi tersebut dibuatkan klasifikasi baru.
d. Aspek Alasan Penggunaan Makian Dipandang dari aspek alasan penggunaan makian, penelitian ini mengklasifikasikan dan mendeskripsikan alasan penggunaan makian oleh responden mahasiswa laki-laki dan oleh responden mahasiswa perempuan. Untuk melakukan pengklasifikasian alasan memaki, peneliti ini merujuk
pendapat
Rassin dan Heijden (2005); Bolton dan Hutton (1997:331-332);
Jay dan
Janschewitz (2008); Crystal
(2003:173). Alasan-alasan memaki yang
disintesiskan dari pendapat ahli-ahli tersebut meliputi: (a) mencari perhatian, (b) mendiskreditkan, (c) menghasut, (d)
mengidentifikasi/mengokohkan identitas
kelompok, (e) persahabatan, (f) kecewa, (g) penyesalan, (h) menghina, (i) tersakiti, (j) terganggu, dan (k) marah. Alasan lain yang tidak dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi alasan yang disampaikan ahli-ahli tersebut dibuatkan klasifikasi baru. Berdasarkan latar pokok masalah dan pokok bahasan yang dikemukakan, peneliti ini merumuskan permasalahan utama dalam tesis ini
adalah
”Bagaimanakah klasifikasi dan deskripsi bentuk makian, kategori makian, dan sumber makian, serta alasan penggunaan makian oleh mahasiswa?”
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
11
1.3
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengklasifikasikan dan mendeskripsikan
bentuk makian, kategori makian, dan sumber makian, serta alasan penggunaan makian oleh mahasiswa.
1.4
Cakupan Penelitian Penelitian ini hanya dibatasi pada makian yang digunakan oleh responden,
yakni mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Penentuan jumlah responden didasarkan pada perhitungan pengambilan sampel (percontoh) dengan menggunakan rumus Slovin. Berdasarkan hasil perhitungan, peneliti ini memilih responden secara acak dengan memperhitungkan rasio jumlah mahasiswa masing-masing semester. Responden terpilih sebanyak 86 orang dengan rincian: 43 orang laki-laki dan 43 orang perempuan. Makian dalam penelitian ini diberi pengertian sebagai bentuk tuturan yang berupa kata-kata kotor, kasar, cabul, tabu, asusila, jorok, menjijikan, atau kata-kata nonteknis dalam arti tidak merujuk pada referensi yang sebenarnya, yang digunakan untuk memaki, baik yang berorientasi negatif, seperti memaki, membentak, mengancam, menghujat, mengejek, melecehkan, menjelek-jelekkan, mengusir, memfitnah, menyudutkan, mendiskriminasi, mengintimidasi, menakut-nakuti, memaksa, menghasut, membuat orang lain malu, dan menghina maupun yang berorientasi positif, seperti bercanda atau menunjukkan persahabatan. Dalam ruang lingkup atau pembatasan,
makian dipandang sebagai
ekspresi verbal yang bersifat kasar yang terjadi karena pemicu tertentu di dalam konteks situasi tutur yang khas. Cakupan penelitian ini hanya dibatasi
pada bentuk makian yang
digunakan oleh responden, kategori makian yang digunakan oleh responden, dan sumber makian yang digunakan oleh responden, serta alasan penggunaan makian oleh responden.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
12
1.5
Kemaknawian Penelitian Penelitian ini bermanfaat untuk memberi gambaran konkret tentang
makian yang digunakan oleh mahasiswa laki-laki dan oleh mahasiswa perempuan. Dengan menganalisis makian yang digunakan mahasiswa, dapat diketahui klasifikasi dan deskripsi bentuk makian, kategori makian, dan sumber makian, serta alasan penggunaannya. Kebermaknaan penelitian ini tampak pada sumbangannya mengisi rumpang-rumpang penelitian sejenis yang telah dilakukan sebelumnya, baik makian dalam bahasa Indonesia, bahasa daerah, maupun bahasa Asing (terutama bahasa Inggris). Salah satu manfaat yang dapat dikemukakan adalah memberi contoh dan gambaran empiris tentang penggunaan makian di lingkungan kampus. Selain itu, kajian ini juga bermanfaat untuk memberikan masukan bagi penyusunan teori atau buku teks sosiolinguistik di Indonesia, yakni melengkapi materi-materi standar yang lazim dicakup oleh sosiolinguistik. Dengan perkataan lain, kajian ini bermanfaat secara teoretis untuk tambahan materi atau revisi sosiolinguistik. Dengan demikian, deskripsi dan eksplanasi tentang penggunaan makian turut dibicarakan sebagai salah satu fakta atau bukti adanya bentuk makian yang digunakan oleh penutur bahasa di Indonesia dalam pelbagai konteks situasi tutur, terutama oleh kalangan mahasiswa yang merupakan bagian dari komunitas kampus. Selama ini, materi makian jarang sekali dibicarakan di dalam kepustakaan sosiolinguistik, terutama di Indonesia.
1.6
Sistematika Penulisan Sistematika yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Bab 1 Pendahuluan yang memaparkan latar pokok penelitian untuk
memberikan justifikasi perlunya penelitian ini dilakukan, pokok bahasan dan permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian, tujuan penelitian, cakupan penelitian, dan kemaknawian penelitian. Bab 2 Penelitian Terdahulu, Tinjauan Kepustakaan, dan Kerangka Teori yang mengupas hal-hal yang berkaitan dengan
penelitian terdahulu,
tinjauan pustaka yang relevan, dan kerangka teori yang mengupas pokok-pokok teori yang digunakan untuk menelaah makian yang digunakan oleh responden
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
13
penelitian ini, yakni mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Tinjauan kepustakaan yang dipaparkan meliputi: pengertian makian; sejarah makian; makian dan tabu; klasifikasi kata makian; fungsi makian; makian, jenis kelamin, dan gender. Adapun kerangka teori yang dipaparkan meliputi: pengertian dan ciri makian, klasifikasi bentuk makian, klasifikasi kategori makian, klasifikasi sumber makian, dan klasifikasi alasan penggunaan makian. Bab 3 Metode dan Teknik Penelitian memaparkan metode penelitian, teknik penelitian, teknik pengumpulan data, responden penelitian, kuesioner penelitian, dan teknik analisis data. Bab 4 Analisis Data yang memaparkan (1) klasifikasi dan deskripsi bentuk makian berdasarkan data makian yang digunakan oleh responden, (2) klasifikasi dan deskripsi kategori makian berdasarkan data makian yang digunakan oleh responden, (3) klasifikasi dan deskripsi
sumber makian
berdasarkan data makian yang digunakan oleh responden, dan (4) klasifikasi dan deskripsi alasan penggunaan makian berdasarkan alasan yang dikemukakan oleh responden. Bab 5 Simpulan dan Saran berisikan simpulan hasil penelitian dan saran yang relevan dengan pembahasan hasil penelitian serta temuan penelitian.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
15
BAB 2 PENELITIAN TERDAHULU, TINJAUAN KEPUSTAKAAN, DAN KERANGKA TEORI
2.1
Pengantar Bab berikut mengupas penelitian terdahulu yang berhubungan dengan
penggunaan makian, baik di dalam bahasa asing, terutama bahasa Inggris maupun dalam bahasa daerah dan bahasa Indonesia; tinjauan pustaka yang relevan; kerangka teori. Di dalam bagian berikut akan dikupas pengertian makian, sejarah makian, makian dan tabu, klasifikasi kata makian berdasarkan bentuk dan referensinya; fungsi makian: motif psikologis, motif sosial, dan motif linguistik penggunaan makian; makian, jenis kelamin, dan gender. Selain itu, kerangka teori yang digunakan
sebagai landasan berpijak untuk
menelaah klasifikasi dan
deskripsi bentuk, kategori, dan sumber makian, serta alasan penggunaan makian juga disertakan. Kerangka teori dalam bab ini mencakupi konsep-konsep dasar yang akan dikembangkan dalam penelitian ini.
2.2
Penelitian Terdahulu Sesungguhnya, kajian tentang makian bukanlah masalah yang sama sekali
baru dalam dunia telaah linguistik. Para linguis dan peneliti terdahulu telah melakukan beberapa telaah atau penelitian dalam hal penggunaan makian. Dalam konteks itu, penelitian tentang makian telah banyak dilakukan oleh ahli atau peneliti dari pelbagai aspek. Misalnya, McEnery (2005) melakukan makian dari perspektif linguistik (bahasa); van Lancker dan Cummings (1999) melakukan makian dalam kaitannya dengan bidang neurolinguistik; Green (2003) meneliti makian dalam kaitannya dengan psikolinguistik dan psikologi; Bell dan Reverby (2005) meneliti makian dalam hubungannya dengan kajian wanita. Namun, studi tentang makian, khususnya yang berkaitan dengan makian bahasa Indonesia belum banyak dilakukan (Wijana dan Rohmadi, 2007:113). Peneliti-peneliti bahasa Indonesia agaknya lebih tertarik mengamati aspek yang berseberangan dengan hal ini, yakni eufimisme, seperti apa yang dilakukan oleh Aryatmi (1997), Sunarso (1986), Sunarso (1998), dan Damanhuri (2007).
Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
15
Universitas Indonesia
16
Keadaan ini agaknya tidak terlalu sukar untuk dijelaskan karena data-data penggunaan eufimisme jauh lebih mudah didapatkan sehubungan dengan kecenderungan orang-orang untuk bersopan santun, berbasa-basi, dan sebagainya. Sebaliknya, situasi penggunaan makian lebih sulit ditemukan sehingga pemerolehan datanya sangat terbatas atau sukar. Berhubungan dengan bahasa daerah, penelitian terhadap makian telah dilakukan oleh beberapa orang, antara lain, Sudaryanto, dkk. (1982) dan Saptomo (2000) yang meneliti makian dalam bahasa Jawa; Indrawati (2005) yang meneliti makian dalam bahasa Madura; Suparno (2008) yang meneliti makian dalam bahasa Melayu Manado. Berikut ini saya uraikan beberapa kajian atau penelitian tentang makian yang berhasil saya lacak atau telusuri, baik penelitian
yang dilakukan di
Indonesia maupun di luar Indonesia. Penelitian tentang
makian pernah dilakukan oleh Tyler (1977), yaitu
penelitian tentang penggunaan makian oleh perempuan. Penelitian tersebut bersifat eksperimen yang menguji hipotesis bahwa penggunaan makian oleh perempuan mendatangkan persepsi lebih negatif daripada makian yang dipakai oleh laki-laki. Temuan penelitian yang dihasilkan adalah makian yang digunakan perempuan dan laki-laki dipersepsi secara berbeda; latar belakang penilai dan persepsi atas konteks pembicaraan berperan cukup kontributif terhadap penilaian kata makian. Hasil penelitian itu dituliskan dalam bentuk artikel yang berjudul ”Why Ladies Don’t Swear”. Penelitian lainnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Veronica (1997), yang
berkenaan dengan sikap sosial masyarakat terhadap makian dan tabu,
terutama dalam kaitannya
dengan
gender, umur, dan agama. Penelitian itu
memerikan penggunaan makian yang dihubungkan dengan perangkat perundangundangan di Hongkong yang mengontrol penggunaan bahasa di media massa. Temuan yang dihasilkan melalui penelitian tersebut adalah (1) makian sangat erat hubungannya dengan gender dan umur; (2) penggunaan makian tidak terlalu berkaitan dengan tingkat pendidikan dan agama. Hasil penelitian tersebut dituliskan dalam artikel berjudul ”Social Attitudes Towards Swearing and Taboo Language”.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
17
Penelitian berikutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Dewaele (2004), yang menyelidiki persepsi dari kekuatan emosional kata-kata makian dan tabu di antara para multibahasawan yang berjumlah 1039 orang. Penyelidikan tersebut didasarkan pada database yang berhasil dikumpulkan melalui kuesioner tentang bilingualisme dan emosi di internet. Dewaele melaporkan hasil penelitiannya dalam tulisan berjudul
”The Emotional Language Force of
Swearwords and Taboo Words in The Speech of Multilinguals”. Sementara itu, Pham (2007) meneliti penggunaan makian “bitch” dalam pelbagai konteks dan dalam pelbagai bentuk gramatikal yang berbeda. Penelitian tersebut menjelaskan (1) penggunaan makian oleh anak-anak remaja yang ditujukan pada sebayanya dan (2) penggunaan kata bitch
yang sebenarnya
bukanlah kata tabu, tetapi kenyataannya telah berkembang menjadi kata yang lebih bermakna negatif sehingga dapat dikategorikan sebagai makian. Hasil penelitian itu dituliskan dalam artikel berjudul ”…this teenage bitchness a corpusbased study of teenager’s use of the term bitch and its forms”. Penelitian yang hampir serupa dengan penelitian-penelitian di atas adalah penelitian yang dilakukan oleh Fägetsten, Dalama, dan Sweden (2007). Penelitian yang mereka lakukan bertajuk “A Sociolinguistic Analysis of Swear Word Offensiveness”. Penelitian itu dirancang dengan ancangan metodologis yang ditujukan untuk mengumpulkan data kuantitatif dan kualitatif,
merefleksikan
ancangan sosiolinguistik dari penggunaan makian, dan menyediakan data untuk menyelidiki hubungan antara penggunaan makian dan konteks sosial. Penelitian tersebut memaparkan jenis-jenis makian yang dipakai dalam interaksi sosial oleh mahasiswa di Universitas Florida, Amerika Serikat dan
peringkat kata-kata
makian yang diurutkan sesuai dengan tingkat kekasarannya menurut penilaian mahasiswa. Penelitian tentang kata makian, khususnya makian bahasa gaul, dilakukan oleh Yuwono (2008) dengan judul ”Ilfil Gue Sama Elu! Sebuah Tinjauan atas Ungkapan Serapah dalam Bahasa Gaul Mutakhir”. Dalam penelitian itu, Yuwono menampilkan bentuk-bentuk ungkapan serapah yang dibentuk secara kreatif dengan penekanan pada kategori-kategori etimologis dan bukan pada sudut siapa dan kapan ungkapan serapah digunakan pertama kali atau dipopulerkan. Tujuan
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
18
penelitian itu adalah melanjutkan bahasan tentang bahasa gaul dengan penyempitan bahasa pada ungkapan serapah (swearing word) dalam bahasa gaul tulis mutakhir. Titik mutakhir ditekankan pada pemanfaatan data dari bermacammacam sumber data tulis terbaru, terutama media komunikasi melalui komputer dalam wujud milis dan blog. Bahasan tentang ungkapan serapah dalam bahasa gaul dipersempit pada klasifikasi ungkapan serapah dari sudut medan makna sebagai salah satu
kategori etimologis dan
cara-cara spesifik pembentukan
ungkapan serapah. Penelitian tersebut menghasilkan temuan klasifikasi ungkapan serapan tulis mutakhir berdasarkan bentuk dan cara-cara spesifik pembentukan ungkapan serapah. Bentuk ungkapan serapah meliputi: (1) emosi, (2) jenis hewan yang dekat dengan kehidupan manusia, (3) jenis makanan, (4) keadaan makanan, (5) jenis makhluk gaib, (6) keadaan sesuatu, (7) sifat manusia, (8) kekurangan fisik manusia, (9) pengalaman negatif manusia, (10) tiruan bunyi, (11) nama tokoh, dan (12) bagian tubuh yang dianggap tabu atau yang berhubungan dengan aktivitas seksual. Sementara itu, cara-cara pembentukan makian meliputi: (1) pemendekan dan penyingkatan dengan motivasi penghematan, (2) persamaan bunyi dengan motivasi variasi, (3) pelemahan vokal pada suku kata terakhir dengan motivasi perelaksan artikulasi, (4)
perubahan vokal pada suku kata terakhir dengan
motivasi variasi bunyi, (5) perubahan vokal pada suku kata pertama dan suku kata terakhir dengan motivasi variasi bunyi, (6) perubahan vokal pada suku pertama
disertai perubahan suku
kedua dengan motivasi variasi bunyi, (7)
perubahan konsonan terakhir suku tertutup dengan motivasi
penggayaan
(pemiripan bunyi bahasa asing), (8) perubahan bunyi suku terakhir, (9) perubahan suku kedua dengan motivasi penggayaan (pemiripan bunyi bahasa asing/bahasa Inggris), (10) leksemisasi dengan penggabungan ungkapan serapah dalam satu suku kata dengan motivasi variasi, (11) asosiasi makna penggayaan, (12) peminjaman ungkapan serapah
dengan motivasi
berbahasa daerah dengan
motivasi variasi, (13) peminjaman ungkapan serapah berbahasa asing dengan motivasi penggayaan atau penghematan, (14) kombinasi bahasa asing dan bahasa
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
19
Indonesia dengan motivasi penggayaan, dan (15) pemakaian lambang emotikon dengan motivasi penghematan. Dalam kaitannya dengan perbedaan makian yang digunakan laki-laki dan perempuan, Gao Gao (2008) meneliti penggunaan bahasa tabu dalam percakapan antara laki-laki dan laki-laki; perempuan dan perempuan; laki-laki dan perempuan dalam beberapa episode serial TV Amerika berjudul ”Sex and the City”. Gao Gao menganalisis perbedaan dan persamaan kata-kata tabu yang digunakan laki-laki dan perempuan dalam pembicaraan bertautan dengan perbedaan gender dan strategi percakapannya. Penelitian tersebut memaparkan penggunaan kata-kata tabu untuk memaki dan kata-kata yang mengandung eufimisme oleh laki-laki dan oleh perempuan yang menjadi subjek penelitian. Laporan hasil penelitian tersebut dituliskan dalam artikel berjudul “Taboo Language in Sex and The City An Analysis of Gender Differences in Using Taboo Language in Conversation”. Penelitian penggunaan makian yang subjeknya mahasiswa dilakukan oleh Jay dan Janschewitz (2008). Kedua pakar itu melakukan penelitian dengan menggunakan kerangka psikologi kognitif, penggunaan
makian
dalam
pelbagai
macam
yang bertujuan menjelaskan konteks
dan
menemukan
hubungannya dengan penelitian ketidaksantunan. Dalam penelitian tersebut, mahasiswa penutur jati dan bukan penutur jati bahasa Inggris diminta memberikan nilai/peringkat atas kata-kata tidak sopan (kotor) dan skenario hipotetis yang mungkin melibatkan penggunaan kata-kata tabu. Hasil penilaian mahasiswa menunjukkan bahwa kepantasan penggunaan makian
merupakan variabel yang sangat kontekstual, yakni bergantung pada
konteks hubungan pembicara dan pendengar, konteks sosial dan fisik, dan konteks kata-kata khusus
yang digunakan. Selain itu, peringkat ketidaksopanan
bergantung pada masalah jenis kelamin (bagi penutur jati) dan pengalaman berbahasa Inggris (bagi penutur bukan jati). Penelitian itu menghasilkan data yang mendukung
pendapat bahwa butuh waktu cukup lama bagi pembicara
(pemelajar bahasa) untuk mempelajari di mana, kapan, dan dengan siapa makian itu dianggap cocok/pantas. Selain penelitian yang dilakukan oleh para ahli di atas, terdapat pula penelitian lain, misalnya penelitian yang dilakukan oleh Kiswandono (1995),
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
20
Setiawati (2000), Sukmaningrum (2001), Japutri (2006), Karina Kok (2007), Damanhuri (2007), Nuraini (2008), dan Kurniawan (2009). Penelitian mengenai penggunaan kata makian oleh kalangan mahasiswa dilakukan oleh Kiswandono (1995), yakni ”The Use of Taboo Words by Mechanical Engineering Students at Petra Christian University”. Dalam penelitian itu, Kiswandono menghubungkan
klasifikasi kata-kata makian, situasi, dan
motivasi penggunaaan makian. Penelitian itu menggunakan pendekatan kuantitatif, yang menganalisis situasi dan motivasi penggunaan makian dengan menggunakan kerangka teori Hymes, yaitu SPEAKING. Temuan yang dihasilkan adalah (1)
sebagian besar responden
menggunakan kata makian yang
berhubungan dengan fungsi anggota tubuh; (2) sebagian besar responden menyetujui penggunaan makian sebagai ekspresi keakraban antarpenggunanya. Sementara itu, Setiawati (2000) melakukan penelitian dengan topik penggunaan kata-kata tabu oleh mahasiswa perempuan. Penelitian itu diberi judul ”The Use of Javanese Taboo Words by the Female Students of Faculty of the Letters at Petra Christian University Surabaya”. Masalah penelitiannya difokuskan pada
(a) klasifikasi kata-kata tabu yang dianggap paling mudah, (b) dalam
lingkungan yang mana (di mana) para mahasiswa menggunakan kata-kata tabu, dan (c) dan alasan yang menyebabkan mereka menggunakan makian. Dalam penelitian tersebut, Setiawati mengambil sampel sebanyak 30 orang mahasiswa perempuan angkatan tahun 2000 dan semuanya berasal dari Jawa Timur. Selanjutnya, Sukmaningrum (2001) meneliti jenis-jenis makian bahasa Inggris dan
gejala penggunaannya. Sukmaningrum membatasi penelitiannya
pada penggunaan makian dalam film-film Amerika. Penelitian itu difokuskan pada fungsi dan alasan penggunaan makian dalam dialog yang dibuat partisipan, yakni para pelaku dalam film. Selain peneliti-peneliti tersebut, Japutri (2006) melakukan penelitian mengenai kata makian dengan judul ”A Study of Swear Words Used by All Characters in the Movie The Nutty Professor”. Penelitian itu dilakukan dengan tujuan menggambarkan kategori makian dan sekaligus tujuan makian yang digunakan oleh tokoh-tokoh dalam film ”The Nutty Professor”. Dalam penelitian itu, dilakukan analisis data dengan menggunakan ancangan sosiolinguistik yang
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
21
mengacu pada teori-teori Trudgill. Klasifikasi makian yang digunakannya merupakan sintesis klasifikasi makian yang dikemukakan oleh Hughes, Trudgill, dan Rothwell. Adapun teori yang berhubungan dengan tujuan atau alasan makian yang diacunya merujuk pada teori Rothwell. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan deksriptif kuantitatif. Penelitian tersebut menghasilkan temuan bahwa makian yang bersumber dari
istilah-istilah anggota badan merupakan jenis
makian yang paling banyak digunakan oleh para aktor dalam film ”The Nutty Professor”, sedangkan alasan penggunaan makian yang paling banyak adalah makian untuk menghina. Penelitian mengenai penggunaan makian dilakukan pula oleh Karina Kok (2007) dengan judul ”Swear Words Used By a Group of YPPI in Elementary Students”. Penelitian itu difokuskan pada dua masalah, yakni (1) kata makian yang digunakan oleh siswa YPPI dan (2) jenis makian atau klasifikasi makian yang paling sering digunakan oleh siswa YPPI dalam percakapan sehari-hari. Data penelitian itu diperoleh melalui kuesioner dan observasi. Adapun kerangka teori yang digunakan adalah klasifikasi kata makian yang dikemukakan oleh Wardhaugh (1986:237); Hughes (1991:208); Jay (1992). Penelitian tersebut menghasilkan temuan berupa klasifikasi dan persentase tiap jenis makian yang dipakai oleh siswa YPPI beserta konteks penggunaannya dalam percakapan. Selanjutnya, Kurniawan (2009) meneliti karakteristik bahasa makian mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang. Penelitian itu menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Pendekatan teori yang digunakan adalah karakteristik bahasa dalam studi pragmatik dengan objek kajian peristiwa tutur. Temuan penelitian tersebut adalah (1) bentuk ungkapan makian merupakan wujud ujaran dengan pilihan kata-kata atau frasa yang tepat digunakan sebagai alat pengungkap perasaan penutur, (2) strategi penggunaan bahasa makian merupakan wujud dari penerapan teori SPEAKING, dan (3) ragam fungsi ungkapan makian selain menjadi sarana pengungkap rasa marah juga dapat digunakan sebagai sarana pengungkapan rasa kesal, rasa kecewa, penyesalan, keheranan ataupun penghinaan. Namun, sebaliknya, bahasa makian juga dapat digunakan sebagai sarana pengungkapan rasa keintiman atau dalam nuansa keakraban.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
22
Adapun penelitian makian dalam bahasa daerah dilakukan oleh Indrawati (2005), Damanhuri (2007), dan Suparno (2008). Indrawati (2005) melakukan penelitian mengenai penggunaan makian dalam bahasa Madura. Berdasarkan hasil analisisnya,
bentuk lingual makian
Madura dapat berupa kata, frasa, dan klausa. Makian Madura memiliki beberapa referensi yang dapat dikelompokkan menjadi delapan kelompok sebagai berikut. (a)
makian Madura yang referensinya bagian tubuh/anggota tubuh, seperti cethak ’kepala’; congor, colok ’mulut’; burik ’pantat’; sosoh ’payudara’; pokeh ’alat kelamin wanita’, dan peler ’alat kelamin laki-laki’;
(b)
makian Madura yang referensinya keadaan fisik seseorang, seperti genol ’dahi lebar’, peppa ’hidung pesek’, dhalbi ’bibir tebal menjuntai ke bawah’, nyorngat ’gigi keluar/maju’, kiver ’mata kecil sebelah’, dan corok ’telinga keluar cairan yang berbau busuk’;
(c)
makian Madura dengan referensi
istilah kekerabatan, seperti
mabanna ’nenekmu’, mbu’na ’ibumu’, buppana ’bapakmu’, dan bangotowana ’moyangmu’; (d)
makian Madura dengan referensi keadaan mental, seperti ghileh ’gila’, dhumeng ’idiot’, dan bhudhuh ’bodoh’;
(e)
makian Madura dengan referensi
sesuatu yang buruk, seperti
bhangkah ’mati seperti binatang’, dhuwes ’usus terburai keluar’, dan burunalas ’berkeliaran di hutan seperti binatang liar’; (f)
makian Madura dengan referensi
binatang, seperti babih ’babi’,
pate/bhurus ’anjing’, ikus ’kerbau’, dan mbe ’dhumbeh ’kambing yang sangat bau’; (g)
makian Madura dengan referensi
mahluk halus, seperti thoyol
’tuyul’, dan jrengkong ’setan’; (h)
makian Madura dengan referensi profesi/pekerjaan, seperti sondhel ’pelacur’;
(i)
makian Madura dengan referensi aktivitas seksual, seperti anco ’senggama’, dan om nyiom ’mencium-cium’.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
23
Sementara
itu,
Damanhuri
(2007)
melakukan
penelitian
untuk
menjabarkan dan memahami bentuk, referensi, dan fungsi makian dalam bahasa Madura pada masyarakat tuturnya dengan berdasarkan konteks sosial. Temuan penelitian ini adalah bentuk makian dalam bahasa Madura dapat dibagi dalam kategori bentuk kata, bentuk frasa, dan bentuk klausa. Bentuk kata makian dibagi menjadi bentuk kata monomorfemis dan bentuk kata polimorfemis. Bentuk kata monomorfemis dibagi berdasarkan kategori kata, yakni kategori verba, nomina, dan ajektiva. Bentuk kata polimorfemis diuraikan menjadi bentuk-bentuk kata yang
mengalami proses morfologis, yakni afiksasi,
reduplikasi, dan
pemajemukan. Makian bentuk frasa juga dapat dibagi berdasarkan kategori kata yang menjadi unsur pusatnya, yakni frasa verbal, frasa nominal, dan frasa ajektival. Bentuk klausa makian merupakan bentuk paling kompleks di antara bentuk-bentuk lainnya. Referensi makian dikategorikan menurut ada tidaknya acuan suatu makian sehingga diperoleh beberapa kategori, yaitu (1) referensi makian kategori keadaan, (2) referensi makian kategori binatang, (3) referensi makian kategori makhluk halus, (4) referensi makian kategori benda-benda, (5) referensi makian kategori bagian tubuh, (6) referensi makian kategori kekerabatan, (7) referensi makian kategori aktivitas, (8) referensi makian kategori profesi, (9) referensi makian kategori etnis dan bangsa, dan (10) referensi makian kategori seru. Makian memenuhi fungsi emotif dan fatis. Kedua fungsi bahasa tersebut diuraikan menjadi beberapa fungsi makian, yakni (1) mengungkapkan rasa marah, (2) mengungkapkan rasa kesal, (3) mengungkapkan rasa kecewa, (4) mengungkapkan rasa ancaman, (5) mengungkapkan rasa menghina atau olokan, (6) mengungkapkan rasa menyesal, (7) mengungkapkan rasa kagum atau keterkejutan, dan (8) mengungkapkan rasa intim atau keakraban. Adapun Suparno (2008) melakukan penelitian makian bahasa Melayu Manado. Berdasarkan kajiannya, Suparno menjelaskan bahwa satuan lingual dan satuan referensi makian dalam bahasa Melayu Manado dapat berupa kata, frasa, dan klausa. Makian
berbentuk kata dalam bahasa Melayu Manado memiliki
beberapa referensi yang dapat dikategorikan menjadi tujuh kelompok kata, yaitu (1) makian yang referensinya bagian tubuh manusia, seperti toto ’payudara’; puki,
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
24
tele, mai, poloi ’alat kelamin wanita’; tonti, poloi ’alat kelamin anak laki-laki’; tolor, pendo ’alat kelamin pria dewasa’; tungak, tungka ’gigi bertumpuk’; kentok ’pincang’; popo ’kaki buntung atau tangan buntung’; cabiuk ’telinga keluar cairan yang berbau busuk’; kadok ’tangan dan kaki penuh koreng’; budok ’seluruh tubuh berwarna putih/albino’; pongoh ’tidak dapat mendengar’; gidih-gidih ’mulut yang selalu berair liur’, dan lain-lain, (2) makian yang referensinya keadaan fisik seseorang, seperti godek ’tubuh gemuk’; girang ’gigi maju’; bilolo ’mata besar’; palungku ’kepal tangan’; skop ’tendangan kaki’; (3) makian yang referensinya istilah kekerabatan, seperti maitua ’istri’; mai, ajus ’ibu’; pai, cebe ’ayah’; tetek ’kakek’; tanta ’adik perempuan ibu’; (4) makian mental, seperti
bodog ’bodoh’;
dengan referensi keadaan
biongo ’gila’; bagila, bahugel ’selingkuh’;
cabalo ’bodoh’; sesek ’tak tahu malu’, (5) makian yang referensinya binatang, seperti babi ’babi’; anjing ’anjing’; lalar ’lalat’; monye ’monyet’; ular ’ular’; binatang ; ’segala jenis hewan’, (6) makian yang referensinya mahluk halus, seperti setang ’setan’; (7) makian yang referensinya pekerjaan, seperti sundal ’pelacur’. Berkenaan dengan perbandingan makian, Nuraini (2008) meneliti bentuk linguistik dan makna makian dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Data penelitian itu adalah film-film Barat dan film Indonesia. Temuan penelitian itu adalah (1) inventarisasi bentuk makian dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dan (2) perbedaan makna kata makian dalam bahasa Inggris dan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan ancangan sosiopragmatik. Dari beberapa penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa penelitian mengenai penggunaan makian telah banyak dilakukan peneliti lain dari aspek yang sangat beragam, yakni bentuk, referensi, fungsi, perbedaan persepsi, sikap sosial, daya emosi, aspek sosiolinguistik, aspek pragmatik, aspek sosiopragmatik, aspek psikologi dan psikolinguistik, aspek neurolinguistik, kajian wanita, serta perbandingan bentuk dan makna makian. Sementara itu, berkenaan dengan penelitian yang melibatkan mahasiswa sebagai subjek, penelitian ini berbeda fokusnya dengan penelitian terdahulu, yakni penelitian yang dilakukan oleh Kiswandono (1995), Setiawati (2000); Fägetsten, Dalama, dan Sweden (2007); Jay dan Janschewitz (2008); Kurniawan (2009).
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
25
Penelitian ini menjelaskan klasifikasi dan deskripsi bentuk, kategori, dan sumber makian berdasarkan data makian yang digunakan oleh responden laki-laki dan oleh responden perempuan, serta alasan penggunaan makian berdasarkan alasan yang dikemukakan oleh responden laki-laki dan oleh responden perempuan, yang yang berkuliah di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
2.3
Tinjauan Pustaka
2.3.1 Pengertian dan Ciri Makian Konsep makian dan tabu bukanlah hal yang baru muncul. Berkenaan dengan hal itu, Montagu (1967:5) menyatakan bahwa makian dan tabu sama tuanya dengan manusia dan seumur pula dengan bahasa. Dengan perkataan lain, makian dan tabu telah lahir sejak adanya bahasa yang dipakai manusia untuk berkomunikasi dan berinteraksi. Ljung, Andersson, dan Hirsch (dalam Karjalainen, 2002:21) menyatakan sangatlah sulit menemukan definisi kata makian. Tampaknya, di antara para peneliti tidak ada kesepakatan mengenai batasan kata makian Hal yang penting diperhatikan ketika mendefinisikan kata makian ialah kata makian harus digunakan dalam pengertian yang nonteknis. Salah satu bagian dari ciri nonteknis itu ialah kata yang disebut makian harus terkelompokkan sebagai kata tabu atau setidak-tidaknya merujuk pada subjek atau sesuatu yang tabu. Kata makian merupakan ungkapan yang dapat dilihat sebagai saluran dari emosi dan sikap pembicara yang menggunakan kata-kata tabu dalam cara yang nonteknis dan bersifat emotif (Ljung, 1984a:24;1984b:95; dalam Karjalainen, 2002:20). Kata yang dapat dikategorikan sebagai makian menurut Ljung (1984:22; dalam Pham, 2007:7) adalah ketika digunakan secara nonteknis, misalnya dalam kalimat berikut: Umumnya, ”bitch” (anjing betina) paling baik untuk disusukan pertama kalinya setelah dewasa, tetapi jangan berikan sebelum ia masuk pada siklus kedua atau ketiga masa panasnya, tergantung pada usianya.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
26
”Bitch” di dalam kalimat di atas diinterpretasikan sebagai ’anjing perempuan’ dan digunakan dalam arti harfiahnya. Jadi, bukan termasuk kata makian. Akan tetapi, jika kalimatnya ”You fucking bitch!”, ”Bitch” di dalam kalimat itu mengacu pada orang secara nonteknis, maka termasuk kata makian. Menurut Andersson dan Hirsch (1985a:5), terdapat tiga syarat agar suatu kata atau ungkapan dapat dikelompokkan sebagai kata makian, yaitu (1) merujuk pada tabu atau stigma (tanda dari ketidakberterimaan sosial) dalam suatu lingkungan budaya, (2) tidak dapat ditafsirkan secara harfiah, dan (3) dapat digunakan untuk mewujudkan emosi dan sikap yang kuat. Makian
merupakan
ungkapan
perasaan
tertentu
yang
timbulnya
disebabkan oleh dorongan yang bersifat kebahasaan dan nonkebahasaan. Hal yang bersifat kebahasaan berupa kata-kata yang diucapkan oleh seseorang yang dirasa tidak berkenan pada diri pemaki. Sebagai tanggapan atas tindakan itu, si pemaki melampiaskan perasaannya melalui pelbagai makian. Sementara itu, hal yang bersifat nonkebahasaan biasanya menyangkut perbuatan seseorang atau peristiwa tertentu. Perbuatan tertentu misalnya pemukulan dan peristiwa tertentu seperti penyesalan mengakibatkan seseorang marah, mengkal, atau kecewa. Dalam suasana seperti itu, biasanya orang terbawa luapan perasaannya yang tidak terkendali, luapan perasaan yang menegangkan saraf. Pada saat itulah, perasaan sering terungkap melalui kata-kata yang tergolong kasar. Salah satu pengungkapan tersebut adalah dengan mencaci maki penyebabnya (Concon, 1966:95). Menurut Hornby (1948:346), kata makian adalah kata seru yang bersifat kasar. Contohnya, “My Goodness!”, “Damn!”, dan sebagainya.
Adapun
Morehead dan Morehead (1981:195) mengungkapkan bahwa kata makian adalah sumpah serapah. Selanjutnya, definisi yang lebih bertumpu pada alasan atau tujuan makian disampaikan oleh Edward (1983:15), yang menyatakan kata makian merupakan ungkapan untuk menyinggung harga diri orang lain dan yang menjadi sasaran adalah menyakiti hatinya dan untuk sementara waktu, atau karena kebutuhan yang tidak jelas sehingga kadang-kadang yang memaki tidak mengetahui arti sebenarnya yang terkandung dalam kata itu.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
27
Menurut Webster’s New World Dictionary (Neufeldt dan Guralnik, (ed.)), 1994:1351), makian memiliki beberapa arti, yaitu (1) membuat pernyataan serius dengan memohon kepada Tuhan atau sesuatu yang dianggap suci untuk memberikan sumpah atas nama seseorang; (2) membuat janji yang serius; (3) meggunakan bahasa yang tidak senonoh atau cabul, mengutuk; (4) berdalil untuk memberikan bukti di bawah sumpah. Keempat arti itu sebenarnya dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yakni (a) arti ke-1, ke-2, dan ke-4 sebagai kategori pertama; (b) arti ke-3 sebagai ketegori kedua. Arti yang tercakup dalam kategori pertama merujuk pada makna makian dalam arti yang sungguh-sungguh, membuat janji, dan bersumpah. Adapun arti makian pada kategori kedua merujuk pada makna kata-kata kotor dan tidak senonoh. Bertaut dengan definisi makian, Hughes (1991:252) menyatakan sebagai berikut: Swear words are the obscenity words are used to swear and viewed as indecent and taboo in society those words are used to insult, to curse, to offend, or to mock at something when the speaker has a strong emotions (kata makian merupakan kata-kata yang bersifat cabul atau kasar yang digunakan untuk memaki dan dianggap tidak senonoh dalam suatu masyarakat; kata-kata tersebut dipakai untuk menghina/mencerca, memaki, mengutuk, melukai, menyakiti, mengejek, atau memperolok-olok sesuatu saat penuturnya merasakan emosi yang sangat kuat). Sementara itu, menurut KBBI (Alwi, dkk., 2005:702), ”maki” diartikan ‘mengeluarkan kata-kata (ucapan) keji (kotor, kasar, dan sebagainya) sebagai pelampiasan kemarahan atau rasa jengkel’; ”memaki” diartikan ‘mengucapkan kata-kata keji, tidak pantas, kurang adat untuk menyatakan kemarahan
atau
kejengkelan’; ”makian” diartikan ‘kata keji yang diucapkan karena marah, dan sebagainya’. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan
bahwa
meskipun di antara para ahli/peneliti tidak ada kesepakatan, kata makian dapat diidentifikasi melalui ciri-ciri berikut ini: (1) merupakan ungkapan perasaan tertentu yang timbulnya disebabkan oleh dorongan yang bersifat kebahasaan dan nonkebahasaan, (2) menggunakan
merupakan saluran dari emosi dan sikap pembicara, (3)
kata-kata tabu, kasar, kotor, cabul, tidak sopan, dan keji, (4)
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
28
merujuk pada tabu atau stigma dalam suatu lingkungan budaya/masyarakat, (5) merupakan ungkapan untuk menyinggung harga diri orang lain dan menyakiti hati, (6) sumpah serapah, (7) diucapkan karena marah, dan (8) dalam konteks tertentu dapat digunakan sebagai penanda keintiman dan pernyataan identitas.
2.3.2
Sejarah Makian Asal mula makian dapat ditelusuri ke zaman pertengahan atau bahkan
lebih jauh lagi dalam kebudayaan Anglo-Saxon. Hughes (1991; dalam Veronica, 1991:11) menunjukkan bahwa hukum yang berlaku di Anglo-Saxon memasukkan hukuman bagi mereka yang melakukan kejahatan verbal. Bunyi ayat yang menyatakan hukuman bagi mereka yang melakukan kejahatan verbal tersebut dicontohkan oleh Hughes (1991:43; dalam Veronica, 1997:11) sebagai berikut: If anyone in another’s house calls a man a prejurer, or shamefully accosts him with insulting words, he is to pay shilling to him who owns the house, and six shillings to him whom he spoke that word, and to pay twelve shillings to the king (Law of Eqothhere and Eadric, King of Kent (673-85), No II (ketika seseorang di rumah sebelah dimaki dengan sebutan orang yang bersumpah palsu, atau menegurnya dengan kata-kata penghinaan yang membuat malu orang, ia harus membayar sejumlah uang pada orang yang punya rumah, dan 6 dolar untuk orang yang mendapat makian tersebut, dan membayar 12 dolar kepada raja). Sementara itu, agama Kristen memiliki peran yang luar biasa besar terhadap sejarah makian. Kata makian sebagian besar dapat dikategorikan menjadi tiga, yakni (a) kata makian yang berhubungan dengan agama, (b) makian yang berhubungan dengan aktivitas dan organ seksual, dan (c) makian yang berhubungan dengan kotoran. Sebagian besar makian yang berhubungan dengan agama
bersumber
dari
agama
Kristen.
Makian
keagamaan
sangat
menonjol/mencolok, terutama pada masa zaman pertengahan. Dalam konteks itu, Hughes (1991:68) menyatakan bahwa makian banyak terdapat dalam karya-karya hikayat, dongeng,
atau cerita zaman pertengahan. Sikap yang beragam dari
masyarakat atas makian-makian ini dapat dapat ditangkap melalui narasi pencerita atau dialog-dialog tokoh. Cerita yang mengandung banyak penggunaan makian, misalnya Chaucer’s Canterbury Tales, The Reeve’s Tale, dan The Knight’s Tale.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
29
Seiring berubahnya waktu, pada masa Renaisans makian sekuler muncul menggantikan tempat makian yang berhubungan dengan agama. Karena Makian yang berhubungan dengan agama ini dianggap tidak dapat diterima, makian sekuler menjadi berkembang. Oleh karena itu, dibuatlah hukum untuk menyensor penyebaran dan penjalaran makian. Berhubungan dengan hal tersebut, Hughes (1991:102) menyatakan sebagai berikut: Peraturan hanya muncul setelah pemerintahan Elizabeth karena meskipun Ratu bersumpah dan akan memalukan, peraturan tentang pelarangan makian sulit untuk diterapkan. Hukum yang ditetapkan pada tahun 1606 dan 1603 melarang orang untuk memaki atau mengutuk atas nama Tuhan atau Yesus Tuhan Suci atau dari Trinitas, maka yang melanggar akan mendapat hukuman denda uang atau bahkan hukuman fisik bagi mereka yang melawan hukum. Pada zaman Renaisans, orang-orang puritan melakukan pengawasan ketat untuk menentang penggunaan makian. Namun, pada masa ini pula penggunaan makian dalam karya sastra tetap merebak. Hughes mempergunakan kata ”licentiuousness” ’ketidakbermoralan’ yang dihubungkan dengan pendirian (sikap) pada periode ini. Menurutnya, seorang penulis semacam Rochester bahkan dengan senangnya menyejajarkan antara bahasa yang sakral dan tidak senonoh secara sengaja untuk membuat gaya bercerita yang memberi kejutan (Veronica, 1997:15). Ketika datang masa Victorian, sikap terhadap makian menjadi bermacammacam. Kaum elit merupakan golongan yang sangat berhati-hati dalam berbahasa sehingga menghindari penggunaan bahasa yang tidak sopan. Malahan, eufimisme menjadi sangat menjamur. Misalnya, ladies of intrigue atau cheres amies dan female operative digunakan untuk merujuk pada ’pelacur’. Bagi orang biasa, kosakata yang bernada langsung semacam intercourse, prick, cunt, vagina dan cock lebih sering digunakan (Hughes, 1991:576). Kebiasaan memaki terus berlanjut hingga setakat ini. Dalam masyarakat modern, penggunaan bahasa yang tidak baik (tidak sopan) di depan umum atau di dalam media akan memancing komentar yang luar biasa dari masyarakat. Bahkan, mungkin sebagian besar masyarakat akan memakinya. Hal ini akan terjadi, terutama jika orang terkenal yang melakukannya.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
30
Berdasarkan uraian di atas, makian memiliki perjalanan sejarah yang sangat panjang hingga setakat ini. Dalam konteks itu, Veronica (1997:15—16) menyatakan makian memiliki sejarah yang panjang. Lain waktu lain pula sikap masyarakat terhadap makian. Makian erat hubungannya dengan kebijakan pemerintah. Ketika hukum lebih tegas, makian di depan umum dan dalam tulisan bisa lebih dikendalikan. Namun seketat apa pun hukum, makian tidak dapat dikeluarkan seluruhnya dari masyarakat. Dengan demikian, kata makian telah seumur dengan manusia. Dalam setiap rentang zaman, makian beroleh penyikapan yang berbeda-beda. Ada yang menentang, ada yang hendak memberangus atau mengontrolnya melalui perangkat perundang-undangan, ada yang mencemooh, bahkan ada yang tetap menggunakannya. Oleh karena itu, makian tidak pernah bisa dilenyapkan dari kehidupan sosial manusia.
2.3.3 Makian dan Tabu Bertaut dengan tabu, Burridge (2006) menyatakan sebagai berikut: The English word taboo derives from Tongan taboo. It entered the language towards the end of 18th century. In this context, the word refers generally to for bidden behavior and includes such thing as bans on naming dangerous animal, food restrictions, prohibitions on touching or talking to members of high social classes, and injunctions involving aspect of birth, death, and mensturations (kata tabu dalam bahasa Inggris diturunkan dari kata “taboo” dalam bahasa Tongan. Kata itu masuk ke dalam bahasa Inggris sekitar pengujung abad ke-18. Dalam konteks itu, tabu merujuk pada perbuatan yang dilarang dan larangan menyebut binatang yang berbahaya, larangan atas makanan, larangan menyentuh atau membicarakan kelompok masyarakat tertentu, dan keputusan yang melibatkan kelahiran, kematian, dan mensturasi). Menurut Eisenson dan Boase (dalam Liedlich, 1973:107), tabu adalah sesuatu yang dilarang untuk dilakukan atau dikatakan karena tidak sesuai dengan kebudayaan suatu masyarakat. Berkenaan dengan tabu yang ada di lingkungan masyarakat, Wardhaugh (1986:230) menyatakan, ”Tabu adalah salah satu cara masyarakat untuk menolak jenis perilaku tertentu yang dipercayai akan membahayakan anggota masyarakat, baik demi alasan supranatural maupun untuk merusak etika moral tertentu.”
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
31
Sementara itu, Jay (1999:25) menggunakan istilah kutukan
untuk
menjelaskan bahasa tabu dan membaginya menjadi: makian, fitnah, kata-kata kotor, kecabulan, saling mengata-ngatai, agresi verbal, ujaran tabu, hinaan etnis yang bersifat rasial, kekasaran, ketidaksopanan, slang, dan skatologi. Tabu merujuk pada sesuatu yang terlarang. Dalam konteks itu, Trudgill (2000:18) mendefinisikan tabu sebagai perilaku yang diyakini terlarang secara supranatural atau dipandang sebagai amoral atau tidak sesuai; berkenaan dengan perilaku yang dilarang atau dihalangi dengan cara yang tidak rasional. Tabu dihubungkan dengan sesuatu yang tidak dikatakan. Sebagai sebuah konsep, tabu memiliki pengertian yang luas. Tabu dapat dibagi menjadi kutukan, makian, katakata kotor (tidak senonoh), fitnah, kecabulan, cercaan (hinaan), dan godaan seksual. Adapun Battistella (2005:38) mendefinisikan kata-kata tabu sebagai bahasa tidak sopan yang dapat diturunkan menjadi beberapa kategori, yaitu julukan, makian, kekasaran, dan kecabulan. Dalam kenyataannya, pelbagai jenis tabu tersebut sangatlah sulit dipisahkan karena biasanya saling berjalinkelindan. Misalnya, ketika seorang penutur bahasa menyumpah/memaki seseorang, sebenarnya penutur bahasa itu juga menghina secara bersamaan. Banyak kata yang dikategorikan sebagai kata tabu yang penggunaannya dihindari oleh orang-orang dalam penggunaan bahasa yang sopan. Hal itu berhubungan dengan fakta bahwa kata-kata tersebut cenderung menyakitkan hati, membahayakan, dan memalukan. Kata-kata yang menyakitkan hati itu berasosiasi dengan pelbagai macam penyimpangan fisik, mental, dan sosial. Kata-kata yang dianggap berbahaya adalah kata-kata yang berkenaan dengan kematian, kepercayaan terhadap gejala supernatural dan takhayul, dan lain-lain; sedangkan kata-kata tabu yang memalukan adalah kata-kata tabu yang berkonotasi dengan perilaku dan penyimpangan seksual (Crystal, 2003:172—173). Meskipun makian berhubungan dengan tabu, tetapi tidak semua kata-kata tabu merupakan kata makian. Dalam hubungan dengan hal itu, Veronica (1997:9) menyatakan bahwa makian merupakan bentuk kata-kata tabu, tetapi tidak semua kata-kata tabu digunakan untuk tujuan memaki.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
32
Sejalan dengan pendapat di atas, Karjalainen (2002:18) menyatakan bahwa orang mungkin berpikir bahwa kata tabu atau kata yang mengacu pada tabu adalah makian. Meskipun semua kata makian adalah kata-kata tabu, tidak semua kata tabu adalah kata makian. Misalnya, kanibalisme sudah pasti tabu di semua budaya, tetapi tidak semua budaya punya kosakata makian yang berasal dari tabu tersebut. Ada tiga tahap penggunaan kata tabu sebagai makian. Pertama, ketika pembicara
menggunakan istilah-istilah tabu. Kedua, ketika pembicara
menggunakan kata tabu sebagai kata makian yang ditujukan pada seseorang. Ketiga, ketika ada daya emosional yang cukup kuat yang disalurkan atau diekspresikan sehingga menjadi tindakan memaki (Crystal, 2003:173). Kata makian dan kata tabu sebenarnya memiliki hubungan yang erat. Dalam konteks itu, Trudgill (1974:30) mengemukakan bahwa kata tabu sering dipakai sebagai makian karena kata tabu memiliki kekuatan magis. Kata makian dibedakan berdasarkan tingkat ketabuannya. Ada kata-kata yang dianggap tidak terlalu kasar dan berterima di dalam lingkungan tertentu. Sementara itu, ada juga kata-kata makian lainnya yang dianggap kasar
dan
melewati batas serta muncul dalam situasi tertentu saja (Kaye dan Sapolsky, 2005:2). Penggunaan kata tabu sebagai
ekspresi kemarahan diungkapkan
Wardhaugh (1986:230) sebagai berikut: Tabu adalah salah satu cara masyarakat mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap jenis perilaku tertentu yang diyakini menyakitkan bagi anggotanya, baik untuk alasan supranatural maupun disebabkan perilaku tersebut mengancam kode etik moral. Ini berarti bahwa ketika kita marah pada seseorang, kita akan mengejek dengan katakata yang tabu, seperti “prick” atau “cock”. Jika seseorang tidak memahami makna kata-kata itu, ia akan mengabaikanya saja. Namun, bila ia paham, kondisi akan lebih buruk. Kata-kata tersebut mengacu pada bagian anatomi pria. Karena emosi yang berlebihan, orang mencari-cari ungkapan yang sifatnya tidak baik supaya dapat melampiaskan dan mengungkapkan perasaannya. Untuk maksud itu, orang memakai kata yang dianggap tabu untuk diungkapkan, baik secara lisan maupun tulis. Kata-kata tabu itu adalah kata-kata yang sifatnya tidak
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
33
baik. Dengan cara itu, orang yang memaki akan merasa puas, lega, dan tenang hatinya. Pernyataan itu sejalan dengan pernyataan Estrich dan Sperber (1952:39) bahwa penggunaan kata tabu dijadikan sarana melampiaskan emosi. Pada situasi biasa orang enggan memakai kata tabu, tetapi pada waktu seseorang sedang emosi, ia mempergunakan kata tabu itu dalam bentuk sumpah serapah. Dengan melontarkan kata makian itu orang yang bersangkutan merasa tenang kembali karena emosinya telah terlampiaskan melalui saluran kata-kata. Tabu memegang peranan penting dalam bahasa. Masalah ini pun disinggung dalam ilmu semantik. Ilmu itu memerhatikan tabu sebagai penyebab berubahnya makna kata. Sebuah kata yang ditabukan tidak dipakai, kemudian digunakan kata lain yang sudah mempunyai makna sendiri. Akibatnya, kata yang tidak ditabukan itu memperoleh beban makna tambahan. Karena tabu tidak hanya menyangkut ketakutan terhadap ruh gaib, melainkan juga berkaitan dengan sopan santun dan tata krama pergaulan sosial, orang yang tidak ingin dianggap tidak sopan akan menghindari pengunaan katakata tertentu. Dalam masyarakat Indonesia, terutama dalam bahasa daerah, sering dikatakan perempuan lebih banyak menghindari penggunaan kata-kata
yang
berhubungan dengan alat kelamin atau kata-kata kotor yang lain. Kata-kata ini seolah-olah ditabukan oleh perempuan, atau seolah-olah menjadi monopoli pria (Sumarsono dan Partana, 2002: 106—107). Studi tentang makian dalam ilmu makna erat berkaitan dengan masalah tabu (taboo). Kata taboo sendiri secara etimologis berasal dari bahasa Polynesia yang diperkenalkan oleh Captain James Cook yang kemudian masuk ke dalam bahasa Inggris, dan seterusnya ke dalam bahasa-bahasa Eropa lainnya (Ullman, 1972: 204). Kata tabu memiliki makna yang sangat luas, tetapi umumnya berarti ’sesuatu yang dilarang’. Tabu merupakan sesuatu yang tidak diperbolehkan, baik oleh agama maupun oleh kebiasaan. Berkenaan dengan itu, Hornby (1974:1025) menyatakan bahwa tabu adalah perbuatan atau benda
yang oleh agama atau kebiasaan
dilarang untuk dipegang atau dibicarakan. Sementara itu, pendapat lain dikemukakan oleh Morehead dan Morehead (1981:527) bahwa tabu adalah larangan.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
34
Berdasarkan pelbagai pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa tabu adalah perkataan, perbuatan, atau benda yang tidak diperbolehkan atau dilarang untuk dilakukan atau dibicarakan oleh aturan agama dan norma adat (kebiasaan) suatu masyarakat budaya. Dalam bahasa Inggris, kata-kata yang dianggap tabu adalah kata-kata yang berhubungan dengan seks, kotoran, atau agama Kristen (Ullman, 1974:30). Misalnya, fuck! ’senggama’, shit ’kotoran manusia’, dan Jesus ’Yesus’. Pemakaian kata-kata yang dianggap tabu dari waktu ke waktu terus berubah sesuai dengan masyarakat pemakainya. Apa yang dianggap tabu pada suatu masa, pada masa berikutnya akan berubah menjadi tidak tabu. Beberapa waktu yang lampau penggunaan kata fuck ’senggama’ dan cunt ’vagina’ akan berakibat fatal bagi pemakainya. Orang yang berani mempergunakan kata-kata tersebut terang-terangan akan dihukum penjara (Trudgill, 1974:30). Oleh sebab itu, orang-orang menghindari pemakaiannya. Jadi, orang-orang pada zaman itu sebenarnya menghindari penggunaan kata-kata itu karena takut pada sanksi yang berlaku. Pada zaman modern seperti setakat ini, sanksi semacam itu tidak ada lagi. Orang sudah berani mempergunakan kata-kata tabu karena sekarang sudah tidak dianggap tabu lagi. Adanya perubahan pemakaian kata-kata tabu itu tidak berarti semua kata yang termasuk di dalamnya dapat dipakai sesuka hati dalam setiap waktu, pada siapa saja, dan oleh siapa saja; karena secara tidak disadari tabu masih ada sampai sekarang. Berdasarkan motivasi psikologis yang melatarbelakanginya, kata-kata tabu muncul sekurang-kurangnya
karena tiga hal, yaitu (1) adanya sesuatu yang
menakutkan (tabo of fear), (2) sesuatu yang tidak mengenakkan perasaan (taboo of delicacy), dan (3) sesuatu yang tidak santun
dan tidak pantas (taboo of
propriety). Dalam kaitan ini, Ullman hanya secara umum memberi contoh ketiga jenis tabu itu. Misalnya, usaha
menghindari pengungkapan secara langsung
nama-nama Tuhan dan makhluk halus tergolong tabu jenis pertama (taboo of fear). Sebagai contoh, orang Yahudi dilarang menyebut nama Tuhannya secara langsung. Untuk itu, mereka menggunakan
kata lain yang sejajar maknanya
dengan kata Master dalam bahasa Inggris. Sementara itu, di Inggris dan Prancis,
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
35
secara berturut-turut digunakan kata The Lord dan Seigneur. Nama-nama setan dalam bahasa Prancis juga telah diganti dengan pelbagai bentuk eufimismenya, termasuk juga ungkapan l’Autre yang berarti ’the other one’. Kemudian, usaha manusia untuk menghindari penunjukan langsung kepada hal-hal yang tidak mengenakkan, seperti jenis penyakit dan kematian tergolong pada jenis tabu yang kedua, yakni taboo of delicacy. Nama-nama penyakit tertentu secara etimologis sebenarnya merupakan bentuk eufimisme yang kemudian kehilangan nuansa eufimistisnya dan sekarang erat berkaitan dengan kata-kata yang ditabukan. Misalnya, kata imbecile dipungut melalui
bahasa Prancis dari bahasa Latin
imbecillus atau imbecillis ’lemah’. Kata cretin dalam bahasa Prancis adalah bentuk dialektal dari chretien ’christisn’ yang diambil dari bahasa Prancis dialek Swiss. Akhirnya, sesuatu yang berkaitan dengan seks, bagian-bagian tubuh dan fungsinya, serta beberapa
kata makian berhubungan dengan jenis tabu yang
ketiga (taboo of propriety). Misalnya, dalam bahasa Prancis penyebutan kata fille yang berkaitan dengan ’anak perempuan’ masih mendapatkan penghormatan. Akan tetapi, bila ditujukan untuk ’wanita muda’ orang-orang harus menggunakan jeune fille karena kata fille sendiri sering digunakan sebagai bentuk eufimistis bagi ’pelacur’ (Wijana dan Rohmadi, 2007:110—111). Dalam pengamatannya terhadap
orang-orang Nupe di Afrika, Nadel
(1964:264-267; dalam Wijana dan Rohmadi, 2007:112—113) menyebutkan bahwa orang-orang Nupe secara tegas membedakan antara ungkapan-ungkapan untuk pertuturan yang sopan dan ungkapan-ungkapan
untuk pertuturan yang
kurang atau tidak sopan. Yang pertama biasanya menggunakan bentuk-bentuk eufimisme atau ungkapan-ungkapan tidak langsung (circumlocutions), sedangkan yang kedua menggunakan ungkapan
langsung yang lazimnya hanya cocok
digunakan dalam cerita-cerita porno (dirty stories), lelucon, atau tuturan-tuturan akrab di kalangan orang-orang muda. Para ahli (sarjana) dan orang-orang dari kelas sosial tertentu biasanya menggunakan istilah khusus yang diambilkan dari bahasa Arab Haussa untuk menggantikan ungkapan-ungkapan yang kurang sopan ini. Sayangnya, Nadel hanya membahas ungkapan-ungkapan
kasar yang
berkaitan dengan hubungan seksual, seperti gi ’bersetubuh’ (lit.’makan’), chi ’bersetubuh’ (lit. ’mencintai’); bagian-bagian tubuh, seperti eba ’penis’, dzuko
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
36
’vagina’; benda-benda yang dihasilkannya, seperti tiya ’sperma’. Apa yang dilakukan oleh Ullman dan Nadel sejauh ini adalah deskripsi tentang kata-kata kasar dan bentuk-bentuk eufimismenya. Kata-kata kasar itu sendiri belum tentu dapat berfungsi sebagai makian dalam peruturan (speech act). Ada dua macam perilaku tabu, yakni (1) tabu perbuatan, misalnya larangan terhadap hubungan dengan saudara sendiri (zinah) dan (2) tabu bahasa (perilaku verbal), misalnya penggunaan kata makian (Karjalainen, 2002:16). Tabu tidaklah bersifat universal, tetapi diciptakan oleh masing-masing budaya dan bahasa meskipun seringkali keduanya bertumpang tindih. Ada banyak tabu yang bersifat lintas budaya dan ada juga tabu yang khas milik budaya tertentu. Meskipun tabu tidak bersifat universal dan setiap bahasa memiliki sejumlah bentuk tabu yang khas, ada subjek dan konsep tertentu yang selalu terdapat dalam semua budaya. Berkait dengan makian yang bersumber dari tabu, Andersson (1985:79) menyatakan, “Masyarakat Barat umumnya mengambil sumber kata-kata tabu dan sekaligus menjadikannya kata makian dari kategori-kategori berikut: (a) organ seksual atau hubungan seksual; (b) agama atau gereja, (c) kotoran atau najis, (d) kematian, (e) cacat fisik dan mental, (f) pelacuran, dan (g) narkotik atau kriminal.” Sementara itu,
seorang ahli antropologi berkebangsaan Inggris yang
bernama Leach (dalam Svensson, 2001:1) membagi kata-kata tabu menjadi tiga kelompok sebagai berikut: a. kata-kata kotor yang berhubungan dengan aktivitas seks dan kotoran, seperti bugger (seks anal) dan shit ’tahi’; b. kata-kata yang berhubungan dengan agama Kristen, seperti Christ ’Kristen’ dan Jesus ’Yesus’; c. kata-kata yang berhubungan dengan binatang (dalam hal ini nama binatang digunakan sebagai penggilan atau sebutan pada orang), seperti bitch ’anjing betina’ dan cow ’sapi’.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa makian erat berhubungan dengan tabu. Kata makian dapat bersumber dari kata-kata tabu.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
37
Akan tetapi, tidak semua kata tabu dapat difungsikan sebagai makian. Kata makian termasuk jenis tabu verbal. Setiap bahasa memiliki kekhasan masingmasing karena tabu tidak bersifat universal. Kata tabu dapat merujuk pada istilah yang berhubungan dengan aktivitas dan organ seksual, agama, kotoran, cacat mental dan fisik, prostitusi, kriminal, dan lain-lain.
2.3.4
Klasifikasi Makian
2.3.4.1 Klasifikasi Berdasarkan Bentuk Makian Dengan merujuk Oxford English Dictionary, Lindhe (1994:12; dalam Pham, 2007:7—8) membagi kata makian menjadi dua kategori, yaitu bentuk makian primer dan bentuk makian sekunder yang dapat dibagi lagi ke dalam beberapa subkategori. Oxford English Dictionary mendefinisikan bentuk makian primer terdiri atas hal-hal berikut ini: a. kutukan, yakni ungkapan kata yang menyerahkan kepada arwah dan setan, pembalasan dewa, fitnah, dan sebagainya; b. penegasan atau penekanan, yakni ungkapan untuk memperkuat kekhusuan, menyatakan dengan empati, menyampaikan dengan positif. Hal ini biasanya dilakukan untuk memastikan kebenaran dengan menambahkan kesatuan yang suci, misalnya, “Ya Tuhan, enak sekali rasanya!” atau menerapkan penekanan pada apa yang dikatakan; c. permohonan pada Tuhan atau Dewa, yakni tindakan memohon atau memanggil
Tuhan,
dewa,
dan
sebagainya.
Dalam
doa
atau
sembahyang; memohon, atau tindakan memohon perlindungan dan bantuan; d. permohonan pada orang lain, yakni meminta belas kasihan, bantuan, maaf, dan sebagainya; e. panggilan atau seruan, yakni bentuk ujaran dari seorang penutur atau penulis yang berhenti dalam kegiatanya untuk berbalik menunjuk seseorang atau sesuatu, ada ataupun tidak, semacam panggilan seruan.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
38
Bentuk kedua dari makian adalah bentuk tidak langsung ketika objek yang dipermasalahkan
digantikan
dengan
sinonim
yang
sifatnya
hinaan,
misalnya,”Pelacur tolol itu mencuri uangku!”. Pendapat yang berbeda berkenaan dengan bentuk makian, disampaikan oleh Wijana dan Rohmadi (2007:115—130), yang menyatakan makian dapat dikelompokkan berdasarkan aspek formal dan referensinya. Makian secara formal dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yakni makian berbentuk kata, makian berbentuk frasa (kelompok kata), dan makian berbentuk klausa.
a.
Klasifikasi Makian Berdasarkan Bentuk
1)
Makian Berbentuk Kata Makian yang berbentuk kata dapat dibedakan menjadi dua, yakni makian
bentuk dasar dan makian bentuk kata jadian. Makian bentuk dasar adalah makian yang berwujud kata-kata monomorfemis, seperti babi, bangsat, setan, dan sebagainya. Sementara itu, makian bentuk jadian adalah makian yang berupa kata-kata polimorfemis. Makian polimorfemis dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yakni (1) makian berafiks, (2) makian bentuk ulang, dan (3) makian bentuk majemuk. Makian berbentuk kata berafiks, misalnya sialan, bajingan, kampungan, diancuk, dan diamput. Makian bentuk ulang adalah makian yang terbentuk dari proses reduplikasi, misalnya cecunguk (dari dasar cunguk ditambah reduplikasi parsial). Adapun kata yang dibentuk melalui pemajemukan (kata majemuk), misalnya kurang ajar, cuki mai, buaya darat, dan sebagainya.
2)
Makian Berbentuk Frasa Ada dua cara yang dapat digunakan untuk membentuk frasa makian
dalam bahasa Indonesia, yakni dasar plus makian, seperti dasar sial, dasar kampungan, dan makian plus –mu, seperti matamu, kakekmu. Kata dasar dalam hal ini dimungkinkan melekat dengan berbagai makian
yang referensinya
bermacam-macam, seperti binatang (dasar buaya, dasar babi, dan sebagainya), profesi (dasar pelacur, dasar sundal, dan sebagainya), benda (dasar tai, dasar gombal, dan sebagainya), keadaan (dasar gila, dasar keparat, dan sebagainya),
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
39
dan mahluk halus (dasar setan, dasar iblis). Dalam pada itu, -mu hanya dapat berdampingan dengan kata-kata kekerabatan (kakekmu, nenekmu) dan bagian tubuh (matamu). Secara kategorial, makian dapat digolongkan menjadi beberapa jenis, yakni makian yang berkategori nomina atau frasa nomina, seperti bandot, tai, matamu, iblis, sundal, dan sebagainya; makian berkategori verba (khususnya verba statif), seperti diancuk, diamput, dan mati; makian berkategori interjeksi, seperti buset; makian berkategori ajektiva, seperti goblok, dungu, gila, dan lainlain.
3)
Makian Berbentuk Klausa Makian berbentuk klausa dalam bahasa Indonesia dibentuk dengan
menambahkan pronomina (pada umumnya) di belakang makian dari berbagai referensi itu, seperti gila kamu, setan alas kamu, sundal kamu, gila benar kamu, dan sebagainya. Penempatan pronomina di belakang makian dimaksudkan untuk memberikan penekanan kepada bentuk-bentuk makian itu.
b.
Klasifikasi Makian Berdasarkan Referensi Menurut Wijana dan Rohmadi (2007:119—124), dilihat dari referensinya,
makian dapat digolong-golongkan menjadi bermacam-macam, yakni keadaan, binatang, benda-benda, bagian tubuh, kekerabatan, mahluk halus, aktivitas, profesi, dan seruan.
1)
Keadaan Kata-kata yang menunjuk keadaan yang tidak menyenangkan agaknya
merupakan
satuan
lingual
yang
paling
umum
dimanfaatkan
untuk
mengungkapkan makian. Secara garis besar ada tiga hal yang dapat atau mungkin dihubungkan dengan keadaan yang tidak menyenangkan ini, yakni keadaan mental, seperti gila, sinting, bodoh, tolol, dan sebagainya; keadaaan yang tidak direstui Tuhan atau agama, seperti keparat, jahanam, terkutuk, kafir, dan sebagainya; keadaan yang berhubungan dengan
peristiwa yang tidak
menyenangkan, yang menimpa seseorang seperti celaka, sialan, mati, modar,
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
40
mampus, dan sebagainya. Dalam hal ini, sering kali pula beberapa di antara katakata
ini digunakan untuk
mengekspresikan keterkejutan, keheranan, atau
kekaguman, dan sebagainya. Adapun kata-kata keadaan, misalnya gila, brengsek, celaka, astaga, dan sebagainya.
2)
Binatang Bila ajektiva-ajektiva yang digunakan untuk mengekspresikan makian
secara langsung mengacu pada sifat-sifat individu yang dijadikan sasarannya, satuan-satuan lingual yang referensinya binatang
pemakaiannya bersifat
metaforis. Artinya, hanya sifat-sifat tertentu dari binatang itulah yang memiliki kemiripan atau kesamaan dengan individu atau keadaan yang dijadikan sasaran makian. Dalam hal ini, tentu saja tidak semua nama binatang dapat digunakan untuk sarana memaki dalam penggunaan bahasa. Binatang-binatang yang dipilih atau digunakan sebagai kata-kata
makian dalam bahasa Indonesia
adalah
binatang-binatang yang memiliki
sifat-sifat tertentu, misalnya menjijikkan
(anjing), menjijikan dan diharamkan (babi), mengganggu (bangsat), menyakiti (lintah darat), senang mencari pasangan (buaya dan bandot). Bila digunakan sebagai makian, tentu saja sifat-sifat itu kemudian diterapkan kepada manusia. Sehubungan dengan sifat-sifat itu, kata buaya dan bandot hanya digunakan untuk menunjuk laki-laki saja. Selain itu, ada dua buah kata ragam nonformal yang sering digunakan untuk keperluan ini sehubungan dengan keburukan muka referennya, yakni monyet dan kunyuk, seperti terlihat dalam contoh yang berikut. (1) Monyet, siapa yang berani berbuat kurang ajar. (2) Kunyuk kamu, jangan banyak mulut. Sehubungan
dengan
itu,
bentuk
formalnya
kera
tidak
pernah
dipergunakan. Hal itu terbukti dengan tidak mungkinnya pemakaian kata kera sebagai makian sebagaimana tampak dalam contoh yang berikut. (3) *Kera, siapa yang berani berbuat kurang ajar. (4) *Kera kamu, jangan banyak mulut.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
41
3)
Mahluk Halus Ada tiga buah kata yang berhubungan dengan mahluk halus yang lazim
dipakai untuk melontarkan makian, yaitu setan, setan alas, dan iblis. Kesemuanya adalah mahluk-mahluk halus yang sering mengganggu kehidupan manusia, seperti tampak dalam contoh-contoh berikut. (5) Setan, dia betul-betul gila. (6) Setan alas, dari mana saja kamu? (7) Iblis, kembalikan senjata itu padaku!
4)
Benda-benda Tidak jauh berbeda dengan nama-nama binatang dan mahluk halus, nama-
nama benda yang lazim digunakan untuk memaki juga berkaitan
dengan
keburukan referennya, seperti bau yang tidak sedap (tai dan tai kucing), kotor dan usang (gombal), dan suara yang mengganggu (memekakkan), misalnya sompret.
5)
Bagian Tubuh Anggota tubuh yang lazim diucapkan untuk mengekspresikan makian
adalah
anggota tubuh yang erat kaitannya
dengan aktivitas seksual karena
aktivitas ini sangat bersifat personal dan dilarang dibicarakan secara terbuka kecuali di dalam forum-forum tertentu. Dua bentuk yang sering dimanfaatkan oleh penutur bahasa Indonesia adalah puki mak dan cuki mai. Bagian tubuh lainnya yang sering digunakan untuk memaki dalam bahasa Indonesia adalah mata dalam bentuk frasa matamu, yang antara lain dipakai untuk mengumpat orang yang tidak dapat memanfaatkan alat penglihatannya sehingga melakukan kesalahan. Frasa lainnya hidung belang dan mata duitan yang secara berturut-turut digunakan secara figuratif untuk memaki laki-laki yang mudah berganti-ganti pasangan atau mudah jatuh cinta
dengan wanita lain dan orang yang lebih
mementingkan uang dalam mengerjakan sesuatu, seperti tampak pada contohcontoh berikut. (9) Dasar hidung belang, yang dipikir cuma wanita melulu. (10) Mata duitan kamu, uang melulu yang dipikirkan.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
42
6)
Kekerabatan Sejumlah kata-kata kekerabatan mengacu pada individu-individu yang
dihormati, atau individu yang biasanya mengajarkan hal-hal yang baik kepada generasi berikutnya (anak dan cucunya), seperti ibu, bapak, kakek, nenek, dan sebagainya. Sebagai individu yang dihormati, layaknya kata-kata itu tabu untuk disebut-sebut tidak pada tempatnya. Akan tetapi, untuk mengumpat
atau
mengungkapkan kejengkelan kepada lawan bicaranya, penutur-penutur bahasa Indonesia seringkali membawa
atau menyangkut-nyangkutkan
kata-kata
kekerabatan ini dengan menambahkan klitika –mu di belakangnya, seperti halnya yang terdapat dalam kalimat berikut. (11) Kakekmu, apa yang kaukatakan tadi? (12) Memangnya ini jalan nenekmu?
7)
Aktivitas Kata makian yang berhubungan dengan aktivitas mengacu pada aktivitas
seksual. Dilihat dari afiks yang digunakan, yakni di- secara semantis ungkapanungkapan ini lebih berkadar keadaan dibandingkan dengan tindakan. Kata-kata makian seperti ini, misalnya diamput dan diancuk. Kata diancuk lazim sekali digunakan oleh para penutur bahasa Indonesia dari Jawa Timur. Sementara itu, diamput, dilihat dari kesamaan maknanya, diduga merupakan perubahan fonologis dari diancuk. Fenomena seperti ini lazim terjadi
dalam usaha penutur
memperhalus ucapan, seperti halnya perubahan bentuk makian bahasa Jawa dari asu ’anjing’ menjadi asem ’buah yang asem rasanya’, bajingan menjadi bajigur ’sejenis minuman’.
8)
Profesi Profesi seseorang, terutama profesi rendah dan yang diharamkan oleh
agama, seringkali digunakan oleh para pemakai bahasa untuk mengumpat atau mengekspresikan rasa jengkelnya. Profesi-profesi itu di antaranya, maling, sundal, bajingan, copet, lonte, dan sebagainya.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
43
2.3.4.2 Klasifikasi Berdasarkan Sumber Makian dapat diklasifikasikan berdasarkan sumber makiannya. Dalam konteks itu, beberapa ahli mengemukakan pendapat tentang sumber makian. Menurut Rothwell (1973:108), kata makian dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut: (a) istilah kopulatif; berasal dari istilah “couple” ‘pasangan’, yang berarti kombinasi dari dua orang yang dipersatukan melalui pernikahan dan melakukan persetubuhan. Istilah ini menjadi “copulae” yang berarti ’sesuatu yang terhubung atau bergabung bersama’. Misalnya, fuck, fuck you, get a fuck; (b) istilah kotoran (eksresi), misalnya shit, piss; (c) istilah yang berhubungan dengan kelamin, seperti cunt dan cock; (d) istilah yang berhubungan dengan ketidakberaturan seksual. Istilah ini dihubungkan dengan orang yang tidak memiliki pasangan tetap untuk berhubungan seksual, misalnya bitch, chick; (e) istilah kematian. Istilah ini merujuk pada sesuatu yang membuat orang takut menghadapinya, misalnya go to hell.
Selanjutnya,
berdasarkan
kategori
sumbernya,
Trudgill
(1983)
mengelompokkan kata makian menjadi sebagai berikut: (a)
”tangan kiri”; istilah-istilah ini merujuk pada simbol hubungan seksual dengan menunjukkan jari tengah dari tangan kiri, seperti fuck you atau screw you;
(b)
”istilah binatang tertentu”; istilah-istilah ini merujuk pada pelbagai jenis binatang yang digunakan untuk mengejek atau membandingkan manusia dengan binatang, misalnya pig you, bitch;
(c)
”istilah kotoran”; istilah-istilah ini dihubungkan dengan kotoran manusia, seperti shit, piss;
(d)
”istilah agama”; istilah-istilah ini berhubungan dengan Tuhan, misalnya Gosh dan Goddamn.
Dengan merujuk pada makna tabu, Wardhaugh (1986:230) membuat klasifikasi makian sebagai berikut:
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
44
(a)
“(one’s)
mother-in-law”:
menggambarkan
seorang
istilah
ini
digunakan
untuk
wanita
yang
memiliki
skandal
(berhubungan seks) dengan banyak pasangan. Misalnya, mother fucker dan bitch; (b)
“certain game animal”: istilah ini dihubungkan dengan kepercayaan agama dan praktik agama di masa prasejarah. Dalam beberapa agama, kata bull ’sapi jantan’ yang disebut Apis dianggap sebagai wakil Dewa Osiris;
(c)
seks: istilah ini merujuk pada aktivitas seksual, misalnya fuck;
(d)
kematian: istilah ini merujuk pada sesuatu yang membuat orang takut menghadapinya, misalnya go to hell;
(e)
kotoran: istilah ini dihubungkan dengan kotoran manusia, misalnya shit, piss;
(f)
fungsi anggota tubuh: istilah ini dihubungkan dengan anggota tubuh atau alat kelamin manusia;
(g)
hal-hal keagamaan: istilah ini dihubungkan dengan Tuhan atau Dewa, seperti Gee! Jinggo! Jez! yang merujuk pada Yesus, atau God damn you!;
(h)
“the left hand” atau ’tangan kiri’: istilah ini merujuk pada simbol hubungan seksual dengan menunjukkan jari tengah dari tangan kiri, misalnya fuck you atau screw you.
Pakar lain yang mengemukakan pendapat tentang klasifikasi makian adalah Hughes (1991:208). Menurutnya, kata makian dapat diklasifikasikan ke dalam enam jenis, yaitu (a)
istilah genital, yakni istilah yang berhubungan dengan kelamin, misalnya cunt, cock, prick, tawt, dan pillock;
(b)
anatomi: istilah yang berhubungan dengan anatomi manusia, misalnya tit, arsehole, dan ass;
(c)
kotoran: shit, turd, dan fard;
(d)
keterbelakangan mental: idiot, imbecile, moron, cretin, prat;
(e)
binatang: pig, cow, bitch, sow, swine;
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
45
(f)
umum: bugger, sod, bastard, fucker.
Adapun Jay (1992) membuat klasifikasi makian menjadi delapan kategori, yaitu (a) binatang; (b) kotoran; (c) seks; (d) agama; (e) penyakit; (f) penghinaan pada seseorang; (g) makanan; (h) kecurigaan, prasangka, atau fitnah. Berdasarkan klasifikasi yang dikemukakan oleh Wardhaugh, Hughes, dan Jay yang diuraikan di atas, tampak bahwa dalam klasifikasi makian yang dibuat oleh Wardhaugh, ada beberapa makian yang tidak disebut oleh Hughes dan Jay, misalnya “(one’s) mother-in-law” dan kematian. Sementara itu, ada pula makian yang disebut oleh Hughes, tetapi tidak terdapat dalam klasifikasi makian yang dikemukakan oleh Wardhaugh dan Jay, misalnya kebodohan dan bagian anggota tubuh. Selanjutnya, ada pula makian yang disebut oleh Jay, tetapi tidak disebut oleh Wardhaugh dan Hughes, yakni penyakit, penghinaan terhadap seseorang, istilah makanan, dan prasangka. Sementara itu, dalam kaitannya dengan pengelompokan kata makian, Battaglia et al. (2009) mengatakan bahwa kata makian dapat disisipkan ke dalam berbagai kategori, yaitu sebagai berikut: (a)
istilah keagamaan (seperti God damn it, holy shit, Jesus Christ),
(b)
istilah yang mengacu pada benda najis atau organ yang menghasilkan benda najis tersebut (seperti shit, crap, ashole);
(c)
istilah yang mengacu pada jenis kelamin atau genital (misalnya cunt, puss, dike untuk pengecut);
(d)
istilah yang mengacu ke perilaku jantan dan tidak jantan (istilah ini sering berkenaan dengan homoseksualitas, yang dipandang tidak jantan oleh masyarakat).
Berdasarkan pengelompokan yang disampaikan para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa klasifikasi yang dibuat oleh para pakar di atas ada yang berbeda dan ada pula yang menunjukkan kesamaan. Berdasarkan pendapatpendapat di atas, berdasarkan kategori sumbernya, makian dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut: (a) istilah kopulatif, (b) istilah kotoran (eksresi), (c) istilah yang berhubungan dengan kelamin, (d) istilah yang berhubungan dengan
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
46
ketidakberaturan seksual, (e) istilah kematian, (f) tangan kiri, (g) permainan istilah binatang tertentu, (h) istilah agama, (i) skandal seks atau kebiasaan berganti-ganti pasangan, (j) seks, (k) kematian, (l) fungsi anggota tubuh, dan (m) istilah yang berhubungan dengan perbuatan pengecut. Selain klasifikasi-klasifikasi di atas, sebenarnya masih ditemukan klasifikasi lain dengan menggunakan kategori yang berbeda-beda, misalnya Lakoff (1975:10) dan Oliver dan Rubin (1975:191) mengelompokkan kata makian berdasarkan kuat dan lemahnya efek makian. Dengan kriteria itu, kata makian dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu kata makian kuat dan kata makian lemah. Perbedaan pemakaian kata makian, seperti shit dan damn atau sejenisnya dengan kata-kata makian, seperti oh dear, goodness, dan sebagainya terletak pada bagaimana seseorang mengungkapkan perasaannya. Kekuatan emosinya ini akan tercermin dalam pemilihan partikel yang terdapat dalam kalimat. Dari contoh yang dikemukakan oleh Lakoff; Oliver dan Rubin terlihat apa yang sebenarnya dimaksud dengan kata makian kuat dan kata makian lemah. Kata makian kuat adalah kata yang dipakai untuk memaki dan mempunyai sifat yang kasar sekali, sedangkan kata makian lemah adalah kata yang dipakai untuk memaki yang tidak mempunyai sifat sekasar kata makian kuat. Ljung (1986), yang dikutip oleh Stenstörm (1996:76; dalam Yuwono, 2010:62) membedakan ungkapan serapah (makian) menjadi
dua jenis, yaitu
ungkapan serapah yang bersifat agresif, yang mencerminkan emosi penutur, dan ungkapan serapah yang bersifat sosial, yang memperintim hubungan antarpeserta komunikasi. Stenstörm (1996:77; dalam Yuwono, 2010:62) dengan membuat sintesis pendapat peneliti terdahulu mengadakan klasifikasi ungkapan serapah atas tiga jenis, yaitu sebagai penekan (intensifiers), penyerang (abusives), dan pengutuk (expletives).
2.3.4.3 Klasifikasi Fungsi Makian dan Alasan Penggunaan Makian Terlepas dari fungsi informasional netral yang menurut anggapan setiap orang adalah yang paling penting, bahasa juga ternyata dapat memiliki fungsi
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
47
ekspresif, yaitu dapat dipakai untuk mengungkapkan perasaan dan sikap penuturnya. Dalam konteks itu, kata-kata sumpah serapah (makian) dan kata seru adalah contoh yang paling jelas (Leech, 1974:64). Berdasarkan konteksnya, Bolton dan Hutton (1997:331-332) membedakan makian menjadi empat macam, yaitu (a)
ketika makian digunakan sebagai sebuah kebiasaan atau aturan kelompok. Makian muncul sebagai ujaran yang menjadi kebiasan rutin di dalam kelompok dan difungsikan untuk mempertebal batas sehingga menjadi pembeda dengan kelompok lainnya. Makian semacam ini akan terjadi bila tidak ada orang lain (di luar anggota kelompok) yang hadir. Atau, dalam situasi adanya orang lain yang hadir/keberadaannya tidak sengaja atau sekadar mendengarkan;
(b)
makian yang digunakan secara sengaja untuk menghina, mencerca, mengancam, mengejutkan, dan menyakiti/mengganggu. Misalnya, ucapan yang ditujukan untuk menyerang seseorang dan dimaksudkan untuk menyakiti hatinya. Makian semacam ini digunakan untuk menghancurkan rintangan sosial sementara waktu, mengganggu integritas sosial seseorang;
(c)
bahasa kotor atau tidak senonoh yang dipakai sebagai candaan atau bertujuan melawak;
(d)
makian yang digunakan untuk mengungkapkan emosi yang kuat, seperti terkejut, atau saat jari tangan terkena pukulan palu.
Pemakaian makian pada keempat konteks yang berbeda-beda tersebut masing-masing dapat diistilahkan
dengan integratif, aggresif, regresif, dan
ekspletif. Adapun
Andersson
dan
Trudgill
(1983:15)
membuat
klasifikasi
penggunaan makian dengan mengemukakan empat kategori fungsi makian, yakni (a)
fungsi ”expletive” berarti penggunaan makian untuk menyatakan emosi dan tidak ditujukan langsung pada orang lain;
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
48
(b)
fungsi ”abusive” berarti penggunaan makian
yang langsung
ditujukan pada orang lain. Misalnya, You Asshole!; You bastard!; Go to hell!; (c)
fungsi “humorous” berarti penggunaan makian yang merujuk langsung pada orang lain, tetapi bukan dengan maksud menghina;
(d)
fungsi “auxiliary” berarti penggunaan makian yang tidak langsung merujuk pada orang lain, melainkan sekadar cara bicara (lazy speaking) yang seringkali tidak sungguh-sungguh. Misalnya, This fucking X; Bloody Y.
Mengenai fungsi makian, Gray (2000:4) memaparkan bahwa sebagai alat mengungkapkan emosi yang ekstrem, kata makian sudah pasti memiliki kekuatan yang besar, dan terkadang bisa mendapat efek yang sulit dibuat dengan cara yang normal. Makian bisa juga berfungsi sebagai alat untuk membebaskan atau mengurangi kemarahan, dan banyak penelitian yang menunjukkan bahwa mereka yang memaki umumnya mengalami lebih sedikit stres (tekanan jiwa) daripada yang tidak. Ketika digunakan dengan tidak berlebihan, makian adalah bagian yang berharga dari bahasa. Meskipun demikian, penggunaan yang berlebih terhadap kata makian adalah sikap yang tidak terpuji bukan hanya karena membosankan, tetapi karena secara bertahap mengurangi pengaruh kata yang digunakan. Berhubungan dengan pernyataan di atas, Wilson (2005) menyatakan bahwa banyak orang yang menganggap makian sebagai respons instingtif terhadap suatu rasa sakit dan tidak terduga atau sesuatu yang frustrasi dan jengkel. Ini adalah penggunaan yang paling umum terhadap makian, dan banyak peneliti percaya bahwa hal itu dapat membantu mengurangi stres dan menyejukkan seperti layaknya menangis bagi anak kecil. Dengan demikian, makian merupakan respons instingtif atas peristiwa yang menyakitkan, menyiksa hati, dan mengganggu
serta tidak diharapkan.
Makian berfungsi sebagai saluran yang umum digunakan oleh orang-orang untuk melepaskan diri dari tekanan (stres). Hal itu menyerupai fungsi tangisan bagi anak kecil ketika menghadapi atau mengalami sesuatu yang tidak dikehendakinya.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
49
Kata makian keberadaannya sangat berlimpah dalam kehidupan manusia sehari-hari dengan fungsi yang beraneka. Rassin dan Heijden (2005) menjelaskan bahwa kata makian ada dalam kehidupan sehari-hari. Pemakai bahasa pasti mengucapkan kata makian, baik sering maupun sesekali. Ada banyak alasan penting untuk memaki, seperti ”melepaskan panas” setelah mengalami emosi berat, mencoba untuk menguatkan argumen seseorang, mengejutkan atau menghina audiens, dan kebiasaan. Berdasarkan pendapat tersebut, penggunaan makian
dilatari oleh
beberapa alasan, antara lain meluapkan perasaan yang tidak disukai, menguatkan argumen, menghina, dan faktor kebiasaan. Berkenaan dengan fungsi makian, Crystal (2003:17) menyatakan bahwa makian merupakan ledakan yang memberikan peredaan pada energi emosional. Ini bisa jadi cara yang efektif dalam mengurangi stres. Fungsi makian adalah mengeluarkan kemarahan yang ditujukan pada seseorang atau sesuatu. Hal ini sebaliknya dapat disebabkan oleh kejengkelan ringan dan berkembang menjadi frustrasi dan kemarahan pada tingkat yang lebih serius. Berdasarkan pendapat tersebut, makian merupakan cara yang paling efektif untuk mengurangi stres. Makian berfungsi mengeluarkan perasaan dan juga dapat ditujukan kepada sesuatu hal atau orang lain sebagai sasaran. Sejalan dengan pernyataan di atas, Kaye dan Sapolsky (2005:7) berpendapat bahwa makian merupakan cara yang paling kuat untuk menyatakan emosi. Pernyataan itu senada dengan pendapat Battaglia et al. (2009) bahwa tujuan memaki sangatlah jelas, yakni untuk menyatakan emosi, yang bisa berfungsi sosial ataupun personal. Fungsi makian untuk menyatakan emosi, khususnya perasaan marah dan frustrasi dinyatakan pula oleh Jay dan Janscewitz (2008) bahwa alasan utama memaki adalah untuk mengungkapkan emosi, khususnya kemarahan dan frustrasi. Kata makian sangat cocok untuk mengungkapkan emosi karena makna utamanya adalah konotatif. Pengaruh emosional makian tergantung pada pengalaman seseorang dengan suatu budaya dan konvensi bahasanya. Menurut Rothwell (1973), terdapat beberapa tujuan utama dari penggunaan kata makian, yaitu
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
50
(a) mencari perhatian; artinya, orang yang menggunakan kata tabu/makian menginginkan dirinya menjadi pusat perhatian dari lingkungan sekitar. Orang-orang ini berharap menjadi perhatian utama saat bersama-sama dengan orang lain sehingga orang-orang di sekitar mengenal dirinya; (b) mendiskreditkan; orang yang menggunakan kata tabu tidak puas dengan citra orang tertentu, lembaga, atau pemerintahan, dan lain-lain. Oleh
karena
itu,
mereka
menggunakan
kata
makian
untuk
mengungkapkan ketidaksukaannya tentang banyak hal yang mereka anggap tidak cocok dengan penilaian publik; (c) menghasut; kata makian tertentu dapat membawa korban bila pendengarnya merasa terhina dan dilecehkan. Ungkapan makian dapat menyebabkan terjadinya bentrokan yang berbahaya; (d) mengidentifikasi; artinya, makian dapat difungsikan untuk membentuk identifikasi personal yang kuat. Makian digunakan untuk membentuk simbol identitas. Misalnya, penggunaan kata “pig” yang berarti ‘babi’ oleh orang kulit hitam Amerika yang ditujukan kepada polisi. Makian “babi” yang ditujukan kepada polisi telah dilakukan sejak 1785. Atau, contoh lainnya ialah penggunaan makian mother fucker di antara orang Negro Amerika yang digunakan sebagai penanda keakraban dan persahabatan. Dengan demikian, sapaan “Hi, you old mother-fucker, where you been?” merupakan sapaan yang wajar bagi mereka; (e) sebagai katarsis; ketika seseorang marah atau terganggu atau tersakiti secara fisik dan mental, dia akan menunjukkan perasaannya. Ketika seseorang itu menggunakan kata makian sebagai katarsis, itu berarti dia sedang terluka, terganggu, dan dibuat jengkel oleh seseorang, dan sebagainya atau dia ingin seseorang tersakiti dengan kata-katanya.
Masih ada tujuan lain dari penggunaan kata makian, yakni menghina atau mencerca. Hughes (1991) memberi contoh, pada abad ke-15, kata “babi” diasosiasikan dengan polisi. Banyak orang pada saat itu yang menghina/mencerca polisi dengan menyebutnya sebagai ”babi”.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
51
Namun, selain berorientasi negatif, makian pun dapat digunakan dengan orientasi positif. Dalam konteks itu, fungsi penggunaan kata makian dan kata tabu yang berorientasi positif adalah penggunaan makian yang difungsikan sebagai suatu alat kebahasaan untuk memperkokoh keanggotaan di dalam kelompok, menetapkan batas, dan norma sosial bagi penggunaan bahasa (Drescher, 2000; Rayson et al., 1997; Stenstrom, 1995,1999). Sementara itu, Saptomo (2003) menyatakan makian khususnya dalam bahasa Jawa selain berfungsi sebagai sarana pengungkapan rasa kesal, rasa kecewa, penyesalan, keheranan, ataupun penghinaan juga dapat digunakan sebagai sarana pengungkapan keintiman dalam suatu pergaulan. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa makian sebagai sarana pengungkapan emosi memiliki pelbagai fungsi, baik personal maupun sosial. Selain digunakan dengan alasan yang berorientasi negatif, makian dapat juga digunakan dengan alasan positif. Fungsi dan alasan penggunaan makian berdasarkan pandapat para ahli adalah sebagai berikut: (1) kebiasaan atau aturan kelompok; (2)
untuk menghina; (3) mencerca; (4)
mengancam; (5)
mengejutkan; (6) menyakiti/mengganggu; (7) sebagai candaan atau bertujuan melawak; (8) untuk mengungkapkan emosi yang kuat, berat, atau ekstrem; (9) untuk
menyatakan emosi, baik yang ditujukan langsung maupun yang tidak
ditujukan langsung pada orang lain untuk tujuan menghina ataupun sekadar cara bicara (lazy speaking); (11) mengungkapkan suatu rasa sakit dan tak terduga; (12) mengungkapkan frustrasi dan jengkel; (13) untuk menguatkan argumen seseorang; (14) mencari perhatian; (15) mendiskreditkan; (16) menghasut; (17) mengidentifikasi; (18) sebagai katarsis; (19) untuk memperkokoh keanggotaan di dalam kelompok; (20) menetapkan batas dan norma sosial bagi penggunaan bahasa; (21) mengungkapkan rasa kesal; (22) mengungkapkan rasa kecewa; (23) mengungkapkan penyesalan; (24) mengungkapkan keheranan; (25) sarana pengungkapan keintiman dalam suatu pergaulan.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
52
2.3.5
Motif Penggunaan Makian Penyelidikan tentang makian dan tabu merupakan ranah penelitian yang
banyak menarik minat para peneliti dari pelbagai bidang, seperti psikologi, sosiologi, dan sosiolinguistik. Para peneliti merasa tertarik dengan kajian bahasa yang digunakan oleh pelbagai kelompok masyarakat karena perbedaan bahasa merefleksikan karakteristik dan keunikan aspek sosial budaya masing-masing komunitas.
Bahasa
bukan
sekadar
menyampaikan
pesan,
melainkan
merefleksikan struktur sosial di dalam masyarakat. Terkait dengan motif penggunaan makian, Andersson (dalam Karjalainen, 2002:24—31) menjelaskan adanya tiga motif yang mendorong penggunaan makian, yakni (1) motif psikologis, (2) motif sosial, dan (3) motif linguistik. Berikut ini ketiga jenis motif penggunaan makian tersebut diuraikan dengan merujuk beberapa sumber.
2.3.5.1 Motif Psikologis Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali manusia marah atau frustrasi bila menghadapi peristiwa yang tidak menyenangkan dan tidak sesuai dengan harapan atau menghadapi sesuatu yang berjalan tidak sesuai dengan yang direncanakan. Dalam situasi seperti itu, reaksi normal yang mungkin terjadi adalah melampiaskan perasaan atau mengungkapkannya dalam pelbagai cara. Mungkin mengetukkan kaki, menggertakan gigi, memukul benda yang berada di sekitar, atau dengan mengucapkan kata pembebas perasaan semacam “Ah!” Bagaimanapun, munculnya perasaan marah dan frustrasi yang terjadi karena bermacam peristiwa yang mengejutkan dan tidak menyenangkan telah menyebabkan orang-orang memilih jalan memaki untuk melepaskan emosi (Montagu, 1967:63; Andersson, 1985:110; Andersson dan Trudgill, 1990:53; Ljung, 1984a:11). Kata-kata makian bukanlah kata yang diucapkan dengan sengaja, tetapi terucap secara refleks. Seperti dicontohkan oleh Andersson, bahwa bila jari tangan seseorang terjepit pintu pub (diskotek) ataupun pintu gereja, maka kata makian yang mungkin muncul sama saja. Makian merupakan bentuk tingkah laku budaya, yang memiliki dua fungsi, yakni (1)
melampiaskan perasaan
dan frustrasi yang relatif tidak
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
53
berbahaya, bentuknya berupa ujaran verbal; (2) memulihkan keadaan emosi (Montagu, 1967:78). Dalam konteks tersebut, makian serupa dengan tangis dan tawa yang didorong oleh duka cita atau kegembiraan. Dalil tentang makian sangat mungkin untuk dirumuskan. Makian merupakan ekspresi verbal; pelepasan dari rasa frustrasi. Oleh karena itu, keinginan memaki akan selalu dialami dalam keadaan yang memunculkan frustrasi atau ketika mengalami kondisi yang diserang. Pernyataan itu menyiratkan bahwa makian memiliki fungsi bermotif psikologis.
2.3.5.2 Motif Sosial Tidak semua makian didorong oleh frustrasi atau serangan dan tidak selamanya pula makian yang dilontarkan tidak bertujuan. Sebagaimana disepakati oleh para ahli sosiolinguistik, terdapat makian yang memiliki motif sosial dan linguistik yang mungkin cukup banyak untuk dipertimbangkan dan sangat kompleks. Misalnya, makian itu ada kemungkinan ditujukan untuk menegaskan identitas
dalam
suatu
menghina/mencerca,
kelompok,
menunjukkan
mengejutkan,
persahabatan,
menarik
menandakan
perhatian, jarak
dan
solidaritas sosial, dan sebagainya. Makian yang difungsikan untuk tujuan-tujuan seperti itu bukan merupakan representasi dari perasaan frustrasi dan marah (Karjalainen, 2002:26). Selanjutnya, dikatakan oleh Crystal (1995:173) bahwa makian yang bermotif sosial merupakan pola makian yang paling umum. Motif sosial berbeda dengan motif psikologis karena motif sosial melibatkan lebih dari satu orang. Makian bermotif sosial bergantung pada pendengar agar berfungsi secara nyata. Makian yang diucapkan dalam keadaan sendiri
hampir tidak memiliki
kebermaknaan sosial, tetapi ketika diucapkan dalam keadaan bersama orang lain atau diujarkan kepada pendengar, makian dapat digunakan untuk pelbagai macam alasan. Makian dipakai secara sengaja sebagai sarana retoris untuk beroleh reaksi tertentu dari pendengar. Makian memang paling efektif dan mengejutkan ketika diujarkan dalam situasi dan tempat di mana makian diharapkan tidak muncul (misalnya di dalam
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
54
gereja,
di dalam pidato yang disampaikan pada masyarakat, dan lain-lain)
(Andersson, 1985:114). Sepertinya, masyarakat lebih dapat menerima penggunaan makian oleh para buruh bangunan daripada, misalnya oleh anak kecil atau perempuan dewasa. Seperti dalam masyarakat pada umumnya, pencemoohan norma-norma atau penyimpangan
dari
stereotip
yang
dikehendaki
masyarakat
cenderung
menimbulkan reaksi yang sangat kuat. Kata makian bukan sekadar dapat digunakan untuk tujuan mengejutkan atau menimbulkan reaksi, melainkan dapat digunakan dalam situasi yang sama sekali negatif atau tidak terlalu negatif (untuk mengatakan bahwa reaksinya mungkin tidak negatif). Kata makian digunakan untuk menyatakan atau memperkuat identitas kelompok dan untuk menunjukkan diri sebagai bagian dari “sebuah gank”. Bila seseorang bergabung dengan sebuah kelompok sosial yang baru, ia akan dipengaruhi oleh norma makian yang berlaku dalam suatu kelompok sehingga dapat dikatakan bahwa makian itu telah menular pada penutur lainnya (Crystal, 1995:173). Kata makian mungkin digunakan sebagai penanda dari persahabatan yang dipakai sebagai ujaran kelakar, cemooh, atau olok-olok sesama teman, bahkan mungkin
juga
dipakai
sebagai
istilah
yang
menunjukkan
rasa
kasih.
Bagaimanapun, ketika makian digunakan dalam fungsi yang bersifat sosial tanpa dilekati fungsi negatif, pastilah ada saling pengertian antara orang yang mengujarkan makian itu dan orang yang menjadi sasarannya (Karjalainen, 2002:29). Ketika kata makian digunakan sebagai caci maki atau cercaan, maka ada dua jenis motif yang terlibat, yakni motif psikologis dan motif sosial (Andersson, 1985:115). Jika seseorang membutuhkan kata-kata hinaan yang ditujukan pada orang lain, berarti ada semacam perasaan frustrasi sebagaimana bentuk-bentuk emosi lainnya yang perlu untuk diekspresikan melalui cara tertentu atau cara-cara lain. Apa yang menjadikan makian sebagai salah satu bentuk cacian atau cercaan di dalam masyarakat sangatlah bergantung pada pendengar. Makian kerapkali terjadi karena pendorong atau motivasi yang bersifat sosial. Meskipun banyak orang yang tidak menyukai makian bermotivasi sosial dibandingkan dengan makian bermotivasi psikologis, haruslah diingat bahwa
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
55
makian bermotivasi sosial mungkin memiliki nilai positif atau nilai yang disebut oleh para pakar sosiolinguistik sebagai “covert prestige” (Andersson, 1985:113; Hudson, 1996:240; Crystal, 1995:173:365). Bahasa, pendidikan, dan pekerjaan, dan mobil jenis tertentu lazimnya diasosiasikan dengan kekuasaan, kemakmuran, dan status pendidikan yang tinggi. Dengan perkataan lain, semua itu memiliki penghargaan atau penghormatan yang dihubungkan dengan nilai kualitas yang tinggi.
2.3.5.3 Motif Linguistik Tidak dapat dinafikan bahwa kata-kata makian sebenarnya sama baik dan sama bergunanya dengan kata-kata lain (Karjalainen, 2002:30). Penutur bahasa memiliki pelbagai cara untuk mengungkapkan apa yang dikehendaki, memilih kata yang berbeda, dan menggunakan struktur gramatikal yang berlainan. Menurut Andersson (1985:122),
penutur bahasa bebas untuk
menggunakan kata-kata yang jumlahnya puluhan ribu dalam khazanah kosakata bahasa yang dikuasainya selama kata-kata tersebut dapat menyampaikan makna kepada orang lain sebagaimana yang diharapkan. Dengan demikian, dari sudut pandang linguistik, penutur bahasa dapat mengatakan ”What a very nice rocking chair” atau ”What a fucking nice rocking chair”—kedua-duanya memang berterima. Sehubungan dengan hal tersebut, Karjalainen (2002:31) menyatakan motivasi linguistik dalam menggunakan kata makian memang terbukti ada. Semua penutur bahasa memiliki perbedaan pendapat tentang bahasa, perbedaan idiolek, dan perbedaan norma stilistik yang diikuti.
Beberapa orang lebih suka
mengatakan ”Those individuals do not posses any”, sedangkan yang lainnya boleh memilih ”Those guys ain’t got none”. Penutur bahasa memiliki pendapat yang berbeda
tentang kata-kata makian, bahkan mungkin setiap penutur
menggunakannnya dalam takaran frekuensi yang berlain-lainan. Penutur bahasa mungkin merasa bahwa kata makian seluruhnya tidak berterima
dan harus
dilarang, mungkin juga merasa bahwa bahasa makian berterima di dalam situasi tertentu, atau mungkin juga berterima dalam setiap keadaan. Bagaimanapun, sering kali penutur bahasa menggunakan makian beralas motivasi psikologi dan
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
56
sosial. Motivasi linguistik barangkali ada di antara keduanya, tetapi motivasi yang benar-benar linguistik berkenaan dengan penggunaan makian memang sangatlah jarang terjadi. Berdasarkan uraian tersebut, penggunaan makian bermotif linguistik dapat diartikan sebagai motif pilihan bahasa untuk mengatakan sesuatu. Dalam konteks itu, penutur menggunakan makian sebagai salah satu cara mengungkapkan sesuatu meskipun sebenarnya sesuatu itu dapat diungkapkan tanpa menggunakan kata makian. Artinya, motif linguistik lebih bertumpu pada pilihan bahasa dalam menyatakan sesuatu kepada orang lain.
2.3.6
Makian, Jenis Kelamin, dan Gender Dalam konteks pembicaraan mengenai karakteristik bahasa laki-laki dan
perempuan, Crawford (1995:22) menyatakan pada permulaan tahun 1970-an, peneliti bahasa, psikologi, dan komunikasi mulai memusatkan perhatian pada fakta bahwa laki-laki dan perempuan berbeda dalam bicara. Perkembangan minat para peneliti atas isu-isu yang berhubungan dengan wanita tampaknya menjadi penting untuk mengategorikan dan memberi label bahasa laki-laki dan bahasa perempuan. Penelitian yang dilakukan oleh Fillmer sebagaimana terlihat dalam tulisannya yang berjudul “Research on Language Differences Males and Females”, yang terdapat dalam buku E. Marcia (Ed.) Sex Streotypes and Reading; Research
and Strategies (1982:80) menunjukkan bahwa dalam masyarakat
terdapat karakteristik-karakteristik khusus yang membedakan bahasa laki-laki dan bahasa perempuan (Sarjono, 2001:6). Senada dengan pernyataan tersebut, Coates (1986; dalam Sunardi, 2007:4) mengungkapkan bahwa dalam masyarakat mana pun (lepas dari identitasnya) perbedaan bahasa perempuan dan bahasa laki-laki senantiasa ada. Perbedaan variasi antara bahasa laki-laki dan bahasa perempuan muncul karena bahasa sebagai fenomena sosial berhubungan erat dengan sikap-sikap sosial. Laki-laki dan perempuan
memiliki perbedaan sosial
karena masyarakat meletakkan
perbedaan peranan sosial antara laki-laki dan perempuan serta mengharapkan
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
57
pola-pola perilaku yang berbeda dari keduanya. Bahasa merefleksikan fakta sosial ini. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa perbedaan linguistik merupakan suatu cerminan perbedaan sosial. Sepanjang masyarakat memandang laki-laki dan perempuan berbeda dan tidak setara, perbedaan dalam bahasa laki-laki dan perempuan akan terus berlangsung. Pernyataan para ahli di atas tidak jauh berbeda dengan pendapat Sunardi (2007:4), yang menyatakan bahwa penggunaan bahasa bersifat sensitif terhadap pola-pola hidup dan pola-pola interaksi. Perbedaan-perbedaan jenis
kelamin
tertentu dalam perilaku bahasa merupakan efek samping dari pengalaman sosial laki-laki dan perempuan yang secara sistematis berbeda. Oleh karena itu, perbedaan penggunaan bahasa antara laki-laki dan perempuan menunjukkan bagaimana posisi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat mereka. Fakta yang mendukung kenyataan bahwa bahasa laki-laki dan perempuan berbeda dicontohkan oleh Trudgill (1974:93-94), yang menjelaskan di daerahdaerah yang berbeda dari masyarakat yang berbahasa Inggris, penutur perempuan menggunakan bentuk-bentuk kebahasaan yang dianggap lebih baik atau lebih benar daripada bentuk-bentuk kebahasaan yang digunakan oleh penutur laki-laki. Perempuan dengan mempertimbangkan
variabel-variabel lain, seperti umur,
pendidikan, dan status sosial pada umumnya menggunakan bentuk-bentuk kebahasaan yang mendekati bentuk bahasa standar yang mempunyai prestise lebih tinggi daripada bentuk-bentuk yang dihasilkan laki-laki. Perbedaan bahasa laki-laki dan perempuan adalah cerminan kenyataan
bahwa pada umumnya
tingkah laku sosial yang lebih benar diharapkan dari perempuan. Perbedaan pemakaian bahasa antara laki-laki dan perempuan disebabkan mereka saling mengisi peran-peran yang berbeda di dalam masyarakat. Oleh karena itu, semakin berbeda peran
yang dimainkan, akan semakin besar
perbedaannya di dalam pemakaian bahasa. Laki-laki lebih mempunyai daya dan mungkin lebih asertif bahkan laki-laki dari kelas rendah sekalipun, sedangkan perempuan cenderung untuk dijaga tempatnya. Perempuan sangat menginginkan tempat yang berbeda dan lebih baik. Dengan demikian, perempuan tampak lebih sadar akan pemakaian bahasa yang dihubungkan dengan peran mereka yang
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
58
lebih baik di masyarakat, sedangkan bahasa laki-laki kurang terpengaruh oleh pihak lain (Labov, 1977:243; Wardhaugh, 1988:311—312). Bertautan dengan penggunaan makian, Trudgill (1979) menyatakan bahwa secara tradisional makian dipandang sebagai ciri bahasa laki-laki. Bagi perempuan, makian terlarang untuk digunakan karena bertentangan dengan aturan kesopanan. Perempuan lebih sadar akan bahasanya dan berupaya lebih keras untuk menghindari penggunaan makian. Namun, Trudgill juga menemukan bahwa kelas sosial turut menjadi faktor penentu penggunaan kata makian. Dalam hal ini, Trudgill menemukan bahwa perempuan kelas pekerja (buruh) ternyata lebih sering menggunakan bahasa tabu. Temuan ini membuktikan pula bahwa tidak semua perempuan menghindari makian karena ada juga perempuan yang menggunakan makian sama halnya dengan laki-laki, terutama perempuan yang berprofesi sebagai buruh. Penelitian-penelitian yang dilakukan berikutnya, antara lain (a) penelitian yang dilakukan oleh
Preston dan Stanley (1987) dan
McEnery (2006)
menunjukkan ketiadaan pengaruh faktor perbedaan seks (jenis kelamin) dalam penggunaan makian, (b) penelitian yang dilakukan oleh Jay (1992) menunjukkan perempuan
menggunakan kata-kata tabu tidak sebanyak laki-laki, dan
(c)
penelitian yang dilakukan oleh Coates (1993) menunjukkan perempuan dan lakilaki
menggunakan makian yang lebih banyak ketika mereka berada dalam
lingkungan teman-teman yang berjenis kelamin sama. Penelitian-penelitian tersebut mengukuhkan temuan sebelumnya bahwa, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama menggunakan makian meskipun makian yang digunakannya berbeda, baik dari segi jenis maupun jumlahnya. Selain itu, perbedaan makian yang digunakan laki-laki dan perempuan bukan sekadar dipengaruhi oleh perbedaan jenis kelamin, melainkan dipengaruhi pula oleh perbedaan peran sosial antara laki-laki dan perempuan. Sementara itu, Kuntjara (2003:25) menegaskan perbedaan dan penggunaan bahasa oleh kaum laki-laki dan perempuan memang sangat susah bila sekadar kecenderungan biologis semata. Banyak hasil penelitian tentang tautan bahasa dan kehidupan sosial-politik dan budaya yang menunjukkan bahwa bahasa laki-laki memang berbeda dengan bahasa perempuan.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
59
Seringkali dipercayai bahwa lelaki dan perempuan memiliki perbedaan dalam berbicara. Perempuan dikatakan lebih sadar atas kedudukan dirinya dan cenderung menggunakan bentuk bahasa yang lebih konservatif atau lebih bermartabat. Luce
Irigaray, seorang budayawan feminis yang sangat
memerhatikan bahasa ibunya, yaitu bahasa Prancis menyatakan bahwa bahasa harus dilihat sebagai alat pembeda dan alat komunikasi di antara dua jagat yang berbeda karena kelamin (Hidayat, 2004:9). Kajian tentang perbedaan perilaku komunikasi
wanita dan pria telah
banyak dilakukan oleh para pakar, misalnya Lakoff (1975), Tavris dan Offir (1977), Eakins dan Eakins (1978), Nelson (1981), Leone dan O’Neill (1983), Thorne et al. (1983), Nicholson (1984), Sargent (1984), Pearson (1985), Deegan dan Hill (1987), terutama sejak peranan wanita dan status wanita meningkat signifikan akibat dari pergerakan wanita tahun 1960-an. Dalam konteks itu, terdapat beberapa penelitian yang menghasilkan temuan tentang berbagai stereotip perilaku komunikasi, misalnya wanita berbicara lebih sopan daripada pria; pembicaraan mereka tidak tegas; lebih sering bergosip daripada pria; bertele-tele; lebih emosional, dan terperinci (Mulyana, 1999:23). Meskipun lelaki dan perempuan berasal dari kelas sosial dan masyarakat tutur yang sama, lelaki dan perempuan menggunakan bentuk linguistik yang berbeda. Bentuk linguistik yang dipakai oleh perempuan dan laki-laki sangat jauh berbeda di dalam semua masyarakat tutur. Misalnya, Holmes (1993; dalam Bayer dan Nemati, 2007:187) menjelaskan bahwa bahasa orang Indian Amazon merupakan contoh yang ekstrem. Dalam bahasa itu, bahasa yang dipakai seorang ibu berbeda dari bahasa yang digunakan oleh ayah dan setiap suku dibedakan oleh perbedaan bahasa. Dalam komunitas Indian Amazon, lelaki dan perempuan menggunakan bahasa yang berbeda. Meskipun ada komunitas tertentu yang menunjukkan bahasa lelaki dan perempuan sama saja, sebenarnya perbedaan ciri linguistik yang dipakai oleh lelaki dan perempuan itu tetaplah ada. Perbedaan ini terjadi secara bertingkat dari pelafalan, morfologi, sampai dengan kosakata. Berkait dengan itu, Holmes (1993) menunjukkan contoh bahasa Jepang. Dalam bahasa Jepang, kata-kata yang berbeda memiliki makna yang sama dan digunakan secara tersendiri oleh lelaki
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
60
dan perempuan. Misalnya, jika seorang perempuan ingin mengatakan ”air”, dia akan menggunakan kata ”ohiya”. Namun, untuk menyebut ”air”, seorang lelaki akan menggunakan kata ”miza”. Perempuan cenderung lebih banyak menggunakan bahasa standar daripada laki-laki. Berkenaan dengan pernyataan itu, Climate (1997) memercayai bahwa perempuan
umumnya
menggunakan
kemampuan
berbicara
untuk
mengembangkan dan memelihara hubungan. Mereka menggunakan bahasa untuk mencapai keintiman. Sementara itu, Tannen (1980) menyatakan bahwa perempuan berbicara dan mendengar untuk menyatakan hubungan dan keintiman, sedangkan lelaki berbicara dan mendengar untuk status dan kebebasan. Tannen juga menyatakan tipe komunikasi semacam itu terjadi secara lintas bahasa dan budaya yang terlihat melalui adanya kemiripan-kemiripan. Menurut Kaplan dan Farrell (1994); Leet-Peregrini (1980; dalam Bayer dan Nemati, 2007:188), pesan yang dihasilkan oleh perempuan lebih pendek dan keikutsertaan mereka dalam komunikasi dikendalikan oleh keinginan memelihara hubungan daripada keinginan mencapai kesepakatan. Laki-laki dan perempuan seringkali dianggap menggunakan kata tabu yang berbeda. Dengan demikian, konsep antara seks dan gender harus menjadi pertimbangan dalam kerangka melakukan analisis wacana (bahasa). Seks merupakan kategori yang memunculkan laki-laki dan perempuan sebagai dua kategori berdasarkan sudut pandang biologis. Sementara itu, gender digunakan untuk menjelaskan peran dan konstruksi sosial berdasarkan perbedaan seks (jenis kelamin) (Coates, 2004:4). Seks dan gender merupakan faktor-faktor yang turut memengaruhi ujaran seseorang. Penggunaan makian menunjukkan stereotip perilaku komunikasi yang cenderung dilakukan oleh laki-laki dibandingkan oleh perempuan. Hal itu tampak dari pernyataan Wilson (2005) bahwa masyarakat Barat umumnya memandang makian lebih tepat untuk pria daripada untuk wanita. Masyakat Barat cenderung menilai bahwa penggunaan kata-kata cabul oleh perempuan dianggap lebih kasar dibandingkan penggunaan kata-kata cabul oleh pria. Bahkan, penggunaan makian oleh perempuan dianggap sebagai suatu perilaku yang salah. Namun, penilaian semacam itu tidak berlaku bagi pria. Masyarakat Barat pada umumnya juga
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
61
memberi penilaian kurang bermoral pada perempuan yang menggunakan makian. Dengan demikian, penggunaan makian dianggap hanya cocok untuk pria dan tidak cocok untuk perempuan. Dalam konteks tersebut, Gao Gao (2008:4) menyatakan bahasa perempuan memiliki ciri benar, santun, kooperatif, tanpa kekuatan, dan diucapkan sebagaimana selayaknya seorang perempuan. Ciri-ciri itulah yang telah menjadi konvensi untuk menunjukkan bahasa perempuan. Perempuan dianjurkan untuk berbicara lembut dan diharapkan tidak berbicara kasar sebagaimana laki-laki. Sementara itu, Jay (1999:181) menyatakan, “Tabu tidak pernah menjadi milik perempuan dalam percakapan karena perempuan diharapkan menunjukkan kontrol atas seluruh pikirannya, sedangkan laki-laki bebas menunjukkan permusuhan dan perilaku berbahasa yang agresif.” Lakoff (1975; dalam Holmes, 1993:314) menyebutkan bahwa ada sepuluh ciri bahasa perempuan, yakni sebagai berikut: (a) lexical hedges or fillers, e.g. you know, sort of; (b) tag questions, e.g. she is very nice, isn’t she?; (c) rising intonation on declaratives, e.g. it’s really good; (d) empty adjectives, e.g. divine, charming, cute; (e) precise color terms, e.g. magenta, acqamarine; (f) intensifiers such as just and so; (g) hypercorrect grammar, e.g. consistent use of standard verb forms; (h) superpolite forms, e.g. indirect requests, euphemisms; (i) avoidance of strong swear words, e.g. fudge, my goodness; (j) emphatic stress, e.g. it was a brilliant performance. Pendapat Lakoff tersebut tidak semuanya berlaku dalam kenyataan. Bahasa perempuan sangat dipengaruhi oleh pelbagai faktor, misalnya gender, pengalaman, dan status pembicara. Dengan demikian, bahasa perempuan tidak seluruhnya sesuai dengan ciri yang disebutkan Lakoff. Dalam kaitannya dengan penggunaan makian, Lakoff menyatakan lakilaki diharapkan mengetahui
bagaimana memaki dan bagaimana mengatakan
serta menghargai canda-canda yang jorok. Sementara itu, perempuan diharapkan berbicara pantas, sebaik-baiknya,
dan menggunakan eufimisme untuk
menggantikan kata-kata yang tidak sopan. Pernyataan itu ternyata tidak selalu benar terjadi karena perempuan juga dapat menggunakan bahasa yang sama dengan laki-laki. Setidak-tidaknya hal itu telah dibuktikan melalui penelitian Eckert yang menunjukkan bukti bahwa di beberapa komunitas, perempuan juga
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
62
menggunakan kata-kata yang tidak sopan/tidak pantas (Coates, 2004:81). Temuan tersebut menunjukkan bantahan terhadap teori Lakoff. Adapun soal bahasa perempuan yang tidak menunjukkan rasa humor sebagaimana dikatakan Lakoff, ternyata juga beroleh bantahan dari Holmes. Menurut Coates (2004:203), Holmes justru menemukan bahwa perempuan juga kerap menggunakan humor
untuk meneguhkan solidaritas kelompok dan
persahabatan di tempat kerja. Bahkan, Mullany menemukan bahwa humor sering terjadi
dalam pertemuan-pertemuan (rapat)
yang dihadiri oleh banyak
perempuan. Justru dalam rapat-rapat yang didominasi kaum pria, humor lebih sedikit muncul. Meskipun
hasil
penelitian-penelitian
tersebut
tidak
membuktikan
kebenaran pendapat Lakoff, tidak berarti pendapat Lakoff salah karena memang perilaku atau kebiasaan berbahasa senantiasa berubah. Perubahan yang terjadi cenderung mengarah pada kelompok yang paling disukai, kelompok yang memegang kekuasaan, serta bersama-sama dengan tingkah laku nonverbal lainnya diadopsi oleh kelompok lain.
Dalam konteks itu, karena laki-laki dianggap
sebagai kelompok yang dominan atau menguasai secara sosial, maka terjadi pengadopsian cara berbahasa laki-laki oleh perempuan dengan pelbagai tujuan. Perilaku berbahasa perempuan telah mengalami pergeseran dan perubahan sehingga dapat dikatakan tidak berbeda dengan laki-laki, termasuk dalam hal penggunaan kata-kata tabu. Namun, Coates (1993) dan de Klerk (1991; 1997) menyatakan perempuan seolah berada dalam dilema. Di satu sisi, perempuan diajari agar berbicara yang baik dan sopan. Di sisi lain, cara bicara seperti itu seolah menjadi tanda ketidakmampuan atau ketidakberdayaan. Ketika perempuan mengadopsi cara-cara pria, mereka akan dihujani kritik sebagai perempuan yang tidak feminin atau agresif. Apalagi untuk perempuan yang memiliki status sosial tinggi. Proses sosial dan harapan masyarakat secara tradisional menjadikan perempuan tidak begitu banyak menggunakan kata-kata cabul (untuk makian). Paling tidak hal ini dapat dijelaskan melalui dua alasan berikut ini: (1) makian secara intrinsik dianggap sebagai
tindakan kekerasan dan agresif. Dengan demikian, perempuan yang
melakukan tindakan semacam ini mungkin dilihat sebagai pribadi yang melanggar
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
63
batas budaya dan di luar harapan masyarakat tentang perilaku perempuan, yang menempatkan perempuan dalam posisi yang terhormat, sopan, pengasuh, dan berorientasi pada kebutuhan atau perasaan orang lain. Penggunaan makian diterima secara sosial sebagai alat pembentukan identitas pria dan (2) penggunaan makian berfungsi sebagai upaya mempertahankan perilaku yang dikehendaki. Dalam hubunganya dengan pernyataan di atas, Klerk (1992:277) menyatakan sebagai berikut: Tabu linguistik muncul di kebanyakan budaya. Kata-kata yang ditabukan pada umumnya khas budaya dan berkenaan dengan fungsi tubuh atau aspek dari suatu budaya yang disakralkan. Kata-kata tersebut dihindari, dianggap tidak sesuai, dan dibebani oleh makna afektif. Wanita dianggap mengagungkan perilaku ”ladylike” yang telah lama dipandang sebagai alat untuk menegakkan tabu dan menghindari kata-kata ”kotor” tertentu. Tindak ujar seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor. Dalam konteks itu, seks (jenis kelamin) dan umur merupakan dua faktor utama yang saling pengaruhmemengaruhi. Hal ini sejalan dengan pernyataan Graddol dan Swann (1991:7) bahwa seks mengacu pada ciri biologis yang membedakan pria dan wanita. Adapun gender mengacu pada makna yang dibebankan masyarakat terhadap seks. Pada awalnya, bahasa bersifat personal karena setiap orang adalah unik secara biologis–individu. Laki-laki dan perempuan berbeda-struktur biologisnya. Perbedaan tersebut menyebabkan berbedanya cara berbicara antara laki-laki dan perempuan. Namun, sebagai makhluk sosial tidak seorang pun bisa keluar dari keterpengaruhan lingkungan sosial yang mengartikan landasan biologis bahwa seks jauh dari faktor konklusif yang membentuk ujaran seseorang, dan faktor eksternal gender juga memainkan peran penting yang cukup berpengaruh. Jenis kelamin biologis seseorang tidak sesuai dengan ujarannya, atau ia dapat mempertahankan ciri lebih dari satu gender. Oleh karena itu, gaya bahasa terbentuk melalui seks dan gender, sedangkan bahasa merupakan bagian yang penting sebagai identitas personal dan sosial. Kebiasaan linguistik mencerminkan biografi dan pengalaman individual. Sebagian besar peneliti di bidang telaah gender, menunjukkan temuan bahwa bahasa perempuan cenderung lebih sopan, bersifat tidak langsung, dan menunjukkan kerja sama, sedangkan bahasa kaum lelaki cenderung tidak sopan,
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
64
bersifat langsung, dan menunjukkan persaingan. Kenyataan itu menunjukkan bahwa kaum lelaki melakukan interaksi dengan menggunakan poros kuasa, sedangkan wanita menggunakan poros solidaritas dan dukungan (Coates, 2004:126). Alasan tentang hal itu terdapat dalam kenyataan sosial. Menurut beberapa peneliti, lelaki biasanya menggunakan posisi dominannya dan perempuan dianggap sebagai kaki tangan atau lebih rendah daripada lelaki. Namun, apa yang diuraikan di atas pada kenyataannya tidak selalu demikian karena sering pula terjadi kekecualian. Gender merupakan faktor yang berpengaruh lebih besar dalam membentuk tindak tutur dibandingkan faktor seks. Oleh karena itu, penggunaan bahasa dikendalikan oleh pelbagai faktor, misalnya latar percakapan, tujuan, status sosial pembicara dan pendengar, dan hubungan di antara pembicara dan pendengar. Dengan demikian, pembicara akan lebih memilih mempertimbangkan soal gender daripada hanya soal laki-laki atau perempuan di dalam percakapan. Dengan cara itu, pada waktu yang bersamaan pembicara mengungkapkan dirinya untuk meneguhkan identitas diri melalui bahasa yang digunakan dalam percakapan. Berdasarkan kenyataan itu, perempuan dapat pula melakukan persaingan dalam percakapan dan laki-laki dapat pula melakukan kerja sama dan bertindak santun. Penggunaan bahasa bergantung pada konteks sosial. Dalam konteks tersebut, Coates (2004:143) menyatakan kerja sama dan persaingan selalu datang bersamaan dalam percakapan karena cara bicara yang berbeda dapat memunculkan tujuan penciptaan solidaritas kelompok. Meskipun pria secara konvensional dipandang sebagai dominator, norma yang dominan selalu fleksibel dan dapat berubah. Penelitian Gomm (1981) menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan melakukan makian yang lebih banyak saat berada dalam lingkungan teman-teman yang berjenis kelamin sama dan laki-laki menggunakan kata-kata makian yang lebih sedikit saat bersama dengan teman-teman berbeda jenis kelamin. Sementara itu, Jay (1999:166)
berdasarkan hasil penelitiannya
menyimpulkan bahwa laki-laki lebih banyak melakukan makian daripada perempuan; laki-laki menggunakan lebih banyak kosakata makian daripada
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
65
perempuan; laki-laki menggunakan makian yang lebih kotor (menjijikan) daripada perempuan. Berkenaan dengan uraian di atas, Coates (2004:98) memaparkan bahwa laki-laki dan perempuan tampaknya mudah menyesuaikan diri dengan normanorma perasaan lawan jenis mereka dalam konteks percakapan yang melibatkan perbedaan jenis kelamin. Dengan demikian, laki-laki akan menggunakan lebih sedikit tabu dalam konteks percakapan berbeda jenis kelamin. Dibandingkan dengan laki-laki, perempuan akan menggunakan banyak kata-kata tabu dalam latar percakapan berbeda jenis kelamin untuk mengikuti norma-norma bahasa tabu yang dimiliki pria. Ada alasan lain yang dapat diajukan tentang mengapa perempuan menggunakan lebih banyak bahasa tabu dalam konteks-konteks tertentu. Hal itu dikatakan oleh Gao-gao (2008:13) bahwa alasan lain mengapa wanita dapat menggunakan bahasa tabu lebih banyak dalam beberapa konteks dapat dijelaskan dengan istilah ”covert prestige” atau ’gengsi tersembunyi’. Bahasa tabu juga merupakan jenis bahasa stigmatis dan orang memilih untuk menggunakannya disebabkan mereka akan mendapat gengsi yang mampu meningkatkan jaringan sosial dan solidaritas mereka dalam komunitas tertentu. Bisa dikatakan bahwa pria memiliki lebih banyak gengsi daripada wanita karena wanita selalu mencoba sebaik-baiknya untuk menstandarkan bahasa mereka. Meskipun demikian, tidak selalu kasusnya wanita yang dapat menggunakan bahasa tabu lebih banyak daripada pria dalam konteks untuk menjaga gengsi. Mereka memerlukan gengsi untuk memperkuat posisi mereka di masyarakat. Laki-laki dan perempuan juga menggunakan kata-kata tabu secara berbeda. Menurut Jay (1999:165), untuk menghina atau mencerca, perempuan biasanya menggunakan kata bastard (haram jadah) yang ditujukan kepada lakilaki dan menggunakan bitch (perempuan jalang) atau slut (pelacur) yang ditujukan kepada perempuan; sedangkan laki-laki biasa menggunakan cunt (vagina/organ seks bagian luar) atau slut (pelacur) yang ditujukan kepada perempuan dan faggot (homoseks atau gay) yang ditujukan kepada laki-laki. Perbedaan gender ditemukan dalam penggunaan istilah seksual, guyonan, debat kusir, dan perang mulut. Pria menggunakan lebih banyak istilah yang menyerang ras dan jenis
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
66
kelamin daripada wanita, dan di saat yang sama mereka paling sensitif terhadap ungkapan yang mengganggu mereka dan lebih mudah terprovokasi ke dalam pertengkaran ketika mereka merasa dihina atau diganggu. Meskipun demikian, terdapat
pengecualian,
yaitu
dalam
berguyon
wanita
lebih
cenderung
mengeluarkan candaan yang tidak jelas, tidak wajar, dan candaan tentang tokoh yang berwenang, dan bercanda dengan permainan kata. Sementara itu, Tyler (1977:1) menyatakan terdapat dua jenis alasan yang dapat diajukan mengenai penggunaan bahasa oleh perempuan, termasuk di antaranya penghindaran terhadap makian. Pertama, secara sederhana dapat dikatakan bahwa perempuan tidak menyukai makian. Dengan mengutip pendapat Jespersen (1922:246),
Tyler
(1977:1) menunjukkan bukti bahwa perempuan secara naluriah bersembunyi dari ungkapan kasar dan kotor. Keadaan itu merupakan representasi dari tabu seksual yang sudah berumur panjang meskipun argumen ini terdengar sangat pelik. Berdasarkan penelitian kontemporer, seperti yang dilakukan oleh Stanley (1973) mengenai istilah-istilah yang digunakan untuk prostitusi, diperoleh temuan bahwa bahasa vulgar dalam bahasa Inggris lebih sering merujuk pada perempuan, pada alat kelamin perempuan, atau pada pekerjaan seks yang dilakukan oleh perempuan. Oleh karena itu, perempuan menghindari kata-kata makian yang membuat hinaan atas kelamin mereka sendiri. Bagaimanapun, alasan ini tidak dapat menjelaskan alasan penghindaran kata makian oleh perempuan terhadap bentuk-bentuk makian yang lain. Kedua,
alasan
tekanan
sosial
yang
menimpa
perempuan
tanpa
memerhatikan apa yang dapat dipilih untuk disukai. Dengan mengutip pendapat Lakoff (1975), Tyler (1977:1)
menyatakan bahwa sebagai anak, perempuan
diajari oleh orang tua dan oleh anggota masyarakat lain agar berlaku sebagai ”anak perempuan yang baik” (lady like) yang menghindari penggunaan bahasa terlalu keras, seperti berteriak; tidak mengentakkan kaki; cara-cara lain yang bersifat terlalu kuat untuk menyatakan perasaan.
Sebagai orang dewasa,
perempuan harus berbicara sebagaimana yang diajarkan kepadanya sejak kecil. Jika perempuan tidak menggunakan cara bicara selayak seorang perempuan, ia
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
67
akan diasingkan sebagai perempuan
yang tidak feminin, baik oleh laki-laki
maupun oleh perempuan sendiri. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bahasa perempuan dan laki-laki berbeda bukan sekadar disebabkan oleh perbedaan jenis kelamin, melainkan juga disebabkan oleh faktor-faktor lain, misalnya gender dan nilai atau norma yang berlaku di masyarakat. Perbedaan bahasa laki-laki dan perempuan ditunjukkan oleh para pakar dari pelbagai aspek, antara lain dari aspek bentuk/wujud kebahasaaan yang digunakan, konteks penggunaan, dan alasan penggunaan.
2.4
Kerangka Teori
2.4.1
Pengertian dan Ciri Makian Dalam penelitian ini, makian diartikan dengan mengacu pada pendapat
Morehead dan Morehead (1981:195); Edward (1983:15);
Ljung (1984:95);
Andersson dan Hirsch (1985a:5); Anderssson dan Trudgill (1990:53); Hughes (1991:252); Svensson (2001:1). Morehead dan Morehead (1981:195) mengungkapkan bahwa kata makian adalah sumpah serapah. Sementara itu, menurut Edward (1983:15), kata makian merupakan ungkapan untuk menyinggung harga diri orang lain dan yang menjadi sasaran adalah menyakiti hatinya dan untuk sementara waktu, atau karena kebutuhan yang tidak jelas sehingga kadang-kadang yang memaki tidak mengetahui arti sebenarnya yang terkandung dalam kata itu. Ciri kata makian menurut Ljung (1984:95; dalam Karjalainen, 2002:20); Andersson dan Hirsch (1985a:5) adalah harus digunakan dalam pengertian yang nonteknis. Salah satu bagian dari ciri nonteknis itu ialah kata yang disebut makian harus terkelompokkan sebagai kata tabu atau setidak-tidaknya merujuk pada subjek atau sesuatu yang tabu dan bersifat emotif. Terdapat tiga syarat agar suatu kata atau ungkapan dapat dikelompokkan sebagai kata makian, yaitu (1) merujuk pada tabu atau stigma (tanda dari ketidakberterimaan sosial) dalam suatu lingkungan budaya, (2) tidak dapat ditafsirkan secara harfiah, dan (3) dapat digunakan untuk mewujudkan emosi dan sikap yang kuat.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
68
Berkait dengan makna makian, Anderssson dan Trudgill (1990:53) menyatakan, ”Its meaning is more emotive than literal in swearing, meaning it has more to do with a person’s emotions about something rather than referring to the semantic proportions of the word” (makna
makian lebih bersifat emotif
daripada makna harfiah, makna lebih berhubungan dengan emosi seseorang daripada merujuk pada proporsi semantis kata). Adapun Hughes
(1991:252) mendefinisikan makian sebagai kata-kata
yang bersifat cabul atau kasar yang digunakan untuk memaki dan dianggap tidak senonoh
dalam
suatu
masyarakat;
kata-kata
tersebut
dipakai
untuk
menghina/mencerca, memaki, mengutuk, melukai, menyakiti, mengejek, atau memperolok-olok sesuatu saat penuturnya merasakan emosi yang sangat kuat. Selanjutnya, Svensson (2001:1) membatasi pengertian makian sebagai ”a form of linguistic expression often referred to as bad language” (bentuk ekspresi bahasa yang seringkali merujuk pada bahasa yang dianggap tidak baik/buruk). Dengan demikian, peneliti ini dapat menyimpulkan bahwa makian adalah bentuk tuturan yang berupa kata-kata kotor, kasar, cabul, tabu, asusila, jorok, menjijikan atau kata-kata lain yang digunakan untuk memaki, baik yang berorientasi negatif, seperti memaki, membentak, mengancam, menghujat, mengejek, melecehkan, menjelek-jelekkan, mengusir, memfitnah, menyudutkan, mendiskriminasi,
mengintimidasi,
menakut-nakuti,
memaksa,
menghasut,
membuat orang lain malu, menyakiti hati, dan menghina maupun yang berorientasi positif, seperti untuk bercanda atau menunjukkan persahabatan.
2.4.2
Klasifikasi Bentuk Makian Bentuk makian yang diacu dalam penelitian ini mengacu pada teori bentuk
makian yang dikemukakan oleh Wijana dan Rohmadi (2007:115—130). Makian dikelompokkan berdasarkan aspek formal dan referensinya. Makian secara formal dibedakan menjadi tiga jenis, yakni (a) makian berbentuk kata, (b) makian berbentuk frasa (kelompok kata), dan (c) makian berbentuk klausa. Berbeda dengan istilah yang digunakan oleh Wijana dan Rohmadi, dalam penelitian ini tidak digunakan istilah formal, melainkan istilah bentuk. Hal itu didasarkan pada pendapat Kridalaksana (2008:65), yang menyatakan bahwa
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
69
formal dapat diartikan
(1) bersangkutan dengan ciri-ciri yang dapat dipakai
sebagai dasar menumbuhkan kategori atau satuan seperti morfem, pola bunyi, atau urutan kata; (2) bersangkutan dengan ciri-ciri yang tidak bersifat semantis; (3) yang bukan unsur substansi, jadi tidak bersangkutan dengan medium fonetis atau grafis. Istilah ini dibedakan dari istilah formil. Sementara itu, bentuk diartikan (1) penampakan atau rupa satuan bahasa; (2) penampakan atau rupa satuan gramatikal atau leksikal dipandang secara fonis atau grafemis (Kridalaksana, 2008:32). Dengan demikian, istilah bentuk dalam penelitian ini merujuk pada rupa satuan gramatikal. Bentuk makian merujuk pada makian berwujud kata, makian berwujud frasa, dan makian berwujud klausa. Definisi kata yang dipakai dalam penelitian ini adalah definisi kata yang dikemukakan oleh Kridalaksana (2008:110), yaitu (1) morfem atau kombinasi yang oleh bahasawan dianggap sebagai satuan terkecil yang dapat diujarkan sebagai bentuk yang bebas, (2) satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri, terjadi dari morfem tunggal (misalnya batu, rumah, datang, dan sebagainya) atau gabungan morfem (misalnya pejuang, mengikuti, pancasila, mahakuasa, dan sebagainya), dan (3) satuan terkecil dalam sintaksis yang berasal dari leksem yang telah mengalami proses morfologis. Makian yang berbentuk kata dibedakan menjadi dua, yakni makian bentuk dasar dan makian bentuk kata jadian. Makian bentuk dasar adalah makian yang berwujud kata-kata monomorfemis, sedangkan makian bentuk jadian adalah makian yang berupa kata-kata polimorfemis. Makian polimorfemis dibedakan menjadi tiga jenis, yakni (1) makian berafiks, (2) makian bentuk ulang, dan (3) makian bentuk majemuk. Adapun pengertian frasa yang dirujuk dalam penelitian ini adalah pengertian frasa menurut Kridalaksana (2008:66), yakni gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak predikatif; gabungan itu dapat rapat, dapat renggang; misalnya gunung tinggi adalah frasa karena merupakan konstruksi nonpredikatif; konstruksi ini berbeda dengan gunung itu tinggi yang bukan frasa karena bersifat predikatif. Selanjutnya, definisi klausa yang dijadikan landasan dalam penelitian ini adalah definisi klausa menurut Kridalksana (2008:124), yaitu satuan gramatikal
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
70
berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri atas subjek dan predikat, dan mempunyai potensi untuk menjadi kalimat. Sementara itu, berdasarkan referensinya, makian digolong-golongkan menjadi bermacam-macam, yakni keadaan, binatang, benda-benda, bagian tubuh, kekerabatan, mahluk halus, aktivitas, profesi, seruan, dan lain-lain. Bentuk makian berdasarkan referensinya sebagaimana yang dikemukakan Wijana dan Rohmadi (2007:115—130) di atas tidak digunakan dalam penelitian ini. Dengan demikian, pengelompokan bentuk makian hanya berhubungan dengan perwujudan satuan gramatikal berupa kata, frasa, dan klausa, sedangkan referensi tidak dihubungkan dengan bentuk, melainkan dengan medan makna atau sumber makian.
2.4.3 Klasifikasi Kategori Makian Berhubungan dengan kategori makian, pengertian kategori dalam penelitian ini mengacu pada pendapat Kridalaksana (2008:113) bahwa kategori dapat diartikan sebagai berikut: (1) bagian dari suatu sistem klasifikasi, misalnya kategori gramatikal dan kategori leksikal; (2) hasil pengelompokan unsur-unsur bahasa yang menggambarkan pengalaman manusia; (3) golongan satuan bahasa yang anggota-anggotanya mempunyai perilaku sintaktis dan mempunyai sifat hubungan yang sama. Selanjutnya,
Kridalakasana
(2008:113)
mendefinisikan
kategori
gramatikal sebagai berikut: (1) golongan satuan bahasa yang dibeda-bedakan atas bentuk, fungsi, dan makna, seperti kelas kata, jenis, kasus, kata, dan sebagainya; (2) golongan satuan bahasa yang diungkapkan dengan morfem terikat (dipertentangkan dengan kategori leksikal). Berdasarkan pernyataan di atas, yang dimaksud dengan pengertian kategori dalam penelitian ini adalah kelas kata. Berkenaan dengan kelas kata, Kridalaksana (2008:116) menyatakan bahwa kelas kata adalah golongan kata yang mempunyai kesamaan dalam perilaku formalnya. Secara kategorial, makian dalam bahasa Indonesia dapat digolongkan menjadi beberapa jenis, yakni (1) makian yang berkategori nomina atau frasa nomina, seperti bandot, tai, matamu, iblis, sundal, dan sebagainya; (2) makian
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
71
berkategori verba (khususnya verba statif), seperti mati; (3) makian berkategori interjeksi, seperti buset; (4) makian berkategori adjektiva, seperti goblok, dungu, gila, dan sebagainya (Wijana dan Rohmadi, 2007:117—118). Berikut ini adalah contoh-contoh kalimat yang mengandung makian dengan kategori di atas: (1) Bandot, tua begitu masih doyan daun muda. (2) Taimu, begitu saja marah-marah. (3) Buset, dia datang lagi dengan kawan lebih banyak. (4) Goblok, sudah dibilangin tidak mau.
Nomina adalah kelas kata yang biasanya dapat berfungsi sebagai subjek atau objek dari klausa; kelas kata ini sering berpadanan dengan orang, benda, atau hal lain yang dibendakan dalam alam di luar bahasa (Kridalaksana, 2008:63). Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Radford et al. (2009:192), yang menyatakan, “Nouns often refer to types of concrete objects in the world (e.g. cake, engine, moon, waiter)”(nomina sering merujuk pada benda-benda konkret yang ada di dunia ini, misalnya kue, mesin, bulan, pelayan, dan lain-lain). Selanjutnya, verba adalah kelas kata yang biasanya berfungsi sebagai predikat; dalam beberapa bahasa lain verba mempunyai ciri morfologis seperti ciri kala, aspek, persona, atau jumlah. Sebagian besar verba mewakili unsur semantis perbuatan, keadaan atau proses; kelas kata ini dalam bahasa Indonesia ditandai dengan
kemungkinan untuk diawali dengan kata
tidak dan tidak
mungkin diawali dengan kata seperti sangat, lebih, dan sebagainya misalnya datang, naik, bekerja, dan sebagainya (Kridalaksana, 2008:254). Sejalan dengan pendapat tersebut, Radford et al. (2009:129) menyatakan, ”Verbs typically refer to acitivities (applaud, steal, collide, bark)” (verba umumnya merujuk pada kegiatan/aktivitas (misalnya, bertepuk tangan, mencuri, bertabrakan, membentak). Adapun ajektiva dapat diartikan sebagai kata yang menerangkan kata benda (Kridalaksana, 2008:4). Senada dengan pernyataan itu, Radford et al. (2009:130) menyatakan, “Adjectives typically refer to properties which people or things possess and they are used to modify nouns, e.g. happy man, noisy engine” (ajektiva umumnya merujuk pada sifat yang dimiliki orang atau sesuatu dan
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
72
lazimnya digunakan untuk membatasi/memodifikasi nomina, misalnya orang yang berbahagia, mesin yang berisik).
2.4.4
Klasifikasi Sumber Makian Makian dapat diklasifikasikan atau dikelompokkan berdasarkan kriteria
sumber makian yang digunakan. Dalam konteks itu, untuk membuat klasifikasi sumber makian yang digunakan oleh responden laki-laki dan oleh responden perempuan, peneliti ini mengacu pada klasifikasi yang telah dibuat oleh Rothwell (1973:108); Trudgill (1983); Wardhaugh (1986:230); Hughes (1991:208). Klasifikasi sumber makian yang disintesiskan berdasarkan pendapat pakarpakar tersebut, meliputi: (a) makian yang berhubungan dengan kotoran, (b) makian yang berhubungan dengan kelamin, (c) makian yang berhubungan dengan binatang, (d) makian yang berhubungan dengan agama, (e) makian yang berhubungan dengan keterbelakangan mental/kebodohan, (f) makian yang berhubungan dengan perbuatan pengecut, (g) makian yang berhubungan dengan makhluk halus/gaib, (h) makian yang berhubungan dengan kematian, (i) makian yang berhubungan dengan aktivitas seks.
2.4.5 Klasifikasi Alasan Penggunaan Makian Untuk melakukan pengklasifikasian alasan memaki, peneliti ini merujuk pendapat Rothwell (1973), Hughes (1991), Drescher (2000) dalam (Dewaele, 2004: 204), Rayson et al. (1997), Stentorm (1995, 1999), dan Saptomo (2003). Alasan-alasan memaki yang disintesiskan dari pendapat ahli-ahli tersebut meliputi: (a) mencari perhatian, (b) mendiskreditkan, (c) menghasut, (d) mengidentifikasi/mengokohkan identitas kelompok, (e) persahabatan, (f) kecewa, (g) penyesalan, (h) menghina, (i) tersakiti, (j) terganggu, dan (k) marah. Alasan lain yang tidak dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi alasan yang disampaikan ahli-ahli tersebut dibuatkan klasifikasi baru.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
73
BAB 3 METODE DAN TEKNIK PENELITIAN
3.1
Metode Penelitian Penelitian ini bersifat kualitatif karena penelitian ini bukan berdasarkan
data eksperimen atau data yang berasal dari pengalaman. Penelitian ini menghasilkan analisis interpretatif atas data. Pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terperinci dari pandangan responden, dan melakukan studi pada situasi yang alami (Creswell, 1998:15). Sementara
itu,
Bodgan
mengemukakan bahwa metodologi
dan
Taylor
(dalam
Moleong,
kualitatif merupakan prosedur
2007:7) penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis ataupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Berkait dengan pernyataan di atas, metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode deskriptif karena tujuan penelitian ini adalah untuk memerikan klasifikasi bentuk, kategori, dan sumber makian, serta alasan penggunaan makian oleh responden laki-laki dan oleh responden perempuan, yang berkuliah di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Dalam kaitan dengan metode deskriptif, Whitney (dalam Nazir, 1988:61) menyatakan metode deskriptif merupakan proses pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Sementara itu, Wiseman dan Aron (1970:38—40; dalam Mustakim, 2007:60) menyatakan bahwa metode deskriptif dilakukan melalui empat
tahap,
yaitu
tahap
pengumpulan
data,
pengklasifikasian
data,
penganalisisan data, dan penyimpulan. Dengan metode deskriptif, data yang diperoleh dideskripsikan seobjektif mungkin
dan dianalisis sedemikian rupa
untuk mencapai kepadaan eksplanatif (explanative adequacy).
Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
73
Universitas Indonesia
74
3.2
Teknik Penelitian
3.2.1
Teknik Pengumpulan Data Ada beberapa cara yang dapat dipakai untuk mengumpulkan data dalam
penelitian mengenai penggunaan makian. Cara yang dapat dilakukan, antara lain (a) melakukan pengamatan atas peristiwa-peristiwa tutur dan (b) merekam atau mencatat dengan menggunakan lembar pengamatan tanpa diketahui interlokutor. Keuntungan cara tersebut ialah bahwa tindak tutur yang terjaring adalah alamiah (natural). Kelemahannya adalah bahwa cara di atas
banyak memakan
waktu karena peneliti harus menunggu lama sampai tindak tutur memaki muncul atau terjadi. Cara yang lain adalah dengan melakukan pengamatan berpartisipasi atas peristiwa-peristiwa tutur yang diikuti juga oleh peneliti sebagai peserta aktif. Kelebihan cara ini ialah bahwa peneliti dapat “menggiring” peserta yang lain agar tindak tutur yang diteliti dapat muncul. Kendalanya antara lain adalah cara ini dapat
berlebihan
sehingga
peristiwa
tuturnya
menjadi
peristiwa
tutur
eksperimental (tidak natural). Apalagi, jika pesertanya tahu atau menyadari bahwa si peneliti sedang mengamati perilakunya. Dalam konteks itu, alasan mengapa dalam penelitian ini tidak digunakan teknik pengumpulan data melalui pengamatan atas peristiwa-peristiwa tutur atau perekaman dan pencatatan ialah (1) keterbatasan waktu untuk dapat memperoleh makian yang dapat dijadikan data yang memadai mengingat kemunculan makian tidak dapat diramalkan atau direncanakan karena biasanya terjadi secara spontan; (2) adanya kesulitan
dalam penyediaan data primer yang diperoleh melalui
pengamatan, pencatatan, atau perekaman mengingat bahwa makian merupakan kata-kata kasar yang dihindari pemakaiannya dalam bahasa yang santun dan beradab. Selain itu, makian tidak dapat diramalkan kemunculannya karena bersifat spontan. Untuk itu, dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrumen utama berupa kuesioner, yang disusun dan dibagikan kepada responden untuk mendapatkan data terpancing berupa penggunaan makian.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
75
3.2.2. Responden Penelitian Responden penelitian ini adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Namun, tidak seluruh mahasiswa dipilih sebagai responden. Untuk itu, peneliti ini menetapkan jumlah responden dengan menggunakan teknik pengambilan sampel atau percontoh. Untuk mendapatkan responden, peneliti ini menggunakan rumus Slovin (dalam Prasetyo dan Jannah, 2006:137). Populasi penelitian ini terdiri atas mahasiswa laki-laki dan mahasiswa perempuan angkatan tahun akademik 2006/2007 (semester ke-7), 2007/2008 (semester ke-5), 2008/2009 (semester ke-3), dan 2009/2010 (semester ke-1). Jumlah keseluruhan mahasiswa adalah 610 orang dengan rincian sebagai berikut: mahasiswa semester ke-1 berjumlah 191 orang; mahasiswa semester ke-3 berjumlah 188 orang; mahasiswa semester ke-5 berjumlah 150 orang; mahasiswa semester ke-7 berjumlah 81 orang. Data populasi penelitian ini berdasarkan jenis kelamin ditampilkan dalam tabel 3.1 berikut.
Tabel 3.1 Populasi Penelitian Angkatan
Semester
Jenis Kelamin
Jumlah
Laki-laki
Perempuan
2009/2010
I
54
137
191
2008/2009
III
48
140
188
2007/2008
V
33
117
150
2006/2007
VII
23
58
81
158
452
610
Jumlah
Populasi mahasiswa di atas merupakan subjek yang akan dipilih sebagai responden. Untuk kepentingan penelitian ini, responden diambil dari populasi dengan teknik pengambilan sampel (percontoh) menggunakan rumus Slovin, yakni sebagai berikut:
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
76
N n= 1 + Ne2
Keterangan n =
besaran sampel
N=
besaran populasi
e =
nilai kritis (batas ketelitian) yang diinginkan (persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan penarikan sampel)
Berdasarkan perhitungan dengan rumus di atas, dari populasi sebanyak 610 mahasiswa dan nilai kritis yang ditetapkan sebesar 10%, diperoleh jumlah sampel (percontoh) sebanyak 85,9 (dibulatkan menjadi 86) orang. Selanjutnya, untuk menetapkan percontoh, peneliti ini menetapkan besaran 14,1% dari masingmasing semester. Dengan demikian, percontoh yang diambil dari dari masingmasing semester sebagai responden adalah sebagai berikut: (1)
jumlah percontoh dari semester ke-1 ialah 14,1% x 191 = 26,931 (dibulatkan menjadi 27);
(2)
jumlah percontoh dari semester ke-3 ialah 14,1% x 188 = 26,508 (dibulatkan menjadi 26),
(3)
jumlah percontoh dari semester ke-5 ialah 14,1% x 150 = 21,15 (dibulatkan menjadi 21), dan
(4)
jumlah percontoh dari semester ke-7 ialah 14,1% x 81 = 11,421 (dibulatkan menjadi 12).
Penentuan percontoh dari masing-masing semester yang ditetapkan sebagai responden ditentukan secara acak dengan ketentuan berikut: (1)
responden semester ke-1 sebanyak 27 orang dengan rincian 14 orang perempuan dan 13 orang laki-laki;
(2)
responden semester ke-3 sebanyak 26 orang dengan rincian 13 orang perempuan dan 13 orang laki-laki;
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
77
(3)
responden semester ke-5 sebanyak 21 orang dengan rincian 11 orang perempuan dan 10 orang laki-laki;
(4)
responden semester ke-7 sebanyak 12 orang dengan rincian 5 orang perempuan dan 7 orang laki-laki.
Untuk lebih jelas, jumlah mahasiswa yang dipilih sebagai responden dari masing-masing semester digambarkan dalam diagram 3.1 di bawah ini:
30
27
26
25
21
20 15
12
10 5 0
Semester I Semester III Semester V Semester VII
Diagram 3.1 Jumlah Responden
Berikut ini dideskripsikan data identitas responden, pengetahuan responden atas kata makian, dan kebiasaan menggunakan makian yang diperoleh melalui kuesioner. a.
Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Responden penelitian ini berjumlah 86 orang, yang terdiri atas 43 orang
laki-laki dan 43 orang perempuan. Jumlah mahasiswa laki-laki dari masingmasing angkatan (semester) yang dipilih sebagai responden dapat dirinci sebagai berikut: (1) semester I sebanyak 13 orang, (2) semester III sebanyak 13 orang, (3) semester V sebanyak 10 orang, dan (4) semester VII sebanyak 7 orang.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
78
Sementara itu, jumlah mahasiswa perempuan yang dipilih sebagai responden dari masing-masing angkatan (semester) dapat dirinci sebagai berikut: (1) semester I sebanyak 14 orang,
(2) semester III sebanyak 13 orang, (3)
semester V sebanyak 11 orang, dan (4) semester VII sebanyak 5 orang. Berdasarkan jenis kelamin, percontoh penelitian yang dipilih sebagai responden dari masing-masing angkatan/semester ditampilkan dalam diagram 3.2 berikut:
14
14 13
13
13
12
11 10
10 8
7
6
5
L P
4 2 0 Semester I
Semester III
Semester V
Semester VII
Diagram 3.2 Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
b.
Responden Berdasarkan Usia Berdasarkan usia, responden penelitian ini berusia 17 tahun, 18 tahun, 19
tahun, 20 tahun, 21 tahun, 22 tahun, dan di atas 22 tahun. c.
Responden Berdasarkan Kawasan Tempat Tinggal Responden penelitian ini berasal dari kawasan tempat tinggal yang
berbeda, yakni perdesaan, kecamatan, dan perkotaan. Responden yang tinggal di kawasan perdesaan berjumlah 21 orang; responden yang tinggal di kawasan kecamatan sebanyak 9 orang; responden yang tinggal di kawasan perkotaan berjumlah 56 orang. Dengan demikian, responden penelitian ini sebagian besar bertempat tinggal di kawasan perkotaan, yakni 56 orang. Untuk lebih jelas, data responden berdasarkan kawasaan tempat tinggal ditampilkan dalam diagram 3.3 berikut:
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
79
56
60 50 40 30
21
20
9
10 0 Kawasan Perdesaan
Kawasan Perkotaan
Kawasan Kecamatan
Diagram 3.3 Responden Berdasarkan Kawasan Tempat Tinggal
d.
Bahasa Pertama yang Dikuasai dan Bahasa Sehari-hari Responden Jumlah responden mahasiswa laki-laki berdasarkan bahasa pertama yang
dikuasai dan bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari ditampilkan dalam tabel 3.2 berikut ini:
Tabel 3.2 Jumlah Responden Laki-laki Berdasarkan Bahasa Pertama yang Dikuasai dan Bahasa Sehari-hari Bahasa Pertama yang Dikuasai Bahasa yang Digunakan Sehari-hari
BS
BS
13 BS
BJ
BS
0 0 BJ
10 BI
BJ
0 0 BS
BJ
7 BJ
BI
4 BI
BI
1 BS
BI
0 0 BJ
8 BI
Keterangan: BS = Bahasa Sunda BJ = Bahasa Jawa Dialek Banten
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
80
BI = Bahasa Indonesia Berdasarkan tabel 3.2 di atas, diketahui data-data sebagai berikut: (1) sebanyak 13 orang mahasiswa laki-laki berbahasa pertama bahasa Sunda dan menggunakannya sebagai bahasa sehari-hari; (2) sebanyak 10 orang mahasiswa laki-laki berbahasa pertama bahasa Sunda, tetapi dalam kehidupan sehari-hari lebih sering menggunakan bahasa Indonesia; (3) sebanyak 7 orang mahasiswa laki-laki
berbahasa pertama bahasa
Jawa Dialek Banten dan menggunakannya sebagai bahasa sehari-hari; (4) sebanyak 4 orang mahasiswa laki-laki berbahasa pertama bahasa Jawa Dialek Banten, tetapi dalam kehidupan sehari-hari lebih sering menggunakan bahasa Indonesia; (5) hanya 1 orang mahasiswa laki-laki Indonesia,
tetapi
dalam
kehidupan
berbahasa pertama bahasa sehari-hari
lebih
sering
menggunakan bahasa Sunda; (6) sebanyak 8 orang mahasiswa laki-laki
berbahasa pertama bahasa
Indonesia dan menggunakannya sebagai bahasa sehari-hari. Sementara itu, jumlah responden mahasiswa perempuan berdasarkan bahasa pertama yang dikuasai dan bahasa yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari ditampilkan dalam tabel 3.3 berikut ini:
Tabel 3.3 Jumlah Responden Mahasiswa Perempuan Berdasarkan Bahasa Pertama yang Dikuasai dan Bahasa Sehari-hari Bahasa Pertama yang Dikuasai
BS
BS
14
Bahasa yang Digunakan Sehari-hari BS
BS
0 0
BJ
BJ
6
BI
BJ
0 0
BS
BJ
8
BJ
BI
5
BI
BI
1
BS
BI
0 0
BJ
9
BI
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
81
Keterangan: BS = Bahasa Sunda BJ = Bahasa Jawa Dialek Banten BI = Bahasa Indonesia
Berdasarkan tabel 3.3 di atas, diketahui data-data sebagai berikut: (1) sebanyak 14 orang mahasiswa perempuan berbahasa pertama bahasa Sunda dan menggunakannya sebagai bahasa sehari-hari; (2) sebanyak 6 orang mahasiswa perempuan berbahasa pertama bahasa Sunda, tetapi dalam kehidupan sehari-hari lebih sering menggunakan bahasa Indonesia; (3) sebanyak 8 orang mahasiswa perempuan
berbahasa pertama bahasa
Jawa Dialek Banten dan menggunakannya sebagai bahasa sehari-hari; (4) sebanyak 5 orang mahasiswa perempuan berbahasa pertama bahasa Jawa Dialek Banten, tetapi dalam kehidupan sehari-hari lebih sering menggunakan bahasa Indonesia; (5) hanya 1 orang mahasiswa perempuan Indonesia,
tetapi
dalam
kehidupan
berbahasa pertama bahasa sehari-hari
lebih
sering
menggunakan bahasa Sunda; (6) sebanyak 9 orang mahasiswa perempuan berbahasa pertama bahasa Indonesia dan menggunakannya sebagai bahasa sehari-hari. e.
Pengetahuan Responden atas Kata Makian Berdasarkan jawaban responden terhadap pertanyaan yang diajukan, yakni
”Apakah Anda mengetahui kata makian dalam bahasa yang Anda kuasai?”, diperoleh data bahwa semua responden (86 orang) menjawab ”Ya” (berarti mengetahui kata makian). Dengan demikian, tidak ada responden yang menjawab ”Tidak” (berarti tidak mengetahui) kata makian. Data tersebut ditampilkan dalam diagram 3.4 di bawah ini:
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
82
86
100 80 60 40 20
0
0 Mengetahui
Tidak Mengetahui
Diagram 3.4 Responden yang Mengetahui dan Responden yang Tidak Mengetahui Kata Makian Makian yang dikuasai responden diperoleh atau diketahui dari pelbagai sumber. Sebanyak 23 orang responden laki-laki
dan 25 orang responden
perempuan menjawab seringkali mengetahui makian tertentu dari makian yang digunakan
teman-teman. Dengan perkataan lain, responden tersebut hanya
meniru atau mengikuti. Sebanyak 7 orang responden laki-laki dan 6 orang responden perempuan menjawab seringkali mengetahui dan mendapatkan ungkapan makian tertentu dari tayangan televisi yang ditonton. Sebanyak 11 orang responden laki-laki dan 6 orang responden perempuan menjawab lebih banyak
mengetahui
atau
memperoleh
ungkapan
makian
dari
majalah/komik/novel/koran yang dibaca. Sebanyak 2 orang responden laki-laki dan 6 orang responden perempuan menjawab lebih banyak mengetahui atau memperoleh ungkapan makian dari orang tua. Agar lebih jelas, data di atas penulis tampilkan dalam diagram 3.5 di bawah ini:
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
83
Diagram 3.5 Sumber Pengetahuan Responden atas Makian
Selanjutnya, berdasarkan jawaban responden atas pertanyaan, ”Makian bahasa apa yang Anda ketahui?”, diperoleh data sebagai berikut: (1) responden yang mengetahui makian dalam bahasa Indonesia sebanyak 43 orang; (2) responden yang mengetahui makian dalam bahasa daerah sebanyak 6 orang; (3) responden yang mengetahui makian dalam bahasa Indonesia dan daerah sebanyak 37 orang. Berdasarkan data tersebut, responden lebih banyak yang mengetahui makian bahasa Indonesia dan daerah daripada responden yang hanya mengetahui makian bahasa daerah. Agar lebih jelas, jawaban responden ditampilkan dalam diagram 3.6 di bawah ini:
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
84
Diagram 3.6 Sumber Bahasa Makian yang Diketahui Responden
Berdasarkan jawaban responden terhadap pertanyaan, “Apakah Anda terbiasa menggunakan kata makian?”, peneliti ini mendapatkan jawaban sebagai berikut: (1) responden yang menjawab ”Ya” atau terbiasa menggunakan makian sebanyak 34 orang yang terdiri atas 29 orang responden laki-laki dan 5 orang responden perempuan (2) responden yang menjawab ”Tidak” atau tidak terbiasa menggunakan makian sebanyak 52 orang dengan rincian: 14 orang responden lakilaki dan 38 orang responden perempuan. Untuk lebih jelas, data-data tersebut penulis tampilkan dalam diagram 3.7 berikut ini:
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
85
Diagram 3.7 Kebiasaan Menggunakan Kata Makian
Sementara itu, jawaban responden atas pertanyaan ”Seberapa sering Anda menggunakan kata makian (memaki)?” dapat dilihat pada diagram 3.8 berikut ini:
Diagram 3.8 Frekuensi Penggunaan Kata Makian
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
86
Berdasarkan Diagram di atas, diketahui data-data sebagai berikut: (1) responden yang menjawab ”Sering Sekali” menggunakan makian hanya 2 orang responden laki-laki (2) responden yang menjawab ”Sering” menggunakan makian sebanyak 20 orang dengan rincian: 16 orang responden laki-laki dan 4 orang responden perempuan, (3) responden yang menjawab ”Kadang-kadang” sebanyak 61 orang dengan rincian: 25 orang responden laki-laki dan 36 orang responden perempuan, dan (4) responden yang menjawab ”Tidak Pernah” sebanyak 3 orang responden perempuan.
Dengan demikian, sebagian besar responden menjawab menggunakan makian ”kadang-kadang” saja. Sementara itu, berdasarkan pertanyaan, ”Di manakah Saudara biasanya menggunaakan makian?”, diperoleh jawaban sebagai berikut: (1) sebanyak 5 orang responden laki-laki dan 9 orang responden perempuan menjawab biasa menggunakan makian di rumah, (2) sebanyak 16 orang responden laki-laki dan 13 orang responden perempuan menjawab biasa menggunakan makian di mal, (3) sebanyak 17 orang responden laki-laki dan 19 orang responden perempuan menjawab biasa menggunakan makian di kampus, dan (4) sebanyak 5 orang responden laki-laki dan 2 orang responden perempuan menjawab biasa menggunakan makian di tempat lain.
Agar lebih jelas, data di atas penulis sajikan dalam diagram 3.9 di bawah ini:
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
87
Diagram 3.9 Tempat Responden Menggunakan Makian
Berdasarkan pertanyaan, ”Apakah Saudara sering mendengar orang-orang mengunakan kata
makian di lingkungan kampus?” atau ”Apakah menurut
Saudara ada orang yang menggunakan makian di kampus?”, diperoleh data sebagai berikut: (1) sebanyak 31 orang responden laki-laki dan 29 orang responden perempuan menjawab sering mendengar teman-teman atau orang lain menggunakan makian di lingkungan kampus, (2) sebanyak 12 orang responden laki-laki dan 9 orang responden perempuan menjawab jarang mendengar teman-teman atau orang lain yang menggunakan makian di lingkungan kampus, (3) tidak ada responden laki-laki yang menjawab ”tidak ada” atau ”tidak pernah mendengar” teman-teman atau orang lain yang menggunakan makian di lingkungan kampus, dan (4) sebanyak 5 orang responden perempuan menjawab ”tidak ada” atau ”tidak mendengar” teman-teman atau orang lain yang menggunakan makian di lingkungan kampus.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
88
Untuk lebih memperjelas, data di atas penulis tampilkan dalam diagram 3.10 di bawah ini:
Diagram 3.10 Penggunaan Makian di Kampus
3.2.3. Kuesioner Penelitian Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas tiga bagian, yakni sebagai berikut.
Identitas Responden berisi pertanyaan-pertanyaan untuk menjaring data pribadi, yaitu usia, jenis kelamin, kawasan tempat tinggal, alamat, penguasaan bahasa pertama, bahasa daerah yang dikuasai, dan bahasa yang dipakai dalam praktik komunikasi sehari-hari.
Pertanyaan Bagian I berisi pertanyaan yang berhubungan dengan makian bahasa apa saja yang dikuasai, kebiasaan menggunakan makian, frekuensi penggunaan makian, dan kata-kata makian sesuai dengan klasifikasi yang diberikan, menyebutkan makian lain yang belum terklasifikasikan/tidak dapat dimasukkan ke dalam klasifikasi yang disediakan, dan alasan menggunakan makian, baik negatif maupun positif.
Pertanyaan Bagian II berisi pertanyaan yang didahului oleh dua situasi hipotetis yang berbeda. Setelah membaca setiap situasi hipotetis, responden
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
89
diminta melengkapi kalimat-kalimat yang dirumpangkan dengan makian yang kemungkinan digunakan oleh responden seandainya berhadapan atau mengalami situasi yang dihipotetiskan. Selanjutnya, responden diminta menyebutkan makianmakian yang sering/biasa digunakan oleh setiap responden pada saat berhadapan dengan situasi yang memancing untuk memaki.
3.3.
Teknik Analisis Data Pada tahap analisis, data yang sudah terkumpul melalui kuesioner
selanjutnya dipilah-pilah dengan teknik identifikasi. Dengan teknik ini, data dapat diklasifikasi berdasarkan jenis data. Setelah data diklasifikasikan, data yang tersedia dideskripsikan, dinterpretasikan, dan dianalisis sesuai dengan kerangka teori yang dijadikan landasan. Data makian yang diperoleh melalui jawaban kuesioner, selanjutnya dianalisis secara kualitatif dan diklasifikasikan berdasarkan aspek bentuk, kategori, dan sumbernya.
Selanjutnya, data alasan penggunaan makian yang
dikemukakan oleh responden, dianalisis dan diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi alasan penggunaan makian yang dikemukakan oleh para pakar. Data makian dan alasan penggunaan makian yang telah diklasifikasikan oleh peneliti ini selanjutnya dideskripsikan sesuai dengan teori yang dijadikan acuan dalam penelitian ini. Dengan demikian, penelitian ini dapat menjelaskan: (1) klasifikasi dan deskripsi
bentuk makian yang digunakan oleh responden laki-laki dan oleh
responden perempuan, (2) klasifikasi dan deskripsi kategori makian yang digunakan oleh responden laki-laki dan oleh responden perempuan, (3) klasifikasi dan deskripsi sumber makian yang digunakan oleh responden laki-laki dan oleh responden perempuan, dan (4) klasifikasi dan deskripsi alasan penggunaan makian menurut responden laki-laki dan menurut responden perempuan.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
92
BAB 4 ANALISIS
4.1
Pengantar Analisis Pada bagian berikut, peneliti ini memaparkan analisis klasifikasi bentuk
makian, analisis klasifikasi kategori makian, dan analisis klasifikasi sumber makian, serta analisis klasifikasi alasan penggunaan makian oleh responden penelitian ini, yakni mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Berdasarkan pokok bahasan dan masalah penelitian, tujuan penelitian, dan cakupan penelitian yang telah dirumuskan pada Bab 1, pada bagian ini diuraikan hal-hal sebagai berikut: a. analisis klasifikasi dan deskripsi
bentuk makian berdasarkan data
makian yang digunakan oleh responden; b. analisis klasifikasi dan deskripsi kategori makian berdasarkan data makian yang digunakan oleh responden; c. analisis klasifikasi dan deskripsi
sumber makian berdasarkan data
makian yang digunakan oleh responden; d. analisis klasifikasi dan deskripsi alasan penggunaan makian yang dikemukakan oleh responden. Dari data yang diperoleh melalui jawaban kuesioner oleh responden, peneliti ini menemukan sebanyak 238 buah makian. Jumlah tersebut merupakan jumlah makian secara keseluruhan, yakni jumlah makian yang digunakan oleh responden laki-laki dan makian yang digunakan oleh responden perempuan. Adapun rincian jumlah makian yang digunakan oleh responden laki-laki dan jumlah makian yang digunakan oleh responden perempuan masing-masing adalah sebagai berikut: (1)
makian yang digunakan oleh responden laki-laki sebanyak 95 buah makian;
Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
92
Universitas Indonesia
93 (2)
makian yang digunakan oleh responden perempuan sebanyak 143 buah makian.
Berdasarkan bentuknya, makian yang digunakan oleh responden laki-laki dan makian yang digunakan oleh responden perempuan tersebut dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut: (1) makian berbentuk kata; (2) makian berbentuk frasa. Sementara itu, berdasarkan kategorinya, makian-makian yang digunakan oleh responden laki-laki dan makian yang digunakan oleh responden perempuan dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut: (1)
makian berkategori nomina,
(2)
makian berkategori frasa nominal,
(3)
makian berkategori verba,
(4)
makian berkategori ajektiva, dan
(5)
makian berkategori frasa ajektival.
Makian yang digunakan oleh responden laki-laki berjumlah 95 buah makian. Data makian yang digunakan oleh responden laki-laki dapat dilihat dalam tabel berikut ini: Tabel 4.1 Makian yang Digunakan oleh Responden Laki-laki No
Makian
No
Makian
No
Makian
1
Anjing
33
Edan
65
Monyet
2
Babi
34
Eubeng
66
Munafik
3
Bagong
35
Firaun
67
Murtad
4
Bajingan
36
Gebleg
68
Oncom
5
Bangsat
37
Geblek
69
Ontohod
6
Banci
38
Gelo
70
Paeh
7
Bangke
39
Gila
71
Payah
8
Bedul
40
Goblog
72
Pecundang
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
94
No
Makian
No
Makian
No
Makian
9
Bego
41
Goblok
73
Pelacur
10
Belegug
42
Haram jadah
74
Pengecut
11
Beloon
43
Iblis
75
Polongo
12
Bencong
44
Idiot
76
Polontong
13
Berengsek
45
Item
77
Rai nire
14
Beru
46
Itil
78
Sampah
15
Bodoh
47
Jahanam
79
Sapi
16
Boloon
48
Jendel
80
Sarap
17
Bolot
49
Jurig
81
Setan
18
Bool dia
50
Kafir
82
Setan alas
19
Borangan
51
Kampret
83
Setor
20
Budeg
52
Kehed
84
Sial
21
Budek
53
Kere
85
Sialan
22
Buaya darat
54
Kesrek
86
Sinting
23
Burut peluh
55
Koit
87
Sohor
24
Cabul
56
Kontol
88
Sok alim
25
Cemen
57
Koplok
89
Stres
26
Cemere
58
Kurang ajar
90
Sukur
27
Conge
59
Kutu kupret
91
Syukur
28
Congek
60
Mampus
92
Tai anjing
29
Curek
61
Maot
93
Tai ucing
30
Dodol
62
Mati
94
Tai/tahi
31
Dongok
63
Memek bosok 95
32
Dungu
64
Modar
Tolol
Adapun makian yang digunakan oleh responden perempuan berjumlah 143 buah makian. Data makian tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
95 Tabel 4.2 Makian yang Digunakan oleh Responden Perempuan No
Makian
1
Anjing
2
No 49
Makian
No
Makian
Geblek
97
Murtad
Anjing kesrek 50
Gelo
98
Odoh (bodoh)
3
Anjing kurap
51
Germo
99
Odong (bodoh)
4
Anjrit
52
Gila
100
Once (beloon)
5
Asu
53
Goblok
101
Oneng (beloon)
6
Babi
54
Heunceut
102
Onyon (beloon)
7
Bagong
55
Iblis
103
Oon (beloon)
8
Bahlul
56
Idiot
104
Otak udang
9
Bajingan
57
Iprit
105
Paeh
10
Banci
58
Item
106
Payah
11
Bangke
59
Itil
107
Pecundang
12
Bangsat
60
Jalang
108
Pedog
13
Bantet
61
Jendel
109
Pelacur
14
Bebegig
62
Jitet
110
Pengecut
15
Bedegong
63
Juling
111
Perek
16
Bedul
64
Jurig
112
Persetan
17
Bego
65
Kafir
113
Polongo
18
Begog
66
Kafirun
114
Resek
19
Belagu
67
Kampret
115
Sakit jiwa
20
Belegug
68
Kampungan
116
Sampah
21
Beloon
69
Kate
117
Sapi
22
Bencong
70
Kebo
118
Sarap
23
Berengsek
71
Kehed
119
Setan
24
Beru
72
Keparat
120
Setan alas
25
Bodoh
73
Kerempeng
121
Setor
26
Boloon
74
Kesrek
122
Sial
27
Bolot
75
Koit
123
Sialan
28
Borangan
76
Kontol
124
Sinting
29
Borokokok
77
Koplok
125
Sok agamis
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
96
No
Makian
No
Makian
No
Makian
30
Budeg
78
Kucing garong 126
Sok alim
31
Buta
79
Kuntet
127
Sok bersih
32
Cebol
80
Kunyuk
128
Sok suci
33
Cocot
81
Kurang ajar
129
Sok tahu
34
Conge
82
Kurang asem
130
Sok ustad
35
Congek
83
Kurang waras
131
Sompret
36
Cucurut
84
Kutu kupret
132
Songong
37
Culun
85
Kuya
133
Sontoloyo
38
Dajal
86
Lemot
134
Sotoy
39
Dodol
87
Letoi
135
Stres
40
Dongdot
88
Lutung
136
Syukur
41
Dongo
89
Mampus
137
Syukurin
42
Dungu
90
Mati
138
Tai kucing
43
Dusun
91
Mental tempe
139
Tai/tahi
44
Edan
92
Miring
140
Tolol
45
Endasmu
93
Modar
141
Tuman
46
Eupleu
94
Monyet
142
Wedus
47
Firaun
95
Monyong
143
Yahudi
48
Gebleg
96
Munafik
Meskipun makian yang digunakan oleh responden laki-laki dan oleh responden perempuan berjumlah cukup banyak, makian yang sering digunakan atau frekuensi pemakaiannya cukup tinggi (produktif) hanya beberapa makian saja. Berikut ini dipaparkan makian yang paling sering
digunakan oleh
responden laki-laki dan makian yang paling sering digunakan oleh responden perempuan. Makian-makian yang diinventarisasi pada bagian ini merupakan makian yang diperoleh berdasarkan jawaban responden atas pertanyaan kuesioner Pertanyaan Bagian II Nomor 3, yang berbunyi, ”Sebutkanlah kata-kata makian yang sering Anda gunakan!”
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
97 Makian yang paling banyak atau paling sering digunakan berdasarkan pengakuan responden laki-laki adalah sebagai berikut: Tabel 4.3 Makian yang Paling Sering Digunakan oleh Responden Laki-laki No
Makian
No
1
Goblok/goblog
15
Gila
29
Pengecut
2
Anjing
16
Kurang ajar
30
Sapi
3
Setan
17
Kutu kupret
31
Iblis
4
Tolol
18
Payah
32
Jendel
5
Monyet
19
Stres
33
Kesrek
6
Bego
20
Babi
34
Mampus
7
Bodoh
21
Bajingan
35
Sohor
8
Polongo
22
Bangsat
36
Sialan
9
Beloon
23
Bencong
37
Sinting
10
Kampret
24
Berengsek
38
Tai kucing
11
Dodol
25
Gelo
39
Sontoloyo
12
Idiot
26
Geblek
40
Cemen
13
Sial
27
Haram jadah
14
Tai
28
Munafik
Makian goblok
Makian
No
Makian
atau goblog merupakan makian yang paling banyak
disebut oleh responden laki-laki sebagai makian yang paling sering digunakan. Dalam hal ini, ada 39 orang responden laki-laki yang menjawab makian goblok atau goblog sebagai makian yang paling sering dipakai. Berikutnya, makian anjing disebut oleh 37 orang responden laki-laki; makian setan disebut oleh 34 orang responden laki-laki, makian tolol disebut oleh 24 orang responden laki-laki; makian monyet disebut oleh 11 orang responden laki-laki. Adapun makian-makian lainnya disebut oleh ≤ 10 orang responden lakilaki. Makian-makian yang paling sering digunakan
berdasarkan pengakuan
responden laki-laki dan jumlah masing-masing makian dapat dilihat
dalam
diagram berikut ini:
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
98
Diagram 4.1 Makian yang Paling Sering Digunakan oleh Responden Laki-laki Adapun Makian yang
paling banyak atau paling sering digunakan
berdasarkan pengakuan responden perempuan adalah sebagai berikut: Tabel 4.4 Makian yang Paling Sering Digunakan oleh Responden Perempuan No
Makian
No
Makian
No
Makian
1
Bego
20
Kampret
39
Kunyuk
2
Monyet
21
Babi
40
Polongo
3
Tolol
22
Bangsat
41
Songong
4
Anjing
23
Bajingan
42
Belagu
5
Setan
24
Stres
43
Bencong
6
Berengsek
25
Bolot
44
Culun
7
Kurang ajar
26
Pengecut
45
Itil
8
Goblok/goblog
27
Gelo
46
Kesrek
9
Oneng
28
Mampus
47
Koplok
10
Sialan
29
Munafik
48
Kutu kupret
11
Bodoh
30
Setor
49
Modar
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
99
No
Makian
No
Makian
No
Makian
12
Dodol
31
Gebleg
50
Odoh
13
Oon
32
Lemot
51
Once
14
Buta
33
Sial
52
Persetan
15
Beloon
34
Belegug
53
Sok suci
16
Monyong
35
Edan
54
Sukurin
17
Resek
36
Sarap
55
Tai kucing
18
Anjrit
37
Sinting
56
Sotoy
19
Gila
38
Bagong
Makian bego merupakan makian yang paling banyak disebut oleh responden perempuan sebagai makian yang paling sering digunakan. Makian bego disebut oleh 40 orang responden perempuan. Berikutnya, makian monyet disebut oleh 36 orang responden perempuan; makian tolol disebut oleh 30 orang responden perempuan; makian setan disebut oleh 22 orang responden perempuan, makian kurang ajar
disebut oleh 18 orang responden perempuan; makian
berengsek disebut oleh 17 orang responden perempuan, makian goblok atau goblog disebut oleh 14 orang responden perempuan, dan makian anjing disebut oleh 9 orang responden perempuan. Sementara itu, makian-makian lain disebut oleh ≤ 8 orang responden perempuan. Makian-makian yang sering digunakan berdasarkan pengakuan responden perempuan dan jumlah masing-masing makian dapat dilihat dalam diagram berikut ini:
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
100
Diagram 4.2 Makian yang Paling Sering Digunakan oleh Responden Perempuan Dilihat dari sumber bahasanya, makian yang digunakan oleh responden laki-laki dan makian yang digunakan oleh responden perempuan tersebut dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut: (1)
makian dalam bahasa daerah, yaitu bahasa Sunda, bahasa Jawa Dialek Banten, dan bahasa daerah lain;
(2)
makian dalam bahasa Indonesia;
(3)
makian serapan dari bahasa asing, misalnya Arab;
(4)
makian dalam bahasa gaul.
Namun, dengan mempertimbangkan aspek kontak bahasa, diketahui bahwa terdapat sejumlah makian yang bukan hanya terdapat dalam bahasa daerah (hanya menjadi khazanah kosakata bahasa daerah tertentu), melainkan juga terdapat dalam bahasa Indonesia. Dalam konteks itu, makian yang dimaksud adalah makian yang terdapat dalam bahasa daerah dan bahasa Indonesia dengan bentuk, kategori, dan referensi yang sama. Makian-makian jenis itu tampaknya merupakan hasil serap-menyerap yang terjadi antara bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Atau, bisa juga makian-makian semacam ini diperoleh oleh responden dari tayangan televisi, siaran radio, internet, atau bacaan yang menyajikan atau
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
101 memberi contoh penggunaan makian semacam komik, cerpen, novel, dan lainlain. Digunakannya makian-makian bahasa daerah dan bahasa Indonesia oleh responden penelitian ini jika dianalisis dengan memerhatikan latar belakang bahasa pertama dan bahasa sehari-hari yang paling sering digunakan bersebab dari beragamnya bahasa pertama yang dikuasai dan beragamnya bahasa yang sering digunakan sehari-hari serta pilihan bahasa yang digunakan untuk memaki. Dalam konteks itu, penguasaan bahasa pertama, bahasa yang biasa digunakan sehari-hari, dan pilihan bahasa yang digunakan untuk memaki sangat memengaruhi makian yang dikuasai dan makian yang digunakan ketika memaki. Berikut ini dijelaskan data latar belakang bahasa pertama yang dikuasai responden, bahasa sehari-hari responden, dan pilihan bahasa untuk memaki. Tabel 4.5 Bahasa yang Dipilih untuk Memaki oleh Responden Laki-laki Berdasarkan Bahasa Pertama dan Bahasa Sehari-hari Bahasa Pertama yang Dikuasai
Bahasa Sehari-hari
Bahasa yang Digunakan Memaki
Jumlah Responden
1
BS
BI
BS dan BI
5
2
BS
BS
BS dan BI
8
3
BS
BS
BI
1
4
BI
BI
BI
8
5
BJ
BJ
BI dan BJ
3
6
BS
BS
BS
4
7
BI
BS
BI dan BS
1
8
BS
BI
BI
5
9
BJ
BI
BI dan BJ
4
10
BJ
BJ
BI
3
11
BJ
BJ
BJ
1
No
Sebanyak 5 orang responden laki-laki berbahasa pertama bahasa Sunda dan menggunakan bahasa Indonesia sebagai
bahasa sehari-hari memilih
menggunakan bahasa Sunda dan bahasa Indonesia ketika memaki.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
102 Alasan yang dikemukakan mengapa responden laki-laki tersebut memilih bahasa Sunda dan bahasa Indonesia ketika memaki adalah sebagai berikut: (1)
tergantung tempatnya di mana; alasan ini dikemukakan karena ketika memaki mahasiswa ini mempertimbangkan tempat; apakah di kampus atau di luar kampus;
(2)
bahasa Indonesia dan bahasa Sunda digunakan kedua-duanya karena sudah kebiasaan dan spontan; dalam hal ini pilihan bahasa untuk memaki biasanya terjadi secara spontan tanpa disadari dan lebih karena kebiasaan;
(3)
kalau bahasa Indonesia saja takut kaku; alasan ini dikemukakan karena mahasiswa ini merasa kaku bila memaki hanya menggunakan bahasa Indonesia walaupun dalam kehidupan sehari-hari lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia sehingga memilih bahasa campuran saja;
(4)
bahasa Sunda saja mungkin terlalu kasar; alasan ini dikemukakan dengan pertimbangan bahwa memaki dengan bahasa Sunda efeknya dianggap terlalu kasar sehingga perlu diperhalus dengan campuran bahasa Indonesia;
(5)
supaya dimengerti orang yang dimaki; alasan ini disampaikan karena pertimbangan jika hanya menggunakan bahasa Sunda, ada kemungkinan
yang dimaki tidak mengerti, tetapi jika dicampur
dengan bahasa Indonesia, orang yang dimaki dipastikan dapat mengerti. Sebanyak 8 orang responden laki-laki berbahasa pertama bahasa Sunda dan menggunakannya sebagai bahasa sehari-hari memilih menggunakan bahasa Sunda dan bahasa Indonesia ketika memaki. Alasan yang dikemukakan oleh responden tersebut adalah sebagai berikut: (1)
sudah jadi kebiasaan; dalam hal ini, meskipun bahasa sehari-hari adalah bahasa Sunda, ketika memaki lebih terbiasa menggunakan bahasa Sunda dan bahasa Indonesia;
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
103 (2)
lebih mantap dan nyelekit; alasan ini dikemukakan karena dengan menggunakan bahasa Sunda dan bahasa Indonesia, dampak makiannya lebih besar dibandingkan menggunakan bahasa Indonesia saja;
(3)
biar orang yang dimaki paham karena takutnya tidak mengerti bahasa Sunda; dalam hal ini, penggunaan bahasa Sunda dan bahasa Indonesia dimotivasi oleh keinginan agar orang yang dimaki bisa memahami karena jika hanya bahasa Sunda, ada kemungkinan tidak mengerti;
(4)
karena tidak semua orang mengerti bahasa Sunda;
(5)
bergantung tempat dan suasana, kapan menggunakan bahasa Sunda dan kapan menggunakan bahasa Indonesia;
(6)
biarpun ujarannya dalam bahasa Indonesia, tetapi kata makian yang dipilih adalah bahasa Sunda karena terasa lebih kasar sehingga benar-benar mengekspresikan perasaan secara mantap, terutama ketika marah pada orang lain;
(7)
supaya tidak kaku; karena merasa kaku jika hanya memilih salah satu bahasa untuk memaki;
(8)
karena jika tidak dimengerti, memaki-maki pun sia-sia.
Hanya 1 orang responden laki-laki yang berbahasa pertama bahasa Sunda dan menggunakannya sebagai bahasa sehari-hari memilih menggunakan bahasa Indonesia ketika memaki. Alasan mahasiswa tersebut adalah karena bahasa Indonesia lebih gampang digunakan. Sebanyak 8 orang responden laki-laki berbahasa pertama bahasa Indonesia dan menggunakannya sebagai bahasa sehari-hari memilih menggunakan bahasa Indonesia ketika memaki. Alasan yang dikemukakan oleh responden tersebut adalah sebagai berikut: (1)
karena bahasa Indonesia yang lebih dikuasai dan lebih dipahami; alasan ini disampaikan karena mahasiswa ini tidak menguasai bahasa lain (daerah) sehingga hanya mampu memaki dalam bahasa Indonesia;
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
104 (2)
karena bahasa Indonesia paling dikuasai; alasan ini dikemukakan karena meskipun menguasai bahasa lain (daerah), mahasiswa ini merasa lebih menguasai bahasa Indonesia sehingga ketika memaki hanya menggunakan bahasa Indonesia;
(3)
lebih halus meskipun menyinggung; dalam hal ini penggunaan bahasa Indonesia dianggap tidak terlalu kasar dibandingkan makian bahasa daerah;
(4)
supaya tidak kasar;
(5)
hanya bahasa Indonesia yang dikuasai;
(6)
tidak menguasai bahasa lain atau bahasa daerah;
(7)
lebih tepat dan lebih mewakili emosi saat memaki;
(8)
karena digunakan setiap hari; dalam hal ini penggunaan bahasa Indonesia ketika memaki disebabkan bahasa Indonesia merupakan bahasa sehari-hari.
Sebanyak 3 orang responden laki-laki berbahasa pertama bahasa Jawa Dialek Banten dan menggunakannya sebagai
bahasa sehari-hari memilih
menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Dialek Banten ketika memaki. Alasan yang dikemukakan masing-masing responden tersebut adalah sebagai berikut: (1)
karena kedua bahasa itulah yang dikuasai dengan baik;
(2)
karena bahasa Jawa dipakai sehari-hari dan umumnya orang lain yang tidak menguasai bahasa Jawa tidak akan paham;
(3)
supaya tidak terkesan norak.
Sebanyak 4 orang responden laki-laki berbahasa pertama bahasa Sunda dan menggunakannya sebagai bahasa sehari-hari memilih menggunakan bahasa Sunda ketika memaki. Alasan yang dikemukakan oleh responden tersebut adalah sebagai berikut: (1)
sudah menjadi kebiasaan (sehari-hari);
(2)
lebih pas untuk digunakan dan mudah diucapkan;
(3)
lebih banyak berbaur dengan penutur bahasa Sunda;
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
105 (4)
hanya makian bahasa Sunda yang bisa mengungkapkan perasaan.
Hanya 1 orang responden laki-laki berbahasa pertama bahasa Indonesia dan menggunakan bahasa Sunda sebagai
bahasa sehari-hari memilih
menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Sunda ketika memaki. Alasan yang dikemukakan mahasiswa ini adalah agar makiannya terdengar lebih halus apalagi jika tujuannya bercanda. Sebanyak 5 orang responden laki-laki berbahasa pertama bahasa Sunda dan menggunakan bahasa Indonesia sebagai
bahasa sehari-hari memilih
menggunakan bahasa Indonesia ketika memaki. Alasan yang dikemukakan oleh responden tersebut adalah sebagai berikut: (1)
menyesuaikan dengan lingkungan;
(2)
supaya tidak terlalu kasar;
(3)
karena bahasa Indonesia dimengerti hampir semua orang dan tidak terlalu kasar;
(4)
karena bahasa Sunda terlalu kasar;
(5)
karena bahasa Indonesia dipahami oleh banyak orang dibandingkan bahasa Sunda.
Sebanyak 4 orang responden laki-laki berbahasa pertama bahasa Jawa Dialek Banten dan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari memilih menggunakan bahasa Jawa Dialek Banten dan bahasa Indonesia ketika memaki. Alasan yang dikemukakan oleh responden tersebut adalah sebagai berikut: (1)
supaya tidak terlalu kasar;
(2)
karena kedua bahasa itulah yang dikuasai;
(3)
kalau memaki hanya dengan bahasa Jawa, agak ribet dan sulit;
(4)
jika di kampung tempat tinggal, bahasa Jawa yang dipakai, tetapi kalau di kampus, bahasa Indonesia yang dipakai karena dirasa enak ketika memakinya.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
106 Sebanyak 3 orang responden laki-laki berbahasa pertama bahasa Jawa Dialek Banten dan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari memilih menggunakan bahasa Indonesia ketika memaki. Alasan yang dikemukakan oleh responden tersebut adalah sebagai berikut: (1)
karena jika menggunakan bahasa Jawa rasanya ribet;
(2)
bahasa Indonesia lebih sederhana;
(3)
biar nggak kaku.
Hanya 1 orang responden laki-laki yang berbahasa pertama bahasa Jawa Dialek Banten dan menggunakannya sebagai menggunakan bahasa
bahasa sehari-hari memilih
Jawa Dialek Banten ketika memaki. Alasan yang
dikemukakan oleh mahasiswa tersebut karena bahasa Jawa menjadi identitas dirinya, lebih dipahami, dan agar mengena. Berdasarkan data-data tersebut, ditemukan sebanyak 5 orang responden laki-laki yang ketika memaki menggunakan bahasa daerah, yakni bahasa Sunda atau bahasa Jawa Dialek Banten. Responden laki-laki yang menggunakan bahasa Sunda ketika memaki sebanyak 4 orang. Responden laki-laki tersebut menguasai bahasa pertama bahasa Sunda dan dalam kehidupan sehari-hari juga menggunakan bahasa Sunda. Berikutnya, hanya 1 orang responden laki-laki yang menggunakan bahasa Jawa Dialek Banten ketika memaki karena bahasa pertama yang dikuasai dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah bahasa Jawa Dialek Banten. Bahasa yang paling banyak dipilih untuk memaki oleh responden laki-laki adalah bahasa Indonesia. Berkenaan dengan ini, ditemukan sebanyak 8 orang responden laki-laki yang menguasai bahasa pertama bahasa Indonesia dan menggunakan bahasa Indonesia sebagai
bahasa sehari-hari sehingga ketika
memaki bahasa Indonesia pula yang digunakan. Selain itu, bahasa Indonesia menjadi bahasa yang paling banyak dipilih karena responden laki-laki yang berbahasa pertama bahasa daerah, yaitu bahasa Sunda dan bahasa Jawa Dialek Banten ketika memaki lebih sering menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Sunda atau bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Dialek Banten daripada hanya menggunakan bahasa Sunda atau bahasa Jawa Dialek Banten.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
107 Hanya ditemukan satu orang responden laki-laki yang memilih bahasa Jawa Dialek Banten ketika memaki karena bahasa pertama yang dikuasai dan bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa Jawa Dialek Banten. Dengan demikian, responden laki-laki lebih sering memaki dalam bahasa Indonesia; bahasa Indonesia dan bahasa Sunda; bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Dialek Banten daripada hanya dalam bahasa Sunda atau bahasa Jawa Dialek Banten. Berikut ini dijelaskan bahasa pertama yang dikuasai, bahasa yang dipakai sehari-hari, dan bahasa yang dipilih untuk memaki oleh responden perempuan: Tabel 4.6 Bahasa yang Dipilih untuk Memaki oleh Responden Perempuan Berdasarkan Bahasa Pertama dan Bahasa Sehari-hari No
Bahasa Pertama yang Dikuasai
Bahasa Sehari-hari
Bahasa yang Digunakan Memaki
Jumlah Responden
1
BI
BI
BI
9
2
BS
BS
BI
6
3
BS
BS
BS
1
4
BS
BI
BI
3
5
BS
BI
BS dan BI
3
6
BJ
BJ
BJ dan BI
4
7
BJ
BI
BJ dan BI
2
8
BS
BS
BS dan BI
7
9
BJ
BI
BI
3
10
BI
BS
BS dan BI
1
11
BJ
BJ
BI
4
Sebanyak 9 orang responden perempuan berbahasa pertama bahasa Indonesia
dan
menggunakannya
sebagai
bahasa
sehari-hari
memilih
menggunakan bahasa Indonesia ketika memaki. Alasan yang dikemukakan oleh responden tersebut adalah sebagai berikut: (1)
lebih mudah untuk mengatakannya;
(2)
biasanya spontan;
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
108 (3)
karena sudah terbawa pergaulan;
(4)
karena bahasa Indonesia adalah bahasa yang dikuasai dan dipakai dalam kehidupan sehari-hari;
(5)
karena bahasa Indonesia adalah bahasa yang sering digunakan di kalangan remaja masa kini;
(6)
karena dari pergaulan;
(7)
mengikuti kemajuan zaman;
(8)
karena lebih mudah dimengerti orang, bahasa tersebut sudah terkesan modern, dan lebih formal;
(9)
karena bahasa tersebut bahasa yang setiap hari dipakai sehingga digunakan untuk memaki.
Sebanyak 6 orang responden perempuan berbahasa pertama bahasa Sunda dan menggunakannya sebagai bahasa sehari-hari memilih menggunakan bahasa bahasa Indonesia ketika memaki. Alasan yang dikemukakan oleh responden tersebut adalah sebagai berikut: (1)
lebih puas dan lebih seru saja dan karena sudah terbiasa;
(2)
karena sudah terbiasa menggunakan bahasa Indonesia;
(3)
bahasa Indonesia lebih mudah dimengerti dan mayoritas dipakai masyarakat Indonesia;
(4)
karena terbiasa memaki menggunakan bahasa Indonesia dan lebih dimengerti orang lain dibandingkan menggunakan bahasa daerah;
(5)
karena dengan memilih bahasa Indonesia, orang yang dimaki gampang mengerti bahwa kita benar-benar marah;
(6)
karena bahasa Indonesia lebih mewakili perasaan agar puas memakinya.
Hanya 1 orang responden perempuan yang berbahasa pertama bahasa Sunda dan menggunakannya sebagai bahasa sehari-hari memilih menggunakan bahasa Sunda ketika memaki. Alasan mahasiswa tersebut adalah sudah menjadi kebiasaan (sehari-hari), lebih pas untuk digunakan, dan karena tinggal di lingkungan penutur bahasa Sunda.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
109 Sebanyak 3 orang responden perempuan berbahasa pertama bahasa Sunda dan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari memilih bahasa Indonesia ketika memaki. Alasan yang dikemukakan oleh responden tersebut adalah sebagai berikut: (1)
lebih mudah untuk mengatakannya;
(2)
mudah dipahami orang lain;
(3)
lebih memberi kepuasan.
Sebanyak 3 orang responden perempuan berbahasa pertama bahasa Sunda dan menggunakan bahasa Indonesia
sebagai
bahasa sehari-hari memilih
menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Sunda ketika memaki. Alasan yang dikemukakan oleh responden tersebut adalah sebagai berikut: (1)
karena memaki merupakan luapan emosi dari jiwa dan dikeluarkan tanpa sadar atau diucapkan secara spontan. Jadi, menggunakan dua bahasa itu agar lebih puas;
(2)
tergantung pada orang yang dimaki. Jika orang yang dimaki menggunakan bahasa Indonesia, maka makian dilakukan dengan bahasa Indonesia. Jika yang dimaki menggunakan bahasa Sunda, makian dilakukan dengan bahasa Sunda
sehingga tidak terjadi
kesalahpahaman; (3)
supaya yang dimaki paham.
Sebanyak 4 orang responden perempuan berbahasa pertama bahasa Jawa Dialek Banten dan menggunakannya sebagai
bahasa sehari-hari memilih
menggunakan bahasa Jawa Dialek Banten dan bahasa Indonesia ketika memaki. Alasan yang dikemukakan oleh responden tersebut adalah sebagai berikut: (1)
kalau hanya bahasa Jawa belum tentu dipahami oleh orang yang kita maki;
(2)
bahasa Jawa karena kebiasaan dari kecil, sedangkan bahasa Indonesia lebih mudah diucapkan dan dimengerti;
(3)
karena supaya tidak terlalu kedengaran kasar;
(4)
supaya lebih mengena dan tahu bahwa saya benar-benar marah.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
110
Sebanyak 2 orang responden perempuan berbahasa pertama bahasa Jawa Dialek Banten dan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari memilih menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Dialek Banten ketika memaki. Alasan yang disampaikan oleh responden tersebut adalah sebagai berikut: (1)
lebih puas;
(2)
karena bahasa Jawa yang dikuasai dan biasa digunakan adalah Jawa kasar.
Sebanyak 7 orang responden perempuan berbahasa pertama bahasa Sunda dan menggunakannya sebagai bahasa sehari-hari memilih menggunakan bahasa Sunda dan bahasa Indonesia ketika memaki. Alasan yang dikemukakan oleh responden tersebut adalah sebagai berikut: (1)
tidak tahu alasannya apa karena tergantung situasi;
(2)
supaya tidak sia-sia marahnya atau supaya dipahami;
(3)
supaya memiliki ciri khas;
(4)
supaya tidak kaku;
(5)
supaya mudah mengucapkannya;
(6)
karena bahasa Sunda dan bahasa Indonesia sudah lebih terbiasa dan sering dipakai;
(7)
agar gampang dimengerti karena kalau hanya bahasa Sunda, ada yang mengerti dan ada yang tidak mengerti.
Sebanyak 3 orang responden perempuan berbahasa pertama bahasa Jawa Dialek Banten dan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari memilih menggunakan bahasa Indonesia ketika memaki. Alasan yang dikemukakan oleh responden tersebut adalah (1)
lebih mudah;
(2)
supaya bebas mengucapkannya;
(3)
bahasa Indonesia umum digunakan sehingga lebih efektif ketika mengungkapkan emosi.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
111
Hanya 1 orang responden perempuan yang berbahasa pertama bahasa Indonesia dan menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-hari memilih menggunakan bahasa Sunda dan bahasa Indonesia ketika memaki. Alasan yang dikemukakan oleh responden tersebut adalah karena kebiasaan saja. Sebanyak 4 orang responden perempuan berbahasa pertama bahasa Jawa Dialek Banten dan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari memilih menggunakan bahasa Indonesia ketika memaki. Alasan yang dikemukakan oleh responden tersebut adalah sebagai berikut: (1)
lebih tepat digunakan di lingkungan kampus;
(2)
lebih puas dan seru saja;
(3)
lebih cocok untuk mengungkapkan rasa kecewa dan marah;
(4)
lebih banyak dipakai oleh kalangan remaja.
Berdasarkan data-data tersebut, ditemukan bahwa hanya 1 orang responden perempuan yang ketika memaki hanya menggunakan bahasa daerah, yakni bahasa Sunda. Responden perempuan ini menguasai bahasa pertama bahasa Sunda dan dalam kehidupan sehari-hari juga menggunakan bahasa Sunda. Selain itu, tidak ditemukan responden perempuan yang memilih bahasa Jawa Dialek Banten ketika memaki meskipun bahasa pertama yang dikuasai dan bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa Jawa Dialek Banten. Responden perempuan ini memilih menggunakan bahasa Indonesia ketika memaki. Dengan demikian, responden perempuan lebih sering memaki dalam bahasa Indonesia; bahasa Indonesia dan bahasa Sunda; bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Dialek Banten daripada hanya dalam bahasa Sunda atau bahasa Jawa Dialek Banten. Dengan demikian, sebagian besar responden penelitian ini, baik mahasiswa laki-laki maupun mahasiswa perempuan menguasai bahasa pertama berupa bahasa daerah, yaitu bahasa Sunda dan bahasa Jawa Dialek Banten. Adapun sebagian lainnya tidak berbahasa pertama bahasa daerah, melainkan bahasa Indonesia. Responden
yang
berbahasa
pertama
bahasa
daerah,
ada
yang
menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa sehari-hari dan ada pula yang tidak
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
112 menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa sehari-hari karena memilih menggunakan bahasa Indonesia dengan alasan-alasan tertentu. Dengan kenyataan di atas, responden penelitian ini ada yang menguasai dua buah bahasa (bilingual), yakni bahasa daerah dan bahasa Indonesia dan ada yang hanya menguasai satu buah bahasa, yakni bahasa Indonesia. Responden yang menguasai bahasa daerah dan bahasa Indonesia tentu memiliki khazanah kosakata makian yang bersumber dari bahasa daerah yang dikuasai dan dari bahasa Indonesia, sedangkan responden yang hanya menguasai bahasa Indonesia tentu hanya menguasai khazanah makian dalam bahasa Indonesia. Meski demikian, bukanlah hal yang tidak mungkin jika ada juga responden yang hanya menguasai bahasa Indonesia (tidak menguasai bahasa daerah), tetapi mengetahui dan menguasai makian dalam bahasa daerah (Sunda atau Jawa Dialek Banten), yang diperoleh melalui lingkungan, misalnya karena pergaulan, perbauran, dan interaksi dengan penutur bahasa daerah. Hal itu ditunjang oleh kenyataan bahwa masyarakat di Provinsi Banten ada yang merupakan penutur bahasa Sunda dan ada yang merupakan penutur bahasa Jawa Dialek Banten, serta penutur bahasa Indonesia. Dengan perkataan lain, karena menguasai bahasa daerah dan bahasa Indonesia, responden terbiasa melakukan campur kode atau alih kode dalam memaki. Atau, telah terbiasa memilih bahasa untuk memaki berdasarkan pertimbangan konteks, tempat, dan situasi sebagaimana tampak dalam jawabanjawaban responden di atas; apakah hanya satu bahasa tertentu atau campuran antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah atau bahasa daerah dan bahasa Indonesia dipakai secara bergantian (alih kode). Bahkan, di luar bahasa daerah dan bahasa Indonesia, ternyata ada juga makian bahasa gaul. Penguasaan dan penggunaan makian semacam ini dimungkinkan terjadi mengingat di kalangan mahasiswa atau remaja umumnya penggunaan bahasa gaul menjadi semacam tren atau dianggap sebagai bahasa yang punya gengsi.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
113
4.2
Analisis Klasifikasi Bentuk Makian
4.2.1
Klasifikasi
Bentuk
Makian
Berdasarkan
Data
Makian
yang
Digunakan oleh Responden Laki-laki Bentuk makian yang diacu dalam penelitian ini adalah bentuk makian yang dikemukakan oleh Wijana dan Rohmadi (2007:115—130). Makian dikelompokkan berdasarkan aspek formal dan referensinya. Makian secara formal dibedakan menjadi tiga jenis, yakni makian berbentuk kata, makian berbentuk frasa (kelompok kata), dan makian berbentuk klausa. Namun, berbeda dengan istilah yang digunakan oleh Wijana dan Rohmadi (2007:115—130), dalam penelitian ini tidak digunakan istilah formal, melainkan istilah bentuk. Hal itu didasarkan pada pendapat Kridalaksana (2008:65), yang menyatakan bahwa formal dapat diartikan (1) bersangkutan dengan ciri-ciri yang dapat dipakai sebagai dasar menumbuhkan kategori atau satuan seperti morfem, pola bunyi, atau urutan kata; (2) bersangkutan dengan ciri-ciri yang tidak bersifat semantis; (3) yang bukan unsur substansi, jadi tidak bersangkutan dengan medium fonetis atau grafis. Istilah ini dibedakan dari istilah formil. Sementara itu, bentuk diartikan (1) penampakan atau rupa satuan bahasa; (2) penampakan atau rupa satuan gramatikal
atau leksikal dipandang secara fonis atau grafemis
(Kridalaksana, 2008:32). Dengan demikian, istilah bentuk dalam penelitian ini merujuk pada rupa satuan gramatikal. Bentuk makian merujuk pada makian berwujud kata, makian berwujud frasa, dan makian berwujud klausa. Makian berbentuk kata dibedakan menjadi dua, yakni makian bentuk dasar dan makian bentuk kata jadian. Makian bentuk dasar adalah makian yang berwujud kata-kata monomorfemis, sedangkan makian bentuk jadian adalah makian yang berupa kata-kata polimorfemis. Makian polimorfemis dibedakan menjadi tiga jenis, yakni (1) makian berafiks, (2) makian bentuk ulang, dan (3) makian majemuk. Berdasarkan referensinya, makian dapat digolongkan menjadi bermacammacam, yakni keadaan, binatang, benda-benda, bagian tubuh, kekerabatan, mahluk halus, aktivitas, profesi, seruan, dan lain-lain. Namun, bentuk makian berdasarkan referensinya sebagaimana yang dikemukakan Wijana dan Rohmadi
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
114 (2007:115—130) tidak digunakan dalam penelitian ini. Dengan demikian, pengelompokan bentuk makian hanya dihubungkan dengan perwujudan satuan gramatikal berupa kata, frasa, dan klausa, sedangkan referensi tidak dihubungkan dengan bentuk, melainkan dihubungkan dengan sumber makian. Berdasarkan bentuk, makian-makian yang digunakan oleh responden lakilaki, yang telah diinventarisasi di atas dapat dikelompokkan menjadi makian berbentuk kata dan makian berbentuk frasa. Adapun makian berbentuk klausa tidak ditemukan.
4.2.1.1
Makian Berbentuk Kata Kridalaksana (2008:110) menyatakan bahwa kata adalah (1) morfem atau
kombinasi yang oleh bahasawan dianggap sebagai satuan terkecil yang dapat diujarkan sebagai bentuk yang bebas, (2) satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri, terjadi dari morfem tunggal (misalnya batu, rumah, datang, dan sebagainya) atau gabungan morfem (misalnya pejuang, mengikuti, pancasila, mahakuasa, dan sebagainya), dan (3) satuan terkecil dalam sintaksis yang berasal dari leksem yang telah mengalami proses morfologis. Dengan merujuk pengertian ”kata” di atas, peneliti ini menemukan sebanyak 88 buah makian yang berbentuk kata. Makian berbentuk kata dapat dibedakan menjadi dua, yakni makian bentuk dasar dan makian bentuk kata jadian. Makian bentuk dasar adalah makian yang berwujud kata-kata monomorfemis atau kata yang terjadi dari satu morfem. Sementara itu, makian bentuk jadian adalah makian yang berupa kata-kata polimorfemis. Makian polimorfemis dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni (1) makian berafiks dan (2) makian bentuk majemuk. Berdasarkan data yang diperoleh, makian berbentuk kata monomorfemis yang digunakan oleh responden laki-laki ditemukan sebanyak 78 buah. Makianmakian yang termasuk ke dalam makian berbentuk kata monomorfemis ditampilkan dalam tabel berikut:
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
115
No
Tabel 4.7 Makian Berbentuk Kata Monomorfemis yang Digunakan oleh Responden Laki-laki Makian No Makian No Makian
1
Anjing
27
Dongok
53
Mampus
2
Babi
28
Dungu
54
Maot
3
Bagong
29
Edan
55
Mati
4
Bangsat
30
Eubeng
56
Modar
5
Banci
31
Firaun
57
Monyet
6
Bangke
32
Gebleg
58
Munafik
7
Bedul
33
Geblek
59
Murtad
8
Bego
34
Gelo
60
Oncom
9
Belegug
35
Gila
61
Ontohod
10
Beloon
36
Goblog
62
Polongo
11
Bencong
37
Goblok
63
Polontong
12
Berengsek
38
Iblis
64
Paeh
13
Beru
39
Idiot
65
Payah
14
Bodoh
40
Item
66
Sampah
15
Boloon
41
Itil
67
Sapi
16
Bolot
42
Jahanam
68
Sarap
17
Borangan
43
Jendel
69
Setan
18
Budeg
44
Jurig
70
Setor
19
Budek
45
Kafir
71
Sial
20
Cabul
46
Kampret
72
Sinting
21
Cemen
47
Kehed
73
Sohor
22
Cemere
48
Kere
74
Stres
23
Conge
49
Kesrek
75
Sukur
24
Congek
50
Koit
76
Syukur
25
Curek
51
Kontol
77
Tai/tahi
26
Dodol
52
Koplok
78
Tolol
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
116
Sementara itu, makian bentuk jadian adalah makian yang berupa kata-kata polimorfemis. Bentuk makian polimorfemis dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni (1) makian berafiks dan (2) makian bentuk majemuk. Makian yang digunakan oleh responden laki-laki, yang termasuk ke dalam makian berafiks ditemukan sebanyak 5 buah dan makian yang termasuk makian bentuk majemuk ditemukan sebanyak 5 buah, yaitu sebagai berikut:
Tabel 4.8 Makian Berafiks dan Makian Bentuk Majemuk yang Digunakan oleh Responden laki-laki No
Makian Berafiks
No
Makian Bentuk Majemuk
1
Bajingan
1
Buaya darat
2
Pecundang
2
Haram jadah
3
Pelacur
3
Setan alas
4
Pengecut
4
Kutu kupret
5
Sialan
5
Kurang ajar
Berdasarkan data yang diperoleh, makian berbentuk kata jadian yang digunakan oleh responden laki-laki hanya kata makian berafiks dan kata makian bentuk majemuk. Dengan perkataan lain, peneliti ini tidak menemukan data makian berbentuk kata ulang, yang digunakan oleh responden laki-laki.
4.2.1.2 Makian Berbentuk Frasa Menurut Kridalaksana (2008:66), frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak predikatif; gabungan itu dapat rapat, dapat renggang; misalnya gunung tinggi adalah frasa karena merupakan konstruksi nonpredikatif; konstruksi ini berbeda dengan gunung itu tinggi yang bukan frasa karena bersifat predikatif. Berdasarkan pengertian dan contoh tersebut, makian-makian yang digunakan oleh responden laki-laki yang dapat dikelompokkan sebagai frasa ditemukan sebanyak 7 buah.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
117 Makian-makian yang termasuk ke dalam frasa adalah sebagai berikut: Tabel 4.9 Makian Berbentuk Frasa yang Digunakan oleh Responden laki-laki No
Makian
No
Makian
1
Burut peluh
5
Memek bosok
2
Tai anjing
6
Rai nire
3
Tai ucing
7
Sok alim
4
Bool dia
Bentuk makian dan jumlah tiap-tiap bentuk makian yang digunakan oleh responden laki-laki dapat dilihat dalam diagram berikut ini:
80
78
70 60 50 40 30 20 5
10
5
7
0 Makian Berbentuk Kata Monomorfemis
Makian Berafiks
Makian Bentuk Makian Majemuk Berbentuk Frasa
Diagram 4.3 Bentuk Makian yang Digunakan oleh Responden Laki-laki 4.2.2 Klasifikasi Bentuk Makian Berdasarkan Data Makian yang Digunakan oleh Responden Perempuan Berdasarkan bentuknya, makian-makian yang digunakan oleh responden perempuan yang telah diinventarisasi di atas dapat dikelompokkan menjadi makian berbentuk kata dan makian berbentuk frasa.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
118
4.2.2.1 Makian Berbentuk Kata Makian yang digunakan oleh responden perempuan dapat dikelompokkan menjadi (a) makian berbentuk kata dasar atau berbentuk kata monomorfemis; (b) makian bentuk jadian atau polimorfemis. Makian berbentuk kata dasar dan berwujud kata-kata monomorfemis yang digunakan oleh responden perempuan ditemukan sebanyak 116 buah. Makian yang termasuk ke dalam makian berbentuk kata monomorfemis ditampilkan dalam tabel berikut:
Tabel 4.10 Makian Berbentuk Kata Monomorfemis yang Digunakan oleh Responden Perempuan No
Makian
No
Makian
No
Makian
1
Anjing
40
Dongo
79
Mampus
2
Firaun
41
Eupleu
80
Mati
3
Anjrit
42
Dungu
81
Miring
4
Asu
43
Edan
82
Modar
5
Babi
44
Gebleg
83
Koplok
6
Bagong
45
Geblek
84
Monyet
7
Bahlul
46
Gelo
85
Munafik
8
Banci
47
Germo
86
Murtad
9
Bangke
48
Gila
87
Odoh (bodoh)
10 Bangsat
49
Goblok
88
Odong (bodoh)
11 Bantet
50
Heunceut
89
Once (beloon)
12 Bebegig
51
Iblis
90
Oneng (beloon)
13 Bedegong
52
Idiot
91
Onyon (beloon)
14 Bedul
53
Iprit
92
Oon (beloon)
15 Bego
54
Item
93
Paeh
16 Begog
55
Itil
94
Payah
17 Belagu
56
Jalang
95
Pedog
18 Belegug
57
Jendel
96
Perek
19 Beloon
58
Jitet
97
Polongo
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
119
No
Makian
No
Makian
No
Makian
20 Bencong
59
Juling
98
Resek
21 Berengsek
60
Jurig
99
Sampah
22 Beru
61
Kafir
100
Sapi
23 Boloon
62
Kafirun
101
Sarap
24 Bolot
63
Kampret
102
Setan
25 Borangan
64
Kate
103
Setor
26 Borokokok 65
Kebo
104
Sial
27 Budeg
66
Kehed
105
Sinting
28 Buta
67
Keparat
106
Sompret
29 Cebol
68
Kerempeng
107
Songong
30 Cocot
69
Koit
108
Sontoloyo
31 Dusun
70
Kontol
109
Sotoy
32 Conge
71
Kuntet
110
Stres
33 Bodoh
72
Kunyuk
111
Syukur
34 Congek
73
Kuya
112
Tai/tahi
35 Cucurut
74
Monyong
113
Tolol
36 Culun
75
Lemot
114
Tuman
37 Dodol
76
Kesrek
115
Wedus
38 Dajal
77
Letoi
116
Yahudi
39 Dongdot
78
Lutung
Sementara itu, makian-makian yang tergolong sebagai makian bentuk jadian atau polimorfemis
hanya ditemukan 2 bentuk makian, yaitu makian
berafiks sebanyak 8 buah dan makian bentuk majemuk sebanyak 7 buah. Makianmakian yang termasuk ke dalam kelompok ini ditampilkan dalam tabel berikut:
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
120 Tabel 4.11 Makian Berafiks dan Makian Bentuk Majemuk yang Digunakan oleh Responden Perempuan No
Makian Berafiks
No
Makian Bentuk Majemuk
1
Syukurin
1
Kurang ajar
2
Bajingan
2
Otak udang
3
Kampungan
3
Setan alas
4
Pecundang
4
Kurang asem
5
Pelacur
5
Kurang waras
6
Pengecut
6
Kutu kupret
7
Persetan
7
Kucing garong
8
Sialan
4.2.2.2 Makian Berbentuk Frasa Makian-makian yang digunakan oleh responden perempuan, yang dapat dikelompokkan sebagai makian berbentuk frasa ditemukan sebanyak 12 buah. Makian-makian yang termasuk ke dalam frasa tersebut ditampilkan dalam tabel berikut: Tabel 4.12 Makian Berbentuk Frasa No
Makian
No
Makian
1
Anjing kurap
8
Sok alim
2
Anjing kesrek
9
Sok bersih
3
Endasmu
10
Sok suci
4
Sok agamis
11
Sok ustad
5
Sok tahu
12
Tai kucing
6
Kurang waras
7
Sok agamis
Dengan demikian, berdasarkan bentuk, makian yang digunakan oleh responden perempuan terdiri atas makian berbentuk kata dan makian berbentuk frasa. Bentuk makian dan jumlah tiap-tiap bentuk makian yang digunakan oleh responden perempuan dapat dilihat dalam diagram berikut ini:
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
121
120
116
100
80
60
40
20
8
7
12
0 Makian Makian Berafiks Makian Bentuk Makian Berbentuk Kata Majemuk Berbentuk Frasa Monomorfemis
Diagram 4.4 Bentuk Makian yang Digunakan oleh Responden Perempuan Data-data makian yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan juga menyukai penggunaan makian. Berdasarkan data-data makian yang diperoleh, tampak bahwa
makian yang digunakan oleh responden
perempuan jumlahnya lebih banyak daripada makian yang digunakan oleh responden laki-laki. Dengan demikian, tidak semua perempuan menghindari penggunaan makian yang sering dianggap sebagai ungkapan kasar atau kotor. Berkait dengan hal tersebut, temuan makian yang digunakan oleh responden penelitian ini bertentangan dengan pernyataan Holmes (2001:280) bahwa ada dua ciri bahasa perempuan, yakni menggunakan bentuk-bentuk bahasa yang ”superpolite” (paling halus), misalnya permintaan tidak langsung, eufimisme, dan menghindari makian yang kuat atau keras, misalnya fudge, my goodness. Dalam hal ini, terbukti bahwa tidak semua perempuan menghindari penggunaan makian. Karakteristik bahasa perempuan yang digambarkan seperti oleh Holmes di atas, sebenarnya dikonstruksi oleh pelbagai faktor atau penyebab, termasuk faktor
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
122 sosial dan budaya. Hal itu sejalan dengan pendapat Coates (1993); Crawford (1995); Romaine (1999), yang mengemukakan dalam pelbagai bentuk dan cara, faktor
sosial
dan
faktor
kepercayaan/kebiasaan umum di
budaya
secara
bersamaan
membentuk
masyarakat bahwa perempuan tidak boleh
menggunakan bahasa yang tidak baik. Selain Holmes, terdapat pakar lain yang beranggapan bahwa makian dianggap sebagai milik laki-laki dan bukan milik perempuan. Misalnya, Hughes (2006:195) menyatakan, “Traditionally it has been assumed, and in commonly evident, that swearing is predominantly a male domain and that even swearing in the presence of women is severe breach of good manners” (secara tradisional makian dianggap sebagai milik laki-laki bahkan penggunaan makian oleh perempuan dianggap sebagai perilaku yang tidak baik). Kepercayaan semacam itu juga dikemukakan oleh sejumlah pakar bahasa, antara lain Lakoff (1975), Trudgill (1974), dan Jespersen (1992), yang telah menyajikan gambaran dikotomis hubungan antara gender dan makian. Dalam pandangan mereka, perempuan digambarkan menjauhkan diri
sebagai penutur bahasa yang
dari kata-kata ekspletif. Misalnya, Lakoff (1975:55)
menyatakan bahwa perempuan tidak menggunakan kata-kata yang tidak sopan atau tidak pantas atau ungkapan yang kasar dan lancang. Selanjutnya, Tyler (1977:1) menyatakan terdapat dua jenis alasan mengenai penggunaan bahasa oleh perempuan, termasuk di antaranya penghindaran terhadap makian. Pertama, secara sederhana dapat dikatakan bahwa perempuan tidak menyukai makian. Dengan mengutip pendapat Jespersen (1922:246), Tyler (1977:1) menunjukkan bukti bahwa perempuan secara naluriah bersembunyi dari ungkapan kasar dan kotor. Kedua, alasan tekanan sosial yang menimpa perempuan tanpa memerhatikan apa yang dapat dipilih untuk disukai. Sementara itu, Trudgill (1979) menyatakan bahwa secara tradisional makian dipandang sebagai ciri bahasa laki-laki. Bagi perempuan, makian terlarang untuk digunakan karena bertentangan dengan aturan kesopanan. Perempuan lebih sadar akan bahasanya dan berupaya lebih keras untuk menghindari penggunaan makian.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
123 Pernyataan-pernyataan
yang
mengindikasikan
bahwa
perempuan
menghindari makian atau penggunaan makian bukan ciri bahasa perempuan sebagaimana dikemukakan oleh ahli-ahli di atas ternyata tidak berlaku umum. Hal itu dibuktikan dengan temuan data makian yang digunakan oleh responden perempuan yang berhasil diperoleh melalui penelitian ini. Temuan penelitian ini berbeda pula dengan temuan penelitian Jay (1992) yang menunjukkan perempuan menggunakan kata-kata tabu tidak sebanyak lakilaki dan penelitian Jay (1999) yang menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak melakukan makian daripada perempuan; laki-laki menggunakan lebih banyak kosakata makian daripada perempuan; laki-laki menggunakan makian yang lebih kotor (menjijikan) daripada perempuan. Penelitian ini justru menunjukkan makian yang digunakan oleh responden laki-laki tidak sebanyak makian yang digunakan oleh responden perempuan. Dengan demikian, penelitian ini menghasilkan temuan sebagai berikut: (1) responden perempuan lebih banyak menggunakan makian daripada responden laki-laki; (2) responden perempuan lebih banyak menguasai kosakata makian daripada responden laki-laki; (3) responden perempuan lebih banyak menggunakan makian daripada responden laki-laki meskipun responden perempuan dan responden laki-laki jumlahnya sama, yakni masing-masing sebanyak 43 orang. Temuan data makian di atas bertentangan pula dengan pernyataan Wilson (2005) bahwa penggunaan makian menunjukkan stereotip perilaku komunikasi yang cenderung dilakukan oleh laki-laki dibandingkan oleh perempuan. Dengan perkataan lain, penggunaan makian bukan stereotip perempuan. Namun, pernyataan tersebut tidaklah tepat karena terbukti juga bahwa penggunaan makian bukan hanya dilakukan oleh laki-laki, melainkan juga oleh perempuan, termasuk yang berstatus mahasiswa. Jika dikaitkan dengan pendapat Lakoff (1975) tentang ciri bahasa perempuan, yang antara lain menyebut bahwa bahasa perempuan memiliki ciri menggunakan bentuk-bentuk yang superhalus dan menghindari makian yang kuat,
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
124 temuan penelitian ini juga memberi bantahan atas apa yang disampaikan oleh Lakoff tersebut karena ternyata mahasiswa perempuan juga menjadi pengguna makian. Dalam konteks itu, perempuan tidak selalu berbicara sopan dan menggunakan bentuk-bentuk ungkapan halus (eufimistis) untuk menggantikan kata-kata yang tidak sopan. Dengan demikian, penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Eckert (meskipun dengan lokus yang berbeda),
yang menunjukkan bukti bahwa di
beberapa komunitas, perempuan juga menggunakan kata-kata yang tidak sopan/tidak pantas (Coates, 2004:81). Dengan perkataan lain, perempuan juga memiliki kebiasaan memaki seperti halnya laki-laki. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa mahasiswa perempuan juga memiliki kebiasaan menggunakan makian sebagaimana mahasiswa laki-laki. Analisis bentuk makian seperti yang diuraikan di atas menunjukkan bahwa bentuk makian yang digunakan oleh responden laki-laki dan bentuk makian yang digunakan oleh responden perempuan tidak berbeda. Dalam konteks itu, bentuk makian yang digunakan oleh responden laki-laki dan bentuk makian yang digunakan oleh responden perempuan meliputi: (a) makian berbentuk kata monomorfemis, (b) makian berbentuk kata berafiks; (c) makian berbentuk majemuk; (d) makian berbentuk frasa. Perbandingan jumlah makian yang digunakan oleh responden laki-laki dan oleh responden perempuan dari aspek bentuk adalah sebagai berikut:
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
125
Tabel 4.13 Perbandingan Jumlah Makian Berdasarkan Bentuk No 1 2 3 4
Bentuk Makian Kata Monomorfemis Kata berafiks Bentuk majemuk Frasa
Mahasiswa Laki-laki 82 5 5 7
Mahasiswa Perempuan 116 8 7 12
Berdasarkan tabel di atas, tidak terdapat perbedaan bentuk antara makian yang digunakan oleh responden laki-laki dan makian yang digunakan oleh responden perempuan. Berdasarkan data di atas juga terlihat bahwa bentuk makian yang paling banyak digunakan oleh mahasiswa laki-laki dan mahasiswa perempuan adalah makian berbentuk kata monomorfemis dibandingkan bentuk lainnya. Hal itu menunjukkan pula bahwa makian umumnya berbentuk kata monomorfemis meskipun ada pula bentuk makian lainnya, tetapi tidak lebih banyak daripada makian berbentuk kata monomorfemis. Dari aspek bentuk, perbedaan makian yang digunakan oleh responden laki-laki dan bentuk makian yang digunakan oleh responden perempuan hanya tampak pada jumlah masing-masing bentuk makian. Atau dengan perkataan lain, terdapat selisih jumlah masing-masing bentuk makian. Namun, hal itu tidak berarti
bentuk makian responden laki-laki dan bentuk
makian responden
perempuan berbeda karena dari aspek bentuknya sama saja.
4.3
Analisis Klasifikasi Kategori Makian Menurut Kridalaksana (2008:113), kategori dapat diartikan (1) bagian dari
suatu sistem klasifikasi, misalnya kategori gramatikal dan kategori leksikal; (2) hasil pengelompokan unsur-unsur bahasa yang menggambarkan pengalaman manusia; (3) golongan satuan bahasa yang anggota-anggotanya
mempunyai
perilaku sintaktis dan mempunyai sifat hubungan yang sama. Selanjutnya,
Kridalakasana
(2008:113)
mendefinisikan
kategori
gramatikal sebagai berikut: (1) golongan satuan bahasa yang dibeda-bedakan atas bentuk, fungsi, dan makna, seperti kelas kata, jenis, kasus, kata, dan sebagainya;
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
126 (2) golongan satuan bahasa yang diungkapkan dengan morfem terikat (dipertentangkan dengan kategori leksikal). Berdasarkan pernyataan di atas, yang dimaksud dengan pengertian kategori dalam penelitian ini adalah kelas kata. Berkenaan dengan kelas kata, Kridalaksana (2008:116) menyatakan bahwa kelas kata adalah golongan kata yang mempunyai kesamaan dalam perilaku formalnya. Secara kategorial atau kelas katanya, makian dapat digolongkan menjadi beberapa jenis, yakni (1) makian yang berkategori nomina atau frasa nominal, seperti bandot, tai, matamu, iblis, sundal, dan sebagainya; (2) makian berkategori verba (khususnya verba statif), seperti mati; (3) makian berkategori interjeksi, seperti buset; (4) makian berkategori adjektiva, seperti goblok, dungu, gila, dan sebagainya (Wijana dan Rohmadi, 2007:117—118). Berdasarkan kategorinya, makian yang digunakan oleh responden laki-laki di atas dapat digolongkan menjadi beberapa kategori, yakni makian berkategori nomina (N), frasa nominal (FN), verba (V), ajektiva (A), dan frasa ajektival (FA).
4.3.1
Klasifikasi Kategori Makian
Berdasarkan Data Makian yang
Digunakan oleh Responden Laki-laki 4.3.1.1
Makian Berkategori Nomina dan Frasa Nominal Menurut Kridalaksana (2008:63), nomina adalah kelas kata yang biasanya
dapat berfungsi sebagai subjek atau objek dari klausa; kelas kata ini sering berpadanan dengan orang, benda, atau hal lain yang dibendakan dalam alam di luar bahasa. Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Radford et al. (2009:192), yang menyatakan, “Nouns often refer to types of concrete objects in the world (e.g. cake, engine, moon, waiter)” (nomina sering merujuk pada benda-benda konkret yang ada di dunia ini, misalnya kue, mesin, bulan, pelayan, dan lain-lain). Berdasarkan definisi dan penjelasan tersebut, dari sebanyak 95 buah makian yang digunakan oleh responden laki-laki, sebanyak
44
peneliti ini menemukan
buah makian berkategori nomina. Selain itu, ditemukan pula
sebanyak 5 buah makian yang mengandung satuan berkategori nomina, yakni frasa nominal. Frasa-frasa itu, berdasarkan kelas kata unsur pusatnya, disebut sebagai frasa nominal. Hal itu sejalan dengan pernyataan Kridalaksana (2008:66),
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
127 yang menyatakan frasa nominal adalah frasa endosentris berinduk satu yang induknya nomina. Makian-makian berkategori nomina (N) dan frasa nominal (FN) yang digunakan oleh responden laki-laki adalah sebagai berikut: Tabel 4.14 Makian Berkategori Nomina dan Frasa Nominal yang Digunakan Responden Laki-laki No
Makian
Kategori
No
Makian
Kategori
1
Anjing
N
26
Kontol
N
2
Babi
N
27
Kutu kupret
N
3
Bagong
N
28
Memek bosok
4
Bajingan
N
29
Monyet
N
5
Bangke
N
30
Oncom
N
6
Bedu1
N
31
Ontohod
N
7
Beru
N
32
Pecundang
N
8
Buaya darat
N
33
Pelacur
N
9
Burut peluh
FN
34
Pengecut
N
10
Cemere
N
35
Rai nire
FN
11
Conge
N
36
Sampah
N
12
Congek
N
37
Sapi
N
13
Curek
N
38
Sarap
N
14
Dodol
N
39
Setan
N
15
Firaun
N
40
Setan alas
N
16
Haram jadah
N
41
Setor
N
17
Iblis
N
42
Sialan
N
18
Item
N
43
Stres
N
19
Itil
N
44
Sukur
N
20
Jurig
N
45
Syukur
N
21
Kafir
N
46
Tai
N
22
Kampret
N
47
Tai anjing
FN
23
Kere
N
48
Tai ucing
FN
24
Bangsat
N
49
Kurang Ajar
FN
N
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
128
No 25
4.3.1.2
Makian
Kategori
Kesrek
No
Makian
Kategori
N
Makian Berkategori Verba Menurut Kridalaksana (2008:254), verba adalah kelas kata yang biasanya
berfungsi sebagai predikat; dalam beberapa bahasa lain verba mempunyai ciri morfologis seperti ciri kala, aspek, persona, atau jumlah. Sebagian besar verba mewakili unsur semantis perbuatan, keadaan atau proses; kelas kata ini dalam bahasa Indonesia ditandai dengan kemungkinan untuk diawali dengan kata tidak dan tidak mungkin diawali dengan kata seperti sangat, lebih, dan sebagainya misalnya
datang, naik, bekerja, dan sebagainya.
Sejalan dengan pendapat
tersebut, Radford et al. (2009:129) menyatakan, ”Verbs typically refer to acitivities (applaud, steal, collide, bark)” (verba umumnya merujuk pada kegiatan/aktivitas (misalnya, bertepuk tangan, mencuri, bertabrakan, membentak). Berdasarkan definisi dan penjelasan tersebut, makian yang digunakan oleh responden
laki-laki,
dari sebanyak 95 buah peneliti ini menemukan
sebanyak 7 buah makian berkategori verba. Makian-makian berkategori verba (V) tersebut ditampilkan dalam tabel berikut: Tabel 4.15 Makian Berkategori Verba yang Digunakan oleh Responden Laki-laki No
Makian
Kategori
No
Makian
Kategori
1
Koit
V
5
Modar
V
2
Mampus
V
6
Murtad
V
3
Maot
V
7
Paeh
V
4
Mati
V
4.3.1.3 Makian Berkategori Ajektiva dan Frasa Ajektival Ajektiva dapat diartikan sebagai kata yang menerangkan kata benda (Kridalaksana, 2008:4). Berdasarkan batasan itu, dari sebanyak 95 buah makian
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
129 yang digunakan oleh responden laki-laki, peneliti ini menemukan sebanyak 38 buah makian yang berkategori ajektiva. Senada dengan pernyataan itu, Radford et al. (2009:130) menyatakan, “Adjectives typically refer to properties which people or things possess and they are used to modify nouns, e.g. happy man, noisy engine” (ajektiva umumnya merujuk pada sifat yang dimiliki orang atau sesuatu dan lazimnya digunakan untuk membatasi/memodifikasi nomina, misalnya orang yang berbahagia, mesin yang berisik). Selanjutnya, frasa ajektival diartikan sebagai frasa endosentris berinduk satu yang induknya ajektiva dan modifikatornya adverbial seperti sangat, lebih, kurang, dan sebagainya, misalnya lebih baik (Kridalaksana, 2008:66). Berdasarkan definisi tersebut, dari sebanyak 95 buah makian yang digunakan oleh responden laki-laki, ditemukan 1 buah makian yang berkategori frasa ajektival. Makian-makian berkategori ajektiva (A) dan frasa ajektival (FA) tersebut ditampilkan dalam tabel berikut: Tabel 4.16 Makian Berkategori Ajektiva dan Frasa Ajektival yang Digunakan oleh Responden Laki-laki No
Makian
Kategori
No
Makian
Kategori
1
Banci
A
21
Berengsek
A
2
Bego
A
22
Gelo
A
3
Belegug
A
23
Gila
A
4
Beloon
A
24
Goblog
A
5
Bencong
A
25
Goblok
A
6
Bodoh
A
26
Idiot
A
7
Boloon
A
27
Jahanam
A
8
Bolot
A
28
Jendel
A
9
Borangan
A
29
Kehed
A
10
Budeg
A
30
Koplok
A
11
Budek
A
31
Munafik
A
12
Cabul
A
32
Payah
A
13
Culun
A
33
Polongo
A
14
Dongok
A
34
Polontong
A
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
130
No
Makian
Kategori
No
Makian
Kategori
15
Dungu
A
35
Sinting
A
16
Eubeung
A
36
Sohor
A
17
Edan
A
37
Sok alim
18
Geblek
A
38
Sial
19
Cemen
A
39
Tolol
20
Gebleg
A
FA A
Kategori dan jumlah makian untuk masing-masing kategori yang digunakan oleh responden laki-laki dapat dilihat dalam diagram berikut ini:
45
44 38
40 35 30 25 20 15 10
5
7
5
1
0 Nomina
Frasa Nominal
Verba
Ajektiva
Frasa Ajektival
Diagram 4.5 Kategori Makian yang Digunakan oleh Responden Laki-laki
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
131
4.3.2
Klasifikasi Kategori Makian
Berdasarkan Data Makian yang
Digunakan oleh Responden Perempuan Berdasarkan kategorinya, makian yang digunakan oleh Responden perempuan di atas dapat digolongkan menjadi makian berkategori nomina (N), frasa nominal (FN), verba (V), Frasa Verbal (FV),
ajektiva (A), dan frasa
ajektival (FA).
4.3.2.1
Makian Berkategori Nomina dan Frasa Nominal Dari 143 buah makian yang digunakan oleh responden perempuan,
ditemukan sebanyak 68 buah makian berkategori nomina dan sebanyak 5 buah makian berkategori frasa nominal. Makian-makian berkategori nomina (N) dan frasa nominal (FN) ditampilkan dalam tabel berikut: Tabel 4.17 Makian Berkategori Nomina dan Frasa Nominal No
Makian
1
Anjing
2
Anjing kurap
3
Anjing kesrek
4
Kategori
No
Makian
Kategori
38 Kebo
N
FN
39 Keparat
N
FN
40 Kesrek
N
Anjrit
N
41 Kontol
N
5
Asu
N
42 Kucing garong
N
6
Babi
N
43 Kurang ajar
N
7
Bagong
N
44 Kunyuk
N
8
Bajingan
N
45 Kurang asem
N
9
Banci
N
46 Kutu kupret
N
10
Bangke
N
47 Kuya
N
11
Bangsat
N
48 Lemot
N
12
Bebegig
N
49 Lutung
N
13
Bedul
N
50 Monyet
N
14
Begog
N
51 Monyong
N
15
Beru
N
52 Pecundang
N
16
Cocot
N
53 Pelacur
N
N
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
132
No
Makian
Kategori
No
Makian
Kategori
17
Conge
N
54 Pengecut
N
18
Congek
N
55 Perek
N
19
Cucurut
N
56 Sampah
N
20
Culun
N
57 Sapi
N
21
Dajal
N
58 Setan
N
22
Dodol
N
59 Setor
N
23
Dongdot
N
60 Sialan
N
24
Edan
N
61 Sok ustad
FN
25
Endasmu
N
62 Setan alas
N
26
Firaun
N
63 Sok alim
FN
27
Germo
N
64 Sompret
N
28
Heunceut
N
65 Stres
N
29
Iblis
N
66 Syukurin
N
30
Idiot
N
67 Syukur
N
31
Iprit
N
68 Tai
N
32
Item
N
69 Tai kucing
33
Itil
N
70 Tuman
N
34
Jurig
N
71 Wedus
N
35
Kafir
N
72 Kunyuk
N
36
Kafirun
N
73
N
37
Kampret
N
4.3.2.2
Yahudi
FN
Makian Berkategori Verba dan Frasa Verbal Dari 143 buah makian yang digunakan oleh responden perempuan,
ditemukan sebanyak 7 buah makian berkategori verba dan 1 buah makian berkategori frasa verbal (1). Makian-makian yang berkategori verba (V) dan frasa verbal (FV) tersebut ditampilkan dalam tabel berikut:
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
133
Tabel 4.18 Makian Berkategori Verba No
4.3.2.3
Makian
Kategori No
Makian
Kategori
1
Koit
V
5
Modar
V
2
Mampus
V
6
Murtad
V
3
Maot
V
7
Paeh
V
4
Mati
V
8
Sok tahu
FV
Makian Berkategori Ajektiva dan Frasa Ajektival Dari 143
buah makian yang digunakan oleh responden perempuan,
ditemukan sebanyak 57 buah makian berkategori ajektiva dan sebanyak 5 buah makian berkategori frasa ajektival. Makian-makian berkategori ajektiva (A) dan frasa ajektival (FA) ditampilkan dalam tabel berikut: Tabel 4.19 Makian Berkategori Ajektiva dan Frasa Ajektival No
Makian
Kategori
No
Makian
Kategori
1
Bahlul
A
32
Kampungan
A
2
Bantet
A
33
Kate
A
3
Bedegong
A
34
Kehed
A
4
Bego
A
35
Kerempeng
A
5
Beloon
A
36
Kurang waras
6
Bencong
A
37
Letoi
A
7
Berengsek
A
38
Kuntet
A
8
Bodoh
A
39
Miring
A
9
Boloon
A
40
Munafik
A
10
Bolot
A
41
Odoh
A
11
Borangan
A
42
Odong
A
12
Borokok
A
43
Once
A
FA
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
134
No
Makian
Kategori
No
Makian
Kategori
13
Budeg
A
44
Oneng
A
14
Buta
A
45
Onyon
A
15
Cebol
A
46
Oon
A
16
Congean
A
47
Payah
A
17
Dongo
A
48
Pedog
A
18
Dungu
A
49
Persetan
A
19
Dusun
A
50
Polongo
A
20
Eupleu
A
51
Resek
A
21
Gebleg
A
52
Sarap
A
22
Geblek
A
53
Sial
A
23
Gelo
A
54
Sinting
A
24
Gila
A
55
Sok agamis
FA
25
Goblok
A
56
Sok bersih
FA
26
Jalang
A
57
Sok suci
FA
27
Jendel
A
58
Sontoloyo
A
28
Jitet
A
59
Tolol
A
29
Belagu
A
60
Songong
A
30
Koplok
A
61
Sotoy
A
31
Juling
A
62
Sakit jiwa
FA
Dengan demikian, berdasarkan kategorinya, makian yang digunakan oleh responden perempuan, meliputi: (1) nomina (N), (2) frasa nominal (FN), (3) verba (V), (4) frasa verbal (FV), (5) ajektiva (A), dan (6) frasa ajektival (FA). Agar lebih jelas, kategori makian yang digunakan oleh responden perempuan dapat dilihat dalam diagram di bawah ini:
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
135
70
67 57
60 50 40 30 20 6
10
8
5
0 Nomina
Frasa Nominal
Verba
Ajektiva
Frasa Ajektival
Diagram 4.6 Kategori Makian yang Digunakan oleh Responden Perempuan Berdasarkan klasifikasi kategori makian di atas, kategori makian yang digunakan oleh responden laki-laki dan oleh responden perempuan tidak berbeda. Perbedaan yang tampak hanyalah jumlah makian dalam tiap-tiap kategori. Karena jenis kategorinya sama, kategori makian yang digunakan oleh responden laki-laki dan kategori makian yang digunakan oleh responden perempuan tidak dapat dikatakan berbeda. Dalam konteks tersebut, peneliti ini tidak menemukan data makian berkategori frasa verbal yang digunakan oleh responden laki-laki sebagaimana yang digunakan oleh responden perempuan. Perbandingan jumlah makian berdasarkan masing-masing kategori tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut:
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
136 Tabel 4.20 Perbandingan Jumlah Makian Berdasarkan Kategori No 1 2 3 4 5 6
Kategori Makian Nomina Frasa Nominal Verba Ajektiva Frasa Ajektival Frasa Verbal
Mahasiswa Laki-laki 44 5 7 38 1 0
Mahasiswa Perempuan 68 5 7 57 5 1
Berdasarkan tabel tersebut, diketahui bahwa kategori makian yang paling banyak digunakan oleh responden laki-laki dan perempuan adalah nomina dan ajektiva. Hal itu mengindikasikan bahwa secara kategorial, pada umumnya makian yang paling banyak atau sering digunakan adalah makian berkategori nomina dan makian berkategori ajektiva. Berkait dengan uraian di atas, berdasarkan analisis kategori makian, peneliti ini tidak menemukan data makian berkategori interjeksi sebagaimana yang disebut oleh Wijana dan Rohmadi (2007: 117—118). Berdasarkan data yang diperoleh dari responden laki-laki dan perempuan, kategori makian bukan hanya nomina (N), frasa nomina (FN), verba (V), makian ajektiva (A), dan interjeksi sebagaimana yang dikemukakan oleh Wijana dan Rohmadi (2007:117—118), melainkan dapat ditambah dengan kategori lain, yakni makian berkategori frasa ajektival dan frasa verbal. Dengan demikian, kategori makian meliputi: (1) nominal, (2) frasa nominal, (3) verba, (4) frasa verbal, (5) ajektiva, (6) frasa ajektival, dan (7) interjeksi.
4.4
Analisis Klasifikasi Sumber Makian Dalam bagian berikut, peneliti ini mengklasifikasikan sumber makian
yang digunakan oleh responden laki-laki dan sumber makian yang digunakan oleh responden perempuan. Dalam mengklasifikasikan sumber makian, peneliti ini mengacu pada klasifikasi yang dikemukakan oleh Rothwell (1973:108); Trudgill (1983); Wardhaugh (1986:230); Hughes (1991:208). Klasifikasi sumber makian yang disintesiskan dari pendapat pakar-pakar tersebut adalah sebagai berikut:
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
137 Tabel 4.21 Klasifikasi Sumber Makian yang Disintesiskan dari Pendapat Pakar No
4.4.1
Sumber Makian
1
Kotoran
2
Kelamin
3
Kematian
4
Binatang
5
Keagamaan
6
Aktivitas seks
7
Keterbelakangan mental/kebodohan
8
Perbuatan pengecut
9
Mahluk halus/gaib
Klasifikasi Sumber Makian Berdasarkan Data Makian yang Digunakan oleh Responden Laki-laki Berikut ini adalah klasifikasi sumber makian yang digunakan oleh
responden laki-laki dan sumber makian yang digunakan oleh responden perempuan. Klasifikasi ini dibuat seturut pendapat ahli yang dirujuk dalam penelitian ini. Adapun sumber makian yang tidak termasukkan ke dalam klasifikasi tersebut dibuatkan klasifikasi baru. Klasifikasi sumber makian yang digunakan oleh responden laki-laki ditampilkan dalam tabel berikut ini: Tabel 4.22 Sumber Makian yang Digunakan oleh Responden Laki-laki No 1
Sumber Makian Makian yang bersumber dari kotoran
Makian Bangke
Jumlah 5 buah
Sampah Tai Tai anjing Tai kucing
2
Makian yang berhubungan dengan kelamin
Burut peluh
6 buah
Itil Kontol
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
138
No
Sumber Makian
Makian
Jumlah
Memek Memek bosok Kehed 3
Makian yang berhubungan dengan binatang
Anjing
14 buah
Babi Bagong Bedul Begog Beru Buaya darat Cemere Kampret Kutu kupret Monyet Ontohod Sapi Bangsat
4
Makian berhubungan agama
yang Firaun dengan Jahanam
8 buah
Haram jadah Kafir Munafik Murtad Sok alim Syukur/sukur
5
Makian yang berhubungan dengan keterbelakangan mental/kebodohan
Bego
9 buah
Belegug Beloon Boloon Bodoh Bolot
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
139
No
Sumber Makian
Makian
Jumlah
Dongo Dungu Idiot 6
Makian yang Banci berhubungan dengan Bencong perbuatan/sikap pengecut Borangan
7 buah
Payah Pecundang Pengecut Cemen 7
Makian yang Iblis berhubungan dengan Jurig mahluk halus/gaib Setan
5 buah
Setor Setan alas 8
Makian berhubungan mati/kematian
yang Koit dengan Mampus
6 buah
Maot Mati Modar Paeh
9
4.4.2
Makian berhubungan aktivitas seks
yang Cabul dengan
1 buah
Klasifikasi Sumber Makian Berdasarkan Data Makian yang Digunakan oleh Responden Perempuan Berikut ini adalah sumber makian yang digunakan oleh responden
perempuan: Tabel 4.23 Sumber Makian yang Digunakan oleh Responden Perempuan No
Sumber Makian
Makian
Jumlah
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
140
No
Sumber Makian
Makian
1 Makian yang bersumber dari Bangke kotoran Conge
Jumlah 6 buah
Congean Sampah Tai Tai kucing 2 Makian yang berhubungan dengan kelamin
Memek
7 buah
Banci Bencong Heunceut Itil Kontol Kehed 3 Makian yang dengan binatang
berhubungan Anjing
23 buah
Anjing kesrek Anjing kurap Anjrit Asu Babi Bagong Bangsat Bedul Begog
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
141
No
Sumber Makian
Makian
Jumlah
Beru Cucurut Kampret Kebo Kucing garong Kutu Kutu kupret Kuya Lutung Monyet Sapi Setor Wedus Kunyuk 4 Makian yang dengan agama
berhubungan Sok agamis
12 buah
Sok alim Sok bersih Sok suci Sok ustad Syukurin Yahudi Kafir Kafirun
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
142
No
Sumber Makian
Makian
Jumlah
Keparat Munafik Murtad 5
Makian yang berhubungan Bahlul dengan keterbelakangan mental/kebodohan Bego
15 buah
Belegug Beloon Bodoh Boloon Dongo Dungu Idiot Odoh Lemot Odong Onyon Oon Otak udang 6
Makian yang berhubungan Bencong dengan perbuatan/sikap pengecut Borangan
8 buah
Jitet Keparat Mental tempe
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
143
No
Sumber Makian
Makian
Jumlah
Pecundang Pengecut Banci 7
Makian yang berhubungan Bebegig dengan mahluk halus/gaib Dajal
13 buah
Dedemit Iprit Iblis Jin Jin iprit Jurig Kuntilanak Persetan Setan Setor Setan alas 8
Makian yang berhubungan Koit dengan mati/kematian Mampus
5 buah
Mati Modar Paeh 9
Makian yang berhubungan Cabul dengan aktivitas seks Otak mesum
3 buah
Jalang Berdasarkan data-data di atas, makian yang digunakan responden laki-laki yang bersumber dari kotoran ditemukan sebanyak 5 buah, yakni sebagai berikut: (1)
bangke,
(2)
sampah,
(3)
tai,
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
144 (4)
tai anjing, dan
(5)
tai kucing.
Adapun makian yang bersumber dari kotoran, yang dikemukakan oleh responden perempuan ditemukan sebanyak 6 buah, yakni sebagai berikut: (1)
bangke,
(2)
conge,
(3)
congean,
(4)
sampah,
(5)
tai, dan
(6)
tai kucing.
Dengan demikian, makian yang bersumber dari kotoran, yang digunakan oleh responden perempuan lebih banyak jumlahnya
daripada makian yang
digunakan oleh responden laki-laki. Berdasarkan referensinya, makian yang bersumber dari kotoran tersebut digunakan untuk memaki karena berkaitan dengan keburukan referennya, seperti bau yang tidak sedap (bangke, conge, congean, tai, tai kucing, dan tai anjing); kotor dan usang (sampah). Kata-kata tersebut memiliki referensi kotoran yang berciri bau, menjijikkan, dan keberadaannya sangat mengganggu sehingga harus dibuang atau dijauhkan. Makian-makian tersebut sering dilontarkan pada orang yang dianggap tidak berguna; tidak ada manfaatnya; tidak menyenangkan. Makian yang digunakan oleh responden
laki-laki, yang berhubungan
dengan kelamin ditemukan 6 buah, yakni sebagai berikut: (1)
burut peluh,
(2)
itil,
(3)
kontol,
(4)
memek,
(5)
memek bosok, dan
(6)
kehed.
Sementara itu, makian yang berhubungan dengan kelamin, yang digunakan responden perempuan ditemukan sebanyak 7 buah, yaitu
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
145 (1)
memek,
(2)
banci,
(3)
bencong,
(4)
heunceut,
(5)
itil,
(6)
kontol, dan
(7)
kehed.
Dengan demikian, makian yang berhubungan dengan kelamin lebih banyak yang digunakan oleh responden perempuan daripada yang digunakan oleh responden laki-laki. Berdasarkan referensinya, makian yang berhubungan dengan kelamin merupakan makian yang referennya adalah nama anggota tubuh. Dalam konteks ini, anggota tubuh yang lazim diucapkan sebagai ekspresi makian adalah anggota tubuh yang erat kaitannya dengan aktivitas seksual karena aktivitas ini sangat bersifat personal dan dilarang dibicarakan secara terbuka kecuali di dalam forumforum tertentu. Anggota tubuh yang dimaksud adalah itil, kontol, memek, kehed, dan heunceut. Selain itu, terdapat pula makian yang berhubungan dengan penyakit kelamin, yaitu burut peluh dan memek bosok. Makian burut peluh bereferensi alat kelamin laki-laki yang kantung kemaluannya mengalami pembesaran. Makian ini dilontarkan, seperti kutukan yang diharapkan terjadi pada orang yang dimaki agar ditimpa penyakit seperti itu. Adapun memek bosok bereferensi dengan pembusukan/atau busuknya kelamin perempuan (vagina) karena penyakit tertentu. Makian memek bosok diujarkan seperti kutukan agar yang dimaki menderita keadaan semacam itu. Berikutnya, terdapat makian yang
referennya adalah penyimpangan
seksual. Makian seperti itu merujuk pada gejala transgender. Makian yang dimaksud adalah banci dan bencong, yang memiliki referensi laki-laki yang punya sifat feminin (gemulai) sebagaimana perempuan sehingga dianggap bukan lelaki sejati. Kata-kata itu lazim dipakai untuk memaki laki-laki yang dianggap memiliki
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
146 watak atau ciri seperti perempuan, misalnya penakut, pengecut, dan bukan pemberani. Makian yang berhubungan dengan binatang, yang digunakan oleh responden laki-laki ditemukan 14 buah, yakni sebagai berikut: (1)
anjing,
(2)
babi,
(3)
bagong,
(4)
bedul,
(5)
begog,
(6)
beru,
(7)
buaya darat,
(8)
cemere,
(9)
kampret,
(10) kutu kupret, (11) monyet, (12) ontohod, (13) sapi, dan (14) bangsat. Sementara itu, makian yang berhubungan dengan binatang
yang
digunakan oleh responden perempuan ditemukan 23 buah, yakni sebagai berikut: (1)
anjing,
(2)
anjing kesrek,
(3)
anjing kurap,
(4)
anjrit,
(5)
asu,
(6)
babi,
(7)
bagong,
(8)
bangsat,
(9)
bedul,
(10) begog, (11) beru,
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
147 (12) cucurut, (13) kampret, (14) kebo, (15) kucing garong, (16) kutu, (17) kutu kupret, (18) kuya, (19) lutung, (20) monyet, (21) sapi, (22) wedus, dan (23) kunyuk. Berdasarkan referensinya, makian-makian di atas merujuk pada referen binatang yang mewakili watak atau ciri tertentu, misalnya menjijikkan atau diharamkan (anjing, asu, babi, bagong, dan bedul), mengganggu (kampret), keburukan rupa (monyet, beru, cucurut, cemere, kunyuk, dan lutung), lambat dan lemah (kuya), kecil dan tidak berarti atau kotor (bangsat, kutu, dan kutu kupret), buas dan bisa menyakiti (begog dan ontohod), bau (wedus), besar, lamban, dan bodoh (kebo), dan suka mencuri (kucing garong). Dalam konteks makian yang berhubungan dengan binatang, ”kutu kupret” dibentuk melalui perubahan bunyi suku terakhir dengan motivasi analogi bunyi pada makian yang lain. Dalam konteks ini, makian”kupret” berasal dari makian ”kutu”, tetapi banyak juga penutur bahasa yang menggunakan makian ”kutu kupret” bukan ”kupret” saja. Selanjutnya, makian ”anjrit” merupakan makian yang dibentuk melalui
perubahan bunyi suku terakhir dengan motivasi
penghalusan. Makian tersebut barasal dari kata ”anjing”, yang suku kata terakhirnya diganti sehingga terkesan lebih halus. Bila ajektiva-ajektiva yang digunakan untuk mengekspresikan makian secara langsung mengacu pada sifat-sifat individu yang dijadikan sasarannya, satuan-satuan lingual yang referensinya binatang
pemakaiannya bersifat
metaforis. Artinya, hanya sifat-sifat tertentu dari binatang itulah yang memiliki
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
148 kemiripan atau kesamaan dengan individu atau keadaan yang dijadikan sasaran makian. Tentu saja tidak semua nama binatang dapat digunakan untuk sarana memaki
dalam penggunaan bahasa. Binatang-binatang yang dipilih
atau
digunakan sebagai kata-kata makian adalah binatang-binatang yang memiliki sifat-sifat tertentu. Bila digunakan sebagai makian, tentu saja sifat-sifat itu kemudian diterapkan kepada manusia. Dalam konteks ini, makian yang bersumber binatang, yang digunakan oleh responden perempuan lebih banyak jumlahnya daripada makian bersumber binatang yang digunakan oleh responden laki-laki. Makian yang berhubungan dengan agama,
yang digunakan oleh
responden laki-laki ditemukan sebanyak 8 buah, yakni sebagai berikut: (1) firaun, (2) jahanam, (3) haram jadah, (4) kafir, (5) munafik, (6) murtad, (7) sok alim, dan (8) syukur/sukur. Adapun yang digunakan oleh responden perempuan ditemukan sebanyak 12 buah, yaitu sebagai berikut: (1)
sok agamis,
(2)
sok alim,
(3)
sok bersih,
(4)
sok suci,
(5)
sok ustad,
(6)
syukurin,
(7)
yahudi,
(8)
kafir,
(9)
kafirun,
(10) keparat, (11) munafik, dan
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
149 (12) murtad. Berdasarkan referensinya, makian-makian tersebut berhubungan dengan aktivitas yang menyimpang dan menentang ajaran agama, bernilai keburukan karena dihubungkan dengan sanksi agama/Tuhan, dan kepura-puraan dalam melaksanakan praktik agama. Makian tersebut berhubungan dengan keadaaan yang tidak direstui atau tidak diperkenankan oleh Tuhan atau agama. Khusus untuk makian Yahudi, makian ini dilontarkan sebagai kata yang memiliki rujukan sebenarnya adalah ”bangsa yang berasal dari Israel atau agama orang Israel”. Dalam konteks makian, kata Yahudi merupakan sebutan berkonotasi negatif, yakni orang yang kikir atau orang kafir (nonmuslim). Makian yang berhubungan dengan keagamaan lebih banyak yang digunakan oleh responden perempuan daripada makian yang digunakan oleh responden laki-laki. Makian yang berhubungan dengan mental atau kebodohan, yang digunakan oleh responden laki-laki ditemukan sebanyak 9 buah, yaitu sebagai berikut: (1) bego, (2) belegug, (3) beloon, (4) boloon, (5) bodoh, (6) bolot, (7) dongo, (8) dungu, dan (9) idiot. Sementara itu, makian yang berhubungan dengan mental atau kebodohan yang digunakan oleh responden perempuan ditemukan sebanyak 15 buah, yakni sebagai berikut: (1)
bahlul,
(2)
bego,
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
150 (3)
belegug,
(4)
beloon,
(5)
bodoh,
(6)
boloon,
(7)
dongo,
(8)
dungu,
(9)
idiot,
(10) odoh, (11) lemot, (12) odong, (13) onyon, (14) oon, dan (15) otak udang. Berdasarkan referensinya, makian-makian tersebut merupakan makian yang berhubungan dengan keadaan yang tidak menyenangkan dan bersifat mental. Makian-makian semacam itu merupakan satuan lingual
yang paling umum
dimanfaatkan untuk mengungkapkan makian berkaitan dengan defisit kecerdasan, kekurangmampuan otak/intelegensi, dan kebodohan. Dalam konteks makian di atas, terdapat makian “onyon”. Makian itu dibentuk dengan cara penghilangan beberapa bunyi di awal, yakni kata “beloon” menjadi “oon”, lalu ditambahi konsonan /ny/. Adapun makian “odong” dibentuk dari
makian ”bodoh” melalui penghilangan konsonan di awal, yaitu /b/ dan
pengggantian konsonan akhir, yakni konsonan /h/ menjadi /ng/ dengan motivasi penghalusan. Sementara itu, makian “lemot” dibentuk dengan cara pemendekan dan penyingkatan dengan motivasi penghematan dari makian “lemah otak”. Makian yang berhubungan dengan mental atau kebodohan lebih banyak yang digunakan oleh responden perempuan daripada makian yang digunakan oleh responden laki-laki. Makian yang berhubungan dengan perbuatan pengecut, yang digunakan oleh responden laki-laki ditemukan sebanyak 7 buah, yakni sebagai berikut:
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
151 (1) banci, (2) bencong, (3) borangan, (4) payah, (5) pecundang (6) pengecut, dan (7) cemen Adapun makian yang berhubungan dengan perbuatan pengecut,
yang
digunakan oleh responden perempuan ditemukan sebanyak 9 buah, yakni sebagai berikut: (1) bencong, (2) borangan, (3) jitet, (4) keparat, (5) mental tempe, (6) payah, (7) pecundang, (8) pengecut, dan (9) banci. Berdasarkan referensinya, makian-makian tersebut merujuk pada keadaan sifat atau watak seseorang yang dianggap tidak memiliki keberanian atau kejantanan dalam menghadapai sesuatu atau kesanggupan bertanggung jawab atas apa yang sudah diperbuat. Bisa juga berhubungan dengan kelemahan atau ketidakberdayaan. Berkenaan dengan makian ini, makian yang digunakan oleh responden perempuan jumlahnya lebih banyak daripada yang digunakan responden laki-laki. Makian yang berhubungan dengan mahluk halus/gaib, yang digunakan oleh responden laki-laki ditemukan sebanyak 5 buah, yaitu sebagai berikut: (1) iblis, (2) jurig,
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
152 (3) setan, (4) setor, dan (5) setan alas. Sementara itu, makian yang berhubungan dengan mahluk halus/gaib, yang digunakan oleh responden perempuan ditemukan sebanyak 13 buah, yakni sebagai berikut: (1)
bebegig,
(2)
dajal,
(3)
dedemit,
(4)
iprit,
(5)
iblis,
(6)
jin,
(7)
jin iprit,
(8)
jurig,
(9)
kuntilanak,
(10) persetan, (11) setan, (12) setor, dan (13) setan alas. Berdasarkan referensinya, makian-makian tersebut memiliki referensi mahluk-mahluk halus yang sering mengganggu kehidupan manusia, mahluk yang buruk rupa dan menakutkan, serta dianggap terkutuk. Derajat mahluk-mahluk ini lebih rendah dibandingkan dengan manusia. Dalam konteks sumber makian yang bersumber mahluk halus/gaib, terdapat makian ”setor” yang sebenarnya merupakan makian yang berasal dari ungkapan serapah ”setan”. Berdasarkan pembentukannya, makian ”setor” dibentuk dengan cara perubahan bunyi suku terakhir dengan motivasi penghalusan.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
153 Makian yang berhubungan dengan mahluk halus/gaib yang digunakan oleh responden perempuan jumlahnya lebih banyak daripada yang digunakan oleh responden laki-laki. Makian yang berhubungan dengan mati/kematian yang digunakan responden laki-laki ditemukan sebanyak 6 buah, yaitu sebagai berikut: (1) koit, (2) mampus, (3) maot, (4) mati, (5) modar, dan (6) paeh. Adapun makian yang berhubungan dengan mati/kematian, yang digunakan digunakan oleh responden perempuan ditemukan sebanyak 5, yakni sebagai berikut: (1) koit, (2) mampus, (3) mati, (4) modar, dan (5) paeh. Berdasarkan referensinya, makian-makian tersebut berhubungan dengan kejadian yang tidak diharapkan, yaitu berhubungan dengan akhir hayat/kematian seseorang. Makian-makian di atas diungkapkan agar orang yang dimaki mengalami peristiwa kematian atau kehilangan nyawa secara tiba-tiba atau setelah makian itu dilontarkan. Hal itu dilakukan bila orang yang dimaki telah berbuat sesuatu yang mencelakai atau mengancam nyawa si pemaki. Makian yang berhubungan dengan kematian, yang digunakan oleh responden laki-laki lebih banyak daripada yang digunakan oleh responden perempuan. Makian yang berhubungan dengan aktivitas seks, yang digunakan oleh responden laki-laki ditemukan hanya 1 buah, yakni ”cabul”, sedangkan yang
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
154 digunakan oleh responden perempuan ditemukan sebanyak 3 buah, yakni (1) ”cabul”, (2) ”jalang”, dan (3) ”otak mesum”. Berdasarkan referensinya, makian-makian di atas berhubungan dengan aktivitas atau perilaku seks. Dalam konteks itu, makian tersebut dihubungkan dengan tindakan atau pikiran yang berorientasi seks, yang merupakan perilaku terlarang untuk dilakukan karena bertentangan dengan hukum agama dan norma masyarakat. Makian yang berhubungan dengan aktivitas seks, yang digunakan oleh responden perempuan jumlahnya lebih banyak daripada makian yang digunakan oleh responden laki-laki. Diagram 4.7 di bawah ini menunjukkan perbandingan jumlah makian yang digunakan oleh responden laki-laki dan makian yang digunakan oleh responden perempuan berdasarkan kategori sumbernya.
25
23
20
15
15
14
13
12 10
5
5
6
6
9
8
7
7
8
L 6
5
5
P 3 1 Se ks
at i an
ib Ga s/
M
ah
lu
k H
Ke m
t ec u P
a lu
M n
ua ta n
Pe rb
ga an ak Ke te rb el
en g
en
ta l
am a Ag
na
ta
ng
in Bi
Ke l am
Ko
to ra n
0
Diagram 4.7 Perbandingan Makian Responden Laki-laki dan Makian Responden Perempuan Berdasarkan Klasifikasi Sumbernya Berdasarkan diagram tersebut, diketahui bahwa makian yang bersumber dari kotoran; makian yang berhubungan dengan
kelamin;
makian yang
berhubungan dengan binatang; makian yang berhubungan dengan agama; makian
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
155 yang berhubungan dengan keterbelakangan mental/kebodohan; makian yang berhubungan dengan perbuatan pengecut; makian yang berhubungan dengan mahluk halus/gaib; makian yang berhubungan dengan aktivitas seks, yang digunakan oleh responden perempuan jumlahnya lebih banyak daripada makian yang digunakan oleh responden laki-laki. Sementara itu, makian yang berhubungan dengan mati/kematian lebih banyak yang digunakan oleh responden
laki-laki daripada makian yang
digunakan oleh responden perempuan. Tidak semua makian yang digunakan oleh responden penelitian ini dapat diklasifikasikan sumber makiannya seturut klasifikasi sumber yang disintesiskan dari pendapat Rothwell (1973:108); Trudgill (1983); Wardhaugh (1986:230); Hughes (1991:208) di atas. Oleh karena itu, peneliti ini membuat klasifikasi sumber baru berdasarkan makian-makian yang digunakan oleh responden laki-laki dan makian-makian yang digunakan oleh responden perempuan. Berdasarkan data-data makian yang digunakan oleh responden laki-laki, peneliti ini menemukan 10 sumber makian lain selain sumber makian yang dikemukakan oleh Rothwell (1973:108);
Trudgill (1983); Wardhaugh
(1986:230); Hughes (1991:208), yaitu sebagai berikut: Tabel 4.24 Klasifikasi Baru Sumber Makian Berdasarkan Data Makian yang Digunakan oleh Responden Laki-laki No 1
Sumber Makian Makian yang berhubungan dengan kerusakan fungsi bagian tubuh/anggota badan tertentu
2
Makian yang berhubungan dengan penyakit
3
Makian yang berhubungan dengan sikap negatif
4
Makian yang berhubungan dengan makanan
5
Makian yang berhubungan dengan profesi
6
Makian yang berhubungan dengan bagian anggota tubuh
7
Makian yang berhubungan dengan kemiskinan
8
Makian yang berhubungan dengan pengalaman
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
156 negatif manusia 9
Makian yang berhubungan dengan warna kulit
10
Makian yang berhubungan dengan kecacatan fisik
Sementara itu, berdasarkan makian yang digunakan oleh responden perempuan, peneliti ini menemukan 12 sumber makian lain selain sumber makian yang dikemukakan oleh Rothwell (1973:108);
Trudgill (1983); Wardhaugh
(1986:230); Hughes (1991:208), yaitu sebagai berikut:
Tabel 4.25 Klasifikasi Baru Sumber Makian Berdasarkan Data Makian yang Digunakan oleh Responden Perempuan No 1
Sumber Makian
2
Makian yang berhubungan dengan kerusakan fungsi bagian tubuh/anggota badan tertentu Makian yang berhubungan dengan anggota badan
3
Makian yang berhubungan dengan penyakit
4 5
Makian yang berhubungan dengan pengalaman negatif Makian yang berhubungan dengan sikap negatif
6
Makian yang berhubungan dengan kecacatan fisik
7
Makian yang berhubungan dengan warna kulit
8
Makian yang berhubungan dengan alat musik
9
Makian yang berhubungan dengan makanan
10 11
Makian yang berhubungan dengan keadaan makanan Makian yang berhubungan dengan profesi
12
Makian yang berhubungan dengan nama tokoh
Makian-makian yang termasuk ke dalam sumber-sumber di atas, baik makian yang digunakan oleh responden laki-laki maupun makian yang digunakan oleh responden perempuan adalah sebagai berikut:
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
157 Tabel 4.26 Sumber Makian Baru dan Data Makiannya No 1
Sumber
Makian Mahasiswa Laki-laki yang Budeg
Makian berhubungan Budek dengan kerusakan atau kekurangan Burut peluh fisik
Jml. 3
Makian Mahasiswa Perempuan Budeg
Jml. 10
Buta Cebol Kerempeng Monyong Kate Bantet Juling Kuntet Pedog
2
Makian yang Kesrek berhubungan Conge dengan penyakit Congek
4
Makian yang Polontong berhubungan dengan sifat Sohor negatif Jendel
4
Budug Conge
Curek 3
Kesrek
Congean 17
Dusun
22
Berengsek Borokokok
Koplok
Kampungan
Polongo
Resek
Culun
Bedegong
Dongo
Kurang ajar
Dungu
Songong
Eupleu
Belagu
Eubeung
Sotoy
Gebleg
Koplok
Geblek
Bolot
Goblok
Culun
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
158
No
Sumber
Makian Mahasiswa Laki-laki Sarap
Jml.
Makian Mahasiswa Perempuan Eupleu
Tolol
Goblok
Kurang ajar
Payah
Berengsek
Jendel
Jml.
Polongo Sontoloyo Tolol Letoi 4
5
6
Makian yang berhubungan dengan warna kulit Makian yang berhubungan dengan makanan Makian yang berhubungan dengan profesi
Item
1
Item
1
Dodol
2
Dodol
1
2
Bajingan
5
Oncom Bajingan Pelacur
Dongdot Germo Pelacur Perek
7
8
9
10
Makian yang Rai nire berhubungan dengan bagian Bool dia anggota tubuh
2
Endasmu
3
Makian yang berhubungan pengalaman negatif manusia
0
Makian yang berhubungan dengan nama tokoh Makian yang Gila berhubungan dengan sifat Gelo
0
Oneng
1
6
Kurang waras
9
Cocot Bool dia Sialan
3
Sial Tuman
Saraf
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
159
No
Sumber manusia
Makian Mahasiswa Laki-laki Sarap
Jml.
Makian Mahasiswa Perempuan Sinting
Stres
Setres
Sinting
Miring
Edan
Sakit jiwa
Jml.
Gebleg Gelo Gila 11
12
13
Makian yang berhubungan dengan keadaan makanan Makian yang Kere berhubungan dengan kemiskinan Makian yang berhubungan dengan tiruan bunyi/alat musik
0
Kurang asem
1
0
1
0
Sompret
1
Dengan demikian, klasifikasi sumber makian yang sudah ada, yakni yang dikemukakan oleh para ahli dan peneliti terdahulu dapat ditambah dengan temuan kategori sumber baru sebagai kriteria untuk melengkapi atau merevisi klasifikasi sumber makian yang sudah dibuat para pakar. Berikut ini, diuraikan kategori sumber baru dan referensinya berdasarkan data makian yang digunakan oleh responden laki-laki dan digunakan oleh responden perempuan.
1. Makian yang Berhubungan dengan Kerusakan atau Kekurangan Fisik Berdasarkan data-data makian yang digunakan oleh responden laki-laki dan makian yang digunakan oleh responden perempuan, diperoleh temuan data makian yang sumbernya adalah makian yang berhubungan dengan kerusakan fungsi bagian tubuh/anggota badan tertentu atau kekurangan fisik, baik bawaan sejak lahir maupun karena kecelakaan/tertimpa musibah. Makian ini bereferensi
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
160 rusaknya fungsi bagian tubuh yang berakibat terjadinya cacat, ganjil, dan orang yang mengalaminya biasanya dianggap tidak normal, serta sering direndahkan. Makian yang berhubungan dengan kecacatan fisik berhubungan pula dengan ketidaklengkapan organ tubuh dan ketidaknormalan fisik, baik bawaan maupun karena kecelakaan. Namun, sebagian besar makian ini memiliki referensi kekurangan atau cacat fisik bawaan.
2. Makian yang Berhubungan dengan Penyakit Makian yang berhubungan dengan penyakit. Makian ini bereferensi dengan penyakit yang dianggap menjijikan ataupun menular. Penyakit-penyakit tersebut ada yang berupa penyakit telinga (conge, congek, dan curek), yang menjijikkan karena ditandai oleh cairan yang bercampur nanah keluar dari lubang telinga dan berbau tidak sedap dan ada yang berupa penyakit kulit (kesrek dan budug). Makian conge, congek, atau curek kerap dipakai untuk memaki orang yang dianggap daya dengarnya kurang atau tidak mendengar.
3. Makian yang Berhubungan dengan Sifat Negatif Makian yang berhubungan dengan sikap negatif. Makian ini berhubungan dengan ciri, watak, perilaku, dan perbuatan seseorang yang bersebab kurangnya pengetahuan, pendidikan, wawasan, sikap berlebih-lebihan, susah diatur, tak tahu diri, sombong, norak, dan tidak terpuji. Makian ini merujuk pada sikap, watak, dan kepribadian yang tidak seharusnya dimiliki sehingga dianggap negatif atau tidak baik menurut ukuran nilai sosial atau agama. Berhubungan dengan kata makian yang bersumber sifat negatif manusia, terdapat makian ”Sotoy”. Makian ini termasuk makian bahasa gaul yang setakat ini banyak dipakai oleh kalangan remaja dan dewasa. Makian ini dibentuk dari makian ”sok tahu” Dengan demikian, ”sotoy” dibentuk dengan penghilangan konsonan /k/ pada kata ”sok” dan penggantian kata ”tahu” dengan kata ”toy”. Proses berikutnya adalah penyingkatan dengan motivasi penghematan.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
161
4. Makian yang Berhubungan dengan Warna Kulit Makian yang berhubungan dengan warna kulit. Makian ini berhubungan dengan warna kulit yang tidak disukai atau dianggap tidak bagus, yakni hitam karena berlawanan dengan warna yang dianggap bagus, menawan, dan terawat, yakni putih atau kuning langsat. Makian ini bersifat fisik karena menghina bagian tubuh orang yang dimaki. Makian ”item” dibentuk dengan cara penghilangan fonem /h/ di awal (dari kata hitam) dan penggantian fonem /a/ menjadi /e/.
5. Makian yang Berhubungan dengan Makanan Makian yang berhubungan dengan makanan. Makian dodol merupakan salah satu jenis makanan tradisional, yang terbuat dari terigu, gula, susu, dan bisa juga dengan campuran buah atau bahan lainnya. Makanan ini memiliki cita rasa bermacam-macam, tetapi rasa dominannya adalah manis. Kata makian dodol merupakan eufimisme dari kata bodoh. Sementara itu, makian oncom, yang juga bereferensi makanan, dalam praktik memaki digunakan merujuk pada sifat busuk atau lemah.
6. Makian yang Berhubungan dengan Profesi Makian yang berhubungan dengan profesi. Makian ini merujuk pada pekerjaan yang tidak diperbolehkan oleh hukum formal dan hukum agama, serta mendapat stigma dari masyarakat karena dianggap tidak bermoral. Profesi ini berhubungan dengan menjual diri, melacur, dan memperjualbelikan seks, serta dianggap kotor dan tidak patut.
7. Makian yang Berhubungan dengan Bagian Anggota Tubuh Makian yang berhubungan dengan bagian anggota tubuh. Makian ini berhubungan dengan anggota badan tertentu, yang diucapkan karena beberapa kemungkinan, misalnya: (a) dianggap tidak difungsikan, misalnya makian matamu; (b) agar ditimpa sesuatu yang bersifat masalah/bencana/kecelakan endasmu; (c) banyak omong cocotmu; pengelakan atau penolakan endasmu; (d) bagian tubuh/organ yang tak pantas dikemukakan karena fungsinya berhubungan dengan ekskresi (pembuangan kotoran) bool dia ’duburmu’
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
162
8. Makian yang Berhubungan dengan Pengalaman Negatif Manusia Makian
yang
berhubungan
merupakan makian yang bereferensi
dengan
pengalaman
negatif
manusia
pengalaman yang tidak menyenangkan,
pengalaman yang tidak menggembirakan, pengalaman yang tidak diinginkan, pengalaman yang menyedihkan, dan pengalaman yang dianggap buruk karena dampaknya merugikan atau membawa musibah. Makian bersumber pengalaman negatif manusia lazim ditujukan agar orang lain yang dimaki ditimpa kesialan ataupun dianggap memberi sial (sial dan sialan). Jika ditujukan kepada diri sendiri, makian ini sekadar mengungkapkan bahwa si penutur sedang ditimpa kemalangan/sial. Dalam hal ini, terjadinya kemalangan itu bukan karena kesalahan orang lain. Adapun ”tuman” berarti makian yang juga bereferensi dengan kesialan dan diucapkan agar yang dimaki tidak melakukan lagi perbuatan yang dianggap membawa sial/malang. Atau, merupakan ucapan syukur agar yang dimaki mendapat pelajaran atas perbuatannya sehingga tidak berani mengulangi.
9. Makian yang Berhubungan dengan Nama Tokoh Makian ini merupakan makian yang bereferensi tokoh sinetron, yaitu tokoh yang bernama ”Oneng”. Tokoh ini ada dalam sinetron ”Bajaj Bajuri”, yang dulu ditayangkan oleh Stasiun Trans TV. Tokoh ”Oneng” diperankan oleh aktris Rieke Dyah Pitaloka. Tokoh ”Oneng” berkarakter sebagai seorang perempuan yang dikategorikan lambat dalam berpikir sehingga berkesulitan menangkap dan memahami pembicaraan, lugu, dan agak bodoh. Oleh karena itu, ”Oneng” kemudian menjadi populer sebagai makian yang lazim ditujukan pada orang yang dianggap bodoh atau tidak cerdas.
10. Makian yang Berhubungan dengan Sifat Manusia Makian ini bereferensi keadaan mental atau gangguan otak dan pikiran sehingga berperilaku seperti orang yang tidak waras, misalnya karena depresi, stres, atau kerusakan otak. Makian-makian semacam itu lazim ditujukan kepada orang yang dianggap seperti orang yang tidak waras, gila, atau terganggu pikirannya, baik dalam situasi serius maupun sebagai candaan.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
163
11. Makian yang Berhubungan dengan Keadaan Makanan Makian ini memiliki referensi keadaan makanan yang dianggap kurang enak atau kurang pas karena ada sesuatu bahan yang kurang. Dalam konteks data makian di atas, makian ”kurang asem” dibentuk melalui pelemahan vokal pada suku terakhir kata ”asam” dengan cara mengganti bunyi /a/ oleh bunyi /e/. Atau, bisa juga ”kurang asem” merupakan penghalusan dari kata ”kurang ajar”. Dalam hal ini, kata ”ajar” diganti ”asem” dengan motivasi penghalusan.
12. Makian yang Berhubungan dengan Kemiskinan Makian yang berhubungan dengan kemiskinan. Makian ini berhubungan dengan ketidakpunyaan materi/uang sehingga orang yang bernasib seperti ini sering dihina atau direndahkan. Lazimnya makian ini dilontarkan untuk menghina dan merendahkan derajat sosial
orang yang menjadi sasaran maki sehingga
dianggap tidak layak diajak bergaul, berteman, atau bersaudara.
13. Makian yang Berhubungan dengan Tiruan Bunyi/Alat Musik Makian yang berhubungan dengan alat musik. Makian ini berhubungan dengan suara yang memekikkan, tidak enak didengar, atau merusak telinga yang keluar dari terompet besar yang disebut ”sompret”. Berdasarkan analisis sumber makian, diketahui bahwa makian yang digunakan oleh mahasiswa laki-laki dan makian yang digunakan oleh mahasiswa perempuan dapat dikelompokkan sebagai berikut: (1) terdapat sejumlah makian yang dapat diklasifikasikan seturut klasifikasi sumber yang disintesiskan dari pendapat Rothwell (1973:108);
Trudgill (1983); Wardhaugh (1986:230); Hughes
(1991:208), (2) terdapat sejumlah makian yang tidak dapat dikelompokkan ke dalam klasifikasi yang disintesiskan dari pendapat Rothwell (1973:108); Trudgill (1983); Wardhaugh (1986:230); Hughes (1991:208) sehingga dibuatkan klasifikasi baru, dan
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
164 (3) terdapat sejumlah makian yang sumber makiannya hanya digunakan oleh mahasiswa laki-laki dan sejumlah makian yang sumber makiannya hanya digunakan oleh mahasiswa perempuan. Sumber makian makian dan jumlah masing-masing makian berdasarkan jenis-jenis sumber yang dikemukakan Rothwell (1973:108); Trudgill (1983); Wardhaugh (1986:230); Hughes (1991:208) adalah sebagai berikut: Tabel 4.27 Perbandingan Jumlah Makian Berdasarkan Sumber Makian yang Dikemukakan Pakar No
Sumber Makian
Jumlah Makian Laki-laki
Perempuan
1
Makian yang bersumber dari kotoran
5
6
2
Makian yang berhubungan dengan kelamin Makian yang berhubungan dengan binatang Makian yang berhubungan dengan agama
6
7
6
23
8
12
Makian yang berhubungan dengan keterbelakangan mental/kebodohan Makian yang berhubungan dengan perbuatan/sikap pengecut Makian yang berhubungan dengan mahluk halus/gaib Makian yang berhubungan dengan mati/kematian Makian yang berhubungan dengan aktivitas seks
9
15
7
8
5
13
6
5
1
3
3 4 5 6 7 8 9
Berdasarkan analisis sumber makian di atas, tampak tidak ada perbedaan antara sumber makian yang digunakan oleh responden laki-laki dan sumber makian yang digunakan oleh responden perempuan. Perbedaan hanya tampak pada jumlah makian untuk masing-masing jenis sumber. Berdasarkan data di atas pula diketahui bahwa jumlah makian
yang
berhubungan dengan mati/kematian lebih banyak yang digunakan oleh responden laki-laki. Namun, jenis sumber lain, yakni meliputi: makian yang berhubungan
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
165 dengan kotoran; makian yang berhubungan dengan kelamin; makian yang berhubungan dengan binatang; makian yang berhubungan dengan keagamaan; makian yang berhubungan dengan aktivitas seks; makian yang berhubungan dengan keterbelakangan mental/kebodohan; makian yang berhubungan dengan perbuatan pengecut; makian yang berhubungan dengan mahluk halus/gaib jumlahnya lebih banyak yang digunakan oleh responden perempuan daripada makian yang digunakan oleh responden laki-laki. Dengan perkataan lain, makian responden perempuan unggul dalam 8 jenis sumber dan makian responden lakilaki unggul dalam 1 jenis sumber. Sumber makian yang paling banyak digunakan oleh responden perempuan adalah makian yang berhubungan dengan binatang, yakni 23 buah. Sementara itu, makian yang berhubungan dengan binatang yang digunakan oleh responden lakilaki hanya 6 buah. Temuan data makian bersumber kelamin atau berhubungan dengan kelamin, yang digunakan oleh responden perempuan bertentangan dengan pernyataan Sumarsono dan Partana (2002:106), yang menyatakan bahwa dalam masyarakat Indonesia, terutama dalam bahasa daerah, sering dikatakan perempuan lebih banyak menghindari penggunaan kata-kata yang berhubungan dengan alat kelamin atau kata-kata kotor yang lain. Kata-kata ini seolah-olah ditabukan oleh perempuan, atau seolah-olah menjadi monopoli pria. Berikutnya, karena tidak semua makian dapat dikelompokkan sumbernya berdasarkan pendapat Rothwell (1973:108);
Trudgill (1983); Wardhaugh
(1986:230); Hughes (1991:208), peneliti ini membuat klasifikasi sumber makian baru yang didasarkan temuan data makian. Berikut ini adalah jenis sumber makian
dan jumlah makian masing-
masing jenis sumber berdasarkan temuan data makian yang digunakan oleh responden laki-laki dan oleh responden perempuan:
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
166 Tabel 4.28 Perbandingan Jumlah Makian Berdasarkan Sumber Makian Baru No 1
2 3 4 5 6 7 8
9 10 11 12 13
Sumber Makian Makian yang berhubungan dengan kerusakan atau kekurangan fisik Makian yang berhubungan dengan penyakit Makian yang berhubungan dengan sifat negatif Makian yang berhubungan dengan warna kulit Makian yang berhubungan dengan makanan Makian yang berhubungan dengan profesi Makian yang berhubungan dengan bagian anggota tubuh Makian yang berhubungan pengalaman negatif manusia Makian yang berhubungan dengan nama tokoh Makian yang berhubungan dengan sifat manusia Makian yang berhubungan dengan keadaan makanan Makian yang berhubungan dengan kemiskinan Makian yang berhubungan dengan tiruan bunyi/alat musik
Jumlah Laki-laki Perempuan 3 10
4
4
17
22
1
1
2
1
2
5
2
3
0
3
0
1
6
9
0
1
1
0
0
1
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
167 Berdasarkan sumber makian tersebut, diketahui bahwa makian yang paling banyak digunakan oleh responden laki-laki dan oleh responden perempuan adalah makian yang bersumber sifat negatif, yakni makian responden laki-laki sebanyak 18 buah dan makian responden perempuan sebanyak 22 buah. Berdasarkan data di atas pula diketahui bahwa responden perempuan unggul dalam hal jumlah makian yang bersumber dari (1) makian yang berhubungan dengan kerusakan atau kekurangan fisik, (2) makian yang berhubungan dengan sifat negatif, (3) makian yang berhubungan dengan profesi, (4) makian yang berhubungan dengan bagian anggota tubuh, dan (5) makian yang berhubungan dengan sifat manusia. Selain itu, data di atas menunjukkan bahwa ada sumber makian yang data makiannya hanya ditemukan dari makian yang digunakan oleh responden lakilaki, yakni makian yang berhubungan dengan kemiskinan. Ada pula sumber makian yang data makiannya hanya ditemukan dari makian yang digunakan oleh responden perempuan, yakni (1) makian yang berhubungan pengalaman negatif manusia, (2) makian yang berhubungan dengan nama tokoh, (3) makian yang berhubungan dengan keadaan makanan; (4) makian yang berhubungan dengan tiruan bunyi/alat musik. Temuan sumber makian di atas tidak sejalan atau bertentangan dengan pendapat
McEnery
(2005)
bahwa
ada
kecenderungan
bahwa
wanita
menggunakan makian sebanyak laki-laki, tetapi makian yang digunakan oleh wanita bersifat lembut, misalnya ”God (Tuhan), pig (babi), hell (neraka), dan bugger (vagina atau organ seks bagian luar)” sehingga laki-laki menggunakan makian yang lebih kuat daripada makian yang digunakan oleh perempuan. Berdasarkan data di atas, justru makian yang paling banyak digunakan adalah makian yang digunakan oleh responden perempuan dengan jumlah makian yang sangat menonjol, yakni makian yang berhubungan dengan binatang, makian yang berhubungan dengan agama, makian yang berhubungan dengan kelamin, makian yang berhubungan dengan makhluk halus/gaib, makian yang berhubungan dengan kebodohan, dan makian yang berhubungan dengan sikap pengecut. Makianmakian tersebut sebagian besar bersifat kasar.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
168
4.5
Analisis Klasifikasi Alasan Penggunaan Makian Untuk melakukan pengklasifikasian alasan memaki, peneliti ini merujuk
pendapat Rassin dan Heijden (2005); Bolton dan Hutton (1997:331-332); Jay dan Janschewitz (2008); Crystal (2003:173). Berkenaan dengan hal tersebut, pada bagian berikut ini, peneliti ini menguraikan alasan penggunaan makian yang dikemukakan oleh responden lakilaki dan oleh responden perempuan. Untuk lebih jelas, alasan penggunaan makian menurut responden laki-laki ditampilkan dalam diagram 4.8 di bawah ini:
Diagram 4.8 Alasan Penggunaan Makian Menurut Responden Laki-laki Selanjutnya, alasan penggunaan makian menurut responden perempuan ditampilkan dalam diagram 4.9 di bawah ini:
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
169
Diagram 4.9 Alasan Penggunaan Makian Menurut Responden Perempuan Berdasarkan data tersebut, alasan yang paling banyak dipilih oleh responden laki-laki dan oleh responden perempuan adalah mengungkapkan rasa marah. Marah berarti ’gusar’ atau ’berang’, yaitu perasaan sangat tidak senang karena diperlakukan tidak sepantasnya. Alasan penggunaan makian untuk mengungkapkan kemarahan dipilih oleh 32 orang responden laki-laki dan oleh 40 orang responden perempuan. Dengan demikian, makian dianggap oleh responden dapat digunakan sebagai alat pengungkapan rasa marah bagi orang yang menuturkannya. Berikutnya, alasan penggunaan makian karena tersakiti dipilih oleh 26 orang
responden laki-laki dan oleh 36 orang responden perempuan. Dalam
konteks itu, makian dianggap oleh responden dapat mengungkapkan perasaan sakit hati karena dilukai atau karena alasan lainnya. Alasan penggunaan makian karena perasaan kecewa dipilih oleh 25 orang responden laki-laki dan oleh 23 orang responden perempuan. Dalam konteks itu, makian dianggap oleh responden dapat mencerminkan perasaan kecil hati, tidak senang, atau tidak puas karena tidak terkabul keinginan atau harapannya.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
170 Alasan penggunaan makian
karena tergganggu dipilih oleh 24 orang
responden laki-laki dan oleh 13 orang responden perempuan. Dengan demikian, makian dapat digunakan untuk mengungkapkan perasaan terhalang atau mendapat rintangan; terkena sesuatu yang menyusahkan, menyebabkan ketidakwarasan, ketidaknormalan, dan ketidaklancaran. Alasan penggunaan makian karena penyesalan dipilih oleh 17 orang responden laki-laki dan oleh 18 orang responden perempuan. Penyesalan merupakan perasaan tidak senang karena telah berbuat kurang baik, misalnya berbuat dosa atau berbuat kesalahan. Dalam konteks itu, jika seseorang menyadari kesalahannya dan menyesal atas perbuatan
yang telah dilakukan, ia akan
menyalahkan diri sendiri. Rasa penyesalan itu ada yang diungkapkan dengan ungkapan makian. Dengan kata lain, makian dianggap dapat mencerminkan rasa penyesalan yang dirasakan oleh responden. Alasan penggunaan makian karena ingin menghina dipilih oleh 17 orang responden laki-laki dan oleh 15 orang responden perempuan. Menghina adalah merendahkan atau memandang rendah kedudukan orang. Penghinaan terhadap seseorang dapat terjadi karena adanya rasa tidak senang terhadap tingkah laku atau pembicaraan orang lain. Dalam hal ini, makian dianggap oleh responden dapat mencerminkan penghinaan terhadap seseorang/orang lain. Bertaut dengan kata-kata berkadar hinaan, Sudaryanto (1994:81) membagi kata-kata hinaan menjadi sebagai berikut: (a) ”marabi” (memberi julukan dengan nama-nama tertentu, yang asosiasinya jelek, lucu, dan sebagainya). Kata-kata yang sering digunakan adalah kata-kata yang menunjukkan kebiasaan tingkah laku yang khas dari lawan bicara, cacat tubuh lawan bicara, nama binatang tertentu, dan tokoh cerita tertentu, (b) ”moyoki” (sejenis mengejek dengan sebutan nama yang membikin malu atau menyakitkan hati, (c) ”ngece” (mengejek), (d) ”ngenyek” (menghina), (e) ”ngengis-engis” (mempermalukan), dan (f) ”ngiwingiwi” (mengejek, meledek, sekaligus membuat mengkal). Dengan demikian, penggunaan makian yang ditujukan untuk menghina mencakup: (a) makian yang ditujukan memberi julukan dengan asosiasi yang jelek, (b) mengejek dengan sebutan yang memalukan dan menyakitkan hati, (c) mempermalukan, dan (d) meledek.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
171 Alasan penggunaan makian karena ingin menunjukkan persahabatan dipilih oleh 9 orang responden laki-laki dan 17 orang responden perempuan. Dalam konteks itu, makian digunakan dengan orientasi positif, yakni menunjukkan perhubungan selaku sahabat atau menunjukkan keintiman. Intim adalah rasa akrab atau dekat dengan pergaulan. Keintiman atau keakraban suatu pergaulan dapat tercermin melalui kata-kata yang digunakan. Dalam situasi santai, sering dijumpai penggunaan makian sebagai sarana untuk menjalin hubungan yang lebih akrab di antara peserta tutur. Dengan terciptanya suasana kebersamaan dan keakraban itu masing-masing peserta tutur merasa terbebas dari ikatan perbedaan
tingkat-tingkat status sosial di antara mereka. Dengan demikian,
responden beranggapan bahwa penggunaan makian dapat menunjukkan persahabatan dan keintiman. Alasan penggunaan makian karena alasan mencari perhatian dipilih oleh 9 orang responden laki-laki dan 1 orang responden perempuan. Dalam konteks itu, makian dianggap oleh responden dapat membuat dirinya beroleh perhatian (diperhatikan) orang lain atau membuat perhatian orang lain beralih dan tertuju padanya. Alasan
penggunaan
makian
untuk
mengidentifikasi/mengokohkan
identitas kelompok dipilih oleh 9 orang responden laki-laki dan oleh 1 orang responden perempuan. Dalam konteks itu, responden menganggap bahwa penggunaan makian dapat menunjukkan identitas kelompok sehingga memiliki ciri khas dari orang/kelompok lain. Hal itu memudahkan mereka dalam konteks pergaulan karena dapat menunjukkan identitas sekaligus mengokohkannya sehingga ada semacam ikatan emosional di antara sesama anggota kelompoknya. Alasan penggunaan makian dengan tujuan menghasut dipilih oleh 5 orang responden perempuan dan oleh 9 orang responden laki-laki. Menghasut berarti membangkitkan hati orang
supaya marah. Dalam konteks itu, responden
beranggapan bahwa penggunaan makian dapat membangkitkan kemarahan orang lain sehingga terpancing untuk bereaksi, baik dalam bentuk tindakan verbal maupun perbuatan. Alasan penggunaan makian karena ingin mendiskreditkan dipilih oleh 4 orang
responden
laki-laki
dan
oleh
4
orang
responden
perempuan.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
172 Mendiskreditkan berarti berusaha untuk menjelekkan
atau memperlemah
kewibawaan seseorang atau satu pihak tertentu. Dalam konteks itu, responden beranggapan bahwa makian dapat digunakan untuk mendiskreditkan orang atau lembaga tertentu. Hal itu dilakukan jika orang atau lembaga tertentu dianggap telah melakukan sesuatu yang merugikan atau berbuat kesalahan. Di luar alasan-alasan tersebut, peneliti ini juga beroleh temuan alasan lain dari penggunaan makian. Alasan-alasan yang dikemukakan oleh responden lakilaki dan responden perempuan tersebut ditampilkan dalam tabel 4.29 berikut:
Tabel 4.29 Temuan Alasan Lain No. 1
Alasan Responden Laki-laki Gagal mendapatkan sesuatu
Alasan Responden Perempuan Bercanda
2
Sakit hati
Kesal
3
Diperintah
Kaget
4
Terpancing
Benci
5
Tersinggung
Dipermalukan
6
Dibohongi
Dituduh/difitnah
7
Ditipu
Dikhianati
8
Dirugikan
Tersinggung
9
Dipecundangi
Direndahkan
10
Dikhianati
Gagal mendapatkan sesuatu
11
Diancam
Melarang
12
Dilecehkan
Membela harga diri keluarga
13
Tidak dihargai
Sakit hati
14
Dikalahkan
Terpancing
15
Disudutkan
Menyindir
16
Dipaksa
Dipermalukan
17
Ditekan
Dirugikan orang lain
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
173
No. 18
Alasan Responden Laki-laki Diinjak-injak harga diri
Alasan Responden Perempuan Dipaksa-paksa
19
Dipermalukan
Dibohongi
20
Dihina
Dilecehkan
21
Humor/bercanda
Dikasari
22
Dituduh/disangka
Disalahkan
23
Dilarang melakukan sesuatu
Tertekan
24
Diadu domba
Frustrasi
25
Direndahkan
Putus Asa
26
Diserang
Tak bisa menerima kenyataan
27
Dikucilkan
Ditimpa kesulitan
28
Diperlakukan kasar
Tidak dipedulikan
29
Dijatuhkan
Dimusuhi
30
Tidak dihargai
Ingin menyalahkan orang lain
31
Ditolak
Mengungkapkan kekecewaan Merayu/membujuk
Makian tidak selalu bermaksud negatif. Hal ini dibuktikan oleh temuan bahwa ada responden laki-laki dan responden perempuan yang mengemukakan alasan penggunaan makian dengan maksud positif. Hal itu tampak dari jawaban responden, yang ditampilkan dalam diagram 4.10 berikut:
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
174
Diagram 4.10 Penilaian Responden terhadap Makian Jawaban bahwa makian dianggap tidak selalu negatif (bisa positif) dipilih oleh sebanyak 21 orang responden yang terdiri atas 17 orang responden laki-laki dan 4 orang responden perempuan. Adapun yang menjawab makian selalu bertujuan negatif (tidak positif) dipilih oleh sebanyak 64 orang yang terdiri atas 26 orang responden laki-laki dan 38 orang responden perempuan. Selain itu, hanya ada satu orang responden, yakni mahasiswa perempuan yang tidak memberi jawaban. Alasan penggunaan makian yang bersifat positif menurut responden perempuan ditampilkan dalam tabel 4.30 berikut: Tabel 4.30 Alasan Positif Penggunaan Makian Menurut Responden Perempuan No 1
Alasan Mahasiswa Perempuan Bercanda/bergurau
Contoh Kalimat Makian Dasar odong! Kampret...!! gak nyambungnyambung ya elo...! Dasar lo ya kutu kupret! Ih dasar oon! Tai loe semua, rese banget sih!
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
175
No
Alasan Mahasiswa Perempuan
Contoh Kalimat Makian Ah dasar lu odong-odong! Makan kayak kuya aja!
2
Menunjukkan keakraban
3
Mempererat persahabatan
4
Memotivasi
5
Mengingatkan/menyadarkan
6
Menambah keberanian
Bedul sire! Ah, lu culun! Lo aja bego kali! Hai dodol! Mana buku gue? Oneng mau ke mana kau? Keluyuran aja! Hey, kesrek, ka mana dia? Ah dasar lo monyong ngajaknya yang nggak-nggak aja! Eh, gila lo yah ditelepon nggak diangkat-angkat. Setan!!Rambut elu baru ya? Hai, item pulang lo! Goblok banget, sih! Gitu aja nggak tahu! Sialan lo, datang lama banget gue udah dari tadi nunggu di sini. Bukan kayak Gitu. Dasar tolol! Dasar bego lo! Pake ngetawain gue lagi. Ayolah jangan kayak banci! Gaul ke warnet, dong! Biar nggak otak udang! Dasar otak udang, baru segitu aja udah nyerah! Kafir, kamu! nggak solat! Dodol...!! Elu bawa buku gua? Kampret, besok jangan lupa ya! Beloon!Udah tahu salah, masih saja dilakuin. Jangan kampungan sih! Kampret! Begitu saja takut. Onyon! Percaya aja!
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
176
No
Alasan Mahasiswa Perempuan
7
Meramaikan suasana
8
Menumbuhkan semangat
Contoh Kalimat Makian Bencong kamu nggak ikut! Persetan dengan apa pun, pokoknya mesti berani! Aduh, si iprit nongol, nih! Lama amat sih dandannya. Dasar bahlul! Cepetan jalannya bego! Semangat dong jangan letoi!
9
Panggilan kesayangan
10
Menasihati
11
12
Pengecut, kayak gitu aja keok! Hai! Dodol mau ke mana? Halo curut lagi ngapain lo! Kuya jadi ke perpus nggak? Bencong sini lo! Hai culun lagi ngapain?
Budeg! Kan udah diomongin. Kenapa masih mau aja jalan sama dia? Wah parah loo. Geblek banget sih! Sudahlah jangan kayak orang kurang waras! Kenapa lo jadi bego begini? Makanya lo jangan sok tahu! Meluapkan kekesalan/emosi Ih, payah amat sih... tadikan sudah dijelasin! Ih, oneng amat! Aduh, dasar beloon bukannya cepet pake kerudung malah ngobrol mulu! Memperbaiki kesalahan Jangan mau jadi budak garamengkritik/Teguran gara lo bodoh! “Eh kampret, udah tahu salah, malah diulang-ulang lagi! Ngomong apaan, kampret!
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
177
No
Alasan Mahasiswa Perempuan
Contoh Kalimat Makian Lo emang pengecut! Geblek, liat tugas kamu yang ancur! Odong jangan gitulah nggak baik! Woy, dodol jangan begitu!
13
Melarang
14
Membangun diri
15
Mencairkan suasana
16
Membangun mental
17
Membuat mengerti
kepercayaan Alah.... banci banget sih. Gitu aja takut!
yang
Tai kamu banyak omong, bau tahu! Goblok lu gue tunggu dari tadi! Bangke! Kerjaan molor melulu! Ya ampun oneng bener! Dasar oneng... goblok! Untuk apa hal sepele gitu ditangisin? Eh...cemen banget sih! dimaki Kamu yang beloon, bajingan dilayanin! Sudahlah jangan kayak orang bego gitu!
Sementara itu, alasan penggunaan makian yang bersifat positif menurut responden laki-laki ditampilkan dalam tabel 4.31 berikut: Tabel 4.31 Alasan Positif Penggunaan Makian Menurut Responden Laki-laki No 1
Alasan Responden Laki-laki Bercanda/keakraban
Contoh Kalimat Makian Anjing sial, loe! Woy, kampret ke mana aja? Hai, ontohod ti mana sia! Dasar kere!Duit geh ora duwe! Haram jadah sire!
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
178
No
2
3
4
5
6
Alasan Responden Laki-laki
Contoh Kalimat Makian
Setor doang! Bawel, dasar mulut banci! Memberi Geblek lu gitu aja lo bilang susah! motivasi/membangun Kehed sia kunu kitu wae semangat sieun! Payah! Tahi kucing, masa preman kampus takut sama cewek! Ah, oncom!Penakut! Menyadarkan Dasar kesrek, pemalas! Bodoh, kenapa kamu lakuin lagi! Bajingan insaflah kasihan ortumu! Gila loh!!! Hari gini masih tidur! Merokok aja terus sampai kau mampus! Menasihati Polongo dia, ku naon teu nurut ka aing! Anjing, jangan gitu dong! Dasar gebleg, suruh pinjam ke perpustakaan aja malas! Waduh dasar setan! Kerjaan lu begini! Dasar bagong, gawena ngan ngaganggu! Ulah sohor bisi cilaka! Membuat orang lain Tolol kamu. Jangan Cuma mikirin diri sendiri. Emang berintrospeksi iblis lo! Ah, sire munafik, pura-pura! Bego, itu salah! Bolot amat sih!Baru kemarin udah lupa lagi! Dasar buaya darat! Jangan gitu apa nggak takut kena karma! Bodoh! Pasti ada yang salah dengan lu! Membangkitkan percaya diri Kunaon era memangna dia monyet! Kamu tuh tolol amat yah. Masa gitu aja nggak berani!
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
179
No
Alasan Responden Laki-laki
7
Mengurangi stres
8
Mengingatkan
Contoh Kalimat Makian Bego! Gitu aja nangis! Wani teu dia? Ah, borangan! Payah lo, masa lawan dia saja mampus! Aduh, bego amat gue! Ah, dasar monyet sialan! Bajingan sire! Memang lo kafir! Jangan murtad kamu! Awas, yah!Kurang ajar! Ulah kitu belegug! Jangan sok suci lo! Goblok masa pertandingan besok lupa! Ngomong jangan asal gitu, bedul!
Berdasarkan tabel di atas, penggunaan makian secara positif yang paling banyak disebut oleh responden laki-laki dan oleh responden perempuan adalah untuk bercanda atau menunjukkan keakraban. Berkenaan dengan alasan-alasan itu, responden perempuan mengemukakan alasan penggunaan makian yang bersifat positif lebih banyak daripada responden laki-laki. Berdasarkan analisis alasan penggunaan makian dengan menggunakan kerangka teori berupa sintesis pendapat Rothwell (1973), Hughes (1991), Drescher (2000) dalam (Dewaele, 2004: 204), Rayson et al (1997), Stentorm (1995, 1999), dan Saptomo (2003), tampak tidak ada perbedaan antara alasan penggunaan makian yang dipilih oleh responden laki-laki dan alasan yang dipilih oleh responden perempuan. Berikut ini adalah perbandingan jumlah responden laki-laki dan jumlah responden perempuan berdasarkan pilihan alasan memaki:
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
180
Tabel 4.32 Perbandingan Jumlah responden atas Pilihan Alasan Penggunaan Makian
1
Marah
Jumlah Responden Laki-laki yang Memilih 32
2
Tersakiti
26
36
3
Kecewa
25
23
4
Terganggu
24
13
5
Penyesalan
17
18
6
Menghina
17
15
7
Persahabatan
13
17
8
Mencari Perhatian
9
1
9
Mengidentifikasi/mengokohkan
9
1
No
Alasan Memaki
Jumlah Responden Perempuan yang Memilih 40
identitas kelompok 10
Menghasut
5
9
11
Mendiskreditkan
4
4
Berdasarkan temuan tersebut diketahui bahwa alasan penggunaan makian tidak jauh berbeda. Alasan yang paling banyak dipilih adalah (1) marah, (2) tersakiti, (3) kecewa, (4) terganggu, dan (5) persahabatan. Alasan yang paling banyak dipilih oleh responden laki-laki dan oleh responden perempuan adalah karena marah. Hal ini berarti sejalan dengan pendapat Leigh dan Lepine (2005:9) bahwa kita memaki karena kita marah. Jika kita tidak lagi memiliki kata makian yang efektif untuk mengungkapkan kemarahan, maka mungkin hanya kekerasan atau kekajaman yang akan digunakan untuk memuaskannya. Namun, selain alasan karena marah, ternyata ada pula alasan lain yang bersifat positif yang dipilih oleh responden
laki-laki dan oleh responden
perempuan, yakni menggunakan makian karena ingin menunjukkan persahabatan. Hal ini sejalan dengan pendapat Coates (2003), yang menyatakan penggunaan
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
181 makian mungkin memiliki tujuan untuk menyatakan identitas (misalnya keanggotaan kelompok atau menunjukkan keakraban dalam persahabatan). Mengenai fungi makian yang bukan semata berorientasi negatif, Crystal (1995:173) menyatakan bahwa makian dapat digunakan
untuk menunjukkan
identitas dalam suatu kelompok, untuk mengageti-ngageti, menakut-nakuti, menghina, menunjukkan keakraban, menciptakan jarak, atau untuk menjalin solidaritas sosial. Fungsi penting lain dari makian adalah menandai jarak sosial, tetapi makian dapat juga menunjukkan hubungan solidaritas, misalnya ketika ada suatu kelompok yang identik dengan kebiasaan memaki. Tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas, Hughes (1991:32) menyatakan
makian dapat pula digunakan
untuk menunjukkan keakraban,
persahabatan, atau identitas di antara suatu komunitas. Hal itu sejalan pula dengan pendapat Bolton dan Hutton (1997:331-332) bahwa ketika makian digunakan sebagai sebuah kebiasaan atau aturan kelompok, makian muncul sebagai ujaran yang menjadi kebiasan rutin di dalam kelompok dan difungsikan untuk mempertebal batas sehingga menjadi pembeda dengan kelompok lainnya. Makian semacam ini akan terjadi bila tidak ada orang lain (di luar anggota kelompok) yang hadir. Atau, dalam situasi
adanya orang lain yang
hadir/keberadaannya tidak sengaja atau sekadar mendengarkan. Pendapat di atas didukung pula oleh pernyataan Ljung (2006:96; dalam Pham, 2007:6) yang mengungkapkan bahwa tidak semua makian memiliki maksud negatif. Penggunaan makian mungkin saja menunjukkan persahabatan, keintiman, kemesraan, dan kasih sayang. Bahkan, makian dapat pula digunakan untuk bercanda. Hal itu dikatakan oleh Andersson dan Trudgill (1992:3) bahwa makian dapat terjadi dalam suasana bercanda atau untuk tujuan humor. Pernyataan tersebut terbukti benar dan beroleh pembuktian melalui temuan ini karena peneliti ini mendapatkan jawaban dari responden laki-laki dan responden perempuan bahwa mereka biasa menggunakan makian untuk tujuan bercanda atau melawak (humor). Pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa menggunakan makian dalam suasana bercanda dan melawak ditujukan untuk menciptakan persahabatan dan keintiman.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
182 Dengan demikian, alasan positif yang dikemukakan responden sejalan dengan pendapat Drescher (2000) dalam (Dewaele, 2004:204), Rayson et al. (1997) dan Stentorm (1995;1999), yang menyatakan makian pun dapat digunakan dengan orientasi positif. Dalam konteks itu, fungsi penggunaan kata makian dan kata tabu yang berorientasi positif adalah penggunaan makian yang difungsikan sebagai suatu alat
kebahasaan untuk memperkokoh keanggotaan di dalam
kelompok. Sementara itu, Saptomo (2003) menyatakan makian khususnya dalam bahasa Jawa selain berfungsi sebagai sarana
pengungkapan rasa kesal, rasa
kecewa, penyesalan, keheranan, ataupun penghinaan juga dapat digunakan sebagai sarana pengungkapan keintiman dalam suatu pergaulan. Berdasarkan klasifikasi dan deskripsi alasan penggunaan makian di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara alasan penggunaan makian menurut responden laki-laki dan alasan penggunaan makian menurut responden perempuan. Dalam konteks itu, responden laki-laki dan responden perempuan menggunakan makian, baik dengan alasan negatif maupun positif. Selain klasifikasi alasan makian berdasarkan klasifikasi yang disampaikan pakar, peneliti ini juga beroleh temuan adanya alasan lain. Dalam konteks itu, alasan penggunaan makian yang disampaikan oleh responden perempuan jumlahnya lebih banyak daripada alasan yang dikemukakan oleh responden laki-laki.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1
Simpulan Dalam masyarakat Indonesia terdapat banyak ungkapan makian. Dalam
konteks itu, makian sebagai ekspresi kebahasaan yang digunakan dalam tindakan memaki yang dipicu oleh pelbagai alasan lazim dipakai oleh laki-laki ataupun oleh perempuan, termasuk oleh penutur yang berstatus mahasiswa. Penelitian ini ditujukan untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: (1) Bagaimanakah klasifikasi dan deskripsi bentuk makian berdasarkan data makian yang digunakan oleh mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa? (2) Bagaimanakah klasifikasi dan deskripsi kategori makian berdasarkan data makian yang digunakan oleh mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa? (3) Bagaimanakah klasifikasi dan deskripsi sumber makian berdasarkan data makian yang digunakan oleh mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa? (4) Bagaimanakah klasifikasi dan deskripsi alasan penggunaan makian yang dikemukakan oleh mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa?
Dalam penelitian ini, tidak semua mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dijadikan responden penelitian ini. Mahasiswa yang dijadikan responden hanya sebanyak 86 orang dengan rincian: 43 orang mahasiswa laki-laki dan 43 orang mahasiswa responden
tersebut
ditentukan
menggunakan rumus Slovin.
Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
berdasarkan
hasil
perempuan. Jumlah perhitungan
dengan
184
Data-data makian dan alasan penggunaan makian yang diperoleh berdasarkan jawaban kuesioner oleh responden, kemudian diklasifikasi dan dianalisis sesuai dengan kerangka teori yang dirujuk. Berdasarkan hasil analisis, peneliti ini beroleh temuan
berupa klasifikasi dan deskripsi bentuk makian;
klasifikasi dan deskripsi kategori makian; klasifikasi dan deskripsi sumber makian; klasifikasi dan deskripsi alasan penggunaan makian. Berdasarkan
analisis
yang
telah
dilakukan,
peneliti
ini
dapat
mengemukakan simpulan-simpulan sebagai berikut:
5.1.1
Simpulan Analisis Klasifikasi Bentuk Makian Berdasarkan jawaban responden, peneliti ini menemukan sebanyak 95
buah makian yang digunakan oleh responden laki-laki dan 143 buah makian yang digunakan oleh responden perempuan. Berdasarkan bentuknya, makian yang digunakan oleh responden laki-laki dan makian yang digunakan oleh responden perempuan dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut: (1) makian berbentuk kata dan (2) makian berbentuk frasa. Makian yang berbentuk kata dibedakan menjadi dua, yakni makian bentuk dasar dan makian bentuk kata jadian. Makian bentuk dasar adalah makian yang berwujud kata-kata monomorfemis, sedangkan makian bentuk jadian adalah makian yang berupa kata-kata polimorfemis. Makian polimorfemis dibedakan menjadi dua jenis, yakni (1) makian berafiks dan (2) makian majemuk. Makian yang digunakan oleh responden laki-laki, yang berbentuk kata monomorfemis sebanyak 78 buah; makian berafiks sebanyak 5 buah; makian bentuk majemuk sebanyak 5 buah; makian berbentuk frasa sebanyak 7 buah. Sementara itu, makian berbentuk kata dasar dan berwujud kata-kata monomorfemis yang digunakan oleh responden perempuan sebanyak 116 buah; makian berafiks sebanyak 8 buah; makian bentuk majemuk sebanyak 7 buah; makian berbentuk frasa sebanyak 12 buah. Berdasarkan
analisis
klasifikasi
bentuk
makian,
penelitian
ini
menunjukkan tidak terdapat perbedaan bentuk antara makian yang digunakan oleh responden laki-laki dan bentuk makian yang digunakan oleh responden
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
185
perempuan. Perbedaan hanya tampak pada jumlah makian untuk masing-masing bentuk. Dengan demikian, peneliti ini menyimpulkan bahwa bentuk makian yang digunakan oleh responden laki-laki dan bentuk makian yang digunakan oleh perempuan sama saja.
5.1.2 Simpulan Analisis Klasifikasi Kategori Makian Berdasarkan kategorinya, makian-makian yang digunakan oleh responden laki-laki dan makian yang digunakan oleh responden perempuan dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut: (1) makian berkategori nomina, (2) makian berkategori frasa nominal, (3) makian berkategori verba, (4) makian berkategori ajektiva, dan (5) makian berkategori frasa ajektival. Dari sebanyak 95 buah makian yang digunakan oleh responden laki-laki, peneliti ini menemukan 44 buah makian berkategori nomina; 5 buah makian yang mengandung satuan berkategori nomina, yakni frasa nominal; 7 buah makian berkategori verba; 38 buah makian berkategori ajektiva; 1 buah makian yang berkategori frasa ajektival. Sementara itu, dari 143 buah makian yang digunakan oleh responden perempuan, ditemukan sebanyak 67 buah makian berkategori nomina; 6 buah makian berkategori frasa nominal; 8 buah makian berkategori verba; 57 buah makian berkategori ajektiva; 5 buah makian berkategori frasa ajektival. Berdasarkan analisis kategori makian, penelitian ini menunjukkan bahwa kategori
makian yang digunakan oleh responden laki-laki dan kategori makian
yang digunakan oleh responden perempuan tidak ada perbedaan. Perbedaan hanya tampak pada jumlah masing-masing jenis kategori. Dengan demikian, peneliti ini menyimpulkan bahwa kategori makian yang digunakan oleh responden laki-laki dan kategori makian yang digunakan oleh mahasiswa perempuan sama saja.
5.1.3
Simpulan Analisis Klasifikasi Sumber Makian Berdasarkan analisis klasifikasi sumber makian, peneliti ini beroleh
temuan sebagai berikut: (1) makian yang digunakan mahasiswa laki-laki yang bersumber dari kotoran ditemukan sebanyak 5 buah, sedangkan yang digunakan oleh mahasiswa perempuan sebanyak 6 buah; (2) makian yang berhubungan dengan kelamin, yang digunakan mahasiswa laki-laki sebanyak 6 buah, sedangkan
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
186
yang digunakan
mahasiswa perempuan sebanyak 7 buah; (3) makian yang
berhubungan dengan binatang, yang digunakan oleh mahasiswa laki-laki sebanyak13 buah, sedangkan yang digunakan oleh mahasiswa perempuan sebanyak 22 buah; (4) makian yang berhubungan dengan agama, yang digunakan oleh mahasiswa laki-laki ditemukan sebanyak 8 buah, sedangkan yang digunakan oleh mahasiswa perempuan ditemukan sebanyak 13 buah; (5) makian yang berhubungan dengan mental atau kebodohan, yang digunakan oleh mahasiswa laki-laki ditemukan sebanyak 21 buah, sedangkan yang digunakan oleh mahasiswa
perempuan ditemukan
sebanyak 26 buah; (6) makian yang
berhubungan dengan perbuatan pengecut, yang digunakan oleh mahasiswa lakilaki ditemukan sebanyak 6 buah, sedangkan yang digunakan oleh mahasiswa perempuan ditemukan sebanyak 10 buah; (7) makian yang berhubungan dengan mahluk halus/gaib, yang digunakan oleh mahasiswa laki-laki ditemukan sebanyak 4 buah, sedangkan makian yang digunakan oleh mahasiswa perempuan ditemukan sebanyak 12 buah; (8) makian yang berhubungan dengan mati/kematian yang digunakan mahasiswa laki-laki ditemukan sebanyak 6 buah, sedangkan yang digunakan oleh mahasiswa perempuan ditemukan sebanyak 5 buah; (9) makian yang berhubungan dengan aktivitas seks, yang digunakan oleh mahasiswa lakilaki ditemukan hanya 1 buah,
sedangkan
yang digunakan oleh mahasiswa
perempuan ditemukan sebanyak 3 buah. Namun,
karena
terdapat
data-data
makian
yang
tidak
dapat
diklasifikasikan seturut klasifikasi yang dikemukakan para ahli, peneliti ini membuat klasifikasi tambahan berdasarkan kategori sumbernya. Dari data-data makian yang digunakan oleh mahasiswa laki-laki, ditemukan kategori baru sumber makian, yaitu sebagai berikut: No 1
Sumber Makian Baru Makian yang berhubungan dengan kerusakan fungsi bagian tubuh/anggota badan tertentu
2
Makian yang berhubungan dengan penyakit
3
Makian yang berhubungan dengan sikap negatif
4
Makian yang berhubungan dengan makanan
5
Makian yang berhubungan dengan profesi
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
187
6
Makian yang berhubungan dengan bagian anggota tubuh
7
Makian yang berhubungan dengan kemiskinan
8
Makian yang berhubungan dengan pengalaman negatif manusia
9
Makian yang berhubungan dengan warna kulit
10
Makian yang berhubungan dengan kecacatan fisik
Sementara itu, dari data-data makian yang digunakan oleh mahasiswa perempuan, ditemukan kategori baru sumber makian, yaitu sebagai berikut: No 1
Sumber Makian Baru
2
Makian yang berhubungan dengan kerusakan fungsi bagian tubuh/anggota badan tertentu Makian yang berhubungan dengan anggota badan
3
Makian yang berhubungan dengan penyakit
4 5
Makian yang berhubungan dengan pengalaman negatif Makian yang berhubungan dengan sikap negatif
6
Makian yang berhubungan dengan kecacatan fisik
7
Makian yang berhubungan dengan warna kulit
8
Makian yang berhubungan dengan alat musik
9
Makian yang berhubungan dengan makanan
10
Makian yang berhubungan dengan keadaan makanan
11
Makian yang berhubungan dengan profesi
12
Makian yang berhubungan dengan nama tokoh
Dengan demikian, penelitian ini menunjukkan sumber makian yang digunakan oleh responden laki-laki dan sumber makian yang digunakan oleh responden perempuan tidak ada perbedaan.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
188
5.1.3 Simpulan Analisis Klasifikasi Alasan Penggunaan Makian Dengan menggunakan kerangka teori berupa sintesis pendapat yang dikemukakan Rassin dan Heijden (2005); Bolton dan Hutton (1997:331-332); Jay dan Janschewitz (2008); Crystal (2003:173), alasan-alasan penggunaan makian meliputi: (a) mencari perhatian, (b) mendiskreditkan, (c) menghasut, (d) mengidentifikasi/mengokohkan identitas kelompok, (e) persahabatan, (f) kecewa, (g) penyesalan, (h) menghina, (i) tersakiti, (j) terganggu, dan (k) marah. Berdasarkan analisis klasifikasi alasan penggunaan makian, diperoleh temuan sebagai berikut: (1) alasan penggunaan makian untuk mengungkapkan kemarahan dipilih oleh 32 orang responden laki-laki dan oleh 40 orang responden perempuan; (2) alasan penggunaan makian karena tersakiti dipilih oleh 26 orang responden laki-laki dan oleh 36 orang responden perempuan; (3) alasan penggunaan makian karena perasaan kecewa dipilih oleh 25 orang responden lakilaki dan oleh 23 orang responden perempuan; (4) alasan penggunaan makian karena tergganggu dipilih oleh 24 orang responden laki-laki dan oleh 13 orang responden perempuan; (5) alasan penggunaan makian karena penyesalan dipilih oleh 17 orang responden laki-laki dan oleh 18 orang responden perempuan; (6) alasan penggunaan makian karena ingin menghina dipilih oleh 17 orang responden laki-laki dan oleh
15 orang responden perempuan; (7) alasan
penggunaan makian karena ingin menunjukkan persahabatan dipilih oleh 9 orang responden laki-laki dan 17 orang responden perempuan; (8) alasan penggunaan makian karena alasan mencari perhatian dipilih oleh 9 orang responden laki-laki dan 1 orang responden perempuan; (9)
alasan penggunaa makian untuk
mengidentifikasi/mengokohkan identitas kelompok dipilih oleh 9 orang responden laki-laki dan oleh 1 orang responden perempuan; (10) alasan penggunaan makian dengan tujuan menghasut dipilih oleh 5 orang responden perempuan dan oleh 9 orang responden laki-laki.; (10) alasan penggunaan makian karena ingin mendiskreditkan dipilih oleh 4 orang responden laki-laki dan oleh 4 orang responden perempuan. Alasan lain yang tidak dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi alasan yang disampaikan ahli-ahli tersebut dibuatkan klasifikasi baru. Di luar alasanalasan tersebut, peneliti ini juga beroleh temuan alasan lain dari penggunaan
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
189
makian. Alasan-alasan yang dikemukakan oleh responden laki-laki sebanyak 31 alasan,
yaitu gagal mendapatkan sesuatu, sakit hati, diperintah, terpancing,
tersinggung, dibohongi, ditipu, dirugikan, dipecundangi, dikhianati, diancam, dilecehkan, tidak dihargai, dikalahkan, disudutkan, dipaksa, ditekan, diinjak-injak harga diri, dipermalukan, dihina, humor/bercanda, dituduh, disangka, dilarang melakukan sesuatu, diadu domba, direndahkan, diserang, dikucilkan, diperlakukan kasar, dijatuhkan, tidak dihargai, dan ditolak. Adapun alasan yang dikemukakan oleh responden perempuan sebanyak 32 buah alasan, yaitu sebaga berikut: bercanda, kesal, kaget, benci, dipermalukan, dituduh/difitnah, dikhianati, tersinggung, direndahkan, gagal mendapatkan sesuatu, melarang, membela harga diri keluarga, sakit hati, terpancing, menyindir, dipermalukan, dirugikan orang lain, dipaksa-paksa, dibohongi, dilecehkan, dikasari, disalahkan, tertekan, frustrasi, putus asa, tak bisa menerima kenyataan, ditimpa kesulitan, tidak dipedulikan, dimusuhi, ingin menyalahkan orang lain, mengungkapkan kekecewaan, dan merayu/membujuk. Makian tidak selalu bermaksud negatif. Hal ini dibuktikan oleh temuan bahwa ada responden laki-laki dan responden perempuan yang mengemukakan alasan penggunaan makian dengan maksud positif. Makian dianggap tidak selalu negatif (bisa positif) dipilih oleh sebanyak 21 orang responden yang terdiri atas 17 orang responden laki-laki dan 4 orang responden perempuan. Adapun yang menjawab makian selalu bertujuan negatif (tidak positif) dipilih oleh sebanyak 64 orang yang terdiri atas 26 orang responden laki-laki dan 38 orang responden perempuan. Selain itu, hanya ada satu orang responden, yakni mahasiswa perempuan yang tidak memberi jawaban. Alasan positif penggunaan makian menurut responden perempuan adalah sebagai berikut: bercanda/bergurau, menunjukkan keakraban, mempererat persahabatan, memotivasi, mengingatkan, menambah keberanian, menghangatkan suasana, menumbuhkan semangat, panggilan kesayangan, menasihati, meluapkan kekesalan/emosi,
memperbaiki
kesalahan/mengkritik,
teguran,
melarang,
membangun kepercayaan diri, mencairkan suasana, membangun mental, dan membuat yang dimaki mengerti.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
190
Adapun alasan positif penggunaan makian menurut responden laki-laki adalah sebagai berikut: bercanda/keakraban, memberi motivasi/membangun semangat, menyadarkan, menasihati, membuat orang lain berinstrospeksi, membangun percaya diri, mengurangi stres, dan mengingatkan.
5.2
Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti ini mengajukan saran
sebagai berikut. a. Penelitian mengenai penggunaan makian merupakan ranah yang menarik dan belum banyak dilakukan di Indonesia. Berkait dengan hal ini, masih terbuka peluang untuk meneliti penggunaan makian dalam pelbagai bahasa di Indonesia yang dihubungkan dengan pelbagai aspek sosiolingusitik dan pragmatik. Dalam konteks itu, penelitian yang dilakukan penulis ini masih menyisakan masalah untuk dilakukan penelitian lanjutan, terutama untuk menggarap aspek-aspek yang tidak dijadikan fokus dalam penelitian ini. b. Peneliti
lain
yang
tertarik
dengan
pengkajian
memanfaatkan korpus lisan yang diperoleh dari
makian
dapat
latar yang alamiah
dengan pendekatan etnografis sehingga dimungkinkan beroleh data otentik yang lebih memadai dan tuntas. Teknik pengambilan data semacam itu tidak digunakan oleh peneliti ini karena pertimbangan teknis berupa tuntutan waktu dan tenaga yang lebih banyak untuk bisa memperoleh data yang lengkap serta pertimbangan akan lebih sulit mendapatkan data sebagaimana yang diinginkan mengingat perilaku makian terjadi secara spontan. c. Penelitian mengenai makian memiliki nilai terapan yang cukup penting sebagaimana yang dilakukan dan dimanfaatkan di negara-negara lain, terutama dalam konteks kepentingan terapis dan pengendalian tingkah laku agar lebih mampu mengendalikan emosi. Untuk tujuan yang sama, penelitian semacam ini dapat dilakukan di Indonesia dengan menyentuh pelbagai segmen penutur beserta aspek-aspek sosialnya.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
191
DAFTAR PUSTAKA
Allan, K dan K. Burridge. 1986. Euphemism and Disphemism. Language Used a Shield and Weapon. Oxford: Oxford University Press. Andersson, L.G. dan P. Trudgill. 1990. Bad Language. Oxford: Blackwell. _____________. dan Richard Hirsch. 1985a. “A Project on Swearing: A Comparison between American English and Swedish”, dalam Swearing Report No.1. Göteborg : Departemen Linguistik Universitas Göteborg. Baryadi, I. Praptomo. 2003. “Bahasa dan Kekerasan”, dalam Sujarwanto dan Jabrohim, editor. Bahasa dan Sastra Indonesia Menuju Peran Transformasi Sosial Budaya Abad XXI .Yogyakarta: Gama Media. Battistella, Edwin. L. 2005. Bad Language: Are Some Words Better than Others. Cary, NC, USA: Oxford University Press, Incorporated. Bolton, K. dan Hutton C. 1997. “Bad Boy and Bad Language: Chou Hau and The Sociolinguistics of Swearwords in Hongkong Cantonese”, dalam G. Evans dan Maria Tarn Siu-mei, editor. Hongkong: The Anthropology of a Chinese Metropolis. London: Curzon. Coates, Jennifer. 1993. Women, Men and Language: a Sociolinguistics Account of Sex Difference in Language. London: Longman. _____________. 2004. Women, Men, and Language, (edisi ketiga). London: Pearson ESL. Concon, Jr. 1966. Semantics and Communication. New York: The Macmillan Company. Crawford, M. 1995. Talking Difference on Gender and Language. London: Sage Publication. Crystal, David. 2003. Encyclopedia of The English Language, (edisi kedua). Cambridge: Cambridge University Press. ____________, editor. 2004. The Penguin Encyclopedia. London: Penguin. de Klerk, Vivian. 1991. “Expletives: Men only?”, dalam Communication Monographs 58: 156. _______________. 1992. “How taboo are taboo words for girls?”, dalam Language in Society 21: 277.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
192
Dewaele, J-M. 2004a. “Blistering barnacles! What language do multilinguals swear in?!”, dalam Estudios de Sociolinguistica 5 (1): 83. Edward. 1983. The Anatomy of Dirty Words. New York: Lyle Stuart. Hidayat, Rahayu Surtiati. 2004. “Penulisan dan Gender”, dalam Makara, Sosial Humaniora, Vol. 8, No.1: 9. Holmes, J. 1993. An Introduction to Sociolinguistics. London: Longman. http://www. eHistLing.meotod.de/data/papers/group-d-pub.pdf, {28 Mei 2009}. http://www.google.../differentiallanguage.html+pronoun+use+men+women+differ ence&hl=e, {14 Desember 2009}. http://people.howstuffworks.com/swearing.htm, {10 Februari 2009}. Hughes, Geoffrey. 1991. Swearing: a Social History of Foul Language, Oaths and Profanity in English. UK: Blackwell. Indrawati, Dianita. 2005. “Makian dalam Bahasa Madura: Kajian Metabahasa Semantik Alami”. Makalah pada Kongres Linguistik Nasional XI di Sumatera Barat, 18—21 Juli 2005. Jay, Timothy dan Kristin Janschewitz. 2008. “The Pragmatics of Swearing”, dalam Journal of Politeness Research. Language, Behavior, Culture. Vol. 4, Issue 2: 267—288. Jay, Timothy. 1992. Cursing in America. A Psycholinguistic study of dirty language in the courts, in the movies, in the schoolyards, and on the streets. Amsterdam & Philadelphia: John Benjamins. ___________. 1999. Why We Curse: a Neuro-Psycho-social Theory of Speech. Philadelphia, PA: John Benjamins Publisher. Karjalainen, Markus. 2002. “Where have all the swearwords gone? An analysis of the loss of swearwords in two Swedish translations of J.D. Salinger’s Catcher in the Rye”. Tesis, Jurusan Bahasa Inggris Universitas Helsinki. Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik, (edisi keempat). Jakarta: Gramedia. Lakoff, Robin. 1975. Language and Woman’s Place: Text and Commentaries. London: Oxford University Press. Leigh, Mark dan Mike Lepine. 2005. Advanced Swearing Handbook. United Kingdom: Summersdale Publishers.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
193
Montagu, A. 1967. The Anatomy of Swearing. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. Morehead, Philip dan Andrew Morehead. 1981. Webster’s Handy College Dictionary. New York: The American Library. Nazir, M. 1985. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Neufeldt, Victoria dan David B. Guralnik. 1994. Webster’s New World Dictionary. Edisi ketiga. NY: Macmillan. Pastika, I Wayan. 2008. “Bahasa Pijin dan Bahasa Kasar dalam Acara TV Indonesia”, dalam Jurnal e-Utama, Jilid 1: 2. Poerwandari, E. Kristi. 2004. Mengungkap Selubung Kekerasan Telaah Filsafat Manusia. Bandung: Yayasan Eja Insani. Radford, Andrew, Martin Aitkonson, David Bristain, Harald Clahsen, dan Andrew Spencer. 2009. Linguistics An Introduction. New York: Cambridge University Press. Rassin, Eric dan Simone van Der Heijden. 2005. “Appearing credible? Swearing helps!”, dalam Psychology, Crime and Law, 11 (2):177. Rayson, P. Leech, G. dan Hodges, M. 1997. Social differentiation in the use of English vocabulary: some analyses of the conversational component of the British National Corpus, dalam International Journal of Corpus Linguistics 2 (1), 133—152. Rothwell, J. Dan 1973. “Verbal Obscenity Time for Second Thought”, dalam Liedlich, editor. Coming to Term with Language. USA: John Wiley and Sons. Inc. Sapolsky, B.S. dan Kaye, B.K. 2005. “The Use of Offensive Language by Male and Females in Prime-Time Television Entertainment”, dalam Atlantic Journal of Communication, 23 (4): 292. Saptomo, Sri Wahono. 2003. “Aneka Fungsi Makian dalam Bahasa Jawa”, dalam Sujarwanto dan Jabrohim, editor. Bahasa dan Sastra Indonesia Menuju Peran Transformasi Sosial Budaya Abad XXI. Yogyakarta: Gama Media. Sudaryanto, Widyakirana, Marsono, dan I Dewa Putu Wijana. 1982. ”Kata-kata Afektif dalam Bahasa Jawa”. Laporan Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Depdikbud, Yogyakarta.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
194
_________. 1994. Pemanfaatan Potensi Bahasa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sumarsono dan Paina Partana. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Penerbit Sabda Bekerja Sama dengan Pustaka Pelajar. Sunardi. 2007. “Diferensiasi Linguistik Berdasarkan Gender dalam Teks Sastra Inggris”, dalam Linguistika, Vol. 14, No.27: 5. Trudgill, Peter. 1983. Sociolinguistics: An Introduction to Language and Society. London: Penguin. Veronica, Chan Kar Wang. 1997. Social Attitudes Towards Swearing and Taboo Language. Disertasi, Universitas Hongkong. Wardhaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. New York: Basil Blackwell. Wijana, I Dewa Putu dan Rohmadi. 2007. Sosiolinguistik Kajian Teori dan Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Yuwono, Untung. 2010. “Ilfil Gue Sama Elu! Sebuah Tinjauan atas Ungkapan Serapah dalam Bahasa Gaul Mutakhir”, dalam Mikihiro Moriyama dan Manneke Budiman, editor. Geliat Bahasa Selaras Zaman. Jakarta: KPG.
Universitas Indonesia Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
195
LAMPIRAN 1 Kuesioner Penelitian
Petunjuk: 1. Silakan Anda jawab pertanyaan berikut ini secara jujur dan sesuai dengan kenyataan sebenarnya. 2. Jawablah seluruh pertanyaan tanpa rasa ragu dan takut karena peneliti menjamin kerahasiaan identitas Anda sebagai responden! 3. Berikan tanda (√ ) untuk jawaban Anda pada kolom yang tersedia!
Identitas Responden 1. Nama
:
2. Usia
:
3. Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Perempuan
4. Di kawasan manakah Anda bertempat tinggal? kawasan perdesaan kawasan kecamatan kawasan perkotaan 5. Tulislah alamat lengkap tempat tinggal Anda! 6. Apakah bahasa pertama yang Anda kuasai? 7. Apakah Anda menguasai bahasa daerah? Ya
Tidak
Jika ya, sebutkan bahasa daerah apa saja yang dikuasai! 8. Bahasa apakah yang frekuensinya lebih sering Anda pakai sebagai alat komunikasi seharihari? bahasa Indonesia
bahasa daerah
9. Bahasa apakah yang Anda gunakan ketika memaki? 195
Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
196
10. Apakah alasan Anda memilih bahasa tersebut?
Pertanyaan Bagian II 1. Apakah Anda mengetahui kata makian dalam bahasa yang Anda kuasai? Ya
Tidak
2. Jika jawaban Anda Ya, kata makian bahasa apa yang Anda ketahui? bahasa Indonesia
bahasa daerah
Selain kata makian bahasa Indonesia dan bahasa daerah, apakah Anda menguasai makian bahasa lain? Sebutkan! 3. Dari mana Saudara mengetahui kata-kata makian? dari teman dari televisi orang tua saudara/kerabat majalah/komik/novel/koran Keterangan: Berikan tanda √ untuk pilihan Saudara! 4. Apakah Anda terbiasa menggunakan kata makian? Ya
Tidak
5. Seberapa sering Anda menggunakan kata makian (memaki)?
196
Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
197
sering sekali Sering kadang-kadang tidak pernah
6. Di manakah Saudara biasanya menggunakan makian? di mal di kampus di rumah di tempat lain
7. Apakah Saudara sering mendengar orang-orang mengunakan kata makian di lingkungan kampus?” atau ”Apakah menurut Saudara ada orang yang menggunakan makian di kampus?” jarang
sering
tidak ada
8. Sebutkan kata-kata makian dengan jenis berikut ini! Jenis
Contoh
Kata makian yang berhubungan dengan kotoran Kata makian yang berhubungan dengan alat kelamin Kata makian yang berhubungan dengan kematian 197
Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
198
Kata makian yang berhubungan dengan binatang Kata makian yang berhubungan dengan keagamaan Kata makian yang berhubungan dengan aktivitas seks Kata makian yang berhubungan dengan keterbelakangan mental/kebodohan Kata makian yang berhubungan dengan perbuatan pengecut Kata makian yang berhubungan dengan mahluk halus/gaib 9. Adakah makian jenis lain yang tidak tersedia dalam pilihan di atas? Sebutkan jenis dan contohnya! Jenis
Contoh
10. Apa alasan yang biasanya menjadi penyebab Anda mengungkapkan makian? Mencari perhatian Mendiskreditkan Menghasut 198
Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
199
Mengidentifikasi/mengokohkan identitas kelompok Persahabatan Kecewa Penyesalan Menghina Tersakiti Terganggu Marah 11. Adakah alasan lain yang tidak tersedia dalam pilihan di atas? Sebutkan! 12. Apakah menurut Anda penggunaan makian selalu bertujuan negatif? Ya
Tidak
Jika jawaban Anda Tidak, sebutkan tujuan dan contoh makian yang bersifat positif! 13. Apakah Anda biasa menggunakan makian untuk menunjukkan keakraban, persahabatan, atau identitas kelompok? Ya
Tidak
Jelaskan dan berilah contoh!
Pertanyaan Bagian II 1. Ketika Anda sedang berjalan kaki menuju ke kampus, tiba-tiba ada orang yang menubruk Anda sehingga tas dan buku-buku Anda terjatuh berantakan, makian apa yang Anda pilih untuk melengkapi kalimat makian di bawah ini: Kamu punya mata nggak, dasar ...................................................................! 199
Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
200
..............................................................................................................kamu! Woy! {....................................................................................................} lu! 2. Ketika Anda tersinggung, tersakiti, atau dipermalukan oleh orang lain, kalimat makian apakah yang akan Anda ucapkan? 3. Sebutkanlah kata-kata makian yang sering Anda gunakan!
200
Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
201
LAMPIRAN 2 Keterangan Mengenai Responden
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Nama Responden
:
Aditya Pratama
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Alamat
:
Kp. Cijengkol, Ds. Cijengkol Rt 02/01, Kec. Cilograng, Kab. Lebak, Banten
Nama Responden
:
Radani Apriana
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Alamat
:
Kp. Cibangke, Ds. Caringin, Kec. Cisoka, Tangerang.
Nama Responden Jenis Kelamin
:
Eka Permana Hadie
:
Laki-laki
Alamat
:
Kp. Jaha, Desa Sindang Mandi, Kec. Anyer, Kab. Serang
Nama Responden
:
Arief Rahman M.
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Alamat
:
Kp. Sambimari Rt 01/05, Jln. Brigjen K.H. Syamun, Kec. Citangkil, Cilegon
Nama Responden
:
Ismantoro
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Alamat
:
Papan Mas Blok A 14 No 16, Rt 08/04, Jln. Pipit Kec. Tambun Selatan, Bekasi
Nama Responden
: Ahmad Rosyadi
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Kompleks Bumi Sari Permai Blok D2/3 Rt 03/10, Kasemen
Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
202
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Nama Responden
:
M. Miftah Fauzi
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Alamat
:
Kp. Tarikolot Rt 03 Rw 02, Cikande, Serang
Nama Responden
:
Muasaroh
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Alamat
:
Kp. Begog, Jl. Ciptayasa, Ds. Singarajan, Kec. Pontang, Serang
Nama Responden
:
Siti Rohayah
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Alamat
:
Kp. Kramat, Desa Sumur Bandung, Kec. Jayanti, Tangerang
Nama Responden
:
Erwin Supriatin
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Alamat
:
Kp. Cisaat Rt 005 Rw 012, Ds. Cisaat, Kec. Padarincang, Kab. Serang
Nama Responden
:
Cicih Koryasih
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Alamat
:
Kp. Kadupugur Rt 08 Rw 02, Ds. Sukaratu, Kec. Cikeusal, Kab. Serang
Nama Responden
:
Berliana
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Alamat
:
Perumahan Tirdaya Indah 3, Blok D-11 No 10, Tambun, Bekasi
Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
203
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Nama Responden
:
Nina Ardiana
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Alamat
:
Jln. Raya Peusar No 31 Rt 08 Rw 03, Kec. Cikupa, Kab. Tangerang
Nama Responden
:
Febriyani
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Alamat
:
Jln. Raya Pandeglang Km. 14, Kp. Kaprah Rt 10 Rw 04, Desa Panyirapan, Kec. Baros, Kab. Serang
Nama Responden
:
Akromudin
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Alamat
:
Jln. Sempu, Petir Km 12 Rt 01 Rw 01, Kp. Cimaung, Kec. Cikeusal, Kab. Serang
Nama Responden
:
Dimas S.
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Alamat
:
Kp. Baros, Kec. Serang, Kab. Serang
Nama Responden
:
Hermawan
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Alamat
:
Tanjung Putih Rt 02 Rw 02, Kp. Cigedong Dalam, Jombang, Cilegon
Nama Responden
:
Indra Yogaswara
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Alamat
:
Kp. Pajagalan Rt 04 Rw 04, Ds. Cikande, Kec. Jayanti, Kab. Serang
Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
204
19.
20.
21.
22.
23.
24.
Nama Responden
:
Devi Andriansyah
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Alamat
:
Kp. Parung Sentul Rt 02 Rw 09, Kel. Karaton, Kec. Majasari, Kab. Pandeglang
Nama Responden
:
Deden Andika
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Alamat
:
Jln. Raya Pasar Kemis, Kp. Teureup Rt 03 Rw 02, Ds. Sukaharja, Kec. Sindang Jaya
Nama Responden
:
Ari Afandi
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Alamat
:
Jln. Serang-Cilegon Km. 9, Kp. Gari Pada Rt 09 Rw 03, Ds. Pejaten, Kec. Kramatwatu, Kab. Serang
Nama Responden
:
Asep Miftahul Anwar
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Alamat
:
Jln. Raya Serang Km. 3, Kompleks SMAN I Pandeglang Rt 02 Rw 13
Nama Responden
:
Ajat Sudrajat
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Alamat
:
Kp. Turus, Ds. Tegal Sari Rt 04 Rw 01, Kec. Walantaka, Serang
Nama Responden
:
Rizal Fauzul K.
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Alamat
:
KPR Griya Bayah Permai J/18
Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
205
25.
26.
27.
28.
29.
30.
Nama Responden
:
Muhammad Haerullatif
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Alamat
:
Maja, Pandeglang, Banten
Nama Responden
:
Irna Ahyana
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Alamat
:
Kp. Cibangkur, Ds. Lebak Wangi, Kec. Walantaka, Kab. Serang
Nama Responden
:
Ayu Wahyuni
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Alamat
:
Kp. Talaga, Ds. Talagasari, Kec. Balaraja, Kab. Tangerang
Nama Responden
:
Sunaryo
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Alamat
:
Kp. Selon, Ds. Sukamulya Rt 04 Rw 01, Kec. Sukamulya, Tangerang
Nama Responden
:
Agus Priyanto
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Alamat
:
Kompleks Saptamarga No 60 Rt 01 Rw 05, Ds. Unyur, Kec. serang
Nama Responden
:
Anugrah Salami
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Alamat
:
Jln. Lintas Timur Km. 3, Kp. Petir, Kec. Majasari, Kec. Sukaratu, Kab. Pandeglang
Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
206
31.
32.
33.
34.
35.
36.
Nama Responden
:
Rahmat Ridwanudin
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Alamat
:
Kp. Kadu Gedong, Ds. Bajar, Kec. Banjar Rt 03 Rw 01, Banjar, Pandeglang
Nama Responden
:
A. Faozi
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Alamat
:
Jln. Raya Serang, Kec. Jayanti Kp. Kalapa Rt. 02 Rw 01, Balaraja
Nama Responden
:
Taufik Hidayat
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Alamat
:
Kp. Bojongangka, Ds. Bojongnangka Rt 09 Rw 04 No 124, Kec. Kelapa Dua, Kab. Tangerang
Nama Responden
:
Yogi Ramdan Mustafa
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Alamat
:
Jln. Benteng Betawi No 32 Rt 01 Rw 03, Kelurahan Paris Gaga Baru, Kec. Batu Ceper, Kota Tangerang
Nama Responden
:
Samsul Anwar
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Alamat
:
Kp. Ciloa Rt 21 Rw 7, Ds. Sukaraja, Kec. Warunggunung, Kab. Lebak
Nama Responden
:
Asep Yana Yusyama
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
207
Alamat
37.
38.
39.
40.
41.
:
Kp. Sukamaju Rt 027 Rw 005 Ds. Citajuk, Kec. Padarincang, Kab. Serang
Nama Responden
:
Juli Irawan
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Alamat
:
Kp. Kedawung, Ds. Ragas Masigit, Kec. Carenang
Nama Responden
:
Hengki
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Alamat
:
Pegantungan Baru Rt 03 Rw 14 Cilegon
Nama Responden
:
Unang Didi
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Alamat
:
Jln. Sampay Cileles, Rt 12 Rw 03, Kp. Sarian, Ds. Sumurbandung, Kec. Cikulur, Lebak
Nama Responden
:
Dendy Fachreinsyah
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Alamat
:
Jln. Raya Cilegon Km 08, Kramatwatu
Nama Responden
:
Maratun Hasanah
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Alamat
:
Kp. Barugbug, Ds. Ciomas, Kec. Padarincang
Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
208
42.
43.
44.
45.
46.
47.
Nama Responden
:
Dita Marluvina
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Alamat
:
Lingkungan Sukasari Rt 02 Rw 06
Nama Responden
:
Nurul Fadilah
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Alamat
:
Jln. Maulana Yusuf, Tegal Cabe Rt 15 Rw 08, Cilegon
Nama Responden
:
Suneti
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Alamat
:
Kampung Laban, Ds. Cerukcuk
Nama Responden
:
Kartika Dewi
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Alamat
:
Jln. Raya Bojonegara, Kp. Gunung Santri Rt 01 Rw 06, Ds. Bojonegara, Kab. Serang
Nama Responden
:
Sri Febby Hartini
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Alamat
:
Kompleks Uka Blok AR No 3 Rt 14 Rw 8, Kec. Tugu Utara, Kec. Koja, Jakarta
Nama Responden
:
Tri Puji Astuti
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Alamat
:
Jln. Maulana Yusuf Km. 9, Kp. Cirende Rt 03 Rw 03, Ds. Kalanganyar, Kec. Kalanganyar, Kab. Lebak
Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
209
48.
49.
50.
51.
52.
Nama Responden
:
Wina Erwina
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Alamat
:
Kp. Nagreg Rt 03 Rw 02, Ds. Mogana, Pandeglang
Nama Responden
:
Eka N.M.
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Alamat
:
Jln. K.H. Bakri, Kp. Ciranggon, Ds. Bojonegoro, Serang
Nama Responden
:
Wahyu Ningsih
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Alamat
:
Kp. Jerang Tengah, Ds. Karang Asem, Kec. Cibeber Rt 01 Rw 02, Cibeber, Cilegon
Nama Responden
:
Lahmiyati
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Alamat
:
Kp. Kelapian, Ds. Kelapian, Kec. Pontang, Serang
Nama Responden
:
Iah Rohayati
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Alamat
:
Jln. Raya Labuan Sodong Pintu, Ds. Talagasari, Kec. Saketi, Kab. Pandeglang
Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
210
53.
54.
55.
56.
57.
58.
Nama Responden
:
Ade Imas Yunegsih
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Alamat
:
Kp. Cingagores, Ds. Panyaungan, Kec. Cihara
Nama Responden
:
Dewi Murniasih
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Alamat
:
Pabean, Cilegon
Nama Responden
:
Yuyun Puspita Dewi
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Alamat
:
Kp. Cambay, Ds. Sindang jaya, Kec. Sindang Jaya, Kab. Tangerang
Nama Responden
:
Novianti
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Alamat
:
Kp. Katupang Jati, Ds. Sukamaju, Kec. Cikeusal, Kab. serang
Nama Responden
:
Listiani
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Alamat
:
Kp. Cidahu, Ds. Tanagara, Kec. Cadasari, Kab. Pandeglang
Nama Responden
:
Siti Saodah
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Alamat
:
Jln. K.H. Syamun, Kompleks Banjarsari Permai Blok B-5 No 9 Rt 04 Rw 12, Kel. Banjarsari, Kec. Cipocok Jaya, Kab. Serang
Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
211
59.
60.
61.
62.
63.
64.
Nama Responden
:
Ratu Aprilia
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Alamat
:
Jln. Kiuju Gang. H. Mansyur Rt 02 Rw 03, Kaujon Kidul, Serang
Nama Responden
:
Ana Heriyani
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Alamat
:
Jln. TB. Buang No 5, Merak, Rt 03 Rw 01, Gerem, Kec. Grogol
Nama Responden
:
Kholista
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Alamat
:
Kp. Karang, Ds. Nayagati, Kec. Leuwi Damar, Rangkasbitung
Nama Responden
:
Siti Komalasari
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Alamat
:
Kp. Nyapah Inpres, Ds. Nyapah, Kec. Walantaka, Kab. serang
Nama Responden
:
Siti Awaliatul Mutmainah
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Alamat
:
Kp. Pasepatan, Ds. Babakan Jaya, Kec. Kopo, Kab. Serang
Nama Responden
:
Riska
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Alamat
:
Perumahan Banjar Agung
Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
212
65.
Nama Responden
:
Ruth Lanni Septiani
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Alamat
:
Keroncong Permai Blok Ep-19 No 14, Tangerang
66. Nama Responden
:
Ayu Zitani Imelda
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Alamat
: KP. Cipedang Rt 01 Rw 2, Ds. Cipedang, Kec. Wanasalam, Lebak
67.
68.
69.
70.
Nama Responden
:
Emi Ekayati
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Alamat
:
Kp. Pegadungan, Anyer
Nama Responden
:
Suci Ariyati
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Alamat
:
Jln. Sempor No 4 Rt 08 Rw 11, Perumnas II, Karawaci, Tangerang
Nama Responden
:
Dewi Ratna Suminar
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Alamat
:
Jln. H. Agus Salim, Lingkungan Lowong Sawo, Rt 03 Rw 02, Kec. Citangkil, Kab. Serang
Nama Responden
:
Tika Mayasari
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Alamat
:
Kp. Kosambi No 2 Rt 01 Rw 03, Ds. Balaraja, Kec. Balaraja, Tangerang
Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
213
71.
72.
73.
74.
75.
76.
Nama Responden
:
Pegy Dwiyanti
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Alamat
:
Jln. Swadaya Rt 06 Rw 02 No 7 Kramat Baru, Serang
Nama Responden
:
Lufi Lisnawati
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Alamat
:
Jln. Maulana Yusuf, Lingkungan Kubang Lesung, Kec. Citangkil, Cilegon
Nama Responden
:
Nahrotul Jannah
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Alamat
:
Jln. Raflesia Bumi Agung Permai, Blok C-8 No 12, Serang
Nama Responden
:
Mutiara
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Alamat
:
Jln. Raya Jakarta Km 5, Kp. Parung Wot Galih Rt 08 Rw 03 No. 38
Nama Responden
:
Idnilah
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Alamat
:
Kp. Kamasan Rt 03 Rw 03, Kec. Cinangka, Kab. Serang
Nama Responden
:
Fajar Dwi Utama
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Alamat
:
Cipondoh makmur Blok III No 7 Rt 01 Rw 08, Cipondoh Tangerang
Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
214
77.
78.
79.
80.
81.
82.
Nama Responden
:
Fatulloh
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Alamat
:
Kampung Singamerta, Ciruas, Serang
Nama Responden
:
Akhmad Taufiqurahman
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Alamat
:
Kp. Turus Rt 1 Rw 14, Ds. Sukadaya, Kec. Cikulur, Lebak, Banten
Nama Responden
:
Ade Suryono
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Alamat
:
Kp. Margagiri Rt 02 Rw 03, Ds. Harjatani, Kec. Kramatwatu, Serang
Nama Responden
:
Mohammad Akbar Budiman
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Alamat
:
Kp. Kadu Beruk Rt 02 Rw 01, Ds. Sukareng, Kec. Ciomas, Kab. Serang
Nama Responden
:
M. Fakhri Suhasna
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Alamat
:
Jln. Trip Jamaksari Bungur Indah, Gang Gelatik No 4, Rt 04 Rw 15, Kel,. Sumur Pecung
Nama Responden
:
Madrawi
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Alamat
:
Kp. Cilayung Guha, Ds. Cilayang, Kec. Cikeusal, Kab. Serang
Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010
215
83.
84.
85.
86.
Nama Responden
:
Saripudin
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Alamat
:
Kp. Sukamanah, Ds. Sukamanah, Kec. Tunjung Teja, Serang
Nama Responden
:
Endayani
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Alamat
:
Malingping lebak
Nama Responden
:
Fevri Firdaus
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Alamat
:
Menes, Pandeglang
Nama Responden
:
E. Abdulah
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Alamat
:
Kp. Burak, Desa Singarajan, Pontang
Kajian bentuk..., Odin Rosidin, FIB UI, 2010